SATU
Kepak kelelawar terdengar memecah keheningan malam yang sepi. Bulan penuh yang nampak di langit,perlahan-lahan mulai tertutup awan hitam tebal yang berarak. Angin dingin yang berhembus dan sesekali keras itu semakin memperkuat dugaan kalau hujan akan turun.
Benar saja. Beberapa saat kemudian, hujan mulai turun. Mula-mula berupa gerimis kecil, dan satu-satu. Tapi semakin lama semakin besar. Hingga akhirnya benar-benar lebat. Air yang jatuh bagai ditumpahkan dari langit. Langit yang gelap itu sesekali dibelah oleh halilintar yang menggelegar. Untuk sesaat lamanya, suasana malam jadi terang benderang.
Dan dalam suasana terang yang sekejap seperti itulah, tampak sesosok bayangan berkelebat dari dalam sebuah bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Bangunan itu tampak besar dan megah, serta memiliki halaman luas.
"Hih...!" Sosok bayangan itu melesat cepat melompati pagar kayu bulat yang tinggi. Indah dan manis sekali gerakannya. Baik ketika melompati pagar kayu, maupun ketika mendaratkan kedua kakinya di luar pagar.
Pyarrr...! Genangan air memercik ke sana kemari ketika sepasang kaki itu menjejak tanah yang dibasahi hujan.
Glarrr! Halilintar menyambar kembali. Dan untuk sesaat suasana malam jadi terang benderang kembali. Meskipun begitu, sudah cukup jelas untuk mengenali wajah sosok bayangan itu.
Dia ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, dan berpakaian hitam. Wajahnya kasar dan sebuah penutup kepala yang berbentuk setengah tempurung kelapa bertengger di atas kepalanya.
Secepat kedua kakinya mendarat di luar pagar kayu, secepat itu pula dia melesat dari situ. Gerakannya cukup cepat. Jelas, kalau laki-laki tinggi besar ini memiliki kepandaian tidak rendah. Tanpa menghiraukan suasana malam yang gelap, angin dingin yang berhembus keras menusuk tulang, dan curahan hujan lebat yang menyiram tubuhnya, sosok bayangan itu terus saja berlari cepat.
Glarrr! Halilintar kembali menggelegar membelah angkasa. Lagi-lagi keadaan alam kembali terang benderang sekejap. Saat itu, di atas pintu gerbang bangunan besar berpagar kayu bulat tinggi, terlihat sebuah kayu lebar tidak begitu tebal yang terukir halus. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan itu, Perkumpulan Pedang Perak.
Sosok bayangan itu terus saja berlari dengan kecepatan tinggi. Sama sekali tidak diperlambat larinya, meskipun berkali-kali tergelincir dan hampir jatuh karena jalan yang ditempuh demikian licin. Lari bayangan itu baru diperlambat ketika telah memasuki mulut sebuah hutan. Dan akhirnya berhenti sama sekali ketika telah berada di dalamnya.
Dengan napas terengah-engah, laki-laki berpakaian serba hitam itu berteduh di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Kedua tangannya nampak bersedakap di depan dada. Rupanya angin yang berhembus cukup kencang membuat tubuhnya kedinginan. Sebentar sosok itu mengeringkan tangannya, lalu memasukkannya ke balik baju. Sesaat kemudian telah keluar lagi, bersama sebuah kitab di tangannya.
Glarrr...! Halilintar kembali menyambar. Seketika itu juga sana di sekitar tempat itu jadi terang benderang. Sehingga huruf-huruf yang tertera di kulit kitab itu tampak cukup jelas terbaca, 'Ilmu Tangan Racun Pasir Merah'. Tampak seulas senyuman menghiasi wajah laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Sebentar kemudian kitab itu dimasukkan kembali ke balik bajunya. Dan kini kedua tangannya kembali disedakapkan di depan dada.
Tak lama kemudian hujan mulai mereda, hingga akhirnya tinggal gerimis kecil yang jatuh satu persatu ke bumi Di saat itulah, laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan perjalanannya kembali. Melesat cepat menembus kepekatan malam. Rintik hujan yang mengenai tubuhnya sama sekali tidak dihiraukan.
* * * * * * * *
Matahari sudah cukup lama menampakkan diri. Suara cicit burung pun sudah tidak terdengar lagi. Bahkan angin yang berhembus sudah tidak terlalu nikmat untuk dihirup. Ketika itu, tampak dua sosok tubuh tengah melangkah bergegas menuju mulut Hutan Rangkong. Dari bentuk tubuh mereka yang kekar dan kuat, jelas kalau kedua orang itu sudah terbiasa bekerja berat. Wajahnya pun terlihat keras. Hanya saja saat itu, mereka tampak penuh diliputi kecemasan.
"Aku khawatir akan keselamatan Guradi, Kang Banyupaksi," ucap salah seorang dari dua sosok itu. Wajahnya yang berkulit coklat, dan penuh bercak putih yang lebar-lebar, terlihat menyiratkan perasaan cemas yang tidak terkira.
"Mudah-mudahan saja dia selamat, Jatmika," sahut orang yang dipanggil Banyupaksi bernada menghibur. Dia bertubuh kekar, berkumis, dan berjenggot yang terawat baik Suasana hening sejenak begitu Banyupaksi menghentikan ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah gemerisik rerumputan yang terpijak kaki mereka.
"Kang...," kembali Jatmika membuka suara, seraya menoleh. Menilik dari ucapannya yang terhenti di tengah Jalan, jelas kalau laki-laki berwajah penuh bercak-bercak putih ini merasa ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Ada apa lagi, Jatmika?" tanya Banyupaksi sabar.
"Rasanya..., aku tidak yakin kalau Guradi masih hidup, Kang...."
"Hm.... Mengapa kau berkata seperti itu, Jatmika?" tegur Banyupaksi. Sepasang mata laki-laki bertubuh kekar ini menatap penuh teguran. "Apakah kau tidak ingin anakmu selamat?"
"Bukan begitu maksudku, Kang," sahut Jatmika buru-buru. "Tapi, kenapa justru kau mengharapkan yang bukan-bukan?"
"Aku sama sekali tidak berharap begitu."
"Hm...," Banyupaksi hanya menggumam tidak jelas.
"Tapi..., kenyataan yang kuterima kali ini membuatku ragu," sambung Jatmika lagi.
"Maksudmu?" tanya Banyupaksi dengan dahi berkernyit. Jelas kalau dia masih belum mengerti maksud Jatmika.
"Tidak biasanya Guradi pergi selama ini. Dia sudah sering mencari kayu bakar atau berburu di hutan. Tapi tidak pernah sampai selama ini. Bayangkan, Kang. Guradi pergi kemarin pagi. Dan sampai sekarang belum pulang...!"
Banyupaksi mengangguk-anggukkan kepala. Cerita mengenai kepergian Guradi ke Hutan Rangkong dan belum kembali memang sudah didengarnya dari mulut Jatmika sendiri. Dan hal inilah yang membuatnya terpaksa ikut mencari orang yang bernama Guradi itu.
"Berdoalah agar dia selamat," hanya itu kata-kata bernada menghibur dari Banyupaksi. "Aku percaya Guradi bisa menjaga diri. Mungkin dia hanya tersesat.”
"Aku juga berharap begitu, Kang. Tapi rasanya tidak mungkin, Kang. Guradi telah puluhan kali keluar masuk hutan. Atau..., jangan-jangan dia diterkam binatang buas."
Banyupaksi menatap wajah Jatmika tajam-tajam. "Kalau begitu..., kau meremehkan kemampuanku, Jatmika."
"Maksudmu, Kang?"
"Aku yang mendidik dan mengajarkannya ilmu silat. Bertahun-tahun aku melatihnya. Dan kau enak saja mengatakan kalau Guradi mati diterkam binatang buas. Itu sama sekali tidak memandang kepadaku, Jatmika!"
Berubah wajah Jatmika seketika mendengar ucapan bernada keras dari laki-laki bertubuh kekar itu. "Maafkan aku, Kang. Aku.... Aku tidak bermaksud begitu. Sungguh...!" sahut laki-laki berwajah penuh bercak-bercak putih itu terbata-bata.
"Hhh...!" Banyupaksi menghela napas panjang. Amarah laki-laki berkumis rapi yang mulai bangkit perlahan mengendur kembali mendengar permintaan maaf Jatmika. Dia tahu kalau laki-laki di sampingnya ini tidak bermaksud merendahkan. Jatmika mengatakannya tanpa sadar, karena didorong kecemasan menggelegak.
"Lupakanlah, Jatmika," sahut Banyupaksi berdesah. "Tapi perlu kau ketahui, Jatmika. Jangankan hanya satu, dua binatang buas pun, aku yakin Guradi mampu menghadapinya!"
Jatmika hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kembali keheningan menyelimuti mereka berdua. Kini Jatmika dan Banyupaksi melanjutkan langkah menuju Hutan Rangkong yang sudah semakin dekat tanpa berkata-kata lagi.
* * * * * * * *
Begitu memasuki hutan, Jatmika dan Banyupaksi mengedarkan pandangan berkeliling. Dengan ranting yang ditemukan, mereka menguak kerimbunan semak-semak. Hati mereka berharap, barangkali saja orang yang dicari berada di situ.
"Guradi...!" Jatmika yang sudah tidak kuat lagi menahan cemas dan tidak sabar, berteriak memanggil. Kini mereka sudah cukup jauh masuk ke dalam hutan. Tapi, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda adanya Guradi. Baik Jatmika maupun Banyupaksi langsung berdiam diri. Pendengaran mereka ditajamkan agar apabila Guradi menjawab, dapat terdengar.
Tapi sampai lelah berdiam diri, tak juga terdengar sahutan yang dinantikan, kecuali cicit burung yang selalu mengusik telinga. Jatmika dan Banyupaksi terus melangkah sambil menyibakkan semak-semak. Sepasang mata mereka berkeliaran ke sana kemari, sambil sesekali diselingi panggilan-panggilan terhadap Guradi.
Dan begitu akan memanggil lagi, mendadak langkah kedua orang itu terhenti. Wajah mereka pucat seketika. Sepasang mata mereka menatap membelalak ke depan, seakan-akan tidak percaya akan apa yang dilihat.
Sekitar lima tombak di hadapan Banyupaksi dan Jatmika, terpampang pemandangan menggiriskan hati. Tampak seorang remaja berusia belasan tahun tengah tergantung di atas cabang pohon dengan leher terjerat seutas tambang. Dadanya telanjang, tak tertutup baju. Sehingga, terlihat jelas luka-luka yang memenuhi sekujur tubuhnya.
Dengan sekali lihat saja, baik Jatmika maupun Banyupaksi bisa mengetahui kalau remaja itu telah tewas. Dan beberapa saat lamanya, mereka hanya mampu berdiri terpaku. Lidah pun terasa kelu. Suara seperti tercekat di tenggorokan. Hanya sepasang mata mereka saja yang seolah-olah ingin mengungkapkan sesuatu.
"Guradi...!" Terdengar teriakan keras dari mulut Jatmika setelah beberapa saat lamanya berdiri terpaku. Laki-laki berwajah penuh bercak putih ini memerlukan waktu beberapa saat lamanya untuk dapat mengetahui kalau orang yang tergantung di atas pohon itu adalah putranya.
Seiring panggilannya, tubuh Jatmika berlari berhambur ke arah sosok yang tergantung itu. Kemudian Banyupaksi pun ikut bergerak mengikuti. Dia pun cepat mengenali pula kalau sosok tubuh itu benar-benar Guradi. Orang yang mereka cari-cari.
"Guradi..., Guradi...," panggil Jatmika pilu. Kedua tangannya sibuk memeluki tubuh yang tergantung itu.
Banyupaksi menggertakkan gigi. Seketika dadanya terasa sesak oleh amarah dan sedih yang meng-gayut Tapi laki-laki berkumis rapi ini berusaha menahan diri. Pikirannya berusaha dibuat setenang mungkin. Seketika tenaganya dikempos, dan sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke atas. Dan sekali tangannya bergerak, tali yang menggantung tubuh Guradi pun putus.
Untungnya Jatmika tengah memeluk tubuh putranya, sehingga tubuh itu tidak sampai terbanting keras ke tanah. Jatmika sempat menangkapnya. Tapi akibatnya, dia ikut terjatuh terbawa beban tubuh Guradi.
Berbareng tergulingnya tubuh Guradi dan Jatmika ke tanah, sepasang kaki Banyupaksi pun hinggap. Kemudian, laki-laki berkumis rapi ini menyarungkan kembali golok yang tadi dicabutnya sewaktu memutuskan tambang yang mengikat tubuh Guradi.
"Hentikan segala kecengengan Ini, Jatmika," tegur Banyupaksi, kemudian sepasang matanya menatap penuh teguran pada laki-laki yang wajahnya penuhi bercak putih itu.
Sambil tetap memeluk tubuh putranya, Jatmika beranjak bangkit. Sepasang matanya balas menatapi tak kalah tajam. "Tapi, Kang. Dia anakku satu-satunya! Dosakah aku bersedih hati melihat kematiannya?" bantah Jatmika. Suaranya pelan, tapi penuh tuntutan.
"Aku tidak melarangmu, Jatmika," sahut Banyupaksi dengan suara tetap lembut. Tapi tetap penuh wibawa. "Aku hanya tidak suka melihat kesedihanmu yang terlalu berlebihan."
"Tapi, Kang...," Jatmika masih mencoba membantah.
"Guradi tidak akan hidup kembali, sekalipun tangisanmu berupa darah sampai empat puluh hari.” potong Banyupaksi tanpa menghiraukan bantahan Jatmika.
Seketika Jatmika terdiam. Bukan karena nasihat Banyupaksi, tapi karena rasa segannya pada laki-laki berkumis tipis itu.
"Sekarang yang paling penting adalah mencari pelaku pembunuhan ini," sambung Banyupaksi ketika Jatmika tampak terdiam.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Jatmika begitu mendengar ucapan ini. Banyupaksi benar. Yang paling penting sekarang adalah mencari pembunuh putranya. Tapi, tentu saja sehabis mengebumikan Guradi secara layak.
"Menilik dari luka-luka yang diderita Guradi, aku yakin kalau pelakunya adalah seorang tokoh aliran hitam yang berjiwa luar biasa kejam," duga Banyupaksi. Sementara sepasang matanya terus menyelusuri sekujur tubuh Guradi yang penuh luka-luka.
"Ke manapun..., aku akan mencarinya. Dan..., seluruh tubuhnya akan kulumatkan!" desis Jatmika penuh dendam. Tangan kanannya mengepal keras dan kepalanya mendongak ke atas ketika kata-kata itu diucapkan.
Banyupaksi tidak menanggapi. Dia yakin kalau Jatmika bukan tandingan pembunuh Guradi. Jatmika memang tidak memiliki kepandaian sedikit pun. Lalu, bagaimana akan bisa membalas dendam? Oleh karena itu Banyupaksi bertekad akan ikut mencari pembunuh Guradi.
"Sekarang mari kita kembali dulu ke desa, Jatmika," ajak Banyupaksi pelan. Dipegangnya bahu kanan laki-laki berwajah bercak-bercak putih itu, kemudian ditepuk-tepuknya. Jatmika menatap Banyupaksi penuh tanda tanya.
"Kita kuburkan dulu mayat Guradi...," sambung Banyupaksi.
Kali ini Jatmika tidak membantah lagi. Perlahan kakinya melangkah meninggalkan hutan itu. Sementara Banyupaksi mengikuti di belakangnya. Laki-laki berkumis rapi ini segera mengedarkan pandangannya berrkeliling, memperhatikan suasana di sekitarnya. Masalahnya bukan tidak mungkin kalau pembunuh itu masih berada di situ.
Tapi tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Keadaan di sekitar tempat itu sepi-sepi saja. Yang terdengar hanyalah suara cicit burung dan binatang-binatang hutan. Baru juga kedua orang itu melangkah beberapa tindak, terdengar suara tawa menggelegar laksana guntur. Suaranya menggema di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan tawa itu. Tubuh Jatmika seketika terbungkuk. Terdengar keluhan keras keluar dari mulutnya. Pegangannya pada tubuh putranya pun terlepas, sehingga Guradi terjatuh di tanah. Bukan hanya itu saja akibatnya. Jatmika pun merasa dadanya sakit bukan main, seperti diseruduk kerbau liar.
Bahkan telinganya seperti akan pecah. Betapapun laki-laki berwajah penuh bercak-bercak itu berusaha bertahan dan mendekap kedua telinganya, tak urung tubuhnya terguling jatuh.
Jatmika bukan satu-satunya orang yang menerima serangan suara tawa dahsyat itu. Banyupaksi pun mengalami hal yang serupa. Dada laki-laki berkumis rapi ini terasa terguncang hebat. Telinganya pun terasa berdengung keras.
Sebagai ahli silat, dia tahu kalau ada orang yang tengah menyerang dengan suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini membuat Banyupaksi kaget.
Bukan main. Dari cara penyerangan ini saja sudah menandakan kelihaian lawan. Jelas orang itu memiliki tingkat tenaga dalam tinggi. Dan dia merasa bukan tandingan orang itu. Ciut hati Banyupaksi membayangkan kalau seandainya pemilik tawa itu adalah orang yang telah membunuh Guradi.
Karena bila hal itu benar, sampai kapan pun mereka tidak akan bisa membalas dendam. Kalau saja suara tawa itu terus berlangsung, mungkin Jatmika dan Banyupaksi tidak akan tahan. Kedua orang itu akan tewas dengan dada pecah dan gendang telinga hancur.
Tapi untungnya, tawa itu kemudian berhenti. Dan begitu tawa itu berhenti, berkelebat sesosok bayangan hitam. Gerakannya cepat bukan main. Maka tahu-tahu saja, di depan Banyupaksi dan Jatmika telah berrdiri sosok tubuh tinggi besar. Banyupaksi dan Jatmika menatap sosok tubuh yang telah berdiri di hadapan mereka. Sosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya kasar, dipenuhi cambang bauk lebat. Menilik dari keadaannya, usia laki-laki itu tak kurang dari lima puluh tahun. Sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung kelapa menutupi kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah Jatmika.
"Kudengar kau hendak mencari pembunuh anak itu," kata laki-laki bercambang bauk lebat itu, kalem. "Akulah pembunuhnya."
Seketika itu pula Jatmika bangkit berdiri. Wajahnya langsung beringas. Sepasang matanya menatap tajam, penuh pancaran hawa membunuh. Kedua tangannya yang mengepal itu nampak mengejang keras "Kau...?!" suara Jatmika tercekat di tenggorokan karena saking besarnya amarah yang bergolak dalam dadanya. Laki-laki berpakaian hitam itu hanya tersenyum mengejek. Wajah dan sorot matanya tampak jelas memandang rendah Jatmika.
"Kubunuh kau...!" teriak Jatmika keras. Dan berbareng dengan ucapan itu, Jatmika melompat menyerang. Kedua tangnnya yang terkepal, dipukulkan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh laki-laki bercambang lebat itu.
"Jatmika...! Tahan...!" teriak Banyupaksi mencegah. Tapi terlambat. Serangan Jatmika tidak mungkin ditarik kembali. Maka Banyupaksi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan hanya bisa bersikap waspada kalau- kalau jiwa laki-laki berwajah bercak-bercak putih itu terancam.
Laki-laki berpakaian hitam itu tertawa mengejek. Bahkan tidak terlihat kalau akan mengelak atau menangkis. Sampai akhirnya semua serangan Jatmika telak mengenai sasarannya.
Buk, buk, bukkk...!
Suara berdebukan keras terdengar berkali-kali ketika pukulan-pukulan Jatmika mengenai dada, perut, dan ulu hati laki-laki berpakaian hitam itu. Akibatnya sungguh aneh. Bukan laki-laki bercambang bauk lebat itu yang merasa kesakitan. Bahkan ia hanya terkekeh penuh ejekan. Suara jerit kesakitan justru terdengar dari mulut Jatmika. Bahkan sampai-mpai membelalakkan mata ketika kedua tangannya jadi bengkak-bengkak.
Jatmika menggeram keras. Amarah yang tidak terlampiaskan, membuat sekujur tubuhnya menggigil keras. Kedua kepalannya seperti bukan memukul tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, tapi gundukan besi!
Srattt..!
Sinar terang berpendar ketika Jatmika yang tengah kalap itu mencabut goloknya. Dan seiring tercabutnya senjata itu, Jatmika kembali menerjang. Golok di tangannya langsung ditusukkan cepat ke arah perut. Banyupaksi tahu, Jatmika sudah tidak bisa dicegah lagi. Maka dia pun segera membantunya. Laki-laki berkumis rapi ini tahu, Jatmika sama sekali bukan tandingan orang itu.
Srattt..!
Sinar terang kembali berkilatan ketika Banyupaksi menghunus goloknya. Dan secepat senjata itu terhunus, secepat itu pula diputarputarkan di depan dada. Baru kemudian, senjata itu meluncur deras ke arah ulu hati laki-laki berpakaian hitam.
Meskipun Banyupaksi menyerang belakangan, namun karena kelihaiannya, serangannya menjadi bersamaan datangnya dengan Jatmika. Padahal, laki-laki berrwajah bercak-bercak putih itu lebih dulu menyerang.
Takkk! Takkk!
Suara berderak keras terdengar ketika dua batang golok itu mengenai sasaran. Tetapi akibatnya luar biasa. Dua batang golok itu terpental balik, sementara laki-laki berpakaian hitam itu seperti tidak merasakan apa-apa. Bahkan kedua tangan penyerangnya yang terasa seperti lumpuh.
"Hmh...!" Laki-laki berpakaian hitam itu mendengus. Sama sekali tidak dipedulikannya serangan yang mengancam.
Takkk, takkk...!
Suara berdetak keras seperti ada dua benda logam berbenturan, terdengar ketika dua batang golok itu mengenai sasaran. Akibatnya luar biasa. Dua batang golok itu jadi terpental balik. Bahkan sekujur tangan kedua penyerangnya seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah lagi, senjata itu terlepas dari pegangan.
Dan belum sempat Banyupaksi dan Jatmika berbuat sesuatu, tangan laki-laki berpakaian hitam itu cepat bagai kilat bergerak. Cepat sekali gerakannya, hingga kedua orang itu tidak sempat mengelak lagi. Terdengar suara berderak keras ketika kedua tangan laki-laki berpakaian hitam itu mengenai ubun-ubun mereka, hingga pecah. Cairan merah kental bercampur otak seketika muncrat-muncrat.
Banyupaksi dan Jatmika limbung sebentar, kemudian hampir sama-sama ambruk di tanah. Sebentar mereka meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati.
"Ha ha ha...!" Laki-laki berpakaian hitam itu kembali tertawa tergelak. Keras dan panjang, hampir tidak putus-putus. Setelah puas tertawa, laki-laki bercambang bauk itu melangkah meninggalkan kedua mayat yang telah menjadi korbannya. Sesaat kemudian, suasana hening kembali menyelimuti Hutan Rangkong. Tidak terdengar lagi jeritan keras, tawa, ataupun teriakan menyayat Kini yang terdengar hanyalah cicit burung yang berkicau riang di dahan.
* * * * * * * *
DUA
"Hhh...! Mengapa Jatmika dan Banyupaksi belum juga muncul, Ki?" tanya seorang laki-laki bertubuh kecil kurus. Matanya tetap menatap wajah seorang laki-laki setengah baya berpakaian abu-abu dan berkumis tebal.
Laki-laki berpakaian abu-abu yang sebenarnya bernama Ki Saketi, dan menjabat sebagai Kepala Desa Kangkong itu mengalihkan pandangan yang sejak tadi tertuju ke Hutan Rangkong. Menilik dari s ikap dan wajahnya, jelas memang ada yang ditunggunya
Ternyata bukan hanya laki-laki berpakaian abu-abu itu saja yang mengalihkan pandangan. Belasan orang laki-laki dewasa lain yang berdiri di mulut desa itu pun menatap ke arah laki-laki bertubuh kecil kurus ini. Kemudian mereka memandang harap-harap cemas ke arah Hutan Rangkong. Menilik dari pakaian, jelas kalau belasan orang itu adalah penduduk Desa Kangkong. Mereka semua menanti kembalinya Jatmika dan Banyupaksi yang telah pergi ke Hutan Rangkong.
"Mana aku tahu, Wadira," jawab Ki Saketi seraya menggelengkan kepala. "Aku juga heran, apakah mereka mendapat kesulitan di sana? Sebenarnya, aku munyesalkan kepergian mereka berdua yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Dan sayangnya lagi, Nyi Jatmika pun memberi tahu kita setelah kedua orang itu telah pergi...."
"Aku yakin, Banyupaksi akan mampu mengatasi kesulitan itu, Ki," duga salah seorang penduduk lain yang bertubuh pendek gemuk. "Dia kan, guru silat kenamaan desa kita. Bahkan kepandaiannya terkenal sampai ke desa-desa sekitar."
"Hhh...!" Ki Saketi menghela napas berat. Sama sekali tidak disambutnya ucapan yang bernada penuh keyakinan itu.
Sementara para penduduk yang lain mengangguk-anggukkan kepala. Jelas kalau mereka semua membenarkan ucapan laki-laki bertubuh pendek gemuk itu.
"Kalau begitu, kita tunggu sampai besok pagi," Kepala Desa Rangkong itu mengambil keputusan. "Kalau sampai besok mereka berdua belum kembali terpaksa akan kusuruh beberapa orang di antara kalian untuk mencari mereka. Bagaimana? Kalian bersedia?"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkumis tebal ini mengedarkan pandangan ke arah belasan orang yang berdiri di sekelilingnya.
"Bersedia, Ki...!"
Laki-laki bertubuh kecil kurus bergegas menyahuti. Memang di antara belasan orang penduduk di situ, hanya dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.
"Kalian semua, bagaimana?" Ki Saketi mengalihkan perhatian ke arah belasan orang lainnya.
Namun belasan penduduk itu hanya saling pandang satu sama lain. Tidak ada satu pun kepala yang langsung mengangguk. Jelas kalau mereka merasa ragu untuk menerima perintah itu.
"Aku butuh enam orang lagi di antara kalian untuk menemani Wadira," sambung Kepala Desa Rangkong cepat. "Aku tidak akan membiarkan Wadira pergi sendiri ke sana. Tapi kalau kalian semua tidak bersedia, biar aku sendiri yang akan menemani Wadira ke sana."
Tegas dan mantap sekali kata-kata yang keluar dari mulut Kepala Desa Rangkong itu. Kembali belasan orang penduduk itu saling pandang dengan wajah memerah. Mereka malu mendengar laki-laki berkumis tebal itu akan pergi ke hutan apabila mereka tidak bersedia menemani Wadira.
"Aku bersedia, Ki," laki-laki bertubuh pendek gemuk menyahuti seraya mengacungkan tangan.
"Hm.... Siapa lagi?"
"Aku, Ki," sambut laki-laki berkumis jarang-jarang tak mau kalah.
"Aku juga, Ki," yang lainnya ikut menyambut.
"Aku ikut..!"
Ki Saketi mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar kesediaan enam orang penduduk lainnya.
"Bagus...!" puji laki-laki berpakaian abu-abu ini "Aku hargai kesediaan kalian. Pesanku, berhati-hati Dan kalian pergi setelah Banyupaksi dan Jatmika tidak kembali besok pagi. Mengerti?"
"Mengerti, Ki...!" sahut tujuh orang itu serempak.
"Bagus...! Sekarang mari kita kembali ke desa....'" ajak Ki Saketi seraya melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara di belakangnya berjalan belasan orang warganya. Enam orang di antara mereka, tampak beri jalan lesu. Merekalah yang menyatakan diri bersedia menemani Wadira pergi ke Hutan Rangkong.
* * * * * * * *
Matahari pagi sudah sejak tadi menampakkan diri ketika beberapa orang penduduk Desa Rangkong bergerak menuju Hutan Rangkong. Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh kurus. Sedangkan di belakangnya, enam orang penduduk lainnya mengikuti.
Dan memang, mau tak mau rombongan penduduk yang berjumlah tujuh orang ini bergerak menuju ke dalam Hutan Rangkong. Karena, sampai menjelang pagi Banyupaksi dan Jatmika belum kembali. Dan sesuai perintah Kepala Desa Rangkong, mereka harus, menyusul kedua orang itu.
"Bagaimana menurutmu, Wadira? Apakah kau juga punya perasaan seperti Ki Saketi?" tanya laki-laki berkumis jarang-jarang, memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka. Memang, sejak tadi ke tujuh orang itu berjalan tanpa berkata-kata.
"Aku belum mengerti maksud pertanyaanmu, Kang?" sahut orang yang dipanggil Wadira seraya mengernyitkan alisnya. Rupanya Wadira belum mengetahui arah pertanyaan laki-laki berkumis jarang-jarang yang jelas-jelas terlihat jauh lebih tua darinya. Itulah sebabnya, ia memanggil laki-laki berkumis jarang-jarang itu dengan sebutan kakang.
"Hm.... Maksudku..., apakah kau juga mempunyai dugaan yang sama dengan Ki Saketi, kalau Banyupaksi dan Jatmika mendapat kesulitan di perjalanan sehingga tidak bisa kembali ke desa?"
Laki-laki berkumis jarang-jarang yang bernama Jampa tercenung sejenak. Tapi seperti juga enam orang lainnya, kakinya segera melangkah. Sementara yang lainnyamendengarkan saja pembicaraan itu. "Kalau pertanyaan itu kau ajukan kemarin, pasti jawaban yang kuberikan akan lain, Kang," kata Wadira sambil sedikit berputar.
"Maksudmu...?" Jampa mengernyitkan alisnya.
"Kalau pertanyaan itu kau ajukan kemarin, dengan tegas dan tanpa ragu akan kujawab kalau aku tidak percaya orang seperti Kakang Banyupaksi akan mendapat kesulitan. Kita semua tahu, siapa Kakang Banyupaksi. Dia adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di desa kita!"
"Jadi..., sekarang kau tidak yakin kalau Banyupaksi akan mampu mengatasi kesulitan yang menghadangnya?" desak laki-laki berkumis jarang-jarang. Nada suara maupun sikapnya menampakkan penasaran yang amat sangat.
"Yahhh... kira-kira begitu. Kang. Kenyataan telah menunjukkan, Kakang Banyupaksi dan Kakang Jatmika belum kembali. Apakah kau mengira mereka akan menginap di hutan?"
Jampa menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Alasan yang dikemukakan Wadira memang kuat dan beralasan, dan sulit dibantai lagi Suasana menjadi hening ketika Wadira menghentikan ucapannya. Dan tak lama kemudian, mereka telah sampai tidak jauh dari mulut hutan. Baik Wadira maupun keenam orang lainnya merasakan jantung mereka berdebar tegang.
Seketika ada perasaan genta yang melanda hati tatkala melihat mulut hutan itu. Perasaan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Tapi kejadian demi kejadian dengan lenyapnya satu-persatu para penduduk Desa Rangkong, membuat hati mereka ciut seketika.
Itulah sebabnya, untuk beberapa saat lamanya mereka semua terpaku di tempat itu. Mereka hanya berdiri diam sambil memperhatikan Hutan Rangkon dari kejauhan. Wadira menggertakkan gigi untuk lebih menguatkan hati dan menghilangkan rasa takut yang melanda. Kemudian dengan langkah lebar-lebar, laki-laki bertubuh kecil kurus ini melangkah maju.
Melihat Wadira telah melangkah maju, keenam orang lainnya mau tak mau ikut melangkah maju. Dan kini selangkah demi selangkah, jarak antara rombongan itu dengan mulut Hutan Rangkong semakin dekat bahkan kini tinggal sekitar lima tombak lagi.
Srattt..! Wadira langsung mencabut goloknya. Diputarnya golok itu sebentar di atas kepala, baru kemudian kakinya melangkah mendekati mulut hutan. Sikap laki-laki bertubuh kecil kurus ini terlihat waspada, dengan sepasang mata merayapi sekeliling.
Perbuatan Wadira ditiru rekan-rekannya, yang juga segera mencabut senjata masing-masing. Rupanya mereka semua berbekal senjata yang sama berupa golok. Sinar-sinar berkilatan nampak berpendar ketika senjata-senjata tajam itu keluar dari sarungnya.
Seperti juga halnya Wadira, enam orang itu pun mengedarkan pandangan ke sana kemari. Menilik dari putaran tangan yang menggenggam golok, jelas terlihat ketegangan yang melanda hati mereka. Tubuh mereka seperti menggigil, menanti sesuatu yang bakal terjadi. Kini ketujuh orang penduduk Desa Rangkong itu mulai memasuki mulut hutan. Dan seiring masuknya ke dalam, perasaan tegang semakin jelas terlihat di wajah mereka.
Srakkk...!
Suara berkerosakan terdengar berkali-kali begitu golok-golok di tangan ketujuh orang itu silih berganti menguak kerimbunan semak. Tapi sampai beberapa kali menguak semak-semak, tetap saja yang dicari tidak diketemukan. Dan semakin lama, langkah kaki mereka semakin masuk ke dalam hutan.
"Bagaimana kalau kita memanggil-manggil nama mereka, Wadira?" usul Jampa berbisik pelan.
"Sebaiknya jangan. Kang," sahut Wadira. Nada suaranya terdengar gemetar sekalipun berbisik. Memang, hati laki-laki bertubuh kecil kurus ini tegang bukan main.
Jampa pun terdiam. Tadi pun sewaktu mengajukan usul, sebenarnya tidak begitu bersungguh-sung guh. Usul itu diajukan hanya sekadar untuk menghilangkan rasa takut saja. Sekarang ketujuh orang itu kembali melanjutkan langkah. Tapi baru juga beberapa tindak, langkah mereka terhenti. Ketujuh orang itu langsung saling pandang. Jelas ada sesuatu yang menyebabkan mereka bertindak seperti itu.
"Kau dengar suara itu, Kang Jampa?" tanya Wadira pelan.
Laki-laki berkumis jarang-jarang itu mengangguk-anggukkan kepala. Ternyata bukan hanya dia saja yang mengangguk, tapi juga yang lainnya.
"Kau bisa mengira-ngira suara apa Itu, Kang? tanya Wadira iagi. Masih berbisik.
Hanya gelengan kepala pertanda tidak tahu yang menyambut! pertanyaan laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
"Suara itu aneh sekali, Wadira," sahut salah seorang penduduk membuka suara. Rupanya, dia juga tidak betah hanya bertindak sebagai pendengar saja.
Orang itu menganggukkan kepalanya. Memang, suara itu juga terdengar olehnya Suara angin mendecit nyaring, seperti ada benda tajam. Tapi tak jarang terdengar mengaung, sepertinya ada puluhan ekor lebah mengamuk.
"Bagaimana menurutmu. Kang?" tanya Wadira seraya memandang wajah Jampa.
"Bagaimana apanya, Wadira?" Jampa malah bahu bertanya. "Kita selidiki asal suara itu..., atau tidak?"
Jampa mengangkat bahu. "Kuserahkan keputusan itu padamu, Wadira."
"Kalau begitu, kita cari pemilik suara itu!" Tegas dan mantap jawaban yang terdengar dari mulut Wadira, sungguhpun dengan berbisik. Jawaban itu pun dikeluarkan setelah beberapa saat lamanya tercenung.
Setelah berkata demikian, Wadira segera melangkah menuju ke arah asal suara. Mau tak mau, keenam orang rekannya mengikuti. Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang terdengar hanyalah kerosak suara rerumputan yang terlanda kaki mereka, atau suara semak-semak yang tersibak golok.
Semakin rombongan penduduk Desa Rangkong itu menerobos masuk ke dalam hutan, suara yang terdengar tadi semakin jelas. Memang apa yang didengar semula tidak salah. Suara yang terdengar adalah suara angin yang terkadang mencicit, tapi tak jarang pula mengaung.
Srakkk...!
Wadira menyibak kerimbunan semak dihadapannya. Suara yang didengarnya, jelas-jelas terdengar dari balik kerimbunan semak itu. Maka bergegas kembali disibaknya semak-semak di depannya. Begitu kerimbunan semak-semak itu tersibak, Wadira menjulurkan kepala. Dia ingin tahu, 'makhluk' apa yang bersuara aneh itu.
"Akh...!" Laki-laki bertubuh kecil kurus ini memekik tertahan. Betapa tidak? Begitu kepalanya dijulurkan, tahu-tahu ada sebuah tangan kuat mencekal lehernya dari balik kerimbunan semaksemak. Keras bukan main cekalan tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa keras bernada menyeramkan terdengar begitu pekikan Wadira usai. Karuan saja kejadian tidak disangka-sangka itu bukan hanya Wadira yang kaget, tapi juga keenam orang rekannya. Memang, sejak tadi hati mereka telah dilanda ketegangan. Tentu saja kejadian mengejutkan itu membuat mereka serentak melompat ke belakang dengan raut wajah sepucat mayat. Sebelum mereka semua sempat berbuat sesuatu, tangan kekar yang mencekal leher Wadira telah bergerak mencengkeram.
Krrrkh...!
Suara bergemeretak tulang leher yang patah terdengar seiring remasan tangan yang mencekal. Tanpa sempat berteriak lagi, Wadira tewas seketika. Tubuhnya pun ambruk ke tanah ketika tangan kekar itu melepaskan cekatannya.
Keenam orang penduduk desa itu menatap wajah Wadira dengan pandangan ngeri. Apalagi ketika melihat darah segar yang memancur deras dari mulut, hidung, dan telinga laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
Tapi pandangan mereka semua lalu beralih begitu, terdengar suara berkerosakan keras diiringi tersibaknya semak yang tadi disibak oleh Wadira. Dan tak lama, keluarlah sosok tubuh tinggi besar dan berpakaian hitam.
Jampa dan kelima orang rekannya menatap sosok tubuh yang baru saja keluar dari balik semak-semak. Sosok tubuh itu tampaknya benar-benar mengiriskan. Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu hitam. Wajahnya kasar, dan ditumbuhi cambang bauk yang lebat. Dan pada bagian atas kepalanya bertengger sebuah penutup kepala yang terbuat dari setengah tempurung kelapa.
"Ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka masih ada monyet-monyet kecil yang mau mengantarkan nyawa," kata laki-laki berpakaian hitam itu dengan suara khasnya yang keras dan menggelegar.
Keenam orang penduduk Desa Rangkong itu sama sekali tidak menyambut ucapan itu. Perasaan tegang dan ngeri melihat kematian Wadira yang mengerikan, serta perbawa laki-laki bercambang bauk lebat itu membuat lidah mereka seperti kelu. Tak mampu mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
"Kalian ingin melihat monyet-monyet kecil yang telah mendahului kalian?"
Setelah berkata demikian, laki-laki bertubuh tinggi besar itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah kerimbunan semak tempat dirinya keluar tadi. Hebat luar biasa akibatnya. Padalah jelas terlihat kalau laki-laki berpakaian hitam itu hanya mengibaskan tangan secara sembarangan saja ke arah kerimbunan semak-semak tadi. Tapi akibatnya semak-semak itu terlempar jauh ke belakang, tercabut hingga ke akar-akarnya.
Tindakan yang baru disaksikan itu saja, sudah membuat bulu tengkuk mereka merinding. Tapi, pemandangan yang tampak di balik kerimbunan semak-semak lebih membuat mereka dilanda rasa ngeri. Tampak di atas pepohonan, di balik semak-semak itu tergantung tiga sosok tubuh.
Walaupun keadaannya sudah tidak karuan lagi, tetapi masih dapat dikenali. Tiga sosok tubuh itu bukan lain dari Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi. Memang, semula laki-laki berpakaian hitam itu meninggalkan ketiga mayat itu. Tapi akhirnya berubah pikiran, dan mengambilnya.
"Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi...," desah Jampa dengan bibir bergetar. Suaranya terdengar serak karena dilanda ketegangan yang memuncak. Tanpa diberi tahu pun, kelima orang penduduk yang lain bisa mengenali orang-orang yang tergantung di atas pohon.
"Ha ha ha...!” Laki-laki bercambang bauk lebat tertawa bergelak-gelak melihat wajah keenam orang penduduk itu pucat pasi bagai tak pernah dialiri darah.
"Semula aku sudah merasa kebingungan mencari orang untuk kujadikan kelinci percobaan atas ilmu baru yang tengah kupelajari. Dan sungguh tidak kusangka kalian datang. Ha ha ha...! Nasibku memang benar-benar baik. Aku tidak perlu susah-susah mencari, buktinya sudah ada ikan kena umpanku!"
Keenam orang penduduk Desa Rangkong sudah bisa menebak kalau laki-laki berpakaian serba hitam itu memiliki ilmu dahsyat. Dan mereka semua merasa kalau bukan tandingan orang itu. Melawan sama saja membuang nyawa percuma. Melihat dari mayat Banyupaksi, sudah bisa diperkirakan kesaktian laki-laki yang menyeramkan ini.
Belum lagi saat dia membongkar kerimbunan semak-semak dengan sebuah kibasan lengan sembarangan saja. Sukar untuk dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian kakek tinggi besar ini. Seperti telah disepakati saja, mendadak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...!" Laki-laki berpakaian serba hitam itu tertawa bergelak. Dan sekali bergerak, tubuhnya telah berada di hadapan enam orang penduduk Desa Rangkong itu.
Enam orang penduduk Desa Rangkong tadi hanya melihat sekelebatan bayangan hitam saja yang melewati mereka. Dan kini tahu-tahu laki-laki bertubuh tinggi besar itu telah berada di hadapan mereka. Karuan saja hal ini membuat mereka terkejut bukan main dan langsung menghentikan langkah.
Rasa gentar yang amat sangat merayapi hati mereka semua. Tanpa pikir panjang lagi mereka membalikkan tubuh kembali dan berlari ke arah yang berlawanan dari arah tujuan semula. Kini mereka berlari kian masuk ke dalam hutan.
"Ha ha ha...! Jangan mimpi bisa lolos dari Raja Iblis Baju Hitam..!"
Diiringi tawa bergelak yang memekakkan telinga laki-laki bercambang bauk lebat yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju Hitam itu berseru sombong. Untung bagi keenam orang penduduk Desa Rangkong itu. Sebab laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak mengerahkan tenaga dalam pada suaranya. Kalau saja dikerahkan, pasti semuanya akan tewas dengan dada pecah.
Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil, keenam orang penduduk desa itu pun tahu kalau tidak ada gunanya berusaha melarikan diri. Maka diputuskanlah untuk melawan mati-matian. Keenam orang ini tahu kalau Raja Iblis Baju Hitam tidak akan mengampuni.
"Hiaaat...!" Diiringi teriakan keras menggelegar, Jampa melompat menerjang. Golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah leher. Melihat rekan mereka telah bergerak menyerang, lima orang lainnya pun ikut menyerang pula. Dalam sekejapan saja, enam batang golok telah menyambar ke berbagai bagian tubuh laki-laki berpakaian hitam.
"Hmh...!" Raja Iblis Baju Hitam hanya mendengus. Tidak tampak tanda-tanda kalau akan mengelak atau menangkis serangan itu. Sekali lihat saja, telah diketahui kalau enam orang itu hanya sekadarnya saja menguasai Ilmu silat. Tenaga dalam mereka pun amat rendah. Maka, dibiarkannya saja enam batang golok itu menyambar sasaran. Laki-laki bercambang bauk lebat ini hanya mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi kulit tubuhnya.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti beradunya logam-logam keras terdengar berulang-ulang ketika enam batang golok mengenai tubuhnya. Enam orang penduduk Desa Rangkong itu terpekik kaget ketika menyadari serangan golok mereka sama sekali tidak mampu melukai tubuh lawan. Malah sebaliknya, golok di tangan mereka terpental balik, bukan hanya itu saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit bukan main.
Sebelum keenam orang penduduk itu sadar dari keterkejutannya, tangan Raja Iblis Baju Hitam telah bergerak. Cepat bukan main gerakannya, sehingga para penduduk desa yang hanya mempunyai kemampuan sekadarnya tak menyadari hal itu. Mereka semua hanya melihat seleret sinar kehitaman menyambar, dan tahu-tahu golok di tangan mereka telah terlepas dari pegangan.
Jampa dan kelima orang temannya memandang dengan mata terbelalak lebar melihat kenyataan. Dan kini di kedua tangan tokoh sesat yang menggiriskan itu tergenggam enam batang golok. Entah bagaimana caranya, senjata-senjata itu berpindah tangan. Bahkan enam orang penduduk itu sama sekali tidak mengetahuinya.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Raja Iblis Baju Hitam menggerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja kelihatannya, tapi akibatnya luar biasa. Suara gema retak keras terdengar, diikuti berpatahannya golok-golok itu.
"Ilmu iblis...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu mendesis penuh kengerian. Memang cara Raja Iblis Baju Hitam mema tah-matahkan keenam golok itu luar biasa sekali. Padahal, semua senjata itu terbuat dari logam keras, Tapi dia ternyata mampu mematahkannya seperti mematahkan lidi!
"Sekarang saatnya aku mencoba ilmu yang selama ini kulatih...."
Setelah berkata demikian, Raja Iblis Baju Hitam mendorongkan kedua tangan dengan jari-jarinya terbuka, ke depan. Pelan gerakannya, tapi penuh tenaga. Suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah mengiringi gerakannya. Dan begitu kedua tangan itu telah terjulur ke depan, kedua telapak tangan itu berubah merah seperti darah.
Seketika tercium bau amis yang memualkan perut, seiring berubahnya warna telapak tangan itu. Jelas kalau Raja Iblis Baju Hitam menggunakan ilmu yang mengandung racun.
"Hih...!" Mendadak tubuh Raja Iblis Baju Hitam melesat cepat ke depan. Enam orang penduduk itu terkejut, dan sebisa-bisanya berusaha mengelak. Tapi...
Plak, plak, plak...!
Enam kali berturut-turut telapak tangan laki-laki bercambang bauk lebat itu menyentuh tubuh enam orang penduduk Desa Rangkong. Pelan saja gerakannya. Memang, Raja Iblis Baju Hitam hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya. Dia memang tidak berniat membunuh atau menyiksa dengan tenaga dalamnya. Tapi hanya sekadar mencoba keampuhan ilmu racun yang beberapa lama ini dipelajarinya.
Akibatnya luar biasa. Begitu kedua telapak tangan Raja Iblis Baju Hitam menyentuh, enam orang penduduk itu menggeliat-geliat. Rasa gatal dan panas yang amat sangat seketika menyerang tubuh mereka. Mula-mula hanya melanda bagian yang tersentuh, tapi cepat kali menyebar ke seluruh bagian tubuh. Enam orang penduduk itu menjerit melolong-lolong.
Rasa gatal yang tidak terkira membuat mereka tanpa pikir panjang lagi menggaruk keras-keras. Anehnya semakin digaruk, rasa gatal itu semakin menyiksa. Maka mereka pun menggaruk semakin membabi-buta.
"Ha ha ha...!"
Raja Iblis Baju Hitam tertawa bergelak-gelak melihat pemandangan di hadapannya. Memang, tokoh sesat yang menggiriskan ini memiliki kebiasaan. Hatinya merasa senang melihat orang lain tersiksa menderita. Semakin tersiksa dan menderita, semakin gembira hatinya. Tak heran bila menyaksikan penderitaan enam orang penduduk Desa Rangkong dia malah tertawa-tawa gembira.
Sementara enam orang penduduk desa itu saja menggaruk sekujur tubuh. Karena rasa gatal menyebar ke seluruh tubuh, maka garukan tangan mereka pun menjarah sekujur tubuh. Tak lama kemudian, sekujur kulit tubuh mereka mulai hancur. Disamping akibat pengaruh racun juga akibat garukan tangan mereka sendiri.
Cukup lama juga pemandangan mengerikan berlangsung, sebelum akhirnya mereka tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Tewas dalam keadaan tubuh tercabik-cabik tangan sendiri.
"Ha ha ha...! Tidak sia-sia rupanya aku mempelajari ilmu 'Tangan Racun Pasir Merah'. Memang luar biasa akibatnya. Ha ha ha...! Bidadari Sabuk Emas. Kita buktikan, siapa di antara kita yang paling jago kini! Ha ha ha...!" Masih dengan suara tawa yang tidak putus, Raja Iblis Baju Hitam meninggalkan mayat enam orang penduduk itu.
* * * * * * * *
TIGA
Senandung kecil terdengar meningkahi cicit riang ini burung-burung menyambut datangnya pagi. Bola api raksasa berwarna merah muncul di ufuk Timur, mengulir kabut yang masih tertinggal di lereng Gunung Rangkong.
Sesosok tubuh renta milik seorang kakek kecil kurus, bergerak lincah menuruni lereng gunung itu. Mulutnya agak meruncing ke depan, menyiutkan senandung tak jelas iramanya. Rupanya dari mulut kakek inilah senandung itu berasal.
Kakek Itu mengenakan pakaian berwarna kuning. Wajahnya nampak segar kemerahan, seperti bukan wajah seorang kakek. Padahal menilik dari rambut, aliss, kumis, dan jenggotnya yang telah memutih, bisa diperkirakan kalau usianya sudah lebih enam puluh Inhun. Di tangan kanannya terjinjing sebuah keranjang intan.
Sambil terus bersiul-siul, kakek ini bergerak lincah. Dia melompat dari satu batu ke batu lainnya. Gerakannya cukup cepat dan lincah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah begitu tinggi.
Bola api raksasa di ufuk Timur, sudah tidak berwarna kemerahan lagi. Bahkan sinarnya pun sudah mulai menyilaukan mata, ketika kakek berpakaian kuning ini tiba di mulut Hutan Rangkong. Di sini, baru kakek itu menghentikan larinya.
Kini kakek berpakaian kuning itu melangkahkan kakinya lambat-lambat Sedangkan sepasang matanya beredar mengawasi sekelilingnya. Jelas, ada sesuatu yang dicarinya.
Beberapa kali kakek ini melangkah menghampiri ketika melihat apa yang dicarinya. Ternyata dia tengah mencari tumbuh-tumbuhan. Beberapa kali, dicabutnya beberapa tanaman yang memang dicarinya, lalu diambil akarnya.
Terkadang pula bijinya. Tapi, tak jarang daun atau kulit batangnya. Matahari telah berada di atas kepala, ketika akhirnya keranjang rotan kakek itu telah penuh segala macam tanaman.
Sambil bersiul-siul, kakek berpakaian kuning ini kembali melangkahkan kakinya kembali ke lereng gunung. Tidak nampak ada kelelahan pada wajahnya, walaupun telah berputar putar di dalam Hutan Rangkong selama setengah hari.
Tapi gerakannya langsung terhenti ketika sepasang matanya melihat serombongan orang bergerak mendaki lereng. Menilik dari pakaian dan gerakan,bisa diduga kalau rombongan itu adalah para penduduk desa di sekitar Gunung Rangkong.
Kakek berpakaian kuning itu diam-diam menghitung jumlah mereka dengan matanya. Ada delapan orang. Dua di antaranya nampak lemas dan dipapah. Dari sini bisa diperkirakan kalau mereka menderita sakit.
Setelah mengamati beberapa saat, kakek berpakaian kuning ini lalu melesat ke arah mereka. Cepat bukan main gerakannya, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan sinar berwarna kekuningan.
Sesaat kemudian, kakek berpakaian kuning itu telah berada di depan delapan orang penduduk Desa Rangkong. Begitu mendadak kehadirannya, sehingga membuat delapan orang itu berjingkat kaget Tapi, raut kagetan segera lenyap begitu mengenali sosok tubuh yang tahu-tahu berada di depan mereka.
"Eyang Balunglaga...," sebut salah seorang dari mereka yang berjenggot hitam panjang.
"Siapa kalian? Dan ada keperluan apa mendaki lereng ini?" tanya kakek berpakaian kuning yang ternyata bernama Eyang Balunglaga. Sekilas, ditatapnya wajah dua orang yang dipapah mereka. Kemudian, pandangannya beralih ke arah laki-laki berjenggot panjang.
"Kami adalah penduduk Desa Rangkong, Eyang," jawab laki-laki berjenggot panjang yang rupanya menjadi juru bicara rombongan itu.
Eyang Balunglaga hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kakek ini tahu, Desa Rangkong adalah salah satu desa yang terletak di kaki Gunung Rangkong. Pandangannya kembali dialihkan ke arah wajah dua inang yang dipapah, seorang laki-laki dan seorang wanita.
"Maksud kami mendaki lereng ini untuk mencari eyang," sambung laki-laki berjenggot panjang. "Kami ingin meminta pertolongan."
Sambil berkata demikian, pandangan mata laki laki berjenggot panjang itu berpindah ke arah dua orang yang dipapah. Tanpa sadar, Eyang Balunglaga juga mengedarkan pandangan ke arah yang sama. Memang, kakek berpakaian kuning ini sangat ahli dalam ilmu pengobatan. Keahliannya bahkan telah tersebar ke seluruh desa di kaki Gunung Rangkong.
"Inikah orang yang butuh pertolongan itu?" tanya Eyang Balunglaga sambil melangkah menghampiri. Ditatapnya wajah kedua orang laki-laki itu, lalu diperiksa panas tubuhnya.
"Mereka keracunan...," jelas kakek berpakaian kuning itu pelan.
"Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?"
Laki-laki berjenggot panjang mengangkat bahu pertanda tidak mengetahuinya. Kemudian pandangannya dialihkan ke arah rekannya, seorang laki-laki muda bertubuh kekar berotot.
"Aku juga tidak mengerti, Eyang," kata laki-laki bertubuh kekar itu. "Hanya yang kutahu, sebelumnya Paman dan Bibi memakan ikan hasil tangkapan Paman."
"Hm.... Lalu?" desak Eyang Balunglaga.
"Tak lama kemudian... Paman dan Bibi muntah-muntah. Tubuhnya pun kejang. Dari mulut mereka keluar buih berbau busuk. Maka segera kupanggil mereka semua untuk menolongku membawa dua orang ini kemari."
"Kau tahu, ikan apa yang dimakannya?" tanya Eyang Balunglaga.
Karena sebagai seorang ahli pengobatan, kakek ini tahu kalau ada beberapa jenis ikan yang memang mengandung racun. Ikan buntal misalnya. Tapi ikan jenis itu hanya hidup di laut.
"Ikan air tawar biasa, Eyang."
"Aneh," ucap Eyang Balunglaga dengan dahi berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkan laki-laki tua itu.
Sementara delapan orang penduduk Desa Rangkong diam saja. Mereka tidak mau mengganggu pikiran kakek berpakaian kuning itu.
"Bawa mereka ke pondokku," ujar Eyang Balunglaga, seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, mendahului mereka menuju ke lereng.
Enam orang penduduk Desa Rangkong membaringkan dua sosok tubuh yang mereka papah ke dipan bambu. Kemudian, mereka duduk diam menunggu. Sementara di dalam, Eyang Balunglaga sibuk memeriksa luka-luka dua orang penduduk yang keracunan itu.
"Hhh...!" Kakek berpakaian kuning itu menghela napas berat, setelah memeriksa luka-luka kedua orang itu berapa saat lamanya. Menilik dari sikap dan raut wajahnya, jelas ada sesuatu yang tidak menyenangkan hati kakek kecil kurus ini. Dengan langkah lambat dan raut wajah lesu. Eyang Balunglaga melangkah ke luar.
"Bagaimana, Eyang?" tanya pemuda bertubuh kekar penuh gairah. Saking tegangnya menunggu nasib kedua orang keluarganya, dia tidak sempat memperhatikan wajah dan sikap Eyang Balunglaga yang lesu.
"Sayang sekali, Anak Muda," sahut kakek bertubuh kecil kurus itu pelan. Tampak kalau dia merem berat hati untuk menyampaikannya.
"Maksud, Eyang?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu kalap.
"Racun yang menyerang mereka tidak kukenal," sahut Eyang Balunglaga bernada keluhan. "Terus terang, aku tidak mampu menolong mereka."
"Jadi...?!" suara laki-laki bertubuh kekar itu terdengar gemetar.
"Kita serahkan semuanya pada kekuasaan Tuhan...," hanya itu yang bisa diucapkan Eyang Balunglaga.
"Ohhh...!" Seraya mengeluarkan keluhan putus asa, laki-laki bertubuh kekar itu melesat cepat ke ruang dalam. Eyang Balunglaga sama sekali tidak mencegahnya. Hatinya merasa terpukul karena tidak mampu mengobati luka kedua orang itu. Untuk pertama kali Eyang Balunglaga gagal dalam mengobati orang.
Perlahan kakek bertubuh kecil kurus ini mengalihkan perhatian pada penduduk lain yang ikut mengantar kedua orang yang keracunan itu. Perasaan terpukul yang melandanya pun semakin besar. Dilihatnya satu-persatu kepala penduduk itu tertunduk Sepertinya, mereka semua menyalahkan kakek itu karena tidak mampu mengobati penduduk Desa Rangkong itu.
"Paman...! Bibi...!"
Mendadak dari ruangan dalam terdengar teriakan keras, namun lebih patut disebut lolong kesedihan, serentak empat orang penduduk lainnya itu berlomba masuk ke dalam. Meskipun sudah dapat menduga apa yang terjadi, tapi tak urung mereka ingin menyaksikannya juga.
Eyang Balunglaga tak ketinggalan pula. Kakek berpakaian kuning ini melangkah masuk paling akhir. Tapi langkah Eyang Balunglaga berhenti di depan pintu, seperti juga empat orang penduduk itu begitu melihat pemandangan di hadapan mereka.
Tampak di pinggir pembaringan, pemuda bertubuh kekar itu duduk sambil menelungkupkan wajah. Sementara di balai-balai bambu, tergolek diam dua sosok tubuh. Tanpa melihat dari dekat pun, Eyang Balunglaga sudah bisa mengetahui kalau kedua orang itu sudah tewas. Tanpa sadar, sebuah helaan napas berat keluar dari mulutnya.
Tanpa berkata-kata, laki-laki bertubuh kekar itu mengangkat salah satu mayat dan membawanya ke luar. Bagai kucing ditakut-takuti lidi, para penduduk dan Eyang Balunglaga yang berdiri di ambang pintu bergerak menyingkir.
Masih dengan tanpa suara, laki-laki bertubuh kekar itu melangkah melewati ambang pintu. Jangankan bicara, menoleh pun tidak. Pandangan matanya menatap kosong ke depan. Jelas kalau hatinya merasa terpukul menerima kenyataan ini.
Melihat laki-laki bertubuh kekar itu telah melangkah ke luar, laki-laki berjenggot panjang memberi isyarat pada salah satu dari tiga orang penduduk. Tanpa menunggu diperintah dua kali, penduduk yang bertubuh pendek menghampiri balai-balai bambu. Diangkatnya tubuh penduduk desa mereka yang telah menjadi mayat.
Laki-laki berjenggot panjang menunggu, hingga laki-laki bertubuh pendek itu melewati ambang pintu. Setelah lewat, baru dia bersama dua orang penduduk lainnya bergerak meninggalkan ruangan itu. Tak lupa sebelum meninggalkan tempat itu, laki-laki berjenggot panjang menoleh ke arah Eyang Balunglaga.
"Maafkan atas sikap kami semua, Eyang. Biar bagaimanapun juga, Eyang telah berusaha sekuat tenaga. Tapi, yahhh.... Tuhan telah berkehendak lain."
Hanya senyum getir tersungging di mulut Eyang Balunglaga yang menyambuti ucapan laki-laki berjenggot panjang itu. Mata laki-laki tua itu kemudian menatap enam sosok tubuh yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
* * * * * * * *
Tok, tok, tok...!
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus mengetuk daun pintu sebuah rumah. Menilik dari ketukannya yang berturut-turut, bisa diperkirakan kalau dia tengah terburu-buru.
"Ki...! Ki Saketi...!"
Sambil terus mengetuk-ngetukkan tangan pada daun pintu, laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berteriak-teriak memanggil. Jelas kalau dia terburu-buru sekali. Panggilannya berhenti setelah terdengar langkah kaki diseret mendekati pintu. Suara derit pelan terdengat ketika daun pintu itu tergerak membuka.
"Hm.... Kau rupanya, Tirta?" sapa orang yang dipanggil Ki Saketi tadi. Kepala Desa Rangkong ini tampak berwajah kuyu dan lusuh. Kejadian demi kejadian yang menimpa desanya membuat laki-laki berkumis tebal ini menjadi berwajah demikian. Dia yakin, pasti ada kejadian lagi. Sehingga orang yang dipanggil Tirta bertindak begitu kalap.
"Ada apa, Tirta?"
"Anu, Ki...," masih dengan napas memburu. Tirta mencoba bercerita.
"Lebih baik kita masuk dulu dan bicara di dalam," ujar Ki Saketi.
Kepala desa itu mengajak Tirta masuk. Dia tahu, laki-laki kurus itu butuh ketenangan untuk bercerita. Tapi, perasaan terburu-burunya untuk menyampaikan sesuatu sudah tidak bisa ditahan lagi. Daripada mendengar cerita yang terputusputus, Kepala Desa Rangkong ini mengajak Tirta masuk ke rumahnya.
Laki-laki tinggi kurus itu tidak bisa membantah lagi karena Ki Saketi telah mendahului melangkah masuk "Minumlah dulu agar hatimu tenang," Ki Saketi mempersilakan, begitu mereka berdua telah duduk di dalam. Lagi-lagi Tirta tidak membantah ucapan laki-laki berpakaian abu-abu itu. Segera tangannya diulurkan untuk mengambil minuman yang disediakan.
"Nah, Sekarang, katakanlah apa yang ingin kau ceritakan padaku!" tagih Kepala Desa Rangkong begi tu Tirta telah meletakkan kembali gelas bambu di meja "Celaka, Ki!" belum apa-apa laki-laki bertubuh tinggi kurus itu sudah kalap.
"Tenanglah, Tirta," ujar Ki Saketi menasihati.
"Para penduduk yang mandi di sungai, terserang penyakit aneh, Ki," lanjut Tirta.
"Penyakit aneh?" Ki Saketi mengernyitkan dahinya.
"Benar, Ki. Penyakit aneh," ulang Tirta menguatkan ucapan sebelumnya. "Begitu selesai mandi, sekujur tubuh mereka terasa gatal-gatal amat luar biasa Mereka merasa tidak tahan untuk tidak menggaruk."
Tirta mengatur napasnya sejenak. Caranya bercerita yang terlalu berapi-api, membuat napasnya tersengal-sengal. Sementara Ki Saketi langsung mengerutkan alisnya mendengar cerita laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
"Tak lama kemudian, di sekujur tubuh mereka timbul bintik-bintik. Lalu, kulit mereka seperti hancur. Sampai di sini Tirta menghentikan ceritanya, lalu menutupkan muka dengan kedua telapak tangannya.
"Di mana mereka sekarang?" tanya Ki Saketi dengan suara bergetar menahan perasaan ngeri. Sepercik ucapan terbetik di hatinya. Apa dosa penduduk Desa Rangkong, sehingga sampai menerima malapetaka beruntun ini? Padahal tujuh orang penduduk ynng tiga hari lalu pergi menyusul Banyupaksi dan Jatmika pun belum ketahuan kabarnya. Kini sudah muncul lagi masalah baru.
"Masih di pinggir sungai, Ki," pelan dan tidak bersemangat jawaban Tirta. Sungguh berbeda dengan ucapan sebelumnya yang begitu berapi-api. "Kalau begitu, mari kita ke sana!"
Setelah berkata demikian, Kepala Desa Rangkong Ini bergegas bangkit dari duduknya. Mau tidak mau, Tirta pun bergerak bangkit mengikuti laki-laki berkumis lebal yang terus saja melangkah ke luar. Tapi sesampainya di luar, Ki Saketi terpaksa menunggu Tirta karena memang dialah yang mengetahui di sungai sebelah mana para penduduk yang keracunan itu.
Seperti semula sewaktu datang, kali ini pun Tirta berlari-lari bagai dikejar hantu. Mau tak mau, Ki Saketi terpaksa berlari-lari juga kalau tidak ingin tertinggal. Kepala Desa Rangkong ini tidak bisa menyalahkan Tirta karena dia pun ingin buru-buru melihat kenyataan ucapan warganya itu.
Masih cukup jauh jarak yang dimaksud Tirta, namun Ki Saketi sudah bisa mengetahui tempat pastinya. Kerumunan para penduduk yang merubungi sebuah tempat, sudah merupakan jawaban pertanyaannya. Melihat hal itu, Tirta dan Ki Saketi semaki mempercepat langkahnya. Sebelum kedua orang itu tiba, seorang penduduk yang wajahnya penuh panu sudah melihat kedatangan mereka.
"Minggir...! Menyingkir semua...! Beri jalan pada Ki Saketi...!" teriak laki-laki berwajah penuh panu seraya menepuk-nepuk bahu beberapa orang penduduk untuk lebih memperjelas pemberitahuannya. Maka kerumunan para penduduk itu pun menyeruak, memberi jalan pada Ki Saketi.
Kepala Desa Rangkong ini menganggukkan kepala kepada para warganya, kemudian bergegas menghampiri sosok-sosok tubuh yang tergolek dengan sekujur kulit memerah seperti darah. Dengan pandangan matanya, Ki Saketi menghitung jumlah mereka. Ada enam orang. Dan semuanya tergolek diam. Matikah mereka?
Laki-laki berpakaian abu-abu ini buru-buru berjongkok. Melihat keadaan tubuh mereka, Ki Saketi sama sekali tidak berani menyentuhnya. Dia tahu keenam orang penduduknya itu keracunan hebat.
"Hhh...!" Kepala Desa Rangkong ini menghela napas berat. Melihat tidak adanya perut yang bergerak turun naik, bisa diperkirakan kalau mereka yang terbaring sudah lewas. Keadaan mereka begitu mengerikan. Sekujur kulit memerah seperti udang rebus.
Yang lebih mengerikan lagi, sekujur kulit tubuh mereka pun seperti hancur. Jadi lunak seperti telah membusuk. Luka-luka bekas garukan tangan akibat rasa gatal yang mendera, nampak di sekujur kulit yang merah dan lunak itu.
Perlahan-lahan Ki Saketi bangkit berdiri. Wajahnya penuh diliputi kengerian. Memang, laki-laki berpakaian abu-abu ini merasa ngeri bukan main melihat keadaan mayat-mayat para warganya. Bukan hanya di wajah Ki Saketi saja yang menampakkan kengerian. Di wajah para penduduk yang lainnya pun demikian pula.
"Apa yang harus kita lakukan dengan mayat mereka, Ki?" tanya penduduk yang bertubuh pendek. Suaranya terdengar serak. Jelas kalau dia belum bisa menata dirinya dari perasaan terkejut yang melanda hati.
Ki Saketi tercenung sesaat lamanya, sambil menatap wajah orang yang bertanya sejenak. Kemudian perlahan-lahan kepalanya menggeleng. "Aku pun tidak tahu...," jawab orang nomor satu di Desa Rangkong ini. "Rasanya sulit bagi kita untuk menguburkannya...."
"Mengapa, Ki?" tanya Tirta.
Bodoh benar pertanyaan itu. Padahal sebetulnya laki-laki bertubuh tinggi kurus ini bukan orang bodoh. Tapi kenyataan yang disaksikan membuat pikiran jernihnya menguap entah ke mana. Hanya kebuntuan yang mencekam di benaknya.
"Bagaimana kita bisa menguburkannya, Tirta?" Ki Saketi mulai menjawab dengan mengajukan pertanyaan lebih dulu. Nada suaranya terdengar lesu, selesu wajahnya. "Aku yakin, sekujur tubuh keenam orang ini telah mengandung racun yang mengerikan. Bukan tidak mungkin kita akan ketularan kalau menyentuh mereka."
Tirta mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti. Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Saketi menghentikan ucapannya. Keheningan yang mencekam, karena hati semua penduduk diliputi kengerian. Jelas mereka takut akan kembali terjadi peristiwa mengerikan di desa mereka.
"Mayat-mayat itu harus dibakar."
Sebuah suara pelan tapi mengandung getaran yang cukup kuat terdengar. Meskipun hanya pelan saja, tapi karena saat itu suasana di tempat itu heningi maka suara itu jadi terdengar jelas. Bagai diberi aba-aba, kepala semua penduduk itu menoleh ke arah asal suara, tak terkecuali Ki Saketi sendiri.
Ternyata dua tombak jaraknya dari mereka telah berdiri seorang kakek berwajah segar. Sehelai pakaian yang berwarna kuning membungkus tubuhnya yang kecil kurus.
"Ah.... Rupanya Eyang Balunglaga...," sapa Ki Saketi dengan wajah berseri-seri. Ada perasaan lega yang menyeruak di harinya melihat kedatangan kakek ahli pengobatan itu.
Meskipun Kepala Desa Rangkong ini telah mendengar akan kegagalan kakek kecil kurus ini mengobati paman dan bibi salah seorang warganya, namun rasa hormatnya pada Eyang Balunglaga tidak sirna karenanya.
Laki-laki berkumis tebal ini tahu, meskipun Eyang Balunglaga selama ini mampu mengobati luka-luka keracunan, tapi keracunan yang tidak berat. Bukan keracunan akibat tindakan seseorang yang terbiasa bermain racun. Apalagi racun ganas. Sementara racun yang menyerang warga Desa Rangkong adalah racun yang dibuat orang yang terbiasa main racun. Tidak aneh kalau kakek kecil kurus itu tidak mampu mengobatinya.
"Jadi jalan satu-satunya untuk mencegah penularan racun ini, mayat-mayat ini harus dibakar, Eyang?" tanya Kepala Desa Rangkong untuk memastikan ucapan yang tadi terdengar telinganya.
"Benar!" jawab Eyang Balunglaga pelan.
Ki Saketi menoleh ke arah Tirta. "Uruslah mayat-mayat ini."
"Baik, Ki," laki-laki bertubuh tinggi kurus itu sigap menjawab.
"Ajak beberapa orang untuk mengumpulkan ranting-ranting kering!"
"Baik, Ki."
Tirta dan beberapa orang penduduk lainnya bergegas meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepala desanya.
Eyang Balunglaga melangkah menghampiri mayat-mayat yang tergolek di tanah. Raut wajah maupun sepasang matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam.
Memang, kakek bertubuh kecil kurus ini merasa penasaran bukan kepalang akibat ketidakmampuannya mengenali racun yang menyerang para penduduk Desa Rangkong.
Eyang Balunglaga adalah seorang pandai obat sejati Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada melihat kesembuhan orang yang berobat padanya. Sebaliknya, tidak ada kesedihan yang lebih besar selain melihat orang yang sakit, tewas di hadapannya.Dan perasaan itulah yang melanda hatinya sekarang ini.
Kakek bertubuh kecil kurus ini berjongkok. Sepasang matanya merayapi sekujur tubuh mayat-mayat itu. Helaan napas beratnya selalu terdengar keluar dari mulutnya. Sementara para penduduk hanya memperhatikan semua kelakuan kakek ahli pengobatan itu.
"Menurut berita yang kudapat, sehabis mandi di sungai sekujur tubuh mereka gatal-gatal dan panas.... Apakah mereka tewas karena mandi di sungai ini, Eyang?" Ki Saketi mulai mengajukan pertanyaan.
"Kalau melihat dari keadaan mereka, jelas itu akibat keracunan. Tapi kebenaran akan dugaan kalau racun itu berasal dari sungai perlu dibuktikan."
Eyang Balunglaga menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. "Bila benar sungai ini adalah penyebabnya berarti ada orang yang baik sengaja atau tidak, telah membuang racun ke sungai itu. O, ya. Apakah penduduk yang keracunan akibat makan ikan waktu itu, ikannya diambil dari sungai ini?"
"Tidak, Eyang," laki-laki berjenggot panjang yang menjawab pertanyaan itu. "Mereka menangkapnya di danau dekat pinggir hutan."
Eyang Balunglaga mengangguk-anggukkan kepala, kemudian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri pinggir sungai. Diperhatikannya sejenak air sungai Itu. Baik warna maupun baunya.
"Hhh...!" Sebuah helaan napas berat terdengar dari mulut kakek bertubuh kecil kurus ini.
"Bagaimana, Eyang?" Ki Saketi yang berdiri di belakang kakek berpakaian kuning itu tidak sabar lagi bertanya.
"Sungai ini memang telah mengandung racun ganas," sahut Eyang Balunglaga setengah mengeluh.
"Jadi...?"
"Jangan gunakan lagi air sungai ini untuk mandi atau mencuci. Apalagi untuk minum," Eyang Balunglaga memperingatkan.
Ki Saketi mengerutkan alisnya. Jelas kalau tengah dilanda perasaan bingung. Maklum, sungai ini memang satu-satunya sumber kehidupan penduduk Desa Rang kong. Memang ada mata air lainnya, tapi letaknya terlalu jauh dari desa mereka. Tapi, hal ini akan dikatakannya nanti pada para penduduknya.
"Aku yakin, peristiwa keracunan ini ada hubungannya dengan kejadian-kejadian sebelumnya," duga Ki Saketi.
"Kejadian apa, Ki?" tanya Eyang Balunglaga.
Memang, kakek ahli pengobatan ini belum mendengar tentang peristiwa beruntun yang terjadi atas penduduk Desa Rangkong. Ki Saketi pun menceritakan semua kejadian itu dari awal. Dengan seksama, Eyang Balunglaga mendengarkannya. Kakek berpakaian kuning ini sama sekati tidak menyelak cerita Ki Saketi sedikit pun.
"Mungkin dugaanmu benar, Ki," dukung kakek bertubuh kecil kurus ini. "Kalau tidak salah, bukankah sungai ini berhulu dari dalam Hutan Rangkong?"
Ki Saketi mengangguk.
"Dan penduduk Desa Rangkong semuanya hilang di dalam hutan itu," sambung kakek bertubuh kecil kurus penuh semangat "Jelas, pokok pangkal semu masalah ini berasal dari Hutan Rangkong."
"Itulah yang menyebabkanku menduga demikian pula, Eyang," sambut Ki Saketi berapi-api. "Jadi, kesimpulanmu bagaimana, Ki?" Kepala Desa Rangkong terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
"Kalau menurut dugaanku, ada seorang tokoh aliran hitam yang bertempat tinggal di hutan itu. Tapi, dia tidak ingin diketahui orang lain. Atau juga tidak senang diganggu. Maka setiap penduduk yang bertemu dengannya di dalam hutan, langsung dibunuhnya," Jelas laki-laki berpakaian abu-abu itu panjang lebar.
"Ada yang janggal dalam penjelasanmu, Ki," selak Eyang Balunglaga. "Kalau dia tidak ingin diketahui orang, kenapa menaburkan racun di sungai ini?"
Ki Saketi menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. "Itulah yang membuatku bingung, Eyang."
Pembicaraan kedua orang itu berhenti ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempat itu. Langkah kaki yang tampaknya bertubi-tubi menghantam bumi dengan cepatnya. Jelas kalau ada orang yang tengah berlari.
Eyang Balunglaga dan Ki Saketi menoleh. Tampak Tirta dan beberapa orang penduduk lain telah datang membawa banyak ranting kering. Tanpa menunggu diperintah, semua penduduk yang sejak tadi diam mendengarkan pembicaraan antara kepala desa mereka dengan Eyang Balunglaga, bergegas mengambil ranting-ranting kering itu. Kemudian ranting-ranting itu diletakkan di sekeliling mayat enam orang rekan mereka.
Setelah mendapatkan perintah dari Ki Saketi, baru mereka semua menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun membumbung tinggi membakar mayat-mayat orang yang keracunan. Semakin lama, api yang menyala semakin membesar. Dan dengan sendirinya, suasana di sekitar tempat itu mulai terasa panas. Maka, semua yang berada di situ bergegas melangkah mundur.
Kini mereka semua memperhatikan api yang melahap ranting dan mayat rekan-rekan mereka. Menilik dari pandangan yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau mereka semua terlibat dalam lamunan masing-masing.
Dan memang hal itu benar. Dalam hati mereka semua, timbul pertanyaan. Bencana apa lagi yang akan menimpa mereka? Dan siapa nanti yang akan mendapat giliran?
Perlahan api mulai mengecil, suara letupan-letupan api mulai jarang. Dan seiring matinya api, habislah mayat-mayat itu dan juga ranting keringnya. Yang tinggal hanyalah onggokan tulang yang habis terbakar dan onggokan sisa pembakaran.
* * * * * * * *
EMPAT
Hari sudah begitu siang. Sinar matahari pun sudah tidak terasa nikmat lagi di kulit. Saat itu seorang perempuan tua berpakaian merah muda dan berambut panjang terurai tengah melangkah perlahan-lahan memasuki tembok batas Desa Layur. Dia seperti tidak mempedulikan teriknya sengatan matahari.
Kalau melihat wajah dan perawakannya, tidak nampak adanya sesuatu yang mengerikan pada nenek ini. Bahkan perasaan kasihan yang timbul begitu melihat nenek yang begitu ringkih ini berjalan. Mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi, dan rambutnya yang seluruhnya telah berwarna putih semakin menambah keringkihannya. Dari sini, bisa ditaksir usianya. Paling tidak, tak kurang dari tujuh puluh tahun.
Tapi jika melihat sorot matanya, orang akan bergidik ngeri. Sorot matanya mencorong tajam dan berwarna kehijauan, seperti sinar mata seekor kucing dalam gelap. Dan yang lebih mengerikan lagi, ada sinar kekejaman yang membayang dalam matanya.
Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata nenek berambut putih panjang itu menatap ke sekeliling. Tapi, hanya kesunyian saja yang ditemuinya. Apalagi saat itu hari sudah siang. Jadi, sebagian besar penduduk memang tengah sibuk di sawah atau di kebun. Hanya sebagian kecil saja yang tinggal di rumah.
Hanya sebentar saja nenek berpakaian merah muda itu menatap ke sekeliling. Pandangannya kemudian tertumbuk pada sebuah pondok yang terletak agak terpisah dari pondok-pondok lainnya.
Mendadak sepasang mata nenek itu berkilat menyiratkan kekejaman. Seringai menyeramkan pun tampak di mulutnya yang telah mengeriput. Tapi seringai itu hanya timbul sesaat saja, kemudian lenyap. Dan seiring dengan lenyap seringainya, nenek berpakaian merah muda itu bergerak menghampiri pondok.
Luar biasa. Gerakan nenek berambut panjang itu cepat bukan main. Sungguh tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya yang terlihat. Hanya sekali langkah saja, jarak tujuh tombak telah terlampaui. Sekejap kemudian nenek berpakaian merah mudai itu telah berada di depan pintu pondok yang tertutup rapat.
"Hi hi hi...!"
Nenek berambut panjang terurai itu tertawa, sehingga terdengar mengerikan sekali. Suara tawa itu tak ubahnya keluar dari mulut kuntilanak. Seiring lenyap gema suara tawanya, tangan kanan nenek itu menepak daun pintu. Kelihatannya perlahan saja, tapi akibatnya....
Brakkk...!
Suara berderak keras terdengar ketika daun pintu pondok itu hancur berkeping-keping. Seolah-olah, bukan tepakan halus tangan keriput seorang nenek yang menghantamnya, melainkan serudukan seekor kerbau liar.
Tentu saja suara berderak ribut itu membuat pemilik pondok terperanjat. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan berkulit coklat. Suatu kebetulan dia tidak pergi ke sawah, karena giginya sakit. Dapat dibayangkan, betapa gusarnya hati laki-laki bertubuh kekar ini begitu mendengar suara berisik dari arah depan.
Dengan amarah menggelegak, dia bergegas ke luar. Tak lupa disambarnya golok yang tergantung di dinding. Kemarahannya kembali bergolak begitu melihat pintu pondoknya hancur berantakan. Suara gemeretak keras terdengar dari mulutnya karena perasaan geram melihat rumahnya dirusak.
Perasaan amarah yang melanda membuat pikiran laki-laki bertubuh kekar ini seperti buntu. Yang ada di benaknya hanya satu. Memberi pelajaran pada orang yang telah mengganggu ketenangannya, dan sekaligus merusak pintu rumahnya.
Kalau saja laki-laki bertubuh kekar ini mau menggunakan akal sehat sedikit saja, tentu sudah bisa memperkirakan kepandaian orang yang telah mampu menghancurkan pintunya. Jelas orang itu bukanlah orang sembarangan.
Namun hal itu sama sekali belum terpikirkan olehnya. Kemarahan yang melandanya baru menciut begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Tampak di matanya seorang nenek tua renta yang bertubuh ringkih.
"Nenek inikah yang telah menghancurkan pintu rumahku?" tanya pemilik pondok dalam hati dengan, perasaan tidak percaya. "Tapi kalau bukan nenek ini, siapa lagi? Buktinya tidak nampak ada orang lain lagi di sekitar sini."
Maka meskipun dengan perasaan ragu, dihampirinya nenek berpakaian merah muda itu. Hanya saja kemarahan yang melandanya sebagian besar telah menguap. Kini yang tinggal hanyalah perasaan penasaran dan rasa sakit yang mendera giginya.
"Siapa kau, Nek? Mengapa merusak pintu rumahku?" tanya laki-laki berkulit coklat itu. Sengaja pertanyaan itu diajukan, meskipun yakin nenek itu bukan pelakunya. Sudah dapat diterka, nenek itu pasti akan menyangkal.
"Bukan hanya pintu pondok ini saja yang kuhancurkan. Tapi juga kau!"
Dapat dibayangkan, betapa kaget hati milik pondok itu begitu mendengar jawaban yang keluar dari mulut nenek berpakaian merah muda ini. Seiring ucapan Itu tadi, sepasang mata nenek Itu mencorong seperti memancarkan sinar berapi. Karuan saja hal ini membuat laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat. Seketika itu pula disadari kalau nenek di hadapannya bukan orang sembarangan.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemilik pondok itu melompat menerjang. Golok di tangannya berkelebat membacok dari atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud membelah tubuh nenek itu.
"Hmh...!" Nenek berpakaian merah muda itu hanya mendengus. Tidak tampak ada tanda-tanda kalau akan menangkis atau mengelak Jelas, nenek itu tidak memandang serangan itu sebagai sesuatu yang berbahaya. Baru setelah serangan itu menyambar dekat, tangan nenek berpakaian merah muda itu terjulur ke depan. Luar biasa. Serangan golok itu disambut dengan tangannya.
Laki-laki bertubuh kekar itu terkejut melihat hal ini. Gilakah sebenarnya nenek ini? Kalau tidak gila, mengapa hendak mengadu golok itu dengan tangannya yang kurus kering dan keriput? Mau tak mau, perasaan ragu-ragu laki-laki itu membuat tenaganya yang mengayunkan golok jadi mengendur. Meskipun begitu, tetap saja ayunan golok itu cukup untuk memutuskan tangan. Apalagi kelihatannya tangan nenek berambut panjang itu terlihat lemah.
Takkk...!
Suara berdetak keras seperti dua benda kuat berbenturan terdengar ketika golok itu beradu dengan tangan nenek berpakaian merah muda. Luar biasa. Tangan nenek itu sama sekali tidak putus. Bahkan sebaliknya, tangan pemilik pondok itu yang bergetar hebat. Tangannya terasa seolah-olah lumpuh. Terutama, jari-jari tangannya yang menggenggam.
Tanpa dapat dicegahnya lagi, golok itu terlepas dari cekalan tangannya. Dan sebelum laki-laki bertubuh kekar itu sempat berbuat sesuatu, tangan nenek itu kembali bergerak. Cepat bukan main gerakannya. Dan....
Tappp...!
Tak pelak lagi, tangan laki-laki bertubuh kekar itu tercekal tangan keriput nenek berpakaian merah muda. Dan dengan cepat, tangan nenek itu bergerak meremas.
Krrrkkk...!
Suara bergemeretak keras terdengar ketika tulang-tulang tangan pemilik pondok itu hancur berantakan. Seakan-akan tangan itu terbuat dari tahu. Laki-laki berkulit coklat itu seketika menjerit memilukan, seiring gerakan meremas tangan nenek berambut panjang. Rasa sakit tak tertahankan yang melanda, membuatnya tak kuasa menahan jeritan. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan nenek berpakaian merah muda Itu sudah kembali bergerak. Langsung disampoknya pelipis laki-laki kekar itu.
Prakkk!
Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh laki-laki berkulit coklat Itu ambruk ke tanah dengan pelipis pecah. Sebentar dia menggelepar, lalu tewas tanpa bersambat lagi. Darah nampak menggenang di lantai rumahnya.
"Hi hi hi...! Orang sepertimu berani menantang Bidadari Sabuk Emas?! Cuhhh...!" dengan kasar, nenek berambut panjang yang ternyata berjuluk Bidadari Sabuk Emas itu meludahi wajah mayat pemilik rumah Itu.
Sambil tertawa terkikih, nenek berpakaian merah muda itu lalu melangkah meninggalkan mayat yang membujur tergenang darah. Suasana sekitar tempat Itu memang sepi, sehingga keributan kecil itu sama-sekali tidak mengundang penduduk lain. Apalagi, rumah penduduk yang malang itu terpisah jauh dari rumah penduduk lainnya.
"Hi hi hi...!"
Kembali Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih ketika langkah kakinya berhenti di depan sebuah pintu rumah yang tertutup rapat. Masih dengan suara tawa mengikik, nenek berpakaian merah muda ini mengeluarkan sebuah sabuk berwarna kuning keemasan dari pinggang, kemudian melecutkannya.
Ctarrr...! Brakkk..!
Suara hiruk pikuk diiringi hancurnya daun pintu hingga berkeping-keping terdengar ketika ujung sabuk itu melecutnya. Suara hiruk pikuk itu membuat penghuninya yang berada di dalam rumah melangkah keluar dengan takut-takut. Mereka adalah seorang nenek dan kakek yang tua dan ringkih. Jelas kedua orang itu adalah sepasang suami istri yang telah berusia lanjut. Bahkan sang Kakek telah agak bungkuk tubuhnya.
"Hi hi hi...!"
Nenek berpakaian merah muda yang berjuluk Bidadari Sabuk Emas itu tertawa terkikih. Kembali sabuk di tangannya digerakkan. Sabuk itu lemah gemulai melenggak-lenggok, ke kanan dan ke kiri. Lalu mendadak....
Rrrttt..!
Laksana seekor ular sanca, sabuk itu melilit pinggang nenek pemilik rumah. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, tangan Bidadari Sabuk Emas bergerak. Terdengar jerit kengerian dari mulut nenek pemilik rumah ketika tubuhnya terlempar ke depan.
"Nyi...." Kakek pemilik rumah memekik keras ketika melihat istrinya terlempar ke atas. Dengan tertatih-tatih kakinya melangkah keluar karena khawatir dengan keselamatan istrinya. Tapi baru beberapa tindak melangkah, Bidadari Sabuk Emas telah menggerakkan kembali sabuknya. Dan....
Ctarrr...! Suara lecutan cukup keras terdengar ketika ujung sabuk yang berwarna kuning keemasan itu menyengat dada kakek bertubuh agak bungkuk itu. Hebat akibatnya. Tubuh kakek pemilik rumah itu terjajar ke belakang. Untung baginya, nenek berpakaian merah muda itu hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Kalau tidak, tentu seluruh isi dadanya pasti hancur lebur.
Meskipun begitu, tak urung darah segar memercik dari sudut-sudut mulut kakek bungkuk itu. Tubuhnya pun cukup keras menghantam dinding rumah. Tubuh kakek bungkuk itu merosot perlahan-lahan ke lantai. Untuk beberapa saat lamanya dia berdiam diri saja dengan sikap tubuh terduduk. Keadaan tubuhnyalah yang membuatnya tidak dapat segera bangkit, walaupun keinginan itu begitu besar. Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Bidadari Sabuk Emas. Tanpa mengenal rasa kasihan, kembali tabuk di tangannya dilecutkan.
Ctar, ctar, ctar...!
Bertubi-tubi ujung sabuk itu kini menghujani berbagai bagian tubuh nenek pemilik rumah. Seketika itu pula jeritan menyayat kembali terdengar saling susul diiringi menggebatgeliatnya tubuh nenek pemilik rumah itu.
"Hi hi hi...!" Nenek berambut panjang itu tertawa terkikih-kikih melihat calon korbannya menggeliat-geliat kesakitan. Memang, Bidadari Sabuk Emas bermaksud menyiksa nenek bertahi lalat besar itu. Maka, lecutan-lecutan sabuknya yang bertubi-tubi ditujukan hanya untuk menimbulkan rasa sakit, pedih, dan panas mendera nenek pemilik rumah.
Pakaian nenek bertahi lalat besar itu sudah koyak-koyak di sana-sini. Bahkan kulit tubuhnya pun pecahpecah sehingga darah segar pun merembes ke luar. Rupanya pemandangan yang menyayat hati Itu amat menyenangkan Bidadari Sabuk Emas. Ini terbukti dari tawanya yang tak putus-putus mengiringi lecutan sabuknya.
"Iblis biadab...!"
Kakek pemilik rumah berseru keras melihat penderitaan istrinya. Dia menggeram marah, sambil ber. Usaha menguatkan diri untuk bangkit Dan dia berhasil. Secepat tubuhnya telah berdiri, secepat itu pula kakek bungkuk ini berlari menuju ke arah tempat istrinya disiksa!
"Hmh...!" Bidadari Sabuk Emas mendengus. Kini sabuk di tangannya digerakkan untuk menyerang kakek bertubuh bungkuk itu.
Wuttt..! Tukkk!
"Akh...!" Telak dan keras sekali ujung sabuk yang tiba-tiba mengejang kaku laksana tombak Itu menyengat lutut sebelah kanan si kakek. Terdengar suara berderak keras mengiringi robohnya tubuh kakek pemilik rumah di tanah.
Kini Bidadari Sabuk Emas mengalihkan penyiksaannya. Lecutan-lecuan sabuknya kini meluncur deras dan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh si kakek.
Akibatnya sudah bisa diduga! Setiap kali ujung sabuk itu melecut, tubuh kakek bungkuk Itu menggeliat. Beberapa kali tubuhnya mengejang kaku bila ujung sabuk itu mengenal sasaran. Keluhan diiringi seringai kesakitan selalu terdengar dan terlihat tatkala ujung sabuk itu menemui sasarannya.
"Iblis keji! Hentikan...!"
Bentakan keras menggelegar pertanda didukung tenaga dalam cukup tinggi, membuat Bidadari Sabuk Emas menghentikan penyiksaannya. Dengan wajah merah padam menahan amarah, tubuhnya berbalik ke arah belakangnya. Dari situlah suara itu berasal.
Kini di hadapannya dalam jarak empat tombak, berdiri tiga sosok tubuh berpakaian biru yang rata-rata berusia muda. Di dada kiri mereka terdapat gambar sepasang pedang yang disulam dari benang perak.
"Hmh...! Tikus-tikus kecil dari Perkumpulan Pedang Perak rupanya...," dengus Bidadari Sabuk Emas. Nada suara dan sikapnya terlihat jelas memandang rendah.
Tiga orang berpakaian biru yang ternyata murid Perkumpulan Pedang Perak itu menggertakkan gigi. Memang mereka merasa tersinggung mendengar hinaan yang keluar dari mulut nenek berpakaian merah muda itu. Ucapan yang jelas-jelas menghina dan merendahkan!
"Tutup mulutmu, Nenek Peot...!" bentak salah seorang dari murid Perkumpulan Pedang Perak yang bercambang lebat.
"Keparat..! Berani kau membentakku, Tikus Kecil? Apa kau sudah mempunyai nyawa rangkap sehingga berani berkata seperti itu pada Bidadari Sabuk Emas?! Jangan harap kalian semua akan bisa lolos dari s ini dalam keadan hidup!"
Wajah ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak seketika berubah begitu mendengar nenek berpakaian merah muda itu menyebut julukannya. Memang, mereka semua telah mendengar julukan itu. Bidadari Sabuk Emas adalah salah seorang tokoh sesat dunia persilatan. Kegemarannya adalah menyiksa orang sampai mati!
"Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban kami untuk melenyapkan tokoh berhati iblis sepertimu...!" tegas murid Perkumpulan Pedang Perak yang wajahnya penuh jerawat Srat, srat, srattt..!
Sinar terang berkelebat ketika ketiga orang itu menghunus pedang yang tersampir di pinggang. Begitu mengetahui siapa adanya nenek berpakaian merah muda itu, mereka tidak berani bersikap main-main lagi Dengan langkah menggeser tanah, mereka melangkah maju, dan langsung menyebar. Mengurung nenek berambut panjang itu dari segala arah.
"Hi hi hi...!"
Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih melihat ketiga orang lawannya menghunus senjata. Nenek itu sama sekali tidak tampak waspada, sekalipun ketiga orang lawannya telah siap dengan senjata terhunus.
"Serbu...!" Laki-laki yang bercambang lebat berseru keras. Sambil melompat menerjang, pedangnya ditusukkan rapat ke arah leher Bidadari Sabuk Emas.
Pada saat yang bersamaan, kedua orang rekannya juga segera menyerang. Pedang laki-laki berwajah penuh jerawat itu membabat cepat ke arah leher. Sementara rekan yang satunya lagi menusukkan peningnya ke arah punggung.
Suara angin mencicit mengiringi tibanya serangan itu. Dari serangan ini saja bisa diketahui kalau ketiga orang berpakaian biru ini bukan tokoh sembarangan. Memang di Perkumpulan Pedang Perak, ketiga orang ini memiliki tingkat kepandaian sedikit di bawah murid-murid kepala.
Padahal, Perkumpulan Pedang Perak adalah sebuah perkumpulan aliran putih yang besar. Tingkat kepandaian ketuanya, dikabarkan tidak di bawah tingkat datuk-datuk dunia persilatan. Jadi, bisa diperkirakan, kelihaian ketiga orang ini.
Bidadari Sabuk Emas pun menyadari hal itu. Maka, dia tidak berani menerima serangan lawan dengan tubuhnya. Cepat laksana kilat kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas.
Hasilnya, semua serangan itu hanya menyambar tempat kosong, jauh di bawah kakinya. Tidak hanya itu saja yang dilakukan nenek berambut panjang itu. Tatkala rubuhnya berada di udara, sabuk di tangannya mematuk ke arah ubun-ubun laki-laki bercambang lebat.
Namun laki-laki bercambang lebat tidak gugup melihat hal ini. Dia memang sudah bersiap siaga untuk menghadapi serangan mendadak, begitu diketahui kalau lawannya adalah tokoh sesat yang menggiriskan. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang.
Ctarrr...! Ledakan keras seperti ada halilintar menyambal terdengar ketika sabuk itu melecut tempat kosong.
Kedua orang rekan laki-laki bercambang lebat tidak tinggal diam begitu melihat rekannya didesak Bidadari Sabuk Emas. Bergegas mereka bergerak membantu, menghujani lawan dengan serangan-serangan maut. Sehingga, Bidadari Sabuk Emas terpaksa menghentikan desakannya pada laki-laki bercambang lebat.
Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi. Bidadari Sabuk Emas yang memang sudah berniat membunuh ketiga murid Perkumpulan Pedang Perak tidak tanggung-tanggung lagi menyerang. Kedua belah pihak pun mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing.
Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, kepandaian masing-masing murid Perkumpulan Pedang Perak itu masih amat jauh di bawah Bidadari Sabuk Emas. Tapi karena ketiga orang ini maju bersama-sama, tambahan lagi ketiganya mampu bekerja sama, untuk beberapa saat lamanya pertarungan berjalan seimbang.
Suara riuh rendah menyemaraki pertarungan antara seorang nenek yang terlihat ringkih menghadapi ketiga orang lawan yang masih muda-muda dan terlihat kuat. Desingan pedang ketiga murid Perkumpulan Pedang Perak, diiringi ledakan-ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas menambah ramainya pertarungan.
Ctarrr...!
Untuk yang kesekian karinya ujung sabuk Bidadari Sabuk Emas menghantam tanah. Kontan hasilnya menambah banyaknya lubang besar yang terbentuk akibat lecutan cambuk pada tanah.
Tapi ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak hanya mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja. Ketika memasuki jurus ketiga puluh satu, nenek berpakaian merah muda itu mulai dapat mendesak lawan-lawannya.
Bahkan Bidadari Sabuk Emas kini sudah bisa membuat kerja sama ketiga orang lawannya berantakan. Serangan-serangan murid Perkumpulan Pedang Perak itu semakin jarang, dan kini lebih sering mengelak.
Sebaliknya, serangan-serangan Bidadari Sabuk Emas datang semakin bertubi-tubi. Sabuknya menghujani berbagai bagian yang berbahaya di tubuh ketiga orang lawannya.
Mendadak pada jurus yang keempat puluh satu, gerakan sabuk nenek berpakaian merah muda Itu berubah cepat. Kini sabuk itu bergerak meliuk-liuk seperti seekor ular. Kemudian, secara tidak terduga-duga mematuk salah satu bagian mematikan di tubuh lawan.
Memang, Bidadari Sabuk Emas kini sudah mengeluarkan jurus-jurus sabuk andalannya. Dan akibatnya, ketiga orang lawan itu kebingungan melihat gerakan sabuk yang meliuk-liuk seperti ular sehingga sulit diduga arahnya.
Prattt..!
Laki-laki bercambang lebat terjengkang ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Tanpa bersuara sedikit pun, dia tidak bangun lagi untuk selamanya ketika sabuk itu menotok keras lehernya. Dia tewas karena tulang lehernya hancur berantakan.
Hampir berbarengan dengan robohnya laki-laki bercambang lebat, kedua orang rekannya pun roboh pula. Laki-laki berwajah penuh jerawat tewas dengan pelipis pecah. Sedangkan rekannya terkena totokan keras pada dadanya.
"Hi hi hi...!" Sambil tertawa terkikih, Bidadari Sabuk Emai melesat pergi dari situ. Tak dipedulikannya lagi lima sosok tubuh yang tergeletak di tanah. Hanya dalam beberapa kali lompat saja, tubuhnya sudah berubah menjadi sebuah titik di kejauhan. Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
* * * * * * * *
LIMA
“Ah...” Seruan kaget terdengar dari mulut seorang pemuda berwajah tampan berambut putih keperakan. Pakaiannya berwarna ungu, membungkus tubuhnya yang tegap berisi, dibanduli sebuah guci arak dari perak. Sepasang matanya menatap ke depan. Memang, pemandangan yang terpampang di hadapannyalah membuat hatinya terkejut. Betapa tidak?
Dalam jarak sekitar tujuh tombak darinya, terlihat lima sosok tubuh bergeletakan di tanah. Pemuda berpakaian ungu itu melesat cepat menghampiri. Sambil terus menatap, dihapusnya keringat yang membasahi wajahnya dengan punggung tangan. Saat ini, matahari memang tepat di atas kepalanya. Sinarnya memancar terik ke bumi, seperti hendak membakar seluruh makhluk yang ada.
Hanya sekali lesat saja, tubuh pemuda berpakaian ungu itu telah berada di hadapan lima sosok tubuh yang tergolek. Perlahan-lahan tubuhnya dibungkukkan dan berjongkok Kemudian diperhatikannya satu persatu sosok-sosok tubuh yang membujur tak tentu arah.
"Hhh...!" Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas berat Kepalanya digeleng-gelengkan ketika melihat keadaan mereka. Lima sosok tubuh itu terdiri dari tiga orang pemuda berpakaian biru, yang di dada kirinya terdapat gambar sebatang pedang yang disulam dari benang perak. Sedangkan dua orang lagi adalah kakek dan nenek yang telah tewas.
Sekujur tubuh mereka penuh luka luka lecutan. Pemuda berpakaian ungu itu memeriksa tubuh tubuh yang tergolek satu persatu. Beberapa kali kepalanya menggeleng setiap kali menyadari kalau orang yang diperiksa telah tewas.
Tapi pada saat memeriksa sosok tubuh yang berpakaian biru, wajah pemuda berambut putih keperakan ini berseri. Ada denyut halus di pergelangan tangan pemuda berkulit putih itu. Ternyata dia masih hidup.
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau nyawa pemuda berkulit putih ini tidak bisa diselamatkan lagi. Memang, luka pada dadanya terlampau parah. Tapi melihat kenyataan kalau pemuda yang tergolek ini masih hidup, betapa gembiranya hati pemuda berambut putih keperakan itu.
Hal ini setidak-tidaknya bisa diketahui dari mulutnya yang bergerak-gerak sedikit. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan itu menotok beberapa bagian tubuh sosok yang tergolek ini.
"Katakan, siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya pemuda berpakaian ungu itu, tergesa-gesa. Dia tahu, kalau tidak cepat-cepat, nyawa pemuda berpakaian biru itu telah lebih dulu melayang meninggalkan raganya.
"B... Bi... Bidadari Sabuk Emas...," jawab murid Perkumpulan Pedang Perak itu terputus-putus.
"Ha... Bidadari Sabuk Emas...," ulang pemuda berambut putih keperakan itu seraya mengernyitkan dahi. Memang, dia belum pernah mendengar julukan Itu, karena baru pertama kali tiba di daerah ini.
"Kami.... Diutus ketua kami dari Perkumpulan Pedang Perak untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan kami.... Kitab itu berisi ilmu yang terlarang untuk dipelajari. Ilmu Tangan Racun Pasir Merah... Dan..., ah...!"
Sebelum berhasil menyelesaikan ucapannya, kepala murid Perkumpulan Pedang Perak itu telah lebih dulu terkulai. Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.
"Hhh...!" Seraya menghembuskan napas berat, pemuda berambut putih keperakan itu bangkit berdiri. Kini masalah Itu telah sedikit dimengerti. Rupanya ketiga orang gagah itu diutus gurunya untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan mereka. Tapi, mereka semua tewas di tangan Bidadari Sabuk Emas.
"Hm... Tokoh itukah yang mencurinya?" tanyanya dalam hati.
"Pembunuh keparat! Rasakan pembalasanku...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring diiringi suara desing tajam yang menyakitkan telinga. Seketika pemuda berpakaian ungu itu menghentikan jalan pikirannya. Apalagi tatkala terasa ada desir angin tajam yang meluruk cepat ke arahnya.
Suaranya mendecit, seperti ada puluhan ekor tikus mencicit Buru-buru pemuda berambut putih keperakan ini melakukan lompatan harimau. Tubuhnya melambung ke depan setinggi setengah tombak, lalu mendarat di tanah bertumpu dengan kedua tangannya. Sesaat kemudian, tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kati, lalu berdiri tegak menghadap orang yang membokongnya.
Pemuda berpakaian ungu itu menatap ke arah seorang gadis berwajah cantik jelita dan berpakaian biru. Matanya merayapi tiga sosok mayat murid Perkumpulan Pedang Perak Raut wajah maupun sinar matanya menyiratkan kemarahan hebat.
Begitu melihat pakaian gadis itu, pemuda berambut putih keperakan ini jadi cemas juga. Hatinya khawatir kalau gadis itu adalah rekan tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak yang tewas. Dan menilik dari makian yang tadi sempat didengarnya, bisa diterka kalau gadis itu menuduhnya sebagai pelaku pembantaian ini.
Kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan itu ternyata terbukti. Setelah memperhatikan mayat-mayat itu beberapa saat lamanya, perhatian gadis berpakaian biru ini beralih ke arah pemuda berpakaian ungu. Dan memang, pada dada sebelah kiri pakaiannya terdapat gambar sebatang pedang yang disulam dari benang perak. Jelas, gadis ini adalah kawan tiga mayat pemuda itu.
Diam-diam, pemuda berpakaian ungu ini harus mengakui kalau wajah gadis berpakaian biru itu amat cantik laksana bidadari. Rambutnya yang hitam, halus, dan dikepang dua semakin memperjelas kecantikannya. Meskipun tengah marah, kecantikannya sama kali tidak berkurang. Bahkan justru lebih terlihat menarik.
Kulit wajahnya nampak memerah seperti tomat masak. Sementara, sepasang matanya yang bersinar-sinar, tampak semakin nyata keindahannya sewaktu melotot.
"Jangan harap bisa lolos dari tanganku, Pembunuh Keji...!" desis gadis berambut kepang itu tajam. Ada ancaman maut yang tersembunyi di dalam ucapannya.
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung melompat menerjang. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher. Suara mengaung keras terdengar seiring tibanya serangan. Jelas, serangan itu mengandung pengerahan tenaga dalam kuat.
Pemuda berambut putih keperakan itu seketika terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam gadis itu demikian kuat. Suara mengaung keras yang mengiringi serangan pedang itulah yang membuktikannya.
Meskipun begitu, pemuda berpakaian ungu ini bersikap tenang. Walaupan agak bergegas, buru-buru kaki kirinya melangkah ke samping kiri seraya mendoyongkan tubuh sehingga tusukan pedang itu hanya mengenai tempat kosong, lewat sekitar setengah Jengkal di sebelah kanan lehernya.
Luar biasa. Hampir pemuda berambut putih keperakan ini tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitu serangan berhasil dielakkan, pedang gadis berpakaian biru itu melingkar melewati atas kepalanya. Kemudian, dari samping kanan membabat cepat ke arah leher. Pemuda berpakaian ungu itu tidak punya pilihan lain lagi. Segera kedua, kakinya dijejakkan ke tanah, sesaat kemudian melempar tubuhnya ke belakang.
Wunggg...!
Suara mengaung keras terdengar begitu babatan pedang lewat di bawah kaki pemuda berambut putih keperakan itu. Sebenarnya bukan hanya pemuda berambut putih keperakan itu saja yang terkejut melihat kehebatan lawan.
Gadis berpakaian biru ini pun begitu terperanjat melihat serangannya bisa dihindari pemuda di hadapannya. Padahal, datangnya serangan begitu tiba-tiba. Lagi pula, lawan tengah dalam keadaan tidak menguntungkan. Dari sini saja, dia sudah bisa memperkirakan kalau lawannya bukan orang sembarangan.
Tapi gadis berpakaian biru ini tidak membiarkan benaknya dipenuhi pikiran itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuhnya segera melompat mengejar pemuda berambut putih keperakan yang masih berada di udara. Pedang di tangannya meluncur deras mengeluarkan suara mengaung keras.
Pemuda berpakaian ungu itu terkejut bukan main. Serangan susulan yang dilakuan lawan datang begitu tiba-tiba. Tidak ada lagi kesmpatan baginya untuk mengelak. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara. Segera dijumput guci araknya yang tersampir di punggung, kemudian disorongkan ke arah pedang yang tengah meluncur deras ke dada.
Klanggg...! Suara berdentang nyaris terdengar begitu kedua benda yang berbeda jenis itu berbenturan.
"Hup...!" Gadis berpakaian biru mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sekujur tanganya yang menggenggam pedang terasa bergetar hebat hampir lumpuh. Jelas, tenaga dalam lawan masih di atasnya.
"Nisanak...! Tunggu sebentar...! Kau salah paham. Aku Arya Buana. Aku sama sekali tidak tahu-menahu dengan pembunuhan ini!" cegah pemuda berambut putih keperakan yang memang tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak, begitu kedua kakinya mendarat di tanah. Tangan kanannya pun langsung dijulurkan ke depan.
"Tidak usah berbasa-basi, Pengecut! Aku, Ranti. Bukan termasuk orang yang suka berbasa-basi.' Bersiaplah menerima pembalasanku!"
Setelah berkata demilan, gadis berpakaian biru yang ternyata bernama Ranti kembali menyerang. Mau tak mau, Arya meladeninya. Tentu saja Dewa Arak tidak sudi mati secara sia-sia. Menghadapi orang selihai Ranti tanpa melakukan perlawanan, adalah suatu perbuatan bodoh. Bukan tidak mungkin dirinya akan tewas di tangan lawannya ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi, guci araknya segera dituang ke dalam mulurnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika cairan arak melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai limbung ketika hawa hangat yang semula merayapi perut naik ke atas kepalanya. Arya kini sudah siap menggunakan ilmu andalannya, ilmu 'Belalang Sakti'.
Pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Kemarahan gadis berpakaian biru itu rupanya memang sudah tidak bisa dicegah lagi. Diserangnya Dewa Arak selalu dengan bertubi-tubi ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Diam-diam Arya merasa kagum melihat kepandaian yang dimiliki gadis berambut kepang ini. Serangan-serangan pedangnya datang susul-menyusul laksana gelombang laut. Suara mengaung keras mengiringi setiap kibasan pedang itu. Jelas kalau Ranti memiliki ilmu pedang yang patut diperhitungkan.
Tapi yang dihadapinya kali ini adalah Dewa Arak. Seorang tokoh yang walaupun masih muda, tapi mengukir nama besar dalam rimba persilatan. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang aneh, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengalami kesulitan untuk menghindari setiap serangan yang dilancarkan Ranti.
Ranti menggertakkan gigi tatkala mengetahui semua serangannya mudah sekali dielakkan lawan. Bahkan dengan gerakan aneh, yang lebih mirip orang mabuk. Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan memang, kedua orang yang bertarung itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Tak terasa, empat puluh jurus telah berlalu. Tapi sampai sekian lamanya, tetap saja Ranti tidak mampu mendesak Dewa Arak. Padahal, seluruh kemampuan yang dimilikinya telah dikerahkan.
Hal ini membuat Ranti geram bukan kepalang. Padahal di Perkumpulan Pedang Perak, dialah satu-satunya murid yang kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Bahkan hanya berada sedikit di bawah sang Ketua sendiri.
Kini kepandaian yang telah dilatihnya secara susah payah, sama sekali tidak berarti ketika menghadapi pemuda berambut putih keperakan ini. Lalu, bagaimana bila bertemu tokoh-tokoh dunia persilatan?
Yang lebih menyakitkan hati Ranti, ternyata lawannya sama sekali belum balas menyerang. Selama lebih dari empat puluh jurus menyerang, lawan hanya mengelak saja. Tak sekali pun pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan balasan. Jelas, Dewa Arak tidak bersungguh-sungguh menghadapinya. Dan bagi Ranti, ini berarti kepandaian yang dimilikinya sama sekali tidak dianggap.
Pikiran seperti itu membuat Ranti menyerang lebih gencar lagi. Sama sekali gadis ini tidak tahu kalau Arya bukan menganggap rendah kepandaiannya. Tapi, Dewa Arak tidak ingin keadaan jadi semakin bertambah buruk, bila melakukan serangan balasan.
Maka Arya menggunakan keanehan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk melakukan perlawanan tanpa balas menyerang. Dengan keistimewaan jurusnya, tidak sulit baginya untuk mengelakkan setiap serangan yang datang bertubi-tubi.
Beberapa kali sewaktu Ranti menyerang, Arya menuangkan arak ke mulutnya. Dan itu memang me rupakan salah satu gerakan dalam ilmu 'Belalang Sakti'. Tapi gadis berambut kepang itu tidak menganggapnya demikian. Dewa Arak berbuat seperti itu dikira untuk menunjukkan keunggulannya.
Dan sebagai akibatnya, serangan Ranti semakin menggebu-gebu. Suara mengaung keras dan mencicit menyakitkan telinga, diselingi tegukan ketika Arya menenggak araknya, menyemaraki jalannya pertarungan. Puluhan jurus telah kembali berlalu. Hingga kini, pertarungan tengah berlangsung hampir seratus jurus. Dan selama itu Ranti tetap saja belum mampu mendesak Dewa Arak.
Kesabaran Arya akhirnya habis juga. Sungguh tidak disangka kalau Ranti akan begitu keras kepala. Maka terpaksa Dewa Arak memutuskan untuk menundukkannya dengan kekerasan. Setelah memutuskan demikian, Dewa Arak mulai menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'. Dan kini otot-otot tubuhnya mengejang, serta melemas secara mendadak.
Sementara Ranti menggertakkan giginya. Begitu Dewa Arak mulai menyerang, baru dirasakan kehebatannya. Serangan-serangan Arya yang dilakukan dengan gerakan-gerakan aneh itu membuat Ranti bingung.
Tapi meskipun terlihat aneh, Ranti merasakan beratnya tekanan setiap serangan Arya. Tak sampai dua puluh jurus saja, gadis itu sudah terdesak hebat. Memang, dia belum berpengalaman menghadapi berbagai jenis ilmu silat. Maka menghadapi ilmu semacam yang dimiliki Dewa Arak, jelas jadi kebingungan.
Tambahan lagi, Dewa Arak telah cukup mengetahui perkembangan ilmu lawannya. Maka, bukanlah suatu hal yang sulit untuk menekan lawan. Gerakan-gerakan tangan yang meliuk-liuk aneh, ditambah serangan guci membuat Ranti pusing. Belum lagi semburah-semburan arak yang keluar dari mulut Arya. Itu semua membuat Ranti kewalahan bukan main.
Kini serangan pedang Ranti tidak lagi menggebu-gebu seperti semula. Ganti Dewa Arak yang melakukan desakan-desakan. Ranti kini lebih banyak mengelak, ketimbang menyerang. Bahkan menangkis pun hampir tidak dilakukannya. Karena setiap kali berbenturan, tangannya selalu kesemutan hebat.
Menjelang jurus keempat puluh, gadis berambut kepang ini sudah pontang-panting ke sana kemari untuk mengelakkan serangan Arya. Sudah bisa diperkirakan kalau robohnya gadis ini hanya tinggal menunggu saat saja. Pada jurus keempat puluh tiga, saat naas Ranti pun tiba. Sebuah totokan jari tangan Dewa Arak tak mampu dielakkan lagi. Tak pelak lagi, tubuh gadis itu roboh ke tanah. Lemas tanpa tenaga.
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega ketika lawannya yang keras kepala itu berhasil dilumpuhkan. Perlahan-lahan tubuhnya dibungkukkan, lalu berjongkok.
"Mau apa kau?!" tanya Ranti. Suaranya jelas menunjukkan rasa takut yang hebat. Bahkan wajahnya yang cantik jelita itu terlihat tegang.
Namun, Arya sama sekali tidak menyambutnya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya tersenyum lebar.
"Kalau berani bertindak macam-macam, kubunuh kau...!" ancam Ranti, di tengah-tengah ketidak berdayaannya. Namun ucapan maupun raut wajahnya menyiratkan kesungguhan hati.
Merah wajah Dewa Arak mendengar ucapan itu. Meskipun gadis berambut kepang ini baru mengatakannya sampai di situ, tapi sudah bisa ditangkap maksudnya. Ranti mengira, lawannya akan bertindak tidak senonoh.
"Lebih baik jaga mulutmu, Nisanak!" sentak Arya Ucapan dan juga nada suara Dewa Arak menyiratkan kalau dia merasa tersinggung atas ucapan Ranti. Dan itu memang tidak salah. Dewa Arak memang sangat tersinggung bila dituduh melakukan tindakan kotor. Apakah orang seperti dirinya mirip penjahat pemerkosa wanita?!Keterlaluan sekali gadis berpakaian biru ini! Mulutnya terlalu keji!
Ranti terdiam begitu mendengar sentakan keras Arya. Gadis itu bukan orang bodoh. Maka dia bisa tahu, pemuda berambut putih keperakan yang mempunyai kepandaian luar biasa ini merasa tersinggung.
"Perlu kau ketahui, aku bukan orang yang berwatak rendah seperti dugaanmu, Nisanak," jelas Arya penuh ketegasan. "Aku bukan pembunuh lima orang Itu!"
Ranti tersentak mendengar ucapan Arya Benarkah pemuda berambut putih keperakan ini bukan pembunuh ketiga orang rekannya?
"Sayang, aku tidak tahu siapa pembunuh mereka," keluh Dewa Arak. "Sewaktu aku tiba, mereka semuanya telah bergeletakan. Tapi begitu kuperiksa, ternyata ada salah seorang di antara mereka yang belum tewas. Untungnya dia sempat memberitahuku lebih dahulu, siapa orang yang telah melakukan semua ini."
Wajah Ranti berubah begitu mendengar penegasan Dewa Arak. "Siapa orang yang telah melakukannya...?" tanya Ranti, mulai lembut suaranya.
Kini gadis itu mulai meragu kalau pelaku pembunuhan Itu adalah Dewa Arak. Meskipun begitu, tetap saja perasaan curiga masih berkecamuk dalam hatinya. Dia masih belum percaya sepenuhnya terhadap pemuda di depannya.
"Kalau tidak salah..., pelaku pembunuhan itu adalah Bidadari Sabuk Emas...."
"Bidadari Sabuk Emas...?!"
"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala. "Itulah julukan yang kudengar dari mulut orang yang tadi masih hidup!" jelas Dewa Arak sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke arah murid Perkumpulan Pedang Perak yang berkulit putih.
"Pantas saja, setelah kitab itu dicuri, Bidadari Sabuk Emas juga menyatroni perkumpulan kami. Rupanya, dia juga berminat pada kitab itu. Dan begitu tahu kalau kitab itu telah dicuri, dia pun membunuhi murid-murid Perkumpulan Pedang Perak," jelas Ranti.
Dugaan Ranti sebenarnya ada benarnya. Sewaktu Bidadari Sabuk Emas membunuh kakek dan nenek penduduk Desa Rangkong, kebetulan memang ada tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak. Dan alasan membunuh suami istri lanjut usia itu, sebenarnya hanya kekesalan Bidadari Sabuk Emas, karena Kitab Tangan Racun Pasir Merah telah dicuri.
Kekesalan itu kemudian dilampiaskan pada penduduk tak berdosa. Melihat pembantaian itu, maka tentu saja tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak tidak membiarkan begitu saja. Namun akhirnya, mereka harus rela mengorbankan nyawa.
"Kalau kau benar bukan orang jahat.., cepat bebaskan totokanmu...," pinta Ranti dengan wajah merah padam karena malu. Dewa Arak tersenyum lebar.
"Aku berjanji akan memunahkan tatokan itu, dengan syarat..."
"Apa syaratnya?" selak Ranti dengan perasaan geram ditahan.
Perasaan curiga kembali muncul di hati gadis itu. Dan sudah bersiap-siap mengucapkan makian, apabila pemuda berambut putih keperakan itu mengajukan syarat yang kurang ajar.
"Kau tidak lagi menyerang membabi buta seperti tadi," jawab Arya kalem.
Plong...!
Lega hati gadis berambut kepang itu mendengar jawaban Dewa Arak. Diam-diam, Ranti memaki dirinya sendiri. Mengapa dia terlalu menyangka buruk terhadap pemuda berambut putih keperakan itu? Apakah karena rambutnya yang mengerikan? Mendapat dugaan seperti itu, membuat Ranti berpikir. Apa yang menyebabkan rambut pemuda di hadapannya ini jadi seperti itu? Kalau karena pengalaman, bisa dibayangkan betapa mengerikannya pengalaman itu.
Ataukah karena pukulan batin yang hebat sehingga membuat rambutnya jadi berwarna seperti itu? Berbagai macam pertanyaan terus bergayut di dalam hati Ranti.
"Bagaimana, Ranti?" tanya Arya begitu gadis itu malah terdiam, jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Atau, tengah mempertimbangkan syarat yang diajukannya?
"Nggg..., baik! Aku bersedia!" jawab Ranti agak terbata-bata.
Dalam hati, Ranti memaki dirinya sendiri. Mengapa dirinya begitu bodoh, sehingga sampai melamun di depan Dewa Arak? Dan karena sibuk memaki dirinya sendiri, Ranti sampai tidak memperhatikan kalau Arya telah memanggilnya dengan namanya.
"Betul?" tanya Arya lagi memastikan.
Pemuda berambut putih keperakan itu memang kurang percaya atas jawaban yang diberikan Ranti, Apalagi gadis berpakaian biru itu sepertinya ragu-ragu menjawabnya. Kontan wajah gadis berambut kepang itu memerah.
"Kau kira, aku orang macam apa? Aku bukan orang yang suka menjilat ludah sendiri!" tegas Ranti.
Dewa Arak terperanjat mendengar ucapan berapi- api gadis itu. Sungguh tidak disangka kalau Ranti memiliki sifat yang demikian keras. Mirip Melati, kekasihnya. Lalu, di manakah Melati kini? Teringat akan Melati, rindu Dewa Arak kembali menyeruak.
"Maaf...! Maaf...!" sahut Arya buru-buru. "Bukannya aku tidak percaya. Tapi, aku tidak ingin mandi keringat apabila kau nanti mengamuk lagi."
Mau tak mau, Ranti merasa geli mendengar ucapan Arya. Tapi dengan sekuat tenaga, perasaan geli itu ditahannya. Sehingga pada wajahnya yang cantik, sama sekali tidak tampak tersirat perasaan apa-apa. Sehabis berkata demikian, Dewa Arak segera mengulurkan tangan dan bergerak menepuk. Seketika Ranti telah bebas dari pengaruh totokan.
Gadis berpakaian biru itu segera bangkit berdiri. Kini rasa percayanya semakin besar, bahwa Dewa Arak bukan pelaku pembunuhan terhadap ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak. Jelas, kalau pemuda itu tidak bermaksud jahat padanya. Kini dia mengerti, mengapa sampai puluhan jurus lamanya pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak melawannya.
Meskipun begitu, Ranti tetap tidak meninggalkan kewaspadaannya. Kecurigaannya pada Dewa Arak masih terselip di hatinya.
"Kalau boleh tahu, apa hubunganmu dengan ketiga orang itu?" tanya Arya sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah tubuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak yang tergeletak tanpa nyawa di tanah.
"Mereka adalah tiga orang saudara seperguruanku," jawab Ranti, sendu. Sebenarnya dia merasa terpukul melihat tewasnya ketiga rekannya itu.
"Sukar kubayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu yang dimiliki Bidadari Sabuk Emas yang telah mampu membunuh ketiga orang saudara seperguruanmu itu. Padahal, mengalahkanmu saja aku sudah susah payah," kata Dewa Arak setelah sekian lamanya tercenung.
"Kepandaian mereka tidak setinggi kepandaianku!" jawab Ranti cepat.
"Hm...," hanya gumaman perlahan Arya yang menyambut ucapan gadis berpakaian biru itu.
"Sejak masih kecil, aku dididik langsung olah guruku. Bahkan diperbolehkan mempelajari kitab-kitab yang ada di perpustakaan. Sementara, mereka hanya dididik oleh murid kepala perkumpulan kami. Kau tidak usah heran. Kepandaian mereka bertiga, sekalipun digabung, masih belum menyamai kepandaianku. Jadi, janganlah merasa bingung membayangkan kepandaian Bidadari Sabuk Emas."
Arya menganggukkan kepala pertanda mengerti. Kini pemuda berambut putih keperakan ini tahu, mengapa Bidadari Sabuk Emas mampu membinasakan mereka semua.
"Apakah kau juga mempunyai tugas yang sama dengan mereka?" tanya Arya lagi.
"Hm.... Maksudmu?" Ranti mengerutkan alisnya.
"Mencari kitab pusaka perkumpulan kalian yang dicuri orang," jelas Dewa Arak.
"Dari mana kau tahu tentang hal itu?" tanya Ranti penuh selidik. Sikap Ranti mendadak tegang lagi. Perasaan curiganya kembali timbul. Dia memang belum sepenuhnya percaya terhadap Arya. Maka begitu mendengar ucapan yang mengetahui tugas yang diberikan gurunya, dia kembali merasa curiga. Masalahnya, peristiwa pencurian kitab pusaka itu memang amat dirahasiakan. Di Perkumpulan Pedang Perak sendiri, tidak semua murid perkumpulan mengetahuinya. Jadi, wajar saja kalau Ranti merasa curiga tatkala pemuda di hadapannya ini tahu tentang tugasnya.
"Kau tidak usah bersikap setegang itu, Ranti," sergah Arya sambil tersenyum lebar. Kembali dipanggilnya gadis berpakaian biru itu dengan namanya. "Aku mengetahui dari mulut temanmu sebelum dia tewas."
Mendengar jawaban itu, seluruh urat-urat tubuh Ranti yang tadi mengejang, kembali mengendur. "Apa saja yang dikatakannya padamu?" tanya Ranti lagi, ingin tahu. Dia masih belum mau memanggil Dewa Arak dengan namanya saja.
"Hanya dua masalah itu saja."
Gadis berambut kepang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara suasana menjadi hening sejenak begitu Dewa Arak menghentikan ucapannya. Apalagi Ranti juga tidak melanjutkan pertanyaannya. Kini kedua orang itu sama-sama berdiam diri. Masing-masing tenggelam dalam lamunannya sendiri-sendiri.
* * * * * * * *
ENAM
Mendadak Arya dan Ranti menolehkan kepala ke satu arah. Dan memang terdengar suara banyak langkah kaki yang menuju ke tempat mereka. Mendengar langkah-langkah yang berat, jelas kalau mereka sama sekali tidak memiliki ilmu meringankan tubuh.
Benar saja. Di kejauhan, dalam jarak lebih dari dua puluh tombak dari tempat Dewa Arak dan Ranti berdiri, nampak berjalan puluhan, bahkan mungkin seratus orang. Menilik dari pakaian yang dikenakan, nampaknya mereka adalah para penduduk desa.
Arya dan Ranti saling pandang dengan sinar mata memancarkan keheranan. Memang kedua orang itu merasa heran, karena di bahu dan tangan para penduduk itu tidak kosong. Mereka semua membawa barang-barang maupun perbekalan. Bisa diperkirakan, rombongan orang itu hendak pergi jauh. Ataukah hendak pindah?
Arya dan Ranti semakin heran ketika rombongan itu menghentikan langkah. Sepasang mata puluhan orang itu menatap ke arah mereka berdua tanpa berkedip. Jelas, kalau keberadaan Arya dan Ranti di situlah yang membuat rombongan itu menghentikan perjalanan.
Seperti diberi aba-aba, Dewa Arak dan Ranti melangkah menghampiri rombongan yang berada dalam jarak sekitar delapan tombak di depan mereka. Kedua muda-muda itu ingin tahu, mengapa penduduk desa itu beramai-ramai melakukan perjalanan, atau lebih tepatnya lagi ingin pindah. Apalagi dalam rombongan itu terdapat anak kecil, wanita, dan orang-orang lanjut usia. Bahkan ada yang tengah menggendong bayinya.
Kecurigaan Dewa Arak dan Ranti semakin besar begitu melihat tanggapan rombongan penduduk begitu dihampiri. Beberapa orang yang masih muda dan gagah melangkah maju. Sikap mereka jelas terlihat melindungi anggota rombongan yang lain. Mereka berdiri di hadapan wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia.
Srat, srat, srattt...!
Sinar-sinar terang berkilauan berkelebat ketika belasan orang laki-laki muda dan gagah itu mencabut senjata masing-masing. Jelas, kalau mereka telah siap bertempur. Melihat sikap mereka, Arya dan Ranti jadi semakin heran. Kalau tidak ada kejadian yang menimpa, tak mungkin mereka akan bersikap seperti itu.
Arya bergegas memberi isyarat pada Ranti untuk menghentikan langkah. Sekali lihat saja, sudah diketahuinya kalau belasan orang itu telah kalap. Kalau mereka berdua terus bergerak mendekat, tidak mustahil akan diserang.
Untungnya, Ranti bisa diatur. Gadis itu seketika menghentikan langkahnya begitu pemuda berambut Putih keperakan itu menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dengan rombongan itu dalam jarak sekitar lima tombak.
“Kisanak semua!" kata Arya disertai pengerahan tenaga dalam sehingga terdengar sampai ke tempat jauh “Mengapa kalian menghunus senjata? Kami berdua bukan orang jahat!"
Seorang laki-laki berkumis tebal dan berpakaian abu-abu, dan berusia sekitar empat puluh lima tahun melangkah maju beberapa langkah. Jelas, dia adalah pemimpin rombongan itu. Dan memang, dia adalah kepala desa. Laki-laki berkumis tebal itu tak lain adalah Ki Saketi, Kepala Desa Rangkong.
Sementara rombongan yang berada di belakangnya adalah penduduk Desa Rangkong. Di antara mereka ada pula Eyang Balunglaga. Ternyata dia ikut juga mengungsi. Memang kakek ini hanya memiliki ilmu pengobatan dan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sementara ilmu silat dan tenaga dalam hanya dikuasai sekadarnya saja.
"Tidak usah berbasa-basi, anak muda," sambut Ki Saketi. Datar dan dingin suaranya. "Kami bukan anak kecil yang mudah dibodohi. Bukti mayat-mayat yang berada di belakang kalian telah menunjukkan semuanya."
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian abu-abu ini menudingkan telunjuknya ke arah mayat murid-murid Perkumpulan Pedang Perak dan sepasang suami istri yang telah berusia lanjut.
Mendengar ucapan ini Arya terdiam. Disadari kalau kenyataan yang terlihat, telah menyudutkan mereka berdua. Sesaat lamanya dia tercenung bingung. Benaknya berputar keras mencari bantahan untuk menolak tuduhan yang dilontarkan Ki Saketi.
"Bagaimana, Anak Muda?" tanya Kepala Desa Rangkong yang merasa telah menang. "Masih mau mungkir lagi? Bicaralah semaumu. Tapi perlu kau ketahui, kami sama sekali tidak akan terpengaruh. Semua ucapan yang keluar dari mulutmu, tak ubahnya dengan angin busuk yang keluar dari lubang pantatmu!"
Keras dan tajam sekali ucapan Ki Saketi sehingga wajah Dewa Arak sampai merah padam karenanya. Tapi walaupun kemarahan yang hebat melanda hatinya, Arya berusaha menahan diri. Dia tahu, laki-laki berkumis tebal ini salah paham. Dan kalau dihadapi dengan kemarahan pula, keadaan jadi semakin berlarut-larut.
Pemuda berambut putih keperakan ini menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan perasaannya yang mulai bergolak.
Berbeda dengan Arya, Ranti sama sekali tidak mampu menahan kesabarannya mendengar ucapan itu. Meskipun sebenarnya makian tadi ditujukan pada Dewa Arak, tapi tak urung gadis ini jadi tersinggung juga. Karena, mau tak mau hinaan itu tidak hanya ditujukan pada Arya, tapi juga padanya.
"Mulutmu kotor sekali, Tua Bangka...!" desis Ranti tajam. Sepasang mata gadis itu menyorotkan ancaman. Terdengar suara berkerotokan keras ketika seluruh tenaga dalam gadis ini menyebar ke seluruh tubuh. Semua urat syaraf dan ototnya pun mengejang keras.
"Sabar, Ranti...," bujuk Arya sambil menoleh ke arah gadis berkepang itu. "Dalam menghadapi setiap persoalan, jangan tempatkan perasaan di depan. Tempatkanlah di belakang. Pikiran sehatlah yang harus ditempatkan di depan. Hati boleh panas, tapi kepala mesti dingin agar tetap dapat berpikir jernih. Tahu mana yang salah, dan yang benar."
Bagai bara api yang disiram air es, amarah Ranti langsung menguap. Apa yang dikatakan pemuda berambut putih keperakan itu memang mengandung kebenaran yang tidak dibantah lagi. Kontan percayanya pada Arya semakin menebal.
Seiring semakin menebalnya rasa percayanya pada pemuda berambut putih keperakan itu, rasa curiganya pun semakin menyusut. Dewa Arak benar-benar seorang pemuda yang berpikiran seperti orang tua. Bijaksana, tidak hanya menuruti hawa nafsu semata-mata.
"Hmh...!" Ki Saketi mendengus mendengar ucapan Arya. Memang, dia juga mendengar ucapan yang ditujukan pada gadis itu. Pemuda berpakaian ungu itu memang cukup keras bicaranya. Tidak cukup hanya dengan dengusan dan raut wajah yang mengejek, laki-laki berpakaian abu-abu ini terus menyambung dengan ucapannya.
"Luar biasa...! Ada Iblis kotor yang mengucapkan kata-kata seperti malaikat Lucu! Lucu sekali...!"
Amarah Ranti yang tadi sudah mulai surut, kembari bangkit mendengar hinaan Ki Saketi. Aneh! Kini gadis itu tidak senang mendengar Arya dihina! Pemuda berpakaian ungu itu membiarkan saja orang menghinanya! Padahal, dengan kepandaian yang dimiliki, hanya sekali kibas pasti nyawa Kepala Desa Rangkong itu akan melayang ke alam baka. Tapi, Arya tidak melakukannya! Bahkan Dewa Arak menelan mentah-mentah saja semua hinaan itu.
Ternyata bukan hanya Ranti saja yang menjadi bangkit amarahnya. Dewa Arak pun demikian pula. Ki Saketi sudah terlalu menghinanya. Tapi meskipun begitu, dia masih mencoba bersabar. Pasti ada alasan kuat sehingga membuat laki-laki berkumis tebal itu bersikap demikian. Lagi-lagi Arya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah yang menyesakkan dada.
Ranti tahu, Arya berbuat seperti itu untuk meredakan amarahnya. Maka, dia pun ikut-ikutan bertindak serupa. Dan memang setelah berkali-kali hal itu dilakukan, amarahnya mulai turun kembali. Cara itu ternyata manjur juga! Apakah amarah itu keluar bersama dengan keluarnya napas yang dihembuskan, Ranti sama sekali tidak tahu.
Berbeda dengan sebelumnya, kini Ranti sama sekali tidak berani bertindak lancang. Dia tahu, dirinya belum tentu bisa menahan amarah. Maka diputuskan untuk menyerahkan saja masalah itu pada Dewa Arak.
"Kau boleh memakiku apa saja, Ki," kata Arya datar, tapi dengan suara bergetar. Dari sini saja sudah bisa diterka kalau Dewa Arak dilanda amarah. Sehingga walaupun bisa menahannya, tapi tetap saja tidak bisa mengatur suaranya. "Yang jelas, kami bukan pelaku pembunuhan itu,"sambung Dewa Arak.
Arya menghentikan ucapannya sejenak, untuk meredakan napasnya yang memburu. Ternyata dalam keadaan dikuasai amarah, deru napasnya jadi seperti orang habis berlari jauh.
"Perlu kau ketahui, Ki," sambung Dewa Arak lagi, "Kami sendiri tengah mencari pelaku pembunuhan ini, karena tiga di antara lima orang itu adalah saudara seperguruan kami."
Meskipun ucapan Arya ada bohongnya, tapi Ranti sama sekali tidak menyelak. Dia tahu, kalau ucapan itu Arya mewakili dirinya pula. Maka pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa berbohong dengan mengatakan tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak sebagai saudara seperguruannya.
Hanya senyum mengejek dan pandang mata penuh penghinaan yang menyambut ucapan Dewa Arak. Dan itu tidak hanya dilakukan Ki Saketi saja, tapi semua penduduk yang berada di belakangnya. "Kalau kau masih tidak percaya, perhatikan saja pakaian yang dikenakan sahabatku ini."
Sambil berkata demikian, Arya menudingkan telunjuknya ke arah Ranti. Mau tak mau, Ki Saketi dan rombongan penduduk Itu mengarahkan perhatian ke arah yang sama. Dan memang, pakaian yang dikenakan gadis berambut kepang itu ternyata sama dengan pakaian tiga orang yang tergolek di tanah.
"Apa susahnya memalsukan pakaian seperti itu, Iblis Keji?!" Tirta ikut angkat suara.
"Kalau kami ingin membunuh kalian semua, sama mudahnya dengan membuang ludah ke tanah!" Ranti yang sudah memutuskan untuk tidak ikut campur, jadi tak tahan juga.
"Mengapa kalian tidak lakukan?!" tantang Ki Saketi tak kalah keras.
"Karena kami bukan pembunuhnya, Ki...!" sahut Arya, cepat Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir, Ranti akan meluap amarahnya.
"Keparat..!" Ranti menggeram. Dan begitu ucapannya selesai, kedua tangannya dihentakkan ke samping.
Wuttt..! Hembusan angin keras meluruk dari kedua tangan yang dihentakkan itu, dan....
Blarrr...! Suara keras terdengar begitu tanah yang terkena pukulan jarak jauh itu terbongkar. Debu seketika mengepul tinggi ke udara. Dan begitu kumpulan debu itu sirna, terbentuk sebuah lubang yang cukup untuk mengubur mayat lima orang sekaligus!
Semula Arya terkejut begitu melihat Ranti terlihat seperti akan melakukan sesuatu, dan sudah bersiap-siap mencegah. Tapi begitu dilihatnya sasaran yang dituju gadis berpakaian biru itu, gerakannya cepat di tahan.
Ki Saketi dan seluruh rombongan penduduk Desa Rangkong terbelalak melihat hal itu. Tanpa sadar, mereka semua melangkah mundur dua tindak. Seketika ciut hati mereka melihat hasil tindakan gadis berpakaian biru itu.
"Apakah tubuh kalian lebih keras daripada itu?!" ejek Ranti keras. "Ketahuilah. Hanya empat kali kulepaskan pukulan seperti itu, kalian semua sudah tewas dengan tubuh hancur lebur! Apalagi kawanku ini! Kepandaiannya jauh berada di atasku! Mungkin hanya sekali hentakan tangan, kalian semua sudah tewas dengan seluruh tubuh tercerai berai!"
* * * * * * * *
TUJUH
Tidak terdengar lagi adanya sambutan dari mulut para penduduk Desa Rangkong. Bahkan Ki Saketi pun kali ini tidak mengucapkan separah kata pun. Laki-laki berpakaian abu-abu ini memang terkejut bukan main melihat pertunjukan yang terjadi di hadapannya.
"Apa yang dikatakan kawanku itu benar, Ki," sambung Dewa Arak. "Kalau kami ingin membunuh, sama mudahnya dengan membuang ludah ke tanah. Tapi kami bukan orang seperti itu. Justru kami tengah mencari orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap kawan kami. Percayalah, Ki. Kami bukan orang jahat."
Kali ini tidak ada alasan bagi Ki Saketi untuk tidak percaya. Telah terlihat bukti kehebatan gadis berpakaian biru. Ngeri juga membayangkan, bagaimana seandainya pukulan itu diarahkan pada mereka semua. Belum lagi kalau yang melakukannya adalah pemuda berambut putih keperakan itu. Bukankah gadis berambut kepang itu mengatakan kalau kawannya memiliki kepandaian jauh di atasnya?
"Maafkan, kami telah salah menduga, Anak Muda," ucap Kepala Desa Rangkong terbata-bata. "Maklum, kami telah berkali-kali dilanda musibah. Sehingga, maklumlah kalau kami mencurigai kalian berdua. Apalagi, kalian berada di antara mayat-mayat itu!"
Sambil berkata demikian, Ki Saketi menudingkan telunjuk ke arah mayat-mayat yang tergolek di belakang Dewa Arak dan Ranti. Tampak kalau tangan laki-laki berkumis tebal itu menggigil, karena jelas tengah dilanda perasaan ngeri yang amat sangat.
Meskipun merasa geli melihat hal itu, Dewa Arak mampu menutupinya sehingga tidak tampak pada raut wajahnya. Raut wajah pemuda berambut putih keperakan itu tetap tenang, tidak tampak adanya gambaran perasaan apa pun.
Namun tidak demikian halnya dengan Ranti. Gadis berpakaian biru itu merasa geli bukan main. Betapapun telah diusahakan untuk tidak menampakkannya, tapi tetap saja tidak mampu. Mulutnya yang berbentuk indah itu mengembangkan senyum. Itulah sebabnya kepalanya ditundukkan sehingga senyuman itu tidak terlihat.
"Kalau boleh kami tahu, apa yang terjadi di desamu, Ki? Dan mengapa kalian semua pergi berbondong-bondong begini? Apakah kalian semua hendak mengungsi?” tanya Arya sambil mengedarkan pandangan ke arah rombongan penduduk yang berdiri belakang Ki Saketi.
“Hhh…” Laki-laki berpakaian abu-abu itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Ki Saketi lebih dulu menghela napas berat, seperti hendak membuang masalah yang memberatkan dadanya.
“Desa kami telah dilanda musibah, Anak Muda.‟ tutur Kepala Desa Rangkong itu pelan. Kemudian secara gamblang diceritakannya pada Dewa Arak, akan apa yang terjadi di desanya.
Arya mendengarkannya penuh perhatian. Sama sekali cerita Kepala Desa Rangkong Itu tidak diselaknya. Beberapa kali dahinya berkernyit begitu mendengar cerita demi cerita yang keluar dan mulut Ki Saketi.
“Begitulah ceritanya, Anak Muda,” kata Iaki-laki berpakaian abu-abu ini menutup ceritanya. “Sehingga, mau tak mau kami terpaksa mengungsi kalau tidak ingin mati konyol. Padahal, sebenarya kami merasa berat hati untuk meninggalkan tempat tinggal kami.”
“Bisa kau ceritakan, bagaimana keadaan tubuh penduduk yang keracunan air sungai itu, Ki?” Ranti yang diam-diam mendengarkan cerita Ki Saketi buru-buru bertanya. Nada suaranya terdengar tegang, setegang raut wajahnya.
Ki Saketi mengernyitkan alisnya mendengar nada tegang, baik dalam suara maupun raut wajah gadis berpakaian biru itu. Memang Kepala Desa Rangkong itu merasa heran juga. Semula, Arya pun merasa heran ketika Ranti menanyakan hal itu. Tapi ketika teringat kalau gadis berpakaian biru ini tengah mencari jejak orang yang telah membawa Iari kitab pusaka perkumpulannya dia tidak merasa heran lagi. Bahkan jadi ikut mendengarkan jawaban yang akan diberikan Ki Saketi.
“Sekujur kulit mereka memerah, seperti udang rebus. Merah dan hancur seperti membusuk. Dan lagi, sepertinya racun itu gatal bukan main. Karena kulihat sebelum tewas, tangan mereka semua sibuk mencakar sekujr kulit.”
“Ilmu Tangan Racun Pasir Merah!” desis Ranti tajam.
“Kau tidak keliru, Ranti?” desak Dewa Arak.
“Tidak” sahut gadis berambut kepang itu yakin. “Memang begitu akibat yang ditimbulkannya.”
“Kalau begitu, kita harus cepat ke sana, Ranti..!” ajak Dewa Arak memutuskan. “Sebelum malapetaka ini menjalar ke desa-desa sekitar.”
“Kau benar, Arya?”
Untuk pertama kalinya, gadis berpakaian biru ini memanggil nama pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi karena perasaan tegang yang melanda, baik Dewa Arak maupun Ranti sama sekali tidak memperhatikan perubahan panggilan itu.
“Ki! Kami akan pergi untuk mencari mereka. Tolong kuburkan mayat-mayat itu...!"
Tanpa menunggu jawaban Kepala Desa Rangkong, Dewa Arak dan Ranti melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka sudah jelas. Hutan Rankong. Dewa Arak dan Ranti berlari cepat mengerahkan Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki untuk tiba di Hutan Rangkong secepatnya.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tingkat tinggi, Dewa Arak tidak begitu kesulitan mengimbangi lari Ranti. Bahkan kalau mau, akan mampu melewatinya. Dalam waktu tak lama, Hutan Rangkong kini telah tampak di depan mata. Tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun, Arya dan Ranti terus berlari. Dan sesaat kemudian, mereka telah memasuki mulut Hutan Rangkong.
Sesampainya di sini, Dewa Arak dan Ranti menghentikan larinya. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan seraya mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekujur otot dan urat syaraf di tubuh sepasang muda-mudi itu menegang waspada, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Selangkah demi selangkah Dewa Arak dan Ranti semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dan selama itu, tidak tampak adanya sesuatu yang mencurigakan. Padahal, telah tak terhitung lagi semak-semak dan pepohonan yang disibak dalam usaha menemukan tokoh yang telah menimbulkan kekacauan itu.
"Kau dengar suara itu, Ranti?" tanya Dewa Arak ketika samar-samar telinganya menangkap adanya suara.
Ranti menggelengkan kepala. "Apakah kau mendengarnya?"
Arya mengangguk "Arahnya dari sebelah sana...!" sahut Dewa Arak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Timur.
"Kalau begitu, mari kita ke sana..!" Ranti menanggapi penuh semangat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya dan gadis berambut kepang itu melangkah cepat ke arah Timur.
"Kau benar, Arya...!" kata Ranti tiba-tiba.
"Kau juga mendengar suara itu, Ranti?"
"Ya. Sekarang aku mendengarnya," jawab gadis berpakaian biru itu seraya mempercepat langkahnya. Semakin lama, suara yang terdengar semakin jelas. "Suara itu berasal dari balik semak-semak itu. Kang Arya."
Tanpa sadar, lagi-lagi Ranti merubah panggilannya. Dan seperti juga sebelumnya, Dewa Arak sama sekali tidak menyadarinya. Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, Arya dan Ranti menghampiri kerimbunan semak-semak Masih bersikap hati-hati pula. Dewa Arak menyibaknya. Lalu bersama-sama, sepasang muda-mudi itu mengintai dari kerimbunan semak-semak yang dikuak Arya. Begitu dekatnya wajah-wajah mereka, sampai-sampai kedua pipi sepasang muda-mudi itu hampir bersentuhan.
Dada Arya seketika berdebar keras. Hidungnya mencium adanya bau harum yang menebar dari tubuh gadis berpakaian biru itu. Seketika itu juga wajahnya memerah. Terus terang, ada keinginan yang mendorongnya untuk memeluk tubuh Ranti. Dan itu wajar saja, karena Arya adalah seorang pemuda yang masih berdarah panas.
Perasaan yang bergolak akibat pipinya bersentuhan dengan pipi gadis berambut kepang itu membuat pikiran Arya buntu. Hampir-hampir pembicaraan dua sosok tubuh di balik semak-semak yang tengah berdiri berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak tidak bisa ditangkapnya.
"Sekarang, jangan harap kau akan bisa mengalahkanku lagi, Bidadari Sabuk Emas...!" teriak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berpakaian serba hitam dan bercambang bauk lebat. Sebuah topi berbentuk setengah tempurung kelapa bertengger di alas kepalanya.
Arya dan Ranti yang mendengar julukan yang disebut kakek tinggi besar itu merasa geli bercampur heran. Mengapa orang setua nenek itu berjuluk bidadari? Sama sekali keduanya tidak tahu kalau julukan itu didapat waktu nenek itu masih muda dan cantik jelita.
"Ha ha ha...! Jangan besar kepala karena telah berhasil mempelajari ilmu curian itu, Raja Iblis Baju Hitam!" sambut nenek berpakaian merah muda dan berambut panjang yang memang Bidadari Sebuk Emas. "Akan kubuktikan kalau dalam pertemuan kali ini, akulah yang akan memenangkan pertarungan. Dan, kau terpaksa harus berlatih keras lagi."
"Akan kau lihat sendiri buktinya, Bidadari Sabuk Emas! Kita buktikan, siapa di antara kita yang patut bergelar datuk!" Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu sudah siap untuk bergebrak Tapi....
"Tunggu dulu, Raja Iblis!" Bidadari Sabuk Emas menjulurkan kedua tangannya ke depan. "Aku mendengar ada suara aneh. Jangan-jangan, ada orang yang tengah mengintai kita."
Raja Iblis Baju Hitam pun menghentikan gerakannya. Kepalanya pun ditolehkan ke arah yang sama dengan pandangan Bidadari Sabuk Emas. Dia memang tidak mendengar suara apa pun, karena tadi tengah berteriak-teriak.
Melihat kedua tokoh sesat itu telah mengetahui tempat persembunyian mereka, mau tak mau Dewa Arak keluar dari tempat persembunyiannya. Kemudian dihampirinya kedua tokoh sesat yang berdiri diam menunggu.
Ranti pun terpaksa mengikuti. Diam-diam gadis berpakaian biru itu merasa heran, mengapa Arya sampai mengeluarkan suara napas menderu yang membuat tempat persembunyian mereka diketahui? Memang, deru napas Dewa Araklah yang membuat persembunyian mereka diketahui.
"Kau kenal kedua tokoh itu, Ranti?" tanya Arya pelan untuk menutup perasaan malunya. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri, mengapa sampai bisa terpengaruh.
"Kenal sih, tidak. Tapi guruku telah menceritakan siapa adanya mereka," jawab gadis berambut kepang itu. "Mereka adalah datuk-datuk dunia persilatan. Tapi sekitar dua tahun yang lalu, Raja Iblis Baju Hitam menghilang dari dunia persilatan, dan tidak terdengar beritanya lagi. Orang mengira dia telah mati."
"Rupanya dia mengasingkan diri untuk memperdalam ilmunya, karena telah dikalahkan Bidadari Sabuk Emas. Bahkan sampai-sampai mencuri kitab pusaka perkumpulanmu," tambah Dewa Arak.
Ranti hanya menganggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan Dewa Arak. "Bagaimana dia bisa masuk ke perkumpulanmu dan mencuri kitab?" tanya Arya sambil terus melangkah menghampiri kedua tokoh sesat itu dengan sikap waspada.
"Menerobos masuk ke dalam perkumpulan dengan menewaskan beberapa orang penjaga, tanpa ada seorang pun yang tahu," keluh Ranti. "Baru pada pagi harinya, kami semua mengetahuinya Maka guru cepat-cepat memerintahkan untuk mencari pencuri itu."
"Hi hi hi...! Dewa Arak rupanya telah menjadi pengintai hina?!" Bidadari Sabuk Emas langsung mengejek. Nenek ini memang telah lama mendengar semua tentang Arya. Baik mengenai ciri-cirinya, maupun sepak terjangnya. Maka bisa langsung ditebak tepat, siapa pemuda berambut putih keperakan itu.
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbareng Ranti dan Raja Iblis Baju Hitam menggumamkan nama itu, sama-sama dengan nada keterkejutan. Ranti memang sama sekali tidak menduga kalau pemuda yang selama ini berada bersamanya adalah pemuda yang menggemparkan dunia persilatan itu. Padahal, semua tokoh persilatan telah didengar dari gurunya. Dan Dewa Arak adalah salah satu di antara orang yang disebut gurunya.
"Tapi, benarkah Arya adalah Dewa Arak? Ah! Mengapa aku begitu pelupa! Bukankah guru telah mengatakan kalau nama asli Dewa Arak adalah Arya Buana. Dan pemuda berambut putih keperakan itu pun telah menyebutkan namanya. Arya Buana! Mengapa aku jadi begitu bodoh?" maki Ranti dalam hati.
Ranti terdiam, seperti mengutuk diri sendiri. Dia sebenarnya ingin memperjelas keingintahuannya tentang Dewa Arak. Tapi saat ini mereka tengah bersikap waspada terhadap dua tokoh sesat yang selama ini dicari-cari. Ranti hanya memendam pertanyaan itu dalam hati. Rasanya memang tidak pantas untuk menanyakannya.
Sementara Ranti masih terpaku dengan kekagumannya pada Dewa Arak, maka Arya sendiri telah berada sekitar dua tombak di depan Bidadari Sabuk Emas dan Raja Iblis Baju Hitam. Begitu sadar, gadis itu segera menghampiri Dewa Arak.
* * * * * * * *
DELAPAN
Dewa Arak sengaja membiarkan Ranti memilih lawannya. Gadis berpakaian biru itu lalu bergerak menghampiri Raja Iblis Baju Hitam. Jadi, Arya terpaksa melangkah menghampiri Bidadari Sabuk Emas.
Nenek berpakaian merah muda itu tertawa terkekeh. "Sudah lama aku berniat menjajal kepandaianmu, Dewa Arak! Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya bisa bertemu denganmu...!"
Arya hanya tersenyum getir. "Bidadari Sabuk Emas...! Kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatan kejimu yang telah membunuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak!" kata Dewa Arak keras. Dia memang ingin membuktikan pada Ranti kalau pembunuh itu bukan dia! Memang, begitu mendengar ucapan itu Ranti menoleh. Gadis itu ingin mendengar jawaban nenek berpakaian merah muda itu.
"Hi hi hi...! Bukan hanya mereka saja yang kubunuh! Tapi kau juga akan kubunuh, Dewa Arak...! Kau akan menemani tiga orang monyet kecil yang berani menantangku!"
Mendengar ucapan ini, hati Dewa Arak lega. Dia telah berhasil membuktikan kalau dia sama sekali tidak bersalah.
"Bersiaplah kau, Dewa Arak...!" dengan bersikap sebagaimana layaknya orang gagah. Bidadari Sabuk Emas berseru memperingatkan Lalu.... "Hiaaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring, Bidadari Sabuk Emas mencabut sabuknya. Dan secepat senjata andalannya tercabut, secepat itu pula dilecutkannya ke arah ubun-ubun Dewa Arak.
Dewa Arak sejak tadi sudah bersiap siaga. Maka begitu metihat sabuk yang meluncur deras ke arah ubun-ubunnya, cepat dia melompat ke belakang. Langsung dijumputnya guci arak yang bertengger di punggung.
Ctaar...! Ledakan keras terdengar begitu ujung sabuk Bidadari Sabuk Emas mengenai tempat kosong. Pada saat yang sama ketika kedua kakinya hinggap di tanah, Dewa Arak menuangkan arak ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk..!
Suara tegukan yang cukup nyaring terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada hawa hangat yang berputar di dalam perut Arya, kemudian merayap naik ke atas kepala. Sekejap saja, kedua kaki Dewa Arak pun oleng.
Di saat itulah, serangan sabuk nenek berambut panjang ini kembali menyambar ke arah Dewa Arak. Tapi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mengelakkannya
Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit dan menarik. Kedua gerakan itu sama-sama meliuk-liuk. Baik gerakan sabuk Bidadari Sabuk Emas, maupun gerakan Dewa Arak yang sempoyongan ke sana kemari dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti'.
Sementara itu, Ranti telah berdiri berhadapan dengan Raja Iblis Baju Hitam. "Jadi, rupanya kau yang telah mencuri kitab pusaka perkumpulan kami, Raja Iblis!" desah Ranti penuh geram.
"Ha ha ha...! Kalau benar begitu, kau mau apa, Bocah?!" sahut Raja Iblis Baju Hitam kalem. Nada suaranya-terdengar meremehkan sekali.
"Membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Ranti langsung mencabut pedangnya. Dan secepat pedang itu tercabut, secepat itu pula dibabatkan cepat ke arah leher.
Ngunggg...! Suara mengaung keras terdengar mengiringi tibanya serangan pedang itu.
Raja Iblis Baju Hitam terperanjat melihat hal ini. Sungguh tidak disangka kalau serangan gadis berpakaian biru itu begitu dahsyat. Suara mengaung keras yang mengiringi tibanya serangan telah menunjukkan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Maka laki-laki berpakaian hitam ini tidak berani bertindak main-main Cepat-cepat tubuhnya direndahkan. Dan....
Wusss...!
Pedang Ranti menyambar lewat di atas kepalanya, hanya berjarak setengah jengkal. Rambut dan sekujur pakaian yang dikenakan Raja Iblis Baju Hitam ini sampai berkibar keras. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Serangan gadis berambut kepang ini ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Begitu babatannya berhasil dielakkan, kaki kanannya langsung mencuat ke arah perut Dan karena sikap tubuh laki-laki bercambang bauk lebat Itu tengah menunduk, serangan kaki itu jadi mengancam dada.
Wuttt...!
Deru angin keras mengiringi tibanya serangan Ranti. Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Tokoh sesat yang menggiriskan ini memang tidak menyangka kalau serangan susulan lawan akan datang begitu cepat. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya dilempar ke belakang. Lalu, dia bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat beberapa tombak dari tempatnya semula.
Ranti sama sekali tidak memberi lawan kesempatan. Begitu lawan melempar tubuh ke belakang, tubuhnya segera melesat memburu. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah lawan, diiringi suara mengaung menggetarkan jantung. Berbahaya sekali serangan yang dilancarkan gadis berpakaian biru itu. Apalagi, saat itu tubuh Raja Iblis Baju Hitam tengah berada di udara.
Meskipun begitu, tidak percuma laki-laki berpakaian hitam ini menjadi seorang datuk sesat. Di saat yang berbahaya ini serangan itu masih sanggup dielakkan. Tubuhnya menggeliat di udara, sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran. Berbareng hinggapnya kedua kaki Ranti di tanah, Raja Iblis Baju Hitam pun mendaratkan kakinya pula di tanah. Dan secepat kedua pihak berada di tanah, secepat itu pula saling menyerang dahsyat Pertarungan sengit dan mati-matian pun terjadi.
Di arena lain, Dewa Arak pun tengah berjuang keras menaklukkan lawannya. Ilmu 'Belalang Sakti' miliknya dikeluarkan sampai ke tingkat akhir. Kedua tangannya, guci, dan juga semburan-semburan araknya dikeluarkan. Beberapa kali sambil mengelakkan serangan lawan, Dewa Arak menenggak araknya. Suara tegukan pun kembali terdengar di sela-sela ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas.
Memang, pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak dan Bidadari Sabuk Emas berlangsung seru dan menarik. Perempuan tua itu memang telah mendengar kelihaian lawannya. Maka sudah sejak semula senjata andalannya dikeluarkan. Bahkan langsung menyerang dengan mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi pertarungan yang terjadi pun berlangsung cepat. Yang tampak hanyalah kelebatan bayangan kemerahan dan ungu, yanq terkadang saling belit. Tapi, tak jarang pula saling pisah. Di antara kelebatan cahaya ungu dan merah, tampak meliuk-liuk sabuk yang berwarna kuning keemasan.
Memang luar biasa permainan sabuk nenek berpakaian merah muda itu. Terkadang sabuk itu melecut mengeluarkan ledakan nyaring seperti gelegar halilintar, tapi tak jarang pula menegang kaku seperti sebatang tombak dan meluncur cepat ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Bahkan tak kalah seringnya pula sabuk itu meliuk-liuk laksana seekor ular, sehingga sukar diterka ke mana arah yang dituju.
Perubahan permainan sabuk itulah yang merepotkan Dewa Arak. Sehingga sampai puluhan jurus berlangsung, lawannya belum mampu didesak. Perubahan permainan sabuk itu berlangsung secara tiba-tiba dan tak terduga sehingga menyulitkannya. Dan inilah yang membuat Arya kewalahan menghadapinya.
Bukan hanya Arya saja yang merasa penasaran Bidadari Sabuk Emas pun dilanda perasaan yang sama. Seluruh kemampuannya dalam memainkan sabuk telah dikerahkan, tapi tetap saja tidak satu pun serangannya yang berhasil mengenai tubuh lawan. Jangankan mengenai, mendesak pun tidak mampu.
Tak terasa puluhan jurus telah berlalu. Kini pertarungan telah menginjak jurus keseratus. Tapi sampai selama itu, pertarungan masih berlangsung seimbang. Tidak nampak ada tanda-tanda, siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Wuttt..!
Pada jurus yang keseratus dua puluh tujuh, untuk yang kesekian kalinya sabuk di tangan Bidadari Sabuk Emas meliuk-liuk. Kemudian secara tidak terduga-duga, menotok ke arah pelipis seperti ular mematuk. Cepat gerakan sabuk itu, tapi masih lebih cepat lagi gerakan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu memiringkan kepalanya sehingga patukan sabuk itu mengenai tempat kosong. Dan...
Prrruh...! Arya menyemburkan arak yang sejak tadi berada dalam mulutnya Seketika Itu juga, butiran-butiran arak itu meluncur cepat ke arah Bidadari Sabuk Emas.
Nenek berpakaian merah muda Itu terkejut bukan main mendapat serangan yang tidak disangka-sangka. Tak terpikir olehnya akan serangan itu, karena Arya tidak terlihat meminum araknya. Sama sekali tidak disangka kalau Arya memang sengaja menyimpannya.
Dengan agak gugup, Bidadari Sabuk Emas menundukkan kepalanya. Meskipun begitu, dia berhasil pula menyelamatkan diri. Dia tahu, arak yang disemburkan Dewa Arak tidak bisa dibuat main-main. Semburannya tak ubahnya luncuran panah!
Bila terkena kulit, pasti akan luka-luka. Bahkan bila terkena mata, pasti akan hancur. Dan nenek berambut panjang Ini sama sekali tidak menyangka kalau serangan itu hanya pancingan saja.
Tappp...! Ujung sabuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak, dan pemuda itu langsung membetotnya.
"Ah...!" Bidadari Sabuk Emas menjerit kaget ketika tubuhnya tertarik ke depan dan melayang di udara. Perempuan tua itu memang tidak menyangka kalau Dewa Arak mampu menangkap sabuknya!
Dewa Arak sengaja melakukannya untuk mengalihkan perhatian nenek itu dari sabuknya. Dan mendadak....
Tappp...! Ujung sabuk itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak yang langsung membetotnya begitu sabuk itu telah dicengkeramnya.
"Ah...!" Bidadari Sabuk Emas menjerit kaget ketika tubuhnya tertarik ke depan dan melayang di udara. Perempuan tua itu memang tidak bersiap menghadapinya.
Dan di saat tubuh nenek berpakaian merah muda itu tengah berada di udara, Arya melepaskan pegangan tangannya. Dan dengan gerakan sukar diikuti mata, gucinya disampirkan kembali di punggung. Dan secepat guci itu tersampir, secepat itu pula Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat meluncur ke arah tubuh Bidadari Sabuk Emas. Seketika nenek berpakaian merah muda itu terperanjat dan berusaha mengelak sebisa-bisanya. Tapi....
Bressss…
Jeritan menyayat keluar dari mulut nenek berambut panjang itu, tatkala angin pukulan Dewa Arak menghantam, telak dan keras dadanya. Seketika itu juga, tubuh Bidadari Sabuk Emas terlempar jauh ke belakang . Nenek berambut panjang ini gagaI menyelamatkan diri. Keadaan tubuhnya yang tengah berada di udara menyulitkannya untuk mengelak. Tambahan lagi, dia masih terbawa tarikan Dewa Arak tadi.
Brukkk..!
Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh Bidadari Sabuk Emas menghantam tanah. Seketika itu juga nyawanya terlepas dari raga. Dia kini tewas dalam keadaan menyedihkan. Sekujur tubuhnya hangus terbakar. Samar-samar tercium bau sangit daging terbakar.
Sementara itu jerit kematian Bidadari Sabuk Emas membuat Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Seketika itu juga perhatiannya terpecah. Padahal bagi seorang tokoh tingkat tinggi yang tengah bertarung, kelengahan lawan betapapun kecilnya, adalah sebuah kesempatan untuk memasukkan serangan.
Apalagi pertarungan antara Raja Iblis Baju Hitam dan Ranti memang berjalan seimbang sejak tadi. Maka ketika laki-laki berpakaian hitam itu lengah, pedang di tangan Ranti meluncur cepat ke arah dadanya. Dan....
Cappp...! Pedang Ranti menghunjam dalam di perut laki-laki berpakaian hitam itu hingga tembus ke punggung. Kontan darah segar muncrat dari bagian tubuh yang terluka.
"Hih...!" Ranti segera mencabut pedangnya. Maka darah segar kembali berhamburan dari bagian tubuh yang terluka. Dan bukan hanya itu saja yang dilakukannya. Kakinya pun menendang cepat ke arah dada Raja Iblis Baju Hitam.
Desss...! Suara berderak keras terdengar ketika tulang-tulang dada laki-laki berbaju hitam itu hancur berantakan. Seketika nyawanya pun melayang seiring melayangnya tubuhnya ke belakang.
Ranti bergegas menghampiri mayat Raja Iblis Baju Hitam. Segera disobeknya bagian baju tokoh sesat itu. Dugaannya ternyata benar. Kitab pusaka perkumpulannya berada di balik baju Raja Iblis Baju Hitam.
Gadis berpakaian biru ini tersenyum gembira. Semua jerih payahnya ternyata tidak sia-sia. Diperhatikannya kitab yang bertuliskan Ilmu Tangan Racun Pasir Merah, dengan pandang mata berbinar-binar. Kemudian kepalanya menoleh untuk memberi tahu Dewa Arak.
Tapi tidak ada seorang pun yang dijumpainya di situ. Suasana di sekeliling tempat itu sepi-sepi saja. Walau Ranti telah mengedarkan pandangan ke sekeliling, tetap saja bayangan tubuh Dewa Arak tidak terlihat. Karuan saja hal ini membuat Ranti merasa cemas bukan main. Segumpal perasaan cemas menyeruak. Segumpal perasaan cemas menyeruak di hatinya, karena takut Dewa Arak telah pergi meninggalkannya.
"Kang Arya...!"
Dalam puncak kecemasan yang menggelegak Ranti berteriak memanggil. Tak tanggung-tanggung lagi seluruh tenaga dalamnya dikerahkan sewaktu memanggil. Akibatnya sudah bisa diduga. Suara keras yang memekakkan telinga terdengar mengoyak kesunyian Hutan Rangkong.
Ranti menunggu sesaat. Tapi sampai jemu menanti, orang yang diharapkan tidak juga kunjung datang. Hanya gema suaranya yang bersahut-sahutan menyambut panggilannya.
"Kang Arya...!"
Ranti memanggil lagi dengan suara lebih keras, tapi tetap saja orang yang dipanggilnya tak kunjung Baru saja hendak memanggil lagi, gadis berpakaian biru ini segera mengurungkan niatnya. Pandangannya tertumbuk pada sebuah benda yang terpacak di pohon.
Benda itu adalah selembar kain yang menempel di batang pohon, karena ditusuk sebatang ranting kecil. Jelas membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk membuat ranting kecil yang lemah itu mampu menembus batang pohon yang demikian keras. Ranti segera menghampiri. Dan seperti yang sudah diduga, ada deretan huruf-huruf yang tertera di atasnya. Dengan agak tergesa-gesa dibacanya huruf-huruf itu.
Ranti....
Aku ikut merasa gembira, karena kau telah berhasil menunaikan tugas yang diberikan gurumu. Aku pergi dulu. kelak kita akan bertemu kembali.
Ranti segera mencampakkan ranting itu, dan meremas kain yang bertuliskan pesan Arya hingga hancur luluh. Kemudian sekali menggerakkan kaki, tubuhnya telah melesat pergi dari situ.
Sementara di kejauhan, Dewa Arak tengah melangkah perlahan-lahan dengan perasaan lega. Kembali sebuah tugas menentang kejahatan telah berhasil diselesaikannya dengan baik.
Selanjutnya, Pertarungan Raja Raja Arak |