“AKU juga mohon diri...“ sambung Wirantana “Aku akan kembali menjemput ayah dan ibuku. Sebelum sepekan mereka harus sudah berada di padukuhan ini”
“Baiklah anak-anak muda...“ berkata pemimpin prajurit itu “kami akan menyampaikannya kepada Raden Panji.”
Sepeninggal para prajurit itu, Manggada berdesis “Untuk menyampaikan hadiah seperti ini, kenapa harus sekelompok prajurit. Bukankah satu atau dua orang saja sudah cukup?“
“Satu kehormatan“ desis Wirantana “bukankah dengan demikian kalian cukup dihormati disini, sehingga untuk menyerahkan hadiah yang tidak berarti itu telah dilakukan oleh sekelompok prajurit?“
“Kami memang tidak pernah memikirkan hadiah. Karena itu, kami tidak memikirkan apakah hadiah itu benilai atau tidak.” desis Manggada.
“Justru karena itu“ berkata Wirantana “Justru karena hadiahnya tidak bernilai, maka ada nilai yang lain yang diberikan kepada kalian. Satu penghormatan.”
Manggada mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa sambil berkata ”Nilai-nilai yang sulit aku dapatkan ditempat lain”
Ketiga anak muda itupun tertawa. Namun hati mereka terasa seperti disentuh ujung duri. Mereka merasa betapa perlakuan yang diberikan oleh Raden Panji itu benar-benar menyakiti hati mereka. Terutama Manggada dan Laksana. Namun demikian Wirantana juga merasa gelisah karena adiknya yang tentu merasa sangat gelisah pula.
Wirantana sudah membayangkan bahwa menjadi isteri Raden Panji bukannya satu peristiwa yang bernilai tinggi, tetapi justru akan merupakan satu penderitaan yang panjang. Apalagi Mas Rara adalah isteri Raden Panji yang keenam. Ia akan menjadi endapan kepahitan hidup kelima isteri Raden Panji sebelumnya.
Namun tiba-tiba terbersit satu pertanyaan ”Apakah aku akan membiarkan penderitaan itu berkepanjangan?“
Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, ketiga anak muda itupun telah berada di dalam biliknya. Laksana sempat membaringkan diri dipembaringan, sementara Manggada dan Wirantana duduk diamben bambu sambil merenung. Sementara itu maka senjapun menjadi semakin gelap. Lampu telah dinyalakan dimana-mana. Digandok itupun lampu telah dinyalakan pula.
“Aku akan berbicara dengan sais dan pembantunya itu“ berkata Wirantana.
Manggada dan laksana mengangguk. Dengan nada datar Manggada berkata “Aku akan segera tidur agar besok aku dapat bangun dini hari”
Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Bukankah kita menunggu makan malam?“
Manggada tidak menjawab. Ia duduk sambil tersenyum, sementara Laksana masih saja berbaring. Sekali-sekali matanya justru terpejam meskipun ia tidak ingin segera tidur. Kepada kedua orang yang melayani pedati berkuda itu Wirantana sudah berpesan, agar pedati itu dipersiapkan. Mereka akan berangkat menjelang fajar.
“Kita tinggal berangkat“ berkata seorang diantara mereka “segalanya sudah siap”
“Baiklah“ berkata Wirantana “besok kita berangkat sebelum padukuhan ini terbangun. Kita berangkat bersama-sama dengan Manggada dan Laksana meskipun tujuan kita berbeda”
“Kedua orang anak itu akan pergi kemana?“ bertanya seorang yang lain.
“Mereka memang sedang mengembara. Mungkin mereka akan pergi ke Pajang“ jawab Wirantana.
Demikian maka Wirantanapun telah meninggalkan kedua orang itu. Sementara itu, kedua orang itu memang sudah menyiapkan segala-galanya. Bahkan senjata merekapun telah mereka siapkan. Ketika Wirantana kembali ke gandok ternyata makan malam bagi mereka telah dipersiapkan.
Setelah makan malam maka rasa-rasanya udara menjadi panas sehingga bertiga anak-anak muda itu justru duduk-duduk diserambi yang udaranya terasa lebih sejuk. Namun mereka tidak terlalu lama berada diserambi. Halaman rumah itu nampak terlalu sepi. Meskipun ada dua orang prajurit yang berjaga, juga diregol dan lima orang yang lain berada digardu meskipun dua orang diantaranya sudah berbaring karena mendapat giliran tidur disore hari, namun suasananya terasa sangat lengang.
Malam yang menjadi semakin dalam telah membuat ketiga orang itu mulai mengantuk. Tetapi rasa-rasanya mereka masih belum puas berbicara justru disaat terakhir mereka sempat melakukannya. Besok mereka sudah akan berpisah.
Tanpa mereka sadari, maka mereka telah berbicara kian kemari, termasuk membicarakan sifat-sifat Raden Panji serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Mas Rara. Namun akhirnya mereka memang menjadi mengantuk sekali menjelang tengah malam.
Karena itu, maka Wirantanapun berkata “Baiklah. Kita akan beristirahat sekarang. Besok menjelang fajar kita akan bersiap”
Manggada dan Laksanapun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah agak tertelan Manggada berkata “Aku juga sudah mengantuk”
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itupun telah membaringkan dirinya dipembaringan. Sekali-sekali mereka menguap dan menggosok mata mereka. Memang terasa sayang sekali bahwa mereka akan melewatkan saat-saat terakhir mereka bertemu hanya untuk tidur. Namun mereka tidak dapat mengelak.
Tetapi ketika mata mereka telah terpejam, maka ketiga anak muda itu telah dikejutkan oleh pembicaraan yang terjadi di halaman. Tidak terlalu keras. Namun nampaknya bersungguh-sungguh.
“Aku mengemban tugas dari Raden Panji” terdengar suara yang berat.
“Apakah kau membawa pertanda perintah itu?“ bertanya suara yang lain.
“Ada“ jawab orang yang pertama.
Wirantana memang sangat tertarik oleh pembicaraan itu. Iapun segera bangkit, memadamkan lampu dan dengan sangat berhati-hati membuka pintu bilik gandok.
Manggada dan Laksanapun telah ikut pula mengintip dari sela-sela pintu bilik gandok itu. Mereka melihat dua orang yang berdiri dihadapan salah seorang dari para prajurit yang bertugas, bahkan agaknya pemimpin kelompoknya. Sementara dua orang prajaurit yang lain, yang sudah bersiap-siap untuk beristirahat setelah tugasnya diregol digantikan oleh dua orang kawannya, berdiri termangu-mangu didepan gardu.
Ketiga orang anak muda itu melihat salah seorang dari kedua orang yang mengaku utusan Raden Panji itu telah menunjukkan sesuatu. Agaknya sebuah cincin.
“Kau tentu mengenal cincin ini. Cincin ini memang cincin pertanda perintah Raden Panji“ berkata orang itu.
Pemimpin sekelompok prajurit yang bertugas itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya “tetapi Mas Rara tentu sudah tidur”
“Tidak apa apa. Kita harus membangunkannya dan segera membawanya menghadap Raden Panji” jawab orang itu.
“Tetapi kenapa harus malam-malam begini?“ bertanya pemimpin prajurit itu.
“Jangan bodoh“ jawab orang yang membawa cincin itu.
Pemimpin prajurit yang sedang bertugas di rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun keragu-raguannyapun kemudian telah terdesak kesamping ketika utusan Raden Panji itu berkata ”Perintah Raden Panji. kami harus membawa Mas Rara. Tidak boleh ada orang yang menghalanginya”
“Terserahlah” berkata pemimpin prajurit itu “tetapi sebenarnya aku kasihan melihat gadis itu”
“Apakah kau akan melawan perintah Raden Panji?“ bertanya utusan itu.
“Tentu tidak. Ambillah“ jawabnya.
Tetapi utusan itu berkata “Kaulah yang membangunkannya dan membawanya kemari. Aku akan membawanya sampai kepada Raden Panji”
“Kau yang mendapat perintah. Lakukan perintah itu“ jawab pemimpin prajurit yang bertugas.
“Perintah Raden Panji termasuk perintah kepada kalian“ jawab utusan itu.
Tetapi pemimpin prajurit itu menggeleng. Katanya “Tentu tidak. Raden Panji hanya memerintahkan kepadamu untuk mengambil gadis itu. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau akan membawanya menghadap atau tidak”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka berkata “Baiklah. Kami akan mengambilnya”
Meskipun sebenarnya ragu-ragu, tetapi kedua orang itupun telah menuju ke pintu pringgitan. Dengan perlahan-lahan pintu itupun diketuknya. Baru setelah diulang sampai dua tiga kali, maka terdengar seorang perempuan menyapa.
“Siapa diluar?“
“Kami bibi. Mengemban perintah Raden Panji“ jawab salah seorang diantara keduanya.
“Kenapa malam-malam?“ bertanya perempuan yang ada didalam itu.
“Kami hanya mengemban perintah bi ”jawab prajurit itu.
“Bagaimana kalau besok saja?“ bertanya perempuan yang ada di dalam.
“Apakah ada diantara kita yang berani menentang perintah Raden Panji?“ prajurit itu justru bertanya.
Perempuan itupun kemudian telah membuka pintu. Sebelum orang tua itu bertanya, prajurit itu telah menunjukkan cincin yang dipakainya sambil berkata “Aku membawa pertanda pengemban perintah Raden Panji”
Perempuan tua yang melayani Mas Rara termangu-mangu. Ia menyadari apa yang akan terjadi dengan gadis yang lugu itu. Tetapi iapun mengerti, apa yang terjadi terhadap seseorang yang berani menentang perintah Raden Panji itu. Apalagi tentang seorang perempuan cantik yang telah mengguncangkan hatinya sehingga Raden Panji itu tidak sabar lagi menunggu waktu sepekan yang telah ditentukannya sendiri
Satu gejolak perasaan telah terjadi dihati perempuan tua itu. Rasa-rasanya ia memang ingin menghalangi kedua orang itu mengambil Mas Rara. Tetapi perempuan tua itu menyadari, bahwa ia tidak akan berdaya berbuat sesuatu untuk mencegahnya.
”Maaf bibi“ berkata prajurit itu “aku minta bibi membangunkannya dan membawanya kemari. Kami akan mengantar mereka kepada Raden Panji sekarang juga. Raden Panji sudah berpesan agar aku segera kembali sambil membawa Mas Rara bersamaku. Raden Panji sudah mengancam, jika aku gagal, maka leherku akan menjadi taruhan”
Perempuan tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “ Itulah biliknya”
“Bawa gadis itu kemari“ berkata kedua orang itu hampir berbareng.
Tetapi perempuan tua itu menggeleng lemah. Katanya ”Kau ambil gadis itu sendiri, Aku tidak sampai hati membangunkannya dan memberitahukannya bahwa ia diperlukan Raden Panji sekarang juga, sementara masih ada tenggang waktu sepekan dengan hari pernikahan yang ditentukan sendiri oleh Raden Panji”
Kedua orang itu menjadi tegang. Namun ia tidak akan dapat memaksa perempuan tua itu untuk membangunkan Mas Rara. Sementara waktunya sudali menjadi terlalu lama. Raden Panji yang memberikan perintah langsung kepada kedua orang itu nampaknya tidak sabar lagi menunggu.
Karena itu, maka keduanyapun telah menyingkirkan perasaannya sendiri yang justru berlawanan dengan tugas yang harus diembannya. Seorang diantara mereka berkata ”Aku akan membangunkannya”
Orang itu telah mendekati pintu bilik Mas Rara. Namun sebenarnyalah keragu-raguan masih saja mencengkamnya. Ketika diluar sadarnya prajurit itu menyentuh pintu, maka iapun tahu bahwa pintu bilik itu telah diselarak dari dalam.
Perlahan-lahan orang itu mengetuk pintu sambil berdesis “Mas Rara, Mas Rara”
Beberapa saat orang itu mengetuk pintu, namun sama sekali. tidak terdengar jawaban. Karena itu, maka prajurit itu mengetuk semakin keras.
“Mas Rara” panggil prajurit itu.
Mas Rara sebenarnya memang sudah terbangun. Tetapi ia justru menjadi ketakutan. Yang terdengar diluar pintu adalah suara laki-Iaki.
“Mas Rara“ berkata prajurit yang membangunkannya itu “aku membawa pesan Raden Panji. Pesan yang sangat penting bagi Mas Rara”
Mas Rara masih saja ragu-ragu. Namun karena pintu itu diketuk lagi, maka iapun bertanya “Siapa diluar?“
Prajurit yang mendapat tugas untuk menjemput Mas Rara itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata “Kami adalah utusan Raden Panji. Jika Mas Rara ragu-ragu, maka silahkan membuka pintu. Kami akan menunjukkan pertanda perintah dari Raden Panji”
“Kenapa tidak besok saja?“ bertanya Mas Rara.
“Pesan itu sangat penting Mas Rara” jawab prajurit itu ”aku persilahkan Mas Rara melihat cincin itu. Mas Rara tentu akan yakin, bahwa kami adalah utusan Raden Panji”
Mas Rara memang tidak dapat berbuat lain. Ia menyadari, bahwa dirinya bagaikan seekor kelinci didalam kandang seekor harimau yang ganas. Ketika prajurit itu mengetuk pintunya lagi, maka Mas Rara pun telah membukanya.
Diluar pintu ia melihat dua orang prajurit berdiri termangu-mangu. Beberapa langkah dibelakangnya, orang tua yang melayaninya berdiri tegak dan tubuh gemetar. Demikian pintu terbuka, maka perempuan tua itu telah berlari memeluknya. Diluar sadarnya, terasa air mata perempuan tua itu menitik dibahunya.
“Bibi“ desis Mas Rara.
Perempuan tua itu tidak menjawab sama sekali. Tetapi kedua orang prajurit itulah yang kemudian mengangguk hormat.
Mas Rara berdiri tegak memandangi kedua orang prajurit yang menunduk itu. Meskipun keduanya belum mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi Mas Rara seakan-akan sudah tahu apa yang akan dilakukan Raden Panji atas dirinya.
Namun kemudian salah seorang dari kedua prajurit itu betapapun segannya, terpaksa mengatakan “Mas Rara. Kami adalah utusan Raden Panji. Kami membawa pertanda perintah. Kami ditugaskan untuk mempersilahkan Mas Rara bersama-sama dengan kami menghadap Raden Panji”
Meskipun Mas Rara sudah menduga, namun ketika kedua orang prajurit itu menyampaikan perintah Raden Panji, jantungnya masih juga berdentangan keras sekali.
Perempuan tua yang kemudian melepaskan pelukannya itupun berdiri dengan cemasnya disisi Mas Rara. Sudah beberapa kali ia menyaksikan perempuan yang menjadi isteri Raden Panji. Namun perasaannya terasa lain ketika ia berhadapan dengan Mas Rara. Apalagi jika ia melayani seorang perempuan yang tamak dan sombong.
Maka ia sama sekali tidak merasa tersentuh melihat saat-saat seperti yang sedang terjadi itu. Ia merasa sangat benci kepada perempuan yang menyambut perintah Raden Panji itu dengan sangat gembira dan penuh harapan.
Namun ternyata bahwa sikap Mas Rara itu berbeda. Pada saat yang sangat gawat itu, ia justru menemukan keberanian yang sudah terlepas dari dirinya sejak ia dinyatakan akan menjadi isteri Raden Panji. Pribadinya yang serasa hilang itu tiba-tiba pula telah bangkit kembali didalam dirinya. Bahwa tubuhnya rasa-rasanya tidak menjadi miliknya lagi, dengan serta merta telah tersentak dari relung jantungnya.
Karena itu, maka Mas Rara itu dengan tengadah berkata “Katakan kepada Raden Panji, bahwa aku tidak dapat menghadap sekarang. Kecuali hari telah larut malam, katakan bahwa aku sedang sakit”
“Tetapi perintah Raden Panji mawanti-wanti” berkata prajurit itu “jika aku kembali tanpa Mas Rara, maka aku akan mendapat hukuman yang sangat berat. Bahkan mungkin aku akan dihukum mati”
“Kau tidak bersalah“ berkata Mas Rara “perintahnya telah sampai kepadaku. Tetapi akulah yang menolaknya. Bukan kalian berdua”
“Benar Mas Rara. Tetapi apakah aku dapat meyakinkan Raden Panji bahwa Mas Rara menolak perintah itu?“ desis prajaurit itu.
“Apakah kau akan membawa cincinku untuk meyakinkan Raden Panji?“ bertanya Mas Rara.
“Tidak Mas Rara. Bukan cincin itu. Yang penting kami mengharap Mas Rara menghadap Raden Panji. Apapun yang akan dilakukan Raden Panji benar-benar diluar tanggung jawab kami. Jika kami melakukannya, itu semata-mata karena kamipun merasa takut untuk menolak perintah itu“ berkata prajurit yang menjadi gelisah itu.
“Katakan kepada Raden Panji, bahwa kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Dan katakan pula bahwa akulah yang menolak perintahnya. Jika Raden Panji marah dan akan menjatuhkan hukuman, biarlah aku yang dihukum. Hukuman mati sekalipun“ jawab Mas Rara. Lalu katanya pula “Sampaikan kepada Raden Panji bahwa aku menolak kemauannya. Aku baru akan menjadi isterinya sepekan lagi."
Wajah kedua utusan itu menjadi tegang. Mereka tidak mengira bahwa Mas Rara akan menolak perintah yang diberikan Raden Panji. Secara kebetulan, seorang diantara mereka juga melakukan perintah yang sama atas isteri Raden Panji yang ke lima. Tapi perintah itu tidak ditolaknya. Utusan itu tidak tahu perasaan apa yang bergejolak di hati perempuan itu.
Tapi perempuan itu tampaknya merasa bangga sekali. Baru beberapa hari kemudian pernikahannya akan berlangsung. Namun keluarga itu tidak lama tampak utuh. Beberapa bulan kemudian hubungan mereka mulai retak dan nasib isteri kelima itu menjadi kurang baik.
Tetapi sekarang, seorang perempuan dari padukuhan Nguter telah berani menentang perintah Raden Panji. Bahkan menentang untuk menerima hukuman mati sekalipun. Ketika keduanya masih termangu-mangu, Mas Rara yang seakan-akan telah menemukan dirinya kembali itu berkata.
“Ki Sanak, kembalilah. Aku masih letih. Aku masih ingin tidur lagi”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun seorang diantara mereka berkata “Tidak Mas Rara. Aku harus kembali menghadap Raden Panji bersama Mas Rara”
“Aku tidak mau“ bentak Mas Rara.
“Kami juga tidak berani kembali tanpa Mas Rara“ sahut yang seorang lagi.
“Terserah pada kalian. Tapi aku tidak akan pergi“ jawab Mas Rara.
Kedua orang itu menjadi bingung. Dengan gagap, seorang diantara mereka berkata “Tidak. Mas Rara harus pergi”
“Aku tidak mau“ jawab Mas Rara tegas.
“Kami akan memaksa Mas Rara“ utusan yang kehilangan akal itu mulai mengancam.
Wajah Mas Rara jadi makin tegang. Dengan suara bergetar ia berkata “Kau tahu siapa aku? Kau tidak akan dapat menakut-nakuti aku. Aku adalah calon isteri Raden Panji. Jika kalian berani menentang perintahku, itu berarti kalian berani menentang Raden Panji”
Kedua orang itu memang menjadi bimbang. Tetapi ketakutan yang bergejolak di jantung mereka ternyata lebih berat dibanding keragu-raguan mereka, sehingga seorang diantara mereka berkata “Raden Panjilah yang memerintahkan kami datang kemari. Karena itu, yang kami lakukan adalah atas nama dan atas kuasanya. Karena itu, jangan menentang kami”
Debar jantung Mas Rara bagaikan semakin cepat berdegup. Tapi ia masih berkata lantang ”Pergi. Jangan mencoba mengganggu aku. Jika Raden Panji mengetahuinya, kalian akan dihukum gantung”
“Kami mengemban perintah Raden Panji“ ulang salah seorang dari mereka.
Tetapi Mas Rara tetap pada pendiriannya. Katanya ”Aku tidak mau. Jika kau akan memaksakan, kalian akan menyesal. Aku dapat mengatakan hitam atau putih tentang kalian kepada Raden Panji. Aku dapat mengatakan bahwa kalian telah memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingan dan kesenangan kalian sendiri”
“Gila“ wajah orang-orang itu menjadi marah. Seorang diantara mereka berkata “Kami akan melakukannya dihadapan saksi-saksi, para prajurit yang bertugas di tempat ini akan menjadi saksi apa yang telah kami lakukan. Mereka akan mengatakan sesuai dengan apa yang mereka lihat”
Wajah Rara Wulan jadi panas. Ternyata orang-orang itu tidak lekas menjadi ketakutan. Namun ia sudah bertekad untuk tidak mau pergi mengikuti keduanya. Karena itu, Rara Wulan berkata ”Aku tidak peduli. Tapi aku tidak mau. Jika kalian coba menjamah kulitku dan menjadi kotor, Raden Panji tentu tidak akan memaafkan kalian lagi”
Kedua orang itu memang berpikir. Namun seorang diantara mereka tiba-tiba saja telah mencabut pedangnya sambil berkata ”Mas Rara harus pergi. Aku memiliki wewenang penuh untuk melakukan apa saja sampai Mas Rara berhasil aku bawa menghadap Raden Panji”
“Termasuk membunuh aku?“ tanya Mas Rara.
Orang yang memegang pedang itu menjadi makin bingung. Ternyata Mas Rara sama sekali tidak menjadi gentar melihat ujung pedang yang tajam runcing itu. Bahkan sambil menengadahkan dadanya ia berkata “Marilah. Jika itu perintah Raden Panji, lakukanlah”
Sejenak kedua orang itu tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Sementara itu, perempuan tua yang melayani Mas Rara menjadi sangat ketakutan. Ketika seorang diantara kedua utusan Raden Panji itu mengacungkan pedangnya, perempuan itu bergeser mendekati Mas Rara.
Karena kedua orang itu tidak segera berbuat sesuatu, sekali lagi Mas Rara berkata “Ayo, bunuh aku jika kau berani melakukannya. Nanti bawa tubuhku menghadap Raden Panji. Kau tentu akan menerima hadiah yang sangat besar, atau lehermu akan dipenggal di halaman rumah Raden Panji untuk dijadikan pangewan-ewan. Kepalamu akan dijadikan peringatan bagi orang-orang yang berani pada calon isterinya. Jika hal seperti ini kau lakukan dua tiga bulan lagi, setelah aku benar-benar jadi isterinya, mungkin kau akan naik pangkat. Tapi jika sekarang kau lakukan, berarti kau akan membunuh diri”
Kedua orang itu benar-benar menjadi bingung. Tampaknya Mas Rara terlalu yakin akan dirinya. Seakan-akan dalam waktu singkat Mas Rara telah berubah sama sekali. Bukan lagi seorang perempuan lembut, penurut dan tanpa berani mengangkat wajahnya dihadapan seseorang. Namun tiba-tiba ia dapat menjadi garang dan menantang ujung pedang.
Perempuan tua yang melayaninya menjadi sangat heran. Kekuatan apa yang telah menggerakkan Mas Rara untuk berbuat demikian. Namun dalam kebingungan dan tanpa dapat melihat jalan keluar yang lebih baik, kedua orang itu telah melakukan kekerasan. Memang tidak menusuk jantung Mas Rara dengan pedang. Justru senjata tajam yang sudah dicabut itu disarungkan kembali. Keduanya kemudian memaksa Mas Rara untuk mengikutinya.
Seorang diantara mereka telah memegang lengan gadis itu dan menariknya sambil berkata “Aku tidak tahu apakah jalan ini yang terbaik. Tetapi aku tidak mau mendapat hukuman karena perempuan yang keras kepala ini”
Ketika Mas Rara meronta, yang seorang lagi telah membantunya, memegangi lengannya yang satu lagi. Mas Rara, seorang gadis lembut dan lugu, tidak dapat mengatasi kekuatan kedua orang prajurit itu. Tangannya yang kasar dan tenaganya yang besar, telah menyeret Mas Rara dari ruang dalam.
Mas Rara tidak mengira bahwa ia akan mendapat perlakuan sangat kasar. Sementara itu, perempuan tua yang melayaninya telah memeluk dan menahannya sambil berkata “Lepaskan. Lepaskan. Kau akan digantung besok jika kau berani berbuat kasar terhadap calon isteri Raden Panji”
Tapi bagi kedua orang itu, berbuat kasar tentu akan lebih baik daripada tidak membawa Mas Rara sama sekali. Apalagi Raden Panji telah mengancam, apapun alasannya, ia tidak mau mendengarkan jika mereka datang tanpa Mas Kara. Ketakutan akan pesan itulah yang telah membuat kedua utusan itu kebingungan dan tidak dapat melihat jalan keluar.
Ketika keduanya menarik Mas Rara keluar ruang dalam, Mas Rara menjerit hingga suaranya yang melengking telah mengejutkan semua orang yang ada di lingkungan rumah itu. Beberapa orang prajaurit berlari-larian ke pendapa, ketika mereka melihat kedua utusan Raden Panji itu keluar dari pintu pringgitan.
“Apa yang terjadi?” tanya pemimpin prajurit yang bertugas sambil mengacungkan tombaknya.
“Aku harus membawa gadis itu menghadap Raden Panji. Beliau yang memerintahkan. Tidak ada alasan untuk mengelakkan perintah itu. Malam ini, Mas Rara harus dihadapkan padanya. Tapi Mas Rara menolak, sehingga kami harus memaksanya. Karena itu, aku minta dua orang diantara kalian pergi bersama kami untuk menjadi saksi bahwa kami melakukan atas perintah Raden Panji dan tidak mengkhianatinya sama sekali“ berkata salah seorang dari kedua utusan itu.
Para prajurit itu termangu-mangu. Seorang diantara mereka bertanya “Apakah tindakan ini tidak membuat Raden Panji marah?“
“Kami sudah mendapat wewenang. Dengan cara apapun juga, Mas Rara harus dihadapkan padanya malam ini juga“ berkata salah seorang dari utusan itu. Katanya lagi “Karena itu, bantu aku agar tugas ini dapat kami selesaikan dengan baik, sehingga kita semuanya tidak mendapat hukuman besok pagi”
Para prajurit itu termangu-mangu. Namun mereka yakin bahwa kedua orang itu memang utusan Raden Panji, menilik pertanda yang mereka bawa. Dengan demikian, keduanya telah bertindak atas nama Raden Panji.
Dalam keragu-raguan itu, Mas Rara meronta sekali lagi. Demikian tiba-tiba hingga kedua orang prajurit yang memeganginya terkejut. Mas Rara memang dapat melepaskan diri. Tapi ia tidak sempat berlari turun dari pendapa. Tangan-tangan yang kuat itu telah menggapainya lagi. Bahkan kemudian tangan-tangan kasar itu memeganginya lebih erat di lengannya, sehingga lengan Mas Rara terasa sakit. Sekali lagi Mas Rara menjerit. Tapi suaranya bagaikan hilang ditelan geiapnya malam.
Namun dalam pada itu, Wirantana, Manggada dan Laksana telah berdiri di halaman rumah itu, Dengan sigapnya mereka meloncat naik ke pendapa Dengan geram Wirantana bertanya ”Apa yang kalian lakukan atas adikku?“
“Kami mengemban tugas dari Raden Panji” berkata utusan itu sambil menunjukkan cincin pertanda kekuasaan Raden Panji.
Wirantana, Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Wirantana telah bertanya kepada Mas Rara “Apa yang mereka kehendaki?“
“Aku tidak mau. Aku tidak mau“ teriak Mas Rara.
Sedangkan perempuan tua yang melayani Mas Rara itupun telah berada di pendapa rumah itu dengan wajah yang tegang.
“Ki Sanak“ berkata Wirantana kemudian “Mas Rara datang ke rumah ini karena permintaan Raden Panji. Mas Rara itu dalam waktu sepekan lagi akan menjadi isteri Raden Panji. Kenapa sekarang kau perlakukan seperti itu?“
“Kami mengemban tugas. Kami harus membawa Mas Rara menghadap Raden Panji sekarang ini. Seharusnya Mas Rara tidak menolaknya, sehingga tidak akan terjadi sesuatu” berkata salah seorang dari mereka yang membawa Mas Rara itu.
“Tetapi bukankah kau dapat mengatakan kepada Raden Panji bahwa Mas Rara berkeberatan untuk menghadap malam ini?“ sahut Wirantana.
“Kau belum mengenal Raden Panji dengan baik. Tetapi kau seharusnya sudah tahu, meskipun kau baru mengenal beberapa saat, bahwa bagi Raden Panji, tidak akan pernah mau mendengarkan jawaban seperti itu” berkata orang itu selanjutnya.
“Jadi, dianggap apa adikku itu? Apakah ia tidak dianggap sebagai seseorang yang mempunyai perasaan, yang mempunyai kehendak dan harga diri? Ia baru akan menjadi isteri Raden Panji sepekan lagi” berkata Wirantana. Lalu katanya ”Apapun yang akan dilakukannya malam ini, namun Mas Rara harus mendapat hak untuk bersedia atau tidak bersedia datang. Jika Mas Rara tidak bersedia datang, maka tidak ada orang yang dapat memaksanya”
“Raden Panji dapat memaksanya“ jawab orang itu.
“Tidak“ geram Wirantana tegas.
“Jadi kau berani melawan Raden Panji?“ bertanya orang itu kemudian.
“Tidak. Aku tidak berani melawan Raden Panji, tetapi akupun tidak rela adikku kehilangan haknya untuk menentukan kehendaknya dan mempertahankan harga dirinya“ jawab Wirantana.
“Cukup“ orang yang membawa Mas Rara itu menjadi semakin marah “Minggir, atau kau akan mendapat hukuman dari Raden Panji. Ketahuilah, Raden Panji tidak pernah tanggung-tanggung jika ia memberikan hukuman kepada seseorang yang telah berani melawan kehendaknya”
“Hukuman sepantasnya hanya diberikan kepada orang-orang yang bersalah. Tidak kepada orang-orang yang mempertahankan haknya” jawab Wirantana.
“Raden Panji tidak akan mempedulikan, apakah ia bersalah atau tidak. Tetapi semua orang yang menentang kehendaknya, ia akan dihukum. Termasuk Mas Rara. Karena itu, maka biarlah Mas Rara datang memenuhi perintah Raden Panji” jawab orang itu.
Wirantana tiba-tiba telah menjadi garang pula. Gejolak perasaannya ternyata tidak dapat dikendalikan lagi. Apalagi sikap kedua orang itu justru menjadi semakin kasar terhadap Mas Rara. Seorang diantaranya seakan-akan telah menyeretnya sementara yang lain berdiri menghadapi Wirantana, Manggada dan Laksana. Dengan lantang Wirantana berkata “Lepaskan adikku”
“Kau gila. Raden Panji mempunyai wewenang untuk menghukum mati kepada siapa saja yang dianggapnya menghalangi tugasnya” berkata orang itu.
“Wewenang dari siapa?” bertanya Wirantana. Lalu katanya “kalau wewenang itu diberikan oleh ayah dan ibunya, maka itu tidak akan mempunyai nilai sama sekali untuk ditrapkan dalam tugas-tugasnya sebagai seorang prajurit”
”Tutup mulutmu. Raden Panji mendapat tugas dari Kangjeng Sultan di Pajang untuk mengamankan daerah ini dari kekuasaan para penjahat dengan wewenang untuk memberikan hukuman mati kepada siapa saja yang berani menentangnya” berkata orang itu.
“Jika demikian, kaulah yang gila. Atau Raden Panji itulah yang sudah menjadi gila“ Wirantana benar-benar telah kehilangan pengekangan diri.
Kedua orang prajurit yang mengambil Mas Rara itu terkejut. Mereka tidak menduga, sama sekali, bahwa kata-kata yang keras itu akan terlontar dari mulut seseorang apalagi dari sebuah padukuhan yang jauh.
Dengan lantang seorang diantara mereka berkata “Kau sudah benar-benar menjadi jenuh untuk hidup. Kau akan digantung sebagaimana para penjahat yang telah tertangkap”
“Wewenang untuk menghukum mati hanya diberikan kepada Raden Panji dalam tugasnya memberantas kejahatan. Tidak untuk kepentingan diri sendiri, apalagi untuk memaksa perempuan-perempuan muda menjadi isterinya yang ke enam, ketujuh bahkan kelak isterinya yang ke seratus. Apalagi memaksa seorang perempuan yang bukan isterinya datang kepadanya di malam hari seperti ini“ suara Wirantana tidak kalah lantangnya.
“Tutup mulutmu“ bentak prajurit itu “atas nama Raden Panji dengan wewenang yang diberikan kepadaku, jangan ganggu tugasku. Atau aku akan mempergunakan wewenangku”
“Aku tidak akan mengganggumu jika kau tidak mengganggu adikku“ Wirantana membentak pula.
“Aku melakukan perintah Raden Panji“ orang itu berteriak.
Tetapi Wirantanapun berteriak pula “Jika demikian, jika kalian telah menjadi budak-budak yang mati, katakan, Raden Panji tidak boleh mengganggu adikku“
Wajah kedua orang prajurit itu menjadi merah. Namun dengan demikian, mereka telah memusatkan perhatian mereka kepada Wirantana. Dalam kesempatan itu, Mas Rara telah menghentakkan tangannya dan merenggutnya dari pegangan prajurit itu.
Demikian tiba-tiba dan diluar dugaan, sehingga sejenak kemudian tangan Mas Rara telah terlepas. Keberanian Mas Rara benar-benar telah tumbuh tanpa segera berlari kearah Wirantana dan seakan-akan bersembunyi di belakang punggungnya.
Kemarahan kedua orang prajurit yang mengemban tugas Raden Panji itu sudah sampai ke puncak. Kemarahan mereka telah dilandasi pula oleh perasaan takut jika mereka gagal menjalankan perintah. Seandainya mereka tidak dapat membawa Mas Rara menghadap Raden Panji, maka Raden Panji tentu akan menjadi kehilangan kesabaran sebagaimana sering dilakukannya. Keduanya tentu akan mengalami nasib yang sangat buruk. Apalagi tugas mereka adalah tugas yang sangat mudah. Membawa seorang per-empuan menghadp Raden Panji. Hanya itu.
Karena itu, maka seorang diantara mereka berkata “Aku masih ingin memperingatkan kalian sekali lagi. Aku tengah mengemban perintah Raden Panji. Bahkan lebih dipercaya untuk membawa pertanda kuasanya. Cincin jabatannya. Jika kalian masih menghalangi tugasku ini, maka aku akan mempergunakan kekerasan. Seperti Raden Panji, maka aku berwenang untuk membunuh seorang yang melawan perintahnya, karena seseorang yang melawan perintah Raden Panji yang berkuasa atas nama Kanjeng Sultan adalah pengkhianat”
“Aku tidak berkeberatan disebut pengkhianat oleh Raden Panji karena mencegah tingkah lakunya yang tidak pantas serta menerapkan wewenang yang tidak sewajarnya atas seorang gadis yang tidak berdaya seperti Mas Rara. Meskipun Mas Rara sudah ditetapkan menjadi bakal isteri Raden Panji, tetapi baru sepekan lagi ia sah menjadi isterinya. Baru sepekan lagi Mas Rara wajib tunduk atas segala kemauan Raden Panji. Tetapi tidak sekarang”
“Cukup...!“ bentak prajurit itu “aku memang harus menyumbat mulutmu”
“Kedua prajurit itu tiba-tiba saja telah bergerak. Sementara itu Manggada dan Laksanapun telah bergerak pula. Mereka sama sekali tidak lagi menghiraukan kemungkinan hukuman yang tidak terbayangkan karena kemarahan Raden Panji. Tetapi kedua anak muda itu merasa wajib membela Wirantana.
“Lindungi adikku“ berkata Wirantana sambil mendorong adiknya kepada Manggada dan Laksana.
Namun Manggadapun berkata ”Jaga Mas Rara baik-baik” Laksana tidak sempat menjawab. Tetapi iapun bergeser mendekati Mas Rara ketika Manggada bergeser maju dan berdiri disisi Wirantana.
Kedua prajurit yang marah itu tidak berpikir panjang lagi. Dengan serta merta keduanya telah menyerang Wirantana dan Manggada, sehingga sejenak kemudian merekapun telah bertempur dengan sengitnya.
Keributan itu telah menimbulkan kebingungan beberapa orang prajurit yang bertugas meronda. Mereka berdiri termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka mengerti bahwa kedua orang kawannya itu sekedar menjalankan perintah. Tetapi merekapun tahu, kenapa Wirantana, kakak Mas Rara berkeras untuk mencegah tindakan kedua orang prajurit itu.
Sementara itu, ternyata kemampuan Wirantana dan Manggada untuk bertempur seorang lawan seorang, jauh lebih tinggi dari kedua prajurit itu. Dengan demikian, maka dalam waktu singkat, maka kedua orang prajurit itu sudah terdesak. Namun dalam pada itu, salah seorang prajurit, yang mengenakan cincin pertanda kekuasaan Raden Panji itu berteriak.
“Para prajurit yang bertugas, Atas nama Raden Panji, kalian aku perintahkan untuk menangkap ketiga orang itu serta Mas Rara”
Para prajurit masih juga ragu-ragu. Ada diantara mereka yang memang merasa kasihan kepada Mas Rara. Namun ternyata ketika prajurit yang memakai pertanda kuasa Raden Panji itu menyebut namanya, maka prajurit-prajurit itupun menjadi cemas tentang nasib mereka sendiri. Karena itu, maka merekapun mulai bergerak kependapa. Empat orang bersama-sama. Namun Wirantana dan Manggada pun telah siap menyambut mereka.
Ketika kemudian mereka terlibat dalam perkelahian, maka Laksana tidak dapat tinggal diam. Iapun telah terjun pula kedalam lingkaran perkelahian. Sementara itu mereka bertigalah yang kemudian berusaha untuk melindungi Mas Rara yang ketakutan.
Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa kedua orang yang dikirim oleh Ki Jagabaya untuk melayani kereta berkuda itupun telah tanggap akan keadaan. Mereka dengan cepat telah mengemasi pedati berkuda mereka.
Wirantana, Manggada dan Laksana yang bertempur melawan beberapa orang sekaligus itu memang mengalami kesulitan, justru karena Mas Rara menjadi sangat ketakutan. Karena itu maka yang mereka lakukan kemudian adalah bergeser turun ke halaman sambil membawa Mas Rara diantara mereka.
Pada saat itulah, pedati yang ditarik kuda itu telah memasuki halaman pula. Dengan cambuk yang panjang yang diputar dan dihentak-hentakkan sendal pancing, maka beberapa orang justru telah menyibak.
“Cepat, masuk” berkata kedua orang yang melayani pedati itu hampir bersamaan.
Salah seorang diantara kedua orang itulah yang kemudian menolong Mas Rara masuk, sementara Manggada dan Laksana telah menghadangi setiap orang yang berusaha mendekat. Wirantana masih bertempur dengan sengitnya. Namun kemudian iapun mulai bergerak, bergeser sejalan dengan gerak pedati menuju ke regol.
Dua orang prajurit masih berada di regol. Merekapun segera berusaha menghadangi usaha Wirantana melarikan adiknya. Tetapi Wirantana telah menyerang keduanya sehingga seorang diantara mereka terdesak keluar. Sementara yang lain harus bergeser menjauh ketika cambuk sais pedati yang ditarik kuda itu menghentak-hentakkan cambuknya dengan keras.
Demikian pedati berkuda itu lolos, maka Wirantana yang meloncat naik segera bertindak ”Manggada, Laksana, cepat naik”
Kedua orang anak muda itupun telah meloncat naik pula. Para prajurit yang berlari-lari memang berusaha untuk mengejar mereka. Semua prajurit yang ada di halaman rumah yang dipergunakan oleh Mas Rara. Beberapa diantara mereka yang semula masih bermimpi, bukan saja karena mereka terbangun dan terkejut, tetapi merekapun tidak dapat sepenuhnya melakukan perintah kawannya yang membawa cincin kekuasaan Raden Panji, karena mereka menganggap Mas Rara masih terlalu muda untuk mengalami nasib yang buruk.
Tetapi kemudian mereka kemudian tidak dapat ingkar akan tugas mereka. Mereka juga tidak mau mendapatkan hukuman dari Raden Panji karena mereka tidak membantu para prajurit kepercayaannya yang justru memakai cincin kuasanya.
Wirantana, Manggada dan Laksana telah bersiap sepenuhnya. Kedua orang yang melayani pedati itupun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Pedati itu meskipun ditarik oleh kuda, tetapi tidak dapat berlari terlalu cepat. Sementara Wirantana, Manggada dan Laksana tidak sempat mengambil seekor kudapun meskipun dibelakang terdapat beberapa ekor kuda.
Lebih dari sepuluh orang prajurit telah mengejar mereka. Sementara itu, seorang prajurit yang lain telah berlari minta bantuan prajurit berkuda yang ada di padukuhan itu. Jalan yang kurang menguntungkan, serta Mas Rara yang beberapa kali memekik kecil oleh guncangan-guncangan roda pedati yang menginjak batu-batu padas, membuat pedati itu semakin lambat.
Para prajurit yang berlari itu ternyata semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka telah mengacu-acukan senjata mereka sambil berteriak-teriak. Tetapi yang tidak diduga telah terjadi pula. Beberapa orang berkuda telah muncul dari tikungan. Dengan serta merta orang-orang berkuda itu justru telah menyerang para prajurit yang sedang mengejar pedati itu.
Dengan demikian pertempuranpun telah terjadi, Namun memang tidak terlalu lama. Orang-orang berkuda, yang jumlahnya hanya ampat orang itu ternyata mampu menahan sepuluh orang yang mengejai pedati itu. sehingga jaraknya menjadi semakin jauh. Bahkan kemudian pedati itu telah keluar dari padukuhan menyusuri jalan-jalan bulak.
Dalam kegelapan malam, pedati itu meluncur terguncang-guncang menjauhi padukuhan yang dipergunakan oleh Raden Panji sebagai landasan kekuatannya untuk mengawasi daerah yang luas. Tetapi tidak semua prajurit Raden Panji berada di padukuhan itu.
Beberapa kelompok justru tersebar untuk mengawasi keadaan serta untuk menegakkan kekuasaan yang diberikan oleh Pajang kepadanya. Sepuluh orang yang mengejar mereka sudah tidak nampak lagi. Apalagi gelap malam memang telah menghalangi pandangan mata mereka.
Tetapi beberapa saat kemudian, Wirantana, Manggada dan Laksana terkejut. Mereka mendengar derap kaki kuda. Dan bahkan dalam keremangan malam di bulak yang terbuka luas, mereka melihat empat orang penunggang kuda menyusul mereka.
Ketiga orang anak muda itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang dikehendaki oleh empat orang berkuda itu. Apakah mereka benar-benar ingin menolong atau sebaliknya, mereka menghendaki Mas Rara. Jika mereka berhasil menguasai Mas Rara maka masih ada kemungkinan bagi mereka untuk memeras Raden Panji.
Sementara Raden Panji tentu ingin mendapatkan Mas Rara. Tidak sebagai calon isterinya, tetapi sebagai seorang buruan yang harus dihukum berat. Mungkin Raden Panji masih menghendaki Mas Rara sebagai seorang gadis. Tetapi tentu tidak lagi sebagai isterinya kelak setelah Mas Rara berusaha melarikan diri dan apalagi melawan perintahnya.
Bagaiamanapun sais pedati itu melecut kudanya, namun kuda yang menarik pedati itu memang tidak dapat berlari cepat. Sehingga dengan demikian, maka keempat orang berkuda itu semakin lama menjadi semakin dekat.
Seorang diantara mereka yang berkuda itu bergerak maju lebih cepat dari kawan-kawannya sehingga beberapa saat kemudian telah berada hanya beberapa langkah dibelakang pedati itu.
“Berhenti“ teriak orang itu “berhentilah. Aku ingin berbicara dengan kalian”
Pedati itu tidak juga berhenti. Sementara orang itu sekali lagi berteriak “Berhenti. Apakah kalian tidak mengenal aku lagi?“
Malam memang gelap. Wirantana, Manggada dan Laksana yang juga berada didalam pedati itu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
“Pedati itu terlalu berat membawa beban enam orang. Karena itu, maka pedati itu tidak dapat berlari lebih cepat. Berhentilah“ orang itu masih berteriak.
Pedati itu masih saja berlari. Namun roda pedati yang lebih berat dari roda kereta biasa itu, serta enam orang yang ada didalam-nya benar-benar telah membebani tenaga kuda yang menariknya. Ketika roda pedati itu terperosok kedalam lumpur, maka pedati itu tertahan sejenak. Mas Rara telah menjerit oleh goncangan yang tiba-tiba itu, sehingga gadis itu terkejut bukan buatan.
Kuda-kuda yang menarik pedati itu memang segera dapat mengangkat roda yang terperosok tidak begitu dalam itu. Namun dua orang penunggang kuda telah berhasil menggapai kendali kuda penarik pedati itu dan menghentikannya.
Sais yang mengemudikan pedati itu ragu-ragu. Meskipun cambuknya telah siap terayun, namun kedua orang sais itu masih ragu-ragu untuk menyerang meskipun keretanya sudah berhenti. Wirantana, Manggada dan Laksana telah berloncatan turun. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dua orang penunggang kuda yang tidak memegangi kendali kuda dan masih berada dibelakang pedati itupun telah meloncat turun pula. Seorang diantara mereka telah melangkah maju. Dengan nada rendah orang itu bertanya “kau benar-benar tidak mengenal aku lagi?“
Ketiga orang anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun dalam jarak yang semakin dekat ketiganya dapat melihat lebih jelas meskipun malam cukup gelap. Tetapi di tempat terbuka maka cahaya bintang dilangit, membuat malam menjadi remang-remang.
Akhirnya ketiga orang anak muda itu mengangguk-angguk. Wirantanalah yang menyahut “Ya. Kami mengenal Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak orang yang duduk disebelah kami kemarin siang ketika Raden Panji datang menjumpai Mas Rara?“
“Tepat“ jawab orang itu.
“Sekarang, apakah yang Ki Sanak kehendaki?“ bertanya Wirantana.
“Sebaiknya kalian lebih cepat meninggalkan padukuhan ini. Agar pedati itu tidak terlalu berat, pakailah kuda-kuda kami,. Tetapi ingat, jika segala sesuatunya sudah selesai, maka kuda itu harus kalian kembalikan kepada kami“ berkata orang itu.
Satu hal yang sama sekali tidak terduga. Namun Wirantana yang sedang menghadapi kesulitan itu tidak sempat berpikir panjang. Apalagi orang itupun berkata. “Cepat. Tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi, pasukan berkuda tentu akan menyusul kalian, jika kalian terlambat”
Anak-anak muda itu tidak berpikir panjang lagi. Meskipun segera menerima ampat ekor kuda, Wirantana, Manggada, Laksana dan seorang dari kedua orang sais itu. Mereka berdua akan bergantian mengemudikan pedati yang menjadi semakin ringan itu.
Namun Manggada sempat juga bertanya “Lalu bagaimana dengan Ki Sanak”
“Jangan pikirkan aku” jawab orang itu.
“Tetapi Ki Sanak telah melawan para prajurit yang mengejar kami“ berkata Manggada.
“Mereka tidak mengenal kami. Malam cukup gelap, sementara kami tidak membiarkan mereka sempat melihat wajah kami dengan jelas. Para prajuritpun tidak akan mengira bahwa kami, yang tinggal disekitar rumah itu, akan melakukan perlawanan seperti ini“ jawab orang itu.
Demikianlah, maka Wirantana dan yang lainpun telah melanjutkan perjalanan mereka yang mendebarkan. Mereka sadar, bahwa prajurit berkuda tentu akan mengejar mereka. Namun rasa-rasanya perjalanan mereka memang menjadi lebih cepat. Pedati kuda yang menjadi semakin ringan itu dapat melaju meskipun justru terguncang-guncang. Sekali-sekali Mas Rara memekik bukan saja ketakutan, tetapi juga kesakitan.
Ketiga orang anak muda yang berpacu disebelah dan belakang pedati itu, setiap kali mendengar pekik Mas Rara yang berpegangan tiang-tiang pedati itu kuat-kuat. Manggada yang mendekati Wirantana itupun kemudian berkata “Kau naik saja menemani Mas Rara. Biarlah kami berkuda dibelakang pedatimu.
“Lalu kuda ini?“ bertanya Wirantana.
“Sangkutkan kendalinya pada tiang pedati itu“ jawab Manggada.
“Terlalu pendek“ desis Wirantana kemudian.
Sais pedati itu ternyata menyahut pula “Disini ada tambang sabut kelapa”
Sais itu telah memberikan tambang itu kepada Wirantana. Namun Wirantanapun berkata “Berhentilah sebentar”
Kereta itu memang berhenti. Hanya sebentar. Selama Wirantana mengikat kendali kudanya dengan tali dan mengikatkan ujung tadi yang lain pada tiang kereta berkudanya. Sejenak kemudian kereta itu sudah berpacu kembali. Ditambah Wirantana, maka berat pedati itu menjadi semakin mantap. Sementara itu, Wirantana pun dapat mengawani Mas Rara yang ketakutan.
Beberapa saat kemudian, kereta berkuda itu melewati simpang empat ditengah-tengah bulak. Beberapa saat kemudian, kereta itu akan memasuki sebuah padukuhan. Anak-anak muda itu memang menjadi berdebar-debar. Jika para peronda di padukuhan itu menghentikan mereka, maka mereka akan kehilangan waktu.
Namun Manggadalah yang kemudian mendahului kereta itu mendekati regol. Sebenarnyalah ada beberapa orang yang berdiri disebelah menyebelah regol. Bahkan dua orang diantara mereka berdiri ditengah-tengah regol sambil mengangkat tangannya.
Tetapi Manggada justru berteriak lebih dahulu “Minggir. Minggir. Kuda pedatiku menjadi gila...!”
Teriakan itu begitu tiba-tiba sehingga orang-orang yang ada diregol itu terkejut. Karena pedati itu justru berpacu semakin cepat, maka merekapun telah berloncatan menepi. Dengan demikian maka pedati itupun telah berderap dengan kencangnya lewat gardu peronda di depan pintu gerbang yang terbuka diregol padukuhan.
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Namun merekapun tidak menghiraukannya lagi. Mereka tidak akan dapat menolong karena kereta itu berpacu terlalu kencang. Sehingga dalam waktu yang pendek, derapnya sudah tidak terdengar lagi.
Manggada yang masih tetap berpacu dipaling depan itu telah melakukan hal yang sama ketika pedati berkuda itu akan keluar dari regol padukuhan diujung sebelah. Para perondapun telah meloncat menepi ketika mereka melihat beberapa ekor kuda berpacu seperti dikejar hantu.
Ketika pedati itu sampai ke bulak kembali, rasa-rasanya sesak nafas orang-orang berkuda serta mereka yang ada didalam pedati itu menjadi longgar. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak mengurangi laju kuda-kuda mereka pada kemungkinan yang paling baik.
Namun anak-anak muda yang melarikan Mas Rara itu terkejut. Ketika mereka mendekati simpang empat yang lain ditengah-tengah bulak itu, dalam keremangan malam mereka melihat beberapa orang berkuda tengah memotong jalan mereka dari arah kanan simpang empat itu.
“Tidak ada kesempatan untuk berhenti dan mengambil arah yang lain. Seakan-akan begitu tiba-tiba beberapa orang prajurit berkuda telah berada didepan mereka...
“Baiklah anak-anak muda...“ berkata pemimpin prajurit itu “kami akan menyampaikannya kepada Raden Panji.”
Sepeninggal para prajurit itu, Manggada berdesis “Untuk menyampaikan hadiah seperti ini, kenapa harus sekelompok prajurit. Bukankah satu atau dua orang saja sudah cukup?“
“Satu kehormatan“ desis Wirantana “bukankah dengan demikian kalian cukup dihormati disini, sehingga untuk menyerahkan hadiah yang tidak berarti itu telah dilakukan oleh sekelompok prajurit?“
“Kami memang tidak pernah memikirkan hadiah. Karena itu, kami tidak memikirkan apakah hadiah itu benilai atau tidak.” desis Manggada.
“Justru karena itu“ berkata Wirantana “Justru karena hadiahnya tidak bernilai, maka ada nilai yang lain yang diberikan kepada kalian. Satu penghormatan.”
Manggada mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa sambil berkata ”Nilai-nilai yang sulit aku dapatkan ditempat lain”
Ketiga anak muda itupun tertawa. Namun hati mereka terasa seperti disentuh ujung duri. Mereka merasa betapa perlakuan yang diberikan oleh Raden Panji itu benar-benar menyakiti hati mereka. Terutama Manggada dan Laksana. Namun demikian Wirantana juga merasa gelisah karena adiknya yang tentu merasa sangat gelisah pula.
Wirantana sudah membayangkan bahwa menjadi isteri Raden Panji bukannya satu peristiwa yang bernilai tinggi, tetapi justru akan merupakan satu penderitaan yang panjang. Apalagi Mas Rara adalah isteri Raden Panji yang keenam. Ia akan menjadi endapan kepahitan hidup kelima isteri Raden Panji sebelumnya.
Namun tiba-tiba terbersit satu pertanyaan ”Apakah aku akan membiarkan penderitaan itu berkepanjangan?“
Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, ketiga anak muda itupun telah berada di dalam biliknya. Laksana sempat membaringkan diri dipembaringan, sementara Manggada dan Wirantana duduk diamben bambu sambil merenung. Sementara itu maka senjapun menjadi semakin gelap. Lampu telah dinyalakan dimana-mana. Digandok itupun lampu telah dinyalakan pula.
“Aku akan berbicara dengan sais dan pembantunya itu“ berkata Wirantana.
Manggada dan laksana mengangguk. Dengan nada datar Manggada berkata “Aku akan segera tidur agar besok aku dapat bangun dini hari”
Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Bukankah kita menunggu makan malam?“
Manggada tidak menjawab. Ia duduk sambil tersenyum, sementara Laksana masih saja berbaring. Sekali-sekali matanya justru terpejam meskipun ia tidak ingin segera tidur. Kepada kedua orang yang melayani pedati berkuda itu Wirantana sudah berpesan, agar pedati itu dipersiapkan. Mereka akan berangkat menjelang fajar.
“Kita tinggal berangkat“ berkata seorang diantara mereka “segalanya sudah siap”
“Baiklah“ berkata Wirantana “besok kita berangkat sebelum padukuhan ini terbangun. Kita berangkat bersama-sama dengan Manggada dan Laksana meskipun tujuan kita berbeda”
“Kedua orang anak itu akan pergi kemana?“ bertanya seorang yang lain.
“Mereka memang sedang mengembara. Mungkin mereka akan pergi ke Pajang“ jawab Wirantana.
Demikian maka Wirantanapun telah meninggalkan kedua orang itu. Sementara itu, kedua orang itu memang sudah menyiapkan segala-galanya. Bahkan senjata merekapun telah mereka siapkan. Ketika Wirantana kembali ke gandok ternyata makan malam bagi mereka telah dipersiapkan.
Setelah makan malam maka rasa-rasanya udara menjadi panas sehingga bertiga anak-anak muda itu justru duduk-duduk diserambi yang udaranya terasa lebih sejuk. Namun mereka tidak terlalu lama berada diserambi. Halaman rumah itu nampak terlalu sepi. Meskipun ada dua orang prajurit yang berjaga, juga diregol dan lima orang yang lain berada digardu meskipun dua orang diantaranya sudah berbaring karena mendapat giliran tidur disore hari, namun suasananya terasa sangat lengang.
Malam yang menjadi semakin dalam telah membuat ketiga orang itu mulai mengantuk. Tetapi rasa-rasanya mereka masih belum puas berbicara justru disaat terakhir mereka sempat melakukannya. Besok mereka sudah akan berpisah.
Tanpa mereka sadari, maka mereka telah berbicara kian kemari, termasuk membicarakan sifat-sifat Raden Panji serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Mas Rara. Namun akhirnya mereka memang menjadi mengantuk sekali menjelang tengah malam.
Karena itu, maka Wirantanapun berkata “Baiklah. Kita akan beristirahat sekarang. Besok menjelang fajar kita akan bersiap”
Manggada dan Laksanapun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah agak tertelan Manggada berkata “Aku juga sudah mengantuk”
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itupun telah membaringkan dirinya dipembaringan. Sekali-sekali mereka menguap dan menggosok mata mereka. Memang terasa sayang sekali bahwa mereka akan melewatkan saat-saat terakhir mereka bertemu hanya untuk tidur. Namun mereka tidak dapat mengelak.
Tetapi ketika mata mereka telah terpejam, maka ketiga anak muda itu telah dikejutkan oleh pembicaraan yang terjadi di halaman. Tidak terlalu keras. Namun nampaknya bersungguh-sungguh.
“Aku mengemban tugas dari Raden Panji” terdengar suara yang berat.
“Apakah kau membawa pertanda perintah itu?“ bertanya suara yang lain.
“Ada“ jawab orang yang pertama.
Wirantana memang sangat tertarik oleh pembicaraan itu. Iapun segera bangkit, memadamkan lampu dan dengan sangat berhati-hati membuka pintu bilik gandok.
Manggada dan Laksanapun telah ikut pula mengintip dari sela-sela pintu bilik gandok itu. Mereka melihat dua orang yang berdiri dihadapan salah seorang dari para prajurit yang bertugas, bahkan agaknya pemimpin kelompoknya. Sementara dua orang prajaurit yang lain, yang sudah bersiap-siap untuk beristirahat setelah tugasnya diregol digantikan oleh dua orang kawannya, berdiri termangu-mangu didepan gardu.
Ketiga orang anak muda itu melihat salah seorang dari kedua orang yang mengaku utusan Raden Panji itu telah menunjukkan sesuatu. Agaknya sebuah cincin.
“Kau tentu mengenal cincin ini. Cincin ini memang cincin pertanda perintah Raden Panji“ berkata orang itu.
Pemimpin sekelompok prajurit yang bertugas itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya “tetapi Mas Rara tentu sudah tidur”
“Tidak apa apa. Kita harus membangunkannya dan segera membawanya menghadap Raden Panji” jawab orang itu.
“Tetapi kenapa harus malam-malam begini?“ bertanya pemimpin prajurit itu.
“Jangan bodoh“ jawab orang yang membawa cincin itu.
Pemimpin prajurit yang sedang bertugas di rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun keragu-raguannyapun kemudian telah terdesak kesamping ketika utusan Raden Panji itu berkata ”Perintah Raden Panji. kami harus membawa Mas Rara. Tidak boleh ada orang yang menghalanginya”
“Terserahlah” berkata pemimpin prajurit itu “tetapi sebenarnya aku kasihan melihat gadis itu”
“Apakah kau akan melawan perintah Raden Panji?“ bertanya utusan itu.
“Tentu tidak. Ambillah“ jawabnya.
Tetapi utusan itu berkata “Kaulah yang membangunkannya dan membawanya kemari. Aku akan membawanya sampai kepada Raden Panji”
“Kau yang mendapat perintah. Lakukan perintah itu“ jawab pemimpin prajurit yang bertugas.
“Perintah Raden Panji termasuk perintah kepada kalian“ jawab utusan itu.
Tetapi pemimpin prajurit itu menggeleng. Katanya “Tentu tidak. Raden Panji hanya memerintahkan kepadamu untuk mengambil gadis itu. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau akan membawanya menghadap atau tidak”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka berkata “Baiklah. Kami akan mengambilnya”
Meskipun sebenarnya ragu-ragu, tetapi kedua orang itupun telah menuju ke pintu pringgitan. Dengan perlahan-lahan pintu itupun diketuknya. Baru setelah diulang sampai dua tiga kali, maka terdengar seorang perempuan menyapa.
“Siapa diluar?“
“Kami bibi. Mengemban perintah Raden Panji“ jawab salah seorang diantara keduanya.
“Kenapa malam-malam?“ bertanya perempuan yang ada didalam itu.
“Kami hanya mengemban perintah bi ”jawab prajurit itu.
“Bagaimana kalau besok saja?“ bertanya perempuan yang ada di dalam.
“Apakah ada diantara kita yang berani menentang perintah Raden Panji?“ prajurit itu justru bertanya.
Perempuan itupun kemudian telah membuka pintu. Sebelum orang tua itu bertanya, prajurit itu telah menunjukkan cincin yang dipakainya sambil berkata “Aku membawa pertanda pengemban perintah Raden Panji”
Perempuan tua yang melayani Mas Rara termangu-mangu. Ia menyadari apa yang akan terjadi dengan gadis yang lugu itu. Tetapi iapun mengerti, apa yang terjadi terhadap seseorang yang berani menentang perintah Raden Panji itu. Apalagi tentang seorang perempuan cantik yang telah mengguncangkan hatinya sehingga Raden Panji itu tidak sabar lagi menunggu waktu sepekan yang telah ditentukannya sendiri
Satu gejolak perasaan telah terjadi dihati perempuan tua itu. Rasa-rasanya ia memang ingin menghalangi kedua orang itu mengambil Mas Rara. Tetapi perempuan tua itu menyadari, bahwa ia tidak akan berdaya berbuat sesuatu untuk mencegahnya.
”Maaf bibi“ berkata prajurit itu “aku minta bibi membangunkannya dan membawanya kemari. Kami akan mengantar mereka kepada Raden Panji sekarang juga. Raden Panji sudah berpesan agar aku segera kembali sambil membawa Mas Rara bersamaku. Raden Panji sudah mengancam, jika aku gagal, maka leherku akan menjadi taruhan”
Perempuan tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “ Itulah biliknya”
“Bawa gadis itu kemari“ berkata kedua orang itu hampir berbareng.
Tetapi perempuan tua itu menggeleng lemah. Katanya ”Kau ambil gadis itu sendiri, Aku tidak sampai hati membangunkannya dan memberitahukannya bahwa ia diperlukan Raden Panji sekarang juga, sementara masih ada tenggang waktu sepekan dengan hari pernikahan yang ditentukan sendiri oleh Raden Panji”
Kedua orang itu menjadi tegang. Namun ia tidak akan dapat memaksa perempuan tua itu untuk membangunkan Mas Rara. Sementara waktunya sudali menjadi terlalu lama. Raden Panji yang memberikan perintah langsung kepada kedua orang itu nampaknya tidak sabar lagi menunggu.
Karena itu, maka keduanyapun telah menyingkirkan perasaannya sendiri yang justru berlawanan dengan tugas yang harus diembannya. Seorang diantara mereka berkata ”Aku akan membangunkannya”
Orang itu telah mendekati pintu bilik Mas Rara. Namun sebenarnyalah keragu-raguan masih saja mencengkamnya. Ketika diluar sadarnya prajurit itu menyentuh pintu, maka iapun tahu bahwa pintu bilik itu telah diselarak dari dalam.
Perlahan-lahan orang itu mengetuk pintu sambil berdesis “Mas Rara, Mas Rara”
Beberapa saat orang itu mengetuk pintu, namun sama sekali. tidak terdengar jawaban. Karena itu, maka prajurit itu mengetuk semakin keras.
“Mas Rara” panggil prajurit itu.
Mas Rara sebenarnya memang sudah terbangun. Tetapi ia justru menjadi ketakutan. Yang terdengar diluar pintu adalah suara laki-Iaki.
“Mas Rara“ berkata prajurit yang membangunkannya itu “aku membawa pesan Raden Panji. Pesan yang sangat penting bagi Mas Rara”
Mas Rara masih saja ragu-ragu. Namun karena pintu itu diketuk lagi, maka iapun bertanya “Siapa diluar?“
Prajurit yang mendapat tugas untuk menjemput Mas Rara itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata “Kami adalah utusan Raden Panji. Jika Mas Rara ragu-ragu, maka silahkan membuka pintu. Kami akan menunjukkan pertanda perintah dari Raden Panji”
“Kenapa tidak besok saja?“ bertanya Mas Rara.
“Pesan itu sangat penting Mas Rara” jawab prajurit itu ”aku persilahkan Mas Rara melihat cincin itu. Mas Rara tentu akan yakin, bahwa kami adalah utusan Raden Panji”
Mas Rara memang tidak dapat berbuat lain. Ia menyadari, bahwa dirinya bagaikan seekor kelinci didalam kandang seekor harimau yang ganas. Ketika prajurit itu mengetuk pintunya lagi, maka Mas Rara pun telah membukanya.
Diluar pintu ia melihat dua orang prajurit berdiri termangu-mangu. Beberapa langkah dibelakangnya, orang tua yang melayaninya berdiri tegak dan tubuh gemetar. Demikian pintu terbuka, maka perempuan tua itu telah berlari memeluknya. Diluar sadarnya, terasa air mata perempuan tua itu menitik dibahunya.
“Bibi“ desis Mas Rara.
Perempuan tua itu tidak menjawab sama sekali. Tetapi kedua orang prajurit itulah yang kemudian mengangguk hormat.
Mas Rara berdiri tegak memandangi kedua orang prajurit yang menunduk itu. Meskipun keduanya belum mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi Mas Rara seakan-akan sudah tahu apa yang akan dilakukan Raden Panji atas dirinya.
Namun kemudian salah seorang dari kedua prajurit itu betapapun segannya, terpaksa mengatakan “Mas Rara. Kami adalah utusan Raden Panji. Kami membawa pertanda perintah. Kami ditugaskan untuk mempersilahkan Mas Rara bersama-sama dengan kami menghadap Raden Panji”
Meskipun Mas Rara sudah menduga, namun ketika kedua orang prajurit itu menyampaikan perintah Raden Panji, jantungnya masih juga berdentangan keras sekali.
Perempuan tua yang kemudian melepaskan pelukannya itupun berdiri dengan cemasnya disisi Mas Rara. Sudah beberapa kali ia menyaksikan perempuan yang menjadi isteri Raden Panji. Namun perasaannya terasa lain ketika ia berhadapan dengan Mas Rara. Apalagi jika ia melayani seorang perempuan yang tamak dan sombong.
Maka ia sama sekali tidak merasa tersentuh melihat saat-saat seperti yang sedang terjadi itu. Ia merasa sangat benci kepada perempuan yang menyambut perintah Raden Panji itu dengan sangat gembira dan penuh harapan.
Namun ternyata bahwa sikap Mas Rara itu berbeda. Pada saat yang sangat gawat itu, ia justru menemukan keberanian yang sudah terlepas dari dirinya sejak ia dinyatakan akan menjadi isteri Raden Panji. Pribadinya yang serasa hilang itu tiba-tiba pula telah bangkit kembali didalam dirinya. Bahwa tubuhnya rasa-rasanya tidak menjadi miliknya lagi, dengan serta merta telah tersentak dari relung jantungnya.
Karena itu, maka Mas Rara itu dengan tengadah berkata “Katakan kepada Raden Panji, bahwa aku tidak dapat menghadap sekarang. Kecuali hari telah larut malam, katakan bahwa aku sedang sakit”
“Tetapi perintah Raden Panji mawanti-wanti” berkata prajurit itu “jika aku kembali tanpa Mas Rara, maka aku akan mendapat hukuman yang sangat berat. Bahkan mungkin aku akan dihukum mati”
“Kau tidak bersalah“ berkata Mas Rara “perintahnya telah sampai kepadaku. Tetapi akulah yang menolaknya. Bukan kalian berdua”
“Benar Mas Rara. Tetapi apakah aku dapat meyakinkan Raden Panji bahwa Mas Rara menolak perintah itu?“ desis prajaurit itu.
“Apakah kau akan membawa cincinku untuk meyakinkan Raden Panji?“ bertanya Mas Rara.
“Tidak Mas Rara. Bukan cincin itu. Yang penting kami mengharap Mas Rara menghadap Raden Panji. Apapun yang akan dilakukan Raden Panji benar-benar diluar tanggung jawab kami. Jika kami melakukannya, itu semata-mata karena kamipun merasa takut untuk menolak perintah itu“ berkata prajurit yang menjadi gelisah itu.
“Katakan kepada Raden Panji, bahwa kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Dan katakan pula bahwa akulah yang menolak perintahnya. Jika Raden Panji marah dan akan menjatuhkan hukuman, biarlah aku yang dihukum. Hukuman mati sekalipun“ jawab Mas Rara. Lalu katanya pula “Sampaikan kepada Raden Panji bahwa aku menolak kemauannya. Aku baru akan menjadi isterinya sepekan lagi."
Wajah kedua utusan itu menjadi tegang. Mereka tidak mengira bahwa Mas Rara akan menolak perintah yang diberikan Raden Panji. Secara kebetulan, seorang diantara mereka juga melakukan perintah yang sama atas isteri Raden Panji yang ke lima. Tapi perintah itu tidak ditolaknya. Utusan itu tidak tahu perasaan apa yang bergejolak di hati perempuan itu.
Tapi perempuan itu tampaknya merasa bangga sekali. Baru beberapa hari kemudian pernikahannya akan berlangsung. Namun keluarga itu tidak lama tampak utuh. Beberapa bulan kemudian hubungan mereka mulai retak dan nasib isteri kelima itu menjadi kurang baik.
Tetapi sekarang, seorang perempuan dari padukuhan Nguter telah berani menentang perintah Raden Panji. Bahkan menentang untuk menerima hukuman mati sekalipun. Ketika keduanya masih termangu-mangu, Mas Rara yang seakan-akan telah menemukan dirinya kembali itu berkata.
“Ki Sanak, kembalilah. Aku masih letih. Aku masih ingin tidur lagi”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun seorang diantara mereka berkata “Tidak Mas Rara. Aku harus kembali menghadap Raden Panji bersama Mas Rara”
“Aku tidak mau“ bentak Mas Rara.
“Kami juga tidak berani kembali tanpa Mas Rara“ sahut yang seorang lagi.
“Terserah pada kalian. Tapi aku tidak akan pergi“ jawab Mas Rara.
Kedua orang itu menjadi bingung. Dengan gagap, seorang diantara mereka berkata “Tidak. Mas Rara harus pergi”
“Aku tidak mau“ jawab Mas Rara tegas.
“Kami akan memaksa Mas Rara“ utusan yang kehilangan akal itu mulai mengancam.
Wajah Mas Rara jadi makin tegang. Dengan suara bergetar ia berkata “Kau tahu siapa aku? Kau tidak akan dapat menakut-nakuti aku. Aku adalah calon isteri Raden Panji. Jika kalian berani menentang perintahku, itu berarti kalian berani menentang Raden Panji”
Kedua orang itu memang menjadi bimbang. Tetapi ketakutan yang bergejolak di jantung mereka ternyata lebih berat dibanding keragu-raguan mereka, sehingga seorang diantara mereka berkata “Raden Panjilah yang memerintahkan kami datang kemari. Karena itu, yang kami lakukan adalah atas nama dan atas kuasanya. Karena itu, jangan menentang kami”
Debar jantung Mas Rara bagaikan semakin cepat berdegup. Tapi ia masih berkata lantang ”Pergi. Jangan mencoba mengganggu aku. Jika Raden Panji mengetahuinya, kalian akan dihukum gantung”
“Kami mengemban perintah Raden Panji“ ulang salah seorang dari mereka.
Tetapi Mas Rara tetap pada pendiriannya. Katanya ”Aku tidak mau. Jika kau akan memaksakan, kalian akan menyesal. Aku dapat mengatakan hitam atau putih tentang kalian kepada Raden Panji. Aku dapat mengatakan bahwa kalian telah memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingan dan kesenangan kalian sendiri”
“Gila“ wajah orang-orang itu menjadi marah. Seorang diantara mereka berkata “Kami akan melakukannya dihadapan saksi-saksi, para prajurit yang bertugas di tempat ini akan menjadi saksi apa yang telah kami lakukan. Mereka akan mengatakan sesuai dengan apa yang mereka lihat”
Wajah Rara Wulan jadi panas. Ternyata orang-orang itu tidak lekas menjadi ketakutan. Namun ia sudah bertekad untuk tidak mau pergi mengikuti keduanya. Karena itu, Rara Wulan berkata ”Aku tidak peduli. Tapi aku tidak mau. Jika kalian coba menjamah kulitku dan menjadi kotor, Raden Panji tentu tidak akan memaafkan kalian lagi”
Kedua orang itu memang berpikir. Namun seorang diantara mereka tiba-tiba saja telah mencabut pedangnya sambil berkata ”Mas Rara harus pergi. Aku memiliki wewenang penuh untuk melakukan apa saja sampai Mas Rara berhasil aku bawa menghadap Raden Panji”
“Termasuk membunuh aku?“ tanya Mas Rara.
Orang yang memegang pedang itu menjadi makin bingung. Ternyata Mas Rara sama sekali tidak menjadi gentar melihat ujung pedang yang tajam runcing itu. Bahkan sambil menengadahkan dadanya ia berkata “Marilah. Jika itu perintah Raden Panji, lakukanlah”
Sejenak kedua orang itu tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Sementara itu, perempuan tua yang melayani Mas Rara menjadi sangat ketakutan. Ketika seorang diantara kedua utusan Raden Panji itu mengacungkan pedangnya, perempuan itu bergeser mendekati Mas Rara.
Karena kedua orang itu tidak segera berbuat sesuatu, sekali lagi Mas Rara berkata “Ayo, bunuh aku jika kau berani melakukannya. Nanti bawa tubuhku menghadap Raden Panji. Kau tentu akan menerima hadiah yang sangat besar, atau lehermu akan dipenggal di halaman rumah Raden Panji untuk dijadikan pangewan-ewan. Kepalamu akan dijadikan peringatan bagi orang-orang yang berani pada calon isterinya. Jika hal seperti ini kau lakukan dua tiga bulan lagi, setelah aku benar-benar jadi isterinya, mungkin kau akan naik pangkat. Tapi jika sekarang kau lakukan, berarti kau akan membunuh diri”
Kedua orang itu benar-benar menjadi bingung. Tampaknya Mas Rara terlalu yakin akan dirinya. Seakan-akan dalam waktu singkat Mas Rara telah berubah sama sekali. Bukan lagi seorang perempuan lembut, penurut dan tanpa berani mengangkat wajahnya dihadapan seseorang. Namun tiba-tiba ia dapat menjadi garang dan menantang ujung pedang.
Perempuan tua yang melayaninya menjadi sangat heran. Kekuatan apa yang telah menggerakkan Mas Rara untuk berbuat demikian. Namun dalam kebingungan dan tanpa dapat melihat jalan keluar yang lebih baik, kedua orang itu telah melakukan kekerasan. Memang tidak menusuk jantung Mas Rara dengan pedang. Justru senjata tajam yang sudah dicabut itu disarungkan kembali. Keduanya kemudian memaksa Mas Rara untuk mengikutinya.
Seorang diantara mereka telah memegang lengan gadis itu dan menariknya sambil berkata “Aku tidak tahu apakah jalan ini yang terbaik. Tetapi aku tidak mau mendapat hukuman karena perempuan yang keras kepala ini”
Ketika Mas Rara meronta, yang seorang lagi telah membantunya, memegangi lengannya yang satu lagi. Mas Rara, seorang gadis lembut dan lugu, tidak dapat mengatasi kekuatan kedua orang prajurit itu. Tangannya yang kasar dan tenaganya yang besar, telah menyeret Mas Rara dari ruang dalam.
Mas Rara tidak mengira bahwa ia akan mendapat perlakuan sangat kasar. Sementara itu, perempuan tua yang melayaninya telah memeluk dan menahannya sambil berkata “Lepaskan. Lepaskan. Kau akan digantung besok jika kau berani berbuat kasar terhadap calon isteri Raden Panji”
Tapi bagi kedua orang itu, berbuat kasar tentu akan lebih baik daripada tidak membawa Mas Rara sama sekali. Apalagi Raden Panji telah mengancam, apapun alasannya, ia tidak mau mendengarkan jika mereka datang tanpa Mas Kara. Ketakutan akan pesan itulah yang telah membuat kedua utusan itu kebingungan dan tidak dapat melihat jalan keluar.
Ketika keduanya menarik Mas Rara keluar ruang dalam, Mas Rara menjerit hingga suaranya yang melengking telah mengejutkan semua orang yang ada di lingkungan rumah itu. Beberapa orang prajaurit berlari-larian ke pendapa, ketika mereka melihat kedua utusan Raden Panji itu keluar dari pintu pringgitan.
“Apa yang terjadi?” tanya pemimpin prajurit yang bertugas sambil mengacungkan tombaknya.
“Aku harus membawa gadis itu menghadap Raden Panji. Beliau yang memerintahkan. Tidak ada alasan untuk mengelakkan perintah itu. Malam ini, Mas Rara harus dihadapkan padanya. Tapi Mas Rara menolak, sehingga kami harus memaksanya. Karena itu, aku minta dua orang diantara kalian pergi bersama kami untuk menjadi saksi bahwa kami melakukan atas perintah Raden Panji dan tidak mengkhianatinya sama sekali“ berkata salah seorang dari kedua utusan itu.
Para prajurit itu termangu-mangu. Seorang diantara mereka bertanya “Apakah tindakan ini tidak membuat Raden Panji marah?“
“Kami sudah mendapat wewenang. Dengan cara apapun juga, Mas Rara harus dihadapkan padanya malam ini juga“ berkata salah seorang dari utusan itu. Katanya lagi “Karena itu, bantu aku agar tugas ini dapat kami selesaikan dengan baik, sehingga kita semuanya tidak mendapat hukuman besok pagi”
Para prajurit itu termangu-mangu. Namun mereka yakin bahwa kedua orang itu memang utusan Raden Panji, menilik pertanda yang mereka bawa. Dengan demikian, keduanya telah bertindak atas nama Raden Panji.
Dalam keragu-raguan itu, Mas Rara meronta sekali lagi. Demikian tiba-tiba hingga kedua orang prajurit yang memeganginya terkejut. Mas Rara memang dapat melepaskan diri. Tapi ia tidak sempat berlari turun dari pendapa. Tangan-tangan yang kuat itu telah menggapainya lagi. Bahkan kemudian tangan-tangan kasar itu memeganginya lebih erat di lengannya, sehingga lengan Mas Rara terasa sakit. Sekali lagi Mas Rara menjerit. Tapi suaranya bagaikan hilang ditelan geiapnya malam.
Namun dalam pada itu, Wirantana, Manggada dan Laksana telah berdiri di halaman rumah itu, Dengan sigapnya mereka meloncat naik ke pendapa Dengan geram Wirantana bertanya ”Apa yang kalian lakukan atas adikku?“
“Kami mengemban tugas dari Raden Panji” berkata utusan itu sambil menunjukkan cincin pertanda kekuasaan Raden Panji.
Wirantana, Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Wirantana telah bertanya kepada Mas Rara “Apa yang mereka kehendaki?“
“Aku tidak mau. Aku tidak mau“ teriak Mas Rara.
Sedangkan perempuan tua yang melayani Mas Rara itupun telah berada di pendapa rumah itu dengan wajah yang tegang.
“Ki Sanak“ berkata Wirantana kemudian “Mas Rara datang ke rumah ini karena permintaan Raden Panji. Mas Rara itu dalam waktu sepekan lagi akan menjadi isteri Raden Panji. Kenapa sekarang kau perlakukan seperti itu?“
“Kami mengemban tugas. Kami harus membawa Mas Rara menghadap Raden Panji sekarang ini. Seharusnya Mas Rara tidak menolaknya, sehingga tidak akan terjadi sesuatu” berkata salah seorang dari mereka yang membawa Mas Rara itu.
“Tetapi bukankah kau dapat mengatakan kepada Raden Panji bahwa Mas Rara berkeberatan untuk menghadap malam ini?“ sahut Wirantana.
“Kau belum mengenal Raden Panji dengan baik. Tetapi kau seharusnya sudah tahu, meskipun kau baru mengenal beberapa saat, bahwa bagi Raden Panji, tidak akan pernah mau mendengarkan jawaban seperti itu” berkata orang itu selanjutnya.
“Jadi, dianggap apa adikku itu? Apakah ia tidak dianggap sebagai seseorang yang mempunyai perasaan, yang mempunyai kehendak dan harga diri? Ia baru akan menjadi isteri Raden Panji sepekan lagi” berkata Wirantana. Lalu katanya ”Apapun yang akan dilakukannya malam ini, namun Mas Rara harus mendapat hak untuk bersedia atau tidak bersedia datang. Jika Mas Rara tidak bersedia datang, maka tidak ada orang yang dapat memaksanya”
“Raden Panji dapat memaksanya“ jawab orang itu.
“Tidak“ geram Wirantana tegas.
“Jadi kau berani melawan Raden Panji?“ bertanya orang itu kemudian.
“Tidak. Aku tidak berani melawan Raden Panji, tetapi akupun tidak rela adikku kehilangan haknya untuk menentukan kehendaknya dan mempertahankan harga dirinya“ jawab Wirantana.
“Cukup“ orang yang membawa Mas Rara itu menjadi semakin marah “Minggir, atau kau akan mendapat hukuman dari Raden Panji. Ketahuilah, Raden Panji tidak pernah tanggung-tanggung jika ia memberikan hukuman kepada seseorang yang telah berani melawan kehendaknya”
“Hukuman sepantasnya hanya diberikan kepada orang-orang yang bersalah. Tidak kepada orang-orang yang mempertahankan haknya” jawab Wirantana.
“Raden Panji tidak akan mempedulikan, apakah ia bersalah atau tidak. Tetapi semua orang yang menentang kehendaknya, ia akan dihukum. Termasuk Mas Rara. Karena itu, maka biarlah Mas Rara datang memenuhi perintah Raden Panji” jawab orang itu.
Wirantana tiba-tiba telah menjadi garang pula. Gejolak perasaannya ternyata tidak dapat dikendalikan lagi. Apalagi sikap kedua orang itu justru menjadi semakin kasar terhadap Mas Rara. Seorang diantaranya seakan-akan telah menyeretnya sementara yang lain berdiri menghadapi Wirantana, Manggada dan Laksana. Dengan lantang Wirantana berkata “Lepaskan adikku”
“Kau gila. Raden Panji mempunyai wewenang untuk menghukum mati kepada siapa saja yang dianggapnya menghalangi tugasnya” berkata orang itu.
“Wewenang dari siapa?” bertanya Wirantana. Lalu katanya “kalau wewenang itu diberikan oleh ayah dan ibunya, maka itu tidak akan mempunyai nilai sama sekali untuk ditrapkan dalam tugas-tugasnya sebagai seorang prajurit”
”Tutup mulutmu. Raden Panji mendapat tugas dari Kangjeng Sultan di Pajang untuk mengamankan daerah ini dari kekuasaan para penjahat dengan wewenang untuk memberikan hukuman mati kepada siapa saja yang berani menentangnya” berkata orang itu.
“Jika demikian, kaulah yang gila. Atau Raden Panji itulah yang sudah menjadi gila“ Wirantana benar-benar telah kehilangan pengekangan diri.
Kedua orang prajurit yang mengambil Mas Rara itu terkejut. Mereka tidak menduga, sama sekali, bahwa kata-kata yang keras itu akan terlontar dari mulut seseorang apalagi dari sebuah padukuhan yang jauh.
Dengan lantang seorang diantara mereka berkata “Kau sudah benar-benar menjadi jenuh untuk hidup. Kau akan digantung sebagaimana para penjahat yang telah tertangkap”
“Wewenang untuk menghukum mati hanya diberikan kepada Raden Panji dalam tugasnya memberantas kejahatan. Tidak untuk kepentingan diri sendiri, apalagi untuk memaksa perempuan-perempuan muda menjadi isterinya yang ke enam, ketujuh bahkan kelak isterinya yang ke seratus. Apalagi memaksa seorang perempuan yang bukan isterinya datang kepadanya di malam hari seperti ini“ suara Wirantana tidak kalah lantangnya.
“Tutup mulutmu“ bentak prajurit itu “atas nama Raden Panji dengan wewenang yang diberikan kepadaku, jangan ganggu tugasku. Atau aku akan mempergunakan wewenangku”
“Aku tidak akan mengganggumu jika kau tidak mengganggu adikku“ Wirantana membentak pula.
“Aku melakukan perintah Raden Panji“ orang itu berteriak.
Tetapi Wirantanapun berteriak pula “Jika demikian, jika kalian telah menjadi budak-budak yang mati, katakan, Raden Panji tidak boleh mengganggu adikku“
Wajah kedua orang prajurit itu menjadi merah. Namun dengan demikian, mereka telah memusatkan perhatian mereka kepada Wirantana. Dalam kesempatan itu, Mas Rara telah menghentakkan tangannya dan merenggutnya dari pegangan prajurit itu.
Demikian tiba-tiba dan diluar dugaan, sehingga sejenak kemudian tangan Mas Rara telah terlepas. Keberanian Mas Rara benar-benar telah tumbuh tanpa segera berlari kearah Wirantana dan seakan-akan bersembunyi di belakang punggungnya.
Kemarahan kedua orang prajurit yang mengemban tugas Raden Panji itu sudah sampai ke puncak. Kemarahan mereka telah dilandasi pula oleh perasaan takut jika mereka gagal menjalankan perintah. Seandainya mereka tidak dapat membawa Mas Rara menghadap Raden Panji, maka Raden Panji tentu akan menjadi kehilangan kesabaran sebagaimana sering dilakukannya. Keduanya tentu akan mengalami nasib yang sangat buruk. Apalagi tugas mereka adalah tugas yang sangat mudah. Membawa seorang per-empuan menghadp Raden Panji. Hanya itu.
Karena itu, maka seorang diantara mereka berkata “Aku masih ingin memperingatkan kalian sekali lagi. Aku tengah mengemban perintah Raden Panji. Bahkan lebih dipercaya untuk membawa pertanda kuasanya. Cincin jabatannya. Jika kalian masih menghalangi tugasku ini, maka aku akan mempergunakan kekerasan. Seperti Raden Panji, maka aku berwenang untuk membunuh seorang yang melawan perintahnya, karena seseorang yang melawan perintah Raden Panji yang berkuasa atas nama Kanjeng Sultan adalah pengkhianat”
“Aku tidak berkeberatan disebut pengkhianat oleh Raden Panji karena mencegah tingkah lakunya yang tidak pantas serta menerapkan wewenang yang tidak sewajarnya atas seorang gadis yang tidak berdaya seperti Mas Rara. Meskipun Mas Rara sudah ditetapkan menjadi bakal isteri Raden Panji, tetapi baru sepekan lagi ia sah menjadi isterinya. Baru sepekan lagi Mas Rara wajib tunduk atas segala kemauan Raden Panji. Tetapi tidak sekarang”
“Cukup...!“ bentak prajurit itu “aku memang harus menyumbat mulutmu”
“Kedua prajurit itu tiba-tiba saja telah bergerak. Sementara itu Manggada dan Laksanapun telah bergerak pula. Mereka sama sekali tidak lagi menghiraukan kemungkinan hukuman yang tidak terbayangkan karena kemarahan Raden Panji. Tetapi kedua anak muda itu merasa wajib membela Wirantana.
“Lindungi adikku“ berkata Wirantana sambil mendorong adiknya kepada Manggada dan Laksana.
Namun Manggadapun berkata ”Jaga Mas Rara baik-baik” Laksana tidak sempat menjawab. Tetapi iapun bergeser mendekati Mas Rara ketika Manggada bergeser maju dan berdiri disisi Wirantana.
Kedua prajurit yang marah itu tidak berpikir panjang lagi. Dengan serta merta keduanya telah menyerang Wirantana dan Manggada, sehingga sejenak kemudian merekapun telah bertempur dengan sengitnya.
Keributan itu telah menimbulkan kebingungan beberapa orang prajurit yang bertugas meronda. Mereka berdiri termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka mengerti bahwa kedua orang kawannya itu sekedar menjalankan perintah. Tetapi merekapun tahu, kenapa Wirantana, kakak Mas Rara berkeras untuk mencegah tindakan kedua orang prajurit itu.
Sementara itu, ternyata kemampuan Wirantana dan Manggada untuk bertempur seorang lawan seorang, jauh lebih tinggi dari kedua prajurit itu. Dengan demikian, maka dalam waktu singkat, maka kedua orang prajurit itu sudah terdesak. Namun dalam pada itu, salah seorang prajurit, yang mengenakan cincin pertanda kekuasaan Raden Panji itu berteriak.
“Para prajurit yang bertugas, Atas nama Raden Panji, kalian aku perintahkan untuk menangkap ketiga orang itu serta Mas Rara”
Para prajurit masih juga ragu-ragu. Ada diantara mereka yang memang merasa kasihan kepada Mas Rara. Namun ternyata ketika prajurit yang memakai pertanda kuasa Raden Panji itu menyebut namanya, maka prajurit-prajurit itupun menjadi cemas tentang nasib mereka sendiri. Karena itu, maka merekapun mulai bergerak kependapa. Empat orang bersama-sama. Namun Wirantana dan Manggada pun telah siap menyambut mereka.
Ketika kemudian mereka terlibat dalam perkelahian, maka Laksana tidak dapat tinggal diam. Iapun telah terjun pula kedalam lingkaran perkelahian. Sementara itu mereka bertigalah yang kemudian berusaha untuk melindungi Mas Rara yang ketakutan.
Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa kedua orang yang dikirim oleh Ki Jagabaya untuk melayani kereta berkuda itupun telah tanggap akan keadaan. Mereka dengan cepat telah mengemasi pedati berkuda mereka.
Wirantana, Manggada dan Laksana yang bertempur melawan beberapa orang sekaligus itu memang mengalami kesulitan, justru karena Mas Rara menjadi sangat ketakutan. Karena itu maka yang mereka lakukan kemudian adalah bergeser turun ke halaman sambil membawa Mas Rara diantara mereka.
Pada saat itulah, pedati yang ditarik kuda itu telah memasuki halaman pula. Dengan cambuk yang panjang yang diputar dan dihentak-hentakkan sendal pancing, maka beberapa orang justru telah menyibak.
“Cepat, masuk” berkata kedua orang yang melayani pedati itu hampir bersamaan.
Salah seorang diantara kedua orang itulah yang kemudian menolong Mas Rara masuk, sementara Manggada dan Laksana telah menghadangi setiap orang yang berusaha mendekat. Wirantana masih bertempur dengan sengitnya. Namun kemudian iapun mulai bergerak, bergeser sejalan dengan gerak pedati menuju ke regol.
Dua orang prajurit masih berada di regol. Merekapun segera berusaha menghadangi usaha Wirantana melarikan adiknya. Tetapi Wirantana telah menyerang keduanya sehingga seorang diantara mereka terdesak keluar. Sementara yang lain harus bergeser menjauh ketika cambuk sais pedati yang ditarik kuda itu menghentak-hentakkan cambuknya dengan keras.
Demikian pedati berkuda itu lolos, maka Wirantana yang meloncat naik segera bertindak ”Manggada, Laksana, cepat naik”
Kedua orang anak muda itupun telah meloncat naik pula. Para prajurit yang berlari-lari memang berusaha untuk mengejar mereka. Semua prajurit yang ada di halaman rumah yang dipergunakan oleh Mas Rara. Beberapa diantara mereka yang semula masih bermimpi, bukan saja karena mereka terbangun dan terkejut, tetapi merekapun tidak dapat sepenuhnya melakukan perintah kawannya yang membawa cincin kekuasaan Raden Panji, karena mereka menganggap Mas Rara masih terlalu muda untuk mengalami nasib yang buruk.
Tetapi kemudian mereka kemudian tidak dapat ingkar akan tugas mereka. Mereka juga tidak mau mendapatkan hukuman dari Raden Panji karena mereka tidak membantu para prajurit kepercayaannya yang justru memakai cincin kuasanya.
Wirantana, Manggada dan Laksana telah bersiap sepenuhnya. Kedua orang yang melayani pedati itupun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Pedati itu meskipun ditarik oleh kuda, tetapi tidak dapat berlari terlalu cepat. Sementara Wirantana, Manggada dan Laksana tidak sempat mengambil seekor kudapun meskipun dibelakang terdapat beberapa ekor kuda.
Lebih dari sepuluh orang prajurit telah mengejar mereka. Sementara itu, seorang prajurit yang lain telah berlari minta bantuan prajurit berkuda yang ada di padukuhan itu. Jalan yang kurang menguntungkan, serta Mas Rara yang beberapa kali memekik kecil oleh guncangan-guncangan roda pedati yang menginjak batu-batu padas, membuat pedati itu semakin lambat.
Para prajurit yang berlari itu ternyata semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka telah mengacu-acukan senjata mereka sambil berteriak-teriak. Tetapi yang tidak diduga telah terjadi pula. Beberapa orang berkuda telah muncul dari tikungan. Dengan serta merta orang-orang berkuda itu justru telah menyerang para prajurit yang sedang mengejar pedati itu.
Dengan demikian pertempuranpun telah terjadi, Namun memang tidak terlalu lama. Orang-orang berkuda, yang jumlahnya hanya ampat orang itu ternyata mampu menahan sepuluh orang yang mengejai pedati itu. sehingga jaraknya menjadi semakin jauh. Bahkan kemudian pedati itu telah keluar dari padukuhan menyusuri jalan-jalan bulak.
Dalam kegelapan malam, pedati itu meluncur terguncang-guncang menjauhi padukuhan yang dipergunakan oleh Raden Panji sebagai landasan kekuatannya untuk mengawasi daerah yang luas. Tetapi tidak semua prajurit Raden Panji berada di padukuhan itu.
Beberapa kelompok justru tersebar untuk mengawasi keadaan serta untuk menegakkan kekuasaan yang diberikan oleh Pajang kepadanya. Sepuluh orang yang mengejar mereka sudah tidak nampak lagi. Apalagi gelap malam memang telah menghalangi pandangan mata mereka.
Tetapi beberapa saat kemudian, Wirantana, Manggada dan Laksana terkejut. Mereka mendengar derap kaki kuda. Dan bahkan dalam keremangan malam di bulak yang terbuka luas, mereka melihat empat orang penunggang kuda menyusul mereka.
Ketiga orang anak muda itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang dikehendaki oleh empat orang berkuda itu. Apakah mereka benar-benar ingin menolong atau sebaliknya, mereka menghendaki Mas Rara. Jika mereka berhasil menguasai Mas Rara maka masih ada kemungkinan bagi mereka untuk memeras Raden Panji.
Sementara Raden Panji tentu ingin mendapatkan Mas Rara. Tidak sebagai calon isterinya, tetapi sebagai seorang buruan yang harus dihukum berat. Mungkin Raden Panji masih menghendaki Mas Rara sebagai seorang gadis. Tetapi tentu tidak lagi sebagai isterinya kelak setelah Mas Rara berusaha melarikan diri dan apalagi melawan perintahnya.
Bagaiamanapun sais pedati itu melecut kudanya, namun kuda yang menarik pedati itu memang tidak dapat berlari cepat. Sehingga dengan demikian, maka keempat orang berkuda itu semakin lama menjadi semakin dekat.
Seorang diantara mereka yang berkuda itu bergerak maju lebih cepat dari kawan-kawannya sehingga beberapa saat kemudian telah berada hanya beberapa langkah dibelakang pedati itu.
“Berhenti“ teriak orang itu “berhentilah. Aku ingin berbicara dengan kalian”
Pedati itu tidak juga berhenti. Sementara orang itu sekali lagi berteriak “Berhenti. Apakah kalian tidak mengenal aku lagi?“
Malam memang gelap. Wirantana, Manggada dan Laksana yang juga berada didalam pedati itu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
“Pedati itu terlalu berat membawa beban enam orang. Karena itu, maka pedati itu tidak dapat berlari lebih cepat. Berhentilah“ orang itu masih berteriak.
Pedati itu masih saja berlari. Namun roda pedati yang lebih berat dari roda kereta biasa itu, serta enam orang yang ada didalam-nya benar-benar telah membebani tenaga kuda yang menariknya. Ketika roda pedati itu terperosok kedalam lumpur, maka pedati itu tertahan sejenak. Mas Rara telah menjerit oleh goncangan yang tiba-tiba itu, sehingga gadis itu terkejut bukan buatan.
Kuda-kuda yang menarik pedati itu memang segera dapat mengangkat roda yang terperosok tidak begitu dalam itu. Namun dua orang penunggang kuda telah berhasil menggapai kendali kuda penarik pedati itu dan menghentikannya.
Sais yang mengemudikan pedati itu ragu-ragu. Meskipun cambuknya telah siap terayun, namun kedua orang sais itu masih ragu-ragu untuk menyerang meskipun keretanya sudah berhenti. Wirantana, Manggada dan Laksana telah berloncatan turun. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dua orang penunggang kuda yang tidak memegangi kendali kuda dan masih berada dibelakang pedati itupun telah meloncat turun pula. Seorang diantara mereka telah melangkah maju. Dengan nada rendah orang itu bertanya “kau benar-benar tidak mengenal aku lagi?“
Ketiga orang anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun dalam jarak yang semakin dekat ketiganya dapat melihat lebih jelas meskipun malam cukup gelap. Tetapi di tempat terbuka maka cahaya bintang dilangit, membuat malam menjadi remang-remang.
Akhirnya ketiga orang anak muda itu mengangguk-angguk. Wirantanalah yang menyahut “Ya. Kami mengenal Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak orang yang duduk disebelah kami kemarin siang ketika Raden Panji datang menjumpai Mas Rara?“
“Tepat“ jawab orang itu.
“Sekarang, apakah yang Ki Sanak kehendaki?“ bertanya Wirantana.
“Sebaiknya kalian lebih cepat meninggalkan padukuhan ini. Agar pedati itu tidak terlalu berat, pakailah kuda-kuda kami,. Tetapi ingat, jika segala sesuatunya sudah selesai, maka kuda itu harus kalian kembalikan kepada kami“ berkata orang itu.
Satu hal yang sama sekali tidak terduga. Namun Wirantana yang sedang menghadapi kesulitan itu tidak sempat berpikir panjang. Apalagi orang itupun berkata. “Cepat. Tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi, pasukan berkuda tentu akan menyusul kalian, jika kalian terlambat”
Anak-anak muda itu tidak berpikir panjang lagi. Meskipun segera menerima ampat ekor kuda, Wirantana, Manggada, Laksana dan seorang dari kedua orang sais itu. Mereka berdua akan bergantian mengemudikan pedati yang menjadi semakin ringan itu.
Namun Manggada sempat juga bertanya “Lalu bagaimana dengan Ki Sanak”
“Jangan pikirkan aku” jawab orang itu.
“Tetapi Ki Sanak telah melawan para prajurit yang mengejar kami“ berkata Manggada.
“Mereka tidak mengenal kami. Malam cukup gelap, sementara kami tidak membiarkan mereka sempat melihat wajah kami dengan jelas. Para prajuritpun tidak akan mengira bahwa kami, yang tinggal disekitar rumah itu, akan melakukan perlawanan seperti ini“ jawab orang itu.
Demikianlah, maka Wirantana dan yang lainpun telah melanjutkan perjalanan mereka yang mendebarkan. Mereka sadar, bahwa prajurit berkuda tentu akan mengejar mereka. Namun rasa-rasanya perjalanan mereka memang menjadi lebih cepat. Pedati kuda yang menjadi semakin ringan itu dapat melaju meskipun justru terguncang-guncang. Sekali-sekali Mas Rara memekik bukan saja ketakutan, tetapi juga kesakitan.
Ketiga orang anak muda yang berpacu disebelah dan belakang pedati itu, setiap kali mendengar pekik Mas Rara yang berpegangan tiang-tiang pedati itu kuat-kuat. Manggada yang mendekati Wirantana itupun kemudian berkata “Kau naik saja menemani Mas Rara. Biarlah kami berkuda dibelakang pedatimu.
“Lalu kuda ini?“ bertanya Wirantana.
“Sangkutkan kendalinya pada tiang pedati itu“ jawab Manggada.
“Terlalu pendek“ desis Wirantana kemudian.
Sais pedati itu ternyata menyahut pula “Disini ada tambang sabut kelapa”
Sais itu telah memberikan tambang itu kepada Wirantana. Namun Wirantanapun berkata “Berhentilah sebentar”
Kereta itu memang berhenti. Hanya sebentar. Selama Wirantana mengikat kendali kudanya dengan tali dan mengikatkan ujung tadi yang lain pada tiang kereta berkudanya. Sejenak kemudian kereta itu sudah berpacu kembali. Ditambah Wirantana, maka berat pedati itu menjadi semakin mantap. Sementara itu, Wirantana pun dapat mengawani Mas Rara yang ketakutan.
Beberapa saat kemudian, kereta berkuda itu melewati simpang empat ditengah-tengah bulak. Beberapa saat kemudian, kereta itu akan memasuki sebuah padukuhan. Anak-anak muda itu memang menjadi berdebar-debar. Jika para peronda di padukuhan itu menghentikan mereka, maka mereka akan kehilangan waktu.
Namun Manggadalah yang kemudian mendahului kereta itu mendekati regol. Sebenarnyalah ada beberapa orang yang berdiri disebelah menyebelah regol. Bahkan dua orang diantara mereka berdiri ditengah-tengah regol sambil mengangkat tangannya.
Tetapi Manggada justru berteriak lebih dahulu “Minggir. Minggir. Kuda pedatiku menjadi gila...!”
Teriakan itu begitu tiba-tiba sehingga orang-orang yang ada diregol itu terkejut. Karena pedati itu justru berpacu semakin cepat, maka merekapun telah berloncatan menepi. Dengan demikian maka pedati itupun telah berderap dengan kencangnya lewat gardu peronda di depan pintu gerbang yang terbuka diregol padukuhan.
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Namun merekapun tidak menghiraukannya lagi. Mereka tidak akan dapat menolong karena kereta itu berpacu terlalu kencang. Sehingga dalam waktu yang pendek, derapnya sudah tidak terdengar lagi.
Manggada yang masih tetap berpacu dipaling depan itu telah melakukan hal yang sama ketika pedati berkuda itu akan keluar dari regol padukuhan diujung sebelah. Para perondapun telah meloncat menepi ketika mereka melihat beberapa ekor kuda berpacu seperti dikejar hantu.
Ketika pedati itu sampai ke bulak kembali, rasa-rasanya sesak nafas orang-orang berkuda serta mereka yang ada didalam pedati itu menjadi longgar. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak mengurangi laju kuda-kuda mereka pada kemungkinan yang paling baik.
Namun anak-anak muda yang melarikan Mas Rara itu terkejut. Ketika mereka mendekati simpang empat yang lain ditengah-tengah bulak itu, dalam keremangan malam mereka melihat beberapa orang berkuda tengah memotong jalan mereka dari arah kanan simpang empat itu.
“Tidak ada kesempatan untuk berhenti dan mengambil arah yang lain. Seakan-akan begitu tiba-tiba beberapa orang prajurit berkuda telah berada didepan mereka...
Selanjutnya, Mas Rara Bagian 11 |