MANGGADA mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, ketika mereka bertemu dua orang petani yang pulang dari sawahnya, ternyata mereka telah mendapat peringatan serupa dengan pesan kakek tua itu. Nampaknya orang-orang kademangan itu termasuk orang-orang yang tidak ingin melihat orang lain mengalami kesulitan di tujuan mereka.
Tetapi seperti kepada kakek tua itu, Ki Wiradadi menjawab, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami akan berhati-hati.”
Demikianlah, ketiga orang itu telah meneruskan perjalanan mereka. Sejenak kemudian mereka telah meninggalkan kademangan yang satu, memasuki kademangan yang lain. Kademangan itu masih merupakan kademangan yang tidak jauh berbeda dengan kademangan sebelumnya, meskipun pengaruh dari kehidupan yang aneh di kademangan berikutnya sudah mulai terasa.
Di bulak-bulak panjang, mereka memang masih bertemu dengan beberapa orang petani. Bahkan satu dua masih bertanya dengan wajar dan bahkan sempat memberi peringatan pula. Namun semakin jauh mereka memasuki kademangan itu, maka terasa tanggapan orang-orangnya agak berbeda.
“Pengaruh kehidupan di kademangan sebelah mulai terasa,” berkata Ki Wiradadi.
Sebenarnyalah ketika mereka bertiga berjalan di sebuah padukuhan, maka orang-orang padukuhan itu memandangi mereka dengan curiga. Tidak seperti padukuhan-padukuhan sebelumnya, apalagi di kademangan sebelah, kademangan yang baru saja mereka lewati. Meskipun penghuninya kadang-kadang memang bersikap acuh dan yang lain memperhatikan dengan cara yang berlebih-lebihan, namun tidak dengan penuh kecurigaan.
Beberapa orang dengan serta-merta telah berloncatan memasuki pintu-pintu regol halaman. Namun terasa oleh ketiga orang yang lewat itu, bahwa mereka sedang mengintip dari balik pintu regol.
Semakin jauh mereka memasuki kademangan itu, maka kecurigaan itu terasa menjadi semakin besar, sehingga akhirnya mereka melintasi satu batas antara dua kademangan yang ditandai dengan sebuah tugu baru. Tugu baru yang dipasang di pinggir sebuah sungai kecil yang menjadi batas antara kedua kademangan itu.
“Kita memasuki sebuah kademangan yang aneh,” berkata Ki Wiradadi. “Karena itu kita harus berhati-hati.”
“Ya,” jawab Manggada. “Justru lewat tengah hari.”
“Apakah kita akan langsung memasuki Hutan Jatimalang hari ini juga?” bertanya Laksana.
“Aku kira tidak mungkin,” sahut Ki Wiradadi. “Jika kita langsung memasuki Hutan Jatimalang, maka kita akan memasukinya menjelang malam. Kita akan banyak mengalami kesulitan karena kita belum mengenal lingkungan itu.”
“Jadi kita harus bermalam di luar hutan itu. Besok pagi-pagi kita baru memasukinya,” berkata Manggada.
“Ya. Kita bermalam di luar hutan itu,” desis Ki Wiradadi. Lalu, “Bukankah tidak ada persoalan?”
“Tidak,” jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Kita memang dapat bermalam dimana-mana.”
Demikianlah, ketiga orang itupun kemudian telah berjalan memasuki lingkungan yang memang terasa aneh. Seorang petani yang bekerja di kejauhan, tiba-tiba saja telah bergeser ke balik gerumbul atau tanaman atau apapun yang dapat dipakai untuk membayangi dirinya dari penglihatan orang-orang yang sedang lewat itu.
Namun dengan demikian, maka ketiga orang itu justru ingin melewati padukuhan. Apakah yang kira-kira akan diperbuat oleh orang-orang padukuhan itu.
“Kita tidak usah mengambil jalan simpang,” berkata Ki Wiradadi. “Lewat jalan ini kita tentu akan sampai juga di sebuah padukuhan. Namun kita memang harus berhati-hati.”
“Di padukuhan yang terakhir, kita akan minta ijin untuk tidur di banjar. Sudah tentu di padukuhan itu tidak ada penginapan.”
“Tetapi kita akan sampai di padukuhan terakhir sebelum matahari mendekati punggung bukit. Masih terlalu siang untuk minta menumpang bermalam,” sahut Manggada.
“Kita berhenti di bulak panjang di seberang padukuhan itu. Atau bulak sebelum padukuhan terakhir sehingga senja. Baru kita memasuki padukuhan itu untuk minta kesempatan menginap di banjar,” berkata Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Akal yang baik. Tetapi seandainya kita harus bermalam dimanapun, kita tidak akan mengalami kesulitan. Kita sudah membiasakan diri tidur di bawah selimut langit.”
Laksana mengangguk-angguk. Namun sambil tersenyum ia berkata, “Kita memang dapat tidur dimana saja. Tetapi jika aku boleh memilih tidur di bawah sebatang randu alas dan tidur di banjar padukuhan, aku masih juga memilih tidur di banjar padukuhan betapapun anehnya padukuhan itu.”
“Jika tidak boleh memilih?” bertanya Manggada.
“Apa boleh buat,” jawab Laksana.
Manggadapun tersenyum pula. Katanya, “lebih baik kita tidak memilih. Dimanapun kita harus tidur, maka kita akan tidur.”
Laksana tidak menjawab, meskipun ia tersenyum juga.
Sejenak kemudian, maka Manggadapun berdesis, “Kita akan memasuki sebuah padukuhan.”
Ketiga orang itupun kemudian telah bersiap-siap untuk memasuki sebuah padukuhan. Mereka menyadari, bahwa mereka akan memasuki daerah yang penuh dengan perasaan curiga, prasangka dan dugaan-dugaan yang tidak sewajarnya, sebagaimana dikatakan oleh petani tua suami istri itu, serta beberapa orang yang lain. Sesuai pula dengan cerita orang-orang yang telah mereka tawan.
Sebenarnyalah bahwa ketika mereka sampai ke regol padukuhan, maka rasa-rasanya suasana itu telah mereka temui. Dua orang anak yang sedang bermain-main di dekat regol, segera berlari masuk ke dalam padukuhan. Manggada dan Laksana hanya berpandangan sejenak. Namun keduanya tidak mengatakan sesuatu. Sementara Ki Wiradadi berjalan di paling depan.
Beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki padukuhan itu. Seperti yang telah mereka perhitungkan sebelumnya, maka orang-orang padukuhan itupun telah masuk ke halaman dan menutup pintu regol. Tetapi tidak terlalu rapat, beberapa orang telah mengintip dari balik pintu regol itu. Demikian ketiga orang itu lewat, maka beberapa orang telah turun lagi ke jalan memperhatikan ketiga orang yang berjalan menjauhi mereka itu.
Manggada dan Laksana memang menjadi jengkel. Tetapi Ki Wiradadipun berkata, “Kita harus dapat menjaga diri dan mengekang diri. Mungkin mereka tidak berbuat sesuatu. Mereka mencurigai setiap orang yang memasuki padukuhannya justru karena ketakutan.”
“Memang mungkin,” berkata Manggada. “Jika kita dapat menunjukkan kepada mereka, bahwa kita tidak akan berbuat sesuatu yang dapat merugikan mereka, maka aku kira mereka tidak akan bersembunyi lagi selagi kita lewat.”
“Apa yang dapat kita lakukan?” berkata Laksana. “Membagi uang atau berbuat apa saja?”
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang sulit. Tetapi kita dapat mencoba menemui bekel dari padukuhan ini. Kita akan berbicara dengan mereka. Mungkin Ki Bekel mempunyai pandangan yang lebih luas dari para penghuni yang lain.”
“Tetapi kepada siapa kita bertanya tentang rumah Ki Bekel?” desis Laksana.
Ki Wiradadi yang mendengar percakapan ini kemudian menyahut, “Kita akan berjalan terus lewat jalan induk padukuhan ini. Biasanya rumah seorang pemimpin padukuhan itu terletak di jalur jalan induk.”
“Tidak selalu,” berkata Manggada.
“Memang tidak selalu. Tetapi kebanyakan,” jawab Ki Wiradadi.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Kebanyakan rumah seorang bekel memang terletak di tepi jalan induk. Demikian pula banjar padukuhan biasanya memang terletak di pinggir jalan induk pula. Beberapa lama mereka berjalan, maka mereka menjadi semakin dalam memasuki padukuhan itu. Namun mereka belum melihat rumah yang pantas disebut rumah seorang bekel.
Namun akhirnya mereka sampai ke sebuah rumah yang mempunyai pekarangan yang luas. Dinding halamannya nampak lebih rapi dan regol halamannyapun lebih bersih.
“Kita akan singgah di rumah ini, siapapun yang memilikinya,” berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana sependapat. Karena itu, maka merekapun berhenti di depan regol halaman rumah itu, meskipun hati mereka menjadi berdebar-debar.
Perlahan-lahan Ki Wiradadi mendorong pintu regol halaman yang ternyata tidak diselarak. Ternyata halaman rumah itu nampak sepi. Namun ketajaman penglihatan ketiganya sempat melihat dua orang yang justru menghilang di saat pintu regol halaman terbuka.
“Berhati-hatilah,” desis Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksanapun kemudian berjalan di sebelah-menyebelah, Ki Wiradadi agak di belakang. Dengan tajam mereka mengamati sudut-sudut halaman rumah itu. Namun agaknya halaman rumah itu memang sepi.
Ki Wiradadi bersama kedua orang anak muda itu telah berhenti di muka pendapa rumah yang lebih besar dari rumah-rumah yang lain itu, yang mereka sangka adalah rumah Ki Bekel di padukuhan itu. Karena tidak seorangpun yang menerima mereka, maka, Ki Wiradadipun mulai memberikan salam. Tetapi tidak ada yang menjawab.
Laksana yang menjadi jengkel kemudian berkata, “Apakah kita harus mengetuk pintu pringgitan atau memukul kentongan?”
Ki Wiradadi memang juga menjadi bingung. Tetapi mereka yakin bahwa penghuni rumah itu telah melihat kehadiran mereka. Karena itu, maka Ki Wiradadipun telah mendekati kentongan yang tergantung di sudut pendapa. Mengambil pemukulnya yang terselip di lubang kentongan itu.
“Aku tidak peduli,” desis Ki Wiradadi.
Iapun kemudian telah memukul kentongan itu dalam irama yang datar. Namun tidak terlalu keras. Sekali ia memukul kentongan itu, ternyata tidak ada tanggapan apapun juga. Namun Ki Wiradadi tidak mau berhenti. Ia telah memukul berulang kali. Semakin lama semakin keras.
Namun akhirnya Ki Wiradadi berhenti memukul. Ia menyadari bahwa meskipun dengan sembunyi-sembunyi, namun beberapa orang telah bertebaran di halaman rumah yang nampaknya sepi itu. Ternyata Manggada dan Laksanapun melihat pula beberapa sosok bayangan yang bergerak-gerak.
Ki Wiradadi yang sudah tidak memukul kentongan itu lagi, telah bersama-sama dengan Manggada dan Laksana berdiri di tengah-tengah halaman. Mereka tinggal menunggu orang-orang yang bersembunyi di balik tanaman, di belakang seketheng dan di sisi bangunan induk rumah yang cukup besar itu.
Ternyata beberapa saat kemudian, pintu pringgitan rumah itu terbuka. Beberapa orang keluar dari pintu pringgitan itu. Seorang berumur separo baya diiringi tiga orang bertubuh tinggi kekar. Dua di antaranya berkumis tebal, sedangkan yang seorang lagi agak lebih muda dari yang lain. Tidak berkumis. Wajahnya nampak bersih. Namun sorot matanya yang tajam, serta pandangannya yang mencengkam, menunjukkan betapa keras watak orang itu.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana berdiri termangu-mangu di halaman. Memang terasa betapa kecurigaan mencengkam orang-orang yang ada di halaman rumah itu, sebagaimana orang-orang seisi padukuhan itu.
Orang yang dikawal oleh tiga orang bertubuh tinggi tegap itupun kemudian berdiri di bibir pendapa. Dipandanginya Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda yang menyertainya. Tanpa basa-basi orang itu bertanya, “Apa maksud kalian memasuki halaman rumahku, Ki Sanak?”
Ki Wiradadi maju selangkah. Kemudian iapun menjawab, “Kami adalah pemburu-pemburu yang belum pernah memasuki Hutan Jatimalang. Beberapa orang petani yang aku jumpai di sawah memberitahukan kepada kami, bahwa Hutan Jatimalang adalah hutan yang banyak menyimpan binatang buruan, sehingga jika kami memasuki hutan itu, maka kami tentu akan berhasil dengan baik. Kami akan mendapat banyak binatang buruan yang dapat kami ambil kulitnya dan dijual ke kota atau ditukar dengan barang-barang lain yang mahal harganya.”
“Omong kosong,” geram orang itu tiba-tiba. “Siapa yang mengatakannya?”
“Aku belum mengenalnya. Aku hanya bertemu dengan mereka di sawah. Tiga orang telah memberikan keterangan yang sama kepadaku,” berkata Ki Wiradadi.
“Bohong,” berkata orang itu. Lalu katanya, “Hutan itu memang menyimpan binatang buas yang banyak. Tetapi juga binatang berbisa. Bahkan aku menganjurkan kepada Ki Sanak untuk tidak berburu di Hutan Jatimalang.”
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun kemudian ia telah bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Supaya aku tidak keliru menanggapi pendapat Ki Sanak, siapakah Ki Sanak ini?”
“Aku jagabaya dari kademangan ini,” jawab orang itu.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata kami salah duga.”
“Apa yang salah?” bertanya orang yang ternyata Ki Jagabaya itu.
“Aku kira aku berhadapan dengan Ki Bekel padukuhan ini,” jawab Ki Wiradadi.
“Rumah Ki Bekel ada di sebelah, selang tiga rumah dari rumah ini,” jawab Ki Jagabaya.
“Jadi, bagaimana pendapat Ki Jagabaya tentang hutan itu?” bertanya Ki Wiradadi kemudian.
“Pergilah ke tempat lain,” berkata Ki Jagabaya.
“Aku adalah pemburu yang telah menjelajahi hutan dan pegunungan Rasa-rasanya kami telah didorong oleh satu keinginan yang sulit dicegah untuk memasuki Hutan Jatimalang yang menurut pendengaran kami terdapat banyak binatang buasnya. Kami adalah pemburu yang telah mendapat pesanan berbagai macam kulit binatang buas itu,” berkata Ki Wiradadi.
Tetapi Ki Jagabaya itu berkata, “Ki Sanak akan mendapat banyak kesulitan. Sebaiknya Ki Sanak mengurungkan niat kalian untuk memasuki Hutan Jatimalang, dan secepatnya meninggalkan padukuhan ini.”
“Kenapa?” bertanya Ki Wiradadi.
“Sudah aku katakan, di hutan itu terdapat banyak sekali binatang berbisa yang tidak dapat kalian lawan dengan busur dan anak panah. Ular, laba-laba biru, kumbang bercincin perak, bahkan beberapa jenis tumbuh-tumbuhan berbisa akan dapat membunuh Ki Sanak bertiga. Laba-laba biru dan kumbang bercincin perak biasanya tidak kalah tajam dari ular bandotan yang berkeliaran di setiap jengkal tanah. Sedangkan di rawa-rawa, di samping ular air yang tidak kalah tajam bisanya, terdapat buaya-buaya dari dua jenis. Di rawa-rawa yang dangkal, terdapat buaya-buaya kerdil tetapi rakusnya melampaui ulat, liar dan sangat buas. Sedangkan di rawa-rawa yang dalam, terdapat buaya-buaya raksasa yang tidak terlawan,” berkata Ki Jagabaya.
Tetapi adalah di luar dugaan Ki Jagabaya, Ki Wiradadi justru berkata dengan wajah cerah, “Menarik sekali. Buaya-buaya kerdil adalah jenis binatang langka yang justru dicari. Kulitnya akan dapat menjadi perhiasan yang sangat mahal. Sedangkan buaya-buaya raksasapun akan sangat laku di kota-kota besar. Kulit buaya yang tidak cacat akan dapat ditukar dengan seekor kuda yang tegar, jika kita dapat mengolahnya dan berhasil baik.”
Wajah Ki Jagabaya menjadi tegang. Katanya, “Kalian sudah disesatkan oleh ketamakan kalian mendapatkan uang yang banyak atas hasil buruan kalian. Betapapun banyaknya bahan yang ada dalam hutan itu untuk kalian jadikan uang, tetapi jika kalian tidak dapat keluar lagi dari hutan itu, maka semuanya tidak akan berarti apa-apa.”
Tetapi Ki Wiradadi tertawa. Katanya, “Sudah lebih dari duapuluh tahun aku berkeliaran di segala jenis hutan. Kedua orang anakku ini, meskipun masih sangat muda, tetapi juga sudah berpengalaman antara lain dua dan tiga tahun.”
“Jika kalian tidak ingin mendengar pendapatku, kenapa kalian singgah di rumahku? Untuk apa?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kami sekedar ingin memberitahukan kehadiran kami,” jawab Ki Wiradadi, “agar yang bertanggung jawab atas padukuhan ini mengetahui, bahwa kami bertiga datang untuk berburu ke hutan yang barangkali termasuk lingkungannya. Karena aku mengira bahwa rumah ini adalah rumah Ki Bekel, maka aku telah masuk. Namun agaknya akupun tidak keliru, karena rumah ini ternyata justru rumah Ki Jagabaya bukan saja dari padukuhan ini, tetapi dari kademangan ini.”
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ada sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya.
Sementara itu Ki Wiradadi berkata selanjutnya, “Ki Jagabaya, aku mengucapkan terima kasih atas peringatan yang telah Ki Jagabaya berikan. Tetapi sayang, bahwa kami benar-benar berniat untuk pergi ke hutan itu.”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Naiklah. Duduklah. Mungkin Ki Sanak memerlukan penjelasan lebih banyak.”
Ki Wiradadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian bertiga, bersama Manggada dan Laksana, maka iapun telah naik ke pendapa dan duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih.
“Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “apakah aku harus memberikan lebih banyak keterangan untuk mencegah kalian memasuki hutan itu?”
Ki Wiradadi yang kemudian nampak menjadi bersungguh-sungguh. Katanya, “Ki Jagabaya, sebenarnyalah sejak aku memasuki padukuhan ini, terasa satu suasana yang lain. Bahkan di beberapa padukuhan sebelumnyapun hal itu mulai terasa. Di kademangan sebelah, suasana seperti itu masih belum nampak, kecuali di satu dua padukuhan terakhir. Keadaan itu sangat menarik perhatianku. Aku belum pernah menjumpai padukuhan yang dicengkam suasana seperti ini, seakan-akan diselimuti oleh kabut yang muram. Orang-orang padukuhan ini, dan beberapa padukuhan sebelumnya, rasa-rasanya tidak ingin berhubungan dengan orang-orang yang datang dari luar padukuhannya.”
“Itu hanya perasaan Ki Sanak saja,” berkata Ki Jagabaya. “Tidak ada perasaan semacam itu di padukuhan ini. Penduduk padukuhan ini, termasuk padukuhan-padukuhan lain di kademangan ini adalah penduduk yang ramah.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Ki Jagabaya, apakah tanggapanku salah? Bahkan di halaman inipun telah terjadi suasana seperti di seluruh padukuhan. Penuh kecurigaan dan kecemasan. Di tempat lain, atau katakanlah pada umumnya, jika diketahui ada tamu yang datang, maka biasanya tamu itu akan disambut baik, meskipun seandainya timbul persoalan. Apalagi mereka yang belum dikenal, akan segera ditemui dan dipersilahkan duduk. Tetapi di rumah ini yang aku jumpai ternyata lain. Isi rumah ini sudah tahu bahwa ada tamu yang memasuki regol halaman. Tetapi justru penghuni rumah ini seakan-akan bersembunyi. Baru kemudian, setelah aku memukul kentongan, Ki Jagabaya datang menyambut kami.”
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku mempunyai banyak pekerjaan, Ki Sanak. Aku tidak dapat menerima setiap tamuku, apalagi yang belum aku kenal.”
“Siapapun dapat menerima kami, Ki Jagabaya. Tetapi penghuni rumah ini seakan-akan justru telah bersembunyi. Satu penerimaan yang tidak wajar,” berkata Ki Wiradadi. “Bukan maksud kami mencela sikap ini Ki Jagabaya. Mungkin sikap itu adalah sikap kebanyakan penghuni padukuhan ini, tetapi kami kurang mengerti kenapa Ki Jagabaya bersikap seperti itu, sebagaimana sikap padukuhan ini terhadap orang yang datang dari luar,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Karena Ki Jagabaya masih tetap diam, Ki Wiradadi berkata selanjutnya, “Ki Jagabaya, sebenarnyalah aku akan memasuki Hutan Jatimalang. Aku sudah mempersiapkan alat-alat berburu yang paling baik yang aku miliki. Aku memang harus berterima kasih kepada Ki Jagabaya yang telah memperingatkan kami. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, kami adalah pemburu yang berpengalaman menjelajahi hutan. Menghadapi binatang buas dan binatang berbisa apapun juga. Ki Jagabaya, kami mempunyai sejenis minyak yang dapat kami usapkan di kulit kami, sehingga binatang berbisa jenis apapun tidak akan menggigit atau menyengat kami.”
Tiba-tiba saja Ki Jagabaya menggeram. Sesuatu agaknya telah bergejolak di dalam hatinya. Pada saat ia tidak dapat lagi menahan diri, maka iapun berkata menghentak-hentak, “Bukan hanya binatang buas dan binatang berbisa.”
Ki Wiradadi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jika bukan sekedar binatang jenis apapun, lalu apa?”
Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Sorot matanya memancarkan gejolak di dalam dadanya. Namun kemudian kepalanya menunduk dalam-dalam. Ketiga orang yang mengawalnya itupun termangu-mangu. Namun nampaknya merekapun menjadi gelisah.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana termangu-mangu pula untuk beberapa saat. Mereka merasakan betapa sesuatu tengah bergejolak di hati Ki Jagabaya itu. Namun Ki Wiradadi yang berpengalaman, tidak tergesa-gesa mendesaknya. Ia menunggu, sehingga Ki Jagabaya sempat mengendapkan perasaannya itu.
Baru kemudian Ki Jagabaya berkata, “Ki Sanak, aku tidak dapat membantah lagi, bahwa apa yang Ki Sanak katakan semuanya memang benar. Orang-orang padukuhan ini, dan bahkan setiap keluarga, termasuk keluargaku, selalu mencurigai orang lain yang datang memasuki padukuhan ini, karena selama ini kami telah mengalami satu tekanan yang sangat berat yang sampai saat ini belum teratasi.”
“Apa yang telah terjadi, Ki Sanak?” bertanya Ki Wiradadi.
“Itu adalah persoalan kami. Kami tidak perlu memberitahukan kepada orang lain karena hal itu hanya akan menjadi bencana saja bagi kademangan ini,” jawab Ki Jagabaya.
“Bukan maksud kami menumbuhkan kesulitan yang semakin besar di kademangan ini. Namun jika Ki Jagabaya dapat memberitahukan persoalannya, maka agaknya kami akan dapat menempatkan diri kami. Karena sebenarnyalah bahwa kami semula memang tidak mempunyai kepentingan apapun dengan kademangan ini, selain sekedar lewat dalam perjalanan kami menuju ke Hutan Jatimalang,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya termangu-mangu. Di luar sadarnya ia berpaling kepada ketiga orang pengawalnya. Namun ketiga orang pengawalnya itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka sama sekali tidak mengerti, sikap yang manakah yang paling baik ditempuh oleh Ki Jagabaya pada saat seperti itu. Mereka memang tidak terbiasa menghadapi orang yang mampu menekan perasaan mereka sehingga mereka harus berterus terang seperti pemburu itu.
“Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya selanjutnya, “kademangan ini adalah kademangan yang malang. Adalah di luar kuasa kami untuk mengatasi kesulitan yang timbul beberapa tahun terakhir ini.”
“Apakah yang terjadi?” bertanya Ki Wiradadi. “Sudah dua tiga kali kau mengucapkan pertanyaan itu.”
“Aku tidak ingin memperburuk keadaan,” jawab Ki Jagabaya.
“Kami berjanji untuk mengerti. Dan bukan kebiasaan kami untuk memperberat penderitaan seseorang. Apalagi kalian telah berbuat baik terhadap kami dengan berusaha mencegah kami memasuki hutan itu,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya masih saja ragu-ragu. Namun di dalam hatinya telah tumbuh kepercayaan kepada ketiga orang yang mengaku pemburu itu. Bahkan ia berharap, jika ia berterus terang maka hendaknya ketiga orang pemburu itu mengurungkan niatnya untuk memasuki hutan itu. Sebab apabila mereka benar-benar berniat memasuki hutan itu, Ki Jagabayapun akan dapat dituduh berbuat salah tidak mencegah sekelompok pemburu memasuki hutan itu.
Karena itu, maka katanya, “Baiklah, Ki Sanak. Aku akan berterus terang. Namun dengan demikian aku berharap Ki Sanak tidak meneruskan niat Ki Sanak memasuki hutan itu.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jagabaya berkata selanjutnya, “Ki Sanak, di hutan itu terdapat sekelompok orang yang tidak mau berhubungan dengan orang lain dalam keadaan apapun. Jika mereka terpaksa berhubungan, tentu dalam keadaan yang sangat khusus.”
“Maksud Ki Jagabaya dengan sangat khusus?” bertanya Ki Wiradadi.
“Karena terpaksa sekali. Misalnya jika mereka memerlukan garam. Jika mereka memerlukan kebutuhan hidup mereka sehari-hari,” berkata Ki Jagabaya.
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas keterangan Ki Sanak. Tetapi jika hanya demikian, kenapa hal itu telah membuat kademangan ini bersikap aneh?”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak terlalu banyak ingin tahu.”
“Persoalannya belum masuk ke dalam penalaran kami,” jawab Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya pula, “Ki Sanak, tempat ini adalah jalur jalan yang dipergunakan oleh sekelompok orang itu untuk berhubungan dengan sekelompok lain yang menyediakan segala kebutuhan dari kelompok yang ada di dalam hutan itu. Namun tidak mustahil bahwa kadang-kadang kademangan kami ini mengalami kesulitan karenanya. Kami, penghuni kademangan ini tidak boleh tahu apa yang setiap kali dibawa oleh sekelompok orang yang lewat padukuhan dan bahkan kademangan ini.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, “Apa sebabnya? Apakah yang dibawa oleh sekelompok orang itu akan berkurang jika kalian mengetahuinya?”
“Kami tidak tahu,” jawab Ki Jagabaya. “Tetapi sekelompok orang itu hampir sama garangnya dengan sekelompok orang yang ada di dalam hutan. Kadang-kadang kami tidak mengerti apakah kesalahan kami, namun tiba-tiba saja sekelompok orang itu marah kepada kami.”
“Lalu apa yang mereka lakukan jika mereka marah?” bertanya Ki Wiradadi.
“Kami harus membayar denda,” jawab Ki Jagabaya. “Kadang-kadang uang. Tetapi kami pernah dua kali harus membayar denda yang sangat mahal. Jika kami menolak, maka seluruh isi kademangan ini akan ditumpas.”
“Denda apakah itu?” bertanya Ki Wiradadi.
“Kami harus membayar dengan menyerahkan setiap kali dari kedua denda yang sangat mahal itu seorang gadis,” jawab Ki Jagabaya.
“Seorang gadis?” bertanya Ki Wiradadi dengan tegang.
“Ya,” jawab Ki Jagabaya.
“Jadi Ki Jagabaya, atau katakanlah kademangan ini pernah menyerahkan dua orang gadis?” desak Ki Wiradadi.
“Ya. Seorang hampir dua tahun yang lalu. Sedang yang seorang baru beberapa bulan berselang,” jawab Ki Jagabaya.
Wajah Ki Wiradadi menjadi tegang. Demikian pula Manggada dan Laksana. Bahkan hampir di luar sadarnya Manggada bertanya, “Apakah Ki Jagabaya mengetahui, untuk apa gadis-gadis itu?”
Ki Jagabaya menggeleng.
“Jadi Ki Jagabaya menyerahkan juga gadis-gadis itu?” bertanya Ki Wiradadi.
“Jika tidak, maka kademangan kami telah menjadi abu. Para penghuninya telah menjadi tanah sekarang ini dan kademangan ini tidak akan pernah ada lagi,” jawab Ki Jagabaya.
“Kenapa kalian tidak melawan?” bertanya Ki Wiradadi.
“Melawan?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ya, melawan. Bukankah ada banyak laki-laki di kademangan ini?” bertanya Ki Wiradadi pula.
“Jika kami melawan, maka nasib seisi kademangan ini akan justru menjadi semakin buruk. Kekuatan apa yang dapat kami pergunakan untuk melawan? Bukan hanya dua orang gadis yang akan hilang. Tetapi sama nasibnya sebagaimana kami tidak menyerahkan gadis-gadis,” berkata Ki Jagabaya.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Mereka yang datang ke kademangan itu dengan sikap seorang pemburu itu telah mendapat bahan yang jelas tentang dua kelompok orang yang telah menakut-nakuti kademangan itu. Sekelompok orang yang biasa mengorbankan gadis-gadis itu dan sekelompok orang yang, menjadi alatnya untuk mendapatkan gadis-gadis.
Agaknya kedua kelompok itu merupakan kelompok yang mirip. Yang mengorbankan gadis-gadis itu tentu sekelompok orang yang mengikuti aliran yang sesat. Sementara kelompok yang lain adalah sekelompok orang-orang yang tamak, yang tanpa menghiraukan penderitaan orang lain dan tanpa mengenal perikemanusiaan telah berusaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang beraliran sesat.
“Sedangkan orang-orang beraliran sesat itu tentu mendapatkan uang dengan cara yang tidak sepantasnya pula,” berkata Ki Wiradadi di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, maka Ki Wiradadi itupun telah berkata, “Ki Jagabaya, agaknya kami menjadi jelas duduk persoalannya. Ki Jagabaya telah menghadapi kekuatan yang menurut perhitungan kademangan itu tidak terlawan. Karena itu, maka Ki Jagabaya merasa perlu untuk memenuhi segala tuntutan mereka, meskipun itu ternyata sangat mahal harganya. Menyerahkan gadis-gadis.”
“Karena itu, Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya, “Jangan menambah penderitaan kami. Jangan kau teruskan perjalanan kalian, karena hal itu hanya akan membuat mereka marah. Yang akan menjadi sasaran adalah kademangan ini.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya, “Tetapi apakah sekelompok orang itu memang menghuni Hutan Jatimalang?”
“Sebenarnya tidak. Tetapi mereka sering berada di hutan itu, apalagi jika mereka dalam kesepakatan serah terima atas kebutuhan mereka,” jawab Ki Jagabaya.
“Jika mereka tidak berada di hutan itu?” bertanya Ki Wiradadi.
“Kami tidak tahu. Tetapi menurut pendengaran kami, mereka berada di kaki gunung,” jawab Ki Jagabaya.
“Ki Jagabaya,” tiba-tiba seorang di antara pengawalnya itu menegurnya.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hatiku telah tidak mampu memuat lagi. Aku tidak tahu, kenapa aku mempercayai ketiga orang-pemburu itu.”
“Baiklah, Ki Jagabaya,” berkata Ki Wiradadi. “Jika demikian justru aku akan memasuki hutan itu.”
“Aku sudah mencoba untuk mencegah,” berkata Ki Jagabaya. “Juga demi keselamatan kami.”
“Katakan bahwa kami tidak melalui jalan kademangan ini jika mereka marah karena kehadiran kami,” jawab Ki Wiradadi, “agar kami bukan menjadi bencana ketiga bagi kalian. Tetapi kamipun tidak dapat dicegah.”
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun ia benar-benar tidak dapat mencegah ketiga orang pemburu itu yang berniat benar-benar untuk memasuki hutan itu. Nampaknya ketiga orang pemburu itu benar-benar akan menjadi bencana ketiga jika Ki Jagabaya akan menahan mereka.
Karena itu, maka Ki Jagabaya yang sudah tidak tahu lagi apa yang sebaiknya dilakukan, akhirnya menyerah pada keadaan. Ketiga orang-orangnya yang garang, dan beberapa orang lain yang ada di halaman, adalah orang-orangnya yang paling dipercaya. Tetapi menurut penilaian Ki Jagabaya, mereka tidak akan dapat menghentikan ketiga orang pemburu itu tanpa jatuh korban. Bahkan mungkin terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah orang yang tinggal.
Namun agaknya orang-orangnyapun nampak lebih sesuai dengan keputusan Ki Jagabaya, membiarkan ketiga orang itu berjalan terus. Bahkan ketiga orang kepercayaan Ki Jagabaya itu berpendapat hampir sama di dalam dirinya,
“Biar saja orang itu ditelan hutan yang garang dan isinya yang menggetarkan jantung itu. Agaknya itu lebih baik daripada harus mencegah pemburu-pemburu itu dengan kekerasan. Agaknya mereka juga orang-orang berilmu, sebagaimana orang-orang yang sering memaksakan kehendaknya di padukuhan, bahkan di kademangan ini. Bahkan ketiganya sama sekali tidak mengganggu kami. Sikapnya jauh lebih baik dan sama sekali berbeda dengan orang-orang yang pernah menimbulkan bencana di padukuhan ini.”
Karena itulah, ketika ketiganya kemudian berniat meneruskan perjalanan, mereka sama sekali tidak berusaha menahan perjalanan mereka. Demikianlah, ketiga orang itu telah turun dari pendapa. Mereka melihat beberapa orang yang bersembunyi di balik perdu. Tetapi karena tidak terjadi apa-apa, maka merekapun tidak berbuat apa-apa.
“Kami tidak perlu singgah di rumah Ki Bekel,” berkata Ki Wiradadi. “Mohon Ki Jagabaya menyampaikan kepadanya, bahwa kami telah menempuh perjalanan ini. Barangkali Ki Jagabaya pun dapat berbicara dengan Ki Bekel dan orang-orang di padukuhan ini, apa yang akan kalian katakan tentang kami jika orang-orang itu bertanya kepada kalian, karena kami telah hadir di Hutan Jatimalang. Apakah kalian akan ingkar, atau kalian akan mengatakan alasan lain, terserah kepada kalian.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Meskipun demikian ia mempunyai kesan, bahwa ketiga orang itu bukan orang yang berniat berbuat jahat. Meskipun Ki Jagabaya juga tidak yakin, bahwa mereka bukan sekedar pergi berburu ke Hutan Jatimalang. Namun terbersit di hatinya bahwa hendaknya orang-orang itu akan membawa perubahan di kademangannya, yang sudah bertahun-tahun dibayangi oleh kegelisahan dan ketakutan.
Ketiga orang pengawal Ki Jagabaya itu ternyata mempunyai kesan yang sama dengan Ki Jagabaya. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Apakah mereka memang dikirim oleh Yang Maha Agung untuk memperbaiki keadaan kita?”
Ki Jagabaya tidak menjawab. Namun orang yang lain justru menyahut, “Atau sebaliknya? Jika kedatangan mereka menimbulkan kemarahan orang-orang yang ada di hutan itu, bukankah itu berarti bencana yang lebih besar bagi kita?”
Seorang lagi di antara mereka menyahut, “Kita sudah tidak mempunyai hak apa-apa lagi untuk bersikap. Kita tinggal menerima apa yang akan terjadi.”
Yang lainpun kemudian terdiam. Sementara itu Ki Jagabaya berkata, “Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel.”
Dalam pada itu, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana telah menyusuri jalan bulak di luar padukuhan itu. Nampaknya kademangan yang meliputi padukuhan itu adalah kademangan yang cukup besar. Namun tidak lebih dari sebuah kademangan yang mati.
“Kasihan,” berkata Ki Wiradadi.
“Orang-orangnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Bukan untuk satu dua hari atau bulan, tetapi berbilang tahun,” desis Laksana.
“Ya,” sahut Manggada. “Itulah yang telah membentuk mereka menjadi orang-orang aneh. Curiga, cemas, ketakutan dan hampir tidak berani berhubungan dengan orang lain di luar padukuhan mereka.”
“Pada suatu saat, mereka akan mengalami kesulitan yang tidak tertahankan. Sebagaimana mulai tercermin pada diri Ki Jagabaya yang tidak lagi mampu menahan desakan di dalam dadanya,” berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka tidak menyahut. Perhatian mereka tertuju pada sebuah padukuhan kecil di hadapan mereka.
“Apakah kita akan bermalam di padukuhan seperti itu?” bertanya Laksana.
Ki Wiradadi menggeleng. Katanya, “Sebaiknya tidak. Kehadiran kita akan membuat mereka semalam suntuk dibayangi oleh ketakutan yang sangat. Apalagi padukuhan kecil seperti itu.”
“Jadi?” bertanya Laksana.
“Kita akan bermalam di perjalanan,” jawab Ki Wiradadi. “Di pategalan di pinggir hutan itu atau dimana saja.”
Laksana tidak menyahut lagi. Agaknya memang lebih baik demikian untuk menjaga agar mereka tidak menggelisahkan orang sepadukuhan.
Ketika mereka bertiga memasuki padukuhan kecil itu, maka suasana terasa semakin mencengkam. Orang-orang yang sempat melihat ketiga orang itu lewat dari kejauhan, mereka segera berusaha untuk berlindung atau memasuki regol halaman terdekat, atau memasuki jalan-jalan sempit dan berkelok menghilang.
Ki Wiradadi memberikan isyarat kepada kedua orang anak-anak muda itu untuk berjalan terus. Mereka sama sekali tidak akan berhenti di padukuhan itu. Bahkan ketika mereka lewat di depan sebuah bangunan yang mereka perkirakan banjar padukuhan, mereka sama sekali tidak menjumpai seorangpun. Laksana yang sempat menjengukkan kepalanya memang melihat halaman banjar itu sepi.
Demikianlah maka mereka bertiga segera melanjutkan perjalanan. Ternyata padukuhan itu adalah padukuhan terakhir. Demikian mereka keluar dari padukuhan itu, maka mereka melihat bulak yang panjang. Di ujung bulak itu terdapat sebuah padang perdu yang luas, yang menghubungkan bulak itu dengan ujung hutan yang terkenal. Hutan Jatimalang.
Ketiga orang itu termangu-mangu. Mereka tidak dapat memasuki hutan langsung pada saat itu. Sebentar lagi malam akan turun. Sementara itu mereka belum mengenal medan yang akan mereka lalui. Apalagi mereka menyadari, bahwa mereka sama sekali bukan pemburu-pemburu yang berpengalaman sebagaimana mereka katakan. Meskipun Ki Wiradadi memang mempunyai sedikit pengalaman perburuan, tetapi tentu tidak akan cukup memadai sebagai bekal memasuki Hutan Jatimalang di malam hari.
Manggada dan Laksana memang belum berpengalaman. Meskipun mereka pernah menempa diri sebaik-baiknya, tetapi mereka sama sekali belum pernah dengan sengaja pergi berburu. Bersama guru mereka, kedua anak muda itu memang pernah memasuki hutan yang lebat. Tetapi sama sekali bukan untuk berburu. Mereka memasuki hutan dalam rangka menempa kekuatan wadag mereka. Menyusup di antara pepohonan yang roboh, akar-akar yang liar dan pepohonan yang merambat dan berduri.
Namun sekali-sekali meloncati dahan-dahan patah, memanjat pepohonan, bergantungan pada sulur yang kuat untuk berayun dan meloncati rawa-rawa yang menyimpan buaya sekalipun.
Namun demikian, latihan-latihan menjelajahi hutan itu akan dapat membantu mereka mengenali dan menguasai medan yang lebat. Bahkan Hutan Jatimalang sekalipun. Tetapi tentu tidak di malam hari.
Karena itu, ketiga orang anak muda itupun telah berusaha untuk mendapatkan tempat bermalam. Langit nampak bersih. Agaknya di malam yang segera akan datang, hujan tidak akan turun, meskipun kadang-kadang yang terjadi tidak seperti yang diharapkan.
“Kita akan bermalam di padang perdu itu,” berkata Ki Wiradadi. Namun kemudian, “Tetapi jangan sampai kitalah yang diburu harimau, tetapi kitalah yang akan menjadi pemburu.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga mereka harus berpikir, bahwa yang akan mereka lakukan adalah satu tugas yang berbahaya. Mungkin mereka akan dapat mengalami garangnya binatang buas, tetapi yang tidak dapat mereka perhitungkan adalah kekuatan orang-orang liar yang berilmu sesat itu.
Yang menganggap bahwa kesetiaan mereka terhadap sumber kekuatan mereka akan dapat memberikan apa saja yang mereka inginkan. Meskipun mereka harus memberikan pengorbanan yang sangat mahal. Seorang gadis dengan syarat tertentu.
Ketiga orang itu ternyata mencapai batas tanah yang digarap oleh orang-orang padukuhan sebelum senja turun. Matahari masih nampak di langit, meskipun sudah menjadi sangat rendah. Dengan demikian ketiga orang itu sempat mengenali lingkungan itu. Bahkan mereka masih sempat memilih beberapa tempat yang paling baik mereka pergunakan untuk bermalam. Namun di padang perdu itu tidak banyak didapati pohon-pohon yang agak besar. Baru beberapa ratus langkah lagi, setelah mendekati batas hutan, terdapat pohon-pohon yang lebih besar.
Tetapi tempaan lahir dan batin atas ketiga orang itu telah membuat ketiga orang itu tidak gentar. Justru setelah mereka mendapat tempat yang paling baik, maka mereka sempat melihat-lihat beberapa puluh langkah di sekitar mereka. Ternyata tidak ada yang menarik perhatian, selain jalur jalan setapak yang menuju ke Hutan Jatimalang.
“Menilik buasnya hutan itu dengan segala jenis isinya, jalan setapak ini tentu bukan jalan orang yang mempunyai kebiasaan mencari kayu,” berkata Ki Wiradadi
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada berkata, “Tentu bukan. Besok kita akan melihat, jalan ini akan menuju ke arah mana. Jalan kecil ini bukan jalan yang disebut oleh para tawanan itu.”
“Pengenalanmu sangat tajam,” berkata Ki Wiradadi. “Tetapi pepohonan itu memberikan petunjuk bahwa kita tidak salah jalan.”
“Ya. Pohon, sungai, gumuk kecil, dan arah,” desis Manggada.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun nampaknya tidak ada lagi yang mereka persoalkan, sementara itu langitpun menjadi buram dan malam mulai turun.
Di malam hari, ketiga orang itu sulit untuk dapat tidur nyenyak meskipun mereka telah membagi waktu. Di kejauhan selalu terdengar suara binatang buas. Bahkan tengkuk mereka sempat meremang ketika mereka mendengar suara anjing hutan, jenis binatang yang hidup berkelompok dan sangat berbahaya. Dalam kelompok, anjing hutan dapat lebih berbahaya dari seekor harimau yang besar.
Adalah di luar sadar ketika mereka memperhatikan beberapa batang pohon yang meskipun tidak terlalu besar, yang akan dapat menjadi tempat untuk menyelamatkan diri apabila sekelompok anjing hutan datang kepada mereka.
Ketiga orang itu merasa beruntung bahwa arah angin tidak menuju ke hutan. Tetapi justru dari arah hutan itu. Sehingga dengan demikian, bau keringat mereka tidak dibawa berhembus ke hidung binatang-binatang buas. Meskipun pada dasarnya binatang buas selalu menghindari manusia, tapi dalam keadaan tertentu binatang buas akan dapat menyerang seseorang.
Ketiga orang itu tidak segera dapat tidur. Ki Wiradadi lalu bertanya, “Siapakah yang lahir tepat pada saat matahari terbenam?”
“Kenapa?” bertanya Manggada.
“Seorang yang demikian disebut julung macan. Orang yang lahir di saat matahari terbenam adalah orang yang dicari oleh harimau untuk menjadi mangsanya,” berkata Ki Wiradadi.
“Benar begitu?” bertanya Manggada.
“Kau lahir di saat matahari terbenam?” bertanya Ki Wiradadi.
Manggada menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku lahir hampir tengah malam.”
Ki Wiradadi tersenyum. Katanya, “Sukurlah. Bagaimana dengan kau?”
Laksana yang sedang menguap tidak segera menjawab. Namun kemudian katanya, “Bagaimana jika lahir tepat pada saat matahari terbit?”
“Julung kembang. Seekor harimau hanya akan mencium baunya. Tetapi akan menyingkir dan tidak akan menerkamnya,” jawab Ki Wiradadi. “Apakah kau lahir tepat di saat matahari terbit?”
“Tidak,” jawab Laksana. “Aku lahir beberapa saat menjelang matahari terbit. Hampir dini hari.”
“O,” Ki Wiradadi mengangguk-angguk. “Tidak ada di antara kita yang julung macan.”
“Ki Wiradadi lahir di saat yang bagaimana?” bertanya Manggada.
“Aku lahir di saat matahari mencapai puncaknya,” jawab Ki Wiradadi sambil tertawa pendek.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun Laksana masih juga bertanya, “Ki Wiradadi percaya kepada sebutan julung macan dan julung kembang itu, serta hubungannya dengan seekor harimau?”
“Kalau sebutan itu sendiri, aku tidak berkeberatan. Tetapi sudah tentu tidak ada hubungannya sama sekali dengan seekor harimau,” jawabnya.
Manggada mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Ketiga orang itupun kemudian saling berdiam diri. Ketika mereka mendengar aum seekor harimau, mereka berdebar-debar. Tetapi ternyata suara itu tidak menjadi semakin dekat.
“Kita harus beristirahat,” berkata Ki Wiradadi. Lalu, “Silakan kalian tidur. Bukankah aku mendapat giliran pertama. Jika kalian tidak segera tidur, maka akan datang giliran kedua bagi salah seorang di antara kalian, sehingga kesempatan untuk tidur menjadi semakin sempit.”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun mereka memang berusaha untuk tidur. Mereka sama sekali tidak menaruh kecurigaan kepada Ki Wiradadi yang sedang mencari anak gadisnya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian kedua anak muda itu tertidur juga. Sementara Ki Wiradadi berjaga-jaga. Untuk menghindarkan diri dari perasaan kantuk, Ki Wiradadi melangkah hilir mudik di dekat anak-anak muda itu sedang tidur.
Adalah sangat mengejutkannya ketika seekor ular hitam merambat menyilang di kaki Manggada yang sedang tidur nyenyak. Dengan berdebar-debar ia memperhatikan ular itu. Jika dengan tidak sengaja Manggada bergerak dalam tidurnya, maka ular itu akan dapat menggigitnya.
Untunglah bahwa Manggada sama sekali tidak bergerak sehingga ular itu melewatinya dan hilang di dalam semak-semak. Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Keringat dingin telah membasahi punggungnya.
Ketika datang giliran kedua bagi mereka bertiga, maka Ki Wiradadi telah membangunkan Manggada. Sebelum Ki Wiradadi tidur, ia sempat memberitahukan tentang ular hitam itu. Manggada mengangguk-angguk. Terasa jantungnya berdebar semakin cepat.
“Berhati-hatilah,” pesan Ki Wiradadi.
Ketika Ki Wiradadi kemudian berbaring, maka Manggada telah menyiapkan busur dan anak panahnya. Ia akan dapat membunuh ular itu dengan memanah arah kepalanya dan mengenainya. Tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu atas ketiga orang itu. Laksana yang mendapat tugas terakhir, menunggui mereka sampai matahari mulai membayang.
Demikianlah, di saat matahari terbit, mereka telah meneruskan perjalanan. Namun mereka benar-benar mempergunakan busur dan anak pernah untuk menangkap seekor binatang buruan, justru ketika mereka belum memasuki hutan yang lebat. Ketika mereka menemukan sebuah mata air, maka mereka telah menunggu sejenak dengan penuh kesabaran, sehingga seekor kijang datang untuk minum.
“Kita harus makan sebelum memasuki hutan itu,” desis Ki Wiradadi.
Demikianlah, akhirnya mereka benar-benar telah memasuki hutan itu. Seperti petunjuk dari orang-orang yang tertawan, akhirnya mereka menemukan pintu gerbang dari hutan yang lebat dan garang. Sepasang pohon raksasa yang tumbuh berjarak sekitar sepuluh langkah. Pohon jati yang umurnya telah beratus tahun.
“Kita memasuki hutan itu,” desis Ki Wiradadi. “Kita akan menyusup di antara kedua batang pohon jati raksasa itu.”
Demikianlah, dengan sangat berhati-hati mereka berjalan di antara kedua batang pohon jati raksasa itu. Mereka memang mendapatkan semacam jalan sempit di antara lebatnya pepohonan hutan. Jalan sempit yang menghunjam, menusuk langsung ke jantung Hutan Jatimalang.
Beberapa saat mereka bertiga menjadi ragu-ragu. Ki Wiradadi sempat berdesis, “Apakah kita akan memasuki hutan ini lewat jalan yang disebut oleh para tawanan itu? Bukankah dengan demikian kita akan sampai ke tempat mereka bertemu dan membuat perjanjian dengan orang-orang beraliran sesat itu?”
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian Manggada berkata, “Kita akan menempuh jalan sempit ini. Setelah kita mendekati tempat itu, yang ciri-cirinya tentu akan kita kenali, maka kita akan menentukan sikap lagi.”
“Aku sependapat,” berkata Laksana. “Jalan ini masih cukup panjang.”
“Namun kita tidak boleh kehilangan sikap berhati-hati. Meskipun masih cukup jauh, tetapi ada beberapa jenis bahaya yang mengancam kita. Bahkan mungkin kita akan masuk ke dalam perangkap meskipun pada dasarnya aku percaya kepada keterangan para tawanan itu,” sahut Ki Wiradadi.
Kedua anak muda itupun mengangguk-angguk. Dengan anak panah siap pada busurnya, masing-masing berjalan di sepanjang jalan sempit itu. Sekali-sekali mereka mengenali ciri-ciri yang pernah disebutkan oleh para tawanan, yang sebelumnya pernah memasuki hutan itu. Bahkan mungkin tidak hanya satu dua kali.
Ketiga orang itu kadang-kadang memang harus berhenti barang sejenak, jika mereka melihat sesuatu yang agak asing bagi mereka yang jarang sekali memasuki hutan-hutan lebat, meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang cukup untuk sebuah perburuan.
Mereka kadang-kadang dikejutkan oleh segerombolan kera yang bergayutan di dahan-dahan pepohonan, yang nampaknya sedang menempuh satu perjalanan bersama-sama dari satu tempat ke tempat yang lain yang mungkin menyimpan makanan cukup bagi mereka. Namun kadang-kadang merekapun harus mengagumi beberapa jenis burung yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Ketiga orang itu memang sudah pernah mengenali lebatnya hutan belantara, meskipun dengan tujuan lain. Sehingga dengan demikian, mereka bertiga tidak begitu canggung berada di Hutan Jatimalang. Meskipun demikian, isi hutan-hutan belantara memang berbeda-beda.
Ketika mereka menyusuri jalan sempit itu semakin dalam, mereka mulai menemukan sesuatu yang menarik perhatian. Mereka menemukan bumbung bambu yang dibuat sebagai alat untuk minum. Bahkan juga tempurung kelapa yang nampaknya memang dibuat sebagai alat minum, sebagaimana bumbung-bumbung bambu itu.
Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda yang menyertainya itu, telah mengamati alat-alat minum itu. Bahkan merekapun sempat mengamati lingkungan yang lebih luas lagi, di sekitar tempat mereka menemukan alat untuk minum itu.
Mereka bertigapun kemudian mengambil satu kesimpulan, bahwa tempat itu menjadi tempat sekelompok orang yang membawa gadis-gadis untuk beristirahat.
“Kenapa di tempat ini?” bertanya Manggada.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun juga berdesis, “Ya, kenapa di tempat ini? Apakah di tempat ini ada yang menarik, atau sesuatu yang tidak terdapat di tempat lain?”
Beberapa saat mereka bertiga termangu-mangu. Namun kemudian mereka mulai memperhatikan keadaan tempat itu dengan jangkauan yang lebih jauh. Ketika Manggada meloncat ke atas sebatang pohon yang rebah, maka ia mulai memperhatikan suara yang lamat-lamat didengarnya.
“Air,” desisnya. Karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Wiradadi dan Laksana, bahwa tidak jauh dari tempat itu tentu terdapat sebuah sungai kecil.
Ketiganyapun kemudian telah berdiri pula di atas sebatang pohon kayu yang besar, yang roboh tersandar pada batang-batang kayu lain. Sementara pepohonan yang lebih kecil justru ikut menjadi roboh karenanya.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya sungai itulah yang membuat mereka berhenti di tempat ini, yang selanjutnya menjadi tempat pemberhentian yang tetap. Nampaknya satu dua alat minum mereka tercecer atau mereka anggap sudah tidak terpakai lagi, sehingga tertinggal di tempat itu.”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun Manggadapun kemudian berkata, “Marilah kita lihat.”
Dengan menjinjing busur, agar dapat lebih cepat dipergunakan jika perlu, daripada disangkurkan di bahu, ketiga orang itu dengan hati-hati bergeser ke arah sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah hutan.
Meskipun suaranya sudah terdengar, namun ternyata mereka masih harus berjalan beberapa lama, menyusup batang-batang kayu yang roboh, meloncati rerumputan berduri dan menyibak gerumbul-gerumbul perdu. Sekali-sekali mereka terhenti oleh sulitnya jalan yang mereka tempuh. Agaknya mereka memerlukan waktu untuk mendekati sungai yang sudah mereka dengar gemericik airnya itu.
Tetapi tiba-tiba saja mereka telah sampai pada sebuah jalan setapak yang nampaknya merupakan jalan, yang meskipun tidak terlalu sering, tetapi sekali-sekali dilalui oleh kaki-kaki manusia. Bukan sekedar kaki binatang.
“Kita dapat mengikuti jalan setapak ini,” desis Manggada.
“Ya,” sahut Laksana, “mudah-mudahan kita dapat menemukan sesuatu.”
“Setidak-tidaknya petunjuk tentang sesuatu,” desis Ki Wiradadi.
Dengan tetap berhati-hati, ketiganya berjalan menyelusuri jalan setapak yang ternyata sangat licin itu. Lumut tumbuh menutupi hampir seluruh jalan setapak itu. Bahkan di beberapa bagian jalan itu justru telah tertutup dengan genangan air meskipun tidak di musim hujan.
“Berhati-hatilah terhadap jenis-jenis ular air yang senang hidup di genangan air seperti itu,” berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Merekapun sudah diperkenalkan oleh guru mereka, bahwa kehidupan di daerah yang basah diwarnai dengan beberapa jenis ular. Ketika mereka lewat di dekat rawa-rawa yang berair lebih banyak, mereka berhenti sejenak untuk melihat jenis binatang yang bergerak-gerak di dalam air.
“Buaya,” desis Manggada.
“Terlalu kecil,” sahut Laksana. “Sejenis biawak yang besar.”
Ki Wiradadilah yang menyahut, “Tidak. Bukan biawak. Memang buaya. Tetapi buaya-buaya kerdil. Justru jenis buaya yang berbahaya. Buaya-buaya kerdil yang berwarna kehijauan itu hidup dalam kelompok-kelompok. Sekali seekor binatang digigit oleh salah satu dari buaya itu dan menitikkan darah, maka dalam sekejap binatang itu sudah tidak akan nampak lagi tertimbun oleh sekelompok buaya kerdil. Kemudian yang tertinggal adalah sekedar kerangkanya saja.”
Laksana mengangguk-angguk. Ketika ia menjadi semakin jelas memperhatikan binatang yang ada di dalam rawa-rawa itu, maka iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Memang buaya. Buaya dari jenis yang kecil.”
Namun bulu-bulu tengkuknya meremang ketika ia membayangkan seekor binatang buas yang tinggal kerangkanya saja.
“Bagaimana dengan seekor harimau?” tiba-tiba saja Laksana bertanya.
“Ya. Seekor harimau yang terperosok ke dalam rawa-rawa itu akan menjadi mangsa buaya-buaya kerdil itu. Jika seekor buaya menggigit kakinya dan berdarah, maka akibatnya akan sangat pahit bagi binatang itu. Bahkan jika harimau itu membalas menggigit buaya kerdil itu, maka darah buaya itu sendiri akan menjerat harimau itu ke dalam maut,” jawab Ki Wiradadi. Lalu katanya pula, “Apalagi seekor rusa, kijang atau banteng sekalipun.”
Laksana mengangguk-angguk.
“Marilah,” tiba-tiba Manggada mendesak. “Aku menjadi ngeri untuk berlama-lama disini. Jika kaki kita diterkam dan digigitnya, maka kitapun akan habis di rawa-rawa ini.”
Sejenak kemudian mereka telah meninggalkan rawa-rawa itu. Mereka telah mencapai tepi sebuah sungai yang tidak begitu deras airnya. Tetapi nampak sebuah kedung yang cukup luas di tikungan. Ternyata bahwa air sungai itu cukup jernih. Di lereng yang menurun terdapat sebuah tangga yang nampaknya dibuat oleh seseorang. Tidak terlalu tinggi.
Tetapi ketiga orang itu tidak menuruni lereng tanggul itu. Mereka berdiri saja di atas tanggul sambil melihat betapa jernihnya air sungai itu, sehingga dasarnya dapat kelihatan. Ikan-ikan yang hilir mudik dari berbagai jenispun nampak dengan jelas.
“Nampaknya kita berada di tempat yang benar. Marilah, kita ikuti kembali jalan setapak itu. Mungkin akan dapat menunjukkan kepada kita, kemana kita akan pergi selanjutnya,” berkata Ki Wiradadi.
Ketiga orang itupun telah melangkah kembali sepanjang jalan setapak itu. Mereka mengikuti jalur itu sehingga mereka sampai ke tempat yang agak lapang di tengah-tengah lebatnya hutan itu.
“Kita sampai ke tempat yang kita cari,” berkata Ki Wiradadi.
Kedua orang anak muda yang menyertainya mengangguk-angguk. Manggadapun berkata, “Ciri-cirinya sesuai benar dengan keterangan orang-orang yang tertawan itu.”
“Tetapi kita tidak menemukan apa-apa disini,” desis Laksana.
“Memang tidak,” sahut Ki Wiradadi. “Tetapi di sinilah gadis-gadis itu diserahkan kepada orang-orang yang beraliran sesat itu.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi saat-saat penyerahan itu jarang sekali terjadi. Mungkin sebulan sekali di hari-hari yang tidak diketahui.
“Lalu apa yang kita dapatkan disini?” bertanya Laksana.
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan sungguh-sungguh mereka mengamati tempat itu. Beberapa buah batu besar, perapian dan beberapa pertanda yang menjelaskan bahwa tempat itu memang sering dikunjungi orang.
“Orang-orang yang membawa gadis yang akan dijual itu agaknya sering berhenti di tempat yang kita amati sebelum kita menemukan jalur ke sungai. Mereka berhenti di tempat itu untuk menunggu saat-saat penyerahan,” Ki Wiradadi menjelaskan perhitungannya.
“Ya,” Manggada mengangguk-angguk. “Agaknya penyerahan itu hanya dilakukan di hari-hari tertentu.”
Ketiga orang itu menjadi semakin yakin akan penemuan mereka. Karena itu, dengan anak panah siap pada tali busur mereka sehingga setiap saat segera dapat dilepaskan, ketiga orang itu mengamati tempat itu dengan seksama.
Manggada terkejut ketika di balik gerumbul yang rimbun diketemukan sosok kerangka manusia yang tertindih kekayuan silang-melintang, sehingga sulit untuk dapat mengambilnya.
“Apakah mungkin seseorang yang tertimpa batang-batang pepohonan yang roboh?” desis Manggada.
Ki Wiradadi dan Laksana yang kemudian melihat pula kerangka itu, mencoba untuk mengurainya. Namun mereka sependapat bahwa orang itu tertindih kekayuan sehingga mayatnya tidak diseret oleh binatang buas dari tempat itu.
Namun menurut pengamatan Ki Wiradadi, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman cukup luas, ia menduga bahwa yang telah mati itu adalah seorang perempuan.
“Kenapa seorang perempuan?” bertanya Laksana.
Ki Wiradadi menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu.”
“Apakah Ki Wiradadi dapat menduga, berapa lama kerangka itu terbaring di situ?” bertanya Manggada.
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik tulang-tulang itu, mungkin kerangka itu sudah terbaring di tempat itu kira-kira sejak setahun yang lalu.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun sudah pasti bagi mereka, bahwa sosok kerangka itu tentu bukan anak perempuan Ki Wiradadi, karena anak itu belum terlalu lama diambil dari rumahnya.
Namun menitik tempat itu, maka ketiga orang itupun menjadi semakin yakin, bahwa orang-orang yang mengambil gadis-gadis itu adalah orang-orang yang tidak lagi hidup sewajarnya sebagai orang-orang yang beradab.
“Kita akan menelusuri jalan menuju ke tempat mereka,” berkata Ki Wiradadi.
“Kita tidak tahu berapa lama kita akan sampai ke tempat mereka,” desis Manggada.
“Ya, kita tidak mengerti seberapa jauh jalan yang akan kita tempuh. Tetapi kita harus memperhitungkan kemungkinan di tengah-tengah hutan ini,” desis Laksana.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Namun iapun berkata, “Apakah kalian belum pernah mendapat petunjuk bagaimana kita bermalam di dalam hutan yang lebat seperti ini?”
“Kami pernah mempelajarinya,” jawab Manggada. “Bahkan kami telah melakukannya beberapa kali.”
“Apa yang kalian lakukan?” bertanya Ki Wiradadi.
“Memanjat pepohonan,” jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Karena itu katanya, “Jika demikian, bukankah kita tidak akan mengalami kesulitan?”
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi lebih senang bermalam di luar hutan daripada di dalam hutan ini.”
“Jika terpaksa?” bertanya Ki Wiradadi.
“Apa boleh buat,” jawab Laksana.
“Baiklah,” berkata Ki Wiradadi. “Jika demikian, kita akan menelusuri jalan ini. Kita akan sampai ke satu tempat yang barangkali merupakan tempat yang sangat berbahaya.”
“Jika jalan itu yang harus kita tempuh, maka kita akan menempuhnya,” berkata Laksana.
Demikianlah, maka mereka bertiga telah bersiap menempuh satu perjalanan yang berbahaya. Jalan yang sebelumnya tidak mereka dapatkan gambaran sama sekali, karena yang diceriterakan oleh para tawanan hanya sampai ke tempat mereka menyerahkan gadis-gadis di tengah hutan yang lebat itu. Selebihnya tidak seorangpun yang mengetahuinya.
Ki Wiradadi dengan busur yang siap dipergunakan berjalan paling depan sambil mengikuti jejak. Di belakangnya Laksana dan yang paling belakang adalah Manggada.
Ketiganya benar-benar siap melakukan apa saja untuk menembus lebatnya hutan, dan mendekati tempat orang-orang yang beraliran sesat itu. Namun jalan itu memang terlalu rumit. Kadang-kadang mereka seakan-akan telah kehilangan jalur...
Tetapi seperti kepada kakek tua itu, Ki Wiradadi menjawab, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami akan berhati-hati.”
Demikianlah, ketiga orang itu telah meneruskan perjalanan mereka. Sejenak kemudian mereka telah meninggalkan kademangan yang satu, memasuki kademangan yang lain. Kademangan itu masih merupakan kademangan yang tidak jauh berbeda dengan kademangan sebelumnya, meskipun pengaruh dari kehidupan yang aneh di kademangan berikutnya sudah mulai terasa.
Di bulak-bulak panjang, mereka memang masih bertemu dengan beberapa orang petani. Bahkan satu dua masih bertanya dengan wajar dan bahkan sempat memberi peringatan pula. Namun semakin jauh mereka memasuki kademangan itu, maka terasa tanggapan orang-orangnya agak berbeda.
“Pengaruh kehidupan di kademangan sebelah mulai terasa,” berkata Ki Wiradadi.
Sebenarnyalah ketika mereka bertiga berjalan di sebuah padukuhan, maka orang-orang padukuhan itu memandangi mereka dengan curiga. Tidak seperti padukuhan-padukuhan sebelumnya, apalagi di kademangan sebelah, kademangan yang baru saja mereka lewati. Meskipun penghuninya kadang-kadang memang bersikap acuh dan yang lain memperhatikan dengan cara yang berlebih-lebihan, namun tidak dengan penuh kecurigaan.
Beberapa orang dengan serta-merta telah berloncatan memasuki pintu-pintu regol halaman. Namun terasa oleh ketiga orang yang lewat itu, bahwa mereka sedang mengintip dari balik pintu regol.
Semakin jauh mereka memasuki kademangan itu, maka kecurigaan itu terasa menjadi semakin besar, sehingga akhirnya mereka melintasi satu batas antara dua kademangan yang ditandai dengan sebuah tugu baru. Tugu baru yang dipasang di pinggir sebuah sungai kecil yang menjadi batas antara kedua kademangan itu.
“Kita memasuki sebuah kademangan yang aneh,” berkata Ki Wiradadi. “Karena itu kita harus berhati-hati.”
“Ya,” jawab Manggada. “Justru lewat tengah hari.”
“Apakah kita akan langsung memasuki Hutan Jatimalang hari ini juga?” bertanya Laksana.
“Aku kira tidak mungkin,” sahut Ki Wiradadi. “Jika kita langsung memasuki Hutan Jatimalang, maka kita akan memasukinya menjelang malam. Kita akan banyak mengalami kesulitan karena kita belum mengenal lingkungan itu.”
“Jadi kita harus bermalam di luar hutan itu. Besok pagi-pagi kita baru memasukinya,” berkata Manggada.
“Ya. Kita bermalam di luar hutan itu,” desis Ki Wiradadi. Lalu, “Bukankah tidak ada persoalan?”
“Tidak,” jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Kita memang dapat bermalam dimana-mana.”
Demikianlah, ketiga orang itupun kemudian telah berjalan memasuki lingkungan yang memang terasa aneh. Seorang petani yang bekerja di kejauhan, tiba-tiba saja telah bergeser ke balik gerumbul atau tanaman atau apapun yang dapat dipakai untuk membayangi dirinya dari penglihatan orang-orang yang sedang lewat itu.
Namun dengan demikian, maka ketiga orang itu justru ingin melewati padukuhan. Apakah yang kira-kira akan diperbuat oleh orang-orang padukuhan itu.
“Kita tidak usah mengambil jalan simpang,” berkata Ki Wiradadi. “Lewat jalan ini kita tentu akan sampai juga di sebuah padukuhan. Namun kita memang harus berhati-hati.”
“Di padukuhan yang terakhir, kita akan minta ijin untuk tidur di banjar. Sudah tentu di padukuhan itu tidak ada penginapan.”
“Tetapi kita akan sampai di padukuhan terakhir sebelum matahari mendekati punggung bukit. Masih terlalu siang untuk minta menumpang bermalam,” sahut Manggada.
“Kita berhenti di bulak panjang di seberang padukuhan itu. Atau bulak sebelum padukuhan terakhir sehingga senja. Baru kita memasuki padukuhan itu untuk minta kesempatan menginap di banjar,” berkata Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Akal yang baik. Tetapi seandainya kita harus bermalam dimanapun, kita tidak akan mengalami kesulitan. Kita sudah membiasakan diri tidur di bawah selimut langit.”
Laksana mengangguk-angguk. Namun sambil tersenyum ia berkata, “Kita memang dapat tidur dimana saja. Tetapi jika aku boleh memilih tidur di bawah sebatang randu alas dan tidur di banjar padukuhan, aku masih juga memilih tidur di banjar padukuhan betapapun anehnya padukuhan itu.”
“Jika tidak boleh memilih?” bertanya Manggada.
“Apa boleh buat,” jawab Laksana.
Manggadapun tersenyum pula. Katanya, “lebih baik kita tidak memilih. Dimanapun kita harus tidur, maka kita akan tidur.”
Laksana tidak menjawab, meskipun ia tersenyum juga.
Sejenak kemudian, maka Manggadapun berdesis, “Kita akan memasuki sebuah padukuhan.”
Ketiga orang itupun kemudian telah bersiap-siap untuk memasuki sebuah padukuhan. Mereka menyadari, bahwa mereka akan memasuki daerah yang penuh dengan perasaan curiga, prasangka dan dugaan-dugaan yang tidak sewajarnya, sebagaimana dikatakan oleh petani tua suami istri itu, serta beberapa orang yang lain. Sesuai pula dengan cerita orang-orang yang telah mereka tawan.
Sebenarnyalah bahwa ketika mereka sampai ke regol padukuhan, maka rasa-rasanya suasana itu telah mereka temui. Dua orang anak yang sedang bermain-main di dekat regol, segera berlari masuk ke dalam padukuhan. Manggada dan Laksana hanya berpandangan sejenak. Namun keduanya tidak mengatakan sesuatu. Sementara Ki Wiradadi berjalan di paling depan.
Beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki padukuhan itu. Seperti yang telah mereka perhitungkan sebelumnya, maka orang-orang padukuhan itupun telah masuk ke halaman dan menutup pintu regol. Tetapi tidak terlalu rapat, beberapa orang telah mengintip dari balik pintu regol itu. Demikian ketiga orang itu lewat, maka beberapa orang telah turun lagi ke jalan memperhatikan ketiga orang yang berjalan menjauhi mereka itu.
Manggada dan Laksana memang menjadi jengkel. Tetapi Ki Wiradadipun berkata, “Kita harus dapat menjaga diri dan mengekang diri. Mungkin mereka tidak berbuat sesuatu. Mereka mencurigai setiap orang yang memasuki padukuhannya justru karena ketakutan.”
“Memang mungkin,” berkata Manggada. “Jika kita dapat menunjukkan kepada mereka, bahwa kita tidak akan berbuat sesuatu yang dapat merugikan mereka, maka aku kira mereka tidak akan bersembunyi lagi selagi kita lewat.”
“Apa yang dapat kita lakukan?” berkata Laksana. “Membagi uang atau berbuat apa saja?”
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang sulit. Tetapi kita dapat mencoba menemui bekel dari padukuhan ini. Kita akan berbicara dengan mereka. Mungkin Ki Bekel mempunyai pandangan yang lebih luas dari para penghuni yang lain.”
“Tetapi kepada siapa kita bertanya tentang rumah Ki Bekel?” desis Laksana.
Ki Wiradadi yang mendengar percakapan ini kemudian menyahut, “Kita akan berjalan terus lewat jalan induk padukuhan ini. Biasanya rumah seorang pemimpin padukuhan itu terletak di jalur jalan induk.”
“Tidak selalu,” berkata Manggada.
“Memang tidak selalu. Tetapi kebanyakan,” jawab Ki Wiradadi.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Kebanyakan rumah seorang bekel memang terletak di tepi jalan induk. Demikian pula banjar padukuhan biasanya memang terletak di pinggir jalan induk pula. Beberapa lama mereka berjalan, maka mereka menjadi semakin dalam memasuki padukuhan itu. Namun mereka belum melihat rumah yang pantas disebut rumah seorang bekel.
Namun akhirnya mereka sampai ke sebuah rumah yang mempunyai pekarangan yang luas. Dinding halamannya nampak lebih rapi dan regol halamannyapun lebih bersih.
“Kita akan singgah di rumah ini, siapapun yang memilikinya,” berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana sependapat. Karena itu, maka merekapun berhenti di depan regol halaman rumah itu, meskipun hati mereka menjadi berdebar-debar.
Perlahan-lahan Ki Wiradadi mendorong pintu regol halaman yang ternyata tidak diselarak. Ternyata halaman rumah itu nampak sepi. Namun ketajaman penglihatan ketiganya sempat melihat dua orang yang justru menghilang di saat pintu regol halaman terbuka.
“Berhati-hatilah,” desis Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksanapun kemudian berjalan di sebelah-menyebelah, Ki Wiradadi agak di belakang. Dengan tajam mereka mengamati sudut-sudut halaman rumah itu. Namun agaknya halaman rumah itu memang sepi.
Ki Wiradadi bersama kedua orang anak muda itu telah berhenti di muka pendapa rumah yang lebih besar dari rumah-rumah yang lain itu, yang mereka sangka adalah rumah Ki Bekel di padukuhan itu. Karena tidak seorangpun yang menerima mereka, maka, Ki Wiradadipun mulai memberikan salam. Tetapi tidak ada yang menjawab.
Laksana yang menjadi jengkel kemudian berkata, “Apakah kita harus mengetuk pintu pringgitan atau memukul kentongan?”
Ki Wiradadi memang juga menjadi bingung. Tetapi mereka yakin bahwa penghuni rumah itu telah melihat kehadiran mereka. Karena itu, maka Ki Wiradadipun telah mendekati kentongan yang tergantung di sudut pendapa. Mengambil pemukulnya yang terselip di lubang kentongan itu.
“Aku tidak peduli,” desis Ki Wiradadi.
Iapun kemudian telah memukul kentongan itu dalam irama yang datar. Namun tidak terlalu keras. Sekali ia memukul kentongan itu, ternyata tidak ada tanggapan apapun juga. Namun Ki Wiradadi tidak mau berhenti. Ia telah memukul berulang kali. Semakin lama semakin keras.
Namun akhirnya Ki Wiradadi berhenti memukul. Ia menyadari bahwa meskipun dengan sembunyi-sembunyi, namun beberapa orang telah bertebaran di halaman rumah yang nampaknya sepi itu. Ternyata Manggada dan Laksanapun melihat pula beberapa sosok bayangan yang bergerak-gerak.
Ki Wiradadi yang sudah tidak memukul kentongan itu lagi, telah bersama-sama dengan Manggada dan Laksana berdiri di tengah-tengah halaman. Mereka tinggal menunggu orang-orang yang bersembunyi di balik tanaman, di belakang seketheng dan di sisi bangunan induk rumah yang cukup besar itu.
Ternyata beberapa saat kemudian, pintu pringgitan rumah itu terbuka. Beberapa orang keluar dari pintu pringgitan itu. Seorang berumur separo baya diiringi tiga orang bertubuh tinggi kekar. Dua di antaranya berkumis tebal, sedangkan yang seorang lagi agak lebih muda dari yang lain. Tidak berkumis. Wajahnya nampak bersih. Namun sorot matanya yang tajam, serta pandangannya yang mencengkam, menunjukkan betapa keras watak orang itu.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana berdiri termangu-mangu di halaman. Memang terasa betapa kecurigaan mencengkam orang-orang yang ada di halaman rumah itu, sebagaimana orang-orang seisi padukuhan itu.
Orang yang dikawal oleh tiga orang bertubuh tinggi tegap itupun kemudian berdiri di bibir pendapa. Dipandanginya Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda yang menyertainya. Tanpa basa-basi orang itu bertanya, “Apa maksud kalian memasuki halaman rumahku, Ki Sanak?”
Ki Wiradadi maju selangkah. Kemudian iapun menjawab, “Kami adalah pemburu-pemburu yang belum pernah memasuki Hutan Jatimalang. Beberapa orang petani yang aku jumpai di sawah memberitahukan kepada kami, bahwa Hutan Jatimalang adalah hutan yang banyak menyimpan binatang buruan, sehingga jika kami memasuki hutan itu, maka kami tentu akan berhasil dengan baik. Kami akan mendapat banyak binatang buruan yang dapat kami ambil kulitnya dan dijual ke kota atau ditukar dengan barang-barang lain yang mahal harganya.”
“Omong kosong,” geram orang itu tiba-tiba. “Siapa yang mengatakannya?”
“Aku belum mengenalnya. Aku hanya bertemu dengan mereka di sawah. Tiga orang telah memberikan keterangan yang sama kepadaku,” berkata Ki Wiradadi.
“Bohong,” berkata orang itu. Lalu katanya, “Hutan itu memang menyimpan binatang buas yang banyak. Tetapi juga binatang berbisa. Bahkan aku menganjurkan kepada Ki Sanak untuk tidak berburu di Hutan Jatimalang.”
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun kemudian ia telah bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Supaya aku tidak keliru menanggapi pendapat Ki Sanak, siapakah Ki Sanak ini?”
“Aku jagabaya dari kademangan ini,” jawab orang itu.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata kami salah duga.”
“Apa yang salah?” bertanya orang yang ternyata Ki Jagabaya itu.
“Aku kira aku berhadapan dengan Ki Bekel padukuhan ini,” jawab Ki Wiradadi.
“Rumah Ki Bekel ada di sebelah, selang tiga rumah dari rumah ini,” jawab Ki Jagabaya.
“Jadi, bagaimana pendapat Ki Jagabaya tentang hutan itu?” bertanya Ki Wiradadi kemudian.
“Pergilah ke tempat lain,” berkata Ki Jagabaya.
“Aku adalah pemburu yang telah menjelajahi hutan dan pegunungan Rasa-rasanya kami telah didorong oleh satu keinginan yang sulit dicegah untuk memasuki Hutan Jatimalang yang menurut pendengaran kami terdapat banyak binatang buasnya. Kami adalah pemburu yang telah mendapat pesanan berbagai macam kulit binatang buas itu,” berkata Ki Wiradadi.
Tetapi Ki Jagabaya itu berkata, “Ki Sanak akan mendapat banyak kesulitan. Sebaiknya Ki Sanak mengurungkan niat kalian untuk memasuki Hutan Jatimalang, dan secepatnya meninggalkan padukuhan ini.”
“Kenapa?” bertanya Ki Wiradadi.
“Sudah aku katakan, di hutan itu terdapat banyak sekali binatang berbisa yang tidak dapat kalian lawan dengan busur dan anak panah. Ular, laba-laba biru, kumbang bercincin perak, bahkan beberapa jenis tumbuh-tumbuhan berbisa akan dapat membunuh Ki Sanak bertiga. Laba-laba biru dan kumbang bercincin perak biasanya tidak kalah tajam dari ular bandotan yang berkeliaran di setiap jengkal tanah. Sedangkan di rawa-rawa, di samping ular air yang tidak kalah tajam bisanya, terdapat buaya-buaya dari dua jenis. Di rawa-rawa yang dangkal, terdapat buaya-buaya kerdil tetapi rakusnya melampaui ulat, liar dan sangat buas. Sedangkan di rawa-rawa yang dalam, terdapat buaya-buaya raksasa yang tidak terlawan,” berkata Ki Jagabaya.
Tetapi adalah di luar dugaan Ki Jagabaya, Ki Wiradadi justru berkata dengan wajah cerah, “Menarik sekali. Buaya-buaya kerdil adalah jenis binatang langka yang justru dicari. Kulitnya akan dapat menjadi perhiasan yang sangat mahal. Sedangkan buaya-buaya raksasapun akan sangat laku di kota-kota besar. Kulit buaya yang tidak cacat akan dapat ditukar dengan seekor kuda yang tegar, jika kita dapat mengolahnya dan berhasil baik.”
Wajah Ki Jagabaya menjadi tegang. Katanya, “Kalian sudah disesatkan oleh ketamakan kalian mendapatkan uang yang banyak atas hasil buruan kalian. Betapapun banyaknya bahan yang ada dalam hutan itu untuk kalian jadikan uang, tetapi jika kalian tidak dapat keluar lagi dari hutan itu, maka semuanya tidak akan berarti apa-apa.”
Tetapi Ki Wiradadi tertawa. Katanya, “Sudah lebih dari duapuluh tahun aku berkeliaran di segala jenis hutan. Kedua orang anakku ini, meskipun masih sangat muda, tetapi juga sudah berpengalaman antara lain dua dan tiga tahun.”
“Jika kalian tidak ingin mendengar pendapatku, kenapa kalian singgah di rumahku? Untuk apa?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kami sekedar ingin memberitahukan kehadiran kami,” jawab Ki Wiradadi, “agar yang bertanggung jawab atas padukuhan ini mengetahui, bahwa kami bertiga datang untuk berburu ke hutan yang barangkali termasuk lingkungannya. Karena aku mengira bahwa rumah ini adalah rumah Ki Bekel, maka aku telah masuk. Namun agaknya akupun tidak keliru, karena rumah ini ternyata justru rumah Ki Jagabaya bukan saja dari padukuhan ini, tetapi dari kademangan ini.”
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ada sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya.
Sementara itu Ki Wiradadi berkata selanjutnya, “Ki Jagabaya, aku mengucapkan terima kasih atas peringatan yang telah Ki Jagabaya berikan. Tetapi sayang, bahwa kami benar-benar berniat untuk pergi ke hutan itu.”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Naiklah. Duduklah. Mungkin Ki Sanak memerlukan penjelasan lebih banyak.”
Ki Wiradadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian bertiga, bersama Manggada dan Laksana, maka iapun telah naik ke pendapa dan duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih.
“Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “apakah aku harus memberikan lebih banyak keterangan untuk mencegah kalian memasuki hutan itu?”
Ki Wiradadi yang kemudian nampak menjadi bersungguh-sungguh. Katanya, “Ki Jagabaya, sebenarnyalah sejak aku memasuki padukuhan ini, terasa satu suasana yang lain. Bahkan di beberapa padukuhan sebelumnyapun hal itu mulai terasa. Di kademangan sebelah, suasana seperti itu masih belum nampak, kecuali di satu dua padukuhan terakhir. Keadaan itu sangat menarik perhatianku. Aku belum pernah menjumpai padukuhan yang dicengkam suasana seperti ini, seakan-akan diselimuti oleh kabut yang muram. Orang-orang padukuhan ini, dan beberapa padukuhan sebelumnya, rasa-rasanya tidak ingin berhubungan dengan orang-orang yang datang dari luar padukuhannya.”
“Itu hanya perasaan Ki Sanak saja,” berkata Ki Jagabaya. “Tidak ada perasaan semacam itu di padukuhan ini. Penduduk padukuhan ini, termasuk padukuhan-padukuhan lain di kademangan ini adalah penduduk yang ramah.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Ki Jagabaya, apakah tanggapanku salah? Bahkan di halaman inipun telah terjadi suasana seperti di seluruh padukuhan. Penuh kecurigaan dan kecemasan. Di tempat lain, atau katakanlah pada umumnya, jika diketahui ada tamu yang datang, maka biasanya tamu itu akan disambut baik, meskipun seandainya timbul persoalan. Apalagi mereka yang belum dikenal, akan segera ditemui dan dipersilahkan duduk. Tetapi di rumah ini yang aku jumpai ternyata lain. Isi rumah ini sudah tahu bahwa ada tamu yang memasuki regol halaman. Tetapi justru penghuni rumah ini seakan-akan bersembunyi. Baru kemudian, setelah aku memukul kentongan, Ki Jagabaya datang menyambut kami.”
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku mempunyai banyak pekerjaan, Ki Sanak. Aku tidak dapat menerima setiap tamuku, apalagi yang belum aku kenal.”
“Siapapun dapat menerima kami, Ki Jagabaya. Tetapi penghuni rumah ini seakan-akan justru telah bersembunyi. Satu penerimaan yang tidak wajar,” berkata Ki Wiradadi. “Bukan maksud kami mencela sikap ini Ki Jagabaya. Mungkin sikap itu adalah sikap kebanyakan penghuni padukuhan ini, tetapi kami kurang mengerti kenapa Ki Jagabaya bersikap seperti itu, sebagaimana sikap padukuhan ini terhadap orang yang datang dari luar,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Karena Ki Jagabaya masih tetap diam, Ki Wiradadi berkata selanjutnya, “Ki Jagabaya, sebenarnyalah aku akan memasuki Hutan Jatimalang. Aku sudah mempersiapkan alat-alat berburu yang paling baik yang aku miliki. Aku memang harus berterima kasih kepada Ki Jagabaya yang telah memperingatkan kami. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, kami adalah pemburu yang berpengalaman menjelajahi hutan. Menghadapi binatang buas dan binatang berbisa apapun juga. Ki Jagabaya, kami mempunyai sejenis minyak yang dapat kami usapkan di kulit kami, sehingga binatang berbisa jenis apapun tidak akan menggigit atau menyengat kami.”
Tiba-tiba saja Ki Jagabaya menggeram. Sesuatu agaknya telah bergejolak di dalam hatinya. Pada saat ia tidak dapat lagi menahan diri, maka iapun berkata menghentak-hentak, “Bukan hanya binatang buas dan binatang berbisa.”
Ki Wiradadi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jika bukan sekedar binatang jenis apapun, lalu apa?”
Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Sorot matanya memancarkan gejolak di dalam dadanya. Namun kemudian kepalanya menunduk dalam-dalam. Ketiga orang yang mengawalnya itupun termangu-mangu. Namun nampaknya merekapun menjadi gelisah.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana termangu-mangu pula untuk beberapa saat. Mereka merasakan betapa sesuatu tengah bergejolak di hati Ki Jagabaya itu. Namun Ki Wiradadi yang berpengalaman, tidak tergesa-gesa mendesaknya. Ia menunggu, sehingga Ki Jagabaya sempat mengendapkan perasaannya itu.
Baru kemudian Ki Jagabaya berkata, “Ki Sanak, aku tidak dapat membantah lagi, bahwa apa yang Ki Sanak katakan semuanya memang benar. Orang-orang padukuhan ini, dan bahkan setiap keluarga, termasuk keluargaku, selalu mencurigai orang lain yang datang memasuki padukuhan ini, karena selama ini kami telah mengalami satu tekanan yang sangat berat yang sampai saat ini belum teratasi.”
“Apa yang telah terjadi, Ki Sanak?” bertanya Ki Wiradadi.
“Itu adalah persoalan kami. Kami tidak perlu memberitahukan kepada orang lain karena hal itu hanya akan menjadi bencana saja bagi kademangan ini,” jawab Ki Jagabaya.
“Bukan maksud kami menumbuhkan kesulitan yang semakin besar di kademangan ini. Namun jika Ki Jagabaya dapat memberitahukan persoalannya, maka agaknya kami akan dapat menempatkan diri kami. Karena sebenarnyalah bahwa kami semula memang tidak mempunyai kepentingan apapun dengan kademangan ini, selain sekedar lewat dalam perjalanan kami menuju ke Hutan Jatimalang,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya termangu-mangu. Di luar sadarnya ia berpaling kepada ketiga orang pengawalnya. Namun ketiga orang pengawalnya itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka sama sekali tidak mengerti, sikap yang manakah yang paling baik ditempuh oleh Ki Jagabaya pada saat seperti itu. Mereka memang tidak terbiasa menghadapi orang yang mampu menekan perasaan mereka sehingga mereka harus berterus terang seperti pemburu itu.
“Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya selanjutnya, “kademangan ini adalah kademangan yang malang. Adalah di luar kuasa kami untuk mengatasi kesulitan yang timbul beberapa tahun terakhir ini.”
“Apakah yang terjadi?” bertanya Ki Wiradadi. “Sudah dua tiga kali kau mengucapkan pertanyaan itu.”
“Aku tidak ingin memperburuk keadaan,” jawab Ki Jagabaya.
“Kami berjanji untuk mengerti. Dan bukan kebiasaan kami untuk memperberat penderitaan seseorang. Apalagi kalian telah berbuat baik terhadap kami dengan berusaha mencegah kami memasuki hutan itu,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya masih saja ragu-ragu. Namun di dalam hatinya telah tumbuh kepercayaan kepada ketiga orang yang mengaku pemburu itu. Bahkan ia berharap, jika ia berterus terang maka hendaknya ketiga orang pemburu itu mengurungkan niatnya untuk memasuki hutan itu. Sebab apabila mereka benar-benar berniat memasuki hutan itu, Ki Jagabayapun akan dapat dituduh berbuat salah tidak mencegah sekelompok pemburu memasuki hutan itu.
Karena itu, maka katanya, “Baiklah, Ki Sanak. Aku akan berterus terang. Namun dengan demikian aku berharap Ki Sanak tidak meneruskan niat Ki Sanak memasuki hutan itu.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jagabaya berkata selanjutnya, “Ki Sanak, di hutan itu terdapat sekelompok orang yang tidak mau berhubungan dengan orang lain dalam keadaan apapun. Jika mereka terpaksa berhubungan, tentu dalam keadaan yang sangat khusus.”
“Maksud Ki Jagabaya dengan sangat khusus?” bertanya Ki Wiradadi.
“Karena terpaksa sekali. Misalnya jika mereka memerlukan garam. Jika mereka memerlukan kebutuhan hidup mereka sehari-hari,” berkata Ki Jagabaya.
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas keterangan Ki Sanak. Tetapi jika hanya demikian, kenapa hal itu telah membuat kademangan ini bersikap aneh?”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak terlalu banyak ingin tahu.”
“Persoalannya belum masuk ke dalam penalaran kami,” jawab Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya pula, “Ki Sanak, tempat ini adalah jalur jalan yang dipergunakan oleh sekelompok orang itu untuk berhubungan dengan sekelompok lain yang menyediakan segala kebutuhan dari kelompok yang ada di dalam hutan itu. Namun tidak mustahil bahwa kadang-kadang kademangan kami ini mengalami kesulitan karenanya. Kami, penghuni kademangan ini tidak boleh tahu apa yang setiap kali dibawa oleh sekelompok orang yang lewat padukuhan dan bahkan kademangan ini.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, “Apa sebabnya? Apakah yang dibawa oleh sekelompok orang itu akan berkurang jika kalian mengetahuinya?”
“Kami tidak tahu,” jawab Ki Jagabaya. “Tetapi sekelompok orang itu hampir sama garangnya dengan sekelompok orang yang ada di dalam hutan. Kadang-kadang kami tidak mengerti apakah kesalahan kami, namun tiba-tiba saja sekelompok orang itu marah kepada kami.”
“Lalu apa yang mereka lakukan jika mereka marah?” bertanya Ki Wiradadi.
“Kami harus membayar denda,” jawab Ki Jagabaya. “Kadang-kadang uang. Tetapi kami pernah dua kali harus membayar denda yang sangat mahal. Jika kami menolak, maka seluruh isi kademangan ini akan ditumpas.”
“Denda apakah itu?” bertanya Ki Wiradadi.
“Kami harus membayar dengan menyerahkan setiap kali dari kedua denda yang sangat mahal itu seorang gadis,” jawab Ki Jagabaya.
“Seorang gadis?” bertanya Ki Wiradadi dengan tegang.
“Ya,” jawab Ki Jagabaya.
“Jadi Ki Jagabaya, atau katakanlah kademangan ini pernah menyerahkan dua orang gadis?” desak Ki Wiradadi.
“Ya. Seorang hampir dua tahun yang lalu. Sedang yang seorang baru beberapa bulan berselang,” jawab Ki Jagabaya.
Wajah Ki Wiradadi menjadi tegang. Demikian pula Manggada dan Laksana. Bahkan hampir di luar sadarnya Manggada bertanya, “Apakah Ki Jagabaya mengetahui, untuk apa gadis-gadis itu?”
Ki Jagabaya menggeleng.
“Jadi Ki Jagabaya menyerahkan juga gadis-gadis itu?” bertanya Ki Wiradadi.
“Jika tidak, maka kademangan kami telah menjadi abu. Para penghuninya telah menjadi tanah sekarang ini dan kademangan ini tidak akan pernah ada lagi,” jawab Ki Jagabaya.
“Kenapa kalian tidak melawan?” bertanya Ki Wiradadi.
“Melawan?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ya, melawan. Bukankah ada banyak laki-laki di kademangan ini?” bertanya Ki Wiradadi pula.
“Jika kami melawan, maka nasib seisi kademangan ini akan justru menjadi semakin buruk. Kekuatan apa yang dapat kami pergunakan untuk melawan? Bukan hanya dua orang gadis yang akan hilang. Tetapi sama nasibnya sebagaimana kami tidak menyerahkan gadis-gadis,” berkata Ki Jagabaya.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Mereka yang datang ke kademangan itu dengan sikap seorang pemburu itu telah mendapat bahan yang jelas tentang dua kelompok orang yang telah menakut-nakuti kademangan itu. Sekelompok orang yang biasa mengorbankan gadis-gadis itu dan sekelompok orang yang, menjadi alatnya untuk mendapatkan gadis-gadis.
Agaknya kedua kelompok itu merupakan kelompok yang mirip. Yang mengorbankan gadis-gadis itu tentu sekelompok orang yang mengikuti aliran yang sesat. Sementara kelompok yang lain adalah sekelompok orang-orang yang tamak, yang tanpa menghiraukan penderitaan orang lain dan tanpa mengenal perikemanusiaan telah berusaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang beraliran sesat.
“Sedangkan orang-orang beraliran sesat itu tentu mendapatkan uang dengan cara yang tidak sepantasnya pula,” berkata Ki Wiradadi di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, maka Ki Wiradadi itupun telah berkata, “Ki Jagabaya, agaknya kami menjadi jelas duduk persoalannya. Ki Jagabaya telah menghadapi kekuatan yang menurut perhitungan kademangan itu tidak terlawan. Karena itu, maka Ki Jagabaya merasa perlu untuk memenuhi segala tuntutan mereka, meskipun itu ternyata sangat mahal harganya. Menyerahkan gadis-gadis.”
“Karena itu, Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya, “Jangan menambah penderitaan kami. Jangan kau teruskan perjalanan kalian, karena hal itu hanya akan membuat mereka marah. Yang akan menjadi sasaran adalah kademangan ini.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya, “Tetapi apakah sekelompok orang itu memang menghuni Hutan Jatimalang?”
“Sebenarnya tidak. Tetapi mereka sering berada di hutan itu, apalagi jika mereka dalam kesepakatan serah terima atas kebutuhan mereka,” jawab Ki Jagabaya.
“Jika mereka tidak berada di hutan itu?” bertanya Ki Wiradadi.
“Kami tidak tahu. Tetapi menurut pendengaran kami, mereka berada di kaki gunung,” jawab Ki Jagabaya.
“Ki Jagabaya,” tiba-tiba seorang di antara pengawalnya itu menegurnya.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hatiku telah tidak mampu memuat lagi. Aku tidak tahu, kenapa aku mempercayai ketiga orang-pemburu itu.”
“Baiklah, Ki Jagabaya,” berkata Ki Wiradadi. “Jika demikian justru aku akan memasuki hutan itu.”
“Aku sudah mencoba untuk mencegah,” berkata Ki Jagabaya. “Juga demi keselamatan kami.”
“Katakan bahwa kami tidak melalui jalan kademangan ini jika mereka marah karena kehadiran kami,” jawab Ki Wiradadi, “agar kami bukan menjadi bencana ketiga bagi kalian. Tetapi kamipun tidak dapat dicegah.”
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun ia benar-benar tidak dapat mencegah ketiga orang pemburu itu yang berniat benar-benar untuk memasuki hutan itu. Nampaknya ketiga orang pemburu itu benar-benar akan menjadi bencana ketiga jika Ki Jagabaya akan menahan mereka.
Karena itu, maka Ki Jagabaya yang sudah tidak tahu lagi apa yang sebaiknya dilakukan, akhirnya menyerah pada keadaan. Ketiga orang-orangnya yang garang, dan beberapa orang lain yang ada di halaman, adalah orang-orangnya yang paling dipercaya. Tetapi menurut penilaian Ki Jagabaya, mereka tidak akan dapat menghentikan ketiga orang pemburu itu tanpa jatuh korban. Bahkan mungkin terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah orang yang tinggal.
Namun agaknya orang-orangnyapun nampak lebih sesuai dengan keputusan Ki Jagabaya, membiarkan ketiga orang itu berjalan terus. Bahkan ketiga orang kepercayaan Ki Jagabaya itu berpendapat hampir sama di dalam dirinya,
“Biar saja orang itu ditelan hutan yang garang dan isinya yang menggetarkan jantung itu. Agaknya itu lebih baik daripada harus mencegah pemburu-pemburu itu dengan kekerasan. Agaknya mereka juga orang-orang berilmu, sebagaimana orang-orang yang sering memaksakan kehendaknya di padukuhan, bahkan di kademangan ini. Bahkan ketiganya sama sekali tidak mengganggu kami. Sikapnya jauh lebih baik dan sama sekali berbeda dengan orang-orang yang pernah menimbulkan bencana di padukuhan ini.”
Karena itulah, ketika ketiganya kemudian berniat meneruskan perjalanan, mereka sama sekali tidak berusaha menahan perjalanan mereka. Demikianlah, ketiga orang itu telah turun dari pendapa. Mereka melihat beberapa orang yang bersembunyi di balik perdu. Tetapi karena tidak terjadi apa-apa, maka merekapun tidak berbuat apa-apa.
“Kami tidak perlu singgah di rumah Ki Bekel,” berkata Ki Wiradadi. “Mohon Ki Jagabaya menyampaikan kepadanya, bahwa kami telah menempuh perjalanan ini. Barangkali Ki Jagabaya pun dapat berbicara dengan Ki Bekel dan orang-orang di padukuhan ini, apa yang akan kalian katakan tentang kami jika orang-orang itu bertanya kepada kalian, karena kami telah hadir di Hutan Jatimalang. Apakah kalian akan ingkar, atau kalian akan mengatakan alasan lain, terserah kepada kalian.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Meskipun demikian ia mempunyai kesan, bahwa ketiga orang itu bukan orang yang berniat berbuat jahat. Meskipun Ki Jagabaya juga tidak yakin, bahwa mereka bukan sekedar pergi berburu ke Hutan Jatimalang. Namun terbersit di hatinya bahwa hendaknya orang-orang itu akan membawa perubahan di kademangannya, yang sudah bertahun-tahun dibayangi oleh kegelisahan dan ketakutan.
Ketiga orang pengawal Ki Jagabaya itu ternyata mempunyai kesan yang sama dengan Ki Jagabaya. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Apakah mereka memang dikirim oleh Yang Maha Agung untuk memperbaiki keadaan kita?”
Ki Jagabaya tidak menjawab. Namun orang yang lain justru menyahut, “Atau sebaliknya? Jika kedatangan mereka menimbulkan kemarahan orang-orang yang ada di hutan itu, bukankah itu berarti bencana yang lebih besar bagi kita?”
Seorang lagi di antara mereka menyahut, “Kita sudah tidak mempunyai hak apa-apa lagi untuk bersikap. Kita tinggal menerima apa yang akan terjadi.”
Yang lainpun kemudian terdiam. Sementara itu Ki Jagabaya berkata, “Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel.”
Dalam pada itu, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana telah menyusuri jalan bulak di luar padukuhan itu. Nampaknya kademangan yang meliputi padukuhan itu adalah kademangan yang cukup besar. Namun tidak lebih dari sebuah kademangan yang mati.
“Kasihan,” berkata Ki Wiradadi.
“Orang-orangnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Bukan untuk satu dua hari atau bulan, tetapi berbilang tahun,” desis Laksana.
“Ya,” sahut Manggada. “Itulah yang telah membentuk mereka menjadi orang-orang aneh. Curiga, cemas, ketakutan dan hampir tidak berani berhubungan dengan orang lain di luar padukuhan mereka.”
“Pada suatu saat, mereka akan mengalami kesulitan yang tidak tertahankan. Sebagaimana mulai tercermin pada diri Ki Jagabaya yang tidak lagi mampu menahan desakan di dalam dadanya,” berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka tidak menyahut. Perhatian mereka tertuju pada sebuah padukuhan kecil di hadapan mereka.
“Apakah kita akan bermalam di padukuhan seperti itu?” bertanya Laksana.
Ki Wiradadi menggeleng. Katanya, “Sebaiknya tidak. Kehadiran kita akan membuat mereka semalam suntuk dibayangi oleh ketakutan yang sangat. Apalagi padukuhan kecil seperti itu.”
“Jadi?” bertanya Laksana.
“Kita akan bermalam di perjalanan,” jawab Ki Wiradadi. “Di pategalan di pinggir hutan itu atau dimana saja.”
Laksana tidak menyahut lagi. Agaknya memang lebih baik demikian untuk menjaga agar mereka tidak menggelisahkan orang sepadukuhan.
Ketika mereka bertiga memasuki padukuhan kecil itu, maka suasana terasa semakin mencengkam. Orang-orang yang sempat melihat ketiga orang itu lewat dari kejauhan, mereka segera berusaha untuk berlindung atau memasuki regol halaman terdekat, atau memasuki jalan-jalan sempit dan berkelok menghilang.
Ki Wiradadi memberikan isyarat kepada kedua orang anak-anak muda itu untuk berjalan terus. Mereka sama sekali tidak akan berhenti di padukuhan itu. Bahkan ketika mereka lewat di depan sebuah bangunan yang mereka perkirakan banjar padukuhan, mereka sama sekali tidak menjumpai seorangpun. Laksana yang sempat menjengukkan kepalanya memang melihat halaman banjar itu sepi.
Demikianlah maka mereka bertiga segera melanjutkan perjalanan. Ternyata padukuhan itu adalah padukuhan terakhir. Demikian mereka keluar dari padukuhan itu, maka mereka melihat bulak yang panjang. Di ujung bulak itu terdapat sebuah padang perdu yang luas, yang menghubungkan bulak itu dengan ujung hutan yang terkenal. Hutan Jatimalang.
Ketiga orang itu termangu-mangu. Mereka tidak dapat memasuki hutan langsung pada saat itu. Sebentar lagi malam akan turun. Sementara itu mereka belum mengenal medan yang akan mereka lalui. Apalagi mereka menyadari, bahwa mereka sama sekali bukan pemburu-pemburu yang berpengalaman sebagaimana mereka katakan. Meskipun Ki Wiradadi memang mempunyai sedikit pengalaman perburuan, tetapi tentu tidak akan cukup memadai sebagai bekal memasuki Hutan Jatimalang di malam hari.
Manggada dan Laksana memang belum berpengalaman. Meskipun mereka pernah menempa diri sebaik-baiknya, tetapi mereka sama sekali belum pernah dengan sengaja pergi berburu. Bersama guru mereka, kedua anak muda itu memang pernah memasuki hutan yang lebat. Tetapi sama sekali bukan untuk berburu. Mereka memasuki hutan dalam rangka menempa kekuatan wadag mereka. Menyusup di antara pepohonan yang roboh, akar-akar yang liar dan pepohonan yang merambat dan berduri.
Namun sekali-sekali meloncati dahan-dahan patah, memanjat pepohonan, bergantungan pada sulur yang kuat untuk berayun dan meloncati rawa-rawa yang menyimpan buaya sekalipun.
Namun demikian, latihan-latihan menjelajahi hutan itu akan dapat membantu mereka mengenali dan menguasai medan yang lebat. Bahkan Hutan Jatimalang sekalipun. Tetapi tentu tidak di malam hari.
Karena itu, ketiga orang anak muda itupun telah berusaha untuk mendapatkan tempat bermalam. Langit nampak bersih. Agaknya di malam yang segera akan datang, hujan tidak akan turun, meskipun kadang-kadang yang terjadi tidak seperti yang diharapkan.
“Kita akan bermalam di padang perdu itu,” berkata Ki Wiradadi. Namun kemudian, “Tetapi jangan sampai kitalah yang diburu harimau, tetapi kitalah yang akan menjadi pemburu.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga mereka harus berpikir, bahwa yang akan mereka lakukan adalah satu tugas yang berbahaya. Mungkin mereka akan dapat mengalami garangnya binatang buas, tetapi yang tidak dapat mereka perhitungkan adalah kekuatan orang-orang liar yang berilmu sesat itu.
Yang menganggap bahwa kesetiaan mereka terhadap sumber kekuatan mereka akan dapat memberikan apa saja yang mereka inginkan. Meskipun mereka harus memberikan pengorbanan yang sangat mahal. Seorang gadis dengan syarat tertentu.
Ketiga orang itu ternyata mencapai batas tanah yang digarap oleh orang-orang padukuhan sebelum senja turun. Matahari masih nampak di langit, meskipun sudah menjadi sangat rendah. Dengan demikian ketiga orang itu sempat mengenali lingkungan itu. Bahkan mereka masih sempat memilih beberapa tempat yang paling baik mereka pergunakan untuk bermalam. Namun di padang perdu itu tidak banyak didapati pohon-pohon yang agak besar. Baru beberapa ratus langkah lagi, setelah mendekati batas hutan, terdapat pohon-pohon yang lebih besar.
Tetapi tempaan lahir dan batin atas ketiga orang itu telah membuat ketiga orang itu tidak gentar. Justru setelah mereka mendapat tempat yang paling baik, maka mereka sempat melihat-lihat beberapa puluh langkah di sekitar mereka. Ternyata tidak ada yang menarik perhatian, selain jalur jalan setapak yang menuju ke Hutan Jatimalang.
“Menilik buasnya hutan itu dengan segala jenis isinya, jalan setapak ini tentu bukan jalan orang yang mempunyai kebiasaan mencari kayu,” berkata Ki Wiradadi
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada berkata, “Tentu bukan. Besok kita akan melihat, jalan ini akan menuju ke arah mana. Jalan kecil ini bukan jalan yang disebut oleh para tawanan itu.”
“Pengenalanmu sangat tajam,” berkata Ki Wiradadi. “Tetapi pepohonan itu memberikan petunjuk bahwa kita tidak salah jalan.”
“Ya. Pohon, sungai, gumuk kecil, dan arah,” desis Manggada.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun nampaknya tidak ada lagi yang mereka persoalkan, sementara itu langitpun menjadi buram dan malam mulai turun.
Di malam hari, ketiga orang itu sulit untuk dapat tidur nyenyak meskipun mereka telah membagi waktu. Di kejauhan selalu terdengar suara binatang buas. Bahkan tengkuk mereka sempat meremang ketika mereka mendengar suara anjing hutan, jenis binatang yang hidup berkelompok dan sangat berbahaya. Dalam kelompok, anjing hutan dapat lebih berbahaya dari seekor harimau yang besar.
Adalah di luar sadar ketika mereka memperhatikan beberapa batang pohon yang meskipun tidak terlalu besar, yang akan dapat menjadi tempat untuk menyelamatkan diri apabila sekelompok anjing hutan datang kepada mereka.
Ketiga orang itu merasa beruntung bahwa arah angin tidak menuju ke hutan. Tetapi justru dari arah hutan itu. Sehingga dengan demikian, bau keringat mereka tidak dibawa berhembus ke hidung binatang-binatang buas. Meskipun pada dasarnya binatang buas selalu menghindari manusia, tapi dalam keadaan tertentu binatang buas akan dapat menyerang seseorang.
Ketiga orang itu tidak segera dapat tidur. Ki Wiradadi lalu bertanya, “Siapakah yang lahir tepat pada saat matahari terbenam?”
“Kenapa?” bertanya Manggada.
“Seorang yang demikian disebut julung macan. Orang yang lahir di saat matahari terbenam adalah orang yang dicari oleh harimau untuk menjadi mangsanya,” berkata Ki Wiradadi.
“Benar begitu?” bertanya Manggada.
“Kau lahir di saat matahari terbenam?” bertanya Ki Wiradadi.
Manggada menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku lahir hampir tengah malam.”
Ki Wiradadi tersenyum. Katanya, “Sukurlah. Bagaimana dengan kau?”
Laksana yang sedang menguap tidak segera menjawab. Namun kemudian katanya, “Bagaimana jika lahir tepat pada saat matahari terbit?”
“Julung kembang. Seekor harimau hanya akan mencium baunya. Tetapi akan menyingkir dan tidak akan menerkamnya,” jawab Ki Wiradadi. “Apakah kau lahir tepat di saat matahari terbit?”
“Tidak,” jawab Laksana. “Aku lahir beberapa saat menjelang matahari terbit. Hampir dini hari.”
“O,” Ki Wiradadi mengangguk-angguk. “Tidak ada di antara kita yang julung macan.”
“Ki Wiradadi lahir di saat yang bagaimana?” bertanya Manggada.
“Aku lahir di saat matahari mencapai puncaknya,” jawab Ki Wiradadi sambil tertawa pendek.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun Laksana masih juga bertanya, “Ki Wiradadi percaya kepada sebutan julung macan dan julung kembang itu, serta hubungannya dengan seekor harimau?”
“Kalau sebutan itu sendiri, aku tidak berkeberatan. Tetapi sudah tentu tidak ada hubungannya sama sekali dengan seekor harimau,” jawabnya.
Manggada mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Ketiga orang itupun kemudian saling berdiam diri. Ketika mereka mendengar aum seekor harimau, mereka berdebar-debar. Tetapi ternyata suara itu tidak menjadi semakin dekat.
“Kita harus beristirahat,” berkata Ki Wiradadi. Lalu, “Silakan kalian tidur. Bukankah aku mendapat giliran pertama. Jika kalian tidak segera tidur, maka akan datang giliran kedua bagi salah seorang di antara kalian, sehingga kesempatan untuk tidur menjadi semakin sempit.”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun mereka memang berusaha untuk tidur. Mereka sama sekali tidak menaruh kecurigaan kepada Ki Wiradadi yang sedang mencari anak gadisnya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian kedua anak muda itu tertidur juga. Sementara Ki Wiradadi berjaga-jaga. Untuk menghindarkan diri dari perasaan kantuk, Ki Wiradadi melangkah hilir mudik di dekat anak-anak muda itu sedang tidur.
Adalah sangat mengejutkannya ketika seekor ular hitam merambat menyilang di kaki Manggada yang sedang tidur nyenyak. Dengan berdebar-debar ia memperhatikan ular itu. Jika dengan tidak sengaja Manggada bergerak dalam tidurnya, maka ular itu akan dapat menggigitnya.
Untunglah bahwa Manggada sama sekali tidak bergerak sehingga ular itu melewatinya dan hilang di dalam semak-semak. Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Keringat dingin telah membasahi punggungnya.
Ketika datang giliran kedua bagi mereka bertiga, maka Ki Wiradadi telah membangunkan Manggada. Sebelum Ki Wiradadi tidur, ia sempat memberitahukan tentang ular hitam itu. Manggada mengangguk-angguk. Terasa jantungnya berdebar semakin cepat.
“Berhati-hatilah,” pesan Ki Wiradadi.
Ketika Ki Wiradadi kemudian berbaring, maka Manggada telah menyiapkan busur dan anak panahnya. Ia akan dapat membunuh ular itu dengan memanah arah kepalanya dan mengenainya. Tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu atas ketiga orang itu. Laksana yang mendapat tugas terakhir, menunggui mereka sampai matahari mulai membayang.
Demikianlah, di saat matahari terbit, mereka telah meneruskan perjalanan. Namun mereka benar-benar mempergunakan busur dan anak pernah untuk menangkap seekor binatang buruan, justru ketika mereka belum memasuki hutan yang lebat. Ketika mereka menemukan sebuah mata air, maka mereka telah menunggu sejenak dengan penuh kesabaran, sehingga seekor kijang datang untuk minum.
“Kita harus makan sebelum memasuki hutan itu,” desis Ki Wiradadi.
Demikianlah, akhirnya mereka benar-benar telah memasuki hutan itu. Seperti petunjuk dari orang-orang yang tertawan, akhirnya mereka menemukan pintu gerbang dari hutan yang lebat dan garang. Sepasang pohon raksasa yang tumbuh berjarak sekitar sepuluh langkah. Pohon jati yang umurnya telah beratus tahun.
“Kita memasuki hutan itu,” desis Ki Wiradadi. “Kita akan menyusup di antara kedua batang pohon jati raksasa itu.”
Demikianlah, dengan sangat berhati-hati mereka berjalan di antara kedua batang pohon jati raksasa itu. Mereka memang mendapatkan semacam jalan sempit di antara lebatnya pepohonan hutan. Jalan sempit yang menghunjam, menusuk langsung ke jantung Hutan Jatimalang.
Beberapa saat mereka bertiga menjadi ragu-ragu. Ki Wiradadi sempat berdesis, “Apakah kita akan memasuki hutan ini lewat jalan yang disebut oleh para tawanan itu? Bukankah dengan demikian kita akan sampai ke tempat mereka bertemu dan membuat perjanjian dengan orang-orang beraliran sesat itu?”
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian Manggada berkata, “Kita akan menempuh jalan sempit ini. Setelah kita mendekati tempat itu, yang ciri-cirinya tentu akan kita kenali, maka kita akan menentukan sikap lagi.”
“Aku sependapat,” berkata Laksana. “Jalan ini masih cukup panjang.”
“Namun kita tidak boleh kehilangan sikap berhati-hati. Meskipun masih cukup jauh, tetapi ada beberapa jenis bahaya yang mengancam kita. Bahkan mungkin kita akan masuk ke dalam perangkap meskipun pada dasarnya aku percaya kepada keterangan para tawanan itu,” sahut Ki Wiradadi.
Kedua anak muda itupun mengangguk-angguk. Dengan anak panah siap pada busurnya, masing-masing berjalan di sepanjang jalan sempit itu. Sekali-sekali mereka mengenali ciri-ciri yang pernah disebutkan oleh para tawanan, yang sebelumnya pernah memasuki hutan itu. Bahkan mungkin tidak hanya satu dua kali.
Ketiga orang itu kadang-kadang memang harus berhenti barang sejenak, jika mereka melihat sesuatu yang agak asing bagi mereka yang jarang sekali memasuki hutan-hutan lebat, meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang cukup untuk sebuah perburuan.
Mereka kadang-kadang dikejutkan oleh segerombolan kera yang bergayutan di dahan-dahan pepohonan, yang nampaknya sedang menempuh satu perjalanan bersama-sama dari satu tempat ke tempat yang lain yang mungkin menyimpan makanan cukup bagi mereka. Namun kadang-kadang merekapun harus mengagumi beberapa jenis burung yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Ketiga orang itu memang sudah pernah mengenali lebatnya hutan belantara, meskipun dengan tujuan lain. Sehingga dengan demikian, mereka bertiga tidak begitu canggung berada di Hutan Jatimalang. Meskipun demikian, isi hutan-hutan belantara memang berbeda-beda.
Ketika mereka menyusuri jalan sempit itu semakin dalam, mereka mulai menemukan sesuatu yang menarik perhatian. Mereka menemukan bumbung bambu yang dibuat sebagai alat untuk minum. Bahkan juga tempurung kelapa yang nampaknya memang dibuat sebagai alat minum, sebagaimana bumbung-bumbung bambu itu.
Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda yang menyertainya itu, telah mengamati alat-alat minum itu. Bahkan merekapun sempat mengamati lingkungan yang lebih luas lagi, di sekitar tempat mereka menemukan alat untuk minum itu.
Mereka bertigapun kemudian mengambil satu kesimpulan, bahwa tempat itu menjadi tempat sekelompok orang yang membawa gadis-gadis untuk beristirahat.
“Kenapa di tempat ini?” bertanya Manggada.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun juga berdesis, “Ya, kenapa di tempat ini? Apakah di tempat ini ada yang menarik, atau sesuatu yang tidak terdapat di tempat lain?”
Beberapa saat mereka bertiga termangu-mangu. Namun kemudian mereka mulai memperhatikan keadaan tempat itu dengan jangkauan yang lebih jauh. Ketika Manggada meloncat ke atas sebatang pohon yang rebah, maka ia mulai memperhatikan suara yang lamat-lamat didengarnya.
“Air,” desisnya. Karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Wiradadi dan Laksana, bahwa tidak jauh dari tempat itu tentu terdapat sebuah sungai kecil.
Ketiganyapun kemudian telah berdiri pula di atas sebatang pohon kayu yang besar, yang roboh tersandar pada batang-batang kayu lain. Sementara pepohonan yang lebih kecil justru ikut menjadi roboh karenanya.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya sungai itulah yang membuat mereka berhenti di tempat ini, yang selanjutnya menjadi tempat pemberhentian yang tetap. Nampaknya satu dua alat minum mereka tercecer atau mereka anggap sudah tidak terpakai lagi, sehingga tertinggal di tempat itu.”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun Manggadapun kemudian berkata, “Marilah kita lihat.”
Dengan menjinjing busur, agar dapat lebih cepat dipergunakan jika perlu, daripada disangkurkan di bahu, ketiga orang itu dengan hati-hati bergeser ke arah sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah hutan.
Meskipun suaranya sudah terdengar, namun ternyata mereka masih harus berjalan beberapa lama, menyusup batang-batang kayu yang roboh, meloncati rerumputan berduri dan menyibak gerumbul-gerumbul perdu. Sekali-sekali mereka terhenti oleh sulitnya jalan yang mereka tempuh. Agaknya mereka memerlukan waktu untuk mendekati sungai yang sudah mereka dengar gemericik airnya itu.
Tetapi tiba-tiba saja mereka telah sampai pada sebuah jalan setapak yang nampaknya merupakan jalan, yang meskipun tidak terlalu sering, tetapi sekali-sekali dilalui oleh kaki-kaki manusia. Bukan sekedar kaki binatang.
“Kita dapat mengikuti jalan setapak ini,” desis Manggada.
“Ya,” sahut Laksana, “mudah-mudahan kita dapat menemukan sesuatu.”
“Setidak-tidaknya petunjuk tentang sesuatu,” desis Ki Wiradadi.
Dengan tetap berhati-hati, ketiganya berjalan menyelusuri jalan setapak yang ternyata sangat licin itu. Lumut tumbuh menutupi hampir seluruh jalan setapak itu. Bahkan di beberapa bagian jalan itu justru telah tertutup dengan genangan air meskipun tidak di musim hujan.
“Berhati-hatilah terhadap jenis-jenis ular air yang senang hidup di genangan air seperti itu,” berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Merekapun sudah diperkenalkan oleh guru mereka, bahwa kehidupan di daerah yang basah diwarnai dengan beberapa jenis ular. Ketika mereka lewat di dekat rawa-rawa yang berair lebih banyak, mereka berhenti sejenak untuk melihat jenis binatang yang bergerak-gerak di dalam air.
“Buaya,” desis Manggada.
“Terlalu kecil,” sahut Laksana. “Sejenis biawak yang besar.”
Ki Wiradadilah yang menyahut, “Tidak. Bukan biawak. Memang buaya. Tetapi buaya-buaya kerdil. Justru jenis buaya yang berbahaya. Buaya-buaya kerdil yang berwarna kehijauan itu hidup dalam kelompok-kelompok. Sekali seekor binatang digigit oleh salah satu dari buaya itu dan menitikkan darah, maka dalam sekejap binatang itu sudah tidak akan nampak lagi tertimbun oleh sekelompok buaya kerdil. Kemudian yang tertinggal adalah sekedar kerangkanya saja.”
Laksana mengangguk-angguk. Ketika ia menjadi semakin jelas memperhatikan binatang yang ada di dalam rawa-rawa itu, maka iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Memang buaya. Buaya dari jenis yang kecil.”
Namun bulu-bulu tengkuknya meremang ketika ia membayangkan seekor binatang buas yang tinggal kerangkanya saja.
“Bagaimana dengan seekor harimau?” tiba-tiba saja Laksana bertanya.
“Ya. Seekor harimau yang terperosok ke dalam rawa-rawa itu akan menjadi mangsa buaya-buaya kerdil itu. Jika seekor buaya menggigit kakinya dan berdarah, maka akibatnya akan sangat pahit bagi binatang itu. Bahkan jika harimau itu membalas menggigit buaya kerdil itu, maka darah buaya itu sendiri akan menjerat harimau itu ke dalam maut,” jawab Ki Wiradadi. Lalu katanya pula, “Apalagi seekor rusa, kijang atau banteng sekalipun.”
Laksana mengangguk-angguk.
“Marilah,” tiba-tiba Manggada mendesak. “Aku menjadi ngeri untuk berlama-lama disini. Jika kaki kita diterkam dan digigitnya, maka kitapun akan habis di rawa-rawa ini.”
Sejenak kemudian mereka telah meninggalkan rawa-rawa itu. Mereka telah mencapai tepi sebuah sungai yang tidak begitu deras airnya. Tetapi nampak sebuah kedung yang cukup luas di tikungan. Ternyata bahwa air sungai itu cukup jernih. Di lereng yang menurun terdapat sebuah tangga yang nampaknya dibuat oleh seseorang. Tidak terlalu tinggi.
Tetapi ketiga orang itu tidak menuruni lereng tanggul itu. Mereka berdiri saja di atas tanggul sambil melihat betapa jernihnya air sungai itu, sehingga dasarnya dapat kelihatan. Ikan-ikan yang hilir mudik dari berbagai jenispun nampak dengan jelas.
“Nampaknya kita berada di tempat yang benar. Marilah, kita ikuti kembali jalan setapak itu. Mungkin akan dapat menunjukkan kepada kita, kemana kita akan pergi selanjutnya,” berkata Ki Wiradadi.
Ketiga orang itupun telah melangkah kembali sepanjang jalan setapak itu. Mereka mengikuti jalur itu sehingga mereka sampai ke tempat yang agak lapang di tengah-tengah lebatnya hutan itu.
“Kita sampai ke tempat yang kita cari,” berkata Ki Wiradadi.
Kedua orang anak muda yang menyertainya mengangguk-angguk. Manggadapun berkata, “Ciri-cirinya sesuai benar dengan keterangan orang-orang yang tertawan itu.”
“Tetapi kita tidak menemukan apa-apa disini,” desis Laksana.
“Memang tidak,” sahut Ki Wiradadi. “Tetapi di sinilah gadis-gadis itu diserahkan kepada orang-orang yang beraliran sesat itu.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi saat-saat penyerahan itu jarang sekali terjadi. Mungkin sebulan sekali di hari-hari yang tidak diketahui.
“Lalu apa yang kita dapatkan disini?” bertanya Laksana.
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan sungguh-sungguh mereka mengamati tempat itu. Beberapa buah batu besar, perapian dan beberapa pertanda yang menjelaskan bahwa tempat itu memang sering dikunjungi orang.
“Orang-orang yang membawa gadis yang akan dijual itu agaknya sering berhenti di tempat yang kita amati sebelum kita menemukan jalur ke sungai. Mereka berhenti di tempat itu untuk menunggu saat-saat penyerahan,” Ki Wiradadi menjelaskan perhitungannya.
“Ya,” Manggada mengangguk-angguk. “Agaknya penyerahan itu hanya dilakukan di hari-hari tertentu.”
Ketiga orang itu menjadi semakin yakin akan penemuan mereka. Karena itu, dengan anak panah siap pada tali busur mereka sehingga setiap saat segera dapat dilepaskan, ketiga orang itu mengamati tempat itu dengan seksama.
Manggada terkejut ketika di balik gerumbul yang rimbun diketemukan sosok kerangka manusia yang tertindih kekayuan silang-melintang, sehingga sulit untuk dapat mengambilnya.
“Apakah mungkin seseorang yang tertimpa batang-batang pepohonan yang roboh?” desis Manggada.
Ki Wiradadi dan Laksana yang kemudian melihat pula kerangka itu, mencoba untuk mengurainya. Namun mereka sependapat bahwa orang itu tertindih kekayuan sehingga mayatnya tidak diseret oleh binatang buas dari tempat itu.
Namun menurut pengamatan Ki Wiradadi, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman cukup luas, ia menduga bahwa yang telah mati itu adalah seorang perempuan.
“Kenapa seorang perempuan?” bertanya Laksana.
Ki Wiradadi menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu.”
“Apakah Ki Wiradadi dapat menduga, berapa lama kerangka itu terbaring di situ?” bertanya Manggada.
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik tulang-tulang itu, mungkin kerangka itu sudah terbaring di tempat itu kira-kira sejak setahun yang lalu.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun sudah pasti bagi mereka, bahwa sosok kerangka itu tentu bukan anak perempuan Ki Wiradadi, karena anak itu belum terlalu lama diambil dari rumahnya.
Namun menitik tempat itu, maka ketiga orang itupun menjadi semakin yakin, bahwa orang-orang yang mengambil gadis-gadis itu adalah orang-orang yang tidak lagi hidup sewajarnya sebagai orang-orang yang beradab.
“Kita akan menelusuri jalan menuju ke tempat mereka,” berkata Ki Wiradadi.
“Kita tidak tahu berapa lama kita akan sampai ke tempat mereka,” desis Manggada.
“Ya, kita tidak mengerti seberapa jauh jalan yang akan kita tempuh. Tetapi kita harus memperhitungkan kemungkinan di tengah-tengah hutan ini,” desis Laksana.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Namun iapun berkata, “Apakah kalian belum pernah mendapat petunjuk bagaimana kita bermalam di dalam hutan yang lebat seperti ini?”
“Kami pernah mempelajarinya,” jawab Manggada. “Bahkan kami telah melakukannya beberapa kali.”
“Apa yang kalian lakukan?” bertanya Ki Wiradadi.
“Memanjat pepohonan,” jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Karena itu katanya, “Jika demikian, bukankah kita tidak akan mengalami kesulitan?”
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi lebih senang bermalam di luar hutan daripada di dalam hutan ini.”
“Jika terpaksa?” bertanya Ki Wiradadi.
“Apa boleh buat,” jawab Laksana.
“Baiklah,” berkata Ki Wiradadi. “Jika demikian, kita akan menelusuri jalan ini. Kita akan sampai ke satu tempat yang barangkali merupakan tempat yang sangat berbahaya.”
“Jika jalan itu yang harus kita tempuh, maka kita akan menempuhnya,” berkata Laksana.
Demikianlah, maka mereka bertiga telah bersiap menempuh satu perjalanan yang berbahaya. Jalan yang sebelumnya tidak mereka dapatkan gambaran sama sekali, karena yang diceriterakan oleh para tawanan hanya sampai ke tempat mereka menyerahkan gadis-gadis di tengah hutan yang lebat itu. Selebihnya tidak seorangpun yang mengetahuinya.
Ki Wiradadi dengan busur yang siap dipergunakan berjalan paling depan sambil mengikuti jejak. Di belakangnya Laksana dan yang paling belakang adalah Manggada.
Ketiganya benar-benar siap melakukan apa saja untuk menembus lebatnya hutan, dan mendekati tempat orang-orang yang beraliran sesat itu. Namun jalan itu memang terlalu rumit. Kadang-kadang mereka seakan-akan telah kehilangan jalur...
Selanjutnya, Menjenguk Cakrawala Bagian 07 |