Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 20
Karya : Batara
"NAH, suka atau tidak?" Pemuda ini menggigil. "He, suka atau tidak!"
"Ya-ya, aku... aku suka. Tapi bagaimana mendapatkannya?"
"Ha-ha, pilih dulu yang mana kau suka!"
"Yang baju kuning itu. Hm, cantiknya bukan main, suheng. Pahanya gempal padat. Aku suka itu!" Beng San menuding.
"Baik, kutotok dulu dan aku pilih yang hijau. Kau padamkan lampu!" Siauw Lam tertawa melihat sutenya gemetaran, dan tepat ia memberi tanda pemuda itupun berkelebat masuk. Bersamaan itu lampu padam. Namun karena pemuda ini sudah tahu di mana dua gadis itu berada. Secepat itu menotok dan melumpuhkan lawan maka dengan mudah Siauw Lum memanggul dan membawa keluar dua murid Sin-hong-pang ini, lampu kenbali menyala terang.
"Nah, kau yang kuning, aku yang hijau. Bagiku sama cantiknya, Sute, masalah mulus, ha-ha... dua-duanya mulus!"
Beng San menerima itu dengan gemetar bingung. "Tapi... tapi aku... !"
"Kita bawa kekamar, kita main bersama. Kalau kau belum tahu lihat dan contohlah aku...!"
"Ke kamar?"
"Ya, kamarku, sute. Contoh dan lihatlah aku. Barang semulus begini jangan di sia-siakan. Ayo, kembali dan ikuti aku!"
Beng San menelan ludah. Baru kali itu ia memondong dan memeluk seorang gadis. Tubuh lembut dan hangat itu membuatnya tak keruan, nafsu dan darahnya mendidih. Namun karena ia belum biasa dan tàk tahu caranya, sang suheng tertawa geli maka baru di kamar tahu apa yang harus dikerjakan.
Mula-mula Siauw Lam menjejali dua gadis itu dengan sebutir pil kuning muda. Dua gadis ini menggeliat dan mengeluh. Lalu ketika pemuda itu menciumi dan mulai membuka pakaian korbannya maka Beng San melotot melihat betapa suhengnya tak malu-malu pula melepas pakaian sendiri. Selanjutnya gadis itu membalas, tampak tidak sadar dan kemudian terdengarlah rintih dan erang tertahan.
Dan ketika selanjutnya pemuda itu terbakar oleh pemandangan yang baru kali itu selama hidup disaksikan maka Beng San mendengus dan kamar itu menjadi saksi bisu perbuatan biadab dua anak muda ini. Guru dan murid sama saja, sama-sama bejat! Malam itu benar-benar merupakan malam pengalaman bagi Beng San.
Siauw Lam sendiri tidak begitu asing karena sudah biasa melakukan hal ini. Kalau tidak atas dasar suka sama suku maka obat perangsang itulah yang digunakan. Sang gadis pasti roboh dan menyerahkan segala-galanya. Dan ketika malam itu keduanya tenggelam dalam nafsu berahi, Beng San demikian semangat dan lupa diri maka menjelang pagi Siauw Lam terpaksa mencegah sutenya bermabok-mabokan lagi. Beng San bagai memperlakukan gadis itu seperti isteri sendiri, padahal anak orang!
"Lepaskan, cukup. Kalau kita masih di sini esok masih ada waktu, sute. Sekarang kembalikan mereka dan jangan sampai diketahui orang."
"Tapi... tapi aku senang!"
"Jangan bodoh, kesenanganmu menggelincirkan. Ingat bahwa ini murid Sin-hong pang, sute, lagi pula suhu dan kita datang secara baik-baik. Kalau kita ketahuan dan suhu marah jangan tanya dosa. Mampus kau nanti!"
Beng San terkejut. la sadar dan mengkerut nyalinya. Wajah gurunya membuat ia takut. Dan ketika dengan terpaksa ia melepas gadis itu, diam-diam tertarik dan berkobar melihat kekasih suhengnya maka Siauw Lam tertawa berkata kepadanya.
"Jangan khawatir, malam nanti dapat bertukar pasangan. Kalau kau tertarik dan suka kepada gadis ini maka nanti kita ambil lagi, sute. Kita dapat bermain sepuas-puasnya lagi!"
"Sungguh?"
"Tentu saja!" dan ketika Siauw Lam meloncat dan membawa gadis baju hijau dan Beng San membawa gadis baju kuning maka bak mendapat durian runtuh anak muda ini mendengar bahwa sang suhu masih tinggal beberapa hari lagi di situ, tepatnya menunggu dua minggu lagi saat adanya pertemuan tahunan tokoh-tokoh selatan, menerima undangan ketua See-ouw pang di mana mereka nanti akan berkumpul dan bertemu para tokoh- tokoh itu.
"Ha- ha, sungguh rejeki besar. Ah, apa namanya, suheng. Mendapat rejeki kok begitu nomplok. Aduh, kita habiskan semua gadis- gadis di sini, kita cicipi mereka satu per satu!"
"Hush, mana mungkin. Jumlah mereka seratus lebih, sute, kalau kita masing-masing mendapat limapuluh berarti kita harus tinggal di sini limapuluh hari. Tak mungkin, keok kita nanti!"
"Tapi, tapi puas. Ah, baru pertama ini aku menikmati hal begitu menggembirakan dan seumur hidup tak bakal kulupakan!"
Beng San benar-benar lupa daratan. Bagai orang di gurun kering pemuda ini seakan mendapat limpahan air segar. Tidak tanggung-tanggung, seratus sumurpun akan dihabiskan. Tapi karena Siauw Lam ada di situ dan pemuda inilah yang mengerem sutenya, bisa-bisa sutenya itu gila birahi maka duabelas malam berturut-turut pemuda ini menghabiskan gadis-gadis Sin-hong-pang. Semuanya dibuat tidak sadar, hanya paginya para korban ini kesakitan dan merintih. Bagian paling pribadi berdarah.
Dan ketika mula-mula mereka diam saja, menganggap malam itu mendapat mimpi buruk maka masing-masing merahasiakan ini dan tidak bercerita satu sama lain. Dan hal itu barangkali tertutup rapat kalau saja pada malam terakhir Beng San tidak mengganggu gadis cilik bernama Pui Ti.
Gadis ini masih berusia di bawah umur, belum duabelas tahun. Merupakan murid terkecil dan kerjanya di belakang, dulu termasuk pelayan pribadi mendiang Siang-mauw Sian-li. Tapi sejak wanita itu tewas dan Mei Bo menggantikan pimpinan maka gadis ini melayani pimpinannya.
Beng San tak akan bertemu gadis ini kalau saja tidak kebetulan dipanggil suhunya. Chi Koan sendiri memadu kasih dengan Mei Bo, tentu saja tak menduga bahwa muridnya nomor dua melahap murid-murid Sin-hong-pang. Si buta itu sendiri sibuk dilayani Mei Bo, gadis itu berada dalam cengkeramannya dan ternyata pandai sekali bermain cinta. Diam-diam Chi Koan tertegun. Sebagai lelaki yang sudah berpengalaman tentu saja dia tahu bahwa kekasihnya ini bukan seorang gadis Suci Mei Bo telah tidak perawan.
Namun karena gadis itu pandai bermain cinta dan Chi Koan sendiri butuh hiburan, bukan maksudnya untuk tetap di situ maka siang itu Pui Ti membawa makan minumnya, disuruh Mei Bo. Dan kebetulan Chi Koan memanggil muridnya nomor dua ini untuk menggosok tongkatnya yang diam-diam terisi sebatang pedang lentur. Sebulan ini tongkat itu telah kasar dan kotor, dan si buta tak mau menyuruh orang lain menggosok tongkatnya itu, kecuali murid-muridnya sendiri.
"Bersihkan tongkatku dan gosok sampai mengkilat. Jangan dibawa ke mana-mana, Beng San, ingat itu dan kerjakan baik-baik."
Beng San mengangguk. Saat itulah Pui Ti keluar dan jantung pemuda ini berdesir, bukan apa-apa melainkan semata melihat wajah gadis cilik itu. Begitu mirip dengan Siao Yen! Dan karena ia masih menaruh cinta dan wajah gadis cilik ini mengingatkannya akan Siao Yen maka iblis tiba-tiba mengusiknya dan saat itulah pemuda ini ingin mendekati dan mencari tahu siapa dan di mana gadis ini berada.
Tidak sukar bagi murid si buta ini mengetahui apa yang ingin diketahuinya. Gadis cilik itu ternyata berkamar di belakang, sebelah dapur umum Sin-hong-pang. Dan ketika sambil menggosok ia membayangkan gadis itu, alangkah nikmatnya bercumbu dengan Siao Yen maka jantung di dada pemuda ini berdegup dan timbullah keinginan bahwa malam itu ia akan menyambar gadis ini.
Terjadilah apa yang direncanakan. Pemuda ini sudah memasuki kamar gadis cilik itu ketika malam mulai dingin. Tanpa banyak kesukaran ia menotok dan melumpuhkan korbannya. Dan karena dua belas hari ini ia sudah begitu biasa, Beng San tak begitu takut atau berhati-hati maka pemuda ini tak memadamkan lampunya padahal saat itu berkelebat bayangan lain yang kebetulan melihat dirinya. Mei Bo, pimpinan Sin-hong-pang itu!
Mula-mula wanita ini terbelalak melihat sesosok laki-laki berindap menuju kamar Pui Ti. Waktu itu ia hendak memanggil gadis ini memijat tubuhnya. Belasan hari melayani si buta membuat wanita itu kecapaian. Saat itupun ia baru saja selesai melayani Chi Koan, hendak ke kamar mandi dan kebetulan melewati gadis cilik itu, sekalian hendak menyuruhnya memijat tubuh yang lemas capai.
Chi Koan laki-laki hebat yang membuat ia kagum. Bagai seekor kuda jantan saja si buta itu mengimbangi permainan cintanya, kuat dan tak kenal lelah. Dan ketika akhirnya dia sendiri yang kecapaian dan hendak minta dipijat maka dilihatnya bayangan pemuda itu dan tentu saja wanita ini terkejut.
"Beng San!" hampir ia memaggil. Akan tetapi wanita ini menahan seruannya segera mengenal pemuda itu dan justeru terheran dia mengikuti secara diam-diam. Pandang matanya belum memancarkan kecurigaan. Namun ketika pemuda itu berkelebat masuk dan tak lama kemudian membawa Pui Ti, gadis itu terkulai pingsan maka wanita ini berdetak. Curigapun timbul!
Namun wanita ini tak mencegat ataupun membentak. Justeru mengikuti pemuda itu dimana Beng San kembali ke kamarnya sendiri. Dengan bergegas menahan nafsunya pemuda itu meletakkan gadis ini di pembaringannya, menciumi dan tak lama kenudian sudah mencopoti semua pakaian gadis cilik itu. Dan ketika Mei Bo terbelalak dan kaget serta marah melihat pemuda itu membuang pakaian sendiri, maklumlah dia apa yang akan terjadi maka wanita ini tak tahan dan iapun mendobrak pintu kamar.
"Jahanam keparat!" bukan main kagetnya Beng San. "Kau hendak memperkosa seorang anak kecil, Beng San. Bedebah terkutuk!"
Beng San terkejut dan pucat pasi. Ia sama sekali tak menyangka perbuatannya diketahui, ditendang dan terlempar bergulingan sementara Wanita itu sudah menyambar pelayannya. Beng San telah memberikan obat perangsang sebagai kebiasaannya, gadis itu merintih dan mengeluh karena Beng San sudah membuka totokan.
Maka ketika pemuda ini terkesiap dan menyambar pakulannya sendiri, wanita itu tentu saja mengenalnya maka sejenak pemuda ini tak mampu berkata apa-apa dan meloncat bangun dengan sikap bingung dan menyesal, Mei Bo telah membalik dan menutupi tubuh gadis cilik itu dengn pakaian seadanya, berapi-api memandang pemuda ini. telunjuk menuding.
"Kau...! Hayo menghadap gurumu, kulaporkun ini. Atau aku membunuhmu dan Sin-hong-pang akan mengadu jiwa denganmu!"
Beng San berketruk gigi dengan pandang mata bersalah dan juga marah. la menyesal bukan main kenapa begitu ceroboh. Keberhasilannya duabelas hari berturut-turut membuat ia lengah, padahal sebenarnya sudah cukup berhati-hati membawa korbannya ke situ, tidak di kamar Pui Ti. Dan ketika ia bingung serta gugup harus berbuat apa, ia tahu bahwa wanita ini kekasih gurunya maka tahu-tahu terdengar suara batuk-batuk dan gurunya sudah di situ, disusul suhengrya Siau Lam.
"Hm, kau memalukan, berbuat dosa besar. Untung perbuatanmu diketahui Mei Bo, Beng San, kalau para murid tentu lebih banyak yang tahu. Sekarang jelaskan sikapmu kenapa hendak mengganggu gadis itu. Cepat atau aku membunuhmu tanpa banyak bicara!"
"Ampun,...!" pemuda ini menjatuhkan. diri berlutut. "Teecu... teecu teringat kekasih teecu, suhu. Gadis ini mirip Siao Yen. Teecu kemasukan iblis dan mengaku salah. Mohon ampun, namun teecu siap mempertanggungjawabkan perbuatan ini!"
Mei Bo terkejut girang. Kepandaian si buta yang tahu-tahu berada di kamar dan menegur muridnya membuat ia terkejut namun gembira. Betapapun ia masih tak menduga bahwa sesungguhnya guru dan murid merupakan srigala-srigala buas.
Chi Koan mendengar ribut-ribut itu dengan telinganya yang tajam, sementara Siauw Lam melihat bayangan pimpinan Sin-hong-pang ini di kamar sutenya, lalu pintu yang didobrak keras. Dan ketika wanita itu menjadi girang dan melihat sikap yang keras, tentu saja Chi Koan harus menegur muridnya maka Mei Bo membentak merasa mendapat dukungan.
"Benar, kebetulan gurumu ada di sini. Sekarang kau tak dapat lari, Beng San, apa maksudmu mempertanggungjawabkan tadi. Memandang muka gurumu yang mulia dan baik hati kami Sin-hong-pang tak akan banyak menuntut asal kau menerima hukuman setimpal!"
Beng San menoleh, lalu menengok suhengnya. "Harap suheng bantu aku. Kita.. eh.. aku..!"
"Kau bersalah, belum menjawab pertanyaan itu. Kalau kau jelaskan sikapmu dan maksudmu bertanggung jawab barangkali suhu meringankan hukumanmu sute. Aku tak dapat berbuat banyak karena kau mencemarkan nama baik suhu!"
Ia sadar. Beng San segera tanggap bahwa gurunya dianggap orang baik-baik oleh Sin-hong-pang dan See-ouw-pang. Untung Ning-pangcu dari Telaga See-ouw itu sudah pulang. Maka mengangguk dan membentur-benturkan jidatnya segera ia berkata,
"Teecu mengaku salah, teecu mengaku berdosa. Dan karena teecu hampir saja mengganggu gadis ini biarlah sekarang juga teecu menyatakan bahwa ia adalah calon isteri teecu. Kelak kalau ia besar teecu akan mengawininya. lnilah pertanggungjawaban teecu!"
"Hm, muridku telah menjawab, bagaimana pendapatmu. Apakah cukup pertanggungjawaban ini Mei Bo. Kalau kurang boleh tambah."
"Tidak," Mei Bo memandang muka si buta. "Pertanggungjawaban itu sudah cukup, Chi-twako, tapi kami Sin-hong-pang tentu saja akan memasang pengumuman. Sejak ini Pui Ti calon isteri Beng San!"
Pemuda itu tak dapat berkutik. Beng San menerima gadis pelayan ini dengan terpaksa, diam-diam mengumpat. Dan ketika Mei Bo membawa gadis itu setelah diberi obat penawar maka si buta tentu saja marah-marah kepada muridnya. Beng San dimaki habis-habisan.
"Tolol, goblok! Siapa mengajarimu untuk berbuat sebodoh ini. Aku datang dan dimuliakan di tempat ini, Beng San, kau merusaknya dengan tindakanmu yang begitu brutal. Tahukah kau apa jadinya kalau aku tidak cepat-cepat datang!"
"Ampunkan teecu, teecu sembrono. Tapi maaf... bukankah teecu dapat menghadapi wanita itu, suhu. Bukankah suhu tak sungguh-sungguh dengan Mei Bo. Maksud teecu...!"
"Dari mana kau tahu!" bentakan itu membuat Beng San mengkeret. "Siapa bilang, aku main-main saja, Beng San, dari mana kau tahu itu!"
"Ampunkan teecu, semua ini teecu tahu dari suheng. Dan... dan suheng jugalah yang membakar teecu dengan urusan wanita!"
Beng San menyeret Siauw Lam dan tak ada lain jalan untuk mengalihkan kemarahan gurunya itu. Memang semua ini bermula dari sang suheng, Siauw Lam itulah yang mengajarinya. Dan ketika Chi Koan tertegun dan memandang muridnya maka Siauw Lam tersenyum kecut tertawa lirih. Hubungannya yang lebih lama dengan sang suhu membuat sang suhu harus menahan diri.
"Maaf, itu benar. Tapi semua ini bermula dari Beng San juga, suhu. Waktu itu ia mengintai suhu yang bermesra-mesraan dengan Mei Bo. Daripada birahinya melenceng lebih baik kucarikan jalan keluar. Inilah keteranganku."
Chi Koan terkejut juga. Tiba-tiba sadarlah dia bahwa anak seusia Beng San bukan seorang bocah lagi. Mereka ini hampir duapuluh tahun. Maka ketika menaha marahnya dan bertanya apa saja yang telah dilakukan murid-muridnya maka Siauw Lam menyeringai.
"Kami tidak melakukan apa-apa, hanya mencontoh suhu. Daripada kami kesepian sendiri maka kamipun mencari mainan."
"Berapa orang yang kalian jadikan korban!"
"Dua puluhan, suhu, setiap malam. Kami bagi dua dan sute begitu bersemangat.”
"Dua puluhan orang? Kalian masing-masing seorang?"
"Ya, dan sute begitu senang. Tapi malam ini sute hilang kontrol dan tak kuduga mengganggu seorang perawan kencur!'
Siauw Lam tertawa, tak malu-malu dan Beng San menyeringai juga. Suhengnya memang lebih dekat dengan suhunya itu, jadi juga lebih berani. Dan ketika Chi Koan berubah namun lagi-lagi harus menahan marah maka baru malam itulah ia tahu sepak terjang murid-muridnya. Tapi semua itu dialah yang memberi contoh, mereka hanya meniru. Dan ketika si buta ini menarik napas dalam dan mengepal tinju, tak boleh mereka ribut-ribut di situ maka tiba-tiba ia merasa terancam oleh muridnya nomor satu ini. Siauw Lam terlalu banyak tahu!
"Baiklah," katanya. "Tapi besok kita pergi. Di See-ouw-pang kalian tak boleh sembrono dan ingat bahwa kita dianggap orang baik-baik. Kalau sampai ada apa-apa dan kalian merusak kedudukanku maka betapapun aku tak akan mengampuni. Cam-kan dan jangan gegabah. Dan kau!" si buta menunjuk muridnya nomor dua. "Beberapa hari lagi kau harus melenyapkan gadis cilik itu, Beng San. Masa aku bermenantukan pelayan!"
Beng San mengangguk dan mengiyakan. Matanya bersinar lagi mendapat perintah, berarti ia akan mendapatkan gadis itu lagi. Dan ketika malam itu mereka beristirahat dan lagi-lagi sebuah ketidaksenangan muncul di hati Chi Koan maka si buta ini mulai menjaga jaraknya dengan Siauw Lam, diam-diam merasa lebih dekat dengan Beng San namun sebagai murid baru ia masih harus menguji lagi.
Sepak terjang dan ceplas-ceplos Siauw Lam kadang-kadang dirasa membahayakan dirinya, seperti peristiwa malam itu misalnya, di mana Beng San ikut-ikutan dan diajari suhengnya. Namun karena Siauw Lam adalah muridnya utama dan tak mungkin "membuang" begitu saja maka Chi koan mencari akal dan strategi bagaimana baiknya.
See-ouw-pang memiliki keramaian. Hari itu, tepat jatuhnya kumpulan tahunan orang-orang gagah maká tokoh-tokoh selatan bermunculan. Ning-pangcu ketua See-ouw- pang sibuk. Hilir-mudik perahu di Telaga See- ouw ramai sekali. Hampir sepuluh menit sekali perahu para murid menjemput dan mengantar tamu.
Ada yang sebuah berisi tiga sampai sepuluh penumpang namun tak kurang juga berisi hanya satu dua orang. Namun justeru yang berisi sedikit inilah tanda tamu-tamu penting, termasuk ketika seorang buta diantar dua pemuda di belakangnya, pemuda-pemuda tampan gagah berpakaian biru dan hijau.
Inilah Chi Koan dan dua muridnya. Pagi itu mereka telah berada di telaga dan begitu terlihat tiba-tiba dua perahu menyongsong. Mereka yang sudah diperintah ketuanya itu memang menunggu-nunggu, begitu muncul langsung dipapak. Dan ketika pendayungnya berloncatan turun menjura dan membungkuk dalam-dalam maka mereka berseru,
Chi-taihiap (pendekar Chi) dan jiwi- kongcu sudah ditunggu-tunggu. Selamat datang, pangcu sudah tak sabar. Silakan naik ke perahu kami dan jiwi (kalian berdua) memakai perahu itu, ini untuk Chi-taihiap!"
Kedatangan atau sambutan ini memang menarik. Di sebelah kiri dan kanan perahu itu terdapat perahu-perahu lain yang menjemput tamu-tamu undangan. Belasan orang berada di situ dan sebagian sudah ada yang melompat ke perahu-perahu See Ouw - pang; satu di antaranya berisi dua orang kakek dengan seorang gadis cantik.
Gadis ini mengelabang rambutnya ditaruh depan dada, bajunya bersulamkan benang emas dan dari dandanannya tampak bahwa ia seorang gadis cukup atau terpandang, di punggungnya tersisip sebatang pedang beronce hitam,ikat pinggangnya hitam dan ada tahi lalat hitam pula di sudut hidungnya, manis dan cantik, juga gagah.
Dan karena semua orang juga menoleh ke arah Chi Koan dan muridnya ini sambutan itu dinilai istimewa maka gadis di dalam perahu ini mendengus dan mengeluarkan kata-kata perlahan, tidak keras akan tetapi mereka yang berada dekat tentu saja mendengar.
"Huh, apa-apaan See-ouw-pang ini, orang asing saja begitu dihormat, sedangkan suhu dan susiokku disambut biasa-biasa. Awas kalau nanti aku bertemu Ning-pangcu, kuprotes dia!"
Chi Koan tertegun. la agak jauh namun telinganya yang tajam tentu saja dengar, bukan apa-apa ia melainkan semata kedatangannya ada yang tidak suka, hal yang tentu saja tak diingini. Dan karena iapun tak tahu siapa yang bicara dan siapa "suhu dan susiok" itu maka tiba-tiba ia mengetuk pundak Beng San berbisik perlahan.
Siapa gadis yang bersama suhu dan susioknya itu. Berapa orang mereka? Beng San memandang. Hadirnya Seorang gadis cantik dan merupakan satu- satunya di situ tentu saja sudah menjadi perhatianya secara khusus sejak tadi.
Hanya karena sang suheng menjawil dan mengingatkannya membuat ia sadar. entahlah sejak ia tahu hubungan pria wanita tiba-tiba saja dadanya selalu bergemuruh. la begitu haus dan lahap menikmati wajah-wajah cantik, apalagi seperti gadis di atas perahu itu. Maka ketika suhunya bertanya dan iapun balas berbisik maka ia mengatakan bahwa berahu itu hanya berisi dua kakek dan gadis cantik itu, tentu saja beserta pendayungnya.
"Mereka hanya tiga orang, ditambah pendayungnya. Ada apa, suhu, aku tak tahu siapa mereka."
"Baik, kalau begitu minta saja agar kita semua seperahu.. Kalian tak usah sendiri-sendiri."
Beng San mengerutkan kening. ta segera berkata bahwa perahu kedua tak usah dipakai saja, biar buat lain orang. Dan ketika murid See- ouw-pang itu terkejut dan Siauw Lam juga mengerutkan kening maka penjemput ini agak berkerut.
"Wah, ini pesan pangcu, mana aku berani. Guru kalian diminta di perahu ini, kongcu, sementara kalian di perahu itu. Nanti kami kena marah!"
"Tidak!" Chi Koan berkata, "Nanti aku yang bicara dengan ketuamu karena kami tak ingin diistimewakan. Banyak sahabat lain di sini, merekapun butuh penghormatan dan penghargaan."
Kalau orang sudah tahu siapa si buta ini tentu bakal terheran-heran mendengar omongannya itu. Chi Koan demikian lembut dan halus tutur katanya, sikapnya begitu bijak dan penuh pengertian padahal sesungguhnya semua ini hanya sandiwara belaka untuk mengelabuhi orang-orang di situ. Sebab bagi mereka yang sudah tahu siapa si buta ini tentu bakal curiga dan malah waspada.
Tak biasanya pria ini seperti itu. Dan karena Chi Koan sengaja bertutur kata lembut agar kesan baik-baik ditangkap orang-orang sekitar itulah maksudnya maka orang-orang di perahu merasa kagum dan hormat. Akan tetapi dua orang murid See-ouw-pang itu masih merasa ragu dan takut.
"Chi-taihiap, kami takut salah. Pang-cu nanti menghukum kami!"
"Aku yang akan mengatakan. Kalau ketuamu marah aku yang akan bicara. Sudahlah bawa kami menyeberang dan biarkan perahu kedua untuk cuwi-enghiong disini. Kami bukan kaisar, tak perlu berlebihan!" dan tidak banyak cakap memegang lengan Beng San si buta ini sudah minta dituntun ke perahu pertama, gerak-geriknya begitu mengharukan dan orang-orangpun iba.
Siapa tak iba melihat si buta ini tertatih memasuki perahu, salah injak dan hampir saja terguling. Dan ketika terdengar dengus mengejek dan itulah si gadis berpedang di punggung maka Beng San mengerutkan kening karena betapapun tiba-tiba ia merasa marah. Akan tetapi gurunya menekan pergelangan tangannya, berseru pendek,
"Bawalah kami menyeberang!" lalu ketika perahu bergerak disusul perahu kedua, ternyata orang ini tak berani memberikan perahunya kepada orang lain maka perahu yang ditumpangi gadis dan dua kakek itu bergerak dan ikut meluncur, membelah ombak kecil Telaga See-ouw.
Siapakah kakek dan gadis ini? Mereka bukan orang-orang sembarangan. Beng San maupun Siauw Lam tak akan mengenal dua kakek itu karena mereka tokoh-tokoh selatan yang jarang ke utara. Inilah Siang-liong-tah (Sepasang Naga Menara) yang amat terkenal di Kang-lam, memiliki ilmu andalan yang berdasarkan kekuatan kaki namun bukan berarti senjata tajam ataupun tangan kosong tak bisa.
Gadis itu adalah murid mereka bernama Lan Hoa, berwatak keras dan tinggi hati merasa sebagai murid-murid tokoh terkenal. Memang harus diakui bahwa di daerah Kang-lam dua orang kakek ini tiada tandingan. Sekali mereka telah mainkan Liong-jiauw-tui (Tendangan Kaki Naga) maka tak ada lawan yang sanggup bertahan. apalagi kalau dua kakek itu maju berbareng.
Namun karena biasanya cukup seorang saja sudah membuat lawan bertekuk lutut, kemenangan demi kemenangan membuat dua kakek itu bernama besar maka muridnya menjadi tinggi hati dan agaknya sifat ini menjadi penyakit bawaan manusia kalau mendompleng nama besar ayah atau guru.
Lan Hoa gadis yang cukup dimanja. Sebagai satu-satunya murid apalagi perempuan maka guru dan paman gurunya seringkali membiarkan gadis itu bertindak seenaknya, kadang-kadang merendahkan orang lain namun sepasang kakek itu tak merasa. Mereka menganggap bahwa itu wajar saja, bahkan kalau murid mereka disalahkan justeru dua orang ini akan marah. Nama besar dan kesombongan telah pula menghinggapi kakek ini, apalagi karena mereka seperti raja kecil di Kang lam, pembesarpun takut kepada mereka.
Maka ketika gadis itu mencemooh dan mengejek Chi Koan, diam-diam dua kakek ini memperhatikan dan saling lirik maka sesungguhnya merekapun merasa dongkol kenapa si buta yang asing dan belum pernah dilihat itu begitu diistimewakan Ning-pangcu. Apakah lebih istimewa daripada mereka!
Hal ini membuat Sepasang Naga Menara itu memberi kedipan. Perahu meluncur ke tengah dan perjalanan sudah tiba dibagian air yang dalam. Kakek sebelah kiri tiba-tiba mendoyongkan tubuhnya ke kiri, kaki menekan kuat dan perahu yang semula meluncur berendengan itu mendadak berbelok dan menuju perahu si buta.
Teriakan kaget murid See-ouw-pang tak dapat dicegah, ia tak dapat menguasai perahunya yang miring dan memotong cepat, langsung menghantam perahu Chi Koan. Dan ketika Beng San juga terkejut perahunya ditumbuk perahu itu, entah bagaimana perahu dua kakek itu membelok dan memotong perahunya maka pendayung di perahunya berteriak keras karena ia pun tak menduga dan tak sempat menghindarkan diri.
Akan tetapi Chi Koan miringkan kepala. Terkejut oleh teriakan-teriakan itu tiba-tiba ia menggerakkan tongkat, sesungguhnya waspada karena ia pun diam-diam marah oleh dengus mengejek tadi. Hanya karena ingin menampilkan diri sebagai orang baik-baik ia menekan semuanya itu, tak meladeni atau menggubris lawan.
Maka ketika perahu ditumbuk dan ia mendengar desir air terbelah, saat itulah tongkatnya bekerja maka... tuk, tongkat telah mendorong dengan sentuhan perlahan hingga tak sampai terbalik apalagi pecah. Kedua perahu sama bergeser dan selamat, meluncur lagi menuju daratan seberang.
Kakek sebelah kiri terkejut. Sesungguhnya ia mencoba dan sengaja membelokkan perahu dengan gerakan tubuhnya itu. Tekanan kakinya ke lantai perahu membuat perahu miring ke kiri, berputar dan saat itulah menumbuk perahu si buta.
"Ya-ya, aku... aku suka. Tapi bagaimana mendapatkannya?"
"Ha-ha, pilih dulu yang mana kau suka!"
"Yang baju kuning itu. Hm, cantiknya bukan main, suheng. Pahanya gempal padat. Aku suka itu!" Beng San menuding.
"Baik, kutotok dulu dan aku pilih yang hijau. Kau padamkan lampu!" Siauw Lam tertawa melihat sutenya gemetaran, dan tepat ia memberi tanda pemuda itupun berkelebat masuk. Bersamaan itu lampu padam. Namun karena pemuda ini sudah tahu di mana dua gadis itu berada. Secepat itu menotok dan melumpuhkan lawan maka dengan mudah Siauw Lum memanggul dan membawa keluar dua murid Sin-hong-pang ini, lampu kenbali menyala terang.
"Nah, kau yang kuning, aku yang hijau. Bagiku sama cantiknya, Sute, masalah mulus, ha-ha... dua-duanya mulus!"
Beng San menerima itu dengan gemetar bingung. "Tapi... tapi aku... !"
"Kita bawa kekamar, kita main bersama. Kalau kau belum tahu lihat dan contohlah aku...!"
"Ke kamar?"
"Ya, kamarku, sute. Contoh dan lihatlah aku. Barang semulus begini jangan di sia-siakan. Ayo, kembali dan ikuti aku!"
Beng San menelan ludah. Baru kali itu ia memondong dan memeluk seorang gadis. Tubuh lembut dan hangat itu membuatnya tak keruan, nafsu dan darahnya mendidih. Namun karena ia belum biasa dan tàk tahu caranya, sang suheng tertawa geli maka baru di kamar tahu apa yang harus dikerjakan.
Mula-mula Siauw Lam menjejali dua gadis itu dengan sebutir pil kuning muda. Dua gadis ini menggeliat dan mengeluh. Lalu ketika pemuda itu menciumi dan mulai membuka pakaian korbannya maka Beng San melotot melihat betapa suhengnya tak malu-malu pula melepas pakaian sendiri. Selanjutnya gadis itu membalas, tampak tidak sadar dan kemudian terdengarlah rintih dan erang tertahan.
Dan ketika selanjutnya pemuda itu terbakar oleh pemandangan yang baru kali itu selama hidup disaksikan maka Beng San mendengus dan kamar itu menjadi saksi bisu perbuatan biadab dua anak muda ini. Guru dan murid sama saja, sama-sama bejat! Malam itu benar-benar merupakan malam pengalaman bagi Beng San.
Siauw Lam sendiri tidak begitu asing karena sudah biasa melakukan hal ini. Kalau tidak atas dasar suka sama suku maka obat perangsang itulah yang digunakan. Sang gadis pasti roboh dan menyerahkan segala-galanya. Dan ketika malam itu keduanya tenggelam dalam nafsu berahi, Beng San demikian semangat dan lupa diri maka menjelang pagi Siauw Lam terpaksa mencegah sutenya bermabok-mabokan lagi. Beng San bagai memperlakukan gadis itu seperti isteri sendiri, padahal anak orang!
"Lepaskan, cukup. Kalau kita masih di sini esok masih ada waktu, sute. Sekarang kembalikan mereka dan jangan sampai diketahui orang."
"Tapi... tapi aku senang!"
"Jangan bodoh, kesenanganmu menggelincirkan. Ingat bahwa ini murid Sin-hong pang, sute, lagi pula suhu dan kita datang secara baik-baik. Kalau kita ketahuan dan suhu marah jangan tanya dosa. Mampus kau nanti!"
Beng San terkejut. la sadar dan mengkerut nyalinya. Wajah gurunya membuat ia takut. Dan ketika dengan terpaksa ia melepas gadis itu, diam-diam tertarik dan berkobar melihat kekasih suhengnya maka Siauw Lam tertawa berkata kepadanya.
"Jangan khawatir, malam nanti dapat bertukar pasangan. Kalau kau tertarik dan suka kepada gadis ini maka nanti kita ambil lagi, sute. Kita dapat bermain sepuas-puasnya lagi!"
"Sungguh?"
"Tentu saja!" dan ketika Siauw Lam meloncat dan membawa gadis baju hijau dan Beng San membawa gadis baju kuning maka bak mendapat durian runtuh anak muda ini mendengar bahwa sang suhu masih tinggal beberapa hari lagi di situ, tepatnya menunggu dua minggu lagi saat adanya pertemuan tahunan tokoh-tokoh selatan, menerima undangan ketua See-ouw pang di mana mereka nanti akan berkumpul dan bertemu para tokoh- tokoh itu.
"Ha- ha, sungguh rejeki besar. Ah, apa namanya, suheng. Mendapat rejeki kok begitu nomplok. Aduh, kita habiskan semua gadis- gadis di sini, kita cicipi mereka satu per satu!"
"Hush, mana mungkin. Jumlah mereka seratus lebih, sute, kalau kita masing-masing mendapat limapuluh berarti kita harus tinggal di sini limapuluh hari. Tak mungkin, keok kita nanti!"
"Tapi, tapi puas. Ah, baru pertama ini aku menikmati hal begitu menggembirakan dan seumur hidup tak bakal kulupakan!"
Beng San benar-benar lupa daratan. Bagai orang di gurun kering pemuda ini seakan mendapat limpahan air segar. Tidak tanggung-tanggung, seratus sumurpun akan dihabiskan. Tapi karena Siauw Lam ada di situ dan pemuda inilah yang mengerem sutenya, bisa-bisa sutenya itu gila birahi maka duabelas malam berturut-turut pemuda ini menghabiskan gadis-gadis Sin-hong-pang. Semuanya dibuat tidak sadar, hanya paginya para korban ini kesakitan dan merintih. Bagian paling pribadi berdarah.
Dan ketika mula-mula mereka diam saja, menganggap malam itu mendapat mimpi buruk maka masing-masing merahasiakan ini dan tidak bercerita satu sama lain. Dan hal itu barangkali tertutup rapat kalau saja pada malam terakhir Beng San tidak mengganggu gadis cilik bernama Pui Ti.
Gadis ini masih berusia di bawah umur, belum duabelas tahun. Merupakan murid terkecil dan kerjanya di belakang, dulu termasuk pelayan pribadi mendiang Siang-mauw Sian-li. Tapi sejak wanita itu tewas dan Mei Bo menggantikan pimpinan maka gadis ini melayani pimpinannya.
Beng San tak akan bertemu gadis ini kalau saja tidak kebetulan dipanggil suhunya. Chi Koan sendiri memadu kasih dengan Mei Bo, tentu saja tak menduga bahwa muridnya nomor dua melahap murid-murid Sin-hong-pang. Si buta itu sendiri sibuk dilayani Mei Bo, gadis itu berada dalam cengkeramannya dan ternyata pandai sekali bermain cinta. Diam-diam Chi Koan tertegun. Sebagai lelaki yang sudah berpengalaman tentu saja dia tahu bahwa kekasihnya ini bukan seorang gadis Suci Mei Bo telah tidak perawan.
Namun karena gadis itu pandai bermain cinta dan Chi Koan sendiri butuh hiburan, bukan maksudnya untuk tetap di situ maka siang itu Pui Ti membawa makan minumnya, disuruh Mei Bo. Dan kebetulan Chi Koan memanggil muridnya nomor dua ini untuk menggosok tongkatnya yang diam-diam terisi sebatang pedang lentur. Sebulan ini tongkat itu telah kasar dan kotor, dan si buta tak mau menyuruh orang lain menggosok tongkatnya itu, kecuali murid-muridnya sendiri.
"Bersihkan tongkatku dan gosok sampai mengkilat. Jangan dibawa ke mana-mana, Beng San, ingat itu dan kerjakan baik-baik."
Beng San mengangguk. Saat itulah Pui Ti keluar dan jantung pemuda ini berdesir, bukan apa-apa melainkan semata melihat wajah gadis cilik itu. Begitu mirip dengan Siao Yen! Dan karena ia masih menaruh cinta dan wajah gadis cilik ini mengingatkannya akan Siao Yen maka iblis tiba-tiba mengusiknya dan saat itulah pemuda ini ingin mendekati dan mencari tahu siapa dan di mana gadis ini berada.
Tidak sukar bagi murid si buta ini mengetahui apa yang ingin diketahuinya. Gadis cilik itu ternyata berkamar di belakang, sebelah dapur umum Sin-hong-pang. Dan ketika sambil menggosok ia membayangkan gadis itu, alangkah nikmatnya bercumbu dengan Siao Yen maka jantung di dada pemuda ini berdegup dan timbullah keinginan bahwa malam itu ia akan menyambar gadis ini.
Terjadilah apa yang direncanakan. Pemuda ini sudah memasuki kamar gadis cilik itu ketika malam mulai dingin. Tanpa banyak kesukaran ia menotok dan melumpuhkan korbannya. Dan karena dua belas hari ini ia sudah begitu biasa, Beng San tak begitu takut atau berhati-hati maka pemuda ini tak memadamkan lampunya padahal saat itu berkelebat bayangan lain yang kebetulan melihat dirinya. Mei Bo, pimpinan Sin-hong-pang itu!
Mula-mula wanita ini terbelalak melihat sesosok laki-laki berindap menuju kamar Pui Ti. Waktu itu ia hendak memanggil gadis ini memijat tubuhnya. Belasan hari melayani si buta membuat wanita itu kecapaian. Saat itupun ia baru saja selesai melayani Chi Koan, hendak ke kamar mandi dan kebetulan melewati gadis cilik itu, sekalian hendak menyuruhnya memijat tubuh yang lemas capai.
Chi Koan laki-laki hebat yang membuat ia kagum. Bagai seekor kuda jantan saja si buta itu mengimbangi permainan cintanya, kuat dan tak kenal lelah. Dan ketika akhirnya dia sendiri yang kecapaian dan hendak minta dipijat maka dilihatnya bayangan pemuda itu dan tentu saja wanita ini terkejut.
"Beng San!" hampir ia memaggil. Akan tetapi wanita ini menahan seruannya segera mengenal pemuda itu dan justeru terheran dia mengikuti secara diam-diam. Pandang matanya belum memancarkan kecurigaan. Namun ketika pemuda itu berkelebat masuk dan tak lama kemudian membawa Pui Ti, gadis itu terkulai pingsan maka wanita ini berdetak. Curigapun timbul!
Namun wanita ini tak mencegat ataupun membentak. Justeru mengikuti pemuda itu dimana Beng San kembali ke kamarnya sendiri. Dengan bergegas menahan nafsunya pemuda itu meletakkan gadis ini di pembaringannya, menciumi dan tak lama kenudian sudah mencopoti semua pakaian gadis cilik itu. Dan ketika Mei Bo terbelalak dan kaget serta marah melihat pemuda itu membuang pakaian sendiri, maklumlah dia apa yang akan terjadi maka wanita ini tak tahan dan iapun mendobrak pintu kamar.
"Jahanam keparat!" bukan main kagetnya Beng San. "Kau hendak memperkosa seorang anak kecil, Beng San. Bedebah terkutuk!"
Beng San terkejut dan pucat pasi. Ia sama sekali tak menyangka perbuatannya diketahui, ditendang dan terlempar bergulingan sementara Wanita itu sudah menyambar pelayannya. Beng San telah memberikan obat perangsang sebagai kebiasaannya, gadis itu merintih dan mengeluh karena Beng San sudah membuka totokan.
Maka ketika pemuda ini terkesiap dan menyambar pakulannya sendiri, wanita itu tentu saja mengenalnya maka sejenak pemuda ini tak mampu berkata apa-apa dan meloncat bangun dengan sikap bingung dan menyesal, Mei Bo telah membalik dan menutupi tubuh gadis cilik itu dengn pakaian seadanya, berapi-api memandang pemuda ini. telunjuk menuding.
"Kau...! Hayo menghadap gurumu, kulaporkun ini. Atau aku membunuhmu dan Sin-hong-pang akan mengadu jiwa denganmu!"
Beng San berketruk gigi dengan pandang mata bersalah dan juga marah. la menyesal bukan main kenapa begitu ceroboh. Keberhasilannya duabelas hari berturut-turut membuat ia lengah, padahal sebenarnya sudah cukup berhati-hati membawa korbannya ke situ, tidak di kamar Pui Ti. Dan ketika ia bingung serta gugup harus berbuat apa, ia tahu bahwa wanita ini kekasih gurunya maka tahu-tahu terdengar suara batuk-batuk dan gurunya sudah di situ, disusul suhengrya Siau Lam.
"Hm, kau memalukan, berbuat dosa besar. Untung perbuatanmu diketahui Mei Bo, Beng San, kalau para murid tentu lebih banyak yang tahu. Sekarang jelaskan sikapmu kenapa hendak mengganggu gadis itu. Cepat atau aku membunuhmu tanpa banyak bicara!"
"Ampun,...!" pemuda ini menjatuhkan. diri berlutut. "Teecu... teecu teringat kekasih teecu, suhu. Gadis ini mirip Siao Yen. Teecu kemasukan iblis dan mengaku salah. Mohon ampun, namun teecu siap mempertanggungjawabkan perbuatan ini!"
Mei Bo terkejut girang. Kepandaian si buta yang tahu-tahu berada di kamar dan menegur muridnya membuat ia terkejut namun gembira. Betapapun ia masih tak menduga bahwa sesungguhnya guru dan murid merupakan srigala-srigala buas.
Chi Koan mendengar ribut-ribut itu dengan telinganya yang tajam, sementara Siauw Lam melihat bayangan pimpinan Sin-hong-pang ini di kamar sutenya, lalu pintu yang didobrak keras. Dan ketika wanita itu menjadi girang dan melihat sikap yang keras, tentu saja Chi Koan harus menegur muridnya maka Mei Bo membentak merasa mendapat dukungan.
"Benar, kebetulan gurumu ada di sini. Sekarang kau tak dapat lari, Beng San, apa maksudmu mempertanggungjawabkan tadi. Memandang muka gurumu yang mulia dan baik hati kami Sin-hong-pang tak akan banyak menuntut asal kau menerima hukuman setimpal!"
Beng San menoleh, lalu menengok suhengnya. "Harap suheng bantu aku. Kita.. eh.. aku..!"
"Kau bersalah, belum menjawab pertanyaan itu. Kalau kau jelaskan sikapmu dan maksudmu bertanggung jawab barangkali suhu meringankan hukumanmu sute. Aku tak dapat berbuat banyak karena kau mencemarkan nama baik suhu!"
Ia sadar. Beng San segera tanggap bahwa gurunya dianggap orang baik-baik oleh Sin-hong-pang dan See-ouw-pang. Untung Ning-pangcu dari Telaga See-ouw itu sudah pulang. Maka mengangguk dan membentur-benturkan jidatnya segera ia berkata,
"Teecu mengaku salah, teecu mengaku berdosa. Dan karena teecu hampir saja mengganggu gadis ini biarlah sekarang juga teecu menyatakan bahwa ia adalah calon isteri teecu. Kelak kalau ia besar teecu akan mengawininya. lnilah pertanggungjawaban teecu!"
"Hm, muridku telah menjawab, bagaimana pendapatmu. Apakah cukup pertanggungjawaban ini Mei Bo. Kalau kurang boleh tambah."
"Tidak," Mei Bo memandang muka si buta. "Pertanggungjawaban itu sudah cukup, Chi-twako, tapi kami Sin-hong-pang tentu saja akan memasang pengumuman. Sejak ini Pui Ti calon isteri Beng San!"
Pemuda itu tak dapat berkutik. Beng San menerima gadis pelayan ini dengan terpaksa, diam-diam mengumpat. Dan ketika Mei Bo membawa gadis itu setelah diberi obat penawar maka si buta tentu saja marah-marah kepada muridnya. Beng San dimaki habis-habisan.
"Tolol, goblok! Siapa mengajarimu untuk berbuat sebodoh ini. Aku datang dan dimuliakan di tempat ini, Beng San, kau merusaknya dengan tindakanmu yang begitu brutal. Tahukah kau apa jadinya kalau aku tidak cepat-cepat datang!"
"Ampunkan teecu, teecu sembrono. Tapi maaf... bukankah teecu dapat menghadapi wanita itu, suhu. Bukankah suhu tak sungguh-sungguh dengan Mei Bo. Maksud teecu...!"
"Dari mana kau tahu!" bentakan itu membuat Beng San mengkeret. "Siapa bilang, aku main-main saja, Beng San, dari mana kau tahu itu!"
"Ampunkan teecu, semua ini teecu tahu dari suheng. Dan... dan suheng jugalah yang membakar teecu dengan urusan wanita!"
Beng San menyeret Siauw Lam dan tak ada lain jalan untuk mengalihkan kemarahan gurunya itu. Memang semua ini bermula dari sang suheng, Siauw Lam itulah yang mengajarinya. Dan ketika Chi Koan tertegun dan memandang muridnya maka Siauw Lam tersenyum kecut tertawa lirih. Hubungannya yang lebih lama dengan sang suhu membuat sang suhu harus menahan diri.
"Maaf, itu benar. Tapi semua ini bermula dari Beng San juga, suhu. Waktu itu ia mengintai suhu yang bermesra-mesraan dengan Mei Bo. Daripada birahinya melenceng lebih baik kucarikan jalan keluar. Inilah keteranganku."
Chi Koan terkejut juga. Tiba-tiba sadarlah dia bahwa anak seusia Beng San bukan seorang bocah lagi. Mereka ini hampir duapuluh tahun. Maka ketika menaha marahnya dan bertanya apa saja yang telah dilakukan murid-muridnya maka Siauw Lam menyeringai.
"Kami tidak melakukan apa-apa, hanya mencontoh suhu. Daripada kami kesepian sendiri maka kamipun mencari mainan."
"Berapa orang yang kalian jadikan korban!"
"Dua puluhan, suhu, setiap malam. Kami bagi dua dan sute begitu bersemangat.”
"Dua puluhan orang? Kalian masing-masing seorang?"
"Ya, dan sute begitu senang. Tapi malam ini sute hilang kontrol dan tak kuduga mengganggu seorang perawan kencur!'
Siauw Lam tertawa, tak malu-malu dan Beng San menyeringai juga. Suhengnya memang lebih dekat dengan suhunya itu, jadi juga lebih berani. Dan ketika Chi Koan berubah namun lagi-lagi harus menahan marah maka baru malam itulah ia tahu sepak terjang murid-muridnya. Tapi semua itu dialah yang memberi contoh, mereka hanya meniru. Dan ketika si buta ini menarik napas dalam dan mengepal tinju, tak boleh mereka ribut-ribut di situ maka tiba-tiba ia merasa terancam oleh muridnya nomor satu ini. Siauw Lam terlalu banyak tahu!
"Baiklah," katanya. "Tapi besok kita pergi. Di See-ouw-pang kalian tak boleh sembrono dan ingat bahwa kita dianggap orang baik-baik. Kalau sampai ada apa-apa dan kalian merusak kedudukanku maka betapapun aku tak akan mengampuni. Cam-kan dan jangan gegabah. Dan kau!" si buta menunjuk muridnya nomor dua. "Beberapa hari lagi kau harus melenyapkan gadis cilik itu, Beng San. Masa aku bermenantukan pelayan!"
Beng San mengangguk dan mengiyakan. Matanya bersinar lagi mendapat perintah, berarti ia akan mendapatkan gadis itu lagi. Dan ketika malam itu mereka beristirahat dan lagi-lagi sebuah ketidaksenangan muncul di hati Chi Koan maka si buta ini mulai menjaga jaraknya dengan Siauw Lam, diam-diam merasa lebih dekat dengan Beng San namun sebagai murid baru ia masih harus menguji lagi.
Sepak terjang dan ceplas-ceplos Siauw Lam kadang-kadang dirasa membahayakan dirinya, seperti peristiwa malam itu misalnya, di mana Beng San ikut-ikutan dan diajari suhengnya. Namun karena Siauw Lam adalah muridnya utama dan tak mungkin "membuang" begitu saja maka Chi koan mencari akal dan strategi bagaimana baiknya.
* * * * * * * *
See-ouw-pang memiliki keramaian. Hari itu, tepat jatuhnya kumpulan tahunan orang-orang gagah maká tokoh-tokoh selatan bermunculan. Ning-pangcu ketua See-ouw- pang sibuk. Hilir-mudik perahu di Telaga See- ouw ramai sekali. Hampir sepuluh menit sekali perahu para murid menjemput dan mengantar tamu.
Ada yang sebuah berisi tiga sampai sepuluh penumpang namun tak kurang juga berisi hanya satu dua orang. Namun justeru yang berisi sedikit inilah tanda tamu-tamu penting, termasuk ketika seorang buta diantar dua pemuda di belakangnya, pemuda-pemuda tampan gagah berpakaian biru dan hijau.
Inilah Chi Koan dan dua muridnya. Pagi itu mereka telah berada di telaga dan begitu terlihat tiba-tiba dua perahu menyongsong. Mereka yang sudah diperintah ketuanya itu memang menunggu-nunggu, begitu muncul langsung dipapak. Dan ketika pendayungnya berloncatan turun menjura dan membungkuk dalam-dalam maka mereka berseru,
Chi-taihiap (pendekar Chi) dan jiwi- kongcu sudah ditunggu-tunggu. Selamat datang, pangcu sudah tak sabar. Silakan naik ke perahu kami dan jiwi (kalian berdua) memakai perahu itu, ini untuk Chi-taihiap!"
Kedatangan atau sambutan ini memang menarik. Di sebelah kiri dan kanan perahu itu terdapat perahu-perahu lain yang menjemput tamu-tamu undangan. Belasan orang berada di situ dan sebagian sudah ada yang melompat ke perahu-perahu See Ouw - pang; satu di antaranya berisi dua orang kakek dengan seorang gadis cantik.
Gadis ini mengelabang rambutnya ditaruh depan dada, bajunya bersulamkan benang emas dan dari dandanannya tampak bahwa ia seorang gadis cukup atau terpandang, di punggungnya tersisip sebatang pedang beronce hitam,ikat pinggangnya hitam dan ada tahi lalat hitam pula di sudut hidungnya, manis dan cantik, juga gagah.
Dan karena semua orang juga menoleh ke arah Chi Koan dan muridnya ini sambutan itu dinilai istimewa maka gadis di dalam perahu ini mendengus dan mengeluarkan kata-kata perlahan, tidak keras akan tetapi mereka yang berada dekat tentu saja mendengar.
"Huh, apa-apaan See-ouw-pang ini, orang asing saja begitu dihormat, sedangkan suhu dan susiokku disambut biasa-biasa. Awas kalau nanti aku bertemu Ning-pangcu, kuprotes dia!"
Chi Koan tertegun. la agak jauh namun telinganya yang tajam tentu saja dengar, bukan apa-apa ia melainkan semata kedatangannya ada yang tidak suka, hal yang tentu saja tak diingini. Dan karena iapun tak tahu siapa yang bicara dan siapa "suhu dan susiok" itu maka tiba-tiba ia mengetuk pundak Beng San berbisik perlahan.
Siapa gadis yang bersama suhu dan susioknya itu. Berapa orang mereka? Beng San memandang. Hadirnya Seorang gadis cantik dan merupakan satu- satunya di situ tentu saja sudah menjadi perhatianya secara khusus sejak tadi.
Hanya karena sang suheng menjawil dan mengingatkannya membuat ia sadar. entahlah sejak ia tahu hubungan pria wanita tiba-tiba saja dadanya selalu bergemuruh. la begitu haus dan lahap menikmati wajah-wajah cantik, apalagi seperti gadis di atas perahu itu. Maka ketika suhunya bertanya dan iapun balas berbisik maka ia mengatakan bahwa berahu itu hanya berisi dua kakek dan gadis cantik itu, tentu saja beserta pendayungnya.
"Mereka hanya tiga orang, ditambah pendayungnya. Ada apa, suhu, aku tak tahu siapa mereka."
"Baik, kalau begitu minta saja agar kita semua seperahu.. Kalian tak usah sendiri-sendiri."
Beng San mengerutkan kening. ta segera berkata bahwa perahu kedua tak usah dipakai saja, biar buat lain orang. Dan ketika murid See- ouw-pang itu terkejut dan Siauw Lam juga mengerutkan kening maka penjemput ini agak berkerut.
"Wah, ini pesan pangcu, mana aku berani. Guru kalian diminta di perahu ini, kongcu, sementara kalian di perahu itu. Nanti kami kena marah!"
"Tidak!" Chi Koan berkata, "Nanti aku yang bicara dengan ketuamu karena kami tak ingin diistimewakan. Banyak sahabat lain di sini, merekapun butuh penghormatan dan penghargaan."
Kalau orang sudah tahu siapa si buta ini tentu bakal terheran-heran mendengar omongannya itu. Chi Koan demikian lembut dan halus tutur katanya, sikapnya begitu bijak dan penuh pengertian padahal sesungguhnya semua ini hanya sandiwara belaka untuk mengelabuhi orang-orang di situ. Sebab bagi mereka yang sudah tahu siapa si buta ini tentu bakal curiga dan malah waspada.
Tak biasanya pria ini seperti itu. Dan karena Chi Koan sengaja bertutur kata lembut agar kesan baik-baik ditangkap orang-orang sekitar itulah maksudnya maka orang-orang di perahu merasa kagum dan hormat. Akan tetapi dua orang murid See-ouw-pang itu masih merasa ragu dan takut.
"Chi-taihiap, kami takut salah. Pang-cu nanti menghukum kami!"
"Aku yang akan mengatakan. Kalau ketuamu marah aku yang akan bicara. Sudahlah bawa kami menyeberang dan biarkan perahu kedua untuk cuwi-enghiong disini. Kami bukan kaisar, tak perlu berlebihan!" dan tidak banyak cakap memegang lengan Beng San si buta ini sudah minta dituntun ke perahu pertama, gerak-geriknya begitu mengharukan dan orang-orangpun iba.
Siapa tak iba melihat si buta ini tertatih memasuki perahu, salah injak dan hampir saja terguling. Dan ketika terdengar dengus mengejek dan itulah si gadis berpedang di punggung maka Beng San mengerutkan kening karena betapapun tiba-tiba ia merasa marah. Akan tetapi gurunya menekan pergelangan tangannya, berseru pendek,
"Bawalah kami menyeberang!" lalu ketika perahu bergerak disusul perahu kedua, ternyata orang ini tak berani memberikan perahunya kepada orang lain maka perahu yang ditumpangi gadis dan dua kakek itu bergerak dan ikut meluncur, membelah ombak kecil Telaga See-ouw.
Siapakah kakek dan gadis ini? Mereka bukan orang-orang sembarangan. Beng San maupun Siauw Lam tak akan mengenal dua kakek itu karena mereka tokoh-tokoh selatan yang jarang ke utara. Inilah Siang-liong-tah (Sepasang Naga Menara) yang amat terkenal di Kang-lam, memiliki ilmu andalan yang berdasarkan kekuatan kaki namun bukan berarti senjata tajam ataupun tangan kosong tak bisa.
Gadis itu adalah murid mereka bernama Lan Hoa, berwatak keras dan tinggi hati merasa sebagai murid-murid tokoh terkenal. Memang harus diakui bahwa di daerah Kang-lam dua orang kakek ini tiada tandingan. Sekali mereka telah mainkan Liong-jiauw-tui (Tendangan Kaki Naga) maka tak ada lawan yang sanggup bertahan. apalagi kalau dua kakek itu maju berbareng.
Namun karena biasanya cukup seorang saja sudah membuat lawan bertekuk lutut, kemenangan demi kemenangan membuat dua kakek itu bernama besar maka muridnya menjadi tinggi hati dan agaknya sifat ini menjadi penyakit bawaan manusia kalau mendompleng nama besar ayah atau guru.
Lan Hoa gadis yang cukup dimanja. Sebagai satu-satunya murid apalagi perempuan maka guru dan paman gurunya seringkali membiarkan gadis itu bertindak seenaknya, kadang-kadang merendahkan orang lain namun sepasang kakek itu tak merasa. Mereka menganggap bahwa itu wajar saja, bahkan kalau murid mereka disalahkan justeru dua orang ini akan marah. Nama besar dan kesombongan telah pula menghinggapi kakek ini, apalagi karena mereka seperti raja kecil di Kang lam, pembesarpun takut kepada mereka.
Maka ketika gadis itu mencemooh dan mengejek Chi Koan, diam-diam dua kakek ini memperhatikan dan saling lirik maka sesungguhnya merekapun merasa dongkol kenapa si buta yang asing dan belum pernah dilihat itu begitu diistimewakan Ning-pangcu. Apakah lebih istimewa daripada mereka!
Hal ini membuat Sepasang Naga Menara itu memberi kedipan. Perahu meluncur ke tengah dan perjalanan sudah tiba dibagian air yang dalam. Kakek sebelah kiri tiba-tiba mendoyongkan tubuhnya ke kiri, kaki menekan kuat dan perahu yang semula meluncur berendengan itu mendadak berbelok dan menuju perahu si buta.
Teriakan kaget murid See-ouw-pang tak dapat dicegah, ia tak dapat menguasai perahunya yang miring dan memotong cepat, langsung menghantam perahu Chi Koan. Dan ketika Beng San juga terkejut perahunya ditumbuk perahu itu, entah bagaimana perahu dua kakek itu membelok dan memotong perahunya maka pendayung di perahunya berteriak keras karena ia pun tak menduga dan tak sempat menghindarkan diri.
Akan tetapi Chi Koan miringkan kepala. Terkejut oleh teriakan-teriakan itu tiba-tiba ia menggerakkan tongkat, sesungguhnya waspada karena ia pun diam-diam marah oleh dengus mengejek tadi. Hanya karena ingin menampilkan diri sebagai orang baik-baik ia menekan semuanya itu, tak meladeni atau menggubris lawan.
Maka ketika perahu ditumbuk dan ia mendengar desir air terbelah, saat itulah tongkatnya bekerja maka... tuk, tongkat telah mendorong dengan sentuhan perlahan hingga tak sampai terbalik apalagi pecah. Kedua perahu sama bergeser dan selamat, meluncur lagi menuju daratan seberang.
Kakek sebelah kiri terkejut. Sesungguhnya ia mencoba dan sengaja membelokkan perahu dengan gerakan tubuhnya itu. Tekanan kakinya ke lantai perahu membuat perahu miring ke kiri, berputar dan saat itulah menumbuk perahu si buta.
Namun karena maksudnya gagal sebab perahu disentuh ujung tongkat, terdorong dan bergeser menjauh maka kakek ini tertegun karená dari sentuhan tadi ia merasa betapa kuat dan ampuhnya ujung tongkat tadi. Perahu terasa bergetar dan bergoyang, padahal hanya ditekan sedikit saja!
"Hm," kakek ini penasaran. "Kucoba lagi, suheng. Kutabrak pecah!"
Kakek di sebelah kanan mengangguk. Tubrukan tadi seakan tak sengaja namun kali ini sudah tereng-terangan. Kakek itu berdiri dan menekan lantai perahu dengan amat kuatnya. Murid See-ouw-pang berseru tertahan dan mengerti sekarang, dayungnya sampai terputar. Dan ketika perahu miring sebelah kiri untuk kemudian meluncur dan menghantam si buta maka Beng San dan Siauw Lam juga sadar bahwa kakek di perahu itu sengaja berbuat ulah.
"Awas, suhu...!"
Chi Koan tersenyum. Sesungguhnya ia telah mendengar kata-kata lawan, telinganya terlampau tajam untuk membiarkan segalanya lewat. Maka ketika perahu ditabrak dan Siauw Lam hampir saja membentak, dicegah dan gurunya menggerakkan tongkat maka lagi-lagi tongkat di tangan si buta itu menotol dan perahu si kakek terputar dan hampir saja terbalik dan penghuninya berteriak satu sama lain.
"Tak!"
Chi Koan mengerahkan Hok-te Sin-kangnya. Dari ujung tongkat keluar tenaga sakti, menyengat dan membuat kakek dan gadis serta murid See-ouw-pang itu berjengit. Mereka bagai disetrom! Akan tetapi karena sentuhan hanya sebentar saja dan dua kakek itu kaget menyeimbangkan perahu maka mereka yang hampir terbalik dan kaget bukan main tahu-tahu melihat perahu si buta melesat dan meluncur jauh di depan. Chi Koan tak mau ambil resiko dengan permainan di atas air.
"Ah, dia... iblis si buta itu. Hebat tenaganya, suheng. Entah siapa dia tapi mari kita kejar. Biar di depan Ning-pangcu kita mendapat keterangan!" kakek sebelah kiri berubah mukanya dan tentu saja semakin penasaran dan marah.
Lawan mengayunkan tongkat dan perahu bagai didorong, melesat dan meninggalkan mereka yang masih berkutat menyeimbangkan diri. Salah-salah bisa terbalik kalau tidak kuat menahan. Dan ketika gadis berpedang itu juga berubah dan kaget sekali, mulailah dia tak memandang rendah maka yang mengeluh adalah murid See-ouw-pang yang mendayung itu. Dayungnya mencelat dan masuk ke dalam air!
"Celaka, sam-wi (kalian bertiga) akan sedikit lama, dayungku hilang. Harap bersabar dan aku akan mendayung dengan tangan!"
"Tak perlu, kami dapat membantumu dan melakukan seperti apa yang dilakukan si buta itu!" kakek yang terlanjur marah tni mengibas ke samping, perahu melesat dan mencelat pula hingga si murid See-ouw-pang nyaris terjungkal, berteriak. Kalau saja keadaan tidak begitu tegang tentu gadis berpedang akan tertawa geli, susioknya membuat laki-laki itu terpelanting, hampir saja masuk telaga.
Dan ketika perahu meluncur dan mengejar perahu di depan ternyata si buta telah lebih dulu di daratan sana disambut Ning-pangcu dan dua orang wakilnya dengan wajah berseri-seri. Ketua See-ouw-pang ini keluar sendiri sebagai tanda sambutan luar biasa.
"Selamat datang, taihiap benar-benar memenuhi undangan. Terima kasih, Chi-taihiap, mohon maaf bila sambutan kami kurang berkenan!" tapl memandang muridnya yang tidak memecah rombongan menjadl dua dia menegur, "Kenapa kau tidak memberikan perahu khusus untuk Chi-taihiap. Bukankah sudah kuperintah untuk menghormat tamu."
"Maafkan, dia tidak bersalah. Aku yang minta penyambutan begini, pangcu, tak enak kepada tamu undangan lain yang merasa kurang dihargai. Kami datang bukan untuk mengagulkan diri, tak enak kalau belum apa-apa ada pihak-pihak yang kurang senang."
Ning-pangcu terbelalak. Chi Koan cepat-cepat menjawab karena saat itu dua kakek dan gadis di perahu itu sudah berloncatan pula. Kakek sebelah kiri melotot dan merah padam. Namun ketika laki-laki ini mengangguk dan berseri-seri, kuatlah pendapatnya bahwa si buta ini amat rendah hati dan menjaga perasaan orang lain maka ia tertawa dan berseru menyambut pula dua kakek dan gadis itu!
"Ha-ha kebetulan. Yang terhormat Siang-liong-tah datang pula memenuhi undangan. Selamat datang, jiwi-locianpwe, perkenalkan tamuku ini Chi-taihiap, ia murid Gobi. Tentu jiwi sudah mendengar musuh bebuyutan Naga Gurun Gobi Peng Houw, nah inilah Chi Koan!"'
"Chi Koan?" dua kakek itu terkejut.
"Ya, Chi-taihiap, inilah orangnya. Mari masuk dan selamat datang!"
Akan tetapi dua kakek itu tiba-tiba meludah. Kakek di sebelah kiri bahkan mendengus, dan ketika Ning-pangcu terkejut membelalakkan mata maka kakek itu berseru, "Ning-pangcu, kami orang-orang selatan bukannya tidak mendengar nama besar bocah ini, akan tetapi tidak tahukah kau siapa dia. Di samping bernama besar juga bernama buruk, maaf kami tak datang kalau tahu begini!"
"Ah, jiwi-locianpwe jangan berkata begitu. Fitnah besar menimpa tamu kita ini. Mari masuk dan nanti dengarkan omonganku. Harap pandang mukaku dan segala persoalan bisa dibicarakan nanti, bukankah pertemuan tahunan ini antara lain membahas Semua persoalan-persoalan yang tidak beres, juga segala uneg-uneg!"
Kakek itu tertegun, lalu ketika Beng San dan Siauw Lam merah mukanya mendengar sikap dan omongan kakek ini, yang sama sekali tak perduli maka justeru suhu mereka tersenyum dan menjura. Sikap Chi Koan benar- benar luar biasa baik, mencengengkan sekaligus meragukan dua tokoh tua ini.
"Jiwi-locianpwe (dua orang tua sakti) kiranya Siang-liong-tah yang tersohor, maafkan aku yang muda. Karena tak tahu maka telah berlaku kurang hormat. Karena undangan berasal dari tuan rumah tentunya jiwi harus memenuhi dan Ning pangcu tak bersalah apa-apa. Adalah aku yang memang terlanjur dicap buruk, kalau kini aku datang memenuhi undangan See-ouw-pang antara lain ingin mengikis habis semua kabar jelek yang melękat di tubuhku. Namun kalau aku tak diberi kesempatan dan hanya mengotori tempat ini saja tentu aku siap pergi. Silakan jiwi di depan dan harap Ning-pangcu mendahulukan tokoh- tokoh tua macam jiwi-loclanpwe ini daripada aku."
Bukan main kagum dan hormatnya ketua See-ouw-pang itu terhadap si buta. la tahu baik bahwa dua kakek gagah ini meskipun lihai akan tetapi tak mungkin menang menghadapi pemuda íni. Tandingan si buta hanya Naga Gurun Gobi! Maka ketika ia mengangguk-angguk dan berseru kagum, justeru sikap dan kata-kata. Itu dipergunakannya untuk menghadapi kakek gagah ini Ning-pangcu mengangkat tangannya.
"Lihat, jiwi-locianpwe buktikan kata-kata dan kerendahan hati ini. Kami dari See-ouw-pang telah tahu baik sepak terjang dan tingkah laku Chi-taihiap ini. Dialah yang menyelamatkan See-ouw-pang dan Sin-hong- pang dari ganasnya Naga Gurun Gobi. Meskipun gagal dan Sin-hong-pangcu akhirnya tewas namun segala budi baik dan pertolongannya tak dapat kami lupakan. Pertemuan ini akan membahas itu pula, harap jiwi masuk dan mari Chi-taihiap bersama-sama pula!"
"Biarlah yang tua di depan,!" Chi Koan tetap merendah. "Kami orang-orang muda tak berani mendahului. Hanya karena belum saling kenal saja kami bersinggungan sedikit. Maaf dan harap jiwi locianpwe masuk."
Dua kakek itu mengerutkan kening. mendengar segala cerita Ning-pangcu tentu saja mereka tertegun dan terheran-heran. Berita tewasnya Siang-mouw Sian-li tentu saja telah mereka dengar. Hanya bahwa pemuda ini yang menolong dan menyembuhkan baru kali itu mereka tahu, Maka ketika mereka mengangguk dan bangkit kejumawaannya, Si buta begitu merendah dan naiklah kembali harga diri mereka maka Sepasang Naga Menara ini, melunak, sedikit tersenyum dan tentu saja harus menghargai tuan rumah.
"Baikiah, berita aneh-aneh ini baru kali ini kami dengar. Kalau Ning-enghiong benar biarlah kami dengar cerita selengkapnya nanti. Terima kasih dan maaf kami masuk!"
Chi Koan tersenyum dan bersikap tenang. Bukan tanpa maksud kalau dia begitu merendah dan bersikap bak orang bijak. Strateginya memang harus begitu, dia harus mengambil hati dan mengembalikan nama baik yang telah "dirusak" Peng Houw. Maka ketika dia mengikuti dan tuan rumah sejenak blngung, Chi Koan berkata biarlah tak perlu ia dihormat berlebihan maka tiba di kursi tamu si buta inipun tak mau di depan sendiri, tak mau menonjol. Orang baik-baik memang harus begitu, tak boleh sombong!
"Aku sungkan berdampingan dengan jiwi-lo-enghiong itu, biarlah di barisan belakang saja. Pangcu harap tak perlu berlebihan dan biarlah tamu-tamu kehormatan duduk di situ!"
"Tapi..!"
"Sudahlah, urus dan sambut tamu-tamumu yang lain, pangcu. Kami bertiga di belakang dan jangan khawatir kami menganggapmu tak hormat. Justeru kami rikuh, kami orang asing di selatan ini."
Bukan main kagumnya ketua See-ouw-pang itu. Sama sekali ia tak tahu permainan alias sandiwara si buta ini, Chi Koan terlampau cerdik. Dan ketika ia mendecak penuh hormat sementara Chi Koan sudah memilih bangku di belakang duduk bersama dua muridnya maka terpaksa tuan rumah meninggalkannya untuk menyambut tamu-tamu lain. Beng San dan Siauw Lam mulai berbisik-bisik, memandang datangnya tamu-tamu lain khususnya wanita, apalagi yang cantik!
"Aneh, suhu ini ganjil. Dua kakek tadi jelas sombong dan minta pelajaran, suheng. Kenapa suhu begitu lunak dan amat ramah. Kalau aku, tentu sudah kuhajar dan kubogem mentah!"
"Hm, kau salah. Di sini yang datang adalah tokoh-tokoh utama, Beng San, para pendekar dan golongan putih. Kalau kau bersikap seperti itu dan brutal macam berandalan saja maka namamu jelek. Suhu benar, di sini kita harus bersantun-santun dan ikut-ikut baik. Bukankah pertemuan ini dihadiri golongan putih dan para cianpwe (tingkat atas) yang harus kita hormati. Biarpun sombong namun dua kakek itu golongan tua, tak ada jeleknya mengalah dan merendah."
"Tapi suhu diejek, tadi malah diserang!"
"Itulah maka harus dltunjukkan sikap sebaliknya. Kalau orang berbuat kasar kita malah halus, sute, jangan membalas sama kasar karena kita orang asing di sini. Sebagai tamu kita harus berbaik-baik."
"Tapi aku tak sabar!"
"Heh-heh, sudahlah. Lihat itu ada pengunjung baru, gadis-gadis cantik"
Pembicaraan terhenti dan Beng San memandang ke arah yang ditunjuk suhengnya. Dari pintu halaman masuklah dua gadis jelita berpakaian kembar hitam-hitam. Ikat pinggang mereka putih dan lebar sementara rambut mereka disanggul tinggi. Hiasannya terbuat dari batu giok dan siapapun akan kagum dan terpesona memandang gadis-gadis itu.
Mereka tak membawa apa-apa dan datang berdua saja, tentu saja menarik perhatian dan semua tamu segera tersedot ke sini. Lan Hoa, gadis berpedang itu tiba-tiba kalah cantik dengan gadis yang baru datang ini, pamornya begitu terang dan Beng San berdegup kencang.
Bukan main cantiknya mereka itu. Bibir memerah basah sementara senyum dan mata mereka yang bundar jernih bak bintang kejora di langit timur. Dan ketika mereka tampak menjura dan disambut Ning- pangcu, buru-buru lelaki ini membalas tergopoh maka terdengar Ning-pangcu gembira menyambut mereka, kata-katanya nyaring dan penuh keriangan.
"Ah, jiwi-siocia (nona berdua) kiranya. Mana yang terhormat ayah kalian Lam-hai- kong-jiu (Si Tangan Kosong Dari Laut Selatan) Ang-lo-enghiong. Selamat datang, silakan duduk dan mari kuantar di kursi kehormatan. Ada Siang-liong-tah-locianpwe yang sudah datang, juga muridnya Lan-siocia (nona Lan)!"
Dua gadis itu membungkuk dan melempar senyum. Kiranya mereka adalah puteri-puteri Lam-hai-kong-jiu yang amat terkenal itu, Beng San tak tahu namun Chi Koan berdebar. Tentu saja telinga si buta ini mendengar pembicaraan itu, mendengar nama tokoh ini namun dalam peristiwa Bu-tek-cin-keng dulu tokoh ini tak pernah muncul.
Bukan apa-apa melainkan Lam-hai-kong-jiu memang bukan tokoh yang tamak ilmu silat, kepandaiannya sendiri cukup tinggi dan orangnya terkenal pendiam, tak mau banyak mencampuri urusan orang lain. Maka ketika hari itu dua puterinya datang mewakili, mereka berkata bahwa ayah mereka tak enak badan maka Ning-pangcu gembira karena dua gadis ini sendiri cukup berbobot. Kabarnya kepandaian mereka hampir menyamai ayah mereka sendiri.
Beng San bengong dan terkagum-kagum. Jangankan pemuda ini, Siauw Lam sendiri berdetak dan jantungnya serasa berjungkir balik. Senyum yang dilempar dua gadis itu bukan main manisnya, sepasang lesung pipit muncul di sudut semakin menambah ayunya. Para tamu yang muda-muda juga dag-dig-dug namun begitu mereka berjalan di belakang Ning-pangcu mendadak wajah dua gadis ini dingin dan kaku.
Hal ini bukan lain untuk menjaga jarak dengan mereka yang tersenyum kurang ajar, mata yang berminyak dan pandangan kotor, termasuk Beng San yang begitu kagum dan seketika tergila-gila kepada dua gadis ini. Entah lebih cantik yang mana di antara keduanya, mana yang lebih mempesona.
Dan ketika pemuda itu terbelalak dan kebetulan bertemu pandang, dua gadis itu melengos dan membuang muka maka Ning-pangcu sudah membawa gadis-gadis ini di kursi kehormatan, tepat di sebelah kakek gagah Siang-Liong-tah itu, di samping Lan Hoa.
"Silakan, jiwi mewakili ayah. Tentu jiwi sudah mengenal dua locianpwe ini dan Lan-siocia!"
Dua gadis itu mengangguk. Mereka memberi hormat kepada dua kakek itu dan juga gadis berpedang. Lan Hoa bang bangkit berdiri menyambut sahabatnya, ternyata mereka sudah saling kenal. Dan ketika gadis itu mempersilakan duduk dan dua kakek itu tak memandang rendah, para tamu kagum dan berbisik-bisik maka tampak bahwa Lan Hoa masih kalah cantik dengan puteri Lam-hai-kong- jiu ini. Ibarat bintang maka dua gadis itu bintangnya segala bintang.
"Heh-heh, Ning-pangcu lupa kepadaku. Aihh, dapat tamu cantik-cantik lalu aku kau biarkan, pangcu, sialan kau. Uh, puteri Lam-hai-kong-jiu menjadi pusat perhatian. Aku cemburu!" tawa seorang nenek tiba-tiba memecah perhatian para tamu dan tahu-tahu di pintu depan muncul seorang wanita tua berpakaian putih merah.
Lucu nenek ini, ia mementang kakinya lebar-lebar sementara di pundaknya terkait sepasang thi-kauw (gaetan baja). Lalu ketika ia masuk tak menunggu tuan rumah, terkekeh-kekeh maka para murid terkejut karena tak tahu kapan dan dari mana nenek ini tahu-tahu muncul.
"Ah, Yang-liu Lo-lo kiranya. Ha-ha, selamat datang, locianpwe... selamat datang. Kau muncul bagai iblis saja. Aih siapa bilang aku lupa dan mari kusambut. Ha-ha, ini dudukmu di barisan jiwi-enghiong ini!" ketua See-ouw-pang menoleh dan kaget namun tertawa lebar.
Nenek itu sudah berada di dekatnya dan tidak berbasa-basi lagi, lengsung duduk dan menyingkirkan hi-kauwnya dari atas pundak. Lalu ketika dua kakek itu tertawa lebar dan juga menyambut maka nenek ini sudah menuding dua gadis berpakaian hitam-hitam itu.
"Wah, mana Lin Lin mana Lan Lan...Heh- heh, kalian sudah besar dan cantik-cantik, anak- anak. Kenapa ayah kalian tak datang. Aduh, kalau Ning-pangcu tak menyebut kalian tentu aku pangling di jalan!"
"Ayah tak enak badan," satu di antara dua gadis itu menjawab, tersenyum, lagi-lagi senyumnya begitu memabokkan, manis sekali. "Maafkan kami berdua mewakili, locianpwe. Kalau tidak mengingat pentingnya tentu kami juga enggan. Ning pangcu jauh-jauh mengundang."
"Hi-hik, memang benar, dan banyak godaan bagi kalian yang sudah semerbak harum begini. Ihh, kulihat banyak laki-laki melotot di sini, sebaiknya kalian pakai cadar!"
Gadis itu semburat, melirik dan kemudian membuang muka dari dari para tamu. Memang di bagian pria terutama yang duduk di belakang melotot memandang mereka. Bagai kucing lapar saja mereka itu melahap wajahnya, terutama pemuda baju biru dan hijau. Namun karena mereka duduk di depan dan wajarlah hal ini terjadi maka dua gadis itu tak dapat berbuat apa-apa meskipun sebenarnya mereka juga senang dan bangga dikagumi lelaki. Hanya jangan kelewat melotot!
Tamu-tamu berdatangan lagi. Ning-pangcu menjadi sibuk dan berturut-turut datanglah para tokoh yang oernama besar. Ada Lo-han-hok-houw (Buddha Penakluk Harimau) di situ, ada empat orang berpakaian tambal-tambalan namun bukan termasuk pengemis, yakni empat orang yang berjuluk Tong-bun-su- jin (Empat Bersaudara Keluarga Tong).
Lalu ketika datang tokoh-tokoh lain di mana ketua atau pimpinan perkumpulan silat juga hadir, tercatat dari Pek-lian-pang dan Ui-eng-pang, maka tak kurang dari duaratus undangan hadir bersama murid-murid mereka. Jumlah semua orang hampir limaratus orang dengan penghuni See-ouw-pang sendiri.
Ning-pangcu betul-betul gembira. Ketua See-ouw-pang ini melihat bahwa hampir seluruh undangan hadir , yang berhalangan paling-paling satu dua saja, termasuk Lam-hai- kong-jiu itu. Namun karena tokoh itu sudah diwakili dua puteri kembarnya dan ini cukup maka tiba pada saat puncak acara mulailah ketua See-ouw-pang itu mengadakan kata-kata sambutan. Mula-mula tentu saja ucapan terima kasih. Nama demi nama disebut dan orang orangpun mengangguk-angguk.
Para tokoh atau amu-tamu terhormat diperkenalkan, namanya. Sebagian besar para tamu sudah kenal. Tapi ketika Chi Koan diperkenalkan dan hama Si buta ini disebut mendadak semua orang diam dan. timbulah keributan gaduh.
"Tenang, mohon tenang. Yang terhormat Chi-taihiap adalah aku sendiri yang mengundangnya, Cuwi-enghiong (orang-orang gagah sekalian). Bukan salahnya kalau ia datang. Harap cuwi tenang dan biarkan aku berkata-kata dahulu. Mohon yang terhormat Chi-taihiap maju ke depan!"
Chi Koan sudah menunggu-nunggu. Saat ini. la tahu bahwa akhirnya namanya bakal didengar dan diperkenalkan semua orang. Sejak Ning-pangcu menyebut nama-nama para tokoh dian-diam ia berdebar. Saatnya pasti akan tiba. Dan ketika betul saja Ning-pangcu menyebut dan kini memanggilnya tiba-tiba ia bangkit berdiri dan Beng San serta Siauw Lam berdiri pula hendak mengantar suhu mereka itu. Kursi undangan penuh dan tempat pun sesak.
"Biarkan aku berjalan sendiri," Chi Koan berkata, miringkan kepala. "Aku sudah mengenal medan, Siauw Lam, kalian tetap di sini saja dan biar aku memenuhi panggilan Ning-pangcu."
Terbelalaklah semua mata memandang Si buta ini. Chi Koan masih gagah dan tegap dalam usianya tigepuluhan tahun, tampan namun tampak begitu mengiba ketika mulai tertatih berjalan dengan tongkatnya. Dan ketika seorang murid See-ouw-pang maju dan hendak menolong, ditolak maka dengan pendengarannya yang tajam si buta ini menuju panggung melewati kursi demi kursi, tongkat merupakan andalan utama dan akhirnya sampailah dia di depan Ning-pangcu.
Lalu ketika dengan mata mengejap-ngejap ia menjura dan memberi hormat, diam-diam mengerahkan kekuatan batin dalam Suaranya yang bergetar penuh haru maka orangpun tiba-tiba tersentuh dan merasa kasihan.
"Maafkan aku yang bodoh. Semata memenuhi undangen Ning-pangcu, aku datang ke sini, cuwi-enghiong, sadar bahwa nama buruk yang kusandang bakal mengganggu cuwi sekalian. Aku tak dapat berkatu apa-apa, hanya kepada Ning-pangculah semuanya kugantungkan. Kalau kehadiranku sekiranya mengganggu akupun siap angkat kaki dan tak akan merusuhi cuwi yang mulia!"
Seruan atau kata-kata ini bukan diucapkan sembarangan saja. Mereka yang kurang kuat batinnya seketika itu luluh, begitu haru melihat kelopak yang kosong itu dan yang wanita tiba-tiba terisak. Lan Hoa, murid Siang-liong-tah itu mendadak menangis. Puteri Lam-hai-kong-jiu juga tiba-tiba basah.
Namun kekeh Yang-liu Lo-lo mendadak membuyarkan suasana haru. Nenek ini bangkit dan suaranya yang nyaring bergema segera memecah tempat itu. Lalu ketika semua orang terkejut dan terbelalak kepadanya iapun berkata,
"Heh-heh, si buta ini pandai mengambil hati. Aku mengenal mendiang Lu Kong Hwesio dengan baik, anak muda, begitu pula Beng Kong gurumu itu. Aku tahu isi perut mereka, mana baik mana buruk. Karena Beng Kong berwatak culas dan suka berbuat curang maka terang-terangan aku tak suka kepadanya. Namun mereka sudah sama-sama tiada. Kau muridnya, murid Beng Kong. Biasanya guru dan murid tak bakal jauh berbeda seperti halnya pepatah bahwa buah tak jauh dari pohon. Kami orang-orang selatan sudah mendengar beritamu yang buruk, termasuk perbuatanmu mencuri Bu-tek-cin-keng milik Gobi. Kalau kau tiba-tiba hadir di sini maka sungguh kuherankan bukankah selama ini kudengar kau masuk hukuman. Apakah hukunanmu sudah selesai, atau justeru kau melarikan diri dan kini datang ke sini!"
Hebat dan luar biesa sekali kata-kata nenek yang satu ini. Kalau bukan Chi Koan yang menerima dan pandai menguasai perasaannya tentu wajah si buta itu berubah-ubah. Chi Koan kaget dan marah sekali. Akan tetapi karena dia pandai menyembunyikan perobahan wajahnya dan justeru tersenyum, inilah yang membuat dua muridnya kagum maka si buta itu menjura dan berkata, tenang dan sama sekali mirip orang tenpa dosa.
"Kalau tidak salah di depanku ini adalah yang terhormat Yang-liu Lo-lo adanya. Terima kasih, locianpwe suka bicara ceplas-ceplos. Masalah Bu-tek-cin-keng sebenarnya adalah masalah pribadi antara aku dan Go-bi, tapi locianpwe membuka-buka ini. Baiklah kuterangkan sebagaimana aku menerangkan kepada Ning-pangcu. Karena benar aku adalah murid guruku Beng Kong Hwesio maka akupun pewaris yang mulia mendiang Ji Leng lo-suhu sesepuh Go-bi. Uwaku Lu Kong meninggal lebih dulu, jadi guruku merupakan pewaris tunggal. Tolong locianpwe katakan dulu bagaimanakah sikap mendiang sesepuh Go-bi kalau sudah begini, kepada siapa-kah Bu-tek-cin-keng itu diwariskan. Kepadaku atau kepada murid uwa Lu Kong bernama Peng Houw ataukah kepada guruku yang waktu itu masih hidup, Beng Kong suhu!"
Kata-kata ini tajam dan memojokkan. Chi Koan yang semula diserang nenek itu kini berbalik menyerang dan mendesak, Yang-liu Lo- lo terkejut. Dan ketika nenek itu agak berubah dan tampak gugup, Para tamupun bersorak maka mereka berteriak-teriak sendiri, mendahului dan langsung berseru bahwa kepada Beng Kong Hwesio itulah kitab seharusnya diserahkan.
"Tenang, harap cuwi sekalian tenang. Yang kutanya adalah nenek ini, cuwi-enghiong, biarlah dia yang menjawab. Mohon cuwi tidak berisik dan biar kuuji kejujuran nenek ini!"
Chi Koan berseri-seri dan kata-katanya semakin memojokkan nenek itu. Yang-liu Lo-lo berubah dan apa boleh buat iapun mengetrukkan gigi, mengepal tinju. Lalu ketika ia mengangguk dan berkata bahwa secara jujur kitab harus diserahkan Beng Kong Hwesio maka Chi Koan tertawa mendengar suara gemas nenek itu.
"Baiklah, aku bukan orang yang mau menangnya sendiri. Secara jujur harus kukatakan bahwa kitab itu jatuh kepada gurumu!"
"Terima kasih, locianpwe benar-benar jujur. Kalau kitab jatuh di tangan guruku lalu apa anehnya kalau kemudian diwariskan kepadaku pula? Kau sendiri mengatkan aku adalah murid guruku Beng Kong, locianpwe, itulah sebabnya akupun mendapatkan kitab itu. Namun Peng Houw si pemfitnah itu mengatakan aku mencurnya, dan jadilah aku dikejar-kejar. Coba locianpwe jelaskan siapa salah siapa benar, bukankah locianpwe tahu isi perut masing- masing."
Yang-liu Lo-lo berubah-ubah dan tak disangkanya bahwa dia dibalik dan diserang sedemikian hebatnya. Sekarang keadaan benar-benar berbalik dan orangpun mengangguk-angguk. Meskipun belum pulih namun kepercayaan mulai tertanam di pribadi si buta itu. Chi Koan bicara begitu gamblang, masuk akal. Dan karena semua begitu jujur dan apa adanya, inilah yang tertangkap maka yang paling girang adalah ketua See-ouw-pang itu. Tak salah dia membawa si buta ini!
"Tolong locianpwe jawab," Chi Koan kembali menodong, si nenek belum berkata-kata. "Kalau aku difitnah lalu dikejar-kejar apakah aku pencuri Bu-tek-cin-keng Bukankah sudah jelas bahwa kitab itu sesungguhnya milikku, warisan dari suhu."
"Aku kalah, kau menang," si nenek akhirnya berseru. "Pembelaanmu lugas dan jitu, anak muda, tapi sekarang katakan bagaimana dengan hukumanmu itu. Kau melarikan dirí atau sudah dibebaskan!"
Para tamu terkejut. Tiba-tiba mereka ingat lagi dan keraguanpun muncul di wajah masing-masing. Pertanyaan ini tajam dan menodong, Beng San dan Siauw Lam terkejut dan pucat. Kalau mereka yang menghadapi tentu bingung, salah-salah, macet! Tapi ketika guru mereka tersenyum-senyum dan tampak begitu tenang maka Beng San kagum bukan main akan balasan gurunya itu, begitu tok-cer!
"Untuk menjawab ini harap locianpwe misalkan diri locianpwe sendiri. Kalau locianpwe tertawan musuh dan dihukum seumur hidup padahal merasa tidak bersalah apakah yang locianpwe lakukan? Diam saja dan mandah menerima hukuman? Atau locianpwe berusuha membebaskan diri demi keadilan dan kebenaran? Nah, akupun begitu, sama seperti locianpwe atau para cuwi-enghiong di sini yang berpikiran waras."
Bukan maih tepatnya kata-kata itu. Yang-liu o-lo sampai terbengong dan nenek itu menjadi pucat. la di"kick" balik sampai benar- benar tersudut, begitu terpojok. Dan ketika ia tiba-tiba terisak dan meloncat ke kursinya sendiri akhirnya terdengarlah tepuk tangan dan hadirin seketika menyambut, gegap-gempita.
Beng San tergelak-gelak. la melihat begitu lihainya gurunya ini berkelit dan menghindar, bahkan membalas dan akhirnya mencekik nenek itu. Dialah yang bertepuk tangan tadi, pelopor dan disusul riuh genmuruh tamu-tamu undangan. Dan karena gurunya menang dan begitu telak, Chi Koan sendiri berserl-seri maka si buta ini mengangguk ke kiri kanan membalas tepuk gaduh para tamu itu. Ning-pangcu tertawa bergelak pula.
Akan tetapi Chi Koan tak mabok kesenangan. Begitu pandai si buta ini menyembunyikan perasaannya, ia harus menjaga perasaan orang lain agar tak sampai tersinggung. Maka ketika tiba-tiba ia mengangkat tangan dan minta para tamu berhenti, susana sudah berbalik makä ia menjura ke arah nenek itu berkate perlahan, Suaranya tenang sajq namun jelas terdengar sampai belakang.
"Mohon maaf kepada yang terhormat Yang-liu Lo-lo locianpwe bila aku menyinggung perasaannya. Kedatanganku bukan untuk mencari musuh, justeru ingin bersahabat dan minta perlindungan kalian orang-orang selatan. Kalau Yang-liu locianpwe tak berkenan kepadaku aku yang muda mohon maaf, lahir batin, ini bukan basa-basi melainkan tulus keluar dari hatiku karena justeru locianpwe telah melepaskan ganjalan yang berat di hatiku tadi. Seandainya locianpwe tidak bicara ini tentu cuwi-enghiong sekalian tak akan tahu. Nah, aku bersyukur dan benar-benur berterima kasih. Maaf, sekali lagi maaf!"
Bertepuk tanganlah tamu-tamu undangan. Lagi nereka melihat sikap yang begitu simpatik dan rendah hati dari di buta ini. Sebentar saja tingkah laku pemuda itu menawan mereka. Dan ketika Yang-liu Lo-Lo semburat tersipu-sipu, pemuda yang hampir dijatuhkannya tadi tak marah dan justeru minta maaf, begitu rendah hati dan tulus maka nenek inipun malu sendiri dan berkata,
"Sudahlah, barangkali akupun ada salah. Aku minta maaf pula kalau kata-kataku menyerangmu tadi."
Ning-pangcu mengangguk-angguk. Sekarang si buta ini mendapat simpati dan legalah dia. Maka ketika Chi Koan hendak. mengundurkan diri dan duduk di kursi belakang cepat-cepat ketua See-ouw-pang ini berseru, "Taihiap sudah diterima orang-orang sini, jangan duduk di belakang lagi. Karena acara masih berlanjut silakan taihiap duduk di kursi kehormatan. Kita akan mengadakan pilihan pemimpin!"
Chi Koun pura-pura menolak. Ia memperlihatkan rasa sungkan akan tetapi tuan rumah sudah menariknya. Dan karena begitu lihainya pemuda ini menunjukkan sikap simpati akhirnya Siang-liong-tah dua kakek gagah bangkit berseru,
"Ning-pangcu benar, kami telah dapat menerimamu. Duduk dan mari bersama kami, Chi-siauwhiap, sebentar lagi kita masing-masing akan berkenalan.lebih jauh. Akan ada semacam pemilihan beng-cu (pemimpin persilatan)!"
Chi Koan tak menolak lagi. Duduklah dia di deretan kursi kehormatan, berdampingan dengan tokoh-tokoh tua dan kagumlah Beng San melihat gurunya itu. Secara cerdik dan lihai gurunya telah diterima orang-orang selatan, hebat sekali.
Dan ketika acara dilanjutkan dan pertemuan tahunan itu diakhiri dengan acara puncak, yakni pemilihan bengcu maka para undangan bertepuk riuh karena pertandingan alias pibu bakal meramaikan suasana. Apa artinya gebyar keramaian kalau tidak diiringi adu silat.
"Jagoku terus terang saja Chi-taihiap ini. Aku telah menyaksikan kepandaiannya. Kalau cuwi setuju biarlah kita angkat dia sebagai bengcu!"
Ning-pangcu tak ragu-ragu dan Beng San serta Siauw Lam bertepuk gembira. Dua anak muda inilah yang tentu saja menjadi pendukung utamanya. Namun karena orang belum mengetahui kehebatan si buta itu dan Chi Koan sendiri buru-buru bangkit dan menggoyang lengan maka dua muridnya tertegun mengerutkan kening.
"Tidak, tidak, aku tak berani. Jangan sejauh ini menjunjungku, pangcu, di sini banyak para locianpwe tingkat atas. Lagi pula aku bukan asli orang selatan, beng-cu harus diambil dari kalangan kalian sendiri. Aku menolak!"
Ning-pangcu tertegun, sirat kecewa tiba-tiba tak dapat disembunyikan lagi, wajahnya berubah. Namun ketika wakilnya berbisik-bisik dan orang lain juga saling berbisik sendiri maka Lo-han-hok-houw si pendek gemuk bangkit berdiri, pakaiannya seperti padri namun rambutnya tidak dicukur gundul.
"Aku mengerti perasaan Chi-taihiap, dan justeru aku semakin kagum. Kata-katanya tadi memang tidak salah, pangcu, karena kita memilih bengcu khusus kalangan sendiri maka seharusnya diambil dari sini juga. Akan tetapi paling tidak Chi-taihiap dapat ikut meramaikan suasana. Aku juga ingin menyaksikan hebatnya Bu-tek-cin-keng yang tersohor itu. Kalau kita orang-orang selatan diperbolehkon melihat itu tentu ini anugerah besar yang tak akan kita lupakan. Bagaimana kalau Chi-taihiap naik ke penggung lui-tai (panggung adu silat)!"
Suara gemuruh menyetakan setuju. Sebagai orang-orang selatan yang belum melihat kehebatan Bu-tek-cin-keng tentu saja tak ada satupun yang tidak ingin tahu. Bagi seorang ahli silat kepandaian lawan tanding selalu menrik, apalagi dari Gobi. Siapa tidak kenal nama besar mendiang sesepuh Gobi Ji Leng Hwesio. Siapa tidak tahu gudangnya ilmu silat di tempat itu. Maka ketika semua bersorak dan menyatakan setuju, Chi Koan pura-pura bingung maka Ning-pangcu berseri lagi mendapat kepuasannya.
"Benar, Lo-han-hok-houw -enghiong tidak salah. Aku sendiri sudah merasakan kehebatan Naga Gurun Gobi Peng Houw, Chi-taihiap. Karena kau tandingannya setimpal tentu kepandaianu tidak berbeda jauh. Perlihatkanlah mata kami orang-orang selatan warisan Bu-tek-cin-keng itu. Kami tentu senang dan berterima kasih sekali!"
"Hm, ilmu bukan untuk dipamer-pamerkan. Mendiang guruku dan para pimpinan Gobi bisanya melarang keras para muridnya memamerkan kepandaian,Ning pangcu, tapi karena suasana ini lain biarlah aku menunjukan sedikit kebodohanku. Hanya harap dingat bahwa sebaiknya yang lain diperkenankan maju dahulu, aku belakangan saja. Bukankah mereka lebih penting dan termasuk tuan rumah sendiri, aku pendatang."
Ning-pangcu tertegun. Lagi-lagi si buta bersikap begitu bijak dan amat rendah hati. Memang seharusnya merekalah dulu yang main di panggung lui-tai, selain karena tuan di wilayah sendiri juga si buta itu termasuk pendatang. Apa jadinya kalau tokoh-tokoh seperti Siang-liong-tah maupun yang lain dinomorduakan, bukankah seakan memandang rendah mereka. Maka ketika ia mengangguk dan menarik napas dalam akhirnya ketua See-ouw-pang ini berkata,
"Baiklah, kami mengerti. Terima kasih atas kerendahan hatimu, taihiap, kau menyadarkan aku. Biarlah kuserahkan kepada para cianpwe ini dan silakan mereka maju." Lalu memandang dan berkata kepada dua kakek gagah itu Ning-pangcu menyerahkan panggung lui-tai.
"Semua sudah hadir, jiwi tentunya sudah siap. Karena kita bakal memilih seorang bengcu harap jiwi naik dan persilakan maju."
"Hmn, yang tua-tua nanti dulu. Biarlah keramaian dibuat oleh yang muda-muda dulu, pangcu, sementara ini muridku Lan Hoa biar mewakili kami. Undangan butuh pemanasan, muridku akan naik dan harap tidak ditertawakan!"
Gadis berpedang mendapat perintah. Gagah dan tidak sungkan-sungkan lagi gadis ini melayang ke atas panggung, gerakannyu gesit dan ringan, langsung melompat dan berjungkir balik turun dengan halus. Dan ketika gerakannya mengundang tepuk riuh pengunjung, juga pembakar semangat maka gadis ini berseri-seri dengan wajah kemerah-merahan.
"Aku mewakili suhu dan susiok, kepandaianku masih rendah. Kalau di antara cuwi-enghiong ada yang ingin menambah pengalamanku silakan maju!"
Para tamu bersorak. Masuknya gadis cantik ini benar-benar menggembirakan suasana, siapa tidak senang bersentuhan atau bersenggolan tangan. Tapi sebelum mereka melompat mendadak bagai seekor burung besar menyambar dan berkelebatlah bayangan hijau. Beng San....!
"Hm," kakek ini penasaran. "Kucoba lagi, suheng. Kutabrak pecah!"
Kakek di sebelah kanan mengangguk. Tubrukan tadi seakan tak sengaja namun kali ini sudah tereng-terangan. Kakek itu berdiri dan menekan lantai perahu dengan amat kuatnya. Murid See-ouw-pang berseru tertahan dan mengerti sekarang, dayungnya sampai terputar. Dan ketika perahu miring sebelah kiri untuk kemudian meluncur dan menghantam si buta maka Beng San dan Siauw Lam juga sadar bahwa kakek di perahu itu sengaja berbuat ulah.
"Awas, suhu...!"
Chi Koan tersenyum. Sesungguhnya ia telah mendengar kata-kata lawan, telinganya terlampau tajam untuk membiarkan segalanya lewat. Maka ketika perahu ditabrak dan Siauw Lam hampir saja membentak, dicegah dan gurunya menggerakkan tongkat maka lagi-lagi tongkat di tangan si buta itu menotol dan perahu si kakek terputar dan hampir saja terbalik dan penghuninya berteriak satu sama lain.
"Tak!"
Chi Koan mengerahkan Hok-te Sin-kangnya. Dari ujung tongkat keluar tenaga sakti, menyengat dan membuat kakek dan gadis serta murid See-ouw-pang itu berjengit. Mereka bagai disetrom! Akan tetapi karena sentuhan hanya sebentar saja dan dua kakek itu kaget menyeimbangkan perahu maka mereka yang hampir terbalik dan kaget bukan main tahu-tahu melihat perahu si buta melesat dan meluncur jauh di depan. Chi Koan tak mau ambil resiko dengan permainan di atas air.
"Ah, dia... iblis si buta itu. Hebat tenaganya, suheng. Entah siapa dia tapi mari kita kejar. Biar di depan Ning-pangcu kita mendapat keterangan!" kakek sebelah kiri berubah mukanya dan tentu saja semakin penasaran dan marah.
Lawan mengayunkan tongkat dan perahu bagai didorong, melesat dan meninggalkan mereka yang masih berkutat menyeimbangkan diri. Salah-salah bisa terbalik kalau tidak kuat menahan. Dan ketika gadis berpedang itu juga berubah dan kaget sekali, mulailah dia tak memandang rendah maka yang mengeluh adalah murid See-ouw-pang yang mendayung itu. Dayungnya mencelat dan masuk ke dalam air!
"Celaka, sam-wi (kalian bertiga) akan sedikit lama, dayungku hilang. Harap bersabar dan aku akan mendayung dengan tangan!"
"Tak perlu, kami dapat membantumu dan melakukan seperti apa yang dilakukan si buta itu!" kakek yang terlanjur marah tni mengibas ke samping, perahu melesat dan mencelat pula hingga si murid See-ouw-pang nyaris terjungkal, berteriak. Kalau saja keadaan tidak begitu tegang tentu gadis berpedang akan tertawa geli, susioknya membuat laki-laki itu terpelanting, hampir saja masuk telaga.
Dan ketika perahu meluncur dan mengejar perahu di depan ternyata si buta telah lebih dulu di daratan sana disambut Ning-pangcu dan dua orang wakilnya dengan wajah berseri-seri. Ketua See-ouw-pang ini keluar sendiri sebagai tanda sambutan luar biasa.
"Selamat datang, taihiap benar-benar memenuhi undangan. Terima kasih, Chi-taihiap, mohon maaf bila sambutan kami kurang berkenan!" tapl memandang muridnya yang tidak memecah rombongan menjadl dua dia menegur, "Kenapa kau tidak memberikan perahu khusus untuk Chi-taihiap. Bukankah sudah kuperintah untuk menghormat tamu."
"Maafkan, dia tidak bersalah. Aku yang minta penyambutan begini, pangcu, tak enak kepada tamu undangan lain yang merasa kurang dihargai. Kami datang bukan untuk mengagulkan diri, tak enak kalau belum apa-apa ada pihak-pihak yang kurang senang."
Ning-pangcu terbelalak. Chi Koan cepat-cepat menjawab karena saat itu dua kakek dan gadis di perahu itu sudah berloncatan pula. Kakek sebelah kiri melotot dan merah padam. Namun ketika laki-laki ini mengangguk dan berseri-seri, kuatlah pendapatnya bahwa si buta ini amat rendah hati dan menjaga perasaan orang lain maka ia tertawa dan berseru menyambut pula dua kakek dan gadis itu!
"Ha-ha kebetulan. Yang terhormat Siang-liong-tah datang pula memenuhi undangan. Selamat datang, jiwi-locianpwe, perkenalkan tamuku ini Chi-taihiap, ia murid Gobi. Tentu jiwi sudah mendengar musuh bebuyutan Naga Gurun Gobi Peng Houw, nah inilah Chi Koan!"'
"Chi Koan?" dua kakek itu terkejut.
"Ya, Chi-taihiap, inilah orangnya. Mari masuk dan selamat datang!"
Akan tetapi dua kakek itu tiba-tiba meludah. Kakek di sebelah kiri bahkan mendengus, dan ketika Ning-pangcu terkejut membelalakkan mata maka kakek itu berseru, "Ning-pangcu, kami orang-orang selatan bukannya tidak mendengar nama besar bocah ini, akan tetapi tidak tahukah kau siapa dia. Di samping bernama besar juga bernama buruk, maaf kami tak datang kalau tahu begini!"
"Ah, jiwi-locianpwe jangan berkata begitu. Fitnah besar menimpa tamu kita ini. Mari masuk dan nanti dengarkan omonganku. Harap pandang mukaku dan segala persoalan bisa dibicarakan nanti, bukankah pertemuan tahunan ini antara lain membahas Semua persoalan-persoalan yang tidak beres, juga segala uneg-uneg!"
Kakek itu tertegun, lalu ketika Beng San dan Siauw Lam merah mukanya mendengar sikap dan omongan kakek ini, yang sama sekali tak perduli maka justeru suhu mereka tersenyum dan menjura. Sikap Chi Koan benar- benar luar biasa baik, mencengengkan sekaligus meragukan dua tokoh tua ini.
"Jiwi-locianpwe (dua orang tua sakti) kiranya Siang-liong-tah yang tersohor, maafkan aku yang muda. Karena tak tahu maka telah berlaku kurang hormat. Karena undangan berasal dari tuan rumah tentunya jiwi harus memenuhi dan Ning pangcu tak bersalah apa-apa. Adalah aku yang memang terlanjur dicap buruk, kalau kini aku datang memenuhi undangan See-ouw-pang antara lain ingin mengikis habis semua kabar jelek yang melękat di tubuhku. Namun kalau aku tak diberi kesempatan dan hanya mengotori tempat ini saja tentu aku siap pergi. Silakan jiwi di depan dan harap Ning-pangcu mendahulukan tokoh- tokoh tua macam jiwi-loclanpwe ini daripada aku."
Bukan main kagum dan hormatnya ketua See-ouw-pang itu terhadap si buta. la tahu baik bahwa dua kakek gagah ini meskipun lihai akan tetapi tak mungkin menang menghadapi pemuda íni. Tandingan si buta hanya Naga Gurun Gobi! Maka ketika ia mengangguk-angguk dan berseru kagum, justeru sikap dan kata-kata. Itu dipergunakannya untuk menghadapi kakek gagah ini Ning-pangcu mengangkat tangannya.
"Lihat, jiwi-locianpwe buktikan kata-kata dan kerendahan hati ini. Kami dari See-ouw-pang telah tahu baik sepak terjang dan tingkah laku Chi-taihiap ini. Dialah yang menyelamatkan See-ouw-pang dan Sin-hong- pang dari ganasnya Naga Gurun Gobi. Meskipun gagal dan Sin-hong-pangcu akhirnya tewas namun segala budi baik dan pertolongannya tak dapat kami lupakan. Pertemuan ini akan membahas itu pula, harap jiwi masuk dan mari Chi-taihiap bersama-sama pula!"
"Biarlah yang tua di depan,!" Chi Koan tetap merendah. "Kami orang-orang muda tak berani mendahului. Hanya karena belum saling kenal saja kami bersinggungan sedikit. Maaf dan harap jiwi locianpwe masuk."
Dua kakek itu mengerutkan kening. mendengar segala cerita Ning-pangcu tentu saja mereka tertegun dan terheran-heran. Berita tewasnya Siang-mouw Sian-li tentu saja telah mereka dengar. Hanya bahwa pemuda ini yang menolong dan menyembuhkan baru kali itu mereka tahu, Maka ketika mereka mengangguk dan bangkit kejumawaannya, Si buta begitu merendah dan naiklah kembali harga diri mereka maka Sepasang Naga Menara ini, melunak, sedikit tersenyum dan tentu saja harus menghargai tuan rumah.
"Baikiah, berita aneh-aneh ini baru kali ini kami dengar. Kalau Ning-enghiong benar biarlah kami dengar cerita selengkapnya nanti. Terima kasih dan maaf kami masuk!"
Chi Koan tersenyum dan bersikap tenang. Bukan tanpa maksud kalau dia begitu merendah dan bersikap bak orang bijak. Strateginya memang harus begitu, dia harus mengambil hati dan mengembalikan nama baik yang telah "dirusak" Peng Houw. Maka ketika dia mengikuti dan tuan rumah sejenak blngung, Chi Koan berkata biarlah tak perlu ia dihormat berlebihan maka tiba di kursi tamu si buta inipun tak mau di depan sendiri, tak mau menonjol. Orang baik-baik memang harus begitu, tak boleh sombong!
"Aku sungkan berdampingan dengan jiwi-lo-enghiong itu, biarlah di barisan belakang saja. Pangcu harap tak perlu berlebihan dan biarlah tamu-tamu kehormatan duduk di situ!"
"Tapi..!"
"Sudahlah, urus dan sambut tamu-tamumu yang lain, pangcu. Kami bertiga di belakang dan jangan khawatir kami menganggapmu tak hormat. Justeru kami rikuh, kami orang asing di selatan ini."
Bukan main kagumnya ketua See-ouw-pang itu. Sama sekali ia tak tahu permainan alias sandiwara si buta ini, Chi Koan terlampau cerdik. Dan ketika ia mendecak penuh hormat sementara Chi Koan sudah memilih bangku di belakang duduk bersama dua muridnya maka terpaksa tuan rumah meninggalkannya untuk menyambut tamu-tamu lain. Beng San dan Siauw Lam mulai berbisik-bisik, memandang datangnya tamu-tamu lain khususnya wanita, apalagi yang cantik!
"Aneh, suhu ini ganjil. Dua kakek tadi jelas sombong dan minta pelajaran, suheng. Kenapa suhu begitu lunak dan amat ramah. Kalau aku, tentu sudah kuhajar dan kubogem mentah!"
"Hm, kau salah. Di sini yang datang adalah tokoh-tokoh utama, Beng San, para pendekar dan golongan putih. Kalau kau bersikap seperti itu dan brutal macam berandalan saja maka namamu jelek. Suhu benar, di sini kita harus bersantun-santun dan ikut-ikut baik. Bukankah pertemuan ini dihadiri golongan putih dan para cianpwe (tingkat atas) yang harus kita hormati. Biarpun sombong namun dua kakek itu golongan tua, tak ada jeleknya mengalah dan merendah."
"Tapi suhu diejek, tadi malah diserang!"
"Itulah maka harus dltunjukkan sikap sebaliknya. Kalau orang berbuat kasar kita malah halus, sute, jangan membalas sama kasar karena kita orang asing di sini. Sebagai tamu kita harus berbaik-baik."
"Tapi aku tak sabar!"
"Heh-heh, sudahlah. Lihat itu ada pengunjung baru, gadis-gadis cantik"
Pembicaraan terhenti dan Beng San memandang ke arah yang ditunjuk suhengnya. Dari pintu halaman masuklah dua gadis jelita berpakaian kembar hitam-hitam. Ikat pinggang mereka putih dan lebar sementara rambut mereka disanggul tinggi. Hiasannya terbuat dari batu giok dan siapapun akan kagum dan terpesona memandang gadis-gadis itu.
Mereka tak membawa apa-apa dan datang berdua saja, tentu saja menarik perhatian dan semua tamu segera tersedot ke sini. Lan Hoa, gadis berpedang itu tiba-tiba kalah cantik dengan gadis yang baru datang ini, pamornya begitu terang dan Beng San berdegup kencang.
Bukan main cantiknya mereka itu. Bibir memerah basah sementara senyum dan mata mereka yang bundar jernih bak bintang kejora di langit timur. Dan ketika mereka tampak menjura dan disambut Ning- pangcu, buru-buru lelaki ini membalas tergopoh maka terdengar Ning-pangcu gembira menyambut mereka, kata-katanya nyaring dan penuh keriangan.
"Ah, jiwi-siocia (nona berdua) kiranya. Mana yang terhormat ayah kalian Lam-hai- kong-jiu (Si Tangan Kosong Dari Laut Selatan) Ang-lo-enghiong. Selamat datang, silakan duduk dan mari kuantar di kursi kehormatan. Ada Siang-liong-tah-locianpwe yang sudah datang, juga muridnya Lan-siocia (nona Lan)!"
Dua gadis itu membungkuk dan melempar senyum. Kiranya mereka adalah puteri-puteri Lam-hai-kong-jiu yang amat terkenal itu, Beng San tak tahu namun Chi Koan berdebar. Tentu saja telinga si buta ini mendengar pembicaraan itu, mendengar nama tokoh ini namun dalam peristiwa Bu-tek-cin-keng dulu tokoh ini tak pernah muncul.
Bukan apa-apa melainkan Lam-hai-kong-jiu memang bukan tokoh yang tamak ilmu silat, kepandaiannya sendiri cukup tinggi dan orangnya terkenal pendiam, tak mau banyak mencampuri urusan orang lain. Maka ketika hari itu dua puterinya datang mewakili, mereka berkata bahwa ayah mereka tak enak badan maka Ning-pangcu gembira karena dua gadis ini sendiri cukup berbobot. Kabarnya kepandaian mereka hampir menyamai ayah mereka sendiri.
Beng San bengong dan terkagum-kagum. Jangankan pemuda ini, Siauw Lam sendiri berdetak dan jantungnya serasa berjungkir balik. Senyum yang dilempar dua gadis itu bukan main manisnya, sepasang lesung pipit muncul di sudut semakin menambah ayunya. Para tamu yang muda-muda juga dag-dig-dug namun begitu mereka berjalan di belakang Ning-pangcu mendadak wajah dua gadis ini dingin dan kaku.
Hal ini bukan lain untuk menjaga jarak dengan mereka yang tersenyum kurang ajar, mata yang berminyak dan pandangan kotor, termasuk Beng San yang begitu kagum dan seketika tergila-gila kepada dua gadis ini. Entah lebih cantik yang mana di antara keduanya, mana yang lebih mempesona.
Dan ketika pemuda itu terbelalak dan kebetulan bertemu pandang, dua gadis itu melengos dan membuang muka maka Ning-pangcu sudah membawa gadis-gadis ini di kursi kehormatan, tepat di sebelah kakek gagah Siang-Liong-tah itu, di samping Lan Hoa.
"Silakan, jiwi mewakili ayah. Tentu jiwi sudah mengenal dua locianpwe ini dan Lan-siocia!"
Dua gadis itu mengangguk. Mereka memberi hormat kepada dua kakek itu dan juga gadis berpedang. Lan Hoa bang bangkit berdiri menyambut sahabatnya, ternyata mereka sudah saling kenal. Dan ketika gadis itu mempersilakan duduk dan dua kakek itu tak memandang rendah, para tamu kagum dan berbisik-bisik maka tampak bahwa Lan Hoa masih kalah cantik dengan puteri Lam-hai-kong- jiu ini. Ibarat bintang maka dua gadis itu bintangnya segala bintang.
"Heh-heh, Ning-pangcu lupa kepadaku. Aihh, dapat tamu cantik-cantik lalu aku kau biarkan, pangcu, sialan kau. Uh, puteri Lam-hai-kong-jiu menjadi pusat perhatian. Aku cemburu!" tawa seorang nenek tiba-tiba memecah perhatian para tamu dan tahu-tahu di pintu depan muncul seorang wanita tua berpakaian putih merah.
Lucu nenek ini, ia mementang kakinya lebar-lebar sementara di pundaknya terkait sepasang thi-kauw (gaetan baja). Lalu ketika ia masuk tak menunggu tuan rumah, terkekeh-kekeh maka para murid terkejut karena tak tahu kapan dan dari mana nenek ini tahu-tahu muncul.
"Ah, Yang-liu Lo-lo kiranya. Ha-ha, selamat datang, locianpwe... selamat datang. Kau muncul bagai iblis saja. Aih siapa bilang aku lupa dan mari kusambut. Ha-ha, ini dudukmu di barisan jiwi-enghiong ini!" ketua See-ouw-pang menoleh dan kaget namun tertawa lebar.
Nenek itu sudah berada di dekatnya dan tidak berbasa-basi lagi, lengsung duduk dan menyingkirkan hi-kauwnya dari atas pundak. Lalu ketika dua kakek itu tertawa lebar dan juga menyambut maka nenek ini sudah menuding dua gadis berpakaian hitam-hitam itu.
"Wah, mana Lin Lin mana Lan Lan...Heh- heh, kalian sudah besar dan cantik-cantik, anak- anak. Kenapa ayah kalian tak datang. Aduh, kalau Ning-pangcu tak menyebut kalian tentu aku pangling di jalan!"
"Ayah tak enak badan," satu di antara dua gadis itu menjawab, tersenyum, lagi-lagi senyumnya begitu memabokkan, manis sekali. "Maafkan kami berdua mewakili, locianpwe. Kalau tidak mengingat pentingnya tentu kami juga enggan. Ning pangcu jauh-jauh mengundang."
"Hi-hik, memang benar, dan banyak godaan bagi kalian yang sudah semerbak harum begini. Ihh, kulihat banyak laki-laki melotot di sini, sebaiknya kalian pakai cadar!"
Gadis itu semburat, melirik dan kemudian membuang muka dari dari para tamu. Memang di bagian pria terutama yang duduk di belakang melotot memandang mereka. Bagai kucing lapar saja mereka itu melahap wajahnya, terutama pemuda baju biru dan hijau. Namun karena mereka duduk di depan dan wajarlah hal ini terjadi maka dua gadis itu tak dapat berbuat apa-apa meskipun sebenarnya mereka juga senang dan bangga dikagumi lelaki. Hanya jangan kelewat melotot!
Tamu-tamu berdatangan lagi. Ning-pangcu menjadi sibuk dan berturut-turut datanglah para tokoh yang oernama besar. Ada Lo-han-hok-houw (Buddha Penakluk Harimau) di situ, ada empat orang berpakaian tambal-tambalan namun bukan termasuk pengemis, yakni empat orang yang berjuluk Tong-bun-su- jin (Empat Bersaudara Keluarga Tong).
Lalu ketika datang tokoh-tokoh lain di mana ketua atau pimpinan perkumpulan silat juga hadir, tercatat dari Pek-lian-pang dan Ui-eng-pang, maka tak kurang dari duaratus undangan hadir bersama murid-murid mereka. Jumlah semua orang hampir limaratus orang dengan penghuni See-ouw-pang sendiri.
Ning-pangcu betul-betul gembira. Ketua See-ouw-pang ini melihat bahwa hampir seluruh undangan hadir , yang berhalangan paling-paling satu dua saja, termasuk Lam-hai- kong-jiu itu. Namun karena tokoh itu sudah diwakili dua puteri kembarnya dan ini cukup maka tiba pada saat puncak acara mulailah ketua See-ouw-pang itu mengadakan kata-kata sambutan. Mula-mula tentu saja ucapan terima kasih. Nama demi nama disebut dan orang orangpun mengangguk-angguk.
Para tokoh atau amu-tamu terhormat diperkenalkan, namanya. Sebagian besar para tamu sudah kenal. Tapi ketika Chi Koan diperkenalkan dan hama Si buta ini disebut mendadak semua orang diam dan. timbulah keributan gaduh.
"Tenang, mohon tenang. Yang terhormat Chi-taihiap adalah aku sendiri yang mengundangnya, Cuwi-enghiong (orang-orang gagah sekalian). Bukan salahnya kalau ia datang. Harap cuwi tenang dan biarkan aku berkata-kata dahulu. Mohon yang terhormat Chi-taihiap maju ke depan!"
Chi Koan sudah menunggu-nunggu. Saat ini. la tahu bahwa akhirnya namanya bakal didengar dan diperkenalkan semua orang. Sejak Ning-pangcu menyebut nama-nama para tokoh dian-diam ia berdebar. Saatnya pasti akan tiba. Dan ketika betul saja Ning-pangcu menyebut dan kini memanggilnya tiba-tiba ia bangkit berdiri dan Beng San serta Siauw Lam berdiri pula hendak mengantar suhu mereka itu. Kursi undangan penuh dan tempat pun sesak.
"Biarkan aku berjalan sendiri," Chi Koan berkata, miringkan kepala. "Aku sudah mengenal medan, Siauw Lam, kalian tetap di sini saja dan biar aku memenuhi panggilan Ning-pangcu."
Terbelalaklah semua mata memandang Si buta ini. Chi Koan masih gagah dan tegap dalam usianya tigepuluhan tahun, tampan namun tampak begitu mengiba ketika mulai tertatih berjalan dengan tongkatnya. Dan ketika seorang murid See-ouw-pang maju dan hendak menolong, ditolak maka dengan pendengarannya yang tajam si buta ini menuju panggung melewati kursi demi kursi, tongkat merupakan andalan utama dan akhirnya sampailah dia di depan Ning-pangcu.
Lalu ketika dengan mata mengejap-ngejap ia menjura dan memberi hormat, diam-diam mengerahkan kekuatan batin dalam Suaranya yang bergetar penuh haru maka orangpun tiba-tiba tersentuh dan merasa kasihan.
"Maafkan aku yang bodoh. Semata memenuhi undangen Ning-pangcu, aku datang ke sini, cuwi-enghiong, sadar bahwa nama buruk yang kusandang bakal mengganggu cuwi sekalian. Aku tak dapat berkatu apa-apa, hanya kepada Ning-pangculah semuanya kugantungkan. Kalau kehadiranku sekiranya mengganggu akupun siap angkat kaki dan tak akan merusuhi cuwi yang mulia!"
Seruan atau kata-kata ini bukan diucapkan sembarangan saja. Mereka yang kurang kuat batinnya seketika itu luluh, begitu haru melihat kelopak yang kosong itu dan yang wanita tiba-tiba terisak. Lan Hoa, murid Siang-liong-tah itu mendadak menangis. Puteri Lam-hai-kong-jiu juga tiba-tiba basah.
Namun kekeh Yang-liu Lo-lo mendadak membuyarkan suasana haru. Nenek ini bangkit dan suaranya yang nyaring bergema segera memecah tempat itu. Lalu ketika semua orang terkejut dan terbelalak kepadanya iapun berkata,
"Heh-heh, si buta ini pandai mengambil hati. Aku mengenal mendiang Lu Kong Hwesio dengan baik, anak muda, begitu pula Beng Kong gurumu itu. Aku tahu isi perut mereka, mana baik mana buruk. Karena Beng Kong berwatak culas dan suka berbuat curang maka terang-terangan aku tak suka kepadanya. Namun mereka sudah sama-sama tiada. Kau muridnya, murid Beng Kong. Biasanya guru dan murid tak bakal jauh berbeda seperti halnya pepatah bahwa buah tak jauh dari pohon. Kami orang-orang selatan sudah mendengar beritamu yang buruk, termasuk perbuatanmu mencuri Bu-tek-cin-keng milik Gobi. Kalau kau tiba-tiba hadir di sini maka sungguh kuherankan bukankah selama ini kudengar kau masuk hukuman. Apakah hukunanmu sudah selesai, atau justeru kau melarikan diri dan kini datang ke sini!"
Hebat dan luar biesa sekali kata-kata nenek yang satu ini. Kalau bukan Chi Koan yang menerima dan pandai menguasai perasaannya tentu wajah si buta itu berubah-ubah. Chi Koan kaget dan marah sekali. Akan tetapi karena dia pandai menyembunyikan perobahan wajahnya dan justeru tersenyum, inilah yang membuat dua muridnya kagum maka si buta itu menjura dan berkata, tenang dan sama sekali mirip orang tenpa dosa.
"Kalau tidak salah di depanku ini adalah yang terhormat Yang-liu Lo-lo adanya. Terima kasih, locianpwe suka bicara ceplas-ceplos. Masalah Bu-tek-cin-keng sebenarnya adalah masalah pribadi antara aku dan Go-bi, tapi locianpwe membuka-buka ini. Baiklah kuterangkan sebagaimana aku menerangkan kepada Ning-pangcu. Karena benar aku adalah murid guruku Beng Kong Hwesio maka akupun pewaris yang mulia mendiang Ji Leng lo-suhu sesepuh Go-bi. Uwaku Lu Kong meninggal lebih dulu, jadi guruku merupakan pewaris tunggal. Tolong locianpwe katakan dulu bagaimanakah sikap mendiang sesepuh Go-bi kalau sudah begini, kepada siapa-kah Bu-tek-cin-keng itu diwariskan. Kepadaku atau kepada murid uwa Lu Kong bernama Peng Houw ataukah kepada guruku yang waktu itu masih hidup, Beng Kong suhu!"
Kata-kata ini tajam dan memojokkan. Chi Koan yang semula diserang nenek itu kini berbalik menyerang dan mendesak, Yang-liu Lo- lo terkejut. Dan ketika nenek itu agak berubah dan tampak gugup, Para tamupun bersorak maka mereka berteriak-teriak sendiri, mendahului dan langsung berseru bahwa kepada Beng Kong Hwesio itulah kitab seharusnya diserahkan.
"Tenang, harap cuwi sekalian tenang. Yang kutanya adalah nenek ini, cuwi-enghiong, biarlah dia yang menjawab. Mohon cuwi tidak berisik dan biar kuuji kejujuran nenek ini!"
Chi Koan berseri-seri dan kata-katanya semakin memojokkan nenek itu. Yang-liu Lo-lo berubah dan apa boleh buat iapun mengetrukkan gigi, mengepal tinju. Lalu ketika ia mengangguk dan berkata bahwa secara jujur kitab harus diserahkan Beng Kong Hwesio maka Chi Koan tertawa mendengar suara gemas nenek itu.
"Baiklah, aku bukan orang yang mau menangnya sendiri. Secara jujur harus kukatakan bahwa kitab itu jatuh kepada gurumu!"
"Terima kasih, locianpwe benar-benar jujur. Kalau kitab jatuh di tangan guruku lalu apa anehnya kalau kemudian diwariskan kepadaku pula? Kau sendiri mengatkan aku adalah murid guruku Beng Kong, locianpwe, itulah sebabnya akupun mendapatkan kitab itu. Namun Peng Houw si pemfitnah itu mengatakan aku mencurnya, dan jadilah aku dikejar-kejar. Coba locianpwe jelaskan siapa salah siapa benar, bukankah locianpwe tahu isi perut masing- masing."
Yang-liu Lo-lo berubah-ubah dan tak disangkanya bahwa dia dibalik dan diserang sedemikian hebatnya. Sekarang keadaan benar-benar berbalik dan orangpun mengangguk-angguk. Meskipun belum pulih namun kepercayaan mulai tertanam di pribadi si buta itu. Chi Koan bicara begitu gamblang, masuk akal. Dan karena semua begitu jujur dan apa adanya, inilah yang tertangkap maka yang paling girang adalah ketua See-ouw-pang itu. Tak salah dia membawa si buta ini!
"Tolong locianpwe jawab," Chi Koan kembali menodong, si nenek belum berkata-kata. "Kalau aku difitnah lalu dikejar-kejar apakah aku pencuri Bu-tek-cin-keng Bukankah sudah jelas bahwa kitab itu sesungguhnya milikku, warisan dari suhu."
"Aku kalah, kau menang," si nenek akhirnya berseru. "Pembelaanmu lugas dan jitu, anak muda, tapi sekarang katakan bagaimana dengan hukumanmu itu. Kau melarikan dirí atau sudah dibebaskan!"
Para tamu terkejut. Tiba-tiba mereka ingat lagi dan keraguanpun muncul di wajah masing-masing. Pertanyaan ini tajam dan menodong, Beng San dan Siauw Lam terkejut dan pucat. Kalau mereka yang menghadapi tentu bingung, salah-salah, macet! Tapi ketika guru mereka tersenyum-senyum dan tampak begitu tenang maka Beng San kagum bukan main akan balasan gurunya itu, begitu tok-cer!
"Untuk menjawab ini harap locianpwe misalkan diri locianpwe sendiri. Kalau locianpwe tertawan musuh dan dihukum seumur hidup padahal merasa tidak bersalah apakah yang locianpwe lakukan? Diam saja dan mandah menerima hukuman? Atau locianpwe berusuha membebaskan diri demi keadilan dan kebenaran? Nah, akupun begitu, sama seperti locianpwe atau para cuwi-enghiong di sini yang berpikiran waras."
Bukan maih tepatnya kata-kata itu. Yang-liu o-lo sampai terbengong dan nenek itu menjadi pucat. la di"kick" balik sampai benar- benar tersudut, begitu terpojok. Dan ketika ia tiba-tiba terisak dan meloncat ke kursinya sendiri akhirnya terdengarlah tepuk tangan dan hadirin seketika menyambut, gegap-gempita.
Beng San tergelak-gelak. la melihat begitu lihainya gurunya ini berkelit dan menghindar, bahkan membalas dan akhirnya mencekik nenek itu. Dialah yang bertepuk tangan tadi, pelopor dan disusul riuh genmuruh tamu-tamu undangan. Dan karena gurunya menang dan begitu telak, Chi Koan sendiri berserl-seri maka si buta ini mengangguk ke kiri kanan membalas tepuk gaduh para tamu itu. Ning-pangcu tertawa bergelak pula.
Akan tetapi Chi Koan tak mabok kesenangan. Begitu pandai si buta ini menyembunyikan perasaannya, ia harus menjaga perasaan orang lain agar tak sampai tersinggung. Maka ketika tiba-tiba ia mengangkat tangan dan minta para tamu berhenti, susana sudah berbalik makä ia menjura ke arah nenek itu berkate perlahan, Suaranya tenang sajq namun jelas terdengar sampai belakang.
"Mohon maaf kepada yang terhormat Yang-liu Lo-lo locianpwe bila aku menyinggung perasaannya. Kedatanganku bukan untuk mencari musuh, justeru ingin bersahabat dan minta perlindungan kalian orang-orang selatan. Kalau Yang-liu locianpwe tak berkenan kepadaku aku yang muda mohon maaf, lahir batin, ini bukan basa-basi melainkan tulus keluar dari hatiku karena justeru locianpwe telah melepaskan ganjalan yang berat di hatiku tadi. Seandainya locianpwe tidak bicara ini tentu cuwi-enghiong sekalian tak akan tahu. Nah, aku bersyukur dan benar-benur berterima kasih. Maaf, sekali lagi maaf!"
Bertepuk tanganlah tamu-tamu undangan. Lagi nereka melihat sikap yang begitu simpatik dan rendah hati dari di buta ini. Sebentar saja tingkah laku pemuda itu menawan mereka. Dan ketika Yang-liu Lo-Lo semburat tersipu-sipu, pemuda yang hampir dijatuhkannya tadi tak marah dan justeru minta maaf, begitu rendah hati dan tulus maka nenek inipun malu sendiri dan berkata,
"Sudahlah, barangkali akupun ada salah. Aku minta maaf pula kalau kata-kataku menyerangmu tadi."
Ning-pangcu mengangguk-angguk. Sekarang si buta ini mendapat simpati dan legalah dia. Maka ketika Chi Koan hendak. mengundurkan diri dan duduk di kursi belakang cepat-cepat ketua See-ouw-pang ini berseru, "Taihiap sudah diterima orang-orang sini, jangan duduk di belakang lagi. Karena acara masih berlanjut silakan taihiap duduk di kursi kehormatan. Kita akan mengadakan pilihan pemimpin!"
Chi Koun pura-pura menolak. Ia memperlihatkan rasa sungkan akan tetapi tuan rumah sudah menariknya. Dan karena begitu lihainya pemuda ini menunjukkan sikap simpati akhirnya Siang-liong-tah dua kakek gagah bangkit berseru,
"Ning-pangcu benar, kami telah dapat menerimamu. Duduk dan mari bersama kami, Chi-siauwhiap, sebentar lagi kita masing-masing akan berkenalan.lebih jauh. Akan ada semacam pemilihan beng-cu (pemimpin persilatan)!"
Chi Koan tak menolak lagi. Duduklah dia di deretan kursi kehormatan, berdampingan dengan tokoh-tokoh tua dan kagumlah Beng San melihat gurunya itu. Secara cerdik dan lihai gurunya telah diterima orang-orang selatan, hebat sekali.
Dan ketika acara dilanjutkan dan pertemuan tahunan itu diakhiri dengan acara puncak, yakni pemilihan bengcu maka para undangan bertepuk riuh karena pertandingan alias pibu bakal meramaikan suasana. Apa artinya gebyar keramaian kalau tidak diiringi adu silat.
"Jagoku terus terang saja Chi-taihiap ini. Aku telah menyaksikan kepandaiannya. Kalau cuwi setuju biarlah kita angkat dia sebagai bengcu!"
Ning-pangcu tak ragu-ragu dan Beng San serta Siauw Lam bertepuk gembira. Dua anak muda inilah yang tentu saja menjadi pendukung utamanya. Namun karena orang belum mengetahui kehebatan si buta itu dan Chi Koan sendiri buru-buru bangkit dan menggoyang lengan maka dua muridnya tertegun mengerutkan kening.
"Tidak, tidak, aku tak berani. Jangan sejauh ini menjunjungku, pangcu, di sini banyak para locianpwe tingkat atas. Lagi pula aku bukan asli orang selatan, beng-cu harus diambil dari kalangan kalian sendiri. Aku menolak!"
Ning-pangcu tertegun, sirat kecewa tiba-tiba tak dapat disembunyikan lagi, wajahnya berubah. Namun ketika wakilnya berbisik-bisik dan orang lain juga saling berbisik sendiri maka Lo-han-hok-houw si pendek gemuk bangkit berdiri, pakaiannya seperti padri namun rambutnya tidak dicukur gundul.
"Aku mengerti perasaan Chi-taihiap, dan justeru aku semakin kagum. Kata-katanya tadi memang tidak salah, pangcu, karena kita memilih bengcu khusus kalangan sendiri maka seharusnya diambil dari sini juga. Akan tetapi paling tidak Chi-taihiap dapat ikut meramaikan suasana. Aku juga ingin menyaksikan hebatnya Bu-tek-cin-keng yang tersohor itu. Kalau kita orang-orang selatan diperbolehkon melihat itu tentu ini anugerah besar yang tak akan kita lupakan. Bagaimana kalau Chi-taihiap naik ke penggung lui-tai (panggung adu silat)!"
Suara gemuruh menyetakan setuju. Sebagai orang-orang selatan yang belum melihat kehebatan Bu-tek-cin-keng tentu saja tak ada satupun yang tidak ingin tahu. Bagi seorang ahli silat kepandaian lawan tanding selalu menrik, apalagi dari Gobi. Siapa tidak kenal nama besar mendiang sesepuh Gobi Ji Leng Hwesio. Siapa tidak tahu gudangnya ilmu silat di tempat itu. Maka ketika semua bersorak dan menyatakan setuju, Chi Koan pura-pura bingung maka Ning-pangcu berseri lagi mendapat kepuasannya.
"Benar, Lo-han-hok-houw -enghiong tidak salah. Aku sendiri sudah merasakan kehebatan Naga Gurun Gobi Peng Houw, Chi-taihiap. Karena kau tandingannya setimpal tentu kepandaianu tidak berbeda jauh. Perlihatkanlah mata kami orang-orang selatan warisan Bu-tek-cin-keng itu. Kami tentu senang dan berterima kasih sekali!"
"Hm, ilmu bukan untuk dipamer-pamerkan. Mendiang guruku dan para pimpinan Gobi bisanya melarang keras para muridnya memamerkan kepandaian,Ning pangcu, tapi karena suasana ini lain biarlah aku menunjukan sedikit kebodohanku. Hanya harap dingat bahwa sebaiknya yang lain diperkenankan maju dahulu, aku belakangan saja. Bukankah mereka lebih penting dan termasuk tuan rumah sendiri, aku pendatang."
Ning-pangcu tertegun. Lagi-lagi si buta bersikap begitu bijak dan amat rendah hati. Memang seharusnya merekalah dulu yang main di panggung lui-tai, selain karena tuan di wilayah sendiri juga si buta itu termasuk pendatang. Apa jadinya kalau tokoh-tokoh seperti Siang-liong-tah maupun yang lain dinomorduakan, bukankah seakan memandang rendah mereka. Maka ketika ia mengangguk dan menarik napas dalam akhirnya ketua See-ouw-pang ini berkata,
"Baiklah, kami mengerti. Terima kasih atas kerendahan hatimu, taihiap, kau menyadarkan aku. Biarlah kuserahkan kepada para cianpwe ini dan silakan mereka maju." Lalu memandang dan berkata kepada dua kakek gagah itu Ning-pangcu menyerahkan panggung lui-tai.
"Semua sudah hadir, jiwi tentunya sudah siap. Karena kita bakal memilih seorang bengcu harap jiwi naik dan persilakan maju."
"Hmn, yang tua-tua nanti dulu. Biarlah keramaian dibuat oleh yang muda-muda dulu, pangcu, sementara ini muridku Lan Hoa biar mewakili kami. Undangan butuh pemanasan, muridku akan naik dan harap tidak ditertawakan!"
Gadis berpedang mendapat perintah. Gagah dan tidak sungkan-sungkan lagi gadis ini melayang ke atas panggung, gerakannyu gesit dan ringan, langsung melompat dan berjungkir balik turun dengan halus. Dan ketika gerakannya mengundang tepuk riuh pengunjung, juga pembakar semangat maka gadis ini berseri-seri dengan wajah kemerah-merahan.
"Aku mewakili suhu dan susiok, kepandaianku masih rendah. Kalau di antara cuwi-enghiong ada yang ingin menambah pengalamanku silakan maju!"
Para tamu bersorak. Masuknya gadis cantik ini benar-benar menggembirakan suasana, siapa tidak senang bersentuhan atau bersenggolan tangan. Tapi sebelum mereka melompat mendadak bagai seekor burung besar menyambar dan berkelebatlah bayangan hijau. Beng San....!