Pendekar Kepala Batu Jilid 36

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Neraka Episode Pendekar Kepala Batu Jilid 36 Karya Batara
PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 36
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
MALAIKAT Gurun Neraka tertegun. Dia tak tahu di mana tempat itu. Namun Pek-kut Hosiang yang sudah berkelebat ke Selatan cepat disusulnya dengan mata terbelalak. Dan begitu dia mengikuti hwesio ini tiba-tiba tampaklah bayangan sutenya itu, jauh di depan, berlari cepat mempergunakan ginkang tingkat tinggi!

Maka terjadilah kejar-mengejar diantara tiga orang sakti ini. Ketua Gelang Berdarah memang benar menuju ke selatan, ke Hwe-seng-kok! Karena di tempat itulah dia paling aman bersembunyi. Tapi Pek-kut Hosiang serta Malaikat Gurun Neraka yang mengejarnya di belakang memburu hebat tanpa mengenal lelah. Dan ketika lima jam mereka berlari cepat bagai bayangan iblis liba-tiba nampaklah lembah itu. Lembab Gema suara, jauh ribuan lie dari kota raja!

Pek-kut Hosiang dan malaikat Gurun Neraka terbelalalak. Mereka sudah semakin dekat dengan ketua Gelang berdarah ini, tapi lawan yang juga semakin dekat dengan lembah maut itu membuat mereka gelisah. Sekali ketua Gelang Berdarah itu memasuki lembah maka berarti gagallah usaha mereka! Tapi ketika jarak tinggal beberapa meter lagi tiba-tiba muncullah seorang hwesio gundul yang menyeringai terkekeh. Ta Bho Hwesio!

"Ha-ha, kau tak boleh meneruskan larimu lagi, Wan-sicu...!" hwesio itu berteriak, memalangkan kedua lengannya dan tertawa bergelak.

Dan ketua Gelang Berdarah yang terkejut malihat munculnya hwesio ini jadi kaget bukan main dari marah besar. "Keledai gundul, minggir…!"

Tapi hwesio Tibet itu terkekeh. Dia terang tak mau minggir, dan begitu lawan sudah dekat jaraknya tiba-tiba diapun memasang kuda-kuda dan berseru keras, "Orang she Wan, berhenti...!"

Ketua Gelang Berdarah tak mampu mengendalikan diri. Dia meluncur deras, mempercepat larinya. Dan begitu melibat lawan memasang kuda-kuda menghadang larinya tiba-tiba diapun menubruk ke depan dengan sepuluh jari tangan terbuka. "Keledai gundul, mampuslah...!"

Dua orang itu bertemu dahsyat. Ketua Gelang Berdarah sudah menerkam lawannya ini, dan Ta Bhok Hwesio yang berteriak keras tahu-tahu menerima serangan ketua Gelang Berdarah itu dengan dorongan sinkang.

"Bress…..!" Ta Bhok Hwesio dan ketua Gelang Bardarah terguling. Mereka terpelanting roboh, namun ketua Gelang Berdarah yang sudah menyambitkan bor pencabut nyawanya di sela-sela pertemuan ini membuat Ta Bhok Hwesio menjeri dan terguling-guling. Hwesio ini mendelik, tangan kanannya terluka. Dan ketua Gelang Berdarah yang sudah melompat bangun dan tidak memperdulikan hwesio Tibet itu sudah melesat ke depan memasuki Lembah Gema Suara.

Tapi, hwesio Tibet ini tiba-tiba berseru keras. Dia melempar lasso, menjerat ketua Gelang berdarah itu yang sudah menginjakkan kakinya mulut lembah. Dan ketua Gelang Berdarah yang sama sekali tak menyangka parbuatan hwesio yang sudah terluka itu tiba-tiba terpekik ketika pinggangnya tergubat. Dia terguling roboh, dan hwesio Tibet yang sudah menarik lassonya dengan sentakan kuat tiba-tiba membuat dia terlempar dan melayang ke arah hwesio ini, segera Malaikat Gurun Neraka dan Pek-kut Hosiang yang mengejar dibelakangnya sudah menyusul tiba!

"Sute, menyerahlah....!"

Ketua Gelang Berdarah ini beringas. Dan marah besar kepada hwesio Tibet yang menganggu larinya itu, yang membuat dia tersusul dua orang lawannya. Maka begitu tubuhnya terjerat lasso dan melayang ke arah hwesio Tibet ini mendadak iblis dari Hek-kwi-to itu menghamburkan tujuh bor pencabut nyawanya ke tubuh si hwesio gundul.

"Cet-cet-cet…!" Ta Bhok Hwesio terbelalak. Dia tak menyangka serangan gelap itu, yang datang demikian cepat. Dan tujuh batang paku berulir yang tahu-tahu sudah menghujani tubuhnya mendadak membuat hwesio ini memekik dan terjengkang roboh. Dia terpelanting, melepaskan tali lasonya. Dan begitu menuding sambil mendelik tahu-tahu kakek gundul ini telah roboh dan tewas seketika!

"Ah, kau keji, sute....!"

Iblis dari Hek-kwi-to ini tak perduli. Dia sudah melepaskan diri dari ikatan lasso itu. Tapi Malaikat Gurun Neraka yang berkelebat ke depan tiba-tiba sudah menotok sutenya dan marah. Tapi laki-laki ini masih dapat menangkis terhuyung, hampir roboh. Dan ketika suhengnya itu menendang lututnya barulah laki-laki ini terguling roboh di dekat mayat Ta Bhok Hwesio. Dan pada saat itulah terjadi sesuatu yang benar-benar di luar dugaan.

Ta Bhok Hwesio yang dikira sudah menjadi mayat tiba-tiba bergerak membalikkan tubuh. dan begitu "mayat" itu bergerak tiba-tiba tangan kanannya melempar sebuah Toat-beng-cui ke mata lawan yang tinggal satu-satunya. "Wan-sicu, kau terimalah hukumanmu!"

Ketua Gelang Berdarah ini terbelalak kaget. Dia tak mengira hwesio tibet itu masih hidup, padahal delapan bor pencabut nyawa sudah menghujani tubuh hwesio gundul itu. Maka begitu kakek gundul ini menimpuk matanya yang tinggal sebelah, tiba-tiba berteriaklah laki-laki ini ketika bor pencabut nyawanya sendiri menancap di matanya yang membuat dia buta total!

"Crep…! Iblis Hek-kwi-to itu meraung panjang. Dia terpekik ngeri dan karena bor pencabut nyawa itu menancap terlalu dalam maka diapun tiba-tiba roboh dan terguling pingsan!

Hal ini mengejutkan semua orang. Pek-kut Hosiang dan Malaikat Gurun Neraka sampai menjublak, terkesima oleh kejadian yang tak disangka itu. Tapi ketika Ta Bhok Hwesio melompat bangun dan mengebut runtuh tujuh bor lain yang menancap di tubuh, barulah dua orang tokoh ini sadar bahwa di balik baju si hwesio gundul ini terlindung pakaian besi yang membuat dia kebal am-gi (senjata gelap).

"Ah, kau memperdayai kami, Ta Bhok lo-suhu?" Malaikat Gurun Neraka akhirnya berseru lirih, terbelalak memandang hwesio gundul yang tersipu-sipu menjura di depannya.

"Maafkan pinceng, taihiap. Orang she Wan ini benar-benar teriampau cerdik. Kalau tidak bersungguh-sungguh kita menyembunyikan rabasia tentu tak semudah ini dia kita lumpuhkan. Pinceng telah menjadi korban penipuannya, pinceng, terkecoh akal muslihatnya dan terpaksa pinceng membalas semua kecurangannya itu dengan tipu muslihat pula."

Malaikat Neraka tertegun. Tapi Pek-kut Hosiang yang tidak mengerti apa yang seungguhnya terjadi antara hwesio itu dengan ketua Gelang Berdarah sudah bertanya heran, "Amitohud, apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian, lo-heng?"

"Hm, pinceng terkecoh, Pek-kut Hosiang. Beberapa bulan yang lalu pinceng dipedayai siluman ini. Dia mengajak pibu, siapa kalah dia harus tunduk pada yang menang. Yakni yang kalah harus mendekam selama setahun di Lembah Cemara. Dan karena pinceng saat itu kalah, maka pinceng mendekam di lembah itu sesuai perjanjian. Tak menyangka sama sekali bahwa siluman ini telah mempergunakan nama pinceng untuk membunuh Hoa-san Lo-jin agar tercetus permusuhan di antara kaum pendekar sendiri!"

"Ah...!" Pek-kut Hosiang mengangguk terbelalak. "Jadi selama ini kau menyembunyikan diri di tempat terpencil, loheng? Dan Wan-sicu in....!"

"Ya, dia menyebar berita bahwa pinceng yang membunuh Hoa-san Lo-jin, Pek-kut Ho-siang. Dan kalau itu berhasil diapun akan membunuh tokoh-tokoh lain dengan mempergunakan nama orang lain pula!"

Pek-kut Hosiang tertegun. Sekarang dia mengerti apa yang telah terjadi pada hwesio Tibet ini. Kenapa lama dia tak muncul. Dan mengerutkan kening memandang Malaikat Gurun Neraka dia bertanya lirih, "Dan sekarang, apa yang akan kau lakukan terhadap sutemu itu, taihiap?"

Pendekar ini menarik napas. "Aku akan mengurungnya kembali di Pulau Iblis, lo-suhu. Apakah lo-suhu ada tempat yang lebih baik?"

"Hm, pinceng kira tidak, taihiap. Karena di manapun dia ditaruh tentu tak dapat lagi dia ketuar. Sutemu telah buta, tak mungkin baginya melarikan diri dari pulau itu. Tapi boleh pinceng bicara sedekit, taihiap?"

"Tentang apa, lo-suhu?"

"Begini taihiap. Sutemu ini telah mencuri kitab pusaka Go-bi-pai. Kalau boleh pinceng usul berikanlah dia kepada pinceng untuk pinceng tanya, dimana dia sembunyikan kitab curian itu."

Malaikat Gurun Neraka muram mukanya. "Dan karena itu dia hendak melarikan diri ke lembah Hwe-seng-kok ini, lo-suhu?"

"Pinceng kira begitu, taihiap, Karena setahun yang lalu pinceng memergokinya di tempat ini. Pinceng khawatir dia menyembunyikan kitab itu di Hwe-seng-kok. Dan kalau itu yang terjadi, tentu gagallah usaha pinceng."

"Hm..." Malaikat Gurun Neraka tertegn. Tapi belum dia menjawab tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat.

"Suhu tak perlu khawatir. Teecu membawa kitab curian itu...!"

Semua orang menoleh. Mereka melihat Bu Kong muncul di situ, memondong seseorang yang pingsan di atas pundaknya. Dan Pek-kut Hosiang yang seketika berseri mukanya mendengar kata-kata segera mengebutkan jubahnya.

"Kau berhasil menemukan kitab Bu-tek-chi-pah-ong itu, Yap-sicu?'

Bu Kong atau Pendekar Gurun Neraka ini menurunkan bebannya. Kiranya itu bukan lain dalah Kui Lun, murid atau pewaris tunggal dari ketua Gelang Berdarah ini, Dan bekas jenderal muda yang sudah menepis pakaiannya dari debu memberi hormat pada hwesio Go-bi itu.

"Mudah-mudahan tidak salah, locianpwe. Karena terus terang saja aku mendapatkannya dari muridnya ini…!" dia mengambil sesuatu dari baju tawanannya pemuda itu menyerahkan sebuah kitab kapada Pek-kut Hosiang.

Pek-kut Hosiang menerima. Keningnya berkerenyit, tampak bekerja keras, memeriksa kitab itu. Dan setelah membolak-balik belasan lembar diapun berkata, "Hm, susah membedakannya dalam waktu singkat, Yap-sicu. Satu-satunya jalan hanyalah mengajak bicara baik-baik susioknya itu. Pinceng punya usul, bagaimana kalau Wan-sicu ini kita bawa ke Beng-san? Kita periksa dia di sana. Sekaligus memberi ahu pada ketua Beng san-pai itu!"

Bu Kong menoleh pada gurunya. "Bagaimana, suhu?"

Malaikat Gurun Neraka mengangguk. "Boleh, Kong-ji. Aku tidak keberatan." dan pendekar yang sudah mengangkat sutenya ini segera memanggul ketua Gelang Berdarah itu menyetujui pendapat Pek-kut Hosiang.

Tapi sesuatu tak diduga tiba-tiba mengejutkan semua orang, iblis Hek-kwi-to yang dikira pingsan ini tiba-tiba bergerak, dan persis tubuhnya dipanggul mendadak kelima jarinya menyambar dada Malaika Gurun Neraka bagai pisau yang tajam mengerikan! "Suheng, kau tak dapat membawa aku...!"

Malaikat Gurun Neraka terkejut. Dia terang tak mampu menghindari serangan yang amat dekat ini. Apalagi kejadian itu memang tak disangka sangka sama sekali. Maka begitu kelima jari sutenya ini bergerak menusuk tiba-tiba terdengarlah keluhan dari mulut pendekar tua. "Crep...!" Tubuh Malaikat Gurun Neraka bergoyang. Dia terbelalak, memandang sutenya yang tertawa bergelak ini. Tapi begitu menggereng dan menyeringai tiba-tiba pendekar sakti itu membentak.

"Sute, kau benar-benar keji...!" lalu begitu kedua tangannya bergerak tiba-tiba terdengarlah ledakan dahsyat ketika batok kepala iblis dari Hek-kwi-to ini pecah ditimpa kedua lengan Malaikat Gurun Neraka!

"Praakk...!"

Semua orang tertegun. Mereka tak menyangka demikian hebat akhir dari semua cerita ini, malihat betapa batok kepala iblis dari Hek-kwi-to itu pecah berhamburan, tak keruan lagi wujudnya. Dan Malaikat Gurun Neraka sendiri yang sudah terhuyung roboh mendekap dadanya yang berlubang oleh kelima jari sutenya yang ganas.

"Suhu…!"

Semua orang tersentak. Mereka melihat Pendeker Gurun Neraka sudah melompat manghampiri gurunya itu. Namun Malaikat Gurun Neraka yang pecah jantungnya dicoblos kelima jari maut ketua Gelang Berdarah sudah tak tahan lagi oleh datangnya kematian. Pendekar tua ini mengeluh, dan persis muridaya berjongkok diapun bicara sepatah kata,

"Kong ji, ajalku telah tiba. Aku akan membayangi roh suteku itu. Kau jagalah diri baik-baik di dunia!" lalu begitu kepalanya terkulai ternyata pendekar inipun telah tewas menyusul arwah sutenya yang jahat!"

Sekarang terbengonglah dua orang hwesio ini. Pek-kut Hosiang dan Ta Bhok Hwesio ternganga oleh kejadian yang demikian cepat di depan mereka berdua itu. Tapi Pek-kut Hosiang yang sudah lebih dulu sadar tuba-tiba merangkapkan kesepuluh jarinya.

"Omitohud, semoga Sang Pencipta memberi tempat yang layak bagi gurumu, Peridekar Gurun Neraka, Pinceng sungguh-sungguh tak mengira kalau demikian tragis nasib dari gurumu yang gagah perkasa...!"

Ta Bok Hwesio juga menggoyangkan tasbihnya. "Hm, benar-benar di luar dugaan perbuatan susiokmu itu, Yap-goanswe. Pinceng juga menyatakan bela sungkawa atas kematian gurumu...!"

Bu Kong tertegun. Dia terkesima oleh kematian suhu dan susioknya ini, tapi pendekar muda yang sudah bangkit berdiri itu menggigi bibir. "Ji-wi locianpwe, rupanya suhu harus menerima garis hidupnya sampai di sini. Terima kasih untuk bela sungkawa ji-wi…!" lalu mencium mayat gurunya pemuda itu sudah menutup mata sang guru yang terbuka kelopaknya. Tapi sebatang pedang tiba-tiba menyentuh lehernya, dingin dan menggores kulit.

"Jahanam she Yap, kau telah membunuh guruku?"

Bu Kong terkejut. Dia melihat Kui Lun telah menempelkan mata pedangnya di leher, siap mengancam dan sewaktu-waktu membunuhnya. Tapi Pek-kut Hosiang yang mengebutkan jubah melompat maju.

"Ok-sicu, jangan salah menyangka. Suhumu itu tewas oles kekejian dirinya sendiri!"

"Hm, aku tak bertanya padamu, Pek-kut Hosiang. Aku bertanya pada jahanam ini!" Kui. Lun menukas, suaranya meninggi dan marah.

Tapi Ta Bhok Hwesio yang meradang oleh sikap pemuda itu tiba-tiba ikut maju. "Bocah she Ok, jangan berlagak kau. Simpan pedangmu itu dan bicaralah baik-baik. Bukan Yap-goanswe yang membunuh gurumu melainkan guru pemuda ini yang mengbabisi nyawa gurumu yang curang!"

Kui Lun memutar kepala. Dia melotot pada hwesio Tibet itu, tapi pedangnya yang menetak leher Bu Kong sudah berkelebat menyambar tanpa memperdulikan cegahan dua orang ini. "Sama saja bagiku, Ta Bhok Hwesio. Mereka guru dan murid sama-sama telah menyusahkan guruku...takk!" dan pedang yang sudah mengenai leher pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan suara ketika mental dan patah menjadi dua bagian!

Tentu saja Kui Lun terkejut. Dan Bu Kong yang sudah bangkit berdiri dengan mutut tersenyum pahit bicara getir, "Saudara Kui Lun, kau benar-benar kelewatan. Kalau aku ingin membunuhmu, berapa kali sudah aku dapat melakukannya? Kau tak tahu diri, orang she Ok. Pergilah dan bawa mayat gurumu itu…!"

Kui Lun merah mukanya. Dia malu bukan main, maklum bekas jenderai muda ini memang bukan tandigannya. Maka melihat pedangnya tak berhasil memenggal leher pemuda itu dalam usahanya membalas dendam gagal diapun tiba-tiba gemetar dan pucat mukanya. Kui Lun tak bieara lagi, dan begitu melempar potongan pedangnya di atas tanah mendadak diapun me-nyambar mayat gurunya. "Pendekar Gurun Neraka, aku menyerah kalah. Tapi jangan kira api dendamku padam....!"

Bu Kong tak menjawab. Dia melihat pemuda itu sudah berkelebat meninggalkan mereka tapi Pek-kut Hosiang yang melompat maju sekonyong-konyong menghadang. "Ok-sicu, Tunggu dulu! Benarkah kitab yang pinceng terima ini dari gurumu?"

Kui Lun mendelik. "Aku tak berbohong untuk menyelamatkan diriku sendiri, Pet-kut Hosiang. Kalau kau percaya itu baik tapi kalau tidak akupun juga tak akan perduli!"

"Hm, jadi ini benar-benar dari gurumu sicu?"

"KaIau kau percaya!"

"Baiklah…!" Pek kut Hosiang melepaskan lawannya. Dan Kui Lun yang sudah memutar tubuh segera melanjutkan larinya meninggalkan tiga orang itu. Dia yang melihat betapa hwesio Go-bi ini menggigil, dan begitu dia lenyap di bawah lembah sekonyong-konyong kitab di tangan hwesio tiaggi besar itu telah diremas hancur!

"Ah, apa yang kau lakukan, Pek-kut lo-heng?"

Ta Bhok Hwesio dan Pendekar Gurun Neraka terkejut Mereka sudah melompat maju, terbelalak memandang kitab orang sudah menjadi tepung di tangan hwesio Go-bi ini. Tapi Pek-kut Hosiang yang muram mukanya menunduk tak nyaman.

"Kitab yang pinceng bawa adalah barang palsu, lo-heng. Pinceng dikibuli mendiang ketua Gelang Berdarah itu!"

"Ah…!" dua orang ini tertegun. "Jadi itu bukan Bu-tek-thi-pah-ong yang asli locianpwe?" Bu Kong kali ini bertanya, kaget mendengar penjelasan itu.

Dan Pek kut Hosiang yang tersenyum pahit mengangguk. "Memang benar, Yap-sicu. Kitab yang kau bawa tadi adalah kitab palsu. Rupanya ketua Gelang Berdarah telah menyalin Bu-tek-thi-pah-ong dalam kitab palsu. Karena kitab yang asli tak dapat hancur dalam sekali remas!"

"Ahh...." dua orang ini kembali tertegun.

Tapi Pek-kut Hosiang yang mengebutkan jubah tiba-tiba berseru, "Ta Bhok lo-heng, Pendekar Gurun Neraka, pinceng masih harus mencari kitab yang asli itu. Maaf pinceng tak dapat menemani kalian lebih lama. Pinceng akan mengikuti gerak-gerik murid ketua Gelang Berdarah itu…!"

Ta Bhok Hwesio dan Bu Kong cepat-cepat membalas hormat. Mereka mehhat muka hwesio tua itu tampak sedih benar, dan Pek-kut Hosiang yang sudah berseru kepada mereka tiba-tiba mengangkat tangan dan memutar tubuh. Lalu sekali berkelebat tiba-tiba hwesio ini telah meluncur ke utara menyusul Kui Lun yang membawa mayat gurunya!

"Hm, iblis dari Hek kwi-to itu benar-benar merepotkan banyak orang, Yap-goanswe. Sudah matipun masih saja dia menyusahkan orang lain!"

Bu Kong menarik napas. "Memang itu sudah wataknya, locianpwe. Tapi tolong kau ingat lagi, aku bukan seorang jenderal!"

"Ah, maaf...!" hwesto ini menyeringai. "Aku lupa, Pendekar Gurun Neraka!" lalu memandang pemuda itu buru-buru dia bertanya, "Sekarang, kau akan ke mana, Pendekar Gurun Neraka?"

Pemuda ini memandang muram. "Aku akan kembali ke Gurun Takla, locianpwe, memakamkan suhu di tempat asalnya sana."

"Setelah itu?"

"Kemungkinan akan ke Beng-san."

"Bagus! Kalau begitu kutunngu kau di sana, Pendekar Gurun Neraka. Kebetulan pinceng ada perlu dengan ketua Beng-san-paicu itu."

Bu Kong menjadi heran. Dia melihat hwesio ini tampak gembira, tapi Ta Bhok Hwesio yang tidak memberi kesempatan padanya untuk bertanya tiba-tiba sudah menepuk pundaknya.

"Pendekar Gurun Neraka, pinceng duluan kalau begitu. Kau datanglah ke sana setelah memakamkan suhumu....!"

Lalu begitu tersenyum lebar mendadak hwesio ini telah berkelebat pergi. Bu Kong tak mengerti. Tapi melihat orang mengangkat tangan iapun melambaikan tangan membalas kepergian hwesio itu. Lalu begitu bayangan orang lenyap di bawah lembah diapun sudah membawa mayat gurunya meninggalkan Hwe-seng-kok. Maka sunyilah Lembah Gema Suara ini. Tak ada lagi yang mengganggu. Dan ketika Pendekar Gurun Neraka menuju ke barat, maka lembah ini benar-benar menjadi seperti semula lagi. Hening, tapi cukup mencekam!

* * * * * * * *

Dua minggu kemudian. Pagi itu Pegunungan Beng san tampak demikian segar. Kicau burung dan sinar matahari pagi yang menembus celah-celah dedaunan menyambut datangnya sesosok bayangan yang medaki ke atas dengan gerakan tenang. Tidak seperti biasanya yang banyak kabut, adalah pagi itu pegunungan ini demikian cerah. Dia menyambut datangnya sosok bayangan ini dengan penuh kegembiraan, meskipun bayangan itu tampak muram. Dan ketika bayangan itu telah melewati separuh perjalanaanya tiba-tiba sesosok bayangan muncul.

Bayangan ke dua ini ramping. Dia seorang gadis cantik. Dan ketika bayangan pertama ini telah tiba di sebuah likungan mendadak gadis cantik ini berkelebat menghadang. Tentu saja bayangan pertama itu terkejut. Tapi begitu melihat siapa yang muncul tiba-tiba bayangan ini tertegun.

"Hong-moi, kau di sini?"

Gadis cantik itu terisak. Ia bukan lain Pek Hong adanya, gadis yang dulu membawa lari jenazah Ceng Bi. Dan mendengar bayangan pertama ini memanggilnya lirih tiba-tiba gadis itu menubruk maju dengan tangisnya yang tiba-tiba mengguguk! "Yap-koko, kau… suhumu… Han locianpwe meninggal?"

Bayangan pertama ini tersenyum pahit. Dia, adalah Pendekar Gurun Neraka, Yap Bu Kong yang sudah kita duga itu. Dan melihat murid Ta Bhok Hwesio ini menangis tersedu-sedu di dadanya segera dia memeluk gadis itu dengan kening kerut. "Ya, suhu telah tiada, Hong moi. Dari mana kau tahu dan kenapa kau ada di tempat ini?"

Tapi Pek Hong masih tersedu-sedu. "Aku tahu dari guruku, Yap koko. Aku menyesal atas kematian gurumu itu...!"

"Hm, sudahlah. Semua sudah takdir, Hong moi, tak perlu kau menangis. Kenapa kau ada di sini dan apa yang kau perbuat?"

Gadis ini meremas jarinya. "Aku menunggumu, koko... aku menghadangmu berhari-hari di tempat ini...!"

"Aah...!" Bu Kong terkejut. "Apa yang hendak kau bicarakan, Hong-moi? Di mana Ta bhok Hwesio locianpwe?"

"Dia di atas, koko... bersama Ciok-thouw taihiap Souw locianpwe yang menunggumu berhari-hari untuk membicarakan masalah parkawinan!"

"Parkawinan....?" Bu Kong terbelalak. "Perkawinan siapa, Hong-moi? Apa yang dibicarakan dua orang tua itu?"

"Mereka membicarakan perkawinanmu, koko. Perkawinaamu dengan puteri Beng-san-paicu yang terhormat....!"

"Ahh...!" Bu Kong kaget bukan main, ia melompat mundur bagai dipagut ular berbisa. Ia terbelalak memandang gadis ini. Bu Kong bertanya gemetar, "Hong-moi, apa... apa yang kau bilang ini? Aku akan menikah dengan puteri Ciok-thouw Taihiap...?"

Pek Hong mengangguk. "Ya, kau tidak salah dengar, Yap-koko. Kau akan menikah dengan puteri Beng-san-paicu itu, adik Ceng yang mencintaimu setengah mati...!"

Bu Kong serasa dipukul palu godam. Dia benar-benar terkejut mendengar cerita ini, ia membating kaki tiba-tiba dia membentak "Hong-moi, siapa dua orang tua itu hingga mereka berani menentukan tali pernikahanku? Siapa yang menyuruh aku harus menikah dengan puteri Beng-san-paicu itu?"

Pek Hong mengedikkan kepalanya. "Aku yang menyuruh dua orang tua itu, Yap-kok. Aku yang menentukan tali pernikahan ini!"

Bu Kong tersentak mundur. "Kau...?"

"Ya, aku yang menentukannya, Yap-koko. Aku yang mengatur semuanya itu untuk adik Ceng Bi...!"

Bu Kong tiba-tiba tertawa bergelak. Dia menangkap kedua pundak gadis ini, lalu mengguncangnya berkali-kali dia berseru, "Hong-moi, kau gila? Kau ini siapa yang hendak mengatur tali perjodohanku? Dan, ha-ha.., kau main-main, Hong-moi, bukankah puteri Beng-san-paicu itu telah tewas di tangan ayahnya sendiri?"

Tapi Pek Hong menepis tangan pemuda itu. Ia melepaskan diri, dan menggeleng kepala dengan ia berkata. "Aku tidak main-main, Yap-koko. Aku tidak gila. Puteri Beng-san-paicu itu masih hidup dan demi cinta kasihnya yang mendalam kepadamu kau harus mengambil gadis itu sebagai isterimu...!"

Bu Kong sekarang tertegun. Dia terbelalak memandang gadis ini, melihat betapa murid Ta Bhok Hwesio itu bersungguh-sungguh. Maka tergetar pucat dia melangkah maju. "Hong-moi, apa kau bilang? Puteri Beng-san-paicu itu masih hidup...?"

"Ya, ia masih hidup, koko. Dan atas kemurahan Tuhan dia diberi panjang umur!"

"Tapi..."

"Tak ada tetapi, Yap-koko. Adik Ceng Bi dibunuh ayahnya karena ia mempertaruhkan cintanya kepadamu. Dan karena itulah Ciok-thouw Taihiap marah besar!"

"Aah...!" Bu Kong sekarang menjublak.

Dan Pek Hong yang berapi-api matanya bercerita. "Kau tahu apa yang terjadi di antara ayah dan anak itu, koko?"

Bu Kong tentu saja menggeleng.

"Nah, dengarlah, koko. Adik Ceng Bi dengan tegas menolak tali perjodohannya dengan putera Bu-tiong kiam Kun Seng itu. Pertama karena dia belum mengenal baik sedang yang ke dua dia tidak suka karena pemuda itu kedapatan bergaul dengan tiga iblis betina Sam-hek-bi-kwi dari Gelang Berdarah. Kau tahu watak tiga iblis betina ini, bukan? Mereka wanita tak tahu malu, iblis-iblis betina yang cabul. Tapi sesungguhnya yang menjadi inti penolakan adik Ceng Bi adalah karena dia mencintaimu. Adik Ceng Bi jatuh cinta kepadamu semenjak perjumpaan kalian yang pertama kali di kota Hang-loh, di rumah makan Tiang-an itu ketika kalian sama-sama beradu pandang!"

Bu Kong terkejut. Tapi Pek Hong yang tidak memberi kesempatan padanya untuk membuka mulut sudah melanjutkan lagi dengan cepat. "Dan karena itu tak boleh kau menyia-nyiakan cinta kasih gadis ini Yap koko. Karena dia telah membuktikan diri dengan menyerahkan nyawanya kepada ayahnya sendiri. Demi memberi cinta kasihnya kepadamu yang dipendam secara diam-diam!"

Bu Kong sekarang menggigil. Dia memang teringat perjumpaan pertama kalinya dengan puteri Beng-san-paicu yang cantik itu. Betapa orang-orang Gelang Berdarah mulai meagganggu mereka. Atau tepatnya mengganggu puteri Beng-san-paicu ini karena kakak gadis itu tertawan di markas Gelang Berdarah luar kota Hang-loh Dan bahwa dia lalu memhantu gadis itu untuk membehaskan Ceng Han semuanya ini tiba-tiba terbayang jelas di pelupuk matanya. Bagai kejadian yang baru saja terjadi. Tapi melihat Pek Hong tiba-tiba bicara soal perjodohan dengan puteri Beng-san-paicu itu mendadak Bu Kok jadi terhuyung.

"Hong-moi, kenapa kau tiba-tiba membicarakan urusan gadis ini denganku? Kenapa kau seolah-olah memaksaku untuk mengikat tali perjodohan dengan keluarga Ciok-thouw Taihiap?"

"Karena ia gadis yang cocok untukmu, koko. Karena ia satu-satunya wanita mulia yang patut menjadi kekasihmu seumur hidup!"

"Ah, tapi kau…."

"Hm, kenapa dengan diriku, koko? Bukankah tak ada urusan di antara kith berdua?"

Bu Kong menyeringai mututnya. "Bukan… bukan begitu, Hong-moi. Tapi... tapi, ah... bagaimana harus kukatakan ini...?" lalu mendesis kuat mendadak bekas jenderal muda itu menyambar lengan gadis ini.

"Hong-moi..." suaranya gemetar" salahkah dugaanku selama ini bahwa kaupun mencintaiku? Bukankah diam-diam kita berdua..."

"Hm, bukan kita berdua, Yap-koko, melainkan aku sendiri. Aku sendiri yang bertepuk sebelah tangan dan tidak mendapat balasan cintamut" Pek Hong memotong.

Dan Bu Kong yang mangangguk pahit berkata, "Ya, itu benar, Hong-moi. Tapi itu dulu! Kini semuanya berobah. Aku telah mulai dapat mempelajari isi hatimu. Aku mulai dapat melihat penderitaanmu dan semenjak beberapa bulan belakangan ini aku mulai mencintaimu, Hong-moi. Aku mencintaimu sejak perjumpaan kita terakhir di kuil tua itu...!"

"Ah...!" Pek Hong melangkah mundur. "Tapi kau tak dapat malupakan mendiang kekasihmu dulu Yap-koko. Kau tak dapat melupakan puteri Ok-ciangkun itu...!"

"Hm, seorang jantan harus berani dan dapat melihat kenyataan, Hong-moi. Aku menyadari bahwa Tuhan tidak mengabulkan perjodohan itu. Semuanya telah lewat, tak perlu diungkit-ungkit lagi!"

"Tapi...!"

"Tak ada tetapi, Hong moi. Yang jelas aku mencintaimu dan kita berdua menikah...!"

Pek Hong tertegun. Dia melihat muka bekas jenderal muda ini mengeras, tak mau dibantah. Dan belum dia sadar tahu-tahu sepasang tangan pemuda itu memeluknya, ketat sekali. "Hong-moi, kau mencintaiku, bukan?"

Pek Hong ganti menggigil. Ia hampir bersorak mendengar ungkapan hati bekas jenderal muda yang sudah lama dikaguminya ini, pernyataan cinta yang sudah lama ditunggu-tunggu! Tapi begitu sadar tentang Ceng Bi mendadak dia berontak. "Yap-koko, lepaskan aku...!"

Bu Kong terkejut. Dia melihat gadis ini tiba-tiba menangis, air matanya deras mengucur. Belum dia bertanya, tiba-tiba Pek Hong berlutut di bawah kakinya. "Yap-koko, jangan sentuh aku dulu... aku tak pantas untukmu...!"

Pemuda ini semakin terkejut. Dia tentu saja terbelalak, tapi mengerutkan kening dia mengangkat bangun gadis ini. "Hoag moi, ada apakah? Kenapa kau bersikap demikian luar biasa?"

Tapi Pek Hong masih mengguguk. Tangisnya bahkan menghebat, dan ketika Bu Kong menyentuh bahunya sekonyong-konyong menepis kuat. Lalu, begitu menjerit lirih tiba-tiba gadis ini memutar tubuh dan melarikan diri turun gunung!

"Yap koko, jangan sentuh aku... semua sudah terlambat...!"

Bu Kong pucat mukanya. Dia tak tahu apa yang telah terjadi pada murid Ta Bhok Howesio ini, tapi mendengar kalimat terakhir tiba-tiba tersentak. Sudah terlambat? Apanya yang terlambat? Maka Bu Kong yang gemetar mulutnya itu tiba-tiba berkelebat mengejar.

"Hong-moi, tunggu dulu. Apanya yang terlambat?' Pek Hong tak mau berhenti. Ia terus meluncur turun, dan baru setelah Bu Kong melompat di depannya gadis itu berhenti dengan mendadak, mengguguk sambil menutupi kedua mukanya. "Hong-moi, apa-apaan kau ini? Kenapa kau melarikan diri?"

Pek Hong tersedu-sedu. "Aku ingin menjauhkan diri darimu, koko. Aku ingin menghapus kenangan di antara kita berdua…!"

"Hm, kenapa begitu, Hong-moi? Apa yang terjadi? Kenapa kau bilang semuanya terlambat?"

Tapi Pek Hong masih belum dapat bicara lancar. Ia masih meneruskan tangisnya, sedih dan penuh kedukaan hati yang berat. Dan baru setelah mengeluarkan saputangannya terdenngar kata-katanya yang serak gemetar. "Yap koko, benarkah… benarkah kau mencintaiku....?"

"Hm, adakah nada suaraku sumbang, Hong-moi? Adakah aku main-main dalam menyatakan cinta kasihku kepadamu?"

Pek Hong mengangkat mukanya. "Kalau begitu, bolehkah aku menguji kebenarannya, koko?"

Bu Kong mengerutkan alis. Dia heran oleh pertanyaan gadis ini, tapi tak tahan oleh derai air mata di pipi yang kemerahan itu dia tiba-tiba membungkuk, "Hong-moi, kau aneh, bagaimana kau hendak menguji cintaku?" Lalu tersenyum lembut tiba-tiba dia mengecup air mata yang hangat ini, membuat Pek Hong menggejang dam mengeluh. Tapi begitu Bu Kong hendak memeluknya mesra sekonyong-konyong dia mengelak.

"Yap koko, tunggu. Kau tak boleh memelukku sebelum aku menguji cintamu...!"

Bu Kong terkejut. "Apa yang hendak kau lakukan, Hong-moi?"

Gadis itu mundur selangkah "Aku hendak memastikan diri, Yap-koko. Pantaskah aku menerima cintamu kalau kau tak dapat mengabulkan sebuah permintaanku!"

"Hmi jadi dengan Sebuah permintaan hendak menguji cintaku, Hong-moi?"

"Kalau kau tak keberatan, koko."

"Baiklah,. Katakan itu dan aku berjanji tak akan menolak jika hanya sebuah permintaan saja!" Bu Kong tiba-liba menyanggupi, tidak berpikir panjang lagi dan memandang gadis dengan mulut tersenyum.

Tapi ketika Pek Hong tertawa aneh dan balas menatapnya dengan mata bercahaya ganjil, sekonyong-konyong dia tersentak kaget. Sadar, bahwa dia kelepasan dan terpengaruh oleh tangis gadis cantik. Maka meralat dengan kening berkerut buru-buru dia menyambung. "Tapi itu semua tak ada hubungannya dengan perbuatan jahat, Hong-moi. Karena kalau merugikan orang lain tentu aku tak dapat menerimanya!"

Pek Hong tersenyum lebar. "Kau berjanji koko. Kau tak akan menolak jika aku menuntut sebuah permintaan?"

"Asal tidak merugikan orang lain, Hong-moi. Karena kalau merugikan orang lain atau perbuatan jahat jelas aku tak dapat mengabulkan permintaanmu!"

"Bagus...!" Pek Hong berseru. "Kalau begitu kau sedia bersumpah atas nama langit dan bumi, koko?"

"Aku bersumpah!"

"Baiklah, dengar kalau begitu! Kau harus mengambil adik Ceng Bi sebagai isterimu. Tak boleh menolak dan menyayangi serta menyintai gadis itu seperti kau menyayangi atau mencintai aku...!"

Bu Kong kaget bagai disambar petir. "Hong-poi, kenapa permintaan ini yang kau ajukan?"

"Hm, kau menolak, Yap-koko? Kau hendak menyatakan bahwa perbnatan ini jahat dan megikan orang lain?"

Bu Kong tertegun. Dia tak dapat menjawab "todongan" itu, ternganga dan bengong dengan muka pucat. Tapi maklum dia terjebak oleh janji kata-katanya sendiri tiba-tiba bekas jenderal muda ini memegangi kepalanya. "Hong-moi, kau curang. Itu berarti kau tak menerima uluran cinta kasihku...!"

Pek Hong sendiri monggigil kakinya. Dia tak tahan melihat pemuda itu terhuyung, lenyap sinar matanya yang keras. Tapi melangkah maju ganti dia memegang pundak pemuda ini, berbisik gemetar, "Koko, aku tidak curang. Semuanya itu kulakukan demi kebahagiaanmu, Percayalah, adik Ceng Bi jauh lebih cocok untukmu dibanding aku….!"

"Ah, tapi aku belum mengenal baik watak nya, Hong-moi. Bagaimana bisa mencinta?"

"Hm, orang mencinta karena biasa, koko! Kalan kau telah hidup dengannya pasti cinta itu akan tiba juga. Percayalah!"

"Dan kau sendiri...?"

"Tak perlu kau pikirkan aku, koko. Aku telah...."

"Bukan… bukan begitu, Hong-moi. Yang kumaksud kenapa kau mengorbankan diri untuk puteri Beng-san-paicu itu? Bukankah kau mencintaiku, Hong moi? Salahkan dugaanku bahwa kita berdua..."

Pek Hong tiba-tiba terisak. "Tak perlu kau lanjutkan lagi, koko. Itu adalah cerita dulu. Sekarang semuanya telah berobah... semuanya telah terlambat...!"

Bu Kong gemetar pucat "Kenapa begitu, Hong-moi?"

"Karena... karena aku..." Pek Hong tiba-tiba menangis. "Aku tak mencintannu lagi, koko. Aku telah menjadi milik orang lain... aku telah ada yang punya...!"

Bu Kong kaget bukan main. "Hong-moi...!!'

Tapi Pek Hong membalikkan tubuh. Gadis ini tersedu-sedu, dan menangis dengan kedua pundak berguncang tiba-tiba gadis itu lari turun gunung dengan cepat sekali. Dia tak melihat betapa Bu Kong terhuyung roboh, terduduk di atas tanah. Tapi menggereng keras tiba-tiba dia telah mengejar gadis ini, menyusul dalam tiga empat kali lompatan panjang. Dan begitu melayang turun Bu Kong kembali membentak.

"Hong-moi, kau bohong…!""

Pek Hong tertegun. Ia Melillat pemuda itu beringas sekali, mukanya menakutkan. Dan Pek Hong yang terpaksa barhenti dengan muka menggigil tersendat bertanya, "Yap-koko, apa... apa yang akan kau lakukan? Kenapa kau bilang aku bohong..?"

Bu Kong tertawa serak. Dia pucat sekali memandang gadis ini, tapi terhuyung maju dan menjawab, "Kau bohong, Hong-moi... kau berdusta didepanku dengan menyatakan tidak mencintaiku lagi. Bukankah ini menipu diri sendiri, Hong moi? Kenapa kau membohongiku dengan kata-kata menyakitkan itu...?"

Pek Hong menggigil. "Tapi kau tak dapat membuktikan kata-katamu sendiri, koko. Kau tak dapat membalikan kalau aku bicara tak benar...!"

"Hm, siapa bilang? Aku dapat membuktikannya, Hong-moi, sekarang juga...!" lalu beringas memandang gadis ini mendadak Bu Kong menerkam lengan orang. Dan, bicara gemetar dan mengguncang tubuh gadis ini, berkata parau "Hong-moi, kita buktikan bersama siapa yang benar di antara kita sekarang juga. Kalau kau tidak berani manamparku tiga kali sebagai tanda kau benar-benar tidak mencintaiku lagi maka aku akan menciummu sebagai hukumannya. Tinggal kau pilih, menamparku sebagai bukti kau tidak lagi mencintaiku atau kau menyerah, diam saja dan aku akan menciummu sebagai bukti bahwa kau masih mencintaiku...!"

Pek Hong terbelalak. Dia terkejut mendengar "ultimatum" ini, disuruh memilih dari dua kemungkinan. Tapi mengeluh tertahan tiba-tibs gadis ini tersedak. Dia bingung, menampar atau diam saja. Tapi begitu Bu Kong mulai menghitung tiba-tiba dia mengeraskan hati. Lalu, begitu Bu Kong menghitung "dua" sekonyong-konyong jari tangannya bergerak menampar.

"Orang she Yap, kau sungguh kurang ajar… plak-plak-plak!" dan tiga tamparan yang sagera mendarat di pipi pemuda itu tiba-tiba disusul dengan lepasnya cengkeraman Bu Kong pada diri gadis ini. Bu Kong terbelalak, seakan tak percaya. Tapi begitu tiga tamparan berturut-turut selesai dilaksanakan mendadak dia tertegun dan menjublak bengong!

"Hong-moi, kau...?"

Pek Hong mengusap pipinya yang basah. Dia menahan-nahan diri agar dapat menguatkan hati, tak menangis di depan pemuda itu. Lalu terisak membalikkan tubuh tiba-tiba iapun meloncat meneruskan larinya, meninggalkan pemuda ini dengan ancamannya yang diserukan gametar, "Orang she Yap, jangan kejar lariku lagi. Sakali kau menghadang jangan salahkan aku kalau bunuh diri di depanmu...!"

Bu Kong berdiri mematung. Dia terkesima oleh ancaman ini, ngeri dan pucat melihat kepergian gadis itu. Tapi menarik napas tiba-tiba dia menyeringai, terhuyung dan memanggil nama gadis itu, "Hong-moi, tau kejam...!"

Lalu begitu orang leayap di balik tikungan diapun nanar berjam-jam di tempat itu, memandang ke tempat di mana Pek Hong lenyap di bawah sana. Tak sadar, betapa matahari telah naik tinggi menyengat seluruh tubuhnya. Dan baru setelah seseorang berkelebat di depannya pendekar muda yang sedang "patah hati" ini terkejut.

"Mana euci Hong? Kau apakan dia...?"

Bu Kong tertegun. Dia melihat seorang gadis cantik tahu-tahu telah muncul di situ, berkacak pinggang dan memandangnya marah. Dan Bu Kong yang terbengong oleh munculnya gadis tiba-tiba melenggong. "Nona, kau Souw-siocia bukan?"

Gadis itu membanting kaki. Ia memang Ceng Bi adanya, gadis yang baru saja dibuat ribut-ribut oleh Bu Kong dan Pek Hong. Dan Ceng Bi yang marah mendengar orang tak menjawab pertanyaannya tiba-tiba membentak. "Pendekar Gurun Neraka, kenapa kau balas bertanya sebelum menjawab? Aku memang Ceng Bi bukan siocia-siocia segala! Mana itu enci Hog dan kau apakan dia?"

Bu Kong terbelalak. Dia tergetar meliht mata yang jernih lebar itu, yang saat itu memandangnya marah tapi tampak demikian cantik! Dan terpesona oleh gerak bibir dan mata yang kocak berkedip-kedip itu mendadak jadi tertegun dan tak menjawab pertanyaan orang.

"Nona Souw, kau...eh, kau benar-benar masih hidup?" Bu Kong malah bertanya heran membuat Ceng Bi semakin sengit dan membanting kaki dua kali.

"Pendekar Gurun Neraka, apa apaan yang kautanya ini? Perduli apa aku sudah mampus atau masih hidup? Mana itu enci Hong dan kau apakan dia?"

Bu Kong sadar. Sekarang dia berhasil metapkan hati, menindas guncangan jiwa yang terpukul dua kali berturut turut. Dia ingat bahwa dia telah "diikat" janji oleh Pek Hong untuk mempersunting gadis ini sebagai isterinya tiba-tiba mukanya merah. "Nona Souw, aku… hem…"

Ceng Bi membanting kakinya sekali lagi. ia kesal benar, dan tak sabar melihat Bu Kong masih tersendat-sendat bicaranya mendadak dia memberondong, "Pendekar Gurun Neraka, aku tak butuh pertanyaanmu yang bermacam-macam. Aku butuh jawabanmu, mana itu enci Hong dan kau apakan dia? Kau tidak tuli bukan? Kau dapat menjawab pertanyaanku, bukan? Nah, katakan dimana enci Hong sekarang dan kau apakan dia? Cepat...!"

Bu Kong meringis. "Nona Souw..."

"Tak ada nona Souw di sini. Yang ada ialah Ceng Bi. Kau boleh panggil namaku begitu saja tanpa embel-embel nona!"

"Ya, eh... maaf, Bi-moi. Aku tidak tahu kemana enci Hong-mu itu. Siapa yang kau maksud dan kenapa kau marah-marah begini?"

"Keparat, kau berlagak bloon, Pendekar Gurun Neraka. Kau pura-pura tak tahu bahwa yang kumaksud itu adalah kekasih mu sendiri. Enci Hong yang menjadi murid Ta Bhok Hwesio locianpwe dari Tibet! Ke mana dia sekarang dan kau apakan dia hingga pipimu bengap-bengap tak keruan?"

Bu Kong terkejut. "Aku tak tahu, adik. Tapi ada apakah hingga kau nampaknya tergesa-gesa begini? Apa yang terjadi?"

"Tolol, kau bodoh, Pendekar Gurun Neraka, Ayah dan Ta Bhok Hweslo locianpwe sedang sibuk mempersiapkan rencana perkawinan kalian. Kenapa kau jadi bertengkar dengan calon isterimu sendiri?"

Bu Kong terbelalak. "Apa perkawinanku dengan...."

"Ya, siapa lagi? Bukankah kalian berdua sama-sama mencinta? Mana sekarang enci Hong dan kau apakan dia?"

Bu Kong tertegun. Dia jadi celangap mendengar "kalau" si cantik ini, bingung dan tak mengerti kenapa keterangan itu jadi bertolak belakang dengan apa yang sudah diceritakan Pek Hong. Tak mampu menjawab. Dan Ceng Bi yang gemas meihat pemuda ini melongo dengan muka kebingungan tiba-tiba meloncat pergi dengan sikap jengkel.

"Pendekar Gurun Neraka, kau benar-benar lelaki blo‘on. Kenapa ndomblong saja ditanya orang?"

Bu Kong sadar. Dia terkejut melihat gadis itu tadi meninggalkannya. Maka berseru keras tiba-tiba dia mengejar. Bi-moi tunggu dulu. Aku mau bertanya…!"

Ceng Bi berkacak pinggang. Ia berhenti, tapi melotot gusar dia membentak, "Apa yang hendak kau tanyakan, Pendekar Gurun Neraka? Bukankah kau tak mau menjawab pertanyaan orang?"

Bu Kong madam tadah. "Aku benar-benar tak tahu ke mana enci Hong-mu melarikan diri, Bi-moi. Tapi kalau kau ingin mengejar dia tadi turun ke bawah, ke arah timur. Nah, sekarang aku mau bertanya, apakah yang kau katakan tadi benar?"

Ceng Bi terbelalak. "Omongan apa yang kau anggap tidak betul, Pendekar Gurun Neraka?"

"Kata-katamu tadi, tentang eh… tentang perkawinan itu. Betulkah Ta Bhok Hwesio lo-suhu merencanakan ikatan jodoh ini?"

Ceng Bi tampak terkejut. Ia mengerutkan kening, sinar matanya tiba-tiba redup. Tapi menganggukkan kepala ia berkata tegas, "Ya, itu memang benar, Pendekar Gurun Neraka. Dan ayah akan membantumu sebagai wali untuk melamar enci Hong pada gurunya, sebagai pengganti gurumu yang telah tiada!"

"Ah, tapi… tapi siapa yang menentuan ini Bi-moi? Bagaimana kalau umpamanya aku menolak?"

"Apa?" Ceng Bi tiba-tiba mendelik. "Kau berani menolaknya, Pendekar Gurun Neraka? Kau ingin kukutuk seribu turunan?"

Bu Kong terbelalak, "Aku hanya mengatakan pengandaian saja, adik Bi. Aku ingin mengetahui siapa yang menentukan semuanya ini?"

"'Hm, kau ingin tahu, Pendekar Gurun Neraka?"

"Ya...!"

"Nah dengar baik-baik. Akulah yang menentukan rencana perkawinanmu. Aku yang mengusulkan pada ayah dan Ta Bbok Hwesio lo-suhu untuk segera mengikat kalian sebagai suami isteri. Secepatnya! Jelas?"

Bu Kong terbengong. "Kau, Bi-moi...?"

"Ya, aku! Kenapa?"

"Ah, tapi..."

"Tak ada tetapi, Pendekar Gurun Neraka. Yang jelas kau harus mengambil enci Hong sebagai isterimu atau aku akan mengadu jiwa untuk urusan ini....!" lalu selesai bicara dengan nada penuh ancaman gadis itu tiba-tiba membalik dan turun meninggalkan Bu Kong yang terbelalak lebar.

Bu Kong memang benar-benar melongo, tak mengerti dan terkejut oleh kata-kata ini. Tapi begitu Ceng Bi melompat jauh mendadak dia tertawa bergelak dan meninju telapak tangannya sendiri. "Adik Bi, kau gila...!" Kalian berdua sama-sama tidak waras... ha-ha-ha!"

Ceng Bi menghentikan larinya. Ia terkejut melihat Pendekar Gurun Neraka tertawa bagai orang gila, mengatakan dia yang glia, bukan pemuda itu! Dan Ceng Bi yang penasaran oleh ucapan ini mendadak mundur kembali, menghampiri pemuda itu. "Pendekar Gurun Neraka, apa kau bilang? Kau berani memaki aku gila?"

Bu Kong tertawa semakin geli. Dia memang gemas dan mendongkol sekali oleh kejadian yang menimpanya ini, marah tapi juga cemas. Khawatir dua orang gadis yang sama-sama mengajukan temaanya untuk disuruh menjadi isterinya itu tidak waras, sinting! Maka begitu melihat Ceng Bi mengepal tinju dan marah dengan mata melotot tiba-tiba dia meremas jarinya, terhuyung.

"Bi-moi...." Bu Kong tertawa serak, pucat mukanya. "Apakah kalian berdua sudah sama-sama menjadi gila? Setan manakah yang telah mengganggu kalian ini?"

Ceng Bi melotot. "Apa maksudmu, Pendekar Gurun Neraka? Kenapa kau bicara begitu?"

Bu Kong terengah. "...aku bingung dan khawatir kalian berdua sama-sama tidak waras, adik Ceng Bi. Karena kalau kau memaksaku untuk mengawini enci Hong-mu itu adalah Pek Hong sendiri telah memaksaku untuk mengambil mu sebagai isteri! Ha-ha, siapa yang benar ini, siapa yang harus kuturut...?"

Ceng Bi tersentak kaget. "Apa, Pendekar Gurun Neraka, enci Hong.. enci Hong…"

"Ya, dia telah mendahuluimu membicarakan urusan ini, Bi-moi. Dan sebagai buktinya dia telah menggaplok mukaku jika berani menolak...!"

"Ah...!" Ceng Bi tiba-tiba menggigil. Tapi memutar tubuh tiba-tiba ia berteriak, "Tak boleh… Tak bolah begitu, Pendekar Gurun Neraka… kau harus mengambil enci Hong sebagai isterimu! Dia banyak menderita. Kalau tidak, aku akan mengadu jiwa denganmu...!" lalu terbang dengan kecepatan tinggi Ceng Bi sudah meluncur turun sambil memanggil-manggil nama Pek Hong.

Bu Kong tertegun untuk kesekian kalinya. Tapi teringat sesuatu sakonyong-konyong dia mengejar. "Adik Bi, tunggu dulu. Ada sesuatu yang ketinggalan...!" dan begitu kakinya berkelebat tahu-tahu Ceng Bi sudah dihadang.

Gadis ini terhenyak. Namun mukanya yang pucat gemetar nampak bercucuran dengan air mata yang deras mengalir. "Pendekar Gurun Neraka„ apa yang hendak kau tanyakan…?" gadis itu menggigil, hampir tak berani bentrok setelah mendengar kata-kata Bu Kong di atas.

Tapi Bu Kong yang mengeraskan dagu bicara singkat, "Kau yang salah, Bi-moi. Aku hendak mengatakan bahwa permintaanmu tadi tak mungkin terlaksana karena Pek Hong telah menjadi milik orang lain…!"

Ceng Bi tampak terkejut. Gadis ini membelalakkan mata, tapi berseru keras tiba-tiba ia melengking, "Bohong...! Kau bohong, Pendekar Gurun Neraka. Enci Hong selama ini tak ada hubungan dengan orang lain dan tidak pernah menjadi milik siapapun...l"

"Hm, kalau itupun benar masih juga tak mungkin permintaanmu terlaksana, adik Bi. Karena enci Hong-mu itu sekarang tak mencintaiku lagi. Dan sebuah perkawinan tak mungkin terjadi kalau tak ada kasih sayang di dalamnya!"

Ceng Bi tertegun. Ia tampak kaget mendengar Pek Hong tak mencintai pemuda ini, seperti apa yang baru saja dikatakan Bu Kong. Tapi begitu mengerti tiba-tiba ia terkekeh, mirip kuntilanak yang setengah menangis setengah tertawa. Lalu, begitu menampar pemuda ini tiba-tiba Ceng Bi melanjutkan larinya dengan lengkingan pendek.

"Pendekar Gurun Neraka, kau yang goblok. Kau yang pandir tak mengetahui isi hati seorang wanita. Enci Hong masih tetap mencintaimu. Dia hendak mengorbankan diri dan mengibuli dirimu untuk memberi kesempatan padaku…!" dan tertawa bagai orang menangis Ceng Bi lenyap di bawah gunung.

Bu Kong termangu. Dia tertegun oleh kata kata ini, mengusap pipinya yang ditambahi hadiah lagi. Tapi belum dia bertindak smut to sekonyong-konynng Ta Bhok Hwesio muncul.

"Pendekar Gurun Neraka, kenapa kau membuat puteri Beng-san-paicu itu menangis tak karuan?"

Bu Kong terkejut. Dia melihat hwesio Tibet ini memandanginya marah, dan merasa mungkin dapat mencari nasihat dari hwesio gundul ini kontan maukanya berseri gembira. "Lo suhu, tolong aku. Bagaimana pandanganmu tentang puteri Beng-san-paicu itu?"

"Hm. kau harus bersikap baik-baik dengannnya, Pendekar Gurun Neraka. Pinceng sudah mewakili dirimu untuk melamarnya pada ketua Beng-san-pai!"

"Ah, tapi….!

"Tak ada tetapi, bocah. Pinceng sudah berjanji pada murid pinceng untuk menjadi walimu dalam perjodohan ini. Tak boleh kau menolak!"

"Hah...?" Bu Kong terkejut. "Pek Hong yang memintamu untuk menjadi wali, Ta Bhok lo-suhu? Kau tidak salah bicara?"

"Hm, pinceng tidak salah bicara, Pendekar Gurun Neraka. Dan pinceng siap membela murid pinceng kalau kau menolak!"

"Maksud lo-suhu?"

"Pinceng akan mengadu jiwa kalau kau menolak permintaan ini. Demi murid pinceng!"

"Ah...!" Bu Kong jadi terkesima. Dia benar-benar terkejut mendengar kesungguhan bicara hwesio ini. Tapi belum dia menjawab sesuatu mendadak Ciok thouw Taihiap muncul di sini, membentak sambil membanting kakinya.

"Ta Bhok Hwesio, jangan lancang kau! Pendekar Gurun Neraka telah siap kujodohkan dengan muridmu atas permintaan puteriku tercinta...!"

Ta Bhok Hwesio dan Bu Kong sama terbelalak. Mereka terperanjat mendengar kata-kata ini, melihat betapa Pendekar Kepala Batu itu bersikap keras dan merah mukanya. Tapi hwesio Tibet yang tertawa bergelak ini tiba-tiba menggoyang kepala. "Beng-san-paicu, kau gila? Siapa yang berhak menentukan persoalan ini? Tidak... tidak bisa, Beng-san-paicu. Kau kalah dulu. pinceng hendak melamar puterimu untuk pemuda ini. Tak boleh kau mengacau urusan pinceng!"

"Hm, atas permintaan siapa itu, keledai gundul?"

"Atas permintaan murid pinceng!"

"Keparat! Tapi muridmu mencintai pemuda ini, Ta Bhok Hwesio, mana mungkin harus menikah dengan puteriku?"

"Ah. kau memutar balik kenyataan, Ciok thouw Taihiap. Justeru anakmu itulah yang mencintai pemuda ini! Tidak, kau tak boleh mengada-ada. Pinceng telah berjanji pada murid pinceng untuk melaksanakan ikatan jodoh ini!"

"Bohong....! Kau yang memutar balik kenyataan, keledai gundul. Aku tak dapat menerima karena puteriku mengetahui hubungan muridmu itu!"

"Ah, itu tak benar, Ciok-thouw Taihiap, Justru anakmu itulah yang hendak pinceng jodohkan dengan pemuda ini. Bukankah gara-gara mencintai Pendekar Gurun Neraka kau lalu membunuhnya untuk melenyapkan cintanya?"

"Tidak. puteriku tidak mencintai pemuda itu, Ta Bhok Hwesio. Itu urusan dulu yang tidak berlaku lagi sekarang!"

"Omitohud, siapa bilang begitu, Ciok-thotsw taihiap? Justeru murid pinceng yang tidak mencintai pemuda ini. Kau boleh bertanya kalau tidak percaya!"

Pendekar Kepala Batu meradang, "Pendekar Gurun Neraka, benarkah kata-kata itu?"

Bu Kong bingung. Dia pucat melihat dua orang tokoh ini berkutat masalah jodoh, masing-masing membela murid dan anak perempuannya sendiri. Tapi mendengar Ciok-thouw Taihiap bertanya marah diapun tiba-tiba mengangguk, "Ya, apa yang dikatakan Ta Bhok lo-suhu ini memang benar, locianpwe. Adik Pek Hong tidak mencintaiku lagi sekarang...!"

Ta Bhok Hwesio tertawa bergelak. Dia merasa menang, maka mendengar jawaban Bu Kong yang lemah tanpa semangat tiba-tiba diapun berseru. "Nah, apa kata pinceng, Ciok-thouw Taihiap? Bukankah pinceng lebih berhak untuk menentukan urusan ini? Kau harus membiarkan puterimu menjadi jodoh Pendekar Gurun Neraka. Tak boleh kau menolak karena puterimu itu amat mencintai pemuda ini....!"

Tapi Cok-thouw Taihiap tiba tiba menggereng. "Tidak, putriku tidak menghendaki begitu, Ta Bhok Hwesio. Dia justeru meminta aku melamar muridmu. Kau harus menerima ini, boleh menolak!"

"Hm, pinceng tak dapat menerimanya, Ciok thouw Taihiap. Pinceng terlanjur berjanji pada murid pinceng untuk mewujudkan apa yang di minta!"

"Tapi aku juga telah berjanji untuk memenuhi permintaan puteriku, keledai gundul. Kau tak boleh menolak kalau tak ingin kupaksa!"

"Keparat, kau hendak memaksa pinceng Ciok-thouw Taihiap? Kau main ancam?"

"Kalau kau bersikeras, Ta Bhok Hwesio. Kalau kau tak mau memenuhi permintaan ini!"

Ta Bhok Hwesio tertawa bergelak. Dia menjadi marah oleh kata-kata ketua Beng-san pai itu, maka begitu membentak tiba tiba di mendorongkan lengannya menghantam dada Pendekar Kepala Batu. "Ciok thouw Taihiap, kau sombong. Coba terima pukulan ini...!" dan Ciok-thouw Taihiap yang cepat menangkis taba-tiba merendahkan tubuh sambil mendengus.

"Plak!" Ta Bhok Hwesio terdorong mundur. Hwesio ini mendelik, dan gusar pukulannya tertolak balik tiba-tiba dia mencabut tasbeh, langsung memasang kuda-kuda. "Orang she Souw, majulah! Pinceng siap mempertaruhkan nyawa untuk membela murid...!"

Ciok-thouw Taihiap juga marah. Dia melotot pada hwesio Tibet itu dan mengibaskan lengan dua kali diapun menjawab tantangan orang, "Bagus, akupun siap membela kepentingun puteriku, keledai gundul. Kau berhati-hatilah agar tak benar-benar mampus...!"

Ta Bhok Hwesio dan Pendekar Kepala Batu sama-sama membentak. Mereka sudah saling berhadapan, siap bertempur memperjuangkan kepentingan murid dan anak perempuannya. Tapi baru mempersiapkan diri memusatkan perhatian, mendadak Wi Kong muncul.

"Suhu, celaka. Sumoi memotong rambut di Klenteng Kwan Im Pouwsat...!"

Pendekar Kepala Batu kaget bukan main. Ia tersentak oleh seruan ini, pucat mukanya memandang sang murid, karena Wi Kong adalah murid kepala setelah mendiang Lek Hui. Dan Wi Kong yang terbelalak memandang suhunya sudah inti menoleh pada Tit Bhok Hwesio, berseru dengan suara tersendat-sendat, "Dan muridmu juga, locianpwe... nona Pek Hong memotong rambut di kelenteng Kwan Im pouwsat...!"

"Ah...!" Ta Bhok Hwesio kalah dulu. Bu Kong sudah berseru tertahan mandengar cerita ini, pucat mukanya seperti Ciok-thouw Taihiap. Dan belum hwesio Tibet itu bergerak tahu-tahu, dia terbang ke timur, ke kelenteng Dewi Kwan Im itu di bawah gunung!

"Ji-wi locianpwe, cepat. Kita harus menolong mereka...!"

Ciok-thouw Taihiap dan Ta Bhok Hwesio itu terbelalak. Mereka tertegun oleh gerakan bekas jenderal muda ini. Tapi begitu sadar mendadak keduaaya menjejakkan kaki mengejar saling mendabului, meluncur ke bawah gunung menuju ke kelenteng Kwan Im Pouwsat.

"Keledai gundul, ini gara-garamu...!" Ciok-thouw Taihiap mengomel menegur hwesio itu. Tapi Ta Bhok Hwesio yang tidak mau kalah mana mungkin mau disalahkan?

"Tidak, kau yang menjadi gara-garanya, Ciok thouw Taihiap. Karena kalau kau tidak ngotot pada pendirianmu itu tentu puterimu tidak sampai memotong rambut...!"

Demikianlah, keduanya saling menyalahkan. Dan mereka berdua yang sudah meluncur di belakang Bu Kong masih mengomel panjang pendek tak mau disalahkan, masing-masing ingin menang. Sementara Bu Kong yang terbang di depan, gemetar tubuhnya dengan pikiran tak keruan.

Sebenarnya, apa yang terjadi di balik kejadian ini? Apa yang dikehendaki dua orang gadis itu? Sebuah keunikan. Sebuah peristiwa langka! Karena, seperti kita ketahui dalam beberapa jilid sebelumnya terjadi kisah cinta yang pelik di antara Pek Hong dan Ceng Bi dengan Bu Kong. Betapa Pek Hong terpukul batinnya setelah mendengar pengakuan Ceng Bi bahwa gadis itu siap "membawa" Pek Hong sebagai isteri bersama Pendekar Gurun Neraka.

Betapa murid Ta Bhok Hwesio ini melihat puteri Clok-thouw Taihiap itu tidak egois. Rela membagi cinta kalau dia menjadi isteri bekas jenderal muda yang gagah perkasa itu. Mengajak Pek Hong menikmati rumah tangga babagia tanpa mengetahui bahwa sebenarnya "kekasih" Pek Hong adalah Pendakar Gurun Neraka itu. Orang yang kebetulan dicinta Ceng Bi.

Maka, mendengar dan melihat semuanya ini tiba-tiba Pek Hoag terpukul hebat. Betapa melihat dirinya kalah jauh dengan puteri Beng-san-paicu ini. Kalah luhur dan kalah mulia. Karena kalau dia menghendaki pendekar muda itu sebagai milik satu-satunya yang tak boleh diganggu gugat adalah justeru puteri Beng-san paicu ini mengajaknya memiliki pemuda itu untuk mereka berdua. Tanpa mengetahui bahwa sesungguhnya orang yang dicinta Pek Hong adalah pemuda yang juga dicinta Ceng Bi. Maka, siapa tidak terpukul hebat kalau menemui kenyataan begini? Siapa orangnya yang dapat berpikir sepolos dan semulia puteri Beng-san-paicu itu? Jarang ada!

Dan ini rupanya terpengaruh oleh perasaan Ceng Bi terhadap Pek Hong. Karena murid Ta Bhok Hwesio itu bercerita tentang patah hatinya, tanpa menyebutkan siapa orang yang di cinta itu. Dan Ceng Bi yang tentu saja tidak menduga bahwa pemuda yang dicinta Pek Hong adalah Pendekar Gurun Neraka sama sekali tidak mengira bahwa secara diam-diam ia justeru mejadi "rival" berat bagi murid Ta Bhok Hwe-sio ini. Karena mereka berdua ternyata mencintai orang yang sama!

Tapi Ceng Bi akhirya tahu. Suatu hari secara tidak disengaja ia tiba-tiba mendengar pembicaraan guru dan murid itu, pembicaraan yang berkisar tentang Pendekar Gurun Neraka. Dan Ceng Bi yang tertegun oleh pembicaraan ini tiba tiba berohah mukanya ketika mendengar Ta Bhok Hwesio memaki-maki muridnya itu yang dikata mencinta Pendekar Gurun Neraka tapi malah menyerahkannya kerada orang lain.

Ceng Bi pucat mukanya. Ia tahu, siapa yang dimaksud "orang lain" oleh hwesio Tibet itu. Karena bukan lain adalah dirinya sendiri. Dan sementara ia terbengong oleh permbicaraan ini tahu-tahu Pek Hong telah menangis dan meminta hwesio itu agar tidak mengungkit-ungkit masalah itu dan membiarkan Ceng Bi menemui kebahagiaanaya bersama Pendekar Gurun Neraka! Gadis itu malah mengancam, kalau suhu menghalangi cinta puteri Beng-san-paicu ini dengan membeberkan perasaan cintanya kepada Ceng Bi, ia akan bunuh diri dan tidak mau hidup lebih lama. Sengaja berkorban untuk kebabagiaan puteri Beng-san-paicu itu!

"Ah, kau gila, Hong-ji?" Ta Bhok Hwesio tentu saja terkejut.

Tapi Pek Hong menangis tersedu sedu. "Aku tidak gila, suhu. Aku berkata semuanya ini dengan benar. Adik Ceng Bi jauh lebih cocok untuk Yap koko dibanding aku. Dia gadis mulia, luhur budinya dan jauh lebih berharga dibanding aku yang egois ini....!"

Ceng Bi terbelalak. Ia masih mendengar perdebatan dua orang guru dan murid itu. yang intinya berkisar pada Pendekar Gurun Neraka. Tapi begitu ia sadar Pek Hong tetap ngotot dalam perdebatan ini tiba-tiba ia menyelinap pergi dan menggigil menemui ayahnya.

"Ayah, kau harus menolong aku...!" demikian mula-mula ia berseru pada ayahnya, yang waktu itu sedang menghirup teh hangat di serambi depan.

Dan Ciok-thuow taihiap yang tentu saja terheran mandengar seruan puterinya ini langsung bangkit berdiri. "Bi-ji, ada apa kau? Kenapa pucat dan gemetar seperti orang demam? Sakitkah kau?"

Ceng Bi menggeleg. "Tidak... tidak, Aku tidak sakit. Kau harus menolongku segera. Menolonng enci Hong yang sedang menderita....!"

Ciok thouw Taihiap mengerutkan alis. "Hai, ada apa dengan murid Ta Bhok Hweio itu, Bi-ji? Apanya yang harus ditolong?"

"Dia... dia " Ceng Bi bercucuran air mata. "Dia mencintai seorang pemuda, ayah. Kau bantulah dia agar mendapatkan idaman hatinya itu!"

"Ah, bagaimana membantunya, Bi-ji? Siapa yang dicinta?"

Ceng Bi tiba tiba mengguguk. "Kau harus menjadi wali pemuda itu, ayah. Kau lamarlah enci Hong untuk pemuda itu."

Ciok-thouw Taihiap terkejut. Dia sekarang terbelalak, tapi tersenyum lebar, tiba-tiba dia menyentuh bahu puterinya ini, "Bi-ji, kau tenanglah siapa pemuda itu dan kenapa kau minta aku agar menjadi, walinya? Tidakkah dia punya orang tua sendiri?"

"Tidak, dia... dia tak punya keluarga, ah, pemuda itu tak punya siapa-siapa di dunia ini, tolonglah dia dan lamarlah enci Hong untuk kekasihnya itu!"

Ciok-thouw Taihiap mengangkat bangun puterinya, siapa orang yang kau maksudkan itu" hebatkah dia? Kenapa harus aku yang menjadi walinya?"

Ceng Bi masih mengangguk. "Pemuda itu hebat, ayah. Dia lular biasa, pantas menjadi jodoh enci Hong....!"

"Hm, siapa dia Bi-ji?"

Ceng Bi tiba-tiba memandang ayahnya, tak menghapus air mata yang masih meleleh di ke dua pipinya. Lalu, mencengkeram lengan ayahnya mendadak dia bertanya, suaranya serak gemetar, kau berjanji untuk menolongku, bukan? Kau berjanji melamarkan enci Hong kepada gurunya?"

Ciok-thouw Taihiap merasa tak enak. "Katakan dulu siapa pemuda itu, Bi-ji. Bagaimana kalau bukan pemuda baik-baik?"

"Hm, kau menyangsikan anakmu, ayah. Kau tak percaya kepadaku?"

"Bukan, bukan begitu, Bi-ji. Tapi ayah lebih mantap kalau kau katakan ddulu siapa pemuda itu!"

"Tidak, itu urusan belakang, ayah. Yang pasting kau berjanji dulu bahwa kau mau melamarkan pemuda ini untuk enci Hong."

Ciok-thouw Tatbiap melotot. Dia marah pada puterinya yang main paksa ini, tapi begitu bentrok dengan sinar mata puterinya yang keren, bersinar-sinar mendadak dia jadi lemah. Teringat pendekar ini betapa dula puterinya juga, memandangnya seperti itu, keras dan tak mau dibantah ketika membicarakan persoalan Kun Bok. Dan bahwa dia telah "membunuh" puterinya itu untuk mata seperti itu tiba-tiba pendekar ini mengangguk, menghela napas menyerah.

"Bi-ji kau memang anak siluman! Kenapa harus memaksa ayahmu untuk urusan begini?"

Ceng Bi tersenyum. "Karena menyangkut kabahagiaan enci Hong, ayah. Karena aku suka pada murid Ta Bhok Hwesio itu dan siap membela kepentingannya sampai titik darah terakhir….!"

"Wah, sedemikian hebat," Ciok-thouw Taihiap terbelalak.

"Ya, dan kau berjanji, ayah?"

"Baiklah, aku berjanji!"

Dan begitu habis ucapan ini dikeluarkan tiba-tiba Ceng Bi tertawa dan mencium pipi ayahnya itu. "Ayah, kau orang baik!" lalu memandang ayahnya dengan sinar mata bercahaya gadis ini berkata, melangkah mundur dan menegakkan kepala, "Pertama, dengarkan baik-baik permintaanku ini, ayah. Bahwa kau tak boleh gagal melamarkan pemuda itu untuk enci Hong. Kau harus berhasil, tak boleh tidak. Karena kalau gagal aku tak mau lagi hidup bersamamu. Dan kedua, kau jatuhkan hari lamaran itu setelah pemuda yang bersangkutan datang ke sini. Nah, kau sanggup memenuhi permintaan ini, ayah?"

Ciok thouw Taihiap terkejut. "Tapi bagaimana kalau murid Ta Bhok Hwesio itu tidak mencintai pemuda ini, Bi-ji? Dan kenapa sanksimu demikian berat?"

"Hm, sanksiku berat agar kau bersungguh-sungguh, ayah. Tapi mengenai cinta enci Hong tak usah khawatir. Aku telah menyelidiki bahwa enci Hong sungguh-sungguh mencintai pemuda itu!"

"Baiklah, dan sekarang siapa pemuda yang kaumaksud ini, Bi-ji? Cukup berhargakah dia hingga harus ketua Beng-san-pai sendiri yang maju menjadi walinya?"

"Dia pemuda berharga, ayah. Tak perlu kau marasa rendah bila menjadi walinya!"

"Hm, siapa dia?"

"Orang yang sudah kau kenal."

"Keparat, kenapa kucing kucingan. Bi-ji, katakan padaku, siapa pemuda itu?" dan Ceng Bi yang tersendat sejenak tiba-tiba mangedikkan kepala, memaksa menjawab nyaring.

"Dia adalah Yap-koko, ayah. Pendekar Gurun Neraka Yap Bu Kong...!"

Ciok-thouw Taihiap berseru keras. Dia kaget bukan main mendengar disebutnya nama ini mencelat mundur dan terbelalak memandang puterinya. Tapi begitu sadar tiba-tiba dia membentak. "Bi-ji, kau gila? Bukankah kau mencintai pemuda itu seperti yang kau katakan dulu?"

Tapi Ceng Bi menggeleng. "Itu dulu, ayah. Sakarang aku tak mencintainya lagi!" dan Ceng Bi yang tiba-tiba terisak membalikkan tubuh dan melarikan diri meninggalkan ayahnya yang tertegun.

Ciok-tbouw Taihiap memang menjublak tak menyangka permintaan puterinya itu. Tapi berkelebat mengejar mendadak pendekar ini menyambar punggung puterinya. "Bi-ji, aku tak mungkin melakukan itu. Dia justru hendak kujodobkan denganmu...!"

Ceng Bi tersentak. ia terkejut mendengar kata-kata ayahnya itu, tapi begitu memberontak tiba-tiba ia melepaskan diri. "Ayah, kau hendak mengingkari janji?"

Ciok-thouw Taihiap tercekat. Dia melihat mka puterinya yang beringas itu, berapi-api memandangnya marah. Tapi Ciok-thouw Taihiap yang termangu sejenak ini cepat-cepat menggelengkan kepalanya dan menjawab bingung, "Bukan... bukan begitu, Bi-ji. Tapi bukankah kau menaruh hati pada pemuda itu? Kenapa menyuruh orang lain menjadi jodohnya?"

"Karena enci Hong lebih dulu jatuh cinta pada pemuda itu, ayah. Aku tak ingin melukai hatinya dan biarlah ia mendapatkan cintanya kembali!"

"Tapi..."

"Tak ada tetapi, ayah. Kau tetap memegang janjimu, bukan? Nah, lamar enci Hong untuk pemuda itu dan laksanakan pambicaraannya kalau Yap-koko tiba!"

Ceng Di sudah membalikkan tubuh. Dia membuat ayahnya tertegun tak mampu bicara, dan Ciek-thouw Talhiap yang terbelalak dengan muka berobah ini akhirya menggebrak meja dengan perasaan penuh sesal. Dia sudah mengharap puterinya itu mendapat jodoh Pendekar Gurun Neraka, bekas jenderal muda yang gagah perkasa itu.

Tapi bahwa Ceng Bi tiba-tiba merobah "haluan" membuat cita-citanya hancur berantakan, setelah kegagalan peristiwa jodoh dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu. Pendekar ini kecewa. Namun karena janji telah diucapkan terhadap puterinya itu maka diam-diam dengan gemas terpaksa dia "patuh". Sama halnya seperti Ta Bhok Hwesio sandiri yang juga "tunduk pada keinginan muridnya!

Demikianiah Peristiwa yang terjadi pada dua orang gadis ini memang unik. Masing-masing rela berkorban, siap memberi kebahagiaan pada masing-masing pihak untuk mencapal keinginannya. Namun Ceng Bi yang hari itu menemukan secarik kertas yang tercecer di kamar Pek Hong jadi kaget hatinya ketika secara tidak disengaja membaca surat yang sedianya disiapkan Pek Hong untuk dirinya.

Surat itu singkat saja, menyatakan selamat atas kebahagiaannya bersama Pendekar Gurun Neraka. Surat yang siap dikirim begitu hari perkawinan itu tiba. Jadi semacam kartu ucapan selamat bagi sepasang pengantin. Dan Ceng Bi yang membaca surat ini jadi terbelalak ketika di balik surat itu ada pesan untuknya bahwa tak perlu mencari gadis itu lagi. Karena Pek Hong telah siap memotong rambutnya menjadi nikouw (pendeta wanita).

Maka Ceng Bi tentu saja kaget bagai disambar petir. Ia telah menyuruh ayahnya melamar gadis ini. Mana mungkin Pek Hong menjadi nikouw? Maka begitu tersentak tiba-tiba ia lari turun gunung, mencari cari murid Ta Bhok hwesio itu dan kebetulan bertemu Bu Kong di tengah jalan. Tapi Ceng Bi yang sudah meneruskan larinya tak menghiraukan lagi pemuda ini. Dia terbang ke timur, menuju kelenteng Kwan Im Pouwsat.

Dan Bu Kong yang terkejut terheran-heran menyaksikan sikap puteri Beng-san-paicu ini tak tahu betapa Ceng Bi cemas dan pucat sekali mukanya kalau membayangkan Pek Hong menjadi nikouw! Dan, apa yang akhirnya ditemui gadis ini. Ternyata sesuai dugaannya karena begitu terbang menuju ke kelenteng Kwan Im Pouwsat ternyata Pek Hong sudah berlutut di depan altar, siap memotong rambut yang dipimpin Pek Liang Nikouw bersama tiga orang muridnya yang memegang gunting! Kontan, Ceng Bi meluncur masuk dan begitu menginjakkan kakinya di lantai kuil gadis ini membentak nyaring,

"Pek Liang Nikouw, tunggu dulu...!" dan Ceng Bi yang tahu-tahu merebut gunting tiba-tiba membanting patah benda yang siap menggunduli rambut temannya ini!

Tentu saja Pek Liang Nikouw terkejut dan ketua ketenteng yang mengenal baik puteri ketua Beng-san-pai ini langsung berseru, "Siancai, apa yang kau lakukan ini, Souw-siocia? Apa yang terjadi?"

Tapi Ceng Bi menubruk temannya. Ia sudah menangis tersedu-sedu di dada murid Ta Bhok Hweaio ini, dan menjambak-jambak rambutnya, Ceng Bi berteriak histeris, "Enci Hong! apa... apa yang kau lakukan ini? Kau gila? Kau tidak sayang rambutmu yang begini indah harus digundul?"

Pek Hong terkejut. Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada puteri Ciok-thouw Talhiap ini. Tapi mengelus rambutnya ia bangkit berdiri. "Bi-moi, apa yang terjadi pada dirimu? Kenapa kau datang ke mari?"

Ceng Bi mengguguk. "Karena kau gila, enci Hong. Kau hendak mengorbankan diri, padahal kau masih mencintai kekasihmu itu...!"

"Ah, omongan apa ini. Bi-moi? Siapa yang kau maksud?"

"Pendekar Gurun Neraka, enci. Yap-koko yang sudah lama kau cinta itu...!"

Pek Hong tiba tiba pucat mukanya. "Tidak! Bohong..! Omonganmu tidak benar, Bi-moi. Kau menuduh orang secara membabi buta. Bukan dia yang yang kumaksud…!"

Tapi Ceng Bi sudah menerkam lengannya. Gadis ini tersedu-sedu, dan menangis dengan air mata bercucuran gadis ini berkata. "Tak perlu kau berpura-pura lagi, enci. Aku telah madengaar percakapanmu dengan Ta Bhok Hwesio lo-suhu. Kau mencintai pemuda itu… jauh lebih dulu daripada aku. Dan aku telah meminta ayah untuk menjadi wali kekasihmu, enci Hong. Kau harus menerima lamaran ini dan tak boleh menjadi nikouw?"

Pek Hong terkejut sekali. Murid Ta Bhok Hwesio ini terbelalak, dan begitu mengeluh mendadak ia menggeleng kepala, "Tidak... tidak... kau tak tahu. Bi-moi... aku.menipu suhu dalam percakapan itu. Kau jangan percaya dan teruskanlah perasaan cintamu itu kepada Pendekar Gurun Neraka. Aku telah memintanya baik-baik agar ia menjadi jodohmu!"

Tapi Ceng Bi merenggut sesuatu. Ia mencabut sebuah surat kumal, lalu menyodorkan pada murid Ta Bhok Hwesio ini, gadis itu bicara gemetar, "Enci, kau masih juga hendak menipu aku? Kau menyangkal bahwa surat ini bukan tulisan tanganmu sendiri...?"

Pek Hong semakin pucat. Ia menggigil memandang surat di tangan Ceng Bi, tapi begitu tangannya bergerak tahu-tahu diapun telah menyambar surat ini. Dan di situ tertulis: "Yap-koko, aku tetap mencintaimu sampai akhir hayat dikandung badan!"

Dan begitu Pek Hong selesai membaca surat ini, tiba-tiba dia terhuyung dan mengeluh panjang. Ia tidak dapat menyangkal sekarang dan Ceng Bi yang menahan tubuhnya ikut limbung sambil bercucuran air mata.

"Enci, kau masih berani menyangkal sekarang? Kau berani menipu aku setelah semuanya terbukti…?"

Pek Hong tiba-tiba menangis. Ia tak dapat menahan kesedihannya kini dan memeluk puteri Beng-san-paicu itu. ia tersedu-sedu mendekap kepala Ceng Bi. "Bi-moi, aku… aduh… apa yang harus kukatakan? Aku cinta padamu, adik Bi. Aku berkorban untuk kebahagianmu…! Biarlah, kau tinggalkan aku di sini dan kau menikahlah dengan dia…!"

Tapi Ceng Bi menangis sesenggukan. "Tidak… tidak enci Hong. Aku tidak mau menikah dengan pemuda itu. kau telah lebih dulu menjadi kekasihnya dan kau maafkanlah aku…!"

"Tapi, aku tak berharga untuknya, Bi-moi. Kau lebih cocok dan tepat untuk Yap-koko…!"

"Maksudmu?"

"Kau terimalah cintanya, Yap-koko telah berjanji padaku untuk menjadi jodohmu!"

"Dan kau sendiri enci?"

"Aku akan tinggal di sini, Bi moi. Menjadi murid Pek Liang nikouw."

Ceng Bi tiba-tiba berteriak histeris, "Tidak… tidak enci Hong. Kalau kau nekat menjadi nikouw, akupun juga akan menjadi nikouw! Aku tak mau merebut kekasihmu, aku tak mau merebut orang yang kau cintai....!"

Pek hong terbelalak. "Tapi..."

"Tak ada tetapi, enci. Kalau kau betul cinta dan sayang padaku turutilah sebuah permintaanku!"

"Hm, apa, Bi moi?"

"Kau menikahlah dengan Yap-koko. Aku telah menyuruh ayah melamarmu pada Ta Bhok Hwesio lo-suhu!"

"Ah, tak mungkin, Bi-moi!" Pek Hong menggigil. "Aku juga telah menyuruh suhu untuk melamarmu pada ayahmu itu. Mana mungkin kau mengajukan permintaan begini?"

"Tapi kau lebih berhak memiliki pemuda itu, enci. Kau lebih dahulu mencintainya daripada aku!"

Dan sementara dua orang gadis ini ribut-ribut, mendadak Bu Kong muncul di situ. Pemuda itu gemetar, mukanya pucat. Dan begitu dia muncul, mendadak dua orang gadis itu saling berbisik.

"Enci, kekasihmu datang...!"

"Bi-moi, orang yang kau cinta tiba…"

Kedua-duanya saling pandang. Mereka hampir geli oleh seruan yang bersamaan ini, tersenyum di antara derai air mata. Tapi Bu Kong yang terhuyung masuk menggoyang kepala.

"Hong-moi…Bi-moi... tak perlu kalian ribut-ribut. Aku juga telah menetapkan keputusanku menghadapi permainan kalian ini...!"

Pek Hong dan Ceng Bi terkejut. Mereka tak tahu apa yang dimaksud pemuda itu. Tapi Pek Hong yang melangkah maju bertanya. "Yap koko, apa maksudmu? Kau masih ingat janjimu kepadaku, bukan?"

Namun Ceng Bi juga melangkah maju "Dan kau ingat pesanku tadi, Pendekar Gurun Neraka. Kau tak boleh menjilat ludah sendiri kalau kau benar seorang gagah!"

Bu Kong tertawa serak. "Hong-moi… Bi-moi… tak perlu kalian ribut-ribut. Kalau kalian tetap menpermainkan aku seperti ini aku bersumpah tak akan menikah seumur hidup! Aku siap mengiringi kalian yang menjadi nikouw...!"

Pek Hong dan Ceng Bi berseru kaget. Mereka berdua tersentak, tapi Ceng Bi yang melompat duluan menjerit, "Tak boleh... tidak boleh kau begitu, Yap-koko! Enci Hong telah lama menanti ciatamu! Kau harus menikah dengan enci Hong dan tak boleh menyia-nyiakan nasibnya...!"

Tapi Pek Hong juga melengking nyaring. Tidak! Kau yang harus menikah dengannya, Bi-moi. Kau lebih mulia dan luhur dibanding aku!"

"Tapi kau yang lebih dulu, enci Hong. Kau yang lebih berhak?"

"Tidak. Kau yang lebih cocok, Bi-moi. Kaulah lebh baik daripada aku!"

Keduanya kembali dorong-mendorong, masing-masing mengajukan yang lain. Dan Bu Kong yang merah matanya melihat semuanya tiba meminta sebuah gunting pada Pek Liang Nikouw, sebuah gunting baru karena yang pertama sudah dibanting hancur Ceng Bi. Lalu terhuyung gemetar memandang dua orang gadis itu dia menyodorkan gunting di tangannya.

"Hong-moi, Bi-moi.. tak perlu mempermasalahkan persoalan ini, kalian masing-masing sama-sama menolak, sama-sama mengajukan yang lain untuk meruwetkan urusan ini. Nah, sekarang gundulilah rambut kalian, aku menjadi saksi untuk melihat kalian sebagai nikouw dan kita bertiga sama-sama tidak menikah seumur hidup!"

Ceng Bi dan Pek Hong pucat mukanya. Mereka terbelalak, memandang ngeri gunting di tangan pemuda itu. Tapi Pek Hong yeng mengeluh perlahan berbisik pada Ceng Bi, "Bi-moi, kau terimalah cintanya. Tak boleh kau membiarkan dia merana seumur hidup....!"

"Ah, lebih tepat kau, enci Hong. Kau itu kekasihnya yang lebih dulu…! Ceng Bi yang mengelak mundur tiba-tiba menyembunyikan diri di belakang punggung temannya itu, mendorong Pek Hong agar maju menerima pemuda itu.

Tapi Pek Hong yang maklum keadaan tidak bakal berobah kalau dia tetap pada pendiriannya tiba-tiba menghela napas, melangkah ke depan dan menarik lengan Ceng Bu, disuruh berdiri mendampinginya. Lalu begitu dia membusungkan dadanya keluarlah suaranya yang gemetar lirih, "Yap koko, aku sadia memenuhi permintaan adik Ceng Bi tapi dengan satu syarat. Yakni, kami berdua harus sama-sama kau nikahi. Kalau ini tak dapat kau penuhi menyesal sekali kita bertiga menghancurkan hidup bersama...!"

Ceng Bi terkejut. Bu Kong terbelalak. Dan puteri Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba terisak itu menarik lengannya. "enci Hong, tak baik begitu. Aku tak perlu kau ikutkan dalam masalah ini...!"

Tapi Pek Hong kembali menyambar lengan gadis ini. "Tak boleh kau menolak, adik Bi. Kalau kau menolak berarti aku menarik janjiku dan kita batalkan semuanya ini....!"

Ceng Bi tertegun. Gadis itu tiba-tiba mengguguk, dan Pek Hong yang merangkulnya memandang Bu Kong "Bagaimana. Yap-koko? Kau dapat menerima permintaanku?"

Bu Kong masih terbelalak. Dia sudah mendengar semua perdebatan dua orang gadis ini, sejak awal hingga akhir. Tapi pertanyaan Pek Hong yang dianggapnya luar biasa tak mampu dijawab dengan segera. Dan dua orang tiba-tiba muncul.

"Omitohud, kau terima saja, Yap-sicu. Pinceng yang akan menjadi walimu untuk Pendekar kepala Batu!"

"Siancai, memang betul, Yap-sicu. Kau terima saja permintaan ini dan lohu yang akan menjadi walimu untuk Ta Bhok Hwesio lo-suhu!"

Semua orang menoleh. Mereka melihat Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin muncul, itu dua orang ketua Bu-tong dan Cin-ling. Dan Bu Kong yang tertegun oleh seruan ini tiba-tiba semurat mukanya dan mengangguk di depan Pek Hong.

"Baiklah, aku terima permintaanmu, Hong-moi. Tapi kalau adik Ceng Bi tentu saja setuju!"

Pek Hong tersenyum gembira. la berseri mukanya, sementara Ceng Bi yang tersipu jengah diseret ke depan menghadapi pemuda itu. "Bi-moi, setujukah kau melayani orang yang kita cinta bersama? Kau tidak menolaknya. bukan?"

Ceng Bi melengos. Ia menginjak kaki temannya, dan memutar tubuh, tiba-tiba ia melompat ke belakang melarikan diri. "Enci Hong, terserah kau. Aku tak mau menjawab...!"

Semua orang tertawa. Pek Hong sendiri sudah tersenyum lebar, mengerling manis pada kekasihnya. Lalu berbisik mesra ia meninggalkan Bu Kong, mengejar Ceng Bi. "Koko, kau temui kami di taman bunga. Aku menunggumu di sana…"

Bu Kong mengangguk. Dia berkejap dan merasa bahagia sekali mendapatkan cinta dua orang gadis itu, sekaligus dalam waktu yang bersamaan.

Tapi, Ciok, thow Taihiap yang tiba-tiba muncul tertawa bergelak. "Ha-ha, gampang meminta anak orang, Pendekar Gurun Neraka. Tapi sanggupkah kau memenuhi mas kawinnya?"

Bu Kong terkejut. Dan belum dia mengerti apa yang dimaksud pendekar tua ini sekonyong-konyong Ta Bhok Hwesto juga muncul. "Benar kata Pendekar Kepala Batu ini, bocah. Kau harus menunjukkan dulu mas, kawinnya sebelum kau nembung (minta) anak orang…!"

Bu Kong buru-buru menjura. "Ji-wi locianpwe, apa yang ji-wi maksudkan di sini?"

Ciok-thouw Taihiap melangkah maju. "Aku ingin kau robohkan Pendekar Gurun Neraka. kalau tidak terpaksa lamaranmu kami tolak!"

Bu Kong tersentak kaget. "Kenapa locianpwe? Bukankah...."

"Tak ada tetapi lagi, anak muda. Kalau kau benar mencinta puteriku kau harus dapat robohkan aku. Hayo...!" dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah melompat keluar tertawa bergelak diikuti tiga orang rekannya. Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin, serta Ta Bhok Hwesio.

Maka Bu Kong tak dapat mengelak lagi. Dia memang tahu keanehan orang-orang dunia kangouw. Apalagi jago-jago besar seperti Pendekar Kepala Batu ini. Maka begitu Ciok-thouw Taihiap meminta "mas kawin" berupa adu kepandaian tiba-tiba diapun berkelebat keluar memohon maaf pada Pek Liang Nikouw. "Subo, maafkan aku. Ciok-tiouw Tathiap menantang di depan!"

Nikouw tua ini tentu saja tersenyum. Ia mengangguk dan ikut keluar, dan Ciok-thouw Taihiap yang dilihatnya sudah berdiri di halaman kuilnya memasang kuda-kuda dengan mata terbelalak lebar.

"Bocah, gempur aku. Hayo robohkan dalam seribu jurus!"

Bu Kong tersenyum pahit. "Bagaimana kalau aku yang roboh, Souw-locianpwe? Kau mau memberi keringanan kepadaku?"

"Ha-ha, tak perlu sungkan, Pendekar Gurun Neraka. Kita batasi saja seratus jurus. Dia yang robek bajunya berarti kalah!"

Bu Kong mengangguk. Dia jadi "terbakar" oleh sikap ketua Beng-san-pai ini, gakhu atau calon gak-hu (ayah mertua)! Dan Ciok-thow Taihiap yang sudah memasang kuda-kuda di depan langsung disumbutnya gembira. "Baiklah, tapi jangan turunkan tangan besi, locianpwe. Bagaimanapan aku mohon kemurahanmu!"

Cook-tbouw Taihiap tertawa. Dia terang tak memperdulikan kerendahan hati ini, maka, begitu lawan siap menghadapinya tiba-tiba pendekar ini membentak, "Yap-guanswe, hati-hati...!" dan begitu seruannya lenyap mendadak pendekar ini maju melompat ke depan menampar pundak orang.

Bu Kong mengelak. Dia memutar pinggangnya, dan begitu tamparan lewat di tubunya tiba-tiba dia balas majukan lutut menyambar baju ketua Beng-san-pai ini, bermaksud merobek untuk memperoleh kemenangan seperti yang telah diatur. Tapi Ciok-thouw Taihiap tertawa mengejek. Pendekar ini jelas tak mau dikalahkan dalam gebrakan pertama. Maka begitu lawan menyambar bajunya mendadak dia menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang, menjajal sekaligus menguji sampai di mana tingkat tenaga sakti calon menantunya itu.

"Dukk!" Pendekar Kepala Batu terdorong. Ternyata ketua Beng-san-pai ini tergetar setengah tindak dan kaget serta gembira bahwa pemuda itu betul-betul lawan yang seimbang, tiba-tiba jago tua ini tertawa bergelak dan memuji bekas jenderal muda itu. "Yap-goanswe, kau lihai...!" lalu begitu dia berseru keras, mendadak ketua Beng-san-pai ini sudah berkelebat dan menampar bertubi-tubi. Dia mencecar pendekar muda itu, melakukan pukulan pukulan sinkang, mendorong dan mencengkeram. Dan begitu dia berterak tiba-tiba tubuh ketua Beng-san-pai lenyap menjadi gulungan putih yang naik turun bagai ombak samudera yang ganas!

Maka Bu Kong terpaksa melayani. Dia melihat calon mertuannya itu mencecar kian dahsyat, tampak penuh semangat dan bertubi-tubi menghujani pukulan. Dan dia, yang menangkis melompat ke sana-sini menghindari semua serangan itu tampaknya membuat ketua Beng-san-pai ini penasaran. Karena, kalau semula pendekar gundul itu mengarah bajunya untuk dicengkeram robek adalah kini Ciok-thouw Taihiap mulai mencengkeram tubuhnya, dengan jari-jari berkerotok!

Dan Bu Kong yang tentu saja terkejut oleh perobahan ini jadi terbelalak dengan muka pucat. Dia khawatir, kalau Ciok thouw Taihiap "lupa diri" keadaan tentu berbahaya bagi mereka berdua. Karena kalau sudah tidak bersifat pibu lagi, pertandingan ini tentu menjadi pertandingan sungguh-sungguh. Bukan main-main lagi!

Dan itu ternyata benar. Ciok-thouw Taihiap yang penasaran oleh tangkisan lawan mulai meradang. Pendekar ini tidak main-main, karena begitu pertandingan berjalan limapuluh jurus dan dia belum juga dapat menyambar baju lawan mendadak pendekar ini berteriak tinggi dan memutar kedua lengannya hingga mengeluarkan deru angin dansyat. Lalu begitu dia melengking nyaring mendadak dia sudah, mengeluarkan ilmu pukulannya Pek hong-ciang. Itu ilmu silat yang membuat Cheng-gan Sian-jin roboh binasa di bawah keganasan tangannya.

Maka Bu Kong tentu saja terkejut bukan main. Dia sudah melihat pendekar ini berkelebat di depannya dan begitu dia terbelalak tahu-tahu dua lengan Ciok-thouw Taihiap sudah menjulur maju dengan getaran tinggi, mencengkeram dada dan lehernya!

"Ah...!" Bu Kong jadi serba salah. Dia di jepit oleh pilihan yang tidak menguntungkan, menerima pukulan itu yang berarti menderita luka atau menangkis tapi membuat keadaan mereka semakin berbahaya. Karena mengadu sinkang hampir sama nilainya dengan mengadu jiwa, karena salah situ pihak pasti binasa, setidak-tidaknya menderita luka berat. Dan Bu Kong yang bengong serta pucat mukanya ini mendadak mengambil jalan tengah, menerima pukulan tapi sekaligus menyambar baju pendekar itu untuk dirobek menyelesaikan pertandingan, tentu saja setelah mengerahkan sinkang melindungi dada dan lehernya dari pukulan lawan. Dan begitu dia membentak dan melaksanakan niatnya ini tiba-tiba kedua tangan mereka bertemu.

"Plak-brett..!"

Hampir bersamaan dua pukulan ini. Ciok-thouw Taihiap dan Bu Kong sama berseru kaget. Masing-masing terbelalak. Karena persis Bu Kong meacengkeram baju pendekar itu ternyata Ciok-thouw Taihiap juga merenggut robek kancing leher di dada pemuda ini.

"Ha-ha, satu sama Pendekar Gurun Neraka...!"

Bu Kong terkejut. Dia tak mengira ketua Beng-san-pai itu berhasil menyobek bajunya, membuat kedudukan mereka seri. Dan sementara dia terbelalak tiba-tiba pendekar ini sudah menyerangnya kembali dengan cepat. Ciok-thouw Taihiap tak mau mengalah, dan Bu Kong yang melihat ketua Beng-san-pai itu mencecarnya ganas kembali melompat ke sana-sini menghindarkan diri. Tapi pemuda ini terkesiap. Angin pukulan lawan mendadak berputar, bergulung dan menderu-deru bagai pusaran air laut yang menghisap dirinya. Dan begitu ia berteriak kaget, tahu-tahu pusaran angin pukulan ini telah menjebak dirinya dari delapan penjuru. Tak dapat keluar!

"Ah, jangan lakukan itu, locianpwe…!"

Tapi Ciok-thouw Taihiap tertawa bergelak. "Aku ingin kau bersungguh-sungguh Pendekar Gurun Neraka. Hayo kau lepaskan dirimu dan lawanlah…!"

Bu Kong pucat mukanya. Dia benar-benar kaget melihat perbuatan ketua Beng-san pai itu, menjebaknya dalam pusaran sinkang dan maklum dia bakal tergencet dan tenggelam dalam pukulan berpusing ini, tiba-tiba Bu Kong mengeluh dan melengking panjang. Dia tak dapat mengelak lagi. Dan begitu angin pukulan lawan menggulungnya bagai pusaran air, tiba-tiba dia membanting kaki dan meledakkan pukulan petirnya. Itulah Lui-kong Ciang-hoat, berdasarkan tenaga sakti Lui-kong-yang-sin-kang. Maka begitu dia meledakkan tangannya, mendadak sinar putih menggelegar membentur pusaran sinkang Ciok-thouw Taihiap.

"Dar... darr...!"

Ciok thonw Taibiap berteriak keras. Dia hampir terpelanting oleh ledakan Tangan Petir itu, membentur dan memecah gulungan angin pukulannya. Tapi ketua Beng-san-pai yang terbahak gembira ini tiba-tiba maju lagi dan menyerang bertubi-tubi. "Kau tak dapat melepaskan diri, Pendekar Gurun Neraka. kau akan terhisap pukulan Pek-Hong-Ciang ku…!"

Bu Kong terbelalak melihat ketua Beng-san-pai itu sudah "menambal" kebocorannya tadi bergerak cepat mengurung dirinya. Tapi dia yang sudah meledakkan pukulan petirnya lagi membentak sambil memperingatkan, "Locianpwe, ini pibu, bukan pertandingan adu jiwa...!"

Tapi Ciok-thouw Taihiap hanya ganda tertawa. Pendekar besar ini mencecar terus melancarkan pukulan-pukulan berat. Dan ketika dua pihak sudah saling menambah kekuatan sinkangnya untuk menggencet dan menerobos tiba-tiba keduanya terlibat dalam penentuan terakhir. Ciok thouw Tathiap melompat ke depan, mendorongkan tangan kanan. Dan begitu Bu Kong tak dapat menghindar selain menangkis maka terjadi benturan sinkang ketika Bu Kong menerima serangan pendekar sakti itu dengan dorongan tangan kanannya pula.

"Blarr...!" angin meletup dahsyat. Dua tenaga raksasa itu bertemu dan begitu dua lengan saling dorong mendadak batu dan pasir mencelat berhamburan! Empat orang penonton di pinggir berseru kaget, karena begitu benturan ini menggelegar tiba-tiba tanah yang mereka injak amblong dan pecah bagai diiris petir!

"Ah, hati-hati, Ciok-thouw Taihiap...!"

Tapi semuannya terlambat. Dua lengan jago muda dan tua itu sudah bertemu, dan baru Bu Kong berteriak memperingatkan sekonyong-konyong keduanya mengeluh dan dorong mendorong melekat tangannya bagai dipantek menjadi satu! Tentu saja ketua Bu-tong ini dan teman-mannya terkejut. Dan Ta Bhok Hwesio yang kaget melihat pertempuran itu menjadi pertandingan adu sin-kang kontan berkelebat ke tengah.

"Pendekar Gurun Neraka. Clok-thouw Taihiap, lepaskan tangan kalian dan mundurlah…!"

Tapi hwesio Tibet ini malah menjerit. Dia maunya memisah, menepuk pundak mereka, agar melepaskan diri. Tapi baru dia menyentuh pundak keduanya sekonyong-konyong kulit tangannya melepuh dan terbakar. Hangus bagai dijilat api neraka!

"Ah, tolong pinceng, Thian Kong Cinjin...!"

Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang sudah melompat maju. Mereka jug mau menolong dua orang jago yang sedang bertanding itu, bermaksud memisah seperti halnya Ta Bhok Hwesio. Tapi baru semeter mereka melangkah tiba-tiba dinding yang tak nampak membentur mereka, dinding hawa panas yang keluar dari tubuh Pendekar Gurun Neraka dan Pendekar Kepala Batu. Dan sementara mereka terkejut oleh dinding yang tak dapat ditembus ini tiba-tiba dua jago yang bertanding itu sama-sama membentak. Mereka menambah tenaga, dan begitu keduanya dorong mendorong tiba-ttba tanah yang mereka pijak amblas ke bawah!

"Bles-bless!"

Than Kong Cinjin dan teman-temannya terbelalak. Mereka melihat dua jago itu sama-sama tertanam kakinya, masing-masing sedalam sepuluh sentimeter. Dan wajah Pendekar Gurun Neraka maupun Ciok-thouw Taihiap yang sama-sama pucat mukanya tampak mengepulkan uap tebal dengan keringat menetes-netes sebesar biji jagung!

"Ah. kurangi tenaga kalian, Ciok-thouw Taihiap! Kurangi nafsu panasaran kalian yang tidak pada tempatnya ini." Ta Bhok Hwesio berteriak.

Ciok-thouw Taihiap dan Pendekar Gurun Neraka tak dapat menjawab. Mereka terlanjur mengerahkan sinkang, sama-sama menyerang. Mana mungkin memenuhi permintaan itu? Karena siapa yang berani menarik atau mengurangi tenaganya, tentu akan terlempar oleh hawa sakti yang membalik dari mereka berdua! Dan Ciok-thouw Taihiap serta Bu Kong yang mengerti baik hal ini sama-sama tak dapat mundur. Mereka hanya menyerang dan menverang, mendorong dan berusaha memukul roboh lawan.

Dan ketika pertempuran mencapai puncaknya tiba-tiba Pandekar Kepala Batu tak dapat menahan. Ketua Beng-san pai ini doyong tubuhnya, kalah kuat dan melengkung ke belakang. Dan ketika punggungnya semakin doyong dan hampir menempel tanah tiba-iba Bu Kong yang melihat jogo tua itu menyeringai menahan sakit mendadak tak sampai hati. Dia mengurangi tenaganya, tapi begitu Ciek-thouw Taihiap tahu pemuda ini mengurangi tenaganya mendadak dia tertawa dan mendorong balik! Tak ayal, Bu Kong balik diserang dan sementara dia terbelalak memandang lawannya ini tahu-tahu tubuhnya sudah melengkung ke belakang menerima himpitan tenaga sinkang lawan.

"Ah...!" Bu Kong kaget setengah mati. Dia terkejut oleh sikap ketua Beng-san-pai yang aneh ini, yang dianggapnya kelewatan. Dan punggungnya yang ganti hampir menempel tanah terpaksa diperjuangkan mati-matian agar tidak roboh. Dan akhirnya berhasil. Sedikit demi sedikit dia dapat mengangkat tubuhnya, lalu begitu tegak seperti semula tiba-ttba Ciok-thouw Taihiap sudah didorongnya ke belakang hingga ganti hampir menempel tanah!

Kini Ciok-thouw Taihiap terbelalak. Dia kagum dan penasaran oleh kekuatan sinkang calon menantunya ini, yang dapat menandingi bahkan mengungguli dirinya sendiri. Dan kagum serta penasaran oleh kenyataan ini tiba-tiba pendekar ini menjadi marah! Dia mengempos semangat, dun begitu melotot lebar tiba-tiba dia mangerahkan segenap tenaganya menolak balik, memukul himpitan sinkang Bu Kong. Dan sementara Bu Kong terkejut melihat kenekatan Pendekar Kepala Batu ini tahu-tahu tenaga yang dahsyar mengangkat bangun ketua Beng-san-pai itu dan menerjang dirinya!

Bu Kong kaget untuk kedua kalinya. Dia benar-benar terkejut melihat perbuatan itu. Sikap yang tak mau kalah dari ketua Beng-san-pai ini. Tapi maklum dia bakal celaka oleh serangan terakhir itu, tiba-tiba diapun menjadi marah. Dengan cepat dorongan Ciok-thouw Taihiap itu disambutnya dengan tenaga sepenuh bagian pula. Dan begitu tubuhnya dapat berdiri tegak setelah melengkung sejenak, tahu-tahu Ciok-thouw Taihiap mengeluh dan terdorong untuk ketiga kalinya.

Pendekar ini menggigil, pucat mukanya. Dan ketika dia mencoba untuk bertahan untuk memperjuangkan agar tidak sampai roboh, mendadak pendekar ini tak berhasil dan melontarkan darah segar. Untuk pertama kalinya Ciok-thouw Taihiap terluka! Dan begitu pendekar ini terbatuk, tiba-tiba punggungnya terjengkang dan benar-benar sudah menempel tanah!

Sekarang Ciok-thouw Taihiap harusnya menyerah kalah. Dia harus mengakui kenyataan itu. Tapi ketua Beng-san-pai yang dijuluki pendekar kepala batu itu ternyata benar-benar berkepala batu! Dia tidak mau menyerah, karena meskipun punggungnya sudah rata menempel tanah, namun pendekar ini tetap mengangkat tangannya untuk menahan dorongan lawan, tak mau sudah kalau tangannya belum patah atau hancur!

Dan Bu Kong yang bingung melihat kekerasan watak pendekar ini jadi serba susah. Dia tak berani lagi mengurangi tenaganya, takut pendekar itu balas menyerangnya tiba-tiba seperti tadi. Tapi membiarkan pendekar ini seperti itu itu juga jelas tak baik. Maka satu-satunya jalan adalah menunggu pengakuan ketua Beng-san-pai itu, pengakuan kalah.

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang berwatak keras dan angkuh luar biasa ini mama mau mengeluarkan seruannya? Dia lebih baik remuk tulangnya daripada mengaku kalah, apalagi terhadap orang yang jauh lebih muda seperti Pendekar Gurun Neraka itu. Dan sementara keduanya berkutat dan Ciok-thouw Taihiap sendiri sudah mengeluarkan darah di hidung dan mulutnya mendadak sesosok bayangan berkelebat di dekat mereka.

"Thian Yang Maha Agung, kenapa, kau melupakan nasihatku seminggu yang lalu, Shouw-taihiap? Ah, terlalu sekali. Kalian benar-benar seperti anak kecil...!" dan begitu bayangan ini mengulurkan lengannya tahu tahu terdengar suara "plak" ketika dua pasang lengan itu lepas ditampar ujung baju seseorang.

Bu Kong mencelat ke belakang, kaget dan berteriak keras ketika tamparan lembut itu mengeluarkan angin dahsyat yang mendorong tubuhnya, membuat dia jungkir balik enam kali untuk mematahkan daya pukulan itu. Dan begitu dia berdiri kembali mendadak seorang laki-laki telah muncul di situ dengan kepala tersembunyi di balik halimun tebal yang menyejukkan mata.

"Bu-beng Sian-su....!"

Semua orang terpekik. Mereka melihat manusia dewa itu tiba-tiba muncul, tertawa lembut dan memandang mereka semua. Sementara Ciok-thouw Taihiap yang sudah ditolong kakek luar biasa ini tertegun dengan mata terbelalak di sebelah kakek itu, melenggong dengan muka merah. Dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum kepada semua orang tiba-tiba menoleh pada ketua Beng-san-pai ini, mengerutkan alis dan bertanya lirih,

"Souw-taihiap, apa yang kaulakukan ini? Tidakkah kau ingat janjimu seminggu yang lalu?"

Ciok-thouw Taihiap menghela napas. Din tertawa serak, dan mengusap darah di hidung dan mulutnya tiba-tiba pendekar sakti itu membungkuk, "Sian-su. maafkan aku. Kepandaian Pendekar Gurun Neraka benar-benar membuat aku penasaran dan lupa diri....!" lalu menoleh pada bekas jenderal muda itu pendekar ini melompat maju dan menepuk-nepuk pundaknya, keras sekali, "Yap goanawe, aku benar-benar kagum sekali pada kepandaianmu. Kau sungguh hebat dan melebihi gurumu. Aku mengaku kalah!"

Bu Kong mendesis gelisah, "Tapi kau terluka, locianpwe. Mana mungkin aku bisa gembira mendapat kemenangan ini?"

"Ha-ha, itu memang watakku, Pendekar Gurun Neraka. Aku tak mau sudah kalau belum terluka menghadapi lawan!" dan kembali menghadapi Bu-beng Sian-su ttba-tiba ketua Beng-san-pai ini menjura hormat. "Sian-su, maafkan aku. Aku memang khilaf dan siap menghukum diri sebulanan di ruang samadhi!"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Aku tak menyuruhmu begitu, taihiap. Tapi kalau kau menepati kata-katamu sendiri itu memang baik."

Bu Kong dan orang-orang lain menjadi heran. Mereka tak tahu apa yang terjadi pada ketua Beng-san-pai itu. Kenapa dia "menghukum" diri begitu bertemu kakek dewa ini, seolah-olah seorang pesakitan menghadapi hakim. Dan Ta Bhok Hwesio yang melompat ke depan tiba-tiba bertanya tak kuasa menahan rasa ingin tahunya,

"Ciok-thouw Tahiap, apa yang kau alami seminggu yang lalu? Kenapa kini harus menghukum diri sebulan di ruang samadhi?"

Ciok-thouw Taihiap tersenyum. "Kau tanyalah pada Sian-su, lo-heng. Dia lebih tahu daripada aku!"

Ta Bhok Hwesio penasaran. "Sian-su, apa yang kau kutakan pada sahabatku ini? Kenapa dia harus mengurung diri?"

Bu-beng Sian-su tersenyum lembut. "Kau benar-benar ingin mengetahuinya, Ta Bhok Hwesio? Dan kalian yang lain juga?"

Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin serentak mengangguk. Mereka terkejut dan gembira melihat munculnya manusia dewa ini, yang tidak pernah "kosong" dalam setiap pemunculannya. Karena Bu-beng Sian-su dikenal sebagai orang yang selalu memberi nasihat-nasithat berharga bagi siapa saja yang ditemui.

Maka begitu kakek itu bertanya kepada mereka serentak merekapun mengangguk dengan gembira. Dan Bu-beng Sian-su memandang Ctok-thouw Taihiap. "Souw taihiap, boleh mereka kuajak ke tempat itu?"

"Ciok-thouw Taihiap tersenyum. "Tentu saja, Sian-su. Bukankah kau yang menjadikan tempat itu bersejarah bagiku?"

Lalu begitu mengangguk kepada semua orang kakek inipun tertawa lembut. "Bagus, kalau begitu kita ke atas, cuwi enghiong. Kita berkumpul di ruang samadhi Souw taihiap...!" dan begitu mengebutkan lengannya tiba-tiba manusia dewa ini telah meluncur ke depan mengajak semua orang mengikuti jejaknya.

Serentak. Lima orang pendekar itu mengiring di belakang kakek ini dan ketika beberapa menit kemudian mereka tiba di markas Beng-san-pai langsung kakek itu mengajak mereka ke ruang semadhi, sebuah tempat di samping taman bunga. Dan di sini mereka tertegun. Bu-beng Sian-su telah berdiri di tengah, menyambut mereka dengan muka ramah. Lalu menudingkan tangannya ke atas.

Kakek itu menunjuk langit-langit ruangan, "Cuwi enghiong, kalian dapat membaca dua bait syair itu?"

Ta Bhok Hwesio dan teman-temannya memandang. Mereka melihat sembilan baris kalimat tersusun rapi di langit-langit ruangan itu, terukir indah di tengah-tengah lukisan sepasang naga berebut mustika. Dan Ta Bhok Hwesio yang membaca tebih dulu segera berkomat-kamit mulutnya:

Desir angin bukanlah gelombang
bumi matahari adalah Im - Yang
kalau sawah bukanlah ladang
mengapa kita mencari menang?

Karena itu...
orang bijaksana selalu terbuka
melihat segala isi dunia
tidak menolak, tidak menerima
tapi selalu jalan bersama!


Dan, begitu habis membaca dua bait syair ini kontan Ta Bhok Hwesio berseru heran, "Aneh bait ke dua kurasa tak mungkin, Sian-su. Di dunia ini kita hanya mempunyai dua pilihan, menolak atau menerima! Mana mungkin tidak melakukan kedua duanya?"

Dan Bu Wi Hosiang serta Thian Kong Cinjin juga mengangguk. "Ya, itu tak mungkin, Sian-su. Bait ke dua kurasa mustahil dan tak masuk akal! Mana mungkin seseorang tidak menerima atau menolak akan sesuatu? Itu mustahil. Tak mungkin terjadi…!"

Bu beng Sian-su tersenyum. "Kau dapat membukttkannya, Thian Kong Cinjin?"

Ketna Cia ling ini mengangguk. "Tentu saja, Sian-su Pinto akan membuktikannya di sini. r dan begitu mencabut pedang tiba-tiba ketua ling itu menyodorkan pedangnya pada Bu Wi Hosiang. "Lo suhu, coba kaujawab pertanyaanku. Maukah kau menerima pedang ini?"

Bu Wi Hosiang menolak. "Tidak, Cinjin. Pinceng tak butuh pedang...!"

"Hm, kalau tongkat ini?" Thian Kong Cin-jin mengambil sebuah tongkat, menyodorkan pada Bu Wi Hosiang. Dan Bu Wi Hosiang yang tarsenyum lebar tiba-tiba mengangguk.

"Nah, kalau ini pinceng mau, Cinjin. Karena pinceng memang biasa mempergunakan tongkat sebagai senjata!" hwasio itu tertawa.

Dan Thian Kong Cinjin berseri mukanya, menghadapi manusia dewa itu. "Bagaimana sian-su? Bukankah dalam hidup ini kita hanya mempunyai dua kemungkinan yaitu menolak atau menerima sesuatu? Bagaimana kau katakan kita harus hidup tidak menolak atau menerima?"

Bu-beng Sian-su tersenyum lebar. Kakek ini tetap tenang, tapi menganggukkan kepala dan menjawab, "Itu memang betul, Cinjin. Tapi dalam arti sempit, arti yang dangkal sekali. Karena hidup yang benar-benar hidup harus tidak menolak atau menerima. Kita harus jalan bersama seperti kalintat terakhir itu!"

Thian Kong Cincin menjadi bingung. "Bagaimana itu terjadi Sian-su? Dapatkah kau memberi penjelasan kepada kami?"

Bu bang Sian-su tertawa. "Tentu, Cinjin. Tapi coba kaujawab dulu Intisari bait pertama itu. Dapatkah kau, menjawabnya?"

Ketua Cin-ling ini mengerutkan alis. Dia berpikir keras, lalu merasa menemukan jawaban dia berkata. "Kukira itu jelas, Sian-su. Bahwa sawah memang bukan ladang dan bahwa desiran angin bukanlah gelombang! Bukankah ini yang kau maksud, Sian-su?"

Kakek itu tersenyum. "Kau tidak menuju inti sarinya, Cinjin. Jawabanmu hanya kulit saja. Kalau begitu bagaimana dengan Bu Wi lo-suhu?"

Ketua Bu-tong ini tersenyum kecut. "Wah, pinceng tak pandai berpikir, Sian-su. Pinceng juga mengartikan bait pertama itu seperti yang dikata Thian Kong toyu!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Kalau begitu bagaimana dengan kau, Ta Bhok Hwesio?"

Hwesio gendut ini garuk-garuk kepala, "Pinceng juga tolol, Sian su. Coba kau jelaskan saja kepada kami tentang arti, dua bait syairmu itu!"

Semua orang tertawa. Mereka geli oleh ucapan hwesio Tibet ini, dan Bu beng Sian-su yang tertawa lembut tiba-tiba menuntun, "Cuwi enghiong, coba kuberi bayangan sedikit. Kalau seandainya kalimat itu kurobah dapatkah cuwi mulai menangkapnya?"

Thian Kong Cinjin tertarik. "Dirobah bagaimana Siansu?"

"Begini, cuwi enghiong," Bu-beng Sian-su mulai memberi jawaban. "Kalau dua kalimat itu kurobah menjadi; Tian Kong Cinjin bukanlah Bu Wi Hosiang dan Souw Ki Beng (nama Pendekar Kepala Batu) bukanlah Souw Ceng Bi dapatkah cuwi menargkap apa yang tersirat dari inti jawaban kalimat ini?"

Thian Kong Cinjin dan teman-temannya mulai menangkap kami mulai mendapat bayangan, Sian-su Bukankah kau maksudkan bahwa kami masing-masing berbeda?"

"Bagus, itu memang betul, Cinjin. Tapi kalau sudah tahu begitu lalu apa kelanjutannya…?"

"Wah ini kami tidak paham, Sian-su. Lebih baik kau jelaskan saja kepada kami apa kelanjutannya itu!" Ta Bbok Hwesio tidak sabar.

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Cuwi enghiong kalian rupanya tidak sabar. Kalau begitu bagaimana jika kita langsung menuiu ke sasaran intinya?" lalu melihat semua orang mengangguk gembir tiba-tiba kakek dewa ini menoleh pada Pendekar Kepala Batu. "Souw-taihiap, boleh kupinjam sebentar urusan pribadimu?"

Ciok-thouw Taihiap mengangguk. "Tentu saja, Sian-su. Aku tak keberatan urusan pribadiku diulang demi nasihat berharga bagi orang-orang lain!"

Dan Bu beng Sian-su yang, berseri mukanya tiba-tiba mengangkat tangannya. "Cuwi enghiong perhatikan baik-baik. Aku hendak memberi jawaban atas dua bait syair itu dengan meminjam kisah Pendekar Kepala Batu, kalian tahu urusan pribadi Beng-san paicu dengan puterinya bukan?" lalu melihat semua orang mengangguk kakek inipun melanjutkan. "Nah, dua bait syair itu ada hubungannya dengan peristiwa ini. Cuwi enghiong. Betapa jawaban dari syair penting sekali diketahui kita semua! Pertama, apa yang terjadi di antara ayah dan anak ini ketika Ciok-thouw Taihiap memberitahukan jodoh puterinya dengan keluarga Bu-tiong-kiam?"

Bu WI Hosiang langsung menjawab, "Pinceng dengar nona Ceng Bi menolak, Sian-su."

"Bagus, dan apa kelanjutannya, Thian Kong Cinjin?"

"Pinto dengar anak perempuan itu melarikan diri, Sian-su. Turun gunung meninggalkan Beng-san-pai!"

"Dan kenapa bisa terjadi begitu?"

Semua orang terdiam. Mereka masih sungkan menjawab. Maklum, Pendekar Kepala Batu ada di situ. Tapi Ciok thouw Taihiap serdiri yang rupanya tidak tedeng aling-aling sudah menjawab pertanyann ini tanpa segan lagi,

"Karena aku hendak memaksa puteriku itu, cuwi enghiong. Karena aku bersikeras menyuruh puteriku berjodoh dengan pemuda pilihanku...!"

Bu-beng Sian-su tersenyum, "Nah, kalian dengar, cuwi enghiong. Ciok-thouw Taihiap sendiri mengatakan pengakuannya itu. Tapi tahukah mengapa sang ayah ini memaksakan kehendaknya? Kenapa dia bersikeras menyuruh puterinya itu?"

Semua orang tak mampu menjawab. Mereka memang belum mengerti penuh, baru sebagian saja setelah mendapat bayang-bayang dari gambaran ini. Dan Bu-beng Sian-su yang tertawa kini melanjutkan bicaranya,

"Karena Ciok-thouw Taihiap mempunyai pendapatnya sendiri, cuwi enghiong. Bahwa dia berpendapat bahwa puterinya itu akan berbahagia dan paling cocok dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng. Itulah!"

Seasua orang terkejut, Mereka mulai "menangkap" sesuatu yang mengerikan di sini, sesuatu yang mulai samar-samar nampak. Tapi Bu Wi liosiang yang melangkah maju bertanya, "Sian-su, salahkah Ciok-thouw Taihiap dengan pendapatnya itu? Bukankah setiap orang bisa mempunyai peadapat dan masing-masing berhak membenarkan pendapatnya sendiri? Bukankah Ciok-thouw Taihiap juga bermaksud baik untuk kehidupan masa depan puterinya sendiri?"

Bu-beng Sian-su mengangguk. "Memang kalau hanya sampai di situ tidak salah, Bu Wi Hosiang. Tapi Ciok-thouw Taihiap telah melangkah terlalu jauh!"

"Hm, langkah apa yang kau maksudkan, Sian-su?"

"Langkah yang di luar garis. Karena Ciok-thouw Taihiap yang merasa lebih banyak pengalaman dan asam garam dunia itu memaksa puterinya!"

"Tapi itu dilakukan untuk kebahagiaan anak, Sian-su! Bukankah memang benar seorang tua lebih banyak pengalaman dibanding yang muda?"

"Hm, itu memang benar, Bu Wi lo-suhu. Tapi ingat, ini adalah masalah perjodohan. Yang akan menjalani semuanya itu adalah sang anak, bukan sang ayah. Dan kalau kau menyatakan setiap orang mempunyai pendapatnya sendiri maka tak seharusnya Ciok-thouw Taihiap memaksakan puterinya itu. Dia boleh berpendapat calon pilihannya adalah orang yang paling tepat, paling cocok untuk puterinya itu. Tapi kalau sang anak mempunyai pendapatnya sendiri maka tidak bijaksanalah orang tua memaksakan kehendaknya itu karena ini berarti melanggar hak membenarkan pendapat sendiri."

Bu Wi Hosiang bingung.

"Kau tidak paham, lo suhu?" Bu-beng Sian-su tersenyum, melanjutkan bicaranya. "Nah, kalau begitu dengar ini. Seperti yang kau katakan tadi, Bu Wi lo-suhu, bahwa setiap orang mempunyai pendapatnya sendiri dan berhak mambenarkan pendapatnya sendiri. Kalau sekarang Ciok-thouw Taihiap memaksakan pendapatnya sendiri, dimana gerangan hak membenarkan pendapat sendiri dari puterinya itu? Bukankah ini membelenggu kebebasan berpendapat orang lo-suhu? Dan ini jelas melanggar hukum alam, mengingkari kenyataan bahwa bagaimanapun juga setiap orang berbeda, tak ada yang sama segala-galanya biarpun dia itu keturunan kita sendiri, darah daging kita sendiri! Kau jelas, Bu Wi lo-suhu?"

Ketua Bu-tong ini tertegun. "Ya, pinceng mulai jelas, Sian-su. Tapi salahkah sikap Ciok-thouw Taihiap yang intinya ingin membahagiakan puterinya itu?"

"Hm, keinginannya tidak salah, Bu Wit lo-suhu. Yang salah adalah sikap di luar garis yang sudah tidak pada tempatnya itu. Paksaannya itu!"

"Jadi kalau begitu harus bagaintana, Sian-su? Apakah seorang tua tidak lagi memberikan pendapatnya dan membiarkan saja sang anak berjalan dengan pendapatnya sendiriri?"

"Hm, tidak begitu, lo-suhu. Seorang tua harus selalu memberikan nasihat-nasihatnya pada sang anak, memberikan pandangan-pandangan maupun pendapatnya. Karena itu adalah kewajibannya sebagai orang tua. Tapi kalau sang anak mempunyai pendapat yang berbeda dengan kita maka langkah yang kita ambil adalah mengarahkannya pada sesuatu yang kita anggap benar. Bukan memaksanya seperti Ciok-thouw Taihiap. Karena dalam masalah perjodohan ini yang akan menjalani kelak adalah sang anak, bukan sang ayah. Dan kalau dalam pengarahan itu masih saja sang anak nekat maka orang tua harus diam sampai di sini. Tidak melangkah terlalu jauh!"

Thian Kong Cinjin sedikit bingung. "Sian-su, apa yang kau maksud dengan 'diam' itu?"

"Hm, 'diam' berarti tidak melanjutkan paksaannya, Cinjin. Karena seperti yang kusebut tadi bahwa urusan jodoh adalah urusan anak, bukan urusan orang tua. Orang tua hanya wajib memberikan nasihat-nasihat, wejangan-wejangan. Dan kalau anak masih nekat dengan pilihannya yang berbeda dengan orang tua, maka sikap yang diambil orang tua adalah diam itu!"

"Jadi, kalau begitu, orang tua harus tunduk kepada anaknya, Sian-su?"

"Ah, ucapan itu terlampau kasar, Cinjin. Di sini sebenarnya tidak ada yang tunduk atau tidak tunduk. Yang ada di sini adalah kenyataan bahwa anak berbeda pendapat dengan ayah!"

"Dan kalau begitu…?"

"Persoalannya sederhana, Cinjin. Bahwa perbedaan pendapat diantara dua orang atau dua kelompok orang adalah jamak. Tinggal sekarang kita sendiri, apakah hendak melanjutkan perbedaan itu dengan bentrokan fisik ataukah tidak. kalau tidak, satu langkah yang harus kita ambil yakni kita diam di tempat kita sendiri, mempertahankan pendapat kita sendiri dan tidak melanjutkannya dalam paksaan pendapat kita sendiri kepada orang lain!"

"Jadi…?"

"Benar, Cinjin. Bahwa intisari dari bait pertama itu sesungguhnya berbunyi demikian: Bahwa kalau dua pihak mempunyai pendapat yang masing-masing berbeda maka MEMPERTAHANKAN PENDAPAT ADALAH BOLEH tapi MEMAKSAKAN PENDAPAT ADALAH JANGAN. Nah, inilah yang kumaksud, Cinjin, bahwa kita boleh mempertahankan pendapat tetapi jangan memaksakan pendapat! Kalian jelas, bukan?"

Semua orang tiba-tiba tertegun. Mereka terhenyak oleh kebenaran kata-kata manusia dewa itu, dan Thian Kong Cinjin serta teman-temannya yang melengong oleh jawaban bait pertama ini bengong dengan mata tak berkedip. Tapi Bu-beng Sian-su tiba-tiba tertawa.

"Cuwi enghiong, kalian dapat mengerti apa yang kukatakan, bukan?"

Lima orang pendekar ini mengangguk. Mereka mengerti sekarang dan Thian Kong Cinjin yang masih terkesima oleh jawaban itu tiba-tiba tiba-tiba bertanya, "Ya, kami mengerti, Sian-su. Tapi bagaimana dengan bait kedua itu? mungkinkan seseorang dapat hidup tanpa menolak atau menerima sesuatu?"

"Hm, tentu saja, Cinjin. Tapi untuk memberikan jawaban ini, kita harus keluar. Mari…!" dan Bu-beng Sian-su yang tiba-tiba berkelebat ke depan mengajak mereka ke taman bunga. Orang tidak mengerti apa yang dilakukan kakek itu. Tapi ketika mereka tiba di luar, mendadak kakek ini menunjuk. "Cuwi enghiong, apa yang kalian lihat di sini?"

Ta Bhok Hwesio menjawab, "Air, Sian-su…!"

Dan Bu-beng Sian-su tersenyum lebar menambahkan, "Ya, air, cuwi enghiong. Atau tepatnya air yang mengalir di sungai kecil ini. Sekarang, apa yang kubawa ini?" kakek itu tiba-tiba memunggut sehelai daun, daun kering yang sudah menguning di atas tanah.

Dan Bu Wi Hosiang yang terheran oleh pertanyaan itu menjawab. Daun kering Sian-su."

Dan Bu-beng Sian-su, mengangguk. "Ya, benar, Bu Wu lo-suhu. Yang kita lihat sekarang ini adalah sehelai daun dan sebuah sungai. Tapi bagaimana pikiran kalian dengan dua benda ini, cuwi enghiong? Kalian dapat meraba apa yang akan kulakukan?"

Semua orang tentu saja menggeleng. Dan Bu-beng Sian-su meneruskan. "Nah, lihat baik-baik, cuwi enghiong. Aku akan melempar daun ini ke sungai itu...!" dan begitu tangannya bergerak tiba-tiba manusia dewa ini telah melempar daun kering itu di atas sungai kecil ini. Dan begitu gitu daun menyentuh air tiba-tiba kakek ini berseru, "Awas, lihat baik-baik, cuwi enghiong! Apa yang terjadi di situ?"

Semua orang masih tak mengerti. Mereka melihat daun itu hanyut terbawa air yang mengalir lemah. Dan Bu Wi Hosiang yang tak mengerti ke mana sebenarnya tujuan kakek dewa itu mengajak mereka langsung berseru, "Daun itu hanyut, Sian-su. Terbawa arus air....!"

Bu-beng Sian-su tertawa gembira. "Ya, hanyut, Bu Wi lo-suhu. Terbawa arus air. Atau tepatnya mengikuti aliran sungai itu! Nah, siapa diantara cuwi yang sekarang dapat menangkaap kejadian ini?"

Namun semua orang masih tak mengerti. Mereka belum "menangkap" apa yang sebetulnya dimaksudkan kakek itu, dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum lebar tiba-tiba menghadap semua orang. "Cuwi enghiong, sebenarnya apa yang kalian lihat sudah merupakan jawaban dari bait kedua. Apakah cuwi benar benar belum mengerti?'

Thian Kong Cinjin ragu-ragu menjawab. "Sian-su, apakah kau maksudkan di sini bahwa kita harus seperti daun kering itu? Kita hanyut dan…" ketua Cin-ling ini berhenti, ragu-ragu meneruskan.

Dan Bu-beng Sian-su yang bertepuk tangan memotong gembira, "Ya-ya, teruskan, Cinjin. Aku akan membantu kalian...!"

Maka Thian Kong Cinjin yang bersinar mukanya tiba-tiba melanjutkan, "Kau maksudkan bahwa kita harus hanyut dan mengikuti aliran sungai itu, Sian-su? Bahwa kita harus menurut saja ke mana aliran sungai itu membawa kita?"

Bu-beng Sian-su tertawa lepas "Cinjin, jawabanmu hampir sempurna. Tapi kurang sesuai…!" dan manusia dewa yang sudah berseri mukanya ini tiba-tiba menunjuk Bu Wi Hosiang. "Bu Wi lo-suhu, kau dapat menyempunakan kalimat itu?"

Bu Wi Hosiang menggeleng gugup, "Tidak… tidak, Sian-su. Pinceng belum tahu bagaimana menyempurnakan kalimat itu!"

"Dan kau, Ta Bhok Hwesio?"

"Wah, pinceng sama totolnya dengan mereka, Sian-su. Tolong saja yang memberikan jawaban konkrit untuk teka-teki ini!"

Maka semua orang yang nyengir oleh kata-kata hwesio Tibet ini serentak tertawa geli oleh ucapan itu. Namun Bu-berg Sian-su kali ini tidak tertawa. Kakek dewa itu menarik napas. Lalu memandang semua orang diapun bicara sungguh-sungguh, serius mukanya,

"Cuwi enghiong, sebetulnya daun kering itu adalah kuibaratkan kalian, setiap orang dari kalian. Sedang sungai yang kalian lihat ini adalah sungai kehidupan kalian sendiri. Masing-masing dari kita memiliki jalan sungai sendiri-sendiri, jalur sungai kehidupan, yang tentu saja tidak sama satu dengan yang lainnya. Dan kalau daun itu telah kulempar ke sungai ini maka sesungguhnya keadaan itu sama dengan kalian yang juga telah dilempar oleh Yang Maha Kuasa ke dalam sungai kehidupan kalian! Kalian mengerti sampai di sini?"

Semua orang tertegun. "Ya, kami mengerti, Sian-su."

"Baik, bagus kalau begitu. Dan sekarang, bila kalian telah mengerti bahwa masing-masing orang memiliki jalur sungainya sendiri-sendiri lalu apa yang mesti dilakukan?"

Thian Kong Cinjin menjawab, "Hanyut, mengikuti aliran sungai itu, Sian-su!"

"Ya, tapi kita bukan daun kering itu, Cinjin. Kita adalah manusia. Mahluk hidup. Yang dapat berpikir dan berakal sebagaimana halnya keadaan kita. Kalau begitu bagaimana jawaban yang tepat untuk semuanya ini?"

Semua orang menjadi bingung. "Apakah salah bila kukatakan hanyut, Sian-su? Bukankah kenyataannya kau ibaratkan kami sabagai daun kering itu?" Thian Kong Cinjin lagi-lagi menjawab, mewakili teman-temannya.

Dan Bu Beng Sian-su yang tersenyum lebar menganggukkan kepalanya. "Ya, tapi kita tidak sama dengan daun kering itu, Cinjin. Kita adalah mahluk hidup, bukan benda mati."

"Kalau begitu bagaimana jawabannya, Sian-su?"

"Hm, sudah kau sebutkan tadi, Cinjin. Tapi kau membawa pengertian yang salah. Kita bukan hanyut dalam arus kehidupan kita melainkan MENGIKUTI. Ya, inilah, Cinjin. Bahwa kita harus mengikuti arus sungai kehidupan kita tapi BUKAN HANYUT seperti yang kau katakan tadi! Kalian dapat mengerti cuwi enghiong?"

Bu Wi Hoshing terbelalak, "Tapi kukira itu sama saja, Sian-su. Karena kenyataannya kita hanyut juga!"

"Ah, tidak sama, lo-suhu. Hanyut dan mengikuti memiliki perbedaan besar. Hanyut berarti kita tak sadar, tak berdaya. Sedang mengikuti berarti kita tetap memasang telinga dan mata untuk melihat apa yang terjadi, apa yang kita alami. Dan itu berarti kita tetap memasang kewaspadaan! Kau dapat membedakan dua pengertian yang berdiri sendiri-sendiri ini, Bu Wi lo-suhu?"

Bu Wi Hosiang tercengang.

"Dan itu memang harus kita ikuti, lo suhu," Bu beng Sian-su melanjutkan. "Bahwa kita tak boleh hanyut dalam arus sungal kehidupan kita melainkan mengikuti, seperti apa yang kuterangkan tadi. Karena siapa yang hanyut dalam arus sungai kehidupannya berarti dia tak sadar dan ternina-bobok oleh keadaannya. Bagai benda mati, seperti daun kering itu!"

"Ah....!" semua orang terkejut. Mereka terbelalak, mengerti sekarang. Tapi Thian Kong Cinjin yang kurang puas tiba-tiba bertanya, "Tapi mengikuti sama dengan menerima, Sian-su. Dan ini jelas bertolak belakang dengan kata-katamu tadi, bahwa kita tidak monolak juga tidak menerima!"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Cinjin, sesungguhnya ada perbedaan besar di sini. Mengikuti bukan berarti menerima. Mengikuti sebenarnya hampir identik (sama) dengan pengamatan/pengawasan. Karena mengikuti tak pernah ada akhirnya."

"Hm, mana bisa begitu, Sian-su?"

Kakek itu tertawa. "Mari kita buktikan!" katanya. "Coba ulangi lagi pemberian tongkat kepada Bu Wi lo-suhu itu. Apa yang terjadi di sini, Cinjin? Apa yang kalian lihat?"

"Kami tidak melhat apa-apa, Sian-su...!" Thian Kong Cinjin menjawab.

"Nah, itulah, kalian tidak melihat apa-apa karena peristiwa itu HABIS sampai di situ saja, Cinjin. Bahwa "menolak" maupun "menerima" sudah berakhir pada saat itu juga. Seperti halnya yang terjadi sekarang ini. Kalian tidak punya 'cerita. Lebih lanjut. Kalian BERHENTI pada saat itu juga karena semuanya sadah berakhir! Lain halnya dengap mengikuti. Arus sungai kehidupan kita masih terus mengalir Cinjin. Terus mengalir dan TIDAK PERNAH BERAKHIR sampai berhentinya jaman! Kalian mengerti perbedaan ini?"

Semua orang tiba tiba melenggong. Mereka benar-benar terkejut bahwa Bu-beng Sian-su dapat "menangkis" serangan Thian Kong Cinjin. Membeberkan perbedaan besar antara menerima dan "mengikuti', antara hanyut dan sadar. Dan kagum serta takjub oleh manusia dewa ini, tiba-tiba semua orang membungkukkan tubuh dalam-dalam.

"Sian-su, terima kasih. Kami mangarti sekarang apa yang kau maksud dengan dua bait sayairmu itu!"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Dan kalian dapat meresapkan apa arti dari semua kata-kataku tadi, cuwi enghiong? Atau ada diantara cuwi yang ingin bertanya lagi?"

Semua orang menggeleng. Mereka merasa sudah cukup jelas, tapi Ta Bhok Hwesio yang menyeringai kecut mendadak bertanya, "Sian-su, kalau begitu boleh kau ulangi lagi dua inti jawaban syairmu?"

"Hm, tentu saja, Ta Bhok Hwesio. Tapi sebenarnya singkat juga cukup sederhana. Pertama, kita ingat bahwa kita tidak boleh memaksakan pendapat kepada orang lain, sedang yang kedua, kita msing-masing "mengikuti" arus sungai kehidupan kita. Tak ada yang luar biasa. Karena seperti yang kukatakan tadi, desir angin bukanlah gelombang dan Thian Kong Cinjin bukanlah Bu Wi Hosiang. Kalian jelas bukan? Yang pertama berkaitan dengan orang luar, orang lain. Sedang yang kedua lebih banyak tertutu pada diri sendiri, ke dalam. Kalian mengerti bukan?"

Semua orang mengangguk. Mereka puas kararang, Tapi ketika Bu-beng Sian-su hendak berpamitan kepada mereka, sekonyong konyong Pendekar Gurun Neraka melompat maju. "Sian-su, bolehkan kutanya sebuah hal?"

Kakek itu tersenyum. "Kau hendak bertanya apa, Pendekar Gurun Neraka?"

Bekas jenderal muda ini tersipu merah. "Hendak bertanya satu hal, Yakni: UNTUK APA KITA HIDUP!"

Semua orang tertegun. Mereka terkejut oleh pertanyaan yang tampaknya sederhana ini. Tapi yang sesungguhnya mengandung misteri besar. Dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum memandang pendekar muda itu tiba-tiba menoleh pada yang lain.

"Cuwi enghiong, adakah diantara kalian yang dapat menjawab pertanyaan ini?"

Semua orang tentu saja saling pandang. Mereka tak berani menjawab, karena jawaban mungkin bermacam-macam dan lagi belum tentu tepat seperti kalau Bu-beng Sian-su sendiri yang menjawabnya, maka semua orang yang tiba-tiba saling mengharap yang lain untuk menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba disambut tertawa halus oleh manusia dewa ini.

"Kalian tak ada yang menjawab, cuwi enghiong?"

"Kami khawatir salah, Sian-su. Kami takut kalau jawabannya tak menuju sasarannya secara tepat!" Thian Kong Cinjin menyahut, mewakili teman-temannya.

Dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum lebar tiba-tiba menghampiri dinding bangunan, mempersiapkan jari-jari untuk menggurat. "Baiklah, kalau begitu perhatikan ke sini cuwi enghiong. Aku akan menjawab pertanyan Pandekar Gurun Neraka dengan kata saja. Satu kata yang terdiri dari tujuh huruf dari pertanyaan UNTUK APA KITA HIDUP...!" lalu mengguratkan jarinya dengan tenang tahu-tahu kakek itu sudah menggores dinding bangunan dengan tenaga saktinya yang luar biasa.

Orang tidak tahu apa yang ditulis. Tapi begitu selesai dan memutar tubuh tampaklah tujuh huruf yang diukir indah di dinding bangunan itu. Tujuh huruf yang merupakan satu kata saja, sebuah kalimat pendek. Dan begitu orang melihat jawaban ini tiba-tiba mereka bengong takjub luar biasa!

"Ah, benar, Sian-su…!" semua orang terpekik hampir berbareng menyatakan rasa takjubnya, tapi Bu-beng Sian-su yang tertawa lirih mendadak sudah berkelebat lenyap.

"Cuwi enghiong, jawaban bukan untuk dibaca, tapi dihayati. Kalian camkan itu…!" dan kakek dewa yang sudah tidak nampak bayangannya ini tahu-tahu sudah merupakan titik kecil di bawah gunung.

Semua orang terkesima takjub. Mereka masih terbelalak memandang tujuh huruf di tembok itu tak beranjak bagai orang terpaku. Dan Thian Kong Cinjin yang sadar lebih dulu tiba-tiba mengebutkan lengan bajunya,

"Sancai, Bu-beng Sian-su benar-benar kakek dewa, cuwi enghiong! Kakek itu rasanya benar-benar dewa sendiri yang turun ke muka bumi!"

Empat orang pendekar mengangguk setuju. Mereka memang takjub dan terheran-heran oleh jawban Bu-beng Sian-su yang demikian tepat, jitu dan tak dapat dibantah sedikitpun juga itu. Dan Ciok-thouw Taihiap yang menarik nafas tiba-tiba menyambung.

"Ya, dan aku benar-benar pecundang di bawah nasehat kakek itu, Cinjin. Aku harus mengurung diri sebulan di ruang semadhi…!" lalu memohon maaf pada yang lain mendadak ketua Beng-san-pai ini berkelebat masuk ke ruang hukuman.

Demikianlah, mereka lalu bubaran dan Thian Kong Cinjin serta teman-temannya yang sudah menghela nafas sama termangu dengan mata tak berkedip memandang tujuh huruf yang terukir di atas tembok itu. Sementara Bu-beng Sian-su sendiri yang menjadi awal dari semua ketakjuban ini sudah lama menghilang dari Beng-san, tak diketahui kemana perginya. Dan Bu Kong yang tertegun melihat jawaban Bu-beng Sian-su itu juga menarik napas panjang dan beringsut pergi mencari dua orang calon isterinya dengan muka penuh kebahagiaan.

* * * * * * * *

Sebenarnya, apa yang ditulis kakek dewa itu hingga lima orang pendekar terbengong dan takjub dibuatnya? Satu kalimat pendek saja, para pembaca. Satu kata yang terdiri dari tujuh huruf saja! memang tampaknya luar biasa. Tapi kalau kita sudah tahu maka kita akan menganggapnya "sederhana". Yang penting jawaban itu bukan hanya untuk dibaca, tapi lebih dari itu yakni "Dihayati" seperti yang telah dikatakan kakek itu sendiri. Dan kalau anda ingin mengetahui jawaban Bu-beng Sian-su ini maka saya persilakan anda mengikuti lanjutan kisah ini yang berjudul PEDANG MEDALI NAGA. Disitulah anda boleh menguji dan mengkaji jawaban Bu-beng Sian-su ini. Jawaban dari pertanyaan: "Untuk apa kita hidup?"

Adakah diantara Anda yang sudah mengetahui jawabannya, para pembaca? Mungkin belum dan kalau benar begitu marilah kita bersabar menunggu lanjutan kisah ini. mencari jawaban dari pertanyaan yang menggelitik itu.

Dan bagaimana dengan akhir cerita ini? Mudah diduga para pembaca yang budiman. Karena seperti yang telah diceritakan di atas akhirnya Bu Kong atau Pendekar Gurun Neraka itu akhirnya telah berhasil mendapatkan cintanya. Bekas jenderal muda yang gagah perkasa ini menikah tiga bulan kemudian bersama Ceng Bi dan Pek Hong. Dua gadis cantik yang sama-sama menyayang dan mencinta itu.

Dan Pendekar Gurun Neraka yang tentu saja amat berbahagia dengan dua orang isterinya itu akhirnya menetap di Pegunungan Ta-pie-san, meempati bekas mendiang Dewa Monyet yang menjadi pambantu mereka sebelum ajal kakek itu tiba di tangan Cheng-gan Sian-jin, kakek iblis yang juga tewas beberapa waktu yang lalu. Dan bersama dengan menikahnya mereka ini dirayakanlah pula perkawinan antara Ceng Han dan Cui Ang, puteri si Belut Emas Cui Lok itu!

Mungkin ada sedikit pertanyaan, bagaimana Ceng Bi yang dulu dibunuh ayahnya itu hidup kembali? Sebenarnya ini jawaban yang mudah. Karena seperti kita ketahui bersama bahwa Ceng Bi waktu itu mengenakan baju anti senjata, semacam benda pusaka peninggalan nenek Mo-i Thai-houw yang dimiliki Siu Li. Tapi karena gadis ini meninggal dunia maka baju yang disebut Thian bian-ih (Baju Sutera Langit) itu akhirnya jatuh di tangan Kui Lun.

Di mana pemuda ini lalu memberikannya kepada Ceng Bi. Dan karena waktu itu pedang yang diluncurkan Ciok-thouw Tathiap mengenai dada puterinya maka Ceng Bi langsung roboh. Di samping tak kuat menahan timpukan ayahnya itu juga gadis ini terpukul hebat oleh kenyataan bahwa ayahnya benar-benar siap membunnhnya. Demi menjunjung harga diri dan nama baik!

Tapi Tuhan rupanya masih melindungi nyawa gaidis ini. Karena baik Ciok-thouw Taihiap maupun Ceng Bi sendiri tidak mengetahui bahwa Thian bian-ih telah membuat pedang mengenai bawah ketiak Ceng Bi yang tidak terlindungi hingga gadis itu tampaknya tewas, roboh dengan dada tertikam pedang dan mengeluarkan darah. Dan karena Pek Hong waktu itu muncul dan memaki-maki Ciok thouw Taihiap dan membawa lari "jenazah" gadis ini maka tidak ada yang tahu bahwa Ceng Bi sebetulnya selamat.

Dan bagaimana dengan Pangeran Kou Cien dan Fan Li? Seperti telah diceritakan di muka pangeran ini tertangkap musuh. Dia tak mau keluar ketika Pendekar Gurun Neraka menolong, Kui Lun yang mendendam Pendekar Gurun Neraka atas kematian suhunya lalu mengusulkan pada Pangeran Fu Chai untuk memberi hinaan berat pada Pangeran Kou Cien, pangeran yang tak mau di bantu Pendekar Gurun Neraka itu. Dan sebagaimana tercatat dalam sejarah maka pangeran ini akhirnya 'dijadikan‘ mandor istal kuda. Mengurus kuda istana atas hukuman dari dosa-dosanya. Memang menyedihkan.

Tapi pembaca yang budiman, sebelum menyelesaikan kisah ini penulis hendak mengulang kembali dua nasehat Bu-beng Sian su dalam cerita ini. Bahwa pertama kita tak layak memaksakan pendapat kepada orang lain, dan yang ke dua adalah belajar mengikuti alur sungai kehidupan kita. Masing-masing memperbaiki diri sendiri karena dengan itikad baik dan hati yang tulus tentu kita dapat menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Mengikuti tidak sama dengan menerima, seperti apa yang telah diwejangkan Bu-beng Sian-su tadi. Dan mengikuti berarti "jalan bersama" seperti apa yang telah dikupas kakek dewa itu, agaknya tidak terlalu sukar untuk kita cerna.

Menerima ataupun menolak seperti apa yang telah dikatakan Bu-beng Sian-su tadi adalah langkah yang singkat, karena baik menerima maupun menolak kedua-duanya segera berhenti pada saat itu juga. Tak ada "cerita" lebih lanjut. Habis, mandeg (berhenti) pada titik itu juga. Tapi "mengikuti" berarti tak pernah ada akhir, karena "mengikuti" itu sendiri adalah gerakan yang yang hidup. Bagai ombak di samudera. Karena, pernahkan anda melihat laut yang tidak berombak walaupun hanya terkeriput kecil? Tentu tak pernah bukan? Kecuali laut es tentunya!

Nah, sama halnya dengan gerakan ombak samudera ini, para pembaca. Kita perlu "mengikuti" arus sungai kehidupan kita. Baik lemah maupun deras. Dan mungkin ada pertanyaan di sini, apa dan kapan kita perlu "mengikuti" itu? Dan apa yang "diikuti"? Ini bisa dijawab begini: Bahwa kita mengikuti apa dan apa yang terjadi pada diri kita. Waktunya tidak terbatas. Sembarang waktu. Tidak soal. Dan kalau ditanya apa yang "diikut", maka yang diikuti itu adalah kejadian-kejadian yang menimpa kita. Baik menyenangkan atau tidak. Baik menguntungkan atau tidak!

Anda masih kurang jelas? Baik. Sekarang ada sebuah contoh sederhana. Dimisalkan suatu hari Anda kelaparan. Seseorang tiba-tiba datang. Memberi anda makanan. Dan anda yang sedang kelaparan makan dengan lahap hingga satu meja disapu bersih! Nah, apa yang terjadi? Coba Anda ikuti, para pembaca. Mungkin mula-mula adalah rasa kenyang yang kelewat siangat. Lalu Anda menyeringai (karena perut mulai sakit!). Lalu Anda mengeluh. Lambung terasa sesak dan ketika Anda mulai gelisah tiba-tiba dua jam kemudian Anda kejang-kejang karena otot perut Anda tidak dapat menerima semua makananan yang Anda telan karena "over" dosis (jangan Anda tertawa geli!). Ini yang dimaksud "mengikuti", para pembaca.

Sebuah gambaran sederhana agar Anda lebih jelas lagi dengan apa yang dimaksud kata-kata itu. Karena, kalau kita dapat mengikuti arus sungai kehidupan kita, kemungkinan besar kita dapat "bekerja sama" dengan Alam, dengan apa yang sesungguhnya diinginkan Sang Pencipta dari kita. Itu saja. Karena kalau kita dapat "berjalan bersama" dengan apa yang kita ikuti, kita dapat menerima hidup ini sebagai apa adanya. Tidak terlalu banyak konflik. Karena biasanya kalau kita menginginkan yang "begini" lalu yang muncul adalah yang "begitu". Tentu saja bentrok dan kalau sudah begini tentu saja hasilnya runyam.

Anda cukup jelas, para pembaca? Jadi singkat kata, yang diikuti itu adalah kejadian-kejadian yang Anda alami. Setiap waktu. Setiap menit, bahkan setiap detik, boleh jadi! Karena dengan "mengikuti" itu berarti kita mulai memasang mata, memasang telinga dan tentu saja ini berarti kewaspadaan kita untuk menghadapi hidup dan kehidupan alias sadar dan tidak ternina-bobok oleh kejadian yang mungkin menghanyutkan kita!

Kalau begitu, bagaimana dengan "menerima" atau "menolak" Tidakkah ini kita lakukan sehari-harinya! Tentu saja. Itu tak mungkin kita hindari, para pembaca. Tapi untuk menuju ke kehidupan yang lebih kita tak boleh berhenti di situ saja. Menolak atau menerima tak punya kelanjutan. Tapi "ekor" dari menolak atau menerima itu akan berlanjut. Nah, inilah! Ini yang harus kita perhatikan, para pembaca. Ini yang harus kita "ikuti"! Anda paham, bukan? Dan itulah yang dimaksud Bu-beng Sian-su!

Pembaca yang budiman, saya kira cukup jelas uraian tentang "mengikuti" ini. Memang sedikit berat, tapi setidak-tidaknya anda dapat menyentuhnya, bukan? Karena mengikuti berarti mengadakan pengamatan, pengawasan (observasi). Dan siapa yang selalu mengikuti arus sungai kehidupannya tentu dia akan memperoleh kemajuan lahir dan batin.

TAMAT


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.