PEMIMPIN kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Manggada dan Laksana yang berdiri di sebelahnya berganti-ganti. Lalu katanya, “Kalian masih sangat muda, tetapi ternyata kalian memiliki pandangan yang cukup jauh.”
“Cepatlah. Jika terlambat, ternyata bukan kamilah yang bersalah,” berkata Manggada.
“Anak-anak muda, hal yang sebenarnya tidak pantas aku katakan di hadapan kalian yang muda-muda, tetapi baiklah. Aku akan berterus terang. Kedua orang itu telah melarikan anak gadisku,” jawab orang itu.
Manggada dan Laksana mengerutkan dahinya. Sementara itu anak-anak muda yang mendengarnya pun terkejut karenanya. Namun demikian anak-anak muda itu tidak dapat langsung mempercayainya. Karena itu Manggada bertanya, “Kapan anak gadismu dilarikan? Kedua orang itu tidak bersama-sama dengan seorang gadis ketika ia memasuki padukuhan ini.”
“Gadis itulah yang sedang kita cari,” berkata orang berkuda yang memimpin kelompoknya itu. “Orang-orang kami hanya dapat mengetahui kedua orang itu tanpa gadis yang telah dilarikannya.”
“Tetapi kenapa kedua orang itu sudah mengetahui, bahwa kalian akan mengejar mereka? Kedua orang itu tahu bahwa malam ini akan datang sekelompok orang yang akan membunuh mereka, sehingga karena itu, maka keduanya telah bersiap menghadapi kalian. Bahkan seisi padukuhan inipun telah bersiap pula,” berkata Laksana tiba-tiba.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Dengan nada rendah ia berdesis, “Jadi keduanya sudah mengetahui akan kehadiran kami?”
“Mereka telah menunggu,” jawab Laksana.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya mereka melihat petugas kami di padukuhan ini. Sementara itu mereka merasa tidak dapat lari lagi dari kejaran kami. Atau bahkan menganggap bahwa padukuhan ini sudah kami kepung. Aku tidak tahu pasti, kenapa mereka tidak lari lagi dari padukuhan ini jika mereka menyadari bahwa kami telah mengetahui persembunyian mereka.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Agaknya kedua anak muda itu dapat mempercayai keterangan dari pemimpin kelompok itu. Namun karena ia sebenarnya bukan anak muda dari padukuhan itu, maka ia tidak dapat mengambil keputusan yang mutlak.
Karena itu, maka Manggada pun telah mendekati anak muda yang memimpin perondan malam itu dan bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Terserah kepadamu,” katanya.
Manggada dan Laksana hanya saling berpandangan saja. Sementara itu, beberapa orang telah berdesis, “Itu, Ki Bekel dan Ki Jagabaya telah datang.”
Sebenarnyalah iring-iringan yang semakin panjang itu menjadi semakin dekat pula dengan pintu gerbang padukuhan, sementara sekelompok orang-orang berkuda itu telah berloncatan turun. Orang-orang yang ada di regol padukuhan itupun menjadi tegang. Ki Bekel dan Ki Jagabaya ternyata telah diikuti oleh anak-anak muda padukuhan itu. Mereka yang melihat iring-iringan itu telah ikut pula bergabung, sehingga iring-iringan itu menjadi panjang. Kecuali beberapa orang yang bertugas di gardu-gardu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Bekel, Ki Jagabaya dan beberapa orang telah menyibak anak-anak muda di gerbang padukuhan itu. Mereka telah maju beberapa langkah untuk menemui orang-orang berkuda yang telah mendatangi padukuhan mereka. Ternyata bersama mereka adalah dua orang yang merasa dirinya terancam oleh orang-orang yang menurut mereka akan membunuh itu.
“Siapakah kalian?” bertanya Ki Bekel yang berdiri di paling depan.
“Apakah aku berhadapan dengan Ki Bekel padukuhan ini?” bertanya orang yang menjadi pemimpin kelompok itu.
“Ya. Aku adalah bekel dari padukuhan ini,” jawab Ki Bekel.
“Adalah kebetulan sekali, Ki Bekel. Sebenarnya aku memang ingin menghadap Ki Bekel,” berkata pemimpin sekelompok kecil orang-orang berkuda itu. “Aku memang mempunyai kepentingan dengan Ki Bekel.”
“Kepentingan apa?” bertanya Ki Bekel.
“Aku mohon diperkenankan untuk mengambil dua orang yang malam ini bermalam di padukuhan ini,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi benar, bahwa kalian adalah sekelompok orang yang akan menimbulkan kekacauan di padukuhan ini?”
Orang-orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Pemimpinnyapun kemudian bertanya, “Kenapa Ki Bekel berpendapat demikian?”
“Sebelum kalian datang, kami telah mendapat laporan, bahwa dua orang yang bermalam di padukuhan ini merasa terancam jiwanya. Mereka merasa dikejar-kejar oleh beberapa orang yang ingin membunuh mereka,” berkata Ki Bekel.
“Kami sama sekali tidak ingin membunuh mereka, Ki Bekel. Kami hanya ingin menangkap mereka, karena mereka telah melakukan kesalahan terhadap kami,” berkata orang-orang berkuda itu.
“Tentu kalian dapat saja mengatakan demikian,” sahut Ki Bekel. Lalu, “Apakah kau mengenal orang yang kau cari itu?”
“Tentu, Ki Bekel. Orang itu berdiri di belakang Ki Bekel,” jawab pemimpin kelompok itu.
“Ternyata kau telah memutar balik kenyataan. Katakan, seandainya kau akan menangkapnya, apakah kesalahan mereka terhadap kalian?” bertanya Ki Bekel.
“Anak-anak muda itu tadi telah bertanya demikian pula. Dan aku telah memberikan jawabanku. Orang-orang itu telah melarikan anak gadisku,” jawab pemimpin dari orang-orang berkuda itu. “Karena itu, maka aku mohon Ki Bekel untuk menangkap orang-orang itu.”
“Omong kosong,” teriak orang yang berdiri di belakang Ki Bekel. “Kau jangan memfitnah orang dengan cara sekasar itu. Kau dapat mengarang seribu macam fitnah. Tetapi yang kau ucapkan itu terlalu keji dan tidak masuk akal.”
Orang-orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Pemimpin merekapun berkata, “Ki Bekel, sudah tentu ia akan dapat mengelak. Tetapi ada saksi yang cukup banyak yang dapat menetapkan kesalahannya. Karena itu, biarlah aku membawanya kembali. Biarlah ia berhadapan dengan para saksi yang akan dapat menudingnya bahwa ia telah melarikan anak gadisku itu.”
“Kau jangan asal saja mengucapkan fitnah itu,” berkata orang itu. “Disini aku berada di bawah perlindungan paugeran yang adil. Jika kau dapat membuktikan kesalahanku di hadapan Ki Bekel, maka kau akan dapat menangkap aku.”
Pemimpin dari orang-orang berkuda itu termangu-mangu. Katanya, “Yang menentukan apakah kau bersalah atau tidak bukan Ki Bekel disini. Tetapi Ki Bekel dan Ki Demang di rumah ini bukan saja pernah kau lakukan beberapa tahun yang lalu. Tetapi agaknya memang ada kesengajaanmu menentang paugeran yang berlaku.”
“Kau memang pandai menyusun kata-kata sehingga meyakinkan orang lain dan seakan-akan telah mensahkan fitnahmu,” jawab orang yang minta perlindungan kepada Ki Bekel. “Kau akan dapat mempermainkan orang lain, tetapi tidak dengan Ki Bekel disini.”
“Apapun yang kau katakan, tetapi akhirnya kebenaran akan menang,” berkata pemimpin dari sekelompok orang berkuda itu.
Namun tiba-tiba Ki Bekel berkata, “Pergilah, Ki Sanak. Jangan ganggu ketenangan di padukuhan kami. Kami akan melindungi orang-orang yang memang memerlukan perlindungan di padukuhan kami. Apapun yang mereka lakukan, tetapi kalian tidak akan dapat menangkapnya di daerah kuasaku. Aku tidak mau kehilangan kepercayaan bagi orang-orang yang menginap di padukuhan ini, seolah-olah di padukuhan ini tidak ada paugeran yang berlaku, sehingga kekerasan dapat berlaku atas siapa saja.”
“Tetapi kedua orang itu telah bersalah, Ki Bekel. Yakinlah. Selagi belum terlambat, aku harus mendapatkan anak gadisku itu kembali. Aku yakin, kedua orang itu merupakan alat dari sekelompok orang-orang yang telah memperdagangkan gadis-gadis tanpa belas kasihan. Jika kami berhasil menangkapnya, maka kami kira, kami akan membuka satu jaringan kejahatan yang mungkin akan mencengkam padukuhan itu pula. Ketika ia melakukan kesalahan yang sama beberapa tahun yang lalu, kami mengira bahwa yang dilakukan itu didorong oleh perasaan cintanya yang tidak dapat dikendalikan, sementara orang tuanya tidak menyetujuinya. Karena itu, ketika gadis yang diambilnya telah kembali, maka persoalannya dianggap sudah selesai. Tetapi ketika ia melakukannya sekali lagi atas anak gadisku, maka kami telah mengadakan penyelidikan sambil mengikuti jejak kepergiannya. Ternyata bahwa ia memang alat dari sekelompok pedagang gadis-gadis muda yang jahat. Ternyata bahwa kedua orang itu telah diduga melakukan penculikan pula di beberapa padukuhan yang lain. Karena itu Ki Bekel, sebelum besok kedua orang itu pergi sambil membawa gadis dari padukuhan ini, maka serahkan orang itu kepada kami,” minta pimpinan dari sekelompok orang-orang berkuda itu.
“Fitnah yang keji. Sampai hati kau memfitnah kami dengan cara seperti itu?” geram orang yang berdiri di belakang Ki Bekel itu. “Aku tidak menyangka, bahwa dari mulutmu dapat keluar fitnah yang demikian kasarnya tanpa malu-malu.”
“Jangan mengelak lagi,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu. “Kau telah melakukan kesalahan yang gawat. Menculik gadis-gadis adalah pekerjaan yang terkutuk. Apalagi kau lakukan atas gadis tetanggamu sendiri.”
“Alasanmu tidak meyakinkan,” berkata Ki Bekel. “Karena itu, maka aku tidak akan dapat menyerahkan orang ini.”
“Ki Bekel,” berkata orang berkuda itu, “sayang sekali bahwa Ki Bekel tidak melihat pancaran sorot mata mereka.”
“Pergilah, Ki Sanak. Jangan ganggu padukuhanku,” berkata Ki Bekel.
“Tidak, Ki Bekel. Aku harus menemukan anak gadisku kembali. Bagiku anakku sama berharganya dengan nyawaku. Selagi nyawaku masih berada di dalam tubuhku, aku akan mencarinya dengan cara apapun juga,” berkata orang itu.
“Tetapi tidak di daerah kuasaku,” berkata Ki Bekel.
“Ki Bekel,” berkata orang itu, “di hadapanku telah berdiri orang yang aku cari. Karena itu, aku tidak akan melepaskannya. Aku akan menangkapnya dan membawanya menghadap Ki Demang untuk mendapatkan pengadilan.”
“Kau lihat disini anak-anak muda sudah siap. Kami, para bebahu padukuhan inipun telah berada di sini, termasuk Ki Jagabaya. Nah, kau mau apa?” bertanya Ki Bekel.
“Sayang sekali, bahwa Ki Bekel telah terpengaruh oleh mulutnya yang berbisa. Tetapi aku harus mendapatkannya,” geram orang itu.
Ki Bekelpun menjadi marah. Dengan lantang ia berkata kepada Ki Jagabaya, “Ki Jagabaya, usir mereka. Jika perlu dengan kekerasan. Ki Jagabaya dapat mempergunakan anak-anak muda yang telah bersiap disini. Atau memukul kentongan memanggil anak-anak muda yang lain yang belum ada disini untuk mengusir mereka. Jika mereka benar-benar keras kepala, maka jika terjadi sesuatu, bukan salah kami.”
Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi kekar itupun melangkah maju. Kumis dan jambangnya membuat wajahnya menjadi semakin menyeramkan. Suaranya ternyata bagaikan guntur mangsa kesanga, “Ki Sanak, kami tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani Ki Sanak. Karena itu, cepat, pergilah.”
“Kami memang sangat menyayangkan bahwa hal seperti ini harus terjadi. Tetapi kami tidak dapat berbuat lain. Kami harus menangkap orang-orang itu dan membawanya kembali ke kademangan.”
Ki Jagabaya itupun kemudian memberikan isyarat kepada anak-anak muda yang ada di tempat itu untuk bergerak. Katanya, “Suruh orang itu pergi. Atau seret mereka ke banjar.”
Tetapi orang itu berkata, “Jangan kau umpankan anak-anak muda kalian yang belum berpengalaman. Sebenarnya kami segan sekali berbenturan kekerasan dengan mereka. Karena itu, kalian sajalah yang tua-tua silahkan memasuki arena permainan. Barangkali permainan ini memang permainan orang-orang tua. Apalagi taruhannya cukup berharga. Seorang gadis. Bahkan aku telah mempertaruhkan pula nyawaku untuk keselamatan gadis itu.”
Wajah anak-anak muda itu menjadi tegang. Namun sekali lagi Ki Jagabaya berkata, “Usir mereka.”
Orang-orang berkuda itu telah bergeser beberapa langkah surut. Mereka sengaja keluar dari regol padukuhan. Seorang di antara mereka telah menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon di pinggir jalan. Sementara pemimpin mereka berkata, “Kami akan berkelahi di luar regol padukuhan ini.”
Dalam pada itu, maka beberapa orang anak muda memang mulai bergerak. Namun orang-orang berkuda itupun agaknya telah bersiap melayaninya.
“Jangan menyesal jika terjadi sesuatu atas kalian,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu, yang nampaknya yakin akan dirinya. Menilik tata geraknya, maka mereka bukanlah orang kebanyakan.
Tetapi orang-orang padukuhan itu nampaknya tidak menghiraukannya. Beberapa orang anak muda justru telah mulai menyerangnya.
Manggada dan Laksana yang pernah mempelajari olah kanuragan dapat menduga apa yang akan terjadi. Beberapa orang anak muda tiba-tiba saja telah terlempar jatuh. Bahkan dua di antara mereka rasa-rasanya sulit untuk dapat memasuki kembali arena perkelahian karena punggung mereka rasa-rasanya telah patah.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang lain telah mengepung mereka dan bersama-sama menyerang mereka dari segala penjuru. Mereka memang tidak mengerti bahaya yang akan dapat terjadi atas diri mereka oleh beberapa orang berkuda itu.
Tetapi beberapa saat kemudian, beberapa orang anak muda telah terbanting jatuh keluar dari arena. Bahkan hampir saja terinjak oleh kawan-kawan mereka sendiri. Dalam pada itu, terdengar lagi pemimpin sekelompok orang berkuda itu berkata,
“Jangan kau paksa anak-anak kalian menjadi tumbal dari kebodohan kalian. Marilah, siapakah di antara kalian yang memang tanggon dan mampu menghadapi kami dalam pertempuran yang seimbang.”
Ki Bekel, Ki Jagabaya, dan beberapa orang bebahu padukuhan itu memang merasa gelisah melihat anak-anak muda mereka yang ternyata akan mengalami kesulitan. Ternyata sekelompok orang berkuda itu memiliki kemampuan bertempur yang tinggi. Anak-anak muda yang berkelahi bersama-sama melawan mereka, seakan-akan tidak mampu mendekat.
Setiap kali ada saja di antara mereka yang berteriak kesakitan. Meskipun mereka memaksa untuk bertempur terus, namun mereka benar-benar mengalami kesulitan. Bahkan beberapa orang anak muda benar-benar telah kehilangan keberanian untuk memasuki arena, karena tulang-tulang iga mereka rasa-rasanya berpatahan.
Para bebahu padukuhan itu memang tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Apalagi ketika sekali lagi mereka mendengar tantangan, “He, apa kerja kalian yang tua itu? Seharusnya kalian melindungi anak-anak kalian. Tetapi kalian justru berlindung di balik punggung anak-anak kalian yang jika tidak mau menarik diri, akan mengalami akibat yang parah. Sudah tentu kalian tidak akan menunggu salah seorang dari anak-anak kalian tidak bangkit kembali untuk selama-lamanya.”
Ki Bekel menggeram. Katanya kepada Ki Jagabaya, “Kita harus menangani sendiri orang-orang keparat ini.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak ada pilihan lain.” Lalu sambil berpaling kepada kedua orang yang minta perlindungan di padukuhan itu ia berkata, “Kau jangan melepaskan tanggung jawab. Kalianlah yang menjadi sumber persoalan. Sementara itu kalian mengaku akan melawan mereka jika jumlahnya sama dengan jumlah kalian berdua. Karena itu, marilah kita akan melawan mereka bersama-sama. Kalian berdua dapat memilih lawan dua di antara mereka. Kami memang tidak dapat mengorbankan anak-anak itu dengan semena-mena.”
Kedua orang itu mengangguk. Seorang di antara mereka menjawab, “Aku akan membunuh orang-orang itu.”
Ki Jagabaya tidak berbicara lagi. Iapun kemudian melangkah mendekati arena pertempuran yang riuh. Dilihatnya beberapa anak muda sudah dibawa menepi. Sebagian di antara mereka telah duduk bersandar dinding padukuhan sambil mengerang kesakitan. Seorang yang lain mengaduh sambil mengusap darah di mulutnya karena tiga giginya berpatahan. Namun ada pula di antara anak-anak muda itu yang telah menjadi pingsan.
Keadaan itu rasa-rasanya telah membakar jantung Ki Jagabaya dan Ki Bekel beserta beberapa orang bebahu. Mereka telah mengikuti langkah Ki Jagabaya mendekati arena pula. Demikian pula kedua orang yang sedang diburu oleh sekelompok orang-orang berkuda itu.
Dengan suara lantang Ki Jagabaya pun kemudian berteriak, “Minggir. Biarlah kami yang tua-tua melayani mereka bermain-main.”
Anak-anak muda itu tidak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Mereka memang sudah mengerti untuk menghadapi sekelompok orang-orang berkuda itu akan sangat sulit. Karena itu, maka dengan segera merekapun telah menyibak.
Orang-orang berkuda itupun kemudian telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Nampaknya mereka tidak lagi harus sekedar bermain-main. Tetapi orang-orang padukuhan itu, terutama para bebahu yang dipimpin langsung oleh Ki Bekel dan Ki Jagabaya itu harus mereka hadapi dengan sungguh-sungguh.
“Jangan menyesal jika kalian tidak dapat pergi dari gerbang padukuhan kami. Bukan salah kami, tetapi kalianlah yang telah datang kepada kami,” geram Ki Bekel.
“Sebenarnya kami tidak bermusuhan dengan kalian,” berkata orang-orang itu, “tetapi kalian telah melindungi orang yang bersalah, sehingga karena itu, maka kami harus mempergunakan kekerasan.”
“Persetan,” geram Ki Jagabaya. “Masih ada kesempatan bagimu untuk menyingkir.”
Tetapi orang-orang berkuda itu tidak beranjak dari tempatnya. Sejenak kemudian maka para bebahu dan orang-orang lain yang ada di gerbang itu telah mengepung orang-orang berkuda itu. Dalam jumlah yang berlipat, mereka telah siap untuk bertempur. Ki Bekel, Ki Jagabaya dan kedua orang yang dicari oleh orang-orang berkuda itu melangkah semakin dekat.
Dengan geram Ki Bekel berkata, “Marilah, kita akan membuktikan, siapakah yang akan menyesal dalam permainan ini.”
Orang-orang berkuda itu tidak menjawab. Sementara itu, maka Ki Bekel dan orang-orangnyapun telah berloncatan menyerang. Memang berbeda dengan anak-anak muda yang darahnya masih terlalu panas. Tanpa bekal apapun mereka mencoba untuk bertempur melawan orang-orang yang berilmu kanuragan. Dengan demikian maka mereka bagaikan telah membenturkan dirinya pada dinding batu yang keras.
Tetapi orang-orang yang kemudian bersama-sama Ki Bekel menyerang orang-orang berkuda itu bobotnya memang berbeda. Mereka pada umumnya juga mengenal ilmu kanuragan. Apalagi Ki Jagabaya, Ki Bekel sendiri dan kedua orang yang sedang diburu itu. Mereka merupakan orang-orang yang berbahaya bagi orang-orang berkuda itu.
Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi besar itu memiliki kekuatan melampaui orang kebanyakan. Sementara Ki Bekel memiliki ketangkasan dan kecepatan bergerak bagaikan seekor sikatan. Beberapa bebahu yang lain bersama-sama merupakan kekuatan yang memang sulit untuk dilawan.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Jagabaya yang marah itu, bersama-sama dengan para bebahu telah bertempur dengan garangnya. Anak-anak muda mereka yang mengalami kesulitan dan bahkan cidera pada tubuh mereka, telah membuat para bebahu itu semakin garang. Mereka merasa wajib untuk membalas dan bahkan jika mungkin menangkap dan mengadili mereka karena mereka telah menyakiti anak-anak mereka.
Beberapa saat kemudian pertempuranpun semakin menjadi keras dan cepat. Orang-orang berkuda itu secara pribadi memiliki kelebihan dari lawan-lawan mereka. Tetapi lawan mereka memang terlalu banyak. Meskipun demikian, kemarahan Ki Jagabaya semakin menjadi-jadi karena orang-orang berkuda itu masih saja mampu bertahan meskipun kadang-kadang mereka memang terdesak.
“Menyerahlah,” geram Ki Jagabaya, “atau pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran. Kau sudah menyakiti anak-anak kami. Menyakiti hati kami. Jika kesabaran kami sampai ke batas, maka kami akan dapat mengambil keputusan lain.”
Tetapi pemimpin pasukan berkuda itu menjawab, “Serahkan kedua orang itu. Atau biarkan kami menyelesaikan persoalan kami sendiri. Sebaiknya kalian memang tidak ikut campur sehingga di antara kita tidak akan timbul persoalan.”
“Cukup,” bentak Ki Jagabaya. “Kami sudah mengambil sikap. Kau terima sikap itu atau kalian akan mengalami bencana di padukuhan ini.”
“Kami tidak akan menyerah,” berkata pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu, “apapun yang akan terjadi atas diri kami. Gadis yang diambilnya adalah anakku sendiri. Jika aku tidak berhasil mendapatkannya, maka biarlah aku mati disini. Kalian akan dapat merenungi mayat seorang ayah yang mengorbankan nyawanya bagi anak gadisnya. Saudara-saudaraku yang datang bersamaku adalah orang-orang yang setia kepada harga dan nilai kemanusiaan sehingga merekapun rela mengorbankan nyawanya. Kau akan merenungi korban dari keganasan orang-orang yang tidak berperikemanusiaan karena mereka telah mendapatkan keuntungan justru karena mereka telah sampai hati mengorbankan gadis-gadis yang diperjual-belikannya tidak lebih dari seekor binatang.”
“Omong kosong,” teriak salah seorang dari kedua orang yang diburu itu. “Kau dapat memfitnah dengan seribu macam ceritera ngayawara. Tetapi orang-orang padukuhan ini, apalagi Ki Bekel dan Ki Buyut bukan orang-orang yang dungu yang begitu saja mempercayaimu.”
“Kau memang pandai berbicara. Kau memang mempunyai kemampuan untuk menyesatkan keyakinan seseorang. Tetapi aku tidak akan menyerah kepada kelicikanmu itu sampai kemungkinan yang terakhir. Jika aku harus mati, aku tidak akan merasa menyesal sama sekali,” jawab pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
“Jahanam kau,” bentak Ki Jagabaya. Yang kemudian berteriak, “Aku beri kesempatan terakhir. Jika tidak, apaboleh buat.”
Tetapi orang-orang berkuda itu memang tidak meninggalkan medan pertempuran yang semakin menekan mereka. Sebenarnyalah Ki Jagabaya memang menjadi semakin marah. Orang-orang itu masih saja berusaha bertahan. Karena itu, maka dalam batas kesabarannya, Ki Jagabaya tiba-tiba saja berteriak,
“Jika kalian tidak mau menyerah, kami terpaksa benar-benar membunuh kalian.”
“Kematian tidak lagi menakutkan bagi kami,” jawab pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
Jawaban itu membuat telinga Ki Jagabaya menjadi merah. Karena itu, maka iapun meneriakkan aba-aba, “Pergunakan senjata kalian.”
Orang-orang yang bertempur melawan orang-orang berkuda itupun kemudian telah menarik senjata mereka. Serentak mereka telah mengacukan senjata mereka, termasuk Ki Bekel dan kedua orang yang sedang dicari oleh orang-orang berkuda itu.
Orang-orang berkuda itu berloncatan beberapa langkah surut. Tetapi mereka memang tidak melarikan diri. Merekapun telah menarik senjata mereka pula untuk menghadapi orang-orang padukuhan yang telah bersenjata itu.
Dengan demikian maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran bersenjata. Orang-orang padukuhan itu telah mengacu-acukan senjata mereka di seputar orang-orang berkuda itu. Bahkan Kemudian kedua orang yang sedang diburu itu justru telah menyerang orang-orang berkuda itu, diikuti oleh Ki Bekel dan Ki Jagabaya serta para bebahu yang lain.
Namun dalam pada itu, ternyata keadaan orang-orang berkuda itu menjadi semakin sulit. Ujung-ujung senjata yang berputar, terayun dan mematuk rasa-rasanya telah menjadi semakin berbahaya.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksana berdiri termangu-mangu. Ia melihat bahwa orang-orang berkuda itu memang berada dalam kesulitan. Lawannya terlalu banyak untuk dapat dilawan. Meskipun mereka berilmu, tetapi ilmu mereka tidak cukup tinggi untuk melawan orang yang sekian banyaknya.
Manggada yang bergeser mendekati Laksana berdesis, “Bagaimana pendapatmu tentang orang-orang itu?”
“Kau bagaimana?” Laksana justru ganti bertanya.
“Aku lebih percaya kepada mereka daripada kedua orang itu. Agaknya orang-orang berkuda itu berkata dengan jujur. Sikapnya pun lebih meyakinkan daripada kedua orang yang agaknya sangat licik itu,” jawab Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat.”
“Jadi bagaimana?” bertanya Manggada pula. “Kita bantu mereka,” jawab Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga, sekaligus berarti bagi sesama. Tidak sekedar mencari musuh tanpa sebab.”
“Ah, kau,” Laksana berdesis.
Sementara itu Manggada telah mendekati anak-anak muda yang bertugas. Dengan nada dalam ia berkata, “Berikan pedangmu. Bukankah kau tidak akan ikut bertempur?”
Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi karena anak muda itu tidak tahu maksud Manggada, maka iapun telah memberikan pedangnya, sementara yang lain telah memberikan pedangnya pula kepada Laksana.
“Lebih baik kita memakai pedang,” desis Manggada. “Jika kita menarik keris kita, maka akhirnya akan sangat parah, karena setiap goresan akan berarti maut.”
Laksana mengangguk kecil. Sementara itu keduanyapun telah bergerak mendekati arena pertempuran. Ternyata orang-orang berkuda itu terdesak semakin jauh. Bahkan orang-orang padukuhan itu, termasuk Ki Bekel, Ki Jagabaya dan kedua orang yang justru sedang diburu berusaha untuk mengepung rapat. Dengan demikian maka orang-orang berkuda itu akan mengalami kesulitan untuk menyelamatkan diri jika keadaan mereka benar-benar terdesak.
Untuk beberapa saat Manggada dan Laksana sempat memperhatikan pertempuran yang menjadi semakin garang itu. Menurut pengamatan kedua anak muda itu, dua orang yang disebut telah melarikan seorang gadis itu, bertempur dengan keras dan bahkan kasar. Agaknya keduanya benar-benar ingin membunuh orang-orang berkuda itu.
Terutama pemimpinnya, yang mengatakan bahwa anaknyalah yang telah diambil oleh kedua orang itu. Bahkan ketika pertempuran menjadi semakin sengit, keduanya telah bertempur bersama-sama melawan pemimpin dari orang-orang berkuda yang kehilangan anaknya itu.
“Keduanya nampaknya benar-benar seperti iblis,” geram Laksana.
Manggada mengangguk angguk. Tetapi ia masih sempat melihat bahwa pemimpin dari orang-orang berkuda itu tetap bertahan. Tetapi ketika kemudian dua orang lagi datang melawannya, maka ia benar-benar dalam keadaan yang gawat.
“Menyerahlah,” bentak salah seorang dari orang padukuhan itu.
Tetapi salah seorang dari kedua orang yang diburu itu berteriak, “Kita bunuh mereka. Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya.”
Manggada tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun telah menggamit Laksana sambil berkata, “Marilah. Jangan terlambat.”
Keduanyapun kemudian telah meloncat dan menyibak orang-orang padukuhan itu. Namun tiba-tiba mereka telah berdiri di antara orang-orang berkuda itu. Sementara Laksana berteriak, “Aku berpihak kepada orang yang telah kehilangan anaknya ini. Menurut pendapatku, justru merekalah yang harus mendapat pertolongan. Bukan sebaliknya. Kedua orang yang telah menculik anaknya itu harus ditangkap. Mereka bertanggung jawab atas keselamatan anak gadis yang telah mereka culik itu.”
“Setan,” teriak salah seorang dari kedua orang itu. “Kau siapa, he?”
“Siapapun kami, tetapi kau harus ditangkap,” jawab Laksana.
“Ternyata kau telah membunuh dirimu sendiri. Apakah kau anak muda padukuhan ini? Jika demikian kau termasuk anak-anak muda yang telah memberontak terhadap kekuasaan Ki Bekel dan Ki Jagabaya.”
“Kami berdua bukan anak-anak muda padukuhan ini. Tetapi justru karena itu, kami mampu melihat kesalahan Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang terlalu percaya kepadamu,” jawab Manggada.
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Dengan garangnya seorang di antara mereka berteriak, “Bunuh juga anak itu sebagaimana orang-orang yang lain, yang telah berusaha mencemarkan nama baik padukuhan ini. Termasuk Ki Bekel dan Ki Jagabaya.”
“Yang merasa tercemar seharusnya bukan kau jika benar itu terjadi. Ki Bekel dan Ki Jagabaya tidak merasa terjadi pencemaran itu. Kenapa kau justru berteriak-teriak tentang pencemaran nama baik padukuhan dan para pemimpinnya?” sahut Manggada.
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Namun agaknya Ki Jagabayapun tersinggung karena kedua anak muda itu ternyata telah menentang kebijaksanaannya. Tetapi Ki Jagabayapun merasa heran atas kehadiran anak-anak muda yang belum pernah dilihatnya. Namun kemudian Ki Jagabaya itupun berteriak,
“Tangkap pula kedua anak muda itu. Aku belum pernah melihat mereka. Agaknya mereka telah disusupkan oleh orang-orang yang memang ingin mengacaukan padukuhan ini.”
“Kau harus lebih bijaksana menanggapi satu peristiwa, Ki Sanak,” berkata Manggada.
Namun ia tidak sempat berbicara lebih panjang karena salah seorang dari kedua orang yang sedang diburu itu berteriak, “Keduanya harus dibunuh saja.”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun keduanya benar-benar telah berada di antara orang-orang berkuda itu. Tetapi yang justru bertanya kemudian adalah pemimpin dari orang berkuda itu,
“Siapakah kalian, anak-anak muda? Apakah keuntungan kalian melibatkan diri dalam persoalan kami?”
“Kami merasa tersinggung justru karena ketidak-adilan menurut pendapat kami. Mungkin kami telah melakukan kesalahan dengan langkah kami ini. Tetapi yang kami lakukan ini berlandaskan pada kata nurani kami,” jawab Manggada. Lalu, “Menurut pendapat kami, kalian bersikap jujur, sedangkan kedua orang itu dengan licik telah mempengaruhi seisi padukuhan itu untuk melakukan kesalahan.”
“Terima kasih,” jawab pemimpin dari orang-orang berkuda itu. Tetapi katanya lebih lanjut, “Namun kalian harus menyadari bahwa kalian telah melakukan satu langkah yang sangat berbahaya. Bahkan dapat membahayakan jiwa kalian.”
“Kami sedang melakukan Tapa Ngrame. Kami harus menolong sesama yang mengalami kesulitan, sesuai dengan kata nurani kami,” jawab Laksana.
Manggada mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua anak muda itu mulai menggerakkan pedang di tangan mereka. Perlahan-lahan. Namun semakin lama menjadi semakin cepat.
Anak-anak muda padukuhan itu menjadi bingung. Apalagi mereka yang telah menyerahkan pedang mereka kepada Manggada dan Laksana. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa kedua anak itu tiba-tiba saja telah berpihak kepada orang-orang yang dianggap telah menyerang padukuhan mereka.
Ternyata pengaruh keterlibatan Manggada dan Laksana sangat besar. Keduanya telah menuntut ilmu dengan tertib dan bersungguh-sungguh. Karena itu, maka keduanya meskipun masih terlalu muda, namun sudah menguasai ilmu dengan baik dan mapan. Sehingga karena itulah, maka kehadiran mereka di medan pertempuran itu sangat mengejutkan. Bukan saja para pemimpin padukuhan serta kedua orang yang sedang diburu itu. Tetapi orang-orang berkuda itupun merasa heran melihat tatagerak kedua orang anak muda itu.
Dengan tangkasnya keduanya berloncatan. Pedangnya berputaran seperti baling-baling. Sementara itu, keduanya seakan-akan mampu menyusup di antara ujung-ujung senjata lawan-lawan mereka. Dengan tangkasnya pula keduanya menangkis serangan-serangan yang mengarah ke tubuh mereka. Sekali-sekali mereka meloncat menghindar, berputar, menggeliat, dan melenting jauh.
Bahkan pada setiap benturan senjata, lawan-lawan mereka merasa sangat terkejut. Kekuatan kedua anak muda itu ternyata terlalu besar dibanding dengan mereka. Dengan kehadiran kedua anak muda itu di arena, maka keseimbangan pertempuranpun telah berubah. Sambil berloncatan, Manggada dan Laksana menggerakkan pedangnya. Sekali-sekali menyambar, terayun mendatar, menusuk dan menebas.
Tetapi Manggada dan Laksana memang tidak ingin membunuh seorangpun dari antara lawan-lawannya. Meskipun demikian, mereka menyadari, bahwa tidak akan mungkin untuk menghindari sama sekali sentuhan-sentuhan senjata mereka atas satu dua orang lawan. Namun Manggada dan Laksana ternyata menaruh perhatian terbesar kepada kedua orang buruan itu.
Namun dalam pada itu, karena Manggada dan Laksana berloncatan dari satu lawan ke lawan yang lain, maka pertempuran itupun tidak lagi dapat berlangsung sebagaimana dikehendaki oleh orang-orang padukuhan. Manggada dan Laksana kadang-kadang justru telah menembus kepungan dan bertempur di luar lingkaran.
Dengan demikian maka perhatian orang-orang padukuhan itupun telah terpecah. Justru dalam kekalutan itu, keduanya telah memasuki lagi medan yang dibatasi oleh selingkar orang-orang bersenjata sambil mengacu-acukan senjata mereka.
Ki Bekel yang marah itu menjadi semakin marah. Dengan geram ia berkata, “Anak-anak muda, menyingkirlah. Jika kalian memang tidak tersangkut dalam persoalan ini, jangan mencari perkara. Apapun yang terjadi, kalian dapat meninggalkan dendam di hati orang-orang padukuhan ini.”
“Ki Bekel,” berkata Manggada, “aku minta, tangkap kedua orang itu. Serahkan kepada mereka yang memburunya. Jika perlu Ki Bekel dapat meyakinkan kebenaran mereka dengan mengikuti mereka ke padukuhan mereka.”
“Aku tidak sebodoh yang kau sangka. Jika kalian ingin menjebakku dengan cara itu, maka kalian akan kecewa,” berkata Ki Bekel lantang.
“Jangan berkata begitu Ki Bekel,” Laksanalah yang menyahut. Lalu katanya, “Apakah kau sadari, bahwa tuduhan itu merupakan satu penghinaan, seolah-olah kami termasuk manusia licik seperti kedua orang yang telah melarikan gadis itu?”
Ki Bekel memang tertegun sejenak. Tetapi kemudian katanya dengan suara yang garang, “Cukup. Kau membuat kami semakin marah. Jangan menyesal jika kalian terlibat dalam kesulitan dan bahkan kau telah mempertaruhkan nyawamu untuk sesuatu yang tidak kau ketahui.”
“Aku tahu pasti apa yang aku lakukan. Aku yakin, bahwa Ki Bekellah yang mempertaruhkan nyawa untuk suatu hal yang tidak kau ketahui,” berkata Laksana. “Karena itu, mulailah berpikir, Ki Bekel. Selagi semuanya belum terlanjur, dan kau juga belum terlanjur mati.”
Kemarahan Ki Bekel bagaikan telah membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka iapun telah berteriak, “Bunuh anak-anak muda itu.”
Tetapi yang terjadi justru sangat mengejutkan. Demikian Ki Bekel meneriakkan aba-aba itu, maka Manggada dan Laksana telah berloncatan semakin garang. Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Beberapa orang telah terlempar dengan luka di tubuh mereka. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi pakaian merekapun telah dikotori dengan darah.
Sikap kedua anak muda itu memang mengejutkan. Orang-orang padukuhan itu tidak mengira, bahwa kedua anak yang masih sangat muda itu mampu bergerak dengan cepatnya. Bahkan pada benturan-benturan senjata yang terjadi, orang-orang padukuhan itu merasakan bahwa kekuatan kedua anak muda itu ternyata sangat besar sehingga setiap kali ada saja senjata yang terlepas dari tangan.
Ki Bekel memang menjadi heran. Tetapi ia tidak dapat menentang kenyataan yang telah terjadi itu. Anak-anak muda yang berada di regol tidak mengira, bahwa kedua anak muda itu justru akan melawan Ki Bekel dan orang-orang padukuhan mereka.
Pemimpin dari anak-anak muda yang bertugas itu berdesis kepada seorang kawannya, “Apakah kedua anak muda itu memang dikirim oleh orang-orang berkuda itu mendahului mereka?”
“Mungkin saja,” jawab kawannya. “Keduanya ternyata telah berpihak kepada mereka.”
Pemimpin anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tetapi mereka hanya berdua. Kenapa Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu tidak segera dapat menangkap mereka?”
Kawan-kawannya menggeleng. Tidak seorang pun yang dapat menjawab, meskipun mereka semuanya telah menduga, bahwa kemampuan anak-anak muda itu memang sangat tinggi.
Dalam pada itu, kedua orang yang sedang diburu oleh orang-orang berkuda itupun menjadi cemas melihat kehadiran kedua orang anak muda yang memiliki ilmu sangat tinggi itu. Menurut pengamatan mereka, kemampuan keduanya justru lebih tinggi dari kemampuan orang-orang berkuda itu sendiri.
Namun kedua orang itu masih berharap Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu akan mampu mengatasi keadaan. Bagaimanapun juga jumlah mereka jauh lebih banyak. Apalagi di antara mereka terdapat Ki Bekel, Ki Jagabaya dan mereka berdua.
Namun kedua orang yang sedang diburu itu ternyata tidak segera mampu mengatasi lawannya. Meskipun kedua orang itu bertempur melawan seorang lawan, pemimpin dari orang-orang berkuda itu, namun ternyata bahwa orang itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kedua orang buruannya itu.
Manggada dan Laksana yang mulai kehilangan kesabarannya telah bergerak lebih cepat. Darahnya yang mulai mendidih di dalam jantungnya telah membakar kemarahan di dalam dadanya. Karena itu, maka Manggada dan Laksana itupun telah bergerak lebih cepat.
Betapapun kemarahan bergejolak di dalam dada anak muda itu, namun mereka ternyata masih sempat juga menilai ilmu mereka masing-masing. Mereka masih juga sempat memperhatikan pengalaman mereka bertempur melawan banyak orang. Namun kadang-kadang dorongan kemarahan mereka telah menggerakkan senjata mereka, sehingga menyentuh tubuh salah seorang di antara lawan-lawan mereka.
Dengan demikian, maka beberapa orang padukuhan itu telah terluka. Semula, rasa-rasanya lawan orang-orang berkuda yang dibantu oleh Manggada dan Laksana itu mengalir tidak berkeputusan. Namun kemudian, semakin lama lawanpun menjadi semakin tipis. Semakin banyak orang yang terluka, maka orang-orang padukuhan itupun menjadi semakin ngeri.
Ternyata bahwa orang-orang berkuda yang semula terdesak, telah menjadi bangkit kembali. Dibayangi oleh kecemasan tentang jumlah lawan mereka, maka mereka memang menjadi lebih garang dan bertempur semakin keras. Ujung-ujung senjata merekapun telah melukai beberapa orang padukuhan.
Namun pemimpin orang-orang berkuda yang harus bertempur melawan dua orang buruannya dibantu oleh beberapa orang padukuhan dari salah seorang buruannya ternyata telah menyentuh pundaknya meskipun tidak terlalu dalam.
Manggada yang menjadi semakin jemu melihat pertempuran itupun kemudian telah mendekati Ki Bekel sambil berkata, “Ki Bekel, sikap Ki Bekel sangat memuakkan. Jika Ki Bekel tidak mau mendengarkan usulku untuk menangkap kedua orang itu, maka aku sendirilah yang akan melakukannya.”
“Aku bekel disini. Akulah yang berhak berbuat demikian. Tanpa ijinku, tidak ada orang yang dapat berbuat sesuka hatinya,” teriak Ki Bekel.
Tetapi Laksana berteriak tidak kalah lantangnya, “Aku tidak percaya. Aku tidak yakin bahwa seseorang akan dapat mencegah apa yang akan aku lakukan.”
Laksana tidak menunggu lagi. Tiba-tiba ia bergerak semakin cepat. Pedangnya berputaran semakin garang, sehingga orang-orang yang terlukapun menjadi semakin banyak. Meskipun hanya goresan-goresan kecil, tetapi darah telah membuat orang-orang itu ketakutan. Di cahaya oncor di regol atau ketika mereka meraba dengan tangannya, maka warna merah dan cairan yang hangat membuat hati orang-orang padukuhan itu semakin berkerut.
Bahkan Manggada yang berhadapan dengan Ki Bekel yang bertempur berpasangan dengan Ki Jagabaya telah bertempur semakin garang. Kedua orang pemimpin padukuhan itu ternyata benar-benar mengalami kesulitan. Ujung pedang Manggada rasa-rasanya telah memburu kemana kedua orang itu menghindar. Seakan-akan ujung pedang anak muda itu melihat kemana sasarannya berkisar. Ki Bekel benar-benar menjadi bingung.
Sementara itu Manggada berkata, “Ki Bekel, aku akan membuktikan, apakah benar Ki Bekel dapat mencegah seseorang berbuat sesuatu jika Ki Bekel tidak mengijinkan. Dengar Ki Bekel, setuju atau tidak setuju, diijinkan atau tidak diijinkan, aku akan melukai Ki Bekel dan Ki Jagabaya.”
“Anak iblis,” geram Ki Bekel.
Tetapi Manggada tidak menggagalkan niatnya. Ujung pedangnya berputar dengan cepat. Kemudian terayun mendatar. Ketika Ki Bekel menghindar, maka tiba-tiba saja ujung pedang itu mematuk seperti mulut seekor ular yang buas.
Ki Bekel meloncat surut. Namun ia benar-benar tidak dapat menghindari sambaran ujung pedang itu. Karena itu, maka Ki Bekel itupun kemudian menyeringai menahan pedih. Tetapi sekaligus mengumpat kasar. Pundaknya ternyata telah terluka. Belum lagi mulut Ki Bekel terkatub, maka Ki Jagabayapun telah mengumpat pula. Lengannya terkoyak oleh ujung pedang Manggada yang garang itu.
“Ki Bekel,” berkata Manggada kemudian, “apa kataku? Apakah benar tanpa ijin Ki Bekel seseorang tidak akan dapat berbuat sesuka hatinya. Ternyata tanpa ijin Ki Bekel aku telah melukai tubuh Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Nanti, jika aku ingin, tanpa ijin Ki Bekel, maka aku akan membunuh Ki Bekel dan Ki Jagabaya, dua orang yang menjadi buruan itu akan dapat ditangkap dan dihadapkan kepada orang yang berhak mengadilinya. Jika kedua orang itu tertangkap, maka yang akan dapat diketemukan bukan hanya seorang gadis anak orang berkuda itu. Tetapi tentu beberapa orang gadis yang lain yang pernah hilang, akan dapat dikemukakan pula.”
Kemarahan Ki Bekel bagaikan membakar ubun-ubunnya. Tetapi ia menyadari, anak muda itu benar-benar berilmu tinggi. Sementara itu Laksana telah berada di antara orang-orang berkuda itu. Bersama Laksana, mereka ternyata telah berhasil mendesak orang-orang padukuhan yang mula-mula mengepung rapat dan berdesakan untuk menyerang mereka. Tetapi yang terjadi kemudian adalah sebaliknya, justru satu-satu orang-orang padukuhan itu telah meninggalkan arena, bergeser surut yang di antaranya justru telah terluka.
Kedua orang yang sedang diburu itupun telah melihat keadaan itu. Karena itu, maka dengan cerdik mereka telah membuat perhitungan. Mereka sama sekali tidak mengingat lagi akan harga diri mereka, seandainya mereka berbuat licik sekalipun.
Karena itu, maka ketika mereka tidak melihat kesempatan lagi untuk berlindung di belakang punggung Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang telah menjadi semakin terdesak, maka kedua orang itu telah memutuskan untuk melarikan diri. Mereka tidak berbicara dengan terang-terangan, namun mereka telah saling memberikan isyarat, sehingga kemudian kedua orang itupun telah bersiap untuk meloncat meninggalkan arena.
Ternyata bahwa kedua orang itu mampu mempergunakan kesempatan dengan baik. Untuk beberapa saat keduanya berusaha untuk memancing kekisruhan dalam pertempuran itu. Namun kemudian, dengan tiba-tiba saja keduanya telah meloncat berlari meninggalkan medan langsung menyusup ke dalam gelap. Mereka telah meloncat ke balik gerumbul liar, dan berusaha mengendap-endap dan menghilang di tanah persawahan.
“Jangan lari,” teriak pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu.
Orang itu berusaha mengejar. Tetapi beberapa orang masih saja menghalanginya. “Jangan bodoh,” geram pemimpin sekelompok orang berkuda itu. “Kedua orang itu telah lari.”
Tetapi kekisruhan di arena itu memang sulit untuk segera disibakkan. Bahkan telah terjadi pula kebingungan. Tetapi demikian kedua orang yang meninggalkan arena itu meloncat ke atas pematang yang sudah agak jauh dari arena, maka langkah mereka tertegun. Di hadapan mereka, juga dipematang itu, berdiri dua orang anak muda berurutan menunggu mereka.
Malam memang terasa cukup gelap. Namun kedua orang yang melarikan diri itu masih dapat melihat dalam keremangan malam, dua orang yang menunggunya itu. Keduanyapun harus berhenti. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa salah seorang dari kedua orang yang menghentikan mereka. Tidak terlalu keras, tetapi menyakitkan hati.
“Kalian akan melarikan diri?” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu.
Dua orang yang diburu itu tidak terlalu gelisah menghadapi dua orang yang menghentikan mereka. Sementara itu, mereka menganggap bahwa orang-orang di padukuhan masih sibuk saling bertempur. Keduanya mengharap bahwa orang-orang padukuhan itu dapat menahan agar orang-orang yang memburu mereka tidak sempat mencari arah mereka menghindarkan diri.
Tetapi ketika kedua orang yang menghentikan mereka itu maju lebih dekat, sementara yang seorang turun ke sawah dan maju lebih dekat lagi, barulah mereka menyadari, bahwa kedua orang yang menghentikan mereka adalah kedua orang anak muda yang berilmu tinggi itu.
“Setan,” geram salah seorang dari kedua orang yang diburu itu.
“Nah, kalian jangan mencoba melarikan diri,” desis Manggada. “Kau harus bertanggung jawab atas segala perbuatanmu.”
“Anak-anak muda,” berkata salah seorang dari mereka, “kau tentu tahu, bahwa orang-orang seperti kami tentu tidak berdiri sendiri. Kami adalah orang-orang yang bekerja dalam kelompok yang rapi. Karena itu, siapa yang berani menghalangi kami, maka ia akan berhadapan dengan kelompok kami yang sudah tersusun dengan baik dan dapat bekerja dengan cepat.”
“Tetapi kau bukan orang penting di dalam kelompokmu itu,” jawab Manggada. “Jika kau termasuk orang penting, kau tentu mendapat perlindungan. Kau tentu tidak akan mengalami kejadian seperti sekarang ini. Nah, jika demikian aku dapat menduga, bahwa kalian justru telah diumpankan oleh kelompokmu agar kalian dapat dijadikan tumbal bagi mereka. Jika kau mati, maka habislah jalur yang akan dapat menelusuri kegiatan mereka.”
“Persetan,” geram yang lain. “Kau jangan mencoba untuk menakut-nakuti kami dengan mengusik hubungan kami dengan kelompok kami. Kami adalah orang-orang terpercaya yang akan dapat menentukan hidup mati mereka.”
“Jika demikian, maka kalian berdua seharusnya berusaha untuk mencari pelindung yang dapat menyelamatkan hidup kalian dari ancaman kawan-kawan kalian sendiri,” berkata Manggada.
“Omong kosong,” geram mereka hampir bersamaan.
Tetapi Manggada tertawa. Katanya, “Jangan ingkar. Kau dapat ingkar kepada kami, tetapi apakah kau dapat ingkar kepada dirimu sendiri?” Manggada berhenti sejenak, lalu, “Menyerahlah. Kau akan mendapat perlindungan justru dari usaha pembunuhan oleh kawan-kawanmu sendiri.”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun telah bersiap untuk bertempur. Seorang di antara mereka berkata, “Kami akan membunuh kalian berdua.”
Manggada tersenyum. Sementara Laksana tertawa sambil berkata, “Jangan kehilangan akal seperti itu. Kau seharusnya masih sempat memperhitungkan kemampuan kalian.”
Memang kedua orang itu tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu betapa sakit hati mereka, namun akhirnya mereka memang terpaksa menyerah kepada kedua orang anak muda itu meskipun mereka mengumpat-umpat di dalam hati. Kenapa kedua anak muda itu justru melibatkan dirinya. Dengan demikian, maka Manggada dan Laksana telah membawa kedua orang itu kembali ke padukuhan.
Sementara itu di padukuhan pertempuran telah terhenti. Pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu nampaknya benar-benar telah berhasil menguasai keadaan. Bukan saja karena pertempuran yang terjadi, tetapi juga karena sikap kedua orang yang melarikan diri itu.
“Kami telah kehilangan mereka,” geram pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. “Keduanya adalah satu-satunya kemungkinan bagiku untuk menemukan kembali anak gadisku.”
Ki Bekel yang masih belum dapat meredakan kemarahannya menjawab, “Itu bukan urusanku. Urusanku adalah ketenangan di padukuhan ini.”
“Meskipun di padukuhan ini dipergunakan untuk berlindung perampok, pencuri, penyamun dan juga penculik gadis-gadis?” bertanya pemimpin kelompok itu.
Namun Ki Bekel membentak, “Persetan. Aku masih memberi kesempatan kalian untuk pergi.”
Orang yang kehilangan anak gadisnya itu menggeram. Katanya, “Aku memang akan pergi karena aku telah kehilangan buruanku. Dan aku tidak akan melupakan sepanjang umurku, bahwa Ki Bekel telah berhasil menyelamatkan dua orang yang telah menculik gadisku, sementara berpuluh-puluh orang tua dari gadis-gadis yang pernah hilangpun akan mengenang kebesaran nama Ki Bekel itu.”
“Cukup,” teriak Ki Bekel.
“Ingat, Ki Bekel. Aku akan menyebar-luaskan peristiwa yang telah terjadi disini. Mudah-mudahan nama Ki Bekel benar-benar akan terkenal,” geram orang itu.
“Tutup mulutmu. Kau kira kami tidak dapat mencegahmu? Kami akan dapat membunuhmu. Tanpa dua orang anak muda yang sekarang tidak kelihatan lagi, kalian bukan apa-apa,” teriak Ki Bekel.
Ternyata Ki Jagabayapun menyambungnya pula, “Aku kira akhir yang paling baik bagi kalian adalah memang kematian. Kalian akan bungkam dan tidak akan berkata apa-apa.”
“Bunuhlah kami semuanya jika kalian ingin. Tetapi ingat, kami tidak akan mau mati sendiri. Paling sedikit sejumlah orang-orang kami dan orang-orang padukuhan ini pun akan mati. Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang telah terlukapun akan mati,” geram orang itu. Lalu katanya pula, “Bahkan kematian kamipun akan dihargai orang karena kami mati justru dalam tugas kemanusiaan. Bukan saja mencari anakku seorang, tetapi beberapa orang gadis yang lain akan diselamatkan pula. Tetapi kematian Ki Bekel akan dicemoohkan orang, karena kau telah melindungi para penjahat yang telah terlibat dalam sekelompok penculik gadis-gadis untuk diperdagangkan.”
“Persetan,” geram Ki Bekel. Namun suaranya tiba-tiba saja telah menurun. Ada sesuatu yang bergerak di dalam hatinya.
Namun Ki Jagabaya masih tetap lantang, “Kita bunuh saja mereka.”
Orang-orang berkuda itupun telah bersiap, sementara orang-orang padukuhan itulah yang menjadi ragu-ragu. Beberapa orang memang telah terluka. Jika tidak terluka kulitnya, maka tulang-tulangnyalah yang terasa bagaikan retak. Karena itu mereka mendengar teriakan Ki Jagabaya dengan jantung yang berdegupan. Namun belum seorangpun di antara orang-orang padukuhan itu yang bergerak.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka mereka semua telah dikejutkan oleh kehadiran kedua orang anak muda yang telah membawa dua orang yang sedang diburu oleh orang-orang berkuda itu. Orang-orang berkuda itupun telah bergerak hampir serentak menyongsong kedua orang anak muda itu.
Pemimpin orang-orang berkuda itupun bertanya, “Kau berhasil menangkap mereka?”
“Kenapa kalian tidak mengejarnya?” bertanya Manggada.
“Kami tertahan oleh orang-orang padukuhan ini,” jawab pemimpin dari kelompok orang berkuda yang telah kehilangan anak gadisnya itu.
“Aku yakin bahwa kalian tidak berpura-pura dan tidak sekedar membuat persoalan. Kami percaya bahwa kalian benar-benar sedang memburu kedua orang ini,” berkata Manggada.
Ki Bekel dan Ki Jagabaya justru termangu-mangu. Sementara Laksana berkata, “Kami sudah kehabisan kesabaran. Siapa yang masih akan berusaha membela dan melindungi orang ini akan kami bunuh.”
Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Namun Laksana seakan-akan melihatnya. Katanya, “Nah, kau masih mempunyai kesempatan untuk membunuh diri, Ki Jagabaya. Aku tidak akan berkeberatan membantumu. Kemudian makammu akan ditulisi dengan huruf-huruf yang indah, bahwa kau adalah seorang pahlawan yang gugur karena melindungi kejahatan. Dan padukuhan ini untuk selanjutnya akan penuh dengan penjahat-penjahat yang mencari perlindungan. Para bebahu padukuhan ini di bawah pimpinan Ki Bekel dan Jagabaya yang baru, akan tetap berperang mengorbankan orang-orangnya atas nama ketenangan dan barangkali pajak dari rumah-rumah penginapan yang ada disini.” Laksana berhenti sejenak. Namun kemudian katanya, “Nah, jika ada seorangpun yang mati sekarang ini, maka Ki Bekel dan Ki Jagabayalah yang menjadi pembunuh yang sebenarnya.”
“Tutup mulutmu,” teriak Ki Jagabaya.
“Aku bunuh kau,” geram Laksana.
Tetapi Manggada cepat memegang lengannya ketika Laksana benar-benar melangkah maju dengan mengacungkan pedangnya.
“Lepaskan aku,” geram Laksana. “Orang seperti ini tidak berhak untuk tetap hidup, apalagi menjadi jagabaya dari sebuah padukuhan yang besar.”
Sebenarnyalah jantung Ki Jagabaya telah berdesir tajam. Ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat melawan jika anak itu benar-benar datang kepadanya dan berusaha membunuhnya.
Dalam pada itu, maka Manggada pun telah berkata, “Sudahlah. Kedua orang ini sudah tertangkap. Kita serahkan saja kepada yang berkepentingan.”
“Terima kasih, anak muda,” berkata pemimpin pasukan berkuda itu.
Namun Manggadapun berpesan, “Kalian harus sadar, bahwa orang-orang seperti kedua orang itu tentu tidak berdiri sendiri. Kawan-kawannya mempunyai dua pilihan untuk memutuskan hubungan tentang apa yang diketahuinya dengan kelompoknya. Mereka dapat berusaha membebaskannya jika kedua orang ini dianggap penting, bahkan dengan pengorbanan yang tinggi, tetapi dapat juga sebaliknya. Kedua orang ini akan dibunuh dengan berbagai macam cara agar mulutnya tidak lagi dapat berbicara.”
Pemimpin dari orang-orang berkuda itu mengangguk. Katanya, “Kami menyadari. Kami sudah bersiap untuk menghadapinya.”
“Jika kalian tidak berkeberatan, maka kami berdua ingin mengikuti kalian sampai ke padukuhan kalian,” berkata Manggada.
“Bagus,” sahut Laksana. “Hampir saja aku mengatakannya.”
“Jika kalian bersedia, kami mengucapkan terima kasih, anak-anak muda,” desis pemimpin dari orang-orang berkuda itu. Tetapi katanya, “Namun kami tidak mempunyai kuda bagi kalian.”
Laksanalah yang kemudian berkata kepada Ki Bekel, “Ki Bekel, aku meminjam empat ekor kuda. Itu lebih baik daripada kami memenggal empat kepala disini.”
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Namun nampaknya Laksana berkata dengan sungguh-sungguh.
“Cepat, sebelum pedangku berbicara.”
Ki Bekel tidak mempunyai pilihan lain. Kedua orang anak muda itu akan benar-benar dapat melakukannya tanpa dapat dicegah lagi. Meskipun dengan segan karena harga dirinya yang tersinggung, namun Ki Bekel terpaksa memberikan isyarat, agar disediakan empat ekor kuda yang akan dipinjam oleh anak-anak muda itu.
Ketika kemudian empat ekor kuda itu tersedia, maka sekelompok orang berkuda itu telah meninggalkan padukuhan itu, diikuti oleh Manggada dan Laksana serta membawa dua orang di antara orang-orang yang memang sedang mereka buru karena mereka sering menculik gadis-gadis.
Sementara itu Manggada sempat berkata kepada Ki Bekel, “Ingat, Ki Bekel. Kau harus berbuat lebih bijaksana. Jika kau masih saja mementingkan pemasukan uang bagi padukuhanmu tanpa menghiraukan harga diri, maka kau akan menyesal. Pada suatu saat tempat ini akan dapat menjadi tempat yang paling buruk meskipun dapat memberikan hasil yang baik bagi padukuhanmu. Tempat ini akan dapat menjadi tempat dimana martabat manusia tidak dihargai lagi, karena martabat seseorang akan dapat dibeli dengan uang.”
Ki Bekel tidak menjawab. Namun apa yang dikatakan oleh anak muda itu ternyata mampu menyentuh hatinya. Ketika Ki Jagabaya mengumpat kasar setelah anak-anak muda itu meninggalkan padukuhan mengikuti sekelompok orang-orang berkuda, maka Ki Bekel berkata, “Ki Jagabaya, ternyata kita memang harus merenungi kata-kata anak muda itu.”
“Yang mana?” bertanya Ki Jagabaya.
“Tentang harga diri. Apakah harga diri kita memang sudah dibeli dengan uang?” bertanya Ki Bekel.
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Hanya pandangan matanya sajalah yang masih mengikuti beberapa ekor kuda yang berderap sehingga hilang di dalam gelapnya malam.
“Marilah,” berkata Ki Bekel. “Persoalannya sudah selesai. Akhirnya aku juga percaya, bahwa kedua orang itu adalah orang-orang jahat.”
Dalam pada itu, pada saat yang bersamaan, beberapa orang telah mendatangi penginapan yang dicengkam oleh kegelisahan itu. Untuk beberapa saat mereka menunggu. Tetapi nampaknya penginapan itu masih belum tertidur. Beberapa orang justru nampak gelisah berjaga-jaga.
Seorang di antara orang-orang yang mendatangi penginapan itupun kemudian bertanya kepada salah seorang di antara mereka yang berjaga-jaga, “Apa yang terjadi?”
“Nampaknya telah terjadi kerusuhan,” jawab orang itu.
“Ki Sanak itu siapa? Apakah Ki Sanak salah seorang petugas di penginapan ini?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab orang yang berjaga-jaga itu.
“Baiklah. Tetapi kami berniat minta ijin untuk menemui dua orang sahabat kami yang bermalam di penginapan ini,” berkata orang itu.
“Dua orang? Seorang di antara mereka berjambang panjang?” bertanya petugas itu.
“Ya,” jawab orang yang datang itu, “seorang berjambang panjang.”
“Dua orang yang telah minta perlindungan Ki Bekel karena merasa diburu oleh orang-orang jahat?” bertanya petugas itu.
“Mungkin sekali ia memang memerlukan perlindungan. Aku kawan-kawannya yang ingin menolong mereka. Jika kedua orang itu melihat kami, maka mereka tentu akan mengatakan hal itu kepada kalian,” berkata orang itu.
“Ataukah justru kalian yang sedang memburunya?” bertanya petugas itu.
“Tidak. Jika kau tidak percaya, katakan kepada mereka dengan isyarat sandi. Katakan, bahwa pedang bermata dua telah datang,” desis orang itu.
Tetapi petugas itu justru termangu-mangu. Dengan kata-kata sandi itu ia menjadi percaya bahwa orang-orang itu adalah kawan kedua orang yang minta perlindungan Ki Bekel. Karena itu maka petugas itupun kemudian mengatakan, kemana kedua orang itu pergi bersama beberapa orang anak muda padukuhan dan bahkan dengan Ki Bekel dan Ki Jagabaya.
Orang yang datang itu terkejut. Dengan tegang ia bertanya, “Jadi kedua orang itu telah pergi ke banjar?”
“Ya. Selanjutnya aku kurang jelas. Menurut pendengaranku orang-orang yang memburunya itu telah datang, sehingga kedua orang yang kau cari itu harus mendapat perlindungan lebih baik,” berkata petugas itu.
Orang itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, “Aku akan berbicara dengan kawan-kawanku.”
Orang-orang itu memang menjadi cemas. Tetapi mereka menyadari bahwa Ki Bekel memang ingin memberikan perlindungan kepada kedua orang kawannya.
“Kita akan menunggu,” berkata salah seorang dari mereka.
Orang-orang itupun kemudian telah mendapat ijin dari petugas di penginapan itu untuk menunggu. Nampaknya para petugaspun selalu berjaga-jaga di penginapan itu. Dari para petugas itu, orang-orang yang datang ke penginapan itu tahu, bahwa tidak setiap hari diadakan penjagaan yang ketat seperti itu. Justru karena ada sesuatu yang mungkin dapat menimbulkan kegelisahan, maka para petugas di penginapan itu telah bersiap-siap melampaui kebiasaan mereka.
Beberapa saat kemudian, seseorang telah datang dengan tergesa-gesa. Orang-orang yang menunggu kedua orang kawannya itu melihat orang yang baru datang itu berbicara dengan para petugas yang mengerumuninya. Karena itu, maka orang-orang itupun dengan serta-merta telah ikut pula mengerumuni orang itu.
Jantung merekapun telah menjadi berdebar-debar setelah mereka mendengar cerita orang itu, bahwa kedua orang yang mereka cari itu telah tertangkap dan dibawa oleh beberapa orang berkuda.
“Setan,” geram salah seorang di antara mereka yang dengan serta-merta telah mencengkam baju orang itu. “Kenapa kalian gagal melindungi kawan-kawanku itu?”
“Orang-orang berkuda itu ternyata adalah orang-orang berilmu tinggi. Mereka dibantu oleh dua orang anak muda yang ilmunya justru sangat tinggi. Anak muda itu pulalah yang telah melukai Ki Bekel meskipun tidak parah,” jawab orang yang memberikan kabar tentang peristiwa di regol padukuhan.
Ternyata orang-orang yang mencari kedua orang kawannya itupun menjadi marah. Dengan garangnya seorang di antara mereka telah memukul wajah orang yang membawa kabar itu sehingga orang itu terdorong beberapa langkah surut dan bahkan kemudian jatuh terlentang.
Kawan-kawannya serentak telah menolongnya. Namun orang-orang yang mencari kawannya itu benar-benar sangat marah. Perkelahianpun tidak dapat dihindarkan. Para petugas yang merasa kesulitan menguasai orang-orang itu, maka seorang di antara mereka telah membunyikan kentongan.
Orang-orang yang kebetulan menginap di penginapan itu telah berlari-larian. Sebenarnya mereka memang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan buruk, karena mereka tahu bahwa di antara kedua orang yang menginap di penginapan itu sedang dalam bahaya. Tetapi merekapun tahu bahwa kedua orang itu sudah pergi ke banjar dengan sebagian besar anak-anak muda yang berjaga-jaga.
Namun tiba-tiba di penginapan itu telah terjadi keributan. Untunglah, bahwa tidak banyak orang yang menginap di penginapan itu, karena agaknya masih belum musimnya memetik hasil sawah yang sering diperdagangkan dan dibawa ke kotaraja...
“Cepatlah. Jika terlambat, ternyata bukan kamilah yang bersalah,” berkata Manggada.
“Anak-anak muda, hal yang sebenarnya tidak pantas aku katakan di hadapan kalian yang muda-muda, tetapi baiklah. Aku akan berterus terang. Kedua orang itu telah melarikan anak gadisku,” jawab orang itu.
Manggada dan Laksana mengerutkan dahinya. Sementara itu anak-anak muda yang mendengarnya pun terkejut karenanya. Namun demikian anak-anak muda itu tidak dapat langsung mempercayainya. Karena itu Manggada bertanya, “Kapan anak gadismu dilarikan? Kedua orang itu tidak bersama-sama dengan seorang gadis ketika ia memasuki padukuhan ini.”
“Gadis itulah yang sedang kita cari,” berkata orang berkuda yang memimpin kelompoknya itu. “Orang-orang kami hanya dapat mengetahui kedua orang itu tanpa gadis yang telah dilarikannya.”
“Tetapi kenapa kedua orang itu sudah mengetahui, bahwa kalian akan mengejar mereka? Kedua orang itu tahu bahwa malam ini akan datang sekelompok orang yang akan membunuh mereka, sehingga karena itu, maka keduanya telah bersiap menghadapi kalian. Bahkan seisi padukuhan inipun telah bersiap pula,” berkata Laksana tiba-tiba.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Dengan nada rendah ia berdesis, “Jadi keduanya sudah mengetahui akan kehadiran kami?”
“Mereka telah menunggu,” jawab Laksana.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya mereka melihat petugas kami di padukuhan ini. Sementara itu mereka merasa tidak dapat lari lagi dari kejaran kami. Atau bahkan menganggap bahwa padukuhan ini sudah kami kepung. Aku tidak tahu pasti, kenapa mereka tidak lari lagi dari padukuhan ini jika mereka menyadari bahwa kami telah mengetahui persembunyian mereka.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Agaknya kedua anak muda itu dapat mempercayai keterangan dari pemimpin kelompok itu. Namun karena ia sebenarnya bukan anak muda dari padukuhan itu, maka ia tidak dapat mengambil keputusan yang mutlak.
Karena itu, maka Manggada pun telah mendekati anak muda yang memimpin perondan malam itu dan bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Terserah kepadamu,” katanya.
Manggada dan Laksana hanya saling berpandangan saja. Sementara itu, beberapa orang telah berdesis, “Itu, Ki Bekel dan Ki Jagabaya telah datang.”
Sebenarnyalah iring-iringan yang semakin panjang itu menjadi semakin dekat pula dengan pintu gerbang padukuhan, sementara sekelompok orang-orang berkuda itu telah berloncatan turun. Orang-orang yang ada di regol padukuhan itupun menjadi tegang. Ki Bekel dan Ki Jagabaya ternyata telah diikuti oleh anak-anak muda padukuhan itu. Mereka yang melihat iring-iringan itu telah ikut pula bergabung, sehingga iring-iringan itu menjadi panjang. Kecuali beberapa orang yang bertugas di gardu-gardu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Bekel, Ki Jagabaya dan beberapa orang telah menyibak anak-anak muda di gerbang padukuhan itu. Mereka telah maju beberapa langkah untuk menemui orang-orang berkuda yang telah mendatangi padukuhan mereka. Ternyata bersama mereka adalah dua orang yang merasa dirinya terancam oleh orang-orang yang menurut mereka akan membunuh itu.
“Siapakah kalian?” bertanya Ki Bekel yang berdiri di paling depan.
“Apakah aku berhadapan dengan Ki Bekel padukuhan ini?” bertanya orang yang menjadi pemimpin kelompok itu.
“Ya. Aku adalah bekel dari padukuhan ini,” jawab Ki Bekel.
“Adalah kebetulan sekali, Ki Bekel. Sebenarnya aku memang ingin menghadap Ki Bekel,” berkata pemimpin sekelompok kecil orang-orang berkuda itu. “Aku memang mempunyai kepentingan dengan Ki Bekel.”
“Kepentingan apa?” bertanya Ki Bekel.
“Aku mohon diperkenankan untuk mengambil dua orang yang malam ini bermalam di padukuhan ini,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi benar, bahwa kalian adalah sekelompok orang yang akan menimbulkan kekacauan di padukuhan ini?”
Orang-orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Pemimpinnyapun kemudian bertanya, “Kenapa Ki Bekel berpendapat demikian?”
“Sebelum kalian datang, kami telah mendapat laporan, bahwa dua orang yang bermalam di padukuhan ini merasa terancam jiwanya. Mereka merasa dikejar-kejar oleh beberapa orang yang ingin membunuh mereka,” berkata Ki Bekel.
“Kami sama sekali tidak ingin membunuh mereka, Ki Bekel. Kami hanya ingin menangkap mereka, karena mereka telah melakukan kesalahan terhadap kami,” berkata orang-orang berkuda itu.
“Tentu kalian dapat saja mengatakan demikian,” sahut Ki Bekel. Lalu, “Apakah kau mengenal orang yang kau cari itu?”
“Tentu, Ki Bekel. Orang itu berdiri di belakang Ki Bekel,” jawab pemimpin kelompok itu.
“Ternyata kau telah memutar balik kenyataan. Katakan, seandainya kau akan menangkapnya, apakah kesalahan mereka terhadap kalian?” bertanya Ki Bekel.
“Anak-anak muda itu tadi telah bertanya demikian pula. Dan aku telah memberikan jawabanku. Orang-orang itu telah melarikan anak gadisku,” jawab pemimpin dari orang-orang berkuda itu. “Karena itu, maka aku mohon Ki Bekel untuk menangkap orang-orang itu.”
“Omong kosong,” teriak orang yang berdiri di belakang Ki Bekel. “Kau jangan memfitnah orang dengan cara sekasar itu. Kau dapat mengarang seribu macam fitnah. Tetapi yang kau ucapkan itu terlalu keji dan tidak masuk akal.”
Orang-orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Pemimpin merekapun berkata, “Ki Bekel, sudah tentu ia akan dapat mengelak. Tetapi ada saksi yang cukup banyak yang dapat menetapkan kesalahannya. Karena itu, biarlah aku membawanya kembali. Biarlah ia berhadapan dengan para saksi yang akan dapat menudingnya bahwa ia telah melarikan anak gadisku itu.”
“Kau jangan asal saja mengucapkan fitnah itu,” berkata orang itu. “Disini aku berada di bawah perlindungan paugeran yang adil. Jika kau dapat membuktikan kesalahanku di hadapan Ki Bekel, maka kau akan dapat menangkap aku.”
Pemimpin dari orang-orang berkuda itu termangu-mangu. Katanya, “Yang menentukan apakah kau bersalah atau tidak bukan Ki Bekel disini. Tetapi Ki Bekel dan Ki Demang di rumah ini bukan saja pernah kau lakukan beberapa tahun yang lalu. Tetapi agaknya memang ada kesengajaanmu menentang paugeran yang berlaku.”
“Kau memang pandai menyusun kata-kata sehingga meyakinkan orang lain dan seakan-akan telah mensahkan fitnahmu,” jawab orang yang minta perlindungan kepada Ki Bekel. “Kau akan dapat mempermainkan orang lain, tetapi tidak dengan Ki Bekel disini.”
“Apapun yang kau katakan, tetapi akhirnya kebenaran akan menang,” berkata pemimpin dari sekelompok orang berkuda itu.
Namun tiba-tiba Ki Bekel berkata, “Pergilah, Ki Sanak. Jangan ganggu ketenangan di padukuhan kami. Kami akan melindungi orang-orang yang memang memerlukan perlindungan di padukuhan kami. Apapun yang mereka lakukan, tetapi kalian tidak akan dapat menangkapnya di daerah kuasaku. Aku tidak mau kehilangan kepercayaan bagi orang-orang yang menginap di padukuhan ini, seolah-olah di padukuhan ini tidak ada paugeran yang berlaku, sehingga kekerasan dapat berlaku atas siapa saja.”
“Tetapi kedua orang itu telah bersalah, Ki Bekel. Yakinlah. Selagi belum terlambat, aku harus mendapatkan anak gadisku itu kembali. Aku yakin, kedua orang itu merupakan alat dari sekelompok orang-orang yang telah memperdagangkan gadis-gadis tanpa belas kasihan. Jika kami berhasil menangkapnya, maka kami kira, kami akan membuka satu jaringan kejahatan yang mungkin akan mencengkam padukuhan itu pula. Ketika ia melakukan kesalahan yang sama beberapa tahun yang lalu, kami mengira bahwa yang dilakukan itu didorong oleh perasaan cintanya yang tidak dapat dikendalikan, sementara orang tuanya tidak menyetujuinya. Karena itu, ketika gadis yang diambilnya telah kembali, maka persoalannya dianggap sudah selesai. Tetapi ketika ia melakukannya sekali lagi atas anak gadisku, maka kami telah mengadakan penyelidikan sambil mengikuti jejak kepergiannya. Ternyata bahwa ia memang alat dari sekelompok pedagang gadis-gadis muda yang jahat. Ternyata bahwa kedua orang itu telah diduga melakukan penculikan pula di beberapa padukuhan yang lain. Karena itu Ki Bekel, sebelum besok kedua orang itu pergi sambil membawa gadis dari padukuhan ini, maka serahkan orang itu kepada kami,” minta pimpinan dari sekelompok orang-orang berkuda itu.
“Fitnah yang keji. Sampai hati kau memfitnah kami dengan cara seperti itu?” geram orang yang berdiri di belakang Ki Bekel itu. “Aku tidak menyangka, bahwa dari mulutmu dapat keluar fitnah yang demikian kasarnya tanpa malu-malu.”
“Jangan mengelak lagi,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu. “Kau telah melakukan kesalahan yang gawat. Menculik gadis-gadis adalah pekerjaan yang terkutuk. Apalagi kau lakukan atas gadis tetanggamu sendiri.”
“Alasanmu tidak meyakinkan,” berkata Ki Bekel. “Karena itu, maka aku tidak akan dapat menyerahkan orang ini.”
“Ki Bekel,” berkata orang berkuda itu, “sayang sekali bahwa Ki Bekel tidak melihat pancaran sorot mata mereka.”
“Pergilah, Ki Sanak. Jangan ganggu padukuhanku,” berkata Ki Bekel.
“Tidak, Ki Bekel. Aku harus menemukan anak gadisku kembali. Bagiku anakku sama berharganya dengan nyawaku. Selagi nyawaku masih berada di dalam tubuhku, aku akan mencarinya dengan cara apapun juga,” berkata orang itu.
“Tetapi tidak di daerah kuasaku,” berkata Ki Bekel.
“Ki Bekel,” berkata orang itu, “di hadapanku telah berdiri orang yang aku cari. Karena itu, aku tidak akan melepaskannya. Aku akan menangkapnya dan membawanya menghadap Ki Demang untuk mendapatkan pengadilan.”
“Kau lihat disini anak-anak muda sudah siap. Kami, para bebahu padukuhan inipun telah berada di sini, termasuk Ki Jagabaya. Nah, kau mau apa?” bertanya Ki Bekel.
“Sayang sekali, bahwa Ki Bekel telah terpengaruh oleh mulutnya yang berbisa. Tetapi aku harus mendapatkannya,” geram orang itu.
Ki Bekelpun menjadi marah. Dengan lantang ia berkata kepada Ki Jagabaya, “Ki Jagabaya, usir mereka. Jika perlu dengan kekerasan. Ki Jagabaya dapat mempergunakan anak-anak muda yang telah bersiap disini. Atau memukul kentongan memanggil anak-anak muda yang lain yang belum ada disini untuk mengusir mereka. Jika mereka benar-benar keras kepala, maka jika terjadi sesuatu, bukan salah kami.”
Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi kekar itupun melangkah maju. Kumis dan jambangnya membuat wajahnya menjadi semakin menyeramkan. Suaranya ternyata bagaikan guntur mangsa kesanga, “Ki Sanak, kami tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani Ki Sanak. Karena itu, cepat, pergilah.”
“Kami memang sangat menyayangkan bahwa hal seperti ini harus terjadi. Tetapi kami tidak dapat berbuat lain. Kami harus menangkap orang-orang itu dan membawanya kembali ke kademangan.”
Ki Jagabaya itupun kemudian memberikan isyarat kepada anak-anak muda yang ada di tempat itu untuk bergerak. Katanya, “Suruh orang itu pergi. Atau seret mereka ke banjar.”
Tetapi orang itu berkata, “Jangan kau umpankan anak-anak muda kalian yang belum berpengalaman. Sebenarnya kami segan sekali berbenturan kekerasan dengan mereka. Karena itu, kalian sajalah yang tua-tua silahkan memasuki arena permainan. Barangkali permainan ini memang permainan orang-orang tua. Apalagi taruhannya cukup berharga. Seorang gadis. Bahkan aku telah mempertaruhkan pula nyawaku untuk keselamatan gadis itu.”
Wajah anak-anak muda itu menjadi tegang. Namun sekali lagi Ki Jagabaya berkata, “Usir mereka.”
Orang-orang berkuda itu telah bergeser beberapa langkah surut. Mereka sengaja keluar dari regol padukuhan. Seorang di antara mereka telah menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon di pinggir jalan. Sementara pemimpin mereka berkata, “Kami akan berkelahi di luar regol padukuhan ini.”
Dalam pada itu, maka beberapa orang anak muda memang mulai bergerak. Namun orang-orang berkuda itupun agaknya telah bersiap melayaninya.
“Jangan menyesal jika terjadi sesuatu atas kalian,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu, yang nampaknya yakin akan dirinya. Menilik tata geraknya, maka mereka bukanlah orang kebanyakan.
Tetapi orang-orang padukuhan itu nampaknya tidak menghiraukannya. Beberapa orang anak muda justru telah mulai menyerangnya.
Manggada dan Laksana yang pernah mempelajari olah kanuragan dapat menduga apa yang akan terjadi. Beberapa orang anak muda tiba-tiba saja telah terlempar jatuh. Bahkan dua di antara mereka rasa-rasanya sulit untuk dapat memasuki kembali arena perkelahian karena punggung mereka rasa-rasanya telah patah.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang lain telah mengepung mereka dan bersama-sama menyerang mereka dari segala penjuru. Mereka memang tidak mengerti bahaya yang akan dapat terjadi atas diri mereka oleh beberapa orang berkuda itu.
Tetapi beberapa saat kemudian, beberapa orang anak muda telah terbanting jatuh keluar dari arena. Bahkan hampir saja terinjak oleh kawan-kawan mereka sendiri. Dalam pada itu, terdengar lagi pemimpin sekelompok orang berkuda itu berkata,
“Jangan kau paksa anak-anak kalian menjadi tumbal dari kebodohan kalian. Marilah, siapakah di antara kalian yang memang tanggon dan mampu menghadapi kami dalam pertempuran yang seimbang.”
Ki Bekel, Ki Jagabaya, dan beberapa orang bebahu padukuhan itu memang merasa gelisah melihat anak-anak muda mereka yang ternyata akan mengalami kesulitan. Ternyata sekelompok orang berkuda itu memiliki kemampuan bertempur yang tinggi. Anak-anak muda yang berkelahi bersama-sama melawan mereka, seakan-akan tidak mampu mendekat.
Setiap kali ada saja di antara mereka yang berteriak kesakitan. Meskipun mereka memaksa untuk bertempur terus, namun mereka benar-benar mengalami kesulitan. Bahkan beberapa orang anak muda benar-benar telah kehilangan keberanian untuk memasuki arena, karena tulang-tulang iga mereka rasa-rasanya berpatahan.
Para bebahu padukuhan itu memang tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Apalagi ketika sekali lagi mereka mendengar tantangan, “He, apa kerja kalian yang tua itu? Seharusnya kalian melindungi anak-anak kalian. Tetapi kalian justru berlindung di balik punggung anak-anak kalian yang jika tidak mau menarik diri, akan mengalami akibat yang parah. Sudah tentu kalian tidak akan menunggu salah seorang dari anak-anak kalian tidak bangkit kembali untuk selama-lamanya.”
Ki Bekel menggeram. Katanya kepada Ki Jagabaya, “Kita harus menangani sendiri orang-orang keparat ini.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak ada pilihan lain.” Lalu sambil berpaling kepada kedua orang yang minta perlindungan di padukuhan itu ia berkata, “Kau jangan melepaskan tanggung jawab. Kalianlah yang menjadi sumber persoalan. Sementara itu kalian mengaku akan melawan mereka jika jumlahnya sama dengan jumlah kalian berdua. Karena itu, marilah kita akan melawan mereka bersama-sama. Kalian berdua dapat memilih lawan dua di antara mereka. Kami memang tidak dapat mengorbankan anak-anak itu dengan semena-mena.”
Kedua orang itu mengangguk. Seorang di antara mereka menjawab, “Aku akan membunuh orang-orang itu.”
Ki Jagabaya tidak berbicara lagi. Iapun kemudian melangkah mendekati arena pertempuran yang riuh. Dilihatnya beberapa anak muda sudah dibawa menepi. Sebagian di antara mereka telah duduk bersandar dinding padukuhan sambil mengerang kesakitan. Seorang yang lain mengaduh sambil mengusap darah di mulutnya karena tiga giginya berpatahan. Namun ada pula di antara anak-anak muda itu yang telah menjadi pingsan.
Keadaan itu rasa-rasanya telah membakar jantung Ki Jagabaya dan Ki Bekel beserta beberapa orang bebahu. Mereka telah mengikuti langkah Ki Jagabaya mendekati arena pula. Demikian pula kedua orang yang sedang diburu oleh sekelompok orang-orang berkuda itu.
Dengan suara lantang Ki Jagabaya pun kemudian berteriak, “Minggir. Biarlah kami yang tua-tua melayani mereka bermain-main.”
Anak-anak muda itu tidak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Mereka memang sudah mengerti untuk menghadapi sekelompok orang-orang berkuda itu akan sangat sulit. Karena itu, maka dengan segera merekapun telah menyibak.
Orang-orang berkuda itupun kemudian telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Nampaknya mereka tidak lagi harus sekedar bermain-main. Tetapi orang-orang padukuhan itu, terutama para bebahu yang dipimpin langsung oleh Ki Bekel dan Ki Jagabaya itu harus mereka hadapi dengan sungguh-sungguh.
“Jangan menyesal jika kalian tidak dapat pergi dari gerbang padukuhan kami. Bukan salah kami, tetapi kalianlah yang telah datang kepada kami,” geram Ki Bekel.
“Sebenarnya kami tidak bermusuhan dengan kalian,” berkata orang-orang itu, “tetapi kalian telah melindungi orang yang bersalah, sehingga karena itu, maka kami harus mempergunakan kekerasan.”
“Persetan,” geram Ki Jagabaya. “Masih ada kesempatan bagimu untuk menyingkir.”
Tetapi orang-orang berkuda itu tidak beranjak dari tempatnya. Sejenak kemudian maka para bebahu dan orang-orang lain yang ada di gerbang itu telah mengepung orang-orang berkuda itu. Dalam jumlah yang berlipat, mereka telah siap untuk bertempur. Ki Bekel, Ki Jagabaya dan kedua orang yang dicari oleh orang-orang berkuda itu melangkah semakin dekat.
Dengan geram Ki Bekel berkata, “Marilah, kita akan membuktikan, siapakah yang akan menyesal dalam permainan ini.”
Orang-orang berkuda itu tidak menjawab. Sementara itu, maka Ki Bekel dan orang-orangnyapun telah berloncatan menyerang. Memang berbeda dengan anak-anak muda yang darahnya masih terlalu panas. Tanpa bekal apapun mereka mencoba untuk bertempur melawan orang-orang yang berilmu kanuragan. Dengan demikian maka mereka bagaikan telah membenturkan dirinya pada dinding batu yang keras.
Tetapi orang-orang yang kemudian bersama-sama Ki Bekel menyerang orang-orang berkuda itu bobotnya memang berbeda. Mereka pada umumnya juga mengenal ilmu kanuragan. Apalagi Ki Jagabaya, Ki Bekel sendiri dan kedua orang yang sedang diburu itu. Mereka merupakan orang-orang yang berbahaya bagi orang-orang berkuda itu.
Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi besar itu memiliki kekuatan melampaui orang kebanyakan. Sementara Ki Bekel memiliki ketangkasan dan kecepatan bergerak bagaikan seekor sikatan. Beberapa bebahu yang lain bersama-sama merupakan kekuatan yang memang sulit untuk dilawan.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Jagabaya yang marah itu, bersama-sama dengan para bebahu telah bertempur dengan garangnya. Anak-anak muda mereka yang mengalami kesulitan dan bahkan cidera pada tubuh mereka, telah membuat para bebahu itu semakin garang. Mereka merasa wajib untuk membalas dan bahkan jika mungkin menangkap dan mengadili mereka karena mereka telah menyakiti anak-anak mereka.
Beberapa saat kemudian pertempuranpun semakin menjadi keras dan cepat. Orang-orang berkuda itu secara pribadi memiliki kelebihan dari lawan-lawan mereka. Tetapi lawan mereka memang terlalu banyak. Meskipun demikian, kemarahan Ki Jagabaya semakin menjadi-jadi karena orang-orang berkuda itu masih saja mampu bertahan meskipun kadang-kadang mereka memang terdesak.
“Menyerahlah,” geram Ki Jagabaya, “atau pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran. Kau sudah menyakiti anak-anak kami. Menyakiti hati kami. Jika kesabaran kami sampai ke batas, maka kami akan dapat mengambil keputusan lain.”
Tetapi pemimpin pasukan berkuda itu menjawab, “Serahkan kedua orang itu. Atau biarkan kami menyelesaikan persoalan kami sendiri. Sebaiknya kalian memang tidak ikut campur sehingga di antara kita tidak akan timbul persoalan.”
“Cukup,” bentak Ki Jagabaya. “Kami sudah mengambil sikap. Kau terima sikap itu atau kalian akan mengalami bencana di padukuhan ini.”
“Kami tidak akan menyerah,” berkata pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu, “apapun yang akan terjadi atas diri kami. Gadis yang diambilnya adalah anakku sendiri. Jika aku tidak berhasil mendapatkannya, maka biarlah aku mati disini. Kalian akan dapat merenungi mayat seorang ayah yang mengorbankan nyawanya bagi anak gadisnya. Saudara-saudaraku yang datang bersamaku adalah orang-orang yang setia kepada harga dan nilai kemanusiaan sehingga merekapun rela mengorbankan nyawanya. Kau akan merenungi korban dari keganasan orang-orang yang tidak berperikemanusiaan karena mereka telah mendapatkan keuntungan justru karena mereka telah sampai hati mengorbankan gadis-gadis yang diperjual-belikannya tidak lebih dari seekor binatang.”
“Omong kosong,” teriak salah seorang dari kedua orang yang diburu itu. “Kau dapat memfitnah dengan seribu macam ceritera ngayawara. Tetapi orang-orang padukuhan ini, apalagi Ki Bekel dan Ki Buyut bukan orang-orang yang dungu yang begitu saja mempercayaimu.”
“Kau memang pandai berbicara. Kau memang mempunyai kemampuan untuk menyesatkan keyakinan seseorang. Tetapi aku tidak akan menyerah kepada kelicikanmu itu sampai kemungkinan yang terakhir. Jika aku harus mati, aku tidak akan merasa menyesal sama sekali,” jawab pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
“Jahanam kau,” bentak Ki Jagabaya. Yang kemudian berteriak, “Aku beri kesempatan terakhir. Jika tidak, apaboleh buat.”
Tetapi orang-orang berkuda itu memang tidak meninggalkan medan pertempuran yang semakin menekan mereka. Sebenarnyalah Ki Jagabaya memang menjadi semakin marah. Orang-orang itu masih saja berusaha bertahan. Karena itu, maka dalam batas kesabarannya, Ki Jagabaya tiba-tiba saja berteriak,
“Jika kalian tidak mau menyerah, kami terpaksa benar-benar membunuh kalian.”
“Kematian tidak lagi menakutkan bagi kami,” jawab pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
Jawaban itu membuat telinga Ki Jagabaya menjadi merah. Karena itu, maka iapun meneriakkan aba-aba, “Pergunakan senjata kalian.”
Orang-orang yang bertempur melawan orang-orang berkuda itupun kemudian telah menarik senjata mereka. Serentak mereka telah mengacukan senjata mereka, termasuk Ki Bekel dan kedua orang yang sedang dicari oleh orang-orang berkuda itu.
Orang-orang berkuda itu berloncatan beberapa langkah surut. Tetapi mereka memang tidak melarikan diri. Merekapun telah menarik senjata mereka pula untuk menghadapi orang-orang padukuhan yang telah bersenjata itu.
Dengan demikian maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran bersenjata. Orang-orang padukuhan itu telah mengacu-acukan senjata mereka di seputar orang-orang berkuda itu. Bahkan Kemudian kedua orang yang sedang diburu itu justru telah menyerang orang-orang berkuda itu, diikuti oleh Ki Bekel dan Ki Jagabaya serta para bebahu yang lain.
Namun dalam pada itu, ternyata keadaan orang-orang berkuda itu menjadi semakin sulit. Ujung-ujung senjata yang berputar, terayun dan mematuk rasa-rasanya telah menjadi semakin berbahaya.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksana berdiri termangu-mangu. Ia melihat bahwa orang-orang berkuda itu memang berada dalam kesulitan. Lawannya terlalu banyak untuk dapat dilawan. Meskipun mereka berilmu, tetapi ilmu mereka tidak cukup tinggi untuk melawan orang yang sekian banyaknya.
Manggada yang bergeser mendekati Laksana berdesis, “Bagaimana pendapatmu tentang orang-orang itu?”
“Kau bagaimana?” Laksana justru ganti bertanya.
“Aku lebih percaya kepada mereka daripada kedua orang itu. Agaknya orang-orang berkuda itu berkata dengan jujur. Sikapnya pun lebih meyakinkan daripada kedua orang yang agaknya sangat licik itu,” jawab Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat.”
“Jadi bagaimana?” bertanya Manggada pula. “Kita bantu mereka,” jawab Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga, sekaligus berarti bagi sesama. Tidak sekedar mencari musuh tanpa sebab.”
“Ah, kau,” Laksana berdesis.
Sementara itu Manggada telah mendekati anak-anak muda yang bertugas. Dengan nada dalam ia berkata, “Berikan pedangmu. Bukankah kau tidak akan ikut bertempur?”
Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi karena anak muda itu tidak tahu maksud Manggada, maka iapun telah memberikan pedangnya, sementara yang lain telah memberikan pedangnya pula kepada Laksana.
“Lebih baik kita memakai pedang,” desis Manggada. “Jika kita menarik keris kita, maka akhirnya akan sangat parah, karena setiap goresan akan berarti maut.”
Laksana mengangguk kecil. Sementara itu keduanyapun telah bergerak mendekati arena pertempuran. Ternyata orang-orang berkuda itu terdesak semakin jauh. Bahkan orang-orang padukuhan itu, termasuk Ki Bekel, Ki Jagabaya dan kedua orang yang justru sedang diburu berusaha untuk mengepung rapat. Dengan demikian maka orang-orang berkuda itu akan mengalami kesulitan untuk menyelamatkan diri jika keadaan mereka benar-benar terdesak.
Untuk beberapa saat Manggada dan Laksana sempat memperhatikan pertempuran yang menjadi semakin garang itu. Menurut pengamatan kedua anak muda itu, dua orang yang disebut telah melarikan seorang gadis itu, bertempur dengan keras dan bahkan kasar. Agaknya keduanya benar-benar ingin membunuh orang-orang berkuda itu.
Terutama pemimpinnya, yang mengatakan bahwa anaknyalah yang telah diambil oleh kedua orang itu. Bahkan ketika pertempuran menjadi semakin sengit, keduanya telah bertempur bersama-sama melawan pemimpin dari orang-orang berkuda yang kehilangan anaknya itu.
“Keduanya nampaknya benar-benar seperti iblis,” geram Laksana.
Manggada mengangguk angguk. Tetapi ia masih sempat melihat bahwa pemimpin dari orang-orang berkuda itu tetap bertahan. Tetapi ketika kemudian dua orang lagi datang melawannya, maka ia benar-benar dalam keadaan yang gawat.
“Menyerahlah,” bentak salah seorang dari orang padukuhan itu.
Tetapi salah seorang dari kedua orang yang diburu itu berteriak, “Kita bunuh mereka. Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya.”
Manggada tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun telah menggamit Laksana sambil berkata, “Marilah. Jangan terlambat.”
Keduanyapun kemudian telah meloncat dan menyibak orang-orang padukuhan itu. Namun tiba-tiba mereka telah berdiri di antara orang-orang berkuda itu. Sementara Laksana berteriak, “Aku berpihak kepada orang yang telah kehilangan anaknya ini. Menurut pendapatku, justru merekalah yang harus mendapat pertolongan. Bukan sebaliknya. Kedua orang yang telah menculik anaknya itu harus ditangkap. Mereka bertanggung jawab atas keselamatan anak gadis yang telah mereka culik itu.”
“Setan,” teriak salah seorang dari kedua orang itu. “Kau siapa, he?”
“Siapapun kami, tetapi kau harus ditangkap,” jawab Laksana.
“Ternyata kau telah membunuh dirimu sendiri. Apakah kau anak muda padukuhan ini? Jika demikian kau termasuk anak-anak muda yang telah memberontak terhadap kekuasaan Ki Bekel dan Ki Jagabaya.”
“Kami berdua bukan anak-anak muda padukuhan ini. Tetapi justru karena itu, kami mampu melihat kesalahan Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang terlalu percaya kepadamu,” jawab Manggada.
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Dengan garangnya seorang di antara mereka berteriak, “Bunuh juga anak itu sebagaimana orang-orang yang lain, yang telah berusaha mencemarkan nama baik padukuhan ini. Termasuk Ki Bekel dan Ki Jagabaya.”
“Yang merasa tercemar seharusnya bukan kau jika benar itu terjadi. Ki Bekel dan Ki Jagabaya tidak merasa terjadi pencemaran itu. Kenapa kau justru berteriak-teriak tentang pencemaran nama baik padukuhan dan para pemimpinnya?” sahut Manggada.
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Namun agaknya Ki Jagabayapun tersinggung karena kedua anak muda itu ternyata telah menentang kebijaksanaannya. Tetapi Ki Jagabayapun merasa heran atas kehadiran anak-anak muda yang belum pernah dilihatnya. Namun kemudian Ki Jagabaya itupun berteriak,
“Tangkap pula kedua anak muda itu. Aku belum pernah melihat mereka. Agaknya mereka telah disusupkan oleh orang-orang yang memang ingin mengacaukan padukuhan ini.”
“Kau harus lebih bijaksana menanggapi satu peristiwa, Ki Sanak,” berkata Manggada.
Namun ia tidak sempat berbicara lebih panjang karena salah seorang dari kedua orang yang sedang diburu itu berteriak, “Keduanya harus dibunuh saja.”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun keduanya benar-benar telah berada di antara orang-orang berkuda itu. Tetapi yang justru bertanya kemudian adalah pemimpin dari orang berkuda itu,
“Siapakah kalian, anak-anak muda? Apakah keuntungan kalian melibatkan diri dalam persoalan kami?”
“Kami merasa tersinggung justru karena ketidak-adilan menurut pendapat kami. Mungkin kami telah melakukan kesalahan dengan langkah kami ini. Tetapi yang kami lakukan ini berlandaskan pada kata nurani kami,” jawab Manggada. Lalu, “Menurut pendapat kami, kalian bersikap jujur, sedangkan kedua orang itu dengan licik telah mempengaruhi seisi padukuhan itu untuk melakukan kesalahan.”
“Terima kasih,” jawab pemimpin dari orang-orang berkuda itu. Tetapi katanya lebih lanjut, “Namun kalian harus menyadari bahwa kalian telah melakukan satu langkah yang sangat berbahaya. Bahkan dapat membahayakan jiwa kalian.”
“Kami sedang melakukan Tapa Ngrame. Kami harus menolong sesama yang mengalami kesulitan, sesuai dengan kata nurani kami,” jawab Laksana.
Manggada mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua anak muda itu mulai menggerakkan pedang di tangan mereka. Perlahan-lahan. Namun semakin lama menjadi semakin cepat.
Anak-anak muda padukuhan itu menjadi bingung. Apalagi mereka yang telah menyerahkan pedang mereka kepada Manggada dan Laksana. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa kedua anak itu tiba-tiba saja telah berpihak kepada orang-orang yang dianggap telah menyerang padukuhan mereka.
Ternyata pengaruh keterlibatan Manggada dan Laksana sangat besar. Keduanya telah menuntut ilmu dengan tertib dan bersungguh-sungguh. Karena itu, maka keduanya meskipun masih terlalu muda, namun sudah menguasai ilmu dengan baik dan mapan. Sehingga karena itulah, maka kehadiran mereka di medan pertempuran itu sangat mengejutkan. Bukan saja para pemimpin padukuhan serta kedua orang yang sedang diburu itu. Tetapi orang-orang berkuda itupun merasa heran melihat tatagerak kedua orang anak muda itu.
Dengan tangkasnya keduanya berloncatan. Pedangnya berputaran seperti baling-baling. Sementara itu, keduanya seakan-akan mampu menyusup di antara ujung-ujung senjata lawan-lawan mereka. Dengan tangkasnya pula keduanya menangkis serangan-serangan yang mengarah ke tubuh mereka. Sekali-sekali mereka meloncat menghindar, berputar, menggeliat, dan melenting jauh.
Bahkan pada setiap benturan senjata, lawan-lawan mereka merasa sangat terkejut. Kekuatan kedua anak muda itu ternyata terlalu besar dibanding dengan mereka. Dengan kehadiran kedua anak muda itu di arena, maka keseimbangan pertempuranpun telah berubah. Sambil berloncatan, Manggada dan Laksana menggerakkan pedangnya. Sekali-sekali menyambar, terayun mendatar, menusuk dan menebas.
Tetapi Manggada dan Laksana memang tidak ingin membunuh seorangpun dari antara lawan-lawannya. Meskipun demikian, mereka menyadari, bahwa tidak akan mungkin untuk menghindari sama sekali sentuhan-sentuhan senjata mereka atas satu dua orang lawan. Namun Manggada dan Laksana ternyata menaruh perhatian terbesar kepada kedua orang buruan itu.
Namun dalam pada itu, karena Manggada dan Laksana berloncatan dari satu lawan ke lawan yang lain, maka pertempuran itupun tidak lagi dapat berlangsung sebagaimana dikehendaki oleh orang-orang padukuhan. Manggada dan Laksana kadang-kadang justru telah menembus kepungan dan bertempur di luar lingkaran.
Dengan demikian maka perhatian orang-orang padukuhan itupun telah terpecah. Justru dalam kekalutan itu, keduanya telah memasuki lagi medan yang dibatasi oleh selingkar orang-orang bersenjata sambil mengacu-acukan senjata mereka.
Ki Bekel yang marah itu menjadi semakin marah. Dengan geram ia berkata, “Anak-anak muda, menyingkirlah. Jika kalian memang tidak tersangkut dalam persoalan ini, jangan mencari perkara. Apapun yang terjadi, kalian dapat meninggalkan dendam di hati orang-orang padukuhan ini.”
“Ki Bekel,” berkata Manggada, “aku minta, tangkap kedua orang itu. Serahkan kepada mereka yang memburunya. Jika perlu Ki Bekel dapat meyakinkan kebenaran mereka dengan mengikuti mereka ke padukuhan mereka.”
“Aku tidak sebodoh yang kau sangka. Jika kalian ingin menjebakku dengan cara itu, maka kalian akan kecewa,” berkata Ki Bekel lantang.
“Jangan berkata begitu Ki Bekel,” Laksanalah yang menyahut. Lalu katanya, “Apakah kau sadari, bahwa tuduhan itu merupakan satu penghinaan, seolah-olah kami termasuk manusia licik seperti kedua orang yang telah melarikan gadis itu?”
Ki Bekel memang tertegun sejenak. Tetapi kemudian katanya dengan suara yang garang, “Cukup. Kau membuat kami semakin marah. Jangan menyesal jika kalian terlibat dalam kesulitan dan bahkan kau telah mempertaruhkan nyawamu untuk sesuatu yang tidak kau ketahui.”
“Aku tahu pasti apa yang aku lakukan. Aku yakin, bahwa Ki Bekellah yang mempertaruhkan nyawa untuk suatu hal yang tidak kau ketahui,” berkata Laksana. “Karena itu, mulailah berpikir, Ki Bekel. Selagi semuanya belum terlanjur, dan kau juga belum terlanjur mati.”
Kemarahan Ki Bekel bagaikan telah membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka iapun telah berteriak, “Bunuh anak-anak muda itu.”
Tetapi yang terjadi justru sangat mengejutkan. Demikian Ki Bekel meneriakkan aba-aba itu, maka Manggada dan Laksana telah berloncatan semakin garang. Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Beberapa orang telah terlempar dengan luka di tubuh mereka. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi pakaian merekapun telah dikotori dengan darah.
Sikap kedua anak muda itu memang mengejutkan. Orang-orang padukuhan itu tidak mengira, bahwa kedua anak yang masih sangat muda itu mampu bergerak dengan cepatnya. Bahkan pada benturan-benturan senjata yang terjadi, orang-orang padukuhan itu merasakan bahwa kekuatan kedua anak muda itu ternyata sangat besar sehingga setiap kali ada saja senjata yang terlepas dari tangan.
Ki Bekel memang menjadi heran. Tetapi ia tidak dapat menentang kenyataan yang telah terjadi itu. Anak-anak muda yang berada di regol tidak mengira, bahwa kedua anak muda itu justru akan melawan Ki Bekel dan orang-orang padukuhan mereka.
Pemimpin dari anak-anak muda yang bertugas itu berdesis kepada seorang kawannya, “Apakah kedua anak muda itu memang dikirim oleh orang-orang berkuda itu mendahului mereka?”
“Mungkin saja,” jawab kawannya. “Keduanya ternyata telah berpihak kepada mereka.”
Pemimpin anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tetapi mereka hanya berdua. Kenapa Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu tidak segera dapat menangkap mereka?”
Kawan-kawannya menggeleng. Tidak seorang pun yang dapat menjawab, meskipun mereka semuanya telah menduga, bahwa kemampuan anak-anak muda itu memang sangat tinggi.
Dalam pada itu, kedua orang yang sedang diburu oleh orang-orang berkuda itupun menjadi cemas melihat kehadiran kedua orang anak muda yang memiliki ilmu sangat tinggi itu. Menurut pengamatan mereka, kemampuan keduanya justru lebih tinggi dari kemampuan orang-orang berkuda itu sendiri.
Namun kedua orang itu masih berharap Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu akan mampu mengatasi keadaan. Bagaimanapun juga jumlah mereka jauh lebih banyak. Apalagi di antara mereka terdapat Ki Bekel, Ki Jagabaya dan mereka berdua.
Namun kedua orang yang sedang diburu itu ternyata tidak segera mampu mengatasi lawannya. Meskipun kedua orang itu bertempur melawan seorang lawan, pemimpin dari orang-orang berkuda itu, namun ternyata bahwa orang itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kedua orang buruannya itu.
Manggada dan Laksana yang mulai kehilangan kesabarannya telah bergerak lebih cepat. Darahnya yang mulai mendidih di dalam jantungnya telah membakar kemarahan di dalam dadanya. Karena itu, maka Manggada dan Laksana itupun telah bergerak lebih cepat.
Betapapun kemarahan bergejolak di dalam dada anak muda itu, namun mereka ternyata masih sempat juga menilai ilmu mereka masing-masing. Mereka masih juga sempat memperhatikan pengalaman mereka bertempur melawan banyak orang. Namun kadang-kadang dorongan kemarahan mereka telah menggerakkan senjata mereka, sehingga menyentuh tubuh salah seorang di antara lawan-lawan mereka.
Dengan demikian, maka beberapa orang padukuhan itu telah terluka. Semula, rasa-rasanya lawan orang-orang berkuda yang dibantu oleh Manggada dan Laksana itu mengalir tidak berkeputusan. Namun kemudian, semakin lama lawanpun menjadi semakin tipis. Semakin banyak orang yang terluka, maka orang-orang padukuhan itupun menjadi semakin ngeri.
Ternyata bahwa orang-orang berkuda yang semula terdesak, telah menjadi bangkit kembali. Dibayangi oleh kecemasan tentang jumlah lawan mereka, maka mereka memang menjadi lebih garang dan bertempur semakin keras. Ujung-ujung senjata merekapun telah melukai beberapa orang padukuhan.
Namun pemimpin orang-orang berkuda yang harus bertempur melawan dua orang buruannya dibantu oleh beberapa orang padukuhan dari salah seorang buruannya ternyata telah menyentuh pundaknya meskipun tidak terlalu dalam.
Manggada yang menjadi semakin jemu melihat pertempuran itupun kemudian telah mendekati Ki Bekel sambil berkata, “Ki Bekel, sikap Ki Bekel sangat memuakkan. Jika Ki Bekel tidak mau mendengarkan usulku untuk menangkap kedua orang itu, maka aku sendirilah yang akan melakukannya.”
“Aku bekel disini. Akulah yang berhak berbuat demikian. Tanpa ijinku, tidak ada orang yang dapat berbuat sesuka hatinya,” teriak Ki Bekel.
Tetapi Laksana berteriak tidak kalah lantangnya, “Aku tidak percaya. Aku tidak yakin bahwa seseorang akan dapat mencegah apa yang akan aku lakukan.”
Laksana tidak menunggu lagi. Tiba-tiba ia bergerak semakin cepat. Pedangnya berputaran semakin garang, sehingga orang-orang yang terlukapun menjadi semakin banyak. Meskipun hanya goresan-goresan kecil, tetapi darah telah membuat orang-orang itu ketakutan. Di cahaya oncor di regol atau ketika mereka meraba dengan tangannya, maka warna merah dan cairan yang hangat membuat hati orang-orang padukuhan itu semakin berkerut.
Bahkan Manggada yang berhadapan dengan Ki Bekel yang bertempur berpasangan dengan Ki Jagabaya telah bertempur semakin garang. Kedua orang pemimpin padukuhan itu ternyata benar-benar mengalami kesulitan. Ujung pedang Manggada rasa-rasanya telah memburu kemana kedua orang itu menghindar. Seakan-akan ujung pedang anak muda itu melihat kemana sasarannya berkisar. Ki Bekel benar-benar menjadi bingung.
Sementara itu Manggada berkata, “Ki Bekel, aku akan membuktikan, apakah benar Ki Bekel dapat mencegah seseorang berbuat sesuatu jika Ki Bekel tidak mengijinkan. Dengar Ki Bekel, setuju atau tidak setuju, diijinkan atau tidak diijinkan, aku akan melukai Ki Bekel dan Ki Jagabaya.”
“Anak iblis,” geram Ki Bekel.
Tetapi Manggada tidak menggagalkan niatnya. Ujung pedangnya berputar dengan cepat. Kemudian terayun mendatar. Ketika Ki Bekel menghindar, maka tiba-tiba saja ujung pedang itu mematuk seperti mulut seekor ular yang buas.
Ki Bekel meloncat surut. Namun ia benar-benar tidak dapat menghindari sambaran ujung pedang itu. Karena itu, maka Ki Bekel itupun kemudian menyeringai menahan pedih. Tetapi sekaligus mengumpat kasar. Pundaknya ternyata telah terluka. Belum lagi mulut Ki Bekel terkatub, maka Ki Jagabayapun telah mengumpat pula. Lengannya terkoyak oleh ujung pedang Manggada yang garang itu.
“Ki Bekel,” berkata Manggada kemudian, “apa kataku? Apakah benar tanpa ijin Ki Bekel seseorang tidak akan dapat berbuat sesuka hatinya. Ternyata tanpa ijin Ki Bekel aku telah melukai tubuh Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Nanti, jika aku ingin, tanpa ijin Ki Bekel, maka aku akan membunuh Ki Bekel dan Ki Jagabaya, dua orang yang menjadi buruan itu akan dapat ditangkap dan dihadapkan kepada orang yang berhak mengadilinya. Jika kedua orang itu tertangkap, maka yang akan dapat diketemukan bukan hanya seorang gadis anak orang berkuda itu. Tetapi tentu beberapa orang gadis yang lain yang pernah hilang, akan dapat dikemukakan pula.”
Kemarahan Ki Bekel bagaikan membakar ubun-ubunnya. Tetapi ia menyadari, anak muda itu benar-benar berilmu tinggi. Sementara itu Laksana telah berada di antara orang-orang berkuda itu. Bersama Laksana, mereka ternyata telah berhasil mendesak orang-orang padukuhan yang mula-mula mengepung rapat dan berdesakan untuk menyerang mereka. Tetapi yang terjadi kemudian adalah sebaliknya, justru satu-satu orang-orang padukuhan itu telah meninggalkan arena, bergeser surut yang di antaranya justru telah terluka.
Kedua orang yang sedang diburu itupun telah melihat keadaan itu. Karena itu, maka dengan cerdik mereka telah membuat perhitungan. Mereka sama sekali tidak mengingat lagi akan harga diri mereka, seandainya mereka berbuat licik sekalipun.
Karena itu, maka ketika mereka tidak melihat kesempatan lagi untuk berlindung di belakang punggung Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang telah menjadi semakin terdesak, maka kedua orang itu telah memutuskan untuk melarikan diri. Mereka tidak berbicara dengan terang-terangan, namun mereka telah saling memberikan isyarat, sehingga kemudian kedua orang itupun telah bersiap untuk meloncat meninggalkan arena.
Ternyata bahwa kedua orang itu mampu mempergunakan kesempatan dengan baik. Untuk beberapa saat keduanya berusaha untuk memancing kekisruhan dalam pertempuran itu. Namun kemudian, dengan tiba-tiba saja keduanya telah meloncat berlari meninggalkan medan langsung menyusup ke dalam gelap. Mereka telah meloncat ke balik gerumbul liar, dan berusaha mengendap-endap dan menghilang di tanah persawahan.
“Jangan lari,” teriak pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu.
Orang itu berusaha mengejar. Tetapi beberapa orang masih saja menghalanginya. “Jangan bodoh,” geram pemimpin sekelompok orang berkuda itu. “Kedua orang itu telah lari.”
Tetapi kekisruhan di arena itu memang sulit untuk segera disibakkan. Bahkan telah terjadi pula kebingungan. Tetapi demikian kedua orang yang meninggalkan arena itu meloncat ke atas pematang yang sudah agak jauh dari arena, maka langkah mereka tertegun. Di hadapan mereka, juga dipematang itu, berdiri dua orang anak muda berurutan menunggu mereka.
Malam memang terasa cukup gelap. Namun kedua orang yang melarikan diri itu masih dapat melihat dalam keremangan malam, dua orang yang menunggunya itu. Keduanyapun harus berhenti. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa salah seorang dari kedua orang yang menghentikan mereka. Tidak terlalu keras, tetapi menyakitkan hati.
“Kalian akan melarikan diri?” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu.
Dua orang yang diburu itu tidak terlalu gelisah menghadapi dua orang yang menghentikan mereka. Sementara itu, mereka menganggap bahwa orang-orang di padukuhan masih sibuk saling bertempur. Keduanya mengharap bahwa orang-orang padukuhan itu dapat menahan agar orang-orang yang memburu mereka tidak sempat mencari arah mereka menghindarkan diri.
Tetapi ketika kedua orang yang menghentikan mereka itu maju lebih dekat, sementara yang seorang turun ke sawah dan maju lebih dekat lagi, barulah mereka menyadari, bahwa kedua orang yang menghentikan mereka adalah kedua orang anak muda yang berilmu tinggi itu.
“Setan,” geram salah seorang dari kedua orang yang diburu itu.
“Nah, kalian jangan mencoba melarikan diri,” desis Manggada. “Kau harus bertanggung jawab atas segala perbuatanmu.”
“Anak-anak muda,” berkata salah seorang dari mereka, “kau tentu tahu, bahwa orang-orang seperti kami tentu tidak berdiri sendiri. Kami adalah orang-orang yang bekerja dalam kelompok yang rapi. Karena itu, siapa yang berani menghalangi kami, maka ia akan berhadapan dengan kelompok kami yang sudah tersusun dengan baik dan dapat bekerja dengan cepat.”
“Tetapi kau bukan orang penting di dalam kelompokmu itu,” jawab Manggada. “Jika kau termasuk orang penting, kau tentu mendapat perlindungan. Kau tentu tidak akan mengalami kejadian seperti sekarang ini. Nah, jika demikian aku dapat menduga, bahwa kalian justru telah diumpankan oleh kelompokmu agar kalian dapat dijadikan tumbal bagi mereka. Jika kau mati, maka habislah jalur yang akan dapat menelusuri kegiatan mereka.”
“Persetan,” geram yang lain. “Kau jangan mencoba untuk menakut-nakuti kami dengan mengusik hubungan kami dengan kelompok kami. Kami adalah orang-orang terpercaya yang akan dapat menentukan hidup mati mereka.”
“Jika demikian, maka kalian berdua seharusnya berusaha untuk mencari pelindung yang dapat menyelamatkan hidup kalian dari ancaman kawan-kawan kalian sendiri,” berkata Manggada.
“Omong kosong,” geram mereka hampir bersamaan.
Tetapi Manggada tertawa. Katanya, “Jangan ingkar. Kau dapat ingkar kepada kami, tetapi apakah kau dapat ingkar kepada dirimu sendiri?” Manggada berhenti sejenak, lalu, “Menyerahlah. Kau akan mendapat perlindungan justru dari usaha pembunuhan oleh kawan-kawanmu sendiri.”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun telah bersiap untuk bertempur. Seorang di antara mereka berkata, “Kami akan membunuh kalian berdua.”
Manggada tersenyum. Sementara Laksana tertawa sambil berkata, “Jangan kehilangan akal seperti itu. Kau seharusnya masih sempat memperhitungkan kemampuan kalian.”
Memang kedua orang itu tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu betapa sakit hati mereka, namun akhirnya mereka memang terpaksa menyerah kepada kedua orang anak muda itu meskipun mereka mengumpat-umpat di dalam hati. Kenapa kedua anak muda itu justru melibatkan dirinya. Dengan demikian, maka Manggada dan Laksana telah membawa kedua orang itu kembali ke padukuhan.
Sementara itu di padukuhan pertempuran telah terhenti. Pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu nampaknya benar-benar telah berhasil menguasai keadaan. Bukan saja karena pertempuran yang terjadi, tetapi juga karena sikap kedua orang yang melarikan diri itu.
“Kami telah kehilangan mereka,” geram pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. “Keduanya adalah satu-satunya kemungkinan bagiku untuk menemukan kembali anak gadisku.”
Ki Bekel yang masih belum dapat meredakan kemarahannya menjawab, “Itu bukan urusanku. Urusanku adalah ketenangan di padukuhan ini.”
“Meskipun di padukuhan ini dipergunakan untuk berlindung perampok, pencuri, penyamun dan juga penculik gadis-gadis?” bertanya pemimpin kelompok itu.
Namun Ki Bekel membentak, “Persetan. Aku masih memberi kesempatan kalian untuk pergi.”
Orang yang kehilangan anak gadisnya itu menggeram. Katanya, “Aku memang akan pergi karena aku telah kehilangan buruanku. Dan aku tidak akan melupakan sepanjang umurku, bahwa Ki Bekel telah berhasil menyelamatkan dua orang yang telah menculik gadisku, sementara berpuluh-puluh orang tua dari gadis-gadis yang pernah hilangpun akan mengenang kebesaran nama Ki Bekel itu.”
“Cukup,” teriak Ki Bekel.
“Ingat, Ki Bekel. Aku akan menyebar-luaskan peristiwa yang telah terjadi disini. Mudah-mudahan nama Ki Bekel benar-benar akan terkenal,” geram orang itu.
“Tutup mulutmu. Kau kira kami tidak dapat mencegahmu? Kami akan dapat membunuhmu. Tanpa dua orang anak muda yang sekarang tidak kelihatan lagi, kalian bukan apa-apa,” teriak Ki Bekel.
Ternyata Ki Jagabayapun menyambungnya pula, “Aku kira akhir yang paling baik bagi kalian adalah memang kematian. Kalian akan bungkam dan tidak akan berkata apa-apa.”
“Bunuhlah kami semuanya jika kalian ingin. Tetapi ingat, kami tidak akan mau mati sendiri. Paling sedikit sejumlah orang-orang kami dan orang-orang padukuhan ini pun akan mati. Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang telah terlukapun akan mati,” geram orang itu. Lalu katanya pula, “Bahkan kematian kamipun akan dihargai orang karena kami mati justru dalam tugas kemanusiaan. Bukan saja mencari anakku seorang, tetapi beberapa orang gadis yang lain akan diselamatkan pula. Tetapi kematian Ki Bekel akan dicemoohkan orang, karena kau telah melindungi para penjahat yang telah terlibat dalam sekelompok penculik gadis-gadis untuk diperdagangkan.”
“Persetan,” geram Ki Bekel. Namun suaranya tiba-tiba saja telah menurun. Ada sesuatu yang bergerak di dalam hatinya.
Namun Ki Jagabaya masih tetap lantang, “Kita bunuh saja mereka.”
Orang-orang berkuda itupun telah bersiap, sementara orang-orang padukuhan itulah yang menjadi ragu-ragu. Beberapa orang memang telah terluka. Jika tidak terluka kulitnya, maka tulang-tulangnyalah yang terasa bagaikan retak. Karena itu mereka mendengar teriakan Ki Jagabaya dengan jantung yang berdegupan. Namun belum seorangpun di antara orang-orang padukuhan itu yang bergerak.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka mereka semua telah dikejutkan oleh kehadiran kedua orang anak muda yang telah membawa dua orang yang sedang diburu oleh orang-orang berkuda itu. Orang-orang berkuda itupun telah bergerak hampir serentak menyongsong kedua orang anak muda itu.
Pemimpin orang-orang berkuda itupun bertanya, “Kau berhasil menangkap mereka?”
“Kenapa kalian tidak mengejarnya?” bertanya Manggada.
“Kami tertahan oleh orang-orang padukuhan ini,” jawab pemimpin dari kelompok orang berkuda yang telah kehilangan anak gadisnya itu.
“Aku yakin bahwa kalian tidak berpura-pura dan tidak sekedar membuat persoalan. Kami percaya bahwa kalian benar-benar sedang memburu kedua orang ini,” berkata Manggada.
Ki Bekel dan Ki Jagabaya justru termangu-mangu. Sementara Laksana berkata, “Kami sudah kehabisan kesabaran. Siapa yang masih akan berusaha membela dan melindungi orang ini akan kami bunuh.”
Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Namun Laksana seakan-akan melihatnya. Katanya, “Nah, kau masih mempunyai kesempatan untuk membunuh diri, Ki Jagabaya. Aku tidak akan berkeberatan membantumu. Kemudian makammu akan ditulisi dengan huruf-huruf yang indah, bahwa kau adalah seorang pahlawan yang gugur karena melindungi kejahatan. Dan padukuhan ini untuk selanjutnya akan penuh dengan penjahat-penjahat yang mencari perlindungan. Para bebahu padukuhan ini di bawah pimpinan Ki Bekel dan Jagabaya yang baru, akan tetap berperang mengorbankan orang-orangnya atas nama ketenangan dan barangkali pajak dari rumah-rumah penginapan yang ada disini.” Laksana berhenti sejenak. Namun kemudian katanya, “Nah, jika ada seorangpun yang mati sekarang ini, maka Ki Bekel dan Ki Jagabayalah yang menjadi pembunuh yang sebenarnya.”
“Tutup mulutmu,” teriak Ki Jagabaya.
“Aku bunuh kau,” geram Laksana.
Tetapi Manggada cepat memegang lengannya ketika Laksana benar-benar melangkah maju dengan mengacungkan pedangnya.
“Lepaskan aku,” geram Laksana. “Orang seperti ini tidak berhak untuk tetap hidup, apalagi menjadi jagabaya dari sebuah padukuhan yang besar.”
Sebenarnyalah jantung Ki Jagabaya telah berdesir tajam. Ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat melawan jika anak itu benar-benar datang kepadanya dan berusaha membunuhnya.
Dalam pada itu, maka Manggada pun telah berkata, “Sudahlah. Kedua orang ini sudah tertangkap. Kita serahkan saja kepada yang berkepentingan.”
“Terima kasih, anak muda,” berkata pemimpin pasukan berkuda itu.
Namun Manggadapun berpesan, “Kalian harus sadar, bahwa orang-orang seperti kedua orang itu tentu tidak berdiri sendiri. Kawan-kawannya mempunyai dua pilihan untuk memutuskan hubungan tentang apa yang diketahuinya dengan kelompoknya. Mereka dapat berusaha membebaskannya jika kedua orang ini dianggap penting, bahkan dengan pengorbanan yang tinggi, tetapi dapat juga sebaliknya. Kedua orang ini akan dibunuh dengan berbagai macam cara agar mulutnya tidak lagi dapat berbicara.”
Pemimpin dari orang-orang berkuda itu mengangguk. Katanya, “Kami menyadari. Kami sudah bersiap untuk menghadapinya.”
“Jika kalian tidak berkeberatan, maka kami berdua ingin mengikuti kalian sampai ke padukuhan kalian,” berkata Manggada.
“Bagus,” sahut Laksana. “Hampir saja aku mengatakannya.”
“Jika kalian bersedia, kami mengucapkan terima kasih, anak-anak muda,” desis pemimpin dari orang-orang berkuda itu. Tetapi katanya, “Namun kami tidak mempunyai kuda bagi kalian.”
Laksanalah yang kemudian berkata kepada Ki Bekel, “Ki Bekel, aku meminjam empat ekor kuda. Itu lebih baik daripada kami memenggal empat kepala disini.”
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Namun nampaknya Laksana berkata dengan sungguh-sungguh.
“Cepat, sebelum pedangku berbicara.”
Ki Bekel tidak mempunyai pilihan lain. Kedua orang anak muda itu akan benar-benar dapat melakukannya tanpa dapat dicegah lagi. Meskipun dengan segan karena harga dirinya yang tersinggung, namun Ki Bekel terpaksa memberikan isyarat, agar disediakan empat ekor kuda yang akan dipinjam oleh anak-anak muda itu.
Ketika kemudian empat ekor kuda itu tersedia, maka sekelompok orang berkuda itu telah meninggalkan padukuhan itu, diikuti oleh Manggada dan Laksana serta membawa dua orang di antara orang-orang yang memang sedang mereka buru karena mereka sering menculik gadis-gadis.
Sementara itu Manggada sempat berkata kepada Ki Bekel, “Ingat, Ki Bekel. Kau harus berbuat lebih bijaksana. Jika kau masih saja mementingkan pemasukan uang bagi padukuhanmu tanpa menghiraukan harga diri, maka kau akan menyesal. Pada suatu saat tempat ini akan dapat menjadi tempat yang paling buruk meskipun dapat memberikan hasil yang baik bagi padukuhanmu. Tempat ini akan dapat menjadi tempat dimana martabat manusia tidak dihargai lagi, karena martabat seseorang akan dapat dibeli dengan uang.”
Ki Bekel tidak menjawab. Namun apa yang dikatakan oleh anak muda itu ternyata mampu menyentuh hatinya. Ketika Ki Jagabaya mengumpat kasar setelah anak-anak muda itu meninggalkan padukuhan mengikuti sekelompok orang-orang berkuda, maka Ki Bekel berkata, “Ki Jagabaya, ternyata kita memang harus merenungi kata-kata anak muda itu.”
“Yang mana?” bertanya Ki Jagabaya.
“Tentang harga diri. Apakah harga diri kita memang sudah dibeli dengan uang?” bertanya Ki Bekel.
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Hanya pandangan matanya sajalah yang masih mengikuti beberapa ekor kuda yang berderap sehingga hilang di dalam gelapnya malam.
“Marilah,” berkata Ki Bekel. “Persoalannya sudah selesai. Akhirnya aku juga percaya, bahwa kedua orang itu adalah orang-orang jahat.”
Dalam pada itu, pada saat yang bersamaan, beberapa orang telah mendatangi penginapan yang dicengkam oleh kegelisahan itu. Untuk beberapa saat mereka menunggu. Tetapi nampaknya penginapan itu masih belum tertidur. Beberapa orang justru nampak gelisah berjaga-jaga.
Seorang di antara orang-orang yang mendatangi penginapan itupun kemudian bertanya kepada salah seorang di antara mereka yang berjaga-jaga, “Apa yang terjadi?”
“Nampaknya telah terjadi kerusuhan,” jawab orang itu.
“Ki Sanak itu siapa? Apakah Ki Sanak salah seorang petugas di penginapan ini?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab orang yang berjaga-jaga itu.
“Baiklah. Tetapi kami berniat minta ijin untuk menemui dua orang sahabat kami yang bermalam di penginapan ini,” berkata orang itu.
“Dua orang? Seorang di antara mereka berjambang panjang?” bertanya petugas itu.
“Ya,” jawab orang yang datang itu, “seorang berjambang panjang.”
“Dua orang yang telah minta perlindungan Ki Bekel karena merasa diburu oleh orang-orang jahat?” bertanya petugas itu.
“Mungkin sekali ia memang memerlukan perlindungan. Aku kawan-kawannya yang ingin menolong mereka. Jika kedua orang itu melihat kami, maka mereka tentu akan mengatakan hal itu kepada kalian,” berkata orang itu.
“Ataukah justru kalian yang sedang memburunya?” bertanya petugas itu.
“Tidak. Jika kau tidak percaya, katakan kepada mereka dengan isyarat sandi. Katakan, bahwa pedang bermata dua telah datang,” desis orang itu.
Tetapi petugas itu justru termangu-mangu. Dengan kata-kata sandi itu ia menjadi percaya bahwa orang-orang itu adalah kawan kedua orang yang minta perlindungan Ki Bekel. Karena itu maka petugas itupun kemudian mengatakan, kemana kedua orang itu pergi bersama beberapa orang anak muda padukuhan dan bahkan dengan Ki Bekel dan Ki Jagabaya.
Orang yang datang itu terkejut. Dengan tegang ia bertanya, “Jadi kedua orang itu telah pergi ke banjar?”
“Ya. Selanjutnya aku kurang jelas. Menurut pendengaranku orang-orang yang memburunya itu telah datang, sehingga kedua orang yang kau cari itu harus mendapat perlindungan lebih baik,” berkata petugas itu.
Orang itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, “Aku akan berbicara dengan kawan-kawanku.”
Orang-orang itu memang menjadi cemas. Tetapi mereka menyadari bahwa Ki Bekel memang ingin memberikan perlindungan kepada kedua orang kawannya.
“Kita akan menunggu,” berkata salah seorang dari mereka.
Orang-orang itupun kemudian telah mendapat ijin dari petugas di penginapan itu untuk menunggu. Nampaknya para petugaspun selalu berjaga-jaga di penginapan itu. Dari para petugas itu, orang-orang yang datang ke penginapan itu tahu, bahwa tidak setiap hari diadakan penjagaan yang ketat seperti itu. Justru karena ada sesuatu yang mungkin dapat menimbulkan kegelisahan, maka para petugas di penginapan itu telah bersiap-siap melampaui kebiasaan mereka.
Beberapa saat kemudian, seseorang telah datang dengan tergesa-gesa. Orang-orang yang menunggu kedua orang kawannya itu melihat orang yang baru datang itu berbicara dengan para petugas yang mengerumuninya. Karena itu, maka orang-orang itupun dengan serta-merta telah ikut pula mengerumuni orang itu.
Jantung merekapun telah menjadi berdebar-debar setelah mereka mendengar cerita orang itu, bahwa kedua orang yang mereka cari itu telah tertangkap dan dibawa oleh beberapa orang berkuda.
“Setan,” geram salah seorang di antara mereka yang dengan serta-merta telah mencengkam baju orang itu. “Kenapa kalian gagal melindungi kawan-kawanku itu?”
“Orang-orang berkuda itu ternyata adalah orang-orang berilmu tinggi. Mereka dibantu oleh dua orang anak muda yang ilmunya justru sangat tinggi. Anak muda itu pulalah yang telah melukai Ki Bekel meskipun tidak parah,” jawab orang yang memberikan kabar tentang peristiwa di regol padukuhan.
Ternyata orang-orang yang mencari kedua orang kawannya itupun menjadi marah. Dengan garangnya seorang di antara mereka telah memukul wajah orang yang membawa kabar itu sehingga orang itu terdorong beberapa langkah surut dan bahkan kemudian jatuh terlentang.
Kawan-kawannya serentak telah menolongnya. Namun orang-orang yang mencari kawannya itu benar-benar sangat marah. Perkelahianpun tidak dapat dihindarkan. Para petugas yang merasa kesulitan menguasai orang-orang itu, maka seorang di antara mereka telah membunyikan kentongan.
Orang-orang yang kebetulan menginap di penginapan itu telah berlari-larian. Sebenarnya mereka memang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan buruk, karena mereka tahu bahwa di antara kedua orang yang menginap di penginapan itu sedang dalam bahaya. Tetapi merekapun tahu bahwa kedua orang itu sudah pergi ke banjar dengan sebagian besar anak-anak muda yang berjaga-jaga.
Namun tiba-tiba di penginapan itu telah terjadi keributan. Untunglah, bahwa tidak banyak orang yang menginap di penginapan itu, karena agaknya masih belum musimnya memetik hasil sawah yang sering diperdagangkan dan dibawa ke kotaraja...
Selanjutnya, Menjenguk Cakrawala Bagian 04 |