PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 19
KARYA BATARA
"Tak perlu sungkan. Aku relakan semuanya, hanggoda. Demi persahabatan kita...!"
Gurba tertegun, Dia tentu saja tak dapat bicara, pangeran dan Wan Cu sama-sama memandangnya, Wan Cu malah tersenyum aneh. Bibir yang indah itu seolah bergerak penuh janji. Gurba berdebar dia hilang akal kesadarannya begitu saja dan tiba-tiba lumpuh menghadapi Wan Cu. Kelaki-lakiannya mendapat isyarat yang mengodakan sukma. Tentu saja dia tidak bodoh.
Dan karena saat itu dia lagi kecewa pada sumoinya dan ajakan ini menggelorakan semangatnya tiba-tiba Gurba merah mukanya dan tertawa aneh, menyeringai kepada Wan Cu. Pandangan Wan Cu memabokkan raksasa ini dan Gurba mengangguk. Dan begitu Pangeran Muda tertawa dan menggandeng lengannya tiba tiba, serasa berdiri di mega nan indah Gurba telah dibawa ke istana pangeran itu.
Dan Gurba di penuhi janjinya. Raksasa ini benar benar mendapatkan kamar Wan Cu. Kamar yang besar dan harum. Dan karena kamar itu adalah kamar wanita dan Wan Cu sehari harinya tinggal di sini, maka bedak dan wewangian terhampar di situ, membuat Gurba menggigil dan berkali-kali menelan ludah. Dan ketika malam itu dia berada di kamar ini dan gemetar tak karuan, tiba-tiba Wan Cu mengetuk pintunya dan masuk kedalam. Gurba terbelalak.
Wan Cu mengenakan pakaian tipis, demikian tipis hingga semua yang ada didalam nampak. Pakaian tidur yang tembus pandang. Jakun gurba seakan meloncat melihat semuanya itu. Dan ketika Wan Cu menutup pintu kamar dan tersenyum kepadanya, wanita itu sudah membungkukkan tubuh memperlihatkan belahan dadanya.
“Maaf, aku ingin bercakap-cakap hanggoda. Kau belum tidur bukan?”
“Ah, tidak… eh, belum! Aku… aku belum tidur!”
Gurba tiba-tiba gugup, seakan orang tolol dan terbelalak memandang Wan Cu yang menghampirinya dengan lenggang memikat. Senyumnya demikian memabokkan dan aduhai. Dan ketika dengan lembut dan halus wanita itu duduk dikursi, maka Gurba berdiri dengan muka merah tak karuan. “Hujin, kau… ehh, tak diantar suamimu?”
“Hi-hi, suamiku letih, hanggoda. Dia menyuruhku ke sini untuk membicarkan sesuatu. Ia tak akan kemari kita berdua boleh bicara sebebasnya.”
“Tapi….”
“Ah, kenapa demikian canggung, hanggoda Siauw-ongya membebaskan kau berbuat segalanya. dan ayahanda kaisarpun tak melarangmu, diistana ini.”
Dan Wan Cu mempersilahkan Gurba duduk akhirnya menarik napas tersenyum memandang raksasa ini, senyum kagum. “Hanggoda, malam ini suamiku ingin aku bercakap cakap tentang rencana yang belum dijelaskan. Kami berdua kagum padamu, memang hanya kaulah yang dapat melicinkan jalan yang mungkin berbatu. Kita siap berbicara?”
Gurba menelan ludah, tak dapat menekan detak jantungnya. Tapi karena orang bertanya diapun mengangguk. “Tentu, apa hujin?”
“Pertama...” Wan Cu tertawa kecil. “kau sebut saja namaku begitu saja, hanggoda. Malam ini kita hanya berdua. Tak ada orang lain. Kau boleh panggil aku Wan Cu dan buang sebutan hujin (nyonya) itu.“
“Ahh... mana bisa!”
“Kenapa tidak? Kita orang-orang sendiri hanggoda, dan aku menginginkan percakapan yang lebih akrab. Santai tapi akrab!” dan Wan Cu yang tersenyum memandang raksasa ini tiba-tiba memegang lengannya, membuat Gurba berdesir.
“Hanggoda, kau mengingikan pembicaraan yang akrab bukan? Kau tak menolak permintaan ku?”
“Tentu, tapi... tapi...“
“Tak ada tetapi, hanggoda… Kau buang kecanggunganmu itu dan kita bercakap cakap seperti biasa.”
Gurba tergetar. Dia melihat Wan Cu menekan lengannya sedikit keras, merasakan jari jari yang lunak dan lembut itu mengalirkan hawa hangat, meresap dan menembus ke relung hatinya. Tentu saja membuat dia panas dingin dan menggigil. tapi ketika Wan Cu tertawa dan dia malu pada diri sendiri tiba tiba Gurba menyeringai dan berkejap kejap. Dan Wan Cu memandangnya dengan senyum manis.
“Bagaimana, kau setuju hanggoda?”
Gurba mengangguk
“Kenapa tak bersuara?”
“Eh...” Gurba terkejut. “Haruskah bersuara hujin? Bukankah aku setuju?”
“Nah ini,“ Wan Cu terkekeh. “Kau masih menyebutku hujin, hanggoda. Ini berarti melanggar permintaanku!"
Dan ketika Gurba semburat merah dan gugup oleh kata katanya, tiba-tiba Wan Cu berdiri memperlihatkan bentuk tubuhnya. Gurba semakin tersirap.
“Hanggoda tak maukah kau menyebutku Wan Cu? Jelekkah namaku itu?”
Gurba panas dingin. “tidak... aku... ehh, aku lupa… hu... eh, Cu moi. Aku belum terbiasa memanggil mu!” dan Wan Cu yang terkekeh disebut Cu-moi (adik/dinda Cu) tiba tiba duduk membusungkan dadanya.
“Nah begitu. Terima kasih, hanggoda. Sekarang kita akrab!” dan Wan Cu yang tidak malu lagi menyambar lengan Gurba tiba tiba mendekatkan tubuhnya menarik raksasa itu, sengaja menampakkan belahan dadanya yang semakin membukit penuh. “Hanggoda, kau siap membantu kami sepenuh hati bukan?”
Gurba memejamkan mata, napas serasa sesak “Tentu…”
“Kenapa begini?” Wan Cu cemberut. ”Aku tak mau bicara dengan orang yang memejamkan matanya, hanggoda. Atau, hmm... atau mungkin aku jelek!”
Gurba terkejut. Wan Cu telah menarik lengannya. Bibir yang indah itu di katup, sekan orang marah Dan Gurba yang buru buru membuKa mata dan tertawa gugup, tiba tiba ganti menyambar lengan itu dan berkata, setengah menggigil dan agak parau. “Cu moi siapa bilang kamu jelek. Justru aku menutup mata karena takut. Aku takut melihat kecantikkanmu!” dan ketika Wan Cu membuka mata dan setengah tersenyum tiba tiba Gurba telah mengangkat lengan yang lembut itu, mencium jarinya. “Cu-moi, kau cantik. Setiap orang pun pasti akan memuji kecantikanmu ini!”
“Benarkah?”
“Tentu, bukankah suamimu juga sering memujimu?”
“Ahhh” Wan Cu tiba tiba cemberut kembali. “Jangan sebut sebut nama orang lain di sini hanggoda. Hubungan kita terpasang jarak lagi.”
Gurba terbelalak. “Maaf. Tapi...”
“Tapi apa?” Wan Cu memotong, “Sudah ku bilang kita hanya berdua, hanggoda. Tak perlu orang lain disebut sebut disini, biarpun dia itu suamiku!”
Gurba melenggong dan Wan Cu tersenyum manis, tiba-tiba berubah genit dan mengerling tajam. Hanggoda tak tahukah kau sikap kami? Tak mengertikah perasaan mu tentang semuanya ini?"
“Aku tahu...” Gurba menggigil. “Tapi aku ragu Cu moi, Aku tak percaya dan...”
“Baik, cukup kalua begitu. Aku datang memang untuk menghiburmu!”
Dan Wan Cu yang memang tak sabar, tiba tiba bangkit dan duduk di pangkuan Gurba. Begitu saja hingga Gurba tersentak, kaget bukan main. Dan ketika Wan Cu memutar tubuhnya dan Gurba “tersengat” tiba-tiba Wan Cu telah memeluk leher raksasa ini sementara buah dadanya yang membukit penuh, nyaris mengenai hidung! “Hanggoda, kau benar benar siap membantu kami, bukan?”
Gurba merah padam, tak dapat menjawab karena masih terkejut.
“Eh,.. kau tak mau membantuku, hanggoda? Kau menarik janji?”
“Tidak...” Gurba akhirnya gemetar, suaranya hilang timbul. “Aku tak menarik janjiku, Cu moi Dan aku siap membantu asal imbalan yang ku terima cukup sepadan!”
“Tentu sepadan!” Wan Cu tersenyum aneh. “Dan imbalan pertama adalah tubuhku, hanggoda. Suamiku memperkenankan kau memilikinya asal kau membantu kami, dengan sumpah!”
Dan ketika Gurba terbelalak dan gemetar tak karuan, tiba-tiba Wan Cu menunduk dan telah mencium raksasa tinggi besar itu, melumatnya dan menghisap penuh nafsu. Gurba dibuat meremang, karena lumatan wanita ini jauh diatas kontan terjungkal dan roboh. Tapi ketika raksasa ini menyerang dan menyambar Wan CU, tiba tiba Wan Cu mendorong lengannya bersikap menahan.
“Stop, nanti dulu. Kau harus berjanji hanggoda. Kau harus bersumpah!”
“Aku bersumpah!” Gurba tak tahan lagi, langsung berseru. “Aku akan membantu kalian, Cu moi. Dan tak akan mundur kalau belum berhasil!”
“Bagus, kalau begitu sabar sebentar. Kita harus berbicara sedikit!” dan Wan Cu yang tersenyum melepaskan diri tiba tiba berdiri di depan Gurba, menurunkan sedikit baju atasnya, hingga Gurba melotot. Buah dada itu tersembul lebih jelas, putih dan montok! Dan ketika Gurba mengereng dan siap menubruk buru buru wanita itu berkata. “Hanggoda, tunggu dulu. Janji dan sumpah mu telah aku dengar. Tapi kau tak boleh tinggal disini, kau keluar tembok besar!”
“Apa?” Gurba terkejut bukan main. “kau mengusirku, Cu moi?”
“Tidak...! Itu tugasmu sebagai bantuan terhadap kami, hanggoda. Sebab kalau kau terus disini, maka usaha kita tak berjalan!”
Dan Wan Cu secepatnya memberi tahu apa yang dimaksud, tiba-tiba Gurba tertegun, karena Siauw ongya menghendaki dia menyusun barisan, bukan di daerah Tionggoan, melainkan di luar tembok besar sana. Menyuruh raksasa itu menyiapkan pasukan besar untuk kelak dipakai memukul kota raja, menyuruh raksasa itu mengacau dengan suku-suku liar. Suku yang bertebaran di padang rumput dan harus dia kumpulkan.
Gurba tertegun, Dia tentu saja tak dapat bicara, pangeran dan Wan Cu sama-sama memandangnya, Wan Cu malah tersenyum aneh. Bibir yang indah itu seolah bergerak penuh janji. Gurba berdebar dia hilang akal kesadarannya begitu saja dan tiba-tiba lumpuh menghadapi Wan Cu. Kelaki-lakiannya mendapat isyarat yang mengodakan sukma. Tentu saja dia tidak bodoh.
Dan karena saat itu dia lagi kecewa pada sumoinya dan ajakan ini menggelorakan semangatnya tiba-tiba Gurba merah mukanya dan tertawa aneh, menyeringai kepada Wan Cu. Pandangan Wan Cu memabokkan raksasa ini dan Gurba mengangguk. Dan begitu Pangeran Muda tertawa dan menggandeng lengannya tiba tiba, serasa berdiri di mega nan indah Gurba telah dibawa ke istana pangeran itu.
Dan Gurba di penuhi janjinya. Raksasa ini benar benar mendapatkan kamar Wan Cu. Kamar yang besar dan harum. Dan karena kamar itu adalah kamar wanita dan Wan Cu sehari harinya tinggal di sini, maka bedak dan wewangian terhampar di situ, membuat Gurba menggigil dan berkali-kali menelan ludah. Dan ketika malam itu dia berada di kamar ini dan gemetar tak karuan, tiba-tiba Wan Cu mengetuk pintunya dan masuk kedalam. Gurba terbelalak.
Wan Cu mengenakan pakaian tipis, demikian tipis hingga semua yang ada didalam nampak. Pakaian tidur yang tembus pandang. Jakun gurba seakan meloncat melihat semuanya itu. Dan ketika Wan Cu menutup pintu kamar dan tersenyum kepadanya, wanita itu sudah membungkukkan tubuh memperlihatkan belahan dadanya.
“Maaf, aku ingin bercakap-cakap hanggoda. Kau belum tidur bukan?”
“Ah, tidak… eh, belum! Aku… aku belum tidur!”
Gurba tiba-tiba gugup, seakan orang tolol dan terbelalak memandang Wan Cu yang menghampirinya dengan lenggang memikat. Senyumnya demikian memabokkan dan aduhai. Dan ketika dengan lembut dan halus wanita itu duduk dikursi, maka Gurba berdiri dengan muka merah tak karuan. “Hujin, kau… ehh, tak diantar suamimu?”
“Hi-hi, suamiku letih, hanggoda. Dia menyuruhku ke sini untuk membicarkan sesuatu. Ia tak akan kemari kita berdua boleh bicara sebebasnya.”
“Tapi….”
“Ah, kenapa demikian canggung, hanggoda Siauw-ongya membebaskan kau berbuat segalanya. dan ayahanda kaisarpun tak melarangmu, diistana ini.”
Dan Wan Cu mempersilahkan Gurba duduk akhirnya menarik napas tersenyum memandang raksasa ini, senyum kagum. “Hanggoda, malam ini suamiku ingin aku bercakap cakap tentang rencana yang belum dijelaskan. Kami berdua kagum padamu, memang hanya kaulah yang dapat melicinkan jalan yang mungkin berbatu. Kita siap berbicara?”
Gurba menelan ludah, tak dapat menekan detak jantungnya. Tapi karena orang bertanya diapun mengangguk. “Tentu, apa hujin?”
“Pertama...” Wan Cu tertawa kecil. “kau sebut saja namaku begitu saja, hanggoda. Malam ini kita hanya berdua. Tak ada orang lain. Kau boleh panggil aku Wan Cu dan buang sebutan hujin (nyonya) itu.“
“Ahh... mana bisa!”
“Kenapa tidak? Kita orang-orang sendiri hanggoda, dan aku menginginkan percakapan yang lebih akrab. Santai tapi akrab!” dan Wan Cu yang tersenyum memandang raksasa ini tiba-tiba memegang lengannya, membuat Gurba berdesir.
“Hanggoda, kau mengingikan pembicaraan yang akrab bukan? Kau tak menolak permintaan ku?”
“Tentu, tapi... tapi...“
“Tak ada tetapi, hanggoda… Kau buang kecanggunganmu itu dan kita bercakap cakap seperti biasa.”
Gurba tergetar. Dia melihat Wan Cu menekan lengannya sedikit keras, merasakan jari jari yang lunak dan lembut itu mengalirkan hawa hangat, meresap dan menembus ke relung hatinya. Tentu saja membuat dia panas dingin dan menggigil. tapi ketika Wan Cu tertawa dan dia malu pada diri sendiri tiba tiba Gurba menyeringai dan berkejap kejap. Dan Wan Cu memandangnya dengan senyum manis.
“Bagaimana, kau setuju hanggoda?”
Gurba mengangguk
“Kenapa tak bersuara?”
“Eh...” Gurba terkejut. “Haruskah bersuara hujin? Bukankah aku setuju?”
“Nah ini,“ Wan Cu terkekeh. “Kau masih menyebutku hujin, hanggoda. Ini berarti melanggar permintaanku!"
Dan ketika Gurba semburat merah dan gugup oleh kata katanya, tiba-tiba Wan Cu berdiri memperlihatkan bentuk tubuhnya. Gurba semakin tersirap.
“Hanggoda tak maukah kau menyebutku Wan Cu? Jelekkah namaku itu?”
Gurba panas dingin. “tidak... aku... ehh, aku lupa… hu... eh, Cu moi. Aku belum terbiasa memanggil mu!” dan Wan Cu yang terkekeh disebut Cu-moi (adik/dinda Cu) tiba tiba duduk membusungkan dadanya.
“Nah begitu. Terima kasih, hanggoda. Sekarang kita akrab!” dan Wan Cu yang tidak malu lagi menyambar lengan Gurba tiba tiba mendekatkan tubuhnya menarik raksasa itu, sengaja menampakkan belahan dadanya yang semakin membukit penuh. “Hanggoda, kau siap membantu kami sepenuh hati bukan?”
Gurba memejamkan mata, napas serasa sesak “Tentu…”
“Kenapa begini?” Wan Cu cemberut. ”Aku tak mau bicara dengan orang yang memejamkan matanya, hanggoda. Atau, hmm... atau mungkin aku jelek!”
Gurba terkejut. Wan Cu telah menarik lengannya. Bibir yang indah itu di katup, sekan orang marah Dan Gurba yang buru buru membuKa mata dan tertawa gugup, tiba tiba ganti menyambar lengan itu dan berkata, setengah menggigil dan agak parau. “Cu moi siapa bilang kamu jelek. Justru aku menutup mata karena takut. Aku takut melihat kecantikkanmu!” dan ketika Wan Cu membuka mata dan setengah tersenyum tiba tiba Gurba telah mengangkat lengan yang lembut itu, mencium jarinya. “Cu-moi, kau cantik. Setiap orang pun pasti akan memuji kecantikanmu ini!”
“Benarkah?”
“Tentu, bukankah suamimu juga sering memujimu?”
“Ahhh” Wan Cu tiba tiba cemberut kembali. “Jangan sebut sebut nama orang lain di sini hanggoda. Hubungan kita terpasang jarak lagi.”
Gurba terbelalak. “Maaf. Tapi...”
“Tapi apa?” Wan Cu memotong, “Sudah ku bilang kita hanya berdua, hanggoda. Tak perlu orang lain disebut sebut disini, biarpun dia itu suamiku!”
Gurba melenggong dan Wan Cu tersenyum manis, tiba-tiba berubah genit dan mengerling tajam. Hanggoda tak tahukah kau sikap kami? Tak mengertikah perasaan mu tentang semuanya ini?"
“Aku tahu...” Gurba menggigil. “Tapi aku ragu Cu moi, Aku tak percaya dan...”
“Baik, cukup kalua begitu. Aku datang memang untuk menghiburmu!”
Dan Wan Cu yang memang tak sabar, tiba tiba bangkit dan duduk di pangkuan Gurba. Begitu saja hingga Gurba tersentak, kaget bukan main. Dan ketika Wan Cu memutar tubuhnya dan Gurba “tersengat” tiba-tiba Wan Cu telah memeluk leher raksasa ini sementara buah dadanya yang membukit penuh, nyaris mengenai hidung! “Hanggoda, kau benar benar siap membantu kami, bukan?”
Gurba merah padam, tak dapat menjawab karena masih terkejut.
“Eh,.. kau tak mau membantuku, hanggoda? Kau menarik janji?”
“Tidak...” Gurba akhirnya gemetar, suaranya hilang timbul. “Aku tak menarik janjiku, Cu moi Dan aku siap membantu asal imbalan yang ku terima cukup sepadan!”
“Tentu sepadan!” Wan Cu tersenyum aneh. “Dan imbalan pertama adalah tubuhku, hanggoda. Suamiku memperkenankan kau memilikinya asal kau membantu kami, dengan sumpah!”
Dan ketika Gurba terbelalak dan gemetar tak karuan, tiba-tiba Wan Cu menunduk dan telah mencium raksasa tinggi besar itu, melumatnya dan menghisap penuh nafsu. Gurba dibuat meremang, karena lumatan wanita ini jauh diatas kontan terjungkal dan roboh. Tapi ketika raksasa ini menyerang dan menyambar Wan CU, tiba tiba Wan Cu mendorong lengannya bersikap menahan.
“Stop, nanti dulu. Kau harus berjanji hanggoda. Kau harus bersumpah!”
“Aku bersumpah!” Gurba tak tahan lagi, langsung berseru. “Aku akan membantu kalian, Cu moi. Dan tak akan mundur kalau belum berhasil!”
“Bagus, kalau begitu sabar sebentar. Kita harus berbicara sedikit!” dan Wan Cu yang tersenyum melepaskan diri tiba tiba berdiri di depan Gurba, menurunkan sedikit baju atasnya, hingga Gurba melotot. Buah dada itu tersembul lebih jelas, putih dan montok! Dan ketika Gurba mengereng dan siap menubruk buru buru wanita itu berkata. “Hanggoda, tunggu dulu. Janji dan sumpah mu telah aku dengar. Tapi kau tak boleh tinggal disini, kau keluar tembok besar!”
“Apa?” Gurba terkejut bukan main. “kau mengusirku, Cu moi?”
“Tidak...! Itu tugasmu sebagai bantuan terhadap kami, hanggoda. Sebab kalau kau terus disini, maka usaha kita tak berjalan!”
Dan Wan Cu secepatnya memberi tahu apa yang dimaksud, tiba-tiba Gurba tertegun, karena Siauw ongya menghendaki dia menyusun barisan, bukan di daerah Tionggoan, melainkan di luar tembok besar sana. Menyuruh raksasa itu menyiapkan pasukan besar untuk kelak dipakai memukul kota raja, menyuruh raksasa itu mengacau dengan suku-suku liar. Suku yang bertebaran di padang rumput dan harus dia kumpulkan.
Tentu saja kecewa karena harus meninggalkan istana. Atau lebih tepatnya, meninggalkan Wan Cu yang siap memberikan kehangatan ini. Tapi ketika Wan Cu memberitahukan bahwa persoalan itu dapat diatur dan kepergian Gurba juga boleh di undur satu dua minggu lagi, agar mereka dapat bersenang-senang, tiba-tiba Gurba tertawa dan girang bukan main.
“Bagus, kalau begitu aku setuju, Cu moi. Dan aku akan pergi kalau kepuasan telah kudapat disini!”
“Dan kau boleh sewaktu waktu menjeguk ku, hanggoda. Aku siap memberikan tubuhku kapan saja kau minta!”
“Kau berjanji?”
“Aku bersumpah!”
Dan Gurba yang tertawa gelak, tiba tiba menyambar wanita ini, Wan Cu tersenyum dan telah melepas sisa pakaiannya, tentu saja di tubruk dan Gurba menjadi buas oleh pemberian wanita ini. Mendengar Siauw ongya sengaja mengurbankan isternya tersayang karena mengharapkan benar bantuan raksasa itu. Gurbalah yang terkuat diantara semua orang, bahkan diantara kelompok Jit-mo Kang-ouw sekalipun.
Dan ketika Wan Cu terkekeh dan balas menyambut tubrukkan raksasa itu tiba tiba keduanya telah terguling-guling dan tertawa tawa diatas lantai. Lantai beralaskan permadani hingga membuat keduanya semakin hangat. Siauw-ongya kiranya memberikan kekasih sendiri untuk “servis”. Gurba dipegang janji agar tunduk dibawah mereka. Dan karena raksasa ini lagi kesepian dan kekecewaan demi kekecewaaan menghantam dirinya, maka tak ayal lagi “hadiah” yang menarik ini merobohkan raksasa itu. Gurba di buat mabok, Wan Cu menghanyutkan raksasa ini dalam mega mimpi yang indah.
Begitu indah dan memabokkan hingga Gurba terlena, ternina bobok, berjanji macam macam lagi ketika Wan Cu memintanya. Satu diantaranya adalah menjilat kaki Wan Cu, sebagai tanda setia. Kalau Wan Cu meragukan kesetiaan raksasa ini kelak! Dan ketika Wan Cu berhasil menguasai raksasa tinggi besar itu dan Gurba mabok kepayang maka untuk pertama kalinya dalam sejarah ini Gurba mengiyakan segala-galanya yang diminta Wan Cu. Luar biasa!
Tapi itu tidak aneh, Gurba lagi di rundung malang. Raksasa ini sedang mengalami kekecewaan besar terhadap sumoinya, frustasi. Pada saat yang tepat sekali kekosongannya itu dimasuki Wan Cu. Sejarah lagi-lagi membuktikan kekuatan wanita. Laki-laki sehebat Gurba pun roboh dan tunduk di bawah pengaruh kecantikan.
Begitu hebatnya, sehingga Gurba seakan kehilang akal sehatnya! Hilang control dirinya oleh pengaruh Wan Cu. Kecantikkan dan kehangatan tubuhnya. Dan ketika semalam itu Gurba dibuat tergila-gila oleh Wan Cu maka semua janji dan sumpah raksasa ini telah di pegang Wan Cu. Dan itu berlanjut berhari hari, Wan Cu memberi kepuasan penuh pada raksasa itu. Gurba berenang sepuas-puasnya dalam madu berahi. Semakin terikat dan jatuh hati pada wanita itu.
Dan ketika dua minggu penuh raksasa itu menikmati surga dunia dan Wan Cu menservisnya luar dalam, mendadak dia terengah-engah mendekap wanita ini, menyatakan dia ingin memiliki Wan Cu, memperisterinya dan merebutnya dari Pangeran Muda. Hal yang mengejutkan Wan Cu karena diluar perhitungannya. Tapi ketika mereka bersitegang dan Wan Cu tentu saja menolak, tiba-tiba Pangeran Muda muncul.
“Maaf, tak perlu bertengkar, Wan Cu. Apa yang di minta hanggoda memang tidak berlebihan. Aku sedia menyerahkan dirimu pada Gurba!"
“Apa? kau tak mencintaiku lagi, kanda!” Wan Cu terkejut.
“Tidak, aku masih mencintaimu. Tapi kalau Gurba hendak memperistrimu tentu saja aku harus mengalah!” dan mengedip memberi isyarat pangeran ini memainkan sandiwaranya. “Cu moi, apa yang diminta Gurba memang selayaknya. Tapi kalau dia ingin memilikimu, maka janji untuk menduduki jabatan wakil kaisar harus dicabut. Bagaimana menurut yang bersangkutan sendiri?"
Gurba terbelalak. Sebenarnya dia terkejut melihat Pangeran Muda muncul, berdebar karena pangeran itu mendengar pembicaraanya. Siap menghantam pangeran itu kalau marah dan akan membawa Wan Cu dengan paksa. Betapapun kekecewaanya terhadap sumoinya telah terobati dan dia tergila-gila pada Wan Cu yang cantik ini, yang pandai menservis. Satu permainan cinta yang seumur hidup baru kali itu dia alami. Permainan cinta yang syur dan memabokkan.
Tapi melihat pangeran itu tertawa dan justru mengabulkan keinginannya asal dia mengganti dengan jabatan wakil kaisar yang pernah dijanjikan pangeran itu, tiba-tiba Gurba menyeringai menganggukkan kepalanya. “Boleh, aku siap mengorbankan kedudukkan itu pangeran. Asal Wan Cu ikut aku dan kau berikan padaku!”
“Kau tak menyesal?”
“Tidak, aku dapat memperoleh kedudukkan yang sama di suku bangsaku. Aku akan menjadi pemimpin di sana dan Wan Cu kuangkat sebagai permaisuri!”
“Ha ha... bagus kalau begitu. Hanggoda. Diantara kita sekarang tak ada masalah. Teruskan bersenang-senang kalian!” Pangeran Muda menutup pintu kamar, keluar dan kembali diam-diam melempar sebuah isyarat pada kekasihnya.
Gurba tak tahu betapa diam-diam muka pangeran muda merah padam. Giginya berkerot! Dan ketika hari itu kembali Wan Cu melayani raksasa ini dan Gurba lebih bebas karena Wan Cu dianggap sudah menjadi miliknya, maka hari itu Gurba bersenang-senang. Tapi Gurba harus menepati janji. Dia cukup lama tinggal di istana, dua minggu. Tak boleh lebih lama lagi karena harus mulai bergerak. Mulai berkerja mengumpulkan suku-suku liar di luar tembok besar. Dan ketika hari itu untuk terakhir kalinya dia memuaskan senang-senangnya pada Wan Cu dan Wan Cu kelelahan maka Gurba berangkat meninggalkan Gedung Pangeran Muda.
Raksasa ini berseri-seri. Tak diingatnya sekarang perihal sumoinya itu. Bayangan di kelopak matanya hanyalah Wan Cu. Wan Cu dan Wan Cu melulu. Dewi yang membuat dia jatuh bangun itu. Wanita yang membuat dia tergila-gila, mabok dan entah apalagi yang membuat raksasa itu seakan melayang di surga. Kaki bergerak ringan sementara mulut tersenyum-senyum. Dan ketika dia meninggalkan tempat itu, sementara Wan Cu menemui kekasihnya maka Wan Cu terbelalak menuntut jawaban.
“Kanda, apa artinya semua ini? Kenapa kau berjanji menyerahkan diriku pada raksasa itu?”
Pangeran Muda bangkit berkerot gigi. “Jangan salah paham, apa yang kujanjikan hanyalah sebuah siasat, Wan Cu. Masa kau begitu percaya dan mengira aku bersungguh-sungguh?”
“Jadi maksudmu?”
“Aku sekedar menyenangkan hatinya. Tapi tentu saja janji itu tak akan kutepati!”
“Dan aku juga tak sudi menjadi istrinya, raksasa itu kasar dan hitam!”
“Ya, dan akupun tak rela menyerahkan dirimu. Wan Cu. Siapa tak panas melihat kekasih bermain cinta? Kalau bukan karena cita-cita tentu sudah kubunuh raksasa itu! Aku tak kuat menahan cemburu!”
“Kalau begitu kenapa kau serahkan aku?”
“Hmm...” Pangeran Muda menyambar kekasihnya. “Adakah jalan lain yang dapat kutempuh Wan Cu? Adakah cara lain untuk menundukan raksasa itu?”
Wan Cu terisak. “Tapi aku muak, kanda. Aku bosan dan mulai takut!”
“Tapi ini demi perjuangan kita. Kita sama berkorban demi cita-cita!”
“Ya, aku tahu, tapi , ahh…” Wan Cu menangis, sebenarnya berat melakukan itu dan di peluk kekasihnya.
Dan ketika Pangeran Muda mengusap rambutnya dan membimbingnya ketempat tidur maka pangeran ini berkata menggigil. “Wan Cu, apa yang tidak disenangi terpaksa harus kita lakukan disaat saat begini. Kita tak memiliki jalan lain. Raksasa itu amat kita butuhkan. Bukankah Sai-mo-ong dan teman temannya tak mungkin menundukkan suku suku liar di luar pedalaman sana? Bukankah hanya raksasa itu satu satunya orang yang dapat mengumpulkan mereka dan menyerang kemari? Tabahkan hatimu, kekasihku. Bukan kau seorang yang menderita tapi aku pun juga. Tapi perjuangan diatas segala-galanya, kita harus berkorban apa saja!”
"Ah, maaf! Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu, Cu moi. Kalau aku demikian tolol biarlah kau pukul aku.... plak... plak!”
Pangeran Muda tiba-tiba menggerakkan tangan kekasihnya, menampar dua pipinya di kiri kanan. Dan ketika Wan Cu terkejut dan menarik lengannya maka pangeran ini menyeringai dengan mata berkejap-kejap. "Puas? Kau boleh pukul aku lagi, Cu-moi. Boleh tambah kalau kurang!"
"Tidak!“ Wan Cu mengeluh. Kenapa demikian sinting, kanda? Aku tak ingin menyakitimu. Cinta kita untuk membahagiakan, bukan menyakitkan!" dan ketika Pangeran Muda tertawa dan meraih kekasihnya maka Wan Cu sudah mengusap pipi pangeran ini. "Kanda, siapa suruh kau lakukan itu?"
"Setan!"
"Setan?"
"Ya, setan. Kau heran?" pangeran itu geli, "Aku rasanya kesetanan melihat kau melayani raksasa itu, Cu-moi. Kalau tidak melihat jangka perjuangan kita tentu Sai-mo-ong dan teman-temannya sudah kusurh membunuh Gurba! Ah, sudahlah. Percakapan kita selesai. Kita tunggu saja hasilnya dan lihat bagaimana sepak terjang raksasa itu."
Wan Cu menarik napas. Terbayang dia akan Gurba, raksasa lihai bertubuh tingi besar itu. Bergidik dan ngeri hatinya kalau teringat keganasan Gurba bermain cinta. Raksasa itu seperti orang kelaparan, kalau bukan ia yang melayani mungkin wanita lain sudah mati lemas. Gurba terlalu kuat, ia harus mengakui itu. Tapi karena cintanya hanya untuk Siauw-ongya seorang dan apa yang ia lakukan adalah atas anjuran kekasihnya itu maka wanita ini menghela napas dengan pandangan redup. Aneh mereka ini. Saling mencinta tapi mengorbankan seorang di antara mereka.
Siauw-ongya menyuruh dia melayani Gurba. Padahal dulu masing-masing pihak sama berjanji bahwa mereka hanya untuk yang lain. Sekarang kekasihnya menyuruh dia melayani Gurba. Demi perjuangan. Demi cita-cita yang telah mereka putuskan bersama. Dan karena perjuangan memang membutuhkan pengorbanan maka jadilah dia "tumbal" yang paling berat. Beginikah jalan menuju cita-cita? Wan Cu terisak.
Sebenarnya, membersit kekhawatiran di hatinya. Dia takut apa yang dia lakukan itu kelak mengganggu hubungan mereka. Tapi Siauw-ongya meyakinkan hatinya, menyatakan cintanya dan justeru menghargai besar pengorbannya ini, berkali-kali menyatakan isi batinya dan tak mungkin meninggalkan Wan Cu. Dan karena kekasihnya ini benar-benar menunjukkan cintanya dan sampai saat itu tak ada tanda-tanda mencurigakan yang dapat membuat dia cemas, akhirnya Wan Cu menekan kekhawatiran sendiri dan tidak bertanya ini-itu. Dan Pangeran Muda memeluknya.
"Ada apa, Cu moi? Kenapa mendesah?"
"Tak apa-apa. Aku hanya menekan kekhawatiranku, kanda. Aku sedikit cemas!"
"Tentang apa?"
“Tentang... tentang kegagalan Gurba,” Wan Cu berbohong.
"Ah, tak mungkin!" Pangeran Muda salah tangkap. "Raksasa itu tak mungkin gagal menyatukan suku suku liar di sana, Cu-moi. Dia sudah di kenal dan ditakuti bangsa nomad (suku perantau)!"
"Mudah-mudahan..." dan ketika Wan Cu direbahkan dan kembali kekasihnya mencium tiba-tiba pangeran ini berbisik.
"Cu-moi, kita menghadap ibunda selir?"
Wan Cu menggeleng. "Tidak, aku lelah kanda. Kau sendiri sajalah yang ke sana..."
"Kau tak ikut?"
"Aku ingin beristirahat, aku lelah."
"Baiklah, kalau begitu nanti kita bertemu lagi,” dan sang pangeran yang mencium kening kekasihnya ini dengan lembut akhirnya meninggalkan Wan Cu menutup pintu kamar, menuju ke sebuah kamar lain di kompleks istana sebelah utara. Agak jauh dari tempat itu. Dan ketika seorang wanita cantik setengah tua menyambut pangeran ini maka pertanyaan pertama adalah kata-kata singkat yang dingin tapi lembut.
“Kau berhasil, anak pangeran?"
Pangeran Muda menjatuhkan diri berlutut. "Berhasil, tapi...." pangeran ini tak meneruskan kata-katanya, memandang dua dayang di samping wanita setengah umur itu, ibunya, ibunda selir.
Dan ketika wanita itu maklum dan mengangguk mengangkat lengannya maka dua orang dayang ini diusir. "Kalian pergilah, aku tak butuh bantuan kalian."
Dua orang dayang itu pergi. Pangeran Muda maju mendekat, dan ketika ibunya bertanya lagi dan dia mengangguk maka pangeran ini menjawab lirih, "Aku berhasil, tapi belum semuanya ibu. Raksasa itu telah ditundukkan Wan Cu dan sekarang memulai tugasnya."
"Bagus, dan dimana sekarang kekasihmu itu?"
"Beristirahat, dia lelah."
"Kau sendiri?"
"Ya"
"Kalau begitu teruskan rencana itu, pangeran. Bujuk dan pakai siapa saja yang dapat dipergunakan untuk berhasilnya cita-cita!"
“Tapi...." pangeran ini ragu, "ada sedikit perobahan ibu. Raksasa itu jatuh cinta pada Wan Cu!"
"Apa maksudmu?"
"Dia menginginkan Wan Cu sebagai isterinya. Dia rela mengorbankan kedudukan itu asal Wan Cu diperisteri...!"
Ibunda selir tertegun. "Apa jawabmu?"
"Tentu saja aku menolak, ibu. Tapi di luar aku menyanggupi. Raksasa itu kurang ajar sekali, sudah diberi hati masih merogoh jantung!"
"Hm, kau salah," sang ibu tiba'tiba menegur. "Apa yang diminta seharusnya kau berikan saja, anak pangeran. Tak perlu gusar karena raksasa itu terlampau berbahaya."
"Maksud ibu hendak memberikan Wan Cu sebagai isterinya?"
"Kenapa tidak? Masih banyak wanita cantik lainnya di sini, pangeran. Kau dapat memperolehnya kapan kau suka!"
"Tidak, aku tak dapat. Aku mencintai Wan Cu, ibu. Aku tak akan melepaskan kekasihku itu sebagai milik orang lain!"
"Tapi dia tak setia. Dia telah main gila dengan orang lain!"
Pangeran Muda terkejut. "Ibu melihat sendiri? Apa maksud ibu?"
"Hm, tolol sekali. Kau telah melihat kekasihmu itu melayani Gurba, pangeran. Apakah ini bukan kesetiaan yang perlu diragukan? Kau tak perlu bertanya pada ibumu, kau telah lihat dan buktikan sendiri perbuatan kekasihmu itu"
"Tapi itu atas suruhan kita. Ibu yang memberi saran dan menyuruhku berbuat begitu!"
"Benar, tapi wanita baik-baik tak akan mau diperintah begitu, pangeran. Apa yang dilakukan Wan Cu menunjukkan wataknya yang tidak dapat dipercaya!"
Pangeran ini tertegun. "Tapi..."
"Tapi apa? Kau mau mengganduli wanita macam begitu?" sang ibu mengejek. "Lihat saja pertama kalinya, anakku. Lihat dan buktikan saja ketika dia mau, mengkhianati suaminya, Kung-ghoda. Bukankah wanita macam begini sesungguhnya tak berharga mendapat cintamu? Dia wanita murahan, anak pangeran. Tak perlu berat melepasnya kalau raksasa itu menginginkannya sebagai isteri. Malah kebetulan, kau dapat bebas dan tak ada resiko untuk kelak dikhianati kekasihmu itu bila terpikat orang lain!"
Pangeran Muda pucat. "Ibu, ini... ini jalan pikiran yang tidak keruan!"
"Hm, tidak keruan bagaimana? Kau dapat membuktikannya?"
Pangeran ini menelan ludah, terbelalak memandang ibunya, "Tentu saja, bukankah ini semua adalah atas hasil bujukanku? Bukankah aku yang menyuruh dia berbuat begini atau begitu? Dan apa yang dilakukan Wan Cu justeru menunjukkan cintanya, ibu. Dia tak mungkin mengkhianati aku dan berbalik membantu orang lain!"
"Kau bodoh! Justeru bujukanmu itu merupakan uji coba, pangeran. Kalau Wan Cu wanita teguh iman tentu dia menolak. Dan kau boleh tergila-gila pada wanita macam begini. Tapi apa nyatanya? Dia terbujuk, anakku. Dia roboh dan menerima bujukanmu karena imannya lemah. Itu menunjukkan wanita model apa kekasihmu itu!"
Pangeran Muda tertegun. "Tapi..." dia bingung.
"Tapi apa lagi?" sang ibu menukas. "Kau boleh renungkan kata-kata ibu, anakku. Bagiku tak perlu memberatkan wanita macam begitu. Perjuangan kita adalah perjuangan besar, tak seharusnya urusan pribadi yang sepele begini kau pikirkan dengan jantung digerogoti cinta. Kau dapat mencari penggantinya!"
Pangeran Muda menggigil.
“Kau tak dapat menerimanya?"
Pangeran ini serasa tercekik. Tapi ketika sang ibu bertanya kembali dan dia mengangguk akhirnya pangeran ini berkata, serak, "Ibu, apa yang kau katakan agak berlawanan dengan isi hatiku. Aku belum dapat menerimanya begitu saja. Sebaiknya aku berpikir."
"Berpikir apalagi? Bukankah semuanya nyata dan gamblang?"
"Tapi perbuatan Wan Cu adalah atas suruhan kita, ibu. Masa kita menuduhnya demikian keji?"
"Hm, kau bodoh. Kau tak dapat berpikir mana benar mana tidak, pangeran. Kalau begitu kau akan selalu bimbang dan tak dapat mengambil keputusan!"
"Jadi maksud ibu..."
"Seperti yang kukatakan tadi. Berikan kelak kekasihmu itu pada raksasa Tar-tar itu. Itu suatu kebetulan. Kau dapat melepaskan diri dari wanita yang tak punya iman!" dan ketika pangeran ini terbelalak dan terhuyung memandang ibunya maka ibunya sudah berkata, bangkit berdiri, "Pangeran, hidup hanya sekali. Tak ada manusia di dunia ini yang dapat hidup dua kali. Kita sedang memperjuangkan cita-cita yang lebih besar. Kedudukan putera mahkota harus kau rebut dan kelak kau menjadi kaisar. Kesempatan emas ini hanya sekali juga bagi kita. Raksasa itu tenaga yang dapat diandalkan. Kalau kita gagal gara-gara persoalan perempuan. Sungguh penyesalan akan menghantui hidupmu selama hidup! Kekasihmu itu tak perlu diberatkan, kau dapat mencari lain dan banyak penggantinya. Tidakkah kau lihat ancaman kegagalan kalau raksasa itu kau khianati?! Ingat, ibu lebih banyak mengenyam pahit getir kehidupan, anakku. Apa yang ibu katakan adalah berdasar pengalaman yang telah ibu alami. Hidup sekali haruslah sukses, singkirkan kesengsaraan dan penderitaan sejauh mungkin! Kau mengerti?" Pangeran ini tak menjawab. "Kalau begitu renungkanlah. Ibu tak mau kau gagal." dan ibunda selir yang menepuk puteranya dengan mata bersinar lalu menyuruh pangeran itu beristirahat, disambut anggukan lemah.
Pangeran Muda yang tak dapat berkata-kata lagi. Dan ketika pangeran itu pergi dan ibunda selir menepuk tangannya maka dua orang dayang yang tadi diusir sudah muncul kembali di pintu.
"Awasi Pangeran Muda, lihat ke mana dia pergi."
Dua dayang itu mengangguk. Mereka mengintil di belakang, jarak cukup jauh. Tapi ketika sang pangeran kembali ke kamarnya sendiri dan mereka melapor kepada ibunda selir maka wanita ini mengangguk dan tersenyum puas, menyuruh dayang itu keluar lagi dan dia duduk di kursinya. Dan begitu pintu ditutup dan wanita ini melamun jauh ke belakang tiba'tiba semua gambaran masa lalu muncul di benaknya dan terbayanglah peristiwa itu.
Di sebuah gubuk reyot, empatpuluh tahun yang lalu. Tiga orang miskin tinggal di tempat ini, Sien Nio dan ayah serta ibu angkatnya, bertiga menjadi buruh tani milik tuan tanah Pin-Toya (tuan Pin). Bertiga hidup dalam keadaan melarat dan banyak hutang. Jun-lopek, ayah angkat Sien Nio dan isterinya mulai sering sakit-sakitan. Mereka suami isteri itu sebenarnya belum berumur limapuluh tahunan, baru empatpuluh enam mereka seolah sudah menjadi kakek nenek yangi begitu tua.
Tubuh mereka kurus, mata cekung dan tulang pipi menonjol. Jelas keadaan orang kurang makan dengan kondisi menyedihkan. Dan Sien Nio yang ikut dua suami isteri ini sebagai anak angkat karena Jun-lopek tak mempunyai keturunan sudah tinggal bersama orang tua angkatnya limabelas tahun. Waktu yang cukup lama, Dan tragedi itu menimpa mereka hari itu.
Jun-lopek seminggu tak dapat masuk. Panen di sawah ditinggalkan, kakek ini batuk-batuk dan semalam muntah darah. Isterinya otomatis menjaga suami dan tidak dapat bekerja pula di tempat Pin-loya. Sien Nio, gadis enambelas tahun yang bertubuh sehat diminta pula menjaga ayahnya, membantu ibu angkatnya. Tapi ketika batuk Jun-lopek kian menghebat dan sang isteri menangis tiba-tiba Jun lopek roboh terguling muntah darah.
"Huakk....!"
Sien Nio jijik. Ibu angkatnya sudah menggereng-gereng melihat keadaan sang suami, membangunkan suaminya dan menyuruh Sen Nio mengambil air panas. Semalam telah disiapkan dan berkali-kali meringankan penderitaan suaminya dengan menggosokkan air panas itu di dada Jun-lopek, menaruh air panas di dalam botol. Tapi ketika Jun-lopek batuk-batuk dan tetap kesakitan, maka sang isteri menjadi bingung dan menangis tak keruan.
"Suamiku, kau perlu obat. Kita harus mencari obat...!"
"Ya," Jun-lopek mengangguk lemah. Tapi di mana kita mencarinya, isteriku? Aku merasa dadaku panas, nyeri dan panas sekali.... ugh!" Jun lopek batuk-batuk kembali muntahkan darah dan Sien Nio mendapat giliran membersihkan darah di lantai tanah itu, hampir muntah dan melakukan pekerjaannya sambil meram, ikut menangis. Dan ketika Jun lopek terengah-engah dan dibaringkan kembali maka isteri kakek ini mengguguk.
"Suamiku, kita harus ke tabib Chang. Kita harus meminta obat pada tabib itu!"
"Ya, tapi kita harus membelinya, isteriku, bukan memintanya. Padahal kita tak punya uang!"
"Bagaimana kalau kita hutang lagi pada Pin-loya?"
“Kau gila? Hutang kita sudah bertumpuk, aku tak berani....!"
"Tapi kau harus disembuhkan, suamiku. Kau tak boleh menderita dan harus minum obat!" sang isteri menangis lagi, pucat dan merah matanya karena semalam terus menangis, bingung dan tak keruan rasanya karena cobaan itu terlampau berat. Seminggu ini suaminya tak diobati kecuali minum akar-akaran tradisionil, butuh obat yang lebih manjur tapi tak punya uang. Hutang mereka pada Pin Toya sudah seribu tail, bersama bunga. Sukar melunasi hutang yang menggunduk itu. Tapi ketika wanita ini teringat gelang di pundi-pundi hitam dan nyaris terpekik tiba-tiba isteri Jun-lopek ini melompat.
"Suamiku, kita masih punya gelang. Gelang itu kita jual..!"
Jun-lopek terkejut. Isterinya telah membuka sebuah pundi pundi hitam dengan tangan gemetar, merasa dewa penolong seolah menyelamatkan mereka. Dan ketika dengan tangan menggigil dan muka gembira isterinya itu membawa gelang itu ke mukanya maka isterinya ini telah bicara, "Suamiku, kita tak perlu hutang pada Pin-loya. Kita dapat menukarkan ini pada tabib Chang....!"
"Ah!" sang suami terkejut. "Itu gelang pernikahan kita, isteriku. Masa hendak dijual dan di tukar obat?"
"Aku tak perduli. Inipun pemberianmu dulu. Kini hendak kubawa ke tabib Chang dan biar kutukar dengan kesembuhanmu. Aku lebih berat dirimu daripada gelang ini!"
"Tidak!" sang suami terbelalak, menggeleng keras. "Gelang itu gelang keramat, isteriku. Tak boleh dijual karena merupakan benda pusaka!"
"Tapi kau sakit, kau perlu obat...!"
"Ya, tapi jangan menjual gelang itu, isteriku. Masih ada jalan lain selain menjual gelang!"
"Apa itu?"
Jun-lopek bingung. Diapun tak dapat menjawab ketika isterinya bertanya, jalan apa yang disebut sebagai jalan lain itu. Dan ketika dia batuk-batuk dan tak dapat menjawab tiba-tiba isterinya merubruk menangis tersedu sedu.
"Suamiku, jalan lain tak ada, kecuali hutang. Bagaimana kalau aku meminjam uang lagi pada Pin-loya?"
Kakek ini gemetar. "Tak mungkin diberi, isteriku. Hutang kita sudah terlalu tinggi. Minggu lalupun belum kita bayar...!"
"Tapi...!" sang isteri terbelalak, mengangkat mukanya. "Gelang ini dapat dijadikan jaminan, suamiku. Kutunjukkan benda ini agar Pin-loya mau memberi!"
"Kau hendak menggadaikannya?"
"Kalau tak boleh dijual!"
"Ah...." dan Jun-lopek yang batuk-batuk tak dapat menjawab tiba-tiba mengeluh dan mendekap dadanya, kembali muntah darah dan keadaan benar-benar gawat. Kakek ini pucat pasi, habis tenaganya oleh batuk yang menggebu. Dan ketika sang isteri menangis dan menolong suaminya maka Sien Nio yang saat itu berdiri di tengah pintu memandang terbelalak.
"Sen Nio, bantu ayanmu. Angkat tubuhnya!"
Sien Nio menggigil. Dia saat itu melotot memandang gelang, baru kali itu mengetahui ibu angkatnya memiliki perhiasan berharga ini. Tak kurang dari seribu tail. Tapi ketika ibunya berseru dan memanggil namanya segera gadis ini tertatih-tatih menghampiri sang ayah, berjingkat dan kembali jijik memandang darah yang kotor. Ayahnya batuk-batuk dan keadaan berbahaya, dia disuruh membantu ayahnya dan membersihkan darah di lantai. Dan ketika Jun-lopek terengah dan isterinya menangis maka wanita ini menyuruh Sien Nio menjaga suaminya.
"Suamiku, aku harus ke Pin-loya. Biar ku minta uang untuk ke tabib Chang....!"
Jun-lopek mengangkuk gemetar. Dia tak dapat menjawab, itulah satu satunya jalan untuk menyelamaikan nyawanya. Tapi ketika sang isteri berangkat dan Sien Nio bangkit berdiri tiba-tiba gadis ini berseru,
"ibu, tunggu....!" dan Sien Nio yang mengejar ibunya membuat ibunya berhenti tiba-tiba mengajukan usul, “Ibu, bagaimana kalau aku saja yang pergi ke tempat Pin-loya? Biar ku mintakan uang itu, kau dapat menjaga ayah sementara aku ke sana!"
Isteri Jun-opek tertegun. Sebenarnya, dia setuju mendengar ini. Betapapun dia lebih baik dirumah karena tempat tinggal Pin-loya cukup jauh, mereka tinggal di pinggiran. Dan ketika Sien Nio bertanya lagi dan dia tak curiga sedikitpun juga akhirnya wanita tua ini menyerahkan miliknya dan mengangguk pada anak angkatnya itu. "Baiklah, kau bawa Nio nio. Tapi hati-hati, ini satu satunya barang berharga kami yang tidak ada duanya."
Sien Nio menyambut girang. Dia cepat menerima gelang itu, menimangnya dan menggengamnya di tangan. Dan begitu sang ibu menyuruh dia berangkat gadis itu menggerakkan kakinya ke rumah Pin loya. Tapi Sien Nio tidak menyerahkan barang berharga itu, menghadap Pin-loya dan minta begitu saja, hutang tanpa jaminan, Pin loya marah-marah dan tentu saja tidak memberikan uangnya. Sien Nio bingung. Dan ketika gadis itu menangis dan gagal diusir keluar tiba-tiba Hok centeng (tukang pukul Hek) muncul.
"Ada apa? Kenapa gadis ini, loya?"
Pin loya marah-marah. "Dia datang minta pinjaman, padahal hutang yang dulu belum lunas! Mana mungkin itu? Lempar dia. Tendang dan suruh dia keluar!"
Hok centeng atau Hok-kauwsu terbelalak, "Dia anak perempuan Jun-lopek, bukan?"
"Benar."
"Berapa dia mau pinjam?"
Pin-loya melotot. "Hok-kauwsu, apa maumu?"
Hok-kauwsu menyeringai, tersenyum lebar. "Tidak apa-apa, oya. Tapi...." tukang pukul ini menghampiri Sien No, mengawasi wajahnya. Dan ketika dia mengangguk-angguk dan menghadap majikannya tukang pukul ini kembali bertanya, "Lo-ya, berapa dia minta?"
"Duaratus tail, sungguh gila!"
"Untuk apa?"
"Katanya untuk membeli obat."
"Siapa yang sakit?"
Pin-loya menggebrak meja. "Hok-kauwsu, ada apa kau tanya-tanya? Usir saja bocah ini, bilang tak ada uang. Habis perkara!"
Tukang pukul itu mengangguk. Dia tertawa menyeret Sien Nio, dibawa keluar dan menyeringai aneh. Sien Nio menangis dan ketakutan. Tapi ketika tukang pukul itu membawa Sien Nio ke belakang rumah dan berhenti di situ tiba-tiba Hok kauwsu ini bertanya halus, "Sien Nio, untuk apa uang sebegitu banyak? Benarkah untuk mencari obat? Siapa yang sakit?"
Sien Nio gemetar. "Ayah, Hok-kauwsu. Ayah batuk-batuk dan seminggu ini tak dapat bekerja. la muntah darah!"
“Kau perlu uang?"
"Tentu saja."
"Berapa, duaratus tail?"
Sien Nio mengangguk. Sebenarnya ibu angakatnya tak memberi tahu jumlahnya, menyuruh dia mengira-ngira saja dengan jaminan gelang itu. asal cukup membeli obat. Dan Hok kauwsu yang menyeringai memandang gadis ini tiba-tiba menangkap pundaknya.
"Kau punya jaminan apa?"
Sien Nio terkejut. "Tidak... tidak ada!" dia mengira Hok-kauwsu mengetahui gelangnya, cepat meronta dan melepaskan diri.
Hok kauwsu yang tertawa menangkap kembali itu tiba-tiba mendengus. "Sien Nio, pinjam tanpa tanggungan adalah tidak mungkin. Ayah ibumu tak punya jaminan, mana bisa mencari hutang? Apalagi duaratus tail, jumlah itu tidak sedikit! Kalau kau mau menjaminkan dirimu, biarlah kubantu kau mencari uang. Setuju?"
Sien Nio terbelalak. "Apa maksudmu, Hok. kauwsu?"
"Heh heh, maksudnya jelas. Sien Nio. Kalau kau mau melayani aku dan bersikap manis padaku aku dapat memberimu duartus tail itu. Setuju?"
Sien Nio mengangguk. Dia mengira kata "me ayani" itu bermaksud melayani Hok kauwsu dalam arti menyiapkan makan minumnya, mencuci pakaiannya atau apa saja yang berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari. Tentu saja girang dan menganggap enteng. Gelang berarti dapat dia miliki dan duaratus tail dapat diperolehnya juga dengan mudah. Begitu gampang! Dan Sien Nio yang mengangguk berseri dengan mata berkejap tiba tiba bertanya,
"Boleh, tapi berapa lama aku melayanimau, Hok kauwsu? Asal tidak tahunan aku tentu mau!"
"Ha ha, tak perlu tahunan, anak manis. Dua bulan pun cukup! Kau mau?"
Hok-kauwsu tertawa bergelak, matanya berkilat dan begitu aneh memandang gadis remaja ini, bersinar-sinar dan membuat sang remaja tertegun. Tapi ketika Hok-kauwsu menyatakan dua bulan saja dan waktu bagi Sien Nio dapat ditolerir tiba-tiba Sien Nio mengangguk dan tersenyum gembira.
“Baiklah, aku mau. Tapi mana sekarang uangmu itu."
Hk kauwsu hampir berjingkrak. Dia terbahak mengejutkan gadis remaja ini, melompat dan menghilang sejenak entah ke mana, menyuruh Sien No menunggu. Dan ketika sekejap kemudian Centeng itu muncul kembali dan sebuah pundi-pundi terbawa di tangan kanannya maka tukang pukul ini tertawa melonjakkan kakinya, "Sien Nio, ini uang itu. Kau boleh hitung isinya!"
Sien Nio terbelalak. Dia sudah menerima pundi-pundi itu, menghitung uangnya. benar dua ratus tail, tak lebih tak kurang. Tentu saja girang dan mengucap terima kasih, ingin berlalu dan segera pergi dari tempat itu. Tapi ketika Hok - kauwsu tertawa aneh dan menyambar lengannya mendadak centeng ini menyeringai membentak perlahan,
"Sien Nio, tunggu dulu. Kau belum berjanji kapan kau mulai melayani aku!"
"Ah...." Sien Nio terkejut. "Kapan saja aku siap melayaninya, kauwsu. Kau mau kapan?"
"Weh, kau menantang? Kalau begitu nanti malam!" tukang pukul itu tertawa bergelak, air liurnya menetes dua kali membuat Sien Nio mengerutkan kening. Dan ketika Sien Nio dilepas dan disambar pipinya tiba tiba Hok-kauwsu mendaratkan ciumannya dua kali. "Nio nio, kau boleh layani aku nanti malam. Kutunggu di tengah sawah!"
Sien Nio terkejut. "Di tengah sawah?" dia tak mengerti, agak takut juga melihat centeng itu. "Apa yang harus kukerjakan di sana, kauwsu? Bukankah pekerjaan ada di rumahmu?"
"Ha-ha, di tengah sawahpun banyak pekerjaannya, Sien Nio. Pokoknya kesana saja kau malam nanti. Kebetulan malam ini aku bertugas jaga, di gubug itu. Kau tahu, bukan?"
"Ya." Sien Nio agak was-was, teringat gubug di tengah sawah milk Pin-loya itu. Gubug yang biasa dipakai penjaga tuan tanah ini untuk menjaga sawahnya dari pencurian, padi dan gandum banyak tersebar di situ. Tapi teringat dia takut sendirian berjalan di malam hari tiba-tiba Sien Nio menggigil. "Hok-kauwsu, kenapa malam hari? Aku takut....!"
"Ah, tak perlu takut," centeng itu membujuk. "Aku akan menunggumu di tepi sawah, Nio nio. Setelah itu kita berangkat bersama ke tengah. Begitu?"
Sien Nio mengangguk. Kalau begini terang dia tidak takut, ditemani Hok-kauwsu. Dan ketika tukang pukul itu kembali tertawa dan menyuruhnya pergi akhirnya Sien Nio membawa uang itu dengan sedikitpun tidak berprasangka buruk. Dan inilah celakanya. Gadis remja itu terlalu hijau. Menganggap demikian mudah mencari duit. Tinggal berjanji dan dapatlah uang itu. Dua ratus tail di tangan sementara gelang juga tidak sampai hilang. Dia dapat memiliki benda itu dan tugasnya berjalan demikian mulus. Dan ketika uang itu dia serahkan pada ibu angkatnya sejumlah seratus tail sementara yang seratus tail lagi dia sembunyikan dari ibunya maka tanpa berprasangka buruk pula tabib Chang mengobati suaminya.
Tapi celaka. Tabib Chang berkerut kening. Dewa penolong itu menyatakan terlambat, tak mungkin menolong Jun-lopek yang dianggap kadaluwarsa. Isteri Jun lopek hampir pingsan, pucat mendengar keterangan tabib ini, seolah ultimatum seorang hakim. Tapi Chang-sinshe (tabib Chang) yang memberi hiburan dengan sebungkus obat memberitahukan sesuatu.
"Jangan terlampau cemas. Suamimu memang parah, ibu tua. Tapi kuharap sebungkus obat ini dapat memperpanjang umurnya barang seminggu. Kau rebuslah jadikan tujuh bagian dan minum setiap bagian pada setiap hari. Berdoalah agar Tuhan menyelamatkan suamimu."
Isteri Jun-lopek meratap tak keruan. Tabib Chang adalah satu satunya tabib yang paling diandalkan. Obatnya manjur dan banyak yang tertolong. Tapi kalau sekarang artinya itu hanya dapat menghibur dengan kata-kata itu dan nyawa suaminya hanya dapat diperpanjang tujuh hari lagi tak ayal wanita tua ini terhuyung dan pucat menerima obat. Dan saat itu tiba-tiba diapun batuk pula, tanpa sengaja melontakkan darah dan mengenai pakaian si tabib. Chang sinshe terkejut dan membelalakkan mata. Dan ketika wanita itu terguling dan roboh sambil menangis maka tabib ini menolong dengan kening semakin berkerut.
"Kaupun terkena. Kau juga sakit!"
Isteri Jun lopek menangis mengguguk. Dia! tersedu-sedu di samping suaminya, dua-duanya sama terkena penyakit yang serupa. Barangkali tbc! Dan ketika tuan Chang menolong dan membangunkan wanita tua itu maka Chang sinshe mangambil obat lagi khusus untuk wanita tua ini.
"Kau ada uang? Ini duapuluh lima tail. Kalau ingin hidup panjang harap berikan padaku duapuluh lima tail lagi. Aturannyapun sama, kau belum terlambat karena baru pada stadium pertama!"
Wanita tua ini tersedu. Dia mengeluarkan lagi dua puluh lima tail, untung seratus tail itu dibawanya semua. Tapi ketika dia pulang dan malam itu kedinginan membawa sang suami tiba-tiba Sien Nio yang dipanggil berkali-kali tak tampak.
"Nio nio, tolong ibumu. Di mana kau?"
Tak ada jawaban. Sien Nio tak menyahut dan tak ada dirumah, tentu saja heran ibu angkatnya. Wanita tua itu batuk-batuk dan kembali muntahkan darah. Penyakit sudah menular padanya. Dan ketika sang suami juga batuk-batuk dan mengeluh menahan sakit akhirnya wanita ini menangis tak berdaya di antara marah dan khawatir. Dia terpaksa melupakan anak angkatnya, mengurus suami dan diri sendiri. Cepat merebus obat dan berkali-kali terhuyung harus menopang tubuh. Dada sesak dan muka pucat. Dan ketika malam itu terpaksa dia harus bekerja sendirian dan dua suami isteri sama batuk-batuk maka penderitaan Jun-lopek dan isterinya benar-benar menyedihkan. Ke mana Sien Nio? Tentu saja menemui Hok-kauwsu!
Malam itu gadis ini menunggu ibunya. Tapi karena rumah tabib Chang cukup jauh dan kepergian ibu dan ayah angkatnya itu terlalu lama akhirnya Sien Nio meninggalkan rumah teringat janjinya pada Hok-kauwsu. Dia takut terlalu malam. Begitu matahari terbenam segera dia berangkat. Mengira kerjaan di tempat Hok-kauwsu nanti tak akan lama dan sebentar selesai. Berarti dia dapat segera pulang dan menemui ayah ibunya lagi.
Tapi ketika dia berada di sana dan suasana yang gelap membuat dia takut akhirnya Sien Nio menggigil saja di tepi sawah, menunggu, sesuai janji Hok-kauwsu tadi. Dan ketika dia merasa tak sabar dan ingin menangis Hok-kauwsu tak muncul juga mendadak sepasang lengan menyergap bahunya.
"Heh, sudah lama kau di sini?"
Sien Nio terpekik. Dia hampir menjerit, meronta melepaskan diri. Tapi ketika dilihatnya itulah Hok-kauwsu dan tukang pukul ini menyeringai akhirnya Sien Nio menegur dengan muka pucat, "Kauwsu, kau mengagetkan orang. Sungguh aku terkejut!"
"Heh-heh, terkejut tapi tidak takut, bukan? Sudahlah, aku di sini, Nio-nio, mari ke gubug sesuai janji kita."
Hok-kauwsu tertawa, menyambar dan sudah menyeret gadis ini ke tengah, Sien Nio mendengar napasnya yang mendengus aneh. Dan ketika mereka tiba di sana dan Sien Nio terbelalak segera gadis ini melihat sebuah dipan dengan sebuah meja kursi kecil, dipan yang agaknya baru dibawa ke situ karena biasanya dipan ini tidak ada.
"Kauwsu, kau membawa dipan ini?"
"Ya, untuk kita, Nio-nio. Kau suka, bukan?" Hok-kauwsu kembali tertawa, membesarkan pelita hingga tempat itu lebih terang. Sien Nio melihat pula beberapa gelas dan mangkok. Dan ketika dia tertegun dan memandang kiri kanan tiba-tiba Hok kauwsu melepas bajunya.
"Nio-nio, aku ingin pijat. Kau lakukanlah tugasmu pertama itu sekarang."
"Pijat?"
"Ya, aku lelah, Nio nio. Capai habis bekerja berat. Aku ingin kau memijatku setiap hari di sini. Ayolah."
Sien Nio membelalakkan mata. Tukang pukul itu telah melepas bajunya, kini celananya pula. Tinggal celana dalam yang kedodoran. Gadis ini tiba-tiba menjadi ngeri, melihat tubuh telanjang seorang pria yang begitu kokoh. Tapi belum dia menolak atau apa mendadak Hok-kauwsu tertawa menarik tubuhnya.
"Ayo. kerjakan. Pijat seluruh tubuhku!"
Sien Nio menggigil. Sebenarnya, seumur hidup belum pernah dia memijat pria, paling-paling ayah angkatnya itu atau ibu angkatnya, kalau mereka kecapaian. Tapi sekarang diperintah begini dan dia ngeri melihat Hok kauwsu tinggal mengenakan celana dalam saja dan mata laki-laki itu merah mendadak, entah karena apa Sien Nio menjadi takut dan menggeleng. "Tidak, aku... aku tak bisa, kauwsu. Aku tak biasa memijat!"
"Heh, kau menolak?" kauwsu itu terbelalak, matanya yang merah tiba-tiba melotot. Dan ketika Sien Nio terisak dan mundur menganggukkan kepalanya mendadak tukang pukul ini melompat bangun membentak Sien Nio. "Bocah, kau telah mendapat duaratus tail dari aku. Dan kau juga sudah berjanji. Kenapa menolak? Kau mau menipu aku?"
“Tidak... tidak... aku... aku memang tak bisa memijat, kauwsu. Lebih baik pekerjaan lain saja yang biasa kulakukan...!"
"Itu nanti. Kalau tak bisa memijat kau harus belajar. Ayo!" dan Hok-kauwsu yang kasar menyambar gadis ini tiba-tiba menarik Sien Nio hingga roboh ke dipan itu. Lalu mengancam dengan muka merah tukang pukul ini menghardik. "Nio-nio, uang duaratus tail tidak sedikit. Kau jangan main-main kepadaku. Kalau tidak mau menepati janjimu sendiri kubunuh kau di sini! Masih kau menolak?"
Sien Nio menangis. Sekarang dia gemetar, betapapun firasat kewanitaannya memberi tahu sesuatu yang mengerikan. Dan karena dia juga sudah berjanji dan pekerjaan memijat itupun kiranya tak terlalu sukar akhirnya gadis ini mengangguk dan menahan cucuran air matanya.
Dan Hok-kauwsupun berkata, "Kalau kau tidak mau kembalikan saja uangku itu, berikut bunga!"
Gadis inipun tercekik. Terang ia tak dapat mengembalikan uang itu, sebagian sudah diberikan pada ibu angkatnya dan sebagian lagi dia simpan. Rakus harta mulai merasuki dirinya. Dan ketika Hok-kauwsu membalikkan tubuh dan tengkurap di atas dipan itu akhirnya dengan takut-takut dan jari menggigil gadis ini mulai memijat.
"Hok kauwsu, jangan minta kembali hutang itu. Aku sedia memenuhi permintaanmu."
"Nah, itu baik. Kau jangan membuat aku marah. Ayo Pijat seluruh tubuhku dari atas sampai bawah!"
Sien Nio sudah mulai bekerja. Ia memijat tubuh Hok-kauwsu itu, perlahan-lahan dari atas ke bawah. Tapi karena dia takut-takut dan pijatannya pun tak bertenaga maka tukang pukul ini membentak menyuruh dia sedikit keras.
"Tambah tenagamu itu, jangan terlalu lemah!" Sien Nio pun menggigil. Dia mengangguk, menambah tenaganya menekan rahang digigit, betapapun tubuh Hok-hauwsu terlalu keras sekali baginya.Tapi ketika pijatan di belakang selesai dan Hok-kauwsu membalikkan punggungnya, maka laki-laki ini menyuruh agar bagian depan juga dipijat. "Sekarang dada dan paha tekan yang kuat tapi lunak!"
Sien Nio terbeliak. la melihat dada Hok kauwsu yang bidang tapi berbulu, ngeri hatinya. Tapi karena orang sudah memerintah dan dia harus memijat maka gadis inipun tak dapat bicara dia memijati dan memejamkan mata, memijati dada Hok kauwsu itu, berkali kali. Seluruh dada sudah dia pijati. Tapi dasar keparat Hok-kauwsu menyuruh dia menurunkan pijat bawah dan ke bawah lagi mendadak tukang pukul itu tertawa bergelak menyambar tangan Sien Nio, menangkap dan membantingnya ke bawah menumpang di tubuh tukang pukul itu.
"Ha ha, sekarang pijatmu selesai, Nio nio. Tugas baru adalah melayaniku...brett" Sien Nio dibuka bajunya, otomatis terkuak dan Sien No menjerit. Bagian atasnya telanjang. Tapi belum dia meronta atau apa mendadak mulut Hok kauwsu telah mencium mulutnya penuh nafsu, mendengar laki-laki itu mendengus-dengus.
"Nio-nio, layani aku. Buka pakaianmu.....!"
Sien Nio terkejut bukan main. Dia sudah dipeluk dan dibanting laki-laki ini, tubuhnya menempel dan melekat di tubuh Hok kauwsu. Tentu saja meronta dan menjerit jerit. kaki dan tangan kesana kesini, sebisa-bisanya menendang tak karuan, seperti kuda liar yang tertangkap jerat. Tapi ketika mulutnya tertutup mulut Hok-kauwsu dan laki-laki itu mendengus menciumi seluruh mukanya akhirnya Sien Nio menangis dan hampir pingsan.
"Oh, tidak... jangan.... tidak...."
Namun Hok-kauwsu telah mencopoti semua pakaiannya.Tukang pukul ini mendengus-dengus mengancamnya dan menyebut-nyebut lagi uang duaratus tael itu, bahkan akan membunuh gadis itu kalau Sien Nio berteriak. Tentu saja membuat Sien Nio bungkam dan tidak berkutik lagi. Dan ketika laki-laki itu menggumulinya dan Sien Nio merintih, maka untuk pertama kalinya dalam kehidupan remajanya gadis ini menyerahkan miliknya yang paling pribadi.
Sekarang dia tahu apa artinya “melayani” itu. Bukan seperti yang disangka melainkan seperti yang begini. Melayani Hok Kauwsu luar dalam menjadi pemuas nafsu laki-laki itu, sementara tubuhnya digerayangi sana sini, menjadi permainan Hok Kauwsu dengan tangan-tangannya yang kasar dan kurang ajar. Dan ketika semuanya itu selesai dan laki-laki itu tersenyum puas, ia disuruh pergi begitu saja.
“Pulanglah, tugasmu selesai, anak manis. Besok kau datang kemari lagi atau kau kembalikan uangku itu!”
“Aku takut…” Sien Nio menangis. “Aku tak berani jalan sendirian Kauwsu. Tolong kau antar aku sampai ke rumah!”
“Apa?” Kau main perintah? Kupukul kau nanti. Ayo pulang sendirian!” Hok kauwsu membentak. “Aku ingin istirahat!”
“Tapi aku takut kauwsu, lagi pula bagaimana jawabku nanti pada ayah ibuku?”
“Persetan mereka itu, kau cari akal sendiri.” tukang pukul ini mendorong Sien Nio menyuruh gadis itu keluar dan marah-marah. Dan karena Sien Nio tak berdaya dan lebih takut pada laki-laki ini, akhirnya dengan air mata bercucuran dan mata merah dia pulang sendirian, menerobos kegelapan malam dan terhuyung-huyung menuju kerumahnya sendiri. Sekarang rasa takutnya berganti. Ada penyesalan kenapa dia menuruti kemauan centeng itu, juga kenapa menipu ibu angkatnya sendiri.
Tapi karena semuannya terlanjur dan nasi telah menjadi bubur maka Sien Nio pun tak dapat berbuat apa apa dan pulang ke rumah. Dan disini kena damprat lagi. Ayah ibunya marah-marah, terutama ibunya. Memaki-maki dirinya yang dikata gadis tak tahu diri,, keluyuran dan malam-malam pulang begitu saja Sien Nio beralasan dipanggil Hok kauwsu, tentu saja tak menceritakan apa yang dia alami di tengah gubuk itu. Hilang kehormatan gara-gara duaratus tail. Dan ketika malam itu ia tak dapat tidur karena tubuhnya sakit-sakit dan selangkangannya terasa perih, maka keesokkan harinya seperti yang sudah dipasakan ia melayani lagi Hok kauwsu itu.
Ibunya keheran heranan dan tidak mengerti kenapa empat hari ini anak perempuannya berturut turut pulang malam, selalu dipanggil Hok kauwsu, begtu katanya. Tentu saja mengerutkan kening tapi tak sempat menyelidiki, suaminya tetap parah. Diapun semakin batuk-batuk dan terpaksa membiarkan anak perempuannya pergi pulang dengan cara yang aneh. Tapi ketika tengah malam akhirnya isteri Jun lopek ini membelalakan mata.
“Sien Nio, kau pergi kemana saja? Benarkah dipanggil Hok kauwsu?"
Sien Nio menggigil. ”Benar, kau boleh bertanya kalau tidak percaya, ibu. Aku memang benar dipanggil tukang pukul Pin-loya itu!“
“Ada urusan apa?”
“Urusan… urusan hutang!” Sien Nio menjawab tak ragu, betapapun ketenangan dan kepintarannya berbohong mulai tumbuh, membuat sang ibu mengerutkan kening, tentu saja terkejut dan berobah mukanya mendengar jawaban itu. Persoalan hutang yang tidak enak. Tapi merasa sudah memberikan gelang dan itu dianggap sebagai jaminan yang cukup wanita itupun memandang anaknya.
"Hutang apa lagi? Bukankah gelang itu telah kau berikan pada Pin-loya?"
"Benar, tapi bunga dari pokok pinjaman itu dianggap tak cukup, ibu. Sekarang setiap malam aku harus dipanggil Hok kauwsu untuk membersihkan ruangan Pin-loya."
"Kau bekerja di sana?"
"Sebagai pembayaran bunga, agar bunganya tidak bertambah lagi dan pokok pinjaman susut!"
"Ooh....!" sang ibu terbelalak, mengeluh dan tiba-tiba menubruk anak perempuannya itu, menagis, mengira Sien Nio berusaha meringankan beban hutang dengan bekerja malam-malam pada keluarga Pin-loya. Tentu saja mengguguk dan menganggap anak perempuannya ini berbakti. Susah payah meringankan hutang. Tak tahu anaknya dikerjai Hok-kauwsu karenà telah menerima duaratus tail, menyembunyikan gelangnya. Satu penipuan!
Dan ketika malam itu isteri Jun-lopek ini merangkul anaknya dan minta maaf karena memarahi Sien Nio maka sejak hari itu juga Sien Nio mendapat kebebasan untuk keluar malam. Dan Sien Nio tersenyum lega, berhasil mengelabuhi ibu angkatnya sementara sang ibu malah semakin sayang padanya, menganggap Sien Nio benar-benar berbakti dan berbudi.
Jun-lopek sendiri terengah-engah memuji anaknya. Tapi karena kakek ini sakit parah dan apa yang diramal Chang sinshe memang benar maka pada hari ke tujuh kakek she Jun itu tak kuat bertahan lagi. Kakek ini menghemuskan napasnya yang terakhir, tepat tengah malam, di saat Sien Nio baru pulang. Dan sang isteri yang menangis menggerung gerung oleh kematian suaminya itu akhirnya roboh pingsan dan membuat Sien Nio sibuk.
Gadis ini ikut menangis, betapapun bingung dirinya oleh kematian Jun-lopek. Tapi ketika keesokan harinya kakek itu dimakamkan dan beberapa teman datang membantu maka Sien Nio mau pun ibunya mendapat hiburan kata-kata. Apa yang terjadi memang harus terjadi, tak dapat ditarik lagi. Dan isteri Jun-Topek yang menangis dengan air mata bercucuran dan tidak dapat berkata-kata akhirnya menubruk anak perempuan angkat satu-satunya ini.
"Sien Nio, ayahmu tak ada lagi. Kau harus menjaga dan membantu aku."
"Tentu, bukankah selama ini aku selalu membantumu, ibu? Aku akan menjagamu, aku akan merawatmu dan melindungimu sebisaku."
Itu angkatnya agak terhibur. Betapapun dia tidak sendiri, masih ada anak angkatnya ini, Sien Nio yang berbudi. Sien Nio yang setiap malam "membantu" Pin-loya untuk penebus hutang. Tapi ketika hari demi hari lewat dan tiga minggu kepergian Sien Nio itu berlanjut juga tiba-tiba, masih dalam keadaan tidak sehat wanita tua ini mendengar cemoohan seseorang mengenai anaknya.
"Cuh, Sien Nio? Dia pelacur remaja, anak angkat Jun-lopek itu menjadi gundik Hok-kauwsu setiap malam!"
Isteri Jun-lopek ini terkejut. Omongan itu dia dengar di tengah pekerjaan, di saat dia menguat-nguatkan diri untuk bekerja di ladang Pin-loya. Beberapa tawa mengejek serasa ditujukan padanya, tentu saja membuat wanita tua ini menggigil dan marah. Dan ketika omongan yang lain saling sahut-menyahut dan dia menegur örang-orang itu tiba-tiba Cin San, sahabat suaminya yang baik mendekati dirinya.
"Siung Khoen, kau hati-hatilah menjaga anak perempuanmu itu. Dia keluyuran malam-malam bersama Hok-centeng. Apa yang kau dengar di sini sebaiknya kau selidiki tanpa marah kepada kami!"
"Tapi Sien Nio anak baik-baik, Cin San." nenek ini menggigil, marah. "Dia pergi setiap malam untuk bekerja di rumah Pin-loya. Kalian memfitnah!"
"Itulah kepandaian anak perempuanmu. Dia mengibul, sebaiknya kau tanya pada Pin-loya sendiri kalau ingin membuktikan."
"Tidak, kalian jahat. Kalian menyakiti hatiku!" dan nenek ini yang menangis mengusap pipinya akhirnya marah-marah pada semua orang, termasuk Cin San karena selama ini Sien Nio bersikap baik. Bahkan demikian baik dan berbudinya anaknya itu hingga tiap malam rela bekerja ekstra, melembur di rumah Pin loya seperti yang di kata anak angkatnya itu. Tapi ketika nenek ini pulang dan berjumpa dengan dua tukang pukul Pin loya bernama Bap Cwan dan Goh Beng tiba-tiba dua tukang pukul itu mencegat dengan muka tertawa-tawa.
"Uwak Jun, mana Sien Niö?"
"Kalian mau apa?"
"Kami mencarinya, kami iri pada keberuntungan Hok kauwsu!"
"Apa maksud kalian?"
"Ha ha, tak perlu pilon, nenek tua. Anakmu itu katanya pandai memijit dan menghibur lelaki. Kami ingin menemuinya, kami ingin mentraktirnya malam nanti!"
"Jahanam...!" nenek ini terhuyung. "Kalian jangan menghina orang miskin, Goh Beng. Jelek-jelek kami bukan manusia rendahan. Aku baru ditinggal mati suamiku, sebaiknya kalian tak perlu kurang ajar dan menyakiti wanita tua!"
"Eh, kau marah? Ha ha, kalau begitu pesankan saja pada anakmu agar malam nanti menemui kami di gubuk tengah sawah, tua bangka. Suruh dia menghibur dan tigaratus tail kami sanggup bayar!"
Nenek ini hampir menerjang. Dia sudah maju, tangan siap diangkat dan menyerang dua tukang pukul itu, lupa keadaan sendiri. Tapi ketika Ban Cwan terbahak dan menangkap lengannya ini. tiba-tiba tukang pukul ini memelintir dan telah mendorong nenek itu roboh.
"Tua bangka, jangan main-main. Kubunuh kau nanti...brukk!"
Nenek itu menggelepar. Isteri mendiang Jun lopek ini menangis, melihat dua orang itu tertawa-tawa meninggalkan dirinya dan beberapa kata kotor ditujukan pada anak perempuannya, tentu saja marah tapi tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika sore itu Sien Nio pulang dan dia menghadang segera wanita itu membentak.
“Sien Nio, apa sebenarnya yang kau lakukan setiap malam? Benarkah kau menjadi gundik Hok kauwsu?"
"Ah," Sien Nio terkejut. "Apa omonganmu ini, ibu? Kenapa bicara demikian keras dan tidak enak didengar telinga?"
"Aku tak kuat lagi. Sen Nio. Di tengah sawah orang-orang menyebutmu sebagai pelacur. Kau katanya melayani Hok-kauwsu setiap malam bukannya ke rumah Pio-loya!"
Sien Nio bagai disambar geledek. Kata-kata ibunya bagaikan sengatan ular berbisa, begitu kaget dia hingga berjengit Sien Nio mendadak pucat. Tapi karena Sien Nio sekarang sudah mulai pandai berbohong dan pintar bersandiwara mendadak gadis ini menangis dan menubruk ibunya, ibu angkat itu. "Ibu, kau menuduhku sedemikian keji? Kau mempercayai omongan orang-orang jahat itu? Aku tak melakukan seperti apa yang kau katakan itu, ibu. Aku berani sumpah!"
Sang ibu tertegun. Sikap yang ditujukkan puterinya ini demikian meyakinkan, tapi melihat baju baru yang dikenakan anaknya tiba tiba wanita ini terbelalak. Sebenarnya dalam minggu-minggu terakhir ini dia mulai terheran-heran melihat baju anaknya. Banyak yang baru. Selalu gres! dan bersih. Kalau ditanya menjawab dari Pin-loya, pemberian tuan tanah itu, padahal sepengetahuannya Pin-loya adalah tuan tanah yang pelit, bahkan serakah. Maka kini melihat anaknya kembali mengenakan pakaian baru dan lagi-lagi dia tertegun tiba-tiba wanita ini mendorong gadis itu.
"Sien Nio. kau dapat dari mana baju baru itu?"
"Dari Pin-loya."
"Selalu begitu?"
"Apa maksud ibu?"
"Pin-loya orangnya pelit, Sien Nio. Masa begitu royal memberimu baju baru? Ini yang kè empat, aku sungguh curiga!"
"Ah, ibu terlalu berprasangka. Pin-loya orangnya baik, ibu. Tuan tanah itu kasihan karena aku bekerja lembur. Ini semua karena belas kasihnya kepadaku."
"Kau tak bohong?"
Sien Nio tertegun. "Ibu tak percaya?" gadis itu mulai berdebar, melihat sinar kecurigaan dan sorot yang tajam dari mata ibunya itu, seolah menjenguk isi hatinya mencoba menguak keluar apa yang dia sembunyikan. Tentu saja mulai bersiap-siap dan ada rencana nekat. Baju-baju itu sebetulnya dia beli dari uang seratus tail dulu, yang dia sisakan, uang yang ia simpan. Tapi ketika ibunya terisak dan melihat Sien Nio balas memandangnya dengan tenang (begitu meyakinkan) akhirnya wanita ini memeluk anaknya mengusap air mata, menekan perasaan sendiri.
"Baiklah, aku percaya padamu, Sien Nio. Tapi tolong jaga nama ibumu dengan tidak keluar malam lagi. Mulai hari ini kau tak boleh keluyuran!"
Sien Nio terkejut. "Ibu tak memperbolehkan aku bekerja lembur?"
"Ya, agar omongan di luar itu tak menyakiti hatiku, Sien No. Dan lagi aku dihina Goh Beng dan Ban Cwan tadi!"
"Apa yang dilakukan?"
"Aku dipukul, mereka mengatakan kau pandai menghibur lelaki dan minta agar kau melayani mereka pula di tengah sawah!"
Sien Nio kembali kaget. Untuk kedua kalinya dia seakan disambar petir, tahulah dia rahasia hubungannya bocor. Tentu perbuatan tukang pukul she Hok itu, siapa lagi? Dan hampir menangis serta marah pada Hok-kauwsu ini akhirnya Sien Nio mengangguk dan menuruti omongan ibunya, tidak keluar malam lagi. Tidak melayani Hok-kauwsu. Tapi ketika dua hari dia tidak nongol dan Hok-kauwsu mencarinya tiba-tiba Sien No kembali tersudut, berhadapan dengan tukang pukul itu.
"Kau tidak menepati janjimu? Kau mau menipu?"
Sien Nio menangis, menggigit bibir. "Kau yang menjadi gara-gara, kauwsu. Ibu marah-marah dan melarangku keluar!"
"Tapi hutang janjimu belum lunas, ini belum dua bulan!"
"Ya, tapi kau membocorkan hubunganku, kauwsu. Ibu mendengar dan orang-orang mengejek aku!" dan Sien Nio yang sengit memandang tulang pukul itu tiba-tiba menjadi marah. "Kauwsu kau memalukan aku. Ban centeng dan Goh centeng melapor pada ibu apa yang selama ini kulakuan. Kau laki-laki tengik!"
"Heh, kau memaki aku? Kalau begitu kembalikan uangku!" Hok kauwsu terbelalak, heran dan marah melihat keberanian Sien Nio. Gadis itu seolah nekat. Dan ketika Hok kauwsu membentak dan Sien Nio menggeleng tiba-tiba gadis ini berseru ketika dia menangkap.
"Hok kauwsu, aku tak akan melayanimu lagi. Kau laki-laki keparat, kau membocorkan rahasia ini hingga semua orang tahu!"
"Tapi aku akan memaksamu. Kau akan ku kerasi dan tidak dapat mengelak!"
"Boleh, tapi kau tak akan dapat menikmati tubuhku, kauwsu. Kau akan mendapatkan mayat yang dingin sebelum kau menyentuhnya!"
"Kau mau bunuh diri?"
"Kalau kau memaksa!"
"Ah...!" dan Hok kauwsu yang mundur membelalakkan mata tiba-tiba tertegun dan terkejut memandang gadis remaja ini. Melihat Sien Nio tiba-tiba menjadi berani dan galak, begitu mencengangkan laki-laki ini. Dan ketika Sien Nio melepaskan diri dan menangis memandangnya gadis itu balik mengancam.
"Kauwsu, kau tak akan kulayani lagi kalau bersikap kasar. Aku boleh kau bunuh atau kau apakan saja kalau kau menyakiti aku. Kau telah merendam mukaku ke dalam lumpur, aku tak mau melayanimu seumur hidup!"
"Ah, ah...!" kauwsu ini tiba-tiba gugup, matanya lembut meredup. "Jangan begitu, Nio nio. Bukankah hubungan kita tetap berjalan baik? Kalau aku salah baiklah maafkan aku. Soal hutang boleh dianggap lunas. Tapi malam ini..." tukang pukul itu tiba-tiba menyeringai, mengeluarkan sepundi pundi uang dan menggemerincingkan isinya, betapa pun mulai mengenal watak gadis ini yang gila uang. Dan ketika Sien Nio tertegun dan bersinar memandang pundi-pundi itu laki-laki ini sudah tertawa.
"Nio nio, manisku. Dalam pundi-pundi ini tersimpan duaratus tail perak. Kau mau bukan? Tolong hibur aku, dewiku. Setiap saat kau boleh minta sekian lagi asal kau melayani"
Tukang pukul itu merayu, maju mendekati dan menggenggamkan pundi pundi uangnya itu pada Sien Nio. Jebakannya berhasil, Sien Nio mulai terbelalak. Kemarahannya hilang terganti kekuasaan nafsu tamak melihat uang itu. Sekali melayani Hok-kauwsu duaratus tailpun akan terjatuh ke tangannya. Betapa gampangnya. Dan ketika Hok kauwsu menyeringai dan mencium pipinya tiba-tiba Sien Nio tersenyum mengelak mundur, mulai melihat laki-laki gampang memberikan apa saja kalau dapat menikmati tubuhnya. Satu kelemahan pria!
"Kauwsu, tunggu dulu. Benarkah kau akan memberikan uangmu itu?"
"Tentu, asal kau menghiburku, Nio-nio. Kau mau, bukan?"
"Dan kau akan memberikan sejumlah itu pula setiap kali aku melayanimu?" Sien Nio tak menjawab, balik bertanya dan mulai menghitung-hitung berapa yang akan dia terima kalau sebulan dia melayani tukang pukul ini. Duaratus tail kali tiga puluh hari. Berarti enam ribu tail! Dan ketika Hok kauwsu tertawa aneh dan mengangguk buru buru tukang pukul inipun menjawab penuh nafsu, Sien Nio mulai di atas angin.
"Tentu saja, asal kau melayaniku baik-baik, Nio nio. Asal tubuh yang hangat dan cinta yang panas yang kau berikan padaku!"
"Baiklah, malam nanti kita bertemu. Berikan uang itu!" Sien Nio tertawa, menyodorkan lengan meminta uang itu. Hilang sudah larangan ibunya agar tidak keluar malam, terhapus oleh bayangan uang yang demikian mudah dia peroleh. Berarti hidup tak perlu menderita dan ia dapat bersenang-senang. Dan ketika Hok-kauwsu menyeringai dan menyerahkan uang itu dan Sien Nio memutar tubuhnya tiba-tiba tukang pukul ini berseru,
"Eh, nanti dulu. Berikan panjarnya, Nio-nio. Cium aku dua kali....!"
Sien Nio tersenyum. Ia berhenti, kauwsu itu melompat, dicium pipinya dua kali dan Hok kauwsu terbahak, meremas buah dada gadis itu. Dan ketika Sien Nio juga tertawa dan memangku pundi-pundi uang itu tiba-tiba gadis ini berlari kecil meninggalkan Hok kauwsu. "Sudahlah, nanti malam kulayani kau. Hok kauwsu. Sabar dan tekan nafsumu sekarang!"
Tukang pukul itu tertawa bergelak. Sekarang dia dapat menundukkan si juwita, Sien Nio tunduk oleh uang. Dan ketika malam itu dia menanti tak sabar dan Sien Nio benar menepati janji maka tukang pukul ini melonjak bagai orang mendapat lotre. Mereka berdua bersenang-senang, Sien Nio mendapat imbalan sementara Hok-kauwsu mendapat kepuasan. Masing-masing memberi dan menerima.
Dan ketika hari demi hari dilanjutkan lagi dan Sien Nio selalu menerima pundi-pundi baru maka gadis remaja yang menjual kehormatannya ini semakin meliar, tak perduli lagi pada ibunya maupun sekeliling. Tak heran dan tak memikir pula dari mana kauwsu itu mendapatkan uangnya. Hasil curian dari lemari Pin loya! Dan ketika hubungan itu terus berlanjut sementara Hok kauwsu semakin tergila-gila pada gadis ini karena Sien Nio mulai pandai "menservis" maka dua minggu kemudian gadis ini kepergok...!
“Bagus, kalau begitu aku setuju, Cu moi. Dan aku akan pergi kalau kepuasan telah kudapat disini!”
“Dan kau boleh sewaktu waktu menjeguk ku, hanggoda. Aku siap memberikan tubuhku kapan saja kau minta!”
“Kau berjanji?”
“Aku bersumpah!”
Dan Gurba yang tertawa gelak, tiba tiba menyambar wanita ini, Wan Cu tersenyum dan telah melepas sisa pakaiannya, tentu saja di tubruk dan Gurba menjadi buas oleh pemberian wanita ini. Mendengar Siauw ongya sengaja mengurbankan isternya tersayang karena mengharapkan benar bantuan raksasa itu. Gurbalah yang terkuat diantara semua orang, bahkan diantara kelompok Jit-mo Kang-ouw sekalipun.
Dan ketika Wan Cu terkekeh dan balas menyambut tubrukkan raksasa itu tiba tiba keduanya telah terguling-guling dan tertawa tawa diatas lantai. Lantai beralaskan permadani hingga membuat keduanya semakin hangat. Siauw-ongya kiranya memberikan kekasih sendiri untuk “servis”. Gurba dipegang janji agar tunduk dibawah mereka. Dan karena raksasa ini lagi kesepian dan kekecewaan demi kekecewaaan menghantam dirinya, maka tak ayal lagi “hadiah” yang menarik ini merobohkan raksasa itu. Gurba di buat mabok, Wan Cu menghanyutkan raksasa ini dalam mega mimpi yang indah.
Begitu indah dan memabokkan hingga Gurba terlena, ternina bobok, berjanji macam macam lagi ketika Wan Cu memintanya. Satu diantaranya adalah menjilat kaki Wan Cu, sebagai tanda setia. Kalau Wan Cu meragukan kesetiaan raksasa ini kelak! Dan ketika Wan Cu berhasil menguasai raksasa tinggi besar itu dan Gurba mabok kepayang maka untuk pertama kalinya dalam sejarah ini Gurba mengiyakan segala-galanya yang diminta Wan Cu. Luar biasa!
Tapi itu tidak aneh, Gurba lagi di rundung malang. Raksasa ini sedang mengalami kekecewaan besar terhadap sumoinya, frustasi. Pada saat yang tepat sekali kekosongannya itu dimasuki Wan Cu. Sejarah lagi-lagi membuktikan kekuatan wanita. Laki-laki sehebat Gurba pun roboh dan tunduk di bawah pengaruh kecantikan.
Begitu hebatnya, sehingga Gurba seakan kehilang akal sehatnya! Hilang control dirinya oleh pengaruh Wan Cu. Kecantikkan dan kehangatan tubuhnya. Dan ketika semalam itu Gurba dibuat tergila-gila oleh Wan Cu maka semua janji dan sumpah raksasa ini telah di pegang Wan Cu. Dan itu berlanjut berhari hari, Wan Cu memberi kepuasan penuh pada raksasa itu. Gurba berenang sepuas-puasnya dalam madu berahi. Semakin terikat dan jatuh hati pada wanita itu.
Dan ketika dua minggu penuh raksasa itu menikmati surga dunia dan Wan Cu menservisnya luar dalam, mendadak dia terengah-engah mendekap wanita ini, menyatakan dia ingin memiliki Wan Cu, memperisterinya dan merebutnya dari Pangeran Muda. Hal yang mengejutkan Wan Cu karena diluar perhitungannya. Tapi ketika mereka bersitegang dan Wan Cu tentu saja menolak, tiba-tiba Pangeran Muda muncul.
“Maaf, tak perlu bertengkar, Wan Cu. Apa yang di minta hanggoda memang tidak berlebihan. Aku sedia menyerahkan dirimu pada Gurba!"
“Apa? kau tak mencintaiku lagi, kanda!” Wan Cu terkejut.
“Tidak, aku masih mencintaimu. Tapi kalau Gurba hendak memperistrimu tentu saja aku harus mengalah!” dan mengedip memberi isyarat pangeran ini memainkan sandiwaranya. “Cu moi, apa yang diminta Gurba memang selayaknya. Tapi kalau dia ingin memilikimu, maka janji untuk menduduki jabatan wakil kaisar harus dicabut. Bagaimana menurut yang bersangkutan sendiri?"
Gurba terbelalak. Sebenarnya dia terkejut melihat Pangeran Muda muncul, berdebar karena pangeran itu mendengar pembicaraanya. Siap menghantam pangeran itu kalau marah dan akan membawa Wan Cu dengan paksa. Betapapun kekecewaanya terhadap sumoinya telah terobati dan dia tergila-gila pada Wan Cu yang cantik ini, yang pandai menservis. Satu permainan cinta yang seumur hidup baru kali itu dia alami. Permainan cinta yang syur dan memabokkan.
Tapi melihat pangeran itu tertawa dan justru mengabulkan keinginannya asal dia mengganti dengan jabatan wakil kaisar yang pernah dijanjikan pangeran itu, tiba-tiba Gurba menyeringai menganggukkan kepalanya. “Boleh, aku siap mengorbankan kedudukkan itu pangeran. Asal Wan Cu ikut aku dan kau berikan padaku!”
“Kau tak menyesal?”
“Tidak, aku dapat memperoleh kedudukkan yang sama di suku bangsaku. Aku akan menjadi pemimpin di sana dan Wan Cu kuangkat sebagai permaisuri!”
“Ha ha... bagus kalau begitu. Hanggoda. Diantara kita sekarang tak ada masalah. Teruskan bersenang-senang kalian!” Pangeran Muda menutup pintu kamar, keluar dan kembali diam-diam melempar sebuah isyarat pada kekasihnya.
Gurba tak tahu betapa diam-diam muka pangeran muda merah padam. Giginya berkerot! Dan ketika hari itu kembali Wan Cu melayani raksasa ini dan Gurba lebih bebas karena Wan Cu dianggap sudah menjadi miliknya, maka hari itu Gurba bersenang-senang. Tapi Gurba harus menepati janji. Dia cukup lama tinggal di istana, dua minggu. Tak boleh lebih lama lagi karena harus mulai bergerak. Mulai berkerja mengumpulkan suku-suku liar di luar tembok besar. Dan ketika hari itu untuk terakhir kalinya dia memuaskan senang-senangnya pada Wan Cu dan Wan Cu kelelahan maka Gurba berangkat meninggalkan Gedung Pangeran Muda.
Raksasa ini berseri-seri. Tak diingatnya sekarang perihal sumoinya itu. Bayangan di kelopak matanya hanyalah Wan Cu. Wan Cu dan Wan Cu melulu. Dewi yang membuat dia jatuh bangun itu. Wanita yang membuat dia tergila-gila, mabok dan entah apalagi yang membuat raksasa itu seakan melayang di surga. Kaki bergerak ringan sementara mulut tersenyum-senyum. Dan ketika dia meninggalkan tempat itu, sementara Wan Cu menemui kekasihnya maka Wan Cu terbelalak menuntut jawaban.
“Kanda, apa artinya semua ini? Kenapa kau berjanji menyerahkan diriku pada raksasa itu?”
Pangeran Muda bangkit berkerot gigi. “Jangan salah paham, apa yang kujanjikan hanyalah sebuah siasat, Wan Cu. Masa kau begitu percaya dan mengira aku bersungguh-sungguh?”
“Jadi maksudmu?”
“Aku sekedar menyenangkan hatinya. Tapi tentu saja janji itu tak akan kutepati!”
“Dan aku juga tak sudi menjadi istrinya, raksasa itu kasar dan hitam!”
“Ya, dan akupun tak rela menyerahkan dirimu. Wan Cu. Siapa tak panas melihat kekasih bermain cinta? Kalau bukan karena cita-cita tentu sudah kubunuh raksasa itu! Aku tak kuat menahan cemburu!”
“Kalau begitu kenapa kau serahkan aku?”
“Hmm...” Pangeran Muda menyambar kekasihnya. “Adakah jalan lain yang dapat kutempuh Wan Cu? Adakah cara lain untuk menundukan raksasa itu?”
Wan Cu terisak. “Tapi aku muak, kanda. Aku bosan dan mulai takut!”
“Tapi ini demi perjuangan kita. Kita sama berkorban demi cita-cita!”
“Ya, aku tahu, tapi , ahh…” Wan Cu menangis, sebenarnya berat melakukan itu dan di peluk kekasihnya.
Dan ketika Pangeran Muda mengusap rambutnya dan membimbingnya ketempat tidur maka pangeran ini berkata menggigil. “Wan Cu, apa yang tidak disenangi terpaksa harus kita lakukan disaat saat begini. Kita tak memiliki jalan lain. Raksasa itu amat kita butuhkan. Bukankah Sai-mo-ong dan teman temannya tak mungkin menundukkan suku suku liar di luar pedalaman sana? Bukankah hanya raksasa itu satu satunya orang yang dapat mengumpulkan mereka dan menyerang kemari? Tabahkan hatimu, kekasihku. Bukan kau seorang yang menderita tapi aku pun juga. Tapi perjuangan diatas segala-galanya, kita harus berkorban apa saja!”
HALAMAN 18 dan 19 HILANG...
"Ah, maaf! Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu, Cu moi. Kalau aku demikian tolol biarlah kau pukul aku.... plak... plak!”
Pangeran Muda tiba-tiba menggerakkan tangan kekasihnya, menampar dua pipinya di kiri kanan. Dan ketika Wan Cu terkejut dan menarik lengannya maka pangeran ini menyeringai dengan mata berkejap-kejap. "Puas? Kau boleh pukul aku lagi, Cu-moi. Boleh tambah kalau kurang!"
"Tidak!“ Wan Cu mengeluh. Kenapa demikian sinting, kanda? Aku tak ingin menyakitimu. Cinta kita untuk membahagiakan, bukan menyakitkan!" dan ketika Pangeran Muda tertawa dan meraih kekasihnya maka Wan Cu sudah mengusap pipi pangeran ini. "Kanda, siapa suruh kau lakukan itu?"
"Setan!"
"Setan?"
"Ya, setan. Kau heran?" pangeran itu geli, "Aku rasanya kesetanan melihat kau melayani raksasa itu, Cu-moi. Kalau tidak melihat jangka perjuangan kita tentu Sai-mo-ong dan teman-temannya sudah kusurh membunuh Gurba! Ah, sudahlah. Percakapan kita selesai. Kita tunggu saja hasilnya dan lihat bagaimana sepak terjang raksasa itu."
Wan Cu menarik napas. Terbayang dia akan Gurba, raksasa lihai bertubuh tingi besar itu. Bergidik dan ngeri hatinya kalau teringat keganasan Gurba bermain cinta. Raksasa itu seperti orang kelaparan, kalau bukan ia yang melayani mungkin wanita lain sudah mati lemas. Gurba terlalu kuat, ia harus mengakui itu. Tapi karena cintanya hanya untuk Siauw-ongya seorang dan apa yang ia lakukan adalah atas anjuran kekasihnya itu maka wanita ini menghela napas dengan pandangan redup. Aneh mereka ini. Saling mencinta tapi mengorbankan seorang di antara mereka.
Siauw-ongya menyuruh dia melayani Gurba. Padahal dulu masing-masing pihak sama berjanji bahwa mereka hanya untuk yang lain. Sekarang kekasihnya menyuruh dia melayani Gurba. Demi perjuangan. Demi cita-cita yang telah mereka putuskan bersama. Dan karena perjuangan memang membutuhkan pengorbanan maka jadilah dia "tumbal" yang paling berat. Beginikah jalan menuju cita-cita? Wan Cu terisak.
Sebenarnya, membersit kekhawatiran di hatinya. Dia takut apa yang dia lakukan itu kelak mengganggu hubungan mereka. Tapi Siauw-ongya meyakinkan hatinya, menyatakan cintanya dan justeru menghargai besar pengorbannya ini, berkali-kali menyatakan isi batinya dan tak mungkin meninggalkan Wan Cu. Dan karena kekasihnya ini benar-benar menunjukkan cintanya dan sampai saat itu tak ada tanda-tanda mencurigakan yang dapat membuat dia cemas, akhirnya Wan Cu menekan kekhawatiran sendiri dan tidak bertanya ini-itu. Dan Pangeran Muda memeluknya.
"Ada apa, Cu moi? Kenapa mendesah?"
"Tak apa-apa. Aku hanya menekan kekhawatiranku, kanda. Aku sedikit cemas!"
"Tentang apa?"
“Tentang... tentang kegagalan Gurba,” Wan Cu berbohong.
"Ah, tak mungkin!" Pangeran Muda salah tangkap. "Raksasa itu tak mungkin gagal menyatukan suku suku liar di sana, Cu-moi. Dia sudah di kenal dan ditakuti bangsa nomad (suku perantau)!"
"Mudah-mudahan..." dan ketika Wan Cu direbahkan dan kembali kekasihnya mencium tiba-tiba pangeran ini berbisik.
"Cu-moi, kita menghadap ibunda selir?"
Wan Cu menggeleng. "Tidak, aku lelah kanda. Kau sendiri sajalah yang ke sana..."
"Kau tak ikut?"
"Aku ingin beristirahat, aku lelah."
"Baiklah, kalau begitu nanti kita bertemu lagi,” dan sang pangeran yang mencium kening kekasihnya ini dengan lembut akhirnya meninggalkan Wan Cu menutup pintu kamar, menuju ke sebuah kamar lain di kompleks istana sebelah utara. Agak jauh dari tempat itu. Dan ketika seorang wanita cantik setengah tua menyambut pangeran ini maka pertanyaan pertama adalah kata-kata singkat yang dingin tapi lembut.
“Kau berhasil, anak pangeran?"
Pangeran Muda menjatuhkan diri berlutut. "Berhasil, tapi...." pangeran ini tak meneruskan kata-katanya, memandang dua dayang di samping wanita setengah umur itu, ibunya, ibunda selir.
Dan ketika wanita itu maklum dan mengangguk mengangkat lengannya maka dua orang dayang ini diusir. "Kalian pergilah, aku tak butuh bantuan kalian."
Dua orang dayang itu pergi. Pangeran Muda maju mendekat, dan ketika ibunya bertanya lagi dan dia mengangguk maka pangeran ini menjawab lirih, "Aku berhasil, tapi belum semuanya ibu. Raksasa itu telah ditundukkan Wan Cu dan sekarang memulai tugasnya."
"Bagus, dan dimana sekarang kekasihmu itu?"
"Beristirahat, dia lelah."
"Kau sendiri?"
"Ya"
"Kalau begitu teruskan rencana itu, pangeran. Bujuk dan pakai siapa saja yang dapat dipergunakan untuk berhasilnya cita-cita!"
“Tapi...." pangeran ini ragu, "ada sedikit perobahan ibu. Raksasa itu jatuh cinta pada Wan Cu!"
"Apa maksudmu?"
"Dia menginginkan Wan Cu sebagai isterinya. Dia rela mengorbankan kedudukan itu asal Wan Cu diperisteri...!"
Ibunda selir tertegun. "Apa jawabmu?"
"Tentu saja aku menolak, ibu. Tapi di luar aku menyanggupi. Raksasa itu kurang ajar sekali, sudah diberi hati masih merogoh jantung!"
"Hm, kau salah," sang ibu tiba'tiba menegur. "Apa yang diminta seharusnya kau berikan saja, anak pangeran. Tak perlu gusar karena raksasa itu terlampau berbahaya."
"Maksud ibu hendak memberikan Wan Cu sebagai isterinya?"
"Kenapa tidak? Masih banyak wanita cantik lainnya di sini, pangeran. Kau dapat memperolehnya kapan kau suka!"
"Tidak, aku tak dapat. Aku mencintai Wan Cu, ibu. Aku tak akan melepaskan kekasihku itu sebagai milik orang lain!"
"Tapi dia tak setia. Dia telah main gila dengan orang lain!"
Pangeran Muda terkejut. "Ibu melihat sendiri? Apa maksud ibu?"
"Hm, tolol sekali. Kau telah melihat kekasihmu itu melayani Gurba, pangeran. Apakah ini bukan kesetiaan yang perlu diragukan? Kau tak perlu bertanya pada ibumu, kau telah lihat dan buktikan sendiri perbuatan kekasihmu itu"
"Tapi itu atas suruhan kita. Ibu yang memberi saran dan menyuruhku berbuat begitu!"
"Benar, tapi wanita baik-baik tak akan mau diperintah begitu, pangeran. Apa yang dilakukan Wan Cu menunjukkan wataknya yang tidak dapat dipercaya!"
Pangeran ini tertegun. "Tapi..."
"Tapi apa? Kau mau mengganduli wanita macam begitu?" sang ibu mengejek. "Lihat saja pertama kalinya, anakku. Lihat dan buktikan saja ketika dia mau, mengkhianati suaminya, Kung-ghoda. Bukankah wanita macam begini sesungguhnya tak berharga mendapat cintamu? Dia wanita murahan, anak pangeran. Tak perlu berat melepasnya kalau raksasa itu menginginkannya sebagai isteri. Malah kebetulan, kau dapat bebas dan tak ada resiko untuk kelak dikhianati kekasihmu itu bila terpikat orang lain!"
Pangeran Muda pucat. "Ibu, ini... ini jalan pikiran yang tidak keruan!"
"Hm, tidak keruan bagaimana? Kau dapat membuktikannya?"
Pangeran ini menelan ludah, terbelalak memandang ibunya, "Tentu saja, bukankah ini semua adalah atas hasil bujukanku? Bukankah aku yang menyuruh dia berbuat begini atau begitu? Dan apa yang dilakukan Wan Cu justeru menunjukkan cintanya, ibu. Dia tak mungkin mengkhianati aku dan berbalik membantu orang lain!"
"Kau bodoh! Justeru bujukanmu itu merupakan uji coba, pangeran. Kalau Wan Cu wanita teguh iman tentu dia menolak. Dan kau boleh tergila-gila pada wanita macam begini. Tapi apa nyatanya? Dia terbujuk, anakku. Dia roboh dan menerima bujukanmu karena imannya lemah. Itu menunjukkan wanita model apa kekasihmu itu!"
Pangeran Muda tertegun. "Tapi..." dia bingung.
"Tapi apa lagi?" sang ibu menukas. "Kau boleh renungkan kata-kata ibu, anakku. Bagiku tak perlu memberatkan wanita macam begitu. Perjuangan kita adalah perjuangan besar, tak seharusnya urusan pribadi yang sepele begini kau pikirkan dengan jantung digerogoti cinta. Kau dapat mencari penggantinya!"
Pangeran Muda menggigil.
“Kau tak dapat menerimanya?"
Pangeran ini serasa tercekik. Tapi ketika sang ibu bertanya kembali dan dia mengangguk akhirnya pangeran ini berkata, serak, "Ibu, apa yang kau katakan agak berlawanan dengan isi hatiku. Aku belum dapat menerimanya begitu saja. Sebaiknya aku berpikir."
"Berpikir apalagi? Bukankah semuanya nyata dan gamblang?"
"Tapi perbuatan Wan Cu adalah atas suruhan kita, ibu. Masa kita menuduhnya demikian keji?"
"Hm, kau bodoh. Kau tak dapat berpikir mana benar mana tidak, pangeran. Kalau begitu kau akan selalu bimbang dan tak dapat mengambil keputusan!"
"Jadi maksud ibu..."
"Seperti yang kukatakan tadi. Berikan kelak kekasihmu itu pada raksasa Tar-tar itu. Itu suatu kebetulan. Kau dapat melepaskan diri dari wanita yang tak punya iman!" dan ketika pangeran ini terbelalak dan terhuyung memandang ibunya maka ibunya sudah berkata, bangkit berdiri, "Pangeran, hidup hanya sekali. Tak ada manusia di dunia ini yang dapat hidup dua kali. Kita sedang memperjuangkan cita-cita yang lebih besar. Kedudukan putera mahkota harus kau rebut dan kelak kau menjadi kaisar. Kesempatan emas ini hanya sekali juga bagi kita. Raksasa itu tenaga yang dapat diandalkan. Kalau kita gagal gara-gara persoalan perempuan. Sungguh penyesalan akan menghantui hidupmu selama hidup! Kekasihmu itu tak perlu diberatkan, kau dapat mencari lain dan banyak penggantinya. Tidakkah kau lihat ancaman kegagalan kalau raksasa itu kau khianati?! Ingat, ibu lebih banyak mengenyam pahit getir kehidupan, anakku. Apa yang ibu katakan adalah berdasar pengalaman yang telah ibu alami. Hidup sekali haruslah sukses, singkirkan kesengsaraan dan penderitaan sejauh mungkin! Kau mengerti?" Pangeran ini tak menjawab. "Kalau begitu renungkanlah. Ibu tak mau kau gagal." dan ibunda selir yang menepuk puteranya dengan mata bersinar lalu menyuruh pangeran itu beristirahat, disambut anggukan lemah.
Pangeran Muda yang tak dapat berkata-kata lagi. Dan ketika pangeran itu pergi dan ibunda selir menepuk tangannya maka dua orang dayang yang tadi diusir sudah muncul kembali di pintu.
"Awasi Pangeran Muda, lihat ke mana dia pergi."
Dua dayang itu mengangguk. Mereka mengintil di belakang, jarak cukup jauh. Tapi ketika sang pangeran kembali ke kamarnya sendiri dan mereka melapor kepada ibunda selir maka wanita ini mengangguk dan tersenyum puas, menyuruh dayang itu keluar lagi dan dia duduk di kursinya. Dan begitu pintu ditutup dan wanita ini melamun jauh ke belakang tiba'tiba semua gambaran masa lalu muncul di benaknya dan terbayanglah peristiwa itu.
Di sebuah gubuk reyot, empatpuluh tahun yang lalu. Tiga orang miskin tinggal di tempat ini, Sien Nio dan ayah serta ibu angkatnya, bertiga menjadi buruh tani milik tuan tanah Pin-Toya (tuan Pin). Bertiga hidup dalam keadaan melarat dan banyak hutang. Jun-lopek, ayah angkat Sien Nio dan isterinya mulai sering sakit-sakitan. Mereka suami isteri itu sebenarnya belum berumur limapuluh tahunan, baru empatpuluh enam mereka seolah sudah menjadi kakek nenek yangi begitu tua.
Tubuh mereka kurus, mata cekung dan tulang pipi menonjol. Jelas keadaan orang kurang makan dengan kondisi menyedihkan. Dan Sien Nio yang ikut dua suami isteri ini sebagai anak angkat karena Jun-lopek tak mempunyai keturunan sudah tinggal bersama orang tua angkatnya limabelas tahun. Waktu yang cukup lama, Dan tragedi itu menimpa mereka hari itu.
Jun-lopek seminggu tak dapat masuk. Panen di sawah ditinggalkan, kakek ini batuk-batuk dan semalam muntah darah. Isterinya otomatis menjaga suami dan tidak dapat bekerja pula di tempat Pin-loya. Sien Nio, gadis enambelas tahun yang bertubuh sehat diminta pula menjaga ayahnya, membantu ibu angkatnya. Tapi ketika batuk Jun-lopek kian menghebat dan sang isteri menangis tiba-tiba Jun lopek roboh terguling muntah darah.
"Huakk....!"
Sien Nio jijik. Ibu angkatnya sudah menggereng-gereng melihat keadaan sang suami, membangunkan suaminya dan menyuruh Sen Nio mengambil air panas. Semalam telah disiapkan dan berkali-kali meringankan penderitaan suaminya dengan menggosokkan air panas itu di dada Jun-lopek, menaruh air panas di dalam botol. Tapi ketika Jun-lopek batuk-batuk dan tetap kesakitan, maka sang isteri menjadi bingung dan menangis tak keruan.
"Suamiku, kau perlu obat. Kita harus mencari obat...!"
"Ya," Jun-lopek mengangguk lemah. Tapi di mana kita mencarinya, isteriku? Aku merasa dadaku panas, nyeri dan panas sekali.... ugh!" Jun lopek batuk-batuk kembali muntahkan darah dan Sien Nio mendapat giliran membersihkan darah di lantai tanah itu, hampir muntah dan melakukan pekerjaannya sambil meram, ikut menangis. Dan ketika Jun lopek terengah-engah dan dibaringkan kembali maka isteri kakek ini mengguguk.
"Suamiku, kita harus ke tabib Chang. Kita harus meminta obat pada tabib itu!"
"Ya, tapi kita harus membelinya, isteriku, bukan memintanya. Padahal kita tak punya uang!"
"Bagaimana kalau kita hutang lagi pada Pin-loya?"
“Kau gila? Hutang kita sudah bertumpuk, aku tak berani....!"
"Tapi kau harus disembuhkan, suamiku. Kau tak boleh menderita dan harus minum obat!" sang isteri menangis lagi, pucat dan merah matanya karena semalam terus menangis, bingung dan tak keruan rasanya karena cobaan itu terlampau berat. Seminggu ini suaminya tak diobati kecuali minum akar-akaran tradisionil, butuh obat yang lebih manjur tapi tak punya uang. Hutang mereka pada Pin Toya sudah seribu tail, bersama bunga. Sukar melunasi hutang yang menggunduk itu. Tapi ketika wanita ini teringat gelang di pundi-pundi hitam dan nyaris terpekik tiba-tiba isteri Jun-lopek ini melompat.
"Suamiku, kita masih punya gelang. Gelang itu kita jual..!"
Jun-lopek terkejut. Isterinya telah membuka sebuah pundi pundi hitam dengan tangan gemetar, merasa dewa penolong seolah menyelamatkan mereka. Dan ketika dengan tangan menggigil dan muka gembira isterinya itu membawa gelang itu ke mukanya maka isterinya ini telah bicara, "Suamiku, kita tak perlu hutang pada Pin-loya. Kita dapat menukarkan ini pada tabib Chang....!"
"Ah!" sang suami terkejut. "Itu gelang pernikahan kita, isteriku. Masa hendak dijual dan di tukar obat?"
"Aku tak perduli. Inipun pemberianmu dulu. Kini hendak kubawa ke tabib Chang dan biar kutukar dengan kesembuhanmu. Aku lebih berat dirimu daripada gelang ini!"
"Tidak!" sang suami terbelalak, menggeleng keras. "Gelang itu gelang keramat, isteriku. Tak boleh dijual karena merupakan benda pusaka!"
"Tapi kau sakit, kau perlu obat...!"
"Ya, tapi jangan menjual gelang itu, isteriku. Masih ada jalan lain selain menjual gelang!"
"Apa itu?"
Jun-lopek bingung. Diapun tak dapat menjawab ketika isterinya bertanya, jalan apa yang disebut sebagai jalan lain itu. Dan ketika dia batuk-batuk dan tak dapat menjawab tiba-tiba isterinya merubruk menangis tersedu sedu.
"Suamiku, jalan lain tak ada, kecuali hutang. Bagaimana kalau aku meminjam uang lagi pada Pin-loya?"
Kakek ini gemetar. "Tak mungkin diberi, isteriku. Hutang kita sudah terlalu tinggi. Minggu lalupun belum kita bayar...!"
"Tapi...!" sang isteri terbelalak, mengangkat mukanya. "Gelang ini dapat dijadikan jaminan, suamiku. Kutunjukkan benda ini agar Pin-loya mau memberi!"
"Kau hendak menggadaikannya?"
"Kalau tak boleh dijual!"
"Ah...." dan Jun-lopek yang batuk-batuk tak dapat menjawab tiba-tiba mengeluh dan mendekap dadanya, kembali muntah darah dan keadaan benar-benar gawat. Kakek ini pucat pasi, habis tenaganya oleh batuk yang menggebu. Dan ketika sang isteri menangis dan menolong suaminya maka Sien Nio yang saat itu berdiri di tengah pintu memandang terbelalak.
"Sen Nio, bantu ayanmu. Angkat tubuhnya!"
Sien Nio menggigil. Dia saat itu melotot memandang gelang, baru kali itu mengetahui ibu angkatnya memiliki perhiasan berharga ini. Tak kurang dari seribu tail. Tapi ketika ibunya berseru dan memanggil namanya segera gadis ini tertatih-tatih menghampiri sang ayah, berjingkat dan kembali jijik memandang darah yang kotor. Ayahnya batuk-batuk dan keadaan berbahaya, dia disuruh membantu ayahnya dan membersihkan darah di lantai. Dan ketika Jun-lopek terengah dan isterinya menangis maka wanita ini menyuruh Sien Nio menjaga suaminya.
"Suamiku, aku harus ke Pin-loya. Biar ku minta uang untuk ke tabib Chang....!"
Jun-lopek mengangkuk gemetar. Dia tak dapat menjawab, itulah satu satunya jalan untuk menyelamaikan nyawanya. Tapi ketika sang isteri berangkat dan Sien Nio bangkit berdiri tiba-tiba gadis ini berseru,
"ibu, tunggu....!" dan Sien Nio yang mengejar ibunya membuat ibunya berhenti tiba-tiba mengajukan usul, “Ibu, bagaimana kalau aku saja yang pergi ke tempat Pin-loya? Biar ku mintakan uang itu, kau dapat menjaga ayah sementara aku ke sana!"
Isteri Jun-opek tertegun. Sebenarnya, dia setuju mendengar ini. Betapapun dia lebih baik dirumah karena tempat tinggal Pin-loya cukup jauh, mereka tinggal di pinggiran. Dan ketika Sien Nio bertanya lagi dan dia tak curiga sedikitpun juga akhirnya wanita tua ini menyerahkan miliknya dan mengangguk pada anak angkatnya itu. "Baiklah, kau bawa Nio nio. Tapi hati-hati, ini satu satunya barang berharga kami yang tidak ada duanya."
Sien Nio menyambut girang. Dia cepat menerima gelang itu, menimangnya dan menggengamnya di tangan. Dan begitu sang ibu menyuruh dia berangkat gadis itu menggerakkan kakinya ke rumah Pin loya. Tapi Sien Nio tidak menyerahkan barang berharga itu, menghadap Pin-loya dan minta begitu saja, hutang tanpa jaminan, Pin loya marah-marah dan tentu saja tidak memberikan uangnya. Sien Nio bingung. Dan ketika gadis itu menangis dan gagal diusir keluar tiba-tiba Hok centeng (tukang pukul Hek) muncul.
"Ada apa? Kenapa gadis ini, loya?"
Pin loya marah-marah. "Dia datang minta pinjaman, padahal hutang yang dulu belum lunas! Mana mungkin itu? Lempar dia. Tendang dan suruh dia keluar!"
Hok centeng atau Hok-kauwsu terbelalak, "Dia anak perempuan Jun-lopek, bukan?"
"Benar."
"Berapa dia mau pinjam?"
Pin-loya melotot. "Hok-kauwsu, apa maumu?"
Hok-kauwsu menyeringai, tersenyum lebar. "Tidak apa-apa, oya. Tapi...." tukang pukul ini menghampiri Sien No, mengawasi wajahnya. Dan ketika dia mengangguk-angguk dan menghadap majikannya tukang pukul ini kembali bertanya, "Lo-ya, berapa dia minta?"
"Duaratus tail, sungguh gila!"
"Untuk apa?"
"Katanya untuk membeli obat."
"Siapa yang sakit?"
Pin-loya menggebrak meja. "Hok-kauwsu, ada apa kau tanya-tanya? Usir saja bocah ini, bilang tak ada uang. Habis perkara!"
Tukang pukul itu mengangguk. Dia tertawa menyeret Sien Nio, dibawa keluar dan menyeringai aneh. Sien Nio menangis dan ketakutan. Tapi ketika tukang pukul itu membawa Sien Nio ke belakang rumah dan berhenti di situ tiba-tiba Hok kauwsu ini bertanya halus, "Sien Nio, untuk apa uang sebegitu banyak? Benarkah untuk mencari obat? Siapa yang sakit?"
Sien Nio gemetar. "Ayah, Hok-kauwsu. Ayah batuk-batuk dan seminggu ini tak dapat bekerja. la muntah darah!"
“Kau perlu uang?"
"Tentu saja."
"Berapa, duaratus tail?"
Sien Nio mengangguk. Sebenarnya ibu angakatnya tak memberi tahu jumlahnya, menyuruh dia mengira-ngira saja dengan jaminan gelang itu. asal cukup membeli obat. Dan Hok kauwsu yang menyeringai memandang gadis ini tiba-tiba menangkap pundaknya.
"Kau punya jaminan apa?"
Sien Nio terkejut. "Tidak... tidak ada!" dia mengira Hok-kauwsu mengetahui gelangnya, cepat meronta dan melepaskan diri.
Hok kauwsu yang tertawa menangkap kembali itu tiba-tiba mendengus. "Sien Nio, pinjam tanpa tanggungan adalah tidak mungkin. Ayah ibumu tak punya jaminan, mana bisa mencari hutang? Apalagi duaratus tail, jumlah itu tidak sedikit! Kalau kau mau menjaminkan dirimu, biarlah kubantu kau mencari uang. Setuju?"
Sien Nio terbelalak. "Apa maksudmu, Hok. kauwsu?"
"Heh heh, maksudnya jelas. Sien Nio. Kalau kau mau melayani aku dan bersikap manis padaku aku dapat memberimu duartus tail itu. Setuju?"
Sien Nio mengangguk. Dia mengira kata "me ayani" itu bermaksud melayani Hok kauwsu dalam arti menyiapkan makan minumnya, mencuci pakaiannya atau apa saja yang berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari. Tentu saja girang dan menganggap enteng. Gelang berarti dapat dia miliki dan duaratus tail dapat diperolehnya juga dengan mudah. Begitu gampang! Dan Sien Nio yang mengangguk berseri dengan mata berkejap tiba tiba bertanya,
"Boleh, tapi berapa lama aku melayanimau, Hok kauwsu? Asal tidak tahunan aku tentu mau!"
"Ha ha, tak perlu tahunan, anak manis. Dua bulan pun cukup! Kau mau?"
Hok-kauwsu tertawa bergelak, matanya berkilat dan begitu aneh memandang gadis remaja ini, bersinar-sinar dan membuat sang remaja tertegun. Tapi ketika Hok-kauwsu menyatakan dua bulan saja dan waktu bagi Sien Nio dapat ditolerir tiba-tiba Sien Nio mengangguk dan tersenyum gembira.
“Baiklah, aku mau. Tapi mana sekarang uangmu itu."
Hk kauwsu hampir berjingkrak. Dia terbahak mengejutkan gadis remaja ini, melompat dan menghilang sejenak entah ke mana, menyuruh Sien No menunggu. Dan ketika sekejap kemudian Centeng itu muncul kembali dan sebuah pundi-pundi terbawa di tangan kanannya maka tukang pukul ini tertawa melonjakkan kakinya, "Sien Nio, ini uang itu. Kau boleh hitung isinya!"
Sien Nio terbelalak. Dia sudah menerima pundi-pundi itu, menghitung uangnya. benar dua ratus tail, tak lebih tak kurang. Tentu saja girang dan mengucap terima kasih, ingin berlalu dan segera pergi dari tempat itu. Tapi ketika Hok - kauwsu tertawa aneh dan menyambar lengannya mendadak centeng ini menyeringai membentak perlahan,
"Sien Nio, tunggu dulu. Kau belum berjanji kapan kau mulai melayani aku!"
"Ah...." Sien Nio terkejut. "Kapan saja aku siap melayaninya, kauwsu. Kau mau kapan?"
"Weh, kau menantang? Kalau begitu nanti malam!" tukang pukul itu tertawa bergelak, air liurnya menetes dua kali membuat Sien Nio mengerutkan kening. Dan ketika Sien Nio dilepas dan disambar pipinya tiba tiba Hok-kauwsu mendaratkan ciumannya dua kali. "Nio nio, kau boleh layani aku nanti malam. Kutunggu di tengah sawah!"
Sien Nio terkejut. "Di tengah sawah?" dia tak mengerti, agak takut juga melihat centeng itu. "Apa yang harus kukerjakan di sana, kauwsu? Bukankah pekerjaan ada di rumahmu?"
"Ha-ha, di tengah sawahpun banyak pekerjaannya, Sien Nio. Pokoknya kesana saja kau malam nanti. Kebetulan malam ini aku bertugas jaga, di gubug itu. Kau tahu, bukan?"
"Ya." Sien Nio agak was-was, teringat gubug di tengah sawah milk Pin-loya itu. Gubug yang biasa dipakai penjaga tuan tanah ini untuk menjaga sawahnya dari pencurian, padi dan gandum banyak tersebar di situ. Tapi teringat dia takut sendirian berjalan di malam hari tiba-tiba Sien Nio menggigil. "Hok-kauwsu, kenapa malam hari? Aku takut....!"
"Ah, tak perlu takut," centeng itu membujuk. "Aku akan menunggumu di tepi sawah, Nio nio. Setelah itu kita berangkat bersama ke tengah. Begitu?"
Sien Nio mengangguk. Kalau begini terang dia tidak takut, ditemani Hok-kauwsu. Dan ketika tukang pukul itu kembali tertawa dan menyuruhnya pergi akhirnya Sien Nio membawa uang itu dengan sedikitpun tidak berprasangka buruk. Dan inilah celakanya. Gadis remja itu terlalu hijau. Menganggap demikian mudah mencari duit. Tinggal berjanji dan dapatlah uang itu. Dua ratus tail di tangan sementara gelang juga tidak sampai hilang. Dia dapat memiliki benda itu dan tugasnya berjalan demikian mulus. Dan ketika uang itu dia serahkan pada ibu angkatnya sejumlah seratus tail sementara yang seratus tail lagi dia sembunyikan dari ibunya maka tanpa berprasangka buruk pula tabib Chang mengobati suaminya.
Tapi celaka. Tabib Chang berkerut kening. Dewa penolong itu menyatakan terlambat, tak mungkin menolong Jun-lopek yang dianggap kadaluwarsa. Isteri Jun lopek hampir pingsan, pucat mendengar keterangan tabib ini, seolah ultimatum seorang hakim. Tapi Chang-sinshe (tabib Chang) yang memberi hiburan dengan sebungkus obat memberitahukan sesuatu.
"Jangan terlampau cemas. Suamimu memang parah, ibu tua. Tapi kuharap sebungkus obat ini dapat memperpanjang umurnya barang seminggu. Kau rebuslah jadikan tujuh bagian dan minum setiap bagian pada setiap hari. Berdoalah agar Tuhan menyelamatkan suamimu."
Isteri Jun-lopek meratap tak keruan. Tabib Chang adalah satu satunya tabib yang paling diandalkan. Obatnya manjur dan banyak yang tertolong. Tapi kalau sekarang artinya itu hanya dapat menghibur dengan kata-kata itu dan nyawa suaminya hanya dapat diperpanjang tujuh hari lagi tak ayal wanita tua ini terhuyung dan pucat menerima obat. Dan saat itu tiba-tiba diapun batuk pula, tanpa sengaja melontakkan darah dan mengenai pakaian si tabib. Chang sinshe terkejut dan membelalakkan mata. Dan ketika wanita itu terguling dan roboh sambil menangis maka tabib ini menolong dengan kening semakin berkerut.
"Kaupun terkena. Kau juga sakit!"
Isteri Jun lopek menangis mengguguk. Dia! tersedu-sedu di samping suaminya, dua-duanya sama terkena penyakit yang serupa. Barangkali tbc! Dan ketika tuan Chang menolong dan membangunkan wanita tua itu maka Chang sinshe mangambil obat lagi khusus untuk wanita tua ini.
"Kau ada uang? Ini duapuluh lima tail. Kalau ingin hidup panjang harap berikan padaku duapuluh lima tail lagi. Aturannyapun sama, kau belum terlambat karena baru pada stadium pertama!"
Wanita tua ini tersedu. Dia mengeluarkan lagi dua puluh lima tail, untung seratus tail itu dibawanya semua. Tapi ketika dia pulang dan malam itu kedinginan membawa sang suami tiba-tiba Sien Nio yang dipanggil berkali-kali tak tampak.
"Nio nio, tolong ibumu. Di mana kau?"
Tak ada jawaban. Sien Nio tak menyahut dan tak ada dirumah, tentu saja heran ibu angkatnya. Wanita tua itu batuk-batuk dan kembali muntahkan darah. Penyakit sudah menular padanya. Dan ketika sang suami juga batuk-batuk dan mengeluh menahan sakit akhirnya wanita ini menangis tak berdaya di antara marah dan khawatir. Dia terpaksa melupakan anak angkatnya, mengurus suami dan diri sendiri. Cepat merebus obat dan berkali-kali terhuyung harus menopang tubuh. Dada sesak dan muka pucat. Dan ketika malam itu terpaksa dia harus bekerja sendirian dan dua suami isteri sama batuk-batuk maka penderitaan Jun-lopek dan isterinya benar-benar menyedihkan. Ke mana Sien Nio? Tentu saja menemui Hok-kauwsu!
Malam itu gadis ini menunggu ibunya. Tapi karena rumah tabib Chang cukup jauh dan kepergian ibu dan ayah angkatnya itu terlalu lama akhirnya Sien Nio meninggalkan rumah teringat janjinya pada Hok-kauwsu. Dia takut terlalu malam. Begitu matahari terbenam segera dia berangkat. Mengira kerjaan di tempat Hok-kauwsu nanti tak akan lama dan sebentar selesai. Berarti dia dapat segera pulang dan menemui ayah ibunya lagi.
Tapi ketika dia berada di sana dan suasana yang gelap membuat dia takut akhirnya Sien Nio menggigil saja di tepi sawah, menunggu, sesuai janji Hok-kauwsu tadi. Dan ketika dia merasa tak sabar dan ingin menangis Hok-kauwsu tak muncul juga mendadak sepasang lengan menyergap bahunya.
"Heh, sudah lama kau di sini?"
Sien Nio terpekik. Dia hampir menjerit, meronta melepaskan diri. Tapi ketika dilihatnya itulah Hok-kauwsu dan tukang pukul ini menyeringai akhirnya Sien Nio menegur dengan muka pucat, "Kauwsu, kau mengagetkan orang. Sungguh aku terkejut!"
"Heh-heh, terkejut tapi tidak takut, bukan? Sudahlah, aku di sini, Nio-nio, mari ke gubug sesuai janji kita."
Hok-kauwsu tertawa, menyambar dan sudah menyeret gadis ini ke tengah, Sien Nio mendengar napasnya yang mendengus aneh. Dan ketika mereka tiba di sana dan Sien Nio terbelalak segera gadis ini melihat sebuah dipan dengan sebuah meja kursi kecil, dipan yang agaknya baru dibawa ke situ karena biasanya dipan ini tidak ada.
"Kauwsu, kau membawa dipan ini?"
"Ya, untuk kita, Nio-nio. Kau suka, bukan?" Hok-kauwsu kembali tertawa, membesarkan pelita hingga tempat itu lebih terang. Sien Nio melihat pula beberapa gelas dan mangkok. Dan ketika dia tertegun dan memandang kiri kanan tiba-tiba Hok kauwsu melepas bajunya.
"Nio-nio, aku ingin pijat. Kau lakukanlah tugasmu pertama itu sekarang."
"Pijat?"
"Ya, aku lelah, Nio nio. Capai habis bekerja berat. Aku ingin kau memijatku setiap hari di sini. Ayolah."
Sien Nio membelalakkan mata. Tukang pukul itu telah melepas bajunya, kini celananya pula. Tinggal celana dalam yang kedodoran. Gadis ini tiba-tiba menjadi ngeri, melihat tubuh telanjang seorang pria yang begitu kokoh. Tapi belum dia menolak atau apa mendadak Hok-kauwsu tertawa menarik tubuhnya.
"Ayo. kerjakan. Pijat seluruh tubuhku!"
Sien Nio menggigil. Sebenarnya, seumur hidup belum pernah dia memijat pria, paling-paling ayah angkatnya itu atau ibu angkatnya, kalau mereka kecapaian. Tapi sekarang diperintah begini dan dia ngeri melihat Hok kauwsu tinggal mengenakan celana dalam saja dan mata laki-laki itu merah mendadak, entah karena apa Sien Nio menjadi takut dan menggeleng. "Tidak, aku... aku tak bisa, kauwsu. Aku tak biasa memijat!"
"Heh, kau menolak?" kauwsu itu terbelalak, matanya yang merah tiba-tiba melotot. Dan ketika Sien Nio terisak dan mundur menganggukkan kepalanya mendadak tukang pukul ini melompat bangun membentak Sien Nio. "Bocah, kau telah mendapat duaratus tail dari aku. Dan kau juga sudah berjanji. Kenapa menolak? Kau mau menipu aku?"
“Tidak... tidak... aku... aku memang tak bisa memijat, kauwsu. Lebih baik pekerjaan lain saja yang biasa kulakukan...!"
"Itu nanti. Kalau tak bisa memijat kau harus belajar. Ayo!" dan Hok-kauwsu yang kasar menyambar gadis ini tiba-tiba menarik Sien Nio hingga roboh ke dipan itu. Lalu mengancam dengan muka merah tukang pukul ini menghardik. "Nio-nio, uang duaratus tail tidak sedikit. Kau jangan main-main kepadaku. Kalau tidak mau menepati janjimu sendiri kubunuh kau di sini! Masih kau menolak?"
Sien Nio menangis. Sekarang dia gemetar, betapapun firasat kewanitaannya memberi tahu sesuatu yang mengerikan. Dan karena dia juga sudah berjanji dan pekerjaan memijat itupun kiranya tak terlalu sukar akhirnya gadis ini mengangguk dan menahan cucuran air matanya.
Dan Hok-kauwsupun berkata, "Kalau kau tidak mau kembalikan saja uangku itu, berikut bunga!"
Gadis inipun tercekik. Terang ia tak dapat mengembalikan uang itu, sebagian sudah diberikan pada ibu angkatnya dan sebagian lagi dia simpan. Rakus harta mulai merasuki dirinya. Dan ketika Hok-kauwsu membalikkan tubuh dan tengkurap di atas dipan itu akhirnya dengan takut-takut dan jari menggigil gadis ini mulai memijat.
"Hok kauwsu, jangan minta kembali hutang itu. Aku sedia memenuhi permintaanmu."
"Nah, itu baik. Kau jangan membuat aku marah. Ayo Pijat seluruh tubuhku dari atas sampai bawah!"
Sien Nio sudah mulai bekerja. Ia memijat tubuh Hok-kauwsu itu, perlahan-lahan dari atas ke bawah. Tapi karena dia takut-takut dan pijatannya pun tak bertenaga maka tukang pukul ini membentak menyuruh dia sedikit keras.
"Tambah tenagamu itu, jangan terlalu lemah!" Sien Nio pun menggigil. Dia mengangguk, menambah tenaganya menekan rahang digigit, betapapun tubuh Hok-hauwsu terlalu keras sekali baginya.Tapi ketika pijatan di belakang selesai dan Hok-kauwsu membalikkan punggungnya, maka laki-laki ini menyuruh agar bagian depan juga dipijat. "Sekarang dada dan paha tekan yang kuat tapi lunak!"
Sien Nio terbeliak. la melihat dada Hok kauwsu yang bidang tapi berbulu, ngeri hatinya. Tapi karena orang sudah memerintah dan dia harus memijat maka gadis inipun tak dapat bicara dia memijati dan memejamkan mata, memijati dada Hok kauwsu itu, berkali kali. Seluruh dada sudah dia pijati. Tapi dasar keparat Hok-kauwsu menyuruh dia menurunkan pijat bawah dan ke bawah lagi mendadak tukang pukul itu tertawa bergelak menyambar tangan Sien Nio, menangkap dan membantingnya ke bawah menumpang di tubuh tukang pukul itu.
"Ha ha, sekarang pijatmu selesai, Nio nio. Tugas baru adalah melayaniku...brett" Sien Nio dibuka bajunya, otomatis terkuak dan Sien No menjerit. Bagian atasnya telanjang. Tapi belum dia meronta atau apa mendadak mulut Hok kauwsu telah mencium mulutnya penuh nafsu, mendengar laki-laki itu mendengus-dengus.
"Nio-nio, layani aku. Buka pakaianmu.....!"
Sien Nio terkejut bukan main. Dia sudah dipeluk dan dibanting laki-laki ini, tubuhnya menempel dan melekat di tubuh Hok kauwsu. Tentu saja meronta dan menjerit jerit. kaki dan tangan kesana kesini, sebisa-bisanya menendang tak karuan, seperti kuda liar yang tertangkap jerat. Tapi ketika mulutnya tertutup mulut Hok-kauwsu dan laki-laki itu mendengus menciumi seluruh mukanya akhirnya Sien Nio menangis dan hampir pingsan.
"Oh, tidak... jangan.... tidak...."
Namun Hok-kauwsu telah mencopoti semua pakaiannya.Tukang pukul ini mendengus-dengus mengancamnya dan menyebut-nyebut lagi uang duaratus tael itu, bahkan akan membunuh gadis itu kalau Sien Nio berteriak. Tentu saja membuat Sien Nio bungkam dan tidak berkutik lagi. Dan ketika laki-laki itu menggumulinya dan Sien Nio merintih, maka untuk pertama kalinya dalam kehidupan remajanya gadis ini menyerahkan miliknya yang paling pribadi.
Sekarang dia tahu apa artinya “melayani” itu. Bukan seperti yang disangka melainkan seperti yang begini. Melayani Hok Kauwsu luar dalam menjadi pemuas nafsu laki-laki itu, sementara tubuhnya digerayangi sana sini, menjadi permainan Hok Kauwsu dengan tangan-tangannya yang kasar dan kurang ajar. Dan ketika semuanya itu selesai dan laki-laki itu tersenyum puas, ia disuruh pergi begitu saja.
“Pulanglah, tugasmu selesai, anak manis. Besok kau datang kemari lagi atau kau kembalikan uangku itu!”
“Aku takut…” Sien Nio menangis. “Aku tak berani jalan sendirian Kauwsu. Tolong kau antar aku sampai ke rumah!”
“Apa?” Kau main perintah? Kupukul kau nanti. Ayo pulang sendirian!” Hok kauwsu membentak. “Aku ingin istirahat!”
“Tapi aku takut kauwsu, lagi pula bagaimana jawabku nanti pada ayah ibuku?”
“Persetan mereka itu, kau cari akal sendiri.” tukang pukul ini mendorong Sien Nio menyuruh gadis itu keluar dan marah-marah. Dan karena Sien Nio tak berdaya dan lebih takut pada laki-laki ini, akhirnya dengan air mata bercucuran dan mata merah dia pulang sendirian, menerobos kegelapan malam dan terhuyung-huyung menuju kerumahnya sendiri. Sekarang rasa takutnya berganti. Ada penyesalan kenapa dia menuruti kemauan centeng itu, juga kenapa menipu ibu angkatnya sendiri.
Tapi karena semuannya terlanjur dan nasi telah menjadi bubur maka Sien Nio pun tak dapat berbuat apa apa dan pulang ke rumah. Dan disini kena damprat lagi. Ayah ibunya marah-marah, terutama ibunya. Memaki-maki dirinya yang dikata gadis tak tahu diri,, keluyuran dan malam-malam pulang begitu saja Sien Nio beralasan dipanggil Hok kauwsu, tentu saja tak menceritakan apa yang dia alami di tengah gubuk itu. Hilang kehormatan gara-gara duaratus tail. Dan ketika malam itu ia tak dapat tidur karena tubuhnya sakit-sakit dan selangkangannya terasa perih, maka keesokkan harinya seperti yang sudah dipasakan ia melayani lagi Hok kauwsu itu.
Ibunya keheran heranan dan tidak mengerti kenapa empat hari ini anak perempuannya berturut turut pulang malam, selalu dipanggil Hok kauwsu, begtu katanya. Tentu saja mengerutkan kening tapi tak sempat menyelidiki, suaminya tetap parah. Diapun semakin batuk-batuk dan terpaksa membiarkan anak perempuannya pergi pulang dengan cara yang aneh. Tapi ketika tengah malam akhirnya isteri Jun lopek ini membelalakan mata.
“Sien Nio, kau pergi kemana saja? Benarkah dipanggil Hok kauwsu?"
Sien Nio menggigil. ”Benar, kau boleh bertanya kalau tidak percaya, ibu. Aku memang benar dipanggil tukang pukul Pin-loya itu!“
“Ada urusan apa?”
“Urusan… urusan hutang!” Sien Nio menjawab tak ragu, betapapun ketenangan dan kepintarannya berbohong mulai tumbuh, membuat sang ibu mengerutkan kening, tentu saja terkejut dan berobah mukanya mendengar jawaban itu. Persoalan hutang yang tidak enak. Tapi merasa sudah memberikan gelang dan itu dianggap sebagai jaminan yang cukup wanita itupun memandang anaknya.
"Hutang apa lagi? Bukankah gelang itu telah kau berikan pada Pin-loya?"
"Benar, tapi bunga dari pokok pinjaman itu dianggap tak cukup, ibu. Sekarang setiap malam aku harus dipanggil Hok kauwsu untuk membersihkan ruangan Pin-loya."
"Kau bekerja di sana?"
"Sebagai pembayaran bunga, agar bunganya tidak bertambah lagi dan pokok pinjaman susut!"
"Ooh....!" sang ibu terbelalak, mengeluh dan tiba-tiba menubruk anak perempuannya itu, menagis, mengira Sien Nio berusaha meringankan beban hutang dengan bekerja malam-malam pada keluarga Pin-loya. Tentu saja mengguguk dan menganggap anak perempuannya ini berbakti. Susah payah meringankan hutang. Tak tahu anaknya dikerjai Hok-kauwsu karenà telah menerima duaratus tail, menyembunyikan gelangnya. Satu penipuan!
Dan ketika malam itu isteri Jun-lopek ini merangkul anaknya dan minta maaf karena memarahi Sien Nio maka sejak hari itu juga Sien Nio mendapat kebebasan untuk keluar malam. Dan Sien Nio tersenyum lega, berhasil mengelabuhi ibu angkatnya sementara sang ibu malah semakin sayang padanya, menganggap Sien Nio benar-benar berbakti dan berbudi.
Jun-lopek sendiri terengah-engah memuji anaknya. Tapi karena kakek ini sakit parah dan apa yang diramal Chang sinshe memang benar maka pada hari ke tujuh kakek she Jun itu tak kuat bertahan lagi. Kakek ini menghemuskan napasnya yang terakhir, tepat tengah malam, di saat Sien Nio baru pulang. Dan sang isteri yang menangis menggerung gerung oleh kematian suaminya itu akhirnya roboh pingsan dan membuat Sien Nio sibuk.
Gadis ini ikut menangis, betapapun bingung dirinya oleh kematian Jun-lopek. Tapi ketika keesokan harinya kakek itu dimakamkan dan beberapa teman datang membantu maka Sien Nio mau pun ibunya mendapat hiburan kata-kata. Apa yang terjadi memang harus terjadi, tak dapat ditarik lagi. Dan isteri Jun-Topek yang menangis dengan air mata bercucuran dan tidak dapat berkata-kata akhirnya menubruk anak perempuan angkat satu-satunya ini.
"Sien Nio, ayahmu tak ada lagi. Kau harus menjaga dan membantu aku."
"Tentu, bukankah selama ini aku selalu membantumu, ibu? Aku akan menjagamu, aku akan merawatmu dan melindungimu sebisaku."
Itu angkatnya agak terhibur. Betapapun dia tidak sendiri, masih ada anak angkatnya ini, Sien Nio yang berbudi. Sien Nio yang setiap malam "membantu" Pin-loya untuk penebus hutang. Tapi ketika hari demi hari lewat dan tiga minggu kepergian Sien Nio itu berlanjut juga tiba-tiba, masih dalam keadaan tidak sehat wanita tua ini mendengar cemoohan seseorang mengenai anaknya.
"Cuh, Sien Nio? Dia pelacur remaja, anak angkat Jun-lopek itu menjadi gundik Hok-kauwsu setiap malam!"
Isteri Jun-lopek ini terkejut. Omongan itu dia dengar di tengah pekerjaan, di saat dia menguat-nguatkan diri untuk bekerja di ladang Pin-loya. Beberapa tawa mengejek serasa ditujukan padanya, tentu saja membuat wanita tua ini menggigil dan marah. Dan ketika omongan yang lain saling sahut-menyahut dan dia menegur örang-orang itu tiba-tiba Cin San, sahabat suaminya yang baik mendekati dirinya.
"Siung Khoen, kau hati-hatilah menjaga anak perempuanmu itu. Dia keluyuran malam-malam bersama Hok-centeng. Apa yang kau dengar di sini sebaiknya kau selidiki tanpa marah kepada kami!"
"Tapi Sien Nio anak baik-baik, Cin San." nenek ini menggigil, marah. "Dia pergi setiap malam untuk bekerja di rumah Pin-loya. Kalian memfitnah!"
"Itulah kepandaian anak perempuanmu. Dia mengibul, sebaiknya kau tanya pada Pin-loya sendiri kalau ingin membuktikan."
"Tidak, kalian jahat. Kalian menyakiti hatiku!" dan nenek ini yang menangis mengusap pipinya akhirnya marah-marah pada semua orang, termasuk Cin San karena selama ini Sien Nio bersikap baik. Bahkan demikian baik dan berbudinya anaknya itu hingga tiap malam rela bekerja ekstra, melembur di rumah Pin loya seperti yang di kata anak angkatnya itu. Tapi ketika nenek ini pulang dan berjumpa dengan dua tukang pukul Pin loya bernama Bap Cwan dan Goh Beng tiba-tiba dua tukang pukul itu mencegat dengan muka tertawa-tawa.
"Uwak Jun, mana Sien Niö?"
"Kalian mau apa?"
"Kami mencarinya, kami iri pada keberuntungan Hok kauwsu!"
"Apa maksud kalian?"
"Ha ha, tak perlu pilon, nenek tua. Anakmu itu katanya pandai memijit dan menghibur lelaki. Kami ingin menemuinya, kami ingin mentraktirnya malam nanti!"
"Jahanam...!" nenek ini terhuyung. "Kalian jangan menghina orang miskin, Goh Beng. Jelek-jelek kami bukan manusia rendahan. Aku baru ditinggal mati suamiku, sebaiknya kalian tak perlu kurang ajar dan menyakiti wanita tua!"
"Eh, kau marah? Ha ha, kalau begitu pesankan saja pada anakmu agar malam nanti menemui kami di gubuk tengah sawah, tua bangka. Suruh dia menghibur dan tigaratus tail kami sanggup bayar!"
Nenek ini hampir menerjang. Dia sudah maju, tangan siap diangkat dan menyerang dua tukang pukul itu, lupa keadaan sendiri. Tapi ketika Ban Cwan terbahak dan menangkap lengannya ini. tiba-tiba tukang pukul ini memelintir dan telah mendorong nenek itu roboh.
"Tua bangka, jangan main-main. Kubunuh kau nanti...brukk!"
Nenek itu menggelepar. Isteri mendiang Jun lopek ini menangis, melihat dua orang itu tertawa-tawa meninggalkan dirinya dan beberapa kata kotor ditujukan pada anak perempuannya, tentu saja marah tapi tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika sore itu Sien Nio pulang dan dia menghadang segera wanita itu membentak.
“Sien Nio, apa sebenarnya yang kau lakukan setiap malam? Benarkah kau menjadi gundik Hok kauwsu?"
"Ah," Sien Nio terkejut. "Apa omonganmu ini, ibu? Kenapa bicara demikian keras dan tidak enak didengar telinga?"
"Aku tak kuat lagi. Sen Nio. Di tengah sawah orang-orang menyebutmu sebagai pelacur. Kau katanya melayani Hok-kauwsu setiap malam bukannya ke rumah Pio-loya!"
Sien Nio bagai disambar geledek. Kata-kata ibunya bagaikan sengatan ular berbisa, begitu kaget dia hingga berjengit Sien Nio mendadak pucat. Tapi karena Sien Nio sekarang sudah mulai pandai berbohong dan pintar bersandiwara mendadak gadis ini menangis dan menubruk ibunya, ibu angkat itu. "Ibu, kau menuduhku sedemikian keji? Kau mempercayai omongan orang-orang jahat itu? Aku tak melakukan seperti apa yang kau katakan itu, ibu. Aku berani sumpah!"
Sang ibu tertegun. Sikap yang ditujukkan puterinya ini demikian meyakinkan, tapi melihat baju baru yang dikenakan anaknya tiba tiba wanita ini terbelalak. Sebenarnya dalam minggu-minggu terakhir ini dia mulai terheran-heran melihat baju anaknya. Banyak yang baru. Selalu gres! dan bersih. Kalau ditanya menjawab dari Pin-loya, pemberian tuan tanah itu, padahal sepengetahuannya Pin-loya adalah tuan tanah yang pelit, bahkan serakah. Maka kini melihat anaknya kembali mengenakan pakaian baru dan lagi-lagi dia tertegun tiba-tiba wanita ini mendorong gadis itu.
"Sien Nio. kau dapat dari mana baju baru itu?"
"Dari Pin-loya."
"Selalu begitu?"
"Apa maksud ibu?"
"Pin-loya orangnya pelit, Sien Nio. Masa begitu royal memberimu baju baru? Ini yang kè empat, aku sungguh curiga!"
"Ah, ibu terlalu berprasangka. Pin-loya orangnya baik, ibu. Tuan tanah itu kasihan karena aku bekerja lembur. Ini semua karena belas kasihnya kepadaku."
"Kau tak bohong?"
Sien Nio tertegun. "Ibu tak percaya?" gadis itu mulai berdebar, melihat sinar kecurigaan dan sorot yang tajam dari mata ibunya itu, seolah menjenguk isi hatinya mencoba menguak keluar apa yang dia sembunyikan. Tentu saja mulai bersiap-siap dan ada rencana nekat. Baju-baju itu sebetulnya dia beli dari uang seratus tail dulu, yang dia sisakan, uang yang ia simpan. Tapi ketika ibunya terisak dan melihat Sien Nio balas memandangnya dengan tenang (begitu meyakinkan) akhirnya wanita ini memeluk anaknya mengusap air mata, menekan perasaan sendiri.
"Baiklah, aku percaya padamu, Sien Nio. Tapi tolong jaga nama ibumu dengan tidak keluar malam lagi. Mulai hari ini kau tak boleh keluyuran!"
Sien Nio terkejut. "Ibu tak memperbolehkan aku bekerja lembur?"
"Ya, agar omongan di luar itu tak menyakiti hatiku, Sien No. Dan lagi aku dihina Goh Beng dan Ban Cwan tadi!"
"Apa yang dilakukan?"
"Aku dipukul, mereka mengatakan kau pandai menghibur lelaki dan minta agar kau melayani mereka pula di tengah sawah!"
Sien Nio kembali kaget. Untuk kedua kalinya dia seakan disambar petir, tahulah dia rahasia hubungannya bocor. Tentu perbuatan tukang pukul she Hok itu, siapa lagi? Dan hampir menangis serta marah pada Hok-kauwsu ini akhirnya Sien Nio mengangguk dan menuruti omongan ibunya, tidak keluar malam lagi. Tidak melayani Hok-kauwsu. Tapi ketika dua hari dia tidak nongol dan Hok-kauwsu mencarinya tiba-tiba Sien No kembali tersudut, berhadapan dengan tukang pukul itu.
"Kau tidak menepati janjimu? Kau mau menipu?"
Sien Nio menangis, menggigit bibir. "Kau yang menjadi gara-gara, kauwsu. Ibu marah-marah dan melarangku keluar!"
"Tapi hutang janjimu belum lunas, ini belum dua bulan!"
"Ya, tapi kau membocorkan hubunganku, kauwsu. Ibu mendengar dan orang-orang mengejek aku!" dan Sien Nio yang sengit memandang tulang pukul itu tiba-tiba menjadi marah. "Kauwsu kau memalukan aku. Ban centeng dan Goh centeng melapor pada ibu apa yang selama ini kulakuan. Kau laki-laki tengik!"
"Heh, kau memaki aku? Kalau begitu kembalikan uangku!" Hok kauwsu terbelalak, heran dan marah melihat keberanian Sien Nio. Gadis itu seolah nekat. Dan ketika Hok kauwsu membentak dan Sien Nio menggeleng tiba-tiba gadis ini berseru ketika dia menangkap.
"Hok kauwsu, aku tak akan melayanimu lagi. Kau laki-laki keparat, kau membocorkan rahasia ini hingga semua orang tahu!"
"Tapi aku akan memaksamu. Kau akan ku kerasi dan tidak dapat mengelak!"
"Boleh, tapi kau tak akan dapat menikmati tubuhku, kauwsu. Kau akan mendapatkan mayat yang dingin sebelum kau menyentuhnya!"
"Kau mau bunuh diri?"
"Kalau kau memaksa!"
"Ah...!" dan Hok kauwsu yang mundur membelalakkan mata tiba-tiba tertegun dan terkejut memandang gadis remaja ini. Melihat Sien Nio tiba-tiba menjadi berani dan galak, begitu mencengangkan laki-laki ini. Dan ketika Sien Nio melepaskan diri dan menangis memandangnya gadis itu balik mengancam.
"Kauwsu, kau tak akan kulayani lagi kalau bersikap kasar. Aku boleh kau bunuh atau kau apakan saja kalau kau menyakiti aku. Kau telah merendam mukaku ke dalam lumpur, aku tak mau melayanimu seumur hidup!"
"Ah, ah...!" kauwsu ini tiba-tiba gugup, matanya lembut meredup. "Jangan begitu, Nio nio. Bukankah hubungan kita tetap berjalan baik? Kalau aku salah baiklah maafkan aku. Soal hutang boleh dianggap lunas. Tapi malam ini..." tukang pukul itu tiba-tiba menyeringai, mengeluarkan sepundi pundi uang dan menggemerincingkan isinya, betapa pun mulai mengenal watak gadis ini yang gila uang. Dan ketika Sien Nio tertegun dan bersinar memandang pundi-pundi itu laki-laki ini sudah tertawa.
"Nio nio, manisku. Dalam pundi-pundi ini tersimpan duaratus tail perak. Kau mau bukan? Tolong hibur aku, dewiku. Setiap saat kau boleh minta sekian lagi asal kau melayani"
Tukang pukul itu merayu, maju mendekati dan menggenggamkan pundi pundi uangnya itu pada Sien Nio. Jebakannya berhasil, Sien Nio mulai terbelalak. Kemarahannya hilang terganti kekuasaan nafsu tamak melihat uang itu. Sekali melayani Hok-kauwsu duaratus tailpun akan terjatuh ke tangannya. Betapa gampangnya. Dan ketika Hok kauwsu menyeringai dan mencium pipinya tiba-tiba Sien Nio tersenyum mengelak mundur, mulai melihat laki-laki gampang memberikan apa saja kalau dapat menikmati tubuhnya. Satu kelemahan pria!
"Kauwsu, tunggu dulu. Benarkah kau akan memberikan uangmu itu?"
"Tentu, asal kau menghiburku, Nio-nio. Kau mau, bukan?"
"Dan kau akan memberikan sejumlah itu pula setiap kali aku melayanimu?" Sien Nio tak menjawab, balik bertanya dan mulai menghitung-hitung berapa yang akan dia terima kalau sebulan dia melayani tukang pukul ini. Duaratus tail kali tiga puluh hari. Berarti enam ribu tail! Dan ketika Hok kauwsu tertawa aneh dan mengangguk buru buru tukang pukul inipun menjawab penuh nafsu, Sien Nio mulai di atas angin.
"Tentu saja, asal kau melayaniku baik-baik, Nio nio. Asal tubuh yang hangat dan cinta yang panas yang kau berikan padaku!"
"Baiklah, malam nanti kita bertemu. Berikan uang itu!" Sien Nio tertawa, menyodorkan lengan meminta uang itu. Hilang sudah larangan ibunya agar tidak keluar malam, terhapus oleh bayangan uang yang demikian mudah dia peroleh. Berarti hidup tak perlu menderita dan ia dapat bersenang-senang. Dan ketika Hok-kauwsu menyeringai dan menyerahkan uang itu dan Sien Nio memutar tubuhnya tiba-tiba tukang pukul ini berseru,
"Eh, nanti dulu. Berikan panjarnya, Nio-nio. Cium aku dua kali....!"
Sien Nio tersenyum. Ia berhenti, kauwsu itu melompat, dicium pipinya dua kali dan Hok kauwsu terbahak, meremas buah dada gadis itu. Dan ketika Sien Nio juga tertawa dan memangku pundi-pundi uang itu tiba-tiba gadis ini berlari kecil meninggalkan Hok kauwsu. "Sudahlah, nanti malam kulayani kau. Hok kauwsu. Sabar dan tekan nafsumu sekarang!"
Tukang pukul itu tertawa bergelak. Sekarang dia dapat menundukkan si juwita, Sien Nio tunduk oleh uang. Dan ketika malam itu dia menanti tak sabar dan Sien Nio benar menepati janji maka tukang pukul ini melonjak bagai orang mendapat lotre. Mereka berdua bersenang-senang, Sien Nio mendapat imbalan sementara Hok-kauwsu mendapat kepuasan. Masing-masing memberi dan menerima.
Dan ketika hari demi hari dilanjutkan lagi dan Sien Nio selalu menerima pundi-pundi baru maka gadis remaja yang menjual kehormatannya ini semakin meliar, tak perduli lagi pada ibunya maupun sekeliling. Tak heran dan tak memikir pula dari mana kauwsu itu mendapatkan uangnya. Hasil curian dari lemari Pin loya! Dan ketika hubungan itu terus berlanjut sementara Hok kauwsu semakin tergila-gila pada gadis ini karena Sien Nio mulai pandai "menservis" maka dua minggu kemudian gadis ini kepergok...!