ISTANA HANTU
JILID 17
KARYA BATARA
MEI LING pingsan. Akhirnya gadis itu roboh setelah encinya menotok, terguling dan memang hanya akan menjadi gila secara cuma-cuma kalau tidak cepat dirobohkan, terlalu terpukul dan terhina oleh perbuatan Togura yang biadab. Dan ketika gadis itu ditolong encinya sementara di sana Thai Liong maupun Ituchi tertegun melihat semuanya ini maka dua pemuda itu tiba-tiba bergerak dan Thai Liong sudah mengurus mayat Ting Han.
"Kau tolong gadis itu. Biar aku merawat jenasah pemuda ini!"
Ituchi mengangguk. Memang membiarkan saja Mei Hoa tersedu-sedu menolong adiknya sendirian adalah tidak baik. Gadis itu terpukul hebat dan salah-salah terkena stress yang berat, himpitan batin. Maka begitu dia mengangguk dan berkelebat membantu gadis ini maka Ituchi sudah menolong dan menyadarkan Mei Ling, menotok sana-sini dan mengurut beberapa syaraf-syaraf tertentu. Gadis itu akhirnya sadar dan tampak bengong, sejenak mengingat-ingat namun tangis dan ciuman encinya menyadarkannya. Dan ketika Mei Ling tertegun namun sadar kembali tiba-tiba wajah gadis ini merah padam.
"Mana dia? Mana binatang itu?"
"Sudahlah, dia sudah lari, Mei Ling. Tak dapat menangkapnya sekarang masih banyak waktu di kesempatan yang lain," Ituchi mendahului, menggenggam lengan gadis ini dan Mei Ling tersentak.
Sentuhan lelaki tiba-tiba seakan menyengatnya, trauma dengan Togura itu belum lenyap dan dia mengipat. Dan ketika lengan itu terlepas dan gadis ini bangkit berdiri maka pandangan penuh dendam tampak bersinar mengerikan. "Akan kucari dia. Kubunuh!"
"Hm, bagaimana kau membunuhnya?" sebuah suara tiba-tiba terdengar di samping gadis ini, suara Thai Liong. "Togura tak dapat kau bunuh kalau kepandaianmu hanya sebegitu, Mei Ling. Dia terlalu lihai dan kejam bagimu!"
"Aku tahu," gadis ini berapi-api, menoleh. "Tapi aku akan mencari dan berusaha membunuhnya, Kim Thai Liong. Atau aku mati dan biar aku mampus!"
"Mei Ling!" sang kakak membentak, terkejut. "Kau jangan bersikap kasar kepada Kim-siauwhiap, adikku. Jelek-jelek dialah yang menolong kita semua!"
"Hi-hik, tapi terlambat juga!" gadis itu tiba-tiba mengejek. "Kim-siauwhiap tak dapat menolong aku, enci. Dan aku juga tak mengharap pertolongannya. Biarlah, noda ini akan kuhapus dengan darah binatang itu atau aku menghapusnya dengan darahku sendiri!" lalu berkelebat dan menahan tangis yang penuh luka tiba-tiba gadis ini tak menghiraukan encinya lagi, membalik dan sudah keluar hutan namun sang enci pun berteriak menahan. Lalu ketika gadis itu disambar dan Mei Ling tertegun maka sang enci menanya,
"Kau mau ke mana?"
"Aku... aku mau ke mana saja."
"Tidak, kau harus bersamaku, Ling-moi. Kau tak boleh sendirian dan jangan bodoh. Kita sama-sama mencari pemuda itu, dan... dan barangkali Kim-siauwhiap atau temannya mau menolong kita!"
"Hm!" Thai Liong mengangguk, cepat maju menjawab. "Itu benar, Mei Ling. Aku dan Ituchi tentu senang membantu kalian. Togura sudah lari, tapi perbuatannya harus dituntut. Marilah, kalian bersama kami lagi dan kita sama-sama mencari pemuda itu!"
"Atau kalian pulang ke kota raja," Ituchi memberi saran. "Togura benar-benar berbahaya, Mei Ling. Terus terang aku sendiri masih bukan tandingannya. Hanya Thai Liong dan keluarganya yang dapat menghadapi pemuda itu!"
Mei Ling menangis. Tiba-tiba encinya mencekal erat lengannya dan tak mau sang adik pergi, Mei Hoa tak membiarkan adiknya pergi dan gadis itupun tak berdaya. Dan karena semua membujuk dan rata-rata menghibur demi kebaikannya sendiri akhirnya gadis itu mengeluh dan merobohkan tubuhnya di dada sang enci, menyerah dan Mei Hoa menangis mendekap adiknya itu. Dan ketika Mei Ling sadar serta tak dapat melepaskan diri dari encinya maka Mei Hoa rupanya terpengaruh kata-kata atau saran Ituchi tadi.
"Baiklah, bagaimana kalau kita pulang ke kota raja, Ling-moi? Bergabung atau bersama paman-paman yang lain di sana?"
"Aku pribadi masih ingin mencari pemuda itu. Tapi kalau enci ingin pulang aku menurut saja."
"Hm, sebaiknya kalian ikut kami, Mei Ling. Sedikit banyak kami dapat memberikan perlindungan. Bagaimana kalau seminggu dua minggu dulu bersama kami? Kalau kalian suka tentu kami tak keberatan. Tapi kalau kalian ingin pulang tentu saja aku juga tak melarang,"
Thai Liong berkata, sebenarnya khawatir melihat sekilas cahaya aneh pada pandangan ganjil Mei Ling, sebenarnya bermaksud mengawasi gadis itu tapi Ituchi rupanya tak setuju. Pemuda ini mengerutkan kening dan memandang Thai Liong, memberi isyarat bahwa dua orang gadis bersama mereka hanyalah merupakan beban saja. Thai Liong mengerti tapi menggeleng kepala dengan rahasia. Dan karena urusan itu lebih dipercayakan pada pemuda ini daripada dirinya maka Ituchi menarik napas dan diam saja tapi Mei Ling rupanya tahu, atau merasa.
"Tidak, kalau begitu... kalau begitu kita pulang saja, enci. Tapi kau berjanjilah bahwa binatang itu harus dibalas!"
"Aku tentu membalas, sebisaku!"
"Kalau begitu kita pulang, mari..." dan Mei Ling yang menarik kepalanya dari dada sang enci lalu mengajak pergi dan tidak memandang dua pemuda itu, melompat dan encinya tertegun tapi cepat mengejar sang adik. Dan ketika gadis itu menangkap lagi adiknya dan berseru pada Thai Liong bahwa mereka akan kembali ke kota raja maka Thai Liong berdetak mengerutkan kening.
"Ah, aku tak enak. Bagaimana pendapatmu, Ituchi?"
"Aku biasa-biasa saja, tak apa-apa."
"Tapi aku tak nyaman. Aku ingin mengikuti mereka itu! Bagaimana pendapatmu?"
"Hm, terserah kau, Thai Liong. Tapi kukira kita harus mencari Togura?"
"Tentu, tapi nanti dulu, Ituchi. Aku ingin mengikuti mereka barang semalam dan setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita lagi!"
"Kalau begitu baiklah, mari..." dan Ituchi yang agak ogah-ogahan tapi memutar tubuh lalu mendahului menyusul Mei Ling kakak beradik, diikuti Thai Liong dan malam itu mereka melihat dua gadis ini kemalaman di tengah jalan, berhenti dan mendapatkan sebuah guha, duduk dan menyandarkan tubuh di situ. Dan ketika Thai Liong menyelinap dan mengintai dengan perasaan yang semakin tak nyaman maka terdengarlah Mei Ling menahan isak dan menanya encinya.
"Enci, kau benar-benar akan membantuku mencari jahanam itu? Kau benar-benar akan membantu membalaskan dendamku pada binatang itu?"
"Ah, berkali-kali kau tanya. Aku tentu membantumu, Ling-moi, sekuat tenagaku. Tapi aku tentu tak dapat membunuhnya kalau hanya seorang diri saja! Pemuda itu amat lihai, kau tahu. Dan tentunya kau maklum kekuatan encimu ini!"
"Ya, aku tahu. Tapi kau tentu tak akan membiarkan aku tetap terhina bukan, enci? Bahwa kau akan membalaskan sakit hatiku dalam keadaan bagaimanapun?"
"Tentu! Tapi, eh... kenapa kau bertanya selalu tentang hal ini? Apakah kau tak percaya pada encimu? Hidup atau mati aku tetap akan mencari pemuda itu, Ling-moi. Membalaskan sakit hatimu yang juga berarti sakit hatiku!"
"Bagus, terima kasih. Kalau begitu, hmm... aku tenang." Dan malam itu Mei Ling yang tidur di samping encinya lalu tidak banyak bicara lagi, tersenyum dan hanya Thai Liong yang melihat pandangan ganjil pada gadis yang sedang terpukul batinnya itu.
Perbuatan Togur memang biadab. Dan ketika malam itu Mei Hoa menangis dan memeluk adiknya, didorong dan ingin tidur sendiri-sendiri maka keesokannya terdengar jerit dan pekikan Mei Hoa. Melihat adiknya sudah membujur kaku dengan muka kebiruan. Mei Ling, yang malam tadi tak mau dipeluk encinya ternyata diam-diam telah menelan pil Maut, yakni pil yang sedianya disiapkan gadis itu kalau sampai terjadi sesuatu, usaha menghindari perkosaan Togura kalau betul pemuda itu melakukannya.
Dan karena pil ini ternyata tak dapat ditelan Mei Ling karena waktu itu lawan menotoknya mendahului dan perkosaan itu terjadi sebelum gadis ini sempat menelan pilnya maka malam itu setelah berulang-ulang meminta janji encinya gadis ini akhirnya bunuh diri! Mei Hoa menjerit dan melolong-lolong melihat keadaan adiknya itu, tubuh yang kaku dan biru dan Thai Liong melompat kaget. Pemuda ini tak tahu dan tak menyangka, berkelebat dan tertegun melihat mayat Mei Ling. Dan ketika Mei Hoa terkejut dan menjerit melihat Thai Liong maka gadis itu menubruk dan tersedu-sedu di pelukan pemuda ini.
"Aduh, adikku... adikku tewas, siauwhiap. Dia bunuh diri!"
"Hm, dia menelan racun!" Thai Liong tergetar, sekali lihat tahu apa yang terjadi. "Bagaimana itu bisa terjadi, Mei Hoa? Kau tak mewaspadai tingkah laku adikmu yang aneh?"
"Aku... aku terlambat. Dia... dia... ah, adikku menelan pil Maut!" dan Mei Hoa yang menceritakan sejenak tentang pil yang mereka bawa berdua lalu membuat Thai Liong tertegun.
Dan Ituchi tiba-tiba berkelebat datang, semalam tidak begitu acuh dan menganggap Thai Liong terlalu mengkhawatirkan kakak beradik itu. Ternyata benar, sekarang Mei Ling tewas dengan muka kebiruan, menelan racun. Dan ketika pemuda itu menjublak dan termangu-mangu maka Mei Hoa membalik dan melepaskan dirinya dari pelukan Thai Liong, menjerit memanggil adiknya namun gadis itu pun akhirnya roboh, pingsan. Dan ketika Thai Liong berkelebat dan Ituchi tertegun maka Thai Liong menolong Mei Hoa dan cepat menyadarkan gadis itu.
"Tenanglah. Maaf, Mei Hoa. Aku sudah menangkap gerak-gerik adikmu yang aneh tapi sungguh tak kuduga kalau dia menelan racun. Ah, aku menyesal, tak dapat menolong. Berhentilah menangis dan biarkan kami berdua membantumu."
Mei Hoa mengguguk berguncang-guncang. Dia terpukul dan berteriak-teriak memanggil adiknya. Namun karena adiknya telah tewas dan tak mungkin kembali tiba-tiba gadis ini mencabut pedang dan mau menusuk dadanya sendiri.
"Plak!" Thai Liong menampar, pedang mencelat dan tentu saja pemuda itu mencegah usaha bunuh diri ini. Mei Hoa memaki dan kalap, mau menyambar pedangnya lagi tapi Thai Liong telah menotok pundaknya. Dan ketika gadis itu roboh dengan lemas dan mengeluh disambar pemuda ini maka Thai Liong berkata,
"Mei Hoa, kalau kau bunuh diri maka kau melanggar janjimu sendiri terhadap adikmu. Apakah kau tidak ingat bahwa adikmu meminta agar kau membalaskan sakit hatinya? Apakah kau lupa bahwa kau telah berjanji pada adikmu? Rupanya adikmu sengaja melakukan ini, Mei Hoa. Dan kau dituntut untuk melaksanakan janjimu, atau arwah adikmu bakal penasaran di alam baka sana kalau kau melanggar omonganmu sendiri!"
"Ooh...!" gadis itu tersedu-sedu. "Aku.... aku tak kuat, siauwhiap. Aku tak mau sendirian tanpa adikku. Aku ingin menyusul. Ah, jahanam keparat Togura itu! Bedebah dan terkutuk dia!" dan ketika gadis ini tersedu-sedu tapi sadar akan kata-katanya sendiri maka usaha bunuh diri itu berhasil dicegah.
Akhirnya Thai Liong membujuk dan memperingatkan gadis ini, Ituchi di sana sudah termangu-mangu dan menghela napas penuh sesal. Dia ternyata kurang tajam menangkap firasat. Thai Liong benar dan dia salah. Dan ketika jenasah gadis itu akhirnya dimakamkan dan Mei Hoa menguguk di tanah kuburan adiknya ini maka Thai Liong bertanya bagaimana pendapat Ituchi, untuk kesekian kalinya lagi menguji pemuda itu.
"Terserah kau. Kau lebih pandai, Thai Liong. Kau lebih tanggap menangkap keadaan. Biarlah aku mengikuti dan menurut kata-katamu."
"Gadis ini harus kita bawa. Mei Hoa bersama kita."
"Baiklah, aku setuju." dan ketika hal itu dikatakan pada Mei Hoa dan gadis itu menangis maka Mei Hoa hanya berkata,
"Aku tak mempunyai orang tua, tak mempunyai siapa-siapa lagi. Kalau siauwhiap mau membawaku untuk menemukan pemuda keparat itu tentu saja aku berterima kasih. Hanya aku mungkin mengganggumu saja, siauwhiap. Kepandaianku rendah dan betapa bodohnya aku!"
"Hm, pertama jangan panggil aku siauwhiap," Thai Liong berkata. "Panggil saja aku twako atau kakak, Mei Hoa. Dan masalah dirimu kukira tak jadi persoalan. Kami memang hendak mencari pemuda itu, kalau kau suka bersama kami tentu saja kami senang. Nah, semuanya sudah diatur, Mei Hoa. Mari kita berangkat dan tinggalkan tempat ini."
Gadis itu mengangguk. Setelah berlutut dan mencium kuburan adiknya gadis ini terhuyung melangkah pergi, tak malu atau canggung bersama dua pemuda. Maklumlah, kedukaan masih menghimpit batinnya. Tapi ketika seminggu kemudian kedukaan itu mulai berkurang dan Thai Liong maupun Ituchi selalu bersikap baik dan menghiburnya maka lama-kelamaan sifat kewanitaannya muncul, malu dan mulai kikuk namun Thai Liong biasa-biasa saja.
Kali ini Ituchi memperlihatkan perubahan sikap, sering-sering melirik dan memandang gadis itu, yang entah kenapa tiba-tiba menyentuh keharuannya dan rasa tertarik pemuda ini timbul. Dan ketika Ituchi mulai memperlihatkan kemesraan dan perhatiannya yang besar maka Mei Hoa tertegun melihat sikap Ituchi yang lebih istimewa daripada Thai Liong.
"Kau dapat mandi di sini. Telah kutemukan sumber air yang jernih!" begitu pemuda ini berkata ketika mencarikan tempat untuk mandi gadis ini. Dan ketika masalah makan atau minum pemuda itu juga lebih memperhatikannya daripada Thai Liong maka Mei Hoa lama-lama tergetar.
"Atau ini. Makanlah punyaku, Mei Hoa. Pisang ini kebetulan saja kudapat empat buah!" pemuda itu menyodorkan pisangnya, memberikan penuh perhatian dan sikap atau pandang matanya penuh cinta kasih.
Mei Hoa menerima dan tentu saja lama-lama getaran pemuda itu tak dapat ditolaknya lagi. Dan ketika Thai Liong juga melihat itu dan akhirnya tersenyum-senyum maka dua minggu kemudian pemuda ini sengaja memberikan kesempatan pada temannya untuk lebih berdekatan lagi dengan puteri Bu-ciangkun itu, akhirnya cinta bersambut dan Ituchi benar-benar mendapatkan pujaannya. Kiranya pemuda ini mencintai gadis itu bermula dari haru, iba dan kasihan setelah melihat kematian Mei Ling. Dan karena iba atau haru mudah sekali menimbulkan perasaan kasih akhirnya cinta pemuda itu bersemi dan Mei Hoa kebetulan ternyata juga tidak menolak!
"Aku mencintaimu. Tak dapat kusangkal aku mencintaimu, Mei Hoa. Kalau kau tak keberatan dan mau menerimanya sungguh aku merasa bahagia sekali. Dan kita dapat sama-sama mencari Togura lebih sungguh-sungguh lagi!"
Mei Hoa terisak. "Aku... aku menerimamu, Ituchi. Tapi tidakkah aku kelak mengecewakanmu?"
"Ah, mengecewakan apa?"
"Kau putera seorang raja, kau seorang pangeran! Sedang aku, ah... aku orang biasa, Ituchi. Aku sebatangkara dan tak punya apa-apa lagi!"
"Ah, jangan begitu," pemuda ini memeluk. "Meskipun aku putera raja tapi aku seorang pangeran dari sebuah suku bangsa liar, Mei Hoa. Jauh bedanya dengan pangeran di tempatmu itu. Lagi pula kau puteri Bu-ciangkun, seorang panglima gagah! Siapa tidak tahu dirimu? Kalau sebatangkara, hm... justeru itu semakin menguatkan cintaku, Mei Hoa. Aku ingin melindungimu dan menjagamu setiap saat!"
"Ooh...!" gadis ini menangis. "Kalau begitu aku bahagia sekali, Ituchi. Kalau begitu... kalau begitu terserah kau...!"
Dan Ituchi yang memeluk serta mencium gadis ini tiba-tiba disambut dan saling melepas rindu, memang selama ini diam-diam masing-masing pihak sama mengharapkan yang lain, lirikan atau senyum malu-malu di antara keduanya tak dapat disangkal lagi ingin dilanjutkan dengan hubungan yang lebih mesra, intim. Dan karena Ituchi sudah menyatakan cintanya sementara Mei Hoa juga ternyata menerima maka keduanya mabok dalam bahagia dan kecup atau ciuman sayang.
"Aku mencintaimu. Aku akan menjagamu melebihi jiwaku sendiri!"
Mei Hoa menangis penuh haru. Dicium dan dipeluk mesra begitu gadis ini merasa bahagia. Ituchi mencintanya dan terdapatlah seorang laki-laki yang akan melindunginya. Dan karena cinta sudah bersambut sementara perjalanan tetap diteruskan maka Thai Liong tersenyum di belakang dan diam-diam iri namun senang bahwa Mei Hoa akhirnya mendapatkan seorang pelindung, karena betapapun tak mungkin baginya harus terus-menerus mengawasi atau menjaga gadis itu selamanya!
Sudah lama kita tak mengikuti Soat Eng. Ke manakah gadis itu setelah pergi meninggalkan ayah ibunya? Mungkinkah dia ke Sam-liong-to? Tidak. Gadis ini, sebagaimana diketahui amat marah dan dendam sekali dengan kematian kakeknya. Tewasnya Hu-taihiap membuat gadis itu ingin mencari dan menemukan si pembunuh sampai dapat. Dan karena pembunuh itu sudah diketahui karena dia bukan lain adalah See-ong maka Soat Eng ingin mencari dan menemukan kakek ini.
Tapi gadis itu tak gegabah. Kehebatan dan kesaktian See-ong sudah diketahuinya, bahkan dia harus mengakui kelihaian kakek itu dengan ilmunya Hek-kwi-sut, ilmu yang membuat kakek iblis itu dapat menghilang dan semua pukulan-pukulannya sia-sia menghantam kakek itu. Dan karena See-ong sudah diketahui memiliki kepandaian amat tinggi dan di Sam-liong-to sana juga berjaga-jaga lima Iblis Dunia maka Soat Eng tak ke sana dulu karena pikirannya tiba-tiba teringat pada pencuri Cermin Naga.
Pencuri itu sudah ditemukan, sayang tak dapat ditangkap dan mengenakan kedok pula, hingga siapa dia tak dapat diketahui. Namun karena ciri-cirinya sudah diketahui dan pencuri itu merupakan seorang pemuda tinggi besar seperti yang dikatakan uwak Lu maka Soat Eng mencari dan tentu lebih mengenal karena dia sudah bertempur dengan pencuri itu.
Namun mencari pencuri ini tidak mudah. Meskipun gadis itu telah bertanding dan mengenal ciri-ciri lawan lebih baik namun bukanlah hal gampang untuk menemukan musuhnya itu. Dulu musuhnya itu lari setelah Siang Le datang membantu. Dan teringat Siang Le tiba-tiba muka Soat Eng menjadi merah. Hm, pemuda itu! Soat Eng berdebar. Pandang mata sikap Siang Le tak dapat disangkal diam-diam menggetarkan jiwanya. Kalau saja pemuda itu bukan murid See-ong, yang telah membunuh kakeknya barangkali dia akan mudah tergetar dan tak keruan.
Maklumlah, pandang mata pemuda itu sudah menyiratkan segalanya dan Soat Eng tentu saja bukan gadis bodoh. Puteri Pendekar Rambut Emas ini telah berusia delapan belas tahun, usia yang cukup bagi seorang gadis remaja yang telah menginjak dewasa. Dan karena dia bukannya tidak tahu akan sikap dan pandang mata pemuda itu maka diam-diam Soat Eng merasa panas pipinya kalau teringat sikap atau pandang mata pemuda itu. Tapi Siang Le adalah musuhnya. Guru pemuda itu telah membunuh kakeknya. Dan karena gurunya musuh maka muridnya juga musuh!
Soat Eng mengepalkan tinju. Teringat Siang Le dikerangkeng di tempat ayahnya sana diam-diam dia tersenyum mengejek. Rasakan kau, pikirnya. Kalau gurumu datang maka ayah atau ibunya pasti menyambut hangat. Dan See-ong barangkali dapat dibunuh, setidak-tidaknya, dihajar! Dan karena See-ong diharap datang mengambil muridnya dan gadis ini ingin menelusuri jejak si pencuri Cermin Naga maka ke situlah tujuan gadis ini melakukan perjalanannya.
Sebulan dua bulan tak ketemu dan gadis itu segera saja menarik perhatian banyak orang, terutama laki-laki dan khususnya kaum pemuda. Banyak yang coba mengganggunya namun siapa yang dapat menghadapi gadis lihai ini? Sebagai puteri Pendekar Rambut Emas yang memiliki kepandaian tinggi tentu saja gadis itu tak perlu takut. Yang coba-coba mengganggu pasti dihajar, kalau nekat akan diberi hukuman berat. Dan karena di setiap perjalanan gadis itu dapat menyelesaikan persoalannya sendiri karena akhirnya tak ada laki-laki atau pemuda hidung belang dapat mengganggunya maka tibalah gadis ini di daerah selatan, di kota Wu-nien.
Waktu itu, Soat Eng merasa lapar dan haus. Tak ada pedang atau senjata apa pun di pinggangnya membuat banyak mata kembali mengganggunya. Dia merasa sebal tapi lama-lama mulai biasa. Memang, kalau ada pedang atau senjata lain di tubuhnya orang akan cepat mengenal dirinya sebagai gadis kang-ouw. Tapi Soat Eng tak menyukai segala macam senjata.
Baginya tangan dan kakinya itulah senjata yang ampuh. Kalau ada yang coba-coba main dengannya tentu dia akan menghajar keras. Dan ketika siang itu dia memasuki sebuah rumah makan dan duduk memesan minuman atau makanannya, seorang diri, maka kedatangan atau kehadirannya ini segera menarik perhatian seluruh laki-laki yang ada di situ.
Soat Eng sebenarnya sudah memilih di tempat yang aman, di pojok dan sedikit tersembunyi di balik halangan pot-pot bunga yang besar. Tapi karena mata lelaki biasanya tajam dan kaum hidung belang atau laki-laki iseng selalu tertarik dan suka kepada hal-hal begini, gadis yang seorang diri dan duduk menyepi maka tiba-tiba beberapa orang bangkit berdiri dan sengaja pindah ke dekat gadis itu memesan makanan atau minumannya.
"Ha-ha, tempat ini panas. Aih, aku ingin yang di dekat jendela situ, segar!"
"Hm, dan aku juga, Hok-twako. Rasanya di sini kurang angin dan duduk di dekat pot-pot bunga memang sejuk. Aku juga ingin di situ!"
Soat Eng mengerutkan kening. Dua laki-laki tiba-tiba berdiri dari kursinya yang jauh untuk duduk di dekat mejanya, disusul beberapa laki-laki lagi yang nyengir dan tersenyum-senyum. Dan ketika tak kurang dari tujuh laki-laki berada di situ semua dan masing-masing meminta arak untuk menambah semangat maka Hok-twako, laki-laki pertama yang tinggi besar dan berewokan tampak berkata pada temannya yang melirik-lirik Soat Eng.
"Ha-ha, dekat pot bunga dikerumuni kumbang-kumbang jantan agaknya sang bunga tinggal memilih mana yang dia suka, A-shan. Kumbang yang sini atau kumbang yang sana!"
"Ah, kalau aku pasti kumbang yang sini. Kantongmu tebal, uangmu banyak. Kau bisa memberikan banyak kebahagiaan pada sang bunga!"
"Ha-ha, cocok. Di kantongku ada seribu tail perak, A-shan. Umpama kuborong semua makanan di sini tentu cukup untuk dua ratus orang!"
"Tapi mereka rupanya juga punya kelebihan. Hm, kumbang-kumbang di kiri kanan kita agaknya juga gemuk-gemuk, Hok-twako. Kau harus dapat menunjukkan kelebihanmu untuk memenangkan ini!"
"Hm, si kurus bermulut tikus! Bagaimana ada hewan-hewan begini menyebalkan di tempat ini, Beng-heng (kakak Beng)? Apakah mereka perlu digebah atau kita yang harus menyingkir?" tiga laki-laki, seorang di antaranya berbaju hitam tiba-tiba berseru memotong percakapan Hok-twako dan temannya itu. Laki-laki ini melotot ke arah mejanya namun tangan menggoyang-goyang ke arah meja si Hok-twako, seolah jijik atau ingin mengusir tikus atau lalat-lalat di meja laki-laki tinggi besar itu, yang temannya baru saja bicara.
Dan ketika si kurus melotot karena dialah satu-satunya yang terkurus di situ di antara mereka bertujuh dan tentu saja dia merasa omongan si baju hitam itu ditujukan kepada dirinya maka laki-laki ini bangkit dan membentak si baju hitam itu. "He, kau! Kepada siapa kau tujukan makianmu itu? Kepadaku kah?" "Eh," si baju hitam acuh, menoleh tapi membuang ludah. "Kau marah kepada siapakah? Kepadaku kah?"
Omongan ini jelas dibalik. Si kurus mencak-mencak tapi pelayan segera datang, meletakkan cawan dan arak dan berhentilah sejenak ribut-ribut itu. Dan ketika pelayan ganti meletakkan araknya di meja si baju hitam maka setengah berbisik pelayan ini berkata,
"Maaf, jangan ribut-ribut, siauw-ya (tuan muda). Kalian semua adalah tamu-tamu kami. Di luar ada pengawal!"
Si baju hitam mendengus. Secara tiba-tiba muncul bayangan-bayangan pengawal, semacam satpam atau penjaga rumah makan itu, rupanya sengaja hadir untuk menjaga ketenangan rumah makan ini, agar tak terganggu atau terjadi ribut-ribut. Dan ketika si baju itu mendengus dan temannya di sebelah kiri tertawa tiba-tiba temannya ini berseru, tangan bergerak menekan pundak sang pelayan,
"He, kau! Tak usah kau khawatir, pelayan. Kami Kwi-san Sam-houw (Tiga Harimau dari Kwi-san) tak pernah ribut-ribut kalau tak didahului. Pergilah, dan bawa setail emas ini untuk bersenang-senang!"
Si pelayan terkejut. Dengan royal dan pongah teman si baju hitam itu memberinya sekeping emas, hal yang membuat bukan hanya pelayan ini saja yang terbelalak melainkan si kurus yang menjadi teman si Hok-twako itu juga terkejut. Kepingan emas itu berharga kira-kira seratus tail, jadi seratus kali lipat dengan uang biasa! Tapi ketika pelayan itu menerimanya dan tersenyum membungkuk-bungkuk maka pelayan ini memutar tubuhnya berucap gembira,
"Aih, terima kasih, siauw-ya. Kiranya kalian adalah Kwi-san Sam-houw!"
Si kurus terbelalak. Keroyalan dan sikap teman si baju hitam ini yang jelas mengalahkan sikapnya tiba-tiba membuat si kurus ini marah. Dia mau berdiri dan menandingi, tapi sebelum dia mengeluarkan suara tiba-tiba dua laki-laki terakhir yang duduk di meja bundar mendadak batuk-batuk.
"Haihh, uang curian dari mana sebanyak itu, Kiat Ma? Tahukah kau pelayan itu menerima uang haram?"
"Ha-ha, tak usah digubris. Uang haram juga kita punyai, suheng. Kalau mereka mempunyai uang-uang emas kita lebih-lebih lagi. Lihat... cring-cringg!" uang-uang emas berhamburan, tiba-tiba saja dikeluarkan dan sepundi-pundi uang penuh bergemerincing di atas meja. Sekarang dua laki-laki terakhir di meja sebelah tertawa-tawa memandangi uang-uang itu, yang gemerlapan dan tentu saja membuat orang-orang yang tak biasa menjadi mengilar penuh nafsu.
Dan ketika Kwi-san Sam-houw terkejut dan terbelalak memandang kepingan-kepingan emas itu, seperti halnya si kurus dan temannya yang bernama Hok-twako maka laki-laki yang dipanggil Kiat Ma ini berseru, memanggil pelayan, "He, kau ke sini dulu. Aku juga ingin memberikan hadiah!"
Pelayan tertegun. Dengan tergopoh dia buru-buru berputar, membalik dan menyeringai menghampiri tamunya itu, kaki berjingkat-jingkat dan tampak betapa haus matanya. Soat Eng sendiri juga tertegun dan terbelalak melihat uang sedemikian banyak di meja si Kiat Ma. Dan ketika si pelayan datang mendekat dan tiga orang satpam di luar sana juga menoleh dan terkejut maka si Kiat Ma ini sudah meraup uangnya dan memberikan segenggam pada si pelayan!
"Ha-ha, kau beruntung. Nih, terima ini tapi keluarkan sebotol besar arak yang paling harum!"
"Terima kasih... terima kasih...!" si pelayan mengangguk-angguk, rakus menerima uangnya dan Kiat Ma berkata agar uang itu jangan sampai hilang. Dan ketika si pelayan membalik dan tergopoh-gopoh berlari ke belakang maka uang segenggam itu sudah dimasukkannya ke dalam saku, mengambilkan arak sesuai permintaan tamunya dan tiga satpam di luar mengilar. Mereka itu juga dipanggil dan satu demi satu diberi seraup kepingan emas, perbuatan yang jauh lebih royal lagi dibanding teman si baju hitam. Dan ketika semua terbelalak dan terkejut melihat itu maka Kiat Ma ini menepuk-nepuk pundak orang-orang itu ketika pergi.
"Hati-hati, jangan sampai hilang. Atau kalian kuwalat dan uang-uang itu akan berubah bentuknya menjadi kerikil!"
Rumah makan ini geger. Keroyalan luar biasa yang ditunjukkan Kiat Ma ini jelas mengundang kegaduhan sepihak. Hok-twako dan temannya serta tiga orang Kwi-san Sam-houw terkejut. Dan ketika sisa uang di atas meja diraup kembali untuk dimasukkan ke dalam kantung maka laki-laki bernama Kiat Ma itu tiba-tiba bangkit berdiri dan pergi ke meja Soat Eng.
"Nona, maaf. Hari ini kebetulan kami punya kaul. Kami ingin membayarnya. Setelah kami memberikan sebagian uang kami kepada mereka-mereka itu maka giliranmu uang ini kuberikan. Kami sudah berjanji bahwa gadis pertama akan mendapatkan sisa uang ini. Dan karena kau yang kami temui maka kami hendak memberikannya padamu. Terimalah!"
Soat Eng terkejut. Dia mau menolak tapi ragu, tadi melihat sesuatu dilakukan laki-laki ini. Maka ketika semua uang sudah diletakkan di mejanya dan dia mengangguk dingin, tidak mengucap terima kasih maka laki-laki itu tertawa dan mundur lagi ke mejanya.
"Ha-ha, hebat. Nona ini lain dari yang lain!"
"Tapi kau belum menanya namanya," sang suheng, temannya, menegur. "Kau tak tahu kepada siapa kau berikan uangmu itu, Kiat Ma. Hayo kembali dan tanya dia!"
"Aih, lupa. Kau benar!" dan Kiat Ma yang kembali ke meja Soat Eng dan tertawa-tawa menjura lalu berkata, memandang uangnya yang masih di atas meja, sama sekali belum disentuh Soat Eng. "Maaf, aku ingin bertanya siapa kau, nona. Kalau aku sendiri adalah Kiat Ma, itu suhengku Lu Sam!"
"Hm, aku tak ingin kau tahu. Kalau kau tak puas boleh ambil kembali uangmu ini. Silahkan!"
"Eh, nona tak mau?"
"Tak usah banyak cakap, orang she Kiat. Kau tak usah tahu aku dan aku juga tak ingin tahu dirimu. Aku tak butuh uang, kalau kau mau ambil boleh ambil lagi!"
"Ha-ha, ini istimewa!" si Kiat Ma tertawa bergelak. "Kau betul, nona. Kalau kau tak suka tentu saja aku tak akan memaksa. Sudahlah, itu milikmu dan tak akan kuambil kembali!"
Dan laki-laki ini yang mundur dan duduk di sebelah temannya tiba-tiba disusul suara ribut-ribut di pihak Kwi-san Sam-houw, yang berdiri dan terbelalak memandang pundi-pundi di atas meja Soat Eng dan tiba-tiba si baju hitam melompat, marah dan membentak menyambar kantung uang itu dan tentu saja Soat Eng tak tinggal diam. Gadis ini mengira si baju hitam hendak merampas, merampok di rumah makan. Dan ketika Soat Eng mendahului menyambar kantung itu dan tubrukan atau terkaman si baju hitam tentu saja luput maka laki-laki ini berseru,
"Hei, itu punya kami. Kantung dan uang itu punya kami!"
"Benar!" temannya berkelebat maju. "Berikan itu pada kami, nona. Entah bagaimana si Kiat Ma itu mencuri milik kami... wut-wut!" dua laki-laki menyambar, semuanya merebut pundi-pundi di tangan Soat Eng dan gadis itu marah. Maka ketika lawan mengulurkan tangannya dan pundi-pundi siap direbut tiba-tiba gadis ini membentak dan tiga orang itu terpelanting terkena kepretan atau tamparan jari-jarinya.
"Kalian tikus-tikus busuk. Pergilah... plak-plak-plak!"
Tiga orang itu terpekik. Mereka tak menyangka bahwa 'kembang' yang halus ini begitu berduri, keras dan menyengat mereka. Namun ketika mereka bergulingan melompat bangun dan si baju hitam marah dan membentak lagi tiba-tiba dia sudah maju menyerang sementara dua temannya juga menubruk dan menyambar pundi-pundi di tangan Soat Eng.
"Itu milik kami!"
"Benar, dan serahkan pada kami!"
Dan tiga orang itu yang susul-menyusul menyerang Soat Eng tiba-tiba menggerakkan tangannya dan enam lengan terulur panjang, menjangkau atau coba merebut uang di tangan gadis itu dan Soat Eng tentu saja naik darah. Gadis ini masih menganggap bahwa orang-orang itu mau mencari onar, merampas dan coba merampok di rumah makan. Maka begitu ia berkelebat dan mengeluarkan satu bentakan nyaring tiba-tiba gadis ini lenyap membagi-bagi pukulan atau tendangannya.
"Bedebah, kalian benar-benar kurang ajar...plak-des-buk!"
Dan tiga orang itu yang terlempar serta terguling-guling dengan seruan kaget tiba-tiba sadar seolah bertemu setan di siang bolong. Sadar bahwa gadis ini kiranya bukan makanan empuk, bukan wanita sembarangan dan mereka tentu saja pucat. Namun karena dua gebrakan itu tidaklah cukup karena orang-orang macam Kwi-san Sam-houw ini tak akan sudah kalau belum dihajar berat maka mereka membentak dan menyerang lagi, kini mencabut golok mereka dan rumah makan itu tiba-tiba saja berubah menjadi ajang pertarungan.
Apa yang semula tenang sekonyong-konyong gaduh, bentakan-bentakan atau seruan panjang serta marah tak berhenti diserukan. Tiga senjata berkelebat pula menuju tubuh Soat Eng. Namun karena gadis ini adalah puteri Pendekar Rambut Emas dan nama Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas dimalui orang kang-ouw maka begitu gadis ini membentak dan menghilang dengan cepat tahu-tahu senjata atau golok di tangan tiga orang itu mencelat beterbangan.
"Hei.... plak-des-dess!"
Tiga orang itu terbanting. Cepat bagai kilat menyambar gadis ini telah menyelesaikan pertarungan, tiga orang itu merintih-rintih dan Kwi-san Sam-houw tampak menggigil memandang gadis ini. Tangan atau kaki mereka patah-patah ditekuk atau dilipat gadis itu, yang tadi menerima senjata mereka dan golok di tangan mereka mental bertemu jari-jari yang halus itu. Dan ketika jari-jari itu masih menyambar ke depan dan tanpa dapat dicegah lagi satu per satu mereka semua dilipat atau ditekuk sikunya maka tiga orang itu roboh bergelimpangan bagai babi-babi disembelih.
"Aduh, tobat.... ampun!"
"Aduh, mati aku...!"
"Celaka, kita bertemu orang kuat, twaheng. Kita sial!"
Soat Eng sudah duduk di kursinya lagi. Tadi dengan Jing-sian-engnya yang luar biasa dia berkelebatan di antara tiga orang itu, memberi hajaran dan kali ini mematah-matahkan siku mereka. Kwi-san Sam-houw tentu saja pucat dan merintih-rintih, mereka tak dapat menyerang lagi. Dan ketika semuanya selesai dan tiga satpam di luar berteriak tertahan berlarian masuk maka mereka tertegun melihat tiga laki-laki yang sudah dihajar puteri Pendekar Rambut Emas ini.
"Lempar mereka keluar, jangan mengganggu makanku!"
Bentakan itu cepat disambut anggukan. Tiga penjaga ini menyeret tiga orang Kwi-san Sam-houw itu dan masing-masing memaki. Tapi ketika mereka berada di luar dan berteriak kaget tiba-tiba ketiganya meraba-raba isi kantung dan kebingungan dengan muka berubah, disusul teriakan atau jeritan pelayan yang tadi diberi segenggam uang emas.
"Hei, uangku hilang. Uangku hilang!"
"Benar, punya kami juga, A-tong. Uang kami juga hilang!"
"Dan ini... ah, kerikil! Bagaimana uangku tiba-tiba berubah? Aih, uangku berganti bentuk, A-sui. Kantung ini masih ada tapi uangnya sudah berganti!"
Tiga penjaga itu pucat. Mereka sama-sama memperlihatkan isi kantung yang kerikil semua. Uang emas tak ada lagi di situ dan si pelayan menggerung-gerung. Rejeki yang mereka terima mendadak lenyap tanpa bekas, entah bagaimana tiba-tiba semua uang yang mereka terima sudah berganti ujud dengan kerikil, barang yang tidak berharga lagi. Dan ketika pemilik restoran datang terbata-bata dan laki-laki gemuk itu terbelalak memandang pelayannya yang bergulingan maka di sana Kwi-san Sam-houw tiba-tiba menuding Kiat Ma dan temannya itu.
"Mereka itu Copet Jari Seribu. Hei, bekuk dan tangkap saja dua laki-laki itu, manusia-manusia tolol. Mereka telah mempermainkan kita semua dan mengadu kami dengan siluman betina ini!"
"Benar!" si baju hitam sadar. "Kami tertipu, penjaga. Tangkap dan bunuh dua Copet Seribu Jari itu. Merekalah yang mengambil kembali uang kalian!"
"Dan uang itu sebenarnya milik kami!" teman si baju hitam menyambung. "Tangkap dan bekuk dua laki-laki itu, manusia-manusia tolol. Nanti separoh uang kami boleh kalian miliki!"
"Ha-ha, si pelantur!" Kiat Ma, yang dituding tiba-tiba bangkit berdiri. "Kami tak tahu-menahu uang kalian, penjaga. Dan salah kalian kalau sampai hilang. Tadi sudah kuperingatkan, kenapa ceroboh? Eh, hajar saja tiga orang itu, nanti kuberi lagi. Lihat.... cring-cring!" laki-laki ini memperlihatkan pundi-pundi uangnya yang lain, tertawa bergelak dan tiga satpam itu bingung.
Mereka jadi ragu dan tentu saja kacau. Tapi karena bayangan emas membuat mata menjadi hijau dan mereka sepakat untuk mendapatkannya lagi dengan menghajar tiga orang di luar itu tiba-tiba Kwi-san Sam-houw dibentak dan dimaki-maki, mendapat gebukan.
"Kalian pengacau, kalian orang-orang liar. Barangkali kalianlah pencurinya dan terimalah sekarang hajaran kami.... bak-bik-buk!" dan tiga satpam itu yang memukul serta menendang tiba-tiba menuruti kata-kata Kiat Ma, tak jadi percaya pada omongan Kwi-san Sam-houw dan jadilah tiga orang itu sasaran empuk dari hujan pukulan atau tendangan. Dan ketika mereka semakin kesakitan dan mengaduh dipukuli tiga orang penjaga ini maka di sana Kiat Ma tertawa-tawa dan mengisi cawan araknya.
"Ha-ha, sepuluh gebukan untuk masing-masing emas. Siapa paling banyak dialah paling beruntung!"
Tersiksalah Tiga Harimau Kwi-san itu. Mereka sebelumnya sudah dihajar Soat Eng, tak dapat mengelak atau menangkis karena tangan atau kaki mereka patah-patah. Tapi ketika tiga satpam itu terus menghujani pukulan dan Soat Eng mengerutkan kening tiba-tiba gadis ini melempar tiga biji sumpit yang tepat sekali terbang menyambar menotok pergelangan tangan tiga orang penjaga ini.
"Berhenti, kalian mundur!" Lalu ketika tiga orang itu berteriak dan terpelanting mengaduh-aduh maka Soat Eng berdiri dan menuju ke meja si Copet Berjari Seribu. "Kau suka menyiksa orang?" tanyanya. "Kau juga suka disiksa?"
"Eh-eh!" laki-laki ini terkejut. "Nanti dulu, nona. Aku tak mengerti omonganmu. Aneh sekali kata-katamu ini. Siapa suka menyiksa dan disiksa? Aku hanya membalas kelakukan tiga orang itu, atau aku yang bakal celaka kalau tidak pandai-pandai menyelamatkan diri!"
"Benar," teman satunya, sang suheng, maju bicara, membantu. "Kau jangan marah-marah dulu, nona. Kami berdua bukan pencuri atau pencopet. Atau, kalau pun kami pencopet maka uang yang dimiliki tiga orang itu jelas lebih haram dibanding uang hasil copetan kami. Kau tenanglah, sabar dulu!"
Soat Eng tertegun. Bicara orang yang demikian mapan dan cengli (masuk akal) membuatnya melengak juga. Soat Eng berhenti dan tidak jadi marah. Dan ketika gelagat itu dilihat si Kiat Ma dan laki-laki ini tertawa maka dia mengangkat jempolnya.
"Betul, kalau kami copet maka penjahat atau perampok macam mereka itu jauh lebih ganas, nona. Mereka memiliki uang dari hasil rampokan atau rampasan. Ha-ha, dan kau tadi sudah membuktikannya. Lihat betapa kasar mereka itu waktu menyerangmu!"
"Nah," si suheng bicara lagi, melihat Soat Eng mulai termakan. "Kami tak dapat dibandingkan dengan mereka itu, nona. Dan terus terang mereka adalah pemfitnah!"
"Dan sepatutnya mereka ditendang, atau dibunuh!"
"Tidak, jangan!" si baju hitam berteriak. "Kami tak pernah merampok atau melakukan kejahatan lain, nona. Dua orang itulah yang licik dan curang. Mereka si Copet Seribu Jari. Awas kaupun menjadi korbannya!"
"Ha-ha!" Kiat Ma tertawa. "Aku bukan pencopet atau orang yang berjari seribu, Sam-houw (Harimau Ketiga). Kau harap tidak mencari-cari atau nona ini akan menghukummu!"
"Sudahlah," Soat Eng membentak. "Kalian semua hanya mengganggu makanku saja. Nih, aku tak mau menerima uangmu tapi harap rekeningku kalian bayar!" Soat Eng melempar uang si Kiat Ma, sejak tadi memang tak tertarik dan laki-laki ini bengong. Namun ketika dia menerima kembali uangnya itu dan Soat Eng mendengus maka gadis ini berkelebat dan pergi menghilang. "Kalian tak usah mencari gara-gara. Atau aku akan menghajar kalian kalau berani coba-coba mengganggu wanita!"
"Hei!‖ Kiat Ma berteriak. "Tunggu, nona. Ada sesuatu yang ketinggalan!"
Soat Eng berkelebat datang. Bagai siluman atau hantu.saja tahu-tahu dia telah muncul kembali di depan laki-laki ini, yang terkejut tapi tentu saja kagum. Dan ketika Soat Eng bertanya apa yang ketinggalan maka Kiat Ma menyeringai dan menjura.
"Ini, tertinggal di meja...."
Soat Eng tertegun. Peniti emasnya, yang menjadi hiasan bajunya tahu-tahu telah berada di tangan si Kiat Ma ini. Laki-laki itu menyerahkannya dan berkata bahwa agaknya dalam pertandingan tadi peniti emas itu terjatuh, diterima dan Soat Eng tertegun. Tapi ketika gadis ini mengangguk dan menerima peniti miliknya maka laki-laki itu tertawa dan menepuk pergelangan tangannya.
"Nah, silahkan kau pergi, nona. Tapi harap hati-hati agar lain kali tidak ada barang milikmu yang lepas. Nanti malam di tengah kota akan ada perayaan pesta pengantin Lauw-wangwe (hartawan Lauw). Kalau kau ingin mencari kami tentu kita dapat bertemu di sana!"
"Huh!" Soat Eng mendengus. "Untuk apa mencari mukamu? Kau jangan ceriwis, orang she Kiat. Terima kasih tapi tak usah kau merayu!" Soat Eng berkelebat, pergi meninggalkan orang she Kiat ini tapi tiba-tiba sang suheng kini berteriak. Entah bagaimana di tangan laki-laki itu juga ada sebuah kancing baju milik Soat Eng, dari emas. Dan ketika Soat Eng berhenti dan membalikkan badannya maka suheng si Kiat Ma ini tertawa.
"Maaf, aku lupa ini, nona. Tapi barangkali ini juga milikmu. Apakah benar?"
"Dari mana kau mendapatkannya?"
"Dari lantai, jatuh. Barangkali juga punyamu dan maaf aku memanggilmu sejenak."
"Hm!" Soat Eng merah mukanya. "Itu memang punyaku. Kembalikan dan terima kasih!" Soat Eng menyambar, berkelebat menghilang dan kancing baju serta peniti emasnya sudah di tangan. Dia terheran tapi tidak curiga bagaimana dua benda miliknya itu bisa terlepas, barangkali benar memang jatuh. Dan karena perutnya sudah diisi sementara haus juga sudah tidak mengganggu kerongkongannya lagi maka Soat Eng bermaksud meneruskan perjalanan dan tentu saja tidak memenuhi undangan si Kiat Ma, menganggap laki-laki itu main-main dan mau kurang ajar saja.
Tapi ketika dia melihat bahwa di tengah kota benar terjadi keramaian sebuah pesta maka gadis ini tertarik dan berhenti. Bukan kepada keramaian atau lalu-lalang orang-orang yang hilir mudik melainkan oleh adanya panggung lui-tai, tempat di mana biasanya orang-orang gagah mengadu ilmu, silat atau kepandaian. Dan karena sebagai orang kang-ouw dia tertarik kepada hal-hal macam begini maka Soat Eng terbelalak ketika tiba-tiba melihat adanya si kurus dan Hok-twako itu, temannya, yang tadi bertemu di rumah makan!
"Aih, ketemu lagi, nona. Selamat jumpa!"
Soat Eng tertegun. Tadi dua orang ini akhirnya tidak menjadi perhatiannya karena perhatian tertuju pada Kwi-san Sam-houw, juga Kiat Ma dan suhengnya itu, orang-orang yang mengalihkan perhatiannya pada Hok-twako dan si kurus ini. Dan ketika si kurus itu menyapanya dan Soat Eng tentu saja tertegun maka si brewok, Hok-twako itu menjura padanya penuh hormat, tak ceriwis lagi.
"Nona, maafkan kami tadi. Kami hanya sekedar main-main. Jangan kau marah dan kebetulan kita bertemu lagi di sini. Apakah ada sesuatu yang hilang dari tubuhmu?"
"Apa maksudmu?" Soat Eng membentak, tak memberi hati.
"Maaf, berdekatan dengan Jing-ci-cu-siang (Sepasang Copet Berjari Seribu) seperti tadi amatlah berbahaya, nona. Kami ngeloyor pergi setelah tahu bahwa mereka itu si Copet Jari Seribu. Kami ingin memperingatkan bahwa jangan dekat-dekat dengannya, atau ada bagian milikmu yang bakal hilang! Adakah sesuatu yang hliang dari nona?"
"Tidak," Soat Eng tertegun. "Tapi aku tak takuti si Jari Seribu atau si Jari Sejuta, orang she Hok. Aku tak merasa ada sesuatu yang hilang!"
"Kalau begitu syukurlah. Dan maaf kami pergi."
Soat Eng tersenyum mengejek. Dua orang itu melangkah pergi setelah si brewok kembali membungkuk, agaknya gentar dan takut setelah melihat Soat Eng menghajar Kwi-san Sam-houw, begitu mudahnya. Dan ketika dua orang itu pergi dan Soat Eng melihat-lihat sekitar pibu maka di ujung jalan dia bertemu seorang pengemis yang menenggak arak.
"Ha-ha-heh-heh! Ini perayaan aneh. Kenapa Lauw-wangwe mengundang segala macam kurcaci-kurcaci untuk meramaikan pesta pernikahan anaknya? Bukankah lebih baik mengundang kami para pengemis-pengemis ini untuk diberi makan yang cukup? Aih, tak panjang umurmu, Lauw-wangwe. Kau tak tahu penderitaan orang kecil dan maumu hanya bersenang-senang saja. Haram jadah, umurmu tak bakal panjang!"
Lalu, terhuyung dan menenggak araknya hingga tumpah di sisi mulutnya kakek ini berjalan dan berpapasan dengan Soat Eng, tiba-tiba menyembur ke kiri dan arak menyemprot tajam. Soat Eng hampir terkena kalau tidak berkelit ke kiri, cepat sekali. Dan ketika kakek itu terbelalak dan tampaknya kaget bahwa baru saja dia menyembur seseorang maka dia membungkuk dan tertawa-tawa.
"Maaf.... maaf.... aku si tua bangka bermata lamur, nona. Tapi janggal rasanya melihat seorang gadis diseputar lui-tai! Apakah kau orang undangan Lauw-wangwe? Atau kau teman kurcaci-kurcaci itu?"
"Siapa kurcaci yang kau maksud?" Soat Eng tertindas rasa marahnya oleh heran. "Dan kenapa kau memuji orang she Lauw itu agar tidak berumur panjang?"
"Ha-ha, kalau begitu kau orang baru!" kakek ini malah terbahak. "Bagus, nona. Kalau begitu kau pergilah cepat-cepat atau semua bakal kacau di sini. Aih, malam ini bakal gempar. Segala maling dan rampok berkumpul di sini, juga copet. Ha-ha, sebaiknya kau pergi dan jangan dekat-dekat tempat ini!" dan terhuyung melangkah cepat kakek itu sudah meninggalkan Soat Eng, yang tertegun.
"Hei!" gadis itu berseru. "Tunggu dulu, lo-kai (pengemis tua). Aku ingin minta keterangan!" dan berkelebat di depan kakek itu tahu-tahu Soat Eng sudah menghadang jalan.
"Kau mau apa?" kakek ini terkejut. "Apalagi yang ingin kau ketahui dari aku si pengemis tua?"
"Aku ingin tahu tentang maling dan copet, lo-kai, juga rampok! Apa yang akan terjadi dan siapa pula kau ini!"
"Ha-ha, aku si pengemis tua. Kau sudah menyebutnya tadi...! Kenapa bertanya dan ingin tahu? Eh, aku tak tahu apa-apa lagi, nona. Aku lupa dan pikun!" kakek itu terkekeh, pergi meninggalkan Soat Eng dan sudah memutar tubuhnya. Dan ketika dia menenggak arak dan tidak perduli lagi pada kiri dan kanan maka Soat Eng menjublak dan mendongkol.
Melihat kakek itu benar-benar tak menghiraukan dirinya lagi dan gadis ini melotot. Tapi karena orang sudah tak mau diajak bicara dan dia tentu saja juga tak mau mendesak maka Soat Eng bermaksud untuk menyelidiki dan mengetahui kata-kata kakek itu, apa artinya itu dan malam ini dia akan menonton keramaian. Siapa tahu pencuri Cermin Naga juga ada di situ, karena si kakek berkata bahwa segala pencuri atau rampok juga akan berkumpul di situ, termasuk copet!
Dan ketika gadis ini mengangguk dan mendesis mengepal tinju tiba-tiba dia berkelebat menunggu datangnya malam. Soat Eng bermaksud mencari tempat peristirahatan di luar kota, tak mau di losmen karena kehadirannya bakal mengundang pandang mata kurang ajar kaum lelaki saja. Tapi ketika dia terbang dan mengingat-ingat wajah si pengemis tua, karena sebenarnya dia ingin bertemu dan bercakap-cakap lagi mendadak sesuatu terasa ringan di jari manisnya.
Soat Eng mula-mula tak sadar. Dia tak memperhatikan semua itu. Tapi ketika pikirannya mengajak ke jari manis karena tiba-tiba saja dia merasa sesuatu yang ringan di jari manisnya itu maka Soat Eng terkejut ketika cincin di jari manisnya tak ada!
"Eh!" gadis ini tertegun. "Ke mana cincinku? Kenapa bisa hilang?" Soat Eng berhenti. Dia memutar dan mencari-cari di situ, siapa tahu barangkali jatuh. Tapi ketika dia tak menemukan cincinnya dan sewaktu merogoh kantung baju mendadak saja peniti emasnya lenyap tiba-tiba gadis ini terkejut dan merah mukanya.
"Keparat, ini tentu perbuatan kalian, Jing-ci-cu-siang. Jahanam kalian, bedebah!" Soat Eng mengepal tinju, marah dan memaki-maki karena segera dia teringat bahwa Kiat Ma dan suhengnya itu pasti berbuat usil. Kiat Ma mengembalikan peniti emasnya tapi mengambil cincin. Dan gusar bahwa mungkin suheng si copet itu mengambil kancing bajunya tapi sekaligus mengambil penitinya, satu perbuatan lihai kaum pencopet yang benar-benar mengagumkan maka Soat Eng terbang dan kembali ke kota!
"Kubekuk kalian nanti, kupatahkan batang leher kalian!"
Namun Soat Eng tak berhasil menjumpai. Si copet yang diduga mengambil cincin dan peniti emasnya tak ada di sekitar tempat itu, juga tak ada di rumah makan ataupun di rumah Lauw-wangwe. Dan ketika Soat Eng marah-marah tak menemukan dua orang itu tiba-tiba kembali dia bertemu dengan si kakek pengemis.
"Ha-ha, ada yang hilang, nona? Kau longok-longok mencari siapa?"
"Wut!" Soat Eng berkelebat, gemetar dengan muka merah padam. "Aku mencari Jing-ci-cu-siang, lo-kai. Tahukah kau di mana mereka berada?"
"Jing-ci-cu-siang? Ha-ha, mereka sudah mengerjai dirimu? Wah, tak ada orang tahu di mana si copet itu, nona. Mereka hanya datang kalau mereka menghendaki. Sebutkan apa yang hilang dan barangkali aku dapat menemukan!"
"Mereka mengambil cincinku, juga peniti emas!"
"Hanya dua itu saja?"
"Ya, itu saja. Tapi sudah cukup untuk aku membunuh mereka!"
"Ha-ha, tak mungkin!" kakek ini tertawa bergelak. "Mereka orang-orang licik dan lihai, nona. Akal mereka panjang dan hidup sekali. Aih, sudah kubilang agar kau tidak dekat-dekat tempat ini. Pergilah dan relakan saja dua barang milikmu yang hilang itu!"
"Hm, aku tak akan pergi!" gadis ini mendengus. "Aku akan mencari mereka itu sampai dapat, lo-kai. Kalau begitu terima kasih dan biar nanti aku kembali lagi!"
Kakek itu terbelalak. Soat Eng sudah berkelebat dan pergi meninggalkannya, lenyap dan hilang seperti siluman saja. Gadis ini mempergunakan Jing-sian-engnya dan tentu saja pengemis tua itu melongo. Tapi ketika Soat Eng lenyap dan kakek itu sadar maka pengemis ini menggelogok araknya dan terbahak.
"Aih, hebat. Gadis itu hebat sekali. Ha-ha, malam ini rupanya keramaian bakalan bertambah ramai lagi!"
Soat Eng tak mendengarkan. Dia sudah pergi sementara kakek pengemis itu juga pergi. Mereka berpisah dan tidak bertemu lagi. Dan ketika malam itu Soat Eng datang dan kembali ke tempat keramaian ini ternyata di panggung lui-tai sudah bergebrak beberapa orang muda yang menunjukkan kepandaian mereka. Malam itu sorak dan teriakan riuh terdengar di tempat hartawan she Lauw ini.
Pengantin belum datang, tamu-tamu yang hadir diberi pertunjukan musik dan pibu atau adu kepandaian di atas panggung lui-tai itu. Dan karena hartawan ini rupanya banyak berkenalan dengan orang-orang dunia kang-ouw karena terbukti dia mendirikan panggung lui-tai dan mungkin juga seorang tokoh yang Soat Eng belum tahu maka bak-bik-buk di panggung lui-tai itu disusul teriakan atau sorak gegap-gempita pengunjung.
"Ha-ha, robohkan lawanmu, Bun Yong. Cekik mampus dan banting dia di panggung lui-tai!"
"Tidak, kau harus bertahan, Hu Ping. Banting dan angkat lawanmu ke atas!"
Soat Eng bersinar-sinar. Dua pemuda tinggi tegap tampak akhirnya berkutat dan saling pegang, masing-masing mencengkeram yang lain untuk dilempar keluar panggung. Dan ketika kawan-kawan mereka berteriak dan memberi semangat maka pemuda di sebelah kiri, yang berbaju kuning tiba-tiba menjegal kaki lawannya dan secepat kilat membanting.
"Bluk!"
Kelompok di sebelah kiri panggung bersorak. Mereka itulah yang menjagoi pemuda ini, yang ternyata bernama Hu Ping. Dan ketika pemuda itu mengejar namun lawan bergulingan menjauh, menyelamatkan dirinya maka pemuda yang dikejar itu menggeram dan meloncat bangun.
"Hu Ping, kau curang. Awas kau!"
Dua pemuda ini sudah saling terkam lagi. Bun Yong, yang dibanting dan dijegal lawannya menjadi marah, dia tadi diteriaki penontonnya agar membanting dan mendahului lawan, tak tahunya lawan menjegal dan dia pun roboh. Namun ketika pemuda itu sudah meloncat bangun dan terjang-menerjang lagi dengan lawannya maka pertandingan berjalan seru namun nampak bahwa Hu Ping bertanding dengan cara cerdik.
Pemuda itu bertanding tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tapi juga otaknya, melihat lawan mulai marah dan beringas. Dan karena kemarahan jelas mengurangi kewaspadaan dan berkali-kali Hu Ping mengelak atau menghindar tubrukan lawan, yang semakin sengit dan marah kepadanya maka Soat Eng yang menonton jalannya pertandingan itu, sambil melihat-lihat kalau Kiat Ma atau suhengnya muncul maka berkelebat sesosok bayangan dan kakek pengemis itu sudah nongkrong di atas pohon, di sebelah gadis ini.
"Ha-ha, kita bertaruh, nona. Siapa yang bakal menang di antara dua orang itu?"
"Aku jelas si baju kuning!" Soat Eng tak ragu, sejenak terkejut tapi girang bertemu kakek ini. "Kau siapa lo-kai? Dan apa taruhanmu?"
"Ha-ha, aku si Bun Yong itu. Taruhanku arak!"
"Kau pasti kalah!" Soat Eng mengejek. "Si dogol itu bertempur tanpa otak, lo-kai. Lawannya lebih cerdik dan pasti menang!"
"Ha-ha, kau tak tahu jalannya liku-liku hidup. Memang masalah kecerdikan si Hu Ping itu lebih cerdik, nona. Tapi masalah nasib sungguh tidak ditentukan pemuda itu sendiri!"
"Apa maksudmu?"
"Kau lihat saja!" dan ketika si kakek terbahak dan menenggak araknya maka dia bertanya apa taruhan gadis itu kalau kalah.
"Kau boleh minta apa saja, yang kupunyai!"
"Ha-ha, kau begitu sombong? Eh, baik, nona. Kalau begitu kita lihat dan taruhan kita adalah siapa yang roboh dan terlempar keluar dari panggung!"
"Tentu, itu artinya kalah menang!" dan karena Soat Eng merasa yakin karena memang perhitungan di atas kertas jelas menunjukkan si baju kuning itu akan menang maka mereka berdua menyaksikan jalannya pertandingan sementara gadis itu bertanya di mana adanya Lauw-wangwe.
"Dia di dalam, menyambut tamu-tamunya yang penting."
"Kau mengenal hartawan itu?"
"Ha-ha, lebih dari mengenal, nona. Orang itu licik tapi luas pergaulannya. Dia juga kenal baik denganku!"
"Kalau begitu kau orang penting, seharusnya kaupun disambut!"
"Ha-ha, aku si jembel miskin, nona. Orang seperti Lauw-wangwe itu memandang rendah kedudukanku. Dia seorang hartawan, sedang aku pengemis!"
"Tapi kau menyatakan mengenalnya baik!"
"Ha-ha, itu memang benar, nona. Tapi... hei, lihat. Si baju kuning roboh!" si kakek menuding.
Soat Eng terkejut karena tiba-tiba terdengar bantingan keras. Hu Ping, yang dijagokan ternyata keok. Pemuda cerdik itu dilempar lawannya dan peristiwa itu mengejutkan Soat Eng. Diajak ngobrol dan kehilangan perhatian tiba-tiba saja Soat Eng sudah melihat jagonya roboh, terbanting dan terguling-guling di sana untuk akhirnya berhenti bergerak, mengeluh. Dan ketika Soat Eng tertegun karena dia tak tahu bagaimana si Hu Ping itu tahu-tahu roboh, karena saat itu dia sedang memandang temannya bicara maka di bawah terjadi ribut-ribut karena penonton atau orang-orang yang menjagokan pemuda baju kuning itu memaki-maki pemuda ini, menggoblok-goblokkannya!
"Ha-ha, aku menang, nona. Secawan arak untuk kekalahanmu. Hayo minum!"
Soat Eng terkejut. Si tua itu sudah memberinya secawan arak, untuk denda atas kalah taruhannya tadi. Dan karena jelas jagonya keok dan kakek itu menang maka Soat Eng mendongkol dan menyambar cawan arak ini. "Glek!" arak itu amblas di perut. "Kau menang, lo-kai. Tapi aku penasaran tak melihat penyebab kekalahan pemuda itu!"
"Ha-ha, masih penasaran? Ayolah, kita bertaruh lagi, nona. Boleh diulang kalau kau tidak takut!"
"Tentu saja aku tidak takut. Aku memang penasaran!" dan Soat Eng yang mengajak bertaruh lagi karena sudah melihat panggung diisi orang baru maka gadis itu menantang. "Ayolah, mereka belum bertanding. Siapa yang akan menang di antara si pendek dan si tinggi itu?"
"Ha-ha, kau sendiri yang mana? Kau boleh pilih dulu, nona. Aku belakangan!"
"Aku si pendek!" Soat Eng melihat gerak kaki yang ringan dari jagonya itu. "Dan kau yang mana, lo-kai? Si tinggi?"
"Ha-ha, tentu, nona. Karena kau sudah memilih si pendek maka aku yang tinggi itu. Hayo, lima banding satu untukmu!"
"Apa? Kau mau mengapit?"
"Ha-ha, aku pasti menang, nona. Dan aku yakin akan kemenanganku itu. Aku akan menenggak lima cawan arak kalau kalah dan kau cukup secawan saja. Berani?"
Soat Eng mengangguk. "Kuterima, dan bukan secawan yang kuminum melainkan juga lima. Hayo, aku tak mau curang dan kita sama-sama adil!" gadis itu mendongkol, tak mau kalah dan tantangan kakek ini disambutnya keras sama keras.
Kakek itu terbahak tapi akhirnya mengangguk-angguk, kagum. Melihat bahwa gadis ini gagah dan ksatria, tak mau curang dan tentu saja sikap yang diperlihatkan itu mengundang rasa suka kakek ini. Dan ketika dipanggung lui-tai dua laki-laki itu sudah berhadapan dan si pendek ternyata menggantikan pemuda baju kuning maka si tinggi yang ternyata merupakan kelompok Bun Yong sudah menyeringai dan tertawa menantang lawannya.
"Sin Cek, kau majulah dan minta berapa jurus kau kurobohkan. Berani kau main-main dengan aku? Ha-ha, kau tidak takut?"
"Hm, tak perlu sombong, Siu Pin. Aku berani menghadapimu karena aku yakin dapat mengalahkanmu. Hayo, kau mulailah dan lihat berapa jurus aku merobohkanmu!"
"Eit, kau besar mulut? Baik, awas, pendek. Lihat seranganku dan jaga jangan sampai tubuhmu kulempar!" si tinggi kurus sudah menyerang, bergerak dan tangan atau kakinya menyambar cepat ke tubuh si pendek ini, yang bernama Sin Cek.
Dan ketika si pendek atau Sin Cek menghindar dan berkelit maka si tinggi kurus mengejar dan menyerang lagi, cepat dan bertubi-tubi dan berteriak atau bersoraklah kelompok kedua pihak. Si pendek lincah berkelit dan gagallah serangan bertubi-tubi si tinggi kurus. Dan ketika si tinggi kurus menjadi penasaran dan mengejar lawan maka si pendek diteriaki agar tidak menghindar saja.
"Hei, balas lawanmu, Sin Cek. Hantam dan seruduk perutnya!"
"Nanti dulu," si pendek tertawa. "Aku belum panas, kawan-kawan. Biarkan lawanku ini mengejar-ngejar aku seperti kucing memburu tikus!"
"Tapi kau akan celaka. Siu Pin memiliki Tangan Besi!"
"Aku tak takut, jangan khawatir!" dan ketika si pendek kembali berkelit dan pukulan Tangan Besi lawannya menghajar lantai maka terdengar suara berderak seakan lantai panggung mau pecah, disusul bentakan-bentakan si tinggi kurus di mana laki-laki ini menjadi marah karena lawan selalu menghindar saja.
Kelincahan gerak kaki si pendek ternyata benar, ringan dan mengagumkan dan Soat Eng berseri-seri. Apa yang dilihat ternyata cocok, laki-laki pendek itu memiliki kelebihan dibanding lawannya. Dan ketika berkali-kali pukulan lawan luput dan hal ini berarti menguras tenaga si kurus maka si pendek mulai melakukan balasan-balasan di mana kaki atau tangannya yang pendek-pendek sering melakukan gerakan-gerakan mencengkeram atau membetot, seperti Kim-na-jiu, ilmu tangkap dan banting.
"Ha-ha, hebat si pendek itu, nona. Tapi sayang, nasibnya juga kurang beruntung!"
"Dia akan kalah? Hi-hik, jangan mengimpi, lo-kai. Si pendek jelas menang gesit dan cerdik. Si tinggi kurus itu pasti terjungkal!"
"Memang benar, tapi sayang keberuntungannya belum sebaik itu. Ha-ha, lihat saja, nona. Meskipun dia membalas tapi tenaga si pendek lemah!"
Soat Eng mengerutkan kening. Memang benar bahwa si pendek mulai mendaratkan beberapa pukulannya di tubuh lawan, terhuyung tapi lawan tidak roboh. Ada kesan tenaga atau pukulan si pendek ini lemah. Dan ketika si pendek sendiri tampak terkejut karena sesuatu yang dirasa aneh mengganggu dirinya maka satu cengkeraman jarinya tiba-tiba berhasil menangkap bahu si tinggi kurus....
"Kau tolong gadis itu. Biar aku merawat jenasah pemuda ini!"
Ituchi mengangguk. Memang membiarkan saja Mei Hoa tersedu-sedu menolong adiknya sendirian adalah tidak baik. Gadis itu terpukul hebat dan salah-salah terkena stress yang berat, himpitan batin. Maka begitu dia mengangguk dan berkelebat membantu gadis ini maka Ituchi sudah menolong dan menyadarkan Mei Ling, menotok sana-sini dan mengurut beberapa syaraf-syaraf tertentu. Gadis itu akhirnya sadar dan tampak bengong, sejenak mengingat-ingat namun tangis dan ciuman encinya menyadarkannya. Dan ketika Mei Ling tertegun namun sadar kembali tiba-tiba wajah gadis ini merah padam.
"Mana dia? Mana binatang itu?"
"Sudahlah, dia sudah lari, Mei Ling. Tak dapat menangkapnya sekarang masih banyak waktu di kesempatan yang lain," Ituchi mendahului, menggenggam lengan gadis ini dan Mei Ling tersentak.
Sentuhan lelaki tiba-tiba seakan menyengatnya, trauma dengan Togura itu belum lenyap dan dia mengipat. Dan ketika lengan itu terlepas dan gadis ini bangkit berdiri maka pandangan penuh dendam tampak bersinar mengerikan. "Akan kucari dia. Kubunuh!"
"Hm, bagaimana kau membunuhnya?" sebuah suara tiba-tiba terdengar di samping gadis ini, suara Thai Liong. "Togura tak dapat kau bunuh kalau kepandaianmu hanya sebegitu, Mei Ling. Dia terlalu lihai dan kejam bagimu!"
"Aku tahu," gadis ini berapi-api, menoleh. "Tapi aku akan mencari dan berusaha membunuhnya, Kim Thai Liong. Atau aku mati dan biar aku mampus!"
"Mei Ling!" sang kakak membentak, terkejut. "Kau jangan bersikap kasar kepada Kim-siauwhiap, adikku. Jelek-jelek dialah yang menolong kita semua!"
"Hi-hik, tapi terlambat juga!" gadis itu tiba-tiba mengejek. "Kim-siauwhiap tak dapat menolong aku, enci. Dan aku juga tak mengharap pertolongannya. Biarlah, noda ini akan kuhapus dengan darah binatang itu atau aku menghapusnya dengan darahku sendiri!" lalu berkelebat dan menahan tangis yang penuh luka tiba-tiba gadis ini tak menghiraukan encinya lagi, membalik dan sudah keluar hutan namun sang enci pun berteriak menahan. Lalu ketika gadis itu disambar dan Mei Ling tertegun maka sang enci menanya,
"Kau mau ke mana?"
"Aku... aku mau ke mana saja."
"Tidak, kau harus bersamaku, Ling-moi. Kau tak boleh sendirian dan jangan bodoh. Kita sama-sama mencari pemuda itu, dan... dan barangkali Kim-siauwhiap atau temannya mau menolong kita!"
"Hm!" Thai Liong mengangguk, cepat maju menjawab. "Itu benar, Mei Ling. Aku dan Ituchi tentu senang membantu kalian. Togura sudah lari, tapi perbuatannya harus dituntut. Marilah, kalian bersama kami lagi dan kita sama-sama mencari pemuda itu!"
"Atau kalian pulang ke kota raja," Ituchi memberi saran. "Togura benar-benar berbahaya, Mei Ling. Terus terang aku sendiri masih bukan tandingannya. Hanya Thai Liong dan keluarganya yang dapat menghadapi pemuda itu!"
Mei Ling menangis. Tiba-tiba encinya mencekal erat lengannya dan tak mau sang adik pergi, Mei Hoa tak membiarkan adiknya pergi dan gadis itupun tak berdaya. Dan karena semua membujuk dan rata-rata menghibur demi kebaikannya sendiri akhirnya gadis itu mengeluh dan merobohkan tubuhnya di dada sang enci, menyerah dan Mei Hoa menangis mendekap adiknya itu. Dan ketika Mei Ling sadar serta tak dapat melepaskan diri dari encinya maka Mei Hoa rupanya terpengaruh kata-kata atau saran Ituchi tadi.
"Baiklah, bagaimana kalau kita pulang ke kota raja, Ling-moi? Bergabung atau bersama paman-paman yang lain di sana?"
"Aku pribadi masih ingin mencari pemuda itu. Tapi kalau enci ingin pulang aku menurut saja."
"Hm, sebaiknya kalian ikut kami, Mei Ling. Sedikit banyak kami dapat memberikan perlindungan. Bagaimana kalau seminggu dua minggu dulu bersama kami? Kalau kalian suka tentu kami tak keberatan. Tapi kalau kalian ingin pulang tentu saja aku juga tak melarang,"
Thai Liong berkata, sebenarnya khawatir melihat sekilas cahaya aneh pada pandangan ganjil Mei Ling, sebenarnya bermaksud mengawasi gadis itu tapi Ituchi rupanya tak setuju. Pemuda ini mengerutkan kening dan memandang Thai Liong, memberi isyarat bahwa dua orang gadis bersama mereka hanyalah merupakan beban saja. Thai Liong mengerti tapi menggeleng kepala dengan rahasia. Dan karena urusan itu lebih dipercayakan pada pemuda ini daripada dirinya maka Ituchi menarik napas dan diam saja tapi Mei Ling rupanya tahu, atau merasa.
"Tidak, kalau begitu... kalau begitu kita pulang saja, enci. Tapi kau berjanjilah bahwa binatang itu harus dibalas!"
"Aku tentu membalas, sebisaku!"
"Kalau begitu kita pulang, mari..." dan Mei Ling yang menarik kepalanya dari dada sang enci lalu mengajak pergi dan tidak memandang dua pemuda itu, melompat dan encinya tertegun tapi cepat mengejar sang adik. Dan ketika gadis itu menangkap lagi adiknya dan berseru pada Thai Liong bahwa mereka akan kembali ke kota raja maka Thai Liong berdetak mengerutkan kening.
"Ah, aku tak enak. Bagaimana pendapatmu, Ituchi?"
"Aku biasa-biasa saja, tak apa-apa."
"Tapi aku tak nyaman. Aku ingin mengikuti mereka itu! Bagaimana pendapatmu?"
"Hm, terserah kau, Thai Liong. Tapi kukira kita harus mencari Togura?"
"Tentu, tapi nanti dulu, Ituchi. Aku ingin mengikuti mereka barang semalam dan setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita lagi!"
"Kalau begitu baiklah, mari..." dan Ituchi yang agak ogah-ogahan tapi memutar tubuh lalu mendahului menyusul Mei Ling kakak beradik, diikuti Thai Liong dan malam itu mereka melihat dua gadis ini kemalaman di tengah jalan, berhenti dan mendapatkan sebuah guha, duduk dan menyandarkan tubuh di situ. Dan ketika Thai Liong menyelinap dan mengintai dengan perasaan yang semakin tak nyaman maka terdengarlah Mei Ling menahan isak dan menanya encinya.
"Enci, kau benar-benar akan membantuku mencari jahanam itu? Kau benar-benar akan membantu membalaskan dendamku pada binatang itu?"
"Ah, berkali-kali kau tanya. Aku tentu membantumu, Ling-moi, sekuat tenagaku. Tapi aku tentu tak dapat membunuhnya kalau hanya seorang diri saja! Pemuda itu amat lihai, kau tahu. Dan tentunya kau maklum kekuatan encimu ini!"
"Ya, aku tahu. Tapi kau tentu tak akan membiarkan aku tetap terhina bukan, enci? Bahwa kau akan membalaskan sakit hatiku dalam keadaan bagaimanapun?"
"Tentu! Tapi, eh... kenapa kau bertanya selalu tentang hal ini? Apakah kau tak percaya pada encimu? Hidup atau mati aku tetap akan mencari pemuda itu, Ling-moi. Membalaskan sakit hatimu yang juga berarti sakit hatiku!"
"Bagus, terima kasih. Kalau begitu, hmm... aku tenang." Dan malam itu Mei Ling yang tidur di samping encinya lalu tidak banyak bicara lagi, tersenyum dan hanya Thai Liong yang melihat pandangan ganjil pada gadis yang sedang terpukul batinnya itu.
Perbuatan Togur memang biadab. Dan ketika malam itu Mei Hoa menangis dan memeluk adiknya, didorong dan ingin tidur sendiri-sendiri maka keesokannya terdengar jerit dan pekikan Mei Hoa. Melihat adiknya sudah membujur kaku dengan muka kebiruan. Mei Ling, yang malam tadi tak mau dipeluk encinya ternyata diam-diam telah menelan pil Maut, yakni pil yang sedianya disiapkan gadis itu kalau sampai terjadi sesuatu, usaha menghindari perkosaan Togura kalau betul pemuda itu melakukannya.
Dan karena pil ini ternyata tak dapat ditelan Mei Ling karena waktu itu lawan menotoknya mendahului dan perkosaan itu terjadi sebelum gadis ini sempat menelan pilnya maka malam itu setelah berulang-ulang meminta janji encinya gadis ini akhirnya bunuh diri! Mei Hoa menjerit dan melolong-lolong melihat keadaan adiknya itu, tubuh yang kaku dan biru dan Thai Liong melompat kaget. Pemuda ini tak tahu dan tak menyangka, berkelebat dan tertegun melihat mayat Mei Ling. Dan ketika Mei Hoa terkejut dan menjerit melihat Thai Liong maka gadis itu menubruk dan tersedu-sedu di pelukan pemuda ini.
"Aduh, adikku... adikku tewas, siauwhiap. Dia bunuh diri!"
"Hm, dia menelan racun!" Thai Liong tergetar, sekali lihat tahu apa yang terjadi. "Bagaimana itu bisa terjadi, Mei Hoa? Kau tak mewaspadai tingkah laku adikmu yang aneh?"
"Aku... aku terlambat. Dia... dia... ah, adikku menelan pil Maut!" dan Mei Hoa yang menceritakan sejenak tentang pil yang mereka bawa berdua lalu membuat Thai Liong tertegun.
Dan Ituchi tiba-tiba berkelebat datang, semalam tidak begitu acuh dan menganggap Thai Liong terlalu mengkhawatirkan kakak beradik itu. Ternyata benar, sekarang Mei Ling tewas dengan muka kebiruan, menelan racun. Dan ketika pemuda itu menjublak dan termangu-mangu maka Mei Hoa membalik dan melepaskan dirinya dari pelukan Thai Liong, menjerit memanggil adiknya namun gadis itu pun akhirnya roboh, pingsan. Dan ketika Thai Liong berkelebat dan Ituchi tertegun maka Thai Liong menolong Mei Hoa dan cepat menyadarkan gadis itu.
"Tenanglah. Maaf, Mei Hoa. Aku sudah menangkap gerak-gerik adikmu yang aneh tapi sungguh tak kuduga kalau dia menelan racun. Ah, aku menyesal, tak dapat menolong. Berhentilah menangis dan biarkan kami berdua membantumu."
Mei Hoa mengguguk berguncang-guncang. Dia terpukul dan berteriak-teriak memanggil adiknya. Namun karena adiknya telah tewas dan tak mungkin kembali tiba-tiba gadis ini mencabut pedang dan mau menusuk dadanya sendiri.
"Plak!" Thai Liong menampar, pedang mencelat dan tentu saja pemuda itu mencegah usaha bunuh diri ini. Mei Hoa memaki dan kalap, mau menyambar pedangnya lagi tapi Thai Liong telah menotok pundaknya. Dan ketika gadis itu roboh dengan lemas dan mengeluh disambar pemuda ini maka Thai Liong berkata,
"Mei Hoa, kalau kau bunuh diri maka kau melanggar janjimu sendiri terhadap adikmu. Apakah kau tidak ingat bahwa adikmu meminta agar kau membalaskan sakit hatinya? Apakah kau lupa bahwa kau telah berjanji pada adikmu? Rupanya adikmu sengaja melakukan ini, Mei Hoa. Dan kau dituntut untuk melaksanakan janjimu, atau arwah adikmu bakal penasaran di alam baka sana kalau kau melanggar omonganmu sendiri!"
"Ooh...!" gadis itu tersedu-sedu. "Aku.... aku tak kuat, siauwhiap. Aku tak mau sendirian tanpa adikku. Aku ingin menyusul. Ah, jahanam keparat Togura itu! Bedebah dan terkutuk dia!" dan ketika gadis ini tersedu-sedu tapi sadar akan kata-katanya sendiri maka usaha bunuh diri itu berhasil dicegah.
Akhirnya Thai Liong membujuk dan memperingatkan gadis ini, Ituchi di sana sudah termangu-mangu dan menghela napas penuh sesal. Dia ternyata kurang tajam menangkap firasat. Thai Liong benar dan dia salah. Dan ketika jenasah gadis itu akhirnya dimakamkan dan Mei Hoa menguguk di tanah kuburan adiknya ini maka Thai Liong bertanya bagaimana pendapat Ituchi, untuk kesekian kalinya lagi menguji pemuda itu.
"Terserah kau. Kau lebih pandai, Thai Liong. Kau lebih tanggap menangkap keadaan. Biarlah aku mengikuti dan menurut kata-katamu."
"Gadis ini harus kita bawa. Mei Hoa bersama kita."
"Baiklah, aku setuju." dan ketika hal itu dikatakan pada Mei Hoa dan gadis itu menangis maka Mei Hoa hanya berkata,
"Aku tak mempunyai orang tua, tak mempunyai siapa-siapa lagi. Kalau siauwhiap mau membawaku untuk menemukan pemuda keparat itu tentu saja aku berterima kasih. Hanya aku mungkin mengganggumu saja, siauwhiap. Kepandaianku rendah dan betapa bodohnya aku!"
"Hm, pertama jangan panggil aku siauwhiap," Thai Liong berkata. "Panggil saja aku twako atau kakak, Mei Hoa. Dan masalah dirimu kukira tak jadi persoalan. Kami memang hendak mencari pemuda itu, kalau kau suka bersama kami tentu saja kami senang. Nah, semuanya sudah diatur, Mei Hoa. Mari kita berangkat dan tinggalkan tempat ini."
Gadis itu mengangguk. Setelah berlutut dan mencium kuburan adiknya gadis ini terhuyung melangkah pergi, tak malu atau canggung bersama dua pemuda. Maklumlah, kedukaan masih menghimpit batinnya. Tapi ketika seminggu kemudian kedukaan itu mulai berkurang dan Thai Liong maupun Ituchi selalu bersikap baik dan menghiburnya maka lama-kelamaan sifat kewanitaannya muncul, malu dan mulai kikuk namun Thai Liong biasa-biasa saja.
Kali ini Ituchi memperlihatkan perubahan sikap, sering-sering melirik dan memandang gadis itu, yang entah kenapa tiba-tiba menyentuh keharuannya dan rasa tertarik pemuda ini timbul. Dan ketika Ituchi mulai memperlihatkan kemesraan dan perhatiannya yang besar maka Mei Hoa tertegun melihat sikap Ituchi yang lebih istimewa daripada Thai Liong.
"Kau dapat mandi di sini. Telah kutemukan sumber air yang jernih!" begitu pemuda ini berkata ketika mencarikan tempat untuk mandi gadis ini. Dan ketika masalah makan atau minum pemuda itu juga lebih memperhatikannya daripada Thai Liong maka Mei Hoa lama-lama tergetar.
"Atau ini. Makanlah punyaku, Mei Hoa. Pisang ini kebetulan saja kudapat empat buah!" pemuda itu menyodorkan pisangnya, memberikan penuh perhatian dan sikap atau pandang matanya penuh cinta kasih.
Mei Hoa menerima dan tentu saja lama-lama getaran pemuda itu tak dapat ditolaknya lagi. Dan ketika Thai Liong juga melihat itu dan akhirnya tersenyum-senyum maka dua minggu kemudian pemuda ini sengaja memberikan kesempatan pada temannya untuk lebih berdekatan lagi dengan puteri Bu-ciangkun itu, akhirnya cinta bersambut dan Ituchi benar-benar mendapatkan pujaannya. Kiranya pemuda ini mencintai gadis itu bermula dari haru, iba dan kasihan setelah melihat kematian Mei Ling. Dan karena iba atau haru mudah sekali menimbulkan perasaan kasih akhirnya cinta pemuda itu bersemi dan Mei Hoa kebetulan ternyata juga tidak menolak!
"Aku mencintaimu. Tak dapat kusangkal aku mencintaimu, Mei Hoa. Kalau kau tak keberatan dan mau menerimanya sungguh aku merasa bahagia sekali. Dan kita dapat sama-sama mencari Togura lebih sungguh-sungguh lagi!"
Mei Hoa terisak. "Aku... aku menerimamu, Ituchi. Tapi tidakkah aku kelak mengecewakanmu?"
"Ah, mengecewakan apa?"
"Kau putera seorang raja, kau seorang pangeran! Sedang aku, ah... aku orang biasa, Ituchi. Aku sebatangkara dan tak punya apa-apa lagi!"
"Ah, jangan begitu," pemuda ini memeluk. "Meskipun aku putera raja tapi aku seorang pangeran dari sebuah suku bangsa liar, Mei Hoa. Jauh bedanya dengan pangeran di tempatmu itu. Lagi pula kau puteri Bu-ciangkun, seorang panglima gagah! Siapa tidak tahu dirimu? Kalau sebatangkara, hm... justeru itu semakin menguatkan cintaku, Mei Hoa. Aku ingin melindungimu dan menjagamu setiap saat!"
"Ooh...!" gadis ini menangis. "Kalau begitu aku bahagia sekali, Ituchi. Kalau begitu... kalau begitu terserah kau...!"
Dan Ituchi yang memeluk serta mencium gadis ini tiba-tiba disambut dan saling melepas rindu, memang selama ini diam-diam masing-masing pihak sama mengharapkan yang lain, lirikan atau senyum malu-malu di antara keduanya tak dapat disangkal lagi ingin dilanjutkan dengan hubungan yang lebih mesra, intim. Dan karena Ituchi sudah menyatakan cintanya sementara Mei Hoa juga ternyata menerima maka keduanya mabok dalam bahagia dan kecup atau ciuman sayang.
"Aku mencintaimu. Aku akan menjagamu melebihi jiwaku sendiri!"
Mei Hoa menangis penuh haru. Dicium dan dipeluk mesra begitu gadis ini merasa bahagia. Ituchi mencintanya dan terdapatlah seorang laki-laki yang akan melindunginya. Dan karena cinta sudah bersambut sementara perjalanan tetap diteruskan maka Thai Liong tersenyum di belakang dan diam-diam iri namun senang bahwa Mei Hoa akhirnya mendapatkan seorang pelindung, karena betapapun tak mungkin baginya harus terus-menerus mengawasi atau menjaga gadis itu selamanya!
* * * * * * * *
Sudah lama kita tak mengikuti Soat Eng. Ke manakah gadis itu setelah pergi meninggalkan ayah ibunya? Mungkinkah dia ke Sam-liong-to? Tidak. Gadis ini, sebagaimana diketahui amat marah dan dendam sekali dengan kematian kakeknya. Tewasnya Hu-taihiap membuat gadis itu ingin mencari dan menemukan si pembunuh sampai dapat. Dan karena pembunuh itu sudah diketahui karena dia bukan lain adalah See-ong maka Soat Eng ingin mencari dan menemukan kakek ini.
Tapi gadis itu tak gegabah. Kehebatan dan kesaktian See-ong sudah diketahuinya, bahkan dia harus mengakui kelihaian kakek itu dengan ilmunya Hek-kwi-sut, ilmu yang membuat kakek iblis itu dapat menghilang dan semua pukulan-pukulannya sia-sia menghantam kakek itu. Dan karena See-ong sudah diketahui memiliki kepandaian amat tinggi dan di Sam-liong-to sana juga berjaga-jaga lima Iblis Dunia maka Soat Eng tak ke sana dulu karena pikirannya tiba-tiba teringat pada pencuri Cermin Naga.
Pencuri itu sudah ditemukan, sayang tak dapat ditangkap dan mengenakan kedok pula, hingga siapa dia tak dapat diketahui. Namun karena ciri-cirinya sudah diketahui dan pencuri itu merupakan seorang pemuda tinggi besar seperti yang dikatakan uwak Lu maka Soat Eng mencari dan tentu lebih mengenal karena dia sudah bertempur dengan pencuri itu.
Namun mencari pencuri ini tidak mudah. Meskipun gadis itu telah bertanding dan mengenal ciri-ciri lawan lebih baik namun bukanlah hal gampang untuk menemukan musuhnya itu. Dulu musuhnya itu lari setelah Siang Le datang membantu. Dan teringat Siang Le tiba-tiba muka Soat Eng menjadi merah. Hm, pemuda itu! Soat Eng berdebar. Pandang mata sikap Siang Le tak dapat disangkal diam-diam menggetarkan jiwanya. Kalau saja pemuda itu bukan murid See-ong, yang telah membunuh kakeknya barangkali dia akan mudah tergetar dan tak keruan.
Maklumlah, pandang mata pemuda itu sudah menyiratkan segalanya dan Soat Eng tentu saja bukan gadis bodoh. Puteri Pendekar Rambut Emas ini telah berusia delapan belas tahun, usia yang cukup bagi seorang gadis remaja yang telah menginjak dewasa. Dan karena dia bukannya tidak tahu akan sikap dan pandang mata pemuda itu maka diam-diam Soat Eng merasa panas pipinya kalau teringat sikap atau pandang mata pemuda itu. Tapi Siang Le adalah musuhnya. Guru pemuda itu telah membunuh kakeknya. Dan karena gurunya musuh maka muridnya juga musuh!
Soat Eng mengepalkan tinju. Teringat Siang Le dikerangkeng di tempat ayahnya sana diam-diam dia tersenyum mengejek. Rasakan kau, pikirnya. Kalau gurumu datang maka ayah atau ibunya pasti menyambut hangat. Dan See-ong barangkali dapat dibunuh, setidak-tidaknya, dihajar! Dan karena See-ong diharap datang mengambil muridnya dan gadis ini ingin menelusuri jejak si pencuri Cermin Naga maka ke situlah tujuan gadis ini melakukan perjalanannya.
Sebulan dua bulan tak ketemu dan gadis itu segera saja menarik perhatian banyak orang, terutama laki-laki dan khususnya kaum pemuda. Banyak yang coba mengganggunya namun siapa yang dapat menghadapi gadis lihai ini? Sebagai puteri Pendekar Rambut Emas yang memiliki kepandaian tinggi tentu saja gadis itu tak perlu takut. Yang coba-coba mengganggu pasti dihajar, kalau nekat akan diberi hukuman berat. Dan karena di setiap perjalanan gadis itu dapat menyelesaikan persoalannya sendiri karena akhirnya tak ada laki-laki atau pemuda hidung belang dapat mengganggunya maka tibalah gadis ini di daerah selatan, di kota Wu-nien.
Waktu itu, Soat Eng merasa lapar dan haus. Tak ada pedang atau senjata apa pun di pinggangnya membuat banyak mata kembali mengganggunya. Dia merasa sebal tapi lama-lama mulai biasa. Memang, kalau ada pedang atau senjata lain di tubuhnya orang akan cepat mengenal dirinya sebagai gadis kang-ouw. Tapi Soat Eng tak menyukai segala macam senjata.
Baginya tangan dan kakinya itulah senjata yang ampuh. Kalau ada yang coba-coba main dengannya tentu dia akan menghajar keras. Dan ketika siang itu dia memasuki sebuah rumah makan dan duduk memesan minuman atau makanannya, seorang diri, maka kedatangan atau kehadirannya ini segera menarik perhatian seluruh laki-laki yang ada di situ.
Soat Eng sebenarnya sudah memilih di tempat yang aman, di pojok dan sedikit tersembunyi di balik halangan pot-pot bunga yang besar. Tapi karena mata lelaki biasanya tajam dan kaum hidung belang atau laki-laki iseng selalu tertarik dan suka kepada hal-hal begini, gadis yang seorang diri dan duduk menyepi maka tiba-tiba beberapa orang bangkit berdiri dan sengaja pindah ke dekat gadis itu memesan makanan atau minumannya.
"Ha-ha, tempat ini panas. Aih, aku ingin yang di dekat jendela situ, segar!"
"Hm, dan aku juga, Hok-twako. Rasanya di sini kurang angin dan duduk di dekat pot-pot bunga memang sejuk. Aku juga ingin di situ!"
Soat Eng mengerutkan kening. Dua laki-laki tiba-tiba berdiri dari kursinya yang jauh untuk duduk di dekat mejanya, disusul beberapa laki-laki lagi yang nyengir dan tersenyum-senyum. Dan ketika tak kurang dari tujuh laki-laki berada di situ semua dan masing-masing meminta arak untuk menambah semangat maka Hok-twako, laki-laki pertama yang tinggi besar dan berewokan tampak berkata pada temannya yang melirik-lirik Soat Eng.
"Ha-ha, dekat pot bunga dikerumuni kumbang-kumbang jantan agaknya sang bunga tinggal memilih mana yang dia suka, A-shan. Kumbang yang sini atau kumbang yang sana!"
"Ah, kalau aku pasti kumbang yang sini. Kantongmu tebal, uangmu banyak. Kau bisa memberikan banyak kebahagiaan pada sang bunga!"
"Ha-ha, cocok. Di kantongku ada seribu tail perak, A-shan. Umpama kuborong semua makanan di sini tentu cukup untuk dua ratus orang!"
"Tapi mereka rupanya juga punya kelebihan. Hm, kumbang-kumbang di kiri kanan kita agaknya juga gemuk-gemuk, Hok-twako. Kau harus dapat menunjukkan kelebihanmu untuk memenangkan ini!"
"Hm, si kurus bermulut tikus! Bagaimana ada hewan-hewan begini menyebalkan di tempat ini, Beng-heng (kakak Beng)? Apakah mereka perlu digebah atau kita yang harus menyingkir?" tiga laki-laki, seorang di antaranya berbaju hitam tiba-tiba berseru memotong percakapan Hok-twako dan temannya itu. Laki-laki ini melotot ke arah mejanya namun tangan menggoyang-goyang ke arah meja si Hok-twako, seolah jijik atau ingin mengusir tikus atau lalat-lalat di meja laki-laki tinggi besar itu, yang temannya baru saja bicara.
Dan ketika si kurus melotot karena dialah satu-satunya yang terkurus di situ di antara mereka bertujuh dan tentu saja dia merasa omongan si baju hitam itu ditujukan kepada dirinya maka laki-laki ini bangkit dan membentak si baju hitam itu. "He, kau! Kepada siapa kau tujukan makianmu itu? Kepadaku kah?" "Eh," si baju hitam acuh, menoleh tapi membuang ludah. "Kau marah kepada siapakah? Kepadaku kah?"
Omongan ini jelas dibalik. Si kurus mencak-mencak tapi pelayan segera datang, meletakkan cawan dan arak dan berhentilah sejenak ribut-ribut itu. Dan ketika pelayan ganti meletakkan araknya di meja si baju hitam maka setengah berbisik pelayan ini berkata,
"Maaf, jangan ribut-ribut, siauw-ya (tuan muda). Kalian semua adalah tamu-tamu kami. Di luar ada pengawal!"
Si baju hitam mendengus. Secara tiba-tiba muncul bayangan-bayangan pengawal, semacam satpam atau penjaga rumah makan itu, rupanya sengaja hadir untuk menjaga ketenangan rumah makan ini, agar tak terganggu atau terjadi ribut-ribut. Dan ketika si baju itu mendengus dan temannya di sebelah kiri tertawa tiba-tiba temannya ini berseru, tangan bergerak menekan pundak sang pelayan,
"He, kau! Tak usah kau khawatir, pelayan. Kami Kwi-san Sam-houw (Tiga Harimau dari Kwi-san) tak pernah ribut-ribut kalau tak didahului. Pergilah, dan bawa setail emas ini untuk bersenang-senang!"
Si pelayan terkejut. Dengan royal dan pongah teman si baju hitam itu memberinya sekeping emas, hal yang membuat bukan hanya pelayan ini saja yang terbelalak melainkan si kurus yang menjadi teman si Hok-twako itu juga terkejut. Kepingan emas itu berharga kira-kira seratus tail, jadi seratus kali lipat dengan uang biasa! Tapi ketika pelayan itu menerimanya dan tersenyum membungkuk-bungkuk maka pelayan ini memutar tubuhnya berucap gembira,
"Aih, terima kasih, siauw-ya. Kiranya kalian adalah Kwi-san Sam-houw!"
Si kurus terbelalak. Keroyalan dan sikap teman si baju hitam ini yang jelas mengalahkan sikapnya tiba-tiba membuat si kurus ini marah. Dia mau berdiri dan menandingi, tapi sebelum dia mengeluarkan suara tiba-tiba dua laki-laki terakhir yang duduk di meja bundar mendadak batuk-batuk.
"Haihh, uang curian dari mana sebanyak itu, Kiat Ma? Tahukah kau pelayan itu menerima uang haram?"
"Ha-ha, tak usah digubris. Uang haram juga kita punyai, suheng. Kalau mereka mempunyai uang-uang emas kita lebih-lebih lagi. Lihat... cring-cringg!" uang-uang emas berhamburan, tiba-tiba saja dikeluarkan dan sepundi-pundi uang penuh bergemerincing di atas meja. Sekarang dua laki-laki terakhir di meja sebelah tertawa-tawa memandangi uang-uang itu, yang gemerlapan dan tentu saja membuat orang-orang yang tak biasa menjadi mengilar penuh nafsu.
Dan ketika Kwi-san Sam-houw terkejut dan terbelalak memandang kepingan-kepingan emas itu, seperti halnya si kurus dan temannya yang bernama Hok-twako maka laki-laki yang dipanggil Kiat Ma ini berseru, memanggil pelayan, "He, kau ke sini dulu. Aku juga ingin memberikan hadiah!"
Pelayan tertegun. Dengan tergopoh dia buru-buru berputar, membalik dan menyeringai menghampiri tamunya itu, kaki berjingkat-jingkat dan tampak betapa haus matanya. Soat Eng sendiri juga tertegun dan terbelalak melihat uang sedemikian banyak di meja si Kiat Ma. Dan ketika si pelayan datang mendekat dan tiga orang satpam di luar sana juga menoleh dan terkejut maka si Kiat Ma ini sudah meraup uangnya dan memberikan segenggam pada si pelayan!
"Ha-ha, kau beruntung. Nih, terima ini tapi keluarkan sebotol besar arak yang paling harum!"
"Terima kasih... terima kasih...!" si pelayan mengangguk-angguk, rakus menerima uangnya dan Kiat Ma berkata agar uang itu jangan sampai hilang. Dan ketika si pelayan membalik dan tergopoh-gopoh berlari ke belakang maka uang segenggam itu sudah dimasukkannya ke dalam saku, mengambilkan arak sesuai permintaan tamunya dan tiga satpam di luar mengilar. Mereka itu juga dipanggil dan satu demi satu diberi seraup kepingan emas, perbuatan yang jauh lebih royal lagi dibanding teman si baju hitam. Dan ketika semua terbelalak dan terkejut melihat itu maka Kiat Ma ini menepuk-nepuk pundak orang-orang itu ketika pergi.
"Hati-hati, jangan sampai hilang. Atau kalian kuwalat dan uang-uang itu akan berubah bentuknya menjadi kerikil!"
Rumah makan ini geger. Keroyalan luar biasa yang ditunjukkan Kiat Ma ini jelas mengundang kegaduhan sepihak. Hok-twako dan temannya serta tiga orang Kwi-san Sam-houw terkejut. Dan ketika sisa uang di atas meja diraup kembali untuk dimasukkan ke dalam kantung maka laki-laki bernama Kiat Ma itu tiba-tiba bangkit berdiri dan pergi ke meja Soat Eng.
"Nona, maaf. Hari ini kebetulan kami punya kaul. Kami ingin membayarnya. Setelah kami memberikan sebagian uang kami kepada mereka-mereka itu maka giliranmu uang ini kuberikan. Kami sudah berjanji bahwa gadis pertama akan mendapatkan sisa uang ini. Dan karena kau yang kami temui maka kami hendak memberikannya padamu. Terimalah!"
Soat Eng terkejut. Dia mau menolak tapi ragu, tadi melihat sesuatu dilakukan laki-laki ini. Maka ketika semua uang sudah diletakkan di mejanya dan dia mengangguk dingin, tidak mengucap terima kasih maka laki-laki itu tertawa dan mundur lagi ke mejanya.
"Ha-ha, hebat. Nona ini lain dari yang lain!"
"Tapi kau belum menanya namanya," sang suheng, temannya, menegur. "Kau tak tahu kepada siapa kau berikan uangmu itu, Kiat Ma. Hayo kembali dan tanya dia!"
"Aih, lupa. Kau benar!" dan Kiat Ma yang kembali ke meja Soat Eng dan tertawa-tawa menjura lalu berkata, memandang uangnya yang masih di atas meja, sama sekali belum disentuh Soat Eng. "Maaf, aku ingin bertanya siapa kau, nona. Kalau aku sendiri adalah Kiat Ma, itu suhengku Lu Sam!"
"Hm, aku tak ingin kau tahu. Kalau kau tak puas boleh ambil kembali uangmu ini. Silahkan!"
"Eh, nona tak mau?"
"Tak usah banyak cakap, orang she Kiat. Kau tak usah tahu aku dan aku juga tak ingin tahu dirimu. Aku tak butuh uang, kalau kau mau ambil boleh ambil lagi!"
"Ha-ha, ini istimewa!" si Kiat Ma tertawa bergelak. "Kau betul, nona. Kalau kau tak suka tentu saja aku tak akan memaksa. Sudahlah, itu milikmu dan tak akan kuambil kembali!"
Dan laki-laki ini yang mundur dan duduk di sebelah temannya tiba-tiba disusul suara ribut-ribut di pihak Kwi-san Sam-houw, yang berdiri dan terbelalak memandang pundi-pundi di atas meja Soat Eng dan tiba-tiba si baju hitam melompat, marah dan membentak menyambar kantung uang itu dan tentu saja Soat Eng tak tinggal diam. Gadis ini mengira si baju hitam hendak merampas, merampok di rumah makan. Dan ketika Soat Eng mendahului menyambar kantung itu dan tubrukan atau terkaman si baju hitam tentu saja luput maka laki-laki ini berseru,
"Hei, itu punya kami. Kantung dan uang itu punya kami!"
"Benar!" temannya berkelebat maju. "Berikan itu pada kami, nona. Entah bagaimana si Kiat Ma itu mencuri milik kami... wut-wut!" dua laki-laki menyambar, semuanya merebut pundi-pundi di tangan Soat Eng dan gadis itu marah. Maka ketika lawan mengulurkan tangannya dan pundi-pundi siap direbut tiba-tiba gadis ini membentak dan tiga orang itu terpelanting terkena kepretan atau tamparan jari-jarinya.
"Kalian tikus-tikus busuk. Pergilah... plak-plak-plak!"
Tiga orang itu terpekik. Mereka tak menyangka bahwa 'kembang' yang halus ini begitu berduri, keras dan menyengat mereka. Namun ketika mereka bergulingan melompat bangun dan si baju hitam marah dan membentak lagi tiba-tiba dia sudah maju menyerang sementara dua temannya juga menubruk dan menyambar pundi-pundi di tangan Soat Eng.
"Itu milik kami!"
"Benar, dan serahkan pada kami!"
Dan tiga orang itu yang susul-menyusul menyerang Soat Eng tiba-tiba menggerakkan tangannya dan enam lengan terulur panjang, menjangkau atau coba merebut uang di tangan gadis itu dan Soat Eng tentu saja naik darah. Gadis ini masih menganggap bahwa orang-orang itu mau mencari onar, merampas dan coba merampok di rumah makan. Maka begitu ia berkelebat dan mengeluarkan satu bentakan nyaring tiba-tiba gadis ini lenyap membagi-bagi pukulan atau tendangannya.
"Bedebah, kalian benar-benar kurang ajar...plak-des-buk!"
Dan tiga orang itu yang terlempar serta terguling-guling dengan seruan kaget tiba-tiba sadar seolah bertemu setan di siang bolong. Sadar bahwa gadis ini kiranya bukan makanan empuk, bukan wanita sembarangan dan mereka tentu saja pucat. Namun karena dua gebrakan itu tidaklah cukup karena orang-orang macam Kwi-san Sam-houw ini tak akan sudah kalau belum dihajar berat maka mereka membentak dan menyerang lagi, kini mencabut golok mereka dan rumah makan itu tiba-tiba saja berubah menjadi ajang pertarungan.
Apa yang semula tenang sekonyong-konyong gaduh, bentakan-bentakan atau seruan panjang serta marah tak berhenti diserukan. Tiga senjata berkelebat pula menuju tubuh Soat Eng. Namun karena gadis ini adalah puteri Pendekar Rambut Emas dan nama Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas dimalui orang kang-ouw maka begitu gadis ini membentak dan menghilang dengan cepat tahu-tahu senjata atau golok di tangan tiga orang itu mencelat beterbangan.
"Hei.... plak-des-dess!"
Tiga orang itu terbanting. Cepat bagai kilat menyambar gadis ini telah menyelesaikan pertarungan, tiga orang itu merintih-rintih dan Kwi-san Sam-houw tampak menggigil memandang gadis ini. Tangan atau kaki mereka patah-patah ditekuk atau dilipat gadis itu, yang tadi menerima senjata mereka dan golok di tangan mereka mental bertemu jari-jari yang halus itu. Dan ketika jari-jari itu masih menyambar ke depan dan tanpa dapat dicegah lagi satu per satu mereka semua dilipat atau ditekuk sikunya maka tiga orang itu roboh bergelimpangan bagai babi-babi disembelih.
"Aduh, tobat.... ampun!"
"Aduh, mati aku...!"
"Celaka, kita bertemu orang kuat, twaheng. Kita sial!"
Soat Eng sudah duduk di kursinya lagi. Tadi dengan Jing-sian-engnya yang luar biasa dia berkelebatan di antara tiga orang itu, memberi hajaran dan kali ini mematah-matahkan siku mereka. Kwi-san Sam-houw tentu saja pucat dan merintih-rintih, mereka tak dapat menyerang lagi. Dan ketika semuanya selesai dan tiga satpam di luar berteriak tertahan berlarian masuk maka mereka tertegun melihat tiga laki-laki yang sudah dihajar puteri Pendekar Rambut Emas ini.
"Lempar mereka keluar, jangan mengganggu makanku!"
Bentakan itu cepat disambut anggukan. Tiga penjaga ini menyeret tiga orang Kwi-san Sam-houw itu dan masing-masing memaki. Tapi ketika mereka berada di luar dan berteriak kaget tiba-tiba ketiganya meraba-raba isi kantung dan kebingungan dengan muka berubah, disusul teriakan atau jeritan pelayan yang tadi diberi segenggam uang emas.
"Hei, uangku hilang. Uangku hilang!"
"Benar, punya kami juga, A-tong. Uang kami juga hilang!"
"Dan ini... ah, kerikil! Bagaimana uangku tiba-tiba berubah? Aih, uangku berganti bentuk, A-sui. Kantung ini masih ada tapi uangnya sudah berganti!"
Tiga penjaga itu pucat. Mereka sama-sama memperlihatkan isi kantung yang kerikil semua. Uang emas tak ada lagi di situ dan si pelayan menggerung-gerung. Rejeki yang mereka terima mendadak lenyap tanpa bekas, entah bagaimana tiba-tiba semua uang yang mereka terima sudah berganti ujud dengan kerikil, barang yang tidak berharga lagi. Dan ketika pemilik restoran datang terbata-bata dan laki-laki gemuk itu terbelalak memandang pelayannya yang bergulingan maka di sana Kwi-san Sam-houw tiba-tiba menuding Kiat Ma dan temannya itu.
"Mereka itu Copet Jari Seribu. Hei, bekuk dan tangkap saja dua laki-laki itu, manusia-manusia tolol. Mereka telah mempermainkan kita semua dan mengadu kami dengan siluman betina ini!"
"Benar!" si baju hitam sadar. "Kami tertipu, penjaga. Tangkap dan bunuh dua Copet Seribu Jari itu. Merekalah yang mengambil kembali uang kalian!"
"Dan uang itu sebenarnya milik kami!" teman si baju hitam menyambung. "Tangkap dan bekuk dua laki-laki itu, manusia-manusia tolol. Nanti separoh uang kami boleh kalian miliki!"
"Ha-ha, si pelantur!" Kiat Ma, yang dituding tiba-tiba bangkit berdiri. "Kami tak tahu-menahu uang kalian, penjaga. Dan salah kalian kalau sampai hilang. Tadi sudah kuperingatkan, kenapa ceroboh? Eh, hajar saja tiga orang itu, nanti kuberi lagi. Lihat.... cring-cring!" laki-laki ini memperlihatkan pundi-pundi uangnya yang lain, tertawa bergelak dan tiga satpam itu bingung.
Mereka jadi ragu dan tentu saja kacau. Tapi karena bayangan emas membuat mata menjadi hijau dan mereka sepakat untuk mendapatkannya lagi dengan menghajar tiga orang di luar itu tiba-tiba Kwi-san Sam-houw dibentak dan dimaki-maki, mendapat gebukan.
"Kalian pengacau, kalian orang-orang liar. Barangkali kalianlah pencurinya dan terimalah sekarang hajaran kami.... bak-bik-buk!" dan tiga satpam itu yang memukul serta menendang tiba-tiba menuruti kata-kata Kiat Ma, tak jadi percaya pada omongan Kwi-san Sam-houw dan jadilah tiga orang itu sasaran empuk dari hujan pukulan atau tendangan. Dan ketika mereka semakin kesakitan dan mengaduh dipukuli tiga orang penjaga ini maka di sana Kiat Ma tertawa-tawa dan mengisi cawan araknya.
"Ha-ha, sepuluh gebukan untuk masing-masing emas. Siapa paling banyak dialah paling beruntung!"
Tersiksalah Tiga Harimau Kwi-san itu. Mereka sebelumnya sudah dihajar Soat Eng, tak dapat mengelak atau menangkis karena tangan atau kaki mereka patah-patah. Tapi ketika tiga satpam itu terus menghujani pukulan dan Soat Eng mengerutkan kening tiba-tiba gadis ini melempar tiga biji sumpit yang tepat sekali terbang menyambar menotok pergelangan tangan tiga orang penjaga ini.
"Berhenti, kalian mundur!" Lalu ketika tiga orang itu berteriak dan terpelanting mengaduh-aduh maka Soat Eng berdiri dan menuju ke meja si Copet Berjari Seribu. "Kau suka menyiksa orang?" tanyanya. "Kau juga suka disiksa?"
"Eh-eh!" laki-laki ini terkejut. "Nanti dulu, nona. Aku tak mengerti omonganmu. Aneh sekali kata-katamu ini. Siapa suka menyiksa dan disiksa? Aku hanya membalas kelakukan tiga orang itu, atau aku yang bakal celaka kalau tidak pandai-pandai menyelamatkan diri!"
"Benar," teman satunya, sang suheng, maju bicara, membantu. "Kau jangan marah-marah dulu, nona. Kami berdua bukan pencuri atau pencopet. Atau, kalau pun kami pencopet maka uang yang dimiliki tiga orang itu jelas lebih haram dibanding uang hasil copetan kami. Kau tenanglah, sabar dulu!"
Soat Eng tertegun. Bicara orang yang demikian mapan dan cengli (masuk akal) membuatnya melengak juga. Soat Eng berhenti dan tidak jadi marah. Dan ketika gelagat itu dilihat si Kiat Ma dan laki-laki ini tertawa maka dia mengangkat jempolnya.
"Betul, kalau kami copet maka penjahat atau perampok macam mereka itu jauh lebih ganas, nona. Mereka memiliki uang dari hasil rampokan atau rampasan. Ha-ha, dan kau tadi sudah membuktikannya. Lihat betapa kasar mereka itu waktu menyerangmu!"
"Nah," si suheng bicara lagi, melihat Soat Eng mulai termakan. "Kami tak dapat dibandingkan dengan mereka itu, nona. Dan terus terang mereka adalah pemfitnah!"
"Dan sepatutnya mereka ditendang, atau dibunuh!"
"Tidak, jangan!" si baju hitam berteriak. "Kami tak pernah merampok atau melakukan kejahatan lain, nona. Dua orang itulah yang licik dan curang. Mereka si Copet Seribu Jari. Awas kaupun menjadi korbannya!"
"Ha-ha!" Kiat Ma tertawa. "Aku bukan pencopet atau orang yang berjari seribu, Sam-houw (Harimau Ketiga). Kau harap tidak mencari-cari atau nona ini akan menghukummu!"
"Sudahlah," Soat Eng membentak. "Kalian semua hanya mengganggu makanku saja. Nih, aku tak mau menerima uangmu tapi harap rekeningku kalian bayar!" Soat Eng melempar uang si Kiat Ma, sejak tadi memang tak tertarik dan laki-laki ini bengong. Namun ketika dia menerima kembali uangnya itu dan Soat Eng mendengus maka gadis ini berkelebat dan pergi menghilang. "Kalian tak usah mencari gara-gara. Atau aku akan menghajar kalian kalau berani coba-coba mengganggu wanita!"
"Hei!‖ Kiat Ma berteriak. "Tunggu, nona. Ada sesuatu yang ketinggalan!"
Soat Eng berkelebat datang. Bagai siluman atau hantu.saja tahu-tahu dia telah muncul kembali di depan laki-laki ini, yang terkejut tapi tentu saja kagum. Dan ketika Soat Eng bertanya apa yang ketinggalan maka Kiat Ma menyeringai dan menjura.
"Ini, tertinggal di meja...."
Soat Eng tertegun. Peniti emasnya, yang menjadi hiasan bajunya tahu-tahu telah berada di tangan si Kiat Ma ini. Laki-laki itu menyerahkannya dan berkata bahwa agaknya dalam pertandingan tadi peniti emas itu terjatuh, diterima dan Soat Eng tertegun. Tapi ketika gadis ini mengangguk dan menerima peniti miliknya maka laki-laki itu tertawa dan menepuk pergelangan tangannya.
"Nah, silahkan kau pergi, nona. Tapi harap hati-hati agar lain kali tidak ada barang milikmu yang lepas. Nanti malam di tengah kota akan ada perayaan pesta pengantin Lauw-wangwe (hartawan Lauw). Kalau kau ingin mencari kami tentu kita dapat bertemu di sana!"
"Huh!" Soat Eng mendengus. "Untuk apa mencari mukamu? Kau jangan ceriwis, orang she Kiat. Terima kasih tapi tak usah kau merayu!" Soat Eng berkelebat, pergi meninggalkan orang she Kiat ini tapi tiba-tiba sang suheng kini berteriak. Entah bagaimana di tangan laki-laki itu juga ada sebuah kancing baju milik Soat Eng, dari emas. Dan ketika Soat Eng berhenti dan membalikkan badannya maka suheng si Kiat Ma ini tertawa.
"Maaf, aku lupa ini, nona. Tapi barangkali ini juga milikmu. Apakah benar?"
"Dari mana kau mendapatkannya?"
"Dari lantai, jatuh. Barangkali juga punyamu dan maaf aku memanggilmu sejenak."
"Hm!" Soat Eng merah mukanya. "Itu memang punyaku. Kembalikan dan terima kasih!" Soat Eng menyambar, berkelebat menghilang dan kancing baju serta peniti emasnya sudah di tangan. Dia terheran tapi tidak curiga bagaimana dua benda miliknya itu bisa terlepas, barangkali benar memang jatuh. Dan karena perutnya sudah diisi sementara haus juga sudah tidak mengganggu kerongkongannya lagi maka Soat Eng bermaksud meneruskan perjalanan dan tentu saja tidak memenuhi undangan si Kiat Ma, menganggap laki-laki itu main-main dan mau kurang ajar saja.
Tapi ketika dia melihat bahwa di tengah kota benar terjadi keramaian sebuah pesta maka gadis ini tertarik dan berhenti. Bukan kepada keramaian atau lalu-lalang orang-orang yang hilir mudik melainkan oleh adanya panggung lui-tai, tempat di mana biasanya orang-orang gagah mengadu ilmu, silat atau kepandaian. Dan karena sebagai orang kang-ouw dia tertarik kepada hal-hal macam begini maka Soat Eng terbelalak ketika tiba-tiba melihat adanya si kurus dan Hok-twako itu, temannya, yang tadi bertemu di rumah makan!
"Aih, ketemu lagi, nona. Selamat jumpa!"
Soat Eng tertegun. Tadi dua orang ini akhirnya tidak menjadi perhatiannya karena perhatian tertuju pada Kwi-san Sam-houw, juga Kiat Ma dan suhengnya itu, orang-orang yang mengalihkan perhatiannya pada Hok-twako dan si kurus ini. Dan ketika si kurus itu menyapanya dan Soat Eng tentu saja tertegun maka si brewok, Hok-twako itu menjura padanya penuh hormat, tak ceriwis lagi.
"Nona, maafkan kami tadi. Kami hanya sekedar main-main. Jangan kau marah dan kebetulan kita bertemu lagi di sini. Apakah ada sesuatu yang hilang dari tubuhmu?"
"Apa maksudmu?" Soat Eng membentak, tak memberi hati.
"Maaf, berdekatan dengan Jing-ci-cu-siang (Sepasang Copet Berjari Seribu) seperti tadi amatlah berbahaya, nona. Kami ngeloyor pergi setelah tahu bahwa mereka itu si Copet Jari Seribu. Kami ingin memperingatkan bahwa jangan dekat-dekat dengannya, atau ada bagian milikmu yang bakal hilang! Adakah sesuatu yang hliang dari nona?"
"Tidak," Soat Eng tertegun. "Tapi aku tak takuti si Jari Seribu atau si Jari Sejuta, orang she Hok. Aku tak merasa ada sesuatu yang hilang!"
"Kalau begitu syukurlah. Dan maaf kami pergi."
Soat Eng tersenyum mengejek. Dua orang itu melangkah pergi setelah si brewok kembali membungkuk, agaknya gentar dan takut setelah melihat Soat Eng menghajar Kwi-san Sam-houw, begitu mudahnya. Dan ketika dua orang itu pergi dan Soat Eng melihat-lihat sekitar pibu maka di ujung jalan dia bertemu seorang pengemis yang menenggak arak.
"Ha-ha-heh-heh! Ini perayaan aneh. Kenapa Lauw-wangwe mengundang segala macam kurcaci-kurcaci untuk meramaikan pesta pernikahan anaknya? Bukankah lebih baik mengundang kami para pengemis-pengemis ini untuk diberi makan yang cukup? Aih, tak panjang umurmu, Lauw-wangwe. Kau tak tahu penderitaan orang kecil dan maumu hanya bersenang-senang saja. Haram jadah, umurmu tak bakal panjang!"
Lalu, terhuyung dan menenggak araknya hingga tumpah di sisi mulutnya kakek ini berjalan dan berpapasan dengan Soat Eng, tiba-tiba menyembur ke kiri dan arak menyemprot tajam. Soat Eng hampir terkena kalau tidak berkelit ke kiri, cepat sekali. Dan ketika kakek itu terbelalak dan tampaknya kaget bahwa baru saja dia menyembur seseorang maka dia membungkuk dan tertawa-tawa.
"Maaf.... maaf.... aku si tua bangka bermata lamur, nona. Tapi janggal rasanya melihat seorang gadis diseputar lui-tai! Apakah kau orang undangan Lauw-wangwe? Atau kau teman kurcaci-kurcaci itu?"
"Siapa kurcaci yang kau maksud?" Soat Eng tertindas rasa marahnya oleh heran. "Dan kenapa kau memuji orang she Lauw itu agar tidak berumur panjang?"
"Ha-ha, kalau begitu kau orang baru!" kakek ini malah terbahak. "Bagus, nona. Kalau begitu kau pergilah cepat-cepat atau semua bakal kacau di sini. Aih, malam ini bakal gempar. Segala maling dan rampok berkumpul di sini, juga copet. Ha-ha, sebaiknya kau pergi dan jangan dekat-dekat tempat ini!" dan terhuyung melangkah cepat kakek itu sudah meninggalkan Soat Eng, yang tertegun.
"Hei!" gadis itu berseru. "Tunggu dulu, lo-kai (pengemis tua). Aku ingin minta keterangan!" dan berkelebat di depan kakek itu tahu-tahu Soat Eng sudah menghadang jalan.
"Kau mau apa?" kakek ini terkejut. "Apalagi yang ingin kau ketahui dari aku si pengemis tua?"
"Aku ingin tahu tentang maling dan copet, lo-kai, juga rampok! Apa yang akan terjadi dan siapa pula kau ini!"
"Ha-ha, aku si pengemis tua. Kau sudah menyebutnya tadi...! Kenapa bertanya dan ingin tahu? Eh, aku tak tahu apa-apa lagi, nona. Aku lupa dan pikun!" kakek itu terkekeh, pergi meninggalkan Soat Eng dan sudah memutar tubuhnya. Dan ketika dia menenggak arak dan tidak perduli lagi pada kiri dan kanan maka Soat Eng menjublak dan mendongkol.
Melihat kakek itu benar-benar tak menghiraukan dirinya lagi dan gadis ini melotot. Tapi karena orang sudah tak mau diajak bicara dan dia tentu saja juga tak mau mendesak maka Soat Eng bermaksud untuk menyelidiki dan mengetahui kata-kata kakek itu, apa artinya itu dan malam ini dia akan menonton keramaian. Siapa tahu pencuri Cermin Naga juga ada di situ, karena si kakek berkata bahwa segala pencuri atau rampok juga akan berkumpul di situ, termasuk copet!
Dan ketika gadis ini mengangguk dan mendesis mengepal tinju tiba-tiba dia berkelebat menunggu datangnya malam. Soat Eng bermaksud mencari tempat peristirahatan di luar kota, tak mau di losmen karena kehadirannya bakal mengundang pandang mata kurang ajar kaum lelaki saja. Tapi ketika dia terbang dan mengingat-ingat wajah si pengemis tua, karena sebenarnya dia ingin bertemu dan bercakap-cakap lagi mendadak sesuatu terasa ringan di jari manisnya.
Soat Eng mula-mula tak sadar. Dia tak memperhatikan semua itu. Tapi ketika pikirannya mengajak ke jari manis karena tiba-tiba saja dia merasa sesuatu yang ringan di jari manisnya itu maka Soat Eng terkejut ketika cincin di jari manisnya tak ada!
"Eh!" gadis ini tertegun. "Ke mana cincinku? Kenapa bisa hilang?" Soat Eng berhenti. Dia memutar dan mencari-cari di situ, siapa tahu barangkali jatuh. Tapi ketika dia tak menemukan cincinnya dan sewaktu merogoh kantung baju mendadak saja peniti emasnya lenyap tiba-tiba gadis ini terkejut dan merah mukanya.
"Keparat, ini tentu perbuatan kalian, Jing-ci-cu-siang. Jahanam kalian, bedebah!" Soat Eng mengepal tinju, marah dan memaki-maki karena segera dia teringat bahwa Kiat Ma dan suhengnya itu pasti berbuat usil. Kiat Ma mengembalikan peniti emasnya tapi mengambil cincin. Dan gusar bahwa mungkin suheng si copet itu mengambil kancing bajunya tapi sekaligus mengambil penitinya, satu perbuatan lihai kaum pencopet yang benar-benar mengagumkan maka Soat Eng terbang dan kembali ke kota!
"Kubekuk kalian nanti, kupatahkan batang leher kalian!"
Namun Soat Eng tak berhasil menjumpai. Si copet yang diduga mengambil cincin dan peniti emasnya tak ada di sekitar tempat itu, juga tak ada di rumah makan ataupun di rumah Lauw-wangwe. Dan ketika Soat Eng marah-marah tak menemukan dua orang itu tiba-tiba kembali dia bertemu dengan si kakek pengemis.
"Ha-ha, ada yang hilang, nona? Kau longok-longok mencari siapa?"
"Wut!" Soat Eng berkelebat, gemetar dengan muka merah padam. "Aku mencari Jing-ci-cu-siang, lo-kai. Tahukah kau di mana mereka berada?"
"Jing-ci-cu-siang? Ha-ha, mereka sudah mengerjai dirimu? Wah, tak ada orang tahu di mana si copet itu, nona. Mereka hanya datang kalau mereka menghendaki. Sebutkan apa yang hilang dan barangkali aku dapat menemukan!"
"Mereka mengambil cincinku, juga peniti emas!"
"Hanya dua itu saja?"
"Ya, itu saja. Tapi sudah cukup untuk aku membunuh mereka!"
"Ha-ha, tak mungkin!" kakek ini tertawa bergelak. "Mereka orang-orang licik dan lihai, nona. Akal mereka panjang dan hidup sekali. Aih, sudah kubilang agar kau tidak dekat-dekat tempat ini. Pergilah dan relakan saja dua barang milikmu yang hilang itu!"
"Hm, aku tak akan pergi!" gadis ini mendengus. "Aku akan mencari mereka itu sampai dapat, lo-kai. Kalau begitu terima kasih dan biar nanti aku kembali lagi!"
Kakek itu terbelalak. Soat Eng sudah berkelebat dan pergi meninggalkannya, lenyap dan hilang seperti siluman saja. Gadis ini mempergunakan Jing-sian-engnya dan tentu saja pengemis tua itu melongo. Tapi ketika Soat Eng lenyap dan kakek itu sadar maka pengemis ini menggelogok araknya dan terbahak.
"Aih, hebat. Gadis itu hebat sekali. Ha-ha, malam ini rupanya keramaian bakalan bertambah ramai lagi!"
Soat Eng tak mendengarkan. Dia sudah pergi sementara kakek pengemis itu juga pergi. Mereka berpisah dan tidak bertemu lagi. Dan ketika malam itu Soat Eng datang dan kembali ke tempat keramaian ini ternyata di panggung lui-tai sudah bergebrak beberapa orang muda yang menunjukkan kepandaian mereka. Malam itu sorak dan teriakan riuh terdengar di tempat hartawan she Lauw ini.
Pengantin belum datang, tamu-tamu yang hadir diberi pertunjukan musik dan pibu atau adu kepandaian di atas panggung lui-tai itu. Dan karena hartawan ini rupanya banyak berkenalan dengan orang-orang dunia kang-ouw karena terbukti dia mendirikan panggung lui-tai dan mungkin juga seorang tokoh yang Soat Eng belum tahu maka bak-bik-buk di panggung lui-tai itu disusul teriakan atau sorak gegap-gempita pengunjung.
"Ha-ha, robohkan lawanmu, Bun Yong. Cekik mampus dan banting dia di panggung lui-tai!"
"Tidak, kau harus bertahan, Hu Ping. Banting dan angkat lawanmu ke atas!"
Soat Eng bersinar-sinar. Dua pemuda tinggi tegap tampak akhirnya berkutat dan saling pegang, masing-masing mencengkeram yang lain untuk dilempar keluar panggung. Dan ketika kawan-kawan mereka berteriak dan memberi semangat maka pemuda di sebelah kiri, yang berbaju kuning tiba-tiba menjegal kaki lawannya dan secepat kilat membanting.
"Bluk!"
Kelompok di sebelah kiri panggung bersorak. Mereka itulah yang menjagoi pemuda ini, yang ternyata bernama Hu Ping. Dan ketika pemuda itu mengejar namun lawan bergulingan menjauh, menyelamatkan dirinya maka pemuda yang dikejar itu menggeram dan meloncat bangun.
"Hu Ping, kau curang. Awas kau!"
Dua pemuda ini sudah saling terkam lagi. Bun Yong, yang dibanting dan dijegal lawannya menjadi marah, dia tadi diteriaki penontonnya agar membanting dan mendahului lawan, tak tahunya lawan menjegal dan dia pun roboh. Namun ketika pemuda itu sudah meloncat bangun dan terjang-menerjang lagi dengan lawannya maka pertandingan berjalan seru namun nampak bahwa Hu Ping bertanding dengan cara cerdik.
Pemuda itu bertanding tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tapi juga otaknya, melihat lawan mulai marah dan beringas. Dan karena kemarahan jelas mengurangi kewaspadaan dan berkali-kali Hu Ping mengelak atau menghindar tubrukan lawan, yang semakin sengit dan marah kepadanya maka Soat Eng yang menonton jalannya pertandingan itu, sambil melihat-lihat kalau Kiat Ma atau suhengnya muncul maka berkelebat sesosok bayangan dan kakek pengemis itu sudah nongkrong di atas pohon, di sebelah gadis ini.
"Ha-ha, kita bertaruh, nona. Siapa yang bakal menang di antara dua orang itu?"
"Aku jelas si baju kuning!" Soat Eng tak ragu, sejenak terkejut tapi girang bertemu kakek ini. "Kau siapa lo-kai? Dan apa taruhanmu?"
"Ha-ha, aku si Bun Yong itu. Taruhanku arak!"
"Kau pasti kalah!" Soat Eng mengejek. "Si dogol itu bertempur tanpa otak, lo-kai. Lawannya lebih cerdik dan pasti menang!"
"Ha-ha, kau tak tahu jalannya liku-liku hidup. Memang masalah kecerdikan si Hu Ping itu lebih cerdik, nona. Tapi masalah nasib sungguh tidak ditentukan pemuda itu sendiri!"
"Apa maksudmu?"
"Kau lihat saja!" dan ketika si kakek terbahak dan menenggak araknya maka dia bertanya apa taruhan gadis itu kalau kalah.
"Kau boleh minta apa saja, yang kupunyai!"
"Ha-ha, kau begitu sombong? Eh, baik, nona. Kalau begitu kita lihat dan taruhan kita adalah siapa yang roboh dan terlempar keluar dari panggung!"
"Tentu, itu artinya kalah menang!" dan karena Soat Eng merasa yakin karena memang perhitungan di atas kertas jelas menunjukkan si baju kuning itu akan menang maka mereka berdua menyaksikan jalannya pertandingan sementara gadis itu bertanya di mana adanya Lauw-wangwe.
"Dia di dalam, menyambut tamu-tamunya yang penting."
"Kau mengenal hartawan itu?"
"Ha-ha, lebih dari mengenal, nona. Orang itu licik tapi luas pergaulannya. Dia juga kenal baik denganku!"
"Kalau begitu kau orang penting, seharusnya kaupun disambut!"
"Ha-ha, aku si jembel miskin, nona. Orang seperti Lauw-wangwe itu memandang rendah kedudukanku. Dia seorang hartawan, sedang aku pengemis!"
"Tapi kau menyatakan mengenalnya baik!"
"Ha-ha, itu memang benar, nona. Tapi... hei, lihat. Si baju kuning roboh!" si kakek menuding.
Soat Eng terkejut karena tiba-tiba terdengar bantingan keras. Hu Ping, yang dijagokan ternyata keok. Pemuda cerdik itu dilempar lawannya dan peristiwa itu mengejutkan Soat Eng. Diajak ngobrol dan kehilangan perhatian tiba-tiba saja Soat Eng sudah melihat jagonya roboh, terbanting dan terguling-guling di sana untuk akhirnya berhenti bergerak, mengeluh. Dan ketika Soat Eng tertegun karena dia tak tahu bagaimana si Hu Ping itu tahu-tahu roboh, karena saat itu dia sedang memandang temannya bicara maka di bawah terjadi ribut-ribut karena penonton atau orang-orang yang menjagokan pemuda baju kuning itu memaki-maki pemuda ini, menggoblok-goblokkannya!
"Ha-ha, aku menang, nona. Secawan arak untuk kekalahanmu. Hayo minum!"
Soat Eng terkejut. Si tua itu sudah memberinya secawan arak, untuk denda atas kalah taruhannya tadi. Dan karena jelas jagonya keok dan kakek itu menang maka Soat Eng mendongkol dan menyambar cawan arak ini. "Glek!" arak itu amblas di perut. "Kau menang, lo-kai. Tapi aku penasaran tak melihat penyebab kekalahan pemuda itu!"
"Ha-ha, masih penasaran? Ayolah, kita bertaruh lagi, nona. Boleh diulang kalau kau tidak takut!"
"Tentu saja aku tidak takut. Aku memang penasaran!" dan Soat Eng yang mengajak bertaruh lagi karena sudah melihat panggung diisi orang baru maka gadis itu menantang. "Ayolah, mereka belum bertanding. Siapa yang akan menang di antara si pendek dan si tinggi itu?"
"Ha-ha, kau sendiri yang mana? Kau boleh pilih dulu, nona. Aku belakangan!"
"Aku si pendek!" Soat Eng melihat gerak kaki yang ringan dari jagonya itu. "Dan kau yang mana, lo-kai? Si tinggi?"
"Ha-ha, tentu, nona. Karena kau sudah memilih si pendek maka aku yang tinggi itu. Hayo, lima banding satu untukmu!"
"Apa? Kau mau mengapit?"
"Ha-ha, aku pasti menang, nona. Dan aku yakin akan kemenanganku itu. Aku akan menenggak lima cawan arak kalau kalah dan kau cukup secawan saja. Berani?"
Soat Eng mengangguk. "Kuterima, dan bukan secawan yang kuminum melainkan juga lima. Hayo, aku tak mau curang dan kita sama-sama adil!" gadis itu mendongkol, tak mau kalah dan tantangan kakek ini disambutnya keras sama keras.
Kakek itu terbahak tapi akhirnya mengangguk-angguk, kagum. Melihat bahwa gadis ini gagah dan ksatria, tak mau curang dan tentu saja sikap yang diperlihatkan itu mengundang rasa suka kakek ini. Dan ketika dipanggung lui-tai dua laki-laki itu sudah berhadapan dan si pendek ternyata menggantikan pemuda baju kuning maka si tinggi yang ternyata merupakan kelompok Bun Yong sudah menyeringai dan tertawa menantang lawannya.
"Sin Cek, kau majulah dan minta berapa jurus kau kurobohkan. Berani kau main-main dengan aku? Ha-ha, kau tidak takut?"
"Hm, tak perlu sombong, Siu Pin. Aku berani menghadapimu karena aku yakin dapat mengalahkanmu. Hayo, kau mulailah dan lihat berapa jurus aku merobohkanmu!"
"Eit, kau besar mulut? Baik, awas, pendek. Lihat seranganku dan jaga jangan sampai tubuhmu kulempar!" si tinggi kurus sudah menyerang, bergerak dan tangan atau kakinya menyambar cepat ke tubuh si pendek ini, yang bernama Sin Cek.
Dan ketika si pendek atau Sin Cek menghindar dan berkelit maka si tinggi kurus mengejar dan menyerang lagi, cepat dan bertubi-tubi dan berteriak atau bersoraklah kelompok kedua pihak. Si pendek lincah berkelit dan gagallah serangan bertubi-tubi si tinggi kurus. Dan ketika si tinggi kurus menjadi penasaran dan mengejar lawan maka si pendek diteriaki agar tidak menghindar saja.
"Hei, balas lawanmu, Sin Cek. Hantam dan seruduk perutnya!"
"Nanti dulu," si pendek tertawa. "Aku belum panas, kawan-kawan. Biarkan lawanku ini mengejar-ngejar aku seperti kucing memburu tikus!"
"Tapi kau akan celaka. Siu Pin memiliki Tangan Besi!"
"Aku tak takut, jangan khawatir!" dan ketika si pendek kembali berkelit dan pukulan Tangan Besi lawannya menghajar lantai maka terdengar suara berderak seakan lantai panggung mau pecah, disusul bentakan-bentakan si tinggi kurus di mana laki-laki ini menjadi marah karena lawan selalu menghindar saja.
Kelincahan gerak kaki si pendek ternyata benar, ringan dan mengagumkan dan Soat Eng berseri-seri. Apa yang dilihat ternyata cocok, laki-laki pendek itu memiliki kelebihan dibanding lawannya. Dan ketika berkali-kali pukulan lawan luput dan hal ini berarti menguras tenaga si kurus maka si pendek mulai melakukan balasan-balasan di mana kaki atau tangannya yang pendek-pendek sering melakukan gerakan-gerakan mencengkeram atau membetot, seperti Kim-na-jiu, ilmu tangkap dan banting.
"Ha-ha, hebat si pendek itu, nona. Tapi sayang, nasibnya juga kurang beruntung!"
"Dia akan kalah? Hi-hik, jangan mengimpi, lo-kai. Si pendek jelas menang gesit dan cerdik. Si tinggi kurus itu pasti terjungkal!"
"Memang benar, tapi sayang keberuntungannya belum sebaik itu. Ha-ha, lihat saja, nona. Meskipun dia membalas tapi tenaga si pendek lemah!"
Soat Eng mengerutkan kening. Memang benar bahwa si pendek mulai mendaratkan beberapa pukulannya di tubuh lawan, terhuyung tapi lawan tidak roboh. Ada kesan tenaga atau pukulan si pendek ini lemah. Dan ketika si pendek sendiri tampak terkejut karena sesuatu yang dirasa aneh mengganggu dirinya maka satu cengkeraman jarinya tiba-tiba berhasil menangkap bahu si tinggi kurus....