HAO TONG dan Thian-kongcu marah. Mereka tak dapat mengendalikan diri lagi dan secepat kilat membentak menerjang lawan tak memandang mata dan amat merendahkan mereka. Tapi begitu mereka membentak dan lawan berkelebat menghilang, wanita baju biru itu lenyap entah ke mana maka tawa dingin terdengar di samping telinga dan tahu-tahu empat tendangan mengenai pinggang mereka.
"Pergilah... des-des-dess"
Dua orang itu menjerit. Mereka tahu-tahu terlempar dan bagai layang-layang putus saja terbanting ke sungai kecil itu, sama seperti Ma-enghiong yang tadi mereka ketawai. Dan ketika dua tubuh mencebur ke sungai dan salju beku memuncrat ke mana-mana, muka mereka juga putih bergumpal salju maka dua orang ini kaget dan berteriak dan bergulingan meloncat bangun. Dua teman yang lain sejenak terbelalak, tapi Thian-kongcu dan Hao Tong ini sudah bergerak lagi, menyerang dan minta agar teman-temannya mengikuti. Ma-enghiong mengangguk dan geli juga melihat dua temannya ini. Muka yang penuh salju itu memang lucu.
Tapi karena penghuni Lembah Es tidaklah lucu dan mereka mengancam untuk membunuh, tentu saja mereka melawan, maka Ma-enghiong menggerakkan golok gergajinya dan teman-teman yang lain mengikuti, susul-menyusul dan lima orang ini sudah mengeroyok wanita berbaju biru itu. Dua yang lain diserang namun mengelak, sengaja menyuruh lima orang itu menyerang saudara mereka, wanita baju biru. Dan ketika Ma-enghiong membentak namun lawan berkelit menghindar, diserang dan ditusuk lagi namun lenyap berkelebat ke atas maka lima senjata bentrok sendiri dan Ma-enghiong bersama kawan-kawannya kaget.
"Crang-crang-crengg...!
Lima lelaki ini terbelalak. Mereka tak tahu ke mana lawan menghilang namun ketika berteriak mendadak bayangan biru turun ke bawah. Kiranya lawan mencelat ke atas dan gerakannya yang luar biasa cepat tak dapat diikuti mata, kini turun ke bawah dan sepasang sepatu putih bergerak menendang rahang, cepat lima kali berturut-turut dan Ma-enghiong serta kawan-kawan tak sempat menghindar. Mereka baru saja bentrok senjata, masing-masing tergetar dan terhuyung, jadi belum sempat memperbaiki diri.
Maka begitu kaki kecil itu bergerak mengenai rahang, cepat dan tak dapat dielak maka Ma-enghiong dan kawan-kawan menjerit dan terpelanting roboh. Semua senjata mencelat dan masing-masing mengaduh. Kaki indah itu membawa celaka. Dan ketika Ma-enghiong terbanting dan empat temannya terlempar ke kiri kanan, rahang mereka retak maka keempatnya tak bergerak-gerak lagi karena dari mulut tiba-tiba mengalir darah merah yang menandakan mereka telah tewas.
"Keji!" Ma-enghiong kaget bukan main. "Kau... kau membunuhnya?"
"Hm!" tawa dingin itu tetap menyeramkan. "Sudah kubilang agar kalian bunuh diri atau kubunuh, orang sbe Ma. Dan empat temanmu telah mampus. Kau rupanya lebih kuat dan punya daya tahan. Baik, majulah sekali lagi dan pungut golokmu itu. Lihat aku akan membuatmu bunuh diri dengan golok yang kau tusukkan sendiri di dadamu!"
Orang she Ma ini berteriak. Mula-mula ia tertegun karena empat temannya tewas begitu cepat, mudah. Ia sekarang sadar bahwa lawan yang dihadapi ini benar-benar lihai. Namun karena ia merasa penghuni Lembah Es ini juga keterlaluan dan biarlah ia mati menyabung nyawa, demi teman-temannya itu maka ia membentak dan memungut golok gergajinya lagi. Ia tak mau lari dan tak akan lari menghadapi bahaya. Ma-enghiong ini ternyata orang gagah.
Dan ketika ia menerjang dan dua wanita lain berseru kagum mereka melihat kegagahan orang she Ma itu maka laki-laki ini sudah menerjang dan siap mengadu jiwa. Penghuni Lembah Es dianggap kejam dan mereka keterlaluan. Nyawa orang dianggap seperti nyawa ayam saja, tak berharga. Tapi ketika ia menerjang dan lawan berkelebat lenyap, lagi-lagi menghilang maka terdengar suara dingin menusuk jantung laki-laki itu.
"Orang she Ma, cekal golokmu erat-erat. Dan kini tusukkan ke dadamu sendiri...!"
Laki-laki ini kaget. Mendadak ia merasa siku kanannya kesakitan karena ujung sepatu sudah menyentuh di situ. totokan lihai mengenai sikunya. Dan ketika ia berteriak karena siku nya tahu-tahu bergerak ke dalam, berarti goloknya juga bergerak ke dalam dan menusuk dadanya maka laki-laki ini pucat karena secepat kilat ia sudah akan bunuh diri!
"Jangan bunuh orang ini. la tahu hormat kepada Dinasti Han. Biarkan ia hidup dan kita beri ampun... tak!" sebutir salju tiba-tiba melesat dari atas gunung, menyambar dengan kecepatan kilat dan golok yang sudah siap menusuk dada sekonyong-konyong terlepas.
Ma-enghiong terbanting dan wanita baju biru tiba-tiba terkejut, terpelanting dan berseru keras. Angin berkesiur menyambar dan tiga wanita terjungkal. Dan ketika Ma-enghiong terguling-guling meloncat bangun namun roboh lagi, sekelebat saja ia melihat sosok bayangan putih yang lenyap lagi ke atas gunung maka tiga wanita itu serentak mengeluh dan bangkit menjatuhkan diri berlutut.
"Tocu...!"
Ma-enghiong tertegun. Wanita baju biru yang ganas dan berkepandaian tinggi itu tiba-tiba menggigil dan pucat, la berlutut dan menunduk di situ sementara dua temannya yang lain juga ngeri dan gentar. Tadi ada bayangan lewat namun setelah itu lenyap lagi. Ma-enghiong sendiri setengah mimpi setengah sadar. la tak tahu apakah bayangan yang tadi dilihat itu benar-benar manusia. Tapi ketika tiga wanita di sana berlutut dan menyebut Tocu, berarti majikan Lembah Es baru saja datang dan menyambar maka laki-laki ini gemetar dan ia pun ikut gentar. Seram!
"Apa.. apa yang harus kulakukan. Siapa yang menyelamatkan nyawaku tadi!"
"Kau pergilah," sebuah suara dingin namun merdu terdengar dari kejauhan, entah dari mana. "Kau orang pertama yang menaruh simpati pada nenek moyang Dinasti Han, orang she Ma. Kau ku ampuni dan karena itu cepat pergilah. Lembah Es tak boleh dimasuki orang luar!"
"Oh, kiranya aku tak bermimpi. Tocu Lembah Es kiranya menolongku. Terima kasih... terima kasih, Tocu. Aku pergi tapi aku protes bahwa dayang-dayangmu kejam!”
"Tak usah banyak mulut!" wanita baju hijau kini membentak, laki-laki itu dipandangnya dengan pandangan berapi. "Kau selamat sudah untung, orang she Ma. Kalau bukan karena Tocu tentu kau kukubur hidup-hidup di sini!"
Ma-enghiong mengangguk. la marah namun tahu diri. Penghuni Lembah Es bukan tandingannya. Dan karena harus pergi karena telah memasuki daerah larangan, betapapun harus bersyukur karena diampuni jiwanya maka dengan tertatih dan bibir berketruk laki-laki ini memutar tubuh. Tiga wanita di sana masih berlutut dan semua memandangnya seperti musuh. Hanya Tocu dari Lembah Es itu yang bersahabat, itupun karena dia memuji dan telah menaruh simpati pada nenek moyang penghuni Lembah Es ini.
Dan ketika Ma-enghiong tersuruk dan diam-diam kaget serta tertegun bagaimana Tocu Lembah Es itu mengetahui simpatinya, tersentak karena mungkin saja waktu ia bicara di guha, sadar dan teringat itu maka diam-diam lelaki ini menghela napas panjang pendek dan kagum serta gentar bukan main. Benar kata orang bahwa keturunan Dinasti Han ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.
Buktînya pembicaraannya di dalam guha saja dapat diketahui seakan seluruh penjuru padang es itu bertelinga. Dan ketika laki-laki itu bergidik karena Tocu dari Lembah Es mengetahui pembicaraannya, ngeri karena dayang-dayangnya saja tak mampu ia hadapi maka lelaki ini mengambil perahunya dan menyeretnya dari bongkahan es terjepit dan melepaskannya di situ dan sambil menggigil kedinginan Ia pergi meninggalkan tempat bersejarah itu.
la tak mungkin membawa teman-temannya karena semua sudah menjadi mayat. Mereka akan seperti tujuh belas temannya terdahulu, mengkirik dan ngeri karena mungkin di sekitar situ sudah banyak timbunan mayat-mayat pendatang "haram" yakni tamu tak diundang yang berani memasuki Lembah Es tanpa ijin. Dan ketika benar saja kakinya terantuk oleh sebuah kepala di balik timbunan salju beku, tak sengaja mengangkat perahunya tadi dari onggokan salju tebal maka orang she Ma ini merasa seram karena di sana-sini tiba-tiba saja bermunculan tulang-tulang putih di bawah tumpukan salju.
Angin meniup permukaan padang es dan kebetulan beberapa di antaranya menguak, memperlihatkan apa yang ada di dalam dan hati lelaki ini bergidik. Benar dugaannya. Di bawah kakinya, entah untuk radius berapa meter terdongak batang-batang kepala serta lengan manusia. Semula tak kentara Karena putih tertimbun salju, juga karena semula tak diperhatikan karena ia tak membayangkan itu.
Tapi begitu beberapa rambut atau baju manusia terlihat sekilas, tempat itu kiranya sudah menjadi "kuburan" maka laki-laki ini menyurukkan perahunya di Semenanjung Hitam, cepat-cepat mendayung dan seumur hidup ia tak akan lupa itu. Padang atau Lembah Es sungguh mengerikan. Dan ketika ia bergidik namun sudah jauh meninggalkan padang beku itu, hamparan es sudah jauh tertinggal di belakang maka laki-laki ini menumpahkan ngeri dan sesalnya dengan menangis,
"Hao Tong, Thian-kongcu. maafkan aku. Kalian dan aku sendiri sedang tertimpa sial. Aku masih hidup berkat kemurahan Tuhan. Maafkan bahwa aku tak mungkin membalaskan sakit hati!"
Lalu mengayuh dan menggerakkan perahunya meninggalkan semenanjung itu maka laki-laki inipun lenyap dan padang atau Lembah Es kembali sunyi. Beku!
Jauh di utara Semenanjung Hitam. Di antara gugusan pulau-pulau kering dan gersang yang oleh penduduk dinamai Kepulauan Akherat, pulau yang setiap malam mengeluarkan tangis atau lolong siluman, maka di tengah gugusan pulau-pulau ini terdapat sebuah pulau yang siang maupun malam selalu merah membara, Pulau ini disebut sebagai Pulau Api dan tak ada penduduk atau nelayan yang berani mendekat. Dari kejauhan pulau itu selalu menyinarkan cahaya api yang berkobar-kobar.
Sepintas seperti ada kebakaran namun api itu sudah ada di sana sejak ratusan tahun, tak pernah padam dan karena itu disebut Pulau Api. Tak ada kebakaran di pulau ini. Dari tahun ke tahun cahaya itu selalu menyala kemerah-merahan karena di pulau itu terdapat sejenis tanaman aneh yang daunnya merah membara. Dari batang sampai pucuk daunnya tak ada yang hijau, semua berwarna merah dan hebatnya pohon atau tanaman ini mengeluarkan gas seperti cahaya api, menyala dan kalau malam menjadi hidup sekali hingga permukaan pulau terang-benderang.
Orang menamakan tanaman itu sebagai Pohon Api dan karena jumlahnya yang ribuan ini maka pulau itu selalu kemerah-merahan, bagai terbakar. Namun karena tak ada yang berani mendekati pulau ini karena cahaya yang kemerah-merahan itu juga meluas sampai ratusan meter di atas permukaan laut, menjarah ke tengah hingga tak ada orang yang kuat menahan panasnya, maka Pulau Api di antara Kepulauan Akherat ini tak pernah didatangi orang. Apalagi karena setiap malam di tengah Pulau Api ini terdengar lolongan atau jerit-jerit setan.
Dulu, beberapa tahun yang lalu ada rombongan nelayan pemberani yang coba-coba mendekati pulau. Mereka tertarik dan heran akan suara-suara di Pulau Api itu. Tapi ketika keesokannya tubuh belasan nelayan itu mengambang di permukaan laut, sudah menjadi mayat, maka teman-temannya bergidik dan tak ada lagi nelayan lain yang berani mendatangi pulau itu karena nelayan-nelayan pemberani yang semalam mendatangi pulau ternyata keesokanya sudah menjadi mayat-mayat hangus yang tubuh maupun kulitnya gosong terbakar!
Kena Pohon Apikah? Tak ada yang tahu. Mungkin saja kena kemarahan para siluman, begitu kata penduduk. Dan kini, pulau yang bertahun-tahun tak pernah didatangi manusia itu tetap menjadi misteri dan penduduk yang jauh dari pulau itu tak pernah datang mendekat dan gugusan Pulau-pulau di Kepulauan Akherat aman dari gangguan manusia.
Sebetulnya, rahasia apakah yang ada di Pulau Api ini? Benarkah ada lolongan atau jerit setan di pulau itu? Semuanya dapat dijawab kalau ada yang memasuki pulau. Dan marilah kita sekarang yang masuk!
Di pulau itu, Pulau Api, pulau yang berada di tengah di antara Kepulauan Akherat ada sekelompok penghuni yang menyeramkan. Tak ada orang lain tahu karena siapapun yang datang ke pulau itu pasti mati. Pulau ini adalah pulau maut dan benar bagi para nelayan itu bahwa sebaiknya mereka tak usah mendekat. Gas api yang menyala dari pohon-pohon merah yang tumbuh dipulau itu cukup berbahaya. Gasnya menyebar sampai ratusan meter di permukaan laut dan siapapun yang coba-coba datang mendekat pasti diserang hawa panas ini. Jangankan manusia, sedang laut sendiri mendidih dibakar gas dari pohon-pohon Api itu.
Sinar atau cahaya kemerah-merahan dari pohon-pohon Api ini amatlah panasnya. Tepian pantai tak ada yang dingin dan akibatnya batu-batuan di tempat itupun merah membara. Pulau Api benar-benar pulau maut, siapa mendekat dia akan dibakar. Dan karena hawa panas dari gas api di tengah pulau itu menyebar ke segala penjuru, laut mendidih dan tentu saja tak ada ikan-ikan yang dapat hidup di situ maka pulau ini menjadi pulau yang gersang dan mati.
Namun jangan dikira tak berpenghuni. Sekelompok manusia yang wajahnya merah dan matanya merah tinggal di pulau ini. Mereka berkulit merah dan semua juga memancarkan cahaya api itu. Tubuh mereka seolah hidup terbakar dan kalau mereka ini berjalan maka mirip obor bergerak, menyala dan tentu saja merupakan mahluk-mahluk menakutkan yang bakal membuat orang merinding. Siapapun pasti meremang dan mengkirik. Apalagi orang-orang Api itu, demikian agaknya sebutan bagi mereka yang tepat, tak pernah tersenyum atau tertawa. Mereka selalu bersikap bengis dan berwajah garang. Dagu-dagu yang kaku telah menunjukkan itu.
Dan karena semua penghuni adalah lelaki, berbeda dengan penghuní Lembah Es yang semuanya adalah wanita maka orang-orang ini tak kalah misteriusnya dengan para wanita di Lembah Es. Masing-masing memiliki keistimewaan dan keunikan sendiri. Dan karena masing-masing juga selalu terdiri dari satu jenis, Lembah Es berisi wanita sedangkan Pulau Api berisi penghuni laki-laki maka di sinipun terdapat larangan bahwa orang luar, terutama wanita, tak boleh masuk.
Adakah hubungan antara penghuni Pulau Api dengan Lembah Es? Mengingat jaraknya yang jauh, ribuan kilometer maka agaknya tidak. Tapi sesungguhnya ya! Karena orang-orang dari Pulau Api itu adalah keturunan dari mendiang saudara Kaisar Han yang dulu memberontak dan merebut kekuasaan! Agaknya, untuk mengetahui ini kita harus balik pada kisah seribu tahun yang lalu.
Marilah kita ikuti sejenak. Dulu, ketika Dinasti Han berkuasa ada empat saudara kaisar yang diam-diam saling berebut pengaruh. Masing-masing mencoba untuk memperbanyak pengikut. Namun dari empat orang itu ternyata yang paling kuat adalah saudara pertama dan ketiga, yakni pangeran Tan Kiong dan adiknya, pangeran Wan Sut. Dan karena dua pangeran inilah yang akhirnya sama-sama memiliki kekuatan berimbang, masing-masing sama kuat dan mempunyai pembantu-pembantu pandai maka dua pangeran yang lain akhirnya bergabung dengan dua orang ini yakni saudara keempat membantu kakaknya pertama sedangkan saudara kedua justeru membantu adiknya ketiga, pangeran Wan Sut.
Perebutan pengaruh ini tak diketahui kaisar. lstana tetap tenang-tenang saja tapi sesungguhnya pergolakan mulai terjadi. Dan hal itu karena adanya kebijaksanaan kaisar dengan diangkatnya pangeran Wan Sut sebagai Thai-suma (Menteri Pertama). Tan Kiong, pangeran pertama, marah dan gusar oleh keputusan kaisar. Dia merasa sebagai saudara tertua, kenapa adiknya nomor tiga yang diangkat sebagai Thai-suma. Bukankah kaisar tak adil?
Dan karena ini membawa dendam dan ketidakpuasan hatinya maka pangeran Tan Kiong mulai mengadakan macam-macam gerakan untuk mendongkel adiknya. Dia marah oleh keputusan sri baginda bahwa adiknya nomor tiga diangkat sebagai Menteri Pertama. Wan Sut atau adiknya itu sekarang menjadi orang nomor dua di kerajaan, wakil kaisar. Dan karena keduanya tentu saja kalah oleh adiknya itu, Tan Kiong tak puas maka dia coba merebut kedudukan secara diam-diam.
Namun adiknya nomor tiga tahu. Pangeran ini mengerti bahwa kakaknya nomor satu itu gusar, ia harus berhati-hati dan tentu saja waspada. Namun karena pengangkatan itu dilakukan oleh kaisar sendiri dan kaisar melakukan itu karena tahu bahwa adiknya nomor satu mempunyai watak yang kurang baik, suka menghambur-hamburkan uang dan main perempuan, maka kaisar menjatuhkan pilihannya kepada adiknya nomor tiga itu, Wan Sut.
Dengan kekuasaannya dia membuat siapapun tak mungkin berkutik, apalagi keputusan disetujui juga oleh penasihat utama Kepala Agama, yakni Thio-taijin atau Thio Cai, seorang laki-laki tua yang oleh kaisar amat dihormat dan dihargai kata-katanya. Dan karena keputusan mengangkat Thai-suma ini juga atas persetujuan Kepala Agama itu, yang dihormat dan disegani rakyat maka pengangkatan pangeran Wan Sut disambut gembira oleh hampir semua orang, kecuali Tan Kiong dan para pengikutnya.
"Kurang ajar, kanda kaisar tak adil. Ada aku di sini kenapa mengangkat Wan Sut sebagai Thai-suma? Apakah aku tak digubris? Keparat, nanti usingkirkan si Wan Sut itu!"
"Benar" seorang pengikut memanasi. "Sri baginda rupanya kena pelet, pangeran. Kudengar bahwa Wan-ongya itu memiliki seorang ahli kebatinan dari Barat. Ia tentu minta tolong kakek itu untuk mengguna-gunai kaisar."
"Siapa dia? Kakek dari mana?"
"Katanya dari Himalaya, ahli pengobatan dan tukang tenung!"
"Hmm, panggil Kwee Huan. Suruh ia datang ke mari dan coba kutanya apakah ia tahu tentang kakek itu atau tidak!"
"Hamba sudah di sini", seorang laki-laki bermuka bulat tahu-tahu berkelebat muncul. "Hamba sudah tahu tentang itu, pangeran, Dan dia bukan lain adalah Sun Cek Tojin!'
"Oh, kau sudah di sini?" sang pangeran terkejut, kagum. "Bagus, Kwee Huan. Aku ingin tahu lebih jauh tentang kakek itu dan benarkah ia tukang tenung!"
"Ha..ha... yang benar ia seorang ahli tapa dan lweekeh. Tenaga batinnya memang kuat dan ia mampu mencipta mahluk-mahluk jejadian untuk menipu orang. Hamba tentu saja kenal!"
"Hm... kau dapat membawa kakek itu kesini?"
"Untuk apa?" Kwee Huan terkejut, mengerutkan kening. "Sun Cek Tojin tak gampang didatangkan, pangeran. la orang yang amat keras dan tinggi hati. Ia sombong!"
"Hm, aku ingin kau membawanya kemari, sebentar saja. Aku ingin kenal!"
"Baik, tapi tanpa surat paduka tak mungkin kakek itu mau datang. Bagaimana kalau paduka membekali surat dan pekerjaan hamba lebih gampang."
"Kau tak dapat memaksanya?"
"Ah, paduka ingin hamba bermusuhan dengannya? Bagaimana kalau Wan-ongya campur tangan dan hamba diusir? Hamba berani-berani saja memaksa kakek itu, pangeran. Tapi tentu repot kalau ia melapor majikannya. Sekarang Wan-ongya itu sudah menjadi Thai-suma. la dapat memanggil pengawal atau mengerahkan pasukan untuk menangkap hamba!"
"Hm, betul juga," sang pangeran mengangguk-angguk. "Baiklah, kau bawa surat ini dan panggil Sun Cek Tojin itu!"
Kwee Huan, orang kepercayaan pangeran ini lalu berangkat. Dia sudah dibekali surat dan pekerjaannya itu dianggap lebih mudah. Langsung saja ia mencari kakek itu, tapi Sun Cek Tojin mengerutkan kening. Kakek itu berkata kenapa surat ditujukan langsung kepadanya, bukankah seharusnya kepada Wan-ongya dulu karena ia adalah pembantu. Jadi majikan memberitahukan majikan dulu, barulah bawahan menurut. Dan ketika Kwee Huan tertegun karena itu memang betul, prosedurnya memang harus begitu maka ia kembali tapi majíkannya justeru marah-marah. Pangeran Tan Kiong mendelik.
"Apa? Tua bangka itu menyuruh aku menyurati dulu adikku Wan Sut? Memangnya dia terlalu berharga hingga harus diulang memanggilnya? Keparat, sombong benar kakek itu, Kwee Huan. Tapi kau juga bodoh melebihi kerbau. Disuruh kembali juga kembali dan disuruh lapor juga lapor. Kau pembantu tak berguna. Hayo kembali dan suruh kakek itu menghadap, atau nanti kulaporkan ia sebagai mata-mata musuh. la orang asing!"
Pembantu Tan-ongya ini merah padam. Ia malah dimaki-maki dan dikutuknya habis-habisan tua bangka itu. Sun Cek Tojin dianggapnya jual mahal dan betul juga kata-kata majikannya ini. Siapa kakek itu yang berani benar menyuruh Tan-ongya harus "kulonuwun" dulu kepada Wan-Thai-suma. Terlalu, seorang hamba sudah berani banyak tingkah. Hamba macam apa ini! Dan ketika ia kembali dan ganti uring-uringan memaki kakek itu, Sun Cek terkejut dan marah memandang lawannya maka kakek ini membentak,
"Kwee Huan, kau dan aku adalah sama-sama pembantu. Kita masing-masing bekerja di tempat majikan yang berbeda. Kalau kau sekarang memaki-maki aku dan enak saja bicara jangan harap aku mau datang. Memangnya kau Tan-ongya sendiri? Kau seorang pembesar atau menteri istana? Aku tak mau datang kalau kau tak mäu minta maaf, nah... terserah kau mau ataukah tidak!"
"Eh-eh, kau marah-marah kepadaku? Kau jual mahal dan pasang harga? Aku hanya menjalani perintah majikanku, Sun Cek. Kalau bukan karena itu aku tak mau datang!"
"Kalau begitu siapa yang perlu, kau ataukah aku. Kalau kau tak merasa perlu, pulang dan laporkan saja kepada majikanmu bahwa aku tak mau datang. Tapi kalau kau mau minta maaf biarlah kuturuti permintaan majikanmu ini meskipun tidak melalui prosedur yang benar. Nah, kau pilih yang mana!"
Lelaki bermuka bulat ini kalah debat. Ia melotot dan sebutir batu hitam diremasnya hancur. Itulah pelampiasan kemarannya lewat tenaga lweekang, tenaga dalam. Tapi ketika kakek itu tertawa dingin dan balik menginjak batu di kakinya yang juga hancur lebur, lawan menggeram maka apa boleh buat Kwee Huan meminta maaf. "Baiklah, aku minta maaf, Sun Cek Tojin. Dan mari kita sama-sama tak cerewet lagi menghadap Tan-ongya!"
Dua orang itu bergerak. Kakek itu melangkah tenang dan Tan-ongya memandang tak berkedip laki-laki tua di depannya ini. Pembantunya telah membawa datang kakek itu, kakek bertubuh sedang tapi matanya setajam elang. Dan ketika Sun Cek Tojin membungkuk dan memberi hormat, bertanya apa maksud pangeran menyuruhnya datang tiba-tiba pangeran ini tertawa dan menepuk kursinya.
"Heh, kaukah Sun CekTojin, orang tua? Kau dari Himalaya dan seorang ahli tenung?"
"Maaf, tenung adalah ilmu hitam, hamba bukan semacam itu."
"Ha-ha, tapi kau dikabarkan mampu menampakkan barang-barang ciptaan. Coba kau tunjukkan kepadaku dan biar kulihat. Aku senang sulap!"
"Maaf," kakek ini membungkuk, tetap hormat, "hamba bukan ahli sulap, pangeran. Hamba hanya seorang tua yang mampu sedikit-sedikit mengobati orang. Hamba seorang pertapa."
"Itulah, dan kau dikabarkan memiliki daya linuwih. Coba kau tunjukkan itu dan kulihat!"
"Hm," kakek ini akhírnya berdiri tegak, menghela napas dalam. "Hamba memiliki semuanya itu bukan untuk dipertontonkan pangeran. Kalau dipertontonkan malah tak mau keluar. Hamba tak dapat menuruti paduka!"
"Kalau begitu bagaimana supaya keluar? Dan eh, berapa lama kau di tempat adikku, Sun Cek Tojin? Adakah kau mata-mata?"
Kakek ini terkejut. "Maksud paduka?"
"Hm, gerak-gerikmu mencurigakan. Kau tidak terbuka. Aku khawatir bahwa kau kesini sebagai mata-mata. Kau bersikap tertutup!"
"Pangeran..!" kakek ini terkejut. Hamba bukan orang yang seperti paduka tuduhkan. Hamba sudah lama kenal dengan Wan-ongya. Hamba orang baik-baik!"
"Kalau begitu kenapa kau menyembunyikan ilmumu? Orang yang terbuka tak akan bersikap begitu, Sun Cek Tojin. Dan aku malah jadi curiga, jangan-jangan kau ini mata-mata atau musuh dalam selimut. Kau pendatang baru di sini."
Sun Cek Tojin berseru tertahan la pucat dan merah berganti-ganti oleh omongan kasar pangeran ini. Kalau bukan pangeran itu yang bicara tentu ia sudah menerjang dan menghantamkan tongkatnya. Kakek itu memang bertumpu tongkat. Tapi ketika ia dapat menahan diri dan sinar matanya tiba-tiba berkilat dan tajam menyambar pangeran maka kakek ini terbatuk dan cepat membungkuk.
"Pangeran, masalah ini agaknya Wan-ongnya lebih tahu, paduka tanya dan hamba tentu rela ditangkap kalau tuduhan paduka betul. Maaf, agaknya hamba harus kembali dan terima kasih atas undangan paduka.'"
"He, nanti dulu!" Tan-ongya meloncat dan turun dari kursinya. "Aku ingin melihat kepandaianmu, Sun Cek Tojin. Bagaimana supaya keluar dan apakah kau begitu sombong untuk tidak memperlihatkannya kepadaku. Aku berani membayar berapa saja. Berapa kau minta!"
Kakek itu merah padam, darahnya kembali mendidih. Namun karena ia sudah mendengar tentang tindak-tanduk pangeran ini dan sikapnya yang jumawa, mengandalkan harta dan kedudukan maka kakek itu membalik dan tersenyum hambar, kemarahannya benar-benar ditekan. "Pangeran, ilmu tak dapat dipamerkan. kalau tidak diperlukan. Hamba tak memliki kepandaian apa-apa yang patut diperlihatkan kepada paduka."
"Tapi aku ingin melihat kepandaianmu. Jangan bersikap congkak. Aku berani membayarmu berapapun dan nih, sekantung emas boleh kau terima!"
Kakek itu terkejut. Sekantung uang benar-benar dilempar dan gemerincing emas benar-benar menyentak. Kwee Huan dan beberapa orang yang ada di situ melotot. Betapa banyaknya! Tapi ketika kakek itu menangkap dan uang tak sampai jatuh ke tanah, Sun Cek Tojin tertawa aneh maka kakek ini berseru seraya mengembalikan pundi-pundi itu.
"Pangeran, hamba benar-benar tak hendak memperjualbelikan ilmu hamba. Kepandaian bukan untuk dibuat pamer. Kalau paduka ingin tahu biarlah yang sedikit ini hamba tunjukkan secara cuma cuma. Maaf, uang tak bakal mempengaruhi hamba... blarr!"
Seekor burung tiba-tíba melesat, datang dan menyambar Tan-Ongya dan belibis berbulu putih itu berciap riang. Tan-ongya terkejut dan tak mungkin pula menghindar. Belibis itu sudah menyambar. Dan ketika pangeran tertegun karena burung itu telah hinggap di pundaknya, berkicau dan berceloteh riang maka ia pun gemas dan riang menangkap burung ini. Tapi begitu ditangkap tiba-tiba burung ini telah berobah menjadi hitam berisi uang emas tadi.
"Ah!" pangeran ini kecewa. Kau menipuku, Tojin. Mana burung belibis putih itu!"
"Inilah yang paduka minta," sang kakek tertawa. "Hamba telah menunjukkan sulap, pangeran. Dan sekarang permisi!"
Tan-ongya memanggil. la meminta agar kakek itu kembali namun Sun Cek Tojin tiba-tiba telah menghilang. Pangeran itu tertegun. Dan ketika ia keluar namun kakek itu benar-benar lenyap, pulang. Maka pangeran ini mendesak dan menyuruh Kwee Huan agar memanggil lagi.
"Ah-ah, ia kakek hebat. Suruh ia kembali dan menunjukkan lagi kepandaiannya itu!"
"Ia tak mau datang," Kwee Huan berkerut kening. "la sudah memenuhi permintaan paduka dan tak mungkin dipaksa, pangeran. Kecuali paduka mau menulis surat kepada Wan-ongya..."
"Benar, benar. Tak apa! Akan kutulis surat buat adikku itu dan kuminta Cek Tojin di sini seminggu!"
"Apa? Seminggu?"
"Ha ha, kau goblok tak dapat menghiburku seperti kakek itu, Kwee Huan. Kalau kau bisa tentu aku tak usah memanggilnya. Serahkan surat ini kepada Wan-Suma dan suruh kakek itu datang lagi!"
Laki-laki ini mendongkol. Kepandaian begitu memang ia tak dapat karena bersifat sihir. Sun Cek Tojin memang seorang pertapa, ahli batin. Dan karena ia harus melaksanakan perintah dan dicarinya Wan-thai-suma untuk menyerahkan surat itu maka Menteri Wan ini mengerutkan kening, terkejut.
"Untuk apa kanda Tan minta begini? Apakah ia sudah tahu Sun Cek Tojin?"
"Sudah,'" si kekek tiba-tiba muncul. "Dan maafkan hamba bahwa tadi hamba sudah ke sana, ongya. Hamba diminta datang tanpa sepengetahuan paduka. Tadinya hamba hendak menutupi kejadian ini tapi sekarang terpaksa dibuka karena paduka rupanya mendapatkan sesuatu dari Tan-ongya."
"Benar" pangeran itu memandang tertegun. "Aku dimintanya untuk menyerahkan dirimu seminggu, Sun-totiang. Dan aku tak tahu bagaimana menjawabnya. terserah dirimu"
"Seminggu?" si kakek terkejut. "Hm, agaknya berat, ongya. Tapi hamba menyerahkan kembali kepada paduka. Hamba hanya seorang pembantu!"
Wan-thai-suma mengerut-ngerutkan keningnya ia bertanya apa sesungguhnya yang telah terjadi dan apa yang diminta nya. Dan ketika Sun Cek Tojin itu mengatakan bahwa Tan-ongya ingin permainan sihir, seperti anak kecil maka Wan-thai-suma menarik napas dan apa boleh buat "meminjamkan" pembantunya itu kepada kakaknya, demi menjaga hubungan baik.
"Baiklah, kau ikut Kwee Huan ini dan tinggallah kau suka. Kalau seminggu terlalu lama biarlah dua atau tiga hari saja. Bagaimana?"
"Hamba setuju. Biarlah dua hari hamba di sana dan setelah itu hamba kembali.”
"Dan maafkan kakakku itu," Wan-thai Suma mandang Si kakek. "la memang begitu, Sun-totiang. Harap tidak kecil hati dan kau pandanglah mukaku."
Kakek itu mengangguk. la mengerti dan telah tahu ini. Maka ketika ia berangkat dan kembali ke tempat Tan Ongya maka pangeran itu tertawa lebar dan sinar matanya penuh kemenangan mengejek kakek iní.
"Ha-ha, bagaimana, Sun Cek Tojin. Bukankah kau kembali lagi ke sini. Ayo, mulailah lagi ilmu sihirmu itu dan jangan khawatir aku mencukupi segala kebutuhanmu lebih dari adikku!"
Kakek itu tersenyum dipaksa. la menarik napas dalam dan apa boleh buat mengeluarkan sihirnya. Belibis putih dikeluarkan lagi dan burung-burung lain juga dikeluarkan. Tan-ongya minta agar tidak hanya seekor. la ingin yang lebih banyak dan kakek itu tinggal menuruti saja. Dan ketika sebentar kemudian kakek ini telah berhasil menarik perhatian Tan-ongya, lupa kepada Kwee Huan dan pembantu-pembantunya yang lain.
Maka tentu saja Kwee Huan dan teman-temannya itu marah. Mereka merasa disingkirkan oleh hadirnya kakek ini. Kwee Huan mulai mengganggu dan merusak sihir lawannya. Caranya adalah memukul pecah sihir si kakek, dengan pukulan jarak jauh. Dan ketika apa saja mulai digunakan laki-laki ini untuk menghancurkan sihir, sumpit atau benda-benda apa saja dijentikkan secara lihai maka kakek itu marah dan memandang Kwee Huan.
Tapi dari arah lain menyambar lagi kerikil hitam atau jarum-jarum rahasia. Itulah perbuatarn Yauw Seng adik seperguruan Kwee Huan, tertawa dan kakek menoleh namun dari arah lain menyambar senjata-senjata lain lagi. Maklumlah kakek ini bahwa ia sengaja diganggu, dirusak. Dan ketika ia menghentikan sihirnya dan Tan-ongya kecewa kenapa kakek itu berhenti, ditanya,' maka kakek itu memandang Kwee Huan dan lain-lainnya itu sambil menuding.
"Pembantu ongya mengganggu hamba. Kalau mereka tak dapat main sihir sebaiknya diam menonton, jangan merusak. Kalau ongya tak dapat mengusir mereka biarlah hamba berhenti dulu.”
"Eh... eh, mereka melakukan apa?" Tan ongya terheran, tentu saja membela pembantu-pembantunya sendiri, "Aku tak melihat mereka melakukan apa-apa, Sun Cek Tojin. Mereka duduk diam di sana!"
"Benar, tapi mereka melempar sumpit atau benda-benda lain untuk mengganggu permainan hamba. Kalau mereka tidak suka sebaiknya disuruh pergi saja!"
"Wah, omongan apa ini!" Kwee Huan melompat bangun, tertawa. "Kami adalah pengawal-pengawal pribadi pangeran, To-jin. Kalau kami disuruh pergi lalu bagaimana keselamatan pangeran. Apakah kau tak akan bertindak yang macam-macam!"
"Macam-macam bagaimana? Aku tak melakukan apa-apa!"
"Ha-ha, kau tak usah mungkir. Tadi dengan sihirmu kau hendak membunuh pangeran. Lihat ular naga tadi. Itu adalah pisau belati yang akan kau tancapkan di tenggorokan pangeran. Kalau kami tak mencegah tentu junjungan kami kau bunuh. Maaf..". laki-laki ini membalik menghadapi junjungannya. "Benar bahwa kami mengacaukan permainan sihirnya. Tapi itu adalah untuk menjaga keselamatan jiwa paduka. Lihat buktinya pisau belati ini!" Kwee Huan menarik sesuatu dari pinggangnya, memperlihatkan kepada majikannya dan Tan-ongya terkejut.
Wajah pangeran ini berubah tapi wajah. Sun Cek Tojin lebih berubah lagi. Dia marah karena difitnah! Dan ketika kakek itu melotot dan mencari tahu apa penyebabnya, tertegun dan sadar bahwa Kwee Huan dan lain-lainnya itu kiranya iri kepadanya maka kakek ini membentak dan cepat membela diri, keadaan bisa gawat.
"Pangeran, jangan percaya omongan Kwee Huan. Hamba sama sekali tidak melakukan itu. Ini fitnah. Pembantu paduka itu iri. la bohong!"
"Ha-ha, bohong untuk apa? Kau boleh pandai sihir, Sun Cek Tojin. Tapi dengan kepandaianku di sini sihirmu tak banyak berdaya. Dan kau mau membunuh pangeran pula. Hm, tentu atas suruhan majikanmu. Hayo mengaku bahwa kau diperintahkan Wan-thai-Suma!"
"Bohong, keparat keji!" sang kakek tiba-tiba meledak. "Fitnahmu semakin melantur, Kwee Huan. Atas dasar apa majikanku menyuruh begitu!"
"Ha-ha, atas dasar takut. Wan-thai-suma telah menyadari kesalahannya merebut hak Tan-ongya dan kini diam-diam ingin menyingkirkannya lewat dirimu!"
"Keparat, hak tentang apa. Jangan bicara tak karuan!"
"Ha-ha, hak tentang kedudukan Menteri Pertama itu, Sun Cek Tojin. Hak tentang apalagi. Kau tak usah berlagak blo'on dan mengaku saja!"
Kakek ini melengking. Tan-Ongya yang berubah dan pucat mendengar itu tiba-tiba marah menganggap betul. la baru saja marah-marah tentang pengangkatan itu dan Kwee Huan tiba-tiba bicara tentang ini, tentu saja ia terkejut, gusar. Dan karena pisau belati itu ditunjukkan sebagai bukti dan sang pangeran tak mau membuang-buang waktu maka ia berteriak agar si kakek ditangkap.
Namun Sun Cek Tojin telah membentak. Kakek ini mendelik karena Kwee Huan bicara yang tidak-tidak. Rasa iri tiba-tiba dilampiaskan dengan fitnah. Tentu saja itu tak dapat diterimanya. Tapi ketika ia menerjang dan berkelebat ke arah Kwee Huan tiba-tiba berkesiur angin dingin dan Yauw Seng, adik seperguruan Kwee Huan menghantamnya dengan pukulan miring.
"Pertapa tua, kau robohlah!"
Sang kakek terkejut. Kwee Huan sendiri sudah melompat jauh dan menghindar dari kemarahan kakek ini. Sun Cek membalik dan tentu saja kakek itu menangkis. Dan ketika dua lengan beradu namun lawan terpental, Yauw Seng terkejut dan berseru keras, maka sang kakek mengejar lagi Kwee Huan si pembuat gara-gara itu.
"Kwee Huan, kau harus membayar bersih namaku!"
Laki-laki ini tertawa. Sudah gatal tangannya untuk bertanding. la ingin menguji dan inilah saatnya yang baik. Kata-katanya sudah terlanjur dikeluarkan dan tak mungkin ditarik. la terlanjur mendongkol kepada majikannya dan lawannya inilah yang dijadikan korban. Kwee Huan tak mau berpikir tentang akibatnya nanti. Yang penting ia ingin adu otot! Dan ketika kesempatan itu terbuka dan sedetik ini ia terkejut melihat adiknya kalah kuat, terpental tapi ia sendiri sudah siap dan tertawa bergelak, maka tempat yang tadi di pakai untuk bermain sihir sudah untuk baku hantam!
"Plak-dess!"
Dua-duanya terlempar. Ternyata kakek ini maupun lawannya memiliki tenaga berimbang. Kwee Huan berjungkir baiik dan tertawa nyaring sementara Sun Cek Tojin mendelik dan melayang turun. Kakek ini juga berjungkir balik dan marah kepada lawan. Namun ketika ia hendak berkelebat dan menyerang lagi ternyata Yauw Seng sudah mencabut senjatanya dan dengan sebatang ruyung berduri laki-laki itu membabatkan senjatanya ke pinggang si kakek, dikelit dan menyerang lagi dan Kwee Huan membantu sang sute. Sun Cek Tojin tiba-tiba sudah dikeroyok! Dan ketika kakek itu berkelebatan dan Tan-ongya memanggil pengawal, yang lari dan berdatangan maka pangeran itu merah padam agar si kakek dibekuk, mati atau hidup.
"la hendak membunuhku. Keparat. Jaga jangan sampai lolos dan robohkan dia!"
Pengawal tertegun. Mereka terbelalak memandang pertandingan itu dan bayangan si kakek naik turun di antara pukulan-pukulan dahsyat. Ruyung menderu, mengikuti gerakan si kakek dan sibuklah pembantu Wan-thai-suma ini menghadapi. Lawan sungguh licik. Dan ketika ia harus menangkis pukulan dari kiri kanan dan ruyung mengenai pundaknya maka Sun Cek Lojin terpelanting dan untuk pertama kalinya kakek itu mengaduh,
"Augh!"
Kwee Huan tertawa bergelak. Dua lawan satu ternyata dapat mendesak, ia mengejar dan diperintahnya sutenya itu untuk melakukan sapuan-sapuan dari bawah. Dan ketika Sun Cek harus bergulingan namun dikejar dan tetap dikejar maka sebuah pukulan ruyung kembali mengenai bahu, berjengit dan kakek ini menahan sakit dengan bibir dikatup kuat-kuat. Kalau ia tidak mengerahkan tenaga dalamnya tentu kedua pundaknya remuk. Suheng dan sute itu kejam. Dan ketika sekali lagi ruyung menderu dan ia mengelak, dikejar tapi ruyung cepat ditangkap maka Sun Cek Tojin mengeluarkan suara bentakan dan ruyung berikut pemiliknya tiba-tiba diangkat naik, dihantamkan ke tembok!
"Mampus kau.. bress!"
Yauw Seng berteriak keras. Tak sempat lagi mengelak atau melepaskan senjatanya. la tak menyangka akan đihantamkan ke tembok. Namun karena ia adalah sute dari Kwee Huan dan laki-laki ini memiliki sinkang yang melindungi tubuhnya maka meskipun serasa remuk ia masih selamat, terbanting dan roboh di dinding dan saat itu terdengar keluhan tertahan Sun Cek Tojin.
Pukulan Kwee Huan menghantam punggungnya karena ketika kakek itu membenturkan tubuh sutenya laki-laki ini berkelebat dan cepat menolong, terlambat namun pukulannya mengenai punggung lawan. Dan karena ia juga ahli lweekang dan kakek itu dibokong dari, belakang maka Sun Cek terhuyung dan kakek ini melontakkan darah segar. Yauw Seng dihajarnya setengah mati namun diri sendiri juga luka dalam.
"Huakk!" Kakek ini mendelik. la melotot memandang lawan namun Kwee Huan tertawa aneh.
Laki-laki itu juga marah melihat sutenya tersungkur di sudut, untuk sejenak setengah pingsan dan sutenya itu kelengar. Yang dilakukan Sun Cek Tojin tadi juga tidak main-main. Kalau bukan Yauw Seng tentu hancur luluh, lumat seperti perkedel. Namun karena Yauw Seng dilindungi sinkangnya dan giliran kakek itu yang menerima hantaman Kwee Huan mendelik dan muntah darah maka Sun Cek Tojin tiba-tiba melepas ikat kepalanya dan rambut yang đigelung tiba-tiba berurai. Ikat kepala ini dipakai sebagai senjata, lawan sudah menyerang lagi.
"Kakek bau, kau mampuslah!"
Kakek ini menggereng marah, la sudah terluka namun bukan berarti menyerah. Ia masih kuat dan ikat kepala itulah yang dipakai menyambut pukulan Kwee Huan. Dan ketika laki-laki itu menghantamnya dan ikat kepala ini meledak terisi tenaga sakti, lurus dan kaku. menyambut pukulan maka si kakek membentak mengerahkan tenaga batinnya. Ikat kepala tiba-tiba berobah menjadi naga.
"Kwee Huan, kau pemfitnah dan jahat berwatak keji. Jangan kira aku takut kepadamu. Cobalah, lawan sihirku secara berdepan!"
Semua orang terkejut. Koak seekor Naga merah tiba-tiba terdengar menggetarkan tempat itu. Para pengawal dan Tan-ongya menjerit berlarian mundur, Tan-ongya jatuh menabrak kursi sampai tunggang-langgang. Dan ketika Kwee Huan juga terpekik karena sihir si kakek berdepan menyerangnya, tadi ia mampu mengganggu karena Sun Cek Tojin menghadapkan sihirnya kepada Tan-ongya maka laki-laki ini kaget bukan main ketika tahu-tahu mukanya sudah disambar mulut naga yang terbuka lebar-lebar, lidahnya menjilat-jilat dan mengeluarkan api.
"Naga jejadian!" Kwee Huan membentak dan coba menyadarkan diri sendiri. Ia secepat kilat membanting tubuh dan segenap ingatan ditujukan untuk mengusir bayangan naga itu. Tapi karena tenaga batinnya kalah kuat den kini ilmu sihir itu juga berhadapan secara langsung, naga tetap saja berbentuk naga dan terbang menyambarnya maka laki-laki ini kelabakan dan jidat atau dahinya tiba-tiba mengeluarkan taring naga melesat di mukanya.
"Brett...!" Darah mengalir dan kejadian itu menggemparkan semua orang. Tan-ongya sendiri sudah bersembunyi namun saat itu Yauw Seng sudah bangkit berdiri. Laki-laki ini sudah hilang pusingnya dan ia terbelalak melihat suhengnya diserang naga. Sihir sedang diarahkan ke suhengnya dan ia mengerahkan tenaga batin, melihat bahwa naga itu sebenarnya adalah ikat kepala yang beterbangan menyambar-nyambar.
Dan karena Yauw Seng sudah pulih dari bekas hantaman Sun Cek Tojin, kakek itu tak memperhatikannya karena sibuk menyerang suhengnya maka Yauw Seng yang sudah memperkuat batin melihat naga jejadian tiba-tiba membentak dan melepas tujuh pisau kecil ke arah benda yang beterbangan seperti naga itu.
"Suheng, jangan takut. Itu hanya ikat kepala si tua bangka... brett..!"
Naga ambyar, hancur menghilang dan sebagai gantinya terlihatlah ikat kepala si kakek yang jatuh ke lantai. Ikat kepala itu sudah berlubang oleh tujuh pisau kecil laki-laki ini, naga lenyap, dan tentu saja Sun Cek Tojin terkejut. Dan ketika kakek itu tertegun teringat lawannya yang lain ini, Kwee Huan sadar dan melihat aga itu hanyalah sebuah ikat kepala saja maka laki-laki ini melompat bangun dan menerjang. Sepasang gelang besi berada đi tangannya.
"Sun Cek, kau rupanya pertapa penipu bocah. Keparat, rasakan pembalasanku!"
Kakek ini mengelak. Ikat kepalanya sudah hancur dan ia tak mempunyai senjata lagi. Dan ketika ia dikejar dan mengelak lagi, dada tiba-tiba sesak dan menyulitkan gerakannya, mendadak kakek ini berkelebat dan melarikan diri, maksudnya mau melapor dan pulang ke tempat Wan-thai-suma.
"Kwee Huan, kau laki-laki pengecut. Beraninya mengeroyok!"
"Berhenti!" laki-laki itu membentak, gelang di tangan tiba-tiba menyambar, satu dilepas dan mencegat lari kakek ini, yang terpaksa menangkis. "Kau tak boleh pergi , Sun Cek. Kecuali kalau kau telah menyerahkan nyawamu..." Plak! kakek itu terpelanting, kaget berseru keras namun saat itu Yauw Seng juga mengejar dan membentaknya. Tujuh pisau kecil kembai menyambar dan kakek ini sibuk, pucat. Dan ketika ia mengelak dan berlompatan ke sana-sini namun Kwee Huan juga menyerangnya dan melepas gelang-gelang besinya maka sebatang pisau menancap di pangkal lengan kakek ini sementara lontaran gelang besi juga menghantam tengkuknya.
"Crep-dess!"
Kakek ini terbeliak. Lukanya bertambah dan iapun semakin gusar. Pengawal bersorak dan Tan-ongya tiba-tiba juga muncul kembali. Pengaruh naga itu telah lenyap. Namun ketika kakek ini melengking dan suaranya begitu tinggi, menusuk anak telinga maka kakek ini bergulingan, empat buah genting tiba-tiba telah berada di genggamannya.
"Terimalah ini!"
Pengawal dan Tan-ongya berteriak. Mereka yang baru saja bersorak mendadak terpekik, genting di tangan kakek itu berubah menjadi ular-ular hitam yang menyambar dengan cepat. Dan ketika kakek itu meraih genting-genting yang lain dan melemparkannya ke pengawal, berubah menjadi harimau atau burung-burung raksasa maka semua menjerit dan tunggang-langgang.
"Plak-plak-plak!"
Harimau atau burung-burung raksasa itu mengelepakkan sayapnya mengibas pengawal. Mereka terlempar dan berteriak-teriak. sementara Tan-ongya yang juga mulai membuat kakek ini marah menerima terkaman seekor harimau buas. Pangeran itu terpekik dan roboh menabrak meja, hiruk-pikuk dan pecah pipinya. Dan ketika Yauw Seng maupun suhengnya juga terkesiap disambar ular-ular hitam, sang kakek mengerahkan kekuatan sihirnya maka dua orang itu menggerakkan tangannya dan ular-ular hitam dipukul roboh.
"Prak-prak-prakk..!"
Ular-ular itu ternyata adalah genting-genting yang dilemparkan kakek itu tadi. Tangkisan dua orang ini membuat sihir lenyap pengaruhnya namun saat itu Sun Cek Tojin sudah melompat keluar. Kakek ini terhuyung melarikan diri. la harus secepatnya Menemui Wan-thai-suma. Namun ketika Yauw Seng dan suhengnya mengejar sambil melepas serangan- serangan berbahaya, dua orang itu membentak dan ruyung atau gelang besi mereka menyambar kakek ini.
Maka Sun Cek tertahan dan apa boleh buat harus menangkis, terpelanting dan lari lagi dan sambil lari ini kakek itu mencopot genting-genting istana. la melemparkan itu sambil membentak mengerahkan sihir, merubah genting menjadi apa saja yang mampu menahan dua pengejarnya. Istana seketika ribut. karena pengawal berdatangan dari mana-mana sementara Tan-ongya berteriak-teriak dan memaki kakek itu untuk ditangkap atau dibunuh.
Sun Cek Tojin benar-benar dalam bahaya maka kakek yang gagah namun sudah terluka ini coba menerobos sambil melempar-lempar sihirnya. Sayang, karena dada dan pangkal lengannya terluka oleh hantaman gelang besi dan pisau yang masih menancap, juga kakek ini muntah darah lagi oleh pukulan sinkang lawan maka pengaruh síhir kakek ini tak sekuat biasanya.
Untuk para pengawal memang dia dapat menakut-nakuti, namun untuk Kwee Huan maupun sutenya ia tak seberapa berhasil. Dan ketika ia terus berlari sambil melempar sihirnya, pecah dan gagal lagi dihantam suheng dan sute itu maka kakek ini roboh ketika tepat di pintu gerbang majikannya.
"Tolong... tolong panggil Wan-thai-suma. Aku... aku harus melapor sesuatu yang penting..."
Pengawal di tempat Wan-thai-suma terkejut. Mereka tentu saja mengenal kakek ini sebagai orang kepercayaan Wan-thai-suma, pembantu paling dihargai dan amat dihormat. Tapi ketika mereka terbelalak dan seorang di antaranya sudah berlari ke dalam, memanggil Wan-thai-suma maka Kwee Huan dan sutenya yang membentak masuk sudah melepas serangan lagii, gelang besi dan ruyung menghantam si kakek.
"Sun Cek Tojin, kau mau membunuh Tan-ongya. Terimalah kematianmu!"
Kakek ini terbelalak. Ia benar-benar kehabisan tenaga dikejar dan dikeroyok dua orang ini, matanya mendelik. Dan karena tak mungkin lagi ia mengelak serangan itu dan kakek ini mendesis mendadak ia menangkap ruyung dan dijobloskannya ke dada Kwee Huan, musuh yang paling dibencinya.
" Hei...!" Namun terlambat. Kwee Huan tak menduga sama sekali bahwa di saat-saat terakhir itu kakek ini masih mempunyai sisa tenaga.
Sun Cek Tojin memang hebat dan gagah benar kakek itu. Ia memang memancing agar Kwee Huan mendekat, setelah melepas gelang besinya. Dan ketika ruyung menyambar namun ia menangkap dan mendorongnya ke dada Kwee Huan meminjam tenaga Yauw Seng dengan satu sentakan kuat maka tepat ketika gelang besi menghantam kepalanya ruyung panjang itu juga menancap di dada pembantu Tan-ongya ini, jarak sudah sedemikian dekat.
"Cep-dess...!"
Kejadian cepat ini berlangsung sepersekian detik. Kwee Huan yang tak menyangka itu melotot, dia mengeluarkan teriakan tertahan dan seakan tak percaya kepada ruyung yang menembus dadanya. Sang sute juga terkejut karena berkat kepandaian si kakek maka tenaganya "dipinjam", langsung dipakai untuk mencelakai kakaknya sendiri. Dan ketika Yauw Seng juga tersentak melepas ruyungnya, laki-laki itu tadi masih memegangi gagangnya maka Kwee Huan roboh dan tewas, tak lama kemudian. Sun Cek Tojin sendiri juga pecah kepalanya dihantam gelang besi dan kepalanya terbelah. Betapa hebatnya adu nyawa itu.
Dan tepat dua orang ini roboh, semua tertegun dan membelalakkan mata maka muncullah seorang laki-laki gagah berusia empat puluhan tahun, berbaju hitam dengan lukisan harimau di dada kirinya. Wan-thai-suma. Laki-laki ini mematung. Dia berdiri di atas tangga gedungnya dan tersentak melihat kejadian itu. Sun Cek Tojin, orang kepercayaannya, tewas di depan mata. Namun ketika semua orang berlutut dan menyerukan namanya, Yauw Seng juga terbelalak dan mundur memberi hormat maka bangsawan ini sadar dan tiba-tiba turun dari anak tangga, berlari-lari.
"Apa yang terjadi. Kenapa saling bunuh!"
"Maaf," Yauw Seng harus berbohong. "Sun Cek Tojin hendak membunuh Tan-ongya, Thai-suma. Kami mengejar dan hendak menangkapnya namun ia melawan. Ia telah membunuh suheng hamba dan kini ia pun terbunuh!"
"Hmm... Pembantuku hendak membunuh majikanmu? Sun Cek Tojin akan membunuh kanda pangeran? Bohong, tak mungkin itu. Kau bohong!"
"Maaf," laki-laki ini terkejut, cepat saja berkelit. "Urusan ini silahkan bertanya kepada Tan-ongya, Thai-suma. Kami hanya pelaksana dan pembantu."
"Apa alasannya Sun Cek Tojin hendak membunuh kanda pangeran. Apa sebabnya dia hendak melakukan itu?"
"Hamba kurang jelas, silahkan Thai-suma tanyakan saja kepada ongya." Yauw Seng tentu saja tak mau memberi jawaban, pura-pura tak tahu karena sebetulnya ia pun tahu bahwa suhengnya itu berbohong belaka. Rasa iri dan tak senang suhengnya dilampiaskan dengan fitnah. Ini tentu saja tak mau dibukanya.
Dan ketika Wan-thai-suma tertegun tapi marah besar, penasaran dan pergi ke tempat kakaknya, maka buru-buru sepasukan istana Sang menteri dapat menjadi galak! Dan begitu tiba di sana maka Tan-ongya pun datang menyambut, sikapnya dingin-dingin saja.
"Ah, Wan-thai-suma kiranya. Mari, silakan masuk, Thai-suma. .rupanya ada sesuatu yang terburu-buru hendak dikatakan!"
Wan-thai-suma tertegun. dengan kedudukannya dapat saja ia memanggil kakaknya ini menghadap, karena ia ingin menjaga hubungan dan jangan sampai kakaknya itu sakit hati, betapapun mereka masih saudara maka Wan thai-suma ini tertegun mendengar panggilan kakaknya terhadapnya itu. Bukan adik Wan. seperti biasa melainkan gelar atau kedudukannya sekarang. Sesuatu yang menyimpan bara menyala!
"Kanda, maaf. Kita bukan orang lain dan harap jangan panggil diriku dengan sebutan itu. Bagi orang lain memang dapat, tapi bagi kita sendiri tentunya tak usah, kita, sama-sama kerabat istana. Aku datang memang ada urusan penting dan ini bukan lain adalah tentang pembantuku, Sun Cek Tojin. Benarkah dia hendak membunuhmu dan apa alasannya?"
"Hmm, itu? Baik, Wan-thai-suma, itu memang betul. Dan alasannya adalah karena itu dilakukan atas perintahmu!"
"Apa, perintahku? Bohong, dusta. Itu tidak betul. Siapa yang bilang begini dan apa alasanku menyuruh perbuatan gila itu!"
"Alasannya sederhana, kau takut aku merebut kedudukanmu itu. Kau sekarang sudah menjadi Thai-suma!"
"Ah," sang bangsawan tertegun, membelalakkan mata. Takut direbut? Masalah kedudukan dan pangkat ini? Ha-ha!" Wan-thai-suma tiba-tiba tertawa, ganti mengejutkan kakaknya. "Kau gila, kanda pangeran. Kau salah besar. Aku sama sekali tidak takut karena kalau kau ingin pun sekarang juga bisa kuserahkan. Ini atas kehendak baginda, bukan aku pribadi. Tuduhan itu fitnah. Siapa yang bilang begini dan dari mana kau tahu!"
"Mana pembantuku Kwee Huan..."
"Ada apa dengan dia?"
"Dialah yang memberi tahu dan kau dapat menanyainya sendiri!"
"Hm, dia tewas," Wan-thai-suma mengerutkan kening, kakaknya berubah. "Aku... Aku hendak datang karena justeru untuk ini. Aku hendak memberi tahu kepadamu bahwa Kwee Huan maupun Sun Cek Tojin sama-sama roboh. Mereka mati bareng!"
"Kwee Huan terbunuh? Bohong, dia tadi mengejar-ngejar pembantumu. Sun Cek sudah kehabisan tenaga!"
"Benar, kanda, dan aku menyesal tentang itu. Tak kusangka bahwa gara-gara ini pembantumu dan pembantuku saling mengadu jiwa. Dan tentang perkiraan itu,. Hhmm.... sama sekali tidak benar. Aku tidak menyuruh Sun Cek Tojin atau siapapun untuk membunuhmu. Aku tidak takut kedudukanku kau ambil alih!"
"Kalau begitu serahkan kepadaku. Aku saudara tertua!"
"Urusan ini harus kita bicarakan bersama Sri baginda, kanda. Aku tak dapat menyerahkannya begitu saja., Jabatan ini bukan seperti orang beli pisang goreng."
"Hm, dan aku tak mungkin berhasil. Kau tahu ini! Kau telah mempengaruhi sri baginda. Kau telah mengguna-guna!"
"Apa?"
"Maaf, aku tak perlu bicara lagi, Wan-thai-suma. Kalau kau benar-benar rela menyerahkan kedudukan itu bicarakanlah kepada sri baginda dan kutunggu hasilnya. Kalau tetap seperti ini maka kuanggap kau bicara seperti burung dan omong kosong belaka!"
Sang adik tertegun. Sang kakak sudah bangkit dan masuk ke dalam sementara dia dibiarkan begitu saja, sendirian. Seorang menteri dihina orang yang lebih rendah! Namun karena Tan-ongya adalah kakaknya dan Wan-thai-suma iní adalah seorang laki-laki bijak yang tahu membatasi marah maka đia menarik napas dalam dan memutar tubuhnya.
Hari itu juga dia pulang ke rumah dan betullah dugaannya bahwa kepangkatannya itu menimbulkan bibit kebencian di hati saudaranya. Dan ketika ia muram karena disangka mengguna-gunai sri baginda, hal yang menggelikan maka malam itu juga bangsawan ini menghadap kaisar, ia melapor dan menyatakan maksudnya untuk menyerahkan kedudukan kepada kakaknya, pangeran Tan.
"Hamba hendak melapor bahwa keributan siang tadi hanyalah peristiwa kecil, tak mengganggu keamanan. Tapi inti dari persoalan ini menyulitkan hamba, baginda. Dan hamba ingin mengundurkan diri."
"Mengundurkan diri? Apa yang kau maksud?" Sri baginda tercengang. "Tewasnya dua orang itu sudah kudengar, Wan-thai-suma. Tapi aku tak mengerti apa arti kata-katamu terakhir tadi. Mengundurkan diri tentang apa!"
"Hamba hendak mengundurkan diri dari kedudukan hamba sekarang. Dan hamba, maaf... hamba ingin menyerahkannya kepada kakak hamba, Sri baginda. Sudilah paduka memberikan kedudukan ini kepada kanda Tan!"
"Astaga!" sang kaisar terkejut. "Kau gila, Wan-suma. Tidak waras. Apa alasanmu dengan bicara seperti itu!"
"Alasan hamba sederhana saja, kanda Tan saudara tertua sedang hamba hanya saudara nomor tiga."
"He-he-he, kedudukan dijabat bukan karena urutan saudara tua atau bukan, melainkan oleh cakap tidaknya yang bersangkutan itu. Eh, kalau kau lebih cakap dan cocok apakah kedudukan itu harus kuserahkan orang lain, Wan-suma? Tidak, dan aku sudah merundingkan ini dengan Kepala Agama. Kakakmu tak pantas karena kerjanya senang foya-foya saja. Dan batinnya juga kurang bersih. Aku tidak mau memilihnya karena ia tamak dan tak berjiwa bijak. Kau paling cocok dan kau harus terus menduduki jabatan itu, demi negara!"
"Tapi... tapi..." Wan-thai-suma bingung. Nanti kanda Tan memusuhi hamba, baginda, dan dugaannya dianggap betul!"
"Dugaan apa itu, kenapa kau takut!"
"Hamba dikira mengguna-gunai paduka. Memperoleh kedudukan dengan mempengaruhi paduka!"
"Ha-ha, orang kalau pikirannya buruk selalu ada-ada saja perkiraan atau pikiran jelek. Aku tak merasa itu. Dan tentang dimusuhi kakakmu, hm, ada aku di sini. Kalau dia macam-macam nanti aku yang menghukum. Sudahlah, pulang dan tenangkan hatimu. Permintaanmu kutolak. Alasanmu tak dapat kuterima!"
Wan-thai-suma tertegun. Kaisar mengulapkan tangannya dan itu tandanya dia harus pergi. Pembicaraan sudah selesai. Dan ketika pria ini mundur dan memberi hormat, pergi dengan muka lesu maka kaisar justeru kagum dan bersinar-sinar memandang Menteri Utamanya itu. Kedudukan demikian tinggi ringan saja hendak dilepaskan, sungguh langka! Dan ketika kaisar justeru kagum dan semakin mantap hatinya, Wan-thai-suma semakin meyakinkan, maka justeru bangsawan itu yang kebingungan sendiri.
"Wah apa kata kakaknya kalau sudah begini? Tentu cemooh dan ejekan saja. Dakwaan kakaknya bahwa dia mempengaruhi atau mengguna-gunai sri baginda bakal semakin mantap."
Dan ketika menteri itu pulang dan menutup pintu kamarnya maka tiga hari Wan-thai-suma ini tak dapat bekerja. Dan saat itu muncullah kakaknya nomor dua, Yo Hong.
"Hm, ada apa? Kenapa adik Wan kelihatan murung?"
"Ah, kanda Yo kiranya? Mari, duduk kanda. Aku ada persoalan rumit. Pusing kepalaku memikirkan ini!"
"Soal apa, apakah tentang kanda Tan!"
"Benar, kanda tentu tahu bahwa..."
"Ya-ya, aku tahu. Aku telah mendengar. Tapi kata-kata sri baginda memang cocok. Kau tak boleh melepaskan kedudukan itu. Apa jadinya rakyat dan negara kalau dipimpin oleh kanda Tan. Sehari-hari kerjanya hanya senang-senang dan main perempuan. Lihat saja kemarin itu ia berburu sambil membawa tujuh wanita cantik untuk diajak kencan di hutan. Apakah pantas!"
Wan-thai-suma tertegun.
"Maaf,” kakaknya nomor dua ini sudah menarik kursi. "Pekerjaanmu tak boleh ditinggalkan adik Wan. Banyak surat-surat penting yang harus kau lihat. Kau masih harus mengatur negeri dan kesejahteraan rakyat. Para pembantu menunggu keluarmu. Hadapi mereka dan jangan biarkan urusan istana terbengkalai. Aku sudah tahu itu dan aku berdiri di belakangmu!"
Wan-thai-suma membelalakkan mata. Tiba-tiba kakaknya itu tertawa dan memberi nasihat banyak-banyak. Bahwa ia tak boleh meninggalkan pekerjaannya karena banyak bawahan menunggu. Pajak dan surat-surat penting harus ditandatangani, atau nanti rakyat berhenti bekerja dan itu merugikan negara. Dan karena berhentinya kegiatan berarti sia-sianya energi, boros terbuang cuma-cuma, maka sang kakak menutup dengan satu nasihat mengesankan.
"Urusan seorang tak boleh merugikan ribuan lainnya. Kalau kau mengabaikan ini maka dosamu kepada rakyat tak terampuni. Nah, tutup kebingunganmu itu dan bekerjalah. Jangan urusan pribadi menimbulkan kerugian rakyat!"
Wan-thai-suma bangkit berdiri. Tiba-tiba matanya menjadi hidup dan gairah untuk bekerja lagi memancar di pandangannya. Benar, ia telah melupakan tugas negara hanya karena persoalannya dengan sang kakak. Urusan satu orang tiba-tiba saja merugikan ribuan yang lainnya. ketika ia bangkit berdiri dan bangkit semangatnya oleh dorongan ini, apalagi kakaknya nomor dua itu berada đi belakangnya maka Wan-thai-suma memeluk dan mengucap terima kesih, air mata berlinang-linang.
"Kanda Yo, aku sekarang sadar. Baiklah, apapun kata kanda Tan nanti biarlah tak kuhiraukan. Kaisar telah menolak pengunduran diriku dan aku tak berdaya. Aku akan bekerja dan tak akan melalaikan rakyat!"
Begitulah, Wan-thai-suma lalu bangkit bekerja lagi. Tiga hari ditinggalkan ternyata pekerjaan bertumpuk, agak menyesal juga dia. Tapi ketika dia bekerja lagi dan kegagalannya ini didengar kakaknya, Tan-ongya mencibir maka pangeran itu mendengus dan semakin berapi-api.
“Sudah kuduga, mana mungkin berhasil. Kalau guna-guna itu tidak dibuang tetap saja sri baginda memakai tenaganya. Huh, aku harus mencari akal bagaimana dia ditendang!"
"Paduka tak usah khawatir," Yauw Seng mengobor-obori. "Ada akal untuk iní, pangeran. Masih .ada jalan. Bagaimana kalau ia kita buat sakit dan cari dukun ampuh"
"Maksudmu?"
"Selama ia masih hidup tentu sri baginda kaisar tetap tertarik kepadanya. Nah, cari saja orang sakti dan kebetulan aku kenal seorang pertapa yang pandai menenung!"
"Hm, kita bunuh dia dengan jalan menyakitinya?"
"Benar, dan Sun Cek Tojin sudah tak ada lagi disampingnya. Hamba mempunyai seorang pertapa yang dapat menenung orang lain. Kita tenung dia dan biarkan sekarat sampai akhirnya mati!"
"Ha-ha, cocok sekali!" Tan-ongya tertawa. bergelak. "Aku sependapat, Yauw Seng. Suruh dan panggil ke mari pertapa itu. Cepat, aku ingin membunuh si Wan-thai-suma itu lewat tenung!"
"Tapi hadiah untuk hamba?"
"Wah, belum bekerja minta hadiah?" Kau minta apa?" Tan-ongya terbelalak, wajahnya berseri-seri.
"Hamba, he-he..'" Yauw Seng tertawa licik. Hamba tergila-gila kepada selir tercantik paduka pangeran, bolehkah hamba memiliki Bhi Li"
"Apa? Bhi Li...?"
"Pergilah... des-des-dess"
Dua orang itu menjerit. Mereka tahu-tahu terlempar dan bagai layang-layang putus saja terbanting ke sungai kecil itu, sama seperti Ma-enghiong yang tadi mereka ketawai. Dan ketika dua tubuh mencebur ke sungai dan salju beku memuncrat ke mana-mana, muka mereka juga putih bergumpal salju maka dua orang ini kaget dan berteriak dan bergulingan meloncat bangun. Dua teman yang lain sejenak terbelalak, tapi Thian-kongcu dan Hao Tong ini sudah bergerak lagi, menyerang dan minta agar teman-temannya mengikuti. Ma-enghiong mengangguk dan geli juga melihat dua temannya ini. Muka yang penuh salju itu memang lucu.
Tapi karena penghuni Lembah Es tidaklah lucu dan mereka mengancam untuk membunuh, tentu saja mereka melawan, maka Ma-enghiong menggerakkan golok gergajinya dan teman-teman yang lain mengikuti, susul-menyusul dan lima orang ini sudah mengeroyok wanita berbaju biru itu. Dua yang lain diserang namun mengelak, sengaja menyuruh lima orang itu menyerang saudara mereka, wanita baju biru. Dan ketika Ma-enghiong membentak namun lawan berkelit menghindar, diserang dan ditusuk lagi namun lenyap berkelebat ke atas maka lima senjata bentrok sendiri dan Ma-enghiong bersama kawan-kawannya kaget.
"Crang-crang-crengg...!
Lima lelaki ini terbelalak. Mereka tak tahu ke mana lawan menghilang namun ketika berteriak mendadak bayangan biru turun ke bawah. Kiranya lawan mencelat ke atas dan gerakannya yang luar biasa cepat tak dapat diikuti mata, kini turun ke bawah dan sepasang sepatu putih bergerak menendang rahang, cepat lima kali berturut-turut dan Ma-enghiong serta kawan-kawan tak sempat menghindar. Mereka baru saja bentrok senjata, masing-masing tergetar dan terhuyung, jadi belum sempat memperbaiki diri.
Maka begitu kaki kecil itu bergerak mengenai rahang, cepat dan tak dapat dielak maka Ma-enghiong dan kawan-kawan menjerit dan terpelanting roboh. Semua senjata mencelat dan masing-masing mengaduh. Kaki indah itu membawa celaka. Dan ketika Ma-enghiong terbanting dan empat temannya terlempar ke kiri kanan, rahang mereka retak maka keempatnya tak bergerak-gerak lagi karena dari mulut tiba-tiba mengalir darah merah yang menandakan mereka telah tewas.
"Keji!" Ma-enghiong kaget bukan main. "Kau... kau membunuhnya?"
"Hm!" tawa dingin itu tetap menyeramkan. "Sudah kubilang agar kalian bunuh diri atau kubunuh, orang sbe Ma. Dan empat temanmu telah mampus. Kau rupanya lebih kuat dan punya daya tahan. Baik, majulah sekali lagi dan pungut golokmu itu. Lihat aku akan membuatmu bunuh diri dengan golok yang kau tusukkan sendiri di dadamu!"
Orang she Ma ini berteriak. Mula-mula ia tertegun karena empat temannya tewas begitu cepat, mudah. Ia sekarang sadar bahwa lawan yang dihadapi ini benar-benar lihai. Namun karena ia merasa penghuni Lembah Es ini juga keterlaluan dan biarlah ia mati menyabung nyawa, demi teman-temannya itu maka ia membentak dan memungut golok gergajinya lagi. Ia tak mau lari dan tak akan lari menghadapi bahaya. Ma-enghiong ini ternyata orang gagah.
Dan ketika ia menerjang dan dua wanita lain berseru kagum mereka melihat kegagahan orang she Ma itu maka laki-laki ini sudah menerjang dan siap mengadu jiwa. Penghuni Lembah Es dianggap kejam dan mereka keterlaluan. Nyawa orang dianggap seperti nyawa ayam saja, tak berharga. Tapi ketika ia menerjang dan lawan berkelebat lenyap, lagi-lagi menghilang maka terdengar suara dingin menusuk jantung laki-laki itu.
"Orang she Ma, cekal golokmu erat-erat. Dan kini tusukkan ke dadamu sendiri...!"
Laki-laki ini kaget. Mendadak ia merasa siku kanannya kesakitan karena ujung sepatu sudah menyentuh di situ. totokan lihai mengenai sikunya. Dan ketika ia berteriak karena siku nya tahu-tahu bergerak ke dalam, berarti goloknya juga bergerak ke dalam dan menusuk dadanya maka laki-laki ini pucat karena secepat kilat ia sudah akan bunuh diri!
"Jangan bunuh orang ini. la tahu hormat kepada Dinasti Han. Biarkan ia hidup dan kita beri ampun... tak!" sebutir salju tiba-tiba melesat dari atas gunung, menyambar dengan kecepatan kilat dan golok yang sudah siap menusuk dada sekonyong-konyong terlepas.
Ma-enghiong terbanting dan wanita baju biru tiba-tiba terkejut, terpelanting dan berseru keras. Angin berkesiur menyambar dan tiga wanita terjungkal. Dan ketika Ma-enghiong terguling-guling meloncat bangun namun roboh lagi, sekelebat saja ia melihat sosok bayangan putih yang lenyap lagi ke atas gunung maka tiga wanita itu serentak mengeluh dan bangkit menjatuhkan diri berlutut.
"Tocu...!"
Ma-enghiong tertegun. Wanita baju biru yang ganas dan berkepandaian tinggi itu tiba-tiba menggigil dan pucat, la berlutut dan menunduk di situ sementara dua temannya yang lain juga ngeri dan gentar. Tadi ada bayangan lewat namun setelah itu lenyap lagi. Ma-enghiong sendiri setengah mimpi setengah sadar. la tak tahu apakah bayangan yang tadi dilihat itu benar-benar manusia. Tapi ketika tiga wanita di sana berlutut dan menyebut Tocu, berarti majikan Lembah Es baru saja datang dan menyambar maka laki-laki ini gemetar dan ia pun ikut gentar. Seram!
"Apa.. apa yang harus kulakukan. Siapa yang menyelamatkan nyawaku tadi!"
"Kau pergilah," sebuah suara dingin namun merdu terdengar dari kejauhan, entah dari mana. "Kau orang pertama yang menaruh simpati pada nenek moyang Dinasti Han, orang she Ma. Kau ku ampuni dan karena itu cepat pergilah. Lembah Es tak boleh dimasuki orang luar!"
"Oh, kiranya aku tak bermimpi. Tocu Lembah Es kiranya menolongku. Terima kasih... terima kasih, Tocu. Aku pergi tapi aku protes bahwa dayang-dayangmu kejam!”
"Tak usah banyak mulut!" wanita baju hijau kini membentak, laki-laki itu dipandangnya dengan pandangan berapi. "Kau selamat sudah untung, orang she Ma. Kalau bukan karena Tocu tentu kau kukubur hidup-hidup di sini!"
Ma-enghiong mengangguk. la marah namun tahu diri. Penghuni Lembah Es bukan tandingannya. Dan karena harus pergi karena telah memasuki daerah larangan, betapapun harus bersyukur karena diampuni jiwanya maka dengan tertatih dan bibir berketruk laki-laki ini memutar tubuh. Tiga wanita di sana masih berlutut dan semua memandangnya seperti musuh. Hanya Tocu dari Lembah Es itu yang bersahabat, itupun karena dia memuji dan telah menaruh simpati pada nenek moyang penghuni Lembah Es ini.
Dan ketika Ma-enghiong tersuruk dan diam-diam kaget serta tertegun bagaimana Tocu Lembah Es itu mengetahui simpatinya, tersentak karena mungkin saja waktu ia bicara di guha, sadar dan teringat itu maka diam-diam lelaki ini menghela napas panjang pendek dan kagum serta gentar bukan main. Benar kata orang bahwa keturunan Dinasti Han ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.
Buktînya pembicaraannya di dalam guha saja dapat diketahui seakan seluruh penjuru padang es itu bertelinga. Dan ketika laki-laki itu bergidik karena Tocu dari Lembah Es mengetahui pembicaraannya, ngeri karena dayang-dayangnya saja tak mampu ia hadapi maka lelaki ini mengambil perahunya dan menyeretnya dari bongkahan es terjepit dan melepaskannya di situ dan sambil menggigil kedinginan Ia pergi meninggalkan tempat bersejarah itu.
la tak mungkin membawa teman-temannya karena semua sudah menjadi mayat. Mereka akan seperti tujuh belas temannya terdahulu, mengkirik dan ngeri karena mungkin di sekitar situ sudah banyak timbunan mayat-mayat pendatang "haram" yakni tamu tak diundang yang berani memasuki Lembah Es tanpa ijin. Dan ketika benar saja kakinya terantuk oleh sebuah kepala di balik timbunan salju beku, tak sengaja mengangkat perahunya tadi dari onggokan salju tebal maka orang she Ma ini merasa seram karena di sana-sini tiba-tiba saja bermunculan tulang-tulang putih di bawah tumpukan salju.
Angin meniup permukaan padang es dan kebetulan beberapa di antaranya menguak, memperlihatkan apa yang ada di dalam dan hati lelaki ini bergidik. Benar dugaannya. Di bawah kakinya, entah untuk radius berapa meter terdongak batang-batang kepala serta lengan manusia. Semula tak kentara Karena putih tertimbun salju, juga karena semula tak diperhatikan karena ia tak membayangkan itu.
Tapi begitu beberapa rambut atau baju manusia terlihat sekilas, tempat itu kiranya sudah menjadi "kuburan" maka laki-laki ini menyurukkan perahunya di Semenanjung Hitam, cepat-cepat mendayung dan seumur hidup ia tak akan lupa itu. Padang atau Lembah Es sungguh mengerikan. Dan ketika ia bergidik namun sudah jauh meninggalkan padang beku itu, hamparan es sudah jauh tertinggal di belakang maka laki-laki ini menumpahkan ngeri dan sesalnya dengan menangis,
"Hao Tong, Thian-kongcu. maafkan aku. Kalian dan aku sendiri sedang tertimpa sial. Aku masih hidup berkat kemurahan Tuhan. Maafkan bahwa aku tak mungkin membalaskan sakit hati!"
Lalu mengayuh dan menggerakkan perahunya meninggalkan semenanjung itu maka laki-laki inipun lenyap dan padang atau Lembah Es kembali sunyi. Beku!
* * * * * * * *
Jauh di utara Semenanjung Hitam. Di antara gugusan pulau-pulau kering dan gersang yang oleh penduduk dinamai Kepulauan Akherat, pulau yang setiap malam mengeluarkan tangis atau lolong siluman, maka di tengah gugusan pulau-pulau ini terdapat sebuah pulau yang siang maupun malam selalu merah membara, Pulau ini disebut sebagai Pulau Api dan tak ada penduduk atau nelayan yang berani mendekat. Dari kejauhan pulau itu selalu menyinarkan cahaya api yang berkobar-kobar.
Sepintas seperti ada kebakaran namun api itu sudah ada di sana sejak ratusan tahun, tak pernah padam dan karena itu disebut Pulau Api. Tak ada kebakaran di pulau ini. Dari tahun ke tahun cahaya itu selalu menyala kemerah-merahan karena di pulau itu terdapat sejenis tanaman aneh yang daunnya merah membara. Dari batang sampai pucuk daunnya tak ada yang hijau, semua berwarna merah dan hebatnya pohon atau tanaman ini mengeluarkan gas seperti cahaya api, menyala dan kalau malam menjadi hidup sekali hingga permukaan pulau terang-benderang.
Orang menamakan tanaman itu sebagai Pohon Api dan karena jumlahnya yang ribuan ini maka pulau itu selalu kemerah-merahan, bagai terbakar. Namun karena tak ada yang berani mendekati pulau ini karena cahaya yang kemerah-merahan itu juga meluas sampai ratusan meter di atas permukaan laut, menjarah ke tengah hingga tak ada orang yang kuat menahan panasnya, maka Pulau Api di antara Kepulauan Akherat ini tak pernah didatangi orang. Apalagi karena setiap malam di tengah Pulau Api ini terdengar lolongan atau jerit-jerit setan.
Dulu, beberapa tahun yang lalu ada rombongan nelayan pemberani yang coba-coba mendekati pulau. Mereka tertarik dan heran akan suara-suara di Pulau Api itu. Tapi ketika keesokannya tubuh belasan nelayan itu mengambang di permukaan laut, sudah menjadi mayat, maka teman-temannya bergidik dan tak ada lagi nelayan lain yang berani mendatangi pulau itu karena nelayan-nelayan pemberani yang semalam mendatangi pulau ternyata keesokanya sudah menjadi mayat-mayat hangus yang tubuh maupun kulitnya gosong terbakar!
Kena Pohon Apikah? Tak ada yang tahu. Mungkin saja kena kemarahan para siluman, begitu kata penduduk. Dan kini, pulau yang bertahun-tahun tak pernah didatangi manusia itu tetap menjadi misteri dan penduduk yang jauh dari pulau itu tak pernah datang mendekat dan gugusan Pulau-pulau di Kepulauan Akherat aman dari gangguan manusia.
Sebetulnya, rahasia apakah yang ada di Pulau Api ini? Benarkah ada lolongan atau jerit setan di pulau itu? Semuanya dapat dijawab kalau ada yang memasuki pulau. Dan marilah kita sekarang yang masuk!
Di pulau itu, Pulau Api, pulau yang berada di tengah di antara Kepulauan Akherat ada sekelompok penghuni yang menyeramkan. Tak ada orang lain tahu karena siapapun yang datang ke pulau itu pasti mati. Pulau ini adalah pulau maut dan benar bagi para nelayan itu bahwa sebaiknya mereka tak usah mendekat. Gas api yang menyala dari pohon-pohon merah yang tumbuh dipulau itu cukup berbahaya. Gasnya menyebar sampai ratusan meter di permukaan laut dan siapapun yang coba-coba datang mendekat pasti diserang hawa panas ini. Jangankan manusia, sedang laut sendiri mendidih dibakar gas dari pohon-pohon Api itu.
Sinar atau cahaya kemerah-merahan dari pohon-pohon Api ini amatlah panasnya. Tepian pantai tak ada yang dingin dan akibatnya batu-batuan di tempat itupun merah membara. Pulau Api benar-benar pulau maut, siapa mendekat dia akan dibakar. Dan karena hawa panas dari gas api di tengah pulau itu menyebar ke segala penjuru, laut mendidih dan tentu saja tak ada ikan-ikan yang dapat hidup di situ maka pulau ini menjadi pulau yang gersang dan mati.
Namun jangan dikira tak berpenghuni. Sekelompok manusia yang wajahnya merah dan matanya merah tinggal di pulau ini. Mereka berkulit merah dan semua juga memancarkan cahaya api itu. Tubuh mereka seolah hidup terbakar dan kalau mereka ini berjalan maka mirip obor bergerak, menyala dan tentu saja merupakan mahluk-mahluk menakutkan yang bakal membuat orang merinding. Siapapun pasti meremang dan mengkirik. Apalagi orang-orang Api itu, demikian agaknya sebutan bagi mereka yang tepat, tak pernah tersenyum atau tertawa. Mereka selalu bersikap bengis dan berwajah garang. Dagu-dagu yang kaku telah menunjukkan itu.
Dan karena semua penghuni adalah lelaki, berbeda dengan penghuní Lembah Es yang semuanya adalah wanita maka orang-orang ini tak kalah misteriusnya dengan para wanita di Lembah Es. Masing-masing memiliki keistimewaan dan keunikan sendiri. Dan karena masing-masing juga selalu terdiri dari satu jenis, Lembah Es berisi wanita sedangkan Pulau Api berisi penghuni laki-laki maka di sinipun terdapat larangan bahwa orang luar, terutama wanita, tak boleh masuk.
Adakah hubungan antara penghuni Pulau Api dengan Lembah Es? Mengingat jaraknya yang jauh, ribuan kilometer maka agaknya tidak. Tapi sesungguhnya ya! Karena orang-orang dari Pulau Api itu adalah keturunan dari mendiang saudara Kaisar Han yang dulu memberontak dan merebut kekuasaan! Agaknya, untuk mengetahui ini kita harus balik pada kisah seribu tahun yang lalu.
Marilah kita ikuti sejenak. Dulu, ketika Dinasti Han berkuasa ada empat saudara kaisar yang diam-diam saling berebut pengaruh. Masing-masing mencoba untuk memperbanyak pengikut. Namun dari empat orang itu ternyata yang paling kuat adalah saudara pertama dan ketiga, yakni pangeran Tan Kiong dan adiknya, pangeran Wan Sut. Dan karena dua pangeran inilah yang akhirnya sama-sama memiliki kekuatan berimbang, masing-masing sama kuat dan mempunyai pembantu-pembantu pandai maka dua pangeran yang lain akhirnya bergabung dengan dua orang ini yakni saudara keempat membantu kakaknya pertama sedangkan saudara kedua justeru membantu adiknya ketiga, pangeran Wan Sut.
Perebutan pengaruh ini tak diketahui kaisar. lstana tetap tenang-tenang saja tapi sesungguhnya pergolakan mulai terjadi. Dan hal itu karena adanya kebijaksanaan kaisar dengan diangkatnya pangeran Wan Sut sebagai Thai-suma (Menteri Pertama). Tan Kiong, pangeran pertama, marah dan gusar oleh keputusan kaisar. Dia merasa sebagai saudara tertua, kenapa adiknya nomor tiga yang diangkat sebagai Thai-suma. Bukankah kaisar tak adil?
Dan karena ini membawa dendam dan ketidakpuasan hatinya maka pangeran Tan Kiong mulai mengadakan macam-macam gerakan untuk mendongkel adiknya. Dia marah oleh keputusan sri baginda bahwa adiknya nomor tiga diangkat sebagai Menteri Pertama. Wan Sut atau adiknya itu sekarang menjadi orang nomor dua di kerajaan, wakil kaisar. Dan karena keduanya tentu saja kalah oleh adiknya itu, Tan Kiong tak puas maka dia coba merebut kedudukan secara diam-diam.
Namun adiknya nomor tiga tahu. Pangeran ini mengerti bahwa kakaknya nomor satu itu gusar, ia harus berhati-hati dan tentu saja waspada. Namun karena pengangkatan itu dilakukan oleh kaisar sendiri dan kaisar melakukan itu karena tahu bahwa adiknya nomor satu mempunyai watak yang kurang baik, suka menghambur-hamburkan uang dan main perempuan, maka kaisar menjatuhkan pilihannya kepada adiknya nomor tiga itu, Wan Sut.
Dengan kekuasaannya dia membuat siapapun tak mungkin berkutik, apalagi keputusan disetujui juga oleh penasihat utama Kepala Agama, yakni Thio-taijin atau Thio Cai, seorang laki-laki tua yang oleh kaisar amat dihormat dan dihargai kata-katanya. Dan karena keputusan mengangkat Thai-suma ini juga atas persetujuan Kepala Agama itu, yang dihormat dan disegani rakyat maka pengangkatan pangeran Wan Sut disambut gembira oleh hampir semua orang, kecuali Tan Kiong dan para pengikutnya.
"Kurang ajar, kanda kaisar tak adil. Ada aku di sini kenapa mengangkat Wan Sut sebagai Thai-suma? Apakah aku tak digubris? Keparat, nanti usingkirkan si Wan Sut itu!"
"Benar" seorang pengikut memanasi. "Sri baginda rupanya kena pelet, pangeran. Kudengar bahwa Wan-ongya itu memiliki seorang ahli kebatinan dari Barat. Ia tentu minta tolong kakek itu untuk mengguna-gunai kaisar."
"Siapa dia? Kakek dari mana?"
"Katanya dari Himalaya, ahli pengobatan dan tukang tenung!"
"Hmm, panggil Kwee Huan. Suruh ia datang ke mari dan coba kutanya apakah ia tahu tentang kakek itu atau tidak!"
"Hamba sudah di sini", seorang laki-laki bermuka bulat tahu-tahu berkelebat muncul. "Hamba sudah tahu tentang itu, pangeran, Dan dia bukan lain adalah Sun Cek Tojin!'
"Oh, kau sudah di sini?" sang pangeran terkejut, kagum. "Bagus, Kwee Huan. Aku ingin tahu lebih jauh tentang kakek itu dan benarkah ia tukang tenung!"
"Ha..ha... yang benar ia seorang ahli tapa dan lweekeh. Tenaga batinnya memang kuat dan ia mampu mencipta mahluk-mahluk jejadian untuk menipu orang. Hamba tentu saja kenal!"
"Hm... kau dapat membawa kakek itu kesini?"
"Untuk apa?" Kwee Huan terkejut, mengerutkan kening. "Sun Cek Tojin tak gampang didatangkan, pangeran. la orang yang amat keras dan tinggi hati. Ia sombong!"
"Hm, aku ingin kau membawanya kemari, sebentar saja. Aku ingin kenal!"
"Baik, tapi tanpa surat paduka tak mungkin kakek itu mau datang. Bagaimana kalau paduka membekali surat dan pekerjaan hamba lebih gampang."
"Kau tak dapat memaksanya?"
"Ah, paduka ingin hamba bermusuhan dengannya? Bagaimana kalau Wan-ongya campur tangan dan hamba diusir? Hamba berani-berani saja memaksa kakek itu, pangeran. Tapi tentu repot kalau ia melapor majikannya. Sekarang Wan-ongya itu sudah menjadi Thai-suma. la dapat memanggil pengawal atau mengerahkan pasukan untuk menangkap hamba!"
"Hm, betul juga," sang pangeran mengangguk-angguk. "Baiklah, kau bawa surat ini dan panggil Sun Cek Tojin itu!"
Kwee Huan, orang kepercayaan pangeran ini lalu berangkat. Dia sudah dibekali surat dan pekerjaannya itu dianggap lebih mudah. Langsung saja ia mencari kakek itu, tapi Sun Cek Tojin mengerutkan kening. Kakek itu berkata kenapa surat ditujukan langsung kepadanya, bukankah seharusnya kepada Wan-ongya dulu karena ia adalah pembantu. Jadi majikan memberitahukan majikan dulu, barulah bawahan menurut. Dan ketika Kwee Huan tertegun karena itu memang betul, prosedurnya memang harus begitu maka ia kembali tapi majíkannya justeru marah-marah. Pangeran Tan Kiong mendelik.
"Apa? Tua bangka itu menyuruh aku menyurati dulu adikku Wan Sut? Memangnya dia terlalu berharga hingga harus diulang memanggilnya? Keparat, sombong benar kakek itu, Kwee Huan. Tapi kau juga bodoh melebihi kerbau. Disuruh kembali juga kembali dan disuruh lapor juga lapor. Kau pembantu tak berguna. Hayo kembali dan suruh kakek itu menghadap, atau nanti kulaporkan ia sebagai mata-mata musuh. la orang asing!"
Pembantu Tan-ongya ini merah padam. Ia malah dimaki-maki dan dikutuknya habis-habisan tua bangka itu. Sun Cek Tojin dianggapnya jual mahal dan betul juga kata-kata majikannya ini. Siapa kakek itu yang berani benar menyuruh Tan-ongya harus "kulonuwun" dulu kepada Wan-Thai-suma. Terlalu, seorang hamba sudah berani banyak tingkah. Hamba macam apa ini! Dan ketika ia kembali dan ganti uring-uringan memaki kakek itu, Sun Cek terkejut dan marah memandang lawannya maka kakek ini membentak,
"Kwee Huan, kau dan aku adalah sama-sama pembantu. Kita masing-masing bekerja di tempat majikan yang berbeda. Kalau kau sekarang memaki-maki aku dan enak saja bicara jangan harap aku mau datang. Memangnya kau Tan-ongya sendiri? Kau seorang pembesar atau menteri istana? Aku tak mau datang kalau kau tak mäu minta maaf, nah... terserah kau mau ataukah tidak!"
"Eh-eh, kau marah-marah kepadaku? Kau jual mahal dan pasang harga? Aku hanya menjalani perintah majikanku, Sun Cek. Kalau bukan karena itu aku tak mau datang!"
"Kalau begitu siapa yang perlu, kau ataukah aku. Kalau kau tak merasa perlu, pulang dan laporkan saja kepada majikanmu bahwa aku tak mau datang. Tapi kalau kau mau minta maaf biarlah kuturuti permintaan majikanmu ini meskipun tidak melalui prosedur yang benar. Nah, kau pilih yang mana!"
Lelaki bermuka bulat ini kalah debat. Ia melotot dan sebutir batu hitam diremasnya hancur. Itulah pelampiasan kemarannya lewat tenaga lweekang, tenaga dalam. Tapi ketika kakek itu tertawa dingin dan balik menginjak batu di kakinya yang juga hancur lebur, lawan menggeram maka apa boleh buat Kwee Huan meminta maaf. "Baiklah, aku minta maaf, Sun Cek Tojin. Dan mari kita sama-sama tak cerewet lagi menghadap Tan-ongya!"
Dua orang itu bergerak. Kakek itu melangkah tenang dan Tan-ongya memandang tak berkedip laki-laki tua di depannya ini. Pembantunya telah membawa datang kakek itu, kakek bertubuh sedang tapi matanya setajam elang. Dan ketika Sun Cek Tojin membungkuk dan memberi hormat, bertanya apa maksud pangeran menyuruhnya datang tiba-tiba pangeran ini tertawa dan menepuk kursinya.
"Heh, kaukah Sun CekTojin, orang tua? Kau dari Himalaya dan seorang ahli tenung?"
"Maaf, tenung adalah ilmu hitam, hamba bukan semacam itu."
"Ha-ha, tapi kau dikabarkan mampu menampakkan barang-barang ciptaan. Coba kau tunjukkan kepadaku dan biar kulihat. Aku senang sulap!"
"Maaf," kakek ini membungkuk, tetap hormat, "hamba bukan ahli sulap, pangeran. Hamba hanya seorang tua yang mampu sedikit-sedikit mengobati orang. Hamba seorang pertapa."
"Itulah, dan kau dikabarkan memiliki daya linuwih. Coba kau tunjukkan itu dan kulihat!"
"Hm," kakek ini akhírnya berdiri tegak, menghela napas dalam. "Hamba memiliki semuanya itu bukan untuk dipertontonkan pangeran. Kalau dipertontonkan malah tak mau keluar. Hamba tak dapat menuruti paduka!"
"Kalau begitu bagaimana supaya keluar? Dan eh, berapa lama kau di tempat adikku, Sun Cek Tojin? Adakah kau mata-mata?"
Kakek ini terkejut. "Maksud paduka?"
"Hm, gerak-gerikmu mencurigakan. Kau tidak terbuka. Aku khawatir bahwa kau kesini sebagai mata-mata. Kau bersikap tertutup!"
"Pangeran..!" kakek ini terkejut. Hamba bukan orang yang seperti paduka tuduhkan. Hamba sudah lama kenal dengan Wan-ongya. Hamba orang baik-baik!"
"Kalau begitu kenapa kau menyembunyikan ilmumu? Orang yang terbuka tak akan bersikap begitu, Sun Cek Tojin. Dan aku malah jadi curiga, jangan-jangan kau ini mata-mata atau musuh dalam selimut. Kau pendatang baru di sini."
Sun Cek Tojin berseru tertahan la pucat dan merah berganti-ganti oleh omongan kasar pangeran ini. Kalau bukan pangeran itu yang bicara tentu ia sudah menerjang dan menghantamkan tongkatnya. Kakek itu memang bertumpu tongkat. Tapi ketika ia dapat menahan diri dan sinar matanya tiba-tiba berkilat dan tajam menyambar pangeran maka kakek ini terbatuk dan cepat membungkuk.
"Pangeran, masalah ini agaknya Wan-ongnya lebih tahu, paduka tanya dan hamba tentu rela ditangkap kalau tuduhan paduka betul. Maaf, agaknya hamba harus kembali dan terima kasih atas undangan paduka.'"
"He, nanti dulu!" Tan-ongya meloncat dan turun dari kursinya. "Aku ingin melihat kepandaianmu, Sun Cek Tojin. Bagaimana supaya keluar dan apakah kau begitu sombong untuk tidak memperlihatkannya kepadaku. Aku berani membayar berapa saja. Berapa kau minta!"
Kakek itu merah padam, darahnya kembali mendidih. Namun karena ia sudah mendengar tentang tindak-tanduk pangeran ini dan sikapnya yang jumawa, mengandalkan harta dan kedudukan maka kakek itu membalik dan tersenyum hambar, kemarahannya benar-benar ditekan. "Pangeran, ilmu tak dapat dipamerkan. kalau tidak diperlukan. Hamba tak memliki kepandaian apa-apa yang patut diperlihatkan kepada paduka."
"Tapi aku ingin melihat kepandaianmu. Jangan bersikap congkak. Aku berani membayarmu berapapun dan nih, sekantung emas boleh kau terima!"
Kakek itu terkejut. Sekantung uang benar-benar dilempar dan gemerincing emas benar-benar menyentak. Kwee Huan dan beberapa orang yang ada di situ melotot. Betapa banyaknya! Tapi ketika kakek itu menangkap dan uang tak sampai jatuh ke tanah, Sun Cek Tojin tertawa aneh maka kakek ini berseru seraya mengembalikan pundi-pundi itu.
"Pangeran, hamba benar-benar tak hendak memperjualbelikan ilmu hamba. Kepandaian bukan untuk dibuat pamer. Kalau paduka ingin tahu biarlah yang sedikit ini hamba tunjukkan secara cuma cuma. Maaf, uang tak bakal mempengaruhi hamba... blarr!"
Seekor burung tiba-tíba melesat, datang dan menyambar Tan-Ongya dan belibis berbulu putih itu berciap riang. Tan-ongya terkejut dan tak mungkin pula menghindar. Belibis itu sudah menyambar. Dan ketika pangeran tertegun karena burung itu telah hinggap di pundaknya, berkicau dan berceloteh riang maka ia pun gemas dan riang menangkap burung ini. Tapi begitu ditangkap tiba-tiba burung ini telah berobah menjadi hitam berisi uang emas tadi.
"Ah!" pangeran ini kecewa. Kau menipuku, Tojin. Mana burung belibis putih itu!"
"Inilah yang paduka minta," sang kakek tertawa. "Hamba telah menunjukkan sulap, pangeran. Dan sekarang permisi!"
Tan-ongya memanggil. la meminta agar kakek itu kembali namun Sun Cek Tojin tiba-tiba telah menghilang. Pangeran itu tertegun. Dan ketika ia keluar namun kakek itu benar-benar lenyap, pulang. Maka pangeran ini mendesak dan menyuruh Kwee Huan agar memanggil lagi.
"Ah-ah, ia kakek hebat. Suruh ia kembali dan menunjukkan lagi kepandaiannya itu!"
"Ia tak mau datang," Kwee Huan berkerut kening. "la sudah memenuhi permintaan paduka dan tak mungkin dipaksa, pangeran. Kecuali paduka mau menulis surat kepada Wan-ongya..."
"Benar, benar. Tak apa! Akan kutulis surat buat adikku itu dan kuminta Cek Tojin di sini seminggu!"
"Apa? Seminggu?"
"Ha ha, kau goblok tak dapat menghiburku seperti kakek itu, Kwee Huan. Kalau kau bisa tentu aku tak usah memanggilnya. Serahkan surat ini kepada Wan-Suma dan suruh kakek itu datang lagi!"
Laki-laki ini mendongkol. Kepandaian begitu memang ia tak dapat karena bersifat sihir. Sun Cek Tojin memang seorang pertapa, ahli batin. Dan karena ia harus melaksanakan perintah dan dicarinya Wan-thai-suma untuk menyerahkan surat itu maka Menteri Wan ini mengerutkan kening, terkejut.
"Untuk apa kanda Tan minta begini? Apakah ia sudah tahu Sun Cek Tojin?"
"Sudah,'" si kekek tiba-tiba muncul. "Dan maafkan hamba bahwa tadi hamba sudah ke sana, ongya. Hamba diminta datang tanpa sepengetahuan paduka. Tadinya hamba hendak menutupi kejadian ini tapi sekarang terpaksa dibuka karena paduka rupanya mendapatkan sesuatu dari Tan-ongya."
"Benar" pangeran itu memandang tertegun. "Aku dimintanya untuk menyerahkan dirimu seminggu, Sun-totiang. Dan aku tak tahu bagaimana menjawabnya. terserah dirimu"
"Seminggu?" si kakek terkejut. "Hm, agaknya berat, ongya. Tapi hamba menyerahkan kembali kepada paduka. Hamba hanya seorang pembantu!"
Wan-thai-suma mengerut-ngerutkan keningnya ia bertanya apa sesungguhnya yang telah terjadi dan apa yang diminta nya. Dan ketika Sun Cek Tojin itu mengatakan bahwa Tan-ongya ingin permainan sihir, seperti anak kecil maka Wan-thai-suma menarik napas dan apa boleh buat "meminjamkan" pembantunya itu kepada kakaknya, demi menjaga hubungan baik.
"Baiklah, kau ikut Kwee Huan ini dan tinggallah kau suka. Kalau seminggu terlalu lama biarlah dua atau tiga hari saja. Bagaimana?"
"Hamba setuju. Biarlah dua hari hamba di sana dan setelah itu hamba kembali.”
"Dan maafkan kakakku itu," Wan-thai Suma mandang Si kakek. "la memang begitu, Sun-totiang. Harap tidak kecil hati dan kau pandanglah mukaku."
Kakek itu mengangguk. la mengerti dan telah tahu ini. Maka ketika ia berangkat dan kembali ke tempat Tan Ongya maka pangeran itu tertawa lebar dan sinar matanya penuh kemenangan mengejek kakek iní.
"Ha-ha, bagaimana, Sun Cek Tojin. Bukankah kau kembali lagi ke sini. Ayo, mulailah lagi ilmu sihirmu itu dan jangan khawatir aku mencukupi segala kebutuhanmu lebih dari adikku!"
Kakek itu tersenyum dipaksa. la menarik napas dalam dan apa boleh buat mengeluarkan sihirnya. Belibis putih dikeluarkan lagi dan burung-burung lain juga dikeluarkan. Tan-ongya minta agar tidak hanya seekor. la ingin yang lebih banyak dan kakek itu tinggal menuruti saja. Dan ketika sebentar kemudian kakek ini telah berhasil menarik perhatian Tan-ongya, lupa kepada Kwee Huan dan pembantu-pembantunya yang lain.
Maka tentu saja Kwee Huan dan teman-temannya itu marah. Mereka merasa disingkirkan oleh hadirnya kakek ini. Kwee Huan mulai mengganggu dan merusak sihir lawannya. Caranya adalah memukul pecah sihir si kakek, dengan pukulan jarak jauh. Dan ketika apa saja mulai digunakan laki-laki ini untuk menghancurkan sihir, sumpit atau benda-benda apa saja dijentikkan secara lihai maka kakek itu marah dan memandang Kwee Huan.
Tapi dari arah lain menyambar lagi kerikil hitam atau jarum-jarum rahasia. Itulah perbuatarn Yauw Seng adik seperguruan Kwee Huan, tertawa dan kakek menoleh namun dari arah lain menyambar senjata-senjata lain lagi. Maklumlah kakek ini bahwa ia sengaja diganggu, dirusak. Dan ketika ia menghentikan sihirnya dan Tan-ongya kecewa kenapa kakek itu berhenti, ditanya,' maka kakek itu memandang Kwee Huan dan lain-lainnya itu sambil menuding.
"Pembantu ongya mengganggu hamba. Kalau mereka tak dapat main sihir sebaiknya diam menonton, jangan merusak. Kalau ongya tak dapat mengusir mereka biarlah hamba berhenti dulu.”
"Eh... eh, mereka melakukan apa?" Tan ongya terheran, tentu saja membela pembantu-pembantunya sendiri, "Aku tak melihat mereka melakukan apa-apa, Sun Cek Tojin. Mereka duduk diam di sana!"
"Benar, tapi mereka melempar sumpit atau benda-benda lain untuk mengganggu permainan hamba. Kalau mereka tidak suka sebaiknya disuruh pergi saja!"
"Wah, omongan apa ini!" Kwee Huan melompat bangun, tertawa. "Kami adalah pengawal-pengawal pribadi pangeran, To-jin. Kalau kami disuruh pergi lalu bagaimana keselamatan pangeran. Apakah kau tak akan bertindak yang macam-macam!"
"Macam-macam bagaimana? Aku tak melakukan apa-apa!"
"Ha-ha, kau tak usah mungkir. Tadi dengan sihirmu kau hendak membunuh pangeran. Lihat ular naga tadi. Itu adalah pisau belati yang akan kau tancapkan di tenggorokan pangeran. Kalau kami tak mencegah tentu junjungan kami kau bunuh. Maaf..". laki-laki ini membalik menghadapi junjungannya. "Benar bahwa kami mengacaukan permainan sihirnya. Tapi itu adalah untuk menjaga keselamatan jiwa paduka. Lihat buktinya pisau belati ini!" Kwee Huan menarik sesuatu dari pinggangnya, memperlihatkan kepada majikannya dan Tan-ongya terkejut.
Wajah pangeran ini berubah tapi wajah. Sun Cek Tojin lebih berubah lagi. Dia marah karena difitnah! Dan ketika kakek itu melotot dan mencari tahu apa penyebabnya, tertegun dan sadar bahwa Kwee Huan dan lain-lainnya itu kiranya iri kepadanya maka kakek ini membentak dan cepat membela diri, keadaan bisa gawat.
"Pangeran, jangan percaya omongan Kwee Huan. Hamba sama sekali tidak melakukan itu. Ini fitnah. Pembantu paduka itu iri. la bohong!"
"Ha-ha, bohong untuk apa? Kau boleh pandai sihir, Sun Cek Tojin. Tapi dengan kepandaianku di sini sihirmu tak banyak berdaya. Dan kau mau membunuh pangeran pula. Hm, tentu atas suruhan majikanmu. Hayo mengaku bahwa kau diperintahkan Wan-thai-Suma!"
"Bohong, keparat keji!" sang kakek tiba-tiba meledak. "Fitnahmu semakin melantur, Kwee Huan. Atas dasar apa majikanku menyuruh begitu!"
"Ha-ha, atas dasar takut. Wan-thai-suma telah menyadari kesalahannya merebut hak Tan-ongya dan kini diam-diam ingin menyingkirkannya lewat dirimu!"
"Keparat, hak tentang apa. Jangan bicara tak karuan!"
"Ha-ha, hak tentang kedudukan Menteri Pertama itu, Sun Cek Tojin. Hak tentang apalagi. Kau tak usah berlagak blo'on dan mengaku saja!"
Kakek ini melengking. Tan-Ongya yang berubah dan pucat mendengar itu tiba-tiba marah menganggap betul. la baru saja marah-marah tentang pengangkatan itu dan Kwee Huan tiba-tiba bicara tentang ini, tentu saja ia terkejut, gusar. Dan karena pisau belati itu ditunjukkan sebagai bukti dan sang pangeran tak mau membuang-buang waktu maka ia berteriak agar si kakek ditangkap.
Namun Sun Cek Tojin telah membentak. Kakek ini mendelik karena Kwee Huan bicara yang tidak-tidak. Rasa iri tiba-tiba dilampiaskan dengan fitnah. Tentu saja itu tak dapat diterimanya. Tapi ketika ia menerjang dan berkelebat ke arah Kwee Huan tiba-tiba berkesiur angin dingin dan Yauw Seng, adik seperguruan Kwee Huan menghantamnya dengan pukulan miring.
"Pertapa tua, kau robohlah!"
Sang kakek terkejut. Kwee Huan sendiri sudah melompat jauh dan menghindar dari kemarahan kakek ini. Sun Cek membalik dan tentu saja kakek itu menangkis. Dan ketika dua lengan beradu namun lawan terpental, Yauw Seng terkejut dan berseru keras, maka sang kakek mengejar lagi Kwee Huan si pembuat gara-gara itu.
"Kwee Huan, kau harus membayar bersih namaku!"
Laki-laki ini tertawa. Sudah gatal tangannya untuk bertanding. la ingin menguji dan inilah saatnya yang baik. Kata-katanya sudah terlanjur dikeluarkan dan tak mungkin ditarik. la terlanjur mendongkol kepada majikannya dan lawannya inilah yang dijadikan korban. Kwee Huan tak mau berpikir tentang akibatnya nanti. Yang penting ia ingin adu otot! Dan ketika kesempatan itu terbuka dan sedetik ini ia terkejut melihat adiknya kalah kuat, terpental tapi ia sendiri sudah siap dan tertawa bergelak, maka tempat yang tadi di pakai untuk bermain sihir sudah untuk baku hantam!
"Plak-dess!"
Dua-duanya terlempar. Ternyata kakek ini maupun lawannya memiliki tenaga berimbang. Kwee Huan berjungkir baiik dan tertawa nyaring sementara Sun Cek Tojin mendelik dan melayang turun. Kakek ini juga berjungkir balik dan marah kepada lawan. Namun ketika ia hendak berkelebat dan menyerang lagi ternyata Yauw Seng sudah mencabut senjatanya dan dengan sebatang ruyung berduri laki-laki itu membabatkan senjatanya ke pinggang si kakek, dikelit dan menyerang lagi dan Kwee Huan membantu sang sute. Sun Cek Tojin tiba-tiba sudah dikeroyok! Dan ketika kakek itu berkelebatan dan Tan-ongya memanggil pengawal, yang lari dan berdatangan maka pangeran itu merah padam agar si kakek dibekuk, mati atau hidup.
"la hendak membunuhku. Keparat. Jaga jangan sampai lolos dan robohkan dia!"
Pengawal tertegun. Mereka terbelalak memandang pertandingan itu dan bayangan si kakek naik turun di antara pukulan-pukulan dahsyat. Ruyung menderu, mengikuti gerakan si kakek dan sibuklah pembantu Wan-thai-suma ini menghadapi. Lawan sungguh licik. Dan ketika ia harus menangkis pukulan dari kiri kanan dan ruyung mengenai pundaknya maka Sun Cek Lojin terpelanting dan untuk pertama kalinya kakek itu mengaduh,
"Augh!"
Kwee Huan tertawa bergelak. Dua lawan satu ternyata dapat mendesak, ia mengejar dan diperintahnya sutenya itu untuk melakukan sapuan-sapuan dari bawah. Dan ketika Sun Cek harus bergulingan namun dikejar dan tetap dikejar maka sebuah pukulan ruyung kembali mengenai bahu, berjengit dan kakek ini menahan sakit dengan bibir dikatup kuat-kuat. Kalau ia tidak mengerahkan tenaga dalamnya tentu kedua pundaknya remuk. Suheng dan sute itu kejam. Dan ketika sekali lagi ruyung menderu dan ia mengelak, dikejar tapi ruyung cepat ditangkap maka Sun Cek Tojin mengeluarkan suara bentakan dan ruyung berikut pemiliknya tiba-tiba diangkat naik, dihantamkan ke tembok!
"Mampus kau.. bress!"
Yauw Seng berteriak keras. Tak sempat lagi mengelak atau melepaskan senjatanya. la tak menyangka akan đihantamkan ke tembok. Namun karena ia adalah sute dari Kwee Huan dan laki-laki ini memiliki sinkang yang melindungi tubuhnya maka meskipun serasa remuk ia masih selamat, terbanting dan roboh di dinding dan saat itu terdengar keluhan tertahan Sun Cek Tojin.
Pukulan Kwee Huan menghantam punggungnya karena ketika kakek itu membenturkan tubuh sutenya laki-laki ini berkelebat dan cepat menolong, terlambat namun pukulannya mengenai punggung lawan. Dan karena ia juga ahli lweekang dan kakek itu dibokong dari, belakang maka Sun Cek terhuyung dan kakek ini melontakkan darah segar. Yauw Seng dihajarnya setengah mati namun diri sendiri juga luka dalam.
"Huakk!" Kakek ini mendelik. la melotot memandang lawan namun Kwee Huan tertawa aneh.
Laki-laki itu juga marah melihat sutenya tersungkur di sudut, untuk sejenak setengah pingsan dan sutenya itu kelengar. Yang dilakukan Sun Cek Tojin tadi juga tidak main-main. Kalau bukan Yauw Seng tentu hancur luluh, lumat seperti perkedel. Namun karena Yauw Seng dilindungi sinkangnya dan giliran kakek itu yang menerima hantaman Kwee Huan mendelik dan muntah darah maka Sun Cek Tojin tiba-tiba melepas ikat kepalanya dan rambut yang đigelung tiba-tiba berurai. Ikat kepala ini dipakai sebagai senjata, lawan sudah menyerang lagi.
"Kakek bau, kau mampuslah!"
Kakek ini menggereng marah, la sudah terluka namun bukan berarti menyerah. Ia masih kuat dan ikat kepala itulah yang dipakai menyambut pukulan Kwee Huan. Dan ketika laki-laki itu menghantamnya dan ikat kepala ini meledak terisi tenaga sakti, lurus dan kaku. menyambut pukulan maka si kakek membentak mengerahkan tenaga batinnya. Ikat kepala tiba-tiba berobah menjadi naga.
"Kwee Huan, kau pemfitnah dan jahat berwatak keji. Jangan kira aku takut kepadamu. Cobalah, lawan sihirku secara berdepan!"
Semua orang terkejut. Koak seekor Naga merah tiba-tiba terdengar menggetarkan tempat itu. Para pengawal dan Tan-ongya menjerit berlarian mundur, Tan-ongya jatuh menabrak kursi sampai tunggang-langgang. Dan ketika Kwee Huan juga terpekik karena sihir si kakek berdepan menyerangnya, tadi ia mampu mengganggu karena Sun Cek Tojin menghadapkan sihirnya kepada Tan-ongya maka laki-laki ini kaget bukan main ketika tahu-tahu mukanya sudah disambar mulut naga yang terbuka lebar-lebar, lidahnya menjilat-jilat dan mengeluarkan api.
"Naga jejadian!" Kwee Huan membentak dan coba menyadarkan diri sendiri. Ia secepat kilat membanting tubuh dan segenap ingatan ditujukan untuk mengusir bayangan naga itu. Tapi karena tenaga batinnya kalah kuat den kini ilmu sihir itu juga berhadapan secara langsung, naga tetap saja berbentuk naga dan terbang menyambarnya maka laki-laki ini kelabakan dan jidat atau dahinya tiba-tiba mengeluarkan taring naga melesat di mukanya.
"Brett...!" Darah mengalir dan kejadian itu menggemparkan semua orang. Tan-ongya sendiri sudah bersembunyi namun saat itu Yauw Seng sudah bangkit berdiri. Laki-laki ini sudah hilang pusingnya dan ia terbelalak melihat suhengnya diserang naga. Sihir sedang diarahkan ke suhengnya dan ia mengerahkan tenaga batin, melihat bahwa naga itu sebenarnya adalah ikat kepala yang beterbangan menyambar-nyambar.
Dan karena Yauw Seng sudah pulih dari bekas hantaman Sun Cek Tojin, kakek itu tak memperhatikannya karena sibuk menyerang suhengnya maka Yauw Seng yang sudah memperkuat batin melihat naga jejadian tiba-tiba membentak dan melepas tujuh pisau kecil ke arah benda yang beterbangan seperti naga itu.
"Suheng, jangan takut. Itu hanya ikat kepala si tua bangka... brett..!"
Naga ambyar, hancur menghilang dan sebagai gantinya terlihatlah ikat kepala si kakek yang jatuh ke lantai. Ikat kepala itu sudah berlubang oleh tujuh pisau kecil laki-laki ini, naga lenyap, dan tentu saja Sun Cek Tojin terkejut. Dan ketika kakek itu tertegun teringat lawannya yang lain ini, Kwee Huan sadar dan melihat aga itu hanyalah sebuah ikat kepala saja maka laki-laki ini melompat bangun dan menerjang. Sepasang gelang besi berada đi tangannya.
"Sun Cek, kau rupanya pertapa penipu bocah. Keparat, rasakan pembalasanku!"
Kakek ini mengelak. Ikat kepalanya sudah hancur dan ia tak mempunyai senjata lagi. Dan ketika ia dikejar dan mengelak lagi, dada tiba-tiba sesak dan menyulitkan gerakannya, mendadak kakek ini berkelebat dan melarikan diri, maksudnya mau melapor dan pulang ke tempat Wan-thai-suma.
"Kwee Huan, kau laki-laki pengecut. Beraninya mengeroyok!"
"Berhenti!" laki-laki itu membentak, gelang di tangan tiba-tiba menyambar, satu dilepas dan mencegat lari kakek ini, yang terpaksa menangkis. "Kau tak boleh pergi , Sun Cek. Kecuali kalau kau telah menyerahkan nyawamu..." Plak! kakek itu terpelanting, kaget berseru keras namun saat itu Yauw Seng juga mengejar dan membentaknya. Tujuh pisau kecil kembai menyambar dan kakek ini sibuk, pucat. Dan ketika ia mengelak dan berlompatan ke sana-sini namun Kwee Huan juga menyerangnya dan melepas gelang-gelang besinya maka sebatang pisau menancap di pangkal lengan kakek ini sementara lontaran gelang besi juga menghantam tengkuknya.
"Crep-dess!"
Kakek ini terbeliak. Lukanya bertambah dan iapun semakin gusar. Pengawal bersorak dan Tan-ongya tiba-tiba juga muncul kembali. Pengaruh naga itu telah lenyap. Namun ketika kakek ini melengking dan suaranya begitu tinggi, menusuk anak telinga maka kakek ini bergulingan, empat buah genting tiba-tiba telah berada di genggamannya.
"Terimalah ini!"
Pengawal dan Tan-ongya berteriak. Mereka yang baru saja bersorak mendadak terpekik, genting di tangan kakek itu berubah menjadi ular-ular hitam yang menyambar dengan cepat. Dan ketika kakek itu meraih genting-genting yang lain dan melemparkannya ke pengawal, berubah menjadi harimau atau burung-burung raksasa maka semua menjerit dan tunggang-langgang.
"Plak-plak-plak!"
Harimau atau burung-burung raksasa itu mengelepakkan sayapnya mengibas pengawal. Mereka terlempar dan berteriak-teriak. sementara Tan-ongya yang juga mulai membuat kakek ini marah menerima terkaman seekor harimau buas. Pangeran itu terpekik dan roboh menabrak meja, hiruk-pikuk dan pecah pipinya. Dan ketika Yauw Seng maupun suhengnya juga terkesiap disambar ular-ular hitam, sang kakek mengerahkan kekuatan sihirnya maka dua orang itu menggerakkan tangannya dan ular-ular hitam dipukul roboh.
"Prak-prak-prakk..!"
Ular-ular itu ternyata adalah genting-genting yang dilemparkan kakek itu tadi. Tangkisan dua orang ini membuat sihir lenyap pengaruhnya namun saat itu Sun Cek Tojin sudah melompat keluar. Kakek ini terhuyung melarikan diri. la harus secepatnya Menemui Wan-thai-suma. Namun ketika Yauw Seng dan suhengnya mengejar sambil melepas serangan- serangan berbahaya, dua orang itu membentak dan ruyung atau gelang besi mereka menyambar kakek ini.
Maka Sun Cek tertahan dan apa boleh buat harus menangkis, terpelanting dan lari lagi dan sambil lari ini kakek itu mencopot genting-genting istana. la melemparkan itu sambil membentak mengerahkan sihir, merubah genting menjadi apa saja yang mampu menahan dua pengejarnya. Istana seketika ribut. karena pengawal berdatangan dari mana-mana sementara Tan-ongya berteriak-teriak dan memaki kakek itu untuk ditangkap atau dibunuh.
Sun Cek Tojin benar-benar dalam bahaya maka kakek yang gagah namun sudah terluka ini coba menerobos sambil melempar-lempar sihirnya. Sayang, karena dada dan pangkal lengannya terluka oleh hantaman gelang besi dan pisau yang masih menancap, juga kakek ini muntah darah lagi oleh pukulan sinkang lawan maka pengaruh síhir kakek ini tak sekuat biasanya.
Untuk para pengawal memang dia dapat menakut-nakuti, namun untuk Kwee Huan maupun sutenya ia tak seberapa berhasil. Dan ketika ia terus berlari sambil melempar sihirnya, pecah dan gagal lagi dihantam suheng dan sute itu maka kakek ini roboh ketika tepat di pintu gerbang majikannya.
"Tolong... tolong panggil Wan-thai-suma. Aku... aku harus melapor sesuatu yang penting..."
Pengawal di tempat Wan-thai-suma terkejut. Mereka tentu saja mengenal kakek ini sebagai orang kepercayaan Wan-thai-suma, pembantu paling dihargai dan amat dihormat. Tapi ketika mereka terbelalak dan seorang di antaranya sudah berlari ke dalam, memanggil Wan-thai-suma maka Kwee Huan dan sutenya yang membentak masuk sudah melepas serangan lagii, gelang besi dan ruyung menghantam si kakek.
"Sun Cek Tojin, kau mau membunuh Tan-ongya. Terimalah kematianmu!"
Kakek ini terbelalak. Ia benar-benar kehabisan tenaga dikejar dan dikeroyok dua orang ini, matanya mendelik. Dan karena tak mungkin lagi ia mengelak serangan itu dan kakek ini mendesis mendadak ia menangkap ruyung dan dijobloskannya ke dada Kwee Huan, musuh yang paling dibencinya.
" Hei...!" Namun terlambat. Kwee Huan tak menduga sama sekali bahwa di saat-saat terakhir itu kakek ini masih mempunyai sisa tenaga.
Sun Cek Tojin memang hebat dan gagah benar kakek itu. Ia memang memancing agar Kwee Huan mendekat, setelah melepas gelang besinya. Dan ketika ruyung menyambar namun ia menangkap dan mendorongnya ke dada Kwee Huan meminjam tenaga Yauw Seng dengan satu sentakan kuat maka tepat ketika gelang besi menghantam kepalanya ruyung panjang itu juga menancap di dada pembantu Tan-ongya ini, jarak sudah sedemikian dekat.
"Cep-dess...!"
Kejadian cepat ini berlangsung sepersekian detik. Kwee Huan yang tak menyangka itu melotot, dia mengeluarkan teriakan tertahan dan seakan tak percaya kepada ruyung yang menembus dadanya. Sang sute juga terkejut karena berkat kepandaian si kakek maka tenaganya "dipinjam", langsung dipakai untuk mencelakai kakaknya sendiri. Dan ketika Yauw Seng juga tersentak melepas ruyungnya, laki-laki itu tadi masih memegangi gagangnya maka Kwee Huan roboh dan tewas, tak lama kemudian. Sun Cek Tojin sendiri juga pecah kepalanya dihantam gelang besi dan kepalanya terbelah. Betapa hebatnya adu nyawa itu.
Dan tepat dua orang ini roboh, semua tertegun dan membelalakkan mata maka muncullah seorang laki-laki gagah berusia empat puluhan tahun, berbaju hitam dengan lukisan harimau di dada kirinya. Wan-thai-suma. Laki-laki ini mematung. Dia berdiri di atas tangga gedungnya dan tersentak melihat kejadian itu. Sun Cek Tojin, orang kepercayaannya, tewas di depan mata. Namun ketika semua orang berlutut dan menyerukan namanya, Yauw Seng juga terbelalak dan mundur memberi hormat maka bangsawan ini sadar dan tiba-tiba turun dari anak tangga, berlari-lari.
"Apa yang terjadi. Kenapa saling bunuh!"
"Maaf," Yauw Seng harus berbohong. "Sun Cek Tojin hendak membunuh Tan-ongya, Thai-suma. Kami mengejar dan hendak menangkapnya namun ia melawan. Ia telah membunuh suheng hamba dan kini ia pun terbunuh!"
"Hmm... Pembantuku hendak membunuh majikanmu? Sun Cek Tojin akan membunuh kanda pangeran? Bohong, tak mungkin itu. Kau bohong!"
"Maaf," laki-laki ini terkejut, cepat saja berkelit. "Urusan ini silahkan bertanya kepada Tan-ongya, Thai-suma. Kami hanya pelaksana dan pembantu."
"Apa alasannya Sun Cek Tojin hendak membunuh kanda pangeran. Apa sebabnya dia hendak melakukan itu?"
"Hamba kurang jelas, silahkan Thai-suma tanyakan saja kepada ongya." Yauw Seng tentu saja tak mau memberi jawaban, pura-pura tak tahu karena sebetulnya ia pun tahu bahwa suhengnya itu berbohong belaka. Rasa iri dan tak senang suhengnya dilampiaskan dengan fitnah. Ini tentu saja tak mau dibukanya.
Dan ketika Wan-thai-suma tertegun tapi marah besar, penasaran dan pergi ke tempat kakaknya, maka buru-buru sepasukan istana Sang menteri dapat menjadi galak! Dan begitu tiba di sana maka Tan-ongya pun datang menyambut, sikapnya dingin-dingin saja.
"Ah, Wan-thai-suma kiranya. Mari, silakan masuk, Thai-suma. .rupanya ada sesuatu yang terburu-buru hendak dikatakan!"
Wan-thai-suma tertegun. dengan kedudukannya dapat saja ia memanggil kakaknya ini menghadap, karena ia ingin menjaga hubungan dan jangan sampai kakaknya itu sakit hati, betapapun mereka masih saudara maka Wan thai-suma ini tertegun mendengar panggilan kakaknya terhadapnya itu. Bukan adik Wan. seperti biasa melainkan gelar atau kedudukannya sekarang. Sesuatu yang menyimpan bara menyala!
"Kanda, maaf. Kita bukan orang lain dan harap jangan panggil diriku dengan sebutan itu. Bagi orang lain memang dapat, tapi bagi kita sendiri tentunya tak usah, kita, sama-sama kerabat istana. Aku datang memang ada urusan penting dan ini bukan lain adalah tentang pembantuku, Sun Cek Tojin. Benarkah dia hendak membunuhmu dan apa alasannya?"
"Hmm, itu? Baik, Wan-thai-suma, itu memang betul. Dan alasannya adalah karena itu dilakukan atas perintahmu!"
"Apa, perintahku? Bohong, dusta. Itu tidak betul. Siapa yang bilang begini dan apa alasanku menyuruh perbuatan gila itu!"
"Alasannya sederhana, kau takut aku merebut kedudukanmu itu. Kau sekarang sudah menjadi Thai-suma!"
"Ah," sang bangsawan tertegun, membelalakkan mata. Takut direbut? Masalah kedudukan dan pangkat ini? Ha-ha!" Wan-thai-suma tiba-tiba tertawa, ganti mengejutkan kakaknya. "Kau gila, kanda pangeran. Kau salah besar. Aku sama sekali tidak takut karena kalau kau ingin pun sekarang juga bisa kuserahkan. Ini atas kehendak baginda, bukan aku pribadi. Tuduhan itu fitnah. Siapa yang bilang begini dan dari mana kau tahu!"
"Mana pembantuku Kwee Huan..."
"Ada apa dengan dia?"
"Dialah yang memberi tahu dan kau dapat menanyainya sendiri!"
"Hm, dia tewas," Wan-thai-suma mengerutkan kening, kakaknya berubah. "Aku... Aku hendak datang karena justeru untuk ini. Aku hendak memberi tahu kepadamu bahwa Kwee Huan maupun Sun Cek Tojin sama-sama roboh. Mereka mati bareng!"
"Kwee Huan terbunuh? Bohong, dia tadi mengejar-ngejar pembantumu. Sun Cek sudah kehabisan tenaga!"
"Benar, kanda, dan aku menyesal tentang itu. Tak kusangka bahwa gara-gara ini pembantumu dan pembantuku saling mengadu jiwa. Dan tentang perkiraan itu,. Hhmm.... sama sekali tidak benar. Aku tidak menyuruh Sun Cek Tojin atau siapapun untuk membunuhmu. Aku tidak takut kedudukanku kau ambil alih!"
"Kalau begitu serahkan kepadaku. Aku saudara tertua!"
"Urusan ini harus kita bicarakan bersama Sri baginda, kanda. Aku tak dapat menyerahkannya begitu saja., Jabatan ini bukan seperti orang beli pisang goreng."
"Hm, dan aku tak mungkin berhasil. Kau tahu ini! Kau telah mempengaruhi sri baginda. Kau telah mengguna-guna!"
"Apa?"
"Maaf, aku tak perlu bicara lagi, Wan-thai-suma. Kalau kau benar-benar rela menyerahkan kedudukan itu bicarakanlah kepada sri baginda dan kutunggu hasilnya. Kalau tetap seperti ini maka kuanggap kau bicara seperti burung dan omong kosong belaka!"
Sang adik tertegun. Sang kakak sudah bangkit dan masuk ke dalam sementara dia dibiarkan begitu saja, sendirian. Seorang menteri dihina orang yang lebih rendah! Namun karena Tan-ongya adalah kakaknya dan Wan-thai-suma iní adalah seorang laki-laki bijak yang tahu membatasi marah maka đia menarik napas dalam dan memutar tubuhnya.
Hari itu juga dia pulang ke rumah dan betullah dugaannya bahwa kepangkatannya itu menimbulkan bibit kebencian di hati saudaranya. Dan ketika ia muram karena disangka mengguna-gunai sri baginda, hal yang menggelikan maka malam itu juga bangsawan ini menghadap kaisar, ia melapor dan menyatakan maksudnya untuk menyerahkan kedudukan kepada kakaknya, pangeran Tan.
"Hamba hendak melapor bahwa keributan siang tadi hanyalah peristiwa kecil, tak mengganggu keamanan. Tapi inti dari persoalan ini menyulitkan hamba, baginda. Dan hamba ingin mengundurkan diri."
"Mengundurkan diri? Apa yang kau maksud?" Sri baginda tercengang. "Tewasnya dua orang itu sudah kudengar, Wan-thai-suma. Tapi aku tak mengerti apa arti kata-katamu terakhir tadi. Mengundurkan diri tentang apa!"
"Hamba hendak mengundurkan diri dari kedudukan hamba sekarang. Dan hamba, maaf... hamba ingin menyerahkannya kepada kakak hamba, Sri baginda. Sudilah paduka memberikan kedudukan ini kepada kanda Tan!"
"Astaga!" sang kaisar terkejut. "Kau gila, Wan-suma. Tidak waras. Apa alasanmu dengan bicara seperti itu!"
"Alasan hamba sederhana saja, kanda Tan saudara tertua sedang hamba hanya saudara nomor tiga."
"He-he-he, kedudukan dijabat bukan karena urutan saudara tua atau bukan, melainkan oleh cakap tidaknya yang bersangkutan itu. Eh, kalau kau lebih cakap dan cocok apakah kedudukan itu harus kuserahkan orang lain, Wan-suma? Tidak, dan aku sudah merundingkan ini dengan Kepala Agama. Kakakmu tak pantas karena kerjanya senang foya-foya saja. Dan batinnya juga kurang bersih. Aku tidak mau memilihnya karena ia tamak dan tak berjiwa bijak. Kau paling cocok dan kau harus terus menduduki jabatan itu, demi negara!"
"Tapi... tapi..." Wan-thai-suma bingung. Nanti kanda Tan memusuhi hamba, baginda, dan dugaannya dianggap betul!"
"Dugaan apa itu, kenapa kau takut!"
"Hamba dikira mengguna-gunai paduka. Memperoleh kedudukan dengan mempengaruhi paduka!"
"Ha-ha, orang kalau pikirannya buruk selalu ada-ada saja perkiraan atau pikiran jelek. Aku tak merasa itu. Dan tentang dimusuhi kakakmu, hm, ada aku di sini. Kalau dia macam-macam nanti aku yang menghukum. Sudahlah, pulang dan tenangkan hatimu. Permintaanmu kutolak. Alasanmu tak dapat kuterima!"
Wan-thai-suma tertegun. Kaisar mengulapkan tangannya dan itu tandanya dia harus pergi. Pembicaraan sudah selesai. Dan ketika pria ini mundur dan memberi hormat, pergi dengan muka lesu maka kaisar justeru kagum dan bersinar-sinar memandang Menteri Utamanya itu. Kedudukan demikian tinggi ringan saja hendak dilepaskan, sungguh langka! Dan ketika kaisar justeru kagum dan semakin mantap hatinya, Wan-thai-suma semakin meyakinkan, maka justeru bangsawan itu yang kebingungan sendiri.
"Wah apa kata kakaknya kalau sudah begini? Tentu cemooh dan ejekan saja. Dakwaan kakaknya bahwa dia mempengaruhi atau mengguna-gunai sri baginda bakal semakin mantap."
Dan ketika menteri itu pulang dan menutup pintu kamarnya maka tiga hari Wan-thai-suma ini tak dapat bekerja. Dan saat itu muncullah kakaknya nomor dua, Yo Hong.
"Hm, ada apa? Kenapa adik Wan kelihatan murung?"
"Ah, kanda Yo kiranya? Mari, duduk kanda. Aku ada persoalan rumit. Pusing kepalaku memikirkan ini!"
"Soal apa, apakah tentang kanda Tan!"
"Benar, kanda tentu tahu bahwa..."
"Ya-ya, aku tahu. Aku telah mendengar. Tapi kata-kata sri baginda memang cocok. Kau tak boleh melepaskan kedudukan itu. Apa jadinya rakyat dan negara kalau dipimpin oleh kanda Tan. Sehari-hari kerjanya hanya senang-senang dan main perempuan. Lihat saja kemarin itu ia berburu sambil membawa tujuh wanita cantik untuk diajak kencan di hutan. Apakah pantas!"
Wan-thai-suma tertegun.
"Maaf,” kakaknya nomor dua ini sudah menarik kursi. "Pekerjaanmu tak boleh ditinggalkan adik Wan. Banyak surat-surat penting yang harus kau lihat. Kau masih harus mengatur negeri dan kesejahteraan rakyat. Para pembantu menunggu keluarmu. Hadapi mereka dan jangan biarkan urusan istana terbengkalai. Aku sudah tahu itu dan aku berdiri di belakangmu!"
Wan-thai-suma membelalakkan mata. Tiba-tiba kakaknya itu tertawa dan memberi nasihat banyak-banyak. Bahwa ia tak boleh meninggalkan pekerjaannya karena banyak bawahan menunggu. Pajak dan surat-surat penting harus ditandatangani, atau nanti rakyat berhenti bekerja dan itu merugikan negara. Dan karena berhentinya kegiatan berarti sia-sianya energi, boros terbuang cuma-cuma, maka sang kakak menutup dengan satu nasihat mengesankan.
"Urusan seorang tak boleh merugikan ribuan lainnya. Kalau kau mengabaikan ini maka dosamu kepada rakyat tak terampuni. Nah, tutup kebingunganmu itu dan bekerjalah. Jangan urusan pribadi menimbulkan kerugian rakyat!"
Wan-thai-suma bangkit berdiri. Tiba-tiba matanya menjadi hidup dan gairah untuk bekerja lagi memancar di pandangannya. Benar, ia telah melupakan tugas negara hanya karena persoalannya dengan sang kakak. Urusan satu orang tiba-tiba saja merugikan ribuan yang lainnya. ketika ia bangkit berdiri dan bangkit semangatnya oleh dorongan ini, apalagi kakaknya nomor dua itu berada đi belakangnya maka Wan-thai-suma memeluk dan mengucap terima kesih, air mata berlinang-linang.
"Kanda Yo, aku sekarang sadar. Baiklah, apapun kata kanda Tan nanti biarlah tak kuhiraukan. Kaisar telah menolak pengunduran diriku dan aku tak berdaya. Aku akan bekerja dan tak akan melalaikan rakyat!"
Begitulah, Wan-thai-suma lalu bangkit bekerja lagi. Tiga hari ditinggalkan ternyata pekerjaan bertumpuk, agak menyesal juga dia. Tapi ketika dia bekerja lagi dan kegagalannya ini didengar kakaknya, Tan-ongya mencibir maka pangeran itu mendengus dan semakin berapi-api.
“Sudah kuduga, mana mungkin berhasil. Kalau guna-guna itu tidak dibuang tetap saja sri baginda memakai tenaganya. Huh, aku harus mencari akal bagaimana dia ditendang!"
"Paduka tak usah khawatir," Yauw Seng mengobor-obori. "Ada akal untuk iní, pangeran. Masih .ada jalan. Bagaimana kalau ia kita buat sakit dan cari dukun ampuh"
"Maksudmu?"
"Selama ia masih hidup tentu sri baginda kaisar tetap tertarik kepadanya. Nah, cari saja orang sakti dan kebetulan aku kenal seorang pertapa yang pandai menenung!"
"Hm, kita bunuh dia dengan jalan menyakitinya?"
"Benar, dan Sun Cek Tojin sudah tak ada lagi disampingnya. Hamba mempunyai seorang pertapa yang dapat menenung orang lain. Kita tenung dia dan biarkan sekarat sampai akhirnya mati!"
"Ha-ha, cocok sekali!" Tan-ongya tertawa. bergelak. "Aku sependapat, Yauw Seng. Suruh dan panggil ke mari pertapa itu. Cepat, aku ingin membunuh si Wan-thai-suma itu lewat tenung!"
"Tapi hadiah untuk hamba?"
"Wah, belum bekerja minta hadiah?" Kau minta apa?" Tan-ongya terbelalak, wajahnya berseri-seri.
"Hamba, he-he..'" Yauw Seng tertawa licik. Hamba tergila-gila kepada selir tercantik paduka pangeran, bolehkah hamba memiliki Bhi Li"
"Apa? Bhi Li...?"