SATU
Kepak sayap kelelawar, kukuk burung hantu, kerik suara jangkrik, dan serangga malam lainnya menguak keheningan malam sepi yang hanya disirami sinar bulan sepotong di langit.
Malam itu langit memang terlihat agak kelam. bulan sabit disaput awan kelabu yang tipis. Tapi sinar sang dewi malam tidak mampu menembus awan, sehingga cahayanya tertahan. Dan, suasana di bumi pun menjadi remang-remang.
Dalam suasana malam seperti itu, di sebuah tanah lapang luas di dalam Hutan Jambak, banyak sekali orang berkumpul. Ditilik dari dandanan dan gerak-geriknya, mereka adalah tokoh-tokoh persilatan aliran hitam.
Jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh orang, dan membentuk lingkaran luas mengelilingi tanah lapang yang di tengahnya terdapat gundukan batu setinggi setengah tombak. Bentuknya lebar dan pipih. Sebatang tongkat berujung tengkorak kepala manusia terhunjam di atasnya.
Mendadak terdengar lolongan serigala mengaung panjang. Seketika semua kepala tokoh-tokoh persilatan yang hadir di situ tertunduk. Mereka tahu suara lolongan itu tanda akan hadirnya tokoh yang mereka nanti-nantikan, Raja Tengkorak!
Benar saja! Begitu lolongan serigala itu lenyap, dua sosok bayangan melesat di atas kepala tokoh tokoh persilatan yang berdiri di situ. Dengan gerakan indah dan manis, dua sosok bayangan berwarna kuning dan hitam bersalto di udara. Kemudian mereka mendarat di atas gundukan batu lebar dan tipis.
"Angkat kepala kalian semua...!" seru sosok tubuh berpakaian hitam yang mengenakan seragam tengkorak. Dialah Raja Tengkorak! Sementara sosok tubuh berpakaian kuning adalah Turgawa!
Serentak kepala tokoh-tokoh persilatan yang hadir di situ tertengadah. Agak terperanjat hati mereka melihat orang lain di sebelah pimpinan mereka.
"Kalian lihat orang yang berada di sisiku ini?" tanya Raja Tengkorak dengan suara khasnya yang peIan, berat, tapi bergaung.
Bagai diberi aba-aba semua kepala tokoh persilatan yang ada di situ terangguk.
"Dia adalah pamanku! Turgawa namanya!"
Kepala tokoh-tokoh persilatan itu terangguk-angguk pertanda mengerti. Suara percakapan yang berisik seperti segerombolan lebah yang sarangnya diusik segera terdengar mengaung. Raja Tengkorak mengangkat tangannya. Kontan suara-suara berisik itu lenyap.
"Perlu kalian ketahui, aku merasa gembira sekali. Gembira dan bangga. Usaha-usaha yang telah kita lakukan berhasil dengan baik. Semula kita berhasil melenyapkan Dewa Arak. Lalu, Perguruan Gajah Putih. Semua usaha kita telah berjalan lancar. Dunia persilatan akan berhasil kita kuasai. Tapi sayang..." Laki-laki berseragam tengkorak itu menghentikan ucapannya sejenak.
Para tokoh-tokoh persilatan yang hadir di situ mengernyitkan alisnya ketika mendengar kalimat terakhir dari mulut pemimpin mereka. Nada suaranya menyiratkan penyesalan, bukan kegembiraan. Mereka merasa heran bukan kepalang. Pasti ada sesuatu yang membuat hati Raja Tengkorak tidak senang.
"Orang yang kusangka telah tewas ternyata masih hidup! Dewa Arak belum mati! Inilah yang membuatku menyesal bukan kepalang. Aku terlalu ceroboh. Tapi kecerobohan itu tidak akan kuulangi lagi! Dewa Arak harus mati!"
“Ya! Dia harus dilenyapkan selama-lamanya!" teriak Dulimang keras.
"Betul!" sambut Juriga tak mau kalah.
"Kita sapu bersih semua tokoh aliran putih!" yang lain pun tak mau ketinggalan.
Sebentar saja, suasana di sekitar tempat itu jadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan tokoh persilatan. Tindak-tanduk yang liar, membuat mereka berteriak semaunya. Tapi suara-suara teriakan itu kontan lenyap, ketika Raja Tengkorak mengangkat tangannya ke atas.
"Kita memang harus melenyapkan Dewa Arak! Tapi perlu diketahui, mencari Dewa Arak sangat sulit karena, pendekar keparat itu tidak mempunyai tempat tinggal tetap! Jadi, rencana melenyapkan Dewa Arak harus kita tangguhkan dulu!"
Raja Tengkorak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Rupanya dia terlalu berapiapi dalam berbicara, hingga napasnya jadi memburu dan agak tersengal-sengal.
"Meskipun begitu," sambung Raja Tengkorak. "Bukan berarti aku akan menyepelekannya begitu saja! Usaha untuk melenyapkan Dewa Arak tetap diteruskan. Akan kutunjuk beberapa orang di antara kalian untuk mencari jejak pendekar itu. Baru setelah tempatnya diketahui, kita melenyapkannya!"
"Sekarang apa yang harus kami lakukan, Ketua?!" tanya seorang tokoh persilatan yang mengenakan rompi kulit ular. Tubuhnya terlihat kekar. Tapi, wajahnya layu dan penuh keriput. Di kalangan persilatan, laki-laki ini berjuluk Naga Tua. Dia salah satu tokoh aliran hitam yang cukup terkenal dan disegani.
"Kita serbu Perguruan Banteng Sakti besok malam! Kita hancurkan perguruan itu seperti menghancurkan Perguruan Gajah Putih!" tandas Raja Tengkorak tegas.
"Hidup Raja Tengkorak...!" seru Naga Tua keras sambil mengangkat tangannya ke atas.
"Hidup...!" sambut yang lainnya.
"Kita hancurkan Perguruan Banteng Sakti...!" "Kita cincang Ki Tampar Waja...!"
Dalam sekejap, tempat itu bergemuruh oleh teriakan-teriakan yang keluar dari mulut tokoh-tokoh persilatan itu. Dan seperti sebelumnya, suara itu baru berhenti bila Raja Tengkorak mengangkat tangannya ke atas.
"Beberapa orang di antara kalian, tidak usah ikut dalam penyerbuan ini!" sambung Raja Tengkorak ketika, suara-suara riuh rendah itu berhenti. "Karena mereka akan kutugaskan untuk mencari jejak Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berseragam tengkorak itu mengedarkan pandangan berkeliling. Sepasang matanya yang mencorong tajam dan berwarna kehijauan menatap satu persatu wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Di dalam sorot matanya, tampak dia sedang menilai orang-orang yang cocok mengemban tugas mencari jejak Dewa Arak!
Cukup lama juga Raja Tengkorak menatap dan mengamati wajah-wajah pengikutnya. Kemudian ditunjuknya beberapa orang untuk mengemban tugas mencari jejak Dewa Arak! Di antara mereka yang terpilih adalah Dulimang dan Naga Tua.
"Kurasa pertemuan kita cukup sampai di sini.
Ingat. Besok, sebelum malam tiba, kita sudah berada di Desa Jarak." Belum habis gema suaranya, Raja Tengkorak sudah menggenjotkan kakinya. Seketika itu pula tubuhnya melesat ke atas, melewati kepala tokoh-tokoh persilatan. Berbareng dengan itu, Turgawa pun menjejakkan kakinya pula. Sesaat kemudian kedua tubuh itu lenyap ditelan kegelapan malam dan kerimbunan pepohonan.
Suasana kontan gaduh, setelah Raja Tengkorak dan Turgawa tidak berada lagi di situ. Sambil melangkah meninggalkan tempat itu, tokoh-tokoh persilatan terlibat perbincangan serius. Banyak masalah yang membingungkan benak mereka. Di antaranya adalah Dewa Arak yang berhasil lolos dari kematian!
"Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu, Paman," Raja Tengkorak membuka pembicaraan, ketika telah berada cukup jauh dari tempat pertemuan itu, seraya mereka terus berlari menembus kegelapan malam.
Turgawa tidak langsung menyahuti. Tanpa menghentikan langkah, kepalanya menoleh ke arah laki-laki berseragam tengkorak itu. "Katakanlah, Sengkala," ucap Turgawa pelan.
"Aku merasa heran dengan kejadian tadi pagi, Paman," Raja Tengkorak mulai mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Hm...," Turgawa bergumam tak jelas.
"Aku tidak menyangka kalau lawanku, pembunuh ayah dan ibuku ternyata memiliki ilmu yang serupa denganku. Dia memiliki 'llmu Baju Ular Emas', bahkan dengan tingkat yang tidak kalah denganku!"
Turgawa terdiam. Meskipun begitu gerakan kakinya tidak dia hentikan. Sepasang kakinya terus sajamelangkah. Raja Tengkorak yang berjalan di sisinya, terpaksa diam dan menunggu jawaban.
"Hhh...!" Setelah cukup lama laki-laki berseragam tengkorak itu menunggu, keluar juga sambutan dari kakek berpakaian kuning. Sekalipun hanya sebuah helaan napas berat.
Di balik selubungnya, Raja Tengkorak mengernyitkan dahi. Dia merasa heran melihat Turgawa tidak menjawab pertanyaannya. Malah dia menghela napas berat. Seolah-olah pertanyaannya mengganggu hat kakek berpakaian kuning itu.
"Sangat berat untuk mengatakannya, Sengkala," akhirnya keluar juga ucapan itu dari mulut Turgawa. "Tapi, aku terpaksa memberitahukan hal yang sebenarnya kepadamu."
Turgawa menghentikan ucapannya sejenak. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.
"Ceritakanlah, Paman," desak Raja Tengkorak tidak sabar. "Sejak kutahu, kedua orang tuaku telah tiada dan dibunuh oleh makhluk biadab yang bernama Kalpa Reksa, aku sudah siap untuk menghadapi kenyataan. Bagaimanapun pahitnya."
"Baiklah. Kalau itu maumu...," Turgawa terpaksa mengalah. "Aku, Kalpa Reksa dan ayahmu adalah saudara seperguruan. Kami bertiga saling kasih-mengasihi sampai akhirnya kami bertemu dengan seorang wanita cantik. Kami bertiga jatuh cinta padanya. Namun yang beruntung mendapat kasih wanita itu adalah ayahmu."
Kakek berpakaian kuning itu kembali menghentikan ceritanya sebentar untuk bernapas.
"Aku menerima kenyataan pahit itu. Tapi tidak demikian halnya dengan Kalpa Reksa. Dia menjadi sakit hati pada wanita itu. Dan juga merasa iri pada ayahmu. Tak tahan memendam perasaan itu, suatu hari dengan cara yang licik, dia berhasil membunuh ayahmu. Kemudian ibumu diperkosa habis-habisan."
Terdengar suara menggeretak keras dari mulut Raja Tengkorak ketika mendengar cerita itu. Tampak jelas kalau dia merasa geram bukan kepalang.
"Untung aku datang di saat yang tepat, ketika Kalpa Reksa hendak membunuhmu. Buru-buru aku menyelamatkan dirimu," sambung Turgawa lagi.
"Hm...!" Raja Tengkorak menggumam pelan untuk menutupi perasaan geram yang berkecamuk di hatinya.
"Kalpa Reksa lalu mengejarku. Malang, aku terkejar. Aku kerahkan seluruh kemampuan yang kumiliki untuk menghadapinya. Dengan sedikit siasat aku berhasil lolos darinya meskipun untuk itu, tanganku harus putus dan kaki kiriku cacat. Begitulah kejadian yang sebenarnya, Sengkala. Niatku hanya satu. Mendidikmu menjadi tokoh sakti yang tak terkalahkan!" tutur Turgawa mengakhiri ceritanya.
"Siapakah ayah dan ibuku, Paman?" tanya Raja Tengkorak dengan suara parau. Jelas, dia merasa terpengaruh dengan cerita kakek berpakaian kuning itu.
"Ayahmu bernama Jagat Nata dan ibumu Nilamsari."
Raja Tengkorak kontan terdiam. Langkah kakinya pun terhenti. Turgawa pun ikut menghentikan langkahnya.
“Bagaimana? Puas?" tanya Turgawa seraya menatap wajah laki-laki berseragam tengkorak itu.
Raja Tengkorak tidak menyahuti pertanyaan itu. Kepalanya ditengadahkan menghadap ke langit. "Kalpa Reksa...! Kalau aku tidak berhasil membunuhmu, akan kubuang nama Sengkala...!"
Keras bukan kepalang suara yang keluar dari mulut laki-laki berseragam tengkorak itu. Suaranya menggema dan mengaung ke seluruh penjuru tempat Itu. Memang, dia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ketika berteriak.
Setelah mengucapkan kata-kata bernada ancaman itu, Raja Tengkorak kembali melangkahkan kaki. Gila! Dalam sekali langkah saja, dua belas tombak telah terlampaui. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, tentu saja telah mencapai tingkatan amat tinggi.
Sambil melangkahkan kakinya, mulut Turgawa menyunggingkan senyuman aneh. Dan sekali mengayunkan kakinya, jarak sebelas tombak telah dicapainya. Sesaat kemudian, Turgawa dan Sengkala berlari cepat meninggalkan tempat itu. Andaikata ada penduduk yang melihat mereka tentu akan mengira ada dua sosok hantu tengah berkejaran. Memang, dua sosok bayangan hitam dan kuning ini berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
* * * * * * * *
DUA
Wunggg, wunggg...!
Suara mengaung keras mengusik keheningan malam yang sepi-senyap. Andaikata suara itu terdengar di dalam hutan, mungkin orang akan menduga berasal dari mulut seekor harimau yang sangat besar.
Tapi suara keras itu bukan berasal dari hutan, melainkan dari halaman luas di hadapan sebuah bangunan yang terkurung pagar kayu bulat tinggi. Di situ terdapat papan lebar, tebal, dan berukir yang terletak di atas pinto gerbang bertuliskan 'Perguruan Banteng Sakti'. Suara keras itu ternyata berasal dari seorang gadis yang tengah berlatih ilmu pedang di perguruan silat itu. Di tangannya tergenggam sebilah pedang.
Cukup lama juga gadis berpakaian putih itu berlatih ilmu pedang. Dan selama berlatih, suara menggerung keras itu senantiasa terdengar, pertanda kalau gerakan itu didukung oleh tenaga dalam tinggi. Karena hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggi saja yang mampu mengeluarkan suara keras dalam setiap pergerakan tangan atau senjatanya. Dari sini sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!" Gadis berpakaian putih itu melentingkan tubuh ke belakang, dan bersalto di udara beberapa kali, kemudian indah sekali kedua kakinya didaratkan di tanah.
Trek!
Setelah memasukkan pedang di punggungnya, gadis berpakaian putih itu mengusap peluh yang membasahi leher dan dahinya dengan sapu tangan.
Plok, plok, plok...!
Terdengar suara tepuk tangan di belakang punggung gadis berpakaian putih itu. Dia segera membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara.
"Luar biasa! Sudah kuduga kalau kau bukan seorang gadis sembarangan, Melati," puji orang yang bertepuk tangan. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Seperangkat pakaian berwarna coklat membungkus tubuhnya yang pendek kekar. Kulit wajahnya agak kemerahan, dihiasi kumis tebal dan hitam.
"Ah! Kau terlalu memuji, Ki," sahut gadis berpakaian putih malu-malu. Yang tidak lain adalah Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Kepandaianku tidak ada artinya bila dibandingkan dengan kepandaianmu," sambung Melati.
"Ha ha ha...!" Laki-laki berkulit kemerahan itu tertawa terbahak-bahak. Sehingga tubuhnya terlihat berguncang. Dia merasa geli mendengar jawaban gadis berpakaian putih itu.
Melati tidak marah bila ucapannya disambut dengan gelak tawa. Dia tahu laki-laki berkulit kemerahan itu tidak bermaksud mengejeknya.
"Mengapa kau berpendapat begitu, Melati?" tanya laki-laki berkulit kemerahan setelah tawanya terhenti.
"Karena kau adalah Ketua Perguruan Banteng Sakti! Siapa yang tak mengenal Ki Tampar Waja. Jangankan ketuanya, murid-muridnya saja disegani kawan dan ditakuti lawan. Mana mungkin kepandaianku yang hanya segini bisa berarti di hadapanmu, Ki?" sambut Melati sambil jempolnya menekan jari kelingking.
"Kau keliru, Melati," ujar laki-laki berkulit kemerahan yang ternyata bernama Ki Tampar Waja, Ketua Perguruan Banteng Sakti, bernada teguran halus. Sepasang matanya menatap tepat pada bola mata gadis berpakaian putih di hadapannya dengan sinar mata sungguh-sungguh.
Terbayang kembali di benak Ketua Perguruan Banteng Sakti, tatkala dia menemukan gadis berpakaian putih itu terapung-apung di laut, di atas sekeping papan dalam keadaan pingsan. Waktu itu laut memang sudah tenang. Dia sendiri tengah berperahu untuk memenuhi kegemarannya memancing ikan. Lalu, gadis itu dibawa dan dirawat di perguruannya.
Melati sama sekali tidak menyelak tutur kata Ki Tampar Waja. Meski dia menghentikan ucapannya sejenak untuk melihat tanggapan gadis berpakaian putih itu.
"Kau tahu, Melati. Di atas dunia ini banyak sekali tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Ada yang memiliki ilmu tinggi, pasti ada yang lebih tinggi. Di atas gunung yang menjulang tinggi, masih ada langit. Dan, di atas langit masih ada langit. Jadi, jangan karena kabar yang tersiar di luaran, kau terpengaruh dan menganggapku memiliki kepandaian paling tinggi," urai Ketua Perguruan Banteng Sakti panjang lebar.
Melati tetap diam. Di dalam hatinya, dia mengakui kebenaran ucapan laki-laki berkulit kemerahan itu. Dia sendiri memang telah memahami tokoh-tokoh persilatan berkepandaian tinggi bersikap seperti itu. Selalu merendah dan tidak pernah takabur dengan ilmu yang dimilikinya.
"Kau pernah mendengar cerita tentang Raja Tengkorak?" sambung Ki Tampar Waja lagi.
Melati menggelengkan kepala. Sepasang matanya menatap lekat-lekat pada laki-laki berkulit kemerahan itu.
"Julukan Raja Tengkorak amat menggemparkan dunia persilatan. Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun, dia merajalela tanpa tandingan. Tapi, toh akhirnya tewas. Malah dilakukan oleh tokoh persilatan, yang sama sekali kurang terkenal. Begitulah berita yang kudengar."
Memang Ki Tampar Waja belum mendengar sama sekali tentang kemunculan Raja Tengkorak bernama Sengkala yang mengacau dunia persilatan. Tokoh sesat yang menggiriskan itu telah membumi-hanguskan Perguruan Gajah Putih. Perguruan ini letaknya terpisah jauh dengan Perguruan Banteng Sakti. Ki Tampar Waja tidak melanjutkan ucapannya. Melati pun tidak menanggapi lagi. Suasana kini jadi terasa hening.
"Kaaak, kaaak, kaaak...!
Suara berkaokan keras memecahkan keheningan suasana yang tercipta. Menilik dari suaranya, jelas kalau suara itu keluar dari mulut burung gagak.
"Aneh...!" gumam Ki Tampar Waja sambil mengernyitkan kening.
"Mengapa, Ki?" tanya Melati heran melihat sikap Ketua Perguruan Banteng Sakti itu.
"Kau dengar suara berkaokan tadi, Melati!" Ki Tampar Waja malah balas bertanya.
Melati mengangguk. "Suara burung gagak, Ki."
"Hm...," laki-laki berkulit kemerahan ini menggumam pelan. "Aku tidak sependapat denganmu, Melati."
"Maksudmu, Ki?" kejar gadis berpakaian putih itu.
"Aku tidak percaya kalau suara itu keluar dari mulut burung gagak! Selama aku di sini, belum pernah kudengar suara burung gagak!" tandas Ki Tampar Waja.
"Jadi...." Melati tidak melanjutkan ucapannya.
"Suara itu keluar dari mulut manusia!" duga Ketua Perguruan Banteng Sakti itu. "Aku merasakan di dalam suara itu terdapat getaran tenaga dalam.
"Tapi..., apa maksudnya kalau benar suara itu keluar dari mulut manusia?"
"Aku tidak berani berprasangka dulu. Tapi yang jelas, orang itu pasti tidak bermaksud baik dan tidak sendirian!"
"Aku mendengar ada suara langkah kaki mendekati tempat ini, Ki," beri tahu Melati.
"Ya," Ki Tampar Waja mengangguk. "Jumlah mereka pun cukup banyak. Ayo cepat ke pintu gerbang!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkulit kemerahan segera melesat cepat ke arah pintu gerbang. Melati pun melakukan gerakan serupa. Cepat bukan main gerakan mereka, sehingga yang tampak hanya sekelebatan bayangan putih dan coklat bergerak cepat menuju pintu gerbang. Masih dalam jarak lima tombak dari pintu gerbang, Melati dan Ki Tampar Waja telah dikejutkan oleh kejadian mendadak.
Brakkk...! Daun pintu gerbang Perguruan Banteng Sakti hancur berantakan seperti diseruduk gajah liar! Dan dari balik daun pintu itu melesat masuk sosok tubuh berseragam tengkorak. Siapa lagi kalau bukan Raja Tengkorak?! Disusul oleh sosok berpakaian kuning yang Langan kanannya putus sebatas pergelangan. Dia adalah Turgawa.
Bukan hanya mereka saja yang melesat masuk, melainkan belasan orang yang memiliki wajah dan sikap kasar. Mereka adalah orang-orang golongan hitam yang telah menjadi anak buah Raja Tengkorak alias Sengkala.
Karuan saja suara riuh-rendah itu mengejutkan murid-murid Perguruan Banteng Sakti yang berada di pos penjagaan. Serentak mereka yang berjumlah tiga orang, melompat keluar. Dua di antaranya melesat ke arah rombongan tamu tak diundang. Sedangkan seorang lagi memukul kentongan.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya pun bergema di sekitar Perguruan Banteng Sakti. Dua orang murid Perguruan Banteng Sakti yang mendapat giliran meronda ke sekeliling wilayah perguruan, langsung menyambuti bunyi kentongan itu seraya berlari ke arah asal suara kentongan.
Tak pelak lagi, seluruh murid-murid Perguruan Banteng Sakti geger. Mereka semua bergegas melesat keluar sambil menyambar senjata masing-masing. Ada beberapa orang di antaranya yang tidak sempat mengenakan alas kaki.
"Raja Tengkorak... !" desis Ki Tampar Waja pelan tapi tajam sehingga mengalahkan suara kentongan yang bergema ke seluruh penjuru perguruan itu. Ketua Perguruan Banteng Sakti itu terkejut ketika berada dalam jarak empat tombak di hadapan laki-laki berpakaian seragam tengkorak, berbarengan dengan tibanya dua murid Perguruan Banteng Sakti yang tadi berlari dari pos penjagaan. Raut keterkejutan yang amat, sangat membayang di wajah Ki Tampar Waja. Dia melihat kehadiran tokoh yang pernah dikabarkan tewas itu.
Melati mengernyitkan kening. Inikah Raja Tengkorak itu? Tanyanya dalam hati. Bukankah Ki Tampar Waja mengatakan tokoh yang menggiriskan itu telah tewas? Kenyataannya tokoh itu ada di sini! Apakah Ketua Perguruan Banteng Sakti itu. berbohong? Mustahil! Gadis berpakaian putih ini tidak percaya kalau laki-laki berkulit kemerahan itu berbohong. Jadi, Raja Tengkorak tidak tewas. Berita yang tersebar itu tidak benar.
"Ha ha ha...!" Laki-laki berpakaian seragam tengkorak tertawa bergelak. Girang hatinya melihat keterkejutan Ki Tampar Waja.
"Ki Tampar Waja, Kini sudah saatnya kau dan perguruanmu kulumatkan! Kau dan perguruanmu akan menyusul Perguruan Gajah Putih yang telah lebih dulu kumusnahkan!"
“Apa….!” Sepasang mata Ketua Perguruan Banteng Sakti terbelalak lebar. Perasaan kaget yang amat sangat mendera hatinya. Benarkah semua yang dikatakan oleh Raja Tengkorak itu?! Ataukah hanya satu muslihat saja?
Raja Tengkorak melihat keraguan yang membayang di wajah Ki Tampar Waja. "Kau boleh tidak percaya pada ucapanku, Ki Tampar Waja! Tapi yang jelas, kau dan perguruanmu, akan kuhancurkan seperti Perguruan Gajah Putih!" lanjut laki-laki berpakaian seragam tengkorak itu. Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak bertepuk tangan sekali.
Plok...!
Suara keras menggelegar terdengar seperti ada halilintar menyambar. Kerasnya bukan kepalang sehingga semua orang yang berada di situ, merasa telinganya berdengung.
"Serbu...!"
"Hancurkan Perguruan Banteng Sakti...!"
"Bunuh Ki Tampar Waja... !"
Teriakan-teriakan keras tak beraturan mengiringi serbuan pengikut Sengkala. Murid-murid Perguruan Banteng Sakti tidak tinggal diam. Mereka pun bergerak maju memapak. Sekejap kemudian terdengar denting suara senjata beradu, dan bunga-bunga api berpercikan di udara. Pertarungan mati-matian pun tak bisa dielakkan lagi.
Raja Tengkorak dan Turgawa pun tidak tinggal diam. Begitu pars pengikutnya menyerbu, mereka berdua pun meluruk maju. Tapi sebelum kedua orang itu menyebarkan maut di Perguruan Banteng Sakti, Melati dan Ki Tampar Waja bergerak menyambut. Ketua Perguruan Banteng Sakti segera menghadang Raja Tengkorak. Dan, Melati menghadapi Turgawa!
Raja Tengkorak rupanya tidak ingin bermain-main lagi. Begitu dihadang oleh Ki Tampar Waja yang memang diincarnya, dia langsung saja mengeluarkan 'llmu Baju Ular Emas' andalannya. Jari-jari kedua tangannya yang menegang lurus dan kaku meluncur bertubi-tubi ke arah leher lawan.
Ki Tampar Waja tahu kalau lawan yang dihadapinya kali ini cukup tangguh. Maka dia pun segera mengeluarkan ilmu andalannya, jurus 'Kera'.
"Hih...!" Dengan sekali mengenjotkan kaki, tubuh Ketua Perguruan Banteng Sakti itu melayang ke atas dan melewati kepala Raja Tengkorak. Sesuai dengan nama ilmunya, jurus 'Kera' memang menitikberatkan pada kelincahan. Dengan sendirinya, Ki Tampar Waja yang menguasai ilmu itu, mempunyai kegesitan seperti layaknya kera sungguhan.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Tampar Waja. Begitu tubuhnya telah berada di udara, tangan kanannya disampokkan ke arah belakang kepala lawan. Keras bukan kepalang tamparan itu sehingga menimbulkan suara bercicitan nyaring. Jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur apabila terkena sampokan itu. Cepat bukan main serangan balasan itu tiba. Dan, memang Ki Tampar Waja memiliki gerakan yang luar biasa cepat.
Tapi orang yang mendapat serangan bukanlah sembarang orang. Dia, adalah Raja Tengkorak! Seorang pentolan sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Maka sampokan yang datangnya tiba-tiba itu, tidaklah membuatnya menjadi gugup. Dia segera merundukkan kepalanya. Dan....
Wusss...! Sampokan itu mengenai tempat kosong, lewat beberapa jengkal di atas kepala Raja Tengkorak. Bukanlah Raja Tengkorak kalau tindakannya berhenti sampai di situ. Seiring dengan kepalanya merunduk, kaki kanannya segera menendang ke atas melalui belakang.
Ki Tampar Waja tidak terkejut melihat serangan balasan Raja Tengkorak. Dia telah lama mendengar lawan yang dihadapinya. Dan, dia tahu kalau tokoh sesat yang menggiriskan itu memiliki ilmu-ilmu aneh. Maka, dia tidak gentar melihat serangan yang mendadak itu. Bahkan dengan tangan kirinya serangan itu dipapaknya.
Dukkk....!
Ki Tampar Waja meringis ketika benturan terjadi. Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang dengan kedua tangan dirasakan sakit. Kedudukannya di udara kurang menguntungkan, selain itu Raja Tengkorak memang memiliki tenaga dalam yang lebih kuat daripadanya. Meskipun demikian, bukan hanya laki-laki berkulit kemerahan saja yang terhuyung. Tubuh Raja Tengkorak pun terhuyung akibat benturan itu.
Hanya saja Ki Tampar Waja merasakan tangannya sakit, Raja Tengkorak tak merasakan apa-apa. Kalau tubuhnya ikut terhuyung bukan karena tenaga dalam Ki Tampar Waja, melainkan kedudukannya yang memang kurang menguntungkan.
"Hup...!" Begitu Ketua Perguruan Banteng Sakti menginjakkan kedua kakinya di tanah, Raja Tengkorak pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Dan, pertarungan yang sempat tertunda sejenak itu kembali berlangsung sengit.
Bersamaan dengan saling serang antara Raja Tengkorak dan Ki Tampar Waja, untuk yang kedua kalinya, Turgawa baru mulai menggebrak Melati. Berbeda dengan Sengkala yang sama sekali tidak merasa terkejut dengan serangan Ki Tampar Waja. Karena dia telah mengetahui kepandaian Ketua Perguruan Banteng Sakti itu, sedang Turgawa amat terperanjat bukan kepalang ketika mulai bergerak menyerang Melati.
Semula, laki-laki berpakaian kuning ini memandang remeh dan hampir tertawa ketika melihat seorang gadis muda berpakaian putih menghadang langkahnya. Meskipun gadis berpakaian putih itu bukanlah lawan berat, Turgawa yang berwatak keji dan telengas, sekali serang lawan langsung menggunakan seluruh tenaga dalamnya. Memang, dia bermaksud menewaskan Melati dengan sekali serang.
Tangan kanan Turgawa dengan kedudukan jari terkembang membentuk cakar meluncur ke arah dada Melati. Sedangkan tangan kirinya di sisi pinggang. Laki-laki berpakaian kuning itu menduga kalau Melati tidak akan bisa mengelak serangan yang demikian cepat dikirimkannya. Tapi, betapa kaget hatinya ketika melihat gadis berpakaian putih itu dengan mudah mengelakkan serangannya.
Hanya dengan melangkahkan kaki kirinya seraya mencondongkan tubuh, make serangan itu lewat di sebelah kanannya. Tidak itu saja yang dilakukan Melati. Begitu serangan lawan berhasil dielakkan, tangan kanannya bergerak menyampok ke arah pelipis lawan.
Turgawa terkejut bukan kepalang. Dengan agak terbata-bata, dia melompat ke samping. Dia pun terpaksa bergulingan di tanah agar terhindar dari serangan susulan Melati.
"Hup...!" Keringat sebesar biji jagung bermunculan di sekujur wajah Turgawa ketika ia bangkit dari berguling-guling menghindari serangan Melati. Hampir saja dia tewas karena terlalu memandang rendah lawan. Untung di saat terakhir dia berhasil menyelamatkan diri. kalau tidak? Nyawanya sudah dikirim Melati ke neraka.
"Wanita keparat...!" maki Turgawa keras. "Berani kau mempermalukan aku?!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian kuning itu menyusun jari-jarinya dan membentuk jurus 'Ular'. Jeri jari kedua tangannya terbuka lures, menegang kaku. Turgawa memang bersiap menggunakan ilmu andalannya, 'Ilmu Baju Ular Emas'.
* * * * * * * *
TIGA
"Ssshhh...!" Diiringi suara mendesis, Turgawa mulai melancarkan serangan ke arah dada dan ulu hati Melati. Kedua tangannya menusuk bertubi-tubi ke arah sasaran, Sehingga mengeluarkan suara angin bercicit nyaring.
Melati terperanjat melihat kedahsyatan ilmu lawan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera melompat ke belakang. Sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran.
Tapi ternyata, Turgawa sudah memperhitungkan hal itu. Terbukti, begitu serangannya berhasil dielakkan, kedua kakinya bergeser maju tanpa melangkah. Suara gesekan alas kaki laki-laki berpakaian kuning itu. terdengar. Berbarengan dengan itu kembali kedua tangannya meluncur cepat ke arah Melati. Kali ini mengarah ke bawah hidung dan leher lawan. Dua jaIan darah kematian.
Melati tidak punya pilihan lain. Dia menggeserkan kaki kanannya ke belakang, seraya mencondongkan tubuh ke arah yang sama. Lalu kedua tangannya yang berbentuk cakar naga bergerak menangkis serangan lawan. Gadis berpakaian putih ini memang mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' untuk melumpuhkan 'Ilmu Baju Ular Emas'.
Prattt...! Prattt...!
Melati dan Turgawa terhuyung-huyung ke belakang ketika kedua pasang tangan mereka yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi saling berbenturan. Bersamaan dengan itu terdengar suara keras bukan kepalang. Seolah-olah suara itu bukan berasal dari dua pasang tangan manusia, melainkan dua logam keras yang saling berbenturan.
Melati meringis karena rasa sakit dan nyeri yang mendera kedua tangannya. Menilik kejadian yang dialami gadis itu, dapat diketahui kalau lawan memiliki tenaga dalam lebih kuat dari dirinya. Sekitar tiga langkah jarak tubuh Melati terhuyung, sementara lawannya hanya satu langkah. Hal ini memperkuat kenyataan kalau Turgawa memiliki tenaga dalam di atasnya.
Tapi Melati tidak bisa berlama-lama larut dalam rasa sakit dan nyeri yang melandanya, karena Turgawa sudah kembali bersiap melancarkan serangan 'Ilmu Baju Ular Emas'. Sehingga memaksa gadis berpakaian putih itu menggunakan jurus andalannya 'Cakar Naga Merah'. Tak terhindarkan lagi pertarungan pun berlangsung sengit.
Gerakan-gerakan tangan kedua tokoh Sakti itu mengeluarkan suara, bahkan suara tajam dari udara yang robek menyemarakkan pertarungan mereka. Di jurus-jurus awal pertarungan berjalan imbang. Keduanya saling serang dan saling elak.
Ketika memasuki jurus ketiga puluh lima, mulai tampak keunggulan Turgawa. Memang, kakek berpakaian kuning ini mempunyai kelebihan dibanding Melati. Dengan kelebihan itu dia menekan lawan. Kedua tangannya menjadi lebih keras laksana baja. Sedangkan tenaga dalamnya jauh lebih kuat dari Melati, sehingga dia mampu menekan lawan.
Melati tak mampu melancarkan serangan, kecuali mundur dan mengelak bila lawan menyerang. Sebab bila dia menangkis serangan lawan akan merugikan dirinya. Lantaran lawan memiliki tenaga dalam lebih kuat dan memiliki sepasang tangan yang keras. Jadi, bila terjadi benturan maka kedua tangannya akan bergetar hebat dan menimbulkan rasa sakit.
Bukan hanya itu, tampak setiap kali dia melancarkan serangan, dan lawan akan menangkis serangannya, maka gadis berpakaian putih ini menarik tangannya kembali buru-buru. Karena itu dia senantiasa terdesak oleh lawannya.
Bukan Melati saja yang terdesak dalam pertarungan sengit itu, Ki Tampar Waja pun mengalami hal serupa. Bahkan keadaan kakek bertubuh pendek kekar yang terdesak ini sangat tak menguntungkan dirinya. Sedangkan murid-murid Perguruan Banteng Sakti yang terlibat pertempuran itu terdesak dan terhimpit.
Karena jumlahnya tak seimbang dengan pengikut Raja Tengkorak. Lagi pula mereka adalah tokoh-tokoh aliran hitam yang cukup ternama. Dengan sendirinya ilmu mereka lebih unggul dibanding murid Ki Tampar Waja. Sehingga tak mengherankan bila banyak korban yang jatuh.
Jeritan kematian terdengar merobek kesunyian malam. Disusul bertumbangannya beberapa sosok tubuh dalam keadaan tanpa nyawa. Seiring dengan gugurnya rekan-rekan mereka, keadaan murid-murid Ki Tampar Waja semakin terdesak.
Ki Tampar Waja terdesak hebat, dan terpontang panting dalam usahanya untuk menyelamatkan nyawa, tapi dia sempat melihat sekilas keadaan Melati dan murid-muridnya. Kontan perasaan cemas menyelimuti dirinya. Dia khawatir keselamatan putri angkat Raja Bojong Gading itu. Sedang bagi murid dan dirinya tidaklah menjadi masalah.
Karena memang perguruan mereka diserbu, dan sudah menjadi kewajiban mereka untuk mempertahankannya sekalipun nyawa sebagai taruhannya. Bagaimana dengan Melati? Gadis itu adalah seorang tamu. Tidak layak jika dia tewas pula. Gadis berpakaian putih itu harus pergi menyelamatkan diri sebelum menjadi korban. Maka tanpa mengalihkan perhatian dari Raja Tengkorak, dan dalam keadaan tubuh terpontang-panting, Ki Tampar Waja berteriak teriak,
"Melati...! Cepat pergi selamatkan dirimu...!"
Tapi orang yang mempunyai watak keras seperti Melati mana mau disuruh menyelamatkan diri, sementara laki-laki berkulit kemerahan dan murid-muridnya dalam keadaan terancam maut. Malah sebaliknya, seruan itu makin membuat gadis berpakaian putih itu melakukan perlawanan sengit.
"Maaf, Ki! Aku bukan seorang pengecut...! Lebih baik kita mati bersama-sama...!"
Karuan saja sikap Melati itu membuat kecemasan Ketua Perguruan Banteng Sakti makin menggelegak. Sambil membanting tubuh dan bergulingan di tanah, Ki Tampar Waja kembali berseru.
"Jangan bertindak bodoh, Melati! Kau akan mati sia-sia dan... Akh...!"
Tubuh Ki Tampar Waja terhuyung-huyung ketika totokan tangan lawan berhasil mengenai bahu kanannya. Darah pun mengalir keluar dari bagian tubuh yang terkena serangan Raja Tengkorak.
"Ki...!" Melati berteriak kaget mendengar jerit kesakitan Ki Tampar Waja. Seraya menggertakkan gigi, kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar dihentakkan ke depan. Gadis berpakaian putih ini melancarkan jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...! Serentetan angin keras berhembus ke arah Turgawa. Dan, kakek berpakaian kuning ini bertindak lebih waspada. Buru-buru tubuhnya dilempar ke samping dan bergulingan ke tanah untuk menyelamatkan diri dari serangan Melati. Dia tidak berani menangkis serangan pukulan jarak jauh itu.
Kesempatan yang hanya sekejap itu dipergunakan Melati untuk melirik keadaan Ki Tampar Waja. Dilihatnya laki-laki berkulit kemerahan itu tengah bergulingan di tanah, sementara Raja Tengkorak mengejarnya seraya mengirimkan serangan-serangan mematikan.
Walaupun dalam keadaan seperti. itu, Ki Tampar Waja masih tetap memikirkan keselamatan Melati. Tubuhnya yang bergulingan, tidak menghalangi mulutnya untuk terus mengucapkan kata-kata peringatan kepada gadis berpakaian putih itu.
"Melati...! Selamatkan dirimu...! Cepat...! Kalau tidak aku akan mati penasaran...!"
Melati menggertakkan gigi untuk menguatkan hatinya yang terguncang. Dia merasa terharu bukan kepalang melihat keadaan laki-laki berkulit kemerahan itu terancam maut, tapi masih sempat memikirkan keselamatannya. Gadis berpakain putih ini berniat melompat dan menerjang Raja Tengkorak untuk menyelamatkan nyawa Ketua Perguruan Banteng Sakti. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, serangan dari Turgawa kembali meluncur.
"Akh...!" Kembali terdengar jerit tertahan dari mulut Ki Tampar Waja ketika serangan Raja Tengkorak kembali mengenai sasarannya. Kali ini bahu kirinya terluka.
Kembali cairan merah kental mengalir. Memang, bila menggunakan 'llmu Baju Ular Emas', sepasang tangan laki-laki berseragam tengkorak itu jadi sekeras baja dan jari-jari tangannya setajam pedang pusaka. Tidak aneh kalau setiap kali terkena totokan tangannya, kulit tubuh lawan langsung robek seperti tertusuk pedang.
Melati menggertakkan gigi. Dia bertarung dengan benak dipenuhi berbagai macam pikiran. Ucapan terakhir dari Ketua Perguruan Banteng Sakti itulah yang menyebabkannya bimbang. Akibatnya, gadis berpakaian putih ini terdesak hebat.
"Melati...! Cepat pergi....!"
Lagi-lagi seruan bernada penuh kekhawatiran itu terdengar. Melati tidak punya pilihan lain lagi. Dia tidak ingin Ki Tampar Waja tewas dalam keadaan penasaran. Maka dia buru-buru mencabut pedangnya, dan langsung ditusukkan cepat ke arah perut Turgawa.
Wunggg...!
Suara menggerung keras seperti naga murka terdengar ketika pedang itu meluncur cepat ke arah sasaran. Melati menggunakan 'llmu Pedang Seribu Naga' untuk mendesak lawan.
Turgawa kontan terperanjat begitu mendengar suara menggerung keras itu. Dia tidak berani lagi bertindak main-main. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, dan cepat-cepat bersalto beberapa kali di udara dalam usahanya untuk berjaga-jaga terhadap serangan susulan lawan.
Tapi Melati sama sekali tidak melancarkan serangan balasan. Gadis berpakaian putih itu melancarkan serangan untuk mencari kesempatan dalam upayanya melarikan diri. Maka begitu melihat kakek berpakaian kuning itu melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara, putih angkat Raja Bojong Gading itu melesat kabur dari situ.
"Selamat tinggal, Ki...!"
Dengan suara serak, gadis berpakaian putih itu mengucapkan kata-katanya, sebelum tubuhnya melesat kabur dari situ. Sekali lompat, tubuhnya telah melewati pagar kayu bulat tinggi. Kemudian dia melesat cepat keluar menembus kepekatan malam.
"Selamat jalan, Melati...!" balas Ki Tampar Waja sambil terus menggulingkan tubuh. Ada senyum kelegaan di mulut Ketua Perguruan Banteng Sakti ini. Lega melihat gadis berpakaian putih mau memenuhi sarannya dan meninggalkan tempat itu.
"Hey...!" teriak Turgawa terkejut begitu kedua kakinya hinggap di tanah. Dia melihat lawannya tidak berada di situ lagi. Tapi pandangan matanya yang tajam, sempat menangkap sosok bayangan gadis itu melesat cepat keluar. Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek berpakaian kuning ini mengejamya. Sekali saja menggenjotkan kaki, tubuhnya sudah melayang melompati pagar kayu bulat yang tinggi menjulang.
"Hup...!" Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, pandang matanya langsung diedarkan ke sekeliling. Tapi dia tidak menjumpai bayangan tubuh Melati. Hanya kepekatan malam dan kerimbunan pepohonan yang terlihat.
Beberapa, saat lamanya, Turgawa memperhatikan sekeliling tempat itu. Setelah yakin kalau gadis berpakaian putih itu telah menghilang, dia segera masuk ke dalam markas Perguruan Banteng Sakti melalui pintu gerbang yang tidak memiliki daun pintu lagi.
Turgawa memperhatikan sejenak jalannya pertarungan. Segera dia mengetahui kalau pertarungan tidak akan lama lagi berakhir. Murid-murid Perguruan Banteng Sakti hanya tinggal beberapa gelintir lagi. Sedangkan Ki Tampar Waja sudah terdesak hebat. Hanya tinggal menunggu waktu saja laki-laki berkulit kemerahan itu akan tumbang.
"Aaakh...!" Dua buah jeritan melengking nyaring mengiringi robohnya dua orang murid Perguruan Banteng Sakti yang tersisa. Tubuh mereka rebah ke tanah, menggelepar-gelepar sejenak, lalu diam dan tidak bergerak lagi.
Pada saat yang bersamaan dengan robohnya kedua orang murid Perguruan Banteng Sakti itu, Raja Tengkorak melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, laksana burung garuda yang melayang menyambar mangsa, kedua tangannya meluncur cepat dan bertubi-tubi menyerang ke arah pelipis dan ubun-ubun Ki Tampar Waja. Lelaki berkulit kemerahan itu terperanjat. Dengan sisa kemampuannya dia berusaha mengelak serangan. Tapi....
Crattt...! Tangan kanan laki-laki berseragam tengkorak itu menyerempet dan mengenai pelipis kiri Ki Tampar Waja. Ada suara keluhan tertahan terdengar dari mulut laki-laki berkulit kemerahan itu ketika pelipisnya retak. Tubuhnya pun roboh ke tanah seiring dengan melayang nyawanya meninggalkan raga. Walaupun serangan itu tidak telak, tapi karena bagian yang terkena pukulan adalah pelipis, akibatnya pun tidak kalah dahsyat dengan sasaran-sasaran yang mematikan.
"Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kaki Raja Tengkorak mendarat di tanah. Sejenak dia memperhatikan mayat Ketua Perguruan Banteng Sakti. Lalu pandangannya beralih ke arah pengikut-pengikutnya.
"Bakar...!" sera laki-laki berseragam tengkorak itu pada pengikutnya.
Serentak puluhan tokoh persilatan itu bergerak cepat menghampiri bangunan-bangunan yang berjejer. Sesaat kemudian tangan-tangan kekar terlatih itu menjumput batang-batang obor yang menyala. Lalu, mereka melemparkan obor itu ke arah bangunan, atap, jendela, bahkan ruang dalam pun tidak ketinggalan. Di saat tokoh-tokoh persilatan itu sibuk membumihanguskan perguruan, Raja Tengkorak menghampiri Turgawa.
"Bagaimana, Paman? Apakah gadis itu berhasil kau temukan?" tanya laki-laki berseragam tengkorak itu. Dia tahu kalau lawan Turgawa berhasil meloloskan diri.
Kakek berpakaian kuning menggeleng. "Dia lenyap,..!" ucap Turgawa bernada keluhan. Raja Tengkorak diam tidak memberikan sambutan.
"Entah, murid siapa gadis berpakaian putih itu," kata Turgawa lagi. Ada nada penasaran dan keheranan dalam ucapan itu. "Dalam usia semuda itu sudah memiliki ilmu-ilmu yang begitu dahsyat. Entah siapa gurunya...."
"Kau tidak mengetahui dari aliran mana gadis itu berasal, Paman?" tanya Raja Tengkorak.
"Tidak. ltulah yang membuatku heran, Sengkala. Padahal, hampir semua tokoh persilatan di daerah ini kukenal baik. Entah juga kalau gadis itu murid seorang tokoh sakti yang mengasingkan diri...."
Raja Tengkorak mengangguk-anggukkan kepala. Dia menerima dugaan yang dikeluarkan kakek berpakaian kuning itu. Tapi, dia tidak menyahutinya. Sementara api mulai berkobar. Makin lama api itu makin besar. Hawa panas pun menjalar ke seluruh penjuru tempat itu. Terpaksa Raja Tengkorak, Turgawa, dan pengikutnya melangkah mundur menjauhi bangunan yang tengah terbakar hebat itu.Setelah mereka yakin api yang berkobar itu akan melumatkan seluruh bangunan perguruan, Raja Tengkorak menepuk tangannya. Kali ini tidak seperti biasanya.
Plok, plok...!
Laksana ada halilintar menggelegar bunyi yang tercipta akibat tepukan tangan itu. Seiring dengan tepuk tangannya terhenti, Raja Tengkorak melesat meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul oleh Turgawa dan semua pengikutnya. Memang, tepukan dua kali itu merupakan isyarat bagi para tokoh persilatan untuk segera meninggalkan tempat itu.
Sungguhpun ada perasaan gembira karena usahanya berhasil dengan baik, tapi ada ganjalan yang bersarang di dalam dada Raja Tengkorak dan Turgawa. Sebab gadis berpakaian putih mampu lolos dari maut yang mereka tebarkan. Apalagi masih ada Dewa Arak dan Kalpa Reksa. Bila ketiga tokoh itu bergabung maka akan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat.
Dengan benak dihantui pikiran-pikiran semacam itu, Raja Tengkorak dan Turgawa melangkahkan kakinya. Kini tinggal tiga sasaran lagi yang harus mereka bereskan, sebelum merajai dunia persilatan.
* * * * * * * *
EMPAT
Hati Melati remuk dan hancur meninggalkan Ki Tampar Waja. Dalam keadaan sendiri dia berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kalau tidak mengingat ucapan terakhir Ki Tampar Waja, dia tidak akan mau melarikan diri dari pertarungan. Kendatipun nyawanya akan melayang.
Entah berapa lama gadis berpakaian putih ini berlari. Dia tidak peduli lagi karena hatinya terguncang hebat akibat peristiwa yang baru saja disaksikannya. Yang jelas, dia merasakan kedua kakinya pegal-pegal, tapi tetap saja langkah kakinya tidak berhenti.
Mendadak hati Melati tercekat. Tidak salahkah penglihatannya? Tak jauh di hadapannya, ada sesosok tubuh yang bergerak cepat ke arah yang ditinggalkannya. Dalam suasana malam yang agak gelap, terlihat jelas siapa sosok tubuh itu karena pakaian yang dikenakannya memang menyolok. Raja Tengkorak!
Melati menggertakkan gigi. Seketika itu pula kemarahannya bergolak. Laki-laki berseragam tengkorak itu adalah orang yang tadi bertarung dengan Ki Tampar Waja. Keberadaan Raja Tengkorak di sini menjadi pertanda kalau Ketua Perguruan Banteng Sakti itu telah berhasil ditewaskan. Dan, itu pula yang membuat gadis berpakaian putih ini geram bukan kepalang.
Diam-diam ada perasaan heran di hati Melati. Mengapa Raja Tengkorak itu malah datang dari tempat yang akan ditujunya. Padahal, bukankah tempat yang baru ditinggalkan itu berada di belakang? Bagaimana mungkin dia bisa melesat secepat itu dan melewati Melati. Kemudian dia akan mencegat perjalanan gadis berpakaian putih itu?
Sepasang mata Melati beredar ke depan, memperhatikan sekelilingnya. Dia ingin mengetahui apakah Turgawa berada di situ pula. Tapi tidak ada tanda-tanda kalau kakek berpakaian kuning itu bersama Raja Tengkorak.
"Aku harus membuat perhitungan...!" desis hati Melati.
Dengan mengambil keputusan itu, Melati bergegas menghentikan langkah kakinya. Dia berdiri menunggu kedatangan Raja Tengkorak yang akan melewati dirinya.
Dugaan Melati memang tidak salah. Raja Tengkorak terus saja melesat menuju ke arahnya. Anehnya, dia seperti tidak mempedulikan gadis berpakaian putih itu. Sekalipun jarak di antara mereka semakin bertambah dekat, dia terus saja melesat cepat. Tapi Melati tidak peduli sama sekali. Dia beranggapan sikap Raja Tengkorak seperti itu karena memandang lawan sepele.
Srattt...!
Seberkas sinar terang mencuat ketika gadis berpakaian putih itu menghunus pedangnya. Memang, Melati telah mengetahui kepandaian lawannya. Maka dia tak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan senjatanya. Gadis berpakaian putih ini bersiap-siap untuk menggunakan ilmu pedang andalannya.
Raja Tengkorak nampak terkejut melihat gadis berpakaian putih berdiri di hadapannya, dan menghadang jalannya sambil menghunus pedang. Maka dia pun segera menghentikan larinya. Kini dia berdiri dalam jarak tiga tombak dengan Melati.
"Siapa kau, Nisanak? Mengapa menghadang jalanku?" tanya laki-laki berseragam tengkorak itu dengan suaranya yang khas. Pelan, berat, tapi bergaung seperti suara hantu kuburan.
"Keparat...!" Melati memaki seraya melangkah maju dengan sikap waspada. "Lupakah kau padaku? Aku adalah orang yang tadi bertarung dengan kawanmu! Sekarang, terimalah pembalasanku atas perbuatan kejimu!"
Setelah berkata demikian, Melati melancarkan serangan berupa tusukan ke arah leher lawan. Ada suara gerungan dahsyat seperti naga marah mengiringi tibanya serangan pedang itu.
"Hey...! Tunggu dulu...! Tahan sebentar, Nisanak. Kau salah paham...!"
Raja Tengkorak berteriak-teriak mencegah. Tapi Melati yang tengah dilanda kemarahan menggelegak tak mau mendengarkan ucapannya. Gadis berpakaian putih itu tetap dalam posisi menyerang.
Laki-laki berseragam tengkorak itu tentu saja tidak mau mati konyol. Buru-buru dia menekuk kedua lututnya seraya merendahkan tubuh, sehingga tusukan pedang Melati meluncur lewat setengah jengkal di atas kepalanya.
Raja Tengkorak rupanya belum mengenal kepandaian Melati. Menghadapi 'Ilmu Pedang Seribu Naga' kalau mengelak tanpa menjauhi serangan merupakan sebuah tindakan berbahaya. Karena, akan disusul serangan berikutnya. Sesuai dengan namanya, Seribu Naga, pedang yang sebenarnya hanya satu berubah menjadi puluhan banyaknya.
Itulah sebabnya begitu laki-laki berseragam tengkorak itu berhasil mengelakkan serangan, pedang Melati kembali menyambar. Dengan kecepatan gerak seorang ahli pedang tingkat tinggi, senjata itu berputar ke kanan dan kemudian membabat cepat ke arah leher.
"Heh...?!" Seruan keterkejutan keluar dari mulut Raja Tengkorak. Memang, dia tidak menyangka sama sekali kalau gadis muda itu memiliki kemampuan yang begitu luar biasa.
Tapi, dia adalah Raja Tengkorak! Seorang datuk sesat yang terkenal memiliki kepandaian menggiriskan. Walaupun serangan itu tiba secara mendadak dan di luar dugaannya, tidak membuatnya menjadi gugup. Dia buru-buru merebahkan tubuhnya ke belakang. Mulai dari bagian pinggang ke bawah mendatar. Kedua lututnya ditekuk seiring dengan gerakan yang dilakukannya.
Wuuut...!
Babatan pedang Melati meluncur deras lewat di atas tubuh Raja Tengkorak. Raja Tengkorak sadar kalau kedudukannya kurang menguntungkan. Sebab bila lawan kembali melancarkan serangan, dapat dipastikan dia akan terancam bahaya besar. Laki-laki berseragam tengkorak itu tidak ingin hal itu terjadi. Maka sebelum Melati mengirim serangan kembali, dia lebih dulu melancarkan serangan.
Kaki kanan Raja Tengkorak mencuat cepat ke arah perut Melati ketika mata pedang gadis berpakaian putih itu telah meluncur lewat. Melati terperanjat. Buru-buru dia melompat ke belakang. Sehingga serangan Raja Tengkorak tidak mengenal sasaran.
Raja Tengkorak sama sekali tidak mempedulikan hasil serangannya. Sebab serangan yang dilancarkannya sekadar untuk menghindarkan dirinya dari serangan susulan lawan. Sementara kedudukannya kurang menguntungkan sama sekali. Ketika Melati melompat ke belakang, Raja Tengkorak pun ikut melompat ke belakang pula.
"Hup...!"
Pada saat bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Melati di tanah, laki-aki berseragam tengkorak itu pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Belum sempat Raja Tengkorak berbuat sesuatu, serangan susulan Melati kembali meluncur. Mau tak mau laki-laki berseragam tengkorak itu mengadakan perlawanan sengit. Memang, menghadapi kepandaian seperti putri angkat Raja Bojong Gading itu, tanpa melakukan perlawanan adalah sama dengan mencari mati.
Pertarungan sengit antara Raja Tengkorak dengan Melati pun terjadi. Melati yang tengah diamuk kemarahan, mengerahkan seluruh kemampuannya. Pedang yang berada di tangannya berkelebatan cepat dan bertubi-tubi diarahkan ke daerah berbahaya di tubuh Raja Tengkorak.
Kemarahan membuat pikiran Melati buntu. Sama sekali dia tidak menyadari kalau Raja Tengkorak tidak bersungguh-sungguh menghadapinya. Meskipun laki-laki berseragam tengkorak itu menggunakan senjatanya, sebatang pedang bergagang kepala tengkorak manusia. Tapi, dalam pertarungan itu, tampak dia tak menggunakannya sekalipun sewaktu melakukan serangan.
Raja Tengkorak lebih sering mengelak dan menangkis ketimbang menyerang. Dia baru menyerang ketika keadaannya sudah terjepit Dan begitu kedudukannya tidak terdesak, dia menghentikan serangannya.
Melati bukanlah orang bodoh. Dia segera menyadari lawannya. Setelah pertarungan berlangsung hampir lima puluh jurus, dia tahu kalau lawan tidak bersungguh-sungguh menghadapi serangannya. Bahkan sewaktu dia menyerang tidak pernah diarahkan pada bagian-bagian yang mematikan. Tapi semua itu dia anggap sebagai pertanda kalau lawan meremehkan kemampuannya. Akibatnya, serangan-serangannya kini kian bertambah dahsyat.
Karuan saja serangan beruntun membuat Raja Tengkorak kelabakan. Disadari kalau tindakan gadis berpakaian putih ini tidak bisa ditanggulangi dengan cara baik-baik. Harus dilakukan cara lain untuk menahannya.
"Hiaaat...!" Seraya mengeluarkan suara keras melengking nyaring, Raja Tengkorak melompat menerjang. Pedang di tangannya menusuk bertubi-tubi ke arah ubun-ubun, bawah hidung, dan leher. Semua jalan darah kematian.
Melati terperanjat. Disadari akan adanya bahaya besar yang terkandung dalam serangan itu. Dia pun segera menggerakkan pedangnya dan memapak serangan yang meluncur bertubi-tubi itu.
Trang, trang, trang...!
Bunga-bunga api memercik ke udara ketika kedua buah senjata itu berbenturan. Akibatnya tubuh Melati terhuyung-huyung ke belakang sejauh dua langkah. Tangan yang menggenggam pedang pun dirasakan kesemutan. Hampir saja senjata itu terlepas dari genggamannya.
Saat itu, serangan susulan Raja Tengkorak kembali meluncur tiba. Kedua kakinya kembali meluncur ke arah Melati dengan sebuah tendangan miring bertubi-tubi ke arah dada dan leher. Tidak ada jalan lain bagi gadis berpakaian putih itu, kecuali menjejakkan kedua kakinya ke tanah dan melemparkan tubuh ke belakang. Lalu, bersalto beberapa kali di udara untuk menghindari adanya serangan susulan dari lawan.
Raja Tengkorak tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Buru-buru dia melesat kabur dari situ. Khawatir kalau gadis yang keras hati itu akan mengejarnya, laki-laki berseragam tengkorak itu melesat ke arah kerimbunan pepohonan dan semak-semak yang berada di hutan itu.
"Hup...!"
Melati terkejut bukan kepalang melihat lawan sudah tidak berada lagi di situ, ketika kedua kakinya berhasil mendarat di tanah. Dengan agak bergegas dia edarkan pandangannya berkeliling, dan mengawasi sekitarnya. Sepasang matanya mencari-cari arah kepergian lawan. Tapi, dia tidak menemukan petunjuk sama sekali. Jalan yang tadi dilaluinya tidak menampakkan adanya sosok tubuh itu.
Melati membanting-banting kaki kanannya ke tanah untuk melampiaskan kekesalan melihat lawannya telah menghilang. Disadari kalau mengejar pun tidak akan ada gunanya, sebab dia tidak mengetahui ke arah mana jalan yang dipilih laki-laki berseragam tengkorak itu. Dengan hati masih diliputi rasa kesal, Melati melangkah lesu meninggalkan tempat itu. Tapi, dia tidak mempunyai tujuan yang pasti, diikutinya saja arah kakinya melangkah.
Melati membiarkan kakinya melangkah semaunya, dan benaknya digeluti berbagai persoalan-persoalan yang memusingkan. Mengapa Raja Tengkorak seperti tidak mengenalnya? Bahkan tokoh sesat itu pun terheran-heran melihat dia menghadang perjalanan dan menyerang! Mengapa pula laki-laki berseragam tengkorak itu terlihat tidak bersungguh-sungguh menghadapinya? Dan mengapa pula harus melarikan diri? Padahal gadis berpakaian putih itu yakin kalau Raja Tengkorak itu belum tentu akan kalah bila pertarungan dilanjutkan.
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui benak Melati. Tapi tidak ada satu pun yang terjawab. Dalam keadaan tidak berdaya dan tidak menentu tujuannya, dia teringat pada kekasihnya, Dewa Arak. Kalau saja pemuda berambut putih keperakan itu berada di sampingnya, masalah seperti ini pasti dapat dipecahkannya. Tidak ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan Dewa Arak.
"Kang Arya ...," desah gadis berpakaian putih itu pelan. "Di mana kau berada? Apakah kau berhasil menyelamatkan diri dari badai itu. Ohhh...!"
* * * * * * * *
"Hhh...!" Raja Tengkorak menghela napas lega ketika tidak melihat lagi bayangan Melati mengejarnya. Kecepatan larinya pun sedikit dikuranginya.
"Aku yakin gadis, itu menyerang bukan tanpa alasan! Pasti ada hubungannya dengan Raja Tengkorak palsu. Apakah manusia busuk itu telah menyebarkan bencana lagi?"
Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dan tidak mampu dipecahkan laki-laki berseragam tengkorak itu, dan ternyata dia adalah Raja Tengkorak asli alias Kalpa Reksa. Dia pun segera melanjutkan langkahnya. Raja Tengkorak melesat cepat menempuh jalan yang semula ditempuh Melati ketika meninggalkan Perguruan Banteng Sakti.
Raja Tengkorak melangkah tergesa-gesa. Terbukti dia hanya sebentar memperlambat larinya. Sesaat kemudian, larinya kembali cepat menyusuri jalan yang dilalui Melati.
"Ah...!" Mendadak terdengar seruan kaget dari mulut Raja Tengkorak ketika melihat asap tebal dan hitam bergumpal-gumpal di angkasa. Keadaan langit yang cerah membuat asap hitam, tebal dan bergumpal-gumpal itu terlihat jelas dari kejauhan.
Seiring dengan seruan kaget itu, larinya makin dipercepat. Menilik dari tindakannya bisa diketahui kalau asap itulah yang menjadi penyebab kenapa larinya makin cepat.
"Ya, Tuhan.... Mudah-mudahan asap itu tidak berasal dari Perguruan Banteng Sakti...!" desah laki-laki berseragam tengkorak itu bernada mengharap. Semakin dekat kakinya melangkah ke arah yang dituju, semakin jelas kalau asap itu memang berasal dari sana.
"Ohhh...!" Raja Tengkorak akhimya mengeluh lirih ketika melihat secara pasti asal asap itu. Langkah kakinya pun terhenti. Sekujur tubuhnya tampak menggigil dengan pandangan mata tertuju lurus ke depan. Ke arah bangunan berpagar kayu bulat tinggi yang telah hampir menjadi puing-puing.
Beberapa saat lamanya, laki-laki berseragam tengkorak itu berdiri mematung dalam jarak sekitar delapan tombak. Dia menatap dengan pandangan mata tak percaya pada penglihatan di hadapannya. Kemudian Raja Tengkorak melangkah lesu, menghampiri bangunan itu. Lambat dan satu-satu kakinya dilangkahkan.
Dia tahu kalau tidak ada seorang pun yang hidup di dalam. Dari tanda pisau bergagang tengkorak kepala manusia yang tertancap, di papan nama perguruan yang tergantung di alas pintu gerbang, sudah bisa diketahui pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Raja Tengkorak!
Kembali langkah Raja Tengkorak terhenti. Kali ini dia berdiri di ambang pintu gerbang yang sudah tidak memiliki daun pintu lagi. Pandang matanya terpaku pada puluhan sosok mayat yang bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
"Ah...! Aku terlambat...! Tidak kusangka kalau Raja Tengkorak palsu punya pikiran cerdik. Dia lebih dulu melenyapkan orang-orang yang dapat menghambat gerakannya," keluh Raja Tengkorak bernada penuh penyesalan. "Kini lenyap sudah dua kekuatan besar yang akan menentang tindak kelaliman Raja Tengkorak palsu. Perguruan Gajah Putih dan Perguruan Banteng Sakti telah berhasil ditumpasnya.
"Ah...!" Laki-laki berseragam tengkorak itu memang telah menyaksikan Perguruan Gajah Putih dibumi-hanguskan. Karena itu, dia bergegas menuju Perguruan Banteng Sakti. Sebelum Raja Tengkorak palsu dengan pengikutnya lebih dulu berada di sana. Sungguh di luar dugaan Raja Tengkorak, Raja Tengkorak palsu alias Sengkala telah bertindak begitu cepat.
Dengan langkah lesu, Raja Tengkorak memeriksa mayat-mayat yang bergeletakan di halaman perguruan itu. Sebagian besar memang terdapat tubuh-tubuh selamat dari kobaran api, karena tergoleknya jauh dari bangunan-bangunan Perguruan Banteng Sakti yang terbakar itu.
"Hhh...!" Raja Tengkorak asli alias Kalpa Reksa menghela napas berat. Jelas, laki-laki berseragam tengkorak itu merasa terpukul menyaksikan semua itu.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba Raja Tengkorak membentak nyaring seraya menghentakkan kedua tangannya. Seketika itu pula, bertiup angin keras dari kedua tangan tokoh sakti itu. Dan....
Brakkk...!
Papan nama Perguruan Banteng Sakti yang ditancapi dua bilah pisau bergagang tengkorak kepala manusia, langsung hancur berantakan. Raja Tengkorak memang mengarahkan pukulan jarak jauhnya ke situ sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
"Raja Tengkorak palsu...! Jangan harap kau akan lolos dari tanganku...!"
Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak alias Kalpa Reksa melesat cepat dari situ. Kemarahan hebat yang membakar dadanya, membuat Raja Tengkorak memutuskan untuk mengejar Raja Tengkorak palsu dan pengikut-pengikutnya.
* * * * * * * *
LIMA
Tubuh Raja Tengkorak berkelebatan cepat menembus kerimbunan pepohonan dan kegelapan malam. Mendadak, langkahnya diperlambat ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara lirih memanggil dirinya.
"Ketua...!"
Sejenak Raja Tengkorak bimbang. Haruskah langkah kakinya dihentikan? Benarkah dirinya yang dipanggil oleh pemilik suara yang ternyata adalah enam orang yang masing-masing berwajah kasar. Ataukah terus saja berlari tanpa peduli?
Laki-laki berseragam tengkorak itu mengedarkan pandangan berkeliling. Barangkali saja memang ada orang lain di sekitar tempat itu. Dan orang itu yang sebenarnya dipanggil oleh enam orang tokoh persilatan itu. Tapi ternyata tidak ada satu pun orang di sekitar tempat itu. Yang ada hanya dirinya sendiri. Jadi, jelas kalau dialah yang dipanggilk-panggil.
Mendadak dugaan muncul di benak Raja Tengkorak. Mungkinkah enam orang itu adalah tokoh-tokoh persilatan anak buah Raja Tengkorak palsu? Dan dia dikira sebagai pimpinan mereka. Hal itu wajar, mengingat dia memakai seragam Raja Tengkorak!
Dugaan itu membuat Raja Tengkorak alias Kalpa Reksa menghentikan langkah. Bila benar mereka adalah anak buah Raja Tengkorak palsu, dan dirinya dianggap pimpinan mereka, maka bisa dimanfaatkan kekeliruan itu untuk keuntungan dirinya.
Maka laki-laki berseragam tengkorak itu pun berhenti melangkah. Dia berdiri dan diam menunggu keenam orang itu medekat.
"Ketua.... kami sudah menemukan orang yang Ketua cari...," ucap seorang yang bertubuh kekar berotot. Dia adalah Dulimang.
"Hm...!" Raja Tengkorak hanya menggumam pelan. Tidak menyambuti ucapan itu karena takut salah bicara. Karena itu dia bersikap tenang dan menunggu sehingga masalahnya jelas.
"Benar, Ketua," sambung Naga Tua. "Dewa Arak telah berhasil kami temukan. Semula kami hendak menangkapnya dan menyerahkan pada Ketua. Tapi kami tidak berani bertindak lancang mendahului..."
Raja Tengkorak tercenung sejenak. Benaknya berputar keras. Sungguh tidak disangkanya, Raja Tengkorak palsu itu demikian cerdik. Memberi tugas pada anak buahnya yang lain, sementara dia dengan anak buah lainnya menyerbu Perguruan Banteng Sakti. Raja Tengkorak palsu itu benar-benar ingin bertindak cepat.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Sudah jelas kalau dia dan Arya telah kalah cepat bergerak. Raja Tengkorak palsu itu ternyata telah mempunyai perhitungan sampai sejauh ini. Dia ingin secepatnya melenyapkan orang-orang yang dianggap menjadi penghalang semua keinginannya. Bukan tidak mungkin kalau dirinya pun sudah masuk dalam rencana Sengkala!
"Aku memang memberi perintah seperti itu," ujar Raja Tengkorak setelah beberapa saat benaknya berputar. "Perintah untuk mencari jejak Dewa Arak!"
Kalpa Reksa menghentikan ucapan sejenak untuk mengambil napas. "Tapi seingatku, tugas itu tidak kuserahkan pada kalian. Tapi lain orang! Aku malah tidak pernah melihat wajah-wajah kalian!"
Kontan wajah enam orang itu berubah. "Mungkin Ketua lupa. Kami telah dua kali menghadiri pertemuan yang Ketua adakan," bantah Naga Tua.
"Benar, Ketua," sambung Dulimang.
"Ya!" sambung Juriga.
Yang lain, sekalipun tidak mengeluarkan suara, tapi menganggukkan kepala. Ini berarti mereka menyetujui ucapan yang dikeluarkan oleh rekan mereka tadi.
"Hm...!" hanya gumam Raja Tengkorak yang menyambuti ucapan yang lebih mirip disebut teriakan teriakan riuh rendah itu. "Kalian berani bermain-main dengan Raja Tengkorak?! Rupanya kalian sudah tidak sayang pada nyawa kalian sendiri!" ancam laki-laki berseragam tengkorak itu dengan suara khasnya yang berat, pelan, tapi bergaung.
"Kami..., kami tidak main-main, Ketua. Kami berkata benar! Sudah dua kali kami menghadiri pertemuan yang Ketua adakan," jawab Naga Tua, terdengar gugup nada suaranya.
"Kalau benar begitu, mengapa aku tidak pernah melihat wajah kalian?!" desak Raja Tengkorak keras dan tegas.
Naga Tua membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Ternyata bukan hanya dia saja, lima orang rekannya pun menelan ludah untuk membasahi kerongkongan.
"Bisakah kalian buktikan kalau kalian benar-benar hadir dalam pertemuan itu?!" sambung Raja Tengkorak lagi dengan nada semakin meninggi.
"Bisa, Ketua...," sahut Dulimang, agak terbata-bata.
"Apa...?!" bentak Raja Tengkorak.
"Pada pertemuan pertama kali.... Ketua datang sendiri. Tapi pada pertemuan kedua kalinya, Ketua membawa seorang kakek berpakaian kuning yang Ketua akui sebagai paman Ketua. Namanya adalah..."
Naga Tua menghentikan ucapannya, dan mengernyitkan kening. Diam-diam dia memaki dirinya yang mendadak lupa akan nama tokoh yang menjadi paman Raja Tengkorak itu.
"Turgawa...!" sambung Juriga cepat begitu melihat rekannya tidak melanjutkan ucapannya lagi. Dia tahu kalau Naga Tua lupa, sehingga buru-buru dia angkat suara.
"Hm...," lagi-lagi Raja Tengkorak hanya bergumam tidak jelas. "Lalu, apa lagi yang bisa kalian jadikan bukti kalau kalian memang pernah ikut hadir dalam pertemuanku?"
"Ketua memerintahkan kami dan juga tokoh-tokoh aliran hitam lainnya untuk berkumpul kembali lusa malam," kali ini Dulimang yang menjawab. Sedangkan tiga orang tokoh persilatan lainnya hanya diam saja. Rupanya mereka tidak terhitung orang yang pandai berbicara.
"Hm..., ya. Pertanyaan terakhir. Di mana tempat yang kujadikan pertemuan lusa malam?!"
"Sama dengan tempat sebelumnya, Ketua. Tanah lapang luas di dalam Hutan Jambak!" sahut Juriga buru-buru.
"Hm.... Semua ucapan kalian benar," ujar Raja Tengkorak akhirnya. "Sekarang tunjukkan padaku tempat kalian bertemu dengan Dewa Arak!"
"Baik, Ketua...!" sahut Naga Tua.
Meskipun agak heran melihat perangai Raja Tengkorak yang mendadak berubah, keenam orang itubergerak juga untuk memberitahukan tempat Arya yang telah mereka temukan. Naga Tua dan kelima orang rekannya berlari mengerahkan seluruh kemampuannya. Dan itu terpaksa mereka lakukan agar Raja Tengkorak tidak murka karena lari mereka yang lambat.
Meskipun keenam orang itu telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, tapi tetap saja Raja Tengkorak hanya mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, karena memang perbedaan ilmu meringankan tubuh mereka terpaut jauh.
"Di mana. Dewa Arak berada...?" tanya Raja Tengkorak sambil terus berlari. Tidak nampak, ada desah napas memburu, sekalipun dia berbicara sambil berlari.
“Tak begitu jauh dari sini, Ketua. Pendekar keparat itu berada di Desa Jawul," sahut Naga Tua dengan napas agak memburu ketika berbicara.
Raja Tengkorak terdiam. Tidak melanjutkan pertanyaannya lagi. Hampir saja ditamparnya mulut Naga tua yang telah memaki Arya dengan panggilan pendekar keparat. Untung saja amarahnya masih bisa dikendalikan.
Mereka tak lagi berbicara. Kini yang terdengar hanyalah langkah-langkah kaki mereka yang menerabas semak-semak dan rerumputan. Cukup lama juga mereka berlari, sebelum tembok batas Desa Jawul tampak di hadapan mereka. Jaraknya tak lebih dari dua puluh tombak.
Melihat desa yang sudah tampak di depan matanya, lari Naga Tua semakin dipercepat. Semangatnya seketika bangkit untuk segera menunjukkan kepada pemimpinnya tempat Dewa Arak berada, sebelum pemuda berambut putih keperakan itu pergi. Hanya dalam beberapa langkah saja, tujuh orang itu telah mulai memasuki mulut desa.
"Dewa Arak berada di sana, Ketua," beri tahu Naga Tua sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah pos penjagaan yang di bagian depannya tergantung sebuah kentongan.
Raja Tengkorak segera bergerak perlahan menghampiri. Diikuti oleh keenam orang tokoh sesat di belakangnya. Dengan bantuan sinar bulan di langit, tampak cukup jelas kalau di dalam pos penjagaan itu tergolek sesosok tubuh berpakaian ungu dan berambut putih keperakan.
Tapi sebelum Raja Tengkorak dan enam orang tokoh persilatan itu melangkah lebih dekat lagi, sosok pakaian ungu yang memang tidak lain adalah Arya itu telah bangkit.
Begitu bangkit, pemuda berambut putih keperakan itu langsung bersikap waspada. Apalagi di hadapannya telah berdiri Raja Tengkorak dan enam orang tokoh persilatan lainnya. Sesaat Arya kebingungan. Apakah laki-laki berseragam tengkorak yang berdiri di hadapannya adalah Sengkala, atau Kalpa Reksa?
Namun hanya sebentar saja kebingungan itu melanda hatinya. Pemuda berpakaian ungu itu sudah bisa memperkirakan kalau Raja Tengkorak yang berada di hadapannya ini adalah Sengkala! Buktinya, ada enam orang yang bersikap dan berdandan kasar berdiri di samping Raja Tengkorak itu. Tentu saja laki-laki berseragam tengkorak itu adalah Raja Tengkorak palsu!
"Hiaaat...!" Tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera melancarkan serangan. Sambil melompat ke depan, tangan kanannya yang berbentuk cakar, bergerak menyampok ke arah pelipis. Sedangkan tangan kirinya terletak di sebelah kiri pinggang.
Wuttt...!
Terdengar deru angin keras ketika sampokan tangan pemuda berambut putih keperakan itu meluncur cepat ke arah sasaran. Dewa Arak menggunakan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'!
"Hm...!" Raja Tengkorak menggumam pelan. Sepintas saja sudah bisa diperkirakannya kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu. Meskipun demikian, hatinya tidak menjadi gentar atau jerih. Segera kakinya dilangkahkan ke kanan, seraya mencondongkan tubuh. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya bergerak menangkis serangan itu dengan arah gerakan dari dalam keluar.
Laki-laki berseragam tengkorak itu sengaja menangkis sambil mencondongkan tubuh dan melangkah ke samping, agar kekuatan serangan lawan tidak sepenuhnya menerpa. Sebagian dari kekuatan lawan, tenaga tambahan karena lompatan, telah dipunahkannya melalui tangkisan dengan diiringi gerakan seperti itu.
Takkk...!
Hebat bukan main akibat benturan dua buah tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam amat tinggi itu. Suara berdetak keras terdengar seperti beradunya dua batang logam keras. Tubuh Arya terpental ke belakang. Sedangkan Raja Tengkorak terhuyung-huyung. Namun berkat ilmu meringankan tubuh mereka yang telah mencapai tingkat tinggi, dengan mudah keduanya mematahkan daya yang mendorong tubuh mereka ke belakang.
"Hup...!" Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di tanah, Raja Tengkorak pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Arya segera menjumput guci araknya. Tapi belum juga sempat dituangkan ke mulut.
"Tahan, Arya... !"
Bagai dicengkeram oleh tangan tak tampak, guci yang dipegang pemuda berambut putih keperakan itu tertahan di udara. Ucapan yang keluar dari mulut Raja Tengkorak itulah yang menyebabkannya. Pemuda berpakaian ungu itu menyipitkan matanya, menatap wajah Raja Tengkorak lekat-lekat. Perasaan heran tampak di wajahnya.
Dewa Arak memang tengah dilanda perasaan bingung yang amat sangat. Pandang matanya menatap berganti-ganti pada laki-laki berseragam tengkorak itu, juga pada enam orang tokoh persilatan yang berada tak jauh di belakangnya.
Suara itu amat dikenal Arya. Suara Kalpa Reksa! Tapi kalau benar, mengapa bisa bersama-sama dengan enam tokoh persilatan yang menilik dari gerak-geriknya adalah tokoh-tokoh golongan hitam? Arya terpaku beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya teringat sesuatu.
"Raja Tengkorak...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu ragu-ragu.
"Lenyapkan...!" lirih tapi tajam ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berseragam tengkorak itu.
Kini Arya yakin kalau Raja Tengkorak yang berada di hadapannya adalah Raja Tengkorak yang asli. Raja Tengkorak tua yang bernama asli Kalpa Reksa!
"Lebih baik kita singkirkan enam keroco ini dulu, Arya. Aku mempunyai sebuah rencana yang jitu...!"
Serentetan kata-kata terdengar di telinga Arya. Dewa Arak tahu kalau ucapan itu dikerahkan melalui ilmu mengirimkan suara dari jauh. Dan suara itu hanya ditujukan untuknya. Dari suara yang khas, Arya tahu kalau orang yang mengirimkan pesan itu adalah Kalpa Reksa!
Dewa Arak mengangguk samar ketika beradu pandang dengan Raja Tengkorak. Sedangkan Raja Tengkorak mengangguk pula. Sama seperti yang dilakukan Dewa Arak. Samar dan hampir tidak terlihat.
Yakin kalau laki-laki berseragam tengkorak yang berdiri di hadapannya adalah Kalpa Reksa, Arya segera melangkah maju. Dia melintasi samping kiri tubuh Raja Tengkorak, dan terus menuju ke arah enam orang pengikut Raja Tengkorak palsu itu.
Enam pasang mata terbelalak ketika melihat pimpinan mereka membiarkan Dewa Arak berlalu di sebelahnya. Tidak salah lihatkah mereka? Perasaan heran meliputi keenam orang tokoh aliran hitam itu. Dan, mereka saling pandang dengan mata terbelalak lebar.
"Ketua...," agak bingung Naga Tua menyapa.
Tapi Raja Tengkorak diam. Dia sama sekali tidak membalas sapaan laki-laki berpakaian rompi kulit ular itu.
"Dia pasti Raja Tengkorak palsu!" desis Dulimang keras.
Kontan wajah lima orang rekannya berubah. Ucapan Dulimang tali membuat rekannya mampu melihat keanehan-keanehan yang tampak dari Raja Tengkorak yang dikira sebagai pimpinan mereka.
"Ya. Dia pasti menyamar sebagai pimpinan kita!" seru Juriga mendukung dugaan rekannya.
"Keparat...!" maki Naga Tua keras. Nada kegeraman tampak jelas di wajahnya. Tidak cukup hanya dengan makian saja, kedua tangannya bergerak ke arah punggung. Dan....
Srattt...! Sinar berkilauan terlihat saat Naga Tua mencabut sepasang goloknya yang tersampir di punggung.
Wuk, wuk, wuk...!
Begitu sepasang goloknya terhunus, langsung saja laki-laki berpakaian kulit ular ini memutar-mutarkannya di depan dada, sehingga menimbulkan angin dan suara menderu. Melihat rekannya telah mencabut senjata dan siap untuk menyerang, Dulimang, Juriga, dan tiga orang lainnya pun mencabut senjata masing-masing sehingga menimbulkan suara mengiuk.
Arya tetap bersikap tenang. Bahkan guci yang tadi sudah dijumputnya, kembali disampirkan ke punggung. Dewa Arak tahu, menghadapi enam orang lawan yang berada di hadapannya, tidak perlu mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti', karena hal itu hanya akan menghambur-hamburkan araknya saja.
Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap diam dan tidak bergeming sedikit pun. Walaupun keenam orang lawannya sudah bergerak mendekati dengan senjata di tangan. Mereka berpencar dan mengurung diri Arya. Semakin lama kurungan itu semakin menyempit seiring dengan gerakan mereka yang mendekat ke arah Dewa Arak.
"Hiaaat...!" Naga Tua berteriak keras mengguntur. Sepasang golok di tangannya meluncur ke arah leher Dewa Arak dengan gerakan menggunting.
"Hih...!"
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaat...!"
Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya serangan Naga Tua, serangan dari Dulimang, Juriga, dan tiga orang lainnya meluncur pula. Masing-masing senjata menyambar ke arah sasaran yang berlainan. Ubun-ubun, leher, dada, punggung, perut dan bagian-bagian lainnya.
Dewa Arak tetap diam. Tidak ada gelagat bila dia akan menangkis atau mengelak. Baru ketika serangan itu menyambar dekat ke arah dirinya, dia mulai bertindak. Luar biasa! Tubuh pemuda berpakaian ungu itu menyelinap di antara hujan serangan senjata lawannya.
Cepat bukan main gerakan Arya, sehingga yang terlihat hanyalah bayangan berwarna ungu yang berkelebatan cepat di antara sinar berkilauan dari senjata senjata yang meluncur ke arah berbagai bagian tubuhnya. Tidak hanya itu saja yang dilakukan Dewa Arak. Berbarengan dengan lesatan tubuhnya, kedua tangannya pun bergerak cepat.
"Hup...!" Begitu Arya mendaratkan kedua kakinya di tanah, pada kedua tangannya telah tergenggam senjata-senjata lawannya.
Naga Tua dan rekan-rekannya tersentak kaget Sepasang mata mereka menatap tak percaya ke arah tangan mereka yang tidak lagi menggenggam senjata. Kalau saja tidak mengalami sendiri, mereka tidak akan percaya dengan kejadian ini.
Gerakan Dewa Arak memang sangat cepat untuk bisa diikuti pandangan mata enam orang tokoh persilatan itu. Naga Tua dan rekan-rekannya merasakan tangan yang menggenggam senjata langsung lumpuh. Dan saat itulah senjata mereka berpindah ke tangan Dewa Arak. Sama sekali mereka tidak tahu kalau Arya telah menotok jalan darah di siku, sehingga membuat tangan mereka lumpuh sejenak.
* * * * * * * *
ENAM
Arya tersenyum lebar melihat lawannya terkejut lalu dengan gerakan perlahan seperti orang mematahkan lidi, senjata-senjata yang terdiri dari pedang, golok, tombak pendek, dan toya, dipatah-patahkannya. Suara berdetak keras terdengar ketika senjata-senjata itu berpatahan.
Naga Tua dan kelima rekannya menelan ludah melihat kekuatan tenaga dalam yang ditunjukkan pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi hanya sesaat saja keenam orang itu terpaku. Kemudian dengan diiringi teriakan-teriakan nyaring dan keras, mereka kembali melancarkan serangan tangan kosong ke arah Dewa Arak.
Lagi-lagi Arya bersikap tenang. Dibiarkan saja semua serangan itu. Baru ketika serangan-serangan itu menyambar dekat, tangannya segera diputar-putarkan di depan dada. Perlahan saja kelihatan gerakan itu. Tapi akibat yang ditimbulkannya hebat bukan kepalang. Semua serangan yang tertuju ke arahnya mendadak terhenti di tengah jalan.
Betapapun keenam orang itu telah memaksakan diri, mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melanjutkan serangan, tetap saja mereka tidak mampu maju. Sampai-sampai terdengar suara keluhan dari mulut mereka sebagai pertanda telah mengerahkan tenaga sampai ke puncaknya.
Peristiwa itu berlangsung beberapa saat lamanya, dan baru berakhir ketika Dewa Arak menambah kecepatan putarannya. Tubuh enam orang pengikut Raja Tengkorak itu berpentalan ke belakang diiringi suara jeritan kesakitan. Dari mulut mereka memercik darah segar.
Memang, bertambahnya kecepatan gerak tangan Dewa Arak, akan mengakibatkan kekuatan tenaganya. Enam orang itu mana mungkin mampu bertahan?
Brukkk...! Brukkk...!
Suara-suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh keenam orang itu berjatuhan di tanah. Dan belum sempat mereka bangkit, sekelebatan bayangan hitam telah lebih dulu melesat. Dan....
Tuk, tuk, tuk... !
Seketika itu juga tubuh Dulimang dan lima orang rekannya lemas. Raja Tengkorak telah menotok jalan darah mereka di punggung, dan mengakibatkan sekujur tubuh mereka lemas tidak berdaya.
"Mereka harus kita tahan, Arya," ujar Raja Tengkorak.
"Mengapa, Ki?" tanya pemuda berpakaian ungu itu.
"Aku mempunyai sebuah rencana. Dan, aku tidak ingin rencana itu berantakan bila mereka sampai bebas," sambung laki-laki berseragam tengkorak itu memberi penjelasan.
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti. "Kalau begitu, mari kita sembunyikan mereka dulu, hingga rencanamu berhasil baik."
"Kau mempunyai tempat untuk menyembunyikan mereka, Arya?" tanya Raja Tengkorak.
"Kira-kira begitu, Ki."
"Kalau begitu, mari kita bawa ke sana!" sambut Raja Tengkorak cepat.
Arya segera mengulurkan tangannya, menjumput tubuh-tubuh yang tergolek. Dengan kekuatan tenaga dalamnya yang telah mencapai tingkat tinggi, tidaklah sulit untuk membawa tiga tubuh penjahat itu. Sedangkan tiga tubuh yang lain dibawa Raja Tengkorak.
Arya sebagai penunjuk jalan, berjalan lebih dahulu. Sedangkan Kalpa Reksa mengikuti dari belakang. Ternyata tempat persembunyian yang dimaksud Dewa Arak, letaknya cukup jauh dari tempat pertarungan tadi. Agak lama juga kedua orang itu berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki sebelum akhimya tiba di tempat tujuan yang ternyata adalah sebuah gua yang berada di dalam hutan.
"Inikah tempat yang kau maksudkan itu, Arya?" tanya Raja Tengkorak seraya memperhatikan gua yang letaknya agak tersembunyi, karena tertutup pepohonan dan kerimbunan semak-semak yang berada tak jauh di depannya.
"Benar, Ki," sahut Dewa Arak seraya menganggukkan kepala. "Bagaimana? Cukup tersembunyi, bukan?"
"Kira-kira begitu, Arya," sahut Raja Tengkorak.
Arya pun melangkah memasuki mulut gua itu. Di belakangnya, Raja Tengkorak mengikuti pula. Gua itu meskipun di luarnya tidak terlihat besar, tapi bagian dalamnya ternyata luas dan agak terang. Padahal tidak nampak adanya obor yang tergantung di situ.
Tapi, baik Dewa Arak maupun Raja Tengkorak sama sekali tidak mempedulikan sumber cahaya itu karna mereka tahu ada sejenis batu yang dapat menyerap sinar, dan memancarkan kembali apabila hari telah gelap. Barangkah saja gua itu tersusun dari batu-batu semacam itu.
Sesampainya di bagian dalam gua, Arya dan Raja Tengkorak Wu menjatuhkan tubuh-tubuh yang mereka bawa ke lantai gua, tanpa peduli enam orang itu merasa kesakitan atau tidak. Raja Tengkorak dan Arya memperhatikan enam sosok tubuh itu sesaat, sebelum akhirnya melangkah meninggalkan tempat itu.
"Apa rencanamu, Ki?" tanya Dewa Arak setelah mereka berada agak jauh dari mulut gua. "Menyerang mereka!" tandas Raja Tengkorak.
"Kau sudah tahu sarang Raja Tengkorak palsu itu, Ki?" tanya Arya lagi.
"Bukan sarangnya, Arya. Tapi tempat pertemuan mereka," sahut-Raja Tengkorak, memperbaiki kata-kata Dewa Arak.
"Tapi, itu berbahaya sekali, Ki," ada nada kekhawatiran dalam ucapan pemuda berpakaian ungu itu. "Kita tidak tahu pasti seberapa besar kekuatan mereka. Padahal, Raja Tengkorak palsu dan Turgawa saja sudah merupakan lawan-lawan yang teramat tangguh.
"Apa yang kau ucapkan itu memang tidak salah, Arya," Raja Tengkorak yang memang sudah mempekirakan sambutan Arya, tetap bersikap tenang. "Dan aku pun tentu saja tidak bermaksud langsung menyerang."
"Hm...," Arya menggumam pelan. "Lalu...?"
"Apakah menurutmu, Raja Tengkorak dan pengikut-pengikutnya berada dalam satu sarang?" Raja Tengkorak malah balas bertanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu mengernyitkan dahi sebentar, pertanda tengah berpikir. Perlahan kepalanya digelengkan. "Tidak, Ki," sahut Arya.
"Mengapa kau menduga demikian, Arya?" kejar laki-laki berseragam tengkorak itu lagi.
"Atas dasar adanya tempat pertemuan itu, aku menduga demikian, Ki," jawab Dewa Arak mantap. "Apabila Raja Tengkorak dan pengikutnya tinggal di satu tempat, tak perlu mereka mengadakan pertemuan di tempat yang lain."
"Tepat!" sambut Raja Tengkorak gembira. "Begitu pula dugaanku, Arya. Jadi, begitu pertemuan selesai, mereka kembali ke tempat masing-masing. Raja Tengkorak dan Turgawa mungkin akan bersama-sama. Tapi tidak dengan tokoh-tokoh persilatan lainnya."
"Aku mengerti, Ki," lanjut Arya buru-buru. "Di saat mereka tengah berdua, kita menyergapnya!"
"Tepat sekali, Arya! Memang itu maksudku..." sambut Raja Tengkorak cepat. "Bagaimana rencanaku, Arya? Cukup baik bukan?"
"Bagus sekali, Ki!" puji Dewa Arak jujur. "Tapi, kalau boleh kutahu, dari mana kau mengetahui tempat pertemuan Raja Tengkorak dengan tokoh-tokoh persilatan itu, Ki?"
"Dari enam orang yang kita tawan, Arya."
"Kau yakin mereka tidak menipu, Ki?" tanya Dewa Arak khawatir.
"Aku berbicara dengan mereka sebagai Raja Tengkorak, Arya. Mana mungkin mereka berani berbohong! Apakah mereka sudah mempunyai nyawa rangkap? Lagi pula siapa yang tahu kalau Raja Tengkorak tidak hanya seorang selain Turgawa? Dan, aku yakin dia tidak akan mau menceritakannya, karena hal itu akan membuat tokoh-tokoh persilatan itu berkurang kepercayaannya pada Raja Tengkorak. Akibatnya, bisa jadi mereka bubar!"
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Memang, penjelasan panjang lebar yang diajukan Raja Tengkorak bisa diterima akalnya. "Di mana tempat pertemuan itu, Ki?"
"Di Hutan Jambak. Di sebuah tanah lapang luas yang di bagian tengahnya terdapat sebuah gundukan batu lebar dan pipih. Dua malam lagi pertemuan itu akan diadakan, Arya."
"Kalau begitu, kita harus bergegas, Ki," sahut Dewa Arak cepat. "Perjalanan ke sana cukup jauh."
"Kau benar, Arya. Mari...!"
Begitu gema ucapannya selesai, Raja Tengkorak pun melesat. Kini ilmu meringankan tubuhnya tidak ragu-ragu lagi dikerahkan sampai tiga perempat bagian. Telah disaksikannya sendiri kecepatan gerak Arya dan kekuatan tenaga dalamnya.
Laki-laki berseragam tengkorak ini terkejut begitu melihat sekelebatan bayangan ungu melesat cepat dan tahu-tahu sudah berada di samping kanannya. Dan terus berada di situ. Sama sekali tidak tertinggal olehnya.
Melihat hal ini Raja Tengkorak pun menambah kecepatan larinya. Tapi tetap saja Dewa Arak mampu mengimbanginya. Bahkan sampai seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, tetap saja pemuda berambut putih keperakan itu mampu mensejajari langkahnya.
Karuan saja Raja Tengkorak kaget juga melihat hal itu. Memang sudah bisa diperkirakannya kalau pemuda berambut putih keperakan itu adalah seorang yang lihai. Tapi sama sekali tidak disangka bisa menyamai ilmu meringankan tubuhnya. Entah dalam hal tenaga dalam dan mutu ilmu silat.
Sang surya telah lama tenggelam. Bias-bias berwarna kemerahan tampak di ufuk Barat. Kegelapan pun mulai menyelimuti persada.
"Kau yakin tempat kita ini sulit diketahui oleh mereka yang di bawah, Ki?" tanya Arya sambil berpindah ke cabang pohon yang lebih banyak dikelilingi dedaunan.
"Kira-kira begitu, Arya," kalem jawaban Raja Tengkorak. "Di samping tempat ini tertutup oleh kerimbunan dedaunan, juga keadaan malam pun nanti akan banyak menolong kita."
Memang, Arya dan Kalpa Reksa telah berada di atas cabang sebatang pohon tinggi berdaun lebat yang berjarak sekitar lima tombak dari lapangan luas di Hutan Jambak. Pemuda berambut putih keperakan itu terdiam. Alasan yang diajukan Raja Tengkorak bisa diterimanya.
Kini suasana pun menjadi hening, karena baik Dewa Arak maupun laki-laki berseragam tengkorak itu tidak berbicara lagi. Mereka berdua hanya diam menunggu. Waktu berlalu terasa begitu lambat bagi kedua tokoh sakti yang tengah diam menunggu itu. Malam tiba seperti seekor siput merayap.
"Hem...!"
Dewa Arak dan Raja Tengkorak terjingkat bagai disengat kalajengking! Hampir saja kedua orang itu terlempar dari atas pohon, saking besamya perasaan kaget yang melanda dada mereka. Betapa tidak? Suara deheman itu berasal dari atas mereka. Dengan wajah pucat, Arya dan Raja Tengkorak mendongak ke atas. Memang, di cabang pohon di atas mereka tampak duduk sesosok tubuh berpakaian abu-abu!
Kini tidak hanya wajah Arya saja yang berubah. Sepasang matanya pun membelalak lebar. Sejak tadi dia dan Raja Tengkorak berada di cabang pohon ini, namun sama sekali tidak mengetahui adanya sosok berpakaian abu-abu itu. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan ketinggian ilmunya! Karena baik Arya maupun Raja Tengkorak memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya. Tapi sama sekali tidak mampu mendengar helaan napas sosok berpakaian abu-abu itu. Tak terasa hati kedua tokoh sakti ini berdebar tegang.
Sebelum Arya dan Raja Tengkorak berbuat sesuatu, sosok tubuh berpakaian abu-abu itu telah lebih dulu melayang turun. Ringan sekali gerakannya seperti seekor burung.
Tappp...!
Tanpa menimbulkan getaran pada cabang pohon sedikit pun, sosok berpakaian abu-abu itu telah hinggap di cabang pohon, persis di tengah-tengah Dewa Arak dan Raja Tengkorak. Dia lalu duduk dalam keadaan bersila.
"Tenanglah. Aku bukan lawan...," ucap sosok berpakaian abu-abu itu.
Ucapan sosok berpakaian abu-abu itu membuat urat-urat syaraf dan sekujur otot-otot Raja Tengkorak dan Dewa Arak yang semula menegang waspada, langsung, mengendur kembali. Ucapan itu bisa mereka terima, sebab bila sosok berpakaian abu-abu itu bermaksud tidak baik, tentu sudah sejak tadi dia turun tangan.
Arya dan Raja Tengkorak menatap lekat-lekat sosok berpakaian abu-abu itu. Ternyata dia adalah seorang kakek yang sudah berusia lanjut. Sekujur kulit wajahnya penuh keriput. Kumis, dan jenggotnya telah memutih semua. Bulu-bulu hidungnya yang juga putih, nampak menerobos keluar dari lubang hidungnya.
"Aku Jaran Sangkar! Dan berada di sini karena memang ingin menjumpai kalian berdua. Terutama sekali bertemu denganmu, Raja Tengkorak. Karena, kalian sepertinya tidak mempedulikanku, maka sengaja aku berdehem. Maafkan bila perbuatanku itu mengejutkan kalian!"
"Sama sekali tidak, Ki," sahut Arya buru-buru.
Sementara Raja Tengkorak hanya diam. Menilik dari pandangannya yang menatap tajam pada satu titik, bisa diketahui kalau laki-laki berseragam tengkorak ini tengah berpikir.
"Jaran Sangkar...." ulang Raja Tengkorak setelah beberapa saat lamanya terdiam. "Bukankah kau orang yang mengasingkan diri di Gunung Lontar? Ya. Kau guru Ranjana dan Tampar Waja."
Bibir kakek berpakaian abu-abu itu menyunggingkan senyum pahit. "Matamu awas juga, Kalpa Reksa. Memang, aku adalah guru kedua orang itu."
Deg! Tubuh Raja Tengkorak terjengkang kebelakang. Kalau saja Arya tidak lekas mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangannya, tubuh laki-laki berseragam tengkorak itu akan terjatuh dari cabang pohon.
Arya mengernyitkan dahi. Sungguh tidak dimengertinya mengapa Raja Tengkorak kaget. Semula kakek berpakaian abu-abu yang ternyata bernama Jaran Sangkar, disangkanya adalah kawan Raja Tengkorak.
"Ba... bagaimana kau bisa tahu?" tanya Raja Tengkorak agak tergagap.
Kini pemuda berpakaian ungu itu baru terkejut. Rupanya Kalpa Reksa dan Jaran Sangkar sama sekali tidak saling mengenal.
"Tampar Waja sering berkunjung ke tempatku, Reksa. Dia sering bercerita tentang sahabatnya yang bernama Kalpa Reksa," jawab Jaran Sangkar tenang. "Dia juga memberitahukan padaku ciri-cirimu. Oleh karena itu aku bisa langsung mengenalimu."
"Aku memang sering berkunjung ke tempatnya. Begitu pula ke tempat Ranjana. Mereka berdua sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Tapi..., aku benar-benar tidak menyangka kalau Tampar Waja tahu kalau aku adalah Raja Tengkorak!"
"Tampar Waja tidak tahu kalau kau adalah Raja Tengkorak," masih terdengar kalem suara Jaran Sangkar.
"Jadi..., Ranjana?"
Lagi-lagi kakek berpakaian abu-abu itu menggelengkan kepalanya.
"Lalu...?! Bagaimana kau bisa mengetahui kalau aku yang berada di balik seragam Raja Tengkorak ini?" ada nada keputusasaan dalam suara laki-laki berseragam tengkorak ini. Arya yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan kedua orang itu pun jadi tertarik pula.
Jaran Sangkar tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
"Bukankah sudah kukatakan tadi, Tampar Waja telah menceritakan semua ciri-cirimu, Kalpa Reksa. Bahkan sewaktu kau kebetulan pulang berkunjung dari tempatnya, aku melihatmu di jalan, karena aku saat itu hendak menuju ke tempatnya pula. Itulah sebabnya, begitu melihat, aku langsung bisa mengenali dirimu."
Raja Tengkorak rupanya masih belum mengerti juga maksud pembicaraan Jaran Sangkar. Memang, perasaan terkejutlah yang menyebabkan hatinya terguncang. Sehingga membuat pikirannya seperti buntu, tidak bisa diajak berpikir.
"Bukankah wajah Ki Kalpa Reksa tersembunyi di balik selubung, Ki?" meskipun ada sekelumit dugaan yang muncul di hatinya, Dewa Arak menanyakannya untuk memperoleh kejelasan.
"Aku mempunyai ilmu yang mampu melihat sesuatu benda secara jelas meskipun benda itu berada di balik tembok tebal. Jadi, selubung tengkorak itu sama sekali tidak menjadi penghalang bagiku untuk melihat wajahnya.
"Ah...!" hampir berbareng terdengar desah keterkejutan dari mulut Dewa Arak dan Raja Tengkorak. Luar biasa ilmu yang dimiliki kakek berpakaian abu-abu ini.
Meskipun sama-sama berseru kaget namun ada perbedaan dalam keterkejutan Dewa Arak dan Raja Tengkorak. Kalau kekagetan Arya, memang kekagetan murni, tidak demikian halnya dengan kekagetan Raja Tengkorak.
Laki-laki berseragam tengkorak itu memang kaget ketika mendengar Jaran Sangkar memiliki ilmu itu. Tapi keterkejutan yang dialaminya bercampur dengan kemengertian. Kini dia baru tahu mengapa kakek berpakaian abu-abu itu tahu kalau Raja Tengkorak adalah Kalpa Reksa.
"Untung saja tadi aku bertindak hati-hati, sehingga tidak langsung menyerang. Melainkan lebih dulu melihat wajah yang berada di balik selubung. Kalau tidak, mungkin aku tadi sudah langsung menyerangmu. Kau bisa mengerti kan?"
Raja Tengkorak mengangguk. "Ya. Kedua orang muridmu telah dibunuh oleh Raja Tengkorak."
Jaran Sangkar tersenyum getir.
"Kalpa Reksa...," ucap kakek berpakaian abu-abu itu. Nada suaranya kini terdengar sungguh-sungguh seperti raut wajahnya.
Raja Tengkorak diam menunggu kelanjutan ucapan Jaran Sangkar. Sebagai seorang yang telah banyak makan garam kehidupan, dia tahu kalau laki-laki berpakaian abu-abu itu mulai bersikap sungguh-sungguh.
"Aku minta penjelasan darimu mengenai Raja Tengkorak. Benarkah kau orang yang telah membunuh kedua, muridku? Dari tanda yang ditinggalkan, aku tahu kalau kedua orang muridku dan perguruan yang mereka dirikan dihancurkan oleh Raja Tengkorak..."
"Hhh...!" Raja Tengkorak asli alias Kalpa Reksa menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Cukup panjang juga ceritanya, Ki," terdengar pelan jawaban laki-laki berseragam tengkorak itu. "Padahal, kami berada di sini untuk menunggu hadirnya Raja Tengkorak yang telah membunuh kedua orang sahabatku itu!"
"Ceritakanlah secara singkat," kata Jaran Sangkar.
Raja Tengkorak tercenung sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya. "Aku memang Raja Tengkorak yang puluhan tahun merajalela di rimba persilatan," laki-laki berseragam tengkorak itu memulai ceritanya. "Tapi sebuah kejadian menyedihkan menyadarkanku. Aku lalu mengasingkan diri..."
"Hm.... Pantas kalau tiba-tiba saja Raja Tengkorak lenyap dari dunia persilatan...," Jaran Sangkar mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. Tapi mendadak keningnya berkernyit dalam ketika teringat sesuatu.
"Menurut berita yang kudengar, Raja Tengkorak telah tewas dalam pertandingan melawan musuhnya....!” Sambil berkata demikian, kakek berpakaian abu-abu ini menatap wajah Raja Tengkorak penuh selidik. Tampak adanya nada tuntutan, baik dalam suara maupun sorot matanya.
* * * * * * * *
TUJUH
Raja Tengkorak tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. "Akulah yang menciptakan desas-desus itu, Ki. Karena aku memang ingin mengubur kenangan pahit Raja Tengkorak...!"
"Jadi...? Berita pertarungan antara Raja Tengkorak dengan musuhnya itu tidak benar?!" nada suara Jaran Sangkar terdengar penuh tuntutan. "Padahal berita yang kudengar begitu jelas kalau Raja Tengkorak mencari-cari musuh besarnya."
Raja Tengkorak tersenyum getir. "Berita itu memang benar, Ki. Raja Tengkorak memang mencari-cari musuh besarnya, bertemu dan akhirnya bertarung. Tapi dalam pertarungan itu, Raja Tengkorak berhasil membinasakan musuhnya. Jadi, cerita yang merupakan kabar bohong adalah kekalahan Raja Tengkorak oleh musuhnya," jelas Kalpa Reksa panjang lebar.
"Hm...." kakek berpakaian abu-abu itu bergumam seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak jelas kalau dia telah mengerti maksud pembicaraan Raja Tengkorak.
Sesaat suasana menjadi hening sejenak, ketika Jaran Sangkar tidak melanjutkan pertanyaannya lagi dan Raja Tengkorak telah selesai dengan penjelasannya.
"Boleh aku bicara?" ucapan Dewa Arak memecahkan keheningan yang terjadi.
Hampir berbareng Jaran Sangkar dan Raja Tengkorak menganggukkan kepala pertanda membolehkan.
"Dari mana kau tahu, kalau kami akan menuju kemari, Ki?!" Arya langsung saja mengeluarkan ganjalan yang mengganggu hatinya sejak tadi.
"Aku melihat sewaktu Kalpa Reksa menanyai enam orang tokoh persilatan...."
"Jadi..., kau mengikuti kami sejak dari sana, Ki?" tanya Raja Tengkorak kaget karena bisa memperkirakan betapa hebatnya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek berpakaian abu-abu ini, sehingga dia dan Dewa Arak yang sama-sama memiliki pendengaran yang tajam, sama sekali tidak mengetahui kehadirannya.
Jaran Sangkar mengangguk. "Tapi, aku mendahului kalian ke pohon ini. Karena aku yakin kalau kalian berdua pasti akan sembunyi di sini!"
Mendadak Dewa Arak, Jaran Sangkar, dan Raja Tengkorak menghentikan pembicaraannya. Karena pendengaran mereka yang tajam menangkap suara langkah-langkah kaki menuju ke arah tempat mereka bersembunyi. Benar saja! Sesaat kemudian, muncul sosok-sosok bayangan yang kemudian berhenti di pinggir lapangan.
Semula jumlah mereka terlihat beberapa orang saja. Tapi lama-kelamaan makin banyak bayangan yang berkelebatan. Kemudian mereka menghentikan langkahnya setelah berada di pinggir lapangan.
Dewa Arak, Jaran Sangkar, dan Raja Tengkorak membisu. Sedangkan mata mereka menatap tajam ke arah sosok-sosok bayangan yang berada di pinggir lapangan. Mereka tidak lagi mendengar langkah-langkah kaki. Jelas, tidak ada lagi tokoh persilatan yang bakal datang.
"Rupanya hanya tinggal Raja Tengkorak yang belum muncul...," ujar Raja Tengkorak asli, lirih.
"Kira-kira begitu, Ki," sahut Arya dengan suara yang tidak kalah lirih, agar tidak terdengar oleh tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di pinggir lapangan.
"Jadi... inikah anak buah Raja Tengkorak palsu itu, Reksa?" tanya Jaran Sangkar pelan.
"Aku sendiri tidak tahu pastinya, Ki," jawab Raja Tengkorak sambil menggelengkan-gelengkan kepalanya. "Tapi, dari cerita yang kudengar dari tokoh persilatan yang menjadi pengikut Raja Tengkorak itu, bisa kujawab, ya!"
Jaran Sangkar pun terdiam. Rupanya jawaban yang diberikan Raja Tengkorak alias Kalpa Reksa cukup memuaskan hatinya.
“Ki....!” Setelah suasana hening beberapa saat lamanya karena kakek berpakaian abu-abu itu menghentikan ucapannya, Kalpa Reksa membuka suara. Menilik dari ucapannya yang tertahan, bisa diketahui kalau dia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu.
"Hm...," gumam Jaran Sangkar pelan, menyambut ucapan Raja Tengkorak.
"Apakah kau akan membuat perhitungan juga dengan Raja Tengkorak palsu itu?"
Jaran Sangkar tidak langsung menjawab pertanyan itu. Dia termenung beberapa saat lamanya. Jelas, kakek berpakaian abu-abu itu tengah berpikir keras. Tak lama kemudian, Jaran Sangkar menggelengkan kepalanya.
"Kenapa, Ki?" tanya Raja Tengkorak ingin tahu alasan kakek berpakaian abu-abu itu. Tapi, Raja Tengkorak sudah dapat menduga kalau Jaran Sangkar juga ingin membalas dendam atas kematian kedua muridnya.
"Karena sudah ada orang yang lebih patut melakukannya. Dan orang itu adalah kau, Reksa," jawab Jaran Sangkar. "Lagi pula sejak semula, aku masih ragu-ragu dengan niatku sendiri. Kau tahu kan maksudku, Reksa?"
Laki-laki berseragam tengkorak itu menganggukkan kepalanya. Dia mengetahui hal-hal yang masih menjadi hambatan bagi Jaran Sangkar. Kakek berpakaian abu-abu itu sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia.
Bukan hanya Raja Tengkorak asli saja yang mengerti maksud pembicaraan Jaran Sangkar. Dewa Arak yang sejak tadi terdiam pun memahami maksud ucapan kakek berpakaian abu-abu itu. Sifat Jaran Sangkar memang mirip sekali dengan gurunya, Ki Gering Langit Karena dia teringat dengan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itulah, Arya langsung dapat menemukan jawaban dari ucapan Jaran Sangkar!
"Auuung...!" Suara lolongan serigala membuat pembicaraan mereka terhenti. Dewa Arak, Raja Tengkorak, dan Jaran Sangkar terperanjat begitu melihat perubahan sikap tokoh-tokoh persilatan yang berkerumun di bawah pohon. Mereka tidak lagi kasak-kusuk, tapi hening dan tenang. Bahkan hampir-hampir tidak bergerak sama sekali. Kepala mereka semua sama-sama tertunduk.
"Apakah ini pertanda Raja Tengkorak palsu akan muncul?" ketiga orang yang berada di atas pohon bertanya dalam hati.
Baru saja lolongan serigala lenyap, dua sosok bayangan berkelebat cepat memasuki lingkaran tokoh-tokoh persilatan, yang mengelilingi gundukan batu setinggi setengah tombak.
Jaran Sangkar, Raja Tengkorak, dan Dewa Arak memperhatikan dengan penuh seksama. Sekilas pandang saja, mereka semua tahu kalau sosok bayangan itu adalah Raja Tengkorak palsu dan Turgawa. Tapi Jaran Sangkar tidak mengenali kedua orang itu, karena memang dia belum pernah melihatnya.
Raja Tengkorak palsu alias Sengkala mengedarkan Pandang berkeliling. Sedangkan Turgawa berdiri diam dengan pandangan lurus ke depan. Sebatang tongkat yang berujung tengkorak kepala manusia, terhunjam di hadapan mereka.
"Keberhasilan kembali menyertai usaha kita," Raja Tengkorak palsu memulai ucapannya. Suaranya yang terdengar pelan, berat, tapi bergaung, tampak mendukung penampilannya yang menggiriskan itu. Semua kepala tokoh persilatan tertengadah, menatap pemimpin, mereka yang berdiri di tempat yang jauh lebih tinggi.
"Kembali kita berhasil memusnahkan lawan kita, Perguruan Banteng Sakti telah berhasil kita hancurkan. Ketuanya, Ki Tampar Waja telah berhasil kita bunuh. Kita telah berhasil memusnahkan orang-orang sombong itu!"
"Hidup Raja Tengkorak...!" teriak seorang tokoh persilatan yang tak mampu menahan luapan kegembiraannya. Tangan kanan yang dikepalkannya diangkat tinggi-tinggi ke udara, seraya meninju ke arah langit.
"Hidup...!" sambut yang lainnya.
Yang lain tak mau ketinggalan. Dalam sekejap saja suasana di sekitar tempat itu menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan semua tokoh persilatan yang hadir di situ. Raja Tengkorak palsu mengangkat tangannya ke atas. Suara berisik seperti tawon yang diusik dari sarangnya itu pun segera lenyap.
"Kalian jangan bergembira dulu," ucap laki-laki berseragam tengkorak yang bernama Sengkala itu. "Kita masih mempunyai penghalang yang akan menghambat maksud kita...."
Raja Tengkorak menghentikan ucapannya. Diedarkan pandangannya berkeliling untuk menatap satu persatu wajah tokoh persilatan yang berada di sekelilingnya. Dia ingin tahu tanggapan pengikut-pengikutnya.
"Kukira kalian sudah tahu, siapa tokoh yang kumaksudkan...?!"
Semua kepala tokoh persilatan yang berada di situ sama-sama terangguk.
"Kami tahu, Ketua. Bukankah orang itu adalah Dewa Arak...?!" salah seorang tokoh persilatan yang bertubuh kecil kurus angkat suara.
"Betul...!" sahut laki-laki berseragam tengkorak itu seraya menganggukkan kepala. "Pertemuan kali ini cukup. Ingat kalian semua harus mencari jejak Dewa Arak. Dan bila bertemu, beritahukan padaku. Setiap malam aku akan ke sini."
Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak palsu menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya telah melambung ke atas. Selagi tubuh tokoh yang menggiriskan itu berada di udara, tubuh Turgawa pun melesat cepat ke atas pula. Indah dan manis sekali gerakan kedua pimpinan tokoh sesat itu, ketika melampaui kepala belasan tokoh persilatan yang mengelilingi gundukan batu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Raja Tengkorak asli melesat pula dari cabang pohon yang didudukinya. Dia tidak ingin kehilangan jejak Turgawa dan orang yang telah menjelek-jelekkan julukannya.
Arya tahu kalau Kalpa Reksa tidak akan mampu menghadapi dua orang tokoh sesat yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Maka dia pun bergegas melesat keluar dari cabang pohon yang didudukinya. Jaran Sangkar menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Luar biasa...! Menilik dari ilmu meringankan tubuhnya, rasa-rasanya kepandaian yang dimiliki pemuda berambut putih keperakan itu tidak berada di bawah Raja Tengkorak. Hhh...! Sayang sekali, aku tidak pernah mendengar julukan Dewa Arak karena selalu menyembunyikan diri. Kalau melihat dari sikap yang ditunjukkan Raja Tengkorak, sudah bisa kupastikan kalau Dewa Arak adalah seorang tokoh yang disegani," ucap kakek berpakaian abu-abu itu dalam hati.
Sekali menggenjotkan kaki, tubuh Jaran Sangkar telah melesat cepat, menyusul sosok bayangan hitam dan ungu yang telah melesat lebih dulu. Raja Tengkorak asli mengernyitkan dahinya ketika melihat Turgawa dan Raja Tengkorak palsu melesat masuk ke dalam rimbunan pepohonan.
Sejenak hati laki-laki berseragam tengkorak ini ragu-ragu. Tapi kemarahan dan penasaran yang hebat membuatnya kembali berani. Tanpa ragu-ragu lagi segera diterobosnya kerimbunan pepohonan yang lebat itu. Di sini, Raja Tengkorak asli kebingungan ketika tidak melihat tanda-tanda keberadaan kedua orang buruannya. Sesaat dia dilanda kebimbangan. Ke mana hendak mencari buruannya itu?
Tapi hanya sekejapan saja perasaan bimbang melandanya. Sesaat kernudian telah ditentukan pilihannya. Dengan hati-hati dan perasaan waspada penuh, dilangkahkan kakinya menuju ke kiri. Kalpa Reksa bersikap hati-hati karena tahu kelicikan lawan-lawannya.
Pada saat yang bersamaan dengan lenyapnya tubuh Kalpa Reksa ditelan kerimbunan pepohonan, Dewa Arak tiba di tempat laki-laki berseragam tengkorak yang sedang kebingungan itu. Setelah beberapa saat lamanya mempertimbangkan, akhirnya Arya memilih jalan ke kanan.
Jaran Sangkar yang mengikuti secara diam-diam dari belakang, mengikuti langkah yang diambil pemuda berambut putih keperakan itu. Arya memasang sikap waspada penuh. Sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot tubuhnya menegang waspada, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Memang, pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau lawan yang dihadapinya adalah tokoh-tokoh persilatan aliran hitam, yang meskipun telah memiliki kepandaian tinggi tapi tetap saja lebih suka menggunakan cara licik untuk mengalahkan lawan. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati.
Jantung dalam dada Dewa Arak berdebar tegang ketika melihat adanya sosok yang tidak ubahnya tengkorak tak jauh di hadapannya, tengah membelakanginya karena tengah menempuh arah yang sama dengannya. Siapa lagi kalau bukan Raja Tengkorak! Tapi Raja Tengkorak yang mana? Asli atau palsu? Kalpa Reksa atau Sengkala?
Sesaat Dewa Arak kebingungan. Tapi kemudian dia berhasil mengambil sebuah kesimpulan. Sudah bisa dipastikan kalau Raja Tengkorak yang di hadapannya itu adalah Kalpa Reksa! Keberadaannya yang hanya seorang diri saja sudah merupakan dugaan kalau dia adalah Kalpa Reksa! Bukankah Raja Tengkorak palsu tadi bersama Turgawa?
Meskipun yakin kalau Raja Tengkorak yang berada di hadapannya sekarang adalah Kalpa, Reksa, Dewa Arak tetap saja tidak mau meninggalkan kewaspadaannya. Walaupun agak bergegas, tapi dengan kewaspadaan tidak berkurang, Arya melangkah menghampiri. Dan karena Raja Tengkorak melangkah perlahan-lahan, jarak antara mereka dengan mudah dapat diperpendek.
Srakkk...!
Suara berisik ranting dan dedaunan kering yang terpijak kaki Arya membuat Raja Tengkorak terperanjat. Wajahnya langsung menoleh ke belakang dan sikapnya pun langsung waspada penuh. Tapi....
"Ah...! Kiranya kau, Arya... ," ada nada kelegaan dalam suara. Raja Tengkorak. Kedua tangannya yang semula menegang penuh kekuatan, kini mengendur ketika melihat orang yang telah menimbulkan suara berkerosakan itu.
"Raja Tengkorak...," sebut Dewa Arak pelan untuk lebih meyakinkan diri kalau Raja Tengkorak yang berdiri di hadapannya ini benar Kalpa Reksa. Meskipun sebenarnya dari suara teguran itu sudah bisa diperkirakan Arya kalau Raja Tengkorak yang berada di hadapannya benar Kalpa Reksa.
"Lenyapkan...," sahut laki-laki berseragam tengkorak itu.
Kini tidak ada lagi keragu-raguan dalam diri Dewa Arak. Semua bukti-bukti telah menunjukkan kalau Raja Tengkorak ini adalah Kalpa Reksa. Maka dia pun kian maju menghampiri.
"Anak Muda...! Kau tertipu! Dia bukan Kalpa Reksa...!"
Arya terkejut bukan kepalang mendengar teriakan itu. Dikenalinya betul kalau suara itu adalah suara Jaran Sangkar. Dan bersamaan dengan terdengarnya suara teriakan itu, Raja Tengkorak telah meluncurkan serangannya. Sekali menyerang, langsung dengan 'Ilmu Baju Ular Emas' andalannya.
Ciiittt..!
Suara berdecit nyaring seperti puluhan ekor tikus mencicit, mengawali tibanya serangan Raja Tengkorak.
Arya terperanjat bukan kepalang. Serangan itu datang secara tiba-tiba dan tidak disangka-sangka, padahal dia tengah dalam keadaan tidak bersiap sama sekali. Kalau saja tidak ada teriakan Jaran Sangkar yang memberitahukannya, sudah bisa dipastikan kalau dirinya akan terkena serangan itu karena yang melancarkan serangan adalah Raja Tengkorak.
Pemberitahuan Jaran Sangkar telah sedikit menolongnya. Dengan sebisa-bisanya dielakkannya serangan yang datang secara tiba-tiba itu. Karena untuk menangkis serangan itu sudah tidak tersedia kesempatan. Pemuda berambut putih keperakan itu segera melangkahkan kakinya ke kiri sambil mendoyongkan tubuh.
Crat, crat...!
Arya meringis ketika ujung-ujung jari Raja Tengkorak palsu menyerempet bahu kanannya. Seketika itu juga cairan merah agak kental mengalir keluar dari bagian yang terluka.
"Grrrhhh...!" Raja Tengkorak menggeram keras begitu melihat serangannya tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Geram pada orang yang telah memberitahukan Dewa Arak. Kalau saja, tidak ada suara usilan itu tentu Arya telah berhasil dikirimnya ke alam baka. Sebelum Raja Tengkorak mengirimkan serangan lanjutan, Dewa Arak telah lebih dulu memberikan sebuah pukulan jarak jauh dengan hentakan tangan kirinya.
Wusss...!
Raja Tengkorak tidak berani bertindak sembrono. Dari kerasnya hembusan angin yang terdengar, bisa diperkirakan kedahsyatan serangan itu. Maka buru-buru dia melompat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Dia melentingkan tubuhnya ke belakang, bersalto beberapa kali di udara. Dan kemudian mendaratkan kakinya di sebelah Jaran Sangkar. Indah dan manis sekali gerakannya. Arya buru-buru menotok jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran darah.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Ki," ucap Arya. "Kalau saja tidak ada kau mungkin aku sudah tewas di tangan Raja Tengkorak palsu itu...!"
"Lupakanlah, Dewa Arak," Jaran Sangkar mengibaskan tangannya. "Kalau saja aku tidak terkesima sebelumnya, mungkin kau tidak perlu terluka seperti itu. Raja Tengkorak palsu ini memiliki wajah yang amat mirip dengan Kalpa Reksa. Hanya saja dia jauh lebih muda. Itulah yang membuatku terlambat memberi peringatan padamu!"
Jantung Dewa Arak berdebar tegang. Mungkinkah Raja Tengkorak palsu ini mempunyai hubungan darah dengan Kalpa Reksa? Bukankah menurut cerita Raja Tengkorak asli itu, hanya orang yang mempunyai hubungan darah dengan Kalpa Reksa dan Turgawa-lah yang mampu menguasai 'Ilmu Baju Ular Emas' secara sempurna.
Padahal, Turgawa mandul. Hanya tinggal satu kemungkinan saja, Kalpa Reksa. Kemungkinan besar Sengkala punya hubungan darah dengan Kalpa Reksa! Mungkinkah Sengkala ini putra Kalpa Reksa? Tapi bukankah menurut Raja Tengkorak asli itu, putranya telah tewas dalam keadaan yang sangat menyedihkan?
Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak, tapi tidak sempat dipikirkannya lebih lama lagi. Karena Raja Tengkorak telah kembali menyerang dengan 'llmu Baju Ular Emas'nya.
Kontan baik Jaran Sangkar maupun Dewa Arak melompat berpencaran. Arya belum ingin memapak serangan lawan, sedangkan kakek berpakaian abu-abu itu tidak ingin ikut campur dalam urusan Raja Tengkorak. Sambil melompat, tangan Arya bergerak ke arah pungung. Dan begitu kedua kakinya mendarat di tanah, guci araknya pun dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak. Sesaat kemudian kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mulai oleng. Jelas, kalau pengaruh arak dari guci perak itu mulai mempengaruhinya.
Raja Tengkorak tidak mempedulikannya. Terus saja dihujaninya tubuh lawan dengan serangan-serangan mematikan. Tapi kini Dewa Arak telah siap. Dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya dihadapi semua gempuran Raja Tengkorak alias Sengkala.
Berbeda dengan Raja Tengkorak yang menyerang dengan mempergunakan seluruh kepandaiannya, Dewa Arak tidak berlaku demikian. Ketika timbul dugaan kalau Raja Tengkorak palsu ini mempunyai hubungan dengan Kalpa Reksa, dia tidak ingin menjatuhkan tangan maut lebih dulu, sebelum Kalpa Reksa, mengetahui hal ini.
Itulah sebabnya, Arya hanya mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Dia, hanya mengelak menghadapi hujan serangan yang dilancarkan Raja Tengkorak. Untung saja, pemuda berambut putih keperakan itu mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang membuatnya tidak mengalami kesulitan untuk mengelakkan setiap, serangan.
Meskipun begitu, bukan berarti mudah saja Arya memunahkan setiap serangan yang dilancarkan lawan. Disadarinya kalau jurus 'Delapan Langkah Belalang' memang luar biasa. Tapi, lawan yang dihadapinya kah ini adalah Raja Tengkorak. Kalau terus-menerus mengelak, meskipun mempunyai gerakan mengelak yang luar biasa, sampai kapan dia bisa bertahan?
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Raja Tengkorak tentu saja mengetahui kalau Dewa Arak sama sekali tidak mengadakan perlawanan dan hanya mengelak saja. Hal itu membuat kemarahannya berkobar hebat. Dia merasa direndahkan oleh lawannya.
Dan sebagai akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat. Dia, Raja Tengkorak yang selama ini ditakuti di kalangan rimba persilatan, kini dihadapi oleh Dewa Arak tanpa balas menyerang! Kalau didengar oleh tokoh-tokoh persilatan, mau ditaruh di mana mukanya?
* * * * * * * *
DELAPAN
Dewa Arak tidak tahu kalau Raja Tengkorak mempunyai sebuah rencana. Sama sekali tidak disadarinya kalau Raja Tengkorak berusaha menggiringnya ke sebuah tempat. Jangankan Arya, Jaran Sangkar sendiri tidak tahu kalau Raja Tengkorak tengah berusaha mengajak lawannya ke suatu tempat. Saking tertariknya dia dengan pertarungan yang tengah berlangsung, tanpa sadar kakinya terus melangkah mengikuti ke mana arah pertarungan bergeser.
Seperti juga Raja Tengkorak, Jaran Sangkar pun tahu kalau Dewa Arak bersikap mengalah terhadap, Raja Tengkorak. Dia sendiri pun merasa heran, tapi tidak mempedulikannya. Kakek berpakaian abu-abu ini yakin kalau pemuda berambut putih keperakan itu punya alasan kuat untuk bertindak seperti itu.
Sedikit demi sedikit pertarungan terus bergeser. Suara mencicit nyaring, diseling suara tegukan, arak menyemaraki pertarungan yang terjadi. Arya dan Jaran Sangkar baru terperanjat ketika mendengar suara pertarungan lain di dekatnya. Sekilas dia melirik, ternyata Raja Tengkorak lain tengah bertarung sengit menghadapi Turgawa. Sudah bisa diketahui kalau Raja Tengkorak itu adalah Kalpa Reksa.
Belum sempat hilang keterkejutan Dewa Arak, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh nyaring. Sesaat kemudian di sekitar tempat itu bermunculan puluhan tokoh-tokoh persilatan yang tak lain adalah pengikut-pengikut Raja Tengkorak palsu yang tadi telah pergi menyebar untuk mencari Dewa Arak. Begitu bermunculan, puluhan tokoh persilatan itu langsung bergerak menyebar dan mengurung.
Ha ha ha...!" Raja Tengkorak dan Turgawa tertawa bergelak. Kemudian keduanya melompat mundur, menjauhi lawan masing-masing.
Arya dan Raja Tengkorak asli saling Pandang sejenak kemudian keduanya bergerak menghampiri. Jaran Sangkar pun yang masuk dalam kepungan, bergerak perlahan menghampiri keduanya.
"Kita terjebak, Arya," ucap Raja Tengkorak asli yang tak lain adalah Kalpa Reksa.
"Bagaimana mungkin mereka bisa mengetahui kehadiran dan maksud kita?" tanya Arya heran.
"Kalian tidak melihat adanya orang-orang yang kalian tawan di dalam gua?" pelan saja Jaran Sangkar mengucapkannya. Tapi akibat yang dialami Arya dan Raja Tengkorak tidak sesederhana itu. Raja Tengkorak asli dan Dewa Arak segera meng alihkan pandangan ke arah yang ditunjukkan Jaran Sangkar. Benar saja, dari sekian banyaknya tokoh-tokoh persilatan yang mengurung, terlihat Dulimang, Juriga, Naga Tua, dan tiga orang lainnya yang mereka tawan.
"Ha ha ha...!" Raja Tengkorak tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan yang bernada mengejek. "Jangan harap untuk bermain siasat dengan Raja Tengkorak, Manusia-manusia Kerdil!" teriak laki-laki berseragam tengkorak itu penuh kemenangan. "Percuma! Kalian tidak akan menang!"
Dewa Arak dan Raja Tengkorak asli saling pandang dengan raut wajah memancarkan keheranan.
"Bagaimana mungkin keenam orang itu bisa tiba di sini?" gumam Raja Tengkorak asli pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Aku yakin, totokanku itu akan punah dalam waktu sehari semalam. Tapi mengapa mereka sudah bisa berada di sini? Jarak tempat itu dari sini membutuhkan waktu lebih dari sehari semalam, sekalipun perjalanan dilakukan secara cepat dan terus-menerus..."
"Kemungkinannya hanya satu, Ki...," sahut Arya kalem.
"Mereka dibebaskan orang. Begitu kan, Arya?" tebak Raja Tengkorak.
Arya mengangguk.
"Kalau tidak Raja Tengkorak, tentu Turgawa. Karena tidak sembarangan orang bisa memunahkan totokanku," sambung Raja Tengkorak asli lagi.
"Berarti ada dua kemungkinan kalau benar yang melakukannya adalah Raja Tengkorak palsu. atau Turgawa...," ajar Dewa Arak lagi.
"Apa itu, Arya?" Kalpa Reksa ingin tahu.
"Salah satu atau justru kedua-duanya melihat kita sewaktu tengah membawa mereka... atau salah satu atau kedua-duanya tinggal di dalam salah satu ruang di gua tempat kita menyembunyikan tahanan."
"Ha ha ha...!"
Suara tawa bergelak mengejutkan hati Dewa Arak dan Raja Tengkorak asli. Tanpa melihat pun keduanya sudah bisa mengetahui orang yang telah mengeluarkan suara tawa itu. Suara tawa yang nadanya aneh. Pelan, berat, tapi bergaung. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Raja Tengkorak! Dan sudah pasti Raja Tengkorak palsu alias Sengkala. Meskipun begitu Arya dan Kalpa Reksa menoleh juga. Bahkan Jaran Sangkar pun melakukan hal yang sama.
"Ternyata kau tidak sedungu yang kukira, Dewa Arak! Dugaanmu tepat sekali!" sambung Raja Tengkorak palsu dengan suaranya yang menggelegar.
Arya, Raja Tengkorak asli, dan Jaran Sangkar sama sekali tidak menyambuti ucapan itu. Mereka semua diam menunggu kelanjutan ucapan itu.
"Gua tempat kau menyembunyikan enam orang anak buahku adalah tempat tinggalku! Sekarang, kau bisa menduga sendiri kan mengapa, mereka semua bisa berada di sini. Saat kematianmu telah hampir tiba, Dewa Arak!"
"Manusia licik! Aku pun sudah sejak lama ingin membunuhmu! Kau benar-benar seorang pengecut hina. Menyamar menjadi Raja Tengkorak!" teriak Raja Tengkorak asli keras. Seiring dengan lenyapnya suara bentakan itu, Kalpa Reksa melompat menerjang Raja Tengkorak palsu.
"Ki...!“ Arya berusaha mencegah. Tapi terlambat Raja Tengkorak asli sudah tidak bisa dicegah lagi.
"Kau adalah lawanku, Dewa Arak..!" Sebuah suara keras dan parau terdengar disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan kuning yang meluncur cepat ke arah Dewa Arak dalam sebuah serangan totokan jari tangan lurus dan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.
Memang, meskipun sebelah tangannya sudah tidak mempunyai jari, bukan berarti kalau keampuhan tangan itu hilang. Kedahsyatan tangan itu, tak kalah dengan tangan yang utuh. Sekali lihat saja Arya tahu kalau Turgawa telah mengeluarkan 'Ilmu Baju Ular Emas' andalannya. Maka ilmu 'Belalang Sakti' andalannya tidak ragu-ragu lagi digunakan.
Dengan langkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak mengelakkan serangan bertubi-tubi ke arahnya. Tapi hebatnya serangan yang menuju ke arah sasaran, hanya mengenai tempat kosong.
Turgawa tidak menjadi heran melihat serangannya berhasil digagalkan. Dia tahu kalau Dewa Arak adalah seorang lawan yang amat tangguh. Maka begitu serangannya berhasil dielakkan, segera disusulinya dengan serangan selanjutnya. Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun terjadi.
Seperti juga Turgawa, Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Belalang Sakti' dikerahkan seluruhnya. Kedua tangan, guci dan semburan araknya dipergunakan untuk menghadapi serangan Turgawa.
Di arena lainnya, pertarungan antara dua Raja Tengkorak sedang berlangsung sengit meskipun kurang menarik, karena kedua belah pihak menggunakan ilmu yang sama, 'Ilmu Baju Ular Emas'. Suara mendecit nyaring seperti puluhan ekor tikus mencicit mengiringi pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh yang sama-sama menggiriskan itu.
Pertarungan antara kedua tokoh itu memang berlangsung agak berbeda dengan pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Turgawa. Karena masing-masing Raja Tengkorak telah mengetahui perkembangan ilmu masing-masing lawan. Ke mana serangan dilancarkan dan juga serangan susulan yang akan dikirimkan.
Pertarungan antara empat orang yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi itu berlangsung cepat, karena memang keempat tokoh itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Itulah sebabnya, di antara puluhan tokoh persilatan yang ada di situ, hanya Jaran Sangkar seorang yang mampu menyaksikan jalannya pertarungan secara jelas. Sedangkan tokoh persilatan lainnya hanya melihat sosok bayangan putih, ungu, dan kuning yang saling berkelebatan. Terkadang saling belit, tapi tak jarang saling berpencaran.
Jaran Sangkar memperhatikan jalannya pertarungan yang terjadi dengan perasaan tertarik. Memang, meskipun telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, tapi sebagai seorang ahli silat tetap saja dia dijangkiti penyakit umum, senang menyaksikan pertarungan. Terutama sekali pertarungan yang berlangsung antara tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, seperti pertarungan yang kini berlangsung di hadapannya.
Tapi belum juga lima puluh jurus menyaksikan jalannya pertarungan, gangguan sudah datang melanda. Tokoh-tokoh persilatan yang melihat adanya kakek berpakaian abu-abu, dan tahu kalau kakek itu berada di pihak Dewa Arak, segera meluruk menyerbu.
Meskipun belum mengetahui kelihaian lawan, tapi mengingat Jaran Sangkar datang bersama-sama Dewa Arak, tokoh-tokoh persilatan itu tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan senjata andalan mereka, dan juga mengeroyoknya secara bersama-sama.
"Hm...!” Jaran Sangkar hanya bergumam tak jelas ketika melihat datangnya serbuan belasan orang tokoh persilatan itu. Dengan sikap tenang dia berdiri diam menunggu datangnya serangan. Tidak tampak adanya tanda-tanda kalau kakek sakti ini akan berbuat sesuatu.
Baru ketika serangan lawan-lawannya menyambar dekat, kedua tangan kakek itu bergerak cepat, berputar di depan dada. Gila! Dari kedua tangan yang berputaran itu tiba-tiba muncul serentetan angin keras. Seolah-olah di situ sedang terjadi badai.
Jeritan-jeritan kekagetan terdengar dari mulut tokoh-tokoh persilatan yang menerjang maju. Tubuh mereka semua berpentalan tak tentu arah. Senjata-senjata yang mereka pegang pun berpentalan ke sana kemari.
Karuan saja hal itu membuat rekan-rekan mereka yang lain terkejut bukan kepalang. Tapi tentu saja hal itu tidak berarti kalau mereka takut. Kini sisa dari tokoh-tokoh persilatan yang belum kebagian menyerang tadi, mulai menyerang. Sedangkan rekan-rekan mereka yang tadi terlempar bergulingan pun kembali bangkit berdiri dan langsung menyerang.
"Hhh...!" Jaran Sangkar menghela napas berat. Sungguh tidak disangka kalau dirinya akan terlibat dalam pertarungan seperti ini. Padahal dia sudah tidak ingin terlibat dalam kekerasan lagi. Itulah sebabnya tadi, dengan kekuatan tenaga dalamnya, dia hanya melontarkan tubuh-tubuh lawannya. Dan tidak melukainya.
Seperti juga sebelumnya, kali ini pun Jaran Sangkar sama sekali tidak bermaksud melukai lawan-lawannya. Dia hanya memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Dan dengan pengerahan tenaga dalam yang dimilikinya, tubuh-tubuh lawannya dibuat berpentalan tak tentu arah sebelum serangan-serangan mereka sempat menyentuh tubuhnya.
Keadaan tokoh-tokoh persilatan itu seperti semut-semut menerjang api. Meskipun terlihat kalau yang melakukan penyerangan adalah mereka, tapi tampak jelas kalau mereka sendiri yang roboh tak tentu arah.
Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak melawan Turgawa dan antara Raja Tengkorak tua alias Kalpa Reksa menghadapi Raja Tengkorak palsu alias Sengkala, masih berlangsung imbang. Padahal pertarungan sudah berlangsung hampir seratus jurus.
Di antara ketiga kancah pertarungan itu yang sulit diketahui antara tokoh-tokoh yang tengah berlaga adalah pertempuran antara dua Raja Tengkorak. Pertarungan antara Raja-Raja Tengkorak itu memang membingungkan jika ada orang yang melihatnya. Karena bukan hanya pakaian saja yang sama, kedua tokoh itu juga memiliki ilmu, potongan tubuh serta suara yang sama.
Menginjak jurus yang keseratus, mulailah terjadi perubahan dalam pertarungan antara dua Raja Tengkorak. Tampak kalau salah satu dari Raja Tengkorak itu mulai terdesak oleh lawannya. Kini Raja Tengkorak yang terdesak, bermain mundur. Dia lebih sering mengelak ketimbang menangkis.
Tapi rupanya Raja Tengkorak yang terdesak itu belum mengaku kalah. Tangan kanannya pun bergerak. Entah dari mana mengambilnya, pada kedua tangannya telah tergenggam sebilah pisau bergagang tengkorak kepala manusia. Begitu kedua senjata itu telah berada di tangannya, langsung digunakannya untuk melancarkan serangan pada Raja Tengkorak yang tengah mendesaknya.
Raja Tengkorak yang unggul tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu betul ketajaman senjata-senjata di tangan lawannya. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, bersalto beberapa kali di udara. Dan akhimya mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan kedua bilah pisau berada di kanan kiri tangannya.
Tapi baru saja kedua kakinya mendarat di tanah, serangan susulan dari Raja Tengkorak yang pertama kali mengeluarkan pisau, kembali meluncur ke arahnya. Tidak ada kesempatan mengelak bagi Raja Tengkorak yang baru hinggap di tanah. Maka segera digerakkan sepasang pisaunya untuk memapak serangan itu.
Trang, trang, trang...!
Percikan bunga api mengiringi dentang nyaring dua pasang pisau yang beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung dua langkah ke belakang. Hanya saja, Raja Tengkorak yang menyerang, lebih parah lagi keadaannya. Karena kedudukan kakinya agak goyah. Sedangkan Raja Tengkorak yang menangkis sama sekali tidak terpengaruh.
"Hih...!” Sambil menggertakkan gigi, Raja Tengkorak yang menyerang, kembali membabatkan pisaunya ke arah leher Raja Tengkorak yang diserang.
Anehnya, Raja Tengkorak yang diserang sama sekali tidak mempedulikannya. Justru ketika lawan meluncurkan serangan, dia pun mengirimkan serangan pula, dengan sebuah tusukan ke arah dada.
Blesss, crattt...!
Hampir berbareng kedua pisau itu sama-sama mendarat pada sasarannya masing-masing. Serangan Raja Tengkorak yang pertama kali mencabut pisau, menabas putus kepala lawannya. Sebaliknya, dia pun terkena serangan pisau lawan pada dada kanannya. Memang, di saat terakhir, Raja Tengkorak yang pertama kali mencabut pisau ini sempat menggeliatkan tubuh, sehingga serangan lawan tidak tepat mengenai ulu hatinya.
Pada saat yang bersamaan dengan terjengkangnya Raja Tengkorak yang pertama kali mencabut pisau, kepala Raja Tengkorak yang satu lagi menggelinding lepas dari lehernya. Tapi anehnya, tubuh yang sudah tidak memiliki kepala itu tidak roboh ke tanah.
Raja Tengkorak yang terluka pada dadanya menatap dengan sepasang mata terbelalak pemandangan di hadapannya. Tangannya sibuk menotok jalan darah di sekitar luka untuk mencegah mengalirnya darah. Sementara racun yang terkandung dalam pisau yang mengenai tubuhnya sama sekali tidak dihiraukan, karena memang dia sudah memiliki penangkal di dalam tubuhnya. Dengan tubuh agak terbungkuk, dia melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
Tampak kepala Raja Tengkorak yang tergeletak di tanah, bergerak-gerak. Kemudian mendadak meluncur bagaikan terbang dan mendarat di tempatnya kembali. Dan begitu kepala itu telah bersatu kembali dengan tubuhnya, tangan Raja Tengkorak mengusap bagian sayatan pada lehernya. Ajaib! Luka babatan pedang itu mendadak lenyap seperti sediakala!
"Ha ha ha...!" Raja Tengkorak yang terbabat putus kepalanya tertawa bergelak.
"Ki...! Jangan bunuh Raja Tengkorak palsu! Aku yakin dia adalah anakmu...!" seru Dewa Arak sambil melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
Memang, Arya baru teringat kembali akan dugaannya ketika melihat bentrok berdarah kedua Raja Tengkorak itu. Karena tidak tahu mana di antara Raja Tengkorak itu yang Kalpa Reksa, dia langsung berteriak saja ketika melihat salah seorang dari Raja Tengkorak itu terancam maut.
Hebat akibat ucapan Dewa Arak! Turgawa, dan Raja Tengkorak yang kepalanya tadi putus kontan terpaku kaku. Tampak jelas, kalau kedua orang itu terkejut bukan kepalang. Kekagetan yang sama melanda Raja Tengkorak yang tertusuk dadanya. Bahkan kedua kakinya tampak menggigil.
Dengan sendirinya, suara-suara pertarungan pun lenyap karena tokoh-tokoh persilatan yang mengeroyok Jaran Sangkar merasa jerih, dan tidak melanjutkan penyerangan lagi ketika berkali-kali usaha mereka kandas.
"Bohong...!" Suara pekikan keras Turgawa memecahkan keheningan yang tercipta. Sekaligus juga menyadarkan dua Raja Tengkorak yang sama-sama terpaku kaku. "Jangan percaya ucapan busuk Dewa Arak, Sengkala!" seru Turgawa lagi seraya bergerak menghampiri Raja Tengkorak yang tadi putus kepalanya. "Orang yang menyamar sebagai Raja Tengkorak itu adalah pembunuh ayahmu! Cepat kau binasakan dia!"
Hebat akibat pengaruh yang ditimbulkan oleh ucapan Turgawa. Sepasang mata Raja Tengkorak palsu alias Sengkala kembali mencorong kehijauan. Kedua tangannya tampak bergetar hebat. Jelas, kalau dia tengah bersiap mengirimkan serangan mematikan. Tapi....
"Kau jangan kena, dihasut oleh Turgawa, Sengkala! Sebelum kau menyesal seumur hidupmu karena telah membunuh ayah kandungmu, lebih baik kau beri kesempatan pada ayahmu untuk menjelaskan masalahnya!" teriak Arya tak kalah kalap.
Ucapan Dewa Arak membuat Raja Tengkorak palsu itu menghentikan gerakannya. Memang, sudah sejak lama dia heran, mengapa Turgawa yang mengaku pamannya, sepertinya selalu menyembunyikan rahasia tentang keluarganya. Baru kalau telah didesak-desak, akan diceritakan. Itu pun hanya sekadarnya saja. Sehingga tetap saja Sengkala tidak mengetahui secara persis tentang ayahnya.
"Keparat...! " teriak Turgawa. Tubuhnya pun bergerak, siap untuk melancarkan serangan. Tapi, kontan ditariknya kembah ketika ada tangan kuat yang mencekal tangannya.
"Biarkan mereka mengemukakan masalah itu, Paman...," pelan saja ucapan yang keluar dari mulut Raja Tengkorak palsu itu. Tapi dari nada suaranya, semua orang tahu ada tekanan dalam ucapan itu. Tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan.
Turgawa menatap wajah Raja Tengkorak lekat-lekat. Perlahan-lahan dia melangkah mundur ketika melihat sorot mata penuh ancaman dari sepasang mata laki-laki berseragam tengkorak itu.
"Bisa kau memberikan bukti kalau aku adalah putra dari Raja Tengkorak palsu ini, Dewa Arak?!" agak bergetar suara yang keluar dari mulut Raja Tengkorak palsu alias Sengkala. Dia tetap menyangka kalau Raja Tengkorak yang dihadapannya adalah Raja Tengkorak palsu dan dirinya Raja Tengkorak tulen.
Arya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa. Tapi mungkin ayahmu. bisa..."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan itu menoleh ke arah Raja Tengkorak asli yang masih terpaku dengan tangan mendekap dada. Kedua kaki Kalpa Reksa tampak menggigil keras, karena guncangan perasaan. Benarkah Raja Tengkorak palsu itu adalah anaknya?
"Kalau kau benar anakku... Kau mempunyai beberapa ciri...."
Sesampainya di sini, Raja Tengkorak asli alias Kalpa Reksa menghentikan ucapannya sejenak karena tenggorokannya dirasakan kering. Ditelannya air liur untuk membasahinya.
"Apa ciri-ciri yang kumiliki...?!" selak Raja Tengkorak palsu tak sabar. Lenyap sudah suara khasnya karena getaran perasaan yang melanda. Kini suara tokoh sesat yang menggiriskan itu terdengar serak.
"Kau... kau... mempunyai benjolan daging di ketiak sebelah kirimu..." Agak terputus-putus ucapan yang keluar dari mulut Raja Tengkorak yang terluka dada kirinya.
"Lalu..., apa lagi...?!" tanya Raja Tengkorak palsu dengan suara semakin serak. Kekagetan tampak jelas dari tubuhnya yang agak terjingkat.
"Di bawah dagumu ada tompel...," lanjut Kalpa Reksa lagi. "Dan nama aslimu bukan Sengkala... tapi Prawira... Sedangkan Turgawa adalah orang yang telah membunuh ibumu dan membawa lari dirimu...!"
"Dusta...!" Teriakan keras Turgawa menyambuti ucapan Kalpa Reksa. Tidak cukup hanya sampai di situ saja, dia pun mengibaskan tangannya. Seketika itu juga beberapa buah benda berkilat yang tidak lain adalah pisau meluncur cepat ke arah Raja Tengkorak. Tidak hanya itu saja yang dilakukan kakek berpakaian kuning. Begitu pisau-pisaunya meluncur, tubuhnya pun meluruk menyusul pisau-pisaunya.
Dewa Arak, Raja Tengkorak palsu, dan Jaran Sangkar terperanjat bukan main melihat serangan yang sama sekali tidak terduga-duga itu. Apalagi Raja Tengkorak asli sendiri. Kalpa Reksa saat itu tengah tidak berwaspada sama sekali karena tengah tenggelam dalam luapan perasaannya. ltulah sebabnya dia merasa terkejut bukan kepalang melihat datangnya serangan itu.
Tapi, meskipun begitu sebagai seorang tokoh tingkat tinggi walaupun dalam keadaan terluka, dan tengah tidak bersiap, dia masih mampu berbuat sesuatu. Cepat-cepat tangan kanannya yang memegang pisau, digerakkan menangkis. Memang, pisau yang terpegang di tangan kirinya, terpental sewaktu dia terkena tusukan lawan.
Tranggg, tranggg, tranggg...!
Cappp...!
"Akh...!” Satu di antara sekian banyaknya pisau itu berhasil menghunjam perut Kalpa Reksa. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berseragam tengkorak itu terhuyung, Pisau yang tergenggam di tangannya pun telepas dari pegangan. Saat itu, serangan susulan dari Turgawa menyusul tiba.
Tapi sebelum serangan itu mencapai sasaran, angin keras berhawa panas menyengat dari Dewa Arak dan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Raja Tengkorak palsu telah lebih dulu menyambar ke arahnya. Memang, saking terkejutnya, Arya dan Sengkala langsung melancarkan pukulan jarak jauh masing-masing ke arah Turgawa.
Brass...!
Kakek berpakaian kuning itu memekik ngeri. Dahsyat bukan main pukulan jarak jauh gabungan itu. Tubuh Turgawa yang tengah berada di udara terpental. Darah segar mengucur deras ketika tubuhnya terpental. Dan sekujur tubuhnya hangus seketika.
Brukkk...! Tubuh Turgawa jatuh berdebuk di tanah dan diam tidak bergerak lagi. Karena saat tubuhnya melayang, nyawanya sudah meninggalkan raganya.
"Ayah...!” Raja Tengkorak palsu melesat memburu tubuh Raja Tengkorak asli yang tergolek rebah di tanah. Kini dia tidak ragu-ragu lagi menyebut demikian pada laki-laki yang memiliki seragam sama dengan dirinya.
Memang, semua keterangan yang diberikan Raja Tengkorak asli telah membuat dirinya yakin kalau dia anak Kalpa Reksa. Di samping semua ciri-ciri yang disebutkan pada dirinya benar. Ada hal lain yang membuat pertanyaan yang selama, ini bergayut di benaknya dan tak pernah terjawab oleh pamannya, kini terjawab. Huruf bertuliskan 'Prawira' pada selimutnya sewaktu dia masih bayi ternyata adalah namanya.
Tanpa ragu-ragu lagi, Raja Tengkorak palsu itu duduk di tanah dan meletakkan kepala ayahnya di pangkuan. Tak dipedulikannya darah segar yang keluar dari luka di tubuh ayahnya mengotori pakaiannya.
"Prawira, Anakku... Syukur kau telah membalaskan sakit hati ibumu...," dengan suara terputus-putus, Raja Tengkorak asli mengeluarkan ucapannya. "Sebelum aku mati... ingin kulihat wajah aslimu..."
Raja Tengkorak palsu membuka selubung tengkoraknya. Tampaklah seraut wajah seorang pemuda yang mempunyai wajah mirip dengan Kalpa Reksa. Dialah Prawira alias Sengkala.
"Bukalah selubungku, Prawira..." pinta Raja Tengkorak asli.
Dengan tangan gemetar Sengkala mengulurkan tangan dan membuka selubung ayahnya. Dan.... "Kau...?!" seru Sengkala kaget. "Kalpa Reksa...!"
Raja Tengkorak asli menganggukkan kepalanya. Kemudian dengan terputus-putus diceritakan semua kejadian yang menimpa keluarganya akibat tindakan jahat Turgawa.
Dewa Arak, Jaran Sangkar, dan seluruh tokoh persilatan yang ada di situ menatap penuh haru. Meskipun begitu, sebagai orang yang telah kenyang makan garam kehidupan, mereka bisa mengendalikan diri.
Sementara Sengkala sendiri kini mengerti keculasan hati Turgawa. Kini dia baru mengerti mengapa kakek berpakaian kuning itu memberikan perlengkapan Raja Tengkorak, yang katanya adalah peninggalan ayahnya yang telah tewas oleh Kalpa Reksa. Rupanya Turgawa ingin menjelek-jelekkan nama Raja Tengkorak yang telah tidak muncul ke dunia persilatan lagi.
"Begitulah ceritanya, Prawira..." kata Kalpa Reksa menutup ceritanya. "Kuharap kau segera melepas seragam tengkorakmu itu. Masa Raja Tengkorak telah lenyap karena aku telah menguburnya belasan tahun lalu. Kau mau memenuhi permintaanku ini, Prawira?!"
Prawira alias Sengkala menganggukkan kepalanya. Meskipun tidak ada butiran air yang mengalir keluar dari matanya. Tapi tampak jelas kalau sepasang mata itu berkaca-kaca. Memang, tokoh yang menggiriskan ini merasa sedih sekali.
"Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu pada Ki Jaran Sangkar. Kedua orang muridnya, Ki Tampar Waja dan Ranjana, telah kau bunuh....!"
Sambil berkata demikian, Raja Tengkorak mengalihkan pandangannya ke arah kakek berpakaian abu-abu itu.
"Lupakanlah, Reksa. Aku tidak mendendam," sahut Jaran Sangkar cepat. Dia tidak sampai hati menghukum Sengkala di depan ayahnya yang telah menjelang ajal ini. Biarlah di akhir hayatnya, Kalpa Reksa merasa lega karena anaknya tidak kurang suatu apa. "Asalkan dia tidak mengulangi kejahatannya lagi... semua kesalahannya kumaafkan,"
"Terima kasih, Ki. Kau memang bijaksana," kata Kalpa Reksa dengan raut wajah penuh terima kasih. "O ya, Prawira. Katakan dari mana kau mendapat ilmu 'Rawa Rontek' itu?!"
"Dari orang sakti yang bersedia menjadikanku murid, Ayah.... Dan..., Ayaaah...!" Sengkala terpaksa memutuskan ucapannya karena kepala Kalpa Reksa telah terkulai lemas dan tak bernyawa lagi. "Ayah...!" teriak Sengkala lagi seraya menggoyang-goyangkan pipi Kalpa Reksa. Dengan hati sedih, Sengkala bangkit berdiri, kemudian menatap satu persatu wajah-wajah anak buahnya.
"Kalian dengarkan semua...!" ujar Raja Tengkorak palsu. "Mulai saat ini aku tidak lagi menjadi Raja Tengkorak. Kalian boleh memilih jalan sendiri-sendiri."
Raja Tengkorak palsu menghentikan ucapannya sebentar. Sementara anak buahnya tetap menundukkan kepala.
"Kalian tahu..., kalau Ki Jaran Sangkar mau, sudah sejak tadi kalian jadi mayat! Bagaimana? Yang ingin sadar, boleh mengikutiku! Bagi yang tak mau, kuberi kebebasan untuk pergi! Tapi ingat! Bila kalian melakukan kejahatan dan bertemu denganku, jangan harap akan kuampuni...!"
Setelah berkata demikian, Prawira alias Sengkala lalu membungkukkan tubuh dan mengangkat mayat Kalpa Reksa, lalu berjalan sambil membopong mayat ayahnya.
Jaran Sangkar dan Dewa Arak membiarkannya. Mereka berdua tahu, hati putra Kalpa Reksa itu sangat terpukul. Jaran Sangkar dan Arya hanya memandangi saja Sengkala yang semakin jauh sambil membawa ayahnya.
Sementara di belakang pemuda yang telah menggemparkan karena telah menjadi Raja Tengkorak itu, berjalan dengan kepala tertunduk, tokoh-tokoh persilatan yang menjadi anak buahnya. Hanya sebagian kecil saja yang tidak mengikuti Prawira.
"Ada orang yang tengah menuju kemari, Arya...," ucap Jaran Sangkar pada Dewa Arak yang juga telah mendengar langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka. "Aku pergi dulu...."
"Tunggu sebentar, Ki..." cegah Arya cepat.
"Ada apa, Arya?" tanya Jaran Sangkar, sambil menghentikan langkahnya.
"Boleh kutahu tempat tinggalmu, Ki?" tanya Arya.
"Lupakanlah, Arya. Aku tidak ingin terlibat dalam kekerasan dunia persilatan...." Belum lagi lenyap, ucapannya, tubuh kakek berpakaian abu-abu telah berada dalam jarak belasan tombak di depan.
Arya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kehebatan kakek itu. Lalu dipalingkan kepalanya ke arah asal suara. Dan mendadak wajahnya berubah!
"Kang Arya...!" seru sosok serba putih yang berada dalam jarak lima tombak.
"Melati...!" jawab pemuda berambut putih keperakan itu tak kalah keras. Nada suaranya mengandung kekagetan tapi juga kegembiraan yang tak terkirakan. Dan memang, Dewa Arak merasa gembira bukan kepalang melihat siapa adanya sosok tubuh yang bergerak mendatangi. Sosok tubuh wanita cantik jelita laksana bidadari, berpakaian serba putih dan berambut panjang terurai. Siapa lagi kalau bukan Melati?
Seiring keluarnya ucapan itu, Arya melesat ke depan dengan kedua Lengan terkembang. Hal yang sama pun dilakukan oleh sosok tubuh yang tidak lain Melati adanya. Dua sosok tubuh yang berlari cepat saling mendekati itu akhirnya bertemu di pertengahan jalan.
"Kang Arya...!" sebut Melati dengan sepasang mata berkaca-kaca. Kepalanya disandarkan di dada Arya yang bidang dan kokoh itu. Nada suara gadis berpakaian putih ini terdengar agak serak karena rasa haru yang menyekat tenggorokannya.
Arya pun dilanda perasaan yang sama. Sungguh tidak diduga kalau dia bisa bertemu dengan tunangannya. Bertubi-tubi diciuminya, rambut, telinga dan pipi gadis berpakaian putih itu dengan kerinduan yang menggelegak.
"Melati..., syukur kau selamat...," dengan suara tak kalah serak, Arya menyahuti. Dipeluknya tubuh Melati erat-erat seakan-akan khawatir kalau gadis itu akan pergi lagi.
Melati pun balas memeluk tak kalah erat. Dan tanpa melepaskan pelukannya dia pun menceritakan semua kejadian yang dialami. "Ketika aku tiba di hutan ini, kudengar sayup-sayup suara ribut-ribut. Karena ingin tahu, kudekati. Syukur, aku malah bertemu denganmu, Kang."
Arya sama sekali tidak menyahuti. Dia masih diliputi rasa gembira melihat gadis yang dicintainya, berhasil ditemukan kembali dalam keadaan selamat. Waktu terus saja bergulir, tapi Melati dan Dewa Arak tetap dalam kerinduan dan kebahagiaan. Mereka tidak mempedulikan lagi keadaan alam sekelilingnya.
SELESAI
Selanjutnya, Teror Macan Putih |