PARA peronda itu kemudian mengikuti anak-anak muda itu ke regol. Namun regol itu masih diselarak dari dalam, sehingga Manggada berkata “Kita lewat regol butulan saja. Atau aku harus meloncat masuk dan membuka regol ini?“
“Buka saja regol ini...“ berkata salah seorang diantara mereka.
Manggada kemudian meloncat dinding dan masuk ke halaman. Kemudian membuka selarak pintu dari dalam. Bersama-sama dengan peronda itu, mereka naik ke pendapa rumah Ki Partija Wirasentana, yang telah menjadi sepi.
Wirantana ternyata masih berada di dalam. Ketika kedua orang lawannya melarikan diri. setelah mendengar isyarat kawannya yang berada di luar, Wirantana tidak mengejar mereka, karena ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan orangtua dan adiknya. Demikian kedua orang lawannya melarikan diri, Wirantana cepat-cepat mengetuk pintu bilik adiknya.
“Mas Rara, Mas Rara. Buka pintu, mumpung orang-orang itu sudah melarikan diri“ berkata Wirantana.
Mas Rara ragu-ragu. Tetapi ketika sekali lagi Wirantana memanggilnya, maka ia pun segera membuka pintu. Demikian ia melihat kakaknya berdiri tegak, ia segera memeluknya sambil menangis.
“Jangan menangis. Marilah, masuk kebilik ayah dan ibu“ berkata Wirantana.
Mas Rara kemudian dibimbing mendekati pintu bilik ayah dan ibunya
“Ayah, buka pintu Mas Rara akan masuk“ berkata Wirantana.
Pintu itu tidak segera dibuka. Namun ketika Wirantana mengetuk sekai lagi, burulah pintu itu dibuka sedikit. Karena Winintana tidak sabar lagi, ia segera mendorong adiknya masuk ke dalam bilik itu. Wirantana mendengar pintu diselarak. Namun tiba-tiba saja Wirantana mendengar Mas Rara menjerit.
“Mas Rara, ayah, ibu“ teriak Wirantana dengan cemas.
Tanpa menghiraukan apapun lagi. Wirantana mengetuk pintu bilik itu keras-keras. Pada saat itu, Manggada dan Laksana telah naik ke pendapa. Teriakan dan jerit dari dalam itu mengejutkan mereka. Karena itu, mereka pun meloncat lewat seketheng, masuk ke longkangan dan langsung masuk lewat pintu butulan yang masih terbuka. Manggada dan Laksana melihat Wirantana sedang mengetuk-ngetuk pintu bilik ayahnya.
“Ada apa?” bertanya Laksana.
“Aku tidak tahu. Mas Rara menjerit di dalam!“ jawab Wirantana.
Namun sebentar kemudian, pintu bilik terbuka. Mereka melihat ayah Mas Rara membimbing gadis yang hampir menjadi pingsan itu. Di belakangnya, ibunya berjalan menunduk sambil menekan dadanya dengan kedua telapak tangannya.
“Apa yang telah terjadi?“ bertanya Wirantana.
“Lihatlah“ berkata ayahnya dengan suara serak.
Wirantana melangkah memasuki bilik itu diikuti oleh Manggada dan Laksana. Namun mereka terkejut ketika melihat seseorang yang tubuhnya baru separo berada di dalam bilik itu, namun sudah tidak bernyawa lagi.
“Ayah agaknya telah membunuh orang ini“ berkata Wirantana termangu-mangu sambil mengamati luwuk ayahnya yang terletak di atas lincak bambu, dan masih berlumuran darah yang mulai mengering. Manggada dan Laksana termangu-mangu. Mas Rara tentu menjerit karena terkejut.
“Paman masih pingsan!“ tiba-tiba saja Wirantana berdesis.
Ketiga anak muda itu ternyata tidak tergesa-gesa mengambil orang itu. Tetapi perhatian mereka lebih dahulu tertuju kepada Ki Resa yang pingsan. Ketika ketiga anak muda itu mendekatinya, mereka melihat Ki Resa mulai bergerak.
“Paman sudah mulai sadar“ berkata Wirantana. Ketiga orang itu kemudian mengangkat tubuh Ki Resa dan dibaringkannya di atas sebuah amben di ruang tengah itu.
Namun dalam pada itu, beberapa orang peronda yang semula telah naik kependapa menyusul pula lewat pintu butulan itu. Dengan jantung yang berdebaran, mereka melihat apa yang telah terjadi di ruangan itu.
“Aku akan memukul kentongan.“ desis seorang diantara mereka. “Bukan kentongan kecil ini, tetapi kentongan di gardu”
“Tidak perlu.“ berkata Ki Partija Wirasentana “tolong Ki Sanak, sampaikan saja kepada Ki Bekel, bahwa beberapa orang perampok telah memasuki rumah ini. Seorang diantara mereka dengan terpaksa telah kubunuh. Aku merasa begitu ketakutan, sehingga aku tidak dapat berbuat lain, kecuali membunuhnya”
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Kemudian seorang diantara mereka mendorong kawannya sambil berkata “Pergilah kerumah Ki Bekel”
Tetapi orang yang didorong itu memanggil kawannya yang lain “Kau sajalah pergi ke rumuh Ki Bekel. Aku berjaga-jaga di sini, jika perampok itu kembali”
Yang digamit termangu-mangu sejenak. Tetapi ternyata ia telah berterus-terang. “Aku tidak berani seorang diri”
“Pergilah bersama-sama“ berkata Ki Partija Wirasentana aku sudah mempunyai beberapa kawan di sini”
Para peronda itu termangu-mangu. Namun seorang diantara mereka bartanya “Apa salahnya jika aku memukul kentongan saja? Yang datang tentu bukan hanya Ki Bekel, tapi para bebahu dan anak-anak sepadukuhan”
“Jangan“ jawab Ki Partija “nanti seisi padukuhan menjadi gelisah. Semua orang menjadi ketakutan”
Orang-orang yang sedang meronda itu termangu-mangu. Manggada kemudian berkata “Apakah aku harus mengantarkan kalian?”
“Tidak. Tidak!“ jawab salah seorang dari mereka. Lain katanya kepada kawan-kawannya. ”Marilah kita menemiu Ki Bekel”
Demikianlah, orang-orang itu kemudian pergi ke remah Ki Bekel. Tetapi merek singgah di gardu dan mengajak semua orang yang ada di gardu karena sebenarnyalah mereka ngeri jika bertemu dengan perampok yang datang ke rumah Ki Partija, yang baru saja menerima mas kawin dari Raden Panji Prangpranata.
Sementara itu, Ki Partija menjadi sibuk dengan adiknya. Sementara Mas Rara duduk ditunggui ibunya, dan kakaknya Wirantana, yang juga menjadi cemas. Namun Mas Rara telah sedikit menjadi tenang.
Sedangkan di dalam bilik Ki Partija, sesosok tubuh yang mulai membeku masih saja berada ditempatnya. Ki Partija memang menunggu Ki Bekel untuk menyaksikan kaadaan itu.
Perlahan-lahan Ki Resa mulai bergerak-gerak. Kemudian tangannya mulai meraba-raba tengkuknya. Dengan nada rendah, ia mulai bertanya. “Apa yang telah terjadi”
“Perampokan, Resa” jawab Ki Partija.
”Perampokan!” wajah Ki Resa menjadi tegang “apa yang telah dibawanya?”
“Tidak ada yang dapat dibawa“ jawab Ki Partija.
“O. Mana Mas Rara” bertanya Ki Resa.
Ki Partija Wirasentana menarik nafas dalam-dalam. Sambil menunjuk anak gadisnya, ia menjawab. “Itu, bersama ibu dan kakanya”
Ki Resa kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, dibantu oleh kakaknya. Kemudian memandang berkeliling sambil bertanya “Bagaimana dengan mas kawin itu”
“Untunglah, masih dapat kita selamatkan“ jawab Ki Partija.
Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Aku semula tidak mengira bahwa hal seperti itu akan terjadi. Aku mendengar Wirantana memanggil. Tetapi aku terlambat menyadarinya."
"Semuanya sudah teratasi“ berkata Ki Partija “kita sudah berhasil mengusir para perampok itu”
“Tidak seorangpun yang tertangkap?” bertanya Ki Resa.
“Sayang sekali“ jawab Ki Partija “tidak seorangpun yang tertangkap. Tetapi ada seorang diantara mereka yang terbunuh”
“Terbunuh” wajah Ki Resa menjadi tegang.
“Ya. Yang terbunuh ada didalam bilik itu, pada saat-saat gawat, orang itu berusaha masuk kedalam bilikku lewat dinding luar. Dengan kapak, orang itu memecah dinding. Namun aku berhasil mengatasi perasaan takutku, atau justru sebaliknya, karena aku menjadi sangat ketakutan, aku telah membunuhnya selagi ia berusaha masuk kedalam lewat dinding yang telah dipecahkannya” berkata Ki Partija Wirasentana.
Ki Resa perlahan-lahan bergeser menepi, dan berusaha untuk bangkit berdiri. Tertatih-tatih, Ki Resa masuk kedalam bilik Ki Partija untuk melihat orang yang terbunuh, sebagaimana dikatakan oleh kakaknya itu. Ki Resa tertegun sejenak. Wajahnya menjadi merah. Namun ia kemudian menarik nafas dalam-dalam, ia berdiri tegak sambil memandang tubuh yang telah membeku itu.
Ketika ia kemudian keluar dari bilik itu, ia berkata, “Sukurlah, bahwa kakang berdua tidak mengalami sesuatu. Juga Mas Rara dan Wirasentana, Nampaknya para perampok itu orang-orang buas dan liar. Mereka telah menempuh cara yang paling kasar. Untunglah kakang sempat membunuhnya, jika tidak, kakang akan dapat dibunuhnya”
“Yang Maha Agung masih melindungi kita semuanya!“ desis Ki Partija Wirasentana “namun aku sama sekali tidak pernah bermimpi untuk melakukan pembunuhan. Kali ini aku benar-benar tidak tahu cara untuk menghindarinya. Di dalam bilik itu, aku simpan mas kawin yang baru saja kita terima dari Raden Panji. Didalam bilik itu pula aku simpan nyawaku dan nyawa Nyi Partija”
Ki Resa mengangguk-angguk. Katanya “Tidak seorangpun dapat menyalahkan kakang. Kakang benar-benar sakedar membela diri, jika kakang tidak membunuhnya, kakang yang akan dibunuh, bahkan berdua. Selanjutnya, harta benda kakang akan dirampas dan dibawa padahal. Benda-benda berharga itu pemberian Raden Panji untuk Mas Rara”
Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Kita menuggu Ki Bekel”
Ki Resa kemudian duduk diamben yang panjang, di ruang tengah, yang masih belum dibenahi. Beberapa macam alat-alat rumah tangga masih terserak.
Tak lama kemudian, Ki Bekel datang bersama beberapa bebahu dan beberapa orang peronda yang telah memberi-tahukan kepadanya. Bersama mereka, Ki Bekel menyaksikan isi rumah Ki Partija yang berserakan, serta melihat keadaan salah seorang perampok yang terbunuh.
“Tentu ada hubungannya dengan kedatangan utusan Raden Panji” berkata Ki Bekel.
“Nampaknya begitu!" jawab Ki Partija.
“Buka saja regol ini...“ berkata salah seorang diantara mereka.
Manggada kemudian meloncat dinding dan masuk ke halaman. Kemudian membuka selarak pintu dari dalam. Bersama-sama dengan peronda itu, mereka naik ke pendapa rumah Ki Partija Wirasentana, yang telah menjadi sepi.
Wirantana ternyata masih berada di dalam. Ketika kedua orang lawannya melarikan diri. setelah mendengar isyarat kawannya yang berada di luar, Wirantana tidak mengejar mereka, karena ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan orangtua dan adiknya. Demikian kedua orang lawannya melarikan diri, Wirantana cepat-cepat mengetuk pintu bilik adiknya.
“Mas Rara, Mas Rara. Buka pintu, mumpung orang-orang itu sudah melarikan diri“ berkata Wirantana.
Mas Rara ragu-ragu. Tetapi ketika sekali lagi Wirantana memanggilnya, maka ia pun segera membuka pintu. Demikian ia melihat kakaknya berdiri tegak, ia segera memeluknya sambil menangis.
“Jangan menangis. Marilah, masuk kebilik ayah dan ibu“ berkata Wirantana.
Mas Rara kemudian dibimbing mendekati pintu bilik ayah dan ibunya
“Ayah, buka pintu Mas Rara akan masuk“ berkata Wirantana.
Pintu itu tidak segera dibuka. Namun ketika Wirantana mengetuk sekai lagi, burulah pintu itu dibuka sedikit. Karena Winintana tidak sabar lagi, ia segera mendorong adiknya masuk ke dalam bilik itu. Wirantana mendengar pintu diselarak. Namun tiba-tiba saja Wirantana mendengar Mas Rara menjerit.
“Mas Rara, ayah, ibu“ teriak Wirantana dengan cemas.
Tanpa menghiraukan apapun lagi. Wirantana mengetuk pintu bilik itu keras-keras. Pada saat itu, Manggada dan Laksana telah naik ke pendapa. Teriakan dan jerit dari dalam itu mengejutkan mereka. Karena itu, mereka pun meloncat lewat seketheng, masuk ke longkangan dan langsung masuk lewat pintu butulan yang masih terbuka. Manggada dan Laksana melihat Wirantana sedang mengetuk-ngetuk pintu bilik ayahnya.
“Ada apa?” bertanya Laksana.
“Aku tidak tahu. Mas Rara menjerit di dalam!“ jawab Wirantana.
Namun sebentar kemudian, pintu bilik terbuka. Mereka melihat ayah Mas Rara membimbing gadis yang hampir menjadi pingsan itu. Di belakangnya, ibunya berjalan menunduk sambil menekan dadanya dengan kedua telapak tangannya.
“Apa yang telah terjadi?“ bertanya Wirantana.
“Lihatlah“ berkata ayahnya dengan suara serak.
Wirantana melangkah memasuki bilik itu diikuti oleh Manggada dan Laksana. Namun mereka terkejut ketika melihat seseorang yang tubuhnya baru separo berada di dalam bilik itu, namun sudah tidak bernyawa lagi.
“Ayah agaknya telah membunuh orang ini“ berkata Wirantana termangu-mangu sambil mengamati luwuk ayahnya yang terletak di atas lincak bambu, dan masih berlumuran darah yang mulai mengering. Manggada dan Laksana termangu-mangu. Mas Rara tentu menjerit karena terkejut.
“Paman masih pingsan!“ tiba-tiba saja Wirantana berdesis.
Ketiga anak muda itu ternyata tidak tergesa-gesa mengambil orang itu. Tetapi perhatian mereka lebih dahulu tertuju kepada Ki Resa yang pingsan. Ketika ketiga anak muda itu mendekatinya, mereka melihat Ki Resa mulai bergerak.
“Paman sudah mulai sadar“ berkata Wirantana. Ketiga orang itu kemudian mengangkat tubuh Ki Resa dan dibaringkannya di atas sebuah amben di ruang tengah itu.
Namun dalam pada itu, beberapa orang peronda yang semula telah naik kependapa menyusul pula lewat pintu butulan itu. Dengan jantung yang berdebaran, mereka melihat apa yang telah terjadi di ruangan itu.
“Aku akan memukul kentongan.“ desis seorang diantara mereka. “Bukan kentongan kecil ini, tetapi kentongan di gardu”
“Tidak perlu.“ berkata Ki Partija Wirasentana “tolong Ki Sanak, sampaikan saja kepada Ki Bekel, bahwa beberapa orang perampok telah memasuki rumah ini. Seorang diantara mereka dengan terpaksa telah kubunuh. Aku merasa begitu ketakutan, sehingga aku tidak dapat berbuat lain, kecuali membunuhnya”
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Kemudian seorang diantara mereka mendorong kawannya sambil berkata “Pergilah kerumah Ki Bekel”
Tetapi orang yang didorong itu memanggil kawannya yang lain “Kau sajalah pergi ke rumuh Ki Bekel. Aku berjaga-jaga di sini, jika perampok itu kembali”
Yang digamit termangu-mangu sejenak. Tetapi ternyata ia telah berterus-terang. “Aku tidak berani seorang diri”
“Pergilah bersama-sama“ berkata Ki Partija Wirasentana aku sudah mempunyai beberapa kawan di sini”
Para peronda itu termangu-mangu. Namun seorang diantara mereka bartanya “Apa salahnya jika aku memukul kentongan saja? Yang datang tentu bukan hanya Ki Bekel, tapi para bebahu dan anak-anak sepadukuhan”
“Jangan“ jawab Ki Partija “nanti seisi padukuhan menjadi gelisah. Semua orang menjadi ketakutan”
Orang-orang yang sedang meronda itu termangu-mangu. Manggada kemudian berkata “Apakah aku harus mengantarkan kalian?”
“Tidak. Tidak!“ jawab salah seorang dari mereka. Lain katanya kepada kawan-kawannya. ”Marilah kita menemiu Ki Bekel”
Demikianlah, orang-orang itu kemudian pergi ke remah Ki Bekel. Tetapi merek singgah di gardu dan mengajak semua orang yang ada di gardu karena sebenarnyalah mereka ngeri jika bertemu dengan perampok yang datang ke rumah Ki Partija, yang baru saja menerima mas kawin dari Raden Panji Prangpranata.
Sementara itu, Ki Partija menjadi sibuk dengan adiknya. Sementara Mas Rara duduk ditunggui ibunya, dan kakaknya Wirantana, yang juga menjadi cemas. Namun Mas Rara telah sedikit menjadi tenang.
Sedangkan di dalam bilik Ki Partija, sesosok tubuh yang mulai membeku masih saja berada ditempatnya. Ki Partija memang menunggu Ki Bekel untuk menyaksikan kaadaan itu.
Perlahan-lahan Ki Resa mulai bergerak-gerak. Kemudian tangannya mulai meraba-raba tengkuknya. Dengan nada rendah, ia mulai bertanya. “Apa yang telah terjadi”
“Perampokan, Resa” jawab Ki Partija.
”Perampokan!” wajah Ki Resa menjadi tegang “apa yang telah dibawanya?”
“Tidak ada yang dapat dibawa“ jawab Ki Partija.
“O. Mana Mas Rara” bertanya Ki Resa.
Ki Partija Wirasentana menarik nafas dalam-dalam. Sambil menunjuk anak gadisnya, ia menjawab. “Itu, bersama ibu dan kakanya”
Ki Resa kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, dibantu oleh kakaknya. Kemudian memandang berkeliling sambil bertanya “Bagaimana dengan mas kawin itu”
“Untunglah, masih dapat kita selamatkan“ jawab Ki Partija.
Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Aku semula tidak mengira bahwa hal seperti itu akan terjadi. Aku mendengar Wirantana memanggil. Tetapi aku terlambat menyadarinya."
"Semuanya sudah teratasi“ berkata Ki Partija “kita sudah berhasil mengusir para perampok itu”
“Tidak seorangpun yang tertangkap?” bertanya Ki Resa.
“Sayang sekali“ jawab Ki Partija “tidak seorangpun yang tertangkap. Tetapi ada seorang diantara mereka yang terbunuh”
“Terbunuh” wajah Ki Resa menjadi tegang.
“Ya. Yang terbunuh ada didalam bilik itu, pada saat-saat gawat, orang itu berusaha masuk kedalam bilikku lewat dinding luar. Dengan kapak, orang itu memecah dinding. Namun aku berhasil mengatasi perasaan takutku, atau justru sebaliknya, karena aku menjadi sangat ketakutan, aku telah membunuhnya selagi ia berusaha masuk kedalam lewat dinding yang telah dipecahkannya” berkata Ki Partija Wirasentana.
Ki Resa perlahan-lahan bergeser menepi, dan berusaha untuk bangkit berdiri. Tertatih-tatih, Ki Resa masuk kedalam bilik Ki Partija untuk melihat orang yang terbunuh, sebagaimana dikatakan oleh kakaknya itu. Ki Resa tertegun sejenak. Wajahnya menjadi merah. Namun ia kemudian menarik nafas dalam-dalam, ia berdiri tegak sambil memandang tubuh yang telah membeku itu.
Ketika ia kemudian keluar dari bilik itu, ia berkata, “Sukurlah, bahwa kakang berdua tidak mengalami sesuatu. Juga Mas Rara dan Wirasentana, Nampaknya para perampok itu orang-orang buas dan liar. Mereka telah menempuh cara yang paling kasar. Untunglah kakang sempat membunuhnya, jika tidak, kakang akan dapat dibunuhnya”
“Yang Maha Agung masih melindungi kita semuanya!“ desis Ki Partija Wirasentana “namun aku sama sekali tidak pernah bermimpi untuk melakukan pembunuhan. Kali ini aku benar-benar tidak tahu cara untuk menghindarinya. Di dalam bilik itu, aku simpan mas kawin yang baru saja kita terima dari Raden Panji. Didalam bilik itu pula aku simpan nyawaku dan nyawa Nyi Partija”
Ki Resa mengangguk-angguk. Katanya “Tidak seorangpun dapat menyalahkan kakang. Kakang benar-benar sakedar membela diri, jika kakang tidak membunuhnya, kakang yang akan dibunuh, bahkan berdua. Selanjutnya, harta benda kakang akan dirampas dan dibawa padahal. Benda-benda berharga itu pemberian Raden Panji untuk Mas Rara”
Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Kita menuggu Ki Bekel”
Ki Resa kemudian duduk diamben yang panjang, di ruang tengah, yang masih belum dibenahi. Beberapa macam alat-alat rumah tangga masih terserak.
Tak lama kemudian, Ki Bekel datang bersama beberapa bebahu dan beberapa orang peronda yang telah memberi-tahukan kepadanya. Bersama mereka, Ki Bekel menyaksikan isi rumah Ki Partija yang berserakan, serta melihat keadaan salah seorang perampok yang terbunuh.
“Tentu ada hubungannya dengan kedatangan utusan Raden Panji” berkata Ki Bekel.
“Nampaknya begitu!" jawab Ki Partija.
"Untunglah seisi rumah ini dapat mengatasi para perampok itu, jika tidak, kita semuanya akan menjadi kalut. Raden Panji akan marah pada kita semuanya” Ki Bekel berhenti sejenak, lalu katanya “Tetapi kenapa Ki Partija tidak memberikan isyarat, misalnya dengan memukul kentongan. Dengan demikian, kami dapat memberikan bantuan sejauh dapat kami lakukan”
“Kami tidak sempat melakukannya Ki Bekel. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Adikku tidak sempat berbuat sesuatu, karena demikian ia membuka pintu, ia langsung mendapat satu pukulan telak, yang membuatnya pingsan” berkata Ki Partija.
“Ki Resa agaknya terlalu tergesa-gesa membuka pintu“ berkata Ki Bekel.
“Aku sama sekali tidak berpikir tentang perampok“ desis Ki Resa.
“Tetapi sukurlah semuanya dapat diatasi“ berkata Ki Bekel.
“Bagaimana dengan perampok yang terbunuh itu” bertanya Ki Partija.
“Besok, biarlah orang-orang padukuhan ini membantu kalian menguburkan orang itu. Malam ini, biarlah tubuh itu dibawa saja ke banjar padukuhan“ berkata Ki Bekel.
“Terima kasih Ki Bekel“ jawab Ki Partija.
“Sementara itu, aku akan menempatkan sebagian peronda di pendapa rumah ini. Biarlah orang-orang khusus berada digardu untuk mengatasi keadaan jika diperlukan“ berkata Ki Bekel “Rasa-rasanya kita semua ikut bertanggung jawab atas keselamatan Mas Rara, yang kebetulan tinggal di padukuhan ini”
“Ternyata, kedua anak muda yang telah menolong Mas Rara dari terkaman harimau itu, telah menyelamatkan kami.“ tiba-tiba Wirantana memotong.
Ki Bekel berpaling kepadanya. Kemudian dipandanginya Ki Partija Wirasentana, seakan-akan minta pertimbangan apakah yang dikatakan Wirantana itu benar.
Ki Partija yang termangu-mangu itu kemudian berkata “Ya, ya Ki Bekel. Aku belum mengatakannya. Bersama anakku, mereka bertempur melawan para perampok yang terdiri dari enam atau tujuh orang”
Ki Bekel mengangguk-angguk. sambil berpaling kepada Manggada dan Laksana, Ki Bekel berkata, “Mendahului Raden Panji Prangpranata. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian. Untunglah kalian masih tetap berada disini, sehingga dapat membantu Ki Partija melindungi mas kawin yang baru saja diterima dari Raden Panji, sekaligus melindungi Mas Rara”
“Kami hanya sekadar membantu Ki Bekel“ jawab Manggada “Wirantanalah yang lebih banyak terlibat dalam perlawanan, dan kemudian berhasil mengusir para perampok itu. Sayang kami tidak dapat menangkap seorangpun diantara mereka”
Ki Resa dengan nada rendah kemudian berkata, “Ternyata penyerahan mas kawin itu sudah didengar oleh orang-orang yang berniat buruk, dan segerombolan diantara mereka telah datang”
“Tetapi untuk selanjutnya, tidak akan terjadi sesuatu” berkata Ki Bekel. Lalu katanya pula “Seisi padukuhan ini akan ikut membantu kalian”
Ki Resa mengangguk kecil. Katanya “Terima kasih Ki Bekel. Mudah-mudahan niat buruk itu tidak menjalar pada gerombolan-gerombolan yang lain”
“Ya, Ki Bekel” desis Ki Partija Wirasentana. Apakah Ki Partija mempertimbangkan untuk memberikan kepada Raden Panji?” bertanya Ki Bekel.
Sebelum Ki Partija menjawab, Ki Resa telah mendahuluinya “Tidak perlu Ki Bekel. Jika hal itu dilakukan, Raden Panji akan menjadi gelisah, sehingga mungkin akan mengambil keputusan yang tidak menguntungkan. Karena itu, biarlah kita berusaha menjaga benda-benda berharga itu dengan sebaik-baiknya. Gerombolan-gerombolan itupun tentu akan membuat perhitungan, apakah korban yang akan mereka berikan sesuai dengan nilai dari benda-benda berharga itu. Berapa pun besarnya mas kawin dari Raden Panji, nilainya tentu tetap terbatas.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling, Ki Partija Wirasentana pun mengangguk-angguk Katanya “Aku sependapat dengan Resa, Ki Bekel. Aku tidak merasa perlu untuk melaporkannya kepada Raden Panji. Dengan demikian, Raden Panji akan menganggap kami terlalu manja. Segala sesuatunya disandarkan kepada Raden Panji”
“Baiklah“ berkata Ki Bekel “Jika Ki Partija berniat untuk tidak menyampaikannya kepada Raden Panji, biarlah kau mengatur kesiagaan anak-anak muda untuk membantu kalian. Sudah beberapa kali aku katakan, kami ikut bertanggung jawab atas keselamatan Mas Rara. Mungkin kali ini para perampok itu sekadar berusaha mengambil benda-benda berharga yang dibawa oleh utusan Raden Panji itu sebagai mas kawin. Namun tidak mustahil orang berniat lebih dari itu”
“Apa maksud Ki Bekel” bertanya Ki Partija Wirasentana dengan wajah cemas.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Bukan maksudku menakut-nakuti Ki Partija, tetapi hendaknya Ki Partija dan Ki Resa menjadi lebih berhati-hati."
“Aku tidak mengerti Ki Bekel“ desis Ki Partija.
“Orang yang berniat jahat itu dapat saja pada kesempatan lain justru mengambil Mas Rara” berkata Ki Bekel.
“Apakah itu satu tantangan kepada Raden Panji Prangpranata yang mempunyai kekuasaan luas itu” bertanya Ki Partija Wirasentana.
“Bukan. Bukan satu tantangan“ jawab Ki Bekel “tetapi dengan demikian, orang yang mengambil Mas Rara itu menuntut tebusan uang. Atau barangkali benda-benda berharga dan bernilai tinggi”
Ki Partija menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang adiknya ia berkata. “Satu kemungkinan buruk, Resa. Tetapi kita memang harus berhati-hati. Kemungkinan seperti itu akan dapat terjadi”
Resa menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian “Tetapi apakah ada orang yang berani menentang atau bahkan dengan cara itu, menantang Raden Panji”
“Bukan berhadapan langsung“ jawab Ki Bekel “Mas Rara akan menjadi taruhan. Jika Raden Panji tidak mau memenuhi tuntutan orang itu, Mas Rara akan mengalami nasib sangat buruk bahkan mungkin sekali Mas Rara dibunuh”
“Ah...“ desah Ki Resa “mengerikan sekali. Tetapi orang itu akan tahu akibatnya jika Raden Panji marah”
“Tidak ada yang tahu siapa yang mengambil Mas Rara” jawab Ki Bekel “sudah tentu Raden Panji tidak akan dapat menghukum semua orang, karena sebagian besar dari mereka mungkin tidak bersalah. Yang bersalah mungkin hanya dua atau tiga orang dari seluruh Kademangan ini, atau bahkan mungkin orang dari Kademangan lain atau dari tempat yang jauh”
Ki Partija mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Bekel. Karena itu katanya “Peringatan Ki Bekel sangat herharga bagi kami. Kami akan lebih berhati-hati. Namun kami benar-benar mohon Ki Bekel melindungi anakku”
“Aku dan Ki Jagabaya akan mengaturnya. Namun Ki Partija harus menyiapkan kentongan. Jangan hanya sebuah di serambi gandok, tapi di longkangan-longkangan pun sebaiknya disediakan kentongan, meski kentongan yang lebih kecil. Sementara itu, digardu akan ditambah dengan beberapa orang anak muda setiap malam“ jawab Ki Bekel. Namun kemudian katanya “Tetapi di siang hari, kami berharap keluarga ini dapat melindungi Mas Rara dengan baik. Di sini ada Ki Partija Wirasentana sendiri. Wirantana yang serba sedikit sudah mempelajari ilmu olah kunuragan. Ki Resa yang sudah yang sudah sama-sama kita ketahui tingkat kemampuannya dan beberapa orang laki-laki pembantu di rumah Ki Partija juga dapal diikut sertakan dalam kesiagaan itu. Gamel, dan barangkali pembantu-pembantu yang lain, yang sering menjemur padi dan gabah serta memandikan lembu, atau orang-orang lain lagi yang ada di rumah ini. Sementara itu, di siang hari atau di malam hari, jika kami mendengar isyarat suara kentongan, kami akan selalu siap datang membantu. Tetapi kami mohon Mas Rara tidak pergi kemanapun, untuk keperluan apapun. Tidak usah pergi berbelanja ke pasar. Tidak usah ikut mencuci ke sungai bersama gadis-gadis sebayanya. Tidak usah ikut ibunya ke peralatan, meskipun hanya di rumah sebelah menyebelah”
Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata “Baik Ki Bekel. Aku akan menjaga Mas Rara sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu dengan anak itu, akibatnya akan dapat terpercik kepada orang lain”
“Sudahlah“ berkata Ki Bekel “bagaimana pun juga, kau jangan terlalu terbenam dalam kecemasan. Peristiwa malam ini dapat kita jadikan semacam peringatan. Kita masih dapat mengucap sukur bahwa dalam peringatan ini tidak jatuh korban, meskipun Ki Patrija tidak dapat mengelakkan diri untuk membunuh. Tetapi yang dilakukan oleh Ki Partija adalah semata-mata membela diri”
Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Terima kasih Ki Bekel. Namun bagaimanapun juga kita harus menahan agar Mas Rara tidak keluar dari halaman rumah ini”
Demikianlah. Sejenak kemudian, Ki Bekel minta diri. Demikian pula orang-orang lain yang ada di rumah Ki Partija Wirasentana. Seperti yang dikatakan Ki Bekel, tubuh yang terbunuh di dalam bilik Ki Partija telah dibawa ke banjar. Namun Ki Partija tidak sampai hati membebankan semua penyelenggaranya kepada padukuhan. Karena itu, semua beaya penguburan di tanggung Ki Partija Wirasentana.
Sementara itu, di rumah Ki Partija Wirasentana beberapa orang tengah sibuk membenahi rumahnya yang rusak, karena seseorang telah memecahkan dinding, juga isi rumah yang tercerai berai. Bahkan halaman yang terinjak-injak kaki, selagi beberapa orang bertempur.
Namun dalam pada itu, Wirantana telah berbicara sungguh-sungguh dengan Manggada dan Laksana. Ia berbicara tentang kemungkinan sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel.
“Aku mohon“ berkata Wirasentana “kita bersama-sama menjaga Mas Rara. Ia memang adikku, tapi aku yakin bahwa kalian tidak berkeberatan. Bukankah kalian telah menyelamatkannya dari terkaman harimau yang garang itu? Tentu kalian juga tidak akan membiarkannya jatuh ke tangan orang-orang yang hanya akan mengambil keuntungan daripadanya, namun yang akan benar-benar dapat mencelakainya. Bahkan membunuhnya. Jika hal itu terjadi, bencana itu akan berlanjut dengan kemarahan Raden Panji. Ayah dan ibu dapat dituduh menyia-nyiakan anak itu, sementara anak itu jiwanya benar-benar terancam”
Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada menjawab “Kami sudah berada di rumah ini Wirantana. Bagaimanapun juga kami sudah berjanji untuk tidak melanggar pesan Raden Panji. Kami akan berada disini sampai saatnya kami ikut dibawa kerumah Raden Panji bersama Mas Rara, sekitar setengah bulan lagi. Selama ini, tentu saja kami akan ikut bertanggung jawab, apapun yang akan terjadi atas Mas Rara”
“Terima kasih. Peringatan Ki Bekel nampaknya sangat menggelisahkan ayah dan ibu” berkata Wirantana.
“Tetapi Ki Partija tidak sendiri“ jawab Laksana “Ki Bekel dan seluruh padukuhan ini akan berpihak kepadanya jika terjadi sesuatu. Dalam keadaan yang tiba-tiba, pamanmu dan kau sendiri merupakan perisai yang dapat melindungi adikmu sebaik-baiknya”
Wirantana mengangguk-angguk. Katanya “Nampaknya kita memang harus berhati-hati. Persoalannya saling berkaitan. Usaha untuk merampok yang gagal itu, bagi para perampok, dapat dipergunakan semacam usaha penjajagan atas kekuatan yang ada di rumah ini. Jika mereka datang lagi, mereka akan membawa kekuatan yang lebih besar. Atau mereka akan mencuri kesempatan untuk menginbil Mas Rara”
Namun Manggada dan Laksana menyadari, betapa Wirantana menjadi gelisah sebagaimana ayah dan ibunya. Karena itu, Manggada kemudiun berkata “Yakinkan dirimu. Bahwa selama aku ada disini, dalam perjalanan menuju ke rumah Raden Panji, serta selama aku mendapat kesempatan berada di rumah Raden Panji, aku akan ikut bertangguug |awab, demikian pula Laksana. Kami akan berada diantara seluruh penghuni padukuhan ini, untuk melindungi Mas Rara, kemudian sudah barang tentu bersama-sama para pengawal yang akan dikirim Raden Panji saat penjemputan Mas Rara”
Wirantana menganguk angguk. Katanya “Terima kasih. Setidak-tidaknya kesediaan kalian telah membuat hatiku menjadi tenang. Agaknya ayah dan ibu akan menjadi tenang pula mendengar kesediaan kalian, di samping kesediaan paman”
“Jangan cemas. Sejauh dapat kami lakukan“ jawab Manggada.
Wirantana mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Mas Rara untuk selanjutnya akan selalu berada di ruang dalam. Memang menjemukan. Selama setengah bulan, di saat mandi dan mencuci. Di pakiwan, seluruh isi halaman ini harus bersiap-siap. Dan itu akan dilakukan pagi dan sore”
“Apa boleh buat“ berkata Manggada. Kami akan mangawasi bagian depan rumah itu. Kau dan Ki Partija mengawasi bagian dalam. Selanjutnya, Ki Partija, Wirantana akan dapat menunjuk satu dua orang untuk mengawasi bagian belakang. barangkali pamanmu atau orang lain."
Wirantana mengangguk-angguk. la sadar bahwa pekerjaan ini sangat menjemukan. la dan ayahnya akan bergantian menemani Mas Rara. Tetapi tidak dapat diambil jalan lain. Peringatan Ki Bekel memang masuk akal. Sementara di malam hari, para peronda pun mendapat pesan khusus dari Ki Bekel untuk ikut mengawasi rumah itu.
Namun seperti pendapat Ki Resa, Ki Partija Wirasentana tidak berniat memberikan laporan kepada Raden Panji Prangpranata.
Demikianlah. Hari demi hari melangkah dengan ketegangan yang mencengkam seisi rumah itu. Para pekerja telah melengkapi diri mereka dengan senjata di lambung. Parang tidak pernah terlepas dari setiap pekerja di rumah itu.
Ki Partija yang merasa sangat beruntung, bahwa dua anak muda yang telah menyelamatkan Mas Rara dari terkaman harimau itu masih berada di rumahnya. Dengan demikian, kedua anak muda itu, bersama anaknya, merupakan pelindung terbaik bagi Mas Rara, di samping pamannya. Namun karena Ki Resa kadang-kadang mempunyai kepentingan sendiri, maka jarang berada di rumah Ki Partija Wirasentana.
Yang sering nampak di halaman, di kebun dan bahkan di sebelah kandang, adalah ketiga anak muda itu. Manggada, Laksana dan Wirantana. Namun jika di rumah itu sedang ada beberapa orang pekerja menjemur padi di halaman, atau sedang mengerjakan pekerjaan lain, ketiga anak muda itu menyempatkan diri ke sanggar.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksana berlandaskan pada ilmu serta pengalamannya, berusaha mengembangkan ilmunya. Bahkan ia sempat memungut beberapa unsur gerak yang bermanfaat untuk melengkapi ilmunya dari Wirantana. Demikian pula sebaliknya. Mereka yakin, guru-guru mereka tidak akan keberatan melihat kejadian itu.
Dengan demikian, betapapun lambatnya, ilmu mereka telah meningkat. Apalagi pada Manggada dan Laksana yang telah mendapat alas kokoh, yang diberikan seorang Ajar yang tinggal di pondok terpencil bersama seorang bertubuh bongkok dan sepasang harimau yang dapat dikendalikannya dengan baik.
Namun sampai hari yang dijanjikan Raden Panji untuk menjemput Mas Rara tiba, tidak pernah lagi terjadi gangguan berarti atas Mas Rara. Tidak ada perampok yang akan mengambil benda-benda berharga di rumah Ki Partija. Tidak ada pula orang yang berusaha mengambil Mas Rara untuk kepentingan apapun. Namun Ki Bekel tetap membantu sebaik-baiknya. Di malam hari, pura peronda tetap mendapat perintah untuk lebih sering melihat-lihat keadaan rumah itu.
“Jangan hanya lewat sambil memukul kentongan“ berkata Ki Bekel “kalian harus melihat dan meyakinkan, bahwa tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Sebagaimana kalian ketahui, jika Raden Panji Prangpranata marah, kita semua dapat mengalami perlakuan buruk, karena ia memegang kekuasaan pemerintahan di daerah ini. Bahkan mempunyai wewenang atas sejumlah prajurit”
Menjelang hari yang ditentukan itu, para peronda melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Tetapi untuk menenteramkan hati para peronda, jumlah mereka berlipat dua. Bahkan sejak tiga hari sebelum hari yang ditentukan, sebagian dari para peronda itu berjaga-jaga di regol halaman rumah Ki Partija bergantian.
Namun Ki Partija Wirasentana yang merasa mendapat bantuan besar dari para peronda, setiap malam, menjelang hari-hari yang ditentukan itu, mengirimkan minuman dan makanan bagi para peronda.
Mendekati hari yang ditentukan, Ki Partija memang sudah bersiap-siap untuk menerima utusan Raden Panji yang akan menjemput Mas Rara. Tentu satu kelompok utusan yang lebih besar dari saat mereka datang untuk menyerahkan mas kawin.
Tetapi Wirantana yang kebetulan berada di regol halaman rumahnyai terkejut ketika melihat dua orang berkuda yang langsung menuju keregol itu. Bahkan keduanya telah berloncatan turun sambil mengangguk hormat.
Namun kemudian Wirantana menyadari, bahwa seorang diantara kedua orang itu adalah orang yang pernah datang sebagai utusan Raden Panji pada suat menyerahkan mas kawin. karena itu. Wirantana dengan tergesa-gesa telah menyuruh mereka masuk.
Kepada seorang yang sedang sibuk membersihkan halaman, Wirantana berkata “Katakan kepada ayah, ada utusan dari Raden Panji Prangpranata”
“Katakan, bahwa kami tidak membawa persoalan baru agar Ki Partija tidak menjadi gelisah“ berkata utusan yang pernah datang kerumah itu sebelumnya.
Demikianlah, Wirantana mempersilahkan kedua orang itu naik dan duduk di pendapa. Sementara itu, Ki Partija yang diberitahu dengan tergesa-gesa keluar dari pringgitan. Dengan ramah Ki Partija Wirasentana menyapa tamu-tamunya, serta menayakan kabar keselamatan.
Namun dalam pada itu, baik Ki Partija Wirasentana maupun Wirantana, bertanya-tanya di dalam hati, kenapa hanya dua orang yang datang menjemput Mas Rara. Apakah selanjutnya Mas Rara harus pergi bersama mereka dengan berjalan kaki atau naik kuda atau bagaimana”
Tetapi Ki Partija Wirasentana dan Wirantana sama sekali tidak berani menanyakannya. Jika terjadi salah paham, utusan itu akan menganggap bahwa Mas Rara telah menjadi terlalu manja dengan minta dijemput iring-iringan yang panjang dengan berbagai macam pertanda kebesaran.
Namun sebelum Ki Partija bertanya, utusan itu telah lebih dulu menyampaikan pesan Raden Panji. Seorang diantara mereka berkata “Ki Partija Wirasentana. Kami, telah mendahului utusan Raden Panji yang sebenarnya untuk menjemput Mas Rara. Utusan itu baru akan datang besok pagi. Mereka akan bermalam di sini semalam. Hari berikutnya, mereka akan kembali sambil membawa Mas Rara. Iring-iringan yang membawa Mas Rara akan berangkat menjelang fajar dan akan sampai di rumah Raden Panji malam hari. Iring-iringan itu tidak akan berhenti di perjalanan. Jika harus berhenti, hanya sekadar beristirahat. Namun mereka akan meneruskan perjalanan meskipun menjelang tengah malam, bahkan dini hari berikutnya mereka baru sampai”
Ki Partija Wirasentana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mulai membayangkan bahwa perjalanan itu adalah perjalanan yang sangat berat. Apalagi jika Mas Rara harus berjalan kaki. Sementara itu, Mas Rara memang belum pernah belajar naik kuda. Mungkin ia akan dapat naik kuda tetapi kudanya harus dituntun oleh seseorang.
Dengan nada rendah, Ki Partija Wirasentana kemudian menjawab “Segala sesuatunya aku serahkan kepada Raden Panji”
“Nah, dengan demikian, kami berdua akan bermalam di sini dua malam. Bukankah Ki Partija tidak berkeberatan”
“Tentu tidak Ki Sanak. Segala sesuatunya memang sudah dipersiapkan” jawab Ki Partija.
Dengan demikian, hari itu, Ki Partija Wirasentana dan keluarganya menjadi sibuk. Mereka bukan saja menyiapkan hidangan dan pelayanan terhadap kedua orang tamunya, tetapi juga bersiap-siap untuk menerima tamu lebih banyak lagi di hari berikutnya. Tetapi Ki Partija Wirasentana tidak berani bertanya jumlah tamunya yang bakal datang. la hanya menghubungi tetangga terdekat, jika diperlukan, Ki Partija akan meminjam beberapa ruangan bagi tamu-tamunya itu.
Tentu saja tetangga-tetangganya tidak berkeberatan sama sekali. Apalagi mereka tahu, tamu yang akan datang itu adalah utusan Raden Panji Prangpranata yang akan mengambil Mas Rara sebagai isteri. Manggada dan Laksana yang telah diberitahu Wirantana, menjadi sedikit lega. Ia sudah terlalu lama terkungkung tanpa berbuat sesuatu yang berarti bagi banyak orang.
Jika Mas Rara kemudian dijemput, mereka tentu akan segera mendapatkan kebebasannya kembali. Mereka tidak memikirkan, apakah akan menerima hadiah dari Raden Panji atau tidak.
Malam pada itu, ketika Ki Resa datang, seperti ketika utusan yang terakhir datang, sikapnya sangat ramah. Banyak hal yang telah dibicarakan ususan itu dengan Ki Resa tentang kesalamatan Mas Rara.
Namun baik Ki Partija maupun Ki Resa, masih belum mengatakan perampokan yang telah terjadi di rumah itu. Ki Partija memang minta agar Ki Resa tidak tergesa-gesa menyampaikannya. Ki Partija Wirasentana sendirilah yang akan menyampaikannya jika semua utusan Raden Panji telah datang.
Namun menjelang senja, Ki Resa sudah tidak nampak di rumah itu. Ki Partija memang tidak menghiraukannya, karena adiknya itu sudah punya rumah sendiri.
Malam itu, Ki Partija Wirasentana masih saja diganggu oleh kegelisahan. Namun kehadiran kedua orang utusun Raden Panji itu membuatnya sedikit tenang. Keduanya tentu orang orang yang berilmu tinggi. Jika terjadi sesuatu, lawan yang bagaimanapun kuatnya akan teratasi.
Seperti malam sebelumnya, beberapa orang peronda berada di regol halaman rumah itu ketika malam turun. Kedua orang utusan yang masih duduk di pendapa, telah mendapat keterangan bahwa para peronda selalu memperhatikan keselamatan para penghuni padukuhan itu, sehingga mereka terbiasa berada di regol-regol halaman, selain mereka yang berada di gardu.
Namun agaknya kedua utusan itu dapat menangkap maksud Ki Partija Wirasentana bahwa para peronda yang ada di regol halaman itu ikut membantu berjaga-jaga di rumah yang akan mengadakan upacara pelepasan anak gadisnya. Tetapi mereka sama sekali belum mendapat keterangan tentang perampokan yang telah terjadi.
Ketika malam menjadi semakin dalam, kedua orang itu dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah. Sementara Manggada dan Laksana berada di gandok lain. Namun keduanya telah diberi tahu, bahwa besok mereka akan berada di bilik Laksana, karena tamu yang lain akan datang menjemput Mas Rara dan bermalam di rumah itu semalam.
Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu. Padukuhan Nguter terasa tenang dan bahkan sepi. Sekali-sekali, di malam hari, memang terdengar para peronda berkeliling padukuhan sambil membunyikan kentongan-kentongan kecil dengan irama kotekan. Dengan demikian, mereka yang tertidur terlalu nyenyak akan terbangun.
Ketika kemudian fajar menyingsing, dapur di rumah Ki Partija sudah tampak sibuk. Beberapa orang perempuan telah menyiapkan minuman panas bagi dua orang tamu utusan Raden Panji, serta kedua orang anak muda yang telah menyelamatkan Mas Rara.
Tetapi agaknya keluarga Ki Partija Wirasentana memang lebih memperhatikan kedua utusan Raden Panji itu daripada Manggada dan Laksana, selain Wirantana. Bagi Wirantana, kedua anak muda itu merupakan tamu yang sangat berarti bagi keluarganya. Tanpa kedua anak muda itu, segalanya tidak akan terjadi. Mas Rara tentu sudah diterkam harimau.
Jika kemudian datang utusan Raden Panji, mereka tidak akan datang membawa mas kawin. Tetapi mereka akan datang untuk memaki-maki. Bahkan mungkin, Raden Panji mempunyai prasangka buruk terhadap Ki Partija Wirasentana.
Karena itu, Wirantana selalu memperhatikan kedua anak muda itu. Apalagi karena umurnya yang sebaya, sehingga banyak hal yang dapat dilakukannya bersama kedua anak muda itu.
Ketika kemudian matahari terbit. serta kedua orang utusan itu telah duduk di pendapa bersama Ki Partija Wirasentana, minuman hangatpun dihidangkan bersama beberapa jenis makanan. Sementara itu, di dapur tengah dipersiapkan makan pagi bagi tamu-tamunya itu.
Wirantana yang kemudian menemui ayahnya diruang dalam, berkata “Aku bawa kedua anak muda itu ke pendapa, ayah. Biar mereka minum dan makan bersama utusan-utusan itu”
“He, jangan!“ cegah ayahnya “biar saja anak-anak muda itu di serambi. Kawani mereka minum dan makan makanan yang akan dihidangkan.
“Kenapa mereka tidak dipersilahkan naik ke pendapa bersama-sama para tamu itu ayah?" bertanya Wirantana.
“Mereka adalah utusan Raden Panji...!“ jawab ayahnya.
“Mereka hanya utusaan Raden Panji“ sahut Wirantana sedangkan anak muda-muda itu telah menyelamatkan Mas Rara. Semuanya tidak akan berarti apa-apa tanpa kedua anak-anak muda itu”
Ayahnya menarik dalam-dalam. Katanya “Aku sama sekali tidak mengecilkan arti mereka berdua. Tetapi aku hanya sekadar menempatkan mereka dalam terapan unggah-ungguh. Mereka masih terlalu muda untuk duduk dan berbincang dengan orang-orang tua yang berbicara tentang perkawinan Mas Rara dengan Raden Panji”
Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia kemudian berkata “Baiklah, jika itu alasan ayah. Tetapi bagiku keduanya justru merupakan orang-orang yang paling penting, bagi kita, Kecuali mereka telah menyelamatkan Mas Rara, mereka juga telah menyelamatkan mas kawin yang telah ayah terima dari Raden Panji”
Ki Partija menarik nafas dalam-dalam. Yang diutarakan anaknya itu telah mengingatkannya, betapa penting kedudukan kedua anak muda itu di rumahnya. Apalagi keduanya bertahan di rumahnya karena keduanya diperlukan oleh Raden Panji. Karena itu, ketika kemudian dihidangkan minuman dan makanan ke serambi gandok, hidangan itu tidak ubahnya dengan hidangan yang disuguhkan kepada para tamu di pendapa.
Namun hari itu, Ki Partija Wirasentana harus bersiap-siap menerima tamu yang lebih banyak lagi. Ia memang kesulitan untuk menduga berapa orang yang akan datang, sementara rasa-rasanya ia segan menanyakan kepada kedua utusan yang mendahului itu.
Tetapi agaknya utusun itu mengerti kesulitan Ki Partija Wirasentana, ketika ia mendengar pembicaraan Ki Partija Wirasentana dengan Wirantana di halaman untuk membicarakan beberapa rumah tetangga yang harus mereka pinjam.
“Ki Partija“ berkata utusan itu “barangkali ada gunanya Ki Partija mengetahui, utusan yang hari ini akan datang kira-kira sepuluh orang. Mereka akan datang berkuda, dan berharap Mas Rara juga bersedia berkuda besok”
“Anakku belum pernah naik kuda.“ berkata Ki Partija Wirasentana.
Para pengawal akan menjaganya. Seekor kuda yang paling jinak akan di bawa kemari nanti siang. "Mas Rara akan dapat duduk di atas kuda itu, yang akan dituntun para pengawal berkuda“ berkata utusan itu. Namun kemudian katanya “Tetapi jika tidak memungkinkan, Mas Rara akan dibawa dengan tandu. Tandu itu akan disiapkan disini nanti, agar besok tandu itu dapat dipergunakan. Namun tentu saja perjalanan kita akan menjadi bertambah lama”
Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk. Tetapi ia berdesis “Aku akan berbicara dengan Mas Rara”
“Nanti Ki Partija dapat membicarakannya jika rombongan utusan itu sudah datang“ berkata salah seorang utusan itu.
Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya. "Baiklah. Sementara ini biarlah kami membuat persiapan-persiapan”
“Mereka baru akan datang setelah lewat tengah hari, seandainya mereka berangkat menjelang dini hari, sebagaimana direncanakan” berkata utusan itu.
Ki Partija mengangguk-angguk. Dengan demikian, ia telah mendapat gambaran, penyambutan yang dapat diberikan. Baik hidangan yang harus disiapkan, maupun penginapan bagi para utusan yang harus tetap merasa mendapat penghormatan cukup.
Demikianlah. Hari itu Ki Partija memang menjadi sibuk. Ketika Ki Resa datang, Ki Resalah yang kemudian menemani kedua orang utusan itu di pendapa. Bahkan kemudian keduanya ingin berjalan-jalan di sepanjang jalan-jalan padukuhan.
Sedangkan Ki Partija Wirasentana sendiri menjadi sibuk untuk menyiapkan bilik-bilik di rumah tetangga, sehingga menjadi tempat yang pantas untuk bermalam. Sementara itu, Ki Partija telah mohon kepada Ki Bekel bantuan pengamanan tamu-tamunya yang tersebar. Meskipun tamu-tamunya itu tentu memiliki kemampuan prajurit, tetapi karena mereka terpisah-pisah, maka jika terjadi sesuatu pada satu dua orang yang tidak sempat memberikan isyarat, maka Ki Partija Wirasentana tentu akan mengalami kesulitan.
“Baiklah” berkata Ki Bekel “aku sendiri akan memimpin para peronda. Malam nanti aku akan berada di gardu”
“Tidak“ jawab Ki Partija “aku mohon Ki Bekel ikut menemui tamu-tamuku”
Ki Bekel tersenyum. Katanya “Bukankah tamu-tamumu akan datang sebelum matahari turun? Aku akan ikut menerima tamumu itu. Tetapi kemudian, menjelang senja, aku akan menyempatkan diri untukmengaturpara peronda”
Ki Partija leimnngu-mangu. Namun kemudian ia berkata “Baiklah. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih”
Namun dalam pada itu, Nyi Partija Wirasentana telah mulai sibuk dengan Mas Rara, bersama dua orang perempuan yang sudah berusia tua. Keduanya telah memandikan Mas Rara secara khusus upacara mandi yang biasa dilakukan sehari sebelum perkawinan. Yang dilakukan atas Mas Rara hanya sekedar usaha untuk membuat Mas Rara menjadi lebih cerah dan berbau wangi.
Tetapi dengan demikian, diluar sadarnya, beberapa kali Nyi Partija Wirasentana telah menitikkan air mata. Ia merasa bahwa gadisnya itu akan hilang dari keluarganya, untuk selama-lamanya.
Ketika Ki Partija melihat isterinya bersedih, berdesis “Bukankah kita berharap agar anak kita mendapatkan kesempatan yang lebih baik di masa mendatang”
Nyi Partija tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk, sedangkan titik-titik air matanya menjadi semakin deras.
“Nyi“ berkata Ki Partija Wirasentana “bukankah kita justru harus bersukur”
“Apakah kakang yakin begitu” bertanya Nyi Partija.
Ki Partija justru terdiam. Ditepuknya bahu isterinya sambil berdesis “Semua kita serahkan kepada Yang Maha Agung”
Isterinya menarik nafas dalam-dalam, Tetapi titik-titik air mata itu masih saja mengembun dari matanya. Mas Rara sendiri tidak menangis. Ia melihat ibunya dengan wajah yang sayu. Tetapi seakan-akan gadis itu sudah kehilangan perasaannya, menghadapi hari-hari perkawinannya. Pandangannya terasa kosong, dan keningnya tidak pernah nampak berkerut lagi.
Sementara itu, ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan kemudian menggapai puncak langit, sebuah iring-iringan orang berkuda mendekati padukuhan Nguter. Beberapa orang berkuda sambil membawa beberapa ekor kuda tanpa penunggangnya. Kuda yang akan dipergunakan untuk Mas Rara jika gadis itu bersedia. Jika tidak, Mas Rara akan dipersilahkan naik ke atas sebuah tandu yang akan dipersiapkan di padukuhan Nguter.
Seorang diatara mereka, berkuda paling depan sambil membawa tombak pendek. Nampaknya ia adalah pemimpin dari iring-iringan yang akan menjemput Mas Rara itu. Sepanjang perjalanan, kelompok orang berkuda itu sama sekali tidak menemui hambatan. Mereka melewati jalan-jalan padukuhan dan bulak-bulak panjang. Kehadiran mereka di sepanjang perjalanan memang menarik perhatian banyak orang. Tetapi tidak seorangpun yang sempat bertanya, karena iring-iringan itu berjalan agak cepat, meski tidak berpacu.
Telapi di luar pengetahuan mereka, yang berada di dalam iring iringan itu, dua orang tengah mengamati mereka dari kejauhan. Mereka sempat menghitung jumlah orang berkuda itu, sehingga dengan demikian mereka dapat memperkirakan kekuatan dari orang-orang yang akan menjemput Mas Rara itu.
“Sekitar sepuluh orang!“ desis seorang diantara mereka.
“Ada kuda yang tidak berpenumpang!” sahut yang lain.
“Kita dapat membicarakannya dengan Ki Lurah...!” berkata orang pertama.
Kedua orang itu mengagguk-angguk. Namun seorang diantara mereka bergumam selain mereka, masih ada dua orang anak muda yang harus diperhitungkan. Kedua anak muda yang juga akan dibawa menghadap Raden Panji.
“Siapa?” bertanya kawannya.
“Dua anak muda yang telah menolong Mas Rara, ketika gadis itu hampir diterkam harimau“ jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya “Jadi dua belas orang. Kita harus menghitung kedua anak muda itu, karena mereka juga memiliki kemampuan untuk bertempur!”
“Dua orang lagi” jawab yang lain.“ yang kemarin sudah datang mendahului”
“Ya. Ki Lurah sudah tahu...!“ gumam kawannya.
Ketika iring-iringan itu lewat. keduanya meninggalkan tempat itu untuk memberikan laporan kepada Ki Lurah. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis lebat. Seorang pemimpin gerombolan yang disegani.
Namun untuk menghadapi setidak-tidaknya empat belas orang prajurit, gerombolan itu masih memerlukan bantuan dari gerombolan lain, yang tinggal di tempat yang agak jauh. Tetapi sebelumnya gerombolan itu memang sudah dihubungi. Apabila diperlukan, akan datang penghubung untuk memberitahukannya.
Dalam pada itu, bebarapa saat kemudian, kelompok utusan Raden Panji telah memasuki pedukuhan Nguter, kemudian menyususuri jalan pedukuhan langsung menuju ke rumah Ki Partija Wirasentana. Pedukuhan Nguter segera menjadi ramai. Orang-orang pedukuhan itu telah keluar dari regol-regol halaman untuk menyaksikan iring-iringan. Mereka tahu bahwa iring-iringan itu datang untuk menjemput Mas Rara.
“Gadis itu telah membawa keberuntungan bagi orang-tuanya!“ desis perempuan separuh baya.
Perempuan lain menjawab “Ki Partija Wirasentana suami isteri adalah orang-orang yang selalu berprihatin bagi anak-anaknya. Sekarang ia akan menarik buahnya. Anak gadisnya akan menjadi isteri seorang berpangkat tinggi dan punya kekuasaan yang besar!”
Perempuan separuh baya itu mengangguk-angguk. Katanya “Gadisku yang diambil orang pedukuhan sebelah itu ternyata hidupnya tidak lebih baik dari kita semuanya. Sawah suaminya hanya beberapa kotak saja. Sementara masih harus mengurusi mertuanya yang sudah mulai pikun!”
Perempuan yang lain itu pun menyahut “Bukankah itu sudah cukup baik daripada menjadi perawan tua seperti anak Priman itu”
“O, itu salah orangtuanya. Ayah dan ibunya terlalu garang dan pilihannya pun terlampau sulit untuk dapat dipenuhi, sehingga akhirnya, gadis itu malah tidak pernah mendapat jodohnya!“ sahut perempuan setengah baya itu.
Keduanya terdiam. Iring-iringan itu menjadi semakin jauh. Namun terasa keagungan yang akan memancar dari rumah Ki Partija Wirasentana.
“Kekuatan apa yang mendekatkan Mas Rara pada sebuah iring-iringan pemburu yang ternyata adalah Raden Panji Prangpranata, yang melihatnya dan kemudian tergila-gila kepada gadis itu...!“ desis seorang perempuan lain...
“Kami tidak sempat melakukannya Ki Bekel. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Adikku tidak sempat berbuat sesuatu, karena demikian ia membuka pintu, ia langsung mendapat satu pukulan telak, yang membuatnya pingsan” berkata Ki Partija.
“Ki Resa agaknya terlalu tergesa-gesa membuka pintu“ berkata Ki Bekel.
“Aku sama sekali tidak berpikir tentang perampok“ desis Ki Resa.
“Tetapi sukurlah semuanya dapat diatasi“ berkata Ki Bekel.
“Bagaimana dengan perampok yang terbunuh itu” bertanya Ki Partija.
“Besok, biarlah orang-orang padukuhan ini membantu kalian menguburkan orang itu. Malam ini, biarlah tubuh itu dibawa saja ke banjar padukuhan“ berkata Ki Bekel.
“Terima kasih Ki Bekel“ jawab Ki Partija.
“Sementara itu, aku akan menempatkan sebagian peronda di pendapa rumah ini. Biarlah orang-orang khusus berada digardu untuk mengatasi keadaan jika diperlukan“ berkata Ki Bekel “Rasa-rasanya kita semua ikut bertanggung jawab atas keselamatan Mas Rara, yang kebetulan tinggal di padukuhan ini”
“Ternyata, kedua anak muda yang telah menolong Mas Rara dari terkaman harimau itu, telah menyelamatkan kami.“ tiba-tiba Wirantana memotong.
Ki Bekel berpaling kepadanya. Kemudian dipandanginya Ki Partija Wirasentana, seakan-akan minta pertimbangan apakah yang dikatakan Wirantana itu benar.
Ki Partija yang termangu-mangu itu kemudian berkata “Ya, ya Ki Bekel. Aku belum mengatakannya. Bersama anakku, mereka bertempur melawan para perampok yang terdiri dari enam atau tujuh orang”
Ki Bekel mengangguk-angguk. sambil berpaling kepada Manggada dan Laksana, Ki Bekel berkata, “Mendahului Raden Panji Prangpranata. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian. Untunglah kalian masih tetap berada disini, sehingga dapat membantu Ki Partija melindungi mas kawin yang baru saja diterima dari Raden Panji, sekaligus melindungi Mas Rara”
“Kami hanya sekadar membantu Ki Bekel“ jawab Manggada “Wirantanalah yang lebih banyak terlibat dalam perlawanan, dan kemudian berhasil mengusir para perampok itu. Sayang kami tidak dapat menangkap seorangpun diantara mereka”
Ki Resa dengan nada rendah kemudian berkata, “Ternyata penyerahan mas kawin itu sudah didengar oleh orang-orang yang berniat buruk, dan segerombolan diantara mereka telah datang”
“Tetapi untuk selanjutnya, tidak akan terjadi sesuatu” berkata Ki Bekel. Lalu katanya pula “Seisi padukuhan ini akan ikut membantu kalian”
Ki Resa mengangguk kecil. Katanya “Terima kasih Ki Bekel. Mudah-mudahan niat buruk itu tidak menjalar pada gerombolan-gerombolan yang lain”
“Ya, Ki Bekel” desis Ki Partija Wirasentana. Apakah Ki Partija mempertimbangkan untuk memberikan kepada Raden Panji?” bertanya Ki Bekel.
Sebelum Ki Partija menjawab, Ki Resa telah mendahuluinya “Tidak perlu Ki Bekel. Jika hal itu dilakukan, Raden Panji akan menjadi gelisah, sehingga mungkin akan mengambil keputusan yang tidak menguntungkan. Karena itu, biarlah kita berusaha menjaga benda-benda berharga itu dengan sebaik-baiknya. Gerombolan-gerombolan itupun tentu akan membuat perhitungan, apakah korban yang akan mereka berikan sesuai dengan nilai dari benda-benda berharga itu. Berapa pun besarnya mas kawin dari Raden Panji, nilainya tentu tetap terbatas.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling, Ki Partija Wirasentana pun mengangguk-angguk Katanya “Aku sependapat dengan Resa, Ki Bekel. Aku tidak merasa perlu untuk melaporkannya kepada Raden Panji. Dengan demikian, Raden Panji akan menganggap kami terlalu manja. Segala sesuatunya disandarkan kepada Raden Panji”
“Baiklah“ berkata Ki Bekel “Jika Ki Partija berniat untuk tidak menyampaikannya kepada Raden Panji, biarlah kau mengatur kesiagaan anak-anak muda untuk membantu kalian. Sudah beberapa kali aku katakan, kami ikut bertanggung jawab atas keselamatan Mas Rara. Mungkin kali ini para perampok itu sekadar berusaha mengambil benda-benda berharga yang dibawa oleh utusan Raden Panji itu sebagai mas kawin. Namun tidak mustahil orang berniat lebih dari itu”
“Apa maksud Ki Bekel” bertanya Ki Partija Wirasentana dengan wajah cemas.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Bukan maksudku menakut-nakuti Ki Partija, tetapi hendaknya Ki Partija dan Ki Resa menjadi lebih berhati-hati."
“Aku tidak mengerti Ki Bekel“ desis Ki Partija.
“Orang yang berniat jahat itu dapat saja pada kesempatan lain justru mengambil Mas Rara” berkata Ki Bekel.
“Apakah itu satu tantangan kepada Raden Panji Prangpranata yang mempunyai kekuasaan luas itu” bertanya Ki Partija Wirasentana.
“Bukan. Bukan satu tantangan“ jawab Ki Bekel “tetapi dengan demikian, orang yang mengambil Mas Rara itu menuntut tebusan uang. Atau barangkali benda-benda berharga dan bernilai tinggi”
Ki Partija menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang adiknya ia berkata. “Satu kemungkinan buruk, Resa. Tetapi kita memang harus berhati-hati. Kemungkinan seperti itu akan dapat terjadi”
Resa menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian “Tetapi apakah ada orang yang berani menentang atau bahkan dengan cara itu, menantang Raden Panji”
“Bukan berhadapan langsung“ jawab Ki Bekel “Mas Rara akan menjadi taruhan. Jika Raden Panji tidak mau memenuhi tuntutan orang itu, Mas Rara akan mengalami nasib sangat buruk bahkan mungkin sekali Mas Rara dibunuh”
“Ah...“ desah Ki Resa “mengerikan sekali. Tetapi orang itu akan tahu akibatnya jika Raden Panji marah”
“Tidak ada yang tahu siapa yang mengambil Mas Rara” jawab Ki Bekel “sudah tentu Raden Panji tidak akan dapat menghukum semua orang, karena sebagian besar dari mereka mungkin tidak bersalah. Yang bersalah mungkin hanya dua atau tiga orang dari seluruh Kademangan ini, atau bahkan mungkin orang dari Kademangan lain atau dari tempat yang jauh”
Ki Partija mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Bekel. Karena itu katanya “Peringatan Ki Bekel sangat herharga bagi kami. Kami akan lebih berhati-hati. Namun kami benar-benar mohon Ki Bekel melindungi anakku”
“Aku dan Ki Jagabaya akan mengaturnya. Namun Ki Partija harus menyiapkan kentongan. Jangan hanya sebuah di serambi gandok, tapi di longkangan-longkangan pun sebaiknya disediakan kentongan, meski kentongan yang lebih kecil. Sementara itu, digardu akan ditambah dengan beberapa orang anak muda setiap malam“ jawab Ki Bekel. Namun kemudian katanya “Tetapi di siang hari, kami berharap keluarga ini dapat melindungi Mas Rara dengan baik. Di sini ada Ki Partija Wirasentana sendiri. Wirantana yang serba sedikit sudah mempelajari ilmu olah kunuragan. Ki Resa yang sudah yang sudah sama-sama kita ketahui tingkat kemampuannya dan beberapa orang laki-laki pembantu di rumah Ki Partija juga dapal diikut sertakan dalam kesiagaan itu. Gamel, dan barangkali pembantu-pembantu yang lain, yang sering menjemur padi dan gabah serta memandikan lembu, atau orang-orang lain lagi yang ada di rumah ini. Sementara itu, di siang hari atau di malam hari, jika kami mendengar isyarat suara kentongan, kami akan selalu siap datang membantu. Tetapi kami mohon Mas Rara tidak pergi kemanapun, untuk keperluan apapun. Tidak usah pergi berbelanja ke pasar. Tidak usah ikut mencuci ke sungai bersama gadis-gadis sebayanya. Tidak usah ikut ibunya ke peralatan, meskipun hanya di rumah sebelah menyebelah”
Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata “Baik Ki Bekel. Aku akan menjaga Mas Rara sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu dengan anak itu, akibatnya akan dapat terpercik kepada orang lain”
“Sudahlah“ berkata Ki Bekel “bagaimana pun juga, kau jangan terlalu terbenam dalam kecemasan. Peristiwa malam ini dapat kita jadikan semacam peringatan. Kita masih dapat mengucap sukur bahwa dalam peringatan ini tidak jatuh korban, meskipun Ki Patrija tidak dapat mengelakkan diri untuk membunuh. Tetapi yang dilakukan oleh Ki Partija adalah semata-mata membela diri”
Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Terima kasih Ki Bekel. Namun bagaimanapun juga kita harus menahan agar Mas Rara tidak keluar dari halaman rumah ini”
Demikianlah. Sejenak kemudian, Ki Bekel minta diri. Demikian pula orang-orang lain yang ada di rumah Ki Partija Wirasentana. Seperti yang dikatakan Ki Bekel, tubuh yang terbunuh di dalam bilik Ki Partija telah dibawa ke banjar. Namun Ki Partija tidak sampai hati membebankan semua penyelenggaranya kepada padukuhan. Karena itu, semua beaya penguburan di tanggung Ki Partija Wirasentana.
Sementara itu, di rumah Ki Partija Wirasentana beberapa orang tengah sibuk membenahi rumahnya yang rusak, karena seseorang telah memecahkan dinding, juga isi rumah yang tercerai berai. Bahkan halaman yang terinjak-injak kaki, selagi beberapa orang bertempur.
Namun dalam pada itu, Wirantana telah berbicara sungguh-sungguh dengan Manggada dan Laksana. Ia berbicara tentang kemungkinan sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel.
“Aku mohon“ berkata Wirasentana “kita bersama-sama menjaga Mas Rara. Ia memang adikku, tapi aku yakin bahwa kalian tidak berkeberatan. Bukankah kalian telah menyelamatkannya dari terkaman harimau yang garang itu? Tentu kalian juga tidak akan membiarkannya jatuh ke tangan orang-orang yang hanya akan mengambil keuntungan daripadanya, namun yang akan benar-benar dapat mencelakainya. Bahkan membunuhnya. Jika hal itu terjadi, bencana itu akan berlanjut dengan kemarahan Raden Panji. Ayah dan ibu dapat dituduh menyia-nyiakan anak itu, sementara anak itu jiwanya benar-benar terancam”
Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada menjawab “Kami sudah berada di rumah ini Wirantana. Bagaimanapun juga kami sudah berjanji untuk tidak melanggar pesan Raden Panji. Kami akan berada disini sampai saatnya kami ikut dibawa kerumah Raden Panji bersama Mas Rara, sekitar setengah bulan lagi. Selama ini, tentu saja kami akan ikut bertanggung jawab, apapun yang akan terjadi atas Mas Rara”
“Terima kasih. Peringatan Ki Bekel nampaknya sangat menggelisahkan ayah dan ibu” berkata Wirantana.
“Tetapi Ki Partija tidak sendiri“ jawab Laksana “Ki Bekel dan seluruh padukuhan ini akan berpihak kepadanya jika terjadi sesuatu. Dalam keadaan yang tiba-tiba, pamanmu dan kau sendiri merupakan perisai yang dapat melindungi adikmu sebaik-baiknya”
Wirantana mengangguk-angguk. Katanya “Nampaknya kita memang harus berhati-hati. Persoalannya saling berkaitan. Usaha untuk merampok yang gagal itu, bagi para perampok, dapat dipergunakan semacam usaha penjajagan atas kekuatan yang ada di rumah ini. Jika mereka datang lagi, mereka akan membawa kekuatan yang lebih besar. Atau mereka akan mencuri kesempatan untuk menginbil Mas Rara”
Namun Manggada dan Laksana menyadari, betapa Wirantana menjadi gelisah sebagaimana ayah dan ibunya. Karena itu, Manggada kemudiun berkata “Yakinkan dirimu. Bahwa selama aku ada disini, dalam perjalanan menuju ke rumah Raden Panji, serta selama aku mendapat kesempatan berada di rumah Raden Panji, aku akan ikut bertangguug |awab, demikian pula Laksana. Kami akan berada diantara seluruh penghuni padukuhan ini, untuk melindungi Mas Rara, kemudian sudah barang tentu bersama-sama para pengawal yang akan dikirim Raden Panji saat penjemputan Mas Rara”
Wirantana menganguk angguk. Katanya “Terima kasih. Setidak-tidaknya kesediaan kalian telah membuat hatiku menjadi tenang. Agaknya ayah dan ibu akan menjadi tenang pula mendengar kesediaan kalian, di samping kesediaan paman”
“Jangan cemas. Sejauh dapat kami lakukan“ jawab Manggada.
Wirantana mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Mas Rara untuk selanjutnya akan selalu berada di ruang dalam. Memang menjemukan. Selama setengah bulan, di saat mandi dan mencuci. Di pakiwan, seluruh isi halaman ini harus bersiap-siap. Dan itu akan dilakukan pagi dan sore”
“Apa boleh buat“ berkata Manggada. Kami akan mangawasi bagian depan rumah itu. Kau dan Ki Partija mengawasi bagian dalam. Selanjutnya, Ki Partija, Wirantana akan dapat menunjuk satu dua orang untuk mengawasi bagian belakang. barangkali pamanmu atau orang lain."
Wirantana mengangguk-angguk. la sadar bahwa pekerjaan ini sangat menjemukan. la dan ayahnya akan bergantian menemani Mas Rara. Tetapi tidak dapat diambil jalan lain. Peringatan Ki Bekel memang masuk akal. Sementara di malam hari, para peronda pun mendapat pesan khusus dari Ki Bekel untuk ikut mengawasi rumah itu.
Namun seperti pendapat Ki Resa, Ki Partija Wirasentana tidak berniat memberikan laporan kepada Raden Panji Prangpranata.
Demikianlah. Hari demi hari melangkah dengan ketegangan yang mencengkam seisi rumah itu. Para pekerja telah melengkapi diri mereka dengan senjata di lambung. Parang tidak pernah terlepas dari setiap pekerja di rumah itu.
Ki Partija yang merasa sangat beruntung, bahwa dua anak muda yang telah menyelamatkan Mas Rara dari terkaman harimau itu masih berada di rumahnya. Dengan demikian, kedua anak muda itu, bersama anaknya, merupakan pelindung terbaik bagi Mas Rara, di samping pamannya. Namun karena Ki Resa kadang-kadang mempunyai kepentingan sendiri, maka jarang berada di rumah Ki Partija Wirasentana.
Yang sering nampak di halaman, di kebun dan bahkan di sebelah kandang, adalah ketiga anak muda itu. Manggada, Laksana dan Wirantana. Namun jika di rumah itu sedang ada beberapa orang pekerja menjemur padi di halaman, atau sedang mengerjakan pekerjaan lain, ketiga anak muda itu menyempatkan diri ke sanggar.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksana berlandaskan pada ilmu serta pengalamannya, berusaha mengembangkan ilmunya. Bahkan ia sempat memungut beberapa unsur gerak yang bermanfaat untuk melengkapi ilmunya dari Wirantana. Demikian pula sebaliknya. Mereka yakin, guru-guru mereka tidak akan keberatan melihat kejadian itu.
Dengan demikian, betapapun lambatnya, ilmu mereka telah meningkat. Apalagi pada Manggada dan Laksana yang telah mendapat alas kokoh, yang diberikan seorang Ajar yang tinggal di pondok terpencil bersama seorang bertubuh bongkok dan sepasang harimau yang dapat dikendalikannya dengan baik.
Namun sampai hari yang dijanjikan Raden Panji untuk menjemput Mas Rara tiba, tidak pernah lagi terjadi gangguan berarti atas Mas Rara. Tidak ada perampok yang akan mengambil benda-benda berharga di rumah Ki Partija. Tidak ada pula orang yang berusaha mengambil Mas Rara untuk kepentingan apapun. Namun Ki Bekel tetap membantu sebaik-baiknya. Di malam hari, pura peronda tetap mendapat perintah untuk lebih sering melihat-lihat keadaan rumah itu.
“Jangan hanya lewat sambil memukul kentongan“ berkata Ki Bekel “kalian harus melihat dan meyakinkan, bahwa tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Sebagaimana kalian ketahui, jika Raden Panji Prangpranata marah, kita semua dapat mengalami perlakuan buruk, karena ia memegang kekuasaan pemerintahan di daerah ini. Bahkan mempunyai wewenang atas sejumlah prajurit”
Menjelang hari yang ditentukan itu, para peronda melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Tetapi untuk menenteramkan hati para peronda, jumlah mereka berlipat dua. Bahkan sejak tiga hari sebelum hari yang ditentukan, sebagian dari para peronda itu berjaga-jaga di regol halaman rumah Ki Partija bergantian.
Namun Ki Partija Wirasentana yang merasa mendapat bantuan besar dari para peronda, setiap malam, menjelang hari-hari yang ditentukan itu, mengirimkan minuman dan makanan bagi para peronda.
Mendekati hari yang ditentukan, Ki Partija memang sudah bersiap-siap untuk menerima utusan Raden Panji yang akan menjemput Mas Rara. Tentu satu kelompok utusan yang lebih besar dari saat mereka datang untuk menyerahkan mas kawin.
Tetapi Wirantana yang kebetulan berada di regol halaman rumahnyai terkejut ketika melihat dua orang berkuda yang langsung menuju keregol itu. Bahkan keduanya telah berloncatan turun sambil mengangguk hormat.
Namun kemudian Wirantana menyadari, bahwa seorang diantara kedua orang itu adalah orang yang pernah datang sebagai utusan Raden Panji pada suat menyerahkan mas kawin. karena itu. Wirantana dengan tergesa-gesa telah menyuruh mereka masuk.
Kepada seorang yang sedang sibuk membersihkan halaman, Wirantana berkata “Katakan kepada ayah, ada utusan dari Raden Panji Prangpranata”
“Katakan, bahwa kami tidak membawa persoalan baru agar Ki Partija tidak menjadi gelisah“ berkata utusan yang pernah datang kerumah itu sebelumnya.
Demikianlah, Wirantana mempersilahkan kedua orang itu naik dan duduk di pendapa. Sementara itu, Ki Partija yang diberitahu dengan tergesa-gesa keluar dari pringgitan. Dengan ramah Ki Partija Wirasentana menyapa tamu-tamunya, serta menayakan kabar keselamatan.
Namun dalam pada itu, baik Ki Partija Wirasentana maupun Wirantana, bertanya-tanya di dalam hati, kenapa hanya dua orang yang datang menjemput Mas Rara. Apakah selanjutnya Mas Rara harus pergi bersama mereka dengan berjalan kaki atau naik kuda atau bagaimana”
Tetapi Ki Partija Wirasentana dan Wirantana sama sekali tidak berani menanyakannya. Jika terjadi salah paham, utusan itu akan menganggap bahwa Mas Rara telah menjadi terlalu manja dengan minta dijemput iring-iringan yang panjang dengan berbagai macam pertanda kebesaran.
Namun sebelum Ki Partija bertanya, utusan itu telah lebih dulu menyampaikan pesan Raden Panji. Seorang diantara mereka berkata “Ki Partija Wirasentana. Kami, telah mendahului utusan Raden Panji yang sebenarnya untuk menjemput Mas Rara. Utusan itu baru akan datang besok pagi. Mereka akan bermalam di sini semalam. Hari berikutnya, mereka akan kembali sambil membawa Mas Rara. Iring-iringan yang membawa Mas Rara akan berangkat menjelang fajar dan akan sampai di rumah Raden Panji malam hari. Iring-iringan itu tidak akan berhenti di perjalanan. Jika harus berhenti, hanya sekadar beristirahat. Namun mereka akan meneruskan perjalanan meskipun menjelang tengah malam, bahkan dini hari berikutnya mereka baru sampai”
Ki Partija Wirasentana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mulai membayangkan bahwa perjalanan itu adalah perjalanan yang sangat berat. Apalagi jika Mas Rara harus berjalan kaki. Sementara itu, Mas Rara memang belum pernah belajar naik kuda. Mungkin ia akan dapat naik kuda tetapi kudanya harus dituntun oleh seseorang.
Dengan nada rendah, Ki Partija Wirasentana kemudian menjawab “Segala sesuatunya aku serahkan kepada Raden Panji”
“Nah, dengan demikian, kami berdua akan bermalam di sini dua malam. Bukankah Ki Partija tidak berkeberatan”
“Tentu tidak Ki Sanak. Segala sesuatunya memang sudah dipersiapkan” jawab Ki Partija.
Dengan demikian, hari itu, Ki Partija Wirasentana dan keluarganya menjadi sibuk. Mereka bukan saja menyiapkan hidangan dan pelayanan terhadap kedua orang tamunya, tetapi juga bersiap-siap untuk menerima tamu lebih banyak lagi di hari berikutnya. Tetapi Ki Partija Wirasentana tidak berani bertanya jumlah tamunya yang bakal datang. la hanya menghubungi tetangga terdekat, jika diperlukan, Ki Partija akan meminjam beberapa ruangan bagi tamu-tamunya itu.
Tentu saja tetangga-tetangganya tidak berkeberatan sama sekali. Apalagi mereka tahu, tamu yang akan datang itu adalah utusan Raden Panji Prangpranata yang akan mengambil Mas Rara sebagai isteri. Manggada dan Laksana yang telah diberitahu Wirantana, menjadi sedikit lega. Ia sudah terlalu lama terkungkung tanpa berbuat sesuatu yang berarti bagi banyak orang.
Jika Mas Rara kemudian dijemput, mereka tentu akan segera mendapatkan kebebasannya kembali. Mereka tidak memikirkan, apakah akan menerima hadiah dari Raden Panji atau tidak.
Malam pada itu, ketika Ki Resa datang, seperti ketika utusan yang terakhir datang, sikapnya sangat ramah. Banyak hal yang telah dibicarakan ususan itu dengan Ki Resa tentang kesalamatan Mas Rara.
Namun baik Ki Partija maupun Ki Resa, masih belum mengatakan perampokan yang telah terjadi di rumah itu. Ki Partija memang minta agar Ki Resa tidak tergesa-gesa menyampaikannya. Ki Partija Wirasentana sendirilah yang akan menyampaikannya jika semua utusan Raden Panji telah datang.
Namun menjelang senja, Ki Resa sudah tidak nampak di rumah itu. Ki Partija memang tidak menghiraukannya, karena adiknya itu sudah punya rumah sendiri.
Malam itu, Ki Partija Wirasentana masih saja diganggu oleh kegelisahan. Namun kehadiran kedua orang utusun Raden Panji itu membuatnya sedikit tenang. Keduanya tentu orang orang yang berilmu tinggi. Jika terjadi sesuatu, lawan yang bagaimanapun kuatnya akan teratasi.
Seperti malam sebelumnya, beberapa orang peronda berada di regol halaman rumah itu ketika malam turun. Kedua orang utusan yang masih duduk di pendapa, telah mendapat keterangan bahwa para peronda selalu memperhatikan keselamatan para penghuni padukuhan itu, sehingga mereka terbiasa berada di regol-regol halaman, selain mereka yang berada di gardu.
Namun agaknya kedua utusan itu dapat menangkap maksud Ki Partija Wirasentana bahwa para peronda yang ada di regol halaman itu ikut membantu berjaga-jaga di rumah yang akan mengadakan upacara pelepasan anak gadisnya. Tetapi mereka sama sekali belum mendapat keterangan tentang perampokan yang telah terjadi.
Ketika malam menjadi semakin dalam, kedua orang itu dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah. Sementara Manggada dan Laksana berada di gandok lain. Namun keduanya telah diberi tahu, bahwa besok mereka akan berada di bilik Laksana, karena tamu yang lain akan datang menjemput Mas Rara dan bermalam di rumah itu semalam.
Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu. Padukuhan Nguter terasa tenang dan bahkan sepi. Sekali-sekali, di malam hari, memang terdengar para peronda berkeliling padukuhan sambil membunyikan kentongan-kentongan kecil dengan irama kotekan. Dengan demikian, mereka yang tertidur terlalu nyenyak akan terbangun.
Ketika kemudian fajar menyingsing, dapur di rumah Ki Partija sudah tampak sibuk. Beberapa orang perempuan telah menyiapkan minuman panas bagi dua orang tamu utusan Raden Panji, serta kedua orang anak muda yang telah menyelamatkan Mas Rara.
Tetapi agaknya keluarga Ki Partija Wirasentana memang lebih memperhatikan kedua utusan Raden Panji itu daripada Manggada dan Laksana, selain Wirantana. Bagi Wirantana, kedua anak muda itu merupakan tamu yang sangat berarti bagi keluarganya. Tanpa kedua anak muda itu, segalanya tidak akan terjadi. Mas Rara tentu sudah diterkam harimau.
Jika kemudian datang utusan Raden Panji, mereka tidak akan datang membawa mas kawin. Tetapi mereka akan datang untuk memaki-maki. Bahkan mungkin, Raden Panji mempunyai prasangka buruk terhadap Ki Partija Wirasentana.
Karena itu, Wirantana selalu memperhatikan kedua anak muda itu. Apalagi karena umurnya yang sebaya, sehingga banyak hal yang dapat dilakukannya bersama kedua anak muda itu.
Ketika kemudian matahari terbit. serta kedua orang utusan itu telah duduk di pendapa bersama Ki Partija Wirasentana, minuman hangatpun dihidangkan bersama beberapa jenis makanan. Sementara itu, di dapur tengah dipersiapkan makan pagi bagi tamu-tamunya itu.
Wirantana yang kemudian menemui ayahnya diruang dalam, berkata “Aku bawa kedua anak muda itu ke pendapa, ayah. Biar mereka minum dan makan bersama utusan-utusan itu”
“He, jangan!“ cegah ayahnya “biar saja anak-anak muda itu di serambi. Kawani mereka minum dan makan makanan yang akan dihidangkan.
“Kenapa mereka tidak dipersilahkan naik ke pendapa bersama-sama para tamu itu ayah?" bertanya Wirantana.
“Mereka adalah utusan Raden Panji...!“ jawab ayahnya.
“Mereka hanya utusaan Raden Panji“ sahut Wirantana sedangkan anak muda-muda itu telah menyelamatkan Mas Rara. Semuanya tidak akan berarti apa-apa tanpa kedua anak-anak muda itu”
Ayahnya menarik dalam-dalam. Katanya “Aku sama sekali tidak mengecilkan arti mereka berdua. Tetapi aku hanya sekadar menempatkan mereka dalam terapan unggah-ungguh. Mereka masih terlalu muda untuk duduk dan berbincang dengan orang-orang tua yang berbicara tentang perkawinan Mas Rara dengan Raden Panji”
Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia kemudian berkata “Baiklah, jika itu alasan ayah. Tetapi bagiku keduanya justru merupakan orang-orang yang paling penting, bagi kita, Kecuali mereka telah menyelamatkan Mas Rara, mereka juga telah menyelamatkan mas kawin yang telah ayah terima dari Raden Panji”
Ki Partija menarik nafas dalam-dalam. Yang diutarakan anaknya itu telah mengingatkannya, betapa penting kedudukan kedua anak muda itu di rumahnya. Apalagi keduanya bertahan di rumahnya karena keduanya diperlukan oleh Raden Panji. Karena itu, ketika kemudian dihidangkan minuman dan makanan ke serambi gandok, hidangan itu tidak ubahnya dengan hidangan yang disuguhkan kepada para tamu di pendapa.
Namun hari itu, Ki Partija Wirasentana harus bersiap-siap menerima tamu yang lebih banyak lagi. Ia memang kesulitan untuk menduga berapa orang yang akan datang, sementara rasa-rasanya ia segan menanyakan kepada kedua utusan yang mendahului itu.
Tetapi agaknya utusun itu mengerti kesulitan Ki Partija Wirasentana, ketika ia mendengar pembicaraan Ki Partija Wirasentana dengan Wirantana di halaman untuk membicarakan beberapa rumah tetangga yang harus mereka pinjam.
“Ki Partija“ berkata utusan itu “barangkali ada gunanya Ki Partija mengetahui, utusan yang hari ini akan datang kira-kira sepuluh orang. Mereka akan datang berkuda, dan berharap Mas Rara juga bersedia berkuda besok”
“Anakku belum pernah naik kuda.“ berkata Ki Partija Wirasentana.
Para pengawal akan menjaganya. Seekor kuda yang paling jinak akan di bawa kemari nanti siang. "Mas Rara akan dapat duduk di atas kuda itu, yang akan dituntun para pengawal berkuda“ berkata utusan itu. Namun kemudian katanya “Tetapi jika tidak memungkinkan, Mas Rara akan dibawa dengan tandu. Tandu itu akan disiapkan disini nanti, agar besok tandu itu dapat dipergunakan. Namun tentu saja perjalanan kita akan menjadi bertambah lama”
Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk. Tetapi ia berdesis “Aku akan berbicara dengan Mas Rara”
“Nanti Ki Partija dapat membicarakannya jika rombongan utusan itu sudah datang“ berkata salah seorang utusan itu.
Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya. "Baiklah. Sementara ini biarlah kami membuat persiapan-persiapan”
“Mereka baru akan datang setelah lewat tengah hari, seandainya mereka berangkat menjelang dini hari, sebagaimana direncanakan” berkata utusan itu.
Ki Partija mengangguk-angguk. Dengan demikian, ia telah mendapat gambaran, penyambutan yang dapat diberikan. Baik hidangan yang harus disiapkan, maupun penginapan bagi para utusan yang harus tetap merasa mendapat penghormatan cukup.
Demikianlah. Hari itu Ki Partija memang menjadi sibuk. Ketika Ki Resa datang, Ki Resalah yang kemudian menemani kedua orang utusan itu di pendapa. Bahkan kemudian keduanya ingin berjalan-jalan di sepanjang jalan-jalan padukuhan.
Sedangkan Ki Partija Wirasentana sendiri menjadi sibuk untuk menyiapkan bilik-bilik di rumah tetangga, sehingga menjadi tempat yang pantas untuk bermalam. Sementara itu, Ki Partija telah mohon kepada Ki Bekel bantuan pengamanan tamu-tamunya yang tersebar. Meskipun tamu-tamunya itu tentu memiliki kemampuan prajurit, tetapi karena mereka terpisah-pisah, maka jika terjadi sesuatu pada satu dua orang yang tidak sempat memberikan isyarat, maka Ki Partija Wirasentana tentu akan mengalami kesulitan.
“Baiklah” berkata Ki Bekel “aku sendiri akan memimpin para peronda. Malam nanti aku akan berada di gardu”
“Tidak“ jawab Ki Partija “aku mohon Ki Bekel ikut menemui tamu-tamuku”
Ki Bekel tersenyum. Katanya “Bukankah tamu-tamumu akan datang sebelum matahari turun? Aku akan ikut menerima tamumu itu. Tetapi kemudian, menjelang senja, aku akan menyempatkan diri untukmengaturpara peronda”
Ki Partija leimnngu-mangu. Namun kemudian ia berkata “Baiklah. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih”
Namun dalam pada itu, Nyi Partija Wirasentana telah mulai sibuk dengan Mas Rara, bersama dua orang perempuan yang sudah berusia tua. Keduanya telah memandikan Mas Rara secara khusus upacara mandi yang biasa dilakukan sehari sebelum perkawinan. Yang dilakukan atas Mas Rara hanya sekedar usaha untuk membuat Mas Rara menjadi lebih cerah dan berbau wangi.
Tetapi dengan demikian, diluar sadarnya, beberapa kali Nyi Partija Wirasentana telah menitikkan air mata. Ia merasa bahwa gadisnya itu akan hilang dari keluarganya, untuk selama-lamanya.
Ketika Ki Partija melihat isterinya bersedih, berdesis “Bukankah kita berharap agar anak kita mendapatkan kesempatan yang lebih baik di masa mendatang”
Nyi Partija tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk, sedangkan titik-titik air matanya menjadi semakin deras.
“Nyi“ berkata Ki Partija Wirasentana “bukankah kita justru harus bersukur”
“Apakah kakang yakin begitu” bertanya Nyi Partija.
Ki Partija justru terdiam. Ditepuknya bahu isterinya sambil berdesis “Semua kita serahkan kepada Yang Maha Agung”
Isterinya menarik nafas dalam-dalam, Tetapi titik-titik air mata itu masih saja mengembun dari matanya. Mas Rara sendiri tidak menangis. Ia melihat ibunya dengan wajah yang sayu. Tetapi seakan-akan gadis itu sudah kehilangan perasaannya, menghadapi hari-hari perkawinannya. Pandangannya terasa kosong, dan keningnya tidak pernah nampak berkerut lagi.
Sementara itu, ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan kemudian menggapai puncak langit, sebuah iring-iringan orang berkuda mendekati padukuhan Nguter. Beberapa orang berkuda sambil membawa beberapa ekor kuda tanpa penunggangnya. Kuda yang akan dipergunakan untuk Mas Rara jika gadis itu bersedia. Jika tidak, Mas Rara akan dipersilahkan naik ke atas sebuah tandu yang akan dipersiapkan di padukuhan Nguter.
Seorang diatara mereka, berkuda paling depan sambil membawa tombak pendek. Nampaknya ia adalah pemimpin dari iring-iringan yang akan menjemput Mas Rara itu. Sepanjang perjalanan, kelompok orang berkuda itu sama sekali tidak menemui hambatan. Mereka melewati jalan-jalan padukuhan dan bulak-bulak panjang. Kehadiran mereka di sepanjang perjalanan memang menarik perhatian banyak orang. Tetapi tidak seorangpun yang sempat bertanya, karena iring-iringan itu berjalan agak cepat, meski tidak berpacu.
Telapi di luar pengetahuan mereka, yang berada di dalam iring iringan itu, dua orang tengah mengamati mereka dari kejauhan. Mereka sempat menghitung jumlah orang berkuda itu, sehingga dengan demikian mereka dapat memperkirakan kekuatan dari orang-orang yang akan menjemput Mas Rara itu.
“Sekitar sepuluh orang!“ desis seorang diantara mereka.
“Ada kuda yang tidak berpenumpang!” sahut yang lain.
“Kita dapat membicarakannya dengan Ki Lurah...!” berkata orang pertama.
Kedua orang itu mengagguk-angguk. Namun seorang diantara mereka bergumam selain mereka, masih ada dua orang anak muda yang harus diperhitungkan. Kedua anak muda yang juga akan dibawa menghadap Raden Panji.
“Siapa?” bertanya kawannya.
“Dua anak muda yang telah menolong Mas Rara, ketika gadis itu hampir diterkam harimau“ jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya “Jadi dua belas orang. Kita harus menghitung kedua anak muda itu, karena mereka juga memiliki kemampuan untuk bertempur!”
“Dua orang lagi” jawab yang lain.“ yang kemarin sudah datang mendahului”
“Ya. Ki Lurah sudah tahu...!“ gumam kawannya.
Ketika iring-iringan itu lewat. keduanya meninggalkan tempat itu untuk memberikan laporan kepada Ki Lurah. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis lebat. Seorang pemimpin gerombolan yang disegani.
Namun untuk menghadapi setidak-tidaknya empat belas orang prajurit, gerombolan itu masih memerlukan bantuan dari gerombolan lain, yang tinggal di tempat yang agak jauh. Tetapi sebelumnya gerombolan itu memang sudah dihubungi. Apabila diperlukan, akan datang penghubung untuk memberitahukannya.
Dalam pada itu, bebarapa saat kemudian, kelompok utusan Raden Panji telah memasuki pedukuhan Nguter, kemudian menyususuri jalan pedukuhan langsung menuju ke rumah Ki Partija Wirasentana. Pedukuhan Nguter segera menjadi ramai. Orang-orang pedukuhan itu telah keluar dari regol-regol halaman untuk menyaksikan iring-iringan. Mereka tahu bahwa iring-iringan itu datang untuk menjemput Mas Rara.
“Gadis itu telah membawa keberuntungan bagi orang-tuanya!“ desis perempuan separuh baya.
Perempuan lain menjawab “Ki Partija Wirasentana suami isteri adalah orang-orang yang selalu berprihatin bagi anak-anaknya. Sekarang ia akan menarik buahnya. Anak gadisnya akan menjadi isteri seorang berpangkat tinggi dan punya kekuasaan yang besar!”
Perempuan separuh baya itu mengangguk-angguk. Katanya “Gadisku yang diambil orang pedukuhan sebelah itu ternyata hidupnya tidak lebih baik dari kita semuanya. Sawah suaminya hanya beberapa kotak saja. Sementara masih harus mengurusi mertuanya yang sudah mulai pikun!”
Perempuan yang lain itu pun menyahut “Bukankah itu sudah cukup baik daripada menjadi perawan tua seperti anak Priman itu”
“O, itu salah orangtuanya. Ayah dan ibunya terlalu garang dan pilihannya pun terlampau sulit untuk dapat dipenuhi, sehingga akhirnya, gadis itu malah tidak pernah mendapat jodohnya!“ sahut perempuan setengah baya itu.
Keduanya terdiam. Iring-iringan itu menjadi semakin jauh. Namun terasa keagungan yang akan memancar dari rumah Ki Partija Wirasentana.
“Kekuatan apa yang mendekatkan Mas Rara pada sebuah iring-iringan pemburu yang ternyata adalah Raden Panji Prangpranata, yang melihatnya dan kemudian tergila-gila kepada gadis itu...!“ desis seorang perempuan lain...
Selanjutnya, Mas Rara Bagian 05 |