ANAK-ANAK muda yang membawa Mas Rara itu tidak mempunyai pilihan lain. Merekapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka.
Beberapa langkah dari para prajurit berkuda yang berhenti disimpang empat itu. Manggada telah memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti. Namun Laksana telah menyusul Manggada dan berhenti disisinya, sementara Wirantanapun telah meloncat pula dari dalam pedati.
“Jaga adikku baik-baik“ pesan Wirantana kepada sais pedati itu.
Beberapa saat anak-anak muda itu saling berhadapan dengan beberapa orang prajurit berkuda. Semuanya ada tujuh orang dengan senjata masing-masing.
Namun pemimpin prajurit itu tiba-tiba saja telah meloncat turun sambil berkata “Aku mengalami kesulitan malam ini”
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia dapat mengenali prajurit itu. Sementara itu pemimpin prajurit itu berkata selanjutnya “Aku mendapat perintah untuk menangkap kalian, tetapi bagaimana mungkin hal ini dapat aku lakukan?“
“Apakah kalian tidak mengenal kami?“ bertanya prajurit itu.
“Ya. aku kenal. Kau adalah pemimpin prajurit Raden Panji yang mendapat tugas menjemput Mas Rara“ jawab Manggada.
“Ya. Ternyata kalian telah menyelamatkan jiwaku pada saat itu. Karena itu aku tidak berhasil membawa Mas Rara karena tingkah laku pamannya itu, maka aku tentu akan digantung. Tanpa kalian maka Mas Rara tentu sudah hilang. Dan kami akan tergantung di tiang gantungan itu”
Manggada justru menjadi termangu-mangu. Sementara pemimpin prajurit jtu berkata ”Kami adalah prajurit yang membawa Mas Rara itu dari padukuhannya. Kami mendapat perintah dari Raden Panji untuk membawa Mas Rara kembali”
“Dan kalian berusaha untuk membawanya“ bertanya Manggada.
Pemimpin prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng lemah. Katanya hampir hanya terdengar oleh dirinya sendiri ”Tidak. Aku tidak dapat melakukannya. Aku tahu apa yang akan terjadi dengan Mas Rara jika ia kami bawa kembali. Raden Panji tidak akan memperlakukannya lagi sebagai seorang gadis yang akan dinikahinya sepekan lagi. Ia akan menghukum gadis itu dengan caranya. Cara seorang yang seakan-akan memang sudah tidak wajar lagi. Kelakuannya tidak pantas untuk disebut. Apalagi terhadap gadis-gadis yang diinginkannya”
“Jadi?“ bertanya Manggada.
“Baiklah. Teruskan perjalanan kalian. Aku akan mengatakan bahwa aku tidak dapat menjumpai kalian telah mengambil jalan lain dari jalan yang kami telusuri“ jawab prajurit itu.
“Apakah dengan demikian kalian tidak akan dihukum?“ bertanya Laksana.
“Hukumannya tentu akan lebih ringan. Kami dapat dianggap tidak melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Tetapi yang terjadi adalah diluar batas kemampuan kami” jawab pemimpin prajurit itu.
Manggada, Laksana dan Wirantana saling berpandangan sejenak. Hampir berbareng mereka mengucap “Terima kasih atas kebaikan kalian”
“Cepatlah, kamipun akan segera berpacu mengikuti jalan menyilang ini” Namun kemudian pemimpin prajurit itu berdesis perlahan “mudah-mudahan tidak ada pengkhianatan. Jika Raden Panji mengetahui hal itu, maka kami benar-benar akan digantung di ara-ara”
“Apakah sebenarnya ia berhak melakukannya?“ bertanya Wirantana.
“Raden Panji mendapat wewenang tanpa batas. Maksudnya untuk mengatasi keadaan yang tidak aman didaerah ini karena sebuah gerombolan perampok dan penyamun yang besar dan kuat yang bahkan kemudian menghimpun para penjahat yang lain. Brandal, gegedug dan bahkan pencuri-pencuri kecil, mereka ikut dalam satu gerombolan. Raden Panji memang berhasil. Dengan kekerasan yang tidak tanggung-tanggung Raden Panji berhasil menumpas gerombolan itu. Menangkap beberapa orang diantaranya. Namun sebagian dari mereka sudah dihabisi oleh Raden Panji sendiri sebelum dibawa ke Pajang”
“Bukankah dengan demikian Raden Panji menjadi seorang pahlawan?“ bertanya Laksana.
“Tetapi setelah gerombolan perampok itu dimusnahkannya menjadi debu, maka kekuasaan yang ada ditangannya dipergunakan menurut kehendak hatinya sendiri” jawab prajurit itu. Lalu katanya pula “Kadang-kadang Raden Panji itu bertindak bijaksana. Namun justru yang sering dilakukan, ia lupa pada sangkan paraning dumadi”
“Apakah tidak ada laporan kepada para Senapati di Pajang?“ bertanya Wirantana.
“Siapa berani memberikan laporan? Jika laporan itu jatuh ketangan sahabat Raden Panji, maka orang yang memberikan laporan itu akan dapat menjadi ndeg pengamun-amun“ jawab prajurit itu. Namun katanya kemudian “Sudahlah. Lanjutkan perjalananmu. Sebaiknya kalian tidak berhenti sejauh mungkin kuda kalian dapat bertahan. Kalian dapat beristirahat sebentar untuk memberi kesempatan kuda kalian minum dan makan rumput diperjalanan itu. Tetapi kalian harus segera melanjutkan perjalanan kalian sampai ke rumah. Setelah itu terserah kepada kalian. Tetapi pertimbangkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas kalian sekeluarga”
“Jadi?“ bertanya Wirantana “apakah kami harus mengungsi?“
“Aku kira itu adalah kemungkinan yang paling baik” jawab pemimpin prajurit itu. Lalu katanya ”Bawa Mas Rara keluar dar i daerah kekuasaan Raden Panji. Tetapi kalian harus tahu, bahwa Raden Panji adalah pendendam. Ia tentu masih akan mencari Mas Rara sepanjang sisa umurnya”
Wirantana mengangguk-angguk. Katanya “Terima kasih atas keterangan Ki Sanak. Bahkan kami segera melanjutkan perjalanan”
Perjalanan ke Nguter memang perjalanan yang agak panjang. Karena itu, maka semua yang ada di iring-iringan itu harus mampu menyesuaikan diri dengan perjalanan mereka yang berat. Jauh lebih berat dari perjalanan ke Pajang pulang balik.
Sejenak kemudian, maka Mas Rara dan para pengawalnya telah melanjutkan perjalanan. Namun mereka masih akan selalu dibayangi oleh kekuasaan dan kewenang-wenangan Raden Panji.
Meskipun demikian disepanjang perjalanan, anak-anak muda itu masih sempat mengagumi keberanian pemimpin prajurit yang telah memberikan kesempatan kepada Mas Rara untuk melarikan diri.
Dua kali anak-anak muda itu mendapat pertolongan dari orang yang berbeda, sehingga mereka masih dapat melanjutkan perjalanan. Tetapi mereka tidak tahu, apabila sekali lagi ada sekelompok prajurit mampu mengejar mereka lagi, maka apakah mereka masih sempat untuk membebaskan diri.
Malam itu, pedati yang ditarik kuda itu masih berjalan terus diikuti oleh beberapa penunggang kuda yang letih. Tetapi mereka tidak berhenti sejauh dapat mereka capai. Ketika matahari terbit, iring-iringan itu memang sempat berhenti sejenak disebelah jalan yang tidak begitu besar. Laksana telah dengan tergesa-gesa pergi ke sebuah kedai yang baru saja dibuka, sementara kuda-kuda mereka sempat beristirahat sambil minum air bening yang mengalir disebuah parit.
“Kasihan kuda-kuda itu“ desis Manggada.
Tetapi mereka tidak berhenti terlalu lama. Merekapun segera melanjutkan perjalanan mereka menuju ke padukuhan Nguter. Wirantana merasa tidak perlu mencari jalan lain dari jalan yang paling dekat yang dapat ditempuh, karena orang-orang Raden Panji sudah tahu dengan pasti, dimanakah letaknya Nguter.
Yang penting menurut perhitungan Wirantana adalah sampai ke rumah dan langsung mengungsi ke tempat yang berada diluar jangkauan kekuasaan Raden Panji.
“Tetapi kemana?“ pertanyaan itu telah semakin menggelisahkan Wirantana.
“Akan dipikirkan kemudian“ katanya didalam hati.
Demikianlah, maka secepat-cepat dapat dilakukan, pedati itupun berderap diatas jalan yang tidak terlalu rata. Mas Rara yang telah sama sekali tidak mau makan apapun yang dibeli oleh Laksana. Kegelisahannaya tidak memungkinkan untuk menelan apapun juga.
Tetapi Manggada, Laksana dan Wirantana sendiri sempat makan makanan yang telah dibeli sambil duduk dipunggung kuda. Demikian juga kedua orang yang dikirim oleh Ki Jagabaya untuk melayani pedati serta kudanya itu.
Mataharipun menjadi semakin terik. Panasnya terasa makin menggigit kulit. Ketika mereka melampaui jalan yang lewat diantara pegunungan yang kecil berbatu-batu padas, maka mereka menjadi semakin berpengharapan bahwa mereka akan dapat sampai ke rumah dengan selamat.
Tetapi perjalanan ke padukuhan Nguter memang jauh. Dengan demikian maka Wirantana tidak dapat memaksa kuda-kuda dari iring-iringan yang kecil itu untuk berjalan terus. Jika Wirantana memaksanya juga, maka mungkin kuda-kuda itu justru akan kehabisan tenaga diperjalanan. Karena itu, maka perjalanan itupun menjadi perjalanan yang cukup lama.
Sementara itn, Raden Panji yang mendapat laporan dari penolakan Mas Rara untuk datang ke rumahnya, serta sikap anak-anak muda yang menyertainya dari padukuhan Nguter telah membuatnya sangat marah. Demikian marahnya Raden Panji, sehingga berteriak-teriak memberikan beberapa perintah.
Apalagi ketika ia menyadari bahwa prajurit-prajurit yang ada di rumah pondokan Mas Rara tidak dapat mengatasi anak-anak muda itu. Bahkan hadirnya orang yang tidak dikenal dan ikut campur dalam persoalan itu.
Kemarahan Raden Panji memuncak ketika ia mendapat laporan dari sekelompok pasukan berkuda, bahwa mereka tidak menemukan Mas Rara setelah mereka mengelilingi lingkungan itu, terutama mengikuti jalan kearah padukuhan Nguter.
“Kenapa kau kembali tanpa membawa Mas Rara?“ teriak Raden Panji.
Kakinya tiba-tiba saja telah menghantam pemimpin prajurit yang telah memberikan kesempatan kepada Mas Rara untuk melepaskan diri sehingga prajurit itu jatuh terlentang.
“Ampun Raden Panji” mohon prajurit itu kemudian ”jika Raden Panji berkenan, kami akan menyusulnya ke padukuhan Nguter. Jalan manapun yang mereka tempuh, maka kami berjanji bahwa kami akan datang lebih dahulu di rumah Mas Rara itu. Kami akan menangkap kedua orang tuanya dan apabila Mas Rara langsung pulang, kamipun akan menangkapnya dan membawanya menghadap Raden Panji”
“Setan kau. Kau akan melarikan diri dari hukuman yang pantas aku berikan kepadamu he?“ bentak Raden Panji.
“Tidak Raden. Hukuman apapun yang akan diberikan kepadaku, akan aku terima dengan kepala tunduk. Namun demi kesetiaanku, maka aku ingin benar-benar membawa Mas Rara menghadap Raden Panji.
“Tidak. Kau tidak boleh pergi sendiri. Siapkan kudaku. Aku sendiri akan pergi ke Nguter. Aku sendiri akan menangkap perempuan liar itu dan menghukumnya sepanjang jalan dari Nguter sampai ke rumahku menurut caraku. Ia harus menjalani hukuman yang terberat dari antara semua hukuman yang pernah aku berikan kepada isteri-isteriku sebelumnya, sehingga akhirnya perempuan itu akan aku hukum mati karena ia telah menghina aku yang berkuasa di daerah ini”
Tidak seorangpun yang berani menjawab apalagi membantah. Namun dalam pada itu, Raden Panji itu berdesis dengan nada rendah ”Tetapi ia sangat cantik. Ia harus menjadi isteriku sebelum aku akan menghukumnya dengan hukuman yang terberat”
Pemimpin prajurit itu mengumpat di dalam hati. Tetapi ia masih saja menundukkan kepalanya. Ia tahu, Raden Panji adalah orang yang berilmu sangat tinggi sehingga dengan ilmunya itu ia mampu menduduki jabatannya yang seakan-akan tidak dapat diganggu gugat itu.
Tetapi pemimpin prajurit itu terkejut ketika Raden Panji tiba-tiba saja membentak “Cepat, sediakan kudaku atau aku bunuh kau”
Pemimpin prajurit itupun segera bergerak. Ia dengan tergesa-gesa telah pergi ke belakang untuk mencari orang yang terbiasa memelihara kuda yang paling baik milik Raden Panji itu. Dalam waktu tidak terlalu lama kuda itu memang sudah siap. Tetapi prajurit itu tidak segera membawa kuda itu ke halaman. Ia masih memerintahkan orang yang menyiapkan kuda itu untuk memberi makan lebih dahulu.
“Kuda ini telah makan dengan kenyang“ berkata gamel yang mengurusi kuda-kuda Raden Panji itu.
“Tetapi kuda ini akan menempuh perjalanan jauh“ jawab prajaurit itu.
Gamel itu tidak menjawab lagi. Iapun telah menyiapkan makanan secukupnya bagi kuda yang telah disiapkan bagj Raden Panji itu.
Namun sebelum kuda itu sempat makan, seorang prajurit berlari-lari ke belakang sambil berkata “Kakang. Raden Panji sudah tidak sabar lagi. Cepat sebelum ia datang sendiri kemari dan membunuhmu disini”
Pemimpin prajurit itu mengangguk. Katanya ”Baiklah. Aku akan membawa kuda ini ke halaman depan”
Sejenak kemudian itu telah siap. Demikian pula beberapa ekor kuda yang lain. Dengan lantang Raden Panji berkata ”Kita akan pergi. Lima belas orang akan ikut bersamaku”
Sejenak kemudian, maka enam belas ekor kuda sudah berpacu menuju ke padukuhan Nguter, termasuk pemimpin prajurit yang telah memberi kesempatan Mas Rara pergi, bersama prajurit-prajurit. Sementara itu, beberapa orang yang lain harus tinggal untuk menjaga para tawanan yang disimpan di padukuhan yang menjadi pusat pengendalian dari pasukan Raden Panji itu.
Ternyata Raden Panji dan prajurit-prajuritnya berpacu lebih cepat dari pedati yang ditumpangi Mas Rara. Meskipun jarak pada saat Raden Panji berangkat dengan pedati Mas Rara cukup jauh, tetapi kuda Raden Panji berpacu seperti angin.
Prajurit yang pernah merasa diselamatkan kedudukannya oleh anak-anak muda yang menyertai Mas Rara itu memang menjadi berdebar-debar. Ia telah berusaha menghambat keberangkatan Raden Panji dengan menghambat kesiagaan kudanya. Tetapi ternyata itu tidak berpengaruh banyak.
Kuda Raden Panji yang berpacu didepan memang seperti seekor kuda yang ketakutan karena dikejar hantu. Tanpa menghiraukan bahaya yang dapat terjadi diperjalanan. Raden Panji berpacu dengan cepatnya.
Di jalan yang agak ramai, Raden Panji memang sedikit mengurangi kecepatannya. Tetapi laju kudanya masih tetap jauh lebih cepat dari laju pedati yang ditunggangi oleh Mas Rara. Hanya karena kesempatan yang telah didapatkannya dengan berlari lebih dahulu sajalah, maka pedati itu tidak segera dapat disusul.
Wirantana rasa-rasanya ingin terbang saja melintasi jarak yang tersisa. Iapun sudah membayangkan bahwa dibelakangnya sekelompok prajurit dibawah pimpinan Raden Panji sendiri tengah memburunya. Seperti dikatakan oleh prajurit yang melepaskannya meneruskan perjalanan itu bahwa Raden Panji adalah seorang pendendam.
Sisa-sisa hari berjalan sangat cepat. Justru perjalanan merekalah yang terasa maju sangat lamban. Ketika matahari terbenam Mas Rara masih belum sampai ke rumahnya Namun akhirnya, iring-iringan kecil itu telah mendekati padukuhan Nguter. Padukuhan yang nampaknya sudah menjadi sepi. Pintu-pintu sudah ditutup setelah lampu dan oncor mulai dipasang di regol-regol halaman. Nguter agaknya memang sudah lelap.
Ketika pedati yang ditumpangi Mas Rara masuk ke regol padukuhan, maka kegelisahan justru semakin membakar jantung. Rasa-rasanya kudanya sudah tidak mau berlari lagi. Nampaknya kuda-kuda itu telah menjadi sangat letih.
Dalam pada itu, jarak antara pedati yang membawa Mas Rara dengan iring-iringan orang berkuda yang dipimpin langsung oleh Raden Panji itu menjadi semakin pendek. Meskipun jarak yang ditempuh cukup panjang, tetapi Raden Panji tidak terlalu banyak beristirahat. Kecepatan lari kudanyapun berlipat dengan kecepatan lari kuda pedati Mas Rara.
Wirantana memang menjadi sangat gelisah. Ia harus segera sampai ke rumah. Memaksa ayah dan ibunya berkemas dan dengan cepat pergi mengungsi. Tetapi pedati itu memang tidak mau berjlan lebih cepat lagi. Sais yang memegang kendali kuda penarik pedati itupun telah mencoba untuk menyentuh kudanya dengan ujung cemeti. Tetapi kuda itu hanya menghentak dua tiga langkah. Lalu kembali berlari dengan letihnya.
Karena kegelisahan yang menghentak jantung, maka Wirantana itupun kemudian berkta kepada adiknya “Kita sudah ada di padukuhan. Biarlah aku mendahului perjalanan kalian agar aku sempat minta kepada ayah dan ibu untuk bersiap-siap. Kita semuanya harus mengungsi ketempat yang tidak diketahui oleh Raden Panji”
“Jangan tinggalkan aku, kakang“ minta Mas Rara.
“Tetapi kita tidak boleh terlambat“ jawab Wirantana.
“Kau tetap bersamaku“ berkata Mas Rara dengan suara yang sangat dalam.
Wirantana tidak sampai hati meninggalkan adiknya yang ketakutan. Namun iapun berharap agar ayah dan ibunya akan sempat bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang sangat buruk itu. Karena itu, maka Wirantana menjadi bingung.
Dalam pada itu, Manggadalah yang kemudian berkata ”Apakah kau sependapat, jika aku mendahului perjalanan kalian? Bukankah perjalanan ini sudah tidak jauh lagi?“
Wirantanalah yang ragu-ragu. Jika Raden Panji dan pasukannya datang menyusul, maka ia tidak mempunyai seorang kawanpun untuk melindungi Mas Rara. Namun akhirnya Wirantanapun setuju. Kedua orang sais dan pembantunya itu tentu akan bersedia berbuat sesuatu.
Karena itu, maka Wirantanapun kemudian berkata “Baiklah. Pergilah. Biarlah ayah dan ibu menyiapkan kuda agar kita dapat segera berangkat. Kuda pedati itu harus diganti agar kita dapat berjalan lebih cepat. Mudah-mudahan Raden Panji tidak membawa seorang atau lebih orang-orang yang ahli dalam menelusuri jejak”
Manggada dan Laksanapun tidak membuang waktu lagi. Keduanya telah mempercepat derap kuda mereka yang masih lebih segar dari kuda penarik pedati itu. Apalagi kuda-kuda kedua anak muda itu tidak menarik muatan apapun juga.
Demikianlah kedua ekor kuda itupun segera berpacu. Mereka sudah mengenal dengan baik jalan menuju ke rumah Ki Partija Wirasentana. Karena itu, maka kedua anak muda itu dengan cepat telah mendekati regol rumah Ki Partija Wirasentana.
Dengan tergesa-gesa keduanya langsung memasuki regol halaman yang ternyata masih terbuka. Namun kedua orang anak muda itu terkejut sekali. Demikian mereka memasuki regol, maka beberapa orang yang sudah berada di halaman segera bergeser ke pintu. Tanpa menutup pintu regol, orang-orang itu telah merundukkan ujung tombak pendek mereka.
Manggada dan Laksana segera meloncat turun dari kudanya. Demikian mereka sempat memperhatikan orang-orang yang berdiri dipintu, maka keduanya berdesis “Prajurit”
“Kita terjebak“ berkata Manggada “untung Mas Rara tidak bersama kita”
“Tetapi bagaimana kita sempat memberitahukan kepadanya?“ desis Laksana.
Keduanyapun tidak segera mendapatkan jalan yang dapat mereka tempuh untuk menyelamatkan Mas Rara. Sementara itu, beberapa orang prajurit telah mengepung mereka. Sekilas Manggada dan Laksana sempat menghitung. Delapan orang.
Manggada dan Laksanapun segera berdiri saling membelakangi. Dengan serta merta mereka telah mencabut pedang-pedang mereka dan siap menghadapi segala kemungkinan, meskipun bagi mereka delapan orang itu tentu terlalu banyak.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja dari pringgitan terdengar suara orang bertanya “Siapakah mereka?“
Salah seorang prajurit menjawab “Kami tidak tahu. Kedua-duanya langsung menyerbu masuk dan tiba-tiba saja telah mencabut pedang.
Beberapa orang telah melintasi pendapa dan kemudian turun kehalaman. Sementara itu, beberapa buah obor menerangi halaman rumah itu. Seorang diantara mereka yang turun dari pendapa itu adalah Ki Partija Wirasentana. Berlari-lari ia mendekati Manggada dan Laksana sambil berkata,
“Ngger, kaukah itu?“
“Ya“ jawab Manggada “kami datang tergesa-gesa Ki Partija. Tetapi kami terlambat. Para prajurit ini telah berada disini."
“Prajurit yang mana? Apakah angger tahu, dari mana datangnya para prajurit ini?“ bertanya Ki Partija.
“Bukankah mereka prajurit Raden Panji?“ bertanya Laksana.
“Raden Panji Prangpranata maksud angger?“ bertanya Ki Partija pula.
“Ya!“ jawab Laksana.
Ki Partija menggeleng. Katanya “Bukan ngger. Mereka bukan prajurit yang dikirim oleh Raden Panji. Tetapi kenapa angger menjadi tergesa-gesa dan menyangka bahwa para prajurit ini prajurit Raden Panji?“
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada berkata “Ada sesuatu yang penting harus aku sampaikan kepada Ki Partija Wirasentana. Tetapi prajurit-prajurit ini datang dari mana dan untuk apa?“
“Marilah, silahkan duduk“ berkata Ki Partija Wirasentana “tetapi kenapa angger tiba-tiba saja telah menarik pedang? Apa yang sebenarnya terjadi?“
“Ki partija“ berkata Manggada yang menjadi sangat tegang. Mas Rara berada diperjalanan. Beberapa saat lagi ia akan sampai kehalaman rumah ini. Kami minta Ki Partija dengan cepat bersiap-siap. Kita harus mengungsi”
“Kenapa kita harus mengungsi? Apa yang telah terjadi?“ bertanya Ki Partija tegang.
“Mas Rara melarikan diri dari tangan Raden Panji yang nampaknya ingin melanggar paugeran. Raden Panji menghendaki Mas Rara sebelum hari pernikahan dilangsungkan. Sedangkan Mas Rara berpegang teguh pada batas-batas ketentuan hubungan antara laki-laki dan perempuan menurut paugeran“ jawab Manggada.
“Bagaimana hal itu dapat terjadi?“ bertanya Ki Partija.
“Wirantana tidak sampai hati melihat kesulitan Mas Rara. Kami telah menembus para penjaga dan melarikan diri. Kami tahu, bahwa saat ini Raden Panji dengan pasukannya sedang mengejar kami menuju kemari. Karena itu, Wirantana minta agar Ki partija Wirasentana bersiap untuk mengungsi. Jika tidak, maka kedatangan Raden Panji akan merupakan malapetaka bagi kita semuanya” berkata Manggada kemudian.
Ki Partija memang menjadi bingung. Diluar sadarnya ia memandang orang-orang yang turun bersamanya dari pringgitan.
Seorang diantara mereka, seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang dengan lengan dan bahu yang kekar maju selangkah. Ketika ia berbicara, maka Manggada dan Laksana terkejut. Suaranya tidak mencerminkan kegarangan tubuhnya. Tetapi suaranya terdengar lembut “Aku mendengar ceritamu anak-anak muda. Memang belum begitu jelas. Tetapi yang sedikit itu telah memberikan gambaran, bahwa gadis yang disebut Mas Rara itu lari dari Raden Panji dan menuju kemari”
“Ya, ya Ki Sanak“ sahut Manggada.
Tiba-tiba saja Ki Partija memotong ”Kau tentu belum mengenalnya. Ki Tumenggung Purbarana, sedangkan yang berdiri disebelahnya itu adalah Raden Puspasari. Salah seorang bangsawan keturunan dari Majapahit yang kini berada di istana Pajang”
“Keturunan Majapahit?“ ulang Manggada dan Laksana hampir berbareng. Jantungnya memang menjadi berdebar-debar.
“Tetapi bagaimana dengan Mas Rara?“ bertanya Manggada dengan tegang.
Raden Puspasari yang disebut sebagai keturunan dari Majapahit yang berada di Pajang itu telah menyahut “Baiklah Ki Sanak. Biarlah Mas Rara kembali ke rumah ini”
“Tetapi jika Raden Panji datang pula dengan prajurit-prajuritnya?“ bertanya Manggada.
“Kami akan berbicara dengan Raden Panji“ jawab Raden Puspasari.
“Apakah Raden mengenal Raden Panji?“ bertanya Laksana tiba-tiba.
Bangsawan itu menggeleng. Katanya ”Secara pribadi belum. Tetapi bukankah kita dapat berbicara dengan baik? Raden Panji adalah seorang Senopati perang. Karena itu, maka penalarannya tentu dapat berjalan dengan baik“
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Partija wirasentana yang juga menjadi cemas bertanya “Apakah Raden dapat melindungi Mas Rara?“
Raden Puspasari tersenyum. Katanya “Kita akan berbicara baik-baik. Ki Partija. Bukankah nalar budi yang ada pada kita dapat kita pergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan? Jika kita bersikap baik dan berbicara dengan baik, aku kira tidak akan ada persoalan yang tidak akan dapat kita selesaikan”
“Tetapi Raden Panji mempunyai sikap yang sangat keras menghadapi orang-orang yang dianggap berani menentang perintahnya“ berkata Laksana dengan nada cemas.
“Ia seorang Senapati yang mendapat tugas untuk menenangkan satu daerah yang bergejolak” sahut Ki Tumenggung Purbarana “dengan demikian maka memang perlu sikap yang keras dan tegas."
“Tetapi juga kepada orang-orang yang tidak bersalah seperti Mas Rara” desis Laksana.
“Tenanglah anak muda“ berkata Ki Tumenggung sambil tersenyum.
Manggada dan Laksana tidak sempat berbicara panjang. Mereka telah mendengar gemeretak kereta kuda serta derap kaki kuda yang mengikutinya.
“Mereka datang“ berkata Manggada.
Sebenaranyalah sejenak kemudian sebuah pedati yang ditarik kuda telah memasuki halaman rumah Ki Partija. Didalamnya terdapat Wirantana yang terkejut sekali melihat beberapa prajurit telah berada di halaman rumah itu. Terdengar pekik kecil Mas Rara yang ketakutan.
Dengan sigap Wirantana meloncat turun. Ia melihat Manggada dan Laksana memegang pedang ditangannya, sehingga dengan serta merta iapun telah menarik pedangnya pula.
Suasana memang menjadi tegang. Manggada dan Laksana yang semula mulai menundukkan pedangnya, tiba-tiba pedang itu telah terangkat kembali. Terdengar Manggada berdesis ”Apakah kami tidak berada dalam jebakan Raden Panji?“
“Kami bukan sekelompok prajurit dibawah pimpinan Raden Panji“ berkata Ki Tumenggung Purbarana.
Wirantana masih bingung. Namun Ki Partija kemudian telah berlari-lari mendapatkan Mas Rara yang gemetar.
“Ayah“ Mas Rara yang kemudian turun dari pedati itu langsung memeluk ayahnya.
“Marilah. Kita mendapatkan ibumu“ berkata ayahnya.
“Siapakah mereka ayah? Apakah mereka utusan Raden Panji?“ bertanya Mas Rara.
“Bukan. Bukan ngger“ jawab Ki Partija.
“Tetapi siapa?“ desak Wirantana
”Nanti aku ceriterakan. Sekarang marilah, masuklah” ajak Ki Partija.
Tetapi Wirantana berkata “Ayah. Kita harus menyelamatkan diri dari tangan Raden Panji. Setidak-tidaknya kita harus menyelamatkan Mas Rara. Biarlah aku disini, menghambat Raden Panji yang tentu akan mengejar kami”
“Sudahlah anak muda” berkata Raden Puspasari ”tenanglah. Kita masing-masing membawa ceritera yang panjang yang tidak sempat kita ceriterakan sekarang. Tetapi sebaiknya kita tidak usah gelisah. Biarlah nanti kita bersama-sama berbicara dengan baik-baik jika Raden Panji datang. Betapapun keras hatinya, jika kita bersikap baik dan lunak, maka aku kira hatinya akan menjadi lunak pula”
“Tetapi Raden Panji adalah seorang yang keras hati “ berkata Wirantana.
“Kedua orang anak muda yang datang lebih dahulu itupun telah mengatakannya” jawab Raden Puspasari “Tetapi aku masih tetap berkeyakinan, bahwa kita nanti akan dapat berbicara dengan baik”
Wirantana termangu-mangu. Tetapi seperti juga Manggada dan Laksana, masih ada kecurigaan yang memancar disorot mata mereka. Namun dalam pada itu, Ki Partija telah membimbing Mas Rara naik kependapa, kemudian masuk keruang dalam. Demikian Mas Rara bertemu dengan ibunya, maka tangannya bagaikan meledak. Bahkan ibunya yang ingin menenangkan hati gadis itu, ternyata telah ikut menangis pula.
“Sudahlah“ berkata Ki Partija ”duduklah dengan tenang. Mudah-mudahan persoalannya akan segera dapat diselesaikan dengan baik”
Demikian Mas Rara dan ibunya duduk diruang dalam, maka Ki Partija Wirasentana telah kembali ke halaman. Meskipun Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari nampak tenang, tetapi terasa ketegangan telah mencengkam halaman rumah itu.
Beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak dan pedang, berdiri tegak tanpa mengetahui persoalan yang sedang berkembang. Namun ketika mereka melihat Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari masih belum menunjukkan kegelisahannya, para prajurit itupun masih berusaha untuk tetap tenang.
Dalam pada itu, maka Raden Panji yang marah berderap bersama para prajuritnya menyusul Mas Rara. Hampir tanpa mengucapkan sepatah katapun disepanjang perjalanan selain perintah-perintah dan umpatan-umpatan kasar. Raden Panji memacu kudanya secepat-cepatnya. Sementara malam masih mencengkam.
Namun akhirnya Raden Panji dan para pengiringnya itupun menjadi semakin dekat dengan padukuhan Nguter. Bahkan Raden Panji masih memaksa kudanya berlari lebih cepat lagi.
Beberapa ekor kuda mulai tertinggal beberapa langkah dibelakang iring-iringan itu. Semakin lama semakin banyak meskipun jaraknya tidak terlalu jauh. Sementara itu kuda Raden Panji yang tegar itu masih berdiri dengan kecepatan yang sangat tinggi, tanpa menghiraukan kemungkinan buruk yang dapat terjadi jika kuda itu terperosok kakinya ke dalam lubang disepanjang jalan atau terantuk batu yang cukup besar.
Darah Raden Panji justru terasa mendidih ketika ia memasuki pintu gerbang padukuhan Nguter. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menerkam dan mencekik Mas Rara yang telah berani menolak kemauannya. Bahkan kemudian telah melarikan diri dari tangannya. Satu hal yang belum pernah terjadi pada isteri-isterinya yang terdahulu. Bahkan tidak seorangpun yang berani menentang kemauannya.
Dalam pada itu, orang-orang yang ada di halaman rumah Ki Partijapun segera mendengar derap kaki kuda yang semakin lama semakin dekat. Ki Tumenggung Purbarana pun segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk bergeser dan menempatkan diri ditempat yang tidak menarik perhatian. Tidak ada tanda-tanda bahwa di halaman itu telah bersiap sekelompok orang untuk melakukan kekerasan.
Sementara Wirantana, Manggada dan Laksanapun telah menepi pula, berdiri didepan tangga pendapa. Didepannya Ki Partija Wirasentana berdiri bersama Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari.
Pedati yang ditarik kuda dan membawa Mas Rara melarikan diri itupun telah digeser ke pinggir halaman, dibawah sebatang pohon nangka. Sedangkan kedua orang yang melayani pedati itu berdiri termangu-mangu menunggu apa yang akan terjadi kemudian.
Sejenak kemudian, maka derap kaki kuda disepanjang jalan padukuhan itu menjadi semakin dekat. Orang-orang padukuhan yang semula terkejut mendengar derap kaki dua tiga ekor kuda, serta gemeretak pedati, telah terkejut pula mendengar pasukan berkuda lewat jalan padukuhan.
Beberapa orang yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak menjadi berdebar-debar. Mereka memang sudah mengira bahwa derap kaki kuda yang rasa-rasanya datang berturut-turut itu ada hubungannya dengan Mas Rara.
“Apa yang telah terjadi?“ desis seorang perempuan yang menjadi cemas mendengar kuda-kuda yang berlari-larian dimalam hari itu.
“Entahlah“ jawab suaminya “mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu”
Keduanya tidak bercakap-cakap lagi. Mereka sudah tidak mendengar apa-apa diluar. Derap kaki kuda itu sudah menjauh dan keduanya memang yakin, bahwa kuda-kuda itu menuju ke rumah Ki Partija Wirasentana.
Sebenarnyalah Raden Panji telah memacu kudanya langsung memasuki regol halaman yang memang telah dibuka. Para prajuritnyapun telah mengikutinya pula, langsung menebar dihalaman yang memang agak luas itu.
Namun ternyata Raden Panji pun terkejut melihat orang-orang yang sudah berada di halaman. Meskipun mereka sama sekali tidak menunjukkan kesiagaan untuk bertempur, namun orang-orang yang berdiri berderet di pinggir halaman, di depan tangga pendapa serta pedati dibawah pohon nangka, membuat jantungnya berdegup semakin keras.
Tiba-tiba saja masih diatas punggung kudanya Raden Panji berteriak lantang “Jadi kalian sudah bersiap-siap untuk melawan aku he? Apakah kalian sudah menjadi gila? Aku mendapat wewenang mengambil tindakan apapun untuk membuat daerah ini tenteram. Siapa yang melawan perintahku sama dengan melawan kekuasaan Pajang, sehingga mereka dapat disebut pemberontak. Dengan dasar itu, aku akan dapat membunuh semua orang yang ada disini, yang sudah bersiap untuk memberontak!”
Orang-orang yang berdiri dihalaman masih belum ada yang menjawab ketika Raden Panji kemudian berteriak ”Partija, Partija Wirasentana!”
Ki Partija Wirasentana terkejut. Seperti seorang yang terbangun dari mimpi. Wajahnya menjadi tegang dan jantungnya berdebar-debar. Karena Ki Partija Wirasentana masih saja termangu-mangu, maka Raden Panji itupun telah meloncat turun dari kudanya. Dengan demikian maka para prajuritnyapun telah berloncatan turun pula. Seorang diantara prajurit-prajurit itu telah mendekati Raden Panji untuk menerima kudanya dan membawanya menepi.
Beberapa langkah Raden Panji bergeser maju. Sekali lagi ia memanggil. “Partija Wirasentana. Kemari. Bukankah kau tidak tuli”
“Ya, ya Raden“ jawab Ki Partija gagap. Selangkah ia maju.
“Mana anakmu itu he?“ bentak Raden Panji.
“Ia ada didalam Raden“ jawab Ki Partija.
“Apakah kau kira kau dapat melawan Pajang?“ suaranya bergetar menghentak-hentak karena kemarahan yng membakar isi dadanya.
Wajah Raden Panji masih tegang. Ia melihat dalam keremangan cahaya obor dan lampu minyak, orang-orang yang berdiri dihalaman itu. Mereka tidak menunjukkan sikap bermusuhan. Tetapi merekapun tidak menjadi ketakutan.
Dengan nada tinggi Raden Panji kemudian bertanya lantang. ”Siapakah mereka? Kau upah orang untuk melindungimu dari kuasaku? Tentu kau bayar mereka dengan Mas Kawin yang kau terima untuk Mas Rara yang ternyata berkhianat itu.”
“Sama sekali tidak Raden” berkata Ki Partija Wirasentana dengan jantung yang berdebaran.
“Jadi siapakah mereka yang berada di halaman ini?” bertanya Raden Panji.
“Mereka adalah prajurit dari Pajang“ jawab Ki Partija Wirasentana.
“Kau jangan mengigau seperti orang gila. Aku memang melihat mereka berpakaian seperti prajurit Pajang. Tetapi disini, akulah penguasa tunggal dari Pajang. Tidak ada pasukan yang lain yang mendapat wewenang berkeliaran di daerah ini tanpa ijinku.“ Raden Panji hampir berteriak.
“Tetapi mereka benar-benar prajurit Pajang, Raden” jawab Ki Partija Wirasentana.
“Siapa pemimpinnya, aku ingin bicara” geram Raden Panji.
Yang melangkah maju adalah Ki Tumenggung Purbarana. Seorang Tumenggung yang memiliki bentuk tubuh yang meyakinkan. Namun sikapnya bukan sikap seorang prajurit yang kasar.
”Siapa kau?“ bertanya Raden Panji.
“Aku Tumenggung Purbarana” jawab Ki Tumenggung.
Raden Panji mengerutkan keningnya. Ia memang melihat tanda-tanda seorang perwira prajurit Pajang. Raden Panji yang marah itu memang mencoba untuk mengekang diri. Dihadapan seorang Tumenggung Raden Panji harus berpikir ulang untuk membentak-bentak.
Sebelum Raden Panji menjawab, Tumenggung Purbarana berkata selanjutnya “Yang berdiri disebelah ini adalah Raden Puspasari. Cucu dari Pangeran Kuda Kertanata, putera Prabu Brawijaya Pamungkas. Yang sekarang berada di Pajang, karena ibunda Raden Puspasari yang berada di Demak telah memerintahkannya untuk menyertai pusaka-pusaka yang disemayamkan dari Majapahit dan berada di Demak untuk selanjutnya dibawa ke Pajang."
Wajah Raden Panji nampak menjadi semakin tegang. Namun kemudian tiba-tiba ia berkata “Aku hormati kedudukan Ki Tumenggung serta Raden Puspasari. Tetapi aku mohon maaf. Daerah ini adalah kuasaku. Aku mendapat wewenang dengan pertanda cincin kekuasaan pemerintah Pajang di daerah ini”
“Ya, ya. Kami tahu Raden Panji“ jawab Ki Tumenggung Purbarana. Lalu katanya “Raden Panji justru telah dianggap berhasil membuat daerah yang bergolak ini menjadi tenang kembali“
“Tetapi kenapa Ki Tumenggung berada didaerah kuasaku tidak memberitahukan kepadaku lebih dahulu, apalagi mendapat ijinku“ bertanya Raden Panji.
“Persoalan kami sekedar persoalan keluarga. Kami tidak mencampauri keberhasilan Raden Panji di daerah ini. Kamipun sama sekali tidak mengulangi kuasa Raden Panji untuk menentukan kebijaksanaan didaerah ini” jawab Ki Tumenggung Purbarana.
“Jika demikian, kami yang mendapat tugas didaerah ini mohon agar Ki Tumenggung serta Raden Puspasari meninggalkan daerah ini” berkata Raden Panji.
“Tentu. Kami akan segera meninggalkan daerah ini” jawab Ki Tumenggung Purbarana “bahkan barangakali akan lebih cepat dari yang Raden duga”
“Tetapi apa hubungan Ki Tumenggung dengan Partija Wirasentana sehingga Ki Tumenggung berada dirumah ini?” bertanya Raden Panji kemudian.
“Kami mendapat perintah untuk melihat kembali, apakah benar bahwa dirumah Ki Partija ini telah dititipkan sebilah pusaka dari Majapahit, milik Pangeran Kuda Kertanata yang dibawa oleh puteranya Raden Kuda Respada yang mengembara sejak kanak-kanak. Yang kemudian hidup dan tinggal di padesan dengan nama Ki Respada. Namun ketika isterinya meninggal saat melahirkan, maka Ki Respada telah meneruskan perjalanan menuju ke Demak. Tetapi pusaka yang dibawanya dari Majapahit itu telah ditinggalkan di sebuah padukuhan. Nama padukuhan itu Nguter. Sedangkan orang yang mendapat titipan itu namanya Partija dan kemudian menjadi Partija Wirasentana“ jawab Tumenggung Purbarana. Lalu katanya pula ”Raden Puspasari ini adalah orang yang berhak untuk mengambil pusaka itu sesuai dengan pesan ibundanya, karena Raden Kuda Respada itupun segera meninggal setelah berada di Demak tanpa sempat melihat kembali keris pusakanya yang ditinggalkan”
Raden Panji menjadi semakin tegang. Katanya “Partija Wirasentana tidak pernah mengatakannya”
“Mungkin Ki Partija menganggap bahwa hal itu tidak perlu dikatakan kepada siapapun” berkata Ki Tumenggung Purbarana.
“Jika demikian, lakukanlah. Ambillah keris itu jika memang ada. Kemudian Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari aku persilahkan untuk meninggalkan tempat ini. Aku masih akan menyelesaikan tugasku disini”
“Apakah disini ada pemberontak atau semacamnya sebagaimana disebut-sebut oleh Raden Panji tadi?” bertanya Ki Tumenggung.
“Ya. Setidak-tidaknya ketiga orang anak muda yang telah melarikan isteriku itu“ jawab Raden Panji. Namun kemudian “Tetapi ini bukan tugas Ki Tumenggung. Tugas itu adalah tugasku disini. Bukankah tugas Ki Tumenggung mengambil keris dan membawanya kepada ibunda Raden Puspasari?“
“Ya Raden“ jawab Ki Tumenggung. Namun kemudian katanya “Tetapi selain keris, Raden Puspasari masih mempunyai tugas yang lain”
“Apa?“ bertanya Raden Panji.
Ki Tumenggung Purbarana berpaling kepada Raden Puspasari. Katanya “Sebaiknya Raden sajalah yang memberikan penjelasan”
Raden Puspasari melangkah selangkah maju. Katanya “Kami memang sedang mengemban tugas untuk mengambil pusaka yang pernah ditinggalkan oleh paman Kuda Respada disini. Tetapi tugas itu masih disertai dengan tugas yang lain. Tugas inilah yang semula membuat kami agak bingung. Pada saat kami datang ke tempat ini, maka yang ada dirumah ini tinggal keris pusaka itu. Sedangkan yang lain sudah tidak ada dirumah ini”
“Yang lain apa maksud Raden?“ bertanya Raden Panji.
“Raden Panji“ berkata Raden Puspasari “yang terjadi disini memang membingungkan. Aku tidak tahu, yang manakah yang sebaiknya dilakukan. Karena itu, maka bukankah sebaiknya kita duduk dan berbicara sebaik-baiknya? Mungkin kita akan dapat memecahkan persoalannya dengan baik”
“Tidak ada yang harus dibicarakan Raden. Raden Puspasari melakukan tugas yang dibebankan dipundak Raden. Aku menjalankan tugas yang memang sudah aku emban sejak lama. Tugas kita memang sangat berbeda“ jawab Raden Panji.
“Tetapi ada yang berkait Raden” berkata Raden Puspasari.
“Bagaimana mungkin tugas kita dapat berkait. Tugas itu tidak ada hubungannya sama sekali “ jawab Raden Panji dengan nada tinggi.
Raden Puspasari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia masih bertanya “Jadi, dapatkah kita duduk sejenak untuk berbicara?“
“Apa yang sebenarnya akan Raden katakan? Katakanlah. Aku tidak mempunyai banyak waktu“ berkata Raden Panji.
Namun Raden Puspasari berkata “Raden. Bukankah hari telah jauh malam. Bahkan sebentar lagi kita akan memasuki dini hari. Apakah kita tidak dapat menunda persoalan kita sampai esok pagi?“
“Aku seorang prajurit Raden“ jawab Raden Panji “aku harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Aku datang ke rumah ini karena aku mempunyai persoalan. Karena itu, maka aku harus menyelesaikannya segera. Sementara itu aku mohon Radenpun cepat menyelesaikan tugas Raden”
“Aku tidak tergesa-gesa seperti Raden Panji” jawab Raden Puspasari.
“Aku berkeberatan“ jawab Raden Panji.
“Baiklah jika demikian. Aku memang harus mengatakannya karena persoalannya sudah terlanjur terkait. Seandainya, sekali lagi, seandainya Mas Rara tidak Raden bawa, maka persolannya memang sama sekali tidak bersinggungan dengan tugas Raden “ jawab Raden Puspasari.
“Apa hubungannya dengan Mas Rara?“ bertanya Raden Panji.
“Yang ditinggalkan oleh paman Raden Kuda Respada sebenarnya bukan hanya sekedar sebilah keris pusaka. Tetapi keris itu akan menjadi pertanda kelak, bahwa dirumah ini tinggal seorang anak yang pernah dilahirkan oleh isteri paman Raden Kuda Respada. Namun bibi telah meninggal setelah melahirkan. Sementara paman yang kemudian pergi ke Demak dengan meninggalkan bayi dan pusakanya tidak sempat mengurusinya lagi karena paman juga segera meninggal“ jawab Raden Puspasari. Lalu katanya “Bayi itu adalah bayi perempuan yang kemudian dibesarkan oleh Ki Partija Wirasentana. Dinamainya bayi perempuan itu Wiranti, namun yang kemudian dipanggil dengan Mas Rara ketika bayi yang telah menjadi gadis dewasa itu akan diambil menjadi isteri Raden Panji. Sebenarnya rencana perkawinan itu sendiri sama sekali tidak berpengaruh. Jika Raden Panji memang mencintainya dan Mas Rara pun mencintai Raden Panji. Bahkan kami telah memutuskan untuk menyusul Mas Rara esok pagi ke rumah Raden Panji. Namun tiba-tiba Mas Rara justru telah kembali ke rumah ini“ Raden Puspasari berhenti sejenak, lalu katanya pula “Karena itu, silahkan duduk Raden. Ternyata masih ada beberapa masalah yang harus kita bicarakan!”
Wajah Raden Panji menjadi tegang. Dipandanginya orang yang menyebut dirinya Raden Puspasari itu. Kemudian Ki Tumenggung Purbarana, seorang yang memang mengenakan pakaian seorang prajurit. Tubuh dan ujudnya memang meyakinkan, bahwa ia adalah seorang prajurit yang berpangkat Tumenggung.
Untuk beberapa saat Raden Panji menjadi bingung. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata lantang ”Siapapun kalian, akulah penguasa yang sah di daerah ini atas nama Sultan Pajang. Karena itu, kuasaku adalah sama dengan kuasa Sultan itu sendiri”
“Bukanlah kami sudah menyatakan bahwa kami mengakui kuasa Raden Panji? Sejak dari Pajang kami sudah membekali diri dengan pengakuan, bahwa di daerah ini ada seorang Panji yang mendapat tugas untuk memulihkan keamanan dari gangguan para perampok yang ganas. Raden Panji ternyata telah berhasil menghancurkan perampok itu, sehingga daerah ini telah menjadi aman kembali “ jawab Raden Puspasari.
“Jika demikian, silahkan kalian meninggalkan tempat ini. Aku berhak menentukan, apakah kalian dapat berbuat sesuatu di sini atau tidak“ jawab Raden Panji dengan wajah yang menjadi tegang.
“Raden Panji“ berkata Raden Puspasari “aku telah mendapat perintah untuk mengambil pusaka yang ditinggalkan pamanda Raden Kuda Respada. Itu tentu tidak akan ada persoalan. Namun ibunda juga memerintahkan agar aku membawa bayi yang pernah ditinggalkan oleh pamanda Raden Kuda Respada itu, yang sekarang telah mekar menjadi seorang gadis dewasa. Nah, dalam hal inilah persoalan kita berkait, karena gadis itu Raden tetapkan untuk menjadi isteri Raden yang ke enam.”
Ketegangan mencengkam, bukan saja wajah Raden Panji, tetapi jantungnya terasa telah berdegup semakin keras. Dengan suara lantang, Raden Panji berkata “Gadis itu telah melakukan kesalahan yang sangat besar di daerah kuasaku. Ia telah berkhianat. Karena itu ia harus dihukum. Kuasaku di daerah ini belum pernah dicabut.”
“Baiklah“ berkata Raden Puspasari ”Mas Rara tidak akan melarikan diri. Aku akan membawanya ke Pajang beserta keris pusaka pamanda Kuda Respada. Namun persoalannya dengan Raden Panji masih belum selesai. Silahkan Raden Panji mengusutnya ke Pajang agar Mas Rara diserahkan kepada Raden Panji untuk menjalani hukuman”
“Jangan menganggap aku kanak-kanak“ jawab Raden Panji “aku akan menangkap Mas Rara”
“Sudahlah Raden Panji“ potong Ki Tumenggung Purbarana “sebaiknya kita tidak bersitegang dengan sikap kita masing-masing. Bukankah masih ada orang-orang yang lebih berwenang memutuskan persoalan yang sedang kita hadapi. Kami akan menyerahkan Mas Rara itu kepada ibunda Raden Puspasari. Sementara itu, Raden Panji yang merasa dikhianati atau apa, dapat menuntutnya, sehingga persoalannya akan diselesaikan di Pajang."
“Ki Tumenggung tidak dapat memperkecil kuasaku di sini. Meskipun pangkat Ki Tumenggung lebih tinggi dari pangkatku, tetapi aku mengemban tugas yang mewakili kuasa Sultan di Pajang. Karena itu, silahkan kalian meninggalkan tempat ini tanpa mencampuri persoalan-persoalan yang terjadi di tempat ini, di daerah kuasaku“ suara Raden Panji menjadi semakin keras.
“Baiklah Raden“ jawab Ki Tumenggung Purbarana “sudah beberapa kali kami katakan. Besok, jika matahari telah terbit, kami akan pergi bersama Mas Rara dan pusaka yang dibawa oleh pamanda Kuda Respada itu. Bukankah cukup jelas!”
“Mas Rara tidak dapat dibawa. Ia melakukan kejahatan di sini, di daerah kuasaku. Ia harus diadili di sini. Apalagi ia bakal isteriku yang telah berkhianat“ jawab Raden Panji.
“Raden Panji tidak boleh berbuat demikian, meskipun Raden Panji memiliki pertanda kuasa Sultan Pajang“ jawab Raden Puspasari “karena Sultan Pajang sendiri tidak akan berbuat sebagaimana dilakukan oleh Raden Panji”
“Jangan mengada-ada“ kesabaran Raden Panji yang kasar itu sudah habis “sekali lagi aku mempersilahkan kalian pergi sekarang. Tidak besok pagi. Tinggalkan Mas Rara di sini. Ini perintah atas dasar kuasa yang aku terima dari Kangjeng Sultan”
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari masih tetap bersikap tenang. Dengan sareh Ki Tumenggung berkata “Raden Panji. Jangan perlakukan kami seperti perampok dan penyamun di daerah ini, yang telah berhasil Raden tenangkan. Kami juga prajurit Pajang, sebagaimana Raden Panji. Jika Raden Panji mendapat kuasa untuk menumpas perampok dan penyamun di daerah ini, tentu bukan berarti bahwa Raden Panji juga mendapat kuasa untuk memperlakukan kami seperti itu. Karena itu, sekali lagi aku mengulangi permintaan Raden Puspasari. Silahkan duduk. Kita berbicara. Dengan demikian, kita akan mendapatkan penyelesaian yang terbaik, yang dapat kita pilih.”
“Kuasa yang aku terima tidak terkecuali“ jawab Raden Panji “kedatangan kalian akan dapat menimbulkan persoalan di sini, yang dapat mengguncangkan ketenangan yang dengan susah payah telah aku pulihkan. Karena itu, masih atas dasar kuasa yang aku terima dari Sultan, pergilah”
“Baiklah“ berkata Raden Puspasari kemudian “kami akan pergi. Tetapi keris pusaka dari Majapahit serta Wiranti akan aku bawa”
“Bawalah pusaka itu. Tetapi Mas Rara tidak. Ia melakukan kejahatan disini. la harus diadili disini, sebagaimana aku mengadili para perampok dan penyamun“ geram Raden Panji.
“Mas Rara bukan perampok dan bukan penyamun“ jawab Raden Puspasari.
“Ia berkhianat terhadapku. Justru terhadap seorang Senapati yang bertugas atas dasar kuasa tertinggi“ jawab Raden Panji semakin keras.
“Raden“ berkata Raden Puspasari kemudian “baiklah. Marilah kita lihat sebentar saja. Apakah sebenarnya kesalahan Mas Rara sehingga Raden menganggapnya berkhianat, atau memberontak, atau mengganggu ketenangan daerah kuasa Raden Panji”
Wajah Raden Panji menjadi tegang. Sementara Raden Puspasari berkata selanjutnya “Dalam hal ini, meskipun aku baru mendengar sedikit dari anak-anak muda yang mendahului perjalanan Mas Rara serta kakaknya, aku tahu, bahwa yang terjadi sama sekali tidak dapat disebut sebagai satu pemberontakan atau pengkhianatan atau semacamnya.”
“Kalian tidak tahu pasti persoalannya” geram RadenPanji.
“Raden“ Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata tidak lagi dapat menahan-perasaannya yang bergejolak “Raden mendapat tugas di sini untuk menghancurkan para perampok dan penyamun. Itu bukan berarti memberi wewenang kepada Raden Panji justru untuk merampok.”
“Merampok?“ wajah Raden Panji menjadi merah membara.
“Berapa tahun Raden Panji berada di tempat ini? Dua atau selama-lamanya tiga tahun. Berapa kali selama itu Raden Panji telah kawin? Dan apa yang sebenarnya Raden Panji lakukan di daerah ini terhadap perempuan-perempuau itu juga atas Mas Rara?“ suara Ki Tumenggung Purbarana mulai bergetar “saat terakhir Raden akan melakukan pelanggaran karena Raden Panji menghendaki Mas Rara sebelum hari perkawinan dilangsungkan."
“Cukup“ bentak Raden Panji “aku tidak mau mendengar fitnah buruk itu. Kalian tentu iri melihat keberhasilanku di sini. Namun dengan fitnah itu, akupun menjadi curiga, apakah benar kalian prajurit Pajang yang mengemban tugas sebagaimana yang kalian katakan.”
“Kami juga memiliki pertanda sebagaimana perintah kuasa yang kau bawa Raden“ jawab Ki Tumenggung Purbarana.
“Omong kosong. Pertanda itu dapat dibuat sendiri atau dipalsukan“ geram Raden Panji.
“Apakah Raden Panji juga melakukannya?“ bertanya Raden Puspasari.
“Aku sudah berada di sini lebih dari dua tahun. Jika pertanda yang aku bawa itu palsu, maka Pajang mempunyai kesempatan luas untuk mengambil tindakan” jawab Raden Panji lantang.
“Pertanda yang kau bawa memang tidak palsu Raden, tetapi pengetrapan kuasa di daerah ini itulah yang akhirnya menjadi palsu.“ sahut Raden Puspasari.
“Kau menghina seorang Senapati yang berkuasa di sini.“ teriak Raden Panji yang marah.
Namun tiba-tiba saja terdengar seseorang berkata. “Raden Puspasari benar. Bukan pertanda kuasa itu yang dipalsukan. Tetapi apa yang dilakukan Raden Panjilah yang palsu...”
Beberapa langkah dari para prajurit berkuda yang berhenti disimpang empat itu. Manggada telah memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti. Namun Laksana telah menyusul Manggada dan berhenti disisinya, sementara Wirantanapun telah meloncat pula dari dalam pedati.
“Jaga adikku baik-baik“ pesan Wirantana kepada sais pedati itu.
Beberapa saat anak-anak muda itu saling berhadapan dengan beberapa orang prajurit berkuda. Semuanya ada tujuh orang dengan senjata masing-masing.
Namun pemimpin prajurit itu tiba-tiba saja telah meloncat turun sambil berkata “Aku mengalami kesulitan malam ini”
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia dapat mengenali prajurit itu. Sementara itu pemimpin prajurit itu berkata selanjutnya “Aku mendapat perintah untuk menangkap kalian, tetapi bagaimana mungkin hal ini dapat aku lakukan?“
“Apakah kalian tidak mengenal kami?“ bertanya prajurit itu.
“Ya. aku kenal. Kau adalah pemimpin prajurit Raden Panji yang mendapat tugas menjemput Mas Rara“ jawab Manggada.
“Ya. Ternyata kalian telah menyelamatkan jiwaku pada saat itu. Karena itu aku tidak berhasil membawa Mas Rara karena tingkah laku pamannya itu, maka aku tentu akan digantung. Tanpa kalian maka Mas Rara tentu sudah hilang. Dan kami akan tergantung di tiang gantungan itu”
Manggada justru menjadi termangu-mangu. Sementara pemimpin prajurit jtu berkata ”Kami adalah prajurit yang membawa Mas Rara itu dari padukuhannya. Kami mendapat perintah dari Raden Panji untuk membawa Mas Rara kembali”
“Dan kalian berusaha untuk membawanya“ bertanya Manggada.
Pemimpin prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng lemah. Katanya hampir hanya terdengar oleh dirinya sendiri ”Tidak. Aku tidak dapat melakukannya. Aku tahu apa yang akan terjadi dengan Mas Rara jika ia kami bawa kembali. Raden Panji tidak akan memperlakukannya lagi sebagai seorang gadis yang akan dinikahinya sepekan lagi. Ia akan menghukum gadis itu dengan caranya. Cara seorang yang seakan-akan memang sudah tidak wajar lagi. Kelakuannya tidak pantas untuk disebut. Apalagi terhadap gadis-gadis yang diinginkannya”
“Jadi?“ bertanya Manggada.
“Baiklah. Teruskan perjalanan kalian. Aku akan mengatakan bahwa aku tidak dapat menjumpai kalian telah mengambil jalan lain dari jalan yang kami telusuri“ jawab prajurit itu.
“Apakah dengan demikian kalian tidak akan dihukum?“ bertanya Laksana.
“Hukumannya tentu akan lebih ringan. Kami dapat dianggap tidak melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Tetapi yang terjadi adalah diluar batas kemampuan kami” jawab pemimpin prajurit itu.
Manggada, Laksana dan Wirantana saling berpandangan sejenak. Hampir berbareng mereka mengucap “Terima kasih atas kebaikan kalian”
“Cepatlah, kamipun akan segera berpacu mengikuti jalan menyilang ini” Namun kemudian pemimpin prajurit itu berdesis perlahan “mudah-mudahan tidak ada pengkhianatan. Jika Raden Panji mengetahui hal itu, maka kami benar-benar akan digantung di ara-ara”
“Apakah sebenarnya ia berhak melakukannya?“ bertanya Wirantana.
“Raden Panji mendapat wewenang tanpa batas. Maksudnya untuk mengatasi keadaan yang tidak aman didaerah ini karena sebuah gerombolan perampok dan penyamun yang besar dan kuat yang bahkan kemudian menghimpun para penjahat yang lain. Brandal, gegedug dan bahkan pencuri-pencuri kecil, mereka ikut dalam satu gerombolan. Raden Panji memang berhasil. Dengan kekerasan yang tidak tanggung-tanggung Raden Panji berhasil menumpas gerombolan itu. Menangkap beberapa orang diantaranya. Namun sebagian dari mereka sudah dihabisi oleh Raden Panji sendiri sebelum dibawa ke Pajang”
“Bukankah dengan demikian Raden Panji menjadi seorang pahlawan?“ bertanya Laksana.
“Tetapi setelah gerombolan perampok itu dimusnahkannya menjadi debu, maka kekuasaan yang ada ditangannya dipergunakan menurut kehendak hatinya sendiri” jawab prajurit itu. Lalu katanya pula “Kadang-kadang Raden Panji itu bertindak bijaksana. Namun justru yang sering dilakukan, ia lupa pada sangkan paraning dumadi”
“Apakah tidak ada laporan kepada para Senapati di Pajang?“ bertanya Wirantana.
“Siapa berani memberikan laporan? Jika laporan itu jatuh ketangan sahabat Raden Panji, maka orang yang memberikan laporan itu akan dapat menjadi ndeg pengamun-amun“ jawab prajurit itu. Namun katanya kemudian “Sudahlah. Lanjutkan perjalananmu. Sebaiknya kalian tidak berhenti sejauh mungkin kuda kalian dapat bertahan. Kalian dapat beristirahat sebentar untuk memberi kesempatan kuda kalian minum dan makan rumput diperjalanan itu. Tetapi kalian harus segera melanjutkan perjalanan kalian sampai ke rumah. Setelah itu terserah kepada kalian. Tetapi pertimbangkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas kalian sekeluarga”
“Jadi?“ bertanya Wirantana “apakah kami harus mengungsi?“
“Aku kira itu adalah kemungkinan yang paling baik” jawab pemimpin prajurit itu. Lalu katanya ”Bawa Mas Rara keluar dar i daerah kekuasaan Raden Panji. Tetapi kalian harus tahu, bahwa Raden Panji adalah pendendam. Ia tentu masih akan mencari Mas Rara sepanjang sisa umurnya”
Wirantana mengangguk-angguk. Katanya “Terima kasih atas keterangan Ki Sanak. Bahkan kami segera melanjutkan perjalanan”
Perjalanan ke Nguter memang perjalanan yang agak panjang. Karena itu, maka semua yang ada di iring-iringan itu harus mampu menyesuaikan diri dengan perjalanan mereka yang berat. Jauh lebih berat dari perjalanan ke Pajang pulang balik.
Sejenak kemudian, maka Mas Rara dan para pengawalnya telah melanjutkan perjalanan. Namun mereka masih akan selalu dibayangi oleh kekuasaan dan kewenang-wenangan Raden Panji.
Meskipun demikian disepanjang perjalanan, anak-anak muda itu masih sempat mengagumi keberanian pemimpin prajurit yang telah memberikan kesempatan kepada Mas Rara untuk melarikan diri.
Dua kali anak-anak muda itu mendapat pertolongan dari orang yang berbeda, sehingga mereka masih dapat melanjutkan perjalanan. Tetapi mereka tidak tahu, apabila sekali lagi ada sekelompok prajurit mampu mengejar mereka lagi, maka apakah mereka masih sempat untuk membebaskan diri.
Malam itu, pedati yang ditarik kuda itu masih berjalan terus diikuti oleh beberapa penunggang kuda yang letih. Tetapi mereka tidak berhenti sejauh dapat mereka capai. Ketika matahari terbit, iring-iringan itu memang sempat berhenti sejenak disebelah jalan yang tidak begitu besar. Laksana telah dengan tergesa-gesa pergi ke sebuah kedai yang baru saja dibuka, sementara kuda-kuda mereka sempat beristirahat sambil minum air bening yang mengalir disebuah parit.
“Kasihan kuda-kuda itu“ desis Manggada.
Tetapi mereka tidak berhenti terlalu lama. Merekapun segera melanjutkan perjalanan mereka menuju ke padukuhan Nguter. Wirantana merasa tidak perlu mencari jalan lain dari jalan yang paling dekat yang dapat ditempuh, karena orang-orang Raden Panji sudah tahu dengan pasti, dimanakah letaknya Nguter.
Yang penting menurut perhitungan Wirantana adalah sampai ke rumah dan langsung mengungsi ke tempat yang berada diluar jangkauan kekuasaan Raden Panji.
“Tetapi kemana?“ pertanyaan itu telah semakin menggelisahkan Wirantana.
“Akan dipikirkan kemudian“ katanya didalam hati.
Demikianlah, maka secepat-cepat dapat dilakukan, pedati itupun berderap diatas jalan yang tidak terlalu rata. Mas Rara yang telah sama sekali tidak mau makan apapun yang dibeli oleh Laksana. Kegelisahannaya tidak memungkinkan untuk menelan apapun juga.
Tetapi Manggada, Laksana dan Wirantana sendiri sempat makan makanan yang telah dibeli sambil duduk dipunggung kuda. Demikian juga kedua orang yang dikirim oleh Ki Jagabaya untuk melayani pedati serta kudanya itu.
Mataharipun menjadi semakin terik. Panasnya terasa makin menggigit kulit. Ketika mereka melampaui jalan yang lewat diantara pegunungan yang kecil berbatu-batu padas, maka mereka menjadi semakin berpengharapan bahwa mereka akan dapat sampai ke rumah dengan selamat.
Tetapi perjalanan ke padukuhan Nguter memang jauh. Dengan demikian maka Wirantana tidak dapat memaksa kuda-kuda dari iring-iringan yang kecil itu untuk berjalan terus. Jika Wirantana memaksanya juga, maka mungkin kuda-kuda itu justru akan kehabisan tenaga diperjalanan. Karena itu, maka perjalanan itupun menjadi perjalanan yang cukup lama.
Sementara itn, Raden Panji yang mendapat laporan dari penolakan Mas Rara untuk datang ke rumahnya, serta sikap anak-anak muda yang menyertainya dari padukuhan Nguter telah membuatnya sangat marah. Demikian marahnya Raden Panji, sehingga berteriak-teriak memberikan beberapa perintah.
Apalagi ketika ia menyadari bahwa prajurit-prajurit yang ada di rumah pondokan Mas Rara tidak dapat mengatasi anak-anak muda itu. Bahkan hadirnya orang yang tidak dikenal dan ikut campur dalam persoalan itu.
Kemarahan Raden Panji memuncak ketika ia mendapat laporan dari sekelompok pasukan berkuda, bahwa mereka tidak menemukan Mas Rara setelah mereka mengelilingi lingkungan itu, terutama mengikuti jalan kearah padukuhan Nguter.
“Kenapa kau kembali tanpa membawa Mas Rara?“ teriak Raden Panji.
Kakinya tiba-tiba saja telah menghantam pemimpin prajurit yang telah memberikan kesempatan kepada Mas Rara untuk melepaskan diri sehingga prajurit itu jatuh terlentang.
“Ampun Raden Panji” mohon prajurit itu kemudian ”jika Raden Panji berkenan, kami akan menyusulnya ke padukuhan Nguter. Jalan manapun yang mereka tempuh, maka kami berjanji bahwa kami akan datang lebih dahulu di rumah Mas Rara itu. Kami akan menangkap kedua orang tuanya dan apabila Mas Rara langsung pulang, kamipun akan menangkapnya dan membawanya menghadap Raden Panji”
“Setan kau. Kau akan melarikan diri dari hukuman yang pantas aku berikan kepadamu he?“ bentak Raden Panji.
“Tidak Raden. Hukuman apapun yang akan diberikan kepadaku, akan aku terima dengan kepala tunduk. Namun demi kesetiaanku, maka aku ingin benar-benar membawa Mas Rara menghadap Raden Panji.
“Tidak. Kau tidak boleh pergi sendiri. Siapkan kudaku. Aku sendiri akan pergi ke Nguter. Aku sendiri akan menangkap perempuan liar itu dan menghukumnya sepanjang jalan dari Nguter sampai ke rumahku menurut caraku. Ia harus menjalani hukuman yang terberat dari antara semua hukuman yang pernah aku berikan kepada isteri-isteriku sebelumnya, sehingga akhirnya perempuan itu akan aku hukum mati karena ia telah menghina aku yang berkuasa di daerah ini”
Tidak seorangpun yang berani menjawab apalagi membantah. Namun dalam pada itu, Raden Panji itu berdesis dengan nada rendah ”Tetapi ia sangat cantik. Ia harus menjadi isteriku sebelum aku akan menghukumnya dengan hukuman yang terberat”
Pemimpin prajurit itu mengumpat di dalam hati. Tetapi ia masih saja menundukkan kepalanya. Ia tahu, Raden Panji adalah orang yang berilmu sangat tinggi sehingga dengan ilmunya itu ia mampu menduduki jabatannya yang seakan-akan tidak dapat diganggu gugat itu.
Tetapi pemimpin prajurit itu terkejut ketika Raden Panji tiba-tiba saja membentak “Cepat, sediakan kudaku atau aku bunuh kau”
Pemimpin prajurit itupun segera bergerak. Ia dengan tergesa-gesa telah pergi ke belakang untuk mencari orang yang terbiasa memelihara kuda yang paling baik milik Raden Panji itu. Dalam waktu tidak terlalu lama kuda itu memang sudah siap. Tetapi prajurit itu tidak segera membawa kuda itu ke halaman. Ia masih memerintahkan orang yang menyiapkan kuda itu untuk memberi makan lebih dahulu.
“Kuda ini telah makan dengan kenyang“ berkata gamel yang mengurusi kuda-kuda Raden Panji itu.
“Tetapi kuda ini akan menempuh perjalanan jauh“ jawab prajaurit itu.
Gamel itu tidak menjawab lagi. Iapun telah menyiapkan makanan secukupnya bagi kuda yang telah disiapkan bagj Raden Panji itu.
Namun sebelum kuda itu sempat makan, seorang prajurit berlari-lari ke belakang sambil berkata “Kakang. Raden Panji sudah tidak sabar lagi. Cepat sebelum ia datang sendiri kemari dan membunuhmu disini”
Pemimpin prajurit itu mengangguk. Katanya ”Baiklah. Aku akan membawa kuda ini ke halaman depan”
Sejenak kemudian itu telah siap. Demikian pula beberapa ekor kuda yang lain. Dengan lantang Raden Panji berkata ”Kita akan pergi. Lima belas orang akan ikut bersamaku”
Sejenak kemudian, maka enam belas ekor kuda sudah berpacu menuju ke padukuhan Nguter, termasuk pemimpin prajurit yang telah memberi kesempatan Mas Rara pergi, bersama prajurit-prajurit. Sementara itu, beberapa orang yang lain harus tinggal untuk menjaga para tawanan yang disimpan di padukuhan yang menjadi pusat pengendalian dari pasukan Raden Panji itu.
Ternyata Raden Panji dan prajurit-prajuritnya berpacu lebih cepat dari pedati yang ditumpangi Mas Rara. Meskipun jarak pada saat Raden Panji berangkat dengan pedati Mas Rara cukup jauh, tetapi kuda Raden Panji berpacu seperti angin.
Prajurit yang pernah merasa diselamatkan kedudukannya oleh anak-anak muda yang menyertai Mas Rara itu memang menjadi berdebar-debar. Ia telah berusaha menghambat keberangkatan Raden Panji dengan menghambat kesiagaan kudanya. Tetapi ternyata itu tidak berpengaruh banyak.
Kuda Raden Panji yang berpacu didepan memang seperti seekor kuda yang ketakutan karena dikejar hantu. Tanpa menghiraukan bahaya yang dapat terjadi diperjalanan. Raden Panji berpacu dengan cepatnya.
Di jalan yang agak ramai, Raden Panji memang sedikit mengurangi kecepatannya. Tetapi laju kudanya masih tetap jauh lebih cepat dari laju pedati yang ditunggangi oleh Mas Rara. Hanya karena kesempatan yang telah didapatkannya dengan berlari lebih dahulu sajalah, maka pedati itu tidak segera dapat disusul.
Wirantana rasa-rasanya ingin terbang saja melintasi jarak yang tersisa. Iapun sudah membayangkan bahwa dibelakangnya sekelompok prajurit dibawah pimpinan Raden Panji sendiri tengah memburunya. Seperti dikatakan oleh prajurit yang melepaskannya meneruskan perjalanan itu bahwa Raden Panji adalah seorang pendendam.
Sisa-sisa hari berjalan sangat cepat. Justru perjalanan merekalah yang terasa maju sangat lamban. Ketika matahari terbenam Mas Rara masih belum sampai ke rumahnya Namun akhirnya, iring-iringan kecil itu telah mendekati padukuhan Nguter. Padukuhan yang nampaknya sudah menjadi sepi. Pintu-pintu sudah ditutup setelah lampu dan oncor mulai dipasang di regol-regol halaman. Nguter agaknya memang sudah lelap.
Ketika pedati yang ditumpangi Mas Rara masuk ke regol padukuhan, maka kegelisahan justru semakin membakar jantung. Rasa-rasanya kudanya sudah tidak mau berlari lagi. Nampaknya kuda-kuda itu telah menjadi sangat letih.
Dalam pada itu, jarak antara pedati yang membawa Mas Rara dengan iring-iringan orang berkuda yang dipimpin langsung oleh Raden Panji itu menjadi semakin pendek. Meskipun jarak yang ditempuh cukup panjang, tetapi Raden Panji tidak terlalu banyak beristirahat. Kecepatan lari kudanyapun berlipat dengan kecepatan lari kuda pedati Mas Rara.
Wirantana memang menjadi sangat gelisah. Ia harus segera sampai ke rumah. Memaksa ayah dan ibunya berkemas dan dengan cepat pergi mengungsi. Tetapi pedati itu memang tidak mau berjlan lebih cepat lagi. Sais yang memegang kendali kuda penarik pedati itupun telah mencoba untuk menyentuh kudanya dengan ujung cemeti. Tetapi kuda itu hanya menghentak dua tiga langkah. Lalu kembali berlari dengan letihnya.
Karena kegelisahan yang menghentak jantung, maka Wirantana itupun kemudian berkta kepada adiknya “Kita sudah ada di padukuhan. Biarlah aku mendahului perjalanan kalian agar aku sempat minta kepada ayah dan ibu untuk bersiap-siap. Kita semuanya harus mengungsi ketempat yang tidak diketahui oleh Raden Panji”
“Jangan tinggalkan aku, kakang“ minta Mas Rara.
“Tetapi kita tidak boleh terlambat“ jawab Wirantana.
“Kau tetap bersamaku“ berkata Mas Rara dengan suara yang sangat dalam.
Wirantana tidak sampai hati meninggalkan adiknya yang ketakutan. Namun iapun berharap agar ayah dan ibunya akan sempat bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang sangat buruk itu. Karena itu, maka Wirantana menjadi bingung.
Dalam pada itu, Manggadalah yang kemudian berkata ”Apakah kau sependapat, jika aku mendahului perjalanan kalian? Bukankah perjalanan ini sudah tidak jauh lagi?“
Wirantanalah yang ragu-ragu. Jika Raden Panji dan pasukannya datang menyusul, maka ia tidak mempunyai seorang kawanpun untuk melindungi Mas Rara. Namun akhirnya Wirantanapun setuju. Kedua orang sais dan pembantunya itu tentu akan bersedia berbuat sesuatu.
Karena itu, maka Wirantanapun kemudian berkata “Baiklah. Pergilah. Biarlah ayah dan ibu menyiapkan kuda agar kita dapat segera berangkat. Kuda pedati itu harus diganti agar kita dapat berjalan lebih cepat. Mudah-mudahan Raden Panji tidak membawa seorang atau lebih orang-orang yang ahli dalam menelusuri jejak”
Manggada dan Laksanapun tidak membuang waktu lagi. Keduanya telah mempercepat derap kuda mereka yang masih lebih segar dari kuda penarik pedati itu. Apalagi kuda-kuda kedua anak muda itu tidak menarik muatan apapun juga.
Demikianlah kedua ekor kuda itupun segera berpacu. Mereka sudah mengenal dengan baik jalan menuju ke rumah Ki Partija Wirasentana. Karena itu, maka kedua anak muda itu dengan cepat telah mendekati regol rumah Ki Partija Wirasentana.
Dengan tergesa-gesa keduanya langsung memasuki regol halaman yang ternyata masih terbuka. Namun kedua orang anak muda itu terkejut sekali. Demikian mereka memasuki regol, maka beberapa orang yang sudah berada di halaman segera bergeser ke pintu. Tanpa menutup pintu regol, orang-orang itu telah merundukkan ujung tombak pendek mereka.
Manggada dan Laksana segera meloncat turun dari kudanya. Demikian mereka sempat memperhatikan orang-orang yang berdiri dipintu, maka keduanya berdesis “Prajurit”
“Kita terjebak“ berkata Manggada “untung Mas Rara tidak bersama kita”
“Tetapi bagaimana kita sempat memberitahukan kepadanya?“ desis Laksana.
Keduanyapun tidak segera mendapatkan jalan yang dapat mereka tempuh untuk menyelamatkan Mas Rara. Sementara itu, beberapa orang prajurit telah mengepung mereka. Sekilas Manggada dan Laksana sempat menghitung. Delapan orang.
Manggada dan Laksanapun segera berdiri saling membelakangi. Dengan serta merta mereka telah mencabut pedang-pedang mereka dan siap menghadapi segala kemungkinan, meskipun bagi mereka delapan orang itu tentu terlalu banyak.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja dari pringgitan terdengar suara orang bertanya “Siapakah mereka?“
Salah seorang prajurit menjawab “Kami tidak tahu. Kedua-duanya langsung menyerbu masuk dan tiba-tiba saja telah mencabut pedang.
Beberapa orang telah melintasi pendapa dan kemudian turun kehalaman. Sementara itu, beberapa buah obor menerangi halaman rumah itu. Seorang diantara mereka yang turun dari pendapa itu adalah Ki Partija Wirasentana. Berlari-lari ia mendekati Manggada dan Laksana sambil berkata,
“Ngger, kaukah itu?“
“Ya“ jawab Manggada “kami datang tergesa-gesa Ki Partija. Tetapi kami terlambat. Para prajurit ini telah berada disini."
“Prajurit yang mana? Apakah angger tahu, dari mana datangnya para prajurit ini?“ bertanya Ki Partija.
“Bukankah mereka prajurit Raden Panji?“ bertanya Laksana.
“Raden Panji Prangpranata maksud angger?“ bertanya Ki Partija pula.
“Ya!“ jawab Laksana.
Ki Partija menggeleng. Katanya “Bukan ngger. Mereka bukan prajurit yang dikirim oleh Raden Panji. Tetapi kenapa angger menjadi tergesa-gesa dan menyangka bahwa para prajurit ini prajurit Raden Panji?“
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada berkata “Ada sesuatu yang penting harus aku sampaikan kepada Ki Partija Wirasentana. Tetapi prajurit-prajurit ini datang dari mana dan untuk apa?“
“Marilah, silahkan duduk“ berkata Ki Partija Wirasentana “tetapi kenapa angger tiba-tiba saja telah menarik pedang? Apa yang sebenarnya terjadi?“
“Ki partija“ berkata Manggada yang menjadi sangat tegang. Mas Rara berada diperjalanan. Beberapa saat lagi ia akan sampai kehalaman rumah ini. Kami minta Ki Partija dengan cepat bersiap-siap. Kita harus mengungsi”
“Kenapa kita harus mengungsi? Apa yang telah terjadi?“ bertanya Ki Partija tegang.
“Mas Rara melarikan diri dari tangan Raden Panji yang nampaknya ingin melanggar paugeran. Raden Panji menghendaki Mas Rara sebelum hari pernikahan dilangsungkan. Sedangkan Mas Rara berpegang teguh pada batas-batas ketentuan hubungan antara laki-laki dan perempuan menurut paugeran“ jawab Manggada.
“Bagaimana hal itu dapat terjadi?“ bertanya Ki Partija.
“Wirantana tidak sampai hati melihat kesulitan Mas Rara. Kami telah menembus para penjaga dan melarikan diri. Kami tahu, bahwa saat ini Raden Panji dengan pasukannya sedang mengejar kami menuju kemari. Karena itu, Wirantana minta agar Ki partija Wirasentana bersiap untuk mengungsi. Jika tidak, maka kedatangan Raden Panji akan merupakan malapetaka bagi kita semuanya” berkata Manggada kemudian.
Ki Partija memang menjadi bingung. Diluar sadarnya ia memandang orang-orang yang turun bersamanya dari pringgitan.
Seorang diantara mereka, seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang dengan lengan dan bahu yang kekar maju selangkah. Ketika ia berbicara, maka Manggada dan Laksana terkejut. Suaranya tidak mencerminkan kegarangan tubuhnya. Tetapi suaranya terdengar lembut “Aku mendengar ceritamu anak-anak muda. Memang belum begitu jelas. Tetapi yang sedikit itu telah memberikan gambaran, bahwa gadis yang disebut Mas Rara itu lari dari Raden Panji dan menuju kemari”
“Ya, ya Ki Sanak“ sahut Manggada.
Tiba-tiba saja Ki Partija memotong ”Kau tentu belum mengenalnya. Ki Tumenggung Purbarana, sedangkan yang berdiri disebelahnya itu adalah Raden Puspasari. Salah seorang bangsawan keturunan dari Majapahit yang kini berada di istana Pajang”
“Keturunan Majapahit?“ ulang Manggada dan Laksana hampir berbareng. Jantungnya memang menjadi berdebar-debar.
“Tetapi bagaimana dengan Mas Rara?“ bertanya Manggada dengan tegang.
Raden Puspasari yang disebut sebagai keturunan dari Majapahit yang berada di Pajang itu telah menyahut “Baiklah Ki Sanak. Biarlah Mas Rara kembali ke rumah ini”
“Tetapi jika Raden Panji datang pula dengan prajurit-prajuritnya?“ bertanya Manggada.
“Kami akan berbicara dengan Raden Panji“ jawab Raden Puspasari.
“Apakah Raden mengenal Raden Panji?“ bertanya Laksana tiba-tiba.
Bangsawan itu menggeleng. Katanya ”Secara pribadi belum. Tetapi bukankah kita dapat berbicara dengan baik? Raden Panji adalah seorang Senopati perang. Karena itu, maka penalarannya tentu dapat berjalan dengan baik“
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Partija wirasentana yang juga menjadi cemas bertanya “Apakah Raden dapat melindungi Mas Rara?“
Raden Puspasari tersenyum. Katanya “Kita akan berbicara baik-baik. Ki Partija. Bukankah nalar budi yang ada pada kita dapat kita pergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan? Jika kita bersikap baik dan berbicara dengan baik, aku kira tidak akan ada persoalan yang tidak akan dapat kita selesaikan”
“Tetapi Raden Panji mempunyai sikap yang sangat keras menghadapi orang-orang yang dianggap berani menentang perintahnya“ berkata Laksana dengan nada cemas.
“Ia seorang Senapati yang mendapat tugas untuk menenangkan satu daerah yang bergejolak” sahut Ki Tumenggung Purbarana “dengan demikian maka memang perlu sikap yang keras dan tegas."
“Tetapi juga kepada orang-orang yang tidak bersalah seperti Mas Rara” desis Laksana.
“Tenanglah anak muda“ berkata Ki Tumenggung sambil tersenyum.
Manggada dan Laksana tidak sempat berbicara panjang. Mereka telah mendengar gemeretak kereta kuda serta derap kaki kuda yang mengikutinya.
“Mereka datang“ berkata Manggada.
Sebenaranyalah sejenak kemudian sebuah pedati yang ditarik kuda telah memasuki halaman rumah Ki Partija. Didalamnya terdapat Wirantana yang terkejut sekali melihat beberapa prajurit telah berada di halaman rumah itu. Terdengar pekik kecil Mas Rara yang ketakutan.
Dengan sigap Wirantana meloncat turun. Ia melihat Manggada dan Laksana memegang pedang ditangannya, sehingga dengan serta merta iapun telah menarik pedangnya pula.
Suasana memang menjadi tegang. Manggada dan Laksana yang semula mulai menundukkan pedangnya, tiba-tiba pedang itu telah terangkat kembali. Terdengar Manggada berdesis ”Apakah kami tidak berada dalam jebakan Raden Panji?“
“Kami bukan sekelompok prajurit dibawah pimpinan Raden Panji“ berkata Ki Tumenggung Purbarana.
Wirantana masih bingung. Namun Ki Partija kemudian telah berlari-lari mendapatkan Mas Rara yang gemetar.
“Ayah“ Mas Rara yang kemudian turun dari pedati itu langsung memeluk ayahnya.
“Marilah. Kita mendapatkan ibumu“ berkata ayahnya.
“Siapakah mereka ayah? Apakah mereka utusan Raden Panji?“ bertanya Mas Rara.
“Bukan. Bukan ngger“ jawab Ki Partija.
“Tetapi siapa?“ desak Wirantana
”Nanti aku ceriterakan. Sekarang marilah, masuklah” ajak Ki Partija.
Tetapi Wirantana berkata “Ayah. Kita harus menyelamatkan diri dari tangan Raden Panji. Setidak-tidaknya kita harus menyelamatkan Mas Rara. Biarlah aku disini, menghambat Raden Panji yang tentu akan mengejar kami”
“Sudahlah anak muda” berkata Raden Puspasari ”tenanglah. Kita masing-masing membawa ceritera yang panjang yang tidak sempat kita ceriterakan sekarang. Tetapi sebaiknya kita tidak usah gelisah. Biarlah nanti kita bersama-sama berbicara dengan baik-baik jika Raden Panji datang. Betapapun keras hatinya, jika kita bersikap baik dan lunak, maka aku kira hatinya akan menjadi lunak pula”
“Tetapi Raden Panji adalah seorang yang keras hati “ berkata Wirantana.
“Kedua orang anak muda yang datang lebih dahulu itupun telah mengatakannya” jawab Raden Puspasari “Tetapi aku masih tetap berkeyakinan, bahwa kita nanti akan dapat berbicara dengan baik”
Wirantana termangu-mangu. Tetapi seperti juga Manggada dan Laksana, masih ada kecurigaan yang memancar disorot mata mereka. Namun dalam pada itu, Ki Partija telah membimbing Mas Rara naik kependapa, kemudian masuk keruang dalam. Demikian Mas Rara bertemu dengan ibunya, maka tangannya bagaikan meledak. Bahkan ibunya yang ingin menenangkan hati gadis itu, ternyata telah ikut menangis pula.
“Sudahlah“ berkata Ki Partija ”duduklah dengan tenang. Mudah-mudahan persoalannya akan segera dapat diselesaikan dengan baik”
Demikian Mas Rara dan ibunya duduk diruang dalam, maka Ki Partija Wirasentana telah kembali ke halaman. Meskipun Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari nampak tenang, tetapi terasa ketegangan telah mencengkam halaman rumah itu.
Beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak dan pedang, berdiri tegak tanpa mengetahui persoalan yang sedang berkembang. Namun ketika mereka melihat Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari masih belum menunjukkan kegelisahannya, para prajurit itupun masih berusaha untuk tetap tenang.
Dalam pada itu, maka Raden Panji yang marah berderap bersama para prajuritnya menyusul Mas Rara. Hampir tanpa mengucapkan sepatah katapun disepanjang perjalanan selain perintah-perintah dan umpatan-umpatan kasar. Raden Panji memacu kudanya secepat-cepatnya. Sementara malam masih mencengkam.
Namun akhirnya Raden Panji dan para pengiringnya itupun menjadi semakin dekat dengan padukuhan Nguter. Bahkan Raden Panji masih memaksa kudanya berlari lebih cepat lagi.
Beberapa ekor kuda mulai tertinggal beberapa langkah dibelakang iring-iringan itu. Semakin lama semakin banyak meskipun jaraknya tidak terlalu jauh. Sementara itu kuda Raden Panji yang tegar itu masih berdiri dengan kecepatan yang sangat tinggi, tanpa menghiraukan kemungkinan buruk yang dapat terjadi jika kuda itu terperosok kakinya ke dalam lubang disepanjang jalan atau terantuk batu yang cukup besar.
Darah Raden Panji justru terasa mendidih ketika ia memasuki pintu gerbang padukuhan Nguter. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menerkam dan mencekik Mas Rara yang telah berani menolak kemauannya. Bahkan kemudian telah melarikan diri dari tangannya. Satu hal yang belum pernah terjadi pada isteri-isterinya yang terdahulu. Bahkan tidak seorangpun yang berani menentang kemauannya.
Dalam pada itu, orang-orang yang ada di halaman rumah Ki Partijapun segera mendengar derap kaki kuda yang semakin lama semakin dekat. Ki Tumenggung Purbarana pun segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk bergeser dan menempatkan diri ditempat yang tidak menarik perhatian. Tidak ada tanda-tanda bahwa di halaman itu telah bersiap sekelompok orang untuk melakukan kekerasan.
Sementara Wirantana, Manggada dan Laksanapun telah menepi pula, berdiri didepan tangga pendapa. Didepannya Ki Partija Wirasentana berdiri bersama Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari.
Pedati yang ditarik kuda dan membawa Mas Rara melarikan diri itupun telah digeser ke pinggir halaman, dibawah sebatang pohon nangka. Sedangkan kedua orang yang melayani pedati itu berdiri termangu-mangu menunggu apa yang akan terjadi kemudian.
Sejenak kemudian, maka derap kaki kuda disepanjang jalan padukuhan itu menjadi semakin dekat. Orang-orang padukuhan yang semula terkejut mendengar derap kaki dua tiga ekor kuda, serta gemeretak pedati, telah terkejut pula mendengar pasukan berkuda lewat jalan padukuhan.
Beberapa orang yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak menjadi berdebar-debar. Mereka memang sudah mengira bahwa derap kaki kuda yang rasa-rasanya datang berturut-turut itu ada hubungannya dengan Mas Rara.
“Apa yang telah terjadi?“ desis seorang perempuan yang menjadi cemas mendengar kuda-kuda yang berlari-larian dimalam hari itu.
“Entahlah“ jawab suaminya “mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu”
Keduanya tidak bercakap-cakap lagi. Mereka sudah tidak mendengar apa-apa diluar. Derap kaki kuda itu sudah menjauh dan keduanya memang yakin, bahwa kuda-kuda itu menuju ke rumah Ki Partija Wirasentana.
Sebenarnyalah Raden Panji telah memacu kudanya langsung memasuki regol halaman yang memang telah dibuka. Para prajuritnyapun telah mengikutinya pula, langsung menebar dihalaman yang memang agak luas itu.
Namun ternyata Raden Panji pun terkejut melihat orang-orang yang sudah berada di halaman. Meskipun mereka sama sekali tidak menunjukkan kesiagaan untuk bertempur, namun orang-orang yang berdiri berderet di pinggir halaman, di depan tangga pendapa serta pedati dibawah pohon nangka, membuat jantungnya berdegup semakin keras.
Tiba-tiba saja masih diatas punggung kudanya Raden Panji berteriak lantang “Jadi kalian sudah bersiap-siap untuk melawan aku he? Apakah kalian sudah menjadi gila? Aku mendapat wewenang mengambil tindakan apapun untuk membuat daerah ini tenteram. Siapa yang melawan perintahku sama dengan melawan kekuasaan Pajang, sehingga mereka dapat disebut pemberontak. Dengan dasar itu, aku akan dapat membunuh semua orang yang ada disini, yang sudah bersiap untuk memberontak!”
Orang-orang yang berdiri dihalaman masih belum ada yang menjawab ketika Raden Panji kemudian berteriak ”Partija, Partija Wirasentana!”
Ki Partija Wirasentana terkejut. Seperti seorang yang terbangun dari mimpi. Wajahnya menjadi tegang dan jantungnya berdebar-debar. Karena Ki Partija Wirasentana masih saja termangu-mangu, maka Raden Panji itupun telah meloncat turun dari kudanya. Dengan demikian maka para prajuritnyapun telah berloncatan turun pula. Seorang diantara prajurit-prajurit itu telah mendekati Raden Panji untuk menerima kudanya dan membawanya menepi.
Beberapa langkah Raden Panji bergeser maju. Sekali lagi ia memanggil. “Partija Wirasentana. Kemari. Bukankah kau tidak tuli”
“Ya, ya Raden“ jawab Ki Partija gagap. Selangkah ia maju.
“Mana anakmu itu he?“ bentak Raden Panji.
“Ia ada didalam Raden“ jawab Ki Partija.
“Apakah kau kira kau dapat melawan Pajang?“ suaranya bergetar menghentak-hentak karena kemarahan yng membakar isi dadanya.
Wajah Raden Panji masih tegang. Ia melihat dalam keremangan cahaya obor dan lampu minyak, orang-orang yang berdiri dihalaman itu. Mereka tidak menunjukkan sikap bermusuhan. Tetapi merekapun tidak menjadi ketakutan.
Dengan nada tinggi Raden Panji kemudian bertanya lantang. ”Siapakah mereka? Kau upah orang untuk melindungimu dari kuasaku? Tentu kau bayar mereka dengan Mas Kawin yang kau terima untuk Mas Rara yang ternyata berkhianat itu.”
“Sama sekali tidak Raden” berkata Ki Partija Wirasentana dengan jantung yang berdebaran.
“Jadi siapakah mereka yang berada di halaman ini?” bertanya Raden Panji.
“Mereka adalah prajurit dari Pajang“ jawab Ki Partija Wirasentana.
“Kau jangan mengigau seperti orang gila. Aku memang melihat mereka berpakaian seperti prajurit Pajang. Tetapi disini, akulah penguasa tunggal dari Pajang. Tidak ada pasukan yang lain yang mendapat wewenang berkeliaran di daerah ini tanpa ijinku.“ Raden Panji hampir berteriak.
“Tetapi mereka benar-benar prajurit Pajang, Raden” jawab Ki Partija Wirasentana.
“Siapa pemimpinnya, aku ingin bicara” geram Raden Panji.
Yang melangkah maju adalah Ki Tumenggung Purbarana. Seorang Tumenggung yang memiliki bentuk tubuh yang meyakinkan. Namun sikapnya bukan sikap seorang prajurit yang kasar.
”Siapa kau?“ bertanya Raden Panji.
“Aku Tumenggung Purbarana” jawab Ki Tumenggung.
Raden Panji mengerutkan keningnya. Ia memang melihat tanda-tanda seorang perwira prajurit Pajang. Raden Panji yang marah itu memang mencoba untuk mengekang diri. Dihadapan seorang Tumenggung Raden Panji harus berpikir ulang untuk membentak-bentak.
Sebelum Raden Panji menjawab, Tumenggung Purbarana berkata selanjutnya “Yang berdiri disebelah ini adalah Raden Puspasari. Cucu dari Pangeran Kuda Kertanata, putera Prabu Brawijaya Pamungkas. Yang sekarang berada di Pajang, karena ibunda Raden Puspasari yang berada di Demak telah memerintahkannya untuk menyertai pusaka-pusaka yang disemayamkan dari Majapahit dan berada di Demak untuk selanjutnya dibawa ke Pajang."
Wajah Raden Panji nampak menjadi semakin tegang. Namun kemudian tiba-tiba ia berkata “Aku hormati kedudukan Ki Tumenggung serta Raden Puspasari. Tetapi aku mohon maaf. Daerah ini adalah kuasaku. Aku mendapat wewenang dengan pertanda cincin kekuasaan pemerintah Pajang di daerah ini”
“Ya, ya. Kami tahu Raden Panji“ jawab Ki Tumenggung Purbarana. Lalu katanya “Raden Panji justru telah dianggap berhasil membuat daerah yang bergolak ini menjadi tenang kembali“
“Tetapi kenapa Ki Tumenggung berada didaerah kuasaku tidak memberitahukan kepadaku lebih dahulu, apalagi mendapat ijinku“ bertanya Raden Panji.
“Persoalan kami sekedar persoalan keluarga. Kami tidak mencampauri keberhasilan Raden Panji di daerah ini. Kamipun sama sekali tidak mengulangi kuasa Raden Panji untuk menentukan kebijaksanaan didaerah ini” jawab Ki Tumenggung Purbarana.
“Jika demikian, kami yang mendapat tugas didaerah ini mohon agar Ki Tumenggung serta Raden Puspasari meninggalkan daerah ini” berkata Raden Panji.
“Tentu. Kami akan segera meninggalkan daerah ini” jawab Ki Tumenggung Purbarana “bahkan barangakali akan lebih cepat dari yang Raden duga”
“Tetapi apa hubungan Ki Tumenggung dengan Partija Wirasentana sehingga Ki Tumenggung berada dirumah ini?” bertanya Raden Panji kemudian.
“Kami mendapat perintah untuk melihat kembali, apakah benar bahwa dirumah Ki Partija ini telah dititipkan sebilah pusaka dari Majapahit, milik Pangeran Kuda Kertanata yang dibawa oleh puteranya Raden Kuda Respada yang mengembara sejak kanak-kanak. Yang kemudian hidup dan tinggal di padesan dengan nama Ki Respada. Namun ketika isterinya meninggal saat melahirkan, maka Ki Respada telah meneruskan perjalanan menuju ke Demak. Tetapi pusaka yang dibawanya dari Majapahit itu telah ditinggalkan di sebuah padukuhan. Nama padukuhan itu Nguter. Sedangkan orang yang mendapat titipan itu namanya Partija dan kemudian menjadi Partija Wirasentana“ jawab Tumenggung Purbarana. Lalu katanya pula ”Raden Puspasari ini adalah orang yang berhak untuk mengambil pusaka itu sesuai dengan pesan ibundanya, karena Raden Kuda Respada itupun segera meninggal setelah berada di Demak tanpa sempat melihat kembali keris pusakanya yang ditinggalkan”
Raden Panji menjadi semakin tegang. Katanya “Partija Wirasentana tidak pernah mengatakannya”
“Mungkin Ki Partija menganggap bahwa hal itu tidak perlu dikatakan kepada siapapun” berkata Ki Tumenggung Purbarana.
“Jika demikian, lakukanlah. Ambillah keris itu jika memang ada. Kemudian Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari aku persilahkan untuk meninggalkan tempat ini. Aku masih akan menyelesaikan tugasku disini”
“Apakah disini ada pemberontak atau semacamnya sebagaimana disebut-sebut oleh Raden Panji tadi?” bertanya Ki Tumenggung.
“Ya. Setidak-tidaknya ketiga orang anak muda yang telah melarikan isteriku itu“ jawab Raden Panji. Namun kemudian “Tetapi ini bukan tugas Ki Tumenggung. Tugas itu adalah tugasku disini. Bukankah tugas Ki Tumenggung mengambil keris dan membawanya kepada ibunda Raden Puspasari?“
“Ya Raden“ jawab Ki Tumenggung. Namun kemudian katanya “Tetapi selain keris, Raden Puspasari masih mempunyai tugas yang lain”
“Apa?“ bertanya Raden Panji.
Ki Tumenggung Purbarana berpaling kepada Raden Puspasari. Katanya “Sebaiknya Raden sajalah yang memberikan penjelasan”
Raden Puspasari melangkah selangkah maju. Katanya “Kami memang sedang mengemban tugas untuk mengambil pusaka yang pernah ditinggalkan oleh paman Kuda Respada disini. Tetapi tugas itu masih disertai dengan tugas yang lain. Tugas inilah yang semula membuat kami agak bingung. Pada saat kami datang ke tempat ini, maka yang ada dirumah ini tinggal keris pusaka itu. Sedangkan yang lain sudah tidak ada dirumah ini”
“Yang lain apa maksud Raden?“ bertanya Raden Panji.
“Raden Panji“ berkata Raden Puspasari “yang terjadi disini memang membingungkan. Aku tidak tahu, yang manakah yang sebaiknya dilakukan. Karena itu, maka bukankah sebaiknya kita duduk dan berbicara sebaik-baiknya? Mungkin kita akan dapat memecahkan persoalannya dengan baik”
“Tidak ada yang harus dibicarakan Raden. Raden Puspasari melakukan tugas yang dibebankan dipundak Raden. Aku menjalankan tugas yang memang sudah aku emban sejak lama. Tugas kita memang sangat berbeda“ jawab Raden Panji.
“Tetapi ada yang berkait Raden” berkata Raden Puspasari.
“Bagaimana mungkin tugas kita dapat berkait. Tugas itu tidak ada hubungannya sama sekali “ jawab Raden Panji dengan nada tinggi.
Raden Puspasari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia masih bertanya “Jadi, dapatkah kita duduk sejenak untuk berbicara?“
“Apa yang sebenarnya akan Raden katakan? Katakanlah. Aku tidak mempunyai banyak waktu“ berkata Raden Panji.
Namun Raden Puspasari berkata “Raden. Bukankah hari telah jauh malam. Bahkan sebentar lagi kita akan memasuki dini hari. Apakah kita tidak dapat menunda persoalan kita sampai esok pagi?“
“Aku seorang prajurit Raden“ jawab Raden Panji “aku harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Aku datang ke rumah ini karena aku mempunyai persoalan. Karena itu, maka aku harus menyelesaikannya segera. Sementara itu aku mohon Radenpun cepat menyelesaikan tugas Raden”
“Aku tidak tergesa-gesa seperti Raden Panji” jawab Raden Puspasari.
“Aku berkeberatan“ jawab Raden Panji.
“Baiklah jika demikian. Aku memang harus mengatakannya karena persoalannya sudah terlanjur terkait. Seandainya, sekali lagi, seandainya Mas Rara tidak Raden bawa, maka persolannya memang sama sekali tidak bersinggungan dengan tugas Raden “ jawab Raden Puspasari.
“Apa hubungannya dengan Mas Rara?“ bertanya Raden Panji.
“Yang ditinggalkan oleh paman Raden Kuda Respada sebenarnya bukan hanya sekedar sebilah keris pusaka. Tetapi keris itu akan menjadi pertanda kelak, bahwa dirumah ini tinggal seorang anak yang pernah dilahirkan oleh isteri paman Raden Kuda Respada. Namun bibi telah meninggal setelah melahirkan. Sementara paman yang kemudian pergi ke Demak dengan meninggalkan bayi dan pusakanya tidak sempat mengurusinya lagi karena paman juga segera meninggal“ jawab Raden Puspasari. Lalu katanya “Bayi itu adalah bayi perempuan yang kemudian dibesarkan oleh Ki Partija Wirasentana. Dinamainya bayi perempuan itu Wiranti, namun yang kemudian dipanggil dengan Mas Rara ketika bayi yang telah menjadi gadis dewasa itu akan diambil menjadi isteri Raden Panji. Sebenarnya rencana perkawinan itu sendiri sama sekali tidak berpengaruh. Jika Raden Panji memang mencintainya dan Mas Rara pun mencintai Raden Panji. Bahkan kami telah memutuskan untuk menyusul Mas Rara esok pagi ke rumah Raden Panji. Namun tiba-tiba Mas Rara justru telah kembali ke rumah ini“ Raden Puspasari berhenti sejenak, lalu katanya pula “Karena itu, silahkan duduk Raden. Ternyata masih ada beberapa masalah yang harus kita bicarakan!”
Wajah Raden Panji menjadi tegang. Dipandanginya orang yang menyebut dirinya Raden Puspasari itu. Kemudian Ki Tumenggung Purbarana, seorang yang memang mengenakan pakaian seorang prajurit. Tubuh dan ujudnya memang meyakinkan, bahwa ia adalah seorang prajurit yang berpangkat Tumenggung.
Untuk beberapa saat Raden Panji menjadi bingung. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata lantang ”Siapapun kalian, akulah penguasa yang sah di daerah ini atas nama Sultan Pajang. Karena itu, kuasaku adalah sama dengan kuasa Sultan itu sendiri”
“Bukanlah kami sudah menyatakan bahwa kami mengakui kuasa Raden Panji? Sejak dari Pajang kami sudah membekali diri dengan pengakuan, bahwa di daerah ini ada seorang Panji yang mendapat tugas untuk memulihkan keamanan dari gangguan para perampok yang ganas. Raden Panji ternyata telah berhasil menghancurkan perampok itu, sehingga daerah ini telah menjadi aman kembali “ jawab Raden Puspasari.
“Jika demikian, silahkan kalian meninggalkan tempat ini. Aku berhak menentukan, apakah kalian dapat berbuat sesuatu di sini atau tidak“ jawab Raden Panji dengan wajah yang menjadi tegang.
“Raden Panji“ berkata Raden Puspasari “aku telah mendapat perintah untuk mengambil pusaka yang ditinggalkan pamanda Raden Kuda Respada. Itu tentu tidak akan ada persoalan. Namun ibunda juga memerintahkan agar aku membawa bayi yang pernah ditinggalkan oleh pamanda Raden Kuda Respada itu, yang sekarang telah mekar menjadi seorang gadis dewasa. Nah, dalam hal inilah persoalan kita berkait, karena gadis itu Raden tetapkan untuk menjadi isteri Raden yang ke enam.”
Ketegangan mencengkam, bukan saja wajah Raden Panji, tetapi jantungnya terasa telah berdegup semakin keras. Dengan suara lantang, Raden Panji berkata “Gadis itu telah melakukan kesalahan yang sangat besar di daerah kuasaku. Ia telah berkhianat. Karena itu ia harus dihukum. Kuasaku di daerah ini belum pernah dicabut.”
“Baiklah“ berkata Raden Puspasari ”Mas Rara tidak akan melarikan diri. Aku akan membawanya ke Pajang beserta keris pusaka pamanda Kuda Respada. Namun persoalannya dengan Raden Panji masih belum selesai. Silahkan Raden Panji mengusutnya ke Pajang agar Mas Rara diserahkan kepada Raden Panji untuk menjalani hukuman”
“Jangan menganggap aku kanak-kanak“ jawab Raden Panji “aku akan menangkap Mas Rara”
“Sudahlah Raden Panji“ potong Ki Tumenggung Purbarana “sebaiknya kita tidak bersitegang dengan sikap kita masing-masing. Bukankah masih ada orang-orang yang lebih berwenang memutuskan persoalan yang sedang kita hadapi. Kami akan menyerahkan Mas Rara itu kepada ibunda Raden Puspasari. Sementara itu, Raden Panji yang merasa dikhianati atau apa, dapat menuntutnya, sehingga persoalannya akan diselesaikan di Pajang."
“Ki Tumenggung tidak dapat memperkecil kuasaku di sini. Meskipun pangkat Ki Tumenggung lebih tinggi dari pangkatku, tetapi aku mengemban tugas yang mewakili kuasa Sultan di Pajang. Karena itu, silahkan kalian meninggalkan tempat ini tanpa mencampuri persoalan-persoalan yang terjadi di tempat ini, di daerah kuasaku“ suara Raden Panji menjadi semakin keras.
“Baiklah Raden“ jawab Ki Tumenggung Purbarana “sudah beberapa kali kami katakan. Besok, jika matahari telah terbit, kami akan pergi bersama Mas Rara dan pusaka yang dibawa oleh pamanda Kuda Respada itu. Bukankah cukup jelas!”
“Mas Rara tidak dapat dibawa. Ia melakukan kejahatan di sini, di daerah kuasaku. Ia harus diadili di sini. Apalagi ia bakal isteriku yang telah berkhianat“ jawab Raden Panji.
“Raden Panji tidak boleh berbuat demikian, meskipun Raden Panji memiliki pertanda kuasa Sultan Pajang“ jawab Raden Puspasari “karena Sultan Pajang sendiri tidak akan berbuat sebagaimana dilakukan oleh Raden Panji”
“Jangan mengada-ada“ kesabaran Raden Panji yang kasar itu sudah habis “sekali lagi aku mempersilahkan kalian pergi sekarang. Tidak besok pagi. Tinggalkan Mas Rara di sini. Ini perintah atas dasar kuasa yang aku terima dari Kangjeng Sultan”
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana dan Raden Puspasari masih tetap bersikap tenang. Dengan sareh Ki Tumenggung berkata “Raden Panji. Jangan perlakukan kami seperti perampok dan penyamun di daerah ini, yang telah berhasil Raden tenangkan. Kami juga prajurit Pajang, sebagaimana Raden Panji. Jika Raden Panji mendapat kuasa untuk menumpas perampok dan penyamun di daerah ini, tentu bukan berarti bahwa Raden Panji juga mendapat kuasa untuk memperlakukan kami seperti itu. Karena itu, sekali lagi aku mengulangi permintaan Raden Puspasari. Silahkan duduk. Kita berbicara. Dengan demikian, kita akan mendapatkan penyelesaian yang terbaik, yang dapat kita pilih.”
“Kuasa yang aku terima tidak terkecuali“ jawab Raden Panji “kedatangan kalian akan dapat menimbulkan persoalan di sini, yang dapat mengguncangkan ketenangan yang dengan susah payah telah aku pulihkan. Karena itu, masih atas dasar kuasa yang aku terima dari Sultan, pergilah”
“Baiklah“ berkata Raden Puspasari kemudian “kami akan pergi. Tetapi keris pusaka dari Majapahit serta Wiranti akan aku bawa”
“Bawalah pusaka itu. Tetapi Mas Rara tidak. Ia melakukan kejahatan disini. la harus diadili disini, sebagaimana aku mengadili para perampok dan penyamun“ geram Raden Panji.
“Mas Rara bukan perampok dan bukan penyamun“ jawab Raden Puspasari.
“Ia berkhianat terhadapku. Justru terhadap seorang Senapati yang bertugas atas dasar kuasa tertinggi“ jawab Raden Panji semakin keras.
“Raden“ berkata Raden Puspasari kemudian “baiklah. Marilah kita lihat sebentar saja. Apakah sebenarnya kesalahan Mas Rara sehingga Raden menganggapnya berkhianat, atau memberontak, atau mengganggu ketenangan daerah kuasa Raden Panji”
Wajah Raden Panji menjadi tegang. Sementara Raden Puspasari berkata selanjutnya “Dalam hal ini, meskipun aku baru mendengar sedikit dari anak-anak muda yang mendahului perjalanan Mas Rara serta kakaknya, aku tahu, bahwa yang terjadi sama sekali tidak dapat disebut sebagai satu pemberontakan atau pengkhianatan atau semacamnya.”
“Kalian tidak tahu pasti persoalannya” geram RadenPanji.
“Raden“ Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata tidak lagi dapat menahan-perasaannya yang bergejolak “Raden mendapat tugas di sini untuk menghancurkan para perampok dan penyamun. Itu bukan berarti memberi wewenang kepada Raden Panji justru untuk merampok.”
“Merampok?“ wajah Raden Panji menjadi merah membara.
“Berapa tahun Raden Panji berada di tempat ini? Dua atau selama-lamanya tiga tahun. Berapa kali selama itu Raden Panji telah kawin? Dan apa yang sebenarnya Raden Panji lakukan di daerah ini terhadap perempuan-perempuau itu juga atas Mas Rara?“ suara Ki Tumenggung Purbarana mulai bergetar “saat terakhir Raden akan melakukan pelanggaran karena Raden Panji menghendaki Mas Rara sebelum hari perkawinan dilangsungkan."
“Cukup“ bentak Raden Panji “aku tidak mau mendengar fitnah buruk itu. Kalian tentu iri melihat keberhasilanku di sini. Namun dengan fitnah itu, akupun menjadi curiga, apakah benar kalian prajurit Pajang yang mengemban tugas sebagaimana yang kalian katakan.”
“Kami juga memiliki pertanda sebagaimana perintah kuasa yang kau bawa Raden“ jawab Ki Tumenggung Purbarana.
“Omong kosong. Pertanda itu dapat dibuat sendiri atau dipalsukan“ geram Raden Panji.
“Apakah Raden Panji juga melakukannya?“ bertanya Raden Puspasari.
“Aku sudah berada di sini lebih dari dua tahun. Jika pertanda yang aku bawa itu palsu, maka Pajang mempunyai kesempatan luas untuk mengambil tindakan” jawab Raden Panji lantang.
“Pertanda yang kau bawa memang tidak palsu Raden, tetapi pengetrapan kuasa di daerah ini itulah yang akhirnya menjadi palsu.“ sahut Raden Puspasari.
“Kau menghina seorang Senapati yang berkuasa di sini.“ teriak Raden Panji yang marah.
Namun tiba-tiba saja terdengar seseorang berkata. “Raden Puspasari benar. Bukan pertanda kuasa itu yang dipalsukan. Tetapi apa yang dilakukan Raden Panjilah yang palsu...”
Selanjutnya, Mas Rara Bagian 12 |