Dewa Arak - Jamur Sisik Naga
Karya : Aji Saka
SATU
Matahari telah condong ke Barat. Kegelapan pun mulai menyelimuti bumi ketika dua sosok tubuh melangkah perlahan memasuki hutan. Kepala kedua sosok itu tertunduk menekuri tanah. Jelas ada sesuatu yang merisaukan hati keduanya. Perlahan kegelapan mulai sirna ketika rembulan menampakkan diri di langit. Walaupun hanya remang-remang, tapi sinarnya cukup untuk mengusir kegelapan di hutan itu.
Dua sosok tubuh itu terus saja melangkah lesu dengan kepala tertunduk. Di bawah keremangan cahaya bulan, wujud dua sosok tubuh itu terlihat cukup jelas. Yang seorang adalah pemuda tampan berambut putih keperakan dengan sebuah guci arak tersampir di punggungnya. Sedangkan sosok kedua adalah seorang gadis cantik berpakaian jingga.
"Dewa Arak," ucap gadis berpakaian Jingga itu. Suaranya pelan dan agak parau.
Pemuda berambut putih keperakan yang ternyata adalah Dewa Arak, menoleh. "Kumohon, kau tidak memanggilku dengan sebutan itu, Karmila," pinta Dewa Arak. "Panggii saja Arya."
"Baiklah, De... eh... Arya," sahut gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Karmila, mengalah. (Untuk jelasnya mengenai keberadaan gadis ini bersama Arya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode Memburu Putri Datuk). Begitu Karmila menghentikan ucapannya, suasana kembali hening. Kini keduanya melangkah tanpa berbicara lagi.
"O,ya..., di mana kau akan mengobati lukamu, Arya?" tanya Karmila memecahkan keheningan. Matanya yang bening menatap wajah tampan di sebelahnya.
"Nanti.., agak ke dalam sedikit..," sahut Dewa Arak pelan.
Karmila hanya mengangguk. Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang terdengar hanyalah suara kerosak rerumputan dan dahan-dahan kering yang terpijak kaki mereka. "Aku menyesal sekali, Arya," kembali Karmila membuka percakapan. Suaranya sarat dengan penyesalan.
"Apa yang kau sesali, Karmila?" tanya Dewa Arak seraya menatap wajah gadis berpakaian jingga itu lekat-lekat. Rupanya pemuda berambut putih keperakan ini belum mengerti maksud ucapan Karmila.
"Diriku...," sahut Karmila mendesah. Ada nada kesedihan yang dalam pada suaranya.
"Dirimu...?!" tanya Arya heran. Dahi pemuda berambut putih keperakan ini berkernyit dalam. Karmila hanya mengangguk pelan sebagai jawabannya.
"Mengapa kau sesali dirimu sendiri, Karmila?" desak Dewa Arak. "Apakah kau teringat pada mendiang ayahmu lagi?"
Gadis berpakaian jingga itu menggeleng. "Lalu, apa?" desak Arya. "Katakan yang jelas, Karmila. Agar aku mengerti...."
"Hhh...!" Karmila menghela napas berat "Aku menyesal, mengapa hidupku selalu menimbulkan kesulitan bagi orang lain. Ibu dan ayahku meninggal karena menyelamatkanku...."
"Sudahlah...! Tak perlu kau sesali peristiwa yang telah terjadi. Yang lalu, biarlah berlalu...," hibur Arya.
"Dan kini..., aku telah menyusahkanmu...," sambung Karmila. Seolah-olah tak didengarnya nasihat Dewa Arak.
"Menyusahkanku...?!" tanya Arya dengan alis berkerut. "Kau terlalu mengada-ada, Karmila. Kau tahu, memang sudah menjadi tekadku untuk selalu ikut campur bila ada tindak ketidak-adilan. Jadi, kuharap kau tidak mengungkit-ungkit masalah ini lagi."
"Tapi, aku telah membuat hubunganmu dengan wanita cantik berpakaian putih jadi putus," lanjut gadis berpakaian jingga itu. Ada rasa nyeri yang menggigit hatinya ketika teringat Melati.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat. "Tak usah kau pikirkan masalah itu. Melati memang berwatak agak keras. Tapi percayalah..., sebenarnya hatinya baik."
Karmila tercenung sejenak. Ada rasa tidak enak yang menyeruak di hatinya mendengar Arya memuji Melati. "Sebenarnya..., apa hubunganmu dengan gadis itu, Arya?" tanya Karmila ingin tahu.
"Melati adalah tunanganku...," sahut Dewa Arak mantap. Sepasang mata pemuda itu nampak berbinar-binar ketika mengucapkannya.
Deg! Karmila terhenyak. Jawaban pemuda berambut putih keperakan itu tak ubahnya serudukan kerbau liar yang menghantam dadanya. Terasa sesak dan sakit bukan main. Seketika itu juga wajah gadis berpakaian jingga ini memucat. Untunglah malam itu suasananya remang-remang, sehingga kepucatan wajahnya tak terlihat oleh Dewa Arak.
Karmila mengeluh dalam hati. Tak disangkanya kalau benih-benih cintanya akan kandas secepat ini. Dewa Arak sudah mempunyai seorang calon pendamping. Seorang gadis yang memang cocok untuk menjadi jodoh pendekar muda yang tersohor ini. Seorang pendekar wanita cantik, gagah dan juga kelihatannya merupakan orang penting di Kerajaan Bojong Gading. Tidak seperti dirinya, putri bekas datuk sesat yang kejam. Perasaan rendah diri pun menyeruak dalam hati Karmila.
"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu melihat gadis berpakaian jingga itu menghentikan langkahnya.
"Ti... tidak ada apa-apa," sahut Karmila cepat. Buru-buru kakinya dilangkahkan kembali. Arya yang tadi juga menghentikan langkahnya kembali meneruskan langkahnya.
Kedua orang itu terus melanjutkan perjalanannya. Baru setelah tiba di sebuah rerimbunan semak-semak yang agak terlindung, Dewa Arak menghentikan langkahnya.
"Sebentar, Karmila," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Karmila pun menghentikan langkahnya. Sebentar gadis itu memandangi Arya, tapi kemudian pandangannya segera dialihkan lagi. "Aku rasa tempat ini cocok untuk bersemadi," sambung Dewa Arak lagi. Karmila hanya mengangkat bahu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan itu segera duduk bersila. Tak lama kemudian Arya pun telah tenggelam dalam semadinya.
Karmila memandangi raut wajah pemuda berambut putih keperakan itu dengan hari tersayat perih. Sesaat kemudian ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Ada luka yang mendera hatinya, begitu mengingat pemuda yang telah mencuri hatinya ini ternyata telah dimiliki orang lain. Suasana seketika menjadi hening. Yang terdengar hanyalah desah napas teratur ketika Dewa Arak mengatur pernapasannya.
* * * * * * * *
Entah sudah berapa lama Dewa Arak tenggelam dalam semadinya Yang jelas, begitu pemuda ini membuka sepasang matanya, malam telah berganti pagi. Sinar mentari telah menyinari bumi. Cicit suara burung pun mulai riuh terdengar. Yang pertama kali terlihat oleh Arya adalah tubuh Karmila yang tergolek di depannya. Gadis itu tidur dengan beralaskan ranting-ranting kering dan dedaunan semak-semak.
Perlahan Dewa Arak beranjak bangkit. Terdengar suara berkeresekan dari ranting kering begitu pemuda berambut putih keperakan ini bangkit berdiri. Meskipun pelan, tapi suara itu sudah cukup untuk membuat Karmila terjaga dari tidurnya.
Perlahan-lahan sepasang kelopak mata gadis itu membuka. Tapi kemudian segera menutup kembali begitu matanya terasa silau oleh sorotan sinar matahari. Beberapa saat lamanya Karmila mengerjap-nger japkan matanya, baru setelah terbiasa, sepasang matanya dibuka lebar-lebar.
"Akan ke mana lagi kita, Arya?" tanya Karmila.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. Sepasang alisnya hampir bertautan. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Sementara Karmila hanya memandanginya saja.
"Kau tidak mempunyai tujuan, Karmila?" pemuda berambut putih keperakan itu balik bertanya.
"Semula tidak," sahut Karmila setelah termenung beberapa saat.
"Lalu sekarang, sudah punya tujuan?" Gadis berpakaian jingga itu mengangguk. "Ke mana?" tanya Dewa Arak lagi. "Danau Bagal," jawab Karmila singkat.
"Danau Bagal?" ulang Dewa Arak dengan alis berkerut. "Di mana tempat itu, Karmila?"
"Aku sendiri juga tidak tahu, Arya," jawab gadis berpakaian jingga itu seraya menggelengkan kepalanya.
"Aneh...," gumam Arya. "Kau tidak tahu tempatnya, tapi ingin ke sana. Dari mana kau tahu nama tempat itu, Karmila?"
"Dari ayahku."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu mengapa kau hendak ke sana?" tanya Dewa Arak heran.
"Karena orang yang tinggal di Danau Bagal itu adalah satu-satunya orang yang mempunyai hubungan denganku," jawab gadis itu bernada sedih sehingga membuat hati Arya terenyuh.
"Kalau boleh kutahu, apa hubunganmu dengan orang yang tinggal di sana?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Karmila tercenung sejenak. "Orang yang tinggal di sana adalah sahabat karib ayahku."
Kembali Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sebenarnya..., aku punya sebuah rencana, Karmila," ucap pemuda berambut putih keperakan itu, setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Rencana apa, Arya?"
"Menyingkap misteri pembunuhan dua orang murid Perguruan Pedang Ular."
"Aku rasa tidak perlu, Arya," sahut Karmila.
"Mengapa, Karmila?" dahi Dewa Arak berkernyit.
"Hal itu hanya merepotkanmu saja. Apalagi aku memang tidak berniat membalas dendam. Ayah sering sekali menasihatiku. Katanya, kalau sewaktu-waktu ada orang yang datang membunuhnya, aku tidak boleh membalas kematiannya. Semua itu adalah buah dari perbuatannya sendiri. Ayah telah terlalu banyak merugikan orang lain. Dan kalau sekarang aku membalas kematiannya, arwah ayah pasti tidak akan tenangi di alam baka," jelas gadis berpakaian jingga itu panjang lebar.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Kau salah dua kali, Karmila."
"Maksudmu?" tanya gadis berpakaian jingga itu dengan alis berkerut.
"Pertama, kau salah bila mengatakan kalau aku menjadi repot kalau mengusut persoalan ini. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, aku melakukan semua ini karena memang sudah jadi tekadku untuk turun tangan setiap kali ada tindak ketidak-adilan. Sekali lagi kutegaskan, Karmila ini memang sudah menjadi tekadku sejak aku mulai belajar ilmu silat," tegas Dewa Arak tandas.
Karmila sama sekali tidak menyahut Kepalanya tertunduk menekuri tanah.
"Dan yang kedua," sambung Dewa Arak lagi. "Kau salah mengerti maksud pesan ayahmu."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," ucap gadis berpakaian jingga itu seraya memandang wajah pemuda berambut putih keperakan itu dengan sinar mata bodoh.
Dewa Arak membalas tatapan Karmila. Sinar mata dan suara pemuda berambut putih keperakan ini nampak bersungguh-sungguh. "Ayahmu memang berpesan begitu apabila dia terbunuh akibat kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Tapi, kejadian ini berbeda, Karmila. Ayahmu tewas karena difitnah. Dan kalau kita tidak menyingkap rahasia ini, nama ayahmu akan tetap rusak. Dan yang lebih gawat lagi, seluruh orang-orang persilatan golongan putih akan terus memburumu."
Arya menghentikan ucapannya sejenak. Dilihatnya dahi gadis itu berkernyit, sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
"Sekalipun kau bersembunyi ke Danau Bagal, aku yakin mereka akan tetap memburumu. Dan kau tahu apa yang akan terjadi? Sahabat baik ayahmu itu mau tak mau akan terseret dalam persoalan ini pula. Kau ingin hal itu terjadi, Karmila?"
Mendengar penjelasan panjang lebar Dewa Arak, wajah gadis berpakaian jingga itu seketika memucat Kini baru disadarinya keluasan wawasan berpikir pemuda berambut putih keperakan ini. Semua yang dikatakan Arya benar. Selama misteri terbunuhnya dua orang murid Perguruan Pedang Ular belum terungkap, tokoh-tokoh persilatan golongan putih akan terus memburunya. Dan dirinya akan terus mengundang bahaya pada setiap orang yang dikunjunginya.
"Bagaimana, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu melihat gadis berpakaian jingga itu terdiam.
"Kau benar, Arya," sahut Karmila setelah beberapa saat lamanya bimbang. "Jadi...?"
"Ya. Kita harus menyingkap misteri pembunuhan ini!" jawab gadis berpakaian Jingga itu tandas.
"Dan itu berarti kita harus kembali ke Gunung Palanjar," ucap Dewa Arak.
"Mengapa harus ke sana lagi, Arya?" tanya Karmila tak mengerti.
"Karena dari sanalah asal muasal kejadian ini. Kita harus menelusuri perjalanan ketiga murid Perguruan Pedang Ular mulai dari lereng Gunung Palanjar sampai ke perguruannya. Barangkali saja kita dapat menemukan petunjuk di sana."
Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. Dewa Arak benar-benar memiliki wawasan pengetahuan yang luas, pikirnya. Dan seketika itu juga rasa kagumnya semakin menebal. Tapi gadis berpakaian jingga ini segera sadar kalau perasaan itu harus dibuangnya jauh-jauh. Sudah ada orang yang berhak memikirkan pemuda berambut putih keperakan ini. Dan orang itu adalah Melati.
"Kapan kita berangkat, Arya?" tanya Karmila.
"Secepatnya," sambut Dewa Arak. "Aku tidak ingin masalah ini semakin berlarut-larut"
"Kalau begitu kita harus berkemas-kemas dulu," ucap Karmila seraya meninggalkan tempat itu untuk membersihkan tubuhnya.
Tak lama kemudian, sehabis membersihkan tubuh dan mengisi perut, kedua muda-mudi itu pun meninggalkan hutan.
* * * * * * * *
"Hooop...!" Seorang gadis berpakaian serba putih mengangkat tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menarik tali kekang kudanya kuat-kuat. Seketika itu juga kuda tunggangannya berhenti melangkah. Begitu pula puluhan kuda yang yang ditunggangi oleh orang-orang berseragam prajurit kerajaan di belakangnya.
"Patih Rantaka," panggil gadis berpakaian putih itu pada penunggang kuda di belakangnya.
"Hamba, Gusti Ayu Melati," sahut laki-laki setengah baya itu penuh hormat.
"Tugas yang diembankan Ayahanda Prabu padaku telah selesai kukerjakan. Dan para perampok yang menimbulkan kekacauan telah berhasil kita tumpas. Sekarang kau kuserahkan tugas untuk mengambil alih pimpinan pasukan ini pulang ke kotaraja," ucap wanita berpakaian putih yang ternyata bernama Melati itu.
"Lalu..., Gusti Ayu mau ke mana?" tanya Patih Rantaka agak bingung.
"Aku masih punya urusan lain, Paman Patih."
Patih Rantaka tersenyum. Tanpa diberi tahu pun laki-laki setengah baya ini dapat menduga urusan yang dimaksud putri angkat Raja Kerajaan Bojong Gading ini. "Hamba mengerti, Gusti Ayu. Tapi..., bagaimana kalau Gusti Prabu menanyakannya?" Patih Rantaka meminta pendapat.
"Katakan saja apa adanya!" tandas Melati tegas. Dan sebelum laki-laki setengah baya itu menyahut, gadis berpakaian putih itu telah menggebah kudanya. "Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke udara, begitu kuda tunggangan Melati meninggalkan tempat itu. Patih Rantaka dan pasukan khusus lainnya hanya terpaku memandangi gadis berpakaian putih itu hingga lenyap ditelan kejauhan. Kepala laki-laki setengah baya ini menggeleng-geleng.
Sementara itu Melati terus menggebah kudanya agar berlari lebih cepat. Dari berita yang didapat, diketahuinya kalau wanita yang ditolong Dewa Arak adalah putri seorang datuk sesat. Melati bermaksud menyusul pemuda berambut putih keperakan itu untuk menanyakan hubungan mereka. Apakah masih ingin diteruskan, atau memilih putri datuk sesat itu.
Sepanjang perjalanan, Melati terus mencari tahu arah yang dituju Dewa Arak dan Karmila. Memang tidak sulit untuk mengikuti jejak kedua orang itu. Karena di samping ciri-ciri Arya yang sangat menyolok, di sepanjang perjalanan pun banyak dijumpainya tokoh-tokoh persilatan aliran putih yang dirobohkan Dewa Arak.
Mendengar semua ini, Melati bertambah geram. Kekesalannya dilampiaskan dengan memaksa kudanya berlari secepat mungkin. Kini gadis berpakaian putih ini tahu kalau kedua buruannya menuju ke Gunung Palanjar. "Hooop...!" Melati menarik tali kekang kudanya ketika telah mendekati kaki Gunung Palanjar. Dan seketika itu juga, binatang itu menghentikan larinya.
"Hup!" Gadis berpakaian putih itu melompat dari kudanya. Ringan tanpa suara kedua kakinya yang mungil mendarat di tanah. Kudanya ditambatkan agak tergesa-gesa. Kemudian melesat cepat mendaki lereng.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, mudah saja gadis berpakaian putih itu mendaki lereng yang sebenarnya bermedan cukup berat itu. Tapi mendadak....
"Hik hik hik...!" Terdengar tawa mengikik yang memecahkan kesunyian lereng Gunung Palanjar.
"Hup!" Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Melati langsung bersikap waspada. Sepasang bola matanya menatap garang ke arah tawa itu berasal. Urat-urat syaraf gadis itu seketika menegang tatkala menyadari kehebatan tenaga dalam yang terkandung dalam suara tawa itu.
Sesaat kemudian, dari rerimbunan pohon muncul dua sosok tubuh menghadang. Melati menatap kedua sosok itu penuh selidik. Orang pertama adalah pemuda berbadan lebar yang berpakaian kuning. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Di bagian dada kiri pakaiannya tersulam gambar sebatang pedang terhunus yang tengah dililit seekor ular.
Sementara sosok kedua adalah seorang wanita setengah baya yang berpakaian merah menyala. Rambutnya setengah digelung ke atas, berhiaskan sebuah tusuk konde berujung kepala ular kobra.
"Ah! Ternyata dia gadis yang amat cantik, Bu," ucap pemuda berbadan lebar itu seraya merayapi sekujur tubuh gadis berpakaian putih itu dengan sorot mata liar. Tentu saja hal ini membuat Melati bangkit kemarahannya.
"Memangnya kenapa kalau gadis ini berwajah cantik, Waji?" tanya wanita berpakaian merah menyala yang ternyata adalah ibu dari pemuda berbadan lebar itu. Mulutnya menyunggingkan senyum ejekan.
Pemuda berbadan lebar yang ternyata bernama Waji menelan ludahnya. "Aku ingin Ibu menangkapkannya untukku. Aku ingin bersenang-senang dengan dia sebentar saja. Bu," sahut Waji Sorot matanya semakin kurang ajar.
"Yang ada di otakmu hanya itu saja, Waji!" cemooh wanita berpakaian merah menyala itu. "Tidak tahukah kau kalau gadis ini bukan orang sembarangan?! Sebelum kau sempat melaksanakan niat kotormu nyawamu pasti sudah melayang terlebih dahulu!"
"Itulah sebabnya, aku meminta Ibu menangkapkannya," tangkis Waji cepat.
Melati yang sejak tadi masih berusaha membendung amarahnya, akhirnya tidak tahan lagi. Kedua ibu dan anak ini ternyata sama bejatnya. Enak saja mereka membicarakan diri seseorang di depan yang bersangkutan.
"Kalian benar-benar bermulut kotor!" umpat gadis berpakaian putih itu galak.
"Jaga mulutmu, Perempuan Liar!" bentak wanita berpakaian merah menyala itu tak mau kalah. Rupanya ibu Waji ini tergolong wanita pemarah, dan pantang mendengar kata-kata kasar yang ditujukan kepadanya. Begitu mendengar ucapan kasar tadi, kontan darahnya langsung mendidih.
"Apa hakmu menyuruhku menjaga mulut, tua bangka bermulut kotor?!" Melati memang memiliki watak keras dan tak mau kalah. Bentakan wanita berpakaian merah itu dibalasnya tak kalah kasar.
"Kubilang jaga mulutmu! Atau..., kau ingin aku menutupnya dengan kekerasan?'" teriak wanita berpakaian merah menyala itu dengan suara yang lebih keras lagi.
"Cobalah kalau kau mampu, tua bangka tak tahu diri!" sambut gadis berpakaian putih itu tak kalah gertak.
"Keparat! Kalau aku tak mampu merobek mulutmu..., jangan panggil aku Dewi Pencabut Nyawa!"
Setelah berkata demikian, wanita berpakaian merah menyala yang ternyata berjuluk Dewi Pencabut Nyawa segera melangkah maju. Sikapnya terlihat penuh ancaman. Hal ini tentu saja membuat Waji yang merasa tertarik pada Melati menjadi khawatir.
"Aku mohon kau tidak membunuhnya, Ibu," pinta pemuda berbadan lebar itu cepat. "Berilah aku kesempatan untuk bersenang-senang dengannya. Ibu. Baru setelah itu kau boleh merobek-robek mulut atau buat apa saja padanya."
Tapi Dewi Pencabut Nyawa hanya mendengus saja. Tanpa mempedulikan ucapan putranya, wanita berpakaian merah menyala itu menerjang Melati. Kedua tangannya mengembang membentuk cakar. Tangan kanannya menyampok ke arah pelipis anak angkat Raja Kerajaan Bojong Gading ini. Sementara tangan kirinya disilangkan di depan dada.
Wuuut!
Deru angin keras mengiringi tibanya serangan wanita berpakaian merah menyala itu. Melati kalau serangan lawan ini tidak bisa dibuat main-main. Dari desir angin pukulannya saja sudah bisa diukur kedahsyatan serangan itu.
Melati buru-buru mendoyongkan tubuhnya seraya menarik kepalanya ke belakang. Sambaran cakar Dewi Pencabut Nyawa berada setengah jengkal di depan wajahnya. Rambut dan pakaian gadis itu berkibaran keras akibat kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu. Tapi tidak hanya itu saja yang dilakukan Melati. Berbareng dengan menarik tubuhnya ke belakang, kaki kanannya mencuat ke arah perut lawan.
Wuttt...!
"Hm...!" Terdengar suara mendengus dari mulut Dewi Pencabut Nyawa. Tangan kirinya yang disilangkan di depan dada, dibacokkan ke bawah, menangkis tendangan yang mengancam perutnya.
DUA
Takkk!
Suara berderak keras seperti beradunya dua batang besi mengiringi benturan tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu. Melati terdorong mundur satu langkah, sedangkan Dewi Pencabut Nyawa terhuyung dua langkah ke belakang. Jelas kalau dalam adu tenaga dalam tadi, gadis berpakaian putih itu lebih unggul dari lawannya.
Dewi Pencabut Nyawa meringis. Tangan yang berbenturan dengan kaki gadis berpakaian putih itu terasa sakit bukan main. Dan hal ini tentu saja membuat kemarahan wanita berpakaian merah menyala itu semakin berkobar.
"Pantas kau berani kurang ajar di depanku, Perempuan Liar! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian!" desis Dewi Pencabut Nyawa geram. "Tapi jangan bangga dulu! Aku belum kalah!"
Setelah berkata demikian, wanita berpakaian merah menyala itu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Akibatnya, perlahan-lahan sepasang tangan itu mulai berubah menghitam. Semakin lama tangan itu semakin hitam. Dan samar-samar tercium bau amis yang memuakkan.
Melati memperhatikan semua itu dengan sikap waspada. Gadis berpakaian putih ini menyadari kalau wanita di hadapannya ini merupakan lawan yang amat tangguh. Dahinya sedikit berkernyit ketika melihat kedua tangan wanita berpakaian merah menyala itu menghitam sampai sebatas pergelangan. Apalagi begitu hidungnya yang berbentuk indah itu samar-samar mencium bau amis.
"Racun...," desis gadis berpakaian putih itu pelan. Melati tahu kalau Dewi Pencabut Nyawa telah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'.
Dewi Pencabut Nyawa terperanjat kaget begitu melihat kedua tangan Melati juga berubah warna sampai ke pergelangan. Hanya saja warnanya tidak hitam seperti tangannya, tapi merah. Semerah darah!
"Hiyaaa...!" Seraya berteriak nyaring, Dewi Pencabut Nyawa melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, kedua tangannya tiba-tiba membentuk cakar garuda. Ibu jari dan kelingking dilipat ke dalam, sementara jari-jari lainnya mengembang. Dan dari atas, kedua cakar wanita berpakaian merah menyala itu mencengkeram bertubi-tubi ke arah pelipis dan ubun-ubun Melati.
Wuttt!
Suara berciutan nyaring bercampur bau amis yang memuakkan mengiringi tibanya serangan Dewi Pencabut Nyawa. Melati tetap bersikap tenang. Tanpa ragu-ragu lagi ditangkisnya sambaran cakar yang mengancamnya. Dengan mengerahkan ilmu 'Cakar Naga Merah', gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak khawatir berbenturan dengan tangan lawan yang beracun. Warna merah pada kedua tangannya, bukan hanya hiasan belaka. Tapi mampu menghalau racun yang mencoba masuk ke dalam tubuhnya.
Takkk, plakkk!
Untuk yang kedua kalinya terdengar suara berderak keras akibat benturan kedua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, sehingga membuat tubuh Melati terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi keadaan yang dialami Dewi Pencabut Nyawa lebih hebat lagi. Tubuh wanita berpakaian merah menyala yang tadi sedang berada di udara, kontan terlontar kembali ke atas. Ada suara pekikan halus keluar dari mulutnya.
"Hup!"
Hampir bersamaan dengan hinggapnya Dewi Pencabut Nyawa di tanah, Melati telah mampu memperbaiki posisi kuda-kudanya. Sepasang mata Dewi Pencabut Nyawa terbelalak lebar begitu melihat gadis berpakaian putih itu masih berdiri gagah. Padahal selama ini setiap lawan yang berbenturan tangan dengannya pasti tewas dengan sekujur tubuh hangus.
Semula, begitu melihat Melati menangkis serangannya, wanita berpakaian merah menyala itu sudah girang bukan main. Dia yakin sekali kalau gadis berpakaian putih ini akan tewas! Tapi kenyataan yang dilihatnya berbeda. Melati masih berdiri segar bugar. Tak kurang suatu apa!
"Kaget, Dewi Pencabut Nyawa?" ejek Melati sambil tersenyum sinis. Gadis berpakaian putih ini dapat merasakan keterkejutan lawannya. "Jangan harap racunmu akan mampu melukaiku!"
Wanita berpakaian merah menyala itu sama sekali tidak menanggapi ejekan Melati. Dia masih belum percaya kalau racun 'Ular Karang' yang terkenal mematikan itu tidak berpengaruh apa-apa pada gadis berpakaian putih di hadapannya ini. Maka ditunggunya beberapa saat, barangkali saja racunnya kali ini tidak bereaksi cepat seperti biasanya, hibur Dewi Pencabut Nyawa pada dirinya sendiri.
Melihat lawannya hanya berdiri diam, Melati jadi tidak sabaran. Sama sekali tidak tampak tanda-tanda kalau wanita berpakaian merah menyala itu akan kembali menyerang. Dan gadis berpakaian putih itu tahu apa yang tengah ditunggu lawannya.
"Tunggu apa lagi, Dewi Pencabut Nyawa? Percuma, racunmu sama sekali tidak ada artinya bagiku!"
"Keparat!" maki Dewi Pencabut Nyawa gusar. Kini wanita berpakaian merah menyala itu yakin kalau gadis ini memang benar-benar kebal terhadap racunnya. Maka wanita berpakaian merah menyala itu kembali menerjang Melati. Kedua tangannya berkelebat cepat, menyambar berbagai bagian tubuh Melati yang mematikan.
Tapi Melati bersikap tenang. Gadis berpakaian putih ini memang bukan orang sembarangan. Bahkan masih terhitung seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan berjuluk Dewi Penyebar Maut. (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode Dewi Penyebar Maut). Tidak terlalu sulit bagi Melati untuk mengelak dan membalas setiap serangan lawan.
Di jurus-jurus awal, pertarungan kedua wanita yang sama-sama berilmu tinggi ini berlangsung imbang. Keduanya sama-sama lincah. Namun masih terlihat jelas kalau dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh, tingkat kepandaian Melati masih unggul satu tingkat ketimbang lawannya.
Tapi keunggulan Melati tertutup oleh kelebihan-kelebihan yang dimiliki Dewi Pencabut Nyawa. Wanita berpakaian merah menyala ini memiliki berbagai macam perubahan jurus yang penuh tipuan. Penuh kecurangan. Hebat bukan main akibat pertarungan yang ditimbulkan kedua wanita sakti ini. Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon-pohon besar kecil yang terlanda angin pukulan mereka bertumbangan tak tentu arah. Suara angin mencicit tajam mengiringi pertarungan itu. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Pertarungan antara kedua wanita yang sama-sama memiliki gerakan lincah itu berlangsung cepat. Sehingga tak terasa tujuh puluh lima jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
"Keparat!" Dewi Pencabut Nyawa menggeram murka. Wanita berpakaian merah menyala ini memang marah bukan main. Seumur hidupnya belum pernah dia bertempur sampai sekian lamanya tanpa mampu mendesak.
"Hih!" Tiba-tiba saja, wanita berpakaian merah menyala itu memekik keras. Dan seiring dengan lenyapnya pekikan tadi, di tangan kanannya telah tergenggam sebatang cambuk berujung tiga.
Ctarrr! Secepat cambuk itu berada di tangannya, secepat itu pula dilecutkan ke arah kepala Melati. Luar biasa! Ketiga ujung cambuk itu masing-masing menuju sasaran yang berbeda-beda! Pelipis, ubun-ubun, dan bawah hidung. Semuanya merupakan tempat-tempat jalani darah yang mematikan.
Melati agak terkejut mendapat serangan mendadak ini. Tapi meskipun begitu, gadis berpakaian putih itu tidak menjadi gugup. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Tapi mana mau Dewi Pencabut Nyawa membiarkan lawan tangguhnya lolos? Begitu dilihatnya gadis berpakaian putih itu melenting ke belakang, wanita berpakaian merah menyala itu segera mengejar. Cambuk berujung tiga mencecar berbagai bagian berbahaya di tubuh Melati.
Melati yang tahu kalau lawan terus mengejarnya, terus saja bersalto di udara. Selagi tubuhnya berada di udara, gadis berpakaian putih itu memutar otaknya untuk melepaskan diri dari cecaran ujung cambuk Dewi Pencabut Nyawa.
"Hup!" Begitu mendapat kesempatan, buru-buru gadis berpakaian putih itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dan bersamaan dengan hinggapnya Melati, di tangannya telah tergenggam sebilah pedang telanjang.
Pada saat yang bersamaan, lecutan cambuk berujung tiga dari Dewi Pencabut Nyawa menyambar ke arah tenggorokan, bawah hidung, dan ulu hati. Lagi-lagi bagian mematikan yang diincarnya.
Ctarrrr! Wuttt!
Wunggg! Terdengar suara mengaung dahsyat begitu Melati menggerakkan pedangnya. Inilah 'Ilmu Pedang Seribu Naga'!
Rrrttt...! Tiga buah serangan itu kandas begitu Melati menyabetkan pedangnya. Tapi tak urung ujung cambuk itu melilit pedang gadis berpakaian putih yang pernah mendapat julukan Dewi Penyebar Maut itu.
"Hih!" Dewi Pencabut Nyawa segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membetot cambuknya.
Tentu saja gadis berpakaian putih itu tidak mau melepaskan pedangnya. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk balas menarik. Sesaat lamanya terjadi adu tarik-menarik. Semula terlihat imbang. Tapi, beberapa saat kemudian mulai nampak keunggulan Melati. Di saat itulah Waji yang sejak tadi menonton jalannya pertarungan, mendadak melompat menerjang.
Srattt!
Selagi tubuhnya berada di udara, pemuda berbadan lebar itu mencabut pedangnya dan langsung membabatkannya ke arah punggung Melati.
Wunggg!
Suara mengaung keras terdengar begitu pedang Waji meluncur. Melati yang tidak menyangka kalau pemuda berbadan lebar itu akan bertindak selicik ini, menjadi terkejut. Seketika itu juga perhatiannya terpecah. Dan dengan sendirinya tenaga tarikannya berkurang. Akibatnya tubuh gadis berpakaian putih itu terbawa tarikan Dewi Pencabut Nyawa ke depan. Tapi justru hal ini malah menguntungkannya.
Wusss!
Serangan pedang Waji menyambar lewat di belakang punggung Melati. Hanya setengah jengkal dari tubuh gadis berpakaian putih itu. Melati memang berhasil lolos dari babatan pedang Waji. Tapi, hal ini bukan berarti dirinya sudah lolos dari maut. Karena begitu tubuhnya tertarik oleh betotan Dewi Pencabut Nyawa, kaki wanita berpakaian merah menyala itu melayang ke arah perutnya.
Bukkk!
"Hugh!" Telak dan keras sekali tendangan itu menghantam perut Melati. Seketika itu juga gadis berpakaian putih itu terjengkang ke belakang. Sekujur perutnya dirasakan mual dan mules bukan main. Darah segar pun menetes deras dari sudut-sudut mulutnya. Tapi hebatnya, meskipun terjengkang, Melati mari mampu membebaskan pedangnya dari belitan cambuk lawan. Dan begitu pedangnya bebas, tubuh gadis berpakaian putih ini segera melesat kabur.
Dewi Pencabut Nyawa menggertakkan gigi. Segera dia bergerak hendak mengejar. Wanita berpakaian merah menyala ini yakin akan mampu mengejar gadis berpakaian putih itu. Apalagi Melati sudah terluka!. Tapi....
"Ibu...! Tahan...!"
Wanita berpakaian merah menyala itu terpaksa mengurungkan langkahnya. Kepalanya ditolehkan kearah putranya. Sinar matanya tajam, penuh tuntutan.
"Kita masih ada urusan yang lebih penting lagi, Ibu," ucap pemuda berbadan lebar itu sebelum Dewi Pencabut Nyawa mengajukan pertanyaan.
"Ah...! Kau benar, Waji! Urusan dengan gadis itu bisa ditunda nanti. Sedangkan urusan kita tidak bisa ditunda lebih lama lagi!" sambut Dewi Pencabut Nyawa baru teringat.
"Itulah sebabnya aku menahan Ibu," sahut Waji lagi seraya tersenyum lebar.
Dewi Pencabut Nyawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepasang matanya menatap jauh ke depan. Ke arah Melati tadi melarikan diri. Tapi kini gadis berpakaian putih itu telah lenyap ditelan jalan.
"Tunggulah, Gadis Liar...," desis wanita berpakaian merah menyala itu penuh ancaman. "Sekarang kau boleh lolos dari tanganku. Tapi..., lain kali jangan harap akan semujur ini...!"
"Sudahlah, Ibu," potong Waji cepat "Nanti, Setan Kepala Besi akan marah jika kita terlambat."
Di mulutnya, pemuda berbadan lebar ini berkata begitu, tapi di hatinya terselip penyesalan yang besar. Sungguh di luar dugaannya kalau gadis berpakaian putih yang telah membangkitkan nafsunya itu berhasil meloloskan diri. Kalau saja tidak mengingat urusan penting yang harus dilakukannya, tentu Waji tidak akan mencegah ibunya mengejar Melati.
"Hhh...!" Dewi Pencabut Nyawa menghela napas panjang. Kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Menyusul putranya yang telah berkelebat lebih dulu.
* * * * * * * *
"Hhh...!" Seorang laki-laki tinggi besar berkepala botak menghela napas berat. Sepasang matanya kembali menatap ke bawah lereng. Entah untuk yang ke berapa kalinya dia berbuat begitu. Dan setiap kali menatap ke arah lereng yang sunyi, desah kekesalan terlontar dari mulutnya. Jelas ada sesuatu yang ditunggu orang yang berjuluk Setan Kepala Besi itu.
"Ke mana, si keparat Waji," keluh laki-laki tinggi besar berkepala botak kesal. Rupanya Setan Kepala Besi tengah menunggu pemuda berbadan lebar.
Baru saja keluar kekesalan hatinya, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki mendekat. Semula wajah laki-laki tinggi besar berkepala botak ini berseri-seri. Tapi begitu tahu kalau langkah yang bergerak mendekat itu tidak hanya sepasang, dahinya berkemyit dalam. Meskipun begitu, Setan Kepala Besi tetap saja berdiri menunggu. Sesaat kemudian berkelebat dua sosok tubuh, yang kemudian mendarat ringan di depan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu.
Setan Kepala Besi menatap kedua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Dan seketika itu juga senyumnya mengembang begitu mengenali kedua sosok tubuh itu. Yang seorang adalah Waji. Sedangkan seorang lagi, adalah wanita setengah baya berpakaian merah menyala. Dandanannya terlihat begitu seronok. Sementara di pinggangnya terselip sebatang cambuk.
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak. "Sungguh tidak kusangka kalau kau akan datang ke sini, Dewi Pencabut Nyawa. Ha ha ha...!"
"Siapa yang tidak tertarik dengan jamur ajaib itu, Setan Kepala Besi!" sahut wanita berpakaian merah menyala yang ternyata adalah Dewi Pencabut Nyawa. "Tidak percuma kau menjadi suamiku!"
"Ah, jangan terlalu memujiku, Dewi Pencabut Nyawa. Yang paling berjasa adalah anakmu. Waji! Dialah yang merencanakan semuanya," jawab Setan Kepala Besi mengelak.
Wajah Dewi Pencabut Nyawa nampak merengut begitu mendengar ucapan Setan Kepala Besi. "Jadi, kau masih belum menganggap Waji sebagai anakmu sendiri? Bukankah kita telah sepuluh tahun lebih menjadi suami istri, Setan Kepala Besi?!" tegur wanita berpakaian merah menyala Itu bernada keras.
"Maafkan aku, Dewi Pencabut Nyawa," ucap laki-laki tinggi besar berkepala botak itu cepat. "Bukannya aku tidak mengakuinya. Tapi, mulutku yang ceplas-ceplos inilah yang kadang membuatku lupa. Tapi, percayalah.... Aku telah menganggap Waji sebagai anakku sendiri."
Seketika itu juga, wajah Dewi Pencabut Nyawa kembali berseri-seri. Jelas kalau Setan Kepala Besi telah berhasil membujuknya. "Nanti malam, bulan akan bersinar penuh, Setan Kepala Besi," ucap wanita berpakaian merah menyali itu bernada memberi tahu.
"Aku juga tahu, Dewi Pencabut Nyawa," sambut laki-laki berkepala botak itu tak mau kalah.
"Dan itu berarti..., jamur-jamur ajaib itu telah tumbuh. Bukankah begitu, Setan Kepala Besi?"
"Tidak salah, Dewi Pencabut Nyawa," jawab laki-laki berkepala botak itu sambil mengangguk-angguk.
"Kau sudah memeriksanya, Setan Kepala Besi?" tanya wanita berpakaian merah menyala itu sambil menatap tajam wajah laki-laki berkepala botak di hadapannya. Sorot matanya menampakkan kecurigaan. Setan Kepala Besi menggelengkan kepala. "Aku menunggu kalian dulu agar kita bisa melihatnya bersama-sama. Tadi aku sudah mengambil keputusan, kalau kutunggu kalian sebentar lagi, tidak juga datang... aku akan melihatnya sendirian!"
"Untung kami segera datang...," sahut Waji yang sejak tadi berdiam diri saja.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita ke sana!" sambut Dewi Pencabut Nyawa tak sabar. "He he he...!"
Setan Kepala Besi tertawa terkekeh. "Kau ini masih seperti dulu saja, Dewi Pencabut Nyawa! Tidak sabaran!" ucap laki-laki berkepala botak itu menyindir. Tapi wanita berpakaian merah menyala itu sama sekali tidak menanggapi sindiran itu. Hanya suara dengusan dari hidungnya saja yang terdengar.
"Sekarang bukan waktunya untuk bermain-main, Setan Kepala Besi!" tandas Dewi Pencabut Nyawa keras. Tapi mulutnya menyunggingkan senyuman. Jelas kalau jawaban keras itu tak keluar dari hatinya.
"Kalau begitu..., mari ikut aku, Dewi Pencabut Nyawa," ajak Setan Kepala Besi seraya melesat meninggalkan tempat itu. Sudah bisa diduga kalau laki-laki tinggi besar berkepala botak ini akan menuju ke gua bekas tempat tinggal Kalapati.
Dewi Pencabut Nyawa hanya tertawa mengikik sesaat. Kemudian tubuhnya pun telah menyusul Setan Kepala Besi yang telah melesat lebih dulu. Waji pun tak mau ketinggalan. Pemuda berbadan lebar yang ternyata putra Dewi Pencabut Nyawa ini, segera berlari menyusul kedua tokoh sesat itu.
* * * * * * * *
EMPAT
Terdengar tawa keras bergelak dari dalam sebuah gua di lereng Gunung Palanjar. Menilik dari tawa yang menggelegar itu, dapat diperkirakan kalau pemiliknya memiliki tenaga dalam yang amat tinggi. Belum juga habis gema suara tawa itu, sebuah tawa lain yang melengking nyaring terdengar menyahuti. Jelas dapat diketahui kalau pemilik suara tawa yang kedua ini adalah seorang wanita.
Di dalam gua yang semula merupakan tempat tinggal Kalapati, nampak tiga sosok tubuh berjongkok menatap ke salah satu sudut gua. Jelas ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.
"Ha ha ha...!" Kembali terdengar tawa keras menggelegar. Suara tawa itu ternyata keluar dari mulut Setan Kepala Besi.
"Jamur ajaib ini akan menjadi milik kita...! Ha ha ha...!" teriak laki-laki tinggi besar berkepala botak itu sambil tertawa bergelak. Pandangan matanya menatapi ke arah jamur-jamur putih yang tumbuh berkelompok di salah satu sudut gua.
"Benar, Setan Kepala Besi! Dan kita akan menjadi orang yang sakti yang tak terkalahkan! Hi hi hi...!" sambut Dewi Pencabut Nyawa seraya menatap wajah laki-laki tinggi besar berkepala botak itu.
"Sebenarnya..., apakah kegunaan jamur itu selain untuk menambah tenaga dalam, Bu?" tanya seorang pemuda berbadan lebar yang ternyata adalah Waji.
Dewi Pencabut Nyawa menatap tajam wajah putranya. "Memang hanya itulah kegunaan jamur ini, Waji," jawab wanita berpakaian merah menyala itu memberi tahu.
"Ah...! Khasiatnya ternyata tidak sebesar namanya...," ucap Waji bernada mencemooh.
"Kau ini memang aneh, Waji," selak Setan Kepala Besi. "Kadang-kadang kau bertindak cerdik. Cerdik sekali malah. Tapi..., tak jarang pula kau bodoh seperti kerbau!"
Merah wajah Waji mendengar ucapan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. "Atas dasar apa, kau menuduhku demikian, Setan Kepala Besi?" tanya pemuda berbadan lebar itu. Nada penasaran nampak jelas dalam suaranya.
"Ucapanmu yang tadi," sahut Setan Kepala Besi tak acuh. Sepasang matanya kembali dialihkan pada kelompok jamur putih.
"Hm.... Mengenai jamur itu, Setan Kepala Besi?" tanya Waji memastikan.
"Memangnya, kau pikir ucapanmu yang mana?" Setan Kepala Best balas bertanya lagi.
Sementara Dewi Pencabut Nyawa sama sekali tidak mempedulikan keributan itu. Wanita berpakaian merah menyala ini masih saja sibuk dengan tanaman jamur itu.
"Bukankah ucapanku benar. Setan Kepala Besi?!" sambut Waji tak mau kalah. "Tanaman itu hanya besar di namanya saja. Jamur Sisik Naga! Tak tahunya kegunaannya hanya untuk menambah tenaga dalam saja!"
"Kau memang berotak kerbau, Waji!" akhirnya Dewi Pencabut Nyawa ikut angkat suara pula. Ucapan pemuda berbadan lebar itu setidak-tidaknya telah menuduh dia dan Setan Kepala Besi mengejar-ngejar sesuatu yang sama sekali tidak berharga.
Semakin merah wajah Waji mendengar ibunya juga menyalahkannya. Bahkan makian dari wanita berpakaian merah menyala itu malah lebih keras daripada makian Setan Kepala Besi.
"Di mana kau bisa mendapatkan tambahan tenaga dalam?!" tanya Dewi Pencabut Nyawa dengan suara keras.
"Apa susahnya, Bu?" jawab Waji ringan. "Dengan semadi dan pemapasan, aku dapat menambah kekuatan tenaga dalamku!"
"Anak berotak kerbau!" maki Dewi Pencabut Nyawa. Rupanya makian yang baru saja didapatkan Setan Kepala Besi, terasa enak diucapkan. Terbukti wanita berpakaian merah menyala itu tidak bosan-bosannya memaki anaknya sendiri dengan makian itu. "Berapa besar sih, tambahan tenaga dalam yang kau peroleh dari semadi dan pemapasan?! Kau tahu, dengan makan sebuah jamur ini, kau akan mendapat tambahan tenaga dalam yang sama seperti kau berlatih pernapasan dan semadi satu tahun!"
"Hah...?!" Waji melongo. "Bbb... benarkah apa yang Ibu katakan...?"
"Kalau tidak begitu, buat apa jamur ini mempunyai nama begitu keren, Jamur Sisik Naga. Dan juga untuk apa aku dan Setan Kepala Besi bersusah payah untuk mendapatkannya!" sahut Dewi Pencabut Nyawa dengan raut wajah menyiratkan kemenangan.
"Pantas...," gumam pemuda berbadan lebar itu pelan. Kepalanya mengangguk-angguk Jelas ada satu kesimpulan yang telah didapatkannya.
"Apanya yang pantas?" tanya Dewi Pencabut Nyawa Ingin tahu.
"Setan Kepala Besi sangat takut rahasia ini tercium oleh orang persilatan.... Kiranya khasiat jamur ini begitu hebat..."
Setan Kepala Besi hanya mendengus. Sama sekali tidak disahutinya ucapan pemuda berbadan lebar itu.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita petik jamur-jamur ini!" ucap Waji tiba-tiba sambil menghampiri kelompok tanaman jamur itu.
Tapi belum juga kedua tangan pemuda berbadan lebar itu menjangkau tanaman jamur itu, sebuah tangan berotot kekar telah mencekal pergelangan tangannya.
"Diam di situ dulu, Waji!" ucap Setan Kepala Besi bernada perintah.
"Mengapa, Setan Kepala Besi? Apakah aku tidak boleh memakannya? Dan Jamur Sisik Naga itu hanya untukmu semua?!" sahut pemuda berbadan lebar itu bernada menuduh.
Setan Kepala Besi menatap tajam wajah Waji. "Tutup mulutmu, Waji! Sebelum aku yang menutupnya!" ancam laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Setan Kepala Besi ini memang tersinggung sekali mendapat tuduhan seperti tadi. "Kau tahu, saat ini Jamur Sisik Naga belum bisa dimakan. Tapi kalau sudah bosan hidup, kau boleh memakannya."
"Mengapa begitu, Setan Kepala Besi?" tanya Waji. Suaranya kini mulai pelan kembali. Keterangan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu membuat emosi nya mereda.
"Memang begitulah keanehan Jamur Sisik Naga ini, Waji," jawab Setan Kepala Besi memberi tahu. "Selagi berwarna putih, jamur ini mengandung racun mematikan! Jangankan termakan, tersentuh pun sudah berbahaya."
"Lalu..., kapan jamur itu akan berguna untuk menambah tenaga?" tanya Waji lagi.
"Besok. Setelah bulan purnama telah lenyap."
"Jadi.., sewaktu masih ada bulan purnama, Jamur Sisik Naga mengandung racun mematikan? sambut Waji yang mulai mengerti.
"Dan besok.., apabila jamur ini telah berubah jadi hijau dan bersisik seperti naga, baru kita bisa memakannya," sambung laki-laki tinggi besar berkepala botak itu cepat.
"Jamur ini akan berubah seperti itu?!" tanya Waji setengah tak percaya.
"Benar," sahut Dewi Pencabut Nyawa. "Itulah sebabnya diberi nama Jamur Sisik Naga!"
"Kitalah yang beruntung mendapatkannya, Waji," sambung Setan Kepala Besi.
"Dan... kita akan menjadi tokoh tak terkalahkan! Ha ha ha...!" Dewi Pencabut Nyawa ikut menimpali.
Sesaat kemudian, di dalam gua tempat tinggal Kalapati itu terdengar suara tawa bergelak. Suara tawa yang sambung menyambung seperti tidak akan pernah berhenti.
* * * * * * * *
Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis berpakaian jingga melangkah perlahan menuju mulut sebuah desa. Keduanya tak lain adalah Dewa Arak dan Karmila yang tengah dalam perjalanan menuju Gunung Palanjar. Tapi ketika jarak antara kedua orang itu dengan tembok batas desa telah tinggal sekitar belasan tombak, Dewa Arak dan Karmila menolehkan kepalanya ke arah semak-semak di sekeliling mereka. Pendengaran kedua muda-mudi yang terlatih baik itu menangkap adanya suara berkeresekan dari arah itu.
Belum lagi kedua muda-mudi itu berbuat sesuatu, dari balik kerimbunan semak-semak itu melesat belasan sosok tubuh dengan senjata terhunus. Dan secepat sosok-sosok tubuh itu keluar dari semak-semak, secepat itu pula bergerak mengurung Arya dan Karmila. Dewa Arak dan Karmila terpaksa menghentikan langkahnya. Sepasang mata kedua orang itu menatap berkeliling. Ternyata mereka telah terkurung!
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak merasa kaget melihat kejadian ini. Hal seperti ini memang kerap terjadi setelah dia melibatkan diri dalam persoalan ini. Dan pandang mata Arya yang tajam, langsung mengenal kalau sebagian besar dari mereka adalah pengeroyoknya beberapa hari yang lalu.
"Sekarang kita bebas untuk bertarung kembali Dewa Sesat!" teriak laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek. Suaranya keras dan kasar. Jelas kalau orang ini masih memendam rasa penasaran pada Dewa Arak.
"Ya. Kini kita sudah berada di luar wilayah Kerajaan Bojong Gading!" sambung tokoh persilatan lainnya.
Suara-suara bernada cemoohan terhadap Dewa Arak terdengar susul-menyusul. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu hanya tersenyum getir. Semua cemoohan itu sama sekali tidak ditanggapinya.
"Kalian tidak percaya, kalau kukatakan bahwa, gadis ini sama sekali tidak bersalah?" sahut Arya begitu suara-suara riuh itu telah mereda.
"Bicaralah dengan nenek moyangmu!" sergah laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek keras. "Kawan-kawan...! Serang...!"
Setelah berkata demikian, laki-laki ini lalu menerjang Dewa Arak. Sepasang tombak pendeknya berkelebat cepat ke berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Belum juga sergapan sepasang tombak itu tiba, serangan tokoh-tokoh persilatan lainnya juga meluncur tiba. Sebagian di antara mereka menyerang Dewa Arak Sedangkan yang sebagian lagi menyerbu Karmila.
Sesaat kemudian, hujan senjata pun berhamburan di sekujur tubuh Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu tidak menjadi gugup. Dari desir angin yang mengiringi serangan senjata itu, sudah dapat diukur kekuatan tenaga dalam para pengeroyoknya. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera ditangkis dengan tangan dan kakinya. Itu pun hanya serangan yang menuju ke arah mata.
Takkk, takkk!
Terdengar suara keras beberapa kali ketika Dewa Arak menangkis hujan senjata yang menuju mata dengan tangannya. Hebat akibatnya! Senjata-senjata itu terpental balik ke arah asalnya. Sementara tangan pemiliknya tergetar hebat. Sementara itu serangan yang menuju ke arah berbagai bagian tubuh yang lain, dibiarkan saja. Luar biasa!
Setiap kali sambaran senjata itu mengenai tubuh pemuda itu, tak secuil pun kulitnya terluka. Bahkan sebaliknya senjata-senjata itu sendiri yang membalik. Bukan hanya itu saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit-sakit. Sebaliknya, setiap kali Arya balas menyerang, sudah dapat dipastikan ada tubuh pengeroyok yang roboh ke tanah.
Berlainan dengan Dewa Arak yang begitu mudah menghadapi pengeroyoknya, Karmila terlihat repot sekali. Pedangnya berkelebatan cepat menangkis setiap serangan lawannya. Terdengar suara berdentangan keras berkali-kali setiap pedang gadis ini berbenturan dengan senjata lawannya.
Sebenarnya, tingkat kepandaian gadis berpakaian jingga itu jauh di atas para pengeroyoknya. karena lawan terlalu banyak, tak urung gadis ini terdesak juga. Meskipun begitu, sulit bagi para pengeroyoknya untuk menyarangkan senjatanya ke tubuh Karmila.
"Hih...!" Karmila menggertakkan gigi. Pedangnya berputar-putar membentuk lingkaran di depan dada. Kemudian membabat cepat ke leher salah seorang pengeroyoknya.
Crattt!
"Aaakh...!" Suara jerit lengking kematian terdengar, begitu ujung pedang Karmila mengoyak leher pengeroyok yang sial itu Seketika itu juga, tubuh tokoh persilatan itu roboh ke tanah. Menggelepar-gelepar sejenak kemudian diam tidak bergerak lagi.
Kematian salah seorang rekannya, tentu saja mengakibatkan para pengeroyok itu semakin beringas. Dan dengan sendirinya, serangan mereka pun semakin berbahaya.
"Hiyaaa...!" Karmila memekik nyaring. Gadis berpakaian jingga itu mengamuk dahsyat. Pedang di tangannya berkelebatan cepat mencari sasaran.
Dewa Arak berbeda dengan Karmila yang demi untuk menyelamatkan selembar nyawanya tidak segan-segan menjatuhkan tangan maut pada para pengeroyoknya. Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menggunakan ilmu andalannya. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' pun sudah lebih dari cukup untuk menghadapi para pengeroyoknya.
Memang menggiriskan akibat sepak terjang pemuda berambut putih keperakan itu. Ke mana saja tangan atau kakinya berkelebat, sudah dapat dipastikan ada lawan yang roboh dan kemudian tak mampu melanjutkan pertarungan lagi. Meskipun begitu, tak seorang pun di antara mereka yang tewas atau terluka berat.
Tak sampai delapan jurus, pengeroyok Dewa Arak yang tadi berjumlah belasan, kini tinggal dua orang, salah seorang di antaranya adalah laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek. Dan memang Dewa Arak sengaja menjatuhkannya belakangan. Arya Ingin memberi pelajaran yang lebih keras pada laki-laki yang bermulut dan berpikiran kotor itu.
"Akh...!" Lagi-lagi terdengar suara pekikan tertahan diiringi robohnya salah seorang pengeroyoknya ketika tangan Dewa Arak berkelebat. Kini hanya tinggal laki-laki gagah bertombak pendek yang masih mampu berdiri tegak.
Walaupun hanya tinggal sendiri, dan yakin kalau dirinya tak akan mungkin menang menghadapi lawan yang amat tangguh ini, laki-laki bertombak pendek itu tidak menjadi gentar. Dia masih tetap mengadakan perlawanan sengit. Dan hal ini tentu saja membuat Dewa Arak menjadi kagum.
"Hiaaat..!" Sepasang tombak pendeknya meluruk deras. Yang kanan disabetkan ke arah leher, sementara yang kiri ditusukkan ke perut Dewa Arak.
Wukkk, wuttt!
Arya hanya tersenyum hambar. Tangan kirinya bergerak memapak serangan tombak yang menuju ke lehernya dengan menggerakkan tangannya dari dalam keluar. Sementara serangan yang menuju ke perurnya ditangkapnya.
Takkk, tappp!
"Akh...!" Laki-laki gagah bersenjata tombak pendek itu memekik tertahan. Tangan kanannya terasa lumpuh seketika begitu tombaknya berbenturan dengan tangan kiri Dewa Arak. Belum lagi laki-laki itu sadar dari keterkejutannya, Dewa Arak telah menggertakkan tombak yang tadi telah dicengkeramnya.
"Ah...!" Tanpa sadar laki-laki gagah bertombak pendek itu memekik tertahan, begitu tubuhnya melayang tinggi ke udara.
Brukkk! Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh laki-laki itu terbanting keras di tanah, lalu menggeliat-geliat kesakitan di tanah.
Selesai membereskan pengeroyoknya, Dewa Arak segera melompat ke arah Karmila yang masih sibuk menghadapi hujan senjata lawan. Dan begitu pemuda berambut putih keperakan itu turun tangan, dalam beberapa gebrakan saja pengeroyok gadis berpakaian jingga itu kocar-kacir tak tentu arah.
Pekik-pekik kesakitan diiringi dengan berpentalannya tubuh-tubuh, segera terdengar susul-menyusul. Dewa Arak memandangi sosok-sosok tubuh yang bergeletakan di tanah sejenak. Kemudian pandangannya dialihkan pada Karmila.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Karmila," ajak Arya.
Tanpa berkata apa-apa, Karmila segera melangkah meninggalkan tempat itu. Mengikuti Dewa Arak yang telah berjalan lebih dulu.
* * * * * * * *
Akhirnya, setelah melalui berbagai hambatan dan gangguan di perjalanan, kedua muda-mudi itu tiba di kaki Gunung Palanjar. Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau Melati telah tiba di sini lebih dulu, dan hampir celaka di tangan Dewi Pencabut Nyawa. Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
Diam-diam ada rasa kecut di hatinya, tatkala membayangkan kalau seandainya dia gagal menyingkap rahasia terbunuhnya dua orang murid Perguruan Pedang Ular. Seumur hidupnya Dewa Arak akan dikejar-kejar dan diburu oleh tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Dia akan dianggap mencemarkan nama pendekar.
Tapi Dewa Arak tidak bisa termenung lebih lama lagi karena Karmila telah bergerak mendaki lereng. Tubuh gadis itu melesat cepat ke atas. Sesekali kakinya memijak batu-batu yang menonjol, sebagai landasan untuk melompat. Sesaat kemudian tubuhnya melenring ke atas. Dan begitu seterusnya.
Arya segera bergerak mengikuti. Sengaja pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengerahkah seluruh ilmu meringankan tubuhnya agar tetap berada di belakang gadis itu.
Cukup lama juga Dewa Arak mendaki lereng Gunung Palanjar. Melesat ke sana kemari. Menotong sana-sini. Sampai akhirnya pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa menghentikan larinya begitu melihat Karmila berdiri termenung. Arya bergegas menghampiri.
"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak lembut.
"Ah... aku..., aku lupa jalannya, Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu gugup. Menilik dari raut wajahnya yang merah padam. Jelas kalau gadis ini merasa malu.
Maka Dewa Arak tidak mendesaknya. "Sudahlah, Karmila. Tidak usah kau pikirkan. Adalah suatu hal yang wajar, apabila seseorang lupa," sahut pemuda berambut putih keperakan itu bernada menghibur.
"Tapi, mana bisa aku lupa, Arya. Aku telah tinggal di sini selama belasan tahun. Dan aku tahu betul jalannya. Aku yakin kalau telah menempuh jalan yang benar. Tapi..., rasanya jalan ini tidak pernah ada sebelumnya," bantah Karmila tidak mau dianggap lupa.
"Aku belum paham maksudmu, Karmila?" sambut Arya yang merasa bingung mendengar ucapan gadis berpakalan jingga itu.
"Jalan ini tidak pernah ada sebelumnya...," sambut Karmila setengah bergumam.
Mendengar ucapan gadis itu, Dewa Arak jadi penasaran. Bergegas dihampirinya tempat yang membuat gadis itu bingung. Kemudian diperiksanya. "Kau benar, Karmila," ucap Dewa Arak setelah memeriksanya beberapa saat. "Ada perubahan yang terjadi di sekitar tempat ini. Mungkin karena tanahnya longsor..., atau terjadi pergeseran tanah di sini."
"Lalu, kalau begitu... bagaimana, Arya?" tanya Karmila meminta pendapat pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak tercenung sejenak. Jelas tampak kalau Arya tengah berpikir. "Lebih baik kita kembali dulu, Karmila," usul Arya. "Dan nanti kalau kita sampai di tempat yang kau kenali, kita ambil jalan memutar saja. Bukankah ada jalan lain menuju tempat tinggal ayahmu?" tanya Dewa Arak meminta kepastian.
Karmila menganggukkan kepalanya. "Tapi..., kita akan menempuh jalan yang agak jauh, Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu bernada ragu-ragu.
"Tidak mengapa, Karmila," sambut Dewa Arak cepat "Yang penting..., masalah ini akan cepat selesai!"
Karmila tidak bisa membantah lagi. Gadis itu bergegas menuruni lereng. Sementara Dewa Arak mengikuti di belakang. Kini keduanya menuju bekas tempat tinggal Kalapati melalui jalan memutar. Dewa Arak baru menyadari alasan Karmila segan melalui jalan memutar. Jalan ini terlalu sulit untuk dilalui. Jalan-jalannya licin, bahkan kadang-kadang harus menembus rerimbunan semak-semak berduri yang lebat. Dan masih banyak lagi kesulitan yang mereka alami.
"Hup!" Karmila melompat lalu hinggap di atas sebongkah batu besar. Tapi baru saja hendak melompat lagi pendengarannya yang tajam mendengar adanya suara rintihan samar-samar. Tentu saja hal ini membuat gadis berpakaian jingga itu menghentikan gerakannya. Dan segera dicarinya asal rintihan lirih itu.
"Hup!" Indah dan manis sekali tubuh Dewa Arak melompat. Sesaat kemudian, kedua kakinya telah mendarat tanpa suara di sebelah Karmila.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambaut putih keperakan itu. Arya sudah merasa curiga begitu melihat gadis berpakaian jingga itu menghentikan gerakannya. Apalagi ketika melihat Karmila seolah-olah tengah mencari-cari sesuatu.
"Entahlah, Arya," sahut Karmila dengan suara mengambang. "Tadi sepertinya aku mendengar suara orang merintih. Tapi...."
Dewa Arak mengerutkan alisnya. "Apakah kau yakin, Karmila? Tidakkah suara itu tercipta karena khayalanmu sendiri?" tanya Arya meminta kepastian.
"Aku tidak tahu," jawab gadis berpakaian jingga itu sambil mengangkat bahu. "Tapi, suara itu sepertinya benar-benar nyata. Bukan khayalan...."
"Kalau begitu... kita harus menyelidiki tempat ini," ucap Dewa Arak memutuskan. "Aku yakin kalau apa yang kau dengar itu benar... orang itu pasti tidak jauh dari sini."
"Tapi, Arya...," bantah Karmila ragu.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu. Nada suaranya masih tetap sabar.
"Bagaimana kalau suara yang kudengar itu hanya khayalanku saja, Arya? Bukankah itu berarti... perjalanan kita akan semaian terhambat?"
Dewa Arak hanya tersenyum sabar. Dia tahu kalau ucapan yang tadi akan dilanjutkan oleh Karmila, bukan itu. Kalimat yang akan dilanjutkan Karmila sudah bisa diduganya. Apa lagi kalau bukan merasa merepotkan dirinya?
Memang, setelah melakukan perjalanan bersama beberapa lama, pemuda berambut putih keperakan itu sudah bisa menebak sifat Karmila. Gadis itu memiliki sifat tak mau merepotkan orang!
"Tidak apa-apa, Karmila! Sebaliknya, kalau ternyata suara itu memang benar ada, lalu kita melewatkannya. Bukankah itu berarti kita telah menyia-nyiakan orang yang berniat meminta pertolongan?" hibur Dewa Arak sebisa-bisanya.
"Tapi..."
"Sudahlah, Karmila," potong Arya cepat. "Mari kita cari asal suara rintihan itu."
Setelah berkata dmikian, pemuda berambut putih keperakan itu segera mengedarkan pandangannya berkeliling. Dan selagi Dewa Arak sibuk mencari-cari, terdengar suara rintihan lemah tadi. Kali ini bukan hanya Karmila saja yang mendengar, tapi juga Dewa Arak.
"Nah, itulah rintihan yang tadi kudengar, Arya," seru gadis berpakaian jingga itu sambil menoleh ke arah asal suara.
Hanya anggukan kepala pemuda berambut putih keperakan saja yang menjawab ucapan Karmila. Arya sendiri sudah sibuk mengalihkan perhatian ke arah suara itu.
"Hih...!" Mendadak Dewa Arak melompat dari batu besar tempatnya berdiri. Seketika itu juga tubuhnya melayang ke bawah.
"Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. Cepat pemuda berambut putih keperakan menoleh ke sana kemari. Dan belum lagi Arya menemukan pemilik suara rintihan itu, Karmila telah mendarat di sebelahnya. Sama seperti Dewa Arak, Karmila pun langsung mengawasi sekelilingnya begitu tiba di tanah.
"Aaah...!" Rintihan memilukan itu kembali terdengar. Kali ini suara lebih jelas dari sebelumnya. Jelas kalau kedua muda-mudi itu semakin dekat dengan asal suara rintihan itu.
"Suara rintihan itu berasal dari bawah sana," ucap Dewa Arak seraya menunjuk ke arah bawah. Memang Arya dan Karmila berada di tempat yang agak tinggi. Tanah di depan kedua muda-mudi itu menurun agak curam. Dan di bawah sana terhampar rerimbunan semak-semak dan pohon-pohon yang cukup lebat.
"Benar, Arya," dukung gadis berpakaian jingga itu Kepala gadis itu mengangguk pelan.
Setelah yakin akan kebenaran dugaannya, Dewa Arak dan Karmila kemudian bergerak menuju ke sana. Dan semakin mereka mendekat, suara rintihan itu semakin jelas terdengar.
"Itu dia...!" Karmila berseru keras saking gembiranya. Tangan kanannya menuding ke satu arah. Dewa Arak mengikuti arah telunjuk gadis berpakaian jingga itu.
Sekitar tiga tombak dari tempat mereka berdiri, tergolek sesosok tubuh berpakaian kuning. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka. Darah yang telah mengering nampak di sekujur tubuhnya. Bergegas Dewa Arak dan Karmila menghampiri sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ihhh...!" Terdengar seruan kaget dari mulut Karmila ketika melihat wajah sosok tubuh berpakaian kuning itu. Dewa Arak sampai terjingkat saking kagetnya.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut putih keperakan begitu melihat keterkejutan gadis berpakaian Jingga itu.
"Dia... dia salah seorang dari tiga murid Perguruan Pedang Ular yang kuceritakan itu, Arya," jawab karmila memberi tahu.
"Jadi, inikah orang yang katanya telah terbunuh oleh ayahmu itu?" Dewa Arak balas bertanya. Dahi pemuda berambut putih keperakan berkerut. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Ya," sahut Karmila singkat.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya sekujur tubuh yang tergolek itu penuh perhatian. Sosok tubuh itu ternyata adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit. Dan memang apa yang dikatakan Karmila benar. Sosok tubuh yang tergolek itu adalah Rupangki. Salah seorang murid utama Perguruan Pedang Ular.
Beberapa saat lamanya, Dewa Arak meneliti pemuda berpakaian serba kuning yang tergolek di hadapannya. Baru setelah itu, tubuhnya dibungkukkan untuk memeriksa luka-luka di sekujur tubuh pemuda itu. Ternyata hampir tidak ada luka yang terjadi akibat pukulan tenaga dalam. Darah kering yang menempel di sekujur tubuhnya, jelas bukan karena terkena senjata tajam.
Tapi jelas karena tersayat duri atau ranting pohon. Sebagian besar hanya lecet-lecet. Hanya saja sambungan kedua tulang lututnya lepas. Begitu pula dengan sambungan sikut tangan kirinya. Melihat keadaan yang dideritanya, tidak aneh kalau Rupangki hanya dapat tergolek tanpa daya.
Tubuh pemuda itu yang memang sudah kurus, kini hanya tinggal tulang dan kulit. Rupanya, Rupangki sudah cukup lama berada di tempat ini. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu hanya makan seadanya. Kalau saja Karmila tidak melihat lambang pedang terhunus terlilit seekor ular, tentu sudah tidak mengenalinya lagi.
"Benar, kau murid Perguruan Pedang Ular?" tanya Dewa Arak seraya menatap tajam wajah Rupangki.
"Benar," sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu sambil menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Kisanak?"
"Rupangki," sahut pemuda tinggi kurus itu pelan.
Dewa Arak hanya manggut-manggut.
"Dan..., kau sendiri siapa, Kisanak?" tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu pula.
"Panggillah aku Arya," sahut Dewa Arak memperkenalkan diri. "Apakah kau yang mengunjungi tempat kediaman Kalapati?"
"Ya. Kami bertiga memang mengunjungi tempat kediaman Kalapati. Tapi semua itu adalah keinginan Kakang Waji. Aku dan Kakang Jalasa hanya ikut saja."
"Lalu, ke mana perginya teman-temanmu yang lain?" desak pemuda berambut putih keperakan itu lebih jauh. Berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Jalasa telah tewas...."
"Tewas?! Lalu... bagaimana dengan Waji?" Arya berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Waji?!" Ada kegeraman terkandung dalam suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu. "Justru keparat Waji itulah yang telah melakukan semua ini!"
"Maksudmu bagaimana, Rupangki? Aku belum mengerti," tanya Dewa Arak lagi, sebenarnya Arya yang cerdik ini sudah bisa menduganya.
Rupangki menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Mulanya kami mengira Kakang Waji cukup parah... sehingga aku bersama Kakang Jalasa memapahnya," ucap pemuda bertubuh tinggi itu memulai ceritanya seraya menatap wajah Karmila. Gadis yang telah memikat hatinya sejak pertemuan pertama mereka. Hanya saja Rupangki terhitung pemuda yang kurang bisa bercakap-cakap dan lebih suka memendam perasaannya di hati.
"Hm...," Dewa Arak hanya bergumam tak jelas. Sementara Karmila mendengarkan semua cerita Rupangki dengan jantung berdebar tegang.
"Sungguh sama sekali tidak kami sangka..., begitu tiba di sebuah lereng terjal, Kakang Waji berontak. Kuat sekali rontaannya, sehingga aku yang sama sekali tidak menduga apa-apa, terpental bergulingan."
Kembali pemuda tinggi kurus itu menghentikan ceritanya. Ditariknya napas dalam-dalam, mungkin untuk melonggarkan dadanya yang terasa sesak begitu mengingat semua kejadian yang dialaminya.
"Aku terpental deras ke arah jurang. Tapi untunglah kedua tanganku sempat menggapai bibir jurang. Di saat itulah kulihat pemandangan yang sampai mati pun tidak akan kulupakan." Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya. Sepasang matanya nampak merembang berkaca-kaca. Karuan saja Karmila yang ingin buru-buru mengetahui akhir cerita itu jadi agak kesal juga. Tapi, mau tidak mau rasa kesal itu terpaksa ditahannya.
"Apa yang kau lihat, Rupangki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Kakang Waji menusukkan pedangnya ke perut Kakang Jalasa yang tengah terhuyung-huyung. Dan kemudian menendang mayatnya ke dalam jurang," ucap Rupangki terputus-putus. "Bahkan bukan hanya itu saja. Begitu dilihatnya aku belum masuk ke jurang, dia pun lalu menghampiriku. Akhirnya, tanpa peduli pada keselamatanku lagi, kuputuskan untuk melompat ke dalam jurang. Dan... inilah akibatnya...."
"Jadi..., kiranya pemuda keparat itulah biang keladinya...! Awas kau, Waji! Akan kucincang tubuhmu!" ancam Karmila. Keras dan kasar suaranya. Bahkan sepasang mata gadis itu memancarkan sinar berkilat. Jelas kalau gadis berpakaian jingga ini dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Tenangkan hatimu dulu, Karmila," ucap Dewa Arak memberi nasihat. "Yang penting, kita harus menyembuhkan luka-luka Rupangki dulu. Karena dialah satu-satunya saksi yang dapat menyelamatkan kita dari buruan orang-orang persilatan golongan putih. Di samping itu juga..., untuk membersihkan nama baik ayahmu."
Karmila langsung terdiam. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kuat-kuat. Dicobanya meredakan kemarahan yang bergolak.
"Sebenarnya..., apa yang terjadi, Arya?" tanya Rupangki ingin tahu. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak bertanya kepada Karmila. Dia masih merasa tidak enak pada gadis berpakaian jingga itu mengingat sikap yang tidak pantas dari kakak seperguruannya. Dewa Arak pun menceritakan semua yang dialami Karmila.
"Ahhh...!" seru Rupangki terkejut begitu Arya menyelesaikan ceritanya. "Kalau begitu, aku harus cepat-cepat ke Perguruan Pedang Ular."
"Untuk apa?" tanya Karmila.
"Untuk memberitahukan kejadian yang sebenarnya," sahut pemuda tinggi kurus itu tandas. "Keterlaluan sekali, Kakang Waji. Jangan khawatir, Nini. Aku akan membantumu menangkapnya!"
"Terima kasih, Rupangki," hanya itu yang diucapkan Karmila.
"Tapi, sebelum kita ke Perguruan Pedang Ular. Luka-lukamu harus disembuhkan dulu, Rupangki,!" ucap Dewa Arak.
"Tapi... tidakkah hal itu jadi terlalu lama? Dan..., urusan Nini Karmila akan semakin berlarut-larut." Rupangki mencoba membantah. Dia kini telah mendapat kesempatan untuk menunjukkan perhatiannya pada gadis berpakaian jingga yang telah menarik hatinya itu.
"Tidak mengapa, Rupangki," sahut Karmila cepat.
"Kalau begitu..., terserah kalian saja," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu mengalah.
Dewa Arak bersyukur dalam hati melihat hal ini. Arya tahu kalau Rupangki mempunyai perasaan lain terhadap Karmila. Bahkan berharap semoga saja gadis berpakaian jingga itu akan membalas rasa simpati pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
"Kalau begitu..., mari kita cari tempat yang layak untuk mengobati luka Rupangki, Karmila," ajak Dewa Arak sambil memondong tubuh Rupangki.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah meninggalkan tempat itu. Mencari tempat untuk mengobati luka-luka murid Perguruan Pedang Ular itu.
* * * * * * * *
Plak, plak, plak..!
Suara kelepak sayap kelelawar, mengusik keheningan malam sepi. Bulan bulat penuh nampak di langit. Memang, malam ini adalah malam bulan purnama. Di bawah keremangan sinar rembulan, nampak berkelebat sesosok tubuh berpakaian kuning. Gerakannya cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan kekuningan yang membelah keremangan malam.
Sosok berpakaian kuning itu terus melesat cepat. Menilik dari kecepatan geraknya, bisa diperkirakan kalau sosok bayangan kuning ini memiliki kepandaian tinggi. Kecepatan lari sosok bayangan kuning itu baru berkurang, ketika mulai mendekati bangunan besar berhalaman luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar tinggi dari kayu bulat.
"Hup!"
Tepat di depan pintu gerbang, bayangan kuning itu menghentikan larinya. Sekilas sepasang matanya menatap sebuah papan tebal berukir yang terpampang di atas pintu gerbang. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan berukir itu, Perguruan Golok Maut. Perlahan sosok bayangan kuning itu mendekati pintu gerbang. Kemudian tangannya diulurkan mengetuk.
Tok, tok, tok!
Kelihatan perlahan saja, tangan sosok berpakaian kuning itu mengenai daun pintu gerbang. Tapi akibatnya luar biasa! Terdengar suara keras, seolah-olah pintu gerbang itu dipukul dengan sebuah balok besar. Tentu saja suara berisik dari pintu gerbang itu membuat beberapa murid Perguruan Golok Maut yang tengah bertugas jaga, berhamburan ke arah pintu gerbang.
"Sepertinya ada tamu yang datang," sahut salah seorang di antara mereka yang berperut gendut.
"Buka pintu gerbang," perintah salah seorang yang berwajah hitam. Rupanya dialah yang bertugas menjadi kepala jaga.
"Tapi, Kang Tarji," salah seorang yang bertubuh kecil kurus mencoba membantah. "Bagaimana kalau orang yang baru datang, bermaksud tidak baik?"
"Aku yang bertanggung jawab!" tandas laki-laki berwajah hitam yang ternyata bernama Tarji. Bukan karena kesombongan kepala jaga ini berkata begitu, tapi karena keyakinannya kalau orang yang datang secara terang-terangan begitu, tidak mungkin bermaksud jelek.
Murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil kurus, tidak membantah. Segera saja dia beranjak ke pintu gerbang. Mengangkat palang pintu gerbang dan kemudian menarik daun pintu-gerbang yang besar dan berat.
Kriiit..! Terdengar suara berderit tajam begitu pintu gerbang itu membuka.
"Ketua kalian ada?" tanya sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ah, kiranya Ki Gambala...!" seru murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil kurus, begitu melihat orang yang berdiri di balik pintu gerbang itu. "Ada, Kek!"
"Bisa mengantarku padanya?" tanya sosok berpakaian kuning yang ternyata Gambala itu.
"Ooo..., bisa. Bisa, Kek," sahut Tarji mendahului menjawab. "Mari kuantar."
Setelah berkata demikian, kepala jaga ini pun meninggalkan tempat itu. Sementara murid yang bertubuh kecil kurus, kembali menutup pintu gerbang. Lalu bersama rekan-rekan lainnya meneruskan penjagaan kembali.
Tarji membawa Ketua Perguruan Pedang Ular itu ke ruang semadi si Golok Emas. Memang sejak kematian adik seperguruannya beberapa hari yang lalu, Ketua Perguruan Golok Maut itu lebih suka mengurung diri di ruang semadinya.
Tok, tok, tok...!
Laki-laki berwajah hitam itu mengetuk pintu ruang semadi si Golok Emas. Ruangan itu hanya kecil saja. Ukurannya paling banyak tiga kali tiga tombak.
"Siapa di luar?" tanya sebuah suara. Baik Tarji maupun Gambala mengenali siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ketua Perguruan Golok Maut, Si Golok Emas!
"Tarji, Guru," sahut laki-laki berwajah hitam itu cepat.
Hening sejenak. Tak terdengar sahutan setelah Tarji menjawab pertanyaan si Golok Emas. "Apa keperluanmu, Tarji?" kembali terdengar suara Ketua Perguruan Golok Maut itu.
"Anu, Guru.., Ketua Perguruan Pedang Ular ingin bertemu Guru."
Sesaat kemudian, pintu ruangan itu pun terkuak. Dan dari balik daun pintu itu muncul seraut wajah seorang kakek berjenggot putih panjang. Itulah Ketua Perguruan Golok Maut.
"Silakan masuk, Gambala," ucap si Golok Emas mempersilakan. Raut wajahnya terlihat muram. Rupanya kakek berjenggot panjang ini masih terpukul dengan kematian adik seperguruannya.
"Aku mohon diri dulu, Guru," ucap Tarji seraya menjura hormat. Dan segera berlalu begitu. Ketua Perguruan Golok Maut itu menganggukkan kepalanya.
Gambala melangkah masuk. Dan setelah kakek bermata sayu itu telah berada di dalam, si Golok Emas segera menutup pintu.
"Apakah keperluanmu datang malam-malam begini, Gambala?" tanya Ketua Perguruan Golok Maut itu begitu keduanya telah bersila. Nada suara kakek berjenggot panjang ini terdengar datar.
"Kau tidak ingin membalaskan sakit hati adik seperguruanmu, Golok Emas?" kakek bermata sayu itu balas bertanya. Langsung pada pokok persoalan. Sama sekali tidak dipedulikannya pertanyaan Ketua Perguruan Golok Maut tadi.
Si Golok Emas menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?" desak Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
"Lupakah kau, Gambala?!" sergah kakek berjenggot panjang itu. "Bukankah Kalapati telah tewas?!"
"Kalapati memang benar telah tewas. Tapi tidakkah kau ingin membalaskan dendammu pada putrinya?! Kau tahu putrinya itu tak kalah jahat ketimbang ayahnya!" sahut Gambala bernada membakar.
"Sayang sekali, Gambala. Aku sama sekali tidak berminat..," jawab kakek berjenggot panjang itu pelan.
"Hhh...!" Ketua Perguruan Pedang Ular itu menghela napas berat.
"Mengapa tidak kau sendiri saja yang melenyapkan putri Kalapati itu, Gambala?" tanya si Golok Emas bernada menyelidik.
"Ada orang kuat yang berdiri di belakangnya," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu bernada keluhan.
"Dewa Arak, maksudmu?" tebak kakek berjenggot panjang itu.
Gambala menganggukkan kepalanya. "Dia memang seorang pemuda yang luar biasa!" puji Ketua Perguruan Golok Maut itu itu tulus. "Aku yakin, kalau Kalapati masih hidup..., belum tentu datuk sesat itu mampu mengalahkannya...."
"Ya," Gambala menganggukkan kepalanya "Sayangnya, pendekar itu telah terpikat pada kecantikan putri Kalapati. Dan kini..., Dewa Arak akan jadi ancaman besar bagi dunia persilatan. Khususnya untuk tokoh-tokoh golongan putih. Kalau tidak buru-buru dilenyapkan, bukan tidak mungkin kelak akan membunuh kita semua...."
"Aku kira hal itu tidak mungkin terjadi, Gambala," bantah si Golok Emas. "Menurut berita yang kudengar, Dewa Arak tidak pernah membunuh tokoh-tokoh persilatan golongan putih yang mengeroyoknya. Bahkan melukai secara berat pun tidak juga."
Seketika itu juga, wajah Ketua Perguruan Pedang Ular itu berubah merah padam. "Mungkin sekarang tidak, Golok Emas. Tapi..., nanti siapa tahu?" ucap Gambala dengan suara mengambang.
Si Golok Emas sama sekali tidak menyahuti ucapan kakek bermata sayu itu. Ketua Perguruan Golok Maut itu hanya mengangkat bahu saja. Setelah Gambala menghentikan ucapannya, suasana pun menjadi hening.
"Jadi..., kau tidak berniat melenyapkan iblis betina itu, Golok Emas?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu meminta ketegasan.
"Ya," jawab kakek berjenggot panjang itu. "Berita yang kudengar selama ini membuatku ragu akan kebenaran berita kalau Dewa Arak tersesat. Mata hatiku yakin kalau pemuda itu berada di jalan yang benar."
Gambala sama sekali tidak menanggapi ucapan Ketua Perguruan Golok Maut itu. "Kalau begitu..., aku permisi saja, Golok Emas!" ucap kakek bermata sayu itu seraya bangkit berdiri.
"Ah...! Mengapa terburu-buru, Gambala," sahut kakek berjenggot panjang itu agak terkejut.
"Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan, Golok Emas."
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Pedang Ular segera melangkah keluar. Si Golok Emas mengantarnya. Sesaat kemudian kedua ketua perguruan besar beraliran putih ini sudah melangkah berdampingan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ketua Perguruan Golok Maut mengantar tamunya sampai keluar pintu gerbang perguruannya. Kemudian setelah tamunya lenyap ditelan kegelapan malam, diperintahkannya murid peronda untuk menutup pintu gerbang kembali.
* * * * * * * *
Untuk kesekian kalinya sang surya kembali muncul di ufuk Timur. Sinarnya yang lembut menyorot persada. Burung-burung bercicit riang menyambut terbitnya bola api besar yang masih berwarna merah itu. Binatang-binatang pun tahu, telah tiba saatnya bagi mereka untuk mencari makan.
Tiga sosok bayangan berkelebat cepat menuruni lereng Gunung Palanjar. Rata-rata gerakan mereka cepat dan gesit bukan main. Sehingga yang tampak hanyalah sekelebatan bayangan jingga, ungu, dan biru. Dua di antara tiga bayangan itu berlari berdampingan. Sementara sosok yang berwarna ungu, berlari di belakang mereka.
Tiga sosok tubuh yang sedang menuruni lereng Gunung Palanjar adalah Karmila, Rupangki, dan Dewa Arak Berkat kemahiran Arya dan terutama sekali karena Karmila mempunyai obat yang mujarab, Rupangki kembali sembuh seperti sediakala, setelah beristirahat selama dua hari. Dan pagi ini, ketiga muda-mudi ini memutuskan untuk pergi ke Perguruan Pedang Ular untuk memberi tahu hal yang sebenarnya.
"Aku turut berduka cita atas kematian ayahmu, Karmila," entah untuk yang ke berapa kalinya kata-kata itu keluar dari mulut Rupangki. Memang pemuda bertubuh tinggi kurus itu kurang bisa mencari bahan percakapan, padahal dia ingin sekali selalu berdekatan dan berbincang-bincang dengan gadis berpakaian jingga yang berwajah molek dan bertubuh ramping itu. Sehingga hanya ucapan itu saja yang diulang-ulangnya.
Arya yang berlari di belakang, sengaja memberi kesempatan pada Rupangki berbincang-bincang dengan Karmila, diam-diam tersenyum geli. Ucapan itu selalu diulang-ulang oleh pemuda bertubuh tinggi kurus itu, setiap kali hendak mengajak Karmila berbincang-bincang. Sekuat tenaga ditahannya ledakan tawa yang hampir keluar dari mulutnya.
"Terima kasih, Rupangki," sahut Karmila sambil terus berlari. Gadis berpakaian jingga ini tentu saja dapat merasakan kalau pemuda bertubuh tinggi kurus itu mempunyai perhatian lain terhadapnya. Tapi bagaimana dengan Dewa Arak yang dikaguminya? Seorang pemuda yang matang, bijaksana, dan berani memegang prinsip meskipun harus berhadapan dengan apa pun! Pemuda yang telah membuat rasa kagumnya semakin lama semakin bertambah!
Sehabis gadis berpakaian jingga itu menghentikan ucapannya, suasana pun kembali hening. Kaki-kaki mereka terus bergerak. Tapi pikiran mereka melayang-layang entah ke mana. Sementara di belakang kedua orang itu, Dewa Arak hanya memperhatikan saja. Rasa geli dan kasihan melilit hari Arya begitu melihat Rupangki yang ingin sekali berbincang-bincang dengan Karmila, tapi tidak mempunyai bahan percakapan.
Berkat pengalamannya menghadapi berbagai ragam tabiat manusia, Dewa Arak tahu kalau gadis seperti Karmila haus akan kasih sayang dan perhatian. Gadis berpakaian jingga itu adalah gadis yang manja dan biasa mendapat kasih sayang dan pematian penuh dari ayahnya.
Dan kini setelah sang Ayah tiada, dengan sendirinya apa yang biasa didapatkan kini tidak dapat diterimanya lagi. Saat ini Karmila pasti merindukan kasih sayang dan perhatian seperti yang dulu diterimanya. Tapi tentu saja kini bukan dari ayahnya lagi, tapi dari seorang laki-laki yang bukan ayahnya dan juga bukan keluarga atau temannya.
"Untuk menaklukkan hati Karmila, berikan perhatian penuh kepadanya, Rupangki."
Rupangki terlonjak kaget begitu mendengar suara yang amat dikenal menggema di telinganya. Saking kagetnya, langkah kaki pemuda ini sampai terhenti seketika. Suara itu adalah suara Arya! Tanpa sadar pemuda bertubuh tinggi kurus itu menoleh ke belakang.
"Ada apa, Rupangki?" tanya Karmila seraya menghentikan larinya pula. Gadis berpakaian jingga itu memang terkejut melihat pemuda tinggi kurus itu tiba-tiba menghentikan larinya. "Apakah masih ada rasa sakit yang kau rasakan?"
"Ah..., eh... ti... tidak ada apa-apa," sahut Rupangki agak gugup. "Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Setelah berkata demikian, Rupangki kembali melanjutkan langkahnya. Mau tidak mau Karmila pun melangkahkan kakinya pula. Gadis berpakaian jingga itu tahu kalau ada sesuatu yang membuat Rupangki terkejut. Hanya sayangnya, pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak mau berterus-terang.
"Tanyakanlah padanya tentang bunga kesenangannya..., pakaian kesukaannya..., ilmu silatnya..., dan masih banyak lagi...."
Lagi-lagi suara Arya bergema di telinga pemuda bertubuh tinggi kurus itu. Seketika wajah Rupangki berseri-seri. Kini pikirannya telah terbuka. Dia sudah mendapat bahan pembicaran untuk berbincang-bincang dengan gadis berwajah molek dan bertubuh ramping yang telah menarik hatinya itu. Pemberitahuan Dewa Arak telah membuka pikirannya. Diam-diam pemuda bertubuh tinggi kurus ini merasa sangat berterima kasih sekali atas petunjuk pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rupangki segera mempraktekkan semua ajaran Arya. Dan memang setelah itu pembicaraan pun menjadi berlangsung panjang. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu kini telah bisa mengembangkan bahan pembicaraan sendiri. Sepanjang perjalanan menuju Perguruan Pedang Ular, kedua orang itu terus terlibat pembicaraan.
Dewa Arak tak henti-hentinya memberi petunjuk pada Rupangki untuk bersikap bagaimana terhadap Karmila. Bahkan atas anjuran pemuda berambut putih keperakan itu pula, pada saat mereka beristirahat, pemuda bertubuh tinggi kurus itu mencarikan bunga kesukaan Karmila. Dan memberikannya pada gadis berpakaian jingga itu.
Hampir-hampir Rupangki melompat girang dan memeluk Arya sebagai tanda rasa terima kasih yang amat sangat, begitu dilihatnya Karmila menerima bunga pemberiannya. Dan yang lebih membuat Rupangki lebih gembira adalah ketika gadis pujaannya menerima bunga itu dengan senyum ceria.
Ketiga orang itu melakukan perjalanan dengan tidak tergesa-gesa. Pada keesokan harinya, barulah tampak bangunan Perguruan Pedang Ular di kejauhan.
"Itu dia Perguruan Pedang Ular, Karmila," ucap Rupangki memberitahu sambil menudingkan jari telunjuknya.
Karmila dan Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Mari kita bergegas ke sana," ajak pemuda tinggi kurus itu lagi sambil menarik tangan Karmila. Memang, kini hubungan antara Rupangki dan gadis berpakaian jingga itu sudah semakin akrab.
Karmila tidak banyak membantah. Meskipun begitu, ada segumpal rasa khawatir yang mencekam hati gadis berpakaian jingga itu. Rasa khawatir kalau murid-murid Perguruan Pedang Ular langsung menyerangnya. Tapi, Karmila percaya penuh kalau Rupangki dapat menjelaskan permasalahannya. Dan lagi, bukankah ada Dewa Arak di situ?
Bukan hanya Karmila saja yang dilanda rasa khawatir. Dewa Arak pun dilanda perasaan serupa. Tapi seperti biasa, pemuda berambut putih keperakan itu mampu menyembunyikan rasa cemasnya. Dia percaya penuh kalau Rupangki akan bertindak cepat begitu melihat gelagat yang tidak baik. Memang, selagi mereka melakukan perjalanan kemari, pemuda tinggi kurus itu berjanji akan menjernihkan persoalan.
Apa yang dikhawatirkan Arya dan Karmila tepat sekali. Begitu murid-murid penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Ular melihat kedatangan Karmila dan Dewa Arak, mereka segera menghunus senjata masing-masing dan bersikap waspada. Sedangkan salah seorang di antaranya segera berlari ke dalam, memberi tahu kedatangan musuh-musuh mereka kepada Gambala.
Kedua murid penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Ular tidak segera dapat mengenali Rupangki. Karena pemuda tinggi kurus itu kini sudah tidak mengenakan seragam perguruan lagi. Pakaian seragam Perguruan Pedang Ular telah dibuangnya karena telah kotor dan habis terkoyak-koyak. Yang segera langsung dikenali oleh penjaga pintu gerbang itu adalah Dewa Arak dan Karmila yang memiliki ciri-ciri menyolok.
Baru setelah ketiga orang itu semakin dekat dengan pintu gerbang, murid-murid Perguruan Pedang Ular yang semuanya sudah bergerak keluar menjadi terkejut. Mereka mengenali Rupangki yang menurut cerita Waji telah tewas di tangan Kalapati. Dan tentu saja hal ini membuat mereka semua terkejut.
"Kakang Rupangki! Kaukah itu?!" seru salah seorang murid Perguruan Pedang Ular kaget bercampur gembira.
"Ya. Aku Rupangki! Lupakah kalian semua?!" sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu membenarkan.
"Rupangki! Apa yang kau lakukan ini?!" tegur laki-laki bertubuh kekar berotot dan berambut kepang. Inilah salah seorang dari empat murid kepala Perguruan Pedang Ular. Setingkat dengan Waji. Nama orang ini adalah Jirin. "Bukankah kau telah tewas?! Mengapa tiba-tiba kau datang, dan bersama musuh besar kita?!"
"Ceritanya panjang, Kakang Jirin. Tapi percayalah, kedua orang ini bukanlah musuh. Kang. Bahkan sebaliknya..., merekalah yang telah menyelamatkan aku dari kematian," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu memberi tahu.
"Omongan macam apa itu?!" sergah Jirin keras.
"Rupangki! Rupanya kedua orang itu telah menyihirmu! Sehingga kau tidak dapat membedakan mana kawan dan mana lawan!"
"Percayalah, Kang Jirin. Kedua orang ini bukanlah musuh!" sambut Rupangki lagi seraya terus melangkah maju. Tangan kirinya masih tetap menggenggam tangan kanan Karmila. Dan dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu ikut melangkah ke depan.
Mau tidak mau Dewa Arak terpaksa ikut melangkah maju. Arya khawatir akan terjadinya sesuatu yang sama sekati tidak diharapkan. Dalam hatinya, pemuda ini menyesali sikap Rupangki yang tidak tahu gelagat dengan terus melangkah maju. Padahal saudara-saudara seperguruannya telah siap dengan senjata terhunus.
"Kau telah tidak waras lagi, Rupangki!" bentak Jirin keras. "Serang...!"
Tentu saja murid-murid Perguruan Pedang Ular yang sejak tadi telah siaga dengan senjata terhunus, segera menerjang Rupangki. Tapi tentu saja serangan mereka ditujukan pada Karmila. Rupangki terkejut bukan main mendapat serangan yang tidak disangka-sangka itu. Apalagi yang menyerang bukan hanya seorang, melainkan belasan. Hujan senjata kontan meluruk ke arah Karmila.
"Kakang! Tahan...!"
Di saat-saat terakhir, Rupangki masih mencoba mencegah. Tapi sia-sia. Kakak seperguruannya, dan juga rekan-rekannya sama sekali tidak mempedulikannya. Mereka yakin kalau pemuda bertubuh tinggi kurus itu telah dipengaruhi oleh putri Kalapati. Entah ilmu sihir atau ilmu apa, mereka tidak tahu.
Melihat saudara-saudara seperguruannya sama sekali tidak mempedulikan teriakannya, Rupangki menjadi kalap. Secepat kilat pedangnya dicabut, dan ditangkisnya serangan yang mengancam gadis ber pakaian jingga itu. Berbarengan dengan itu, pegangangnya pada tangan Karmila dilepaskan. Dan begitu tangannya terlepas, putri Kalapati itu segera melempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan menjauh.
Trang, trang...!
Suara berdentang nyaring segera terdengar begitu pedang Rupangki berbenturan dengan senjata saudara-saudara seperguruannya. Tak pelak lagi, pemuda bertubuh tinggi kurus itu pun terhuyung ke belakang. Dan di saat itulah, hujan senjata meluruk ke arah Karmila yang tengah bergulingan. Melihat banyaknya serangan yang menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian jingga itu, sudah bisa diperkirakan kalau Karmila akan sulit lolos dari maut.
"Karmila...!" Rupangki menjerit melihat bahaya maut mengancam keselamatan gadis yang dicintainya. Suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu melengking bercampur isak. Suara yang keluar dari mulut seorang yang melihat kekasihnya terancam maut tanpa mampu menolongnya, karena tubuh Rupangki sendiri tengah terhuyung-huyung.
Di saat-saat kritis bagi keselamatan Karmila, Dewa Arak segera melesat ke arah putri Kalapati itu. Dan begitu tiba, pemuda berambut putih keperakan ini segera memutar-mutarkan kedua tangannya. Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang berputaran di depan dada itu, timbul angin keras yang membuat murid-murid Perguruan Pedang Ular berpentalan seperti dilanda angin topan.
Brukkk!
Suara berdebukan keras segera terdengar begitu belasan sosok tubuh itu berjatuhan di tanah. Senjata-senjata mereka telah berpentalan entah ke mana.
"Ah...!" Rupangki berseru kaget bercampur girang. Cepat laksana kilat pemuda bertubuh tinggi kurus itu menghambur ke arah Karmila yang kini telah bangkit dari bergulingnya. Wajah gadis itu masih nampak pucat Jelas kalau tadi pun gadis berpakaian jingga itu telah dilanda perasaan terkejut yang amat sangat.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya Rupangki terbata-bata. Sebenarnya bodoh sekali pertanyaan itu. Sudah jelas kalau gadis itu sama sekali tidak apa-apa. Tapi masih juga ditanyakan demikian. Ketegangan Rupangki yang masih tersisa, membuat kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak terkontrol lagi.
"Untung, Dewa Arak cepat bertindak," sahut Karmila bernada mendesah. Seketika itu juga ada rasa rendah diri di hati Rupangki, mendengar ucapan itu. Mengapa harus Dewa Arak yang menolong Karmila? Kenapa tidak dia saja? Sesalnya dalam hati.
"Kau harus hati-hati, Rupangki," ucap Dewa Arak memberi nasihat. "Rekan-rekanmu kali ini tidak segan-segan untuk membunuhmu."
"Mengapa begitu, Arya?" tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak mengerti.
"Mungkin mereka mengira kalau kau sudah kami pengaruhi," jelas Arya.
"Ahhh...! Kiranya begitu...," sahut Rupangki mulai paham masalahnya.
Tapi Dewa Arak tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi karena murid-murid Perguruan Pedang Ular yang dirobohkannya telah bangkit kembali. Memang pemuda berambut putih keperakan itu tadi hanya mengerahkan tenaga untuk melontarkan mereka saja. Arya tidak bermaksud melukai mereka. Dewa Arak hanya ingin menyelamatkan Karmila.
"Tahan...!"
Terdengar teriakan mencegah begitu murid-murid Perguruan Pedang Ular kembali hendak menyerang. Serentak semua murid itu menghentikan gerakan dan memandang ke arah asal teriakan itu. Tak terkecuali juga Dewa Arak, Karmila, dan Rupangki. Dari dalam pintu gerbang, melangkah dengan sikap gagah seorang kakek bermata sayu.
"Guru...," seru semua murid Perguruan Pedang Ular sambil memberi hormat. Tak terkecuali Rupangki.
"Gambala...," desis Dewa Arak yang segera mengenali kakek itu.
Orang yang baru datang memang Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular. Dengan tatapan sayu, dipandangnya sekeliling tempat itu. Dan terakhir ke arah Dewa Arak, Karmila, dan Rupangki.
"Guru...," ucap Rupangki begitu melihat sorot mata Ketua Perguruan Pedang Ular tertuju padanya.
"Kemarilah, Rupangki," ucap Gambala sambil melambaikan tangannya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu segera menghampiri gurunya. Tapi baru saja satu tindak kakinya melangkah, sebuah tangan telah menangkap pergelangan tangannya.
"Tunggu dulu, Rupangki," cegah sang pemilik tangan yang ternyata adalah Dewa Arak.
"Mengapa, Arya?" tanya pemuda tinggi kurus itu dengan alis berkerut. Hatinya menjadi heran melihat pemuda berambut putih keperakan itu mencegah tindakannya. "Aku hendak menemui guruku."
"Untuk apa, Rupangki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Menjelaskan kesalahpahaman ini."
"Dari sini saja, Rupangki!" tandas Dewa Arak tegas.
"Tapi...," Rupangki masih mencoba membantah.
"Kau ingin berpisah dengan Karmila, Rupangki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu menggertak. Sementara Gambala memperhatikan saja ribut mulut yang terjadi di depannya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu masih dengan alis berkerut.
"Kau tidak ingat peristiwa yang baru saja terjadi?" ucap Dewa Arak bernada mengingatkan. "Asal kau tahu saja, Rupangki. Kau sama sekali tidak dipercaya! Kau dianggap berada dalam pengaruh sihir! Jadi, begitu kau mendekati gurumu, kau akan dibuat pingsan. Dan..., kami berdua akan dikeroyok kembali." jelas Dewa Arak panjang lebar.
"Jadi, bagaimana aku harus menjelaskan kesalah pahaman ini?" tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu lagi. Nada suaranya terdengar putus asa.
"Dari sini saja, Rupangki!" sahut Dewa Arak tegas. "Cepat kau ceritakan semuanya dengan jelas. Syukur-syukur kalau akhirnya mereka mengerti dan sadar...."
Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menyadari kebenaran ucapan Arya. Dan kembali rasa kagumnya semakin bertambah. Dewa Arak meskipun masih muda tapi memiliki wawasan berpikir yang demikian luas.
"Kau mengerti, Rupangki?" tanya Dewa Arak begitu melihat pemuda bertubuh tinggi kurus itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya," sahut Rupangki singkat.
"Kau bisa menjelaskan semuanya dari sini?" tanya Dewa Arak lagi.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menganggukkan kepalanya. Dewa Arak memandang ke sekelilingnya begitu melihat kesediaan Rupangki. Dilihatnya Gambala dan murid-murid Perguruan Pedang Ular, masih berdiri terpaku. Rupanya mereka ingin mendengar apa yang ingin dikatakan Rupangki.
"Kalian semua dengarkan!" teriak Arya seraya mengerahkan tenaga dalam. Suaranya menggema sampai ke tempat yang jauh.
Seketika itu juga suasana menjadi hening. Suara yang keluar dari mulut Dewa Arak benar-benar membuat mereka terpaku kaku. Tak terkecuali Gambala.
LIMA
"Guru..., dan juga saudara-saudaraku semua...!" ucap Rupangki memulai keterangan. Pandangannya diedarkan berkeliling. Menatap satu persatu wajah murid-murid Perguruan Pedang Ular. "Beberapa hari yang lalu..., Kakang Waji mengajak Kakang Jalasa dan aku mencari tempat penyepian Kalapati...."
Rupangki menghentikan ceritanya sejenak begitu mendengar seruan-seruan kaget dari mulut beberapa murid Perguruan Pedang Ular. Cerita yang didengar dari mulut Rupangki berbeda dengan yang mereka dengar dari Waji.
Hanya Gambala seorang yang tidak terlihat terkejut. Alis kakek bermata sayu ini berkernyit dalam, pertanda sedang berpikir keras. Mana cerita di antara kedua muridnya itu yang benar? pikir kakek ini bingung. Akhirnya diputuskan untuk mendengarkan cerita Rupangki lebih lanjut.
"Semula aku dan Kakang Jalasa keberatan. Tapi karena Kakang Waji mengatakan kalau maksudnya hanya untuk sekadar berbincang-bincang dengan datuk itu, kami akhirnya mengalah. Kami pun ikut mencari tempat penyepian Kalapati."
Pemuda bertubuh tinggi kurus Ini menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Kembali pandangannya diedarkan berkeliling. Dilihatnya wajah guru dan rekan-rekannya nampak serius mendengar penjelasannya. Dan dengan sendirinya, Rupangki semakin bersemangat melanjutkan ceritanya.
"Di hari pertama, kami tidak berhasil. Lalu kami kembali ke perguruan. Hari kedua, begitu pula. Baru pada hari ketiga, kami bertemu dengan seorang gadis berpakaian jingga yang tengah berlatih ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. Dan itulah awal kami menemukan tempat penyepian Kalapati. Tempat itu begitu tersembunyi. Kalau saja tidak mendengar teriakan-teriakan gadis itu, tentu kami tidak berhasil menemukan tempat Kalapati."
Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya. Sementara kerut-kerut di dahi Gambala dan beberapa orang murid Perguruan Pedang Ular semakin banyak terlihat. Cerita yang mereka dengar dari mulut Rupangki jelas-jelas berbeda dengan apa yang diceritakan Waji. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu melanjutkan ceritanya kembali hingga selesai. Semua kejadian diceritakannya dengan gamblang. Tak ada satu pun yang ditutup tutupinya.
"Begitulah semua kejadiannya, Guru," ucap Rupangki menutup ceritanya. "Jadi, tidak benar kalau Kalapati dan putrinya yang membunuh Kakang Jalasa dan aku."
"Hhh...!" Setelah tercenung beberapa saat lamanya akhirnya Gambala menghela napas berat. Sambil mendengarkan cerita, kakek bermata sayu ini sibuk membandingkan cerita yang didengar dari kedua muridnya. Baru dirasakan adanya kejanggalan pada cerita Waji. Kejanggalan yang baru kini disadarinya. Dari mana Waji tahu tempat tinggal Kalapati, sewaktu mengantarkan dirinya, adik seperguruannya, dan juga kedua ketua Perguruan Golok Maut? Kini, dari cerita Rupangki, kakek bermata sayu itu mengerti kalau Waji pernah ke sana sebelumnya!
Rupangki menunggu dengan perasaan tegang. Jantungnya berdetak keras, melihat Ketua Perguruan Pedang Ular itu menghela napas dan tercenung kembali. Memang Gambala tengah berpikir keras. Benaknya sibuk mengingat-ingat semua kata-kata dan kejadian yang telah terjadi, berkenaan dengan peristiwa Kalapati. Dan semakin benaknya mengingat-ingat, semakin ditemukan kejanggalan cerita Waji.
Kalau saja dulu dia tidak terlalu dikuasai amarah, mungkin dapat melihat kejanggalan-kejanggalan ini. Sikap Kalapati dalam pertempuran tempo hari, jelas-jelas mengalah. Padahal dalam cerita Waji dikatakan kalau Kalapati telah menantangnya.
"Jadi, Waji telah menipuku...," desah Ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Tapi..., untuk apa dia melakukan semua ini?"
Perlahan kakinya dilangkahkan mendekati tempat Karmila, Dewa Arak, dan Rupangki berdiri. Gadis berpakaian jingga itu segera memasang sikap waspada. Tapi, Dewa Arak dan Rupangki sama sekali tidak bersikap demikian. Tentu saja kedua pemuda itu mempunyai alasan yang berbeda.
Rupangki tidak bersikap waspada, karena yakin kalau gurunya tidak akan mencelakakan dirinya. Di samping itu kurang pantas rasanya kalau dia mencurigai Gambala. Sedangkan Dewa Arak sama sekali tidak menaruh curiga. Pemuda berambut putih keperakan itu yakin kalau Ketua Perguruan Pedang Ular telah sadar dari kekeliruannya.
Gambala menghentikan langkahnya tepat di depan Karmila. Kemudian tangannya diulurkan ke arah gadis berpakaian jingga itu. "Aku minta maaf, Nini," ucap kakek bermata sayu itu. Nada suaranya menyiratkan penyesalan yang mendalam. "Aku mengaku salah. Dan tidak akan melawan seandainya kau berniat membalaskan dendam ayahmu."
Mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya ini, Karmila kebingungan. Kalau menuruti perasaan hatinya, gadis itu ingin membalaskan kematian ayahnya. Kedua tangannya sudah mengejang. Tapi, putri Kalapati itu teringat pesan mendiang ayahnya. Maka ditekannya keinginan untuk membalas dendam itu.
Karena perasaan bingung yang melanda, wajahnya ditolehkan ke arah Dewa Arak. Sepasang matanya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu penuh permohonan. Dewa Arak menggeleng pelan. Pertanda melarang Karmila membalas sakit hatinya.
Masih tidak puas dengan jawaban yang diperolehnya dari Dewa Arak, Karmila pun mengalihkan pandangannya pada Rupangki. Tapi seperti juga Dewa Arak. Pemuda bertubuh tinggi kurus ini menggeleng kan kepalanya. Keyakinan hati Karmila bertambah.
Pesan ayahnya dan gelengan kepala Dewa Arak dan Rupangki telah memperkuat keinginan untuk melupakan dendamnya. Lagi pula, kakek bermata sayu itu sama sekali tidak bersalah. Ketua Perguruan Pedang Ular termakan hasutan muridnya yang culas, Waji.
"Aku sama sekali tidak memendam dendam padamu, Kek," ucap gadis berpakaian Jingga itu lirih. "Ayah melarang aku membalaskan dendam kematiannya. Tapi selama aku yakin kalau ayahku tidak bersalah... aku akan tetap membalaskan dendamnya. Tapi.... Tidak padamu, Kek! Kau tidak bersalah!"
Gambala hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam hari kakek ini terharu melihat kebesaran jiwa gadis berpakaian jingga itu.
"Aku harap Kakek tidak menghalangi niatku untuk membalas dendam pada orang yang memang benar-benar bersalah atas kematian ayahku," sambung Karmila tegas.
"Maksudmu pada Waji, Nini?" tanya Gambala meminta kepastian.
"Benar, Kek!"
"He he he...!" Gambala tertawa pelan, lenyap sudah rasa haru di hatinya. Ucapan Karmila membuatnya geli. "Kau terlalu berprasangka, Nini. Kau tahu, bukan hanya kau saja yang ingin membunuh murid murtad itu!"
"Jadi, Kakek...?"
"Ya!" sahut Ketua Perguruan Pedang Ular cepat. "Aku pun ingin menghukum murid murtad itu!"
"Mengapa, Kek?" tanya Karmila tak mengerti.
"Mengapa?!" ulang Gambala dengan alis berkerut. "Murid murtad itu telah menyebabkan kericuhan yang amat besar! Bukan hanya di perguruanku saja, tapi Juga di dunia persilatan!"
Ketua Perguruan Pedang Ular itu menghentikan sebentar ucapannya untuk mengambil napas. Ucapan yang dikeluarkannya terlalu berapi-api sehingga membuat napasnya memburu.
"Dan bukan hanya itu saja!" sambung Gambala lagi. "Dia pun telah merusak nama baik orang lain! Nama baik ayahmu, dan juga nama baik seorang pendekar tenar berjiwa besar seperti Dewa Arak! Perbuatannya sudah tidak bisa diampuni lagi! Waji harus mati!"
Setelah berkata demikian, kakek bermata sayu itu lalu mendekati Arya. Kemudian setelah berada di depan pemuda berambut putih keperakan itu tangannya diulurkan.
"Aku minta maaf atas semua ucapan tidak pantas yang telah kutuduhkan padamu, Dewa Arak. Ternyata kau benar. Ahhh...! Berapa kerdilnya pemikiranku, sehingga tidak bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah," ucap kakek bermata sayu itu menyesali dirinya.
Arya buru-buru menyambut uluran tangan Ketua Perguruan Pedang Ular, lalu menggenggamnya erat-erat. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kek," sahut Dewa Arak bijaksana. "Semua ini hanya kesalahpahaman belaka."
"Kau memang berhati mulia, Dewa Arak. Semua berita yang kudengar tentang dirimu ternyata benar. Ahhh...! Dasar aku saja yang bodoh. Padahal sahabatku, si Golok Emas, telah tahu kalau kau berada di jalan yang benar. Mataku memang buta! Semakin tua, bukannya semakin arif, tapi malah semakin memperbesar emosi."
"Kakek terlalu menyalahkan diri sendiri, seandainya aku menjadi Kakek, mungkin aku akan bertindak seperti yang Kakek lakukan," sambut Dewa Arak merendah. Setidak-tidaknya sekadar untuk menghilangkan rasa risihnya mendapat pujian bertubi-tubi dari Ketua Perguruan Pedang Ular. Begitu Dewa Arak menyelesaikan kata-katanya, seketika suasana menjadi hening.
"Tapi..., untuk apa sebenarnya Kakang Waji melakukan semua ini, Guru?" tanya Rupangki, memecahkan keheningan.
"Hhh...!" Gambala menghela napas berat. "Aku sendiri tidak mengerti, Rupangki."
"Kalau kulihat..., sepertinya Kakang Waji memendam dendam yang amat besar pada Kalapati, Guru," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu lagi.
Ketua Perguruan Pedang Ular itu mengerutkan alisnya. "Entahlah...! Aku tidak tahu, Rupangki," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular sambil mengangkat bahu. "Sekarang..., yang paling penting adalah mencari di mana murid murtad itu! Kau bisa mengira-ngira di mana adanya dia, Rupangki?"
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menggelengkan kepalanya.
"Jadi..., Waji tidak pernah kembali ke perguruan, Kek?" tanya Dewa Arak agak bingung.
"Tidak, Dewa Arak," sahut kakek bermata sayu itu sambil menggelengkan kepalanya. "Entah ke mana perginya murid murtad itu."
"Apakah kau tidak tahu tempat yang biasa dikunjungi Waji, Kek?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu lagi.
Gambala hanya menggelengkan kepalanya. "Kau barangkali tahu, Rupangki?" kembali Dewa Arak bertanya. Tapi kali ini ditujukan pada pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang menyambut pertanyaan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Guru...," tiba-tiba salah seorang murid Perguruan Pedang Ular berucap pelan, bernada ragu-ragu.
Gambala menolehkan kepalanya. "Ada apa, Pardi?" tanya kakek bermata sayu itu pelan.
"Beberapa hari yang lalu... sewaktu aku pergi mencari kayu bakar... aku melihat Kakang Waji bersama-sama seorang wanita. Semula aku hendak memanggilnya. Tapi melihat sikap dan tindak-tanduk wanita setengah baya yang berada bersamanya, aku jadi ragu-ragu. Untung dia tidak melihatku."
"Kau tahu dia menuju ke mana, Pardi?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular yang merasa tertarik dengan cerita muridnya.
Pardi menggelengkan kepalanya. "Tapi..., ada yang membuatku heran, Guru."
"Hm.... Apa itu, Pardi?" tanya Gambala tidak bersemangat lagi mendengar muridnya itu tidak mengetahui tempat yang dituju Waji.
"Kakang Waji memanggil wanita setengah baya itu dengan sebutan ibu, Guru," jawab Pardi.
"Apa?!" sergah Ketua Perguruan Pedang Ular keras. Keterkejutan yang amat sangat membayang di wajah kakek bermata sayu itu. Bahkan sepasang mata yang biasanya sayu itu tiba-tiba membelalak. "Kau tidak salah dengar, Pardi?"
"Aku mendengarnya dengan jelas sekali, Guru," tegas Pardi meyakinkan gurunya. "Jadi..., aku yakin tidak salah dengar."
"Aneh...," gumam Ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Padahal, sewaktu kupungut sekitar dua puluh tahun lalu, dia mengatakan ayah dan ibunya telah tewas di tangan seorang tokoh sesat..."
"Tokoh sesat...?!" selak Dewa Arak cepat.
"Mengapa Dewa Arak? Ada yang menarik pada ucapanku?" Gambala yang merasa heran melihat keterkejutan pemuda berambut putih keperakan itu segera bertanya.
"Bukankah Kalapati dulunya adalah seorang tokoh sesat, Kek?" Dewa Arak malah balas bertanya.
"Ah...! Kau benar, Dewa Arak! Jadi..., kalau begitu, tokoh sesat yang katanya telah membunuh orang tuanya adalah Kalapati!" sambut kakek bermata sayu yang kini mulai mengerti.
"Jadi, dugaanku benar, Guru. Kakang Waji benar mendendam pada Kalapati!" sahut Rupangki pula.
"Itu baru dugaan saja, Rupangki," ralat Dewa Arak buru-buru. "Kita belum memperoleh kepastiannya."
"Aku rasa dugaan itu benar, Dewa Arak," sergah Pardi cepat.
"Heh...?! Kenapa kau yakin begitu, Pardi?" Gambala yang malah menyambut! ucapan muridnya.
"Karena sebagian dari pembicaraan yang kudengar, adalah ucapan Kakang Waji yang mengatakan kalau dia telah berhasil menewaskan Kalapati...."
Gambala, Dewa Arak, dan Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Jadi, ibu Waji belum tewas...," gumam Gambala lirih. "Berarti waktu itu dia berbohong.... O ya, Pardi. Bisa kau ceritakan ciri-ciri ibu Waji itu?"
Pardi mengernyitkan keningnya beberapa saat. Jelas terlihat kalau dia tengah berusaha keras mengingat-ingat. "Seorang wanita setengah baya berpakaian merah menyala. Rambutnya agak digulung, dihias tusuk konde yang berujung kepala ular kobra...," jawab Pardi terputus-putus.
"Dewi Pencabut Nyawa...," desah Gambala. Nampak jelas keterkejutan di wajahnya. Kini kakek itu tahu siapa ayah Waji. Karena Gambala mengenal Dewi Pencabut Nyawa. Suami wanita berpakaian merah menyala itu berjuluk Serigala Hitam.
"Siapa itu Dewi Pencabut Nyawa, Kek?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Seorang wanita sesat yang kejam dan berkepandaian tinggi," jawab Ketua Perguruan Pedang pelan.
"Mereka memperbincangkan tentang Jamur Sisik Naga, Guru," tambah Pardi lagi.
"Jamur Sisik Naga?!" ulang Gambala dengan muka berubah.
Sementara Dewa Arak yang memang tidak tahu-menahu, hanya menatap kakek bermata sayu itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. Ketua Perguruan Pedang Ular itu mengerti arti pandangan Arya.
"Jamur Sisik Naga adalah jamur yang tumbuh dua puluh lima tahun sekali. Dan tanaman itu tumbuh menjelang malam bulan purnama. Tapi..., sepanjang yang kuketahui, tanaman itu hanya tumbuh disebuah gua yang bernama Gua Naga. Hanya sayangnya, aku sendiri tidak tahu di mana adanya gua itu."
"Gua Naga?!" Rupangki menyahuti dengan alis berkerut. "Apakah memang benar di gua itu ada naganya, Guru?"
Gambala mengangkat bahunya. "Mana aku tahu, Rupangki?" sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu. "Yang jelas..., sejak puluhan tahun lalu, gua itu bernama begitu. Mungkin..., dulu ada naga yang tinggal di gua itu."
"Gua Naga?!" Karmila yang sejak tadi mengikuti percakapan itu mengulang nama gua itu dengan bibir bergetar hebat. Tentu saja sikap gadis berpakaian jingga itu menarik perhatian semua yang hadir di situ. Dengan sorot mata penuh pertanyaan, mereka menatap ke arah Karmila.
"Ya, Gua Naga," ucap Gambala lagi menekankan. "Kau pernah mendengar atau setidak-tidaknya mengetahui di mana gua itu, Nini?"
Karmila menganggukkan kepalanya.
"Ah! Kalau begitu, cepat katakan, Nini. Biar kita dapat segera meringkus murid murtad itu," ucap Gambala agak terburu-buru. "Kau tahu di mana letak Gua Naga itu, atau hanya sekadar mendengarnya saja?"
"Aku tahu tempatnya."
"Kau tahu? Di mana, Nini?" desak Gambala bernada tak sabar.
"Di lereng Gunung Palanjar."
"Ah...! Kira-kira... di sebelah mana gua tempat tinggal ayahmu?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular bernafsu.
"Gua tempat tinggal Ayah itulah yang bernama Gua Naga...," lirih jawaban yang keluar dari mulut gadis berpakaian Jingga itu.
"Ah...!"
Terdengar seruan-seruan terkejut dari semua yang hadir di situ. Sementara Dewa Arak dan Gambala hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Pantas saja kalau Waji bertekad untuk melenyapkan Kalapati dan putrinya. Di samping untuk membalaskan dendamnya dia juga menginginkan jamur ajaib itu.
"Kalau begitu mari kita ke sana!" ajak Ketua Perguruan Pedang Ular pada Rupangki, Dewa Arak, dan Karmila. "Jirin, kau ambil alih jabatanku selama aku pergi!"
"Baik, Guru," sahut murid kepala itu.
Dewa Arak sebenarnya ingin mengetahui lebih jelas tentang Gua Naga dan Jamur Sisik Naga. Tapi karena kelihatannya Gambala begitu tergesa-gesa, pemuda berambut putih keperakan ini menahan pertanyaannya.
"Mari kita berangkat!" ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
Setelah berkata demikian, kakek bermata sayu itu segera melesat dari situ. Rupangki, Karmila dan Dewa Arak pun mengikuti. Tentu saja baik Gambala maupun Dewa Arak tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, mereka tahu kalau Rupangki dan Karmila tidak akan mampu mengikuti.
Sesaat kemudian, keempat orang itu pun sudah lenyap dari situ. Tujuan mereka Jelas, menangkap biang keladi yang telah mengacaukan dunia persilatan.
* * * * * * * *
ENAM
Di saat matahari siang menyorotkan sinarnya yang hangat ke bumi, tampak empat sosok tubuh berkelebat cepat mendaki lereng Gunung Palanjar. Empat orang itu adalah Dewa Arak, Gambala, Karmila, dan Rupangki yang hendak menuju Gua Naga. Dewa Arak dan Gambala berada paling depan. Sementara Karmila dan Rupangki mengikuti di belakang.
"Aku khawatir, Dewa Arak," terdengar suara kakek bermata sayu itu. Walaupun tengah berlari dan mendaki, suara Gambala terdengar biasa saja. Tidak memburu.
"Mengenal apa, Kek?" tanya Dewa Arak seraya menolehkan kepalanya. Suara pemuda ini terdengar lembut. Dan memang sudah menjadi sikap pemuda berambut putih keperakan itu untuk bersikap seperti itu. Bersikap hormat pada orang yang lebih tua, dan bersikap melindungi pada yang lebih muda.
"Jamur Sisik Naga itu, Dewa Arak..," sahut Gambala bernada keluhan.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Arya masih belum dapat menangkap maksud pembicaraan kakek bermata sayu itu. Tapi meskipun begitu, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mau menyelak pembicaraan. Dengan sabar ditunggunya kelanjutan ucapan Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Aku khawatir..., Dewi Pencabut Nyawa telah memakannya, Dewa Arak," sambung Gambala lagi.
"Sebenarnya..., apa khasiat Jamur Sisik Naga, Kek?" tanya Dewa Arak. Dikeluarkannya pertanyaan yang sejak tadi disimpannya.
"Menambah tenaga dalam," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan.
"Maksudmu, Kek... Bila ada orang yang memakan jamur itu... tenaga dalamnya akan bertambah?"
Gambala menganggukkan kepalanya. "Kalau saja Dewi Pencabut Nyawa sudah memakan Jamur Sisik Naga itu, tenaga dalamnya akan menjadi semakin berlipat ganda," sahut kakek bermata sayu itu bernada mengeluh.
"Kalau boleh kutahu, sampai seberapa besarkah kegunaan Jamur Sisik Naga itu, Kek?" tanya Arya lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu masih belum jelas pada keterangan yang baru didengarnya.
"Memakan satu buah jamur..., sama dengan melakukan semadi dan pernapasan selama setahun," sahut Gambala memberitahu.
"Hebat...!" ucap Dewa Arak takjub.
"Yahhh... kira-kira begitulah, Dewa Arak," sambut Ketua Perguruan Pedang Ular itu lesu.
"Lalu..., kira-kira apakah mereka telah memakannya, Kek?" desak pemuda berambut putih keperakan itu lagi.
"Entahlah...!" Gambala mengangkat bahu. "Tapi, kemungkinan besar, mereka sudah memakannya, Dewa Arak."
"Dari mana kau mendapatkan kesimpulan demikian, Kek?" tanya Dewa Arak ingin tahu seraya terus berlari cepat.
"Bulan purnama sudah berlalu dua hari yang lalu, Dewa Arak," sahut Gambala. "Sedangkan jamur itu sudah bisa dimakan, sehari setelah bulan purnama."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda menyetujui. Setelah itu mereka meneruskan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Keempat orang itu sama sekali tidak menyadari kalau ada seorang gadis berpakaian putih yang mengikuti perjalanan mereka.
Gadis berpakaian putih itu adalah Melati. Selama berhari-hari gadis berpakaian putih itu mengelilingi seluruh Gunung Palanjar. Baru pada hari ini dia melihat adanya empat orang yang bergerak cepat mendaki lereng.
Meskipun jaraknya masih cukup jauh, tapi karena ciri-ciri Dewa Arak amat menyolok, Melati segera mengenalinya. Rasa gembira bercampur marah pun melanda hatinya. Gembira karena akhirnya menemukan pemuda yang telah susah payah dicari-carinya. Marah, karena mengingat begitu besarnya pembelaan Arya pada gadis berpakaian jingga itu. Marah yang sebenarnya adalah rasa cemburu.
Melati mengerutkan alisnya melihat Dewa Arak ternyata berlari berdampingan dengan seorang kakek bermata sayu. Rasa heran melanda hati gadis berpakaian putih itu. Bukankah kakek itu yang tempo hari mengeroyok Arya? Mengapa kini mereka berdua tampak akur?
Keheranan Melati semakin bertambah besar begitu melihat gadis yang dicemburuinya, berlari berdampingan dengan pemuda bertubuh tinggi kurus. Keduanya kelihatan mesra sekali. Rupanya Karmila yang haus kasih sayang, timbul juga rasa simpatinya pada Rupangki. Perlahan namun pasti, gadis berpakaian jingga itu akhirnya mampu mengusir bayang-bayang wajah Dewa Arak dari lubuk hatinya. Kini dicobanya mengukir bayangan baru seorang pemuda bernama Rupangki.
"Mengapa jamur itu mempunyai nama demikian aneh, Kek?" tanya Arya lagi yang belum juga puas dengan keterangan yang diberikan Gambala.
"Jamur Sisik Naga maksudmu. Dewa Arak?" tanya kakek bermata sayu itu. Mulutnya menyunggingkan senyuman. Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepalanya.
"Aku sendiri tidak tahu pasti, Dewa Arak," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan. "Mungkin karena gua tempat tanamam itu tumbuh yang bernama Gua Naga. Atau..., mungkin juga karena warna jamur itu sendiri."
"Memangnya warna jamur itu bagaimana, Kek?" desak Dewa Arak penasaran.
"Aku sendiri belum pernah melihatnya, Dewa Arak. Tapi..., menurut cerita yang kudengar, jamur itu berwarna hijau dan bersisik seperti ular. Aku juga heran, kenapa jamur itu tidak diberi nama Jamur Sisik Ular?!"
Dewa Arak tersenyum lebar mendengar guyonan kakek bermata sayu itu. Rupanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu bisa juga melucu, ucap pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati.
"Sekarang kau yang jadi penunjuk jalan, Karmila," ucap Arya sambil menoleh ke arah Karmila.
Sebelum dia dan Gambala tiba di tempat yang entah mengapa tiba-tiba muncul dan membuat gadis itu kebingungan "Heh...?! Ada apa, Dewa Arak ?" tanya kakek bermata sayu itu heran. "Aku masih ingat tempat itu, kok?! Dan lagi..., bukankah kau sendiri juga pernah ke sana?"
"Sekarang jalan menuju ke sana telah berubah, Kek," jawab Arya kalem. "Jangankan aku yang baru satu kali kemari. Karmila yang sudah belasan tahun tinggal di sini pun tidak mengetahuinya."
"Jadi..., bagaimana kita ke sana?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu agak bingung.
"Ambil jalan memutar, Kek," Karmila yang menyahuti.
Gambala mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. Dan kini, Karmila dan Rupangki yang berada di depan.
"Kalau begitu.., jangan-jangan Waji dan Dewi Pencabut Nyawa tidak pernah sampai ke sini pula?" gumam Rupangki pelan.
Karmila mengangkat bahunya. Kemudian Arya menyahuti. "Menilik dari keadaannya, aku yakin perubahan tempat ini belum lama terjadi. Mungkin, terjadi sehari sebelum aku tiba di sana. Jadi..., kemungkinan besar Waji dan ibunya telah tiba di sana sebelum perubahan itu terjadi."
"Ah...! Kini aku ingat!" sambut Gambala agak keras sehingga membuat Dewa Arak, Rupangki, dan Karmila terkejut.
"Ingat apa, Kek?"
Ketua Perguruan Pedang Ular itu tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sambil terus melangkahkan kaki, ditatapnya wajah Arya yang berlari di sebelahnya lekat-lekat. "Aku pernah dengar cerita dari almarhum guruku," akhirnya keluar juga jawaban dari mulut kakek bermata sayu itu.
"Mengenai apa, Kek?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Mengenai Jamur Sisik Naga itu," jawab Gambala. "Menurut cerita guruku... apabila tiba waktunya jamur itu tumbuh, jalan menuju ke Gua Naga akan tertutup."
"Jadi..., dengan kata lain benar kalau Jamur Sisik Naga itu telah tumbuh, Kek?"
"Yahhh...! Begitulah kira-kira, Arya. Padahal, semula kukira semua itu hanya dongeng belaka," ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu setengah mengeluh.
Suasana jadi hening, begitu Gambala menghentikan ucapannya. Kini perhatian empat orang itu tertuju pada medan yang harus mereka lalui. Medan yang sulit bukan main. Melalui jalan setapak yang licin dan berjurang terjal. Semak-semak yang rapat dengan tumbuhan berduri, dan masih banyak kesulitan lainnya.
Bagi Dewa Arak dan Gambala, tentu saja medan itu tidak terlalu sulit. Tapi tidak demikian halnya dengan Karmila dan Rupangki. Tingkat ilmu meringankan tubuh mereka jauh di bawah kedua orang itu. Keduanya harus berusaha keras untuk menaklukkan sulitnya medan.
Tak lama kemudian, keempat orang itu pun sudah tiba di tempat Karmila dulu berlatih ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. Keempat orang itu segera bersembunyi begitu mendengar tawa menggelegar dari dalam gua tempat tanggal Kalapati.
"Ha ha ha...!"
Gambala saling pandang dengan Dewa Arak Kedua alis kakek bermata sayu itu nampak berkerut.
"Aneh, suara tawa itu sepertinya..., bukan suara tawa seorang wanita," desah Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan. Gambala mengira yang berada dalam gua itu hanya Dewi Pencabut Nyawa dan Waji.
Dewa Arak mengangguk, pertanda sepaham dengan dugaan Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Apakah suara tawa Waji seperti itu, Rupangki?" tanya Gambala. Kini ucapan itu ditujukan pada muridnya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menggelengkan kepalanya. "Aku yakin itu bukan suara Kakang Waji, Guru," jawab pemuda bertubuh tinggi kurus itu penuh hormat.
"Jangan panggil dia kakang lagi, Rupangki!" tegur kakek bermata sayu itu keras. "Dia sudah tidak kuanggap lagi sebagai murid! Kau mengerti?!"
"Mengerti, Guru."
"Rasanya... aku seperti pernah mendengar suara tawa itu, Kek," selak Dewa Arak setelah termenung beberapa saat. Dahi pemuda berambut putih keperakan itu nampak berkernyit. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ah...! Kau benar, Dewa Arak!" gumam Gambala menyahuti ucapan Dewa Arak "Sepertinya..., aku sudah beberapa kali mendengar suara tawa itu. Tapi aku lupa. Kapan dan di mana aku mendengarnya?"
Dewa Arak terus berpikir keras. Diyakininya kalau tawa itu belum lama didengarnya. Seluruh pikirannya dipusatkan untuk mengingat di mana pemah mendengar suara tawa itu. Tapi....
"Bukankah pemilik tawa itu adalah kakek berkepala botak yang hampir saja membunuhmu, Arya?" tiba-tiba Karmila menyelak.
"Ah...! Kau benar, Karmila!" sentak Dewa Arak. Tubuhnya sampai terjingkat saking kagetnya. Kini pemuda berambut putih keperakan itu teringat pada seorang bertubuh tinggi besar, berkepala botak yang telah membuatnya terluka dan mungkin binasa, kalau saja Melati tidak datang menolongnya.
"Setan Kepala Besi...," desis Gambala dengan raut wajah berubah. Kakek bermata sayu itu kini telah mengenali suara tawa itu. Memang, Ketua Perguruan Pedang Ular itu telah dua kali mendengar suara tawa itu. Pertama kali didengarnya puluhan tahun yang lalu, ketika laki-laki tinggi besar berkepala botak itu mendatangi Perguruan Pedang Ular, dan hampir saja berhasil membunuh Gambala kalau saja tidak muncul Kalapati menolongnya. Dan yang kedua, sewaktu dia bersama si Golok Emas, dan tokoh persilatan lainnya mengeroyok Dewa Arak. (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode Memburu Putri Datuk).
Gambala menatap wajah Dewa Arak lekat-lekat. "Mengapa Setan Kepala Besi bisa ada di sini?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan. Entah bertanya pada siapa. "Lalu..., ke mana perginya Waji dan Dewi Pencabut Nyawa?"
Jawaban bagi pertanyaan Gambala adalah melesatnya tiga sosok tubuh dari dalam gua milik Kalapati.
"Waji...," Karmila mendesis tajam. Sepasang mata bening dan indah milik gadis berwajah cantik bertubuh ramping ini, menatap penuh amarah pada pemuda berbadan lebar dan berpakaian kuning yang baru keluar dari gua.
"Setan Kepala Besi...," Gambala berdesis tak kalah tajam. Wajahnya menampakkan kekagetan yang amat sangat. Sungguh tidak disangkanya kalau Setan Kepala Besi bisa bersama-sama dengan bekas muridnya.
"Wanita berpakaian merah itu mungkin ibu Waji," ucap Rupangki pelan.
"Ya," Gambala menyahuti. "Dialah Dewi Pencabut Nyawa. Sungguh di luar dugaanku kalau mereka bertiga bisa berkumpul di sini...."
Belum juga gema suara ucapan kakek bermata sayu itu lenyap. Karmila sudah melesat keluar dari tempat persembunyiannya.
"Waji! Manusia terkutuk! Sekarang terimalah pembalasanku!"
"Karmila!" seru Rupangki yang sama sekali tidak menduga kenekatan gadis itu. Tapi, seruan pemuda bertubuh tinggi kurus itu terlambat...
Singgg...!
Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan Karmila. Waji terkejut bukan main mendengar bentakan itu. Apalagi begitu melihat sebatang pedang meluncur deras ke arah lehernya. Tapi meskipun begitu, pemuda berbadan lebar itu tidak menjadi gugup. Inilah kesempatan untuk menguji khasiat Jamur Sisik Naga yang telah dimakannya, ucap Waji dalam hati. Pikiran itulah yang membuat pemuda berbadan lebar itu ini segera meloloskan pedangnya. Dan langsung menangkis serangan Karmila.
Wunggg! Tranggg!
Bunga api berpijar, begitu kedua senjata itu beradu. Dan akibatnya, tubuh Karmila yang tengah berada di udara terjengkang ke belakang. Sementara Waji hanya terhuyung dua langkah. Karmila menggertakkan gigi. Gadis berpakaian jingga ini merasakan betapa tangannya yang menggenggam pedang tergetar hebat. Terasa agak pegal-pegal dan kesemutan. Padahal, beberapa hari yang lalu tidak seperti ini. Jelas kalau tenaga dalam pemuda berbadan lebar itu telah meningkat pesat. Dan Karmila tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan karena Jamur Sisik Naga?!
"Hup!"
Angin berkesiur pelan. Sesaat kemudian, di sebelah gadis berpakaian jingga itu telah berdiri Rupangki. "Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya pemuda tinggi kurus itu penuh kekhawatiran.
"Tidak, Rupangki," sahut Karmila seraya tersenyum manis.
"Syukurlah...!" sambut Rupangki gembira.
TUJUH
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya yang besar menatap dua sosok tubuh yang berdiri di sebelah Karmila dan Rupangki.
"Kiranya Dewa Arak dan Gambala!" ucap laki-laki tinggi besar dan berkepala botak itu, keras. "Sungguh kebetulan sekali! Aku baru saja hendak mencari kalian!"
Gambala sama sekali tidak mempedulikan ucapan Setan Kepala Besi. Ditatapnya wajah Waji lekat-lekat. Tapi sungguh di luar dugaan, pemuda berbadan lebar itu ternyata malah balas menatap tak kalah tajam.
"Sungguh tak kusangka kalau kau ternyata bersekongkol dengan Setan Kepala Besi, Waji!" ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan tapi tajam. Ada kegetiran dalam nada suaranya.
"Kau terkejut, Tua Bangka?!" sahut Waji sambil tersenyum sinis. Tak ada nada penghormatan sama sekali baik pada suara, maupun sikapnya kepada bekas gurunya.
"Keparat!" maki Gambala keras. Sudah dapat dipastikan kalau kakek bermata sayu ini akan menyerang bekas muridnya. Tapi sebelum itu terjadi, sebuah tangan kekar telah menyentuh bahunya. Perlahan saja. Gambala menoleh. Orang yang menyentuhnya adalah Dewa Arak.
"Biarkan Karmila yang menyelesaikannya, Kek," ucap Arya mengingatkan. "Kita sudah mempunyai lawan."
Ketua Perguruan Pedang Ular itu menghembuskan napas berat Diam-diam Gambala bersyukur ketika Dewa Arak mengingatkannya. Memang, Karmila lebih berhak membunuh Waji.
"Karmila..., kau selesaikan urusanmu. Biar aku dan Kakek Gambala yang menghadap! dua iblis itu," ucap Arya pada Karmila.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak menghampiri Setan Kepala Besi. Sementara Gambala bergerak mendekati Dewi Pencabut Nyawa sambil meloloskan pedang lentur yang melilit pinggangnya. Kedua tokoh sesat ini sejak tadi hanya diam saja. Mereka yakin akan mampu mengatasi Dewa Arak dan yang lain-lain karena telah memakan Jamur Sisik Naga. Tenaga dalam mereka kini telah dapat diandalkan untuk memainkan jurus-jurus andalan.
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak melihat Arya menghampirinya. "Kali ini kau tidak akan lolos lagi dari tanganku, Dewa Arak!"
Arya sama sekali tidak menanggapi ucapan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Tenang saja Dewa Arak mengambil guci yang tersampir di punggungnya. Kemudian diangkatnya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu juga ada hawa hangat menyebar di perut pemuda berambut putih keperakan ini. Dan perlahan hawa itu naik ke kepalanya.
"Hup!" Arya kembali menyampirkan gucinya di punggung. Kemudian membentuk posisi kuda-kuda rendah. Sepasang matanya mencorong tajam ke depan. Kaki kiri Dewa Arak ditekuk ke belakang, sementara kaki kanan menjulur ke depan dengan bertumpu pada ujung kaki. Kedua sikutnya yang tertekuk, diangkat ke kiri kanan kepala. Jari telunjuk mengacung ke bawah. Sementara ibu jarinya yang terjulur ke depan, menempel di pertengahan jari telunjuk. Sedangkan jari-jari yang lain mengepal.
Sekujur tangan mulai dari pangkal sampai pergelangan, mengejang dan tampak bergetar. Pertanda telah dialiri tenaga dalam tinggi. Inilah pembukaan ilmu 'Belalang Sakti'. Kemudian beberapa saat tubuh Dewa Arak berkelojotan, seperti orang demam. Seluruh tubuh Arya mulai dari pinggang ke atas bergoyang-goyang. Bahkan kedudukan kakinya pun oleng! Inilah pembukaan jurus 'Belalang Mabuk'!
"Hiyaaa...!" Seraya berteriak keras melengking nyaring, Dewa Arak menerjang Setan Kepala Besi. Kedua tangannya yang mengejang bergerak-gerak aneh, menyerang beruntun ke arah ulu hati dan leher!
Wuttt!
Suara hembusan angin keras mengiringi tibanya serangan Dewa Arak. Tapi Setan Kepala Besi hanya mengeluarkan suara dengusan mengejek Laki-laki tinggi besar berkepala botak ini memang yakin betul akan kekuatan tenaga dalamnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dipapaknya serangan Dewa Arak Tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu adalah lawan tangguh, Setan Kepala Besi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. "Hih!"
Plak, plak plak!
Terdengar suara keras berkali-kali, begitu kedua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya hebat bukan main! Tubuh Dewa Arak terlempar ke belakang. Sementara Setan Kepala Besi hanya terhuyung-huyung dua langkah.
Arya terkejut bukan main menyadari hal ini. Sama sekali di luar dugaannya kalau tenaga dalam lawan bisa sekuat ini. Sekujur tangannya dirasakan sakit bukan main. Bahkan isi dadanya pun terguncang hebat. Jelas, kalau tenaga dalam laki-laki tinggi besar berkepala botak itu lebih kuat darinya.
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergerak melihat keunggulannya. Kini dia benar-benar yakin pada khasiat Jamur Sisik Naga yang telah dimakannya. Walaupun baru sekali ini bentrok tenaga dalam dengan Dewa Arak, laki-laki tinggi besar berkepala botak ini tahu kalau sebelum memakan jamur ajaib, tenaga dalamnya masih setingkat dengan Dewa Arak. Setelah puas tertawa bergelak Setan Kepala Besi segera menerjang Dewa Arak. Kaki kanannya menendang lurus ke arah dada Arya.
Wuttt!
Walaupun Arya masih terhuyung-huyung, tapi berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tidak sulit mematahkan serangan itu. Segera dilangkahkan kakinya ke kanan sambil mendoyongkan tubuh, sehingga tendangan itu lewat di samping kiri pinggangnya.
Setan Kepala Besi mendengus seraya melancarkan serangan susulan. Telapak kaki kirinya segera diputar tanpa berpindah tempat Kemudian kaki kanannya mengirimkan tendangan miring ke arah kepala. Lagi-lagi dengan keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelak. Dan sekali pemuda ini melangkah mengelak, seketika itu juga sudah berbalik mengancam lawan. Tak lama kemudian, kedua tokoh berkepandaian tinggi ini sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
Dewa Arak menggertakkan gigi. Setan Kepala Besi ternyata memang memiliki kepandaian luar biasa. Ilmu 'Tendangan Angin Topan dan Badai' yang menjadi andalan tokoh sesat itu, benar-benar membuat Arya kewalahan. Beberapa kali sewaktu tangan atau kaki mereka berbenturan, Dewa Arak selalu terhuyung-huyung ke belakang. Tenaga dalam Setan Kepala Besi memang lebih unggul daripada Arya.
Tapi untunglah ilmu meringankan tubuh Dewa Arak tidak kalah. Di samping itu Arya masih mempunyai keunggulan lain, yaitu jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Sehingga sedikit banyak jurus ini bisa menutupi keunggulan lawannya. Pertarungan antara Dewa Arak dan Setan Kepala Besi berlangsung cepat. Sehingga dalam waktu singkat, lima belas jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini, belum nampak tanda-tanda ada yang terdesak.
Sementara di arena lainnya, tampak Karmila tengah berjuang keras menaklukkan Waji. Pedang gadis itu telah berkali-kali menyambar tubuh pemuda berbadan lebar itu. Namun sampai sekian jauh, belum ada satu pun yang mengenai sasaran.
Telah lebih lima belas jurus Karmila menyerang kalang kabut. Tapi Waji masih mampu menahannya. Semua ini adalah berkat tenaga dalamnya yang kini sudah meningkat jauh lebih kuat dari tenaga dalam Karmila.
Berlainan dengan keadaan Dewa Arak dan Karmila yang masih mampu mengimbangi lawan, Gambala berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Lawan yang dihadapi Ketua Perguruan Pedang Ular ini adalah Dewi Pencabut Nyawa! Seorang tokoh sesat yang berkepandaian tinggi dan bertenaga dalam kuat. Apalagi setelah memakan beberapa buah Jamur Sisik Naga. Tenaga dalamnya jadi berlipat ganda.
Gambala menggertakkan gigi. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk mendesak lawan. Tapi tetap saja kakek bermata sayu ini tidak berhasil. Gambala memang kalah segala-galanya dibanding Dewi Pencabut Nyawa Kalah tenaga dalam dan juga dalam hal ilmu meringankan tubuh. Menginjak jurus ke lima puluh, Ketua Perguruan Pedang Ular itu mulai terdesak Cambuk berujung tiga milik wanita berpakaian merah menyala itu membuatnya repot bukan main.
Rupangki mengawasi semua pertarungan itu dengan hati berdebar tegang. Apalagi ketika melihat Dewa Arak Gambala, dan Karmila berkali-kali dibuat terhuyung-huyung. Terutama yang paling sering terhuyung adalah Gambala. Sampai suatu saat...
Ctarrr! Rrrttt!
"Alih!" Gambala memekik kaget ketika pedang lenturnya, tahu-tahu sudah terlilit cambuk berujung tiga milik lawannya. Kakek bermata sayu ini sama sekali tak menduga kalau Dewi Pencabut Nyawa bisa berbuat demikian. Pedang bagi Gambala adalah nyawa keduanya. Oleh karena itu segera saja tenaga dalamnya dikerahkan untuk membebaskan pedang dari belitan cambuk.
Dewi Pencabut Nyawa tentu saja tidak mau membiarkannya. Dia pun balas menarik. Sehingga untuk beberapa saat lamanya terjadi adu tenaga dalam yang menegangkan.
"Uh... uh...!" Wajah Gambala merah padam ketika mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menarik pedangnya. Tapi karena tenaganya memang kalah kuat, perlahan namun pasti tubuh Ketua Perguruan Pedang Ular itu mulai condong ke depan. Terbawa tarikan tenaga Dewi Pencabut Nyawa.
Dewi Pencabut Nyawa menggeram murka. Meskipun sedikit demi sedikit berhasil memenangkan adu tarik-menarik, namun wanita berpakaian merah menyala ini tetap tidak puas. Dia sudah tidak sabar lagi menunggu. Cara apa pun akan digunakan untuk mempercepat kemenangannya.
"Cuhhh...!" Tiba-tiba saja Dewi Pencabut Nyawa menyemburkan ludahnya ke wajah Gambala. Tentu saja bukan sembarangan ludah. Tapi ludah yang dilepaskan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ludah itu pun melesat cepat seraya mengeluarkan desingan nyaring. Jangankan kulit manusia. Tembok batu pun akan berlubang bila terkena semburan ludah itu.
Gambala yang sama sekali tidak menduga serangan itu menjadi terkejut. Meskipun dalam keadaan terjepit kakek bermata sayu ini membuktikan kalau dirinya adalah seorang ketua perguruan silat besar. Cepat-cepat kepalanya diegoskan ke karian, sehingga serangan ludah itu lewat setengah jengkal dari wajahnya.
Meskipun begitu, semburan ludah tadi membuat perhatian Gambala jadi terpecah. Dan hal itulah yang diinginkan Dewi Pencabut Nyawa! Tanpa membuang-buang waktu lagi, cambuknya dihentakkan. Ketua Perguruan Pedang Ular yang sama sekali tidak menduga hal itu, tidak sempat berbuat apa-apa. Tubuhnya kontan tertarik ke depan. Dan di saat itulah kaki kanan wanita sesat itu menendang lurus ke perut Gambala.
Bukkk!
"Hugh!" Telak dan keras sekali tendangan Dewi Pencabut Nyawa menghantam perut Gambala. Seketika tubuh kakek itu terjengkang ke belakang. Terdengar keluhan pelan dari mulutnya. Bahkan ada cairan merah menitik di sudut-sudut mulutnya. Gambala terluka dalam!
Dewi Pencabut Nyawa memang sudah bertekad untuk menghabisi lawannya. Oleh karena itu segera saja wanita sesat ini menerjang hendak melancarkan serangan terakhir yang mematikan. Tapi tiba-tiba....
"Tahan! Dewi Pencabut Nyawa...!"
Wanita berpakaian merah itu menghentikan serangannya begitu mendengar bentakan keras mengandung tenaga dalam tinggi. Segera kepalanya ditolehkan, ke arah bentakan tadi berasal. Sekitar beberapa tombak di hadapan Dewi Pencabut Nyawa, berdiri seorang gadis cantik jelita berpakaian putih. Rambutnya yang hitam dan panjang dibiarkan tergerai dipermainkan angin. Menambah kecantikannya.
"Kau...?!" desis Dewi Pencabut Nyawa begitu mengenali orang yang mengeluarkan bentakan itu. "Kali ini kau tidak akan kubiarkan lolos!"
Gadis yang sebenarnya adalah Melati itu, tersenyum. Manis sekali senyumnya. Apalagi bila Arya yang melihatnya. "Kita lanjutkan pertarungan kita yang tertunda, Dewi Culas!" ejek Melati. Gadis berpakaian putih Ini mempunyai watak aneh. Mudah marah dan mudah meminta maaf, tapi juga... suka mengejek!
"Kubunuh kau, Gadis Liar!" teriak Dewi Pencabut Nyawa. Wanita sesat ini memang mempunyai sifat pemarah. Ejekan Melati tadi membuatnya kalap bukan kepalang.
Ctarrr!
Cambuk berujung tiga di tangannya dilecutkan ke udara. Lalu menyambar deras ke berbagai bagian yang berbahaya di tubuh Melati. Tapi, gadis berpakaian putih ini segera melempar tubuhnya ke belakang sambil tersenyum mengejek. Bersalto beberapa kali di udara. Dan ketika Melati mendarat, di tangannya tergenggam sebilah pedang pusaka.
Terdengar suara menggerung seperti ada seekor naga yang tengah murka ketika Melati memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Gadis berpakaian putih ini langsung menerjang Dewi Pencabut Nyawa dengan sabetan-sabetan pedang yang mematikan. Sesaat kemudian kedua wanita sakti ini sudah terlibat dalam pertarungan sengit dan imbang.
* * * * * * * *
DELAPAN
"Karmila...!" Rupangki berseru keras ketika gadis itu terhuyung ke belakang sambil menekap wajahnya. Pengalaman yang dulu terulang kembali pada Karmila. Waji kembali menggunakan abu untuk membuat sepasang mata gadis itu tak berdaya. Dan selagi Karmila melangkah mundur sambil menekap wajahnya, Waji melompat tinggi ke udara. Dan dari atas, pedangnya membabat ke arah leher putri Kalapati itu.
"Hiyaaa...!"
Singgg! Singgg!
Kalap melihat keselamatan kekasihnya, tanpa pikir panjang lagi Rupangki segera melemparkan beberapa pisau terbang ke arah bekas kakak seperguruannya itu. Tidak hanya itu saja, pemuda bertubuh tinggi kurus ini pun menyusul tubuh Waji yang tengah berada di udara. Pedang di tangannya ditusukkan ke depan.
Waji terkejut bukan main melihat serangan beruntun ini. Padahal saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Dengan agak gugup disampoknya pisau terbang itu dengan sabetan pedangnya. Serangan pada Karmila terpaksa dibatalkan.
Trang, trang!
Pisau-pisau terbang itu terpental balik begitu tertangkis pedang Waji. Tapi sebelum pemuda berbadan lebar ini sempat menjejak tanah, serangan Rupangki telah tiba.
Cappp!
"Akh...!" Waji menjerit tertahan ketika pedang Rupangki menghunjam pangkal lengannya. Seketika itu juga pedangnya terlepas dari pegangan. Tubuh pemuda berbadan lebar itu meluncur deras ke tanah, dan hinggap dengan agak terhuyung-huyung. Dan saat itulah Karmila yang sudah bisa melihat lagi, menusukkan pedangnya ke arah perut.
"Aaakh...!" Waji menjerit memilukan begitu pedang Karmila bersarang di perutnya hingga tembus ke punggung. Seketika itu juga tubuhnya ambruk ke tanah. Berkelojotan beberapa saat. Dan kemudian diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
"Karmila...!" Rupangki berlari menghambur ke arah gadis berpakaian jingga itu. "Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda tinggi kurus itu. Sepasang matanya menatap putri Kalapati penuh kekhawatiran. Karmila menggeleng pelan. Bibirnya yang semerah delima tersenyum.
"Ah, syukurlah...," desah Rupangki seraya memeluk gadis berpakaian jingga itu erat-erat. Karmila membiarkan saja pemuda tinggi kurus itu memeluknya. Gadis itu merasa aman berada dalam pelukan pemuda itu.
"Ehm... ehm...," suara mendehem yang keluar dari mulut Gambala menyadarkan kedua muda-mudi ini dari keasyikannya. Seketika itu juga keduanya saling melepaskan pelukan dengan wajah merah padam. Terutama sekali Karmila. Betapa bodohnya! maki kedua muda-mudi itu dalam hati. Mengapa mereka sampai melupakan orang-orang yang berada di sekitar situ?
Dengan pandangan malu-malu, Rupangki dan Karmila menatap Gambala. Tapi kakek bermata sayu itu rupanya kembali sibuk memperhatikan jalannya pertarungan. Kini tinggal dua pertarungan lagi yang tersisa. Pertarungan antara Melati menghadapi Dewi Pencabut Nyawa, dan antara Dewa Arak dengan Setan Kepala Besi.
Melati mengerutkan alisnya. Gadis berpakaian putih ini merasa heran begitu menyadari kalau tenaga dalam lawan meningkat jauh lebih kuat. Kini tenaga dalam Dewi Pencabut Nyawa sudah berimbang dengan tenaga dalamnya! Melati rupanya sama sekali tidak tahu kalau semua itu adalah khasiat Jamur Sisik Naga!
Pertarungan antara kedua wanita sakti itu berlangsung cepat. Seratus jurus telah berlalu. Dan selama itu pertarungan masih berlangsung imbang. Tingkat kepandaian Melati dan Dewi Pencabut Nyawa memang berimbang. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam. Sehingga tidak aneh kalau pertarungan antara kedua orang itu berlangsung seru.
Suara ledakan yang berasal dari lecutan cambuk, dan suara menggerung keras seperti naga murka dari gerakan pedang Melati, menyemaraki jalannya pertarungan itu. Dewi Pencabut Nyawa menggerung murka.
"Hiyaaa...!" Sambil mengeluarkan lengkingan nyaring, wanita berpakaian merah menyala itu melompat ke atas. Dan dari atas, ujung cambuk perempuan sesat itu menyambar deras ke pelipis, ubun-ubun, dan bawah hidung. Tiga jalan darah kematian.
"Hih!" Melati menggertakkan gigi. Pedang di tangannya kembali mengeluarkan suara menggerung, seperti seekor naga marah.
Prat! Rrrt....!
Seketika itu juga tiga buah ujung cambuk itu melilit mata pedang Melati. Gadis berpakaian putih ini cepat-cepat membetotnya. Terdengar pekikan lirih dari mulut Dewi Pencabut Nyawa, begitu tubuhnya yang masih berada di udara tertarik turun. Tapi wanita sesat ini tidak gugup. Bersamaan dengan tubuhnya turun, kaki wanita berpakaian merah menyala ini dijejakkan ke dada Melati.
Pada saat yang bersamaan, cakar kiri yang berwarna kemerahan menyambar ke dada Dewi Pencabut Nyawa yang meluncur turun. Dewi Pencabut Nyawa tersenyum lebar. Dalam hatinya berkata, sebelum cakar gadis berpakaian putih itu mengenai dadanya, tentu jejakan kakinya akan lebih dulu mendarat di dada Melati.
Sungguh di luar dugaan Dewi Pencabut Nyawa. Tangan Melati tiba-tiba memanjang, hampir dua kali lipat semula. Wanita sesat ini sama sekali tidak tahu kalau Melati menggunakan jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'. Maka....
Desss!
"Akh...!" Dewi Pencabut Nyawa terpental tinggi ke atas. Seketika itu juga cambuknya terlepas. Darah segar bermuncratan dari mulut, hidung, dan telinga wanita berpakaian merah menyala ini.
Bruk! Tubuh Dewi Pencabut Nyawa roboh di tanah tanpa bergerak lagi. Ilmu 'Cakar Naga Merah' memang dahsyat! Sekali terkena lawan akan berakibat fatal!
Melati memandangi tubuh yang telah tidak bernyawa lagi itu sejenak Kemudian pandangannya dialihkan pada pertarungan antara Dewa Arak melawan Setan Kepala Besi.
* * * * * * * *
Pertarungan antara Dewa Arak melawan Setan Kepala Besi sudah berlangsung lebih dari dua ratus jurus. Sungguhpun sebenarnya Arya kalah dalam hal tenaga dalam, tapi Dewa Arak masih memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Jurus yang membuat pemuda itu mampu bergerak cepat dalam posisi apa pun.
Napas Setan Kepala Besi sudah memburu. Usia laki-laki tinggi besar ini memang cukup tua, sehingga tidak mengherankan kalau tenaganya cepat terkuras habis. Apalagi jurus yang dimainkannya adalah jurus 'Tendangan Angin Topan dan Badai'. Jurus yang sangat banyak menguras tenaga. Kagum juga hati tokoh sesat ini, begitu melihat lawannya sedikit pun tidak terlihat lelah. Bahkan serangan-serangan pemuda berambut putih keperakan itu masih sedahsyat semula. Bukan hanya Setan Kepala Besi saja yang merasa kagum.
Dewa Arak pun dilanda perasaan yang sama. Baru sekali ini ditemuinya tokoh yang sanggup memecahkan keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Meskipun tadi Dewa Arak selalu dapat mengelakkan serangan, tapi Setan Kepala Besi dapat membaca ke mana arah elakan Dewa Arak. Hal inilah yang membuat pertarungan kedua tokoh sakti ini berlangsung lama.
Tiba-tiba Setan Kepala Besi melempar tubuh ke belakang. Setelah bersalto beberapa kali di udara, tubuhnya hinggap beberapa tombak menjauhi lawan. Dewa Arak sama sekali tidak mengejarnya. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau lawan akan mengeluarkan ilmu lain. Dan tak terasa jantung Dewa Arak berdebar tegang. Sudah bisa diperkirakan kalau ilmu yang akan dikeluarkan kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya.
"Kau memang hebat, Dewa Arak! Tapi..., jaga seranganku ini!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Setan Kepala Besi berlari kencang sambil menjulurkan kepalanya. Rupanya laki-laki tinggi besar berkepala botak ini menyeruduk dengan menggunakan kepalanya. Seperti layaknya kerbau atau banteng!
Wusss! Angin berhembus keras sebelum serudukan kepala Setan Kepala Besi tiba. Dewa Arak kaget bukan kepalang melihat jurus aneh lawannya ini. Ada pengaruh aneh yang membuat Arya sukar untuk mengelakkan serangan itu. Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali menangkisnya.
"Hiyaaa...!" Untuk pertama kalinya Dewa Arak berteriak keras dalam upaya mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya. Luar biasa akibat teriakan pemuda itu. Rupangki dan Karmila seketika jatuh terduduk. Lutut mereka seketika terasa lemas. Bahkan tubuh Gambala sampai menggigil.
Dan sebelum gema teriakan itu habis, dengan kecepatan sukar diikuti mata, tangan Dewa Arak menjumput guci arak di punggungnya. Bersamaan dengan itu seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk memberatkan tubuh. Inilah ilmu 'Pasak Bumi' yang membuat kedua kaki Dewa Arak seperti berakar di tanah.
Rambut dan seluruh pakaian Dewa Arak berkibaran keras. Batu-batu besar kecil beterbangan, dan debu pun mengepul tinggi ke udara. Keadaan di tempat itu seperti dilanda angin topan ketika serudukan Setan Kepala Besi itu mendekat.
"Hih!"
Klanggg!
Terdengar suara berdentang memekakkan telinga, ketika Dewa Arak menangkis serudukan kepala lawan dengan guci araknya. Hebat akibatnya! Tubuh Dewa Arak terseret lima tombak dari tempat semula. Gucinya terpental entah ke mana karena sekujur kedua tangannya kontan seperti lumpuh! Bahkan isi dadanya terguncang keras. Tapi anehnya, kedua kakinya tetap tidak terlepas dari tanah. Inilah kehebatan ilmu 'Pasak Bumi'.
Sementara keadaan Setan Kepala Besi tidak lebih baik dari Dewa Arak. Kali ini laki-laki tinggi besar itu kena batunya. Kepalanya memang kebal, tapi yang kali ini dibenturnya bukan benda main-main. Sebuah guci pusaka! Kepalanya pun dirasakan pening bukan main. Setan Kepala Besi sadar kalau kekebalan kepalanya kemungkinan telah lenyap akibat benturan ini. Dan ini belum pernah dialaminya. Sekalipun menghadapi Kalapati.
Tak terasa dalam hati Setan Kepala Besi timbul perasaan sayang, kalau seorang pemuda yang memiliki tingkat kepandaian seperti Dewa Arak ini harus mati di tangannya. Terlebih lagi dia pun sadar kalau Dewa Arak belum tentu bisa dikalahkannya. Setan Kepala Besi ini memang tidak terhitung tokoh sesat yang terlalu jahat. Tidak sama sekali. Bahkan bila dibanding Kalapati, masih lebih jahat ayah Karmila daripada Setan Kepala Besi. Maka sambil menahan rasa pusing dan sakit yang amat sangat pada kepalanya, Setan Kepala Besi menghampiri Dewa Arak.
"Aku mengaku kalah, Dewa Arak!"
"Kau tidak kalah olehku," Setan Kepala Besi. Malah aku harus kagum pada kekebalan kepalamu yang sangat keras itu," jawab Arya jujur. Karena dia pun merasakan sakit yang amat sangat pada kedua tangannya, ketika menahan serudukan kepala Setan Kepala Besi tadi.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Setan Kepala Besi pun segera menghampiri mayat Dewi Pencabut Nyawa dan Waji. Kemudian kedua mayat itu sekaligus dipanggulnya. Lalu segera melesat meninggalkan tempat itu. Melati bergerak ingin mencegahnya. Tapi...
"Biarkan dia pergi, Melati," cegah Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, tak seorang pun di tempat ini yang mampu menandingi kesaktian Setan Kepala Besi. Dewa Arak bersyukur ketika tokoh sesat itu tidak berniat memperpanjang urusan lagi.
Gadis berpakaian putih itu pun menghentikan gerakannya. Ditatapnya bayangan Setan Kepala Besi hingga lenyap di kejauhan. "Kau tidak apa-apa, Kang Arya?" tanya Melati sambil berlari menghambur ke arah Dewa Arak.
Arya menggelengkan kepalanya. Walaupun sebenarnya ada rasa sakit yang mendera kedua tangan dan dadanya, tapi Dewa Arak tidak ingin memperlihatkan kepada tunangannya. Dihampirinya guci arak yang tergeletak agak jauh dari tempat pemuda Itu berdiri.
"Kami pergi dulu, Kek," pamit Arya pada Gambala setelah menyampirkan guci arak di punggungnya. Beberapa saat kemudian pemuda berambut putih keperakan itu sudah bergerak melesat dari situ bersama Melati.
"Tunggu dulu, Dewa Arak!" cegah Gambala.
"Ada apa, Kek?" Arya menghentikan langkahnya.
"Bulan purnama depan, aku mengundangmu datang ke Perguruan Pedang Ular."
"Memangnya ada apa, Kek?" kali ini Melati yang bertanya.
Gambala tidak langsung menjawab. Ekor matanya melirik ke arah Rupangki dan Karmila. "Pernikahan Rupangki dan Karmila!" jawab kakek bermata sayu itu seraya tertawa bergelak.
Karuan saja wajah Rupangki dan Karmila jadi merah padam. Rupangki hanya bisa tersenyum bingung. Walaupun sebenarnya hati pemuda ini gembira sekali. Sementara Karmila hanya menundukkan kepalanya saja. Dewa Arak dan Melati tersenyum lebar melihat tingkah kedua muda-mudi itu.
"Kami pasti datang, Kek," sahut Arya. Dan sebelum Gambala berkata lagi, tubuh pemuda berbaju ungu itu telah berkelebat dari situ.
Gambala hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. "Mari kita kembali ke perguruan!" ajak kakek bermata sayu itu pada Rupangki dan Karmila. Sesaat kemudian ketiga orang itu berkelebat menuruni lereng Gunung Palanjar.
* * * * * * * *
Setelah cukup jauh dari tempat Gambala, Arya menghentikan ayunan kakinya. Tentu saja Melati pun menghentikan langkah. "Kau tidak marah lagi, Melati?" goda Arya sambil memegang jari-jemari gadis berpakaian putih itu.
Melati hanya menggelengkan kepalanya. Sementara sepasang matanya yang bening dan indah itu merayapi wajah tampan yang berdiri di hadapannya. Arya menelan ludah melihat wajah cantik yang berada di hadapannya. Dirayapi wajah gadis berpakaian putih itu dengan sorot mata penuh kasih sayang.
"Melati...," panggil Arya. Suaranya agak serak.
"Hm...," gumam gadis berpakaian putih itu manja.
"Nggg..., aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Melati...," ujar Arya terbata-bata. Jari-jari tangannya meremas-remas jemari Melati yang lentik dan halus.
"Katakanlah, Kang," sahut Melati memberi angin.
"Kau..., kau janji tidak akan marah...?"
"Mengapa harus marah, Kang?" Melati balas bertanya.
"Betul?" tanya Arya masih kurang yakin.
"Betul," Melati menganggukkan kepalanya. "Katakanlah, Kang."
"Nggg...," Arya mengangguk-anggukkan kepalanya yang tidak gatal. "Aku ingin... ingin...."
"Katakan cepat, Kang," selak Melati tak sabar. "Aku jadi sakit perut nih, gara-gara kelakuanmu itu."
"Aku ingin..., tapi kau janji tidak akan marah, kan?"
Melati menghentak-hentakkan kakinya kesal. "Kalau kau begitu terus, aku akan marah!" gertak gadis itu kesal. Rupanya gadis itu sudah tak sabar menunggu ucapan yang tidak kunjung keluar dari mulut Dewa Arak.
"Baiklah, Melati," sambut Arya menguatkan hati. "Aku ingin... ingin menciummu, Melati."
Hampir meledak tawa gadis berpakaian putih itu mendengar ucapan Arya. Hanya ingin mengucapkan kata seperti itu saja, telah membuatnya sakit perut.
"Bagaimana, Melati? Boleh?" tanya Arya dengan harap-harap cemas begitu melihat gadis itu diam tak menjawab.
Bukannya menjawab, Melati malah memejamkan kelopak matanya. Sesaat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini kebingungan, sebelum akhirnya mengerti. Rupanya bagi wanita menyatakan persetujuannya tidak perlu dengan mengucapkan 'iya' atau menganggukkan kepala. Diam saja pun telah berarti setuju.
Perlahan tangan Arya berpindah ke kuduk Melati. Dan dengan perlahan pula ditariknya wajah itu mendekat. Pemuda berambut putih keperakan itu menelan ludahnya tatkala mencium keharuman khas seorang gadis. Dengan agak gemetar, dikecupnya bibir gadis itu. Melati pun balas melingkarkan tangannya di leher Arya. Dan dibalasnya ciuman pemuda berambut putih keperakan itu tak kalah hangat.
Beberapa saat lamanya mereka berdiri berpelukan dan saling berciuman. Tak mereka sadari, matahari telah condong ke Barat. Dan kegelapan pun perlahan mulai turun menyelimuti bumi. Tak lama lagi rembulan akan menjelang, menggantikan tugas matahari yang sudah seharian penuh menyinari bumi.
Dan dalam suasana yang mulai gelap itu, nampak dua sosok tubuh berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Tangan mereka bergandengan Kedua sosok tubuh itu tak lain adalah Dewa Arak dan Melati, yang akan terus melanjutkan perjalanan untuk memenuhi tugas mereka sebagai pendekar pembela kebenaran...
Selanjutnya, Peninggalan Iblis Hitam |