Prahara Di Gurun Gobi Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su episode Prahara Di Gurun Gobi Jilid 14 karya Batara
Sonny Ogawa
Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“He, jangan melotot saja, See-tok. Bantu aku dan nanti kubayar. Eiihhhh.... cepat!”

Kwi-bo membanting tubuh bergulingan ketika hampir saja ia terlambat menghindar tusukan Tong-si. Senjata maut itu menusuk dadanya dan sedetik ia lengah tentu ia celaka. Dan ketika Kwi-bun terkekeh dan mengejar bersama isterinya, lawan bergulingan mendekati See-tok, meloncat bangun maka Kwi-bo membentak agar raksasa itu membantunya.

"He, cepat bantu aku. Nanti aku melayani kalian lagi. Eih, kau masih diam saja, See-tok? Dan kau juga, Jin-touw? Bagus, lihat kemarahanku nanti dan jangan harap cinta kalian kusambut.... bret-bret!"

Kwi-bo yang mengelak dan menangkis serangan Kwi-bun, menendang dan menghalau tusukan Tong-si akhirnya merobek bajunya sendiri dan bergeraklah wanita itu naik turun mainkan Thian-mo-bu (Tarian Hantu Langit), mengejutkan lawan-lawannya dan tentu saja Kwi-bun maupun See-tok dan Jin-touw terbelalak. Darah mereka berdesir karena Kwi- bo sudah mulai buka-buka pakaian. Thian-mo-bu memang mengharuskan begitu dan selanjutnya satu demi satu pakaian wanita ini berlepasan dengan cepat.

Kwi-bo marah karena dua temannya tak juga bergerak membantu, apa boleh buat harus mengeluarkan Tarian Hantu Langitnya itu dan benar saja See-tok tertawa bergelak. Dan ketika Jin-touw juga terkekeh ditahan dan mereka melompat maju, berkelebat dan menghantam Tong-si maupun Kwi-bun maka dua laki-laki ini membantu Kwi-bo dan See-tok meremas buah dada Kwi-bo yang bergoyang- goyang.

"Ha-ha, siapa tak mau membantumu. Aku belum melihat kau perlu dibantu, Kwi-bo. Tapi kalau kau tak tahan baiklah, aku maju dan biar kugempur mereka....des-dess!'"

Tong-si mencelat dan Kwi-bun pun berteriak. Dengan senjatanya yang mengerikan raksasa muka merah itu menerjang, bandul tengkorak menghantam sementara tangannya yang lain meraba tubuh si molek, dibiarkan dan Jin-touw juga tertawa menerjang maju. Dan ketika iblis itu mengayunkan kapaknya dan tangan juga tak mau diam, mencolek atau meremas pantat Kwi-bo maka Tong-si melengking karena Kwi- bo segera berseri-seri. Umpannya masuk!

"Hi-hik, begini baru betul, See-tok. Tapi kalian sudah membuat aku marah. Hayo gantikan aku dan biar aku istirahat!"

"Apa?”

"Kalian harus dihukum sedikit. Kalian hampir terlambat membantu aku. Nah kalau ingin cinta kalian kusambut maka robohkan Tong-si dan hajar si Kwi-bun itu!"

See-tok dan Jin-touw tertawa tergelak-gelak. Melihat Kwi-bo bertelanjang begitu maka nafsupun bergolak. Mereka bangkit kelelakiannya tapi sedikit kecewa kenapa Kwi-bo mengundurkan diri. Mereka jadi tak dapat mencolak-colek. Tapi karena Kwi-bo sudah berjanji dan janji itu membuat darah bergetar, keras, maka See-tok maupun Jin-touw menyerang Tong-si maupun Kwi-bun dengan gerak membabi-buta mereka.

Tong-si dan suaminya terkejut dan wanita perunggu ini tentu saja marah bukan main. Dua laki-laki itu menbantu Kwi-bo, hanya setelah dipameri tubuhnya yang merangsang. Dan ketika suaminya juga melotot dan terpengaruh gerak Thian-mo-bu, menoleh dan memandang Kwi-bo maka wanita ini melengking karena suaminya itu tidak melihat ayunan kapak Jin- touw.

"Awas... dess!"

Kwi-bun mencelat. Iblis ini ditendang isterinya sendiri dan memekik serta terguling-guling. Tong-si memaki-makinva karena melotot dan memandangi Kwi-bo di sana, yang duduk dan mengipas-ngipasi tubuhnya dengan duduk di atas batu hitam. Duduknya juga tak tahu aturan! Dan ketika iblis ini mengumpat karena gara-gara Kwi-bo ia hampir celaka, wanita itu sungguh kurang ajar maka Kwi-bo terkekeh- kekeh dan menggerak-gerakke kakinya ke atas ke bawah.

“Hi-hik, pasang matamu baik-baik, Kwi-bun. Kalau tak ingin bertanding di sana boleh bertempur di sini. Ayo, ke marilah!”

Kwi-bun menyumpah. Sekarang omongannya yang kotor keluar. Ia gemas dan marah kepada Kwi-bo, tapi juga kagum. Maklum, pameran paha dan bagian-bagian lain tubuh wanita itu benar-benar mengganggu konsentrasinya. Ia harus menekan diri kuat-kuat kalau tak mau memandang ke tempat itu, Kwi-bo yang duduk dengan cara kurang ajar! Dan ketika ia mengelak sana-sini hantaman Jin-touw namun beberapa kali ia mencuri pandang ke Kwi-bo, yang duduk seenaknya itu maka sang isteri membentak agar ia bertukar tempat.

"Bodoh. Tolol dan hidung belang. He, ganti tempatmu dengan tempat Jin-touw, Kwi-bun. Belakangi Kwi-bo dan biar Jin-touw yang melotot ke situ. Cis, Kwi-bo memang sundal jalang. Dudukpun juga mekangkang- mekangkang!"

Kwi-bun mengangguk. Takut dihajar atau disemprot isteri sendiri iapun berputar. Sebenarnya eman-eman juga melepas pemandangan seperti itu. Paha gempal Kwi-bo dan bagian-bagian tubuhnya yang lain terlampau nikmat untuk dipandang. Sudah lama ia tak memperoleh pemandangan seperti itu, gratisan lagi. Tapi karena bahaya lebih besar dan seruan isterinya benar, ia harus bertukar tempat maka Jin-touwlah yang terbelalak dan melotot melihat ongkang- ongkang Kwi-bo.

"Hi-hik. pusatkan konsentrasimu, Jin-touw, jangan melotot ke sini. Awas, Kwi-bun menghantammu.... dess!”

Jin-touw menjadi korban, baru saja melotot tapi segera terpelanting oleh pukulan lawan. Dan ketika ia mengutuk karena tingkah temannya sungguh kurang ajar, ia harus memandang ke arah lain maka Kwi-bun terkekeh-kekeh dan mendesaknya.

"Bagus, kau boleh lihat wanita itu Jin-touw. Betapa cantiknya. Ufh, segar sekali!”

Jin-touw mengutuk. Ia mengelak tapi lagi-lagi tersedot, matanya memandang paha gempal Kwi-bo. Dan ketika ia terpelanting dan berseru agar Kwi-bo menutup pahanya, jangan pemandangan kurang ajar itu dipertontonkan pada laki-laki maka Kwi-bo terkekeh dan berseru bahwa itu adalah salah dirinya, bukan ia.

"Hi-hik, ini adalah milik milikku sendiri, kenapa harus sewot. Kalau tak tahan tusuk matamu sampai buta, Jin-touw. Salah matamu itulah kenapa melotot!"

"Ha-ha!" See-tok di sana tertawa bergelak. "Dia benar Jin-touw. Kaulah yang memiliki mata tak dapat diatur. Matamu jelalatan, buang dan ganti saja dengan mata kelereng!"

Jin-touw mengumpat. Akhirnya ia terkekeh juga karena kata-kata itu betul. Tapi berseru bahwa mana ada laki-laki yang kuat kalau Kwi-bo duduk dengan cara seenaknya sendiri, begitu kurang ajar dan menyedot mata lelaki maka Kwi-bun dituding sebagai pembanding. "Kau benar, tapi juga salah. Lihat Kwi-bun juga sekali-kali melotot ke arah Kwi-bo!"

“Ha-ha, biarkan saja. Nanti mudah kau gebuk dan mendapat kemenangan!"

"Baik, kalau begitu mari berlomba, See-tok. Siapa lebih dulu merobohkan lawan dialah yang lebih dulu mendapat cintanya Kwi-bo!"

Dua laki-laki ini terbahak. See-tok mengangguk dan tiba-tiba menghantam lawannya dengan pukulan dahsyat. Bandul tengkorak menyambar dengan amat ganas namun lawan memaki, mengelak dan balas menggerakkan tusuk kondenya dan berpijarlah bunga api menangkis tengkorak. Dan ketika Tong-si mencaci-maki dua laki-laki itu, berkata bahwa mereka tak tahu malu bicara cabul.

Maka di sana Jin-touw juga menyerang suaminya dengan dahsyat tapi Kwi-bun menangkis dan masing-masing sama terpental. Kwi-bun juga marah dan membalas serta ditangkis lawannya. Dan ketika mereka bertanding hebat sementara Kwi-bo terkekeh- kekeh di batu hitam, dua temannya itu diadu dan gampang dibodohi maka Coa-ong mendecak kagum dan menggeser duduknya mendekati si cantik.

“Ck-ck...!" Raja Ular ini tertawa, matanya berseri-seri. "Kau hebat, Kwi-bo. See-tok dan Jin-touw sungguh dua manusia tolol. Heh-heh, dengan tubuhmu mereka sudah dapat kau tipu. Ck-ck...!" kakek ini menggerakkan tangan, mulut bicara kagum tapi jari-jemari sudah mengusap paha Kwi-bo. Dan ketika Kwi-bo tertawa tapi melotot melihat tangan kakek itu, yang kurang ajar naik semakin ke atas maka wanita ini membentak sambil menepiskan tangan kakek itu.

"Coa-ong, jangan kurang ajar. Kau tadi tak mau mbantu aku!”

"Heh-heh, tadi adalah tadi, Kwi-bo. Sekarang adalah sekarang. Ahh, pahamu benar-benar gempal mulus!" berkata begini kakek itu lagi-lagi maju mendekat, mengusap dan mencolek paha si cantik dan Kwi-bo jengkel menampar lawan.

Tapi ketika si kakek nekat dan malah mendekat, iapun tak kuat menyaksikan ini maka Kwi-bo melompat bangun dan menendang kakek itu. “Kau sama saja dengan mereka. Pergilah!”

Tongkat menangkis. Tendangan bertemu tongkat dan Kwi-bo melengking. Alih-alih menghindari Kwi-bun sekarang dia diganggu Coa-ong, tentu saja Kwi-bo marah! Dan ketika ia membentak dan menerjang kakek itu, Coa-ong tertawa mendadak mereka sudah bertempur dan Coa-ong turun liurnya menghadapi wanita cantik ini. Jin-touw terbelalak dan See-tok juga kaget. Tapi karena kejadian begini bukanlah hal aneh dan Jin-touw terkekeh-kekeh maka iblis ini berseru agar Kwi-bo membunuh saja si Raja Ular itu, gemas karena Raja Ular ini enak saja menggerayangi Kwi-bo, tadi dia melihatnya.

“Bagus, bunuh tua bangka itu, Kwi-bo. Tusuk matanya. Betot lidahnya dan tarik telinganya agar tidak kurang ajar lagi!"

"Heh-heh," Coa-ong tertawa berkelebatan mengelak dan menangkis, mengejek lawannya. "Aku bukan barang mati yang dapat diperlakukan sesuka hati, Jin-touw. Kalau kau dapat merobohkan Kwi-bun biarlah kentutmu kucium. Kalau tidak kaulah yang harusmencium kentutku daripada bicara seenak udelmu. Tak usah cemburu!"

"Weh, kau memegang-megang Kwi-bo. Dia milikku!”

“Ha-ha, Kwi-bo milik semua orang, Jin-touw. Jangan tolol. Ayo robohkan musuhmu dan aku akan membawa si cantik yang menggairahkan ini. Aiihh, aku juga sudah tak kuat!"

Jin-touw melotot. Coa-ong dengan penuh nafsu dan gemas membalas pukulan Kwi-bo, mengelak dan menyelinap dan tahu-tahu sudah di bawah ketiak Kwi-bo. Dan ketika dengan rasa gemas kakek ini meremas dada Kwi-bo, yang menjerit dan menendang si kakek maka Jin-touw nyaris mendapat tusukan karena Kwi-bun berkelebat dan mendapat kesempatan.

“Plak!” Jin-touw memaki-maki. Dia melempar tubuh dan marah kepada lawannya ini dikejar dan See-tok di sana juga menggeram melihat Coa-ong meremas buah dada Kwi-bo. Si cantik itu miliknya! Tapi ketika ia memaki dan Tong-si mengejarnya, berkelebat dengan tujuh tusukan maut maka apa boleh buat ia tak dapat menyerang Coa-ong dan mengelak sambaran tusuk konde, membalas dan bertanding lagi dan tiga pertempuran pecah di sini.

Coa-ong tertawa-tawa menggerayang si cantik. Keberhasilannya tadi membuatnya senang! Tapi ketika Kwi-bo terkekeh nyaring dan meliak-liukkan tubuh mengeluarkan Thian-mo-bu, kakek ular ini tertegun dan membelalakkan mata lebar-lebar maka Kwi-bo kini justeru memberikan tubuhnya untuk dipegang-pegang lagi. Boleh diremas atau diusap!

“Hi-hik, kau nakal, Coa-ong. Kau membuatku geli. Baik, boleh pegang dan usap sesukamu, tapi jangan main cubit. Aih, aku akan menari-nari di depanmu!"

Si cantik melenggang-lenggok. Coa-ong melotot ketika dengan amat lemah-gemulainya lawannya ini meliak-liukkan tubuh. Bagian-bagian yang menonjol diperlihatkan jelas dan tentu saja kakek itu tak tahan. Dan ketika Kwi-bo mendoyongkan tubuh dan menciumnya, pinggul atau pantat wanita itu begitu dekat dengan pinggulnya sendiri maka Coa-ong lupa diri dan langsung menubruk.

"Heh-heh, kau menggairahkan, Kwi-bo. Tubuhmu sungguh hebat sekali. Aduh, jakunku naik turun... ngok!” si kakek mendahului, mencium dan memeluk dan saat itu juga tangannya sudah sibuk meremas dan mengusap. Ia tak sadar bahwa inilah pancingan Thian-mo-bu yang memabokkan. Lawan mempergunakan tubuhnya untuk menarik dan melupakan segalanya, termasuk diri sendiri. Dan ketika kakek itu terperangkap dan Kwi-bo terkekeh, tawanya berobah dari merdu menjadi beringas sekonyong-konyong rambutnya menjeletar dan leher kakek itu sudah digubat.

"Bagus, terima kasih, Coa-ong, Tapi sekarang mampuslah... tar!”

Coa-ong terkejut. Mencium dan memeluk wanita ini mendadak ia kehilangan kontrol diri. Tubuh Kwi-bo benar-benar melupakan segalanya dan meledaklah rambut, melilit lehernya. Dan ketika ia tersentak karena Kwi-bo menjirat dan menarik, napasnya terhenti maka kakek itu terbeliak melihat kelima jari tangan Kwi-bo menuju ubun-ubunnya.

“Celaka.... ngek-hekk!" kakek itu meronta, tongkat bergerak dan tiba-tiba menyambar dada Kwi-bo pula. Dalam saat-saat yang berbahaya itu kakek ini sadar dan nafsupun seketika padam. Ia berteriak keras. Dan ketika Kwi-bo terkejut karena dadanya ditusuk tongkat, kakek itu akan mampus namun ia sendiri juga tentu tewas, Kwi-bo mengumpat dan apa boleh buat melepaskan rambutnya maka cengkeramnya berobah ke bawah dan kepala yang hendak disambar sudah berganti dengan tongkat yang ditangkis.

"Plak-plak!"

Dua orang itu terpental. Coa-ong selamat dan melempar tubuh sambil batuk-batuk sementara Kwi-bo terhuyung dan memaki kakek itu dengan umpatan kotor. Coa-ong batuk-batuk karena lehernya terasa sakit dan gatal dililit rambut, kini sudah bebas namun ia terbatuk-batuk. Dan ketika kakek itu bergulingan meloncat bangun dan di sana See-tok maupun Jin-touw terbahak-bahak, mereka melihat kejadian itu maka Raja Ular ini menggeram dan nafsu berahinya padam terganti nafsu amarah. Mata berkilat-kilat.

"Bagus, kau tak dapat disayang, Kwi-bo. Sekarang aku membunuhmu. Keparat, aku akan membunuhmu!"

Kwi-bo terkekeh. Ia senang lawannya ini sudah dibuat kalang-kabut, tentu saja tak takut ancaman itu karena sesungguhnya ia maupun Coa-ong adalah sama-sama setingkat. Tadipun ia sudah ragu berhasil membunuh lawan, karena Coa-ong tentu juga sadar dan akan membalas dengan serangan berbahaya, mengajak mati bersama. Dan ketika ia tertawa dan mengelak serangan tongkat, Coa-ong mendengus dan menyerang lagi maka dua orang ini bertanding seru.

Sementara See-tok maupun Jin-touw juga menghadapi lawan masing-masing. Mereka berkelebatan namun tangkis-menangkis di antara mereka membuat masing-masing terpental. Kepandaian mereka memang berimbang dan tak ada yang lebih atau kurang, masing-masing bisa dibilang sama. Dan ketika semua menjadi gemas karena belum juga mampu merobohkan lawan. Coa-ong juga tak lagi terpengaruh oleh tubuh indah Kwi-bo, yang meliuk dan menari-nari dengan Tarian Hantu Langitnya maka berkelebat sesosok bayangan dan sebatang galah panjang tahu-tahu nyelonong.

“Berhenti, apa-apaan ini!"

See-tok dan Tong-si terkejut. Merekalah yang lebih dulu disambar atau disontek galah panjang itu, yang memecah dan memisah mereka yang sedang bertanding. Dan ketika galah membentur tengkorak maupun tusuk konde, berketrak dan masing-masing terpental maka sosok tinggi kurus sudah ada di situ.

“Jin-mo (Hantu Bambu)...!”

“Benar, orang ini berkata. "Aku, See-tok. Dan jangan bertempur lagi karena ada berita penting. Yang lain-lain juga berhenti!” dan Jin-mo yang berkelebat dan masuk ke arena yang lain, membenturkan galahnya dan memisah Coa-ong maupun Kwi-bun akhirnya membuat semua terhuyung dan iblis tinggi kurus ini berseru, suaranya kecil nyaring, "Stop, berhenti. Ada kabar buruk. Kalian jangan bertempur dan berhenti... trak-trak!"

Galah di tangan si iblis itu membentur teman-temannya, terpental tapi yang lain-lain sudah berhenti dan terhuyung melotot lebar. Rekan mereka ini muncul dengan suaranya yang penuh cemas, dua tiga kali menoleh ke belakang. Dan ketika Kwi-bun mengumpat namun Jin-mo menggoyang-goyang galahnya, menyuruh teman-temannya sabar maka iblis ini berkata bahwa ratusan orang kang-ouw mencari mereka.

“Sabar, jangan marah-marah dulu. Kita semua harus bersatu karena kita semua menghadapi bahaya. Ratusan orang mencari kita. Mereka mengejar-ngejar aku!"

"Apa? Kau dikejar-kejar musuh? Soal apa?"

"Soal Bu-tek-cin-keng, Kwi-bo. Mereka mengejar-ngejar aku dan mereka ada di belakang!"

“Hi-hik, itu urusanmu. Kalau begitu tak perlu kau ke sini karena tentu kau mau minta tolong!"

"Ha-ha, benar!" See-tok tiba-tiba juga tertawa. "Kau terbirit-birit dikejar orang kang-ouw, Jin-mo. Itu urusanmu dan jangan melibatkan kami. Hadapi saja dan hancurkan mereka!”

“Hm, jangan berolok-olok. Mereka bukan hanya mencari aku, See-tok. Mereka mencari kita semua. Tujuh Siluman Langit dianggap telah merampas Bu-tek-cin-keng. Nah, itu mereka dan lihat!"

Kwi-bo terkejut. Ia menoleh dan teman-temannya juga terbelalak karena dari luar daerah berkapur itu mendadak muncul ratusan orang yang berteriak-teriak. Mereka itu tadinya mengejar Jin-mo dan begitu melihat langsung saja mereka mengacungkan tinju, juga senjata atau apa saja yang dapat dipakai untuk mengancam iblis tinggi kurus itu. Dan ketika Kwi-bo dan yang lain-lain terkejut, sorakan atau teriakan mereka seperti harimau kelaparan maka Jin-mo berkata, mendesis,

“Nah lihat. Apakah itu bukan bahaya!”

Enam Hantu Langit yang lain tertegun. Mereka itu berubah dan ratusan orang kang-ouw yang berteriak-teriak itu sudah semakin dekat. Jumlahnya tak kurang dari lima ratus orang. Bukan main! Namun ketika Jin-touw sadar dan terkekeh, aneh sekali, maka lelaki itu berseru bahwa itu urusan Jin-mo. Bukan dia dan kawan-kawannya.

"Ha-ha, tak perlu takut. Mereka mencarimu, Jin-mo, bukan mencari kita. Hadapilah dan jangan membawa-bawa kami!”

“Benar," Coa-ong tiba-tiba tertawa, juga berseru. "Mereka itu mencarimu, Jin-mo, bukan kita. Hadapilah dan jangan membawa-bawa kami!”

“Eh!” sang iblis terkejut. "Kau tak ingat keutuhan Tujuh Siluman Langit? Kalian membiarkan aku sendirian?”

“Ha-ha, yang dicari adalah kau, Jin-mo, bukan kami. Kami tak mau ikut campur dan rasanya terlalu ngeri kalau harus menghadapi ratusan orang begitu. Aih, aku masih tak ingin mampus!"

"Benar," Coa-ong tiba-tiba terkekeh, lagi-lagi berseru. Aku juga tak ingin mampus, Jin-mo. Kalau kau dikejar-kejar mereka biarlah aku menonton... wut!" Raja Ular ini melayang ke atas batu karang, nongkrong dan terkekeh-kekeh di situ dan yang lain-lain tiba-tiba juga mengikuti dan tertawa-tawa.

Tujuh Siluman Langit ini sungguh manusia-manusia kejam yang tidak menghiraukan teman sendiri. Mereka malah ingin melihat bagaimana Jin-mo dibantai ratusan orang itu, yang tentu saja tak mungkin dihadapi Jin-mo meskipun kepandaiannya selangit. Dan ketika iblis ini terbelalak dan merah mukanya karena ia seperti seekor domba korban yang siap dipersembahkan oleh teman-temannya, orang-orang kang-ouw itu sudah dekat dan berteriak-teriak mencaci-maki maka Jin-mo tiba-tiba tertawa nyaring dan aneh serta luar biasa mendadak ia berjungkir-balik dan melayang ke atas batu karang tak jauh dari Coa-ong, mencabut sesuatu.

"Heii, kerbau-kerbau busuk. Kalian benar-benar tak mau melepaskan aku dan seperti singa-singa lapar saja. Lihat, inilah Bu-tek-cin-keng yang kalian cari-cari, kerbau-kerbau dungu. Tapi karena aku tak ingin memilikinya lagi dan biar kuserahkan Coa-ong maka tangkap dan kejarlah Raja Ular itu... wutt!”

Buku hitam yang ada di tangan Jin-mo tiba-tiba dilempar, tepat melayang ke hidung Coa-ong dan kaget serta terhenyaklah kakek ini oleh ulah rekannya. Ia tak menyangka bahwa Jin-mo tiba-tiba melempar sebuah kitab. Namun ketika ia menangkap dan membuka isinya melihat bahwa itu kitab hitam yang tidak ada apa-apanya, kosong alias bukan Bu-tek- cin-keng maka ia melempar dan memberikannya kepada Jin-touw, tahu bahwa Jin-mo hendak melampiaskan marah kepada dirinya.

“Ha-ha, aku takut memegang Bu-tek-cin-keng, cuwi enghiong (orang-orang gagah sekalian). Biarlah kuberikan kepada Jin-touw dan silahkan kalian memintanya dari sana!”

Jin-touw menangkap. Ia juga terkejut dan terbelalak ketika tadi tiba-tiba Jin-mo mengeluarkan sebuah kitab, ingin bergerak tapi kitab sudah dilemparkan kepada Coa-ong. Dan ketika ia beringas dan iri bahwa Coa-ong mendapat Bu-tek-cin-keng, tak tahu bahwa Jin-mo melepaskan kesalnya maka begitu Coa-ong melempar begitu pula ia menangkap. Tapi belum ia memeriksa isinya tahu-tahu ratusan orang kang-ouw itu sudah menyerbu dan menerjangnya.

"Cian-jiu-jin-touw, serahkan Bu-tek-cin-keng kepada kami!”

Iblis itu bergerak. Hujan senjata sudah menyambarnya dari segala penjuru dan ia marah karena tahu-tahu sudah diserang. Dan ketika ia mengelak dan menangkis hujan serangan itu, tak sempat membuka kitab karena sudah diserbu orang-orang kang-ouw maka Jin-mo terkekeh-kekeh dan Coa-ong juga ngakak sambil menonton dari atas batu karang.

“Hei, bantu aku. Kitab ada di tanganku, Kwi-bo. Ayo bantu dan nanti kita bagi dua!"

“Ha-ha, tak usah khawatir!" See-tok berkelebat dan mendahului, "Biar kubantu kau, Jin-touw. Tapi pinjamkan dulu kitab itu barang sebentar... des-prakk!"

Dua orang roboh menjerit, ditimpa bandul tengkorak namun saat itu juga See-tok menyambar temannya, merebut atau merampas kitab yang dikempit Jin-touw. Dan ketika Jin-touw terpekik karena tak menyangka, kitab berpindah tangan maka raksasa itu tergelak-gelak membawa kitab, tak perduli keroyokan ratusan orang yang kini otomatis pindah kepadanya.

"Ha-ha, hancurkan mereka, Jin-touw. Nanti kita bagi adil!"

"Adil hidungmu!" sang iblis membentak dan menghalau penyerang-penyerang See-tok, ingin merampas kembali kitab. "Jangan main-main, See-tok. Serahkan kembali kitab dan biar aku yang membawa!"

"Ha-ha, sama saja. Aku juga ingin memegangnya sebentar dan nanti kuberikan.... eihh!" See-tok terkejut, baru saja menangkis orang-orang kang-ouw mendadak Jin-touw menampar pundaknya. Dan ketika ia terkejut namun kitab terlempar ke atas, disambar dan ditangkap kembali oleh temannya ini maka Jin-touw terbahak-bahak sementara raksasa itu mendelik.

"Heii, berikan kepadaku, Jin-touw. Nanti giliranmu!"

"Ha-ha, biar kitab ini berada di tanganku, sama saja. Kau bantu dulu aku mengusir orang- orang ini dan nanti kita baca bersama!”

"Baik, boleh juga!" dan See-tok yang tertawa memutar senjatanya tiba-tiba membuat roboh delapan orang di depan, menerjang dan melindungi Jin-touw tapi begitu Jin-touw menghalau serangan-serangan yang lain mendadak tangan kirinya bergerak, menotok pundak rekannya itu. Dan ketika Jin-touw terkejut dan kitab melejit, See-tok telah membalas maka kitab telah disambar dan berada di tangan si raksasa ini lagi. Jin-touw mengumpat!

“Ha-ha, sabar, Jin-touw. Jangan marah-marah. Nanti kuberikan lagi dan usir dulu orang-orang ini!”

“Usir hidungmu!" Jin-touw membentak. “Kau licik dan curang, See-tok. Daripada membantu teman yang tidak dapat dipercaya biar kau sendiri yang menghadapi.... trang-trangg!" dan Jin-touw yang membabat tujuh orang di depan, yang menjerit dan bergulingan lalu mendengus dan berjungkir balik ke sebuah batu karang.

Iblis ini marah dan karena itu membiarkan See-tok menghadapi bahaya sendirian. Dan ketika raksasa itu terkejut karena lawan tiba-tiba menghambur, Jin-touw tak membantu maka dia berteriak dan menangkis hujan serangan musuh, mampu merobohkan yang di depan tapi tak mampu menghadapi yang belakang. Raksasa ini sibuk dan memaki-maki Jin-touw. 

Dan ketika apa boleh buat ia harus mundur dan lari menyelamatkan diri, memutar tubuh tapi tetap mengempit kitab maka Coa-ong terkekeh-kekeh sementara Jin-mo dan Jin-touw tertawa bergelak. Jin-mo lucu melihat See-tok membawa kitab palsu sementara Jin-touw karena temannya itu lari terbirit-birit.

"Ha-ha, siapa mau membantu. See-tok butuh teman, Jin-touw. Apakah kau tidak mau membantunya dan membiarkan kitab dirampas musuh!”

"Ha-ha, aku ingin melihat See-tok terkencing-kencing. Ia tadi mencurangiku dan biar sekarang tahu rasa. Nanti saja aku turun tangan kalau dia sudah mampus!”

“Benar," Coa-ong terkekeh-kekeh." Aku juga ingin melihat See-tok mampus, Jin-touw. Biar ia tahu rasa dan digebukin sampai mati!”

“Tapi aku tak akan membiarkannya," Tong-si tiba-tiba berkelebat, menolong See-tok. Kalian orang-orang tak tahu persahabatan, Jin-mo. Melihat kawan kesulitan kalian malah senang. Cih, tak tahu solidaritas!" dan masuk serta menyerang orang-orang itu, menggerakkan tusuk kondenya tiba-tiba Tong-si telah melengking dan membantu See-tok.

Tadinya raksasa itu merah gelap karena kebingungan di samping marah. Ia bingung karena harus menghadapi sekian ratus orang dan marah karena tak ada teman-temannya membantu. Padahal ia sendiri juga akan bersikap begitu kalau seorang temannya mendapat kesulitan.

Maka begitu Tong-si masuk dan pasangan Kwi-bun ini membantunya, See-tok tertawa bergelak maka Tong-si sudah crang-cring-crang-cring membabat senjata orang-orang kang-ouw itu tapi tiba-tiba seperti Jin-touw tangan kirinya bergerak dan kitab di ketiak See-tok dirampas!

"Kita sesama teman, tak usah khawatir. Biarkan mereka menonton tapi aku pasti membantumu... bret" kitab berpindah tangan, kini dikempit Tong-si dan wanita itu terkekeh melihat See-tok berseru tertahan. Tong-si berkata biarlah kitab itu dibawanya, lebih aman. Dan ketika See-tok mendelik karena tertipu, Tong-si merampas kitabnya maka Kwi-bun berkelebat dan buru-buru melindungi isterinya ini, dari serangan See-tok.

"Benar, kita harus bantu-membantu, See-tok. Mari bunuh tikus-tikus busuk ini dan nanti kitab kita bagi rata!”

See-tok berteriak. Tong-si mengatakan membantu namun kitab dirampasnya, tentu saja ia marah. Namun ketika ia akan menghantam wanita itu dan Kwi-bun tahu-tahu telah berjaga, melindungi maka raksasa ini melotot dan ia membentak agar kitab dikembalikan lagi kepadanya. "Keparat, bantu-membantu memang bagus, Kwi-bun. Tapi isterimu merampas kitabku. Kembalikan, atau nanti kuhajar!"

“Heh-heh, nanti kita bicarakan lagi. Yang penting tikus-tikus busuk ini kita bunuh dulu, See-tok. Singkirkan mereka dan lihat mereka seperti kesetanan.... trik-trik!" kuku jari Kwi- bun menampar dan menghalau penyerang tahu bahwa See-tok marah dan ia ingin mendinginkan dulu kemarahan temannya itu. Tapi ketika See-tok melompat dan menerkam isterinya, ia terkejut dan menangkis maka tentu saja ia membentak.

“See-tok, jangan gila!"

Dua orang itu berbenturan. See-tok terhuyung sementara Kwi-bun juga terdorong selangkah. Masing-masing melotot tapi Tong-si tiba-tiba berseru keras dan terkekeh berjungkir balik, menangkis dan membuat lawan-lawannya mundur lalu melesat ke batu karang hitam, tak mau bertanding lagi. Dan ketika ia jelas akan melarikan diri dan membawa kitab, ratusan orang kang-ouw itu memang terlalu berat dilawan maka iblis Perunggu ini siap meloncat turun dan berkelebat memasuki guha persembunyiannya ketika tiba-tiba Kwi-bo terkekeh dan menghadang, rambut menjeletar.

"Hi-hik, mau ke mana, Tong-si? Mau melarikan kitab? Hi-hik, serahkan dulu kepadaku. Nanti kubunuh orang-orang itu!"

Tong-si terkejut. Ia memang akan pergi dan menyembunyikan diri setelah tadi membuat lawan-lawannya mundur. Kalau See-tok bergerak dan ikut-ikut menyerang maka celakalah dia. Sebelum berlanjut lebih baik dia lari, bersembunyi. Tapi begitu Kwi-bo menghadang dan saingan yang amat dibenci ini menjeletarkan rambut sudah di depannya maka Tong-si membentak dan kontan menyerang. "Kwi-bo, mundur. Kitab ini milikku!"

"Hi-hik," Kwi-bo mengelak, kaki kanannya menendang. "Boleh saja kau memiliki kitab, Tong-si, tapi kalau aku sudah mampus. Serahkan, atau nanti kau kubunuh.... des- plak!"

Tong-si menggerakkan kakinya pula dan tendangan bertemu lututnya, melengking dan Kwi-bun di sana terkejut melihat isterinya dihadang. Dan ketika Kwi-bo sudah berkelebatan dan isterinya tak jadi pergi, orang-orang kang-ouw berteriak dan menyerbu lagi maka See-tok tertawa bergelak dan berkelebat untuk menyerang isterinya juga.

"Bagus, Tong-si memang licik, Kwi-bo. Bunuh dia dan rampas kitab itu!"

Tong-si marah. See-tok menyerangnya namun untung sang suami mengejar, membentak dan menyerang raksasa ini dan jadilah mereka bertanding seru. Tapi ketika orang-orang kang-ouw juga menyerbu dan mereka menyerang Tong-si, yang membawa kitab maka iblis Perunggu ini kelabakan dan pucat mukanya. “Kwi-bun, bantu aku. Usir kecoa-kecoa busuk ini!”

“Tentu, tapi See-tok ganti akan menyerangmu, Tong-si. Bagaimana ini?” si suami menjawab.

“Kau tak dapat merobohkan raksasa itu?”

“Ha-ha,” See-tok tertawa, bergelak. “Kau maupun suamimu tak dapat mengalahkan aku, Tong-si, kecuali mengeroyok. Hayo, serahkan kitab atau nanti kau keburu mampus diserang tikus-tikus busuk itu!”

Tong-si marah. Ia diserang Kwi-bo tapi juga menghadapi keroyokan orang-orang kang-ouw, tentu saja terdesak. Dan ketika di sana See-tok juga sewaktu-waktu siap mengancam dan suaminya mati-matian menghalangi raksasa itu, keadaan sungguh berbahaya mendadak wanita ini melengking dan kitab dilemparkan kepada Kwi-bo. "Baik, kau tak tahu persahabatan, Kwi-bo. Terimalah, aku bosan dengan tingkahmu!”

Kwi-bo terkejut. Ia tak menyangka tapi segera tertawa begitu kitab dilempar. Ia masih tak tahu bahwa kitab tak ada apa-apanya. Jin-mo mengecoh semua orang. Dan ketika ia menangkap dan orang-orang kang-ouw otomatis membalik ke arahnya, menyerang, maka Kwi-do meledakkan rambutnya dan berkelebat pergi, berjungkir balik.

"Terima kasih. Kau baik hati, Tong-si. Nanti kukembalikan kitab ini setelah selesai kubaca!"

“Ha-ha, nanti dulu!" Jin-touw sekarang berkelebat dan turun dari batu karang, masih tak tahu dipermainkan Jin-mo. "Kau dan aku selamanya tak pernah berpisah, Kwi-bo. Biar kulindungi kau dari bahaya dan jangan tinggalkan aku!”

Kwi-bo terkejut. Ia baru saja akan meninggalkan orang-orang kang-ouw itu ketika tiba-tiba saja Jin-touw berkelebat dan sudah di dekatnya, bergerak dan mau merampas kitab namun dengan cepat ia sudah memindahkan kitab ke dalam be-ha. Inilah daerah aman bagi wanita dan Jin-touw terkejut, melotot. Kwi-bo sudah berpakaian lagi ketika orang-orang kang-ouw itu datang. Tapi ketika iblis ini tertawa dan dapat membuang kecewanya, Kwi-bo mendengus dan meneruskan larinya maka wanita ini berkata bahwa Jin-touw boleh melindungi tapi tak boleh dulu merampas kitab.

“Hi-hik, tak usah menipu. Kau boleh melindungi aku, Jin-touw, tapi jangan akal- akalan. Kalau ingin kitab boleh bantu aku dulu dan nanti kita sama-sama membaca!”

“Siluman cerdik," Jin-touw terkekeh. “Kau terlalu bercuriga, Kwi-bo. Siapa mau merampas kitab karena tadi aku hanya ingin membantumu membetulkan letak kitab itu. Tadi hampir jatuh!"

“Hi-hik, betul, dan kitab hampir jatuh di tanganmu. Sudahlah, kau lindungi aku dan singkirkan orang-orang ini!”

Jin-touw mengangguk. Sebagai sesama iblis tentu saja ia tahu akal bulus teman-temannya sebagaimana pula Kwi-bo tahu akal bulusnya. Tapi karena orang-orang kang-ouw itu harus diusir dan tak boleh mereka mengejar Kwi-bo, biarlah temannya itu lolos sementara nanti diadakan "perhitungan" sendiri maka laki-laki ini mengayunkan kapaknya dan sekali sambar tiga orang lawan robek perutnya.

"Minggir kalian... crott!"

Jin-touw terkekeh-kekeh. Lawan roboh di depannya tapi ia menendang tiga laki-laki itu, berkelebat dan memburu menyusul Kwi-bo tapi ternyata Kwi-bun, suami Tong-si tak membiarkan Kwi-bo lari begitu saja. Juga See- tok, yang marah melihat Kwi-bo lebih memperhatikan Jin-touw daripada dirinya, padahal mereka sama-sama lelaki yang pernah menjadi kekasih wanita ini. Dan ketika See-tok menggeram dan mencegat larinya Kwi-bo, sama seperti Kwi-bun yang juga mencegat Kwi-bo maka iblis cantik itu tertegun dan membelalakkan mata.

"Kau tak boleh ke mana-mana. Serahkan kitab atau kau mampus!"

"Heii, kita teman!" Kwi-bo berseru, coba membujuk. "Nanti dapat dibagi-bagi, Kwi-bun. Minggir dan jangan menghalangi jalan!”

"Tidak!" iblis itu menusukkan kesepuluh kuku-kuku jarinya yang tajam. “Kau mengganggu dan menyusahkan isteriku, Kwi-bo. Serahkan kitab kalau ingin pergi... plak-bret!” kuku bertemu ledakan rambut, Kwi-bo berhenti dan terpaksa melayani lawannya ini.

See-tok di sebelah kanannya menubruk. Tangannya dengan kasar merogoh buah dada Kwi-bo, langsung masuk dan membetot dan Kwi-bo menjerit akan ini. See-tok sungguh raksasa kasar! Tapi ketika raksasa itu berdetak meremas buah lembut yang amat kenyal, ia tertegun dan menyeringai maka kesempatan itu dipergunanakan Kwi-bo untuk merendahkan tubuhnya dan sekali kakinya bergerak maka ia menendang selangkangan raksasa itu. Kasar dengan kasar!

“Dess!” See-tok terhuyung dan cepat miringkan tubuh hingga paha luarnya yang kena. Ia selamat tapi Kwi-bo sudah memaki-maki dan lepas. Dan ketika raksasa itu melotot dan tertawa, bukan kitab yang dipegang melainkan lainnya maka Kwi-bo sudah berkelebatan dan menyerang Kwi-bun yang tak mau sudah melepasnya.

Iblis muka pucat ini juga coba-coba menggerayangi dada lawannya itu tapi Kwi-bo mengelak dan naik turun menyambar-nyambar. Ia iri dan mengilar oleh perbuatan See-tok tadi, yang meskipun tidak berhasil namun sudah meremas-remas barang pribadi si cantik ini. Dan karena pada dasarnya ia juga bejat dan Kwi-bun tertawa menahan nafsu, matanya liar memandang bagian tempat itu disimpan maka orang-orang kang-ouw datang lagi dan Kwi-bo melengking-lengking menjeletarkan rambutnya, heran dan curiga karena Coa-ong maupun Jin-mo tak bergerak-gerak di sana.

Mereka itu menonton sampai terpingkal-pingkal dan membiarkan siapapun membawa kitab, seolah tak perduli atau acuh terhadap Bu-tek-cin-keng, padahal dulu selalu dikejar-kejar! Dan ketika Kwi-bo terbelalak karena ini dinilainya mencurigakan, ia marah dan mencabut kitabnya maka dengan cepat namun secara sekilas ia membaca dan begitu dikibaskan mendadak ia hanya melihat kertas-kertas kosong belaka.

"Hi-hiik...!” tawa Kwi-bo pecah berderai, langsung sadar. "Begini kiranya manusia-manusia busuk. Pantas saja. Eh, biar kitab ini kulempar dan siapa cepat dialah yang dapat!”

Kwi-bun terkejut. Kwi-bo sudah melempar kitabnya tinggi-tinggi dan tentu saja semua orang berteriak. Kitab berharga itu dibuang. Dan ketika Kwi-bo berjungkir balik melepaskan diri, keluar dari kepungan sementara kitab jatuh di tengah-tengah kerumunan itu maka Kwi-bun berkelebat cepat dan dialah orang yang pertama kali mendapatkan.

"Minggir, atau kalian mampus....rrt!” kitab berada di tangan laki-laki ini, menendang dan merobohkan yang ada di tengah dan saat itu isterinya datang. Tong-si berteriak agar kitab diserahkan lagi kepadanya, See-tok dan Jin-touw terbelalak karena sekarang Kwi-bo sudah'terkekeh-kekeh dan duduk di batu karang hitam, tak jauh dari Coa-ong dan juga Jin-mo, yang masih tergelak dan geli oleh adu lomba itu.

Dan ketika Kwi-bun melemparkan kitab kepada isterinya dan orang-orang kang- ouw otomatis berbalik ke belakang, mereka tak perduli kepada teman-teman yang tewas maka Tong-si menangkap kitab ini dan dengan gesit dan tangkas ia melayang turun dan langsung melarikan diri memasuki guha.

"Hei, kejar... tangkap!"

Semua memburu. See-tok yang melengak dan terkejut sejenak tiba-tiba juga memburu, lain dengan Jin-touw yang terbelalak dan masih terheran-heran oleh sikap Kwi-bo. Si cantik itu terkekeh-kekeh dan sama sekali tak tertarik untuk rebutan lagi, padahal tadi begitu getol dan amat bernafsu. Dan karena iblis yang ini memang lebih cerdik daripada See-tok dan dapat mencium gelagat mencurigakan, ia ikut-ikutan naik dan melayang di batu karang maka ia pun nongkrong dan membiarkan Tong-si dikejar-kejar.

“Ha-ha, bodoh dan tolol," iblis bermata coklat ini memancing. "Siapa tak tahu dibodohi Coa-ong? Weh, rupanya kitab itu tak ada apa-apanya, Kwi-bo. Dan betul kalau kita menonton saja di sini. Bu-tek-cin-keng itu palsu!"

“Benar," Kwi-bo terjebak, tak tahu pancingan temannya ini. "Kitab itu kosong belaka, Jin-touw. Itulah sebabnya kulempar dan biar sekarang Tong-si atau suaminya dikejar-kejar orang kang-ouw!”

"Ha-ha, ini kelicikan Coa-ong. Atau mungkin Jin-mo!"

"Siapa bilang aku?" Coa-ong terkekeh. “Inilah akalnya Jin-mo, Cian-jiu. Kalau tadi tak kulihat kitab itu tentu aku juga terkecoh seperti kalian. Heh-heh, Bu-tek-cin-keng itu hanya kitab kosong yang tak ada isinya!"

“Jin-mo? Pantas! Bambu kurus ini kiranya biang keladi!"

"Hm, ini karena kalian juga," Jin-mo mengejek, membalas omongan Kwi-bo. “Kalau tadi kalian memperhatikan aku tentu aku tak mempermainkan kalian, Kwi-bo. Tapi karena kalian jahat dan tak tahu setia kawan maka aku mengecoh kitab palsu!”

"Ha-ha," Cian-jiu-jin-touw terbahak-bahak. "Kau cerdik, Jin-mo, tapi juga menggemaskan. Eh, kita sekarang tahu bahwa Bu-tek-cin-keng benar-benar tidak berada di tangan seorang di antara kita. Kita masing-masing bersih. Ha-ha, biar kulihat bagaimana Tong-si dan suaminya itu nanti melempar Bu-tek-cin-keng!"

Kwi-bo terkekeh-kekeh. Ia juga mengutuk tapi geli akan perbuatan si setan Bambu ini. Gara-gara pekerjaannya maka kawan-kawannya terkecoh, termasuk dirinya sendiri. Dan ketika ia bersama yang lain menonton di batu karang itu, menunggu keluarnya Tong-si atau Kwi-bun maka benar saja Tong-si yang semula melarikan diri ke guha mendadak muncul kembali, mukanya merah padam, mengutuk menyumpah-serapah.

"Keparat jahanam, busuk iblis biang bangkotan. Eh, tak perlu kau mengejar-ngejar aku lagi, See-tok. Nih, terima kitab dan biar orang-orang kang-ouw ganti mengejar-ngejarmu!"

See-tok, yang paling bodoh dan agak lugu terkesiap. Ia memburu Tong-si sambil membentak dan memaki-maki, tak mau kehilangan lawannya itu dan mendahului orang-orang kang-ouw. Maka ketika lawannya muncul dan marah-marah, melempar kitab dan mencaci-maki maka raksasa ini tertegun namun dengan girang ia menangkap kitab, yang menyambar hidungnya.

“Eh, baik amat kau ini. Terima kasih. Ha-ha, nanti kita berbagi suka, Tong-si. Tapi... eitt, bagaimana dengan suamimu ini... dess!” See- tok bingung dan membalik serta menangkis serangan Kwi-bun.

Laki-laki itu menyerangnya dan membentak sang isteri kenapa kitab yang susah payah dimiliki tahu-tahu diberikan orang lain begitu saja. Kecemburuan tiba-tiba juga muncul di iblis berwajah pucat ini, aneh! Namun ketika Tong-si mengerahkan ilmu mengirimkan suara dari jauh dan berkata bahwa kitab itu kosong, tak ada apa-apanya maka Kwi-bun terbelalak dan saat itu See-tok yang marah membalas menghantamnya.

"Plak!” Laki-laki ini terpelanting. Selanjutnya See-tok menggeram dan melabrak lawannya itu dan Kwi-bun bergulingan menjauh, meloncat bangun dan terbelalak namun sekali lagi isterinya berseru bahwa kitab itu kosong. Bukan Bu-tek-cin-keng. Dan ketika Kwi-bun berjungkir balik dan membiarkan See-tok dilabrak orang-orang kang-ouw, yang kini menujukan perhatiannya kepada raksasa itu maka See-tok kalang-kabut dan berteriak-teriak minta bantuan.

"He, kau! Bantu aku, Kwi-bo. Tolong aku. Keparat, orang-orang ini tikus-tikus busuk yang tak kenal jera... des-dess!" bandul tengkorak menyambar membabi-buta, panik dan kacau karena See-tok bingung ketika tiba-tiba saja ia tak dapat keluar. Labrakannya sejenak kepada Kwi-bun tadi malah membuatnya repot sendiri, orang-orang kang-ouw itu mendapat kesempatan untuk mengurung dan mencegat jalan lari.

Dan ketika ia harus mengayunkan rantai tengkoraknya dan duapuluh orang pecah kepalanya, roboh namun yang di belakang maju dan menyerang kembali maka raksasa ini pucat dan baru pertama kali itu ia merasa takut. Dan hebatnya, enam rekannya tiba-tiba terkekeh-kekeh, nongkrong di atas batu karang, termasuk Tong-si dan Kwi-bun yang baru saja dihantam!

“Ha-ha... hi-hi-hik...! Kerahkan semua kepandaian dan kekuatanmu, See-tok. Ayo hajar mereka dan robohkan lagi!"

Raksasa ini menggeram-geram. Ia mengutuk dan menyumpah-nyumpah karena teman-temannya sekarang menonton tertawa-tawa. Tong-si dan Kwi-bun yang kini sadar terpedaya sudah terpingkal-pingkal di atas. Maklumlah, See-tok mempertahankan kitab palsu. Dan ketika raksasa itu harus memutar rantai tengkoraknya mencari jalan keluar, ia heran dan gusar kenapa enam temannya terkekeh-kekeh maka kebodohan otaknya mencair.

"Heii, kenapa kalian tertawa-tawa, Jin-touw. Apa yang lucu dan di mana lucunya. Aku tak mau bersahabat dengan kalian lagi kalau tidak memberi tahu!"

“Ha-ha, aku tertawa karena lucu melihatmu berjingkrak-jingkrak. Kau kerbau besar yang tak pernah belajar menari!"

“Hi-hik, aku karena bodohmu itu, See-tok. Buat apa menyimpan kitab tak berguna. Buang saja, lempar ke hutan!"

Raksasa ini melotot. Akhirnya ia curiga melirik kitab di tangannya, kebetulan tertiup angin dan melebarlah matanya melihat lembaran-lembaran kertas kosong. Dan ketika ia sadar dan berseru keras, tertawa bergelak maka kitab di tangannya itu dilemparkan ke tengah-tengah pengeroyoknya.

"Ha-ha, dungu dan tolol. Heii! Tak usah mengejar-ngejar aku lagi, kecoa-kecoa tengik. Nih, kalian ambil dan boleh rebut!”

See-tok melemparkan kitabnya. Ia tak ragu-ragu lagi dan barulah sekarang ia mengerti. Pantas, teman-temannya tak ada yang berminat karena kitab itu memang kitab kosong belaka, mirip kitab seorang pelajar atau mahasiswa. Dan ketika ia tertawa bergelak dan melempar kitab itu, yang membuat lawan-lawannya tertegun namun berteriak satu sama lain, berebut maka kitab tiba-tiba jatuh dan robek disambar banyak tangan.

"Heii... punyaku!"

“Tidak... punyaku, bret-brett!" dan kitab yang hancur terbelah beberapa bagian, rusak dan tak utuh lagi tiba-tiba membuat semua terbelalak karena kitab itu ternyata hanya buku tulis biasa saja.

"Tertipu! Kita dibohongi...!”

“Benar, Tujuh Siluman Langit telah menipu kita. Bunuh mereka!"

See-tok dan lain-lain terkejut. Ratusan orang kang-ouw itu tiba-tiba bergerak dan mereka serentak menyerbu, bukan kepada seorang demi seorang melainkan semuanya. Baik Coa-ong maupun Kwi-bun dan Jin-touw diserang. Orang-orang kang-ouw itu kalap. Dan ketika Coa-ong mencak-mencak karena dihujani sambaran senjata, begitu juga teman-temannya yang lain maka orang-orang kang-ouw itu tak perduli lagi dan tujuh iblis itu menghadapi keroyokan puluhan orang. Paling sedikit, masing-masing menghadapi lima puluh orang!

"Heii...picak! Buta semua! Lihat apa yang kalian lakukan ini, tikus-tikus busuk. Kenapa menyeran aku dan membabi-buta begini. Berhenti, atau nanti kubunuh!"

"Bunuhlah!" orang-orang itu berseru. “Demi Bu-tek-cin-keng kami siap mempertaruhkan nyawa, Coa-ong. Mana kitab yang asli dan kenapa disembunyikan!"

"He, aku tak tahu apa-apa....”

"Bohong! Kau dan teman-temanmu dulu telah menyerbu Go-bi. Dan kalian telah merampasnya!"

"Eiitt, siapa bilang? Kami juga tertipu, Bu-tek-cin-keng tak pernah ada... dess!" kakek itu menghentikan kata-katanya, tersambar sebuah senjata dan golok berkait mengenai pundaknya, untung cepat mengerahkan sinkang dan golok itu mental.

Tapi ketika yang lain-lain maju kembali dan kakek ini sibuk memutar tongkat ularnya, orang-orang ini seperti kesurupan saja maka kakek ini ngeri dan gentar juga biarpun ia lihai. Dikeroyok demikian banyak orang dengan masing-masing lawan tak takut mati membuatnya gentar juga. Orang-orang ini sudah seperti iblis. Nafsu memiliki Bu-tek-cin-keng sudah sedemikian besar, tak ingat bahwa ia pun juga begitu. Sama saja! Dan ketika ia menangkis atau mengelak sana-sini sambil memaki-maki, otak diputar untuk keluar dari kepungan itu maka akal jahatnya tiba-tiba timbul. Kakek ini terkekeh!

“Heii...!” seruan itu kembali dikeluarkannya. "Dengar aku, tikus-tikus busuk. Bu-tek-cin-keng tak ada di tanganku melainkan disimpan Jin-mo. Lihat ketika ia pertama kali datang dan melempar kitab palsu itu. Yang asli masih disimpan dan ke sanalah kalian menuntut!"

“Benar, heh-heh...!” Jin-touw tiba-tiba juga berseru, dialah yang amat cerdas. "Kitab itu di tangan Jin-mo, kecoa-kecoa busuk. Kami tak tahu apa-apa karena Bu-tek-cin-keng masih disimpan Jin-mo. Hayo, kalian ke sana dan tanya dia!"

Omongan ini termakan. Ratusan orang kang-ouw itu memang melihat bahwa si setan Bambu inilah yang mula-mula melempar kitab. Mereka tak perduli palsu atau tidak. Dan ketika mereka terbelalak dan marah memandang Jin-mo, yang saat itu juga dikeroyok dan diserang puluhan orang maka orang-orang itu membalik dan serentak menyerang si iblis tinggi kurus ini. Coa-ong dan Jin-touw bebas!

“Jin-mo, kau iblis busuk. Serahkan Bu-tek-cin-keng dan jangan main-main terhadap kami!”

"He!" si setan galah tentu saja terkejut, Coa-ong dan Jin-touw telah mengeluarkan mulut berbisanya. "Apa-apaan ini manusia-manusia tolol. Aku tak tahu-menahu tentang kitab dan Bu-tek-cin-keng itu tak ada padaku!"

"Tapi kau telah melempar kitab palsu. Yang asli tentu ada padamu!"

"Tidak... aku, aiihhhhh...!” dan Jin-mo yang berteriak panjang menghadapi ratusan orang tiba-tiba memekik dan marah bukan main kepada Coa-ong dan Jin-touw. Dua orang itulah yang mula-mula mengeluarkan kentut busuk dan celakanya dia yang menjadi sasaran. Tahulah Jin-mo bahwa Coa-ong maupun Jin-touw hendak membalas perbuatannya tadi, ketika dua rekannya itu diserbu dan dikeroyok orang-orang kang-ouw. Dan ketika ia melengking dan sibuk mengelak sana-sini, hujan senjata menyambar tak pernah henti maka iblis ini terbacok sebatang pedang dan kekebalannya tembus dipukul.

"Crat!” Jin-mo melotot. Orang yang memegang pedang itu dipandangnya dengan mata merah dan sekonyong-konyong batang bambunya yang panjang menyodok ke depan. Dia terhuyung namun mampu menjaga keseimbangan diri. Dan ketika ia membentak dan orang itu masih tak siap menguasai diri, baru saja membacok ke depan maka bambu di tangan Jin-mo sudah berkelebat dan dada orang ini tertusuk tembus seperti sate.

"Mampuslah!"

Teriakan ngeri panjang bergema. Jin-mo telah membalas dan laki-laki itu roboh, bukannya meredakan kemarahan si Hantu Bambu ini melainkan justeru membuatnya semakin beringas. Jin-mo tak cukup dengan satu nyawa. Dan ketika ia berkelebatan dan satu demi satu lawan-lawan yang ada di depan dibuat terjungkal, pekik dan teriakan susul-menyusul maka Jin-mo menjadi iblis haus darah yang melengking-lengking dan batang bambunya menjadi senjata maut yang tak henti-henti digerakkan. Ia marah setelah lukanya tadi.

Tapi karena orang-orang kang-ouw itu juga orang-orang nekat dan mereka tak kalah marah dengan Jin-mo, berani karena banyak teman di situ maka kakek ini kewalahan dan setelah dia membunuh tigapuluh orang mulailah tenaganya mengendor. Ia sudah menghabiskan tenaga sebelum bertemu teman-temannya, dikeroyok dan juga seperti setan haus darah sebelum ia akhirnya terpaksa lari dan menyingkir. Dan ketika ia mulai pucat karena tenaga merosot cepat, teman-temannya di sana tertawa-tawa mendadak kakek ini beringas melihat Tong-si, yang juga terkekeh-kekeh.

"Berhenti, kalian semua bodoh. Aku tak membawa kitab itu karena tadi Tong-si telah menukarnya di dalam guha. Lihat, itu siluman betina itu!"

Tong-si terkejut. Orang-orang kang-ouw menoleh dan terkesiaplah dia oleh pandang mata ratusan orang ini. Sekali lagi Jin-mo berseru bahwa dialah yang membawa kitab, tadi menukarnya di guha. Dan karena orang-orang itu termakan dan mereka tak seperti Coa-ong atau lain-lain yang sudah tahu, Jin-mo sekali lagi membentak menyodokkan bambunya maka lima orang kembali roboh terkapar.

"Kalian boleh mati di sini, mengiring nyawaku. Tapi kalian tak akan mendapatkan Bu-tek-cin-keng karena siluman betina itulah yang telah menukarnya di guha. Tong-si harus kalian tuntut!"

Orang-orang kang-ouw terbelalak. Mereka menoleh dan termakan ini. Tong-si tadi memang memasuki guha dan keluar lagi dengan kitab kosong. Dan karena seruan itu masuk akal dan merekapun membalik, Jin-mo ternyata "bersih" maka seperti sekumpulan tawon ganas mereka berkelebatan menyambar wanita ini, lima di antaranya sudah meloncat dan berjungkir balik di atas batu karang.

“Tong si, kau iblis betina terkutuk. Serahkan Bu-tek-cin-keng!"

Wanita ini kaget. Gara-gara Jin-mo mendadak ia sudah diserbu dan diserang lagi. Apa boleh buat, wanita ini memekik dan tusuk kondenya bergerak ke bawah, menyambar lima laki-laki yang menyerangnya itu. Dan ketika lima jeritan terdengar disusul tumbangnya lima laki- laki itu, untuk menghadapi lima orang saja amat mudah bagi Tong-si maka wanita ini tak membuang-buang waktu dan melesat melarikan diri. Maksudnya, tak mau dikeroyok atau dikepung seperti Jin-mo tadi.

"Jin-mo jahanam keparat, kau licik mengalihkan persoalan. Bedebah, siapa yang membawa Bu-tek-cin-keng!”

“Ha-ha!” Jin-mo sekarang tertawa bergelak. “Kau tak usah mungkir, Tong-si. Kalau tidak kenapa kau malah lari. Hayo, berhenti dan katakan kepada orang-orang itu!”

Tong-si melotot. Kepergiannya malah membuat runyam karena memperkuat dugaan bahwa ia benar-benar menukar Bu-tek-cin- keng, padahal maksudnya adalah tak mau dikeroyok, seperti Jin-mo tadi. Dan ketika terdengar teriakan-teriakan bahwa itu benar, Tong-si tak boleh lari kalau tidak menyimpan Bu-tek-cin-keng maka wanita yang semula terkekeh-kekeh melihat temannya dikepung ratusan orang sekarang berbalik gusar dan mendelik kepada temannya itu, tak tahu harus berbuat apa.

“Hayo, berhenti kalau tidak menyimpan Bu-tek-cin-keng. Jangan lari karena tetap kami kejar. Serang... bunuh wanita itu, kawan-kawan. Rampas Bu-tek-cin-keng dan jangan biarkan ia lolos!”

Tong-si menggelegak. Ia marah bukan main dan tiba-tiba membalik, berhenti. Maksudnya hendak membuktikan bahwa ia benar-benar bersih, tak membawa kitab. Tapi begitu orang-orang itu menghambur dan meminta Bu-tek-cin-keng, wanita ini melotot maka hujan senjata terpaksa ditangkis dan harus dilawannya.

"Keparat, aku tak membawa Bu-tek-cin-keng. Kalian ditipu Jin-mo. Bedebah, siapa berani menyerang aku dan minta mampus.... crat- crat!" tusuk kondenya bergerak tujuh kali, menusuk dan mencoblos dan terdengar jeritan-jeritan ngeri dengan jatuh atau robohnya korban. Tujuh orang itu tewas!

Dan ketika Tong-si harus berkelebatan dan mengamuk bagai burung menyambar-nyambar, omongan berbisa si Hantu Bambu sungguh mengenai sasarannya maka orang-orang kang-ouw juga marah dan yang di belakang maju menggantikan yang roboh untuk menuntut Bu-tek-cin-keng.

“Kau ganas, tapi kami tak takut mati. Mari kita sama-sama membunuh dan kau atau aku yang duluan mengisi neraka!”

Tong-si pucat. Ia berkelebatan dan sebentar kemudian sudah membunuh dua puluh jiwa, berkelebatan dan menyambar-nyambar lagi dan dua puluh jiwa kembali melayang. Tapi karena orang-orang itu amatlah banyak dan tak mungkin ia harus membunuh semua, tenaganya mulai merosot dan Jin-mo terkekeh- kekeh maka ia mendelik dan suaminya berkelebat membantunya.

"Tong-si, Jin-mo sungguh busuk. Nanti kita bunuh dia setelah menghabisi cecunguk-cecunguk ini!"

"Benar, dan kupotong lidahnya nanti. Kuganti dengan lidah anjing!"

"Ha-ha...!” Jin-mo terpingkal-pingkal, batang bambunya dilentur-lenturkan. "Nanti kalian sudah mampus, Tong-si, tak mungkin menghadapi sekian banyak orang. Ha-ha, kalian boleh tunggu aku di neraka!”

Tong-si membentak. Ia kewalahan dan suaminya juga memaki. Jin-mo terkekeh-kekeh dan tidak gentar sama sekali oleh ancaman suami isteri itu. Tak mungkin mereka dapat mengancamnya karena tak lama nanti mereka pasti kehabisan tenaga, sama seperti dirinya tadi. Dan ketika benar saja Kwi-bun mengamuk namun jumlah musuh terlalu banyak, berdua mereka tak cukup kuat maka See-tok maupun yang lain-lain terbahak-bahak. Mereka sungguh tak berperasaan.

"Ha-ha, mampus kalian, Kwi-bun. Ayo, lari kalau ingin selamat!”

"Tak mungkin lari," Cian-jiu terkekeh-Kekeh, terpingkal. "Musuh sudah terlalu banyak, see-tok. Kecuali mereka terbang!”

“Benar, kalau mereka dapat terbang, hi-hik!” dan Kwi-bo yang juga terkekeh, dan tertawa- tawa di atas batu karang, senang melihat dua temannya celaka maka Coa-ong mengerutkan kening dan entah mengapa mendadak dia menggeleng.

“Hm, Tujuh Siluman Langit tak boleh gugur. Mereka harus tetap utuh, kecuali menghadapi tokoh-tokoh Go-bi. Eh, kasihan Kwi-bun dan isterinya itu, Kwi-bo. Mereka jelas kena kentut busuk Jin-mo. Tak boleh... tak boleh... kita harus menolong karena Tujuh Siluman Langit tak boleh tewas hanya karena bertanding dengan tikus-tikus busuk!” lalu berdiri dan meniup sulingnya, mengombak dan berirama tiba-tiba Coa-ong memanggil ularnya dan nada yang mulai melengking jelas menyuruh pasukan ular untuk cepat-cepat datang.

Dari timur dan barat tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis itu. Dari utara dan selatan tiba- tiba juga tampak kilauan cahaya warna-warni dari kulit-kulit ular yang berbeda. Dan ketika Coa-ong meniup sulingnya dengan amat tinggi karena Kwi-bun maupun Tong-si terkena bacokan senjata tajam, mereka mulai payah maka ribuan ular datang dan barisan pasukan menjijikkan milik Coa-ong ini membuat orang- orang kang-ouw terkejut.

"Ular.... ular... awas ular!”

Mereka berlompatan. Orang-orang kang-ouw yang tadi mengepung dan menyerang Kwi-bun maupun Tong-si mendadak kini dorong-mendorong. Mereka kaget dan berseru keras, masing-masing menghindar dan menjauhi pasukan ular ini, yang cepat mengepung dan ganti menyerang mereka. Dan ketika semua berteriak dan lari berserabutan, Kwi-bun maupun Tong-si bernapas lega maka Coa-ong yang menjadi gara-gara kini malah diserbu.

"Keparat, kakek itu yang memanggil ular-ularnya. Serang, bunuh dia...!”

"Eh," Coa-ong terbeliak, tak mengira ini. "Apa- apaan kalian, tikus-tikus busuk. Jangan ke sini, enyahlah!”

Namun orang-orang kang-ouw terlanjur marah. Mereka tak dapat menyerang Kwi-bun karena dua orang itu sudah dikelilingi barisan ular, dijaga. Dan karena yang memanggil ular-ular ini adalah Coa-ong dan kepada kakek itulah mereka melampiaskan marah maka Tong-si dan Kwi-bun tiba-tiba terkekeh dan terpingkal-pingkal di sana, melihat si Raja Ular kelabakan dan ganti diserbu orang-orang kang-ouw!

“Hi-hik, bagus sekali. Menari dan berjingkrak-jingkraklah, Coa-ong. Ayun tongkatmu mengusir mereka!”

"Keparat!” kakek ini memaki. “Kalian jangan bersenang-senang, Kwi-bun, jangan mentertawai aku. Aku baru saja menolong kalian!”

“Ha-ha, itu salahmu. Kami tak meminta bantuan dan sekarang kami ganti menonton!” Kwi-bun terpingkal dan terkekeh-kekeh. Iblis ini tak tahu rasa terima kasih dan Coa-ong tentu saja mencak-mencak. Apa boleh buat, dia memanggil ular-ularnya ke situ dan Kwi-bun serta Tong-si disuruhnya gigit! Dan ketika kakek maupun nenek iblis itu terkejut, mereka mengelak maka Coa-ong terkekeh-kekeh dan orang-orang kang-ouw bengong melihat ini.

“Gila, mereka iblis-iblis tidak waras. Gila sekali!"

“Benar, Coa-ong dan kawan-kawannya bukan manusia-manusia waras. Eh, jangan biarkan ular-ularnya ke mari, kawan-kawan. Lempar api dan jatuhkan ke tengah-tengah!”

Coa-ong melotot. Kwi-bun dan Tong-si yang mulai melakukan itu tiba-tiba saja menyadarkan orang-orang kang-ouw untuk mengikuti. Mereka mencontoh suami isteri itu, yang terkekeh dan sudah melempar obor ke tengah. Dan ketika orang kang-ouw melepas api dan melemparnya ke barisan ular yang datang maka kakek ini memaki-maki dan apa boleh buat ia harus angkat kaki dari situ. Kwi- bo dan yang lain-lain ganti terpingkal!

"Terkutuk, biar kalian disambar geledek, tikus-tikus busuk. Dan lihat dua musuh kalian tadi. Kwi-bun dan isterinya membawa kitab!”

Serentak orang-orang kang-ouw menoleh. Mereka melihat suami isteri itu terkejut begitu Coa-ong mengingatkan Bu-tek-cin-keng. Sekarang barisan ular sudah cerai-berai dan itulah kesempatan orang-orang kang-ouw menyerbu lagi. Dan ketika mereka membentak dan menyerbu lagi, Tong-si dan suaminya terkejut maka dua orang ini berkelebat dan lari meninggalkan arena, menyusul Coa-ong yang terbirit-birit!

"Heii, tingkahmu busuk sekali, Coa-ong. Siapa yang membawa Bu-tek-cin-keng dan apa katamu tadi!"

“Ha-ha, salah kalian sendiri. Kenapa tidak tahu terima kasih dan terpingkal-pingkal mentertawai aku!"

"Kami tak butuh pertolongan!"

"Dan aku juga tak butuh dikejar-kejar orang-orang kang-ouw itu. Heh-heh, selamat tinggal, Kwi-bun. Semoga selamat dan ketemu di pintu neraka!"

Dua suami isteri ini menyumpah. Mereka dikejar dan orang-orang kang-ouw berteriak di belakang mereka. Kalau saja jumlahnya tak begitu banyak dan mereka dibantu yang lain- lain tak usah mereka terbirit-birit. Tapi karena See-tok dan lain-lainnya itu ha-ha-ha-ha di atas batu karang maka suami isteri ini melarikan diri dan tancap gas. Mereka lebih tahu daerah itu karena itulah wilayahnya.

Kwi-bun maupun isterinya memasuki gua-gua di sepanjang jalan. Daerah berbatu karang itu memang banyak menebarkan gua-gua gelap. Dan ketika mereka lenyap sementara orang-orang kang-ouw semakin marah, kekeh dan tawa Kwi-bo memanaskan telinga mendadak mereka membalik dan Kwi-bo serta See-tok dan Jin-touw menjadi sasaran.

"Ini sama saja. Serang dan bunuh mereka!”

Eh!" Kwi-bo menghentikan tawanya. "Kalian galak sekali, orang-orang gagah. Tapi jangan coba-coba membunuh aku. Siapa maju dia mampus... tar!”

Segumpal rambut mengenai seorang laki-laki, Kwi-bo meloncat turun dan tentu saja dia harus cepat-cepat ngacir. Orang-orang kang-ouw itu kalap! Dan ketika Jin-touw juga berteriak keras dan berjungkir balik turun, kapaknya bergerak dan membabat lima kepala lawan maka See-tok tak mau terlambat dan bandul tengkoraknya menderu disusul tubuhnya yang terjun ke bawah.

“Haihhh... aku juga harus kabur!"

Tiga siluman ini berkelebatan, susul-menyusul mereka berlomba lari, Kwi-bo menjeletar-jeletarkan rambutnya. Dan ketika tengkorak maupun kapak di tangan dua iblis yang lain juga mengaung dan bersuitan menyeramkan, masing-masing mencari selamat maka Jin-mo yang sudah lebih turun dan kabur ke tempat lain menusuk-nusukkan ujung bambunya untuk dibuat lompat galah.

“Heh-heh, ini pengalaman pahit. Terkutuk orang-orang Go-bi itu. Kalau tak mau mampus lebih baik bersembunyi!"

Orang akan terbelalak. Jin-mo yang menusuk-nusukkan ujung tongkatnya ini melejit atau melenting setinggi belasan meter. Sekali melayang ia mampu melampaui jurang yang paling lebar. Mirip pelompat galah kaliber dunia. Dan karena kakek itu memang jagoan memainkan batang bambu dan inilah caranya menyelamatkan diri yang paling aman, dia sudah lebih dulu lenyap di timur maka Kwi-bo dan lain-lain dikejar dan terus dicari-cari. See-tok dan Jin-touw juga sama saja.

Celaka sekali mereka tak sehapal Tong-si maupun Kwi-bun mengenai wilayah itu, yang memang sebagai pemiliknya. Dan ketika empat kali mereka kepergok memasuki gua, keluar dan bertanding untuk akhirnya melarikan diri lagi menghadapi keroyokan orang-orang kang-ouw itu maka orang-orang kang-ouw ini malah semakin banyak jumlahnya karena di setiap jalan mereka bertemu lagi dengan orang-orang kang-ouw lain yang terkejut dan melihat ribut-ribut itu.

"Tujuh Siluman Langit menbawa Bu-tek-cin-keng. Bunuh mereka. Bantu kami!"

Orang-orang ini berdatangan. Seperti semut mendapatkan gula tiba-tiba saja jumlah mereka berlipat-lipat. See-tok sampai ngeri melihat ini. Sekarang, tak kurang dari seribu orang! Dan ketika orang-orang itu mengejarnya namun untung pecah di sana-sini ada yang melanjutkan pengejaran kepada Jin- touw maupun Kwi-bo maka Tujuh Siluman Langit benar-benar mengalami nasib sial diuber-uber orang kang-ouw.

Mereka sebenarnya tak tahu-menahu tentang Bu-tek-cin-keng karena dulu kitab yang dibawa ternyata juga kitab palsu, hancur dan robek-robek di tangan mendiang Ji Beng Hwesio yang sakti. Dan ketika sekarang mereka mengalami nasib buruk dikejar-kejar orang kang-ouw, didakwa membawa Bu-tek-cin-keng maka See-tok maupun yang lain menyumpah-nyumpah. Mereka benar-benar marah tapi juga bingung menghadapi tuduhan ini.

Tuduhan itu seperti biang penyakit yang menyebar dengan cepat. See-tok akhirnya luka-luka menerima serangan. Dan ketika di tempat yang lain Kwi-bo maupun lima rekannya tak mampu menghadapi gelombang serbuan yang dahsyat, roboh dan terguling di jurang yang dalam maka untuk enam tahun berita tentang Tujuh Siluman Langit tak ada lagi....

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.