Dewa Arak - Dendam Tokoh Buangan

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Dendam Tokoh Buangan karya Ajisaka
Sonny Ogawa
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
Dewa Arak-Dendam Tokoh Buangan
Karya : Ajisaka

SATU

Burung-burung berkicau riang menyambut datangnya pagi. Angin yang berhembus terasa segar di dada, dan nikmat di kulit. Kabut yang masih menyelimuti Gunung Sawang begitu pekat, sehingga matahari tak kuasa memancarkan sinarnya. Suasana hening dan sunyi menyelimuti sekitar tempat itu. Tapi mendadak....

"Groaaah...!" Geraman keras menggelegar terdengar memecahkan keheningan pagi itu. Geraman itu jelas keluar dari mulut seorang yang memiliki tenaga dalam amat tinggi. Buktinya, suara itu mampu menggetarkan suasana di sekitarnya.

Dan sumber suara itu ternyata dari dalam perut Gunung Sawang. Di dalam sebuah gua luas yang tertutup rapat oleh batu besar, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun duduk bersila di tanah. Pergelangan kaki dan tangannya dililit gelang-gelang baja tebal dan kuat yang disambung oleh rantai-rantai baja panjang yang juga tebal ke dinding-dinding gua. Menilik dari besarnya, seharusnya gelang-gelang baja dan rantai itu tidak cocok digunakan pada manusia, tapi untuk membelenggu seekor gajah besar yang bertenaga kuat.

"Grrrh...!" Kembali terdengar geraman keras dari mulut kakek berbaju rompi compang-camping yang sudah tidak jelas lagi warnanya. Dan suara geraman itu lebih mirip raungan seekor binatang buas yang terluka. Seiring berakhirnya geraman, kakek itu bangkit berdiri. Kemudian kedua tangan dan kakinya yang besar-besar dan berotot, seperti juga tubuhnya yang tinggi besar berotot, bergerak mengejang. Jelas kalau kakek Itu bermaksud membebaskan diri dari belenggu.

Suara bergemeretak keras terdengar ketika dinding gua yang terlihat keras bukan main terbongkar. Sekujur dinding dan atap gua itu bergetar hebat seiring jebolnya dinding tempat rantai baja tertanam. Debu berguguran dan mengepul tinggi ketika dinding gua itu terbongkar.

"Ha ha ha...!" Kakek tinggi besar itu tertawa tergelak begitu tubuhnya telah terbebas dari pasungan di dinding gua. Luar biasa akibat tawa itu! Seluruh ruangan itu bergetar hebat seperti dilanda gempa. Jelas, tawanya itu didukung oleh pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan menilik akibat yang ditimbulkan, jelas sekali kalau tingkat kepandaiannya telah tinggi. Kakek berompi compang-camping itu terus saja tertawa-tawa, meskipun akibat tawanya telah disaksikannya sendiri. Rupanya dia tengah merasa gembira bukan main.

"Ha ha ha...! Gering Langit..! Kini aku telah bebas! Bebas! Ha ha ha...!"

Sambil terus tertawa-tawa, kakek bertubuh tinggi besar itu memutuskan gelang-gelang baja yang masih melilit pergelangan tangan dan kakinya. Luar biasa! Kelihatannya, kakek itu sama sekali tidak mengerahkan tenaga waktu mencengkeram gelang-gelang baja yang melilit pergelangannya. Tapi hebatnya, gelang-gelang baja itu seketika berpatahan. Di hadapannya, gelang-gelang baja yang mampu membelenggu gajah itu, tak ubahnya sebatang lidi!

Dan memang, bukan hanya tenaga dalamnya saja yang menggiriskan. Sebenarnya kakek itu adalah tokoh yang menggiriskan. Di samping wajahnya yang mengerikan, tindakannya pun membuat orang bergidik. Selebar wajahnya penuh luka guratan. Kulit tubuhnya hitam, dan sepasang matanya yang kelihatan berwarna biru hitam kelam. Jelas, hal ini kian menambah seram penampilannya. Belum lagi rambutnya yang nampak aneh! Sepertinya, rambut yang dimiliki kakek itu besar-besar. Apabila didekati, baru jelas kalau beberapa helai rambutnya dirangkum menjadi satu.

Kakek tinggi besar ini kemudian menggeliatkan tubuhnya sejenak. Rupanya otot-otot tubuhnya terasa kaku. Terdengar suara berkerotokan berkali-kali ketika kakek itu menggeliatkan tubuhnya. Setelah dirasa agak lemas, dia melangkah perlahan menuju mulut gua yang tertutup. Sekitar sepuluh tombak kemudian, kakek itu telah berdiri di depan pintu gua yang pintunya tertutup batu besar.

Kakek berwajah penuh luka guratan itu diam terpaku sejenak di depan lubang gua yang mulutnya ditutup batu besar dari luar. Lubang gua itu besar sekali dengan garis tengah mencapai dua tombak. Jadi, betapa saktinya orang yang telah menutup mulut gua itu. Batu itu memang luar biasa besarnya. Paling tidak, berukuran dua kali kerbau jantan besar!

Perlahan kakek bertubuh tinggi besar itu mengepalkan kedua tangannya, memperdengarkan suara berkerotokan keras seperti tulang-tulang berpatahan. Jelas, kedua tangannya telah dialiri tenaga dalam yang tidak terkira kuatnya. Suara berkerotokan keras masih terus terdengar ketika kakek itu menarik kedua tangannya yang telah mengepal perlahan-lahan namun penuh kekuatan ke sisi pinggang.

Seketika tercipta getaran kuat ketika kedua tangan itu ditarik ke pinggang. Kakek itu makin memusatkan pikirannya, setelah menahan napas sejenak. Sebentar kemudian, tangan yang terkepal di pinggang itu dihentak-kan ke depan.

Wusss...! Angin menderu keras mengiringi terhentaknya kedua tangan itu. Sebentar kemudian...

Blarrr...! Ledakan dahsyat terdengar begitu angin pukulan yang keluar dari kedua kepalan kakek tinggi besar itu menghantam batu yang menutupi mulut gua hingga hancur berkeping-keping, berpentalan tak tentu arah. Bahkan tidak sedikit dari kepingan batu itu yang menyambar tubuh kakek berompi compang-camping itu. Tapi hal itu tidak dirasakannya sama sekali. Ini bisa dilihat dari wajah kakek itu yang tidak menunjukkan gejala apa-apa.

Debu masih mengepul ketika suara gemuruh akibat ledakan mereda. Kakek berpakaian rompi compang-camping itu memejamkan matanya, untuk mencegah debu yang menyelusup ke sepasang matanya. Tak lama kemudian debu mulai menipis, dan akhirnya lenyap sama sekali. Kini tampaKiah pemandangan luas di luar gua yang sudah lama tidak dilihat oleh kakek bertubuh tinggi besar itu.

"Ha ha ha...!" Kakek berwajah penuh gurat luka itu kembali tertawa tergelak. Sorot kegembiraan terpancar jelas pada wajah maupun suara tawanya. Seperti orang gila, dia menarik napas dalam-dalam untuk menikmati udara sejuk pagi hari.

"Segar...! Ahhh...! Segarnya udara alam bebas...!" desah kakek tinggi besar itu berkali-kali. "Entah berapa tahun sudah aku tidak pernah menikmati udara segar seperti ini..."

Namun di atas sana, mendadak awan tebal berarak menutupi langit. Kicau riang burung pun mendadak tidak terdengar lagi. Sepertinya, alam langsung berduka. Mungkinkah hal ini karena terlepasnya kakek berompi compang-camping dari ruangan gua itu.

Kakek berwajah penuh guratan luka itu sama sekali tidak mempedulikannya. Dia malah lebih suka menarik napas dalam-dalam, seraya merentang-rentangkan kedua tangan ke samping. Mungkin agar udara segar yang ter-hirup dapat lebih meresap ke dalam dadanya.

Tak lama kemudian, kakek bertubuh tinggi besar itu menghentikan kesibukannya. Rupanya, dia telah merasa cukup menikmati udara luar. Kini pandangannya dialihkan ke arah kaki Gunung Sawang.

"Ha ha ha!" Suara tawa keras menggelegar terdengar ketika kakek bertubuh tinggi besar itu membuka mulutnya Suara itu berkumandang keras, dipantulkan dinding-dinding gunung sehingga terdengar menyeramkan.

"Kini tiba saatnya bagi Ruksamurka untuk membalas sakit hati ini...!" tegas kakek berompi compang-camping yang ternyata bernama Ruksamurka.

Setelah berkata demikian, kakek bertubuh tinggi besar itu melangkahkan kakinya. Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, tubuhnya sudah melesat sejauh sebelas tombak. Jelas, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ruksamurka begitu tinggi. Lincah laksana kera, dan gesit laksana bayangan, Ruksamurka bergerak cepat menuruni lereng gunung.

Kedua kakinya menotok sana-sini dengan enaknya. Tak sedikit pun dia merasa khawatir kalau kakinya salah pijak. Tindakannya mencerminkan keyakinan kuat pada diri sendiri. Dan memang, kakek itu sama sekali tidak mengalami gangguan ketika menuruni lereng. Tak lama kemudian, tubuhnya pun lenyap di balik sebuah gundukan batu besar.

* * * * * * * *

"Ya, Tuhan...!" Keluhan keterkejutan terdengar dari mulut seorang kakek berpakaian putih bersih berusia tak kurang dari tujuh puluh lima tahun. Seluruh tubuhnya seperti mengeluarkan cahaya. Terutama sekali wajahnya yang penuh ditumbuhi kumis, alis, dan jenggot berwarna putih. Dia tengah duduk bersila di sebuah ruangan dalam sebuah bangunan tua dan megah. Di tangannya tampak tergenggam seuntai tasbih. Seiring keluarnya seruan keterkejutannya, kakek berpakaian putih bersih itu langsung bangkit dari duduk bersilanya.

"Apakah aku sekarang telah pikun?" Desah pelan bernada keluhan kembali terdengar dari mulut kakek itu. Dahinya nampak berkernyit dalam.

"Mengapa aku bisa melupakannya? Tapi, mudah-mudahan saja belum terlambat. Kalau tidak, dunia persilatan akan kembali geger. Darah akan kembali tumpah di mana-mana."

Seiring selesainya ucapan itu, mendadak tubuh kakek berpakaian putih bersih itu lenyap begitu saja dari ruangan bangunan megah itu. Dia ternyata mampu manghilang! Ajaib! Tak sampai sekejap mata kakek berpakaian putih bersih itu telah berpindah tempat. Dia kini telah berada di dalam gua tempat Ruksamurka dibelenggu.

Kakek itu ternyata tidak hanya mampu menghilang! Bahkan juga mampu pergi ke suatu tempat dalam sekejap! Jelas ke-pandaiannya sudah sangat tinggi, sehingga membuatnya tidak terlihat oleh ruang dan waktu! Dia tak ubahnya seperti makhluk halus yang memang mampu pergi ke manapun dalam sekejap!

"Ya, Tuhan…!" Kakek berpakaian putih bersih itu menatap dinding gua yang terbongkar. Beberapa saat matanya terpaku pada dinding gua, kemudian beralih ke sekitarnya. Tampak gelang-gelang baja besar dan tebal yang telah hancur berantakan berserakan di sekitar situ. Begitu juga rantai baja besar yang putus menjadi beberapa bagian.

Lalu, kakek berpakaian putih bersih itu melangkahkan kakinya ke luar. Pelan dan lambat-tambat saja langkahnya. Tak sampai dua puluh langkah, langkahnya berhenti. Pandangannya terruju ke depan, ke arah gua yang tidak mempunyai penutup lagi.

Kakek berpakaian putih bersih terpaku di tempat itu, berjarak sekitar dua tombak di depan ambang gua. Tapi di wajah tuanya sama sekali tidak nampak perasaan apa-apa, tetap saja seperti semula. Tenang, membawa perbawa tinggi. Sehingga orang lain yang melihatnya merasa tunduk.

Sesaat kemudian, kakek itu melangkah melewati pintu gua. Dalam beberapa langkah saja dia telah berada di luar gua. Di sini, kakek itu memandang berkeliling. Cukup lama juga kakek berpakaian putih bersih itu bersikap begitu, sebelum akhirnya tubuhnya mendadak kembali raib! Dia memang memiliki ilmu 'Ringkas Bumi', sehingga mampu membuatnya bepergian ke manapun dalam sekejap.

* * * * * * * *

Suara napas dengan irama teratur terdengar, menambah riuh-rendahnya Hutan Gantang. Suara itu ternyata berasal dari mulut dan hidung seorang pemuda tampan yang tengah bersemadi. Pakaiannya ungu, dengan sebuah guci arak dari perak tersampir di punggung.

Melihat ciri-cirinya, tidak ada yang aneh pada diri pemuda berpakaian ungu itu. Tapi apabila melihat rambutnya, pasti akan heran. Sebab rambutnya ternyata berwarna putih, laksana orang yang telah berusia lanjut. Hanya saja warna rambutnya lebih indah, karena berwarna putih keperak-perakan. Tampaknya, pas sekali dengan pakaian-nya yang serba ungu.

Mendadak pemuda berambut putih keperakan ini menghentikan semadinya. Nalurinya membisikkan ada sesuatu di dekatnya, sekalipun pendengarannya tidak menangkap langkah yang mendekati tempatnya. Perlahan sepasang kelopak matanya terbuka. Lalu, pemuda berambut putih keperakan ini bergerak bangkit memberi hormat.

"Guru...," sebut pemuda berambut putih keperakan itu pada sesosok tubuh yang tahu-tahu berdiri di depannya, dalam jarak sekitar dua tombak.

Sosok tubuh yang berdiri di hadapan pemuda berambut putih keperakan itu ternyata seorang kakek berpakaian putih bersih. Menilik panggilannya, jelas kakek ini adalah guru pemuda berambut putih keperakan itu.

"Arya...." panggil kakek berpakaian putih bersih itu. Suaranya terdengar pelan dan lembut. Kemudian dengan langkah perlahan-lahan, kakek itu melangkah mendekati pemuda berambut putih keperakan ini. Diusap-usapnya rambut yang berwarna putih dan panjang meriap itu. Dan memang, pemuda itu adalah Arya Buana atau berjuluk Dewa Arak.

"Ada satu masalah yang ingin kusampaikan padamu." jelas kakek berpakaian putih bersih itu seraya meng-hentikan usapan tangannya.

"Masalah apa, Guru?" tanya Dewa Arak.

Kakek berpakaian putih bersih yang tidak lain adalah Ki Gering Langit, guru Dewa Arak itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Dia tampak diam tercenung beberapa saat lamanya.

"Belasan tahun yang lalu, ada seorang tokoh sesat berkepandaian luar biasa. Tapi sayang, wataknya sangat kejam, dan keji bukan main," tutur Ki Gering Langit memulai ceritanya.

Arya diam mendengarkan. Sama sekali cerita gurunya tidak berminat diselak. Benaknya sibuk menduga-duga masalah yang membuat gurunya begitu memperhatikan tokoh itu.

"Tak terhitung orang yang sudah menjadi korbannya. Sifatnya yang buruk, membuatnya selalu menyebar maut di tiap tempat yang dikunjunginya. Banyak pendekar yang berniat membasmi, tapi selalu gagal. Tokoh berwatak iblis itu terlalu sakti untuk dilawan. Para pendekar hanya membuang nyawa percuma saja, dan semua tewas dalam keadaan mengerikan."

Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas, seraya menatap dalam-dalam wajah Arya. Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi wajah Dewa Arak tampak tenang, tanpa perubahan sedikit pun. Tapi yang jelas, Arya mendengarkan cerita gurunya penuh perhatian.

"Secara kebetulan di sebuah desa aku bertemu dengannya, walaupun nama dan kekejamannya telah lama kudengar. Tapi baru kali itu kusaksikan kekejamannya dengan mata kepala sendiri. Dia memang bukan manusia, tapi iblis! Sambil tertawa-tawa kulihat dia tengah mengumpulkan para penduduk desa itu di sebuah tanah lapang, kemudian dibantainya."

Ki Gering Langit kembali menghentikan ceritanya sejenak, mencari kata-kata baru untuk melanjutkan kisahnya. "Melihat kekejamannya, darahku seketika mendidih. Hal itu tidak bisa kubiarkan. Tak pelak lagi, kami pun bertarung. Melalui sebuah pertarungan panjang dan melelahkan, tokoh sesat itu berhasil kulumpuhkan. Tapi sayang, aku tidak tega membunuhnya. Aku memang tidak pernah berani membunuh manusia. Maka terpaksa dia kubawa dan kupenjarakan di suatu tempat"

Lagi-lagi kakek berpakaian putih bersih itu meng-hentikan ceritanya. Pandangannya menerawang jauh, mengingat-ingat masa lalunya. Sementara Arya tetap diam, meskipun benaknya tengah digayuti pertanyaan. Apakah gurunya tidak menggunakan ilmu andalan sewaktu menghadapi tokoh sesat itu? Bukankah dengan ilmu itu Ki Gering Langit mudah sekali merobohkan lawannya?

"Tokoh sesat itu lihai sekali. Sampai-sampai di samping kuborgol dengan baja sekaligus rantai yang besar dan kokoh, pada gelang baja itu juga kumasukkan ilmu yang membuat sekujur tubuhnya terasa lemas. Tentu saja itu adalah ilmu gaib," lanjut Ki Gering Langit lagi. "Namun sayang, ilmu itu ada kelemahannya. Kekuatan ilmu gaib yang kutanamkan pada borgol itu, hanya mampu bertahan selama enam puluh purnama itu pun sudah lama sekali."

"Mengapa begitu, Guru?" tanya Arya, tidak tahan juga menahan rasa ingin tahunya yang menggelegak.

"Itulah ilmu manusia, Arya," sahut Ki Gering Langit kalem. "Biar bagaimanapun, pasti ada kelemahannya."

Arya hanya bisa menganggukkan kepala pertanda mengerti.

"Biasanya, menjelang purnama kelima puluh aku sudah mengunjungi tempatnya untuk memasang kekuatan gaib yang membuat tokoh sesat itu selalu terasa lemas," sambung Ki Gering Langit. "Tapi, kali ini aku lupa. Hingga menjelang purnama keenam puluh, dia belum kutengok. Dan begitu kujenguk, dia telah kabur."

Arya tercenung mendengar cerita gurunya. "Siapa nama tokoh sesat itu. Guru?"

"Ruksamurka," jawab Ki Gering Langit.

Arya terdiam beberapa saat lamanya. Namun, mulutnya berulang-ulang menyebut nama tokoh sesat itu. Sepertinya, dia berusaha mengingat-ingatnya.

"Kalau dia terbelenggu seperti itu, bagaimana bisa bertahan hidup, Guru? Bukankah dia tidak akan bisa mencari makan atau minum?" tanya Arya, mengajukan keheranannya.

"Di bagian dalam gua ada tanaman dan sumber air, Arya. Panjang rantai yang membelenggunya cukup untuk mencapai tempat makanan dan minuman itu."

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini tidak ada lagi pertanyaan yang bergayut di benaknya.

"Kau kutugaskan untuk mencarinya, Arya. Hidup atau mati. Aku sudah bersumpah untuk tidak mencampuri urusan kekerasan lagi secara langsung, Arya. Aku ingin beristirahat menghabiskan sisa umurku."

Setelah berkata demikian, tubuh Ki Gering Langit lenyap dari tempat itu. Sepeninggal gurunya, Arya pun melangkah meninggal-kan tempat itu. Kini dia mempunyai sebuah tugas, mencari tahanan gurunya yang telah jadi buronan.

* * * * * * * *

DUA

Angin berhawa dingin berhembus kencang. Langit memang terlihat begitu pekat. Awan tebal dan hitam nampak bergumpal menutupi sang mentari yang telah naik tinggi.

"Masih jauhkah tempat itu, Kek?" tanya seorang gadis berwajah cantik dan berpakaian putih. Rambutnya yang hitam, panjang, dan halus, dibiarkan tergerai. Sehingga gadis itu tampak jadi semakin cantik saja.

"Tidak berapa jauh lagi, Melati," sahut kakek bertubuh kecil kurus yang berjalan di sebelahnya. Kakek itu menolehkan kepala menatap wajah gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Karena tinggi tubuhnya tidak sampai sebahu Melati, dia menoleh sambil agak mendongak.

"Hhh...!" Melati menghela napas berat. Sementara, sepasang matanya menatap jauh ke depan. Tidak nampak adanya apa pun di depannya, kecuali hamparan tanah luas tanpa pepohonan sebatang pun.

"Mengapa, Melati? Lelah?" tanya kakek bertubuh kecil kurus yang tak lain adalah Ki Julaga, guru gadis berpakaian putih itu.

"Tidak, Kek," sahut Melati sambil menggelengkan kepala.

"Hm...," gumam Ki Julaga, pelan. Mulutnya menyunggingkan sebuah senyum getir. "Kalau tidak lelah, mengapa menghembuskan napas berat?"

"Aku khawatir hujan akan lebih dulu turun, sebelum kita sampai di sana, Kek," sahut Melati seraya melayangkan pandangan ke arah langit.

Memang keadaan langit cukup mengkhawatirkan. Awan tebal, hitam, dan bergumpal-gumpal. Jelas turunnya hujan hanya tinggal menunggu waktu saja. Angin dingin yang berhembus pun kian mengencang. Ki Julaga melayangkan pandangan ke atas pula. Mau tak mau kekhawatiran muridnya bisa masuk akal juga.

"Kalau begitu, mari kita bergegas, Melati," ajak kakek berpakaian jingga itu.

Melati menganggukkan kepala pertanda menyetujui ajakan gurunya. Dan memang, itulah yang sejak tadi diharapkannya. Dia bosan berjalan biasa saja. Gadis ini mengharapkan agar gurunya segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sambil mencoba menguji ilmu meringankan tubuh miliknya sendiri.

Maka, kini guru dan murid itu telah melesat cepat mem-pergunakan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Mereka seperti berlomba-lomba untuk mencapai tujuan. Dan tentu saja, karena tingkatan Melati masih jauh di bawah Ki Julaga, dia jadi tertinggal jauh.

"Capek, Melati?" tanya Ki Julaga seraya mengembangkan sebuah senyum, ketika mereka telah berhenti di suatu tempat.

Gadis berpakaian putih itu hanya mampu menganggukkan kepala saja. Napasnya yang masih terengah-engah, menyulitkannya untuk berbicara. Dia kini sibuk menghapus peluh yang membasahi wajahnya dengan punggung tangan.

"Tenangkanlah hatimu. Sebentar lagi tempat yang kita tuju telah di depan mata," jelas Ki Julaga.

Sambil berkata demikian, kakek bertubuh kecil kurus menudingkan telunjuk kanannya ke depan. Dengan penuh gairah mata Melati mengikuti arah tudingan itu. Dan memang, dalam jarak sekitar dua puluh lima tombak dari tempatnya, tampak sebuah bangunan besar dan megah. Walaupun sudah agak tua, bangunan besar itu mempunyai halaman luas dan dikurung pagar tembok tinggi.

"Jadi, ke tempat itukah tujuan Kakek?" tanya Melati.

Memang Ki Julaga sama sekali tidak memberitahukan tujuan dan maksud kepergian kepada muridnya. Kakek berpakaian jingga itu mengangguk membenarkan.

"Bangunan itu adalah tempat bersejarah bagiku, Melati," jelas Ki Julaga. Ada nada kegetiran dalam suaranya. "Di tempat itulah aku menerima sebuah anugerah, berupa warisan ilmu dari seorang tokoh sakti yang bijaksana. Tapi, di tempat itu pulalah, aku telah menceburkan diri dalam lumpur kehinaan."

Ki Julaga menghentikan cerita sejenak. Raut wajahnya terlihat muram. Jelas kalau kakek itu merasa menyesal akan kejadian yang telah dilakukannya. Melati mendengarkan dengan hati terharu. Selama ini gurunya telah dianggap sebagai kakeknya sendiri. Gadis itu tahu kalau Ki Julaga telah terkena bujukan rekannya untuk mencuri kitab-kitab pusaka majikannya. Namun Ki Julaga sendiri tidak pernah memberitahukan tempat pusaka itu dicuri.

"Inikah tempat tinggal Ki Gering Langit, Kek?" tanya Melati dengan suara serak. Perasaan terharu melihat kesedihan gurunya, membuat dadanya sesak dan lehernya terasa tercekik. Ki Julaga menganggukkan kepala.

"Apakah Ki Gering Langit tahu kalau Kakek dan Ki Jatayu mencuri kitab-kitab pusakanya?" kejar Melati lagi. Perasaan ingin tahu yang amat sangat tergambar jelas dalam sikap maupun nada suara gadis itu (Untuk lebih jelas mengenai hal ini, baca serial Dewa Arak dalam episode Cinta Sang Pendekar). Kembali Ki Julaga mengangguk, membenarkan.

"Dan dia mengejarmu, Kek?"

Ada nada kesenduan dalam pertanyaan itu. Dan memang sebenarnya Melati merasa kasihan dan sedih sekali membayangkan kakek bertubuh kecil kurus ini selalu dicekam rasa takut di tempat persembunyiannya.

"Tidak," Ki Julaga menggelengkan kepalanya. "Kalau beliau mau mengejar, sudah lama aku berhasil ditemukannya. Kau tahu, Melati. Ki Gering Langit memiliki banyak ilmu aneh. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, kudengar telah memiliki ilmu yang membuatnya dapat pergi ke tempat yang diinginkan dalam sekejap mata saja!"

"Gila...!" desis Melati antara takjub dan terkejut. "Begitu lihaikah Ki Gering Langit itu, Kek?"

"Hhh...!" Ki Julaga menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu. Karuan saja hal ini membuat Melati yang sudah tidak sabar untuk mendengarnya jadi agak kesal. "Kepandaian yang kumiliki ini tidak ada artinya bila dibanding dengan beliau, Melati."

Bulu kuduk Melati meremang mendengar penjelasan gurunya. Seketika itu pula dia teringat Arya kekasihnya. Tahukah pemuda berambut putih keperakan itu kalau Ki Gering Langit memiliki ilmu yang demikian tinggi?

Ki Julaga tidak melanjutkan ucapannya. Sementara Melati pun sibuk dengan lamunannya. Sehingga, suasana menjadi hening sejenak. Guru dan murid itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Tapi kesibukan benak kedua orang itu terganggu ketika titik-titik air mulai berjatuhan ke bumi. Hampir berbareng Melati dan Ki Julaga mendongak ke atas ketika ada beberapa tetes air jatuh di tangan mereka.

"Hujan mulai turun, Kek," kata Melati.

"Cepat kita berteduh di sana...!" ajak Ki Julaga seraya menudingkan tehinjuk tangan kanannya ke arah bangunan tempat tinggal Ki Gering Langit.

Melati tidak membantah lagi karena titik-titik air yang turun dari langit semakin banyak dan semakin cepat. Sudah bisa diterka, tidak lama lagi hujan lebat akan turun. Dan gadis itu tentu saja tidak mau basah kuyup. Melati melesat cepat, mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, seperti berlomba dengan hujan. Putri angkat Raja Bojong Gading ini ingin tiba di bangunan tempat tinggal Ki Gering Langit sebelum hujan lebat turun.

Berbareng dengan melesatnya tubuh Melati, Ki Julaga melesat pula. Tapi berbeda dengan sebelumnya, kakek bertubuh kecil kurus ini tidak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Dia tidak ingin membiarkan muridnya kehujanan sendirian.

"Hup...!"

Berbareng dengan melayangnya tubuh Melati melompati tembok, tubuh Ki Julaga pun melenting pula. Pada saat yang bersamaan, kedua pasang kaki itu hinggap di dalam halaman. Dan secepat mereka mendarat, secepat itu pula melesat ke arah bangunan. Tepat ketika guru dan murid itu tiba di teras bangunan itu, hujan lebat turun. Air yang bagaikan dicurahkan dari langit turun membasahi bumi.

Glarrr...! Suara halilintar ikut meramaikan suasana. Kilatan-kilatan cahaya menyilaukan tampak seperti membelah langit. Seakan-akan, seluruh isi alam bergembira ria.

"Hhh…!" Helaan napas lega keluar dari mulut Melati dan Ki Julaga. Keduanya diam-diam bersyukur, karena bisa tiba di tempat yang terlindung tepat saat turunnya hujan lebat. Sehingga, tubuh dan pakaian mereka tidak basah.

"Di daerah sekitar sini, hujan adalah hal yang mengherankan, Melati," Ki Julaga membuka pembicaraan kembali.

"Mengapa, Kek?" tanya Melati ingin tahu.

"Aku juga tidak tahu," sahut Ki Julaga sambil menggelengkan kepala. "Yang kutahu, di daerah ini jarang turun hujan. Dalam dua belas kali purnama, hanya beberapa kali hujan. Itu pun tidak begitu lebat..."

Melati menganggukkan kepala. Padahal, gadis ini tidak tertarik dengan pembicaraan itu. Dia ingin agar Ki Julaga menceritakan tentang masa lalunya. "Mengapa Kakek ingin mengunjungi tempat ini?" tanya Melati begitu mendapat kesempatan di saat gurunya tidak melanjutkan ucapannya lagi.

Ki Julaga tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah tercenung beberapa saat lamanya. Sepasang mata-nya menerawang jauh ke depan, seperti tengah menatap butir-butir air yang jatuh ke bumi. Tapi melihat pandangan-nya yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau dia tengah melamun.

"Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang telah kulakukan, Melati." Jelas Ki Julaga. Pelan suaranya, mirip desahan. Nampaknya ucapan itu keluar dari lubuk hati yang paling dalam.

"Tapi, bukankah Kakang Arya telah memberi maaf pada Kakek?" bantah Melati. "Apakah itu tidak cukup? Kurasa dia tidak begitu mudah memberi maaf kalau tidak mendapat pesan lebih dulu dari Ki Gering Langit."

"Semua ucapanmu itu tidak salah, Melati," sambut Ki Julaga. Tapi, aku ingin meminta maaf sendiri pada Ki Gering Langit. Biar hatiku tenang, dan tidak mati penasaran."

Melati menyadari kebenaran yang terkandung dalam pengakuan itu. Maka dia pun terdiam, tidak menyahuti lagi. Seketika suasana jadi hening karena Ki Julaga tidak melanjutkan ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah suara curahan hujan, deru angin, dan gelegar halilintar yang sesekali menyambar bumi.

Melati dan Ki Julaga tenggelam dalam lamunan masing-masing. Sepasang mata mereka menatap ke depan. Sepintas lalu guru dan murid itu seperti tengah mengawasi hujan. Tapi bila diperhatikan lebih seksama, mereka tengah menatap tajam pada satu titik yang tidak bergerak-gerak sama sekali. Mendadak sepasang mata mereka terbeliak ketika yang dilihat mulai bergerak. Suatu sosok tinggi besar bergerak cepat ke arah mereka.

Sepasang mata Ki Julaga dan Melati semakin terbelalak. Dan memang keduanya merasa terkejut bukan main dengan gerakan sosok tubuh itu. Gerakannya begitu ringan, menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya amat tinggi.

Sosok tubuh itu semakin mendekati bangunan. Ki Julaga dan Melati semakin terkejut metihatnya. Gerakan sosok abu-abu itu ternyata begitu cepat ke arah teras, tempat Melati dan gurunya berada. Ki Julaga yang tidak ingin terjadi keributan, cepat menarik tangan Melati. Diajaknya gadis berpakaian putih itu mundur ke belakang. Sementara sepasang matanya tetap tertuju pada sosok tubuh abu-abu itu.

Dalam kelebatan curah hujan, cukup jelas terlihat sosok abu-abu itu. Tubuhnya tinggi besar, berusia sekitar enam puluh lima tahun. Rompi dan celana compang-camping yang membungkus tubuhnya sudah tidak jelas lagi warnanya. Melihat dari penampilan sosok tinggi besar itu saja sudah membuat orang agak ngeri. Apalagi begitu melihat wajahnya yang penuh bekas luka guratan. Dan memang, sosok abu-abu ini ternyata adalah Ruksamurka!

Hanya dalam sekejap. Ruksamurka telah tiba di tempat Ki Julaga dan Melati tadi berada. Tanpa mempedulikan guru dan murid itu, Ruksamurka segera mengibas-ngibaskan tubuhnya. Seketika itu juga air hujan memercik dari seluruh tubuhnya.

Ki Julaga dan Melati hanya memperhatikan semua tingkah polah kakek berpakaian compang-camping itu. Mereka berdua memang tidak berminat mencari-cari urusan. Terutama sekali Ki Julaga. Dia tidak ingin membuat kesalahan yang kedua kali dengan menimbulkan keributan di tempat tinggal majikannya. Sama sekali Ki Julaga tidak tahu kalau bangunan ini sudah lama tidak ditempati Ki Gering Langit lagi. Bangunan itu telah berganti-ganti pemilik (Untuk lebih jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya, Pedang Bintang).

Setelah selesai membuang air yang melekat di sekujur tubuhnya, Ruksamurka lalu mengalihkan perhatiannya. Kini sepasang matanya yang menyeramkan itu menatap Ki Julaga dan Melati. Seketika baik Ki Julaga maupun Melati terperanjat. Keduanya diam-diam terkejut bukan kepalang melihat sepasang mata kakek bertubuh tinggi besar itu mencorong tajam dan bersinar kehijauan. Jelas kalau Ruksamurka memiliki tenaga dalam tinggi.

Menilik dari gerak-gerik Ruksamurka, Ki Julaga diam-diam merasa cemas. Tampak ada suatu gelagat yang tidak baik di balik sosok wajah yang menyeramkan itu. Tapi tentu saja kakek bertubuh kecil kurus ini tidak merasa gentar. Yang jelas, dia tidak menginginkan terjadi keributan di tempat tinggal majikannya. Sedapat mungkin, terjadinya keributan harus dihindari. Maka kakek berpakaian jingga ini bersikap tidak peduli.

"Ha ha ha...!" Mendadak Ruksamurka tertawa keras dan menggelegar seperti guntur. Jelas kalau tawa itu dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya luar biasa! Melati mendadak terhuyung, karena suara tawa itu membuat lututnya terasa lemas. Dadanya pun bergetar hebat. Bahkan gadis berpakaian putih ini merasakan kedua telinganya berdengung keras.

Ki Julaga terkejut bukan main melihat hal ini. Dia pun merasakan adanya getaran amat kuat yang keluar dari tawa Ruksamurka. Tapi berkat tenaga dalamnya yang memang sudah mencapai tingkat amat tinggi, kakek berpakaian jingga itu mampu meredamnya. Dan sungguh di luar dugaan, ternyata Melati sampai begitu terpengaruh dan seperti tidak mampu bertahan! Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam kakek bertubuh tinggi besar itu.

"Rupanya kau lihai juga, Tua Bangka Kerdil...!" kata Ruksamurka seraya menghentikan tawanya. Tampak adanya rasa penasaran baik pada wajah maupun suara kakek bertubuh tinggi besar itu. Sungguh di luar dugaan kalau ada orang yang sanggup menahan serangan suara tawanya. Jadi kakek bertubuh kecil kurus ini paling tidak adalah lawan yang amat tangguh.

Melati menghela napas lega meskipun wajahnya masih terlihat pucat. Gadis berpakaian putih ini masih belum lepas dari pengaruh suara tawa Ruksamurka.

"Menyingkirlah, Melati...!" ujar Ki Julaga bernada perintah. Kakek bertubuh kecil kurus itu tahu kalau muridnya bukan tandingan kakek bertubuh tinggi besar ini. Dan dia tidak ingin putri angkat Raja Bojong Gading ini celaka.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Melati segera men-jauh. Seperti juga Ki Julaga, gadis itu sadar kalau orang itu bukan tandingannya. Dari gelak suara tawa itu saja, sudah diketahui kalau kakek bertubuh tinggi besar itu memiliki tenaga dalam amat tinggi, jauh di atas kekuatan tenaga dalam miliknya.

"Maaf, Kisanak. Mengapa kau menyerang kami? Sepengetahuanku, aku tidak mempunyai persoalan denganmu," pelan dan lembut Ki Julaga membuka pembicaraan.

"Cuhhh...!" Dengan kasar, Ruksamurka meludah. Bukan ke tanah, tapi ke wajah Ki Julaga. Bahkan bukan sembarangan ludah, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Terdengar suara berdesing nyaring begitu cairan kental yang menjijikkan itu meluncur ke arah wajah Ki Julaga.

Ki Julaga sama sekali tidak mengelakkan serangan ludah itu. Tangan kanannya dijulurkan ke depan, lalu diputar di depan wajah. Sesaat kemudian angin keras menderu dari tangan yang bergerak memutar itu. Luar biasa! Semburan ludah itu mendadak berhenti, kemudian jatuh ke tanah.

Wajah Ki Julaga seketika memerah. Kemarahan mulai menjalari hatinya. Kakek berpakaian compang-camping ini benar-benar tidak mempunyai adab! Dengan baik-baik ditanya, tapi sambutannya sungguh menyakitkan. Bahkan suatu penghinaan yang tidak bisa didiamkan.

"Grrrh...!" Ruksamurka menggeram hebat begitu melihat serangannya kandas. Untuk yang kedua kali hatinya dibuat penasaran. Hatinya bertanya-tanya tentang keberadaan kakek bertubuh kecil kurus ini.

"Rupanya untuk berbincang-bincang denganmu tidak perlu mulut, tapi kepalan. Kalau itu adalah kemauanmu, akan kuladeni, Kisanak!" tegas dan mantap sekali ucapan yang keluar dari mulut Ki Julaga.

"Ha ha ha...!" Ruksamurka tertawa terbahak-bahak. Rupanya kakek berubuh tinggi besar ini merasa geli mendengar ucapan Ki Julaga. Kedua tangannya yang kekar dan berbulu, memegangi perutnya sambil membungkukkan tubuh.

Terdengar suara bergemeretak dari mulut Ki Julaga. Walaupun tidak tahu hal yang menyebabkan orang di hadapannya merasa geli, tapi setidak-tidaknya bisa diduga kalau rasa geli itu karena ucapan atau sikapnya. Dan ini membuat kemarahannya semakin menggelegak. Suara tawa Ruksamurka semakin keras begitu melihat keadaan Ki Julaga. Hal ini membuat kakek bertubuh kecil kurus itu tidak tahan lagi. Maka....

"Diam...!" Terdengar bentakan menggelegar seperti ada guntur yang meledak di dekat tempat itu. Keras bukan main karena Ki Julaga mengeluarkannya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Akibatnya hebat sekali! Suara tawa Ruksamurka seketika berhenti. Raut wajahnya pun agak berubah, pertanda bentakan Ki Julaga cukup mengejutkan hatinya. Ternyata akibat yang lebih parah lagi telah diterima Melati. Walaupun gadis berpakaian putih ini berada agak jauh dari kedua orang itu, tapi tetap saja terkena pengaruh bentakan Ki Julaga. Tubuh Melati mendadak oleng, karena lututnya mengggigil keras. Sepasang telinganya pun terasa berdengung.

"Grrrh...!" Ruksamurka menggeram keras. "Sungguh besar nyalimu, Kambing Tua..! Kau berani membentakku...! Kau berani membentak Ruksamurka...?! Grrrh...! Akan kubeset kulitmu...! Akan kuhirup darahmu...! Grrrh...!"

Ki Julaga dan Melati adalah orang yang telah terbiasa menghadapi bahaya. Bagi kedua orang itu, matipun bukan apa-apa. Tapi ancaman yang keluar dari mulut Ruksamurka begitu mengerikan. Menilik dari ucapan dan sikapnya, bisa diperkirakan kalau dia tidak main-main dengan ucapannya. Tak terasa bulu kuduk Melati dan Ki Julaga merinding. Ada sedikit perasaan ngeri yang merayap dalam hati kakek bertubuh kecil kurus dan gadis ber-pakaian putih itu setelah mendengar ancaman yang dikeluarkan dengan mendesis tadi. Dan yang lebih mengejutkan hati Ki Julaga saat kakek bertubuh tinggi besar itu memperkenalkan namanya.

Ruksamurka memang tokoh sesat yang sakti dan memiliki kekejaman mendirikan bulu kuduk. Kebiadabannya tak tertandingi lagi. Dia pernah membunuh orang satu desa sambil tertawa-tawa, tanpa ada perasaan peri-kemanusiaan. Tapi bukankah tokoh sesat yang mengerikan itu telah lenyap tanya ketahuan rimbanya? Mengapa tahu-tahu muncul di sini? Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Ki Julaga. Pertanyaan yang tidak mungkin bisa dijawabnya.

"Ruksamurka...?!" ulang Ki Julaga dengan suara mendesis.

"Kau terkejut, Tua Bangka Kerdil…?!" ejek Ruksamurka dengan kemarahan yang berkobar. "Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lamanya aku mengasingkan diri dari dunia luar. Kini sudah saatnya aku kembali ke dunia persilatan untuk meneruskan kebiasaan lamaku. Dan kau dan gadis montok itu mendapat kehormatan untuk menjadi korban pemulaku. Ha ha ha...!"

"Hm..." Ki Julaga hanya menggumam pelan. "Ingin kulihat buktinya, Ruksamurka."

"Hmh...!" Ruksamurka mendengus. Kakek bertubuh tinggi besar ini memang seorang yang memiliki watak angkuh, dan selalu mengagungkan diri sendiri. Pantang baginya men-dengar kata-kata bernada tantangan. Tapi kali ini justru kata-kata itu didengarnya dari mulut orang bertubuh kecil kurus di hadapannya. Maka amarahnya pun meluap seketika.

"Grrrh...!" Ruksamurka meraung seperti seekor binatang buas yang terluka. Terdengar suara berkerotokan keras dari sekujur tulang-tulangnya seiring terdengarnya geraman itu. Luar biasa! Padahal kakek berpakaian compang-camping ini belum menggerakkan tangan atau kaki!

Ki Julaga yang telah dilanda amarah tidak mau kalah. Sehabis mendengus, sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot tubuhnya pun menegang. Seketika itu pula, tenaga dalam dari bawah pusarnya mengalir deras ke berbagai bagian tubuh. Suara berkerotokan yang tak kalah nyaring ter-dengar ketika aliran tenaga dalam itu mulai bergerak ke seluruh bagian tubuhnya.

Melihat untuk yang kesekian kali tindakan lawan selalu berhasil menyainginya. Ruksamurka jadi murka. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring melengking, kakek bertubuh tinggi besar itu memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada, dari luar ke dalam.

Wuuutttt..! Menakjubkan! Dari kedua tangan yang berputaran itu muncul sebuah kekuatan amat kuat yang menarik tubuh Ki Julaga ke depan.

Kakek bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka akan muncul kekuatan menarik seperti itu. Akibatnya bisa diduga. Tubuh kakek berpakaian jingga ini tertarik keras ke depan. Ki Julaga tahu kalau dirinya tengah berada dalam bahaya besar. Dalam keadaan yang sangat tidak mengun-tungkan ini, lawan dengan mudah pasti akan menjatuhkan serangan maut padanya.

Maka begitu tubuhnya tertarik ke depan, Ki Julaga segera mengerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Maksudnya adalah agar kedua kakinya seperti berakar di tanah. Tak pelak lagi, adegan yang menarik pun tergelar. Ruksamurka yang terus saja memutar-mutarkan kedua tangannya dalam usaha menarik tubuh Ki Julaga. Sementara, kakek berpakaian jingga itu berusaha keras bertahan. Kedua tokoh yang sama-sama sakti ini bertarung jarak jauh, terpisah sekitar tiga tombak.

Tapi adu tarik-menarik itu berlangsung tidak lama. Secara mendadak, Ruksamurka menghentikan putaran tangannya. Dan secepat kedua gerakan tangannya berhenti, secepat itu pula tubuhnya meluncur ke arah Ki Julaga. Kakek bertubuh tinggi besar ini melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya menyampok deras ke arah pelipis Ki Julaga.

* * * * * * * *

TIGA

Ki Julaga tidak merasa terkejut atau gugup. Hal ini memang sudah diduga. Maka kakek bertubuh kecil kurus ini buru-buru menjulurkan kaki kanannya ke depan, sementara lutut kirinya ditekuk seraya merendahkan tubuh.

Wusss...! Seluruh rambut dan pakaian Ki Julaga berkibar keras ketika sampokan lawan menyambar lewat sekitar sejengkal di atas kepalanya. Padahal, kekuatan sambaran itu mampu menghancurkan batu paling keras sekalipun. Dari hal ini saja sudah bisa diperkirakan, betapa tinggi tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.

Ki Julaga sudah bisa memperkirakan kalau lawan di hadapannya ini adalah seorang tokoh yang amat tangguh. Bila bertindak setengah-setengah, hanya akan mencelakakan diri sendiri. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia balas menyerang. Sekali menyerang. Ki Julaga langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'. Kedua tangannya langsung mengembang membentuk cakar.

Berbeda dengan Melati yang bila menggunakan ilmu ini hanya sebatas pergelangan yang berwarna merah darah, maka pada Ki Julaga warna merah itu sampai pangkal lengan. Hanya saja, warna merah itu tidak terlihat karena tertutup lengan bajunya.

Wuuut…! Angin menderu keras begitu Ki Julaga melancarkan serangan. Kedua tangannya meluncur cepat ke arah leher dan dada. Cakar kanan mengancam leher, sedangkan yang kiri mengancam dada. Posisi buku-buku jari tangan kanan menghadap ke langit, bertolak belakang dengan buku-buku jari tangan kiri yang menghadap ke bumi.

"Groooah...!" Ruksamurka menggeram keras begitu melihat lawannya mampu mengelakkan serangan yang begitu tiba-tiba. Apalagi ketika melihat Ki Julaga tidak hanya mampu mengelakkan serangan, tapi juga mengirimkan serangan yang tak kalah berbahayanya. Keadaan kakek berpakaian compang-camping ini memang sulit sekali. Serangan Ki Julaga memang datang begitu mendadak. Apalagi, tubuhnya tengah berada di udara, karena baru saja melancarkan serangan.

Tapi meskipun begitu, Ruksamurka mampu membukti-kan kalau dirinya adalah seorang tokoh sesat yang belasan tahun lalu ditakuti oleh tokoh persilatan mana pun. Maka buru-buru tangan kanannya ditarik pulang, seraya cepat ditetakkan ke bawah. Berbareng dengan itu, tangan kirinya menangkis ke atas.

Plakkk...! Terdengar benturan keras ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam amat tinggi berbenturan.

"Hih...!" Ruksamurka menggertakkan gigi seraya melempar tubuh ke belakang. Indah dan manis sekali gerakannya.

"Hup...!" Ringan dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakek berpakaian compang-camping ini mendaratkan kedua kakinya di tanah. Ruksamurka langsung bersikap waspada. Matanya memperhatikan kalau Ki Julaga telah selesai memperbaiki sikapnya.

Namun, kedua belah pihak tidak langsung saling melancarkan serangan. Baik Ki Julaga maupun Ruksamurka saling pandang, seperti mengukur kekuatan satu sama lain. Sementara, Ruksamurka diam-diam harus mengakui kalau dalam hal tenaga dalam, dirinya masih di bawah Ki Julaga. Terbukti, dalam adu benturan tadi, kedua tangannya terasa sakit-sakit.

"Ilmu 'Cakar Naga Merah'. Apa hubunganmu dengan Ki Gering Langit?!" tanya Ruksamurka dengan suara menggelegar. Ada ancaman maut yang tersembunyi, baik dalam suara maupun sikapnya.

"Beliau adalah majikanku," jawab Ki Julaga jujur. Dia tidak merasa heran kalau lawan mengenal ilmu yang digunakannya, dan siapa pemiliknya. Justru merupakan suatu hal yang mengherankan bila seorang tokoh menggiriskan seperti Ruksamurka tidak mengenal ilmu yang digunakannya.

"Ha ha ha...!" Suara tawa keras menggelegar laksana guntur menyambuti jawaban Ki Julaga. Mendadak sekali suara tawa itu keluar, dan mendadak pula berhenti. Namun seketika wajah Ruksamurka berubah beringas. Bahkan sinar matanya mengandung ancaman maut!

"Pucuk dicinta ulam tiba!" ucap kakek berpakaian compang-camping itu dengan suara mengguntur. "Gering Langit..! Sebelum kau mendapat giliran balas dendamku, pelayanmulah yang mendapat kehormatan menjadi korban awalku...!"

Setelah puas berteriak seraya memandang ke langit, Ruksamurka kembali mengalihkan perhatian pada Ki Julaga. "Semula kupikir perjalananku kemari akan sia-sia. Tapi, ternyata tidak! Sakit hatiku akan sedikit terobati meskipun hanya kau yang kutemui, dan bukan si Gering Langit keparat itu...!"

Ki Julaga mengeryitkan dahi. Dari ucapan dan sikap Ruksamurka yang jelas begitu mendendam Ki Gering Langit, sudah bisa diduga ada suatu masalah besar di antara mereka berdua. Dan begitu ingatannya melayang pada menghilangnya tokoh sesat yang menggiriskan ini secara mendadak, Ki Julaga sudah bisa menarik kesimpulan. Hilangnya Ruksamurka ada hubungannya dengan Ki Gering Langit!

Tapi Ki Julaga tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena Ruksamurka sudah kembali melompat menerjang. Segera kakek bertubuh kecil kurus ini membuang pikiran macam-macam yang menggayuti benaknya. Kini semua harus dikuras untuk menghadapi lawan tangguh di hadapannya. Sesaat kemudian, kedua tokoh yang sama-sama sakti ini sudah terlibat dalam sebuah pertarungan seru dan menarik.

Melati memperhatikan jalannya pertarungan dengan sinar mata cemas. Gadis itu tahu kalau lawan yang dihadapi gurunya adalah tokoh sesat yang amat sakti. Dan ini membuat hatinya khawatir. Melati memang tahu kalau kepandaian Ki Julaga sudah amat tinggi dan sukar diukur. Bahkan dia tahu kalau kekasihnya sendiri, Arya Buana alias Dewa Arak, memiliki tingkat kepandaian yang tidak berada di atas gurunya.

Meskipun begitu, putri angkat Raja Bojong Gading ini tetap merasa cemas. Satu hal yang membuatnya khawatir adalah, kakek bertubuh kecil kurus itu sudah lama tidak melatih ilmu-ilmu yang dimilikinya. Waktunya selalu dihabiskan untuk termenung menyesali kesalahannya. Bersemadi pun hanya sekadarnya saja. Tapi apa daya? Jelas-jelas tingkat kepandaiannya masih di bawah Ruksamurka. Dan yang dapat dilakukannya kini hanya berharap, mudah-mudahan gurunya sanggup menghadapi lawannya.

Pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu berlangsung menggiriskan. Arena per-tarungan pun kini sudah berpindah. Keduanya tahu kalau tetap bertarung di teras, bukan tidak mungkin akan ter-timpa reruntuhan bangunan yang hancur terlanda pukulan nyasar. Mereka kini bertarung di bawah siraman hujan yang masih turun dengan lebatnya, ditingkahi deru angin dingin dan gelegar halilintar menyambar bumi.

Hebat bukan main memang pertarungan yang terjadi antara Ki Julaga dan Ruksamurka. Kedua tokoh ini sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh, dan kekuatan tenaga dalam yang sukar diukur. Maka, pertarungan yang terjadi terlihat begitu mengerikan. Suara angin menderu, mencicit, dan mengaung menyemaraki suasana yang riuh oleh curah hujan, deru angin, dan gelegar halilintar. Percikan air kotor dan curah hujan berpentalan tak tentu arah. Memang, suasana di sekitar arena pertarungan kedua tokoh ini terlihat semakin semrawut, bagai kapal pecah.

Pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung cepat, karena ilmu meringankan tubuh masing-masing telah mencapai tingkatan amat tinggi. Dalam waktu sebentar saja lima puluh jurus telah cepat berlalu. Dan selama itu, belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Kedua tokoh itu terus bertarung seru dengan kecepatan menakjubkan. Yang terlihat kini hanyalah bayangan berwarna abu-abu dan jingga yang saling belit dan saling pisah!

Baik Ki Julaga maupun Ruksamurka merasa penasaran bukan kepalang, menyadari setelah sekian lama bertarung, satu sama lain belum mampu juga mendesak. Padahal masing-masing telah mengeluarkan Ilmu andalannya. Ki Julaga dengan Ilmu 'Cakar Naga Merah', dan Ruksamurka dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'. Ilmu yang diciptakan tokoh sesat itu didapat setelah memperhatikan gerakan pusaran air laut. Tidak aneh kalau Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut' itu memiliki daya sedot yang amat kuat.

Dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’, Ruksamurka berusaha sekuat tenaga merobohkan Ki Julaga. Ilmu itu memang aneh dan berbahaya bukan main. Untung yang menghadapinya Ki Julaga yang memiliki kekuatan tenaga dalam tak terukur. Sehingga, kekuatan daya sedot Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’ itu tidak terlalu berbahaya baginya.

Meskipun begitu, bukan berarti Ki Julaga sama sekali tidak kewalahan menghadapi ilmu itu. Seluruh kemampu-annya telah terkuras untuk menanggulangi ilmu aneh milik lawannya ini. Bahkan ilmu 'Cakar Naga Merah' telah di-kerahkan sampai puncaknya. Kembali seratus jurus telah terlewat. Berarti telah seratus lima puluh jurus lamanya kedua tokoh ini bertarung. Dan sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda berakhir.

Ruksamurka menggertakkan gigi melihat keuletan lawannya. Sungguh tidak diduga kalau Ki Julaga begini tangguh. Kalau pelayannya saja sudah memiliki ke-pandaian seperti ini, bagaimana dengan tingkat ke-pandaian Ki Gering Langit sekarang? Dan sebenarnya Ruksamurka sedikit putus asa menghadapi kenyataan ini.

Walaupun ada perasaan putus asa, namun Ruksamurka sama sekali tidak mengendorkan serangan. Bahkan se-baliknya, serangannya malah makin diperhebat. Dan pada kenyataannya kekuatan tubuhnya memang luar biasa. Tak tampak adanya tanda-tanda kelelahan pada dirinya.

Tanpa sepengetahuan Ruksamurka, Ki Julaga sebenarnya sudah mulai dilanda rasa lelah. Dan itu wajar sekali. Karena sudah lama sekali ilmu-ilmunya tidak dilatih. Sehingga, otot-ototnya banyak yang mulai tidak lentur lagi. Apalagi otot-ototnya memang telah tua. Tapi sedapat mungkin, kakek ini berusaha menyem-bunyikan keadaannya, dan tidak ingin hal itu diketahui lawan. Bila hal itu sampai diketahui, semangat Ruksamurka akan semakin berkobar, sehingga akan semakin menyulitkan dirinya.

Namun Ki Julaga sama sekali tidak takut mati. Hanya saja, dia tidak ingin Melati harus ikut celaka. Putri angkat Raja Bojong Gading itu harus diselamatkan sebelum ter-lambat. Menilik dari keadaan dirinya yang sudah lelah, jelas daya tahannya tidak mampu lagi diajak bertarung. Sementara, lawan tampaknya masih segar bugar.

"Melati...! Cepat pergi dari sini...!" seru Ki Julaga, pada satu kesempatan.

Karuan saja hal ini membuat Melati terkejut bukan kepalang. Perintah kakek bertubuh kurus ini hanya mengandung satu pengertian. Dia merasa tidak sanggup menghadapi lawannya! Tentu saja hal ini membuat Melati jadi kebingungan.

Ruksamurka tertawa terbahak-bahak. Dan kini serangan-serangannya kian bertubi-tubi begitu lawan mengalihkan perhatian ke arah gadis berpakaian putih itu. Karuan saja hal ini membuat Ki Julaga menjadi mulai terhimpit. Memang walaupun hanya berteriak memper-ingatkan, tapi sudah cukup mengurangi perhatian. Padahal, bila menghadapi lawan tangguh, yang paling penting adalah pencurahan seluruh perhatian.

Ki Julaga jadi cemas begitu melihat Melati sama sekali tidak menuruti anjurannya. Bahkan malah terpaku tidak bergeming sedikit pun. Melihat dari raut wajahnya, tampak jelas kalau hatinya tengah dilanda kebimbangan.

Hal itu memang benar! Melati memang tengah dilanda perasaan bingung. Gadis itu tahu kalau gurunya menyuruhnya kabur, hanyalah demi keselamatannya. Tapi, Melati tidak tega membiarkan gurunya menghadapi maut seorang diri. Kebimbangan kian melanda hatinya. Antara menuruti pesan itu, atau membantu gurunya.

"Melati...! Cepat pergi...!" Kembali Ki Julaga berseru keras. Nada kekhawatiran yang amat sangat terdengar dalam teriakan mengandung perintah itu. Dan seiring perasaan cemas yang melanda, keadaan Ki Julaga jadi semakin terdesak dan terhimpit. Tubuhnya memang sudah terasa lelah bukan main.

Memang, pertarungan sudah berlangsung dua ratus jurus. Dan selama itu, dia selalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk bertahan dari serangan Ruksamurka yang mengandung daya sedot luar biasa. Dan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya ini tentu saja membuatnya cepat lelah. Apalagi mengingat usianya yang sudah tua dan keadaan anggota tubuhnya yang sudah tidak begitu baik lagi keadaannya. Dan kini hal itu masih ditambah sikap Melati yang tidak menuruti anjurannya. Lengkaplah sudah keadaan yang membuat kakek bertubuh kecil kurus ini jadi terdesak hebat.

"Ah...!" Ki Julaga terpekik tertahan ketika tubuhnya mendadak tertarik ke depan, terbawa daya sedot bar biasa yang muncul dari pengerahan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’. Tapi pada saat yang gawat, Ki Julaga masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat cepat dia membanting tubuh ke tanah, bergulingan dan melenting ke atas. Lagi-lagi kakek berpakaian jingga ini berhasil meloloskan diri dari maut.

"Hiaaat..!" Mendadak terdengar teriakan melengking nyaring. Jelas kalau suara itu keluar dari mulut seorang wanita. Seiring lenyapnya lengkingan itu, terdengar suara menggerung keras seperti ada harimau murka. Pada saat yang sama, sesosok bayangan putih berkelebat ke arah Ruksamurka. Siapa lagi sosok bayangan putih ini kalau bukan Melati?

Memang, putri angkat Raja Bojong Gading ini akhirnya memutuskan untuk membantu gurunya. Dia kini telah melompat menyerang Ruksamurka. Tahu akan kelihaian lawan, tanpa ragu-ragu lagi, pedangnya dicabut. Dan dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga', dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati. Ruksamurka hanya mendengus melihat serangan itu. Kedua tangannya cepat diputar-putar di depan dada dengan arah gerakan dari dalam ke luar.

"Ih...!" Melati terpekik ketika dari kedua tangan yang berputar itu muncul angin keras. Akibatnya, tubuhnya hampir terjenkang ke belakang. Dadanya terasa sesak bukan main, seiring munculnya hembusan angin itu. Seketika itu juga, serangannya kandas sebelum mencapai sasaran.

Sebelum gadis berpakaian putih ini sempat berbuat sesuatu. Ruksamurka kembali memutar-mutarkan kedua tangannya. Tapi kali ini arah gerakannya terbalik, dari luar ke dalam. Seketika itu juga muncul sebuah kekuatan luar biasa yang menarik tubuh Melati ke arah kakek berpakaian compang-camping itu. Tentu saja hal ini membuat Melati kaget bukan main.

"Ilmu macam apa ini?" tanyanya dalam hati dengan perasaan kaget dan gentar. Benak gadis itu terus berputar keras untuk menyelamat-kan diri dari keadaan amat berbahaya ini. Tapi tetap saja tidak menemukan caranya. Tubuhnya yang tengah berada di udara tidak mempunyai landasan sama sekali untuk bertahan ketika daya tarik yang amat kuat membetotnya.

Melati hampir terpekik ketika merasakan ada sebuah tangan yang mencekal pergelangan tangan kirinya. Belum sempat kepalanya menoleh, tangan itu sudah bergerak membetot tubuhnya, lalu melontarkannya.

"Cepat pergi...! Atau..., aku tidak sudi mengakuimu lagi sebagai murid...!"

Seruan keras itu terdengar seiring terlemparnya tubuh Melati. Wajah gadis itu pucat seketika. Dia tahu betul pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga. Jadi, jelas kalau orang yang telah menyelamatkannya adalah gurunya! Melati bersalto beberapa kali untuk mematahkan daya lontar yang membuat tubuhnya terlempar Jauh. Lemparan Ki Julaga ternyata kuat bukan main, sehingga tubuhnya terlontar deras.

Pyarrr...! Air menyiprat ke sana kemari begitu kedua kaki Melati mendarat di tanah. Untung saja hujan telah reda, dan tinggal gerimis. Sehingga tubuhnya tidak begitu basah. Berbeda dengan Ki Julaga dan Ruksamurka. Seluruh tubuh kedua tokoh itu terlihat basah kuyup. Bahkan Ki Julaga lebih parah lagi. Seluruh tubuh dan pakaian kakek kecil kurus itu kotor, karena tadi bergulingan di tanah!

Melati menatap pertempuran itu sekilas. Kini tampak jelas kalau Ki Julaga terdesak. Robohnya kakek itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Dada Melati terasa sesak. Ada isak tertahan yang merayap naik ke tenggorokan. Kalau tidak ingat seruan kakek berpakaian jingga itu, dia lebih suka mati bersama-sama. Tapi itu tidak bisa dilakukan, karena Ki Julaga tidak membolehkannya. Maka sambil mengeluarkan isak ter-tahan, Melati melesat kabur sambil membawa sekeping hatinya yang luka.

Meskipun dalam keadaan terdesak dan terhimpit, Ki Julaga masih sempat melihat kepergian Melati. Mulut kakek bertubuh kecil kurus itu tersenyum. Lega rasa hatinya melihat murid yang amat disayangi itu mendengar perintahnya. Memang terpaksa kata-kata yang agak pedas dikeluarkan. Sebab kalau tidak, Melati tak akan mau pergi!

"Selamat Jalan, Melati...!" teriak Ki Julaga keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh. "Jangan lupa, sampaikan maafku pada Ki Gering Langit. Agar arwahku bisa tenteram."

"Kakek..!" Melati menjerit keras. Butir-butir air bening tampak mengalir deras dari sepasang matanya. Melati tetap terus berlari sambil menangis, tanpa mengeluarkan suara. Sebenarnya, baginya menangis adalah suatu pantangan. Tapi kesedihan yang kali ini ditanggung terlalu berat untuk ditahan. Biar bagaimanapun juga, Melati adalah seorang wanita yang tidak bisa melepaskan kodratnya. Seorang wanita pasti memiliki perasaan halus. Sehingga mudah diombang-ambingkan keharuan.

Jeritan Melati keras sekali, karena keluar dari hati yang terluka. Sehingga tanpa sadar, jeritan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Jadi bukan hal yang aneh kalau Ki Julaga mendengarnya. Seketika itu pula sepasang mata kakek bertubuh kecil kurus ini merembang berkaca-kaca. Kedua biji matanya terasa panas. Telinganya, menangkap adanya nada kepedihan dari jeritan muridnya itu. Dia tahu Melati amat menyayanginya, seperti dirinya terhadap gadis itu pula.

Tapi Ki Julaga tidak bisa berlarut-larut tenggelam dalam keharuan. Dia tengah menghadapi lawan yang amat tangguh. Apalagi keadaannya tengah terdesak dan ter-himpit. Bahkan tak lama lagi akan roboh. Dan hal itu disadari betul oleh kakek bertubuh kecil kurus ini. Keadaan Ki Julaga memang sudah mengkhawatirkan sekali.

Apalagi tubuhnya sudah merasa lelah bukan main. Dan seiring timbulnya perasaan lelah, kekuatan tenaganya pun merosot jauh. Napasnya mulai terengah-engah. Namun dia memaksakan diri untuk terus bertahan, agar Melati dapat pergi sejauh-Jauhnya dan lolos dari kejaran Ruksamurka. Sungguh besar pengorbanannya pada gadis itu.

Berbeda dengan Ki Julaga, Ruksamurka sama sekali tidak terlihat lelah. Serangan-serangannya masih sedah-syat semula. Tahu kalau tenaga lawan telah merosot, Ruksamurka bermaksud menggunakan kelebihan ini untuk keuntungan dirinya. Kini Ruksamurka memusatkan serangan pada putaran kedua tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari luar ke dalam.

Sementara Ki Julaga mencoba terus bertahan. Seluruh sisa tenaga dalam yang dimilikinya langsung dikerahkan. Akibatnya memang mengerikan sekali! Dari mulut hidung, dan telinganya mengalir darah segar. Kalau kakek ini meneruskan bertahan, dari matanya pun akan keluar darah segar!

Tapi sebelum hal itu terjadi, kedua kaki Ki Julaga sudah tidak mampu bertahan. Seketika itu juga tubuhnya tertarik deras ke depan. Ruksamurka mendengus. Telunjuk tangan kanannya bergerak menotok.

Tukkk...! Bagai sehelai karung basah, tubuh Ki Julaga merosot dan jatuh ke tanah. Sekujur tubuhnya terasa lemas dan tak bertenaga. Ruksamurka memang telah menotoknya sehingga tubuhnya lemas seketika.

"Ha ha ha...!" Ruksamurka tertawa bergelak, menggelegar seperti guntur. Sebuah tawa kemenangan yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.

Sementara Ki Julaga hanya menatap semua kelakuan lawannya dengan sikap tenang. Tidak terlihat adanya perasaan apa pun di wajah Ki Julaga, sekalipun sebenarnya ada perasaan ngeri di hati. Dia kini telah tidak berdaya. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah pada tindakan Ruksamurka.

Setelah puas tertawa-tawa, Ruksamurka mengalihkan perhatian pada Ki Julaga. Dengan sorot mata bengis, ditatapnya wajah kakek berpakaian jingga itu. Kemudian, dia berjongkok. Kembali Ruksamurka tertawa bergelak. Masih dengan suara tawa lepas dari mulutnya, tangan kanannya terulur untuk menggenggam tangan kanan Ki Julaga. Sementara calon korbannya tetap terlihat tenang walaupun jantungnya berdebar keras penuh kengerian.

Sambil masih terus tertawa-tawa, Ruksamurka bergerak meremas tangan Ki Julaga yang berada dalam genggamannya. Seketika itu juga terdengar suara berkerotokan keras ketika tulang tangan Ki Julaga hancur seperti terjepit baja. Rasa sakit yang amat sangat melanda Ki Julaga. Tapi hebatnya, dia sama sekali tidak mengeluh. Keringat sebesar-besar biji jagung tampak membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Giginya bahkan sampai menggigit bibir kuat-kuat, sampai berdarah.

"Ha ha ha...!" Tawa Ruksamurka kembali meledak melihat penderita-an Ki Julaga. Senang rasa hatinya melihat penderitaan yang dialami calon korbannya. Kemudian masih dengan tawa yang tidak putus, siksaan itu dilanjutkan. Kedua tangannya yang kekar dan berbulu, meremas hancur semua tulang-belulang Ki Julaga. Mulai dari tangan kanan, kiri, lalu dilanjutkan pada kaki. Setelah itu, dengan kekuatan tenaga dalamnya, semua sambungan tulang-belulang yang telah hancur itu ditarik hingga putus.

Darah berhamburan membasahi bumi. Bahkan Ki Julaga sampai pingsan akibat tak kuat menahan rasa sakit yang melanda. Tapi pingsan kakek itu tidak lama, karena Ruksa-murka segera menyadarkannya. Sebagai seorang yang berwatak kejam, dia tidak akan menyiksa korban yang tidak sadarkan diri.

Penyiksaan pun dilanjutkan lagi. Dan ketika akhirnya penyiksaan berakhir, Ki Julaga tewas. Kini seluruh anggota tubuhnya tidak ada yang berbentuk lagi. Semua tulang-belulangnya telah hancur. Dan semua anggota tubuhnya telah tercerai berai tak karuan. Nasib Ki Julaga sungguh mengenaskan. Ruksamurka tertawa bergelak melihat korbannya telah tewas. Kedua tangan dan sekujur pakaiannya penuh percikan darah.

Tapi, kakek ini sama sekali tidak mempedulikannya. Masih dengan tawa bergelak yang menggelegar seperti guntur, Ruksamurka melesat meninggalkan tempat itu. Dalam waktu sekejapan saja tubuhnya telah mulai mengecil di kejauhan. Dan seiring dengan semakin mengecilnya tubuh itu, suara tawa yang terdengar pun semakin pelan, hingga akhirnya lenyap sama sekali.

Kini tidak ada lagi suara hiruk-pikuk pertarungan. Tidak ada lagi tawa bergelak yang menyeramkan. Keheningan menyelimuti tempat itu. Yang terdengar hanyalah desah angin pelan, seakan-akan alam bersedih dengan tewasnya Ki Julaga.

* * * * * * * *

EMPAT

Cuaca siang ini panas sekali. Matahari yang telah berada di tengah-tengah langit memancarkan sinarnya dengan garang ke bumi. Dan di saat itulah Ruksamurkaa melangkahkan kakinya melintasi tembok batas Desa Cendawa. Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata kakek berpakaian compang-camping ini segera beredar berkeliling, mengamati sekitarnya. Suasana di sekitarnya memang tampak sepi. Tidak nampak seorang pun yang ada di jalan. Memang, penduduk Desa Cendawa sebagian besar adalah petani. Jadi, pada saat-saat seperti ini mereka berada di sawah.

Yang terlihat oleh Ruksamurka hanyalah pondok-pondok yang pintunya tertutup rapat Ada juga yang pintunya agak terbuka, tapi itu hanya beberapa pondok saja. Mulut Ruksamurka menyeringai. Sepasang matanya pun bersinar-sinar. Entah karena apa, hanya dialah yang tahu. Kemudian dengan langkah lebar-lebar tanpa ilmu meringankan tubuh, kakek berwajah penuh guratan bekas luka ini melangkah lebar menghampiri sebuah pondok yang terletak paling dekat dengan tempatnya.

Tak sampai tiga puluh langkah, Ruksamurka sudah berada di depan pondok itu. Perlahan-lahan tangannya diulurkan untuk mengambil sebatang obor yang ter-pancang di sudut pondok. Obor yang sama sekali tidak berapi karena hari masih siang.

Krakkk...! Batang obor yang terbuat dari batang bambu itu patah dua ketika jari-jari tangan Ruksamurka bergerak. Menilik dari cara mematahkannya, sepertinya obor itu terbuat dari lidi! Dengan raut wajah beku dan sorot mata yang memancarkan kekejaman, Ruksamurka lalu menggosok-kan kedua batang bambu itu. Luar biasa! Sekejap kemudian, timbul api akibat gosokan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Sepasang mata kakek berwajah penuh luka guratan ini nampak berbinar-binar, menyiratkan kegembiraan hatinya. Kemudian, dua batang bambu yang menyala itu dilempar-kan ke atas pondok yang beratapkan rumbia. Secepat kedua batang bambu itu jatuh di atap pondok itu, secepat itu pula api mulai membakar! Mula-mula kecil, tapi semakin lama semakin besar! Api itu tidak hanya membakar atap, tapi juga menjalar ke arah dinding bilik bambu.

"Ha ha ha...!" Ruksamurka tertawa terbahak-bahak begitu melihat api semakin membesar. Gembira hatinya melihat pertunjukan di hadapannya. Api itu memang cepat sekali membesar. Karena di samping pondok itu terdiri dari bahan-bahan yang mudah terbakar, angin yang berhembus cukup kencang ikut mendukung cepatnya api membesar.

"Kebakaran...!" Terdengar teriakan panik dari seorang penduduk yang kebetulan berada di dalam pondok. Menilik dari suaranya yang melengking, bisa diketahui kalau dia adalah seorang wanita. Seiring terdengarnya teriakan itu, daun pintu depan yang tadi tertutup rapat terbuka tiba-tiba. Jelas orang di dalamnya terburu-buru membuka pintu itu.

Secepat daun pintu itu terbuka, secepat itu pula seorang wanita berlari-lari kalang-kabut keluar. Usianya sekitar tiga puluh tahun, dan kulitnya coklat. Dia menggendong seorang anak berusia sekitar dua tahun yang menangis menjerit-jerit. Rupanya anak itu merasa kepanasan, karena rumahnya terbakar.

"Ha ha ha...!" Ruksamurka tertawa bergelak melihat wanita itu kebingungan. Hatinya geli melihat wanita itu kalang-kabut menyelamatkan dirinya dan anaknya. Tindakan Ruksamurka tidak sampai di situ saja. Tangannya cepat bergerak, maka sesaat kemudian anak dalam gendongan wanita itu telah direbutnya.

"Kembalikan anakku...!" Wanita itu menjerit seraya melangkah cepat menghampiri Ruksamurka yang hanya tertawa-tawa. Jelas, wanita itu ingin merebut kembali anaknya.

Masih dengan tawa bergelak, Ruksamurka menggerakkan tangan menampar tanpa pengerahan tenaga dalam. Kakek berwajah penuh luka itu hanya mengerahkan tenaga biasa. Itu pun tidak seluruhnya.

Plakkk...! Telak dan keras bukan main tamparan Ruksamurka menghantam pipi wanita berkulit coklat itu. Seketika itu juga, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Mulutnya tampak meringis menahan sakit. Namun hal itu tidak dipeduli-kannya. Wanita itu langsung bangkit berdiri dan kemudian menghambur ke arah Ruksamurka. Pada pipi wanita itu tampak tanda merah bergambar telapak tangan.

"Kembalikan anakku...!" jerit wanita itu lagi.

Tapi sebelum wanita berkulit coklat itu berhasil merampas anaknya, Ruksamurka telah lebih dulu melemparkan anak itu ke dalam pondok yang telah menjadi kobaran api. Sambil terus menjerit-jerit menyayat, anak kecil itu melayang deras. Sementara sang Ibu yang melihat anaknya, menjadi semakin hancur hatinya. Dia hanya mampu berteriak ngeri bercampur duka mendalam.

"Susullah anakmu ke neraka ..!" seru Ruksamurka tiba-tiba. Ruksamurka memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari dalam ke luar. Seketika itu juga berhembus angin keras yang membuat tubuh wanita malang itu melayang deras ke arah rumahnya yang tengah dilahap api.

"Ha ha ha...!" Ruksamurka tertawa bergelak. Tampak jelas kalau hatinya merasa gembira menyaksikan perbuatannya.

Kobaran api yang membesar itu tentu saja menimbulkan kepulan asap yang menjulang ke angkasa. Seketika itu pula seluruh penduduk Desa Cendawa menjadi geger. Kontan mereka yang melihat, berhamburan ke arah asal asap itu. Sementara penduduk yang berada agak dekat dengan pondok yang terbakar itu juga bergegas berlari ke sana. Memang, pondok yang terbakar itu letaknya agak jauh dari pondok-pondok lain.

Tawa Ruksamurka kian keras ketika melihat penduduk berbondong-bondong datang menghampiri rumah yang terbakar. Di tangan mereka telah tergenggam alat-alat seadanya untuk memadamkan api. Dengan suara tawa yang tidak pernah lepas dari mulutnya, Ruksamurka segera melesat menyongsong kedatangan para penduduk. Rombongan penduduk yang tiba lebih dulu dan berjumlah hanya delapan orang, terperanjat begitu melihat sesosok tubuh tinggi besar yang bergerak dari arah yang berlawanan sambil tertawa-tawa.

"Kau kenal orang itu, Wardi?" tanya penduduk yang berusia setengah baya pada seorang pemuda bertubuh pendek gemuk.

"Tidak, Kang," sahut pemuda bertubuh pendek gemuk yang bernama Wardi. "Melihatnya pun baru kali ini"

"Jangan-jangan, dia orang gila yang nyasar kemari. Kalau waras, rasanya tidak mungkin ada kebakaran dia malah tertawa-tawa gembira," tebak seorang penduduk lain yang mengenakan penutup kepala dari batok kelapa. "Lihat saja pakaian yang dikenakannya."

Mendengar ucapan itu, serentak tujuh buah kepala penduduk yang lain terangguk. Rupanya mereka semua menerima pendapat itu. Yakin akan kebenaran dugaan tadi, kedelapan orang penduduk itu tidak mau cari penyakit. Mereka cepat bergerak menyingkir agak ke kanan jalan agar tidak berpapasan dengan Ruksamurka. Untung jalan itu lebar.

Tapi Ruksamurka yang memang sudah berniat membantai semua penduduk Desa Cendawa, tidak ingin membiarkan penduduk itu lolos dari tangannya. Maka begitu para penduduk menyingkir ke arah kanan, dia pun bergerak mengikuti. Sehingga kini tetap saja rombongan penduduk itu akan berpapasan jalan dengannya.

Tentu saja hal ini membuat Wardi dan rekan-rekannya jadi gemas. Mereka tengah terburu-buru, dan kini malah ada orang gila yang mengganggu. Tentu saja mereka menjadi sewot. Karena perasaan itulah yang menyebabkan mereka semua tidak bergerak menyingkir lagi. Mereka sudah bertekad, kalau orang gila itu bersikap macam-macam, akan dihajar hingga babak belur.

Semakin lama jarak mereka semakin dekat. Hingga kini, jarak antara kedua belah pihak tak lebih dari dua tombak. Wardi dan para penduduk lain menjadi gemas juga melihat Ruksamurka sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Maka kedelapan orang ini memutuskan untuk menghajarnya hingga babak belur.

Delapan orang penduduk itu melangkah maju dengan sorot mata mengancam. Senjata-senjata yang berada di tangan, diacung-acungkan agar Ruksamurka takut. Begitu jarak antara mereka tinggal dua tombak lagi, mendadak tangan Ruksamurka bergerak. Seketika para penduduk desa itu terkesiap. Tak ada yang mampu mengelak atau menangkis. Tak pelak lagi, dua orang kawan Wardi telah tercekal tangannya.

Sebelum kedua orang penduduk itu menyadari apa yang terjadi, Ruksamurka sudah bergerak membetot keras anggota tubuh mereka. Suara bergemeletuk dari terlepasnya sambungan tulang pangkal lengan kedua orang penduduk itu terdengar. Kontan kedua orang yang malang itu menjerit keras. Belum lagi gema jeritan itu lenyap, tubuh kedua orang itu telah terlempar ke atas melewati kepala Ruksamurka. Mereka terus melayang deras ke arah rumah yang telah menjadi lautan api.

"Aaa…!" Jerit kematian terdengar ketika kedua orang penduduk yang malang itu jatuh ke dalam kobaran api.

Wardi dan kelima orang kawannya seketika terbelalak kaget melihat hal ini. Kini mereka semua sadar kalau orang yang disangka gila itu ternyata seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Meskipun mereka semua tidak memiliki ilmu silat, tapi bukan berarti buta terhadap orang yang memiliki kepandaian tinggi. Karena, di Desa Cendawa pun terdapat sebuah perguruan silat yang cukup ternama.

Kembali tangan Ruksamurka bergerak, namun kali ini memutar di depan dada. Arahnya dari luar ke dalam. Wardi dan kelima orang kawannya terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja muncul angin keras yang menarik mereka ke arah kakek berpakaian compang-camping itu.

Dengan kedahsyatan ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut', tidak sulit bagi Ruksamurka untuk mengambil keenam orang penduduk itu. Dan begitu tubuh penduduk-penduduk itu telah tertarik ke arahnya dengan enaknya, tangannya langsung terulur menangkap tangan dan bagian-bagian tubuh lainnya. Kemudian dilemparkannya tubuh-tubuh itu ke dalam kobaran api. Jeritan kematian kembali terdengar begitu tubuh keenam orang itu meluruk ke arah kobaran api yang menyala-nyala dahsyat.

"Ha ha ha...!" Kembali suara tawa Ruksamurka yang keras dan menggelegar terdengar. Sebuah tawa penuh bernada kegembiraan. Rupanya kakek berwajah penuh guratan luka ini belum puas dengan pembantaiannya. Kembali dihampirinya pondok-pondok lain, kemudian dibakarnya.

Kini Desa Cendawa telah menjadi lautan api. Di sana-sini tampak pondok-pondok yang terbakar. Beberapa di antaranya telah padam, dan hanya tinggal puing-puing diselingi asap bau sangit yang membumbung ke atas. Kekejaman Ruksamurka memang menggiriskan. Setiap penduduk yang dijumpainya, entah wanita atau laki-laki, tua maupun muda, besar ataupun kecil, semuanya segera dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar!

"Manusia terkutuk...!" Terdengar makian keras begitu Ruksamurka baru saja melemparkan orang terakhir yang ditemui ke dalam kobaran api. Tokoh sesat itu langsung memalingkan wajahnya. Sepasang matanya menatap pemilik suara dengan pandangan penuh selidik.

Di hadapan kakek berpakaian compang-camping ini nampak berdiri belasan orang berwajah dan bersikap gagah. Pakaian mereka rata-rata putih. Sementara di bagian dada sebelah kiri terdapat gambar seekor burung gagak dengan benang hitam. Tampaknya mereka adalah murid-murid sebuah perguruan silat.

Ruksamurka menatap sosok-sosok tubuh yang berdiri di hadapannya dengan senjata terhunus. Sepasang matanya berbinar-binar melihat calon korbannya. Memang mengeri-kan sekali watak kakek berpakaian compang-camping ini. Kegemarannya memang membunuh orang!

"Ha ha ha...!" Ruksamurka kembali tertawa terbahak-bahak. Karuan saja hal ini membuat belasan orang itu yang ternyata murid Perguruan Gagak Putih menjadi marah bukan main. Ditertawai seorang kakek jembel yang sama sekali tidak dikenal, siapa yang tidak sewot?

"Orang sepertimu memang tidak patut dibiarkan hidup...!"

Seorang murid Perguruan Gagak Putih yang berkumis tebal rupanya tidak kuat lagi menahan amarahnya. Dia langsung melompat menerjang Ruksamurka dengan pedang menusuk cepat ke arah dada. Suara bercuitan nyaring mengiringi serangan itu.

Namun Ruksamurka sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan tidak nampak adanya tanda-tanda akan mengelak atau menangkis. Dadanya seperti dipasang, memberi keleluasaan lawan untuk menyerang.

Takkk..! Terdengar suara keras seperti ada dua benda keras yang berbenturan ketika ujung pedang itu mengenai sasarannya. Hebatnya, dada Ruksamurka sama sekali seperti tidak tersentuh apa-apa. Justru, pedang itulah yang patah-patah.

Laki-laki berkumis tebal dan rekan-rekannya yang melihat kejadian itu terkejut bukan kepalang. Apalagi, laki-laki berkumis tebal itu. Selain terkejut, dia juga merasakan sakit pada sekujur tangannya. Di saat itulah tangan kanan Ruksamurka kembali terulur.

Tappp...! Laki-laki berkumis tebal itu tidak mampu mengelak lagi, sehingga tangan kanannya tercekal tangan Ruksamurka. Suara gemeretak keras menandakan remuknya tulang, terdengar ketika jemari Ruksamurka bergerak meremas. Laki-laki berkumis tebal melolong kesakitan. Keringat sebesar biji jagung bermunculan di wajahnya. Rasa sakit yang melandanya memang amat menyiksa.

Baru saja lolong kesakitan itu lenyap, tubuh laki-laki berkumis tebal itu telah melayang ke arah kobaran api ketika Ruksamurka melontarkannya. Kembali terdengar jeritan menyayat hati dari mulut laki-laki berkumis tebal itu. Tepat ketika jeritan itu menghilang, tubuhnya pun lenyap ditelan kobaran api yang membumbung tinggi menyebarkan hawa panas di sekitarnya.

Murid-murid Perguruan Gagak Putih sama-sama membelalakkan mata melihat kejadian yang menimpa seorang rekan mereka. Dan memang, mereka semua tak sempat berbuat sesuatu karena kejadian itu berlangsung begitu cepat. Dan tahu-tahu, laki-laki berkumis tebal itu telah tenggelam dalam kobaran api!

Mereka tersadar kembali begitu mendengar tawa menggelagar dari Ruksamurka. Semula, tidak ada yang aneh pada tawa itu. Tapi sesaat kemudian, baru tampak keanehannya. Suara itu perlahan-lahan mulai membesar, sampai akhirnya menggelegar mirip guntur. Seiring semakin membesarnya tawa itu, murid-murid Perguruan Gagak Putih mulai merasakan akibatnya.

Murid-murid Perguruan Gagak Putih merasakan teliga mereka mendengung dan sakit bukan main. Bahkan dada pun terasa sesak. Tanpa dapat dicegah, lutut mereka mulai goyah. Sadar kalau Ruksamurka menyerang mereka dengan suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam, murid-murid Perguruan Gagak Putih segera mengerahkan tenaga dalam untuk melawan. Mereka juga menutup teliga untuk mencegah masuknya serangan suara itu.

Tapi, ternyata semua yang dilakukan sama sekali tidak ada gunanya. Suara tawa Ruksamurka tetap menyerang, sehingga tubuh murid Perguruan Gagak Putih mulai roboh satu persatu. Dari mulut, hidung, dan telinga mereka mengalir darah segar. Tak lama kemudian tak ada lagi satu pun murid Perguruan Gagak Putih yang tertinggal. Semuanya tewas dalam keadaan mengerikan.

Ruksamurka tersenyum puas melihat mayat-mayat korbannya. Sepasang matanya beredar ke sekelilingnya. Dugaannya, barangkali saja masih ada orang yang belum mendapat giliran untuk pergi ke alam baka. Tapi begitu diyakini tidak ada lagi orang yang tertinggal, kakek berpakaian compang-camping ini terus melangkah masuk ke dalam desa. Setiap pondok utuh yang dilihatnya, langsung dibakar. Dan setiap penduduk yang dijumpai langsung dibantai!

* * * * * * * *

LIMA

Ruksamurka menghentikan langkah kakinya begitu melihat sesosok tubuh berdiri tegak menghadang jalan sekitar lima tombak di hadapannya. Di tangannya nampak sebatang pedang terhunus. Kakek tinggi besar itu sama sekali tidak mempedulikannya. Seperti tidak ada apa pun di hadapannya, langkahnya segera diteruskan.

"Berhenti, Manusia Biadab...!" Penghadang itu berseru keras. Nada kemarahan yang amat sangat terdengar di dalamnya. Jelas, penghadang itu tengah dilanda amarah yang menggelegak hingga ke ubun-ubun.

Terdengar suara gemeretak keras dari mulut Ruksamurka. Kakek berpakaian compang-camping ini memang marah bukan main. Dan bentakan itulah yang menyebabkannya. Kontan sepasang matanya menatap tajam ke arah sekujur wajah dan tubuh penghadangnya.

Penghadang itu ternyata seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun dan berpakaian putih. Ada gambar seekor burung gagak yang disulam dari benang hitam pada bagian dada kiri pakaiannya. Sikapnya yang gagah semakin terlihat gagah dengan adanya kumis dan cambang bauk lebat yang menghias wajahnya. Setelah merasa cukup memperhatikan penghadangnya, Ruksamurka terus saja melangkah maju. Tidak dipedulikannya seruan laki-laki bercambang bauk lebat itu.

"Manusia biadab...! Kau harus bayar nyawa murid-muridku yang tewas di tanganmu!" teriak laki-laki ber-cambang bauk lebat yang ternyata Ketua Perguruan Gagak Putih. Nada suaranya keras, penuh hawa kemarahan. "Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, lebih baik nama Laksana kubuang!"

Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Gagak Putih yang ternyata bernama Ki Laksana ini melompat menerjang. Pedang di tangan kanannya meluncur deras ke arah dada Ruksamurka.

Singgg...! Suara berdesing nyaring terdengar mengiringi serangan itu. Menilik dari desingannya, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu.

Ruksamurka hanya mendengus. Tidak tampak sama sekali kalau kakek berpakaian compang-camping ini akan mengelak. Baru setelah tusukan pedang itu menyambar dekat, tangan kanannya terulur. Pelan saja, seperti tanpa pengerahan tenaga.

Tappp...! Bagaikan menangkap sebatang singkong, Ruksamurka menangkap bilah pedang lawan yang tajam. Bahkan sebenarnya bukan hanya menangkap, tapi juga mencengkeramnya.

Sepasang mata Ki Laksana terbelalak begitu melihat bilah pedangnya hancur jadi serbuk begitu kakek berpakaian compang-camping itu meremas pedangnya. Padahal, pedang itu tidak bisa dianggap sembarangan, karena memang sebatang pedang pusaka. Bisa dibayangkan, betapa hebatnya tenaga dalam lawan yang mampu meremas pedang tanpa terluka sama sekali. Dan hal ini tentu saja membuat Ketua Perguruan Gagak Putih itu terperanjat.

Ki Laksana tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam perasaan terkejut. Kini dia tahu, kakek berwatak telengas itu adalah seorang lawan yang amat tangguh. Bukti nyata di hadapannya telah menjadi saksi kelihaiannya. Maka buru-buru laki-laki bercambang bauk lebat ini melompat ke belakang. Namun Ruksamurka sama sekali tidak mengejarnya, dan hanya memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari luar ke dalam.

Ketua Perguruan Gagak Putih ini kaget bukan main begitu merasakan adanya tenaga amat kuat yang menariknya ke depan. Ki Laksana tahu jika bertahan tidak akan ada gunanya. Jelas, tenaga lawan jauh di atasnya. Bahkan bila mencoba terus bertahan hanya akan mencelakakan diri sendiri. Itulah sebabnya Ki Laksana segera membanting tubuh ke tanah. Dan memang, setelah berada di tanah, tidak ada kekuatan aneh yang menyedotnya ke depan. Jelas, kekuatan yang menarik itu ternyata mendatar. Dan hanya menunjukkan pengaruhnya, bila lawan berada dalam keadaan tidak terlalu rendah.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Laksana untuk menyelamatkan nyawanya. Begitu tubuhnya telah berada di tanah, laki-laki bercambang bauk lebat ini langsung menggulingkan tubuhnya. Dan begitu merasa telah berada di tempat aman. Ki Laksana baru menghentikan gulingannya. Tubuhnya kemudian melenting ke atas. Dengan wajah pucat, Ketua Perguruan Gagak Putih ini menatap sekujur tubuh Ruksa-murka penuh selidik.

Ki Laksana dulu adalah seorang tokoh hitam yang cukup terkenal. Tapi akhirnya dia sadar, lalu mendirikan sebuah perguruan yang diberi nama Perguruan Gagak Putih. Sebuah nama yang aneh, karena burung gagak umumnya berwarna hitam. Tapi, Ki Laksana sengaja memberinya nama demikian. Dia memang mempunyai maksud dengan nama itu. Burung gagak melambangkan dirinya yang dulu. Dan tambahan putih di belakang kata gagak, menunjukkan kalau dirinya telah tobat.

Sebagai seorang tokoh terkenal, Ki Laksana tentu saja cukup mengenal ilmu-ilmu dahsyat tempo dulu berikut pemiliknya. Dan salah satu ilmu yang dikenalnya adalah yang mempunyal akibat seperti dirasakan kali ini. Ilmu itu bernama 'Tarikan Pusaran Air Laut’.

Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut' memang merupakan sebuah ilmu dahsyat dan menggiriskan. Tapi ilmu itu tidak membuat dunia persilatan gempar. Si pemilik ilmu itulah yang membuat tokoh-tokoh persilatan ngeri. Dialah Ruksa murka, seorang manusia yang lebih tepat disebut iblis.

Kini Ki Laksana merasakan tanda-tanda kalau lawan menggunakan ilmu itu. Tentu saja hal itu membuatnya terkejut bukan kepalang, Ruksamurkakah orang yang dihadapinya? Bukankah kakek yang mengerikan itu telah lama lenyap?

Perasaan ngeri yang hebat mulai menjalari hati Ki Laksana begitu melihat tanda-tanda adanya kebenaran kalau tokoh yang berdiri di hadapannya adalah Ruksamurka. Siapa lagi tokoh yang begitu kejam membantai seisi desa tanpa kenal ampun, kecuali Ruksamurka?

Ruksamurka menggeram melihat lawan berhasil mengelakkan diri dari daya sedot ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'. Hal ini benar-benar membuat penasaran hatinya. Ki Laksana telah berhasil menemukan kelemahan ilmunya, maka orang ini harus cepat-cepat dimusnahkan.

Setelah mengambil keputusan demikian, Ruksamurka tidak menunggu datangnya serangan lagi. Kakek ber-pakaian compang-camping ini malah melompat menye-rang. Tangan kanannya dengan sikap jari-jari tangan mengepal, meluncur deras ke arah dada Ketua Perguruan Gagak Putih.

Wusss...! Deru angin keras terdengar mengiringi tibanya serangan, sehingga membuat Ki Laksana terperanjat. Apalagi tatkala merasakan kecepatan serangan itu. Hembusan anginnya saja sudah membuat tubuhnya hampir terjengkang. Untung dia buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk mem-beratkan tubuhnya.

Pada saat yang sama, Ki Laksana lalu menusukkan pedangnya yang tinggal separuh ke arah dada kiri Ruksamurka. Luar biasa! Ketua Perguruan Gagak Putih ini rupanya berniat mengadu nyawa. Memang setelah mempunyai dugaan kuat kalau lawannya adalah Ruksamurka, Ki Laksana tidak bisa berharap terlalu banyak. Dia tahu dirinya bukan tandingan tokoh sesat yang menggiriskan itu. Maka, laki-laki bercambang bauk lebat ini memutuskan untuk mengadu nyawa.

Itulah sebabnya Ki Laksana sama sekali tidak meng-elakkan serangan pukulan Ruksamurka, tapi sebaliknya malah melancarkan serangan pula. Dan karena laki-laki bercambang bauk lebat ini menggunakan senjata, dengan sendirinya jangkauan serangannya jadi lebih jauh. Dan sebelum serangan kakek berpakaian compang-camping itu tiba, tusukan pedangnya akan lebih dulu menghunjam lawan.

Memang apa yang diperhitungkan Ki Laksana tidak meleset. Tusukan pedangnya lebih dulu tiba sebelum serangan pukulan Ruksamurka. Tapi, ternyata pedangnya membalik begitu mengenai tubuh Ruksamurka. Seakan-akan bukan kulit manusia yang tertusuk, tapi lempengan baja yang amat kuat. Dan saat itulah pukulan Ruksamurka menghantam dadanya.

Takkk...! Bukkk...!

Semua kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu, tubuh Ki Laksana telah tertempar jauh ke belakang diiringi jeritan menyayat hati. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah segar. Ketua Perguruan Gagak Putih ini tewas seketika dengan seluruh isi dada remuk. Pukulan Ruksamurka memang keras bukan main, karena telak mengenai sasarannya.

Brukkk...! Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh Ki Laksana yang telah menjadi mayat jatuh ke tanah. Tak kurang dari tujuh tombak tubuh Ketua Perguruan Gagak Putih itu terlempar jatuh. Dan mulai dari tempat terkena pukulan sampal tempat jatuhnya, darah berceceran.

Tanpa mempedulikan mayat Ki Laksana lagi, Ruksamurka segera bergerak meninggalkan tempat itu. Kakek berpakaian compang-camping ini melangkah masuk jauh ke dalam desa.

* * * * * * *

"Tidak salahkah penglihatanku...?" gumam seorang pemuda berambut putih keperakan. Pakaiannya ungu, dengan guci arak tersampir di punggung. Sepasang mata-nya menatap jauh ke depan. Nun jauh di hadapan pemuda berpakaian ungu itu, nampak asap tebal dan hitam membumbung tinggi. Begitu banyak dan bergumpal-gumpal. Pemuda berambut putih keperakan yang tak lain Arya Buana alias Dewa Arak itu menyipitkan sepasang mata untuk lebih memperjelas penglihatannya.

"Tidak salah lagi. Pasti ada kebakaran hebat disana...." gumam Arya lagi.

Setelah menduga demikian, Dewa Arak langsung melesat ke arah asal asap bergulung-gulung itu. Cepat bukan main gerakannya. Hal ini tidak aneh, karena ilmu meringankan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu telah tinggi. Dan saat itu karena ingin buru-buru mengetahui kejadian di depan, dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya.

Semakin lama, jarak antara Dewa Arak dengan asal asap yang membumbung tinggi itu semakin dekat. Dan dengan sendirinya, semakin jelas terlihat penyebab munculnya asap hitam yang begitu menggumpal bergulung-gulung. Sepasang mata Dewa Arak terbelalak begitu melihat penyebab munculnya asap. Hampir dia tidak mempercayai pandangan matanya. Tampak pondok-pondok di Desa Cendawa terbakar hebat.

Melihat hal ini, Arya semakin mempercepat larinya. Tak lama kemudian, batas tembok Desa Cendawa telah terlihat. Dan Dewa Arak terus berlari memasuki desa. Terdengar suara gemeretak dari mulut Arya begitu melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya. Pondok-pondok terbakar hebat di sana-sini. Beberapa di antaranya telah menjadi puing-puing yang masih menge-luarkan asap. Berkernyit dahi Arya begitu mencium bau sangit daging terbakar.

Rasa penasaran mendorong Arya untuk menghampiri satu pondok yang sudah menjadi puing-puing. Sesaat lamanya sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini menatap ke arah puing-puing itu, kemudian kedua tangannya diputar-putarkan di depan dada.

Wusss...! Dari kedua tangan yang berputaran itu berhembus angin keras yang membuat tumpukan puing-puing berpentalan tak tentu arah. Seketika, sekitar tempat itu terselimut arang debu. Arya menggerakkan tangannya sekali lagi. Kali ini tidak berputar di depan dada, tapi hanya mendorong. Pelan saja kelihatannya, tapi akibatnya debu yang menutupi pandangan itu terusir pergi.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat begitu melihat pemandangan yang di balik tumpukan puing tadi. Tampak beberapa bagian tulang-belulang manusia yang rupanya tidak ikut habis terbakar. Sekali lihat saja, Arya tahu kalau mayat manusia yang ikut terbakar bersama pondok itu tidak hanya satu saja. Dewa Arak menemukan beberapa tengkorak kepala manusia. Di antaranya malah ada yang merupakan tengkorak bayi.

"Biadab...!" Geraman bernada kemarahan terdengar dari mulut Dewa Arak melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya. Untuk beberapa saat lamanya Arya tercenung diam. Raut wajahnya tampak kaku karena kemarahan yang membakar hatinya.

Dengan langkah lesu dan dada sesak terbakar amarah, Dewa Arak melangkah meninggalkan pondok itu. Benaknya sibuk menduga-duga, siapa pelaku perbuatan keji ini. Benarkah semua ini perbuatan Ruksamurka, tokoh sesat yang berhasil bebas dari kurungan?

Belum berapa jauh melangkah, pandangan Arya ter-tumbuk pada beberapa sosok tubuh yang tergeletak menghadang jalan. Menilik dari keadaan tubuh yang sama sekali tidak bergerak-gerak, Arya bisa memastikan kalau semua sosok tubuh itu telah tidak bernyawa lagi. Meskipun begitu, Dewa Arak segera menghampiri. Hanya dalam sekejapan saja, dia sudah berada di hadapan sosok-sosok tubuh yang tergolek.

Arya menghitung jumlah mayat itu dengan matanya. Sebelas orang. Menilik dari pakaian dan lambang yang tertera pada dada sebelah kiri, bisa diperkirakan kalau mayat-mayat itu berasal dari satu perguruan. Pakaian mereka berwarna putih, dan ada sulaman bergambar burung gagak pada bagian dada sebelah kiri. Memang, mereka adalah murid-murid Perguruan Gagak Putih yang tewas oleh Ruksamurka.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat melihat mayat-mayat itu. Sekali lihat saja, dia tahu kalau sebelas sosok itu tewas karena serangan tenaga dalam yang dipancarkan dari suara tawa. Dengan raut wajah yang semakin lesu, dan kemarahan yang semakin bergolak, Dewa Arak melangkah meninggal-kan mayat-mayat itu. Tidak seperti biasanya, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menguburnya. Masalahnya, ia tahu kalau korban pembantaian masih akan ditemukan lagi.

Dugaan Arya memang benar. Masih banyak mayat yang ditemukannya di sepanjang perjalanan. Sebagian besar tidak bisa dikenali lagi, karena telah hancur terbakar. Hanya beberapa gelintir saja yang ditemukan mayatnya. Yang jelas, seluruh isi desa itu telah habis. Tak ada seorang pun yang tersisa. Di sana-sini masih tampak terlihat kobaran api yang membumbung tinggi ke angkasa.

"Keji...!" Kembali sebuah umpatan keluar dari mulut Dewa Arak melihat tidak ada satu makhluk pun yang masih hidup. Jangankan manusia, atau binatang. Persawahan pun sudah tidak tampak lagi. Semua telah musnah terbakar jadi abu. Desa Cendawa benar-benar telah menjadi desa neraka.

"Siapa pun pelaku semua ini..., aku tidak akan bisa mengampuninya lagi," desis Dewa Arak. Ada nada ancaman yang hebat dalam suara itu. Setelah berkata demikian, Dewa Arak bergegas me-ninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas mencari jejak pembunuh biadab itu.

Kemarahan Arya semakin bergolak. Dan tekadnya untuk membasmi pembunuh biadab itu semakin besar ketika di sepanjang perjalanan selalu dijumpai mayat korban pem-bunuhan. Setiap desa yang dilalui pemuda berambut putih keperakan tidak pernah utuh. Rupanya Ruksamurka benar-benar hendak membinasakan seluruh penghuni bumi ini.

* * * * * * * *

ENAM

"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Sudah berhari-hari lamanya mengikuti jejak Ruksamurka, tapi tetap belum menemukan pembunuh keji itu. Yang selalu dijumpainya hanya bekas-bekas yang ditimbulkan oleh kebiadaban kakek berwajah penuh guratan itu. Bahkan setelah melewati sebuah desa yang telah habis porak-poranda, Dewa Arak kehilangan jejak Ruksamurka. Rupanya dia telah salah memilih jalan. Dan kini Arya telah tiba di tembok batas Desa Berung.

"Rupanya aku keliru memilih jalan," gumam Arya ketika telah melangkahkan kaki memasuki mulut desa.

Desa Berung ternyata berbeda dengan desa-desa yang dijumpai sebelumnya. Di sini tidak ditemui mayat berserakan, dan juga tidak terlihat pondok-pondok yang terbakar. Jelas, Ruksamurka belum tiba kemari. Arya mengedarkan pandangan berkeliling.

"Ataukah pembunuh keji itu belum tiba di sini?" gumam pemuda berambut putih keperakan itu kembali. "Tapi, rasanya mustahil. Aku saja yang berada di belakangnya telah tiba di sini. Ya! Past aku telah keliru memilih jalan."

Dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan itu, Arya kembali melanjutkan perjalanan. Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu seperti menatap sekelilingnya, tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Meskipun demikian, dahi Arya tetap berkernyit. Dirasa-kannya ada kelainan di Desa Berung. Desa ini terlihat sepi, tidak nampak seorang pun penduduk yang nampak.

"Aneh...!" desis Dewa Arak pelan. "Ke mana perginya penduduk desa ini?"

Mendadak Arya tersentak. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya denting senjata beradu. Menilik dari suara nya yang terdengar sayup-sayup, bisa diperkirakan kalau asal suara itu cukup jauh dari tempatnya. Arya lebih mempertajam lagi pendengarannya untuk menangkap denting suara itu agar dapat mengetahui sumbernya. Sesaat kemudian Arya telah berhasil mem-perkirakannya.

Dewa Arak tak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat tubuhnya berkelebat menuju asal suara itu. Hebat bukan main gerakannya. Hanya sekali langkah saja, pemuda be-rambut putih keperakan itu telah berada dalam jarak sekitar dua belas tombak dari tempat semula.

Arya mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sebuah dugaan yang kuat, telah membuatnya bertindak seperti itu. Denting senjata beradu itu kemungkinan besar adalah sebuah pertarungan. Bahkan bukan mustahil kalau orang yang tengah bertarung adalah pembunuh biadab itu. Apalagi, Arya yang memang sudah bertekad bulat untuk segera mengenyahkan Ruksamurka. Maka dia berusaha secepatnya tiba di tempat pertarungan, dan tidak ingin kehilangan jejak lagi.

Semakin lama dentang senjata beradu itu terdengar semakin keras. Hal ini semakin menggembirakan hati Dewa Arak. Ini membuktikan kalau dia tidak salah arah. Kini bukan hanya dentang senjata beradu saja yang terdengar, tapi juga teriakan-teriakan penuh kemarahan, bercampur kesakitan, dan diselingi lolong kematian.

Tak lama kemudian, pandang mata Dewa Arak tertumbuk pada sebuah bangunan besar, tapi sederhana. Bangunan itu terkurung pagar kayu bulat yang tinggi. Sekali lihat saja, Arya tahu kalau bangunan itu adalah sebuah perguruan sllat. Dan memang, dugaannya tidak salah, karena di bagian atas pintu gerbang yang daun pintunya telah roboh itu terpampang sebuah papan tebal dan berukir yang bertuliskan huruf-huruf indah. Bunyinya, "Perguruan Tangan Besi".

Karena gerbang sudah tidak mempunyai pintu lagi, meskipun Dewa Arak masih berada dalam jarak belasan tombak, tapi bisa melihat apa yang terjadi di halaman depan yang luas itu. Tampak di sana terjadi sebuah per-tarungan mati-matian, antara orang-orang berseragam kuning muda melawan orang-orang berwajah dan bersikap kasar.

Sesaat kemudian, Dewa Arak telah berada di halaman perguruan itu. Dia tidak langsung mencampuri pertarungan, melainkan memperhatikan sekelilingnya sesaat. Arya mengernyitkan alisnya melihat banyaknya orang berseragam kuning yang tewas. Di bagian dada kiri mereka terdapat gambar telapak tangan terbuka. Tak kurang dari delapan orang yang tergolek di tanah.

Kini Dewa Arak mengalihkan perhatian pada jalannya pertarungan. Tampak orang-orang berseragam kuning yang rata-rata bersikap dan berwatak gagah itu terus mengadakan perlawanan sengit. Tak terlihat kegentaran sedikit pun, sekali pun sebagian kawan-kawan mereka telah tewas.

Arya menghitung jumlah orang berseragam kuning itu. Ada empat belas orang, dan rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi meskipun begitu, terlihat jelas kalau mereka tetap tidak mampu menghadapi lawan. Padahal, lawan yang dihadapi hanya dua orang.

Orang pertama berpakaian terbuat dari kulit binatang. Tubuhnya terlalu tinggi dan terlalu kurus, sehingga lebih mirip batang bambu. Kulit wajahnya kuning. Kumis dan jenggot yang kasar dan jarang-jarang tampak menghias wajahnya. Dengan senjata sebuah pedang yang panjang-nya satu setengah kali pedang biasa, lawan-lawan ber-usaha dirobohkannya.

Sedangkan orang kedua, bertubuh begitu pendek. Di samping itu tubuhnya pun sangat gemuk dan gendut. Sehingga, lebih mirip bola daripada manusia. Pakaiannya berupa rompi berwarna merah. Senjatanya yang berupa sebuah golok besar bermata bergerigi tampak telah berlepotan darah. Jelas kalau golok itu telah banyak meminta korban.

Setelah memperhatikan sesaat, Arya tahu bila pertarungan dibiarkan terus dapat dipastikan orang-orang berseragam kuning akan tewas semua di tangan lawannya. Kedua orang lawan itu amat tangguh, terutama sekali per-mainan senjata mereka. Dugaan Dewa Arak memang benar. Meskipun satu orang berwajah dan bersikap kasar itu menghadapi tujuh orang berseragam kuning, namun sama sekali tidak tampak terdesak. Bahkan sebaliknya mampu menguasai keadaan.

Sekali lihat saja, Dewa Arak telah bisa menilai pihak yang harus dibantunya. Menilik dari sikap dan seragam yang dikenakan, Arya tahu kalau orang berpakaian kuning itu murid-murid Perguruan Tangan Besi. Hanya yang menjadi tanda tanya baginya, ke manakah ketua perguruan itu? Mengapa tidak membantu murid-muridnya yang telah berada di ambang maut?

"Akh...!" Salah seorang murid Perguruan Tangan Besi yang berkulit hitam memekik tertahan ketika golok laki-laki bertubuh pendek gemuk menyerempet bahunya. Kontan tubuhnya terhuyung ke belakang.

Sambil tertawa menyeramkan, laki-laki berompi merah itu melesat memburu. Golok besar dan bergerigi di tangannya ditusukkan cepat ke arah perut. Laki-laki berkulit hitam itu terperanjat melihat maut tengah memburu ke arahnya. Tibanya serangan susulan itu membuatnya gugup bukan main, sehingga tidak mampu berbuat sesuatu untuk mengelak.

Bukan hanya laki-laki berkulit hitam itu saja yang terkejut. Rekan-rekannya pun kaget bukan main, karena tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Serangan itu tiba begitu mendadak. Di saat gawat bagi keselamatan laki-laki berkulit hitam itu, Dewa Arak melesat cepat memapaknya. Nyawa murid Perguruan Tangan Besi itu memang harus diselamatkan.

Tinggg...! Suara berdenting nyaring seperti beradunya dua benda logam terdengar ketika golok bergerigi itu disentil jari telunjuk Arya. Walaupun hanya sentilan saja, tapi karena dilakukan oleh seorang tokoh tinggi seperti Dewa Arak, akibatnya pun hebat.

Laki-laki bertubuh pendek gemuk terperanjat ketika goloknya menyeleweng ke samping. Tangan yang menggenggam senjata seketika bergetar hebat seiring berdirinya sesosok bayangan ungu di depannya.

"Siapa kau...?!" teriak laki-laki berompi merah ini keras penuh kemarahan. "Mengapa mencampuri urusan kami?!"

"Aku Arya," sebut Dewa Arak pelan.

"Arya...," laki-laki bertubuh pendek gemuk itu mengerutkan alisnya. Nada suara maupun sikapnya menunjukkan kalau tengah mengingat-ingat sesuatu. "Jadi... kau ini... Dewa Arak...?!"

"Begitulah orang-orang persilatan menjulukiku...," sahut Arya kalem. Datar saja suaranya. Tidak ada nada ke-banggaan atau kesombongan yang tersirat di dalamnya.

"Ah...!" Terdengar jerit keterkejutan dari laki-laki yang bertubuh tinggi kurus bagai bambu. Rupanya walau dalam keadaan sedang bertarung, dia masih mampu memperhatikan sekitarnya. Dan sekali bergerak saja, tubuhnya telah berhasil keluar dari kepungan tujuh orang lawan. Laki-laki tinggi kurus itu kemudian berdiri di sebelah rekannya.

Tujuh orang murid Perguruan Tangan Besi sama sekali tidak mengejarnya. Mereka diam memperhatikan, seperti juga rekan mereka yang menghadapi laki-laki bertubuh pendek gemuk itu. Mereka ingin melihat, apa yang dilaku-kan Dewa Arak! Memang, julukan itu telah lama terdengar.

"Kami berdua memang telah lama mendengar nama besarmu, Dewa Arak. Dan sudah lama pula kami berniat mencoba kelihaianmu. Aku, si Katak Api. Sedangkan kawanku berjuluk Codot Hutan Larangan," kata laki-laki bertubuh pendek gemuk memperkenalkan diri, sekaligus menantang.

"Bersiaplah, Dewa Arak...!"

Kali ini laki-laki bertubuh tinggj kurus yang ternyata berjuluk Codot Hutan Larangan itu yang ganti berbicara. Suaranya terdengar melengking nyaring. Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian dari kulit binatang itu langsung melompat menerjang. Pedang panjang di tangannya disabetkan ke arah leher Dewa Arak.

Singgg...! Suara desing nyaring terdengar mengiringi tibanya serangan pedang itu. Belum juga serangan itu tiba di sasaran, si Katak Api juga telah melancarkan serangan. Golok laki-laki bertubuh pendek gemuk ini meluncur cepat ke arah perut.

Menghadapi kedua serangan yang tiba berbarengan itu, Dewa Arak sama sekali tidak gugup. Sekali lihat saja sudah btsa diketahui kekuatan tenaga dalam lawan. Maka pemuda berambut putih keperakan ini bersikap tenang saja, tidak nampak akan mengelakkan serangan atau mengeluarkan senjata untuk menangkis.

Baru ketika kedua serangan itu menyambar dekat, tangan Arya bergerak ke atas untuk menangkis serangan yang membabat leher. Sementara tangan yang kiri ditetakkan menangkis golok si Katak Api dengan arah gerakan dari dalam ke luar.

Takkk, takkk...!

Suara berderak keras seperti dua batang logam berbenturan, terdengar begitu sepasang tangan Dewa Arak menangkis kedua senjata yang mengancam keselamatan nyawanya. Akibatnya hebat sekali! Tubuh si Katak Api dan Codot Hutan Larangan sama-sama terhuyung ke belakang. Keduanya merasakan tangan yang menggenggam senjata seperti lumpuh seketika.

Sebelum sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Dewa Arak telah meluncur ke arah mereka. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga, sebelum kedua tokoh sesat itu sadar, senjata-senjata itu telah berpindah ke tangan Dewa Arak. Rupanya, Arya telah menotok lumpuh sikut kedua orang itu.

Kontan wajah kedua orang itu memucat. Dari tindakan ini saja, sudah bisa diketahui kalau tingkat kepandaian Dewa Arak amat jauh di atas mereka. Perasaan gentar yang amat sangat seketika menyelinap di hati kedua orang itu.

Tindakan Arya ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Dan dari kedua tangan yang berputaran, seketika berhembus angin keras, sehingga membuat tubuh si Katak Api dan Codot Hutan Larangan terhumbalang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah.

Meskipun telah menjadi pecundang, namun si Katak Api dan Codot Hutan Larangan mampu membuktikan kalau bukanlah tokoh sembarangan. Cepat-cepat kekuatan yang membuat tubuh mereka terguling-guling dipatahkan, kemudian bergerak bangkit. Lalu, lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.

Melihat hal ini, murid-murid Perguruan Tangan Besi tidak tinggal diam. Cepat mereka bergerak mengejar. Namun Arya tidak mau ikut campur lagi. Dibiarkan saja kedua belah pihak itu menyelesaikan urusannya sendiri. Tapi, rupanya tidak semua murid Perguruan Tangan Besi mengejar lawan. Ada dua orang yang masih berdiri di situ. Malah keduanya bergerak menghampiri Dewa Arak.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap salah satu dari kedua orang itu, yang berkulit hitam. Lukanya kini telah terbalut.

"Ah! Bukankah sudah merupakan kewajiban kita untuk saling tolong-menolong?" kelit Arya buru-buru. "Lagi pula, tampaknya kedua orang itu bukan orang baik-baik."

"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Dewa Arak," sambut laki-laki berkulit hitam. "Kedua orang itu adalah orang-orang jahat yang telah dikalahkan guru kami, tapi berhasil meloloskan diri. Sudah lama mereka hendak membalas dendam, tapi mereka gentar. Jadi, mereka menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan niat itu, selagi guru kami tidak ada."

"Kalau saja guru kami berada di tempat, kedua orang itu tak akan mungkin berani datang kemari," jelas orang satunya lagi. Laki-laki itu banyak mempunyai tahi lalat di pipinya.

"Memang, sejak Ruksamurka muncul kembali, tokoh-tokoh golongan hitam lebih berani berbuat kejahatan," sambung laki-laki berkulit hitam.

"Kalau boleh kutahu, ke mana guru kalian pergi?" tanya Arya hati-hati.

"Bergabung dengan tokoh-tokoh aliran putih lain mengejar Ruksamurka," sahut laki-laki yang wajahnya penuh tahi lalat.

"Aku juga tengah mengikuti jejaknya. Tapi sayang..., kehilangan jejak," sambut Dewa Arak cepat.

"Ambil jalan pintas saja, Dewa Arak," usul laki-laki berkulit hitam.

"Aku belum mengerti maksudmu, Kang?"

"Begini, Dewa Arak. Dari guru, aku tahu kalau setiap menjelang bulan purnama, Ruksamurka kembali ke tempat tinggalnya di Gunung Lenteng. Entah apa yang dilakukan di sana. Guruku pun tidak mengetahui. Jadi, tunggu saja di sana, Dewa Arak."

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti, mengapa Ruksamurka tidak menuju Desa Berung. Bulan purnama tinggal dua hari lagi. Karena kakek itu hendak menuju Gunung Lenteng, maka sudah pasti melewati Desa Lenteng. Jadi, Desa Lenteng yang kali ini akan menjadi Desa Neraka!

"Kalau begitu, aku harus segera menuju ke sana...!" ucap Arya mengambil keputusan.

"Memang lebih baik begitu, Dewa Arak," dukung laki-laki berwajah penuh tahi lalat.

"Kita pergi bersama-sama saja," usul laki-laki berkulit hitam.

Arya terperanjat. "Heh...?! Jadi... kalian pun ingin menuju ke puncak Gunung Lenteng?"

Laki-laki berkulit hitam menggelengkan kepala. "Kami ingin melihat rekan-rekan kami yang tadi mengejar si Katak Api dan Codot Hutan Larangan. Kebetulan arahnya sama dengan arah yang akan kau tempuh."

Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti, lalu bergerak menuju Gunung Lenteng diikuti kedua orang murid Perguruan Tangan Besi. Dengan adanya dua orang berseragam kuning bersamanya, terpaksa Arya tidak bisa mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Pemuda berpakaian ungu itu hanya mengerahkan sebagian kecil dari ilmu meringankan tubuhnya, agar kedua orang itu tidak tertinggal jauh.

Belum jauh ketiga orang ini bergerak, pandangan mereka tertumbuk pada serombongan orang berseragam kuning yang tengah menuju ke arah yang berlawanan. Dewa Arak dan kedua orang murid Perguruan Tangan Besi yang bersamanya, mengerutkan alis begitu melihat rombongan itu. Semula sewaktu mengajar, jumlah mereka dua belas orang. Tapi kini hanya tinggal enam orang!

"Apa yang terjadi, Sakri?" tanya laki-laki berkulit hitam seraya menatap wajah salah seorang dari rombongan, tatkala jarak mereka telah dekat.

"Mana kawan-kawan yang lain?" laki-laki yang wajahnya penuh tahi lalat bertanya pula, sebelum Sakri tempat menjawab pertanyaan yang diajukan laki-laki berkulit hitam.

"Mereka semua telah tewas," pelan dan tanpa semangat jawaban Sakri.

"Tewas?!" kedua orang murid Perguruan Tangan Besi yang berjalan bersama Dewa Arak membelalakkan sepasang matanya. Jelas, mereka merasa kaget bukan kepalang.

Sakri menganggukkan kepala. "Tapi kematian mereka tidak sia-sia, Kang, Si Katak Api dan Codot Hutan Larangan berhasil kami tewaskan. Sungguh tidak disangka dalam keadaan terluka, mereka masih sanggup menewaskan enam orang rekan kita."

"Lalu mayat mereka...?" tanya laki-laki berkulit hitam lagi.

"Sudah kami kuburkan, Kang." sahut Sakri. Sementara murid-murid Perguruan Tangan Besi yang bersamanya menganggukkan kepala. Mereka semua rupanya merasa terpukul sekali atas kematian rekan-rekan mereka.

"Kalau begitu..., mari kembali ke perguruan. Kita urus mayat rekan-rekan kita yang lain," ajak laki-laki berkulit hitam.

"Kalau begitu aku pergi dulu, Kang." Dewa Arak yang tahu kalau tidak ada gunanya lagi berada di situ segera pamit. "Aku harus cepat-cepat mengejar Ruksamurka sebelum semuanya terlambat"

Tanpa menunggu jawaban, Dewa Arak segera melesat cepat bagai kilat. Sehingga dalam beberapa saat saja, tubuhnya sudah berupa titik yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauhan.

"Luar biasa...!" laki-laki berkulit hitam berseru memuji seraya menggeleng-gelengkan kepala. Memang, dia merasa kagum bukan main melihat kesaktian Dewa Arak.

"Usianya masih begitu muda. Tapi kepandaiannya..., luar biasa! Berita yang tersiar di dunia persilatan rupanya tidak berlebihan," salah seorang murid Perguruan Tangan Besi yang berhidung melengkung menggumam penuh kagum.

Bukan hanya kedua orang itu saja yang merasa kagum melihat kesaktian Dewa Arak. Bahkan juga rekan-rekan mereka yang lainnya. Mereka semuanya menatap Arya hingga lenyap di kejauhan. Baru setelah tubuh Dewa Arak tidak terlihat lagi, mereka semuanya melangkah kembali ke Perguruan Tangan Besi.

* * * * * * * *

TUJUH

"Ruksamurka...! Berhenti kau...!"

Bentakan keras menggelegar memaksa seorang kakek berpakaian compang-camping yang tengah berlari menghentikan langkahnya. Kakek yang ternyata memang Ruksamurka itu menoleh ke samping kanan, arah bentakan itu berasal. Wajah kakek berpakaian compang-camping ini terlihat tenang saja, meskipun tahu kalau orang yang mengucapkan bentakan itu adalah seorang lawan tangguh. Ini terbukti dari bentakan yang mengandung getaran kuat tadi.

Dalam jarak sekitar sepuluh tombak di samping kanan Ruksamurka, berdiri tiga sosok tubuh yang rata-rata berusia lanjut. Dan begitu melihat orang yang dibentak berhenti, ketiga sosok tubuh itu melangkah menghampiri. Ruksamurka membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah tiga sosok tubuh itu. Dia kini berdiri diam menunggu. Sepasang matanya menatap ke arah tiga orang itu. seperti meremehkan.

"Siapa di antara kalian yang tadi menyuruhku berhenti...?!" tanya Ruksamurka begitu tiga sosok tubuh itu menghentikan langkahnya dalam jarak sekitar tiga tombak di depannya. Sepasang mata Ruksamurka menatap berganti-ganti wajah ketiga orang itu. Ada ancaman hebat yang terkandung dalam pertanyaan itu.

Tapi sampai lelah Ruksamurka menunggu, tidak juga terdengar adanya sahutan dari mulut ketiga orang itu. Terdengar suara gemeretak dari mulut Ruksamurka. Jelas, kakek berwajah penuh gurat luka ini dilanda kemarahan menggelegak. Dan itu memang benar! Ruksamurka memang paling pantang dibentak orang. Apalagi kalau ucapannya tidak dianggap. Maka, kemarahannya makin menggelegak sampai ke ubun-ubun.

"Groaaah...! Sungguh tidak kusangka kalau kalian bertiga tidak ubahnya seperti anjing. Di belakang menggonggong, tapi begitu berada di depan diam tutup mulut! Pengecut..! Akan kurobek mulut kalian semua...!"

"Tutup mulutmu, Ruksamurka...!" sergah salah seorang dari tiga penghadang itu. Dia adalah seorang kakek bertubuh sedang. Kumis dan jenggot tampak menghias wajahnya. Tubuhnya yang masih terlihat kekar terbungkus sebuah pakaian berwarna kuning yang di bagian dada kiri tersulam gambar telapak tangan. Dialah Ketua Perguruan Tangan Besi Ki Galing namanya.

"Hm...," Ruksamurka menggeram hebat. Sepasang matanya menatap bengis ke arah Ki Galing. "Jadi, kau rupanya yang tadi membentakku, Tikus Pengecut?!"

"Aku yang tadi menyuruhmu berhenti, Ruksamurka! Lalu, kau mau apa?!" selak seorang yang berbadan lebar tapi kurus. Sehingga badannya terlihat tipis. Apalagi dia memang bertelanjang dada. Kulitnya hitam kecoklatan, pertanda sering terbakar matahari. Ada sebuah caping yang menutup kepalanya.

Ruksamurka mengawasi laki-laki bercaping sejenak, kemudian beralih pada sebuah cangkul yang tergenggam di tangan kanan laki-laki bertelanjang dada itu. "Siapa kau, Kunyuk?!" tanya kakek berpakaian compang-camping kasar. "Sebutkan namamu, sebelum mati penasaran di tanganku!"

"Aku sudah lupa namaku! Tapi orang persilatan menjulukiku. Petani Tangan Seratus!"

"Sebentar lagi kau akan dijuluki Petani Tanpa Tangan dan Kaki!" dengus Ruksamurka.

Setelah berkata demikian, Ruksamurka siap mengeluarkan ilmu andalannya. Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’. Ruksamurka memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Seketika itu juga angin keras yang mempunyai daya sedot luar biasa berhembus.

"Awas...! Itu pasti ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut...!" Salah seorang lagi, seorang kakek bertubuh kurus kering seperti cecak mati, berseru keras seraya melempar tubuhnya ke belakang. Kemudian dia bersalto beberapa kali di udara.

Bukan hanya kakek kurus kering itu saja yang melompat menghindar. Petani Tangan Seratus dan juga Ki Galing pun melompat ke belakang begitu merasakan adanya angin keras yang berusaha menarik tubuh mereka ke depan. Mesikipun begitu, tak urung mereka merasakan juga akibat serangan itu. Saat mendarat di tanah, sikap kaki mereka tidak tetap. Terhuyung sana-sini.

Bagaikan seekor binatang buas yang terluka, Ruksamurka meraung. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka lurus bergerak cepat mencari sasaran. Hebatnya, setiap serangan kakek ini selalu mengandung hal yang membingungkan lawan. Terkadang sebelum serangan itu tiba, ada kekuatan membetot luar biasa. Tapi tak jarang, serangan itu juga didahului sebuah kekuatan tolak yang luar biasa kuatnya.

Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan kakek kurus kering yang ternyata bernama Eyang Boneng adalah tokoh aliran putih tingkat atas. Maka tentu saja kepandaian mereka telah tinggi. Meskipun begitu, tetap saja mereka tidak berani menghadapi Ruksamurka satu persatu.

Memang ketiga orang sakti ini telah mengetahui kelihaian tokoh sesat yang menggiriskan itu. Belasan tahun yang lalu, kakek berpakaian compang-camping ini meraja-lela tanpa ada seorang pun yang mampu menandinginya.

Melihat Ruksamurka mengeluarkan ilmu andalan, ketiga orang sakti itu pun mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Petani Tangan Seratus mengeluarkan 'Ilmu Tangan Seratus'. Sementara Ki Galing dengan 'Ilmu Tangan Besi'. Sedangkan Eyang Boneng dengan 'Ilmu Tinju Angin'.

Sukar dibayangkan, betapa dahsyatnya pertarungan antara keempat tokoh sakti itu. Suara menderu, mencicit, dan mengaung, diiringi suara meletup-letup terdengar menyemaraki pertarungan. Bukan hanya itu saja. Angin pukulan dan tendangan yang nyasar membuat tanah di sekitar pertarungan terbongkar. Batu-batu besar maupun kecil berpentalan tak tentu arah, terbawa hembusan angin keras yang bertiup di sekitar tempat itu. Bahkan beberapa batang pohon besar yang tumbuh di sekitarnya pun tumbang akibat terkena serangan nyasar.

Pada jurus-jurus permulaan hingga jurus keempat puluh, Ruksamurka kewalahan bukan main menghadapi keroyokan ketiga orang lawannya ini. Memang kalau melawan satu persatu, tidak begitu sulit bagi kakek berpakaian compang-camping ini untuk mengalahkan mereka. Tapi karena lawan menghadapinya secara keroyokan, dia merasa sulit menaklukkan ketiga orang itu.

Memang ketiga orang tokoh sakti aliran putih itu seperti tidak terdiri dari tiga orang dengan tiga pikiran, tapi tiga orang dengan satu pikiran. Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng bisa saling mengisi dan bantu-membantu. Serangan mereka susul-menyusul tanpa henti seperti gelombang laut. Sebaliknya, begitu salah seorang mengalami desakan, dua orang rekannya selalu berada di sisinya untuk membantu.

Karena kerjasama ketiga tokoh ini begitu kompak, Ruksamurka mengalami kesulitan menghadapi mereka. Selama beberapa puluh jurus, kakek berpakaian compang-camping ini hanya mengelak dan menangkis. Dan hanya sesekali saja melancarkan serangan.

Begitu pertarungan melewati jurus keempat puluh lima, Ruksamurka baru bisa memperbaiki keadaan. Perkembangan ilmu lawan-lawannya mulai bisa dikenalnya. Dan dengan sendirinya, sedikit demi sedikit keadaan mulai bisa diimbangi. Pada jurus keenam puluh lima, pertarungan mulai berlangsung imbang. Ruksamurka kini tidak hanya mengelak dan menangkis, tapi juga balas menyerang dahsyat.

Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng mengeluh dalam hati begitu melihat Ruksamurka berhasil menata diri. Bahkan kini mampu mengimbangi. Meskipun begitu, ketiga orang tokoh sakti itu tidak putus asa. Mereka tetap mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk merobohkan lawan.

Hingga seratus jurus pertarungan masih berlangsung seimbang. Tidak tampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Sebenarnya berkali-kali Ruksamurka berhasil mendesak lawan. Tapi karena kerjasama yang kompak dari ketiga orang itu, desakan kakek berpakaian compang-camping cepat diurungkan.

Beberapa kali hal yang aneh terjadi, karena kekhasan ilmu yang dimiliki Ruksamurka. Ilmu yang bernama 'Tarikan Pusaran Air Laut' itu sebenarnya mempunyai daya kekuatan menarik yang amat kuat. Tapi berkat kecerdikannya, ilmu itu tidak hanya berisi daya sedot saja, tapi juga daya tolak. Jadi setiap serangan yang dilakukannya selalu mengandung daya sedot atau daya tolak yang amat kuat.

Hal seperti itulah yang menimbulkan keanehan. Seringkali terlihat ketiga orang lawan Ruksamurka tertarik ke depan, atau terdorong ke belakang setiap kali serangan dilancarkan. Dan berkat kedahsyatan ilmu itulah, perlahan namun pasti Ruksamurka berhasil mendesak ketiga orang lawannya. Bahkan menginjak jurus keseratus lima puluh, berhasil memecah belah kerjasama ketiga orang itu.

Dengan berhasil dilumpuhkannya kerjasama Ki Galing, Eyang Boneng, dan Petani Tangan Seratus, Ruksamurka mulai berhasil mendesak lawan. Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng menggertakkan gigi begitu mengetahui Ruksamurka ber-hasil memecah belah kerjasama mereka. Ketiganya sadar, kalau dibiarkan keadaan akan sangat berbahaya.

Srattt..!

Sinar terang berkeredep ketika Ki Galing menghunus pedangnya. Langsung dilancarkannya serangan tusukan bertubi-tubi begitu pedang itu terhunus. Berbareng dengan serangan pedang Ki Galing, Petani Tangan Seratus dan Eyang Boneng pun mengeluarkan senjata andalan masing-masing.

Petani Tangan Seratus segera menjumput cangkulnya yang sejak tadi tergetetak di tanah. Sedangkan Eyang Boneng langsung mengeluarkan sepasang tongkat pendek yang panjangnya hanya setengah tombak. Dan begitu pedang di tangan Ki Galing meluncur, senjata kedua orang tokoh sakti itu meluncur tiba.

"Ha ha ha...!" Ruksamurka tertawa bergelak begitu melihat ketiga orang lawan mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Dan seiring keluarnya suara tawa itu, tubuhnya melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.

"Hup...!" Begitu mendarat di tanah, di tangan kakek ini telah tergenggam sepasang kecer.

Blanggg...! Suara keras seperti ada halilintar menggelegar terdengar ketika sepasang kecer itu diadu. Jelas kalau Ruksamurka membenturkan kecer ini disertai pengerahan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Akibatnya hebat bukan main! Terdengar pekikan tertahan dari mulut Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng.

Getaran suara yang timbul dari beradunya sepasang kecer itu benar-benar menggiriskan. Ketiga orang tokoh sakti beraliran putih itu merasakan sepasang telinga mereka berdengung hebat dan sakit bukan main. Bahkan dada pun terasa sesak! Bukan itu saja. Kedua lutut mereka pun terasa lemas bukan main.

Blanggg,..! Kembali Ruksamurka mengadu sepasang kecernya. Akibatnya, ketiga orang lawannya kembali memekik. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka melemparkan senjata yang digenggam. Seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimiliki segera dikerahkan untuk melawan pengaruh suara kecer itu.

Blanggg...!

Sekujur tubuh Petani Tangan Seratus, Ki Galing dan Eyang Boneng menggigil hebat. Dari mulut telinga, dan hidung mereka kini mengalir darah segar. Ketiga orang kakek sakti ini jelas-jelas terluka dalam. Memang tenaga dalam mereka masih di bawah Ruksamurka.

Blanggg...!

Ruksamurka yang melihat keadaan ketiga orang lawannya mulai bisa dilumpuhkan, kembali membenturkan kecernya. Sebagai seorang tokoh sesat yang penuh pengalaman, dia tahu kalau keadaan lawan sudah amat gawat. Jadi rasanya tidak sulit untuk merobohkan mereka.

"Huakh...!" Hampir berbareng, Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng memuntahkan darah segar dari mulut mereka, kemudian ambruk ke tanah. Sesaat lamanya tubuh ketiga orang itu menggelepar-gelepar, lalu diam tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati!

"Ha ha ha...!" Ruksamurka tertawa bergelak begitu melihat ketiga orang lawan diam tidak bergerak lagi. Beberapa saat lamanya kakek berpakaian compang-camping ini memperhatikan mayat ketiga orang lawannya, baru kemudian melesat kabur dari situ menuju gunung yang menjulang tinggi agak jauh di hadapannya. Gunung Lenteng!

Tak lama sepeninggal Ruksamurka, dari kejauhan melesat cepat sesosok bayangan ungu yang bergerak cepat. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak! Pemuda berambut putih keperakan itu dari jauh mendengar suara gemuruh yang memekakkan telinga. Suara itulah yang menuntunnya ke arah pertarungan Ruksamurka meng-hadapi ketiga orang lawannya tadi.

"Celaka...! Aku terlambat..!" keluh Dewa Arak begitu di kejauhan sepasang matanya melihat tiga sosok tubuh yang tergolek di tanah. Melihat hal ini, Arya kembali mempercepat larinya. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada di dekat ketiga mayat itu.

Begitu melihat tanda telapak tangan di dada kiri kakek berpakaian kuning, Dewa Arak telah tahu kalau orang itu adalah Ketua Perguruan Tangan Besi. Jadi, rupanya kedua kakek yang berada di sebelah mayat Ki Galing adalah tokoh persilatan yang ingin menghentikan kebiadaban Ruksamurka. Arya menatap ketiga mayat itu dengan pandangan mata penuh penyesalan.

"Maaf..., aku tidak bisa mengurus mayat kalian. Aku harus buru-buru mengejar Ruksamurka...." Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera melesat dari situ untuk mengejar Ruksamurka.

* * * * * * * *

DELAPAN

"Hup...!" Dengan lincahnya, Ruksamurka melompat ke sana kemari. Kedua kakinya menotok batu-batuan. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di salah satu batu besar yang menonjol. Kemudian, dia menotok lagi. Begitu seterusnya.

Lincah laksana kera, kakek berpakaian compang-camping ini melesat ke sana kemari. Padahal, medan yang ditempuhnya terhitung sulit. Tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk menaklukkannya. Tak berapa lama kemudian, Ruksamurka telah berada di puncak Gunung Lenteng. Kakek itu menatap suasana di sekelilingnya sekilas.

"Ha ha ha...! Lega rasa hatiku. Setelah sekian lamanya terkurung, kini kembali ke tempat asal. Ha ha ha...! Tunggulah, Gering Langit! Selesai purnama ini, dendamku akan terbalaskan. Maka dengan demikian baru hutangmu lunas! Ha ha ha...!"

Sambil berkacak pinggang, Ruksamurka tertawa keras menggelegar, meskipun tanpa pengerahan tenaga dalam. Angin yang berhembus kencang membawa suara tawa itu ke tempat-tempat yang jauh. Setelah puas tertawa-tawa, tokoh sesat berpakaian compang-camping ini lalu melangkahkan kakinya. Kini ilmu meringankan tubuhnya tidak dikerahkan karena medan yang ditempuhnya datar.

Setelah puluhan kali melangkah, Ruksamurka berhenti melangkah karena di hadapannya terbentang jurang yang amat dalam. Jurang itu sukar diukur kedalamannya. Bahkan dasarnya tak tampak sedikit pun.

Ruksamurka sama sekali tidak bingung melihat hal ini. Pandangannya tetap tertuju ke seberang. Lebar jurang itu tidak kurang dari tiga puluh tombak. Jadi merupakan hal yang mustahil untuk bisa melompatinya.

Kakek berpakaian compang-camping itu pun rupanya memang tidak bermaksud melompati jurang itu. Karena, memang di antara kedua tempat itu dihubungkan dengan seutas tambang yang merentang jauh sampai ke seberang sana. Jadi, rupanya itulah jalan satu-satunya menuju ke seberang.

"Hih...!" Ruksamurka menjejakkan kakinya ke tanah, maka sesaat kemudian tubuhnya melenting ke atas. Dan....

"Hup...!" Indah dan manis dilihat, kaki kakek berwajah penuh guratan luka itu hinggap di tambang. Tampak tambang itu bergetar hebat ketika kaki Ruksamurka mendarat di atasnya.

"Pembunuh biadab...! Berhenti...!" Tiba-tiba sebuah bentakan keras terdengar ketika Ruksamurka baru saja berniat melentingkan tubuhnya kembali. Belum lagi lenyap bentakan itu, sesosok bayangan ungu telah melesat cepat. Sesaat kemudian, di ujung tambang itu telah berdiri Dewa Arak.

Wajah Ruksamurka seketika berubah merah dan pucat berganti-ganti. Dia tahu, kalau pemilik suara yang ternyata seorang pemuda berambut putih keperakan itu bertindak licik, tubuhnya akan tergelincir ke dasar jurang. Dan sudah tentu akan tewas seketika.

Dia kini berada hampir di tengah jurang. Kalau Dewa Arak memutuskan tali itu, tubuhnya akan terlempar ke dalam jurang yang dalamnya sukar untuk diukur itu. Khawatir Dewa Arak akan bertindak licik, Ruksamurka segera bertindak cepat. Dia segera bergerak meneruskan perjalanannya untuk mencapai seberang.

"Pengecut..!" Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak begitu melihat lawan melarikan diri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan itu segera bergerak mengejar. Dia melompat tinggi ke atas, bersalto beberapa kali di udara. Kemudian bagaikan seekor burung garuda menyambar mangsa, tubuhnya meluruk cepat ke arah kakek berpakaian compang-camping itu.

Ruksamurka menggeram hebat. Makian Dewa Arak benar-benar membuat amarahnya meluap. Tanpa pikir panjang lagi, segera tubuhnya dibalikkan untuk menyambut tubuh Arya dengan tusukan-tusukan jemari tangannya yang lurus dan menegang kaku.

Dewa Arak terperanjat melihat serangan lawan. Dia memang tidak bermaksud membokong lawan. Maka mendapat serangan mendadak itu, dia menjadi gelagapan. Tapi meskipun begitu, akal sehatnya tidak pernah lenyap. Maka seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk menangkis.

Prattt...! Suara keras terdengar begitu kedua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Seketika itu juga, tubuh Dewa Arak kembali terpental balik ke atas. Kedua tangannya yang berbenturan dengan tangan kakek berpakaian compang-camping itu bergetar hebat! Dadanya pun terasa sesak. Jelas kalau dalam adu tenaga dalam, kakek berwajah penuh guratan tuka itu masih lebih unggul daripada Dewa Arak.

Tapi keadaan yang dialami Ruksamurka pun sebenarnya berbahaya. Meskipun tidak ada pengaruh yang berarti akibat benturan tangan Dewa Arak, tapi karena tengah berada di atas seutas tambang, dia terpeleset ke bawah. Serasa copot jantung kakek berpakaian compang-camping itu ketika menyadari tubuhnya meluruk ke dalam jurang. Walaupun begitu, dia tidak gugup. Cepat tangan kanannya diulurkan ke atas, dan....

Tappp...! Tambang itu berhasil ditangkapnya. Pada saat yang bersamaan. Dewa Arak pun mendaratkan kakinya di tambang. Baik Ruksamurka maupun Dewa Arak sadar, betapa berbahayanya bertarung di atas seutas tambang yang di bawahnya mulut jurang siap menelan mereka bulat-bulat. Kemungkinan untuk jatuh ke dalam jurang memang bukan merupakan hal yang mustahil. Itulah sebabnya kedua orang itu tidak ada yang saling melancarkan serangan, dan kini sama-sama berdiam di tempat masing-masing.

"Hih…!" Mendadak Ruksamurka menarik tambang itu hingga bergetar. Dan dengan bantuan tenaga tarikan, tubuhnya melenting ke atas, lalu mendarat di atas tambang.

Pada saat yang bersamaan, Dewa Arak segera melompat ke atas. Dan begitu kaki Ruksamurka hinggap di tambang, Dewa Arak pun mendaratkan kakinya pula. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ruksamurka segera berlari menuju ke seberang. Seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan agar bisa berlari di atas tambang seperti berlari di atas tanah datar biasa.

Kali ini Dewa Arak tidak berani bersikap sembrono, karena menyadari bahaya besar yang mengancam kalau memaksakan diri menyerang lawan di atas tambang ini. Maka perbuatannya tidak diulanginya, tapi hanya bergerak di belakang. Karena kedua tokoh sakti itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, walau tidak bisa secepat seperti tanah datar karena sulitnya medan. Tak lama kemudian Ruksamurka telah tiba di ujung tambang lebih dulu.

"Hup...!" Ringan tanpa suara, kedua kaki kakek berpakaian compang-camping ini menjejak tanah seberang jurang.

Arya terkejut bukan main melihat hal ini. Pada saat itu, tubuhnya masih berjarak sekitar tiga tombak dari seberang jurang. Dan bila lawan memutuskan tambang itu, sudah pasti Dewa Arak akan celaka di sana. Khawatir akan terjadinya hal semacam itu, Dewa Arak segera melenting ke atas. Dia bersalto beberapa kali di udara, untuk kemudian hinggap di seberang jurang.

Dugaan Arya ternyata meleset. Ruksamurka sama sekali tidak bertindak licik seperti itu. Bahkan ketika tubuhnya tengah berada di udara dan mudah untuk diserang, kakek berpakaian compang-camping itu sama sekali tidak melan-carkan serangan. Sehingga, Dewa Arak dapat mendarat di tanah tanpa kesulitan.

"Ha ha ha...!" Ruksamurka tertawa bergelak setelah mengamati Arya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. "Kaukah tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu, Anak Ingusan?!" tanya kakek berpakaian compang-camping dengan suara menggelegar.

Memang dia telah mendengar berita tentang seorang tokoh yang menggemparkan dunia persilatan. Konon kabarnya, tokoh itu seorang pemuda berambut putih keperakan. Julukannya, Dewa Arak. Maka begitu melihat ciri-cirinya. Ruksamurka sudah bisa menerkanya.

"Tidak salah," sahut Arya mantap. "Dan kau pasti Ruksamurka!"

"Hehhh...?!" kakek yang berwalah penuh gurat-gurat luka itu mengernyitkan dahi. "Dari mana kau tahu namaku, Anak Ingusan...!"

"Kau tidak perlu tahu, Ruksamurka," sahut Dewa Arak cepat. "Yang perlu kau ketahui hanya satu. Kau harus cepat-cepat pergi ke alam baka!"

Arya menjumput guci araknya, kemudian menuangkan ke mulut. Gluk…gluk... gluk..! Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya. Seketika itu pula, ada hawa hangat yang berputaran di dalam tubuh Dewa Arak. Kemudian, perlahan-lahan naik ke atas kepala.

"Keparat..!" geram Ruksamurka. Setelah memaki kalang kabut, kakek berpakaian compang-camping ini memutar-mutarkan kedua tangan di depan dada.

Dewa Arak terkejut bukan main begitu mendadak ada angin kuat yang menarik tubuhnya ke depan. Sama sekali keadaannya tengah tidak bersiap dalam menghadapi hal seperti itu. Maka, tubuhnya pun tertarik ke depan.

Ruksamurka mendengus. Tubuh Arya yang tertarik ke depan itu, disambutnya dengan tusukan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati. Sungguh sebuah serangan berbahaya! Suara mendecit nyaring terdengar mengiringi serangan itu.

Keadaan Arya memang berbahaya! Tapi berkat keistimewaan Ilmu 'Belalang Sakti', yang membuatnya mampu bergerak sesulit apa pun dan dalam keadaan bagaimana pun, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil mematahkan semua serangan. Tentu saja gerakan Dewa Arak membuat sepasang mata tokoh sesakti Ruksamurka terbelalak. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu kemudian melompat ke atas melewati kepala lawan.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Dewa Arak. Sambil bersalto sekali, kedua tangannya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala belakang Ruksamurka. Berbahaya bukan main serangan itu jangankan kepala manusia, batu yang paling keras pun akan hancur berkeping-keping bila terkena serangan Dewa Arak. Memang Arya telah mengambil keputusan untuk melenyapkan Ruksamurka selama-lamanya.

Cara Ruksamurka menghadapi serangan itu berbeda dengan yang selama ini dilihat Dewa Arak. Dengan kecepatan gerak luar biasa, kakek berpakaian compang-camping itu membalikkan tubuhnya. Dan secepat tubuhnya berbalik, secepat itu pula kedua tangannya di-gerakkan menangkis.

Plakkk...! Suara keras akibat benturan seketika terdengar. Apalagi kedua pasang tangan itu memang telah dialiri tenaga dalam tinggi, sehingga tidak ubahnya seperti benturan gumpalan baja yang keras.

Tubuh Dewa Arak seketika terpental kembali keatas. Bahkan sampai bersalto di udara untuk mematahkan daya lontar itu. Kedua tangannya dirasakan sakit dan ngilu bukan main. Rasa sesak pun seketika melanda dadanya. Ruksamurka rupanya tidak mengalami pengaruh akibat benturan itu. Buktinya, kakek bertubuh tinggi besar ini langsung melancarkan serangan susulan bertubi-tubi sebelum kedua kaki Arya menyentuh tanah.

Mendadak dan tiba-tiba sekali datangnya serangan itu. Apalagi dilancarkan pada saat tubuh Dewa Arak tengah berada di udara. Akibatnya, Dewa Arak begitu kewalahan. Tapi berkat keistimewaan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, pemuda berambut putih keperakan itu mampu mengelakkan serangan. Dengan bertumpu pada kedua tangannya, Arya bersalto di udara. Kemudian, kakinya mendarat beberapa tombak dari tempat semula.

Ruksamurka menggeram murka melihat serangannya berhasil dipatahkan. Dengan amarah meluap-luap, kembali dilancarkannya serangan dahsyat ke arah Dewa Arak. Tapi, kini Arya telah siap. Pemuda berambut putih keperakan itu pun langsung meladeninya tak kalah dahsyat. Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara kedua orang itu pun berlangsung.

Arya mengeluh dalam hati. Lawan yang dihadapinya kali ini benar-benar lawan luar biasa! Baru beberapa jurus bertarung, sudah terasa berat tekanan-tekanan yang dilakukan lawan. Setiap serangan yang dilakukan Ruksamurka mengandung daya sedot dan daya tolak luar biasa! Dan hal inilah yang menyulitkannya.

Dewa Arak kini benar-benar harus menguras seluruh kemampuan yang dimilikinya. Bahkan ilmu 'Belalang Sakti' dikerahkan sampai ke puncaknya. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya semua dikeluarkan dalam usahanya menandingi lawan. Meskipun begitu, tak urung Arya terdesak. Perbedaan tingkat tenaga dalam yang berselisih cukup jauhlah yang membuatnya terdesak.

Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau lawan memiliki tenaga dalam jauh di atasnya. Maka, sedapat mungkin diusahakan untuk menghindari terjadinya benturan. Dan itu berarti, Dewa Arak harus lebih sering mengelak. Sedapat mungkin, Arya berusaha menghindari terjadinya benturan. Bahkan sewaktu menyerang pun, Dewa Arak segera menarik pulang serangannya ketika kakek berpakaian compang-camping itu akan menangkis.

Pertarungan yang berlangsung antara kedua tokoh tingkat tinggi ini memang benar-benar menggiriskan. Angin menderu, mengaung, dan mencicit tak henti-hentinya terdengar mengiringi pertarungan. Bukan hanya itu saja akibat yang ditimbulkan.

Suasana di sekitar pertarungan kini porak-poranda. Batu-batu besar dan kecil berpentalan tak tentu arah. Kepulan debu membumbung tinggi ke udara. Berkat ilmu meringankan tubuh kedua tokoh yang sama-sama telah mencapai tingkatan tinggi, pertarungan berlangsung cepat. Dalam waktu singkat, seratus jurus telah berlalu.

Ruksamurka marah dan malu bukan main menyadari hal ini. Dia tahu pasti kalau keadaan lawan tengah terdesak. Tapi ternyata amat sulit baginya untuk merobohkan. Ilmu pemuda itu begitu aneh. Dalam keadaan yang sangat terjepit pun, masih mampu mengelak. Ini benar-benar tidak dimengertinya!

Rasa penasaran membuat kakek berpakaian compang-camping ini semakin meningkatkan serangan. Seluruh kemampuannya dikerahkan hingga titik yang terakhir. Ruksamurka bertekad untuk bertarung mati-matian. Akibatnya sudah bisa diduga. Tekanan-tekanan yang melanda Dewa Arak pun semakin berat. Tapi meskipun begitu, berkat Ilmu 'Belalang Sakti', terutama sekali dalam Jurus 'Delapan Langkah Belalang', semua serangan lawan masih mampu dielakkan. Tentu saja, dengan susah payah.

Gluk… gluk... gluk..! Beberapa kali bila mendapat kesempatan. Dewa Arak segera menenggak araknya. Dan seiring masuknya arak itu ke tubuhnya, daya tahannya pulih kembali.

Seratus lima puluh jurus telah kembali berlalu. Hasilnya, pertarungan antara kedua tokoh ini telah berlangsung dua ratus lima puluh Jurus. Dan selama itu, Ruksamurka senantiasa menghambur-hamburkan tenaga. Jadi, tak aneh bila kelelahan. Sementara di pihak Dewa Arak sendiri, daya tahannya kembali pulih setelah arak memasuki perutnya. Dia seperti memperoleh tenaga baru, sehingga tak mengalami kelelahan sedikit pun.

Napas Ruksamurka mulai terdengar memburu. Tenaga yang terkandung dalam serangannya sudah mulai melemah. Sementara Dewa Arak masih tetap seperti semula. Dan kini ganti Dewa Arak yang mendesak. Pemuda berambut putih keperakan ini melancarkan serangan-serangan bertubi-tubi dan cepat. Karuan saja hal itu membuat Ruksamurka pontang-panting. Pada jurus kedua ratus tujuh puluh sembilan, Arya menyorongkan gucinya ke arah dada Ruksamurka. Kakek tinggi besar yang telah lelah ini sebisa-bisanya mengelak. Tapi...

Bukkk!

"Aaakh...!" terdengar seruan tertahan. Telak dan keras sekali, guci arak Arya menghantam dadanya. Suara berderak keras pertanda ada tulang-tulang yang patah terdengar seiring terpentalnya tubuh Ruksamurka ke belakang. Darah segar seketika memancur deras dari mulut

Dewa Arak tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung melompat memburu seraya melancarkan tendangan terbang ke arah leher.

Bukkk!

"Grookh...!" Suara menggorok keluar dari tenggorokan Ruksamurka ketika tendangan Arya tepat menghantam sasaran. Kembali tubuh kakek berpakaian compang-camping itu terjengkang ke belakang. Dan yang lebih parah lagi, tulang lehernya ternyata hancur. Keras sekali tubuh tinggi besar itu terjerembab ke tanah. Nyawa tokoh sesat yang menggiriskan ini seketika melayang, sebelum menyentuh tanah. Tak ada lagi suara yang terdengar. Tokoh sesat itu terbang ke akhirat bersama dosa-dosanya.

Arya memandangi mayat Ruksamurka penuh kagum. Kakek berwajah penuh luka guratan ini benar-benar luar biasa. Dengan bulu tengkuk meremang, di longoknya guci araknya yang telah kosong tanpa setetes pun arak lagi. Kalau Ruksamurka tidak terlalu menuruti amarah sehingga menyerang kalang kabut maka tenaganya tidak akan cepat habis. Dan itu berarti Arya yang akan pergi ke akhirat! Dengan langkah lesu, Arya meninggalkan tempat itu. Tugas dari gurunya telah berhasil dipenuhi. Kini, dia bergerak cepat di atas tambang menuju ke seberang.

Sementara nun jauh di sana, di halaman bangunan tempat kediaman Arya dulu (Baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya, Pedang Bintang), tampak seorang gadis cantik jelita berpakaian putih dan berambut panjang terurai tengah bersimpuh menekuri sebuah makam. Wajahnya muram memancarkan kesedihan yang amat sangat.

Gadis itu adalah Melati. Sementara makam di hadapannya adalah milik Ki Julaga. Memang, putri angkat Raja Bojong Gading ini tidak pergi ke mana-mana saat pertarungan Ki Julaga melawan Ruksamurka berlangsung. Gadis itu masih mengintai dari kejauhan. Begitu Ruksamurka telah pergi, baru dia kembali.

Dengan hati hancur, Melati telah menguburkan mayat gurunya. Berhari-hari lamanya gadis berpakaian putih itu tinggal di situ. Namun tanpa diketahuinya, Dewa Arak telah berhasil membalaskan dendamnya. Dan tentu saja tanpa pemuda berambut putih keperakan itu mengetahuinya.

Selanjutnya,
Maut Dari Hutan Rangkong
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.