Suara kentongan itu memang segera terdengar oleh seisi padukuhan. Bahkan suara kentongan yang lainpun segera menyambutnya sehingga seluruh padukuhan itu menjadi gempar.
Namun irama kentongan yang semula bernada empat-empat ganda itupun segera berubah menjadi tiga-tiga ganda. Sejenak kemudian apipun telah mulai menjilat langit, sementara Ki Bekel dan Ki Jagabaya berlari-lari ke penginapan setelah mereka mendapat kerusuhan yang terjadi di penginapan.
Tetapi kedatangan Ki Bekel dan Ki Jagabaya telah terlambat. Penginapan itu telah menyala. Sedangkan orang-orang yang membuat kerusuhan itu telah melarikan diri. Namun mereka telah meninggalkan tiga orang petugas penginapan itu terluka.
“Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi,” berkata salah seorang di antara mereka yang terluka itu.
Ki Jagabaya hanya dapat mengumpat-umpat saja. Peristiwa-peristiwa yang terjadi berurutan di padukuhan itu merupakan peristiwa yang perlu mendapat perhatian dan penilaian dengan sungguh-sungguh.
Sementara itu orang-orang padukuhan itupun telah bekerja keras untuk berusaha memadamkan api yang menjadi semakin besar. Bahkan rasa-rasanya sulit untuk dapat dikuasai. Bangunan yang terhitung besar itu berhubungan dengan tempat yang biasanya untuk menyimpan barang-barang yang diperdagangkan oleh para pedagang yang menginap. Sebagaimana tidak terlalu banyak orang yang menginap, maka di tempat barang itupun tidak terlalu banyak bertimbun barang-barang dagangan itu.
Namun perlahan-lahan akhirnya api itu mulai susut. Beberapa orang yang berani berusaha memisahkan bagian belakang dari bangunan itu agar tidak terbakar. Serambi yang menghubungkan kedua bangunan itu sebelah menyebelah longkangan justru telah dirobohkan, sehingga dengan demikian tidak dapat dipergunakan untuk merambat api dari bangunan induk yang terbakar.
“Mereka membakar penginapan ini. Mereka telah menumpahkan lampu-lampu minyak di tempat-tempat yang mudah terbakar, sehingga karena itu, maka rumah inipun cepat sekali terbakar di tempat yang hampir merata,” berkata orang-orang yang terluka itu.
Tidak ada orang yang dapat menyalahkan mereka. Mereka sudah berusaha sejauh dapat mereka lakukan. Namun mereka memang tidak akan mampu mencegahnya.
Dalam pada itu, ketika di luar sadarnya, Manggada berpaling, maka iapun terkejut. Ia melihat warna merah di langit. “Kebakaran,” desisnya.
Orang-orang berkuda itupun telah berpaling pula. Tanpa isyarat apapun, maka mereka telah memperlambat kuda mereka, bahkan kemudian berhenti sama sekali.
“Agak jauh,” desis pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
Tetapi Manggada menyahut, “Tampaknya dari padukuhan yang baru saja kita tinggalkan. Bukankah arahnya itu tepat pada padukuhan itu?”
“Tetapi kenapa telah terjadi kebakaran?” bertanya salah seorang di antara orang-orang berkuda itu.
Kawan-kawannya menggeleng. Memang tidak seorang pun yang mengetahuinya. Kedua orang yang ditangkap itu pun tidak tahu bahwa kawan-kawan merekalah yang telah melakukannya.
Namun nampaknya kedua orang itu cukup cerdik. Tanpa mengetahui sebenarnya apa yang telah terjadi, seorang di antara mereka berkata, “Nah, hanya untuk diketahui, ternyata aku tidak hanya berdua saja dengan kawanku ini.”
“Maksudmu?” bertanya pemimpin dari orang berkuda itu.
“Bahwa kami berdua hilang dari padukuhan itu telah membuat kawan-kawanku marah. Padukuhan itu akan menjadi karang abang,” berkata orang itu.
“Gila,” geram pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
“Bahwa nyawa kami memang mahal. Kita dapat membayangkan, berapa puluh orang padukuhan itu yang terbunuh. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang gadismu yang hilang itu,” berkata orang itu.
Orang-orang berkuda itu termangu-mangu. Demikian pula Manggada dan Laksana. Mereka memang membayangkan sekelompok orang tengah membantai orang-orang padukuhan yang tidak bersalah itu.
“Apakah kita akan membiarkan mereka diperlakukan tidak adil?” tiba-tiba Laksana berdesis.
Manggada mengangguk-angguk, meskipun ia tahu bahwa ada maksud lain di samping usaha untuk menolong orang-orang padukuhan itu. Laksana memang ingin mencari pengalaman sebanyak-banyaknya dengan ilmu kanuragannya.
Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun telah menyahut pula, “Marilah kita lihat. Aku ikut bertanggung jawab jika benar-benar terjadi pembantaian di padukuhan itu atas orang-orang yang tidak bersalah.”
“Apakah kita akan kembali?” bertanya salah seorang di antara orang-orang berkuda itu.
“Ya. Mungkin kita dapat bertemu dengan orang-orang yang lebih penting dari gerombolan penculik gadis-gadis itu,” berkata pemimpinnya.
Demikianlah, maka iring-iringan itu telah memacu kuda mereka kembali ke padukuhan yang terbakar itu. Namun ketika mereka menjadi semakin dekat, maka pemimpin dari orang-orang berkuda itu telah minta kepada kawan-kawannya agar kedua orang tawanan mereka itu diikat pada sebatang pohon yang terlindung di luar padukuhan.
Dua orang di antara mereka harus mengawasi kedua orang itu. Pemimpin orang-orang berkuda itu berpesan, “Jika terjadi sesuatu, lepaskan anak panah sendaren. Jangan hanya satu, tetapi beberapa.”
Kedua orang itu mengangguk. Namun mereka tidak mengawasi kedua tawanan itu di tempat terbuka. Tetapi keduanya juga menunggui kedua tawanan itu di tempat yang terlindung.
Sementara itu, kawan-kawannya bersama Manggada dan Laksana telah berpacu memasuki padukuhan. Namun yang mereka temui bukannya sekelompok orang yang membantai orang-orang padukuhan itu. Tetapi beberapa orang yang telah membakar penginapan.
“Sukurlah,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu, “aku membayangkan beberapa orang padukuhan ini menjadi korban tanpa bersalah. Karena itu aku kembali. Akupun ingin bertemu dan berbicara dengan orang-orang yang aku kira kedudukannya lebih penting dari kedua orang yang telah aku tangkap itu.”
“Mereka sudah melarikan diri,” jawab Ki Bekel.
Orang-orang berkuda itupun kemudian telah minta diri. Mereka akan meneruskan perjalanan mereka kembali ke padukuhan mereka untuk mengusut hilangnya beberapa orang gadis, yang mungkin akan mendapat perlakuan yang sangat buruk.
Namun dengan demikian, Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu semakin percaya bahwa orang-orang itu bukan penjahat. Mereka telah kembali meskipun agaknya mereka sudah agak jauh dari padukuhan itu ketika mereka melihat api. Sebenarnya mereka dapat berpacu terus tanpa menghiraukan orang-orang padukuhan itu akan mengalami kesulitan. Tetapi ternyata bahwa mereka telah kembali ke padukuhan itu untuk membantu.
Setelah mengambil orang-orang yang terikat serta kedua orang kawannya, maka iring-iringan berkuda itu telah melanjutkan perjalanan mereka.
“Berapa korban yang telah jatuh?” bertanya salah seorang dari kedua orang yang tertawan itu.
“Korban apa maksudmu?” bertanya pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
“Bukankah kawan-kawanku telah membantai orang-orang padukuhan?” bertanya orang itu pula.
Namun yang menjawab dengan cepat adalah Manggada. Katanya, “Kami telah kehilangan waktu tanpa arti sama sekali. Ternyata di padukuhan itu telah terjadi kebakaran. Dua orang pemabuk telah membakar rumah salah seorang di antara mereka, karena pemabuk itu bertengkar dengan isterinya.”
Kedua orang tawanan itu termangu-mangu. Ternyata pemimpin dari orang-orang berkuda itu pun tanggap. Karena itu maka ia telah menyambung, “Ki Bekel yang lagi bingung telah mengambil tindakan yang sangat keras terhadap kedua orang pemabuk itu.”
“Apakah mereka dibunuh?” salah seorang dari kedua orang tawanan itu bertanya.
“Tidak. Tetapi keduanya telah diikat pada tiang bambu di halaman banjar,” jawab Manggada.
Kedua orang itu terdiam. Tetapi nampaknya mereka menjadi kecewa. Ternyata kebakaran itu tidak ada hubungannya dengan langkah-langkah yang diambil oleh kawan-kawannya.
Kuda-kuda itupun kemudian telah berpacu semakin cepat. Mereka telah kehilangan waktu beberapa saat karena mereka telah kembali ke padukuhan itu. Tetapi merekapun masih dapat bersukur bahwa tidak ada orang-orang yang menjadi korban dan terbunuh, meskipun ada juga yang terluka.
Namun yang tidak pernah diperhitungkan itupun telah terjadi. Ketika kuda-kuda mereka tengah berpacu di bulak panjang, maka mereka telah melihat dua buah obor yang menyala di tengah-tengah jalan. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat, maka obor-obor itupun telah digerak-gerakkan oleh tangan yang memegangnya.
“Siapa?” bertanya pemimpin kelompok itu seakan-akan kepada diri sendiri.
Tetapi yang terdengar adalah suara kedua orang tawanan itu tertawa hampir berbareng. Seorang di antara mereka berkata, “Nah, sekarang kalian harus percaya, bahwa kami berdua tidak dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan seperti ini.”
“Persetan,” geram Laksana. Namun tiba-tiba iapun berkata, “Berhenti. Kita berhenti sebentar.”
Meskipun orang-orang berkuda itu tidak mengetahui maksud Laksana, namun merekapun telah berhenti. “Untuk apa kita berhenti?” bertanya pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu.
“Mungkin yang menghentikan kita di depan itu ialah kawan-kawan kedua orang ini,” berkata Laksana.
“Memang mungkin sekali,” salah seorang dari kedua orang tawanan itulah yang menjawab. Katanya pula, “Bahkan pasti.”
“Baik, jika demikian maka kita harus mengambil langkah-langkah pengamanan,” berkata Laksana.
Kedua orang tawanan itu terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa anak muda itu ternyata mempunyai ketajaman penalaran sedemikian jauh. Namun keduanya tidak sempat menolak ketika Laksana kemudian meloncat turun dan berkata, “Aku akan mengikat mereka.”
“Bagaimana kami dapat naik kuda dengan kedua tangan terikat,” berkata salah seorang dari mereka.
“Kalian tidak akan naik kuda. Jarak kita dengan obor itu sudah terlalu dekat. Kalian akan berjalan kaki sampai ke tempat itu. Baru jika ternyata yang kita jumpai disana orang lain, maka kau akan kami lepaskan kembali,” berkata Laksana yang kemudian membentak, “Turun.”
Kedua orang itu harus meloncat turun. Namun dalam pada itu tiba-tiba saja beberapa orang telah berloncatan dari dalam kegelapan.
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang yang menghentikan mereka itupun mempunyai perhitungan yang cukup rumit. Namun demikian Laksana tidak menyerah. Iapun kemudian berkata kepada pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu, “Layani mereka. Aku akan mengikat keduanya.”
“Tidak,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang berloncatan mengepung mereka. “Jika hal itu kau lakukan juga, maka kau akan menyesal.”
“Kenapa aku menyesal? Aku mengikat tawananku sendiri. Apa hubungan kalian dengan tindakanku ini?” bertanya Laksana.
“Kedua orang itu adalah kawan-kawanku. Aku minta kalian serahkan kedua orang itu kepadaku. Kemudian kami akan membiarkan kalian lewat,” sahut orang yang agaknya pemimpin kawan-kawannya itu.
Laksana termangu-mangu sejenak. Sementara itu ternyata obor di kejauhan telah padam. Beberapa saat ketegangan mencengkam sekelompok orang-orang berkuda yang membawa dua orang tawanan itu. Namun pemimpin merekapun kemudian berkata,
“Jadi kedua orang ini kawan-kawan kalian?”
“Ya,” jawab orang yang mencegat mereka itu.
“Adalah kebetulan sekali,” jawab pemimpin orang-orang berkuda itu. “Aku menginginkan orang yang dapat menunjukkan kepadaku, dimana gadis-gadis padukuhanku yang telah kalian culik.”
“Jangan terlalu bodoh,” berkata pemimpin dari orang-orang yang mencegat itu. “Kau tahu bahwa pertanyaan seperti itu tidak akan dijawab. Sekarang, serahkan kedua orang kawanku itu. Kami tidak mempunyai waktu untuk berbicara panjang lebar tanpa ujung pangkal.”
“Tidak,” jawab pemimpin kelompok dari orang-orang berkuda itu. “Kami tidak akan pernah memaafkan orang-orang yang dengan tanpa perikemanusiaan telah menculik gadis-gadis.”
“Ada dua kemungkinan,” berkata orang itu, “memaafkan mereka yang telah menculik gadis-gadis atau mati disini.”
“Persetan,” geram Laksana. “Aku akan mengikat mereka.”
“Sekali lagi aku peringatkan. Jangan lakukan.”
Tetapi yang dilakukan oleh Laksana justru mengejutkan. Tiba-tiba saja ia telah mengetuk pundak kedua orang itu, kemudian dengan ujung-ujung jarinya yang merapat ia telah mengetuk punggung kedua orang itu. Demikian cepatnya sehingga kedua orang itu tidak sempat menghindar atau melawan. Pada ketukan yang ketiga di lambung kedua orang itu telah membuat mereka perlahan-lahan berlutut dan kemudian terbaring di tanah.
“Baik,” berkata Laksana, “aku tidak akan mengikatnya. Meskipun demikian mereka telah pingsan untuk beberapa lama.”
Orang-orang yang menghentikan sekelompok orang-orang berkuda itu menjadi sangat marah. Pemimpin mereka berkata dengan suara bergetar oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya, “Kalian telah menghina kami. Karena itu, maka kami tidak akan memaafkan kalian.”
“Apakah kau kira kami akan minta maaf?” jawab Laksana. Lalu dengan nada keras ia berkata, “Nah, sekarang kalian mau apa? Bertempur atau berbicara baik-baik atau apa?”
“Kau memang harus dibunuh,” geram pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat mereka itu.
Laksana justru membentak, “Lakukan. Kenapa kau hanya berbicara saja?”
Sementara itu pemimpin dari orang-orang berkuda yang mencari anaknya yang hilang itu berkata, “Marilah. Kita akan menentukan siapa yang akan menang. Tetapi ingat, bahwa kami memerlukan kalian untuk menunjukkan dimana gadis-gadis kami kalian sembunyikan. Jika kami membunuh kalian, maka dua atau tiga orang akan tetap hidup. Setidak-tidaknya dua orang yang pingsan itu.”
Pemimpin dari orang-orang yang mencegat sekelompok orang-orang berkuda itu menjadi semakin marah. Katanya, “Kita bunuh mereka.”
Orang-orang berkuda itu tidak menjawab lagi. Tetapi merekapun telah mempersiapkan diri. Kuda-kuda mereka telah ditambatkan pada batang-batang pohon di pinggir jalan, sementara yang lain telah bersiap menghadapi kemungkinan.
Ketika orang itu mulai bergerak, maka Manggada tiba-tiba saja berbisik kepada pemimpin dari orang-orang yang mencari gadis-gadis mereka yang hilang itu, “Perintahkan satu dua orang-orangmu menjaga kedua orang yang pingsan itu.”
“Bukankah mereka tidak dapat berbuat sesuatu?” desis pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
“Jika kawan-kawannya gagal membebaskannya, mereka justru akan membunuhnya. Dengan demikian maka kita akan kehilangan sumber untuk mengikuti jejak dari gerombolan itu,” berkata Manggada perlahan-lahan.
Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun mengerti maksudnya. Iapun kemudian telah memberi isyarat kepada salah seorang pengikutnya untuk mendekat dan berbisik pula kepadanya untuk mengawasi kedua orang yang pingsan itu.
“Mereka harus tetap hidup,” desis pemimpinnya itu.
Orang yang mendapat perintah itu mengangguk-angguk. Ia mengerti akan tugas yang dibebankan kepadanya.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang telah menghentikan sekelompok orang-orang berkuda itu telah mengepung rapat dan justru memperketat kepungan mereka. Sebagian di antara mereka telah turun ke sawah sementara yang lain berdiri di tengah jalan di kedua arah.
“Kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu. Lalu katanya pula, “Tetapi jika kalian serahkan kedua orang yang pingsan itu, maka sekali lagi aku peringatkan, kalian dapat lewat dengan selamat. Jika kesempatan terakhir ini tidak kalian pergunakan, maka kalian akan mati disini. Semuanya, tanpa kecuali. Aku memerlukan satu atau dua orang di antara kalian untuk melengkapi keterangan tentang gadis-gadis kami yang hilang.”
“Persetan,” geram pemimpin dari orang-orang yang mencegatnya. Kemudian maka terdengar aba-abanya, “Bunuh mereka. Bebaskan kawan-kawanmu yang telah mereka tahan itu. Kesempatan terakhir yang aku berikan telah mereka sia-siakan.”
Dengan demikian maka sejenak kemudian, maka orang-orang yang menghentikan sekelompok orang-orang berkuda itu telah menyerang dari segala arah. Mereka yang berada di tengah jalan, mereka yang ada di tanggul parit, di pematang dan mereka yang berada di sawah pun telah bergerak. Dalam keremangan malam, maka senjata mereka berkilat oleh cahaya bintang di langit. Sementara itu beberapa orang telah berloncatan sambil berteriak.
Namun nampaknya suara mereka yang ribut itu tidak akan didengar oleh orang-orang padukuhan yang jaraknya cukup jauh. Bulak itu memang terlalu panjang. Tetapi orang-orang berkuda itu telah siap menghadapi segala kemungkinan. Jumlah mereka memang lebih sedikit dari orang-orang yang mencegatnya. Tetapi orang yang telah kehilangan anaknya itu memang mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan.
Sementara beberapa orang kawannyapun menguasai ilmu pedang dengan baik. Sehingga dengan demikian maka meskipun jumlah mereka lebih sedikit, tetapi mereka berharap akan dapat menyelesaikan pertempuran itu sebagaimana mereka harapkan.
Sejenak kemudian, maka senjatapun mulai berdentang. Orang-orang yang mencegat orang-orang berkuda itu nampaknya tidak ingin kehilangan banyak waktu. Mereka telah bertempur dengan garang dan kasar. Pada ayunan senjata mereka yang pertama, maka mereka benar-benar telah bertekad untuk membunuh lawan-lawan mereka.
Demikianlah, maka pertempuranpun segera membakar bulak yang panjang itu. Di antara sekelompok orang-orang berkuda itu terdapat Manggada dan Laksana, dua orang remaja yang baru saja keluar dari sebuah lingkungan kecil yang menempa mereka dalam olah kanuragan.
Namun ternyata bahwa bekal yang telah mereka bawa cukup memadai. Demikianlah maka kedua anak muda itu telah bertempur dengan tangkasnya di antara orang-orang yang sebelumnya belum pernah mereka kenal. Namun bagi kedua anak muda itu, persoalan yang mereka hadapi telah memberikan pengalaman yang berharga.
Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga dari segi yang lain. Dengan demikian maka mereka telah sempat memandang cakrawala tentang kehidupan yang lebih luas. Liku-liku dari perbuatan sesamanya yang kadang-kadang bertentangan dengan martabat mereka.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka masing-masing. Dentang senjatapun menjadi semakin sering terdengar dan kilatan bunga api berloncatan di udara.
Ternyata bahwa kedua belah pihak terdiri dari orang-orang yang berpengalaman. Orang berkuda yang kehilangan anak gadisnya itu tidak membawa orang-orang kebanyakan bersamanya untuk mencari anak gadisnya. Ia tahu pasti, bahwa perjalanannya adalah perjalanan yang berbahaya, sehingga karena itu, maka orang-orang yang pergi bersamanya adalah orang-orang yang terpilih dan yang menyadari sepenuhnya apa yang akan mungkin mereka hadapi di perjalanan. Sementara itu, orang-orang yang mencegatnya pun adalah orang-orang terpilih di antara mereka. Apalagi jumlah mereka lebih banyak.
Namun demikian, ternyata Laksana dan Manggada masih memiliki kelebihan dari setiap orang yang sedang bertempur itu. Mereka tidak sekedar mempergunakan ilmu kanuragan. Tetapi mereka mempergunakan penalaran mereka sebaik-baiknya.
Seperti yang pernah dilakukan, maka Manggada dan Laksana telah dengan sengaja bertempur berloncatan dari satu lingkaran ke lingkaran pertempuran yang lain. Keduanya telah memisahkan diri dan bertempur pada arah yang berlawanan.
Sebenarnyalah yang dilakukan oleh kedua orang anak muda itu agak membingungkan lawan yang meskipun lebih banyak. Kedua anak muda itu tiba-tiba saja muncul di semua lingkaran medan, tetapi dengan tiba-tiba saja mereka telah bergeser.
Namun kemampuan mereka yang tinggi dan ilmu pedang mereka yang jauh lebih baik dari lawan-lawannya, telah menimbulkan kegelisahan di seluruh arena. Lawan-lawan mereka selalu dicemaskan oleh kehadirannya yang tiba-tiba dan putaran pedangnya yang sangat berbahaya.
Bahkan Manggada dan Laksana dengan kecepatan geraknya, ternyata telah berhasil menyentuh tubuh lawan-lawannya dengan ujung pedangnya. Pedang yang didapatkannya di padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan.
“Kedua iblis itu harus dihentikan,” geram pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat mereka itu.
Pemimpin itupun kemudian telah melepaskan lawannya untuk mendapat kesempatan mengatur orang-orangnya menghadapi kedua anak muda itu. Ketika dua orang pengikutnya menggantikannya melawan pemimpin kelompok orang-orang berkuda yang kehilangan anak gadisnya itu, maka pemimpin merekapun telah menghilang di medan.
Ternyata orang itu telah memilih tiga orangnya yang terbaik. Dua di antara mereka harus mengikuti salah seorang di antara kedua orang anak muda itu, sedangkan ia sendiri dan seorang lagi akan mengikuti anak muda yang lain.
“Mereka harus diikat dalam satu pertempuran dengan lawan yang tetap,” berkata pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat sekelompok orang berkuda itu. Lalu katanya pula, “Jika mereka dibiarkan berkeliaran maka keduanya akan dapat mempengaruhi seluruh medan.”
Demikianlah, maka pemimpin orang-orang yang mencegat orang-orang berkuda itupun bersama seorang pengikutnya telah berusaha untuk bertempur melawan salah seorang di antara anak-anak muda yang mendebarkan itu. Ternyata orang itu telah bertemu dengan Manggada yang berloncatan tidak jauh daripadanya, sedangkan dua orang pilihan yang lain telah mencari Laksana.
“Anak muda,” geram orang itu, “kau tidak perlu berkeliaran di medan pertempuran ini. Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan kami berdua. Karena itu, kau harus mencoba untuk melindungi dirimu sendiri. Kau harus rela melihat orang-orang lain terbunuh di peperangan ini jika kau tidak ingin kepalamu sendiri terpenggal.”
Manggada memandang orang itu sejenak. Meskipun dalam keremangan malam, namun ia segera dapat mengenali bahwa orang itu adalah pemimpin dari orang-orang yang telah menghentikan iring-iringannya dan menuntut agar kedua orang tawanan itu diserahkan kepadanya.
Karena itu Manggada menjadi berhati-hati. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau ingin merubah caraku bertempur?”
“Kau akan segera mati,” berkata lawannya itu.
“Tidak seorang pun dapat mengikatku dalam satu lingkaran arena. Aku dapat pergi sesuka hatiku dan bertempur melawan siapapun juga. Jika kalian berusaha menahanku untuk tetap berada disini sementara kawan-kawanku terdesak, maka kalianlah yang akan mengalami nasib paling buruk, karena aku akan segera membunuh kalian berdua agar aku dapat terbang kemana aku sukai,” jawab Manggada.
Lawannya itu menggeram. Iapun telah bersiap untuk meloncat menyerang, sementara kawannya pun telah mendapat isyarat untuk mendesak. Sejenak kemudian, maka mereka memang benar-benar telah bertempur. Manggada melawan dua orang lawan. Dua orang lawan yang terbaik di antara lawan-lawannya yang lain.
Dengan demikian maka Manggada benar-benar telah menguji kemampuannya. Ia telah mengetrapkan ilmu yang telah disadapnya dari gurunya. Sedangkan pengalamannya masih sangat sempit sehingga ia harus menyandarkan kemampuannya pada ilmu yang diwarisinya itu. Namun ternyata bahwa setelah menempa diri dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras tanpa mengenal lelah, Manggada memang memiliki bekal yang cukup mapan.
Bagi anak muda itu, sebagaimana Laksana, yang terjadi itu justru merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi mereka. Bagi anak-anak muda yang baru saja keluar dari perguruan kecil yang tidak banyak dikenal, kemudian turun ke dunia olah kanuragan yang keras. Kedua anak muda itu seolah-olah dua ekor burung yang menguak dari sarangnya, memandang betapa luasnya cakrawala.
Demikianlah, maka pertempuran yang terjadipun semakin lama menjadi semakin keras. Kedua orang lawan Manggada itu berusaha untuk segera mengakhiri perlawanannya, karena keduanya merasa bahwa tugas mereka masih cukup banyak.
Tetapi ternyata anak muda itu memang sangat liat. Tidak mudah untuk menguasainya, mengalahkannya dan apalagi membunuhnya. Demikian juga dua orang pilihan yang bertempur melawan Laksana. Anak muda itu tangkas seperti seekor burung sikatan. Dengan cepat menukik menyambar bilalang. Namun kemudian dengan cepat pula meluncur terbang ke udara. Hilang tanpa bekas.
Karena itu, kedua lawan Laksanapun kadang-kadang menjadi kebingungan. Namun keduanya telah berusaha sejauh kemampuan mereka agar anak muda itu tidak terlepas dari lingkaran pertempuran melawan keduanya.
Namun dalam pada itu, arena pertempuran itu dalam keseluruhannya telah terpengaruh karenanya. Empat orang terbaik di antara mereka yang mencegat orang-orang berkuda itu terikat dalam pertempuran melawan Manggada dan Laksana. Karena itu, maka kekuatan merekapun rasa-rasanya menjadi jauh berkurang.
Pemimpin dari orang-orang berkuda yang kehilangan anaknya itu bertempur dengan garangnya. Kawan-kawannyapun telah menjadi garang pula. Mereka bertempur untuk satu beban yang bagi mereka mempunyai arti yang sangat luhur. Kemanusiaan.
Karena itu, maka merekapun telah mempertaruhkan segala-galanya atas kesadaran mereka terhadap tugas yang mereka sandang itu. Sehingga dengan demikian, maka mereka sama sekali tidak gentar menghadapi apapun juga. Apalagi ketika mereka merasa bahwa perlawanan orang-orang yang menghentikan mereka itu semakin susut.
Dengan demikian, pemimpin dari orang-orang yang mencegat orang-orang berkuda itu memang menjadi cemas. Karena itu, ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghentikan perlawanan anak muda yang ternyata memang berilmu tinggi itu.
Tetapi ternyata bahwa anak muda itu mampu bergerak semakin cepat pula. Bahkan kedua tangannya telah bergerak-gerak dengan tangkasnya. Pedangnya menyambar-nyambar mengerikan. Sekali-sekali pedang itu berada di tangan kanan, namun tiba-tiba pedang itu bergetar di tangan kirinya. Kedua tangan anak muda itu nampaknya memiliki ketrampilan yang sama. Apakah itu tangan kanan apakah tangan kiri.
Kemarahan telah menghentak-hentak di dada pemimpin dari orang-orang yang ingin merebut kedua orang kawannya yang tertawan itu. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Kawan-kawannya dalam jumlah yang lebih besar, tidak mampu mengalahkan orang-orang berkuda itu.
Apalagi beberapa saat kemudian, Manggada yang mulai jemu dengan pertempuran itu, telah menghentakkan senjatanya pula. Ketika ia mendapat kesempatan, maka ujung pedangnya telah menyambar mendatar ke dada pemimpin orang-orang yang telah mencegat perjalanannya itu. Namun ternyata orang itu cukup tangkas. Dengan cepat ia bergeser surut sehingga ujung pedang Manggada tidak mampu menggapainya.
Justru pada saat yang demikian, lawannya yang seorang lagi telah meloncat menyerangnya. Senjatanya mematuk ke arah lambung. Namun Manggada cukup tangkas. Dengan cepat ia menarik serangannya dan meloncat surut. Dengan pedangnya ia telah memukul senjata lawannya demikian kerasnya.
Tetapi Manggada tidak berhasil menjatuhkan senjata lawannya, meskipun terasa tangan lawannya itu menjadi pedih. Tetapi ia masih mampu mempertahankan senjatanya. Namun Manggada tidak berhenti menyerang. Pedangnya tiba-tiba saja telah berputar. Dengan cepat pedangnya mematuk lawannya itu. Lawannya memang terkejut. Tetapi ia masih sempat meloncat surut.
Pada saat yang bersamaan, pemimpin orang-orang yang ingin membebaskan kedua orang kawannya itulah yang telah menyerang Manggada. Serangannya datang bergulung seperti badai. Demikian garangnya, sehingga Manggada memang harus meloncat beberapa langkah surut.
Namun yang tidak disangka-sangka telah terjadi. Ketika serangan itu masih memburu, Manggada telah meloncat dengan cepat hampir tidak kasat mata. Senjatanya dengan ayunan mendatar telah menggapai lawannya yang seorang lagi, yang justru sedang termangu-mangu menyaksikan serangan pemimpinnya itu.
Karena itu, maka orang itu telah terkejut sekali. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Orang itu memang berusaha untuk menangkis serangan itu. Tetapi ia tidak berhasil. Meskipun senjatanya menyentuh senjata Manggada, namun ia tidak berhasil menahan serangan itu. Karena itulah, maka sejenak kemudian dada orang itu telah terkoyak oleh ujung pedang anak muda itu.
Sementara itu, Manggada masih juga sempat meloncat menghindari serangan lawannya yang seorang lagi. Bahkan pada serangan berikutnya Manggada telah siap membentur serangan itu. Demikianlah, dua buah senjata saling berbenturan. Pedang Manggada memang bukan pedang pilihan. Namun dengan kemampuannya yang besar, maka ia berhasil menahan ayunan pedang lawannya itu. Bahkan dengan menghentakkan seluruh kekuatannya, maka hampir saja senjata lawannya terlepas dari tangannya.
Tetapi lawannya masih sempat meloncat surut. Dengan sisa tenaga yang ada orang itu berusaha mempertahankan senjatanya. Namun Manggada tidak membiarkannya. Dengan langkah yang panjang ia meloncat memburunya. Sekali lagi pedangnya terayun deras sekali. Manggada memang tidak mengarahkan senjatanya ke tubuh lawannya, tetapi dengan sengaja telah berusaha membentur senjatanya.
Ketika benturan itu sekali lagi terjadi, maka lawannya tidak mampu mempertahankannya lagi. Senjatanya ternyata telah terlepas dari tangannya dan melenting jatuh di tanah. Dengan cepat Manggada meloncat mendekat lagi. Satu pukulan tangan kirinya menghantam dada orang itu sehingga ia terdorong beberapa langkah surut. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, maka kaki Manggada telah menyapu kakinya sehingga ia jatuh terlentang. Ketika orang itu siap melenting berdiri, ujung pedang Manggada telah melekat di dada orang itu.
“Jangan bangkit,” berkata Manggada. “Aku ingin menusuk dadamu selagi kau berbaring. Diamlah.”
Orang itu menjadi sangat tegang. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ujung pedang itu benar-benar akan dapat menghunjam di dadanya. Karena itu, maka orang itu terpaksa tetap berbaring betapapun jantungnya bagaikan akan meledak.
Sementara itu, Laksana tengah berloncatan memburu seorang lawannya. Sementara lawannya yang seorang lagi telah terbaring diam. Seperti lawan Manggada, maka dadanya telah terkoyak oleh ujung pedang.
Lawannya yang seorang lagi tidak memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri. Meskipun ia masih mencoba melawan untuk melindungi dirinya, tetapi serangan Laksana datang beruntun. Satu putaran pedang Laksana ternyata telah melemparkan senjata lawannya. Gerakan yang dilakukan kemudian adalah satu tusukan yang menghunjam ke perut lawannya itu. Dengan demikian maka kedua lawan Laksana itu telah terbaring diam untuk selama-lamanya.
Laksana yang kehilangan kedua lawannya telah siap untuk melibatkan diri melawan yang lain. Tetapi dalam pada itu, pertempuran itu tiba-tiba telah terhenti ketika terdengar suara pemimpin dari orang-orang yang telah menghentikan orang-orang berkuda itu.
“Letakkan senjata,” teriak orang itu.
Para pengikutnya mengenali suaranya. Sementara itu Manggada berteriak, “Hentikan. Kita akan berbicara.”
Pertempuran itupun berhenti. Dengan ujung pedang di punggung orang itu berkata kepada para pengikutnya, “Biarlah kita menyerah.”
Para pengikutnya termangu-mangu. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang melepaskan senjatanya. Ternyata bahwa dugaan Manggada tidak luput. Orang itu tidak benar-benar ingin menyerah. Dalam kesempatan yang terbuka, tiba-tiba saja ia telah menjatuhkan dirinya. Dengan kakinya ia telah menyerang ke arah perut Manggada sambil berteriak dengan lantang,
“Bunuh semua orang.”
Beberapa orang memang terkejut. Tetapi Manggada yang curiga terhadap sikap pemimpin orang-orang yang mencegatnya itu, telah siap menghadapinya. Karena itu, maka ia dengan tangkasnya telah melenting surut. Kesempatan yang ditunggu itupun datang ketika orang itu dengan cepat melenting berdiri. Pada saat yang tepat Manggada telah meloncat dengan tubuhnya yang miring. Kakinya terjulur lurus menyamping.
Dengan kekuatan penuh kaki Manggada telah menghantam dada lawannya. Demikian kerasnya sehingga lawannya itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Dadanya rasa-rasanya pecah. Nafasnya terhenti mengalir dan matanyapun mulai berkunang-kunang sehingga akhirnya semuanya menjadi gelap.
Para pengikutnya mencoba memanfaatkan kesempatan itu dengan serta-merta. Beberapa orang berhasil mendesak lawannya, bahkan melukai orang-orang berkuda yang kehilangan kewaspadaan. Namun dengan demikian mereka telah membuat orang-orang berkuda itu marah sehingga mereka telah menghentakkan senjata mereka. Bahkan Laksanapun telah menjadi sangat marah pula. Dalam setiap ayunan, maka ia telah melukai seorang lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun kemudian telah berakhir dengan sangat pahit. Beberapa orang telah terbunuh. Tubuh mereka malang melintang bahkan saling bertindih. Beberapa orang berkuda telah pula terluka. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang terbunuh.
Namun dalam pada itu, Manggadalah yang berteriak, “Jangan kalian bunuh orang-orang itu. Kita memerlukan keterangannya.”
Namun pertempuran itu masih berlangsung beberapa saat. Orang-orang berkuda itu tidak dapat dengan serta-merta menghentikan pertempuran karena lawan-lawan mereka masih saja menyerang dengan sengitnya.
Satu demi satu orang-orang itu telah terkulai. Karena itu, maka Manggada merasa perlu untuk mengambil langkah. Dengan tangkasnya ia telah menyambar seorang lawan dengan sisi telapak tangannya yang mengenai punggungnya. Demikian orang itu menggeliat, maka dengan ujung-ujung jarinya yang merapat, Manggada telah menyentuh beberapa tempat di punggung orang itu sehingga orang itupun kehilangan kesadarannya. Dengan cepat Manggada menangkapnya dan membaringkannya di tanah.
Sebenarnyalah korban telah semakin banyak jatuh. Dua orang yang mencoba melarikan diri, justru punggungnya telah tertembus senjata. Sehingga akhirnya orang-orang yang mencegat orang-orang berkuda itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Dengan demikian maka pertempuranpun telah berhenti. Disana-sini tubuh terkapar silang melintang. Darah yang mengalir dari luka telah menyiram bumi yang mulai dibasahi oleh embun.
Manggada dan Laksana berdiri tegak memandang bekas arena pertempuran itu. Sesuatu ternyata telah menggelitik perasaannya. Ternyata mereka telah melakukan pembunuhan-pembunuhan, sementara sebenarnya mereka hanya ingin mendapatkan pengalaman.
“Apakah yang terbunuh itu memang pantas dibunuh?” bertanya anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, pemimpin dari orang-orang berkuda itupun telah mengumpulkan orang-orangnya. Dengan obat-obatan yang ada mereka berusaha untuk mengurangi darah yang mengalir dari luka.
Sementara itu, maka Manggada dan Laksana pun telah melihat orang-orang yang terbaring. Dua orang tawanan yang dibawanya masih belum sadarkan diri. Demikian pula seorang yang telah dibuat pingsan oleh Manggada. Sedangkan di antara orang-orang yang terbujur lintang terdapat orang-orang yang masih hidup, meskipun terluka parah. Termasuk pemimpin dari orang-orang yang mencegat perjalanan orang-orang berkuda itu.
Dua orang itupun kemudian telah diangkat oleh Manggada dan Laksana. Keduanyalah yang telah mengobati kedua orang itu, dengan obat yang dibawanya dari rumah Laksana. Sejenak kemudian, maka orang-orang itu telah berbenah diri. Beberapa orang harus dibawa. Manggada dan Laksana telah menyentuh simpul-simpul syaraf yang mereka tutup sehingga membuat orang-orang itu pingsan, untuk dibuka kembali, sehingga orang-orang itu menjadi sadar.
Demikianlah, Manggada dan Laksana dapat menawan selain kedua orang yang terdahulu, terdapat seorang lagi dan dua orang yang terluka. Sehingga semuanya yang harus dibawa adalah lima orang.
“Bagaimana dengan orang-orang yang terbunuh?” Manggada berdesis.
Pemimpin dari orang-orang berkuda yang telah kehilangan anak gadisnya itupun agak kebingungan. Mereka tidak akan dapat meninggalkan mayat-mayat itu begitu saja.
“Kita beritahukan orang-orang padukuhan sebelah,” berkata Laksana. “Kita minta tolong kepada mereka. Barangkali kita perlu sedikit menakut-nakuti mereka jika mereka tidak bersedia mengubur mayat-mayat itu.”
Manggada termangu-mangu. Sementara pemimpin yang kehilangan anak perempuannya itu berkata, “Kita dapat mencobanya.”
Demikianlah, maka kelima orang tawanan itu telah dibawa oleh orang-orang berkuda itu. Tiga orang di antara mereka terpaksa ikut di belakang salah seorang dari mereka yang berkuda. Dua orang telah ikut bersama dua orang tawanan yang dibawa dari padukuhan. Sedang seorang lagi yang terluka berkuda bersama salah seorang pengikut orang yang kehilangan anak gadisnya itu.
Namun mereka tidak dapat berpacu dengan cepat. Mereka harus mengingat kekuatan kuda-kuda yang membawa beban rangkap. Selain itu, ada di antara orang-orang berkuda itu sendiri yang terluka cukup berat.
Di padukuhan yang kemudian mereka lewati, Manggada memang minta kepada orang-orang yang berada di gardu untuk pergi ke bulak. “Ada beberapa sosok mayat. Kuburkan mereka. Kami mohon pertolongan kalian,” berkata Manggada.
Tetapi pemimpin peronda itu justru menjadi marah. Bahkan membentak, “Siapakah kalian, he? Apakah kalian berhak memerintah kami?”
Ketika Laksana bergeser, Manggada telah menggamitnya. Ialah yang menggerakkan kudanya beberapa langkah maju. Katanya, “Ki Sanak, ada beberapa sosok mayat. Kamilah yang telah membunuh mereka semua. Lihat, beberapa kawan kami juga terluka. Jangan membuat darah kami yang masih panas ini bergejolak lagi. Karena kami akan dapat membunuh kalian semua. Nah, kami tidak akan berbicara lagi. Kami akan pergi. Tetapi jika besok pagi kami kembali dan sosok-sosok mayat itu masih disana, kami akan membunuh orang-orang padukuhan ini, atau kami tidak peduli jika mayat-mayat itu akan dapat menimbulkan penyakit dan barangkali wabah yang tidak terlawan, sehingga orang-orang padukuhan ini akan habis dimakan wabah penyakit itu.”
Pemimpin peronda itu masih akan berbicara. Tetapi Manggada telah memberikan isyarat kepada orang-orang berkuda itu untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi pemimpin peronda itu menjadi semakin marah. Dengan serta-merta ia telah meloncat menangkap kendali kuda Manggada.
Kuda itu terkejut sehingga melonjak berdiri dengan kedua kaki belakangnya, sehingga hampir saja Manggada terjatuh. Untunglah bahwa ia cukup tangkas untuk menguasai kudanya kembali, sehingga kuda itu dapat ditenangkannya.
Tetapi pemimpin peronda itu masih saja marah. Katanya dengan kasar, “Turun kau, anak muda. Kau sangka kau siapa, he?”
Manggada memang turun. Tetapi ia memberikan isyarat kepada yang lain agar mereka tetap berada di punggung kuda. “Kalian tidak mempunyai pilihan,” berkata Manggada, “kecuali jika kalian ingin melihat padukuhan-padukuhan di sekitar bulak itu akan menjadi kuburan raksasa. Kalian tentu tidak akan sempat saling mengubur jika wabah itu berjangkit disini.”
“Justru karena itu, maka kami akan memaksa kalian untuk mengubur mayat-mayat itu,” berkata pemimpin peronda itu.
“Kami tergesa-gesa. Jika kawan-kawan kami itu tidak segera tertolong, maka mereka akan segera mati,” jawab Manggada.
“Aku tidak peduli,” jawab pemimpin peronda itu, sementara beberapa orang kawannya telah berdiri di sebelahnya dengan wajah yang garang.
“Jangan memaksa aku bertindak atas kalian, Ki Sanak,” geram Manggada.
“Persetan. Kamilah yang akan bertindak atas kalian,” berkata pemimpin peronda itu.
Namun belum lagi mulutnya terkatub, tangan Manggada telah mengenai pipinya. Terasa pipi itu bagaikan menyentuh bara api, sehingga panasnya terasa sampai ke ubun-ubun. Dalam pada itu, beberapa orang kawannya mulai bergerak. Tetapi tiga orang sekaligus telah terlempar jauh. Sementara itu sesaat kemudian dua orang lagi terdorong dan jatuh terlentang.
“Kau lihat, aku hanya mempergunakan telapak tanganku. Tetapi jika kalian masih tetap menjadi gila, aku benar-benar akan mempergunakan pedangku. Kalian tidak mati terkena wabah, tetapi kalian akan mati oleh pedangku ini.”
Pemimpin peronda itu terkejut melihat ketangkasan Manggada. Karena itu, maka iapun menjadi termangu-mangu. Apalagi ketika Manggada kemudian menarik pedangnya sambil menggeram,
“Pergi atau aku mulai membunuh sekarang. Atau kau akan memanggil orang-orang padukuhan dengan isyarat? Lakukan. Tetapi mereka semua akan terbunuh sebelum wabah itu menyentuh padukuhanmu.”
Pemimpin peronda itu termangu-mangu. Bahkan ia bagaikan membeku ketika ia melihat Manggada meloncat ke punggung kudanya. Dan kemudian bersama dengan yang lain, meninggalkan mereka. Sejenak kemudian, maka orang-orang berkuda itu telah hilang di dalam kegelapan malam. Namun sementara itu kawan-kawannya yang telah tersentuh tangan Mangga justru mulai bangkit dan mengaduh. Dada mereka rasanya menjadi sesak.
Kawan-kawannyapun segera menolong mereka. Perlahan-lahan mereka dipapah ke gardu dan dibaringkannya perlahan-lahan. Tetapi justru karena mereka berbaring itu, maka dada mereka terasa semakin sesak, sehingga merekapun minta untuk dibantu duduk kembali. Dengan duduk maka pernafasan mereka menjadi agak baik.
Tetapi Manggada memang tidak bersungguh-sungguh. Beberapa saat kemudian, merekapun telah menjadi baik dan seakan-akan tidak berbekas lagi. Tetapi sebenarnyalah bagi para peronda itu, maka orang-orang berkuda itu adalah orang-orang yang berilmu.
Karena itu, maka pemimpin peronda itu segera menghadap Ki Bekel untuk memberikan laporan apa yang telah terjadi. Mereka harus mengubur mayat yang ada di bulak panjang. Tidak hanya sesosok. Mula-mula Ki Bekel pun menjadi marah. Tetapi pemimpin peronda itu telah memberikan laporan pula apa yang telah terjadi dengan para peronda.
“Kami tidak melihat orang itu bergerak. Tetapi kami telah terlempar jatuh dengan dada yang bagaikan tersumbat bukit,” berkata salah seorang di antara anak-anak muda yang sedang meronda, yang telah disentuh tangan Manggada.
Ki Bekel hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, kita harus melakukannya. Menurut keterangan anak muda itu, jika mayat-mayat itu tidak dikuburkan, akan dapat timbul wabah penyakit. Aku sependapat dengan keterangan itu.”
Demikianlah, maka meskipun malam hari, Ki Bekel telah memanggil laki-laki di padukuhan itu terutama anak-anak mudanya untuk pergi ke bulak. Mereka membawa obor di tangan dan senjata apapun juga di lambung. Ki Bekel dan para bebahu menjadi cemas bahwa terjadi sesuatu di bulak itu. Tetapi mereka tidak menemukan sesuatu, selain beberapa sosok mayat sebagaimana dikatakan oleh anak muda di antara orang-orang berkuda itu.
Menilik bekasnya, tentu sudah terjadi pertempuran yang sengit di bulak panjang itu. Tanaman padi di sebelah-menyebelah jalan telah rusak. Gerumbul-gerumbul liar di tanggul parit berserakan dan mayat-mayat yang terbujur lintang memberikan gambaran tentang sebuah pertempuran yang sengit. Apalagi di antara orang-orang berkuda itu terdapat orang-orang yang terluka. Bahkan ada yang parah.
Namun ketika mereka mulai meneliti sosok-sosok tubuh yang terbaring itu, tiba-tiba seorang anak muda berteriak, “Lihat. Orang ini masih hidup.”
Obor di tangan anak muda itupun telah semakin direndahkan untuk mengamati keadaan orang itu.
“Rawat orang itu,” berkata Ki Bekel. “Mungkin kita akan mendapat keterangan dari mulutnya kelak, apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Empat orang di antara mereka telah membawa orang yang masih hidup itu ke padukuhan. Seorang yang dianggap memiliki kemampuan pengobatan telah mengobatinya di banjar.
Anak-anak muda yang membawanya telah berpesan kepada tabib itu, “Tolong, usahakan agar orang itu dapat diselamatkan sesuai dengan rencana Ki Bekel untuk mendengar keterangan dari orang itu, apa yang sebenarnya telah terjadi.”
“Aku hanya dapat berusaha,” jawab tabib itu. “Segala sesuatunya ada di tangan Yang Maha Agung.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang di antara mereka berkata, “Bagaimanapun juga kita harus berusaha.”
Tabib itu mengangguk-angguk. Namun iapun telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengobati orang itu. Tetapi luka orang itu memang cukup parah. Dadanya telah terkoyak oleh pedang, bahkan di pundak dan di pahanya telah terdapat luka pula. Darah ternyata telah terlalu banyak mengalir sehingga orang itu telah menjadi sangat lemah.
Namun tabib itu tidak berputus asa. Tiba-tiba saja iapun telah tertarik untuk mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi di bulak itu, sehingga beberapa orang telah terbunuh karenanya. Setelah orang itu minum obat yang diramu oleh tabib itu, maka keadaannya memang menjadi membaik. Meskipun wajahnya masih pucat, tetapi bibirnya sudah mulai bergerak.
Tetapi tabib itu masih belum mengganggunya. Orang itu masih harus dijaga agar keadaannya tidak menjadi lebih buruk lagi. Ia memerlukan ketenangan lahir dan batin, sehingga kekuatannya tidak akan semakin larut.
Di bulak, beberapa orang masih sibuk. Mereka telah membuat beberapa buah usungan untuk membawa sosok-sosok mayat itu ke kuburan dan kemudian menguburnya di sana. Baru menjelang pagi pekerjaan itu dapat mereka selesaikan. Selebihnya, orang-orang padukuhan itu telah berendam di sungai untuk menghilangkan kotoran yang telah melekat di tubuh mereka. Mungkin dari mayat-mayat yang mereka bawa ke kuburan, tetapi juga mungkin oleh tanah di kuburan itu.
Sementara itu, sekelompok orang-orang berkuda yang membawa lima orang tawanan serta dua orang anak muda yang telah membantu mereka, masih meneruskan perjalanan mereka dengan letih.
Namun pemimpin orang-orang berkuda itu kemudian berkata, “Masih satu jangkauan lagi. Sebelum fajar kita tentu sudah sampai disana.”
“Sampai dimana?” bertanya Manggada.
“Padukuhan kami. Orang-orang padukuhan kami telah menunggu dengan penuh harapan. Di antara mereka adalah orang-orang yang pernah kehilangan anak gadisnya sebagaimana aku sendiri. Bahkan satu dua orang dari padukuhan dan kademangan tetangga ternyata ada juga yang pernah kehilangan anak gadis mereka,” berkata pemimpin rombongan itu.
Manggada mengangguk-angguk. Ia sudah mulai membayangkan bahwa bersama dengan orang-orang berkuda itu, maka akan dihadapinya wajah-wajah yang murung oleh kepedihan perasaan namun juga nyala dendam di sorot mata mereka.
Sebenarnyalah, perjalanan yang lamban itu akhirnya mendekati satu padukuhan yang telah bergejolak itu. Dua tiga padukuhan yang terakhir mereka lampaui ternyata telah tidak mengalami persoalan lagi. Orang-orang yang meronda telah banyak yang mengenal orang-orang berkuda itu. Bahkan beberapa orang telah sempat mempertanyakan apa yang telah terjadi.
Tetapi orang-orang berkuda itu tidak mempunyai waktu banyak, sehingga pemimpinnya itu menjawab singkat, “Ki Sanak, besok aku akan berceritera panjang lebar. Sekarang aku tergesa-gesa, karena ada di antara kawan-kawanku yang terluka.”
Nampaknya orang-orang itu dapat mengerti, sehingga mereka tidak menahannya lebih lama lagi dengan beribu macam pertanyaan. Sebelum fajar, orang-orang berkuda itu telah memasuki padukuhannya.
Seperti yang diduga oleh Manggada, maka di halaman banjar terdapat banyak orang yang menunggu di samping mereka yang berada di gardu-gardu. Kedatangan orang-orang berkuda itu seakan-akan telah memanggil semua orang padukuhan itu untuk berkumpul.
Pemimpin padukuhan itu memang menjadi berdebar-debar. Karena itu, sebelum terjadi sesuatu, maka beberapa orang kawannya telah diperintahkannya untuk memasukkan kelima orang tawanan mereka ke dalam banjar.
Jika orang-orang padukuhan itu langsung melihat kelima orang itu, pemimpin orang-orang berkuda itu ragu-ragu, apakah mereka dapat ditahan untuk tidak berbuat sesuatu. Orang-orang yang menjadi tawanan itupun ternyata menjadi ketakutan pula. Jika mereka diserahkan kepada orang-orang padukuhan itu, maka keadaan mereka tentu akan sangat pahit.
Orang-orang padukuhan yang marah itu tentu akan memperlakukan mereka dengan kasar dan semena-mena. Mereka tentu akan membunuh tanpa dapat dikendalikan lagi menurut cara yang tidak sewajarnya. Namun orang-orang yang tertawan itu masih mengharapkan bahwa orang-orang yang menangkapnya itu melindungi mereka.
Sebenarnyalah bahwa mereka sama sekali tidak takut mati. Yang membuat kulit mereka meremang adalah cara mati itu. Jika ujung pedang dihunjamkan ke dada mereka sampai tembus ke jantung, tentu akan jauh lebih baik daripada jika mereka dipukuli beramai-ramai di halaman banjar itu dengan tangan terikat, sampai pada satu saat mereka mati terkapar dengan tubuh yang remuk.
Jantung para tawanan itu memang terasa berdebar lebih cepat ketika mereka mendengar orang-orang di luar banjar itu berteriak-teriak, “Serahkan mereka kepada kami. Mereka telah mengambil gadis-gadis kami.”
Pemimpin dari orang-orang berkuda, serta para pemimpin padukuhan itu telah berusaha untuk menenangkan orang-orang padukuhan yang marah. Dengan lantang Ki Bekel berkata, “Kita menunggu Ki Demang. Kita tidak dapat berbuat menurut kehendak kita sendiri.”
“Mereka telah mengambil anak-anak gadis kami,” teriak yang pernah kehilangan anak gadisnya. “Tidak ada yang pantas dilakukan atas mereka kecuali dihukum mati.”
“Segala sesuatunya kita serahkan kepada Ki Demang nanti,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda yang telah berhasil menangkap beberapa orang itu.
“Buat apa kita berlama-lama menunggu. Semakin cepat semakin baik,” berkata seseorang di antara orang banyak itu.
“Tidak,” Ki Bekel dari padukuhan itulah yang kemudian berdiri di hadapan rakyatnya itu. “Kita memerlukan petunjuk untuk menolong anak-anak kita. Jika orang-orang itu dibunuh, maka kita akan kehilangan jejak. Kita tidak akan dapat menemukan anak-anak kita yang hilang.”
“Anak-anak kita tentu sudah mereka bunuh pula. Karena itu, serahkan mereka kepada kami. Kita tidak memerlukan mereka lagi,” teriak seorang yang berdiri di dekat pohon sawo kecik.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya udara menjadi panas, meskipun matahari belum terbit. Di sana-sini terdengar teriak-teriakan. Tetapi Ki Bekel kemudian berkata,
“Saudara-saudaraku, baiklah, sekarang aku persilahkan kalian memilih. Kalian ingin sekedar menuruti gejolak perasaan kalian dengan membunuh orang-orang itu, atau mencari kemungkinan yang lebih baik buat anak-anak kita yang pernah hilang. Atau kita memang sudah menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, sekedar mendapat kepuasan tanpa mengingat anak-anak kita. Jika memang kalian sekedar dibakar oleh nafsu untuk membunuh, silahkan. Tetapi anak-anak kalian akan tetap meratapi nasibnya di sepanjang hidupnya. Mereka akan hidup dalam kesia-siaan. Mereka akan tetap berada di tangan-tangan orang yang kasar dan bahkan buas dan liar. Sementara itu kalian disini dengan bengisnya membunuh orang-orang yang seharusnya akan dapat kita pergunakan untuk mencari jejak.”
Orang-orang yang berada di halaman banjar itu mulai berpikir. Sementara itu Ki Bekel berkata selanjutnya, “Nah, sekarang kalian boleh memilih. Orang-orang yang tidak pernah kehilangan anak gadisnyalah yang tentu lebih bergairah untuk membunuh sekarang, karena mereka memang tidak memerlukan orang-orang itu. Tetapi apakah itu mencerminkan watak kita? Apakah itu yang selama ini kita banggakan bahwa kita memiliki keluhuran budi?”
Orang-orang yang berada di halaman mulai menundukkan kepalanya. Agaknya mereka menyadari apa yang telah mereka lakukan itu hanya sekedar dibakar oleh dendam yang tidak didasari pada penalaran yang matang.
Ki Bekel yang melihat bahwa orang-orang di halaman banjar itu dapat mendengarkan kata-katanya telah berkata selanjutnya, “Marilah kita dengan tenang menunggu Ki Demang. Kita memerlukan cara yang paling baik untuk menemukan anak-anak kita kembali.”
Pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda yang mendapat tugas untuk mencari jejak itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Bekel masih berkata, “Nah, marilah kita berterima kasih kepada saudara-saudara kita yang telah menyediakan dirinya mencari jejak. Terutama kepada Ki Wiradadi. Bukan saja karena anak Ki Wiradadi juga hilang. Tetapi Ki Wiradadi telah bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri.”
Orang-orang di halaman banjar itu mengangguk-angguk. Ki Wiradadi, yang memimpin sekelompok orang-orang berkuda itu adalah seorang yang paling disegani di kademangan itu. Ia memiliki ilmu kanuragan serta berpikiran terang. Karena itu sejak semula ia memang menjadi tumpuan harapan dari orang-orang yang telah kehilangan anak gadisnya. Apalagi ketika tiba-tiba saja anak gadis Ki Wiradadi itu sendiri hilang.
Namun agaknya hilangnya anak gadis Ki Wiradadi itu merupakan pendorong baginya untuk langsung menangani persoalan itu bersama beberapa orang terpilih di antara orang-orang yang memiliki keberanian di kademangan itu. Namun yang juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
“Saudara-saudaraku,” berkata Ki Bekel kemudian, “marilah kita membuat suasana pagi ini menjadi lebih dingin agar kita mempunyai kesempatan lebih luas untuk merenung dan membuat perhitungan selanjutnya. Lebih-lebih lagi jika Ki Demang nanti sudah datang.”
Orang-orang yang berada di halaman itu nampaknya mulai mengerti. Meskipun ada juga satu dua orang yang masih merasa sangat geram terhadap orang-orang yang telah menculik gadis-gadis itu. Tetapi mereka mengerti bahwa orang-orang itu ternyata dibutuhkan untuk menelusuri jejak hilangnya gadis-gadis padukuhan mereka.
Karena itu, maka sebagaimana diminta oleh Ki Bekel, orang-orang di halaman banjar itu memang menjadi tenang. Mereka tidak berteriak-teriak lagi menuntut orang-orang yang tertawan itu dibunuh.
Sejenak kemudian, maka Ki Demang ternyata telah datang diiringi oleh beberapa orang bebahu. Ketika mereka memasuki halaman banjar, maka orang-orang yang masih berada di halaman itupun mulai saling bertanya-tanya. Apakah yang akan diperbuat oleh Ki Demang atas orang-orang itu. Namun merekapun sudah memperkirakan bahwa Ki Demang akan membawa orang-orang itu ke kademangan dan memeras keterangan mereka tentang gadis-gadis yang telah hilang itu.
Tetapi ternyata Ki Demang tidak dengan tergesa-gesa membawa mereka. Ki Demang ternyata memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Ia harus segera mendapat keterangan tentang gadis-gadis yang hilang itu, sehingga memungkinkan mereka untuk menelusuri jejaknya.
Karena itu, maka Ki Demang pun kemudian telah menemui orang-orang yang tertawan itu bersama tiga orang yang tidak termasuk bebahu kademangan itu. Mereka adalah orang-orang yang datang ke Kademangan itu dua tiga hari sebelumnya.
“Siapakah mereka?” bertanya Ki Bekel kepada Ki Jagabaya.
“Tiga orang petugas sandi dari Pajang,” jawab Ki Jagabaya.
“Dari Pajang?” bertanya Ki Bekel.
“Ya. Ki Demang telah melaporkan tentang beberapa orang gadis yang hilang. Ternyata Pajang cepat tanggap dan mengirimkan tiga orang petugas sandi. Namun nampaknya dari padukuhan ini telah lebih dahulu berhasil mencium sekelompok orang yang menculik gadis-gadis itu,” jawab Ki Jagabaya.
“Hasil kerja Ki Wiradadi, beberapa kawan dan barangkali saudara seperguruan Ki Wiradadi telah membantunya, di samping beberapa orang pilihan dan memiliki keberanian dari kademangan ini. Justru mendahului kebijaksanaan Ki Demang,” jawab Ki Bekel.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Bekelpun berkata, “Dua orang anak muda yang sebelumnya tidak kami kenal telah membantu kami menangkap orang-orang itu.”
“Siapakah mereka?” bertanya Ki Jagabaya.
“Yang duduk di sebelah Ki Wiradadi.”
Sejenak kemudian agaknya Ki Demang telah mulai dengan penyelidikannya. Orang-orang yang berada di dalam banjar itu telah diperintahkannya keluar kecuali beberapa orang yang berkepentingan, termasuk Ki Wiradadi dan Ki Jagabaya.
Ketika Ki Demang melihat Manggada dan Laksana masih berada di dalam banjar itu, maka iapun berkata, “Anak-anak muda, bukan saatnya kalian bermain di banjar dalam suasana seperti ini. Keluarlah. Kami mempunyai banyak persoalan yang harus kami selesaikan dalam waktu yang sangat singkat.”
Tetapi yang menjawab adalah Ki Wiradadi, “Keduanya adalah anak-anak muda yang telah membantu kami menangkap orang-orang ini, Ki Demang. Tanpa kedua anak muda itu, kami tidak akan berhasil.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi mereka tidak banyak berkepentingan.”
“Aku mohon mereka diperkenankan mendengarkannya,” minta Ki Wiradadi.
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Jika kalian menganggap kehadirannya tidak mengganggu.”
“Mereka akan dapat membantu kita, Ki Demang,” jawab Ki Wiradadi.
Demikianlah, maka sesaat kemudian Ki Demang sudah mulai memanggil dua orang yang telah ditangkap pertama kali. Dengan nada keras Ki Demang bertanya, dimana gadis-gadis yang telah mereka ambil itu disembunyikan.
“Aku tidak pernah tahu tentang hal itu, Ki Demang,” jawab salah seorang dari mereka.
Namun salah seorang petugas sandi dari Pajang itu tersenyum. Katanya, “Jawaban yang tentu akan kau ucapkan. Sejak sebelum pertanyaan Ki Demang itu dilontarkan, kami sudah tahu, bahwa jawaban kalian tentu demikian. Tidak mengerti atau kurang tahu atau jawaban-jawaban dalam nada seperti itu.”
“Aku benar-benar tidak tahu, Ki Demang,” orang itu mulai berkeringat...”
Namun irama kentongan yang semula bernada empat-empat ganda itupun segera berubah menjadi tiga-tiga ganda. Sejenak kemudian apipun telah mulai menjilat langit, sementara Ki Bekel dan Ki Jagabaya berlari-lari ke penginapan setelah mereka mendapat kerusuhan yang terjadi di penginapan.
Tetapi kedatangan Ki Bekel dan Ki Jagabaya telah terlambat. Penginapan itu telah menyala. Sedangkan orang-orang yang membuat kerusuhan itu telah melarikan diri. Namun mereka telah meninggalkan tiga orang petugas penginapan itu terluka.
“Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi,” berkata salah seorang di antara mereka yang terluka itu.
Ki Jagabaya hanya dapat mengumpat-umpat saja. Peristiwa-peristiwa yang terjadi berurutan di padukuhan itu merupakan peristiwa yang perlu mendapat perhatian dan penilaian dengan sungguh-sungguh.
Sementara itu orang-orang padukuhan itupun telah bekerja keras untuk berusaha memadamkan api yang menjadi semakin besar. Bahkan rasa-rasanya sulit untuk dapat dikuasai. Bangunan yang terhitung besar itu berhubungan dengan tempat yang biasanya untuk menyimpan barang-barang yang diperdagangkan oleh para pedagang yang menginap. Sebagaimana tidak terlalu banyak orang yang menginap, maka di tempat barang itupun tidak terlalu banyak bertimbun barang-barang dagangan itu.
Namun perlahan-lahan akhirnya api itu mulai susut. Beberapa orang yang berani berusaha memisahkan bagian belakang dari bangunan itu agar tidak terbakar. Serambi yang menghubungkan kedua bangunan itu sebelah menyebelah longkangan justru telah dirobohkan, sehingga dengan demikian tidak dapat dipergunakan untuk merambat api dari bangunan induk yang terbakar.
“Mereka membakar penginapan ini. Mereka telah menumpahkan lampu-lampu minyak di tempat-tempat yang mudah terbakar, sehingga karena itu, maka rumah inipun cepat sekali terbakar di tempat yang hampir merata,” berkata orang-orang yang terluka itu.
Tidak ada orang yang dapat menyalahkan mereka. Mereka sudah berusaha sejauh dapat mereka lakukan. Namun mereka memang tidak akan mampu mencegahnya.
Dalam pada itu, ketika di luar sadarnya, Manggada berpaling, maka iapun terkejut. Ia melihat warna merah di langit. “Kebakaran,” desisnya.
Orang-orang berkuda itupun telah berpaling pula. Tanpa isyarat apapun, maka mereka telah memperlambat kuda mereka, bahkan kemudian berhenti sama sekali.
“Agak jauh,” desis pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
Tetapi Manggada menyahut, “Tampaknya dari padukuhan yang baru saja kita tinggalkan. Bukankah arahnya itu tepat pada padukuhan itu?”
“Tetapi kenapa telah terjadi kebakaran?” bertanya salah seorang di antara orang-orang berkuda itu.
Kawan-kawannya menggeleng. Memang tidak seorang pun yang mengetahuinya. Kedua orang yang ditangkap itu pun tidak tahu bahwa kawan-kawan merekalah yang telah melakukannya.
Namun nampaknya kedua orang itu cukup cerdik. Tanpa mengetahui sebenarnya apa yang telah terjadi, seorang di antara mereka berkata, “Nah, hanya untuk diketahui, ternyata aku tidak hanya berdua saja dengan kawanku ini.”
“Maksudmu?” bertanya pemimpin dari orang berkuda itu.
“Bahwa kami berdua hilang dari padukuhan itu telah membuat kawan-kawanku marah. Padukuhan itu akan menjadi karang abang,” berkata orang itu.
“Gila,” geram pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
“Bahwa nyawa kami memang mahal. Kita dapat membayangkan, berapa puluh orang padukuhan itu yang terbunuh. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang gadismu yang hilang itu,” berkata orang itu.
Orang-orang berkuda itu termangu-mangu. Demikian pula Manggada dan Laksana. Mereka memang membayangkan sekelompok orang tengah membantai orang-orang padukuhan yang tidak bersalah itu.
“Apakah kita akan membiarkan mereka diperlakukan tidak adil?” tiba-tiba Laksana berdesis.
Manggada mengangguk-angguk, meskipun ia tahu bahwa ada maksud lain di samping usaha untuk menolong orang-orang padukuhan itu. Laksana memang ingin mencari pengalaman sebanyak-banyaknya dengan ilmu kanuragannya.
Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun telah menyahut pula, “Marilah kita lihat. Aku ikut bertanggung jawab jika benar-benar terjadi pembantaian di padukuhan itu atas orang-orang yang tidak bersalah.”
“Apakah kita akan kembali?” bertanya salah seorang di antara orang-orang berkuda itu.
“Ya. Mungkin kita dapat bertemu dengan orang-orang yang lebih penting dari gerombolan penculik gadis-gadis itu,” berkata pemimpinnya.
Demikianlah, maka iring-iringan itu telah memacu kuda mereka kembali ke padukuhan yang terbakar itu. Namun ketika mereka menjadi semakin dekat, maka pemimpin dari orang-orang berkuda itu telah minta kepada kawan-kawannya agar kedua orang tawanan mereka itu diikat pada sebatang pohon yang terlindung di luar padukuhan.
Dua orang di antara mereka harus mengawasi kedua orang itu. Pemimpin orang-orang berkuda itu berpesan, “Jika terjadi sesuatu, lepaskan anak panah sendaren. Jangan hanya satu, tetapi beberapa.”
Kedua orang itu mengangguk. Namun mereka tidak mengawasi kedua tawanan itu di tempat terbuka. Tetapi keduanya juga menunggui kedua tawanan itu di tempat yang terlindung.
Sementara itu, kawan-kawannya bersama Manggada dan Laksana telah berpacu memasuki padukuhan. Namun yang mereka temui bukannya sekelompok orang yang membantai orang-orang padukuhan itu. Tetapi beberapa orang yang telah membakar penginapan.
“Sukurlah,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu, “aku membayangkan beberapa orang padukuhan ini menjadi korban tanpa bersalah. Karena itu aku kembali. Akupun ingin bertemu dan berbicara dengan orang-orang yang aku kira kedudukannya lebih penting dari kedua orang yang telah aku tangkap itu.”
“Mereka sudah melarikan diri,” jawab Ki Bekel.
Orang-orang berkuda itupun kemudian telah minta diri. Mereka akan meneruskan perjalanan mereka kembali ke padukuhan mereka untuk mengusut hilangnya beberapa orang gadis, yang mungkin akan mendapat perlakuan yang sangat buruk.
Namun dengan demikian, Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu semakin percaya bahwa orang-orang itu bukan penjahat. Mereka telah kembali meskipun agaknya mereka sudah agak jauh dari padukuhan itu ketika mereka melihat api. Sebenarnya mereka dapat berpacu terus tanpa menghiraukan orang-orang padukuhan itu akan mengalami kesulitan. Tetapi ternyata bahwa mereka telah kembali ke padukuhan itu untuk membantu.
Setelah mengambil orang-orang yang terikat serta kedua orang kawannya, maka iring-iringan berkuda itu telah melanjutkan perjalanan mereka.
“Berapa korban yang telah jatuh?” bertanya salah seorang dari kedua orang yang tertawan itu.
“Korban apa maksudmu?” bertanya pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
“Bukankah kawan-kawanku telah membantai orang-orang padukuhan?” bertanya orang itu pula.
Namun yang menjawab dengan cepat adalah Manggada. Katanya, “Kami telah kehilangan waktu tanpa arti sama sekali. Ternyata di padukuhan itu telah terjadi kebakaran. Dua orang pemabuk telah membakar rumah salah seorang di antara mereka, karena pemabuk itu bertengkar dengan isterinya.”
Kedua orang tawanan itu termangu-mangu. Ternyata pemimpin dari orang-orang berkuda itu pun tanggap. Karena itu maka ia telah menyambung, “Ki Bekel yang lagi bingung telah mengambil tindakan yang sangat keras terhadap kedua orang pemabuk itu.”
“Apakah mereka dibunuh?” salah seorang dari kedua orang tawanan itu bertanya.
“Tidak. Tetapi keduanya telah diikat pada tiang bambu di halaman banjar,” jawab Manggada.
Kedua orang itu terdiam. Tetapi nampaknya mereka menjadi kecewa. Ternyata kebakaran itu tidak ada hubungannya dengan langkah-langkah yang diambil oleh kawan-kawannya.
Kuda-kuda itupun kemudian telah berpacu semakin cepat. Mereka telah kehilangan waktu beberapa saat karena mereka telah kembali ke padukuhan itu. Tetapi merekapun masih dapat bersukur bahwa tidak ada orang-orang yang menjadi korban dan terbunuh, meskipun ada juga yang terluka.
Namun yang tidak pernah diperhitungkan itupun telah terjadi. Ketika kuda-kuda mereka tengah berpacu di bulak panjang, maka mereka telah melihat dua buah obor yang menyala di tengah-tengah jalan. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat, maka obor-obor itupun telah digerak-gerakkan oleh tangan yang memegangnya.
“Siapa?” bertanya pemimpin kelompok itu seakan-akan kepada diri sendiri.
Tetapi yang terdengar adalah suara kedua orang tawanan itu tertawa hampir berbareng. Seorang di antara mereka berkata, “Nah, sekarang kalian harus percaya, bahwa kami berdua tidak dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan seperti ini.”
“Persetan,” geram Laksana. Namun tiba-tiba iapun berkata, “Berhenti. Kita berhenti sebentar.”
Meskipun orang-orang berkuda itu tidak mengetahui maksud Laksana, namun merekapun telah berhenti. “Untuk apa kita berhenti?” bertanya pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu.
“Mungkin yang menghentikan kita di depan itu ialah kawan-kawan kedua orang ini,” berkata Laksana.
“Memang mungkin sekali,” salah seorang dari kedua orang tawanan itulah yang menjawab. Katanya pula, “Bahkan pasti.”
“Baik, jika demikian maka kita harus mengambil langkah-langkah pengamanan,” berkata Laksana.
Kedua orang tawanan itu terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa anak muda itu ternyata mempunyai ketajaman penalaran sedemikian jauh. Namun keduanya tidak sempat menolak ketika Laksana kemudian meloncat turun dan berkata, “Aku akan mengikat mereka.”
“Bagaimana kami dapat naik kuda dengan kedua tangan terikat,” berkata salah seorang dari mereka.
“Kalian tidak akan naik kuda. Jarak kita dengan obor itu sudah terlalu dekat. Kalian akan berjalan kaki sampai ke tempat itu. Baru jika ternyata yang kita jumpai disana orang lain, maka kau akan kami lepaskan kembali,” berkata Laksana yang kemudian membentak, “Turun.”
Kedua orang itu harus meloncat turun. Namun dalam pada itu tiba-tiba saja beberapa orang telah berloncatan dari dalam kegelapan.
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang yang menghentikan mereka itupun mempunyai perhitungan yang cukup rumit. Namun demikian Laksana tidak menyerah. Iapun kemudian berkata kepada pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu, “Layani mereka. Aku akan mengikat keduanya.”
“Tidak,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang berloncatan mengepung mereka. “Jika hal itu kau lakukan juga, maka kau akan menyesal.”
“Kenapa aku menyesal? Aku mengikat tawananku sendiri. Apa hubungan kalian dengan tindakanku ini?” bertanya Laksana.
“Kedua orang itu adalah kawan-kawanku. Aku minta kalian serahkan kedua orang itu kepadaku. Kemudian kami akan membiarkan kalian lewat,” sahut orang yang agaknya pemimpin kawan-kawannya itu.
Laksana termangu-mangu sejenak. Sementara itu ternyata obor di kejauhan telah padam. Beberapa saat ketegangan mencengkam sekelompok orang-orang berkuda yang membawa dua orang tawanan itu. Namun pemimpin merekapun kemudian berkata,
“Jadi kedua orang ini kawan-kawan kalian?”
“Ya,” jawab orang yang mencegat mereka itu.
“Adalah kebetulan sekali,” jawab pemimpin orang-orang berkuda itu. “Aku menginginkan orang yang dapat menunjukkan kepadaku, dimana gadis-gadis padukuhanku yang telah kalian culik.”
“Jangan terlalu bodoh,” berkata pemimpin dari orang-orang yang mencegat itu. “Kau tahu bahwa pertanyaan seperti itu tidak akan dijawab. Sekarang, serahkan kedua orang kawanku itu. Kami tidak mempunyai waktu untuk berbicara panjang lebar tanpa ujung pangkal.”
“Tidak,” jawab pemimpin kelompok dari orang-orang berkuda itu. “Kami tidak akan pernah memaafkan orang-orang yang dengan tanpa perikemanusiaan telah menculik gadis-gadis.”
“Ada dua kemungkinan,” berkata orang itu, “memaafkan mereka yang telah menculik gadis-gadis atau mati disini.”
“Persetan,” geram Laksana. “Aku akan mengikat mereka.”
“Sekali lagi aku peringatkan. Jangan lakukan.”
Tetapi yang dilakukan oleh Laksana justru mengejutkan. Tiba-tiba saja ia telah mengetuk pundak kedua orang itu, kemudian dengan ujung-ujung jarinya yang merapat ia telah mengetuk punggung kedua orang itu. Demikian cepatnya sehingga kedua orang itu tidak sempat menghindar atau melawan. Pada ketukan yang ketiga di lambung kedua orang itu telah membuat mereka perlahan-lahan berlutut dan kemudian terbaring di tanah.
“Baik,” berkata Laksana, “aku tidak akan mengikatnya. Meskipun demikian mereka telah pingsan untuk beberapa lama.”
Orang-orang yang menghentikan sekelompok orang-orang berkuda itu menjadi sangat marah. Pemimpin mereka berkata dengan suara bergetar oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya, “Kalian telah menghina kami. Karena itu, maka kami tidak akan memaafkan kalian.”
“Apakah kau kira kami akan minta maaf?” jawab Laksana. Lalu dengan nada keras ia berkata, “Nah, sekarang kalian mau apa? Bertempur atau berbicara baik-baik atau apa?”
“Kau memang harus dibunuh,” geram pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat mereka itu.
Laksana justru membentak, “Lakukan. Kenapa kau hanya berbicara saja?”
Sementara itu pemimpin dari orang-orang berkuda yang mencari anaknya yang hilang itu berkata, “Marilah. Kita akan menentukan siapa yang akan menang. Tetapi ingat, bahwa kami memerlukan kalian untuk menunjukkan dimana gadis-gadis kami kalian sembunyikan. Jika kami membunuh kalian, maka dua atau tiga orang akan tetap hidup. Setidak-tidaknya dua orang yang pingsan itu.”
Pemimpin dari orang-orang yang mencegat sekelompok orang-orang berkuda itu menjadi semakin marah. Katanya, “Kita bunuh mereka.”
Orang-orang berkuda itu tidak menjawab lagi. Tetapi merekapun telah mempersiapkan diri. Kuda-kuda mereka telah ditambatkan pada batang-batang pohon di pinggir jalan, sementara yang lain telah bersiap menghadapi kemungkinan.
Ketika orang itu mulai bergerak, maka Manggada tiba-tiba saja berbisik kepada pemimpin dari orang-orang yang mencari gadis-gadis mereka yang hilang itu, “Perintahkan satu dua orang-orangmu menjaga kedua orang yang pingsan itu.”
“Bukankah mereka tidak dapat berbuat sesuatu?” desis pemimpin dari orang-orang berkuda itu.
“Jika kawan-kawannya gagal membebaskannya, mereka justru akan membunuhnya. Dengan demikian maka kita akan kehilangan sumber untuk mengikuti jejak dari gerombolan itu,” berkata Manggada perlahan-lahan.
Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun mengerti maksudnya. Iapun kemudian telah memberi isyarat kepada salah seorang pengikutnya untuk mendekat dan berbisik pula kepadanya untuk mengawasi kedua orang yang pingsan itu.
“Mereka harus tetap hidup,” desis pemimpinnya itu.
Orang yang mendapat perintah itu mengangguk-angguk. Ia mengerti akan tugas yang dibebankan kepadanya.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang telah menghentikan sekelompok orang-orang berkuda itu telah mengepung rapat dan justru memperketat kepungan mereka. Sebagian di antara mereka telah turun ke sawah sementara yang lain berdiri di tengah jalan di kedua arah.
“Kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu. Lalu katanya pula, “Tetapi jika kalian serahkan kedua orang yang pingsan itu, maka sekali lagi aku peringatkan, kalian dapat lewat dengan selamat. Jika kesempatan terakhir ini tidak kalian pergunakan, maka kalian akan mati disini. Semuanya, tanpa kecuali. Aku memerlukan satu atau dua orang di antara kalian untuk melengkapi keterangan tentang gadis-gadis kami yang hilang.”
“Persetan,” geram pemimpin dari orang-orang yang mencegatnya. Kemudian maka terdengar aba-abanya, “Bunuh mereka. Bebaskan kawan-kawanmu yang telah mereka tahan itu. Kesempatan terakhir yang aku berikan telah mereka sia-siakan.”
Dengan demikian maka sejenak kemudian, maka orang-orang yang menghentikan sekelompok orang-orang berkuda itu telah menyerang dari segala arah. Mereka yang berada di tengah jalan, mereka yang ada di tanggul parit, di pematang dan mereka yang berada di sawah pun telah bergerak. Dalam keremangan malam, maka senjata mereka berkilat oleh cahaya bintang di langit. Sementara itu beberapa orang telah berloncatan sambil berteriak.
Namun nampaknya suara mereka yang ribut itu tidak akan didengar oleh orang-orang padukuhan yang jaraknya cukup jauh. Bulak itu memang terlalu panjang. Tetapi orang-orang berkuda itu telah siap menghadapi segala kemungkinan. Jumlah mereka memang lebih sedikit dari orang-orang yang mencegatnya. Tetapi orang yang telah kehilangan anaknya itu memang mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan.
Sementara beberapa orang kawannyapun menguasai ilmu pedang dengan baik. Sehingga dengan demikian maka meskipun jumlah mereka lebih sedikit, tetapi mereka berharap akan dapat menyelesaikan pertempuran itu sebagaimana mereka harapkan.
Sejenak kemudian, maka senjatapun mulai berdentang. Orang-orang yang mencegat orang-orang berkuda itu nampaknya tidak ingin kehilangan banyak waktu. Mereka telah bertempur dengan garang dan kasar. Pada ayunan senjata mereka yang pertama, maka mereka benar-benar telah bertekad untuk membunuh lawan-lawan mereka.
Demikianlah, maka pertempuranpun segera membakar bulak yang panjang itu. Di antara sekelompok orang-orang berkuda itu terdapat Manggada dan Laksana, dua orang remaja yang baru saja keluar dari sebuah lingkungan kecil yang menempa mereka dalam olah kanuragan.
Namun ternyata bahwa bekal yang telah mereka bawa cukup memadai. Demikianlah maka kedua anak muda itu telah bertempur dengan tangkasnya di antara orang-orang yang sebelumnya belum pernah mereka kenal. Namun bagi kedua anak muda itu, persoalan yang mereka hadapi telah memberikan pengalaman yang berharga.
Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga dari segi yang lain. Dengan demikian maka mereka telah sempat memandang cakrawala tentang kehidupan yang lebih luas. Liku-liku dari perbuatan sesamanya yang kadang-kadang bertentangan dengan martabat mereka.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka masing-masing. Dentang senjatapun menjadi semakin sering terdengar dan kilatan bunga api berloncatan di udara.
Ternyata bahwa kedua belah pihak terdiri dari orang-orang yang berpengalaman. Orang berkuda yang kehilangan anak gadisnya itu tidak membawa orang-orang kebanyakan bersamanya untuk mencari anak gadisnya. Ia tahu pasti, bahwa perjalanannya adalah perjalanan yang berbahaya, sehingga karena itu, maka orang-orang yang pergi bersamanya adalah orang-orang yang terpilih dan yang menyadari sepenuhnya apa yang akan mungkin mereka hadapi di perjalanan. Sementara itu, orang-orang yang mencegatnya pun adalah orang-orang terpilih di antara mereka. Apalagi jumlah mereka lebih banyak.
Namun demikian, ternyata Laksana dan Manggada masih memiliki kelebihan dari setiap orang yang sedang bertempur itu. Mereka tidak sekedar mempergunakan ilmu kanuragan. Tetapi mereka mempergunakan penalaran mereka sebaik-baiknya.
Seperti yang pernah dilakukan, maka Manggada dan Laksana telah dengan sengaja bertempur berloncatan dari satu lingkaran ke lingkaran pertempuran yang lain. Keduanya telah memisahkan diri dan bertempur pada arah yang berlawanan.
Sebenarnyalah yang dilakukan oleh kedua orang anak muda itu agak membingungkan lawan yang meskipun lebih banyak. Kedua anak muda itu tiba-tiba saja muncul di semua lingkaran medan, tetapi dengan tiba-tiba saja mereka telah bergeser.
Namun kemampuan mereka yang tinggi dan ilmu pedang mereka yang jauh lebih baik dari lawan-lawannya, telah menimbulkan kegelisahan di seluruh arena. Lawan-lawan mereka selalu dicemaskan oleh kehadirannya yang tiba-tiba dan putaran pedangnya yang sangat berbahaya.
Bahkan Manggada dan Laksana dengan kecepatan geraknya, ternyata telah berhasil menyentuh tubuh lawan-lawannya dengan ujung pedangnya. Pedang yang didapatkannya di padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan.
“Kedua iblis itu harus dihentikan,” geram pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat mereka itu.
Pemimpin itupun kemudian telah melepaskan lawannya untuk mendapat kesempatan mengatur orang-orangnya menghadapi kedua anak muda itu. Ketika dua orang pengikutnya menggantikannya melawan pemimpin kelompok orang-orang berkuda yang kehilangan anak gadisnya itu, maka pemimpin merekapun telah menghilang di medan.
Ternyata orang itu telah memilih tiga orangnya yang terbaik. Dua di antara mereka harus mengikuti salah seorang di antara kedua orang anak muda itu, sedangkan ia sendiri dan seorang lagi akan mengikuti anak muda yang lain.
“Mereka harus diikat dalam satu pertempuran dengan lawan yang tetap,” berkata pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat sekelompok orang berkuda itu. Lalu katanya pula, “Jika mereka dibiarkan berkeliaran maka keduanya akan dapat mempengaruhi seluruh medan.”
Demikianlah, maka pemimpin orang-orang yang mencegat orang-orang berkuda itupun bersama seorang pengikutnya telah berusaha untuk bertempur melawan salah seorang di antara anak-anak muda yang mendebarkan itu. Ternyata orang itu telah bertemu dengan Manggada yang berloncatan tidak jauh daripadanya, sedangkan dua orang pilihan yang lain telah mencari Laksana.
“Anak muda,” geram orang itu, “kau tidak perlu berkeliaran di medan pertempuran ini. Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan kami berdua. Karena itu, kau harus mencoba untuk melindungi dirimu sendiri. Kau harus rela melihat orang-orang lain terbunuh di peperangan ini jika kau tidak ingin kepalamu sendiri terpenggal.”
Manggada memandang orang itu sejenak. Meskipun dalam keremangan malam, namun ia segera dapat mengenali bahwa orang itu adalah pemimpin dari orang-orang yang telah menghentikan iring-iringannya dan menuntut agar kedua orang tawanan itu diserahkan kepadanya.
Karena itu Manggada menjadi berhati-hati. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau ingin merubah caraku bertempur?”
“Kau akan segera mati,” berkata lawannya itu.
“Tidak seorang pun dapat mengikatku dalam satu lingkaran arena. Aku dapat pergi sesuka hatiku dan bertempur melawan siapapun juga. Jika kalian berusaha menahanku untuk tetap berada disini sementara kawan-kawanku terdesak, maka kalianlah yang akan mengalami nasib paling buruk, karena aku akan segera membunuh kalian berdua agar aku dapat terbang kemana aku sukai,” jawab Manggada.
Lawannya itu menggeram. Iapun telah bersiap untuk meloncat menyerang, sementara kawannya pun telah mendapat isyarat untuk mendesak. Sejenak kemudian, maka mereka memang benar-benar telah bertempur. Manggada melawan dua orang lawan. Dua orang lawan yang terbaik di antara lawan-lawannya yang lain.
Dengan demikian maka Manggada benar-benar telah menguji kemampuannya. Ia telah mengetrapkan ilmu yang telah disadapnya dari gurunya. Sedangkan pengalamannya masih sangat sempit sehingga ia harus menyandarkan kemampuannya pada ilmu yang diwarisinya itu. Namun ternyata bahwa setelah menempa diri dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras tanpa mengenal lelah, Manggada memang memiliki bekal yang cukup mapan.
Bagi anak muda itu, sebagaimana Laksana, yang terjadi itu justru merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi mereka. Bagi anak-anak muda yang baru saja keluar dari perguruan kecil yang tidak banyak dikenal, kemudian turun ke dunia olah kanuragan yang keras. Kedua anak muda itu seolah-olah dua ekor burung yang menguak dari sarangnya, memandang betapa luasnya cakrawala.
Demikianlah, maka pertempuran yang terjadipun semakin lama menjadi semakin keras. Kedua orang lawan Manggada itu berusaha untuk segera mengakhiri perlawanannya, karena keduanya merasa bahwa tugas mereka masih cukup banyak.
Tetapi ternyata anak muda itu memang sangat liat. Tidak mudah untuk menguasainya, mengalahkannya dan apalagi membunuhnya. Demikian juga dua orang pilihan yang bertempur melawan Laksana. Anak muda itu tangkas seperti seekor burung sikatan. Dengan cepat menukik menyambar bilalang. Namun kemudian dengan cepat pula meluncur terbang ke udara. Hilang tanpa bekas.
Karena itu, kedua lawan Laksanapun kadang-kadang menjadi kebingungan. Namun keduanya telah berusaha sejauh kemampuan mereka agar anak muda itu tidak terlepas dari lingkaran pertempuran melawan keduanya.
Namun dalam pada itu, arena pertempuran itu dalam keseluruhannya telah terpengaruh karenanya. Empat orang terbaik di antara mereka yang mencegat orang-orang berkuda itu terikat dalam pertempuran melawan Manggada dan Laksana. Karena itu, maka kekuatan merekapun rasa-rasanya menjadi jauh berkurang.
Pemimpin dari orang-orang berkuda yang kehilangan anaknya itu bertempur dengan garangnya. Kawan-kawannyapun telah menjadi garang pula. Mereka bertempur untuk satu beban yang bagi mereka mempunyai arti yang sangat luhur. Kemanusiaan.
Karena itu, maka merekapun telah mempertaruhkan segala-galanya atas kesadaran mereka terhadap tugas yang mereka sandang itu. Sehingga dengan demikian, maka mereka sama sekali tidak gentar menghadapi apapun juga. Apalagi ketika mereka merasa bahwa perlawanan orang-orang yang menghentikan mereka itu semakin susut.
Dengan demikian, pemimpin dari orang-orang yang mencegat orang-orang berkuda itu memang menjadi cemas. Karena itu, ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghentikan perlawanan anak muda yang ternyata memang berilmu tinggi itu.
Tetapi ternyata bahwa anak muda itu mampu bergerak semakin cepat pula. Bahkan kedua tangannya telah bergerak-gerak dengan tangkasnya. Pedangnya menyambar-nyambar mengerikan. Sekali-sekali pedang itu berada di tangan kanan, namun tiba-tiba pedang itu bergetar di tangan kirinya. Kedua tangan anak muda itu nampaknya memiliki ketrampilan yang sama. Apakah itu tangan kanan apakah tangan kiri.
Kemarahan telah menghentak-hentak di dada pemimpin dari orang-orang yang ingin merebut kedua orang kawannya yang tertawan itu. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Kawan-kawannya dalam jumlah yang lebih besar, tidak mampu mengalahkan orang-orang berkuda itu.
Apalagi beberapa saat kemudian, Manggada yang mulai jemu dengan pertempuran itu, telah menghentakkan senjatanya pula. Ketika ia mendapat kesempatan, maka ujung pedangnya telah menyambar mendatar ke dada pemimpin orang-orang yang telah mencegat perjalanannya itu. Namun ternyata orang itu cukup tangkas. Dengan cepat ia bergeser surut sehingga ujung pedang Manggada tidak mampu menggapainya.
Justru pada saat yang demikian, lawannya yang seorang lagi telah meloncat menyerangnya. Senjatanya mematuk ke arah lambung. Namun Manggada cukup tangkas. Dengan cepat ia menarik serangannya dan meloncat surut. Dengan pedangnya ia telah memukul senjata lawannya demikian kerasnya.
Tetapi Manggada tidak berhasil menjatuhkan senjata lawannya, meskipun terasa tangan lawannya itu menjadi pedih. Tetapi ia masih mampu mempertahankan senjatanya. Namun Manggada tidak berhenti menyerang. Pedangnya tiba-tiba saja telah berputar. Dengan cepat pedangnya mematuk lawannya itu. Lawannya memang terkejut. Tetapi ia masih sempat meloncat surut.
Pada saat yang bersamaan, pemimpin orang-orang yang ingin membebaskan kedua orang kawannya itulah yang telah menyerang Manggada. Serangannya datang bergulung seperti badai. Demikian garangnya, sehingga Manggada memang harus meloncat beberapa langkah surut.
Namun yang tidak disangka-sangka telah terjadi. Ketika serangan itu masih memburu, Manggada telah meloncat dengan cepat hampir tidak kasat mata. Senjatanya dengan ayunan mendatar telah menggapai lawannya yang seorang lagi, yang justru sedang termangu-mangu menyaksikan serangan pemimpinnya itu.
Karena itu, maka orang itu telah terkejut sekali. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Orang itu memang berusaha untuk menangkis serangan itu. Tetapi ia tidak berhasil. Meskipun senjatanya menyentuh senjata Manggada, namun ia tidak berhasil menahan serangan itu. Karena itulah, maka sejenak kemudian dada orang itu telah terkoyak oleh ujung pedang anak muda itu.
Sementara itu, Manggada masih juga sempat meloncat menghindari serangan lawannya yang seorang lagi. Bahkan pada serangan berikutnya Manggada telah siap membentur serangan itu. Demikianlah, dua buah senjata saling berbenturan. Pedang Manggada memang bukan pedang pilihan. Namun dengan kemampuannya yang besar, maka ia berhasil menahan ayunan pedang lawannya itu. Bahkan dengan menghentakkan seluruh kekuatannya, maka hampir saja senjata lawannya terlepas dari tangannya.
Tetapi lawannya masih sempat meloncat surut. Dengan sisa tenaga yang ada orang itu berusaha mempertahankan senjatanya. Namun Manggada tidak membiarkannya. Dengan langkah yang panjang ia meloncat memburunya. Sekali lagi pedangnya terayun deras sekali. Manggada memang tidak mengarahkan senjatanya ke tubuh lawannya, tetapi dengan sengaja telah berusaha membentur senjatanya.
Ketika benturan itu sekali lagi terjadi, maka lawannya tidak mampu mempertahankannya lagi. Senjatanya ternyata telah terlepas dari tangannya dan melenting jatuh di tanah. Dengan cepat Manggada meloncat mendekat lagi. Satu pukulan tangan kirinya menghantam dada orang itu sehingga ia terdorong beberapa langkah surut. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, maka kaki Manggada telah menyapu kakinya sehingga ia jatuh terlentang. Ketika orang itu siap melenting berdiri, ujung pedang Manggada telah melekat di dada orang itu.
“Jangan bangkit,” berkata Manggada. “Aku ingin menusuk dadamu selagi kau berbaring. Diamlah.”
Orang itu menjadi sangat tegang. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ujung pedang itu benar-benar akan dapat menghunjam di dadanya. Karena itu, maka orang itu terpaksa tetap berbaring betapapun jantungnya bagaikan akan meledak.
Sementara itu, Laksana tengah berloncatan memburu seorang lawannya. Sementara lawannya yang seorang lagi telah terbaring diam. Seperti lawan Manggada, maka dadanya telah terkoyak oleh ujung pedang.
Lawannya yang seorang lagi tidak memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri. Meskipun ia masih mencoba melawan untuk melindungi dirinya, tetapi serangan Laksana datang beruntun. Satu putaran pedang Laksana ternyata telah melemparkan senjata lawannya. Gerakan yang dilakukan kemudian adalah satu tusukan yang menghunjam ke perut lawannya itu. Dengan demikian maka kedua lawan Laksana itu telah terbaring diam untuk selama-lamanya.
Laksana yang kehilangan kedua lawannya telah siap untuk melibatkan diri melawan yang lain. Tetapi dalam pada itu, pertempuran itu tiba-tiba telah terhenti ketika terdengar suara pemimpin dari orang-orang yang telah menghentikan orang-orang berkuda itu.
“Letakkan senjata,” teriak orang itu.
Para pengikutnya mengenali suaranya. Sementara itu Manggada berteriak, “Hentikan. Kita akan berbicara.”
Pertempuran itupun berhenti. Dengan ujung pedang di punggung orang itu berkata kepada para pengikutnya, “Biarlah kita menyerah.”
Para pengikutnya termangu-mangu. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang melepaskan senjatanya. Ternyata bahwa dugaan Manggada tidak luput. Orang itu tidak benar-benar ingin menyerah. Dalam kesempatan yang terbuka, tiba-tiba saja ia telah menjatuhkan dirinya. Dengan kakinya ia telah menyerang ke arah perut Manggada sambil berteriak dengan lantang,
“Bunuh semua orang.”
Beberapa orang memang terkejut. Tetapi Manggada yang curiga terhadap sikap pemimpin orang-orang yang mencegatnya itu, telah siap menghadapinya. Karena itu, maka ia dengan tangkasnya telah melenting surut. Kesempatan yang ditunggu itupun datang ketika orang itu dengan cepat melenting berdiri. Pada saat yang tepat Manggada telah meloncat dengan tubuhnya yang miring. Kakinya terjulur lurus menyamping.
Dengan kekuatan penuh kaki Manggada telah menghantam dada lawannya. Demikian kerasnya sehingga lawannya itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Dadanya rasa-rasanya pecah. Nafasnya terhenti mengalir dan matanyapun mulai berkunang-kunang sehingga akhirnya semuanya menjadi gelap.
Para pengikutnya mencoba memanfaatkan kesempatan itu dengan serta-merta. Beberapa orang berhasil mendesak lawannya, bahkan melukai orang-orang berkuda yang kehilangan kewaspadaan. Namun dengan demikian mereka telah membuat orang-orang berkuda itu marah sehingga mereka telah menghentakkan senjata mereka. Bahkan Laksanapun telah menjadi sangat marah pula. Dalam setiap ayunan, maka ia telah melukai seorang lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun kemudian telah berakhir dengan sangat pahit. Beberapa orang telah terbunuh. Tubuh mereka malang melintang bahkan saling bertindih. Beberapa orang berkuda telah pula terluka. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang terbunuh.
Namun dalam pada itu, Manggadalah yang berteriak, “Jangan kalian bunuh orang-orang itu. Kita memerlukan keterangannya.”
Namun pertempuran itu masih berlangsung beberapa saat. Orang-orang berkuda itu tidak dapat dengan serta-merta menghentikan pertempuran karena lawan-lawan mereka masih saja menyerang dengan sengitnya.
Satu demi satu orang-orang itu telah terkulai. Karena itu, maka Manggada merasa perlu untuk mengambil langkah. Dengan tangkasnya ia telah menyambar seorang lawan dengan sisi telapak tangannya yang mengenai punggungnya. Demikian orang itu menggeliat, maka dengan ujung-ujung jarinya yang merapat, Manggada telah menyentuh beberapa tempat di punggung orang itu sehingga orang itupun kehilangan kesadarannya. Dengan cepat Manggada menangkapnya dan membaringkannya di tanah.
Sebenarnyalah korban telah semakin banyak jatuh. Dua orang yang mencoba melarikan diri, justru punggungnya telah tertembus senjata. Sehingga akhirnya orang-orang yang mencegat orang-orang berkuda itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Dengan demikian maka pertempuranpun telah berhenti. Disana-sini tubuh terkapar silang melintang. Darah yang mengalir dari luka telah menyiram bumi yang mulai dibasahi oleh embun.
Manggada dan Laksana berdiri tegak memandang bekas arena pertempuran itu. Sesuatu ternyata telah menggelitik perasaannya. Ternyata mereka telah melakukan pembunuhan-pembunuhan, sementara sebenarnya mereka hanya ingin mendapatkan pengalaman.
“Apakah yang terbunuh itu memang pantas dibunuh?” bertanya anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, pemimpin dari orang-orang berkuda itupun telah mengumpulkan orang-orangnya. Dengan obat-obatan yang ada mereka berusaha untuk mengurangi darah yang mengalir dari luka.
Sementara itu, maka Manggada dan Laksana pun telah melihat orang-orang yang terbaring. Dua orang tawanan yang dibawanya masih belum sadarkan diri. Demikian pula seorang yang telah dibuat pingsan oleh Manggada. Sedangkan di antara orang-orang yang terbujur lintang terdapat orang-orang yang masih hidup, meskipun terluka parah. Termasuk pemimpin dari orang-orang yang mencegat perjalanan orang-orang berkuda itu.
Dua orang itupun kemudian telah diangkat oleh Manggada dan Laksana. Keduanyalah yang telah mengobati kedua orang itu, dengan obat yang dibawanya dari rumah Laksana. Sejenak kemudian, maka orang-orang itu telah berbenah diri. Beberapa orang harus dibawa. Manggada dan Laksana telah menyentuh simpul-simpul syaraf yang mereka tutup sehingga membuat orang-orang itu pingsan, untuk dibuka kembali, sehingga orang-orang itu menjadi sadar.
Demikianlah, Manggada dan Laksana dapat menawan selain kedua orang yang terdahulu, terdapat seorang lagi dan dua orang yang terluka. Sehingga semuanya yang harus dibawa adalah lima orang.
“Bagaimana dengan orang-orang yang terbunuh?” Manggada berdesis.
Pemimpin dari orang-orang berkuda yang telah kehilangan anak gadisnya itupun agak kebingungan. Mereka tidak akan dapat meninggalkan mayat-mayat itu begitu saja.
“Kita beritahukan orang-orang padukuhan sebelah,” berkata Laksana. “Kita minta tolong kepada mereka. Barangkali kita perlu sedikit menakut-nakuti mereka jika mereka tidak bersedia mengubur mayat-mayat itu.”
Manggada termangu-mangu. Sementara pemimpin yang kehilangan anak perempuannya itu berkata, “Kita dapat mencobanya.”
Demikianlah, maka kelima orang tawanan itu telah dibawa oleh orang-orang berkuda itu. Tiga orang di antara mereka terpaksa ikut di belakang salah seorang dari mereka yang berkuda. Dua orang telah ikut bersama dua orang tawanan yang dibawa dari padukuhan. Sedang seorang lagi yang terluka berkuda bersama salah seorang pengikut orang yang kehilangan anak gadisnya itu.
Namun mereka tidak dapat berpacu dengan cepat. Mereka harus mengingat kekuatan kuda-kuda yang membawa beban rangkap. Selain itu, ada di antara orang-orang berkuda itu sendiri yang terluka cukup berat.
Di padukuhan yang kemudian mereka lewati, Manggada memang minta kepada orang-orang yang berada di gardu untuk pergi ke bulak. “Ada beberapa sosok mayat. Kuburkan mereka. Kami mohon pertolongan kalian,” berkata Manggada.
Tetapi pemimpin peronda itu justru menjadi marah. Bahkan membentak, “Siapakah kalian, he? Apakah kalian berhak memerintah kami?”
Ketika Laksana bergeser, Manggada telah menggamitnya. Ialah yang menggerakkan kudanya beberapa langkah maju. Katanya, “Ki Sanak, ada beberapa sosok mayat. Kamilah yang telah membunuh mereka semua. Lihat, beberapa kawan kami juga terluka. Jangan membuat darah kami yang masih panas ini bergejolak lagi. Karena kami akan dapat membunuh kalian semua. Nah, kami tidak akan berbicara lagi. Kami akan pergi. Tetapi jika besok pagi kami kembali dan sosok-sosok mayat itu masih disana, kami akan membunuh orang-orang padukuhan ini, atau kami tidak peduli jika mayat-mayat itu akan dapat menimbulkan penyakit dan barangkali wabah yang tidak terlawan, sehingga orang-orang padukuhan ini akan habis dimakan wabah penyakit itu.”
Pemimpin peronda itu masih akan berbicara. Tetapi Manggada telah memberikan isyarat kepada orang-orang berkuda itu untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi pemimpin peronda itu menjadi semakin marah. Dengan serta-merta ia telah meloncat menangkap kendali kuda Manggada.
Kuda itu terkejut sehingga melonjak berdiri dengan kedua kaki belakangnya, sehingga hampir saja Manggada terjatuh. Untunglah bahwa ia cukup tangkas untuk menguasai kudanya kembali, sehingga kuda itu dapat ditenangkannya.
Tetapi pemimpin peronda itu masih saja marah. Katanya dengan kasar, “Turun kau, anak muda. Kau sangka kau siapa, he?”
Manggada memang turun. Tetapi ia memberikan isyarat kepada yang lain agar mereka tetap berada di punggung kuda. “Kalian tidak mempunyai pilihan,” berkata Manggada, “kecuali jika kalian ingin melihat padukuhan-padukuhan di sekitar bulak itu akan menjadi kuburan raksasa. Kalian tentu tidak akan sempat saling mengubur jika wabah itu berjangkit disini.”
“Justru karena itu, maka kami akan memaksa kalian untuk mengubur mayat-mayat itu,” berkata pemimpin peronda itu.
“Kami tergesa-gesa. Jika kawan-kawan kami itu tidak segera tertolong, maka mereka akan segera mati,” jawab Manggada.
“Aku tidak peduli,” jawab pemimpin peronda itu, sementara beberapa orang kawannya telah berdiri di sebelahnya dengan wajah yang garang.
“Jangan memaksa aku bertindak atas kalian, Ki Sanak,” geram Manggada.
“Persetan. Kamilah yang akan bertindak atas kalian,” berkata pemimpin peronda itu.
Namun belum lagi mulutnya terkatub, tangan Manggada telah mengenai pipinya. Terasa pipi itu bagaikan menyentuh bara api, sehingga panasnya terasa sampai ke ubun-ubun. Dalam pada itu, beberapa orang kawannya mulai bergerak. Tetapi tiga orang sekaligus telah terlempar jauh. Sementara itu sesaat kemudian dua orang lagi terdorong dan jatuh terlentang.
“Kau lihat, aku hanya mempergunakan telapak tanganku. Tetapi jika kalian masih tetap menjadi gila, aku benar-benar akan mempergunakan pedangku. Kalian tidak mati terkena wabah, tetapi kalian akan mati oleh pedangku ini.”
Pemimpin peronda itu terkejut melihat ketangkasan Manggada. Karena itu, maka iapun menjadi termangu-mangu. Apalagi ketika Manggada kemudian menarik pedangnya sambil menggeram,
“Pergi atau aku mulai membunuh sekarang. Atau kau akan memanggil orang-orang padukuhan dengan isyarat? Lakukan. Tetapi mereka semua akan terbunuh sebelum wabah itu menyentuh padukuhanmu.”
Pemimpin peronda itu termangu-mangu. Bahkan ia bagaikan membeku ketika ia melihat Manggada meloncat ke punggung kudanya. Dan kemudian bersama dengan yang lain, meninggalkan mereka. Sejenak kemudian, maka orang-orang berkuda itu telah hilang di dalam kegelapan malam. Namun sementara itu kawan-kawannya yang telah tersentuh tangan Mangga justru mulai bangkit dan mengaduh. Dada mereka rasanya menjadi sesak.
Kawan-kawannyapun segera menolong mereka. Perlahan-lahan mereka dipapah ke gardu dan dibaringkannya perlahan-lahan. Tetapi justru karena mereka berbaring itu, maka dada mereka terasa semakin sesak, sehingga merekapun minta untuk dibantu duduk kembali. Dengan duduk maka pernafasan mereka menjadi agak baik.
Tetapi Manggada memang tidak bersungguh-sungguh. Beberapa saat kemudian, merekapun telah menjadi baik dan seakan-akan tidak berbekas lagi. Tetapi sebenarnyalah bagi para peronda itu, maka orang-orang berkuda itu adalah orang-orang yang berilmu.
Karena itu, maka pemimpin peronda itu segera menghadap Ki Bekel untuk memberikan laporan apa yang telah terjadi. Mereka harus mengubur mayat yang ada di bulak panjang. Tidak hanya sesosok. Mula-mula Ki Bekel pun menjadi marah. Tetapi pemimpin peronda itu telah memberikan laporan pula apa yang telah terjadi dengan para peronda.
“Kami tidak melihat orang itu bergerak. Tetapi kami telah terlempar jatuh dengan dada yang bagaikan tersumbat bukit,” berkata salah seorang di antara anak-anak muda yang sedang meronda, yang telah disentuh tangan Manggada.
Ki Bekel hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, kita harus melakukannya. Menurut keterangan anak muda itu, jika mayat-mayat itu tidak dikuburkan, akan dapat timbul wabah penyakit. Aku sependapat dengan keterangan itu.”
Demikianlah, maka meskipun malam hari, Ki Bekel telah memanggil laki-laki di padukuhan itu terutama anak-anak mudanya untuk pergi ke bulak. Mereka membawa obor di tangan dan senjata apapun juga di lambung. Ki Bekel dan para bebahu menjadi cemas bahwa terjadi sesuatu di bulak itu. Tetapi mereka tidak menemukan sesuatu, selain beberapa sosok mayat sebagaimana dikatakan oleh anak muda di antara orang-orang berkuda itu.
Menilik bekasnya, tentu sudah terjadi pertempuran yang sengit di bulak panjang itu. Tanaman padi di sebelah-menyebelah jalan telah rusak. Gerumbul-gerumbul liar di tanggul parit berserakan dan mayat-mayat yang terbujur lintang memberikan gambaran tentang sebuah pertempuran yang sengit. Apalagi di antara orang-orang berkuda itu terdapat orang-orang yang terluka. Bahkan ada yang parah.
Namun ketika mereka mulai meneliti sosok-sosok tubuh yang terbaring itu, tiba-tiba seorang anak muda berteriak, “Lihat. Orang ini masih hidup.”
Obor di tangan anak muda itupun telah semakin direndahkan untuk mengamati keadaan orang itu.
“Rawat orang itu,” berkata Ki Bekel. “Mungkin kita akan mendapat keterangan dari mulutnya kelak, apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Empat orang di antara mereka telah membawa orang yang masih hidup itu ke padukuhan. Seorang yang dianggap memiliki kemampuan pengobatan telah mengobatinya di banjar.
Anak-anak muda yang membawanya telah berpesan kepada tabib itu, “Tolong, usahakan agar orang itu dapat diselamatkan sesuai dengan rencana Ki Bekel untuk mendengar keterangan dari orang itu, apa yang sebenarnya telah terjadi.”
“Aku hanya dapat berusaha,” jawab tabib itu. “Segala sesuatunya ada di tangan Yang Maha Agung.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang di antara mereka berkata, “Bagaimanapun juga kita harus berusaha.”
Tabib itu mengangguk-angguk. Namun iapun telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengobati orang itu. Tetapi luka orang itu memang cukup parah. Dadanya telah terkoyak oleh pedang, bahkan di pundak dan di pahanya telah terdapat luka pula. Darah ternyata telah terlalu banyak mengalir sehingga orang itu telah menjadi sangat lemah.
Namun tabib itu tidak berputus asa. Tiba-tiba saja iapun telah tertarik untuk mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi di bulak itu, sehingga beberapa orang telah terbunuh karenanya. Setelah orang itu minum obat yang diramu oleh tabib itu, maka keadaannya memang menjadi membaik. Meskipun wajahnya masih pucat, tetapi bibirnya sudah mulai bergerak.
Tetapi tabib itu masih belum mengganggunya. Orang itu masih harus dijaga agar keadaannya tidak menjadi lebih buruk lagi. Ia memerlukan ketenangan lahir dan batin, sehingga kekuatannya tidak akan semakin larut.
Di bulak, beberapa orang masih sibuk. Mereka telah membuat beberapa buah usungan untuk membawa sosok-sosok mayat itu ke kuburan dan kemudian menguburnya di sana. Baru menjelang pagi pekerjaan itu dapat mereka selesaikan. Selebihnya, orang-orang padukuhan itu telah berendam di sungai untuk menghilangkan kotoran yang telah melekat di tubuh mereka. Mungkin dari mayat-mayat yang mereka bawa ke kuburan, tetapi juga mungkin oleh tanah di kuburan itu.
Sementara itu, sekelompok orang-orang berkuda yang membawa lima orang tawanan serta dua orang anak muda yang telah membantu mereka, masih meneruskan perjalanan mereka dengan letih.
Namun pemimpin orang-orang berkuda itu kemudian berkata, “Masih satu jangkauan lagi. Sebelum fajar kita tentu sudah sampai disana.”
“Sampai dimana?” bertanya Manggada.
“Padukuhan kami. Orang-orang padukuhan kami telah menunggu dengan penuh harapan. Di antara mereka adalah orang-orang yang pernah kehilangan anak gadisnya sebagaimana aku sendiri. Bahkan satu dua orang dari padukuhan dan kademangan tetangga ternyata ada juga yang pernah kehilangan anak gadis mereka,” berkata pemimpin rombongan itu.
Manggada mengangguk-angguk. Ia sudah mulai membayangkan bahwa bersama dengan orang-orang berkuda itu, maka akan dihadapinya wajah-wajah yang murung oleh kepedihan perasaan namun juga nyala dendam di sorot mata mereka.
Sebenarnyalah, perjalanan yang lamban itu akhirnya mendekati satu padukuhan yang telah bergejolak itu. Dua tiga padukuhan yang terakhir mereka lampaui ternyata telah tidak mengalami persoalan lagi. Orang-orang yang meronda telah banyak yang mengenal orang-orang berkuda itu. Bahkan beberapa orang telah sempat mempertanyakan apa yang telah terjadi.
Tetapi orang-orang berkuda itu tidak mempunyai waktu banyak, sehingga pemimpinnya itu menjawab singkat, “Ki Sanak, besok aku akan berceritera panjang lebar. Sekarang aku tergesa-gesa, karena ada di antara kawan-kawanku yang terluka.”
Nampaknya orang-orang itu dapat mengerti, sehingga mereka tidak menahannya lebih lama lagi dengan beribu macam pertanyaan. Sebelum fajar, orang-orang berkuda itu telah memasuki padukuhannya.
Seperti yang diduga oleh Manggada, maka di halaman banjar terdapat banyak orang yang menunggu di samping mereka yang berada di gardu-gardu. Kedatangan orang-orang berkuda itu seakan-akan telah memanggil semua orang padukuhan itu untuk berkumpul.
Pemimpin padukuhan itu memang menjadi berdebar-debar. Karena itu, sebelum terjadi sesuatu, maka beberapa orang kawannya telah diperintahkannya untuk memasukkan kelima orang tawanan mereka ke dalam banjar.
Jika orang-orang padukuhan itu langsung melihat kelima orang itu, pemimpin orang-orang berkuda itu ragu-ragu, apakah mereka dapat ditahan untuk tidak berbuat sesuatu. Orang-orang yang menjadi tawanan itupun ternyata menjadi ketakutan pula. Jika mereka diserahkan kepada orang-orang padukuhan itu, maka keadaan mereka tentu akan sangat pahit.
Orang-orang padukuhan yang marah itu tentu akan memperlakukan mereka dengan kasar dan semena-mena. Mereka tentu akan membunuh tanpa dapat dikendalikan lagi menurut cara yang tidak sewajarnya. Namun orang-orang yang tertawan itu masih mengharapkan bahwa orang-orang yang menangkapnya itu melindungi mereka.
Sebenarnyalah bahwa mereka sama sekali tidak takut mati. Yang membuat kulit mereka meremang adalah cara mati itu. Jika ujung pedang dihunjamkan ke dada mereka sampai tembus ke jantung, tentu akan jauh lebih baik daripada jika mereka dipukuli beramai-ramai di halaman banjar itu dengan tangan terikat, sampai pada satu saat mereka mati terkapar dengan tubuh yang remuk.
Jantung para tawanan itu memang terasa berdebar lebih cepat ketika mereka mendengar orang-orang di luar banjar itu berteriak-teriak, “Serahkan mereka kepada kami. Mereka telah mengambil gadis-gadis kami.”
Pemimpin dari orang-orang berkuda, serta para pemimpin padukuhan itu telah berusaha untuk menenangkan orang-orang padukuhan yang marah. Dengan lantang Ki Bekel berkata, “Kita menunggu Ki Demang. Kita tidak dapat berbuat menurut kehendak kita sendiri.”
“Mereka telah mengambil anak-anak gadis kami,” teriak yang pernah kehilangan anak gadisnya. “Tidak ada yang pantas dilakukan atas mereka kecuali dihukum mati.”
“Segala sesuatunya kita serahkan kepada Ki Demang nanti,” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda yang telah berhasil menangkap beberapa orang itu.
“Buat apa kita berlama-lama menunggu. Semakin cepat semakin baik,” berkata seseorang di antara orang banyak itu.
“Tidak,” Ki Bekel dari padukuhan itulah yang kemudian berdiri di hadapan rakyatnya itu. “Kita memerlukan petunjuk untuk menolong anak-anak kita. Jika orang-orang itu dibunuh, maka kita akan kehilangan jejak. Kita tidak akan dapat menemukan anak-anak kita yang hilang.”
“Anak-anak kita tentu sudah mereka bunuh pula. Karena itu, serahkan mereka kepada kami. Kita tidak memerlukan mereka lagi,” teriak seorang yang berdiri di dekat pohon sawo kecik.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya udara menjadi panas, meskipun matahari belum terbit. Di sana-sini terdengar teriak-teriakan. Tetapi Ki Bekel kemudian berkata,
“Saudara-saudaraku, baiklah, sekarang aku persilahkan kalian memilih. Kalian ingin sekedar menuruti gejolak perasaan kalian dengan membunuh orang-orang itu, atau mencari kemungkinan yang lebih baik buat anak-anak kita yang pernah hilang. Atau kita memang sudah menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, sekedar mendapat kepuasan tanpa mengingat anak-anak kita. Jika memang kalian sekedar dibakar oleh nafsu untuk membunuh, silahkan. Tetapi anak-anak kalian akan tetap meratapi nasibnya di sepanjang hidupnya. Mereka akan hidup dalam kesia-siaan. Mereka akan tetap berada di tangan-tangan orang yang kasar dan bahkan buas dan liar. Sementara itu kalian disini dengan bengisnya membunuh orang-orang yang seharusnya akan dapat kita pergunakan untuk mencari jejak.”
Orang-orang yang berada di halaman banjar itu mulai berpikir. Sementara itu Ki Bekel berkata selanjutnya, “Nah, sekarang kalian boleh memilih. Orang-orang yang tidak pernah kehilangan anak gadisnyalah yang tentu lebih bergairah untuk membunuh sekarang, karena mereka memang tidak memerlukan orang-orang itu. Tetapi apakah itu mencerminkan watak kita? Apakah itu yang selama ini kita banggakan bahwa kita memiliki keluhuran budi?”
Orang-orang yang berada di halaman mulai menundukkan kepalanya. Agaknya mereka menyadari apa yang telah mereka lakukan itu hanya sekedar dibakar oleh dendam yang tidak didasari pada penalaran yang matang.
Ki Bekel yang melihat bahwa orang-orang di halaman banjar itu dapat mendengarkan kata-katanya telah berkata selanjutnya, “Marilah kita dengan tenang menunggu Ki Demang. Kita memerlukan cara yang paling baik untuk menemukan anak-anak kita kembali.”
Pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda yang mendapat tugas untuk mencari jejak itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Bekel masih berkata, “Nah, marilah kita berterima kasih kepada saudara-saudara kita yang telah menyediakan dirinya mencari jejak. Terutama kepada Ki Wiradadi. Bukan saja karena anak Ki Wiradadi juga hilang. Tetapi Ki Wiradadi telah bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri.”
Orang-orang di halaman banjar itu mengangguk-angguk. Ki Wiradadi, yang memimpin sekelompok orang-orang berkuda itu adalah seorang yang paling disegani di kademangan itu. Ia memiliki ilmu kanuragan serta berpikiran terang. Karena itu sejak semula ia memang menjadi tumpuan harapan dari orang-orang yang telah kehilangan anak gadisnya. Apalagi ketika tiba-tiba saja anak gadis Ki Wiradadi itu sendiri hilang.
Namun agaknya hilangnya anak gadis Ki Wiradadi itu merupakan pendorong baginya untuk langsung menangani persoalan itu bersama beberapa orang terpilih di antara orang-orang yang memiliki keberanian di kademangan itu. Namun yang juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
“Saudara-saudaraku,” berkata Ki Bekel kemudian, “marilah kita membuat suasana pagi ini menjadi lebih dingin agar kita mempunyai kesempatan lebih luas untuk merenung dan membuat perhitungan selanjutnya. Lebih-lebih lagi jika Ki Demang nanti sudah datang.”
Orang-orang yang berada di halaman itu nampaknya mulai mengerti. Meskipun ada juga satu dua orang yang masih merasa sangat geram terhadap orang-orang yang telah menculik gadis-gadis itu. Tetapi mereka mengerti bahwa orang-orang itu ternyata dibutuhkan untuk menelusuri jejak hilangnya gadis-gadis padukuhan mereka.
Karena itu, maka sebagaimana diminta oleh Ki Bekel, orang-orang di halaman banjar itu memang menjadi tenang. Mereka tidak berteriak-teriak lagi menuntut orang-orang yang tertawan itu dibunuh.
Sejenak kemudian, maka Ki Demang ternyata telah datang diiringi oleh beberapa orang bebahu. Ketika mereka memasuki halaman banjar, maka orang-orang yang masih berada di halaman itupun mulai saling bertanya-tanya. Apakah yang akan diperbuat oleh Ki Demang atas orang-orang itu. Namun merekapun sudah memperkirakan bahwa Ki Demang akan membawa orang-orang itu ke kademangan dan memeras keterangan mereka tentang gadis-gadis yang telah hilang itu.
Tetapi ternyata Ki Demang tidak dengan tergesa-gesa membawa mereka. Ki Demang ternyata memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Ia harus segera mendapat keterangan tentang gadis-gadis yang hilang itu, sehingga memungkinkan mereka untuk menelusuri jejaknya.
Karena itu, maka Ki Demang pun kemudian telah menemui orang-orang yang tertawan itu bersama tiga orang yang tidak termasuk bebahu kademangan itu. Mereka adalah orang-orang yang datang ke Kademangan itu dua tiga hari sebelumnya.
“Siapakah mereka?” bertanya Ki Bekel kepada Ki Jagabaya.
“Tiga orang petugas sandi dari Pajang,” jawab Ki Jagabaya.
“Dari Pajang?” bertanya Ki Bekel.
“Ya. Ki Demang telah melaporkan tentang beberapa orang gadis yang hilang. Ternyata Pajang cepat tanggap dan mengirimkan tiga orang petugas sandi. Namun nampaknya dari padukuhan ini telah lebih dahulu berhasil mencium sekelompok orang yang menculik gadis-gadis itu,” jawab Ki Jagabaya.
“Hasil kerja Ki Wiradadi, beberapa kawan dan barangkali saudara seperguruan Ki Wiradadi telah membantunya, di samping beberapa orang pilihan dan memiliki keberanian dari kademangan ini. Justru mendahului kebijaksanaan Ki Demang,” jawab Ki Bekel.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Bekelpun berkata, “Dua orang anak muda yang sebelumnya tidak kami kenal telah membantu kami menangkap orang-orang itu.”
“Siapakah mereka?” bertanya Ki Jagabaya.
“Yang duduk di sebelah Ki Wiradadi.”
Sejenak kemudian agaknya Ki Demang telah mulai dengan penyelidikannya. Orang-orang yang berada di dalam banjar itu telah diperintahkannya keluar kecuali beberapa orang yang berkepentingan, termasuk Ki Wiradadi dan Ki Jagabaya.
Ketika Ki Demang melihat Manggada dan Laksana masih berada di dalam banjar itu, maka iapun berkata, “Anak-anak muda, bukan saatnya kalian bermain di banjar dalam suasana seperti ini. Keluarlah. Kami mempunyai banyak persoalan yang harus kami selesaikan dalam waktu yang sangat singkat.”
Tetapi yang menjawab adalah Ki Wiradadi, “Keduanya adalah anak-anak muda yang telah membantu kami menangkap orang-orang ini, Ki Demang. Tanpa kedua anak muda itu, kami tidak akan berhasil.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi mereka tidak banyak berkepentingan.”
“Aku mohon mereka diperkenankan mendengarkannya,” minta Ki Wiradadi.
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Jika kalian menganggap kehadirannya tidak mengganggu.”
“Mereka akan dapat membantu kita, Ki Demang,” jawab Ki Wiradadi.
Demikianlah, maka sesaat kemudian Ki Demang sudah mulai memanggil dua orang yang telah ditangkap pertama kali. Dengan nada keras Ki Demang bertanya, dimana gadis-gadis yang telah mereka ambil itu disembunyikan.
“Aku tidak pernah tahu tentang hal itu, Ki Demang,” jawab salah seorang dari mereka.
Namun salah seorang petugas sandi dari Pajang itu tersenyum. Katanya, “Jawaban yang tentu akan kau ucapkan. Sejak sebelum pertanyaan Ki Demang itu dilontarkan, kami sudah tahu, bahwa jawaban kalian tentu demikian. Tidak mengerti atau kurang tahu atau jawaban-jawaban dalam nada seperti itu.”
“Aku benar-benar tidak tahu, Ki Demang,” orang itu mulai berkeringat...”
Selanjutnya, Menjenguk Cakrawala Bagian 05 |