Dewa Arak - Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar
Karya : Ajisaka
Kicau riang burung hutan menyambut gembira datangnya sang pagi. Matahari bersinar lembut menyinari bumi. Angin bertiup semilir membawa angin sejuk saat dua sosok tubuh melangkah perlahan-lahan memasuki mulut hutan.
Dua sosok tubuh itu ternyata adalah sepasang muda-mudi. Yang satu adalah seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Sementara yang satunya lagi seorang wanita cantik jelita berpakaian serba putih dan berambut panjang terurai hingga ke punggung.
Muda-mudi ini melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Sesekali keduanya menarik napas dalam-dalam sambil mengembangkan dada, menghirup udara pagi yang bersih sebanyak-banyaknya. Mendadak keduanya serentak menolehkan kepala ke satu arah. Jelas seperti ada sesuatu yang menarlk perhatian mereka.
"Kau juga mendengar suara itu, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan sambil menolehkan kepala, memandang wajah gadis berpakaian putih di sebelahnya.
"Ya," sahut gadis berpakaian putih yang ternyata adalah Melati seraya menganggukkan kepala. "Sepertinya ada pertempuran, Kang Arya."
"Benar," pemuda berambut putih keperakan yang tidak lain adalah Arya Buana alias Dewa Arak membenarkan dugaan tunangannya.
"Arahnya dari sebelah sana, Kang," ucap Melati lagi. Telunjuk tangan kanannya menuding ke Selatan.
"Kalau begitu mari kita ke sana," ajak Arya ke arah yang ditunjukkan gadis berpakaian putih. Tanpa diberi tahu oleh Melati pun sebenarnya pemuda berambut putih keperakan ini sudah mengetahui asal, suara itu.
Sesaat kemudian sepasang muda-mudi ini telah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakan keduanya. Melati dan Dewa Arak seperti saling berlomba menuju ke arah asal suara yang tadi mereka dengar.
Tentu saja kalau Arya mau mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, Melati akan tertinggal. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau melakukannya. Ilmu lari cepatnya hanya dikerahkan sebatas mengimbangi lari gadis berpakaian putih itu.
Sesaat kemudian, asal suara yang mereka dengar telah terlihat. Tampak di kejauhan, dalam jarak sekitar sepuluh tombak, seorang wanita berpakaian merah menyala bersenjata tongkat pendek berujung runcing tengah berhadapan dengan empat orang bersenjata golok.
Arya segera memegang tangan Melati begitu melihat gadis berpakaian putih itu sudah bersiap-siap campur tangan. "Jangan turun tangan dulu sebelum kita tahu jelas masalahnya," bisik Dewa Arak menasihati.
Mendengar teguran itu, sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot Melati yang tadi menegang penuh kekuatan seketika melemas kembali. "Mengapa, Kang Arya?" tanya Melati, pelan dan lembut. Tapi jelas ada nada penasaran dalam suaranya.
Dewa Arak geli mendengar adanya tuntutan dalam suara gadis itu. Sekuat tenaga ditahannya perasaan geli yang bergejolak itu. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu betul sifat keras Melati. Sungguhpun sejak akrab dengannya, sifat gadis berpakaian putih ini telah berubah drastis, namun tidak berarti seluruh sifat kerasnya hilang. Justru sikap keras Melati itulah yang membuatnya gembira.
"Uhk...!" Arya berpura-pura batuk untuk menghilangkan perasaan gelinya. "Kita belum tahu masalah mereka, Melati," jawab Arya sabar. "Kita belum tahu siapa yang salah dan benar. Tunggu saja dulu. Kita lihat perkembangannya nanti."
Melati pun terdiam. Dan dengan sendirinya suasana pun jadi hening karena Dewa Arak tidak melanjutkan ucapannya lagi. Tanpa bercakap-cakap lagi, kaki mereka dilangkahkan mendekati tempat pertarungan. Kini mereka memperhatikan jalannya pertempuran dari balik sebatang pohon.
"Para pengeroyok gadis itu..., sepertinya bukan orang baik-baik, Kang," ucap Melati lagi setelah mulai dapat melihat jelas wajah empat orang itu.
Tidak ada sahutan sama sekali dan mulut Dewa Arak yang berada di sampingnya. Melati jadi heran. Kepalanya ditolehkan dan seketika wajah gadis berpakaian putih ini menyemburat merah. Dewa Arak seperti orang tersihir! Menatap tanpa berkedip ke depan. Rupanya Arya begitu tenggelam dalam kesibukannya memandang hingga tidak mendengar ucapannya! desis Melati dalam hati.
Tanpa menoleh pun Melati telah tahu apa yang telah membuat Arya sampai terkesima. Apa lagi kalau bukan wanita berpakaian merah menyala itu? Kontan perasaan cemburu Melati bergolak. "Dasar laki-laki mata keranjang...!" desis gadis berpakaian putih itu.
Tentu saja ucapan Melati yang mendesis dan penuh hawa cemburu membuat Arya tersadar dari terkesimanya. Dengan gugup pandangannya dialihkan ke arah tunangannya.
"A... apa katamu tadi, Melati?" tanya Dewa Arak agak tersendat-sendat. Memang, meskipun kata-kata yang diucapkan gadis itu tertangkap oleh telinganya, tapi Arya ingin memastikan kebenarannya dengan mendengarnya satu kali lagi. Penglihatan yang baru saja disaksikan amat mengejutkan hatinya. Apalagi ditambah dengan kata-kata makian Melati.
"Kau..., laki-laki mata keranjang...!" ucap Melati lagi dengan berani. Gadis ini memang mempunyai watak aneh. Mudah marah. Tapi mudah pula baik kembali. "Di depanku saja kau berani bersikap seperti itu. Apalagi kalau di belakangku!"
"Sabar dulu, Melati," ucap Dewa Arak menenangkan, tahu mengapa gadis berpakaian putih ini marah padanya. "Tenang, dan lihat baik-baik gadis berpakaian merah itu."
Mendengar nada suara yang penuh kesungguhan itu, mau tidak mau Melati menuruti permintaan Dewa Arak. Meskipun masih dengan perasaan marah dan mendongkol, pandangannya dialihkan ke depan Ke arah gadis berpakaian merah. Dan seketika sepasang mata gadis berpakaian putih ini terbelalak lebar. Pemandangan yang disaksikan benar-benar membuat Melati terkejut bukan main. Bahkan bukan hanya terkejut saja. Tapi sekaligus terkesima.
Gadis berpakaian merah yang tengah bertarung itu memiliki raut wajah dan bentuk tubuh yang sama dengannya. Tak ada bedanya sedikit pun! Bedanya, gadis itu memakai pakaian merah dan berambut digelung ke atas. Kalau saja gadis itu berpakaian putih dan berambut terurai lepas, tentu Melati sama sekali tidak bisa membedakan dengan dirinya.
"Ttt.. ti... tidak mungkin...!" desis Melati terbata-bata. Ucapannya yang gemetar menjadi pertanda besarnya perasaan tegang yang melanda hatinya.
"Apanya yang tidak mungkin, Melati?" tanya Dewa Arak, meskipun sudah mengetahui maksud ucapan tunangannya. Kembali pandangan Arya tertuju pada gadis berpakaian merah.
"Katakan kalau aku salah lihat, Kang...," pinta Melati dengan suara menggigil bagai orang diserang demam.
Arya menggelengkan kepala. "Tenanglah, Melati," hibur Arya, lembut. Digenggamnya jari-jari gadis itu, seolah-olah dengan cara itu bisa memberi kekuatan pada tunangannya.
"Tapi, Kang...," Melati masih mencoba membantah.
"Semua akan kita ketahui nanti, Melati," potong Dewa Arak cepat "Barangkali gadis itu ada hubungannya denganmu...."
Melati tercenung seketika begitu mendengar ucapan tunangannya. Memang sejak pertama kali melihat gadis berpakaian merah, ada perasaan aneh yang menyeruak dalam hatinya. Perasaan yang membuatnya tegang bukan main. Benarkah ucapan tunangannya kalau wanita berpakaian merah itu ada hubungan dengannya?
Tapi, Melati mencoba membantah. Dari cerita yang telah didengar, dia tahu kalau orang tuanya telah meninggal dalam keadaan menyedihkan. Dan dia ditemukan oleh seorang tokoh sesat yang kemudian memeliharanya. Tokoh itu berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Dewi Penyebar Maut).
Sementara itu, pertarungan antara gadis berpakaian merah dengan empat orang pengeroyok berlangsung semakin seru. Gadis berpakaian merah itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup tinggi, sehingga empat pengeroyok yang terdiri dari orang-orang kasar mengalami kesulitan meringkusnya.
Tapi, pandang mata Arya dan Melati yang tajam segera mengetahui kalau lambat laun gadis berpakaian merah itu akan roboh di tangan para pengeroyoknya.
"Hiaaat...!" Salah seorang pengeroyok yang bertubuh tinggi kurus berteriak nyaring. Berbareng dengan itu, golok di tangannya berkelebat cepat, membabat leher gadis berpakaian merah.
"Hih...!" Gadis berpakaian merah menarik kaki kanan ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Sehingga sambaran golok, lewat setengah jengkal di depan lehernya.
Namun sebelum gadis itu melancarkan serangan balasan, pengeroyok yang berambut abu-abu menusukkan golok ke arah pelipis dari samping kanan. Sementara dari arah lain seorang lainnya membabatkan golok ke arah tengkuk.
Kecepatan gerak gadis berpakaian merah memang patut dipuji. Mendapat serangan susulan yang datang berbarengan itu dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya cepat dirundukkan sehingga kedua serangan lewat di atas kepala. Dan pada saat yang bersamaan, tongkat di tangannya ditusukkan ke arah laki-laki bertubuh kekar yang berada di kanan.
Laki-laki bertubuh kekar terkejut bukan main melihat lawannya masih mampu mengirimkan serangan balasan dalam keadaan terjepit itu. Dengan sebisa-bisanya pengeroyok ini mencoba mengelak. Tapi....
Crasss...!
Ujung tongkat gadis berpakaian merah sempat menyerempet perutnya. Terdengar jerit kesakitan dari mulut laki-laki bertubuh kekar yang disusul dengan mengalirnya darah segar dari bagian yang terkena tusukan tongkat. Tapi sebelum gadis berpakaian merah sempat melancarkan serangan susulan, pengeroyok yang bertubuh tinggi besar sudah menerjang sambil menggulingkan tubuhnya. Dan dari bawah, kaki kanannya yang besar dan kokoh melakukan sapuan ke arah kaki gadis itu.
Bukkk..!
Telak dan keras sekali sapuan si tinggi besar mengenai sasaran. Dan seketika itu juga gadis berpakaian merah terpelanting jatuh. Melihat keadaan yang sudah menguntungkan, para pengeroyok tidak mau menyia-nyiakannya. Bagai berlomba mereka melesat saling mendahului mengirimkan serangan.
Gadis berpakaian merah tentu saja tahu bahaya besar yang mengancam keselamatannya. Maka gadis ini segera bergulingan di tanah mengelakkan hujan serangan para pengeroyok. Sehingga serangan lawan-lawannya mengenai tempat kosong.
Para penyeroyok menjadi geram melihat gadis berpakaian merah masih mampu menyelamatkan diri. Maka sambil menggertakkan gigi, mereka bergerak mengejar sambil terus menghujani dengan serangan-serangan mematikan sebelum gadis itu berhasil memperbaiki posisi.
Singgg, singgg...!
Suara desingan senjata yang berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh gadis berpakaian merah terdengar merobek udara. Dan memang, gadis berpakaian merah ini tidak sempat memperbaiki posisinya yang sudah mengkhawatirkan. Sambil terus bergulingan di tanah, tongkatnya diputar menghalau setiap serangan yang datang.
Tranggg, tranggg...!
Bunga api memercik ke sana kemari, ketika gadis berpakaian merah berhasil menangkis dua buah serangan lawan yang meluruk deras ke arahnya. Namun sebelum dia sempat menarik napas lega, tahu-tahu serangan dari lawan lainnya kembali menyambar tiba.
Desss!
"Ah...!" Gadis berpakaian merah itu memekik kesakitan ketika tendangan lawan menghantamnya. Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai pergelangan tangan kanannya. Seketika itu juga tongkatnya terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Dan di saat itulah serangan dari pengeroyok yang terakhir datang menyusul. Menusuk deras ke arah dada. Kini, sudah tidak ada kesempatan lagi bagi gadis berpakaian merah untuk berbuat sesuatu. Mengelak sudah tidak ada waktu, sedangkan menangkis pun sudah tidak mungkin.
Posisi kedua kaki dan tangan kirinya tidak memungkinkan lagi untuk menangkis serangan. Tambahan lagi tangan kanannya masih terasa lumpuh. Kini yang dapat dia lakukan hanya berdiam din menanti datangnya maut.
Di saat gawat itulah, Dewa Arak yang memang sudah sejak tadi bersiap siaga untuk menolong, melesat cepat ke depan. Dan selagi tubuhnya berada di udara, kedua tangannya digerakkan ke depan. Perlahan saja kelihatannya. Tapi akibatnya luar biasa. Ada hembusan angin keras yang keluar dari tangan itu, dan memotong arah serangan yang mengancam gadis berpakaian merah.
"Heh...?!" Si penyerang terkejut bukan main ketika merasakan hembusan angin keras yang bukan hanya membuat serangannya tertahan. Tapi juga membuat kuda-kudanya tergempur, dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Penyerang yang ternyata adalah laki-laki kekar ini menggertakkan gigi menahan geram. Dadanya terasa sesak bukan main akibat hembusan angin keras yang mendadak muncul, seiring dengan sepasang matanya yang melihat sesosok bayangan ungu yang melesat di depannya. Untung bagi laki-laki ini karena Dewa Arak tidak berniat mencelakainya.
Pemuda itu hanya berniat memunahkan serangan saja. Laki-laki kekar ini menatap ke depan dengan sinar mata penuh amarah. Begitu juga ketiga orang temannya. Mereka sadar, ada orang berkepandaian tinggi yang telah menyelamatkan gadis berpakaian merah. Keempat pengeroyok menatap Dewa Arak penuh selidik.
Tapi, Arya sama sekali tidak peduli. "Kau tidak apa-apa, Nisanak?" tanya pemuda berambut putih keperakan seraya menatap wajah gadis berpakaian merah lekat sekali.
Kembali keterkejutan yang amat sangat melanda hati Arya. Begitu dekat, gadis ini semakin nampak jelas kemiripannya dengan Melati. Tapi, dengan pandainya Dewa Arak berhasil menyembunyikan perasaan terkejutnya.
"Tidak," sahut gadis berpakaian merah seraya bergerak bangkit. "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak"
"Keparat..!" Suara makian laki-laki tertubuh kekar memaksa Arya mengalihkan perhatian. Dengan tenang ditatapnya empat pengeroyok gadis berpakaian merah yang memandangnya dengan wajah merah padam menahan amarah.
"Siapa kau, Keparat?! Mengapa mencampuri urusan kami?!" tanya laki-laki bertubuh kekar. Suaranya terdengar kasar dan keras.
"Aku Arya, seorang pengembara," sahut Dewa Arak kalem. "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian. Aku hanya tidak bisa membiarkan orang berbuat sewenang-wenang di depan mataku."
"Keparat! Kalau begitu, kau harus mampus...!" Setelah berkata demikian, laki-laki bertubuh kekar itu segera melompat menerjang. Golok di tangannya terayun deras ke arah kepala Arya dari atas ke bawah. Rupanya laki-laki kasar ini ingin membelah tubuh Dewa Arak menjadi dua bagian.
Tiga orang rekan laki-laki bertubuh kekar tidak tinggal diam. Mereka pun segera menerjang ke arah pemuda berambut putih keperakan dengan senjata terhunus. Dalam sekejap saja empat buah serangan telah mengancam Dewa Arak.
Tapi Arya bersikap tenang. Dengan mudah semua serangan itu dielakkan. Dan begitu kedua tangannya bergerak, terdengar pekik-pekik kesakitan yang disusul bertumbangannya tubuh empat pengeroyok. Senjata-senjata mereka telah tidak berada lagi di tangan. Berpentalan entah ke mana.
Dewa Arak memandangi orang-orang kasar yang tergolek di depannya. Semuanya hanya dapat merintih-rintih. Arya telah membuat mereka tidak mampu bangkit untuk sementara, tanpa luka-luka yang berarti.
Empat orang kasar itu segera sadar kalau pemuda berambut putih keperakan yang mengaku bernama Arya mempunyai kepandaian mukjizat. Dan mereka pun sadar kalau pemuda itu terlalu sakti untuk mereka lawan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera bangkit. Melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
Arya sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dibiarkan saja empat orang kasar itu melangkah terseok-seok meninggalkan tempat itu. Rupanya pemuda berambut putih keperakan ini memang tidak ingin mencari permusuhan.
Begitu empat orang kasar tadi telah melesat kabur, Melati segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dada gadis berpakaian putih ini berdebar tegang tatkala melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Tegang menghadapi kenyataan yang akan dihadapi. Benarkah gadis berpakaian merah itu ada hubungan dengannya?
Apabila dugaan itu benar, bukankah asal-usul dirinya akan terungkap kembali. Dan bukan tidak mungkin kalau dia akan berjumpa dengan orang tuanya. Langkah gadis berpakaian putih ini oleng begitu teringat orang tuanya. Tapi ketika teringat cerita yang dulu didengarnya, timbul perasaan ragu dalam hati Melati. Bukankah kedua orang tuanya telah tewas secara mengerikan? Dan dia pun selamat dari maut karena dipungut anak oleh Raja Racun Pencabut Nyawa.
Ternyata bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan terkejut dengan pertemuan itu. Gadis berpakaian merah itu pun dilanda perasaan yang sama.
"Ih..." Terdengar seruan terkejut dari mulut gadis berpakaian merah ketika melihat gadis berpakaian putih yang melangkah menghampirinya. Mulut gadis itu terlongong. Sementara sepasang matanya terbelalak lebar bagaikan melihat hantu. Jelas kalau gadis berpakaian merah itu dilanda keterkejutan yang amat sangat.
Selama beberapa saat Melati dan gadis berpakaian merah saling tatap penuh selidik. Baik sepasang mata Melati, maupun sepasang mata gadis berpakaian merah merayapi tubuh masing-masing mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan dengan jantung berdebar keras, keduanya mendapat kenyataan kalau mereka benar-benar persis satu sama lain. Baik Melati maupun gadis berpakaian merah bagaikan tengah bercermin!
Bukan hanya Melati dan gadis berpakaian merah saja yang dilanda perasaan terkejut. Dewa Arak pun dilanda perasaan serupa. Beberapa kali kepala Arya menoleh ke arah wajah kedua gadis itu bergantian. Dan dengan hati ngeri pemuda berambut putih keperakan ini terpaksa harus mengakui, andaikan keduanya mengenakan pakaian dan model rambut yang sama, dia tidak bisa membedakan mana di antara kedua gadis itu yang menjadi tunangannya. Mereka berdua begitu mirip, bagaikan pinang dibelah dua saja layaknya.
"Kenalkan, Nisanak," ucap Dewa Arak yang terlebih dulu sadar dari perasaan terkesimanya. "Ini kawanku, namanya Melati."
Ucapan Arya menyadarkan kedua gadis itu dari keterpakuannya. Cepat gadis berpakaian merah mengulurkan tangan. "Ibuku memberiku nama Seruni. Tapi..., aku lebih suka dipanggil Mawar," ucap gadis berpakaian merah.
"Aku Melati." Gadis berpakaian putih menyahuti seraya menjabat tangan yang terulur ke arahnya.
Kini Dewa Arak baru dapat mengetahui perbedaan kedua gadis yang begitu mirip itu. Suara Melati terdengar agak keras. Dan sikapnya pun agak tidak pedulian. Sedangkan Mawar mempunyai suara yang halus dan sifat agak pendiam. Menilik dari pembawaannya, Dewa Arak bisa memperkirakan kalau gadis berpakaian merah itu punya sifat pengalah. Dan inilah patokan Arya untuk membedakan mana di antara mereka yang menjadi kekasihnya bila suatu saat mereka mengenakan pakaian dan dandanan yang sama.
"Siapakah para pengeroyokmu tadi, Mawar? Dan mengapa kau bentrok dengan mereka?" Melati mulai membuka percakapan. Gadis berpakaian putih ini memang ingin mengetahui apakah ada hubungan antara dirinya dengan gadis berpakaian merah.
"Mereka adalah berandalan-berandalan yang selalu mengacau desa-desa di sekitar hutan ini," jawab Mawar halus. "Ayah dan ibu tidak senang melihat tindakan mereka. Berkali-kali ayah dan ibuku berhasil menggagalkan usaha kejahatan yang akan mereka lakukan. Sayang, ayah tidak tega membunuh mereka."
"Maksudmu.., ayahmu membebaskan mereka, Mawar?" Arya ikut ambil bagian dalam pembicaraan.
"Benar," Mawar menganggukkan kepala. "Ayah hanya memberi sedikit pelajaran agar mereka jera."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Ada rasa kagum menyelinap dalam hatinya mendengar penuturan Mawar. Ternyata ayah gadis berpakaian merah ini adalah seorang yang bijaksana. Pantas saja kalau sikap anaknya begitu lembut dan pendiam.
"Hm...," Melati berdehem sebentar sebelum berbicara. Memang sejak tadi gadis berpakaian putih ini sibuk memutar otak, mencari kata-kata yang tepat untuk menanyakan perihal Mawar.
Dewa Arak tentu saja tahu kalau tunangannya tengah mencari cara untuk mengetahui perihal gadis berpakaian merah. Maka begitu mendengar deheman Melati, dia pun menghentikan ucapannya. "Kalau begitu..., ayahmu terhitung seorang pendekar juga, Mawar?" Melati mulai berusaha mencari keterangan mengenai keluarga gadis itu.
"Menurut cerita ibu.., dulunya ayah memang seorang pendekar. Bahkan terhitung pendekar yang agak kejam pada tokoh golongan hitam. Tapi, setelah menikah dengan ibu, ayah mulai menjauhi keributan. Ayah tidak ingin mencari permusuhan karena mengkhawatirkan nasib keluarganya."
"Tapi..., setidak-tidaknya..., ayahmu tentu juga mendidik anak-anaknya menjadi seorang pendekar," sambut Melati lagi setelah termenung beberapa saat. "Terbukti kau telah memiliki kepandaian cukup tinggi."
"Ah.... Kau bisa saja, Melati," sahut Mawar dengan wajah merona merah. Risih karena mendapat pujian.
"Aku tidak sembarangan memuji, Mawar," Melati menyambung lagi. "Kalau kau rajin berlatih, tidak sampai tiga bulan, empat pengeroyok tadi sudah bukan tandinganmu lagi."
"Betulkah itu, Melati?" tanya Mawar setengah tak percaya. Sepasang matanya menatap gadis berpakaian putih itu meminta kepastian.
Melati menganggukkan kepala. "Apakah saudara-saudara kandungmu yang lain juga memiliki kepandaian sepertimu?" Melati kini langsung pada sasarannya.
"Saudara-saudara kandungku?" Mawar mengerutkan alis. Tampak jelas kalau gadis berpakaian merah ini merasa heran mendengar pertanyaan itu. "Aku tidak mengerti maksudmu, Melati."
"Jadi..., kau sama sekali tidak punya saudara kandung?" kini Melati yang ganti terkejut "Kau..., anak satu-satunya?"
Mawar menganggukkan kepala.
"Ah...!" Hampir berbareng terdengar seruan terkejut dari mulut Melati dan Dewa Arak. Jawaban gadis berpakaian merah itu benar-benar di luar dugaan. Untuk sesaat Dewa Arak dan Melati saling pandang. Bingung. Rupanya dugaan mereka keliru. Gadis ini sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan Melati!
"Mengapa? Apa ada yang salah dalam jawabanku?" tanya Mawar yang merasa agak heran melihat Arya dan Melati terkejut setelah mendengar jawabannya.
"Tidak, Mawar," Dewa Arak mewakili menjawab.
Suasana menjadi hening begitu Dewa Arak menyelesaikan ucapannya. Ketiga orang itu sama-sama berdiam diri. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tapi, keheningan itu tidak berlangsung lama. Karena sudah dipecahkan oleh suara Mawar kembali. Suara yang bemada sendu. Ada nada kesedihan dan kesepian yang terkandung di dalam ucapan itu.
"Sebenarnya..., aku punya seorang saudara kandung...."
Melati dan Dewa Arak terjingkat bagai disengat kalajengking mendengar ucapan itu. Dengan pandang mata terbelalak, sepasang muda-mudi ini menatap wajah gadis berpakaian merah itu lekat-lekat. Pandang mata yang menyorotkan keheranan dan keterkejutan. Tapi, Mawar tidak tahu. Karena gadis itu menundukkan kepalanya. Jelas, ada sesuatu yang terjadi pada saudara kandungnya.
"Aku..., aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Mawar," ucap Melati terbata-bata. Jantungnya berdetak keras dilanda ketegangan yang menggelegak. Dan ini diam-diam membuat hati tunangan Dewa Arak ini menjadi heran. Mengapa pertemuan dengan Mawar membuat dia jadi sukar mengontrol diri?
"Ibu pernah bercerita padaku...," sambung Mawar lagi, tanpa mempedulikan ucapan Melati.
Tapi, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak tersinggung. Pendengarannya dipasang tajam-tajam untuk menyimak ucapan yang keluar dari mulut gadis berpakaian merah ini. Sementara jantungnya semakin berdetak kencang. Bahkan deru napasnya pun memburu, sehingga beberapa kali Melati terpaksa menahan napasnya. Khawatir kalau-kalau ucapan yang akan keluar dari mulut Mawar tidak terdengar.
Bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan serupa. Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan kedua telapak tangannya mendadak dingin. Jantungnya pun berdetak keras. "Mungkinkah asal-usul Melati akan tersingkap?" tanya Arya dalam hati dengan ketegangan yang memuncak.
"Kalau aku punya seorang saudara kandung...." Pelan dan sendu suara yang terdengar dari mulut Mawar.
Tapi, tidak demikian akibatnya bagi Dewa Arak dan Melati. Ucapan Mawar terdengar bagaikan ledakan halilintar di telinga mereka. Dugaan kalau gadis ini punya hubungan dekat dengan Melati timbul kembali. Tapi, lidah-lidah mereka terasa kelu. Sehingga tidak mampu berkata-kata. Kecuali mendengarkan dengan jantung yang semakin berdetak kencang.
"Saudara kembar...." Kembali terdengar suara dari mulut Mawar.
"Uh...!" Terdengar seruan lirih dari kerongkongan Melati. Tubuh gadis ini seketika terhuyung karena kedua kaki yang menopang tubuhnya menggigil keras bagai orang terserang demam.
Dewa Arak buru-buru bergerak mencekal tangan Melati sebelum tunangannya roboh ke tanah. Telapak tangan gadis itu dirasakan dingin sekali. Dingin seolah-olah yang dipegangnya bukan tangan manusia, melainkan sebongkah batu es! Sekilas Arya melirik wajah Melati. Dan seketika hati pemuda ini pun terkejut begitu melihat wajah tunangannya pucat sekali! Pucat seperti tak dialiri darah!
Arya segera meremas perlahan tangan gadis itu untuk memberi kekuatan batin pada Melati mendengar berita yang amat penting dalam sejarah hidupnya. Melati menoleh seraya memberikan senyum pada Dewa Arak. Karena perasaan tegang yang melanda, senyumnya tidak mirip senyuman. Tapi mirip seringai kesakitan.
Tapi Mawar, sepertinya tidak tahu kalau ucapan demi ucapan yang keluar dari mulutnya membuat hati kedua muda-mudi di hadapannya terkejut. Rupanya gadis berpakaian merah ini terlalu tenggelam dalam lautan kesedihannya.
"Lalu... apa yang terjadi dengan saudara kembarmu, Mawar?" desak Melati dengan suara serak dan parau. Hatinya sudah tak sabar mendengar ucapan yang keluar sepotong demi sepotong dari mulut gadis berpakaian merah itu.
"Karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk memeliharaku dan saudaraku bersama-sama, saudara kembarku kemudiam diberikan kepada adik ibuku. Tapi, sebelumnya ibuku telah memberikan nama untuk saudara kembarku. Delima namanya."
"Lalu..., apakah ada tanda-tanda khusus yang dapat dijadikan patokan bagi ibumu untuk mengenali bayi itu apabila dia sudah besar nanti?" tanya Arya. Pemuda berambut putih keperakan yang biasanya mampu bersikap tenang itu pun kini hampir tidak bisa menguasai diri. Suaranya terdengar agak bergetar.
"Karena punya banyak tanda-tanda khusus itulah yang menyebabkan saudara kembarku yang diberikan pada adik ibuku. Bukan aku."
"Kau tahu tanda-tanda khusus yang dimiliki saudara kembarmu?" Kini Melati yang ganti bertanya. Suaranya bergetar dan kedua kakinya agak menggigil. Arya pun terpaksa memegang lengan tunangannya. Khawatir kalau gadis itu akan roboh pingsan.
Mawar menganggukkan kepala. "Ibu pernah memberitahuku," jawab gadis berpakaian merah masih tetap menundukkan kepala. "Tapi, sayangnya aku hanya ingat satu. Pada pangkal lengan kanan terdapat tanda hitam sebesar kacang kedelai."
"Mawar...!"
Melati berseru keras. Ditubruknya gadis berpakaian merah yang masih saja menundukkan kepala. Mawar segera mendongakkan kepalanya. Wajahnya dipenuhi butiran-butiran air mata. Rupanya gadis berpakaian merah ini menangis.
"Akulah saudara kembarmu, Mawar! Akulah Delima...!" seru Melati seraya memeluk gadis berpakaian merah erat-erat.
"Delima...!" Mawar berseru pula. Kedua tangannya balas memeluk tak kalah erat. "Jadi..., kau Delima..., Melati?" tanya gadis berpakaian merah seraya mengendurkan pelukannya.
Melati alias Delima menganggukkan kepalanya. "Aku memiliki tanda seperti yang kau sebutkan pada pangkal lengan kananku."
"Ah...! Sungguh tidak kusangka," desah Mawar.
Beberapa saat lamanya kedua gadis yang sama-sama cantik itu saling berpelukan erat Wajah Mawar bersimbah air mata. Sedangkan Melati yang memang berwatak keras, sama sekali tidak mengucurkan air mata. Hanya saja sepasang matanya yang bening tampak merembang berkaca-kaca.
Dewa Arak hanya dapat menatap kejadian yang terpampang di depannya dengan hati terharu. Dadanya pun terasa sesak. Turut merasakan keharuan kedua gadis yang ternyata saudara kembar itu. Arya sama sekali tidak mengganggu mereka. Dibiarkan saja mereka saling menumpahkan kerinduan. Bahkan diam-diam pemuda berbaju ungu ini bersyukur melihat Melati berhasil menjumpai keluarganya.
"Mana ayah dan ibu?" tanya Melati begitu telah berhasil menguasai perasaannya. Wajah gadis berpakaian putih ini terlihat lebih berseri-seri dari sebelumnya.
"Ah...! Kau benar, Melati! Sudah lama ayah dan ibu mencari-carimu. Mari...! Mari, kuantar kau menemui mereka!"
Setelah berkata demikian, Mawar segera menyusut air matanya. Kemudian menuntun Melati yang tanpa banyak membantah mengikuti ajakan saudara kembarnya. Saking gembiranya, Melati sampai melupakan Dewa Arak. Dia tidak teringat lagi adanya pemuda berambut putih keperakan itu di situ.
Tapi Arya sama sekali tidak marah. Pemuda ini memaklumi keadaan yang dialami tunangannya. Maka tanpa banyak bicara, dia pun segera mengikuti langkah kedua gadis yang telah mendahuluinya.
Melati dan Mawar bergegas meninggalkan bekas tempat pertarungan. Sementara di belakang keduanya, dalam jarak sekitar tiga batang tombak, berjalan Dewa Arak. Langkah Melati dan Mawar terhenti ketika di depan mereka, dalam jarak sekitar lima tombak, berdiri dua sosok tubuh.
Wajah kedua penghadang tidak tampak jelas karena tertutup topeng harimau. Menilik dari sikapnya, jelas kalau kedua orang bertopeng harimau itu mempunyai niat tidak baik Arya segera mempercepat langkahnya. Hebatnya, sekali langkah saja tubuh pemuda itu sudah berada di sebelah Melati dan Mawar.
"Maaf, Kisanak berdua, kami ingin lewat," ucap Dewa Arak pelan.
"Hmh...!" Hanya suara dengusan yang menyambut ucapan Arya. Melati yang memang mempunyai sifat keras, langsung meluap amarahnya. Tapi, Arya segera menyentuh lengan tunangannya, menyuruh gadis berpakaian putih itu bersabar. Akhirnya dengan terpaksa Melati menelan kemarahannya.
"Kalian hanya bisa lewat dari sini setelah jadi mayat!" tandas orang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Pemuda berambut putih keperakan ini sadar kalau pertempuran tidak mungkin bisa dielakkan lagi. Meskipun begitu, pemuda ini masih mencoba bicara baik-baik. "Apa kesalahan kami sehingga Kisanak berdua hendak membunuh kami?"
"Tidak usah banyak bicara, Dewa Arak! Kesalahanmu sudah terlalu banyak! Kau dan perempuan liar itu harus mati!" tegas orang bertopeng harimau yang satunya lagi seraya menunjuk Melati.
Baru saja orang bertopeng harimau itu menghentikan ucapannya, tahu-tahu orang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar telah menerjang Melati. Rupanya si penyerang sudah mengetahui kelihaian gadis berpakaian putih itu. Terbukti, sekali menyerang dia sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa sebatang tongkat.
Ujung tongkat itu berbentuk logam tipis dan tajam berbentuk bulan sabit. Senjata itu langsung disodokkan ke leher Melati. Baru saja orang bertopeng harimau menghentikan ucapannya, tahu-tahu orang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar itu telah menerjang Melati.
"Mawar! Cepat menyingkir!" Melati segera mendorong gadis berpakaian merah itu. Dan sekaligus merendahkan tubuhnya menghindari serangan itu.
Singgg...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan laki-laki bertubuh pendek kekar.
"Mawar! Cepat kau menyingkir!" Sambil berkata demikian, Melati segera mendorong tubuh gadis berpakaian merah itu.
Dan hampir berbareng, tubuhnya direndahkan sehingga serangan tongkat berujung bulan sabit lewat di atas kepalanya. Tapi ternyata serangan laki-laki bertubuh pendek kekar tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan, tahu-tahu kaki kanannya telah mencuat ke arah perut. Dan karena saat itu Melati tengah membungkuk, tendangan itu jadi mengancam dadanya.
Lagi-lagi Melati mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat kakinya digedorkan ke tanah. Dan dengan meminjam tenaga tekanan pada tanah, tubuhnya melenting ke belakang. Untuk yang kedua kalinya, serangan laki-laki bertubuh pendek kekar kembali mengenai tempat kosong.
"Hup!" Manis dan indah sekali gerakan gadis berpakaian putih ketika mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, di tangannya telah tergenggam sebatang pedang terhunus.
Wunggg, wunggg...!
Terdengar suara menggerung keras seperti ada naga mengamuk begitu Melati mulai memainkan pedangnya. Inilah 'Ilmu Pedang Seribu Naga', ilmu andalan gadis berpakaian putih itu. Tampak jelas kalau laki-laki bertubuh pendek kekar terkejut begitu Melati mulai memainkan jurus-jurus pedang. Meskipun tertutup topeng, tapi bisa dilihat dari gerakannya yang terhenti secara mendadak.
Tapi hanya sesaat saja laki-laki bertubuh pendek kekar itu dilanda perasaan terkejut. Sekejap kemudian dia sudah melompat menerjang kembali. Tongkat berujung bulan sabit di tangannya diputar-putar cepat di depan dada. Baru kemudian meluruk cepat ke arah Melati.
Tapi, gadis berpakaian putih ini tidak menjadi gugup melihat serangan itu. Serangan lawannya segera disambut dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Sesaat kemudian, kedua orang itu sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Begitu melihat rekannya sudah terlibat pertarungan dengan Melati, orang bertopeng harimau yang satu lagi segera meloloskan senjatanya. Sebuah tongkat kayu jati berukir yang panjangnya tak sampai setengah tombak. Semula orang bertopeng harimau itu memegangnya dengan tangan kanan. Tapi sesaat kemudian tongkat itu digenggamnya dengan kedua tangan. Masing-masing pada ujung-ujungnya.
Singgg, singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar begitu kedua tangan yang menggenggam tongkat itu ditarik ke arah berlawanan. Ternyata hanya di luarnya saja kelihatan seperti tongkat pendek, tapi di dalamnya adalah sepasang pedang pendek.
"Hiaaat...!" Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, orang bertopeng harimau itu segera menyerang Dewa Arak. Kedua pedang pendek di tangannya menusuk deras ke arah kedua sisi pinggang Arya. Cepat bukan main gerakannya. Bahkan ada suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan itu. Dewa Arak yang sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi, tidak berani bertindak gegabah. Segera guci araknya dijumput dan dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk..!
Terdengar suara tegukan begitu arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada hawa hangat menyebar di perut pemuda berambut putih keperakan itu. Lalu merayap ke atas kepala. Tapi di saat itulah serangan laki-laki bertopeng harimau tiba. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak mengelakkannya.
Arya segera melangkahkan kaki kanan ke depan, kemudian memutar tubuh ke belakang dengan bertumpu pada kaki kanan. Sesaat kemudian, tubuh pemuda ini sudah berada di belakang lawan. Dan secepat tubuhnya berada di belakang lawan, secepat itu pula gucinya diayunkan ke punggung orang bertopeng harimau.
"Heh...?!" Orang bertopeng harimau terkejut begitu melihat serangannya mengenai tempat kosong karena lawan mendadak lenyap. Sesaat orang bertopeng ini kebingungan. Tapi, begitu mendengar sambaran angin di belakangnya, segera diketahuinya kalau lawan berada di belakang dan tengah melancarkan serangan ke arah punggungnya.
Luar biasa! Tiba-tiba saja tubuh orang bertopeng itu melenting ke atas, sehingga serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong. Dan dari atas, tubuhnya berputar setengah lingkaran ke belakang. Tahu-tahu, tubuhnya sudah berada di atas Dewa Arak. Dan dari belakang, tangan kanannya menyabet ke arah tengkuk.
Singgg...!
Arya terperanjat. Walaupun begitu, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menjadi gugup. Cepat laksana kilat tubuhnya dirundukkan sehingga serangan itu lewat sejengkal di atas kepala.
"Hup...!" Ringan tanpa suara kaki orang bertopeng itu hinggap di tanah, tepat di belakang Dewa Arak Begitu mendarat, dia langsung menusukkan pedang pendeknya ke arah punggung Dewa Arak. Tapi gerakan Arya masih lebih cepat daripada gerakan orang bertopeng. Tubuhnya berbalik cepat seraya mengayunkan gucinya.
Tranggg...! Bunga api memercik tinggi ke udara begitu guci berbenturan dengan pedang pendek. Telak dan keras sekali benturan yang terjadi.
Orang bertopeng menggeram keras begitu merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan kedua tangannya pun seperti lumpuh. Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sementara Dewa Arak hanya tergetar saja. Jelas, kalau dalam adu tenaga dalam tadi Dewa Arak masih lebih unggul ketimbang lawannya.
Sambil mengeluarkan teriakan keras, orang bertopeng harimau sudah kembali melancarkan serangan. Sepasang pedang pendeknya berkelebatan mencari sasaran. Tapi, Dewa Arak bukanlah lawan yang mudah dipecundangi. Sehingga pertarungan sengit pun tidak bisa dihindarkan lagi. Kini di hutan itu terjadi dua pertarungan sengit Pertarungan antara Dewa Arak dan Melati menghadapi dua orang bertopeng harimau.
Mawar hanya dapat memperhatikan jalannya pertarungan dengan wajah gelisah. Gadis berpakaian merah ini tahu kalau keempat orang yang tengah bertarung memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atasnya. Dan dia tidak mungkin dapat ikut campur tangan di dalamnya. Jangankan untuk ikut bertarung, memperhatikan jalannya pertarungan saja kepalanya sudah terasa pening bukan main.
Melati menggertakkan gigi. Gadis berpakaian putih ini penasaran bukan main setelah sekian lama bertarung dia tidak mampu merobohkan lawan. Dan sebagai akibatnya, permainan pedangnya kian dahsyat. Rupanya Melati sudah tidak segan-segan mengeluarkan jurus-jurus andalan dari 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Orang bertopeng bertubuh pendek kekar terkejut bukan main melihat permainan pedang Melati mendadak berubah dahsyat. Laki-laki bertubuh pendek kekar ini pun tahu kalau lawan telah mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Beberapa jurus kemudian, akhirnya dia mulai terdesak.
'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki Melati memang sebuah ilmu pedang yang luar biasa. Ilmu pedang itu terdiri dari tiga puluh enam jurus. Dan tiap-tiap jurus terdiri dari tiga sampai tujuh gerakan. Delapan dari tiga puluh enam jurus itu merupakan jurus-jurus andalan. Dan jurus-jurus inilah yang kini digunakan Melati untuk mendesak lawannya.
Kini orang bertopeng itu hanya bisa bertahan dan mengelak. Hanya sesekali saja dia sempat balas menyerang. Amukan serangan gadis berpakaian putih itu membuatnya sukar untuk melancarkan serangan balasan. Bukan hanya Melati saja yang berhasil mendesak lawan. Dewa Arak pun, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya perlahan-lahan mulai dapat mendesak lawannya.
Hanya saja beberapa kali sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini melancarkan serangan, dengan gerakan yang luar biasa, orang bertopeng harimau mampu mengelak. Diam-diam Arya terpaksa mengakui kalau ilmu meringankan tubuh lawan tidak berada di bawahnya.
Suatu keuntungan buat orang bertopeng itu karena Dewa Arak sedapat mungkin berusaha tidak menjatuhkan tangan maut padanya. Dan sedikit banyak, ini justru menambah berat tugas Arya. Lawan yang dihadapinya bukan lawan ringan. Lebih mudah menjatuhkan tangan maut ketimbang meroboh kannya tanpa luka yang terlalu parah.
Hal itulah yang menyebabkan Dewa Arak agak lama menjatuhkan lawannya. Padahal pemuda berambut putih keperakan ini memiliki banyak keunggulan dibanding lawannya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun mutu ilmu silat Melatilah yang lebih dulu mendesak lawan. Karena gadis berpakaian putih ini memang tidak segan-segan menjatuhkan serangan maut pada lawan-lawannya.
"Hiaaat..!" Disertai pekikan nyaring, Melati melompat cepat ke arah lawan seraya menusukkan pedang ke arah dada. Cepat bukan main gerakan itu. Apalagi serangan itu dilancarkan pada saat laki-laki bertubuh pendek kekar baru saja mengelakkan sebuah serangan. Meskipun begitu, orang bertopeng itu mencoba menyelamatkan selembar nyawanya. Dengan sebisa-bisanya dia mencoba mengelak. Tapi....
Cappp!
Ujung pedang Melati menancap telak di pangkal lengan kiri orang bertopeng harimau itu. Rupanya usaha terakhir laki-laki bertubuh pendek kekar itu berhasil juga menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Meskipun usahanya tidak berhasil sepenuhnya. Terdengar jerit kesakitan dari mulut laki-laki bertubuh pendek kekar, seiring dengan mengalirnya cairan merah kental dari luka di pangkal lengannya.
Melati tidak mau memberi kesempatan lagi. Cepat laksana kilat pedangnya kembali menyambar. Dan repotlah orang bertopeng itu pontang-panting menyelamatkan diri. Orang bertopeng yang satunya lagi rupanya tahu bahaya besar yang mengancam rekannya. Maka seketika itu juga sepasang pedang pendek di tangannya meluncur bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Menilik dari serangannya yang lebih mementingkan penyerangan daripada pertahanan, Arya tahu kalau lawan mengajaknya mengadu nyawa.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau meladeni. Cepat dia bergerak mengelak. Kali ini rupanya Arya tertipu. Laki-laki bertubuh kekar itu ternyata sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Begitu melihat Dewa Arak mengelak dengan menggulingkan tubuhnya, dia pun segera melompat cepat ke arah Mawar!
"Hup!" Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa, dan tanpa gadis berpakaian merah itu sempat berbuat sesuatu, orang bertopeng sudah berada di belakangnya. Dan langsung menodongkan dua ujung pedang pendeknya di leher gadis itu.
"Perempuan liar! Hentikan! Atau..., kau ingin aku menggorok leher wanita ini!" teriak orang bertopeng, keras. Sepasang matanya menatap ke arah Melati yang tinggal melakukan serangan terakhir pada laki-laki bertubuh pendek kekar yang sudah tergolek tidak berdaya di tanah. Ujung pedang Melati berada di lehernya.
Mendengar bentakan bemada penuh ancaman, Melati cepat menolehkan kepala. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati gadis berpakaian putih ini melihat saudara kembarnya terancam bahaya maut.
"Tahan emosimu sebentar, Melati," ucap Dewa Arak yang tahu-tahu telah berada di sebelahnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Kang?" tanya Melati dengan suara penuh perasan heran.
"Dia menipuku, Melati," sahut Arya pelan. "Sungguh tidak kusangka kalau dia akan berbuat selicik itu."
"Jangan harap kau akan mati enak kalau kau melukainya, Keparat!" desis Melati penuh ancaman. Sementara sepasang matanya menatap tajam penuh amarah.
"He he he...," orang bertopeng tertawa terkekeh. "Aku berjanji tidak akan melukainya, asal kau bersedia memenuhi permintaanku!"
"Keparat busuk! Katakan apa permintaanmu!" sambut Melati dengan wajah merah padam. "Ingat, kalau kau berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan Untuk membunuhmu!"
"Mudah saja, Wanita Liar!"
Melati menggeram. Gadis berpakaian putih ini memang paling tidak suka bila dimaki seperti itu. Tapi kini apa dayanya? Orang bertopeng itu menyandera saudara kembarnya! "Keparat! Katakan cepat apa maumu!" sergah Melati keras.
"Bebaskan kawanku! Dan aku berjanji akan membebaskan temanmu ini!" jawab orang bertopeng, keras.
"Apa jaminannya kalau kau tidak akan mengingkari janji?" ejek Melati sambil tetap menempelkan ujung pedang di leher laki-laki bertubuh pendek kekar. Sementara Dewa Arak mengawasinya.
"Kehormatanku sebagai datuk jaminannya!" tegas orang bertopeng itu tegas.
"Hmh..., siapa percaya bualanmu?!"
"Alap-Alap Bukit Gantar bukanlah seorang pengecut. Aku tidak akan menjilat ludahku sendiri yang telah jatuh ke tanah dengan mengingkari janji!"
Baru saja Melati hendak membuka mulut, Dewa Arak sudah menyentuh tangannya. "Bebaskan lawanmu, Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Suaranya pelan tapi bernada memerintah.
"Tapi, Kang... Bagaimana kalau dia ingkar janji?" ucap Melati dengan perasaan cemas. Suaranya tidak segarang tadi, tapi pelan penuh kekhawatiran.
Arya tersenyum lebar seraya menggelengkan kepala. "Seorang datuk mempunyai harga diri, Melati. Harga diri bagi seorang datuk lebih berharga daripada nyawa. Aku percaya pada janji Alap-Alap Bukit Gantar. Bebaskan orang itu, Melati."
Dewa Arak mengucapkannya dengan suara agak keras. Dan itu memang disengajanya. Pemuda berambut putih keperakan ini bermaksud mengikat orang bertopeng yang mengaku berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar dengan janji yang diucapkannya sendiri. Walaupun sebenarnya Arya sendiri yakin kalau tanpa disindir pun orang bertopeng itu akan memenuhi janjinya. Kini Melati tidak membantah lagi. Todongan ujung pedangnya segera dilepaskan.
"Minggatlah kau, Keparat!" hardik gadis berpakaian putih itu dengan perasaan geram.
Sepasang mata yang berada di balik topeng harimau terlihat memancarkan sinar berapi. Jelas makian Melati membuat kemarahannya bergolak. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki bertubuh pendek kekar itu bangkit berdiri. Kemudian berjalan menuju ke arah rekannya.
Melihat Melati telah membebaskan temannya, orang bertopeng segera memenuhi janjinya. Terbukti, todongan pada Mawar juga dilepaskan. Kemudian didorongnya tubuh gadis itu dengan keras sampai hampir jatuh tersungkur.
"Jahanam!" Melati memekik keras. Hampir saja gadis berpakaian putih itu melompat ke arah orang bertopeng. Tapi, untung saja Arya cepat mencekal tangannya.
"Melati...!"
Mawar menghambur ke arah saudara kembarnya. Dan kembali dua saudara kembar yang baru bertemu setelah sekian lamanya berpisah, berpelukan. "Terima kasih atas pertolonganmu, Melati," ucap gadis berpakaian merah itu, pelan.
"Lupakanlah, Mawar," sahut Melati cepat "Di antara saudara tidak ada istilah pertolongan."
"Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan," ucap Arya setelah melihat hari sudah mulai panas karena matahari sudah berada di atas kepala.
Melati dan Mawar pun teringat kembali pada tujuan perjalanan mereka semula. Sesaat sepasang mata mereka memandang berkeliling.
"Kedua orang itu sudah pergi," ucap Arya seperti mengetahui pandangan mereka.
Melati dan Mawar mengangguk-anggukkan kepala.
"Siapakah mereka sebenarnya, Kang Arya?" tanya Melati. "Dan mengapa mereka memusuhi kita?"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu, Melati. Tapi, orang yang menyandera Mawar menyebut dirinya Alap-Alap Bukit Gantar. Hhh...! Kau pernah berurusan dengan mereka, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Mendengarnya pun baru kali ini, Kang."
Arya mengernyitkan dahinya. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Sudahlah, Kang. Lebih baik kita lupakan dulu masalah itu. Sekarang, yang penting menemui orang tuaku dulu," ujar Melati menasihati. Pemuda berambut putih keperakan itu pun mengangkat bahu. Tapi, dituruti juga saran tunangannya.
"Ayah...!" panggil Mawar begitu memasuki pintu pagar.
Seorang laki-laki setengah baya berpakaian hitam, yang tengah duduk di bangku teras segera bangkit. Lalu bergegas melangkah ke arah Mawar.
"Mari, Melati...," ajak Mawar pada saudara kembarnya, seraya menarik tangan gadis berpakaian putih itu menyambut ayahnya.
Di tengah-tengah halaman yang cukup luas, ayah dan anak itu berpelukan. "Dari mana saja kamu, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam sambil melepaskan pelukan. Mawar kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpanya secara singkat.
"Ini ayahku, Melati," ucap Melati memperkenalkan laki-laki setengah baya yang berdiri di hadapannya.
Melati mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. Diam-diam gadis berpakaian putih ini merasa kecewa melihat orang yang diperkenalkan Mawar sebagai ayah gadis itu, yang berarti adalah ayahnya juga. "Inikah ayahnya?" ucap gadis berpakaian putih itu dalam hati. Sungguh berbeda jauh dengan apa yang dibayangkannya semula.
Semula Melati membayangkan akan bertemu dengan seorang laki-laki bertubuh tegap, berwajah gagah, dengan rambut yang telah memutih sebagian. Tapi ternyata yang dilihatnya adalah seorang laki-laki setengah baya, bertubuh agak kurus, berwajah tirus. Sepasang matanya selalu berputar liar. Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
"Ayah..., lihat siapa yang kubawa...?" ucap Mawar pada laki-laki setengah baya berpakaian hitam yang sejak tadi memperhatikan Melati tanpa berkedip. Sepasang matanya membelalak lebar. Seolah-olah tak percaya pada apa yang dilihatnya. Berkali-kali sepasang matanya menatap Mawar dan Melati bergantian.
"Tidak salahkah penglihatanku, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam itu dengan suara yang bergetar. Berkali-kali tangannya mengucek-ucek matanya. Jelas kalau laki-laki berwajah tirus ini merasa ragu dengan apa yang dilihatnya. "Kau dengan gadis itu seperti pinang dibelah dua."
"Dia adalah saudara kembarku, Ayah...," jawab Mawar dengan senyum mengembang.
"Ya, Tuhan...! Jadi..., dia Delima...?" Laki-laki berpakaian hitam itu berseru tak percaya. Mawar menganggukkan kepalanya.
"Delima..., Anakku...!" laki-laki setengah baya berpakaian hitam itu memanggil dengan suara berdesah. Perlahan-lahan kakinya melangkah maju dengan kedua tangan terkembang.
"A..., Ayah...?!" sahut Melati dengan suara serak. Terasa kaku panggilan yang keluar dari mulut gadis berpakaian putih itu. Karena sejak kecil dia tak pernah mengenai orang yang pantas dipanggilnya ayah. Meskipun ada sedikit kekecewaan, mengapa ayahnya tidak seperti yang dibayangkan, tapi tak urung ada keharuan yang menyeruak di hati Melati. Biar bagaimanapun juga laki-laki di hadapannya ini adalah ayahnya. Ayah kandungnya! Tak pelak lagi, ayah dan anak yang telah sekian belas tahun berpisah ini saling berpelukan erat.
"Delima.,., Anakku...," ucap laki-laki berpakaian hitam itu setengah berdesah. Diusap-usapnya rambut gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
"A..., Ayah...!" suara Melati serak. Sepasangnya matanya merembang berkaca-kaca. Bahkan ada dua tetes air bening yang mengalir di pipi yang putih, hahis, dan mulus itu. Beberapa saat lamanya ayah dan anak itu saling berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam selama belasan tahun. Bahkan kedua bahu Melati tampak berguncang-guncang. Sementara Arya dan Mawar hanya diam terpaku memperhatikan saja semua kejadian itu.
"O,ya, Ayah. Mana ibu?" tanya Melati seraya menghapus air bening yang bergulir di kedua pipinya. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan.
"Ada di dalam," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi, tunggu dulu, Delima. Siapa pemuda gagah itu...?"
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu menudingkan telunjuknya pada Dewa Arak yang tengah menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan perasaan haru. Hatinya terasa diremas-remas. Karena peristiwa ini mengingatkan pemuda itu pada kedua orang tuanya yang kini telah tiada.
Melati terjingkat kaget bagai dipatuk ular berbisa mendengar ucapan itu. Baru gadis berpakaian putih ini teringat pada tunangannya. Kontan kepalanya ditolehkan, dan langsung menggapai tangan Arya.
Tanpa berkata apa-apa, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah maju. Dia sama sekali tidak marah atau tersinggung meskipun beberapa kali seperti tidak dipedulikan Melati. Arya tahu, tunangannya sama sekali tidak bermaksud mengacuhkannya. Gadis itu melpakannya karena terlalu larut dalam ketegangan dan kegembiraan yang memuncak. Dan Dewa Arak memakluminya.
"Ini teman akrabku, Ayah," ucap Melati memperkenalkan Arya begitu pemuda itu berada di sebelahnya. Wajah gadis berpakaian serba putih ini nampak memerah ketika memperkenalkan Arya pada ayahnya.
"Aku Arya Buana, Paman," ujar Dewa Arak menyebut namanya sambil mengulurkan tangan.
"Palungga," laki-laki berpakaian hitam menyambut uluran tangan Arya. Kemudian digenggam erat-erat.
"Dia bukan orang sembarangan, Ayah," kembali Melati membuka suara. "Dia adalah seorang pendekar sakti yang terkenal."
"O, ya? Hebat sekali!" laki-laki berwajah tirus yang ternyata bernama Palungga itu terkejut. "Siapakah kau, Anak Muda? Barangkali aku pernah mendengar julukanmu?"
Wajah Arya seketika memerah. Tapi kali ini tidak seperti biasa, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menegur tunangannya. Biasanya pemuda ini selalu menegur Melati bila memperkenalkan julukannya. Tapi kali ini tidak Arya tidak ingin merusak kebahagiaan tunangannya.
"Dia berjuluk Dewa Arak," ada nada bangga, baik dalam suara maupun wajah Melati sewaktu mengatakannya.
"Ah..!" wajah Palungga berubah hebat. "Jadi..., diakah pemuda yang menggemparkan dunia persilatan itu, Delima?"
Melati menganggukkan kepalanya.
"Sungguh tidak kusangka kalau orangnya masih begini muda," desah laki-laki berpakaian hitam itu seperti tidak percaya. "Memang tadi aku sudah menduga begitu pertama kali melihatnya. Tapi aku masih kurang yakin...."
"Tapi, sekarang Ayah percaya, kan?" selak Mawar yang sejak tadi diam saja.
"Karena Delima yang mengatakan..., aku percaya." Palungga mengangguk-anggukkan kepala sambil menepuk-nepuk bahu Arya.
"Kau hebat, Arya," ucap laki-laki berpakaian hitam itu bernada memuji. "Semuda ini kau sudah membuat dunia persilatan gempar...."
"Ah..., berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Paman," sahut Dewa Arak merendah. Memang begitulah sifat Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa risih bila orang memujinya.
"Ha ha ha...! Kau terlalu merendah, Arya. Tapi, itu memang bagus. Mari, mari kita masuk ke dalam."
Setengah memaksa, Palungga membawa Arya masuk ke dalam. Melati dan Mawar berjalan di belakang mereka.
Peristiwa mengharukan kembali terjadi begitu Melati bertemu dengan ibunya, seorang wanita setengah baya berpakaian hitam dan pesolek. Diam-diam gadis berpakaian putih ini tidak menyukai cara ibunya berdandan.
"Ayah..., Ibu...," ucap Melati setelah selesai menguasai perasaan. "Aku ingin tahu.., mengapa Ayah dan Ibu memberikanku pada orang lain?"
Palungga dan istrinya yang bernama Karina saling pandang. Mereka merasakan adanya tuntutan dari pertanyaan gadis berpakaian putih itu. Dan tentu saja hal itu bisa mereka maklumi. Wajarlah bila Melati menanyakan sejarah keluarga mereka. Tapi biar bagaimanapun juga, mereka melakukan semua itu semata-mata bukan karena tidak menyukai kelahiran gadis itu.
Diam-diam Dewa Arak mengerutkan alisnya. Disayangkannya mengapa Melati bertanya dengan nada agak menuntut.
"Nanti saja kita bicarakan hal itu, Melati," sahut Palungga, setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Anakku," sambung Karina pelan. "Sekarang, mari kita rayakan pertemuan yang menggembirakan ini."
"Sebuah usul yang bagus sekali, Karina," sambut Palungga penuh semangat. "Kita adakan pesta kecil-kecilan untuk menyambut kembalinya anak kita yang telah hilang sekian lamanya."
"Tapi, Ayah...." Melati menahan ucapannya karena laki-laki berpakaian hitam itu sudah bergegas melangkah ke dalam. Diam-diam Dewa Arak merasa heran. Seperti juga Melati, pemuda berambut putih keperakan ini sedikit merasa kecewa melihat perilaku orang tua tunangannya.
Gerak-gerik suami istri itu sepertinya agak liar. Tapi Arya bersikap bijaksana. Dia tidak mau mempermasalahkan hal itu. Tadi dia telah melihat sendiri kalau ilmu silat milik Mawar bukanlah ilmu-ilmu keji dan penuh kecurangan seperti ilmu yang layaknya dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam. Lagi pula tidak sedikit orang berwajah kasar dan bersikap agak liar tapi sebenarnya pendekar-pendekar pembela kebenaran, bantah Arya dalam hati.
Tak lama kemudian, Palungga telah kembali dengan membawa makanan dan minuman. Dengan cepat laki-laki berpakaian hitam itu menghidangkannya di atas meja. Sesaat kemudian semuanya telah siap.
"Mari, mari. Kita rayakan pertemuan ini Ayo, Arya! Silakan diccipi hidangannya. Maaf, hanya ini yang bisa kami sediakan."
"Benar! Kedatangan kalian benar-benar di luar dugaan kami," sambung Karina pula. "Jadi, kami tidak bisa menyediakan hidangan yang lebih baik."
"Ah...! Ini pun sudah lebih dari cukup, Paman, Bibi," sahut Arya dengan perasaan tidak enak.
Sesaat kemudian, orang tua si kembar, Melati dan Mawar serta Arya sudah sibuk menghadapi hidangan di atas meja. Arya dan Melati sama sekali tidak memperhatikan betapa sinar mata Palungga dan Karina berseri-seri begitu melihat mereka menyantap makanan masing-masing. Baru separuh hidangannya dinikmati, tahu-tahu Melati memegangi keningnya.
"Kenapa, Melati?" tanya Arya yang merasa heran melihat keadaan kekasihnya.
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Entahlah, Kang. Mendadak saja kepalaku pusing," jawab Melati.
Arya tersentak kaget. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini bangkit dari kursinya. Tapi, gerakannya segera didahului oleh Karina yang bersebelahan dengan Melati. Sementara, Arya dan tunangannya itu dihalangi oleh sebuah meja.
"Mungkin pertemuan ini telah mengejutkanmu, Anakku," ucap Karina lembut. "Sehingga membuatmu pusing."
Arya pun kembali duduk di bangkunya. Ucapan ibu Melati bisa diterimanya. Karena, sejak tadi pun pemuda berambut putih keperakan itu melihat wajah tunangannya pucat pasi bagai mayat. Tapi baru saja pantatnya menyentuh bangku, tiba-tiba perasaan pusing yang amat sangat menyerang kepalanya. Bahkan bukan hanya pusing saja. Tapi sekaligus tenaganya melemah secara tiba-tiba. Seketika itu juga Arya segera menyadari apa yang telah terjadi.
"Racun...," desis pemuda berambut putih keperakan itu tajam, seraya bergegas bangkit dari bangku. "Melati...! Awas...!"
Meskipun rasa pusing dan lemas melanda tubuhnya, Arya masih sempat memperingatkan tunangannya. Tapi, peringatan Dewa Arak sudah terlambat. Sebelum gema suaranya lenyap, tubuh gadis berpakaian putih itu sudah ambruk. Dan dengan tawa terkekeh, Karina segera menyambut tubuh Melati.
"Melati...!" Dalam kekhawatiran yang menggelegak, Arya berteriak. Sedapat mungkin pemuda berambut putih keperakan ini berusaha bergerak ke arah kekasihnya. Tapi, usahanya sia-sia karena rasa pusing dan lemas menghalanginya. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung begitu mencoba melangkahkan kakinya.
"Ha ha ha...!"
Pandangan Dewa Arak sudah berkunang-kunang ketika melihat Palungga bangkit dari kursi sambil tertawa bergelak. Dalam kesadaran yang kian melenyap, Arya merasa seperti pernah mendengar suara tawa itu. Tapi kapan dan di mana, dia lupa.
Tapi yang jelas, Arya tahu kalau saat ini dia dan Melati berada dalam ancaman bahaya besar. Gadis berpakaian putih itu sudah tertawan. Dan hanya dia yang bisa menyelamatkannya. Maka meskipun kepalanya yang terasa pusing membuat yang dilihatnya jadi berupa bayangan-bayangan kabur, dan juga lemas yang amat sangat mendera sekujur tubuhnya, Dewa Arak memaksakan diri untuk melawan orang-orang yang telah menipu dirinya dan Melati. Buru-buru Dewa Arak menjumput guci arak yang tergantung di punggungnya. Tapi sebelum sempat Arya menuangkan arak ke mulutnya, Palungga telah lebih dulu bergerak cepat.
"Hiaaat..!" Sambil berteriak nyaring, laki-laki berwajah tirus itu mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh.
Wuuut..!
Desss! Telak dan keras sekali kibasan kaki Palungga mengenai pergelangan tangan Arya. Dan seketika itu juga, guci arak di tangan Dewa Arak terlepas dari pegangan. Terlempar jauh. Jatuh berkerontangan di lantai dengan isi bertumpahan ke sana kemari.
Bahkan bukan hanya itu saja. Tubuh Dewa Arak pun terhuyung. Pergelangan tangan kanannya dirasakan sakit sekali. Rupanya sambungan tulangnya lepas. Walaupun begitu, kekuatan hati Arya patut dipuji. Pemuda ini sama sekali tidak berteriak kesakitan atau mengeluh. Hanya mulutnya saja yang menyeringai, pertanda kalau Dewa Arak dilanda rasa sakit yang hebat Arya mengeluh dalam hati.
Habislah sudah harapannya untuk membebaskan diri dari racun yang telah menyebar keseluruh aliran darah di tubuhnya. Semula, Dewa Arak berharap dari araknya dia bisa menawarkan racun yang masuk ke dalam tubuhnya. Karena arak yang telah tersimpan dalam guci peraknya memang dapat digunakan sebagai penawar racun. Tapi, kini harapan itu kandas.
"Ha ha ha...!" Palungga kembali tertawa terbahak-bahak. Sementara keadaan Dewa Arak semakin mengkhawatirkan. Kini pemuda berambut putih keperakan itu tidak mampu lagi melihat jelas orang-orang di sekitar ruang makan. Yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang mulai mengabur.
Didorong oleh perasaan cemas yang menggelegak pada keselamatan Melati, Arya jadi kehilangan kontrol diri. Apalagi keadaannya kini sudah semakin melemah. Tanpa pikir panjang lagi, kedua tangannya segera dihentakkan ke depan. Arya menggunakan jurus yang jarang dipergunakannya, jurus 'Pukulan Belalang'!
"Hih...!"
Wusss...! Hembusan angin keras berhawa panas menyengat, keluar dari telapak tangan yang dihentakkan Dewa Arak. Palungga terkejut bukan main melihatnya. Untung saja pandangan pemuda berambut putih keperakan itu telah kabur. Tambahan lagi tenaga pemuda itu memang sudah semakin melemah, maka akibatnya kedahsyatan pukulan jarak jauh itu pun berkurang. Bahkan serangannya pun ngawur. Meskipun begitu, tidak berarti kalau serangan pemuda itu tidak berbahaya.
Brakkk..! Terdengar suara hiruk-pikuk begitu angin pukulan jarak jauh yang nyasar itu menghantam dinding rumah yang terbuat dari kayu tebal hingga hancur berantakan.
Palungga, Mawar, dan Karina yang berada di situ berdecak kagum melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh Dewa Arak Arya sendiri begitu selesai mengirimkan serangan, langsung tersungkur di tanah. Pingsan!
"Luar biasa...!" Palungga berseru memuji seraya berjalan menghampiri Dewa Arak yang telah tergolek di tanah.
"Pemuda ini merupakan lawan berbahaya, Janggulapati," ucap Karina bernada mengingatkan.
Janggulapati yang tadi memperkenalkan diri dengan nama samaran Palungga, menganggukkan kepala. "Pemuda ini memang luar biasa, Gayatri. Meskipun sudah dirasuki racun yang membuat tenaganya lenyap, tapi dia masih mampu mengirimkan pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat. Ngeri aku membayangkan kalau pukulan itu digunakan sewaktu tenaganya belum berkurang."
Wajah wanita pesolek berpakaian hitam yang menggunakan nama samaran Karina, tapi sebenarnya mempunyai nama Gayatri, berubah. Tampak jelas kalau wanita ini pun merasa ngeri. "Apakah tidak sebaiknya kalau pemuda ini kita bunuh saja, Kang," ujar Gayatri lagi, mengajukan usul.
"Membunuh pemuda ini sekarang sama mudahnya dengan membalik telapak tangan, Gayatri," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi kematian seperti itu terlalu enak untuknya. Dewa Arak harus merasakan bagaimana tidak enaknya menanggung sakit hati!"
Gayatri tercenung mendengar ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berpakaian hitam itu. "Kau benar, Janggulapati. Dewa Arak harus kita siksa dulu!"
Entah sudah berapa lama dirinya pingsan, Dewa Arak tidak tahu secara pasti. Yang jelas, begitu siuman dan membuka kelopak mata, tahu-tahu tubuhnya sudah telentang di atas balai-balai bambu. Kedua tangan dan kakinya terikat terpentang. Dan di hadapannya telah berdiri beberapa sosok tubuh. Mula-mula yang terlihat oleh Arya hanya bayang-bayang kabur. Tapi lama-kelamaan tampak jelas wajah-wajah mereka.
Dewa Arak menghitung jumlah sosok-sosok itu dengan matanya. Delapan orang! Tujuh di antara mereka pernah dijumpainya. Palungga, Kirana, Mawar dan empat orang pengeroyok Mawar. Tapi yang seorang lagi sama sekali belum dikenalnya. Seorang pemuda berwajah tampan berkulit putih, bertubuh pendek kekar.
Melihat hal ini, Dewa Arak pun sadar kalau ternyata semuanya memang telah direncanakan dengan rapi. Dia dan Melati dijebak! Jadi, sudah pasti gadis yang mengaku bernama Mawar ini bukan saudara kembar Melati. Gadis itu pasti seorang tokoh sesat yang ahli menyamar. Demikian kesimpulan Arya.
Dewa Arak cemas bukan main begitu teringat pada keadaan Melati. Tenaganya untuk memutuskan tali yang mengikatnya segera dikerahkan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan ini tatkala mengetahui tidak adanya aliran tenaga dalam yang mengalir ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya telah lenyap! Tidak ada lagi hawa hangat yang berputaran di bawah pusarnya.
Kecemasan Arya pun semakin menjadi-jadi begitu menyadari keadaannya. Tapi bukan dirinya semata yang dikhawatirkan. Tidak! Dia sama sekali tidak takut menghadapi maut. Sejak bertekad untuk menjadi pendekar pembela kebenaran, pemuda ini sudah memperhitungkan kalau suatu waktu bukan tidak mungkin dirinya tewas di tangan lawan. Bukan, bukan itu yang dikhawatirkan. Tapi Melati.
"Ohhh...!" Terdengar suara keluhan pelan di sebelah kiri Arya. Tanpa menoleh pun Dewa Arak tahu siapa pe-miliknya. Suara itu sudah amat dikenalnya. Suara siapa lagi kalau bukan suara Melati, kekasihnya!
Arya menolehkan kepalanya. Benar saja! Tak jauh darinya, Melati juga terbaring di balai-balai bambu lain. Keadaan gadis itu tak berbeda dengannya. Melihat keadaan Melati, kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan ini semakin menggelegak. Dia sudah dapat menduga kalau bahaya yang mengancam tunangannya bakal jauh lebih mengerikan ketimbang bahaya yang mengancam dirinya!
Dewa Arak mengalihkan pandangan kembali ke arah delapan sosok yang berada di hadapannya. Tanpa melihat pun Arya tahu kalau guci peraknya telah tidak ada padanya lagi. Begitu pula Pedang Bintang yang semula selalu tergantung di pinggangnya.
"Siapa kalian? Mengapa kalian memusuhi kami?" tanya Arya seraya menatap tajam wajah Janggulapati yang dikenalnya sebagai Palungga. Pemuda ini sudah dapat menduga kalau laki-laki berpakaian hitam ini adalah pemimpin di antara delapan orang itu.
"Hmh...!" Janggulapati mendengus. "Kau tidak mengenaliku lagi, Dewa Arak?!"
Arya mengerutkan alisnya. Sepertinya suara dengusan itu tidak asing di telinganya. Seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, dia tidak ingat lagi!
"Rasanya..., aku pernah mengenalmu, Palungga. Setidak-tidaknya aku pernah mendengar suaramu...," sahut Dewa Arak bemada ragu-ragu.
"Kau memang sudah mulai pikun, Dewa Arak!" sergah Janggulapati kasar. "Perlu kau ketahui, namaku sebenarnya bukan Palungga. Tapi Janggulapati."
Arya tidak tampak terkejut mendengar pengakuan Janggulapati. Hal itu memang sudah diduganya begitu tahu dia dan Melati terjebak.
"Kalau begitu..., kau pasti bukan ayahku...," desah Melati lemah. Ada raut kekecewaan, tapi juga sekaligus kebahagiaan yang terpancar pada sepasang matanya. Kecewa karena berarti ada kemungkinan memang dia sudah tidak punya orang tua lagi. Bahagia, karena orang yang bersikap dan bertampang kasar itu bukan ayahnya.
"Ayahmu sudah lama mampus, Wanita Liar!" sergah pemuda bertubuh pendek kekar. "Kau pun akan segera menyusulnya. Tapi, tentu saja terlalu bodoh untuk membunuh wanita secantikmu sebelum memanfaatkannya lebih dulu!"
Wajah Melati seketika memucat. Gadis ini tahu apa yang dimaksudkan pemuda bertubuh pendek kekar itu. Perasaan takut dan ngeri pun melanda hatinya. Dan perasaan itulah yang mendorong gadis berpakaian putih ini menggerakkan kaki dan tangan untuk memutuskan tali yang mengikatnya.
Suara ah-ah uh-uh terdengar dari mulut Melati ketika berusaha sekuat tenaga memutuskan ikatannya. Tapi, usaha gadis ini hanya sia-sia belaka. Seperti juga Dewa Arak, tenaga dalam yang dimiliki gadis ini pun telah lenyap. Apalagi ternyata tali itu alot sekali.
Jadi, betapapun Melati berusaha, hanya kegagalan yang diterimanya. Bahkan pergelangan tangan dan kakinya jadi lecet-lecet. Terasa sakit dan perih bukan main. Akhirnya gadis berpakaian putih ini pun terpaksa menghentikan usahanya.
"Ha ha ha...!" Pemuda bertubuh pendek kekar kembali tertawa bergelak. Kemudian kakinya dilangkahkan mendekati Melati. Tangan kanannya bergerak secara kasar ke arah dada gadis berpakaian putih itu.
Sepasang mata Melati berkilat-kilat melihat perbuatan pemuda itu. "Kalau kau berani menyentuhku..., kubunuh kau, Setan...!" desis gadis berpakaian putih itu tajam. Ada ancaman hebat yang tersembunyi di dalamnya.
Rupanya, pemuda bertubuh pendek kekar merasa ngeri juga mendengar ancaman itu. Terbukti tangannya yang semula sudah terulur, mendadak berhenti. Apalagi ketika mendengar desisan tajam dari mulut Dewa Arak.
"Berani kau menyentuhnya..., ke mana pun kau pergi jangan harap lolos dari tanganku...!"
Meremang bulu kuduk semua orang yang berada di situ mendengar ancaman Dewa Arak. Apalagi me reka yang pernah merasakan kehebatan ilmu Arya. Nada suara pemuda itu begitu dingin, dan penuh ancaman yang mengerikan!
Dari perasaan ngeri yang mendera, pemuda bertubuh pendek kekar berubah menjadi murka. Dengan wajah merah padam, dihampirinya Arya. Kemudian tangannya terayun, menampar ke arah pipi. Dan...
Plakkk...!
Telak dan keras sekali tamparan itu mengenai sasaran. Seketika itu juga di pipi Dewa Arak terdapat gambar telapak tangan berwarna merah. Dari sudut-sudut bibir pemuda itu pun menetes darah segar. Tapi, tak sedikit pun terdengar suara keluhan dari mulut Arya.
Suatu keuntungan bagi Dewa Arak karena pemuda bertubuh pendek kekar itu tidak mengerahkan tenaga dalam sewaktu menamparnya. Dia hanya menggunakan tenaga kasar saja. Dan kalau tadi pemuda itu mengerahkan tenaga dalam, mungkin tulang rahang Dewa Arak telah remuk.
Pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin beringas begitu melihat darah. Sekali lagi tangannya terayun diiringi pekik ngeri Melati yang melihatnya. Sementara Dewa Arak hanya tenang-tenang saja. Bahkan pandang mata pemuda ini menyorotkan tantangan yang membuat pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin geram. Dan hal ini memang disengaja oleh Arya. Dia sengaja mengalihkan perhatian pemuda bertubuh pendek kekar dari tunangannya.
Tapi sebelum tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu kembali mengenai sasaran, terdengar bentakan keras menggelegar. "Samiaji! Tahan...!"
Seketika itu juga tangan pemuda bertubuh pendek kekar yang ternyata bernama Samiaji, tertahan di udara. Pemuda ini kenal betul siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Janggulapati.
"Mengapa Guru menahanku...?" Kepala Samiaji ditolehkan menatap wajah laki-laki berwajah tirus. Pandang matanya memancarkan rasa penasaran yang amat sangat.
"Aku tidak ingin dia mati penasaran, Samiaji," sahut Janggulapati yang ternyata guru dari pemuda bertubuh pendek kekar.
"Maksud, Guru?" tanya Samiaji, belum mengerti maksud ucapan gurunya.
"Biar kuberi dia kesempatan mengajukan pertanyaan."
Setelah berkata demikian, Janggulapati menatap wajah Arya lekat-lekat. "Agar tidak mati penasaran..., kau kuberi kesempatan mengajukan pertanyaan, Dewa Arak...."
"Aku hanya ingin tahu siapa kalian, dan mengapa kalian memusuhi kami?" sahut Arya tenang. Tanpa merasa gentar sedikit pun, dibalasnya tatapan laki-laki berpakaian hitam itu dengan tak kalah tajam.
"Ha ha ha...!" Janggulapati tertawa bergelak. Rupanya laki-laki berpakaian hitam ini merasa geli mendengar pertanyaan itu. Tapi, Arya tetap bersikap tenang. Sepasang matanya tetap tertuju ke wajah laki-laki berwajah hitam itu.
"Kau benar-benar tidak mengenalku lagi, Dewa Arak?" tanya Janggulapati setengah tidak percaya.
Arya hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Laki-laki berpakaian hitam itu lalu menarik Samiaji maju ke depan Dewa Arak.
"Kau lihat ini baik-baik, Dewa Arak!" Setelah berkata demikian, Janggulapati segera mencengkeram pakaian Samiaji pada bagian atas dada kirinya. Dan sekali jari jemari laki-laki berpakaian hitam ini bergerak pelan, terdengar suara keras.
Breeettt…!
Baju di bagian atas dada kiri Samiaji robek lebar. Dan seketika sepasang mata Arya terbelalak lebar begitu melihat balutan di bagian itu. Ada noda-noda merah yang menempel di kain pembalut itu. Jelas kalau bahu kiri pemuda bertubuh pendek kekar ini terluka.
Melihat luka Samiaji, Arya pun teringat. Ya, luka inilah yang diderita lawan Melati sewaktu mereka menuju ke rumah orang tua Mawar. Jadi, rupanya Samiaji adalah salah seorang dari dua pencegat itu. Salah seorang penghadang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar!
Begitu teringat akan hal ini, Dewa Arak pun segera teringat kembali di mana dia pernah mendengar suara dengusan itu. Di mana lagi kalau bukan di hutan itu juga.
"Jadi..., kalian orang yang menyerang kami di hutan?" tanya Arya setengah memastikan.
Jaggulapati menarik mundur Samiaji lagi. "Rupanya kau belum pikun, Dewa Arak! Memang, aku dan muridku inilah yang telah menyerang kalian di hutan."
"Kalian inikah orang yang berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar?"
Janggulapati menganggukkan kepala. "Aku dan istriku inilah yang berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu..., mengapa kau memusuhi kami?" tanya Arya lagi ingin tahu.
"Kami punya dendam pada wanita liar itu!" tandas Janggulapati tegas. "Sedangkan kau..., terpaksa harus kami lenyapkan. Di samping karena kau pasti akan membela kawan wanitamu, kau juga merupakan penghalang kami. Sewaktu-waktu kau pun mungkin akan menggilas kami. Tapi, sebelum semua itu terjadi, kami harus menggilasmu lebih dulu."
"Kalau boleh kutahu..., apa sebabnya kau mendendam pada kawanku?" Kembali Arya buka suara setelah sekian lamanya termenung.
"Ayah temanmu telah membunuh sahabatku, Kalajati! Dan karena ayahnya telah mampus, pembalasannya kutimpakan pada keturunannya!"
Arya dan Melati terkejut bukan hanya karena mendengar ucapan berapi-api Janggulapati yang jelas-jelas keluar dari hati yang sarat oleh dendam. Tapi juga oleh isi ucapan laki-laki berpakaian hitam itu. Jadi, benarkah Melati masih mempunyai seorang ayah? Dan benar jugakah Melati punya seorang saudara kembar? Kedua muda-mudi ini bertanya-tanya dalam hati.
Tapi, sebelum Arya dan Melati sadar dari keterkejutannya, Janggulapati sudah melangkah keluar ruangan. Samiaji dan yang lain-lainnya pun berjalan mengikutinya.
"Nikmatilah sepuas-puasnya sisa hidupmu, Dewa Arak!" seru laki-laki berpakaian hitam itu begitu telah berada di ambang pintu. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu sambil tertawa bergelak.
Brakkk! Terdengar suara berderak keras ketika pintu ruangan tahanan itu ditutupkan dari luar. Kini yang tinggal di dalam hanyalah Melati dan Dewa Arak.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya Arya seraya menolehkan kepala ke arah tunangannya.
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Hanya tenaga dalamku saja yang lenyap, Kang."
"Hhh...!" Arya menghela napas panjang. "Keadaan kita sama, Melati. Tenaga dalamku pun lenyap."
"Sekarang..., apa yang dapat kita lakukan, Kang?" tanya Melati bingung.
"Tak ada, Melati," sahut Dewa Arak dengan suara mendesah.
"Kau putus asa, Kang Arya?" Melati menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu setengah tak percaya. Biasanya, Arya selalu menemukan jalan keluar untuk menghadapi setiap permasalahan. Tapi sekarang?!
Dewa Arak menggelengkan kepala. "Hanya menyadari keadaan, Melati," sahut Arya tawar.
"Maksudmu?"
"Kita tak akan bisa membebaskan diri dari tali yang membelenggu. Tali ini terlalu alot. Jadi, daripada menyiksa diri dengan mencoba memutuskan tali ini, lebih baik kita berdiam diri saja."
Melati pun terdiam. Gadis berpakaian putih ini menyadari kebenaran ucapan kekasihnya.
"Atau..., kalau kau mau.... Cobalah berusaha menimbulkan kembali tenaga dalammu yang lenyap. Aku yakin, racun ini tidak akan bertahan lama. Apalagi, kalau kita sering-sering berusaha membangkitkan kembali tenaga dalam. Tapi..."
"Tapi apa, Kang...," tanya Melati begitu melihat Arya menghentikan ucapannya. "Kurasa, mereka tidak bodoh. Sebelum kita berhasil membangkitkan tenaga dalam kembali, mereka mungkin telah membunuh kita. Atau... memasukkan racun kembali."
"Tapi, tidak ada salahnya kalau kita coba. Daripada hanya diam menunggu nasib," ujar Melati setelah sekian lamanya terdiam.
"Kau cobalah...."
Kini Melati mulai berusaha keras membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Ditariknya napas dalam-dalam. Membayangkan seolah-olah udara yang ditariknya adalah kekuatan maha dahsyat. Kekuatan yang perlahan-lahan masuk ke hidung, kerongkongan, dan turun ke pusar.
Sesampainya di bawah pusar, gadis berpakaian putih ini menghentikan tarikan napasnya. Kemudian mengkhayalkan kalau kekuatan dahsyat itu berputar-putar di bawah pusarnya. Lalu napasnya dikeluarkan kembali. Melati terus mengulanginya meskipun tidak ada hawa yang berputar-putar di bawah pusarnya setiap kali dia menarik dan menahan napas.
Arya hanya berdiam diri saja. Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak berusaha membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Yang jelas, benak pemuda ini berpikir keras mencari jalan untuk bisa menyelamatkan diri. Tapi sampai lelah otaknya berpikir, dia tetap juga tidak menemukan jalan keluar.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Kepalanya ditolehkan ke arah Melati yang masih saja sibuk membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Mendadak Arya menolehkan kepalanya ke pintu ketika mendengar ada langkah-langkah kaki yang menuju ke kamar tahanan itu. Melati pun rupanya mendengar juga. Terbukti, gadis berpakaian putih itu menghentikan usahanya membangkitkan tenaga dalam.
Kriiittt..! Terdengar suara berderit pelan begitu daun pintu ruangan tahanan terbuka. Arya dan Melati hampir berbareng menatap ke arah sana. Dan seketika sepasang mata kedua muda-mudi ini terbelalak. Semula mereka menduga kalau orang yang datang ini adalah Janggulapati. Tapi ternyata yang datang adalah Mawar.
Anehnya, gadis itu kelihatan bersikap hati-hati sekali. Bahkan sepasang matanya beredar liar, sepertinya khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui orang. Tentu saja hal ini membuat Arya dan Melati semakin heran. Tapi, hanya sesaat saja. Kedua muda-mudi ini tidak mau tertipu untuk kedua kalinya oleh permainan sandiwara yang luar biasa gadis berpakaian merah itu. Pelan dan hati-hati sekali, Mawar menutupkan pintu ruangan tahanan. Kemudian berjingkat-jingkat menghampiri Melati.
"Mau apa kau kemari, Perempuan Rendah?!" tanya Melati ketus.
"Sssttt...! Jangan berisik! Aku datang untuk menolongmu...," gadis berpakaian merah itu menempelkan jari telunjuknya di bibir.
"Siapa yang mau percaya ucapan mulut busukmu!" sergah Melati dengan suara yang semakin meninggi. Tak dipedulikannya nasihat Mawar.
"Kau boleh memakiku apa saja!" sahut gadis berpakaian merah itu sabar. "Tapi percayalah. Aku datang dengan maksud baik. Atau..., kau lebih suka diperkosa orang liar itu daripada kutolong?"
Melati terdiam seketika. Ucapan Mawar membuatnya ngeri bukan main. Bahkan bulu tengkuknya pun berdiri semua ketika membayangkan apabila kejadian yang diucapkan gadis berpakaian merah itu benar-benar menimpanya.
"Benar namamu Mawar?" kini Arya yang ganti buka suara, seraya menatap wajah gadis itu tajam-tajam. Mungkin dari wajah itu dia ingin mengetahui kebenaran ucapan gadis yang mengaku sebagai saudara kembar Melati.
Gadis berpakaian merah itu menganggukkan kepala tanpa menoleh ke arah Arya. Sementara kedua tangannya sudah sibuk membuka ikatan yang membelenggu tangan dan kaki Melati.
"Mengapa kau mengkhianati ayah dan ibumu sendiri?" desak Arya lagi ingin tahu.
"Mereka bukan ayah dan ibuku!" tandas Mawar seraya menoleh ke arah Arya. Kontan gerakan tangannya yang membuka simpul-simpul tali terhenti.
"Heh... ?!" Sepasang mata Arya membelalak lebar. "Sandiwara macam apa lagi ini?"
"Aku tidak bersandiwara, Dewa Arak!" tegas Mawar lagi, seraya melanjutkan gerakan tangan, membuka tali yang membelenggu Melati. "Aku sama sekali bukan anak mereka. Justru merekalah yang hendak membunuh ibu dan ayah tiriku!"
"Ah...!"
Hampir berbareng Dewa Arak dan Melati mendesah kaget "Lalu..., kenapa kau masih membantu mereka? Dan siapakah kau sebenarnya?" tanya Melati dengan suara bergetar. Berbeda dengan Arya, Melati masih punya dugaan kuat kalau Mawar adalah saudara kembarnya. Ada semacam perasaan aneh yang membuatnya yakin kalau gadis berpakaian merah itu adalah saudara kembarnya.
"Aku adalah saudara kembarmu, Melati. Dan kali ini aku tidak berbohong. Aku adalah saudara kembarmu." Pelan dan bergetar suara yang keluar dari mulut Mawar.
"Ibu dan ayah tirimu...?" Melati bergumam bingung.
"Ya," Mawar menganggukkan kepala.
"Bisakah kau menceritakan semuanya pada kami, Mawar?" pinta Dewa Arak.
Gadis berpakaian merah itu tercenung sejenak "Baiklah...," ucap gadis itu setelah menghela napas berat "Aku tinggal dengan ibu dan ayah tiriku. Entah kenapa, aku tidak tahu. Yang jelas, ibu pernah cerita kalau ayah telah meningggal dunia."
Mawar menghentikan ceritanya sebentar untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah Arya dan Melati bergantian. Dilihatnya sepasang mata saudara kembarnya merembang berkaca-kaca. Dan gadis berpakaian merah ini tahu apa penyebabnya. Apa lagi kalau bukan mendengar ayahnya telah tiada?
"Suatu hari datang laki-laki dan wanita setengah baya berpakaian hitam ke rumah. Waktu itu yang ada hanya aku dan ayah tiriku. Kedua orang yang ternyata adalah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar itu mengamuk. Ayah tewas di tangannya, sementara aku dipukul pingsan."
Kembali Mawar menghentikan ceritanya. Perlahan setitik air bening mengalir membasahi sepasang pipinya yang putih, halus, dan mulus. Arya dan Melati dapat menduga kalau cerita selanjutnya akan menyedihkan hati gadis itu.
"Begitu aku sadar, aku telah berada di sarang mereka. Di antara mereka kulihat Samiaji dan empat orang lainnya. Dengan buas Samiaji memperkosaku..., dan hal itu terus berlangsung selama beberapa waktu...."
"Kenapa kau tidak melawan?" tanya Melati dengan suara mengandung kemarahan yang amat sangat. Sungguh tidak disangka kalau nasib saudara kembarnya begini buruk.
"Mereka mengancam akan membunuh ibu yang katanya mereka tangkap sewaktu aku pingsan," ucap Mawar terputus-putus. "Lagi pula, sia-sia saja usahaku menghindarkan diri dari perbuatan bejat mereka."
Melati dan Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Bisa saja Janggulapati dan Samiaji melumpuhkan Mawar dulu, seperti melumpuhkan mereka berdua. Dalam keadaan seperti itu apa dayanya menolak keinginan mereka?
"Kemudian mereka menugaskanku mencegat perjalanan kalian. Empat anak buah mereka berpura-pura menyerangku. Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar merencanakannya begitu cermat. Mereka berjanji, apabila aku berhasil melaksanakan tugas ini, ibu akan dibebaskan."
Lagi-lagi Mawar menghentikan ceritanya. Gadis ini mendehem sebentar untuk menormalkan kembali suaranya yang semakin serak karena telah bercampur isak.
"Aku tidak punya pilihan lain. Kupikir, biarlah kukorbankan saudara kembarku demi keselamatan ibu. Toh, seumur hidup aku belum pernah bertemu dengannya. Dan lagi, ibu telah berjasa banyak padaku."
Melati dan Arya termenung. Mereka berdua tidak menyalahkan keputusan yang diambil Mawar.
"Lalu..., kenapa sekarang kau berubah pikiran, dan berusaha menolong kami?" Dewa Arak penasaran.
"Tadi..., sewaktu keluar dari ruangan ini, Janggulapati rupanya keterlepasan bicara karena kegembiraannya."
"Apa yang dikatakannya?" tanya Melati, sementara sepasang matanya menatap penuh iba pada saudara kembarnya.
"Sambil tertawa, laki-laki busuk itu mengatakan hanya tinggal istri Palungga saja yang belum tertangkap. Dan setelah itu, semua dendamnya akan tuntas."
"Siapa itu Palungga?" tanya Melati yang sudah tahu kalau laki-laki berwajah tirus yang mengaku bernama Palungga punya nama asli Janggulapati.
"Ayah kandungku...."
"Jadi...?" sambung Melati dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Ya, ayahmu juga, Melati."
"Jadi..., mereka hendak menangkap ibu...?" tanya Melati dengan suara mengandung ancaman hebat.
"Begitulah yang tadi kudengar," sahut Mawar membenarkan. "Itu berarti selama ini mereka telah menipuku! Mereka belum menangkap ibu!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian merah ini mendekapkan kedua tangan ke wajahnya. Bahunya terguncang-guncang menahan tangis yang akan meledak. Jadi selama ini Mawar telah ditipu mentah-mentah oleh Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar.
Sekarang Arya baru mengerti mengapa gadis berpakaian merah itu berusaha menolong mereka. Tidak ada lagi yang dapat dijadikan sandera oleh Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar untuk memaksa Melati.
"Tapi..., bagaimana kita bisa keluar dengan selamat dari sini? Kau kan tahu kalau aku dan Kang Arya sama sekali tidak berdaya."
Setelah berkata demikian, Melati bangkit dari balai-balai bambu. Ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya sudah terlepas semua. Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Apa yang dikatakan tunangannya memang masuk akal. Bagaimana mereka dapat meloloskan diri dalam keadaan seperti ini? Jangankan menghadapi Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar, menghadapi empat orang anak buahnya pun rasanya mereka tidak mungkin akan menang.
"Aku sudah punya jalan," ucap Mawar.
"Bagaimana, Mawar?" tanya Arya ingin tahu.
"Hanya inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari sini."
"Kau jangan berteka-teki, Mawar," selak Melati cepat "Beritahukan saja secara gamblang semua rencanamu."
"Apa yang dikatakan Melati, benar sekali, Mawar," sambut Arya mendukung ucapan tunangannya.
"Aku pun memang sudah bermaksud memberi tahu kalian," ucap Mawar pelan.
Seketika Arya dan Melati membisu.
"Rencanaku begini, Melati. Aku bermaksud menggantikan tempatmu."
"Maksudmu...?" selak Melati tak sabar.
"Aku menyamar menjadi dirimu. Sementara kau menjadi aku, kurasa tidak ada seorang pun yang bisa membedakan kita."
"Hm...," Arya mengangguk-anggukkan kepalanya mulai mengerti. "Lalu...?"
"Dengan menyamar sebagai diriku, Melati cukup bebas untuk berbuat apa saja. Bahkan mendapat kesempatan untuk menormalkan kembali tenaga dalam. Kebetulan aku punya penawar racun itu."
"Kenapa tidak langsung membebaskan kami berdua saja, kemudian kau berikan obat-obat penawar racun itu pada kami," usul Melati.
"Tidak semudah itu, Melati," bantah Mawar sambil tersenyum lebar. "Racun ini berbeda dengan racun umumnya. Penawar untuk racun ini memakan waktu yang cukup lama. Paling tidak, lima hari. Sekarang kau mengerti mengapa rencana itu tidak bisa kulaksanakan, Melati?"
Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Jadi..., setelah tugasku ini selesai, keselamatan kami ada di tanganmu, Melati."
Mawar menutup kata-katanya. Melati terdiam seketika. Sementara dahinya berkernyit. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Dan Arya bisa menduga apa yang membuat tunangannya tertihat risau.
"Mawar...," panggil Arya pelan.
"Hm...." Hanya suara bergumam pelan yang menyahuti panggilan pemuda berambut putih keperakan itu. "Apakah tindakan ini tidak membahayakan dirimu sendiri? Kau tahu bahaya apa yang mengancammu, bila kau menggantikan tempat Melati?" tanya Arya ragu-ragu.
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Memang, hal itulah yang sejak tadi mengganggu pikirannya.
"Aku tahu, Kang Arya," Mawar menganggukkan kepala. Diturutinya cara Melati memanggil pemuda berambut putih keperakan itu.
"Dan kau masih mau melakukannya?" desak Arya lagi setengah tidak percaya.
"Aku tidak ingin saudara kembarku mengalami nasib yang sama sepertiku! Biarlah hanya aku saja yang mengalami!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut saudara kembar Melati itu.
"Mawar...!" Melati tak kuasa menahan rasa haru mendengar kesediaan Mawar untuk mengorbankan dirinya. Ditubruknya tubuh saudara kembarnya. Kemudian dipeluknya erat-erat Ada isak tertahan yang merayap naik dari dadanya menuju kerongkongan, sehingga membuat suaranya bergetar.
Mawar pun balas memeluk tak kalah erat. Sepasang mata kedua gadis cantik itu tampak merembang berkaca-kaca. Keharuan pun melingkupi seisi ruang tahanan. Bahkan Arya pun tidak tahan untuk tidak mengerjap-ngerjapkan mata, begitu merasakan kedua pelupuk matanya mendadak panas.
Beberapa saat kemudian, barulah kedua gadis yang sama-sama cantik jelita itu melepaskan pelukan masing-masing. Keduanya bersiap melaksanakan rencana mereka.
Melati dan Mawar lalu menuju ke sudut kamar tahanan. Kemudian saling melepas pakaian luar masing-masing. Meskipun tidak melihat kedua gadis itu membuka pakaian, tapi tak urung dada Arya berdebar tegang begitu mendengar suara berkeresek pakaian yang dilepaskan. Arya merasa betapa kedua tangannya jadi dingin. Segera diusirnya jauh-jauh bayangan bukan-bukan yang mengusik benaknya.
Melati dan Mawar sudah selesai melepaskan pakaian masing-masing. Dan kini kedua gadis itu sudah mulai mengenakan pakaian yang telah ditukar. Sesaat kemudian, keduanya telah selesai mengenakan pakaian tukarannya.
Kini Mawar mulai mengurai rambutnya. Sementara Melati sibuk menggelung rambutnya ke atas. Setelah selesai, kedua gadis yang cantik jelita itu berjalan menghampiri Arya dan berdiri berjejer di depannya.
Sepasang mata Arya terbelalak lebar. Mulutnya pun melongo. Sungguh kalau saja dia tidak mendengar suara berkeresekan tadi, mungkin dikiranya kedua gadis itu belum bertukar pakaian. Gadis berpakaian putih dan berambut panjang terurai di hadapannya dikenalnya betul sebagai Melati. Ataukah memang mereka belum bertukar pakaian?
"Bagaimana, Kang Arya?" tanya gadis berpakaian merah. Kini Arya tidak ragu-ragu lagi untuk menebak kalau wanita berpakaian merah itu benar-benar Melati. Suara gadis itu amat dikenalnya.
"Luar biasa! Kalau saja kau tidak berbicara, mungkin aku tidak bisa membedakan mana kau dan mana Mawar, Melati," sahut Arya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi...?" Gadis berpakaian merah, yang tidak lain dari Melati itu tidak melanjutkan ucapannya.
"Suaramulah yang membuatku dapat membedakan kalian."
"Ah...! Kalau begjtu..., suaramu pun harus diatur, Melati," ucap gadis berpakaian putih yang tak lain adalah Mawar.
Melati mengernyitkan alisnya. "Apakah suaraku dan suara Mawar berbeda jauh, Kang?" Arya menganggukkan kepala. "Di mana perbedaannya?" kejar Melati penuh rasa ingin tahu.
"Suaramu agak ketus...."
"Kalau Mawar...?" selak Melati cepat.
"Suara Mawar lembut, Melati. Lembut, halus dan satu-satu," jawab Arya. "Jadi alangkah baiknya agar penyamaran kalian tidak terbongkar, kau harus mencoba meniru suara Mawar. Tentu saja tidak perlu terlalu persis. Setidak-tidaknya, yahhh..., mendekati. Pokoknya kau tidak boleh menonjolkan perbedaan yang terlalu menyolok."
Sebenarnya mendongkol juga hati Melati yang sekarang telah berpakaian merah mendengar jawaban dari mulut tunangannya, sepertinya dia selalu memuji-muji Mawar. Tapi karena tahu Arya berkata begitu demi kelancaran tugas mereka, rasa dongkol yang melanda hatinya diusir jauh-jauh.
"Akan kucoba meniru suara Mawar, Kang." Setelah berkata demikian, Melati pun lalu mulai berusaha menirukan ucapan Mawar.
Arya mendengarkan penuh seksama. Beberapa kali gadis berpakaian merah itu terpaksa harus mengulang, setiap kali Arya menggelengkan kepalanya. Setelah cukup lama mengulang-ulang ucapan demi ucapan, akhirnya Arya menganggukkan kepalanya.
"Hhh...!" Melati menghembuskan napas lega. "Apakah suaraku sudah sama dengan suara Mawar, Kang?"
"Sama sih tidak. Tapi yang jelas sudah agak mirip," sahut Arya.
"Kalau begitu, sudah saatnya aku berbaring di situ," ucap Mawar setengah melucu, seraya menunjuk balai-balai bambu tempat Melati tadi berbaring tak berdaya. Kemudian, Mawar yang kini berpakaian serba putih itu melompat ke balai-balai bambu.
"Tapi, bagaimana dengan tenaga dalammu, Mawar? Tidakkah nanti mencurigakan?" tanya Arya ketika teringat akan hal itu.
Melati terlonjat kaget begitu mendengar pertanyaan tunangannya. Dengan sinar mata penuh pertanyaan, ditatapnya wajah Mawar. Tapi, hati kedua pendekar muda itu jadi lega begitu melihat gadis berpakaian putih itu tersenyum lebar.
"Jangan khawatir," jawab Mawar menenangkan. "Aku sudah meminum racun itu sebelum masuk ke sini."
"Tapi, kenapa kau tidak terserang pusing dan lemas?" tanya Melati penuh rasa heran.
"Ooo..., seperti yang kalian rasakan itu?"
Hampir bersamaan Melati dan Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Racun yang diberikan kalian lain dengan yang kuminum. Racun yang kuminum hanya melenyapkan tenaga dalam secara perlahan-lahan tanpa menimbulkan akibat sampingan."
"Berapa lama racun itu bekerja?" tanya Melati setengah hati.
"Tak lama lagi, tenaga dalamku pun akan lenyap semua. Mungkin setelah berbaring."
Setelah berkata demikian, Mawar lalu membaringkan tubuhnya dengan posisi telentang. Kedua tangan dan kakinya direntangkan ke sudut-sudut balai-balai bambu.
"Tolong ikatkan tali itu, Melati," pinta gadis berpakaian putih itu. Tak terdengar adanya nada memerintah dalam ucapannya.
Dengan perasaan berat, Melati memenuhi permintaan saudara kembarnya. Dijumputnya tali-tali bekas pengikat tangan dan kakinya. Kemudian diikat pergelangan kedua tangan dan kaki Mawar.
"Lebih erat lagi, Melati," ucap Mawar begitu merasakan ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya kurang erat. Melati terpaksa memperkuat ikatan. Dan untuk itu gadis berpakaian merah ini harus menguatkan hatinya. Setelah dirasakan cukup, Melati lalu melangkah mundur.
"Jangan lupa dengan suaramu, Melati," ucap Arya memperingatkan. "Dan ingat... apa pun yang terjadi, kau harus memaksakan diri tetap diam. Jangan sia-siakan pengorbanan saudara kembarmu."
Melati hanya menganggukkan kepala. Dia sudah tak sanggup lagi menanggapi ucapan itu. Rasa haru yang melanda akibat pengorbanan yang begitu besar dari saudara kembarnya, membuat dadanya terasa sesak. Bahkan lehernya pun terasa bagaikan tercekik oleh rasa haru yang menggelegak.
Sesaat kemudian, Melati pun melangkah keluar ruang tahanan. Dan dengan hati-hati melangkah memasuki kamar Mawar yang berada tidak jauh dari kamar tahanan. Memang saudara kembarnya itu telah memberi petunjuk ke tempat yang menjadi kamar tidurnya. Sesampainya di dalam, tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati lalu bersemadi untuk mencoba membangkitkan kembali tenaga dalamnya yang telah lenyap entah ke mana.
Melati tak tahu berapa lama dirinya tenggelam dalam keheningan semadi. Yang jelas, dia segera tersadar begitu mendengar suara ketukan pintu.
"Mawar...! Cepat keluar...!" terdengar teriakan-teriakan keras dari luar pintu.
Melati mengenali siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Janggulapati. Bergegas Melati menghentikan semadi dan bangkit berdiri. Kemudian melangkah ke arah pintu. Lalu dibukanya. Benar saja. Di depan pintu dilihatnya Janggulapati dan yang lain-lain berdiri.
"Ada apa, Janggulapati?" tanya Melati dengan suara yang telah berubah menjadi halus, lembut, dan satu-satu. Mawar telah memberitahunya bagaimana memanggil mereka.
"Kau harus ikut kami untuk melihat tontonan menarik yang akan kami suguhkan padamu!" Samiaji yang menjawab pertanyaan Melati.
Melati menelan kemarahannya mendengar ucapan itu. Gadis berpakaian merah ini segera teringat pada cerita Mawar. Saudara kembarnya itu telah diperkosa habis-habisan oleh Samiaji dan Janggulapati. Teringat hal ini, kemarahan Melati bangkit. Tapi gadis ini tidak mau bersikap gegabah. Diingatnya betul-betul semua nasihat yang diberikan Dewa Arak. Maka kemarahan yang berkobar dan hendak membakar dada ditahannya dengan sekuat tenaga.
Melati segera melangkah keluar pintu tanpa bicara apa-apa. Setelah menutup pintu kembali, kakinya dilangkahkan mengikuti Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar, bersama murid dan anak buahnya yang telah melangkah lebih dulu. Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan, Melati menyumpah-nyumpah dalam hati. Kalau saja saat ini tenaga dalamnya tidak musnah, mungkin sudah diterjangnya orang-orang yang memuakkan ini. Tak lama kemudian, rombongan itu sudah berada di depan pintu ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan.
Kriiittt..! Terdengar suara berderit pelan begitu Janggulapati mendorong daun pintu dengan tangan kanannya.
Arya dan Mawar berjingkat kaget, meskipun pendengaran mereka sudah menangkap adanya bunyi langkah-langkah kaki yang menuju ke tempat mereka. Tentu saja, Mawar hanya mendengar langkah kaki empat orang anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian berada di bawahnya.
"Ha ha ha...!" Janggulapati tertawa bergelak. "Babak pertama dari permainan yang akan kami buat segera dimulai, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu menggerakkan kepalanya ke arah Mawar pada Samiaji. Tanpa diperintah dua kali, pemuda bertubuh pendek kekar bergegas menghampiri tubuh Mawar yang tergolek di pembaringan.
"He he he..!" Samiaji tertawa-tawa. Sementara sepasang matanya berputar liar merayapi tubuh montok dan menggiurkan yang terpampang di depannya.
Mawar tahu ada bahaya besar yang tengah mengancamnya, maka sekuat tenaga dikerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kakinya. Tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya yang menggeliat-geliat ke sana kemari menjadi pertanda kalau dia tengah berusaha keras membebaskan dirinya. Bukan hanya Mawar saja yang kelihatan gelisah bukan main. Melati pun dilanda kegelisahan serupa. Tidak terkecuali Arya.
"Keparat! Janggulapati! Hentikan!" pemuda berambut putih keperakan itu berteriak-teriak kalap. Seluruh tenaga yang dimilikinya dikerahkan untuk memutuskan tali-tali yang membelenggunya. Tapi seperti juga yang dialami Mawar, Arya pun mengalami hal yang sama. Usahanya sia-sia. Hanya tubuhnya saja yang menggeliat-geliat ke sana kemari.
"Ha ha ha...!" Hanya suara tawa bergelak Janggulapati yang menyambut teriakan kalap Dewa Arak.
Brettt!
Baju di bagian dada mawar robek lebar ketika tangan Samiaji merenggutnya. Tak pelak lagi tubuh berkulit putih, halus, dan mulus pun tampak menantang. Samiaji menelan ludah. Sepasang matanya semakin liar. Dan tingkahnya pun semakin beringas. Bagaikan seekor ikan hiu lapar mencium darah.
"Samiaji! Manusia keparat!" Arya berteriak semakin kalap. "Manusia pengecut! Ayo hadapi aku! Mari kita bertarung secara jantan."
"Diam!" Seraya membentak keras, Janggulapati melayangkan tangannya. Dan....
Plak..! Seketika itu juga ucapan Arya terhenti. Tamparan tangan laki-laki berbaju hitam itu mendarat telak dan keras sekali di pipi Dewa Arak. Dan kontan kepala Arya terpaling. Cairan merah kental menetes di sudut-sudut bibirnya.
Janggulapati sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam pada tamparannya. Hanya mengerahkan tenaga luar saja. Tapi, orang seperti Arya mana bisa digertak? Dengan berani, meskipun dengan pipi biru lebam, dan terlihat bengkak, dia menentang pandang mata laki-laki berpakaian hitam itu.
"Tidak kusangka kalau Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang tersohor tidak lebih dari seorang pengecut!" keras dan tegas sekali ucapan yang keluar dari mulut Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini berkata sambil mengangkat kepalanya.
"Keparat!" Janggulapati menggeram keras. Tangannya kembali terayun. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Plak...!
Kepala Dewa Arak sampai terbanting ke atas balai-balai bambu saking kerasnya tamparan itu. Kembali rona merah tergambar jelas di bagian wajah yang kena tampar. Cairan merah kental kembali menetes di sudut-sudut mulut pemuda berambut putih keperakan ini. Tapi, lagi-lagi Arya mengangkat kepalanya.
Melati hampir-hampir menjerit melihat keadaan tunangannya. Kedua pipi pemuda itu telah bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan kedua matanya pun sampai tertutupi oleh bengkak-bengkak di wajahnya. Dewa Arak menggertakkan giginya melihat kejadian yang akan menimpa Mawar.
Kelakuan Samiaji yang sudah diamuk nafsu, tidak bedanya lagi dengan hewan. Tanpa mempedulikan banyaknya orang yang melihat semua perbuatannya, pemuda bertubuh pendek kekar itu terus saja melaksanakan niat bejatnya.
Samiaji sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Yang ada di benaknya hanya melampiaskan keinginannya pada Mawar yang dikiranya Melati. Dan kembali tangan murid Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini bergerak.
Brettt..!
Suara ribut dari kain yang robek kembali terdengar begitu celana Mawar kembali terenggut. Kini Mawar terbaring di balai-balai tanpa ada selembar benang pun yang melekat di tubuhnya.
Sehingga tubuh yang berkulit putih, halus, dan mulus pun semakin jelas menantang. Sepasang mata Samiaji hampir melompat keluar begitu melihat sepasang 'bukit kembar' yang menantang birahinya. Dengan susah payah pemuda bertubuh pendek kekar ini berusaha menelan ludahnya.
Napasnya memburu hebat bagaikan orang habis berlari jauh. Bukan hanya Samiaji saja yang mengalaminya. Janggulapati dan empat orang anak buahnya pun menelan air liur. Sepasang mata mereka bagai terpaku ke sana. Bahkan laki-laki berpakaian hitam ini sampai melupakan Dewa Arak!
Hanya ada dua pasang mata yang tidak tahan melihat kejadian itu. Mata dari Melati dan Arya Buana. Melati menundukkan kepalanya. Tak kuat gadis berpakaian merah ini menyaksikan adegan yang akan menimpa saudara kembarnya. Sepasang matanya pun dipejamkan rapat-rapat. Meskipun tidak menutup telinga, tapi gadis ini berusaha menulikan pendengaran.
Tapi meskipun begitu, tak urung rintihan Mawar terdengar olehnya. Hati gadis berpakaian merah ini seperti diiris-iris sembilu. Begitu sakit. Begitu perih. Begitu nyeri. Tak dapat ditahan lagi, dua tetes air bening menggulir dari kedua kelopak matanya. Wanita yang berhati keras ini menangis! Meskipun tanpa suara. Kalau menuruti perasaan hatinya, ingin Melati menyerang mereka mati-matian. Biarlah dia tewas di tangan mereka daripada menyaksikan adegan yang terpampang di hadapannya.
Tapi, akal sehatnya melarang. Sia-sialah semua pengorbanan yang dilakukan saudara kembarnya kalau hal itu dia lakukan. Bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan demikian. Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Beberapa kali Arya menggertakkan gigi. Jari-jari kedua tangannya dikepalkan terus, hingga kuku-kukunya membekas di telapak tangan.
Sepasang matanya menatap lawan-lawannya penuh hawa membunuh. Untuk pertama kalinya Arya yang selama ini dikenal sebagai pendekar welas asih berniat melenyapkan semua lawan-lawannya tanpa pertimbangan lagi.
Sementara itu Samiaji sudah mulai menggeluti tubuh Mawar dengan kasar. Secara buas, liar, dan brutal diciumnya sekujur tubuh Mawar yang sudah tanpa busana itu. Kedua tangannya meremas-remas ke sana kemari. Tak dipedulikannya rintihan lirih dari mulut gadis itu. Dalam pendengaran pemuda bertubuh pendek kekar ini, rintihan menyayat Mawar adalah nyanyian merdu bidadari yang malah membuatnya semakin brutal.
Janggulapati dan empat orang anak buahnya menelan ludah melihat adegan yang terpampang di hadapannya. Tapi sesaat kemudian, laki-laki berpakaian hitam itu mulai mengadakan penyiksaan terhadap Dewa Arak. Tidak dipedulikannya lagi semua yang dilakukan muridnya.
Gayatri yang sejak tadi hanya memperhatikan saja, kini tidak tinggal diam. Wanita pesolek ini pun ikut ambil bagian dalam penyiksaan terhadap Dewa Arak. Gayatri menggunakan senjatanya untuk menyiksa Arya. Sebuah kebutan dengan bulu-bulu berwama putih keperakan.
Wurtt! Prattt..!
Bukkk! Bukkk!
Berkali-kali kebutan di tangan wanita berpakaian hitam itu menampar sekujur tubuh Arya. Di tangan Gayatri, kebutan itu berubah menjadi alat penyiksa yang mengerikan. Kebutan itu terkadang menegang kaku untuk menotok berbagai bagian tubuh Dewa Arak Tapi, tak jarang melemas, digunakan untuk melecut seperti cambuk. Dan berkali-kali mendarat di berbagai bagian tubuh Arya.
Berkali-kali tubuh pemuda berambut putih keperakan itu meregang, setiap kali Janggulapati maupun Gayatri mengayunkan tangan. Seluruh baju dan celana Arya sudah compang-camping tak karuan. Habis tersayat-sayat lecutan kebutan Gayatri.
Meskipun siksaan demi siksaan menderanya, tapi tidak sedikit pun terdengar jerit kesakitan dari mulut Arya. Pemuda ini menggigit bibir erat-erat untuk menahan suara rintihan yang hampir keluar dari mulutnya. Bahkan bibirnya sampai pecah mengeluarkan darah. Hanya tubuhnya yang sesekali menggeliat yang menjadi bukti kalau siksaan Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menyakitkan dirinya.
Melati yang tak kuat melihat adegan penyiksaan terhadap dua orang yang dikasihinya, tertunduk dalam. Hanya kedua tangannya yang mengepal keras menjadi bukti kalau gadis itu tengah berperang dengan perasaannya.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar baru menghentikan siksaannya setelah Samiaji juga menghentikan nafsu binatangnya. Ada senyum puas yang tersungging di mulut pemuda bertubuh pendek kekar itu, ketika perlahan-lahan mengenakan pakaiannya kembali.
"Kau urus mereka, Mawar! Dan segera keluar kalau tidak ingin bernasib seperti mereka!" ucap Janggulapati sambil melangkah keluar, diikuti yang lainnya.
Dengan wajah pucat pasi bagai mayat, Melati kemudian memakaikan pakaian baru berwarna putih pada saudara kembarnya. Kedua tangannya nampak menggigil keras menahan gejolak perasaan yang menyiksa. Sesaat kemudian kedua saudara kembar ini saling berpelukan erat Mawar dan Melati sama-sama menangis tanpa suara.
Sementara Dewa Arak sama sekali tidak tahu apa-apa. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah pingsan. Tak kuat menahan siksaan demi siksaan yang mendera tubuhnya. Tak lama kemudian, Melati pun keluar dari kamar itu, setelah melempar pandang ke arah Arya beberapa saat lamanya. Gadis berpakaian merah ini tak bisa berbuat apa-apa.
Melati tahu kalau Janggulapati tidak main-main dengan ancamannya tadi. Di luar pintu, dilihatnya empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatapnya dengan sinar mata aneh. Tapi gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dan terus melangkah masuk ke kamarnya.
Untuk kesekian kalinya, Melati menelan obat yang diberikan Mawar. Setelah itu, gadis berpakaian merah ini duduk bersila. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka, dirangkapkan di depan dada. Ujung-ujung jarinya tegak lurus ke atas. Sedangkan punggungnya ditegakkan. Melati kembali bersemadi untuk menghilangkan racun milik Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar.
Tak lama kemudian, gadis berpakaian merah ini sudah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang terdengar hanyalah suara keluar masuknya udara yang ditarik dan dibuang oleh gadis itu. Suara pelan dan berirama tetap. Secercah kegembiraan mulai timbul di hati Melati setelah merasakan ada hawa hangat yang berputar di bawah pusarnya.
Memang masih pelan, tapi sedikit banyak sudah membuat semangat gadis berpakaian merah ini bangkit Dengan penuh semangat Melati meneruskan semadi tanpa mempedulikan sang waktu yang terus bergulir. Yang ada di dalam benaknya saat ini hanya bersemadi dan bersemadi.
Semakin lama hawa yang berputaran di bawah pusar Melati semakin bergolak keras. Tapi, gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dia terus saja melanjutkan semadinya dengan tekun. Dan perlahan namun pasti tubuhnya mulai berguncang-guncang.
Wajah Melati sudah mandi keringat ketika menghentikan semadi. Perlahan-lahan gadis berpakaian merah ini bangkit berdiri. Secercah senyuman tersungging di bibirnya. Kini sudah hampir tiba saatnya dia membalas dendam.
Melati kemudian memusatkan perhatiannya. Pikirannya disatukan pada keinginannya untuk menyalurkan hawa yang berputaran di bawah pusarnya ke kedua telapak tangannya. Dan hampir saja gadis berpakaian merah ini bersorak gembira begitu merasakan aliran aneh yang merayap ke kedua tangannya.
Tenaga dalamnya telah pulih kembali! Tenaga dalamnya telah kembali berfungsi! Meskipun begitu, Melati belum merasa yakin kalau tenaga dalamnya telah kembali seperti semula. Walaupun begitu, keberhasilan usahanya sudah membuatnya gembira bukan main. Keberhasilan membangkitkan kembali tenaga dalamnya yang lenyap ini membuktikan kalau tak akan lama lagi seluruh tenaga dalamnya pulih kembali. Kini Melati melangkah ke arah pintu Kemudian tangannya dijulurkan.
Kriiittt..! Terdengar suara berderit pelan begitu daun pintu kamar terbuka. Perlahan gadis berpakaian merah ini menutupkan pintu kembali. Kemudian melangkahkan kakinya menuju ke ruang tahanan Arya dan Mawar. Melati mendadak mengerutkan alisnya begitu melihat di depan pintu ruangan itu berjaga-jaga empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tidak biasanya ruangan ini dijaga. Ada apa gerangan? tanya gadis berpakaian merah ini dalam hati.
Keempat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap lekat-lekat wajah Melati yang mereka sangka Mawar. Sorot mata mereka liar penuh nafsu. Dan memang, sebenarnya keempat orang ini sudah lama memendam hasrat jelek pada Mawar. Hanya saja mereka tidak berani melakukannya. Takut pada ketua mereka.
Mawar telah menceritakannya semua pada Melati. Maka gadis berpakaian merah ini pun tahu arti pandangan mata mereka. Tapi, yakin kalau seperti biasanya, empat orang itu tidak berani mengganggu, Melati meneruskan langkah menuju pintu. Melati kaget bukan main ketika melihat empat orang itu berdiri menghadang jalan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Keparat!" bentak Melati keras. Kemarahan yang hebat memang melanda gadis berpakaian merah ini. Tapi, untunglah dalam keadaan seperti itu dia masih teringat meniru suara Mawar. "Berani kalian menggangguku?! Apa kalian tidak takut kepada pemimpin kalian?!"
"He he he...!" salah seorang yang bertubuh tinggi kurus tertawa-tawa dengan lagak menyebalkan. "Mereka baru saja pergi, Mawar. Dan mungkin nanti malam baru kembali. Sekarang kesempatan bagi kami terbuka untuk bersenang-senang denganmu!"
"Benar...! Ha ha ha...!" sambut yang berkulit kuning.
"Ayolah, Mawar...!" yang berambut abu-abu ikut pula angkat bicara.
Seketika wajah Melati berubah. Kepergian Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji merupakan sebuah kesempatan emas untuk melarikan diri. Tapi, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Barangkali saja keempat orang ini berbohong padanya. Tapi, menilik dari sikap mereka, Melati dapat menduga kalau keempat orang itu sama sekali tidak berdusta.
"Tunggu sebentar...!" cegah Melati sambil menjulurkan kedua tangannya. Seketika langkah kaki keempat orang itu tertahan. "Aku bersedia meladeni kalian..., asal kalian mau menjawab pertanyaanku," ucap Melati.
Keempat orang yang tengah diamuk nafsu itu mana sempat mencerna arti kata-kata 'meladeni' yang dimaksud gadis berpakaian merah itu. Yang jelas, kata-kata Melati yang mereka sangka Mawar, di telinga mereka adalah persetujuan gadis itu.
"Cepat..., ajukan pertanyaanmu, Mawar...!" desak laki-laki bertubuh tinggi kurus tak sabar.
"Ke mana mereka pergi?" tanya Melati ingin tahu.
"Mencari tempat persembunyian ibumu, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus.
"Apakah mereka tidak khawatir kalau tahanan kita melarikan diri?" Melati ingin tahu.
"Ketua tidak sebodoh itu, Mawar. Sebelum pergi, ketua sudah menjejali kedua tahanan dengan racun. Bahkan Samiaji kembali menikmati kemolekan tubuh gadis itu."
"Lalu..., kenapa kalian berjaga-jaga di sini?"
"Agar kau tidak bisa membawa kabur mereka, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak sabar. "Mengapa pertanyaanmu begini banyak sih?!"
Melati berpura-pura tersenyum manis walaupun sebenarnya hatinya bergolak penuh kemarahan yang meluap-luap. "Sabar, tinggal satu pertanyaan lagi. Dan aku akan meladeni kalian."
"Cepatlah, Mawar!" Seketika wajah laki-laki berambut abu-abu berseri.
"Sebenarnya..., bisa saja kami memaksamu secara kasar, Mawar. Toh, kami bisa saja mencari-cari alasan. Misalnya kau ingin membawa kabur tahanan. Tapi..., kami lebih suka kalau kau melayani secara sukarela. Ha ha ha...! Bukan begitu, Teman-teman?!"
Hampir bersamaan ketiga rekan laki-laki berambut abu-abu itu menganggukkan kepalanya.
"Aku membatalkan pertanyaanku!" tandas Melati tegas.
"Heh...?! Jadi..?" laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak melanjutkan ucapannya. Agak kaget juga dia mendengar jawaban yang ketus itu.
Bahkan tiga rekannya juga terkejut mendengarnya. Dan seketika itu juga mereka bersiap siaga. Tapi keempat orang kasar itu tidak merasa khawatir, karena telah mengetahui tingkat kepandaian gadis yang mereka kira Mawar. Jangankan melawan mereka berempat, melawan dua di antara mereka saja belum tentu gadis itu mampu.
"Rupanya kau lebih suka diperlakukan kasar, Mawar!"
"Sekarang aku akan meladeni kalian!"
Setelah berkata demikian, tangan Melati meluncur ke arah dada laki-laki tinggi kurus. Dalam kemarahan dan kekhawatiran akan kehadiran Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji, gadis berpakaian merah ini. Langsung mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.
Laki-laki tinggi kurus yang semula memandang rendah, jadi terperanjat kaget bukan main melihat kecepatan gerak Melati. Serangan gadis itu tiba begitu cepat. Dan juga angin yang mengiringi tibanya serangan itu begitu keras. Dengan sebisa-bisanya laki-laki tinggi kurus ini berusaha mengelak. Tapi, karena sebelumnya dia tidak berwaspada, dan lagi serangan itu datang melebihi perkiraannya, maka....
Plak...!
Terdengar suara berderak keras begitu tamparan Melati mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh laki-laki tinggi kurus itu terpelanting jatuh. Beberapa saat lamanya, tubuh itu menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tewas dengan tulang dada berpatahan. Darah segar mengucur deras dari hidung, mulut, dan telinga laki-laki tinggi kurus itu.
Ketiga rekannya kaget bukan main melihat kematian si tinggi kurus. Sungguh tidak mereka sangka kalau Melati selihai ini. Mungkinkah dalam waktu beberapa hari saja, kepandaian gadis berpakaian merah ini bisa melonjak begitu cepat? tanya mereka dalam hati, penuh rasa tidak percaya. Tapi, ketiga anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini tidak ingin berpikir lebih lama lagi.
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar terang berpendar begitu ketiga orang itu menghunus senjata masing-masing. Mereka tahu kalau kini entah dengan cara bagaimana, gadis yang mereka sangka Mawar bisa memiliki kepandaian selihai itu. Maka mereka tidak berani bersikap main-main.
Melati tersenyum sinis. "Orang biadab seperti kalian tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama. Dunia akan gembira bila kalian semua lenyap dari muka bumi." Tajam dan penuh ancaman ucapan yang keluar dari mulut Melati. Sedangkan Sepasang matanya mencorong kehijauan menatap ketiga lawannya.
Tak terasa ketiga orang anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar itu melangkah mundur setindak. Tengkuk mereka seketika terasa dingin. Ancaman maut yang mencuat dari gadis di hadapan mereka tampaknya memang tidak main-main.
Tapi Melati yang sudah dilanda dendam yang bergelora tidak mau memberi kesempatan lagi. Kembali gadis berpakaian merah ini menerjang. Tangan kanannya yang berbentuk cakar naga meluruk deras mengancam ke arah dada salah seorang anak buah Alap-Alap Bukit Gantar. Sementara tangan kiri terletak di pinggang.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras sebelum sambaran cakar itu sendiri tiba. Laki-laki berambut abu-abu yang menjadi sasaran sambaran cakar naga segera memapak serangan itu dengan tusukan pedang. Sementara kedua rekannya pun tidak tinggal diam. Mereka menghujani Melati dengan serangan-serangan maut bertubi-tubi.
Melati yang tahu kalau tenaga dalamnya belum pulih secara keseluruhan, buru-buru membatalkan serangannya seraya melompat mundur begitu melihat lawan memapak tangannya dengan golok. Hasilnya, serangan ketiga lawannya mengenai tempat kosong. Beberapa jengkal di depannya.
Melati segera mengambil golok yang tergantung di pinggang mayat laki-laki bertubuh tinggi kurus. Dan tanpa ragu-ragu lagi, dia memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Memang ada sedikit kecanggungan ketika menggunakan golok itu. Tapi sama sekali tidak mempengaruhi kedahsyatan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung dahsyat seperti ada ribuan tawon mengamuk begitu Melati menggerakkan golok rampasannya. Ketiga anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar terkejut mendengarnya. Tapi, kejadian itu hanya berlangsung sebentar. Sesaat kemudian mereka sudah kembali menyerang gadis berpakaian merah itu sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring.
Tapi mana mampu keroco-keroco seperti mereka menandingi 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dahsyat? Terdengar suara menggerung keras begitu Melati menyambut serangan tiga orang musuhnya sambil melompat. Sesaat kemudian, terdengar teriakan-teriakan menyayat saling susul yang diikuti dengan robohnya ketiga orang itu dalam keadaan tanpa nyawa.
Melati menatap ketiga mayat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Ada rasa puas yang terpancar di wajahnya. Sejenak pandangannya dialihkan pada golok berlumuran darah yang tergenggam di tangannya. Kemudian dilemparkannya ke bawah.
Cappp!
Batang golok itu menancap di lantai sampai lebih dari setengahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera membalikkan badan menatap pintu yang terpampang dalam jarak sekitar lima tombak di depannya.
"Hih...!" Melati berseru keras seraya menghentakkan kedua tangan yang membentuk cakar naga ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...! Angin keras berhembus dari kedua telapak tangan gadis berpakaian merah itu. Kemudian meluncur deras ke arah pintu. Rupanya Melati ingin menguji kekuatan tenaga dalamnya.
Brakkk! Terdengar suara berderak keras yang diikuti dengan hancurnya daun pintu ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan. Hancur berkeping-keping! Karuan saja suara itu membuat Arya dan Mawar terkejut bukan main. Serentak keduanya menoleh ke arah ambang pintu yang sudah tidak berdaun lagi. Dan dari luar pintu melesat sesosok bayangan merah, yang sesaat kemudian sudah berdiri di ambang pintu.
"Melati...," hampir bersamaan Arya dan Mawar mendesah pelan begitu melihat sosok tubuh yang ternyata tidak lain adalah Melati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera bergegas melangkah.
"Bebaskan Mawar dulu, Melati," ucap Arya bernada perintah.
Melati segera melangkah ke arah balai-balai bambu Mawar. Agak terburu-buru dia melepaskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kaki saudara kembarnya.
"Melati...!" seru Mawar serak bemada isak. Air matanya meleleh di sepanjang pipinya. Dan begitu ikatan yang membelenggunya terlepas, Melati dipeluknya erat-erat Melati pun balas memeluk tak kalah erat. Rasa haru yang menggelegak membuat dadanya terasa sesak. Bahkan gadis berpakaian merah ini tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
Semua ucapan yang akan keluar, tersumbat di tenggorokan. Yang dapat dilakukan Melati hanya balas memeluk erat-erat, sambil menepuk-nepuk punggung saudara kembarnya. Beberapa saat lamanya kedua gadis kembar itu saling berpelukan dengan hati yang sama menangis. Baru Melati perlahan-lahan melepaskan pelukannya. Sejenak ditatapnya wajah saudara kembarnya yang pucat pasi.
"Maafkan aku yang telah menyusahkanmu, Mawar," ucap Melati. Pelan dan serak suaranya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Melati. Kau tidak salah." Mawar menggelengkan kepala.
"Mari kita bebaskan Kang Arya dulu," ajak Melati sambil menuntun tangan gadis berpakaian putih itu.
Tanpa banyak membantah, Mawar mengikuti langkah saudara kembarnya menuju balai-balai bambu tempat Arya diikat. Sambil melepaskan ikatan yang membelenggu tangan dan kaki Arya, Melati menatap sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan diam-diam hati gadis ini terenyuh begitu melihat keadaan Dewa Arak.
Wajah Arya bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan sepasang matanya pun sampai tak terlihat lagi, karena tertutup oleh bengkak-bengkak pada wajahnya. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka menghitam panjang bekas cambukan. Bahkan sambungan lutut kaki kanannya terlepas. Begitu pula sambungan tulang siku tangan kirinya.
"Mengapa kau berani membebaskan kami secara terang-terangan begini, Melati?" tanya Arya pelan, begitu telah bebas dari belenggu.
"Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji tidak berada di tempat, Kang," jawab Melati sambil menatap dengan pandangan iba pada tunangannya. "Yang ada hanya empat orang anak buahnya."
"Hm..., lalu?" kejar Arya.
"Mereka semua sudah kukirim ke akhirat!" tandas gadis berpakaian merah ini tegas.
"Kau tahu ke mana manusia-manusia terkutuk itu pergi, Melati?" Arya mengganti sebutan untuk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Melati menganggukkan kepala.
"Ke mana?" Mawar yang sudah tidak sabar lagi ikut bertanya.
"Mencari ibumu, Mawar," jawab Melati dengan suara mendesah.
"Ibumu juga, Melati," balas Mawar membenarkan ucapan gadis berpakaian merah itu.
"Hhh...!" Melati menghela napas berat.
"Kau tidak percaya, Melati?"
"Bukannya aku tidak percaya, Mawar. Tapi..., kejadian ini membuatku tidak yakin...."
Ragu-ragu Melati menanggapi.
"Sudahlah...!" Arya cepat menengahi. "Urusan itu bisa diurus belakangan. Yang penting, Sekarang kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka kembali."
"Tapi, ke mana?" tanya Melati bingung.
"Bagaimana kalau ke tempat persembunyian ibuku?" usul Mawar tiba-tiba.
Arya dan Melati melengak kaget. "Kau tahu di mana ibumu?" tanya Melati ragu-ragu.
"Tahu secara pasti sih tidak. Tapi, aku yakin kalau dia ada di tempat itu. Karena memang tempat itulah satu-satunya yang sering dia kunjungi kalau sedang tidak ada di rumah. Dan lagi..., mungkin ibuku bisa mengobati semua luka-luka Kang Arya. Ibuku seorang yang ahli dalam ilmu pengobatan."
"Bagaimana, Kang?" tanya Melati meminta pendapat tunangannya.
"Aku setuju," sahut Arya cepat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga muda-mudi ini pun bergegas meninggalkan markas Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tak lupa, ketiga orang itu mengambil guci perak dan Pedang Bintang yang direbut Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Baru kemudian mereka meninggalkan tempat itu.
Arya terpaksa menggunakan sebatang tongkat untuk lebih memudahkan berjalan. Mula-mula memang canggung. Tapi lama kelamaan akhirnya dia mulai terbiasa.
"Ibu...!" Mawar berseru keras, begitu melihat seorang wanita setengah baya berpakaian kuning muda tengah menyapu pelataran yang cukup luas di depan sebuah gua.
Wanita berpakaian kuning muda yang ternyata adalah Karina sampai terjingkat kaget mendengar panggjlan itu. Dia kenal betul pemilik suara itu. Dan kepalanya pun cepat ditolehkan ke belakang karena wanita ini menyapu menghadap mulut gua. Sekitar lima tombak di depan, dilihatnya tiga sosok tubuh yang tengah melangkah ke arahnya. Beberapa saat wanita berpakaian kuning muda ini menyipitkan mata untuk memperjelas pandangan.
"Mawar...! Anakku...!"
Seraya berteriak nyaring, tiba-tiba Karina melempar sapunya dan kemudian menghambur ke arah tiga sosok tubuh yang tengah menghampirinya. Mawar segera menghambur ke arah ibunya. Ditinggalkannya Melati dan Arya.
"Ibu...!" seru gadis berpakaian putih ini tak kalah keras. Tapi alangkah heran hati Mawar, begitu melihat wanita berpakaian kuning muda itu tiba-tiba menghentikan langkah.
"Kau..., kau siapa...?" tanya Karina dengan mulut bergetar. Sepasang matanya menatap gadis berpakaian putih yang berdiri di hadapannya penuh rasa heran. Memang, tadi wanita berpakaian kuning muda ini berlari ke arah mereka karena melihat pakaian merah yang dikenakan Melati. Tentu saja wanita setengah baya ini jadi terkejut begitu melihat gadis berpakaian putih yang menghambur kearahnya. Dan anehnya wajah gadis itu adalah wajah yang amat dikenalnya. Wajah Mawar!
Dengan pandang mata bingung, Karina mengalihkan tatapannya ke arah gadis berpakaian merah yang tengah berdiri berdampingan dengan seorang pemuda berambut putih keperakan. Dan jelas dilihatnya kalau gadis itu adalah Mawar! Tapi, mengapa gadis itu tidak menyambut? Malah gadis berpakaian putih ini yang menyambut dan memanggilnya ibu?
"Aku Mawar, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu terbata-bata. "Mawar putri Ibu? Masa' Ibu lupa?"
"Lalu..., siapa gadis itu?" tanya Karina lagi sambil menunjuk gadis berpakaian merah berambut digelung ke atas.
Kini Mawar baru sadar mengapa ibunya kebingungan. Mengapa dia sampai lupa? Dia masih berpakaian dan berdandan Melati. Pantas saja kalau tadi ibunya kebingungan. Apalagi di situ juga ada Melati yang berperan sebagai Mawar.
"Dia adalah saudara kembarku, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu cepat "Saudara yang dulu sering Ibu ceritakan."
"Ah...!" wanita berpakaian kuning ini terjingkat bagai disengat ular berbisa. "Dia..., dia... Delima?"
Mawar menganggukkan kepalanya. Dan seketika itu juga, Karina melayangkan tatapannya ke arah Melati. Sejak tadi Melati memang sudah memperhatikan wanita yang dipanggil ibu oleh Mawar. Dan begitu melihat, seketika timbul rasa sukanya. Wanita setengah baya itu kelihatan begitu agung dan sederhana. Melati tidak merasa keberatan jika wanita itu benar ibu kandungnya.
"Delima...!" wanita berpakaian kuning muda itu memanggil dengan suara lirih dan bergetar. Tapi cukup jelas untuk dapat ditangkap oleh telinga Melati dan Arya. Kedua kaki Melati menggigil keras mendengar panggilan wanita berpakaian kuning muda yang begitu sarat dengan kerinduan. Seketika ada semacam perasaan aneh yang membuat hatinya yakin kalau wanita di hadapannya ini benar ibu kandungnya.
"Delima... Anakku...! Kemarilah kau, Nak," panggil Karina lagi. Kedua tangannya terkembang ke depan. Siap untuk memeluk putrinya yang telah belasan tahun tidak pernah dijumpai. Melati menghampiri Karina dengan jantung berdebar keras.
"Apa buktinya kalau aku adalah anakmu?" tanya gadis berpakaian merah ini dengan suara bergetar.
"Kalau kau benar Delima..., ada dua tanda kehitaman mirip sebuah tompel yang kau miliki. Pada bahu kananmu dan pada perutmu...," ujar Karina, agak bergetar suaranya.
"Ibu...!" Kini Melati tidak ragu lagi. Segera gadis berpakaian merah ini menghambur ke ibunya dengan kedua tangan terkembang ke depan. Sesaat kemudian ibu dan anak yang telah sekian belas tahun berpisah sudah saling berpelukan erat.
"Delima..., Anakku..." Tersendat-sendat Karina mengeluarkan ucapan. Sementara, kedua tangannya sibuk mengusap-usap rambut hitam dan tebal yang dimitiki Melati penuh kasih sayang.
"Ibu... Mengapa Ibu tega memberikanku pada orang lain?" tanya gadis berpakaian merah itu sambil melepaskan pelukan.
Karina tertegun sejenak. "Dari mana kau tahu, Delima? Pasti dari Mawar kan?"
Hampir berbarengan Melati dan Mawar menganggukkan kepala.
"Panjang ceritanya, Delima. Tapi percayalah...! Semua itu Ibu lakukan demi keselamatanmu juga."
Melati pun terdiam seketika.
"Mari masuk dulu, Delima. Ajak pula kawanmu. Kelihatannya dia mengalami luka parah. Luka-lukanya perlu segera mendapatkan pengobatan."
Sesaat kemudian, keempat orang itu pun sudah masuk ke dalam gua.
Ternyata Mawar tidak berbohong sewaktu mengatakan kalau ibunya adalah seorang ahli pengobatan. Tidak sampai dua hari, luka-luka yang diderita Arya sudah sembuh sama sekali. Sementara pengobatan untuk tenaga dalamnya yang musnah, disembuhkan dengan arak yang berasal dari guci peraknya. Selama dua hari itu pula Melati terpaksa menahan-nahan diri untuk tidak mendesak ibunya menjelaskan mengapa dirinya dipisahkan.
Dua hari itu dihabiskan oleh Melati untuk melakukan semadi mengembalikan kondisinya seperti semula. Ternyata obat yang diberikan wanita berpakaian kuning ini memang manjur. Terbukti, dua hari kemudian tenaga dalamnya telah putih kembali seperti sediakala.
Pagi ini, saat yang dinanti-nantikan Melati pun tiba. Karina menyuruh mereka berkumpul di bagian tengah gua yang kebetulan mempunyai ruang cukup luas dan terang. Mereka semua duduk di tanah membentuk lingkaran.
"Dengarlah oleh kalian semua, terutama kalian berdua," ucap Karina seraya menatap Melati dan Mawar bergantian, setelah keduanya menceritakan semua kejadian yang mereka alami sehingga bisa bertemu. Bahkan Melati pun menceritakan semua hal yang dialaminya sejak kecil. Kedua saudara kembar itu kini telah kembali pada pakaian dan dandanan masing-masing.
Melati dan Mawar menganggukkan kepala berbareng. Kini pendengaran mereka dipasang tajam-tajam untuk mendengar sejarah hidup keluarga mereka.
"Puluhan tahun lalu, ayah kalian adalah seorang pendekar sakti yang jarang memiliki tandingan. Palungga namanya. Tapi sayang sekali. Ayahmu terlalu kejam pada orang-orang yang berbuat jahat. Tak ada ampun bagi setiap orang jahat yang bertemu dengannya."
Karina menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah-wajah yang mendengarkan ceritanya dengan penuh minat. Tak terkecuali Mawar. Karena baru kali inilah ibunya bercerita begini jelas. Dan hal itu terpaksa dilakukan wanita berpakaian kuning muda ini untuk membuat hati Melati puas.
"Ketika ayahmu menikah denganku, baru kekejamannya berkurang. Sedikit demi sedikit dia mulai menjauhi kerasnya dunia persilatan," sambung wanita setengah baya itu lagi. "Tapi, karena ayahmu telah terlalu banyak menanam dendam pada orang lain, usahanya untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan sia-sia."
"Maksud, Ibu...?" tanya Melati dengan suara bergetar. Meskipun sebenarnya sudah bisa menduga apa yang terjadi, tapi gadis berpakaian putih ini masih juga bertanya.
"Yahhh...! Pada suatu malam, orang-orang persilatan golongan hitam menyerbu rumah kami. Ayahmu menyuruhku menyelamatkan diri sambil membawa kalian. Sementara dia sendiri berusaha menahan orang-orang golongan hitam itu."
"Ayah...," keluh Melati pelan. Ada keharuan yang menyeruak di hati gadis berpakaian putih ini begitu mendengar ayahnya sengaja mengorbankan diri agar anak istrinya selamat.
"Dengan membawa kalian, aku melarikan diri. Berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Dan sewaktu aku menumpang di rumah keluarga adikku yang belum dikaruniai anak, mereka menawarkan diri untuk mengurus salah seorang di antara kalian."
Kembali Karina menghentikan ceritanya. Wanita berpakaian kuning muda ini terdiam sejenak. Sepertinya dia tengah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya.
"Dengan berat hati, aku terpaksa melepaskan kau, Delima. Karena hanya kaulah yang punya tanda-tanda khusus yang dapat kujadikan bukti sebagai anakku kelak," sambung Karina lagi. "Dan tak lama kemudian, aku bertemu dengan sahabat suamiku. Bongaya namanya. Dia bersedia menampungku. Bahkan bersedia menganggap Mawar sebagai anak dan mengakuiku sebagai istrinya. Semua itu dilakukan untuk menyelamatkanku. Dia menjadi suamiku tidak dalam arti sebenarnya."
Karina menghentikan ceritanya. "Cerita selanjutnya kau saja yang menyambungnya, Mawar?" wanita berpakaian kuning muda itu menawarkan.
Mawar menganggukkan kepala. "Sekitar dua pekan lalu, ketika ayah tengah melatihku, muncul dua orang yang mengaku berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar mencari ibu. Ayah mengatakan tidak tahu. Tapi rupanya mereka tidak percaya."
Gadis berpakaian merah itu menghentikan ceritanya sejenak. Janggal rasanya menyebut ayah pada orang yang ternyata bukan ayah kandungnya. Bahkan dibilang ayah tirinya pun bukan! "Akhirnya terjadi pertarungan. Ayah tewas, dan aku pingsan. Cerita selanjutnya kalian sudah tahu sendiri."
Suasana jadi hening seketika begitu Mawar menghentikan ceritanya. Masing-masing tenggelam dalam lamunan sendiri-sendiri.
"Heiii...! Yang ada di dalam...! Keluar...!"
Terdengar suara teriakan keras dari luar yang menggema ke dalam gua. Seketika itu juga empat sosok tubuh yang tengah tenggelam dalam lamunan masing-masing tersentak kaget.
"Janggulapati...," desis Arya yang mengenali suara keras dari luar gua. Seketika itu juga amarah. Dewa Arak kembali bergolak. Cepat pemuda berambut putih keperakan ini bangkit berdiri.
Begitu melihat Arya bangun, Melati, Mawar, dan ibunya pun bergerak bangun dan melangkah ke luar gua. Ternyata dugaan Dewa Arak tidak meleset.
Di luar gua telah berdiri Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Ketiga orang ini marah bukan main begitu kembali pada malam hari, semua penjaga telah tewas dan tawanan mereka telah lolos semua. Betapapun telah berpikir keras, mereka tak juga mengetahui bagaimana semua itu bisa terjadi. Tanpa berpikir lebih lama lagi, ketiganya segera mengejar. Setelah ke sana kemari, akhirnya mereka menemukan gua tempat tinggal Karina. Itu pun atas petunjuk yang mereka terima dari seorang pencari kayu bakar.
"Kau dan ibumu tunggu di sini saja, Mawar," ucap Arya. "Biar aku dan Melati yang menghadapi mereka."
Mawar dan Karina yang tahu kalau kepandaian mereka tidak banyak berarti bila dipakai menghadapi ketiga orang itu, menganggukkan kepala tanpa banyak membantah.
"Hati-hatilah..., mereka sangat licik," Mawar tak lupa memberi nasihat.
Arya dan Melati menganggukkan kepala pertanda mengerti. "Akan kuperhatikan nasihatmu, Mawar," sahut Melati seraya melangkah keluar gua.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji menatap wajah Melati dan Arya tajam-tajam. Seketika wajah mereka memucat. Dari wajah dan mata muda-mudi yang melangkah keluar gua itu mereka tidak melihat adanya tanda-tanda racun yang mereka berikan. Mungkinkah kedua orang ini sudah terbebas dari racun? pikir mereka setengah tidak percaya. Tapi, bagaimana bisa secepat itu? Padahal sekalipun mereka mendapatkan obat yang paling manjur, paling cepat butuh waktu empat hari.
Rupanya mereka sama sekali tidak tahu kalau guci arak pusaka Arya mampu menawarkan segala macam racun! Sementara Melati telah memulai pengobatannya sewaktu masih berada di sarang mereka. Arya segera menjumput guci arak di punggungnya. Kemudian menuangkan ke mulutnya. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk..! Terdengar suara tegukan begitu arak melewati tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang menyebar di perut Dewa Arak. Dan perlahan-lahan hawa hangat tadi naik ke atas kepala.
"Hiaaat..!" Samiaji melompat menerjang Melati. Tangan kanannya terayun deras menampar ke arah pelipis.
Wuuuttt..! Angin berhembus keras sebelum tamparan itu tiba. Melati yang pernah menjajal tingkat kepandaian pemuda bertubuh pendek kekar itu tak ragu-ragu lagi mengangkat tangan kiri menangkis.
Plakkk!
Benturan antara dua buah tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dihindarkan lagi. Akibatnya tubuh Samiaji yang masih berada di udara terjengkang ke belakang. Namun dengan manis pemuda bertubuh pendek kekar itu mematahkannya, dan mendarat mulus di tanah. Meskipun begitu, sebuah seringai kesakitan nampak di wajahnya.
Sementara Melati hanya agak goyah saja kuda-kudanya. Tidak tampak kalau gadis berpakaian putih ini terpengaruh dengan benturan itu. Dari sini saja sudah bisa diketahui kalau tenaga dalam Melati masih berada di atas Samiaji. Samiaji menggeram keras. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang marah bukan main. Dari benturan ini sudah diketahuinya kalau tenaga dalam Melati sudah pulih kembali. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, pemuda bertubuh pendek kekar ini tidak habis mengerti.
"Hih...!" Entah dari mana mengambilnya, tahu-tahu di tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu telah tergenggam sebatang tongkat berujung bulan sabit.
Wuk, wuk, wuk...! Terdengar suara mengiuk keras begitu Samiaji memutar-mutar tongkatnya laksana baling-baling. Dan....
"Hiaaat..!" Tongkat berujung logam bulan sabit itu meluncur cepat ke arah dada Melati. Tapi gadis berpakaian putih ini tidak menjadi gugup. Cepat kakinya dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan tubuh sehingga sambaran tongkat lewat sejengkal di samping kirinya. Tapi, sebelum Melati sempat berbuat sesuatu, tongkat bulan sabit itu dikelebatkan ke samping kiri. Menebas leher gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!" Tidak ada jalan lain bagi Melati kecuali merendahkan tubuh, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Dan dari bawah, gadis ini melancarkan serangan balasan.
Wunggg...! Terdengar suara menggerung keras begitu gadis berpakaian putih ini balas menyerang. Entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu ditangannya telah tergenggam sebatang pedang yang tadi tersampir di punggung. Dan sekali menyerang, Melati telah menggunakan 'Ilmu Pedang Seribu Naga', andalannya.
Melati yang memang sangat dendam pada Samiaji atas perbuatan pemuda itu pada saudara kembarnya, tak kepalang tanggung melakukan serangan. Seluruh kemampuan yang dimilikinya langsung dikerahkan. Tentu saja serangan-serangan itu membuat Samiaji jadi kalang-kabut.
Meskipun begitu, tidak berarti kalau pemuda bertubuh pendek kekar ini sama sekali tidak berdaya. Perlawanan mati-matian Samiaji membuat Melati sama sekali tidak mampu mendesak. Dan itu berlangsung sampai belasan jurus.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap cemas ke arah pertempuran. Meskipun dilihatnya pertarungan masih berjalan imbang, tapi laki-laki berpakaian hitam ini tahu kalau Samiaji bukan tandingan Melati. Kalau tidak cepat-cepat dibantu, muridnya pasti akan tewas di tangan Melati. Dan bantuan itu hanya dapat dilakukan kalau Dewa Arak berhasil dia robohkan.
Maka tanpa ragu-ragu lagi istrinya segera diberi isyarat agar ikut maju bersamanya menghadapi Dewa Arak. Dia sendiri segera mengeluarkan senjata andalannya. Sepasang pedang pendek yang bergagang sekaligus sarung dari kayu jati berukir. Gayatri pun tidak tinggal diam. Cepat tangannya bergerak. Dan sesaat kemudian di tangan kanannya telah tergenggam sebuah kebutan berbulu putih.
"Hiyaaa...!" Disertai teriakan nyaring, Janggulapati melesat cepat ke arah Dewa Arak. Pedang pendek di tangan kanannya berkelebat cepat menuju leher Arya. Dan sebelum serangan laki-laki berwajah tirus itu tiba, serangan Gayatri telah datang menyusul. Ketika wanita pesolek ini menggerakkan kebutan yang dipegangnya, seketika itu juga bulu-bulu kebutan yang semula lembut berubah jadi kaku laksana tombak.
Hanya orang yang mempunyai tenaga dalam tinggilah yang bisa melakukannya. Dan kebutan yang telah kaku bagai tombak itu menusuk cepat ke arah ulu hati Arya. Menghadapi dua serangan maut yang tiba berbarengan, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Tubuhnya segera direndahkan sehingga serangan pedang pendek Janggulapati lewat di atas kepalanya. Sementara serangan kebutan yang mengarah ke ulu hatinya, ditangkis dengan gucinya.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring bagai beradunya dua benda logam. Dan seketika itu juga bulu kebutan itu melemas kembali. Gayatri memekik keras begitu merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat tatkala kebutannya berbenturan dengan guci Dewa Arak. Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangan yang memegang kebutan terasa sakit-sakit. Sementara Dewa Arak hanya tergetar saja. Jelas, kalau tenaga dalam yang dimiliki wanita pesolek ini masih berada di bawah Arya.
"Hup!" Ringan tanpa suara tubuh Janggulapati mendarat di tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu pula pedang pendek di tangan kirinya ditusukkan ke arah perut Arya. Dengan perhitungan matang seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Arya mendoyongkan tubuh ke samping kiri sehingga serangan pedang pendek itu lewat setengah jengkal di sebelah kanannya.
Belum lagi Dewa Arak sempat balas menyerang, kebutan di tangan Gayatri kembali menyambar. Tapi kali ini tidak menegang kaku seperti sebelumnya, melainkan lemas. Dan menyabet keras ke arah pelipis Arya. Angin yang bercicitan keras mengiringi tibanya serangan itu.
Lagi-lagi Dewa Arak mempertunjukkan kelihaiannya. Serangan kebutan Gayatri dielakkan hanya dengan menarik kepalanya ke belakang. Dewa Arak memang sudah bertekad untuk menghabisi nyawa Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Begitu mendapat kesempatan, pemuda berambut putih keperakan ini tanpa ragu-ragu lagi segera melancarkan serangan balasan. Sesaat kemudian, ketiga tokoh sakti ini sudah terlibat dalam pertarungan seru dan menarik.
Kembali untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak harus mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ternyata bukanlah tokoh sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh hitam yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau saja menghadapi mereka satu lawan satu, tidak terlalu sulit bagi Dewa Arak untuk mengalahkan mereka.
Tapi, karena kedua datuk sesat ini maju berbareng, tak urung pemuda berambut putih keperakan ini jadi kewalahan juga. Kepandaian satu orang Alap-Alap Bukit Gantar saja hanya berselisih sedikit dengan Arya. Maka dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kedua suami istri ini maju berbareng. Dan yang lebih hebat lagi, dengan maju berbareng mereka dapat saling bantu.
Arya menggertakkan gigi. Dalam kemarahan yang meluap, dan tekad untuk melenyapkan manusia-manusia bermoral bejat itu untuk selama-lamanya, Dewa Arak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dan dengan sendirinya pemuda berpakaian ungu ini pun berada dalam puncak kemampuannya.
Hebat bukan main pertarungan antara Dewa Arak melawan Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Dan seperti juga Arya, sepasang tokoh sesat itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa! Akibatnya, pertarungan antara ketiga orang itu berlangsung cepat. Tak terasa lima puluh jurus telah berlalu, dan sampai sejauh itu belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
Sementara keadaan arena pertarungan sudah porak-poranda. Suara meledak-ledak, mendesing, mengaung mengiringi pertamngan ketiga orang itu. Membuat tanah terbongkar di sana-sini. Dan debu pun mengepul tinggi ke udara. Bahkan batu besar dan kecil pun beterbangan ke sana kemari.
Berbeda dengan Dewa Arak yang belum mampu mendesak lawan, Melati justru sudah mulai dapat menekan lawannya. Samiaji kini hanya mampu mengelak, sesekali menangkis, dan hanya kadang-kadang saja melakukan serangan balasan. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang kalah segala-galanya bila dibanding lawannya. Kalah dalam hal ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, dan juga mutu ilmu silat. Melati dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya membuat pemuda ini mati kutu.
Janggulapati dan Gayatri cemas bukan main melihat keadaan Samiaji. Sungguh tidak mereka sangka kalau Dewa Arak mampu menahan serangan mereka sampai sekian lamanya. Sudah hampir enam puluh jurus mereka bertarung, tapi belum ada satu pun serangan mereka yang berhasil mengenai tubuh Arya. Dan ini tentu saja membuat Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar cemas. Menilik dari keadaan, mereka yakin kalau Dewa Arak tidak akan bisa dirobohkan dalam waktu singkat. Sementara keadaan Samiaji sudah demikian gawat!
"Hiaaat..!" Samiaji tidak sabar lagi. Tanpa mempedulikan pertahanan lagi, pemuda bertubuh pendek kekar ini melompat menerjang Melati. Tongkat berujung bulan sabit di tangannya ditusukkan ke arah dada gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!" Melati menekuk punggungnya ke belakang sehingga serangan Samiaji lewat di atas dadanya. Dan begitu tubuh pemuda bertubuh pendek kekar itu lewat di atas tubuhnya, tangan Melati bergerak cepat.
Singgg, crattt...!
Pedang di tangan Melati menyobek tubuh Samiaji. Mulai dari perut sampai ke leher. Seketika itu juga darah menyembur deras dari luka murid tunggal Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang menganga lebar. Melati tentu saja tidak mau terkena cipratan darah itu. Maka cepat laksana kilat, begitu pedangnya berkelebat, tubuhnya pun melenting ke atas.
"Samiaji...!" Janggulapati memekik keras melihat muridnya menggelepar-gelepar mengerang nyawa. Tanpa mempedulikan Dewa Arak lagi, tubuhnya segera melesat ke arah Melati yang masih berada di udara. Dan seiring tubuhnya melesat, sepasang pedang pendeknya menyambar cepat ke arah Melati.
Arya kaget bukan main melihat perbuatan Janggulapati. Saat ini posisi Melati sama sekali tidak memungkinkan untuk menangkis, apalagi mengelakkan serangan yang datang begitu tiba-tiba itu. Gadis itu berada dalam bahaya besar! Dan dia harus cepat menolong kalau ingin kekasihnya selamat. Tapi, pada saat yang sama, Gayatri tengah melancarkan serangan bertubi-tubi dengan menggunakan kebutannya. Serangan-serangan itu mengancam ke arah berbagai bagian tubuh yang mematikan.
"Hih...!" Dewa Arak memekik keras. Dan dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tubuhnya dibanting ke tanah seraya menghentakkan kedua tangannya ke arah tubuh Janggulapati yang tengah melayang ke arah Melati.
Wusss! Angin keras berhawa panas menyengat keluar dari kedua tangan Dewa Arak yang dihentakkan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'!
Janggulapati terkejut bukan main melihat hal ini. Posisinya yang sudah berada di udara tidak memungkinkannya lagi untuk menangkis. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menggeliatkan tubuh sebisa-bisanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi....
Bresss! Usaha laki-laki berpakaian hitam ini sia-sia belaka. Pukulan jarak jauh yang dikirimkan Arya tetap mengenai tubuhnya. Seketika itu juga tubuh Janggulapati melayang. Terdengar jeritan menyayat mengiringi terlontarnya tubuh laki-laki berpakaian hitam itu. Tokoh sesat ini tewas seketika sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
Gayatri memekik keras melihat keadaan suaminya. Seketika itu juga wanita pesolek ini melesat cepat ke arah Arya. Bulu-bulu kebutannya yang menegang kaku seperti tombak, menusuk cepat ke arah ubun-ubun Arya. Tentu saja Melati tidak tinggal diam melihat adanya bahaya yang mengancam keselamatan kekasihnya. Cepat tangan kanannya dikibaskan. Dan....
Singgg...! Dengan diiringi suara mendesing yang menyakitkan telinga, pedang di tangan gadis berpakaian putih ini melesat memapak tubuh Gayatri yang tengah meluncur ke arah Dewa Arak. Tidak hanya itu saja yang dilakukan Melati. Berbarengan pedangnya dilontarkan, kedua tangannya dihentakkan. Jari-jari kedua tangannya terkembang membentuk cakar naga. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Gayatri terkejut bukan main melihat datangnya serangan yang meluruk cepat ke arahnya. Wanita pesolek ini tahu kalau dia nekat meneruskan serangan pada Dewa Arak, maka sebelum serangannya tiba, pedang yang dilontarkan Melati akan lebih dulu menghunjam tubuhnya. Sehingga mau tak mau dia terpaksa mambatalkan serangan pada orang yang telah menewaskan suaminya. Kini kebutan itu digunakan untuk menangkis serangan.
Tranggg...!
Terdengar suara berdentang keras seperti beradunya dua logam. Pedang Melati terlempar jatuh ke tanah, sementara bulu-bulu kebutan yang tadi menegang kaku kembali melemas. Dan sebelum Gayatri sempat berbuat sesuatu, serangan susulan dari Melati telah menyambar tiba. Wanita pesolek ini kaget bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....
Bresss...! Telak dan keras sekali pukulan jarak jauh yang dilancarkan Melati mengenai sasaran. Tubuh Gayatri langsung terpental balik, diiringi jeritan menyayat dari mulutnya.
Brukkk! Terdengar suara berdebuk keras begitu tubuh wanita pesolek itu terhempas di tanah. Gayatri menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Hup!" Ringan tanpa suara Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sesaat kemudian, dia sudah berlari menghampiri Arya. Berbareng dengan Karina dan Mawar yang menghambur juga ke arah Dewa Arak.
Mawar berdiri terpaku di depat mayat Samiaji. Sepasang mata gadis ini nampak berkaca-kaca. Puas sudah perasaan hatinya kini. Dendamnya telah dibalaskan oleh saudara kembarnya sendiri.
Sesaat kemudian, suasana gembira pun segera menyelimuti hati mereka. Dengan perasaan haru bercampur gembira, Karina dan Mawar memeluk Melati. Musuh-musuh mereka kini telah tewas. Tidak ada lagi ancaman yang datang.
Arya tinggal bersama keluarga Melati selama dua hari. Dan baru pada hari ke tiga, pemuda berambut putih keperakan ini mohon pamit untuk melanjutkan pengembaraannya.
"Mengapa begitu terburu-buru, Arya?" Karina berusaha mencegah. "Tinggallah beberapa hari lagi bersama kami."
"Bukannya aku tidak suka tinggal di sini, Bu," sahut Arya sambil tersenyum lebar. "Tapi, perjalananku masih sangat panjang. Masih banyak orang yang butuh bantuanku."
Bukan hanya Karina dan Mawar saja yang merasa keberatan. Diam-diam Melati pun merasa keberatan juga. Arya tentu saja mengetahuinya.
"Biarlah Melati yang menemani Ibu dan Mawar di sini.... "
"Tapi, Kang..," Melati terkejut bukan main mendengar ucapan kekasihnya. Hatinya terasa berat untuk berpisah dengan Arya.
Gadis berpakaian putih ini berada dalam posisi yang sulit. Kalau menurutkan perasaan hatinya, rasanya akan lebih baik kalau Arya tinggal beberapa hari lagi sehingga dia tidak perlu berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Tapi Melati sadar kalau hal itu tidak mungkin. Arya adalah seorang pendekar. Dan masih banyak tugas yang harus dikerjakan kekasihnya itu.
"Tinggallah bersama ibumu, Melati," sahut Arya buru-buru. "Toh, tidak sulit bagimu untuk mengikuti jejakku. Lagi pula, seandainya masih ada orang yang berniat jelek pada keluargamu, kau dapat melindungi mereka."
Melati tidak dapat membantah ucapan tunangannya. Dan Arya pun segera pergi dan situ. Dewa Arak melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Selamat tinggal, Melati," ucap Arya sambil melambaikan tangan. "Selamat jalan, Kang," sahut Melati. Tangan gadis ini balas melambai.
Sementara Karina dan Mawar hanya memandang kepergian Arya sambil tersenyum lebar. Sedangkan Melati terus menatapi tubuh Arya sampai lenyap di kejauhan.
Dua sosok tubuh itu ternyata adalah sepasang muda-mudi. Yang satu adalah seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Sementara yang satunya lagi seorang wanita cantik jelita berpakaian serba putih dan berambut panjang terurai hingga ke punggung.
Muda-mudi ini melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Sesekali keduanya menarik napas dalam-dalam sambil mengembangkan dada, menghirup udara pagi yang bersih sebanyak-banyaknya. Mendadak keduanya serentak menolehkan kepala ke satu arah. Jelas seperti ada sesuatu yang menarlk perhatian mereka.
"Kau juga mendengar suara itu, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan sambil menolehkan kepala, memandang wajah gadis berpakaian putih di sebelahnya.
"Ya," sahut gadis berpakaian putih yang ternyata adalah Melati seraya menganggukkan kepala. "Sepertinya ada pertempuran, Kang Arya."
"Benar," pemuda berambut putih keperakan yang tidak lain adalah Arya Buana alias Dewa Arak membenarkan dugaan tunangannya.
"Arahnya dari sebelah sana, Kang," ucap Melati lagi. Telunjuk tangan kanannya menuding ke Selatan.
"Kalau begitu mari kita ke sana," ajak Arya ke arah yang ditunjukkan gadis berpakaian putih. Tanpa diberi tahu oleh Melati pun sebenarnya pemuda berambut putih keperakan ini sudah mengetahui asal, suara itu.
Sesaat kemudian sepasang muda-mudi ini telah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakan keduanya. Melati dan Dewa Arak seperti saling berlomba menuju ke arah asal suara yang tadi mereka dengar.
Tentu saja kalau Arya mau mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, Melati akan tertinggal. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau melakukannya. Ilmu lari cepatnya hanya dikerahkan sebatas mengimbangi lari gadis berpakaian putih itu.
Sesaat kemudian, asal suara yang mereka dengar telah terlihat. Tampak di kejauhan, dalam jarak sekitar sepuluh tombak, seorang wanita berpakaian merah menyala bersenjata tongkat pendek berujung runcing tengah berhadapan dengan empat orang bersenjata golok.
Arya segera memegang tangan Melati begitu melihat gadis berpakaian putih itu sudah bersiap-siap campur tangan. "Jangan turun tangan dulu sebelum kita tahu jelas masalahnya," bisik Dewa Arak menasihati.
Mendengar teguran itu, sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot Melati yang tadi menegang penuh kekuatan seketika melemas kembali. "Mengapa, Kang Arya?" tanya Melati, pelan dan lembut. Tapi jelas ada nada penasaran dalam suaranya.
Dewa Arak geli mendengar adanya tuntutan dalam suara gadis itu. Sekuat tenaga ditahannya perasaan geli yang bergejolak itu. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu betul sifat keras Melati. Sungguhpun sejak akrab dengannya, sifat gadis berpakaian putih ini telah berubah drastis, namun tidak berarti seluruh sifat kerasnya hilang. Justru sikap keras Melati itulah yang membuatnya gembira.
"Uhk...!" Arya berpura-pura batuk untuk menghilangkan perasaan gelinya. "Kita belum tahu masalah mereka, Melati," jawab Arya sabar. "Kita belum tahu siapa yang salah dan benar. Tunggu saja dulu. Kita lihat perkembangannya nanti."
Melati pun terdiam. Dan dengan sendirinya suasana pun jadi hening karena Dewa Arak tidak melanjutkan ucapannya lagi. Tanpa bercakap-cakap lagi, kaki mereka dilangkahkan mendekati tempat pertarungan. Kini mereka memperhatikan jalannya pertempuran dari balik sebatang pohon.
"Para pengeroyok gadis itu..., sepertinya bukan orang baik-baik, Kang," ucap Melati lagi setelah mulai dapat melihat jelas wajah empat orang itu.
Tidak ada sahutan sama sekali dan mulut Dewa Arak yang berada di sampingnya. Melati jadi heran. Kepalanya ditolehkan dan seketika wajah gadis berpakaian putih ini menyemburat merah. Dewa Arak seperti orang tersihir! Menatap tanpa berkedip ke depan. Rupanya Arya begitu tenggelam dalam kesibukannya memandang hingga tidak mendengar ucapannya! desis Melati dalam hati.
Tanpa menoleh pun Melati telah tahu apa yang telah membuat Arya sampai terkesima. Apa lagi kalau bukan wanita berpakaian merah menyala itu? Kontan perasaan cemburu Melati bergolak. "Dasar laki-laki mata keranjang...!" desis gadis berpakaian putih itu.
Tentu saja ucapan Melati yang mendesis dan penuh hawa cemburu membuat Arya tersadar dari terkesimanya. Dengan gugup pandangannya dialihkan ke arah tunangannya.
"A... apa katamu tadi, Melati?" tanya Dewa Arak agak tersendat-sendat. Memang, meskipun kata-kata yang diucapkan gadis itu tertangkap oleh telinganya, tapi Arya ingin memastikan kebenarannya dengan mendengarnya satu kali lagi. Penglihatan yang baru saja disaksikan amat mengejutkan hatinya. Apalagi ditambah dengan kata-kata makian Melati.
"Kau..., laki-laki mata keranjang...!" ucap Melati lagi dengan berani. Gadis ini memang mempunyai watak aneh. Mudah marah. Tapi mudah pula baik kembali. "Di depanku saja kau berani bersikap seperti itu. Apalagi kalau di belakangku!"
"Sabar dulu, Melati," ucap Dewa Arak menenangkan, tahu mengapa gadis berpakaian putih ini marah padanya. "Tenang, dan lihat baik-baik gadis berpakaian merah itu."
Mendengar nada suara yang penuh kesungguhan itu, mau tidak mau Melati menuruti permintaan Dewa Arak. Meskipun masih dengan perasaan marah dan mendongkol, pandangannya dialihkan ke depan Ke arah gadis berpakaian merah. Dan seketika sepasang mata gadis berpakaian putih ini terbelalak lebar. Pemandangan yang disaksikan benar-benar membuat Melati terkejut bukan main. Bahkan bukan hanya terkejut saja. Tapi sekaligus terkesima.
Gadis berpakaian merah yang tengah bertarung itu memiliki raut wajah dan bentuk tubuh yang sama dengannya. Tak ada bedanya sedikit pun! Bedanya, gadis itu memakai pakaian merah dan berambut digelung ke atas. Kalau saja gadis itu berpakaian putih dan berambut terurai lepas, tentu Melati sama sekali tidak bisa membedakan dengan dirinya.
"Ttt.. ti... tidak mungkin...!" desis Melati terbata-bata. Ucapannya yang gemetar menjadi pertanda besarnya perasaan tegang yang melanda hatinya.
"Apanya yang tidak mungkin, Melati?" tanya Dewa Arak, meskipun sudah mengetahui maksud ucapan tunangannya. Kembali pandangan Arya tertuju pada gadis berpakaian merah.
"Katakan kalau aku salah lihat, Kang...," pinta Melati dengan suara menggigil bagai orang diserang demam.
Arya menggelengkan kepala. "Tenanglah, Melati," hibur Arya, lembut. Digenggamnya jari-jari gadis itu, seolah-olah dengan cara itu bisa memberi kekuatan pada tunangannya.
"Tapi, Kang...," Melati masih mencoba membantah.
"Semua akan kita ketahui nanti, Melati," potong Dewa Arak cepat "Barangkali gadis itu ada hubungannya denganmu...."
Melati tercenung seketika begitu mendengar ucapan tunangannya. Memang sejak pertama kali melihat gadis berpakaian merah, ada perasaan aneh yang menyeruak dalam hatinya. Perasaan yang membuatnya tegang bukan main. Benarkah ucapan tunangannya kalau wanita berpakaian merah itu ada hubungan dengannya?
Tapi, Melati mencoba membantah. Dari cerita yang telah didengar, dia tahu kalau orang tuanya telah meninggal dalam keadaan menyedihkan. Dan dia ditemukan oleh seorang tokoh sesat yang kemudian memeliharanya. Tokoh itu berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Dewi Penyebar Maut).
Sementara itu, pertarungan antara gadis berpakaian merah dengan empat orang pengeroyok berlangsung semakin seru. Gadis berpakaian merah itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup tinggi, sehingga empat pengeroyok yang terdiri dari orang-orang kasar mengalami kesulitan meringkusnya.
Tapi, pandang mata Arya dan Melati yang tajam segera mengetahui kalau lambat laun gadis berpakaian merah itu akan roboh di tangan para pengeroyoknya.
"Hiaaat...!" Salah seorang pengeroyok yang bertubuh tinggi kurus berteriak nyaring. Berbareng dengan itu, golok di tangannya berkelebat cepat, membabat leher gadis berpakaian merah.
"Hih...!" Gadis berpakaian merah menarik kaki kanan ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Sehingga sambaran golok, lewat setengah jengkal di depan lehernya.
Namun sebelum gadis itu melancarkan serangan balasan, pengeroyok yang berambut abu-abu menusukkan golok ke arah pelipis dari samping kanan. Sementara dari arah lain seorang lainnya membabatkan golok ke arah tengkuk.
Kecepatan gerak gadis berpakaian merah memang patut dipuji. Mendapat serangan susulan yang datang berbarengan itu dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya cepat dirundukkan sehingga kedua serangan lewat di atas kepala. Dan pada saat yang bersamaan, tongkat di tangannya ditusukkan ke arah laki-laki bertubuh kekar yang berada di kanan.
Laki-laki bertubuh kekar terkejut bukan main melihat lawannya masih mampu mengirimkan serangan balasan dalam keadaan terjepit itu. Dengan sebisa-bisanya pengeroyok ini mencoba mengelak. Tapi....
Crasss...!
Ujung tongkat gadis berpakaian merah sempat menyerempet perutnya. Terdengar jerit kesakitan dari mulut laki-laki bertubuh kekar yang disusul dengan mengalirnya darah segar dari bagian yang terkena tusukan tongkat. Tapi sebelum gadis berpakaian merah sempat melancarkan serangan susulan, pengeroyok yang bertubuh tinggi besar sudah menerjang sambil menggulingkan tubuhnya. Dan dari bawah, kaki kanannya yang besar dan kokoh melakukan sapuan ke arah kaki gadis itu.
Bukkk..!
Telak dan keras sekali sapuan si tinggi besar mengenai sasaran. Dan seketika itu juga gadis berpakaian merah terpelanting jatuh. Melihat keadaan yang sudah menguntungkan, para pengeroyok tidak mau menyia-nyiakannya. Bagai berlomba mereka melesat saling mendahului mengirimkan serangan.
Gadis berpakaian merah tentu saja tahu bahaya besar yang mengancam keselamatannya. Maka gadis ini segera bergulingan di tanah mengelakkan hujan serangan para pengeroyok. Sehingga serangan lawan-lawannya mengenai tempat kosong.
Para penyeroyok menjadi geram melihat gadis berpakaian merah masih mampu menyelamatkan diri. Maka sambil menggertakkan gigi, mereka bergerak mengejar sambil terus menghujani dengan serangan-serangan mematikan sebelum gadis itu berhasil memperbaiki posisi.
Singgg, singgg...!
Suara desingan senjata yang berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh gadis berpakaian merah terdengar merobek udara. Dan memang, gadis berpakaian merah ini tidak sempat memperbaiki posisinya yang sudah mengkhawatirkan. Sambil terus bergulingan di tanah, tongkatnya diputar menghalau setiap serangan yang datang.
Tranggg, tranggg...!
Bunga api memercik ke sana kemari, ketika gadis berpakaian merah berhasil menangkis dua buah serangan lawan yang meluruk deras ke arahnya. Namun sebelum dia sempat menarik napas lega, tahu-tahu serangan dari lawan lainnya kembali menyambar tiba.
Desss!
"Ah...!" Gadis berpakaian merah itu memekik kesakitan ketika tendangan lawan menghantamnya. Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai pergelangan tangan kanannya. Seketika itu juga tongkatnya terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Dan di saat itulah serangan dari pengeroyok yang terakhir datang menyusul. Menusuk deras ke arah dada. Kini, sudah tidak ada kesempatan lagi bagi gadis berpakaian merah untuk berbuat sesuatu. Mengelak sudah tidak ada waktu, sedangkan menangkis pun sudah tidak mungkin.
Posisi kedua kaki dan tangan kirinya tidak memungkinkan lagi untuk menangkis serangan. Tambahan lagi tangan kanannya masih terasa lumpuh. Kini yang dapat dia lakukan hanya berdiam din menanti datangnya maut.
Di saat gawat itulah, Dewa Arak yang memang sudah sejak tadi bersiap siaga untuk menolong, melesat cepat ke depan. Dan selagi tubuhnya berada di udara, kedua tangannya digerakkan ke depan. Perlahan saja kelihatannya. Tapi akibatnya luar biasa. Ada hembusan angin keras yang keluar dari tangan itu, dan memotong arah serangan yang mengancam gadis berpakaian merah.
"Heh...?!" Si penyerang terkejut bukan main ketika merasakan hembusan angin keras yang bukan hanya membuat serangannya tertahan. Tapi juga membuat kuda-kudanya tergempur, dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Penyerang yang ternyata adalah laki-laki kekar ini menggertakkan gigi menahan geram. Dadanya terasa sesak bukan main akibat hembusan angin keras yang mendadak muncul, seiring dengan sepasang matanya yang melihat sesosok bayangan ungu yang melesat di depannya. Untung bagi laki-laki ini karena Dewa Arak tidak berniat mencelakainya.
Pemuda itu hanya berniat memunahkan serangan saja. Laki-laki kekar ini menatap ke depan dengan sinar mata penuh amarah. Begitu juga ketiga orang temannya. Mereka sadar, ada orang berkepandaian tinggi yang telah menyelamatkan gadis berpakaian merah. Keempat pengeroyok menatap Dewa Arak penuh selidik.
Tapi, Arya sama sekali tidak peduli. "Kau tidak apa-apa, Nisanak?" tanya pemuda berambut putih keperakan seraya menatap wajah gadis berpakaian merah lekat sekali.
Kembali keterkejutan yang amat sangat melanda hati Arya. Begitu dekat, gadis ini semakin nampak jelas kemiripannya dengan Melati. Tapi, dengan pandainya Dewa Arak berhasil menyembunyikan perasaan terkejutnya.
"Tidak," sahut gadis berpakaian merah seraya bergerak bangkit. "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak"
"Keparat..!" Suara makian laki-laki tertubuh kekar memaksa Arya mengalihkan perhatian. Dengan tenang ditatapnya empat pengeroyok gadis berpakaian merah yang memandangnya dengan wajah merah padam menahan amarah.
"Siapa kau, Keparat?! Mengapa mencampuri urusan kami?!" tanya laki-laki bertubuh kekar. Suaranya terdengar kasar dan keras.
"Aku Arya, seorang pengembara," sahut Dewa Arak kalem. "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian. Aku hanya tidak bisa membiarkan orang berbuat sewenang-wenang di depan mataku."
"Keparat! Kalau begitu, kau harus mampus...!" Setelah berkata demikian, laki-laki bertubuh kekar itu segera melompat menerjang. Golok di tangannya terayun deras ke arah kepala Arya dari atas ke bawah. Rupanya laki-laki kasar ini ingin membelah tubuh Dewa Arak menjadi dua bagian.
Tiga orang rekan laki-laki bertubuh kekar tidak tinggal diam. Mereka pun segera menerjang ke arah pemuda berambut putih keperakan dengan senjata terhunus. Dalam sekejap saja empat buah serangan telah mengancam Dewa Arak.
Tapi Arya bersikap tenang. Dengan mudah semua serangan itu dielakkan. Dan begitu kedua tangannya bergerak, terdengar pekik-pekik kesakitan yang disusul bertumbangannya tubuh empat pengeroyok. Senjata-senjata mereka telah tidak berada lagi di tangan. Berpentalan entah ke mana.
Dewa Arak memandangi orang-orang kasar yang tergolek di depannya. Semuanya hanya dapat merintih-rintih. Arya telah membuat mereka tidak mampu bangkit untuk sementara, tanpa luka-luka yang berarti.
Empat orang kasar itu segera sadar kalau pemuda berambut putih keperakan yang mengaku bernama Arya mempunyai kepandaian mukjizat. Dan mereka pun sadar kalau pemuda itu terlalu sakti untuk mereka lawan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera bangkit. Melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
Arya sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dibiarkan saja empat orang kasar itu melangkah terseok-seok meninggalkan tempat itu. Rupanya pemuda berambut putih keperakan ini memang tidak ingin mencari permusuhan.
Begitu empat orang kasar tadi telah melesat kabur, Melati segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dada gadis berpakaian putih ini berdebar tegang tatkala melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Tegang menghadapi kenyataan yang akan dihadapi. Benarkah gadis berpakaian merah itu ada hubungan dengannya?
Apabila dugaan itu benar, bukankah asal-usul dirinya akan terungkap kembali. Dan bukan tidak mungkin kalau dia akan berjumpa dengan orang tuanya. Langkah gadis berpakaian putih ini oleng begitu teringat orang tuanya. Tapi ketika teringat cerita yang dulu didengarnya, timbul perasaan ragu dalam hati Melati. Bukankah kedua orang tuanya telah tewas secara mengerikan? Dan dia pun selamat dari maut karena dipungut anak oleh Raja Racun Pencabut Nyawa.
Ternyata bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan terkejut dengan pertemuan itu. Gadis berpakaian merah itu pun dilanda perasaan yang sama.
DUA
"Ih..." Terdengar seruan terkejut dari mulut gadis berpakaian merah ketika melihat gadis berpakaian putih yang melangkah menghampirinya. Mulut gadis itu terlongong. Sementara sepasang matanya terbelalak lebar bagaikan melihat hantu. Jelas kalau gadis berpakaian merah itu dilanda keterkejutan yang amat sangat.
Selama beberapa saat Melati dan gadis berpakaian merah saling tatap penuh selidik. Baik sepasang mata Melati, maupun sepasang mata gadis berpakaian merah merayapi tubuh masing-masing mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan dengan jantung berdebar keras, keduanya mendapat kenyataan kalau mereka benar-benar persis satu sama lain. Baik Melati maupun gadis berpakaian merah bagaikan tengah bercermin!
Bukan hanya Melati dan gadis berpakaian merah saja yang dilanda perasaan terkejut. Dewa Arak pun dilanda perasaan serupa. Beberapa kali kepala Arya menoleh ke arah wajah kedua gadis itu bergantian. Dan dengan hati ngeri pemuda berambut putih keperakan ini terpaksa harus mengakui, andaikan keduanya mengenakan pakaian dan model rambut yang sama, dia tidak bisa membedakan mana di antara kedua gadis itu yang menjadi tunangannya. Mereka berdua begitu mirip, bagaikan pinang dibelah dua saja layaknya.
"Kenalkan, Nisanak," ucap Dewa Arak yang terlebih dulu sadar dari perasaan terkesimanya. "Ini kawanku, namanya Melati."
Ucapan Arya menyadarkan kedua gadis itu dari keterpakuannya. Cepat gadis berpakaian merah mengulurkan tangan. "Ibuku memberiku nama Seruni. Tapi..., aku lebih suka dipanggil Mawar," ucap gadis berpakaian merah.
"Aku Melati." Gadis berpakaian putih menyahuti seraya menjabat tangan yang terulur ke arahnya.
Kini Dewa Arak baru dapat mengetahui perbedaan kedua gadis yang begitu mirip itu. Suara Melati terdengar agak keras. Dan sikapnya pun agak tidak pedulian. Sedangkan Mawar mempunyai suara yang halus dan sifat agak pendiam. Menilik dari pembawaannya, Dewa Arak bisa memperkirakan kalau gadis berpakaian merah itu punya sifat pengalah. Dan inilah patokan Arya untuk membedakan mana di antara mereka yang menjadi kekasihnya bila suatu saat mereka mengenakan pakaian dan dandanan yang sama.
"Siapakah para pengeroyokmu tadi, Mawar? Dan mengapa kau bentrok dengan mereka?" Melati mulai membuka percakapan. Gadis berpakaian putih ini memang ingin mengetahui apakah ada hubungan antara dirinya dengan gadis berpakaian merah.
"Mereka adalah berandalan-berandalan yang selalu mengacau desa-desa di sekitar hutan ini," jawab Mawar halus. "Ayah dan ibu tidak senang melihat tindakan mereka. Berkali-kali ayah dan ibuku berhasil menggagalkan usaha kejahatan yang akan mereka lakukan. Sayang, ayah tidak tega membunuh mereka."
"Maksudmu.., ayahmu membebaskan mereka, Mawar?" Arya ikut ambil bagian dalam pembicaraan.
"Benar," Mawar menganggukkan kepala. "Ayah hanya memberi sedikit pelajaran agar mereka jera."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Ada rasa kagum menyelinap dalam hatinya mendengar penuturan Mawar. Ternyata ayah gadis berpakaian merah ini adalah seorang yang bijaksana. Pantas saja kalau sikap anaknya begitu lembut dan pendiam.
"Hm...," Melati berdehem sebentar sebelum berbicara. Memang sejak tadi gadis berpakaian putih ini sibuk memutar otak, mencari kata-kata yang tepat untuk menanyakan perihal Mawar.
Dewa Arak tentu saja tahu kalau tunangannya tengah mencari cara untuk mengetahui perihal gadis berpakaian merah. Maka begitu mendengar deheman Melati, dia pun menghentikan ucapannya. "Kalau begitu..., ayahmu terhitung seorang pendekar juga, Mawar?" Melati mulai berusaha mencari keterangan mengenai keluarga gadis itu.
"Menurut cerita ibu.., dulunya ayah memang seorang pendekar. Bahkan terhitung pendekar yang agak kejam pada tokoh golongan hitam. Tapi, setelah menikah dengan ibu, ayah mulai menjauhi keributan. Ayah tidak ingin mencari permusuhan karena mengkhawatirkan nasib keluarganya."
"Tapi..., setidak-tidaknya..., ayahmu tentu juga mendidik anak-anaknya menjadi seorang pendekar," sambut Melati lagi setelah termenung beberapa saat. "Terbukti kau telah memiliki kepandaian cukup tinggi."
"Ah.... Kau bisa saja, Melati," sahut Mawar dengan wajah merona merah. Risih karena mendapat pujian.
"Aku tidak sembarangan memuji, Mawar," Melati menyambung lagi. "Kalau kau rajin berlatih, tidak sampai tiga bulan, empat pengeroyok tadi sudah bukan tandinganmu lagi."
"Betulkah itu, Melati?" tanya Mawar setengah tak percaya. Sepasang matanya menatap gadis berpakaian putih itu meminta kepastian.
Melati menganggukkan kepala. "Apakah saudara-saudara kandungmu yang lain juga memiliki kepandaian sepertimu?" Melati kini langsung pada sasarannya.
"Saudara-saudara kandungku?" Mawar mengerutkan alis. Tampak jelas kalau gadis berpakaian merah ini merasa heran mendengar pertanyaan itu. "Aku tidak mengerti maksudmu, Melati."
"Jadi..., kau sama sekali tidak punya saudara kandung?" kini Melati yang ganti terkejut "Kau..., anak satu-satunya?"
Mawar menganggukkan kepala.
"Ah...!" Hampir berbareng terdengar seruan terkejut dari mulut Melati dan Dewa Arak. Jawaban gadis berpakaian merah itu benar-benar di luar dugaan. Untuk sesaat Dewa Arak dan Melati saling pandang. Bingung. Rupanya dugaan mereka keliru. Gadis ini sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan Melati!
"Mengapa? Apa ada yang salah dalam jawabanku?" tanya Mawar yang merasa agak heran melihat Arya dan Melati terkejut setelah mendengar jawabannya.
"Tidak, Mawar," Dewa Arak mewakili menjawab.
Suasana menjadi hening begitu Dewa Arak menyelesaikan ucapannya. Ketiga orang itu sama-sama berdiam diri. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tapi, keheningan itu tidak berlangsung lama. Karena sudah dipecahkan oleh suara Mawar kembali. Suara yang bemada sendu. Ada nada kesedihan dan kesepian yang terkandung di dalam ucapan itu.
"Sebenarnya..., aku punya seorang saudara kandung...."
Melati dan Dewa Arak terjingkat bagai disengat kalajengking mendengar ucapan itu. Dengan pandang mata terbelalak, sepasang muda-mudi ini menatap wajah gadis berpakaian merah itu lekat-lekat. Pandang mata yang menyorotkan keheranan dan keterkejutan. Tapi, Mawar tidak tahu. Karena gadis itu menundukkan kepalanya. Jelas, ada sesuatu yang terjadi pada saudara kandungnya.
"Aku..., aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Mawar," ucap Melati terbata-bata. Jantungnya berdetak keras dilanda ketegangan yang menggelegak. Dan ini diam-diam membuat hati tunangan Dewa Arak ini menjadi heran. Mengapa pertemuan dengan Mawar membuat dia jadi sukar mengontrol diri?
"Ibu pernah bercerita padaku...," sambung Mawar lagi, tanpa mempedulikan ucapan Melati.
Tapi, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak tersinggung. Pendengarannya dipasang tajam-tajam untuk menyimak ucapan yang keluar dari mulut gadis berpakaian merah ini. Sementara jantungnya semakin berdetak kencang. Bahkan deru napasnya pun memburu, sehingga beberapa kali Melati terpaksa menahan napasnya. Khawatir kalau-kalau ucapan yang akan keluar dari mulut Mawar tidak terdengar.
Bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan serupa. Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan kedua telapak tangannya mendadak dingin. Jantungnya pun berdetak keras. "Mungkinkah asal-usul Melati akan tersingkap?" tanya Arya dalam hati dengan ketegangan yang memuncak.
"Kalau aku punya seorang saudara kandung...." Pelan dan sendu suara yang terdengar dari mulut Mawar.
Tapi, tidak demikian akibatnya bagi Dewa Arak dan Melati. Ucapan Mawar terdengar bagaikan ledakan halilintar di telinga mereka. Dugaan kalau gadis ini punya hubungan dekat dengan Melati timbul kembali. Tapi, lidah-lidah mereka terasa kelu. Sehingga tidak mampu berkata-kata. Kecuali mendengarkan dengan jantung yang semakin berdetak kencang.
"Saudara kembar...." Kembali terdengar suara dari mulut Mawar.
"Uh...!" Terdengar seruan lirih dari kerongkongan Melati. Tubuh gadis ini seketika terhuyung karena kedua kaki yang menopang tubuhnya menggigil keras bagai orang terserang demam.
Dewa Arak buru-buru bergerak mencekal tangan Melati sebelum tunangannya roboh ke tanah. Telapak tangan gadis itu dirasakan dingin sekali. Dingin seolah-olah yang dipegangnya bukan tangan manusia, melainkan sebongkah batu es! Sekilas Arya melirik wajah Melati. Dan seketika hati pemuda ini pun terkejut begitu melihat wajah tunangannya pucat sekali! Pucat seperti tak dialiri darah!
Arya segera meremas perlahan tangan gadis itu untuk memberi kekuatan batin pada Melati mendengar berita yang amat penting dalam sejarah hidupnya. Melati menoleh seraya memberikan senyum pada Dewa Arak. Karena perasaan tegang yang melanda, senyumnya tidak mirip senyuman. Tapi mirip seringai kesakitan.
Tapi Mawar, sepertinya tidak tahu kalau ucapan demi ucapan yang keluar dari mulutnya membuat hati kedua muda-mudi di hadapannya terkejut. Rupanya gadis berpakaian merah ini terlalu tenggelam dalam lautan kesedihannya.
"Lalu... apa yang terjadi dengan saudara kembarmu, Mawar?" desak Melati dengan suara serak dan parau. Hatinya sudah tak sabar mendengar ucapan yang keluar sepotong demi sepotong dari mulut gadis berpakaian merah itu.
"Karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk memeliharaku dan saudaraku bersama-sama, saudara kembarku kemudiam diberikan kepada adik ibuku. Tapi, sebelumnya ibuku telah memberikan nama untuk saudara kembarku. Delima namanya."
"Lalu..., apakah ada tanda-tanda khusus yang dapat dijadikan patokan bagi ibumu untuk mengenali bayi itu apabila dia sudah besar nanti?" tanya Arya. Pemuda berambut putih keperakan yang biasanya mampu bersikap tenang itu pun kini hampir tidak bisa menguasai diri. Suaranya terdengar agak bergetar.
"Karena punya banyak tanda-tanda khusus itulah yang menyebabkan saudara kembarku yang diberikan pada adik ibuku. Bukan aku."
"Kau tahu tanda-tanda khusus yang dimiliki saudara kembarmu?" Kini Melati yang ganti bertanya. Suaranya bergetar dan kedua kakinya agak menggigil. Arya pun terpaksa memegang lengan tunangannya. Khawatir kalau gadis itu akan roboh pingsan.
Mawar menganggukkan kepala. "Ibu pernah memberitahuku," jawab gadis berpakaian merah masih tetap menundukkan kepala. "Tapi, sayangnya aku hanya ingat satu. Pada pangkal lengan kanan terdapat tanda hitam sebesar kacang kedelai."
"Mawar...!"
Melati berseru keras. Ditubruknya gadis berpakaian merah yang masih saja menundukkan kepala. Mawar segera mendongakkan kepalanya. Wajahnya dipenuhi butiran-butiran air mata. Rupanya gadis berpakaian merah ini menangis.
"Akulah saudara kembarmu, Mawar! Akulah Delima...!" seru Melati seraya memeluk gadis berpakaian merah erat-erat.
"Delima...!" Mawar berseru pula. Kedua tangannya balas memeluk tak kalah erat. "Jadi..., kau Delima..., Melati?" tanya gadis berpakaian merah seraya mengendurkan pelukannya.
Melati alias Delima menganggukkan kepalanya. "Aku memiliki tanda seperti yang kau sebutkan pada pangkal lengan kananku."
"Ah...! Sungguh tidak kusangka," desah Mawar.
Beberapa saat lamanya kedua gadis yang sama-sama cantik itu saling berpelukan erat Wajah Mawar bersimbah air mata. Sedangkan Melati yang memang berwatak keras, sama sekali tidak mengucurkan air mata. Hanya saja sepasang matanya yang bening tampak merembang berkaca-kaca.
Dewa Arak hanya dapat menatap kejadian yang terpampang di depannya dengan hati terharu. Dadanya pun terasa sesak. Turut merasakan keharuan kedua gadis yang ternyata saudara kembar itu. Arya sama sekali tidak mengganggu mereka. Dibiarkan saja mereka saling menumpahkan kerinduan. Bahkan diam-diam pemuda berbaju ungu ini bersyukur melihat Melati berhasil menjumpai keluarganya.
"Mana ayah dan ibu?" tanya Melati begitu telah berhasil menguasai perasaannya. Wajah gadis berpakaian putih ini terlihat lebih berseri-seri dari sebelumnya.
"Ah...! Kau benar, Melati! Sudah lama ayah dan ibu mencari-carimu. Mari...! Mari, kuantar kau menemui mereka!"
Setelah berkata demikian, Mawar segera menyusut air matanya. Kemudian menuntun Melati yang tanpa banyak membantah mengikuti ajakan saudara kembarnya. Saking gembiranya, Melati sampai melupakan Dewa Arak. Dia tidak teringat lagi adanya pemuda berambut putih keperakan itu di situ.
Tapi Arya sama sekali tidak marah. Pemuda ini memaklumi keadaan yang dialami tunangannya. Maka tanpa banyak bicara, dia pun segera mengikuti langkah kedua gadis yang telah mendahuluinya.
Melati dan Mawar bergegas meninggalkan bekas tempat pertarungan. Sementara di belakang keduanya, dalam jarak sekitar tiga batang tombak, berjalan Dewa Arak. Langkah Melati dan Mawar terhenti ketika di depan mereka, dalam jarak sekitar lima tombak, berdiri dua sosok tubuh.
Wajah kedua penghadang tidak tampak jelas karena tertutup topeng harimau. Menilik dari sikapnya, jelas kalau kedua orang bertopeng harimau itu mempunyai niat tidak baik Arya segera mempercepat langkahnya. Hebatnya, sekali langkah saja tubuh pemuda itu sudah berada di sebelah Melati dan Mawar.
"Maaf, Kisanak berdua, kami ingin lewat," ucap Dewa Arak pelan.
"Hmh...!" Hanya suara dengusan yang menyambut ucapan Arya. Melati yang memang mempunyai sifat keras, langsung meluap amarahnya. Tapi, Arya segera menyentuh lengan tunangannya, menyuruh gadis berpakaian putih itu bersabar. Akhirnya dengan terpaksa Melati menelan kemarahannya.
"Kalian hanya bisa lewat dari sini setelah jadi mayat!" tandas orang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Pemuda berambut putih keperakan ini sadar kalau pertempuran tidak mungkin bisa dielakkan lagi. Meskipun begitu, pemuda ini masih mencoba bicara baik-baik. "Apa kesalahan kami sehingga Kisanak berdua hendak membunuh kami?"
"Tidak usah banyak bicara, Dewa Arak! Kesalahanmu sudah terlalu banyak! Kau dan perempuan liar itu harus mati!" tegas orang bertopeng harimau yang satunya lagi seraya menunjuk Melati.
Baru saja orang bertopeng harimau itu menghentikan ucapannya, tahu-tahu orang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar telah menerjang Melati. Rupanya si penyerang sudah mengetahui kelihaian gadis berpakaian putih itu. Terbukti, sekali menyerang dia sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa sebatang tongkat.
Ujung tongkat itu berbentuk logam tipis dan tajam berbentuk bulan sabit. Senjata itu langsung disodokkan ke leher Melati. Baru saja orang bertopeng harimau menghentikan ucapannya, tahu-tahu orang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar itu telah menerjang Melati.
"Mawar! Cepat menyingkir!" Melati segera mendorong gadis berpakaian merah itu. Dan sekaligus merendahkan tubuhnya menghindari serangan itu.
Singgg...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan laki-laki bertubuh pendek kekar.
"Mawar! Cepat kau menyingkir!" Sambil berkata demikian, Melati segera mendorong tubuh gadis berpakaian merah itu.
Dan hampir berbareng, tubuhnya direndahkan sehingga serangan tongkat berujung bulan sabit lewat di atas kepalanya. Tapi ternyata serangan laki-laki bertubuh pendek kekar tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan, tahu-tahu kaki kanannya telah mencuat ke arah perut. Dan karena saat itu Melati tengah membungkuk, tendangan itu jadi mengancam dadanya.
Lagi-lagi Melati mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat kakinya digedorkan ke tanah. Dan dengan meminjam tenaga tekanan pada tanah, tubuhnya melenting ke belakang. Untuk yang kedua kalinya, serangan laki-laki bertubuh pendek kekar kembali mengenai tempat kosong.
"Hup!" Manis dan indah sekali gerakan gadis berpakaian putih ketika mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, di tangannya telah tergenggam sebatang pedang terhunus.
Wunggg, wunggg...!
Terdengar suara menggerung keras seperti ada naga mengamuk begitu Melati mulai memainkan pedangnya. Inilah 'Ilmu Pedang Seribu Naga', ilmu andalan gadis berpakaian putih itu. Tampak jelas kalau laki-laki bertubuh pendek kekar terkejut begitu Melati mulai memainkan jurus-jurus pedang. Meskipun tertutup topeng, tapi bisa dilihat dari gerakannya yang terhenti secara mendadak.
Tapi hanya sesaat saja laki-laki bertubuh pendek kekar itu dilanda perasaan terkejut. Sekejap kemudian dia sudah melompat menerjang kembali. Tongkat berujung bulan sabit di tangannya diputar-putar cepat di depan dada. Baru kemudian meluruk cepat ke arah Melati.
Tapi, gadis berpakaian putih ini tidak menjadi gugup melihat serangan itu. Serangan lawannya segera disambut dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Sesaat kemudian, kedua orang itu sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Begitu melihat rekannya sudah terlibat pertarungan dengan Melati, orang bertopeng harimau yang satu lagi segera meloloskan senjatanya. Sebuah tongkat kayu jati berukir yang panjangnya tak sampai setengah tombak. Semula orang bertopeng harimau itu memegangnya dengan tangan kanan. Tapi sesaat kemudian tongkat itu digenggamnya dengan kedua tangan. Masing-masing pada ujung-ujungnya.
Singgg, singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar begitu kedua tangan yang menggenggam tongkat itu ditarik ke arah berlawanan. Ternyata hanya di luarnya saja kelihatan seperti tongkat pendek, tapi di dalamnya adalah sepasang pedang pendek.
"Hiaaat...!" Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, orang bertopeng harimau itu segera menyerang Dewa Arak. Kedua pedang pendek di tangannya menusuk deras ke arah kedua sisi pinggang Arya. Cepat bukan main gerakannya. Bahkan ada suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan itu. Dewa Arak yang sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi, tidak berani bertindak gegabah. Segera guci araknya dijumput dan dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk..!
Terdengar suara tegukan begitu arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada hawa hangat menyebar di perut pemuda berambut putih keperakan itu. Lalu merayap ke atas kepala. Tapi di saat itulah serangan laki-laki bertopeng harimau tiba. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak mengelakkannya.
Arya segera melangkahkan kaki kanan ke depan, kemudian memutar tubuh ke belakang dengan bertumpu pada kaki kanan. Sesaat kemudian, tubuh pemuda ini sudah berada di belakang lawan. Dan secepat tubuhnya berada di belakang lawan, secepat itu pula gucinya diayunkan ke punggung orang bertopeng harimau.
"Heh...?!" Orang bertopeng harimau terkejut begitu melihat serangannya mengenai tempat kosong karena lawan mendadak lenyap. Sesaat orang bertopeng ini kebingungan. Tapi, begitu mendengar sambaran angin di belakangnya, segera diketahuinya kalau lawan berada di belakang dan tengah melancarkan serangan ke arah punggungnya.
Luar biasa! Tiba-tiba saja tubuh orang bertopeng itu melenting ke atas, sehingga serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong. Dan dari atas, tubuhnya berputar setengah lingkaran ke belakang. Tahu-tahu, tubuhnya sudah berada di atas Dewa Arak. Dan dari belakang, tangan kanannya menyabet ke arah tengkuk.
Singgg...!
TIGA
Arya terperanjat. Walaupun begitu, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menjadi gugup. Cepat laksana kilat tubuhnya dirundukkan sehingga serangan itu lewat sejengkal di atas kepala.
"Hup...!" Ringan tanpa suara kaki orang bertopeng itu hinggap di tanah, tepat di belakang Dewa Arak Begitu mendarat, dia langsung menusukkan pedang pendeknya ke arah punggung Dewa Arak. Tapi gerakan Arya masih lebih cepat daripada gerakan orang bertopeng. Tubuhnya berbalik cepat seraya mengayunkan gucinya.
Tranggg...! Bunga api memercik tinggi ke udara begitu guci berbenturan dengan pedang pendek. Telak dan keras sekali benturan yang terjadi.
Orang bertopeng menggeram keras begitu merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan kedua tangannya pun seperti lumpuh. Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sementara Dewa Arak hanya tergetar saja. Jelas, kalau dalam adu tenaga dalam tadi Dewa Arak masih lebih unggul ketimbang lawannya.
Sambil mengeluarkan teriakan keras, orang bertopeng harimau sudah kembali melancarkan serangan. Sepasang pedang pendeknya berkelebatan mencari sasaran. Tapi, Dewa Arak bukanlah lawan yang mudah dipecundangi. Sehingga pertarungan sengit pun tidak bisa dihindarkan lagi. Kini di hutan itu terjadi dua pertarungan sengit Pertarungan antara Dewa Arak dan Melati menghadapi dua orang bertopeng harimau.
Mawar hanya dapat memperhatikan jalannya pertarungan dengan wajah gelisah. Gadis berpakaian merah ini tahu kalau keempat orang yang tengah bertarung memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atasnya. Dan dia tidak mungkin dapat ikut campur tangan di dalamnya. Jangankan untuk ikut bertarung, memperhatikan jalannya pertarungan saja kepalanya sudah terasa pening bukan main.
Melati menggertakkan gigi. Gadis berpakaian putih ini penasaran bukan main setelah sekian lama bertarung dia tidak mampu merobohkan lawan. Dan sebagai akibatnya, permainan pedangnya kian dahsyat. Rupanya Melati sudah tidak segan-segan mengeluarkan jurus-jurus andalan dari 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Orang bertopeng bertubuh pendek kekar terkejut bukan main melihat permainan pedang Melati mendadak berubah dahsyat. Laki-laki bertubuh pendek kekar ini pun tahu kalau lawan telah mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Beberapa jurus kemudian, akhirnya dia mulai terdesak.
'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki Melati memang sebuah ilmu pedang yang luar biasa. Ilmu pedang itu terdiri dari tiga puluh enam jurus. Dan tiap-tiap jurus terdiri dari tiga sampai tujuh gerakan. Delapan dari tiga puluh enam jurus itu merupakan jurus-jurus andalan. Dan jurus-jurus inilah yang kini digunakan Melati untuk mendesak lawannya.
Kini orang bertopeng itu hanya bisa bertahan dan mengelak. Hanya sesekali saja dia sempat balas menyerang. Amukan serangan gadis berpakaian putih itu membuatnya sukar untuk melancarkan serangan balasan. Bukan hanya Melati saja yang berhasil mendesak lawan. Dewa Arak pun, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya perlahan-lahan mulai dapat mendesak lawannya.
Hanya saja beberapa kali sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini melancarkan serangan, dengan gerakan yang luar biasa, orang bertopeng harimau mampu mengelak. Diam-diam Arya terpaksa mengakui kalau ilmu meringankan tubuh lawan tidak berada di bawahnya.
Suatu keuntungan buat orang bertopeng itu karena Dewa Arak sedapat mungkin berusaha tidak menjatuhkan tangan maut padanya. Dan sedikit banyak, ini justru menambah berat tugas Arya. Lawan yang dihadapinya bukan lawan ringan. Lebih mudah menjatuhkan tangan maut ketimbang meroboh kannya tanpa luka yang terlalu parah.
Hal itulah yang menyebabkan Dewa Arak agak lama menjatuhkan lawannya. Padahal pemuda berambut putih keperakan ini memiliki banyak keunggulan dibanding lawannya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun mutu ilmu silat Melatilah yang lebih dulu mendesak lawan. Karena gadis berpakaian putih ini memang tidak segan-segan menjatuhkan serangan maut pada lawan-lawannya.
"Hiaaat..!" Disertai pekikan nyaring, Melati melompat cepat ke arah lawan seraya menusukkan pedang ke arah dada. Cepat bukan main gerakan itu. Apalagi serangan itu dilancarkan pada saat laki-laki bertubuh pendek kekar baru saja mengelakkan sebuah serangan. Meskipun begitu, orang bertopeng itu mencoba menyelamatkan selembar nyawanya. Dengan sebisa-bisanya dia mencoba mengelak. Tapi....
Cappp!
Ujung pedang Melati menancap telak di pangkal lengan kiri orang bertopeng harimau itu. Rupanya usaha terakhir laki-laki bertubuh pendek kekar itu berhasil juga menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Meskipun usahanya tidak berhasil sepenuhnya. Terdengar jerit kesakitan dari mulut laki-laki bertubuh pendek kekar, seiring dengan mengalirnya cairan merah kental dari luka di pangkal lengannya.
Melati tidak mau memberi kesempatan lagi. Cepat laksana kilat pedangnya kembali menyambar. Dan repotlah orang bertopeng itu pontang-panting menyelamatkan diri. Orang bertopeng yang satunya lagi rupanya tahu bahaya besar yang mengancam rekannya. Maka seketika itu juga sepasang pedang pendek di tangannya meluncur bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Menilik dari serangannya yang lebih mementingkan penyerangan daripada pertahanan, Arya tahu kalau lawan mengajaknya mengadu nyawa.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau meladeni. Cepat dia bergerak mengelak. Kali ini rupanya Arya tertipu. Laki-laki bertubuh kekar itu ternyata sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Begitu melihat Dewa Arak mengelak dengan menggulingkan tubuhnya, dia pun segera melompat cepat ke arah Mawar!
"Hup!" Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa, dan tanpa gadis berpakaian merah itu sempat berbuat sesuatu, orang bertopeng sudah berada di belakangnya. Dan langsung menodongkan dua ujung pedang pendeknya di leher gadis itu.
"Perempuan liar! Hentikan! Atau..., kau ingin aku menggorok leher wanita ini!" teriak orang bertopeng, keras. Sepasang matanya menatap ke arah Melati yang tinggal melakukan serangan terakhir pada laki-laki bertubuh pendek kekar yang sudah tergolek tidak berdaya di tanah. Ujung pedang Melati berada di lehernya.
Mendengar bentakan bemada penuh ancaman, Melati cepat menolehkan kepala. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati gadis berpakaian putih ini melihat saudara kembarnya terancam bahaya maut.
"Tahan emosimu sebentar, Melati," ucap Dewa Arak yang tahu-tahu telah berada di sebelahnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Kang?" tanya Melati dengan suara penuh perasan heran.
"Dia menipuku, Melati," sahut Arya pelan. "Sungguh tidak kusangka kalau dia akan berbuat selicik itu."
"Jangan harap kau akan mati enak kalau kau melukainya, Keparat!" desis Melati penuh ancaman. Sementara sepasang matanya menatap tajam penuh amarah.
"He he he...," orang bertopeng tertawa terkekeh. "Aku berjanji tidak akan melukainya, asal kau bersedia memenuhi permintaanku!"
"Keparat busuk! Katakan apa permintaanmu!" sambut Melati dengan wajah merah padam. "Ingat, kalau kau berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan Untuk membunuhmu!"
"Mudah saja, Wanita Liar!"
Melati menggeram. Gadis berpakaian putih ini memang paling tidak suka bila dimaki seperti itu. Tapi kini apa dayanya? Orang bertopeng itu menyandera saudara kembarnya! "Keparat! Katakan cepat apa maumu!" sergah Melati keras.
"Bebaskan kawanku! Dan aku berjanji akan membebaskan temanmu ini!" jawab orang bertopeng, keras.
"Apa jaminannya kalau kau tidak akan mengingkari janji?" ejek Melati sambil tetap menempelkan ujung pedang di leher laki-laki bertubuh pendek kekar. Sementara Dewa Arak mengawasinya.
"Kehormatanku sebagai datuk jaminannya!" tegas orang bertopeng itu tegas.
"Hmh..., siapa percaya bualanmu?!"
"Alap-Alap Bukit Gantar bukanlah seorang pengecut. Aku tidak akan menjilat ludahku sendiri yang telah jatuh ke tanah dengan mengingkari janji!"
Baru saja Melati hendak membuka mulut, Dewa Arak sudah menyentuh tangannya. "Bebaskan lawanmu, Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Suaranya pelan tapi bernada memerintah.
"Tapi, Kang... Bagaimana kalau dia ingkar janji?" ucap Melati dengan perasaan cemas. Suaranya tidak segarang tadi, tapi pelan penuh kekhawatiran.
Arya tersenyum lebar seraya menggelengkan kepala. "Seorang datuk mempunyai harga diri, Melati. Harga diri bagi seorang datuk lebih berharga daripada nyawa. Aku percaya pada janji Alap-Alap Bukit Gantar. Bebaskan orang itu, Melati."
Dewa Arak mengucapkannya dengan suara agak keras. Dan itu memang disengajanya. Pemuda berambut putih keperakan ini bermaksud mengikat orang bertopeng yang mengaku berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar dengan janji yang diucapkannya sendiri. Walaupun sebenarnya Arya sendiri yakin kalau tanpa disindir pun orang bertopeng itu akan memenuhi janjinya. Kini Melati tidak membantah lagi. Todongan ujung pedangnya segera dilepaskan.
"Minggatlah kau, Keparat!" hardik gadis berpakaian putih itu dengan perasaan geram.
Sepasang mata yang berada di balik topeng harimau terlihat memancarkan sinar berapi. Jelas makian Melati membuat kemarahannya bergolak. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki bertubuh pendek kekar itu bangkit berdiri. Kemudian berjalan menuju ke arah rekannya.
Melihat Melati telah membebaskan temannya, orang bertopeng segera memenuhi janjinya. Terbukti, todongan pada Mawar juga dilepaskan. Kemudian didorongnya tubuh gadis itu dengan keras sampai hampir jatuh tersungkur.
"Jahanam!" Melati memekik keras. Hampir saja gadis berpakaian putih itu melompat ke arah orang bertopeng. Tapi, untung saja Arya cepat mencekal tangannya.
"Melati...!"
Mawar menghambur ke arah saudara kembarnya. Dan kembali dua saudara kembar yang baru bertemu setelah sekian lamanya berpisah, berpelukan. "Terima kasih atas pertolonganmu, Melati," ucap gadis berpakaian merah itu, pelan.
"Lupakanlah, Mawar," sahut Melati cepat "Di antara saudara tidak ada istilah pertolongan."
"Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan," ucap Arya setelah melihat hari sudah mulai panas karena matahari sudah berada di atas kepala.
Melati dan Mawar pun teringat kembali pada tujuan perjalanan mereka semula. Sesaat sepasang mata mereka memandang berkeliling.
"Kedua orang itu sudah pergi," ucap Arya seperti mengetahui pandangan mereka.
Melati dan Mawar mengangguk-anggukkan kepala.
"Siapakah mereka sebenarnya, Kang Arya?" tanya Melati. "Dan mengapa mereka memusuhi kita?"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu, Melati. Tapi, orang yang menyandera Mawar menyebut dirinya Alap-Alap Bukit Gantar. Hhh...! Kau pernah berurusan dengan mereka, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Mendengarnya pun baru kali ini, Kang."
Arya mengernyitkan dahinya. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Sudahlah, Kang. Lebih baik kita lupakan dulu masalah itu. Sekarang, yang penting menemui orang tuaku dulu," ujar Melati menasihati. Pemuda berambut putih keperakan itu pun mengangkat bahu. Tapi, dituruti juga saran tunangannya.
* * * * * * * *
"Ayah...!" panggil Mawar begitu memasuki pintu pagar.
Seorang laki-laki setengah baya berpakaian hitam, yang tengah duduk di bangku teras segera bangkit. Lalu bergegas melangkah ke arah Mawar.
"Mari, Melati...," ajak Mawar pada saudara kembarnya, seraya menarik tangan gadis berpakaian putih itu menyambut ayahnya.
Di tengah-tengah halaman yang cukup luas, ayah dan anak itu berpelukan. "Dari mana saja kamu, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam sambil melepaskan pelukan. Mawar kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpanya secara singkat.
"Ini ayahku, Melati," ucap Melati memperkenalkan laki-laki setengah baya yang berdiri di hadapannya.
Melati mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. Diam-diam gadis berpakaian putih ini merasa kecewa melihat orang yang diperkenalkan Mawar sebagai ayah gadis itu, yang berarti adalah ayahnya juga. "Inikah ayahnya?" ucap gadis berpakaian putih itu dalam hati. Sungguh berbeda jauh dengan apa yang dibayangkannya semula.
Semula Melati membayangkan akan bertemu dengan seorang laki-laki bertubuh tegap, berwajah gagah, dengan rambut yang telah memutih sebagian. Tapi ternyata yang dilihatnya adalah seorang laki-laki setengah baya, bertubuh agak kurus, berwajah tirus. Sepasang matanya selalu berputar liar. Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
"Ayah..., lihat siapa yang kubawa...?" ucap Mawar pada laki-laki setengah baya berpakaian hitam yang sejak tadi memperhatikan Melati tanpa berkedip. Sepasang matanya membelalak lebar. Seolah-olah tak percaya pada apa yang dilihatnya. Berkali-kali sepasang matanya menatap Mawar dan Melati bergantian.
"Tidak salahkah penglihatanku, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam itu dengan suara yang bergetar. Berkali-kali tangannya mengucek-ucek matanya. Jelas kalau laki-laki berwajah tirus ini merasa ragu dengan apa yang dilihatnya. "Kau dengan gadis itu seperti pinang dibelah dua."
"Dia adalah saudara kembarku, Ayah...," jawab Mawar dengan senyum mengembang.
"Ya, Tuhan...! Jadi..., dia Delima...?" Laki-laki berpakaian hitam itu berseru tak percaya. Mawar menganggukkan kepalanya.
"Delima..., Anakku...!" laki-laki setengah baya berpakaian hitam itu memanggil dengan suara berdesah. Perlahan-lahan kakinya melangkah maju dengan kedua tangan terkembang.
"A..., Ayah...?!" sahut Melati dengan suara serak. Terasa kaku panggilan yang keluar dari mulut gadis berpakaian putih itu. Karena sejak kecil dia tak pernah mengenai orang yang pantas dipanggilnya ayah. Meskipun ada sedikit kekecewaan, mengapa ayahnya tidak seperti yang dibayangkan, tapi tak urung ada keharuan yang menyeruak di hati Melati. Biar bagaimanapun juga laki-laki di hadapannya ini adalah ayahnya. Ayah kandungnya! Tak pelak lagi, ayah dan anak yang telah sekian belas tahun berpisah ini saling berpelukan erat.
"Delima.,., Anakku...," ucap laki-laki berpakaian hitam itu setengah berdesah. Diusap-usapnya rambut gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
"A..., Ayah...!" suara Melati serak. Sepasangnya matanya merembang berkaca-kaca. Bahkan ada dua tetes air bening yang mengalir di pipi yang putih, hahis, dan mulus itu. Beberapa saat lamanya ayah dan anak itu saling berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam selama belasan tahun. Bahkan kedua bahu Melati tampak berguncang-guncang. Sementara Arya dan Mawar hanya diam terpaku memperhatikan saja semua kejadian itu.
"O,ya, Ayah. Mana ibu?" tanya Melati seraya menghapus air bening yang bergulir di kedua pipinya. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan.
"Ada di dalam," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi, tunggu dulu, Delima. Siapa pemuda gagah itu...?"
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu menudingkan telunjuknya pada Dewa Arak yang tengah menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan perasaan haru. Hatinya terasa diremas-remas. Karena peristiwa ini mengingatkan pemuda itu pada kedua orang tuanya yang kini telah tiada.
Melati terjingkat kaget bagai dipatuk ular berbisa mendengar ucapan itu. Baru gadis berpakaian putih ini teringat pada tunangannya. Kontan kepalanya ditolehkan, dan langsung menggapai tangan Arya.
Tanpa berkata apa-apa, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah maju. Dia sama sekali tidak marah atau tersinggung meskipun beberapa kali seperti tidak dipedulikan Melati. Arya tahu, tunangannya sama sekali tidak bermaksud mengacuhkannya. Gadis itu melpakannya karena terlalu larut dalam ketegangan dan kegembiraan yang memuncak. Dan Dewa Arak memakluminya.
"Ini teman akrabku, Ayah," ucap Melati memperkenalkan Arya begitu pemuda itu berada di sebelahnya. Wajah gadis berpakaian serba putih ini nampak memerah ketika memperkenalkan Arya pada ayahnya.
"Aku Arya Buana, Paman," ujar Dewa Arak menyebut namanya sambil mengulurkan tangan.
"Palungga," laki-laki berpakaian hitam menyambut uluran tangan Arya. Kemudian digenggam erat-erat.
"Dia bukan orang sembarangan, Ayah," kembali Melati membuka suara. "Dia adalah seorang pendekar sakti yang terkenal."
"O, ya? Hebat sekali!" laki-laki berwajah tirus yang ternyata bernama Palungga itu terkejut. "Siapakah kau, Anak Muda? Barangkali aku pernah mendengar julukanmu?"
Wajah Arya seketika memerah. Tapi kali ini tidak seperti biasa, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menegur tunangannya. Biasanya pemuda ini selalu menegur Melati bila memperkenalkan julukannya. Tapi kali ini tidak Arya tidak ingin merusak kebahagiaan tunangannya.
"Dia berjuluk Dewa Arak," ada nada bangga, baik dalam suara maupun wajah Melati sewaktu mengatakannya.
"Ah..!" wajah Palungga berubah hebat. "Jadi..., diakah pemuda yang menggemparkan dunia persilatan itu, Delima?"
Melati menganggukkan kepalanya.
"Sungguh tidak kusangka kalau orangnya masih begini muda," desah laki-laki berpakaian hitam itu seperti tidak percaya. "Memang tadi aku sudah menduga begitu pertama kali melihatnya. Tapi aku masih kurang yakin...."
"Tapi, sekarang Ayah percaya, kan?" selak Mawar yang sejak tadi diam saja.
"Karena Delima yang mengatakan..., aku percaya." Palungga mengangguk-anggukkan kepala sambil menepuk-nepuk bahu Arya.
"Kau hebat, Arya," ucap laki-laki berpakaian hitam itu bernada memuji. "Semuda ini kau sudah membuat dunia persilatan gempar...."
"Ah..., berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Paman," sahut Dewa Arak merendah. Memang begitulah sifat Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa risih bila orang memujinya.
"Ha ha ha...! Kau terlalu merendah, Arya. Tapi, itu memang bagus. Mari, mari kita masuk ke dalam."
Setengah memaksa, Palungga membawa Arya masuk ke dalam. Melati dan Mawar berjalan di belakang mereka.
EMPAT
Peristiwa mengharukan kembali terjadi begitu Melati bertemu dengan ibunya, seorang wanita setengah baya berpakaian hitam dan pesolek. Diam-diam gadis berpakaian putih ini tidak menyukai cara ibunya berdandan.
"Ayah..., Ibu...," ucap Melati setelah selesai menguasai perasaan. "Aku ingin tahu.., mengapa Ayah dan Ibu memberikanku pada orang lain?"
Palungga dan istrinya yang bernama Karina saling pandang. Mereka merasakan adanya tuntutan dari pertanyaan gadis berpakaian putih itu. Dan tentu saja hal itu bisa mereka maklumi. Wajarlah bila Melati menanyakan sejarah keluarga mereka. Tapi biar bagaimanapun juga, mereka melakukan semua itu semata-mata bukan karena tidak menyukai kelahiran gadis itu.
Diam-diam Dewa Arak mengerutkan alisnya. Disayangkannya mengapa Melati bertanya dengan nada agak menuntut.
"Nanti saja kita bicarakan hal itu, Melati," sahut Palungga, setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Anakku," sambung Karina pelan. "Sekarang, mari kita rayakan pertemuan yang menggembirakan ini."
"Sebuah usul yang bagus sekali, Karina," sambut Palungga penuh semangat. "Kita adakan pesta kecil-kecilan untuk menyambut kembalinya anak kita yang telah hilang sekian lamanya."
"Tapi, Ayah...." Melati menahan ucapannya karena laki-laki berpakaian hitam itu sudah bergegas melangkah ke dalam. Diam-diam Dewa Arak merasa heran. Seperti juga Melati, pemuda berambut putih keperakan ini sedikit merasa kecewa melihat perilaku orang tua tunangannya.
Gerak-gerik suami istri itu sepertinya agak liar. Tapi Arya bersikap bijaksana. Dia tidak mau mempermasalahkan hal itu. Tadi dia telah melihat sendiri kalau ilmu silat milik Mawar bukanlah ilmu-ilmu keji dan penuh kecurangan seperti ilmu yang layaknya dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam. Lagi pula tidak sedikit orang berwajah kasar dan bersikap agak liar tapi sebenarnya pendekar-pendekar pembela kebenaran, bantah Arya dalam hati.
Tak lama kemudian, Palungga telah kembali dengan membawa makanan dan minuman. Dengan cepat laki-laki berpakaian hitam itu menghidangkannya di atas meja. Sesaat kemudian semuanya telah siap.
"Mari, mari. Kita rayakan pertemuan ini Ayo, Arya! Silakan diccipi hidangannya. Maaf, hanya ini yang bisa kami sediakan."
"Benar! Kedatangan kalian benar-benar di luar dugaan kami," sambung Karina pula. "Jadi, kami tidak bisa menyediakan hidangan yang lebih baik."
"Ah...! Ini pun sudah lebih dari cukup, Paman, Bibi," sahut Arya dengan perasaan tidak enak.
Sesaat kemudian, orang tua si kembar, Melati dan Mawar serta Arya sudah sibuk menghadapi hidangan di atas meja. Arya dan Melati sama sekali tidak memperhatikan betapa sinar mata Palungga dan Karina berseri-seri begitu melihat mereka menyantap makanan masing-masing. Baru separuh hidangannya dinikmati, tahu-tahu Melati memegangi keningnya.
"Kenapa, Melati?" tanya Arya yang merasa heran melihat keadaan kekasihnya.
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Entahlah, Kang. Mendadak saja kepalaku pusing," jawab Melati.
Arya tersentak kaget. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini bangkit dari kursinya. Tapi, gerakannya segera didahului oleh Karina yang bersebelahan dengan Melati. Sementara, Arya dan tunangannya itu dihalangi oleh sebuah meja.
"Mungkin pertemuan ini telah mengejutkanmu, Anakku," ucap Karina lembut. "Sehingga membuatmu pusing."
Arya pun kembali duduk di bangkunya. Ucapan ibu Melati bisa diterimanya. Karena, sejak tadi pun pemuda berambut putih keperakan itu melihat wajah tunangannya pucat pasi bagai mayat. Tapi baru saja pantatnya menyentuh bangku, tiba-tiba perasaan pusing yang amat sangat menyerang kepalanya. Bahkan bukan hanya pusing saja. Tapi sekaligus tenaganya melemah secara tiba-tiba. Seketika itu juga Arya segera menyadari apa yang telah terjadi.
"Racun...," desis pemuda berambut putih keperakan itu tajam, seraya bergegas bangkit dari bangku. "Melati...! Awas...!"
Meskipun rasa pusing dan lemas melanda tubuhnya, Arya masih sempat memperingatkan tunangannya. Tapi, peringatan Dewa Arak sudah terlambat. Sebelum gema suaranya lenyap, tubuh gadis berpakaian putih itu sudah ambruk. Dan dengan tawa terkekeh, Karina segera menyambut tubuh Melati.
"Melati...!" Dalam kekhawatiran yang menggelegak, Arya berteriak. Sedapat mungkin pemuda berambut putih keperakan ini berusaha bergerak ke arah kekasihnya. Tapi, usahanya sia-sia karena rasa pusing dan lemas menghalanginya. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung begitu mencoba melangkahkan kakinya.
"Ha ha ha...!"
Pandangan Dewa Arak sudah berkunang-kunang ketika melihat Palungga bangkit dari kursi sambil tertawa bergelak. Dalam kesadaran yang kian melenyap, Arya merasa seperti pernah mendengar suara tawa itu. Tapi kapan dan di mana, dia lupa.
Tapi yang jelas, Arya tahu kalau saat ini dia dan Melati berada dalam ancaman bahaya besar. Gadis berpakaian putih itu sudah tertawan. Dan hanya dia yang bisa menyelamatkannya. Maka meskipun kepalanya yang terasa pusing membuat yang dilihatnya jadi berupa bayangan-bayangan kabur, dan juga lemas yang amat sangat mendera sekujur tubuhnya, Dewa Arak memaksakan diri untuk melawan orang-orang yang telah menipu dirinya dan Melati. Buru-buru Dewa Arak menjumput guci arak yang tergantung di punggungnya. Tapi sebelum sempat Arya menuangkan arak ke mulutnya, Palungga telah lebih dulu bergerak cepat.
"Hiaaat..!" Sambil berteriak nyaring, laki-laki berwajah tirus itu mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh.
Wuuut..!
Desss! Telak dan keras sekali kibasan kaki Palungga mengenai pergelangan tangan Arya. Dan seketika itu juga, guci arak di tangan Dewa Arak terlepas dari pegangan. Terlempar jauh. Jatuh berkerontangan di lantai dengan isi bertumpahan ke sana kemari.
Bahkan bukan hanya itu saja. Tubuh Dewa Arak pun terhuyung. Pergelangan tangan kanannya dirasakan sakit sekali. Rupanya sambungan tulangnya lepas. Walaupun begitu, kekuatan hati Arya patut dipuji. Pemuda ini sama sekali tidak berteriak kesakitan atau mengeluh. Hanya mulutnya saja yang menyeringai, pertanda kalau Dewa Arak dilanda rasa sakit yang hebat Arya mengeluh dalam hati.
Habislah sudah harapannya untuk membebaskan diri dari racun yang telah menyebar keseluruh aliran darah di tubuhnya. Semula, Dewa Arak berharap dari araknya dia bisa menawarkan racun yang masuk ke dalam tubuhnya. Karena arak yang telah tersimpan dalam guci peraknya memang dapat digunakan sebagai penawar racun. Tapi, kini harapan itu kandas.
"Ha ha ha...!" Palungga kembali tertawa terbahak-bahak. Sementara keadaan Dewa Arak semakin mengkhawatirkan. Kini pemuda berambut putih keperakan itu tidak mampu lagi melihat jelas orang-orang di sekitar ruang makan. Yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang mulai mengabur.
Didorong oleh perasaan cemas yang menggelegak pada keselamatan Melati, Arya jadi kehilangan kontrol diri. Apalagi keadaannya kini sudah semakin melemah. Tanpa pikir panjang lagi, kedua tangannya segera dihentakkan ke depan. Arya menggunakan jurus yang jarang dipergunakannya, jurus 'Pukulan Belalang'!
"Hih...!"
Wusss...! Hembusan angin keras berhawa panas menyengat, keluar dari telapak tangan yang dihentakkan Dewa Arak. Palungga terkejut bukan main melihatnya. Untung saja pandangan pemuda berambut putih keperakan itu telah kabur. Tambahan lagi tenaga pemuda itu memang sudah semakin melemah, maka akibatnya kedahsyatan pukulan jarak jauh itu pun berkurang. Bahkan serangannya pun ngawur. Meskipun begitu, tidak berarti kalau serangan pemuda itu tidak berbahaya.
Brakkk..! Terdengar suara hiruk-pikuk begitu angin pukulan jarak jauh yang nyasar itu menghantam dinding rumah yang terbuat dari kayu tebal hingga hancur berantakan.
Palungga, Mawar, dan Karina yang berada di situ berdecak kagum melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh Dewa Arak Arya sendiri begitu selesai mengirimkan serangan, langsung tersungkur di tanah. Pingsan!
"Luar biasa...!" Palungga berseru memuji seraya berjalan menghampiri Dewa Arak yang telah tergolek di tanah.
"Pemuda ini merupakan lawan berbahaya, Janggulapati," ucap Karina bernada mengingatkan.
Janggulapati yang tadi memperkenalkan diri dengan nama samaran Palungga, menganggukkan kepala. "Pemuda ini memang luar biasa, Gayatri. Meskipun sudah dirasuki racun yang membuat tenaganya lenyap, tapi dia masih mampu mengirimkan pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat. Ngeri aku membayangkan kalau pukulan itu digunakan sewaktu tenaganya belum berkurang."
Wajah wanita pesolek berpakaian hitam yang menggunakan nama samaran Karina, tapi sebenarnya mempunyai nama Gayatri, berubah. Tampak jelas kalau wanita ini pun merasa ngeri. "Apakah tidak sebaiknya kalau pemuda ini kita bunuh saja, Kang," ujar Gayatri lagi, mengajukan usul.
"Membunuh pemuda ini sekarang sama mudahnya dengan membalik telapak tangan, Gayatri," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi kematian seperti itu terlalu enak untuknya. Dewa Arak harus merasakan bagaimana tidak enaknya menanggung sakit hati!"
Gayatri tercenung mendengar ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berpakaian hitam itu. "Kau benar, Janggulapati. Dewa Arak harus kita siksa dulu!"
* * * * * * * *
Entah sudah berapa lama dirinya pingsan, Dewa Arak tidak tahu secara pasti. Yang jelas, begitu siuman dan membuka kelopak mata, tahu-tahu tubuhnya sudah telentang di atas balai-balai bambu. Kedua tangan dan kakinya terikat terpentang. Dan di hadapannya telah berdiri beberapa sosok tubuh. Mula-mula yang terlihat oleh Arya hanya bayang-bayang kabur. Tapi lama-kelamaan tampak jelas wajah-wajah mereka.
Dewa Arak menghitung jumlah sosok-sosok itu dengan matanya. Delapan orang! Tujuh di antara mereka pernah dijumpainya. Palungga, Kirana, Mawar dan empat orang pengeroyok Mawar. Tapi yang seorang lagi sama sekali belum dikenalnya. Seorang pemuda berwajah tampan berkulit putih, bertubuh pendek kekar.
Melihat hal ini, Dewa Arak pun sadar kalau ternyata semuanya memang telah direncanakan dengan rapi. Dia dan Melati dijebak! Jadi, sudah pasti gadis yang mengaku bernama Mawar ini bukan saudara kembar Melati. Gadis itu pasti seorang tokoh sesat yang ahli menyamar. Demikian kesimpulan Arya.
Dewa Arak cemas bukan main begitu teringat pada keadaan Melati. Tenaganya untuk memutuskan tali yang mengikatnya segera dikerahkan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan ini tatkala mengetahui tidak adanya aliran tenaga dalam yang mengalir ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya telah lenyap! Tidak ada lagi hawa hangat yang berputaran di bawah pusarnya.
Kecemasan Arya pun semakin menjadi-jadi begitu menyadari keadaannya. Tapi bukan dirinya semata yang dikhawatirkan. Tidak! Dia sama sekali tidak takut menghadapi maut. Sejak bertekad untuk menjadi pendekar pembela kebenaran, pemuda ini sudah memperhitungkan kalau suatu waktu bukan tidak mungkin dirinya tewas di tangan lawan. Bukan, bukan itu yang dikhawatirkan. Tapi Melati.
"Ohhh...!" Terdengar suara keluhan pelan di sebelah kiri Arya. Tanpa menoleh pun Dewa Arak tahu siapa pe-miliknya. Suara itu sudah amat dikenalnya. Suara siapa lagi kalau bukan suara Melati, kekasihnya!
Arya menolehkan kepalanya. Benar saja! Tak jauh darinya, Melati juga terbaring di balai-balai bambu lain. Keadaan gadis itu tak berbeda dengannya. Melihat keadaan Melati, kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan ini semakin menggelegak. Dia sudah dapat menduga kalau bahaya yang mengancam tunangannya bakal jauh lebih mengerikan ketimbang bahaya yang mengancam dirinya!
Dewa Arak mengalihkan pandangan kembali ke arah delapan sosok yang berada di hadapannya. Tanpa melihat pun Arya tahu kalau guci peraknya telah tidak ada padanya lagi. Begitu pula Pedang Bintang yang semula selalu tergantung di pinggangnya.
"Siapa kalian? Mengapa kalian memusuhi kami?" tanya Arya seraya menatap tajam wajah Janggulapati yang dikenalnya sebagai Palungga. Pemuda ini sudah dapat menduga kalau laki-laki berpakaian hitam ini adalah pemimpin di antara delapan orang itu.
"Hmh...!" Janggulapati mendengus. "Kau tidak mengenaliku lagi, Dewa Arak?!"
Arya mengerutkan alisnya. Sepertinya suara dengusan itu tidak asing di telinganya. Seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, dia tidak ingat lagi!
"Rasanya..., aku pernah mengenalmu, Palungga. Setidak-tidaknya aku pernah mendengar suaramu...," sahut Dewa Arak bemada ragu-ragu.
"Kau memang sudah mulai pikun, Dewa Arak!" sergah Janggulapati kasar. "Perlu kau ketahui, namaku sebenarnya bukan Palungga. Tapi Janggulapati."
Arya tidak tampak terkejut mendengar pengakuan Janggulapati. Hal itu memang sudah diduganya begitu tahu dia dan Melati terjebak.
"Kalau begitu..., kau pasti bukan ayahku...," desah Melati lemah. Ada raut kekecewaan, tapi juga sekaligus kebahagiaan yang terpancar pada sepasang matanya. Kecewa karena berarti ada kemungkinan memang dia sudah tidak punya orang tua lagi. Bahagia, karena orang yang bersikap dan bertampang kasar itu bukan ayahnya.
"Ayahmu sudah lama mampus, Wanita Liar!" sergah pemuda bertubuh pendek kekar. "Kau pun akan segera menyusulnya. Tapi, tentu saja terlalu bodoh untuk membunuh wanita secantikmu sebelum memanfaatkannya lebih dulu!"
Wajah Melati seketika memucat. Gadis ini tahu apa yang dimaksudkan pemuda bertubuh pendek kekar itu. Perasaan takut dan ngeri pun melanda hatinya. Dan perasaan itulah yang mendorong gadis berpakaian putih ini menggerakkan kaki dan tangan untuk memutuskan tali yang mengikatnya.
Suara ah-ah uh-uh terdengar dari mulut Melati ketika berusaha sekuat tenaga memutuskan ikatannya. Tapi, usaha gadis ini hanya sia-sia belaka. Seperti juga Dewa Arak, tenaga dalam yang dimiliki gadis ini pun telah lenyap. Apalagi ternyata tali itu alot sekali.
Jadi, betapapun Melati berusaha, hanya kegagalan yang diterimanya. Bahkan pergelangan tangan dan kakinya jadi lecet-lecet. Terasa sakit dan perih bukan main. Akhirnya gadis berpakaian putih ini pun terpaksa menghentikan usahanya.
"Ha ha ha...!" Pemuda bertubuh pendek kekar kembali tertawa bergelak. Kemudian kakinya dilangkahkan mendekati Melati. Tangan kanannya bergerak secara kasar ke arah dada gadis berpakaian putih itu.
Sepasang mata Melati berkilat-kilat melihat perbuatan pemuda itu. "Kalau kau berani menyentuhku..., kubunuh kau, Setan...!" desis gadis berpakaian putih itu tajam. Ada ancaman hebat yang tersembunyi di dalamnya.
Rupanya, pemuda bertubuh pendek kekar merasa ngeri juga mendengar ancaman itu. Terbukti tangannya yang semula sudah terulur, mendadak berhenti. Apalagi ketika mendengar desisan tajam dari mulut Dewa Arak.
"Berani kau menyentuhnya..., ke mana pun kau pergi jangan harap lolos dari tanganku...!"
Meremang bulu kuduk semua orang yang berada di situ mendengar ancaman Dewa Arak. Apalagi me reka yang pernah merasakan kehebatan ilmu Arya. Nada suara pemuda itu begitu dingin, dan penuh ancaman yang mengerikan!
Dari perasaan ngeri yang mendera, pemuda bertubuh pendek kekar berubah menjadi murka. Dengan wajah merah padam, dihampirinya Arya. Kemudian tangannya terayun, menampar ke arah pipi. Dan...
Plakkk...!
Telak dan keras sekali tamparan itu mengenai sasaran. Seketika itu juga di pipi Dewa Arak terdapat gambar telapak tangan berwarna merah. Dari sudut-sudut bibir pemuda itu pun menetes darah segar. Tapi, tak sedikit pun terdengar suara keluhan dari mulut Arya.
Suatu keuntungan bagi Dewa Arak karena pemuda bertubuh pendek kekar itu tidak mengerahkan tenaga dalam sewaktu menamparnya. Dia hanya menggunakan tenaga kasar saja. Dan kalau tadi pemuda itu mengerahkan tenaga dalam, mungkin tulang rahang Dewa Arak telah remuk.
Pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin beringas begitu melihat darah. Sekali lagi tangannya terayun diiringi pekik ngeri Melati yang melihatnya. Sementara Dewa Arak hanya tenang-tenang saja. Bahkan pandang mata pemuda ini menyorotkan tantangan yang membuat pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin geram. Dan hal ini memang disengaja oleh Arya. Dia sengaja mengalihkan perhatian pemuda bertubuh pendek kekar dari tunangannya.
Tapi sebelum tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu kembali mengenai sasaran, terdengar bentakan keras menggelegar. "Samiaji! Tahan...!"
Seketika itu juga tangan pemuda bertubuh pendek kekar yang ternyata bernama Samiaji, tertahan di udara. Pemuda ini kenal betul siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Janggulapati.
"Mengapa Guru menahanku...?" Kepala Samiaji ditolehkan menatap wajah laki-laki berwajah tirus. Pandang matanya memancarkan rasa penasaran yang amat sangat.
"Aku tidak ingin dia mati penasaran, Samiaji," sahut Janggulapati yang ternyata guru dari pemuda bertubuh pendek kekar.
"Maksud, Guru?" tanya Samiaji, belum mengerti maksud ucapan gurunya.
"Biar kuberi dia kesempatan mengajukan pertanyaan."
Setelah berkata demikian, Janggulapati menatap wajah Arya lekat-lekat. "Agar tidak mati penasaran..., kau kuberi kesempatan mengajukan pertanyaan, Dewa Arak...."
"Aku hanya ingin tahu siapa kalian, dan mengapa kalian memusuhi kami?" sahut Arya tenang. Tanpa merasa gentar sedikit pun, dibalasnya tatapan laki-laki berpakaian hitam itu dengan tak kalah tajam.
"Ha ha ha...!" Janggulapati tertawa bergelak. Rupanya laki-laki berpakaian hitam ini merasa geli mendengar pertanyaan itu. Tapi, Arya tetap bersikap tenang. Sepasang matanya tetap tertuju ke wajah laki-laki berwajah hitam itu.
LIMA
"Kau benar-benar tidak mengenalku lagi, Dewa Arak?" tanya Janggulapati setengah tidak percaya.
Arya hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Laki-laki berpakaian hitam itu lalu menarik Samiaji maju ke depan Dewa Arak.
"Kau lihat ini baik-baik, Dewa Arak!" Setelah berkata demikian, Janggulapati segera mencengkeram pakaian Samiaji pada bagian atas dada kirinya. Dan sekali jari jemari laki-laki berpakaian hitam ini bergerak pelan, terdengar suara keras.
Breeettt…!
Baju di bagian atas dada kiri Samiaji robek lebar. Dan seketika sepasang mata Arya terbelalak lebar begitu melihat balutan di bagian itu. Ada noda-noda merah yang menempel di kain pembalut itu. Jelas kalau bahu kiri pemuda bertubuh pendek kekar ini terluka.
Melihat luka Samiaji, Arya pun teringat. Ya, luka inilah yang diderita lawan Melati sewaktu mereka menuju ke rumah orang tua Mawar. Jadi, rupanya Samiaji adalah salah seorang dari dua pencegat itu. Salah seorang penghadang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar!
Begitu teringat akan hal ini, Dewa Arak pun segera teringat kembali di mana dia pernah mendengar suara dengusan itu. Di mana lagi kalau bukan di hutan itu juga.
"Jadi..., kalian orang yang menyerang kami di hutan?" tanya Arya setengah memastikan.
Jaggulapati menarik mundur Samiaji lagi. "Rupanya kau belum pikun, Dewa Arak! Memang, aku dan muridku inilah yang telah menyerang kalian di hutan."
"Kalian inikah orang yang berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar?"
Janggulapati menganggukkan kepala. "Aku dan istriku inilah yang berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu..., mengapa kau memusuhi kami?" tanya Arya lagi ingin tahu.
"Kami punya dendam pada wanita liar itu!" tandas Janggulapati tegas. "Sedangkan kau..., terpaksa harus kami lenyapkan. Di samping karena kau pasti akan membela kawan wanitamu, kau juga merupakan penghalang kami. Sewaktu-waktu kau pun mungkin akan menggilas kami. Tapi, sebelum semua itu terjadi, kami harus menggilasmu lebih dulu."
"Kalau boleh kutahu..., apa sebabnya kau mendendam pada kawanku?" Kembali Arya buka suara setelah sekian lamanya termenung.
"Ayah temanmu telah membunuh sahabatku, Kalajati! Dan karena ayahnya telah mampus, pembalasannya kutimpakan pada keturunannya!"
Arya dan Melati terkejut bukan hanya karena mendengar ucapan berapi-api Janggulapati yang jelas-jelas keluar dari hati yang sarat oleh dendam. Tapi juga oleh isi ucapan laki-laki berpakaian hitam itu. Jadi, benarkah Melati masih mempunyai seorang ayah? Dan benar jugakah Melati punya seorang saudara kembar? Kedua muda-mudi ini bertanya-tanya dalam hati.
Tapi, sebelum Arya dan Melati sadar dari keterkejutannya, Janggulapati sudah melangkah keluar ruangan. Samiaji dan yang lain-lainnya pun berjalan mengikutinya.
"Nikmatilah sepuas-puasnya sisa hidupmu, Dewa Arak!" seru laki-laki berpakaian hitam itu begitu telah berada di ambang pintu. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu sambil tertawa bergelak.
Brakkk! Terdengar suara berderak keras ketika pintu ruangan tahanan itu ditutupkan dari luar. Kini yang tinggal di dalam hanyalah Melati dan Dewa Arak.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya Arya seraya menolehkan kepala ke arah tunangannya.
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Hanya tenaga dalamku saja yang lenyap, Kang."
"Hhh...!" Arya menghela napas panjang. "Keadaan kita sama, Melati. Tenaga dalamku pun lenyap."
"Sekarang..., apa yang dapat kita lakukan, Kang?" tanya Melati bingung.
"Tak ada, Melati," sahut Dewa Arak dengan suara mendesah.
"Kau putus asa, Kang Arya?" Melati menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu setengah tak percaya. Biasanya, Arya selalu menemukan jalan keluar untuk menghadapi setiap permasalahan. Tapi sekarang?!
Dewa Arak menggelengkan kepala. "Hanya menyadari keadaan, Melati," sahut Arya tawar.
"Maksudmu?"
"Kita tak akan bisa membebaskan diri dari tali yang membelenggu. Tali ini terlalu alot. Jadi, daripada menyiksa diri dengan mencoba memutuskan tali ini, lebih baik kita berdiam diri saja."
Melati pun terdiam. Gadis berpakaian putih ini menyadari kebenaran ucapan kekasihnya.
"Atau..., kalau kau mau.... Cobalah berusaha menimbulkan kembali tenaga dalammu yang lenyap. Aku yakin, racun ini tidak akan bertahan lama. Apalagi, kalau kita sering-sering berusaha membangkitkan kembali tenaga dalam. Tapi..."
"Tapi apa, Kang...," tanya Melati begitu melihat Arya menghentikan ucapannya. "Kurasa, mereka tidak bodoh. Sebelum kita berhasil membangkitkan tenaga dalam kembali, mereka mungkin telah membunuh kita. Atau... memasukkan racun kembali."
"Tapi, tidak ada salahnya kalau kita coba. Daripada hanya diam menunggu nasib," ujar Melati setelah sekian lamanya terdiam.
"Kau cobalah...."
Kini Melati mulai berusaha keras membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Ditariknya napas dalam-dalam. Membayangkan seolah-olah udara yang ditariknya adalah kekuatan maha dahsyat. Kekuatan yang perlahan-lahan masuk ke hidung, kerongkongan, dan turun ke pusar.
Sesampainya di bawah pusar, gadis berpakaian putih ini menghentikan tarikan napasnya. Kemudian mengkhayalkan kalau kekuatan dahsyat itu berputar-putar di bawah pusarnya. Lalu napasnya dikeluarkan kembali. Melati terus mengulanginya meskipun tidak ada hawa yang berputar-putar di bawah pusarnya setiap kali dia menarik dan menahan napas.
Arya hanya berdiam diri saja. Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak berusaha membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Yang jelas, benak pemuda ini berpikir keras mencari jalan untuk bisa menyelamatkan diri. Tapi sampai lelah otaknya berpikir, dia tetap juga tidak menemukan jalan keluar.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Kepalanya ditolehkan ke arah Melati yang masih saja sibuk membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Mendadak Arya menolehkan kepalanya ke pintu ketika mendengar ada langkah-langkah kaki yang menuju ke kamar tahanan itu. Melati pun rupanya mendengar juga. Terbukti, gadis berpakaian putih itu menghentikan usahanya membangkitkan tenaga dalam.
Kriiittt..! Terdengar suara berderit pelan begitu daun pintu ruangan tahanan terbuka. Arya dan Melati hampir berbareng menatap ke arah sana. Dan seketika sepasang mata kedua muda-mudi ini terbelalak. Semula mereka menduga kalau orang yang datang ini adalah Janggulapati. Tapi ternyata yang datang adalah Mawar.
Anehnya, gadis itu kelihatan bersikap hati-hati sekali. Bahkan sepasang matanya beredar liar, sepertinya khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui orang. Tentu saja hal ini membuat Arya dan Melati semakin heran. Tapi, hanya sesaat saja. Kedua muda-mudi ini tidak mau tertipu untuk kedua kalinya oleh permainan sandiwara yang luar biasa gadis berpakaian merah itu. Pelan dan hati-hati sekali, Mawar menutupkan pintu ruangan tahanan. Kemudian berjingkat-jingkat menghampiri Melati.
"Mau apa kau kemari, Perempuan Rendah?!" tanya Melati ketus.
"Sssttt...! Jangan berisik! Aku datang untuk menolongmu...," gadis berpakaian merah itu menempelkan jari telunjuknya di bibir.
"Siapa yang mau percaya ucapan mulut busukmu!" sergah Melati dengan suara yang semakin meninggi. Tak dipedulikannya nasihat Mawar.
"Kau boleh memakiku apa saja!" sahut gadis berpakaian merah itu sabar. "Tapi percayalah. Aku datang dengan maksud baik. Atau..., kau lebih suka diperkosa orang liar itu daripada kutolong?"
Melati terdiam seketika. Ucapan Mawar membuatnya ngeri bukan main. Bahkan bulu tengkuknya pun berdiri semua ketika membayangkan apabila kejadian yang diucapkan gadis berpakaian merah itu benar-benar menimpanya.
"Benar namamu Mawar?" kini Arya yang ganti buka suara, seraya menatap wajah gadis itu tajam-tajam. Mungkin dari wajah itu dia ingin mengetahui kebenaran ucapan gadis yang mengaku sebagai saudara kembar Melati.
Gadis berpakaian merah itu menganggukkan kepala tanpa menoleh ke arah Arya. Sementara kedua tangannya sudah sibuk membuka ikatan yang membelenggu tangan dan kaki Melati.
"Mengapa kau mengkhianati ayah dan ibumu sendiri?" desak Arya lagi ingin tahu.
"Mereka bukan ayah dan ibuku!" tandas Mawar seraya menoleh ke arah Arya. Kontan gerakan tangannya yang membuka simpul-simpul tali terhenti.
"Heh... ?!" Sepasang mata Arya membelalak lebar. "Sandiwara macam apa lagi ini?"
"Aku tidak bersandiwara, Dewa Arak!" tegas Mawar lagi, seraya melanjutkan gerakan tangan, membuka tali yang membelenggu Melati. "Aku sama sekali bukan anak mereka. Justru merekalah yang hendak membunuh ibu dan ayah tiriku!"
"Ah...!"
Hampir berbareng Dewa Arak dan Melati mendesah kaget "Lalu..., kenapa kau masih membantu mereka? Dan siapakah kau sebenarnya?" tanya Melati dengan suara bergetar. Berbeda dengan Arya, Melati masih punya dugaan kuat kalau Mawar adalah saudara kembarnya. Ada semacam perasaan aneh yang membuatnya yakin kalau gadis berpakaian merah itu adalah saudara kembarnya.
"Aku adalah saudara kembarmu, Melati. Dan kali ini aku tidak berbohong. Aku adalah saudara kembarmu." Pelan dan bergetar suara yang keluar dari mulut Mawar.
"Ibu dan ayah tirimu...?" Melati bergumam bingung.
"Ya," Mawar menganggukkan kepala.
"Bisakah kau menceritakan semuanya pada kami, Mawar?" pinta Dewa Arak.
Gadis berpakaian merah itu tercenung sejenak "Baiklah...," ucap gadis itu setelah menghela napas berat "Aku tinggal dengan ibu dan ayah tiriku. Entah kenapa, aku tidak tahu. Yang jelas, ibu pernah cerita kalau ayah telah meningggal dunia."
Mawar menghentikan ceritanya sebentar untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah Arya dan Melati bergantian. Dilihatnya sepasang mata saudara kembarnya merembang berkaca-kaca. Dan gadis berpakaian merah ini tahu apa penyebabnya. Apa lagi kalau bukan mendengar ayahnya telah tiada?
"Suatu hari datang laki-laki dan wanita setengah baya berpakaian hitam ke rumah. Waktu itu yang ada hanya aku dan ayah tiriku. Kedua orang yang ternyata adalah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar itu mengamuk. Ayah tewas di tangannya, sementara aku dipukul pingsan."
Kembali Mawar menghentikan ceritanya. Perlahan setitik air bening mengalir membasahi sepasang pipinya yang putih, halus, dan mulus. Arya dan Melati dapat menduga kalau cerita selanjutnya akan menyedihkan hati gadis itu.
"Begitu aku sadar, aku telah berada di sarang mereka. Di antara mereka kulihat Samiaji dan empat orang lainnya. Dengan buas Samiaji memperkosaku..., dan hal itu terus berlangsung selama beberapa waktu...."
"Kenapa kau tidak melawan?" tanya Melati dengan suara mengandung kemarahan yang amat sangat. Sungguh tidak disangka kalau nasib saudara kembarnya begini buruk.
"Mereka mengancam akan membunuh ibu yang katanya mereka tangkap sewaktu aku pingsan," ucap Mawar terputus-putus. "Lagi pula, sia-sia saja usahaku menghindarkan diri dari perbuatan bejat mereka."
Melati dan Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Bisa saja Janggulapati dan Samiaji melumpuhkan Mawar dulu, seperti melumpuhkan mereka berdua. Dalam keadaan seperti itu apa dayanya menolak keinginan mereka?
"Kemudian mereka menugaskanku mencegat perjalanan kalian. Empat anak buah mereka berpura-pura menyerangku. Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar merencanakannya begitu cermat. Mereka berjanji, apabila aku berhasil melaksanakan tugas ini, ibu akan dibebaskan."
Lagi-lagi Mawar menghentikan ceritanya. Gadis ini mendehem sebentar untuk menormalkan kembali suaranya yang semakin serak karena telah bercampur isak.
"Aku tidak punya pilihan lain. Kupikir, biarlah kukorbankan saudara kembarku demi keselamatan ibu. Toh, seumur hidup aku belum pernah bertemu dengannya. Dan lagi, ibu telah berjasa banyak padaku."
Melati dan Arya termenung. Mereka berdua tidak menyalahkan keputusan yang diambil Mawar.
"Lalu..., kenapa sekarang kau berubah pikiran, dan berusaha menolong kami?" Dewa Arak penasaran.
"Tadi..., sewaktu keluar dari ruangan ini, Janggulapati rupanya keterlepasan bicara karena kegembiraannya."
"Apa yang dikatakannya?" tanya Melati, sementara sepasang matanya menatap penuh iba pada saudara kembarnya.
"Sambil tertawa, laki-laki busuk itu mengatakan hanya tinggal istri Palungga saja yang belum tertangkap. Dan setelah itu, semua dendamnya akan tuntas."
"Siapa itu Palungga?" tanya Melati yang sudah tahu kalau laki-laki berwajah tirus yang mengaku bernama Palungga punya nama asli Janggulapati.
"Ayah kandungku...."
"Jadi...?" sambung Melati dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Ya, ayahmu juga, Melati."
"Jadi..., mereka hendak menangkap ibu...?" tanya Melati dengan suara mengandung ancaman hebat.
"Begitulah yang tadi kudengar," sahut Mawar membenarkan. "Itu berarti selama ini mereka telah menipuku! Mereka belum menangkap ibu!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian merah ini mendekapkan kedua tangan ke wajahnya. Bahunya terguncang-guncang menahan tangis yang akan meledak. Jadi selama ini Mawar telah ditipu mentah-mentah oleh Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar.
Sekarang Arya baru mengerti mengapa gadis berpakaian merah itu berusaha menolong mereka. Tidak ada lagi yang dapat dijadikan sandera oleh Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar untuk memaksa Melati.
"Tapi..., bagaimana kita bisa keluar dengan selamat dari sini? Kau kan tahu kalau aku dan Kang Arya sama sekali tidak berdaya."
Setelah berkata demikian, Melati bangkit dari balai-balai bambu. Ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya sudah terlepas semua. Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Apa yang dikatakan tunangannya memang masuk akal. Bagaimana mereka dapat meloloskan diri dalam keadaan seperti ini? Jangankan menghadapi Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar, menghadapi empat orang anak buahnya pun rasanya mereka tidak mungkin akan menang.
"Aku sudah punya jalan," ucap Mawar.
"Bagaimana, Mawar?" tanya Arya ingin tahu.
"Hanya inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari sini."
"Kau jangan berteka-teki, Mawar," selak Melati cepat "Beritahukan saja secara gamblang semua rencanamu."
"Apa yang dikatakan Melati, benar sekali, Mawar," sambut Arya mendukung ucapan tunangannya.
"Aku pun memang sudah bermaksud memberi tahu kalian," ucap Mawar pelan.
Seketika Arya dan Melati membisu.
"Rencanaku begini, Melati. Aku bermaksud menggantikan tempatmu."
"Maksudmu...?" selak Melati tak sabar.
"Aku menyamar menjadi dirimu. Sementara kau menjadi aku, kurasa tidak ada seorang pun yang bisa membedakan kita."
"Hm...," Arya mengangguk-anggukkan kepalanya mulai mengerti. "Lalu...?"
"Dengan menyamar sebagai diriku, Melati cukup bebas untuk berbuat apa saja. Bahkan mendapat kesempatan untuk menormalkan kembali tenaga dalam. Kebetulan aku punya penawar racun itu."
"Kenapa tidak langsung membebaskan kami berdua saja, kemudian kau berikan obat-obat penawar racun itu pada kami," usul Melati.
"Tidak semudah itu, Melati," bantah Mawar sambil tersenyum lebar. "Racun ini berbeda dengan racun umumnya. Penawar untuk racun ini memakan waktu yang cukup lama. Paling tidak, lima hari. Sekarang kau mengerti mengapa rencana itu tidak bisa kulaksanakan, Melati?"
Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Jadi..., setelah tugasku ini selesai, keselamatan kami ada di tanganmu, Melati."
Mawar menutup kata-katanya. Melati terdiam seketika. Sementara dahinya berkernyit. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Dan Arya bisa menduga apa yang membuat tunangannya tertihat risau.
"Mawar...," panggil Arya pelan.
"Hm...." Hanya suara bergumam pelan yang menyahuti panggilan pemuda berambut putih keperakan itu. "Apakah tindakan ini tidak membahayakan dirimu sendiri? Kau tahu bahaya apa yang mengancammu, bila kau menggantikan tempat Melati?" tanya Arya ragu-ragu.
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Memang, hal itulah yang sejak tadi mengganggu pikirannya.
"Aku tahu, Kang Arya," Mawar menganggukkan kepala. Diturutinya cara Melati memanggil pemuda berambut putih keperakan itu.
"Dan kau masih mau melakukannya?" desak Arya lagi setengah tidak percaya.
"Aku tidak ingin saudara kembarku mengalami nasib yang sama sepertiku! Biarlah hanya aku saja yang mengalami!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut saudara kembar Melati itu.
"Mawar...!" Melati tak kuasa menahan rasa haru mendengar kesediaan Mawar untuk mengorbankan dirinya. Ditubruknya tubuh saudara kembarnya. Kemudian dipeluknya erat-erat Ada isak tertahan yang merayap naik dari dadanya menuju kerongkongan, sehingga membuat suaranya bergetar.
Mawar pun balas memeluk tak kalah erat. Sepasang mata kedua gadis cantik itu tampak merembang berkaca-kaca. Keharuan pun melingkupi seisi ruang tahanan. Bahkan Arya pun tidak tahan untuk tidak mengerjap-ngerjapkan mata, begitu merasakan kedua pelupuk matanya mendadak panas.
Beberapa saat kemudian, barulah kedua gadis yang sama-sama cantik jelita itu melepaskan pelukan masing-masing. Keduanya bersiap melaksanakan rencana mereka.
ENAM
Melati dan Mawar lalu menuju ke sudut kamar tahanan. Kemudian saling melepas pakaian luar masing-masing. Meskipun tidak melihat kedua gadis itu membuka pakaian, tapi tak urung dada Arya berdebar tegang begitu mendengar suara berkeresek pakaian yang dilepaskan. Arya merasa betapa kedua tangannya jadi dingin. Segera diusirnya jauh-jauh bayangan bukan-bukan yang mengusik benaknya.
Melati dan Mawar sudah selesai melepaskan pakaian masing-masing. Dan kini kedua gadis itu sudah mulai mengenakan pakaian yang telah ditukar. Sesaat kemudian, keduanya telah selesai mengenakan pakaian tukarannya.
Kini Mawar mulai mengurai rambutnya. Sementara Melati sibuk menggelung rambutnya ke atas. Setelah selesai, kedua gadis yang cantik jelita itu berjalan menghampiri Arya dan berdiri berjejer di depannya.
Sepasang mata Arya terbelalak lebar. Mulutnya pun melongo. Sungguh kalau saja dia tidak mendengar suara berkeresekan tadi, mungkin dikiranya kedua gadis itu belum bertukar pakaian. Gadis berpakaian putih dan berambut panjang terurai di hadapannya dikenalnya betul sebagai Melati. Ataukah memang mereka belum bertukar pakaian?
"Bagaimana, Kang Arya?" tanya gadis berpakaian merah. Kini Arya tidak ragu-ragu lagi untuk menebak kalau wanita berpakaian merah itu benar-benar Melati. Suara gadis itu amat dikenalnya.
"Luar biasa! Kalau saja kau tidak berbicara, mungkin aku tidak bisa membedakan mana kau dan mana Mawar, Melati," sahut Arya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi...?" Gadis berpakaian merah, yang tidak lain dari Melati itu tidak melanjutkan ucapannya.
"Suaramulah yang membuatku dapat membedakan kalian."
"Ah...! Kalau begjtu..., suaramu pun harus diatur, Melati," ucap gadis berpakaian putih yang tak lain adalah Mawar.
Melati mengernyitkan alisnya. "Apakah suaraku dan suara Mawar berbeda jauh, Kang?" Arya menganggukkan kepala. "Di mana perbedaannya?" kejar Melati penuh rasa ingin tahu.
"Suaramu agak ketus...."
"Kalau Mawar...?" selak Melati cepat.
"Suara Mawar lembut, Melati. Lembut, halus dan satu-satu," jawab Arya. "Jadi alangkah baiknya agar penyamaran kalian tidak terbongkar, kau harus mencoba meniru suara Mawar. Tentu saja tidak perlu terlalu persis. Setidak-tidaknya, yahhh..., mendekati. Pokoknya kau tidak boleh menonjolkan perbedaan yang terlalu menyolok."
Sebenarnya mendongkol juga hati Melati yang sekarang telah berpakaian merah mendengar jawaban dari mulut tunangannya, sepertinya dia selalu memuji-muji Mawar. Tapi karena tahu Arya berkata begitu demi kelancaran tugas mereka, rasa dongkol yang melanda hatinya diusir jauh-jauh.
"Akan kucoba meniru suara Mawar, Kang." Setelah berkata demikian, Melati pun lalu mulai berusaha menirukan ucapan Mawar.
Arya mendengarkan penuh seksama. Beberapa kali gadis berpakaian merah itu terpaksa harus mengulang, setiap kali Arya menggelengkan kepalanya. Setelah cukup lama mengulang-ulang ucapan demi ucapan, akhirnya Arya menganggukkan kepalanya.
"Hhh...!" Melati menghembuskan napas lega. "Apakah suaraku sudah sama dengan suara Mawar, Kang?"
"Sama sih tidak. Tapi yang jelas sudah agak mirip," sahut Arya.
"Kalau begitu, sudah saatnya aku berbaring di situ," ucap Mawar setengah melucu, seraya menunjuk balai-balai bambu tempat Melati tadi berbaring tak berdaya. Kemudian, Mawar yang kini berpakaian serba putih itu melompat ke balai-balai bambu.
"Tapi, bagaimana dengan tenaga dalammu, Mawar? Tidakkah nanti mencurigakan?" tanya Arya ketika teringat akan hal itu.
Melati terlonjat kaget begitu mendengar pertanyaan tunangannya. Dengan sinar mata penuh pertanyaan, ditatapnya wajah Mawar. Tapi, hati kedua pendekar muda itu jadi lega begitu melihat gadis berpakaian putih itu tersenyum lebar.
"Jangan khawatir," jawab Mawar menenangkan. "Aku sudah meminum racun itu sebelum masuk ke sini."
"Tapi, kenapa kau tidak terserang pusing dan lemas?" tanya Melati penuh rasa heran.
"Ooo..., seperti yang kalian rasakan itu?"
Hampir bersamaan Melati dan Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Racun yang diberikan kalian lain dengan yang kuminum. Racun yang kuminum hanya melenyapkan tenaga dalam secara perlahan-lahan tanpa menimbulkan akibat sampingan."
"Berapa lama racun itu bekerja?" tanya Melati setengah hati.
"Tak lama lagi, tenaga dalamku pun akan lenyap semua. Mungkin setelah berbaring."
Setelah berkata demikian, Mawar lalu membaringkan tubuhnya dengan posisi telentang. Kedua tangan dan kakinya direntangkan ke sudut-sudut balai-balai bambu.
"Tolong ikatkan tali itu, Melati," pinta gadis berpakaian putih itu. Tak terdengar adanya nada memerintah dalam ucapannya.
Dengan perasaan berat, Melati memenuhi permintaan saudara kembarnya. Dijumputnya tali-tali bekas pengikat tangan dan kakinya. Kemudian diikat pergelangan kedua tangan dan kaki Mawar.
"Lebih erat lagi, Melati," ucap Mawar begitu merasakan ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya kurang erat. Melati terpaksa memperkuat ikatan. Dan untuk itu gadis berpakaian merah ini harus menguatkan hatinya. Setelah dirasakan cukup, Melati lalu melangkah mundur.
"Jangan lupa dengan suaramu, Melati," ucap Arya memperingatkan. "Dan ingat... apa pun yang terjadi, kau harus memaksakan diri tetap diam. Jangan sia-siakan pengorbanan saudara kembarmu."
Melati hanya menganggukkan kepala. Dia sudah tak sanggup lagi menanggapi ucapan itu. Rasa haru yang melanda akibat pengorbanan yang begitu besar dari saudara kembarnya, membuat dadanya terasa sesak. Bahkan lehernya pun terasa bagaikan tercekik oleh rasa haru yang menggelegak.
Sesaat kemudian, Melati pun melangkah keluar ruang tahanan. Dan dengan hati-hati melangkah memasuki kamar Mawar yang berada tidak jauh dari kamar tahanan. Memang saudara kembarnya itu telah memberi petunjuk ke tempat yang menjadi kamar tidurnya. Sesampainya di dalam, tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati lalu bersemadi untuk mencoba membangkitkan kembali tenaga dalamnya yang telah lenyap entah ke mana.
* * * * * * * *
Melati tak tahu berapa lama dirinya tenggelam dalam keheningan semadi. Yang jelas, dia segera tersadar begitu mendengar suara ketukan pintu.
"Mawar...! Cepat keluar...!" terdengar teriakan-teriakan keras dari luar pintu.
Melati mengenali siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Janggulapati. Bergegas Melati menghentikan semadi dan bangkit berdiri. Kemudian melangkah ke arah pintu. Lalu dibukanya. Benar saja. Di depan pintu dilihatnya Janggulapati dan yang lain-lain berdiri.
"Ada apa, Janggulapati?" tanya Melati dengan suara yang telah berubah menjadi halus, lembut, dan satu-satu. Mawar telah memberitahunya bagaimana memanggil mereka.
"Kau harus ikut kami untuk melihat tontonan menarik yang akan kami suguhkan padamu!" Samiaji yang menjawab pertanyaan Melati.
Melati menelan kemarahannya mendengar ucapan itu. Gadis berpakaian merah ini segera teringat pada cerita Mawar. Saudara kembarnya itu telah diperkosa habis-habisan oleh Samiaji dan Janggulapati. Teringat hal ini, kemarahan Melati bangkit. Tapi gadis ini tidak mau bersikap gegabah. Diingatnya betul-betul semua nasihat yang diberikan Dewa Arak. Maka kemarahan yang berkobar dan hendak membakar dada ditahannya dengan sekuat tenaga.
Melati segera melangkah keluar pintu tanpa bicara apa-apa. Setelah menutup pintu kembali, kakinya dilangkahkan mengikuti Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar, bersama murid dan anak buahnya yang telah melangkah lebih dulu. Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan, Melati menyumpah-nyumpah dalam hati. Kalau saja saat ini tenaga dalamnya tidak musnah, mungkin sudah diterjangnya orang-orang yang memuakkan ini. Tak lama kemudian, rombongan itu sudah berada di depan pintu ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan.
Kriiittt..! Terdengar suara berderit pelan begitu Janggulapati mendorong daun pintu dengan tangan kanannya.
Arya dan Mawar berjingkat kaget, meskipun pendengaran mereka sudah menangkap adanya bunyi langkah-langkah kaki yang menuju ke tempat mereka. Tentu saja, Mawar hanya mendengar langkah kaki empat orang anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian berada di bawahnya.
"Ha ha ha...!" Janggulapati tertawa bergelak. "Babak pertama dari permainan yang akan kami buat segera dimulai, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu menggerakkan kepalanya ke arah Mawar pada Samiaji. Tanpa diperintah dua kali, pemuda bertubuh pendek kekar bergegas menghampiri tubuh Mawar yang tergolek di pembaringan.
"He he he..!" Samiaji tertawa-tawa. Sementara sepasang matanya berputar liar merayapi tubuh montok dan menggiurkan yang terpampang di depannya.
Mawar tahu ada bahaya besar yang tengah mengancamnya, maka sekuat tenaga dikerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kakinya. Tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya yang menggeliat-geliat ke sana kemari menjadi pertanda kalau dia tengah berusaha keras membebaskan dirinya. Bukan hanya Mawar saja yang kelihatan gelisah bukan main. Melati pun dilanda kegelisahan serupa. Tidak terkecuali Arya.
"Keparat! Janggulapati! Hentikan!" pemuda berambut putih keperakan itu berteriak-teriak kalap. Seluruh tenaga yang dimilikinya dikerahkan untuk memutuskan tali-tali yang membelenggunya. Tapi seperti juga yang dialami Mawar, Arya pun mengalami hal yang sama. Usahanya sia-sia. Hanya tubuhnya saja yang menggeliat-geliat ke sana kemari.
"Ha ha ha...!" Hanya suara tawa bergelak Janggulapati yang menyambut teriakan kalap Dewa Arak.
Brettt!
Baju di bagian dada mawar robek lebar ketika tangan Samiaji merenggutnya. Tak pelak lagi tubuh berkulit putih, halus, dan mulus pun tampak menantang. Samiaji menelan ludah. Sepasang matanya semakin liar. Dan tingkahnya pun semakin beringas. Bagaikan seekor ikan hiu lapar mencium darah.
"Samiaji! Manusia keparat!" Arya berteriak semakin kalap. "Manusia pengecut! Ayo hadapi aku! Mari kita bertarung secara jantan."
"Diam!" Seraya membentak keras, Janggulapati melayangkan tangannya. Dan....
Plak..! Seketika itu juga ucapan Arya terhenti. Tamparan tangan laki-laki berbaju hitam itu mendarat telak dan keras sekali di pipi Dewa Arak. Dan kontan kepala Arya terpaling. Cairan merah kental menetes di sudut-sudut bibirnya.
Janggulapati sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam pada tamparannya. Hanya mengerahkan tenaga luar saja. Tapi, orang seperti Arya mana bisa digertak? Dengan berani, meskipun dengan pipi biru lebam, dan terlihat bengkak, dia menentang pandang mata laki-laki berpakaian hitam itu.
"Tidak kusangka kalau Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang tersohor tidak lebih dari seorang pengecut!" keras dan tegas sekali ucapan yang keluar dari mulut Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini berkata sambil mengangkat kepalanya.
"Keparat!" Janggulapati menggeram keras. Tangannya kembali terayun. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Plak...!
Kepala Dewa Arak sampai terbanting ke atas balai-balai bambu saking kerasnya tamparan itu. Kembali rona merah tergambar jelas di bagian wajah yang kena tampar. Cairan merah kental kembali menetes di sudut-sudut mulut pemuda berambut putih keperakan ini. Tapi, lagi-lagi Arya mengangkat kepalanya.
Melati hampir-hampir menjerit melihat keadaan tunangannya. Kedua pipi pemuda itu telah bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan kedua matanya pun sampai tertutupi oleh bengkak-bengkak di wajahnya. Dewa Arak menggertakkan giginya melihat kejadian yang akan menimpa Mawar.
Kelakuan Samiaji yang sudah diamuk nafsu, tidak bedanya lagi dengan hewan. Tanpa mempedulikan banyaknya orang yang melihat semua perbuatannya, pemuda bertubuh pendek kekar itu terus saja melaksanakan niat bejatnya.
Samiaji sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Yang ada di benaknya hanya melampiaskan keinginannya pada Mawar yang dikiranya Melati. Dan kembali tangan murid Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini bergerak.
Brettt..!
Suara ribut dari kain yang robek kembali terdengar begitu celana Mawar kembali terenggut. Kini Mawar terbaring di balai-balai tanpa ada selembar benang pun yang melekat di tubuhnya.
Sehingga tubuh yang berkulit putih, halus, dan mulus pun semakin jelas menantang. Sepasang mata Samiaji hampir melompat keluar begitu melihat sepasang 'bukit kembar' yang menantang birahinya. Dengan susah payah pemuda bertubuh pendek kekar ini berusaha menelan ludahnya.
Napasnya memburu hebat bagaikan orang habis berlari jauh. Bukan hanya Samiaji saja yang mengalaminya. Janggulapati dan empat orang anak buahnya pun menelan air liur. Sepasang mata mereka bagai terpaku ke sana. Bahkan laki-laki berpakaian hitam ini sampai melupakan Dewa Arak!
Hanya ada dua pasang mata yang tidak tahan melihat kejadian itu. Mata dari Melati dan Arya Buana. Melati menundukkan kepalanya. Tak kuat gadis berpakaian merah ini menyaksikan adegan yang akan menimpa saudara kembarnya. Sepasang matanya pun dipejamkan rapat-rapat. Meskipun tidak menutup telinga, tapi gadis ini berusaha menulikan pendengaran.
Tapi meskipun begitu, tak urung rintihan Mawar terdengar olehnya. Hati gadis berpakaian merah ini seperti diiris-iris sembilu. Begitu sakit. Begitu perih. Begitu nyeri. Tak dapat ditahan lagi, dua tetes air bening menggulir dari kedua kelopak matanya. Wanita yang berhati keras ini menangis! Meskipun tanpa suara. Kalau menuruti perasaan hatinya, ingin Melati menyerang mereka mati-matian. Biarlah dia tewas di tangan mereka daripada menyaksikan adegan yang terpampang di hadapannya.
Tapi, akal sehatnya melarang. Sia-sialah semua pengorbanan yang dilakukan saudara kembarnya kalau hal itu dia lakukan. Bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan demikian. Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Beberapa kali Arya menggertakkan gigi. Jari-jari kedua tangannya dikepalkan terus, hingga kuku-kukunya membekas di telapak tangan.
Sepasang matanya menatap lawan-lawannya penuh hawa membunuh. Untuk pertama kalinya Arya yang selama ini dikenal sebagai pendekar welas asih berniat melenyapkan semua lawan-lawannya tanpa pertimbangan lagi.
Sementara itu Samiaji sudah mulai menggeluti tubuh Mawar dengan kasar. Secara buas, liar, dan brutal diciumnya sekujur tubuh Mawar yang sudah tanpa busana itu. Kedua tangannya meremas-remas ke sana kemari. Tak dipedulikannya rintihan lirih dari mulut gadis itu. Dalam pendengaran pemuda bertubuh pendek kekar ini, rintihan menyayat Mawar adalah nyanyian merdu bidadari yang malah membuatnya semakin brutal.
Janggulapati dan empat orang anak buahnya menelan ludah melihat adegan yang terpampang di hadapannya. Tapi sesaat kemudian, laki-laki berpakaian hitam itu mulai mengadakan penyiksaan terhadap Dewa Arak. Tidak dipedulikannya lagi semua yang dilakukan muridnya.
Gayatri yang sejak tadi hanya memperhatikan saja, kini tidak tinggal diam. Wanita pesolek ini pun ikut ambil bagian dalam penyiksaan terhadap Dewa Arak. Gayatri menggunakan senjatanya untuk menyiksa Arya. Sebuah kebutan dengan bulu-bulu berwama putih keperakan.
Wurtt! Prattt..!
Bukkk! Bukkk!
Berkali-kali kebutan di tangan wanita berpakaian hitam itu menampar sekujur tubuh Arya. Di tangan Gayatri, kebutan itu berubah menjadi alat penyiksa yang mengerikan. Kebutan itu terkadang menegang kaku untuk menotok berbagai bagian tubuh Dewa Arak Tapi, tak jarang melemas, digunakan untuk melecut seperti cambuk. Dan berkali-kali mendarat di berbagai bagian tubuh Arya.
Berkali-kali tubuh pemuda berambut putih keperakan itu meregang, setiap kali Janggulapati maupun Gayatri mengayunkan tangan. Seluruh baju dan celana Arya sudah compang-camping tak karuan. Habis tersayat-sayat lecutan kebutan Gayatri.
Meskipun siksaan demi siksaan menderanya, tapi tidak sedikit pun terdengar jerit kesakitan dari mulut Arya. Pemuda ini menggigit bibir erat-erat untuk menahan suara rintihan yang hampir keluar dari mulutnya. Bahkan bibirnya sampai pecah mengeluarkan darah. Hanya tubuhnya yang sesekali menggeliat yang menjadi bukti kalau siksaan Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menyakitkan dirinya.
Melati yang tak kuat melihat adegan penyiksaan terhadap dua orang yang dikasihinya, tertunduk dalam. Hanya kedua tangannya yang mengepal keras menjadi bukti kalau gadis itu tengah berperang dengan perasaannya.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar baru menghentikan siksaannya setelah Samiaji juga menghentikan nafsu binatangnya. Ada senyum puas yang tersungging di mulut pemuda bertubuh pendek kekar itu, ketika perlahan-lahan mengenakan pakaiannya kembali.
"Kau urus mereka, Mawar! Dan segera keluar kalau tidak ingin bernasib seperti mereka!" ucap Janggulapati sambil melangkah keluar, diikuti yang lainnya.
Dengan wajah pucat pasi bagai mayat, Melati kemudian memakaikan pakaian baru berwarna putih pada saudara kembarnya. Kedua tangannya nampak menggigil keras menahan gejolak perasaan yang menyiksa. Sesaat kemudian kedua saudara kembar ini saling berpelukan erat Mawar dan Melati sama-sama menangis tanpa suara.
Sementara Dewa Arak sama sekali tidak tahu apa-apa. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah pingsan. Tak kuat menahan siksaan demi siksaan yang mendera tubuhnya. Tak lama kemudian, Melati pun keluar dari kamar itu, setelah melempar pandang ke arah Arya beberapa saat lamanya. Gadis berpakaian merah ini tak bisa berbuat apa-apa.
Melati tahu kalau Janggulapati tidak main-main dengan ancamannya tadi. Di luar pintu, dilihatnya empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatapnya dengan sinar mata aneh. Tapi gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dan terus melangkah masuk ke kamarnya.
TUJUH
Untuk kesekian kalinya, Melati menelan obat yang diberikan Mawar. Setelah itu, gadis berpakaian merah ini duduk bersila. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka, dirangkapkan di depan dada. Ujung-ujung jarinya tegak lurus ke atas. Sedangkan punggungnya ditegakkan. Melati kembali bersemadi untuk menghilangkan racun milik Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar.
Tak lama kemudian, gadis berpakaian merah ini sudah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang terdengar hanyalah suara keluar masuknya udara yang ditarik dan dibuang oleh gadis itu. Suara pelan dan berirama tetap. Secercah kegembiraan mulai timbul di hati Melati setelah merasakan ada hawa hangat yang berputar di bawah pusarnya.
Memang masih pelan, tapi sedikit banyak sudah membuat semangat gadis berpakaian merah ini bangkit Dengan penuh semangat Melati meneruskan semadi tanpa mempedulikan sang waktu yang terus bergulir. Yang ada di dalam benaknya saat ini hanya bersemadi dan bersemadi.
Semakin lama hawa yang berputaran di bawah pusar Melati semakin bergolak keras. Tapi, gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dia terus saja melanjutkan semadinya dengan tekun. Dan perlahan namun pasti tubuhnya mulai berguncang-guncang.
Wajah Melati sudah mandi keringat ketika menghentikan semadi. Perlahan-lahan gadis berpakaian merah ini bangkit berdiri. Secercah senyuman tersungging di bibirnya. Kini sudah hampir tiba saatnya dia membalas dendam.
Melati kemudian memusatkan perhatiannya. Pikirannya disatukan pada keinginannya untuk menyalurkan hawa yang berputaran di bawah pusarnya ke kedua telapak tangannya. Dan hampir saja gadis berpakaian merah ini bersorak gembira begitu merasakan aliran aneh yang merayap ke kedua tangannya.
Tenaga dalamnya telah pulih kembali! Tenaga dalamnya telah kembali berfungsi! Meskipun begitu, Melati belum merasa yakin kalau tenaga dalamnya telah kembali seperti semula. Walaupun begitu, keberhasilan usahanya sudah membuatnya gembira bukan main. Keberhasilan membangkitkan kembali tenaga dalamnya yang lenyap ini membuktikan kalau tak akan lama lagi seluruh tenaga dalamnya pulih kembali. Kini Melati melangkah ke arah pintu Kemudian tangannya dijulurkan.
Kriiittt..! Terdengar suara berderit pelan begitu daun pintu kamar terbuka. Perlahan gadis berpakaian merah ini menutupkan pintu kembali. Kemudian melangkahkan kakinya menuju ke ruang tahanan Arya dan Mawar. Melati mendadak mengerutkan alisnya begitu melihat di depan pintu ruangan itu berjaga-jaga empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tidak biasanya ruangan ini dijaga. Ada apa gerangan? tanya gadis berpakaian merah ini dalam hati.
Keempat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap lekat-lekat wajah Melati yang mereka sangka Mawar. Sorot mata mereka liar penuh nafsu. Dan memang, sebenarnya keempat orang ini sudah lama memendam hasrat jelek pada Mawar. Hanya saja mereka tidak berani melakukannya. Takut pada ketua mereka.
Mawar telah menceritakannya semua pada Melati. Maka gadis berpakaian merah ini pun tahu arti pandangan mata mereka. Tapi, yakin kalau seperti biasanya, empat orang itu tidak berani mengganggu, Melati meneruskan langkah menuju pintu. Melati kaget bukan main ketika melihat empat orang itu berdiri menghadang jalan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Keparat!" bentak Melati keras. Kemarahan yang hebat memang melanda gadis berpakaian merah ini. Tapi, untunglah dalam keadaan seperti itu dia masih teringat meniru suara Mawar. "Berani kalian menggangguku?! Apa kalian tidak takut kepada pemimpin kalian?!"
"He he he...!" salah seorang yang bertubuh tinggi kurus tertawa-tawa dengan lagak menyebalkan. "Mereka baru saja pergi, Mawar. Dan mungkin nanti malam baru kembali. Sekarang kesempatan bagi kami terbuka untuk bersenang-senang denganmu!"
"Benar...! Ha ha ha...!" sambut yang berkulit kuning.
"Ayolah, Mawar...!" yang berambut abu-abu ikut pula angkat bicara.
Seketika wajah Melati berubah. Kepergian Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji merupakan sebuah kesempatan emas untuk melarikan diri. Tapi, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Barangkali saja keempat orang ini berbohong padanya. Tapi, menilik dari sikap mereka, Melati dapat menduga kalau keempat orang itu sama sekali tidak berdusta.
"Tunggu sebentar...!" cegah Melati sambil menjulurkan kedua tangannya. Seketika langkah kaki keempat orang itu tertahan. "Aku bersedia meladeni kalian..., asal kalian mau menjawab pertanyaanku," ucap Melati.
Keempat orang yang tengah diamuk nafsu itu mana sempat mencerna arti kata-kata 'meladeni' yang dimaksud gadis berpakaian merah itu. Yang jelas, kata-kata Melati yang mereka sangka Mawar, di telinga mereka adalah persetujuan gadis itu.
"Cepat..., ajukan pertanyaanmu, Mawar...!" desak laki-laki bertubuh tinggi kurus tak sabar.
"Ke mana mereka pergi?" tanya Melati ingin tahu.
"Mencari tempat persembunyian ibumu, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus.
"Apakah mereka tidak khawatir kalau tahanan kita melarikan diri?" Melati ingin tahu.
"Ketua tidak sebodoh itu, Mawar. Sebelum pergi, ketua sudah menjejali kedua tahanan dengan racun. Bahkan Samiaji kembali menikmati kemolekan tubuh gadis itu."
"Lalu..., kenapa kalian berjaga-jaga di sini?"
"Agar kau tidak bisa membawa kabur mereka, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak sabar. "Mengapa pertanyaanmu begini banyak sih?!"
Melati berpura-pura tersenyum manis walaupun sebenarnya hatinya bergolak penuh kemarahan yang meluap-luap. "Sabar, tinggal satu pertanyaan lagi. Dan aku akan meladeni kalian."
"Cepatlah, Mawar!" Seketika wajah laki-laki berambut abu-abu berseri.
"Sebenarnya..., bisa saja kami memaksamu secara kasar, Mawar. Toh, kami bisa saja mencari-cari alasan. Misalnya kau ingin membawa kabur tahanan. Tapi..., kami lebih suka kalau kau melayani secara sukarela. Ha ha ha...! Bukan begitu, Teman-teman?!"
Hampir bersamaan ketiga rekan laki-laki berambut abu-abu itu menganggukkan kepalanya.
"Aku membatalkan pertanyaanku!" tandas Melati tegas.
"Heh...?! Jadi..?" laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak melanjutkan ucapannya. Agak kaget juga dia mendengar jawaban yang ketus itu.
Bahkan tiga rekannya juga terkejut mendengarnya. Dan seketika itu juga mereka bersiap siaga. Tapi keempat orang kasar itu tidak merasa khawatir, karena telah mengetahui tingkat kepandaian gadis yang mereka kira Mawar. Jangankan melawan mereka berempat, melawan dua di antara mereka saja belum tentu gadis itu mampu.
"Rupanya kau lebih suka diperlakukan kasar, Mawar!"
"Sekarang aku akan meladeni kalian!"
Setelah berkata demikian, tangan Melati meluncur ke arah dada laki-laki tinggi kurus. Dalam kemarahan dan kekhawatiran akan kehadiran Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji, gadis berpakaian merah ini. Langsung mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.
Laki-laki tinggi kurus yang semula memandang rendah, jadi terperanjat kaget bukan main melihat kecepatan gerak Melati. Serangan gadis itu tiba begitu cepat. Dan juga angin yang mengiringi tibanya serangan itu begitu keras. Dengan sebisa-bisanya laki-laki tinggi kurus ini berusaha mengelak. Tapi, karena sebelumnya dia tidak berwaspada, dan lagi serangan itu datang melebihi perkiraannya, maka....
Plak...!
Terdengar suara berderak keras begitu tamparan Melati mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh laki-laki tinggi kurus itu terpelanting jatuh. Beberapa saat lamanya, tubuh itu menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tewas dengan tulang dada berpatahan. Darah segar mengucur deras dari hidung, mulut, dan telinga laki-laki tinggi kurus itu.
Ketiga rekannya kaget bukan main melihat kematian si tinggi kurus. Sungguh tidak mereka sangka kalau Melati selihai ini. Mungkinkah dalam waktu beberapa hari saja, kepandaian gadis berpakaian merah ini bisa melonjak begitu cepat? tanya mereka dalam hati, penuh rasa tidak percaya. Tapi, ketiga anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini tidak ingin berpikir lebih lama lagi.
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar terang berpendar begitu ketiga orang itu menghunus senjata masing-masing. Mereka tahu kalau kini entah dengan cara bagaimana, gadis yang mereka sangka Mawar bisa memiliki kepandaian selihai itu. Maka mereka tidak berani bersikap main-main.
Melati tersenyum sinis. "Orang biadab seperti kalian tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama. Dunia akan gembira bila kalian semua lenyap dari muka bumi." Tajam dan penuh ancaman ucapan yang keluar dari mulut Melati. Sedangkan Sepasang matanya mencorong kehijauan menatap ketiga lawannya.
Tak terasa ketiga orang anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar itu melangkah mundur setindak. Tengkuk mereka seketika terasa dingin. Ancaman maut yang mencuat dari gadis di hadapan mereka tampaknya memang tidak main-main.
Tapi Melati yang sudah dilanda dendam yang bergelora tidak mau memberi kesempatan lagi. Kembali gadis berpakaian merah ini menerjang. Tangan kanannya yang berbentuk cakar naga meluruk deras mengancam ke arah dada salah seorang anak buah Alap-Alap Bukit Gantar. Sementara tangan kiri terletak di pinggang.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras sebelum sambaran cakar itu sendiri tiba. Laki-laki berambut abu-abu yang menjadi sasaran sambaran cakar naga segera memapak serangan itu dengan tusukan pedang. Sementara kedua rekannya pun tidak tinggal diam. Mereka menghujani Melati dengan serangan-serangan maut bertubi-tubi.
Melati yang tahu kalau tenaga dalamnya belum pulih secara keseluruhan, buru-buru membatalkan serangannya seraya melompat mundur begitu melihat lawan memapak tangannya dengan golok. Hasilnya, serangan ketiga lawannya mengenai tempat kosong. Beberapa jengkal di depannya.
Melati segera mengambil golok yang tergantung di pinggang mayat laki-laki bertubuh tinggi kurus. Dan tanpa ragu-ragu lagi, dia memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Memang ada sedikit kecanggungan ketika menggunakan golok itu. Tapi sama sekali tidak mempengaruhi kedahsyatan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung dahsyat seperti ada ribuan tawon mengamuk begitu Melati menggerakkan golok rampasannya. Ketiga anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar terkejut mendengarnya. Tapi, kejadian itu hanya berlangsung sebentar. Sesaat kemudian mereka sudah kembali menyerang gadis berpakaian merah itu sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring.
Tapi mana mampu keroco-keroco seperti mereka menandingi 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dahsyat? Terdengar suara menggerung keras begitu Melati menyambut serangan tiga orang musuhnya sambil melompat. Sesaat kemudian, terdengar teriakan-teriakan menyayat saling susul yang diikuti dengan robohnya ketiga orang itu dalam keadaan tanpa nyawa.
Melati menatap ketiga mayat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Ada rasa puas yang terpancar di wajahnya. Sejenak pandangannya dialihkan pada golok berlumuran darah yang tergenggam di tangannya. Kemudian dilemparkannya ke bawah.
Cappp!
Batang golok itu menancap di lantai sampai lebih dari setengahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera membalikkan badan menatap pintu yang terpampang dalam jarak sekitar lima tombak di depannya.
"Hih...!" Melati berseru keras seraya menghentakkan kedua tangan yang membentuk cakar naga ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...! Angin keras berhembus dari kedua telapak tangan gadis berpakaian merah itu. Kemudian meluncur deras ke arah pintu. Rupanya Melati ingin menguji kekuatan tenaga dalamnya.
Brakkk! Terdengar suara berderak keras yang diikuti dengan hancurnya daun pintu ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan. Hancur berkeping-keping! Karuan saja suara itu membuat Arya dan Mawar terkejut bukan main. Serentak keduanya menoleh ke arah ambang pintu yang sudah tidak berdaun lagi. Dan dari luar pintu melesat sesosok bayangan merah, yang sesaat kemudian sudah berdiri di ambang pintu.
"Melati...," hampir bersamaan Arya dan Mawar mendesah pelan begitu melihat sosok tubuh yang ternyata tidak lain adalah Melati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera bergegas melangkah.
"Bebaskan Mawar dulu, Melati," ucap Arya bernada perintah.
Melati segera melangkah ke arah balai-balai bambu Mawar. Agak terburu-buru dia melepaskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kaki saudara kembarnya.
"Melati...!" seru Mawar serak bemada isak. Air matanya meleleh di sepanjang pipinya. Dan begitu ikatan yang membelenggunya terlepas, Melati dipeluknya erat-erat Melati pun balas memeluk tak kalah erat. Rasa haru yang menggelegak membuat dadanya terasa sesak. Bahkan gadis berpakaian merah ini tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
Semua ucapan yang akan keluar, tersumbat di tenggorokan. Yang dapat dilakukan Melati hanya balas memeluk erat-erat, sambil menepuk-nepuk punggung saudara kembarnya. Beberapa saat lamanya kedua gadis kembar itu saling berpelukan dengan hati yang sama menangis. Baru Melati perlahan-lahan melepaskan pelukannya. Sejenak ditatapnya wajah saudara kembarnya yang pucat pasi.
"Maafkan aku yang telah menyusahkanmu, Mawar," ucap Melati. Pelan dan serak suaranya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Melati. Kau tidak salah." Mawar menggelengkan kepala.
"Mari kita bebaskan Kang Arya dulu," ajak Melati sambil menuntun tangan gadis berpakaian putih itu.
Tanpa banyak membantah, Mawar mengikuti langkah saudara kembarnya menuju balai-balai bambu tempat Arya diikat. Sambil melepaskan ikatan yang membelenggu tangan dan kaki Arya, Melati menatap sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan diam-diam hati gadis ini terenyuh begitu melihat keadaan Dewa Arak.
Wajah Arya bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan sepasang matanya pun sampai tak terlihat lagi, karena tertutup oleh bengkak-bengkak pada wajahnya. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka menghitam panjang bekas cambukan. Bahkan sambungan lutut kaki kanannya terlepas. Begitu pula sambungan tulang siku tangan kirinya.
"Mengapa kau berani membebaskan kami secara terang-terangan begini, Melati?" tanya Arya pelan, begitu telah bebas dari belenggu.
"Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji tidak berada di tempat, Kang," jawab Melati sambil menatap dengan pandangan iba pada tunangannya. "Yang ada hanya empat orang anak buahnya."
"Hm..., lalu?" kejar Arya.
"Mereka semua sudah kukirim ke akhirat!" tandas gadis berpakaian merah ini tegas.
"Kau tahu ke mana manusia-manusia terkutuk itu pergi, Melati?" Arya mengganti sebutan untuk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Melati menganggukkan kepala.
"Ke mana?" Mawar yang sudah tidak sabar lagi ikut bertanya.
"Mencari ibumu, Mawar," jawab Melati dengan suara mendesah.
"Ibumu juga, Melati," balas Mawar membenarkan ucapan gadis berpakaian merah itu.
"Hhh...!" Melati menghela napas berat.
"Kau tidak percaya, Melati?"
"Bukannya aku tidak percaya, Mawar. Tapi..., kejadian ini membuatku tidak yakin...."
Ragu-ragu Melati menanggapi.
"Sudahlah...!" Arya cepat menengahi. "Urusan itu bisa diurus belakangan. Yang penting, Sekarang kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka kembali."
"Tapi, ke mana?" tanya Melati bingung.
"Bagaimana kalau ke tempat persembunyian ibuku?" usul Mawar tiba-tiba.
Arya dan Melati melengak kaget. "Kau tahu di mana ibumu?" tanya Melati ragu-ragu.
"Tahu secara pasti sih tidak. Tapi, aku yakin kalau dia ada di tempat itu. Karena memang tempat itulah satu-satunya yang sering dia kunjungi kalau sedang tidak ada di rumah. Dan lagi..., mungkin ibuku bisa mengobati semua luka-luka Kang Arya. Ibuku seorang yang ahli dalam ilmu pengobatan."
"Bagaimana, Kang?" tanya Melati meminta pendapat tunangannya.
"Aku setuju," sahut Arya cepat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga muda-mudi ini pun bergegas meninggalkan markas Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tak lupa, ketiga orang itu mengambil guci perak dan Pedang Bintang yang direbut Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Baru kemudian mereka meninggalkan tempat itu.
Arya terpaksa menggunakan sebatang tongkat untuk lebih memudahkan berjalan. Mula-mula memang canggung. Tapi lama kelamaan akhirnya dia mulai terbiasa.
* * * * * * * *
DELAPAN
Wanita berpakaian kuning muda yang ternyata adalah Karina sampai terjingkat kaget mendengar panggjlan itu. Dia kenal betul pemilik suara itu. Dan kepalanya pun cepat ditolehkan ke belakang karena wanita ini menyapu menghadap mulut gua. Sekitar lima tombak di depan, dilihatnya tiga sosok tubuh yang tengah melangkah ke arahnya. Beberapa saat wanita berpakaian kuning muda ini menyipitkan mata untuk memperjelas pandangan.
"Mawar...! Anakku...!"
Seraya berteriak nyaring, tiba-tiba Karina melempar sapunya dan kemudian menghambur ke arah tiga sosok tubuh yang tengah menghampirinya. Mawar segera menghambur ke arah ibunya. Ditinggalkannya Melati dan Arya.
"Ibu...!" seru gadis berpakaian putih ini tak kalah keras. Tapi alangkah heran hati Mawar, begitu melihat wanita berpakaian kuning muda itu tiba-tiba menghentikan langkah.
"Kau..., kau siapa...?" tanya Karina dengan mulut bergetar. Sepasang matanya menatap gadis berpakaian putih yang berdiri di hadapannya penuh rasa heran. Memang, tadi wanita berpakaian kuning muda ini berlari ke arah mereka karena melihat pakaian merah yang dikenakan Melati. Tentu saja wanita setengah baya ini jadi terkejut begitu melihat gadis berpakaian putih yang menghambur kearahnya. Dan anehnya wajah gadis itu adalah wajah yang amat dikenalnya. Wajah Mawar!
Dengan pandang mata bingung, Karina mengalihkan tatapannya ke arah gadis berpakaian merah yang tengah berdiri berdampingan dengan seorang pemuda berambut putih keperakan. Dan jelas dilihatnya kalau gadis itu adalah Mawar! Tapi, mengapa gadis itu tidak menyambut? Malah gadis berpakaian putih ini yang menyambut dan memanggilnya ibu?
"Aku Mawar, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu terbata-bata. "Mawar putri Ibu? Masa' Ibu lupa?"
"Lalu..., siapa gadis itu?" tanya Karina lagi sambil menunjuk gadis berpakaian merah berambut digelung ke atas.
Kini Mawar baru sadar mengapa ibunya kebingungan. Mengapa dia sampai lupa? Dia masih berpakaian dan berdandan Melati. Pantas saja kalau tadi ibunya kebingungan. Apalagi di situ juga ada Melati yang berperan sebagai Mawar.
"Dia adalah saudara kembarku, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu cepat "Saudara yang dulu sering Ibu ceritakan."
"Ah...!" wanita berpakaian kuning ini terjingkat bagai disengat ular berbisa. "Dia..., dia... Delima?"
Mawar menganggukkan kepalanya. Dan seketika itu juga, Karina melayangkan tatapannya ke arah Melati. Sejak tadi Melati memang sudah memperhatikan wanita yang dipanggil ibu oleh Mawar. Dan begitu melihat, seketika timbul rasa sukanya. Wanita setengah baya itu kelihatan begitu agung dan sederhana. Melati tidak merasa keberatan jika wanita itu benar ibu kandungnya.
"Delima...!" wanita berpakaian kuning muda itu memanggil dengan suara lirih dan bergetar. Tapi cukup jelas untuk dapat ditangkap oleh telinga Melati dan Arya. Kedua kaki Melati menggigil keras mendengar panggilan wanita berpakaian kuning muda yang begitu sarat dengan kerinduan. Seketika ada semacam perasaan aneh yang membuat hatinya yakin kalau wanita di hadapannya ini benar ibu kandungnya.
"Delima... Anakku...! Kemarilah kau, Nak," panggil Karina lagi. Kedua tangannya terkembang ke depan. Siap untuk memeluk putrinya yang telah belasan tahun tidak pernah dijumpai. Melati menghampiri Karina dengan jantung berdebar keras.
"Apa buktinya kalau aku adalah anakmu?" tanya gadis berpakaian merah ini dengan suara bergetar.
"Kalau kau benar Delima..., ada dua tanda kehitaman mirip sebuah tompel yang kau miliki. Pada bahu kananmu dan pada perutmu...," ujar Karina, agak bergetar suaranya.
"Ibu...!" Kini Melati tidak ragu lagi. Segera gadis berpakaian merah ini menghambur ke ibunya dengan kedua tangan terkembang ke depan. Sesaat kemudian ibu dan anak yang telah sekian belas tahun berpisah sudah saling berpelukan erat.
"Delima..., Anakku..." Tersendat-sendat Karina mengeluarkan ucapan. Sementara, kedua tangannya sibuk mengusap-usap rambut hitam dan tebal yang dimitiki Melati penuh kasih sayang.
"Ibu... Mengapa Ibu tega memberikanku pada orang lain?" tanya gadis berpakaian merah itu sambil melepaskan pelukan.
Karina tertegun sejenak. "Dari mana kau tahu, Delima? Pasti dari Mawar kan?"
Hampir berbarengan Melati dan Mawar menganggukkan kepala.
"Panjang ceritanya, Delima. Tapi percayalah...! Semua itu Ibu lakukan demi keselamatanmu juga."
Melati pun terdiam seketika.
"Mari masuk dulu, Delima. Ajak pula kawanmu. Kelihatannya dia mengalami luka parah. Luka-lukanya perlu segera mendapatkan pengobatan."
Sesaat kemudian, keempat orang itu pun sudah masuk ke dalam gua.
Ternyata Mawar tidak berbohong sewaktu mengatakan kalau ibunya adalah seorang ahli pengobatan. Tidak sampai dua hari, luka-luka yang diderita Arya sudah sembuh sama sekali. Sementara pengobatan untuk tenaga dalamnya yang musnah, disembuhkan dengan arak yang berasal dari guci peraknya. Selama dua hari itu pula Melati terpaksa menahan-nahan diri untuk tidak mendesak ibunya menjelaskan mengapa dirinya dipisahkan.
Dua hari itu dihabiskan oleh Melati untuk melakukan semadi mengembalikan kondisinya seperti semula. Ternyata obat yang diberikan wanita berpakaian kuning ini memang manjur. Terbukti, dua hari kemudian tenaga dalamnya telah putih kembali seperti sediakala.
Pagi ini, saat yang dinanti-nantikan Melati pun tiba. Karina menyuruh mereka berkumpul di bagian tengah gua yang kebetulan mempunyai ruang cukup luas dan terang. Mereka semua duduk di tanah membentuk lingkaran.
"Dengarlah oleh kalian semua, terutama kalian berdua," ucap Karina seraya menatap Melati dan Mawar bergantian, setelah keduanya menceritakan semua kejadian yang mereka alami sehingga bisa bertemu. Bahkan Melati pun menceritakan semua hal yang dialaminya sejak kecil. Kedua saudara kembar itu kini telah kembali pada pakaian dan dandanan masing-masing.
Melati dan Mawar menganggukkan kepala berbareng. Kini pendengaran mereka dipasang tajam-tajam untuk mendengar sejarah hidup keluarga mereka.
"Puluhan tahun lalu, ayah kalian adalah seorang pendekar sakti yang jarang memiliki tandingan. Palungga namanya. Tapi sayang sekali. Ayahmu terlalu kejam pada orang-orang yang berbuat jahat. Tak ada ampun bagi setiap orang jahat yang bertemu dengannya."
Karina menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah-wajah yang mendengarkan ceritanya dengan penuh minat. Tak terkecuali Mawar. Karena baru kali inilah ibunya bercerita begini jelas. Dan hal itu terpaksa dilakukan wanita berpakaian kuning muda ini untuk membuat hati Melati puas.
"Ketika ayahmu menikah denganku, baru kekejamannya berkurang. Sedikit demi sedikit dia mulai menjauhi kerasnya dunia persilatan," sambung wanita setengah baya itu lagi. "Tapi, karena ayahmu telah terlalu banyak menanam dendam pada orang lain, usahanya untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan sia-sia."
"Maksud, Ibu...?" tanya Melati dengan suara bergetar. Meskipun sebenarnya sudah bisa menduga apa yang terjadi, tapi gadis berpakaian putih ini masih juga bertanya.
"Yahhh...! Pada suatu malam, orang-orang persilatan golongan hitam menyerbu rumah kami. Ayahmu menyuruhku menyelamatkan diri sambil membawa kalian. Sementara dia sendiri berusaha menahan orang-orang golongan hitam itu."
"Ayah...," keluh Melati pelan. Ada keharuan yang menyeruak di hati gadis berpakaian putih ini begitu mendengar ayahnya sengaja mengorbankan diri agar anak istrinya selamat.
"Dengan membawa kalian, aku melarikan diri. Berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Dan sewaktu aku menumpang di rumah keluarga adikku yang belum dikaruniai anak, mereka menawarkan diri untuk mengurus salah seorang di antara kalian."
Kembali Karina menghentikan ceritanya. Wanita berpakaian kuning muda ini terdiam sejenak. Sepertinya dia tengah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya.
"Dengan berat hati, aku terpaksa melepaskan kau, Delima. Karena hanya kaulah yang punya tanda-tanda khusus yang dapat kujadikan bukti sebagai anakku kelak," sambung Karina lagi. "Dan tak lama kemudian, aku bertemu dengan sahabat suamiku. Bongaya namanya. Dia bersedia menampungku. Bahkan bersedia menganggap Mawar sebagai anak dan mengakuiku sebagai istrinya. Semua itu dilakukan untuk menyelamatkanku. Dia menjadi suamiku tidak dalam arti sebenarnya."
Karina menghentikan ceritanya. "Cerita selanjutnya kau saja yang menyambungnya, Mawar?" wanita berpakaian kuning muda itu menawarkan.
Mawar menganggukkan kepala. "Sekitar dua pekan lalu, ketika ayah tengah melatihku, muncul dua orang yang mengaku berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar mencari ibu. Ayah mengatakan tidak tahu. Tapi rupanya mereka tidak percaya."
Gadis berpakaian merah itu menghentikan ceritanya sejenak. Janggal rasanya menyebut ayah pada orang yang ternyata bukan ayah kandungnya. Bahkan dibilang ayah tirinya pun bukan! "Akhirnya terjadi pertarungan. Ayah tewas, dan aku pingsan. Cerita selanjutnya kalian sudah tahu sendiri."
Suasana jadi hening seketika begitu Mawar menghentikan ceritanya. Masing-masing tenggelam dalam lamunan sendiri-sendiri.
"Heiii...! Yang ada di dalam...! Keluar...!"
Terdengar suara teriakan keras dari luar yang menggema ke dalam gua. Seketika itu juga empat sosok tubuh yang tengah tenggelam dalam lamunan masing-masing tersentak kaget.
"Janggulapati...," desis Arya yang mengenali suara keras dari luar gua. Seketika itu juga amarah. Dewa Arak kembali bergolak. Cepat pemuda berambut putih keperakan ini bangkit berdiri.
Begitu melihat Arya bangun, Melati, Mawar, dan ibunya pun bergerak bangun dan melangkah ke luar gua. Ternyata dugaan Dewa Arak tidak meleset.
Di luar gua telah berdiri Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Ketiga orang ini marah bukan main begitu kembali pada malam hari, semua penjaga telah tewas dan tawanan mereka telah lolos semua. Betapapun telah berpikir keras, mereka tak juga mengetahui bagaimana semua itu bisa terjadi. Tanpa berpikir lebih lama lagi, ketiganya segera mengejar. Setelah ke sana kemari, akhirnya mereka menemukan gua tempat tinggal Karina. Itu pun atas petunjuk yang mereka terima dari seorang pencari kayu bakar.
"Kau dan ibumu tunggu di sini saja, Mawar," ucap Arya. "Biar aku dan Melati yang menghadapi mereka."
Mawar dan Karina yang tahu kalau kepandaian mereka tidak banyak berarti bila dipakai menghadapi ketiga orang itu, menganggukkan kepala tanpa banyak membantah.
"Hati-hatilah..., mereka sangat licik," Mawar tak lupa memberi nasihat.
Arya dan Melati menganggukkan kepala pertanda mengerti. "Akan kuperhatikan nasihatmu, Mawar," sahut Melati seraya melangkah keluar gua.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji menatap wajah Melati dan Arya tajam-tajam. Seketika wajah mereka memucat. Dari wajah dan mata muda-mudi yang melangkah keluar gua itu mereka tidak melihat adanya tanda-tanda racun yang mereka berikan. Mungkinkah kedua orang ini sudah terbebas dari racun? pikir mereka setengah tidak percaya. Tapi, bagaimana bisa secepat itu? Padahal sekalipun mereka mendapatkan obat yang paling manjur, paling cepat butuh waktu empat hari.
Rupanya mereka sama sekali tidak tahu kalau guci arak pusaka Arya mampu menawarkan segala macam racun! Sementara Melati telah memulai pengobatannya sewaktu masih berada di sarang mereka. Arya segera menjumput guci arak di punggungnya. Kemudian menuangkan ke mulutnya. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk..! Terdengar suara tegukan begitu arak melewati tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang menyebar di perut Dewa Arak. Dan perlahan-lahan hawa hangat tadi naik ke atas kepala.
"Hiaaat..!" Samiaji melompat menerjang Melati. Tangan kanannya terayun deras menampar ke arah pelipis.
Wuuuttt..! Angin berhembus keras sebelum tamparan itu tiba. Melati yang pernah menjajal tingkat kepandaian pemuda bertubuh pendek kekar itu tak ragu-ragu lagi mengangkat tangan kiri menangkis.
Plakkk!
Benturan antara dua buah tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dihindarkan lagi. Akibatnya tubuh Samiaji yang masih berada di udara terjengkang ke belakang. Namun dengan manis pemuda bertubuh pendek kekar itu mematahkannya, dan mendarat mulus di tanah. Meskipun begitu, sebuah seringai kesakitan nampak di wajahnya.
Sementara Melati hanya agak goyah saja kuda-kudanya. Tidak tampak kalau gadis berpakaian putih ini terpengaruh dengan benturan itu. Dari sini saja sudah bisa diketahui kalau tenaga dalam Melati masih berada di atas Samiaji. Samiaji menggeram keras. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang marah bukan main. Dari benturan ini sudah diketahuinya kalau tenaga dalam Melati sudah pulih kembali. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, pemuda bertubuh pendek kekar ini tidak habis mengerti.
"Hih...!" Entah dari mana mengambilnya, tahu-tahu di tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu telah tergenggam sebatang tongkat berujung bulan sabit.
Wuk, wuk, wuk...! Terdengar suara mengiuk keras begitu Samiaji memutar-mutar tongkatnya laksana baling-baling. Dan....
"Hiaaat..!" Tongkat berujung logam bulan sabit itu meluncur cepat ke arah dada Melati. Tapi gadis berpakaian putih ini tidak menjadi gugup. Cepat kakinya dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan tubuh sehingga sambaran tongkat lewat sejengkal di samping kirinya. Tapi, sebelum Melati sempat berbuat sesuatu, tongkat bulan sabit itu dikelebatkan ke samping kiri. Menebas leher gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!" Tidak ada jalan lain bagi Melati kecuali merendahkan tubuh, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Dan dari bawah, gadis ini melancarkan serangan balasan.
Wunggg...! Terdengar suara menggerung keras begitu gadis berpakaian putih ini balas menyerang. Entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu ditangannya telah tergenggam sebatang pedang yang tadi tersampir di punggung. Dan sekali menyerang, Melati telah menggunakan 'Ilmu Pedang Seribu Naga', andalannya.
Melati yang memang sangat dendam pada Samiaji atas perbuatan pemuda itu pada saudara kembarnya, tak kepalang tanggung melakukan serangan. Seluruh kemampuan yang dimilikinya langsung dikerahkan. Tentu saja serangan-serangan itu membuat Samiaji jadi kalang-kabut.
Meskipun begitu, tidak berarti kalau pemuda bertubuh pendek kekar ini sama sekali tidak berdaya. Perlawanan mati-matian Samiaji membuat Melati sama sekali tidak mampu mendesak. Dan itu berlangsung sampai belasan jurus.
SEMBILAN
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap cemas ke arah pertempuran. Meskipun dilihatnya pertarungan masih berjalan imbang, tapi laki-laki berpakaian hitam ini tahu kalau Samiaji bukan tandingan Melati. Kalau tidak cepat-cepat dibantu, muridnya pasti akan tewas di tangan Melati. Dan bantuan itu hanya dapat dilakukan kalau Dewa Arak berhasil dia robohkan.
Maka tanpa ragu-ragu lagi istrinya segera diberi isyarat agar ikut maju bersamanya menghadapi Dewa Arak. Dia sendiri segera mengeluarkan senjata andalannya. Sepasang pedang pendek yang bergagang sekaligus sarung dari kayu jati berukir. Gayatri pun tidak tinggal diam. Cepat tangannya bergerak. Dan sesaat kemudian di tangan kanannya telah tergenggam sebuah kebutan berbulu putih.
"Hiyaaa...!" Disertai teriakan nyaring, Janggulapati melesat cepat ke arah Dewa Arak. Pedang pendek di tangan kanannya berkelebat cepat menuju leher Arya. Dan sebelum serangan laki-laki berwajah tirus itu tiba, serangan Gayatri telah datang menyusul. Ketika wanita pesolek ini menggerakkan kebutan yang dipegangnya, seketika itu juga bulu-bulu kebutan yang semula lembut berubah jadi kaku laksana tombak.
Hanya orang yang mempunyai tenaga dalam tinggilah yang bisa melakukannya. Dan kebutan yang telah kaku bagai tombak itu menusuk cepat ke arah ulu hati Arya. Menghadapi dua serangan maut yang tiba berbarengan, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Tubuhnya segera direndahkan sehingga serangan pedang pendek Janggulapati lewat di atas kepalanya. Sementara serangan kebutan yang mengarah ke ulu hatinya, ditangkis dengan gucinya.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring bagai beradunya dua benda logam. Dan seketika itu juga bulu kebutan itu melemas kembali. Gayatri memekik keras begitu merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat tatkala kebutannya berbenturan dengan guci Dewa Arak. Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangan yang memegang kebutan terasa sakit-sakit. Sementara Dewa Arak hanya tergetar saja. Jelas, kalau tenaga dalam yang dimiliki wanita pesolek ini masih berada di bawah Arya.
"Hup!" Ringan tanpa suara tubuh Janggulapati mendarat di tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu pula pedang pendek di tangan kirinya ditusukkan ke arah perut Arya. Dengan perhitungan matang seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Arya mendoyongkan tubuh ke samping kiri sehingga serangan pedang pendek itu lewat setengah jengkal di sebelah kanannya.
Belum lagi Dewa Arak sempat balas menyerang, kebutan di tangan Gayatri kembali menyambar. Tapi kali ini tidak menegang kaku seperti sebelumnya, melainkan lemas. Dan menyabet keras ke arah pelipis Arya. Angin yang bercicitan keras mengiringi tibanya serangan itu.
Lagi-lagi Dewa Arak mempertunjukkan kelihaiannya. Serangan kebutan Gayatri dielakkan hanya dengan menarik kepalanya ke belakang. Dewa Arak memang sudah bertekad untuk menghabisi nyawa Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Begitu mendapat kesempatan, pemuda berambut putih keperakan ini tanpa ragu-ragu lagi segera melancarkan serangan balasan. Sesaat kemudian, ketiga tokoh sakti ini sudah terlibat dalam pertarungan seru dan menarik.
Kembali untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak harus mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ternyata bukanlah tokoh sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh hitam yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau saja menghadapi mereka satu lawan satu, tidak terlalu sulit bagi Dewa Arak untuk mengalahkan mereka.
Tapi, karena kedua datuk sesat ini maju berbareng, tak urung pemuda berambut putih keperakan ini jadi kewalahan juga. Kepandaian satu orang Alap-Alap Bukit Gantar saja hanya berselisih sedikit dengan Arya. Maka dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kedua suami istri ini maju berbareng. Dan yang lebih hebat lagi, dengan maju berbareng mereka dapat saling bantu.
Arya menggertakkan gigi. Dalam kemarahan yang meluap, dan tekad untuk melenyapkan manusia-manusia bermoral bejat itu untuk selama-lamanya, Dewa Arak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dan dengan sendirinya pemuda berpakaian ungu ini pun berada dalam puncak kemampuannya.
Hebat bukan main pertarungan antara Dewa Arak melawan Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Dan seperti juga Arya, sepasang tokoh sesat itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa! Akibatnya, pertarungan antara ketiga orang itu berlangsung cepat. Tak terasa lima puluh jurus telah berlalu, dan sampai sejauh itu belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
Sementara keadaan arena pertarungan sudah porak-poranda. Suara meledak-ledak, mendesing, mengaung mengiringi pertamngan ketiga orang itu. Membuat tanah terbongkar di sana-sini. Dan debu pun mengepul tinggi ke udara. Bahkan batu besar dan kecil pun beterbangan ke sana kemari.
Berbeda dengan Dewa Arak yang belum mampu mendesak lawan, Melati justru sudah mulai dapat menekan lawannya. Samiaji kini hanya mampu mengelak, sesekali menangkis, dan hanya kadang-kadang saja melakukan serangan balasan. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang kalah segala-galanya bila dibanding lawannya. Kalah dalam hal ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, dan juga mutu ilmu silat. Melati dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya membuat pemuda ini mati kutu.
Janggulapati dan Gayatri cemas bukan main melihat keadaan Samiaji. Sungguh tidak mereka sangka kalau Dewa Arak mampu menahan serangan mereka sampai sekian lamanya. Sudah hampir enam puluh jurus mereka bertarung, tapi belum ada satu pun serangan mereka yang berhasil mengenai tubuh Arya. Dan ini tentu saja membuat Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar cemas. Menilik dari keadaan, mereka yakin kalau Dewa Arak tidak akan bisa dirobohkan dalam waktu singkat. Sementara keadaan Samiaji sudah demikian gawat!
"Hiaaat..!" Samiaji tidak sabar lagi. Tanpa mempedulikan pertahanan lagi, pemuda bertubuh pendek kekar ini melompat menerjang Melati. Tongkat berujung bulan sabit di tangannya ditusukkan ke arah dada gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!" Melati menekuk punggungnya ke belakang sehingga serangan Samiaji lewat di atas dadanya. Dan begitu tubuh pemuda bertubuh pendek kekar itu lewat di atas tubuhnya, tangan Melati bergerak cepat.
Singgg, crattt...!
Pedang di tangan Melati menyobek tubuh Samiaji. Mulai dari perut sampai ke leher. Seketika itu juga darah menyembur deras dari luka murid tunggal Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang menganga lebar. Melati tentu saja tidak mau terkena cipratan darah itu. Maka cepat laksana kilat, begitu pedangnya berkelebat, tubuhnya pun melenting ke atas.
"Samiaji...!" Janggulapati memekik keras melihat muridnya menggelepar-gelepar mengerang nyawa. Tanpa mempedulikan Dewa Arak lagi, tubuhnya segera melesat ke arah Melati yang masih berada di udara. Dan seiring tubuhnya melesat, sepasang pedang pendeknya menyambar cepat ke arah Melati.
Arya kaget bukan main melihat perbuatan Janggulapati. Saat ini posisi Melati sama sekali tidak memungkinkan untuk menangkis, apalagi mengelakkan serangan yang datang begitu tiba-tiba itu. Gadis itu berada dalam bahaya besar! Dan dia harus cepat menolong kalau ingin kekasihnya selamat. Tapi, pada saat yang sama, Gayatri tengah melancarkan serangan bertubi-tubi dengan menggunakan kebutannya. Serangan-serangan itu mengancam ke arah berbagai bagian tubuh yang mematikan.
"Hih...!" Dewa Arak memekik keras. Dan dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tubuhnya dibanting ke tanah seraya menghentakkan kedua tangannya ke arah tubuh Janggulapati yang tengah melayang ke arah Melati.
Wusss! Angin keras berhawa panas menyengat keluar dari kedua tangan Dewa Arak yang dihentakkan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'!
Janggulapati terkejut bukan main melihat hal ini. Posisinya yang sudah berada di udara tidak memungkinkannya lagi untuk menangkis. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menggeliatkan tubuh sebisa-bisanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi....
Bresss! Usaha laki-laki berpakaian hitam ini sia-sia belaka. Pukulan jarak jauh yang dikirimkan Arya tetap mengenai tubuhnya. Seketika itu juga tubuh Janggulapati melayang. Terdengar jeritan menyayat mengiringi terlontarnya tubuh laki-laki berpakaian hitam itu. Tokoh sesat ini tewas seketika sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
Gayatri memekik keras melihat keadaan suaminya. Seketika itu juga wanita pesolek ini melesat cepat ke arah Arya. Bulu-bulu kebutannya yang menegang kaku seperti tombak, menusuk cepat ke arah ubun-ubun Arya. Tentu saja Melati tidak tinggal diam melihat adanya bahaya yang mengancam keselamatan kekasihnya. Cepat tangan kanannya dikibaskan. Dan....
Singgg...! Dengan diiringi suara mendesing yang menyakitkan telinga, pedang di tangan gadis berpakaian putih ini melesat memapak tubuh Gayatri yang tengah meluncur ke arah Dewa Arak. Tidak hanya itu saja yang dilakukan Melati. Berbarengan pedangnya dilontarkan, kedua tangannya dihentakkan. Jari-jari kedua tangannya terkembang membentuk cakar naga. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Gayatri terkejut bukan main melihat datangnya serangan yang meluruk cepat ke arahnya. Wanita pesolek ini tahu kalau dia nekat meneruskan serangan pada Dewa Arak, maka sebelum serangannya tiba, pedang yang dilontarkan Melati akan lebih dulu menghunjam tubuhnya. Sehingga mau tak mau dia terpaksa mambatalkan serangan pada orang yang telah menewaskan suaminya. Kini kebutan itu digunakan untuk menangkis serangan.
Tranggg...!
Terdengar suara berdentang keras seperti beradunya dua logam. Pedang Melati terlempar jatuh ke tanah, sementara bulu-bulu kebutan yang tadi menegang kaku kembali melemas. Dan sebelum Gayatri sempat berbuat sesuatu, serangan susulan dari Melati telah menyambar tiba. Wanita pesolek ini kaget bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....
Bresss...! Telak dan keras sekali pukulan jarak jauh yang dilancarkan Melati mengenai sasaran. Tubuh Gayatri langsung terpental balik, diiringi jeritan menyayat dari mulutnya.
Brukkk! Terdengar suara berdebuk keras begitu tubuh wanita pesolek itu terhempas di tanah. Gayatri menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Hup!" Ringan tanpa suara Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sesaat kemudian, dia sudah berlari menghampiri Arya. Berbareng dengan Karina dan Mawar yang menghambur juga ke arah Dewa Arak.
Mawar berdiri terpaku di depat mayat Samiaji. Sepasang mata gadis ini nampak berkaca-kaca. Puas sudah perasaan hatinya kini. Dendamnya telah dibalaskan oleh saudara kembarnya sendiri.
Sesaat kemudian, suasana gembira pun segera menyelimuti hati mereka. Dengan perasaan haru bercampur gembira, Karina dan Mawar memeluk Melati. Musuh-musuh mereka kini telah tewas. Tidak ada lagi ancaman yang datang.
* * * * * * * *
Arya tinggal bersama keluarga Melati selama dua hari. Dan baru pada hari ke tiga, pemuda berambut putih keperakan ini mohon pamit untuk melanjutkan pengembaraannya.
"Mengapa begitu terburu-buru, Arya?" Karina berusaha mencegah. "Tinggallah beberapa hari lagi bersama kami."
"Bukannya aku tidak suka tinggal di sini, Bu," sahut Arya sambil tersenyum lebar. "Tapi, perjalananku masih sangat panjang. Masih banyak orang yang butuh bantuanku."
Bukan hanya Karina dan Mawar saja yang merasa keberatan. Diam-diam Melati pun merasa keberatan juga. Arya tentu saja mengetahuinya.
"Biarlah Melati yang menemani Ibu dan Mawar di sini.... "
"Tapi, Kang..," Melati terkejut bukan main mendengar ucapan kekasihnya. Hatinya terasa berat untuk berpisah dengan Arya.
Gadis berpakaian putih ini berada dalam posisi yang sulit. Kalau menurutkan perasaan hatinya, rasanya akan lebih baik kalau Arya tinggal beberapa hari lagi sehingga dia tidak perlu berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Tapi Melati sadar kalau hal itu tidak mungkin. Arya adalah seorang pendekar. Dan masih banyak tugas yang harus dikerjakan kekasihnya itu.
"Tinggallah bersama ibumu, Melati," sahut Arya buru-buru. "Toh, tidak sulit bagimu untuk mengikuti jejakku. Lagi pula, seandainya masih ada orang yang berniat jelek pada keluargamu, kau dapat melindungi mereka."
Melati tidak dapat membantah ucapan tunangannya. Dan Arya pun segera pergi dan situ. Dewa Arak melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Selamat tinggal, Melati," ucap Arya sambil melambaikan tangan. "Selamat jalan, Kang," sahut Melati. Tangan gadis ini balas melambai.
Sementara Karina dan Mawar hanya memandang kepergian Arya sambil tersenyum lebar. Sedangkan Melati terus menatapi tubuh Arya sampai lenyap di kejauhan.
Selanjutnya, Tinju Penggetar Bumi |