SATU
Hari masih pagi sekali. Tampak matahari menyembul dari ufuk Timur. Bentuknya laksana, sebuah bola besar berwarna merah menyala. Di pagi yang cerah itu, suara kecipak air laut terdengar ketika seorang pemuda berambut putih keperakan mengayuhkan dayungnya. Sesekali dia menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara laut yang sejuk.
"Sebenarnya kita hendak menuju kemana, Kang Arya?" tanya gadis cantik yang duduk di sebelah pemuda berambut putih keperakan.
Pemuda itu tidak lain adalah Arya Buana atau yang dikenal dengan julukan Dewa Arak. Dia, bertubuh kekar dan berotot. Sepasang matanya menatap lembut ke wajah gadis berkulit, putih di sampingnya. Kemudian dia, melingkarkan tangannya perlahan ke bahu gadis berpakaian putih. Ada perasaan aman yang menyelinap di hati gadis berambut panjang dan berwarna hitam itu.
"Coba tebak, Melati. Akan ke mana tujuan kita sebenarnya," ujar pemuda berambut putih keperakan tanpa menjawab pertanyaan gadis yang ter-nyata bernamaMelati. Putri angkat Raja Bojong Gading. Arya mengetatkan lingkaran tangannya yang mengitari pangkal lengan gadis berkulit putih itu. Sehingga membuat tubuh mereka makin rapat. Melati merasakan kehangatan dalam dekapan Arya.
"Sayang sekali, Kang. Aku lagi malas menebak," elak Melati sambil menyandarkan kepalanya di bahu Arya.
Arya mengelus-elus rambut Melati beberapa saat lamanya. Dijumputnya beberapa helai, dan dibawa ke arah hidungnya. Sementara tangan yang satunya sibuk mengayuh dayung. Pelan tapi pasti perahu itu melaju membelah permukaan laut yang tenang.
"Ayolah, Kang. Beri tahu aku, ke mana tujuan kita sebenamya?" desak Melati tanpa mengangkat kepalanya.
"Kita menuju Pulau Ular, Melati," jawab Arya pelan.
"Apa ... ?! Pulau Ular?!" Melati terjingkat bagai disengat kalajengking. Bola matanya terbelalak lebar, dan menatap wajah Arya lekat-lekat.
Arya mengangguk seraya mengulas senyum. "Memangnya kenapa, Melati?" kalem pemuda berpakaian ungu itu mengajukan pertanyaan.
"Untuk apa kita ke tempat yang mengerikan itu, Kang?"
Arya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Kau ingat ceritaku tentang Kemamang Danau Neraka?" Dewa Arak malah balas bertanya.
Melati menganggukkan kepala. Dia sedikit paham tempat itu. Karena Arya pemah menceritakan kepadanya ketika pemuda itu berada di Pulau Ular untuk mencari obat bagi kesembuhan dirinya (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode Perjalanan Menantang Maut).
"Nah, aku datang untuk memenuhi janjiku, Melati," kata pemuda berambut putih keperakan itu. "Aku telah berjanji untuk menemuinya, setelah kau sembuh. Janji seorang gagah harus ditepati. Ingat, Melati. Seorang gagah sekali berkata hitam, tetap hitam."
"Ooo...! Jadi, kau adalah orang gagah, Kang?!" goda Melati seraya mencibirkan mulutnya. Kontan wajah Arya memerah.
"Ini..., eh...! Aku tidak bermaksud begitu..., maksudku!"
"Ah...! Tidak usah pura-pura, Kang!" sergah Melati cepat. Raut wajahnya dibuat sungguh-sungguh. Seakan-akan dia memang tidak bermaksud menggoda Arya. "Tidak malu memuji-muji diri sendiri!"
Semakin merah wajah Arya mendengar ucapan itu. Dia tahu Melati menggodanya. Dan, dia ingin meloloskan diri dari godaan gadis cantik yang duduk manja di sebelah dirinya. Tapi dia tak mampu menghindari godaan Melati. Di tengah kebingungan menghadapi ulah kekasihnya, mendadak langit berubah gelap. Halilintar menyambar tak henti-henti. Laut pun bergolak dahsyat Tak pelak lagi, perahu mereka terombang-ambing dipermainkan gelombang. Karuan saja perubahan cuaca yang mendadak itu membuat pasangan pendekar Sakti itu terperanjat kaget.
"Ada apa, Kang?!" teriak Melati keras mengatasi suara riuh, agar suaranya dapat didengar oleh Arya. Wajah gadis berpakaian putih ini tampak pucat. Gentar dan ciut juga nyalinya melihat alam mempertunjukkan kekuatannya.
"Entahlah, Melati," jawab Arya berteriak. "Mungkin akan terjadi badai!"
Brakkk...! Dengan diiringi suara hiruk-pikuk yang memekakkan telinga, perahu itu hancur dihantam segulung ombak besar. Tubuh Dewa Arak dan Melati terpelanting, lalu tercebur ke laut.
"Kang Arya...!" Melati menjerit keras ketika tubuhnya terpental ke dalam laut dan jatuh dipermainkan gelombang. Sesaat kepalanya timbul di dalam air. Tapi sekejap kemudian, tenggelam kembali diterpa segulung gelombang.
"Melati...!" teriak Arya kalap melihat tubuh kekasihnya lenyap. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu juga timbul tenggelam dalam alunan gelombang laut yang bergelora. Hatinya lega ketika melihat kepala Melati kembali timbul di permukaan taut. Dewa Arak berusaha sekuat tenaga berenang ke arah Melati, yang terpisah jauh dari dirinya. Dalam kekalutan hati, Arya berenang dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tapi apalah artinya kekuatan manusia, dibandingkan dengan kekuatan alam? Meskipun Arya berupaya sekuat tenaga mendekati Melati, tapi ombak besar telah menyeret putri angkat Raja Bojong Gading itu. Arya dan Melati makin jauh terpisah.
Dewa Arak dan Melati sadar walaupun mereka memiliki kesaktian, tak mungkin dapat bertahan di laut yang berombak besar tanpa alat bantu. Arya kemudian mengalihkan perhatian ke sekeliling. Dia melihat papan pecahan perahu yang berserakan berada tak jauh dari dirinya. Tapi, tak sepotong papan pun berada di dekat Melati. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera meraih sepotong papan yang agak besar.
"Melati...! Ambil papan ini...!" Arya berteriak keras sambil melemparkan kepingan papan ke arah Melati, yang tubuhnya timbul tenggelam dipermainkan gelombang taut.
Singgg....! Pyarrr...!
Tak tanggung-tanggung lagi, seluruh tenaga dalam dikerahkan Dewa Arak ketika melempar kepingan papan ke arah putri angkat Raja Bojong Gading itu. Air laut memercik ke sana kemari tatkala terlanda papan yang dilontarkan Arya.
Prasss...!
Kepingan papan itu, mendarat di permukaan laut dekat dengan Melati. Buru-buru Melati berenang menuju ke arah papan, yang dapat dipergunakan sebagai pelampung. Karena, kekhawatiran yang amat sangat akan keselamatan gadis yang dicintainya, tak hanya satu potong saja papan yang dilemparkan Arya. Dalam gulungan gelombang yang semakin menggila, dia terus mengambil papan-papan itu dan melemparkannya ke arah Melati.
Pemuda berambut putih keperakan itu baru menghentikan kesibukannya, karena papan tinggal sekeping lagi. Dia segera meraihnya, dan berpegangan erat-erat sambil mengapungkan tubuhnya di permukaan taut Badai terus mengamuk. Laut pun bergolak. Halilintar tak henti-hentinya menyambar. Arya jatuh pingsan. Tapi, kedua tangannya mencengkeram erat papan itu. Entah karena naluri untuk menyelamatkan nyawanya. Atau, karena tangannya telah menjadi kaku. Sehingga mencekal erat kepingan papan yang berfungsi sebagai pelampung.
Arya tidak tahu sama sekali kalau sewaktu pingsan, dirinya dipermainkan ombak. Terkadang, tubuhnya dibawa oleh segulung ombak hingga ke puncak, lalu dihempaskan ke bawah. Dewa Arak yang terkenal menggemparkan dunia persilatan itu kini sama sekali tidak berdaya. Tubuhnya terapung mengikuti arah gelombang.
"Uhhh...!" Arya mengeluh perlahan. Air menerpa wajahnya berkali-kali. Dan sinar matahari terik membakar tubuhnya, membuat dia siuman kembali. Pemuda berpakaian ungu itu mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya. Kepalanya dirasakan agak pusing. Arya beranjak bangkit ketika air laut kembali menerpa tubuhnya yang tergolek di pantai. Kontan sepasang matanya beredar berkeliling.
"Ah ... ! Mengapa aku bisa berada di sini... kata pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati. Arya segera berdiri. Benaknya berputar keras mengingat-ingat peristiwa yang dialaminya. Sedangkan kedua tangannya sibuk membersihkan butiranbutiran pasir yang melekat di pakaiannya.
"Melati...," gumam Arya setelah mampu mengingat semua peristiwa yang menimpa dirinya dan Melati. Kepalanya menoleh ke sana kemari. Tapi, tetap tidak menemukan gadis berpakaian putih yang ikut pergi bersamanya. Ada rasa khawatir yang menyelinap di dalam hati kecilnya. Perasaan itu segera dibuangnya, dan dia berdoa dalam hati semoga Tuhan menyelamatkan kekasihnya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menyusuri tepian pantai. Sepasang matanya tertumbuk sebuah bongkahan. Sepercik harapan terbetik di hatinya. Dia segera mempercepat langkah kakinya. Namun tatkala jaraknya makin dekat, dia baru tahu kalau bongkahan itu sepotong kayu yang sudah lapuk.
Arya sadar pantai tempat dirinya terdampar cukup luas. Lalu, disusurinya tepian pantai dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sampai matahari tenggelam di Barat, tak juga dia menemukan Melati. Bahkan tidak ada sama sekali tanda-tanda kalau gadis berpakaian putih itu terdampar di situ.
"Melati...," desah Arya pilu. Sepasang matanya menerawang jauh menatap laut yang sudah tenang. Kemudian pandangannya dialihkan ke arah tempat dirinya terdampar. Perlahan-lahan kakinya melangkah memasuki hutan, mencari kayu untuk membuat rakit yang akan digunakan untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Ular, dan mencari Melati.
Pemuda berpakaian ungu itu tidak mengetahui bila gerak-geriknya diawasi sosok tubuh yang berlindung di balik pepohonan. Kemudian sosok tubuh yang mengenakan seragam tengkorak itu melesat cepat mendahului Arya. Arya bertindak hati-hati. Pulau itu berbeda dengan pulau-pulau yang pernah. dikunjunginya. Urat-urat syaraf di sekujur tubuhnya menegang, pertanda dia senantiasa waspada dengan segala kemungkinan. Suasana di pulau itu mulai gelap, tapi tak menghalangi niatnya melanjutkan perjalanan.
* * * * * * * *
DUA
"Aunggg...!"
Lolongan anjing hutan terdengar mengaung panjang, membuat suasana malam makin menyeramkan. Tampak beberapa sosok bayangan berkelebat cepat menuju mulut hutan. Menilik gerakan yang ringan dan gesit, dapat dipastikan kalau bayangan itu adalah orang-orang persilatan yang mempunyai kepandaian cukup tinggi. Tujuan mereka cuma satu, Hutan Jambak.
"Kau percaya dengan berita yang tersebar itu, Juriga?" tanya seorang dari dua sosok tubuh yang bergerak cepat memasuki Hutan Jambak.
DI bawah siraman sinar rembulan di langit, tampak jelas sosok bayangan yang berbicara itu. Seorang laki-laki bertubuh kekar dan berotot. Pada wajahnya terdapat kumis dan jenggot yang tak terurus. Urat tangannya tampak menonjol keluar.
"Maksudmu..., tentang pemimpin besar kita, Dulimang?" sahut Juriga yang bertubuh kecil kurus. Sepasang matanya seperti orang mengantuk. Sedangkan wajahnya tampak pucat seperti orang berpenyakitan.
"Ya...," sahut laki-laki kekar berotot yang ternyata bernama Dulimang.
Sambil berkata demikian, Dulimang terus melangkahkan kakinya. Tak terdengar deru napas memburu ketika laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu menjawab pertanyaan Juriga. Dari sini dapat diketahui kalau Dulimang memiliki kepandaian yang cukup tinggal.
Dulimang memalingkan kepalanya ke arah suara yang berasal dari mulut Juriga. Memang rekannya ingin menanggapi ucapan laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu. Tapi karena dia diliputi rasa khawatir, tetap saja dia melangkah ke depan.
"Kau percaya kalau orang yang menyuruh kita datang ke tempat ini adalah pemimpin besar kita, Juriga?" Dulimang tidak sabar menunggu jawaban rekannya.
"Hentikan pertanyaanmu, Dulimang. Jika kau masih sayang dengan nyawamu!" sergah Juriga.
Kontan wajah Dulimang pucat pasi. Untung saja suasana remang-remang, sehingga warna pucat pada wajahnya tak nampak. Bentakan pelan itu telah menimbulkan rasa takut di hati laki-laki kekar berotot itu. Dia tahu Juriga tidak sembarangan bicara, karena dia sendiri telah mendengar kekejaman dan kesadisan pemimpinnya.
"Tidak cukupkah surat yang ditancapi dengan pisau berkepala tengkorak sebagai bukti, Dulimang," ujar Juriga.
Ucapan yang mengandung teguran keras itu membuat Dulimang terkesima. "Bukan aku tidak percaya, Juriga," Dulimang memperbaiki kata-kata yang diucapkan sebelumnya. Jelas laki-laki berkumis dan berjenggot lebat itu diliputi rasa gentar.
"Tapi, bukankah menurut kabar yang kudengar, beliau telas tewas dalam sebuah pertempuran?!" suara yang keluar dari mulut Dulimang terdengar berhati-hati, pertanda ucapan rekannya tadi berpengaruh.
"Siapa tahu beliau mempunyai murid atau keturunan, Dulimang. Apakah kau tidak berpikir sampai ke sana?"
Dulimang terdiam mendengar dugaan yang dilontarkan Juriga. Disadari ucapan rekannya itu mengandung kebenaran.
"Ya! Siapa tahu, tokoh yang mengundang mereka adalah murid atau keturunan pemimpin besar. Kenapa aku tak berpikir sampai ke situ?" rutuk Dulimang dalam hati.
Melihat rekannya membisu seribu bahasa, Juriga melanjutkan langkahnya. Dia merasa sudah cukup berbicara, dan tidak ingin berbincang-bincang lagi. Lalu, mereka berdua melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata sepatah pun.
Juriga berjalan tanpa dibebani perasaan apa pun. Sedangkan Dulimang melangkah dengan segumpal rasa takut Ucapan rekannya telah membuat laki-laki kekar berotot itu diliputi rasa khawatir bukan kepalang.
Perasaan itu muncul bukan tanpa penyebab. Dulimang telah mendengar kekejaman dan kesadisan pemimpin besar itu bila memperlakukan orang yang tak disukainya. Apalagi orang yang membicarakan tentang kejelekan dan keburukan dirinya. Dapat dipastikan ia akan menerima hukuman yang mengerikan dari pemimpin besar itu. Tak mengherankan bila perasaan takut menyergap diri Dulimang.
Rasa takut dalam diri laki-laki yang bertubuh kekar dan berotot itu makin mendalam, bila diingat kalau ilmu yang dimiliki pemimpin besar mampu mengetahui orang yang berniat buruk, atau membicarakan dirinya.
Kedua orang itu makin dalam memasuki hutan. Tampak beberapa sosok bayangan berkelebat dari berbagai jurusan. Mereka bergerak ke arah lapang an luas. Ternyata sudah banyak para tokoh persilatan berkumpul di sana. Dulimang dan Juriga segera membaur dalam kerumunan itu.
Dulimang yang tengah dilanda rasa takut, memperhatikan suasana sekelilingnya. Sepasang matanya mengamati para tokoh persilatan yang hadir di situ. Jumlah mereka sekitar tiga puluh orang. Menilik gerak-gerik mereka, bisa diperkirakan kalau para tokoh persilatan itu berasal dari aliran hitam.
Aneh! Tak seorang pun yang berani membuka suara. Mereka semua diam membisu. Dari sikap yang ditunjukkan tokoh persilatan golongan hitam itu sudah bisa diperkirakan betapa besar pengaruh orang yang disebut pemimpin besar itu.
Di sebuah lapangan luas, tampak gundukan batu sebesar kerbau setinggi satu tombak. Sekilas tampak wajah Dulimang pucat ketika menatap sebatang tongkat bergagang kepala tengkorak yang tertancap di puncak gundukan batu. Begitulah ciri khas pemimpin besar mereka.
"Aunggg...!" Tiba-tiba saja terdengar lolongan serigala.Wajah-wajah yang sejak tadi tenang mulai berubah menegang. Mereka sudah tahu, jika serigala meng-aung maka muncul sang pemimpin besar. Tapi, mereka tak mengerti hubungan kedua peristiwa itu.
Begitu suara lolongan serigala lenyap, sebagian dari tokoh persilatan melihat sosok tubuh yang melintas di atas kepala mereka. Kemudian setelah itu sosok bayangan itu melakukan salto di udara. Dan....
Tappp...
Gerakan yang indah dari sosok bayangan itu mengundang rasa kagum tokoh persilatan yang hadir di situ. Namun, yang lebih membuat tokoh-tokoh aliran hitam itu terpesona, ketika melihat sosok bayangan yang melakukan salto di udara tadi mendarat dengan mulus di atas tongkat berujung tengkorak kepala manusia, dalam posisi duduk bersila.
Puluhan pasang mata tak berkedip menatap ke arah pemimpin besar mereka. Sungguh luar biasa kekuatan sorot mata tokoh persilatan yang duduk bersila di atas tongkat berujung tengkorak kepala manusia itu. Karena pandangannya yang tajam telah membuat rasa gentar para tokoh persilatan beraliran hitam.
Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, tokoh-tokoh persilatan golongan hitam itu menundukkan kepalanya, tatkala sang pemimpin memandang tajam ke arah mereka. Hanya beberapa gelintir saja Yang berani menentang pandang pemimpin besar itu, termasuk Juriga dan Dulimang.
Dulimang memperhatikan terus sang pemimpin itu. Tinggi tubuhnya sukar ditebak. Lantaran dia duduk dengan posisi bersila. Sedangkan wajahnya tak dapat dikenali sama sekali, karena tertutup kain bergambar tengkorak.
Dulimang mengalihkan pandangan ketika sang pemimpin yang lebih patut disebut manusia tengkorak itu, menatap tajam ke arah dirinya. Dan, buru-buru kepalanya ditundukkan. Sebab sepasang mata Yang tajam itu memancarkan cahaya berwama kehijauan.
Setelah mengedarkan pandangan, pemimpin besar yang mengenakan pakaian tengkorak itu menurunkan kedua tangannya yang semula terlipat di depan dada. Lalu, kedua tangan itu digerakkan ke belakang punggungnya.
Gerakan yang dilakukan sang pemimpin itu perlahan sekali. Seolah-olah tidak ada pengerahan tenaga dalam sama sekali. Anehnya, tubuh laki-laki berpakaian tengkorak itu melesat cepat tanpa mampu ditangkap mata. Lalu, dia berdiri di atas gundukan batu besar. Tampak sosok tubuhnya yang agak kurus dan jangkung.
"Di antara semua yang hadir di sini, ternyata masih ada, yang meragukan diriku sebagai Raja Tengkorak!" Cetus laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
Terdengar suara yang aneh dari mulut laki-laki berjuluk Raja Tengkorak itu. Keanehan suara itu mungkin disebabkan selubung bergambar tengkorak yang menutupi seluruh kepalanya. Barangkali juga dia mengerahkan tenaga dalam, sehingga suaranya bergema.
"Aku tahu, ada beberapa gelintir di antara kalian yang tidak mempercayaj diriku. Dan, mereka berbicara di belakangku," Raja Tengkorak kembali melanjutkan ucapannya. "Tapi, itu masih bisa kumaklumi."
Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu menghentikan ucapannya. Sepasang matanya yang bercahaya kehijauan, terpaku pada wajah Dulimang. Karuan saja laki-laki kekar berotot itu menjadi cemas dan pucat.
"Benarkah kabar yang tersebar bahwa Raja Tengkorak memiliki ilmu yang mampu mengetahui orang yang membicarakan dirinya?" tanya Dulimang dalam hati sambil tergesa-gesa menundukkan kepalanya.
Laki-laki kekar berotot itu baru berani mengangkat kepalanya kembali ketika sang pemimpin besar itu melanjutkan ucapannya.
"Perlu kalian ketahui, aku tidak dapat mengampuni seseorang yang secara terang-terangan menentangku!" tandas dan jelas sekali ucapan yang dikeluarkan Raja Tengkorak.
Belum lenyap gema ucapan Raja Tengkorak, tiba-tiba beberapa sosok tubuh melesat dan langsung mendarat di bawah batu besar tempat Raja Tengkorak berdiri.
"Memang, kami tidak percaya kau adalah Raja Tengkorak!" seru seorang dari tiga sosok tubuh yang kini berdiri di bawah Raja Tengkorak. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berhidung besar. Sebuah rompi terbuat dari kulit buaya membungkus tubuhnya yang berwarna coklat kehitaman.
Dua orang yang mengenakan rompi yang sama, juga menganggukkan kepala pertanda mendukung ucapan laki-laki berhidung besar tadi.
"Siapa kau, Anjing Kecil?!" tanya Raja Tengkorak tenang. Sepasang matanya beredar berkeliling. Menatapi satu persatu wajah yang berdiri di, bawahnya.
"Kami bejuluk Tiga Buaya Sungai Rampoa!" jawab laki-laki yang memiliki tahi lalat besar di pipi kiri. Dari nada suara dan dada yang dibusungkan ketika menjawab pertanyaan Raja Tengkorak, dapat diketahui kalau laki-laki bertahi lalat besar itu bangga dengan julukannya.
"Hmh...!" Raja Tengkorak mendengus. Dan begitu suara dengusannya lenyap, tubuhnya telah melayang ke bawah. Padahal tidak terlihat sedikit pun kalau dia menggerakkan kaki. Tiba-tiba dia telah berada dalam jarak satu setengah tombak di hadapan Tiga Buaya Sungai Rampoa.
Kini Raja Tengkorak dan Tiga Buaya Sungai Rampoa saling berhadapan. Kedua tangan laki-laki bermata kehijauan itu dilipatkan di depan dada. Sementara kepalanya menatap ke tanah. Dia pun melangkah kecil-kecil, tak peduli dengan kehadiran Tiga Buaya Sungai Rampoa. Jelas sikap Raja Tengkorak ini meremehkan calon lawannya.
Melihat tingkah laki-laki bertubuh tinggi kurus itu, membuat hati Tiga Buaya Sungai Rampoa menjadi panas. Sebab, ketiga tokoh yang dijuluki Tiga Buaya Sungai Rampoa ini cukup ditakuti lawan dan disegani kawan di sepanjang Sungai Rampoa. Yang dari hulu sampai hilir, merupakan wilayah kekuasaannya.
"Keparat...!" laki-laki berhidung besar berteriak memaki. "Rupanya semua tulang-tulangmu ingin kupatahkan!"
Ucapan itu mengenai sasarannya. Terbukti kepala Raja Tengkorak yang sejak tali tertunduk, tiba-tiba mendongak. Ada suara gemeretak keras yang keluar dari mulut laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
"Cecak-cecak kudisan berani berlagak menjadi buaya sungguhan?!" Cetus Raja Tengkorak.
Ucapan bemada tantangan telah dikeluarkan Raja Tengkorak. Rupanya meskipun kemarahan melanda hatinya, dia tidak ingin kehilangan kewibawaannya. Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini tetap bersikap tenang, seperti layaknya seorang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi menghadapi tokoh yang tingkatannya masih berada di bawah.
Laki-laki bertahi lalat besar tidak sanggup lagi menahan kemarahannya. Sambil mengeluarkan pekik melengking, dia melompat menerjang Raja Tengkorak. Sekali menyerang, tokoh Tiga Buaya Sungai Rampoa ini telah melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar lawannya,
"Hmh...!" Raja Tengkorak mengeluarkan suara dengusan dari hidung. Melihat dari gelagatnya, seolah-olah laki-laki tinggi kurus ini sama sekali tidak berniat mengelak atau menangkis serangan. Malah membiarkan setiap serangan lawan mengenai sasarannya. Sikap meremehkan itu, tentu saja membuat laki-laki bertahi lalat menggelegak amarahnya.
"Raja Tengkorak palsu ini benar-benar telah merendahkan diriku!" pekik hati salah seorang Tiga Buaya Sungai Rampoa gusar.
Bukkk, bukkk, bukkk..!
Laki-laki bertahi lalat besar memukul bertubi-tubi dan tepat mengenai sasarannya. Tapi, bukan Raja Tengkorak yang merasa kesakitan, malah yang memukul menjerit menahan rasa sakit. Seolah-olah yang dipukul bukan tubuh manusia, melainkan sebongkah baja yang amat keras.
Dua orang anggota Tiga Buaya Sungai Rampoa terkejut melihat kelakuan rekannya. Tapi, sebagai tokoh persilatan yang telah mempunyai banyak pengalaman bertarung, segera menyadari apa yang telah terjadi. Maka....
Srettt...!
Anggota Tiga Buaya Sungai Rampoa yang berhidung besar segera mencabut senjata andalannya yang berupa sebilah golok besar! Sedangkan rekannya, laki-laki berbibir tebal mencabut senjatanya yang berupa gada panjang dan berduri. Mereka dengan kemampuan masing-masing segera memainkan senjatanya.
Sementara itu, laki-laki bertahi lalat besar yang melihat kedatangan rekan-rekannya sambil membawa senjata, segera mencabut senjatanya pula yang berupa sebuah bola besi bulat sebesar kepala manusia, berduri, dan memiliki tangkai. Dia segera membuka jurus dengan memutar senjatanya bagai baling-baling. Sehingga menimbulkan suara mendesing merobek udara.
"Hmh...!” Raja Tengkorak mendengus dan menyunggingkan senyuman sinis melihat gerakan-gerakan lawannya. Tidak terlihat tanda-tanda kalau laki-laki berpakaian tengkorak ini mewaspadai serangan yang bakal dilakukan Tiga Buaya Sungai Rampoa. Jelas, dia memandang remeh ketiga laki-laki kasar itu. Tentu saja hal itu membuat darah tiga orang laki-laki berompi kulit buaya itu menjadi mendidih. Dan....
"Hiaaat...!" Serangan yang diiringi suara pekikan keras dari laki-laki berhidung besar, melesat ke arah leher Raja Tengkorak, setelah terlebih dahulu memutar-mutarkan senjatanya di atas kepala. Sehingga menimbulkan suara mengaung keras pertanda kuatnya tenaga, yang terkandung dalam putaran golok besar itu.
Sedangkan kedua rekannya segera membuka jurus serangan. Mereka bergerak menyongsong Raja Tengkorak dari arah yang berbeda. Dan kemudian melancarkan serangan dengan senjata andalan masing-masing.
Raja Tengkorak tetap dengan sikapnya yang semula. Kedua tangannya masih berlipat di depan dada. Kepalanya menunduk menghadap ke tanah. Seolah-olah tak ada musuh yang akan menyerangnya. Dia tetap saja memandang remeh ketiga orang laki-laki kasar berompi kulit buaya itu.
Ketika serangan datang dari tiga jurusan itu menyambar dekat, tokoh yang mempunyai dandanan mendirikan bulu kuduk ini, menggerakkan kakinya. Sederhana saja gerakan yang dilakukan Raja Tengkorak. Tapi anehnya, tidak ada satu pun serangan lawan yang mampu mengenai anggota tubuhnya.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan laki-laki berpakaian tengkorak itu. Setelah berhasil mengelakkan serangan ketiga orang lawan, kedua tangannya bergerak cepat. Sehingga, tangan yang sebenamya berjumlah dua itu jadi terlihat berjumlah puluhan.
Kontan Tiga Buaya Sungai Rampoa merasakan Pandang mata mereka berkunang-kunang. Tapi, mereka berusaha menahan serangan yang akan di lancarkan Raja Tengkorak, dengan mengelak sebisa-bisanya, tapi....
Tuk, tuk, tuk...!
Suara-suara pelan terdengar disusul dengan lumpuhnya tangan Tiga Buaya Sungai Rampoa yang memegang senjata, disusul berjatuhannya senjata-senjata mereka ke tanah. Ternyata totokan Raja Tengkorak tepat sekali mendarat di belakang sikut mereka. Sehingga membuat tangan itu lumpuh untuk beberapa saat.
Wajah Tiga Buaya Sungai Rampoa kontan memucat, mereka sadar lawan yang dihadapi kali ini, memililki kepandaian yang tidak terukur. Tapi mereka telah terlambat. Raja Tengkorak tak akan membiarkan mereka hidup. Kekejaman tokoh sesat itu terhadap lawannya sudah sering didengar. Tiga Buaya Sungai Rampoa menyadari hal itu.
Tapi, sebagai tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi, mereka lebih suka mati sebagai seekor harimau ketimbang hidup sebagai seekor anjing. Itulah sebabnya, meskipun tidak adanya senjata andalan di mereka tetap mengadakan perlawanan.
Tiga Buaya Sungai Rampoa segera melancarkan serangan bertubi-tubi dengan tangan kosong ke arah tubuh Raja Tengkorak. Tapi serangan itu dengan mudah dapat digagalkan dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemimpin besar itu. Tampaknya, dia ingin memperlihatkan tingkat ilmu yang dimilikinya di hadapan ketiga tokoh Sungai Rampoa itu.
Hampir sepuluh jurus lamanya Raja Tengkorak mempermainkan lawan-lawannya. Dia sama sekali tidak mengadakan perlawanan, kecuali mengelakkan serangan yang datang. Laki-laki berpakaian tengkorak ini rupanya bermaksud mempermainkan lawan sebelum membunuhnya.
Ketika napas lawan telah memburu karena rasa capek dan amarah yang menggelegak di dalam dada, baru Raja Tengkorak bertindak cepat. Kedua tangannya yang masih menggenggam senjata milik Tiga Buaya Sungai Rampoa, bergerak cepat membentuk pusingan. Sehingga mata tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan itu menjadi nanar. Begitu Pula yang dialami Tiga Buaya Sungai Rampoa.
"Aaakh...!" Jerit kematian terdengar susul-menyusul diiringi dengan tumbangnya satu persatu anggota Tiga Buaya Sungai Rampoa. Sungguh mengerikan kematian mereka. Seluruh tubuh tercabik-cabik, dan senjata andalan mereka sendiri tertancap di batok kepala masing-masing.
* * * * * * * *
TIGA
"Siapa di antara kalian yang berminat menyusul mereka, silakan maju!" ujar Raja Tengkorak sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Tegas dan jelas ucapan yang keluar dari mulut sosok berpakaian tengkorak itu. Sambil berkata begitu, jari telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah tiga sosok mayat yang tergeletak berlumuran darah.
Tak satu pun tokoh yang berani membuka suara. Mereka merasa ngeri melihat kesaktian yang dipamerkan Raja Tengkorak. Tiga Buaya Sungai Rampoa adalah tokoh-tokoh persilatan yang cukup tangguh. Tapi, tak berdaya menghadapi Raja Tengkorak.
Kini semua kepala tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan tadi serentak tertunduk ke bawah. Tak satu pun yang berani mengangkat kepala. Kegentaran merayapi hati masing-masing to-koh persilatan yang berkumpul di sebuah tanah lapang itu.
"Perlu kalian semua ketahui...” ujar Raja Tengkorak setelah melihat tidak ada orang yang menentang pandangannya. "Aku sengaja mengumpulkan kalian semua, demi kepentingan kalian juga"
Tokoh yang menggiriskan itu menghentikan ucapannya sebentar. Kembali pandangannya diedarkan ke sekeliling untuk mengenali raut-raut wajah yang tertunduk.
"Selama ini, kulihat golongan kita selalu diruntuhkan oleh tokoh persilatan aliran putih. Apalagi ketika muncul seorang tokoh yang berjuluk Dewa Arak!"
Sampai di sini, Raja Tengkorak kembali menghentikan ucapannya. Dia menoleh dan menatap tokoh-tokoh yang ada di sekelilingnya, untuk melihat reaksi ucapannya. Dan memang, meskipun tidak ada suara-suara ribut yang terdengar. Tapi tampak wajah-wajah mereka memancarkan keterkejutan. Kepala mereka yang sejak tadi tertunduk, kontan terdongak mendengar nama Dewa Arak disebut.
"Aku tidak menginginkan golongan kita senantiasa menjadi permainan golongan putih. Dan, itu tak akan terjadi bila kita bersatu!" Raja Tengkorak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Aku telah melihat Dewa Arak datang ke daerah ini. Dan, sepanjang yang kudengar, setiap kali dia datang, pendekar yang usilan itu pasti menghancurkan golongan kita. Dan, aku tidak mau hal itu terjadi! Kalian mengerti?!"
Kepala semua tokoh yang berada di situ terangguk.
"Nah! Sebelum Dewa Arak menggilas kita. Dia harus kita dahului. Kita semua harus bersatu untuk melenyapkan Dewa Arak, agar golongan kita berjaya!" sambung laki-laki berpakaian tengkorak itu dengan suara yang lebih keras. Lantaran semangatnya terbangkit melihat sambutan dari orang-orang yang berada di sekelilingnya.
"Aku yakin apabila kita bersatu, jangankan cuma ada satu Dewa Arak, biarpun ada puluhan Dewa Arak kita dapat melenyapkannya! Bagaimana! Kalian semua setuju dengan usulku?!"
"Setuju...!"
Serempak puluhan tokoh persilatan itu menyahut. Menilik jawaban mereka yang begitu bersemangat dan berapi-api, dapat diketahui kalau mereka semua memang setuju dengan rencana itu.
"Kita cincang Dewa Arak...!" teriak Dulimang keras sambil mengacungkan tangan ke atas.
"Hancurkan semua tokoh golongan putih...!" sambut tokoh lainnya.
"Kita rajai dunia persilatan...!" tokoh lainnya pun tak mau kalah.
Dalam waktu sebentar saja, suasana di sekitar tempat itu sudah menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan teriakan tokoh persilatan golongan hitam itu. Di balik selubung bergambar tengkorak, pemimpin baser itu tersenyum gembira. Dibiarkan puluhan tokoh-tokoh persilatan itu berteriak semaunya. Setelah dirasanya cukup, tangan kanannya diangkat ke atas.
Luar biasa! Seketika itu juga suara-suara berisik itu kontan lenyap. Dari pertunjukan ini sudah bisa diketahui kalau tokoh-tokoh persilatan aliran hitam yang hadir di situ, telah tunduk sepenuhnya pada Raja Tengkorak.
"Untuk pertemuan kali ini, aku bisa memaklumi kalau yang hadir hanya beberapa orang. Untuk menambah pengikut, aku akan mengadakan pertemuan lagi. Kuminta kalian mengabarkan kepada tokoh-tokoh golongan kita lainnya. Kalian mengerti?!"
"Mengerti...!" sahut puluhan tokoh-tokoh persilatan itu serempak.
"Perlu kalian ketahui, sekarang lawan yang paling berat dan harus kita taklukkan adalah Dewa Arak! Kita bungkam dia untuk selama-lamanya! Nah! Cukup sampai di sini pertemuan kita!"
Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak segera melesat dari tempat situ. Luar biasa! Hanya dalam beberapa langkah saja, tubuhnya telah lenyap ditelan kegelapan malam dan kerimbunan semak-semak.
Sepeninggal tokoh yang menggiriskan itu, suasana kembali menjadi riuh. Masing-masing tokoh persilatan berbicara, sehingga membuat suasana di tempat itu menjadi berisik bukan kepalang. Cukup lama juga tokoh-tokoh persilatan itu saling berbicara. Baru beberapa saat kemudian, mereka mulai meninggalkan tempat itu. Suasana kembali menjadi hening seperti sediakala. Kini yang terdengar hanyalah suara kerik jangkerik dan binatang malam lainnya.
"Uhhh...!" Arya membuka mulutnya lebar-lebar. Kedua kaki dan tangannya dijulurkan sejauh-jauhnya. Semua itu dilakukannya untuk membuang rasa kantuk yang masih melanda.
Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya terbuka. Tapi langsung ditutup kembali. Karena merasa silau terkena sinar matahari pagi yang menyorot lewat celah-celah dedaunan. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu tertidur di atas sebatang pohon besar, yang batangnya saja memerlukan empat orang dewasa untuk mengukurnya.
“Uaaah...!" Arya kembali membuka mulutnya lebar-lebar. Jelas kalau perasaan ngantuk yang menderanya masih cukup kuat Kemudian setelah mengerjap-ngerjapkan sepasang kelopak matanya, dia bangkit dari berbaringnya.
Pemuda tampan yang mengenakan pakaian berwarna ungu itu lalu mengulurkan tangan, untuk menjumput guci araknya yang tergantung di dahan pohon. Setelah menyampirkan gucinya di punggung, Arya lalu melompat turun. Gila! Cabang pohon yang tingginya dua setengah tombak dari tanah itu dilompatinya dengan ringan sekali.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya mendarat di tanah. Hal ini tidak aneh karena ilmu meringankan tubuh pemuda berpakaian ungu itu memang amat tinggi. Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Arya lalu melangkah cepat meninggalkan pohon itu. Dia sengaja menggunakan ilmu meringankan tubuh, karena perutnya yang lapar segera minta diisi.
Arya tak mengetahui letak desa yang paling dekat dari hutan ini. Padahal, rasa lapar telah begitu melilit perutnya. Itulah sebabnya Arya memutuskan untuk mencari makanan sendiri. Maka dia pun hendak mengisi perutnya dengan binatang-binatang penghuni hutan. Sekaligus mencari jejak Melati, walaupun sudah ada perasaan tidak akan bertemu dengan gadis itu di pulau ini. Karena tidak adanya tanda-tanda kalau Melati juga terdampar di sini.
Arya mengedarkan pandangannya ke sana kemari. Tidak hanya itu saja, semak-semak pun dihampiri dan disibaknya. Tapi tetap saja tidak ditemukannya binatang-binatang buruan. Hutan yang disinggahi Dewa Arak kali ini memang lain dari biasanya. Banyak pohon-pohon besar berbatang coklat dan licin. Tak satu pun terdengar suara binatang-binatang yang biasanya menghuni hutan.
Setelah lama mencari-cari dan tidak bertemu, Arya putus asa. Diambilnya keputusan untuk menghentikan pencarian. Lalu melangkah meninggalkan tempat itu tanpa mengedarkan pandang seperti sebelumnya.
Perut yang lapar mendorong Dewa Arak mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat cepat keluar dari hutan. Sesaat kemudian, yang tampak hanya sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat.
Entah sudah berapa lama pemuda berambut putih keperakan ini berlari. Yang jelas, tak lama kemudian, di hadapannya terlihat sebuah sungai. Wajah Arya seketika berseri-seri. Tak bisa menyantap daging hewan penghuni hutan pun, tak mengapa. Karena kini ada makanan pengganti yang tak kalah lezatnya. Binatang-binatang penghuni sungai! Apa lagi kalau bukan ikan?
Seketika itu juga Arya mempercepat larinya. Semangatnya seketika bangkit membayangkan perutnya akan terisi penuh binatang-binatang peng-huni sungai itu. Sekejap kemudian Dewa Arak telah berada di pinggir sungai. Diamat-amatinya sejenak permukaan sungai yang berair jernih, sehingga sampai terlihat ke dasarnya.
Senyum di mulut pemuda berpakaian ungu itu semakin lebar tatkala melihat ikan besar dan kecil berseliweran di bawah permukaan air. Tapi senyum itu perlahan mulai memudar, ketika menyadari dirinya tidak membawa alat untuk menangkap ikan! Lalu, Arya memutar otak, bagaimana caranya menangkap ikan tanpa menggunakan kail, jala, atau bubu?
Cukup lama juga Dewa Arak memutar otaknya. Kemudian dia menemukan sebuah cara menangkap ikan. Dengan kayu panjang yang berujung runcing! Maka bergegas pandangannya diedarkan ke sekeliling mencari-cari benda yang dapat dipergunakan menangkap ikan.
Mendadak Arya tersentak. Pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh, yang tengah duduk di pinggir sungai, dan bersandar pada pohon besar di belakangnya. Sebuah kail yang gagangnya ditancapkan di tanah, berada di depannya. Rupanya sosok tubuh itu tengah mengail!
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan alisnya. Dia kebingungan sejenak. Mengapa tadi sewaktu menuju ke sungai ini dia tidak melihat sosok tubuh di situ? Tapi begitu pandangannya tertumbuk pada pohon yang disandari sosok tubuh itu, Arya jadi maklum mengapa tadi tidak melihatnya. Orang itu terhalang batang pohon yang disandarinya.
Seketika itu juga Dewa Arak lupa dengan maksudnya semula. Sepasang matanya menatap sosok tubuh yang tengah duduk bersandar itu. Sosok tubuh itu berpakaian hitam. Wajahnya tidak tampak jelas karena tertutup oleh caping lebar. Mendadak kayu kail itu terangguk-angguk. Talinya pun menegang. Jelas ada sesuatu yang telah menariknya dari dalam sungai. Apa lagi kalau bukan ikan?
Arya mengerutkan alisnya ketika melihat orang berpakaian hitam itu tidak menarik pancingannya sama sekali. "Tertidurkah dia?" tanya Arya dalam hati.
Kayu pancingan itu semakin keras terangguk-angguk. Tapi, orang berpakaian hitam itu tidak juga menariknya. Maka Arya melangkah menghampirinya, dan berniat memberi tahu orang itu kalau umpan pada kailnya telah dimakan ikan. Selangkah demi selangkah Arya mendekati sosok tubuh berpakaian hitam itu. Tapi, sampai jaraknya tinggal satu batang tombak lagi, tetap saja orang berpakaian hitam itu sama sekali tidak bergerak.
"Matikah orang itu?" duga Arya lagi dalam hati. Dewa Arak memperhatikan perut orang itu, kontan sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini terbelalak karena tak ada gerak sama sekali di perut orang berbaju hitam itu.
Bergegas Dewa Arak menghampiri orang bercaping lebih dekat lagi. Sepasang alisnya berkerut ketika melihat pakaian orang itu tidak hitam seluruhnya. Tapi ada lukisan aneh berwama putih. Begitu telah berada di dekat orang itu, Arya segera berjongkok untuk memeriksa keadaan orang berpakaian hitam itu.
Mendadak orang berpakaian hitam itu bangkit dari sandarannya, dan langsung mengirimkan totokan tangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Dewa Arak. Jari-jari kedua tangan orang itu lures dan menegang kaku. Kedudukan jari-jari tangannya mirip jurus 'Ular'.
Wuttt...!! Angin yang berkesiut nyaring pertanda kalau serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam yang kuat. Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Serangan itu benar-benar di luar dugaannya. Dia sama sekali tidak siap untuk menghadapi serangan yang tiba-tiba seperti itu.
Meskipun begitu, karena sudah terbiasa mendapat serangan mendadak, Dewa Arak bergerak cepat Kedua tangannya dihentakkan ke bawah untuk mematahkan serangan itu.
Plak, plak...!
Benturan kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu menimbulkan suara yang amat keras. Usaha yang dilakukan Arya memang tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil dimentahkannya. Tapi meskipun dia mampu mengelakkan serangan mendadak itu, tak urung bajunya di bagian dada berlobang sebesar jari tangan.
Begitu telah berhasil memunahkan serangan itu, Dewa Arak segera bersalto ke belakang beberapa kali untuk memperbaiki keadaannya yang tidak menguntungkan.
"Hih...!" Orang berpakaian hitam itu menjumput capingnya dan kemudian melontarkannya ke arah Dewa Arak.
Wunggg... Dengan diiringi suara mengaung keras, caping bambu itu meluncur deras ke arah kepala Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang. Saat caping lawan meluncur, tubuhnya tengah berada di udara. Sulit baginya untuk mengelakkan serangan itu. Menangkis dengan tangan kosong merupakan tindakan gegabah. Dari suara mengaung keras dapat diperkirakan kekuatan tenaga dalam pemiliknya. Arya berusaha mengelakkan serangan itu. Tubuhnya digeliatkan ke camping. Dan....
Crass... !
Meskipun sudah berusaha mengelakkan serangan itu, tak urung sebagian rambut Dewa Arak terserempet. Akibatnya rambut yang berwarna putih keperakan itu pun putus!
"Hup ...!" Tanpa suara Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah, berbarengan dengan orang berpakaian hitam menangkap capingnya. Rupanya caping yang dilempar ke arah tubuh Arya tadi dapat berbalik kembali.
Arya menatap wajah orang berpakaian hitam yang kini tidak mengenakan caping lagi. Seketika itu Pula sepasang mata pemuda berpakaian ungu ini terbelalak. Wajah dan pakaian orang berpakaian hitam itulah yang membuatnya terperanjat.
Memang wajar kalau pemuda berambut putih keperakan ini merasa terkejut. Sosok berpakaian hitam itu ternyata mengenakan seragam tengkorak. Terlihat jelas gambar semua tulang-belulangnya. Tubuh yang tinggi kurus semakin menambah keangkerannya.
"Siapa kau, Kisanak? Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak penasaran. Sementara benaknya sibuk menduga-duga dan mengingat-ingat siapa gerangan tokoh yang memiliki, ciri-ciri seperti itu.
"Hmh...!" Laki-laki berpakaian hitam yang tak lain adalah Raja Tengkorak mendengus sebelum menjawab pertanyaan Arya.
"Agar kau tidak mati penasaran, kuperkenalkan diriku. Aku adalah Raja Tengkorak! Dan maksudku menghadangmu di sini adalah untuk melenyapkan orang usilan sepertimu!" Setelah berkata demikian, kembali tangan lakilaki berpakaian tengkorak itu bergerak Dan....
Wunggg...!
* * * * * * * *
EMPAT
Suara berdengung keras mengiringi serangan caping bambu. Belum lagi serangan itu mengenal sasaran, Raja Tengkorak telah melepaskan ikatan rantai berujung tengkorak kepala manusia yang membelit pinggangnya.
Begitu rantai yang panjangnya tak kurang dari dua tombak tidak lagi membelit pinggangnya, laki-laki bertubuh tinggi kurus itu segera memutar-mutarkannya di atas kepala. Kemudian melontarkan ke arah Dewa Arak.
Meskipun mendapat serangan beruntun, Dewa Arak tidak gugup. Dia sudah dapat memperkirakan kekuatan tenaga dalam lawannya ketika tangan mereka saling berbenturan tali. Arya segera mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya. Dengan keberanian luar biasa, luncuran caping bambu itu ditangkap.
Tappp...!
Caping bambu berhasil dipegang Dewa Arak, tapi pemuda berambut putih keperakan ini merasakan getaran hebat pada tangannya. Bukan hanya itu saja. Tanpa mampu ditahan, tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari sini saja, sudah bisa diperkirakan betapa dahsyat tenaga dalam yang terkandung pada lemparan caping bambu itu.
Ngunggg...
Di saat itulah, serangan rantai berkepala tengkorak menyambar cepat ke arah kepala Dewa Arak. Jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur apabila terkena hantaman rantai itu.
“Hih..!" Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak melemparkan caping bambu ke rantai tengkorak yang mengarah ke tubuhnya.
Prakkk...! Caping bambu itu hancur berkeping-keping tatkala berbenturan dengan kepala tengkorak yang terdapat di ujung rantai baja.
Raja Tengkorak menggeram marah melihat serangannya berhasil dipatahkan Dewa Arak. Rantai berujung kepala tengkorak berputar-berputar di atas kepalanya. Lalu, diluncurkan kembali ke arah kepala Arya.
Dewa Arak tidak berani bertindak main-main lagi. Dia sadar tokoh berjuluk Raja Tengkorak ini memililiki kepandaian luar biasa. Maka buru-buru dijumput guci arak yang tersampir di punggungnya. Lalu, ditenggak isinya.
Gluk.. gluk... gluk...!
Suara tegukan arak yang melewati tenggorokan pemuda berambut putih keperakan itu terdengar. Hanya dalam sekejap saja, hawa hangat menyebar di perutnya. Kemudian perlahan-lahan naik ke atas kepala.
Di saat itulah, tengkorak yang berada di ujung rantai baja meluncur cepat ke arah kepala Dewa Arak. Dengan langkah terhuyung seperti akan jatuh, Arya memapak serangan itu dengan guci araknya.
Klanggg...! Suara berdentang keras terdengar ketika tengkorak itu berbenturan dengan guci.
Raja Tengkorak ternyata sangat ahli memainkan rantai berujung kepala tengkorak. Terbukti, begitu senjata andalannya tertangkis, langsung ditarik kembali dan diluncurkan cepat ke arah leher Dewa Arak.
Jarak antara mereka terlalu jauh. Arya tahu keadaan itu sangat menguntungkan lawan. Sehingga dia sulit melancarkan serangan-serangan balasan. Sementara lawan dengan mudah mengirim serangan ke arahnya. Senjata lawan yang panjang memungkinkan untuk melakukan gempuran yang membahayakan. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini berusaha keras memperpendek jarak.
Sebagai seorang yang mempunyai tingkat kepandaian amat tinggi, tentu saja Raja Tengkorak tahu maksud Arya. Dia tidak menghendaki lawan mencapai jarak serang. Bila pemuda berambut putih keperakan itu berhasil memperkecil jarak, senjata rantai bajanya akan kehilangan keampuhan.
Menyadari kelemahan senjata rantai bajanya, berbagai cara dilakukannya untuk mencegah maksud Arya. Serangan pun bertubi-tubi dilancarkan, agar bisa melompat mundur untuk mempertahankan jarak. Ketika Raja Tengkorak melompat ke belakang, serangan berikut segera menyusul untuk membuat pemuda berambut putih keperakan Itu tidak mampu mencecamya terus-menerus.
Arya mengeluh dalam hati. Disadari kalau keadaan seperti itu berlangsung terus, dia dapat dilumpuhkan lawan. Menilik sikap laki-laki berpakaian tengkorak ini, sudah bisa diperkirakan, kalau seandainya kalah, dia akan dibunuh! Padahal pemuda berambut putih keperakan itu masih mempunyai tugas yang teramat panting. Mencari Melati, baik hidup ataupun mati.
Karena didorong oleh keinginan itulah Dewa Arak mengadakan perlawanan dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Ilmu 'Belalang Sakti'nya dikeluarkan seluruhnya. Guci, kedua tangan, langkah kaki yang aneh, dan juga semburan-semburan arak semua dikeluarkan.
Meskipun begitu, tetap saja usaha yang dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu belum membuahkan hasil. Raja Tengkorak benar-benar merupakan seorang tokoh sakti luar biasa. Dia mampu membuat semua usaha Arya untuk mende-katinya kandas.
Arya menggertakkan gigi. Lima puluh jurus telah berlalu, tapi tetap saja dia tidak mampu memperpendek jarak Dengan sendirinya, dia selalu menjadi pihak yang diserang dan didesak Untung saja dia memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang aneh, sehingga membuat setiap serangan rantai Raja Tengkorak selalu dapat dikandaskan. Tapi berapa lama dia akan mampu bertahan?
Akhimya ketika telah berlalu enam puluh lima jurus dan dia belum mampu juga memperpendek jarak, Arya jadi tidak sabar lagi.
"Hih...!" Pemuda berambut putih keperakan itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu, meluncurkan pukulan jarak jauh dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat dan menyambar deras ke arah Raja Tengkorak.
"Hm...!" Laki-laki berpakaian tengkorak itu bergumam untuk menutupi perasaan kaget, setelah menerima pukulan jarak jauh yang dilancarkan Dewa Arak. Menyadari kedahsyatan pukulan jarak jauh Dewa Arak, Raja Tengkorak tidak berani bertindak sembarangan. Buru-buru dia melompat ke samping dan bergulingan di tanah. Dan, keadaan itu memang ditunggu-tunggu Dewa Arak. Begitu melihat lawannya melompat, dia segera memburu.
"Hmh...!" Raja Tengkorak mendengus. Jelas bukan dengus karena penyakit bengek, tapi dengus mengandung cemoohan. Berbarengan dengan keluarnya dengusan itu, tangan kirinya bergerak mengibas.
Sing, sing, sing...! Beberapa buah benda mirip pisau terbang menyambar cepat ke arah Dewa Arak.
Arya kaget bukan kepalang. Tidak menduga sama sekali kalau lawan ternyata cerdik dan lihai. Dalam keadaan terjepit, dia masih mampu mengirim serangan yang membahayakan lawan. Semula pemuda berambut putih keperakan ini bermaksud menangkap benda mirip pisau yang menuju ke arahnya. Tapi niat itu diurungkan, tatkala mencium bau amis yang menyebar seiring serangan pisau-pisau terbang itu.
Dengan kecepatan gerak seorang yang memiliki kepandaian tinggi, tangan Dewa Arak segera bergerak ke arah punggung. Kontan guci arak yang tadi tersampir di punggung ketika dia melancarkan jurus 'Pukulan Belalang', sudah terpegang kembali di tangan, dan kini berada di depan dada.
Trang, trang, trang...!
Suara berdentang keras, diiringi bunga api yang memercik ke udara menyemaraki benturan antara guci dengan pisau-pisau terbang. Akibatnya sudah bisa diduga, pisau-pisau terbang akan berpentalan tak tentu arah.
"Hup...!" Raja Tengkorak bangkit berdiri, bersamaan dengan kedua kaki Dewa Arak yang menjejak di tanah. Secepat itu pula, tokoh sesat yang menggriskan itu kembali mengayunkan rantai bajanya. Wunggg...!!
Suara mengaung keras terdengar seiring de-ngan rantai baja yang meluncur ke arah kepala Arya. Untuk kesekian kali, pemuda berambut putih keperakan itu gagal memperpendek jarak. Arya buru-buru menundukkan kepala seraya merendahkan tubuh. Maka...
Wusss...!
Rambut dan pakaian pemuda itu berkibar keras, ketika rantai berujung tengkorak manusia lewat di atas kepalanya. Jelas kalau sambaran rantai itu ditopang tenaga dalam yang amat kuat. Terdengar suara menggertak keras dari mulut Raja Tengkorak. Laki-laki berpakaian hitam ini memang geram terhadap Dewa Arak. Karena selalu berhasil mematahkan serangannya.
'Hih...!" Gila! Dengan sentakan yang cepat, rantai baja berujung tengkorak kepala manusia itu telah meluncur kembali ke arah Arya. Kali ini serangannya ditujukan pada kedua paha Arya. Tidak ada pilihan lain bagi pemuda berpakaian ungu itu, kecuali menjejakkan kaki ke tanah, dan melompat ke atas. Memang, hal itulah yang dilakukan Arya.
"He he he...!" Raja Tengkorak tertawa terkekeh. Tangan kirinya langsung bergerak. cepat ke balik baju. Dan, tiba-tiba melesat sejumlah pisau bergagang kepala tengkorak.
Sing, sing, sing...!
Sebelum pisau-pisau terbang itu berhasil mendarat pada sasarannya, tangan laki-laki berpakaian tengkorak itu kembali bergerak. Dan, beberapa bilah pisau kembali menyambar ke arah Arya. Karuan saja serangan itu membuat Dewa Arak kaget bukan kepalang. Keadaan yang dihadapinya kurang menguntungkan. Karena ia masih berada di udara, dan sukar sekali menghindari pisau yang meluncur dalam posisi seperti itu.
Yang dapat dilakukan pemuda berpakaian ungu ini hanyalah menangkis serangan itu. Arya memutar gucinya di depan dada untuk memapak serangan pisau. Setiap kali pisau membentur guci, terdengar suara dentingan nyaring.
"Akh...!" Arya memekik tertahan tatkala sebatang pisau berkepala tengkorak mengenai bahu kirinya. Rasa panas dan gatal-gatal, kontan menyengat di bagian tubuhnya yang terluka. Sesaat kemudian, pandangan pemuda berambut keperakan itu berkunang-kunang.
"Hup...!" Dengan tubuh agak terhuyung, Arya menjejakkan kakinya di tanah. Namun rasa pusing yang mendera, membuat apa pun yang dilihatnya berputar.
"He he he...!" Raja Tengkorak tertawa terkekeh. Dia tahu apa yang diderita Dewa Arak. Tanpa membuang-buang waktu, dia segera mengayunkan kembali rantai bajanya.
Wunggg...!
Bukkk..! Tubuh Arya terlempar ke belakang ketika tengkorak kepala manusia membentur bahu kanannya. Tak ayal lagi, sungai yang tak jauh dari tempat dia berdiri semula segera menampung tubuhnya.
Byurrr...!
Dewa Arak tercebur ke dalam sungai yang berarus cukup deras. Tak pelak lagi, tubuhnya diseret arus. Arya masih sadar, memang sengaja dia tidak melawan arus sungai.
"Habisi dia...!" teriak Raja Tengkorak keras seraya jari telunjuk kirinya menunjuk ke arah tubuh Arya yang terapung di permukaan air.
Arya merasa heran dan samar-samar mendengar perintah itu. Tidak salahkah pendengarannya? Sesaat kemudian rasa kagetnya lenyap, kesadarannya mulai pulih. Kendati pandangan masih ber kunang-kunang, tapi masih mampu menangkap beberapa sosok tubuh yang melompat dari atas ke sungai.
Byurrr...! Byurrr...! Byurrr...!
Air memercik tinggi ke atas tatkala beberapa sosok tubuh berjatuhan di sungai. Ternyata mereka, adalah tokoh-tokoh aliran hitam, anak buah Raja Tengkorak. Mereka berenang dengan cepat dan berusaha menyusul Dewa Arak.
Walaupun sepasang mata Arya hanya mampu menangkap sosok bayang-bayang dengan kabur. Tapi, dia berusaha meloloskan diri dari sergapan lawannya. Tak dihiraukannya lagi rasa gatal, sakit dan panas yang mendera bagian tubuhnya. Yang terpikir dalam benaknya, bagaimana menghindarkan dirinya dari ancaman bahaya.
Dalam usaha untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran pihak lawan, Dewa Arak meluncurkan jurus 'Pukulan Belalang'nya. Serangan itu dilakukan sekenanya. Sebab pandangan matanya masih kabur dan tak mampu menangkap sosok lawannya. Deru angin keras berhawa panas susul-menyusul dilancarkan Dewa Arak. Tanpa dia tahu apakah serangan itu berhasil mengenai sasaran atau tidak.
Sebetulnya dalam keadaan terluka seperti itu, menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' terlalu banyak mengandung risiko. Karena jurus tersebut banyak menguras tenaga. Padahal, keadaan pemuda berambut putih keperakan ini sudah payah. Akibatnya, luka yang dideritanya pun semakin parah.
Tapi, Arya terus saja mengirimkan jurus'Pukulan Belalang'nya. Tentu saja kedahsyatan pukulan itu makin berkurang karena kekuatannya pun semakin melemah. Serangan-serangan 'Pukulan Belalang' yang dilancarkan Dewa Arak terhenti, ketika pemuda berambut putih keperakan ini jatuh pingsan, tak sadarkan diri.
Dewa Arak tidak tahu sama sekali kalau orang-orang yang mengejarnya, sebagian tewas terkena 'Pukulan Belalang'. Sedangkan sebagian lagi mengurungkan niatnya karena serangan pemuda berambut putih keperakan itu datangnya bertubi-tubi. Sehingga memaksa mereka mundur dan naik ke darat.
"Maafkan kami, Ketua. Kami gagal memenuhi perintah Ketua," ucap Dulimang, salah seorang Yang selamat dari serangan pukulan jarak jauh Dewa Arak.
"Hm...!" hanya gumaman pelan menyambut ucapan laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu. Sepasang matanya tertuju pada hulu sungai yang telah membawa tubuh Dewa Arak.
“Tidak jadi soal, Dulimang. Yang jelas, belum ada orang yang berhasil selamat dari keganasan racun pisauku!"
"Tapi..., mengapa Ketua menyuruh kami membinasakannya?" tanya Dulimang penuh keheranan mendengar ucapan Raja Tengkorak.
"Aku ingin melihat dia mati dengan mata kepalaku sendiri," ucap laki-laki berpakaian serba hitam itu. Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak melangkah meninggalkan tempat itu. Diikuti Dulimang dan rekan-rekannya.
* * * * * * * *
LIMA
Suara senandung bernada gembira keluar dari mulut seorang kakek bertubuh tinggi kurus, dan berpakaian longgar berwarna hitam. Dia duduk bersila di atas sebongkah batu besar yang menonjol melewati permukaan sungai.
Di tangan kakek bertubuh tinggi kurus yang berwajah tirus, tergenggam sebatang joran. Jelas, kakek yang berpakaian hitam itu sedang memancing ikan. Sepintas perbuatan yang dilakukan kakek bertubuh tinggi kurus itu tidaklah aneh. Sebagian orang kerap berbuat serupa itu bila memancing. Namun, jika diamati secara cermat, akan terlihat keanehannya.
Kakek bertubuh tinggi kurus itu duduk di atas permukaan batu besar yang berada di tengah-tengah sungai. Lebar sungai tak kurang dari sepuluh tombak Jadi, batu itu terletak dalam jarak lima tombak dari tepi sungai. Bagaimana kakek ini dapat duduk di situ? Padahal tidak ada batu yang menonjol dan dapat dijadikan perantara untuk tiba di situ.
Dari keanehan itu sudah dapat diduga kalau kakek berpakaian hitam itu bukanlah tokoh sembarangan. Tidak semua tokoh persilatan mampu melompat dalam jarak seperti itu. Apalagi, tempat sasaran sulit dijangkau, seperti letak batu, tempat kakek bertubuh kurus memancing ikan.
"Hup...!" Kakek berwajah tirus itu menarik jorannya. Di ujung joran tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya, joran milik kakek bertubuh tinggi kurus itu tak pantas disebut joran. Karena tidak ada tali, pelampung dan mata kail. Ternyata benda itu hanya sebatang kayu yang bentuknya mirip joran. Sungguh luar biasa cara kakek berbaju hitam itu memancing ikan.
Sambil bersiul-siul, kakek bertubuh tinggi kurus itu menjumput ikan yang menggeliat di ujung joran. Lalu, dimasukkan ke dalam keranjang yang telah berisi ikan hasil tangkapan. Setelah memasukkan ikan ke dalam keranjang, kakek berwajah tirus itu kembali bermaksud mencelupkan jorannya ke dalam sungai.
Tapi mendadak gerakan tangannya terhenti di udara, tatkala melihat sesosok tubuh yang terapung terbawa arus sungai, sekitar dua tombak di depannya. Semula tidak ada guratan perasaan apa pun di wajah kakek yang mengenakan pakaian berwarna hitam itu. Tapi, ketika sosok tubuh itu makin mendekat, bola matanya segera terbelalak. Perasaan kaget tampak jelas di wajah kakek yang mulai keriput itu.
Sosok tubuh yang terapung itu mengenakan pakaian warna ungu. Rambutnya tampak berwarna putih keperakan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak! Tidak salahkah penglihatanku ... ?" kata kakek berwajah tirus dengan suara bergetar. "Benarkah itu Kuku Tengkorak?"
Sepasang mata kakek tinggi kurus itu menatap tak berkedip pada benda yang menancap di bahu kiri Arya. Pisau bergagang kepala tengkorak! Makin lama tubuh Dewa Arak makin mendekati tempat kakek berpakaian hitam. Begitu tubuh Arya lewat di dekat batu besar, tangan kakek berwajah tirus cepat menyambarnya.
Tappp...!
Baju bagian leher Arya dicekal kakek berpakaian hitam. Dan sekali tangannya bergerak, tubuh pemuda berambut putih keperakan terangkat naik dan diletakkannya di batu. Dan secepat tubuh itu tergeletak di atas batu, segera pandangannya tertuju lekat pada bahu kiri Arya, tempat pisau bergagang tengkorak kepala tertancap.
"Ya, Tuhan...!" delis kakek bertubuh tinggi kurus sambil mendekapkan tangan ke arah wajahnya. "Benar-benar Kuku Tengkorak! Mungkinkah ini...?! Mustahil...! Apakah aku bermimpi?"
Sambil berkata begitu, kakek berpakaian hitam mencabut pisau bergagang kepala tengkorak yang ternyata bernama Kuku Tengkorak. Diamatinya gagang dan mata pisau itu dengan cermat. Keadaan mata pisau menyeramkan bukan kepalang. Warnanya yang putih dan berkilat-kilat mencerminkan ketajaman yang luar biasa. Gagang pisau bertengkorak kepala manusia makin menambah keangkeran senjata yang membuat Arya tak berdaya.
"Kuku Tengkorak...!" ujar kakek berpakaian hitam seraya menyipitkan matanya. "Andaikata kau bisa bercerita, pasti aku akan bertanya padamu. Kenapa kau bisa muncul kembali, sedangkan pemilikmu tak pernah terjun lagi ke dunia persilatan."
Kakek berpakaian hitam menghentikan sejenak ucapannya. Raut kebingungan tampak tergambar di wajahnya.
"Entah siapa pula pemuda ini," gumam kakek berwajah tirus itu sambil merayapi sekujur tubuh Dewa Arak. Kemudian diperiksanya denyut jantung dan nadi Arya. Mendadak tangan kakek berpakaian hitam itu ditarik kembali begitu memegang kulit Arya.
"Gila...!" desis keterkejutan terlontar dari mulutnya. Betapa tidak? Sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu panas bukan main. Dia, merasakan ada getaran-getaran kuat di balik permukaan kulit. Sepasang mata kakek yang mengenakan pakaian berwama hitam itu menatap wajah Dewa Arak. Dia tak percaya dengan pandangannya.
"Tidak kelirukah aku? Tadi kurasakan ada getaran-getaran kuat di balik kulit tubuhnya? Mungkinkah orang semuda ini telah memiliki tenaga dalam yang begitu tinggi? Kalau benar demikian, dia pasti seorang yang memiliki kepandaian luar biasa!"
Mulut kakek bertubuh tinggi kurus mengucapkan kata-kata demikian, tapi sepasang matanya tercenung. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Kemudian diperiksanya lagi keadaan Arya. Kelopak mata Arya yang terpejam dibuka. Mulut pun dingangakan dan dengan teliti diperhatikan oleh kakek berpakaian hitam itu.
"Sekujur tubuhnya telah terkena racun. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga dalam yang bersih dan kuat, dia mungkin sudah tewas. Aku harus menyelamatkannya. Dialah saksi hidup yang bisa bercerita padaku mengenai ihwal Kuku Tengkorak ini!"
Usai mengucapkan kata-kata demikian, kakek bertubuh tinggi kurus itu menatap kembali pisau yang bergagang tengkorak kepala.
"Nasibmu baik, Anak Muda," bisik kakek berwajah tirus itu, seolah-olah berbicara dengan seseorang yang tidak pingsan. "Kau terjatuh ke tangan yang tepat!"
Kemudian kakek berpakaian hitam itu memanggul tubuh Dewa Arak Tanpa mempedulikan lagi joran dan hasil tangkapannya.
"Hih...!" Sekali menggenjotkan kaki, tubuh kakek berwajah tirus itu telah melayang, dan mendarat di pinggir sungai dengan mantap tanpa menimbulkan suara. Ringan sekali kakek itu melakukannya, padahal kedua tangannya memondong tubuh Arya.
Begitu tiba di darat, kakek berpakaian hitam segera melesat dari situ. Gerakannya cepat sekali, sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan hitam. Jelas kalau kakek bertubuh tinggi kurus itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dalam waktu sekejap saja, tubuh kakek berwajah tirus itu telah mengecil, dan lamat-lamat hilang dari pandangan mata.
"Uhhh...” Arya menggeliat dan mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya. Begitu kelopak matanya terbuka, tampak sepasang alis pemuda berambut putih keperakan itu bertaut Dia mulai sadar bahwa dirinya terbaring di balai-balai di sebuah ruangan yang sederhana.
"Mengapa aku bisa berada di sini?" tanya Arya dalam hati.
Matanya menatap ke sekeliling ruangan. Sepasang alisnya masih tetap saling bertaut, karena pemuda berpakaian ungu ini tengah mengingat-ingat kejadian yang dialami sampai dia bisa berada di sini. Arya berusaha bangkit, tapi terpaksa diurungkan. Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit. Yang sangat memang, ada luka di bagian bahu kirinya.
Pemuda berpakaian ungu itu menyibak bajunya. Tampak kain putih membalut bagian bahu yang terluka. Noda merah pada kain itu membantu Arya mengingat-ingat peristiwa yang dialaminya. Kini dia teringat semua kejadiannya, sejak bertarung menghadapi Raja Tengkorak sampai dia tercebur di sungai. Melihat dari keadaannya, bisa diketahuli ada orang yang telah menolongnya.
"Hmh...!" Sebuah deheman pelan membuat Arya terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Mengapa suara langkah sama sekali tidak terdengar? Diakui kalau dia tengah sibuk mengingat peristiwa yang menimpa dirinya.
Di ambang pintu berdiri seorang kakek berwajah tirus dan berpakaian hitam. Tubuhnya tinggi kurus, dan kumis menghiasi bagian tengah atas bibir yang membuat angker.
"Kau sudah sadar, Anak Muda?" tanya kakek berwajah tirus seraya tersenyum lebar. Lalu, dia melangkah ke arah tempat Arya terbaring.
"Mengapa aku bisa berada di sini, Ki?" tanya Arya setelah terlebih dulu menganggukkan kepalanya membenarkan pertanyaan kakek berpakaian hitam itu.
Begitu melihat bentuk tubuh kakek berwajah tirus itu, ada terselip rasa curiga di hati Arya. Bentuk tubuh kakek itu mirip sekali dengan Raja Tengkorak. Begitu pula dengan sepasang matanya, meski sedikit mencorong tajam dan berwana kehijauan laksana mata seekor harimau dalam gelap! Arya bergerak dan ingin bangkit.
"Jangan bangkit dulu, Anak Muda," cegah kakek bertubuh tinggi kurus buru-buru. "Kau masih lelah dan perlu istirahat yang banyak.
Terpaksa Dewa Arak mengurungkan maksudnya. Kembali ia berbaring. Di samping masih terasa lelah dan sakit pada bahu kirinya, dia pun tak ingin mengecewakan kakek berpakaian hitam yang telah menolongnya.
Kakek berwajah tirus itu tersenyum lebar melihat Arya mengikuti nasihatnya. "Aku menemukan tubuhmu terbawa arus sungai. Kau terluka, dan kebetulan aku menguasai sedikit ilmu pengobatan. Karena itu kau kubawa ke rumah dan kurawat."
"Ah...! Aku telah merepotkanmu, Ki," ucap Arya malu-malu.
Kakek bertubuh tinggi kurus mengulapkan tangannya. Baru saja akan berbicara, terdengar suara berkeruyuk pelan. Tapi karena kakek berpakaian hitam mempunyai pendengaran yang tajam, suara itu mudah dicerna.
Wajah Arya kontan memerah. Dia tahu, mengapa kakek itu menghentikan percakapan. Apa lagi kalau bukan karena, suara perutnya yang lapar. "Perut tak tahu malu!" umpat Arya dalam hati.
Plak! Kakek berwajah tirus menepak keningnya. Karuan saja tindakan itu membuat Arya merasa heran. Sebelum pemuda berpakaian ungu itu bertanya, terlebih dahulu kakek berbaju hitam itu berkata, "Tuan rumah macam apa aku ini? Tamu sudah dua hari tidak makan, belum juga disuguhi makanan."
Setelah berkata, demikian, kakek berpakaian hitam itu melangkah keluar ruangan, meninggalkan Arya yang tercenung sendirian di balai-balai bambu yang beralaskan selembar tikar lusuh.
"Tidak salah dengarkah aku?" tanya Arya dalam hati.
Ucapan kakek berpakaian hitam itu tadi bermakna bahwa dirinya tidak sadarkan diri selama dua hari. "Aku yang salah dengar atau kakek itu yang salah ucap? Kalau benar aku tidak sadarkan diri selama dua hari, wajar saja perutku dirasakan begin keroncongan," bisik hati Arya lagi.
Tak lama kemudian, kakek berpakaian hitam itu muncul kembali dengan baki berisi makanan dan minuman yang masih hangat. Diletakkannya baki itu dekat Arya terbaring.
"Makan dulu, Anak Muda. Nanti kita bicara lagi," kata kakek berwajah tirus seraya melangkah meninggalkan Arya.
"Terima kasih, Ki," sahut Arya. "Aku hanya merepotkanmu saja."
Tapi ucapan pemuda berambut putih keperakan itu tidak mendapat jawaban, karena kakek berwajah tirus telah berlalu dari ruangan itu. Arya segera bangkit dari pembaringan, meskipun ada rasa nyeri yang menggigit. Arya menyantap bubur yang berisi racikan bermacam-macam sayuran hijau dan segelas teh hangat.
"Kalau boleh kutahu, siapakah kakek sebenarnya? Maaf, bukan bermaksud lancang, tapi aku ingin mengenal orang yang telah menyelamatkan nyawaku," ujar Arya setelah kakek tinggi kurus berpakaian hitam kembali, dan duduk di sebuah kursi dekat balai-balai bambu. "Aku Arya, Ki. Arya Buana."
"Ha ha ha...!" Kakek berwajah tirus tertawa pelan mendengar pertanyaan Dewa Arak. Arya merasa lega mendengar kakek itu tidak merasa terkejut mendengar namanya. Biasanya setiap tokoh persilatan, langsung bisa menduga setelah dia memperkenalkan nama.
"Baiklah kalau kau rasa hal itu perlu, Arya," sahut kakek berpakaian hitam yang kini memanggil Dewa Arak dengan namanya. "Memang lebih baik kalau kita saling mengenal satu sama lain. Agar pembicaraan kita dapat berlangsung lebih menyenangkan. Namaku Kalpa Reksa. Seorang kakek yang tengah menunggu maut di tempat ini."
Arya mengangguk-anggukkan kepala, tampak dia mulai paham kenapa kakek yang bernama Kalpa Reksa itu belum mendengar julukannya. Rupanya dia telah lama mengasingkan diri dari rimba persilatan. Padahal, gelar yang disandangnya baru beberapa bulan muncul di dunia persilatan.
"Sekarang ceritakanlah siapa dirimu sebenarnya, dan mengapa bisa terkena senjata ini," ucap Kalpa Reksa seraya menunjuk pisau bergagang tengkorak kepala manusia.
Arya menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab pertanyaan Kalpa Reksa. "Ceritanya cukup panjang, Ki."
"Ceritakanlah," sambut Kalpa Reksa bijaksana. "Aku bersedia mendengarkan. Kau tahu, Arya. Pisau ini hanya dimiliki oleh seorang tokoh yang aku tahu tidak pernah muncul lagi sampai sekarang."
"Jadi, kau mengenal pemiliknya, Ki?" tanya Dewa Arak. Perasaan terkejut dan ingin tahu, tampak tergambar jelas di wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Lebih dari sekadar mengenalnya, Arya. Karena itu ceritakan semuanya sejelas mungkin. Percayalah, aku akan mendengarkan ceritamu dengan sabar."
Arya bukan orang bodoh. Dia tahu kakek bertubuh tinggi kurus ini merasa keberatan menceritakan tentang pemilik pisau itu, karena itu dia tidak mendesaknya. Semua kejadian yang dialami, dituturkan Arya secara rinci.
Kalpa Reksa mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian. Tak satu pun cerita pemuda berambut putih keperakan diselaknya. Dahinya berkernyit ketika Dewa Arak melukiskan mengenai orang yang dijuluki Raja Tengkorak.
"Begitulah ceritanya, Ki," tutur Arya, menutup ceritanya. Dahi Dewa Arak berkerut tatkala melihat sikap Kalpa Reksa kebingungan. Sepasang matanya me natap lekat-lekat pada wajah kakek yang duduk di sampingnya. Jelas cerita Arya telah memaksanya berpikir keras.
"Selain senjata rantai baja berkepala tengkorak dan pisau ini, senjata apa lagi yang dipergunakannya?" tanya Kalpa Reksa setelah beberapa saat terdiam.
"Hanya itu, Ki," jawab Arya yang tengah diliputi perasaan heran. Tapi, ia tidak berani lancang menanyakan penyebab kakek berpakaian hitam itu kebingungan.
"Hhh...!" Kalpa Reksa menghembuskan napas berat. "Semua ciri-ciri yang kau sebutkan itu, mirip dengan tokoh yang tidak pernah terdengar lagi namanya, karena ia telah menarik diri dari rimba persilatan. Bahkan julukan Raja Tengkorak persis sama."
"Barangkali tokoh itu telah keluar dari pengasingannya, Ki?" kata Dewa Arak menduga.
Kalpa Reksa menggelengkan kepala, pertanda menyangkal dugaan Arya.
"Mengapa kau begitu yakin, Ki?" Arya heran melihat keyakinan kakek tinggi kurus itu.
Kalpa Reksa diam. Tidak menjawab pertanyaan pemuda berpakaian ungu itu.
"Mungkin benar, kau mengawasi gerak-geriknya. Tapi, boleh jadi dia memanfaatkan kelengahanmu, Ki. Lalu, dia keluar dari pengasingan dan terjun kembali ke rimba persilatan."
Kalpa Reksa tercenung sejenak Dia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Di dalam hati, diakuinya ucapan pemuda berambut putih keperakan itu mengandung kebenaran.
"Ada baiknya kuberitahukan padamu mengenai Raja Tengkorak yang telah tidak pernah terdengar beritanya itu. Agar kau tahu kalau dugaanmu itu keliru," ujar Kalpa Reksa.
"Aku tidak menuntut agar kau menceritakan tentang tokoh itu, Ki," Arya yang merasa tidak enak hati, buru-buru menyelak. "Aku hanya mengajukan dugaan saja, Ki. "
Kalpa Reksa mengulapkan tangannya. Dia memahami apa yang membuat gundah hati dan pikiran Dewa Arak. "Aku mengerti, Arya. Tapi, agar tidak timbul prasangka buruk terhadap Raja Tengkorak. Aku kira perlu menceritakan padamu."
Arya terdiam. Disadari kalau tidak mungkin mencegah kakek tinggi kurus itu menuturkan masalah sesungguhnya. Sebab niat Kalpa Reksa sudah demikian bulat untuk menceritakan tentang diri Raja Tengkorak. Yang dapat dilakukan pemuda berpakaian ungu ini hanya berdiam diri.
"Hhh...!" Kalpa Reksa menghela napas berat sebelum berkisah. Seolah-olah ada beban berat yang menekan batinnya.
* * * * * * * *
ENAM
''Puluhan tahun yang lalu, dunia persilatan digemparkan dengan munculnya Raja Tengkorak. Tokoh yang mempunyai ciri-ciri seperti yang kau sebutkan, memiliki ilmu silat yang tinggi. Tak satu pun tokoh persilatan yang mampu menandinginya," ujar Kalpa Reksa membuka cerita.
Sementara Arya hanya diam dan mendengarkan penuh perhatian.
"Sayang, Raja Tengkorak lupa diri. Kepandaian yang tinggi itu disalahgunakan untuk menyiksa, membunuh, dan memperkosa. Sehingga di mana dia berada, pasti timbul kekacauan. Masyarakat pun diliputi ketakutan dan rasa khawatir."
Kakek berpakaian hitam itu menghentikan sejenak ceritanya untuk mengambil napas. Arya memperhatikan perubahan pada wajah kakek bertubuh tinggi kurus itu. Dia melihat ada rasa kesedihan yang mendalam pada wajah dan sorot mata Kalpa Reksa.
"Karuan saja tindakan Raja Tengkorak yang brutal itu menimbulkan amarah tokoh-tokoh persilatan aliran putih. Banyak tokoh yang bangkit dan menentang, tapi semua digilas habis. Raja Tengkorak terlalu kuat untuk mereka."
Kembali Kalpa Reksa menghentikan ceritanya. Kali ini sepasang bola matanya tampak berkaca-kaca. Jelas kalau cerita selanjutnya menyedihkan hatinya.
"Meskipun dia dikenal jahat dan sadis, Raja Tengkorak mempunyai rasa kasih sayang yang besar. Dia sangat mengasihi istrinya. Sang istri pun sebenarnya tidak suka dengan perbuatan suaminya. Tapi apa dayanya, meskipun, telah berkali-kali melarang, Raja Tengkorak tetap saja menyebarkan maut," kembali Kalpa Reksa menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Raja Tengkorak ingin mempunyai seorang anak dari istri yang sangat dicintainya itu. Karena ia akan mewariskan kesaktian yang dimilikinya. Tapi keinginan itu tidak pernah terkabul. Buah hati yang dirindukannya tidak pernah muncul ke dunia," ujar Raja Tengkorak dengan suara tersendat.
Arya mengernyitkan dahi. Benaknya sibuk menduga-duga hubungan Kalpa Reksa dengan Raja Tengkorak.
"Akhirnya, hadir juga seorang anak yang sudah lama mereka rindukan. Raja Tengkorak bahagia sekali. Dia berjanji akan memenuhi permintaan istrinya."
Lagi-lagi Kalpa Reksa menghentikan ceritanya Tampak bibirnya yang kering itu bergetar hebat Jelas kalau kakek tinggi kurus itu tengah menahan gejolak perasaan.
"Sungguh di luar dugaan," sambung Kalpa Reksa. "Istri Raja Tengkorak minta agar suaminya menghentikan tindakan kejahatan, dan mengundurkan diri dari dunia persilatan. Meskipun permintaan itu berat, Raja Tengkorak tetap memenuhinya. Sejak itulah Raja Tengkorak tidak pernah lagi membuat onar. Dan menarik diri dari rimba persilatan."
Arya tidak menyangka kehidupan Raja Tengkorak sangat menarik.
"Pada bulan ketiga, sejak Raja Tengkorak menarik diri, muncul adik seperguruannya dengan membawa kabar kalau Raja Tengkorak ditantang Pendekar Pedang Kilat di Lembah Gandar."
"Jadi, Raja Tengkorak mempunyai saudara seperguruan?" tanya Arya tak tahan memendam rasa ingin tahunya.
"Ya," cetus kakek berpakaian hitam seraya menganggukkan kepala.
"Dari mana dia tahu kalau yang menjadi saudara seperguruannya adalah Raja Tengkorak?" kejar Dewa Arak.
"Dari berita-berita yang tersebar mengenai ilmu dan senjata yang digunakan Raja Tengkorak," jelas Kalpa Reksa.
"Lalu, bisa mengetahui tempat tinggalnya?"
"Tentu saja dengan mencarinya, Arya," sahut Kalpa Reksa setengah menggoda.
Arya pun diam. Tidak bertanya lagi.
'Walaupun sang istri melarang, Raja Tengkorak tetap pergi juga. Pantang menolak tantangan. Begitulah prinsip dalam dunia persilatan. Setelah anak dan istrinya dititipkan pada adik seperguruannya, Raja Tengkorak pergi ke Lembah Gandar. Sampai disana, dia tidak menemukan orang yang menantangnya. Maka dengan rasa heran, dia pun kembali ke rumahnya," Kalpa Reksa sejenak menghentikan ceritanya. Sepasang matanya yang cekung berkacakaca. Suara laki-laki berbaju hitam itu terdengar bergetar.
"Hampir saja Raja Tengkorak pingsan ketika tiba di rumah. lstri dan anaknya tewas dalam keadaan menyedihkan. Wajah anak yang dicintainya rusak, dan sulit dikenali. Kecuali pakaian yang dikenakan bocah malang itu. Sementara, adik seperguruannya tidak dijumpai di situ. Dia menghilang," Kata Kalpa Reksa dengan suara tinggi dan penuh amarah.
"Orang yang paling dungu pun bisa memperkirakan pelaku kejadian itu. Apalagi Raja Tengkorak," sambung Kalpa Reksa dengan nada suara masih meninggi. "Dia yakin kalau pelaku semua kekejian itu adalah adik seperguruannya."
Arya tercenung. Sungguh tidak disangka kalau riwayat kehidupan Raja Tengkorak sangat tragis.
"Berbulan-bulan Raja Tengkorak mencari adik seperguruannya yang bernama Turgawa. Ketika mereka bertemu, tak terhindarkan lagi pertarungan pun berlangsung sengit Raja Tengkorak berhasil membuntungi tangan kanan Turgawa. Sayang, sebelum nyawanya dihabisi, tubuh adik seperguruannya jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam. Setelah dia berhasil membalas dendam kesumatnya, Raja Tengkorak tidak pernah muncul lagi. Sejak itu, julukan Raja Tengkorak pun lenyap. Orang yang tidak mengetahui, menduga kalau Raja Tengkorak telah tewas," ucap Kalpa Reksa, menutup ceritanya.
"Jadi, karena peristiwa itu Raja Tengkorak menyadari jalan yang ditempuhnya selama ini sesat." komentar Arya memberikan dugaan.
Kalpa Reksa mengangguk.
"Kematian istri dan anaknya telah menyadarkan Raja Tengkorak. Dia merasa sedih dan sepi ditinggal orang yang mencintai dan mengasihi dirinya."
Arya diam. Ucapan kakek berpakaian hitam itu tak dihiraukannya lagi. Dia sibuk memikirkan makna cerita si kakek tentang Raja Tengkorak. "Dari cerita itu, aku dapat memperkirakan siapa sebenarnya Raja Tengkorak," ucap Arya tiba-tiba.
Kalpa Reksa tersenyum getir menyambut ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Boleh aku mengutarakan dugaanku, Ki?"
"Silakan, Arya," kalem terdengar sambutan kakek berpakaian hitam itu. Tidak nampak lagi kesedihan dalam suaranya.
"Tokoh yang berjuluk Raja Tengkorak tidak lain bernama Ki Kalpa Reksa," sebut Arya. "Kaulah orang yang berjuluk Raja Tengkorak itu, Ki."
"Hhh...!" Dengan menghela napes berat, kakek berwajah tirus itu menganggukkan kepala. "Dugaanmu tidak salah, Arya. Akulah Raja Tengkorak itu," terdengar pelan dan mirip desahan suara Kalpa Reksa.
"Kini aku paham kenapa kau bersikeras bahwa Raja Tengkorak tidak pernah keluar sama sekali dari pengasingan, karena kaulah orangnya," Arya mengerti mengapa kakek tinggi kurus itu membela mati-matian Raja Tengkorak.
"Yahhh..., begitulah, Arya..."
'’Lalu, siapakah tokoh yang kini menjadi Raja Tengkorak itu?" tanya Dewa Arak bingung.
"Seharusnya aku yang pantas lebih bingung daripada dirimu, Arya. Orang yang menguasai ilmu seperti yang kumiliki, tak lain adik seperguruanku. Tapi dia telah tewas. Sedangkan guruku sudah lama meninggal. Lalu, siapakah orang yang telah menyamar sebagai Raja Tengkorak?" tanya Kalpa Reksa bernada mengeluh.
"Mungkin gurumu telah mengambil murid tanpa sepengetahuanmu, Ki," duga Arya setelah beberapa saat lamanya termenung.
Kakek berpakaian hitam itu menggelengkan kepalanya.
"Atau, mungkin tokoh itu adalah murid adik seperguruanmu?" ujar pemuda berpakaian ungu menduga.
"Hm...!" Kalpa Reksa bergumam menyambut ucapan Dewa Arak.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Ki?" ujar Arya memecah keheningan.
"Silakan, Arya... sambut Kalpa Reksa memberi kesempatan.
"Apakah dulu sewaktu Raja Tengkorak melakukan tindakan mempunyai pengikut?"
Kalpa Reksa menggeleng. "Raja Tengkorak selalu bertindak sendiri, Arya. Kesombongan membuatnya berpikir tak perlu memiliki pengikut. Ada apa, Arya?" kakek berpakaian hitam itu balas bertanya.
"Raja Tengkorak yang telah melukai tubuhku banyak pengikutnya, Ki," ujar Dewa Arak.
Kalpa Reksa terdiam sejanak Dahinya berkernyit Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, "Bila benar dia memiliki pengikut.., barangkali dapat ditarik kesimpulan..."
"Dia pasti mempunyai tujuan, Ki?" tebak Arya.
"Tepat!"
"Kira-kira tujuan mereka apa, Ki?" tanya Arya ingin tahu pendapat kakek berpakaian serba hitam itu.
"Kurasa tidak jauh berbeda dari keinginanku, ketika masih menyandang julukan Raja Tengkorak," jawab Kalpa Reksa sambil mengelus-alas dagunya.
"Apa itu, Ki!"
"Merajai dunia persilatan! Dan mengangkat diri sendiri sebagai jagoan nomor satu!" tandas kakek bertubuh tinggi kurus. "Begitulah perasaan yang melandaku puluhan tahun lalu."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia memaklumi keinginan seperti itu menguasai para tokoh persilatan tingkat tinggi.
"Tapi, mereka pasti akan mengalami banyak hambatan dalam tindakannya," sambung Kalpa Reksa.
"Mengapa, Ki?" kejar Dewa Arak.
"Seorang tokoh sakti yang mengasingkan diri di Gunung Jawul, tergerak hatinya ketika mendengar kekacauan dan keonaran yang ditimbulkan Raja Tengkorak waktu dulu. Lalu, dia mengangkat dua orang murid."
Kalpa Reksa diam sejenak, dan menarik napas dalam-dalam.
"Kedua murid itu masing-masing memiliki sebuah perguruan silat. Yang satu bernama Perguruan Gajah Putih, dan lainnya bernama Perguruan Banteng Sakti. Kedua perguruan silat itu telah banyak mencetak pendekar yang membela kebenaran. Raja Tengkorak itu pasti menemui kesukaran untuk mewujudkan cita-cita merajai dunia persilatan," sambung Kalpa Reksa.
Arya menganggukkan kepala.
"Pembicaraan kali ini kurasa cukup dulu, Arya. Nanti, kita rundingkan lagi. Kau belum sembuh benar. Lebih baik kau beristirahat, agar kesehatanmu cepat pulih kembali." Setelah berkata demikian, kakek berwajah tirus itu meninggalkan Dewa Arak.
Arya menyadari bahwa dirinya memang memerlukan istirahat Meskipun luka-luka akibat hantaman tengkorak kepala sudah sembuh, tapi tenaganya belum begitu pulih. Dan, dia harus sering bersemadi, agar tubuhnya segar kembali seperti semula.
Pemuda berambut putih keperakan itu segera duduk bersila. Punggungnya ditegakkan, kedua tangannya terbuka lurus di depan dada. Lalu, Arya tenggelam dalam semadi. Sekejap kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah suara desah napas halus, keluar dan masuk dari mulut dan hidung Dewa Arak.
"Aunggg..." Suara lolong anjing mengusik kesenyapan ma-lam. Bulan bulat muncul dan memancarkan sinar. Langit yang bersih dari awan membuat cukup benderang.
Dalam suasana malam seperti itu, tampak berkelebatan sosok-sosok bayangan. Yang bergerak paling depan adalah laki-laki bertubuh tinggi kurus dan berpakaian tengkorak. Dialah yang dijuluk Raja Tengkorak. Terlihat pula sosok Juriga, Dulimang, dan sosok bayangan lainnya. Jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang. Mereka bergerak dari arah yang berbeda, tapi menuju satu arah.
"Dulimang.... panggil Juriga pelan sambil terus melangkah.
"Hm.... Ada apa..?'' tanya Dulimang.
"Dia benar-benar seorang pemimpin. Di bawah perintahnya, kita akan berjaya. Tidak disangka setelah lenyap belasan tahun, dia muncul dengan cara baru," puji Juriga.
"Ya," sahut Dulimang. "Dulu kita menganggap dia sebagai pemimpin, tapi bukan dalam arti yang sebenarnya. Sebab dia memang tak pernah menjadi pemimpin kita. Hm... Apa yang membuatmu yakin kalau golongan kita akan berjaya di bawah pimpinannya?"
Juriga tidak langsung menjawab pertanyaan itu Dia terus melangkahkan kakinya. Begitu pula dengan Dulimang. "Kau masih ingat, Dewa Arak yang terkenal telah berhasil dilenyapkan. Dan kini, kita akan menyerbu Perguruan Gajah Putih. Padahal perguruan itu adalah perguruan yang besar dan terkenal memiliki murid-murid yang berilmu tinggi. Bila Perguruan Gajah Putih roboh, maka tinggal satu lagi tugas kita. Dan, jika kita berhasil menaklukkan yang terakhir, maka dunia persilatan berada di tangan kita!"
Dulimang tidak lagi menyahuti ucapan rekannya. Dia tidak terlalu yakin kalau rencana Raja Tengkorak akan berhasil. Dia menyadari kehebatan ilmu yang dimiliki murid Perguruan Gajah Putih. Tapi dia tidak berani bicara, khawatir terdengar Raja Tengkorak. Kini kedua orang itu berlari cepat tanpa berbicara lagi. Benak mereka dirasuki pikiran sendiri-sendiri. Tak lama kemudian, mereka memperlambat gerakan larinya ketika berada di batik pohon dan semak-semak yang lebat.
Dalam jarak sekitar sepuluh tombak dari tempat mereka bersembunyi, tampak sebuah bangunan besar dan berpagar kayu tinggi. Mereka tahu di atas pintu gerbang, terpampang sebuah papan lebar, tebak dan berukir bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Gajah Putih'.
Meskipun suasana di sekeliling tampak sunyi, Dulimang dan Juriga sadar betul di sekitar daerah itu banyak tokoh persilatan yang memiliki ilmu tinggi. Karena itu sambil menunggu saat penyerangan, mereka tetap waspada. Waktu terasa lama berlalu bagi pengikut Raja Tengkorak. Seolah-olah waktu bergerak seperti keong merayap.
"Kaaak, kaaak, kaaak...!
Mendadak suara berkaokan terdengar keras. Sekilas mirip suara burung gagak, tapi bagi orang yang jeli dapat mengetahui perbedaannya. Suara itu mempunyai irama, seperti sebuah sandi. Dan itu memang benar, seiring suara berkaokan keras lenyap, tampak dari balik semak-semak, sosok bayangan bergerak cepat menuju ke arah Perguruan Gajah Putih. Temyata suara berkaokan itu berasal dari Raja Tengkorak sebagai tanda penyerangan dimulai.
Sosok-sosok tubuh itu bergerak cepat Tapi, kalah cepat dari sosok bayangan hitam yang tidak lain adalah Raja Tengkorak. Walaupun dia bergerak belakangan, dan telah tertinggal sekitar enam tombak, tapi dia mampu melewati tubuh belasan sosok bayangan yang menuju ke arah bangunan berpagar kayu. Raja Tengkorak terus melesat cepat menuju pintu gerbang Perguruan Gajah Putih. Dan....
Brakkk..!
Pintu gerbang perguruan hancur dengan me-ngeluarkan suara gaduh, ketika kedua tangan Raja Tengkorak menghantam pintu yang terbuat dari kayu jati tebal.
Karuan saja suara ribut-ribut itu mengejutkan empat orang murid Perguruan Gajah Putih yang tengah bejaga-jaga di pos. Mereka serentak melompat keluar, dan bergerak cepat ke arah pintu gerbang. Tapi salah seorang dari mereka tidak langsung menuju ke arah pintu gerbang, melainkan memukul kentongan yang berada di depan pos penjagaan.
Tong, tong, tong...!"
Riuh suara kentongan sebagai tanda bahaya mengusik keheningan malam. Dua orang murid Perguruan Gajah Putih yang tengah memeriksa sudut-sudut perguruan, terkejut ketika mendengar suara berderak keras dan bunyi kentongan yang bertalu-talu.
Buru-buru kedua orang murid ini berlari ke arah pintu gerbang. Sambil berlari, yang satunya lagi terus memukul kentongan yang dibawa untuk memberitahukan adanya ancaman bahaya. Akibatnya sudah bisa diduga. Seisi Perguruan Gajah Putih pun gempar. Mereka semua bergegas keluar dari bangunan masing-masing sambil menyambar senjata.
* * * * * * * *
TUJUH
Sementara itu tiga orang murid Perguruan Gajah Putih yang telah melompat keluar dari gardu penjagaan, terkejut bukan kepalang ketika melihat sosok bayangan hitam melesat cepat. Dan, kepingan daun pintu gerbang yang tebal meluncur berhamburan.
"Raja Tengkorak...!" desis salah seorang dari tiga murid Perguruan Gajah Putih yang berkumis tebal, seraya menghentikan langkah. Tangan mereka yang menggenggam gagang pedang sejak tadi, tampak bergetar hebat.
"Ha ha ha...!" Laki-laki berpakaian tengkorak itu tertawa tergelak. Suara tawanya terdengar aneh, meskipun pelan, berat, dan bergema. Raja Tengkorak pun menghentikan langkah. Sehingga mereka berdiri berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak.
"Serang...!" seru murid Perguruan Gajah Putih yang berkumis tipis. Rupanya dialah yang menjadi kepala jaga hari itu.
Seiring dengan teriakan itu, tiga orang murid Perguruan Gajah Putih bergerak cepat Mereka langsung berpencar, melangkah maju dengan sikap waspada. Kemudian....
"Hiaaat..!" Sambil mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring, tiga orang murid Perguruan Gajah Putih menyerang Raja Tengkorak. Sadar lawan yang dihadapi sangat tangguh, ketiga orang itu menyerang serentak dari tiga jurusan.
Sing, sing, sing...!
Suara berdesing nyaring terdengar ketika pedang-pedang itu meluncur cepat ke arah Raja Tengkorak.
"Hmh...!" Laki-laki berpakaian tengkorak itu mendengus. Tidak tampak tanda-tanda yang menunjukkan kalau dia akan menyerang atau menangkis. Baru ketika serangan menyambar dekat ke arah tubuhnya, kedua tangan Raja Tengkorak bergerak cepat.
Tak, tak, tak..!
Suara berdetak keras terdengar berkali-kali tatkala kedua tangan Raja Tengkorak berbenturan dengan senjata ketiga murid Perguruan Gajah Putih. Sungguh luar biasa! Ketiga pedang itu patah dan jatuh berserakan di tanah! Belum sempat ketiga orang murid Perguruan Gajah Putih berbuat sesuatu, kedua tangan Raja Tengkorak bergerak cepat.
"Akh...!" Jerit kematian terdengar saling susul, ketika jari telunjuk Raja Tengkorak amblas ke dalam dahi ketiga orang murid Perguruan Gajah Putih yang bernasib malang itu. Tubuh mereka berkelojotan dan menggelepar. Lalu, diam dan tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas dengan dahi berlubang.
Bertepatan dengan robohnya tiga murid Perguruan Gajah Putih, bermunculan tokoh-tokoh persilatan yang menjadi pengikut Raja Tengkorak. Dua orang murid Perguruan Gajah Putih yang baru tiba di pintu gerbang, terkejut bukan kepalang begitu melihat banyak tokoh persilatan yang berada. di dalam perguruan mereka. Rasa kaget berganti dengan kemarahan bercampur rasa gentar, ketika melihat mayat rekan mereka tergeletak di hadapan kaki Raja Tengkorak.
Raja Tengkorak bertepuk tangan satu kali. Tampak pelan tepukannya. Tapi, sesaat kemudian terdengar suara dentuman keras laksana halilintar yang menggelegar. Seketika itu pula, sekitar dua puluh pengikut laki-laki berseragam tengkorak itu meluruk maju, dan mengeluarkan seruan-seruan keras.
Keadaan itu membuat dua orang murid Perguruan Gajah Putih tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mempertahankan nyawa. Meskipun sadar kalau lawan terlalu banyak, dan didampingi Raja Tengkorak, tapi mereka setapak pun tidak mundur. Perguruan Gajah Putih harus dipertahankan sekalipun nyawa sebagai taruhannya.
Pada saat yang bersamaan dengan para pengikut Raja Tengkorak menyerbu dua orang murid Perguruan Gajah Putih, tangan laki-laki berpakaian tengkorak itu bergerak mengibas.
Singgg...!
Sinar terang berpendar ketika pisau bergagang tengkorak kepala meluncur cepat ke arah murid Perguruan Gajah Putih yang masih memukul kentongan tanda bahaya.
Cappp...
"Akh ... !" Murid Perguruan Gajah Putih yang tengah memukul kentongan itu memekik keras sebelum tubuhnya roboh dan jatuh ke tanah. Pisan bergagang tengkorak kepala menancap di dahinya.
Nasib yang sama menimpa dua orang murid Perguruan Gajah Putih lainnya. Perlawanan mereka mudah dikandaskan pengikut Raja Tengkorak. Sekali gebrak mereka sudah roboh dengan sekujur tubuh penuh luka. Lawan yang dihadapi terlampau banyak, dan mereka memiliki kepandaian yang tinggi.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat murid Perguruan Gajah Putih, Raja Tengkorak dan pengikutnya bergerak masuk ke dalam perguruan. Tapi di tengah jalan, mereka berpapasan dengan muridmurid Perguruan Gajah Putih. Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari.
Suara denting senjata yang beradu, terdengar gaduh. Suasana malam yang semula sepi, kontan berubah bising. Murid-murid Perguruan Gajah Putih berjuang keras menghalau tamu-tamu yang tidak mereka undang. Tak mengherankan bila pertarungan yang terjadi sengit dan seru luar biasa.
Perguruan Gajah Putih memiliki murid yang cukup banyak. Tak kurang dua puluh orang murid yang terlibat pertarungan. Kepandaian mereka rata-rata cukup tinggi. Sehingga pertarungan berlangsung imbang.
Raja Tengkorak mengawasi dengan cermat jalannya pertarungan. Laki-laki berpakaian tengkorak ini sama sekali tidak ikut terjun dalam pertarungan. Dia adalah seorang tokoh sesat yang memiliki keangkuhan dan kesombongan. Lantaran mempunyai ilmu yang tinggi. Tak lama kemudian, korban di kedua belah pihak mulai berjatuhan. Darah muncrat dari tubuh-tubuh yang roboh, dan diiringi jerit kematian.
Raja Tengkorak mulai tidak sabar menyaksikan Pertarungan yang berlangsung lama, tapi ketua Perguruan Gajah Putih belum juga muncul.
"Ranjana...! Keluar kau...! Hadapi aku...! Kalau tidak, semua muridmu kubantai sekarang juga... Aku, Raja Tengkorak menantangmu..."
Suara Raja Tengkorak keras bukan kepalang. Hal itu hanya bisa dilakukan bila disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Memang, tokoh sesat itu menggunakan tenaga dalam. Agar suaranya terdengar sampai ke seluruh bangunan Perguruan Gajah Putih. Belum hilang gema suara tantangan laki-laki berseragam tengkorak, tiba-tiba terdengar suara penuh wibawa menyambut ucapan Raja Tengkorak.
"Kuterima tantanganmu, Raja Tengkorak....!”
Seiring dengan lenyapnya suara itu, tampak sosok bayangan putih melesat keluar dari salah satu bangunan yang ada di Perguruan Gajah Putih.
"Hup...!"
Tanpa menimbulkan suara, sosok bayangan putih itu mendaratkan sepasang kakinya dengan ringan. Tak jauh dari tempat Raja Tengkorak berdiri.
"Ha ha ha...!" Laki-laki berseragam tengkorak itu tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya merayapi wajah dan sekujur tubuh orang yang berdiri di hadapannya. Yang tidak lain adalah Ranjana, Ketua Perguruan Gajah Putih.
Ranjana bertubuh tegap dan berisi. Kumis, jenggot, dan cambang yang terawat rapi menghiasi wajahnya. Pakaiannya yang serba putih, dan Sulaman seekor gajah yang terbuat dari benang emas menempel pada dada kirinya, semakin menambah kegagahannya.
"Kukira kau sudah kabur meninggalkan tempat ini, Ranjana," ejek Raja Tengkorak seraya tersenyum sinis.
"Aku bukan orang sepertimu, Raja Tengkorak!" sergah Ranjana keras. Suaranya ternyata seperti juga penampilannya, keras dan berwibawa. "Kau akan lari begitu melihat keadaan tidak menguntungkan. Jangan samakan aku dengan dirimu!"
"Sombong...!" Raja Tengkorak memaki keras. "Raja Tengkorak pantang dihina orang!" Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu langsung menyerang dengan tendangan terbang ke arah leher Ranjana., Cepat dan berbahaya bukan main serangan Raja Tengkorak
Ranjana tidak berani bersikap main-main. Nama besar Raja Tengkorak sudah lama didengarnya. Meskipun tokoh itu pernah menghilang belasan tahun. Tapi, ilmu dan kepandaiannya amat tinggi. Dan, kini tokoh sesat yang menggiriskan itu berada di hadapannya, dan tengah melancarkan serangan.
Tahu betapa berbahayanya serangan serupa itu, laki-laki berwajah jantan itu tidak berani menangkis. Dia tahu dirinya akan rugi bila serangan itu ditangkis. Sebab tenaga lawan makin kuat dengan menerjang. Bila serangan itu ditangkis, maka kaki yang satu lagi dengan mudah menghajar dada, tanpa sempat terlindungi. Karena menangkis tendangan terbang seperti itu, lebih menguntungkan bila menggunakan dua buah tangan.
Oleh karena itu, Ranjana tidak menangkis tendangan itu. Buru-buru dia melompat ke samping. Ketua Perguruan Gajah Putih itu tidak ingin mengambil risiko. Dia membuat gerakan menjauhi tubuh lawan. Karena kaki Raja Tengkorak yang satu lagi, belum dipergunakan. Dan, sangat berbahaya kalau dia mengelak tanpa menjauhkan diri.
Berbareng dengan mendaratnya kedua kaki, Raja Tengkorak di tanah, Ranjana sudah siap menghadapi serangan lawan selanjutnya. Dan, memang serangan Raja Tengkorak meluncur secara tiba-tiba, cepat dan bertubi-tubi. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar dan melesat ke arah ulu hati Ketua Perguruan Gajah Putih.
Dengan diiringi suara mendecit nyaring dari udara yang terobek, cakar tangan Raja Tengkorak meluncur cepat. Ranjana sama sekali tidak menghindari serangan itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki, dan menyongsong serangan itu dengan jari-jari yang sama dengan lawan.
Prat...!
"Akh...!" Ketua Perguruan Gajah Putih memekik tertahan. Kedua tangannya terasa sakit-sakit bukan main. Terutama sekali jari-jari tangannya yang seakan-akan telah patah-patah tulangnya. Bukan hanya itu saja, tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang. Jelas kalau tenaga dalam Raja Tengkorak lebih kuat dari tenaga dalam yang dimiliki Ranjana.
Belum lagi Ketua Perguruan Gajah Putih itu sempat memperbaiki kedudukannya, kaki kanan Raja Tengkorak kembali meluncur deras ke arahnya dengan tendangan lures ke arah dada.
"Hih...!" Meskipun dalam keadaan yang tidak menguntungkan, Ranjana masih mampu menunjukkan kalau dirinya bukan tokoh sembarangan yang gampang dipecundangi. Sekali menjejakkan kaki, tubuhnya telah melompat ke belakang. Sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.
Raja Tengkorak tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Secepat tendangannya berhasil dielakkan, secepat itu pula tubuhnya melesat memburu tubuh Ranjana yang sedang melompat. Maksud laki-laki berseragam tengkorak ini sudah bisa diduga. Apa lagi kalau bukan menyerang tubuh yang akan mendarat di tanah. Begitu tubuh itu mendarat, serangan pun akan tiba. Jadi, sulit bagi laki-laki berwajah jantan itu untuk mengelak. Rupanya Ranjana juga sudah memperhitungkan hal itu. Sewaktu tubuhnya berada diudara, benaknya berputar cepat. Dan, dia segera mencabut pedangnya.
"Hup...!" Ketika kedua kakinya mendarat di tanah, pedang di tangannya dikelebatkan cepat. Dan....
Cappp...!
Telak dan keras sekali pedang itu membabat leher Raja Tengkorak. Tak pelak lagi kepala tokoh sesat yang menggiriskan itu pun terbabat buntung. Kepalanya jatuh dan menggelinding di tanah. Sedangkan tubuhnya, tetap tegak berdiri dengan kedua kaki.
Ranjana terkejut bukan kepalang melihat kenyataan ini. Mimpikah dia? Tidak salahkah penglihatannya? Mengapa begitu mudah membinasakan tokoh yang terkenal Sakti dan ditakuti itu? Berbagai macam pertanyaan bergayut di benaknya.
Karena dilanda perasaan bingung, beberapa saat lamanya Ranjana terpaku kaku. Dia menatap mata pedangnya. Jelas dilihatnya ada darah yang membekas di sana. Tapi Ketua Perguruan Gajah Putih ini menjadi curiga. Karena kematian lawan begitu mudah. Apalagi tubuh itu tidak roboh ke tanah, tapi tetap berdiri tegak.
Rasa curiga membuat Ranjana berusaha keras menenangkan pikirannya. Kini perhatiannya dialihkan pada tubuh tanpa kepala yang masih berdiri tegak. Sepasang mata Ranjana terbelalak begitu melihat kenyataan di hadapannya. Betapa tidak? Kepala yang semula tergolek dengan bagian wajah menempel ke tanah, mendadak bergerak-gerak sendiri. Kepala itu hidup!
Dan mendadak, kepala itu berbalik. Kini leher yang terbabat pedang tadi menempel dengan tanah. Dan mendadak kepala itu melayang. Karuan saja hal itu membuat Ketua Perguruan Gajah Putih terkejut bukan kepalang. Buru-buru dia melompat mundur, seraya memutarmutarkan pedangnya di depan dada.
Berjaga-jaga terhadap serangan kepala itu. Ternyata kekhawatirannya lama sekali tidak terbukti. Kepala itu tidak melayang ke arahnya, melainkan ke arah tubuh Raja Tengkorak yang masih berdiri tegak. Dan....
Tappp...!
Begitu kepala itu menempel ke tempat semula, tangan Raja Tengkorak bergerak ke atas. Kemudian mengusap sambungan leher yang putus tertebas pedang. Ajaib! Ketika kedua tangan itu kembali diturunkan, sambungan pada bagian leher itu telah tidak terlihat lagi.
"Ha ha ha...!" Raja Tengkorak tertawa bergelak-gelak Tawa kemenangan. Sementara Ranjana menatapnya dengan pandang mata memancarkan kengerian.
"Jangan mimpi bisa mengalahkanku, Ranjana," kata laki-laki berpakaian tengkorak itu. Mulutnya yang terlindung dalam sebuah selubung bergambar tengkorak, tersenyum mengejek.
"llmu iblis...!" desis Ketua Perguruan Gajah Putih dengan perasaan ngeri melihat kedahsyatan ilmu lawannya. Dia pemah mendengar ilmu yang membuat seseorang tidak bisa mati. ilmu 'Rawa Rontek'. Tapi, sungguh tidak diduga sama sekali kalau Raja Tengkorak memiliki ilmu seperti itu. Dengan ilmu 'Rawa Rontek', bagian tubuh yang terpisah mudah bersatu kembali. Hanya dengan mengetahui kelemahannya, lawan yang memiliki ilmu itu baru bisa dibinasakan.
"Ha ha ha...!" Raja Tengkorak tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang panjang, tapi mendadak berhenti seketika. "Hmh...! Saat kematianmu sudah tiba, Ranjana! Kini aku tidak akan main-main lagi!"
Setelah berkata demikian, tokoh sesat yang menggiriskan itu meluruskan kedua jari-jari tangan nya. Suara aneh mirip desah ular mengiringi terbentuknya kedudukan jari-jari seperti itu.
Ranjana bersikap waspada. Dia sadar kalau Raja Tengkorak telah siap menggunakan ilmu andalannya. Sepasang mata Ketua Perguruan Gajah Putih menatap tak berkedip pada kedua tangan lawannya, yang tampak bergetar penuh kekuatan.
"Hiaaat...!" Laki-laki berwajah jantan ini berusaha tidak kalah gertak. Pedang di tangannya diputar-putarkan di depan dada sehingga menimbulkan suara berderit nyaring yang menyakitkan gendang telinga.
"Hiyaaat..!" Diiringi suara teriakan melengking nyaring, Raja Tengkorak melompat menerjang Ranjana. Kedua tangannya yang terbuka lurus dan menegang kaku itu, menotok bertubi-tubi ke arah leher lawan. Ada suara bercicitan nyaring yang mengawali tibanya serangan itu.
Ranjana tahu betapa berbahayanya serangan itu, maka buru-buru dia memutar pedangnya di depan dada. Cepat bukan main gerakannya, sehingga yang tampak hanyalah segulungan sinar putih yang mendindingi tubuhnya. Bila Raja Tengkorak memaksakan diri untuk meneruskan serangan, sebelum mencapai sasaran, pedang di tangan Ketua Perguruan Gajah Putih itu sudah terlebih dulu memenggal kedua tangannya.
Aneh! Raja Tengkorak sama sekali tidak menarik pulang serangannya. Kedua tangannya tetap saja diluncurkan ke arah sasaran.
Tak, tak, tak...!
Suara berderak keras terdengar berkali-kali, tatkala kedua tangan itu berbenturan dengan pedang. Seakan-akan yang berbenturan itu dua batang logam keras.
"Ah…!" Tubuh Ranjana terhuyung-huyung ke belakang. Tangan yang menggenggam pedang terasa ngilu bukan kepalang. Terutama sekali jari-jari kedua tangannya. Terasa sakit-sakit bukan main. Sementara kedua tangan lawannya sama sekali tidak terluka.
Tapi Ketua Perguruan Gajah Putih ini tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena Raja Tengkorak yang memang sudah ingin melenyapkannya, kembali maju menyerang. Pertarungan sengit pun tak terhindarkan.
Ranjana melawan mati-matian. Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Tapi tetap saja dia tidak mampu menandingi lawan. Kepandaian Raja Tengkorak memang berada di atasnya.
Ketua Perguruan Gajah Putih ini memang kalah segala-galanya. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat Belum lagi kelebihan Raja Tengkorak yang memiliki ilmu- ilmu aneh. Di antaranya, ilmu 'Rawa Rontek' yang membuatnya mampu hidup kembali. Meskipun seluruh anggota tubuhnya telah dipisahkan satu sama lain.
Bukan hanya itu saja, Raja Tengkorak masih memiliki ilmu yang membuat kedua tangannya, kebal terhadap segala macam senjata. 'Ilmu Baju Ular Emas' namanya. Tak sampai tiga puluh jurus, Ketua Perguruan Gajah Putih itu sudah terdesak hebat.
Kalau semula dia mampu balas menyerang, kini dia tidak mampu melakukannya lagi. Ranjana hanya mampu mengelak. Menangkis pun jarang dilakukannya, karena hal itu bisa merugikan dirinya. Memang dengan kekuatan tenaga dalam yang berada di bawah lawannya, menangkis hanya akan menguntungkan lawan.
Tappp...!
Di jurus keempat puluh satu, pedang Ranjana tertangkap lawan. Dia berusaha menariknya, tapi sia-sia, karena Raja Tengkorak memiliki tenaga dalam yang lebih kuat daripadanya. Ketua Perguruan Gajah Putih itu melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali.
"Hmh...!" Raja Tengkorak mendengus seraya melemparkan pedang lawan yang berhasi dirampasnya. Dengan diiringi suara mendesing nyaring yang menyakitkan telinga, pedang itu melesat ke arah tubuh Ranjana yang tengah berada di udara.
Ranjana sama sekali tidak terkejut melihat hal itu, karena dia sudah memperkirakannya. ltuah sebabnya, begitu pedang itu meluncur ke arahnya, segera dia memapak dengan sarung pedangnya.
Pyarrr...!
Sarung pedang itu hancur berkeping-keping ketika berbenturan dengan pedang. Saat itulah Raja Tengkorak melancarkan serangan susulan. Memang, begitu melemparkan pedang pada Ranjana, tokoh sesat yang menggiriskan itu melompat mengirim serangan susulan. Kedua tangannya yang menegang kaku dan lurus, membentuk kedudukan jurus 'Ular', bertubi-tubi ditusukkannya ke arah dada lawan.
Wajah Ranjana pucat seketika. Dia tahu kalau tidak mungkin lagi mengelakkan serangan itu. Jalan satu-satunya, hanya menangkis. Dan, itulah yang dilakukan Ketua Perguruan Gajah Putih ini.
Plak plak...! Crottt...!
"Akh...!" Beberapa serangan bertubi-tubi itu berhasil ditangkisnya. Namun hasilnya membuat sambungan kedua pergelangan tangannya terlepas. Itulah sebabnya serangan lanjutan dari Raja Tengkorak tidak bisa ditangkisnya lagi. Akibatnya, kedua tangan Raja Tengkorak amblas ke dalam dadanya. Cairan merah kental muncrat-muncrat di bagian yang tertembus tangan.
Brukkk...!
Seiring dengan jatuhnya tubuh Ranjana, Raja Tengkorak mendaratkan kedua kakinya ke tanah. Tokoh sesat yang menggiriskan itu menatap tubuh lawan yang masih menggeliat-geliat beberapa saat, sebelum akhimya diam dan tak bergerak lagi.
"Hih...!" Raja Tengkorak melesat ke arah pertarungan antara pengikut-pengikutnya melawan murid-murid Perguruan Gajah Putih yang masih berlangsung sengit.
Hebat luar biasa sepak terjang Raja Tengkorak. Ke mana saja tangannya bergerak, di situ ada tubuh murid Perguruan Gajah Putih yang roboh di tanah untuk selamanya. Suara lolong kesakitan yang disertai robohnya tubuh-tubuh murid Perguruan Gajah Putih, terdengar dan saling susul-menyusul. Hanya dalam waktu sekejap, tidak ada lagi murid Perguruan Gajah Putih yang masih berdiri tegak. Semua tergeletak di tanah dalam keadaan tidak bernyawa.
"Geledah seluruh tempat ini...! Siapa pun yang kalian temukan segera dibunuh. Jangan disisakan seorang pun!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, tokoh-tokoh persilatan itu bergerak ke arah bangunan-bangunan yang ada di dalam markas Perguruan Gajah Putih. Mereka memasuki dan memeriksa setiap bangunan yang ada.. Sementara Raja Tengkorak menunggu di luar. Tak lama kemudian, belasan orang itu telah kembali.
"Bagaimana?" tanya Raja Tengkorak cepat.
"Semua tempat telah kami periksa, Ketua. Dan, beberapa orang pelayan yang ada di dalam telah kami bunuh!" lapor seorang yang berkepala botak dan bertubuh pendek. Dunia persilatan menjulukinya Setan Botak.
Belasan tokoh persilatan itu bergerak cepat meninggalkan bangunan Perguruan Gajah Putih sambil meraih obor-obor yang terdapat di sudutsudut rumah. Kemudian dilemparkan ke arah bangunan. Ada yang melempar ke dalam, ke atap, dan ada juga yang ke jendela. Sesaat kemudian, api pun berkobar di setiap bangunan yang ada di situ. Mula-mula kecil, kemudian membesar dan membumbung tinggi.
Raja Tengkorak dan pengikut-pengikutnya melangkah mundur menjauhi bangunan yang tengah diamuk api. Mereka memandang dari tempat yang agak jauh. Setelah seluruh bangunan itu dipastikan terbakar habis, Raja Tengkorak melesat cepat meninggalkan tempat itu diikuti oleh pengikutnya.
Kini, tinggal bangunan Perguruan Gajah Putih yang masih diamuk api dan puluhan sosok tubuh yang tergolek tanpa nyawa. Tidak ada lagi suara denting senjata terdengar. Malam kembali hening, sepi, dan senyap.
* * * * * * * *
DELAPAN
"Ha ha ha...!"
Suara tawa pelan, berat tapi bergaung, mengejutkan Kalpa Reksa yang tengah termenung di depan rumahnya. Kakek berpakaian hitam ini memang tengah dilanda kebimbangan. Cerita Dewa Arak mengenai Raja Tengkoraklah yang menyebabkan dia bersikap demikian. Haruskah dia kembali ke dunia persilatan lagi?
"Kau terkejut, Kalpa Reksa?!" ejek pemilik tawa yang tak lain adalah Raja Tengkorak.
Jantung kakek berpakaian hitam ini berdebar keras ketika melihat sosok yang berdiri di hadapannya. "Raja Tengkorak...!" desis Kalpa Reksa. Meskipun agak lama, akhimya keluar juga sebutan itu dari mulutnya.
"Ha ha ha...!" laki-laki berseragam tengkorak itu tertawa menyambuti ucapan Kalpa Reksa.
"Tidak mungkin!" Cetus Kalpa Reksa ketika akhinya bisa menenangkan hatinya yang terguncang hebat Memang, pemandangan yang terlihat oleh kakek itu mengejutkan hatinya. "Raja Tengkorak sudah lama mati! Aku tahu betul hal itu! Kau pasti sengaja menggunakan nama besar Raja Tengkorak untuk kepentingan dirimu!" sambung Kalpa Reksa.
"Keluarkan seluruh perasaan yang mengganjal di hatimu, Kalpa Reksa. Agar kau tidak mati penasaran! Aku datang kemari ingin menjemput nyawamu. Ingat! Kau telah membuat kesalahan besar! Kau masih ingat pada Turgawa?"
Terdengar suara gemeretak dari mulut Kalpa Reksa ketika mendengar ucapan Raja Tengkorak. Setiap kali nama Turgawa disebut, hatinya terasa dicabik-cabik dengan sebilah pedang tajam.
"Tidak! Aku tidak akan melupakan manusia jahanam itu!" tegas kakek berwajah tirus dengan suaranya yang bergetar, karena menahan geram. Kalpa Reksa menghentikan ucapannya sejenak, untuk menenangkan deru napas yang penuh diliputi rasa amarah.
"Jangan kau katakan kalau dirimu adalah Turgawa," kata Kalpa Reksa, seraya sepasang matanya menatap ke arah tangan Raja Tengkorak. Dilihatnya kedua tangan laki-laki berseragam tengkorak itu tampak masih utuh. Padahal, dia yakin kalau tangan Turgawa sudah tidak lengkap lagi. Karena dia telah menewasnya dalam pertarungan belasan tahun yang lalu.
"Siapa bilang Raja Tengkorak itu adalah Turgawa?" tanya laki-laki berbaju tengkorak dengan suarra parau dan keras. "Kau telah salah mendengar berita, atau pendengaranmu sudah tak sempurna lag!?"
Kontan Kalpa Reksa terguncang mendengar ucapan itu. Bukan kata-kata itu yang menjadi penyebabnya. Tapi suara itu amat dikenalnya betul meskipun telah belasan tahun tidak didengarnya lagi. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan suara orang yang amat dibencinya? Kalpa Reksa tahu betul kalau pemilik suara itu adalah Turgawa!
"Apa kabarmu, Kakang Reksa?!"
Kembali pemilik suara yang mirip dengan suara Turgawa itu terdengar. Tengkuk Kalpa Reksa terasa dingin mendengar teguran itu. Tidak salah lagi. Pemilik suara itu adalah Turgawa, adik seperguruannya. Memang hanya Turgawa seorang yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu.
'’Mimpikah aku?!" tanya Kalpa Reksa dalam hati. "Tak mungkin.... Turgawa sudah tewas." Untuk meyakinkan hati, tangannya dicubit. Tercekat hati kakek berpakaian hitam ini tatkala rasa sakit mendera bagian tubuh yang dicubitnya. Ini menjadi pertanda kalau dia tidak bermimpi. Oleh karena itu, dengan jantung berdebar tegang, kepalanya ditolehkan ke arah asal suara.
Kontan hati Kalpa Reksa tercekat, tatkala melihat sosok yang berdiri di sebelah kanan Raja Tengkorak dalam jarak sekitar dua tombak.
"Kau.... Turgawa?! Tapi..., tak mungkin kau masih hidup?!" ujar Kalpa Reksa dengan suara terputus-putus.
"Begitulah, Kang Reksa. Hampir dua puluh tahun aku menanggung dendam ini. Dan sekarang tibalah saatnya pembalasan dendam itu, Kalpa Reksa!" Setelah berkata demikian, Turgawa menoleh ke arah Raja Tengkorak.
"Ayo, Sengkala! Balaskan dendamku...!"
Raja Tengkorak yang temyata bernama Sengkala segera bergerak cepat menerjang Kalpa Reksa. Dan sekali menyerang, tokoh sesat yang menggiriskan itu telah menyerang dengan ilmu andalannya, 'llmu Baju Ular Emas' yang membuat kedua tangannya kebal terhadap segala jenis senjata tajam. Suara mencicit nyaring terdengar ketika kedua tangan Raja Tengkorak meluncur deras ke arah dada dan ulu hati Kalpa Reksa.
"Hehhh...?! 'Ilmu Baju Ular Emas'?!" seru kakek berpakaian hitam terkejut. "Dari mana kau curi ilmu itu, Raja Tengkorak Palsu?!" Sambil berkata begitu, Kalpa Reksa segera menyusun kedudukan jari yang mirip dengan jari-jari lawannya. Memang, dia juga menggunakan 'llmu Baju Ular Emas'.
Lucu dan unik sekali pertarungan yang terjadi antara dua orang yang sama-sama memiliki ilmu serupa itu. Jalannya pertarungan sudah bisa ditebak. Karena kedua belah pihak menggunakan ilmu yang sama, pertarungan berjalan tidak menarik. Hal ini tidak aneh karena baik Kalpa Reksa maupun Raja Tengkorak telah mengetahui perkembangan gerakan lawan.
Suara mencicit nyaring mengiringi setiap gerakan kedua tokoh yang tengah bertarung itu. Jelas, kalau gerakan kedua orang itu selalu dilandasi dengan tenaga dalam tinggi. Seratus jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berjalan seimbang. Hal ini membuat Turgawa jadi kehilangan kesabaran.
"Sengkala...! Cepat robohkan dia...!"
"Hih... Tubuh Raja Tengkorak melenting ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
Kalpa Reksa yang memang merasa marah bukan kepalang pada Raja Tengkorak palsu ini bergegas mengejar. Saat itulah, tangan Raja Tengkorak mengibas.
Sing, sing, sing...!
Suara berdesing nyaring terdengar ketika beberapa batang pisau melesat dari tangan yang mengibas itu. Kalpa Reksa terkejut. Kemarahan yang membakar hatinya, dan keinginannya untuk segera menewaskan rekannya ini membuatnya kurang waspada sehingga lupa kemungkinan lawan akan mengirimkan serangan.
Meskipun berada dalam keadaan sulit, di mana serangan datang pada saat tubuhnya tengah berada di udara, Kalpa Reksa masih mampu memunahkan serangan itu. Cepat-cepat kedua tangannya diturunkan, dan dengan berlandasan pada kedua tangan itu, tubuhnya melenting ke atas sehingga serangan-serangen pisau itu meluncur lewat di bawahnya.
Tapi rupanya serangan dari Raja Tengkorak tidak hanya itu saja. Begitu, serangan pisau-pisaunya melesat ke arah lawan, tangannya bergerak cepat Dan....
Wunggg!
Rantai berujung tengkorak kepala itu meluncur cepat ke arah Kalpa Reksa. Kontan wajah kakek berpakaian hitam ini memucat Serangan susulan itu datang begitu tiba-tiba dan pada saat tubuhnya tengah melayang. Dengan sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan, seraya menggerakkan tangan menangkap rantai itu. Kalpa Reksa bertindak nekat.
Tappp....! Bukkk..
"Hugh...!" Rantai baja itu berhasil ditangkap oleh Kalpa Reksa. Tapi tengkorak kepala itu tetap saja meluncur. Hanya saja meleset dari sasaran semula. Tidak lagi mengenai kepala melainkan bahu! Meskipun begitu tidak berarti akibatnya ringan buat kakek berpakaian hitam itu. Tubuhnya terpental. Dan ada cairan merah kental keluar dari mulutnya. Jelas Kalpa Reksa terluka dalam.
"Hup ...!" Hebatnya dalam keadaan seperti itu, Kalpa Reksa masih mampu mendaratkan kedua kakinya di tanah, walaupun dengan agak terhuyung-huyung. Darah kental menetes di sudut-sudut bibimya. Belum juga Kalpa Reksa berbuat sesuatu, rantai berujung tengkorak kepala milik Raja Tengkorak kembali meluncur. Dan....
Bukkk!
Telak dan keras sekali tengkorak kepala itu menghantam perut Kalpa Reksa. Tak pelak lagi, tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Darah segar memancar deras dari mulut kakek berwajah tirus itu.
"Biar aku yang memberikan pukulan terakhir, Sengkala!" sera Turgawa.
Raja Tengkorak mengurungkan niatnya. Dibiarkannya Turgawa melangkah maju menghampiri tubuh Kalpa Reksa yang tergolek.
"He he he...!" Turgawa tertawa terkekeh. Tapi sebelum kakek bertangan cacat itu menjatuhkan pukulan maut, sesosok bayangan ungu berkelebat Dan....
Tappp!
Hey...!" Turgawa terpekik kaget. Tanpa sadar dia melompat mundur, karena sosok bayangan itu juga melancarkan kibasan ke arah kepalanya.
"Grrrhhh!" Raja Tengkorak menggeram keras. Dan sekali kakinya bergerak menggenjot, tubuhnya telah melesat mengejar sosok bayangan ungu yang telah membawa lari Kalpa Reksa.
Tapi sosok bayangan ungu itu sudah memperhitungkan hal itu. Tubuhnya berbalik sebentar. Dan Langan kanannya yang bebas, karena tubuh Kalpa Reksa dipanggul di bahu kiri, dihentakkan.
Wusss! Angin keras berhawa panas menyengat menyambar ke arah Raja Tengkorak.
Tokoh sesat yang menggiriskan itu terperanjat. Dia tahu kalau lawan telah mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh yang dahsyat. Maka dia tidak berani bertindak sembrono. Buru-buru dia melompat ke samping kanan dan bergulingan menjauh.
Kesempatan yang hanya sedikit itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh sosok bayangan ungu itu. Tubuhnya melesat cepat ke balik kerimbunan pepohonan.
"Keparat...!" Begitu bangkit, Raja Tengkorak memaki lawannya yang telah lenyap. Lebatnya hutan menyulitkannya untuk mengetahui arah sosok bayangan ungu itu melarikan diri
"Menilik dari pakaian dan rambutnya, aku yakin dia adalah Dewa Arak..! Tapi begitu saktikah dia sehingga tidak tewas oleh pisau beracunku...!" kata Raja Tengkorak pelan. Memang, dia telah melihat sekilas ciri-ciri, sang penolong itu.
"Aku lebih condong menduga kalau dia diselamatkan oleh Kalpa Reksa, Sengkala!"
"Hm...!" Raja Tengkorak hanya bergumam pelan.
"Sudahlah...! Mari kita kembali. Masih banyak waktu lagi untuk membereskannya!" Turgawa mencoba menenangkan hati tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Hhh...!" Raja Tengkorak menghela napas berat sebelum akhimya melangkah meninggalkan tempat itu bersama Turgawa.
* * * * * * * *
"Cukup, Arya...!" kata Kalpa Reksa.
Dan Dewa Arak yang duduk bersila sambil menempelkan kedua tapak tangannya untuk menyembuhkan luka dalam kakek berpakaian hitam itu, dengan cara menyalurkan tenaga dalam secara per-lahan-lahan menarik kedua tangannya. Kalpa Reksa membalikkan tubuh. Kini dia berhadapan dengan Arya.
"Kau telah melihat Raja Tengkorak itu, Ki?" tanya Arya dengan nada menuntut.
"Yahhh...!!" jawab Kalpa Reksa dengan suara mendesah. "Dia benar-benar memiliki kesaktian luar biasa. Entah siapa yang berada di balik seragam tengkorak itu. Tapi yang jelas, dia murid Turgawa!"
"Turgawa?! Adik seperguruanmu itu, Ki?! Jadi, dia masih hidup?!" tanya Arya dengan sepasang mata membelalak.
"Ya," jawab Kalpa Reksa singkat.
"Ah...! Pasti kakek berpakaian kuning itu! Betulkan, Ki?" Arya yang mulai teringat langsung saja menduga.
Kakek berwajah tirus itu hanya menganggukkan kepalanya.
"Hm...!" Arya bergumam pelan.
"Ada satu hal yang membuatku agak bingung, Arya?"
"Apa itu, Ki?!"
"Ilmu 'Baju Ular Emas' yang dimiliki Raja Tengkorak palsu itu," ucap Kalpa Reksa lagi.
"Kenapa dengan ilmu itu, Ki?"
"llmu itu bukan ilmu sembarangan, Arya. Tapi ilmu yang terhitung aneh. Bila orang yang diwarisi ilmu itu tidak mempunyai hubungan darah dengan pemilik 'llmu Baju Ular Emas' sebelumnya, ilmu itu tidak akan memiliki kemampuan ke puncaknya."
Kalpa Reksa menghentikan ucapannya. Sejenak untuk mengambil napas.
"Pada Raja Tengkorak palsu itu, kulihat 'llmu Baju Ular Emas'nya telah mencapai puncak kesempurnaan!"
"Berarti dia memiliki hubungan darah dengan Turgawa," ucap Arya sekenanya.
"Hal itu sepertinya mustahil, Arya," bantah Kalpa Reksa.
"Mengapa, Ki?"
"Turgawa tidak mampu melakukan tugas sebagaimana layaknya seorang lelaki normal terhadap seorang wanita. Dia mandul. ltulah sebabnya, sewaktu kami masih sama-sama berguru, dia sering merasa iri padaku. Lalu, bagaimana dia bisa mempunyai anak?!" jelas kakek berwajah tirus panjang lebar.
Karuan saja hal itu membuat Arya tercenung. Benaknya berputar keras untuk mencari jawaban. Tapi sampai lelah dia memikirkannya, tak juga jawaban bagi pertanyaan itu diketemukannya. "Kurasa lebih baik kita menyelidikinya nanti, Ki," usul Dewa Arak akhimya setelah beberapa saat lamanya tidak juga menemukan jawaban.
Kalpa Reksa sama sekali tidak menyambuti ucapan itu. Dia masih saja tercenung.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Ki?" tanya pemuda berpakaian ungu itu ingin tahu.
"Hhh...!" Kakek berwajah tirus itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat "Mungkin aku akan menjadi Raja Tengkorak kembali, Arya."
"Aku belum mengerti maksudmu, Ki," ucap Dewa Arak dengan alis berkerut.
"Aku akan terjun kembali ke dunia persilatan dengan memakai seragam Raja Tengkorak."
"Mengapa mesti begitu, Ki?!" Dengan perasaan heran pertanyaan itu diajukan Arya.
"Nama Raja Tengkorak telah tercemar. Musti muncul Raja Tengkorak asli untuk memberitahukan pada dunia persilatan kalau kekacauan ini dilakukan oleh Raja Tengkorak palsu untuk menjelek-jelekkan julukan Raja Tengkorak. Aku yakin itulah maksud Turgawa memakaikan seragam tengkorak pada seorang tokoh yang entah siapa itu," jelas Kalpa Reksa panjang lebar.
Arya terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan itu.
"Mari ikut aku, Arya...!"
Setelah berkata demikian, Kalpa Reksa segera beranjak meninggalkan tempat itu. Melewati kelebatan pepohonan. Sampai akhirnya tiba di depan sebatang pohon beringin yang telah tumbang. Sampai di sini, Kalpa Reksa menghentikan langkahnya. Kemudian dia berjongkok, dan menggali tanah di dekat pohon itu.
Dengan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, mudah saja bagi kakek berwajah tirus itu untuk menggali. Sekalipun tanah di situ keras. Tak lama kemudian terlihat sebuah peti. Kalpa Reksa bergegas mengangkatnya.
"Di sinilah peralatan Raja Tengkorak kusimpan," ucap kakek berpakaian hitam itu sambil membuka tutup peti. Dan memang, di dalam peti itu terdapat pakaian seragam tengkorak, pisau, rantai baja berujung kepala tengkorak dan pedang.
Tanpa mempedulikan Dewa Arak yang keheranan, Kalpa Reksa segera mengambil pakaian seragam tengkorak itu dan mengenakannya. Sekejap kemudian, di hadapan Arya telah berdiri Raja Tengkorak Pemuda berpakaian ungu itu menelan ludah ketika menyadari tidak ada perbedaan sedikit pun antara Raja Tengkorak palsu dengan Raja Tengkorak Kalpa Reksa. Baik tinggi tubuhnya maupun seragamnya.
"Kini Raja Tengkorak telah siap untuk membersihkan namanya yang dicemarkan!" Suara yang keluar dart mulut Kalpa Reksa mirip sekali dengan suara Raja Tengkorak palsu. Benar-benar tidak ada bedanya sedikit pun.
"Lalu, bagaimana aku bisa membedakanmu dengan Raja Tengkorak palsu itu, Ki? Semuanya begitu mirip," tanya Arya bingung.
"Tidak usah khawatir, Arya. Kita buat sebuah kata rahasia...!"
"Maksudmu, Ki?" Arya masih belum mengerti.
"Begini. Apabila kau bertemu dengan Raja Tengkorak. Kau harus menyapanya, Raja Tengkorak. Nah, nanti aku akan menjawab, 'lenyapkan'. Bagaimana paham? Ingat, kalau jawaban yang kau terima beda, dia adalah Raja Tengkorak palsu!"
Arya mengangguk pertanda mengerti. Sungguh tidak disangka kalau Kalpa Reksa demikian cerdik.
"Nah! Kalau begitu, aku pergi dulu. Kita bekerja sendiri-sendiri Arya." Belum juga habis kata-katanya, tubuh Raja Tengkorak alias Kalpa Reksa telah melesat cepat meninggalkan pemuda berambut putih keperakan itu.
Arya hanya bisa memandangi kepergian Kalpa Reksa. Sama sekali tidak disangka kalau dirinya bisa terlibat dalam masalah yang begini pelik. Dipandanginya bayangan tubuh Raja Tengkorak asli itu hingga lenyap ditelan kerimbunan pepohonan. Kemudian kakinya dilangkahkan menempuh arah yang berbeda.
Berhasilkah Kalpa Reksa melenyapkan Raja Tengkorak Palsu alias Sengkala? Dan siapakah sesungguhnya Sengkala itu? Apa hubungannya dengan Turgawa, sehingga tokoh sesat yang menggiriskan itu terlihat sangat patuh kepadanya? Lalu, bagaimanakah nasib Melati yang belum diketahui sampai sekarang?
Untuk jelasnya, silakan para pembaca mengikuti serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode Kembalinya Raja Tengkorak...
Selanjutnya, Kembalinya Raja Tengkorak |