SIANG KEK mengelak namun pukulan itu tetap mengejar, berkelit tapi tetap juga diburu. Dan ketika kakek ini berseru keras dan apa boleh buat harus menangkis, ia tak mau dikata takut maka dentuman bagai gunung meletus menggelegar lagi. Dinding yang lain ambruk tapi kali ini Siang Lam Cinjin berteriak di sana. Kakek renta satunya itu mencelat dan melepaskan diri dari angin pukulan yang menyambar.
Beng Kong menghantam kakaknya namun sisa atau gelombang pukulan itu menyambarnya juga, persis ketika tadi kakaknya itu menyambar anak-anak murid Go-bi dengan angin pukulannya, meskipun yang diserang dan tetap menjadi titik perhatian adalah Beng Kong. Dan ketika kali ini Beng Kong membalas dan angin pukulan itu juga menyerempet Siang Lam, kelihatannya saja menyerempet namun bahayanya tak kalah dengan dipukul langsung maka kakek ini menjejakkan kaki dan sisa angin pukulan Beng Kong menghantam dan meledak di belakangnya.
"Dess!” Siang Kek Cinjin terbelalak. Ia benar-benar dibalas dan adiknya yang berjungkir-balik dan melayang turun berseru marah di sana. Siang Lam Cinjin ikut-ikutan diserang! Dan ketika kakek itu melotot dan tergempur kuda-kudanya, Beng Kong mengerahkan sinkangnya dan ia terhuyung mundur maka hwesio itu tertawa bergelak dan berkata bahwa ia tak perlu takut dengan dedengkot-dedengkot Heng-san.
“Ha-ha, lihat!” Beng Kong bergerak dan menyerang lagi. "Pinceng dapat membuatmu mundur, Siang Kek Cinjin. Dan kalau kau tak hati-hati mungkin pinceng akan mengantarmu ke akherat!"
Kakek ini gusar. Ia akhirnya diterjang dan dipukul lagi. Lawan bagai gorila kelaparan karena bertubi-tubi menghantam dan mendorong. Dan ketika setiap pukulan atau hantaman selalu didahului angin dahsyat, si kakek terkejut dan mengelak sana-sini maka adiknya, Siang Lam Cinjin, berteriak dan berkelebat maju. Ujung jubah menyambar.
"Suheng, biarkan aku maju dulu. Tak pantas bocah ini menghadapimu!"
Siang Kek terkejut. Ia menghindar dan menangkis sebuah pukulan lagi ketika adiknya tiba-tiba datang. Itu kebetulan dan tak usah ia membuat malu kalau sutenya ada di situ. Yang lebih muda memang harus maju lebih dulu kalau yang tua ingin tetap dihormat. Dan ketika ia terhuyung namun adiknya ikut menangkis, Siang Lam sudah melempar dan meletakkan murid keponakannya di sana maka kakek itu mundur dan Siang Lam Cinjin beradu pukulan dengan Beng Kong Hwesio.
“Dess!” Kakek ini tergetar. Beng Kong, yang tidak bergeming dan mampu membuatnya terhuyung benar-benar menjadikan tokoh Heng-san ini melotot. Ia tak percaya dan mencoba lagi. Tapi ketika untuk kedua kali ia terhuyung sementara lawan tak apa-apa, sama sekali tak bergerak atau berubah kuda- kudanya maka kakek ini terkejut di samping gusar bukan main. Beng Kong Hwesio sungguh luar biasa tak bergeming!
"Hebat!” kakek itu memaki, namun menyatakan kekagumannya. "Murid Ji Leng ini luar biasa sekali, suheng. Ia benar-benar tangguh dan singkangnya hebat. Tapi aku akan mencobanya lagi. Masa bocah seperti ini dapat mengalahkan pinto!” dan Siang Lam Cinjin yang kaget dan marah mendengar tawa Beng Kong, hwesio itu tergelak-gelak karena lawan dibuat terhuyung dan terbelalak lebar akhirnya diserang dan dihantam serangan-serangan panas.
Sinar putih atau uap panas muncul dari lengan kakek itu, kian lama kian panas hingga udara terbakar. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san menyingkir dan tak tahan oleh hawa panas itu, Siang Lam sudah marah dan sesepuh Heng-san itu mengeluarkan kesaktiannya maka iapun berkelebatan cepat dan menghilang tinggal bayang-bayang cepat yang tak dapat diikuti mata. Beng Kong terkejut dan mengelak atau menangkis, kalah cepat dan tiga kali menerima tamparan panas. Tapi ketika hwesio, itu hanya tergetar saja dan tak apa-apa, sinkang atau tenaga saktinya melindungi maka lawan menjadi kaget namunjuga marah besar!
"Beng Kong, kau boleh balas pinto. Hayo, jangan berkelit atau menghindar saja!”
“Hm, hwesio ini merah mukanya, lawan terlalu cepat gerakannya. “Kau tak perlu memerintah pinceng, Siang Lam. Kalau nanti pinceng membalas tentu tak perlu kau memberi tahu. Hati-hati saja, pinceng khawatir kau terjungkal!”
“Sombong!" dan si kakek yang membentak dan mempecepat gerakannya akhirnya membuat lawan maju mundur karena harus menangkis atau melindungi diri dari serangan cepat. Hawa panas sudah membakar ruangan dan bukan lagi uap putih yang ada melainkan uap merah. Seluruh ruangan berpijar-pijar dan sisa anak-anak murid Go-bi menjauh. Mereka dipaksa menyingkir dan Hoa-san Sin-jit juga bergerak mundur. Mereka semakin tak tahan oleh hawa panas yang keluar dari lengan sesepuh Heng-san itu. Benda kering yang ada di tengah ruangan tiba-tiba terbakar, persis dijilat api saja.
Dan ketika Beng Kong tampak terdesak dan Tujuh Malaikat Hoa-san berseri-seri, Beng Kong Hwesio mendapat pelajaran maka di sana Siang Kek Cinjin yang menonton dan melebarkan matanya justeru tertegun dan tak melihat bahwa adik atau sutenya itu menang angin. Beng Kong memang terdesak tapi murid Ji Leng Hwesio itu tak roboh.
Ada tanda-tanda bahwa hwesio itu mempelajari ilmu silat saudaranya, mencari atau menemukan titik-titik lemah untuk dipakai menghantam. Dan ketika benar saja wajah hwesio itu menunjukkan kegembiraan karena tiba-tiba berobah bercahaya, girang dan senang maka mendadak hwesio itu mengeluarkan bentakan keras di mana tubuhnya tiba-tiba juga berkelebat dan terbang berputaran.
"Siang Lam Cinjin, awas pinceng membalas. Hati-hati!" dan begitu Si hwesio berkelebat dan menyambar mengimbangi Siang Lam Cinjin maka hwesio inipun lenyap mengikuti ke manapun lawannya pergi. Terjadi dua bayangan cepat yang sambar-menyambar dan baik Siang Lam Cinjin maupun Beng Kong Hwesio sudah sama-sama tak dapat diikuti mata lagi.
Tujuh Malaikat Hoa-san coba menembus tapi mereka tiba-tiba berteriak. Saudara termuda, Liok-tosu, menjerit dan tahu-tahu terputar. Tubuhnya mengikuti gerakan dua orang itu dan tanpa ampun sudah berputaran sendiri di tempat, terbawa atau tersedot oleh arus bayang-bayang dua orang itu. Dan ketika Hek-tosu dan adik-adiknya yang lain juga akan begitu namun Siang Kek Cinjin bergerak dan membentak mereka, berseru agar mata tak usah melihat pertandingan maka tokoh Heng-san itu mengibas dan enam orang tosu ini terlempar, berdebuk di luar.
"Jangan diikuti, jangan coba-coba menembus. Kalian bakal merasa pusing dan terbawa arus putaran mereka!"
Tujuh Malaikat Hoa-san mengeluh. Mereka terbanting dan terlempar di luar, selamat tapi bokong kesakitan dikibas Siang Kek Cinjin tadi. Namun ketika mereka bangkit berdiri dan terhuyung menggoyang kepala, mata yang berputar dan masih terpengaruh bayang-bayang dua orang itu harus dilenyapkan maka Hek-tosu dan saudara-saudaranya merasa bergidik karena pertandingan dua orang itu seperti iblis saja.
“Siancai, Siang Kek locianpwe memang benar. Terima kasih!”
Namun kakek itu sendiri sudah tidak menghiraukan Tujuh Malaikat Hoa-san ini. Ia sudah melempar pula Jit-tosu kepada saudara-saudaranya itu, tulang iganya yang patah sudah disambung namun tosu termuda dari Hoa-san Sin-jit ini harus beristirahat. Tak mungkin ia bertempur lagi. Dan ketika kakek itu semakin melebarkan matanya karena Beng Kong maupun sutenya semakin beradu cepat, aneh dan luar biasa gerakan Beng Kong Hwesio mirip-mirip seperti gaya terbang sutenya maka Siang Kek terkejut karena meskipun sedikit namun hwesio Go-bi itu telah meniru atau melakukan hal yang sama dengan ginkang atau ilmu meringankan tubuh sutenya, menjiplak!
"Keparat, bocah itu mencuri ilmu kita!”
"Ha-ha, siapa mencuri!” Beng Kong Hwesio berseru dan tertawa di tengah-tengah pertandingan. "Aku hanya mengikuti gerakan sutemu, Siang Kek Cinjin. Dan kini telah kuketahui bahwa Sin-sian-hoan-eng (Dewa Sakti Menukar Bayangan) dari Heng-san-pai memang benar-benar cukup hebat. Ha-ha, ilmu meringankan tubuhmu ini hampir saja membuat aku bingung!”
"Kau tahu ilmu rahasia kami ini?"
"Tak ada yang tak diketahui pimpinan Go-bi, Siang Kek Cinjin. Hong-thian-lo-tee yang dimainkan saudaramu inipun kukenal, ha- ha....!” dan ketika hwesio itu membalas dan Hong-thian-lo-tee (Badai dan Kilat Kacaukan Bumi) bertemu sinar keperakan, meledak dan menggetarkan tempat itu maka Siang Lam Cinjin berseru kaget dan terpelanting dari pusat pertandingan.
Kakek itu terlempar dan napasnya memburu setelah diikuti atau dibayangi Beng Kong Hwesio. Hwesio itu mengenal ilmu pukulan dan ginkangnya dan akhirnya mampu mengantisipasi, mementalkan atau menolak balik pukulannya itu. Dan ketika Beng Kong berkelebatan naik turun dan ia diajak adu tenaga, yang muda tentu saja lebih kuat napasnya maka tosu ini ngos-ngosan dan tiba-tiba lelah. Ia memang diajak adu napas dan tentu saja sang kakek tak kuat.
Beng Kong telah berhasil mengetahui rahasia lawan dan Sin-sian-hoan-eng diimbangi dengan ilmu serupa, yakni Bu-beng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan. Dan ketika keduanya sudah naik turun dan sama-sama beterbangan kejar- mengejar, Beng Kong mulai menangkis dan membalas pukulan-pukulan lawan maka Hong-thian-lo-tee atau Badai dan Kilat Kacaukan Bumi bertemu ilmu pukulan lain yang serupa dan hampir mirip, yakni Hong-thian-lo-hai atau Badai dan Kilat Kacaukan Samudera.
Tentu saja Siang Lam Cinjin terbelalak karena begitu pandai lawannya ini meniru-niru. Ia tak tahu bagaimana Beng Kong Hwesio mampu mencipta ilmu-ilmu yang hampir mirip, terbelalak dan tanpa sadar ia diajak adu tenaga dan kecepatan, dibuat marah dan kemarahannya itulah yang membuat kakek ini lengah. Dan ketika setiap tangkisan atau kibasan lawannya itu mampu menahan pukulannya, bahkan mementalkan dan membuat ia semakin marah saja maka ketika pertandingan berjalan seratus jurus tahu-tahu kakek itu gemetaran tak keruan karena kemarahan dan tenaganya dikuras lawannya yang lebih muda itu.
Akibatnya kakek ini ngos-ngosan dan memburulah napasnya oleh perbuatan Beng Kong Hwesio. Hwesio ini memang hebat karena ia mampu menahan dan mengimbangi lawannya. Dan ketika seratus jurus belum juga kakek itu mampu merobohkan lawannya, Siang Lam terkejut dan gusar maka ketika adu tenaga terakhir kalinya sinkangnya sudah merosot cepat dan ia terlempar serta terbanting oleh pukulan lawan.
"Bress!” Kakek itu terguling-guling. Beng Kong, yang tertawa bergelak dan mengejar lawan tiba-tiba menyusuli lagi dengar sebuah pukulan lain. Kelima jari menyambar cepat dan terkejutlah Siang Kek Cinjin melihat bahaya mengancam saudaranya. Seketika ia maklum bahwa sutenya terperangkap, habis tenaganya diajak berkejaran dan sambar-menyambar. Dan melihat betapa cerdik tapi berbahayanya Beng Kong Hwesio itu, tak boleh ia berlaku ayal maka kakek ini mencelat dan Beng Kong yang menghantam sutenya ditangkis.
“Dess!” Beng Kong tergetar dan terhuyung mundur. Lawan barunya, Siang Kek Cinjin, telah berdiri dan berapi-api di situ. Siang Lam meloncat bangun dan tampak malu dan marah. Ia terpaksa ditolong suhengnya kalau tak ingin celaka. Keparat! Dan ketika kakek itu mendelik namun suhengnya sudah berhadapan dengan lawan, Beng Kong tertegun tapi tertawa bergelak maka hwesio tinggi besar itu berkelebat dan menyerang lawannya ini. Besar hati karena dapat menekan Siang Lam, kakek nomor dua.
"Ha-ha, boleh maju sekalian, Siang Kek Cinjin. Tadi sudah kubilang agar kalian berdua maju bersama. Ayolah, tandingi Beng Kong Hwesio dan lihat apakah kalian dapat mengalahkan aku, ha-ha....!”
Siang Kek dan Siang Lam berubah-ubah. Seumur hidup, baru kali ini mereka mendapat malu yang besar. Beng Kong Hwesio ini kalau dihitung-hitung adalah setingkat cucu murid mereka. Jadi kakek melawan cucunya. Tapi karena hwesio itu memang hebat dan "cucu murid" ini lain daripada yang lain, sungguh bukan orang sembarangan maka Siang Lam maupun Siang Kek menjadi berang dan naik pitam. Siang Kek telah menolong adiknya tapi tosu tertua ini dapat menahan diri. Ia tak mau dibawa dan dihanyutkan kemarahannya, seperti adiknya itu.
Dan ketika Beng Kong berkelebat dan tertawa menyerangnya, Hong- thian-lo-hai menyambar dan menderu bagai gulungan ombak samudera maka kakek itu mengelak dan kaki kirinya bergerak dari kiri ke kanan, dikelit dan hwesio itupun ganti menendangnya dari kanan ke kiri. Dan ketika kakek ini mengelak dan dua-duanya mendapat angin kosong maka dua-duanya bergerak dan sudah bertanding seru.
"Ha-ha!” tawa ini sungguh menyakitkan. "Hayo maju sekalian, Siang Lam Cinjin. Bantu saudaramu atau nanti keteter!"
“Tak usah sombong!" Siang Lam membentak, malu dan marah. "Berhadapan dengan suhengku lain dengan pinto, Beng Kong Hwesio. Coba kalahkan dulu suheng pinto baru nanti pinto menghajarmu!"
“Ha-ha, jangan-jangan terlambat. Tapi tak apa, aku akan memberi pelajaran kepada kalian berdua dan setelah itu Heng-san harus tunduk kepada Go-bi.... plak-plak!" dan adu pukulan yang pertama disusul teriakan atau seruan marah Siang Kek Cinjin membuat kakek itu terpental sementara lawan terhuyung mundur, berjungkir balik dan melepas serangan lagi dari atas dan Hoa-san Sin-jit menonton dengan mata terbelalak.
Mereka melihat bahwa Siang Lam, dedengkot Heng-san, tokoh yang mereka andalkan ternyata kalah di tangan Beng Kong Hwesio, meskipun kekalahannya belum mutlak karena keburu diselamatkan suhengnya. Dan ketika kini Siang Kek menyerang dan hwesio itu kembali bertanding, pertempuran tak kalah hebat dengan yang pertama maka Tujuh Malaikat Hoa-san itu juga tak berani dekat-dekat karena tiba-tiba merekapun pusing dan hendak terbawa putaran dua orang itu.
“Awas, jangan lama-lama. Alihkan pandangan kalian kalau pusing!"
Hoa-san Sin-jit mengangguk. Mereka sudah tahu akan seruan Siang Lam Cinjin ini, tadipun Siang Kek memberi tahu dan berseru kepada mereka. Dan ketika mereka mengalihkan pandang karena kepala benar saja mulai pusing, sekali diikuti tentu mereka akan terbawa dan terputaran seperti orang gila maka Hek-tosu dan saudara-saudaranya tak berani memandang lagi dan Kiam Ting Sianjin, sahabat mereka, juga begitu. Mengikuti pertandingan orang-orang luar biasa memang tak boleh dipaksakan. Yang tak kuat bakal terbawa dan itu sudah mereka buktikan.
Tapi karena jalannya pertandingan juga tetap ingin diketahui, Hek-tosu dan saudara-saudaranya penasaran maka diam-diam mereka bergandengan tangan dan menyatukan kekuatan sinkang barulah mereka mampu bertahan, rasa pusing dapat diatasi.
"Kita lihat, kita menonton. Sayang kalau pertandingan demikian seru harus lewat begitu saja!"
“Benar," sutenya menyambut. "Aku juga ingin tahu, suheng. Kalau sendiri-sendiri tak dapat menonton biarlah kita satukan sinkang agar pandang mata menjadi kuat!”
"Dan bolehkah pinto nimbrung?" Kiam Ting Sianjin tiba-tiba berbisik. "Pinto juga ingin mengetahui hasil pertandingan ini, ji-toheng. Sayang kalau pinto tak mampu mengikuti pertandingan. Pinto berdebar!”
"Ah, mari, Kiam-toheng. Rapat bersama kami dan satukan tanganmu dengan tangan kami!"
Kiam Ting Sianjin girang. Ialah orang yang barangkali bakal kecewa dan menyesal berat kalau tak sampai kesampaian maksudnya. Iapun amat ingin mengikuti jalannya pertandingan dan kelas seperti ini perlu ditonton. Kalau perlu, bayar mahalpun tak apa! Dan ketika ia sudah bergandengan tangan dengan saudara-saudara Hoa-san, bertujuh mengikuti jalannya pertandingan.
Beng Kong menghantam kakaknya namun sisa atau gelombang pukulan itu menyambarnya juga, persis ketika tadi kakaknya itu menyambar anak-anak murid Go-bi dengan angin pukulannya, meskipun yang diserang dan tetap menjadi titik perhatian adalah Beng Kong. Dan ketika kali ini Beng Kong membalas dan angin pukulan itu juga menyerempet Siang Lam, kelihatannya saja menyerempet namun bahayanya tak kalah dengan dipukul langsung maka kakek ini menjejakkan kaki dan sisa angin pukulan Beng Kong menghantam dan meledak di belakangnya.
"Dess!” Siang Kek Cinjin terbelalak. Ia benar-benar dibalas dan adiknya yang berjungkir-balik dan melayang turun berseru marah di sana. Siang Lam Cinjin ikut-ikutan diserang! Dan ketika kakek itu melotot dan tergempur kuda-kudanya, Beng Kong mengerahkan sinkangnya dan ia terhuyung mundur maka hwesio itu tertawa bergelak dan berkata bahwa ia tak perlu takut dengan dedengkot-dedengkot Heng-san.
“Ha-ha, lihat!” Beng Kong bergerak dan menyerang lagi. "Pinceng dapat membuatmu mundur, Siang Kek Cinjin. Dan kalau kau tak hati-hati mungkin pinceng akan mengantarmu ke akherat!"
Kakek ini gusar. Ia akhirnya diterjang dan dipukul lagi. Lawan bagai gorila kelaparan karena bertubi-tubi menghantam dan mendorong. Dan ketika setiap pukulan atau hantaman selalu didahului angin dahsyat, si kakek terkejut dan mengelak sana-sini maka adiknya, Siang Lam Cinjin, berteriak dan berkelebat maju. Ujung jubah menyambar.
"Suheng, biarkan aku maju dulu. Tak pantas bocah ini menghadapimu!"
Siang Kek terkejut. Ia menghindar dan menangkis sebuah pukulan lagi ketika adiknya tiba-tiba datang. Itu kebetulan dan tak usah ia membuat malu kalau sutenya ada di situ. Yang lebih muda memang harus maju lebih dulu kalau yang tua ingin tetap dihormat. Dan ketika ia terhuyung namun adiknya ikut menangkis, Siang Lam sudah melempar dan meletakkan murid keponakannya di sana maka kakek itu mundur dan Siang Lam Cinjin beradu pukulan dengan Beng Kong Hwesio.
“Dess!” Kakek ini tergetar. Beng Kong, yang tidak bergeming dan mampu membuatnya terhuyung benar-benar menjadikan tokoh Heng-san ini melotot. Ia tak percaya dan mencoba lagi. Tapi ketika untuk kedua kali ia terhuyung sementara lawan tak apa-apa, sama sekali tak bergerak atau berubah kuda- kudanya maka kakek ini terkejut di samping gusar bukan main. Beng Kong Hwesio sungguh luar biasa tak bergeming!
"Hebat!” kakek itu memaki, namun menyatakan kekagumannya. "Murid Ji Leng ini luar biasa sekali, suheng. Ia benar-benar tangguh dan singkangnya hebat. Tapi aku akan mencobanya lagi. Masa bocah seperti ini dapat mengalahkan pinto!” dan Siang Lam Cinjin yang kaget dan marah mendengar tawa Beng Kong, hwesio itu tergelak-gelak karena lawan dibuat terhuyung dan terbelalak lebar akhirnya diserang dan dihantam serangan-serangan panas.
Sinar putih atau uap panas muncul dari lengan kakek itu, kian lama kian panas hingga udara terbakar. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san menyingkir dan tak tahan oleh hawa panas itu, Siang Lam sudah marah dan sesepuh Heng-san itu mengeluarkan kesaktiannya maka iapun berkelebatan cepat dan menghilang tinggal bayang-bayang cepat yang tak dapat diikuti mata. Beng Kong terkejut dan mengelak atau menangkis, kalah cepat dan tiga kali menerima tamparan panas. Tapi ketika hwesio, itu hanya tergetar saja dan tak apa-apa, sinkang atau tenaga saktinya melindungi maka lawan menjadi kaget namunjuga marah besar!
"Beng Kong, kau boleh balas pinto. Hayo, jangan berkelit atau menghindar saja!”
“Hm, hwesio ini merah mukanya, lawan terlalu cepat gerakannya. “Kau tak perlu memerintah pinceng, Siang Lam. Kalau nanti pinceng membalas tentu tak perlu kau memberi tahu. Hati-hati saja, pinceng khawatir kau terjungkal!”
“Sombong!" dan si kakek yang membentak dan mempecepat gerakannya akhirnya membuat lawan maju mundur karena harus menangkis atau melindungi diri dari serangan cepat. Hawa panas sudah membakar ruangan dan bukan lagi uap putih yang ada melainkan uap merah. Seluruh ruangan berpijar-pijar dan sisa anak-anak murid Go-bi menjauh. Mereka dipaksa menyingkir dan Hoa-san Sin-jit juga bergerak mundur. Mereka semakin tak tahan oleh hawa panas yang keluar dari lengan sesepuh Heng-san itu. Benda kering yang ada di tengah ruangan tiba-tiba terbakar, persis dijilat api saja.
Dan ketika Beng Kong tampak terdesak dan Tujuh Malaikat Hoa-san berseri-seri, Beng Kong Hwesio mendapat pelajaran maka di sana Siang Kek Cinjin yang menonton dan melebarkan matanya justeru tertegun dan tak melihat bahwa adik atau sutenya itu menang angin. Beng Kong memang terdesak tapi murid Ji Leng Hwesio itu tak roboh.
Ada tanda-tanda bahwa hwesio itu mempelajari ilmu silat saudaranya, mencari atau menemukan titik-titik lemah untuk dipakai menghantam. Dan ketika benar saja wajah hwesio itu menunjukkan kegembiraan karena tiba-tiba berobah bercahaya, girang dan senang maka mendadak hwesio itu mengeluarkan bentakan keras di mana tubuhnya tiba-tiba juga berkelebat dan terbang berputaran.
"Siang Lam Cinjin, awas pinceng membalas. Hati-hati!" dan begitu Si hwesio berkelebat dan menyambar mengimbangi Siang Lam Cinjin maka hwesio inipun lenyap mengikuti ke manapun lawannya pergi. Terjadi dua bayangan cepat yang sambar-menyambar dan baik Siang Lam Cinjin maupun Beng Kong Hwesio sudah sama-sama tak dapat diikuti mata lagi.
Tujuh Malaikat Hoa-san coba menembus tapi mereka tiba-tiba berteriak. Saudara termuda, Liok-tosu, menjerit dan tahu-tahu terputar. Tubuhnya mengikuti gerakan dua orang itu dan tanpa ampun sudah berputaran sendiri di tempat, terbawa atau tersedot oleh arus bayang-bayang dua orang itu. Dan ketika Hek-tosu dan adik-adiknya yang lain juga akan begitu namun Siang Kek Cinjin bergerak dan membentak mereka, berseru agar mata tak usah melihat pertandingan maka tokoh Heng-san itu mengibas dan enam orang tosu ini terlempar, berdebuk di luar.
"Jangan diikuti, jangan coba-coba menembus. Kalian bakal merasa pusing dan terbawa arus putaran mereka!"
Tujuh Malaikat Hoa-san mengeluh. Mereka terbanting dan terlempar di luar, selamat tapi bokong kesakitan dikibas Siang Kek Cinjin tadi. Namun ketika mereka bangkit berdiri dan terhuyung menggoyang kepala, mata yang berputar dan masih terpengaruh bayang-bayang dua orang itu harus dilenyapkan maka Hek-tosu dan saudara-saudaranya merasa bergidik karena pertandingan dua orang itu seperti iblis saja.
“Siancai, Siang Kek locianpwe memang benar. Terima kasih!”
Namun kakek itu sendiri sudah tidak menghiraukan Tujuh Malaikat Hoa-san ini. Ia sudah melempar pula Jit-tosu kepada saudara-saudaranya itu, tulang iganya yang patah sudah disambung namun tosu termuda dari Hoa-san Sin-jit ini harus beristirahat. Tak mungkin ia bertempur lagi. Dan ketika kakek itu semakin melebarkan matanya karena Beng Kong maupun sutenya semakin beradu cepat, aneh dan luar biasa gerakan Beng Kong Hwesio mirip-mirip seperti gaya terbang sutenya maka Siang Kek terkejut karena meskipun sedikit namun hwesio Go-bi itu telah meniru atau melakukan hal yang sama dengan ginkang atau ilmu meringankan tubuh sutenya, menjiplak!
"Keparat, bocah itu mencuri ilmu kita!”
"Ha-ha, siapa mencuri!” Beng Kong Hwesio berseru dan tertawa di tengah-tengah pertandingan. "Aku hanya mengikuti gerakan sutemu, Siang Kek Cinjin. Dan kini telah kuketahui bahwa Sin-sian-hoan-eng (Dewa Sakti Menukar Bayangan) dari Heng-san-pai memang benar-benar cukup hebat. Ha-ha, ilmu meringankan tubuhmu ini hampir saja membuat aku bingung!”
"Kau tahu ilmu rahasia kami ini?"
"Tak ada yang tak diketahui pimpinan Go-bi, Siang Kek Cinjin. Hong-thian-lo-tee yang dimainkan saudaramu inipun kukenal, ha- ha....!” dan ketika hwesio itu membalas dan Hong-thian-lo-tee (Badai dan Kilat Kacaukan Bumi) bertemu sinar keperakan, meledak dan menggetarkan tempat itu maka Siang Lam Cinjin berseru kaget dan terpelanting dari pusat pertandingan.
Kakek itu terlempar dan napasnya memburu setelah diikuti atau dibayangi Beng Kong Hwesio. Hwesio itu mengenal ilmu pukulan dan ginkangnya dan akhirnya mampu mengantisipasi, mementalkan atau menolak balik pukulannya itu. Dan ketika Beng Kong berkelebatan naik turun dan ia diajak adu tenaga, yang muda tentu saja lebih kuat napasnya maka tosu ini ngos-ngosan dan tiba-tiba lelah. Ia memang diajak adu napas dan tentu saja sang kakek tak kuat.
Beng Kong telah berhasil mengetahui rahasia lawan dan Sin-sian-hoan-eng diimbangi dengan ilmu serupa, yakni Bu-beng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan. Dan ketika keduanya sudah naik turun dan sama-sama beterbangan kejar- mengejar, Beng Kong mulai menangkis dan membalas pukulan-pukulan lawan maka Hong-thian-lo-tee atau Badai dan Kilat Kacaukan Bumi bertemu ilmu pukulan lain yang serupa dan hampir mirip, yakni Hong-thian-lo-hai atau Badai dan Kilat Kacaukan Samudera.
Tentu saja Siang Lam Cinjin terbelalak karena begitu pandai lawannya ini meniru-niru. Ia tak tahu bagaimana Beng Kong Hwesio mampu mencipta ilmu-ilmu yang hampir mirip, terbelalak dan tanpa sadar ia diajak adu tenaga dan kecepatan, dibuat marah dan kemarahannya itulah yang membuat kakek ini lengah. Dan ketika setiap tangkisan atau kibasan lawannya itu mampu menahan pukulannya, bahkan mementalkan dan membuat ia semakin marah saja maka ketika pertandingan berjalan seratus jurus tahu-tahu kakek itu gemetaran tak keruan karena kemarahan dan tenaganya dikuras lawannya yang lebih muda itu.
Akibatnya kakek ini ngos-ngosan dan memburulah napasnya oleh perbuatan Beng Kong Hwesio. Hwesio ini memang hebat karena ia mampu menahan dan mengimbangi lawannya. Dan ketika seratus jurus belum juga kakek itu mampu merobohkan lawannya, Siang Lam terkejut dan gusar maka ketika adu tenaga terakhir kalinya sinkangnya sudah merosot cepat dan ia terlempar serta terbanting oleh pukulan lawan.
"Bress!” Kakek itu terguling-guling. Beng Kong, yang tertawa bergelak dan mengejar lawan tiba-tiba menyusuli lagi dengar sebuah pukulan lain. Kelima jari menyambar cepat dan terkejutlah Siang Kek Cinjin melihat bahaya mengancam saudaranya. Seketika ia maklum bahwa sutenya terperangkap, habis tenaganya diajak berkejaran dan sambar-menyambar. Dan melihat betapa cerdik tapi berbahayanya Beng Kong Hwesio itu, tak boleh ia berlaku ayal maka kakek ini mencelat dan Beng Kong yang menghantam sutenya ditangkis.
“Dess!” Beng Kong tergetar dan terhuyung mundur. Lawan barunya, Siang Kek Cinjin, telah berdiri dan berapi-api di situ. Siang Lam meloncat bangun dan tampak malu dan marah. Ia terpaksa ditolong suhengnya kalau tak ingin celaka. Keparat! Dan ketika kakek itu mendelik namun suhengnya sudah berhadapan dengan lawan, Beng Kong tertegun tapi tertawa bergelak maka hwesio tinggi besar itu berkelebat dan menyerang lawannya ini. Besar hati karena dapat menekan Siang Lam, kakek nomor dua.
"Ha-ha, boleh maju sekalian, Siang Kek Cinjin. Tadi sudah kubilang agar kalian berdua maju bersama. Ayolah, tandingi Beng Kong Hwesio dan lihat apakah kalian dapat mengalahkan aku, ha-ha....!”
Siang Kek dan Siang Lam berubah-ubah. Seumur hidup, baru kali ini mereka mendapat malu yang besar. Beng Kong Hwesio ini kalau dihitung-hitung adalah setingkat cucu murid mereka. Jadi kakek melawan cucunya. Tapi karena hwesio itu memang hebat dan "cucu murid" ini lain daripada yang lain, sungguh bukan orang sembarangan maka Siang Lam maupun Siang Kek menjadi berang dan naik pitam. Siang Kek telah menolong adiknya tapi tosu tertua ini dapat menahan diri. Ia tak mau dibawa dan dihanyutkan kemarahannya, seperti adiknya itu.
Dan ketika Beng Kong berkelebat dan tertawa menyerangnya, Hong- thian-lo-hai menyambar dan menderu bagai gulungan ombak samudera maka kakek itu mengelak dan kaki kirinya bergerak dari kiri ke kanan, dikelit dan hwesio itupun ganti menendangnya dari kanan ke kiri. Dan ketika kakek ini mengelak dan dua-duanya mendapat angin kosong maka dua-duanya bergerak dan sudah bertanding seru.
"Ha-ha!” tawa ini sungguh menyakitkan. "Hayo maju sekalian, Siang Lam Cinjin. Bantu saudaramu atau nanti keteter!"
“Tak usah sombong!" Siang Lam membentak, malu dan marah. "Berhadapan dengan suhengku lain dengan pinto, Beng Kong Hwesio. Coba kalahkan dulu suheng pinto baru nanti pinto menghajarmu!"
“Ha-ha, jangan-jangan terlambat. Tapi tak apa, aku akan memberi pelajaran kepada kalian berdua dan setelah itu Heng-san harus tunduk kepada Go-bi.... plak-plak!" dan adu pukulan yang pertama disusul teriakan atau seruan marah Siang Kek Cinjin membuat kakek itu terpental sementara lawan terhuyung mundur, berjungkir balik dan melepas serangan lagi dari atas dan Hoa-san Sin-jit menonton dengan mata terbelalak.
Mereka melihat bahwa Siang Lam, dedengkot Heng-san, tokoh yang mereka andalkan ternyata kalah di tangan Beng Kong Hwesio, meskipun kekalahannya belum mutlak karena keburu diselamatkan suhengnya. Dan ketika kini Siang Kek menyerang dan hwesio itu kembali bertanding, pertempuran tak kalah hebat dengan yang pertama maka Tujuh Malaikat Hoa-san itu juga tak berani dekat-dekat karena tiba-tiba merekapun pusing dan hendak terbawa putaran dua orang itu.
“Awas, jangan lama-lama. Alihkan pandangan kalian kalau pusing!"
Hoa-san Sin-jit mengangguk. Mereka sudah tahu akan seruan Siang Lam Cinjin ini, tadipun Siang Kek memberi tahu dan berseru kepada mereka. Dan ketika mereka mengalihkan pandang karena kepala benar saja mulai pusing, sekali diikuti tentu mereka akan terbawa dan terputaran seperti orang gila maka Hek-tosu dan saudara-saudaranya tak berani memandang lagi dan Kiam Ting Sianjin, sahabat mereka, juga begitu. Mengikuti pertandingan orang-orang luar biasa memang tak boleh dipaksakan. Yang tak kuat bakal terbawa dan itu sudah mereka buktikan.
Tapi karena jalannya pertandingan juga tetap ingin diketahui, Hek-tosu dan saudara-saudaranya penasaran maka diam-diam mereka bergandengan tangan dan menyatukan kekuatan sinkang barulah mereka mampu bertahan, rasa pusing dapat diatasi.
"Kita lihat, kita menonton. Sayang kalau pertandingan demikian seru harus lewat begitu saja!"
“Benar," sutenya menyambut. "Aku juga ingin tahu, suheng. Kalau sendiri-sendiri tak dapat menonton biarlah kita satukan sinkang agar pandang mata menjadi kuat!”
"Dan bolehkah pinto nimbrung?" Kiam Ting Sianjin tiba-tiba berbisik. "Pinto juga ingin mengetahui hasil pertandingan ini, ji-toheng. Sayang kalau pinto tak mampu mengikuti pertandingan. Pinto berdebar!”
"Ah, mari, Kiam-toheng. Rapat bersama kami dan satukan tanganmu dengan tangan kami!"
Kiam Ting Sianjin girang. Ialah orang yang barangkali bakal kecewa dan menyesal berat kalau tak sampai kesampaian maksudnya. Iapun amat ingin mengikuti jalannya pertandingan dan kelas seperti ini perlu ditonton. Kalau perlu, bayar mahalpun tak apa! Dan ketika ia sudah bergandengan tangan dengan saudara-saudara Hoa-san, bertujuh mengikuti jalannya pertandingan.
Maka mata tosu ini menjadi kuat karena aliran tujuh sinkang berbareng membuat mereka awas dan tajam pandangan. Tapi begitu menonton dan berhasil mengikuti jalannya pertempuran, bayang-bayang dua orang itu dapat dilihat dan dikuti tiba-tiba saja mereka menahan napas karena Siang Kek Cinjin tak mampu mendesak lawannya!
“Siancai...." Kiam Ting membelalakkan mata. "Hwesio itu luar biasa sekali, Ji-toheng. Ia mampu membalas dan memukul mundur Siang Kek locianpwe!”
“Benar, dan naga-naganya Siang Kek-locianpwe itupun tak mampu menghadapi lawannya. Hwesio itu harus dikeroyok dan dihadapi berdua. Hanya dengan Siang Lam hwesio itu agaknya dapat dirobohkan!”
"Sungguh tak dapat dipercaya. Ilmu apa yang dipergunakan hwesio itu karena ia mampu meniru atau melakukan pukulan-pukulan yang hampir mirip?”
"Dan kedahsyatannyapun tak perlu diragukan lagi. Sinkangnya menderu dan Siang Kek terdesak!"
"Celaka, jago kita pucat. Ia kalah napas!”
“Dan lihat... ah, Siang Kek-locianpwe mengeluh, Ji-toheng. Ia terpelanting.... dess!" dan Siang Kek Cinjin yang benar saja berteriak atau mengeluh tertahan tiba-tiba terbanting dan terlempar bergulingan oleh adu pukulan yang keras, dahsyat menggetarkan ruangan dan tujuh tosu ini pucat menyaksikan itu. Mereka baru saja berbisik-bisik sendiri karena penonton biasanya lebih jelas mengamati pertandingan daripada yang bertanding sendiri.
Siang Kek memburu napasnya dan tangkisan Beng Kong Hwesio yang berkali-kali membuatnya tergetar. Ia marah dan coba menahan kemarahan namun tawa dan ejekan hwesio itu benar-benar mengganggunya. Beng Kong merendahkan ia dan hwesio itu semakin jumawa. Semakin sering menggetarkan lawan semakin sombong hwesio itu. Dan ketika Siang Kek tak tahan dan kemarahannya menggelegak, terpancing maka iapun diajak adu cepat dan adu napas oleh hwesio ini, dibawa ke dalam pertempuran brutal dan tiga kali ia kena tempeleng.
Bayangkan, orang tua ditempeleng! Dan ketika kakek itu tak tahan dan kemarahannya memuncak, ia memekik dan melancarkan tusukan lima jari yang disebut Cakar Naga Merobek Langit, satu serangan yang amat dahsyat maka lawannya juga membuka kelima jari-jarinya dan sekali cengkeram dan remas ke dua-duanya sudah saling menghancurkan dan Lui-yang Sin-kang atau tenaga listrik yang dipunyai dedengkot Heng-san itu tak mempan bertemu hawa sinkang lawan yang hebat dan luar biasa, membalik.
“Aiihhh...!” jerit atau pekik kakek ini mengandung banyak arti. Lui-yang Sin-kang, ilmu listrik andalan Heng-san ternyata bertemu ilmu lunak yang amat hebatnya dari jari-jari Beng Kong Hwesio. Hwesio itu mengeluarkan sinkangnya yang mirip kapas atau karet, lunak namun membal begitu dihantam ilmu listrik. Dan ketika kakek ini terkejut karena ialah yang tertolak, lawan benar-benar luar biasa maka kakek itu melempar tubuh bergulingan dan Beng Kong yang hendak menahan dan mencengkeram lengannya dihantam sebuah tendangan kaki di mana hwesio itu terhuyung dan melepaskan cengkeramannya.
“Ha-ha," sang hwesio tertawa, congkak. “Bagaimana, Siang Kek Cinjin. Masihkah kau maju dan ingin mengalahkan pinceng? Majulah berdua, suruh adikmu membantu!"
Kakek ini pucat dan merah berganti-ganti. Sang hwesio, yang pongah dan sombong tertawa di sana mengejeknya habis habisan. Ia harus mengakui keunggulan lawannya ini dan "cucu murid" yang kurang ajar ini mempermalukannya di depan begitu banyak orang. Habislah nama Heng-san kalau begitu. Dan ketika kakek ini melengking dan mencabut tongkatnya, yang tadi disimpan dan belum dipakai maka ia membentak bahwa ia belum kalah. Masih ada senjata di tangan!
“Jangan sombong, Beng Kong Hwesio. Pinto masih mempunyai senjata dan mati hidup akan pinto pertaruhkan di sini. Lihat!”
“Ha-ha, sudah kulihat. Tapi tenagamu gemetaran, mana mungkin menang. Lui-Yang Sin-kangmu sudah kupadamkan, Siang Kek Cinjin. Dan jangan terlampau marah atau nanti jantungmu copot. Majulah, bersama adikmu. Atau pinceng istirahat kalau kau hanya sendirian lagi!”
Beng Kong Hwesio yang tertawa dan melompat ke kursinya, duduk lagi, benar-benar membuat kakek itu kehitaman. Wajahnya serasa hangus! Tapi ketika ia memekik dan melontarkan tongkatnya itu, terbang dan menyambar ke kepala lawan maka Beng Kong mencabut toyanya dan sekali tangkis membuat tongkat terpental dan kembali lagi kepada pemiliknya.
"Tranggg!"
Siang Kek Cinjin merah padam. Ia benar-benar dihina dan diejek habis-habisan. Beng Kong, yang tertawa dan duduk di kursinya itu menangkis dan mengembalikan tongkatnya, ketika tongkat menyambar dan terbang menghantam. Dan ketika kakek itu menggigil sementara adiknya gemetaran, panas dan terbakar oleh kesombongan Beng Kong maka Siang Lam Cinjin melengking dan maju pula mencabut tongkatnya, senjata berwarna merah terbuat dari ti-bhok (kayu besi).
"Suheng, bocah ini sungguh jumawa. Biar aku maju sekalian dan tak usah malu karena dialah yang minta dikeroyok!"
"Benar!” Beng Kong Hwesio berseru tertawa, kini melompat bangun dan meninggalkan kursinya, kursi emas. "Sudah kubilang agar kalian maju berdua, Siang Lam Cinjin. Keroyok aku dan tak perlu sungkan-sungkan. Go-bi akan menunjukkan kepada semua orang bahwa ialah yang terhebat. Ayo maju dan tak usah malu-malu!”
Dua kakek itu marah sekali. Sikap atau kata-kata hwesio ini sudah tak dapat ditolerir lagi. Mereka sebagai tokoh-tokoh Heng-san harus membalas, mati atau menang dalam membela nama baik. Dan karena harga diri atau kehormatan mereka sudah diinjak-injak, Beng Kong Hwesio terlalu memperlakukan mereka maka begitu membentak begitu pula keduanya tiba-tiba mencelat maju dan tongkat di kanan kiri tahu-tahu menyambar dan menusuk dengan dahsyat, suaranya mencuit!
"Des-dess!" Beng Kong Hwesio mengelak dan terkejut juga melihat kemarahan lawan. Tongkat bergerak demikian cepatnya hingga tahu-tahu sudah di atas kepala. Dua kakek itu seakan terbang dan mereka benar-benar melesat melebihi cepatnya panah, bahkan, barangkali melebihi cepatnya peluru. Dan ketika hampir saja hwesio itu terlambat dan lantai di belakangnya hancur berkeping-keping, lelatu api muncrat dan berhamburan ke mana- mana maka selanjutnya dua dedengkot Heng- san itu sudah menyerang dan lenyap berkelebatan cepat.
Mereka sudah saling isi- mengisi dan tiba-tiba saja dua batang tongkat bergulung naik turun bagai naga menari-nari. Tongkat putih di tangan Siang Kek Cinjin bergabung dengan tongkat merah di tangan Siang Lam Cinjin, saling belit dan putar dan Beng Kong Hwesio tahu-tahu terkurung. Dan ketika hwesio itu terkejut dan menggerakkan lengan bajunya menangkis, mementalkan tongkat pertama tapi disambar tongkat kedua maka mendadak ia menjadi bulan-bulanan dan suara bak-bik-buk segera terdengar menghantam hwesio itu.
"Aih, hebat. Keparat!"
Beng Kong Hwesio kaget dan memaki. Ia benar-benar tak menyangka bahwa begitu mengeroyok dua orang kakek itupun mainkan silat baru yang tidak dikenal. Mereka dapat menarik dan melepas tongkatnya seperti benda hidup saja, terbang menyambar-nyambar dan inilah yang merepotkan Beng Kong Hwesio. Dan ketika tujuh kali tongkat menggebuk dirinya dan kalau bukan Beng Kong tentu roboh atau paling sedikit patah tulangnya maka Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin membelalakkan mata dan mempercepat serangan-serangan mereka karena hwesio itu mengerahkan kekebalannya menerima hajaran-hajaran tongkat.
"Bak-bik-buk!"
Beng Kong Hwesio benar-benar luar biasa. Di dalam kesibukannya menangkis dan mengelak serangan-serangan berbahaya masih juga ia tahan oleh gebukan-gebukan yang kian kuat. Tubuh hwesio itu seperti karet dan tongkat selalu mental bertemu tubuhnya, meskipun lama-lama hwesio ini mendesis dan berteriak kesakitan juga. Ia dihajar, persis anak kecil. Dan ketika hwesio itu marah tapi dua kakek itu juga mendelik dan mempergencar serangan tongkat, Siang Kek berseru agar adiknya selalu berada di depan maka hwesio itu mulai mendapat pukulan-pukulan berbahaya dari belakang.
"Tit-ci-thian-tung... mainkan Tit-ci-thian-tung dan arahkan dengan Hui-tung-sin-hoat!”
Beng Kong Hwesio kelabakan. Tit-ci-thian-tung (Tuding Jari Ke Arah Timur) tiba-tiba diserukan Siang Kek Cinjin untuk dimainkan adiknya, Siang Lam Cinjin. Kakek nomor dua itu mengangguk dan iapun sudah bergerak dengan tongkatnya yang selalu menuding ke timur, gerakan aneh yang memancing kewaspadaan hwesio ini untuk serangan berbahaya. Dan ketika Siang Kek masih berseru agar mainkanHui-tung Sin-hoat (Silat Sakti Tongkat Terbang) maka senjata ditangan Siang Lam Cinjin dilepas dan mulai beterbangan seperti benda bernyawa.
"Plak-plak-plak!"
Tiga kali Beng Kong Hwesio menangkis dan mementalkan. Hui-tung Sin-hoat yang tiba-tiba dibarengi dengan tudingan ke timur membuat hwesio itu bingung. Sekejap dia kelabakan dan menangkis ke kiri kanan. Tapi ketika dari belakang menderu serangan lain dan itulah tongkat di tangan Siang Kek Cinjin, yang juga dilepas dan menyambar sendiri maka belakang kepala hwesio ini menjadi korban dan dihantam dengan amat kerasnya.
"Dukk!” Beng Kong Hwesio terhuyung. Ia terpukul tapi hebat juga hwesio tinggi besar ini, tak apa-apa dan masih dapat melakukan perlawanan di mana Siang Kek maupun Siang Lam menjadi gemas dan kagum. Mau tak mau mereka mengakui juga kehebatan hwesio ini, tongkat kembali bergerak dan empat kali kembali mengenai belakang kepala lawan. Tapi ketika Beng Kong hanya terantuk saja dan mengebutkan jubahnya ke kiri kanan, menangkis atau menghalau tongkat yang terbang menyambar-nyambar maka Siang Kek maupun Siang Lam mempergunakan kedua tangan mereka yang bebas untuk melancarkan pukulan-pukulan sinkang.
"Desak sampai roboh. Pukul dengan Twi-hong-hok-san (Dorong Angin Balikkan Gunung)!"
Beng Kong Hwesio berubah. Sekarang ia menghadapi hujan serangan dari mana-mana. Kakek-kakek Heng-san itu ternyata memiliki ilmu bermacam-macam, mereka memang dedengkot yang sudah mendarah daging ilmunya. Dan ketika ia mulai terpelanting dan jatuh bangun, kakek-kakek itu memang hebat maka iapun menggereng karena sebentar kemudian ia tak dapat membalas kecuali menangkis, terdesak.
"Bagus, sekarang biarkan ia begitu dan coba lihat berapa lama ia mampu bertahan!”
Beng Kong Hwesio marah. Akhirnya apa boleh buat ia mencabut toyanya lagi dan senjata yang tadi disimpan itu segera diputar menghadapi serangan tongkat. Senjata dua kakek itu masih menyambar-nyambar dan tentu saja ia gusar. Tongkat itu beterbangan sendiri-sendiri dan masih mematuk atau menghantam dengan cepat. Sedikit ia lengah tentu kena!
Dan karena sudah delapan kali ia disambar namun untung sinkang di tubuhnya melindungi, kekebalannya bekerja baik dan tongkat kembali mental maka sekarang ia menghalau senjata-senjata itu dengan toyanya dan sekali bentak toya di tanganpun lepas dan terbang sendiri, membentur atau menghantam tongkat-tongkat itu. Jadi, tiga senjata seolah hidup dan beterbangan di udara!
“Nah," dua dedengkot Heng san terkejut. "Sekarang kita masing-masing dapat berhadapan lagi, Siang Kek Cinjin. Kau dan aku tak perlu dibantu senjata lagi karena senjata- senjata kita sudah bertarung di udara. Siapa runtuh dialah yang kalah!”
Dua kakek ini terbelalak. Mereka kagum bahwa Beng Kong mampu melepas toyanya dan kini terbang menyambar-nyambar pula menghadapi dua tongkat mereka. Kalau tidak memiliki sinkang atau kekuatan luar biasa tak mungkin dapat melakukan itu. Hwesio ini memang hebat! Tapi karena mereka maju berdua dan senjata mereka sudah saling bentrok sendiri, crang-crang-crang beradunya tongkat dan toya memekakkan telinga maka Siang Kek maupun Siang Lam berseru keras mainkan pukulan-pukulan cepat. Lui-yang Sin- kang atau ilmu listrik digabung dengan ilmu-ilmu lain yang semuanya mengndung hawa panas yang cukup membuat orang mandi keringat.
Hoa-san Sin-jit dan Kiam Ting Sianjin sendiri menjauh karena basah kuyup oleh keringat. Mereka yang menonton malah seperti yang bertanding. Baju lengket-lengket semua! Dan ketika tujuh orang ini merasa gerah dan tentu saja mengibas-ngibas tubuh sendiri, mengebut atau membuat gerakan mengipas maka muríd-murid Go-bi yang juga menonton dan sudah mengurus saudara-saudara mereka yang luka atau pingsan berdecak kagum karena yang mereka lihat hanya bayang-bayang cepat seperti hantu.
Baik Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin tak dapat diikuti mata. Beng Kong Hwesio sendiri juga tak dapat diikuti. Tapi ketika tak lama kemudian hwesio itu menggeram-geram dan Hek-tosu beserta saudara-saudaranya menunjukkan wajah gembira, hwesio itu terhuyung dan mulai tertolak menghadapi gabungan dua tenaga maka Kiam Ting Sianjin juga berseri dan berkata kepada temannya, Pek-tosu,
"Kali ini Beng Kong Hwesio rupanya harus tahu điri. Ia kewalahan, tampaknya tak kuat."
"Benar," Pek-tosu menjawab, suaranya terang- terangan hingga didengar murid-murid yang lain. "Siang Kek locianpwe dan Siang Lam locianpwe rupanya telah dapat menekan lawannya, Kiam-toheng. Lihat Beng Kong Hwesio mundur-mundur!"
"Dan agaknya tak berapa lama lagi mampu merobohkan hwesio sombong itu. Ah, pinto merasa gembira!"
"Ya, pinto juga. Dan lihat, Siang Kek locianpwe mendaratkan pukulan!"
Benar saja, Beng Kong Hwesio berteriak tertahan dihantam pukulan lawan. Dua pukulan dari muka belakang tak dapat dihadapi hwesio ini secara berbareng, ia harus menangkis salah satu dan pukulan Siang Kek Cinjin mengenai tengkuknya. Dan ketika ia terputar dan terpelanting roboh, untuk pertama kalinya hwesio itu bergulingan melempar tubuh maka tujuh tosu tiba-tiba bersorak dan murid-murid Go-bi melotot!
Selanjutnya Siang Kek tertawa panjang dan kakek yang geram dan penuh penasaran itu mengejar, adiknya juga mengikuti dan Beng Kong Hwesio rupanya benar-benar kewalahan. Ia meleset dengan peritungannya semula, dua kakek itu ganti- berganti melakukan serangan dari muka, belakang. Dan karena mereka juga memiliki beragam ilmu, mengganti-ganti gaya serangan namun tetap saling isi-mengisi dengan kawannya maka Beng Kong kewalahan dan hwesio ini benar-benar terkejut. Ia tak menyangka bahwa gabungan dua kakek itu terlalu hebat.
Tongkat mereka juga masih terus beterbangan di udara dan dengan cerdik kini sering menghindar kalau bertemu toya, kucing-kucingan dan Beng Kong terbelalak karena ia dipaksa memecah konsentrasinya. Sebagian untuk dua kakek ini sementara yang lain untuk toyanya itu. Betapapun ia harus tetap mengatur dan mengendalikan toyanya.
Dan ketika empat kali toyanya menghantam tempat kosong, yang kelima kali malah digunting dan disambar dari kiri kanan, hal itu mengejutkan hwesio ini dan saat itu Siang Kek maupun Siang Lam juga “menggunting" murid Ji Leng Hwesio ini maka tanpa ampun lagi Beng Kong Hwesio dihantam pukulan Siang Kek dan tangkisannya yang bertemu Siang Lam Cinjin membuat kakek itu terhuyung namun selanjutnya ia sendiri harus melempar tubuh bergulingan dihantam tengkuknya.
Hwesio ini mengeluh dan iapun pucat melihat kenyataan itu. Sepuluh duapuluh jurus lagi tentu ia roboh. Dan ketika ia meloncat bangun dan mengeluarkan bentakan mengguntur, dikejar dan menangkis pukulan dua kakek itu maka Beng Kong menyambar toyanya namun terkesiaplah hwesio ini karena toyanya tak dapat dicabut. Toya itu sudah dijepit dua batang tongkat!
“Ha-ha...!" tawa ini menggetarkan nyali si hwesio. "Lihat hasil kesombonganmu, bocah. Adakah kau mampu menghadapi kepandaian kami berdua. Kau tak dapat memperoleh toyamu dan itu berarti maut bagimu!”
Beng Kong Hwesio melotot. Apa boleh buat ia berkutat dengan senjatanya itu dan mengelak sana-sini pukulan-pukulan lawan. Aneh dan ajaib dua tongkat di udara itu selalu menjepit toyanya, ke manapun ia pergi. Dan ketika ia maklum bahwa dua kakek itu mengerahkan semua sinkangnya untuk menahan, ia bergelantungan dan melayang kian ke mari dengan amat cepatnya di antara sambaran pukulan-pukulan lawan maka Beng Kong Hwesio menjadi bulan-bulan hantaman atau serangan dua kakek ini.
Namun ketahanan atau kekuatan hwesio itu patut dipuji. Meskipun ia bak-bik-buk menerima pukulan lawan namun belum sekali juga ia roboh. Beng Kong Hwesio mampu bangkit lagi dan dengan terhuyung-huyung melakukan perlawanan kembali. Mukanya pucat tak mampu mencabut toyanya. Senjata itu tetap dijepit dua tongkat yang beterbangan di udara padahal Siang Kek maupun Siang Lam tak mencekal senjata mereka, hanya tampak tangan kiri mereka bergerak-gerak dan aneh bin ajaib tongkat selalu mengikuti gerakan tangan tokoh-tokoh Heng-san ini. Namun ketika tongkat bergerak kian cepat dan menderu di atas kepala Beng Kong, menghantam atau mengemplang kepala hwesio itu maka Beng Kong mengeluh pendek dan melotot lebar.
Semua anak murid Go-bi bersiap-siap karena pimpinan mereka dalam bahaya. Siang Kek mengedut dan Beng Kong berjengit. Tak ada yang melihat bahwa Lui-yang Sin-kang, ilmu listrik, dilepaskan kakek itu menyengat Beng Kong. Dan ketika sang hwesio tersentak dan bertahan, sayang diserang pula oleh Siang Lam Cinjin yang mengikuti jejak suhengnya, menghajar dan "menggigit" hwesio itu dengan ilmu listriknya maka Beng Kong tak tahan dan melepaskan toyanya.
Senjata itu tak dapat dipertahankan lagi kalau ia ingin selamat. Ia mati-matian mempertahankan toya namun justeru digigit Lui-yang Sin-kang. Dan karena ia kesakitan dan panas terbakar, strom yang dimasukkan dua kakek itu bergerak dari muka belakang maka Beng Kong melakukan teriakan panjang dan sambil membanting tubuh ke bawah ia menghantam atau menggajul tulang kering kakek-kakek itu.
"Des-dess!"
Siang Kek maupun adiknya menjerit. Mereka orang-orang tua yang tulangnya sudah kering, dihantam tulang keringnya tentu saja semakin "kering". Dan ketika Beng Kong bergulingan meloncat bangun dan kakek-kakek di depan mengumpat terhuyung mundur, gerakan pada tongkat mengendur dan kesempatan itu dipergunakan hwesio ini untuk mengebut dan mengait toyanya, dengan ujung lengan jubah maka toya kembali dengan cara yang cerdik dan kakek-kakek itu terbelalak.
“Setan, ia menipu kita. Hayo, kejar dan hajar lagi!”
Beng Kong Hwesio mandi keringat. Untuk gebrak-gebrak berikut ini ia memang benar-benar merasa berat. Dua kakek itu dapat silih berganti melakukan serangan dan yang amat berbahaya adalah Siang Kek Cinjin. Kakek itu menyerang di belakang sementara adiknya di depan. Jadi Siang Lam Cinjin rupanya bertugas mengacau dan sang suheng inilah yang bekerja di belakang. Lama-lama Beng Kong Hwesio dapat roboh, betapapun kebal hwesio itu. Dan ketika kakek-kakek itu berkelebat kembali dan taktik mereka tetap dipergunakan, Siang Lam belakang sementara suhengnya di depan maka Beng Kong dibuat bingung karena sekarang lawan-lawannya itu merobah posisi.
“Ha-ha, biarkan ia melihat pinto. Tetap mainkan Twi-hong-hok-san dan kita berobah posisi lagi!"
Beng Kong pucat. Sekarang dua kakek itu berobah lagi dan posisinya dibalik. Ada kesan mereka ingin mempermainkannya sebelum betul-betul merobohkan. Dan ketika hwesio itu melengking dan melepas Cui-pek-po-kiannya, ilmu Menggempur Tembok maka dua sesepuh Heng-san terkejut namun mereka mengelak dan menghantam hwesio ini dari samping.
"Des-dess!"
Beng Kong terhuyung-huyung. Kalau begini terus-terusan tentu ia kalah, kembali melengking dan mengeluarkan pukulannya yang lain, Thai-san-ap-ting (Gunung Thai-san Tindih Kepala). Tapi ketika dua kakek itu tertawa dan berjungkir balik ke atas, meraih tongkat dan menggerakkannya ke tengkuk hwesio ini maka Beng Kong terjungkal dan berteriak mengaduh.
"Augh!” Jerit atau pekikan itu menunjukkan keadaannya. Beng Kong menggigil dan merah padam. Ia akan menemui kesialannya. Tapi ketika hwesio itu mulai jatuh bangun dan Siang Kek maupun Siang Lam terkekeh-kekeh, menyuruh melepaskan toya namun Beng Kong mempertahankannya sekuat tenaga, dicekal erat-erat maka terdengar suara batuk-batuk dan entah dari mana asalnya mendadak bertiup bau harum disusul kata-kata lembut, lembut namun penuh wibawa,
"Omitohud, kau salah menjalankan Thai-san-ap-ting, Beng Kong. Pinceng tak pernah mengajarimu untuk mengeluarkan ilmu ini dengan kemarahan, begitu juga Cui-pek-po-kian. Omitohud, berhenti dan biarkan kau duduk di sana... bress!” angin bertiup kencang, tahu-tahu tongkat dan tubuh Siang Kek maupun Siang Lam terbang ke belakang.
Mereka itu terangkat oleh satu kekuatan dahsyat dan Beng Kong Hwesiopun berteriak tinggi. Hwesio itu terlempar dan jatuh terduduk di kursi emasnya, setengah terbanting. Dan ketika Siang Lam maupun Siang Kek terlempar berjungkir balik, sesosok hwesio tua berdiri dan melayang-layang di udara, kakinya tak menginjak tanah maka anak-anak murid Go-bi tersentak dan seketika menjatuhkan diri berlutut.
"Supek-kong (paman kakek guru)....!”
Semua gempar. Ji Leng Hwesio, ciangbunjin lama yang bertapa dan akhir-akhir ini tak pernah memperlihatkan diri mendadak muncul dan datang dengan caranya yang mengejutkan. Wajahnya tertutup halimun tipis namun tahi lalat atau andeng-andeng besar di sudut mulutnya itu terlihat jelas, hitam kehijau-hijauan hingga mengagetkan Siang Kek maupun Siang Lam yang berjungkir balik di sana, terlempar atau terangkat oleh tiupan angin kencang itu. Dan ketika mereka melayang turun namun menggigil memandang sosok hwesio ini, yang tidak menginjak lantai karena kedua kakinya melayang-layang di udara maka dua kakek itu terkejut dan tersentak membelalakkan mata.
Go-bi-paicu (ketua Go-bi-pai)..!"
“Omitohud, benar," hwesio itu menjawab, tenang namun suaranya berat dan dalam. "Pinceng keluar mendengar angin pukulan kalian, ji-wi totiang. Dan pinceng heran bahwa sesepuh macam kalian harus keluar dari sarang. Omitohud, selamat datang!”
"Siancai...!” Siang Lam tak dapat menahan diri. "Kami datang karena Go-bi keterlaluan, Ji Leng. Lihat perbuatan muridmu ini dan tingkahnya!"
"Benar," Siang Kek menyambung, merasa mendapat kesempatan. "Bagaimana kau mengajar muridmu, Ji Leng? Beng Kong menghina dan menginjak-injak partai lain. Muridmu sombong dan amat jumawa. Kami akan melenyapkannya!"
"Omitohud, pinceng paling sedih kalau orang lain hendak membunuh atau melenyapkan orang lainnya lagi. Pinceng tak dapat mendengar ini dan maaf kalau ji-wi totiang tak bicara tentang bunuh-membunuh. Silahkan menjadi tamu yang baik atau ji-wi kembali secara damai dan melenyapkan semua kemarahan."
“Kau mengusir kami?”
"Pinceng tak mengusir, tapi kalau totiang hendak marah-marah di sini pinceng pikir tak baik. Orang setua kita tentunya harus menenteramkan pikiran dan menjauhkan diri dari segala sikap bermusuhan...”
"Tapi Beng Kong Hwesio membunuh dan melukai murid-murid Heng-san. Ia telah membuat cacad murid keponakanku To Hak Cinjin!"
“Omitohud, ada akibat tentu ada sebab. Pinceng juga melihat enam kepala murid Go-bi di pintu gerbang. Sudahlah, kita tak usah bicara tentang permusuhan dan ji-wi menjadi tamu baik-baik, atau pulang sambil mendinginkan pikiran. Pinceng juga hendak kembali melanjutkan samadhi pinceng.”
"Kaupun sombong!" Siang Lam membentak dan berkelebat menyerang hwesio bertahi lalat ini, yang masih bergoyang-goyang dan tak menginjak tanah. "Guru dan murid rupanya sama saja, keledai busuk. Kalau kami diusir biarlah kami berkenalan dulu dengan kepandaian yang terhormat Ji Leng Hwesio... dukk"
kakek itu berteriak, menumbuk semacam halimun tebal ketika tiba-tiba Ji Leng mengebut dan menggerakkan lengannya. Hwesio ini seolah menolak atau menangkis pukulan Siang Lam, ada kesan ketakutan karena merunduk segala. Tapi begitu lawan terpental dan kakek itu tak mampu menyentuh tubuhnya, Ji Leng masih dikelilingi uap saktinya maka lawan berjungkir balik dan tertegun di dekat sang suheng, yang juga terbelalak dan terkejut melihat hwesio itu tak dapat dipukul!
"Eh, kau pamer kepandaianmu, Ji Leng? Kau mau membuat malu pinto?"
“Omitohud, pinceng tak suka pamer atau membuat malu siapapun. Pinceng hanya menjaga diri dan sebaiknya totiang tak usah menyerang. Jadilah tamu baik-baik atau... wutt!"
Siang Lam membentak dan menyerang lagi. Belum habis lawan bicara kakek inipun sudah berkelebat dan maju lagi. Ia marah dan kaget oleh pukulannya tadi, yang tertahan atau menghantam uap sakti. Dan ketika ia maklum bahwa Ji Leng tentu lebih hebat lagi daripada muridnya, yang sudah luar biasa itu maka kakek inipun melepaskan tongkatnya dan senjata yang bisa terbang sendiri itu meluncur dan menyambar Ji Leng Hwesio.
"Plak-plak-plak!"
Semua terbelalak dan kaget. Ji Leng, yang tidak mengelak atau menangkis tiba-tiba mundur dan meniup. Sebuah tenaga mujijat meluncur dan tongkat tahu-tahu melenceng, menghantam atau membentur pukulan Siang Lam yang melakukan gerak mencengkeram. Dan ketika kakek itu terperanjat karena tongkatnya bertemu serangannya, seolah menangkis atau mewakili Ji Leng Hwesio maka kakek itu melengking dan tentu saja menyerang lagi.
Namun luar biasa, Ji Leng bergerak dan berkali-kali mengeluarkan suara "omitohud", mundur dan mengelak sana-sini namun mulut selalu meniup ke depan. Dan ketika tongkat juga bergerak naik turun dan mengikuti tiupan hwesio ini, menangkis atau menghadapi pukulan Siang Lam Cinjin maka dedengkot dari Heng-san itu terbeliak dan kaget bukan main.
"Des-des-plak!"
Tongkat tak mampu dikendalikan. Siang Lam yang melotot dan kaget akan ini berseru keras menyambar tongkatnya. Tapi ketika tongkat melejit dan melompat-lompat, luput dari setiap terkamannya maka kakek ini pucat dan suhengnya yang ada di sana terkejut dan membelalakkan mata lebar-lebar.
"Pakai tongkatku!" kakek itu tiba-tiba berseru. "Ciangbunjin Go-bi-pai ini rupanya mau mempermainkan kau sute. Keluarkan semua kepandaianmu dan robohkan dia!”
"Omitohud!" sang ciangbunjin menggeleng kepala, tongkat di tangan Siang Kek menyambar dan ditangkap adiknya, menyerang dahsyat. "Kalau begini pinceng harus menundukkan kalian, Siang Kek Cinjin. Apa boleh buat pinceng harus membela diri tapi setelah itu harap kalian pulang. Pinceng tak akan membalas kecuali berkelit. Kalau satu jam tubuh pinceng dapat disentuh biarlah pinceng dianggap kalah!"
Sang hwesio bergerak dan maju mundur. Siang Lam menyerang dengan cepat tapi aneh bin ajaib tongkat pemberian suhengnya bertemu dengan tongkat yang menyambar-nyambar dan berputar di udara itu. Tongkat ini sudah tak dapat dikendalikan karena sepenuhnya di bawah kesaktian Ji Leng Hwesio. Hwesio itu meniup berulang-ulang dan akibatnya tongkat ini berhadapan atau menyambar-nyambar tongkat pemberian Siang Kek Cinjin. Dan ketika semua mata terbelalak karena tongkat itu seolah mewakili Ji Leng Hwe sio, melindungi dan menangkis serangan lawan untuk tuannya maka Siang Lam Cinjin marah bukan main karena dia dimusuhi senjatanya sendiri.
"Keparat!" tosu itu melengking-lengking. "Pergunakan senjatamu sendiri, Ji Leng Hwesio. Jangan menyabot atau mempergunakan senjata orang lain!"
“Hm, pinceng tak merampas senjata orang lain. Adalah kebodohan pemilik senjata kalau tak mampu menguasai senjatanya sendiri, Siang Lam Cinjin. Pinceng hanya mengelak dan menghalau serangan-seranganmu."
"Benar!" Beng Kong Hwesio tiba-tiba berseru. "Kalau kau tak mampu mempergunakan senjatamu buang saja senjatamu, Siang Lam Cinjin. Dan berlutut serta menyerah baik-baik di depan suhu!"
Kakek itu melotot. Ia marah bukan main karena anak murid Go-bi tiba-tiba juga bersorak dan mengejeknya. Tongkatnya sendiri sudah berhadapan dengan tongkat pemberian suhengnye. Dan ketika benturan atau tubrukan selalu membuat tangannya tergetar, tongkat terpental dan serangan selalu gagal maka Ji Leng berseru agar dia mulai menghitung jurus- jurusnya sendiri.
"Maaf, sudah duapuluh jurus. Harap totiang hitung agar tidak salah!"
Kakek ini memekik. Ia marah tapi juga kaget bahwa lawan benar-benar lihai. Setiap serangan tak pernah dibalas karena hwesio itu hanya mengelak dan menghindar ke sana ke mari saja. Tongkatnya itulah yang selalu menyambar-nyambar dan membentur tongkatnya sendiri, beradu dan kian lama kian kuat hingga kakek ini berteriak. Kalau dia memukul semakin keras ternyata tongkat yang beterbangan di udara itu juga menangkisnya semakin kuat.
Tentu saja kakek ini pucat. Dan ketika serangan terus berlanjut sementara Siang Lam mulai menggigil, Ji Leng enak saja menghindar ke sana ke mari maka hitungan sudah tiba pada jurus keempatpuluh di mana Beng Kong berseru di luar pertandingan bahwa tinggal enampuluh jurus lagi, seperempat jam sudah lewat.
"Awas, hampir setengah jam. Kalau satu jam sudah lewat maka kau harus menyerah kalah. Tunduk kepada suhu!"
Siang Lam melengking-lengking. Akhirnya ia marah mengeluarkan Lui-yang Sin-kangnya, membentur tongkat dan secepat kilat menempel atau melekat di tongkatnya itu. Dan ketika dua batang tongkat bertemu dan bersuara keras, letikan bunga api memuncrat di udara maka kakek yang marah dan penasaran ini menyedot tongkatnya dengan ilmu listrik.
"Clap...!”
Semua tertegun. Siang Lam Cinjin tak mengejar Ji Leng Hwesio lagi karena tiba-tiba ia ingin merampas tongkatnya dulu. Tongkat itu amat mengganggu selama dikendalikan Ji Leng Hwesio. Dan ketika ia berhenti dan membentur tongkatnya ini, menyedot, maka tongkat tiba-tiba tertarik dan menuju ke arah kakek itu.
“Omitohud...!” Ji Leng Hwesio berseru dan tersenyum dari jauh. "Kau ingin bersenjata ganda, Cinjin. Silahkan ambil tapi pinceng khawatir tongkatmu itu bakal menjadi satu!"
Benar saja, tongkat tiba-tiba terdorong dan menghantam Siang Lam Cinjin. Kakek yang semula menarik dan berkutat dengan tongkatnya sendiri itu mendadak disambar dan dihantam tongkat di udara, berteriak dan terkejut dan tentu saja ia terjengkang. Maklumlah, saat itu itu ia sedang menarik! Dan ketika kakek ini berteriak keras dan melempar tubuh bergulingan, Ji Leng rupanya melepas kekuatannya di sana dan membiarkan tongkat dirampas, tersenyum dan tertawa maka adalah kakek ini memaki-maki karena nyaris dihantam tongkatnya sendiri.
Dan begitu ia melompat bangun dan lega bahwa tongkat dapat dirampas tiba-tiba kakek ini melotot karena benar saja tongkatnya itu menyatu tak mau sendiri-sendiri. Siang Lam menarik namun tongkat melekat. Ia mencabut namun tak dapat dicabut. Dan ketika kakek itu terbelalak karena ini tentu perbuatan lawan, bukan tenaga listriknya lagi karena sudah melepas daya sedotnya maka terdengar tawa bergelak dari Beng Kong Hwesio, tawa yang menyakitkan.
"Ha-ha, kau meminta tongkatmu, Siang Lam. Sekarang suhu sudah memberikannya kepadamu. Ayo, robohkan suhuku dan masih ada sisa pertandingan lima puluh tujuh jurus. Kalau suhu dapat kau sentuh biarlah Go-bi tunduk di bawah Heng-san dan aku menyerahkan kepalaku!"
Kakek ini marah sekali. Ia terkejut dan membelalakkan mata karena dua batang tongkat sekarang tak mau dipisahkan. Tadi disedot dengan ilmu listrik tapi sekarang malah lengket. Ini keterlaluan. Dan ketika ia maklum bahwa itu tentu bekas perbuatan lawan, Ji Leng masih bergoyang-goyang dan menanti di sana, tak bergerak atau membalas sedikitpun maka ia menerjang dan dua batang tongkat yang sekarang tak dapat dilepas itu dihantamkan ke arah lawannya, dahsyat bagai harimau mengamuk.
“Ji Leng, pinto tak usah hidup lagi kalau tak mampu menyentuh tubuhmu. Biarlah pinto mampus dan tak usah tinggal di dunia kalau tak dapat mengalahkanmu!”
“Omitohud!" sang hwesio berseru, lembut. "Pinceng tak menghendaki nyawa siapapun, Siang Lam Cinjin. Kalau kau sudah mengakui kalah sebaiknya pergi."
"Keparat, pinto tak akan pergi kalau belum mampus. Biar kau mampus atau pinto yang mampus.... des-dess!" dan tongkat yang ganas menghajar lantai, pecah dan berantakan akhirnya disusul oleh kelebatan kakek ini yang menyambar-nyambar. Sin-sian-hoan-eng dikeluarkan dan Dewa Sakti Tanpa Bayangan itu lenyap menjadi sinar naik turun yang amat cepatnya. Kakek ini sudah tak dapat diikuti lagi.
Namun Ji Leng Hwesio pun bergerak kian cepat. Ketua Go-bi ini disambar pukulan-pukulan tongkat namun setiap diserang tentu tubuhnya sudah lebih dulu terdorong. Jadi seperti kapas atau benda ringan yang tentu saja luput disambar. Dan ketika lawan terbelalak karena ketua Go-bi itu melayang-layang dengan amat ringannya dihantam pukulan-pukulan bergelombang, tak dapat disentuh apalagi dipegang maka Siang Lam Cinjin mencak-mencak melihat kegagalan serangannya ini. Tak sebuahpun mampu menyentuh lawannya.
“Ha-ha!" di sana Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. "Lihat tingkahmu, Siang Lam Cinjin. Seperti kambing kebakaran jenggot!"
Kakek ini marah bukan main. Ia telah mempercepat gerakannya namun lawan benar- benar tak dapat disentuh. Jangankan kulitnya, ujung jubahnya saja tak dapat. Dan ketika kakek ini melengking-lengking dan suhengnya di sana juga berubah pucat dan merah berganti-ganti, Ji Leng sama sekali tak membalas dan hanya berkelit maju mundur maka delapan puluh jurus lewat dengan cepat dan satu jam sudah hampir berlalu.
“Siancai, Bian-kun yang hebat. Go-bi-paicu benar-benar telah mencapai tingkat mahir dan adikku harus tahu diri. Bagaimana kalau pinto juga main-main dan apakah yang terhormat ketua Go-bi berani mempertahankan kata-katanya? Pinto juga ingin menyentuh tubuhmu dan biarlah dianggap kalah kalau dalam dua puluh lima jurus bersama adikku tak mampu memegang!”
“Hm, totiang ingin maju pula? Bagus, silahkan, Siang Kek cinjin. Pinceng akan mencoba dan mudah-mudahan pinceng dapat bertahan!"
Siang Kek Cinjin, yang berseru dan gatal-gatal tangannya tiba-tiba mendapat sambutan Ji Leng Hwesio. Ketua Go-bi yang terus terdorong maju mundur oleh pukulan-pukulan Siang Lam Cinjin itu masih melayani lawannya dengan wajah berseri-seri. Halimun di mukanya tetap membungkus dan hanya beberapa orang saja yang dapat melihat jelas. Selebihnya, samar oleh kabut ini dan Tujuh Malaikat Hoa-san sendiri tak mampu menembus. Mereka tak melihat bagaimana mata Ji Leng Hwesio tiba-tiba mencorong, hidup dan bersinar-sinar.
Dan tujuh tosu Hoa-san ini tahu-tahu berteriak kaget karena dari balik halimun tiba-tiba menyorot cahaya menyilaukan bagai bintang berpijar. Dan ketika Siang Lam maupun Siang Kek juga terkejut karena perbawa yang kuat memancar di situ, menembus dan menggetarkan hati mereka tiba-tiba dua dedengkot Heng-san ini merasa gentar dan jerih, segan. Siang Kek yang hendak maju sekonyong-konyong menunjukkan sikap ragu- ragu, mundur dan tak jadi. Tapi begitu Beng Kong terbahak dan mengejeknya sebagai penakut, tawa hwesio itu menggetarkan ruangan maka kakek ini bergerak dan iapun membentak karena malu.
"Beng Kong, kau semakin pongah dengan gurumu di sini. Awas, pinto akan memotong lidahmu kalau nanti dapat merobohkan gurumu!"
“Ha-ha, suhu tak mungkin kalah. Suhu telah mencapai tingkat kesembilan dari ilmu saktinya Hok-tee Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Dunia), Siang Kek Cinjin. Apapun yang kalian lakukan tak mungkin dapat merobohkannya!"
"Tutup mulutmu!" Ji Leng Hwesio tiba-tiba membentak, berseru kepada muridnya itu, yang penuh bangga. "Rahasia guru tak usah diberitahukan orang lain, Beng Kong. Pinceng minta kau tak perlu bersombong karena di atas langit masih ada langit!”
"Siancai...!" Siang Kek terkejut. “Kau telah memiliki Hok-tee Sin-kun, Ji Leng Hwesio? Kau telah menguasainya? Ah, pantas. Dikeroyok berduapun tak mungkin pinto menang. Tapi biarlah, pinto ingin merasakan kepandaianmu dan kalau kalah pun tentu puas!" dan kakek itu yang bergerak dan menerjang ke depan akhirnya berseru kepada adiknya agar mengepung dari kanan kiri. Siang Kek bergerak dari kanan sementara adiknya dari kiri.
Tapi begitu dua orang ini bergerak dan masing-masing mengerahkan Sin-sian-hoan- eng untuk memburu Ji Leng Hwesio ternyata hwesio itu tetap terdorong ke sana-sini ditiup angin pukulan. Akibatnya tentu saja dua kakek itu penasaran dan gerakan semakin dipercepat lagi. Namun ketika tubuh lawan semakin bertambah ringan dan seolah-olah kapas atau daun kering yang melayang-layang, sekalipun juga hwesio itu tak pernah membalas maka Siang Kek merah padam dan kedudukannya sebagai sesepuh Heng-san terkoyak.
“Go-bi-paicu, coba kau balas kami. Pukul dan robohkanlah kami!”
“Omitohud," sang hwesio berseru, menggeleng. "Pinceng tak dapat melakukan itu, totiang. Pinceng tak mau melukai perasaan orang lain. Lebih baik dipukul daripada memukul!"
"Tapi kami punya harga diri. Kami tentu akan kecewa kepadamu kalau sebuah pukulanpun tak pernah kau berikan kepada kami!”
"Omitohud, pinceng dapat mengerti perasaan totiang. Baiklah, setelah dua puluh lima jurus pinceng akan membalas, totiang. Tapi itupun bukan untuk membunuh. Pinceng mengajak kalian mengadu sinkang dan setelah itu ji-wi (kalian berdua) harap mundur!"
Ji Leng tahu perasaan orang, tahu bahwa orang-orang seperti Siang Kek maupun Siang Lam ini amatlah peka terhadap hinaan. Mereka bakal sakit hati dan terhina seumur hidup kalau sebuah pukulanpun tak akan diterima. Bayangkan, masa dedengkot seperti mereka harus menyerah kalah oleh lawan yang hanya mengelak dan menghindar ke sana ke mari saja. Ditaruh di mana muka mereka nanti. Maka menyadari bahwa dua kakek itu meminta dihargai, muka mereka tak boleh hancur maka hwesio sakti dari Go-bi ini naik turun dihantam pukulan lawan.
Sepuluh jurus lewat dengan cepat dan Beng Kong Hwesio berseri-seri di sana, mengejek dan berseru kepada dua kakek itu agar mempercepat gerakan mereka. Dua kakek itu terbakar. Tapi ketika Ji Leng membentak agar muridnya tak usah bercuap-cuap, Siang Kek maupun Siang Lam merasa tertolong maka sepuluh jurus lewat lagi dengan cepat dan hwesio itu berkata bahwa pertandingan sudah hampir berakhir.
“Kalian boleh keluarkan seluruh sinkang kalian. Pada hitungan terakhir pinceng akan mengeluarkan Hok-tee Sin-kun!”
Dua kakek itu tegang. Lawan ternyata akan membalas dan diam-diam mereka kagum dan hormat. Lain Ji Leng Hwesio lain pula Beng Kong. Sang guru ternyata lebih lembut dan jauh lebih baik daripada sang murid. Tak ada kesombongan atau rasa takabur pada tokoh Go-bi ini, padahal jelas kepandaiannya begitu tinggi dan mereka diam-diam bergidik. Kalau Beng Kong seperti ini tentu dunia bakal celaka. Dan ketika hitungan terus berlanjut dan tepat pada jurus kedua puluh lima Siang Lam maupun Siang Kek tak mampu menyentuh hwesio itu, ini benar-benar luar biasa maka Ji Leng berseru agar dua kakek itu waspada.
"Awas, pinceng akan membalas, ji-wi totiang. Dan kalian boleh pakai Lui-yang Sin-kang ataupun sinkang-sinkang (tenaga sakti) lain!"
Siang Kek maupun Siang Lam berubah. Mereka benar-benar tak mampu merobohkan lawan mereka itu karena setiap pukulan tentu mendorong mundur tubuh si ketua Go-bi, selalu begitu setiap angin pukulan menyambar. Dan karena tak mungkin melepas pukulan tanpa angin sinkang, lawan benar-benar berat akhirnya dua kakek ini mengeluh ketika pada jurus kedua puluh lima Ji Leng Hwesio menginjak lantai dan langsung mengebutkan kedua lengan jubahnya menghantam mereka.
"Cinjin, awas!"
Dua kakek itu tersentak. Jantung mereka serasa anjlog begitu melihat kaki Ji Leng Hwesio turun di tanah. Tadi hwesio itu melayang-layang dan tak sedetikpun juga turun di lantai. Kini, berseru kepada mereka sekonyong-konyong telapak kaki hwesio itu anjlog dan turun di lantai, suaranya bergetar dan Tujuh Malaikat Hoa-san terpelanting dan berteriak. Mereka terjerembab, apalagi anak-anak murid Go-bi sendiri! Dan ketika semua orang berteriak karena menapaknya hwesio itu seperti jatuhnya seekor gajah, Hok-tee Sin-kun bekerja dan inilah ilmu sakti dari tokoh Go-bi itu maka Siang Kek maupun Siang Lam merasa disambar kebutan ujung jubah yang amat dahsyatnya.
"Aihhhhhh...!” Pekik atau teriakan panjang ini membuat Hoa-san Sin-jit dan lain-lainnya semakin runyam lagi. Mereka baru saja terpelanting oleh gedrukan telapak kaki Ji Leng Hwesio, kini ditambah lagi oleh bentakan atau suara kaget dua kakek Heng-san itu. Dan ketika mereka terlempar dan anak-anak murid Go-bi terbang berhamburan, kejadian ini memang luar biasa maka dentuman atau gelegar beradunya pukulan disusul oleh keluhan atau jerit tertahan Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin.
“Bress!" Dua kakek itu terlempar dan terbanting di luar ruangan. Mereka terguling-guling dan meloncat bangun namun roboh lagi Hok-tee Sin-kun telah mereka rasakan dan hebatnya ternyata bukan ulah-ulah. Mereka tak kuat! Dan ketika baru setelah empat kali bergulingan mereka dapat meloncat bangun, terhuyung, maka Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin melihat lawan mereka melayang-layang lagi dan berjalan seperti dewa, tidak menapak atau menyentuh lantai.
"Maaf, pinceng pikir cukup, Siang Kek Cinjin. Kalau ada kesalahan pinceng sukalah kalian memaafkannya. Pinceng harus kembali dan tentunya ji-wi akan menyelesaikan persoalan ini sampai di sini saja!"
Dua kakek itu terbelalak. Ji Leng Hwesio, sang ketua Go-bi yang sakti, melambaikan tangan dan lenyap menghilang. Hwesio itu memberi senyum kepada mereka dan dua dedengkot Heng-san-pai ini pucat mukanya. Mereka telah kalah, hanya dalam satu jurus saja. Dan ketika dua kakek itu mendelong dan wajah mereka berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat maka mereka membalik dan tiba-tiba meninggalkan Go-bi, tak menoleh lagi pada Tujuh Malaikat Hoa-san ataupun yang lain-lain.
"Ji Leng Hwesio, kau hebat. Agaknya duapuluh tahun lagi kami berlatih ilmu tetap saja kepandaian kami tak nempil denganmu. Baik, kami mau menyelesaikan persoalan ini tapi jangan muridmu mengganggu Heng-san lagi!"
"Benar," Siang Lam juga berseru. “Atau kami bertanding sampai mati, Ji Leng Hwesio. Mayat kami boleh diinjak-injak tapi nama perguruan jangan!"
Terkejutlah Tujuh Malaikat Hoa-san dan Kiam Ting Sianjin. Mereka itu adalah orang-orang yang mengiringi dedengkot Heng-san ketika tiba-tiba saja dua kakek itu pulang dengan enak. Mereka ditinggalkan meskipun mereka juga tahu bahwa dua kakek itu malu besar.
Mereka telah dipecundangi dedengkot Go-bi yang amat sakti! Dan ketika mereka juga bergerak dan Hek-tosu berseru biarlah urusan selesai sampai di situ saja, diri sendiri jelas tak mungkin mengalahkan Go-bi maka delapan orang ini berkelebat lenyap dan anak-anak murid Go-bi masih merasa nanar dan pusing oleh kejadian itu. Tak tahu bagaimana tadi dua dedengkot Heng-san-pai dihajar atau dikalahkan ciangbunjin mereka.
“Hebat, seperti mimpi. Apa yang dilakukan ciangbunjin tadi dan bagaimana dua kakek siluman itu roboh....!”
“Siancai...." Kiam Ting membelalakkan mata. "Hwesio itu luar biasa sekali, Ji-toheng. Ia mampu membalas dan memukul mundur Siang Kek locianpwe!”
“Benar, dan naga-naganya Siang Kek-locianpwe itupun tak mampu menghadapi lawannya. Hwesio itu harus dikeroyok dan dihadapi berdua. Hanya dengan Siang Lam hwesio itu agaknya dapat dirobohkan!”
"Sungguh tak dapat dipercaya. Ilmu apa yang dipergunakan hwesio itu karena ia mampu meniru atau melakukan pukulan-pukulan yang hampir mirip?”
"Dan kedahsyatannyapun tak perlu diragukan lagi. Sinkangnya menderu dan Siang Kek terdesak!"
"Celaka, jago kita pucat. Ia kalah napas!”
“Dan lihat... ah, Siang Kek-locianpwe mengeluh, Ji-toheng. Ia terpelanting.... dess!" dan Siang Kek Cinjin yang benar saja berteriak atau mengeluh tertahan tiba-tiba terbanting dan terlempar bergulingan oleh adu pukulan yang keras, dahsyat menggetarkan ruangan dan tujuh tosu ini pucat menyaksikan itu. Mereka baru saja berbisik-bisik sendiri karena penonton biasanya lebih jelas mengamati pertandingan daripada yang bertanding sendiri.
Siang Kek memburu napasnya dan tangkisan Beng Kong Hwesio yang berkali-kali membuatnya tergetar. Ia marah dan coba menahan kemarahan namun tawa dan ejekan hwesio itu benar-benar mengganggunya. Beng Kong merendahkan ia dan hwesio itu semakin jumawa. Semakin sering menggetarkan lawan semakin sombong hwesio itu. Dan ketika Siang Kek tak tahan dan kemarahannya menggelegak, terpancing maka iapun diajak adu cepat dan adu napas oleh hwesio ini, dibawa ke dalam pertempuran brutal dan tiga kali ia kena tempeleng.
Bayangkan, orang tua ditempeleng! Dan ketika kakek itu tak tahan dan kemarahannya memuncak, ia memekik dan melancarkan tusukan lima jari yang disebut Cakar Naga Merobek Langit, satu serangan yang amat dahsyat maka lawannya juga membuka kelima jari-jarinya dan sekali cengkeram dan remas ke dua-duanya sudah saling menghancurkan dan Lui-yang Sin-kang atau tenaga listrik yang dipunyai dedengkot Heng-san itu tak mempan bertemu hawa sinkang lawan yang hebat dan luar biasa, membalik.
“Aiihhh...!” jerit atau pekik kakek ini mengandung banyak arti. Lui-yang Sin-kang, ilmu listrik andalan Heng-san ternyata bertemu ilmu lunak yang amat hebatnya dari jari-jari Beng Kong Hwesio. Hwesio itu mengeluarkan sinkangnya yang mirip kapas atau karet, lunak namun membal begitu dihantam ilmu listrik. Dan ketika kakek ini terkejut karena ialah yang tertolak, lawan benar-benar luar biasa maka kakek itu melempar tubuh bergulingan dan Beng Kong yang hendak menahan dan mencengkeram lengannya dihantam sebuah tendangan kaki di mana hwesio itu terhuyung dan melepaskan cengkeramannya.
“Ha-ha," sang hwesio tertawa, congkak. “Bagaimana, Siang Kek Cinjin. Masihkah kau maju dan ingin mengalahkan pinceng? Majulah berdua, suruh adikmu membantu!"
Kakek ini pucat dan merah berganti-ganti. Sang hwesio, yang pongah dan sombong tertawa di sana mengejeknya habis habisan. Ia harus mengakui keunggulan lawannya ini dan "cucu murid" yang kurang ajar ini mempermalukannya di depan begitu banyak orang. Habislah nama Heng-san kalau begitu. Dan ketika kakek ini melengking dan mencabut tongkatnya, yang tadi disimpan dan belum dipakai maka ia membentak bahwa ia belum kalah. Masih ada senjata di tangan!
“Jangan sombong, Beng Kong Hwesio. Pinto masih mempunyai senjata dan mati hidup akan pinto pertaruhkan di sini. Lihat!”
“Ha-ha, sudah kulihat. Tapi tenagamu gemetaran, mana mungkin menang. Lui-Yang Sin-kangmu sudah kupadamkan, Siang Kek Cinjin. Dan jangan terlampau marah atau nanti jantungmu copot. Majulah, bersama adikmu. Atau pinceng istirahat kalau kau hanya sendirian lagi!”
Beng Kong Hwesio yang tertawa dan melompat ke kursinya, duduk lagi, benar-benar membuat kakek itu kehitaman. Wajahnya serasa hangus! Tapi ketika ia memekik dan melontarkan tongkatnya itu, terbang dan menyambar ke kepala lawan maka Beng Kong mencabut toyanya dan sekali tangkis membuat tongkat terpental dan kembali lagi kepada pemiliknya.
"Tranggg!"
Siang Kek Cinjin merah padam. Ia benar-benar dihina dan diejek habis-habisan. Beng Kong, yang tertawa dan duduk di kursinya itu menangkis dan mengembalikan tongkatnya, ketika tongkat menyambar dan terbang menghantam. Dan ketika kakek itu menggigil sementara adiknya gemetaran, panas dan terbakar oleh kesombongan Beng Kong maka Siang Lam Cinjin melengking dan maju pula mencabut tongkatnya, senjata berwarna merah terbuat dari ti-bhok (kayu besi).
"Suheng, bocah ini sungguh jumawa. Biar aku maju sekalian dan tak usah malu karena dialah yang minta dikeroyok!"
"Benar!” Beng Kong Hwesio berseru tertawa, kini melompat bangun dan meninggalkan kursinya, kursi emas. "Sudah kubilang agar kalian maju berdua, Siang Lam Cinjin. Keroyok aku dan tak perlu sungkan-sungkan. Go-bi akan menunjukkan kepada semua orang bahwa ialah yang terhebat. Ayo maju dan tak usah malu-malu!”
Dua kakek itu marah sekali. Sikap atau kata-kata hwesio ini sudah tak dapat ditolerir lagi. Mereka sebagai tokoh-tokoh Heng-san harus membalas, mati atau menang dalam membela nama baik. Dan karena harga diri atau kehormatan mereka sudah diinjak-injak, Beng Kong Hwesio terlalu memperlakukan mereka maka begitu membentak begitu pula keduanya tiba-tiba mencelat maju dan tongkat di kanan kiri tahu-tahu menyambar dan menusuk dengan dahsyat, suaranya mencuit!
"Des-dess!" Beng Kong Hwesio mengelak dan terkejut juga melihat kemarahan lawan. Tongkat bergerak demikian cepatnya hingga tahu-tahu sudah di atas kepala. Dua kakek itu seakan terbang dan mereka benar-benar melesat melebihi cepatnya panah, bahkan, barangkali melebihi cepatnya peluru. Dan ketika hampir saja hwesio itu terlambat dan lantai di belakangnya hancur berkeping-keping, lelatu api muncrat dan berhamburan ke mana- mana maka selanjutnya dua dedengkot Heng- san itu sudah menyerang dan lenyap berkelebatan cepat.
Mereka sudah saling isi- mengisi dan tiba-tiba saja dua batang tongkat bergulung naik turun bagai naga menari-nari. Tongkat putih di tangan Siang Kek Cinjin bergabung dengan tongkat merah di tangan Siang Lam Cinjin, saling belit dan putar dan Beng Kong Hwesio tahu-tahu terkurung. Dan ketika hwesio itu terkejut dan menggerakkan lengan bajunya menangkis, mementalkan tongkat pertama tapi disambar tongkat kedua maka mendadak ia menjadi bulan-bulanan dan suara bak-bik-buk segera terdengar menghantam hwesio itu.
"Aih, hebat. Keparat!"
Beng Kong Hwesio kaget dan memaki. Ia benar-benar tak menyangka bahwa begitu mengeroyok dua orang kakek itupun mainkan silat baru yang tidak dikenal. Mereka dapat menarik dan melepas tongkatnya seperti benda hidup saja, terbang menyambar-nyambar dan inilah yang merepotkan Beng Kong Hwesio. Dan ketika tujuh kali tongkat menggebuk dirinya dan kalau bukan Beng Kong tentu roboh atau paling sedikit patah tulangnya maka Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin membelalakkan mata dan mempercepat serangan-serangan mereka karena hwesio itu mengerahkan kekebalannya menerima hajaran-hajaran tongkat.
"Bak-bik-buk!"
Beng Kong Hwesio benar-benar luar biasa. Di dalam kesibukannya menangkis dan mengelak serangan-serangan berbahaya masih juga ia tahan oleh gebukan-gebukan yang kian kuat. Tubuh hwesio itu seperti karet dan tongkat selalu mental bertemu tubuhnya, meskipun lama-lama hwesio ini mendesis dan berteriak kesakitan juga. Ia dihajar, persis anak kecil. Dan ketika hwesio itu marah tapi dua kakek itu juga mendelik dan mempergencar serangan tongkat, Siang Kek berseru agar adiknya selalu berada di depan maka hwesio itu mulai mendapat pukulan-pukulan berbahaya dari belakang.
"Tit-ci-thian-tung... mainkan Tit-ci-thian-tung dan arahkan dengan Hui-tung-sin-hoat!”
Beng Kong Hwesio kelabakan. Tit-ci-thian-tung (Tuding Jari Ke Arah Timur) tiba-tiba diserukan Siang Kek Cinjin untuk dimainkan adiknya, Siang Lam Cinjin. Kakek nomor dua itu mengangguk dan iapun sudah bergerak dengan tongkatnya yang selalu menuding ke timur, gerakan aneh yang memancing kewaspadaan hwesio ini untuk serangan berbahaya. Dan ketika Siang Kek masih berseru agar mainkanHui-tung Sin-hoat (Silat Sakti Tongkat Terbang) maka senjata ditangan Siang Lam Cinjin dilepas dan mulai beterbangan seperti benda bernyawa.
"Plak-plak-plak!"
Tiga kali Beng Kong Hwesio menangkis dan mementalkan. Hui-tung Sin-hoat yang tiba-tiba dibarengi dengan tudingan ke timur membuat hwesio itu bingung. Sekejap dia kelabakan dan menangkis ke kiri kanan. Tapi ketika dari belakang menderu serangan lain dan itulah tongkat di tangan Siang Kek Cinjin, yang juga dilepas dan menyambar sendiri maka belakang kepala hwesio ini menjadi korban dan dihantam dengan amat kerasnya.
"Dukk!” Beng Kong Hwesio terhuyung. Ia terpukul tapi hebat juga hwesio tinggi besar ini, tak apa-apa dan masih dapat melakukan perlawanan di mana Siang Kek maupun Siang Lam menjadi gemas dan kagum. Mau tak mau mereka mengakui juga kehebatan hwesio ini, tongkat kembali bergerak dan empat kali kembali mengenai belakang kepala lawan. Tapi ketika Beng Kong hanya terantuk saja dan mengebutkan jubahnya ke kiri kanan, menangkis atau menghalau tongkat yang terbang menyambar-nyambar maka Siang Kek maupun Siang Lam mempergunakan kedua tangan mereka yang bebas untuk melancarkan pukulan-pukulan sinkang.
"Desak sampai roboh. Pukul dengan Twi-hong-hok-san (Dorong Angin Balikkan Gunung)!"
Beng Kong Hwesio berubah. Sekarang ia menghadapi hujan serangan dari mana-mana. Kakek-kakek Heng-san itu ternyata memiliki ilmu bermacam-macam, mereka memang dedengkot yang sudah mendarah daging ilmunya. Dan ketika ia mulai terpelanting dan jatuh bangun, kakek-kakek itu memang hebat maka iapun menggereng karena sebentar kemudian ia tak dapat membalas kecuali menangkis, terdesak.
"Bagus, sekarang biarkan ia begitu dan coba lihat berapa lama ia mampu bertahan!”
Beng Kong Hwesio marah. Akhirnya apa boleh buat ia mencabut toyanya lagi dan senjata yang tadi disimpan itu segera diputar menghadapi serangan tongkat. Senjata dua kakek itu masih menyambar-nyambar dan tentu saja ia gusar. Tongkat itu beterbangan sendiri-sendiri dan masih mematuk atau menghantam dengan cepat. Sedikit ia lengah tentu kena!
Dan karena sudah delapan kali ia disambar namun untung sinkang di tubuhnya melindungi, kekebalannya bekerja baik dan tongkat kembali mental maka sekarang ia menghalau senjata-senjata itu dengan toyanya dan sekali bentak toya di tanganpun lepas dan terbang sendiri, membentur atau menghantam tongkat-tongkat itu. Jadi, tiga senjata seolah hidup dan beterbangan di udara!
“Nah," dua dedengkot Heng san terkejut. "Sekarang kita masing-masing dapat berhadapan lagi, Siang Kek Cinjin. Kau dan aku tak perlu dibantu senjata lagi karena senjata- senjata kita sudah bertarung di udara. Siapa runtuh dialah yang kalah!”
Dua kakek ini terbelalak. Mereka kagum bahwa Beng Kong mampu melepas toyanya dan kini terbang menyambar-nyambar pula menghadapi dua tongkat mereka. Kalau tidak memiliki sinkang atau kekuatan luar biasa tak mungkin dapat melakukan itu. Hwesio ini memang hebat! Tapi karena mereka maju berdua dan senjata mereka sudah saling bentrok sendiri, crang-crang-crang beradunya tongkat dan toya memekakkan telinga maka Siang Kek maupun Siang Lam berseru keras mainkan pukulan-pukulan cepat. Lui-yang Sin- kang atau ilmu listrik digabung dengan ilmu-ilmu lain yang semuanya mengndung hawa panas yang cukup membuat orang mandi keringat.
Hoa-san Sin-jit dan Kiam Ting Sianjin sendiri menjauh karena basah kuyup oleh keringat. Mereka yang menonton malah seperti yang bertanding. Baju lengket-lengket semua! Dan ketika tujuh orang ini merasa gerah dan tentu saja mengibas-ngibas tubuh sendiri, mengebut atau membuat gerakan mengipas maka muríd-murid Go-bi yang juga menonton dan sudah mengurus saudara-saudara mereka yang luka atau pingsan berdecak kagum karena yang mereka lihat hanya bayang-bayang cepat seperti hantu.
Baik Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin tak dapat diikuti mata. Beng Kong Hwesio sendiri juga tak dapat diikuti. Tapi ketika tak lama kemudian hwesio itu menggeram-geram dan Hek-tosu beserta saudara-saudaranya menunjukkan wajah gembira, hwesio itu terhuyung dan mulai tertolak menghadapi gabungan dua tenaga maka Kiam Ting Sianjin juga berseri dan berkata kepada temannya, Pek-tosu,
"Kali ini Beng Kong Hwesio rupanya harus tahu điri. Ia kewalahan, tampaknya tak kuat."
"Benar," Pek-tosu menjawab, suaranya terang- terangan hingga didengar murid-murid yang lain. "Siang Kek locianpwe dan Siang Lam locianpwe rupanya telah dapat menekan lawannya, Kiam-toheng. Lihat Beng Kong Hwesio mundur-mundur!"
"Dan agaknya tak berapa lama lagi mampu merobohkan hwesio sombong itu. Ah, pinto merasa gembira!"
"Ya, pinto juga. Dan lihat, Siang Kek locianpwe mendaratkan pukulan!"
Benar saja, Beng Kong Hwesio berteriak tertahan dihantam pukulan lawan. Dua pukulan dari muka belakang tak dapat dihadapi hwesio ini secara berbareng, ia harus menangkis salah satu dan pukulan Siang Kek Cinjin mengenai tengkuknya. Dan ketika ia terputar dan terpelanting roboh, untuk pertama kalinya hwesio itu bergulingan melempar tubuh maka tujuh tosu tiba-tiba bersorak dan murid-murid Go-bi melotot!
Selanjutnya Siang Kek tertawa panjang dan kakek yang geram dan penuh penasaran itu mengejar, adiknya juga mengikuti dan Beng Kong Hwesio rupanya benar-benar kewalahan. Ia meleset dengan peritungannya semula, dua kakek itu ganti- berganti melakukan serangan dari muka, belakang. Dan karena mereka juga memiliki beragam ilmu, mengganti-ganti gaya serangan namun tetap saling isi-mengisi dengan kawannya maka Beng Kong kewalahan dan hwesio ini benar-benar terkejut. Ia tak menyangka bahwa gabungan dua kakek itu terlalu hebat.
Tongkat mereka juga masih terus beterbangan di udara dan dengan cerdik kini sering menghindar kalau bertemu toya, kucing-kucingan dan Beng Kong terbelalak karena ia dipaksa memecah konsentrasinya. Sebagian untuk dua kakek ini sementara yang lain untuk toyanya itu. Betapapun ia harus tetap mengatur dan mengendalikan toyanya.
Dan ketika empat kali toyanya menghantam tempat kosong, yang kelima kali malah digunting dan disambar dari kiri kanan, hal itu mengejutkan hwesio ini dan saat itu Siang Kek maupun Siang Lam juga “menggunting" murid Ji Leng Hwesio ini maka tanpa ampun lagi Beng Kong Hwesio dihantam pukulan Siang Kek dan tangkisannya yang bertemu Siang Lam Cinjin membuat kakek itu terhuyung namun selanjutnya ia sendiri harus melempar tubuh bergulingan dihantam tengkuknya.
Hwesio ini mengeluh dan iapun pucat melihat kenyataan itu. Sepuluh duapuluh jurus lagi tentu ia roboh. Dan ketika ia meloncat bangun dan mengeluarkan bentakan mengguntur, dikejar dan menangkis pukulan dua kakek itu maka Beng Kong menyambar toyanya namun terkesiaplah hwesio ini karena toyanya tak dapat dicabut. Toya itu sudah dijepit dua batang tongkat!
“Ha-ha...!" tawa ini menggetarkan nyali si hwesio. "Lihat hasil kesombonganmu, bocah. Adakah kau mampu menghadapi kepandaian kami berdua. Kau tak dapat memperoleh toyamu dan itu berarti maut bagimu!”
Beng Kong Hwesio melotot. Apa boleh buat ia berkutat dengan senjatanya itu dan mengelak sana-sini pukulan-pukulan lawan. Aneh dan ajaib dua tongkat di udara itu selalu menjepit toyanya, ke manapun ia pergi. Dan ketika ia maklum bahwa dua kakek itu mengerahkan semua sinkangnya untuk menahan, ia bergelantungan dan melayang kian ke mari dengan amat cepatnya di antara sambaran pukulan-pukulan lawan maka Beng Kong Hwesio menjadi bulan-bulan hantaman atau serangan dua kakek ini.
Namun ketahanan atau kekuatan hwesio itu patut dipuji. Meskipun ia bak-bik-buk menerima pukulan lawan namun belum sekali juga ia roboh. Beng Kong Hwesio mampu bangkit lagi dan dengan terhuyung-huyung melakukan perlawanan kembali. Mukanya pucat tak mampu mencabut toyanya. Senjata itu tetap dijepit dua tongkat yang beterbangan di udara padahal Siang Kek maupun Siang Lam tak mencekal senjata mereka, hanya tampak tangan kiri mereka bergerak-gerak dan aneh bin ajaib tongkat selalu mengikuti gerakan tangan tokoh-tokoh Heng-san ini. Namun ketika tongkat bergerak kian cepat dan menderu di atas kepala Beng Kong, menghantam atau mengemplang kepala hwesio itu maka Beng Kong mengeluh pendek dan melotot lebar.
Semua anak murid Go-bi bersiap-siap karena pimpinan mereka dalam bahaya. Siang Kek mengedut dan Beng Kong berjengit. Tak ada yang melihat bahwa Lui-yang Sin-kang, ilmu listrik, dilepaskan kakek itu menyengat Beng Kong. Dan ketika sang hwesio tersentak dan bertahan, sayang diserang pula oleh Siang Lam Cinjin yang mengikuti jejak suhengnya, menghajar dan "menggigit" hwesio itu dengan ilmu listriknya maka Beng Kong tak tahan dan melepaskan toyanya.
Senjata itu tak dapat dipertahankan lagi kalau ia ingin selamat. Ia mati-matian mempertahankan toya namun justeru digigit Lui-yang Sin-kang. Dan karena ia kesakitan dan panas terbakar, strom yang dimasukkan dua kakek itu bergerak dari muka belakang maka Beng Kong melakukan teriakan panjang dan sambil membanting tubuh ke bawah ia menghantam atau menggajul tulang kering kakek-kakek itu.
"Des-dess!"
Siang Kek maupun adiknya menjerit. Mereka orang-orang tua yang tulangnya sudah kering, dihantam tulang keringnya tentu saja semakin "kering". Dan ketika Beng Kong bergulingan meloncat bangun dan kakek-kakek di depan mengumpat terhuyung mundur, gerakan pada tongkat mengendur dan kesempatan itu dipergunakan hwesio ini untuk mengebut dan mengait toyanya, dengan ujung lengan jubah maka toya kembali dengan cara yang cerdik dan kakek-kakek itu terbelalak.
“Setan, ia menipu kita. Hayo, kejar dan hajar lagi!”
Beng Kong Hwesio mandi keringat. Untuk gebrak-gebrak berikut ini ia memang benar-benar merasa berat. Dua kakek itu dapat silih berganti melakukan serangan dan yang amat berbahaya adalah Siang Kek Cinjin. Kakek itu menyerang di belakang sementara adiknya di depan. Jadi Siang Lam Cinjin rupanya bertugas mengacau dan sang suheng inilah yang bekerja di belakang. Lama-lama Beng Kong Hwesio dapat roboh, betapapun kebal hwesio itu. Dan ketika kakek-kakek itu berkelebat kembali dan taktik mereka tetap dipergunakan, Siang Lam belakang sementara suhengnya di depan maka Beng Kong dibuat bingung karena sekarang lawan-lawannya itu merobah posisi.
“Ha-ha, biarkan ia melihat pinto. Tetap mainkan Twi-hong-hok-san dan kita berobah posisi lagi!"
Beng Kong pucat. Sekarang dua kakek itu berobah lagi dan posisinya dibalik. Ada kesan mereka ingin mempermainkannya sebelum betul-betul merobohkan. Dan ketika hwesio itu melengking dan melepas Cui-pek-po-kiannya, ilmu Menggempur Tembok maka dua sesepuh Heng-san terkejut namun mereka mengelak dan menghantam hwesio ini dari samping.
"Des-dess!"
Beng Kong terhuyung-huyung. Kalau begini terus-terusan tentu ia kalah, kembali melengking dan mengeluarkan pukulannya yang lain, Thai-san-ap-ting (Gunung Thai-san Tindih Kepala). Tapi ketika dua kakek itu tertawa dan berjungkir balik ke atas, meraih tongkat dan menggerakkannya ke tengkuk hwesio ini maka Beng Kong terjungkal dan berteriak mengaduh.
"Augh!” Jerit atau pekikan itu menunjukkan keadaannya. Beng Kong menggigil dan merah padam. Ia akan menemui kesialannya. Tapi ketika hwesio itu mulai jatuh bangun dan Siang Kek maupun Siang Lam terkekeh-kekeh, menyuruh melepaskan toya namun Beng Kong mempertahankannya sekuat tenaga, dicekal erat-erat maka terdengar suara batuk-batuk dan entah dari mana asalnya mendadak bertiup bau harum disusul kata-kata lembut, lembut namun penuh wibawa,
"Omitohud, kau salah menjalankan Thai-san-ap-ting, Beng Kong. Pinceng tak pernah mengajarimu untuk mengeluarkan ilmu ini dengan kemarahan, begitu juga Cui-pek-po-kian. Omitohud, berhenti dan biarkan kau duduk di sana... bress!” angin bertiup kencang, tahu-tahu tongkat dan tubuh Siang Kek maupun Siang Lam terbang ke belakang.
Mereka itu terangkat oleh satu kekuatan dahsyat dan Beng Kong Hwesiopun berteriak tinggi. Hwesio itu terlempar dan jatuh terduduk di kursi emasnya, setengah terbanting. Dan ketika Siang Lam maupun Siang Kek terlempar berjungkir balik, sesosok hwesio tua berdiri dan melayang-layang di udara, kakinya tak menginjak tanah maka anak-anak murid Go-bi tersentak dan seketika menjatuhkan diri berlutut.
"Supek-kong (paman kakek guru)....!”
Semua gempar. Ji Leng Hwesio, ciangbunjin lama yang bertapa dan akhir-akhir ini tak pernah memperlihatkan diri mendadak muncul dan datang dengan caranya yang mengejutkan. Wajahnya tertutup halimun tipis namun tahi lalat atau andeng-andeng besar di sudut mulutnya itu terlihat jelas, hitam kehijau-hijauan hingga mengagetkan Siang Kek maupun Siang Lam yang berjungkir balik di sana, terlempar atau terangkat oleh tiupan angin kencang itu. Dan ketika mereka melayang turun namun menggigil memandang sosok hwesio ini, yang tidak menginjak lantai karena kedua kakinya melayang-layang di udara maka dua kakek itu terkejut dan tersentak membelalakkan mata.
Go-bi-paicu (ketua Go-bi-pai)..!"
“Omitohud, benar," hwesio itu menjawab, tenang namun suaranya berat dan dalam. "Pinceng keluar mendengar angin pukulan kalian, ji-wi totiang. Dan pinceng heran bahwa sesepuh macam kalian harus keluar dari sarang. Omitohud, selamat datang!”
"Siancai...!” Siang Lam tak dapat menahan diri. "Kami datang karena Go-bi keterlaluan, Ji Leng. Lihat perbuatan muridmu ini dan tingkahnya!"
"Benar," Siang Kek menyambung, merasa mendapat kesempatan. "Bagaimana kau mengajar muridmu, Ji Leng? Beng Kong menghina dan menginjak-injak partai lain. Muridmu sombong dan amat jumawa. Kami akan melenyapkannya!"
"Omitohud, pinceng paling sedih kalau orang lain hendak membunuh atau melenyapkan orang lainnya lagi. Pinceng tak dapat mendengar ini dan maaf kalau ji-wi totiang tak bicara tentang bunuh-membunuh. Silahkan menjadi tamu yang baik atau ji-wi kembali secara damai dan melenyapkan semua kemarahan."
“Kau mengusir kami?”
"Pinceng tak mengusir, tapi kalau totiang hendak marah-marah di sini pinceng pikir tak baik. Orang setua kita tentunya harus menenteramkan pikiran dan menjauhkan diri dari segala sikap bermusuhan...”
"Tapi Beng Kong Hwesio membunuh dan melukai murid-murid Heng-san. Ia telah membuat cacad murid keponakanku To Hak Cinjin!"
“Omitohud, ada akibat tentu ada sebab. Pinceng juga melihat enam kepala murid Go-bi di pintu gerbang. Sudahlah, kita tak usah bicara tentang permusuhan dan ji-wi menjadi tamu baik-baik, atau pulang sambil mendinginkan pikiran. Pinceng juga hendak kembali melanjutkan samadhi pinceng.”
"Kaupun sombong!" Siang Lam membentak dan berkelebat menyerang hwesio bertahi lalat ini, yang masih bergoyang-goyang dan tak menginjak tanah. "Guru dan murid rupanya sama saja, keledai busuk. Kalau kami diusir biarlah kami berkenalan dulu dengan kepandaian yang terhormat Ji Leng Hwesio... dukk"
kakek itu berteriak, menumbuk semacam halimun tebal ketika tiba-tiba Ji Leng mengebut dan menggerakkan lengannya. Hwesio ini seolah menolak atau menangkis pukulan Siang Lam, ada kesan ketakutan karena merunduk segala. Tapi begitu lawan terpental dan kakek itu tak mampu menyentuh tubuhnya, Ji Leng masih dikelilingi uap saktinya maka lawan berjungkir balik dan tertegun di dekat sang suheng, yang juga terbelalak dan terkejut melihat hwesio itu tak dapat dipukul!
"Eh, kau pamer kepandaianmu, Ji Leng? Kau mau membuat malu pinto?"
“Omitohud, pinceng tak suka pamer atau membuat malu siapapun. Pinceng hanya menjaga diri dan sebaiknya totiang tak usah menyerang. Jadilah tamu baik-baik atau... wutt!"
Siang Lam membentak dan menyerang lagi. Belum habis lawan bicara kakek inipun sudah berkelebat dan maju lagi. Ia marah dan kaget oleh pukulannya tadi, yang tertahan atau menghantam uap sakti. Dan ketika ia maklum bahwa Ji Leng tentu lebih hebat lagi daripada muridnya, yang sudah luar biasa itu maka kakek inipun melepaskan tongkatnya dan senjata yang bisa terbang sendiri itu meluncur dan menyambar Ji Leng Hwesio.
"Plak-plak-plak!"
Semua terbelalak dan kaget. Ji Leng, yang tidak mengelak atau menangkis tiba-tiba mundur dan meniup. Sebuah tenaga mujijat meluncur dan tongkat tahu-tahu melenceng, menghantam atau membentur pukulan Siang Lam yang melakukan gerak mencengkeram. Dan ketika kakek itu terperanjat karena tongkatnya bertemu serangannya, seolah menangkis atau mewakili Ji Leng Hwesio maka kakek itu melengking dan tentu saja menyerang lagi.
Namun luar biasa, Ji Leng bergerak dan berkali-kali mengeluarkan suara "omitohud", mundur dan mengelak sana-sini namun mulut selalu meniup ke depan. Dan ketika tongkat juga bergerak naik turun dan mengikuti tiupan hwesio ini, menangkis atau menghadapi pukulan Siang Lam Cinjin maka dedengkot dari Heng-san itu terbeliak dan kaget bukan main.
"Des-des-plak!"
Tongkat tak mampu dikendalikan. Siang Lam yang melotot dan kaget akan ini berseru keras menyambar tongkatnya. Tapi ketika tongkat melejit dan melompat-lompat, luput dari setiap terkamannya maka kakek ini pucat dan suhengnya yang ada di sana terkejut dan membelalakkan mata lebar-lebar.
"Pakai tongkatku!" kakek itu tiba-tiba berseru. "Ciangbunjin Go-bi-pai ini rupanya mau mempermainkan kau sute. Keluarkan semua kepandaianmu dan robohkan dia!”
"Omitohud!" sang ciangbunjin menggeleng kepala, tongkat di tangan Siang Kek menyambar dan ditangkap adiknya, menyerang dahsyat. "Kalau begini pinceng harus menundukkan kalian, Siang Kek Cinjin. Apa boleh buat pinceng harus membela diri tapi setelah itu harap kalian pulang. Pinceng tak akan membalas kecuali berkelit. Kalau satu jam tubuh pinceng dapat disentuh biarlah pinceng dianggap kalah!"
Sang hwesio bergerak dan maju mundur. Siang Lam menyerang dengan cepat tapi aneh bin ajaib tongkat pemberian suhengnya bertemu dengan tongkat yang menyambar-nyambar dan berputar di udara itu. Tongkat ini sudah tak dapat dikendalikan karena sepenuhnya di bawah kesaktian Ji Leng Hwesio. Hwesio itu meniup berulang-ulang dan akibatnya tongkat ini berhadapan atau menyambar-nyambar tongkat pemberian Siang Kek Cinjin. Dan ketika semua mata terbelalak karena tongkat itu seolah mewakili Ji Leng Hwe sio, melindungi dan menangkis serangan lawan untuk tuannya maka Siang Lam Cinjin marah bukan main karena dia dimusuhi senjatanya sendiri.
"Keparat!" tosu itu melengking-lengking. "Pergunakan senjatamu sendiri, Ji Leng Hwesio. Jangan menyabot atau mempergunakan senjata orang lain!"
“Hm, pinceng tak merampas senjata orang lain. Adalah kebodohan pemilik senjata kalau tak mampu menguasai senjatanya sendiri, Siang Lam Cinjin. Pinceng hanya mengelak dan menghalau serangan-seranganmu."
"Benar!" Beng Kong Hwesio tiba-tiba berseru. "Kalau kau tak mampu mempergunakan senjatamu buang saja senjatamu, Siang Lam Cinjin. Dan berlutut serta menyerah baik-baik di depan suhu!"
Kakek itu melotot. Ia marah bukan main karena anak murid Go-bi tiba-tiba juga bersorak dan mengejeknya. Tongkatnya sendiri sudah berhadapan dengan tongkat pemberian suhengnye. Dan ketika benturan atau tubrukan selalu membuat tangannya tergetar, tongkat terpental dan serangan selalu gagal maka Ji Leng berseru agar dia mulai menghitung jurus- jurusnya sendiri.
"Maaf, sudah duapuluh jurus. Harap totiang hitung agar tidak salah!"
Kakek ini memekik. Ia marah tapi juga kaget bahwa lawan benar-benar lihai. Setiap serangan tak pernah dibalas karena hwesio itu hanya mengelak dan menghindar ke sana ke mari saja. Tongkatnya itulah yang selalu menyambar-nyambar dan membentur tongkatnya sendiri, beradu dan kian lama kian kuat hingga kakek ini berteriak. Kalau dia memukul semakin keras ternyata tongkat yang beterbangan di udara itu juga menangkisnya semakin kuat.
Tentu saja kakek ini pucat. Dan ketika serangan terus berlanjut sementara Siang Lam mulai menggigil, Ji Leng enak saja menghindar ke sana ke mari maka hitungan sudah tiba pada jurus keempatpuluh di mana Beng Kong berseru di luar pertandingan bahwa tinggal enampuluh jurus lagi, seperempat jam sudah lewat.
"Awas, hampir setengah jam. Kalau satu jam sudah lewat maka kau harus menyerah kalah. Tunduk kepada suhu!"
Siang Lam melengking-lengking. Akhirnya ia marah mengeluarkan Lui-yang Sin-kangnya, membentur tongkat dan secepat kilat menempel atau melekat di tongkatnya itu. Dan ketika dua batang tongkat bertemu dan bersuara keras, letikan bunga api memuncrat di udara maka kakek yang marah dan penasaran ini menyedot tongkatnya dengan ilmu listrik.
"Clap...!”
Semua tertegun. Siang Lam Cinjin tak mengejar Ji Leng Hwesio lagi karena tiba-tiba ia ingin merampas tongkatnya dulu. Tongkat itu amat mengganggu selama dikendalikan Ji Leng Hwesio. Dan ketika ia berhenti dan membentur tongkatnya ini, menyedot, maka tongkat tiba-tiba tertarik dan menuju ke arah kakek itu.
“Omitohud...!” Ji Leng Hwesio berseru dan tersenyum dari jauh. "Kau ingin bersenjata ganda, Cinjin. Silahkan ambil tapi pinceng khawatir tongkatmu itu bakal menjadi satu!"
Benar saja, tongkat tiba-tiba terdorong dan menghantam Siang Lam Cinjin. Kakek yang semula menarik dan berkutat dengan tongkatnya sendiri itu mendadak disambar dan dihantam tongkat di udara, berteriak dan terkejut dan tentu saja ia terjengkang. Maklumlah, saat itu itu ia sedang menarik! Dan ketika kakek ini berteriak keras dan melempar tubuh bergulingan, Ji Leng rupanya melepas kekuatannya di sana dan membiarkan tongkat dirampas, tersenyum dan tertawa maka adalah kakek ini memaki-maki karena nyaris dihantam tongkatnya sendiri.
Dan begitu ia melompat bangun dan lega bahwa tongkat dapat dirampas tiba-tiba kakek ini melotot karena benar saja tongkatnya itu menyatu tak mau sendiri-sendiri. Siang Lam menarik namun tongkat melekat. Ia mencabut namun tak dapat dicabut. Dan ketika kakek itu terbelalak karena ini tentu perbuatan lawan, bukan tenaga listriknya lagi karena sudah melepas daya sedotnya maka terdengar tawa bergelak dari Beng Kong Hwesio, tawa yang menyakitkan.
"Ha-ha, kau meminta tongkatmu, Siang Lam. Sekarang suhu sudah memberikannya kepadamu. Ayo, robohkan suhuku dan masih ada sisa pertandingan lima puluh tujuh jurus. Kalau suhu dapat kau sentuh biarlah Go-bi tunduk di bawah Heng-san dan aku menyerahkan kepalaku!"
Kakek ini marah sekali. Ia terkejut dan membelalakkan mata karena dua batang tongkat sekarang tak mau dipisahkan. Tadi disedot dengan ilmu listrik tapi sekarang malah lengket. Ini keterlaluan. Dan ketika ia maklum bahwa itu tentu bekas perbuatan lawan, Ji Leng masih bergoyang-goyang dan menanti di sana, tak bergerak atau membalas sedikitpun maka ia menerjang dan dua batang tongkat yang sekarang tak dapat dilepas itu dihantamkan ke arah lawannya, dahsyat bagai harimau mengamuk.
“Ji Leng, pinto tak usah hidup lagi kalau tak mampu menyentuh tubuhmu. Biarlah pinto mampus dan tak usah tinggal di dunia kalau tak dapat mengalahkanmu!”
“Omitohud!" sang hwesio berseru, lembut. "Pinceng tak menghendaki nyawa siapapun, Siang Lam Cinjin. Kalau kau sudah mengakui kalah sebaiknya pergi."
"Keparat, pinto tak akan pergi kalau belum mampus. Biar kau mampus atau pinto yang mampus.... des-dess!" dan tongkat yang ganas menghajar lantai, pecah dan berantakan akhirnya disusul oleh kelebatan kakek ini yang menyambar-nyambar. Sin-sian-hoan-eng dikeluarkan dan Dewa Sakti Tanpa Bayangan itu lenyap menjadi sinar naik turun yang amat cepatnya. Kakek ini sudah tak dapat diikuti lagi.
Namun Ji Leng Hwesio pun bergerak kian cepat. Ketua Go-bi ini disambar pukulan-pukulan tongkat namun setiap diserang tentu tubuhnya sudah lebih dulu terdorong. Jadi seperti kapas atau benda ringan yang tentu saja luput disambar. Dan ketika lawan terbelalak karena ketua Go-bi itu melayang-layang dengan amat ringannya dihantam pukulan-pukulan bergelombang, tak dapat disentuh apalagi dipegang maka Siang Lam Cinjin mencak-mencak melihat kegagalan serangannya ini. Tak sebuahpun mampu menyentuh lawannya.
“Ha-ha!" di sana Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. "Lihat tingkahmu, Siang Lam Cinjin. Seperti kambing kebakaran jenggot!"
Kakek ini marah bukan main. Ia telah mempercepat gerakannya namun lawan benar- benar tak dapat disentuh. Jangankan kulitnya, ujung jubahnya saja tak dapat. Dan ketika kakek ini melengking-lengking dan suhengnya di sana juga berubah pucat dan merah berganti-ganti, Ji Leng sama sekali tak membalas dan hanya berkelit maju mundur maka delapan puluh jurus lewat dengan cepat dan satu jam sudah hampir berlalu.
“Siancai, Bian-kun yang hebat. Go-bi-paicu benar-benar telah mencapai tingkat mahir dan adikku harus tahu diri. Bagaimana kalau pinto juga main-main dan apakah yang terhormat ketua Go-bi berani mempertahankan kata-katanya? Pinto juga ingin menyentuh tubuhmu dan biarlah dianggap kalah kalau dalam dua puluh lima jurus bersama adikku tak mampu memegang!”
“Hm, totiang ingin maju pula? Bagus, silahkan, Siang Kek cinjin. Pinceng akan mencoba dan mudah-mudahan pinceng dapat bertahan!"
Siang Kek Cinjin, yang berseru dan gatal-gatal tangannya tiba-tiba mendapat sambutan Ji Leng Hwesio. Ketua Go-bi yang terus terdorong maju mundur oleh pukulan-pukulan Siang Lam Cinjin itu masih melayani lawannya dengan wajah berseri-seri. Halimun di mukanya tetap membungkus dan hanya beberapa orang saja yang dapat melihat jelas. Selebihnya, samar oleh kabut ini dan Tujuh Malaikat Hoa-san sendiri tak mampu menembus. Mereka tak melihat bagaimana mata Ji Leng Hwesio tiba-tiba mencorong, hidup dan bersinar-sinar.
Dan tujuh tosu Hoa-san ini tahu-tahu berteriak kaget karena dari balik halimun tiba-tiba menyorot cahaya menyilaukan bagai bintang berpijar. Dan ketika Siang Lam maupun Siang Kek juga terkejut karena perbawa yang kuat memancar di situ, menembus dan menggetarkan hati mereka tiba-tiba dua dedengkot Heng-san ini merasa gentar dan jerih, segan. Siang Kek yang hendak maju sekonyong-konyong menunjukkan sikap ragu- ragu, mundur dan tak jadi. Tapi begitu Beng Kong terbahak dan mengejeknya sebagai penakut, tawa hwesio itu menggetarkan ruangan maka kakek ini bergerak dan iapun membentak karena malu.
"Beng Kong, kau semakin pongah dengan gurumu di sini. Awas, pinto akan memotong lidahmu kalau nanti dapat merobohkan gurumu!"
“Ha-ha, suhu tak mungkin kalah. Suhu telah mencapai tingkat kesembilan dari ilmu saktinya Hok-tee Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Dunia), Siang Kek Cinjin. Apapun yang kalian lakukan tak mungkin dapat merobohkannya!"
"Tutup mulutmu!" Ji Leng Hwesio tiba-tiba membentak, berseru kepada muridnya itu, yang penuh bangga. "Rahasia guru tak usah diberitahukan orang lain, Beng Kong. Pinceng minta kau tak perlu bersombong karena di atas langit masih ada langit!”
"Siancai...!" Siang Kek terkejut. “Kau telah memiliki Hok-tee Sin-kun, Ji Leng Hwesio? Kau telah menguasainya? Ah, pantas. Dikeroyok berduapun tak mungkin pinto menang. Tapi biarlah, pinto ingin merasakan kepandaianmu dan kalau kalah pun tentu puas!" dan kakek itu yang bergerak dan menerjang ke depan akhirnya berseru kepada adiknya agar mengepung dari kanan kiri. Siang Kek bergerak dari kanan sementara adiknya dari kiri.
Tapi begitu dua orang ini bergerak dan masing-masing mengerahkan Sin-sian-hoan- eng untuk memburu Ji Leng Hwesio ternyata hwesio itu tetap terdorong ke sana-sini ditiup angin pukulan. Akibatnya tentu saja dua kakek itu penasaran dan gerakan semakin dipercepat lagi. Namun ketika tubuh lawan semakin bertambah ringan dan seolah-olah kapas atau daun kering yang melayang-layang, sekalipun juga hwesio itu tak pernah membalas maka Siang Kek merah padam dan kedudukannya sebagai sesepuh Heng-san terkoyak.
“Go-bi-paicu, coba kau balas kami. Pukul dan robohkanlah kami!”
“Omitohud," sang hwesio berseru, menggeleng. "Pinceng tak dapat melakukan itu, totiang. Pinceng tak mau melukai perasaan orang lain. Lebih baik dipukul daripada memukul!"
"Tapi kami punya harga diri. Kami tentu akan kecewa kepadamu kalau sebuah pukulanpun tak pernah kau berikan kepada kami!”
"Omitohud, pinceng dapat mengerti perasaan totiang. Baiklah, setelah dua puluh lima jurus pinceng akan membalas, totiang. Tapi itupun bukan untuk membunuh. Pinceng mengajak kalian mengadu sinkang dan setelah itu ji-wi (kalian berdua) harap mundur!"
Ji Leng tahu perasaan orang, tahu bahwa orang-orang seperti Siang Kek maupun Siang Lam ini amatlah peka terhadap hinaan. Mereka bakal sakit hati dan terhina seumur hidup kalau sebuah pukulanpun tak akan diterima. Bayangkan, masa dedengkot seperti mereka harus menyerah kalah oleh lawan yang hanya mengelak dan menghindar ke sana ke mari saja. Ditaruh di mana muka mereka nanti. Maka menyadari bahwa dua kakek itu meminta dihargai, muka mereka tak boleh hancur maka hwesio sakti dari Go-bi ini naik turun dihantam pukulan lawan.
Sepuluh jurus lewat dengan cepat dan Beng Kong Hwesio berseri-seri di sana, mengejek dan berseru kepada dua kakek itu agar mempercepat gerakan mereka. Dua kakek itu terbakar. Tapi ketika Ji Leng membentak agar muridnya tak usah bercuap-cuap, Siang Kek maupun Siang Lam merasa tertolong maka sepuluh jurus lewat lagi dengan cepat dan hwesio itu berkata bahwa pertandingan sudah hampir berakhir.
“Kalian boleh keluarkan seluruh sinkang kalian. Pada hitungan terakhir pinceng akan mengeluarkan Hok-tee Sin-kun!”
Dua kakek itu tegang. Lawan ternyata akan membalas dan diam-diam mereka kagum dan hormat. Lain Ji Leng Hwesio lain pula Beng Kong. Sang guru ternyata lebih lembut dan jauh lebih baik daripada sang murid. Tak ada kesombongan atau rasa takabur pada tokoh Go-bi ini, padahal jelas kepandaiannya begitu tinggi dan mereka diam-diam bergidik. Kalau Beng Kong seperti ini tentu dunia bakal celaka. Dan ketika hitungan terus berlanjut dan tepat pada jurus kedua puluh lima Siang Lam maupun Siang Kek tak mampu menyentuh hwesio itu, ini benar-benar luar biasa maka Ji Leng berseru agar dua kakek itu waspada.
"Awas, pinceng akan membalas, ji-wi totiang. Dan kalian boleh pakai Lui-yang Sin-kang ataupun sinkang-sinkang (tenaga sakti) lain!"
Siang Kek maupun Siang Lam berubah. Mereka benar-benar tak mampu merobohkan lawan mereka itu karena setiap pukulan tentu mendorong mundur tubuh si ketua Go-bi, selalu begitu setiap angin pukulan menyambar. Dan karena tak mungkin melepas pukulan tanpa angin sinkang, lawan benar-benar berat akhirnya dua kakek ini mengeluh ketika pada jurus kedua puluh lima Ji Leng Hwesio menginjak lantai dan langsung mengebutkan kedua lengan jubahnya menghantam mereka.
"Cinjin, awas!"
Dua kakek itu tersentak. Jantung mereka serasa anjlog begitu melihat kaki Ji Leng Hwesio turun di tanah. Tadi hwesio itu melayang-layang dan tak sedetikpun juga turun di lantai. Kini, berseru kepada mereka sekonyong-konyong telapak kaki hwesio itu anjlog dan turun di lantai, suaranya bergetar dan Tujuh Malaikat Hoa-san terpelanting dan berteriak. Mereka terjerembab, apalagi anak-anak murid Go-bi sendiri! Dan ketika semua orang berteriak karena menapaknya hwesio itu seperti jatuhnya seekor gajah, Hok-tee Sin-kun bekerja dan inilah ilmu sakti dari tokoh Go-bi itu maka Siang Kek maupun Siang Lam merasa disambar kebutan ujung jubah yang amat dahsyatnya.
"Aihhhhhh...!” Pekik atau teriakan panjang ini membuat Hoa-san Sin-jit dan lain-lainnya semakin runyam lagi. Mereka baru saja terpelanting oleh gedrukan telapak kaki Ji Leng Hwesio, kini ditambah lagi oleh bentakan atau suara kaget dua kakek Heng-san itu. Dan ketika mereka terlempar dan anak-anak murid Go-bi terbang berhamburan, kejadian ini memang luar biasa maka dentuman atau gelegar beradunya pukulan disusul oleh keluhan atau jerit tertahan Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin.
“Bress!" Dua kakek itu terlempar dan terbanting di luar ruangan. Mereka terguling-guling dan meloncat bangun namun roboh lagi Hok-tee Sin-kun telah mereka rasakan dan hebatnya ternyata bukan ulah-ulah. Mereka tak kuat! Dan ketika baru setelah empat kali bergulingan mereka dapat meloncat bangun, terhuyung, maka Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin melihat lawan mereka melayang-layang lagi dan berjalan seperti dewa, tidak menapak atau menyentuh lantai.
"Maaf, pinceng pikir cukup, Siang Kek Cinjin. Kalau ada kesalahan pinceng sukalah kalian memaafkannya. Pinceng harus kembali dan tentunya ji-wi akan menyelesaikan persoalan ini sampai di sini saja!"
Dua kakek itu terbelalak. Ji Leng Hwesio, sang ketua Go-bi yang sakti, melambaikan tangan dan lenyap menghilang. Hwesio itu memberi senyum kepada mereka dan dua dedengkot Heng-san-pai ini pucat mukanya. Mereka telah kalah, hanya dalam satu jurus saja. Dan ketika dua kakek itu mendelong dan wajah mereka berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat maka mereka membalik dan tiba-tiba meninggalkan Go-bi, tak menoleh lagi pada Tujuh Malaikat Hoa-san ataupun yang lain-lain.
"Ji Leng Hwesio, kau hebat. Agaknya duapuluh tahun lagi kami berlatih ilmu tetap saja kepandaian kami tak nempil denganmu. Baik, kami mau menyelesaikan persoalan ini tapi jangan muridmu mengganggu Heng-san lagi!"
"Benar," Siang Lam juga berseru. “Atau kami bertanding sampai mati, Ji Leng Hwesio. Mayat kami boleh diinjak-injak tapi nama perguruan jangan!"
Terkejutlah Tujuh Malaikat Hoa-san dan Kiam Ting Sianjin. Mereka itu adalah orang-orang yang mengiringi dedengkot Heng-san ketika tiba-tiba saja dua kakek itu pulang dengan enak. Mereka ditinggalkan meskipun mereka juga tahu bahwa dua kakek itu malu besar.
Mereka telah dipecundangi dedengkot Go-bi yang amat sakti! Dan ketika mereka juga bergerak dan Hek-tosu berseru biarlah urusan selesai sampai di situ saja, diri sendiri jelas tak mungkin mengalahkan Go-bi maka delapan orang ini berkelebat lenyap dan anak-anak murid Go-bi masih merasa nanar dan pusing oleh kejadian itu. Tak tahu bagaimana tadi dua dedengkot Heng-san-pai dihajar atau dikalahkan ciangbunjin mereka.
“Hebat, seperti mimpi. Apa yang dilakukan ciangbunjin tadi dan bagaimana dua kakek siluman itu roboh....!”