Dewa Arak - Tinju Penggetar Bumi

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Tinju Penggetar Bumi karya Ajisaka
Sonny Ogawa
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka

Dewa Arak - Tinju Penggetar Bumi

Karya : Ajisaka

SATU

Wusss! Angin berhawa panas membawa debu berhembus kencang. Saat itu hari memang sudah agak siang. Matahari telah cukup terik membakar kulit Sebuah iring-iringan kereta yang dikawal oleh rombongan berkuda tampak melalui sebuah jalan tanah di kaki Gunung Campa.

Tampak dalam kereta kuda itu duduk seorang bangsawan, atau paling tidak pembesar kerajaan. Ini dibuktikan oleh sebuah tangan yang terbungkus baju dari bahan indah dan mewah. Tangan itu menyeruak tirai yang menutupi pintu kanan kereta.

"Masih jauh Desa Kujang itu, Cakar Pengejar Sukma?"

Seorang laki-laki bertubuh kurus dan bermuka pucat kekuningan menoleh. Ditatapnya sejenak raut wajah yang menyembul dari balik tirai yang tersingkap itu. Kudanya segera diperlambat dan disejajarkan di samping kereta kuda itu.

"Tidak begitu jauh lagi, Gusti Adipati," jawab laki-laki kurus yang rupanya berjuluk Cakar Pengejar Sukma.

"Aku agak khawatir, Cakar Pengejar Sukma," desah orang yang berada dalam kereta itu. Dia ternyata adalah laki-laki pendek gemuk berusia sekitar lima puluh tahun. Kulit wajahnya yang putih semakin terlihat putih, dalam pakaiannya yang berwarna gelap. Dari tanda di baju bagian leher, tampaknya dia memang seorang adipati.

"Apa yang dikhawatirkan Gusti Adipati?" tanya Cakar Pengejar Sukma pelan. Kudanya tetap dijalankan perlahan agar tidak meninggalkan kereta yang bergerak tertatih-tatih, karena keadaan jalan yang buruk itu.

"Sering kudengar, di daerah ini banyak terjadi perampokan, Cakar Pengejar Sukma...."

"Gusti Adipati tidak perlu khawatir. Jauh-jauh hari, semua ini sudah kuperhitungkan. Bukankah rekanku yang berjuluk Lutung Tenaga Raksasa telah kuajak untuk ikut mengawal Gusti? Apabila dia ikut bersama kita, kujamin tidak ada perampok yang berani mencari penyakit mencegat rombongan Gusti!" tegas Cakar Pengejar Sukma yakin. "Apalagi masih ada pasukan Gusti sendiri."

Setelah berkata demikian, Cakar Pengejar Sukma mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang iring-iringan kereta itu dikawal serombongan prajurit berkuda di kanan, kiri, depan, dan belakang. Sementara di kanan kereta, ada Cakar Pengejar Sukma. Sedangkan di kiri kereta, tampak seorang laki-laki tinggi besar dan kekar. Kulitnya hitam legam. Di telinga kirinya nampak bergantung sebuah anting-anting sebesar gelang terbuat dari baja hitam. Dialah yang berjuluk Lutung Tenaga Raksasa.

Laki-laki pendek gemuk yang menjabat adipati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lenyap sudah kecemasan yang tadi membayang di wajahnya. Kembali tangannya digerakkan untuk menutup tirai pintu kereta. Sesaat kemudian suasana kembali hening. Yang terdengar hanyalah derak roda kereta yang menggilas jalan tanah berkerikil tajam.

Tak lama kemudian, iring-iringan itu mulai menempuh jalan yang agak mulus. Di kanan kirinya terpampang dinding batu yang menjulang tinggi ke langit. Cakar Pengejar Sukma mengawasi sekitar tempat itu. Sebagai orang yang telah mempunyai wawasan luas, dia tahu kalau tempat ini menguntungkan sekali bagi perampok untuk menjalankan niatnya. Rombongan perampok tinggal menghujani mereka yang berada di bawah dengan batu-batu besar dan kecil. Kemudian, menyerang dari arah belakang dan depan. Maka tidak ada jalan lolos bagi rombongan itu.

Meskipun yakin kalau julukan rekannya ditakuti kaum perampok, Cakar Pengejar Sukma masih tetap merasa khawatir juga. Tapi ternyata kekhawa-tirannya sama sekali tidak terbukti. Ketika hampir tiba di ujung dinding yang terpampang di kanan kiri jalan, tidak terjadi hal yang dikhawatirkan.

Baru setelah kira-kira sepuluh tombak lagi keluar dari kungkungan dinding tebing batu yang tinggi, hati Cakar Pengejar Sukma agak tercekat. Tampak agak jauh di depannya, berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian coklat. Rambutnya merah, dan digelung. Kakek ini berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah jalan sempit itu.

"Dewa Rambut Merah...," desis Cakar Pengejar Sukma. Keterkejutan yang amat sangat menghias wajahnya. Memang laki-laki berwajah pucat kekuningan ini kenal betul pada kakek berpakaian coklat itu.

Srattt, srattt..!

Sinar-sinar terang berkilauan langsung berpendar, begitu para prajurit yang berada di bagian depan menghunus senjata masing-masing.

”Tahan...!"

Para prajurit yang sudah bersiap segera menghentikan gerakan, begitu mendengar cegahan. Mereka mengenal betul, siapa pemilik suara itu. Cakar Pengejar Sukma! Orang kepercayaan junjungan mereka, Adipati Kalingga, penguasa Kadipaten Campa. Sebentar kemudian, Cakar Pengejar Sukma melompat turun dari punggung kudanya.

"Hup!" Ringan sekali gerakannya. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi. Secepat kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula Cakar Pengejar Sukma melangkah maju. Sementara iring-iringan kereta langsung berhenti.

Ternyata bukan hanya Cakar Pengejar Sukma saja yang melangkah maju. Lutung Tenaga Raksasa pun melompat turun dari punggung kuda, lalu melangkah maju. Dan bersama-sama rekannya, dia berjalan menghampiri kakek berpakaian coklat itu. Langkah mereka berhenti begitu telah berjarak sekitar empat tombak dari Dewa Rambut Merah.

"Kalau mataku tidak salah lihat, bukankah sekarang aku tengah berhadapan dengan Dewa Rambut Merah?" sapa laki-laki berwajah pucat kekuningan itu. Nada suaranya terdengar lembut dan sopan.

"Kalau betul, memangnya kenapa, Anjing Kecil?!" sahut kakek berpakaian coklat itu kasar.

Wajah Cakar Pengejar Sukma seketika berubah merah. Kemarahan yang hebat mulai membakar hati orang kepercayaan Adipati Kalingga ini. Dengan baik-baik dia bertanya, tapi jawaban yang diterima benar-benar menyakitkan! Terdengar geram kemarahan dari mulut Lutung Tenaga Raksasa. Bahkan bukan hanya laki-laki tinggi besar ini saja. Malah prajurit-prajurit yang masih bersikap waspada pun menggertakkan gigi, geram melihat pemimpin mereka dihina.

Meskipun kemarahan hebat melanda hatinya, Cakar Pengejar Sukma masih berusaha bersabar. Rasa khawatir akan keselamatan Adipati Kalinggalah yang menyebabkan penghinaan itu ditelan mentah-mentah. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat, untuk meredakan kemarahan yang bergejolak dalam dadanya.

"Mengapa kau menghadang jalan kami, Ki? Tidak tahukah kalau yang berada dalam kereta itu Adipati Kalingga?" suara Cakar Pengejar Sukma sudah tidak selembut sebelumnya.

"Ha ha ha...!" Tiba-tiba tawa kakek yang diyakini Cakar Pengejar Sukma sebagai Dewa Rambut Merah meledak. Keras sekali tawanya, dan pasti dikerahkan lewat tenaga dalam penuh.

Kaki seluruh prajurit nampak gemetar. Bahkan Cakar Pengejar Sukma dan Lutung Tenaga Raksasa terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh suara tawa, yang membuat dada bagai diguncang-guncang. Telinga mereka pun terasa sakit bukan main. Untunglah Dewa Rambut Merah tidak meneruskan suara tawa. Dengan demikian, para prajurit, Cakar Pengejar Sukma, serta Lutung Tenaga Raksasa tidak menderita terlalu lama.

"Kau kira aku takut pada Adipati Kalingga, Kuda Buduk?! Ha ha ha...! Lucu! Jangankan hanya adipati. Biar raja sekalipun, aku tidak takut!" sambung Dewa Rambut Merah lagi setelah tawanya selesai. Nada kesombongan nampak jelas, baik dalam raut wajah mau pun suaranya.

"Jadi, apa maumu sebenarnya, Dewa Rambut Merah?" tanya Cakar Pengejar Sukma. Hati laki-laki bermuka pucat itu marah bercampur tegang, karena sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi. Dia benar-benar marah, karena sudah dua kali dihina Dewa Rambut Merah.

"Hanya sepele saja...," jawab Dewa Rambut Merah, bernada ringan.

"Apa itu?" Cakar Pengejar Sukma masih mencoba bersabar.

"Nyawa kalian semua." Tetap kalem jawaban kakek berpakaian coklat itu. Seolah-olah, yang diucapkannya hanya suatu masalah yang sama sekali tidak ada harganya.

"Keparat!" Terdengar geraman keras dari mulut Lutung Tenaga Raksasa. Kema-rahannya tidak bisa ditahan lagi. Meskipun bukan dirinya yang mengalami penghinaan, tapi baginya Cakar Pengejar Sukma sudah lebih dari seorang saudara. Maka tangannya pun bergerak cepat. Sebatang tongkat berwarna coklat dari kayu pohon daru-daru, diputar-putarkan di atas kepalanya.

Wuk, wuk...! Suara mengaung keras terdengar begitu tongkat itu berputar cepat laksana gasing. "Hiyaaa...!" Seraya mengeluarkan teriakan melengking nyaring, laki-laki tinggi besar berkulit hitam ini melompat menerjang. Tongkat yang digenggam dalam kedua tangan, dibabatkan ke arah kepala Dewa Rambut Merah.

Wuttt!

Desir angin keras hingga menimbulkan suara mengaung, mengiringi kedatangan serangan tongkat. Jelas, tenaga dalam yang terkandung dalam ayunan tongkat ini begitu kuat. Hal ini tentu saja tidak aneh, mengingat julukan yang disandang laki-laki tinggi besar berkulit hitam ini. Lutung Tenaga Raksasa!

"Hhh...." Dewa Rambut Merah hanya mendengus. Kemudian kaki kanannya ditarik selangkah ke belakang, seraya menarik kepala. Maka serangan itu lewat setengah jengkal di depan wajahnya.

Belum juga kakek berpakaian coklat ini berbuat sesuatu, serangan dari Cakar Pengejar Sukma menyambar tiba. Laki-laki berwajah pucat kekuningan ini tahu kalau bukan tandingan Dewa Rambut Merah. Maka, tanpa ragu-ragu lagi segera membantu Lutung Tenaga Raksasa.

Dan sekali menyerang, Cakar Pengejar Sukma sudah langsung menggunakan senjata andalan. Sepasang cakar besi yang bentuk dan panjangnya sama seperti tangan manusia, mulai dari sikut sampai ke jari-jari.

Cuittt, cuittt...!

Suara bercuitan nyaring dari udara yang terobek gerakan cakar besi itu mengiringi tibanya serangan Cakar Pengejar Sukma. Yang kanan menyampok keras ke atas kepala, sementara yang kiri menyilang di depan dada. Cepat dan mendadak sekali tibanya serangan itu. Tapi masih lebih cepat lagi gerakan yang dilakukan Dewa Rambut Merah. Tubuh kakek berpakaian coklat ini segera merunduk sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya.

Hembusan angin dingin sampai terasa ke kulit kepala Dewa Rambut Merah, karena cakar itu begitu dekat lewat di atas kepalanya. Baru saja serangan itu berhasil dielakkan Dewa Rambut Merah, kembali serangan Lutung Tenaga Raksasa meluncur. Rupanya, kakek berpakaian coklat ini sama sekali tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang.

Walaupun kedua orang lawannya sama sekali tidak memberi kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, namun Dewa Rambut Merah tak mengalami kesulitan untuk mengelak. Memang selama beberapa jurus pertama kakek berpakaian coklat ini seperti terdesak. Dihimpit dan dicecar terus-menerus.

Tapi menginjak jurus ke lima, Dewa Rambut Merah mulai unjuk gigi. Meskipun hanya bertangan kosong, dan kedua lawannya menggunakan senjata andalan masing-masing, Dewa Rambut Merah ternyata mampu menahannya. Bahkan perlahan namun pasti mulai dapat mendesak.

"Hiaaat...!" Sebelum Lutung Tenaga Raksasa berbuat sesuatu, tangan kiri Dewa Rambut Merah telah bergerak cepat.

Tappp...! Tongkat kayu itu sudah tertangkap. Lutung Tenaga Raksasa kaget bukan main. Dia berusaha sekuat tenaga menarik tongkatnya kembali, tetapi tongkat itu sama sekali tidak bergeming! Di jurus ke enam, Lutung Tenaga Raksasa berteriak keras menggelegar laksana guntur. Kemudian tongkat di tangannya ditusukkan cepat ke arah tenggorokan lawan.

Melihat hal itu, Dewa Rambut Merah segera memiringkan sedikit kepalanya, sehingga sodokan itu lewat sejengkal disebelah lehernya. Dan, sebelum laki-laki tinggi besar berkulit hitam itu berbuat sesuatu, tangan kirinya telah cepat bergerak.

Tappp...! Tongkat kayu kuat dan berat yang terbuat dari batang pohon daru-daru itu tertangkap. Lutung Tenaga Raksasa kaget bukan main melihat hal ini. Segera saja seluruh tenaga yang dimiliki dikerahkannya untuk menarik kembali tongkatnya. Tapi kali ini, dia salah duga. Tongkat itu sama sekali tidak bergeming. Padahal seluruh tenaganya telah dikerahkan, sehingga seluruh urat di wajahnya bertonjolan keluar.

Sementara Dewa Rambut Merah terlihat tenang-tenang saja. Tidak nampak tanda-tanda kalau kakek itu mengerahkan tenaga. Pada saat yang gawat itu, Cakar Pengejar Sukma melompat menerjang. Dan dari atas, cakar besinya disabetkan ke arah kepala Dewa Rambut Merah.

Cuittt...!

"Hih!" Dewa Rambut Merah menggertakkan gigi. Sedangkan tangannya yang menggenggam tongkat, bergerak mencengkeram. Terdengar suara berkeretakan pelan, disusul hancurnya tongkat pada bagian yang dicengkeram. Karuan saja, hal ini membuat tubuh Lutung Tenaga Raksasa terhuyung-huyung ke belakang.

Berbarengan dengan itu, tubuh kakek berpakaian coklat ini merendah sehingga serangan Cakar Pengejar Sukma lewat di atas kepala. Tidak hanya itu saja. Tangannya segera bergerak cepat menyambitkan patahan tongkat yang ada di genggaman ke arah Lutung Tenaga Raksasa yang tengah terhuyung-huyung terbawa tenaga tarikan tongkatnya sendiri.

Singgg...!

Suara mendesing nyaring terde-ngar, begitu potongan tongkat meluncur. Cepat bukan main lesatannya, tak kalah dengan anak panah yang lepas dari busur. Dalam keadaan demikian, rupanya Lutung Tenaga Raksasa tidak mampu berbuat sesuatu. Matanya hanya mendelik, menyiratkan ketakutan. Maka....

Cappp! Telak dan keras sekali potongan tongkat itu menghunjam ubun-ubun Lutung Tenaga Raksasa sehingga amblas ke dalam kepalanya. Cairan merah kental bercampur keputihan langsung muncrat-muncrat dari ubun-ubunnya yang pecah. Seketika Lutung Tenaga Raksasa meraung keras sambil memegangi kepalanya. Tapi hanya sesaat saja, karena kemudian tubuhnya ambruk dan tidak bergerak lagi.

Cakar Pengejar Sukma kaget bukan main melihat kejadian yang menimpa rekannya. Perasaan marah dan sedih langsung bergejolak dalam dada. Dan perasaan yang bercampur aduk itu dilampiaskan dengan amukan membabi buta terhadap Dewa Rambut Merah. Pada kenyataannya, kepandaian laki-laki kurus itu memang jauh di bawah kepandaian Dewa Rambut Merah. Maka tidak heran kalau setiap serangannya dapat dipatahkan dengan mudah oleh kakek berpakaian coklat itu.

"Hiyaaa...!" Kembali pada jurus ke sembilan, cakar besi di tangan Cakar Pengejar Sukma menyambar deras ke arah pelipis Dewa Rambut Merah. Lagi-lagi kakek berpakaian coklat itu mendoyongkan tubuhnya ke belakang, tanpa menggeser kaki. Maka serangan itu lewat di depan wajahnya. Dan sebelum Cakar Pengejar Sukma sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Dewa Rambut Merah telah bergerak cepat.

Wuttt..! Bukkk!

Suara berderak keras dari tulang patah, terdengar begitu kaki kakek berpakaian coklat itu mengenai pinggang Cakar Pengejar Sukma. Memang telak dan keras sekali, sehingga tubuh laki-laki berwajah pucat kekuningan itu terjengkang ke belakang. Dan belum lagi Cakar Pengejar Sukma berbuat sesuatu, Dewa Rambut Merah sudah menghentakkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka ke depan.

Wusss! Bresss!

Terdengar jeritan menyayat dari mulut Cakar Pengejar Sukma. Tubuhnya seketika kembali melayang jauh ke belakang. Darah segar seketika keluar dari mulut, hidung, dan tetinganya. Pengawal kepercayaan Adipati Kalingga ini pun tewas seketika, tanpa mampu bergerak lagi.

Tentu saja kematian dua orang andalan itu membuat prajurit-prajurit pengawal Adipati Kalingga kaget bukan main. Bahkan Adipati Kalingga yang melihat kejadian dengan melongokkan kepala dari pintu kereta, begitu terperanjat. Tapi hanya sebentar saja keterkejutan yang melanda para prajurit itu. Yang tinggal kini hanyalah kemarahan bergelora. Maka sambil berteriak melengking nyaring, seluruh prajurit yang berjumlah dua belas orang itu menerjang Dewa Rambut Merah dengan senjata terhunus.

Singgg, singgg, singgg...!

Suara berdesing nyaring terdengar mengiringi tibanya serangan. Tapi, Dewa Rambut Merah sama sekali tidak kelihatan gugup. Tubuhnya enak saja berkelebatan di antara hujan serangan para pengeroyoknya. Memang dengan ilmu meringankan tubuh yang berada amat jauh di atas lawan-lawannya, bukan merupakan kesulitan untuk mengelakkan semua serangan.

Sebaliknya setiap kali dia melancarkan serangan balasan, sudah dapat dipastikan akan ada sosok tubuh yang roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Jerit kematian terdengar saling susul, mengiringi setiap tubuh bergelimpang tanpa nyawa. Sesaat kemudian, tidak ada lagi seorang prajurit pun yang tersisa. Semuanya telah roboh bergeletakan di tanah.

"Ha ha ha...!" Dewa Rambut Merah tertawa bergelak. Ditatapnya sejenak mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. Kemudian dengan langkah-langkah lebar, dihampirinya kereta. Tapi sekitar tiga tombak dari kereta, langkahnya dihentikan. Tampak seorang laki-laki setengah tua bertubuh pendek gemuk sudah membuka pintu kereta dan melompat keluar. Di tangannya sudah tergenggam sebatang pedang. Rupanya, Adipati Kalingga juga berniat mengadakan perlawanan.

"Ha ha ha...!" Tawa Dewa Rambut Merah kembali meledak. Sama sekali tidak dipedulikan sikap adipati dari Kadipaten Campa ini. Kakinya terus melangkah menghampiri.

"Hiaaat...!" Adipati Kalingga memekik melengking nyaring, kemudian meluruk ke arah Dewa Rambut Merah. Seketika pedang di tangannya dibabatkan ke arah leher.

"Hmh...!" Dewa Rambut Merah mendengus. Sekali lihat saja, kakek ini sudah tahu tingkat kepandaian Adipati Kalingga. Dengan gerakan sembarangan, tangan kirinya digerakkan untuk menangkis.

Takkk! Terdengar suara berderak keras, seolah-olah yang berbenturan dengan pedang bukan tangan manusia, melainkan dua batang logam yang amat keras. Adipati Kalingga menyeringai. Seketika sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan tangan yang menggenggam pedang pun terasa lumpuh seketika. Tak pelak lagi, senjata yang digenggamnya pun terlepas dan jatuh ke tanah. Di saat itulah tangan kanan Dewa Rambut Merah menotok cepat ke arah leher. Adipati Kalingga terkejut bukan main. Sebisa-bisanya, dia berusaha mengelak. Tapi....

Tukkk! Telak dan keras sekali, totokan tangan kakek berpakaian coklat itu menghantam sasarannya. Seketika itu juga, sepasang mata laki-laki bertubuh pendek gemuk ini mendelik. Beberapa saat Adipati Kalingga mampu berdiri, kemudian ambruk tak bergeming lagi.

"Ha ha ha...!" Untuk yang kesekian lakinya, meledaklah tawa dari mulut Dewa Rambut Merah. Sepertinya sebuah tawa kemenangan. Sesaat kemudian tubuhnya melesat dari situ, tanpa menghentikan tawanya. Dia terus berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Suara tawa kakek berpakaian coklat itu semakin lama semakin pelan. Seiring dengan tubuhnya yang semakin menjauh, suara tawa itu semakin sayup-sayup terdengar.

* * * * * * * *

DUA

"Aneh...," desah seseorang ber-tubuh kekar dan berpakaian abu-abu, pelan. Sepasang matanya menatap lekat-lekat ke depan. Dahinya nampak berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang membuatnya bersikap begitu.

Menilik dari keadaan rambut, kumis, dan jenggotnya yang telah memutih, bisa ditebak kalau orang itu telah berusia lanjut. Tapi anehnya, kulit wajahnya tidak menunjukkan kalau dia telah berusia lanjut. Kulit wajahnya masih kencang, tidak terlihat kendor ataupun keriput. Kakek berpakaian abu-abu itu masih tetap melayangkan pandangannya ke depan, meskipun kedua kakinya terus saja melangkah.

“Tidak salahkah penglihatanku?" gumam kakek itu perlahan. "Bukankah itu burung-burung pemakan bangkai? Tapi, mengapa berkeliaran di sana? Apakah ada sesuatu yang menarik perhatian binatang-binatang itu?"

Sambil berkata demikian, kakek berpakaian abu-abu itu menyipitkan sepasang kelopak matanya untuk memperjelas pandangan. Memang jauh di depannya, di udara nampak titik-titik hitam berkeliaran dan berputar-putar di tempat itu.

"Ah, benar! Tidak salah lagi! Itu adalah burung-burung pemakan bangkai!" cetus kakek itu lagi. "Pasti ada sesuatu yang menarik perhatian binatang itu."

Setelah yakin akan dugaannya, mendadak gerakan kakek berpakaian abu-abu ini berubah. Semula hanya melangkah perlahan-lahan saja, tapi kini tubuhnya melesat cepat laksana kilat ke depan. Ternyata kakek berpakaian abu-abu ini bukan orang sembarangan. Terbukti, sekali kakinya bergerak tubuhnya sudah berada sekitar sembilan tombak di depan.

Dan sesaat kemudian, yang teriihat hanyalah kelebatan bayangan yang melesat cepat ke depan. Gerakan kakek ini cepat bukan main, karena ditunjang ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Dan sesaat kemudian, dia sudah mendekati tempat burung pemakan bangkai berkerumun.

"Ah…!” Terdengar desah keterkejutan dari mulut kakek berpakaian abu-abu itu, begitu melihat pemandangan yang ada di depannya. Tampak belasan mayat bergelimpangan di tanah, bermandikan darah.

Kakek berpakaian abu-abu ini semakin mempercepat langkahnya. Dan semakin dekat jaraknya, semakin jelaslah keadaan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah itu. Dahi kakek berpakaian abu-abu ini berkernyit begitu melihat sebagian besar mayat itu berseragam prajurit.

Terdengar suara gemeretak dari mulut kakek berjenggot dan berambut putih itu begitu melihat burung-burung pemakan bangkai tengah sibuk berpesta pora. Segera kedua tangannya diputar di depan dada, dengan arah gerakan dari luar ke dalam.

Hebat akibatnya! Dari kedua tangan yang berputaran itu berhembus angin keras ke arah burung-burung pemakan bangkai. Seketika binatang-binatang itu berkaokan keras, kemudian buyar beterbangan kembali ke udara walaupun masih tetap terbang berputaran di atas mayat-mayat itu. Rupanya kelompok burung itu tidak rela meninggalkan makanan empuk yang sudah terhidang di hadapan mereka.

"Biadab...!" seru kakek berpakaian abu-abu itu, geram. "Hanya iblis sajalah yang bisa berbuat sekeji ini!"

Sambil mengomel panjang pendek, diperiksanya mayat-mayat yang tergeletak satu persatu. Sesekali, dia terpaksa mengirimkan serangan jarak jauh ketika burung-burung pemakan bangkai rupanya masih penasaran untuk menyambar 'makanan mereka'.

Pada sosok tubuh salah seorang prajurit, wajah kakek berpakaian abu-abu ini berubah. Ada secercah kekagetan di wajahnya. Betapa tidak? Prajurit itu ternyata belum mati! Begitu mengetahui hal ini, semangatnya timbul kembali. Kakek itu berpikir, tentu tidak hanya satu orang saja yang selamat.

Tapi betapa kecewa hatinya, begitu mengetahui kalau tidak ada lagi yang selamat. Semuanya telah tewas, kecuali satu orang prajurit tadi. Diperhatikannya wajah prajurit itu. Masih muda dan cukup tampan. Tampak sebaris kumis tipis menghiasi atas bibirnya. Anehnya, prajurit itu tidak mengalami luka yang berarti, dan hanya pingsan saja.

Kakek berpakaian abu-abu itu lalu mengeluarkan sebuah kendi kecil dari buntalan kain yang tersandang di bahunya. Dibukanya mulut kendi itu, kemudian didekatkan ke hidung prajurit yang pingsan.

"Ohhh...!" Terdengar keluhan lirih dari mulut prajurit itu. Rupanya uap yang kehiar dari kendi itu keras sekali, sehingga mampu membuat laki-laki berkumis tipis itu siuman dari pingsannya. Beberapa saat lamanya prajurit itu menggoyang-goyangkan kepalanya. Sepasang kelopak matanya pun mulai mengerjap-ngerjap.

"Siapa kau?" tanya prajurit itu tatkala pandangannya tertumbuk pada sepasang mata kakek berpakaian abu-abu yang berjongkok di hadapannya.

"Aku sudah tidak ingat namaku lagi, Anak Muda," sahut kakek itu. Mulutnya tampak menyunggingkan senyum lebar. "Tapi..., orang-orang mengenalku sebagai Dewa Obat Tangan Delapan...."

"Ah...!" Sepasang mata laki-laki berkumis tipis itu membelalak lebar. Rasa terkejut yang amat sangat nampak jelas memancar di wajahnya. Ucapan kakek itulah yang membuatnya terkejut. Siapa yang tidak kenal julukan Dewa Obat Tangan Delapan? Tokoh itu adalah satu di antara datuk-datuk dunia persilatan.

"Jadi..., kau adalah datuk yang terkenal itu, Kek?"

"Tidak usah memusingkan hal itu, Anak Muda," sergah kakek berpakaian abu-abu yang ternyata berjuluk Dewa Obat Tangan Delapan. Pelan dan lembut suaranya. "Yang penting, ceritakan. Apa yang terjadi di tempat ini?"

Ucapan Dewa Obat Tangan Delapan membuat prajurit itu teringat kembali pada kejadian yang menimpa kawan-kawannya.

"Ohhh...!" Ada nada keluhan dari mulut prajurit itu melihat keadaan junjungan dan rekan-rekannya telah tewas. Sepasang matanya beredar berkeliling, sementara wajahnya pucat pasi.

"Mereka semua telah tewas," ucap Dewa Obat Tangan Delapan dengan suara ditekan.

Dan memang, sebenarnya hati kakek ini sedih sekali. Sebagai orang yang berjuluk Dewa Obat, tidak ada kesenangan lain baginya kecuali bisa mengobati orang lain sampai sembuh. Sebisa-bisanya akan diusahakan untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi, kini di depannya bergeletakan belasan sosok tanpa nyawa. Bagaimana hati kakek ini tidak menjadi sedih?

"Biadab...!" prajurit itu berteriak memaki.

"Tidak ada gunanya semua ini disesali, Anak Muda," hibur kakek berpakaian abu-abu itu pelan. "Mayat-mayat ini harus kita kuburkan sebelum menjadi santapan burung-burung pemakan bangkai itu."

Kepala prajurit itu mendongak, mengikuti arah tudingan telunjuk Dewa Obat Tangan Delapan Memang tampak, banyak sekali burung berwarna hitam berkaokan keras, beterbangan di sekitar tempat itu. Sekali lagi prajurit itu menatap ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah, kemudian beralih pada kakek berpakaian abu-abu itu. Pandangannya tampak menyiratkan kebingungan.

"Sampai kapan kita dapat mengubur mayat sebanyak ini?" tanya prajurit itu pelan. "Lagi pula tanah di sini sangat keras. Paling tidak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat sebuah lubang yang cukup besar...."

Dewa Obat Tangan Delapan sama sekali tidak menyahuti ucapan bernada putus asa dari prajurit itu. Bibirnya hanya tersenyum saja, kemudian kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Tentu saja hal ini membuat prajurit itu kaget bukan main.

''Tunggu sebentar, Dewa Obat!" teriak prajurit itu seraya berlari mengejar.

"Ada apa lagi Anak Muda?" Dewa Obat Tangan Delapan menghentikan Iangkah, seraya membalikkan tubuhnya.

"Nggg... maaf... Kau mau ke mana, Dewa Obat?" tanya laki-laki berkumis tipis itu.

"Mencari tempat yang cocok untuk mengubur mayat-mayat ini," jawab kakek berpakaian abu-abu itu. ''Tunggu saja di sana. Jaga mayat teman-temanmu dari gangguan binatang-binatang keparat itu."

Seketika wajah prajurit itu pun memerah. Malu. Hatinya telah menyangka yang tidak-tidak pada Dewa Obat Tangan Delapan. Tanpa berkata apa-apa, tubuh-nya dibalikkan dan segera kembali ke tempat semula.

"Burung keparat!" maki prajurit itu begitu melihat beberapa ekor burung yang bergerak turun. Seketika itu juga dipungutnya sebuah batu sebesar kepalan tangan, kemudian dilemparkannya ke arah kerumunan burung itu.

Wusss! Batu itu tidak mengenai sasaran karena burung-burung itu telah lebih dulu terbang kembali sambil mengeluarkan suara berkaokan nyaring.

Dewa Obat Tangan Delapan hanya tersenyum saja. Kemudian kakinya kembali melangkah, dan baru terhenti ketika menemukan sebuah tempat yang cukup baik untuk menguburkan mayat-mayat itu. Letaknya dekat pohon-pohon. Jauh dari jalan, namun tidak jauh dari tempat mayat-mayat berada. Kakek berpakaian abu-abu itu melangkah mundur tiga tindak. Dia berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong tajam, memandang ke tanah. Kemudian....

"Hiyaaa...!" Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, kedua tangannya dihentakkan ke depan.

Wusss! Angin berhembus keras menyambar ke depan. Dan....

Blarrr...! Terdengar ledakan keras begitu angin pukulan yang dilancarkan Dewa Obat Tangan Delapan menghantam sasaran. Batu-batu kecil berpentalan, debu mengepul tinggi ke udara. Dan begitu debu itu lenyap, terlihat sebuah lubang yang cukup besar. Hal itu terus dilakukannya berkali-kali sampai terbentuk dua buah lubang besar.

* * * * * * * *

"Hhh...!" Prajurit berkumis tipis menghela napas berat, kemudian perlahan-lahan bangkit dari bersimpuhnya. Memang sudah agak lama dia berlaku seperti itu, di depan dua buah gundukan tanah besar, berisi mayat rekan-rekan dan junjungannya.< Prajurit itu kemudian melangkahkan kakinya menghampiri Dewa Obat Tangan Delapan yang sejak tadi hanya berdiri saja mengawasi.

"Hampir saja aku lupa. Siapa namamu, Anak Muda?"

"Ganda, Kek," jawab prajurit itu. Terpaksa panggilannya pada Dewa Obat Tangan Delapan dirubah, karena kakek itu merasa keberatan jika dipanggil julukannya.

"Bisa kau ceritakan, mengapa semua ini bisa terjadi, Anak Muda?" tanya Dewa Obat Tangan Delapan lagi. Suaranya terdengar pelan dan lembut. Tidak ada nada desakan di dalamnya.

Prajurit yang ternyata bernama Ganda, tampak lesu. Kemudian diceritakan semua yang terjadi, dialami, dan didengarnya. "Kalau saja tengkukku tidak terkena hantaman gagang tombak yang nyasar hingga membuatku pingsan, mungkin aku sudah tewas juga," ucap Ganda mengakhiri ceritanya.

Wajah Dewa Obat Tangan Delapan berubah hebat. "Tidak mungkin!" bantah kakek itu. Raut wajah dan nada suaranya menyorotkan ketidakpercayaan.

"Apanya yang tidak mungkin, Kek?" tanya Ganda, merasa heran melihat keterkejutan Dewa Obat Tangan Delapan.

"Pelaku pembunuhan ini."

"Maksudmu, Kek?" laki-laki berkumis tipis ini belum mengerti.

"Aku tidak percaya kalau Dewa Rambut Merah yang melakukan semua ini!"

“Tapi, nama itulah yang kudengar dari mulut Cakar Pengejar Sukma, Kek. Dan, aku yakin kalau dia tidak mungkin salah mengenali orang!"

"Hhh...!" Dewa Obat Tangan Delapan hanya mendesah pelan.

"Kek...."

"Hm...," kakek berpakaian abu-abu itu menggumam, seraya menolehkan kepalanya. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini, Kek. Semua peristiwa ini harus kuberitahukan pada anak Gusti Adipati di Desa Kujang. Kuucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu."

Dewa Obat Tangan Delapan hanya mengangkat bahunya saja. Sama sekali ucapan laki-laki berkumis tipis itu tidak disahuti. Menilik dari kernyit pada dahi dan sepasang mata yang menatap lurus pada sebuah titik, dapat diketahui kalau kakek ini tengah berpikir keras. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ganda segera melangkah menghampiri kereta kuda. Untung dengan adanya kereta, kuda-kuda itu tidak bisa melarikan diri seperti kuda lainnya.

Dengan agak terburu-buru, kedua kuda itu dilepaskan dari keretanya. Yang satu ditambatkan di pintu kereta. Barangkali saja Dewa Obat Tangan Delapan ingin memakainya. Sementara yang lain dituntunnya.

"Hup...!" Dengan sebuah gerakan indah dan manis, Ganda melompat ke punggung kuda. Dan secepat tubuhnya sudah berada di punggung kuda, secepat itu pula tali kekang kudanya dihentakkan, seraya mulutnya berdecak pelan. Seketika itu juga, kuda itu melesat cepat ke depan.

Debu mengepul tinggi ke udara begitu kuda itu berlari cepat meninggalkan Dewa Obat Tangan Delapan. Kakek itu masih saja termenung dengan dahi berkernyit. Sama sekali kepalanya tidak menoleh hingga Ganda lenyap ditelan jalan. Bahkan ucapan terima kasih laki-laki berkumis tipis yang dilontarkan sekali lagi tidak dihiraukan sama sekali.

Beberapa saat kemudian kakinya melangkah menghampiri kuda yang tertambat di kereta, lalu melepaskan tali ikatan binatang itu. Kemudian dengan sebuah gerakan indah dan manis, kakek ini melompat naik ke punggung kuda. Dewa Obat Tangan Delapan lalu menghentakkan tali kekang kudanya. Suara derap langkah kuda terdengar mengoyak keheningan yang menggigit.

* * * * * * * *

"Hiya...! Hiya...!"

Ctarrr...! Ganda melecutkan pecutnya berkali-kali ke bagian belakang tubuh kuda, memaksa agar berlari secepat mungkin. Laki-laki berkumis tipis itu secepatnya ingin memberitahukan berita yang menggemparkan ini pada anak Adipati Kalingga. Suatu keuntungan bagi Ganda. Ternyata kuda itu adalah seekor kuda pilihan yang kuat dan kencang larinya. Sehingga keinginannya agar kuda berlari kencang, terkabul.

Kecepatan lari kuda itu tetap tidak berubah ketika memasuki tembok batu batas Desa Kujang. Ganda tetap memacu kudanya. Bahkan pecutnya pun berkali-kali menjilat bagian belakang tubuh kuda itu. Karuan saja beberapa orang yang kebetulan berada di jalan utama desa itu, bergegas menyingkir. Beberapa di antara mereka ada yang menyumpah-nyumpah. Namun makiannya segera dihentikan sambil menyelinap kabur begitu melihat pakaian yang dikenakan Ganda.

Tapi laki-laki berkumis tipis yang tengah kalap itu, tidak mempedulikan apa pun lagi. Yang ada di benaknya hanya satu. Menyampaikan kabar secepatnya kepada putra Adipati Kalingga di Desa Kujang. Beberapa saat kemudian, rumah-rumah penduduk semakin jarang terlihat. Semakin lama semakin sedikit, sampai akhirnya tidak ada sama sekali.

"Hooop...!" Ganda menarik tali kekang kudanya. Dan seketika, binatang tunggangan itu menghentikan larinya.

"Hup!" Laki-laki berkumis tipis ini melompat turun dari kuda. Kemudian, ditambatkannya kuda berwarna coklat putih itu di sebatang pohon. Baru setelah itu kakinya melangkah menuju pondok.

Kriiit..! Terdengar suara berderit tajam, disusul dengan terbukanya daun pintu pondok itu ketika jarak antara Ganda dengan pintu itu masih ada lima tombak. Dan begitu daun pintu itu terbuka lebar, nampak seraut wajah tua muncul di balik pintu. Seorang kakek bertubuh tinggi kurus bagai bambu. Pakaiannya putih. Wajahnya juga beralis putih. Tidak ada kumis, atau jenggot yang menghias wajahnya. Ganda segera membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Maaf, Kek. Bisakah aku bertemu Dewa Angin Puyuh?" tanya Ganda sopan.

"Aku sendiri orang yang kau cari itu, Anak Muda," sahut kakek beralis putih yang ternyata berjuluk Dewa Angin Puyuh. "Kau siapa? Dan apa keperluanmu mencariku?"

"Aku pasukan Kadipatan Campa, Kek. Namaku Ganda. Maksud kedatanganku kemari, ingin menyampaikan sebuah berita."

"Ah...!" Dewa Angin Puyuh berseru kaget. Bergegas dipersilakannya laki-laki berkumis tipis itu masuk ke dalam dengan tergopoh-gopoh. Memang, tadi kakek beralis putih ini sudah mempunyai sebuah dugaan begitu melihat pakaian prajurit yang dikenakan Ganda. Mungkinkah prajurit ini yang akan menjemput pulang putra Adipati Kalingga?

Tapi, dugaan itu segera dibuang jauh-jauh begitu teringat kalau Adipati Kalingga akan datang sendiri menjemput putranya. Sekaligus, hendak bertemu kembali dengan sahabat lama. Memang Adipati Kalingga dan Dewa Angin Puyuh merupakan sahabat kental sejak kecil.

Kini, begitu mendengar ucapan Ganda, kakek beralis putih ini jadi cemas. Dewa Angin Puyuh menduga, ada kejadian buruk yang menimpa rombongan Adipati Kalingga. Sikap dan keadaan prajurit yang bernama Ganda lebih memperkuat dugaannya.

"Di mana Raden Palageni?" tanya prajurit Kadipaten Campa itu begitu duduk di sebuah kursi di ruangan dalam.

"Ada di belakang," sahut kakek beralis putih itu. Kemudian, bibirnya berkemik-kemik tapi tidak ada suara yang keluar.

Ganda memandangnya penuh keheranan. "Apa yang telah dilakukan kakek ini?" tanya laki-laki berkumis tipis ini dalam hati. Sama sekali prajurit Kadipatan Campa ini tidak tahu kalau Dewa Angin Puyuh tengah memberitahukan pesan pada Palageni yang tengah berada di kebun belakang. Inilah ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh'.

Tak lama kemudian, dari ruang dalam melangkah tenang seorang pemuda tampan, berkulit putih, dan beralis tebal dan hitam. Pakaiannya terbuat dari bahan sederhana dan berwarna kuning.

"Orang ini adalah anggota pasukan ayahmu, Palageni," jelas Dewa Angin Puyuh bernada memberi tahu.

Pemuda berbaju kuning yang ternyata bernama Palageni itu segera mengulurkan tangan pada Ganda. Agak bergegas, laki-laki berkumis tipis ini menyambut uluran tangan itu setelah terlebih dahulu memberi hormat dan memperkenalkan namanya.

"Mana Ayah, Ganda? Mengapa kau hanya datang sendiri?" tanya Palageni tak sabaran.

"Sabar, Palageni. Duduklah dulu. Ganda ingin menceritakannya. Itulah sebabnya, aku memanggilmu," Dewa Angin Puyuh menenangkan muridnya.

Pemuda berbaju kuning itu pun duduk. Sedangkan Ganda kini mengerti, mengapa kakek beralis putih ini tadi komat-kamit tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya. Rupanya kakek itu tengah memanggil muridnya. Meskipun demikian, tetap saja laki-laki berkumis tipis ini tidak mengetahui, bagaimana hal itu bisa terjadi.

"Nah! Sekarang ceritakanlah, Ganda," ujar Dewa Angin Puyuh lagi.

Ganda menarik napas panjang-panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat sebelum memulai ceritanya. Sebentar ditatapnya wajah Palageni dengan perasaan khawatir. Dia takut kalau batin pemuda itu terguncang. Palageni bukan orang bodoh. Malah sebaliknya, pemuda berbaju kuning ini begitu cerdik.

Maka saat melihat kedatangan Ganda seorang diri tanpa ayahnya, dan pasukan pengawal lainnya, dia sudah mempunyai dugaan buruk. Kini dengan hati berdebar tegang, ditunggunya ucapan yang akan keluar dari mulut prajurit berkumis tipis itu.

Ganda lalu menceritakan semuanya. Seperti yang telah diceritakannya pada Dewa Obat Tangan Delapan. "Begitulah kejadiannya, Kek, Den Palageni," ucap Ganda menutup ceritanya.

"Jahanam!" Palageni memekik keras begitu Ganda menyelesaikan ceritanya.

Wajah pemuda berbaju kuning ini merah padam. Sepasang bola matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. Terdengar suara berkerotokan keras ketika putra Adipati Kalingga ini mengepalkan kedua tangannya. Napasnya pun memburu dahsyat. Bukan hanya Palageni saja yang dilanda perasaan terkejut yang bukan alang kepalang. Bahkan Dewa Angin Puyuh pun mengalami hal yang sama. Adipati Kalingga adalah sahabat kentalnya sewaktu kecil.

Tapi berbeda dengan muridnya, kakek yang telah kenyang pengalaman hidup ini mampu mengendalikan perasaannya. Sehingga kekagetan itu tidak nampak pada wajahnya, kecuali desahan napas berat yang keluar dari mulutnya. Sementara dahinya berkernyit dalam. Kakek ini seperti juga Dewa Obat Tangan Delapan, tidak mempercayai berita yang didengarnya.

"Dewa Rambut Merah! Tunggulah pembalasanku!" desis Palageni tajam dan bergetar. Jelas kalau ucapan itu keluar dari hati yang bergolak menahan amarah yang meluap-luap. Ada ancaman maut terkandung dalam suaranya.

Dewa Angin Puyuh menatap wajah muridnya tajam-tajam. Tampak jelas kalau tatapan kakek beralis putih ini mengandung teguran. “Tahan dulu amarahmu, Palageni," ujar kakek itu bernada menasihati.

“Tapi, Guru. Bagaimana mungkin aku mendiamkan saja semua kekejaman ini! Ayahku dan semua pengawal dibunuh secara kejam. Haruskah aku tinggal diam begitu saja?" bantah pemuda berbaju kuning itu agak keras.

"Aku tidak menyuruhmu membiarkannya, Palageni," sahut Dewa Angin Puyuh kalem. "Aku hanya menyuruhmu menahan amarah. Kita harus selidiki dulu kebenarannya...."

"Apa lagi yang harus diselidiki, Guru?" Palageni masih membantah. "Sudah jelas kalau pembunuhnya adalah Dewa Rambut Merah."

"Jangan terburu-buru yakin akan kebenarannya, Palageni," suara Dewa Angin Puyuh kini terdengar agak keras.

"Hhh...!" Palageni menghela napas berat. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya. Pemuda berbaju kuning ini tidak lagi membantah, karena merasakan adanya tekanan dalam ucapan gurunya yang terakhir. Ucapan yang tidak menghendaki ada bantahan darinya.

"Lalu, sekarang apa yang harus kulakukan, Guru?" tanya Palageni setelah beberapa saat lamanya berusaha menenangkan amarah yang meledak-ledak.

"Bukan kau," ralat Dewa Angin Puyuh.

"Bukan aku?" dahi pemuda berbaju kuning itu berkernyit. "Lalu siapa, Guru?"

"Kita...."

"Kita?" Palageni masih belum mengerti. Peristiwa yang didengarnya dari mulut Ganda membuat otaknya buntu. Tidak bisa digunakan untuk berpikir.

"Ya. Kau dan aku," tandas kakek beralis putih itu tegas.

"Mengapa begitu, Guru?"

"Karena kalau benar pelakunya adalah Dewa Rambut Merah, meskipun aku yakin kalau pelakunya bukan dia, kau tidak akan mampu menghadapinya."

Palageni terdiam. Barulah disadari kebenaran ucapan gurunya. Dewa Rambut Merah adalah salah seorang dari datuk-datuk persilatan, seperti juga gurunya, Dewa Angin Puyuh.

"Kalau begitu, aku pamit saja, Kek, Den," pamit Ganda sambil bergerak bangkit dari duduknya.

“Tidak ikut bersama kami, Ganda?" kata Dewa Angin Puyuh menawarkan.

“Terima kasih, Kek. Aku harus kembali dulu ke kadipaten."

Kali ini kakek beralis putih itu tidak menahan lagi. Dibiarkannya saja prajurit berkumis tipis itu melangkah ke luar.

* * * * * * * *

TIGA

Cuaca siang ini panas sekali. Matahari memancarkan sinarnya seperti hendak membakar permukaan bumi. Tapi, hal itu seperti tidak dirasakan dua sosok tubuh yang tengah bergerak cepat menuju puncak Gunung Caringin. Dua sosok tubuh itu ternyata Dewa Angin Puyuh dan Palageni.

"Guru...," sambil tetap mengayunkan kakinya, Palageni membuka suara.

"Hm...," Dewa Angin Puyuh hanya bergumam pelan untuk menyahuti panggilan muridnya.

"Dari mana Guru mengetahui tempat tinggal Dewa Rambut Merah?" tanya Palageni.

"Hhh...!" Dewa Angin Puyuh menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. Sementara Palageni menunggu dengan sabar. Diam-diam hati pemuda berbaju kuning itu heran juga melihat sikap gurunya yang tidak biasanya seperti ini. Tampaknya, Dewa Angin Puyuh tengah dilanda kebingungan yang amat sangat.

"Aku kenal betul siapa Dewa Rambut Merah itu, Palageni," sahut Palageni setebh beberapa saat lamanya termenung.

"Ahhh...!" Palageni terperanjat.

Bukan ucapan itu yang membuat Palageni terkejut. Tapi nada suara yang tersembunyi di dalamnya terdengar begitu getir dan kering.

"Kau terkejut, Palageni?" tanya Dewa Angin Puyuh.

Kakek beralis putih itu menoleh. Sepasang matanya menatap wajah muridnya lekat-lekat. Pemuda berbaju kuning itu menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Perlahan-lahan kepalanya terangguk.

"Kalau boleh kutahu, sampai seberapa jauh Guru mengenalnya?" desak Palageni, serak.

"Aku mengenalnya seperti mengenal diriku sendiri...," sahut Dewa Angin Puyuh. Pelan suaranya, lebih mirip desahan.

Palageni terperangah, sampai-sampai langkahnya dihentikan. Dewa Angin Puyuh juga ikut berhenti. Ucapan itu memberi petunjuk, betapa dekat hubungan gurunya dengan Dewa Rambut Merah.

"Oleh karena itulah, Palageni,'' sambung Dewa Angin Puyuh lagi. "Terus terang kukatakan padamu, aku tidak percaya kalau pembunuhan itu dilakukan oleh Dewa Rambut Merah...."

Pemuda berbaju kuning itu pun terdiam seketika. Sementara Dewa Angin Puyuh tidak lagi melanjutkan ucapannya. Maka kini, keheningan menyelimuti mereka. Keduanya lalu melanjutkan langkah tanpa berkata kata lagi. Sepasang kaki mereka berlompatan ke sana kemari, mempergunakan ilmu meringankan tubuh sehingga tak lama kemudian telah terlihat sebuah pondok berdinding bilik. Kontan langkah kedua orang ini pun semakin dipercepat. Dan kini mereka telah berhenti sekitar tiga tombak di depan pondok bilik.

"Dewa Rambut Merah...! Aku, sahabatmu datang berkunjung...!" seru Dewa Angin Puyuh memanggil. Karena dikerahkan dengan tenaga dalam, maka seruan itu jadi terdengar sampai jauh. Gemanya terdengar bersahut-sahutan, terbawa angin.

Dewa Angin Puyuh berdiri diam menunggu. Sepasang matanya beredar memandangi sekelilingnya, kemudian dialihkan kembali ke pintu pondok yang tertutup. Sesaat kemudian, daun pintu pondok itu bergerak terbuka perlahan-lahan. Dan dari baliknya menyembul seorang kakek berpakaian coklat. Rambutnya berwarna merah, dan digelung ke atas.

"Ah...! Kiranya kau, Dewa Angin Puyuh...!" seru kakek yang ternyata Dewa Rambut Merah. Bergegas kakinya melangkah menghampiri.

Dewa Angin Puyuh pun melangkah maju. Sikapnya kelihatan begitu tenang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Palageni ikut melangkah. Pemuda berbaju kuning ini telah menyerahkan semua urusan pada gurunya.

"Apa yang mendorongmu mengunjungi tempatku, Dewa Angin Puyuh?" tanya Dewa Rambut Merah sambil mengulurkan tangan. Dewa Angin Puyuh bergegas menyambut dan menggenggamnya erat-erat. Wajah kedua kakek ini tampak berseri-seri. Maklum, sudah belasan tahun tidak berjumpa.

"Ah.... Hanya sekadar menjumpai kawan lama," sahut kakek beralis putih itu kalem.

"Hanya itu?" desak Dewa Rambut Merah sambil melepaskan genggamannya. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan.

Dewa Angin Puyuh mengernyitkan dahinya. “Tidak juga," sahut Dewa Angin Puyuh masih tetap tenang. "Aku membawa sebuah persoalan yang menyangkut dirimu, Dewa Rambut Merah."

"Hm.... Sudah kuduga," kakek berambut merah mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapnya wajah Palageni sejenak. "Siapa anak muda ini, Dewa Angin Puyuh?"

"Muridku...," jawab Dewa Angin Puyuh. "Palageni namanya."

Dewa Rambut Merah mengangguk-anggukkan kepala. Sementara matanya menatap sekujur tubuh Palageni dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Dan..., persoalan yang kubawa menyangkut diri muridku, Dewa Rambut Merah...," sambut Dewa Angin Puyuh lagi. Nada suaranya terdengar mulai bersungguh-sungguh.

"Hei...?! Mengapa bisa begitu, Dewa Angin Puyuh?!" seru Dewa Rambut Merah, terkejut. "Persoalan yang menyangkut diriku dengan muridmu? Aneh...!"

"Kalau mendengar ceritaku selanjutnya, kau pasti tidak akan menganggapnya aneh," sambung Dewa Angin Puyuh buru-buru.

Dewa Rambut Merah melirik sekilas ke arah Palageni.

"Kemarin, ada seorang prajurit kadipaten yang mengunjungiku."

Dewa Angin Puyuh memulai ceritanya seraya menatap wajah Dewa Rambut Merah, untuk melihat tanggapannya. Tapi tidak nampak ada perubahan pada wajah kakek berambut merah itu. Wajahnya tetap biasa, tak menunjukkan kekagetan.

"Prajurit itu bercerita, bahwa rombongannya diserang seseorang. Adipati Kalingga dan seluruh pengawal yang menyertainya dibantai. Hanya prajurit itu yang berhasil selamat, dan langsung memberitahukannya padaku."

"Hm... Kenapa prajurit itu memberitahukannya padamu, Dewa Angin Puyuh?" tanya Dewa Rambut Merah tidak mengerti.

"Karena rombongan Adipati Kalingga memang tengah menuju ke tempatku," jelas kakek beralis putih itu.

"Heh...?! Apa keperluan adipati itu mengunjungimu?" tanya Dewa Rambut Merah. Lagi-lagi dengan perasaan terkejut. Memang cerita yang didengar, belum dimengertinya.

"Membawa pulang putranya."

"Membawa pulang putranya?! Aku jadi semakin tidak mengerti, Dewa Angin Puyuh."

''Putranya bernama Palageni...."

"Palageni?!" Dewa Rambut Merah meminta kepastian. Sepasang matanya membelalak lebar, menatap pemuda berbaju kuning itu. "Jadi..., pemuda ini...."

Dewa Angin Puyuh yang sudah dapat. menduga kelanjutan ucapan kakek berambut merah itu menganggukkan kepalanya. "Dia adalah putra Adipati Kalingga."

"Ah...!" Dewa Rambut Merah mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang aku mengerti urusan yang kau maksud itu, Dewa Angin Puyuh."

"Hm...," kakek beralis putih itu hanya bergumam tidak jelas.

"Yang dimaksud prajurit itu aku, kan?!" duga Dewa Rambut Merah langsung pada sasaran.

Kakek berambut merah itu langsung menatap wajah Dewa Angin Puyuh. Kakek beralis putih balas menatap. Sesaat lamanya dua pasang mata saling tatap. Kemudian perlahan-lahan kepala Dewa Angin Puyuh terangguk.

"Dan kau percaya?" desak Dewa Rambut Merah ingin tahu.

"Tidak," pelan suara Dewa Angin Puyuh, tapi cukup tegas juga.

"Mengapa kau begitu yakin, Dewa Angin Puyuh?" desak Dewa Rambut Merah.

"Aku mengenalmu seperti mengenal diriku sendiri...." Jawaban kakek beralis putih seperti memutar.

"Lalu, mengapa kau tetap datang ke sini?" tanya Dewa Rambut Merah lagi, setelah beberapa saat lamanya terdiam.

Dewa Angin Puyuh terdiam sejenak. "Hanya untuk membuat urusan ini menjadi jelas, dan sekaligus memberitahukanmu, Dewa Rambut Merah."

Dewa Rambut Merah mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.

"Aku yakin, ada orang yang telah memfitnahmu, Dewa Rambut Merah," sambung Dewa Angin Puyuh lagi.

"Hm... Lalu?" desak Dewa Rambut Merah tanpa gairah sama sekali.

Sepasang alis Dewa Angin Puyuh seketika bertautan. Sebab, sambutan rekannya benar-benar di luar dugaan. Padahal, sudah diperkirakannya kalau Dewa Rambut Merah akan kalap bukan kepalang begitu mendengar berita itu. Tapi kini yang terlihat, benar-benar membuatnya terkejut bukan main. Kakek berambut merah itu sepertinya tidak peduli, dan acuh-acuh saja.

"Apakah kau tidak ingin tahu orang yang telah mengotori nama besarmu itu, Dewa Rambut Merah?" tanya kakek beralis putih, tak percaya.

Kakek berambut merah itu menggeleng kepala. Secercah senyum sabar tampak tersungging di bibirnya.

"Mengapa?" desa Dewa Angin Puyuh karena perasaan yang tidak menentu.

"Aku sudah tidak ingin terlibat lagi dalam kekerasan dunia persilatan, Dewa Angin Puyuh. Aku sudah jenuh!"

“Tapi ini menyangkut nama baikmu, Dewa Rambut Merah!" Dewa Angin Puyuh masih berusaha menasihati. Malah, nada suaranya terdengar mulai meninggi.

"Biarlah, Dewa Angin Puyuh. Aku sudah tidak mempedulikan lagi nama baikku. Biarlah orang itu berbuat sekehendak hatinya. Aku percaya, dia akan menerima balasannya sendiri."

"Kau melupakan kami, Dewa Rambut Merah," selak Dewa Angin Puyuh.

"Maksudmu?" tanya Dewa Rambut Merah dengan dahi berkernyit.

Dewa Angin Puyuh terdiam sejenak. Pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya. Sebaliknya, dia malah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Jelas ada sesuatu yang merisaukan hati kakek ini.

"Kau jangan memandang hal itu untuk kepentingan dirimu saja, Dewa Rambut Merah," sergah Dewa Angin Puyuh beberapa saat kemudian.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Dewa Angin Puyuh." Kening kakek berambut merah ini nampak berkerut dalam.

"Hhh...!" Dewa Angin Puyuh menghela napas berat sebelum menjelaskan pertanyaan Dewa Rambut Merah.

Sementara, kakek berambut merah itu menunggu jawabannya dengan perasaan tidak sabar.

"Maksudku sudah jelas. Bukan hanya kau saja yang menderita kerugian dengan adanya fitnahan itu. Tapi, aku dan Dewa Obat Tangan Delapan pun akan tercemar. Aku yakin, julukan kita bertiga sebagai Tiga Dewa Sungai Naga akan terbawa rusak."

"Jadi, kau ingin agar aku terjun kembali dalam kerasnya dunia persilatan, Dewa Angin Puyuh? Kau biarkan aku melanggar janjiku sendiri?" selak Dewa Rambut Merah dengan nada tinggi.

"Masalahnya lain, Dewa Rambut Merah. Kau difitnah," Dewa Angin Puyuh masih mencoba menasihati. "Kalau kau tidak turun tangan, urusan ini akan berlarut-larut. Bahkan bukan tidak mungkin kalau orang yang telah memfitnahmu itu tengah merencanakan kejahatan lain."

"Apa pun masalahnya, aku tidak akan melanggar sumpahku sendiri. Ingat itu, Dewa Angin Puyuh."

"Ahhh...!" Dewa Angin Puyuh menghela napas berat mengetahui kekerasan hati rekannya.

"Kau tahu, Dewa Angin Puyuh," sambung Dewa Rambut Merah lagi. "Dewa Obat Tangan Delapan baru saja meninggalkan tempat ini!"

"Ahhh...!" kembali Dewa Angin Puyuh mendesah kaget "Benarkah apa yang kau katakan itu, Dewa Rambut Merah?!"

Kakek berambut merah itu hanya menganggukkan kepala.

"Apa keperluannya datang kemari, Dewa Rambut Merah?" desak Dewa Angin Puyuh. Nada suara dan wajahnya menyiratkan keterkejutan yang amat sangat. Dan memang sebenarnya kakek beralis putih itu terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau Tiga Dewa Sungai Naga bisa singgah di sini, setelah belasan tahun berpisah.

"Sama seperti kau juga, Dewa Angin Puyuh," jawab Dewa Rambut Merah. "Mengabarkan adanya fitnah terhadap diriku dan juga menyuruhku terjun dalam dunia persilatan."

"Pasti usulnya kau tolak," duga Dewa Angin Puyuh.

Dewa Rambut Merah sama sekali tidak menyahut. Hanya anggukan kepala yang memberikan petunjuk kalau dia membenarkan dugaan rekannya. Dewa Angin Puyuh menghela napas dengan kepala tertunduk dalam. Sepasang matanya menekuri tanah.

"Oleh karena itu, Dewa Angin Puyuh. Tidak ada gunanya lagi membujukku. Pendirianku tidak akan berubah. Rasanya, kau hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga saja."

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Dewa Rambut Merah," pamit kakek beralis putih itu. Suaranya terdengar lesu, selesu wajahnya.

Setelah berkata demikian, Dewa Angin Puyuh lalu membalikkan tubuhnya. "Mari kita pergi, Palageni," ajak kakek itu pada muridnya.

Palageni tidak berani membantah, walaupun sebenarnya hatinya kecewa sekali melihat penyelesaian yang dilakukan gurunya. Di samping kecewa, perasaan kaget pun sejak tadi sudah melanda hatinya. Sungguh tidak disangka kalau antara gurunya dengan Dewa Rambut Merah terdapat sebuah hubungan yang begitu erat. Namun, mengapa hubungan itu kelihatannya mulai renggang?

Memang, gurunya telah memberi tahu tentang hubungan dekatnya dengan Dewa Rambut Merah. Tapi, hanya itu saja. Kakek beralis putih itu tidak memberi tahu kalau dirinya, Dewa Obat Tangan Delapan, dan Dewa Rambut Merah ternyata juga berjuluk Tiga Dewa Sungai Naga yang telah menggegerkan dunia persilatan puluhan tahun lalu. Memang, Dewa Angin Puyuh tidak pernah menceritakan semua masa lalunya pada pemuda berbaju kuning itu.

Kini kedua orang yang sama-sama lesu itu bergerak cepat menuruni lereng. Tak ada seorang pun yang berniat membuka percakapan. Sebenar-nya, Palageni ingin menanyakan kepada gurunya mengenai Tiga Dewa Sungai Naga. Tapi karena tampaknya Dewa Angin Puyuh sedang kurang senang, sehingga pemuda berbaju kuning ini tidak berani menanyakannya. Akibatnya, mereka berdua bergerak menuruni lereng tanpa berkata-kata.

* * * * * * * *

"Palageni," panggil Dewa Angin Puyuh sesampainya di kaki gunung. Sepasang mata kakek ini menatap tajam wajah muridnya.

"Ya, Guru," sahut pemuda berbaju kuning, pelan tak bersemangat.

"Aku telah tua, Palageni. Dan semua kepandaian yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu. Maka, kini wakililah diriku untuk mencari pelaku pembunuhan terhadap orang tuamu. Bagaimana, Palageni? Kau mau menerimanya?"

Pemuda berbaju kuning ini menganggukkan kepala. ''Terima kasih atas kepercayaan yang Guru berikan padaku."

"Pergilah, Palageni. Jangan buang-buang waktu lagi."

"Kalau demikian, aku berangkat dulu, Guru," sambut pemuda berbaju kuning itu mohon diri.

"Hati-hati, Palageni," Dewa Angin Puyuh menasihati sambil menepuk-nepuk bahu muridnya.

"Akan kuperhatikan semua nasihat guru."

Setelah berkata demikian, Palageni bergerak cepat meninggalkan tempat itu Gerakannya cukup gesit, karena ditunjang oleh ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir mencapai kesempurnaan. Beberapa saat kemudian, tubuhnya semakin mengecil hingga akhirnya lenyap ditelan jalan.

Sedangkan Dewa Angin Puyuh hanya menatap kepergian muridnya. Dia baru melangkah pergi dari situ, ketika tubuh Palageni tidak terlihat lagi. Tubuhnya melesat cepat, disertai ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tingkat tinggi.

Sementara itu, Palageni segera mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Tubuhnya berkelebatan cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan yang melesat cepat. Dan ketika matahari telah condong ke Barat, Palageni tiba di sebuah jalan. Di kanan kiri jalan itu terbentang padang rumput luas, yang tinggi rumputnya mencapai satu tombak.

Mendadak langkah pemuda berbaju kuning berhenti, ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara gemerisik pelan di kerimbunan rerumputan. Palageni mengawasi hamparan padang rumput yang di kanannya. Sepasang matanya bergerak liar, mencari-cari asal suara mencurigakan yang didengarnya.

Suara gemerisik itu terdengar semakin keras. Dan belum lagi Palageni bisa menduga-duga, tiba-tiba beberapa sosok bayangan hitam berlompatan keluar dari balik kerimbunan padang rumput itu. Sebentar pemuda berbaju kuning itu terkesiap, namun segera melentingkan tubuhnya ke belakang. Dia berputaran beberapa kali di udara, kemudian dengan gerakan indah dan manis, kedua kakinya mendarat di tanah.

EMPAT

Palageni mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matanya menatap tajam beberapa sosok tubuh yang bergerak cepat mengurungnya. Dalam hati, pemuda berbaju kuning ini menghitung jumlah pengepungnya. Sebelas orang! Yang membuat hati murid Dewa Angin Puyuh ini terkejut adalah gambar tengkorak kepala manusia yang ditopang dua batang tulang-belulang yang saling bersilangan pada dada para pengepungnya.

Dewa Angin Puyuh telah menceritakan banyak tokoh besar dunia persilatan kepadanya. Baik golongan sesat maupun putih. Dan salah satu di antaranya, seorang tokoh sesat mengerikan yang tinggal di sebuah pulau kecil di tengah Danau Bangkai. Julukannya, Gendruwo Pulau Setan. Tokoh sesat itu tidak tinggal sendirian di pulau itu. Ada puluhan orang anak buahnya yang memiliki kepandaian mengerikan. Dan kini, Palageni memang tengah bertemu gerombolan iblis yang bernama Gerombolan Pulau Setan. Diam-diam Palageni harus mengakui kalau gerombolan pengepung ini benar terdiri dari orang-orang mengerikan.

"Hiaaat..!" Sambil berteriak menggelegar, salah seorang anggota Gerombolan Pulau Setan menyerang. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar, meluncur cepat ke arah leher. Pada saat yang sama, dari samping kiri pemuda berbaju kuning itu, pengeroyok lain melancarkan satu tendangan miring ke arah pelipis. Sementara dari belakang, menendang lurus ke arah punggung.

Meskipun mendapat serangan beruntun, Palageni tidak menjadi gugup. Dengan perhitungan matang, tu-buhnya dirundukkan dan langsung menendang ke belakang.

Wuttt, wuttt, plakkk...!

Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Serangan dari samping dan depan berhasil dielakkan Palageni. Sementara dari belakang, berhasil ditangkisnya. Akibatnya, tubuh anggota Gerombolan Pulau Setan itu terjengkang ke belakang, dan jatuh terduduk di tanah. Mulutnya nampak menyeringai, menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tokoh sesat ini merasakan kakinya seperti patah-patah tulangnya. Memang, tenaga dalam yang dimiliki Palageni jauh berada di atasnya.

Melihat betapa mudahnya pemuda berbaju kuning itu mematahkan serangan-serangan, mereka tidak bersikap main-main lagi. Disadari kalau pemuda ini adalah seorang lawan yang amat tangguh.

Singgg, srattt, singgg...!

Kini di tangan Gerombolan Pulau Setan itu tercekal senjata andalan masing-masing. Ada yang menggenggam pedang, golok, tombak, ataupun trisula.

Srattt..!

Sinar terang berpendar ketika Palageni mencabut keluar goloknya. Dan secepat golok itu terhunus, secepat itu pula diputar-putarkan di depan dada. Senjatanya digerakkan dari kanan atas ke kiri bawah, dan dari kiri atas ke kanan bawah. Angin menderu keras seperti amukan topan. Itulah ilmu 'Golok Angin Puyuh' yang telah diciptakan Dewa Angin Puyuh dari ilmu tongkatnya. Memang, kakek beralis putih itu melihat, muridnya lebih berbakat dan lebih suka bersenjatakan golok daripada tongkat. Makanya jurus yang semula bernama 'Tongkat Angin Puyuh', berubah menjadi 'Golok Angin Puyuh'.

Meskipun ilmu golok itu diciptakan dari ilmu tongkat, dan sedikit banyak telah mengalami perubahan di sana-sini, namun kedahsyatannya sama sekali tidak berkurang. Bahkan tidak kalah hebat dengan induknya.

"Hiyaaat..!"

Diiringi bentakan nyaring, tubuh beberapa orang anggota Gerombolan Pulau Setan itu meluruk menerjang Palageni. Desingan nyaring merobek udara terdengar mengiringi tibanya serangan-serangan itu. Palageni bersikap tenang. Golok di tangannya berkelebat cepat menangkis setiap serangan yang datang bagaikan hujan. Suara berdentang nyaring terdengar berkali-kali begitu senjata kedua belah pihak berbenturan.

Jerit-jerit keterkejutan terdengar dari mulut anggota Gerombolan Pulau Setan, begitu merasakan tangan yang memegang pedang bergetar hebat. Telapak tangan yang menggenggam pun terasa panas bukan main. Tindakan Palageni tidak hanya sampai di situ saja. Golok di tangannya berkelebat cepat mengancam lawan-lawannya. Tapi anggota-anggota Gerombolan Pulau Setan bukan tokoh rendahan. Mereka dapat mengelak dan balas menyerang. Beberapa saat kemu-dian, pertempuran sengit pun kembali terjadi.

Di jurus-jurus awal, Gerombolan Pulau Setan bertarung secara sewajarnya. Mereka tidak menggunakan kelicikan untuk mencari kemenangan. Ketika pertarungan menginjak sepuluh jurus, Palageni belum juga berhasil didesak. Dan ini membuat para pengeroyok itu mulai bermain licik.

"Hiaaat..!" Seorang yang berwajah kurus kering seperti tak berdaging, berteriak keras seraya melompat menerjang. Tongkat berujung pisau di tangannya menusuk cepat ke arah leher Palageni.

Melihat bahaya maut mengancam keselamatan nyawanya, Palageni cepat melompat ke belakang. Sehingga, ujung tongkat berbentuk pisau itu hanya menyambar tiga jengkal di depan lehernya. Mendadak, tanpa sepengetahuan Palageni, laki-laki berwajah kurus kering laksana tengkorak itu memijit sebuah tonjolan kecil yang ada digagang tongkatnya.

Trekkk! Singgg...!

Mendadak saja pisau yang terdapat di ujung tongkat itu terlepas dari batang tongkat, lalu meluncur cepat laksana anak panah lepas dari busur ke arah tenggorokan Palageni. Pemuda berbaju kuning ini terkejut bukan main mendapat serangan yang tidak disangka-sangka itu. Sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan untuk menghindari serangan. Tapi...

Crasss...! Palageni kalah cepat, sehingga bahunya terserempet bilah pisau itu. Seketika itu juga cairan merah kental mengalir dari luka yang tergores. Belum juga Palageni sempat berbuat sesuatu, lawan yang bertubuh tinggi besar mengibaskan tangannya. Dan...

Serrr...!

Belasan jarum halus menyambar cepat ke arah pemuda berbaju kuning itu. Ada bau amis yang memuakkan, mengiringi tibanya serangan. Palageni sadar kalau jarum yang dilepaskan lawan mengandung racun. Maka dia tidak berani bertindak ceroboh. Buru-buru goloknya diputar laksana baling-baling hingga terdengar suara mengaung keras.

Tringgg, tringgg...!

Jarum-jarum itu berpentalan tak tentu arah begitu tersambar golok murid Dewa Angin Puyuh itu. Beberapa di antaranya justru menyambar ke arah beberapa anggota Gerombolan Pulau Setan. Karuan saja hal itu membuat mereka terperanjat dan pontang-panting menyelamatkan diri. Tapi, sehabis memunahkan serangan jarum-jarum beracun itu, tiba-tiba rasa pusing menyerang Palageni. Bahkan bukan hanya itu saja. Perasaan lemas pun melanda tubuhnya pula. Mulanya Palageni kebingungan, tapi sesaat kemudian tersadar.

"Racun...," desis pemuda berpakaian kuning geram. Benak Palageni berpikir keras, bagaimana dia bisa terkena racun. Tak salah lagi. Setelah berpikir sesaat, muncul sebuah dugaan di benaknya. Pasti racun itu berasal dari luka di bahu kirinya.

Dalam kungkungan rasa pusing dan lemas yang kian melanda, Palageni menyempatkan diri untuk melihat luka di bahu kirinya. Seketika hatinya terperanjat, karena ternyata luka itu telah membengkak dan berwarna kehitaman. Kini sudah jelas asal racun itu. Racun itu ternyata terhitung racun yang bekerja cepat. Palageni merasakan kepalanya semakin pusing. Bahkan tubuhnya kian melemah. Pandang matanya berkunang-kunang.

"Ha ha ha...! Pemuda keparat...! Kini baru kau tahu kehebatan Gerombolan Pulau Setan, heh?!"

Terdengar oleh telinga Palageni, ucapan salah seorang pengeroyoknya yang diiringi suara tawa bergelak penuh kemenangan.

"Keparat curang! Jangan harap dapat berbuat sekehendak hati kalian...!" Seiring dengan terdengarnya suara bentakan itu, sesosok bayangan putih berkelebat.

Tappp...!

Cepat bukan main gerakan sosok bayangan putih itu. Bahkan sebelum Gerombolan Pulau Setan berbuat sesuatu, tubuh Palageni telah berhasil disambarnya.

"Hey...!" teriak anggota gerombolan yang bertubuh tinggi besar kaget.

"Jangan lari kau, Pengecut...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Gerombolan Pulau Setan lalu bergerak mengejar. Tapi ternyata sosok bayangan putih itu memang tidak bermaksud melarikan diri. Terbukti setelah meletakkan tubuh Palageni di tanah, tubuh bayangan itu berbalik menanti kedatangan para pengeroyoknya. Terdengar suara-suara kekaguman dari mulut anggota Gerombolan Pulau Setan begitu melihat sosok bayangan putih itu.

"Ah...! Tidak salahkah penglihatanku?" seru anggota gerombolan yang bertubuh tinggi besar. "Benarkah seorang bidadari yang telah berdiri di hadapanku?"

"Luar biasa...!" sambut laki-laki bermuka tengkorak. "Wajahnya begitu cantik...."

"Bentuk tubuhnya pun menggiurkan...," yang lain ikut menyahuti.

Memang tidak salah apa yang dibicarakan Gerombolan Pulau Setan itu. Sosok bayangan putih itu ternyata seorang wanita berwajah cantik jelita. Kulit wajahnya putih, halus, dan mulus. Rambutnya panjang hitam dan terurai sampai ke bawah bahu. Sangat pas sekali dengan pakaiannya yang serba putih.

Gadis berpakaian putih ini menggertakkan gigi mendengar ucapan orang-orang berseragam merah itu. Kemarahan mulai menjalari hatinya. Ucapan mereka semakin lama semakin kurang ajar saja. Pandangan mata mereka tampak liar, seperti hendak menelannya bulat-bulat. Persis mata seekor serigala lapar yang melihat anak domba.

"Mulut kalian terlalu kotor...!" seru gadis berpakaian putih itu penuh ancaman.

"Ha ha ha...!" hanya suara tawa bergelak bernada kurang ajar menyambuti ucapan gadis itu. Dan tentu saja hal ini membuat gadis itu tambah naik darah.

"Orang-orang seperti kalian harus diberi pelajaran! Agar tidak sembarangan mengumbar ucapan kotor lagi...!"

Setelah berkata demikian, gadis berpakaian putih itu melesat menerjang. Gerakannya cepat bukan main, sehingga membuat Gerombolan Pulau Setan yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main. Mereka memang memandang rendah, setelah mengetahui sosok bayangan putih itu ternyata adalah seorang gadis muda. Dan sikap memandang rendah itulah yang justru mencelakakan mereka. Serangan gadis berpakaian putih itu terlalu cepat datangnya, sehingga sebisa-bisanya mereka mengelak.

Plakkk, plakkk...!

Dua anggota Gerombolan Pulau Setan terjengkang ke belakang begitu tepakan kaki gadis berpakaian putih itu mengenai dada dan perut mereka. Seketika itu juga tubuh kedua orang itu jatuh bergulingan di tanah. Tampak darah segar muncrat dari mulut mereka.

Tentu saja hal ini membuat anggota Gerombolan Pulau Setan lainnya terperanjat. Kenyataan ini menyadarkan mereka kalau gadis berpakaian putih yang cantik jelita laksana bidadari ini tidak bisa dipandang rendah. Seketika sikap main-main mereka pun lenyap. Dan dengan teriakan-teriakan penuh kemarahan, Gerombolan Pulau Setan menyambut serbuan gadis berpakaian putih. Maka, hujan senjata pun berhamburan ke arah gadis itu.

"Hmh...," gadis berpakaian putih itu mendengus. Tiba-tiba kedua tangannya mengembang membentuk cakar naga. Dan anehnya lagi, kedua tangan-nya sampai sebatas pergelangan berwarna merah darah! Serbuan Gerombolan Pulau Setan yang bersenjata dihadapi dengan tangan kosong!

Meskipun begitu, gadis berpakaian putih sama sekali tidak terdesak. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga berkelebat ke sana kemari mencari sasaran. Dan hebatnya, setiap kali tangan atau kakinya bergerak, ada sosok tubuh yang roboh di tanah.

Suara jerit kesakitan terdengar saling susul, diiringi robohnya sosok-sosok tubuh di tanah. Sia-sia usaha yang dilakukan gerombolan itu untuk merobohkan lawan dengan cara-cara licik. Gerakan gadis berpakaian putih itu terlalu lincah, sehingga mampu mengelakkan setiap serangan yang datang mengancam.

Dua jeritan melengking panjang, mengakhiri per-awanan Gerombolan Pulau Setan itu. Kini, tidak ada lagi anggota gerombolan yang berdiri tegak. Semuanya roboh di tanah dalam keadaan terluka parah. Suara rintihan pelan keluar dari mulut-mulut mereka.

Gadis berpakaian putih itu menatap sosok-sosok tubuh yang tergolek satu persatu. Baru kemudian kakinya melangkah menghampiri tubuh Palageni yang tengah tergolek. Dia bermaksud memeriksa luka yang dialami pemuda berbaju kuning itu.

Gadis berpakaian putih itu berjongkok. Diperhatikannya sejenak luka di bahu kiri yang kini telah membengkak dan berwarna kehitaman. Kemudian dijumput pedang yang tersampir di punggungnya. Lalu dengan ujung pedang, ditorehnya luka yang telah membengkak itu. Seketika itu juga, darah mengalir dari luka di tubuh Palageni. Warnanya kehitaman dan berbau busuk. Gadis itu membiarkan darah yang berwarna kehitaman mengalir habis.

Gadis berpakaian putih lalu mengurut-urut tengkuk Palageni. Tak lama kemudian terdengar keluhan disusul mengerjap-ngerjapnya sepasang mata pemuda berpakaian kuning itu. Beberapa saat lamanya sepasang mata itu terpaku menatap seraut wajah cantik jelita yang berada di dekatnya. Jantung Palageni seketika berdetak kencang begitu mencium bau harum yang keluar dari tubuh gadis itu.

“Telan pil ini," ujar gadis berpakaian putih itu sambil mengangsurkan sebuah pil berwarna coklat.

Tahu kalau gadis itu bermaksud menolongnya, Palageni segera mengulurkan tangan menerima. Dan tanpa ragu-ragu lagi segera ditelannya pil itu. Tidak sulit bagi orang persilatan untuk menelan pil itu walau tanpa adanya air.

Mendadak gadis berpakaian putih itu menoleh ke belakang. Pendengarannya yang tajam menangkap suara aneh di belakangnya. Seketika dia bangkit berdiri begitu melihat dua sosok tubuh berdiri dalam jarak sekitar empat tombak di belakangnya.

Palageni ikut menoleh. Dan seketika wajah pemuda berpakaian kuning ini memucat. Dikenalinya betul salah seorang di antara mereka. Sosok tubuh itu tak lain adalah Dewa Rambut Merah. Sementara yang seorang lagi tidak dikenalinya.

Sosok itu adalah seorang laki-laki tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Rambutnya hitam, panjang, dan bergelombang. Dia bertelanjang dada, dan hanya bercelana sebatas lutut berwarna merah. Di sekujur tubuhnya, penuh bulu-bulu lebat. Di pangkal lengan, di pergelangan tangan, di leher, di pinggang, dan juga di pergelangan kaki, dililit oleh gelang berwarna kuning keemasan. Gelang ini sebenarnya adalah ular yang telah mati dan dikeringkan.

Wajah Palageni pucat pasi begitu teringat sosok yang berdiri di sebelah Dewa Rambut Merah ini, walaupun sebenarnya dia tidak kenal. Gurunya pernah menceritakan kepadanya tentang tokoh yang memiliki ciri-ciri seperti ini. Kalau tidak salah, dia berjuluk Gendruwo Pulau Setan. Seorang tokoh hitam yang mengerikan, kejam, dan keji luar biasa. Tak terasa bulu tengkuknya meremang.

Sebenarnya, Palageni heran. Mengapa Dewa Rambut Merah seperti tidak mengenalinya? Padahal mereka belum lama habis bertemu. Dan yang lebih mengherankan, mengapa kakek berambut merah ini berkawan dengan tokoh sesat macam Gendruwo Pulau Setan? Bermacam-macam pertanyaan benar-benar menggayuti benaknya.

Sementara itu, Genderuwo Pulau Setan menatap sosok-sosok tubuh yang tergolek di tanah, yang memang anak buahnya. Di wajah yang menyeramkan itu, sama sekali tidak terlihat adanya perasaan apa-apa. Wajah itu terlihat begitu dingin, kaku tanpa perasaan. Perlahan tangan yang berbulu lebat itu mengambil kendi kecil yang terletak di pinggangnya. Lalu ikatannya dibuka. Masih dengan wajah dingin, dibukanya tutup kendi itu.

Gadis berpakaian putih dan Palageni hanya memandang perbuatan Gendruwo Pulau Setan. Mereka ingin tahu apa yang akan dilakukan laki-laki tinggi besar dan penuh bulu ini. Dahi kedua orang ini berkernyit ketika melihat wajah para anggota Gerombolan Pulau Setan memucat. Terlihat jelas kalau mereka semua dicekam rasa takut yang memuncak.

Tapi wajah Gendruwo Pulau Setan tetap tidak berubah. Dingin, dan kaku tanpa perasaan. Masih dengan raut wajah beku, kendi yang telah dibuka itu dituangkan ke tubuh setiap orang yang tergolek di tanah. Setetes demi setetes cairan kuning keluar dari mulut kendi. Masing-masing orang mendapati setetes.

Mengerikan! Terdengar suara mendesis seperti sebatang besi panas membara yang direndam dalam air dingin. Ada uap tipis mengepul naik ke udara, yang berasal dari bagian tubuh yang terkena tetesan cairan kuning itu. Dan seketika itu pula, terdengar jeritan menyayat hati dari mulut para anggota Gerombolan Pulau Setan. Jerit yang lebih mirip lolong orang yang tengah di ambang maut. Tubuh mereka pun menggelepar-gelepar seperti ikan yang terdampar di darat.

Palageni dan gadis berpakaian putih menatap dengan mata terbeliak lebar. Perasaan ngeri yang hebat mencekam hati keduanya. Bahkan tanpa disadari, sepasang kaki gadis berpakaian putih itu menggigil. Memang pemandangan yang terlihat terlalu mengerikan. Dari tubuh yang terkena tetesan itu, semula hanya mengepul uap tipis. Tapi semakin lama, uap itu semakin tebal dan banyak. Kemudian, menjadi asap putih tebal dan bergumpal-gumpal. Suara mendesis terdengar mengiringi. Dan jeritan yang keluar pun semakin menyayat hati.

Wajah Palageni dan gadis berpakaian putih semakin pucat pasi, begitu melihat tubuh anggota gerombol-an itu menciut seiring semakin menebalnya asap yang keluar sampai akhirnya lenyap. Luar biasa! Cairan kuning itu ternyata memiliki daya rusak yang begitu mengerikan! Menghancurkan tubuh manusia!

"Ha ha ha...!" Laki-laki tinggi besar dan berbulu lebat itu tertawa terbahak-bahak. Begitu mendadak. Dan dengan tiba-tiba pula, tawanya berhenti. Kemudian dengan raut wajah bengis, ditatapnya gadis berpakaian putih dan Palageni.

Kontan sekujur tubuh gadis berpakaian putih itu lemas. Tenaganya seperti musnah semua. Memang, kejadian yang dilihatnya terlalu mengerikan sehingga membuat hatinya terguncang. Bahkan tanpa dapat ditahan lagi, dia duduk bersimpuh dengan lututnya. Memang, kedua kakinya seperti tidak kuat lagi untuk menunjang tubuhnya.

Dengan langkah lambat-lambat, Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah menghampiri Palageni yang masih terbaring, dan gadis berpakaian putih yang berdiri dengan lututnya. Gadis berpakaian putih itu kemudian menggertakkan gigi. Dan....

"Groaaahhh...!" Suara geraman keras laksana suara seekor harimau yang hendak melumpuhkan mangsanya, keluar dari mulut gadis berpakaian putih itu. Hebat bukan main akibat geraman itu. Udara terasa tergetar hebat. Daun-daun pohon bergoyang-goyang. Bahkan Palageni pingsan seketika. Sementara langkah Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah terpaksa berhenti. Keduanya segera mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh teriakan yang membuat dada terasa bergetar dan kedua kaki lemas.

Kini gadis berpakaian putih bangkit berdiri. Tenaga dalamnya telah pulih kembali seperti semula, sehabis menggeram. Sekarang dia telah bersiap menghadapi kedua orang lawannya.

"Biar aku yang menghadapinya, Kang!'' ucap Gendruwo Pulau Setan pada Dewa Rambut Merah tanpa menoleh. Suaranya terdengar keras dan kasar. Kemudian tanpa menunggu jawaban lagi, kakinya segera melangkah menghampiri si gadis.

"Kau hebat, Nisanak!" puji Gendruwo Pulau Setan dengan suara mengguntur. “Tapi jangan terlalu berbesar hati dulu. Belum pernah ada seorang pun yang bisa mengalahkanku!"

Gadis berpakaian putih itu hanya tersenyum mengejek. Walaupun hatinya sempat terguncang akibat menyaksikan pemandangan menggiriskan tadi, namun gadis itu segera dapat mengusirnya dengan tenaga dalam. Dan kini rasa takutnya telah sirna, dan yang ada hanyalah tekad untuk menghadapi segala yang akan terjadi.

"Aku tidak akan membunuh lawan yang tidak kuketahui jelas nama atau julukannya," sambung laki-laki tinggi besar berbulu lebat itu tanpa mempedulikan sikap gadis berpakaian putih. "Kalau kau bukan seorang pengecut, sebutkan nama dan julukanmu!"

Memang cerdik cara Gendruwo Pulau Setan ini membuat orang terpaksa membuka mulut. Sebagai seorang yang kenyang pengalaman, dia tahu kalau gadis ini pantang dimaki sebagai pengecut. Maka segera dikeluarkan ucapan itu. Gadis berpakaian putih menggertakkan gigi, geram. Licik sekali laki-laki tinggi besar yang mengerikan ini. Sekarang suka atau tidak suka, terpaksa dia harus mengenalkan diri kalau tidak mau dimaki pengecut.

"Namaku Melati! Orang-orang persilatan menjulukiku Dewi Penyebar Maut," jawab gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, tak kalah kasar.

Namun ternyata Gendruwo Pulau Setan sama sekali belum pernah mendengar julukan Dewi Penyebar Maut. Maklum, julukan itu hanya muncul sebentar saja, kemudian lenyap bagai ditelan bumi. Tambahan lagi, laki-laki tinggi besar ini tinggal di sebuah pulau terpencil yang agak terpisah dengan dunia luar.

Gendruwo Pulau Setan menoleh, menatap wajah Dewa Rambut Merah. Sepasang matanya menyorotkan pertanyaan besar. Kakek berambut merah ini tahu maksud pandangan laki-laki tinggi besar itu. Apa lagi kalau bukan ingin mengetahui, apakah dia pernah mendengar julukan itu?

LIMA

Dewa Rambut Merah mengangkat bahu pertanda tidak mengetahuinya juga. Gendruwo Pulau Setan kembali mengalihkan perhatian pada Melati. Gadis berpakaian putih ini sudah bisa menduga kelihaian lawannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ilmu andalannya segera dikeluarkan, yakni 'Cakar Naga Merah'. Dan sebelumnya, untuk pertama kali dalam usaha memulihkan diri, telah dikeluarkan jurus yang belum pernah dipergunakannya, 'Raungan Naga Merah'.

Gendruwo Pulau Setan sudah bisa memperkirakan kalau gadis di hadapannya ini adalah seorang lawan yang lumayan tangguh. Buktinya suara lengking yang keluar dari mulut gadis itu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Maka, ilmu andalannya pun dikeluarkan pula, 'Tinju Penggetar Bumi'!

Kokoh, indah, dan kelihatan mantap sekali pembukaan jurus dari ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' ini. Gendruwo Pulau Setan membentuk kuda-kuda rendah. Kedua tangan terkepal. yang kiri terpalang di depan dada, sementara yang kanan tegak lurus ke atas. Letak tangan kanan berada di depan tangan kiri. Kedua tangan yang mengepal itu mengejang keras penuh kekuatan.

Derrr...!

Bumi bergetar hebat bagai terjadi gempa ketika tokoh sesat yang menggiriskan ini menghentakkan kaki ke tanah. Dan memang inilah yang selalu dilakukan Gendruwo Pulau Setan setiap kali hendak melancarkan serangan. Hentakan kaki itu bukan tanpa maksud. Karena dengan melakukan demikian, dia telah mengambil tenaga dari bumi. Dan inilah yang menyebabkan ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' milik Gendruwo Pulau Setan ditakuti tokoh-tokoh persilatan sekarang ini.

"Hiaaat...!" Diiringi bentakan menggelegar yang menggetarkan jantung, pemilik Pulau Setan itu melompat menerjang. Tangan kanannya meluncur cepat ke arah dada Melati. Hebatnya, deru angin dahsyat menyambar sebelum serangan itu tiba. Begitu kerasnya, sehingga membuat tubuh Melati hampir terlempar jauh. Untung saja, gadis itu cepat mengerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Sehingga, sepasang kakinya bagaikan telah terhunjam ke dalam bumi.

Melati terkejut bukan main melihat kedahsyatan serangan lawannya. Sulit dibayangkan, sampai di mana kekuatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki bertubuh tinggi besar ini. Padahal, serangan yang dilancarkan kekasihnya pun tidak akan menimbulkan kekuatan dahsyat seperti ini, sekalipun mengerahkan seluruh tenaga dalam.

Melati tidak berani bersikap ceroboh. Dari deru angin yang timbul, kedahsyatan serangan itu bisa di-perkirakan. Maka pukulan itu tidak berani ditangkisnya. Gadis berpakaian putih ini melesat ke samping, melakukan lompatan harimau. Kemudian tubuhnya bergulingan menjauh. Melati tidak berani mengelakkan serangan yang begitu dahsyat tanpa menggeser kaki.

Gendruwo Pulau Setan menggeram keras begitu melihat serangannya berhasil dielakkan lawan. Cepat-cepat dia bergerak mengejar, memburu Melati. Tapi, gadis berpakaian putih itu lebih cepat lagi. Tubuhnya melompat ke atas, melewati kepala laki-laki tinggi besar berbulu lebat itu. Dan ketika berada di atas, kedua cakarnya mengancam kepala belakang Gendruwo Pulau Setan.

Tokoh sesat yang menggiriskan itu terkejut bukan main. Kini baru disadari kalau gadis berpakaian putih itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang berada di atasnya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera ditekuk ke depan sehingga serangan cakar Melati lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Pada saat yang sama, kaki kanannya menendang ke atas melalui belakang. Persis seekor kalajengking yang hendak menyengat lawan dengan ekornya.

Tidak ada jalan lain bagi Melati. Dalam keadaan berada di udara, merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk mengelakkan serangan. Satu-satunya jalan untuk meredam serangan itu adalah menangkisnya. Maka, gadis berpakaian putih ini segera menghentakkan kedua tangannya.

Plakkk...!

Suara berderak keras seperti beradunya dua batang logam, seketika terdengar. Tubuh Melati terlempar ke atas. Mulut gadis ini menyeringai menahan rasa sakit yang mendera. Dadanya terasa sesak. Apalagi kedua tangannya yang terasa bagaikan lumpuh! Meskipun demikian, dengan manis dan indah sekali tubuhnya bersalto beberapa kali di udara. Kemudian kakinya mendarat ringan di tanah, sekitar lima tombak dari lawannya. Ada perasaan heran yang menyelimuti hati Melati. Mengapa serangan laki-laki tinggi besar berbulu hitam ini tidak sedahsyat sebelumnya?

Akan tetapi, Melati tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam keheranannya. Gendruwo Pulau Setan sama sekali tidak memberi kesempatan, dan kembali menerjangnya. Melati sadar kalau tenaga dalam Gendruwo Pulau Setan jauh lebih kuat darinya. Jadi, mustahil kalau dia berani sembarangan menangkis. Gadis berpakaian putih ini tidak mau memberi kesempatan pada laki-laki tinggi besar itu untuk menekannya dengan kelebihan tenaga dalamnya.

Sebaliknya dengan menggunakan kelebihan dalam hal ilmu meringankan tubuh, gadis berpakaian putih ini mengelakkan setiap serangan lawan. Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun kembali terjadi. Suara angin menderu dan mencicit nyaring, menyemaraki pertarungan antara kedua tokoh berbeda aliran itu. Bumi bergetar hebat setiap kali Gendruwo Pulau Setan menghentakkan kaki saat hendak melancarkan serangan.

Pertarungan yang terjadi berlangsung kurang menarik. Melati sedapat mungkin menghindari terjadinya adu tenaga dalam dengan lawannya. Setiap serangan Gendruwo Pulau Setan selalu dielakkannya. Sementara setiap serangannya sendiri selalu ditarik kembali, bila lawan terlihat akan menangkisnya.

Suatu keuntungan bagi Melati, ilmu meringankan tubuhnya berada di atas lawan. Sehingga, dia tidak mengalami kesulitan mengelakkan setiap serangan. Dan karena selalu mengelak, akibatnya gadis berpakaian putih ini terlihat seperti berada dalam keadaan terdesak.

Tiga puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, Melati selalu menghindari terjadinya benturan. Tapi meskipun begitu, ada satu kesimpulan yang berhasil didapat. Kekuatan tenaga lawan bisa berlipat ganda, karena setiap kali sebelum menyerang kakinya dihentakkan terlebih dahulu ke tanah.

Itulah sebabnya, setiap kali Gendruwo Pulau Setan menghentakkan kakinya, Melati selalu menghindar sejauh mungkin. Kekuatan yang terkandung dalam serangannya terlampau dahsyat. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah membuat tubuhnya hampir terlempar.

Gendruwo Pulau Setan menggertakkan gigi. Hatinya geram bukan main melihat kegesitan lawannya. Tapi, apa daya? Ilmu meringankan tubuhnya memang berada di bawah Melati. Tambahan lagi, ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' memang tidak mengandalkan kecepatan gerak. Jurus-jurus ilmu itu dilakukan dengan tenaga penuh, tapi gerakannya agak lambat.

Seratus jurus pun terlewat Dan kini pakaian Melati telah basah oleh peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya. Gadis berpakaian putih ini telah merasa lelah. Pengerahan ilmu meringankan tubuh yang selalu dilakukan dengan seluruh kemampuanlah yang menjadi penyebabnya.

Napas gadis itu mulai memburu. Gerakan-gerakannya juga sudah tidak segesit semula. Sementara serangan-serangan lawan terlihat masih sedahsyat pertama kali. Tidak ada tanda-tanda kalau Gendruwo Pulau Setan merasa lelah. Padahal sejak awal jurus, serangannya selalu dilancarkan dengan kekuatan penuh.

Diam-diam Melati mengeluh dalam hati. Perasaan heran dan takjub pun merayapi hatinya. Laki-laki tinggi besar berbulu lebat ini seperti memiliki sumber tenaga yang tidak habis-habisnya. Seiring rasa lelah yang melanda, gerakan Melati semakin lama semakin lambat. Bahkan beberapa kali, serangan-serangan yang dilancarkan Gendruwo Pulau Setan hampir bersarang ditubuhnya. Hanya di saat-saat terakhir, gadis ini mampu mengelakkan diri.

Derrr!

Kembali Gendruwo Pulau Setan menjejakkan kakinya. Sekejap kemudian, serangannya meluncur. Deru angin dahsyat membuat batu-batu kecil beterbangan ke sana kemari. Debu pun mengepul tinggi ke udara.

Melati terkejut bukan main. Apalagi tubuhnya amat lelah. Tenaganya hampir habis terkuras. Meskipun begitu, Melati berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar nyawanya. Bibirnya digigit kuat-kuat, kemudian melompat ke samping. Usaha terakhir Melati tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil dielakkan, dan hanya mengenai tempat kosong. Tapi karena kuatnya angin yang mengiringi tibanya serangan itu, tak urung tubuhnya yang tengah berada di udara terpelanting.

Di saat itulah, Gendruwo Pulau Setan memburu tubuh yang tengah terhuyung-huyung itu. Tanpa menghentakkan kakinya lagi, dia bergerak mengejar. Kedua tangannya yang terkepal siap dipukulkan ke arah dada lawannya. Wajah Melati seketika memucat. Disadari kalau serangan itu tidak akan mungkin bisa dielakkan. Menangkis pun sama dengan mencari mati.

Mendapat serangan yang begitu mendadak, apalagi keadaannya yang demikian, membuat Melati tidak mungkin untuk mengerahkan tenaga dalam penuh. Sedangkan serangan lawan juga mengandung tenaga dalam sepenuhnya yang memang berada di atas Melati. Maka akibat yang diterimanya sangat besar.

Di saat yang gawat itu, melesat sesosok bayangan ungu memotong tibanya serangan ke arah Melati. Deru angin keras mengiringi sampokan bayangan itu. Karuan saja hal ini membuat Gendruwo Pulau Setan terkejut bukan kepalang. Dia sadar kalau gerakannya diteruskan, serangan sosok bayangan ungu itu akan lebih dulu menghantamnya sebelum serangannya mengenai tubuh lawan. Terpaksa serangannya dibatalkan, kemudian dipapaknya serangan sosok bayangan ungu itu.

Plakkk...!

Baik sosok bayangan ungu maupun tubuh Gendruwo Pulau Setan sama-sama terpental balik ke belakang. Tapi dengan indah dan manis sekali, keduanya bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat ringan di tanah. Baik Gendruwo Pulau Setan maupun sosok bayangan ungu itu sama-sama terkejut bukan main tatkala merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan satu sama lain. Tangan yang berbenturan terasa bergetar hebat. Sesaat keduanya saling tatap penuh selidik.

"Siapa kau?!"

Ada nada keterkejutan yang sangat dalam pertanyaan yang keras mengguntur dari mulut Gendruwo Pulau Setan. Dan memang, sebenarnya dia terkejut sekali ketika melihat orang yang telah menjegal serangannya.

Sosok bayangan ungu itu ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun dan berpakaian ungu. Tapi bukan hal itu yang menimbulkan keterkejutan di hati laki-laki tinggi besar berbulu lebat ini. Rambut pemuda itulah yang kini jadi perhatiannya.

Rambut itu putih, panjang dan meriap. Persis se-perti benang-benang perak. Kalau saja orang melihat dari belakang, mungkin menduga kalau dia telah berusia lanjut. Pemuda berambut putih seperti benang-benang perak ini memang amat langka. Dia memang pernah mendengar kalau ada seorang pemuda yang mempunyai rambut seperti ini. Dan pemuda itu adalah seorang tokoh yang julukannya menggetarkan dunia persilatan.

Sepasang bola mata Gendruwo Pulau Setan yang tajam dan bersinar kehijauan segera beralih ke pakaian yang dikenakan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan kini keyakinannya semakin menebal. Jelas, pemuda di hadapannya ini adalah tokoh yang menggemparkan itu. Apalagi jika mengingat benturan tadi. Tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu tidak kalah dengan tenaganya sendiri!

"Siapa kau?!" bentak Gendruwo Pulau Setan lagi. Untuk pertama kalinya dia bersikap waspada, tidak menganggap remeh lawan.

"Namaku Arya Buana," sahut pemuda berambut putih keperakan itu kalem.

"Hmh...!" Gendruwo Pulau Setan mendengus. "Jadi, kau rupanya Dewa Arak yang telah menggemparkan dunia persilatan itu...?"

Merah wajah pemuda berpakaian ungu yang memang Dewa Arak. Terasa ada kesinisan besar dalam suara laki-laki tinggi besar di hadapannya. "Begitulah orang-orang menjulukiku. Aku sendiri lebih suka jika dipanggil Arya saja," sahut Dewa Arak merendah.

"Tidak usah berpura-pura merendah, Dewa Arak!" tandas Gendruwo Pulau Setan. Keras dan kasar nada suaranya. "Aku telah banyak mendengar tentang dirimu, yang merasa paling sakti di dunia ini. Sehingga, selalu saja mencampuri urusan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan yang tidak masuk akal! Dan kini, aku membuktikannya sendiri!"

"Kau salah mengerti, Kek," merah selebar wajah pemuda berambut putih keperakan itu. "Bukannya aku usilan dan sok merasa sakti. Tapi, haruskah kubiarkan saja kekejaman berlangsung di depan mataku? Membiarkan orang yang tidak berdaya dibantai olehmu?!"

"Tidak usah membela diri, Dewa Arak! Kau beralasan menyelamatkan orang yang hendak dibantai! Sementara kau sendiri? Apa yang kau lakukan?! Jangan merasa sok suci, Dewa Arak!"

"Terserahlah apa maumu, Kek," Arya hanya terenyum getir. Kepalanya terasa pusing mengadu mulut dengan Gendruwo Pulau Setan. "Hanya kuminta, lepaskan gadis itu!"

"Kalau aku tidak mau?!" sahut Gendruwo Pulau Setan bernada menantang.

"Terpaksa akan kugunakan caraku sendiri!" tandas Arya tegas.

"Ha ha ha...! Boleh coba kalau mampu, Dewa Usilan!" Gembira hati laki-laki tinggi besar berbulu lebat ini, melihat kemarahan Dewa Arak. Terus terang, memang ada sedikit keraguan di hatinya, akan mampukah dia menghadapi Dewa Arak yang terkenal tangguh ini?

Arya tahu kalau lawan di hadapannya ini memiliki kepandaian tinggi. Dari benturan tadi, sudah bisa diukur kekuatan tenaga dalam lawan. Buktinya, tangannya sampai tergetar hebat. Padahal, seluruh tenaga dalamnya tadi sudah dikerahkan. Bukti lain yang lebih jelas lagi adalah kekalahan Melati. Kepandaian kekasihnya itu sudah diketahui betul. Jarang ada yang mampu menandinginya. Apalagi sampai mengalahkan.

Kepandaian Melati tidak berselisih jauh dengan kepandaiannya. Maka, melihat betapa gadis berpakaian putih itu begitu kewalahan menghadapi Gendruwo Pulau Setan, makin jelaslah buktinya.

"Hiaaat..!" Sambil mengeluarkan teriakan mengguntur, Gendruwo Pulau Setan menyerang Dewa Arak. Dia melancarkan tendangan lompat bertubi-tubi ke arah ulu hati, dada, dan leher dengan badan sebelah kiri menghadap lawan.

Arya tahu kalau lawan belum mengeluarkan ilmu andalannya. Maka, dia juga tidak ingin menggunakan ilmu yang telah membuat julukannya menggemparkan dunia persilatan. Digunakannya saja ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Kakinya segera ditarik ke belakang, sambil mendoyongkan tubuh. Maka serangan bertubi-tubi itu mengenai tempat kosong, sekitar dua jengkal di depan sasaran.

Pada saat yang sama, tangan kanan Dewa Arak yang berbentuk cakar menyampok deras ke arah mata kaki lawan. Gendruwo Pulau Setan tentu saja tidak ingin mata kakinya hancur. Maka kakinya buru-buru ditarik kembali. Dan begitu sampokan itu lewat, sambil melompat setindak, kakinya kembali menendang bertubi-tubi ke sasaran yang sama.

Arya tidak punya pilihan lain lagi. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Dia bersalto sekali di udara, kemudian mendarat ringan di tanah. Gendruwo Pulau Setan tidak mau memberi kesempatan pada lawannya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera dikejarnya. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan sengit antara mereka.

Pertarungan antara kedua tokoh sakti ini berlangsung sengit. Apalagi kedua belah pihak benar-benar memiliki kepandaian seimbang. Baik tenaga dalam maupun kecepatan gerak mereka juga terlihat setingkat. Hebat, akibat pertarungan antara kedua tokoh sakti ini. Batu-batu besar kecil beterbangan tak tentu arah. Deru dan cicit angin juga ikut menyemaraki.

Beberapa kali kedua belah pihak sama-sama terjajar mundur setiap kali kedua tangan mereka berbenturan. Dalam waktu sekejap saja, tiga puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Karuan saja hal ini membuat kedua belah pihak sama-sama penasaran bukan main.

"Hiaaat..!" Gendruwo Pulau Setan berteriak mengguntur. Dan seiring teriakan itu, tubuhnya melenting ke belakang. Dia bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat beberapa tombak di tanah.

Dewa Arak tidak mengejarnya, dan hanya berdiri menanti. Dia tahu kalau lawan akan menggunakan ilmu andalan. Dijumputnya guci yang tersampir di punggung, kemudian dituang ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga, ada hawa hangat yang berputar dalam perut Arya, dan perlahan merayap naik ke atas kepala. Baru saja Arya menyampirkan kembali gucinya di punggung, serangan Gendruwo Pulau Setan telah menyambar tiba. Laki-laki tinggi besar berbulu lebat itu menghentakkan kakinya ke tanah sebelum menyerang.

Dewa Arak terperanjat. Hembusan angin yang luar biasa kerasnya mengiringi tibanya serangan itu. Dari bukti ini saja, Arya bisa memperkirakan betapa besar kekuatan yang terkandung dalam serangan itu. Dan tenaga sedahsyat ini belum muncul pada serangan serangan sebelumnya.

Mungkinkah ilmu andalan itu mampu menambah tenaganya sampai sedahsyat ini? Mustahil! Arya tidak percaya! Dia tahu kalau ilmu andalan memang mempunyai banyak keunggulan dibanding ilmu yang bukan andalan. Meskipun begitu, tidak mungkin dapat menambah tenaga sampai sekuat ini.

Sesaat Dewa Arak kebingungan. Hatinya masih kurang percaya kalau tenaga dalam yang terkandung dalam serangan ini begitu dahsyat. Dewa Arak adalah orang yang selalu bersikap hati-hati, dan tidak pernah memandang rendah lawannya. Oleh karena itu, meskipun tidak percaya kalau tenaga yang terkandung dalam serangan itu dahsyat bukan kepalang, tapi dia tidak berani coba-coba menangkisnya. Arya ingin tahu dulu, apakah benar serangan itu mengandung tenaga dalam yang demikian dahsyat.

Baru saja Dewa Arak memutuskan untuk mengelak, secara tak sengaja kepalanya menoleh ke belakang. Seketika itu juga hatinya terkejut. Karena di belakangnya tergolek seorang pemuda berbaju kuning. Pemuda berambut putih keperakan ini jadi kebingungan. Kalau serangan itu dielakkan, sudah dapat dipastikan pemuda berbaju kuning itu akan menjadi korban. Dewa Arak tidak ingin mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Maka dia memutuskan untuk menangkis serangan itu.

"Hiyaaa...!" Sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring, Dewa Arak memapak serangan yang menyambar tiba.

Dukkk...!

Suara keras seperti terjadi benturan antara dua benda besar terdengar. Hebat akibatnya. Tubuh Gen-druwo Pulau Setan terpental balik ke belakang. Tapi dengan gerakan indah dan manis, tubuhnya bersalto beberapa kali di udara. Kemudian, kedua kakinya mendarat ringan di tanah.

Tidak demikian halnya dengan Arya. Tubuh pemuda itu melayang deras ke belakang. Cairan merah kental menetes deras dari mulut dan hidungnya, mengiringi tubuh yang terus melayang. Luncuran itu baru berhenti ketika menabrak sebatang pohon. Menilik dari getaran keras pada batang pohon itu, dapat diperkirakan betapa kerasnya benturan tenaga dalam tadi. Tubuh Dewa Arak merosot dan jatuh di tanah. Mulut pemuda itu nampak menyeringai begitu bokongnya menghantam tanah. Cairan merah kental masih mengalir dari mulut dan hidungnya.

"Kang Arya...!" Terdengar jerit penuh kekhawatiran. Disusul melesatnya sesosok bayangan putih ke arah Dewa Arak.

Dengan tertatih-tatih Dewa Arak bangkit berdiri. Diusapnya darah yang menetes dari hidung dan mulut dengan punggung tangan. Sekujur tangannya terasa lumpuh. Dadanya pun terasa sesak bukan main. Dicobanya menarik napas panjang. Kontan mulutnya meringis begitu ada rasa sakit yang mendera dadanya. Dewa Arak telah terluka dalam.

"Kang... Kau..., kau tidak apa-apa?" tanya Melati. Nada suara dan wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang amat sangat.

Dewa Arak menatap raut wajah cemas kekasihnya, seraya tersenyum. Perlahan kepalanya digelengkan. ''Tidak, Melati. Aku tidak apa-apa," sahut Arya, berdusta.

''Tapi, Kang...," Melati masih mencoba membantah.

"Sudahlah, Melati. Pergilah! Biar aku yang akan menahannya."

"Ha ha ha...!" Gendruwo Pulau Setan tertawa bergelak. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, dia tahu kalau Dewa Arak telah terluka dalam yang cukup parah. "Bersiap-siaplah untuk menerima kematianmu, Dewa Arak...!"

"Hih...!" Mendadak Melati menghentakkan kedua tangannya ke arah Gendruwo Pulau Setan. Seketika itu juga, bertiup hembusan angin kencang yang menyambar ke arah laki-laki tinggi besar yang tengah tertawa-tawa penuh kemenangan itu. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.

Gendruwo Pulau Setan yang menyadari adanya serangan berbahaya, segera menghentikan tawanya. Buru-bliru tubuhnya melompat ke samping dan langsung bergulingan menjauh. Kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia-siakan Melati. Cepat laksana kilat disambarnya tubuh Dewa Arak, dan tidak lupa tubuh Palageni.

Melihat hal ini Dewa Rambut Merah yang sejak tadi hanya menonton saja, bergegas mengejar. Karena pada saat itu, Gendruwo Pulau Setan tengah mengelakkan diri dan serangan jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'. Namun, tentu saja hal ini membuat Dewa Arak khawatir. Sekali lihat saja, dia tahu kalau kakek berambut merah itu memiliki kepandaian tinggi. Gerakannya cepat bukan main. Mungkin kalau dalam keadaan biasa, Melati dapat mengung-guli ilmu meringankan tubuh kakek itu.

Tapi, sekarang Melati tengah membawa dua orang. Jelas gadis itu pasti akan tersusul oleh Dewa Rambut Merah. Dan menilik dari gerak-gerik Dewa Rambut Merah, Melati akan mengalami sedikit kesulitan untuk merobohkannya. Dan itu berarti memberi kesempatan pada Gendruwo Pulau Setan untuk menyusul. Maka bila hal itu terjadi, celakalah mereka. Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang telah terluka dalam, Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangan ke arah Dewa Rambut Merah.

Wusss...!

Angin keras berhawa panas menyengat, menyambar ke arah Dewa Rambut Merah. Karuan saja hal ini membuat kakek itu terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh kondang, dia mengenal serangan maut. Maka segera pengejarannya dibatalkan, dan langsung melempar tubuh ke samping dan bergulingan di tanah. Sehingga, serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong.

"Uhk... uhk...!" Arya terbatuk-batuk. Ada cairan merah kental memercik keluar dari mulutnya. Luka dalamnya pun semakin parah. Seharusnya dalam keadaan terluka dalam seperti itu, Arya tidak boleh terlibat pertarungan kembali yang memaksanya menggunakan tenaga da-lam. Karena, hal itu akan membuat luka dalamnya semakin parah. Apalagi, bila sampai mengerahkan tenaga dalam yang berlebihan seperti pada jurus 'Pukulan Belalang' itu.

Sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi, Dewa Arak pun tahu hal itu Tapi, itu terpaksa dilakukan. Kalau tidak, keadaan yang lebih buruk akan menimpa mereka. Sekarang Melati dapat bebas meneruskan larinya. Dan begitu Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah bangkit dari bergulingnya, tubuh gadis berpakaian putih itu telah lenyap ditelan lebatnya padang ilalang.

Hal itu memang disengaja oleh Melati. Karena kalau menempuh jalan terbuka, lawan akan terus mengejarnya. Malah ada kemungkinan akan bisa menyusul karena dia membawa-bawa beban. Itulah sebabnya, Melati memilih melalui hamparan padang ilalang luas. Dalam suasana yang sudah agak gelap ini, kerimbunan ilalang ini cukup melindunginya.

"Keparat..!" Gendruwo Pulau Setan memaki kalang kabut. Perasaan penasaran tampak jelas, baik pada wajah maupun sorot matanya.

"Sudahlah...," hibur Dewa Rambut Merah seraya menepuk bahu laki-laki tinggi besar berbulu lebat itu. "Masih ada kesempatan lain untuk membereskan mereka."

Rupanya hiburan kakek berambut merah itu dapat diterima Gendruwo Pulau Setan. Terbukti, dia tidak marah-marah lagi. Hanya saja kedua tangannya tetap mengepal keras, memperdengarkan suara bergemeretak nyaring. Kemudian perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu. Meneruskan pencarian di hamparan padang ilalang tinggi yang luas membentang dalam suasana yang semakin gelap, adalah sebuah pekerjaan sia-sia.

* * * * * * * *

ENAM

Melati sadar keadaan sangat membahayakan. Tanpa ragu-ragu seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya segera dikerahkan, untuk melintasi jalan kecil di antara kerimbunan ilalang yang tinggi. Tinggi dan lebatnya kerimbunan ilalang itu sebenarnya sudah cukup untuk menyembunyikan mereka dari pandangan para pengejarnya. Apalagi ditambah suasana malam yang cukup gelap. Meskipun begitu, gadis berpakaian putih ini tetap saja berlari sambil membungkukkan tubuhnya.

"Cukup, Melati," ujar Arya, setelah mengetahui kalau mereka telah berada di tempat yang cukup jauh dari lawan-lawan yang tangguh tadi. Pelan dan lemah sekali suaranya. ''Turunkan aku."

Melati sama sekali tidak membantah. Larinya segera dihentikan, kemudian tubuh Arya dan Palageni diturunkan. Meskipun begitu, sekujur urat-urat syarafnya menegang penuh kewaspadaan.

''Tenanglah, Melati. Mereka tidak akan mungkin bisa menemukan kita," ujar Arya untuk menenangkan hati kekasihnya.

"Apa yang membuatmu begitu yakin, Kang?" tanya Melati ingin tahu.

"Padang ilalang ini sangat luas, Melati. Ilalangnya tinggi-tinggi. Belum lagi suasana malam yang cukup gelap. Aku yakin, mereka akan berpikir dua kali untuk mencari kita."

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Alasan yang dikemukakan Arya bisa diterimanya. Seketika itu juga urat-urat syaraf di tubuhnya mengendur. Setelah melihat Melati bisa ditenangkan, Arya lalu duduk bersila. Tanpa diberi tahu, gadis berpakaian putih ini mengerti kalau Arya hendak mengobati luka dalamnya. Maka dibiarkannya saja Dewa Arak yang kini bersikap semadi.

Melati tahu, tanpa bantuannya pun Arya mampu mengobati luka dalamnya sendiri. Maka Melati memutuskan untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ada bahaya yang datang mengancam. Pandangan Melati beredar ke sekeliling, mengawasi dengan mata curiga. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya menegang setiap kali melihat ilalang yang bergoyang-goyang.

Sementara Arya sudah tenggelam dalam semadinya. Suara helaan napasnya terdengar halus, berirama tetap. Dewa Arak tengah berusaha mengobati luka dalamnya yang cukup parah.

"Uuuh...!"

Melati menoleh, melihat Palageni mulai sadar dari pingsannya. Sepasang mata pemuda berbaju kuning itu mengerjap-ngerjap pelan sebelum akhirnya terbuka. Sesaat Palageni memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan raut wajah bingung. Kemudian pandangannya tertumbuk pada Melati. Beberapa saat lamanya dahi pemuda itu berkernyit dalam, berusaha mengingat-ingat kejadian yang dialami tadi. Sekejap kemudian, murid Dewa Angin Puyuh ini sudah teringat akan semua kejadian yang dialaminya. Perlahan tubuhnya bangkit berdiri.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Palageni. Sepasang matanya menatap wajah Melati penuh kagum. Wajah gadis berpakaian putih itu memang cantik bukan main. "Aku Palageni. Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Nisanak? Dan mengapa kau menolongku?"

"Aku melati," jawab gadis berpakaian putih, tawar. "Aku hanya kebetulan lewat, lalu melihat kau bertarung. Dan kulihat, lawan-lawanmu adalah orang-orang yang curang. Aku paling benci melihat kecurangan. Maka itu aku segera turun tangan menolongmu."

Palageni menganggukkan kepalanya. "Lalu, siapakah orang itu, Nisanak? Sepertinya dia terluka...," pemuda berbaju kuning itu menudingkan telunjuknya pada Arya yang tengah bersemadi.

"Dia kawanku. Julukannya Dewa Arak. Kalau dia tidak datang menolong, mungkin kita berdua sudah tewas."

"Dewa Arak?!" terbelalak sepasang mata Palageni. "Maksudmu..., tokoh yang julukannya menggemparkan dunia persilatan itu...?"

Melati menganggukkan kepalanya.

"Ahhh...! Sungguh tidak kusangka kalau bisa bertemu tokoh digdaya seperti dia," Palageni seperti tak percaya. "Dan orangnya masih begini muda...."

Melati hanya tersenyum hambar. Dia memang tengah tidak berminat untuk berbicara panjang lebar. Dan rupanya, Palageni tahu gelagat. Terbukti, pembicaraannya tidak disambung lagi. Meskipun pemuda itu ingin sekali berbincang-bincang lagi. Banyak yang ingin ditanyakannya, di samping memang ingin sekali bercakap-cakap dengan Melati. Rasanya tak jemu memandang wajah gadis itu, tapi terpaksa sepasang matanya dialihkan ke arah lain. Dan hanya sesekali dia mengerling wajah gadis itu.

Melati dan Palageni tenggelam dalam lamunan masing-masing. Terutama sekali Palageni. Dalam benaknya, berkecamuk berbagai macam pikiran yang memusingkan kepala. Benarkah orang yang dilihatnya bersama Gendruwo Pulau Setan itu adalah Dewa Rambut Merah? Mengapa kakek itu seperti tidak mengenali dirinya?

Padahal, dirinya adalah murid Dewa Angin Puyuh yang juga kawan Dewa Rambut Merah? Benarkah pula kakek berambut merah itu yang telah membunuh ayah dan pengawal-pengawalnya? Lalu, apa hubungannya Dewa Arak dengan Melati? Tapi, sampai pusing memikirkan tak juga ditemukan jawaban semua pertanyaan itu!

Tak lama kemudian Dewa Arak pun mengakhiri semadinya. Sepasang matanya telah terbuka, dan Melati langsung menghampirinya.

"Bagaimana luka-lukamu, Kang?" tanya gadis berpakaian putih itu pelan.

"Sudah mendingan, Melati," Arya tersenyum lebar. "Dengan sekali lagi bersemadi, mungkin lukaku akan sembuh sama sekali."

"Syukurlah...," sahut Melati dengan suara riang.

"O, ya. Bagaimana kabar ibu dan saudaramu, Melati? Dan bagaimana kau bisa terlibat keributan dengan orang tadi?"

"Mereka baik-baik saja, Kang," sahut gadis berpakaian putih itu. "Aku tinggal bersama mereka selama dua pekan. Biarpun hanya sekadarnya, kuwariskan sedikit ilmu yang kumiliki pada Mawar. Yahhh..., setidak-tidaknya untuk jaga diri."

Melati menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dan mencari kata-kata selanjutnya. "Setelah itu, aku lalu mencari jejakmu. Dari berita yang kudapat, kau berada di daerah ini. Sama sekali tidak kusangka akan bertemu lawan yang begitu tangguh."

Kemudian Melati pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya tadi. Sementara Arya mendengarkan penuh perhatian. Sama sekali tidak diselak cerita tunangannya. "Aku sendiri tidak tahu, siapa orang itu, Kang," desah Melati menutup ceritanya.

"Kalau saja tidak mendengar lengkingan yang keluar dari mulutmu, mungkin aku tidak pernah tahu kalau kau tengah terlibat pertarungan. Bukankah lengkingan itu adalah jurus 'Raungan Naga Merah', Melati?"

Melati menganggukkan kepala sambil tersenyum manis. Sedangkan Arya balas tersenyum, kemudian menoleh ke arah Palageni.

"Siapakah kau, Kisanak. Dan mengapa terlibat keributan dengan orang-orang itu?"

"Aku Palageni. Guruku berjuluk Dewa Angin Puyuh. Aku sendiri tidak tahu apa-apa. Tapi, aku tahu siapa kedua orang itu. Laki-laki tinggi besar itu berjuluk Gendruwo Pulau Setan. Sedangkan kakek yang berambut merah berjuluk Dewa Rambut Merah."

Seketika Arya terdiam. Hatinya terkejut bukan kepalang. Dari cerita yang didengar, pemuda berambut putih keperakan ini tahu, siapa Gendruwo Pulau Setan itu. Dia seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tak terukur dan memiliki kekejaman yang mendirikan bulu roma.

"Tahukah kau, mengapa mereka ingin membunuhmu?" tanya Melati ketika Arya tampak termenung. Sepasang mata gadis ini menatap tajam wajah pemuda berpakaian kuning. Raut wajah, nada suara, dan tatapan Melati menyiratkan keingintahuan.

Palageni kemudian menceritakan kejadian yang menimpa rombongan ayahnya. Melati dan Arya mendengarkan penuh perhatian. "Hanya saja menurut seorang pengawal ayahku yang selamat, pelakunya adalah Dewa Rambut Merah," murid Dewa Angin Puyuh itu mengakhiri cerita yang didengarnya dari mulut Ganda, prajurit yang tersisa. Juga diceritakan kalau Palageni juga telah berkunjung ke rumah Dewa Rambut Merah.

"Ada keanehan yang tersembunyi di sini," pelan pemuda berambut putih keperakan itu berkata. Dahinya nampak berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.

"Maksudmu, Kang?" tanya Melati ingin tahu. Palageni pun ikut menoleh. Dia ingin tahu, keanehan yang dimaksudkan Dewa Arak.

"Kalau tidak salah dengar, gurumu yang berjuluk Dewa Angin Puyuh dan Dewa Rambut Merah adalah dua di antara pentolan golongan putih. Benar begitu, Palageni?" Arya menatap wajah pemuda berbaju kuning itu lekat-lekat.

"Benar. Guruku sendiri yang mengatakannya," sahut Palageni cepat. "Bersama-sama dengan Dewa Obat Tangan Delapan, mereka mendapat julukan Tiga Dewa Sungai Naga."

"Itulah yang membuatku heran, Palageni."

"Maksudmu bagaimana, Dewa Arak?"

Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi sebaliknya menatap wajah Palageni, tepat pada kedua bola matanya. "Sekarang aku bertanya padamu, Palageni," ucap Dewa Arak beberapa saat kemudian.

"Tanyalah, Dewa Arak. Bila aku tahu, pasti akan kujawab," sahut Palageni. Tegas dan mantap nada suaranya.

Arya tersenyum lebar. "Menurutmu, mungkinkah orang seperti Dewa Rambut Merah melakukan perbuatan begitu keji? Mungkinkah seorang pentolan tokoh golongan putih membantai begitu banyaknya orang?"

"Aku... aku..., nggg... aku tidak tahu, Dewa Arak. Aku bingung," jawab Palageni gugup. Pertanyaan yang diajukan Arya memang di luar dugaannya.

"Katakan saja, Palageni. Apa yang ada dalam hatimu, keluarkan." Dengan suara halus dan lembut, Arya memberi saran.

"Entahlah, Dewa Arak. Aku bingung. Masalahnya, guruku yakin sekali kalau pelaku semua itu bukan Dewa Rambut Merah. Tapi orang lain. Jadi, aku berpendapat juga demikian. Atau paling tidak, itu adalah Dewa Rambut Merah palsu."

"Namun, pengawal ayahmu berani bersumpah kalau pelaku semua kejadian itu adalah Dewa Rambut Merah, bukan?" selak Arya.

Palageni mengangguk membenarkan. "Cakar Pengejar Sukma juga mengenal Dewa Rambut Merah, tapi hanya mendengar saja."

"Itu betul. Tapi bukankah menurut cerita yang kudengar darimu, begitu gurumu meminta Ganda menyebutkan ciri-ciri pelaku pembantaian, semuanya menunjuk pada diri Dewa Rambut Merah?!" desak Dewa Arak.

Palageni menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Entahlah, Dewa Arak. Aku tidak tahu. Aku bingung memikirkannya. Dengan mataku sendiri, telah kulihat kalau Dewa Rambut Merah ternyata mempunyai hubungan yang amat baik dengan Gendruwo Pulau Setan. Aku benar-benar pusing, Dewa Arak."

"Hhh...!" Arya menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. "Masalah ini memang cukup memusingkan, Palageni. Kalau menurut akal sehat, rasanya tidak mungkin kalau pelaku pembantaian itu adalah Dewa Rambut Merah. Mengapa? Karena dia seorang tokoh besar persilatan golongan putih. Tak mungkin dia akan berubah sekejam itu. Tapi, entah juga bila ada sebab-sebab yang memaksanya bertindak begitu."

"Jadi menurutmu bagaimana, Dewa Arak?" tanya Palageni ingin tahu tanggapan Arya.

"Aku tidak mau mengambil keputusan tergesa-gesa, Palageni," Arya menggelengkan kepala. "Aku akan menyelidikinya nanti."

Suasana hening sejenak ketika Arya menghentikan ucapannya. Kini ketiga orang muda itu terlibat dalam lamunan masing-masing.

"Aku merasa heran dengan Gendruwo Pulau Setan itu, Kang," kata Melati tiba-tiba, membuat Arya terpaksa menghentikan lamunannya.

"Apa yang membuatmu heran, Melati?" pelan Dewa Arak bertanya.

''Tenaga dalamnya."

Arya mengernyitkan keningnya. "Jadi, kau juga merasakan adanya keanehan itu, Melati? Kukira hanya aku saja. Aku sendiri sejak tadi tak habis pikir, mengapa kekuatan tenaga dalamnya jadi berlipat ganda saat menggunakan jurus andalan."

"Maksudmu, sewaktu dia mengeluarkan ilmu pukulan yang digerakkan secara lambat itu, Kang?"

"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala.

"Kau kurang jeli menduga, Kang," ralat Melati.

"Maksudmu?" Arya menatap tunangannya tepat pada bola matanya.

Melati tidak langsung menjawab. Sepasang mata gadis itu malah balas menatap Arya. Sesaat lamanya mereka berdua hanya saling tatap. Dan tak lama kemudian saling tersenyum. Entah apa yang disenyumkan. Hanya kedua orang itu saja yang tahu.

"Dugaanmu tidak seluruhnya benar, Kang," sambung Melati lagi. "Memang benar tenaga dalam Gendruwo Pulau Setan berlipat ganda sewaktu menggunakan ilmu pukulan yang digerakkan secara lambat itu. Tapi, tidak seluruhnya serangan yang dilakukan dengan ilmu itu mengandung tenaga dalam berlipat ganda."

"Jadi..., maksudmu tenaga dalam berlipat ganda itu muncul sekali-sekali saja?" Arya meminta ketegasan.

"Begitulah menurut yang kualami, Kang. Aku cukup lama bertarung ketika ilmu itu digunakan."

"Teruskan, Melati," pinta Arya. "Aku sendiri sulit mengambil kesimpulan, karena hanya bertarung segebrakan saja ketika ilmu itu digunakan."

“Tenaga dalamnya berlipat ganda jika kakinya dihentakkan ke tanah, sebelum memulai penyerangan, Kang," jelas Melati.

Arya mengernyitkan dahinya. Memang diakui, apa yang dikatakan Melati itu benar. Gendruwo Pulau Setan sebelum menyerangnya, terlebih dahulu menghentakkan kakinya ke tanah. "Jadi, kalau tidak menghentakkan kaki ke tanah, tenaga dalamnya tidak sedahsyat itu?" tanya Arya setengah percaya.

"Begitulah menurut pengamatanku, Kang," jawab Melati tidak berani memastikan.

"Kalau benar apa yang kau katakan itu, Melati," kata Arya setelah termenung beberapa saat lamanya. "Dalam hentakan kaki itulah kunci rahasianya."

"Aku juga mengambil kesimpulan seperti itu, Kang," Melati mendukung dugaan kekasihnya.

Arya tercenung. Dahinya berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.

"Menurut penuturan guruku, Gendruwo Pulau Setan mempunyai ilmu dahsyat. Kalau aku tidak salah dengar bernama ilmu 'Tinju Penggetar Bumi'...!" Palageni tidak tahan berdiam diri saja. Dan begitu melihat adanya kesempatan, dia segera ikut bicara.

"Tinju Penggetar Bumi...?" gumam Arya pelan mengulang.

Tak terasa Dewa Arak teringat kepada dirinya sendiri. Dia juga mempunyai tenaga dalam yang berhawa panas menyengat, bernama 'Tenaga Dalam Inti Matahari', yang didapatkan dengan perantaraan penekanan alam bawah sadar. (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode perdana Pedang Bintang)

Mungkinkah Gendruwo Pulau Setan juga mempunyai tenaga dalam aneh yang juga didapatkan lewat perantaraan alam bawah sadar dengan memusatkan pikiran terhadap satu tujuan? Sebenarnya hal ini tidak terlalu aneh jika mengingat tokoh yang menggiriskan itu memiliki ilmu 'Tinju Penggetar Bumi'.

Semakin Arya berpikir dan menimbang-nimbang, semakin diyakini akan kebenaran dugaannya. Kemungkinan besar, hentakan kaki iblis itu adalah satu cara mengambil kekuatan dari dalam bumi. Dan bila hal itu benar, berarti tokoh yang menggiriskan ini sulit dikalahkan. Gendruwo Pulau Setan tidak akan pernah merasa lelah. Setiap kali lelah, bisa mendapatkan bantuan tenaga tambahan dengan menjejakkan kaki ke tanah. Bantuan tenaga yang sukar diukur kedahsyatannya.

Palageni dan Melati hanya bisa memperhatikan saja tanpa berani mengganggu Arya yang tengah tercenung dengan dahi berkerut dalam.

"Ada kesimpulan yang bisa kau tarik, Kang?" akhirnya kesabaran Melati lenyap. Tak tahan juga perasaan ingin tahunya disimpan lama-lama.

Arya menggelengkan kepalanya. "Bukan kesimpulan, Melati. Tapi hanya satu dugaan," desah Arya.

"Apa itu, Kang?" tanya Melati tak peduli jawaban kekasihnya. Dia ingin tahu, apa yang dipikirkan pemuda berambut putih keperakan itu.

"Gendruwo Pulau Setan mengambil kekuatan dahsyat dari bumi melalui hentakan kakinya."

“Ah...!"

Hampir berbareng Palageni dan Melati berseru kaget.

"Jadi... Maksudmu, Kang...?" agak tersendat suara gadis berpakaian putih itu.

"Ya," Arya yang sudah tahu akan kelanjutan ucapan tunangannya menganggukkan kepala. "Dia mempunyai ilmu 'Tenaga Dalam Inti Bumi'."

Suasana kembali hening begitu Arya menghentikan ucapannya. Mereka semua tenggelam dalam lamunan masing-masing.

"Dewa Arak...," Palageni memecahkan keheningan di antara mereka. Arya menoleh.

"Aku mohon diri dulu," ucap pemuda berpakaian kuning itu, seraya melempar pandang sekilas ke arah Melati. Gadis berpakaian putih itu tentu saja melihat, tapi berpura-pura tidak tahu.

"Mengapa, Palageni?" Arya mengernyitkan keningnya. Meskipun dia memang lebih suka berdua saja dengan Melati, tapi tidak ingin Palageni pergi karena merasa tidak enak padanya.

"Aku ingin menemui guruku, Arya. Ingin memberitahukan hal ini padanya. Barangkali saja beliau bisa memberi petunjuk padaku."

"Silakan, Palageni O, ya. Sampaikan salamku pada gurumu," sahut Arya dengan hati lega mendengar alasan yang dikemukakan pemuda berpakaian kuning itu.

Setelah melempar senyum sekilas ke arah Melati, Palageni segera melesat dari situ. Cepat juga gerakannya. Sebentar kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan rerimbunan semak-semak. Arya dan Melati memandangi hingga tubuh pemuda berpakaian kuning itu tidak kelihatan lagi.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Kang?"

Arya mengangkat bahunya. "Persoalan ini masih terlatu gelap, Melati. Kita tidak bisa bertindak sembrono."

"Hm..., jadi?"

"Kita lihat keadaannya dulu."

Melati mengangguk-anggukkan kepala.


TUJUH

Melati dan Dewa Arak melangkah perlahan keluar dari rerimbunan hamparan ilalang itu. Tapi, langkah mereka langsung terhenti begitu sekitar tujuh tombak di hadapan mereka berdiri tiga sosok tubuh. Arya dan Melati menyipitkan sepasang mata dalam upaya memperjelas pandangan. Suasana malam itu memang remang-remang karena bulan hanya sepotong yang nampak di langit karena tertutup awan tebal dan hitam.

Tapi meskipun demikian, cukup jelas bagi Arya untuk mengenali salah seorang dari mereka. Orang itu tak lain adalah Dewa Rambut Merah. Sedangkan dua orang lainnya, tidak dikenal. Seorang kakek berbaju abu-abu. Rambut, kumis, dan alisnya telah memutih semua. Tapi anehnya kulit wajahnya masih kencang seperti layaknya anak muda. Orang ini tak lain dari Dewa Obat Tangan Delapan.

Sementara yang seorang lagi adalah kakek bertubuh tinggi kurus bagai bambu. Pakaiannya berwarna putih. Seperti juga warna alisnya. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna hitam mengkilat terbuat dari kayu jati. Inilah Dewa Angin Puyuh, guru Palageni.

Dewa Arak dan Melati bersikap waspada. Sepasang muda-muda ini melihat gelagat kurang baik dari ketiga sosok tubuh yang berdiri menghadang jalan itu. Tambahan lagi, baik Arya maupun Melati telah mengetahui kalau kakek berambut merah itu kawan Gendruwo Pulau Setan. Maka, keduanya menduga kalau kedua orang kakek yang berdiri di sebelah Dewa Rambut Merah adalah tokoh-tokoh persilatan golongan hitam.

Meskipun sudah menduga demikian, Arya tidak mau bertindak ceroboh. Sikapnya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih keperakan ini melanjutkan lang-kahnya Dan dengan sendirinya, Melati pun mengikuti. Baru setelah jarak di antara mereka tinggal sekitar tiga tombak, dan ketiga orang kakek itu tetap tidak mau menyingkir memberi jalan, Arya terpaksa menghentikan langkahnya.

"Maaf, kami ingin lewat. Harap kakek bertiga memberi kami jalan," pinta Dewa Arak. Pelan dan lembut suaranya.

"Kalian boleh meneruskan perjalanan, apabila bersedia memenuhi permintaan kami," kata Dewa Angin Puyuh, datar dan dingin suaranya.

"Apa itu, Kek?" tanya Arya masih dengan nada sopan.

"Nyawa kalian berdua!" tandas kakek beralis putih keras dan kasar.

"Keparat!" Melati yang berwatak keras langsung bangkit amarahnya. Seluruh urat syaraf di tubuh gadis berpakaian putih ini menegang waspada. Bahkan kedua tangannya yang terkepal nampak menggigil. Pertanda tenaga dalam telah mengalir deras di dalamnya.

Buru-buru Dewa Arak menyentuh lengannya, dan langsung mengembangkan senyum ketika Melati menoleh. "Tenanglah, Melati," ujar Arya lembut.

“Tapi, ucapan mereka, benar-benar keterlaluan, Kang," bantah Melati. Jelas nada suaranya terdengar tidak puas.

"Sabarlah dulu. Kita belum tahu masalahnya," hibur Arya menenangkan.

Melati menarik napas dalam-dalam dan menghem-buskannya kuat-kuat Dicobanya untuk meredakan kemarahan yang bergejolak dalam dada. Dan memang, amarah yang bergolak perlahan-lahan mereda kembali.

"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak!" kembali terdengar bentakan keras dari mulut Dewa Angin Puyuh. Suara yang sarat dengan kemarahan.

"Apa maksudmu, Kek?" Arya mengernyitkan alisnya. "Aku benar-benar tidak mengerti?!"

"Sungguh tidak kusangka, Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan itu ternyata seorang pengecut! Tidak berani mengakui perbuatan sendiri!"

Keras dan tajam sekali ucapan yang keluar dari mulut Dewa Angin Puyuh. Selebar muka Arya merah padam seketika. Kemarahan seketika menjalari hatinya. Sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan, pemuda berambut putih keperakan ini paling benci kalau disebut pengecut.

"Jelaskan maksud ucapanmu, Kek. Kalau tidak, jangan dianggap kurang ajar, bila aku sebagai orang muda bersikap tidak pantas padamu," agak bergetar suara yang keluar dari mulut Dewa Arak. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini tengah dilanda kemarahan yang menggelora.

Terdengar suara gemerutuk dari mulut kakek beralis putih itu. "Dewa Arak...!" sentak Dewa Angin Puyuh. "Aku datang untuk membalaskan kematian muridku!"

"Muridmu...? Siapa muridmu?!" tanya Arya dengan kemarahan mulai mereda.

Entah, tokoh mana yang menjadi murid kakek beralis putih ini. Sudah terlalu banyak tokoh sesat yang tewas di tangannya. Tapi tentu saja ada alasan kuat yang membuat Arya terpaksa membunuh. Tokoh-tokoh aliran hitam yang ditewaskannya adalah yang kejahatannya telah melewati takaran.

"Palageni...," lambat-lambat dan penuh tekanan Dewa Angjn Puyuh mengucapkannya, setelah beberapa saat lamanya terdiam.

Arya dan Melati sampai terlompat ke belakang bagai disengat kalajengking. Berita yang didengar memang terlalu mengejutkan hati. Jadi kakek beralis putih ini adalah guru Palageni? Tapi mengapa kakek itu malah menuduh mereka membunuh pemuda berbaju kuning itu? Tuduhan gila macam apa ini? Bukankah mereka berdua yang malah menyelamatkan pemuda itu dari ancaman maut Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah?

"Kalau begitu, kau salah paham, Kek. Justru aku dan kawanku inilah yang telah menyelamatkannya dari tangan Gendruwo Pulau Setan."

Arya sama sekali tidak menyinggung-nyinggung tentang keberadaan Dewa Rambut Merah bersama tokoh sesat yang menggiriskan itu. Dia belum yakin kalau orang yang berada bersama Gendruwo Pulau Setan adalah Dewa Rambut Merah. Dan Arya tidak ingin memperuncing keadaan.

"Kau tidak bisa mungkir lagi, Dewa Arak! Dewa Rambut Merah telah menyaksikan semua kekejianmu. Kau telah membunuh muridku dan melemparkannya ke dalam jurang!" keras dan berapi-api ucapan yang keluar dari mulut Dewa Arak.

"Fitnah!" bantah Arya keras.

"Hanya karena rasa cemburu yang membabi buta, kau telah membunuh Palageni yang tengah bercakap-cakap dengan kawan wanitamu! Bersiaplah, Dewa Arak! Aku, Dewa Angin Puyuh bersedia mengadu nyawa untuk membalaskan kematian muridku!"

Setelah berkata demikian, kakek beralis putih ini segera menerjang. Tahu akan kelihaian lawannya, tanpa ragu-ragu lagi segera digunakannya ilmu andalan yang telah membuatnya memperoleh gelaran Dewa Angin Puyuh, 'Ilmu Angin Puyuh'! Kakek beralis putih ini melompat. Dan dari atas, tangan kanannya yang berbentuk cakar meluncur ke arah ubun-ubun Dewa Arak. Sementara tangan kirinya di pinggang. Hebat akibatnya! Angin menderu keras, seolah-olah di tempat itu terjadi badai. Batu batu besar kecil beterbangan tak tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.

Arya tidak berani bersikap main-main. Dari suara mengaung keras yang terdengar sebelum serangan itu sendiri tiba, sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan lawan. Jangankan kepala manusia. Batu karang yang paling keras pun akan hancur lebur apabila terkena hantaman itu.

Buru-buru Dewa Arak mendoyongkan tubuh ke belakang sambil menarik kepala. Sederhana saja gerakan yang dilakukan, sehingga hebatnya serangan itu hanya lewat di atas kepalanya. Seluruh rambut dan pakaian Arya berkibar keras begitu serangan cakar itu lewat. Tapi serangan Dewa Angin Puyuh tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan cakarnya lolos, kaki kanannya menyambar cepat ke arah dada.

Wuttt...! Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak kecuali melempar tubuh ke belakang, dan berputaran di udara beberapa kali. Tapi Dewa Angin Puyuh yang tengah dilanda amarah tidak mau memberi kesempatan pada Dewa Arak. Begitu tendangannya berhasil dielakkan dan kedua kakinya mendarat di tanah, segera kedua kakinya dijejakkan. Sesaat kemudian, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka lurus menotok ke arah ulu hati dan dada. Setiap serangan kakek ini menimbulkan dem angin keras laksana terjadi badai.

Sebuah pertarungan aneh pun terjadi. Dewa Angin Puyuh yang terus-menerus memburu dengan serangan-serangan maut Sementara Dewa Arak yang tak henti-hentinya bersalto ke belakang untuk menyelamatkan diri. Semula Dewa Arak tidak mau balas menyerang dan hanya mengelak saja. Karena, dia yakin kalau Dewa Angin Puyuh salah paham. Pasti ada orang yang sengaja melempar fitnah kepadanya. Makanya, sejak tadi dia tidak mengadakan perlawanan, dan hanya mengelak dan mengelak.

Tapi begitu menyadari betapa dahsyatnya serangan-serangan yang dilancarkan Dewa Angin Puyuh, Dewa Arak sadar. Jika terus-terusan mengalah, bukan tidak mungkin dirinya akan celaka di tangan lawan. Dia harus balas menyerang. Atau paling tidak, menangkis serangan lawannya. Tidak hanya mengelak terus-menerus.

"Hiaaat...!" Arya melempar tubuh ke belakang lalu bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu kakinya hinggap di tanah, tangannya telah menggenggam guci arak.

Gluk... gluk... gluk...! Suara tegukan terdengar begitu Arya menuangkan isi guci itu ke mulutnya. Pedahan hawa hangat merayap di perutnya dan kemudian naik ke atas kepala. Begitu kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, serangan-serangan Dewa Angin Puyuh kembali bertubi-tubi menyambarnya. Serangan yang mengancam bagian tubuh mematikan. Tapi kali ini, Arya tidak tinggal diam seperti tadi. Dia mulai menangkis dan balas menyerang. Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun terjadi.

Melati, Dewa Rambut Merah, dan Dewa Obat Tangan Delapan, memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian. Mereka adalah ahli silat tingkat tinggi. Tidak ada kegemaran yang disukai selain bertarung dan melihat orang mengadu kepandaian. Semakin sakti orang-orang yang bertarung, semakin gembira dan suka hati mereka.

Pertarungan antara Dewa Arak dan Dewa Angin Puyuh berlangsung cepat. Hal ini tidak aneh, karena memang kedua orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Sepasang alis Dewa Rambut Merah dan Dewa Obat Tangan Delapan bertaut, begitu melihat pertarungan itu. Sementara Melati tampak tersenyum simpul. Kepandaian ketiga orang itu memang sudah tinggi, sehingga tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti setiap gerakan dua orang yang tengah bertarung.

Tampak jelas oleh mereka kalau Dewa Angin Puyuh bukan tandingan Dewa Arak. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam, kakek beralis putih ini berada di bawah lawannya yang masih muda. Dewa Rambut Merah menggertakkan gigi. Mendadak kakek berambut merah ini berkelebat menuju kancah pertarungan. Melati terperanjat melihat hal ini.

"Manusia pengecut! Akulah lawanmu...!" teriak Melati keras.

Berbareng dengan suara teriakannya, tubuh gadis itu melesat cepat menghadang di hadapan Dewa Rambut Merah. Kakek ini terpaksa mengurungkan niat, karena di hadapannya telah berdiri Melati.

"Kita ketemu lagi, Dewa Rambut Merah," kata Melati. Terdengar pelan dan lembut suaranya, tapi di dalamnya tersirat sindiran. Dewa Rambut Merah ternyata merasakan. Terbukti, selebar wajah kakek itu memerah.

"Permainan apa lagi yang kau tunjukkan, Nisanak? Rupanya kau sudah tidak waras lagi. Kapan aku pernah bertemu denganmu? Kita baru bertemu kali ini!"

"Orang lain bisa kau kelabui. Tapi jangan harap muslihatmu itu berhasil menipuku!" tandas Melati tegas.

"Omonganmu semakin ngacau, Wanita Liar! Terpaksa mulutmu kubungkam!"

Setelah berkata demikian, kakek berambut merah ini menerjang Melati. Tahu kalau gadis berbaju putih itu memiliki kepandaian tinggi, seluruh kemampuan yang dimiliki segera dikerahkannya. Dewa Rambut Merah membuka serangan dengan sebuah sambaran cakar tangan kanannya ke arah leher. Gerakannya cepat bukan main, tak kalah dengan Dewa Angin Puyuh.

Suara berdecit nyaring, seperti ada tikus terjepit terdengar mengiringi tibanya serangan cakar itu. Sebuah bukti nyata kalau dalam serangan itu terkandung tenaga dalam tinggi. Tanpa menggeser kaki, Melati segera mendoyongkan tubuh ke belakang seraya menarik kepala. Pada saat yang sama, tangan kirinya digerakkan untuk menangkis dengan arah gerakan dari dalam ke luar. Melati yang sudah bisa memperkirakan kelihaian lawan, segera mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam tangkisan itu.

Plakkk...!

Suara berderak keras seperti beradunya dua ba-tang logam keras langsung terdengar. Baik Dewa Rambut Merah maupun Melati sama-sama terhuyung satu langkah ke belakang dengan kedua tangan bergetar hebat. Nampak jelas kalau dalam adu tenaga ini kedua belah pihak memiliki tenaga dalam seimbang.

Dewa Rambut Merah menggerung keras. Sungguh di luar dugaan ada seorang gadis muda mampu menangkis serangannya. Ada rasa tidak percaya dalam hatinya. Penasaran, malu, dan marah bercampur-baur dalam dadanya. Tapi dari sekian banyak perasaan yang berkecamuk itu, yang menonjol keluar adalah perasaan marah. Dewa Rambut Merah adalah seorang datuk yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Kini berbenturan tangan dengan seorang gadis muda saja, tangannya sudah tergetar hebat.

Kalau ada orang persilatan yang mendengar, bukankah akan menjadi bahan tertawaan? Dan, hal inilah yang mendorong Dewa Rambut Merah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Melati pun bertindak serupa. Akibatnya, pertarungan sengit pun terjadi. Maka kini di tempat itu terjadi dua kancah pertempuran.

Dua pertarungan tingkat tinggi yang terjadi di tempat itu hanya disaksikan seorang penonton saja. Dewa Obat Tangan Delapan. Kakek yang wajahnya masih segar itu menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar. Terutama sekali ketika melihat pertarungan Dewa Angin Puyuh menghadapi Dewa Arak.

Semula pertarungan antara Arya menghadapi kakek beralis putih itu berjalan imbang. Tapi menginjak jurus ke lima puluh, nampak jelas keunggulan Dewa Arak. Dan memang, sebenarnya tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan ini masih lebih unggul ketimbang lawannya, baik dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh.

Akhirnya, Dewa Obat Tangan Delapan tidak kuat lagi menahan diri. Karena tampak, keadaan Dewa Angin Puyuh semakin mengkhawatirkan. Kakek beralis putih itu tampak terdesak dan terhimpit. Beberapa kali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang setiap kali terjadi benturan di antara mereka.

"Hiaaat..!" Dewa Obat Tangan Delapan berteriak nyaring, seraya melompat menerjang. Tahu akan ketangguhan Dewa Arak, tanpa ragu-ragu lagi ilmu andalannya segera dikeluarkan. 'Ilmu Tangan Delapan Naga'!

Begitu menerjunkan diri dalam kancah pertarungan, Dewa Obat Tangan Delapan langsung melancarkan serangan bertubi-tubi pada Arya. Dewa Arak terkejut bukan main melihat serangan Dewa Obat Tangan Delapan. Kedua tangan lawan seperti berjumlah delapan buah, dan menyerang dari delapan penjuru! Bukan itu saja. Ada angin kuat yang menggencet sekujur tubuh Arya dari delapan arah, sehingga membuat dada pemuda berambut putih keperakan itu terasa sesak.

Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Desakannya segera dibatalkan pada Dewa Angin Puyuh. Lalu tubuhnya dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Indah dan manis sekali gerakan Arya. Kedua kakinya mendarat ringan tanpa suara dalam jarak sekitar tujuh tombak dari kedua lawannya.

Baik Dewa Angin Puyuh maupun Dewa Obat Tangan Delapan sama sekali tidak mengejar. Dua orang kakek itu adalah datuk golongan putih. Pantang bagi mereka melakukan serangan pada lawan yang belum bersiap. Apalagi kini mereka sudah menghadapi lawan bersama-sama. Seorang lawan yang masih sangat muda!

"Kau hebat, Dewa Arak," puji Dewa Obat Tangan Delapan, jujur. "Tapi sayang, kau telah tersesat. Kau telah menjadi kejam karena perasaan cemburu buta."

“Tidak usah banyak basa-basi, Dewa Obat!" sergah Dewa Angin Puyuh keras. "Mari kita lenyapkan pemuda berbahaya ini!"

Setelah berkata demikian, kakek beralis putih ini langsung menyerang Dewa Arak. Kembali 'Ilmu Angin Puyuh'nya dikeluarkan, sehingga seketika itu juga angin keras menderu. Seolah-olah di tempat itu tengah terjadi badai. Batu-batu besar kecil berpentalan tak tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.

Belum lagi serangan itu tiba, Dewa Obat Tangan Delapan pun turut menyerang. Kedua tangannya bergerak cepat bukan main! Sehingga, kelihatannya tangan kakek itu tidak berjumlah dua, melainkan delapan! Pantas dia berjuluk Tangan Delapan, di samping berjuluk Dewa Obat.

Meskipun akibat yang ditimbulkan serangan Dewa Obat Tangan Delapan tidak terlalu menggiriskan, tapi yang dirasakan Arya tidak demikian halnya. Ada kekuatan tak nampak yang menekan dari delapan penjuru, sehingga membuat dadanya terasa sesak bukan main. Buru-buru pemuda berambut putih keperakan itu mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga rasa sesak pada dadanya segera sirna. Kini kekuatan tak nampak yang menghimpitnya tak lagi terasa.

Sekarang Arya tidak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Lawan yang dihadapinya adalah pentolan golongan putih. Bertarung setengah hati, taruhannya adalah nyawa! Sesaat kemudian, pertarungan sengit kembali terjadi.

* * * * * * * *

DELAPAN

Di arena lain, Melati tengah berjuang keras menghadapi Dewa Rambut Merah! Berbeda dengan Arya yang masih meragukan kesalahan kakek berambut merah ini, Melati yakin sekali kalau pelaku pembantaian di kaki Gunung Campa adalah Dewa Rambut Merah. Makanya gadis berpakaian putih itu kini mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Namun demikian, tampaknya Melati tetap saja tidak mampu mendesak kakek berambut merah itu. Sampai puluhan jurus, pertarungan masih berjalan seimbang. Bukan hanya Melati saja yang berusaha keras mengalahkan lawan. Dewa Rambut Merah pun demikian pula. Bahkan bila dibandingkan, kakek itu memiliki keinginan untuk merobohkan yang lebih besar. Keinginan itu didorong oleh rasa malunya!

Sementara itu di arena lain, "Hiaaat..!" Sambil berteriak nyaring, Dewa Angin Puyuh membabatkan tongkatnya ke arah lutut Dewa Arak. Suara mengaung keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Arya menjejakkan kakinya, lalu seketika itu juga tubuhnya melayang ke atas. Akibatnya, tongkat itu meluncur lewat di bawah kakinya. Tubuhnya kemudian bersalto ke depan, dan dari udara tangan kanannya meluncur ke arah bahu kanan kakek beralis putih itu.

Plakkk..! Perlahan saja kelihatannya, tangan Dewa Arak menghantam bahu Dewa Angin Puyuh. Hebatnya, tubuh kakek beralis putih itu terhuyung ke depan seperti diseruduk banteng. Seketika ada cairan merah kental menyembur dari mulutnya. Kakek ini langsung jatuh terduduk di tanah.

Baru saja kedua kaki Arya mendarat di tanah, serangan Dewa Obat Tangan Delapan telah menyambar tiba. Kedua tangan yang seperti berjumlah delapan buah itu menyerang bertubi-tubi ke arah ulu hati, dada, dan leher. Tidak ada jalan lagi bagi Dewa Arak, kecuali menangkis serangan itu.

Plak, plak, plak...!

Suara berderak keras seperti beradunya dua logam keras terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan berbenturan. Akibatnya, tubuh Arya terhuyung-huyung ke belakang. Dewa Arak memang berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Bahkan sewaktu menangkis pun, seluruh tenaga yang dimilikinya tidak sempat dikerahkan.

"Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa mengguntur, sehingga membuat isi dada berguncang. Nampaknya, tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.

Belum lagi gema suara tawa itu lenyap, sesosok bayangan berkelebat setelah terlebih dahulu menjejakkan kaki kanan ke tanah hingga membuat bumi bergetar. Gerakannya cepat bukan main, dan langsung menerjang masuk kancah pertarungan antara Dewa Arak melawan Dewa Obat Tangan Delapan.

Karuan saja hal ini membuat dua orang itu terkejut bukan main. Apalagi, begitu mengetahui kalau sosok bayangan itu langsung melancarkan serangan-serangan berbahaya ke arah mereka. Deru angin yang luar biasa keras mengiringi tibanya serangan.

Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan Delapan yang sedang bertempur menjadi sangat terkejut, ketika tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh tinggi besar ke arah mereka dan langsung melancarkan serangan-serangan berba-haya! Deru angin yang luar biasa keras mengiringi tibanya serangan orang tinggi besar itu.

Mendapat serangan yang tidak disangka-sangka, Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan Delapan langsung terperanjat. Apalagi serangan itu datangnya amat mendadak. Sebisa-bisanya, kedua orang itu menangkis.

Plak, plak...!

Seruan keterkejutan terdengar dari mulut Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan Delapan. Tubuh kedua orang ini langsung terpental ke belakang. Sementara sosok bayangan yang menyerang, sama sekali tidak terpengaruh apa-apa. Baik tubuh Dewa Angin Puyuh maupun tubuh Dewa Obat Tangan Delapan melayang jauh, kemudian jatuh bergulingan di tanah.

"Huakkk...!" Dewa Obat Tangan Delapan memuntahkan darah segar ketika mencoba bangkit.

Melati dan Dewa Angin Puyuh terkejut bukan kepalang begitu melihat perkembangan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Melati langsung melesat meninggalkan lawan, memburu ke tempat Dewa Arak terjatuh. Sementara Dewa Angin Puyuh segera memburu tubuh Dewa Obat Tangan Delapan.

"Ha ha ha...!" Suara tawa mengguntur kembali terdengar. Semua pandangan mata kini tertuju ke arah sosok yang tengah tertawa-tawa itu.

"Gendruwo Pulau Setan...," desis Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat Tangan Delapan. Pandangan mata maupun suara mereka menyiratkan ketidakpercayaan akan apa yang terlihat di depan mereka.

Berbeda dengan kedua orang kakek itu, Melati dan Dewa Arak sama sekali tidak terkejut melihat tokoh sesat yang menggiriskan itu. Mereka telah melihat, dan bahkan telah bertanding dengan tokoh itu beberapa saat yang lalu. Keterkejutan Dewa Obat Tangan Delapan dan Dewa Angin Puyuh semakin menjadi-jadi. Ternyata rekan mereka, Dewa Rambut Merah malah menghampiri Gendruwo Pulau Setan. Dan bahkan berdiri di sebelahnya.

"Dewa Rambut Merah..., kau... kau...!?" desis Dewa Angin Puyuh kaget.

Hanya senyum dan pandangan mata penuh ejekan dari Dewa Rambut Merah yang menyambut ucapan terbata-bata kakek beralis putih itu. "Kenapa? Kaget?!" tanya kakek berambut merah itu Nada suaranya terdengar menyakitkan hati.

Wajah Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat Tangan Delapan yang sudah pucat, jadi semakin pucat mendengar tanggapan kasar itu. Kedua tokoh Tiga Dewa Sungai Naga ini tidak mampu berkata-kata lagi. Perasaan kaget yang melanda demikian kuat menghajar hati mereka. Sehingga keduanya hanya mampu memandang dengan sepasang kelopak mata terbelalak lebar.

"Perlu kalian ketahui semua," kata Dewa Rambut Merah sambil mengedarkan pandangan mata ke sekeliling, merayapi wajah orang-orang di hadapannya satu persatu. "Akulah yang membantai rombongan Adipati Kalingga."

"Hahhh...?!"

Dewa Obat Tangan Delapan dan Dewa Angin Puyuh terlonjak kaget. Andaikan ada petir menyambar, kekagetan yang dialami tidak akan seperti ketika mendengar berita ini. Dewa Rambut Merah salah satu tokoh Tiga Dewa Sungai Naga melakukan perbuatan keji! Sungguh sukar dipercaya!

"Kaget, Dewa Angin Puyuh? Dewa Obat?" Kembali nada penuh ejekan terdengar dari mulut Dewa Rambut Merah. Sementara Gendruwo Pulau Setan hanya tersenyum lebar.

"Mengapa kau berbuat sekeji itu, Dewa Rambut Merah?" tanya Dewa Obat Tangan Delapan. Suaranya pelan, lebih mirip desahan.

"Bukan hanya adipati keparat itu saja yang kubunuh. Tapi juga kalian semua! Tidak terkecuali kau, Dewa Arak!" tandas kakek berambut merah itu, seraya menatap wajah Arya. "Semula kau tidak termasuk dalam rencanaku, karena sama sekali tidak ada sangkut-pautnya. Tapi karena kau telah berlaku lancang, dengan mencampuri urusanku, kau pun tak mungkin dapat lolos dari tanganku. Bukan itu saja. Semua orang yang termasuk dalam golongan putih akan kubinasakan!"

"Mengapa, Dewa Rambut Merah?" tanya Dewa Angin Puyuh penasaran.

"Kau bertanya mengapa, Dewa Angin Puyuh?!" sambut kakek berambut merah, kasar. "Padahal, baik padamu maupun pada Dewa Obat Tangan Delapan telah kuceritakan, kalau puluhan tahun yang lalu istriku telah diperkosa dan dibunuh oleh seorang laki-laki. Aku tidak tahu namanya. Tapi, dari berita yang kudapat, aku tahu ciri-cirinya. Dan bahkan telah kuceritakan pada kalian."

Dewa Rambut Merah menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas, di samping mencari kata-kata untuk melanjutkan ceritanya.

"Puluhan tahun aku mencari tanpa hasil. Dapat kalian bayangkan, betapa kesalnya hatiku. Apalagi setelah kutahu, kalau orang yang kucari itu adalah temanmu, Dewa Obat! Dan kau sengaja melindunginya dengan tidak memberitahukannya padaku. Kau yang mengaku sebagai pentolan golongan putih telah bertindak begitu menjijikkan. Melindungi orang yang bermoral bejat!"

Merah wajah Dewa Obat Tangan Delapan mendengar makian Dewa Rambut Merah. Maka kepalanya periahan-lahan tertunduk.

"Aku masih mencoba bersabar. Meskipun saat itu sudah merasa muak dengan gelar pentolan golongan putih, tapi ketika akhirnya dapat berita baru, aku tidak bisa bersabar lagi! Bukan hanya kau saja yang menjadi teman orang bejat. Tapi kau juga, Dewa Angin Puyuh! Maka aku tidak bisa sabar lagi, begitu kulihat keparat itu bepergian. Mereka pun kubantai habis. Tapi, sayang sekali ada yang sempat lolos dari maut dan memberi tahu kalian."

Kepala dua kakek Tiga Dewa Sungai Naga tertunduk. Sama sekali semua yang dikatakan Dewa Rambut Merah tidak dibantah.

"Kebencianku bertambah ketika kutahu kau mengangkat putra keparat Kalingga menjadi muridmu, Dewa Angin Puyuh. Sejak saat itu, aku muak dan benci terhadap orang-orang golongan putih. Maka kuputuskan untuk membasmi kalian. Dan untuk itulah Gendruwo Pulau Setan, adik tiriku, tiba di sini."

Suasana jadi hening begitu Dewa Rambut Merah menghentikan ucapannya.

"Sekarang, terimalah kematian kalian...!" tegas kakek berambut merah lambat-lambat tapi penuh tekanan. Kemudian kakinya melangkah menghampiri tubuh dua tokoh Tiga Dewa Sungai Naga.

Mendadak langkah Dewa Rambut Merah terhenti. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki mendekati. Bukan hanya kakek berambut merah itu saja yang menoleh. Gendruwo Pulau Setan pun menoleh pula.

"Guru...!" Seorang pemuda berpakaian kuning melesat cepat ke arah Dewa Angin Puyuh. Siapa lagi kalau bukan Palageni!

Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat Tangan Delapan terperanjat melihat kedatangan Palageni. Bukankah, muridnya itu telah tewas di tangan Dewa Arak. Jadi, benar apa yang dikatakan Arya. Semua itu hanya fitnah!

Dewa Rambut Merah menggeram keras. Cepat laksana kilat tubuhnya melesat ke arah Palageni. Kedua tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh pemuda berpakaian kuning itu.

Dewa Angin Puyuh, Dewa Obat Tangan Delapan, Melati, dan Dewa Arak sangat terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan ini sebenarnya sama sekali tidak terluka. Tadi, ketika menangkis serangan Gendruwo Pulau Setan, Dewa Arak tidak menggunakan tenaga keras. Jadi, dia hanya menggunakan tenaga lembut. Dan dengan meminjam tenaga benturan itu, tubuhnya dibiarkan terlontar ke belakang, dan berpura-pura terluka agar lawan lengah. Dan ternyata, siasatnya berhasil!

Kini melihat Palageni terancam maut, pemuda berambut putih keperakan ini cepat menghentakkan kedua tangan ke arah tubuh Dewa Rambut Merah yang tengah berada di udara. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'.

Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat, menyambar cepat ke arah Dewa Rambut Merah. Karuan saja kakek ini terkejut bukan main. Serangan Dewa Arak sama sekali tidak diduga. Dia berpikir kalau pemuda itu tengah terluka. Tapi pada kenyataannya?

Wajah Dewa Rambut Merah pucat seketika. Tubuhnya yang tengah berada di udara, tidak mungkin bisa mengelak. Apalagi tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan pijakan. Meskipun demikian, dengan sebisa-bisanya, selembar nyawanya berusaha diselamatkan. Dewa Rambut Merah menggeliatkan tubuhnya. Tapi....

Bresss!

"Aaakh...!" Tubuh kakek berambut merah terpental jauh ke belakang. Seketika itu juga nyawa kakek ini melayang meninggalkan raganya sebelum jatuh ke tanah.

Gendruwo Pulau Setan meraung keras laksana seekor binatang buas terluka melihat kematian kakak tirinya. Dengan sinar mata penuh ancaman, tokoh sesat yang menggiriskan ini menatap Dewa Arak. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri pemuda berambut putih keperakan itu.

Tapi langkah laki-laki tinggi besar ini terhenti ketika entah dari mana datangnya, di tempat itu telah berdiri seorang kakek berpakaian putih bersih. Sekujur tubuhnya, terutama sekali wajahnya, nampak bercahaya. Hal ini membuat orang itu tidak kuat untuk berlama-lama memandangnya. Alis, jenggot, dan kumisnya telah memutih semua. Rambutnya yang juga berwarna putih digelung ke atas. Di tangan kakek itu tergenggam seuntai tasbih.

Begitu melihat kakek ini, wajah Gendruwo Pulau Setan memucat. Kegentaran yang amat sangat tampak di wajahnya. Cepat tubuhnya berbalik, lalu disambarnya tubuh Dewa Rambut Merah. Kemudian dia berlari meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh kakek berambut merah.

Kakek berpakaian putih bersih yang tak lain dari Ki Gering Langit itu sama sekali tidak mempedulikannya. Pandangannya tetap tertuju pada Dewa Arak.

"Guru...," Arya cepat memberi hormat pada kakek itu.

Melati, Dewa Angin Puyuh, dan Dewa Obat Tangan Delapan nampak terkesima melihat kakek ini. Hanya Palageni seorang yang tidak terlihat terkejut.

Ki Gering Langit tersenyum lebar. "Arya...," ucap kakek berpakaian putih bersih itu. Suaranya terdengar lembut dan berwibawa. "Aku sengaja datang menjumpaimu untuk mengambil kembali Pedang Bintang. Bukankah pedang itu sekarang tidak kau perlukan lagi?"

Dewa Arak mengangkat kepalanya, menatap wajah Ki Gering Langit. Hanya sebentar saja, karena sesaat kemudian kepalanya kembali ditundukkan. "Maafkan aku, Guru," sahut Arya pelan. "Sebenarnya sudah lama aku hendak mengembalikan pedang ini. Tapi, dalam perjalanan aku selalu bertemu hambatan, sehingga niatku tertunda."

"Aku mengerti, Arya," ucap Ki Gering Langit bijaksana, seraya tersenyum lebar. "Itulah sebabnya aku kemari menjumpaimu."

Lega hati Arya mendengar jawaban gurunya. Bergegas dia mengambil Pedang Bintang yang selama ini tergantung di pinggangnya, kemudian menyerahkan pada gurunya.

Ki Gering Langit mengulurkan tangan menerima. Dan secepat pedang itu telah berada di genggamannya, secepat itu pula tubuhnya lenyap dari situ.

Melati, Dewa Obat Tangan Delapan, dan Dewa Angin Puyuh memandang penuh takjub akan semua yang terjadi. Apalagi ketika mendadak tubuh Ki Gering Langit lenyap begitu saja dari situ. Wajah dan sorot mata mereka menampakkan kebingungan yang amat sangat.

"Itulah orang yang menolongku dari tangan Gendruwo Pulau Setan, Guru," jelas Palageni memberi tahu Dewa Angin Puyuh. Kemudian, pemuda berbaju kuning ini menceritakan semua kejadian yang dialaminya.

"Ketika aku telah cukup jauh meninggalkan Dewa Arak dan Melati, tiba-tiba Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah menghadang. Kalau saja tidak ada kakek itu, mungkin aku sudah tewas, Guru. Hebat! Kakek itu mengalahkan keroyokan Dewa Rambut Merah dan Gendruwo Pulau Setan secara mudah. Hanya dalam segebrakan, dan tanpa menggeser kaki sedikit pun!"

Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat Tangan Delapan menggelengkan kepala penuh kagum.

"Bagaimana Guru bisa berada di sini?" tanya Palageni lagi.

"Di perjalanan pulang, aku khawatir akan keselamatanmu. Lalu, aku kembali lagi. Di tengah jalan aku bertemu Dewa Obat Tangan Delapan. Kami memutuskan mencarimu bersama-sama," kakek beralis putih ini menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.

"Belum jauh berjalan, kami bertemu Dewa Rambut Merah. Katanya, kau telah dibunuh Dewa Arak. Akibatnya kami mencari pemuda itu. Pertarungan pun tidak bisa dihindari lagi. Dan ketika kami sama-sama lelah, Gendruwo Pulau Setan datang. Kejadian selanjutnya, telah kau saksikan sendiri."

Sehabis berkata demikian, Dewa Angin Puyuh menoleh ke arah tempat Arya dan Melati. Tapi seketika itu pula hatinya terperanjat.

"Hehhh...?! Ke mana mereka?" Dewa Obat Tangan Delapan dan Palageni ikut menoleh. Tapi tetap saja tidak melihat seorang pun di situ. Walaupun mereka telah mengedarkan pandangan ke sekeliling, Dewa Arak maupun Melati tak juga ditemukan.

Sementara itu, orang yang dipercakapkan telah berada cukup jauh dan tempat itu. Dewa Arak dan Melati melangkah bersisian, menembus keremangan malam. Menempuh perjalanan hidup yang masih panjang.

Selanjutnya,
Pewaris Ilmu Tokoh Sesat
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.