RAJAWALI MERAH
JILID 24
KARYA BATARA
SIANG itu, begitu roboh dan dibawa Ui Kiok ke dalam kamarnya maka pemuda ini dibaringkan dan Ui Kiok berkali-kali terkekeh mencium Siang Le. Siang Le muak dan tentu saja memaki-maki. Namun karena ia tak berdaya dan lawan bebas menciumi mukanya, Siang Le mengelak kalau ke bibir maka Ui Kiok berkata bahwa hari ini ia ingin mengikat jodoh.
“Tak usah malu-malu. Katakan bagaimana aku melayanimu, Siang Le-koko, dan jurus apa saja yang kau minta akan kulaksanakan. Aku sanggup membuatmu terbang ke sorga paling tinggi!”
“Siluman hina-dina!” Siang Le merah dan marah, malu serta jengah. “Tak usah kau lakukan apa-apa terhadapku, wanita rendah. Bunuh dan tikam dadaku habis perkara. Aku tak sudi menyambut cintamu yang rendah dan kotor!”
“Hi-hik, cintaku bersih. Apa yang ingin kuberikan kepadamu adalah sesuatu yang nikmat, Le-koko. Lihat dan rasakan ciumanku ini. Jangan mengelak, aku akan memberinya!” dan ketika wanita itu menunduk dan mencium, Siang Le dipegang hingga kepalanya tak dapat digerakkan maka benar saja ciuman mesra mendarat di mulutnya. Ui Kiok menotok pemuda itu hingga pemuda ini tak mampu mengelak lagi.
Siang Le tentu saja kelabakan. Ia dikecup dan dicium sampai merinding. Bibir wanita itu melekat erat di bibirnya, menghisap dan benar-benar memberikan rangsangan yang amat tinggi. Namun karena Siang Le benar-benar jijik dan muak terhadap wanita ini, yang tadi begitu tak malu-malu mendekap dan mencium Togur maka ia menggerakkan mulutnya dan lidah si wanita tiba-tiba digigit, bukan disambut melainkan malah membuat Ui Kiok menjerit!
“Aduh...!” tamparan keras membuat Siang Le terlempar. Pemuda itu dibanting dan Ui Kiok mendekap mulutnya yang berdarah. Lidah yang semula dimain-mainkan di mulut pemuda itu mendadak serasa putus digigit. Untung, ia dapat menyelamatkan diri! Dan ketika Ui Kiok menampar dan pemuda itu mengaduh, Siang Le terbanting dan menggeliat di sudut maka Ui Kiok berkelebat dan menendangnya, marah bukan main.
“Siang Le, kau pemuda tak tahu diri. Diberi cinta malah menyakiti. Ah, kuhajar kau. Kubunuh kau... des-des-dess!”
Pemuda ini yang ditendangi dan dihajar marah akhirnya membuat Siang Le terlempar dan menggeliat sana-sini menahan sakit, tiga empat kali menerima tendangan ujung sepatu dan kali yang kelima membuat ia menjerit dan pingsan. Ui Kiok menghantam bawah pusarnya. Bukan main keji dan kasarnya wanita itu! Namun ketika Siang Le roboh dan tidak bersuara lagi, Ui Kiok sadar dan takut akan ancaman Togur maka dia mendesis dan membungkuk memeriksa pemuda itu.
“Jahanam sialan, diberi enak malah memadamkan nafsuku. Hm, bangun dan lihat apa yang akan kulakukan kepadamu, Siang Le. Bangun dan jangan tidur!”
Wanita ini menyiram Siang Le, berdebar tapi lega bahwa pemuda itu tidak sampai mati. Kalau tadi ia membunuh pemuda ini tentu ia sendiri mungkin akan dibunuh Togur. Tawanan mereka ini adalah tawanan penting yang tak boleh dibunuh. Togur telah melarangnya untuk tidak membunuh. Dan ketika ia mengguyur namun Siang Le masih pingsan, pemuda itu kesakitan hebat maka Ui Kiok mengambil bungkusan obatnya dan mengurut. pemuda itu yang tentu mulas. Dan benar saja, Siang Le akhirnya sadar.
“Bangun!” pemuda itu lamat-lamat mengenal wajah lawannya. “Bangun dan istirahat dulu di sini, Siang Le. Aku tidak membunuhmu karena aku sayang kepadamu!”
Siang Le merintih. Ia menahan sakit karena anggauta rahasianya yang kena. Tendangan itu amatlah kuatnya dan ia merasa hancur. Siang Le tentu saja memaki-maki namun lawan terkekeh, kaget ketika Ui Kiok meraba bawah pusarnya dan kancing celana di situ terbuka! Dan ketika ia membentak dan meludah, Ui Kiok terkejut dan mundur menjauh maka pemuda yang baru siuman ini mengancam, sama seperti Soat Eng yang juga membuat lawannya berpikir seribu kali.
“Ui Kiok, kau betina jalang yang tak tahu malu. Kalau aku masih hidup maka jangan dekat atau sentuh tubuhku. Tapi kalau kau mau membunuh cepat bunuhlah aku. Atau aku akan bunuh diri dengan menggigit putus lidahku kalau kau menghina aku lagi!”
“Hm, siauw-ong tak membolehkan aku membunuhmu. Tapi aku juga ingin memberimu pelajaran agar tunduk dan tidak sombong terhadap wanita. Baik, kau boleh menang sekarang, Siang Le. Tapi lihat bahwa sebentar lagi kau akan bertekuk lutut dan menyerah di depanku!”
“Aku tak akan menyerah, aku tak akan bertekuk lutut. Kau bunuhlah aku kalau mau atau pergi dari kamar ini. Bau tubuhmu membuatku ingin muntah!”
Ui Kiok menampar. Ia marah dan sengit mendengar kata-kata ini, berkelebat dan meninggalkan Siang Le sendirian. Dan ketika Siang Le merintih dan teringat sakitnya lagi, ia merah padam karena celananya dibuka maka seorang wanita lain masuk.
“Aku membawa makanan. Mungkin kau lapar.”
“Bedebah!” Siang Le memaki, wanita ini ternyata anak buah Ui Kiok. “Buang dan berikan kepada anjing, wanita busuk. Aku tidak lapar!”
“Hm, kalau begitu mungkin kongcu haus,” wanita itu tersenyum, tidak marah. “Aku dapat membantumu untuk minum, kongcu. Siauw-ong menyuruhku merawatmu baik-baik agar tidak lapar atau kehausan.”
Siang Le tertegun. Sebuah penampan kecil dengan arak harum diangkat wanita itu. Ia memberikannya kepada Siang Le dan tiba-tiba pemuda ini merasa haus. Tenggorokannya kering dan ia benar-benar ingin minum. Bau arak itu demikian segar dan merangsang. Harumnya selangit! Namun ketika Siang Le ingat bahwa itu adalah pemberian musuh, dan ia tak ingin menerima apapun maka pemuda itu membentak dan menyuruh wanita itu pergi. Pura-pura tak butuh!
“Aku tak lapar maupun haus. Buang minumanmu itu dan biarkan aku sendiri!”
“Kongcu benar-benar tak ingin minum?”
“Aku tak butuh minumanmu, wanita busuk. Enyah dan pergi dari kamar ini!”
“Iihh..!” wanita itu semburat, mendongkol juga. “Siauw-ong tak menyuruhku begitu, kongcu. Kalau kau menyuruhku pergi biarlah nampan dan minuman ini di sini, juga makanan ini. Kalau kongcu butuh boleh ambil sendiri atau panggil aku!”
Siang Le mendelik. Ia marah disuruh begitu karena mana mungkin ia dapat minum atau makan sendiri. Ia ditotok, dilumpuhkan! Tapi begitu wanita itu keluar dan menutup pintu kamar, ia, bergerak dan mengumpulkan tenaga, maka Siang Le mencoba beringsut sambil membuka atau membebaskan totok. Yang menotok adalah Ui Kiok dan ia tak usah merasa takut. Ia yakin dapat membebaskan totokan itu dan benar saja beberapa menit kemudian ia jalan darahnya menghangat kembali. Dan ketika ia mencoba dan perlahan-lahan jalan darahnya bergerak, tidak macet atau mati seperti tadi maka sekejap kemudian ia bebas!
Namun tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di luar. Seekor kucing tunggang-langgang dikejar seseorang, diteriaki dan dibentak-bentak karena mencuri ikan asin. Dan ketika Siang Le tertegun tapi geli, ia dapat menangkap suara itu sebagai wanita yang tadi memberikan nampan maka ia tak jadi menggerakkan tubuhnya dan kucing sialan itu menabrak pintu kamar, terbuka dan langsung masuk dan wanita di luar berseru keras. Ia meloncat memasuki kamar, kucing itu hilang karena bersembunyi di kolong tempat tidur.
Dan ketika ia celingukan dan Siang Le geli, hampir saja tertawa maka wanita itu melotot dan tiba-tiba membungkuk. Siang Le memejamkan mata karena sepasang bukit indah tensembul dari belahan dada. Wanita itu seakan tak sengaja dengan gerakannya ini. Baju luarnya tersingkap. Siang Le berdetak! Dan ketika ia menutup mata karena pandangan itu amatlah mendebarkannya, sesuatu yang tak sengaja selalu mengundang birahi laki-laki maka wanita itu terkekeh karena menemukan kucing itu di kolong tempat tidur, bergerak dan menangkap!
“Hi-hik, kau tak dapat melepaskan diri dari aku, A-cing. Hayo kembalikan ikan itu atau kau kutampar!”
Kucing itu mengeong kaget. Ia ketahuan dan mau meloncat namun tangan atau jari-jari lawannya ini bergerak mendahului. Dan ketika ia tertangkap dan mau menggigit namun dijitak, Siang Le membuka mata maka wanita itu berdiri dan tiba-tiba Siang Le menyergap punggungnya. Sadar bahwa ia harus merobohkan wanita ini!
“Diam, atau kau kubunuh!”
Teriakan kecil terdengar dari mulut wanita ini. Ia meronta namun Siang Le bergerak mendahului, menotoknya dan robohlah wanita itu di tangannya. Dan ketika tergetar karena memeluk sosok tubuh yang lembut hangat, bayangan buah dada tadi mengganggu konsentrasinya maka pemuda ini menekan leher lawannya agar tidak berteriak.
“Diam, atau kau kubunuh!"
“Ampun...” wanita itu menggigil, pucat. “Aku... aku tak bersalah kepadamu, kongcu. Justeru aku baik-baik melayanimu. Jangan bunuh dan biarkan aku hidup!”
“Aku memang bukan tukang bunuh,” Siang Le mendesis, suaranya mengancam. “Kalau kau baik-baik menuruti perintahku maka kau selamat, wanita busuk. Tapi sekali kau berteriak maka ubun-ubunmu kubuat berlubang. Nah, kita keluar dan beritahu kepadaku di mana isteriku Soat Eng!”
“Aku... aku tak tahu!”
“Bohong! Kau dusta, tikus betina. Kau tahu dan pasti bohong. Aku hendak mencari isteriku dan kau menjadi petunjuk jalan di mana isteriku itu!”
“Ia dibawa siauw-ong...”
“Aku tahu, jahanam Togur yang membawanya. Tapi di mana isteriku dan kau harus ikut aku!”
“Ooh, jangan kuat-kuat, kongcu. Leherku sakit. Jari-jarimu seperti jepitan baja...!”
“Kau tak usah cerewet. Di mana isteriku atau jari-jariku akan menancap di lehermu lebih kuat lagi!”
“Augh.. ampun, kongcu... ampun..... aku... aku tahu!”
“Nah, di mana isteriku itu. Dan berapa temanmu yang ada di luar. Sedang apa mereka!” Siang Le mendengar langkah kaki dan suara-suara orang. Itu pasti anak buah Ui Kiok dan pemuda ini berdebar dengan muka tegang. Sentuhannya kepada leher lawan tiba-tiba tanpa terasa bertambah kuat dan wanita itu menjerit. Dan ketika kawan-kawannya di luar terkejut dan berlarian ke kamar ini, Siang Le berubah maka Siang Le mengancam agar wanita itu cepat melempar kucing yang masih ditangkapnya.
“Lemparkan kucing itu dan katakan kepada teman-temanmu bahwa kau tidak apa-apa. Atau, nanti aku membunuhmu!”
Benar saja, pintu kamar dibuka. Empat wanita cantik berkelebat ke dalam namun secepat itu pula Siang Le telah melempar dan mencengkeram wanita ini di samping tempat tidur. Ia telah pura-pura kembali seperti tadi dengan wanita itu duduk di tepi pembaringan. Sepintas, wanita ini seperti sedang menungguinya, dan itu yang memang dikehendaki Siang Le. Dan ketika empat wanita itu terkejut di pintu kamar, terbelalak dan mengelak karena kucing itu dilempar dan hampir saja menyambar muka mereka, mengeong dan lari lintang-pukang maka mereka bertanya apa yang terjadi.
“Tidak... tidak apa-apa!” wanita itu berseru, seperti yang dibisikkan Siang Le. “Kucing keparat itu mencuri ikan asin, A-hwa. Dan aku melemparnya karena itu untuk Siang-kongcu. Ah, keparat. Ui Kiok-cici menyuruhku menjaga di sini dan kalian pergilah tak ada apa-apa!”
“Ih, kami sampai kaget!” satu di antaranya tiba-tiba terkekeh, tiga yang lain sadar dan tertawa pula. “Kami kira ada apa, Bhi Peng. Tak tahunya berkelahi dengan kucing. Hi-hik, kusangka berkelahi dengan Siang-kongcu. Awas, kalau kau berkelahi dengannya harap beri tahu kami. Kami tak ingin kau berkelahi dengan si tampan itu sendiri karena kami juga ingin mendapat bagian!”
Siang Le merah padam. Ia hampir meloncat menghadapi wanita-wanita cabul itu karena kata-kata mereka bukanlah tidak mengandung arti. Mereka mengucapkannya sambil terkekeh-kekeh dan yang dimaksud adalah lain. Siang Le marah! Tapi karena ia tak mau terjadi kegaduhan dan biarlah mereka pergi dulu, ia akan memberesi dan menguasai dulu yang satu ini maka empat wanita itu melompat keluar tapi celaka sekali pintu di luar dipalang!
“Bhi Peng, kau jaga baik-baik Siang-ongcu itu. Kalau ia sadar beri tahu kami agar kami dapat menungguinya pula. Ih, kami menjadi lapar melihat pemuda tampan dan segagah itu!”
Siang Le melompat bangun. Akhirnya mendengar palang pintu di luar dan marahnya nyaris tak tertahan lagi. Wanita tawanannya ini tersenyum-senyum. Ia bergerak dan kontan menampar! Dan ketika wanita itu mengaduh dan terpelanting jatuh, Siang Le mencengkeram dan mengangkatnya bangun maka ia menggigil berkata marah.
“Bhi Peng, teman-temanmu itu busuk sekali. Pintu sekarang dipalang dan kita tak dapat keluar. Kenapa kau tersenyum-senyum dan seolah orang mendapat lotre!”
“Ampun..” wanita itu gemetar, pipinya bengap. “Aku girang karena berdua denganmu, kongcu. Entah salah atau tidak itulah perbuatan teman-temanku. Kau dapat mendobrak dan membuka pintu ini..”
“Dan bakal terjadi kegaduhan!” Siang Le membentak. “Dan itu berarti teman-temanmu yang lain akan berdatangan dan langkah berikutnya bakal merepotkan. Hayo mana anak kuncinya dan apakah kau bawa atau tidak!”
“Ampun...” wanita ini menggigil, sekarang tampak ketakutan. “Aku tak membawa anak kunci, kongcu. Kalau tidak percaya boleh geledah!”
“Geledah hidungmu. Kau wanita dan aku laki-laki. Masa harus geledah-geledah segala!”
“Kalau begitu kongcu harus percaya kepadaku. Atau... cring!” sebuah anak kunci jatuh, Bhi Peng terkejut dan membelalakkan matanya dan Siang Le menyambar dengan marah. Wanita itu berkata tidak membawa kunci namun tiba-tiba sebuah anak kunci jatuh. Ini terlalu! Dan ketika ia menyambar dan kunci itu di tangannya, Siang Le membentak dan berkata apakah ini maka Bhi Peng tersenyum dan aneh sekali ia tertawa!
“Maaf, itu kunci kamarku, kongcu, bukan kamar ini. Cobalah kalau tidak percaya.”
Siang Le memang tidak menunggu lagi. Ia sudah bergerak dan mencoba anak kunci itu tapi benar saja tidak cocok. Kalaupun cocok, ia masih akan berhadapan dengan sebuah kebingungan lain berupa palang pintu di luar itu. Dan ketika ia tertegun dan Bhi Peng terkekeh, rupanya geli dan hilang takutnya akibat kebingungan pemuda itu maka ia berseru,
“Kongcu, lebih baik kita diam saja di kamar ini. Kau suruh aku melakukan apa saja dan tentu akan kulakukan!”
“Tutup mulutmu!” Siang Le membentak, mukanya merah. “Aku bukan laki-laki cabul sepertl jahanam Togur itu, Bhi Peng. Kau jangan banyak bicara atau kutampar nanti!”
Bhi Peng mengeluarkan seruan ngeri. Ia menutup mulut dan melihat Siang Le gagal membuka pintu, anak kunci itu memang bukan pasangannya. Dan ketika Siang Le membanting kaki dan kembali ke tengah kamar, udara tiba-tiba terasa panas maka ia ingin minum dan merasa haus. Dan Bhi Peng rupanya melihat itu, cerdik berkata,
“Kamar ini pengap. Aku merasa haus dan ingin minum. Apakah kongcu tidak ingin minum?”
“Hm, aku tak haus. Boleh kau minum kalau ingin minum, Bhi Peng. Aku tak mau menyentuh barang haram di sini!”
“Tapi itu untuk kongcu...”
“Aku tak perduli!”
“Kalau begitu bolehkah aku minum kongcu? Kau tidak marah?”
“Minumlah sesukamu, kau boleh menghabiskannya!”
“Terima kasih,” Bhi Peng bersinar-sinar, maju dan ia menyentuh arak di atas nampan itu. Siang Le tidak menotoknya penuh dan karena itu ia dapat bergerak. Tapi ketika ia menyentuh dan arak siap di bibir, Siang Le acuh dan pura-pura tak melihat mendadak wanita itu berhenti dan tak jadi minum.
“Aku tak berani memberi sisa,” katanya. “Tolong kongcu cicipi sedikit dan setelah itu aku minum!”
“Hm, aku tak mau minuman itu,” Siang Le membentak. “Sudah kubilang berkali-kali agar kau tidak menawarkan arak itu, Bhi Peng. Minumlah sendiri dan habiskan!”
“Tapi ini milik kongcu, punya kongcu. Kalau kongcu tak mau minum tentu saja aku juga tak berani minum. Aku juga dapat menahan haus seperti kongcu!” dan meletakkan kembali arak itu di atas nampan maka Bhi Peng mundur dan tak jadi minum. Si pemuda tertegun!
“Hm, sesukamulah,” akhirnya pemuda ini gemas berkata. “Aku tak haus, Bhi Peng. Dan aku tak perlu minuman itu!”
“Aku juga tidak!” Bhi Peng tak mau kalah, menjawab dan tersenyum dan akhirnya iapun meletakkan tubuh di pembaringan. Begitu tenang dan menggoda, gerak-geriknya mulai penuh daya pikat. Dan katika Siang Le bingung dan membelalakkan mata, baru kali itu ia berdua dengan wanita yang bukan isterinya maka ia bergerak dan menyambar si genit ini.
“Tak usah tidur, aku memerlukanmu!”
“Ih, kongcu perlu apa?” Bhi Peng terkejut, tertarik bangun. “Jangan keras-keras, kongcu. Aku di kamar ini memang untuk melayanimu!”
“Tutup mulutmu untuk bicara yang tidak-tidak!” Siang Le marah, lagi-lagi merasa wanita itu bermaksud lain. “Panggil dan datangkan kawan-kawanmu yang tadi, Bhi Peng. Aku akan menyergap dan menyerang mereka. Aku, ingin keluar!”
“Tapi kongcu tak usah berteriak-teriak. Mereka nanti curiga!”
“Hm,” Siang Le merasa benar, suaranya memang meninggi. Tapi menyentak dan berkata agar Bhi Peng tak usah menggurui maka ia berkata, “Itu urusanku. Curiga atau tidak tak perlu kau ribut. Nah, panggil teman-temanmu itu dan suruh buka pintu ini!”
Bhi Peng membelalakkan matanya yang indah. Ia berkedip-kedip seperti boneka mainan, Siang Le mengerutkan keningnya dan mencengkeram bahunya. Dan ketika wanita itu menjerit namun Siang Le sudah berkata agar cepat melaksanakan perintah, atau wanita itu akan dilempar maka si centil ini menggigil.
“Baik... baik, tapi harap kongcu tidak mencengkeramku kuat-kuat. Jarimu terlalu keras!”
“Dan kau jangan macam-macam. Jariku tetap menempel di punggung, Bhi Peng. Sekali kau merepotkan aku maka kubunuh!”
“Aku tak mungkin berani, aku masih ingin tinggal bersama kongcu...” dan ketika wanita itu menggigil dan menggemaskan Siang Le, kata-katanya masih selalu mengandung arti maka Bhi Peng mendekat dan membungkuk di lubang kunci. Di sini ia berseru agar empat kawan-kawannya tadi datang, masuk dan membuka pintu. Dan ketika terdengar kekeh dan empat bayangan berkelebat datang, Siang Le mendengar seruan mereka ada apa Bhi Peng memanggil maka wanita itu menjawab bahwa Siang-kongcu ingin ditemani mereka-mereka itu. Kurang kalau hanya ia seorang!
“Buka pintu dan masuklah, kawan-kawan. Siang-kongcu sadar dan minta kalian temani. Aku seorang rupanya tak cukup!”
“Hi-hik!” tawa di luar itu membuat muka Siang Le panas. “Begitukah, Bhi Peng? Baik, kami masuk dan tentu dengan senang hati melayani Siang-kongcu!” dan ketika pintu dibuka dan benar saja mereka itu masuk, Siang Le bergerak dan menyergap maka empat wanita itu menjerit namun seorang di antaranya tiba-tiba menendang pintu agar menutup kembali.
“Brakk... aduh, plak-plak-plak!”
Empat tubuh berpelantingan dan berteriak susul-menyusul. Siang Le telah melakukan gerakan cepat namun ia tak waspada akan lawan yang terakhir itu, yang menendang dan menutup pintu kamar. Dan ketika ia hendak meloncat dan membuka pintu, yang terpalang dan entah bagaimana sudah tertutup lagi dari luar maka pemuda itu tertegun dan empat lawannya terkekeh. Dapat juga tertawa meskipun sambil meringis menahan sakit. Bokong mereka dihajar Siang Le tadi.
“Hi-hik, gagal, kongcu. Palang pintu bergerak otornatis begitu kami masuk. Kami telah memasangnya secara terbalik dan curiga akan maksud undanganmu ini!”
“Keparat!” Siang Le marah. “Kalau begitu kalian harus kuhajar, wanita-wanita busuk. Dan biar ini sebagai hukuman untuk kalian!” dan Siang Le yang marah serta tidak dapat keluar lalu melepaskan kemarahannya dengan berkelebat dan menghajar wanita-wanita itu.
A-hwa dan kawan-kawannya mengelak namun Siang Le bukanlah tandingannya. Ui Kiok saja tak mampu menghadapi pemuda ini kalau tidak dibantu si buntung Togur. Dan ketika mereka menjerit dan berteriak-teriak tak keruan, suasana menjadi gaduh maka di luar terdengar bentakan-bentakan dan tujuh anak buah Ui Kiok datang.
“A-hwa, apa yang terjadi!”
“Bhi Peng, ada apa dengan kalian!”
Tujuh wanita itu membuka dan memasuki kamar Siang Le. Mereka bersenjata pedang dan masing-masing berkelebat susul-menyusul, yang terakhir lagi-lagi menendang pintu dan pintu itupun tertutup secara otomatis dari luar. Palang pintunya menutup lagi dan Siang Le tiba-tiba dikeroyok tujuh wanita ini, yang cepat dan bertubi-tubi menyerangnya untuk menolong empat kawan yang pertama. Dan ketika Siang Le menjadi terkejut karena kamar yang sempit itu menjadi sesak, mereka tumpang-tindih satu sama lain maka ia berseru keras dan begitu tangan menyapu ke depan maka tujuh wanita itu mencelat dan pedang merekapun terlepas.
“Tikus-tikus hina, kalian semakin kurang ajar!”
A-hwa dan kawan-kawannya terbelalak. Mereka sendiri masih kesakitan dan merintih-rintih di sudut, Siang Le menghadiahi mereka dengan tamparan atau pukulan keras. Dan ketika tujuh teman mereka juga menjerit dan roboh terlempar, masing-masing tak dapat menandingi tenaga pemuda ini maka tujuh wanita itu jatuh tak keruan di atas tubuh Bhi Peng dan teman-temannya.
“Aduhh..!”
Semua menjadi kacau. Siang Le telah mengibas lawan-lawannya dan kini terbanting serta merintih-rintihlah sebelas wanita itu di atas kawan-kawannya. Kamar yang sempit itu seperti kandang ternak di mana semuanya tumpang-tindih. Tujuh wanita terakhir menangis dan pakaian mereka robek-robek, Siang Le membuang muka karena tiga di antaranya tersingkap pahanya, demikian menyolok dan membuat Siang Le sampai jengah karena mereka itu membiarkan saja keadaannya begitu, padahal seharusnya dapat ditutup. Dan ketika Siang Le mendorong pintu kamar namun terpalang dari luar, pemuda itu marah maka tujuh wanita itu berteriak agar pemuda itu membunuh mereka.
“Siang-kongcu, bunuh saja kami bertujuh daripada kesakitan seperti ini. Aduh, pundakku serasa patah!”
“Benar, pinggangku juga remuk, Cu-kim. Siang-kongcu itu kejam. Ah, lebih baik aku dibunuh!”
Siang Le membentak. Ia marah dan bingung karena sebelas wanita itu ganti-berganti mengerang tak hentinya. Tujuh yang terakhir minta dibunuh dan saling merintih bahwa pundak atau pinggang mereka patah, padahal mereka hanya kesakitan belaka karena ia tak sampai hati mematahkan atau mencederai mereka dengan berat. Dan ketika ia marah karena pintu lagi-Iagi tak dapat dibuka, palang di luar bergerak secara otomatis maka Siang Le jengah karena hanya ia sendiri yang laki-laki, dikerubung atau dikelilingi sebelas wanita yang roboh tumpang tindih.
“Kongcu, aku tak kuat. Cekik atau patahkan tulang leherku!”
“Benar, dan aku haus, kongcu...ah, itu ada arak!”
“Kami ingin. minum! Ah, tenggorokanku kering, kongcu. Kamar ini panas pengap sekali. Kami ingin minum!”
Siang Le kelabakan. Ia dimintai tolong dan masing-masing meminta agar didahulukan. Bau arak harum menyengat hidung dan kesegarannya yang luar biasa memang membuat siapapun ingin minum. Arak di atas meja itu sungguh penuh daya pikat. Tapi ketika ia ragu dan hendak mengambilkan wanita-wanita itu, ia merasa kasihan juga tiba-tiba Bhi Peng membentak bahwa siapapun tak boleh minum kalau Siang Le belum mencicipi.
“Kalian tak boleh kurang ajar. Itu milik Siang-kongcu. Kalau mau minum harus sisa dari Siang-kongcu dulu!”
Semua tertegun.
“Lihat,” Bhi Peng menunjuk dirinya sendiri. “Akupun haus seperti kalian, kawan-kawan, dan aku lebih hebat daripada kalian. Aku ingin minum sejak tadi namun kutahan kalau Siang-kongcu belum meminumnya lebih dulu. Dia tamu dan kita pelayannya!”
“Benar,” seorang tiba-tiba sadar, menimpali. “Kalau Siang-kongcu tak mau minum kitapun harus menahan diri, kawan-kawan. Siang-kongcu tentu juga haus atau kita sama-sama mati kering di sini!”
“Hm,” Siang Le tergerak, watak welas asihnya timbul. “Kalau kalian mau minum biarlah minum, Bhi Peng. Aku tak melarang tapi beri tahu kepadaku bagaimana membuka palang pintu di luar itu!”
“Kami akan memberi tahu kalau kami sudah diberi minum!”
“Tapi kongcu harus meminumnya lebih dulu!”
“Hm, aku tak mau minum. Aku mau keluar!” Siang Le mendongkol, kemarahannya bangkit lagi. “Kalau pintu ini tak dapat dibuka maka aku akan mendobraknya, Bhi Peng. Tanpa kalianpun aku bisa!”
“Tapi kongcu akan memanggil Ui Kiok-cici dan siauw-ong. Dan kongcu tak dapat menyelamatkan diri!”
“Kalian memang busuk!” pemuda ini gusar. “Kalau tidak karena isteriku tak mungkin aku di sini, A-hwa. Hayo tunjukkan padaku bagaimana membuka pintu itu atau kalian semua menjadi sandera!”
“Kami akan memberi tahu kalau diberi sesuatu!”
“Benar, kami minta sesuatu untuk membuka pintu, kongcu. Kalau kau memberi sesuatu maka kami akan memberi tahu!”
“Hm, kalian minta apa...”
“Cium!”
“Cium..!”
Siang Le terkejut dan merah padam. Sebelas wanita itu tiba-tiba serentak berseru bahwa mereka minta cium. Rahasia pintu akan diberi tahu kalau mereka diberi cium. Dan ketika pemuda itu tersentak dan merah mukanya, sebelas wanita itu terkekeh dan entah bagaimana tidak menghiraukan rasa sakitnya lagi maka Siang Le membentak agar mereka tidak bicara seperti itu. Pemuda ini marah dan juga malu!
“Diam! Kalian benar-benar wanita tak tahu malu. Aku tak sudi memberi itu hanya untuk membuka pintu!” dan marah serta mendorong pintu kuat-kuat, berkeratak dan marah menahan malu Siang Le lalu mencoba membuka pintu namun palang di luar kokoh sekali. Satu-satunya jalan hanya dengan menghantamnya dengan pukulan sinkang, tapi resikonya adalah diketahui Ui Kiok dan terlebih Togur.
Dan ketika pemuda ini ragu apa yang harus dilakukan, kamar semakin panas dan menyesakkan dada maka wanita-wanita itu berteriak-teriak agar diberi cium, membuat Siang Le marah dan ia menampar wanita-wanita itu. Dan ketika mereka menjerit dan roboh berpelantingan, Siang Le geram maka pemuda inipun tiba-tiba menjadi haus dan tenggorokannya kering.
“Kongcu, kau bunuhlah kami. Kau boleh keluar tapi kami tak mau sendiri. Bawa atau bunuh kami!”
“Dan kami haus. Ooh, kami semakin haus, kongcu. Kamar ini pengap. Panas...!”
Siang Le bingung. Tiba-tiba ia sudah mandi keringat karena kamar yang sempit itu benar-benar panas. Berdua saja dengan Bhi Peng ia sudah dibuat menggigil, apalagi kini ditambah sepuluh lagi di mana semuanya wanita. Dan ketika mereka berteriak-teriak ingin minum, arak di meja rupanya dapat dipakai penangkal haus maka ia menyambar arak ini dan sedikit menggelogok iapun membasahi tenggorokan.
“Hi-hik, Siang-kongcu minum. Ah, kitapun mendapat rejeki!”
“Benar, kita akan kebagian rejeki, Cu-kim. Lihat Siang-kongcu menyisakan araknya untuk kita!”
Siang Le memang melempar botol arak di tangannya itu. Ia gemas oleh ribut-ribut dan gaduh yang ditimbulkan anak buah Ui Kiok ini. Ia ingin mereka tak usah berteriak-teriak lagi dan cepat melempar minuman itu karena mereka akan minum kalau ia sudah lebih dulu minum. Dan ketika ia menggelogok namun hampir tersedak, arak itu ternyata keras sekali maka pemuda ini menahan keinginan hausnya dan cuma merasakan sekecap saja arak harum itu. Siang Le sudah membasahi sedikit lidahnya dan ia merasa cukup. Dan begitu ia melempar sisa arak dan wanita-wanita itu terkekeh, berebut, maka Siang Le merasa tenaganya bangkit tapi bersama itu juga ia merasa sesuatu yang aneh mengganggu pikirannya.
“Aku harus keluar. Pintu akan kudobrak!”
Wanita-wanita itu terpekik. Siang Le telah melepas kesalnya dengan menghantam pintu itu. Ia muak dan ngeri bercampur dengan wanita-wanita ini, perempuan-perempuan cabul yang tak tahu malu. Dan ketika ia meloncat dan menabrakkan dirinya, pintu mengeluarkan suara keras maka palang pintu di luar patah dan engselnyapun copot.
“Brakkk!”
Siang Le tak perduli kepada lawan-lawan yang bakal datang. Dia sudah memperhitungkan bahwa Ui Kiok dan mungkin Togur bakal keluar dari kamarnya masing-masing. Ia akan menghadapi musuh berat tapi ia tak takut karena secepatnya ia ingin menolong dan mencari isterinya. Bhi Peng dan kawan-kawannya itu membuat ia merinding dan muak. Berkali-kali tatapan matanya harus membentur dada atau paha-paha mulus. Dan ketika benar saja pintu didobrak pecah, jeritan atau pekik wanita-wanita di dalam kamar itu mengundang yang lain-lain maka belasan bayangan berkelebat dan Ui Kiok sendiri muncul.
“Heh, apa ini, Bhi Peng!”
Ui Kiok dan lain-lain membelalakkan mata. Mereka melihat Bhi Peng dan kawan-kawannya itu tumpang tindih, Siang Le keluar dan baru saja mendobrak pintu, yang pecah dan cerai-berai engselnya. Dan ketika Ui Kiok melihat Siang Le terhuyung-huyung, pemuda itu menjaga keseimbangan dan mata melotot merah maka Ui Kiok terkekeh dan tiba-tiba melihat arak di atas meja, yang sudah terguling.
“Heii, Siang-kongcu menikmati arak pengantin!”
“Benar, tapi yang lain dibagi-bagi mereka ini, Kiok-cici. A-hwa dan kawan-kawannya berebut!”
“Apa, kalian juga turut minum?”
“Benar, tapi sedikit-sedikit, Kiok-cici. Dan aku sendiri tak sempat minum!” Bhi Peng, yang mendongkol dan marah kepada teman-temannya karena tak sempat menikmati arak itu lalu melapor dan memberi tahu Ui Kiok bahwa teman-temannya berebut. Siapapun sudah tahu bahwa arak itu bukan sembarang arak, melainkan arak pengantin yang biasanya dipergunakan untuk merobohkan lawan. Dan ketika benar saja Siang Le terbelalak dan terhuyung-huyung di sana, pemuda itu merasa pusing dan berat kepalanya maka Ui Kiok tertawa dan bergerak menyambar pemuda ini. Dialah yang tadi menyuruh Bhi Peng menjebak dan memberikan arak.
“Siang-kongcu, kau pusing. Pikiranmu kacau. Mari ke kamar yang lain dan lihat langkahmu limbung!”
“Pergi!” Siang Le membentak dan masih sadar, mengelak dan menampar wanita itu. “Aku tak mau kau dekati, Ui Kiok. Pergi atau kau kubunuh!”
“Hi-hik,” tamparan luput. “Kau kacau, kongcu. Aku di sini bukan di situ. Lihat, pukulanmu mengenai angin!” benar saja, Siang Le terkejut karena pukulan atau tamparannya tadi luput, mengelak namun jari-jari lawan tahu-tahu telah mencengkeram bahunya. Dan ketika ia membentak namun kepala terasa berputar, rasa pusing semakin berat maka ia tertangkap dan belum apa-apa iapun sudah roboh. Padahal tadi begitu kuat mendobrak pintu!
“Hup!” Ui Kiok girang setengah mati. “Sekarang kau menyerah, kongcu. Kau dalam kekuasaanku!”
“Lepaskan aku...” Siang Le berteriak, namun suara yang terdengar justeru lemah dan hampir tak terdengar. “Lepaskan aku, Ui Kiok. Lepaskan aku...!”
Ui Kiok terkekeh. Dia menendangi sebelas anak buahnya karena begitu Siang Le roboh mereka itupun berebut dan hendak menyambar pemuda ini. Masing-masing hendak menangkap dan dengus hidung mereka terdengar saling memburu. Itulah wanita-wanita yang berebut menikmati arak pengantin, terbakar dan kini dikuasai berahi namun Ui Kiok tentu saja tak memberi kesempatan. Ia telah berhasil menyuruh Bhi Peng memberikan arak, meskipun yang diminum hanyalah sekecap dan Siang Le melempar minuman itu kepada yang lain, tak tahu dan tentu saja tak mengira bahwa arak dipenuhi bubuk perangsang.
Dan ketika pemuda itu mengeluh karena roboh disambar Ui Kiok, anak-anak buahnya berpelantingan dan menjerit kecewa maka Ui Kiok berkelebat dan masuk ke kamar yang lain. Di sini Ui Kiok tak menghiraukan kegaduhan dan ribut-ribut di luar. Ia tak perduli ketika anak-anak buahnya yang telah dirangsang birahi itu saling tubruk dan menerkam teman-temannya. Adegan menjijikkan terjadi di antara sesama wanita itu.
Dan ketika Ui Kiok menendang pintu kamar dan tertawa melempar tangkapannya, Siang Le sekarang sudah berbeda dengan Siang Le yang tadi maka pemuda itupun merintih dan bola mata setengah tertutup karena Siang Le dibakar pula oleh nafsu berahinya. Biarpun sedikit tapi arak perangsang itu cukup kuat untuk menundukkan seekor kerbau jantan!
“Hi-hik, sekarang kau tahu, kongcu. Kesombonganmu lenyap dan lihatlah aku!”
Siang Le nanar. Ia dibebaskan dan telah dilempar ke atas pembaringan dan Ui Kiok berdiri tegak di situ. Wanita inipun merah mukanya dibakar birahi yang berkobar. Membayangkan pemuda ini bakal melayani hasrat cintanya sudah membuat darahnya mendidih dan penuh gejolak. Ia telah berhasil menundukkan pemuda ini dengan memberi arak perangsang, lewat Bhi Peng!
Dan ketika Ui Kiok tegak menantang dan belum apa-apa sudah melepas pakaian dalamnya, ia melucuti pakaian itu di depan Siang Le maka Siang Le yang sedang berkutat dan melawan hawa nafsu berahi dibuat terbelalak dan membuka matanya lebar-lebar melihat Ui Kiok sudah setengah telanjang!
“Ui Kiok, tidak... jangan!”
“Hi-hik, lihat dan pandanglah aku, Siang Le. Mana yang lebih menantang aku ataukah orang lain!”
“Tidak... tidak...!” pemuda itu berusaha menekan gejolaknya, hati nuraninya membisikkan bahwa itu berbahaya. “Aku .. aku tak mau, Ui Kiok. Kenapa tubuhku seperti ini dan panas terbakar!”
“Hi-hik, panasmu akan hilang begitu mendekapku, Siang Le. Ke marilah, dekap dan peluk aku. Aku mencintaimu!”
“Ooh..!” Siang Le bangkit namun roboh kembali di atas pembaringan. Ia tersentak dan semakin melebarkan mata melihat Ui Kiok menggerak-gerakkan tubuhnya. Pinggang yang patah-patah itu diperlihatkan tanpa penutup dan Siang Le mendengus. Tapi karena jelek-jelek dia adalah pemuda berbatin bersih dan suara batinnya inilah yang memberi tahu dia agar tidak menubruk Ui Kiok, wanita itu adalah ular berbisa dalam ujud bulu domba maka Siang Le menggeram dan berkali-kali menggelengkan kepala.
“Tidak... tidak, Ui Kiok. Kau wanita jahanam!”
Ui Kiok mengerutkan keningnya. Wanita ini terkejut bahwa pemuda yang sudah dilolohi arak perangsang itu masih juga dapat memakinya. Ia marah! Tapi ketika Siang Le terguling dan roboh dari tempat tidur, merintih dan mengerang melawan pengaruh tidak wajar maka wanita ini menjadi kagum dan iapun bergerak dan tahu-tahu sudah memeluk dan mendengus di belakang telinga pemuda ini, dengus yang berupa bisik gemetar.
“Siang Le, jangan bodoh. Kau sedang dihangati dewi cinta. Ayolah, jangan melawan, sayang. Aku mencintaimu dan kita bersenang-senang!” lalu menarik dan mengangkat pemuda ini ke atas pembaringan, Siang Le memeluk dan mencengkeram bahunya tiba-tiba wanita ini mencium bibir Siang Le dengan ciuman maut. “Cup!”
Siang Le tersentak dan menggelinjang. Ia benar-benar terbakar dan tak mampu menguasai dirinya lagi. Itu ciuman yang luar biasa dan iapun mabok, terlena. Tapi ketika Ui Kiok menindih tubuhnya dan di atas pembaringan wanita itu hendak melepas pakaiannya mendadak Siang Le tertegun dan memberontak.
“Tidak... jangan... tidak boleh!”
Ui Kiok terkejut. Untuk kesekian kalinya lagi ia tercengang dan kaget. Dua kali pemuda ini sadar lagi. Tapi ketika ia tertawa dan melumat bibir si pemuda, Siang Le tak sanggup mengelak karena sudah didahului dan dicegat maka lagi-lagi ciuman maut wanita itu mendarat.
“Cup, jangan gelisah, Siang Le. Jangan panik. Kau tak apa-apa, kita tak apa-apa. Aku akan melayanimu dan biarkan aku melepas celanamu!” namun begitu Ui Kiok bergerak dan melepas pakaian ini, si pemuda bergerak dan meronta lagi maka Siang Le tiba-tiba membentak dan dilemparnya wanita itu keluar pembaringan.
“Ui Kiok, aku sudah punya isteri!”
Ui Kiok terperanjat dan terlempar. Ia sendiri sudah melepas seluruh pakaiannya dan Siang Le terbelalak dengan muka terbakar. Kalau laki-laki lain tentu sudah tak banyak cakap lagi dan menyambut cintanya. Siang Le sebenarnya juga begitu namun tulus dan suci cintanya terhadap isteri membuat pemuda itu ingat dan memberontak. Bayangan Soat Eng tiba-tiba berkelebat dan itulah yang membuat Siang Le memberontak. Dan ketika ia menggigil dan turun dari pembaringan, roboh dan bangkit lagi maka pemuda ini menggeram dan memaki lawan dengan suara terbata-bata.
“Ui Kiok, aku tak mau melayani hasratmu yang kotor. Kau wanita najis. Kau bedebah! Kau apakan aku dan mana isteriku!”
Ui Kiok pucat. Selama hidupnya, selama ia berkenalan dengan Togur dan memiliki arak perangsang belum pernah seorang laki-lakipun yang tahan seperti Siang-kongcu ini. Biasanya, mereka akan roboh dan segera menyembah-nyembah dirinya. Disuruh menjilat kakipun mau! Tapi ketika Siang Le ternyata lain dan pemuda itu bertahan demikian mengagumkan, wanita ini terhenyak namun juga marah maka ia menyambar dan melompat bangun.
“Siang Le, jangan gila. Malam ini aku isterimu. Tak ada isteri lain kecuali aku!”
“Tidak, bedebah!” pemuda itu memberontak, Ui Kiok dipukul dan ditampar. “Isteriku adalah Soat Eng, Ui Kiok. Aku masih ingat nama isteriku dan kau apakan aku. Aduh, kau membakar birahiku!”
“Hi-hik, itu benar. Tak ada yang tahan kalau sudah begini, Siang Le. Setiap laki-laki akan roboh dan pasti bertekuk lutut kepadaku. Lihat, aku menyerahkan cinta dan segala-galanya kepadamu!” Ui Kiok penasaran, mencium dan mencoba lagi pemuda itu namun keteguhan batin dan cintanya yang suci terhadap Soat Eng membuat Siang Le tak dapat dibobol, Pemuda itu tak kuasa mengelak ketika mulut dan wajahnya dihujani ciuman Ui Kiok, diam saja dan terbakar berahi yang hebat.
Tapi begitu Ui Kiok hendak membuka celananya dan itu pantangan yang tak boleh dilakukan, Siang Le ingat ini maka pemuda itu memberontak dan memukul Ui Kiok. Akibatnya wanita ini terlempar dan untuk ketiga kalinya terbanting. Ui Kiok kaget dan marah sekali, di samping penasaran. Dan ketika ia coba namun gagal lagi, pemuda itu sungguh hebat maka Ui Kiok berang dan dihantamnya pemuda itu sampai roboh.
“Siang Le, kau jahanam keparat!”
Siang Le tak dapat mengelak. Ia terpukul dan mengaduh perlahan. Pusing berat yang dirasakannya sungguh membuat pemuda itu tak dapat berdiri tegak. Ia merasa dunia berputar-putar dan bayangan Ui Kiok tampak di mana-mana. Semuanya telanjang bulat! Tapi begitu ia dipukul dan pingsan, Siang Le roboh mengeluh pendek maka Ui Kiok yang kelabakan karena nafsunya tak mendapat jalan keluar.
“Bedebah, terkutuk. Aku ingin membunuhmu kalau boleh dibunuh!” Ui Kiok menendang dan menginjak pemuda ini, marah dan kecewa bercampur-aduk dan akhirnya ia memanggil Bhi Peng. Kobaran berahi yang tak terlampiaskan dilampiaskannya kepada pembantunya ini. Dan ketika Bhi Peng terkejut tapi tak dapat berbuat apa-apa, Ui Kiok sudah menyambar dan melepas seluruh pakaiannya maka dengan keji dan ganas si jalang ini menumpahkan kemarahannya kepada anak buahnya itu.
“Kau goblok, kau bodoh! Bagaimana pemuda itu tak juga roboh oleh arak berahiku. Hayo, minum sebotol dan layani aku!”
Bhi Peng pucat. Ia disuruh minum sebotol arak berahi dan wanita itupun gentar menuruti perintah. Tapi karena Ui Kiok pimpinannya dan wanita itu dapat berbuat lebih kejam, apa boleh buat dia menenggak dan menghabiskan sebotol maka Bhi Peng terhuyung dan memejamkan mata ketika dibuat tidak sadar.
“Ooh, mana Siang-kongcu, cici... mana Siang-kongcu...!”
“Aku menggantikannya. Layani aku baik-baik dan lempar dirimu di tempat tidur!” Ui Kiok menerkam dan melempar anak buahnya itu. Tanpa sungkan-sungkan lagi ia memaksa anak buahnya ini melayani hasrat cintanya, cinta kotor.
Dan ketika Bhi Peng mengeluh dan melakukan apa saja yang disuruh ketuanya, Ui Kiok seakan kuda jalang yang meringkik panas maka adegan menjijikkan terjadi di situ. Siang Le tak sadar dan tiga jam kemudian ia mendengar rintih dan erangan di situ. Dan ketika lapat-lapat ia memasang telinga dan mendengar keluh atau tangis Bhi Peng, wanita itu disuruh melayani hasrat Ui Kiok maka Siang Le pucat dan ngeri mendengar suara-suara di situ.
Ia merasa amat lemah karena pengaruh arak pengantin masih membuatnya terbius. Apa yang didengar dan dilihat adalah samar-samar saja. Dan ketika dua jam kembali lewat dan Siang- Le merasa pulih, ia akan bergerak dan menghajar musuhnya itu ternyata ia ditotok dan mendengar bahwa sore nanti ia akan dilolohi arak sebotol, ketika Ui Kiok selesai memuaskan nafsu jalangnya kepada Bhi Peng.
“Aku sudah cukup puas, namun aku masih penasaran kepada bocah she Siang itu. Malam nanti ia harus melayaniku dan siapkan arak sebotol!”
“Aduh, aku bagaimana, Kiok-cici? Aku juga butuh Siang-kongcu. Aku masih butuh laki-laki!”
“Kau anjing tak tahu malu. Pergi dan enyah jalankan perintahku!”
Siang Le mendengar tendangan dan jerit tertahan. Selanjutnya ia menutup mata dan telinga kuat-kuat karena tak tahan akan apa yang dilihat. Ia sekarang tahu bahwa dirinya dibius arak perangsang. Untung, karena ia kuat bertahan dan jatuh pingsan maka Bhi Penglah yang dijadikan korban. Kalau tidak, barangkali ia yang dikerjain. Dan ketika Siang Le lega namun pucat teringat kata-kata Ui Kiok, bahwa malam nanti ia akan dilolohi sebotol arak maka ia merinding karena tak mungkin ia bertahan lagi!
“Ah, aku harus melepaskan diri. Aku harus bebas!”
Namun pemuda ini mengeluh. Ui Kiok menotoknya dan membuatnya tak berdaya jauh lebih hebat daripada tadi. Wanita itu benar-benar tak memberinya kesempatan untuk lolos. Ia tak dapat dibujuk dan kini akan dipaksa! Dan ketika Siang Le menggigil karena mampukah ia bertahan dari sebotol arak perangsang, padahal sekecap saja sudah membuatnya panas dingin tak keruan maka di tempat yang lain isterinya juga menderita dan pingsan oleh perbuatan Togur yang tak kalah rendah!
Malam itu, seperti yang dijanjikan, Togur dan tiga puluh wanita cantik telah bersiap mengadakan pesta bulan purnama. Panggung telah dibuat dan Sam-liong-to gebyar-gebyar oleh lampu berwarna-warni. Tengah pulau dihias indah karena kali ini “raja” hendak mengadakan pesta besar. Bukan sekedar pemilihan isteri biasa melainkan permaisuri.
Ya, siauw-ong atau si buntung yang lihai itu akan mengambil Soat Eng sebagai isterinya. Dan karena malam itu juga ada keistimewaan karena Ui Kiok juga akan mengambil suami, pemuda gagah menantu Pendekar Rambut Emas itu maka Sam-liong-to dihias meriah karena yang punya hajat akan mengadakan pesta besar-besaran. Seratus lebih pemuda-pemuda juga diambil dari sekitar pulau!
“Malam ini aku tak mau tanggung-tanggung. Ada seorang sahabatku yang kebetulan datang. Nah, siapkan pesta besar dan cari seratus pemuda untuk pengiring!”
Ui Kiok, yang tertegun dan hari itu juga melaporkan kegagalannya akan Siang Le dibuat terbelalak oleh kata-kata si buntung ini. Ia baru saja melapor dan minta pendapat bagaimanakah baiknya menghadapi Siang Le. Pemuda itu memiliki daya tahan luar biasa dan ia penasaran. Dan ketika Togur tertawa bahwa ia akan membantu, malam nanti tepat bulan purnama ia akan membuat pemuda itu bertekuk lutut maka pemuda itu berkata bahwa seorang tamu tiba-tiba datang, tamu agung.
“Biarlah penasaranmu ini kubayar nanti. Seseorang datang mengunjungiku, sahabat kentalku. Pergi dan siapkan panggung dan malam nanti kita ramai-ramai!”
“Siapa tamu itu?” Ui Kiok tak tahan bertanya. “Bolehkah aku tahu?”
“Ha-ha, boleh-boleh saja, Ui Kiok. Tapi ia tak mau memperlihatkan diri kalau tidak atas kehendaknya. Pokoknya, ia aneh tapi luar biasa!”
“Hm, setingkat dengan siauw-ong?”
“Kira-kira begitu, tapi agaknya ia lebih lihai. Ha-ha, kau rupanya naksir, Ui Kiok. Silahkan coba kalau ia mau!”
“Aku memang pingin berkenalan dengan orang-orang lihai. Bolehkah aku tahu kalau siauw-ong memperkenankan!”
“Aku tak melarang. Tapi, hmm... entah bagaimana dia sendiri. Coba kutanya!” dan ketika si buntung itu menoleh ke belakang tapi tak ada siapa-siapa di situ, Ui Kiok heran dan mengerutkan kening maka berserulah pemuda itu dengan suara nyaring,
“Heii, maukah kau keluar, San-enghiong. Ini seorang pembantuku ingin berkenalan. Ia cantik dan menggiurkan!”
“Heh-heh!” suara tanpa rupa tiba-tiba terdengar. “Siapa kuda betina ini, Togur, Bagaimana kau menyimpan begini banyak wanita cantik!”
“Ia. selirku tersayang. Kau boleh memilikinya kalau mau!”
“Ha-ha, aku takut berhadapan dengan wanita. Kalau ia musuhku baru aku muncul. Wuihh, betina ini kotor. Badannya bau!”
Ui Kiok tiba-tiba terkejut diusap tangan seseorang, kasar dan dingin dan kontan saja ia menjerit, berjengit. Dan ketika ia menoleh namun tak ada siapa-siapa, mendadak ia ditepuk dan dicium jidatnya.
“Ha-ha, aku suka. Tapi mulutnya bau.... bau kentut!”
Ui Kiok marah. Ia memekik dan secepat itu pula memutar tubuh namun yang ada hanya bayang-bayang dan kesiur angin dingin. Dan ketika ia berteriak dan lari ke arah Togur, bersembunyi, maka si buntung itu terbahak-bahak dan bayangan atau kesiur angin dingin itu menyambar dan mengikuti wanita ini, mencolek atau mengusap pantat!
“Hi-hi, pantatnya besar, Togur. Seperti pot!”
Togur terbahak-bahak. Ui Kiok selanjutnya diusap atau diganggu bayangan tanpa wujud. Wanita itu ketakutan dan tentu saja ngeri, berteriak-teriak tapi bayangan ini terus mengganggunya sampai kemudian si buntung ini minta berhenti. Dan ketika Ui Kiok menggigil dan jatuh di sana, terduduk, maka wanita itu pucat namun ia pun ingin tahu siapa orang yang amat luar biasa itu. Kalau perlu, laki-laki itu akan dijadikan suaminya. Pelindung seumur hidup!
“Ha-ha, muncul dan sudahilah main-main ini, San Tek, Selirku ketakutan!”
Bayangan tanpa wujud itu berkelebat. Di situ tahu-tahu muncul seorang pemuda yang matanya berliaran, tampan namun mukanya pucat kehijauan sehingga wanita ini dibuat ngeri. Dan ketika Ui Kiok tertegun dan pemuda itu memandangnya, bola mata bergerak-gerak maka pemuda itu tertawa dan Ui Kiok merasa seram karena tawanya seperti kuda meringkik.
“Hih-heh, selirmu ini lumayan, Togur. Tapi mulut dan badannya bau busuk. Aku tak berminat. Aku ingin kau menepati janjimu dan mana itu tempat persembuyianku untuk memperdalam Im-kan-thai-lek-kang!”
“Ha-ha, tentu... tentu. Aku menyiapkan semuanya itu untukmu, San Tek. Jangan khawatir dan tak perlu cemas. Kau mendapatkan apa yang kau ingini. Sam-liong-to ini boleh kau pakai sebagian untuk melatih Im-kan-thai-lek-kang mu!”
“Siapa dia..” Ui Kiok berbisik, suaranya gemetar. “Apakah orang gila!”
“Sst,” si buntung menyendal dan menarik wanita ini, tamunya melotot! “Jangan keras-keras, Ui Kiok. San Tek sahabatku dan ia pemilik Im-kan-thai-lek-kang. Ia datang ke sini untuk minta sebuah tempat persembunyian. Ia akan memperdalam ilmunya!”
“Im-kan-thai-lek-kang? Tenaga Inti Neraka?”
“Sudahlah, jangan banyak bertanya, Ui Kiok. Nanti saja kita bicara dan lihat ia mendengarkan!” Ui Kiok meremang dan membelalakkan matanya. Orang lihai yang diharap-harap ternyata pemuda berotak miring. Sialan! Dan ketika pikirannya tentu saja kembali kepada Togur, biarpun buntung namun waras maka si gila itu tertawa berkata, bola matanya masih berliaran,
“Togur, di samping cantik ternyata selirmu ini tidak waras. Orang waras dikata gila sedang yang gila dikata waras. Ah, aku jadi semakin tak senang. Mana tempatku itu dan biar aku sendirian lagi!”
“Ha-ha, tak usah gusar. Orang gila memang begitu, San Tek. Diri sendiri dianggap waras sedang orang lain dianggap gila. Sudahlah, di belakang pulau ada bangunan kosong. Kau ke sanalah dan nanti malam kita bertemu dalam pesta meriah. Aku akan mengambil permaisuri!”
“Permaisuri? Sedangkan di sini sudah banyak selir-selirmu yang cantik? Wah, mata keranjang kau ini, Togur. Sudah buntung masih juga jelalatan. Ha-ha, sesukamulah. Aku akan memperdalam ilmuku karena aku masih geram oleh Thai Liong!” dan berkelebat menghilang lagi tiba-tiba si gila ini lenyap dan Ui Kiok terkejut mendengar disebutnya nama Thai Liong.
Nama itu yang paling ditakuti tapi ia tak dapat bertanya banyak tentang si gila. Togur mengerutkan kening tapi kemudian menyeringai ketika sahabatnya itupun pergi. Dan ketika Ui Kiok diminta menyiapkan panggung dan malam nanti bertemu lagi maka si buntung itu meminta agar diambil seratus pemuda-pemuda tegap di luar pulau, tentu saja yang agak jauh, karena yang dekat-dekat sudah habis “dimakan” anak buah Ui Kiok ini.
“Malam nanti pesta besar-besaran. Aku mengambil Soat Eng dan kau menundukkan Siang Le. Kita berdua di kamar yang sama dan masing-masing melihat yang lain menggauli pasangannya!”
“Ah, siauw-ong menyuruh aku menonton? Bukankah ia calon permaisuri?”
“Ha-ha, kau orang pertama yang menjadi saksi akan pernikahanku dengan puteri Pendekar Rambut Emas itu, Ui Kiok. Dan aku orang pertama yang menjadi saksi pula bahwa kau telah menjadi isteri Siang Le. Kita masing-masing menonton dan bermain!”
“Ah, menyenangkan sekali, siauw-ong. Tapi aku takut!”
“Takut? Takut apa?”
“Thai Liong itu. Bagaimana kalau ia datang!”
“Ha-ha, ia tak ada di sini. Ia bersama cucu Drestawala yang cantik itu. Hm, gadis itu tentu menjadi kekasihnya!”
“Cucu Drestawala? Siapa itu?”
“Kau tak usah banyak bertanya. Aku bakal tersinggung kalau kau bertanya tentang ini. Sudahlah, siapkan panggung dan malam nanti kita berpesta!”
Ui Kiok mengangguk. Kalau si buntung sudah menyuruhnya tak usah bertanya dan ia mendesak tentu kemarahan yang akan didapat. Lebih baik diam dan menyimpan penasaran di hati daripada kena damprat. Dan ketika ia berkelebat dan hari itu anak-anak buahnya disuruh mengumpulkan seratus pemuda, hal yang gampang dilakukan maka malam itu Sam-liong-to sudah gebyar-gebyar oleh lampu dan gemerlapnya wajah-wajah cantik di balik pakaian warna-warni.
Penghuni Sam-liong-to rata-rata berwajah ceria. Para pemuda yang dikumpulkan rata-rata menyeringai dan menahan kegembiraan besar bekerja bersama wanita-wanita itu. Bayangkan, mereka diperlakukan menyenangkan dan segala sesuatu disiapkan wanita-wanita itu pula. Mulai dari minuman sampai makanan.
Bahkan, karena wanita-wanita itu bersikap genit dan tak segan-segan menggoda mereka maka mereka boleh main colek atau cubit. Kalau perlu, cium! Dan ketika hal itu dimulai oleh satu di antara tigapuluhan wanita itu maka pemuda yang lain bersorak dan apa yang dilakukan anak buah Ui Kiok ini hampir saja meletupkan hasrat yang menggebu-gebu yang tiba-tiba bangkit, Para pemuda itu bergairah!
“Hi-hik, kalian boleh lakukan apa saja di sini, mencium kamipun boleh. Tapi untuk yang lebih dilarang dulu. Nanti tengah malam kita merayakan acara puncak!”
“Acara apa?” seorang pemuda bertanya, nada pertanyaannya bergairah. Dan ketika dijawab bahwa acara itu adalah acara memilih jodoh, siapapun boleh dan diperkenankan bercumbu rayu maka pemuda-pemuda itu berjingkrak.
“Ah, yang benar saja, Ang-hwa cici. Masa semudah itu kami memilih kalian!”
“Eh, tidak percaya? Mari, kubuktikan!” dan ketika Ang-hwa bergerak dan menyambar pemuda itu, mencium dan terkekeh maka pemuda itu hampir saja berteriak dan kontan menyambut!
Namun Ang-hwa buru-buru melepaskan pemuda itu. Dia tertawa berkata bahwa itu sekedar contoh, yang lain-lain dan lebih seram akan diperlihatkannya nanti malam, di puncak acara. Dan ketika pemuda itu menggigil dan terbelalak matanya, nafsu berkobar maka teman-temannya yang lain tertawa dan tiga di antaranya coba-coba menyambar anak buah Ui Kiok dan mencium serta meremas. Dan anak buah Ui Kiok ini memang diam saja, bahkan menyambut dan terkekeh gembira. Tapi karena merupakan pantangan besar untuk bertindak lebih lanjut, kalau puncak acara belum datang maka wanita-wanita itu mendorong pemuda-pemuda ini dan berbisik, nafsupun bergolak dengan gembiranya.
“Song-khi, jangan buru-buru. Siauw-ong bakal marah kalau kita mendahului sebelum puncak acara tiba. Bersabarlah, sementara ciuman ini dulu untuk kalian dan sampai ketemu nanti!”
Pemuda-pemuda itu bersorak. Mereka riuh membayangkan acara nanti dan ketika wanita-wanita itu berkelebat merekapun semakin giat bekerja. Mereka diminta membuat panggung keramaian dan bergeraklah semuanya membuat panggung ini. Dan ketika hari itu panggung selesai dan mataharipun tenggelam di ufuk barat, mereka juga dibantu dan bercanda dengan wanita-wanita cantik itu maka diam-diam mereka sudah memilih pasangan masing-masing. Dan mereka dibuat panas dingin ketika kebetulan beberapa di antara mereka memilih wanita yang sama.
“Jangan ribut, jangan gaduh. Satu wanita boleh untuk tiga atau empat lelaki!”
“Ah, masa?” dua pemuda berseru terheran-heran, di samping kaget juga tidak percaya. Tapi ketika wanita itu terkekeh dan memberi ciuman masing-masing seorang, dua pemuda berebut untuk mendapatkan dirinya maka pemuda-pemuda itu berjingkrak dan saling tegang di antara mereka mendadak lenyap, terganti kegembiraan yang luar biasa.
“Ah, kalau begitu aku dulu, Bwee-nio. Baru Lun-hao belakangan!”
“Hi-hik, kalian laki-laki selamanya cepat loyo. Tak usah berebut dan masing-masing pasti mendapatkan bagiannya!” dan ketika wanita itu berkelebat dan terkekeh di balik panggung, semua siap dan menantikan acara maka tak lama kemudian Ui Kiok muncul di tengah-tengah anak buahnya. Wanita ini berpakaian putih-putih dan bibirnya yang merah membakar tampak dipoles berlebihan.
“Dilarang ribut dan membuat gaduh. Siauw-ong akan datang membawa pengantin!”
Seratus pernuda berdecak dan terbelalak kagum. Mereka telah mendengar akan adanya Ui Kiok yang membawahi tigapuluhan anak buahnya. Dibanding anak buahnya memang wanita ini paling cantik, meskipun kecantikannya dibayang-bayangi mata yang kejam dan pandangan dingin. Malam itu Ui Kiok muncul setelah bulan mulai naik ke atas. Dan ketika dia memberi tanda agar seratus pemuda itu memecah diri, masing-masing berjajar di empat sudut panggung maka dia juga memerintahkan anak buahnya untuk membakar dupa atau asap wewangian.
“Kalian sudah tahu apa yang harus dilakukan. Siauw-ong akan muncul setelah musik dibunyikan. Ayo, mana barisan musik!”
Tujuh wanita berlompatan ke panggung. Mereka itulah para pemusik karena masing-masing sudah memegang suling dan alat tetabuhan. Satu di antaranya memegang yang-khim, alat sejenis gitar yang memiliki delapanbelas senar dari kawat-kawat baja. Dan ketika Ui Kiok berseru agar musik pembukaan dilagukan, tujuh wanita itu bergerak dan membunyikan alat musiknya masing-masing maka terdengarlah alunan lagu gembira membuka acara di Sam-liong-to.
Pemuda-pemuda disuruh berpakaian ketat dan mereka itu mengenakan ikat kepala merah. Pakaian mereka yang hitam-hitam sungguh membuat pemuda-pemuda itu gagah. Mereka bagai harimau-harimau muda yang garang dan penuh kekuatan, meskipun mereka adalah pemuda-pemuda biasa yang tak pandai atau bisa silat. Dan ketika alat musik dibunyikan dan lagu pertama dinyanyikan, merdu mendayu-dayu maka Ui Kiok lenyap lagi membawa dua pembantu wanitanya. Untuk sejenak suasana di sekitar panggung hanya dipenuhi suara musik itu, lagu-lagunya riang gembira tapi kemudian berobah panas ketika merencak-rencak.
Kaki para pemuda bergerak dan dibanting-banting perlahan di atas tanah. Mereka mengikuti atau terpengaruh tiupan seruling dan petikan yang-khim itu, yang senarnya berdenting-denting dan nyaring dinikmati. Tapi ketika sesosok bayangan hijau melompat di atas panggung dan itulah A-hwa, pembantu Ui Kiok setelah Bhi Peng maka wanita itu berseru bahwa pemujaan atau sembahyangan terhadap Dewi Bulan akan segera dimulai, musik agar ditiup perlahan.
“Siauw-ong dan Dewi Bulan akan turun ke panggung. Harap musik disesuaikan dan dupa harum ditambah!”
Para pemuda berdetak. A-hwa yang muncul di atas panggung itu mengenakan pakaian demikian tipisnya hingga seluruh bentuk tubuhnya demikian jelas terpampang. Apalagi, wanita itu membelakangi lampu. Kontan lekuk-lengkung tubuhnya yang indah membuat para pemuda berseru gaduh namun mereka tiba-tiba dibentak agar tidak riuh. Decak dan suit perlahan dipadamkan. Dan ketika para pemuda melotot dan musik kini ditiup perlahan-lahan, lembut dan syandu maka A-hwa berkata bahwa pengantin pertama akan datang. Yang-khim digesek demikian lembut hingga mirip orang merintih.
Gaok gagak tiba-tiba berbunyi di atas dan berkelepaklah sepuluh sayap lebar di langit yang hitam. Bulan yang melepaskan cahaya keemasannya sejenak menyapu lima ekor gagah yang terbang di atas. Entah bagaimana tiba-tiba gagak-gagak itu bergaok. Suasana yang semula menggembirakan mendadak berobah seram. Sam-liong to seakan didatangi iblis! Namun ketika gagak-gagak itu lenyap dan dupa harum menusuk tajam, wanita-wanita cantik itu menambah asap kemenyan maka lantunan musik yang tersendat-sendat tiba-tiba menyambut empat bayangan putih dari balik Istana Hantu.
Para pemuda terbelalak. Mereka tiba-tiba melihat Ui Kiok muncul kembali, namun bukan sendiri melainkan ditemani tiga orang yang lain. Orang pertama adalah seorang pemuda gagah berpakaian putih hitam sementara yang kedua dan ketiga adalah anak buahnya tadi. Mereka mengiring di belakang dan Ui Kiok mengenakan pakaian pengantin. Cantik jelita dan cukup mempesona.
Namun karena pandang matanya bergerak ke kiri kanan dan bola mata wanita itu terasa tajam dan dingin menusuk-nusuk, kekejaman masih terasa juga di antara senyumnya yang mengembang maka para pemuda tergetar dan tak berani beradu pandang secara langsung. Ngeri dan merasa takut. Wanita itu seakan peri, bukan malaikat!
“Pengantin pertama datang. Inilah pasangan Ui Kiok-cici dan Siang Le-kongcu!”
Semua pemuda berdiri tegak. Tadi mereka ada yang lenggut-lenggut dan berdiri seenaknya. Tapi begitu Ui Kiok muncul dan dinyatakan sebagai pengantin pertama, dengan pemuda gagah yang matanya kosong maka seratus pemuda itu lagi-lagi tergetar karena di balik pakaian pengantinnya yang tipis itu Ui Kiok tidak mengenakan apa-apa!
“Musik diminta mengalunkan lagu Dewi Bulan!” A-hwa tiba-tiba berseru, mengangkat tangan dan musik yang semula bersuara tersendat-sendat itu mendadak berkencreng dan ditabuh gembira. Suaranya melantun nyaring dan hingar-bingar. Kesannya panas! Dan ketika para pemuda kembali berjingkrak dan mengikuti irama musik maka Ui Kiok perlahan-lahan mendekati panggung dan pemuda yang digandengnya dengan lembut dan mesra itu langsung diberinya cium.
“Cup!” Para pemuda bersorak. Mereka tak dapat mengendalikan diri lagi begitu pengantin wanita mencium pengantin pria. Mereka tak tahu siapa Siang Le tapi merasa gembira dan bersuara gaduh. Ui Kiok semakin mendekati panggung dan semakin dekat semakin tampaklah kecantikannya yang merangsang.
“Tak usah malu-malu. Katakan bagaimana aku melayanimu, Siang Le-koko, dan jurus apa saja yang kau minta akan kulaksanakan. Aku sanggup membuatmu terbang ke sorga paling tinggi!”
“Siluman hina-dina!” Siang Le merah dan marah, malu serta jengah. “Tak usah kau lakukan apa-apa terhadapku, wanita rendah. Bunuh dan tikam dadaku habis perkara. Aku tak sudi menyambut cintamu yang rendah dan kotor!”
“Hi-hik, cintaku bersih. Apa yang ingin kuberikan kepadamu adalah sesuatu yang nikmat, Le-koko. Lihat dan rasakan ciumanku ini. Jangan mengelak, aku akan memberinya!” dan ketika wanita itu menunduk dan mencium, Siang Le dipegang hingga kepalanya tak dapat digerakkan maka benar saja ciuman mesra mendarat di mulutnya. Ui Kiok menotok pemuda itu hingga pemuda ini tak mampu mengelak lagi.
Siang Le tentu saja kelabakan. Ia dikecup dan dicium sampai merinding. Bibir wanita itu melekat erat di bibirnya, menghisap dan benar-benar memberikan rangsangan yang amat tinggi. Namun karena Siang Le benar-benar jijik dan muak terhadap wanita ini, yang tadi begitu tak malu-malu mendekap dan mencium Togur maka ia menggerakkan mulutnya dan lidah si wanita tiba-tiba digigit, bukan disambut melainkan malah membuat Ui Kiok menjerit!
“Aduh...!” tamparan keras membuat Siang Le terlempar. Pemuda itu dibanting dan Ui Kiok mendekap mulutnya yang berdarah. Lidah yang semula dimain-mainkan di mulut pemuda itu mendadak serasa putus digigit. Untung, ia dapat menyelamatkan diri! Dan ketika Ui Kiok menampar dan pemuda itu mengaduh, Siang Le terbanting dan menggeliat di sudut maka Ui Kiok berkelebat dan menendangnya, marah bukan main.
“Siang Le, kau pemuda tak tahu diri. Diberi cinta malah menyakiti. Ah, kuhajar kau. Kubunuh kau... des-des-dess!”
Pemuda ini yang ditendangi dan dihajar marah akhirnya membuat Siang Le terlempar dan menggeliat sana-sini menahan sakit, tiga empat kali menerima tendangan ujung sepatu dan kali yang kelima membuat ia menjerit dan pingsan. Ui Kiok menghantam bawah pusarnya. Bukan main keji dan kasarnya wanita itu! Namun ketika Siang Le roboh dan tidak bersuara lagi, Ui Kiok sadar dan takut akan ancaman Togur maka dia mendesis dan membungkuk memeriksa pemuda itu.
“Jahanam sialan, diberi enak malah memadamkan nafsuku. Hm, bangun dan lihat apa yang akan kulakukan kepadamu, Siang Le. Bangun dan jangan tidur!”
Wanita ini menyiram Siang Le, berdebar tapi lega bahwa pemuda itu tidak sampai mati. Kalau tadi ia membunuh pemuda ini tentu ia sendiri mungkin akan dibunuh Togur. Tawanan mereka ini adalah tawanan penting yang tak boleh dibunuh. Togur telah melarangnya untuk tidak membunuh. Dan ketika ia mengguyur namun Siang Le masih pingsan, pemuda itu kesakitan hebat maka Ui Kiok mengambil bungkusan obatnya dan mengurut. pemuda itu yang tentu mulas. Dan benar saja, Siang Le akhirnya sadar.
“Bangun!” pemuda itu lamat-lamat mengenal wajah lawannya. “Bangun dan istirahat dulu di sini, Siang Le. Aku tidak membunuhmu karena aku sayang kepadamu!”
Siang Le merintih. Ia menahan sakit karena anggauta rahasianya yang kena. Tendangan itu amatlah kuatnya dan ia merasa hancur. Siang Le tentu saja memaki-maki namun lawan terkekeh, kaget ketika Ui Kiok meraba bawah pusarnya dan kancing celana di situ terbuka! Dan ketika ia membentak dan meludah, Ui Kiok terkejut dan mundur menjauh maka pemuda yang baru siuman ini mengancam, sama seperti Soat Eng yang juga membuat lawannya berpikir seribu kali.
“Ui Kiok, kau betina jalang yang tak tahu malu. Kalau aku masih hidup maka jangan dekat atau sentuh tubuhku. Tapi kalau kau mau membunuh cepat bunuhlah aku. Atau aku akan bunuh diri dengan menggigit putus lidahku kalau kau menghina aku lagi!”
“Hm, siauw-ong tak membolehkan aku membunuhmu. Tapi aku juga ingin memberimu pelajaran agar tunduk dan tidak sombong terhadap wanita. Baik, kau boleh menang sekarang, Siang Le. Tapi lihat bahwa sebentar lagi kau akan bertekuk lutut dan menyerah di depanku!”
“Aku tak akan menyerah, aku tak akan bertekuk lutut. Kau bunuhlah aku kalau mau atau pergi dari kamar ini. Bau tubuhmu membuatku ingin muntah!”
Ui Kiok menampar. Ia marah dan sengit mendengar kata-kata ini, berkelebat dan meninggalkan Siang Le sendirian. Dan ketika Siang Le merintih dan teringat sakitnya lagi, ia merah padam karena celananya dibuka maka seorang wanita lain masuk.
“Aku membawa makanan. Mungkin kau lapar.”
“Bedebah!” Siang Le memaki, wanita ini ternyata anak buah Ui Kiok. “Buang dan berikan kepada anjing, wanita busuk. Aku tidak lapar!”
“Hm, kalau begitu mungkin kongcu haus,” wanita itu tersenyum, tidak marah. “Aku dapat membantumu untuk minum, kongcu. Siauw-ong menyuruhku merawatmu baik-baik agar tidak lapar atau kehausan.”
Siang Le tertegun. Sebuah penampan kecil dengan arak harum diangkat wanita itu. Ia memberikannya kepada Siang Le dan tiba-tiba pemuda ini merasa haus. Tenggorokannya kering dan ia benar-benar ingin minum. Bau arak itu demikian segar dan merangsang. Harumnya selangit! Namun ketika Siang Le ingat bahwa itu adalah pemberian musuh, dan ia tak ingin menerima apapun maka pemuda itu membentak dan menyuruh wanita itu pergi. Pura-pura tak butuh!
“Aku tak lapar maupun haus. Buang minumanmu itu dan biarkan aku sendiri!”
“Kongcu benar-benar tak ingin minum?”
“Aku tak butuh minumanmu, wanita busuk. Enyah dan pergi dari kamar ini!”
“Iihh..!” wanita itu semburat, mendongkol juga. “Siauw-ong tak menyuruhku begitu, kongcu. Kalau kau menyuruhku pergi biarlah nampan dan minuman ini di sini, juga makanan ini. Kalau kongcu butuh boleh ambil sendiri atau panggil aku!”
Siang Le mendelik. Ia marah disuruh begitu karena mana mungkin ia dapat minum atau makan sendiri. Ia ditotok, dilumpuhkan! Tapi begitu wanita itu keluar dan menutup pintu kamar, ia, bergerak dan mengumpulkan tenaga, maka Siang Le mencoba beringsut sambil membuka atau membebaskan totok. Yang menotok adalah Ui Kiok dan ia tak usah merasa takut. Ia yakin dapat membebaskan totokan itu dan benar saja beberapa menit kemudian ia jalan darahnya menghangat kembali. Dan ketika ia mencoba dan perlahan-lahan jalan darahnya bergerak, tidak macet atau mati seperti tadi maka sekejap kemudian ia bebas!
Namun tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di luar. Seekor kucing tunggang-langgang dikejar seseorang, diteriaki dan dibentak-bentak karena mencuri ikan asin. Dan ketika Siang Le tertegun tapi geli, ia dapat menangkap suara itu sebagai wanita yang tadi memberikan nampan maka ia tak jadi menggerakkan tubuhnya dan kucing sialan itu menabrak pintu kamar, terbuka dan langsung masuk dan wanita di luar berseru keras. Ia meloncat memasuki kamar, kucing itu hilang karena bersembunyi di kolong tempat tidur.
Dan ketika ia celingukan dan Siang Le geli, hampir saja tertawa maka wanita itu melotot dan tiba-tiba membungkuk. Siang Le memejamkan mata karena sepasang bukit indah tensembul dari belahan dada. Wanita itu seakan tak sengaja dengan gerakannya ini. Baju luarnya tersingkap. Siang Le berdetak! Dan ketika ia menutup mata karena pandangan itu amatlah mendebarkannya, sesuatu yang tak sengaja selalu mengundang birahi laki-laki maka wanita itu terkekeh karena menemukan kucing itu di kolong tempat tidur, bergerak dan menangkap!
“Hi-hik, kau tak dapat melepaskan diri dari aku, A-cing. Hayo kembalikan ikan itu atau kau kutampar!”
Kucing itu mengeong kaget. Ia ketahuan dan mau meloncat namun tangan atau jari-jari lawannya ini bergerak mendahului. Dan ketika ia tertangkap dan mau menggigit namun dijitak, Siang Le membuka mata maka wanita itu berdiri dan tiba-tiba Siang Le menyergap punggungnya. Sadar bahwa ia harus merobohkan wanita ini!
“Diam, atau kau kubunuh!”
Teriakan kecil terdengar dari mulut wanita ini. Ia meronta namun Siang Le bergerak mendahului, menotoknya dan robohlah wanita itu di tangannya. Dan ketika tergetar karena memeluk sosok tubuh yang lembut hangat, bayangan buah dada tadi mengganggu konsentrasinya maka pemuda ini menekan leher lawannya agar tidak berteriak.
“Diam, atau kau kubunuh!"
“Ampun...” wanita itu menggigil, pucat. “Aku... aku tak bersalah kepadamu, kongcu. Justeru aku baik-baik melayanimu. Jangan bunuh dan biarkan aku hidup!”
“Aku memang bukan tukang bunuh,” Siang Le mendesis, suaranya mengancam. “Kalau kau baik-baik menuruti perintahku maka kau selamat, wanita busuk. Tapi sekali kau berteriak maka ubun-ubunmu kubuat berlubang. Nah, kita keluar dan beritahu kepadaku di mana isteriku Soat Eng!”
“Aku... aku tak tahu!”
“Bohong! Kau dusta, tikus betina. Kau tahu dan pasti bohong. Aku hendak mencari isteriku dan kau menjadi petunjuk jalan di mana isteriku itu!”
“Ia dibawa siauw-ong...”
“Aku tahu, jahanam Togur yang membawanya. Tapi di mana isteriku dan kau harus ikut aku!”
“Ooh, jangan kuat-kuat, kongcu. Leherku sakit. Jari-jarimu seperti jepitan baja...!”
“Kau tak usah cerewet. Di mana isteriku atau jari-jariku akan menancap di lehermu lebih kuat lagi!”
“Augh.. ampun, kongcu... ampun..... aku... aku tahu!”
“Nah, di mana isteriku itu. Dan berapa temanmu yang ada di luar. Sedang apa mereka!” Siang Le mendengar langkah kaki dan suara-suara orang. Itu pasti anak buah Ui Kiok dan pemuda ini berdebar dengan muka tegang. Sentuhannya kepada leher lawan tiba-tiba tanpa terasa bertambah kuat dan wanita itu menjerit. Dan ketika kawan-kawannya di luar terkejut dan berlarian ke kamar ini, Siang Le berubah maka Siang Le mengancam agar wanita itu cepat melempar kucing yang masih ditangkapnya.
“Lemparkan kucing itu dan katakan kepada teman-temanmu bahwa kau tidak apa-apa. Atau, nanti aku membunuhmu!”
Benar saja, pintu kamar dibuka. Empat wanita cantik berkelebat ke dalam namun secepat itu pula Siang Le telah melempar dan mencengkeram wanita ini di samping tempat tidur. Ia telah pura-pura kembali seperti tadi dengan wanita itu duduk di tepi pembaringan. Sepintas, wanita ini seperti sedang menungguinya, dan itu yang memang dikehendaki Siang Le. Dan ketika empat wanita itu terkejut di pintu kamar, terbelalak dan mengelak karena kucing itu dilempar dan hampir saja menyambar muka mereka, mengeong dan lari lintang-pukang maka mereka bertanya apa yang terjadi.
“Tidak... tidak apa-apa!” wanita itu berseru, seperti yang dibisikkan Siang Le. “Kucing keparat itu mencuri ikan asin, A-hwa. Dan aku melemparnya karena itu untuk Siang-kongcu. Ah, keparat. Ui Kiok-cici menyuruhku menjaga di sini dan kalian pergilah tak ada apa-apa!”
“Ih, kami sampai kaget!” satu di antaranya tiba-tiba terkekeh, tiga yang lain sadar dan tertawa pula. “Kami kira ada apa, Bhi Peng. Tak tahunya berkelahi dengan kucing. Hi-hik, kusangka berkelahi dengan Siang-kongcu. Awas, kalau kau berkelahi dengannya harap beri tahu kami. Kami tak ingin kau berkelahi dengan si tampan itu sendiri karena kami juga ingin mendapat bagian!”
Siang Le merah padam. Ia hampir meloncat menghadapi wanita-wanita cabul itu karena kata-kata mereka bukanlah tidak mengandung arti. Mereka mengucapkannya sambil terkekeh-kekeh dan yang dimaksud adalah lain. Siang Le marah! Tapi karena ia tak mau terjadi kegaduhan dan biarlah mereka pergi dulu, ia akan memberesi dan menguasai dulu yang satu ini maka empat wanita itu melompat keluar tapi celaka sekali pintu di luar dipalang!
“Bhi Peng, kau jaga baik-baik Siang-ongcu itu. Kalau ia sadar beri tahu kami agar kami dapat menungguinya pula. Ih, kami menjadi lapar melihat pemuda tampan dan segagah itu!”
Siang Le melompat bangun. Akhirnya mendengar palang pintu di luar dan marahnya nyaris tak tertahan lagi. Wanita tawanannya ini tersenyum-senyum. Ia bergerak dan kontan menampar! Dan ketika wanita itu mengaduh dan terpelanting jatuh, Siang Le mencengkeram dan mengangkatnya bangun maka ia menggigil berkata marah.
“Bhi Peng, teman-temanmu itu busuk sekali. Pintu sekarang dipalang dan kita tak dapat keluar. Kenapa kau tersenyum-senyum dan seolah orang mendapat lotre!”
“Ampun..” wanita itu gemetar, pipinya bengap. “Aku girang karena berdua denganmu, kongcu. Entah salah atau tidak itulah perbuatan teman-temanku. Kau dapat mendobrak dan membuka pintu ini..”
“Dan bakal terjadi kegaduhan!” Siang Le membentak. “Dan itu berarti teman-temanmu yang lain akan berdatangan dan langkah berikutnya bakal merepotkan. Hayo mana anak kuncinya dan apakah kau bawa atau tidak!”
“Ampun...” wanita ini menggigil, sekarang tampak ketakutan. “Aku tak membawa anak kunci, kongcu. Kalau tidak percaya boleh geledah!”
“Geledah hidungmu. Kau wanita dan aku laki-laki. Masa harus geledah-geledah segala!”
“Kalau begitu kongcu harus percaya kepadaku. Atau... cring!” sebuah anak kunci jatuh, Bhi Peng terkejut dan membelalakkan matanya dan Siang Le menyambar dengan marah. Wanita itu berkata tidak membawa kunci namun tiba-tiba sebuah anak kunci jatuh. Ini terlalu! Dan ketika ia menyambar dan kunci itu di tangannya, Siang Le membentak dan berkata apakah ini maka Bhi Peng tersenyum dan aneh sekali ia tertawa!
“Maaf, itu kunci kamarku, kongcu, bukan kamar ini. Cobalah kalau tidak percaya.”
Siang Le memang tidak menunggu lagi. Ia sudah bergerak dan mencoba anak kunci itu tapi benar saja tidak cocok. Kalaupun cocok, ia masih akan berhadapan dengan sebuah kebingungan lain berupa palang pintu di luar itu. Dan ketika ia tertegun dan Bhi Peng terkekeh, rupanya geli dan hilang takutnya akibat kebingungan pemuda itu maka ia berseru,
“Kongcu, lebih baik kita diam saja di kamar ini. Kau suruh aku melakukan apa saja dan tentu akan kulakukan!”
“Tutup mulutmu!” Siang Le membentak, mukanya merah. “Aku bukan laki-laki cabul sepertl jahanam Togur itu, Bhi Peng. Kau jangan banyak bicara atau kutampar nanti!”
Bhi Peng mengeluarkan seruan ngeri. Ia menutup mulut dan melihat Siang Le gagal membuka pintu, anak kunci itu memang bukan pasangannya. Dan ketika Siang Le membanting kaki dan kembali ke tengah kamar, udara tiba-tiba terasa panas maka ia ingin minum dan merasa haus. Dan Bhi Peng rupanya melihat itu, cerdik berkata,
“Kamar ini pengap. Aku merasa haus dan ingin minum. Apakah kongcu tidak ingin minum?”
“Hm, aku tak haus. Boleh kau minum kalau ingin minum, Bhi Peng. Aku tak mau menyentuh barang haram di sini!”
“Tapi itu untuk kongcu...”
“Aku tak perduli!”
“Kalau begitu bolehkah aku minum kongcu? Kau tidak marah?”
“Minumlah sesukamu, kau boleh menghabiskannya!”
“Terima kasih,” Bhi Peng bersinar-sinar, maju dan ia menyentuh arak di atas nampan itu. Siang Le tidak menotoknya penuh dan karena itu ia dapat bergerak. Tapi ketika ia menyentuh dan arak siap di bibir, Siang Le acuh dan pura-pura tak melihat mendadak wanita itu berhenti dan tak jadi minum.
“Aku tak berani memberi sisa,” katanya. “Tolong kongcu cicipi sedikit dan setelah itu aku minum!”
“Hm, aku tak mau minuman itu,” Siang Le membentak. “Sudah kubilang berkali-kali agar kau tidak menawarkan arak itu, Bhi Peng. Minumlah sendiri dan habiskan!”
“Tapi ini milik kongcu, punya kongcu. Kalau kongcu tak mau minum tentu saja aku juga tak berani minum. Aku juga dapat menahan haus seperti kongcu!” dan meletakkan kembali arak itu di atas nampan maka Bhi Peng mundur dan tak jadi minum. Si pemuda tertegun!
“Hm, sesukamulah,” akhirnya pemuda ini gemas berkata. “Aku tak haus, Bhi Peng. Dan aku tak perlu minuman itu!”
“Aku juga tidak!” Bhi Peng tak mau kalah, menjawab dan tersenyum dan akhirnya iapun meletakkan tubuh di pembaringan. Begitu tenang dan menggoda, gerak-geriknya mulai penuh daya pikat. Dan katika Siang Le bingung dan membelalakkan mata, baru kali itu ia berdua dengan wanita yang bukan isterinya maka ia bergerak dan menyambar si genit ini.
“Tak usah tidur, aku memerlukanmu!”
“Ih, kongcu perlu apa?” Bhi Peng terkejut, tertarik bangun. “Jangan keras-keras, kongcu. Aku di kamar ini memang untuk melayanimu!”
“Tutup mulutmu untuk bicara yang tidak-tidak!” Siang Le marah, lagi-lagi merasa wanita itu bermaksud lain. “Panggil dan datangkan kawan-kawanmu yang tadi, Bhi Peng. Aku akan menyergap dan menyerang mereka. Aku, ingin keluar!”
“Tapi kongcu tak usah berteriak-teriak. Mereka nanti curiga!”
“Hm,” Siang Le merasa benar, suaranya memang meninggi. Tapi menyentak dan berkata agar Bhi Peng tak usah menggurui maka ia berkata, “Itu urusanku. Curiga atau tidak tak perlu kau ribut. Nah, panggil teman-temanmu itu dan suruh buka pintu ini!”
Bhi Peng membelalakkan matanya yang indah. Ia berkedip-kedip seperti boneka mainan, Siang Le mengerutkan keningnya dan mencengkeram bahunya. Dan ketika wanita itu menjerit namun Siang Le sudah berkata agar cepat melaksanakan perintah, atau wanita itu akan dilempar maka si centil ini menggigil.
“Baik... baik, tapi harap kongcu tidak mencengkeramku kuat-kuat. Jarimu terlalu keras!”
“Dan kau jangan macam-macam. Jariku tetap menempel di punggung, Bhi Peng. Sekali kau merepotkan aku maka kubunuh!”
“Aku tak mungkin berani, aku masih ingin tinggal bersama kongcu...” dan ketika wanita itu menggigil dan menggemaskan Siang Le, kata-katanya masih selalu mengandung arti maka Bhi Peng mendekat dan membungkuk di lubang kunci. Di sini ia berseru agar empat kawan-kawannya tadi datang, masuk dan membuka pintu. Dan ketika terdengar kekeh dan empat bayangan berkelebat datang, Siang Le mendengar seruan mereka ada apa Bhi Peng memanggil maka wanita itu menjawab bahwa Siang-kongcu ingin ditemani mereka-mereka itu. Kurang kalau hanya ia seorang!
“Buka pintu dan masuklah, kawan-kawan. Siang-kongcu sadar dan minta kalian temani. Aku seorang rupanya tak cukup!”
“Hi-hik!” tawa di luar itu membuat muka Siang Le panas. “Begitukah, Bhi Peng? Baik, kami masuk dan tentu dengan senang hati melayani Siang-kongcu!” dan ketika pintu dibuka dan benar saja mereka itu masuk, Siang Le bergerak dan menyergap maka empat wanita itu menjerit namun seorang di antaranya tiba-tiba menendang pintu agar menutup kembali.
“Brakk... aduh, plak-plak-plak!”
Empat tubuh berpelantingan dan berteriak susul-menyusul. Siang Le telah melakukan gerakan cepat namun ia tak waspada akan lawan yang terakhir itu, yang menendang dan menutup pintu kamar. Dan ketika ia hendak meloncat dan membuka pintu, yang terpalang dan entah bagaimana sudah tertutup lagi dari luar maka pemuda itu tertegun dan empat lawannya terkekeh. Dapat juga tertawa meskipun sambil meringis menahan sakit. Bokong mereka dihajar Siang Le tadi.
“Hi-hik, gagal, kongcu. Palang pintu bergerak otornatis begitu kami masuk. Kami telah memasangnya secara terbalik dan curiga akan maksud undanganmu ini!”
“Keparat!” Siang Le marah. “Kalau begitu kalian harus kuhajar, wanita-wanita busuk. Dan biar ini sebagai hukuman untuk kalian!” dan Siang Le yang marah serta tidak dapat keluar lalu melepaskan kemarahannya dengan berkelebat dan menghajar wanita-wanita itu.
A-hwa dan kawan-kawannya mengelak namun Siang Le bukanlah tandingannya. Ui Kiok saja tak mampu menghadapi pemuda ini kalau tidak dibantu si buntung Togur. Dan ketika mereka menjerit dan berteriak-teriak tak keruan, suasana menjadi gaduh maka di luar terdengar bentakan-bentakan dan tujuh anak buah Ui Kiok datang.
“A-hwa, apa yang terjadi!”
“Bhi Peng, ada apa dengan kalian!”
Tujuh wanita itu membuka dan memasuki kamar Siang Le. Mereka bersenjata pedang dan masing-masing berkelebat susul-menyusul, yang terakhir lagi-lagi menendang pintu dan pintu itupun tertutup secara otomatis dari luar. Palang pintunya menutup lagi dan Siang Le tiba-tiba dikeroyok tujuh wanita ini, yang cepat dan bertubi-tubi menyerangnya untuk menolong empat kawan yang pertama. Dan ketika Siang Le menjadi terkejut karena kamar yang sempit itu menjadi sesak, mereka tumpang-tindih satu sama lain maka ia berseru keras dan begitu tangan menyapu ke depan maka tujuh wanita itu mencelat dan pedang merekapun terlepas.
“Tikus-tikus hina, kalian semakin kurang ajar!”
A-hwa dan kawan-kawannya terbelalak. Mereka sendiri masih kesakitan dan merintih-rintih di sudut, Siang Le menghadiahi mereka dengan tamparan atau pukulan keras. Dan ketika tujuh teman mereka juga menjerit dan roboh terlempar, masing-masing tak dapat menandingi tenaga pemuda ini maka tujuh wanita itu jatuh tak keruan di atas tubuh Bhi Peng dan teman-temannya.
“Aduhh..!”
Semua menjadi kacau. Siang Le telah mengibas lawan-lawannya dan kini terbanting serta merintih-rintihlah sebelas wanita itu di atas kawan-kawannya. Kamar yang sempit itu seperti kandang ternak di mana semuanya tumpang-tindih. Tujuh wanita terakhir menangis dan pakaian mereka robek-robek, Siang Le membuang muka karena tiga di antaranya tersingkap pahanya, demikian menyolok dan membuat Siang Le sampai jengah karena mereka itu membiarkan saja keadaannya begitu, padahal seharusnya dapat ditutup. Dan ketika Siang Le mendorong pintu kamar namun terpalang dari luar, pemuda itu marah maka tujuh wanita itu berteriak agar pemuda itu membunuh mereka.
“Siang-kongcu, bunuh saja kami bertujuh daripada kesakitan seperti ini. Aduh, pundakku serasa patah!”
“Benar, pinggangku juga remuk, Cu-kim. Siang-kongcu itu kejam. Ah, lebih baik aku dibunuh!”
Siang Le membentak. Ia marah dan bingung karena sebelas wanita itu ganti-berganti mengerang tak hentinya. Tujuh yang terakhir minta dibunuh dan saling merintih bahwa pundak atau pinggang mereka patah, padahal mereka hanya kesakitan belaka karena ia tak sampai hati mematahkan atau mencederai mereka dengan berat. Dan ketika ia marah karena pintu lagi-Iagi tak dapat dibuka, palang di luar bergerak secara otomatis maka Siang Le jengah karena hanya ia sendiri yang laki-laki, dikerubung atau dikelilingi sebelas wanita yang roboh tumpang tindih.
“Kongcu, aku tak kuat. Cekik atau patahkan tulang leherku!”
“Benar, dan aku haus, kongcu...ah, itu ada arak!”
“Kami ingin. minum! Ah, tenggorokanku kering, kongcu. Kamar ini panas pengap sekali. Kami ingin minum!”
Siang Le kelabakan. Ia dimintai tolong dan masing-masing meminta agar didahulukan. Bau arak harum menyengat hidung dan kesegarannya yang luar biasa memang membuat siapapun ingin minum. Arak di atas meja itu sungguh penuh daya pikat. Tapi ketika ia ragu dan hendak mengambilkan wanita-wanita itu, ia merasa kasihan juga tiba-tiba Bhi Peng membentak bahwa siapapun tak boleh minum kalau Siang Le belum mencicipi.
“Kalian tak boleh kurang ajar. Itu milik Siang-kongcu. Kalau mau minum harus sisa dari Siang-kongcu dulu!”
Semua tertegun.
“Lihat,” Bhi Peng menunjuk dirinya sendiri. “Akupun haus seperti kalian, kawan-kawan, dan aku lebih hebat daripada kalian. Aku ingin minum sejak tadi namun kutahan kalau Siang-kongcu belum meminumnya lebih dulu. Dia tamu dan kita pelayannya!”
“Benar,” seorang tiba-tiba sadar, menimpali. “Kalau Siang-kongcu tak mau minum kitapun harus menahan diri, kawan-kawan. Siang-kongcu tentu juga haus atau kita sama-sama mati kering di sini!”
“Hm,” Siang Le tergerak, watak welas asihnya timbul. “Kalau kalian mau minum biarlah minum, Bhi Peng. Aku tak melarang tapi beri tahu kepadaku bagaimana membuka palang pintu di luar itu!”
“Kami akan memberi tahu kalau kami sudah diberi minum!”
“Tapi kongcu harus meminumnya lebih dulu!”
“Hm, aku tak mau minum. Aku mau keluar!” Siang Le mendongkol, kemarahannya bangkit lagi. “Kalau pintu ini tak dapat dibuka maka aku akan mendobraknya, Bhi Peng. Tanpa kalianpun aku bisa!”
“Tapi kongcu akan memanggil Ui Kiok-cici dan siauw-ong. Dan kongcu tak dapat menyelamatkan diri!”
“Kalian memang busuk!” pemuda ini gusar. “Kalau tidak karena isteriku tak mungkin aku di sini, A-hwa. Hayo tunjukkan padaku bagaimana membuka pintu itu atau kalian semua menjadi sandera!”
“Kami akan memberi tahu kalau diberi sesuatu!”
“Benar, kami minta sesuatu untuk membuka pintu, kongcu. Kalau kau memberi sesuatu maka kami akan memberi tahu!”
“Hm, kalian minta apa...”
“Cium!”
“Cium..!”
Siang Le terkejut dan merah padam. Sebelas wanita itu tiba-tiba serentak berseru bahwa mereka minta cium. Rahasia pintu akan diberi tahu kalau mereka diberi cium. Dan ketika pemuda itu tersentak dan merah mukanya, sebelas wanita itu terkekeh dan entah bagaimana tidak menghiraukan rasa sakitnya lagi maka Siang Le membentak agar mereka tidak bicara seperti itu. Pemuda ini marah dan juga malu!
“Diam! Kalian benar-benar wanita tak tahu malu. Aku tak sudi memberi itu hanya untuk membuka pintu!” dan marah serta mendorong pintu kuat-kuat, berkeratak dan marah menahan malu Siang Le lalu mencoba membuka pintu namun palang di luar kokoh sekali. Satu-satunya jalan hanya dengan menghantamnya dengan pukulan sinkang, tapi resikonya adalah diketahui Ui Kiok dan terlebih Togur.
Dan ketika pemuda ini ragu apa yang harus dilakukan, kamar semakin panas dan menyesakkan dada maka wanita-wanita itu berteriak-teriak agar diberi cium, membuat Siang Le marah dan ia menampar wanita-wanita itu. Dan ketika mereka menjerit dan roboh berpelantingan, Siang Le geram maka pemuda inipun tiba-tiba menjadi haus dan tenggorokannya kering.
“Kongcu, kau bunuhlah kami. Kau boleh keluar tapi kami tak mau sendiri. Bawa atau bunuh kami!”
“Dan kami haus. Ooh, kami semakin haus, kongcu. Kamar ini pengap. Panas...!”
Siang Le bingung. Tiba-tiba ia sudah mandi keringat karena kamar yang sempit itu benar-benar panas. Berdua saja dengan Bhi Peng ia sudah dibuat menggigil, apalagi kini ditambah sepuluh lagi di mana semuanya wanita. Dan ketika mereka berteriak-teriak ingin minum, arak di meja rupanya dapat dipakai penangkal haus maka ia menyambar arak ini dan sedikit menggelogok iapun membasahi tenggorokan.
“Hi-hik, Siang-kongcu minum. Ah, kitapun mendapat rejeki!”
“Benar, kita akan kebagian rejeki, Cu-kim. Lihat Siang-kongcu menyisakan araknya untuk kita!”
Siang Le memang melempar botol arak di tangannya itu. Ia gemas oleh ribut-ribut dan gaduh yang ditimbulkan anak buah Ui Kiok ini. Ia ingin mereka tak usah berteriak-teriak lagi dan cepat melempar minuman itu karena mereka akan minum kalau ia sudah lebih dulu minum. Dan ketika ia menggelogok namun hampir tersedak, arak itu ternyata keras sekali maka pemuda ini menahan keinginan hausnya dan cuma merasakan sekecap saja arak harum itu. Siang Le sudah membasahi sedikit lidahnya dan ia merasa cukup. Dan begitu ia melempar sisa arak dan wanita-wanita itu terkekeh, berebut, maka Siang Le merasa tenaganya bangkit tapi bersama itu juga ia merasa sesuatu yang aneh mengganggu pikirannya.
“Aku harus keluar. Pintu akan kudobrak!”
Wanita-wanita itu terpekik. Siang Le telah melepas kesalnya dengan menghantam pintu itu. Ia muak dan ngeri bercampur dengan wanita-wanita ini, perempuan-perempuan cabul yang tak tahu malu. Dan ketika ia meloncat dan menabrakkan dirinya, pintu mengeluarkan suara keras maka palang pintu di luar patah dan engselnyapun copot.
“Brakkk!”
Siang Le tak perduli kepada lawan-lawan yang bakal datang. Dia sudah memperhitungkan bahwa Ui Kiok dan mungkin Togur bakal keluar dari kamarnya masing-masing. Ia akan menghadapi musuh berat tapi ia tak takut karena secepatnya ia ingin menolong dan mencari isterinya. Bhi Peng dan kawan-kawannya itu membuat ia merinding dan muak. Berkali-kali tatapan matanya harus membentur dada atau paha-paha mulus. Dan ketika benar saja pintu didobrak pecah, jeritan atau pekik wanita-wanita di dalam kamar itu mengundang yang lain-lain maka belasan bayangan berkelebat dan Ui Kiok sendiri muncul.
“Heh, apa ini, Bhi Peng!”
Ui Kiok dan lain-lain membelalakkan mata. Mereka melihat Bhi Peng dan kawan-kawannya itu tumpang tindih, Siang Le keluar dan baru saja mendobrak pintu, yang pecah dan cerai-berai engselnya. Dan ketika Ui Kiok melihat Siang Le terhuyung-huyung, pemuda itu menjaga keseimbangan dan mata melotot merah maka Ui Kiok terkekeh dan tiba-tiba melihat arak di atas meja, yang sudah terguling.
“Heii, Siang-kongcu menikmati arak pengantin!”
“Benar, tapi yang lain dibagi-bagi mereka ini, Kiok-cici. A-hwa dan kawan-kawannya berebut!”
“Apa, kalian juga turut minum?”
“Benar, tapi sedikit-sedikit, Kiok-cici. Dan aku sendiri tak sempat minum!” Bhi Peng, yang mendongkol dan marah kepada teman-temannya karena tak sempat menikmati arak itu lalu melapor dan memberi tahu Ui Kiok bahwa teman-temannya berebut. Siapapun sudah tahu bahwa arak itu bukan sembarang arak, melainkan arak pengantin yang biasanya dipergunakan untuk merobohkan lawan. Dan ketika benar saja Siang Le terbelalak dan terhuyung-huyung di sana, pemuda itu merasa pusing dan berat kepalanya maka Ui Kiok tertawa dan bergerak menyambar pemuda ini. Dialah yang tadi menyuruh Bhi Peng menjebak dan memberikan arak.
“Siang-kongcu, kau pusing. Pikiranmu kacau. Mari ke kamar yang lain dan lihat langkahmu limbung!”
“Pergi!” Siang Le membentak dan masih sadar, mengelak dan menampar wanita itu. “Aku tak mau kau dekati, Ui Kiok. Pergi atau kau kubunuh!”
“Hi-hik,” tamparan luput. “Kau kacau, kongcu. Aku di sini bukan di situ. Lihat, pukulanmu mengenai angin!” benar saja, Siang Le terkejut karena pukulan atau tamparannya tadi luput, mengelak namun jari-jari lawan tahu-tahu telah mencengkeram bahunya. Dan ketika ia membentak namun kepala terasa berputar, rasa pusing semakin berat maka ia tertangkap dan belum apa-apa iapun sudah roboh. Padahal tadi begitu kuat mendobrak pintu!
“Hup!” Ui Kiok girang setengah mati. “Sekarang kau menyerah, kongcu. Kau dalam kekuasaanku!”
“Lepaskan aku...” Siang Le berteriak, namun suara yang terdengar justeru lemah dan hampir tak terdengar. “Lepaskan aku, Ui Kiok. Lepaskan aku...!”
Ui Kiok terkekeh. Dia menendangi sebelas anak buahnya karena begitu Siang Le roboh mereka itupun berebut dan hendak menyambar pemuda ini. Masing-masing hendak menangkap dan dengus hidung mereka terdengar saling memburu. Itulah wanita-wanita yang berebut menikmati arak pengantin, terbakar dan kini dikuasai berahi namun Ui Kiok tentu saja tak memberi kesempatan. Ia telah berhasil menyuruh Bhi Peng memberikan arak, meskipun yang diminum hanyalah sekecap dan Siang Le melempar minuman itu kepada yang lain, tak tahu dan tentu saja tak mengira bahwa arak dipenuhi bubuk perangsang.
Dan ketika pemuda itu mengeluh karena roboh disambar Ui Kiok, anak-anak buahnya berpelantingan dan menjerit kecewa maka Ui Kiok berkelebat dan masuk ke kamar yang lain. Di sini Ui Kiok tak menghiraukan kegaduhan dan ribut-ribut di luar. Ia tak perduli ketika anak-anak buahnya yang telah dirangsang birahi itu saling tubruk dan menerkam teman-temannya. Adegan menjijikkan terjadi di antara sesama wanita itu.
Dan ketika Ui Kiok menendang pintu kamar dan tertawa melempar tangkapannya, Siang Le sekarang sudah berbeda dengan Siang Le yang tadi maka pemuda itupun merintih dan bola mata setengah tertutup karena Siang Le dibakar pula oleh nafsu berahinya. Biarpun sedikit tapi arak perangsang itu cukup kuat untuk menundukkan seekor kerbau jantan!
“Hi-hik, sekarang kau tahu, kongcu. Kesombonganmu lenyap dan lihatlah aku!”
Siang Le nanar. Ia dibebaskan dan telah dilempar ke atas pembaringan dan Ui Kiok berdiri tegak di situ. Wanita inipun merah mukanya dibakar birahi yang berkobar. Membayangkan pemuda ini bakal melayani hasrat cintanya sudah membuat darahnya mendidih dan penuh gejolak. Ia telah berhasil menundukkan pemuda ini dengan memberi arak perangsang, lewat Bhi Peng!
Dan ketika Ui Kiok tegak menantang dan belum apa-apa sudah melepas pakaian dalamnya, ia melucuti pakaian itu di depan Siang Le maka Siang Le yang sedang berkutat dan melawan hawa nafsu berahi dibuat terbelalak dan membuka matanya lebar-lebar melihat Ui Kiok sudah setengah telanjang!
“Ui Kiok, tidak... jangan!”
“Hi-hik, lihat dan pandanglah aku, Siang Le. Mana yang lebih menantang aku ataukah orang lain!”
“Tidak... tidak...!” pemuda itu berusaha menekan gejolaknya, hati nuraninya membisikkan bahwa itu berbahaya. “Aku .. aku tak mau, Ui Kiok. Kenapa tubuhku seperti ini dan panas terbakar!”
“Hi-hik, panasmu akan hilang begitu mendekapku, Siang Le. Ke marilah, dekap dan peluk aku. Aku mencintaimu!”
“Ooh..!” Siang Le bangkit namun roboh kembali di atas pembaringan. Ia tersentak dan semakin melebarkan mata melihat Ui Kiok menggerak-gerakkan tubuhnya. Pinggang yang patah-patah itu diperlihatkan tanpa penutup dan Siang Le mendengus. Tapi karena jelek-jelek dia adalah pemuda berbatin bersih dan suara batinnya inilah yang memberi tahu dia agar tidak menubruk Ui Kiok, wanita itu adalah ular berbisa dalam ujud bulu domba maka Siang Le menggeram dan berkali-kali menggelengkan kepala.
“Tidak... tidak, Ui Kiok. Kau wanita jahanam!”
Ui Kiok mengerutkan keningnya. Wanita ini terkejut bahwa pemuda yang sudah dilolohi arak perangsang itu masih juga dapat memakinya. Ia marah! Tapi ketika Siang Le terguling dan roboh dari tempat tidur, merintih dan mengerang melawan pengaruh tidak wajar maka wanita ini menjadi kagum dan iapun bergerak dan tahu-tahu sudah memeluk dan mendengus di belakang telinga pemuda ini, dengus yang berupa bisik gemetar.
“Siang Le, jangan bodoh. Kau sedang dihangati dewi cinta. Ayolah, jangan melawan, sayang. Aku mencintaimu dan kita bersenang-senang!” lalu menarik dan mengangkat pemuda ini ke atas pembaringan, Siang Le memeluk dan mencengkeram bahunya tiba-tiba wanita ini mencium bibir Siang Le dengan ciuman maut. “Cup!”
Siang Le tersentak dan menggelinjang. Ia benar-benar terbakar dan tak mampu menguasai dirinya lagi. Itu ciuman yang luar biasa dan iapun mabok, terlena. Tapi ketika Ui Kiok menindih tubuhnya dan di atas pembaringan wanita itu hendak melepas pakaiannya mendadak Siang Le tertegun dan memberontak.
“Tidak... jangan... tidak boleh!”
Ui Kiok terkejut. Untuk kesekian kalinya lagi ia tercengang dan kaget. Dua kali pemuda ini sadar lagi. Tapi ketika ia tertawa dan melumat bibir si pemuda, Siang Le tak sanggup mengelak karena sudah didahului dan dicegat maka lagi-lagi ciuman maut wanita itu mendarat.
“Cup, jangan gelisah, Siang Le. Jangan panik. Kau tak apa-apa, kita tak apa-apa. Aku akan melayanimu dan biarkan aku melepas celanamu!” namun begitu Ui Kiok bergerak dan melepas pakaian ini, si pemuda bergerak dan meronta lagi maka Siang Le tiba-tiba membentak dan dilemparnya wanita itu keluar pembaringan.
“Ui Kiok, aku sudah punya isteri!”
Ui Kiok terperanjat dan terlempar. Ia sendiri sudah melepas seluruh pakaiannya dan Siang Le terbelalak dengan muka terbakar. Kalau laki-laki lain tentu sudah tak banyak cakap lagi dan menyambut cintanya. Siang Le sebenarnya juga begitu namun tulus dan suci cintanya terhadap isteri membuat pemuda itu ingat dan memberontak. Bayangan Soat Eng tiba-tiba berkelebat dan itulah yang membuat Siang Le memberontak. Dan ketika ia menggigil dan turun dari pembaringan, roboh dan bangkit lagi maka pemuda ini menggeram dan memaki lawan dengan suara terbata-bata.
“Ui Kiok, aku tak mau melayani hasratmu yang kotor. Kau wanita najis. Kau bedebah! Kau apakan aku dan mana isteriku!”
Ui Kiok pucat. Selama hidupnya, selama ia berkenalan dengan Togur dan memiliki arak perangsang belum pernah seorang laki-lakipun yang tahan seperti Siang-kongcu ini. Biasanya, mereka akan roboh dan segera menyembah-nyembah dirinya. Disuruh menjilat kakipun mau! Tapi ketika Siang Le ternyata lain dan pemuda itu bertahan demikian mengagumkan, wanita ini terhenyak namun juga marah maka ia menyambar dan melompat bangun.
“Siang Le, jangan gila. Malam ini aku isterimu. Tak ada isteri lain kecuali aku!”
“Tidak, bedebah!” pemuda itu memberontak, Ui Kiok dipukul dan ditampar. “Isteriku adalah Soat Eng, Ui Kiok. Aku masih ingat nama isteriku dan kau apakan aku. Aduh, kau membakar birahiku!”
“Hi-hik, itu benar. Tak ada yang tahan kalau sudah begini, Siang Le. Setiap laki-laki akan roboh dan pasti bertekuk lutut kepadaku. Lihat, aku menyerahkan cinta dan segala-galanya kepadamu!” Ui Kiok penasaran, mencium dan mencoba lagi pemuda itu namun keteguhan batin dan cintanya yang suci terhadap Soat Eng membuat Siang Le tak dapat dibobol, Pemuda itu tak kuasa mengelak ketika mulut dan wajahnya dihujani ciuman Ui Kiok, diam saja dan terbakar berahi yang hebat.
Tapi begitu Ui Kiok hendak membuka celananya dan itu pantangan yang tak boleh dilakukan, Siang Le ingat ini maka pemuda itu memberontak dan memukul Ui Kiok. Akibatnya wanita ini terlempar dan untuk ketiga kalinya terbanting. Ui Kiok kaget dan marah sekali, di samping penasaran. Dan ketika ia coba namun gagal lagi, pemuda itu sungguh hebat maka Ui Kiok berang dan dihantamnya pemuda itu sampai roboh.
“Siang Le, kau jahanam keparat!”
Siang Le tak dapat mengelak. Ia terpukul dan mengaduh perlahan. Pusing berat yang dirasakannya sungguh membuat pemuda itu tak dapat berdiri tegak. Ia merasa dunia berputar-putar dan bayangan Ui Kiok tampak di mana-mana. Semuanya telanjang bulat! Tapi begitu ia dipukul dan pingsan, Siang Le roboh mengeluh pendek maka Ui Kiok yang kelabakan karena nafsunya tak mendapat jalan keluar.
“Bedebah, terkutuk. Aku ingin membunuhmu kalau boleh dibunuh!” Ui Kiok menendang dan menginjak pemuda ini, marah dan kecewa bercampur-aduk dan akhirnya ia memanggil Bhi Peng. Kobaran berahi yang tak terlampiaskan dilampiaskannya kepada pembantunya ini. Dan ketika Bhi Peng terkejut tapi tak dapat berbuat apa-apa, Ui Kiok sudah menyambar dan melepas seluruh pakaiannya maka dengan keji dan ganas si jalang ini menumpahkan kemarahannya kepada anak buahnya itu.
“Kau goblok, kau bodoh! Bagaimana pemuda itu tak juga roboh oleh arak berahiku. Hayo, minum sebotol dan layani aku!”
Bhi Peng pucat. Ia disuruh minum sebotol arak berahi dan wanita itupun gentar menuruti perintah. Tapi karena Ui Kiok pimpinannya dan wanita itu dapat berbuat lebih kejam, apa boleh buat dia menenggak dan menghabiskan sebotol maka Bhi Peng terhuyung dan memejamkan mata ketika dibuat tidak sadar.
“Ooh, mana Siang-kongcu, cici... mana Siang-kongcu...!”
“Aku menggantikannya. Layani aku baik-baik dan lempar dirimu di tempat tidur!” Ui Kiok menerkam dan melempar anak buahnya itu. Tanpa sungkan-sungkan lagi ia memaksa anak buahnya ini melayani hasrat cintanya, cinta kotor.
Dan ketika Bhi Peng mengeluh dan melakukan apa saja yang disuruh ketuanya, Ui Kiok seakan kuda jalang yang meringkik panas maka adegan menjijikkan terjadi di situ. Siang Le tak sadar dan tiga jam kemudian ia mendengar rintih dan erangan di situ. Dan ketika lapat-lapat ia memasang telinga dan mendengar keluh atau tangis Bhi Peng, wanita itu disuruh melayani hasrat Ui Kiok maka Siang Le pucat dan ngeri mendengar suara-suara di situ.
Ia merasa amat lemah karena pengaruh arak pengantin masih membuatnya terbius. Apa yang didengar dan dilihat adalah samar-samar saja. Dan ketika dua jam kembali lewat dan Siang- Le merasa pulih, ia akan bergerak dan menghajar musuhnya itu ternyata ia ditotok dan mendengar bahwa sore nanti ia akan dilolohi arak sebotol, ketika Ui Kiok selesai memuaskan nafsu jalangnya kepada Bhi Peng.
“Aku sudah cukup puas, namun aku masih penasaran kepada bocah she Siang itu. Malam nanti ia harus melayaniku dan siapkan arak sebotol!”
“Aduh, aku bagaimana, Kiok-cici? Aku juga butuh Siang-kongcu. Aku masih butuh laki-laki!”
“Kau anjing tak tahu malu. Pergi dan enyah jalankan perintahku!”
Siang Le mendengar tendangan dan jerit tertahan. Selanjutnya ia menutup mata dan telinga kuat-kuat karena tak tahan akan apa yang dilihat. Ia sekarang tahu bahwa dirinya dibius arak perangsang. Untung, karena ia kuat bertahan dan jatuh pingsan maka Bhi Penglah yang dijadikan korban. Kalau tidak, barangkali ia yang dikerjain. Dan ketika Siang Le lega namun pucat teringat kata-kata Ui Kiok, bahwa malam nanti ia akan dilolohi sebotol arak maka ia merinding karena tak mungkin ia bertahan lagi!
“Ah, aku harus melepaskan diri. Aku harus bebas!”
Namun pemuda ini mengeluh. Ui Kiok menotoknya dan membuatnya tak berdaya jauh lebih hebat daripada tadi. Wanita itu benar-benar tak memberinya kesempatan untuk lolos. Ia tak dapat dibujuk dan kini akan dipaksa! Dan ketika Siang Le menggigil karena mampukah ia bertahan dari sebotol arak perangsang, padahal sekecap saja sudah membuatnya panas dingin tak keruan maka di tempat yang lain isterinya juga menderita dan pingsan oleh perbuatan Togur yang tak kalah rendah!
* * * * * * * *
Malam itu, seperti yang dijanjikan, Togur dan tiga puluh wanita cantik telah bersiap mengadakan pesta bulan purnama. Panggung telah dibuat dan Sam-liong-to gebyar-gebyar oleh lampu berwarna-warni. Tengah pulau dihias indah karena kali ini “raja” hendak mengadakan pesta besar. Bukan sekedar pemilihan isteri biasa melainkan permaisuri.
Ya, siauw-ong atau si buntung yang lihai itu akan mengambil Soat Eng sebagai isterinya. Dan karena malam itu juga ada keistimewaan karena Ui Kiok juga akan mengambil suami, pemuda gagah menantu Pendekar Rambut Emas itu maka Sam-liong-to dihias meriah karena yang punya hajat akan mengadakan pesta besar-besaran. Seratus lebih pemuda-pemuda juga diambil dari sekitar pulau!
“Malam ini aku tak mau tanggung-tanggung. Ada seorang sahabatku yang kebetulan datang. Nah, siapkan pesta besar dan cari seratus pemuda untuk pengiring!”
Ui Kiok, yang tertegun dan hari itu juga melaporkan kegagalannya akan Siang Le dibuat terbelalak oleh kata-kata si buntung ini. Ia baru saja melapor dan minta pendapat bagaimanakah baiknya menghadapi Siang Le. Pemuda itu memiliki daya tahan luar biasa dan ia penasaran. Dan ketika Togur tertawa bahwa ia akan membantu, malam nanti tepat bulan purnama ia akan membuat pemuda itu bertekuk lutut maka pemuda itu berkata bahwa seorang tamu tiba-tiba datang, tamu agung.
“Biarlah penasaranmu ini kubayar nanti. Seseorang datang mengunjungiku, sahabat kentalku. Pergi dan siapkan panggung dan malam nanti kita ramai-ramai!”
“Siapa tamu itu?” Ui Kiok tak tahan bertanya. “Bolehkah aku tahu?”
“Ha-ha, boleh-boleh saja, Ui Kiok. Tapi ia tak mau memperlihatkan diri kalau tidak atas kehendaknya. Pokoknya, ia aneh tapi luar biasa!”
“Hm, setingkat dengan siauw-ong?”
“Kira-kira begitu, tapi agaknya ia lebih lihai. Ha-ha, kau rupanya naksir, Ui Kiok. Silahkan coba kalau ia mau!”
“Aku memang pingin berkenalan dengan orang-orang lihai. Bolehkah aku tahu kalau siauw-ong memperkenankan!”
“Aku tak melarang. Tapi, hmm... entah bagaimana dia sendiri. Coba kutanya!” dan ketika si buntung itu menoleh ke belakang tapi tak ada siapa-siapa di situ, Ui Kiok heran dan mengerutkan kening maka berserulah pemuda itu dengan suara nyaring,
“Heii, maukah kau keluar, San-enghiong. Ini seorang pembantuku ingin berkenalan. Ia cantik dan menggiurkan!”
“Heh-heh!” suara tanpa rupa tiba-tiba terdengar. “Siapa kuda betina ini, Togur, Bagaimana kau menyimpan begini banyak wanita cantik!”
“Ia. selirku tersayang. Kau boleh memilikinya kalau mau!”
“Ha-ha, aku takut berhadapan dengan wanita. Kalau ia musuhku baru aku muncul. Wuihh, betina ini kotor. Badannya bau!”
Ui Kiok tiba-tiba terkejut diusap tangan seseorang, kasar dan dingin dan kontan saja ia menjerit, berjengit. Dan ketika ia menoleh namun tak ada siapa-siapa, mendadak ia ditepuk dan dicium jidatnya.
“Ha-ha, aku suka. Tapi mulutnya bau.... bau kentut!”
Ui Kiok marah. Ia memekik dan secepat itu pula memutar tubuh namun yang ada hanya bayang-bayang dan kesiur angin dingin. Dan ketika ia berteriak dan lari ke arah Togur, bersembunyi, maka si buntung itu terbahak-bahak dan bayangan atau kesiur angin dingin itu menyambar dan mengikuti wanita ini, mencolek atau mengusap pantat!
“Hi-hi, pantatnya besar, Togur. Seperti pot!”
Togur terbahak-bahak. Ui Kiok selanjutnya diusap atau diganggu bayangan tanpa wujud. Wanita itu ketakutan dan tentu saja ngeri, berteriak-teriak tapi bayangan ini terus mengganggunya sampai kemudian si buntung ini minta berhenti. Dan ketika Ui Kiok menggigil dan jatuh di sana, terduduk, maka wanita itu pucat namun ia pun ingin tahu siapa orang yang amat luar biasa itu. Kalau perlu, laki-laki itu akan dijadikan suaminya. Pelindung seumur hidup!
“Ha-ha, muncul dan sudahilah main-main ini, San Tek, Selirku ketakutan!”
Bayangan tanpa wujud itu berkelebat. Di situ tahu-tahu muncul seorang pemuda yang matanya berliaran, tampan namun mukanya pucat kehijauan sehingga wanita ini dibuat ngeri. Dan ketika Ui Kiok tertegun dan pemuda itu memandangnya, bola mata bergerak-gerak maka pemuda itu tertawa dan Ui Kiok merasa seram karena tawanya seperti kuda meringkik.
“Hih-heh, selirmu ini lumayan, Togur. Tapi mulut dan badannya bau busuk. Aku tak berminat. Aku ingin kau menepati janjimu dan mana itu tempat persembuyianku untuk memperdalam Im-kan-thai-lek-kang!”
“Ha-ha, tentu... tentu. Aku menyiapkan semuanya itu untukmu, San Tek. Jangan khawatir dan tak perlu cemas. Kau mendapatkan apa yang kau ingini. Sam-liong-to ini boleh kau pakai sebagian untuk melatih Im-kan-thai-lek-kang mu!”
“Siapa dia..” Ui Kiok berbisik, suaranya gemetar. “Apakah orang gila!”
“Sst,” si buntung menyendal dan menarik wanita ini, tamunya melotot! “Jangan keras-keras, Ui Kiok. San Tek sahabatku dan ia pemilik Im-kan-thai-lek-kang. Ia datang ke sini untuk minta sebuah tempat persembunyian. Ia akan memperdalam ilmunya!”
“Im-kan-thai-lek-kang? Tenaga Inti Neraka?”
“Sudahlah, jangan banyak bertanya, Ui Kiok. Nanti saja kita bicara dan lihat ia mendengarkan!” Ui Kiok meremang dan membelalakkan matanya. Orang lihai yang diharap-harap ternyata pemuda berotak miring. Sialan! Dan ketika pikirannya tentu saja kembali kepada Togur, biarpun buntung namun waras maka si gila itu tertawa berkata, bola matanya masih berliaran,
“Togur, di samping cantik ternyata selirmu ini tidak waras. Orang waras dikata gila sedang yang gila dikata waras. Ah, aku jadi semakin tak senang. Mana tempatku itu dan biar aku sendirian lagi!”
“Ha-ha, tak usah gusar. Orang gila memang begitu, San Tek. Diri sendiri dianggap waras sedang orang lain dianggap gila. Sudahlah, di belakang pulau ada bangunan kosong. Kau ke sanalah dan nanti malam kita bertemu dalam pesta meriah. Aku akan mengambil permaisuri!”
“Permaisuri? Sedangkan di sini sudah banyak selir-selirmu yang cantik? Wah, mata keranjang kau ini, Togur. Sudah buntung masih juga jelalatan. Ha-ha, sesukamulah. Aku akan memperdalam ilmuku karena aku masih geram oleh Thai Liong!” dan berkelebat menghilang lagi tiba-tiba si gila ini lenyap dan Ui Kiok terkejut mendengar disebutnya nama Thai Liong.
Nama itu yang paling ditakuti tapi ia tak dapat bertanya banyak tentang si gila. Togur mengerutkan kening tapi kemudian menyeringai ketika sahabatnya itupun pergi. Dan ketika Ui Kiok diminta menyiapkan panggung dan malam nanti bertemu lagi maka si buntung itu meminta agar diambil seratus pemuda-pemuda tegap di luar pulau, tentu saja yang agak jauh, karena yang dekat-dekat sudah habis “dimakan” anak buah Ui Kiok ini.
“Malam nanti pesta besar-besaran. Aku mengambil Soat Eng dan kau menundukkan Siang Le. Kita berdua di kamar yang sama dan masing-masing melihat yang lain menggauli pasangannya!”
“Ah, siauw-ong menyuruh aku menonton? Bukankah ia calon permaisuri?”
“Ha-ha, kau orang pertama yang menjadi saksi akan pernikahanku dengan puteri Pendekar Rambut Emas itu, Ui Kiok. Dan aku orang pertama yang menjadi saksi pula bahwa kau telah menjadi isteri Siang Le. Kita masing-masing menonton dan bermain!”
“Ah, menyenangkan sekali, siauw-ong. Tapi aku takut!”
“Takut? Takut apa?”
“Thai Liong itu. Bagaimana kalau ia datang!”
“Ha-ha, ia tak ada di sini. Ia bersama cucu Drestawala yang cantik itu. Hm, gadis itu tentu menjadi kekasihnya!”
“Cucu Drestawala? Siapa itu?”
“Kau tak usah banyak bertanya. Aku bakal tersinggung kalau kau bertanya tentang ini. Sudahlah, siapkan panggung dan malam nanti kita berpesta!”
Ui Kiok mengangguk. Kalau si buntung sudah menyuruhnya tak usah bertanya dan ia mendesak tentu kemarahan yang akan didapat. Lebih baik diam dan menyimpan penasaran di hati daripada kena damprat. Dan ketika ia berkelebat dan hari itu anak-anak buahnya disuruh mengumpulkan seratus pemuda, hal yang gampang dilakukan maka malam itu Sam-liong-to sudah gebyar-gebyar oleh lampu dan gemerlapnya wajah-wajah cantik di balik pakaian warna-warni.
Penghuni Sam-liong-to rata-rata berwajah ceria. Para pemuda yang dikumpulkan rata-rata menyeringai dan menahan kegembiraan besar bekerja bersama wanita-wanita itu. Bayangkan, mereka diperlakukan menyenangkan dan segala sesuatu disiapkan wanita-wanita itu pula. Mulai dari minuman sampai makanan.
Bahkan, karena wanita-wanita itu bersikap genit dan tak segan-segan menggoda mereka maka mereka boleh main colek atau cubit. Kalau perlu, cium! Dan ketika hal itu dimulai oleh satu di antara tigapuluhan wanita itu maka pemuda yang lain bersorak dan apa yang dilakukan anak buah Ui Kiok ini hampir saja meletupkan hasrat yang menggebu-gebu yang tiba-tiba bangkit, Para pemuda itu bergairah!
“Hi-hik, kalian boleh lakukan apa saja di sini, mencium kamipun boleh. Tapi untuk yang lebih dilarang dulu. Nanti tengah malam kita merayakan acara puncak!”
“Acara apa?” seorang pemuda bertanya, nada pertanyaannya bergairah. Dan ketika dijawab bahwa acara itu adalah acara memilih jodoh, siapapun boleh dan diperkenankan bercumbu rayu maka pemuda-pemuda itu berjingkrak.
“Ah, yang benar saja, Ang-hwa cici. Masa semudah itu kami memilih kalian!”
“Eh, tidak percaya? Mari, kubuktikan!” dan ketika Ang-hwa bergerak dan menyambar pemuda itu, mencium dan terkekeh maka pemuda itu hampir saja berteriak dan kontan menyambut!
Namun Ang-hwa buru-buru melepaskan pemuda itu. Dia tertawa berkata bahwa itu sekedar contoh, yang lain-lain dan lebih seram akan diperlihatkannya nanti malam, di puncak acara. Dan ketika pemuda itu menggigil dan terbelalak matanya, nafsu berkobar maka teman-temannya yang lain tertawa dan tiga di antaranya coba-coba menyambar anak buah Ui Kiok dan mencium serta meremas. Dan anak buah Ui Kiok ini memang diam saja, bahkan menyambut dan terkekeh gembira. Tapi karena merupakan pantangan besar untuk bertindak lebih lanjut, kalau puncak acara belum datang maka wanita-wanita itu mendorong pemuda-pemuda ini dan berbisik, nafsupun bergolak dengan gembiranya.
“Song-khi, jangan buru-buru. Siauw-ong bakal marah kalau kita mendahului sebelum puncak acara tiba. Bersabarlah, sementara ciuman ini dulu untuk kalian dan sampai ketemu nanti!”
Pemuda-pemuda itu bersorak. Mereka riuh membayangkan acara nanti dan ketika wanita-wanita itu berkelebat merekapun semakin giat bekerja. Mereka diminta membuat panggung keramaian dan bergeraklah semuanya membuat panggung ini. Dan ketika hari itu panggung selesai dan mataharipun tenggelam di ufuk barat, mereka juga dibantu dan bercanda dengan wanita-wanita cantik itu maka diam-diam mereka sudah memilih pasangan masing-masing. Dan mereka dibuat panas dingin ketika kebetulan beberapa di antara mereka memilih wanita yang sama.
“Jangan ribut, jangan gaduh. Satu wanita boleh untuk tiga atau empat lelaki!”
“Ah, masa?” dua pemuda berseru terheran-heran, di samping kaget juga tidak percaya. Tapi ketika wanita itu terkekeh dan memberi ciuman masing-masing seorang, dua pemuda berebut untuk mendapatkan dirinya maka pemuda-pemuda itu berjingkrak dan saling tegang di antara mereka mendadak lenyap, terganti kegembiraan yang luar biasa.
“Ah, kalau begitu aku dulu, Bwee-nio. Baru Lun-hao belakangan!”
“Hi-hik, kalian laki-laki selamanya cepat loyo. Tak usah berebut dan masing-masing pasti mendapatkan bagiannya!” dan ketika wanita itu berkelebat dan terkekeh di balik panggung, semua siap dan menantikan acara maka tak lama kemudian Ui Kiok muncul di tengah-tengah anak buahnya. Wanita ini berpakaian putih-putih dan bibirnya yang merah membakar tampak dipoles berlebihan.
“Dilarang ribut dan membuat gaduh. Siauw-ong akan datang membawa pengantin!”
Seratus pernuda berdecak dan terbelalak kagum. Mereka telah mendengar akan adanya Ui Kiok yang membawahi tigapuluhan anak buahnya. Dibanding anak buahnya memang wanita ini paling cantik, meskipun kecantikannya dibayang-bayangi mata yang kejam dan pandangan dingin. Malam itu Ui Kiok muncul setelah bulan mulai naik ke atas. Dan ketika dia memberi tanda agar seratus pemuda itu memecah diri, masing-masing berjajar di empat sudut panggung maka dia juga memerintahkan anak buahnya untuk membakar dupa atau asap wewangian.
“Kalian sudah tahu apa yang harus dilakukan. Siauw-ong akan muncul setelah musik dibunyikan. Ayo, mana barisan musik!”
Tujuh wanita berlompatan ke panggung. Mereka itulah para pemusik karena masing-masing sudah memegang suling dan alat tetabuhan. Satu di antaranya memegang yang-khim, alat sejenis gitar yang memiliki delapanbelas senar dari kawat-kawat baja. Dan ketika Ui Kiok berseru agar musik pembukaan dilagukan, tujuh wanita itu bergerak dan membunyikan alat musiknya masing-masing maka terdengarlah alunan lagu gembira membuka acara di Sam-liong-to.
Pemuda-pemuda disuruh berpakaian ketat dan mereka itu mengenakan ikat kepala merah. Pakaian mereka yang hitam-hitam sungguh membuat pemuda-pemuda itu gagah. Mereka bagai harimau-harimau muda yang garang dan penuh kekuatan, meskipun mereka adalah pemuda-pemuda biasa yang tak pandai atau bisa silat. Dan ketika alat musik dibunyikan dan lagu pertama dinyanyikan, merdu mendayu-dayu maka Ui Kiok lenyap lagi membawa dua pembantu wanitanya. Untuk sejenak suasana di sekitar panggung hanya dipenuhi suara musik itu, lagu-lagunya riang gembira tapi kemudian berobah panas ketika merencak-rencak.
Kaki para pemuda bergerak dan dibanting-banting perlahan di atas tanah. Mereka mengikuti atau terpengaruh tiupan seruling dan petikan yang-khim itu, yang senarnya berdenting-denting dan nyaring dinikmati. Tapi ketika sesosok bayangan hijau melompat di atas panggung dan itulah A-hwa, pembantu Ui Kiok setelah Bhi Peng maka wanita itu berseru bahwa pemujaan atau sembahyangan terhadap Dewi Bulan akan segera dimulai, musik agar ditiup perlahan.
“Siauw-ong dan Dewi Bulan akan turun ke panggung. Harap musik disesuaikan dan dupa harum ditambah!”
Para pemuda berdetak. A-hwa yang muncul di atas panggung itu mengenakan pakaian demikian tipisnya hingga seluruh bentuk tubuhnya demikian jelas terpampang. Apalagi, wanita itu membelakangi lampu. Kontan lekuk-lengkung tubuhnya yang indah membuat para pemuda berseru gaduh namun mereka tiba-tiba dibentak agar tidak riuh. Decak dan suit perlahan dipadamkan. Dan ketika para pemuda melotot dan musik kini ditiup perlahan-lahan, lembut dan syandu maka A-hwa berkata bahwa pengantin pertama akan datang. Yang-khim digesek demikian lembut hingga mirip orang merintih.
Gaok gagak tiba-tiba berbunyi di atas dan berkelepaklah sepuluh sayap lebar di langit yang hitam. Bulan yang melepaskan cahaya keemasannya sejenak menyapu lima ekor gagah yang terbang di atas. Entah bagaimana tiba-tiba gagak-gagak itu bergaok. Suasana yang semula menggembirakan mendadak berobah seram. Sam-liong to seakan didatangi iblis! Namun ketika gagak-gagak itu lenyap dan dupa harum menusuk tajam, wanita-wanita cantik itu menambah asap kemenyan maka lantunan musik yang tersendat-sendat tiba-tiba menyambut empat bayangan putih dari balik Istana Hantu.
Para pemuda terbelalak. Mereka tiba-tiba melihat Ui Kiok muncul kembali, namun bukan sendiri melainkan ditemani tiga orang yang lain. Orang pertama adalah seorang pemuda gagah berpakaian putih hitam sementara yang kedua dan ketiga adalah anak buahnya tadi. Mereka mengiring di belakang dan Ui Kiok mengenakan pakaian pengantin. Cantik jelita dan cukup mempesona.
Namun karena pandang matanya bergerak ke kiri kanan dan bola mata wanita itu terasa tajam dan dingin menusuk-nusuk, kekejaman masih terasa juga di antara senyumnya yang mengembang maka para pemuda tergetar dan tak berani beradu pandang secara langsung. Ngeri dan merasa takut. Wanita itu seakan peri, bukan malaikat!
“Pengantin pertama datang. Inilah pasangan Ui Kiok-cici dan Siang Le-kongcu!”
Semua pemuda berdiri tegak. Tadi mereka ada yang lenggut-lenggut dan berdiri seenaknya. Tapi begitu Ui Kiok muncul dan dinyatakan sebagai pengantin pertama, dengan pemuda gagah yang matanya kosong maka seratus pemuda itu lagi-lagi tergetar karena di balik pakaian pengantinnya yang tipis itu Ui Kiok tidak mengenakan apa-apa!
“Musik diminta mengalunkan lagu Dewi Bulan!” A-hwa tiba-tiba berseru, mengangkat tangan dan musik yang semula bersuara tersendat-sendat itu mendadak berkencreng dan ditabuh gembira. Suaranya melantun nyaring dan hingar-bingar. Kesannya panas! Dan ketika para pemuda kembali berjingkrak dan mengikuti irama musik maka Ui Kiok perlahan-lahan mendekati panggung dan pemuda yang digandengnya dengan lembut dan mesra itu langsung diberinya cium.
“Cup!” Para pemuda bersorak. Mereka tak dapat mengendalikan diri lagi begitu pengantin wanita mencium pengantin pria. Mereka tak tahu siapa Siang Le tapi merasa gembira dan bersuara gaduh. Ui Kiok semakin mendekati panggung dan semakin dekat semakin tampaklah kecantikannya yang merangsang.
Wanita ini tertawa dan sekali terkekeh tampaklah gigi-giginya yang seperti mentimun bersih itu, di tengah-tengah lidahnya yang seperti ular, merah bercabang! Dan ketika para pemuda tertegun karena bagaimana lidah wanita itu dapat seperti ular, merah menjilat-jilat maka Ui Kiok berpaling dan berseru kepada semua orang di panggung....