Dewa Arak - Rahasia Surat Berdarah
SATU
Seekor kuda coklat melangkah pelan memasuki perbatasan Desa Rinji yang besar dan ramai. Penunggunya adalah seorang pemuda berbadan kekar, berwajah keras. Alisnya tebal berbentuk golok. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Mulut pemuda itu berdecak. Kedua tangannya yang menggenggam tali kekang kuda itu pun digoyang-goyangkan. Jelas pemuda itu memaksa binatang tunggangannya agar terus berjalan.
Kuda coklat itu memang sudah terlihat lelah. Nampaknya binatang itu telah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. Dan itu memang sudah pasti, karena keadaan penunggangnya pun tidak jauh berbeda dengan tunggangannya. Terlihat lelah. Pakaian dan wajahnya kotor berdebu.
Laki-laki berwajah keras itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sepasang alisnya yang tebal berbentuk golok berkerut. Jelas ada sesuatu yang dicarinya. Pandang matanya liar menatap rumah-rumah yang ada di kanan kirinya. Tak dihiraukannya pandang mata keheranan dari penduduk yang melihatnya.
Sepasang alis yang berkerut itu lenyap. Wajah keras itu pun berseri ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah bangunan besar dan megah. Bangunan ini berhalaman luas dan terkurung pagar tembok tinggi. Di depan pintu gerbangnya berdiri dengan gagahnya dua orang yang berjaga-jaga dengan sikap waspada.
"Hooop...!" Laki-laki berwajah keras itu menarik tali kekang kudanya tepat di depan pintu gerbang bangunan mewah dan megah itu. Hanya berjarak tiga tombak di depan kedua penjaga. Tentu saja hal itu membuat ke dua penjaga memperhatikan laki-laki berwajah keras itu dengan sikap penuh curiga.
"Hup...!" Dengan sebuah gerakan yang indah dan manis laki-laki berwajah keras itu melompat dari punggung kudanya. Ringan tanpa suara, kedua kakinya menjejak tanah. Kemudian sambil memegang tali kekang kuda, dituntunnya binatang itu menuju pintu gerbang. Karuan saja tindakan laki-laki berwajah keras itu membuat penjaga pintu gerbang terkejut. Serentak keduanya melangkah menghadang sambil meraba gagang golok masing-masing. Bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Mengapa kalian menghalangi jalanku?!" tanya laki-laki berwajah keras itu. Nada suaranya mengandung teguran.
Kedua penjaga pintu gerbang itu saling berpandangan. Sorot mata mereka jelas menyiratkan kebingungan. Tidak salahkah pendengaran mereka ini? "Maaf, kalau kami boleh tahu, siapakah Kisanak? Dan apa maksud Kisanak datang kemari?" tanya salah seorang penjaga yang berambut coklat, dengan suara meiendah. Teguran laki-laki berwajah keras itu membuat mereka bersikap hati-hati.
"Kalian tidak mengenalku? Oya, mungkin kalian orang baru di sini. Apakah kalian pernah dengar nama Kanulaga?" laki-laki berwajah keras itu balik bertanya.
Wajah kedua penjaga itu berubah. Mereka sebenamya bukan tergolong orang baru. Sudah sepuluh tahun mereka bekerja pada pemilik bangunan megah dan mewah itu. Sehingga wajar kalau keduanya mengenal semua anggota keluarga majikannya. Memang, keduanya pernah mendengar kalau salah seorang anak majikan mereka yang bernama Kanulaga, pergi mengembara lima belas tahun lalu. Jadi, laki-laki inikah putra sulung pemilik rumah mewah dan megah ini? pikir mereka menduga-duga. Kedua penjaga itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya," sahut salah seorang lagi yang memiliki sebuah tompel di pipi.
"Nah! Akulah orangnya!" sahut laki-laki berwajah keras itu tegas.
"Ahhh...!" desah kedua penjaga itu berbareng. Perasaan terkejut yang amat sangat menghiasi wajah mereka. "Kalau begitu..., maafkan kami, Den. Kami tidak mengenal Aden, sehingga bersikap tidak sopan kepada Aden," ucap keduanya sambil membungkuk hormat.
"Hm...," laki-laki berwajah keras yang mengaku bernama Kanulaga itu mendengus. "Menyingkirlah, kalian! Aku ingin lewat..!"
Penjaga yang memiliki tompel di pipinya segara beringsut menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan yang berambut coklat. Dia tetap berdiri menghadang jalan.
"Maafkan kami, Den. Sebelum kami yakin kalau Aden benar-benar Aden Kanulaga, kami tidak bisa memperkenankan Aden masuk. Maafkan kami, Den Kami tidak ingin terjadi sesuatu pada diri Tuan Suradiraja."
Si tompel tercekat Ucapan rekannya menyadarkannya kalau laki-laki berwajah keras itu belum tentu Kanulaga! Maka dia pun segera melangkah maju dan berdiri di sebelah temannya!
Kanulaga tersenyum. "Bagus! Aku ingin tahu sampai di mana kepandaian kalian!" sambut laki laki yang mengaku bernama Kanulaga. Tali kekang kudanya lalu dilepaskan, kemudian ditepuk-tepuknya leher kuda coklat itu. "Menyingkirlah sebentar Manis," ujar laki-laki berwajah keras itu pelan.
Seperti mengerti ucapan majikannya, kuda coklat itu mendengus pelan kemudian membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tuannya. Laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu kini mengalihkan perhatiannya pada dua orang penjaga di hadapannya.
"Aku akan masuk ke dalam. Ingin kulihat apakah kalian mampu menghalangiku...?" ujar laki-laki berwajah keras itu pelan bernada menantang.
"Maafkan kami, Den. Kami hanya menjalankan tugas...," sahut si rambut coklat.
"Tidak usah banyak basa-basi! Ayo serang aku!" bentak laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu
"Maafkan kami. Den. Hiyaaa...!"
Penjaga yang memiliki tompel di pipinya ini lalu menyerang laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga. Kakinya menyambar cepat ke arah wajah dengan sebuah tendangan miring yang keras. Laki-laki berwajah keras itu hanya mendengus pelan. Tubuhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan itu hanya mengenai tempat kosong. Sekitar sejengkal di depan wajahnya. Sebelum si tompel sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tangan kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak cepat!
Tappp...!
"Akh...!" Si tompel memekik kaget tatkala pergelangan kakinya sudah dicengkeram lawannya.
"Hih...!" Secepat pergelangan kakinya tertangkap, secepat itu pula laki-laki berwajah keras itu menyentakkannya. Kuat bukan main tenaga yang terkandung dalam sentakan itu. Tak pelak lagi, si tompel terlempar ke atas Tapi si tompel membuktikan kalau dirinya bukan-lah orang yang mudah dipecundangi. Tubuhnya berputar di udara. Dan....
"Hup...!"
Meskipun agak terhuyung-huyung, namun kedua kakinya berhasil hinggap di tanah. Mulut si tompel menyeringai, kaki kanannya dirasakan agak sakit. Memang sentakan laki-laki berwajah keras itu kuat bukan main Tapi si tompel tahu kalau lawan tak ingin melukainya Dia yakin, seandainya laki-laki berwajah keras itu mau, dengan tenaga dalamnya yang kuat itu, tulang pangkal kakinya bisa terlepas! Bukan hanya tubuhnya saja yang terlempar ke udara! Penjaga yang berambut coklat terkejut bukan main. Melihat betapa mudah rekannya dapat dipecundangi laki-laki berwajah keras itu. Tanpa ragu-ragu la segera dicabut goloknya.
Srattt...! Sinar terang terpancar begitu golok pendek be warna putih, keluar dari sarungnya!
Wuk, wuk, wuk...!
Si rambut coklat memutar mutarkan senjatanya depan dada. Angin mengiuk cukup keras, mengiringi gerakan golok itu. "Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan seruan nyaring melengking golok di tangannya ditusukkan cepat ke perut laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu! Tapi, laki-laki berwajah keras itu bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan itu mendekat Dan begitu serangan sudah dekat, dengan kecepatan yang mengagumkan tubuhnya didoyongkan ke samping kiri. Sehingga serangan itu hanya mengenai tempat kosong, lewat di samping kanan pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya bergerak menepak.
Plakkk..!
"Akh...!" Penjaga berambut coklat itu memekik tertahan. Tepakkan laki-laki berwajah keras itu telak dan keras sekali menghantam pergelangan tangannya yang menggenggam golok. Tulang-tulangnya terasa remuk, seketika itu juga, goloknya terlepas dari genggaman Belum lagi si rambut coklat sempat berbuat sesuatu, kaki kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak menendang ke arah perut.
Bukkk...!
"Hugh...!" Penjaga yang sial ini mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung terjengkang beberapa tombak ke belakang. Perutnya dirasakan mules bukan kepalang. Untunglah laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya. Sehingga ia tidak menderita luka dalam. Hanya rasa mual dan mules melanda perutnya Melihat penderitaan kawannya, si tompel yang kini sudah mencabut goloknya, bergerak menyerang. Tapi gerakannya segera terhenti ketika terdengar suara bentakan keras.
"Tahan...!" Dari dalam pintu gerbang yang memang terbuka itu bergerak cepat seorang laki-laki setengah baya. Serentak tiga orang itu menoleh ke arah laki-laki setengah baya itu.
"Ki Taji...!" seru orang yang mengaku bernama Kanulaga, memanggil laki-laki setengah baya itu.
Laki-laki setengah baya itu merandek kaget melihat laki-laki yang tadi dilihatnya tengah bertempur dengan dua orang penjaga, mengenalnya. Memang betul dia bernama Ki Taji. Dia adalah kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi, jarang keluar. Hampir tidak ada penduduk yang mengenal namanya, kecuali hanya orang-orang yang bekerja pada Tuan Sudiraja.
Tapi, yang menjadi pertanyaan baginya, mengapa laki-laki berwajah keras itu mengenalinya? Bukan hanya Ki Taji saja yang terkejut Dua orang penjaga pintu gerbang itu pun terkejut Kini keraguan mereka tentang kebenaran laki-laki berwajah keras ini adalah Kanulaga pupus.
"Siapa kau, Kisanak? Dari mana kau tahu namaku?" tanya kepala urusan dalam rumah tangga itu setelah mendekat. Sekujur tubuh laki-laki berwajah keras itu dipandangi penuh selidik.
"Kau lupa padaku, Ki?" laki-laki berwajah keras itu balik bertanya. Sama sekali tak dipedulikannya pertanyaan Ki Taji.
Wajah Ki Taji terlihat tegang. Dahinya pun berkerut-kerut. Jelas kalau laki-laki setengah baya ini tengah berpikir keras. "Rasanya..., aku seperti pernah mengenalmu Kisanak. Wajah dan suaramu sepertinya pernah kukenal “ ucap Ki Taji setengah bergumam.
"Aku Kanulaga, Ki...!" sahut laki-laki berwajah keras itu menjelaskan.
"Gusti Allah...! Aku memang benar-benar sudah pikun, sehingga tidak mengenalimu, Den?" pekik Ki Taji penuh rasa terkejut. Memang sejak berumur lima tahun, Raden Kanulaga akrab dengan Ki Taji. Pada usia lima belas tahun, Kanulaga pergi meninggalkan rumah untuk memenuhi kegemarannya, mengembara.
"Beliau adalah Aden Kanulaga...," ucap kepala urusan dalam rumah tangga itu memberitahu kedua penjaga pintu gerbang. Kedua penjaga itu termasuk anak buah dari kepala urusan rumah tangga bagian luar. Hanya saja saat itu, pimpinan mereka itu sedang keluar.
"Ah...! Kalau begitu, maafkan kelancangan kami, Den," ucap kedua penjaga itu buru-buru, sambil membungkuk hormat.
"Lupakanlah. Aku bangga, kalian berdua telah menjalankan tugas dengan baik," sahut Kanulaga bijaksana.
Tentu saja kedua penjaga itu menjadi girang bukan main. Tadi ketika mendengar Ki Taji memanggil pemuda berwajah keras itu dengan sebutan Kanulaga, mereka menjadi gelisah. Menurut dugaan mereka, Kanulaga akan menghukum mereka. Lega hari mereka tatkala mengetahui laki-laki berwajah keras itu sama kali tidak marah atas kejadian itu.
"Mari, Den. Ayah Aden sudah lama sekali menunggu kepulangan Aden." ajak Ki Taji sambil menggamit tangan Kanulaga dan mengajaknya masuk ke dalam.
"Tolong urus kudaku, Paman," pinta Kanulaga pada kedua penjaga itu.
"Baik, Den," jawab kedua penjaga itu berbareng.
Ruang tengah itu nampak mewah dan megah Biasanya ruangan itu kosong. Paling hanya Sudiraja yang duduk termenung di sana. Tapi kini di ruanga tengah yang mewah dan megah itu, tampak tiga orang tengah duduk mengelilingi sebuah meja bulat yang indah dan mewah.
"Aku gembira sekali atas kepulanganmu, Kanulaga. Hampir saja aku mengutus orang-orangku untuk mencarimu," ucap seorang laki-laki setengah baya bertubuh gemuk dan berperut gendut. Pakaiannya indah dan mewah. Bulu-bulu halus menghiasi kedua pipinya.
"Mengapa begitu, Ayah?" tanya Kanulaga menatapnya wajah laki-laki gendut berpakaian indah mewah yang ternyata adalah Sudiraja. Laki-laki berperut gendut yang kini telah berusia enampuluh tahun itu menarik napas panjang.
"Aku sudah tua, Kanulaga. Aku sudah lelah mengurus semua usahaku," jawab Sudiraja pelan. Tapi karena suasana di situ hening, suara laki-laki gendut itu jadi terdengar keras.
"Lho?! Bukankah ada Jalatara dan Nirmala? Apakah mereka tidak membantu Ayah?" tanya Kanulaga lagi. Keheranan nampak jelas pada wajahnya. Jalatara dan Nirmala adalah adik-adik kandung Kanulaga. "Ke manakah mereka, Ayah? Sejak tadi aku tidak melihat mereka?"
"Hhh...!" Sudiraja menghela napas panjang. "Beberapa tahun semenjak kepergianmu mengembara, Jalatara pergi. Kepergiannya sama sekali tidak ada yang tahu. Belakangan baru kuketahui, bahwa selagi bermain di halaman, ada seorang kakek yang membawanya. Dan mengajarkannya ilmu-ilmu kesaktian. Kini kudengar dia menjadi salah seorang pengawal adipati," jelas Sudiraja.
"Lalu, Nirmala ke mana, Ayah?" tanya Kanulaga.
"Nirmala kutitipkan pada sahabat karibku yang memiliki sebuah perguruan silat. Aku tidak ingin anak itu jadi perempuan yang lemah. Yahhh...! Setidak-tidaknya dia memiliki sesuatu untuk menjaga dirinya sendiri."
Kanulaga mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Sudah beberapa bulan ini aku ingin beristirahat dari kesibukan-kesibukanku, Kanulaga. Kau kan tahu aku sudah tua. Kesehatanku tidak memungkinkan lagi untuk mengurus semua usahaku," ujar laki-laki berperut gendut itu menyambung ucapannya.
"Jadi maksud, Ayah?" tanya Kanulaga lagi. Laki-Iaki berwajah keras ini masih belum mengerti maksud pembicaraan ayahnya.
"Begini, Kanulaga." Sudiraja memutuskan untuk mengatakannya secara gamblang dan jelas. "Aku sudah tua. Harta yang kumiliki berlimpah ruah. Aku tidak ingin sepeninggalku nanti, kalian gontok-gontokan memperebutkan warisanku. Jadi, sebelum aku menutup mata, aku ingin membagi semua kekayaanku secara adil. Pamanmu inilah yang akan menjadi saksinya."
Sudiraja menunjuk seorang berpakaian hitam dan berkumis lebat yang duduk di sebelahnya. Kanulaga menolehkan kepalanya, menatap orang yang diperkenalkan ayahnya sebagai pamannya. Memang laki-laki berwajah keras itu tidak mengenal laki-laki berkumis lebat itu.
Laki-laki berkumis lebat yang usianya sekitar lima puluh tahun itu datang ke rumah ini, setelah dia pergi meninggalkan rumah untuk mengembara. Laki-laki berkumis lebat menggerakkan bibirnya sedikit pada Kanulaga. Mungkin laki-laki itu bermaksud tersenyum. Tapi, Kanulaga tidak dapat menggolongkan gerakan bibir yang hanya sedikit itu sebagai senyum. Laki-laki berwajah keras ini hanya menganggukkan kepala sedikit pertanda menghormat. Kanulaga mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki yang diakui Sudiraja sebagai adik bungsunya.
"Kalau boleh kutahu, siapakah nama Paman?" tanya Kanulaga.
"Pandira," jawab laki-laki berkumis lebat itu pendek. Nada suaranya dingin dan datar.
Belum lagi Kanulaga sempat mengajukan pertanyaan lain kepada orang yang mengaku sebagai pamannya itu, Sudiraja telah menyelanya. "Bagaimana, Kanulaga?" tanya Sudiraja meminta pendapat putra sulungnya itu.
"Terserah, Ayah. Aku akan menurut semua keputusan, Ayah," jawab Kanulaga.
"Kalau begitu, besok akan kukirim utusan untuk memberitahukan kedua adikmu agar datang ke sini secepatnya," ucap Sudiraja memutuskan. Kegembiraan yang besar nampak jelas pada wajahnya.
Sementara Kanulaga hanya diam saja. Kepalanya menundukkan dalam-dalam. Tapi dari balik bulu matanya, sepasang matanya memperhatikan wajah Pandira lekat-lekat.
"O ya, Kanulaga. Ayah ingin mendengar pengalamanmu selama mengembara. Apa saja yang kau dapatkan dalam pengembaraanmu selama lima belas tahun ini. Dari Ki Taji, kudengar kau telah memiliki Ilmu kepandaian tinggi."
Kanulaga mengangkat kepalanya. "Tidak ada yang istimewa, Ayah," jawab laki-laki berwajah keras itu pelan.
"Lalu, ilmu kepandaianmu itu, kau dapatkan dari mana?" desak Sudiraja.
"Dari seorang kakek yang berkenan mengangkatku sebagai murid."
"Pasti kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggj," sahut Sudiraja lagi.
"Aku hampir tidak mengenalimu tadi, Kanulaga. Wajah dan perawakanmu jauh berubah. Sekarang kau nampak begitu jantan dan matang. O ya, mungkin kau masih lelah sehabis menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. Biar kupanggil Ki Taji untuk mengurus kamarmu," ujar Sudiraja seraya bangkit, hendak memanggil Ki Taji.
"Tidak usah, Ayah. Biar kuurus sendiri. Masih kamar yang dulu kan?" cegah Kanulaga seraya bangkit dari duduknya.
Sudiraja hanya menganggukkan kepalanya. Begitu putra sulungnya melangkah menuju kamarnya, dalam ruangan itu tinggal Sudiraja dan adik bungsunya.
* * * * * * * *
DUA
Hari masih pagi. Matahari belum naik tinggi ketika seekor kuda berpacu cepat memasuki mulut sebuah hutan. "Hiya...! Hiyaaa...!"
Si penunggang melecutkan cemetinya berkali-kali ke arah pantat kuda yang berwarna hitam putih. Nampaknya si penunggang bermaksud memacu binatang itu berlari lebih cepat lagi. Debu pun mengepul tinggi ke udara ketika kaki-kaki kuda itu menapak cepat di tanah berdebu. Belum jauh kuda itu memasuki hutan, tiba-tiba terdengar suara mendesing nyaring. Disusul melesatnya sebuah sinar kemerahan menyambar ke arah binatang itu.
Cappp...! Telak sekali sinar kemerahan itu mengenai leher kuda hitam putih itu. Seketika itu juga binatang itu meringkik keras. Kedua kakinya terangkat tinggi-tinggi ke depan, membuat penunggangnya terlempar ke atas. Tapi si penunggang kuda ternyata bukanlah orang sembarangan. Manis sekali tubuhnya bersalto beberapa kali di udara kemudian hinggap ringan di tanah.
"Hup..,!" Tahu kalau ada bahaya mengancam, begitu sepasang kakinya mendarat di tanah, tangannya cepat meloloskan sebatang pedang yang tersampir di punggungnya. Sepasang matanya menatap ke arah binatang tunggangannya yang telah tergolek tanpa nyawa. Pada leher binatang itu tertancap sebuah benda dari logam berwarna merah, berbentuk ekor kalajengking.
Wajah si penunggang kuda berubah pucat. Sepasang matanya menatap liar ke sekelilingnya. Rupanya orang itu kenal betul dengan logam berbentuk ekor kalajengking merah itu. Benda itu adalah senjata khas, Perkumpulan Kalajengking Merah!
Belum lagi penunggang kuda itu berbuat sesuatu, mendadak melesat sesosok bayangan hitam. Sesaat kemudian sosok serba hitam itu telah berdiri di hadapan si penunggang kuda. Pada bagian dadanya terdapat gambar seekor kalajengking merah. Bagian wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung hitam. Tangan penghadang itu menggenggam sebatang tongkat panjang merah berujung ekor kalajengking.
"Kau...?! Mengapa menghadang jalanku? Bukankah majikanku, Tuan Sudiraja tidak pernah lalai memberikan upeti?" tanya penunggang kuda Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.
"Ha ha ha...! Tidak usah banyak bacot! Kalau kau ingin selamat, serahkan surat itu padaku!" ucap si penghadang sambil tertawa bergelak.
"Surat? Surat apa?" tanya si penunggang kuda itu berpura-pura tidak mengerti. Majikannya memang menugaskan membawa surat untuk diserahkan pada Nirmala di Perguruan Hati Suci. Entah untuk urusan apa, dia tidak tahu. Tapi yang menjadi tanda tanya bagi si penunggang kuda, dari mana orang Perkumpulan Kala lajengklng Merah ini mengetahuinya?
"Tidak usah pura-pura! Serahkan surat untuk Nirmala itu padaku. Atau kau ingin mampus?" sergah orang berpakaian serba hitam itu. Keras dan kasar suaranya.
Kini utusan Sudiraja sadar, kalau tidak ada gunanya lagi dia berpura-pura. Orang yang menghadang di depannya ini jelas tahu tugas yang diembannya. "Langkahi dulu mayatku! Baru kau akan mendapatkan surat itu!" sahut utusan itu tegas.
"Hm.... Rupanya kau lebih suka memilih mati!" dengus si penghadang murka. Setelah berkata demikian, orang yang di dadanya bergambar kalajengking merah ini, melompat menerjang. Senjata di tangannya, yang berupa tongkat panjang berujung logam merah berbentuk ekor kalajengking, disabetkan ke leher utusan Sudiraja.
Wuuuttt...!
Angin meniup cukup keras mengawali tibanya serangan itu. Utusan Sudiraja yang tahu betapa lihainya orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah, tidak berani bertindak gegabah. Cepat-cepat kepalanya dirundukkan sehingga babatan tongkat itu lewat di atas kepalanya. Sementara utusan Sudiraja merunduk, goloknya ditusukkan ke perut lawan.
"Eh...?!" Orang berpakaian serba hitam itu memekik tertahan. Kaget juga dia melihat lawan dapat mengelakkan serangannya. Bahkan kini mampu membalas dengan serangan yang cukup berbahaya. Buru buru dia melompat ke belakang, sehingga tusukan golok itu mengenai tempat kosong.
"Keparat...! Kau harus mampus!" teriak orang yang di dadanya bergambar kalajengking merah. Hampir saja dia celaka karena terlalu menganggap enteng lawannya. Pengalaman pahit yang baru saja dialami, membuatnya tidak lagi bersikap terlalu memandang rendah lawannya.
"Haatttt...!" Sambil berteriak melengking, pertanda kemarahan hatinya, tongkat berujung ekor kalajengking itu menyambar dahsyat ke arah lawannya. Tapi utusan Sudiraja bertekad untuk melawan mati-matian. Dia tidak ingin mengecewakan majikannya.
Pertarungan sengit pun tak dapat dihindari lagi. Tapi hal ini hanya berlangsung beberapa jurus saja. Pada jurus-jurus berikutnya, nampak jelas keunggulan orang berpakaian serba hitam itu. Tongkat merah berujung ekor kalajengking di tangannya, berkali-kali hampir mengenai tubuh tawannya.
Utusan Sudiraja menggertakkan gigi. Sejak semula sudah diketahui kalau dirinya bukanlah tandingan si penghadang. Tapi tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya, membuat laki-laki ini nekad dan berusaha melawan mati-matian. Apa yang semula diduganya, kini menjadi kenyataan. Hujan serangan lawan benar-benar membuatnya repot bukan main. Dan robohnya dirinya, hanya tinggal menunggu waktu saja.
Sret..!
"Akh...! Utusan Sudiraja memekik tertahan ketika ekor kalajengking yang runcing itu menyerempet perutnya. Cairan merah kental mengalir dari luka goresan itu. Seketika itu juga rasa pening menyerang kepalanya. "Racun...!" pekik utusan Sudiraja tajam. Sesaat kemudian tubuhnya limbung.
"Ha ha ha...!" si penghadang tertawa terbahak-bahak mendengar seruan kaget lawannya.
"Keparat! Kau..., kau curang...," maki utusan Sudiraja. Seketika kemarahannya meluap.
"Ha ha ha...!" hanya suara tawa terbahak saja yang menyahuti makian utusan Sudiraja itu.
"Ohhh...!" keluh utusan Sudiraja itu. Rasa pening di kepalanya semakin kuat menyerang. Sekelilingnya dirasakan bagai berputar-putar.
"Sekarang terimalah ajalmu, keparat! Hiyaaa...!" Setelah berkata demikian, orang berpakaian serba hitam itu melompat menerjang. Tongkat merah berujung ekor kalajengking di tangannya menyambar cepat ke leher lawannya. Di saat gawat bagi keselamatan utusan Sudiraja itu, mendadak sesosok bayangan putih melesat cepat. Dan...
Tranggg...!
"Akh...!" Orang yang berpakaian serba hitam itu memekik tertahan Tubuhnya kembali terlempar ke belakang. Tapi dengan gerakan yang indah dan manis, tubuhnya bersalto beberapa kali di udara dan mendarat ringan di tanah. Sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Tongkat merah berujung ekor kalajengking di tangannya pun terpental.
"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusanku?!" bentak orang yang di dadanya bergambar kalajengking. Ditatapnya orang yang telah menyelamatkan korbannya tajam-tajam.
Berdiri membelakangi utusan Sudiraja, nampak seorang wanita cantik berpakaian serba putih. Rambut wanita itu dibiarkan meriap. Di tangannya tergenggam sebatang pedang. Sementara agak jauh di belakangnya, berdiri seorang pemuda tampan berambut putih keperakan berpakaian serba ungu.
Sadar kalau lawan di hadapannya berilmu tinggi dan lagi pula utusan Sudiraja itu pun tidak lama lagi akan tewas, si penghadang memutuskan untuk melarikan diri. Cepat dibalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu, setelah teriebih dulu memungut senjatanya. Gadis berpakaian serba putih itu sama sekali tidak mengejar. Sosok serba hitam itu dibiarkan saja melarikan diri.
Brukkk...! Suara berdebuk jatuhnya tubuh utusan Sudiraja, membuat pemuda berambut put ih keperakan dan gadis berpakaian serba putih itu terkejut Buru-buru keduanya melangkah menghampiri.
"Ah...! Dia terkena racun ganas yang cepat daya kerjanya, Kang Arya," ucap gadis berpakaian serba putih itu setelah melihat luka di perut utusan itu.
"Hm.... Dapatkah kau menolongnya. Melati?" tanya pemuda berambut put ih keperakan yang memang bernama Arya Buana atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu. Gadis berpakaian putih yang bernama Melati itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Kang. Racun ini ganas. Lagi pula hampir mencapai jantung. Tampaknya dia tinggal menunggu ajalnya saja," jawab Melati.
"Hhh...!" desah Arya. Nampak jelas kalau pemuda ini kecewa mendengar jawaban itu.
"Jangan pedulikan aku...," tiba-tiba utusan Sudiraja itu membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Sekujur wajahnya dipenuhi keringat sebesar butiran-butiran jagung. "Yang penting..., tolong selamatkan surat ini. Dan berikan pada Nirmala...," lanjutnya terputus-putus.
Setelah berkata demikian, dikeluarkannya sebuah gulungan surat yang diselipkan di balik ikat pinggangnya. Gulungan surat itu lalu diangsurkannya pada Dewa Arak "Ke mana kami harus mengantarkannya, Kisanak?" tanya Arya cepat, setelah menerima surat yang diangsurkan utusan Sudiraja. Pemuda berambut put ih keperakan ini khawatir kalau orang itu keburu tewas sebelum sempat memberitahukan ke mana dia harus mengantar surat itu.
"Ke... Perguruan... Hati... Suci...," sahut utusan itu terputus-putus. "Tolong..., jangan biarkan orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah merebutnya...."
"Perkumpulan Kalajengking Merah? Kami tidak mengerti maksudmu, Kisanak? Bisakah kau beritahukan pada kami siapa mereka?" desak Melati.
Keringat sebesar jagung semakin banyak bermunculan di wajah utusan yang tengah berada di ambang maut itu. "Mereka adalah perkumpulan orang jahat dan..., akh...!" kepala utusan Sudiraja terkulai sebelum sempat menyelesaikan keterangannya.
"Hhh...!" Dewa Arak mendesah bingung. Kini dia dan Melati dihadapkan pada satu urusan. Dan sudah menjadi sifat Arya untuk selalu mencampuri urusan yang dirasanya mengandung unsur ketidakadilan. Tapi yang menjadi pertanyaan Dewa Arak, dari mana dia harus memulainya?
"Sudahlah, Kang Arya. Yang penting kita harus kuburkan mayatnya dulu," selak Melati ketika melihat tunangannya hanya berdiri termangu.
"Hhh...!" Dewa Arak mendesah. Dipungutnya golok utusan Sudiraja. Kemudian kakinya dilangkahkan ke sebuah tempat yang agak tersembunyi dan terlindung. Golok itu dipakai untuk menggali lubang mengubur mayat utusan Sudiraja.
Dengan tenaga dalamnya yang memang sudah mencapai tingkatan tinggi, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk membuat sebuah lubang yang cukup besar dan dalam. Meskipun tanah di situ keras, tapi Arya menggali seperti orang menggali tanah lunak mempergunakan cangkul saja layaknya.
Dalam waktu singkat, sebuah lubang yang cukup dalam dan lebar selesai dibuat Dewa Arak segera memasukkan mayat itu dan menguruknya dengan tanah dan batu-batuan Tak lupa di atasnya ditancapkan! sebuah batu persegi sebagai pengganti nisan.
"Kang Arya...," panggil Melati ketika dilihatnya Dewa Arak telah menyelesaikan pekerjaannya.
Arya menoleh. Dilihatnya gadis berpakaian serba putih itu tengah memperhatikan sebuah benda yang tergenggam di tangannya. Arya bergegas menghampiri. Melati segera memberikan logam berbentuk ekor kalajengking merah pada Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu menerimanya. Diperhatikannya benda yang kini dipegangnya dengan seksama.
"Dari mana kau dapatkan benda ini, Melati?" tanya Arya.
"Dari leher kuda itu, Kang," jawab gadis itu sambil menunjuk kuda hitam putih yang tergolek tanpa nyawa di dekatnya.
Dewa Arak membungkukkan tubuhnya. Sejenak diperhatikannya sekujur tubuh kuda itu, kemudian bangkit berdiri. "Racun yang sama," desis Arya pelahan.
"Senjata rahasia itu bentuknya aneh sekali, Kang."
'Ya. Seperti ekor kalajengking," jawab Arya sambil mengernyitkan keningnya. Melati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya. Jelas ada suatu kesimpulan yang didapatkan gadis itu sehingga membuatnya mengangguk-angguk pertanda mengerti.
"Jelas pembunuhnya adalah orang dari Perkumpulan Kalajengking Merah, Kang," sahut gadis berpakaian serba putih itu.
Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Memang sudah didengarnya, orang yang menitipkan surat tadi menyebutkan nama Perkumpulan Kalajengking Merah. "Perkumpulan Kalajengking Merah...," gumam pemuda berambut putih keperakan itu. Sepasang matanya menatap kosong. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. "Kau pernah mendengarnya, Melati?"
"Tidak. Kau mengetahuinya. Kang?" Melati balik bertanya sambil menatap Arya tajam. Gadis ini memang belum pernah mendengar nama perkumpulan itu. Dewa Arak menggelengkan kepalanya "Lalu bagaimana dengan surat itu, Kang?" tanya Melati lagi.
"Yahhh..., seperti yang telah dipesankan oleh orang tadi."
"Jadi...?"
"Ya. Kita antarkan kepada Nirmala di Perguruan Hati Suci," jelas Arya. Melati terdiam sejenak.
"Lalu bagaimana dengan bangkai kuda ini, Kang? Aku khawatir racun ini akan menyebar. Tubuh binatang ini telah mengandung racun," ucap Melati meminta pendapat Dewa Arak.
Arya tercenung sejenak. Disadari kebenaran ucapan tunangannya ini. "Jalan saru satunya hanyalah membakarnya. Mengubur bangkai ini terlalu menyita waktu. Harap kau menyingkir sebentar, Melati," pinta pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa berkata apa-apa, Melati segera melangkah menyingkir. Tanpa diberitahu pun gadis ini tahu kalau Dewa Arak akan mempergunakan Jurus yang belum lama dikuasainya. Jurus 'Membakar Matahari'. Dewa Arak melangkah mundur. Jarak antara dia dengan bangkai binatang itu sekitar empat tombak. Kemudian kedua tangannya dengan jari-jari terkembang membentuk cakar, dihentakkan dua kali berturut-turut.
Wusss, wusss...!
Dua gumpal api meluncur dari telapak tangan Dewa Arak ke arah bangkai kuda itu. Terdengar suara letupan pelan ketika kedua bola api itu mengenai tubuh binatang itu. Sesaat kemudian, api pun berkobar. Tak lama kemudian di tempat itu tercium bau sanglt daging terbakar, diiringi bau amis yang memuakkan. Melati segera menyingkir lebih menjauh lagi. Kedua hidungnya ditutup untuk mencegah bau tidak enak yang membuat perutnya mual. Dalam waktu sekejap, api itu telah membakar habis bangkai kuda hitam putih tersebut Kini yang tinggal hanyalah onggokan daging dan tulang-tulang yang kemudian buyar tertiup angin.
"Hhh...!" Arya menghela napas lega. Kakinya kemudian dilangkahkan menghampiri Melati. "Mari kita tuntaskan tugas kita, Melati."
Gadis berpakaian serba pulih itu menatap wajah Dewa Arak penuh takjub sesaat Baru kemudian dia pun ikut melangkah di sebelah Arya, meninggalkan tempat itu.
* * * * * * * *
Matahari telah naik tinggi. Sinarnya yang menyengat kulit menyoroti bumi dengan garang. Tapi teriknya sinar itu tidak dirasakan oleh orang yang berada dalam bangunan termegah di Desa Rinji.
"Apa itu, Ayah?" tanya Kanulaga ketika melihat ayahnya tengah membungkus sesuatu dalam sebuah kantung kain yang cukup besar.
Sudiraja terkejut bukan main. Hampir saja dia terlonjak kaget mendengat teguran itu. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri, mengapa dia lupa mengunci pintu kamarnya, sehingga putra sulungnya itu dapat masuk dan mengetahui perbuatannya?
"Tidak ada apa-apa, Kanulaga," jawab Sudiraja gugup. Jelas kalau kedatangan Kanulaga ke kamarnya, diluar dugaannya.
Kanulaga mengernyitkan alisnya. Perasaan curiganya pun timbul ketika melihat perubahan air muka ayahnya. Dengan langkah lebar, dihampiri ayahnya. "Boleh kulihat apa yang Ayah bungkus itu?" tanya laki-laki berwajah keras itu penuh rasa ingin tahu.
"Tidak ada apa-apa, Kanulaga. Yahhh..., hanya...."
"Tidak perlu membohongiku. Ayah. Aku tahu apa yang Ayah bungkus itu," selak Kanulaga cepat.
"Kau tahu?!" tanya Sudiraja setengah tidak percaya.
"Ya." jawab Kanulaga singkat.
"Apa!" desak Sudiraja penasaran. Ingin diketahuinya jawaban putra sulungnya.
"Apa lagi kalau bukan harta kekayaan ayah?!"
Wajah Sudiraja berubah pucat. Tapi hal ini hanya berangsung sesaat, sebentar kemudian wajahnya sudah kembali seperti sediakala. "Dugaanmu tidak salah, Kanulaga. Ayah memang sengaja memisahkannya Yahhh...! Tempat penyimpanan harta Ayah sudah penuh," jelas Sudiraja mencoba tersenyum.
"Hhh...!" Kanulaga menghela napas dalam-dalam. Ditatap wajah ayahnya lekat-lekat. "Ayah masih saja berusaha menyembunyikan hal ini padaku," keluhnya pelan.
"Apa maksudmu, Kanulaga? Ayah tidak mengerti!" sergah Sudiraja dengan suara ditekan. Tapi sungguhpun begitu, tetap saja laki-laki gendut ini tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
"Ayah masih juga berpura-pura. Aku sudah tahu untuk apa harta kekayaan itu! Aku telah tahu semuanya!" tandas Kanulaga tegas.
Pucat pias wajah Sudiraja mendengar ucapan anaknya. Sepasang matanya menatap liar ke kanan dan ke kiri, seperti ada sesuatu yang ditakutinya. "Tutup mulutmu, Kanulaga! Kau tahu, tindakanmu itu hanya akan membahayakan dirimu sendiri!" bentak Sudiraja.
Kanulaga menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Perlu Ayah tahu, dalam pengembaraanku berkali-kali aku berhadapan dengan maut. Jadi, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bagiku, Ayah. Aku lebih suka mati terhormat daripada hidup terinjak-injak," tegas dan keras kata-kata Kanulaga.
Sudiraja menatap wajah putra sulungnya lekat-lekat "Kau tidak tahu siapa mereka, Kanulaga," desis laki-laki gendut itu tajam.
"Aku tahu, Ayah. Bukankah mereka adalah Perkumpulan Kalajengking Merah?!" sahut Kanulaga tegas.
"Kau hanya tahu satu, tapi tidak tahu yang kedua, Kanulaga!" sentak Sudiraja.
"Maksud, Ayah?" tanya Kanulaga tidak mengerti.
"Kau tahu di mana markas mereka?"
Laki-laki berwajah keras itu mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Ayah. Tapi apakah Ayah tahu?" Kanulaga balik bertanya.
Laki-laki berperut gendut itu tersenyum penuh kemenangan. "Itulah yang membuat mereka lebih berbahaya, Kanulaga. Tidak seorang pun tahu di mana markas mereka! Yang jelas setiap orang yang membangkang kemauan mereka, pasti tewas!"
"Lalu, ke mana Ayah mengantarkan upeti itu?" tanya Kanulaga lagi setelah termenung sejenak.
Sudiraja mengernyitkan alisnya. Laki-laki berperut gendut ini mencium gelagat yang mencurigakan pada Sikap putera sulungnya. "Untuk apa kau mengetahuinya?" tanya Sudiraja. Sepasang matanya merayapi sekujur wajah Kanulaga. Sepertinya di wajah itu dapat ditemukan jawaban dari pertanyannya.
"Hanya ingin tahu saja," sahut laki-laki berwajah keras itu sekenanya.
"Kalau begitu, kau tak perlu mengetahuinya, Kanulaga," jawab Sudiraja ringan.
Kanulaga menatap wajah ayahnya sejenak. Laki-laki berwajah keras yang juga memiliki watak keras ini menghembuskan napas panjang. "Biar bagaimanapun juga, aku akan berusaha agar harta itu tidak terjatuh ke tangan pemeras-pemeras terkutuk itu!" tegas Kanulaga tandas. Setelah berkata demikian, Kanulaga melangkah meninggalkan kamar ayahnya.
"Kanulaga...!" panggil Sudiraja dengan suara keras. Tapi laki-laki berwajah keras itu sama sekali tidak menghiraukan. Terus saja dilangkahkan kakinya.
"Hhh...!" laki-laki berperut gendut itu menghela napas dalam-dalam. "Anak tidak tahu penyakit...," keluhnya pelan sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
* * * * * * * *
TIGA
Siang itu udara terasa panas sekali. Sang matahari memancarkan sinarnya yang terik, menyorot garang ke bumi.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas. Disusulnya peluh yang membasahi sekujur wajah dan lehernya dengan punggung tangan. Ditolehkan kepalanya ke arah Melati yang duduk di sebelahnya. Gadis itu juga tengah menyusuri peluh yang membasahi wajah dan lehernya yang berkulit putih, halus, dan mulus itu. Memang Dewa Arak dan Melati tengah duduk beristirahat di bawah pohon yang berdaun rindang.
"Daerah di sini panas ya, Kang," ucap Melati pelan membuka percakapan.
"Ya," sahut Arya sambil menatap wajah gadis berpakaian serba putih itu lekat-lekat "Tapi sabarlah, Melati. Tidak lama lagi semuanya akan berakhir. Setelah menyampaikan surat ini, kita akan meninggalkan tempat ini secepatnya." Seraya berkata demikian, Dewa Arak menunjukkan surat yang terselip di pinggangnya.
"Mudah-mudahan saja," jawab Melati dengan suara mendesah. Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Sepertinya kau tidak senang, Melati," tanya Dewa Arak setengah memastikan.
"Bukan aku tidak senang, Kang," bantah gadis berpakaian serba putih itu cepat.
"Hm , tapi nada ucapanmu sepertinya menyiratkan begitu."
Melati menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat "Aku tidak kerasan berada di daerah seperti ini, Kang. Apabila siang, panas bukan main. Tapi sebaliknya malamnya dingin sekali. Tapi tugas itu...."
"Kenapa tugas ini, Melati?"
"Tugas ini sepertinya tidak akan mudah kita laksanakan. Kang."
"Maksudmu...?"
"Aku yakin mau tidak mau kita akan terseret ke dalam urusan yang akan membuat kita berada di sini untuk waktu yang cukup lama, Kang," tegas dan jelas a kata-kata Melati.
Arya tercenung. Disadarinya kebenaran dalam ucapan gadis yang dicintainya ini. Dia pun tidak yakin, kalau sehabis mengantarkan surat ini, tugasnya akan selesai. "Mungkin kau benar, Melati," desah pemuda berambut putih keperakan ini pelan.
Suasana menjadi hening ketika Dewa Arak menyelesaikan ucapannya. Kedua pendekar muda ini tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Tapi tiba-tiba hampir berbareng keduanya saling pandang. Dahi mereka berkerut-kerut.
"Ada banyak langkah kaki yang menuju kemari, Melati," ucap Dewa Arak memberitahu.
"Aku pun mendengarnya, Kang," sahut gadis berpakaian serba putih itu. Memang, baik Melati maupun Arya telah sama-sama mendengar suara itu.
"Waspadalah, Melati. Sepertinya, mereka tidak bermaksud baik."
Belum juga gema suara Dewa Arak lenyap, terdengar suara-suara mendesing nyaring. Disusul dengan berkelebatnya belasan sinar kemerahan ke arah mereka. Bagai dikomando, meskipun masih dalam posisi duduk, kedua muda-muda itu serentak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dewa Arak dengan jurus 'Pukulan Belalang'nya, sedangkan Melati dengan jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Angin berhembus keras ke arah sinar-sinar kemerahan yang menyambar ke arah dua muda-mudi yang sakti itu. Hebat akibatnya! Belasan sinar merah itu rontok, berjatuhan di tanah sebelum sempat mendekati Dewa Arak dan Melati. Tapi baru saja belasan sinar merah yang ternyata adalah logam merah berbentuk ekor kalajengking itu rontok ke tanah, belasan sosok berpakaian serba hitam muncul dari balik rerimbunan semak dan pohon.
"Hhh...! Ada saja gangguan...," keluh Melati.
Dewa Arak tersenyum mendengar gerutu gadis Itu. Tak lama kemudian, pemuda itu bangkit dari duduknya. "Kau istirahat saja, Melati. Biar aku yang menghadapi mereka," ujar Arya.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu menghampiri belasan orang yang sudah siap menyerang. Diperhatikannya mereka sejenak. Jumlah mereka sebelas orang, berpakaian serba hitam, yang di dadanya berqambar kalajengking merah. Wajah mereka tidak terlihat karena tertutup selubung hitam. Senjata tongkat panjang merah berujung ekor kalajengking, tergenggamdi tangan mereka.
"Serahkan surat itu pada kami, Kisanak. Dan kami berjanji akan membiarkan kau dan temanmu pergi dengan selamat'" ucap salah seorang dari para pengepung itu. Berbeda dengan yang lainnya, pada dahi selubungnya tertera tanda totol merah. Sementara pada dahi selubung yang lainnya tidak terdapat tanda apa-apa.
"Sayang sekali. Aku telah dipesan oleh yang bersangkutan untuk menyerahkan surat ini pada yang berhak menerimanya," sahut Arya kalem.
"Keparat! Jadi, kau tidak mau memberikan surat itu, Kisanak?!" gertak si selubung bertotol merah.
"Sudah kukatakan, aku hanya akan memberikan pada yang berhak menerimanya!" tegas Dewa Arak tandas.
"Rupanya kau lebih suka mampus! Hiyaaa...!" Setelah berkata demikian, orang berpakaian serba hitam ini menusukkan senjata anehnya ke arah perut Arya. Tapi Dewa Arak hanya tersenyum tipis. Tubuhnya segera didoyongkan ke samping kanan, sehingga senjata itu lewat di samping kiri sambil tangan kanannya bergerak menangkap.
Tappp...!
"Akh...!" Si penyerang terpekik kaget ketika tangannya telah ditangkap Dewa Arak. Dan jerit kekagetan itu segera berubah menjadi jerit kesakitan, ketika Arya menggerakkan jari-jari tangannya meremas.
Terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang tangan yang remuk. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau orang-orang yang mengepungnya ini berwatak kejam dan jahat. Maka Dewa Arak sengaja bertindak agak keras terhadap mereka. Belum lagi, penyerang yang sial ini berbuat sesuatu, Dewa Arak menyentakkan tangannya. Tak pelak lagi tubuh orang itu melayang ke depan.
"Aaa..!" jerit orang berpakaian serba hitam itu penuh rasa ngeri. Tubuhnya melayang deras ke arah batang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa.
Bukkk...!
"Akh...!" Terdengar keluhan tertahan dari mulut penyerang yang sial, ketika kepalanya menghantam batang pohon. Seketika itu juga orang berpakaian serba hitam yang pada bagian dahi selubungnya terdapat totol merah ini pingsan.
Seruan-seruan kaget terdengar dari mulut para penyerang, begitu melihat rekannya roboh hanya dalam segebrakan saja di tangan pemuda berambut putih keperakan ini. Meskipun begitu, belasan orang itu tidak menjadi gentar. Sambil memekik nyaring, mereka serentak menyerang Dewa Arak. Belasan senjata tajam pun berkelebatan menghujani Arya.
Sekali lihat saja, Dewa Arak dapat mengukur tingkat kepandaian para pengeroyoknya. Memang tingkat kepandaian mereka rata-rata cukup tinggi. Tapi masih terlalu jauh Jika diperbandingkan dengannya. Maka, Dewa Arak tidak merasa perlu mempergunakan ilmu andalannya. Pemuda itu hanya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Ilmu yang diwariskan ayahnya.
Hebat bukan main sepak terjang Dewa Arak. Ke mana saja, tangan atau kakinya bergerak, pastilah di situ ada lawan yang roboh. Tapi Dewa Arak yang memang tidak berwatak kejam, tidak pernah menurunkan tangan maut pada mereka. Paling-paling dia hanya mematahkan satu kaki atau tangan mereka untuk sekedar memberi pelajaran. Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul seiring dengan berjatuhannya tubuh mereka satu persatu ke tanah.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dengan terdengarnya dua jeritan terakhir, berakhir pula pertarungan antara Dewa Arak dengan para pengeroyoknya. Kini tinggal Arya yang masih berdiri di arena pertarungan. Sementara para pengeroyoknya bertebaran tanpa daya di sekelilingnya. Hanya rintihan mereka saja yang masih terdengar.
Dewa Arak memandangi lawan-lawannya yangj tergolek tak berdaya di tanah, sejenak. Baru setelah itu menghampiri mereka. Arya bermaksud mengorek keterangan dari mulut mereka. Tapi baru juga Dewa Arak berjalan beberapa langkah, terdengar suara bersiut nyaring, disusul dengan melesatnya sebuah benda bulat sebesar telur angsa. Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, dan bersalto beberapa kali di udara.
Blarrr...!
Terdengar ledakan yang cukup keras begitu benda bulat sebesar telur angsa itu jatuh di tanah. Asap tebal berwama hitam pekat segera menyebar memenuhi tempat itu.
"Hup...! Dewa Arak hinggap sekitar tujuh tombak dari tempatnya semula. Dahi pemuda itu berkernyit ketika mencium bau amis memuakkan dari asap yang sedikit terbawa angin ke tempatnya
"Menyingkir, Melati! Asap itu beracun!" seru Arya pada tunangannya, seraya melesat menjauhi asap itu.
Mendengar seruan kekasihnya, Melati bergegas bangkit dari duduknya dan berlari menyingkir dari situ. Menyusul Dewa Arak. Baru setelah asap tebal berwarna hitam itu telah sirna tertiup angin. Dewa Arak dan Melati kembali ke tempat semula. Bergidik hati mereka melihat belasan sosok berpakaian hitam tadi telah tak bergerak lagi. Tewas! Sekujur kulit tubuh mereka hangus!
Dewa Arak mengalihkan perhatian ke arah penyerang pertama yang telah dibuatnya pingsan tadi. Ternyata yang seorang ini pun sudah tidak bernyawa pula. Kepalanya pecah! Sepasang mata Dewa Arak bergerak liar mengamati sekelilingnya. Barangkali saja dapat menemukan penyerang gelap yang telah melemparkan benda bulat yang dapat meledak itu Tapi sampai lelah matanya berputar ke sana kemari, tidak juga dilihatnya hal yang mencurigakan.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas. Kini persoalannya menjadi gelap kembali.
Melati bergidik ngeri melihat keadaan mayat-mayat Itu. Digamitnya lengan Dewa Arak. Kemudian ditariknya meninggalkan tempat itu. Arya sama sekali tidak membantah. Pemuda ini tahu, tidak ada gunanya lagi mencari si penyerang gelap. Orang itu pasti telah jauh meninggalkan tempati ini. Maka dibiarkan saja Melati membawanya.
* * * * * * * *
Dewa Arak dan Melati menghentikan langkahnya. Kepala mereka sama-sama agak menengadah, menatap sebuah papan tebal yang tergantung di atas pintu gerbang sebuah bangunan besar berhalaman luas. Bangunan besar itu dikelilingi pagar kayu bulat yang tinggi. Jelas terbaca oleh mereka huruf-huruf yang tertera di papan berukir indah itu. Huruf-huruf yang dibuat dengan tinta emas, bertuliskan 'Perguruan Hati Suci'.
"Mari kita ke sana, Melati," ajak Dewa Arak sambil melangkah mendahului ke arah pintu gerbang itu. Melati bergegas mengikuti tangkah kekasihnya.
"Maaf, Kisanak. Apakah kami bisa bertemu dengan Nirmala?" tanya Dewa Arak sopan pada dua orang murid Perguruan Hati Suci yang menjaga pintu gerbang.
Kedua orang murid itu saling pandang sejenak. Raut keterkejutan jelas terbayang pada wajah mereka. "Maaf, kalau boleh kami tahu siapakah kisanak berdua?" tanya salah seorang dari dua murid itu.
"Aku Arya dan ini temanku..., Melati," jawab Dewa Arak memperkenalkan diri.
"Hm.., maksud kami..., apa hubungan kisanak berdua dengan Nirmala?" tanya orang itu lagi memperbaiki pertanyaannya yang tadi.
Dewa Arak dan Melati melongo. Sungguh sama sekali tidak disangka kalau untuk bertemu dengan gadis itu sangat sulit. Mereka sama sekali tidak tahu, kalau keberadaan Nirmala di Perguruan Hati Suci sangat dirahasiakan. Hanya beberapa gelintir orang saja yang mengetahuinya.
Dan kebetulan di antara mereka adalah dua orang yang menjaga pintu gerbang ini. Tentu saja mereka terkejut bukan main begitu melihat seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian putih, mencari putri Sudiraja itu.
"Kami... kami bukan apa-apanya. Kami hanya...."
Belum lagi Arya menyelesaikan ucapannya, dua orang itu sudah menghunus golok masing-masing.
Srattt...! Srattt...!
Sinar terang berkilatan, ketika kedua golok itu keluar dari sarungnya.
"Tunggu sebentar, Kisanak! Percayalah, kami tidak bermaksud jahat," cegah Dewa Arak buru-buru.
Tapi dua orang penjaga itu sama sekali tidak mempedulikan kata-kata Dewa Arak. Golok di tangan mereka berkelebat cepat menyerang Arya. Tampaknya kedua penjaga itu benar-benar menginginkan kematiai Dewa Arak! Melati yang memang berwatak keras, menjadi tidak senang melihat sikap kedua orang itu.
"Kalian pikir, hanya kalian saja yang memiliki kepandaian?" ucapnya keras, seraya melayangkan tubuhnya. Sesaat kemudian gadis berpakaian putih itu telah berdiri membelakangi Arya.
"Mundur, Melati...!" teriak Dewa Arak mencegah. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak ingin keadaan menjadi lebih kacau dengan ikut campur tangannya Melati, gadis yang diketahuinya memiliki watak keras.
Tapi Melati sama sekali tidak mempedulikan seruan kekasihnya. Kedua tangan gadis berpakaian serba put ih itu tahu-tahu sudah bergerak cepat menangkis golok yang menyambar ke arahnya dengan tangan kosong!
Takkk...! Takkk...!
Tappp, tappp...!
Seolah-olah yang menyambarnya bukan dua bilah golok, tangan halus Melati menangkisnya. Bahkan menangkapnya sekaligus!
"Uh... uh...!" Dua orang murid Perguruan Hati Suci itu berusaha sekuat tenaga menarik pulang senjata mereka dari cengkeraman Melati. Tapi cengkeraman itu begitu kuat bagaikan sebuah jepitan baja. Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, tetap saja usaha mereka sia-sia.
Melati hanya tersenyum sinis. Berbeda dengan wajah kedua murid Perguruan Hari Suci yang memerah karena mengerahkan tenaga yang melewati batas, wajah gadis ini terlihat biasa-biasa saja. Tak terihat kalau Melati sedang mengerahkan tenaga dalamnya.
Beberapa saat kemudian, mendadak Melati melepaskan cengkeramannya. Akibatnya sudah bisa diduga. Kedua murid Perguruan Hati Suci itu terjengkang ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah, terbawa betotan tenaga mereka sendiri.
Melati bertolak pinggang menatap kedua lawannya yang tengah bangkit sambil tersenyum sinis. Tapi rupanya kedua orang itu masih penasaran. Terbukti begitu bangkit, mereka sudah bersiap akan menyerang kembali. Tapi sebelum hal itu terjadi, terdengar sebuah suara keras mencegah.
"Tahan...!" Belum lagi habis gema suara bentakan itu, angin dingin berkesiur. Disusul dengan munculnya seorang lelaki bertubuh sedang, berusia sekitar lima puluh lima tahun. Laki-laki itu berbibir tebal dan berpakaian jingga.
"Guru...!" seru kedua murid Perguruan Hati Suci itu berbareng sambil menjura hormat.
Laki-laki berbibir tebal yang ternyata adalah Ketua Perguruan Hari Suci ini menatap tajam wajah kedua muridnya, setelah sekilas melirik ke arah Melati dan Dewa Arak. "Puja, Jaya, apa-apaan ini?" tegur laki-laki berpakaian Jingga itu.
"Maafkan kami, Guru... tapi kedua orang ini mencurigakan," jawab salah seorang dari mereka yang bertubuh pendek.
"Mencurigakan...? Mencurigakan bagaimana, Puja?" tanya laki-laki berbibir tebal itu lagi. Kembali sudut matanya melirik pada Melati dan Dewa Arak.
"Mereka mencari Nirmala, Guru," jawab laki-laki pendek yang ternyata bernama Puja. Pelahan sekali suaranya, seperti suara desahan saja.
Wajah Ketua Perguruan Hati Suci langsung berubah. Penjelasan dari Puja telah cukup jelas baginya Dapat dimaklumi sikap kedua muridnya. Kini perhatiannya dialihkan pada Melati dan Dewa Arak.
"Maafkan atas kelancangan kedua muridku yang kurang sopan ini, Nisanak. Tapi, benarkah apa yang dikatakan kedua muridku?" tanya laki-laki berbibir tebal itu kepada Melati yang berada lebih dekat dengannya. Memang, gadis berpakaian putih itu berdiri agak jauh di depan Dewa Arak.
Melihat sikap sopan yang ditunjukkan laki-laki berpakaian jingga itu, kedongkolan Melati pun berkurang. Tangannya yang semula bertolak pinggang, diturunkan. "Benar, Ki," sahut Melati sambil menganggukkan kepalanya.
Ketua Perguruan Hati Suci itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau boleh kutahu, siapakah Nisanak dan Kisanak ini sebenarnya. Dan ada urusan apa mencari Nirmala? Aku Ki Tanu, Ketua Perguruan Hati Suci."
"Aku Melati, sedangkan temanku ini berjuluk Dewa Arak...," jawab Melati. Sengaja gadis ini memperkenalkan pemuda berambut putih keperakan ini dengan julukannya, tidak dengan namanya. Memang, julukan Dewa Arak jauh lebih dikenal ketimbang nama Arya Buana.
Dugaan gadis berpakaian serba putih ini tidak salah. Begitu mendengar nama Dewa Arak, terdengar seruan-seruan kaget dari mulut ketiga orang di hadapannya. Sementara Arya sendiri hanya dapat menghela napas. Dia tahu Melati masih merasa mendongkol dengan kejadian tadi.
"Ah, kalau begitu pasti ada sesuatu yang penting, sehingga kalian mencari Nirmala. Mari, mari masuk. Lebih baik kita bicarakan masalah ini di dalam," ucap Ki Tanu setelah hilang rasa kagetnya.
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Hari Suci melangkah masuk ke dalam. Melati pun ikut melangkah masuk, setelah terlebih dulu melempar pandang mata penuh kemenangan pada kedua orang murid Ki Tanu. Dewa Arak yang melihat hal itu hanya tersenyum geli di dalam hati. Sifat tidak mau kalah dari gadis itu masih belum juga hilang, ucapnya dalam hati sambil terus melangkah ke dalam.
"Sekali lagi aku mohon maaf atas perlakuan yang kurang pantas kedua muridku tadi, Dewa Arak," ucap Ki Tanu setelah ketiganya berada dalam ruang khusus tempat Ki Tanu membicarakan masalah-masalah penting dan rahasia.
Dewa Arak tersenyum lebar. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ki," sahut pemuda berbaju ungu itu bijaksana. "Semua ini hanya kesalah-pahaman belaka. Dan kuminta Aki memanggllku dengan namaku saja. Arya, Ki."
"Baiklah kalau begitu, De... eh, Arya. Kalau boleh kutahu, ada urusan apa, kau dan Nini Melati ini mencari Nirmala?" tanya laki-laki berpakaian jingga lni.
"Sebetulnya kami sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Nirmala Ki. Mengenalnya pun tidak. Bahkan mendengar namanya saja belum lama," jelas Dewa Arak.
"Eh...?! Mengapa begitu?" tanya Ki Tanu agak kaget.
"Yahhh...! Hanya sebuah ketidak-sengajaan saja yang menyebabkan kami mencari Nirmala, Ki," jawab Dewa Arak memberi penjelasan. Lalu diceritakannya tentang semua kejadian yang dialaminya sebelumtiba di Perguruan Hati Suci.
Ki Tanu mendengarkan cerita Dewa Arak dengan wajah sungguh-sungguh hingga pemuda berambut putih keperakan itu menyelesaikan ceritanya. "Bisa kulihat surat itu, Arya?" tanya Ki Tanu setelah Dewa Arak menyelesaikan ceritanya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya mendengar permintaan laki-laki berbibir tebal itu. "Maaf, Ki. Aku tidak dapat memberikannya padamu. Pesan orang itu, surat ini harus kuberikan langsung pada Nirmala," jawab Dewa Arak tegas.
Ki Tanu tersenyum. Ketua Perguruan Hari Suci ini benar-benar mengagumi sikap Dewa Arak. "Aku mengerti, Arya. Tapi bila kau berikan surat itu padaku atau pada Nirmala, sama saja. Nirmala adalah muridku. Murid istimewa. Ayah gadis itu sendiri yang menitipkannya padaku. Sudiraja, ayah Nirmala adalah kawan akrabku. Dia biasa mengirim surat padaku menanyakan bagaimana keadaan putrinya. Atau dia mengirimkan surat untuk putrinya sendiri. Tapi surat kali ini agaknya banyak mengandung keanehan, Arya."
"Maksud, Aki?" tanya Dewa Arak. Kini sudah jelas baginya siapa itu Nirmala, dan siapa laki-laki berbibir tebal ini.
"Tadi kau bilang, orang yang bertugas mengirimkan surat ini tewas di tangan orang yang berpakaian dan berselubung hitam, bergambar kalajengking merah di dada?" tanya Ki Tanu lagi, meyakinkan.
"Benar, Ki. Orang itu juga mempunyai senjata rahasia berbentuk ekor kalajengking berwarna merah yang mengandung racun ganas," tambah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kau tahu siapa mereka, Arya?" tanya Ki Tanu. Sepasang matanya merayapi sekujur wajah Dewa Arak. Seolah-olah di wajah pemuda itu terdapat jawaban bagi pertanyaannya.
"Sedikit, Ki. Sebelum mati, pembawa surat ini sempat mengatakan padaku, kalau orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merahlah yang melakukannya," jawab Dewa Arak.
"Apa yang dikatakan utusan Sudiraja itu memang benar. Hm..., selain itu apa lagi yang kau ketahui tentang Perkumpulan Kalajengking Merah, Arya?" desak Ki Tanu ingin tahu.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya. "Tidak ada lagi, Ki."
"Sudah kuduga! Aku saja yang sudah puluhan tahun tinggal di sini, masih belum begitu jelas mengetahui perkumpulan misterius itu. Hhh...," ujar Ki Tanu sambil menghela napas panjang.
"Perkumpulan misterius, Ki?" tanya Dewa Arak. Sepasang matanya menyorotkan ketidakmengertian.
"Ya," jawab laki-laki berpakaian Jingga ini seraya menganggukkan kepalanya.
"Mengapa begitu, Ki?" tanya Dewa Arak penasaran.
Ki Tanu tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam kemudian dihembuskannya kuat-kuat. "Perkumpulan itu kukatakan misterius, karena tak seorang pun tahu di mana markasnya. Mereka selalu muncul secara tiba-tiba. Dan andaikata ada anggotanya yang tertangkap, kalau tidak anggota yang sial itu mati terbunuh sebelum buka mulut, pasti dia bunuh diri," jelas laki-laki berbibir tebal ini memberitahu.
"Aneh...," desah Dewa Arak tanpa sadar.
"Tapi ada yang lebih aneh lagi, Arya," selak Ketua Perguruan Hati Suci itu.
"Apa, Ki?"
"Mengapa Perkumpulan Kalajengking Merah itu begitu gigih berusaha merampas surat untuk Nirmala. Itulah yang menjadi tanda tanya buatku. Padahal selama ini surat-surat untuk Nirmala atau untukku selalu aman-aman saja. Yahhh..., selalu sampai di tujuan," ujar Ki Tanu.
"Jadi, itukah sebabnya kau ingin mengetahui isi surat itu, Ki?" tanya Dewa Arak mulai paham persoalannya.
Ki Tanu menganggukkan kepalanya. "Aku tahu betul, perkumpulan macam apa, Perkumpulan Kalajengking Merah itu. Sebuah perkumpulan misterius yang tidak ketahuan jelas anggota dan pemimpinnya. Perkumpulan itu memeras penduduk. Apalagi penduduk yang agak kaya. Sudah lama Gusti Adipati Palangka hendak menghancurkan gerombolan itu. Tapi sampai sekarang tidak pernah berhasil. Kalau melihat gelagatnya, aku yakin kalau Perkumpulan Kalajengking Merah hendak merebut Kadipaten Palangka," jelas laki-laki berbibir tebal itu panjang tebar.
Dewa Arak tercenung. Sungguh tak disangka kalau masalah yang dihadapinya menjadi sebesar ini. "Lalu, kenapa hal itu tidak dilakukan, Ki?"
"Entahlah. Mungkin, takut kalau pasukan kerajaan akan datang menghancurkan mereka," sambut Ketua Perguruan Hati Suci itu, mendesah.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Bisa diterimanya alasan Ki Tanu.
"Bagaimana, Arya? Bisa kulihat isi surat itu?" tanya laki-laki berbibir tebal itu lagi.
Dewa Arak sama sekali tidak berkata apa-apa. Diambilnya gulungan surat dari lipatan ikat pinggangnya. Kemudian surat itu diberikan pada Ki Tanu.
"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku, Arya," ucap laki-laki berpakaian Jingga itu sambil menerima gulungan surat yang diangsurkan Dewa Arak. Pelahan-lahan Ketua Perguruan Hati Suci ini membuka gulungan surat itu, lalu dibacanya. Sementara Dewa Arak dan Melati hanya memperhatikannya saja tanpa berkeinginan untuk mengetahui isi surat itu. Mereka sadar, apa pun isi surat itu, bukan hak mereka untuk mengetahuinya.
"Aneh...," desah Ki Tanu sambil menggulung surat itu kembali. Sepasang alisnya berkerut Jelas ada sesuatu yang membingungkan hatinya.
Dewa Arak dan Melati diam saja. Mereka sama sekali tidak menanggapi ucapan kebingungan laki-laki berbibir tebal itu. Semula Ki Tanu agak heran juga. Tapi, beberapa saat kemudian dia pun sadar. Dewa Arak dan Melati tidak mau bersikap lancang mencampuri urusan yang jelas-jelas bukan urusannya.
"Isi surat ini, biasa-biasa saja, Arya. Sama sekali tidak ada yang penting. Tapi kenapa orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah begitu bernafsu untuk mendapatkannya?"
"Kalau boleh kutahu, apa sebenarnya Isi surat itu, Ki? Barangkali saja aku dapat menyingkap rahasianya," pinta Dewa Arak.
Ki Tanu segera memberikan gulungan surat itu pada Arya. Pemuda itu pun langsung membuka gulungan surat dan membacanya.
Nirmala,
Bila surat ini telah kau terima, segeralah pamit pada gurumu. Minta izin untuk pulang. Ada urusan penting yang ingin Ayah bicarakan O ya, Ayah juga telah memanggil kakakmu, Jalatara untuk pulang. Kakak sulungmu, Kanulaga telah kembali.
Sudiraja
Setelah membaca surat itu, Dewa Arak segera memberikannya pada Melati. Sama seperti juga Dewa Arak dan Ki Tanu, sepasang alis gadis ini pun berkerut setelah membaca surat itu.
"Bagaimana, Arya? Ada kesimpulan yang dapat kau tarik dari isi surat itu?" tanya Ki Tanu tak sabar.
Dewa Arak tercenung sebentar. Kemudian pelahan namun pasti kepalanya pun menggeleng.
"Hhh...! Tidak ada sama sekali, Arya?" tanya Ki Tanu, seolah-olah menuntut Dewa Arak untuk berpikir keras.
Arya menatap wajah laki-laki berbibir tebal itu lekat-lekat. "Bukannya kesimpulan yang kudapatkan, Ki. Tapi malah pertanyaan-pertanyaan. Banyak hal mencurigakan sehubungan dengan isi surat ini," jawab Dewa Arak.
"Apa itu, Arya?" tanya Ki Tanu penuh gairah.
"Sebelum kujawab pertanyaan Aki, bisakah Aki sedikit menjelaskan tentang keluarga Nirmala?" pinta Arya.
"Untuk apa?" Ki Tanu masih belum mengerti maksud pemuda berbaju ungu itu.
"Untuk lebih memperjelas masalah, Ki," sahut Dewa Arak cepat.
"Baiklah. Sudiraja adalah seorang kaya raya. Kekayaannya berlimpah ruah. Dia mempunyai, tiga orang anak. Yang sulung bernama Kanulaga, pergi mengembara lima belas tahun yang lalu. Yang kedua Jalatara, menjadi pengawal Adipati Palangka. Sedangkan yang bungsu, Nirmala, dititipkan padaku di sini. Nah, sekarang jelaskan hal-hal yang mencurigakanmu itu. Dewa Arak!"
Dewa Arak menghembuskan napas kuat-kujat sebelum memulai ucapannya. "Begini, Ki. Pertanyaan pertama adalah, dari mana Perkumpulan Kalajengking Merah ini tahu mengenai surat ini," Arya mengemukakan kesimpulannya.
Ki Tanu mengernyitkan dahinya. "Aku tidak berpikir ke situ, Arya. Yang kupikirkan adalah mengapa Perkumpulan Kalajengking Merah itu begitu bersikeras untuk merampas surat yang isinya menyuruh Nirmala pulang?"
"Jawaban bagi pertanyaan itu, mudah sekali, Ki Ada dua jawaban yang mungkin bagi pertanyaan itu."
"Apa, Arya?" tanya laki-laki berbibir tebal itu ingin tahu.
"Pertama, orang-orang Kalajengking Merah itu salah duga mengenai isi surat. Barangkali mereka mengira surat itu berisi hal-hal yang penting," sahut Dewa Arak menduga-duga.
"Yang kedua?" selak Ki Tanu tidak sabar.
"Mereka tahu isi surat itu! Dan bila itu benar, berarti mereka memang sengaja tidak membiarkan Nirmala pulang!" jelas Arya lagi.
Ketua Perguruan Hari Suci ini mengangguk-anggukkan kepalanya Jawaban Dewa Arak bisa diterima. Kedua-duanya masuk akal. "Aku lebih condong pada jawaban yang kedua, Arya," ujar Ki Tanu seraya terus mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Jelas pemuda itu tengah berpikir keras. "Kalau apa yang Aki katakan benar, timbul pertanyaan lagi. Dari mana orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah itu tahu kalau Nirmala disuruh pulang? ini berarti, di dalam rumah Tuan Sudiraja ada mata-mata Perkumpulan Kalajengking Merah!" tegas Dewa Arak menyimpulkan.
"Ahhh...! Kau benar, Arya! Mengapa aku tidak berpikir sampai di situ?" sambut kakek itu seperti menyesali diri. "Kini aku telah menemukan kejanggalan lain, Arya."
"Apa itu, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
"Mengapa orang Perkumpulan Kalajengking Merah tidak membiarkan Nirmala pulang?!"
"Mengapa Ki" tanya Arya ingin tahu jawaban kakek berpakaian Jingga itu.
"Mereka tidak ingin rahasia mereka terbongkar!!” jawab kakek itu yakin.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Bisa diterimanya alasan Ki Tanu. Hening sejenak setelah Ki Tanu mengemukakan dugaannya. "O ya, Ki. Bisa kami bertemu dengan Nirmala?! tanya Dewa Arak hati-hati.
Ki Tanu menghela napas panjang. "Sayang sekali, Arya. Gadis itu tengah pergi berburu! Itulah sebabnya dia tidak dapat kubawa menemuimu Tadi, telah kusuruh salah seorang muridku menyusulnya. Maafkan aku, Arya Aku telah mengecewakanmu."
"Tidak mengapa, Ki," sahut Arya. "Yang jelas, surat itu telah kami sampaikan pada yang berhak. O, ya. Kami permisi dulu, Ki, Masih banyak urusan yang harus diselesaikan." Setelah berkata demikian, Arya segera bangkit dari duduknya. Melati pun bergegas bangkit. Dikembalikannya surat itu pada Ki Tanu.
Ketua Perguruan Hati Suci mengantar Dewa Arak dan Melati sampai di pintu gerbang. "Terima kasih atas bantuan kalian," ucap Ki Tanu sebelum Arya dan Melati meninggalkan tempat Itu. "Sering-seringlah kalian mampir kemari. Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu."
"Mudah-mudahan, Ki," jawab Arya memberi harapan.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak menggerakkan kakinya melangkah. Sepertinya pemuda berambut putih keperakan ini hanya melangkah satu langkah saja. Tapi anehnya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada puluh tombak dari tempat semula. Melati pun tidak mau kalah. Sesaat kemudian tubuhnya sudah berada di samping kekasihnya.
"Pemuda-pemudi yang hebat..," desis Ki Tanu penuh kagum. Dipandanginya bayangan tubuh Dewa Arak dan Melati, sampai tubuh keduanya lenyap ditelan jalan.
* * * * * * * *
EMPAT
Seekor kuda hitam yang ditunggangi seorang gadis, melangkah gagah merambah hutan. Gadis itu berwajah cantik jelita. Rambutnya digelung ke atas, pakaiannya yang merah menyala semakin menampakkan kecantikannya.
Singgg...! Suara mendesing nyaring, mengejutkan si gadis. Seketika itu juga, kepalanya ditolehkan ke arah asal suara. Kontan sepasang matanya terbelalak ketika melihat sinar kemerahan melesat cepat ke arahnya. Gadis berpakaian merah ini sadar akan bahaya maut yang mengancam. Maka cepat dia melompat dari atas kuda. Bersalto beberapa kali di udara lalu mendarat ringan di tanah. Sehingga sinar kemerahan itu menyambar tempat kosong dan menancap di sebuah pohon.
Cappp....!
Gadis berpakaian merah itu bergidik ngeri ketika melihat nasib pohon yang tertancap sinar merah, yang ternyata adalah benda logam berbentuk ekor kalajengking berwarna merah. Pelahan namun pasti, pohon itu mulai mengering. Daun-daunnya pun layu berguguran. Gadis berpakaian merah ini menatap liar ke sekelilingnya.
Namun yang nampak hanyalah kesunyian. Sepertinya hanya dia sendiri saja yang berada di dalam hutan itu. Kuda hitamnya sudah kabur ketika gadis Itu melompat dari punggungnya. Rupanya naluri binatangnya yang tajam, mencium adanya bahaya mengancam. Sehingga tanpa mempedulikan tuannya lagi, kuda hitam itu melesat kabur.
"Ha ha ha...!" Terdengar tawa bergelak menggema ke seluruh penjuru hutan. Suara tawa yang mengandung getaran tenaga dalam kuat.
Gadis berpakaian merah itu memandang berkeliling dengan sikap waspada. Kedua tangannya bergerak cepat Dan di lain saat, di kedua tangannya masing-masing tergenggam sebatang sumpit yang ujungnya runcirig. Tiba-tiba terdengar suara berkerosakan dari delapan penjuru. Belum lagi suara itu lenyap, tahu-tahu dari balik semak-semak dan pepohonan yang lebat, keluar belasan sosok yang kemudian mengurung si gadis.
Gadis berpakaian merah itu menatap tajam para pengurungnya. Mereka semua mengenakan pakaian yang sama Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar kalajengking merah. Selubung-selubung hitam menutupi wajah mereka Orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Siapa kalian? Dan mengapa menyerangku?!" tanya gadis berpakaian merah itu keras. Sepasang matanya menatap liar ke arah orang-orang yang mengurungnya.
"Ha ha ha...! Tidak usah bingung-bingung, Nirmala," ucap salah seorang dari pengurung itu menyapa. Orang itu rupanya pemimpin dari belasan orang itu. Terbukti dengan adanya tanda totol merah pada dahi selubungnya. Sementara pada yang lainnya tidak terdapat tanda apa pun.
Gadis berpakaian merah itu melengak kaget "Dari mana kau tahu namaku?" tanya gadis itu. Memang Gadis berpakaian serba merah itu adalah Nirmala. Putri Sudiraja. Dan saat ini gadis itu dalam perjalanan pulang memenuhi panggilan ayahnya. Sore hari sepulang berburu, gurunya datang memberi surat dari ayahnya. Ki Tanu juga menceritakan perjalanan surat itu hingga sampai ke tangannya.
"Jadi, benar namamu Nirmala?! Kalau begitu kau harus mampus!" Setelah berkata demikian, orang yang menyapa Nirmala tadi langsung menyabetkan senjatanya yang berupa tongkat berujung ekor kalajengking ke leher gadis itu.
Tapi Nirmala bukanlah gadis yang lemah. Dia adalah murid terkasih dari Ketua Perguruan Hati Suci, Ki Tanu. Apalagi, gadis ini ternyata sangat berbakat! maka tidak mengherankan kalau dalam usia semuda! itu hampir seluruh ilmu-ilmu gurunya telah dikuasainya. Mudah saja Nirmala mengelakkan serangan. Kepala gadis itu ditarik ke belakang, tanpa merubah posisi kakinya.
Wuuusss....!
Angin berbau amis memuakkan tercium hidung indah milik gadis itu ketika senjata lawannya lewat sejengkal di depan wajahnya. Gadis ini segera sadar kalau senjata lawannya ini mengandung racun. Murid Ki Tanu tidak bersikap sungkan-sungkan lagi. Dari cerita gurunya, gadis berpakaian merah ini tahu kalau para penghadangnya ini adalah gerombolan yang telah membunuh utusan ayahnya. Sekarang Nirmala bertekad untuk membalaskan dendam utusan ayahnya itu. Begitu senjata lawannya menyambar lewat di depan lehernya. Nirmala mengayunkan kakinya menendang ke perut orang itu.
"Eh...?!" Terdengar seruan kaget dari mulut penyerang Nirmala. Rupanya dia tidak menyangka kalau gadis berpakaian merah Itu mampu berbuat demikian cepat. Maka buru-buru pimpinan penghadang itu melompat ke belakang, sehingga tendangan gadis itu mengenai tempat kosong.
Tapi serangan Nirmala tidak berhenti sampai di situ saja Begitu dilihatnya, lawan melompat ke belalang, segera gadis ini bergegas memburu dengan tusukan-tusukan sumpit yang terbuat dari tanduk kerbau. Suara berciutan terdengar ketika kedua batang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi ke bagian pelipis dan ubun-ubun.
Dua buah jalan darah yang mematikan. Namun lawan yang dihadapi Nirmala bukanlah orang berkepandaian rendah. Menghadapi totokan-Intokan sumpit bertubi-tubi, laki-laki berselubung totol merah menggeser kakinya ke samping. Sehingga serangan itu lewat di samping kepalanya. Tak lupa dikirimkan sebuah tusukan tongkat berujung ekor kalajengking itu ke perut Nirmala.
Nirmala terperanjat! Posisi tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkannya mengelakkan serangan Itu. Tapi, gadis berpakaian merah ini masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Digeliatkan tubuhnya sehingga tusukan tongkat lawan mengenai tempat kosong. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertempuran sengit.
DI jurus-jurus awal, pertarungan kedua orang itu masih berlangsung imbang. Tapi memasuki jurus ke dua puluh, Nirmala mulai mendesak lawannya. Memang gadis berpakaian merah ini lebih unggul segala-galanya, baik ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam. Sudah dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi Nirmala akan merobohkan lawannya. Pada jurus ketiga puluh satu, dengan diiringi suara teriakan nyaring, orang berselubung itu membabatkan senjatanya ke perut Nirmala.
"Hih...!" Nirmala melompat sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya. Dan dari atas, dengan gerakan tidak terduga-duga, kedua sumpitnya menotok bertubi-tubi ke leher lawan. Orang berselubung merah itu terkejut bukan main. Sedapat mungkin totokan itu berusaha dielakkannya. Tapi sayang, tak urung salah satu totokan sumpit itu mengenai pangkal lengannya.
"Akh...!" Orang berselubung merah itu memekik kesakitan. Darah merembes keluar dari pangkal lengan yang sobek terkena ujung sumpit. Seketika itu juga, senjatanya terlepas dari genggaman. Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kaki Nirmala telah terayun deras ke perutnya.
Bukkk...!
"Akh...!" Pimpinan belasan penghadang itu kembali memekik kesakitan. Tendangan gadis berpakaian merah itu telak dan keras sekali menghantam perutnya. Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang. Rasa mual dan mules pun mendera perutnya,
"Hup...!" Ringan tanpa suara, kedua kaki gadis berpakaian serba merah itu menjejak tanah.
"Serbu...!" teriak orang berselubung hitam yang telah dipecundangi Nirmala. Orang ini rupanya sudah tidak sanggup menghadapi Nirmala. Kini dia memberi perintah pada anak buahnya yang sejak tadi hanya menonton pertarungan untuk mengeroyok gadis itu. Serentak belasan orang berselubung hitam itu menyerbu Nirmala Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat mengarah ke tubuh gadis berpakaian merah itu dari segala arah.
Kembali Nirmala mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya menyelinap gesit di antara serbuan senjata lawan yang datang bagaikan hujan. Gadis berpakaian merah ini terpaksa harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Disadarinya betul akan bahaya senjata lawan yang beracun. Terserempet sedikit saja mungkin akan berakibat maut!
Nirmala mengeluh dalam hati. Pelahan-lahan murid terkasih KI Tanu ini mulai terdesak. Jumlah lawan memang terlalu banyak. Apalagi di antara mereka ada si selubung hitam bertotol merah. Meskipun si selubung hitam bertotol merah itu telah berkurang kelihaiannya karena luka-luka yang dideritanya, tapi tetap saja di merupakan lawan yang berbahaya.
Tambahan lagi, senjata lawan-lawannya yang beracun. Membuat gadis berpakaian serba merah ini harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Hal inilah yang membuat Nirmala jadi cepat lelah.
"Hiyaaa...!" Nirmala berteriak keras. Totokan kedua sumpit di tangannya bergerak cepat.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit melengking, disusul robohnya dua sosok ke tanah ketika sepasang sumpit Nirmala mengenai sasaran. Yang satu mengenai ubun-ubun. Dai yang satu lagi mengenai bawah hidung. Salah satu di antara jalan darah mematikan. Tapi sebelum Nirmala memperbaiki posisinya, si selubung hitam totol merah telah mengirim sebuah tendangan ke perutnya.
Bukkk...!
"Hugh...!" Gadis berpakaian merah ini kontan terjengkang akibat kerasnya tendangan itu. Di saat itu empat orang berselubung hitam yang lain meluruk menyerbunya. Dan empat buah tongkat berujung ekor kalajengking pun berkelebatan mengancam ke berbagai bagian tubuhnya. Nirmala terpekik. Posisinya sama sekali tidak memungkinkan untuk mengelak serangan itu. Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya. Gadis itu hanya dapat memejamkan mata, menanti datangnya maut!
Di saat gawat bagi keselamatan gadis berpakaian merah itu, mendadak berhembus angin keras berhawa panas menyengat. Angin pukulan itu langsung memapak datangnya tubuh orang-orang berselubung hitam yang meluruk ke arah Nirmala.
Wusss...!
Jerit kengerian terdengar berbarengan. Disusul herpentalannya empat sosok yang tadi tengah menyerbu Nirmala. Tubuh empat anggota Perkumpulan Kalajengking Merah itu melayang-layang. Dan kemudian Jatuh berdebuk di tanah, sepuluh tombak dari tempatnya semula. Sekujur tubuh mereka hangus. Seketika di tempat itu menyebar bau sangit seperti daging yang terbakar. Empat orang itu tewas seketika!
Orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah yang tersisa terperanjat Terlebih-lebih si selubung hitam totol merah. Dari kejadian yang menimpa anak buahnya, diketahuinya kalau si penolong yang baru datang ini memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kini di belakang Nirmala telah berdiri dua sosok. Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik jelita berpakaian serba putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati?
Laki Iaki berselubung totol merah menyadari keadaan yang tidak menguntungkan pihaknya. Cepat dilemparkan sesuatu ke arah tiga orang lawannya. Mata Dewa Arak dan Melati yang tajam segera melihat bentuk benda yang dilemparkan si selubung bertotol murah. Sebuah benda bulat sebesar telur angsa. Dewa Arak dan Melati yang telah mengenal ke dahsyatan racun yang terkandung dalam benda bulat itu, melompat menjauh. Tak lupa, Melati, menyambar Nirmala yang masih terduduk di tanah.
Blarrr...! Suara ledakan keras terdengar begitu benda bulat sebesar telur angsa itu mengenai tanah. Seketika ini juga asap hitam berbau busuk menyebar, memenuhi tempat di mana Dewa Arak, Melati dan Nirmala tadi berdiri.
"Hhh..., berbahaya sekali," desah Dewa Arak lirih. Sementara Nirmala hanya mampu berdecak ngeri bercampur takjub melihatnya. Dan seperti kejadian sebelumnya, begitu asap tebal dan hitam itu sirna, sirna pulalah orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah itu.
"Siapa kau, Nisanak? Mengapa terlibat perkelahian dengan orang-orang itu?" tanya Dewa Arak. Sepasang matanya menatap tajam wajah cantik di hadapannya. Dalam hatinya, Dewa Arak mengakui kecantikan gadis berpakaian serba merah ini.
Nirmala menatap Dewa Arak dan Melati bergantian. Inikah orang yang menyampaikan surat ayahnya itu? tanyanya dalam hati. Apa yang dikatakan gurunya memang tidak salah. Wajah pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini begitu tampan. Tampan dan gagah. Rambutnya yang berwarna keperakan, membuat pemuda itu terlihat matang.
Melati mengerutkan alisnya melihat gadis berpakaian merah Itu bukannya menjawab pertanyaan kekasihnya, tapi malah menatap wajah mereka bergantian. Rasa cemburu pun menyeruak di hati gadis berpakaian serba putih ini. "Kawanku bertanya padamu, Nisanak!" ucap Melati agak ketus.
Ucapan Melati yang bernada teguran itu membuat Nirmala sadar. Wajah gadis ini pun memerah seketika seperti warna pakaiannya. "Ahhh..., maafkan aku, Nisanak. Kalau aku tidak salah duga, bukankah Kisanak dan Nisanak ini adalah..., Dewa Arak dan Melati?"
Dewa Arak dan Melati terjingkat bagai disengat ular berbisa. Dari mana gadis berpakaian merah ini tahu nama mereka?
"Tidak usah heran..., guruku teiah bercerita banyak tentang kalian," sambung Nirmala lagi begitu melihat kedua orang di hadapannya saling pandang seperti orang kebingungan. Sepasang mata gadis berpakaian serba merah itu menatap Dewa Arak lekat-lekat.
"Siapa gurumu?" selak Melati cepat. Dia tidak ingin gadis berpakaian merah itu berbicara lama-lama dengan kekasihnya.
"KI Tanu...," sahut Nirmala memberitahu.
"KI Tanu?! Jadi, kau Ini... Nirmala?" tanya Arya setengah menduga.
"Betul, Kang," jawab Nirmala sambil menganggukkan kepalanya.
"Kang?" desis hati Melati. Ada perasaan cemburu yang menyelinap di hatinya, begitu mendengar gadis berpakaian serba merah ini memanggil 'kang' pada Dewa Arak.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda ini rupanya sedang berpikir keras, sehingga tidak mempedulikan panggilan murid Ki Tanu ini. Kini dia mengerti mengapa gadis ini bentrok dengari orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Kau akan menjumpai ayahmu, Nirmala?" tanya Melati cepat sebelum Arya kembali bertanya.
"Ya," jawab Nirmala singkat. Ditolehkan kepalanya ke arah Melati.
"Kalau begitu, mari kita berangkat." ucap Melati lagi buru-buru seraya menggamit lengan gadis berpakaian serba merah itu. Lalu dibawanya melangkah meninggalkan tempat itu.
Melihat kedua gadis cantik itu telah meninggalkannya. Dewa Arak tak punya pilihan lagi. Segera dilangkahkan kakinya mengikuti. Sejenak ditolehkan kepalanya, ke tempat bekas pertarungan antara Nirmala dengan gerombolan Kalajengking Merah tadi. Tapi suasana di situ telah sepi. Hanya ada enam mayat yang bergeletakan di tanah.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas lega. Untunglah dia dan Melati lewat hutan ini, sehingga dapat mengetahui adanya pertarungan dan datang pada saat yang tepat Memang, semula mereka hendak langsung melanjutkan perjalanan.
Tapi, begitu melewati hutan Ini, tiba-tiba Melati ingin makan daging kelinci panggang. Terpaksalah mereka menginap di hutan ini. Dan keinginan Melati akan kelinci panggang itulah yang menjadi penyebab selamatnya Nirmala dari maut.
Malam itu bulan penuh nampak di langit. Bintang-bintang pun bertebaran menghias angkasa, menambah cerahnya suasana malam. Kanulaga bergolek-golek resah di pembaringan. Ingatannya selalu terbayang pada saat memergoki ayahnya yang tengah membungkus sebagian hartanya dalam sebuah buntalan.
Kanulaga tahu untuk apa semua itu. Dia telah mendengar cerita itu dari si tompel. Setiap malam bulan purnama, ayahnya diharuskan mengirim upeti dan menaruhnya di suatu tempat yang selalu berlainan pada setiap pengirimannya Dari si tompel, laki-laki berwajah keras ini juga tahu siapa pemeras ayahnya Sebuah kelompok yang menamakan diri Perkumpulan Kalajengking Merah.
Kanulaga tidak rela ayahnya yang telah bersusah payah mengumpulkan harta itu, memberikannya begitu saja. Kanulaga bertekad untuk membasmi pemeras ayahnya. Seluruh urat syaraf laki-laki berwajah keras ini mendadak menegang. Pendengarannya yang tajam menangkap suara gemerisik pelan di luar jendela kamarnya. Yakin kalau orang yang berada dekat jendela itu tidak bermaksud baik, Kanulaga bermaksud menangkap basah.
Maka laki-laki berwajah keras ini berpura-pura memejamkan mata. Tapi dari balik bulu matanya, Kanulaga tetap mengintai ke arah jendela. Tercekat hati pemuda ini ketika melihat asap putih tipis masuk ke kamarnya, melalui kisi-kisi jendela. Pikiran laki-laki berwajah keras ini berputar cepat. Sungguhpun belum pasti, tapi sudah dapat diduganya kalau asap itu adalah asap pembius. Asap yang dapat membuatnya tertidur pulas.
Kanulaga tidak berani bertindak gegabah. Segera diambilnya pil pemunah racun pemberian gurunya. Tanpa ragu-ragu lagi pil itu segera ditelannya. Kemudian tanpa mempedulikan asap yang semakin banyak memasuki kamarnya, Kanulaga segera membaringkan kembali tubuhnya. Berpura-pura tidur pulas.
Tak lama kemudian, terdengar suara berderak agak keras ketika jendela kamarnya dibuka secara paksa. Dan seiring dengan terbukanya jendela itu, sesosok tubuh melompat masuk ke kamarnya. Ringan bukan main gerakannya. Tanpa suara kedua kaki orang itu mendarat di lantai.
Kemudian setelah menutupkan jendela itu kembali, sosok yang ternyata berpakaian serba hitam dengan gambar seekor kalajengking merah di dadanya, berjalan menghampiri pembaringan di mana Kanulaga terbaring pulas. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung yang di dahinya bergambar ekor kalajengking merah.
"Kau hanya akan menjadi duri penghalangku, anak keparat..!" desis sosok hitam itu. "Sekarang pergilah kau ke neraka!"
Setelah berkata demikian, bayangan hitam itu menggerakkan tangan memukul kepala Kanulaga. Angin berkesiutan keras, menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam pukulan itu. Tapi sebelum pukulan itu mengenai sasaran, Kanulaga yang memang berpura-pura terbius itu menggulingkan tubuhnya.
Brakkkk...! Pembaringan itu hancur berentakan ketika pukulan yang berhasil dielakkan oleh Kanulaga menghantamnya. Di saat itulah Kanulaga yang memang sudah berwaspada sejak tadi, mengayunkan kaki kanannya ke arah perut orang yang hendak membunuhnya.
"Eh...?!" Si pembokong itu memekik kaget. Cepat-cepat sosok itu melompat ke belakang sehingga tendangan Kanulaga mengenai tempat kosong. Tapi, tindakan laki-laki berwajah keras itu tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya dapat dielakkan lawan, segera tubuhnya melompat seraya mengirimkan tendangan ke pelipis.
Wuttt...! Angin menderu keras mengiringi tibanya serangan Kanulaga. Tapi kembali si pembokong itu memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya membungkuk, sehingga sapuan itu lewat di atas kepalanya. Berbareng, digerakkan tangannya memukul perut putra sulung Sudiraja itu.
Kanulaga yang tengah berada di udara, tentu saja tidak bisa mengelakkan serangan itu. Kalau dia masih Ingin selamat, pukulan itu harus ditangkisnya. Dan itu yang dilakukan laki-laki berwajah keras ini.
Plak! Suara keras terdengar begitu dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Akibatnya, tubuh Kanulaga terpental balik dan jatuh di pembaringan. Sementara tubuh si pembokong itu. Juga terjengkang ke belakang.
"Hup...!" Hampir bersamaan keduanya dapat kembali memperbaiki posisinya. Tapi sebelum Kanulaga sempat berbuat sesuatu, si pembokong itu sudah bergerak cepat melompat ke arah jendela.
Brakkk..! Jendela kamar Kanulaga langsung hancur berkeping-keping begitu tubuh si pembokong itu menabraknya. Dan setelah tubuhnya berada di luar, cepat-cepat sosok hitam itu melesat kabur.
"Jangan lari, pengecut..!" bentak Kanulaga keras. Laki-laki berwajah keras ini memang penasaran bukan main. Dari benturan yang terjadi tadi, diketahuinya kalau orang yang hendak membunuhnya itu memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
"Hih...” Kanulaga segera menerobos jendela kamarnya yang telah tak berdaun lagi. "Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat diluar kamarnya. Tapi, si pembokong itu sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Kanulaga memandang berkeliling. Namun tetap tidak dijumpainya bayangan si pembokong itu. "Hhh...!" desah Kanulaga kesal melihat lawannya berhasil lolos.
Sungguhpun begitu, laki-laki berwajah keras ini tetap melanjutkan langkahnya. Dia ingin mengetahui ke mana ayahnya akan mengirimkan upeti malam ini. Dan untuk itu dia harus mengikuti ayahnya secara diam-diam. Segera pemuda itu melangkah mengendap-endap menuju kamar ayahnya yang terletak agak jauh dari kamarnya.
Kanulaga melangkahkan kakinya pelahan. Sepasang matanya menatap tajam sekelilingnya. Memperhatikan siapa tahu bayangan hitam tadi berusaha membokongnya lagi. Jantung laki-laki berwajah keras ini berdetak kencang ketika melihat sosok serba hitam tengah bersembunyi di balik sebatang pohon, dekat semak-semak yang cukup lebat. Sosok tubuh berpakaian serba hitam pekik Kanulaga dalam hati. Dengan langkah hati-hati, Kanulaga mengendap-endap menghampiri. Dia tidak ingin lawannya kembali kabur seperti sebelumnya.
Betapapun Kanulaga telah membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, tak juga dapat dikenalinya sosok bayangan hitam yang rupanya tengah mengintai itu sekitar bangunan. Orang itu bersembunyi di balik pohon, sehingga membuat cahaya obor yang menyoroti wajahnya terhalang.
"Jangan harap dapat lolos dari tanganku, pengecut..!" seru laki-laki berwajah keras ini tiba-tiba, begitu telah berada di belakang sosok serba hitam itu.
Tentu saja sosok serba hitam yang tengah bersembunyi itu terkejut bukan main. Tubuhnya terlonjak seakan-akan disengat ular berbisa. Segera ditolehkan kepalanya ke belakang. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya menegang waspada.
"Kau...?!" desah Kanulaga tidak percaya ketika melihat wajah orang itu. Seorang laki-laki setengah baya, berkumis lebat. Dikenali betul orang itu, Pandira, adik bungsu ayahnya Bukan hanya Kanulaga yang terkejut Pandira pun terkejut melihat kedatangan keponakannya. Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Kanulaga telah mendahuluinya.
"Ternyata kecurigaanku tidak keliru! " dingin dan datar suara Kanulaga.
"Apa maksudmu, Kanulaga?!" tanya Pandira setengah membentak.
Kanulaga tersenyum sinis.
"Tidak usah berpura-pura lagi, Paman. Aku sudah tahu semuanya. Permainanmu telah berakhir. Lebih baik, kau menyerah. Sebelum aku terpaksa berbuat tidak pantas terhadapmu!" ancam Kanulaga.
Merah wajah pria berkumis lebat ini mendengar ucapan Kanulaga yang sama sekali tidak menaruh hormat padanya. "Bocah kurang ajar! Orang seperti kau sudah selayaknya diberi pelajaran. Agar tidak menyangka hanya kau yang memiliki kepandaian di kolong langit ini!"
Selelah berkata demikian, Pandira segera melompat menerjang keponakannya dengan sebuah totokan beruntun ke arah dada dan ulu hati. Cepat bukan main gerakannya. Tapi Kanulaga yang memang sudah bersiap sejak tadi tidak menjadi gugup. Tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya serangan-serangan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara benturan keras terdengar berkali-kali begitu dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Tubuh Kanulaga terhuyung dua langkah ke belakang. Mulut laki-laki berwajah keras ini menyeringai. Sekujur tangannya terasa ngilu. Dadanya pun dirasakan sesak. Sedangkan pamannya hanya terhuyungi satu langkah ke belakang. Sadarlah Kanulaga kalau tenaga dalamnya bukan tandingan tenaga dalam pamannya.
Tapi Kanulaga, bukan hanya memiliki raut wajah yang keras. Sifatnya pun keras. Kenyataan yang menunjukkan keunggulan tenaga dalam orang yang di perkenalkan ayahnya sebagai pamannya, tidak membuatnya menjadi jerih. Bahkan sebaliknya, perasaan penasaranlah yang timbul. Sesaat kemudian, pemuda itu sudah menyerang kembali dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!" Sambil berseru keras, Kanulaga melontarkan tendangan lurus ke arah dada.
"Hm...!" Pandira mengeluarkan dengusan kasar, menutupi keterkejutan hatinya melihat kecepatan dan kekuatan yang terkandung dalam tendangan itu. Tapi meskipun begitu, laki-laki berkumis lebat ini tidak menjadi gugup. Cepat-cepat tubuhnya didoyongkan ke samping kiri. Sehingga tendangan itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Berbareng dengan itu tangan kanannya melayang deras, melakukan tebasan ke arah betis lawan.
Wuttt..!
Kanulaga tersentak kaget. Laki-laki berwajah keras ini tidak berani bertindak ceroboh. Dia tidak ingin tulang kakinya remuk terkena tebasan tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Segera kakinya ditarik pulang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
Sementara itu, di saat Kanulaga dan Pandira terlibat dalam sebuah pertarungan sengit, sesosok bayangan hitam melesat ke kamar Sudiraja. Sosok serba hitam itu berhenti tepat di depan jendela yang tertutup rapat.
Tok, tok, tok...! Diketuknya daun jendela itu pelahan. Sudiraja yang berada di dalam kamar memang sudah siap dengan bungkusan hartanya. Begitu didengamya ada orang yang mengetuk daun jendela, laki laki gendut itu segera bergerak menghampiri. Kemudian dibukanya daun jendela itu.
Tanpa suara sedikit pun daun jendela itu terkuak! Dan tampaklah oleh sepasang mata Sudiraja, seraut wajah berselubung hitam. Di bagian dahi selubung itu terdapat gambar ekor kalajengking merah. "Mana bungkusan itu?" tanya si selubung hitam itu pelan.
"Ada," sahut Sudiraja.
"Mana? Cepat lemparkan...," desis si selubung hitam itu tajam.
Sudiraja tercenung sejenak, seperti ada sesuatu yang ditunggunya.
"Cepat..! Atau kau ingin kubunuh, gendut..!" Desis si selubung hitam itu lagi. Dalam ucapannya terkandung ancaman maut.
Sudiraja bergidik mendengar ancaman itu. Maka buru-buru diberikannya bungkusan itu. Si selubung hitam menerimanya dengan sinar mata berbinar. Dibukanya sebentar buntalan itu. Baru setelah melihat isinya, tubuhnya kemudian melesat kabur dari situ. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga yang nampak hanyalah sekelebatan bayangan hitam yang bergerak cepat dan lenyap di kegelapan malam.
"Hhh..." Sudiraja menghela napas. Dibiarkan saja jendela kamarnya terbuka. Sedangkan sepasang matanya bergerak liar ke sana kemari. Sepertinya ada yang tengah dicarinya. "Mana si Pandira...," gumam laki-laki gendut itu. "Ataukah dia terlupa...?"
Sementara itu orang yang sedang dinantikannya masih terlibat pertarungan sengit dengan Kanulaga. Keduanya memang sama-sama memiliki kepandaian tinggi. Tapi setelah bertarung tiga puluh lima jurus, Kanulaga mulai terdesak.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja Pandira memekik kaget "Anak keparat..! Kau membuatku melupakan urusan yang lebih penting...!"
Setelah berkata demikian, Pandira melancarkan serangan beruntun ke arah Kanulaga. Tidak ada jalan lain bagi laki-laki berwajah keras itu, kecuali melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
"Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di lanah, berjarak beberapa tombak dari tempat semula. Sikapnya langsung siaga. Siap menghadapi tibanya serangan usulan. Tapi Kanulaga jadi terperanjat. Lawan di hadapannya telah lenyap. Betapapun laki laki berwajah keras ini mengedarkan pandangan ke sekelilingnya tetap tidak dijumpainya laki-laki berkumis lebat itu.
“Pengecut keparat..!" desis Kanulaga. Kemudian setelah termenung sesaat, tubuh anak muda itu melesat cepat menuju kamar ayahnya. Suasana di sekitarnya kembali sunyi. Memang, begitulah keadaan di rumah itu pada setiap malam bulan purnama. Sudiraja selalu meliburkan semua pekerjanya. Termasuk penjaga keamanan rumahnya.
Pandira berlari mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu singkat, kamar Sudiraja sudah terlihat. "Ahhh...! Jangan-jangan aku terlambat...," desis laki-laki berkumis lebat ini cemas. Dan perasaan cemasnya kian menjadi-jadi begitu dilihatnya daun jendela kamar Sudiraja terkuak.
"Hup...!" Begitu tiba di depan jendela itu, segera saja dilongokkan kepalanya ke dalam. Sinar bulan purnama yang menembus ke kamar itu membuat Pandira dapat melihat jelas keadaan di dalam. "Kakang Sudira...," panggil laki-laki berkumis lebat itu. Dilihatnya seorang laki-laki berperut gendut tengah tergolek di pembaringan.
Sudiraja membuka matanya menatap nyalang ke arah jendela. Begitu dilihatnya wajah yang telah dikenalnya, segera laki-laki gendut itu bangkit.
"Bagaimana, Kang...? Dia belum datang?" berondong Pandira begitu dilihatnya laki-laki gendut itu bangkit dari berbaringnya.
"Dia sudah pergi...," sahut Sudiraja Pelan sekali suaranya. Lebih mirip sebuah desahan.
"Ah...! Jadi aku terlambat..?" tanya laki-laki berkumis lebat itu. Nada suaranya jelas mengandung penyesalan yang mendalam.
"Masuklah, Pandira...," ucap Sudiraja tanpa mempedulikan kebingungan yang melanda laki-laki berpakaian serba hitam itu. Dengan langkah lunglai, Pandira melompat ke dalam kamar. "Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di lantai kamar Sudiraja.
"Duduklah, Pandira," ujar Sudiraja mempersilakan ketika dilihatnya laki-laki berkumis lebat itu berdiri saja.
Tanpa banyak membantah, Pandira duduk di sebuah bangku.
"Jelaskan padaku, mengapa kau begitu terlambat Padahal tadi aku sudah berusaha mengulur-ulur waktu. Menunggu kedatanganmu. Tapi ternyata kau tidak muncul-muncul!" tanya Sudiraja begitu dilihatnya laki-laki berpakaian serba hitam itu telah duduk. Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.
"Hhh" Pandira menghela napas panjang seperti hendak membuang perasaan sesal yang menyelimuti hatinya “Semua ini karena ulah anak keparat itu!" desisnya tajam.
Bekernyit dahi Sudiraja mendengar ucapan laki-laki berkumis lebat. "Siapa yang kau maksudkan, Pandira?" tanya laki-laki gendut itu sambil menatap tajamwajah adiknya.
"Kanulaga...," jawab Pandira pelan.
"Apa?! Kanulaga?!" tanya Sudiraja tidak percaya. "Apa yang dilakukannya?"
Laki laki berkumis lebat itu menarik napas dalan dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Aku tengah bersembunyi, mengintai kedatangan pemerasmu. Tapi tiba-tiba Kanulaga datang. Dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Aku menjadi marah dan akhirnya kami bertarung," jelas laki-laki berkumis lebat itu.
"Lalu, kau bunuh dia, Pandira?" selak Sudiraja Secercah senyumsinis tersungging di bibirnya.
Pandira menggelengkan kepalanya. "Tidak. Sewaktu aku tengah mendesaknya, aku teringat akan tugasku. Bergegas kutinggalkan dia. Tapi sayang aku tertambat. Si keparat itu telah pergi lebih dahulu. Ahhh...! Sia-sia saja perjalananku kemari, keluh laki-laki berkumis lebat ini.
Belum juga Sudiraja menimpali ucapan adik bungsunya ini, terdengar suara bentakan keras dari luar jendela. "Kiranya kau berada di sini, keparat!"
Tanpa menoleh pun, baik Sudiraja maupun Pandira telah mengetahui orang yang telah mengeluarkan suara bentakan keras itu. Suara itu telah mereka kenal betul. Suara Kanulaga. Seiring dengan selesainya ucapan itu, dari luar jendela melesat sesosok tubuh yang kemudian mendarat ringan tanpa suara di lantai.
"Jaga mulutmu, Kanulaga!" bentak Sudiraja dengan nada keras begitu laki-laki berwajah keras itu telah berada di dalam kamarnya. Telah dilihatnya sendiri sikap putra sulungnya yang tidak pantas.
'Tapi, Ayah...," Kanulaga mencoba untuk membantah.
"Diam...!" sergah Sudiraja memotong bantahan laki-laki berwajah keras itu.
Wajah Kanulaga memerah. Laki-laki berwajah keras ini memang memiliki sifat yang aneh. Semakin orang bersikap keras padanya, dia akan semakin keras. "Bagaimana aku bisa mendiamkan orang yang hampir saja membunuhku?!"
"Itu karena kau telah bersikap kurang ajar padanya!" sentak laki-laki berperut gendut itu. Nada suaranya semakin meninggi.
"Bersikap kurang ajar bagaimana?! Paman hendak membunuhku, di saat aku berada di kamarku!" sahut Kanulaga tak kalah keras.
"Apa?! Benarkah apa yang kau ucapkan Itu, Kanulaga?!" tanya laki-laki berperut gendut itu sambil menatap tajam wajah anaknya. Cerita yang didengarnya dari adik bungsunya tidak seperti ini!
"Dia bohong!" bantah Pandira keras. Sejak tadi laki-laki berkumis lebat itu hanya terdiam saja mendengarkan semuanya. Dia sengaja membiarkan Sudiraja menyelesaikan masalah itu. Tapi begitu mendengar tuduhan keponakannya ini, amarahnya seketika bangkit. Kanulaga melemparkan senyum sinis pada pamannya. Tentu saja hal ini semakin membuat kemarahan Pandira meledak.
"Anak keparat! Kau hanya mencari-cari alasan saja. Aku malah curiga, jangan-jangan kau sendiri adalah salah seorang dari gerombolan itu! Kau sengaja mengalihkan perhatianku agar rekanmu itu lolos dari pengawasanku!" ujar laki-laki berkumis lebat ini balik menuduh.
"Anggota gerombolan? Mengalihkan perhatian? Apa maksudmu, Paman?!" tanya Kanulaga tidak mengerti.
Betapapun marahnya, namun laki-laki beta wajah keras ini, sebenarnya masih menghormati pamannya. Sudiraja mengerutkan alisnya. Dia melihat ada nada kesungguhan dalam cerita kedua orang ini. Bukan tidak mungkin kalau telah terjadi kesalah-pahaman.
"Lebih baik kita selesaikan persoalan ini dengan kepala dingin. Aku khawatir ada kesalahpahaman terselip di sini," ucap laki-laki gendut ini menenangkan.
Kanulaga dan Pandira terdiam. Mereka menyadari kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sudiraja. Mengikuti perasaan amarah saja tidak akan menyelesaikan masalah, pikir mereka. Setelah melihat kedua orang itu sudah dapat ditenangkan, Sudiraja kembali membuka suara.
"Sekarang coba kau ceritakan kejadian yang kau alami, Kanulaga," ucap laki-laki berperut gendut itu pada anak sulungnya.
Kanulaga pun menceritakan semuanya. "Nah, ketika aku tengah mencari bayangan hitam Itu, kulihat ada seseorang bersembunyi di balik pohon. Sikapnya mencurigakan sekali. Aku yakin kalau orang itulah yang tadi menyerangku. Pakaiannya sama. Aku kaget juga ketika kulihat orang itu adalah Paman Pandira. Ribut mulut tak dapat dihindari lagi. Akhirnya kami bertarung," ujar laki-laki berwajah keras ini mengakhiri ceritanya.
"Hhh...! Sekarang sudah jelas masalahnya. Sudah kuduga semua ini hanya salah paham saja," ucap Sudiraja dengan suara mendesah.
"Salah paham?! Aku masih tidak mengerti, Ayah," sahut Kanulaga. Nada suaranya menyimpan perasaan penasaran yang mendalam.
Laki-laki berperut gendut itu termenung sejenak belum memulai ceritanya. Dipandangi wajah Pandira tajam-tajam. "Bagaimana, Pandira? Tidakkah lebih baik kalau diceritakan saja?" tanya Sudiraja meminta pendapat laki-laki berkumis lebat itu.
Pandira mengangkat bahunya. "Terserah kau saja, Kang," jawab laki-laki berkumis lebat ini menyerahkan keputusan pada Sudiraja.
"Sebenarnya aku tidak berniat memberitahumu, Kanulaga. Tapi, agar kau tidak penasaran... terpaksa perlu kuberitahukan. Pandira ini bukanlah paman mu...."
"Sudah kuduga...," desah Kanulaga pelan.
"Kau sudah tahu?!" tanya Sudiraja setengah tak percaya.
"Ya," jawab Kanulaga seraya menganggukkan kepalanya. "Sepengetahuanku Ayah adalah anak tunggal. Aku menjadi curiga ketika Ayah memperkenalkannya sebagai paman."
Sudiraja mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pandira sebenarnya adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati Palangka," sambung laki-laki berperut gendut itu lagi.
"Ah...!" desah Kanulaga terkejut. "Lalu, mengapa dia berada di sini dan Ayah mengakui sebagai adik bungsu?" "Lebih baik kau tanyakan saja padanya, Kanulaga. Biar dia yang akan menjelaskannya padamu. Nah Pandira. Harap kau jelaskan pada Kanulaga!" pinta Sudiraja.
Pandira menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. Jelas tampak kalau laki-laki berkumis lebat ini merasa berat menceritakannya. "Sebenarnya tugasku ini amat rahasia, Kanulaga. Demi keberhasilannya, sengaja aku tidak ingin seorang pun tahu. Kecuali ayahmu," ucap Pandira memulai ceritanya.
Kanulaga hanya diam saja mendengarkan. Tidak diselaknya sedikit pun cerita laki-laki berkumis lebat Itu.
"Kau pernah mendengar tentang Perkumpulan Kalajengking Merah?" tanya pengawal rahasia Adipati Palangka ini tiba-tiba.
Kanulaga tercenung sejenak sebelum menjawab. "Pernah juga. Sewaktu aku mulai memasuki Kadipaten Palangka."
"Kau tahu perkumpulan macam apa itu?" tanya Pandira lagi.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi menurut berita yang kudengar, Perkumpulan Kalajengking Merah adalah sebuah perkumpulan jahat..."
"Tepat! Melihat gelagatnya, perkumpulan itu sepertinya hendak meruntuhkan Kadipaten Palangka. Tapi karena perkumpulan itu sangat misterius, Gusti Adipati mengalami kesulitan untuk membasminya. Maka terpaksa Gusti Adipati mengirim beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki di mana markas perkumpulan itu," Pandira menghentikan ceritanya sejenak Agaknya laki-laki ini ingin melihat tanggapan Kanulaga pada ceritanya. Tapi ternyata laki-laki berwajah keras itu tidak berniat memotong ceritanya.
"Dari penyelidikan, kami tahu kalau perkumpulan itu membiayai usahanya dari pemerasan dan perampokan terhadap orang-orang kaya. Gusti Adipati tahu, Kakang Sudiraja memiliki kekayaan yang berlimpah. Dengan dibekali surat perintah dari Gusti Adipati aku dapat tinggal di sini. Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, ayahmu memperkenalkanku sebagai adik bungsunya. Tapi sayang, usahaku gagal!" keluh laki-laki berkumis lebat ini.
"Tapi, kenapa Ayah merahasiakan hal ini padaku,” tanya Kanulaga bernada penasaran seraya menoleh pada ayahnya.
"Aku yang melarang ayahmu memberitahukan kepada siapa pun. Maksudku untuk mencegah bocornya rencana ini. Aku khawatir kalau ada anggota gerombolan itu yang menyusup dalam rumah ini. Maaf, bukannya aku menuduh. Tapi, yahhh..., hanya berjaga-jaga saja," jelas Pandira panjang lebar.
"Lalu sekarang, bagaimana baiknya, Pandira?" tanya Sudiraja seraya menatap wajah laki-laki berkumis lebat itu.
"Hhh...!" pengawal rahasia Adipati Palangka itu menghela napas panjang. "Mungkin aku akan kembali ke kadipaten, melaporkan kegagalan tugasku."
"Mengapa begitu tergesa-gesa, Pandira?" tanya Sudiraja. Kekagetan jelas terbayang di wajahnya. "Tinggallah barang satu atau dua hari lagi. Barangkali orang itu muncul lagi."
Pandira tercenung sejenak. "Baiklah, Kakang Sudiraja. Aku akan tinggal dua hari lagi di sini."
"Maafkan atas kebodohanku yang membuat Paman gagal menjalankan tugas Gusti Adipati," ucap Kanulaga tiba-tiba seraya mengulurkan tangan meminta maaf.
Pandira tersenyum. "Lupakanlah, Kanulaga. Kau tidak salah," jawab laki-laki berpakaian serba hitam ini bijaksana. Disambutnya uluran tangan Kanulaga dan digenggamnya erat-erat. Sudiraja hanya tersenyum menyaksikan kejadian Itu.
* * * * * * * *
Hari masih pagi, matahari pun baru saja muncul di ufuk Timur, ketika tiga sosok tubuh melangkah pelahan mendekati pintu gerbang bangunan mewah dan megah milik Sudiraja. Tiga sosok itu terdiri dari seorang pemuda dan dua orang gadis. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun, berambut putih keperakan dan berpakaian ungu.
Sementara dua orang gadis yang sama-sama cantik itu mengenakan pakaian dan berdandan yang berlainan. Yang seorang berpakaian serba putih dan berambut meriap. Sementara yang seorang lagi, berpakaian serba merah dan berambut digelung ke atas. Mereka adalah Dewa Arak, Melati dan Nirmala.
"Maaf, siapakah kisanak bertiga?" tanya dua orang penjaga pintu gerbang saat melihat Dewa Arak, Melati dan Nirmala hendak melangkah masuk.
Nirmala membusungkan dada dan menegakkan kepalanya. "Aku Nirmala," sahut gadis berpakaian merah itu. Nada suaranya terdengar penuh wibawa.
"Ah...!" desah kedua penjaga itu terkejut. Meskipun belum pernah melihat wajahnya, namun kedua orang itu telah mengetahui semua keturunan majikan mereka. Dan Nirmala ini adalah putri bungsu pemilik rumah ini. "Maalkan kami, Den Ayu. Tapi siapakah kedua orang itu ?" tanya si tompel sambil menatap tajam wajah Dewa Arak dan Melati yang berdiri di belakang gadis berpakaian merah itu.
"Mereka adalah kawan-kawanku, dan akan kuperkenalkan pada Ayah! Mari, Kang Arya, Kak Melati," ajak Nirmala sambil melangkah masuk.
Kedua penjaga itu tidak bisa lagi menghalangi. Mereka pun menyingkir memberi jalan pada putri majikan mereka dan kedua temannya. Tentu saja kedatangan gadis berpakaian merah itu menggembirakan hati Sudiraja yang saat itu tengah berjalan-jalan di taman, menghirup kesejukan udara pagi.
"Ayah...!" seru Nirmala seraya berlari ke arah laki-laki berperut gendut itu. Sepasang tangannya terkembang.
"Nirmala...," sambut Sudiraja. Kemudian. dipeluknya putri bungsunya erat-erat. "Siapa mereka, Nirmala?" tanya Sudiraja begitu pandangannya tertumbuk pada dua orang yang berdiri sambil menundukkan kepalanya.
"Eh, iya...," ucap gadis berpakaian merah itu teringat Segera dilepaskannya pelukan sang ayah. "Mereka adalah penolongku, Ayah. Tanpa pertolongan mereka mungkin Ayah tidak akan pernah melihatku”
"Ah...!" seru Sudiraja kaget. Sepasang matanya terbelalak menatap anak gadisnya, kemudian pandangannya dialihkan pada Dewa Arak dan Melati bergantian. Berita yang didengarnya ini benar-benar membuat laki-laki berperut gendut ini terkejut bukan kepalang.
"Mari kuperkenalkan pada mereka, Ayah," ucap gadis itu lagi seraya berjalan mendahului ayahnya yang sudah melangkah ke arah Dewa Arak dan Melati. "Inilah ayahku, Kang Arya, Kak Melati," ucap Nirmala memperkenalkan.
Sudiraja mengulurkan tangannya. "Sudiraja," ucap laki-laki berperut gendut itu memperkenalkan diri.
"Arya Buana," sahut Dewa Arak sambil menyambut uluran tangan itu.
"Melati," sahut Melati pula.
Sudiraja menatap wajah kedua muda-mudi dihadapannya berganti-ganti. "Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan pada anakku," ucap laki-laki berperut gendut itu ramah.
"Ah...! Hanya kebetulan saja, Ki," sahut Dewa Arak merendah.
Sudiraja hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kagum hatinya melihat kerendahan hati pemuda berambut putih keperakan di hadapannya ini. "Mari kita bicara di dalam saja," ajaknya sambil melangkah mendahului. Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak dan Melati kecuali turut melangkah lebih dahulu.
Pandira dan Kanulaga yang sedang berbincang-bincang di ruangan tengah yang mewah dan megah itu menghentikan pembicaraan, begitu mendengar banyak langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian pintu ruangan itu pun terkuak Kanulaga dan Pandira menduga-duga dalam hati, siapakah orang-orang yang menuju ruang ini. Bukankah ruang ini khusus untuk Sudiraja?
Semula Kanulaga dan Pandira tidak heran begitu melihat orang yang pertama kali muncul. Tapi sepasang alis mereka berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah, melangkah di belakang laki-laki berperut gendut itu. Wajar apabila Kanulaga sama sekali tidak mengenal Nirmala. Gadis berpakaian serba merah ini belum berumur lima tahun ketika laki-laki berwajah keras ini pergi mengembara.
Pandira saja mengagumi kecantikan Nirmala, apalagi Kanulaga yang masih muda dan berdarah panas. Pandang matanya tidak berkedip memperhatikan Nirmala dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sepasang mata Kanulaga semakin terbelalak lebar ketika dari balik pintu itu masuk lagi seorang gadis berpakaian serba putih. Tak kalah cantiknya dari gadis berpakaian serba merah tadi.
Tapi pandang mata kekaguman Kanulaga dan Pandira segera lenyap, begitu melihat orang terakhir yang masuk kedalam ruangan. Seorang pemuda berambut putih keperakan, berbaju ungu. Sebuah guci arak terbuat dari perak, tersampir di punggungnya. Berbeda dengan Sudiraja. Kanulaga dan Pandira tahu pergolakan yang terjadi di dunia persilatan. Mereka telah mendengar berita yang menggemparkan tentang munculnya tokoh muda berilmu tinggi, berjuluk Dewa Arak. Inikah tokoh yang menggemparkan itu? tanya mereka dalam hati.
"Kau kenal gadis ini, Kanulaga?" tanya Sudiraja pada putra sulungnya. Kepalanya ditolehkan ke arah Nirmala. Sementara gadis berpakaian merah itu hanya tersenyum geli dalam hati.
Laki-laki berwajah keras itu menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak mengenalnya?!" tanya Sudiraja lagi setengah tidak percaya.
'Tidak, Ayah," jawab Kanulaga, setelah dipandanginya kembali gadis berpakaian merah itu lekat-lekat.
"Ha ha ha...!" laki-laki berperut gendut itu tertawa terbahak-bahak. Tentu saja hal ini membuat Kanulaga terheran-heran. "Dia adikmu, Kanulaga," jelas Sudiraja setelah rasa gelinya lenyap.
Kanulaga terlongong. "Adikku?" tanya laki-laki berwajah keras ini tak percaya. "Dia.. dia Nirmala...?" Kanulaga agaknya masih belum mempercayai ucapan ayahnya.
"Benar," sahut Sudiraja. Sementara Nirmala tidak dapat menahan perasaan geli melihat kebingungan kakak sulungnya.
"Anak nakal..! Awas! Nanti kujewer telingamu...!" gurau Kanulaga dengan hati gembira.
"Lalu kedua orang ini siapa, Kang?" tanya Pandira sambil menatap Melati dan Dewa Arak.
"Mereka adalah penolong-penolong Nirmala. Yang gadis bernama Melati. Dan pemuda ini bernama Arya Buana," jelas Sudiraja seraya menepuk-nepuk bahu Arya.
"Ah..., Dewa Arak...!" seru Kanulaga dan Pandira berbareng. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau nama Dewa Arak yang sesungguhnya adalah Arya Buana.
"Sungguh tidak disangka, pendekar yang tersohor sepertimu bisa sampai ke Kadipaten Palangka ini," desah Pandira setengah tidak percaya.
"Hanya kebetulan lewat. Paman," sahut Dewa Arak merendah seraya menatap wajah laki-laki berkumis lebat itu.
"Ayo, Nirmala. Ceritakan pada Ayah dan semua yang ada di sini, pengalaman yang kau alami," ucap Sudiraja.
Nirmala pun menceritakan semuanya. Mulai dari surat yang bisa sampai ke tangannya atas pertolongan Dewa Arak dan Melati, hingga dirinya diselamatkan dari tangan orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Aneh sekali...," desah Pandira begitu Nirmala mengakhiri ceritanya. Sebagai seorang pengawal rahasia Adipati, laki-laki berkumis lebat ini dapat merasakan adanya hal-hal mencurigakan dalam kejadian yang dialami Nirmala.
Semua mata kini tertuju pada Pandira. Mereka menunggu kelanjutan ucapan yang akan disampaikan pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Apa yang aneh, Adi Pandira?" tanya Sudiraja.
Laki-laki berkumis lebat itu menatap tajam wajah Sudiraja. "Sepengetahuanku, yang mengetahui kalau Kakang mengirim surat untuk memanggil Nirmala dan Jalatara hanya Kakang Sudiraja sendiri, aku, dan Kanulaga. Lalu mengapa sampai diketahui orang Perkumpulan Kalajengking Merah?"
Ada nada kecurigaan dalam suara pengawal rahasia Adipati Palangka. Sementara Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam dikaguminya kecerdikan laki-laki berkumis lebat ini. Kanulaga menarik napas panjang.
"Memang, aku telah menceritakan hal ini," ucap laki-laki berwajah keras pelan. Ada nada penyesalan dalam suaranya.
"Kau?" Sudiraja membelalakkan sepasang matanya. Sementara berpasang-pasang mata lainnya juga tertuju pada putra sulung Sudiraja ini.
"Sudah kuduga...," sambut Pandira cepat. "Pada siapa kau menceritakannya, Kanulaga?"
"Ki Toji”
"Ki Tojl?!" Sudiraja mengerutkan alisnya. Sementara yang lain memandang pada laki-laki berperut gendut ini dengan sinar mata bingung.
"Siapa itu Ki Toji, Kang?" tanya Pandira lagi.
"Kepala urusan dalam rumah tangga. Tapi mungkinkah dia anggota gerombolan itu?" tanya Sudiraja setengah tidak percaya.
"Kemungkinan itu bisa juga. Kang. Bagaimana denganmu, Dewa Arak?" tanya Pandira sambil menoleh pada Arya yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan. Kini semua mata tertuju pada Dewa Arak Tanpa setahu mereka, sejak tadi pun sudah ada sepasang mata yang menatap Dewa Arak secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata bening dan indah milik Nirmala.
"Sejak pertama kali membaca surat itu, sebenarnya aku sudah menduga adanya orang dalam rumah ini yang menjadi anggota gerombolan itu," jelas Dewa Arak. Nada bicaranya hati-hati. Pemuda itu tidak ingin menyinggung perasaan orang-orang yang ada di ruangan ini.
Sudiraja mengerutkan keningnya. "Sayang sekali, Jalatara belum juga tiba. Kalau tidak masalah ini akan dapat diselesaikan sekarang, " ucap laki-laki berperut gendut itu mengalihkan persoalan.
"Memangnya ada masalah apa, Ayah?" tanya Nirmala yang sejak tadi hanya berdiam diri saja.
"Ayah ingin beristirahat dan menyerahkan semua usaha Ayah pada kalian bertiga," sahut Sudiraja, seakan-akan enggan untuk menjelaskan.
"Jangan-jangan utusan yang membawa surat itu juga tidak pernah sampai ke sana, Ayah," duga Kanulaga. Sepasang matanya kembali melirik ke arah Melati. Gadis yang berwajah cantik luar biasa itu memang telah membuat hati laki-laki berwajah keras ini terpikat.
"Mudah-mudahan saja tidak," sahut laki-laki gendut itu mengharap.
"Tapi sudah dua hari utusan itu berangkat, dan sampai sekarang belum juga kembali," bantah Kanulaga lagi.
"Kita tunggu saja, Kanulaga. O ya, mungkin dua penolongmu ini ingin beristirahat, Nirmala. Antarkan mereka beristirahat Kau juga mungkin lelah. Beristirahatlah dulu."
"Hhh...!" Kanulaga menghela napas panjang melihat ayahnya memutuskan begitu saja pembicaraannya. Laki-laki berwajah keras ini pun terpaksa diam.
"Baik, Ayah," sambut gadis berpakaian merah itu cepat Kemudian diantarnya Dewa Arak dan Melati yang mau tak mau terpaksa menurut, menuju ke tempat peristirahatannya. Kanulaga menundukkan kepalanya. Tapi sepasang matanya sempat melirik ke arah Melati, hingga bayangan gadis berpakaian serba putih lenyap di balik pintu.
"Aunggg...!" Suara lolong anjing hutan memecah kesunyian malam. Rembulan di langit kini tidak bulat lagi. Malam bulan purnama telah terjadi kemarin. Dalam keremangan malam itu, berkelebat dua sosok bayangan memasuki hutan. Gerakan mereka cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah bayangan merah dan hitam.
Dua sosok bayangan itu terus berlari. Sesekali keduanya menoleh ke belakang. Sepertinya mereka khawatir kalau ada yang mengikuti. Kedua bayangan itu terus saja bergerak melewati jalan berliku-liku. Lari mereka baru diperlambat setelah mendekati sebuah bangunan tua yang sudah tidak terawat lagi. Dan tepat di depan bangunan itu, kedua bayangan tadi menghentikan larinya.
Dalam keremangan sinar bulan, terlihat cukup jelas kedua bayangan itu. Yang seorang berpakaian serba hitam. Di dadanya bergambar kalajengking merah. Wajahnya tidak nampak jelas, karena tertutup selubung. Pada dahi selubungnya terdapat gambar kalajengking merah.
Sementara yang seorang lagi adalah seorang kakek berkulit merah. Kakek berkulit merah ini mengenakan rompi yang juga berwarna merah. Pada bagian dahi dan dadanya, terdapat gambar kalajengking merah. Berbeda dengan rekannya, gambar kalajengking pada kakek berkulit merah ini tertera pada kulitnya, bukan pada pakaian atau selubungnya. Baru saja kedua orang ini melangkah masuk, terdengar suara sapaan penuh hormat
"Hormat kami untuk Ketua...!"
Sosok berselubung hitam yang di dahi selubungnya bergambar kalajengking, menoleh ke arah asal suara. Rupanya orang ini adalah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah. Kini di hadapan Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah, telah berdiri dua sosok yang tengah menjura padanya Kedua orang itu mengenakan seragam yang sama. Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar kalajengking berwarna merah.
Yang membedakan kedua orang itu adalah pada kedua selubung wajahnya. Memang mereka sama-sama mengenakan selubung hitam. Tapi pada dahi selubungnya, tertera gambar yang berlainan. Pada yang seorang terdapat totol merah. Sementara pada yang lain, bergambar ekor kalajengking merah.
Memang, Perkumpulan Kalajengking Merah mempunyai aturan tersendiri. Tanda tingkatan seseorang dalam perkumpulan itu dapat diketahui dengan melihat tanda pada dahi selubungnya. Tanda kalajengking merah menunjukkan kalau orang itu adalah sang ketua. Tanda ekor kalajengking, menunjukkan wakil ketua. Tanda totol merah menunjukkan ketua kelompok. Sementara anggota biasa sama sekali tidak mempunyai tanda.
"Bagaimana usaha kalian? Berhasil?" tanya sai ketua.
"Maafkan kami, Ketua...," jawab kedua orang itu berbareng.
"Jadi, kalian gagal?!" sergah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah agak keras. Sementara kakek berkulit merah itu hanya berdiam diri saja.
"Benar, Ketua," jawab kedua orang itu lagi.
"Hhh...! Tolol...! Membunuh dua tikus kecil saja tidak mampu?! Haruskah aku yang turun tangan sendiri?!" bentak sang ketuagusar.
"Kau...!" tunjuk sang pemimpin pada orang yang di dahi selubungnya bergambar ekor kalajengking, Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Ya, Ketua," sahut si selubung bergambar ekor kalajengking cepat.
"Jelaskan mengapa kau gagal? Hanya membunuh orang seperti Kanulaga saja tidak becus?!" sang ketua kembali membentak.
"Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, Ketua. Yang membuatku tambah repot lagi. Di situ ada Pandira," Jawab si selubung bergambar ekor kalajengking. Kemudian diceritakan kejadian yang dialaminya.
"Pandira? Apakah orang yang selalu berpakaian serba hitam dan memiliki kumis lebat itu?" tanya sang ketua. Nada keterkejutan jelas terlihat pada wajahnya.
"Benar, Ketua. Ketua mengenalnya?" tanya si selubung bergambar ekor kalajengking.
Sang pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dia adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati Palangka."
"Ahhh...!" seru Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu terkejut "Lalu, untuk apa dia di sana, Ketua?"
"Adipati Palangka sudah mencium adanya gerakan kita. Pada saat ini Adipati Palangka sudah menyebar pengawal-pengawal rahasianya untuk menyelidiki perkumpulan kita. Sungguh tidak kusangka kalau Pandira bisa sampai ke sana...," desah sang ketua.
"Kalau menurutku, Sudiraja telah bekerjasama dengan Pandira, Ketua," ucap si wakil itu lagi.
"Mengapa kau bisa menduga begitu?" tanya sang ketua.
"Sewaktu aku datang meminta upeti, kulihat Sudiraja seperti sengaja mengulur-ulur waktu. Sepertinya ada sesuatu yang ditunggunya. Kalau tidak mengingat pesan Ketua, sudah kubunuh dia."
"Kau bertindak bodoh kalau membunuhnya!" sergah sang ketua keras. "Kalau kau lakukan itu, sama saja kau menghancurkan apa yang kita cita-citakan selama ini! Menguasai Kadipaten Palangka! Dan kemudian merebut kerajaan!"
"Ada yang membuatku heran, Ketua," ucap orang yang di dahinya bergambar ekor kalajengking lagi.
"Apa itu?"
"Mengapa Ketua tidak membunuh adipati itu saja. Bukankah dengan kedudukan Ketua sekarang ini, tidak sulit untuk membunuh adipati itu?"
"Apa yang kau katakan itu benar. Tapi, untuk apa membunuh adipati itu kalau akhirnya aku tidak bisa menggantikan kedudukannya? Lagi pula raja tidak akan tinggal diam. Beliau pasti akan mengirimkan pasukan besar untuk menghancurkan kita. Tapi yang jelas, rencanaku hampir sampai di puncaknya. Sayang sekali kailan gagal membunuh Kanulaga dan Nirmala. Rencanaku terpaksa berubah!" ucap sang ketua panjang lebar.
Setelah berkata demikian, Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah ini terdiam. Sesaat lamanya di berbuat seperti itu. Baru kemudian perhatiannya diarahkan pada si selubung totol merah. "Kau..., mengapa gagal membunuh Nirmala? Padahal dua belas anggota perkumpulan telah kuberikan untuk membantumu?" tanya sang ketua meminta penjelasan.
"Maafkan aku, Ketua. Sebetulnya kami sudah hampir berhasil membunuh gadis itu," ucap si selubung totol merah.
"Lalu, kenapa gagal?!" sergah sang ketua keras.
"Ada orang yang menolongnya, Ketua!" sahut si selubung totol merah.
"Hm..., siapa orangnya?!" tanya sang ketua agak terkejut.
"Aku tidak mengenalnya, Ketua. Tapi kepandaiannya tinggi sekali. Hanya dengan angin pukulannya saja, dia bisa menewaskan empat anggota kita sekaligus. Mereka tewas seketika dengan tubuh hangus."
Sang ketua terdiam mendengar penjelasan si totol merah. Sementara kakek berkulit merah tercenung. "Bagaimana ciri-ciri orang sok jagoan itu?" tanya sang ketua lagi.
Si selubung bertotol merah terdiam sejenak. Rupanya dia sedang berusaha mengingat-ingat wajah penolong Nirmala. "Nggg..., pemuda berambut keperakan, berpakaian ungu. Di punggungnya tergantung sebuah guci arak..."
"Dewa Arak...!" potong kakek berkulit merah keras. Ada nada keterkejutan yang amat sangat pada wajahnya.
"Dewa Arak...?!" sentak sang ketua terkejut mendengar ucapan kakek kulit merah itu. "Benarkah orang itu Dewa Arak yang menggemparkan itu, Guru?" tanyanya pada kakek berkulit merah.
Kakek berkulit merah, yang ternyata guru sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu menganggukkan kepalanya. "Kalau ciri-ciri yang disebutnya benar, sudah pasti pemuda itu adalah Dewa Arak. Seorang pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan beberapa bulan belakangan ini," jelas kakek kulit merah itu lebih jauh.
Sang ketua tercenung mendengar penjelasan gurunya. "Terpaksa rencana harus kuubah," ucap sang ketua. Kemudian dlhampirinya kedua anak buahnya, dan dibisikkan rencana barunya ke telinga mereka. "Mengerti?!" tanya Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah setelah selesai membisikkan rencananya.
"Mengerti, Ketua!" sahut kedua orang itu serempak.
"Bagus! Sekarang kalian boleh pergi!" perintah sang ketua.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, dua orang itu pun melesat pergi, setelah terlebih dahulu menjura pada sang ketua dan kakek kulit merah.
Sepeninggal kedua anak buahnya, sang ketua mengalihkan perhatian pada kakek berkulit merah. "Untung Guru telah kembali. Bagaimana Guru, berhasilkah Guru mendapatkan racun itu?" tanya sang ketua.
Kakek bermuka merah itu tertawa bergelak. "Jangan panggil aku Kalajengking Merah kalau tidak mampu mendapatkannya! Ha ha ha...," sahut kakek yang ternyata berjuluk Kalajengking Merah itu sambil tertawa bergelak.
"Terima kasih atas semua bantuan Guru," ucap sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.
Kalajengking Merah mengidapkan tangannya. "Tidak usah berterima kasih. Kau adalah muridku, apalagi kau mempunyai cita-cita yang begitu besar. Sudah merupakan kewajibanku sebagai gurumu untuk membantu mewujudkan cita-citamu! Tambahan lagi kau telah mengharumkan namaku dengan menggunakan nama Kalajengking Merah sebagai nama perkumpulan rahasiamu! Tertawalah...! Tawa untuk keberhasilan kita!"
Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah ini tertawa bergelak. Sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah pun ikut tertawa bergelak tawa mereka yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, menggema dan membuat bangunan tua itu bergetar hebat.
Hari sudah agak siang, matahari pun sudah naik agak tinggi. Pada siang yang terik ini tampak seekor kuda melangkah pelan memasuki perbatasan Desa Rinji. Penunggangnya adalah seorang pemuda berusia selatar dua puluh lima tahun. Pada wajahnya yang tampan terhias sebaris kumis tipis. Pakaiannya serba hitam.
"Hooop...!" Tali kekang kudanya ditarik, tepat di depan pintu gerbang rumah termegah di desa itu. Dari kejauhan, rumah itu sudah terlihat kalau dikelilingi pagar tembok tinggi. Kuda coklat putih yang ditungganginya meringkik. Kedua kaki depannya pun diangkat tinggi-tinggi.
"Hup...!" Dengan gerakan manis dan indah, pemuda berkumis tipis itu melompat dari punggung kudanya. Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. Kemudian dipegangnya tali kekang kudanya. Lalu binatang tunggangan itu dituntunnya menghampiri pintu gerbang.
"Aku Jalatara, putra Tuan Sudiraja," ucap pemuda berkumis tipis itu ketika melihat dua orang penjaga mencoba menghadang.
"Ah...! Maafkan kami. Den. Silakan masuk. Kedatangan Aden memang sudah ditunggu-tunggu," ucap salah seorang penjaga.
Tanpa bicara apa-apa, Jalatara melangkah ke dalam. Kuda tunggangannya ditinggalkan di depan pintu gerbang. Pandira yang tengah duduk di teras depan, langsung mengenali Jalatara.
"Jalatara...," desis laki-laki berkumis lebat ini pelan seraya bangkit dari duduknya dan berjalan menyambut kedatangan pemuda berkumis tipis itu. Dikenali betul siapa Jalatara, salah seorang kepercayaan Adipati Palangka.
"Ah...! Kakang Pandira...! Rupanya kau berada di sini...! Sungguh tidak kusangka!" ucap Jalatara kaget. Mulutnya menyunggingkan senyum lebar.
"Kedatanganmu yang begitu tiba-tiba ini membuatku terkejut, Jalatara. Ah, terpaksa kepulanganku kutunda sejenak," ucap pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Eh...?! Mengapa begitu, Kang?" tanya Jalatara tidak mengerti.
"Yahhh...! Tugasku gagal, Jala! Aku baru saja akan kembali ke kadipaten sambil membawa pesan dari ayahmu," Jelas Pandira seraya menarik napas panjang.
"Pesan? Pesan apa, Kang?" tanya Jalatara lagi. Wajahnya terlihat agak tegang.
"Agar kau segera pulang. Ada urusan penting yang akan dibicarakan denganmu," beritahu Pandira.
"Urusan penting? Urusan penting apa, Kang" tanya pemuda berkumis tipis ini dengan alis berkerut.
'Tanyalah pada ayahmu," sahut Pandira kalem. Baru saja Jalatara hendak meninggalkan tempat itu, Sudiraja telah keburu keluar dari dalam rumahnya. Rupanya percakapan kedua orang itu terdengar olehnya, sehingga buru-buru dia berlari keluar.
Jalatara mengerutkan alisnya begitu melihat banyak orang yang berjalan di belakang ayahnya. Tapi sesaat kemudian dia menjadi gembira begitu mengetahui dua di antara mereka adalah saudaranya. "O ya, Jalatara," ucap Sudiraja tiba-tiba.
"Ada apa, Ayah?" tanya pemuda berkumis tipis itu. Ditolehkan kepalanya menatap ayahnya.
"Apakah surat yang Ayah kirimkan sudah kau terima?" tanya Sudiraja.
"Surat?!" tanya Jalatara. Sepasang alisnya berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ya! Surat!" sahut Sudiraja menegaskan. "Kau terima?" "Tidak!" sahut Jalatara seraya menggelengkan kepalanya. "Kapan Ayah mengirimkannya?"
"Beberapa hari yang lalu. Hhh...! Kukira kau datang kemari karena surat itu telah kau terima." Kemudian Sudiraja menceritakan perjalanan surat yang dikirimkan untuk Nirmala.
"Tidak, Ayah. Aku sama sekali tidak menerima sepucuk surat pun. Aku kemari karena rindu pada Ayah."
Sudiraja tersenyum lebar. "Kalau begitu, lupakan saja persoalan itu! Sekarang mari kita rayakan berkumpulnya seluruh keluarga kita dengan minum-minum! " teriak Sudiraja penuh rasa gembira.
"Biarlah hari ini aku yang menjadi pelayannya, Ayah," pinta Jalatara.
Tawa Sudiraja terhenti. "Tidak, Jala! Kau baru saja tiba dari perjalanan yang Jauh. Kau masih capek!" bantah laki-laki berperut gendut ini.
Pemuda berkumis tipis itu tersenyum. "Tadi, memang aku lelah, Ayah. Tapi setelah bertemu dengan Ayah, Kakang Kanulaga dan Adik Nirmala, rasa lelahku langsung sirna. Percayalah, Ayah. Aku sudah tidak lelah lagi."
"Kalau begitu, terserah kaulah...," sahut Sudiraja mengalah.
Tanpa sepengetahuan mereka, sesosok bayangan Merah berkelebat melompati pagar tembok rumah Sudiraja yang tinggi Itu. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah. Lalu cepat bayangan itu menyelinap di balik kerimbunan pohon. Keluarga Sudiraja, Pandira, Dewa Arak dan Melati memasuki ruang tengah. Sudiraja berjalan paling depan. Dengan gembira laki-laki berperut gendut ini mengajak semuanya ke dalam ruangan tengah yang mewah dan megah.
Tiba-tiba Melati merandek kaget. Dia mendengar suara bisikan halus di telinganya. Suara itu dikenalnya betul Suara kekasihnya, Dewa Arak! "Masukkan benda pemberian Gusti Prabu Nalanda dalam minumanmu nanti, Melati...."
"Ada apa, Kak Melati?" tanya Nirmala, begitu dilihatnya Melati menghentikan langkahnya. Nirmala dan yang lain-lainnya memang tidak mendengar ucapan itu. Dengan kepandaian yang dimilikinya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengirimkan suara kepada orang yang dikehendakinya.
"Tidak ada apa-apa, Mala," sahut Melati cepat. Nirmala pun terdiam. Apalagi setelah dilihatnya gadis berpakaian serba putih itu sudah kembali melangkah. Tak diketahuinya kalau pikiran Melati berputar keras.
Gadis itu memang telah menceritakan pada Dewa Arak bahwa semenjak dia diangkat anak oleh Prabu Nalanda, Raja Kerajaan Bojong Gading itu memberikan pusaka istana padanya. Pusaka itu berbentuk bulat kecil, sebesar kelereng dan berwarna bening. Apabila benda itu dimasukkan dalam minuman yang diduga mengandung racun, benda pusaka itu akan berubah warna. Setelah racun itu terserap habis oleh pusaka itu, maka benda pusaka itu akan kembali ke warna asalnya.
Tak lama kemudian mereka pun sudah tiba di ruang tengah yang mewah dan megah. Mereka duduk di bangku yang mengelilingi sebuah meja marmer panjang. Sementara Jalatara sibuk menyiapkan minuman. Sudiraja adalah seorang kaya raya, tidak aneh kalau dia memiliki persediaan arak yang berlimpah. Semua Itu disimpannya dalam sebuah ruang khusus di sebelah ruangan tengah ini.
Pemuda berkumis tapis itu mengambil satu di antara sekian banyak guci arak yang berjejer. Tanpa sepengetauan siapa pun, diambilnya sebuah bungkusan dari balik lipatan ikat pinggangnya. Dibukanya bungkusan yang ternyata berisi bubuk putih, kemudian dimasukkannya ke dalam guci arak itu. Setelah itu, Jalatara kembali ke ruang tengah. Dituangkannya arak itu ke dalam gelas-gelas indah yang berjejer di atas meja.
Setelah selesai mengisi gelas-gelas yang berada di meja, Jalatara pun duduk di bangku yang masih kosong. Sementara itu, diam-diam Melati memasukkan benda bulat berang sebesar kelereng pemberian Prabu Nalanda, ke dalam gelasnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya gadis ini ketika melihat benda bulat bening itu berubah warna.
Melati mengerutkan alisnya. Gadis itu tahu kalau pusaka pemberian Prabu Nalanda itu tengah menghiisap racun yang terkandung dalam minuman itu. Dan memang tak lama kemudian, warna benda itu kembali seperti semula. Bening.
Sudiraja mengangkat gelas minumannya. "Mari kita rayakan peristiwa besar ini...!" ucap laki-laki bertubuh gemuk itu. Kemudian didekatkan gelasnya itu ke mulutnya dan diminumnya. Jalatara pun mengikuti, diteguknya araknya. Tapi ekor mata pemuda itu melirik ke orang-orang di sekelilingnya.
Pemuda itu mengerutkan alisnya saat melihat Dewa Arak sama sekali belum menyentuh minumannya. Rupanya Arya tahu kalau arak di gelasnya mengandung racun. Ketika Sudiraja mengangkat gelas tadi, pemuda ini sempat melihat benda pusaka Melati berubah warna.
"Maaf, Tuan Sudiraja. Aku sudah terbiasa minum melalui guci. Bagaimana kalau aku minum arak dalam guciku saja?" pinta Dewa Arak.
Jantung Jalatara berdebar tegang. Otaknya berputar keras. Sebelum ayahnya sempat menjawab pertanyaan Arya, buru-buru dia mendahului. Cepat diambil guci arak yang sebagian isinya sudah dibagi-bagikan. Dewa Arak diam-diam memaki kecerdikan pemuda berkumis tipis itu. Tapi, bukan Arya Buana namanya kalau menghadapi orang seperti itu saja kehilangan akal.
"Sayang sekali, Kang Jalatara. Aku sudah terbiasa minum arak dari guciku sendiri. Boleh aku tuang arak dalam guci ini ke dalam guciku?"
"Silakan...! Silakan, Arya. Jangankan hanya seguci. Seratus guci pun akan kuberikan kalau kau mau!" Sudiraja yang menyahuti.
"Terima kasih, Tuan Sudiraja."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera menuangkan arak dalam guci itu ke dalam gucinya. Memang, guci arak pemuda itu memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah mampu membuat semua jenis racun jadi tawar. Maka, meskipun diketahuinya kalau minuman yang disediakan Jalatara mengandung racun, Dewa Arak tetap berani meminumnya.
Gluk... gluk... gluk...! Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki tenggorokannya.
Lega hati Jalatara, ketika dilihatnya semua yang ada di situ telah meminum arak yang disediakannya Dia sendiri telah lebih dulu menelan obat penawar racun itu, sehingga berani meminumnya. Rupanya racun yang dicampurkan dalam minuman itu tergolong racun yang bereaksi cepat. Sudiraja adalah orang pertama yang menerima akibatnya.
"Ah..., kok kepalaku pusing...," desah laki-laki berperut gendut ini sambil memegangi kepalanya Suaranya mengambang, seperti orang pilek.
Nirmala dan Kanulaga tidak terkejut melihat kejadian yang dialami ayahnya. Dugaan mereka, hal itu terjadi karena usia ayah mereka yang sudah tua. Baru ketika tubuh Sudiraja limbung dan sudah pasti jatuh, keadaan menjadi gempar. Untunglah Kanulaga yang duduk di sebelahnya, sigap menangkap tubuh ayahnya. Serentak mereka bangkit dari duduk dan mendekati Sudiraja.
Tapi sebelum berhasil mendekat, berturut-turut mereka memegang kepalanya yang tiba-tiba mendadak pusing. Melati dan Dewa Arak tentu saja merupakan kekecualian. Melati bingung, tak tahu harus berbuat apa. Diliriknya wajah Dewa Arak. Dan di saat Itulah, pendengarannya menangkap suara bisikan halus.
"Berpura-puralah, Melati. Kita tunggu perkembangannya...."
Melati tidak membantah. Begitu dilihat Arya memegangi kepalanya, gadis itu pun berpura-pura memegangi kepalanya, bersikap seolah-olah terserang pusing.
"Arak itu beracun...," desah Arya sebelum roboh terguling.
"Ha ha ha...!" Suara tawa berkepanjangan menyambut ucapan Dewa Arak. Sebuah tawa kemenangan. Tawa yang berasal dari mulut Jalatara.
Begitu melihat yang lain pingsan, Dewa Arak dan Melati pun turut berpura-pura pingsan. Tidak sulit bagi dua orang sakti ini untuk berbuat seperti itu. Jangankan hanya berpura-pura pingsan, berpura-pura mati pun mereka sanggup. Baru ketika pendengaran mereka menangkap suara keluhan lirih dari Kanulaga dan Pandira yang mulai sadar, Dewa Arak dan Melati pun membuka matanya. Begitu mereka membuka mata, tahu-tahu di hadapan mereka telah berdiri Jalatara, seorang kakek berkulit merah dan belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah. Pada bagian dada pakaian hitam yang dikenakan Jalatara terdapat gambar kalajengking merah.
Nirmala dan Sudiraja merupakan orang terakhir tersadar dari pingsannya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya laki-laki berperut gendut itu tatkala melihat putranya berdiri bersama-sama dengan perkumpulan yang selama ini selalu memerasnya.
"Kau...?! Jalatara...?! Apa maksudmu?! Mengapa kau melakukan semua ini?! Dan mengapa kau berhubungan dengan orang-orang jahat seperti mereka!" seru Sudiraja sambil menunjuk belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
Jalatara hanya tersenyum sinis. "Berhubungan? Aku adalah pemimpin mereka. Akulah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah!"
"Kau?!" sentak Sudiraja dan Pandira berbarengan. Berbeda dengan Sudiraja yang masih bingung, Pandira nampaknya sudah mengerti. Dan hal ini membuatnya geram bukan main.
Sayangnya racun yang dicampur dalam minuman itu telah membuat sekujur tubuhnya lemas. Walaupun sudah dipusatkan seluruh pikirannya, namun tetap saja tidak ada getaran tenaga dalam yang bergolak. Baik di bawah pusarnya, maupun ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya telah musnah!
"Rupanya kaulah pemimpin mereka, Jalatara! Pantas, gerombolan itu sukar dibasmi!" ujar pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Dasar kalian saja semua yang dungu!" sahut pemuda berkumis tipis itu kasar.
"Hanya satu yang kuherankan, Jalatara! Mengapa kau tidak membunuh Gusti Adipati sejak dulu. Bukankah kau mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh beliau?" tanya Pandira tidak mengerti.
"Ha ha ha...! Pertanyaanmu itu semakin membuktikan kebodohanmu, Pandira! Buat apa aku membunuhnya kalau aku tidak dapat menggantikan kedudukannya? Saat itu kedudukanku masih terlalu rendah. Dan bila aku membunuhnya, pastilah kau atau yang lainnya yang akan menjadi penggantinya. Aku tidak sebodoh itu, Pandira!" sergah Jalatara sambil tersenyum mengejek.
"Lalu kenapa tidak kau rebut saja Kadipaten Palangka dengan kekerasan?!" pancing pengawal rahasia adipati ini.
"Kau kira aku ini bodoh, Pandira?! Kalau aku merebut dengan kekerasan, pasukan kerajaan tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan menghancurkanku. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi!" jawab Jalatara agak sengit.
"Lalu sekarang, bagaimana?" Pandira kembali bertanya.
"Sekarang saatnya sudah tiba. Kau tahu, Pandira, Cita-citaku tidak kecil! Aku tidak hanya ingin menjadi adipati, tapi aku ingin menjadi raja! Kau dengar, Pandira? Raja! Dan untuk mewujudkan cita-citaku, aku membutuhkan biaya besar untuk membentuk pasukan yang besar dan terlatih!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya, "Jadi, itukah sebabnya kau ingin menyingkirkan Nirmala dan Kanulaga, Jalatara?" selak Arya cepat.
"Ha ha ha...! Kau pintar, Dewa Arak. Kau tidak sebodoh si kumis lebat ini. Dan Ki Taji, kudengar ayahku mengirim utusan untuk memanggil Nirmala dan aku pulang, karena Kakang Kanulaga telah terlebih dahulu pulang. Ayah ingin membagi-bagi warisan. Aku tidak ingin warisan ayah dibagi-bagi. Aku ingin semuanya. Jalan satu-satunya untuk memperolehnya hanyalah dengan melenyapkan Kanulaga dan Nirmala! Tapi, sayang anak buahku gagal. Terpaksalah aku yang harus turun tangan. Yahhh..., seperti apa yang kalian rasakan sekarang ini!" jelas Jalatara panjang lebar.
Terdengar suara geram kemarahan dari mulut Kanulaga. Laki-laki berwajah keras ini memang geram bukan main mendengar semua keterangan adiknya. Ingin rasanya dia melompat menyerang, tapi apa dayanya. Sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Bahkan tenaga dalamnya pun lenyap. Tidak ada yang dapat dilakukannya kecuali menggeramdan mengutuk.
"Jahanam kau, Jalatara...!" desis Kanulaga tajam. Sinar matanya menyorotkan kemarahan hebat. Tapi ucapan kemarahan kakaknya hanya ditanggapi Jalatara dengan tawa terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan.
"Kau yakin rencanamu akan berhasil, Jalatara?" Pandira angkat suara.
"Tentu saja!" sentak pemuda berkumis tipis itu keras. "Aku telah merencanakannya dengan matang. Guruku telah mendapatkan racun yang dapat kumasukkan ke makanan atau minuman adipati. Racun yang bekerja tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah kematian adipati adalah kematian yang wajar. Lagi pula guruku akan membantu menyingkirkan orang-orang kepercayaan adipati sepertimu, Pandira. Dan dengan kedudukanku sekarang, tidak sulit bagiku menjadi adipati. Dengan harta milik ayahku, akan kubentuk pasukan yang besar dan terlatih untuk menyerbu kotaraja. Dan kemudian aku akan menjadi raja! Ha ha ha...!"
"Sayang sekari, usahamu tidak akan berhasil, Jalatara!" sergah Dewa Arak seraya bangkit dari berbaringnya. Melati pun segera pula bangkit.
"Heh?l Kau...? Kau tidak terkena racunku?" tanya Jalatara gagap.
"Untunglah aku sedikit menaruh curiga padamu, Jalatara," sahut Arya kalem. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala, kemudian dituangkan ke mulutnya. Gluk.. gluk... gluk...! Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki kerongkongan Dewa Arak.
"Keparat..! Hiyaaa...!" Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring Jalatara melompat menyerbu. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh, menyampok deras ke arah Dewa Arak. Yang kanan ke arah pelipis, sementara yang kiri mengancam dagu. Dari bawah ke atas.
Suara berciutan nyaring terdengar sebelum serangan itu mencapai sasaran. Tapi Dewa Arak bersikap tenang. Dengan penuh percaya diri, dipapaknya kedua serangan itu. Kedua tangannya yang membentuk jari-jari belalang bergerak aneh, sebelum akhirnya menangkis serangan lawannya. Dewa Arak yang mengetahui keadaan yang tidak menguntungkan, tanpa sungkan-sungkan segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Plak, plak...!
"Ah...!" Jalatara berseru kaget. Pemuda berkumis tipis ini langsung terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu bukan main. Dadanya pun terasa sesak bukan kepalang.
Sedangkan Dewa Arak hanya mundur satu langkah ke belakang. Tampak jelas kalau tenaga dalam Arya berada jauh di atas lawannya.
"Kau urus yang lain, Jalatara! Biar Dewa Arak bagianku!" seru kakek berkulit merah seraya melompat ke depan Arya. Kalajengking Merah tahu kalau Jalatara bukan tandingan Dewa Arak. "Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak. Dan sudah lama pula aku ingin menjajal kelihaianmu. Aku, Kalajengking Merah ingin mengetahui sampai di mana kehebatanmu yang tersohor itu!" Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, seraya mengirimkan sebuah kibasan kaki.
Wusss...! Angin menderu keras mengawali tibanya serangan itu. Tapi, dengan permainan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa Arak untuk memunahkan serangan itu. Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi khasnya, dielakkan serangan itu. Secepat kakinya melangkah, secepat itu pula, Dewa Arak berbalik mengancam lawan. Arya kini telah berada di belakang lawannya.
"Hih...!" Dewa Arak mengayunkan guci yang tergenggam di tangannya ke kepala lawannya. Tapi, Kalajengking Merah memang seorang tokoh luar biasa. Cepat-cepat tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan itu lewat di atas punggungnya. Berbareng dengan itu, kaki kanannya menendang ke belakang. Persis seperti tendangan kaki belakang seekor kuda.
"Eh...?!" pekik Dewa Arak terkejut. Serangan seperti itu sungguh di luar dugaannya. Tapi berkat keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', serangan yang datang begitu tiba-tiba itu masih dapat dielakkannya. Tak lama kemudian kedua tokoh inipun sudah terlibat dalam sebuah pertempuran sengit. Jalatara memperhatikan sejenak pertarungan antara gurunya menghadapi Dewa Arak.
"Bunuh mereka semua...!" perintah pemuda berkumis tipis ini kepada anak buahnya, seraya menunjuk beberapa tubuh yang tergolek lemah tanpa daya.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah itu bergerak menyerbu. Tongkat merah berujung ekor kalajengking mereka berkelebatan mengancam. Tapi sebelum balasan orang itu berhasil melaksanakan perintah sang ketua, Melati telah menghadang.
Srattt..! Tanpa sungkan-sungkan lagi gadis berpakaian putih ini mencabut pedangnya. Disadari akan keadaan pihak lawan yang lebih menguntungkan, seketika itu juga segera dikeluarkan ilmu pedang andalannya, 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Terdengar suara mengaung bagaikan seekor naga yang tengah meraung murka, begitu Melati menggerakkan pedangnya.
"Selubung ini sudah tidak kuperlukan lagi!" ucap orang yang pada dahi selubungnya bergambar ekor kalajengking, seraya mencabut selubungnya.
"Ah...! Kau... kau... Ki Taji!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut keluarga Sudiraja begitu melihat wajah di balik selubung itu. Wajah Ki Taji! Kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi, orang yang hendak membunuh Kanulaga, dan orang yang selama ini menerima upeti dari Sudiraja adalah Ki Taji.
"Ya, aku! Kaget?" ejek Ki Taji sambil tersenyum sinis. Tunggulah. Setelah kubereskan wanita liar ini. Baru kalian akan kubereskan!" Setelah berkata demikian, Wakil Ketua Perguruan Kalajengking Merah itu segera membabatkan tongkat berujung ekor kalajengking ke leher Melati.
Wuttt..! Tongkat itu lewat di atas kepala Melati, begitu gadis itu merendahkan tubuhnya. Tidak sampai di situ saja yang dilakukan Melati. Pada saat yang bersamaan, pedangnya menusuk cepat ke leher Ki Taji. Suara menggerung dahsyat bagaikan seekor naga murka, mengiringi tibanya serangan itu.
Hebat bukan main 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki gadis itu. Ki Taji terpekik kaget. Serangan itu datang begitu cepat. Tak mungkin lagi Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu mengelak. Tapi sebelum ujung pedang Melati menembus tenggorokannya, Jalatara melesat cepat, memapak pedang itu dengan tongkat berujung ekor kalajengking yang sejak tadi digenggamnya
Tranggg...! Bunga-bunga api memercik ke udara, begitu kedua senjata itu beradu. Jalatara merasakan betapa sekujur tangannya tergetar hebat. Pemuda berkumis tipis ini kaget bukan main. Sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian putih ini kuat sekali! Semula Jalatara menduga kalau hanya Dewa Arak sajalah yang merupakan lawan tangguh. Sungguh tidak diduganya kalau Melati pun merupakan lawan yang amat berat baginya.
Jalatara tidak punya pilihan lain. Pemuda ini tidak ingin usahanya yang telah lama dirintisnya gagal total. Maka tanpa malu-malu lagi, anak buahnya diperintah kan mengepung Melati. "Serbu...!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan anak buahnya meluruk menyerang Melati, Sesaat kemudian hujan senjata pun berkelebatan ke arah gadis berpakaian serba putih itu. Jalatara pun tidak tinggal diam. Bersama Ki Taji, pemuda berkumis tipis ini ikut menyerbu.
Melati menggertakkan gigi. Dua belas orang anak buah Perkumpulan Kalajengking Merah bukanlah lawan yang berat baginya. Tapi Jalatara dan Ki Taji, merupakan lawan yang patut diperhitungkan. Mau tak mau Melati terpaksa harus mengerahkan seluruh kemampuannya, bila ingin selamat. Sesaat kemudian diruangan itu telah terjadi pertempuran sengit.
Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak melawan Kalajengking Merah sudah bergeser jauh dari tempat semula. Ruang tengah yang sebenarnya cukup luas, terasa sangat sempit bagi kedua orang sakti itu. Lantai dan dinding ruangan telah banyak yang retak-retak, karena setiap kali kedua tokoh itu melancarkan pukulan, dinding ruangan itu selalu bergetar.
"Ha ha ha...!" Terdengar tawa bergelak menggema ke seluruh penjuru hutan. Suara tawa yang mengandung getaran tenaga dalam kuat.
Gadis berpakaian merah itu memandang berkeliling dengan sikap waspada. Kedua tangannya bergerak cepat Dan di lain saat, di kedua tangannya masing-masing tergenggam sebatang sumpit yang ujungnya runcirig. Tiba-tiba terdengar suara berkerosakan dari delapan penjuru. Belum lagi suara itu lenyap, tahu-tahu dari balik semak-semak dan pepohonan yang lebat, keluar belasan sosok yang kemudian mengurung si gadis.
Gadis berpakaian merah itu menatap tajam para pengurungnya. Mereka semua mengenakan pakaian yang sama Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar kalajengking merah. Selubung-selubung hitam menutupi wajah mereka Orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Siapa kalian? Dan mengapa menyerangku?!" tanya gadis berpakaian merah itu keras. Sepasang matanya menatap liar ke arah orang-orang yang mengurungnya.
"Ha ha ha...! Tidak usah bingung-bingung, Nirmala," ucap salah seorang dari pengurung itu menyapa. Orang itu rupanya pemimpin dari belasan orang itu. Terbukti dengan adanya tanda totol merah pada dahi selubungnya. Sementara pada yang lainnya tidak terdapat tanda apa pun.
Gadis berpakaian merah itu melengak kaget "Dari mana kau tahu namaku?" tanya gadis itu. Memang Gadis berpakaian serba merah itu adalah Nirmala. Putri Sudiraja. Dan saat ini gadis itu dalam perjalanan pulang memenuhi panggilan ayahnya. Sore hari sepulang berburu, gurunya datang memberi surat dari ayahnya. Ki Tanu juga menceritakan perjalanan surat itu hingga sampai ke tangannya.
"Jadi, benar namamu Nirmala?! Kalau begitu kau harus mampus!" Setelah berkata demikian, orang yang menyapa Nirmala tadi langsung menyabetkan senjatanya yang berupa tongkat berujung ekor kalajengking ke leher gadis itu.
Tapi Nirmala bukanlah gadis yang lemah. Dia adalah murid terkasih dari Ketua Perguruan Hati Suci, Ki Tanu. Apalagi, gadis ini ternyata sangat berbakat! maka tidak mengherankan kalau dalam usia semuda! itu hampir seluruh ilmu-ilmu gurunya telah dikuasainya. Mudah saja Nirmala mengelakkan serangan. Kepala gadis itu ditarik ke belakang, tanpa merubah posisi kakinya.
Wuuusss....!
Angin berbau amis memuakkan tercium hidung indah milik gadis itu ketika senjata lawannya lewat sejengkal di depan wajahnya. Gadis ini segera sadar kalau senjata lawannya ini mengandung racun. Murid Ki Tanu tidak bersikap sungkan-sungkan lagi. Dari cerita gurunya, gadis berpakaian merah ini tahu kalau para penghadangnya ini adalah gerombolan yang telah membunuh utusan ayahnya. Sekarang Nirmala bertekad untuk membalaskan dendam utusan ayahnya itu. Begitu senjata lawannya menyambar lewat di depan lehernya. Nirmala mengayunkan kakinya menendang ke perut orang itu.
"Eh...?!" Terdengar seruan kaget dari mulut penyerang Nirmala. Rupanya dia tidak menyangka kalau gadis berpakaian merah Itu mampu berbuat demikian cepat. Maka buru-buru pimpinan penghadang itu melompat ke belakang, sehingga tendangan gadis itu mengenai tempat kosong.
Tapi serangan Nirmala tidak berhenti sampai di situ saja Begitu dilihatnya, lawan melompat ke belalang, segera gadis ini bergegas memburu dengan tusukan-tusukan sumpit yang terbuat dari tanduk kerbau. Suara berciutan terdengar ketika kedua batang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi ke bagian pelipis dan ubun-ubun.
Dua buah jalan darah yang mematikan. Namun lawan yang dihadapi Nirmala bukanlah orang berkepandaian rendah. Menghadapi totokan-Intokan sumpit bertubi-tubi, laki-laki berselubung totol merah menggeser kakinya ke samping. Sehingga serangan itu lewat di samping kepalanya. Tak lupa dikirimkan sebuah tusukan tongkat berujung ekor kalajengking itu ke perut Nirmala.
Nirmala terperanjat! Posisi tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkannya mengelakkan serangan Itu. Tapi, gadis berpakaian merah ini masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Digeliatkan tubuhnya sehingga tusukan tongkat lawan mengenai tempat kosong. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertempuran sengit.
DI jurus-jurus awal, pertarungan kedua orang itu masih berlangsung imbang. Tapi memasuki jurus ke dua puluh, Nirmala mulai mendesak lawannya. Memang gadis berpakaian merah ini lebih unggul segala-galanya, baik ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam. Sudah dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi Nirmala akan merobohkan lawannya. Pada jurus ketiga puluh satu, dengan diiringi suara teriakan nyaring, orang berselubung itu membabatkan senjatanya ke perut Nirmala.
"Hih...!" Nirmala melompat sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya. Dan dari atas, dengan gerakan tidak terduga-duga, kedua sumpitnya menotok bertubi-tubi ke leher lawan. Orang berselubung merah itu terkejut bukan main. Sedapat mungkin totokan itu berusaha dielakkannya. Tapi sayang, tak urung salah satu totokan sumpit itu mengenai pangkal lengannya.
"Akh...!" Orang berselubung merah itu memekik kesakitan. Darah merembes keluar dari pangkal lengan yang sobek terkena ujung sumpit. Seketika itu juga, senjatanya terlepas dari genggaman. Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kaki Nirmala telah terayun deras ke perutnya.
Bukkk...!
"Akh...!" Pimpinan belasan penghadang itu kembali memekik kesakitan. Tendangan gadis berpakaian merah itu telak dan keras sekali menghantam perutnya. Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang. Rasa mual dan mules pun mendera perutnya,
"Hup...!" Ringan tanpa suara, kedua kaki gadis berpakaian serba merah itu menjejak tanah.
"Serbu...!" teriak orang berselubung hitam yang telah dipecundangi Nirmala. Orang ini rupanya sudah tidak sanggup menghadapi Nirmala. Kini dia memberi perintah pada anak buahnya yang sejak tadi hanya menonton pertarungan untuk mengeroyok gadis itu. Serentak belasan orang berselubung hitam itu menyerbu Nirmala Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat mengarah ke tubuh gadis berpakaian merah itu dari segala arah.
Kembali Nirmala mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya menyelinap gesit di antara serbuan senjata lawan yang datang bagaikan hujan. Gadis berpakaian merah ini terpaksa harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Disadarinya betul akan bahaya senjata lawan yang beracun. Terserempet sedikit saja mungkin akan berakibat maut!
Nirmala mengeluh dalam hati. Pelahan-lahan murid terkasih KI Tanu ini mulai terdesak. Jumlah lawan memang terlalu banyak. Apalagi di antara mereka ada si selubung hitam bertotol merah. Meskipun si selubung hitam bertotol merah itu telah berkurang kelihaiannya karena luka-luka yang dideritanya, tapi tetap saja di merupakan lawan yang berbahaya.
Tambahan lagi, senjata lawan-lawannya yang beracun. Membuat gadis berpakaian serba merah ini harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Hal inilah yang membuat Nirmala jadi cepat lelah.
"Hiyaaa...!" Nirmala berteriak keras. Totokan kedua sumpit di tangannya bergerak cepat.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit melengking, disusul robohnya dua sosok ke tanah ketika sepasang sumpit Nirmala mengenai sasaran. Yang satu mengenai ubun-ubun. Dai yang satu lagi mengenai bawah hidung. Salah satu di antara jalan darah mematikan. Tapi sebelum Nirmala memperbaiki posisinya, si selubung hitam totol merah telah mengirim sebuah tendangan ke perutnya.
Bukkk...!
"Hugh...!" Gadis berpakaian merah ini kontan terjengkang akibat kerasnya tendangan itu. Di saat itu empat orang berselubung hitam yang lain meluruk menyerbunya. Dan empat buah tongkat berujung ekor kalajengking pun berkelebatan mengancam ke berbagai bagian tubuhnya. Nirmala terpekik. Posisinya sama sekali tidak memungkinkan untuk mengelak serangan itu. Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya. Gadis itu hanya dapat memejamkan mata, menanti datangnya maut!
Di saat gawat bagi keselamatan gadis berpakaian merah itu, mendadak berhembus angin keras berhawa panas menyengat. Angin pukulan itu langsung memapak datangnya tubuh orang-orang berselubung hitam yang meluruk ke arah Nirmala.
Wusss...!
Jerit kengerian terdengar berbarengan. Disusul herpentalannya empat sosok yang tadi tengah menyerbu Nirmala. Tubuh empat anggota Perkumpulan Kalajengking Merah itu melayang-layang. Dan kemudian Jatuh berdebuk di tanah, sepuluh tombak dari tempatnya semula. Sekujur tubuh mereka hangus. Seketika di tempat itu menyebar bau sangit seperti daging yang terbakar. Empat orang itu tewas seketika!
Orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah yang tersisa terperanjat Terlebih-lebih si selubung hitam totol merah. Dari kejadian yang menimpa anak buahnya, diketahuinya kalau si penolong yang baru datang ini memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kini di belakang Nirmala telah berdiri dua sosok. Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik jelita berpakaian serba putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati?
Laki Iaki berselubung totol merah menyadari keadaan yang tidak menguntungkan pihaknya. Cepat dilemparkan sesuatu ke arah tiga orang lawannya. Mata Dewa Arak dan Melati yang tajam segera melihat bentuk benda yang dilemparkan si selubung bertotol murah. Sebuah benda bulat sebesar telur angsa. Dewa Arak dan Melati yang telah mengenal ke dahsyatan racun yang terkandung dalam benda bulat itu, melompat menjauh. Tak lupa, Melati, menyambar Nirmala yang masih terduduk di tanah.
Blarrr...! Suara ledakan keras terdengar begitu benda bulat sebesar telur angsa itu mengenai tanah. Seketika ini juga asap hitam berbau busuk menyebar, memenuhi tempat di mana Dewa Arak, Melati dan Nirmala tadi berdiri.
"Hhh..., berbahaya sekali," desah Dewa Arak lirih. Sementara Nirmala hanya mampu berdecak ngeri bercampur takjub melihatnya. Dan seperti kejadian sebelumnya, begitu asap tebal dan hitam itu sirna, sirna pulalah orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah itu.
"Siapa kau, Nisanak? Mengapa terlibat perkelahian dengan orang-orang itu?" tanya Dewa Arak. Sepasang matanya menatap tajam wajah cantik di hadapannya. Dalam hatinya, Dewa Arak mengakui kecantikan gadis berpakaian serba merah ini.
Nirmala menatap Dewa Arak dan Melati bergantian. Inikah orang yang menyampaikan surat ayahnya itu? tanyanya dalam hati. Apa yang dikatakan gurunya memang tidak salah. Wajah pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini begitu tampan. Tampan dan gagah. Rambutnya yang berwarna keperakan, membuat pemuda itu terlihat matang.
Melati mengerutkan alisnya melihat gadis berpakaian merah Itu bukannya menjawab pertanyaan kekasihnya, tapi malah menatap wajah mereka bergantian. Rasa cemburu pun menyeruak di hati gadis berpakaian serba putih ini. "Kawanku bertanya padamu, Nisanak!" ucap Melati agak ketus.
Ucapan Melati yang bernada teguran itu membuat Nirmala sadar. Wajah gadis ini pun memerah seketika seperti warna pakaiannya. "Ahhh..., maafkan aku, Nisanak. Kalau aku tidak salah duga, bukankah Kisanak dan Nisanak ini adalah..., Dewa Arak dan Melati?"
Dewa Arak dan Melati terjingkat bagai disengat ular berbisa. Dari mana gadis berpakaian merah ini tahu nama mereka?
"Tidak usah heran..., guruku teiah bercerita banyak tentang kalian," sambung Nirmala lagi begitu melihat kedua orang di hadapannya saling pandang seperti orang kebingungan. Sepasang mata gadis berpakaian serba merah itu menatap Dewa Arak lekat-lekat.
"Siapa gurumu?" selak Melati cepat. Dia tidak ingin gadis berpakaian merah itu berbicara lama-lama dengan kekasihnya.
"KI Tanu...," sahut Nirmala memberitahu.
"KI Tanu?! Jadi, kau Ini... Nirmala?" tanya Arya setengah menduga.
"Betul, Kang," jawab Nirmala sambil menganggukkan kepalanya.
"Kang?" desis hati Melati. Ada perasaan cemburu yang menyelinap di hatinya, begitu mendengar gadis berpakaian serba merah ini memanggil 'kang' pada Dewa Arak.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda ini rupanya sedang berpikir keras, sehingga tidak mempedulikan panggilan murid Ki Tanu ini. Kini dia mengerti mengapa gadis ini bentrok dengari orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Kau akan menjumpai ayahmu, Nirmala?" tanya Melati cepat sebelum Arya kembali bertanya.
"Ya," jawab Nirmala singkat. Ditolehkan kepalanya ke arah Melati.
"Kalau begitu, mari kita berangkat." ucap Melati lagi buru-buru seraya menggamit lengan gadis berpakaian serba merah itu. Lalu dibawanya melangkah meninggalkan tempat itu.
Melihat kedua gadis cantik itu telah meninggalkannya. Dewa Arak tak punya pilihan lagi. Segera dilangkahkan kakinya mengikuti. Sejenak ditolehkan kepalanya, ke tempat bekas pertarungan antara Nirmala dengan gerombolan Kalajengking Merah tadi. Tapi suasana di situ telah sepi. Hanya ada enam mayat yang bergeletakan di tanah.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas lega. Untunglah dia dan Melati lewat hutan ini, sehingga dapat mengetahui adanya pertarungan dan datang pada saat yang tepat Memang, semula mereka hendak langsung melanjutkan perjalanan.
Tapi, begitu melewati hutan Ini, tiba-tiba Melati ingin makan daging kelinci panggang. Terpaksalah mereka menginap di hutan ini. Dan keinginan Melati akan kelinci panggang itulah yang menjadi penyebab selamatnya Nirmala dari maut.
* * * * * * * *
Malam itu bulan penuh nampak di langit. Bintang-bintang pun bertebaran menghias angkasa, menambah cerahnya suasana malam. Kanulaga bergolek-golek resah di pembaringan. Ingatannya selalu terbayang pada saat memergoki ayahnya yang tengah membungkus sebagian hartanya dalam sebuah buntalan.
Kanulaga tahu untuk apa semua itu. Dia telah mendengar cerita itu dari si tompel. Setiap malam bulan purnama, ayahnya diharuskan mengirim upeti dan menaruhnya di suatu tempat yang selalu berlainan pada setiap pengirimannya Dari si tompel, laki-laki berwajah keras ini juga tahu siapa pemeras ayahnya Sebuah kelompok yang menamakan diri Perkumpulan Kalajengking Merah.
Kanulaga tidak rela ayahnya yang telah bersusah payah mengumpulkan harta itu, memberikannya begitu saja. Kanulaga bertekad untuk membasmi pemeras ayahnya. Seluruh urat syaraf laki-laki berwajah keras ini mendadak menegang. Pendengarannya yang tajam menangkap suara gemerisik pelan di luar jendela kamarnya. Yakin kalau orang yang berada dekat jendela itu tidak bermaksud baik, Kanulaga bermaksud menangkap basah.
Maka laki-laki berwajah keras ini berpura-pura memejamkan mata. Tapi dari balik bulu matanya, Kanulaga tetap mengintai ke arah jendela. Tercekat hati pemuda ini ketika melihat asap putih tipis masuk ke kamarnya, melalui kisi-kisi jendela. Pikiran laki-laki berwajah keras ini berputar cepat. Sungguhpun belum pasti, tapi sudah dapat diduganya kalau asap itu adalah asap pembius. Asap yang dapat membuatnya tertidur pulas.
Kanulaga tidak berani bertindak gegabah. Segera diambilnya pil pemunah racun pemberian gurunya. Tanpa ragu-ragu lagi pil itu segera ditelannya. Kemudian tanpa mempedulikan asap yang semakin banyak memasuki kamarnya, Kanulaga segera membaringkan kembali tubuhnya. Berpura-pura tidur pulas.
Tak lama kemudian, terdengar suara berderak agak keras ketika jendela kamarnya dibuka secara paksa. Dan seiring dengan terbukanya jendela itu, sesosok tubuh melompat masuk ke kamarnya. Ringan bukan main gerakannya. Tanpa suara kedua kaki orang itu mendarat di lantai.
Kemudian setelah menutupkan jendela itu kembali, sosok yang ternyata berpakaian serba hitam dengan gambar seekor kalajengking merah di dadanya, berjalan menghampiri pembaringan di mana Kanulaga terbaring pulas. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung yang di dahinya bergambar ekor kalajengking merah.
"Kau hanya akan menjadi duri penghalangku, anak keparat..!" desis sosok hitam itu. "Sekarang pergilah kau ke neraka!"
Setelah berkata demikian, bayangan hitam itu menggerakkan tangan memukul kepala Kanulaga. Angin berkesiutan keras, menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam pukulan itu. Tapi sebelum pukulan itu mengenai sasaran, Kanulaga yang memang berpura-pura terbius itu menggulingkan tubuhnya.
Brakkkk...! Pembaringan itu hancur berentakan ketika pukulan yang berhasil dielakkan oleh Kanulaga menghantamnya. Di saat itulah Kanulaga yang memang sudah berwaspada sejak tadi, mengayunkan kaki kanannya ke arah perut orang yang hendak membunuhnya.
"Eh...?!" Si pembokong itu memekik kaget. Cepat-cepat sosok itu melompat ke belakang sehingga tendangan Kanulaga mengenai tempat kosong. Tapi, tindakan laki-laki berwajah keras itu tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya dapat dielakkan lawan, segera tubuhnya melompat seraya mengirimkan tendangan ke pelipis.
Wuttt...! Angin menderu keras mengiringi tibanya serangan Kanulaga. Tapi kembali si pembokong itu memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya membungkuk, sehingga sapuan itu lewat di atas kepalanya. Berbareng, digerakkan tangannya memukul perut putra sulung Sudiraja itu.
Kanulaga yang tengah berada di udara, tentu saja tidak bisa mengelakkan serangan itu. Kalau dia masih Ingin selamat, pukulan itu harus ditangkisnya. Dan itu yang dilakukan laki-laki berwajah keras ini.
Plak! Suara keras terdengar begitu dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Akibatnya, tubuh Kanulaga terpental balik dan jatuh di pembaringan. Sementara tubuh si pembokong itu. Juga terjengkang ke belakang.
"Hup...!" Hampir bersamaan keduanya dapat kembali memperbaiki posisinya. Tapi sebelum Kanulaga sempat berbuat sesuatu, si pembokong itu sudah bergerak cepat melompat ke arah jendela.
Brakkk..! Jendela kamar Kanulaga langsung hancur berkeping-keping begitu tubuh si pembokong itu menabraknya. Dan setelah tubuhnya berada di luar, cepat-cepat sosok hitam itu melesat kabur.
"Jangan lari, pengecut..!" bentak Kanulaga keras. Laki-laki berwajah keras ini memang penasaran bukan main. Dari benturan yang terjadi tadi, diketahuinya kalau orang yang hendak membunuhnya itu memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
"Hih...” Kanulaga segera menerobos jendela kamarnya yang telah tak berdaun lagi. "Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat diluar kamarnya. Tapi, si pembokong itu sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Kanulaga memandang berkeliling. Namun tetap tidak dijumpainya bayangan si pembokong itu. "Hhh...!" desah Kanulaga kesal melihat lawannya berhasil lolos.
Sungguhpun begitu, laki-laki berwajah keras ini tetap melanjutkan langkahnya. Dia ingin mengetahui ke mana ayahnya akan mengirimkan upeti malam ini. Dan untuk itu dia harus mengikuti ayahnya secara diam-diam. Segera pemuda itu melangkah mengendap-endap menuju kamar ayahnya yang terletak agak jauh dari kamarnya.
Kanulaga melangkahkan kakinya pelahan. Sepasang matanya menatap tajam sekelilingnya. Memperhatikan siapa tahu bayangan hitam tadi berusaha membokongnya lagi. Jantung laki-laki berwajah keras ini berdetak kencang ketika melihat sosok serba hitam tengah bersembunyi di balik sebatang pohon, dekat semak-semak yang cukup lebat. Sosok tubuh berpakaian serba hitam pekik Kanulaga dalam hati. Dengan langkah hati-hati, Kanulaga mengendap-endap menghampiri. Dia tidak ingin lawannya kembali kabur seperti sebelumnya.
Betapapun Kanulaga telah membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, tak juga dapat dikenalinya sosok bayangan hitam yang rupanya tengah mengintai itu sekitar bangunan. Orang itu bersembunyi di balik pohon, sehingga membuat cahaya obor yang menyoroti wajahnya terhalang.
"Jangan harap dapat lolos dari tanganku, pengecut..!" seru laki-laki berwajah keras ini tiba-tiba, begitu telah berada di belakang sosok serba hitam itu.
Tentu saja sosok serba hitam yang tengah bersembunyi itu terkejut bukan main. Tubuhnya terlonjak seakan-akan disengat ular berbisa. Segera ditolehkan kepalanya ke belakang. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya menegang waspada.
"Kau...?!" desah Kanulaga tidak percaya ketika melihat wajah orang itu. Seorang laki-laki setengah baya, berkumis lebat. Dikenali betul orang itu, Pandira, adik bungsu ayahnya Bukan hanya Kanulaga yang terkejut Pandira pun terkejut melihat kedatangan keponakannya. Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Kanulaga telah mendahuluinya.
"Ternyata kecurigaanku tidak keliru! " dingin dan datar suara Kanulaga.
"Apa maksudmu, Kanulaga?!" tanya Pandira setengah membentak.
Kanulaga tersenyum sinis.
"Tidak usah berpura-pura lagi, Paman. Aku sudah tahu semuanya. Permainanmu telah berakhir. Lebih baik, kau menyerah. Sebelum aku terpaksa berbuat tidak pantas terhadapmu!" ancam Kanulaga.
Merah wajah pria berkumis lebat ini mendengar ucapan Kanulaga yang sama sekali tidak menaruh hormat padanya. "Bocah kurang ajar! Orang seperti kau sudah selayaknya diberi pelajaran. Agar tidak menyangka hanya kau yang memiliki kepandaian di kolong langit ini!"
Selelah berkata demikian, Pandira segera melompat menerjang keponakannya dengan sebuah totokan beruntun ke arah dada dan ulu hati. Cepat bukan main gerakannya. Tapi Kanulaga yang memang sudah bersiap sejak tadi tidak menjadi gugup. Tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya serangan-serangan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara benturan keras terdengar berkali-kali begitu dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Tubuh Kanulaga terhuyung dua langkah ke belakang. Mulut laki-laki berwajah keras ini menyeringai. Sekujur tangannya terasa ngilu. Dadanya pun dirasakan sesak. Sedangkan pamannya hanya terhuyungi satu langkah ke belakang. Sadarlah Kanulaga kalau tenaga dalamnya bukan tandingan tenaga dalam pamannya.
Tapi Kanulaga, bukan hanya memiliki raut wajah yang keras. Sifatnya pun keras. Kenyataan yang menunjukkan keunggulan tenaga dalam orang yang di perkenalkan ayahnya sebagai pamannya, tidak membuatnya menjadi jerih. Bahkan sebaliknya, perasaan penasaranlah yang timbul. Sesaat kemudian, pemuda itu sudah menyerang kembali dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!" Sambil berseru keras, Kanulaga melontarkan tendangan lurus ke arah dada.
"Hm...!" Pandira mengeluarkan dengusan kasar, menutupi keterkejutan hatinya melihat kecepatan dan kekuatan yang terkandung dalam tendangan itu. Tapi meskipun begitu, laki-laki berkumis lebat ini tidak menjadi gugup. Cepat-cepat tubuhnya didoyongkan ke samping kiri. Sehingga tendangan itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Berbareng dengan itu tangan kanannya melayang deras, melakukan tebasan ke arah betis lawan.
Wuttt..!
Kanulaga tersentak kaget. Laki-laki berwajah keras ini tidak berani bertindak ceroboh. Dia tidak ingin tulang kakinya remuk terkena tebasan tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Segera kakinya ditarik pulang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
* * * * * *
LIMA
Sementara itu, di saat Kanulaga dan Pandira terlibat dalam sebuah pertarungan sengit, sesosok bayangan hitam melesat ke kamar Sudiraja. Sosok serba hitam itu berhenti tepat di depan jendela yang tertutup rapat.
Tok, tok, tok...! Diketuknya daun jendela itu pelahan. Sudiraja yang berada di dalam kamar memang sudah siap dengan bungkusan hartanya. Begitu didengamya ada orang yang mengetuk daun jendela, laki laki gendut itu segera bergerak menghampiri. Kemudian dibukanya daun jendela itu.
Tanpa suara sedikit pun daun jendela itu terkuak! Dan tampaklah oleh sepasang mata Sudiraja, seraut wajah berselubung hitam. Di bagian dahi selubung itu terdapat gambar ekor kalajengking merah. "Mana bungkusan itu?" tanya si selubung hitam itu pelan.
"Ada," sahut Sudiraja.
"Mana? Cepat lemparkan...," desis si selubung hitam itu tajam.
Sudiraja tercenung sejenak, seperti ada sesuatu yang ditunggunya.
"Cepat..! Atau kau ingin kubunuh, gendut..!" Desis si selubung hitam itu lagi. Dalam ucapannya terkandung ancaman maut.
Sudiraja bergidik mendengar ancaman itu. Maka buru-buru diberikannya bungkusan itu. Si selubung hitam menerimanya dengan sinar mata berbinar. Dibukanya sebentar buntalan itu. Baru setelah melihat isinya, tubuhnya kemudian melesat kabur dari situ. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga yang nampak hanyalah sekelebatan bayangan hitam yang bergerak cepat dan lenyap di kegelapan malam.
"Hhh..." Sudiraja menghela napas. Dibiarkan saja jendela kamarnya terbuka. Sedangkan sepasang matanya bergerak liar ke sana kemari. Sepertinya ada yang tengah dicarinya. "Mana si Pandira...," gumam laki-laki gendut itu. "Ataukah dia terlupa...?"
Sementara itu orang yang sedang dinantikannya masih terlibat pertarungan sengit dengan Kanulaga. Keduanya memang sama-sama memiliki kepandaian tinggi. Tapi setelah bertarung tiga puluh lima jurus, Kanulaga mulai terdesak.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja Pandira memekik kaget "Anak keparat..! Kau membuatku melupakan urusan yang lebih penting...!"
Setelah berkata demikian, Pandira melancarkan serangan beruntun ke arah Kanulaga. Tidak ada jalan lain bagi laki-laki berwajah keras itu, kecuali melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
"Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di lanah, berjarak beberapa tombak dari tempat semula. Sikapnya langsung siaga. Siap menghadapi tibanya serangan usulan. Tapi Kanulaga jadi terperanjat. Lawan di hadapannya telah lenyap. Betapapun laki laki berwajah keras ini mengedarkan pandangan ke sekelilingnya tetap tidak dijumpainya laki-laki berkumis lebat itu.
“Pengecut keparat..!" desis Kanulaga. Kemudian setelah termenung sesaat, tubuh anak muda itu melesat cepat menuju kamar ayahnya. Suasana di sekitarnya kembali sunyi. Memang, begitulah keadaan di rumah itu pada setiap malam bulan purnama. Sudiraja selalu meliburkan semua pekerjanya. Termasuk penjaga keamanan rumahnya.
Pandira berlari mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu singkat, kamar Sudiraja sudah terlihat. "Ahhh...! Jangan-jangan aku terlambat...," desis laki-laki berkumis lebat ini cemas. Dan perasaan cemasnya kian menjadi-jadi begitu dilihatnya daun jendela kamar Sudiraja terkuak.
"Hup...!" Begitu tiba di depan jendela itu, segera saja dilongokkan kepalanya ke dalam. Sinar bulan purnama yang menembus ke kamar itu membuat Pandira dapat melihat jelas keadaan di dalam. "Kakang Sudira...," panggil laki-laki berkumis lebat itu. Dilihatnya seorang laki-laki berperut gendut tengah tergolek di pembaringan.
Sudiraja membuka matanya menatap nyalang ke arah jendela. Begitu dilihatnya wajah yang telah dikenalnya, segera laki-laki gendut itu bangkit.
"Bagaimana, Kang...? Dia belum datang?" berondong Pandira begitu dilihatnya laki-laki gendut itu bangkit dari berbaringnya.
"Dia sudah pergi...," sahut Sudiraja Pelan sekali suaranya. Lebih mirip sebuah desahan.
"Ah...! Jadi aku terlambat..?" tanya laki-laki berkumis lebat itu. Nada suaranya jelas mengandung penyesalan yang mendalam.
"Masuklah, Pandira...," ucap Sudiraja tanpa mempedulikan kebingungan yang melanda laki-laki berpakaian serba hitam itu. Dengan langkah lunglai, Pandira melompat ke dalam kamar. "Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di lantai kamar Sudiraja.
"Duduklah, Pandira," ujar Sudiraja mempersilakan ketika dilihatnya laki-laki berkumis lebat itu berdiri saja.
Tanpa banyak membantah, Pandira duduk di sebuah bangku.
"Jelaskan padaku, mengapa kau begitu terlambat Padahal tadi aku sudah berusaha mengulur-ulur waktu. Menunggu kedatanganmu. Tapi ternyata kau tidak muncul-muncul!" tanya Sudiraja begitu dilihatnya laki-laki berpakaian serba hitam itu telah duduk. Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.
"Hhh" Pandira menghela napas panjang seperti hendak membuang perasaan sesal yang menyelimuti hatinya “Semua ini karena ulah anak keparat itu!" desisnya tajam.
Bekernyit dahi Sudiraja mendengar ucapan laki-laki berkumis lebat. "Siapa yang kau maksudkan, Pandira?" tanya laki-laki gendut itu sambil menatap tajamwajah adiknya.
"Kanulaga...," jawab Pandira pelan.
"Apa?! Kanulaga?!" tanya Sudiraja tidak percaya. "Apa yang dilakukannya?"
Laki laki berkumis lebat itu menarik napas dalan dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Aku tengah bersembunyi, mengintai kedatangan pemerasmu. Tapi tiba-tiba Kanulaga datang. Dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Aku menjadi marah dan akhirnya kami bertarung," jelas laki-laki berkumis lebat itu.
"Lalu, kau bunuh dia, Pandira?" selak Sudiraja Secercah senyumsinis tersungging di bibirnya.
Pandira menggelengkan kepalanya. "Tidak. Sewaktu aku tengah mendesaknya, aku teringat akan tugasku. Bergegas kutinggalkan dia. Tapi sayang aku tertambat. Si keparat itu telah pergi lebih dahulu. Ahhh...! Sia-sia saja perjalananku kemari, keluh laki-laki berkumis lebat ini.
Belum juga Sudiraja menimpali ucapan adik bungsunya ini, terdengar suara bentakan keras dari luar jendela. "Kiranya kau berada di sini, keparat!"
Tanpa menoleh pun, baik Sudiraja maupun Pandira telah mengetahui orang yang telah mengeluarkan suara bentakan keras itu. Suara itu telah mereka kenal betul. Suara Kanulaga. Seiring dengan selesainya ucapan itu, dari luar jendela melesat sesosok tubuh yang kemudian mendarat ringan tanpa suara di lantai.
"Jaga mulutmu, Kanulaga!" bentak Sudiraja dengan nada keras begitu laki-laki berwajah keras itu telah berada di dalam kamarnya. Telah dilihatnya sendiri sikap putra sulungnya yang tidak pantas.
'Tapi, Ayah...," Kanulaga mencoba untuk membantah.
"Diam...!" sergah Sudiraja memotong bantahan laki-laki berwajah keras itu.
Wajah Kanulaga memerah. Laki-laki berwajah keras ini memang memiliki sifat yang aneh. Semakin orang bersikap keras padanya, dia akan semakin keras. "Bagaimana aku bisa mendiamkan orang yang hampir saja membunuhku?!"
"Itu karena kau telah bersikap kurang ajar padanya!" sentak laki-laki berperut gendut itu. Nada suaranya semakin meninggi.
"Bersikap kurang ajar bagaimana?! Paman hendak membunuhku, di saat aku berada di kamarku!" sahut Kanulaga tak kalah keras.
"Apa?! Benarkah apa yang kau ucapkan Itu, Kanulaga?!" tanya laki-laki berperut gendut itu sambil menatap tajam wajah anaknya. Cerita yang didengarnya dari adik bungsunya tidak seperti ini!
"Dia bohong!" bantah Pandira keras. Sejak tadi laki-laki berkumis lebat itu hanya terdiam saja mendengarkan semuanya. Dia sengaja membiarkan Sudiraja menyelesaikan masalah itu. Tapi begitu mendengar tuduhan keponakannya ini, amarahnya seketika bangkit. Kanulaga melemparkan senyum sinis pada pamannya. Tentu saja hal ini semakin membuat kemarahan Pandira meledak.
"Anak keparat! Kau hanya mencari-cari alasan saja. Aku malah curiga, jangan-jangan kau sendiri adalah salah seorang dari gerombolan itu! Kau sengaja mengalihkan perhatianku agar rekanmu itu lolos dari pengawasanku!" ujar laki-laki berkumis lebat ini balik menuduh.
"Anggota gerombolan? Mengalihkan perhatian? Apa maksudmu, Paman?!" tanya Kanulaga tidak mengerti.
Betapapun marahnya, namun laki-laki beta wajah keras ini, sebenarnya masih menghormati pamannya. Sudiraja mengerutkan alisnya. Dia melihat ada nada kesungguhan dalam cerita kedua orang ini. Bukan tidak mungkin kalau telah terjadi kesalah-pahaman.
"Lebih baik kita selesaikan persoalan ini dengan kepala dingin. Aku khawatir ada kesalahpahaman terselip di sini," ucap laki-laki gendut ini menenangkan.
Kanulaga dan Pandira terdiam. Mereka menyadari kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sudiraja. Mengikuti perasaan amarah saja tidak akan menyelesaikan masalah, pikir mereka. Setelah melihat kedua orang itu sudah dapat ditenangkan, Sudiraja kembali membuka suara.
"Sekarang coba kau ceritakan kejadian yang kau alami, Kanulaga," ucap laki-laki berperut gendut itu pada anak sulungnya.
Kanulaga pun menceritakan semuanya. "Nah, ketika aku tengah mencari bayangan hitam Itu, kulihat ada seseorang bersembunyi di balik pohon. Sikapnya mencurigakan sekali. Aku yakin kalau orang itulah yang tadi menyerangku. Pakaiannya sama. Aku kaget juga ketika kulihat orang itu adalah Paman Pandira. Ribut mulut tak dapat dihindari lagi. Akhirnya kami bertarung," ujar laki-laki berwajah keras ini mengakhiri ceritanya.
"Hhh...! Sekarang sudah jelas masalahnya. Sudah kuduga semua ini hanya salah paham saja," ucap Sudiraja dengan suara mendesah.
"Salah paham?! Aku masih tidak mengerti, Ayah," sahut Kanulaga. Nada suaranya menyimpan perasaan penasaran yang mendalam.
Laki-laki berperut gendut itu termenung sejenak belum memulai ceritanya. Dipandangi wajah Pandira tajam-tajam. "Bagaimana, Pandira? Tidakkah lebih baik kalau diceritakan saja?" tanya Sudiraja meminta pendapat laki-laki berkumis lebat itu.
Pandira mengangkat bahunya. "Terserah kau saja, Kang," jawab laki-laki berkumis lebat ini menyerahkan keputusan pada Sudiraja.
"Sebenarnya aku tidak berniat memberitahumu, Kanulaga. Tapi, agar kau tidak penasaran... terpaksa perlu kuberitahukan. Pandira ini bukanlah paman mu...."
"Sudah kuduga...," desah Kanulaga pelan.
"Kau sudah tahu?!" tanya Sudiraja setengah tak percaya.
"Ya," jawab Kanulaga seraya menganggukkan kepalanya. "Sepengetahuanku Ayah adalah anak tunggal. Aku menjadi curiga ketika Ayah memperkenalkannya sebagai paman."
Sudiraja mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pandira sebenarnya adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati Palangka," sambung laki-laki berperut gendut itu lagi.
"Ah...!" desah Kanulaga terkejut. "Lalu, mengapa dia berada di sini dan Ayah mengakui sebagai adik bungsu?" "Lebih baik kau tanyakan saja padanya, Kanulaga. Biar dia yang akan menjelaskannya padamu. Nah Pandira. Harap kau jelaskan pada Kanulaga!" pinta Sudiraja.
Pandira menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. Jelas tampak kalau laki-laki berkumis lebat ini merasa berat menceritakannya. "Sebenarnya tugasku ini amat rahasia, Kanulaga. Demi keberhasilannya, sengaja aku tidak ingin seorang pun tahu. Kecuali ayahmu," ucap Pandira memulai ceritanya.
Kanulaga hanya diam saja mendengarkan. Tidak diselaknya sedikit pun cerita laki-laki berkumis lebat Itu.
"Kau pernah mendengar tentang Perkumpulan Kalajengking Merah?" tanya pengawal rahasia Adipati Palangka ini tiba-tiba.
Kanulaga tercenung sejenak sebelum menjawab. "Pernah juga. Sewaktu aku mulai memasuki Kadipaten Palangka."
"Kau tahu perkumpulan macam apa itu?" tanya Pandira lagi.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi menurut berita yang kudengar, Perkumpulan Kalajengking Merah adalah sebuah perkumpulan jahat..."
"Tepat! Melihat gelagatnya, perkumpulan itu sepertinya hendak meruntuhkan Kadipaten Palangka. Tapi karena perkumpulan itu sangat misterius, Gusti Adipati mengalami kesulitan untuk membasminya. Maka terpaksa Gusti Adipati mengirim beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki di mana markas perkumpulan itu," Pandira menghentikan ceritanya sejenak Agaknya laki-laki ini ingin melihat tanggapan Kanulaga pada ceritanya. Tapi ternyata laki-laki berwajah keras itu tidak berniat memotong ceritanya.
"Dari penyelidikan, kami tahu kalau perkumpulan itu membiayai usahanya dari pemerasan dan perampokan terhadap orang-orang kaya. Gusti Adipati tahu, Kakang Sudiraja memiliki kekayaan yang berlimpah. Dengan dibekali surat perintah dari Gusti Adipati aku dapat tinggal di sini. Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, ayahmu memperkenalkanku sebagai adik bungsunya. Tapi sayang, usahaku gagal!" keluh laki-laki berkumis lebat ini.
"Tapi, kenapa Ayah merahasiakan hal ini padaku,” tanya Kanulaga bernada penasaran seraya menoleh pada ayahnya.
"Aku yang melarang ayahmu memberitahukan kepada siapa pun. Maksudku untuk mencegah bocornya rencana ini. Aku khawatir kalau ada anggota gerombolan itu yang menyusup dalam rumah ini. Maaf, bukannya aku menuduh. Tapi, yahhh..., hanya berjaga-jaga saja," jelas Pandira panjang lebar.
"Lalu sekarang, bagaimana baiknya, Pandira?" tanya Sudiraja seraya menatap wajah laki-laki berkumis lebat itu.
"Hhh...!" pengawal rahasia Adipati Palangka itu menghela napas panjang. "Mungkin aku akan kembali ke kadipaten, melaporkan kegagalan tugasku."
"Mengapa begitu tergesa-gesa, Pandira?" tanya Sudiraja. Kekagetan jelas terbayang di wajahnya. "Tinggallah barang satu atau dua hari lagi. Barangkali orang itu muncul lagi."
Pandira tercenung sejenak. "Baiklah, Kakang Sudiraja. Aku akan tinggal dua hari lagi di sini."
"Maafkan atas kebodohanku yang membuat Paman gagal menjalankan tugas Gusti Adipati," ucap Kanulaga tiba-tiba seraya mengulurkan tangan meminta maaf.
Pandira tersenyum. "Lupakanlah, Kanulaga. Kau tidak salah," jawab laki-laki berpakaian serba hitam ini bijaksana. Disambutnya uluran tangan Kanulaga dan digenggamnya erat-erat. Sudiraja hanya tersenyum menyaksikan kejadian Itu.
* * * * * * * *
Hari masih pagi, matahari pun baru saja muncul di ufuk Timur, ketika tiga sosok tubuh melangkah pelahan mendekati pintu gerbang bangunan mewah dan megah milik Sudiraja. Tiga sosok itu terdiri dari seorang pemuda dan dua orang gadis. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun, berambut putih keperakan dan berpakaian ungu.
Sementara dua orang gadis yang sama-sama cantik itu mengenakan pakaian dan berdandan yang berlainan. Yang seorang berpakaian serba putih dan berambut meriap. Sementara yang seorang lagi, berpakaian serba merah dan berambut digelung ke atas. Mereka adalah Dewa Arak, Melati dan Nirmala.
"Maaf, siapakah kisanak bertiga?" tanya dua orang penjaga pintu gerbang saat melihat Dewa Arak, Melati dan Nirmala hendak melangkah masuk.
Nirmala membusungkan dada dan menegakkan kepalanya. "Aku Nirmala," sahut gadis berpakaian merah itu. Nada suaranya terdengar penuh wibawa.
"Ah...!" desah kedua penjaga itu terkejut. Meskipun belum pernah melihat wajahnya, namun kedua orang itu telah mengetahui semua keturunan majikan mereka. Dan Nirmala ini adalah putri bungsu pemilik rumah ini. "Maalkan kami, Den Ayu. Tapi siapakah kedua orang itu ?" tanya si tompel sambil menatap tajam wajah Dewa Arak dan Melati yang berdiri di belakang gadis berpakaian merah itu.
"Mereka adalah kawan-kawanku, dan akan kuperkenalkan pada Ayah! Mari, Kang Arya, Kak Melati," ajak Nirmala sambil melangkah masuk.
Kedua penjaga itu tidak bisa lagi menghalangi. Mereka pun menyingkir memberi jalan pada putri majikan mereka dan kedua temannya. Tentu saja kedatangan gadis berpakaian merah itu menggembirakan hati Sudiraja yang saat itu tengah berjalan-jalan di taman, menghirup kesejukan udara pagi.
"Ayah...!" seru Nirmala seraya berlari ke arah laki-laki berperut gendut itu. Sepasang tangannya terkembang.
"Nirmala...," sambut Sudiraja. Kemudian. dipeluknya putri bungsunya erat-erat. "Siapa mereka, Nirmala?" tanya Sudiraja begitu pandangannya tertumbuk pada dua orang yang berdiri sambil menundukkan kepalanya.
"Eh, iya...," ucap gadis berpakaian merah itu teringat Segera dilepaskannya pelukan sang ayah. "Mereka adalah penolongku, Ayah. Tanpa pertolongan mereka mungkin Ayah tidak akan pernah melihatku”
"Ah...!" seru Sudiraja kaget. Sepasang matanya terbelalak menatap anak gadisnya, kemudian pandangannya dialihkan pada Dewa Arak dan Melati bergantian. Berita yang didengarnya ini benar-benar membuat laki-laki berperut gendut ini terkejut bukan kepalang.
"Mari kuperkenalkan pada mereka, Ayah," ucap gadis itu lagi seraya berjalan mendahului ayahnya yang sudah melangkah ke arah Dewa Arak dan Melati. "Inilah ayahku, Kang Arya, Kak Melati," ucap Nirmala memperkenalkan.
Sudiraja mengulurkan tangannya. "Sudiraja," ucap laki-laki berperut gendut itu memperkenalkan diri.
"Arya Buana," sahut Dewa Arak sambil menyambut uluran tangan itu.
"Melati," sahut Melati pula.
Sudiraja menatap wajah kedua muda-mudi dihadapannya berganti-ganti. "Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan pada anakku," ucap laki-laki berperut gendut itu ramah.
"Ah...! Hanya kebetulan saja, Ki," sahut Dewa Arak merendah.
Sudiraja hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kagum hatinya melihat kerendahan hati pemuda berambut putih keperakan di hadapannya ini. "Mari kita bicara di dalam saja," ajaknya sambil melangkah mendahului. Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak dan Melati kecuali turut melangkah lebih dahulu.
Pandira dan Kanulaga yang sedang berbincang-bincang di ruangan tengah yang mewah dan megah itu menghentikan pembicaraan, begitu mendengar banyak langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian pintu ruangan itu pun terkuak Kanulaga dan Pandira menduga-duga dalam hati, siapakah orang-orang yang menuju ruang ini. Bukankah ruang ini khusus untuk Sudiraja?
Semula Kanulaga dan Pandira tidak heran begitu melihat orang yang pertama kali muncul. Tapi sepasang alis mereka berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah, melangkah di belakang laki-laki berperut gendut itu. Wajar apabila Kanulaga sama sekali tidak mengenal Nirmala. Gadis berpakaian serba merah ini belum berumur lima tahun ketika laki-laki berwajah keras ini pergi mengembara.
Pandira saja mengagumi kecantikan Nirmala, apalagi Kanulaga yang masih muda dan berdarah panas. Pandang matanya tidak berkedip memperhatikan Nirmala dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sepasang mata Kanulaga semakin terbelalak lebar ketika dari balik pintu itu masuk lagi seorang gadis berpakaian serba putih. Tak kalah cantiknya dari gadis berpakaian serba merah tadi.
Tapi pandang mata kekaguman Kanulaga dan Pandira segera lenyap, begitu melihat orang terakhir yang masuk kedalam ruangan. Seorang pemuda berambut putih keperakan, berbaju ungu. Sebuah guci arak terbuat dari perak, tersampir di punggungnya. Berbeda dengan Sudiraja. Kanulaga dan Pandira tahu pergolakan yang terjadi di dunia persilatan. Mereka telah mendengar berita yang menggemparkan tentang munculnya tokoh muda berilmu tinggi, berjuluk Dewa Arak. Inikah tokoh yang menggemparkan itu? tanya mereka dalam hati.
"Kau kenal gadis ini, Kanulaga?" tanya Sudiraja pada putra sulungnya. Kepalanya ditolehkan ke arah Nirmala. Sementara gadis berpakaian merah itu hanya tersenyum geli dalam hati.
Laki-laki berwajah keras itu menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak mengenalnya?!" tanya Sudiraja lagi setengah tidak percaya.
'Tidak, Ayah," jawab Kanulaga, setelah dipandanginya kembali gadis berpakaian merah itu lekat-lekat.
"Ha ha ha...!" laki-laki berperut gendut itu tertawa terbahak-bahak. Tentu saja hal ini membuat Kanulaga terheran-heran. "Dia adikmu, Kanulaga," jelas Sudiraja setelah rasa gelinya lenyap.
Kanulaga terlongong. "Adikku?" tanya laki-laki berwajah keras ini tak percaya. "Dia.. dia Nirmala...?" Kanulaga agaknya masih belum mempercayai ucapan ayahnya.
"Benar," sahut Sudiraja. Sementara Nirmala tidak dapat menahan perasaan geli melihat kebingungan kakak sulungnya.
"Anak nakal..! Awas! Nanti kujewer telingamu...!" gurau Kanulaga dengan hati gembira.
"Lalu kedua orang ini siapa, Kang?" tanya Pandira sambil menatap Melati dan Dewa Arak.
"Mereka adalah penolong-penolong Nirmala. Yang gadis bernama Melati. Dan pemuda ini bernama Arya Buana," jelas Sudiraja seraya menepuk-nepuk bahu Arya.
"Ah..., Dewa Arak...!" seru Kanulaga dan Pandira berbareng. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau nama Dewa Arak yang sesungguhnya adalah Arya Buana.
"Sungguh tidak disangka, pendekar yang tersohor sepertimu bisa sampai ke Kadipaten Palangka ini," desah Pandira setengah tidak percaya.
"Hanya kebetulan lewat. Paman," sahut Dewa Arak merendah seraya menatap wajah laki-laki berkumis lebat itu.
"Ayo, Nirmala. Ceritakan pada Ayah dan semua yang ada di sini, pengalaman yang kau alami," ucap Sudiraja.
Nirmala pun menceritakan semuanya. Mulai dari surat yang bisa sampai ke tangannya atas pertolongan Dewa Arak dan Melati, hingga dirinya diselamatkan dari tangan orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Aneh sekali...," desah Pandira begitu Nirmala mengakhiri ceritanya. Sebagai seorang pengawal rahasia Adipati, laki-laki berkumis lebat ini dapat merasakan adanya hal-hal mencurigakan dalam kejadian yang dialami Nirmala.
Semua mata kini tertuju pada Pandira. Mereka menunggu kelanjutan ucapan yang akan disampaikan pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Apa yang aneh, Adi Pandira?" tanya Sudiraja.
Laki-laki berkumis lebat itu menatap tajam wajah Sudiraja. "Sepengetahuanku, yang mengetahui kalau Kakang mengirim surat untuk memanggil Nirmala dan Jalatara hanya Kakang Sudiraja sendiri, aku, dan Kanulaga. Lalu mengapa sampai diketahui orang Perkumpulan Kalajengking Merah?"
Ada nada kecurigaan dalam suara pengawal rahasia Adipati Palangka. Sementara Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam dikaguminya kecerdikan laki-laki berkumis lebat ini. Kanulaga menarik napas panjang.
"Memang, aku telah menceritakan hal ini," ucap laki-laki berwajah keras pelan. Ada nada penyesalan dalam suaranya.
"Kau?" Sudiraja membelalakkan sepasang matanya. Sementara berpasang-pasang mata lainnya juga tertuju pada putra sulung Sudiraja ini.
"Sudah kuduga...," sambut Pandira cepat. "Pada siapa kau menceritakannya, Kanulaga?"
"Ki Toji”
"Ki Tojl?!" Sudiraja mengerutkan alisnya. Sementara yang lain memandang pada laki-laki berperut gendut ini dengan sinar mata bingung.
"Siapa itu Ki Toji, Kang?" tanya Pandira lagi.
"Kepala urusan dalam rumah tangga. Tapi mungkinkah dia anggota gerombolan itu?" tanya Sudiraja setengah tidak percaya.
"Kemungkinan itu bisa juga. Kang. Bagaimana denganmu, Dewa Arak?" tanya Pandira sambil menoleh pada Arya yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan. Kini semua mata tertuju pada Dewa Arak Tanpa setahu mereka, sejak tadi pun sudah ada sepasang mata yang menatap Dewa Arak secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata bening dan indah milik Nirmala.
"Sejak pertama kali membaca surat itu, sebenarnya aku sudah menduga adanya orang dalam rumah ini yang menjadi anggota gerombolan itu," jelas Dewa Arak. Nada bicaranya hati-hati. Pemuda itu tidak ingin menyinggung perasaan orang-orang yang ada di ruangan ini.
Sudiraja mengerutkan keningnya. "Sayang sekali, Jalatara belum juga tiba. Kalau tidak masalah ini akan dapat diselesaikan sekarang, " ucap laki-laki berperut gendut itu mengalihkan persoalan.
"Memangnya ada masalah apa, Ayah?" tanya Nirmala yang sejak tadi hanya berdiam diri saja.
"Ayah ingin beristirahat dan menyerahkan semua usaha Ayah pada kalian bertiga," sahut Sudiraja, seakan-akan enggan untuk menjelaskan.
"Jangan-jangan utusan yang membawa surat itu juga tidak pernah sampai ke sana, Ayah," duga Kanulaga. Sepasang matanya kembali melirik ke arah Melati. Gadis yang berwajah cantik luar biasa itu memang telah membuat hati laki-laki berwajah keras ini terpikat.
"Mudah-mudahan saja tidak," sahut laki-laki gendut itu mengharap.
"Tapi sudah dua hari utusan itu berangkat, dan sampai sekarang belum juga kembali," bantah Kanulaga lagi.
"Kita tunggu saja, Kanulaga. O ya, mungkin dua penolongmu ini ingin beristirahat, Nirmala. Antarkan mereka beristirahat Kau juga mungkin lelah. Beristirahatlah dulu."
"Hhh...!" Kanulaga menghela napas panjang melihat ayahnya memutuskan begitu saja pembicaraannya. Laki-laki berwajah keras ini pun terpaksa diam.
"Baik, Ayah," sambut gadis berpakaian merah itu cepat Kemudian diantarnya Dewa Arak dan Melati yang mau tak mau terpaksa menurut, menuju ke tempat peristirahatannya. Kanulaga menundukkan kepalanya. Tapi sepasang matanya sempat melirik ke arah Melati, hingga bayangan gadis berpakaian serba putih lenyap di balik pintu.
* * * * * * * *
ENAM
"Aunggg...!" Suara lolong anjing hutan memecah kesunyian malam. Rembulan di langit kini tidak bulat lagi. Malam bulan purnama telah terjadi kemarin. Dalam keremangan malam itu, berkelebat dua sosok bayangan memasuki hutan. Gerakan mereka cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah bayangan merah dan hitam.
Dua sosok bayangan itu terus berlari. Sesekali keduanya menoleh ke belakang. Sepertinya mereka khawatir kalau ada yang mengikuti. Kedua bayangan itu terus saja bergerak melewati jalan berliku-liku. Lari mereka baru diperlambat setelah mendekati sebuah bangunan tua yang sudah tidak terawat lagi. Dan tepat di depan bangunan itu, kedua bayangan tadi menghentikan larinya.
Dalam keremangan sinar bulan, terlihat cukup jelas kedua bayangan itu. Yang seorang berpakaian serba hitam. Di dadanya bergambar kalajengking merah. Wajahnya tidak nampak jelas, karena tertutup selubung. Pada dahi selubungnya terdapat gambar kalajengking merah.
Sementara yang seorang lagi adalah seorang kakek berkulit merah. Kakek berkulit merah ini mengenakan rompi yang juga berwarna merah. Pada bagian dahi dan dadanya, terdapat gambar kalajengking merah. Berbeda dengan rekannya, gambar kalajengking pada kakek berkulit merah ini tertera pada kulitnya, bukan pada pakaian atau selubungnya. Baru saja kedua orang ini melangkah masuk, terdengar suara sapaan penuh hormat
"Hormat kami untuk Ketua...!"
Sosok berselubung hitam yang di dahi selubungnya bergambar kalajengking, menoleh ke arah asal suara. Rupanya orang ini adalah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah. Kini di hadapan Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah, telah berdiri dua sosok yang tengah menjura padanya Kedua orang itu mengenakan seragam yang sama. Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar kalajengking berwarna merah.
Yang membedakan kedua orang itu adalah pada kedua selubung wajahnya. Memang mereka sama-sama mengenakan selubung hitam. Tapi pada dahi selubungnya, tertera gambar yang berlainan. Pada yang seorang terdapat totol merah. Sementara pada yang lain, bergambar ekor kalajengking merah.
Memang, Perkumpulan Kalajengking Merah mempunyai aturan tersendiri. Tanda tingkatan seseorang dalam perkumpulan itu dapat diketahui dengan melihat tanda pada dahi selubungnya. Tanda kalajengking merah menunjukkan kalau orang itu adalah sang ketua. Tanda ekor kalajengking, menunjukkan wakil ketua. Tanda totol merah menunjukkan ketua kelompok. Sementara anggota biasa sama sekali tidak mempunyai tanda.
"Bagaimana usaha kalian? Berhasil?" tanya sai ketua.
"Maafkan kami, Ketua...," jawab kedua orang itu berbareng.
"Jadi, kalian gagal?!" sergah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah agak keras. Sementara kakek berkulit merah itu hanya berdiam diri saja.
"Benar, Ketua," jawab kedua orang itu lagi.
"Hhh...! Tolol...! Membunuh dua tikus kecil saja tidak mampu?! Haruskah aku yang turun tangan sendiri?!" bentak sang ketuagusar.
"Kau...!" tunjuk sang pemimpin pada orang yang di dahi selubungnya bergambar ekor kalajengking, Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Ya, Ketua," sahut si selubung bergambar ekor kalajengking cepat.
"Jelaskan mengapa kau gagal? Hanya membunuh orang seperti Kanulaga saja tidak becus?!" sang ketua kembali membentak.
"Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, Ketua. Yang membuatku tambah repot lagi. Di situ ada Pandira," Jawab si selubung bergambar ekor kalajengking. Kemudian diceritakan kejadian yang dialaminya.
"Pandira? Apakah orang yang selalu berpakaian serba hitam dan memiliki kumis lebat itu?" tanya sang ketua. Nada keterkejutan jelas terlihat pada wajahnya.
"Benar, Ketua. Ketua mengenalnya?" tanya si selubung bergambar ekor kalajengking.
Sang pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dia adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati Palangka."
"Ahhh...!" seru Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu terkejut "Lalu, untuk apa dia di sana, Ketua?"
"Adipati Palangka sudah mencium adanya gerakan kita. Pada saat ini Adipati Palangka sudah menyebar pengawal-pengawal rahasianya untuk menyelidiki perkumpulan kita. Sungguh tidak kusangka kalau Pandira bisa sampai ke sana...," desah sang ketua.
"Kalau menurutku, Sudiraja telah bekerjasama dengan Pandira, Ketua," ucap si wakil itu lagi.
"Mengapa kau bisa menduga begitu?" tanya sang ketua.
"Sewaktu aku datang meminta upeti, kulihat Sudiraja seperti sengaja mengulur-ulur waktu. Sepertinya ada sesuatu yang ditunggunya. Kalau tidak mengingat pesan Ketua, sudah kubunuh dia."
"Kau bertindak bodoh kalau membunuhnya!" sergah sang ketua keras. "Kalau kau lakukan itu, sama saja kau menghancurkan apa yang kita cita-citakan selama ini! Menguasai Kadipaten Palangka! Dan kemudian merebut kerajaan!"
"Ada yang membuatku heran, Ketua," ucap orang yang di dahinya bergambar ekor kalajengking lagi.
"Apa itu?"
"Mengapa Ketua tidak membunuh adipati itu saja. Bukankah dengan kedudukan Ketua sekarang ini, tidak sulit untuk membunuh adipati itu?"
"Apa yang kau katakan itu benar. Tapi, untuk apa membunuh adipati itu kalau akhirnya aku tidak bisa menggantikan kedudukannya? Lagi pula raja tidak akan tinggal diam. Beliau pasti akan mengirimkan pasukan besar untuk menghancurkan kita. Tapi yang jelas, rencanaku hampir sampai di puncaknya. Sayang sekali kailan gagal membunuh Kanulaga dan Nirmala. Rencanaku terpaksa berubah!" ucap sang ketua panjang lebar.
Setelah berkata demikian, Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah ini terdiam. Sesaat lamanya di berbuat seperti itu. Baru kemudian perhatiannya diarahkan pada si selubung totol merah. "Kau..., mengapa gagal membunuh Nirmala? Padahal dua belas anggota perkumpulan telah kuberikan untuk membantumu?" tanya sang ketua meminta penjelasan.
"Maafkan aku, Ketua. Sebetulnya kami sudah hampir berhasil membunuh gadis itu," ucap si selubung totol merah.
"Lalu, kenapa gagal?!" sergah sang ketua keras.
"Ada orang yang menolongnya, Ketua!" sahut si selubung totol merah.
"Hm..., siapa orangnya?!" tanya sang ketua agak terkejut.
"Aku tidak mengenalnya, Ketua. Tapi kepandaiannya tinggi sekali. Hanya dengan angin pukulannya saja, dia bisa menewaskan empat anggota kita sekaligus. Mereka tewas seketika dengan tubuh hangus."
Sang ketua terdiam mendengar penjelasan si totol merah. Sementara kakek berkulit merah tercenung. "Bagaimana ciri-ciri orang sok jagoan itu?" tanya sang ketua lagi.
Si selubung bertotol merah terdiam sejenak. Rupanya dia sedang berusaha mengingat-ingat wajah penolong Nirmala. "Nggg..., pemuda berambut keperakan, berpakaian ungu. Di punggungnya tergantung sebuah guci arak..."
"Dewa Arak...!" potong kakek berkulit merah keras. Ada nada keterkejutan yang amat sangat pada wajahnya.
"Dewa Arak...?!" sentak sang ketua terkejut mendengar ucapan kakek kulit merah itu. "Benarkah orang itu Dewa Arak yang menggemparkan itu, Guru?" tanyanya pada kakek berkulit merah.
Kakek berkulit merah, yang ternyata guru sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu menganggukkan kepalanya. "Kalau ciri-ciri yang disebutnya benar, sudah pasti pemuda itu adalah Dewa Arak. Seorang pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan beberapa bulan belakangan ini," jelas kakek kulit merah itu lebih jauh.
Sang ketua tercenung mendengar penjelasan gurunya. "Terpaksa rencana harus kuubah," ucap sang ketua. Kemudian dlhampirinya kedua anak buahnya, dan dibisikkan rencana barunya ke telinga mereka. "Mengerti?!" tanya Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah setelah selesai membisikkan rencananya.
"Mengerti, Ketua!" sahut kedua orang itu serempak.
"Bagus! Sekarang kalian boleh pergi!" perintah sang ketua.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, dua orang itu pun melesat pergi, setelah terlebih dahulu menjura pada sang ketua dan kakek kulit merah.
Sepeninggal kedua anak buahnya, sang ketua mengalihkan perhatian pada kakek berkulit merah. "Untung Guru telah kembali. Bagaimana Guru, berhasilkah Guru mendapatkan racun itu?" tanya sang ketua.
Kakek bermuka merah itu tertawa bergelak. "Jangan panggil aku Kalajengking Merah kalau tidak mampu mendapatkannya! Ha ha ha...," sahut kakek yang ternyata berjuluk Kalajengking Merah itu sambil tertawa bergelak.
"Terima kasih atas semua bantuan Guru," ucap sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.
Kalajengking Merah mengidapkan tangannya. "Tidak usah berterima kasih. Kau adalah muridku, apalagi kau mempunyai cita-cita yang begitu besar. Sudah merupakan kewajibanku sebagai gurumu untuk membantu mewujudkan cita-citamu! Tambahan lagi kau telah mengharumkan namaku dengan menggunakan nama Kalajengking Merah sebagai nama perkumpulan rahasiamu! Tertawalah...! Tawa untuk keberhasilan kita!"
Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah ini tertawa bergelak. Sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah pun ikut tertawa bergelak tawa mereka yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, menggema dan membuat bangunan tua itu bergetar hebat.
* * * * * * * *
Hari sudah agak siang, matahari pun sudah naik agak tinggi. Pada siang yang terik ini tampak seekor kuda melangkah pelan memasuki perbatasan Desa Rinji. Penunggangnya adalah seorang pemuda berusia selatar dua puluh lima tahun. Pada wajahnya yang tampan terhias sebaris kumis tipis. Pakaiannya serba hitam.
"Hooop...!" Tali kekang kudanya ditarik, tepat di depan pintu gerbang rumah termegah di desa itu. Dari kejauhan, rumah itu sudah terlihat kalau dikelilingi pagar tembok tinggi. Kuda coklat putih yang ditungganginya meringkik. Kedua kaki depannya pun diangkat tinggi-tinggi.
"Hup...!" Dengan gerakan manis dan indah, pemuda berkumis tipis itu melompat dari punggung kudanya. Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. Kemudian dipegangnya tali kekang kudanya. Lalu binatang tunggangan itu dituntunnya menghampiri pintu gerbang.
"Aku Jalatara, putra Tuan Sudiraja," ucap pemuda berkumis tipis itu ketika melihat dua orang penjaga mencoba menghadang.
"Ah...! Maafkan kami. Den. Silakan masuk. Kedatangan Aden memang sudah ditunggu-tunggu," ucap salah seorang penjaga.
Tanpa bicara apa-apa, Jalatara melangkah ke dalam. Kuda tunggangannya ditinggalkan di depan pintu gerbang. Pandira yang tengah duduk di teras depan, langsung mengenali Jalatara.
"Jalatara...," desis laki-laki berkumis lebat ini pelan seraya bangkit dari duduknya dan berjalan menyambut kedatangan pemuda berkumis tipis itu. Dikenali betul siapa Jalatara, salah seorang kepercayaan Adipati Palangka.
"Ah...! Kakang Pandira...! Rupanya kau berada di sini...! Sungguh tidak kusangka!" ucap Jalatara kaget. Mulutnya menyunggingkan senyum lebar.
"Kedatanganmu yang begitu tiba-tiba ini membuatku terkejut, Jalatara. Ah, terpaksa kepulanganku kutunda sejenak," ucap pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Eh...?! Mengapa begitu, Kang?" tanya Jalatara tidak mengerti.
"Yahhh...! Tugasku gagal, Jala! Aku baru saja akan kembali ke kadipaten sambil membawa pesan dari ayahmu," Jelas Pandira seraya menarik napas panjang.
"Pesan? Pesan apa, Kang?" tanya Jalatara lagi. Wajahnya terlihat agak tegang.
"Agar kau segera pulang. Ada urusan penting yang akan dibicarakan denganmu," beritahu Pandira.
"Urusan penting? Urusan penting apa, Kang" tanya pemuda berkumis tipis ini dengan alis berkerut.
'Tanyalah pada ayahmu," sahut Pandira kalem. Baru saja Jalatara hendak meninggalkan tempat itu, Sudiraja telah keburu keluar dari dalam rumahnya. Rupanya percakapan kedua orang itu terdengar olehnya, sehingga buru-buru dia berlari keluar.
Jalatara mengerutkan alisnya begitu melihat banyak orang yang berjalan di belakang ayahnya. Tapi sesaat kemudian dia menjadi gembira begitu mengetahui dua di antara mereka adalah saudaranya. "O ya, Jalatara," ucap Sudiraja tiba-tiba.
"Ada apa, Ayah?" tanya pemuda berkumis tipis itu. Ditolehkan kepalanya menatap ayahnya.
"Apakah surat yang Ayah kirimkan sudah kau terima?" tanya Sudiraja.
"Surat?!" tanya Jalatara. Sepasang alisnya berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ya! Surat!" sahut Sudiraja menegaskan. "Kau terima?" "Tidak!" sahut Jalatara seraya menggelengkan kepalanya. "Kapan Ayah mengirimkannya?"
"Beberapa hari yang lalu. Hhh...! Kukira kau datang kemari karena surat itu telah kau terima." Kemudian Sudiraja menceritakan perjalanan surat yang dikirimkan untuk Nirmala.
"Tidak, Ayah. Aku sama sekali tidak menerima sepucuk surat pun. Aku kemari karena rindu pada Ayah."
Sudiraja tersenyum lebar. "Kalau begitu, lupakan saja persoalan itu! Sekarang mari kita rayakan berkumpulnya seluruh keluarga kita dengan minum-minum! " teriak Sudiraja penuh rasa gembira.
"Biarlah hari ini aku yang menjadi pelayannya, Ayah," pinta Jalatara.
Tawa Sudiraja terhenti. "Tidak, Jala! Kau baru saja tiba dari perjalanan yang Jauh. Kau masih capek!" bantah laki-laki berperut gendut ini.
Pemuda berkumis tipis itu tersenyum. "Tadi, memang aku lelah, Ayah. Tapi setelah bertemu dengan Ayah, Kakang Kanulaga dan Adik Nirmala, rasa lelahku langsung sirna. Percayalah, Ayah. Aku sudah tidak lelah lagi."
"Kalau begitu, terserah kaulah...," sahut Sudiraja mengalah.
Tanpa sepengetahuan mereka, sesosok bayangan Merah berkelebat melompati pagar tembok rumah Sudiraja yang tinggi Itu. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah. Lalu cepat bayangan itu menyelinap di balik kerimbunan pohon. Keluarga Sudiraja, Pandira, Dewa Arak dan Melati memasuki ruang tengah. Sudiraja berjalan paling depan. Dengan gembira laki-laki berperut gendut ini mengajak semuanya ke dalam ruangan tengah yang mewah dan megah.
Tiba-tiba Melati merandek kaget. Dia mendengar suara bisikan halus di telinganya. Suara itu dikenalnya betul Suara kekasihnya, Dewa Arak! "Masukkan benda pemberian Gusti Prabu Nalanda dalam minumanmu nanti, Melati...."
"Ada apa, Kak Melati?" tanya Nirmala, begitu dilihatnya Melati menghentikan langkahnya. Nirmala dan yang lain-lainnya memang tidak mendengar ucapan itu. Dengan kepandaian yang dimilikinya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengirimkan suara kepada orang yang dikehendakinya.
"Tidak ada apa-apa, Mala," sahut Melati cepat. Nirmala pun terdiam. Apalagi setelah dilihatnya gadis berpakaian serba putih itu sudah kembali melangkah. Tak diketahuinya kalau pikiran Melati berputar keras.
Gadis itu memang telah menceritakan pada Dewa Arak bahwa semenjak dia diangkat anak oleh Prabu Nalanda, Raja Kerajaan Bojong Gading itu memberikan pusaka istana padanya. Pusaka itu berbentuk bulat kecil, sebesar kelereng dan berwarna bening. Apabila benda itu dimasukkan dalam minuman yang diduga mengandung racun, benda pusaka itu akan berubah warna. Setelah racun itu terserap habis oleh pusaka itu, maka benda pusaka itu akan kembali ke warna asalnya.
Tak lama kemudian mereka pun sudah tiba di ruang tengah yang mewah dan megah. Mereka duduk di bangku yang mengelilingi sebuah meja marmer panjang. Sementara Jalatara sibuk menyiapkan minuman. Sudiraja adalah seorang kaya raya, tidak aneh kalau dia memiliki persediaan arak yang berlimpah. Semua Itu disimpannya dalam sebuah ruang khusus di sebelah ruangan tengah ini.
Pemuda berkumis tapis itu mengambil satu di antara sekian banyak guci arak yang berjejer. Tanpa sepengetauan siapa pun, diambilnya sebuah bungkusan dari balik lipatan ikat pinggangnya. Dibukanya bungkusan yang ternyata berisi bubuk putih, kemudian dimasukkannya ke dalam guci arak itu. Setelah itu, Jalatara kembali ke ruang tengah. Dituangkannya arak itu ke dalam gelas-gelas indah yang berjejer di atas meja.
Setelah selesai mengisi gelas-gelas yang berada di meja, Jalatara pun duduk di bangku yang masih kosong. Sementara itu, diam-diam Melati memasukkan benda bulat berang sebesar kelereng pemberian Prabu Nalanda, ke dalam gelasnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya gadis ini ketika melihat benda bulat bening itu berubah warna.
Melati mengerutkan alisnya. Gadis itu tahu kalau pusaka pemberian Prabu Nalanda itu tengah menghiisap racun yang terkandung dalam minuman itu. Dan memang tak lama kemudian, warna benda itu kembali seperti semula. Bening.
Sudiraja mengangkat gelas minumannya. "Mari kita rayakan peristiwa besar ini...!" ucap laki-laki bertubuh gemuk itu. Kemudian didekatkan gelasnya itu ke mulutnya dan diminumnya. Jalatara pun mengikuti, diteguknya araknya. Tapi ekor mata pemuda itu melirik ke orang-orang di sekelilingnya.
Pemuda itu mengerutkan alisnya saat melihat Dewa Arak sama sekali belum menyentuh minumannya. Rupanya Arya tahu kalau arak di gelasnya mengandung racun. Ketika Sudiraja mengangkat gelas tadi, pemuda ini sempat melihat benda pusaka Melati berubah warna.
"Maaf, Tuan Sudiraja. Aku sudah terbiasa minum melalui guci. Bagaimana kalau aku minum arak dalam guciku saja?" pinta Dewa Arak.
Jantung Jalatara berdebar tegang. Otaknya berputar keras. Sebelum ayahnya sempat menjawab pertanyaan Arya, buru-buru dia mendahului. Cepat diambil guci arak yang sebagian isinya sudah dibagi-bagikan. Dewa Arak diam-diam memaki kecerdikan pemuda berkumis tipis itu. Tapi, bukan Arya Buana namanya kalau menghadapi orang seperti itu saja kehilangan akal.
"Sayang sekali, Kang Jalatara. Aku sudah terbiasa minum arak dari guciku sendiri. Boleh aku tuang arak dalam guci ini ke dalam guciku?"
"Silakan...! Silakan, Arya. Jangankan hanya seguci. Seratus guci pun akan kuberikan kalau kau mau!" Sudiraja yang menyahuti.
"Terima kasih, Tuan Sudiraja."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera menuangkan arak dalam guci itu ke dalam gucinya. Memang, guci arak pemuda itu memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah mampu membuat semua jenis racun jadi tawar. Maka, meskipun diketahuinya kalau minuman yang disediakan Jalatara mengandung racun, Dewa Arak tetap berani meminumnya.
Gluk... gluk... gluk...! Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki tenggorokannya.
Lega hati Jalatara, ketika dilihatnya semua yang ada di situ telah meminum arak yang disediakannya Dia sendiri telah lebih dulu menelan obat penawar racun itu, sehingga berani meminumnya. Rupanya racun yang dicampurkan dalam minuman itu tergolong racun yang bereaksi cepat. Sudiraja adalah orang pertama yang menerima akibatnya.
"Ah..., kok kepalaku pusing...," desah laki-laki berperut gendut ini sambil memegangi kepalanya Suaranya mengambang, seperti orang pilek.
Nirmala dan Kanulaga tidak terkejut melihat kejadian yang dialami ayahnya. Dugaan mereka, hal itu terjadi karena usia ayah mereka yang sudah tua. Baru ketika tubuh Sudiraja limbung dan sudah pasti jatuh, keadaan menjadi gempar. Untunglah Kanulaga yang duduk di sebelahnya, sigap menangkap tubuh ayahnya. Serentak mereka bangkit dari duduk dan mendekati Sudiraja.
Tapi sebelum berhasil mendekat, berturut-turut mereka memegang kepalanya yang tiba-tiba mendadak pusing. Melati dan Dewa Arak tentu saja merupakan kekecualian. Melati bingung, tak tahu harus berbuat apa. Diliriknya wajah Dewa Arak. Dan di saat Itulah, pendengarannya menangkap suara bisikan halus.
"Berpura-puralah, Melati. Kita tunggu perkembangannya...."
Melati tidak membantah. Begitu dilihat Arya memegangi kepalanya, gadis itu pun berpura-pura memegangi kepalanya, bersikap seolah-olah terserang pusing.
"Arak itu beracun...," desah Arya sebelum roboh terguling.
"Ha ha ha...!" Suara tawa berkepanjangan menyambut ucapan Dewa Arak. Sebuah tawa kemenangan. Tawa yang berasal dari mulut Jalatara.
TUJUH
Begitu melihat yang lain pingsan, Dewa Arak dan Melati pun turut berpura-pura pingsan. Tidak sulit bagi dua orang sakti ini untuk berbuat seperti itu. Jangankan hanya berpura-pura pingsan, berpura-pura mati pun mereka sanggup. Baru ketika pendengaran mereka menangkap suara keluhan lirih dari Kanulaga dan Pandira yang mulai sadar, Dewa Arak dan Melati pun membuka matanya. Begitu mereka membuka mata, tahu-tahu di hadapan mereka telah berdiri Jalatara, seorang kakek berkulit merah dan belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah. Pada bagian dada pakaian hitam yang dikenakan Jalatara terdapat gambar kalajengking merah.
Nirmala dan Sudiraja merupakan orang terakhir tersadar dari pingsannya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya laki-laki berperut gendut itu tatkala melihat putranya berdiri bersama-sama dengan perkumpulan yang selama ini selalu memerasnya.
"Kau...?! Jalatara...?! Apa maksudmu?! Mengapa kau melakukan semua ini?! Dan mengapa kau berhubungan dengan orang-orang jahat seperti mereka!" seru Sudiraja sambil menunjuk belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
Jalatara hanya tersenyum sinis. "Berhubungan? Aku adalah pemimpin mereka. Akulah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah!"
"Kau?!" sentak Sudiraja dan Pandira berbarengan. Berbeda dengan Sudiraja yang masih bingung, Pandira nampaknya sudah mengerti. Dan hal ini membuatnya geram bukan main.
Sayangnya racun yang dicampur dalam minuman itu telah membuat sekujur tubuhnya lemas. Walaupun sudah dipusatkan seluruh pikirannya, namun tetap saja tidak ada getaran tenaga dalam yang bergolak. Baik di bawah pusarnya, maupun ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya telah musnah!
"Rupanya kaulah pemimpin mereka, Jalatara! Pantas, gerombolan itu sukar dibasmi!" ujar pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Dasar kalian saja semua yang dungu!" sahut pemuda berkumis tipis itu kasar.
"Hanya satu yang kuherankan, Jalatara! Mengapa kau tidak membunuh Gusti Adipati sejak dulu. Bukankah kau mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh beliau?" tanya Pandira tidak mengerti.
"Ha ha ha...! Pertanyaanmu itu semakin membuktikan kebodohanmu, Pandira! Buat apa aku membunuhnya kalau aku tidak dapat menggantikan kedudukannya? Saat itu kedudukanku masih terlalu rendah. Dan bila aku membunuhnya, pastilah kau atau yang lainnya yang akan menjadi penggantinya. Aku tidak sebodoh itu, Pandira!" sergah Jalatara sambil tersenyum mengejek.
"Lalu kenapa tidak kau rebut saja Kadipaten Palangka dengan kekerasan?!" pancing pengawal rahasia adipati ini.
"Kau kira aku ini bodoh, Pandira?! Kalau aku merebut dengan kekerasan, pasukan kerajaan tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan menghancurkanku. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi!" jawab Jalatara agak sengit.
"Lalu sekarang, bagaimana?" Pandira kembali bertanya.
"Sekarang saatnya sudah tiba. Kau tahu, Pandira, Cita-citaku tidak kecil! Aku tidak hanya ingin menjadi adipati, tapi aku ingin menjadi raja! Kau dengar, Pandira? Raja! Dan untuk mewujudkan cita-citaku, aku membutuhkan biaya besar untuk membentuk pasukan yang besar dan terlatih!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya, "Jadi, itukah sebabnya kau ingin menyingkirkan Nirmala dan Kanulaga, Jalatara?" selak Arya cepat.
"Ha ha ha...! Kau pintar, Dewa Arak. Kau tidak sebodoh si kumis lebat ini. Dan Ki Taji, kudengar ayahku mengirim utusan untuk memanggil Nirmala dan aku pulang, karena Kakang Kanulaga telah terlebih dahulu pulang. Ayah ingin membagi-bagi warisan. Aku tidak ingin warisan ayah dibagi-bagi. Aku ingin semuanya. Jalan satu-satunya untuk memperolehnya hanyalah dengan melenyapkan Kanulaga dan Nirmala! Tapi, sayang anak buahku gagal. Terpaksalah aku yang harus turun tangan. Yahhh..., seperti apa yang kalian rasakan sekarang ini!" jelas Jalatara panjang lebar.
Terdengar suara geram kemarahan dari mulut Kanulaga. Laki-laki berwajah keras ini memang geram bukan main mendengar semua keterangan adiknya. Ingin rasanya dia melompat menyerang, tapi apa dayanya. Sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Bahkan tenaga dalamnya pun lenyap. Tidak ada yang dapat dilakukannya kecuali menggeramdan mengutuk.
"Jahanam kau, Jalatara...!" desis Kanulaga tajam. Sinar matanya menyorotkan kemarahan hebat. Tapi ucapan kemarahan kakaknya hanya ditanggapi Jalatara dengan tawa terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan.
"Kau yakin rencanamu akan berhasil, Jalatara?" Pandira angkat suara.
"Tentu saja!" sentak pemuda berkumis tipis itu keras. "Aku telah merencanakannya dengan matang. Guruku telah mendapatkan racun yang dapat kumasukkan ke makanan atau minuman adipati. Racun yang bekerja tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah kematian adipati adalah kematian yang wajar. Lagi pula guruku akan membantu menyingkirkan orang-orang kepercayaan adipati sepertimu, Pandira. Dan dengan kedudukanku sekarang, tidak sulit bagiku menjadi adipati. Dengan harta milik ayahku, akan kubentuk pasukan yang besar dan terlatih untuk menyerbu kotaraja. Dan kemudian aku akan menjadi raja! Ha ha ha...!"
"Sayang sekari, usahamu tidak akan berhasil, Jalatara!" sergah Dewa Arak seraya bangkit dari berbaringnya. Melati pun segera pula bangkit.
"Heh?l Kau...? Kau tidak terkena racunku?" tanya Jalatara gagap.
"Untunglah aku sedikit menaruh curiga padamu, Jalatara," sahut Arya kalem. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala, kemudian dituangkan ke mulutnya. Gluk.. gluk... gluk...! Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki kerongkongan Dewa Arak.
"Keparat..! Hiyaaa...!" Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring Jalatara melompat menyerbu. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh, menyampok deras ke arah Dewa Arak. Yang kanan ke arah pelipis, sementara yang kiri mengancam dagu. Dari bawah ke atas.
Suara berciutan nyaring terdengar sebelum serangan itu mencapai sasaran. Tapi Dewa Arak bersikap tenang. Dengan penuh percaya diri, dipapaknya kedua serangan itu. Kedua tangannya yang membentuk jari-jari belalang bergerak aneh, sebelum akhirnya menangkis serangan lawannya. Dewa Arak yang mengetahui keadaan yang tidak menguntungkan, tanpa sungkan-sungkan segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Plak, plak...!
"Ah...!" Jalatara berseru kaget. Pemuda berkumis tipis ini langsung terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu bukan main. Dadanya pun terasa sesak bukan kepalang.
Sedangkan Dewa Arak hanya mundur satu langkah ke belakang. Tampak jelas kalau tenaga dalam Arya berada jauh di atas lawannya.
"Kau urus yang lain, Jalatara! Biar Dewa Arak bagianku!" seru kakek berkulit merah seraya melompat ke depan Arya. Kalajengking Merah tahu kalau Jalatara bukan tandingan Dewa Arak. "Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak. Dan sudah lama pula aku ingin menjajal kelihaianmu. Aku, Kalajengking Merah ingin mengetahui sampai di mana kehebatanmu yang tersohor itu!" Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, seraya mengirimkan sebuah kibasan kaki.
Wusss...! Angin menderu keras mengawali tibanya serangan itu. Tapi, dengan permainan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa Arak untuk memunahkan serangan itu. Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi khasnya, dielakkan serangan itu. Secepat kakinya melangkah, secepat itu pula, Dewa Arak berbalik mengancam lawan. Arya kini telah berada di belakang lawannya.
"Hih...!" Dewa Arak mengayunkan guci yang tergenggam di tangannya ke kepala lawannya. Tapi, Kalajengking Merah memang seorang tokoh luar biasa. Cepat-cepat tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan itu lewat di atas punggungnya. Berbareng dengan itu, kaki kanannya menendang ke belakang. Persis seperti tendangan kaki belakang seekor kuda.
"Eh...?!" pekik Dewa Arak terkejut. Serangan seperti itu sungguh di luar dugaannya. Tapi berkat keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', serangan yang datang begitu tiba-tiba itu masih dapat dielakkannya. Tak lama kemudian kedua tokoh inipun sudah terlibat dalam sebuah pertempuran sengit. Jalatara memperhatikan sejenak pertarungan antara gurunya menghadapi Dewa Arak.
"Bunuh mereka semua...!" perintah pemuda berkumis tipis ini kepada anak buahnya, seraya menunjuk beberapa tubuh yang tergolek lemah tanpa daya.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah itu bergerak menyerbu. Tongkat merah berujung ekor kalajengking mereka berkelebatan mengancam. Tapi sebelum balasan orang itu berhasil melaksanakan perintah sang ketua, Melati telah menghadang.
Srattt..! Tanpa sungkan-sungkan lagi gadis berpakaian putih ini mencabut pedangnya. Disadari akan keadaan pihak lawan yang lebih menguntungkan, seketika itu juga segera dikeluarkan ilmu pedang andalannya, 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Terdengar suara mengaung bagaikan seekor naga yang tengah meraung murka, begitu Melati menggerakkan pedangnya.
"Selubung ini sudah tidak kuperlukan lagi!" ucap orang yang pada dahi selubungnya bergambar ekor kalajengking, seraya mencabut selubungnya.
"Ah...! Kau... kau... Ki Taji!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut keluarga Sudiraja begitu melihat wajah di balik selubung itu. Wajah Ki Taji! Kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi, orang yang hendak membunuh Kanulaga, dan orang yang selama ini menerima upeti dari Sudiraja adalah Ki Taji.
"Ya, aku! Kaget?" ejek Ki Taji sambil tersenyum sinis. Tunggulah. Setelah kubereskan wanita liar ini. Baru kalian akan kubereskan!" Setelah berkata demikian, Wakil Ketua Perguruan Kalajengking Merah itu segera membabatkan tongkat berujung ekor kalajengking ke leher Melati.
Wuttt..! Tongkat itu lewat di atas kepala Melati, begitu gadis itu merendahkan tubuhnya. Tidak sampai di situ saja yang dilakukan Melati. Pada saat yang bersamaan, pedangnya menusuk cepat ke leher Ki Taji. Suara menggerung dahsyat bagaikan seekor naga murka, mengiringi tibanya serangan itu.
Hebat bukan main 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki gadis itu. Ki Taji terpekik kaget. Serangan itu datang begitu cepat. Tak mungkin lagi Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu mengelak. Tapi sebelum ujung pedang Melati menembus tenggorokannya, Jalatara melesat cepat, memapak pedang itu dengan tongkat berujung ekor kalajengking yang sejak tadi digenggamnya
Tranggg...! Bunga-bunga api memercik ke udara, begitu kedua senjata itu beradu. Jalatara merasakan betapa sekujur tangannya tergetar hebat. Pemuda berkumis tipis ini kaget bukan main. Sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian putih ini kuat sekali! Semula Jalatara menduga kalau hanya Dewa Arak sajalah yang merupakan lawan tangguh. Sungguh tidak diduganya kalau Melati pun merupakan lawan yang amat berat baginya.
Jalatara tidak punya pilihan lain. Pemuda ini tidak ingin usahanya yang telah lama dirintisnya gagal total. Maka tanpa malu-malu lagi, anak buahnya diperintah kan mengepung Melati. "Serbu...!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan anak buahnya meluruk menyerang Melati, Sesaat kemudian hujan senjata pun berkelebatan ke arah gadis berpakaian serba putih itu. Jalatara pun tidak tinggal diam. Bersama Ki Taji, pemuda berkumis tipis ini ikut menyerbu.
Melati menggertakkan gigi. Dua belas orang anak buah Perkumpulan Kalajengking Merah bukanlah lawan yang berat baginya. Tapi Jalatara dan Ki Taji, merupakan lawan yang patut diperhitungkan. Mau tak mau Melati terpaksa harus mengerahkan seluruh kemampuannya, bila ingin selamat. Sesaat kemudian diruangan itu telah terjadi pertempuran sengit.
Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak melawan Kalajengking Merah sudah bergeser jauh dari tempat semula. Ruang tengah yang sebenarnya cukup luas, terasa sangat sempit bagi kedua orang sakti itu. Lantai dan dinding ruangan telah banyak yang retak-retak, karena setiap kali kedua tokoh itu melancarkan pukulan, dinding ruangan itu selalu bergetar.
Hal ini membuat kedua tokoh sakti itu tidak leluasa untuk melancarkan serangan. Khawatir bila bangunan itu roboh dan menimpa mereka. Kini Dewa Arak dan Kalajengkingi Merah telah berada di halaman. Semakin bertambah luas tempat pertarungan gerakan mereka pun semakin leluasa. Pertarungan antara kedua orang yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi ini berlangsung cepat.
Dalam hati, Dewa Arak memuji kelihaian lawannya. Kalajengking Merah memang memiliki kepandaian luar biasai. Baik tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuhnya tidak berada di bawah Dewa Arak. Dan yang lebih menyulitkan bagi Dewa Arak, adalah keanehan ilmu yang dimainkan kakek berkulit merah itu. Ilmu milik kakek berkulit merah itu mengingatkan Arya pada binatang kalajengking dan kuda.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar aneh menyambar-nyambar penuh ancaman maut ke berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Tapi yang lebih berbahaya adalah kibasan kakinya. Kibasan kaki itu mengingatkan Dewa Arak pada sabetan ekor kalajengking. Di samping itu, kaki kakek berkulit merah itu pun dapat mementil seperti seekor kuda.
Itulah sebabnya, sepasang kaki kakek itu jauh lebih berbahaya daripada kedua tangannya. Serangan sepasang kaki si kakek selalu datang tiba-tiba. Kalau saja Dewa Arak tidak mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang', sudah sejak tadi pemuda berambut putih keperakan ini roboh di tangan Kalajengking Merah.
Setelah bertarung selama seratus enam puluh jurus, Dewa Arak belum juga mampu mendesak kakek berkulit merah itu. Kehebatan jurus 'Belalang Mabuk pupus menghadapi sepasang kaki Kalajengking Merah yang selalu datang tiba-tiba. Beberapa kali Dewa Arak hampir saja terkena serangan kaki yang terkadang, mengibas dan sesekali mementil itu.
Itulah sebabnya, sepasang kaki kakek itu jauh lebih berbahaya daripada kedua tangannya. Serangan sepasang kaki si kakek selalu datang tiba-tiba. Kalau saja Dewa Arak tidak mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang', sudah sejak tadi pemuda berambut putih keperakan ini roboh di tangan Kalajengking Merah.
Setelah bertarung selama seratus enam puluh jurus, Dewa Arak belum juga mampu mendesak kakek berkulit merah itu. Kehebatan jurus 'Belalang Mabuk pupus menghadapi sepasang kaki Kalajengking Merah yang selalu datang tiba-tiba. Beberapa kali Dewa Arak hampir saja terkena serangan kaki yang terkadang, mengibas dan sesekali mementil itu.
Tapi berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih mampu mengelakkannya. Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi. Pemuda itu memutuskan untuk mengeluarkan Jurus yang jarang digunakannya kalau tidak terpaksa sekali, Jurus 'Pukulan Belalang'!
"Haaattt..!" Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, di jurus ke seratus delapan puluh tujuh, Kalajengking Merah mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh. Dan seperti biasanya, serangan itu datang secara tidak terduga-duga, sehingga membuat Dewa Arak kaget bukan main. Tapi berkat keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih sanggup mengelakkan serangan itu.
Cepat-cepat pemuda berambut putih keperakan ini merunduk, sehingga kibasan itu lewat sejengkal di atas kepalanya. Rambutnya sampai berkibaran akibat kerasnya tenaga dalam yang terkandung dalam tendangan itu. Tapi sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau tiba-tiba saja kaki kiri Kalajengking Merah menendang ke arah perutnya.
Bukkk...!
"Hugh...!" Dewa Arak mengeluh tertahan. Tendangan itu keras bukan main. Seketika itu juga tubuh pemuda itu terjengkang beberapa tombak ke belakang. Rasa sesak yang amat sangat mendera Arya. Untung saja Dewa Arak yang terkena tendangan itu, kalau orang lain pasti tewas seketika.
"He he he...!" Kakek berkulit merah itu terkekeh. Tanpa memberi kesempatan lagi, segera diserbunya Dewa Arak yang masih terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya bagaikan dua buah capit kalajengking menyambar ganas ke pelipis dan ubun-ubun Dewa Arak.
Mendadak saja, Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan angin keras berhawa panas menyengat menyambar, memapak tubuh Kalajengking Merah yang tengah meluruk ke arahnya. Kakek berkulit merah ini terpekik kaget. Serangan itu datangnya begitu tiba-tiba. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara. Belum sempat guru Jalatara itu berbuat sesuatu, jurus 'Pukulan Belalang' Dewa Arak, telak menghantamnya.
Bresss...!
"Aaakh...!" Kalajengking Merah melayang jauh diiringi teriakan menyayat, dan jatuh beberapa tombak dari tempatnya semula. Kakek berkulit merah ini menggelepar-gelepar beberapa saat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Kalajengking Merah tewas dengan sekujur tubuh hangus.
"Uhk... uhk...!" Dewa Arak terbatuk-batuk. Ada cairan merah kental yang memercik dari mulutnya seiring suara batuknya. Arya memang menderita luka dalam. Tendangan Kalajengking Merah yang mengenal perutnya memang kuat luar biasa. Tapi pengerahan tenaga dalam akhir jurus 'Pukulan Belalang' itulah yang semakin memperparah luka dalamnya.
Meskipun terluka dalam, tapi kekhawatiran Dewa Arak akan keselamatan Melati yang tengah dikeroyok, membuat pemuda itu mengesampingkan luka dalamnya. Bergegas Arya melangkah ke dalam ruang tengah yang luas dan megah itu. Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas lega. Dilihatnya Melati telah berhasil menguasai keadaan.
"Haaattt..!" Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, di jurus ke seratus delapan puluh tujuh, Kalajengking Merah mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh. Dan seperti biasanya, serangan itu datang secara tidak terduga-duga, sehingga membuat Dewa Arak kaget bukan main. Tapi berkat keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih sanggup mengelakkan serangan itu.
Cepat-cepat pemuda berambut putih keperakan ini merunduk, sehingga kibasan itu lewat sejengkal di atas kepalanya. Rambutnya sampai berkibaran akibat kerasnya tenaga dalam yang terkandung dalam tendangan itu. Tapi sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau tiba-tiba saja kaki kiri Kalajengking Merah menendang ke arah perutnya.
Bukkk...!
"Hugh...!" Dewa Arak mengeluh tertahan. Tendangan itu keras bukan main. Seketika itu juga tubuh pemuda itu terjengkang beberapa tombak ke belakang. Rasa sesak yang amat sangat mendera Arya. Untung saja Dewa Arak yang terkena tendangan itu, kalau orang lain pasti tewas seketika.
"He he he...!" Kakek berkulit merah itu terkekeh. Tanpa memberi kesempatan lagi, segera diserbunya Dewa Arak yang masih terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya bagaikan dua buah capit kalajengking menyambar ganas ke pelipis dan ubun-ubun Dewa Arak.
Mendadak saja, Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan angin keras berhawa panas menyengat menyambar, memapak tubuh Kalajengking Merah yang tengah meluruk ke arahnya. Kakek berkulit merah ini terpekik kaget. Serangan itu datangnya begitu tiba-tiba. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara. Belum sempat guru Jalatara itu berbuat sesuatu, jurus 'Pukulan Belalang' Dewa Arak, telak menghantamnya.
Bresss...!
"Aaakh...!" Kalajengking Merah melayang jauh diiringi teriakan menyayat, dan jatuh beberapa tombak dari tempatnya semula. Kakek berkulit merah ini menggelepar-gelepar beberapa saat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Kalajengking Merah tewas dengan sekujur tubuh hangus.
"Uhk... uhk...!" Dewa Arak terbatuk-batuk. Ada cairan merah kental yang memercik dari mulutnya seiring suara batuknya. Arya memang menderita luka dalam. Tendangan Kalajengking Merah yang mengenal perutnya memang kuat luar biasa. Tapi pengerahan tenaga dalam akhir jurus 'Pukulan Belalang' itulah yang semakin memperparah luka dalamnya.
Meskipun terluka dalam, tapi kekhawatiran Dewa Arak akan keselamatan Melati yang tengah dikeroyok, membuat pemuda itu mengesampingkan luka dalamnya. Bergegas Arya melangkah ke dalam ruang tengah yang luas dan megah itu. Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas lega. Dilihatnya Melati telah berhasil menguasai keadaan.
Dua belas orang Perkumpulan Kalajengking Merah telah bergeletakan di lantai. Semuanya tewas. Kini yang dihadapi gadis berpakaian putih itu tinggal Jalatara dan Ki Taji saja. Itu pun keduanya sudah terdesak hebat. Memang, Melati dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya terlalu kuat bagi kedua lawannya.
Hati Dewa Arak tenang melihat hal ini. Kini pemuda berbaju ungu itu tidak perlu khawatir lagi akan keselamatan Melati. Segera saja Arya duduk bersila. Tak lama kemudian Dewa Arak sudah tenggelam dalam semadinya untuk mengatasi luka dalamnya yang cukup parah. Sementara itu pertarungan antara Melati dengan kedua orang pimpinan Perkumpulan Kalajengking Merah semakin sengit.
"Hiyaaat..!"
Cappp...!
"Aaakh...!" Ki Taji menjerit memilukan ketika pedang Melati menghunjam perutnya.
Jalatara tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi pedang Melati masih tertancap di perut Ki Taji, dari belakang dia melompat menerjang. Dan selagi tubuhnya berada di udara, senjatanya disabetkan ke leher Melati. Tidak ada jalan lain bagi Melati. Pegangan pada pedangnya terpaksa dilepaskan, sambil menjatuhkan diri ke lantai. Melati terpaksa bergulingan sehingga kini gadis ini berada dalam posisi terlentang.
Wuttt..! Babatan tongkat berujung ekor kalajengking itu mengenai tempat kosong. Dan di saat itulah Melati menghentakkan kedua tangannya yang membentuk cakar naga ke atas, ke arah tubuh Jalatara yang masih berada di udara. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!" Jalatara menjerit memilukan. Tubuhnya yang tengah berada di udara itu melambung kembali atas. Pukulan jarak jauh Melati telak mengenai dadanya. Seketika itu juga sekujur tulang dadanya remuk. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Pemuda berkumis tipis ini tewas sebelum tubuhnya sempat mencapai tanah. Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras tubuh Jalatara jatuh ke lantai.
Sudiraja, Kanulaga, dan Nirmala menatap mayat Jalatara dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan. Ada perasaan lega melihat pemuda itu mati. Tapi perasaan sedih, mendera lebih besar lagi. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah keluarga mereka. Terlebih lagi Sudiraja! Tanpa dapat ditahannya, sepasang matanya merembang berkaca-kaca.
Dewa Arak dan Melati menghampiri Sudiraja sekeluarga dan Pandira yang kini sudah tidak terlalu lemah lagi. Mereka kini sudah mampu bangkit dan dapat berbuat sebagaimana orang biasa layaknya. Tapi, tetap saja tenaga dalam yang mereka miliki musnah.
"Sayang sekali, kami tidak tahu bagaimana caranya memunahkan racun itu," keluh Dewa Arak penuh sesal setelah menyelesaikan semadinya. Kini luka-luka dalamnya telah sembuh.
"Aku dapat memunahkannya, Dewa Arak," sahut Kanulaga.
"Kau bisa?" tanya Arya ingin memastikan.
"Ya! Guruku ahli pengobatan. Racun ini bukan apa-apa bagiku," ucap laki-laki berwajah keras itu seperti menyombongkan diri.
"Lalu, kenapa sejak tadi kau diam saja?" tanya Dewa Arak menyalahkan.
"Tadi aku belum mampu bangkit.... Eh! Dewa Arak...!" panggil Kanulaga keras. Sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak melesat pergi dari situ diikuti oleh Melati.
Tapi Arya dan Melati sama sekali tidak mempedulikan panggilan Kanulaga. Kedua pendekar muda ini sengaja bergegas pergi, karena tidak ingin menerima ucapan terima kasih dari orang yang ditolongnya. Lagi pula urusannya telah selesai. Kanulaga, Sudiraja, Pandira, dan Nirmala, hanya dapat terlongong melihat kepergian penolong mereka.
Sementara itu, nun jauh di sana nampak dua sejoli tengah berjalan berdampingan. Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian serba putih. Kedua orang itu adalah Dewa Arak dan Melati yang terus mengembara memenuhi tugas sebagai pendekar pembela kebenaran.
Hati Dewa Arak tenang melihat hal ini. Kini pemuda berbaju ungu itu tidak perlu khawatir lagi akan keselamatan Melati. Segera saja Arya duduk bersila. Tak lama kemudian Dewa Arak sudah tenggelam dalam semadinya untuk mengatasi luka dalamnya yang cukup parah. Sementara itu pertarungan antara Melati dengan kedua orang pimpinan Perkumpulan Kalajengking Merah semakin sengit.
"Hiyaaat..!"
Cappp...!
"Aaakh...!" Ki Taji menjerit memilukan ketika pedang Melati menghunjam perutnya.
Jalatara tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi pedang Melati masih tertancap di perut Ki Taji, dari belakang dia melompat menerjang. Dan selagi tubuhnya berada di udara, senjatanya disabetkan ke leher Melati. Tidak ada jalan lain bagi Melati. Pegangan pada pedangnya terpaksa dilepaskan, sambil menjatuhkan diri ke lantai. Melati terpaksa bergulingan sehingga kini gadis ini berada dalam posisi terlentang.
Wuttt..! Babatan tongkat berujung ekor kalajengking itu mengenai tempat kosong. Dan di saat itulah Melati menghentakkan kedua tangannya yang membentuk cakar naga ke atas, ke arah tubuh Jalatara yang masih berada di udara. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!" Jalatara menjerit memilukan. Tubuhnya yang tengah berada di udara itu melambung kembali atas. Pukulan jarak jauh Melati telak mengenai dadanya. Seketika itu juga sekujur tulang dadanya remuk. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Pemuda berkumis tipis ini tewas sebelum tubuhnya sempat mencapai tanah. Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras tubuh Jalatara jatuh ke lantai.
Sudiraja, Kanulaga, dan Nirmala menatap mayat Jalatara dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan. Ada perasaan lega melihat pemuda itu mati. Tapi perasaan sedih, mendera lebih besar lagi. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah keluarga mereka. Terlebih lagi Sudiraja! Tanpa dapat ditahannya, sepasang matanya merembang berkaca-kaca.
Dewa Arak dan Melati menghampiri Sudiraja sekeluarga dan Pandira yang kini sudah tidak terlalu lemah lagi. Mereka kini sudah mampu bangkit dan dapat berbuat sebagaimana orang biasa layaknya. Tapi, tetap saja tenaga dalam yang mereka miliki musnah.
"Sayang sekali, kami tidak tahu bagaimana caranya memunahkan racun itu," keluh Dewa Arak penuh sesal setelah menyelesaikan semadinya. Kini luka-luka dalamnya telah sembuh.
"Aku dapat memunahkannya, Dewa Arak," sahut Kanulaga.
"Kau bisa?" tanya Arya ingin memastikan.
"Ya! Guruku ahli pengobatan. Racun ini bukan apa-apa bagiku," ucap laki-laki berwajah keras itu seperti menyombongkan diri.
"Lalu, kenapa sejak tadi kau diam saja?" tanya Dewa Arak menyalahkan.
"Tadi aku belum mampu bangkit.... Eh! Dewa Arak...!" panggil Kanulaga keras. Sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak melesat pergi dari situ diikuti oleh Melati.
Tapi Arya dan Melati sama sekali tidak mempedulikan panggilan Kanulaga. Kedua pendekar muda ini sengaja bergegas pergi, karena tidak ingin menerima ucapan terima kasih dari orang yang ditolongnya. Lagi pula urusannya telah selesai. Kanulaga, Sudiraja, Pandira, dan Nirmala, hanya dapat terlongong melihat kepergian penolong mereka.
Sementara itu, nun jauh di sana nampak dua sejoli tengah berjalan berdampingan. Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian serba putih. Kedua orang itu adalah Dewa Arak dan Melati yang terus mengembara memenuhi tugas sebagai pendekar pembela kebenaran.
Selanjutnya, Penganut Ilmu Hitam |