PEDANG MEDALI NAGA
JILID 26
KARYA BATARA
JILID 26
KARYA BATARA
DAN kaisar semakin hanyut. Suara merdu dan lenggang memikat yang diberikan Shi Shih dan rekannya itu semakin membuat kaisar lupa daratan. Tak pernah lepas dan jauh dari dua wanita cantik itu, yang memang sebelumnya telah "digembleng" oleh ahli-ahli cinta dari kerajaan Yueh.
Dan ketika beberapa minggu kemudian Shi Shih dan temannya "usul" agar sri baginda tak mengambil lagi selir-selir baru tiba-tiba secara spontan dan mengejutkan kaisar memenuhi permintaan ini. Yueh tak perlu lagi mengirimkan selir-selir baru tahun depan. Sudah cukup. Cukup dilayani Shi Shih dan Ceng Tan!
Dan Yueh tentu saja tercengang oleh keputusan si baginda ini akhirnya menjadi girang dan lega bukan main. Itu berarti berhasilnya usaha mereka. Suatu rencana yang telah disiapkan bertahun-tahun. Rencana yang hanya dketahui orang-orang atas dan ditutup rapat hingga tak sebuah telinga luar pun mendengar. Apalagi tahu!
Dan raja muda Kou Cien yang tentu saja girang oleh gejala pertama keberhasilan ini segera memonitor kelanjutan berita itu dergan harap-harap cemas. Dan raja muda ini cukup kebat-kebit- Wen-taijin, penasihat utamanya yang mengantar barang hantaran itu menceritakan bahwa pengiriman Shi Shih dan Ceng Tan ini hampir saja mengalami kegagalan di tengah jalan, tak berjalan "semulus" seperti apa yang direncanakan. Karena Wu Yuan, seorang menteri tua yang mendampingi kaisar waktu menerima persembahan itu menyarankan pada junjungannya agar pengiriman dua wanita cantik itu ditolak saja.
"Hamba kira persediaan di istana sudah cukup, sri baginda. Sebaiknya dua orang wanita ini dikembalikan saja dan dipulangkan kepada mereka. Tak perlu ditambah!" demikian mula-mula menteri tua itu berkata, mengejutkan Wen-taijin karena ini berarti kandasnya rencana yang sudah diatur!
Tapi sri baginda yang tersenyum memandang Shi Shih yang luar biasa cantik dengan pipi bagai tomat masak tiba-tiba bangkit dari kursinya dan menggelengkan kepala, terlanjur tergerak. "Tidak, yang ini kukira lain, taijin. Tidakkah kau lihat sinar gemilangnya yang menawan lembut itu? Ia menarik hatiku. Siapa namanya?" kaisar sudah memegang dagu Shi Shih dan mengangkatnya kagum, bersinar dan bangkit berahinya melihat kecantikan gadis yang luar biasa ini.
Dan Shi Shih yang bentrok dengan pandangan kaisar telah menjatuhkan diri berlutut dan berseru menggigil, "Ampun, hamba... hamba Shi Shih, sri baginda..."
"Hm, dari mana kau berasal?"
Wen taijin mendahului menjawab, "Dia berasal dari dusun Chu-lo, sri baginda. Ampun kalau anak ini tak dapat menjawab pertanyaan paduka."
Kaisar mengangguk-angguk, mengerutkan keningnya. "Bukan dari kota?"
Pertanyaan ini mendebarkan. Semua orang melihat kaisar tiba-tiba tersinggung. Maklum Shi Shih bukan anak kota. Hanya gadis desa yang mungkin terlalu rendah untuk sri baginda, yang bisa dianggap penghinaan tidak langsung. Tapi Wen-taijin yang buru-buru membenturkan, jidatnya sudah berkata cepat,
"Ampun, Shi Shih memang berasal dari desa, sri baginda. Tapi hamba tanggung bahwa dia tak kalah dengan gadis kota. Dia pandai menyanyi, menari dan membaca sajak dengan baik. Bahkan hebat pula menabuh alat-alat musik jenis apapun!"
Kaisar tertegun. "Dia pandai menyanyi?"
"Bukan melulu menyanyi, sri baginda. Shi Shih pandai pula menari dan membaca sajak!"
"Ah, kalau begitu coba dia!" kaisar menjadi gambira. "Coba kau buktikan omonganmu, Wen-tajin. Aku ingin mendengar suara dan cara dia mainkan alat-alat musik."
Shi Shih dicoba. Kaisar sudah menyuruh orang-orangnya menyiapkan alat tetabuhan, duduk di kursi singgasananya dan tertarik. Ingin membuktikan apakah benar gadis desa ini pandai menyanyi dan mainkan alat-alat musik seperti apa yang dikata pembesar she Wen. Dan ketika Shi Shih mulai melaksanakan permintaan kaisar maka terlebih dulu gadis itu melirik temannya, menjatuhkan diri berlutut dengan sikap tersipu-sipu.
"Ampun..." suara Shi Shih gemetar. "Hamba ingin mengajukan usul, sri baginda. Bolehkah hamba main bersama dengan rekan hamba ini? Hamba ingin menghibur paduka dengan teman hamba agar dia mendapat perhatian paduka pula..."
Kaisar terkejut. "Kau takut main sendirian?"
"Tidak, hamba.... hamba ingin agar teman hamba ini tak tersisih dalam pandangan paduka, sri baginda. Hamba tak mau disebut lupa diri memegang kesetiaan kepada teman hamba!"
"Ah, rasa solider, Shi Shih? Baik, boleh saja. Tapi itu nanti. Sekarang tunjukkan dulu kemampuanmu bernyanyi dan mainkan alat musik."
Shi Shih tiba-tiba menangis. "Kalau begitu biar teman hamba dulu yang menjalankan perintah paduka, sri baginda. Hamba belakangan saja setelah teman hamba mendapat perhatian paduka."
"Shi Shih...!" Wen-taijin kaget bukan main. "Kau berani membantah ucapan sri baginda? Ah....!" dan pembesar yang pucat membenturkan dahinya dengan ketakutan itu buru-buru berkata dengan suara menggigil, tak berani mengangkat mukanya di depan kaisar, "Ampun, hamba akan membawa pulang saja anak ini, sri baginda. Biarlah dosa kelancangannya ini hamba yang bertanggung jawab!"
Semua orang juga terkejut. Mereka menilai perbuatan Shi Shih itu memang berani, terlampau berani malah. Bisa dianggap kurang ajar. Dan semua mata yang terbelalak memandang ke depan tiba-tiba menjadi tegang melihat kaisar mengerutkan keningnya. Untuk sejenak kaisar juga terkejut, sama seperti semua orang.
Tapi kaisar yang melihat dasar dari pemuatan itu tiba-tiba tersenyum lebar. Dia melihat perbuatan Shi Shih dilakukan atas dorongan "solidaritas", rasa kesetia-kawanan yang tinggi terhadap Ceng Tan. Hal yang justeru membuat dia kagum dan semakin tertarik. Maka ketika kaisar tertawa dan tidak tampak sama sekali kemarahannya seperti yang diduga banyak orang tiba-tiba saja semua orang heran dan tertegun dengan mata terbelalak.
"Ha-ha, Shi Shih tak melakukan dosa seperti yang kau katakan, Wen-taijin. Ia menyatakan pendapatnya atas dasar rasa setia kawannya belaka. Tak perlu dihukum!"
Wen-taijin bengong. Dia menduga kaisar bakal menghukumnya dan marah-marah. Tapi melihat kaisar bersikap sebaliknya dan justsru memuji Shi Shih kontan saja pembesar ini tertegun dan tak habis mengerti. Dan kaisar sudah menggoyang lengannya, berkata pada Shi Shih,
"Baiklah, kau boleh bawa temanmu itu bersama, Shi Shih. Demonstrasikan sekarang kepandaianmu bernyanyi dan menabuh alat-alat musik itu!"
Shi Shih tersenyum. Ia mengerling kaisar dengan sudut matanya, gerak yang luar biasa manis dan indah mempesona, membuat kaisar gemas dan ingin segera memboyongnya ke kamar.
Tapi Ceng Tan yang mendahului berlutut di depan kaisar ganti mengejutkan semua orang, "Tidak, hamba belakangan saja, sri baginda. Biarlah Shi Shih melaksanakan perintah paduka seperti yang paduka inginkan!"
Kaisar terbelalak. "Kenapa begitu?"
"Semata untuk kegembiraan paduka, sri baginda. Bukankah paduka ingin mendengarkan dulu suara Shi Shih? Hamba tak merasa dikesampingkan. Biarlah Shi Shih main terlebih dahulu dan hamba belakangan!"
"Ha-ha, kalian ini ada-ada saja, Ceng Tan. Apakah demikian pula kehidupan kalian sehari-harinya? Wah, sebaiknya kalian main bersama. Biar yang satu menyanyi dan yang lain mainkan tetabuhan. Berganti-ganti!"
Ceng Tan tak dapat menolak. Shi Shih juga menerima. Maka begitu keduanya saling pandang dan tersenyum satu sama lain tiba-tiba Shi Shih berkata, "Baiklah, aku menyanyi lebih dulu. Ceng Tan. Kau yang mainkan alat musiknya dan nanti kau yang bernyanyi. Kita gantian."
Ceng Tan mengangguk. Ia sudah mengambil yang-khim (alat musik Tiongkok), mulai memetik senar-senarnya dan mengalunkan lagu yang indah, lagu cinta, dendang yang mulai membuat semua yang hadir memasuki dunia yang sendu amat romantis. Dan ketika Shi Shih mengatur napasnya dan ikut "masuk" dengan suara yang merdu ke dalam alunan lagu cinta ini tiba-tiba semua orang terbelalak dan ternina-bobok.
Mereka mendengar suara yang luar biasa bagusnya dari mulut Shi Shih ini. Suara yang empuk, juga lembut. Suara yang membuat mereka hanyut dan serasa diayun di awang-awang. Terbuai oleh getaran syahdu yang membuat bulu mereka meremang setiap kali lagu merintih dalam alunan cinta, mengeluh atau menyayat lirih dalam ritme yang rendah. Dan ketika lagu menukik dan naik tajam untuk kemudian berobah menjadi keriangan yang lincah gembira tiba-tiba tanpa sadar kaisar dan semua orang menghentak-hentakkan kaki dan ikut gembira mengikuti irama lagu.
Hebat sekali. Shi Shih dan Ceng Ten berhasil meninabobokan setiap orang. Dan ketika lagu berakhir dengan satu petikan nyaring hingga senar yang khim melampaui batas suara dan Shi Shih menghentikan nyanyiannya yang merdu tiba-tiba seluruh orang terkejut karena mereka seakan disentakkan dari alam yang halus ke alam yang kasar.
"Aih....!" kaisar berteriak kaget, kagum bukan main. "Apa judul lagu yang kalian mainkan ini, Shi Shih?"
Shi Shih tersipu malu. "Rembulan Memadu Cinta, sri baginda."
"Hah, Rembulan Memadu Cinta?"
"Ya."
"Memadu cinta dengan siapa?"
"Dengan Dewa Bintang, sri baginda. Sesuai isi syairnya tadi yang telah hamba nyanyikan."
"Ooh...!" sri baginda terbelalak takjub, mengangguk-angguk dan teringat akan lirik lagu tadi. Tapi tertawa dan bertepuk tangan tiba-tiba sri baginda memandang Ceng Tan. "Bagus, sekarang coba kalian ganti bermain, Shi Shih. Biar kau yang memetik yang-khim sementara Ceng Tan yang bernyanyi!"
Mereka mengangguk. Memang itu tadi sudah saling dijanjikan. Maka begitu Cing Tan menyerahkan alat musiknya dan Shi Shih menjentik-njentikkan jarinya di tubuh yang-khim tiba-tiba Shi Shih tersenyum dan mainkan alat musik ini dalam irama sentimentalia. Masih berkisar pada lagu-lagu cinta tapi tak ada lagi keriangan di situ, melulu irama sendu yang menghanyutkan semua orang tapi tidak cengeng. Lebih berbobot dan tampak lebih "dewasa". Dan ketika Ceng Tan mulai masuk mengikuti irama lagu maka untuk kedua kalinya kaisar dan semua yang hadir dibuat tertegun.
Mereka merasakan sentilan yang-khim yang dipetik Shi Shih ini permainannya lebih terasa mantap. Dan kalau Ceng Tan mainkan lagu pertama dengan alunan tinggi rendah yang banyak rintihannya di akhiri dengan kenangan di belakang lagu adalah sepenuhnya lagu yang dimainkan Shi Shih kali ini lebih "artistik" dan tidak banyak rintihannya. Shi Shih mainkan lagu yang bersifat tenang. Seolah percintaan gadis dewasa yang sudah matang lahir batin, tidak seperti yanp dimainkan Ceng Tan tadi yang mirip gadis manja yang baru pertama kali mengenal cinta.
Terlampau riang di akhir ceritanya karena belum "masak" dan jiwanya juga labil (belum tetap). Dan ketika perlahan namun pasti Shi Shih mengajak temannya untuk menyertai irama lagunya maka perlahan namun pasti pula semua orang dibuat mendelong. Kaisar tak mengejapkan matanya, tertegun dan tampak kagum oleh kepandaian Shi Shih mencarikan lagu yang "syur". Dan begitu Ceng Tan mengisi dengan suaranya yang kalem namun merdu tiba-tiba saja kaisar meram-melek bagai hanyut di alam dewa-dewi.
Tak hanya kaisar. Wu-taijin sendiri (Wu Yuan), yang tadi menyuruh agar Shi Shih dan Ceng Tan ditolak, yang agaknya curiga dan was-was, ternyata sekarang juga terbuai oleh permainan yang-khim di tangan Shi Shih ini. Terbelalak dan kagum oleh jari-jemari yang lentik halus memainkan alat musik tradisional itu, tak bergerak dari tempat duduknya dan meram-melek pula seperti kaisar. Dan ketika lagu ke dua habis dan Shi Shih menyelesaikannya dalam satu getaran kuat hingga suara yang-khim mendentang di ruangan itu tiba-tiba kaisar bertepuk tangan dan memuji keras,
"Bagus, indah sekali lagu yang kau mainkan ini, Shi Shih! Apa pula nama lagunya?"
Shi Shih tersenyum. "Mutiara Di Laut Biru, sri baginda. Lambang kejayaan cinta di tempat yang teduh!"
"Ha-ha, kalau begitu kenapa judulnya tak menyinggung cinta sama sekali?"
"Ah, siapa bilang, sri baginda? Justeru mutiara itu adalah cinta. Dia lambang cinta yang hamba ujudkan dalam bentuk mutiara. Sedangkan penerimanya, sang Dewa Laut yang arif bijaksana adalah peneduh dan pelindung cinta yang hamba umpamakan mutiara itu!"
Kaisar tertawa bergelak. Dia merasa gadis yang satu ini puitis, tapi Shi Shih yang menjatuhkan diri berlutut memperingatkannya, "Dan lagu hamba bisa nikmat didengar karena bantuan suara Ceng Tan, sri baginda. Harap paduka tak melupakan itu karena hamba tak bekerja sendirian!"
Kaisar tertegun. Dia lagi-lagi "lupa" pada Ceng Tan, yang meskipun suaranya merdu tapi lupa dipuji. Dan kaisar yang menganggut dan semakin kagum pada gidis ini tiba-tiba tersenyum dan melihat bahwa Shi Shih memang betul-betul setia kawan. Tak mau menerima kesenangan diri sendiri sementara teman lain dilupakan. Dan kaisar yang tertarik hatinya tentu saja segera memandang Ceng Tan.
"Maaf, aku lupa, Ceng Tan. Shi Shih memang benar. Kau pun menunjang keindahan lagu ini dengan suaramu yang baik. Tak kalah merdu dengan Shi Shih!"
Ceng Tan tersipu menundukkan mukanya. "Tak apa, sri baginda. Bagi hamba sama saja. Memuji Shi Shih berarti menyenangkan pula hati hamba."
Kaisar tertawa. Dia melihat Ceng Tan bicara dengan setulusnya hati, tak iri atau cemburu. Dan kaisar yang teringat bahwa Shi Shih katanya juga pandai menari akhirnya menggapaikan tangan, berkata gembira, "Baik, sekarang tunjukkan gerak tarianmu, Shi Shih. Atau kalian berdua boleh maju bersama!"
Shi Shih mengajak Ceng Tan. Dia sudah bangkit berdiri menyambar temannya ini, meliuk dan menggeliatkan pinggang memberi hormat, tak lupa dengan senyum manisnya itu, memikat dan membuat kaisar terbelalak. Gemas. Lalu begitu keduanya membungkuk dan musik dimainkan orang lain tiba-tiba keduanya sudah melenggak-lenggok dengan pinggang yang patah patah. Baik Shi Shih maupun Ceng Tan mulai mengikuti irama lagu, tak memilih, apa saja. Berarti mereka sanggup menari dengan lagu apapun. Tanpa kecuali. Tanda kalau keduanya sudah biasa dan mahir di luar kepala! Dan ketika keduanya mulai bergerak-gerak mengikuti musik yang mengiringi mereka akhirnya kaisar tertegun dan takjub bukan main.
Shi Shih dan Ceng Tan memang benar-benar melebihi gadis kota. Mereka sanggup diadu dengan penari-penari istana yang paling jempol sekalipun. Tak kalah dan lebih luwes dibanding Yang-nio. Itu penari istana yang menjadi guru dan mengajar ketrampilan menari dan menyanyi di keputren! Dan begitu kaisar melihat Shi Shih menari tiba-tiba kaisar merasa mabok dan tergila-gila pada gadis yang luar biasa cantik ini. Shi Shih seolah membetot semangatnya. Gerak pinggul dan pinggangnya yang mematah-matah itu membuat kaisar sering menelan ludah. Terpikat oleh lemah gemulainya Shi Shih melenggang. Dan begitu keduanya selesai memperlihatkan kemahiran tiba-tiba saja kaisar tak tahan dan sudah tergopoh-gopoh memasuki peraduannya.
"Wen-taijin, dua gadis ini memang hebat. Bawa mereka ke kamarku!"
Wen-taijin tersenyum. Dia mengerti apa arti isyarat itu. Tapi pura-pura membungkuk di depan Menteri Wu dia berkata, "Maaf, silahkan paduka yang mengantar, Wu-taijin. Biarlah hamba mempercayakan keduanya pada paduka."
Wu Yuan menolak. "Tidak, kau yang diminta mengantarnya, taijin. Harap bawa mereka ke tempat sri baginda!"
Wen-taijin mengangguk. Dia memang hanya basa-basi saja, memberi kesempatan pada Menteri Wu itu untuk mencari muka. Maka melihat lawan menolak dan mereka tak mendapat halangan lagi segera pembesar ini mengantar Shi Shih dan Ceng Tan ke kamar sri baginda. Dan di tengah jalan Wen-taijin berbisik-bisik. Minta agar Shi Shih berdua tak lupa pada tugas rahasia dan jangan lengah.
Dan ketika beberapa minggu kemudian Shi Shih dan temannya "usul" agar sri baginda tak mengambil lagi selir-selir baru tiba-tiba secara spontan dan mengejutkan kaisar memenuhi permintaan ini. Yueh tak perlu lagi mengirimkan selir-selir baru tahun depan. Sudah cukup. Cukup dilayani Shi Shih dan Ceng Tan!
Dan Yueh tentu saja tercengang oleh keputusan si baginda ini akhirnya menjadi girang dan lega bukan main. Itu berarti berhasilnya usaha mereka. Suatu rencana yang telah disiapkan bertahun-tahun. Rencana yang hanya dketahui orang-orang atas dan ditutup rapat hingga tak sebuah telinga luar pun mendengar. Apalagi tahu!
Dan raja muda Kou Cien yang tentu saja girang oleh gejala pertama keberhasilan ini segera memonitor kelanjutan berita itu dergan harap-harap cemas. Dan raja muda ini cukup kebat-kebit- Wen-taijin, penasihat utamanya yang mengantar barang hantaran itu menceritakan bahwa pengiriman Shi Shih dan Ceng Tan ini hampir saja mengalami kegagalan di tengah jalan, tak berjalan "semulus" seperti apa yang direncanakan. Karena Wu Yuan, seorang menteri tua yang mendampingi kaisar waktu menerima persembahan itu menyarankan pada junjungannya agar pengiriman dua wanita cantik itu ditolak saja.
"Hamba kira persediaan di istana sudah cukup, sri baginda. Sebaiknya dua orang wanita ini dikembalikan saja dan dipulangkan kepada mereka. Tak perlu ditambah!" demikian mula-mula menteri tua itu berkata, mengejutkan Wen-taijin karena ini berarti kandasnya rencana yang sudah diatur!
Tapi sri baginda yang tersenyum memandang Shi Shih yang luar biasa cantik dengan pipi bagai tomat masak tiba-tiba bangkit dari kursinya dan menggelengkan kepala, terlanjur tergerak. "Tidak, yang ini kukira lain, taijin. Tidakkah kau lihat sinar gemilangnya yang menawan lembut itu? Ia menarik hatiku. Siapa namanya?" kaisar sudah memegang dagu Shi Shih dan mengangkatnya kagum, bersinar dan bangkit berahinya melihat kecantikan gadis yang luar biasa ini.
Dan Shi Shih yang bentrok dengan pandangan kaisar telah menjatuhkan diri berlutut dan berseru menggigil, "Ampun, hamba... hamba Shi Shih, sri baginda..."
"Hm, dari mana kau berasal?"
Wen taijin mendahului menjawab, "Dia berasal dari dusun Chu-lo, sri baginda. Ampun kalau anak ini tak dapat menjawab pertanyaan paduka."
Kaisar mengangguk-angguk, mengerutkan keningnya. "Bukan dari kota?"
Pertanyaan ini mendebarkan. Semua orang melihat kaisar tiba-tiba tersinggung. Maklum Shi Shih bukan anak kota. Hanya gadis desa yang mungkin terlalu rendah untuk sri baginda, yang bisa dianggap penghinaan tidak langsung. Tapi Wen-taijin yang buru-buru membenturkan, jidatnya sudah berkata cepat,
"Ampun, Shi Shih memang berasal dari desa, sri baginda. Tapi hamba tanggung bahwa dia tak kalah dengan gadis kota. Dia pandai menyanyi, menari dan membaca sajak dengan baik. Bahkan hebat pula menabuh alat-alat musik jenis apapun!"
Kaisar tertegun. "Dia pandai menyanyi?"
"Bukan melulu menyanyi, sri baginda. Shi Shih pandai pula menari dan membaca sajak!"
"Ah, kalau begitu coba dia!" kaisar menjadi gambira. "Coba kau buktikan omonganmu, Wen-tajin. Aku ingin mendengar suara dan cara dia mainkan alat-alat musik."
Shi Shih dicoba. Kaisar sudah menyuruh orang-orangnya menyiapkan alat tetabuhan, duduk di kursi singgasananya dan tertarik. Ingin membuktikan apakah benar gadis desa ini pandai menyanyi dan mainkan alat-alat musik seperti apa yang dikata pembesar she Wen. Dan ketika Shi Shih mulai melaksanakan permintaan kaisar maka terlebih dulu gadis itu melirik temannya, menjatuhkan diri berlutut dengan sikap tersipu-sipu.
"Ampun..." suara Shi Shih gemetar. "Hamba ingin mengajukan usul, sri baginda. Bolehkah hamba main bersama dengan rekan hamba ini? Hamba ingin menghibur paduka dengan teman hamba agar dia mendapat perhatian paduka pula..."
Kaisar terkejut. "Kau takut main sendirian?"
"Tidak, hamba.... hamba ingin agar teman hamba ini tak tersisih dalam pandangan paduka, sri baginda. Hamba tak mau disebut lupa diri memegang kesetiaan kepada teman hamba!"
"Ah, rasa solider, Shi Shih? Baik, boleh saja. Tapi itu nanti. Sekarang tunjukkan dulu kemampuanmu bernyanyi dan mainkan alat musik."
Shi Shih tiba-tiba menangis. "Kalau begitu biar teman hamba dulu yang menjalankan perintah paduka, sri baginda. Hamba belakangan saja setelah teman hamba mendapat perhatian paduka."
"Shi Shih...!" Wen-taijin kaget bukan main. "Kau berani membantah ucapan sri baginda? Ah....!" dan pembesar yang pucat membenturkan dahinya dengan ketakutan itu buru-buru berkata dengan suara menggigil, tak berani mengangkat mukanya di depan kaisar, "Ampun, hamba akan membawa pulang saja anak ini, sri baginda. Biarlah dosa kelancangannya ini hamba yang bertanggung jawab!"
Semua orang juga terkejut. Mereka menilai perbuatan Shi Shih itu memang berani, terlampau berani malah. Bisa dianggap kurang ajar. Dan semua mata yang terbelalak memandang ke depan tiba-tiba menjadi tegang melihat kaisar mengerutkan keningnya. Untuk sejenak kaisar juga terkejut, sama seperti semua orang.
Tapi kaisar yang melihat dasar dari pemuatan itu tiba-tiba tersenyum lebar. Dia melihat perbuatan Shi Shih dilakukan atas dorongan "solidaritas", rasa kesetia-kawanan yang tinggi terhadap Ceng Tan. Hal yang justeru membuat dia kagum dan semakin tertarik. Maka ketika kaisar tertawa dan tidak tampak sama sekali kemarahannya seperti yang diduga banyak orang tiba-tiba saja semua orang heran dan tertegun dengan mata terbelalak.
"Ha-ha, Shi Shih tak melakukan dosa seperti yang kau katakan, Wen-taijin. Ia menyatakan pendapatnya atas dasar rasa setia kawannya belaka. Tak perlu dihukum!"
Wen-taijin bengong. Dia menduga kaisar bakal menghukumnya dan marah-marah. Tapi melihat kaisar bersikap sebaliknya dan justsru memuji Shi Shih kontan saja pembesar ini tertegun dan tak habis mengerti. Dan kaisar sudah menggoyang lengannya, berkata pada Shi Shih,
"Baiklah, kau boleh bawa temanmu itu bersama, Shi Shih. Demonstrasikan sekarang kepandaianmu bernyanyi dan menabuh alat-alat musik itu!"
Shi Shih tersenyum. Ia mengerling kaisar dengan sudut matanya, gerak yang luar biasa manis dan indah mempesona, membuat kaisar gemas dan ingin segera memboyongnya ke kamar.
Tapi Ceng Tan yang mendahului berlutut di depan kaisar ganti mengejutkan semua orang, "Tidak, hamba belakangan saja, sri baginda. Biarlah Shi Shih melaksanakan perintah paduka seperti yang paduka inginkan!"
Kaisar terbelalak. "Kenapa begitu?"
"Semata untuk kegembiraan paduka, sri baginda. Bukankah paduka ingin mendengarkan dulu suara Shi Shih? Hamba tak merasa dikesampingkan. Biarlah Shi Shih main terlebih dahulu dan hamba belakangan!"
"Ha-ha, kalian ini ada-ada saja, Ceng Tan. Apakah demikian pula kehidupan kalian sehari-harinya? Wah, sebaiknya kalian main bersama. Biar yang satu menyanyi dan yang lain mainkan tetabuhan. Berganti-ganti!"
Ceng Tan tak dapat menolak. Shi Shih juga menerima. Maka begitu keduanya saling pandang dan tersenyum satu sama lain tiba-tiba Shi Shih berkata, "Baiklah, aku menyanyi lebih dulu. Ceng Tan. Kau yang mainkan alat musiknya dan nanti kau yang bernyanyi. Kita gantian."
Ceng Tan mengangguk. Ia sudah mengambil yang-khim (alat musik Tiongkok), mulai memetik senar-senarnya dan mengalunkan lagu yang indah, lagu cinta, dendang yang mulai membuat semua yang hadir memasuki dunia yang sendu amat romantis. Dan ketika Shi Shih mengatur napasnya dan ikut "masuk" dengan suara yang merdu ke dalam alunan lagu cinta ini tiba-tiba semua orang terbelalak dan ternina-bobok.
Mereka mendengar suara yang luar biasa bagusnya dari mulut Shi Shih ini. Suara yang empuk, juga lembut. Suara yang membuat mereka hanyut dan serasa diayun di awang-awang. Terbuai oleh getaran syahdu yang membuat bulu mereka meremang setiap kali lagu merintih dalam alunan cinta, mengeluh atau menyayat lirih dalam ritme yang rendah. Dan ketika lagu menukik dan naik tajam untuk kemudian berobah menjadi keriangan yang lincah gembira tiba-tiba tanpa sadar kaisar dan semua orang menghentak-hentakkan kaki dan ikut gembira mengikuti irama lagu.
Hebat sekali. Shi Shih dan Ceng Ten berhasil meninabobokan setiap orang. Dan ketika lagu berakhir dengan satu petikan nyaring hingga senar yang khim melampaui batas suara dan Shi Shih menghentikan nyanyiannya yang merdu tiba-tiba seluruh orang terkejut karena mereka seakan disentakkan dari alam yang halus ke alam yang kasar.
"Aih....!" kaisar berteriak kaget, kagum bukan main. "Apa judul lagu yang kalian mainkan ini, Shi Shih?"
Shi Shih tersipu malu. "Rembulan Memadu Cinta, sri baginda."
"Hah, Rembulan Memadu Cinta?"
"Ya."
"Memadu cinta dengan siapa?"
"Dengan Dewa Bintang, sri baginda. Sesuai isi syairnya tadi yang telah hamba nyanyikan."
"Ooh...!" sri baginda terbelalak takjub, mengangguk-angguk dan teringat akan lirik lagu tadi. Tapi tertawa dan bertepuk tangan tiba-tiba sri baginda memandang Ceng Tan. "Bagus, sekarang coba kalian ganti bermain, Shi Shih. Biar kau yang memetik yang-khim sementara Ceng Tan yang bernyanyi!"
Mereka mengangguk. Memang itu tadi sudah saling dijanjikan. Maka begitu Cing Tan menyerahkan alat musiknya dan Shi Shih menjentik-njentikkan jarinya di tubuh yang-khim tiba-tiba Shi Shih tersenyum dan mainkan alat musik ini dalam irama sentimentalia. Masih berkisar pada lagu-lagu cinta tapi tak ada lagi keriangan di situ, melulu irama sendu yang menghanyutkan semua orang tapi tidak cengeng. Lebih berbobot dan tampak lebih "dewasa". Dan ketika Ceng Tan mulai masuk mengikuti irama lagu maka untuk kedua kalinya kaisar dan semua yang hadir dibuat tertegun.
Mereka merasakan sentilan yang-khim yang dipetik Shi Shih ini permainannya lebih terasa mantap. Dan kalau Ceng Tan mainkan lagu pertama dengan alunan tinggi rendah yang banyak rintihannya di akhiri dengan kenangan di belakang lagu adalah sepenuhnya lagu yang dimainkan Shi Shih kali ini lebih "artistik" dan tidak banyak rintihannya. Shi Shih mainkan lagu yang bersifat tenang. Seolah percintaan gadis dewasa yang sudah matang lahir batin, tidak seperti yanp dimainkan Ceng Tan tadi yang mirip gadis manja yang baru pertama kali mengenal cinta.
Terlampau riang di akhir ceritanya karena belum "masak" dan jiwanya juga labil (belum tetap). Dan ketika perlahan namun pasti Shi Shih mengajak temannya untuk menyertai irama lagunya maka perlahan namun pasti pula semua orang dibuat mendelong. Kaisar tak mengejapkan matanya, tertegun dan tampak kagum oleh kepandaian Shi Shih mencarikan lagu yang "syur". Dan begitu Ceng Tan mengisi dengan suaranya yang kalem namun merdu tiba-tiba saja kaisar meram-melek bagai hanyut di alam dewa-dewi.
Tak hanya kaisar. Wu-taijin sendiri (Wu Yuan), yang tadi menyuruh agar Shi Shih dan Ceng Tan ditolak, yang agaknya curiga dan was-was, ternyata sekarang juga terbuai oleh permainan yang-khim di tangan Shi Shih ini. Terbelalak dan kagum oleh jari-jemari yang lentik halus memainkan alat musik tradisional itu, tak bergerak dari tempat duduknya dan meram-melek pula seperti kaisar. Dan ketika lagu ke dua habis dan Shi Shih menyelesaikannya dalam satu getaran kuat hingga suara yang-khim mendentang di ruangan itu tiba-tiba kaisar bertepuk tangan dan memuji keras,
"Bagus, indah sekali lagu yang kau mainkan ini, Shi Shih! Apa pula nama lagunya?"
Shi Shih tersenyum. "Mutiara Di Laut Biru, sri baginda. Lambang kejayaan cinta di tempat yang teduh!"
"Ha-ha, kalau begitu kenapa judulnya tak menyinggung cinta sama sekali?"
"Ah, siapa bilang, sri baginda? Justeru mutiara itu adalah cinta. Dia lambang cinta yang hamba ujudkan dalam bentuk mutiara. Sedangkan penerimanya, sang Dewa Laut yang arif bijaksana adalah peneduh dan pelindung cinta yang hamba umpamakan mutiara itu!"
Kaisar tertawa bergelak. Dia merasa gadis yang satu ini puitis, tapi Shi Shih yang menjatuhkan diri berlutut memperingatkannya, "Dan lagu hamba bisa nikmat didengar karena bantuan suara Ceng Tan, sri baginda. Harap paduka tak melupakan itu karena hamba tak bekerja sendirian!"
Kaisar tertegun. Dia lagi-lagi "lupa" pada Ceng Tan, yang meskipun suaranya merdu tapi lupa dipuji. Dan kaisar yang menganggut dan semakin kagum pada gidis ini tiba-tiba tersenyum dan melihat bahwa Shi Shih memang betul-betul setia kawan. Tak mau menerima kesenangan diri sendiri sementara teman lain dilupakan. Dan kaisar yang tertarik hatinya tentu saja segera memandang Ceng Tan.
"Maaf, aku lupa, Ceng Tan. Shi Shih memang benar. Kau pun menunjang keindahan lagu ini dengan suaramu yang baik. Tak kalah merdu dengan Shi Shih!"
Ceng Tan tersipu menundukkan mukanya. "Tak apa, sri baginda. Bagi hamba sama saja. Memuji Shi Shih berarti menyenangkan pula hati hamba."
Kaisar tertawa. Dia melihat Ceng Tan bicara dengan setulusnya hati, tak iri atau cemburu. Dan kaisar yang teringat bahwa Shi Shih katanya juga pandai menari akhirnya menggapaikan tangan, berkata gembira, "Baik, sekarang tunjukkan gerak tarianmu, Shi Shih. Atau kalian berdua boleh maju bersama!"
Shi Shih mengajak Ceng Tan. Dia sudah bangkit berdiri menyambar temannya ini, meliuk dan menggeliatkan pinggang memberi hormat, tak lupa dengan senyum manisnya itu, memikat dan membuat kaisar terbelalak. Gemas. Lalu begitu keduanya membungkuk dan musik dimainkan orang lain tiba-tiba keduanya sudah melenggak-lenggok dengan pinggang yang patah patah. Baik Shi Shih maupun Ceng Tan mulai mengikuti irama lagu, tak memilih, apa saja. Berarti mereka sanggup menari dengan lagu apapun. Tanpa kecuali. Tanda kalau keduanya sudah biasa dan mahir di luar kepala! Dan ketika keduanya mulai bergerak-gerak mengikuti musik yang mengiringi mereka akhirnya kaisar tertegun dan takjub bukan main.
Shi Shih dan Ceng Tan memang benar-benar melebihi gadis kota. Mereka sanggup diadu dengan penari-penari istana yang paling jempol sekalipun. Tak kalah dan lebih luwes dibanding Yang-nio. Itu penari istana yang menjadi guru dan mengajar ketrampilan menari dan menyanyi di keputren! Dan begitu kaisar melihat Shi Shih menari tiba-tiba kaisar merasa mabok dan tergila-gila pada gadis yang luar biasa cantik ini. Shi Shih seolah membetot semangatnya. Gerak pinggul dan pinggangnya yang mematah-matah itu membuat kaisar sering menelan ludah. Terpikat oleh lemah gemulainya Shi Shih melenggang. Dan begitu keduanya selesai memperlihatkan kemahiran tiba-tiba saja kaisar tak tahan dan sudah tergopoh-gopoh memasuki peraduannya.
"Wen-taijin, dua gadis ini memang hebat. Bawa mereka ke kamarku!"
Wen-taijin tersenyum. Dia mengerti apa arti isyarat itu. Tapi pura-pura membungkuk di depan Menteri Wu dia berkata, "Maaf, silahkan paduka yang mengantar, Wu-taijin. Biarlah hamba mempercayakan keduanya pada paduka."
Wu Yuan menolak. "Tidak, kau yang diminta mengantarnya, taijin. Harap bawa mereka ke tempat sri baginda!"
Wen-taijin mengangguk. Dia memang hanya basa-basi saja, memberi kesempatan pada Menteri Wu itu untuk mencari muka. Maka melihat lawan menolak dan mereka tak mendapat halangan lagi segera pembesar ini mengantar Shi Shih dan Ceng Tan ke kamar sri baginda. Dan di tengah jalan Wen-taijin berbisik-bisik. Minta agar Shi Shih berdua tak lupa pada tugas rahasia dan jangan lengah.
Dan begitu keduanya memasuki kamar sri baginda segera pembesar ini mencongklang keretanya dan kembali ke Yueh, melaporkan keberhasilan tugas mereka yang hampir gagal di tengah jalan ini. Dan karena Wu Yuan merupakan orang yang setia kepada kaisar maka tentu saja gerak-gerik menteri ini diawasi dari jauh dan dianggap sebagai "calon" musuh yang cukup bebahaya.
Begitulah, Shi Shih dan Ceng Tan lalu melayani kaisar. Mereka resmi dipersembahkan, dan karena keduanya memiliki keistimewaan-keistimewaan khusus yang mengalahkan penghuni istana tentu saja dengan cepat kaisar tertarik pada dua orang gadis ini, Terutama Shi Shih, yang lebih pandai bicara dan membuat Kaisar dengan cara-caranya yang khusus. Jauh lebih agresip dibanding Ceng Tan yang lebih pendiam. Dan begitu dalam permainan ranjang mereka juga menunjukkan kemahiran yang "lebih" dibanding selir-selir lain, maka beberapa minggu kemudian kaisar tak mau lagi menggauli wanita lain kecuali dua orang wanita ini.
Dan memang hebat kemajuan yang diperoleh Shi Shih berdua. Ceng Tan mulanya sedikit malu-malu likat dan canggung menghadapi kaisar. Tapi setelah Shi Shih memperingatkannya bahwa yang mereka lakukan berdua itu adalah demi tugas yang dibebankan negara (Yueh) barulah Ceng Tan mengimbangi sepak terjang rekannya ini dengan pelayanan yang sama agresip seperti Shi Shih melayani kaisar. Akibatnya kaisar "jatuh bangun", benar-berar mabok dan tergila-gila pada dua orang gadis ini. Dan ketika beberapa minggu kemudian Shi Shih mengajukan usul agar sri baginda tak menerima lagi selir-selir baru dari kerajaan Yueh spontan pada saat itu juga kaisar mengangguk.
Semua orang tercengang, Mereka melihat bahwa sedikit pasti Shi Shih mulai berhasil menguasai kaisar, membuat laki-laki tua ini terbius dan mabok dalam kelembutan tubuhnya. Ternina bobok oleh suaranya yang merdu bagai kicau burung nuri. Dan ketika dua bulan kemudian orang melihat bahwa Shi Shih menjadi "kelangenan" kaisar yang benar-benar amat diperhatikan dan suara kaisar hampir sepenuhnya didorong suara Shi Sh h maka mau tidak mau orangpun menjadi hormat dan segan pada selir baru ini. Bahkan takut. Takut kalau mereka berbuat salah yang berarti membuat selir itu marah. Karena kalau selir ini marah tentu "backing" di belakangnya, kaisar, akan menghukum mereka sesuai permintaan selir itu!
Dan Shi Shih yarg tentu saja tahu akan segala keadaan ini tiba-tiba tersenyum dan mulai mengisi kesempatan, bergerak mendekati menteri menteri istana yang dirasa cocok untuk kelak membantunya menggoyahkan istana dari dalam, membentuk semacam "kelone" khusus yang menjadi pengikut-pengikut setianya. Menundukkan mereka dengan cara halus dan cerdik. Dan karena dia sendiri sudah memiliki "kewibawaan" yang diperolehnya dari kaisar tentu saja beberapa minggu kemudian dia berhasil menggaet menteri-menteri yang jahat.
Tapi Shi Shih bertindak amat hati-hati. Dia melihat bahwa tidak semua menteri-menteri yang ada di sana dapat ditarik untuk menjadi sekutunya. Terutama menteri Wu Cu Shu, menteri yang amat dipercaya kaisar dan boleh dibilang sebagai tangan kanannya dalam mengatur roda pemeritahan, menteri tua saudara dari Menteri Wu Yuan, yang dulu menolaknya ketika pertama kali dia dan Ceng Tan tiba di istana. Dan karena melihat dua menteri ini cukup berbahaya untuk dibujuk begitu saja maka Shi Shih berhati-hati sekali menghadapi dua orang menteri tua itu.
Terutama Wu Cu Shu yang tampaknya amat setia kepala kaisar, yang akhir-akhir ini mulai mengerutkan kening melihat dia menguasai kaisar, disayang terlampau berlebih-lebihan dan menyolok mata dengan dikabulkannya setiap permintaan yang dianggap Wu Cu Shu tak begitu penting, seperti misalnya membangun beberapa istana baru untuk Shi Shih dai Ceng Tan. Dan ketika satu hari menteri itu menyatakan ketidaksenangan hatinya akan hal ini, maka untuk pertama kalinya kaisar mendapat nasihat.
"Ampun, hamba tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi paduka, sri baginda, tapi bukankah paduka telah membangun istana mungil di luar kota raja? Kenapa harus ditambah lagi? itu pemborosan, sri baginda. Hamba khawatir kas negara akan terhambur untuk hal-hal yang kurang perlu?"
Kaisar mengerutkan alis. "Ini permintaan selirku. taijin. Haruskah kutolak untuk alasan pemborosan? Bukankah kita memiliki kekayaan yang berlimpah dan tak mungkin habis hanya untuk membangun lagi sebuah istana?"
"Betul, tapi sebaiknya pengeluaran-pengeluaran yang tak begitu perlu dikurangi, sri baginda. Semata untuk penghematan kas negara agar tak terhambur sia-sia. Hamba tidak menentang, tapi memperingatkan paduka agar tak mengabulkan begitu saja setiap permintaan selir paduka yang cenderung melakukan pemborosan!"
Kaisar tertegun. Dia mendengar nada keras dari pembantu utamanya ini, dan Shi Shih yang menjatuhkan diri berlutut di depamya tiba-tiba berkata. "Maaf, agaknya Wu-taijin menaruh hati iri kepada hamba, sri baginda. Kalau begitu benar omongannya dan tak perlu lagi paduka memberikan hamba istana baru."
Kaisar terkejut. Iri? Dia tersentak. Ucapan Shi Shih ini membuat dia semakin mengerutkan alisnya, sementara Wu-taijin sendiri yang terbelalak dan merah mukanya tiba-tiba berseru, "Tidak, hamba tidak menaruh iri pada selir paduka, sri baginda. Hamba semata memperingatkan paduka agar memperhatikan pemborosan-pemborosan yang kurang perlu."
"Kalau begitu kau tak perlu mengucapkannya dengan nada yang keras, Wu-taijin. Kaisar tak perlu diomeli dengan cara protesmu yang seperti itu."
Wu-taijin terkejut. Dia merasa balasan Shi Shih ini berbahaya sekali, langsung mengecamnya sebagai orang yang mengomeli kaisar. Seolah kaisar anak kecil yang bodoh dan kurang bertanggung jawab. Dan karena betul cara penyampaiannya dilakukan dengan nada yang keras dan menunjukkan ketidaksenangannya tiba-tiba menteri ini pucat dan menjadi gemetar. Untuk sejenak dia tak mampu bersuara, dan kaisar yang melihat balasan Shi Shih memang benar tiba-tiba menjadi marah kepada pembantunya ini. Tersinggung, merasa tidak dihargai!
"Wu-taijin, apa yang dikata selirku memang benar. Protesmu terlalu keras dan tidak bersahabat! Beginikah caramu menasehati aku?!"
"Ampun....!" pembesar ini menjatuhkan dari berlutut. "Hamba tidak bermaksud begitu, sri baginda. Hamba sekedar memperingatkan paduka untuk tidak melakukan pemborosan. Bukan mengomeli paduka!"
"Tapi caramu menunjukkan seolah biaya istana baru itu kau yang mengeluarkannya, taijin. Kau tak menghargai kekayaan sri baginda yang tak mungkin habis dipakai untuk membangun seratus istana sekalipun! Kenapa mencemaskan hal ini? Kau jelas iri kepadaku, taijin. Kau tak suka karena sri baginda terlampau sayang kepadaku. Kau sirik. Kau dengki....!" dan Shi Shih yang sudah berkaca-kaca memandang kaisar tiba-tiba bangkit berdiri, "Sri baginda, hamba tak mau dikata memboroskan uang negara. Biarlah istana baru itu tak usah dibuat untuk menyatakan sayang paduka kepada hamba!" dan Shi Shih yang menangis pergi meninggalkan ruangan itu lalu membuat Wu-taijin dan kaisar tertegun.
Pembesar she Wu ini bingung, mukanya merah dan pucat berganti-ganti. Tapi melihat Shi Shih meninggalkan ruangan dan kaisar tak memanggil selir yang cantik itu pembesar ini bahkan merasa mendapat kesempatan, menggigil mengulang seruannya,
"Sri baginda, ampunkan hamba. Tapi selir paduka itu benar-benar mau mencelakakan paduka. Hamba khawatir dia sengaja menghambur-hamburkan uang negara untuk melemahkan kas kerajaan!"
Tapi sambutan kaisar mengejutkan pembesar ini. "Kau yang mau mencelakakan aku, taijin. Kau yang hendak merusak hubunganku dengan selirku itu. Shi Shih benar. Kau sirik dan dengki. Kau yang iri dan tak senang melihat aku menyatakan sayang kepada selirku itu!"
Wu-taijin kaget bukan main. Dia tentu saja menyatakan ampun berulang-ulang, tapi kaisar yang pergi dengan marah membuat pembesar ini tertegun di tempatnya, tersentak pucat. Tak mampu bicara dan melhat pengaruh Shi Shih memang benar-benar hebat sekali. Bermaksud ditodong malah balik menodong! Dan Wu-taijin yang tentu saja gemetar dengan keringat bercucuran akhirnya sadar bahwa Shi Shih memang merupakan selir yang berbahaya. Cerdik dan amat lihai sekali. Bisa memutar balik omongan orang untuk menyudutkan orang tersebut. Dan Wu-taijin yang segera pergi dari tempat itu lalu mengusap dua titik air matanya yang jatuh tanpa sadar. Air mata kecewa dan penuh penyesalan. Dan ketika beberapa hari kemudian dia melihat kaisar bersikap dingin kepadanya maka tak pelak lagi pembesar ini menangis.
Menteri she Wu itu kecewa sekali. Dia sakit hati dan diam-diam marah kepada Shi Shih. Ingin berteriak lantang di depan sri baginda bahwa perempuan itu akan menjatuhkan junjungannya. Melihat dan merasa berdasarkan mata tuanya bahwa Shi Shih merupakan "benalu" yang amat berbahaya bagi kerajaan. Terbukti dari tindak-tanduk selir itu yang ingin menguasai kaisar. Membius dan menina-bobok junjungannya dengan kecantikan tubuhnya, yang semakin lama membuat kaisar semakin mabok. Tapi karena tak ada bukti yang konkrit untuk menjatuhkan dakwaannya ini maka Wu-taijin tak dapat berbuat apa-apa dan memendam semua sakit hati dan kekhawatirannya itu.
Sampai akhirnya, ketika dua hari yang lalu seseorang datang padanya maka tiba-tiba Wu-taijin merasa mendapat jalan keluar. Wu Yuan, saudara sepupunya yang menjabat Kepala rumah tangga kaisar menyatakan keluhannya tentang pemborosan yang terjadi akhir-akhir ini di dapur istana. Betapa kaisar mulai suka mengadakan pesta-pesta, memesan makanan dan minuman yang di luar batas kemewahan. Seperti misalnya daging naga yang harus dicari di pegunungan Himalaya serta madu naga api yang sukar didapat, yang konon katanya atas permintaan dua selirnya tersayang itu, terutama Shi Shih. Dan karena pekerjaaan ini dilakukan untuk pesta yang hampir tiap hari diadakan maka tentu saja semuanya itu menelan pembiayaan yang tidak sedikit.
"Bayangkan, selir baru itu selalu minta yang aneh-aneh. Shu-twako. Bahkan akhir-akhir ini dia minta pula agar semua piring serta gelas yang ada di meja pesta dibuat dari emas yang paling baik. Padahal, untuk piringnya saja ada seribu buah. Belum gelas serta cawannya! Bagaimana ini bukan suatu pemborosan? Dan yang mengherankan, begitu pesta usai maka begitu pula piring dan gelas ini lenyap, Shu twako. Kami harus membuatnya baru untuk pesta-pesta berikut!"
Menteri Wa terbelalak. "Hilang maksudmu? Dicuri?"
"Boleh dibilang begitu, twako. Tapi boleh juga dibilang tidak!"
"Eh, bagaimana itu?"
"Setengah dicuri setengah tidak, twako. Karena setelah kuselidiki ternyata piring dan gelas-gelas yang terbuat dari emas itu dibagi-bagikan begitu saja oleh dua orang selir ini kepada tamu-tamu undangan!"
Wu-taijin terkejut. "Dibagi-bagikan? Diberikan cuma-cuma?"
"Ya, begitu kenyataannya, twako. Dan sri baginda yang tertawa saja melihat perbuatan selirnya itu tak melarang sama sekali dan menyuruh kami membuat yang baru!"
"Keparat!" Wu-taijin mengepal tinjunya. "Aku tak mengerti sepak terjang selir iblis itu, Yuan-te. Apa kira-kira yang mendorongnya berbuat seperti itu?"
"Tak tahu. Tapi mungkin sebagai taktik untuk mencari teman, twako. Karena kudengar kabar beberapa menteri yang ada di istana berhasil dipelet dua orang selir itu untuk menjadi bawahannya."
"Hai, dan hadiah barang-barang berharga itu dijadikan daya tariknya?"
"Kurang lebih begitu, twako. Tapi apa maksud sebenarnya selir itu aku juga kurang tahu. Entahlah!"
Wu-taijin tertegun. Dia semakin merasa bahwa Shi Shih rupanya mau merongrong kekayaan negara, sedikit demi sedikit menggerogoti kekayaan istana untuk maksud tersembunyi. Dan ingat bahwa selir itu berasal dan kerajaan Yueh tiba-tiba pembesar ini tersentak dan seakan mendapat firasat mengejutkan tentang selir itu. Dan Wu-taijin menggeram,
"Jangan-jangan dia mata-mata musuh, Yuan-te. Sri baginda harus kita beri tahu untuk memasang kewaspadaan.'"
"Maksudmu?"
"Jangan-jangan dia merupakan musuh dalam selimut, adik Yuan. Mungkin dua selir cantik itu membawa misi rahasia dari kerajaan Yueh!"
Wu Yuan terkejut. "Tapi Yueh tak memiliki kekuatan apa-apa twako. Mana mungkin mengemban misi rahasia?"
"Hm, siapa tahu? Aku semakin mendapat firasat tak enak Yuan-te. Sebaiknya kita kisiki (beri tahu) sri baginda agar menangkap saja selir keparat itu!"
"Ah, tapi ini perbuatan gegabah, twako. Kita tak memiliki bukti-bukti apapun tentang itu. Ini baru dugaan!" Wu Yuan membelalakkan matanya. "Dan lagi, tak ingatkah kau peristiwa beberapa waktu yang lalu? Kau sendiri menceritakan kalau selir itu amat cerdik dan berbahaya. Kau balas dituduh sewaktu menuduhnya melakukan pemborosan dengan membangun istana-istana baru!"
Menteri Wu tersentak. Dia ingat ini, tertegun dan menjublak. Dan menarik napas sambil mengepal tinjunya pembesar ini mendesis, "Benar, sri baginda tak lagi ramah kepadaku, adik Yuan. Jangan-jangan laporanku inipun bakal mencelakakan diriku sendiri. Bagaimana sebaiknya?"
Wu Yuan menjentikkan jarinya. "Sebaiknya kita culik saja selir itu, twako. Kita lihat bagaimana reaksi kaisar kalau selir itu kita culik!"
"Dan kita bunuh?"
"Tidak. Kita hanya menculiknya dulu, twako. Kalau reaksi baginda tak begitu keras barulah kita bunuh selir keparat itu!"
"Baik, dan siapa yang akan melaksanakan tugas ini?"
"Pembnntuku, twako, Hui-pian Siang-houw (Sepasang Harimau Pian Terbang) yang dapat kusuruh menculik selir itu."
Wu-taijin setuju. Tapi ingat bahwa selir itu tinggal di kaputren dan tempat itu dijaga puteri-puteri Ok-ciangkun tiba-tiba diapun mengerutkan kening. "Hm. tapi bagaimana cara menculiknya, Yuan-te? Shi Shih dan temannya itu selalu mendampingi junjungan kita. Mereka tak pernah berpisah kecuali malam ketika mereka sendirian di kaputren. Padahal kaputren dijaga dua orang puteri Ok-ciangkun! Bagaimana ini?"
Wu Yuan tersenyum. "Hal itu sudah kupikirkan, twako. Saat ini paling tepat karena Kui Hoa dan adiknya sedang keluar!"
"Maksudmu mereka meninggalkan pos penjagaannya?"
"Ya, kadengar dua gadis kembar itu menemani pembantu ayahnya ke Ta-pie-san, twako. Kabarnya Ok-ciangkun mendapat pembantu baru yang amat lihai. Murid si jago pedang Kun Seng yang bernama Kun Houw."
"Oh, pemuda yang malam-malam membuat ribut itu?"
"Benar."
"Tapi ini berarti mencelakakan puteri-puteri Ok-ciangkun itu, Yuan-te. Salah-salah maksud kita ini bisa mengorbankan sepasang kakak beradik itu!"
Wu Yuan ganti mengerutkan kening. "Tapi ini resiko dari perculikan itu, twako. Kalau tidak kita tak akan berhasil menculik selir itu!"
"Baiklah," Wu-taijin agak berat. "Kuharap saja reaksi kaisar tak begitu keras, Yuan-te. Kalau sampai kakak beradik itu mendapat celaka dalam persoalan ini biarlah kita anggap mereka sebagai tumbal. Demi menyelamatkan sri baginda dan seluruh istana!"
Dua orang menteri ini tak banyak bicara lagi. Mereka sudah menentukan sikap, mengatur rencana untuk menculik Shi Shih dan Ceng Tan. Dan ketika saat itu tiba dan Hui-pian Siang-houw melaksanakan pekerjaannya, maka pada malam yang ditentukan itu Shi Shih berdua diculik. Hui-pian Siang houw tak mendapat banyak kesulitan. Maklum, kaputren dalam keadaan kosong karena Kui Hoa dan adiknya mengejar Kun Houw ke Ta-pie-san, seperti yang telah kita ketahui di depan. Tapi ketika dua orang laki-laki ini membawa Shi Shih dan Ceng Tan di sebuah tempat persembunyian di tempat Wu Yuan mendadak tanpa disangka-sangga Sam-hek-bi-kwi muncul.
"Hei, apa yang kalian bawa itu?"
Bentakan mengejutkan ini membuat Hui-pian Siang-houw kaget bukan main, tersentak dan otomatis membalikkan tubuh, melihat tiga bayangan meluncur ringan di depan mereka, bayangan tiga wanita cantik yang setengah umur dan tampak galak! Dan Hui-pian Siang-houw yang tentu saja menjadi marah tiba-tiba meletakkan korbannya dan mencabut senjata mereka, pian atau ruyung emas yang diputar-putar di atas kepala, mendengung dengan suara berkeritik bagai tikus menggerogoti kayu.
"Kalian siapa? Ada apa lancang mencampuri urusan orang lain?" Yang Lauw, orang pertama dari sepasang harimau itu membentak, khawatir tapi juga marah melihat ada orang mengetahui perbuatan mereka. Dan Bi Kwi yang terkekeh dengan tangan bertolak pinggang tiba-tiba balas menghardik.
"Tak perlu tahu siapa kami, penculik busuk. Kau telah membawa lari dua orang selir kaisar, bukan? Hayo menyerah, ikat kaki tangan kalian dan ikuti kami menghadap sri baginda!"
Yang Lauw gusar. Dia terkejut bahwa orang telah mengetahui siapa yang mereka culik, maka berteriak dan memutar ruyungnya tiba-tiba dia telah menghantam lawan dengan keprukan keras ke ubun-ubun. Tapi Bi Kwi mendengus, dan begitu dia menggerakkan lengan kirinya ke atas maka ruyung telah ditangkis dengan telapak terbuka.
"Plak!" Yang Lauw tergetar. Dia kaget bahwa ruyungnya terpental, tapi orang tertua dari Hui-pian Siang-houw yang melengking ini tiba-tiba berkelebat maju dan kembali menyerang. Dengan sengit dan penuh kemarahan dia menggerakkan ruyungnya tertubi-tubi, menyabet dan membabat lawan yang terpaksa berlompatan ke sana-sini. Dan ketika Yang Lauw membentak dan ikut pula menggerakkan kakinya menendang maka Bi Kwi terdesak dan mundur-mundur.
"Hebat, cecunguk ini rupanya lihai juga, Hwa-cici. Dia dapat dijadikan teman berlatih kalau kita ingin memanaskan badan!" Bi Kwi tertawa, didesak gencar sementara ruyung dan tendangan lawan berkelebatan menyambar dirinya, hal yang membuat lawan terbelalak dan kaget sekali.
Kaget serta heran. Heran kenapa lawan yang sudah didesak seperti itu masih dapat tertawa dan memuji. Pujian yang condong pada ejekan karena lawan dapat mengelak cepat semua serangannya. Dan Yang Lauw yang tentu saja gusar oleh semuanya ini tiba-tiba menggeletarkan ruyungnya, membuat satu gerakan aneh di mana ruyung tiba-tiba terlepas, berputaran dan terbang mengelilingi lawan bagai ruyung bernyawa. Dan ketika satu saat Bi Kwi "dipagut" mata ruyung yang tepat mengenai pundaknya barulah Yang Lauw berteriak dan menjadi gembira.
"Rasakan. Kau tak dapat mengelak lagi, siluman betina. Hui-pian Siang-hauw akan membunuh dan mencabut nyawa kalian!"
"Ih!" Bi Kwi terkejut. "Jadi kalian ini Hui pian Siang-houw? Bagus, jangan sombong, tikus busuk. Aku tak takut menghadapi ruyung terbangmu. "Lihat...!" dan Bi Kwi yang kali ini sengaja memasang diri untuk "dipagut" atau dipatuk ruyung yang berterbangan itu tiba-tiba membentak dan mengembangkan kedua lengannya ke kiri kanan. Dia membuka dan sengaja memasang tubuh untuk menerima sambaran ruyung yang bertubi-tubi menyerangnya. Dan ketika satu demi satu mata ruyung terpental seolah membentur tubuh yang terbuat dari karet tiba-tiba Yang Lauw memekik dan pucat mukanya.
"Tiat-po-san (Ilmu Kebal Baju Besi)...!"
"Hi-hik, kau tahu apa tentang ilmu kebal yang kupunyai, manusia rendah? Inilah Hoat lek-kim ciong-ko, bukan Tiat-po-san... tak-tak-takkk...!"
Dan semua benturan ruyung yang balik menyambar Yang Lauw sendiri tiba-tiba membuat laki-laki ini terkejut dan membanting tubuhnya bergulingan, berteriak menyuruh adiknya membantu. Tapi begitu Bi Kwi tertawa dia mencabut gelang-gelang rahasianya yang merupakan senjata ampuh untuk disambitkan ke tubuh lawannya ini tahu-tahu Yang Lauw menjerit dan roboh terpelanting.
"Crep-crep...!"
Yang Lauw menggeliat. Dia menerima sambitan lima gelang kecil yang tembus di tubuhnya, kecuali satu yang mengenai pundak, yang menancap dan dapat dilihat sebagai gelang berwarna merah dan berbau amis. Gelang yang membuat laki-laki ini terkejut dan ingat akan partai Gelang Berdarah, perkumpulan yang dulu dipimpin seorang tokoh iblis dari Hek-kwi-to! Dan begitu mengenal serta mengeluh melihat ini tiba-tiba Yang Lauw merintih dan menudingkan jari telunjuknya dengan gemetar.
"Kau... kau dari Hiat-goan-pang (Perkumpulan Gelang Berdarah)...!" lalu begitu melepas seruannya tiba-tiba laki-laki ini roboh dan tewas seketika.
"Lauw-ko...!" Yang Khi, adiknya yang terbelalak sejenak oleh kejadian itu berseru kaget. Terkejut oleh kematian kakaknya yang demikian cepat. Tapi begitu sadar dan berteriak marah tiba-tiba orang ke dua dari Hui-pian Siang-houw ini mengamuk. Dia sudah mencabut ruyungnya dan menerjang maju, menyerang dahsyat bagai harimau terluka.
Tapi Bi Kwi yang lagi-lagi mengelak dan siap mengeluarkan gelang rahasianya mendadak diperingatkan kakaknya nomor satu, Bi Gwat, "Sumoi, jangan bunuh dia. Kita perlu tahu siapa yang menyuruh Hui-pian Siang-houw menculik selir kaisar!"
Bi Kwi mengangguk. Ia sadar akan ini, maka tertawa mengejek dan berlompatan cepat ia mengelak semua serangan lawan, berputaran mengikuti gerakan ruyung. Dan ketika satu saat ruyung meluncur di mukanya luput menyambar mendadak Bi kwi menggerakkan dua jarinya menotok siku lawannya.
"Tuk!" Yang Khi menjerit. Dia merasa sakit bukan buatan, ruyungnya terlepas sementara tubuhnya sendiri terhuyung. Dan ketika Bi Kwi menggerakkan kaki menendang tiba-tiba orang ke dua dari Hui-pian Siang-houw ini mencelat terlempar dan roboh tak berkutik.
"Hi-hik!" Bi Kwi menginjak punggung lawannya ini. "Apa sekarang yang kau maui, tikus busuk? Kau minta mati atau hidup?!"
Laki-laki ini pucat. Dia mau meronta, tapi melihat tubuhnya tak dapat digerakkan lagi dan punggungnya serasa patah diinjak Bi Kwi tiba-tiba laki-laki ini membentak, "Kau boleh bunuh aku, siluman betina. Hui-pian Siang-houw tidak takut menghadapi kematian biarpun nyawa harus dikorbankan!"
"Hm, kau minta mati? Baik, boleh saja. Tapi sebut dulu siapa orang yang menyuruhmu menculik selir Kaisar!"
Yang Khi tutup mulut. Dia menggigit bibir kuat-kuat ketika Bi Kwi menambah tenaga injakannya, membuat tulang punggungnya berbunyi "krek" dan sakit bukan main. Tapi ketika Bi Gwat dan Bi Hwa melompat maju menyentuh jalan darah pi-peh-hiatnya yang menimbulkan rasa seperti dibakar tiba-tiba Yang Khi menjerit dan berteriak tak tahan.
"Aduh! Keparat kalian, jahanam kalian...!"
Bi Hwa tersenyum. "Kami masih dapat membuatmu merasa sakit yang bermacam-macam jenis. Hui-pian Siang-houw. Sebaiknya kau katakan saja permintaan kami dan menyerahlah!"
Laki-laki ini terbelalak. Dia memaki-maki Bi Hwa yang berlutut di depannya itu, mencoba bersikeras dan tetap bertahan. Tapi ketika Bi Hwa mengeluarkan sebatang jarum dan menyentuhkan ujungnya yang runcing di mata kanannya tiba-tiba laki-laki ini terkejut dan menjadi ngeri. "Tidak... jangan... jangan coblos mataku...!"
Bi Hwa tersenyum. "Kalau kau menyerah baik-baik, Hui-pian Siang-hoiw. Kalau tidak, tentu saja jarum ini akan menancap di bola matamu. Dan aku masih memiliki sebatang lagi. Boleh ditancapkan di matamu yang lain kalau kau suka. Hi-hik!"
Yang Khi gemetar. Dia melihat bahwa lawan yang dikata mendiang kakaknya dan Hiat-poan-pang itu benar-benar bukan manusia lagi. Melainkan iblis ysng dapat mencoblos matanya dengan sikap tenang, tertawa dan tersenyum dingin. Dan ketika perlahan namun pasti Bi Hwa nulai membuktikan ancamannya tiba-tiba Yang Khi merjerit dan mengeluh.
"Tidak... jangan... aku mengaku...!"
"Bagus," Bi Hwa tertawa, "Kalau begitu cepat katakan, tikus busuk. Kami tak sabar mendengar siapa orang yang menyuruhmu ini. Hayo sebut namanya!"
Laki laki ini terpaksa bicara. Dia memberi tahu dengan muka pucat dan suara tersendat-sendat bahwa Menteri Wu-lah yang menyuruhnya menculik Shi Shih. Dan begitu Sam-hek-bi kwi mengetahuinya mendadak Bi Hwa terkekeh.
"Bagus, terima kasih, orang budiman. Kau memang baik hati.... crep!" dan Bi Hwa yang menusukkan jarum panjangnya ke mata lawan tiba-tiba disambut pekik ngeri yang menyayat hati.
Orang ke dua dari Hui-pian Siang houw itu berkelojotan, jarum tembus mengenai otaknya. Dan ketika beberapa erangan serta keluhannya mengiringi sakratul mautnya itu maka tiba-tiba laki-laki ini tak bergerak lagi dan diam dengan nyawa putus. Tewas!
Bi Hwa tertawa. Dia mencabut jarumnya dan berdiri menendang mayat Hui-pian Siang-hoaw, membersihkan jarum maut itu dan menyimpannya dengan tenang. Lalu melihat Shi Shih tergeletak pingsan ia pun melompat mendekati selir cantik ini, kagum dan terpesona. "Hebat, ini rupanya selir baru yang diberitakan orang itu, suci. Dia memang cantik dan menggairahkan sekali. Tak heran kalau kaisar mencintainya setengah mati!"
Bi Gwat tersenyum. Ia juga sudah melompat mendekati Ceng Tan, yang tergolek di sisi madunya. Dan berkata memandang sumoinya ia menyambar selir ke dua ini, "Tak salah. Dan kita mendapat keberuntungan besar dengan menyelamatkan selir-selir sri baginda. Hwa-moi. Tentu sri baginda akan berterima kasih sekali dan memberi kita hadiah lumayan. Ayo ke istana!"
Bi Hwa mengangguk. Bersama Bi Kwi ia sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, menghadap kaisar dan langsung melaporkan kejadiannya, membawa serta bukti dua orang selir yang pingsan dibius. Dan karena kaisar telah mengenal tiga orang wanita ini karena dulu kaisar juga pernah bernaung atau bersahabat dengan perkumpulan Gelang Berdarah maka tentu saja kedatangan tiga orang wanita ini menggegerkan istana.
Kaisar terkejut, marah-marah dan gusar bukan kepalang. Dan ketika Shi Shih disadarkan dan mengaku bahwa mereka dibius dua orang laki-laki yang bukan lain Hui-pian Siang-houw adanya, maka kemarahan kaisar mencapai puncaknya. Dia tahu siapa Hui-pian Siang houw itu, orang-orang kepercayaan atau pembantu Wu Yuan, menteri yang menjadi kepala rumah tangga istana. Dan karena bukti tak dapat disangkal lagi dan perbuatan ini tertangkap basah maka saat itu juga Wu Yuan dipanggil menghadap.
Menteri ini dimaki-maki. Kaisar hampir menyuruhnya bunuh. Tapi Wu Cu Shu yang juga menghadiri sidang kilat yang menggegerkan seluruh istara ini memohonkan ampun. Sebenarnya Wu Cu Shu bersiap-siap melindungi saudaranya itu, bahkan siap pula untuk menerima hukuman bersama. Karena mereka berdualah yang sesungguhnya mengatur semua kejadian itu. Tapi ketika dengan isyarat tertentu dan amat rahasia saudara sepupunya itu minta agar semua kesalahan ditimpakan saja kepadanya dan Wu Cu Shu diam tak usah mengaku maka menteri yang tertegun ini terpaksa menerima. Apalagi ketika malamnya mereka sudah saling berjanji, langsung tergesa-gesa bertemu setelah melihat tewasnya Hui-pian Siang houw.
"Kita tertangkap, Shu-twako. Pekerjaan yang dilakukan Hui-pian Siang-houw gagal!"
Itu ucapan pertama kali ketika saudara sepupunya itu datang. Dan Wu Cu Shu yang tentu saja kaget segera membelalakkan mata dengan muka berobah. "Siapa yang menggagalkannya?" suara menteri ini serak, hampir tak terdengar.
Dan Wu Yuan yang menceritakan kejadiannya lalu menjelaskan dengan tergesa-gesa, menceritakan bahwa diam-diam dia mengintai semua kejadian di belakang rumahnya. Betapa Sam-hek-bi-kwi muncul dan membunuh utusannya itu. Dan karena semuanya tertangkap basah maka tak ada jalan lain bagi mereka untuk melarikan diri.
"Karena itu kuminta padamu, Shu-twako. Karena Hui-pian Siang-houw adalah orang-orang kepercayaanku maka biarlah semuanya ini aku yang bertanggung jawab. Kaisar tentu marah, dan aku siap menerima hukumannya."
"Tidak!" Menteri Wu mengepalkan tinjunya. "Aku tak mau berkhianat, Yuan-te. Meskipun Hui-pian Siang-houw orang-orang kepercayaanmu tapi yang mengatur semuanya ini adalah kita berdua. Biar kita berdua pula yang mengakui perbuatan ini!"
"Jangan," sang adik menggeleng. "Kalau kita berdua yang menerima hukuman maka selanjutnya perjuangan kita terhenti, twako. Tak ada lagi yang meneruskan dan menghadapi selir berbahaya itu. Kau harus diam saja dan jangan ikut campur, ini akan kupikul sendiri!"
Wu Cu Shu menolak. Dengan sengit dan marah-marah dia menentang maksud saudaranya itu. Tapi ketika perdebatan memuncak dan dua kakak beradik itu bersitegang leher untuk sama-sama mempertahankan pendapatnya sendiri maka isteri Wu Yuan muncul, menangis melerai mereka.
"Sudahlah, ini adalah resiko perjuangan. Shu twako. Aku telah tahu apa yang kalian rencanakan. Suamiku benar, sebaiknya salah seorang di antara kalian yang mengakui perbuatan ini sementara yang lain meneruskannya untuk menghadapi selir itu. Tak boleh kalian berdua sama-sama menerima hukuman!"
"Kalau begitu aku saja yang menerimanya, hujin. Aku saudara tua wajib mengalah pada yang lebih muda!" Wu Cu Shu masih emosi, gagah dan jantan mengucapkan kata-katanya ini.
Tapi Wu Yuan yang menggoyangkan lengannya menolak. "Tidak, kedudukanmu lebih penting daripada aku, twako. Kau yang mengatur roda pemerintahan selama ini. Kalau kau tertangkap tentu roda pemerintahan akan dijalankan orang lain dan itu lebih berbahaya. Apalagi kalau selir itu ikut campur, memasang orangnya untuk menggantikan dirimu."
Wu Cu Shu terkejut. Dia tersentak oleh kata-kata saudaranya ini, tertegun dan seketika menghentikan debatnya. Dan melihat bahwa apa yang dikata saudaranya itu memang benar dan bisa saja terjadi, akhirnya dengan berat menteri ini menerima, menangis dan bercucuran air matanya memeluk sepupunya itu. Dan ketika beberapa saat kemudian kaisar memanggil saudaranya ini untuk mempertanggungjawabkan penculikan itu akhirnya menteri ini mengikuti persidangan dan berusaha membela.
Dan Wu-taijin berhasil. Dia harus susah payah mengajukan argumentasinya, mencoba meringankan hukuman yang dijatuhkan kaisar. Antara lain bersedia menggantikan saudaranya itu untuk menerima pertanggungjawaban. Dan karena berkali-kali menteri ini berjuang dengan gigih untuk membela saudaranya itu maka kaisar memperingan hukuman dengan mengenakan sanksi administratip. Wu Yuan dipecat dan dimutasikan, tidak lagi menjabat sebagai kepala rumah tangga istana melainkan menjadi gubernur di Propinsi Kwang-tung, jauh di luar kota raja. Jadi secara tidak langsung "ditendang" dari istana dan menjauhi pemerintahan pusat. Dan karena mengingat jasa-jasa Wu Cu Shu yang banyak berjasa terhadap roda pemerintahan dan Wu Yuan masih saudara dari menteri tua ini akhirnya bekas kepala rumah tangga kaisar itu dipindah dalam waktu 24 jam.
Wu Cu Shu lega. Wu Yuan juga lega, tak mengira bahwa perjuangan kakaknya berhasil. Kaisar diredakan kemarahannya dapat diberi pengertian bahwa betapapun penculikan Shi Shih belum sampai menginjak pada perbuatan lebih jauh, pembunuhan. Karena apa yang dilakukan oleh bekas kepala rumah tangga kaisar itu sekedar melepas kejengkelan. Jengkel bercampur iri seperti sengaja dikatakan Wu-taijin kepada kaisar. Satu pernyataan yang tentu saja dibuat begitu agar kaisar memperingan hukuman. Dan ketika benar apa yang diusahakan menteri ini berhasil maka tak syak lagi bekas kepala rumah tangga istana itu terharu.
Dia menangis dan merasa lolos dari maut. Tapi karena tak ada waktu lagi untuk melepas semua perasaan hatinya itu karena besok dia sudah harus meninggalkan kota raja, maka dua orang kakak beradik yang dilanda keprihatinan besar ini berpisah. Wu Cu Shu tak mengantar saudara sepupunya itu, kecuali sepucuk surat agar saudaranya itu berhati-hati. Dan ketika Wu Yuan berangkat meninggalkan kota raja, maka tinggalah menteri tua ini seorang diri di kamarnya.
Kejadian itu dianggap rakyat yang awam akan politik sebagai kesalahan Wu Yuan seorang. Tak ada yang mengira bahwa Wu-taijin (Wu Cu Shu) terlibat. Bahkan sebenarnya menteri tua ini diam-diam ingin membunuh Shi-Shih. Selir yang dirasa akan membahayakan negaranya itu. Dan ketika seminggu kemudian kaisar mengangkat Menteri Po Phi sebagai kepala rumah tangga kaisar menggantikan kedudukan saudara sepupu Wu Cu Shu maka untuk kesekian kalinya menteri ini tertegun.
Dia melihat apa yang dikata saudaranya itu benar. Shi Shih "menanamkan" orang-orangnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Karena Po Phi sebenarnya adalah menteri yang menjadi antek selir yang cerdik itu. Bahkan orang yang cukup dekat dengan Shi Shih. Dan membayangkan bahwa dia hampir terseret emosi dengan mengadakan pengakuan bersama tiba-tiba menteri tua itu terhenyak. Dia membayangkan, kalau seandainya kaisar membunuh atau mengusir dia tentu Po Phi itulah yang menggantikannya, mengatur roda pemerintahan dan bakal bekerja sama dengan Shi Shih. Kerja sama yang akan merusak negara dan justeru memperberat kebobrokan kas negara!
Dan membayangkan betapa yang dikata saudaranya itu hampir tak salah sama sekali, tiba-tiba menteri ini mencucurkan air matanya. Dia sedih sekali, prihatin dan amat berduka memikirkan nasib junjungannya. Tapi karena semuanya telah berlalu dan dia harus berhati-hati memperlihatkan tindak-tanduknya maka Wu taijin ini hanya menghela napas dalam. Dia tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika sebulan dua bulan kemudian dia melihat Shi Shih dan temannya itu gencar memelet pembesar-pembesar istana maka menteri ini pun mengeluh dan kembali menangis.
Dia tak tahu apa sebenarnya yang sedang direncanakan selir cantik ini. Kenapa mencari demikian banyak pembantu. Tapi karena yang "dipelet" itu adalah orang-orang istana serdiri dan bukan orang lain tentu saja Menteri Wu Cu Shu ini tak berkutik. Dia geram, namun tak dapat melampiaskan. Dan kerena berminggu-minggu menteri ini digeragoti perasaannya yang tumping tindih maka tak lama kemudian menteri ini jatuh sakit.
Wu Cu Shu menahan beban mental yang berat sekali. Dia tahu berdasarkan perasaannya bahwa ada sesuatu yang amat berbahaya sedang dilakukan selir cantik itu. Sesuatu yang tidak diketahuinya apa dan kapan "meletusnya". Dan karena hal ini mengganggu pikirannya selama berminggu-minggu dan dia tak dapat menjebak selir itu untuk melihat kandungan maksudnya maka tak heran kalau menteri setia yang sudah tua ini jatuh sakit. Tubuhnya yang rapuh semakin digeragoti usia. Dan ketika beberapa saat kemudian penyakitnya semakin memberat tiba-tiba menteri ini memanggil puteranya, Wu Hap.
"Hap-ji, kukira ajal ayahmu tak lama lagi. Maukah kau memenuhi pesanku?"
Wu Hap, pemuda pendiam yang akhir-akhir ini murung melihat keadaan ayahnya mengangguk. Dia mengusap dua butir air matanya yang jatuh di pipi, dan gemetar memandang sang ayah pemuda ini mencoba menghibur, "kau tak perlu bicara seperti itu, ayah. Kematian dan sangkut-pautnya tentang itu di tangan Tuhan."
"Benar, tapi... ugh!" menteri ini batuk-batuk. "Usiaku semakin tua, Hap-ji. Tanpa digerogoti penyakitpun tentu umurku tak panjang lagi. Maukah kau memenuhi permintaanku?"
"Boleh kau katakan, ayah. Tapi kalau kau lelah biar nanti saja. Aku dapat bersabar."
"Tidak.... tidak....!" menteri ini menggelengkan kepalanya berulang-ulang. "Aku ingin memesan padamu, Hap-ji. Kalau ajalku tiba sebaiknya kau pergi ke rumah sahabatku di Chi-ih. Carilah Tong Hing Lam yang membuka perusahaan piauw-kiok (ekspedisi barang) di sana. Temui pula pamanmu Wu Yuan. Aku, ugh....!"
Wu-taijin kembali batuk-batuk. Dia menghentikan kata-katanya, dan Wu Hap yang tentu saja terbelalak memandang sang ayah tiba-tiba menangis. "Ayah, sebaiknya kau tenangkan diri. Aku pasti memenuhi permintaanmu. Tapi kita ke sana pergi bersama, bukan hanya aku seorang. Kau pasti sembuh!"
"Ah, penyakit begini mana bisa sembuh, Hap-ji? Kalau sembuhpun tentu penyakit di hatiku tak dapat lenyap. Ini semua gara-gara selir siluman itu. Jahanam dia...!"
Wu Hap tersedak. Dia tak tahan melihat muka ayahnya yang begitu penuh kebencian terhadap Shi Shih, selir baru yang cepat menjadi buah bibir istana saking hebatnya menundukkan kaisar. Selir berpengaruh yang cerdik dan amat cerdas. Dan karena saban hari dia mendengar ayahnya menunjukkan ketidaksenangannya terhadap selir itu maka diapun tahu apa yang sebenarnya tersimpan di hati ayahnya ini. Dan Wu Hap tentu saja membela sang ayah. Dia ikut menaruh benci pada selir cantik itu. Dan sementara ayahnya batuk-batuk mengepalkan tinjunya mendadak sebuah bayangan berkelebat memasuki kamar.
"Heh-heh, kenapa bicara tentang kematian kalau ajal masih jauh, Wu-taijin? Aku bisa menolongmu. Penyakitmu dapat kusembuhkan!"
Wu Hap terkejut. Dia melihat seorang kakek tua berdiri di situ, tangannya memegang buli-buli (tempat arak) sambil menggelogok isinya. Kakek tak dikenal. Dan Wu Hap yang tentu saja terkesiap kaget langsung melompat bangun dan membentak,
"Orang tua, kau siapa?"
"Heh heh, aku Lo-ciu ( Arak Tua), Wu-kongcu. Aku guru Hui pian Siang houw yang tewas terbunuh itu!" kakek ini tertawa, menggoyang buli-bulinya dan melangkah lebar, maju mendekati pembaringan Wu taijin yang tentu saja terbelalak memandang kakek ini, tak percaya dan curiga. Tapi setelah Lo ciu menunjukkan cincin bermata hijau sebagai tanda utusan adiknya (Wu Yuan) barulah menteri ini tersentak dan gembira bukan main.
"Ah, kau utusan saudaraku, Lo-cianpwe? Kau datang dari Propinsi Kwang-tung?"
"Benar, aku datang secara rahasia, taijin. Gubernur Wu menyuruh aku ke sini untuk menyembuhkan sakitmu. Dia telah mendengar keadaanmu dan ikut cemas."
Wu-taijin girang. Dia turun dari pembaringannya, langsung menyambut kakek ini dengan mata berseri. Dan begitu mendengar kakek ini adalah utusan adiknya tiba-tiba secara aneh Wu taijin merasa sembuh setengah bagian. Dengan gembira dan penuh harap dia mendengar cerita kakek itu tentang keadaan saudaranya di Propinsi Kwang tung, yang ternyata baik-baik saja dan tidak mengalami gangguan. Dan ketika Lo-ciu mulai mengobati penyakitnya ternyata dalam beberapa hari saja Wu-taijin sembuh.
"Ah..., kau benar, Lo-cianpwe. Penyakitku sembuh dalam sekejap mata saja! Kiranya kau juga seorang ahli pengobatan?"
"Heh heh," kakek ini tertawa. "Sedikit-sedikit aku tahu arti penyakit, taijin. Dan untuk penyakitmu itu aku tahu obatnya. Kau hanya perlu menenangkan hati dan pikiran!"
"Benar, tapi kalau setiap hari melihat hal-hal yang membuatku sakit hati mana mungkin aku tak menderita, Lo-cianpwe? Ini semua gara-gara...."
"Gara-gara selir baru itu, bukan?" si Arak Tua memotong, berkilat matanya. "Aku telah mendengar semuanya itu, taijin. Aku tahu kenapa kalian berdua sampai gagal. Gubernur Wu telah menceritakannya secara lengkap kepadaku!"
Wu-taijin mengangguk. "Memang benar, dan apa rencana saudaraku sekarang ini, Lo-cianpwe? Kau membawa tugas lain selain menyembuhkan aku?"
"Ya. aku si tua ini ingin mencari Sam-hek bi-kwi, taijin. Aku ingin membalas kematian muridku pada tiga wanita iblis itu!"
"Hm, tapi Sam-hek-bi-kwi sekarang menjadi pergawal istana, Lo-cianpwe. Maksud hatimu terlalu berbahaya dan dapat mercelakakan dirimu sendiri. Sebaiknya bersabar dulu. Kau tinggal dulu di sini untuk menjadi perantara di antara kami."
"Aku tahu. Gubernur Wu juga menyatakan demikian, taijin. Dan mengingat hubungan mendiang dua orang muridku aku menyanggupkan diri membantu kalian. Percayalah, aku juga tak senang pada selir baru itu karena gara-gara mereka dua orang muridku terbunuh!"
Wu-taijin menghela napas. Kembali menyebut nama selir ini membuat hatinya sakit, geram dan marah. Dan Lo-ciu si Arak Tua yang akhirnya menjadi "penghubung" di antara dia dan adiknya di Propinsi Kwang-tung membuat menteri ini terhibur dan merasa mendapat bantuan. Sampai akhirnya, setelah cukup bergaul beberapa minggu lamanya dan mengenal baik kakek ini tiba-tiba Wu-taijin timbul pikiran baru untuk menyuruh puteranya berguru pada kakek penggelogok arak itu.
"Hap-ji, kulihat kakek ini cukup lihai. Bagaimana kalau kau menjadi muridnya?"
Wu Hap mengangguk. "Boleh. Aku memang tertarik padanya, ayah. Tapi bagaimana dengan kakek itu sendiri, maukah dia menerima aku sebagai muridnya? Maklum, aku tak pernah belajar silat, ayah. Jangan-jangan aku dianggapnya terlalu tua dan tak berguna!"
Sang ayah optimis. "Tidak, kurasa Lo-ciu tak keberatan, Hap-ji. Asal kau berlatih sungguh-sungguh tentu kau akan pandai pula menjaga dirimu. Sebaiknya Arak Tua itu kita panggil!"
Lo-ciu sudah menghadap. Dia tertawa ketika Wu-taijin menyatakan maksud hatinya, tapi mengangguk, tanpa banjak bicara dia menyatakan setuju. "Boleh, aku melihat tulang-tulang puteramu ini cukup baik, taijin. Tapi apakah aku cukup berharga menjadi gurunya biarlah kita lihat bersama!"
Hari itu juga Wu Han diambil murid. Dia sudah mulai diajar silat, berlatih di bawah bimbingan kekek tua ini. Dan karena hubungan mereka kian akrab maka sebentar saja si Arak Tua ini sudah dianggap keluarga sendiri oleh Wu-taijin. Dan pembesar ini semakin gembira. Jelek-jelek dia merasakan mendapat bantuan moral. Itu paling sedikit. Dan karena Lo-ciu menjadi kurir yang sering mondar-mandir dari kota raja ke Propinsi Kwang-tung maka hubungan yang semula putus di antara Wu-taijin dan Wu Yuan dapat tersambung kembali.
Maklum, sejak peristiwa itu Wu Cu Shu tak berani "mendekati" adiknya. Khawatir sorotan tajam yang dilakukan orang-orang istana. Dan ketika si Arak Tua ini menjadi jalan keluarnya, maka kembali disusunlah rencana-rencana mereka yang kandas di tengah jalan untuk menghancurkan Shi Shih, tak tahu betapa diam-diam lawan telah mencium semua gerak-geriknya ini, mengikuti tindak-tanduk menteri tua itu hingga ke rencana yang sekecilkecilnya. Dan ketika Wu Cu Shu mengadakan "kontak" dengan adiknya di Propinsi Kwang-tung maka saat itu pula lawan siap menjebaknya dengan satu muslihat yang cerdik.
Agaknya kita perlu melihat kembali keadaan Kun Houw. Sementara biarlah kita tinggalkan dulu konflik batin di hati Wu taijin itu. Karena seperti yang kita ketahui, beberapa waktu yang lalu Kun Houw dibawa tiga orang Sam-hek-bi-kwi ini untuk pengobatan. Benarkah demikian?
Sebagian memang benar. Kun Houw dibawa ke kamar Bi Kwi, orang termuda dan tercantik di antara tiga bersaudara itu. Dan ketika Kun Houw dibawa masuk ke kamar wanita ini maka Bi Kwi benar-benar memberikan pengobatan. Kun Houw sudah diletakkan diatas pembaringan, masih pingsan. Dan ketika Bi Kwi melepas baju pemuda ini maka yang dilakukan pertama kali oleh wanita itu adalah.....bersiul.
"Fui, hebat pemuda ini, suci. Dia memiliki dada yarg bidang dan kulit yang putih bersih!"
Bi Hwa tertawa. Dia juga melihat itu, bergairah memandang dada telanjang Kun Houw lebar, tegap dan tampak berotot. Tapi Bi Gwat yang mendengus memperingatkan mereka berkata serius, "Jangan main-main. Puteri tertua Ok-ciangkun itu rupanya jatuh hati pada pemuda ini, sam-moi (adik ke tiga). Sebaiknya kita tolong dia dan sadarkan lebih dulu!"
Bi Kwi mengangguk. Ia tersenyum penuh arti, tertarik dan bangkit nafsunya melihat keadaan Kun Houw. Tapi menempelkan lengan di dada pemuda ini Bi Kwi berseru pada kakaknya nomor dua, "Ji-ci, sebaiknya kau bantu aku menyalurkan sinkang di belakang punggungnya. Pemuda ini luka parah menerima pukulan mujijat!"
"Ya, katanya Pendekar Gurun Neraka sendiri yang melukainya sumoi. Berarti dia terkena Pukulan Inti Petir itu. Lihat, dada kanannya gosong dan baju pundaknya hancur!"
Mereka semua terbelalak. Diam-diam kekaguman besar memancar di hati tiga orang wanita ini, melihat betapa Kun Houw mampu menerima pukulan Pendekar Gurun Neraka yang amat dahsyat itu, yang sudah mereka kenal kehebatannya dan tak perlu diragukan. Maka melihat Kun Houw dapat bertahan dan tidak tewas menerima pukulan Petir itu betapapun Sam-hek-bi kwi menjadi kagum. Bi Kwi sudah menyalurkan sinkangnya, menempelkan lengan di dada Kun Houw. Dan Bi Hwa yang juga menyalurkan sin-kang di punnggung Kun Houw dengan jalan memiringkan tubuh pemuda ini di hadapan mereka berdua sebentar saja sudah mulai bekerja membantu penyembuhan. Dan Bi Kwi terkejut.
"Wah, sinkangku bertemu hawa sakti yang bergolak dari pusarnya, cici. Apakah sinkangmu membentur hawa mujijat ini?"
"Ya," Bi Hwa ikut terkejut. "Aku merasakan daya dorong yang menolak balik sin-kangku, sumoi. Agaknya pemuda ini sudah memiliki sin-kang otomatis yang siap menyerang lawan kalau dia diserang. Dalam keadaan tidur sekalipun!"
Bi Kwi mengangguk. Dia memang terheran-heran dan kaget, merasa betapa sinkangnya ditolak oleh hawa sakti yang bergolak dari pusar pemuda ini. Melihat betapa secara otomatis sin-kang pemuda itu melindungi tuannya. Mengira diserang. Tapi setelah Bi Kwi menyesuaikan diri dan justeru mengikuti arus sinkang di tubuh Kun Houw, maka barulah tolakan ini berhenti dan dapat diajak "bersahabat".
Bi Kwi tertegun. "Hebat, pemuda ini memiliki sinkang luar biasa, cici. Rupanya itulah yang di maksud Ok-ciangkun, sebagai Tenaga Ular di kundalini saktinya!"
"Ya, rupanya secara aneh pemuda ini telah melatih sin-kang yang dahsyat, sumoi. Mengherankan benar bagaimana dalam usianya yang semuda ini dia berhasil memiliki sinkang Tenaga Ular!"
"Warisan mendiang gurunyakah?"
"Tak mungkin. Jago pedang itu tak memiliki sinkang macam ini, sumoi. Ok-ciangkun sendiri curiga bahwa jangan-jangan pemuda ini mendapatkan sinkangnya dari orang lain, seorang tokoh sakti. Tapi siapa? Kalau Pendekar Gurun Neraka jelas tak mungkin. Tentu orang lain yang tak kita kenal atau...." Bi Hwa tertegun. "Pedang Medali Naga!"
Sam-hek-bi-kwi terkejut. Mereka teringat ini. Teringat bahwa Kun Houw dikabarkan memiliki pedang pusaka itu. Pedang yang tidak mereka lihat dan baru sekarang sadar bahwa Kui Hoa memberikan Kun Houw kepada mereka tanpa pedang keramat itu. Dan Bi Kwi yang membelalakkan matanya tiba-tiba mendesis,
"Benar, dan Pedang Medali Naga tak ada di tubuh pemuda ini, ji-ci. Mungkin saja Kun Houw mendapatkan tenaga saktinya itu dari warisan pedang keramat."
"Mungkin saja." Bi Hwa berkilat penuh gairah. "Mungkin saja pemuda ini mejdapatkan tambahan ilmunya dari pedang yang luar biasa itu, sumoi. Tapi benarkah Pedang Medali Naga menyimpan petunjuk tentang melatih tenaga sakti?"
"Tidak." Bi Gwat kali ini bicara. "Aku tak mendengar kehebatan pedang itu selain ketajamannya, sumoi. Pedang Medali Naga bukan pedang yang menyimpan petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat. Aku tahu itu!"
"Kalau begitu dari mana pemuda ini memiliki sinkang demikian dahsyat? Dia mampu menahan pukulan Petir yang dimiliki Pendekar Gurun Neraka!"
"Entahlah," Bi Gwat menggelengkan kepalanya. "Ini rahasia yang hanya diketahui pemuda itu sendiri, sumoi. Kalau ingin tahu tentu saja kita harus menyadarkannya."
Bi Hwa dan adiknya mengangguk. Mereka mempercepat proses penyembuhan dengan sinkang itu, semakin tertarik dan kagum memandang Kun Houw. Dan ketika beberapa lama kemudian Kun Houw mengeluarkan keluhan perlahan maka Bi Kwi melepas telapaknya, berseru girang,
"Dia sadar...!"
Bi Gwat dan Bi Hwa mengangguk. Mereka melihat Kun Houw membuka matanya, dan Bi Hwa yang juga melepas telapaknya dari punggung pemuda itu sudah melompat turun dengan muka berseri, "Anak muda, bangunlah....!"
Kun Houw merasa mimpi. Dia tentu saja tak segera tahu apa yang terjadi. Kesadarannya masih setengah melayang di tempat hampa. Tapi ketika beberapa detik kemudian dia ingat akan pertempurannya dengan Pendekar Gurun Neraka dan dia roboh menerima pukulan dahsyat mendadak tanpa diulang Kun Houw mencelat bangun dan langsung menghantam Bi Hwa yang paling dekat dengannya!
"Haiit...!"
Bi Hwa kaget bukan main. Dia terkesiap oleh serangan ini, tak menduga sama sekali, mendengar pekik Kun Houw yang melengking tinggi. Tapi melihat lawan menghantam dan tak mungkin dia mengelak maka tiba-tiba Bi Hwa membentak dan mendorongkan lengan kanannya.
"Dess...! Bi Hwa terlempar. Orang kedua dari Sam-hek-bi-kwi ini menjerit, mencelat menghantam pintu yang pecah berantakan. Kaget oleh kedahsyatan sinkang lawan yang mengangkat tubuhnya demikian ringan. Seolah belalai gajah membantingnya di lantai kamar. Dan ketika Bi Hwa terguling-guling dan dua saudaranya berseru kaget maka Kun Houw sadar bahwa yang di serang bukanlah isteri Pendekar Gurun Neraka, Ceng Bi, wanita cantik yang galak dan disangkanya berdiri di sampingnya tadi. Dan Kun Houw yang tentu saja terkejut melihat Bi Hwa terguling-guling segera tertegun di tempatnya dan menjadi bengong. Apalagi ketika melihat Bi Kwi dan Bi Gwat yang tak dikenal. Dua wanita cantik yang asing baginya tapi ada di dalam kamar itu!
Dan Bi Hwa yang tentu saja gusar oleh serangan Kun Houw sudah melompat bangun dan memaki, "Bocah keparat, beginikah balas budimu kepada orang yang menyembuhkanmu? Kau kurang ujar. Tak tahu aturan....!"
Kun Houw menjublak. Dia sekarang melihat jelas tiga wanita setengah umur ini, sadar setelah ingatannya bekerja penuh. Maka terkejut dan melompat mundur dia bertanya dengan muka berobah, "Maaf, siapa kalian?!"
Bi Kwi mendahului kakaknya, "Kami Sam-hek-bi-kwi. Kun Houw. Aku dan enciku nomor dua itulah yang menyembuhkanmu!"
Kun Houw tercekat. Dia merasa bahwa tubuhnya memang telah sehat kembali, segar dan lenyap pengaruh pukulan Pendekar Gurun Neraka yang dahsyat itu. Dan heran bahwa tiga wanita cantik ini mengenal dia Kun Houw pun membelalakkan mata. "Kalian tahu namaku?"
Bi Kwi tersenyum. "Tentu saja. Kita bukanlah orang lain, Kun Houw. Dan lagi, siapa tak mengenal mendiang gurumu yang lihai itu? Si jago pedang Kun Seng adalah sahabat dan teman akrab kami. Kita adalah orang-orang sendiri!"
Kun Houw tertegun. Dia tak percaya begitu saja kata-kata ini, tapi melihat orang telah menyembuhkannya dari pukulan Pendekar Gurun Neraka yang membuat dia hampir tewas tentu saja tak enak baginya untuk menaruh curiga. Maka diapun memberi hormat, dan melihat Bi Hwa mendelik padanya Kun Houw buru-buru menyatakan penyesalannya, "Maaf, terima kasih untuk pertolongan kalian, Sam-hek-bi-kwi. Tapi dimana dua orang temanku yang ikut bersamaku? Di mana aku kini?"
"Hi-hik, kau maksudkan dua gadis kembar puteri Ok-ciangkun itu, Kun Houw? Mereka sudah dipanggil ayahnya. Kau berada di tempat Ok-ciangkun sekarang."
Kun Houw terkejut. Dia melihat tiga wanita itu memandang penuh kagum kepadanya, memandang dadanya yang telanjang tak berbaju. Dan Kun Houw yang jengah melihat ini tiba-tiba menyambar bajunya di atas meja. Tapi Bi Kwi tertawa, menahan bajunya dan menyerahkan baju baru yang cepat dikeluarkan dari lemari. Dan genit memandang Kun Houw wanita ini berkata,
"Sebaiknya kau buang bajumu yang lama itu, Kun Houw. Pakai saja baju baru ini dan buang baju yang sobek-sobek itu!"
Kun Houw tak dapat menolak. Dia menerima baju itu, tapi Bi Kwi yang memasangkannya dengan sikap centil membuat Kun Houw semburat merah. Dan ketika baju sudah melekat tanpa diminta tahu-tahu Bi Kwi mencubit dagunya dan berseru genit, "Ih, tampan kau, Kun Houw. Tak beran kalau Kui Hoa jatuh hati padamu!"
Kun Houw melangkah mundur. Dia kaget dan marah oleh sikap yang dianggapnya "berani" ini, tapi ingat bahwa orang telah menyembuhkannya dari luka yang berbahaya dia pun menahan diri dan terbelalak. Dan saat itu pintu diketuk orang. "Sam-wi-niocu (nona bertiga), ciangkun mengundang kalian untuk jamuan malam...!"
Bi Kwi mendesah. Ia rupanya kecewa oleh gangguan ini, tapi kakaknya yang ingat akan sesuatu tiba-tiba berkelebat keluar. "Benar, kita janji untuk ke sana, sumoi. Ayo bawa pemuda ini menghadap Ok-ciangkun!"
Bi Hwa juga mengikuti kakaknya. Dia sudah berkelebat pula meninggalkan kamar, dan Bi Kwi yang sendirian bersama Kun Houw tiba-tiba menyambar lengan pemuda ini, menggandengnya tanpa malu-malu!
"Kun Houw, ayo kita menerima undangan Ok-ciangkun ini. Ada sebuah berita penting untuk kita ketahui!"
Kun Houw lagi-lagi tak dapat mengelak. Dia kurang kenal siapa tiga orang wanita ini. Tapi ketika Bi Kwi mengempit lengannya dan wanita itu terkekeh genit diapun melepaskan diri dengan tidak ragu-ragu lagi. "Maaf, biarkan aku berjalan sendiri, niocu! Jangan membawaku seperti ini."
Bi Kwi terbelalak. Dia mau marah, tapi melihat Kun Houw memandangnya tak senang dan mata pemuda itu bersinar tak takut kepadanya tiba-tiba waaita ini terkekeh. '"Bagus, kau memang pemuda yang hebat, Kun Houw. Rupanya tak sia-sia Ok-ciangkun mengambilmu sebagai pembantu. Ayolah, kita ke sana....!"
Kun Houw mengangguk. Dia mau mengikuti wanita ini di belakangnya, dan ketika mereka tiba di ruangan luas dan melihat banyak orang berkumpul menghadapi sebuah meja besar yang penuh makanan dan arak tiba-tiba Kun Houw berhenti dan membelalakkan matanya, melihat betapa Hun Kiat dan Mayat Hidup ada di situ! Dan Kun Houw yang langsung gemetar dengan mulut dikatup repat tiba-tiba mogok tak mau maju!
"Eh, kenapa kau, Kun Houw? Ada apa?" Bi Kwi ikut berhenti, terbelalak memandang temannya dan membuat semua orang menoleh. Dan Ok-ciangkun yang melihat kedatangan mereka tiba-tiba berseru dan bangkit dari kursinya,
"Kun Houw, ke marilah. Duduk dan bersikaplah biasa kepada para pembantuku ini. Mereka adalah kawan!"
Kun Houw tak dapat maju. Dia teringat akan kematian ibunya, akan kekejaman Hun Kiat dan Mayat Hidup itu. Dan mendelik tak mampu iiienguasai diri sekonyong-konyong dia berkelebat menerjang lawan. "Hun Kiat, bayar hutang jiwa ibuku di sini....!"
Semua orang terkejut. Hun Kiat atau yang dulu bernama Ceng Liong itu menendang kursinya, meluncur mundur dan langsung melompat bangun. Dan begitu Kun Houw menghantam dadanya dengan pukulan berat diapun menangkis dan mengeluarkan bentakan keras.
"Dukk!"
Dua pemuda itu terdorong. Mereka terpental dan sama-sama membuat orang terbelalak, kagum oleh benturan keras yang membuat ruangan itu tergetar seakan dilanda gempa, piring dan mangkok di atas meja mencelat dan ada yang pecah. Tapi Ok-ciangkun yang melerai dengan bentakannya yang penuh wibawa sudah berdiri di antara dua orang muda ini, "Kun Houw, jangan membuat onar. Ingat akan janjimu kepadaku...!"
Begitulah, Shi Shih dan Ceng Tan lalu melayani kaisar. Mereka resmi dipersembahkan, dan karena keduanya memiliki keistimewaan-keistimewaan khusus yang mengalahkan penghuni istana tentu saja dengan cepat kaisar tertarik pada dua orang gadis ini, Terutama Shi Shih, yang lebih pandai bicara dan membuat Kaisar dengan cara-caranya yang khusus. Jauh lebih agresip dibanding Ceng Tan yang lebih pendiam. Dan begitu dalam permainan ranjang mereka juga menunjukkan kemahiran yang "lebih" dibanding selir-selir lain, maka beberapa minggu kemudian kaisar tak mau lagi menggauli wanita lain kecuali dua orang wanita ini.
Dan memang hebat kemajuan yang diperoleh Shi Shih berdua. Ceng Tan mulanya sedikit malu-malu likat dan canggung menghadapi kaisar. Tapi setelah Shi Shih memperingatkannya bahwa yang mereka lakukan berdua itu adalah demi tugas yang dibebankan negara (Yueh) barulah Ceng Tan mengimbangi sepak terjang rekannya ini dengan pelayanan yang sama agresip seperti Shi Shih melayani kaisar. Akibatnya kaisar "jatuh bangun", benar-berar mabok dan tergila-gila pada dua orang gadis ini. Dan ketika beberapa minggu kemudian Shi Shih mengajukan usul agar sri baginda tak menerima lagi selir-selir baru dari kerajaan Yueh spontan pada saat itu juga kaisar mengangguk.
Semua orang tercengang, Mereka melihat bahwa sedikit pasti Shi Shih mulai berhasil menguasai kaisar, membuat laki-laki tua ini terbius dan mabok dalam kelembutan tubuhnya. Ternina bobok oleh suaranya yang merdu bagai kicau burung nuri. Dan ketika dua bulan kemudian orang melihat bahwa Shi Shih menjadi "kelangenan" kaisar yang benar-benar amat diperhatikan dan suara kaisar hampir sepenuhnya didorong suara Shi Sh h maka mau tidak mau orangpun menjadi hormat dan segan pada selir baru ini. Bahkan takut. Takut kalau mereka berbuat salah yang berarti membuat selir itu marah. Karena kalau selir ini marah tentu "backing" di belakangnya, kaisar, akan menghukum mereka sesuai permintaan selir itu!
Dan Shi Shih yarg tentu saja tahu akan segala keadaan ini tiba-tiba tersenyum dan mulai mengisi kesempatan, bergerak mendekati menteri menteri istana yang dirasa cocok untuk kelak membantunya menggoyahkan istana dari dalam, membentuk semacam "kelone" khusus yang menjadi pengikut-pengikut setianya. Menundukkan mereka dengan cara halus dan cerdik. Dan karena dia sendiri sudah memiliki "kewibawaan" yang diperolehnya dari kaisar tentu saja beberapa minggu kemudian dia berhasil menggaet menteri-menteri yang jahat.
Tapi Shi Shih bertindak amat hati-hati. Dia melihat bahwa tidak semua menteri-menteri yang ada di sana dapat ditarik untuk menjadi sekutunya. Terutama menteri Wu Cu Shu, menteri yang amat dipercaya kaisar dan boleh dibilang sebagai tangan kanannya dalam mengatur roda pemeritahan, menteri tua saudara dari Menteri Wu Yuan, yang dulu menolaknya ketika pertama kali dia dan Ceng Tan tiba di istana. Dan karena melihat dua menteri ini cukup berbahaya untuk dibujuk begitu saja maka Shi Shih berhati-hati sekali menghadapi dua orang menteri tua itu.
Terutama Wu Cu Shu yang tampaknya amat setia kepala kaisar, yang akhir-akhir ini mulai mengerutkan kening melihat dia menguasai kaisar, disayang terlampau berlebih-lebihan dan menyolok mata dengan dikabulkannya setiap permintaan yang dianggap Wu Cu Shu tak begitu penting, seperti misalnya membangun beberapa istana baru untuk Shi Shih dai Ceng Tan. Dan ketika satu hari menteri itu menyatakan ketidaksenangan hatinya akan hal ini, maka untuk pertama kalinya kaisar mendapat nasihat.
"Ampun, hamba tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi paduka, sri baginda, tapi bukankah paduka telah membangun istana mungil di luar kota raja? Kenapa harus ditambah lagi? itu pemborosan, sri baginda. Hamba khawatir kas negara akan terhambur untuk hal-hal yang kurang perlu?"
Kaisar mengerutkan alis. "Ini permintaan selirku. taijin. Haruskah kutolak untuk alasan pemborosan? Bukankah kita memiliki kekayaan yang berlimpah dan tak mungkin habis hanya untuk membangun lagi sebuah istana?"
"Betul, tapi sebaiknya pengeluaran-pengeluaran yang tak begitu perlu dikurangi, sri baginda. Semata untuk penghematan kas negara agar tak terhambur sia-sia. Hamba tidak menentang, tapi memperingatkan paduka agar tak mengabulkan begitu saja setiap permintaan selir paduka yang cenderung melakukan pemborosan!"
Kaisar tertegun. Dia mendengar nada keras dari pembantu utamanya ini, dan Shi Shih yang menjatuhkan diri berlutut di depamya tiba-tiba berkata. "Maaf, agaknya Wu-taijin menaruh hati iri kepada hamba, sri baginda. Kalau begitu benar omongannya dan tak perlu lagi paduka memberikan hamba istana baru."
Kaisar terkejut. Iri? Dia tersentak. Ucapan Shi Shih ini membuat dia semakin mengerutkan alisnya, sementara Wu-taijin sendiri yang terbelalak dan merah mukanya tiba-tiba berseru, "Tidak, hamba tidak menaruh iri pada selir paduka, sri baginda. Hamba semata memperingatkan paduka agar memperhatikan pemborosan-pemborosan yang kurang perlu."
"Kalau begitu kau tak perlu mengucapkannya dengan nada yang keras, Wu-taijin. Kaisar tak perlu diomeli dengan cara protesmu yang seperti itu."
Wu-taijin terkejut. Dia merasa balasan Shi Shih ini berbahaya sekali, langsung mengecamnya sebagai orang yang mengomeli kaisar. Seolah kaisar anak kecil yang bodoh dan kurang bertanggung jawab. Dan karena betul cara penyampaiannya dilakukan dengan nada yang keras dan menunjukkan ketidaksenangannya tiba-tiba menteri ini pucat dan menjadi gemetar. Untuk sejenak dia tak mampu bersuara, dan kaisar yang melihat balasan Shi Shih memang benar tiba-tiba menjadi marah kepada pembantunya ini. Tersinggung, merasa tidak dihargai!
"Wu-taijin, apa yang dikata selirku memang benar. Protesmu terlalu keras dan tidak bersahabat! Beginikah caramu menasehati aku?!"
"Ampun....!" pembesar ini menjatuhkan dari berlutut. "Hamba tidak bermaksud begitu, sri baginda. Hamba sekedar memperingatkan paduka untuk tidak melakukan pemborosan. Bukan mengomeli paduka!"
"Tapi caramu menunjukkan seolah biaya istana baru itu kau yang mengeluarkannya, taijin. Kau tak menghargai kekayaan sri baginda yang tak mungkin habis dipakai untuk membangun seratus istana sekalipun! Kenapa mencemaskan hal ini? Kau jelas iri kepadaku, taijin. Kau tak suka karena sri baginda terlampau sayang kepadaku. Kau sirik. Kau dengki....!" dan Shi Shih yang sudah berkaca-kaca memandang kaisar tiba-tiba bangkit berdiri, "Sri baginda, hamba tak mau dikata memboroskan uang negara. Biarlah istana baru itu tak usah dibuat untuk menyatakan sayang paduka kepada hamba!" dan Shi Shih yang menangis pergi meninggalkan ruangan itu lalu membuat Wu-taijin dan kaisar tertegun.
Pembesar she Wu ini bingung, mukanya merah dan pucat berganti-ganti. Tapi melihat Shi Shih meninggalkan ruangan dan kaisar tak memanggil selir yang cantik itu pembesar ini bahkan merasa mendapat kesempatan, menggigil mengulang seruannya,
"Sri baginda, ampunkan hamba. Tapi selir paduka itu benar-benar mau mencelakakan paduka. Hamba khawatir dia sengaja menghambur-hamburkan uang negara untuk melemahkan kas kerajaan!"
Tapi sambutan kaisar mengejutkan pembesar ini. "Kau yang mau mencelakakan aku, taijin. Kau yang hendak merusak hubunganku dengan selirku itu. Shi Shih benar. Kau sirik dan dengki. Kau yang iri dan tak senang melihat aku menyatakan sayang kepada selirku itu!"
Wu-taijin kaget bukan main. Dia tentu saja menyatakan ampun berulang-ulang, tapi kaisar yang pergi dengan marah membuat pembesar ini tertegun di tempatnya, tersentak pucat. Tak mampu bicara dan melhat pengaruh Shi Shih memang benar-benar hebat sekali. Bermaksud ditodong malah balik menodong! Dan Wu-taijin yang tentu saja gemetar dengan keringat bercucuran akhirnya sadar bahwa Shi Shih memang merupakan selir yang berbahaya. Cerdik dan amat lihai sekali. Bisa memutar balik omongan orang untuk menyudutkan orang tersebut. Dan Wu-taijin yang segera pergi dari tempat itu lalu mengusap dua titik air matanya yang jatuh tanpa sadar. Air mata kecewa dan penuh penyesalan. Dan ketika beberapa hari kemudian dia melihat kaisar bersikap dingin kepadanya maka tak pelak lagi pembesar ini menangis.
Menteri she Wu itu kecewa sekali. Dia sakit hati dan diam-diam marah kepada Shi Shih. Ingin berteriak lantang di depan sri baginda bahwa perempuan itu akan menjatuhkan junjungannya. Melihat dan merasa berdasarkan mata tuanya bahwa Shi Shih merupakan "benalu" yang amat berbahaya bagi kerajaan. Terbukti dari tindak-tanduk selir itu yang ingin menguasai kaisar. Membius dan menina-bobok junjungannya dengan kecantikan tubuhnya, yang semakin lama membuat kaisar semakin mabok. Tapi karena tak ada bukti yang konkrit untuk menjatuhkan dakwaannya ini maka Wu-taijin tak dapat berbuat apa-apa dan memendam semua sakit hati dan kekhawatirannya itu.
Sampai akhirnya, ketika dua hari yang lalu seseorang datang padanya maka tiba-tiba Wu-taijin merasa mendapat jalan keluar. Wu Yuan, saudara sepupunya yang menjabat Kepala rumah tangga kaisar menyatakan keluhannya tentang pemborosan yang terjadi akhir-akhir ini di dapur istana. Betapa kaisar mulai suka mengadakan pesta-pesta, memesan makanan dan minuman yang di luar batas kemewahan. Seperti misalnya daging naga yang harus dicari di pegunungan Himalaya serta madu naga api yang sukar didapat, yang konon katanya atas permintaan dua selirnya tersayang itu, terutama Shi Shih. Dan karena pekerjaaan ini dilakukan untuk pesta yang hampir tiap hari diadakan maka tentu saja semuanya itu menelan pembiayaan yang tidak sedikit.
"Bayangkan, selir baru itu selalu minta yang aneh-aneh. Shu-twako. Bahkan akhir-akhir ini dia minta pula agar semua piring serta gelas yang ada di meja pesta dibuat dari emas yang paling baik. Padahal, untuk piringnya saja ada seribu buah. Belum gelas serta cawannya! Bagaimana ini bukan suatu pemborosan? Dan yang mengherankan, begitu pesta usai maka begitu pula piring dan gelas ini lenyap, Shu twako. Kami harus membuatnya baru untuk pesta-pesta berikut!"
Menteri Wa terbelalak. "Hilang maksudmu? Dicuri?"
"Boleh dibilang begitu, twako. Tapi boleh juga dibilang tidak!"
"Eh, bagaimana itu?"
"Setengah dicuri setengah tidak, twako. Karena setelah kuselidiki ternyata piring dan gelas-gelas yang terbuat dari emas itu dibagi-bagikan begitu saja oleh dua orang selir ini kepada tamu-tamu undangan!"
Wu-taijin terkejut. "Dibagi-bagikan? Diberikan cuma-cuma?"
"Ya, begitu kenyataannya, twako. Dan sri baginda yang tertawa saja melihat perbuatan selirnya itu tak melarang sama sekali dan menyuruh kami membuat yang baru!"
"Keparat!" Wu-taijin mengepal tinjunya. "Aku tak mengerti sepak terjang selir iblis itu, Yuan-te. Apa kira-kira yang mendorongnya berbuat seperti itu?"
"Tak tahu. Tapi mungkin sebagai taktik untuk mencari teman, twako. Karena kudengar kabar beberapa menteri yang ada di istana berhasil dipelet dua orang selir itu untuk menjadi bawahannya."
"Hai, dan hadiah barang-barang berharga itu dijadikan daya tariknya?"
"Kurang lebih begitu, twako. Tapi apa maksud sebenarnya selir itu aku juga kurang tahu. Entahlah!"
Wu-taijin tertegun. Dia semakin merasa bahwa Shi Shih rupanya mau merongrong kekayaan negara, sedikit demi sedikit menggerogoti kekayaan istana untuk maksud tersembunyi. Dan ingat bahwa selir itu berasal dan kerajaan Yueh tiba-tiba pembesar ini tersentak dan seakan mendapat firasat mengejutkan tentang selir itu. Dan Wu-taijin menggeram,
"Jangan-jangan dia mata-mata musuh, Yuan-te. Sri baginda harus kita beri tahu untuk memasang kewaspadaan.'"
"Maksudmu?"
"Jangan-jangan dia merupakan musuh dalam selimut, adik Yuan. Mungkin dua selir cantik itu membawa misi rahasia dari kerajaan Yueh!"
Wu Yuan terkejut. "Tapi Yueh tak memiliki kekuatan apa-apa twako. Mana mungkin mengemban misi rahasia?"
"Hm, siapa tahu? Aku semakin mendapat firasat tak enak Yuan-te. Sebaiknya kita kisiki (beri tahu) sri baginda agar menangkap saja selir keparat itu!"
"Ah, tapi ini perbuatan gegabah, twako. Kita tak memiliki bukti-bukti apapun tentang itu. Ini baru dugaan!" Wu Yuan membelalakkan matanya. "Dan lagi, tak ingatkah kau peristiwa beberapa waktu yang lalu? Kau sendiri menceritakan kalau selir itu amat cerdik dan berbahaya. Kau balas dituduh sewaktu menuduhnya melakukan pemborosan dengan membangun istana-istana baru!"
Menteri Wu tersentak. Dia ingat ini, tertegun dan menjublak. Dan menarik napas sambil mengepal tinjunya pembesar ini mendesis, "Benar, sri baginda tak lagi ramah kepadaku, adik Yuan. Jangan-jangan laporanku inipun bakal mencelakakan diriku sendiri. Bagaimana sebaiknya?"
Wu Yuan menjentikkan jarinya. "Sebaiknya kita culik saja selir itu, twako. Kita lihat bagaimana reaksi kaisar kalau selir itu kita culik!"
"Dan kita bunuh?"
"Tidak. Kita hanya menculiknya dulu, twako. Kalau reaksi baginda tak begitu keras barulah kita bunuh selir keparat itu!"
"Baik, dan siapa yang akan melaksanakan tugas ini?"
"Pembnntuku, twako, Hui-pian Siang-houw (Sepasang Harimau Pian Terbang) yang dapat kusuruh menculik selir itu."
Wu-taijin setuju. Tapi ingat bahwa selir itu tinggal di kaputren dan tempat itu dijaga puteri-puteri Ok-ciangkun tiba-tiba diapun mengerutkan kening. "Hm. tapi bagaimana cara menculiknya, Yuan-te? Shi Shih dan temannya itu selalu mendampingi junjungan kita. Mereka tak pernah berpisah kecuali malam ketika mereka sendirian di kaputren. Padahal kaputren dijaga dua orang puteri Ok-ciangkun! Bagaimana ini?"
Wu Yuan tersenyum. "Hal itu sudah kupikirkan, twako. Saat ini paling tepat karena Kui Hoa dan adiknya sedang keluar!"
"Maksudmu mereka meninggalkan pos penjagaannya?"
"Ya, kadengar dua gadis kembar itu menemani pembantu ayahnya ke Ta-pie-san, twako. Kabarnya Ok-ciangkun mendapat pembantu baru yang amat lihai. Murid si jago pedang Kun Seng yang bernama Kun Houw."
"Oh, pemuda yang malam-malam membuat ribut itu?"
"Benar."
"Tapi ini berarti mencelakakan puteri-puteri Ok-ciangkun itu, Yuan-te. Salah-salah maksud kita ini bisa mengorbankan sepasang kakak beradik itu!"
Wu Yuan ganti mengerutkan kening. "Tapi ini resiko dari perculikan itu, twako. Kalau tidak kita tak akan berhasil menculik selir itu!"
"Baiklah," Wu-taijin agak berat. "Kuharap saja reaksi kaisar tak begitu keras, Yuan-te. Kalau sampai kakak beradik itu mendapat celaka dalam persoalan ini biarlah kita anggap mereka sebagai tumbal. Demi menyelamatkan sri baginda dan seluruh istana!"
Dua orang menteri ini tak banyak bicara lagi. Mereka sudah menentukan sikap, mengatur rencana untuk menculik Shi Shih dan Ceng Tan. Dan ketika saat itu tiba dan Hui-pian Siang-houw melaksanakan pekerjaannya, maka pada malam yang ditentukan itu Shi Shih berdua diculik. Hui-pian Siang houw tak mendapat banyak kesulitan. Maklum, kaputren dalam keadaan kosong karena Kui Hoa dan adiknya mengejar Kun Houw ke Ta-pie-san, seperti yang telah kita ketahui di depan. Tapi ketika dua orang laki-laki ini membawa Shi Shih dan Ceng Tan di sebuah tempat persembunyian di tempat Wu Yuan mendadak tanpa disangka-sangga Sam-hek-bi-kwi muncul.
"Hei, apa yang kalian bawa itu?"
Bentakan mengejutkan ini membuat Hui-pian Siang-houw kaget bukan main, tersentak dan otomatis membalikkan tubuh, melihat tiga bayangan meluncur ringan di depan mereka, bayangan tiga wanita cantik yang setengah umur dan tampak galak! Dan Hui-pian Siang-houw yang tentu saja menjadi marah tiba-tiba meletakkan korbannya dan mencabut senjata mereka, pian atau ruyung emas yang diputar-putar di atas kepala, mendengung dengan suara berkeritik bagai tikus menggerogoti kayu.
"Kalian siapa? Ada apa lancang mencampuri urusan orang lain?" Yang Lauw, orang pertama dari sepasang harimau itu membentak, khawatir tapi juga marah melihat ada orang mengetahui perbuatan mereka. Dan Bi Kwi yang terkekeh dengan tangan bertolak pinggang tiba-tiba balas menghardik.
"Tak perlu tahu siapa kami, penculik busuk. Kau telah membawa lari dua orang selir kaisar, bukan? Hayo menyerah, ikat kaki tangan kalian dan ikuti kami menghadap sri baginda!"
Yang Lauw gusar. Dia terkejut bahwa orang telah mengetahui siapa yang mereka culik, maka berteriak dan memutar ruyungnya tiba-tiba dia telah menghantam lawan dengan keprukan keras ke ubun-ubun. Tapi Bi Kwi mendengus, dan begitu dia menggerakkan lengan kirinya ke atas maka ruyung telah ditangkis dengan telapak terbuka.
"Plak!" Yang Lauw tergetar. Dia kaget bahwa ruyungnya terpental, tapi orang tertua dari Hui-pian Siang-houw yang melengking ini tiba-tiba berkelebat maju dan kembali menyerang. Dengan sengit dan penuh kemarahan dia menggerakkan ruyungnya tertubi-tubi, menyabet dan membabat lawan yang terpaksa berlompatan ke sana-sini. Dan ketika Yang Lauw membentak dan ikut pula menggerakkan kakinya menendang maka Bi Kwi terdesak dan mundur-mundur.
"Hebat, cecunguk ini rupanya lihai juga, Hwa-cici. Dia dapat dijadikan teman berlatih kalau kita ingin memanaskan badan!" Bi Kwi tertawa, didesak gencar sementara ruyung dan tendangan lawan berkelebatan menyambar dirinya, hal yang membuat lawan terbelalak dan kaget sekali.
Kaget serta heran. Heran kenapa lawan yang sudah didesak seperti itu masih dapat tertawa dan memuji. Pujian yang condong pada ejekan karena lawan dapat mengelak cepat semua serangannya. Dan Yang Lauw yang tentu saja gusar oleh semuanya ini tiba-tiba menggeletarkan ruyungnya, membuat satu gerakan aneh di mana ruyung tiba-tiba terlepas, berputaran dan terbang mengelilingi lawan bagai ruyung bernyawa. Dan ketika satu saat Bi Kwi "dipagut" mata ruyung yang tepat mengenai pundaknya barulah Yang Lauw berteriak dan menjadi gembira.
"Rasakan. Kau tak dapat mengelak lagi, siluman betina. Hui-pian Siang-hauw akan membunuh dan mencabut nyawa kalian!"
"Ih!" Bi Kwi terkejut. "Jadi kalian ini Hui pian Siang-houw? Bagus, jangan sombong, tikus busuk. Aku tak takut menghadapi ruyung terbangmu. "Lihat...!" dan Bi Kwi yang kali ini sengaja memasang diri untuk "dipagut" atau dipatuk ruyung yang berterbangan itu tiba-tiba membentak dan mengembangkan kedua lengannya ke kiri kanan. Dia membuka dan sengaja memasang tubuh untuk menerima sambaran ruyung yang bertubi-tubi menyerangnya. Dan ketika satu demi satu mata ruyung terpental seolah membentur tubuh yang terbuat dari karet tiba-tiba Yang Lauw memekik dan pucat mukanya.
"Tiat-po-san (Ilmu Kebal Baju Besi)...!"
"Hi-hik, kau tahu apa tentang ilmu kebal yang kupunyai, manusia rendah? Inilah Hoat lek-kim ciong-ko, bukan Tiat-po-san... tak-tak-takkk...!"
Dan semua benturan ruyung yang balik menyambar Yang Lauw sendiri tiba-tiba membuat laki-laki ini terkejut dan membanting tubuhnya bergulingan, berteriak menyuruh adiknya membantu. Tapi begitu Bi Kwi tertawa dia mencabut gelang-gelang rahasianya yang merupakan senjata ampuh untuk disambitkan ke tubuh lawannya ini tahu-tahu Yang Lauw menjerit dan roboh terpelanting.
"Crep-crep...!"
Yang Lauw menggeliat. Dia menerima sambitan lima gelang kecil yang tembus di tubuhnya, kecuali satu yang mengenai pundak, yang menancap dan dapat dilihat sebagai gelang berwarna merah dan berbau amis. Gelang yang membuat laki-laki ini terkejut dan ingat akan partai Gelang Berdarah, perkumpulan yang dulu dipimpin seorang tokoh iblis dari Hek-kwi-to! Dan begitu mengenal serta mengeluh melihat ini tiba-tiba Yang Lauw merintih dan menudingkan jari telunjuknya dengan gemetar.
"Kau... kau dari Hiat-goan-pang (Perkumpulan Gelang Berdarah)...!" lalu begitu melepas seruannya tiba-tiba laki-laki ini roboh dan tewas seketika.
"Lauw-ko...!" Yang Khi, adiknya yang terbelalak sejenak oleh kejadian itu berseru kaget. Terkejut oleh kematian kakaknya yang demikian cepat. Tapi begitu sadar dan berteriak marah tiba-tiba orang ke dua dari Hui-pian Siang-houw ini mengamuk. Dia sudah mencabut ruyungnya dan menerjang maju, menyerang dahsyat bagai harimau terluka.
Tapi Bi Kwi yang lagi-lagi mengelak dan siap mengeluarkan gelang rahasianya mendadak diperingatkan kakaknya nomor satu, Bi Gwat, "Sumoi, jangan bunuh dia. Kita perlu tahu siapa yang menyuruh Hui-pian Siang-houw menculik selir kaisar!"
Bi Kwi mengangguk. Ia sadar akan ini, maka tertawa mengejek dan berlompatan cepat ia mengelak semua serangan lawan, berputaran mengikuti gerakan ruyung. Dan ketika satu saat ruyung meluncur di mukanya luput menyambar mendadak Bi kwi menggerakkan dua jarinya menotok siku lawannya.
"Tuk!" Yang Khi menjerit. Dia merasa sakit bukan buatan, ruyungnya terlepas sementara tubuhnya sendiri terhuyung. Dan ketika Bi Kwi menggerakkan kaki menendang tiba-tiba orang ke dua dari Hui-pian Siang-houw ini mencelat terlempar dan roboh tak berkutik.
"Hi-hik!" Bi Kwi menginjak punggung lawannya ini. "Apa sekarang yang kau maui, tikus busuk? Kau minta mati atau hidup?!"
Laki-laki ini pucat. Dia mau meronta, tapi melihat tubuhnya tak dapat digerakkan lagi dan punggungnya serasa patah diinjak Bi Kwi tiba-tiba laki-laki ini membentak, "Kau boleh bunuh aku, siluman betina. Hui-pian Siang-houw tidak takut menghadapi kematian biarpun nyawa harus dikorbankan!"
"Hm, kau minta mati? Baik, boleh saja. Tapi sebut dulu siapa orang yang menyuruhmu menculik selir Kaisar!"
Yang Khi tutup mulut. Dia menggigit bibir kuat-kuat ketika Bi Kwi menambah tenaga injakannya, membuat tulang punggungnya berbunyi "krek" dan sakit bukan main. Tapi ketika Bi Gwat dan Bi Hwa melompat maju menyentuh jalan darah pi-peh-hiatnya yang menimbulkan rasa seperti dibakar tiba-tiba Yang Khi menjerit dan berteriak tak tahan.
"Aduh! Keparat kalian, jahanam kalian...!"
Bi Hwa tersenyum. "Kami masih dapat membuatmu merasa sakit yang bermacam-macam jenis. Hui-pian Siang-houw. Sebaiknya kau katakan saja permintaan kami dan menyerahlah!"
Laki-laki ini terbelalak. Dia memaki-maki Bi Hwa yang berlutut di depannya itu, mencoba bersikeras dan tetap bertahan. Tapi ketika Bi Hwa mengeluarkan sebatang jarum dan menyentuhkan ujungnya yang runcing di mata kanannya tiba-tiba laki-laki ini terkejut dan menjadi ngeri. "Tidak... jangan... jangan coblos mataku...!"
Bi Hwa tersenyum. "Kalau kau menyerah baik-baik, Hui-pian Siang-hoiw. Kalau tidak, tentu saja jarum ini akan menancap di bola matamu. Dan aku masih memiliki sebatang lagi. Boleh ditancapkan di matamu yang lain kalau kau suka. Hi-hik!"
Yang Khi gemetar. Dia melihat bahwa lawan yang dikata mendiang kakaknya dan Hiat-poan-pang itu benar-benar bukan manusia lagi. Melainkan iblis ysng dapat mencoblos matanya dengan sikap tenang, tertawa dan tersenyum dingin. Dan ketika perlahan namun pasti Bi Hwa nulai membuktikan ancamannya tiba-tiba Yang Khi merjerit dan mengeluh.
"Tidak... jangan... aku mengaku...!"
"Bagus," Bi Hwa tertawa, "Kalau begitu cepat katakan, tikus busuk. Kami tak sabar mendengar siapa orang yang menyuruhmu ini. Hayo sebut namanya!"
Laki laki ini terpaksa bicara. Dia memberi tahu dengan muka pucat dan suara tersendat-sendat bahwa Menteri Wu-lah yang menyuruhnya menculik Shi Shih. Dan begitu Sam-hek-bi kwi mengetahuinya mendadak Bi Hwa terkekeh.
"Bagus, terima kasih, orang budiman. Kau memang baik hati.... crep!" dan Bi Hwa yang menusukkan jarum panjangnya ke mata lawan tiba-tiba disambut pekik ngeri yang menyayat hati.
Orang ke dua dari Hui-pian Siang houw itu berkelojotan, jarum tembus mengenai otaknya. Dan ketika beberapa erangan serta keluhannya mengiringi sakratul mautnya itu maka tiba-tiba laki-laki ini tak bergerak lagi dan diam dengan nyawa putus. Tewas!
Bi Hwa tertawa. Dia mencabut jarumnya dan berdiri menendang mayat Hui-pian Siang-hoaw, membersihkan jarum maut itu dan menyimpannya dengan tenang. Lalu melihat Shi Shih tergeletak pingsan ia pun melompat mendekati selir cantik ini, kagum dan terpesona. "Hebat, ini rupanya selir baru yang diberitakan orang itu, suci. Dia memang cantik dan menggairahkan sekali. Tak heran kalau kaisar mencintainya setengah mati!"
Bi Gwat tersenyum. Ia juga sudah melompat mendekati Ceng Tan, yang tergolek di sisi madunya. Dan berkata memandang sumoinya ia menyambar selir ke dua ini, "Tak salah. Dan kita mendapat keberuntungan besar dengan menyelamatkan selir-selir sri baginda. Hwa-moi. Tentu sri baginda akan berterima kasih sekali dan memberi kita hadiah lumayan. Ayo ke istana!"
Bi Hwa mengangguk. Bersama Bi Kwi ia sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, menghadap kaisar dan langsung melaporkan kejadiannya, membawa serta bukti dua orang selir yang pingsan dibius. Dan karena kaisar telah mengenal tiga orang wanita ini karena dulu kaisar juga pernah bernaung atau bersahabat dengan perkumpulan Gelang Berdarah maka tentu saja kedatangan tiga orang wanita ini menggegerkan istana.
Kaisar terkejut, marah-marah dan gusar bukan kepalang. Dan ketika Shi Shih disadarkan dan mengaku bahwa mereka dibius dua orang laki-laki yang bukan lain Hui-pian Siang-houw adanya, maka kemarahan kaisar mencapai puncaknya. Dia tahu siapa Hui-pian Siang houw itu, orang-orang kepercayaan atau pembantu Wu Yuan, menteri yang menjadi kepala rumah tangga istana. Dan karena bukti tak dapat disangkal lagi dan perbuatan ini tertangkap basah maka saat itu juga Wu Yuan dipanggil menghadap.
Menteri ini dimaki-maki. Kaisar hampir menyuruhnya bunuh. Tapi Wu Cu Shu yang juga menghadiri sidang kilat yang menggegerkan seluruh istara ini memohonkan ampun. Sebenarnya Wu Cu Shu bersiap-siap melindungi saudaranya itu, bahkan siap pula untuk menerima hukuman bersama. Karena mereka berdualah yang sesungguhnya mengatur semua kejadian itu. Tapi ketika dengan isyarat tertentu dan amat rahasia saudara sepupunya itu minta agar semua kesalahan ditimpakan saja kepadanya dan Wu Cu Shu diam tak usah mengaku maka menteri yang tertegun ini terpaksa menerima. Apalagi ketika malamnya mereka sudah saling berjanji, langsung tergesa-gesa bertemu setelah melihat tewasnya Hui-pian Siang houw.
"Kita tertangkap, Shu-twako. Pekerjaan yang dilakukan Hui-pian Siang-houw gagal!"
Itu ucapan pertama kali ketika saudara sepupunya itu datang. Dan Wu Cu Shu yang tentu saja kaget segera membelalakkan mata dengan muka berobah. "Siapa yang menggagalkannya?" suara menteri ini serak, hampir tak terdengar.
Dan Wu Yuan yang menceritakan kejadiannya lalu menjelaskan dengan tergesa-gesa, menceritakan bahwa diam-diam dia mengintai semua kejadian di belakang rumahnya. Betapa Sam-hek-bi-kwi muncul dan membunuh utusannya itu. Dan karena semuanya tertangkap basah maka tak ada jalan lain bagi mereka untuk melarikan diri.
"Karena itu kuminta padamu, Shu-twako. Karena Hui-pian Siang-houw adalah orang-orang kepercayaanku maka biarlah semuanya ini aku yang bertanggung jawab. Kaisar tentu marah, dan aku siap menerima hukumannya."
"Tidak!" Menteri Wu mengepalkan tinjunya. "Aku tak mau berkhianat, Yuan-te. Meskipun Hui-pian Siang-houw orang-orang kepercayaanmu tapi yang mengatur semuanya ini adalah kita berdua. Biar kita berdua pula yang mengakui perbuatan ini!"
"Jangan," sang adik menggeleng. "Kalau kita berdua yang menerima hukuman maka selanjutnya perjuangan kita terhenti, twako. Tak ada lagi yang meneruskan dan menghadapi selir berbahaya itu. Kau harus diam saja dan jangan ikut campur, ini akan kupikul sendiri!"
Wu Cu Shu menolak. Dengan sengit dan marah-marah dia menentang maksud saudaranya itu. Tapi ketika perdebatan memuncak dan dua kakak beradik itu bersitegang leher untuk sama-sama mempertahankan pendapatnya sendiri maka isteri Wu Yuan muncul, menangis melerai mereka.
"Sudahlah, ini adalah resiko perjuangan. Shu twako. Aku telah tahu apa yang kalian rencanakan. Suamiku benar, sebaiknya salah seorang di antara kalian yang mengakui perbuatan ini sementara yang lain meneruskannya untuk menghadapi selir itu. Tak boleh kalian berdua sama-sama menerima hukuman!"
"Kalau begitu aku saja yang menerimanya, hujin. Aku saudara tua wajib mengalah pada yang lebih muda!" Wu Cu Shu masih emosi, gagah dan jantan mengucapkan kata-katanya ini.
Tapi Wu Yuan yang menggoyangkan lengannya menolak. "Tidak, kedudukanmu lebih penting daripada aku, twako. Kau yang mengatur roda pemerintahan selama ini. Kalau kau tertangkap tentu roda pemerintahan akan dijalankan orang lain dan itu lebih berbahaya. Apalagi kalau selir itu ikut campur, memasang orangnya untuk menggantikan dirimu."
Wu Cu Shu terkejut. Dia tersentak oleh kata-kata saudaranya ini, tertegun dan seketika menghentikan debatnya. Dan melihat bahwa apa yang dikata saudaranya itu memang benar dan bisa saja terjadi, akhirnya dengan berat menteri ini menerima, menangis dan bercucuran air matanya memeluk sepupunya itu. Dan ketika beberapa saat kemudian kaisar memanggil saudaranya ini untuk mempertanggungjawabkan penculikan itu akhirnya menteri ini mengikuti persidangan dan berusaha membela.
Dan Wu-taijin berhasil. Dia harus susah payah mengajukan argumentasinya, mencoba meringankan hukuman yang dijatuhkan kaisar. Antara lain bersedia menggantikan saudaranya itu untuk menerima pertanggungjawaban. Dan karena berkali-kali menteri ini berjuang dengan gigih untuk membela saudaranya itu maka kaisar memperingan hukuman dengan mengenakan sanksi administratip. Wu Yuan dipecat dan dimutasikan, tidak lagi menjabat sebagai kepala rumah tangga istana melainkan menjadi gubernur di Propinsi Kwang-tung, jauh di luar kota raja. Jadi secara tidak langsung "ditendang" dari istana dan menjauhi pemerintahan pusat. Dan karena mengingat jasa-jasa Wu Cu Shu yang banyak berjasa terhadap roda pemerintahan dan Wu Yuan masih saudara dari menteri tua ini akhirnya bekas kepala rumah tangga kaisar itu dipindah dalam waktu 24 jam.
Wu Cu Shu lega. Wu Yuan juga lega, tak mengira bahwa perjuangan kakaknya berhasil. Kaisar diredakan kemarahannya dapat diberi pengertian bahwa betapapun penculikan Shi Shih belum sampai menginjak pada perbuatan lebih jauh, pembunuhan. Karena apa yang dilakukan oleh bekas kepala rumah tangga kaisar itu sekedar melepas kejengkelan. Jengkel bercampur iri seperti sengaja dikatakan Wu-taijin kepada kaisar. Satu pernyataan yang tentu saja dibuat begitu agar kaisar memperingan hukuman. Dan ketika benar apa yang diusahakan menteri ini berhasil maka tak syak lagi bekas kepala rumah tangga istana itu terharu.
Dia menangis dan merasa lolos dari maut. Tapi karena tak ada waktu lagi untuk melepas semua perasaan hatinya itu karena besok dia sudah harus meninggalkan kota raja, maka dua orang kakak beradik yang dilanda keprihatinan besar ini berpisah. Wu Cu Shu tak mengantar saudara sepupunya itu, kecuali sepucuk surat agar saudaranya itu berhati-hati. Dan ketika Wu Yuan berangkat meninggalkan kota raja, maka tinggalah menteri tua ini seorang diri di kamarnya.
Kejadian itu dianggap rakyat yang awam akan politik sebagai kesalahan Wu Yuan seorang. Tak ada yang mengira bahwa Wu-taijin (Wu Cu Shu) terlibat. Bahkan sebenarnya menteri tua ini diam-diam ingin membunuh Shi-Shih. Selir yang dirasa akan membahayakan negaranya itu. Dan ketika seminggu kemudian kaisar mengangkat Menteri Po Phi sebagai kepala rumah tangga kaisar menggantikan kedudukan saudara sepupu Wu Cu Shu maka untuk kesekian kalinya menteri ini tertegun.
Dia melihat apa yang dikata saudaranya itu benar. Shi Shih "menanamkan" orang-orangnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Karena Po Phi sebenarnya adalah menteri yang menjadi antek selir yang cerdik itu. Bahkan orang yang cukup dekat dengan Shi Shih. Dan membayangkan bahwa dia hampir terseret emosi dengan mengadakan pengakuan bersama tiba-tiba menteri tua itu terhenyak. Dia membayangkan, kalau seandainya kaisar membunuh atau mengusir dia tentu Po Phi itulah yang menggantikannya, mengatur roda pemerintahan dan bakal bekerja sama dengan Shi Shih. Kerja sama yang akan merusak negara dan justeru memperberat kebobrokan kas negara!
Dan membayangkan betapa yang dikata saudaranya itu hampir tak salah sama sekali, tiba-tiba menteri ini mencucurkan air matanya. Dia sedih sekali, prihatin dan amat berduka memikirkan nasib junjungannya. Tapi karena semuanya telah berlalu dan dia harus berhati-hati memperlihatkan tindak-tanduknya maka Wu taijin ini hanya menghela napas dalam. Dia tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika sebulan dua bulan kemudian dia melihat Shi Shih dan temannya itu gencar memelet pembesar-pembesar istana maka menteri ini pun mengeluh dan kembali menangis.
Dia tak tahu apa sebenarnya yang sedang direncanakan selir cantik ini. Kenapa mencari demikian banyak pembantu. Tapi karena yang "dipelet" itu adalah orang-orang istana serdiri dan bukan orang lain tentu saja Menteri Wu Cu Shu ini tak berkutik. Dia geram, namun tak dapat melampiaskan. Dan kerena berminggu-minggu menteri ini digeragoti perasaannya yang tumping tindih maka tak lama kemudian menteri ini jatuh sakit.
Wu Cu Shu menahan beban mental yang berat sekali. Dia tahu berdasarkan perasaannya bahwa ada sesuatu yang amat berbahaya sedang dilakukan selir cantik itu. Sesuatu yang tidak diketahuinya apa dan kapan "meletusnya". Dan karena hal ini mengganggu pikirannya selama berminggu-minggu dan dia tak dapat menjebak selir itu untuk melihat kandungan maksudnya maka tak heran kalau menteri setia yang sudah tua ini jatuh sakit. Tubuhnya yang rapuh semakin digeragoti usia. Dan ketika beberapa saat kemudian penyakitnya semakin memberat tiba-tiba menteri ini memanggil puteranya, Wu Hap.
"Hap-ji, kukira ajal ayahmu tak lama lagi. Maukah kau memenuhi pesanku?"
Wu Hap, pemuda pendiam yang akhir-akhir ini murung melihat keadaan ayahnya mengangguk. Dia mengusap dua butir air matanya yang jatuh di pipi, dan gemetar memandang sang ayah pemuda ini mencoba menghibur, "kau tak perlu bicara seperti itu, ayah. Kematian dan sangkut-pautnya tentang itu di tangan Tuhan."
"Benar, tapi... ugh!" menteri ini batuk-batuk. "Usiaku semakin tua, Hap-ji. Tanpa digerogoti penyakitpun tentu umurku tak panjang lagi. Maukah kau memenuhi permintaanku?"
"Boleh kau katakan, ayah. Tapi kalau kau lelah biar nanti saja. Aku dapat bersabar."
"Tidak.... tidak....!" menteri ini menggelengkan kepalanya berulang-ulang. "Aku ingin memesan padamu, Hap-ji. Kalau ajalku tiba sebaiknya kau pergi ke rumah sahabatku di Chi-ih. Carilah Tong Hing Lam yang membuka perusahaan piauw-kiok (ekspedisi barang) di sana. Temui pula pamanmu Wu Yuan. Aku, ugh....!"
Wu-taijin kembali batuk-batuk. Dia menghentikan kata-katanya, dan Wu Hap yang tentu saja terbelalak memandang sang ayah tiba-tiba menangis. "Ayah, sebaiknya kau tenangkan diri. Aku pasti memenuhi permintaanmu. Tapi kita ke sana pergi bersama, bukan hanya aku seorang. Kau pasti sembuh!"
"Ah, penyakit begini mana bisa sembuh, Hap-ji? Kalau sembuhpun tentu penyakit di hatiku tak dapat lenyap. Ini semua gara-gara selir siluman itu. Jahanam dia...!"
Wu Hap tersedak. Dia tak tahan melihat muka ayahnya yang begitu penuh kebencian terhadap Shi Shih, selir baru yang cepat menjadi buah bibir istana saking hebatnya menundukkan kaisar. Selir berpengaruh yang cerdik dan amat cerdas. Dan karena saban hari dia mendengar ayahnya menunjukkan ketidaksenangannya terhadap selir itu maka diapun tahu apa yang sebenarnya tersimpan di hati ayahnya ini. Dan Wu Hap tentu saja membela sang ayah. Dia ikut menaruh benci pada selir cantik itu. Dan sementara ayahnya batuk-batuk mengepalkan tinjunya mendadak sebuah bayangan berkelebat memasuki kamar.
"Heh-heh, kenapa bicara tentang kematian kalau ajal masih jauh, Wu-taijin? Aku bisa menolongmu. Penyakitmu dapat kusembuhkan!"
Wu Hap terkejut. Dia melihat seorang kakek tua berdiri di situ, tangannya memegang buli-buli (tempat arak) sambil menggelogok isinya. Kakek tak dikenal. Dan Wu Hap yang tentu saja terkesiap kaget langsung melompat bangun dan membentak,
"Orang tua, kau siapa?"
"Heh heh, aku Lo-ciu ( Arak Tua), Wu-kongcu. Aku guru Hui pian Siang houw yang tewas terbunuh itu!" kakek ini tertawa, menggoyang buli-bulinya dan melangkah lebar, maju mendekati pembaringan Wu taijin yang tentu saja terbelalak memandang kakek ini, tak percaya dan curiga. Tapi setelah Lo ciu menunjukkan cincin bermata hijau sebagai tanda utusan adiknya (Wu Yuan) barulah menteri ini tersentak dan gembira bukan main.
"Ah, kau utusan saudaraku, Lo-cianpwe? Kau datang dari Propinsi Kwang-tung?"
"Benar, aku datang secara rahasia, taijin. Gubernur Wu menyuruh aku ke sini untuk menyembuhkan sakitmu. Dia telah mendengar keadaanmu dan ikut cemas."
Wu-taijin girang. Dia turun dari pembaringannya, langsung menyambut kakek ini dengan mata berseri. Dan begitu mendengar kakek ini adalah utusan adiknya tiba-tiba secara aneh Wu taijin merasa sembuh setengah bagian. Dengan gembira dan penuh harap dia mendengar cerita kakek itu tentang keadaan saudaranya di Propinsi Kwang tung, yang ternyata baik-baik saja dan tidak mengalami gangguan. Dan ketika Lo-ciu mulai mengobati penyakitnya ternyata dalam beberapa hari saja Wu-taijin sembuh.
"Ah..., kau benar, Lo-cianpwe. Penyakitku sembuh dalam sekejap mata saja! Kiranya kau juga seorang ahli pengobatan?"
"Heh heh," kakek ini tertawa. "Sedikit-sedikit aku tahu arti penyakit, taijin. Dan untuk penyakitmu itu aku tahu obatnya. Kau hanya perlu menenangkan hati dan pikiran!"
"Benar, tapi kalau setiap hari melihat hal-hal yang membuatku sakit hati mana mungkin aku tak menderita, Lo-cianpwe? Ini semua gara-gara...."
"Gara-gara selir baru itu, bukan?" si Arak Tua memotong, berkilat matanya. "Aku telah mendengar semuanya itu, taijin. Aku tahu kenapa kalian berdua sampai gagal. Gubernur Wu telah menceritakannya secara lengkap kepadaku!"
Wu-taijin mengangguk. "Memang benar, dan apa rencana saudaraku sekarang ini, Lo-cianpwe? Kau membawa tugas lain selain menyembuhkan aku?"
"Ya. aku si tua ini ingin mencari Sam-hek bi-kwi, taijin. Aku ingin membalas kematian muridku pada tiga wanita iblis itu!"
"Hm, tapi Sam-hek-bi-kwi sekarang menjadi pergawal istana, Lo-cianpwe. Maksud hatimu terlalu berbahaya dan dapat mercelakakan dirimu sendiri. Sebaiknya bersabar dulu. Kau tinggal dulu di sini untuk menjadi perantara di antara kami."
"Aku tahu. Gubernur Wu juga menyatakan demikian, taijin. Dan mengingat hubungan mendiang dua orang muridku aku menyanggupkan diri membantu kalian. Percayalah, aku juga tak senang pada selir baru itu karena gara-gara mereka dua orang muridku terbunuh!"
Wu-taijin menghela napas. Kembali menyebut nama selir ini membuat hatinya sakit, geram dan marah. Dan Lo-ciu si Arak Tua yang akhirnya menjadi "penghubung" di antara dia dan adiknya di Propinsi Kwang-tung membuat menteri ini terhibur dan merasa mendapat bantuan. Sampai akhirnya, setelah cukup bergaul beberapa minggu lamanya dan mengenal baik kakek ini tiba-tiba Wu-taijin timbul pikiran baru untuk menyuruh puteranya berguru pada kakek penggelogok arak itu.
"Hap-ji, kulihat kakek ini cukup lihai. Bagaimana kalau kau menjadi muridnya?"
Wu Hap mengangguk. "Boleh. Aku memang tertarik padanya, ayah. Tapi bagaimana dengan kakek itu sendiri, maukah dia menerima aku sebagai muridnya? Maklum, aku tak pernah belajar silat, ayah. Jangan-jangan aku dianggapnya terlalu tua dan tak berguna!"
Sang ayah optimis. "Tidak, kurasa Lo-ciu tak keberatan, Hap-ji. Asal kau berlatih sungguh-sungguh tentu kau akan pandai pula menjaga dirimu. Sebaiknya Arak Tua itu kita panggil!"
Lo-ciu sudah menghadap. Dia tertawa ketika Wu-taijin menyatakan maksud hatinya, tapi mengangguk, tanpa banjak bicara dia menyatakan setuju. "Boleh, aku melihat tulang-tulang puteramu ini cukup baik, taijin. Tapi apakah aku cukup berharga menjadi gurunya biarlah kita lihat bersama!"
Hari itu juga Wu Han diambil murid. Dia sudah mulai diajar silat, berlatih di bawah bimbingan kekek tua ini. Dan karena hubungan mereka kian akrab maka sebentar saja si Arak Tua ini sudah dianggap keluarga sendiri oleh Wu-taijin. Dan pembesar ini semakin gembira. Jelek-jelek dia merasakan mendapat bantuan moral. Itu paling sedikit. Dan karena Lo-ciu menjadi kurir yang sering mondar-mandir dari kota raja ke Propinsi Kwang-tung maka hubungan yang semula putus di antara Wu-taijin dan Wu Yuan dapat tersambung kembali.
Maklum, sejak peristiwa itu Wu Cu Shu tak berani "mendekati" adiknya. Khawatir sorotan tajam yang dilakukan orang-orang istana. Dan ketika si Arak Tua ini menjadi jalan keluarnya, maka kembali disusunlah rencana-rencana mereka yang kandas di tengah jalan untuk menghancurkan Shi Shih, tak tahu betapa diam-diam lawan telah mencium semua gerak-geriknya ini, mengikuti tindak-tanduk menteri tua itu hingga ke rencana yang sekecilkecilnya. Dan ketika Wu Cu Shu mengadakan "kontak" dengan adiknya di Propinsi Kwang-tung maka saat itu pula lawan siap menjebaknya dengan satu muslihat yang cerdik.
* * * * * * * *
Agaknya kita perlu melihat kembali keadaan Kun Houw. Sementara biarlah kita tinggalkan dulu konflik batin di hati Wu taijin itu. Karena seperti yang kita ketahui, beberapa waktu yang lalu Kun Houw dibawa tiga orang Sam-hek-bi-kwi ini untuk pengobatan. Benarkah demikian?
Sebagian memang benar. Kun Houw dibawa ke kamar Bi Kwi, orang termuda dan tercantik di antara tiga bersaudara itu. Dan ketika Kun Houw dibawa masuk ke kamar wanita ini maka Bi Kwi benar-benar memberikan pengobatan. Kun Houw sudah diletakkan diatas pembaringan, masih pingsan. Dan ketika Bi Kwi melepas baju pemuda ini maka yang dilakukan pertama kali oleh wanita itu adalah.....bersiul.
"Fui, hebat pemuda ini, suci. Dia memiliki dada yarg bidang dan kulit yang putih bersih!"
Bi Hwa tertawa. Dia juga melihat itu, bergairah memandang dada telanjang Kun Houw lebar, tegap dan tampak berotot. Tapi Bi Gwat yang mendengus memperingatkan mereka berkata serius, "Jangan main-main. Puteri tertua Ok-ciangkun itu rupanya jatuh hati pada pemuda ini, sam-moi (adik ke tiga). Sebaiknya kita tolong dia dan sadarkan lebih dulu!"
Bi Kwi mengangguk. Ia tersenyum penuh arti, tertarik dan bangkit nafsunya melihat keadaan Kun Houw. Tapi menempelkan lengan di dada pemuda ini Bi Kwi berseru pada kakaknya nomor dua, "Ji-ci, sebaiknya kau bantu aku menyalurkan sinkang di belakang punggungnya. Pemuda ini luka parah menerima pukulan mujijat!"
"Ya, katanya Pendekar Gurun Neraka sendiri yang melukainya sumoi. Berarti dia terkena Pukulan Inti Petir itu. Lihat, dada kanannya gosong dan baju pundaknya hancur!"
Mereka semua terbelalak. Diam-diam kekaguman besar memancar di hati tiga orang wanita ini, melihat betapa Kun Houw mampu menerima pukulan Pendekar Gurun Neraka yang amat dahsyat itu, yang sudah mereka kenal kehebatannya dan tak perlu diragukan. Maka melihat Kun Houw dapat bertahan dan tidak tewas menerima pukulan Petir itu betapapun Sam-hek-bi kwi menjadi kagum. Bi Kwi sudah menyalurkan sinkangnya, menempelkan lengan di dada Kun Houw. Dan Bi Hwa yang juga menyalurkan sin-kang di punnggung Kun Houw dengan jalan memiringkan tubuh pemuda ini di hadapan mereka berdua sebentar saja sudah mulai bekerja membantu penyembuhan. Dan Bi Kwi terkejut.
"Wah, sinkangku bertemu hawa sakti yang bergolak dari pusarnya, cici. Apakah sinkangmu membentur hawa mujijat ini?"
"Ya," Bi Hwa ikut terkejut. "Aku merasakan daya dorong yang menolak balik sin-kangku, sumoi. Agaknya pemuda ini sudah memiliki sin-kang otomatis yang siap menyerang lawan kalau dia diserang. Dalam keadaan tidur sekalipun!"
Bi Kwi mengangguk. Dia memang terheran-heran dan kaget, merasa betapa sinkangnya ditolak oleh hawa sakti yang bergolak dari pusar pemuda ini. Melihat betapa secara otomatis sin-kang pemuda itu melindungi tuannya. Mengira diserang. Tapi setelah Bi Kwi menyesuaikan diri dan justeru mengikuti arus sinkang di tubuh Kun Houw, maka barulah tolakan ini berhenti dan dapat diajak "bersahabat".
Bi Kwi tertegun. "Hebat, pemuda ini memiliki sinkang luar biasa, cici. Rupanya itulah yang di maksud Ok-ciangkun, sebagai Tenaga Ular di kundalini saktinya!"
"Ya, rupanya secara aneh pemuda ini telah melatih sin-kang yang dahsyat, sumoi. Mengherankan benar bagaimana dalam usianya yang semuda ini dia berhasil memiliki sinkang Tenaga Ular!"
"Warisan mendiang gurunyakah?"
"Tak mungkin. Jago pedang itu tak memiliki sinkang macam ini, sumoi. Ok-ciangkun sendiri curiga bahwa jangan-jangan pemuda ini mendapatkan sinkangnya dari orang lain, seorang tokoh sakti. Tapi siapa? Kalau Pendekar Gurun Neraka jelas tak mungkin. Tentu orang lain yang tak kita kenal atau...." Bi Hwa tertegun. "Pedang Medali Naga!"
Sam-hek-bi-kwi terkejut. Mereka teringat ini. Teringat bahwa Kun Houw dikabarkan memiliki pedang pusaka itu. Pedang yang tidak mereka lihat dan baru sekarang sadar bahwa Kui Hoa memberikan Kun Houw kepada mereka tanpa pedang keramat itu. Dan Bi Kwi yang membelalakkan matanya tiba-tiba mendesis,
"Benar, dan Pedang Medali Naga tak ada di tubuh pemuda ini, ji-ci. Mungkin saja Kun Houw mendapatkan tenaga saktinya itu dari warisan pedang keramat."
"Mungkin saja." Bi Hwa berkilat penuh gairah. "Mungkin saja pemuda ini mejdapatkan tambahan ilmunya dari pedang yang luar biasa itu, sumoi. Tapi benarkah Pedang Medali Naga menyimpan petunjuk tentang melatih tenaga sakti?"
"Tidak." Bi Gwat kali ini bicara. "Aku tak mendengar kehebatan pedang itu selain ketajamannya, sumoi. Pedang Medali Naga bukan pedang yang menyimpan petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat. Aku tahu itu!"
"Kalau begitu dari mana pemuda ini memiliki sinkang demikian dahsyat? Dia mampu menahan pukulan Petir yang dimiliki Pendekar Gurun Neraka!"
"Entahlah," Bi Gwat menggelengkan kepalanya. "Ini rahasia yang hanya diketahui pemuda itu sendiri, sumoi. Kalau ingin tahu tentu saja kita harus menyadarkannya."
Bi Hwa dan adiknya mengangguk. Mereka mempercepat proses penyembuhan dengan sinkang itu, semakin tertarik dan kagum memandang Kun Houw. Dan ketika beberapa lama kemudian Kun Houw mengeluarkan keluhan perlahan maka Bi Kwi melepas telapaknya, berseru girang,
"Dia sadar...!"
Bi Gwat dan Bi Hwa mengangguk. Mereka melihat Kun Houw membuka matanya, dan Bi Hwa yang juga melepas telapaknya dari punggung pemuda itu sudah melompat turun dengan muka berseri, "Anak muda, bangunlah....!"
Kun Houw merasa mimpi. Dia tentu saja tak segera tahu apa yang terjadi. Kesadarannya masih setengah melayang di tempat hampa. Tapi ketika beberapa detik kemudian dia ingat akan pertempurannya dengan Pendekar Gurun Neraka dan dia roboh menerima pukulan dahsyat mendadak tanpa diulang Kun Houw mencelat bangun dan langsung menghantam Bi Hwa yang paling dekat dengannya!
"Haiit...!"
Bi Hwa kaget bukan main. Dia terkesiap oleh serangan ini, tak menduga sama sekali, mendengar pekik Kun Houw yang melengking tinggi. Tapi melihat lawan menghantam dan tak mungkin dia mengelak maka tiba-tiba Bi Hwa membentak dan mendorongkan lengan kanannya.
"Dess...! Bi Hwa terlempar. Orang kedua dari Sam-hek-bi-kwi ini menjerit, mencelat menghantam pintu yang pecah berantakan. Kaget oleh kedahsyatan sinkang lawan yang mengangkat tubuhnya demikian ringan. Seolah belalai gajah membantingnya di lantai kamar. Dan ketika Bi Hwa terguling-guling dan dua saudaranya berseru kaget maka Kun Houw sadar bahwa yang di serang bukanlah isteri Pendekar Gurun Neraka, Ceng Bi, wanita cantik yang galak dan disangkanya berdiri di sampingnya tadi. Dan Kun Houw yang tentu saja terkejut melihat Bi Hwa terguling-guling segera tertegun di tempatnya dan menjadi bengong. Apalagi ketika melihat Bi Kwi dan Bi Gwat yang tak dikenal. Dua wanita cantik yang asing baginya tapi ada di dalam kamar itu!
Dan Bi Hwa yang tentu saja gusar oleh serangan Kun Houw sudah melompat bangun dan memaki, "Bocah keparat, beginikah balas budimu kepada orang yang menyembuhkanmu? Kau kurang ujar. Tak tahu aturan....!"
Kun Houw menjublak. Dia sekarang melihat jelas tiga wanita setengah umur ini, sadar setelah ingatannya bekerja penuh. Maka terkejut dan melompat mundur dia bertanya dengan muka berobah, "Maaf, siapa kalian?!"
Bi Kwi mendahului kakaknya, "Kami Sam-hek-bi-kwi. Kun Houw. Aku dan enciku nomor dua itulah yang menyembuhkanmu!"
Kun Houw tercekat. Dia merasa bahwa tubuhnya memang telah sehat kembali, segar dan lenyap pengaruh pukulan Pendekar Gurun Neraka yang dahsyat itu. Dan heran bahwa tiga wanita cantik ini mengenal dia Kun Houw pun membelalakkan mata. "Kalian tahu namaku?"
Bi Kwi tersenyum. "Tentu saja. Kita bukanlah orang lain, Kun Houw. Dan lagi, siapa tak mengenal mendiang gurumu yang lihai itu? Si jago pedang Kun Seng adalah sahabat dan teman akrab kami. Kita adalah orang-orang sendiri!"
Kun Houw tertegun. Dia tak percaya begitu saja kata-kata ini, tapi melihat orang telah menyembuhkannya dari pukulan Pendekar Gurun Neraka yang membuat dia hampir tewas tentu saja tak enak baginya untuk menaruh curiga. Maka diapun memberi hormat, dan melihat Bi Hwa mendelik padanya Kun Houw buru-buru menyatakan penyesalannya, "Maaf, terima kasih untuk pertolongan kalian, Sam-hek-bi-kwi. Tapi dimana dua orang temanku yang ikut bersamaku? Di mana aku kini?"
"Hi-hik, kau maksudkan dua gadis kembar puteri Ok-ciangkun itu, Kun Houw? Mereka sudah dipanggil ayahnya. Kau berada di tempat Ok-ciangkun sekarang."
Kun Houw terkejut. Dia melihat tiga wanita itu memandang penuh kagum kepadanya, memandang dadanya yang telanjang tak berbaju. Dan Kun Houw yang jengah melihat ini tiba-tiba menyambar bajunya di atas meja. Tapi Bi Kwi tertawa, menahan bajunya dan menyerahkan baju baru yang cepat dikeluarkan dari lemari. Dan genit memandang Kun Houw wanita ini berkata,
"Sebaiknya kau buang bajumu yang lama itu, Kun Houw. Pakai saja baju baru ini dan buang baju yang sobek-sobek itu!"
Kun Houw tak dapat menolak. Dia menerima baju itu, tapi Bi Kwi yang memasangkannya dengan sikap centil membuat Kun Houw semburat merah. Dan ketika baju sudah melekat tanpa diminta tahu-tahu Bi Kwi mencubit dagunya dan berseru genit, "Ih, tampan kau, Kun Houw. Tak beran kalau Kui Hoa jatuh hati padamu!"
Kun Houw melangkah mundur. Dia kaget dan marah oleh sikap yang dianggapnya "berani" ini, tapi ingat bahwa orang telah menyembuhkannya dari luka yang berbahaya dia pun menahan diri dan terbelalak. Dan saat itu pintu diketuk orang. "Sam-wi-niocu (nona bertiga), ciangkun mengundang kalian untuk jamuan malam...!"
Bi Kwi mendesah. Ia rupanya kecewa oleh gangguan ini, tapi kakaknya yang ingat akan sesuatu tiba-tiba berkelebat keluar. "Benar, kita janji untuk ke sana, sumoi. Ayo bawa pemuda ini menghadap Ok-ciangkun!"
Bi Hwa juga mengikuti kakaknya. Dia sudah berkelebat pula meninggalkan kamar, dan Bi Kwi yang sendirian bersama Kun Houw tiba-tiba menyambar lengan pemuda ini, menggandengnya tanpa malu-malu!
"Kun Houw, ayo kita menerima undangan Ok-ciangkun ini. Ada sebuah berita penting untuk kita ketahui!"
Kun Houw lagi-lagi tak dapat mengelak. Dia kurang kenal siapa tiga orang wanita ini. Tapi ketika Bi Kwi mengempit lengannya dan wanita itu terkekeh genit diapun melepaskan diri dengan tidak ragu-ragu lagi. "Maaf, biarkan aku berjalan sendiri, niocu! Jangan membawaku seperti ini."
Bi Kwi terbelalak. Dia mau marah, tapi melihat Kun Houw memandangnya tak senang dan mata pemuda itu bersinar tak takut kepadanya tiba-tiba waaita ini terkekeh. '"Bagus, kau memang pemuda yang hebat, Kun Houw. Rupanya tak sia-sia Ok-ciangkun mengambilmu sebagai pembantu. Ayolah, kita ke sana....!"
Kun Houw mengangguk. Dia mau mengikuti wanita ini di belakangnya, dan ketika mereka tiba di ruangan luas dan melihat banyak orang berkumpul menghadapi sebuah meja besar yang penuh makanan dan arak tiba-tiba Kun Houw berhenti dan membelalakkan matanya, melihat betapa Hun Kiat dan Mayat Hidup ada di situ! Dan Kun Houw yang langsung gemetar dengan mulut dikatup repat tiba-tiba mogok tak mau maju!
"Eh, kenapa kau, Kun Houw? Ada apa?" Bi Kwi ikut berhenti, terbelalak memandang temannya dan membuat semua orang menoleh. Dan Ok-ciangkun yang melihat kedatangan mereka tiba-tiba berseru dan bangkit dari kursinya,
"Kun Houw, ke marilah. Duduk dan bersikaplah biasa kepada para pembantuku ini. Mereka adalah kawan!"
Kun Houw tak dapat maju. Dia teringat akan kematian ibunya, akan kekejaman Hun Kiat dan Mayat Hidup itu. Dan mendelik tak mampu iiienguasai diri sekonyong-konyong dia berkelebat menerjang lawan. "Hun Kiat, bayar hutang jiwa ibuku di sini....!"
Semua orang terkejut. Hun Kiat atau yang dulu bernama Ceng Liong itu menendang kursinya, meluncur mundur dan langsung melompat bangun. Dan begitu Kun Houw menghantam dadanya dengan pukulan berat diapun menangkis dan mengeluarkan bentakan keras.
"Dukk!"
Dua pemuda itu terdorong. Mereka terpental dan sama-sama membuat orang terbelalak, kagum oleh benturan keras yang membuat ruangan itu tergetar seakan dilanda gempa, piring dan mangkok di atas meja mencelat dan ada yang pecah. Tapi Ok-ciangkun yang melerai dengan bentakannya yang penuh wibawa sudah berdiri di antara dua orang muda ini, "Kun Houw, jangan membuat onar. Ingat akan janjimu kepadaku...!"