Istana Hantu Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Istana Hantu Jilid 07 Karya Batara

ISTANA HANTU
JILID 07
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SOAT ENG terkejut. Berhadapan dengan kakaknya yang tiba-tiba mendelik dan merah padam seperti itu tiba-tiba gadis ini terperanjat. Bicaranya yang kelepasan tiba-tiba membuat dia sadar bahwa dirinya bersalah. Thai Liong tersinggung dan tentu saja marah bukan main mendengar kata-katanya tadi, bahwa kakaknya itu bukan cucu sejati kakeknya, karena Thai Liong dilahirkan dari ibu yang lain, Salima, mendiang sumoi ayah mereka sendiri (baca: Pendekar Rambut Emas). Dan ketika Soat Eng terkejut dan sadar melihat mata kakaknya yang berapi-api tiba-tiba gadis ini mengeluh dan jatuh terduduk.

"Liong-ko, maaf.... ampunkan aku....!"

"Berdirilah!" kakaknya membentak. "Sumpah demi langit dan bumi aku akan mencari See-ong, Eng-moi. Tapi bukan sekarang dalam keadaan yang begini tidak menguntungkan. Tarik kembali kata-katamu bahwa aku bukanlah cucu Hu-taihiap!"

"Aku bersalah," Soat Eng menangis. "Jangan laporkan pada ayah, Liong-ko. Atau biar kau hajar atau kau bunuh aku di sini!" gadis itu memeluk kaki kakaknya, tersedu dan lenyaplah kemarahan Thai Liong.

Apa yang dikata adiknya tadi memang amat tajam dan menyengat sekali, kata-kata itu membuat jurang perbedaan antara dirinya dengan Hu Beng Kui, kakek sejati adiknya itu. Tapi karena dia adalah putera Pendekar Rambut Emas dan ayahnya itu adalah mantu jago pedang ini maka tak ada jarak bagi Thai Liong, tak nyana kalau tiba-tiba Soat Eng bicara seperti itu, pernyataan yang tentu saja menusuk dan menyakitkan hatinya. Tapi ketika adiknya meratap dan menangis di bawah kakinya akhirnya Thai Liong menarik bangun adiknya itu, dengan muka masih merah.

"Eng-moi, lain kali jangan bicara seperti itu. Ibumu adalah ibuku, tak ada beda di antara kita!"

"Maaf, aku.... aku salah, Liong-ko. Aku... aku terguncang oleh kematian kakek!"

"Bukan kau saja," Thai Liong menegur. "Aku pun terguncang oleh kematiannya, Eng-moi. Dan sekarang kita rawat jenasahnya."

"Atau kita bawa pulang?"

"Hm, berapa lama? Tubuhnya mulai membusuk, Eng-moi. Rupanya sudah tiga empat hari terapung-apung di laut. Sebaiknya cepat kita kubur dan selesaikan di sini."

"Baiklah, aku menurut, Liong-ko...." dan Soat Eng yang tidak membantah serta mendebat kakaknya lagi lalu membuat lubang dan mengubur jenasah kakeknya itu, berkali-kali menangis dan Thai Liong sendiri bercucuran air mata.

Hu Beng Kui, si jago pedang yang gagah telah tewas. Mayatnya terapung-apung di luat dan sungguh menyedihkan akhir hayat jago tua itu, jauh dari tempat tinggalnya dan jauh pula dari berita dunia, padahal kakek ini adalah seorang bengcu! Dan ketika semuanya selesai dilakukan dan Hu Beng Kui akhirnya dimakamkan di tempat itu maka Thai Liong berlutut menyatakan sumpahnya.

"Kong-kong, tenanglah di alam baka. Aku tak akan membiarkan See-ong dan pasti menuntut balas!"

"Benar, aku juga, kong-kong. Seumur hidup akan kucari kakek iblis itu dan kubunuh dia!" Soat Eng, yang berlutut di samping kakaknya juga bersumpah. Gadis itu membendul oleh tangis yang terus-menerus, berkemak-kemik dan mengepalkan tinjunya.

Dan ketika Thai Liong bangkit berdiri dan mengangkat bangun adiknya maka pemuda itu minta agar adiknya pergi. "Kita tinggalkan kong-kong, kita pulang."

Soat Eng tersedu. Gadis ini masih tak dapat meninggalkan tangisnya dan sekali dua ia bercucuran air mata, tewasnya kakeknya itu memang merupakan pukulan berat namun Thai Liong sudah menyambar lengannya. Dan ketika sekali lagi mereka berlutut dan mencium makam maka Thai Liong meloncat dan terbang meninggalkan tempat itu, mengajak adiknya dan Soat Eng menggigit bibir. Berkali-kali gadis itu harus ditarik karena setiap kali menoleh ke kuburan yang baru itu.

Thai Liong telah memberi tanda dan tak mungkin mereka lupa. Dan ketika mereka membelok dan Soat Eng tak dapat melihat lagi maka Thai Liong minta agar adiknya mengerahkan ilmu lari cepat, berkelebat dan tubuh pemuda itu tiba-tiba meluncur ke depan, cepat dan Soat Eng pun menyusul. Dan ketika mereka sama-sama mengerahkan ginkang dan terbang ke utara maka empat hari kemudian mereka tiba dipadang rumput itu, tempat tinggal suku bangsa Tar-tar, mencari namun tidak menemukan ayah ibu mereka. Thai Liong mendapat laporan bahwa ayah ibunya ke selatan, ke Ce-bu. Dan sementara pemuda itu tertegun maka adiknya berkelebat dan balik menuju ke selatan.

"Hei, tunggu, Eng-moi. Mau ke mana kau?" "Ce-bu. Ke mana lagi kalau tidak ke sana, Liong-ko? Ayo berangkat dan tidak perlu di sini lagi!"

"Nanti dulu....!" sang kakak menyusul. "Mungkin kita terlambat juga, Eng-moi. Berhenti dan biar aku bicara! Thai Liong menyambar adiknya, minta agar Soat-Eng berhenti dan gadis itu pun berhenti. Thai Liong merah mukanya dan mengerutkan kening. Dan ketika adiknya bertanya mau bicara apalagi pemuda itu maka Thai Liong berkata, "Mungkin kita terlambat. Ayah ibu jangan-jangan tak ada juga di sana!"

"Hm, belum tentu. Kalau ayah tak tahu meninggalnya kong-kong mungkin ayah menunggu, Liong-ko. Aku tetap ingin ke sana dan menengok!"

"Tapi kurasa sia-sia...."

"Tidak, sebelum kubuktikan sendiri aku masih berkeras, Liong-ko. Tolong sekali ini kau turuti aku dan ke Ce-bu!"

"Baiklah, mari kita buktikan," dan Thai Liong yang tak mau berdebat dan main untung-untungan akhirnya menuruti juga permintaan adiknya itu, berkelebat dan kini mendahului. Dia tak mau adiknya sendirian dan kecewa, betapapun dia harus menemani. Dan ketika tiga hari kemudian mereka tiba di Ce-bu dan langsung memasuki rumah maka Uwak Lu ditemukan dan tertegun memandang mereka.

"Lho, kau, kongcu? Dan kau, siocia?"

"Ya, aku, uwak Lu. Mana ayah dan ibu?"

"Ibumu, eh... ayahmu berangkat ke Sam-liong-to!"

"Slap!" Thai Liong dan Soat Eng terkesiap. Mereka kaget mendengar itu, jadi mereka bersimpang jalan. Dan ketika mereka saling pandang dengan muka berobah maka uwak ini menangis dan menceritakan,

"Ayah ibumu menyusul kakekmu. Hu-taihiap, loya berangkat duluan. Aku mencegah dan tak berhasil....!"

"Hm, kami tahu," Thai Liong menenangkan perasaannya. "Dan kong-kong telah tiada, uwak Lu. Kong-kong telah tewas...."

"Apa?" perempuan tua itu menjerit. "Loya.... loya tewas?"

"Ya."

"Ooh!" dan perempuan itu yang jatuh tersungkur tiba-tiba menggerung dan menangis tersedu-sedu, menjerit memanggil nama Hu Beng Kui dan uwak ini histeris. Kabar kematian Hu-taihiap diterimanya dengan tangis dan kekagetan. Tapi ketika dia meloncat bangun dan beringas memandang ke depan tiba-tiba uwak ini bertanya, "Siapa yang membunuh, kongcu? Siapa jahanam keparat itu? Mana dia? Siapa orangnya?"

"Tenanglah," Thai Liong menepuk pundak uwak ini. "Dia orang lihai, uwak Lu. Kami datang mencari ayah ibu memang untuk melaporkan ini. Kau tak usah memikirkannya."

"Tapi kakekmu adalah majikanku, kongcu. Hu-taihiap adalah junjunganku!"

"Benar, dan terima kasih untuk rasa setiamu itu, uwak. Tapi urusan ini adalah urusan kami dan kau tinggal saja di rumah."

Uwak itu tersedu-sedu. Dia mengepal tinju dan memaki-maki pembunuh itu, Soat Eng jadi menangis pula karena uwak ini. Dan ketika Thai Liong mengerutkan kening dan mau pergi mendadak uwak itu menyambar lengannya. "Nanti dulu, siapa orang itu, kongcu. Siapa pembunuh jahanam itu?"

"Perlukah kau tahu?"

"Tentu, aku dapat mengutuknya dalam doa, kongcu. Aku dapat minta pada Yang Maha Kuasa agar pembunuh itu dihukum!"

"Hm, dia See-ong...."

"See-ong?"

"Ya, See-ong, uwak Lu. Dan dia amat lihai karena memiliki ilmu iblis. Kami berdua hampir juga menjadi korbannya kalau tidak cepat-cepat meninggalkan Sam-liong-to!"

"Dan ayah ibu kalian ke pulau itu....!" uwak ini pucat, gemetar. "Bagaimana, kongcu? Apakah tidak disusul saja?"

Thai Liong bingung.

"Sebaiknya memang kita susul," Soat Eng tiba-tiba berkata, matanya berapi-api. "Kalau ayah ibu ada di sana kita susul, Liong-ko. Sekalian melihat apakah mereka tak apa-apa!"

"Benar, semalam aku bermimpi lagi, siocia. Ibumu menggendong labu!"

"Labu?" Soat Eng mengerutkan kening. "Apa arti mimpimu itu, uwak Lu? Baik atau jelek?"

"Aku kurang jelas, tapi menggendong buah dapat diartikan kehamilan, siocia. Mimpi itu tanda rejeki bagi keluarga kalian!"

"Apa?" Soat Eng tertegun. "Ibu hamil?"

"Aku tak tahu, aku hanya bermimpi. Tapi sekarang mimpiku cocok! Lihat, sebelum kakekmu meninggal aku bermimpi loya keterjang banjir, siocia. Dan benar saja kong-kongmu tiada!"

"Hm," Thai Liong yang kurang mempercayai segala mimpi menyambar lengan adiknya. "Mimpi hanya kembang tidur, uwak Lu. Sebaiknya kami pergi dan kau tinggal di sini!" lalu berkata pada adiknya agar meninggalkan tempat itu. Thai Liong berkelebat, menarik lengan adiknya dan Soat Eng mengangguk. Memang setelah ayah ibunya tak ada di situ mereka harus meninggalkan Ce-bu, tak guna lagi berlama-lama di situ. Dan ketika dua kakak beradik itu lenyap berkelebat dan meninggalkan uwak Lu maak uwak ini tertegun tapi berlari mengejar.

"Siocia.... kongcu, tunggu dulu....!"

Thai Liong dan Soat Eng membalik, berhenti. "Ada apa?" mereka melihat uwak itu terengah pucat.

"Aku... aku hendak berpesan, juga menceritakan sebuah kejadian yang belum kalian dengar. Cari dan temukan seorang pemuda yang mencuri Cermin Naga!"

"Apa?" Thai Liong terkejut. "Cermin Naga?" "Benar," uwak itu menangis lagi. "Aku tertipu seorang pemuda, kongcu. Dia.... dia datang kemari dan mengambil Cermin Naga!"

Soat Eng meloncat menyambar lengan perempuan ini. "Uwak Lu, apa pula yang terjadi ini? Bagaimana bisa begitu dan kapan terjadinya?"

"Dua minggu yang lalu, siocia. Dan ayah ibumu sudah kuberi tahu. Dia, pemuda keparat itu...." perempuan ini menggigil, "dia tinggi besar dan berkulit hitam, siocia. Gagah tapi sepak terjangnya tak tahu malu. Dia menipuku dan menendang, lari setelah mendapat sepasang cermin itu!" uwak ini lalu menceritakan, persis seperti apa yang dulu diceritakan pada Pendekar Rambut Emas dan isterinya.

Dan ketika Soat Eng terbelalak dan kaget serta marah maka uwak itu menutup, "Begitulah, itu yang terjadi, siocia. Aku tertipu dan dikelabuhi mentah-mentah. Tolong kalian cari dan tangkap pemuda itu. Dia tinggi besar berkulit hitam!"

"Hm-hm!" Soat Eng mengepalkan tinju, marah berapi-api. "Baik akan kucari pemuda itu, uwak Lu. Dan kau tenang sajalah di sini menunggu rumah!"

"Baik, dan bawa pemuda itu ke sini, siocia. Aku ingin menendang pantatnya seperti dulu dia juga menendang pantatku!"

Soat Eng mengangguk. Setelah dia dibuat terkejut lagi oleh berita hilangnya Cermin Naga maka gadis ini gusar. Kematian kakeknya belum meredakan kemarahannya tiba-tiba saja disusul hilangnya Cermin Naga, benda keramat yang disucikan kong-kongnya, bahkan setengah dipuja karena dari benda itulah kakeknya dapat menjadi lihai, duduk sebagai bengcu dan memiliki kesaktian tinggi. Dan ketika semua jelas dan uwak itu bersinar-sinar maka Soat Eng menyambar kakaknya dan ganti berkelebat mendahului.

"Siocia, tangkap dan bekuk pemuda itu. Jangan lupa dibawa ke sini....!"

Soat Eng mengiyakan. Setelah persoalan bertambah banyak dan urusan semakin menindih maka gadis itu tak mau banyak bicara lagi, terbang dan mengerahkan ginkangnya dan lenyaplah dia dari depan uwak itu. Dan ketika di luar Ce-bu kakaknya diminta untuk menambah kecepatan karena kakaknya terlihat tepekur maka Soat Eng gemas mengerahkan semua kepandaiannya.

"Jangan melamun lagi, Liong-ko. Kita cari pemuda itu sekalian menuju Sam-liong-to!"

"Ya, baiklah, Eng-moi. Mari!" dan Thai Liong yang tersentak melihat adiknya terbang lalu mengerahkan kepandaian dan mengejar adiknya itu, berendeng dan mereka terbang bersama. Ilmu lari cepat dua muda-mudi ini sudah tidak lumrah manusia lagi, mereka mengerahkan Jing-sian-eng dan lenyaplah keduanya memasuki hutan.

Dan ketika tak lama kemudian bayangan mereka sudah menyeberang hutan dan muncul serta lenyap lagi memasuki lembah atau ngarai maka kakak beradik ini bagai siluman yang tidak bersayap. Orang akan tertegun melihat bayangan keduanya, lenyap dan tahu-tahu sudah muncul di tempat yang begitu jauh, lenyap dan muncul lagi di tempat yang lain. Dan ketika semuanya itu tak dapat diikuti lagi karena mereka menghilang di luar Ce-bu maka Thai Liong dan adiknya sudah lenyap menuju ke timur.
* * * * * * * *

"Hei, berhenti! Kau mau ke mana!"

Seorang pemuda tiba-tiba dibentak belasan perampok. Saat itu dia memasuki hutan dengan tenang, lenggangnya kalem dan gerak-geriknya halus. Pemuda ini tampak tertegun ketika dibentak, maklumlah, dia merasa tak mempunyai kesalahan dan seketika berhenti. Dan ketika lima belas perampok mengepungnya rapat dan mereka semua memandang buntalan di punggungnya maka si pemimpin, yang membentak dan bertubuh tinggi besar mencabut golok.

"Kau memasuki wilayah kami, anak muda. Harus membayar upeti untuk meneruskan perjalanan!"

"Hm," pemuda itu mengerti. "Kalian perampok?"

"Kami penunggu hutan, penguasa wilayah ini. Siapapun yang masuk dan akan lewat harus memberi kami imbalan jasa agar aman!" si perampok mengelak, tak mau dituduh perampok dan temannya yang lain bersinar-sinar, mengangguk. Mereka mengurung pemuda yang bersikap lemah lembut ini, pemuda tinggi besar namun tidak menakutkan, kulitnya hitam dan gagah. Jadi kesan angker tak ada dan mereka bersikap kasar.

Namun ketika pemuda itu tersenyum dan menarik napas maka dia bertanya, "Baiklah, berapa harus kubayar ongkos melewati daerah ini?"

"Seratus tail, anak muda. Ditambah lima keping emas untuk menyeberang!"

"Hm, mahal amat. Tapi baiklah, aku tak mau ribut-ribut dan kalian terima ini," pemuda itu menurunkan buntalannya, mengambil seratus tail perak dan lima keping emas.

Semua mata melotot ketika terdengar gemerincing di dalam buntalan, sekilas tampak berkelebatnya sinar uang yang menyilaukan. Dan ketika seratus tail diserahkan berikut lima keping emas tiba-tiba kepala rampok itu tersenyum dan menerima.

"Ha-ha, sekarang boleh lewat. Aku membebaskan dirimu!"

"Terima kasih," dan si pemuda yang memanggul buntalannya lagi dan mau berjalan mendadak dihadang empat belas yang lain. "Eh, kalian mau apa?"

"Hm," seorang di antaranya menyeringai. "Kau harus membayar imbalan jasa untuk kami, anak muda. Seratus tail perak dan lima keping emas!"

"Tapi baru saja kuberikan...."

"Itu untuk Gee-twako, kami belum!" lelaki itu memotong, tertawa. "Kami juga minta bagian, anak muda. Karena kami juga menjaga keamananmu!"

Yang lain tiba-tiba tertawa. Pemuda ini tertegun dan terhenyak sejenak, mau maju tapi dari segala penjuru menghadang orang-orang itu. Dia tak diperbolehkan melangkah dan harus membayar dulu pajak atau 'upeti' itu, sebuah bentuk pemerasan yang kasar dan tidak bersahabat. Dan ketika dia memandang Gee-twako dan kepala rampok itu menyeringai ternyata laki-laki itu mengangguk.

"Benar, mereka anak buahku, anak muda. Kalau mereka memintanya itu adalah haknya."

"Tapi itu tadi...."

"Ha-ha, yang ini milikku, anak muda. Aku tak memberikannya pada mereka. Uangmu masih banyak, sebaiknya berikan saja dan kau aman!"

"Hm, empat belas kali seratus tail berarti seribu empat ratus tail. Aku tak punya sebanyak itu. Bagaimana kalau sebagian saja dan kalian mengalah?"

"Tanya saja empat belas orang itu, mereka mungkin mau mungkin tidak!"

"Tidak!" lelaki pertama menggeleng. "Kau mendapat seratus tail, Gee-twako, kami juga harus sama agar adil. Kalau anak muda ini mengatakan tak punya sebaiknya kami geledah, siapa tahu dia bohong!" laki-laki itu melompat maju, tertawa menyambar buntalan si pemuda namun si pemuda mundur, mengelak dan sambaran itu pun luput. Dan ketika laki-laki itu terkejut dan berseru marah mendadak iapun menyambar lagi dan mengejar, dikelit dan lagi-lagi luput. Dan ketika kejadian itu berulang enam tujuh kali dan buntalan tak dapat dirampas maka laki-laki ini marah dan membentak, "Hei, kau mau menyerahkannya atau tidak?"

"Tidak," si pemuda menjawab, tetap tenang dan kalem. "Aku tak memiliki uang sebanyak itu, sobat. Kalau kau mau memaksa jangan-jangan kalian kuhajar. Minggirlah, dan biarkan aku lewat!"

"Apa? Kau mau menghajar kami? Eh, dengar omongan ini, kawan-kawan. Pemuda kurang ajar ini menghina kita. Ayo tangkap, rebut buntalannya!" dan laki-laki itu yang kembali berteriak dan melompat maju tiba-tiba disusul teman-temannya yang sudah membentak menangkap lawan, dari segala penjuru bergerak ke satu titik dan pemuda itu agaknya bakal tertangkap. Kiri kanan dan muka belakang sudah dikepung rapat, tak mungkin pemuda itu lolos. Tapi ketika sebuah gerakan diperlihatkan pemuda itu dan dia lenyap di atas kepala rampok tiba-tiba pemuda itu menghilang dan empat belas orang itu bertumbukan satu sama lain.

"Hei.... plak-dukk!"

Kepala mereka saling hantam. Empat belas orang itu berteriak kaget dan mengumpat caci, masing-masing benjol dahinya dan terpelanting. Dan ketika mereka terkejut karena lawan menghilang dengan tiba-tiba mendadak si lelaki pertama terbelalak memandang ke depan.

"Hei, itu dia....!"

Si pemuda melenggang. Ternyata dengan kepandaiannya yang luar biasa dia tadi melompati kepala orang-orang ini, berjungkir balik dan sudah turun di luar, melenggang dan uang yang diterima Gee-twako juga diambilnya kembali, begitu cepat dan si pemimpin rampok tak merasa. Tapi ketika pundi-pundinya hilang dan buntalan kecil itu sudah menempel di buntalan si pemuda mendadak kepala rampok ini berteriak dan lari mengejar.

"Hei, uangku!"

Si pemuda tak menggubris. Dia tetap melangkah namun kakinya sedikit diperlambat, tidak lari dan si pemimpin rampok pun tahu-tahu melompati atas kepalanya, berjungkir balik dan menunjukkan sedikit kepandaian. Dan ketika pemuda itu berhenti dan Gee-twako melotot menuding buntalannya laki-laki tinggi besar itu membentak,

"Kenapa kau mengambil uangmu lagi?"

"Hm, kalian serakah," pemuda itu tenang-tenang saja. "Aku jadi sebal melihat tingkat kalian, perampok busuk. Sebaiknya kalian minggir dan biarkan aku lewat."

"Keparat!" dan si kepala rampok yang sudah mencabut goloknya dan menyerang tiba-tiba membentak dan membacok pemuda itu, dikelit dan golok lewat di pinggir telinga. Anginnya bersiut namun si pemuda tersenyum, diterjang lagi dan lawan pun membalik. Namun ketika dia mengegos dan enam tujuh kali semau bacokan atau tusukan golok mengenai angin kosong maka kepala rampok itu terkejut berteriak pada teman-temannya, disuruh membantu dan empat belas anak buahnya pun meluruk.

Mereka tadi sengaja mengganggu dengan hadangan itu, tak bermaksud melepaskan si pemuda kalau tak menyerahkan semua harta miliknya. Gemerincing uang yang banyak di dalam kantung sudah membuat mereka mengilar. Gee-twako memberi tanda dan empat belas orang itu mencegat. Tapi ketika si pemuda berkelebat menghilang dan tahu-tahu lolos dari luar kepungan maka mereka pun marah di samping terkejut, mulai tahu bahwa lawan yang mereka hadapi adalah seorang pemuda lihai, berkepandaian tinggi.

Tapi karena mereka berjumlah banyak dan pemuda itu hanya seorang diri maka mereka mengeroyok dan pemuda itu diserang, dari mana-mana berhamburan golok atau tombak, menusuk dan menikam serta membacok. Tapi ketika pemuda itu berkelit dan semua senjata menusuk angin kosong mendadak pemuda itu menggerakkan kaki dan mereka pun terpelanting bergulingan ketika ditendang.

"Pergilah.... des-des-des!"

Lima belas orang itu mencelat. Mereka berteriak dan si kepala rampok mengaduh, dia merasa patah punggungnya namun dapat berdiri lagi, melompat bangun. Dan ketika empat belas yang lain juga dapat bangun berdiri dan terbelalak marah maka si pemuda diserang dan dikeroyok kembali, berkelebat dan tahu-tahu sepasang tangan mendarat di pipi atau leher. Pemuda itu membentak dan membalas lawannya.

Dan ketika orang-orang itu terpelanting dan menjerit satu sama lain akhirnya mereka bergulingan merintih pedas, masih dapat bangun berdiri dan untuk ketiga kalinya maju menyerang, nekat orang-orang itu. Tapi ketika si pemuda mendengus dan golok atau tombak yang menyambarnya dipukul patah barulah orang-orang itu berteriak dan melarikan diri, didahului kepalanya, laki-laki tinggi besar itu.

"Tobat, ada siluman. Lari....!"

Lima belas orang itu berhamburan. Tadi pemuda itu mengibas dan menangkap golok atau tombak dicengkeram hancur dan terbanglah nyali mereka. Dan ketika pemuda itu tersenyum dan tidak mengejar maka lima belas perampok itu terbirit-birit berteriak ketakutan, tak ada yang membawa senjata lagi dan pemuda itu meneruskan langkah, lenggangnya masih kalem dan tenang. Dan sementara dia mengebut bajunya membersihkan dari debu maka di sana lima belas perampok yang tunggang-langgang itu bertemu dengan sepasang muda-mudi yang kebetulan berpapasan dengan mereka, yang terheran-heran melihat mereka berteriak-teriak menyebut siluman.

"Hei, berhenti. Ada apa?" si gadis, yang berdiri paling depan tiba-tiba membentak.

Laki-laki tinggi besar yang bukan lain si kepala rampok tiba-tiba tertegun, berhenti dan memandang gadis ini, gadis cantik dengan rambut dikepang. Dan ketika dia dihardik lagi dan kepala rampok itu mendongkol maka dia membentak dan balas menyambar gadis ini,

"Di belakang ada siluman, mari pergi!" dan mau kurang ajar meremas dada orang laki-laki itu tertawa dan menyeringai, empat belas temannya juga berhenti dan tertegun. Baru dihajar seorang pemuda lihai mendadak bertemu sepasang muda-mudi di tengah jalan, si gadis demikian cantik namun galak. Dan karena kebiasaan buruk mudah berjangkit dan mereka adalah perampok-perampok kasar maka mereka tertawa melihat Gee-twako, pemimpin mereka meremas gadis itu, menyambar dan mau dibawa lari. Tapi ketika gadis itu berkelit dan sebuah tamparan keras meledak di pipi sang pemimpin tiba-tiba Gee-twako menjerit dan berteriak roboh.

"Aduh... plak-plak!" kaki si gadis menjegal, laki-laki itu terkejut dan melayanglah dua tamparan ke pipinya. Dan ketika dia terguling-guling dan bengap dengan muka merah padam maka kepala rampok itu memaki dan menubruk lagi, menyerang namun tiga tamparan bahkan mendarat di kepalanya. Kepala rampok itu berteriak dan terpelantinglah dia, ribuan kunang-kunang seolah menghiasi kepalanya dan empat belas anak buahnya terkejut.

Dan ketika Gee-twako membentak dan menyuruh mereka menyerang maka empat belas perampok itu maju menerjang dan mau menangkap si gadis, tak malu-malu mengeroyok namun si gadis mengeluarkan suara dari hidung. Temannya, si pemuda yang berdiri menonton tampak tersenyum-senyum saja. Mereka itu bukan lain Thai Liong dan Soat Eng adanya, tentu saja tahu bahwa yang dihadapi adalah orang-orang kasar yang tidak sepadan. Thai Liong diam saja membiarkan adiknya dikeroyok perampok-perampok itu. Dan ketika adiknya berkelebat lenyap dan pukulan serta tendangan dibagi-bagikan pada empat belas orang itu akhirnya para perampok ini sadar bahwa mereka ketemu 'siluman' yang baru.

"Aduh, tobat.....!"

Mereka jatuh bangun. Hanya dengan tamparan atau tendangan saja Soat Eng sudah menghajar orang-orang itu, si pemimpin terbelalak dan buru-buru kabur. Di situ masih ada si pemuda dan kepala rampok ini gentar. Maunya mengganggu tak tahunya malah dihajar. Maka ketika empat belas temannya berteriak mengaduh-aduh sementara dia sendiri sudah merasakan lima kali tamparan yang membuatnya pusing maka laki-laki tinggi besar itu bergerak dan melarikan diri, disusul empat belas temannya dan para perampok sial itu mengaduh-aduh. Mereka benar-benar sial, baru dihajar seorang pemuda sudah dihajar lagi seorang gadis. Ini tentu temannya, pikir mereka. Tapi ketika mereka berhamburan dan kepala rampok itu mendahului mendadak si gadis berkelebat dan tahu-tahu menyambar tengkuknya.

"Berhenti!"

Bentakan ini membuat si kepala rampok seakan terbang semangatnya. Dicengkeram dan disambar seperti itu tiba-tiba saja dia roboh, seluruh tenaganya lumpuh dan mengeluhlah si kepala rampok itu. Dan ketika teman-temannya yang lain terus melarikan diri sementara dia tertangkap maka laki-laki ini menjatuhkan diri berlutut dan meratap,

"Ampun... ampun, lihiap. Lepaskan tanganmu....!"

"Hm, aku memang tak bermaksud membunuhmu. Aku hanya ingin bertanya kenapa kalian tadi berteriak-teriak menyebut siluman. Apa yang terjadi dan kenapa kalian terbirit-birit?"

"Aduh, di depan ada seorang pemuda, lihiap. Gagah dan tinggi besar. Kami.... kami dihajarnya....!"

"Siapa dia?"

"Kami tak tahu."

"Tinggi besar dan gagah?"

"Benar, lihiap."

"Berkulit hitam?"

"Ah, teman lihiapkah kiranya? Aduh, ampun lihiap. Aku.... aku tak tahu!" dan si kepala rampok yang justeru ketakutan dan semakin menggigil tiba-tiba mengira bahwa pemuda di depan adalah teman gadis ini, meratap dan minta ampun namun tiba-tiba gadis itu menendang. Si kepala rampok mencelat dan terguling-guling. Dan ketika gadis itu membentak agar dia pergi maka laki-laki itu merintih dan bangkit berdiri, cepat-cepat kabur.

"Teman-teman, tunggu! Aduh, sial aku....!"

Soat Eng tak menghiraukan. Disebutnya ciri-ciri pemuda tinggi besar berkulit hitam mendadak membuat dia bersinar-sinar. Itu adalah pencuri Cermin Naga!Harus dicari! Maka begitu si kepala rampok dibuat jungkir balik dan terbirit-birit melarikan diri Soat Eng sudah berkelebat dan terbang ke depan, minta agar kakaknya mengikuti dan berkata itulah pemuda yang dicari-cari. Thai Liong terkejut tapi tak menjawab, dugaannya pun juga ke situ. Maka begitu sang adik meloncat mengerahkan ginkangnya dan meluncur kedepan pemuda ini pun mengikuti namun berseru,

"Eng-moi, hati-hati. Sabar dulu....!"

"Aku tahu. Tapi pemuda itu harus dikejar, Liong-ko. Ayo cepat sedikit dan jangan sampai dia hilang!" Soat Eng tancap gas, marah dan mengajak kakaknya mempercepat lari. Berita si kepala rampok justeru membuatnya panas, kegusarannya bangkit dan Soat Eng sudah memasuki hutan itu. Dan ketika dia melihat si pemuda yang dimaksud dan benar saja seorang pemuda tinggi besar berkulit kehitaman melenggang santai gadis ini sudah membentak dan berjungkir balik melayang di atas kepala lawan.

"Berhenti!"

Pemuda itu tertegun. Soat Eng melayang turun dan sigap serta indah gadis itu berjungkir balik melewati atas kepalanya. Pemuda ini tercengang namun tersenyum, kagum. Dan ketika ia berhenti dan Soat Eng berdiri tegak maka belum apa-apa dia sudah dibentak,

"Kau yang menghajar lima belas orang tadi?"

"Benar," pemuda ini mengerutkan kening, tiba-tiba curiga. "Apakah nona teman mereka?"

"Mulut lancang!" gadis ìtu membentak. "Aku bukan teman mereka, manusia busuk, melainkan kaulah yang kuanggap teman mereka karena sepak terjangmu sama! Kau yang ke Ce-bu, bukan? Mana Cermin Naga yang kau curi?" "Cermin? Cermin apa?"

"Cermin Naga! Kau kudakwa sebagai pencurinya!" dan Soat Eng yang membentak mengejutkan pemuda itu tiba-tiba menyambung, "Serahkan benda itu atau kau mampus, cepat, sebelum aku menghajarmu!" dan si pemuda yang malah melongo dan bengong tiba-tiba tertawa dan untuk pertama kali terbahak-bahak, menganggap Soat Eng tidak waras dan mengira gadis itu gila!

"Eh, kau datang-datang menuduhku sebagai pencuri, nona. Atas dasar apa dan alasan apa hingga aku mendapat tuduhan seperti ini? Kau siapa dan bagaimana bicara yang tidak keruan? Aku tak mengerti, aku tidak tahu...."

"Wut!" dan Soat Eng yang tidak banyak cakap menerjang lawan tiba-tiba membentak dan melakukan tamparan Tiat-lui-kang, sinar merah mengejutkan pemuda itu dan pemuda ini berkelit. Tapi ketika gadis itu mengejar dan Tiat-lui-kang kembali meledak maka dia tak dapat berkelit kecuali menangkis.

"Plak!" dan pemuda ini terjengkang! Soat Eng sudah membentaknya lagi dan pemuda itu berseru keras, dia menganggap Soat Eng gila dan berteriak-teriak. Tapi ketika gadis itu terus menyerang dan tubuhnya menyambar seperti walet beterbangan maka pemuda ini menangkis dan melempar tubuh bergulingan.

"Plak-plak!"

Pemuda itu kaget sekali. Dua pukulan Petir menyambar pundaknya dan baju pun hancur, hangus terbakar. Untung, dia cepat mengerahkan sinkang dan tidak apa-apa. Dan karena pemuda itu dapat melompat bangun dan berdiri lagi dengan mata terbelalak maka Soat Eng melengking dan menyerang lagi, melepas pukulan dan tendangan dan pemuda itu mengelak bingung. Dia menangkis tapi selalu tergetar dan terpental oleh pukulan lawan. Dan ketika sekali lagi dia terpelanting oleh sebuah tamparan maka bayangan Thai Liong datang berkelebat dan pemuda ini tertegun.

"Eng-moi, apakah pemuda ini orangnya?"

"Benar," Soat Eng melengking. "Cegat dia, Liong-ko. Jangan sampai lari!"

"Eh-eh!" pemuda tinggi besar itu berteriak marah. "Kalian siapakah dan kenapa menyerangku seperti orang gila? Tahan, nona.... tahan!" namun Soat Eng yang tak menggubris dan terus menyerang lawannya akhirnya membentak dan menghantam gusar, menganggap pemuda ini adalah pencuri yang mengambil Cermin Naga itu. Tak ada maling yang mau mengaku sebagai maling. Maka ketika si pemuda kembali terlempar namun dapat bangun untuk kesekian kalinya Soat Eng menjadi beringas dan marah sekali.

"Liong-ko, pemuda ini cukup hebat. Barangkali aku harus mengeluarkan Lu-ciang-hoat!" dan sinar putih yang berkelebat menghantam pemuda itu akhirnya membuat si pemuda menjerit terlempar, kali ini susah bangun namun dia bergulingan menjauh. Tadi Lu-ciang-hoat menghantam bahunya dan dia serasa disambar geledek, tersengat dan mengaduh. Namun ketika dia dapat bangun dan terhuyung membelalakkan mata maka Thai Liong juga terkejut dan mau tak mau menjadi kagum.

"Lihat, kalau bukan pemuda macam begini tak mungkin dapat menipu uwak Lu, Liong-ko. Dia harus dihajar dan dirobohkan!"

"Kalian gila!" pemuda itu berteriak. "Aku tak tahu-menahu tentang pencurian, nona. Kalau terus-terusan begini jangan salahkan aku membalas!"

"Balaslah! Siapa takut?" Soat Eng malah menjadi sengit. "Hayo balas dan pukullah aku, pemuda siluman. Dan serahkan Cermin Naga atau kau mampus!"

Si pemuda merah mukanya. Soat Eng sudah menyerang dan melepas pukulan-pukulan panas, sinar putih dan merah berkelebatan ganti-berganti dan dia marah. Dan ketika kembali satu tamparan kuat menyambar kepalanya namun dia meliuk tiba-tiba untuk pertama kali pemuda itu melakukan gerakan aneh, merunduk.

"Dukk!" Soat Eng tergetar. Lawan, pemuda tinggi besar itu tak terpelanting. Pemuda itu hanya bergoyang dan terdorong mundur. Soat Eng terkejut karena Lu-ciang-hoatnya tertahan. Untuk pertama kali dia merasa menghadapi lawan tangguh! Tapi Soat Eng yang memekik dan menyerang lagi akhirnya membentak dan berkelebatan mengelilingi lawan, pukulan dan tamparan silih berganti dan pemuda itu sibuk.

Pemuda ini membentak dan keluarlah lagi gaya serangannya yang aneh, merunduk dan tiba-tiba kedua lengan bergerak ke sana ke mari, kian cepat dan akhirnya berubah menjadi delapan belas pasang lengan. Bukan main, Soat Eng terbelalak karena ke manapun ia menyerang selalu bertemu dengan delapan belas pasang lengan itu, terpental dan dia mulai terhuyung, melotot dan menyerang lagi namun si pemuda membalas. Dan ketika Lu-ciang-hoat bertemu delapan belas pasang lengan dan dua-duanya berkelebatan dahulu-mendahului maka Soat Eng melengking dan gusar bukan kepalang.

"Benar, ini orangnya, Liong-ko. Semakin benar dugaan kita!"

"Kalian gila!" pemuda itu berseru, kini dapat menjaga diri dengan baik. "Aku tak tahu-menahu tentang pencurian, nona. Kau tidak waras dan hentikan semuanya ini!"

"Mana bisa? Kau tidak menyerahkan Cermin Naga, bocah siluman. Dan aku akan menghajarmu sampai roboh!"

"Kalau begitu cobalah, barangkali kau atau aku yang gila.... plak-dess!" dan si pemuda yang kini tergetar membuat Soat Eng terhuyung lalu bergerak lagi mengeluarkan kepandaiannya, lengannya itu maju mundur dan berputar-putar cepat sekali. Lu-ciang-hoat tertahan dan Soat Eng diam-diam kaget sekali. Thai Liong, kakaknya, juga terkejut dan mengerutkan kening. Dan ketika keduanya kembali bertanding namun tetap imbang maka Thai Liong menyuruh adiknya mengeluarkan Khi-bal-sin-kang, ilmu yang khusus mengembalikan setiap tenaga lawan.

"Keluarkan Khi-bal-sin-kang, gabung dengan Lu-ciang-hoat!"

Soat Eng mengangguk. Gadis itu dengan marah sudah mengeluarkan ilmunya yang kedua ini, ilmu yang tak kalah hebat dan tentu saja menjadi semakin hebat kalau dipakai bersamaan dengan Lu-ciang-hoat. Pemuda itu berteriak ketika menangkis, jatuh terbanting dan terguling-guling. Dan ketika Soat Eng berkelebatan dan pemuda ini berseru keras maka tiba-tiba dia terdesak dan tangkisannya menjadi bumerang bagi diri sendiri.

"Plak-dukk!" Pemuda itu menjadi pucat. Dia ternyata tak memiliki ilmu lain kecuali delapan belas lengan itu, bingung dan mundur-mundur dan menangkis tapi selalu terpental. Tenaganya membalik dan Soat Eng berseru girang. Dan ketika pemuda itu terhuyung-huyung dan pucat memaki-maki maka satu pukulan di tengkuk akhirnya membuat dia terpelanting, jatuh terguling-guling namun hebatnya pemuda ini dapat bangun berdiri. Ini menunjukkan bahwa sinkang (tenaga sakti) yang dimiliki pemuda itu kuat juga, luar biasa.

Soat Eng sampai gemas namun akhirnya dia melakukan pukulan ulang, sebuah tamparan dan pemuda itu menangkis, tak dapat mengelak. Untuk kesekian kalinya dia pucat menangkis tamparan itu, maklumlah, dirinya selalu akan terbanting karena tenaganya akan membalik. Dan ketika benar saja dia terlempar dan jatuh berguling-guling maka Thai Liong berkelebat dan menotok pundaknya.

"Tuk-auh!" Pemuda itu roboh. Sekarang Thai Liong berdiri di depannya dengan alis berkerut, pemuda ini terpaksa maju karena melihat lawan terlalu tangguh. Adiknya harus bekerja lama untuk menundukkan lawan yang kuat ini. Dan ketika Soat Eng berkelebat dan berdiri di samping kakaknya maka gadis itu minta agar kakaknya menggeledah.

"Periksa dia, rogoh semua isi bajunya!"

Thai Liong mengangguk. Memang adiknya tak mungkin melakukan itu, adiknya wanita. Menggeledah dan memeriksa seorang laki-laki tentu adiknya jengah. Dan ketika dia membungkuk dan memeriksa isi kantung pemuda itu maka Thai Liong tertegun melihat kepingan uang terdiri dari perak dan emas, lumayan banyak.

"Hm, tak ada," katanya. "Apakah kita salah memeriksa orang?"

"Tak mungkin. Tentu disembunyikan di lain tempat, Liong-ko. Sebaiknya kita paksa dia mengaku dan dikompres!" Soat Eng jengkel, Cermin Naga tak ada dan kakaknya mulai ragu.

Sebenarnya Thai Liong tak melihat watak buruk pada muka pemuda ini, orang yang mereka tangkap ini justeru berkesan jujur dan baik-baik, bimbanglah dia. Tapi ketika adiknya membentak dan hal itu mungkin saja terjadi maka Thai Liong berdiri dan memandang pemuda itu, tajam bersinar-sinar.

"Sobat, sebaiknya kau mengaku. Kami mempunyai dugaan kuat bahwa kaulah pencurinya. Mana Cermin Naga dan di mana kau sembunyikan?"

"Kalian aneh," pemuda itu tertawa. "Aku bingung dan justeru heran akan sikap kalian, sahabat muda. Mestinya kalian percaya bahwa aku tidak tahu-menahu tentang Cermin Naga. Jangankan mengerti, mendengar saja baru kali ini. Apakah Cermin Naga itu dan bagaimana ujudnya?"

"Setan!" Soat Eng memaki. "Pemuda ini berpura-pura bloon, Liong-ko. Kalau begitu serahkan padaku dan biar kupaksa mengaku!" Soat Eng menyambar, mencengkeram tengkuk dan segera pemuda itu merintih. Meskipun jari-jari halus yang mencengkeramnya namun jari-jari itu penuh tenaga lweekang, serta menembus sumsumnya dan dia mendesis. Dan ketika cengkeraman diperkuat sementara Thai Liong diam mengerutkan alis maka Soat Eng sudah membentak lawannya, "Lihat, pencetan ini akan membuatmu seperti dibakar api. Kalau kau tidak mengaku jangan salahkan aku membuatmu menderita!"

"Lakukanlah," pemuda itu berkata gagah, meringis menahan sakit. "Aku memang tak tahu apa-apa, nona. Kalau aku harus disiksa barangkali ini memang nasibku yang sial!"

"Kau tak mau mengaku?"

"Apa yang harus ku akui? Aku tak tahu-menahu benda sialan itu, nona. Disuruh mengaku tentu aku juga tak dapat menunjukkan... augh!" pemuda itu berjengit, Soat Eng sudah memencet jalan darah di tengkuknya dan muncullah sengatan panas yang membakar pemuda itu. Bagai api yang tajam dan panas pemuda ini merasa terbakar, dia mengaduh namun akhirnya menggigit bibir, menahan sakit, diperkuat lagi pencetannya dan pemuda itu pun merah padam. Perjuangan berat tampak diperlihatkan pemuda ini dan Soat Eng penasaran, menambah kekuatannya dan pemuda itu pun akhirnya berteriak. Saking sakit dan marahnya dia menggigit bibir sendiri. Namun ketika Soat Eng membentak agar dia mengaku pemuda ini malah memaki-makinya.

"Siluman busuk! Kau boleh bunuh aku, nona. Boleh siksa dan gorok leherku tapi tak dapat aku menerangkan. Aku tak tahu-menahu dan sumpah demi ibu bapakku aku tak mengerti urusan Cermin Naga!"

Soat Eng melotot. Setelah berulang kali lawannya ini membantah tiba-tiba dia menjepit lagi sebuah jalan darah di leher kanan, jepitan atau pencetan yang akan membuat pemuda itru seolah kesetrom bongkahan es dingin. Habis dibakar panas tiba-tiba sudah dibuat menjadi dingin, pemuda itu merasa tengkuknya terbakar tapi leher kanannya dicelup es. Beku! Dan ketika dia menggigit bibir namun tak tahan juga tiba-tiba pemuda ini roboh dan pingsan.

"Ah, kau terlalu!" Thai Liong terkejut. "Lepaskan pemuda ini, Eng-moi. Bebaskan dia dan jangan kelewatan!"

Soat Eng menendang. Setelah pemuda itu pingsan dan dia kalah maka kemarahannya semakin menjadi. Gadis itu bukannya kasihan melainkan bertambah gusar. Maka ketika kakaknya menyuruh lepaskan sementara pemuda itu sudah tak sadarkan diri maka dia menendang dan mencelatlahtubuh tinggi besar itu, terbanting dan tidak bergerak-gerak lagi karena sudah pingsan. Soat Eng memaki-maki dan baru kali ini kalah berhadapan dengan seorang lawan yang demikian tegar, meskipun lawan itu dapat dirobohkannya. Dan ketika kakaknya terkejut dan tak setuju pada tindakannya maka Thai Liong melompat dan memeriksa pemuda itu.

"Dia tak akan mati, paling-paling kelengar!" "Hm, kau keras sekali," kakaknya menegur. "Aku jadi sangsi akan keteguhannya, Eng-moi. Kalau kita sampai salah maka kita harus menebus malu!" "Cih, minta maaf maksudmu? Tak mungkin, pemuda ini jelas orangnya, Liong-ko. Aku yakin dan merasa pasti!"

"Tapi dia menolak tuduhan...."

"Memangnya maling harus mengaku maling? Tak mungkin, tak ada maling yang mengakui perbuatannya, Liong-ko. Justeru menurut pendapatku pemuda ini harus disiksa lagi yang lebih keras. Aku masih belum puas!"

"Tidak, jangan dulu!" sang kakak mencegah. "Kita tangkap saja dia, Eng-moi. Kita tawan dan secara baik-baik dibujuk...."

"Apa? Dibujuk?" sang adik melotot. "Membujuk penjahat tak ada gunanya, Liong-ko. Dia akan mempermainkan kita dan sia-sia. Sebaiknya diseret dan biar kau lihat perbuatanku!" Soat Eng menyambar sebuah tali, mengikat dan melilit-lilit pemuda itu dan akhirnya mengambil air. Dengan dingin dia mengguyur muka pemuda itu, menyadarkannya. Dan ketika si pemuda gelagapan dan benar saja siuman maka pemuda itu membuka mata dan mengeluh.

"Aduh, aku belum mati?"

Pertanyaan ini menyedihkan. Thai Liong mau tertawa kecut tapi tak jadi, tersenyum ditahan dan adiknya yang bergerak. Dan ketika pemuda itu membuka mata dan beradu pandang dengannya maka Soat Eng mendesis,

"Kau belum mati, dan memang tidak akan mati. Aku ingin kau tetap hidup agar merasakan penderitaan lebih lanjut. Masihkah kau tidak mengaku dan ingin kuseret sepanjang jalan?" "Ooh...!" pemuda itu tertawa menyeringai, aneh sekali tidak nampak dendam. "Kau berkali-kali memaksaku, nona. Dan agaknya berkali-kali pula aku harus menjawab dengan gelengan kepala. Aku baru kali ini turun gunung, mau pulang. Bagaimana bisa mencuri barang orang dan dituntut seperti ini? Kalau kau tidak percaya maka boleh siksa aku sampai puas, tapi hati-hati, perbuatanmu nanti kualat!"

"Kualat hidungmu!" Soat Eng membentak. "Menghajar seorang penjahat macam dirimu justeru dibenarkan hukum, pemuda siluman. Aku tak takut kualat dan lihat saja bagaimana aku menyiksamu!"

"Aku mau kau bawa ke mana?""

"Ke Sam-liong-to!"

"Ke laut?"

"Ya."

"Untuk apa?"

"Kujadikan santapan hiu!"

"Ha-ha!" pemuda itu tertawa bergelak. "Tak ada hiu yang dapat memakan dagingku, nona. Tubuhku alot dan tua. Kau akan sia-sia!"

"Eh, mengejek?" Soat Eng terbelalak. "Kuhajar kau, pemuda setan. Tutup mulutmu dan jangan buka lebar-lebar.... plak!" Soat Eng menampar pemuda itu, mengejutkan kakaknya dan Thai Liong berkata agar adiknya menahan diri. Tamparan yang cukup keras itu membuat bibir si pemuda pecah. Thai Liong berkelebat dan menyambar adiknya.

Dan ketika Soat Eng menggerutu dan kakaknya menegur maka pemuda ini terbelalak memandang Thai Liong, mulai merasa bahwa pemuda ini lebih lembut dibanding adik perempuannya, yang galak itu. Pemuda yang menarik perhatiannya karena tiba-tiba dia melihat rambut Thai Liong yang keemasan. Pemuda itu tertegun dan membelalakkan mata, teringat sesuatu. Namun belum sempat dia bertanya atau membuka mulut tiba-tiba Soat Eng menyambar tali dan menarik dirinya, diseret.

"Liong-ko, aku ingin membuktikan omongan si sombong ini bahwa tubuhnya alot tak dapat dimakan hiu. Coba kubuktikan dan mari kita seret!‖ gadis itu bergerak, tak menghiraukan kakaknya lagi dan Thai Liong tertegun. Pemuda ini mengerutkan kening namun adiknya sudah melangkah, tawanan mereka diseret dan bertemulah tubuh pemuda itu dengan kerikil dan batu-batu tajam, mengigit namun pemuda itu mengerahkan sinkangnya. Tubuhnya tak apa-apa akan tetapi pakaiannya yang robek-robek. Dan ketika Soat Eng tak perduli dan terus menyeret tawanannya maka Thai Liong kagum melihat kulit tubuh yang tegap mengkilat.

"Kau sebaiknya mengaku," dia membujuk. "Dan jangan biarkan adikku marah!"

"Hm, mengaku bagaimana? Justeru aku heran melihat kalian berdua, sobat muda. Kau tampaknya baik dan adikmu itu juga bukan orang jahat."

"Eh, untuk apa omong-omong?" Soat Eng tak senang. "Biarkan dia begini, Liong-ko. Dan lihat berapa kuat dan alot kulitnya!"

Si pemuda tersenyum. Thai Liong geleng-geleng kepala dan diam-diam kasihan. Sesungguhnya dia ragu dan bimbang, pemuda ini tampaknya bukan orang jahat dan dia khawatir kalau adiknya salah tangkap. Berbahaya nanti, tentu mereka mendapat malu. Namun karena adiknya tak perduli dan pemuda itu dilihatnya juga tak apa-apa diseret sepanjang jalan maka Thai Liong diam saja dan akhirnya justeru tertarik, ingin mengetahui siapa sebenarnya pemuda ini namun justeru pemuda itu tak memberitahukan namanya. Thai Liong ditanya tapi juga balas tak memberitahukan namanya. Dan ketika sehari itu mereka menyeret tawanan mereka maka si pemuda minta air minum.

"Aku haus, tolong berikan air."

"Huh, tidak mengaku mengapa minta minum? Kau bilang boleh dibunuh, pemuda siluman. Dan sekarang jangan banyak cakap sebelum mengaku!"

"Tapi tenggorokanku kering, aku bisa sakit...."

"Memangnya kenapa? Sakit pun tak perduli, kau bilang tubuhmu alot dan kuat!"

Pemuda itu menyeringai. Setelah Soat Eng berkata seperti itu dia tak minta apa-apa lagi, malam menginap di hutan dan Soat Eng memanggang kelinci. Bau sedap makanan itu juga membuat si pemuda lapar, perut berkeruyuk namun Soat Eng tak perduli. Thai Liong memuji daya tahan pemuda ini, benar kuat dan cukup tangguh. Dan ketika keesokannya mereka melanjutkan perjalanan dan menuju ke timur mendadak mereka mendengar dencing suara senjata beradu.

"Ada orang bertempur. Kita lihat!"

Thai Liong terkejut. Adiknya tiba-tiba berkelebat dan pemuda yang diseret itu terantuk, mengaduh namun Soat Eng tidak perduli, terus berlari cepat dan tentu saja pemuda itu terbanting-banting, tubuhnya bertemu batu-batu keras dan Thai Liong membentak, menyuruh adiknya bersikap lunak sedikit. Tak tahunya malah semakin menjadi dan Soat Eng terbang sambil menyeret pemuda itu, yang juga "terbang" dan terantuk serta naik turun menghantam apa saja, hancur bajunya dan punggung yang tegap serta kuat itu telanjang sudah.

Untung, karena sinkangnya memang luar biasa dan pemuda itu memiliki daya tahan sempurna maka akhirnya Soat Eng tiba di tempat yang penuh batu-batu karang, melihat belasan orang mengeroyok seorang laki-laki dan gadis ini berhenti. Dia tak memperdulikan makian pemuda itu dan terbelalak. Dan ketika dencing senjata itu membuat Soat Eng membelalakkan mata karena mengenal siapa yang dikeroyok maka Thai Liong juga tiba di situ dan berseru tertahan,

"Ayah.....!"

Kiranya Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas yang menghadapi orang-orang ini. Dua muda-mudi ini terkejut karena ayah mereka dikeroyok belasan orang, dihujani senjata tajam namun ayah mereka itu tenang-tenang saja menyambut, mengelak dan mementalkan senjata-senjata yang menyambar, yang akhirnya bertemu sesama kawan sendiri dan mengeluarkan suara nyaring. Dan ketika Soat Eng terkejut dan tentu saja marah tiba-tiba dia melompat dan menerjang ke depan, melepaskan tawanannya.

"Keparat, kalian manusia-manusia jahanam.... plak-des-dess!" Soat Eng beterbangan, menyambar dari satu tempat ke tempat yang lain dan terlemparlah orang-orang itu. Mereka adalah orang-orang berpakaian hitam seperti bajak laut, mengenakan ikat kepala merah dan sepak terjangnya liar. Mengeroyok Pendekar Rambut Emas namun pendekar ini bersikap tenang-tenang saja, menghalau dan entah kenapa tidak bersikap keras. Tapi begitu Soat Eng menyambar dan tubuhnya berkelebatan dari satu orang ke orang yang lain maka orang-orang itu menjerit dan terlempar bergulingan.

"Aduh, mati aku....!"

Soat Eng tak perduli. Dia terus berkelebatan dari satu tempat ke tempat lain, melempar-lempar dan membanting orang-orang itu. Dan ketika semuanya mencelat tak keruan sementara ayahnya tertegun di tempat maka orang-orang itu pun akhirnya melarikan diri dan jatuh bangun.

"Siluman, kita bertemu siluman betina....!"

Soat Eng mendamprat. Dia marah dan mau mengejar, tapi ketika ayahnya bergerak dan memegang lengannya maka Pendekar Rambut Emas, yang terbelalak tapi girang bertemu anaknya berseru,

"Tahan, biarkan mereka pergi!" dan gembira memandang puterinya pendekar ini menyambung, "Kau di sini, Eng-ji (anak Eng)? Bersama kakakmu? Ah, bukankah kalian ke Sam-liong-to? Bagaimana bisa ada di sini?" dan Soat Eng yang juga girang serta memeluk ayahnya tiba-tiba tak menjawab malah bertanya di mana ibunya.

"Aku di sini!" dan sesosok bayangan yang berkelebat dan sudah berada di samping Pendekar Rambut Emas akhirnya membuat Soat Eng bertambah girang lagi, ibunya di situ dan muncul mengejutkannya. Soat Eng melepaskan ayahnya dan menubruk ibunya itu. Dan ketika ibunya tersenyum dan balas memeluknya maka sebuah bayangan berkelebat lagi dan datang membuatnya tertegun,

"Kim-siocia, aku juga di sini!"

Soat Eng menoleh. Hampir berteriak dia melihat Ji Pin di situ, tertawa dan membungkuk kepadanya. Dan ketika gadis itu melepas ibunya dan memutar tubuh maka Thai Liong mendekat dan memberi hormat pada ayah ibunya.

"Ayah, kami mencari-carimu. Baru saja ke Ce-bu!"

"Hm, kau, Thai Liong? Siapa pemuda itu?" Kim-mou-eng menepuk pundak puteranya, tertawa tapi heran melihat pemuda yang diseret Soat Eng.

Pemuda itu terbelalak memandang semuanya dan aneh sekali wajahnya pun berseri-seri. Dan ketika sang ayah bertanya namun dia belum sempat menjawab maka Soat Eng sudah mendahului dan berseru lantang,

"Dia pencuri Cermin Naga, kutangkap dan kuseret ke sini!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. "Pencuri Cermin Naga? Jadi pemuda ini?"

"Benar, yah, tapi dia tak mau mengaku!" dan Soat Eng yang berkelebat menyambar ujung tali lalu membentak pemuda itu agar bangun berdiri. "Hayo, ini ayah ibuku. Mati kau, semakin tak dapat lolos lagi!"

Pemuda itu bersinar-sinar. Bajunya yang robek tak dihiraukan, punggungnya mengkilat tegap namun kotor, tak perduli pada makian Soat Eng, bahkan tampak gembira bertemu dengan Pendekar Rambut Emas. Dan ketika dua mata beradu dan Pendekar Rambut Emas tampak tertegun seakan mengingat wajah pemuda ini maka pemuda itu membungkuk dan menjura dengan gemetar,

"Paman, aku Ituchi..."

Pendekar Rambut Emas terkejut. "Apa?"

"Benar, aku Ituchi, Paman. Menyampaikan hormat dan salam padamu."

"Wut!" Pendekar Rambut Emas berkelebat, tahu-tahu semua tali putus. "Kau... benar!" seruan itu menggetarkan semua orang. "Kau kusangka Raja Hu, anak muda. Ingat aku sekarang! Ah, kau mirip ayahmu. Benar, kau Ituchi putera Raja Hu!" dan Kim-mou-eng yang mencengkeram serta memeluk pemuda itu tiba-tiba tertawa bergelak.

Dan pemuda itupun tersedak, girang bukan main tapi tiba-tiba menangis. Dia tak kuasa menahan perasaannya lagi dan bercucuranlah air mata pemuda itu. Dan ketika Pendekar Rambut Emas memeluk dan mencengkeramnya sementara pemuda itu menggigil penuh haru maka Pendekar Rambut Emas berseru pada isterinya,

"Lian-moi, lihat. Bukankah ini putera Cao Cun? Ha-ha, mirip ayahnya, isteriku. Tinggi besar dan gagah! Ini Ituchi, bocah yang dulu hilang itu!"

Swat Lian tertegun. Memang sejak mula dia serasa mengenal pemdua itu, bukan pemudanya melainkan ayah dari pemuda ini, yakni Raja Hu, suami Wang Cao Cun yang gagah namun telah meninggal dunia. Pemuda itu mirip benar dengan ayahnya dan tentu saja dia terkejut. Maka begitu suaminya mengingatkan dan berseru padanya tiba-tiba Swat Lian bergerak dan telah mencengkeram pemuda ini.

"Benar, kau putera Raja Hu. Ah, kau mirip ayahmu!"

Soat Eng dan Thai Liong pucat. Soat Eng tak mengira sama sekali bahwa 'pencuri' yang diseret-seretnya itu kini mendadak berpelukan dengan ayahnya. Ibunya juga tampak gembira dan berseri-seri. Apa yang semula tak terbayangkan tiba-tiba terjadi. Dan ketika pemuda itu dipeluk dan diremas ayahnya sementara ibunya berlinang air mata maka ayahnya itu melepaskan pemuda ini, bertanya, heran dan tidak mengerti.

"Ituchi, bagaimana kau bisa bertemu putera-puteriku? Ini Thai Liong dan itu Soat Eng!"

"Ah, aku bertemu secara kebetulan saja, paman. Di hutan...."

"Dan kau diseret-seret, dihajar! Bagaimana ini?"

"Aku.... aku menyerang mereka, mendahului!"

"Hm, benarkah?" Pendekar Rambut Emas tak percaya, memandang penuh selidik. Lalu membalik dan menghadapi putera-puterinya pendekar itu bertanya, keren, "Thai Liong, benarkah yang dikata Ituchi ini? Apa yang terjadi dan dapatkah kau menceritakannya secara jujur?"

Thai Liong berdegupan. Kalau ayahnya sudah bertanya seperti itu dan dia harus menjawab maka tiba-tiba dia berada di posisi yang sulit. Jawaban Ituchi tadi jelas bohong, dia kagum. Ternyata pemuda itu melindungi adiknya dan tentu saja dia merasa simpatik. Benar dugaannya, pemuda ini orang baik-baik. Bahkan, tak dinyana tak disangka kiranya putera Raja Hu!

Tapi ketika ayahnya bertanya dan pertanyaan itu diulang maka apa boleh buat Thai Liong menceritakan keadaan sesungguhnya, bahwa mereka bertemu para perampok dan perampok itu menyebut-nyebut Ituchi. Kemarahan adiknya tentang hilangnya Cermin Naga membuat adiknya naik pitam, kehilangan kontrol dan jadilah Ituchi sebagai korban. Dan karena Thai Liong pemuda jujur dan tak mau dia menyembunyikan semuanya itu maka Pendekar Rambut Emas merah padam dan melotot memandang puterinya.

"Jadi begitu? Kau menghina dan menghajar orang tak bersalah? Keparat, kau harus dihukum, Eng-ji. Kau lancang dan harus minta maaf.... plak!" dan sebuah tamparan yang membuat Soat Eng terpelanting dan menjerit mengaduh tiba-tiba mau disusul tamparan atau hajaran kedua, dicegah Ituchi dan pemuda ini berkelebat ke depan. Jari Pendekar Rambut Emas ditahan dan Ituchi buru-buru membungkuk. Dan ketika pemuda itu berkata bahwa semuanya ini hanya kesalahpahaman belaka maka pemuda itu menolong bangun Soat Eng.

"Sudahlah, semuanya tak sengaja, paman. Aku tak apa-apa dan tidak mendendam. Adik Soat Eng memang keras, tapi itu semua tentu ada sebab-sebabnya!"

Pendekar Rambut Emas tertegun. Ituchi ini adalah putera Cao Cun, wanita cantik yang dulu mencintainya setengah mati (baca: Pendekar Rambut Emas). Akhirnya mendapat Raja Hu dan tentu saja segala penderitaan dan kepahitan hidup wanita itu dimengertinya. Tak ada nasib semalang wanita itu. Maka begitu puteranya mencegah dan watak baik memancar tulus tiba-tiba pendekar ini menahan marah dan kagum.

"Hm, kau seperti ibumu, sabar dan pengalah. Baiklah, betapapun puteriku harus minta maaf, Ituchi. Dia harus mengaku kesalahannya kepadamu!" dan membentak menyuruh puterinya minta maaf tiba-tiba Pendekar Rambut Emas memanggil Soat Eng, yang menangis dan tersedu dihajar ayahnya tadi, maju dan mendekat tapi Ituchi sudah mendorong pundak gadis itu.

Ituchi berkata dengan sungguh-sungguh bahwa dia tidak sakit hati atau dendam, menyuruh gadis itu melupakan semuanya dan tentu saja Soat Eng terpukul. Apa yang ditunjukkan pemuda ini sungguh jauh bedanya dengan sepak terjangnya, bagai bumi dan langit. Dan ketika Soat Eng mengguguk dan menubruk ibunya maka Thai Liong maju melangkah dan membungkuk di depan pemuda tinggi besar ini.

"Ituchi, maafkan adikku. Aku juga bersalah, sukalah kau memaafkan kami berdua karena saat itu kami memang mudah kehilangan kontrol diri. Harap kau maklumi kekasaran adikku karena kami.... kami sedang berkabung."

"Apa?"

"Benar, Ituchi. Nasib bertubi-tubi menimpa kami. Kong-kong...., kakek kami berdua baru saja meninggal dunia, tewas!"

Ituchi tertegun. Bentakan melengking tiba-tiba terdengar di sebelahnya, pemuda itu terkejut dan melihat Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas berkelebat. Dan ketika Thai Liong menyelesaikan kata-katanya dan berdiri tepekur maka ibunya, puteri Hu Beng Kui itu menyambar pundaknya, langsung mencengkeram dan berkerotok.

"Thai Liong, apa katamu? Ayah tewas?"

"Benar, ibu," Thai Liong harus mengerahkan sinkangnya menahan, sedih. "Kong-kong.... kong-kong telah tiada. Kami menemukan jenasahnya terapung-apung di laut. Eng-moi yang menemukannya pertama kali."

"Ooh....!" wanita itu terhuyung. "Benar, Eng-ji? Kau... kau menemukan jenasah kakekmu?"

Soat Eng menangis. "Benar, ibu," suaranya pun serak dan basah. "Kong-kong... kong-kong memang telah terbunuh di Sam-liong-to...."

"Jahanam keparat See-ong!" Swat Lian menggerakkan tangan ke kiri, menghantam sebongkah batu dan terdengarlah ledakan dahsyat ketika batu sebesar gajah itu hancur. Dengan pukulannya Lu-ciang-hoat wanita ini melepas kemarahan, melengking dan tiba-tiba berkelebat menghilang. Dan ketika di sebelah kiri terdengar dentuman atau ledakan berkali-kali maka batu dan pohon hancur diterjang wanita ini, yang berteriak dan memekik memaki nama See-ong, menyambar-nyambar namun akhirnya sang suami berkelebat.

Pendekar Rambut Emas memanggil nama isterinya itu dan menangkap. Dan ketika lengan isterinya dicengkeram dan wanita itu tersedu-sedu maka Swat Lian menubruk dan dipeluk suaminya ini, mengguguk di situ namun tiba-tiba ia mengeluh. Perut didekap dan suami pun mengerutkan kening. Dan ketika isterinya muntah dan roboh terhuyung tiba-tiba isterinya ini telah pingsan.

Ah, ambilkan obat penenang guncangan!"

Thai Liong bergerak. Pemuda itu sudah mengambil obat yang dimaksud, berkelebat dan memberikannya kepada ayahnya. Dan ketika Kim-mou-eng menotok dan menolong isterinya maka tak lama kemudian isterinya sadar.

"Telanlah, dan tenanglah....!"

Sang isteri tersedu-sedu. Begitu teringat kematian ayahnya tiba-tiba Swat Lian tak dapat menahan diri lagi, sang suami cepat menempelkan lengan di punggung dan mengalirlah hawa sinkang ke tubuh isterinya itu. Dan ketika sang isteri kembali muntah dan pendekar ini mengerutkan alis maka Pendekar Rambut Emas berkata agar isterinya itu mengingat kandungannya.

"Tahan kemarahanmu, ingat jabang bayi yang ada di dalam!"

Thai Liong dan Soat Eng tertegun. Tanpa malu-malu atau canggung lagi ayah mereka itu menegur sang ibu, mereka saling pandang dan teringat kata-kata uwak Lu. Uwak itu bicara tentang mimpinya, mimpi bahwa ibu mereka menggendong buah labu. Konon diartikan sebagai kehamilan dan benar saja ibu mereka muntah-muntah. Ayah mereka bicara tentang itu dan tentu saja Soat Eng berseri-seri. Dia akan punya adik! Tapi karena saat itu mereka lagi berduka tentang kematian sang kakek maka Soat Eng akhirnya terisak dan memeluk ibunya itu.

"Ibu, kau.... kau akan memberikan seorang adik padaku?"

Swat Lian menggigil. Dipeluk dan mendengar pertanyaan manja dari puterinya ini tiba-tiba wanita itu memejamkan mata. Pertanyaan Soat Eng terdengar kekanak-kanakan dan lucu, mengharukan. Tapi memeluk dan mencucurkan air mata wanita ini mengangguk, berbisik, "Ya, ibumu mengandung lagi, Eng-ji. Kau akan mempunyai adik seperti yang selama ini kau idam-idamkan. Tapi kakekmu... kakekmu, ah....!"

"Sudahlah, kong-kong sudah tiada, ibu. Banyak waktu bagi kita untuk membalas kematiannya. Tapi perhatikan adikku itu agar tidak terjadi apa-apa. Aku takut!"

Swat Lian menangis. Ternyata Soat Eng takut dia keguguran, hal yang memang benar. Tentu saja itu tak boleh terjadi dan wanita ini menguatkan hati. Dan ketika sebuah tangan lembut mengusap punggungnya dan sang suami mengecup keningnya maka sebuah kata-kata lembut menyadarkannya dalam hiburan sejuk,

"Dengar, apa yang diminta Eng-ji sama juga dengan apa yang kuinginkan, Lian-moi. Kau harus menjaga kesehatanmu yang berarti menjaga kandunganmu itu. Bangkitlah, dan mari kita hadapi semuanya ini dengan tabah!"

Sang isteri mengangguk. Akhirnya Swat Lian berhasil menenangkan diri, guncangan yang diterima sudah berhasil ditindasnya dan wanita itupun terisak. Sedu-sedan sudah berganti dan yang tinggal hanyalah sorot kemarahan yang berapi-api. Wanita itu memang marah sekali mendengar kematian ayahnya, di tangan See-ong. Dan ketika sang suami mengusap dan bisikan serta kata-kata lembut menyadarkannya dari duka maka wanita itu sudah melepaskan pelukan puterinya.

"Kau ke mana saja? Bukankah ke Sam-liong-to?"

"Aku melarikan diri dari sana, ibu," sang puteri terisak. "Dan Liong-ko yang mengajakku lari."

"Hm, dan kami juga baru dari sana. Dan jahanam keparat See-ong itu betul-betul hebat!"

"Dan ibu bisa menceritakan itu?"

"Eh, sebaiknya kita tunda urusan sendiri, Eng-ji. Kita perlu tanya keperluan Ituchi!" Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menegur, teringat pemuda itu dan semua orang menoleh. Ituchi tampak termangu dan terkejut mendengar tewasnya Hu Beng Kui, pemuda tinggi besar itu mengerutkan alis. Tapi begitu Kim-mou-eng menyebut namanya dan semua menoleh tiba-tiba pemuda ini tersenyum dan kaget.

"Ah, aku... aku mau pulang, paman. Rencananya menengok ibu dan adik perempuanku!"

"Hm," Kim-mou-eng mengangguk. "Kalau begitu kau tidak ikut kami, Ituchi?"

"Maaf," pemuda itu membungkuk. "Lain kali saja, paman. Dan aku ikut berbela sungkawa atas kejadian ini."

"Terima kasih. Tak apa, Ituchi. Kalau begitu sampaikan salamku pada ibumu, juga kami semua!"

"Terima kasih kembali," dan si pemuda yang kembali membungkuk dan menjura tiba-tiba menghadapi semuanya, berkata pada Swat Lian, "Bibi, kukira tak enak rasanya aku mengganggu. Kalian sedang berkabung. Biarlah aku pergi dan pulang menemui ibuku. Sepuluh tahun aku tak jumpa, rindu rasanya hati ini!"

"Baiklah, terimakasih, Ituchi. Dan... maaf atas perbuatan puteriku!"

"Ah, tak apa," pemuda itu tersenyum. "Adik Soat Eng baru diganggu bermacam persoalan, bibi. Aku dapat memaklumi dan sama sekali tak sakit hati. Baiklah, aku permisi dan biarlah lain kali aku akan berkunjung ke tempat bibi bersama ibu dan saudaraku!" pemuda itu membungkuk, memberi hormat dan akhirnya meloncat pergi. Namun ketika dia berkelebat dan baru memutar tubuh tiba-tiba Soat Eng memanggilnya.

"Ituchi, tunggu dulu!" dan ketika si pemuda tertegun dan berhenti gadis ini buru-buru melipat punggung, terisak. "Aku minta maaf atas semua perbuatanku. Betapapun tak enak rasanya kalau belum menyatakan dengan mulut sendiri!" dan Soat Eng yang sudah meminta maaf dan menunduk dengan muka merah akhirnya membuat pemuda itu tertawa dan mendorong pundaknya.

"Eh, tak ada persoalan di antara kita, adik Soat Eng. Kalaupun kau pernah menghajar diriku biarlah hitung-hitung sebagai ujian fisikku apakah kuat atau tidak. Siapa tahu aku benar-benar akan dimangsa hiu!"

"Ah!" dan Soat Eng yang tersipu dan semburat merah lalu melihat pemuda itu berkelebat dan tertawa lebar, seperti menggoda tapi juga setengah mengolok. Itulah kata-kata mereka berdua ketika saling memaki, tentu saja gadis ini tersipu dan malu. Namun ketika pemuda itu lenyap dan kakaknya mendekat tiba-tiba kakaknya ini menghela napas.

"Pemuda yang baik, benar-benar baik!"

"Benar," ayahnya turut bicara. "Dan dia persis ibunya, Liong-ji. Sabar dan pengalah. Hm, untung saja adikmu tak sampai bertindak lebih jauh, membunuh umpamanya."

Soat Eng menunduk. Teguran ayahnya dan tamparan tadi cukup membuatnya hati-hati, gadis ini jera dan Ji Pin tiba-tiba melangkah maju. Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening dan rupanya masih marah pada perbuatan puterinya maka laki-laki ini menjura.

"Kim-taihiap, jangan marahi lagi puterimu. Betapapun Kim-siocia terguncang dan kaget oleh kematian kong-kongnya. Harap kau tidak memarahinya lagi dan memberinya maaf!"

Kim-mou-eng mengangguk. "Ya, kalau tidak tentu sudah kuhajar lagi puteriku itu, Ji Pin. Betapapun ia ceroboh dan perlu mendapat pelajaran."

"Sudahlah," isterinya membela. "Eng-ji sudah menyatakan penyesalannya, suamiku. Ia tak perlu disalahkan lagi karena Ituchi juga tak mendendamnya!"

"Benar, sebenarnya aku juga turut bersalah, ayah. Bukan hanya Eng-moi saja," Thai Liong tampil memperkuat. "Kalau aku juga tak curiga pada Ituchi, karena gambaran pemuda itu sama dengan yang dikatakan uwak Lu tentu kami berdua tak akan menangkapnya."

"Hm, apa kata uwak itu?"

"Ciri-ciri pencuri Cermin Naga, ayah. Tinggi besar dan gagah berkulit kehitaman."

"Dan Ituchi memang persis itu, tapi bukan dia orangnya!"

"Eh, belum tentu!" Ji Pin tiba-tiba menyelonong, turut bicara. "Sebaiknya diselidiki lagi, Kim-taihiap. Orang yang tampak baik-baik belum tentu baik!"

"Hm, benar," Swat Lian tiba-tiba berkerut kening. "Dan kita belum bertanya bagaimana pemuda yang hilang itu dapat selamat, suamiku. Kok tiba-tiba aku merasa tidak enak!"

"Tidak enak bagaimana?"

"Omongan Ji Pin membuatku ragu, sebaiknya memang kita selidiki lagi secara cermat!"

"Tidak mempercayai pemuda itu?"

"Bukan, bukan begitu. Hanya kita perlu meyakinkan diri, suamiku. Perjumpaan kita dengan pemuda itu terlalu singkat. Lagi pula kita tak tahu bagaimana sepak terjangnya selama ini!"

Kim-mou-eng tertegun. Mendengar semua omongan itu tiba-tiba dia mengerutkan kening, di dalam hati tentu saja tak percaya karena sebagai putera Cao Cun tak mungkin pemuda itu berwatak jelek. Tapi karena sepuluh tahun menghilang dan kini tiba-tiba muncul membuat heran maka Pendekar Rambut Emas tertegun juga mendengar omongan isterinya, juga Ji Pin, yang mula-mula menimbulkan kesangsian itu. Dan ketika isterinya kembali bertanya bagaimana kalau pemuda itu diselidiki secara diam-diam maka pendekar ini menarik napas.

"Aku pribadi tetap mempercayainya. Tak ada roman jelek di wajah pemuda itu. Tapi kalau ingin memastikan diri tentu saja aku tak keberatan. Hanya siapa yang akan melakukan tugas ini?"

"Aku sanggup membayanginya, taihiap, kalau kau perkenankan!"

"Hm, kau, Ji Pin?"

"Ya, bukankah sedikit-sedikit kau menambah kepandaianku, taihiap? Kalau boleh tentu saja aku gembira melaksanakan tugas ini, asal diijinkan!"

"Aku setuju," sang isteri tiba-tiba mendahului. "Dan sebaiknya didampingi Thai Liong. Bagaimana pendapatmu, suamiku?"

"Hm, begitu? Padahal baru saja kita menemukan anak-anak kita?"

"Ah, tak apa," Thai Liong cepat-cepat menjawab. "Kita sekarang tahu bahwa semuanya selamat tak kurang suatu apa, ayah. Kalau ibu menghendaki begitu tentu saja dengan senang hati aku akan melaksanakan tugas ini."

"Nah, apalagi?" Ji Pin girang. "Kim-kongcu dapat bersamaku, taihiap. Aku akan melakukan perjalanan bersama yang lebih menggembirakan!"

"Hm, baiklah," Kim-mou-eng akhirnya tersenyum. "Ituchi memasuki daerah berbahaya, Liong-ji. Kalau memang kita ingin memastikan diri dan pemuda itu mendapat kesukaran justeru kalian dapat melindunginya dan menolongnya dari marabahaya."

"Bahaya apa?" Thai Liong tak mengerti. "Bukankah dia pulang ke kampung halamannya?"

"Tidak, pemuda itu tak tahu bahwa keadaan bangsanya sudah tidak seperti dulu ketika dipimpin ayahnya, Liong-ji. Sekarang yang memimpin adalah raja lain dan salah-salah kedatangan pemuda itu dikira akan merampas kedudukan! Benar juga, coba kau ikuti pemuda itu dan lihat keadaannya!"

Thai Liong terkejut. Ayahnya segera bercerita bahwa keadaan bangsa liar sudah lain dibanding sewaktu dipimpin Raja Hu dulu. Penggantinya sudah orang lain dan Ituchi justeru mendatangi bahaya. Kedatangan pemuda itu bisa disalahartikan sebagai hendak merebut kekuasaan, maklumlah, dia putera Raja Hu, pemimpin terkenal sebelum raja itu memperisteri Cao Cun. Dan karena omongan itu mengejutkan Thai Liong dan tentu saja pemuda ini mengangguk maka Thai Liong berkata,

"Baiklah, aku akan membayanginya, ayah. Kalau benar seperti katamu tentu aku akan menolongnya!"

"Dan aku ikut!" Soat Eng tiba-tiba berseru. "Aku ingin bersama Liong-ko, ayah. Sekalian menolong Ituchi sebagai penebus dosaku!"

"Tidak," sang ibu ternyata menggeleng, tiba-tiba memegang lengan puterinya. "Kau bersamaku, Eng-ji. Ibu kesepian bila kalian berdua pergi. Kau pulang, membantu ibu!"

Soat Eng tertegun. Melihat dan mendengar kata-kata ibunya tiba-tiba dia menghela napas, maklum bahwa ibunya minta ditemani, apalagi kalau sudah hamil tua. Dan ketika ia mengangguk namun sedikit kecewa tiba-tiba ayahnya berkata,

"Benar kata ibumu. Sementara ini biar kau bersama kami, Eng-ji. Ibumu sedang mengandung dan butuh teman. Kalian sama-sama wanita, tentu ibumu lebih bebas. Sebaiknya kakakmu bersama Ji Pin dan kau tinggal di rumah."

Tak ada alasan membantah. Soat Eng mengangguk lagi dan berlinang, menghapus air matanya dan ibunya sudah memeluknya. Dan ketika ibunya berbisik bahwa dia harus menemani ibunya maka gadis itu balas memeluk. "Baiklah, aku tak membantah, ibu. Aku juga ingin menanti kehadiran adikku."

"Nah," ayahnya menoleh. "Kau boleh pergi, Liong-ji. Tapi hati-hati dan jangan gegabah!"

Dan begitu Thai Liong mengangguk dan melirik adiknya tiba-tiba pemuda ini berkelebat, minta diri pada ayah ibunya dan Ji Pin ditarik. Lalu begitu laki-laki itu berseru pada Soat Eng dan kedua orang tuanya maka Ji Pin pun lenyap berkelebat dibawa Thai Liong.

* * * * * * * *

Mari kita ikuti Ituchi. Benar seperti dugaan Kim-mou-eng ternyata pemuda itu sudah diamati dari jauh oleh raja dan pembantunya. Hari itu, empat hari setelah melakukan perjalanan tanpa henti pemuda tinggi besar ini tiba di tempat suku bangsanya. Tapi karena dia tak dikenal dan tentu saja dihadang maka Ituchi berdebar memperkenalkan diri.

"Aku mencari ibuku, Wang Cao Cun. Aku Ituchi, putera Raja Hu."

"Ah, kau.... kau Ituchi Yashi?"

"Benar, dan sampaikan pada ibuku bahwa aku datang, penjaga. Aku rindu dan ingin bertemu ibuku!"

"Kalau begitu tunggu dulu, biar kusampaikan!" dan penjaga yang bergegas dengan muka berubah lalu buru-buru ke dalam di tapal batas. Ituchi dihentikan dan sebagai pemuda atau warga yang baik pemuda itu berhenti, tidak meneruskan perjalanannya. Dan ketika penjaga yang lain mengelilinginya dan bersikap hormat maka Ituchi bertanya apakah ibunya sehat-sehat saja dan siapa sekarang yang duduk sebagai raja.

"Ibunda permaisuri sehat-sehat saja, dan pemimpin sekarang adalah raja Cucigawa. Bagaimana pangeran baru datang sekarang setelah sepuluh tahun menghilang?"

"Hm, aku diculik, penjaga. Tapi untung masih hidup. Aku ditolong seseorang dan selamat. Apakah ibu tak pernah mencari-cariku?"

"Tidak, ibunda menangis sepanjang hari, pangeran. Merasa tak berdaya karena setahun gagal menemukan paduka!"

"Dan bibi Wan Hoa?‘

Penjaga tertegun.

"Kenapa diam?"

"Maaf, bibimu meninggal, pangeran. Sepuluh tahun yang lalu, ketika paduka diculik!"

"Apa?"

"Benar, pangeran. Bibimu telah tiada. Ibumu tinggal sendiri dan merana sepanjang tahun!"

Ituchi tergetar. Tiba-tiba dia terkejut dan merasa bergoyang, melayanglah ingatannya kepada seorang wanita cantik yang penuh kasih kepadanya, membelanya mati-matian dari setiap bahaya dan pemuda tinggi besar itu tiba-tiba menangis. Tak terasa air matanya bercucuran dan Ituchi merasa terpukul. Tapi ketika dia menggigil dan kosong memandang ke depan tiba-tiba penjaga yang melapor ke dalam muncul, membawa berita.

"Paduka dipersilahkan masuk. Ibunda dan raja Cucigawa menunggu!"

Ituchi tertegun. Tiba-tiba dia mengusap air matanya, bergegas dan seekor kuda diberikan padanya. Tapi ketika pemuda itu menolak dan melompat ke depan tiba-tiba Ituchi sudah berkelebat dan berseru, "Aku dapat datang, tanpa kuda!" dan begitu pemuda itu mengerahkan kepandaiannya dan bergerak bagai siluman tiba-tiba dia telah lenyap dan menghilang di depan.

"Hei, tunggu!"

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.