MANGGADA, Laksana dan Ki Wiradadi menundukkan kepalanya. Mereka melihat bagaimana orang tua itu mengangkat tangannya dan kemudian melontarkan ilmunya membuat lima buah lubang yang cukup untuk mengubur lima sosok mayat.
Dengan demikian mereka dapat membayangkan betapa besar kemampuan ilmu orang itu dibandingkan dengan mereka bertiga. Dibandingkan dengan anak panah dan busur mereka. Dibandingkan dengan pedang dan pisau-pisau kecil mereka.
Karena ketiga orang itu tidak menyahut, Ki Ajar pun berkata, “Lihat lagi luka itu. Obati lagi jika perlu.”
Manggadalah yang kemudian melihat lagi luka saudara sepupunya. Ia memang merasa perlu untuk menaburkan lagi obat pada luka Laksana.
Dalam pada itu, Ki Ajar berkata lagi, “Padepokanku tidak berisi apa-apa. Berbeda dengan padepokan Ki Lebdagati yang dihuni banyak pengikutnya. Aku tinggal di padepokanku sendiri.”
“Sendiri?” bertanya Ki Wiradadi.
Ki Ajar Pangukan tertawa. Katanya dengan nada rendah, “Ya, sendiri saja. Jika aku tinggal bersama beberapa orang, maka kehadiranku di sini akan segera diketahui oleh Sang Panembahan.”
Ketiganya tidak menyahut. Mereka kemudian meneruskan perjalanan. Padang perdu itu semakin lama memang menjadi semakin banyak ditumbuhi pepohonan yang cukup besar. Pohon mindi, pakis hutan dan beberapa jenis pohon berduri. Ilalangpun tumbuh semakin tinggi.
Beberapa saat kemudian mereka melintasi sebuah parit yang berair bening. Namun mereka mendengar tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah gerojogan. Agaknya air parit itu sampai ke lereng yang agak terjal.
Ki Ajar agaknya mengetahui bahwa ketiga orang itu sedang memperhatikan suara gerojogan. Katanya, “Kita memang akan pergi ke gerojogan itu.”
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun Ki Ajar berkata, “Marilah. Kita teruskan perjalanan kita. Sebelum senja kita harus sudah sampai.”
Ketiga orang itu menengadahkan wajahnya hampir berbareng. Matahari memang sudah menjadi semakin rendah. Beberapa saat mereka berjalan. Mereka memanjat tebing, tak lama kemudian meniti jalan-jalan sempit yang menurun. Meloncati bebatuan, dan sekali-sekali meluncur berpegangan rumput-rumput liar, sehingga mereka tiba di sebuah lembah yang diapit oleh lereng yang ditumbuhi berbagai macam pepohonan besar dan kecil.
Seakan-akan mereka memasuki lembah hijau subur, jauh berbeda dengan tanah-tanah gersang yang baru saja mereka lewati. Suara gerojogan itu semakin dekat. Akhirnya mereka sampai ke lingkungan yang basah, seperti rawa dangkal.
“Itulah gerojogan itu,” berkata Ki Ajar Pangukan.
Gerojogan itu cukup tinggi. Air dari parit yang tadi mereka seberangi, meluncur dari atas tebing dan jatuh ke lembah. Kemudian mengalir menelusuri lembah itu dan hilang ke dalam rimbunnya pepohonan di lembah itu.
“Marilah,” berkata Ki Ajar Pangukan. “Aku persilahkan kalian singgah di padepokanku.”
Ketiga orang itu mengerutkan keningnya. Namun sambil tertawa Ki Ajar berkata, “Padepokan menurut pengertianku. Memang agak lain dari padepokan menurut pengertian orang lain.”
Keempat orang itu kemudian memanjat kembali lereng lembah itu. Kemudian berbelok di belakang pepohonan. Ternyata terdapat sebuah dataran yang tidak terlalu luas. Di atas dataran yang nampaknya sengaja dibuat itu, terdapat sebuah rumah kecil, beratap ilalang.
“Inilah padepokanku,” berkata Ki Ajar sambil tertawa.
Ketiga orang yang mengikutinya mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya, Ki Wiradadi bertanya, “Ki Ajar tinggal seorang diri di sini?”
“Ya. Seorang diri,” jawab Ki Ajar. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku dikawani oleh seorang pembantuku. Seorang yang bertubuh cacat. Agak bongkok dengan kaki yang sedikit timpang. Ia adalah orang yang setia dan baik. Setiap pagi ia mengambil air dari gerojogan itu, dan kemudian menyediakan minum dan makanku. Mencari kayu bakar dan menyapu halaman.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun sementara itu, Ki Ajarpun telah mempersilahkan ketiga tamunya memasuki halaman yang memang nampak bersih.
“Duduklah.” Ki Ajar telah membawa tamunya duduk di serambi, di sebuah amben bambu yang panjang. Sementara Ki Ajar sendiri langsung masuk ke dalam rumahnya.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu duduk sambil mengamati keadaan di sekelilingnya. Suara gerojogan masih terdengar. Hanya kadang-kadang angin berubah arah, sehingga suaranya menjadi lemah. Tetapi sering terdengar gerojogan itu menjadi begitu dekat.
Halaman rumah Ki Ajar nampak bersih, meski tanpa tanaman hias. Agak jauh dari rumah, terdapat kebun pisang yang agak luas. Di belakang kebun itu, terdapat rumpun bambu lebat.
Agaknya kebun di belakang rumah Ki Ajar itu berhubungan langsung dengan hutan yang tumbuh memanjang di sekitar gerojogan. Hutan yang tidak terlalu luas, namun agaknya cukup lebat. Bahkan masih ada beberapa batang pohon raksasa bertebaran.
Ketiga orang itu tertarik pada beberapa jenis burung yang ada di sekitar rumah itu. Burung yang kicaunya seakan-akan mendekatkan ketiga orang itu pada alam. Suara angin, gerojogan, burung berkicau, dan suara kera, pelengkap suasana tenang padepokan itu.
Namun ketiganya terkejut ketika tiba-tiba saja sepasang harimau memasuki halaman itu. Keduanya berjalan begitu tenang, seakan-akan mereka sudah terbiasa berada di tempat itu. Namun sepasang harimau itu terkejut ketika melihat tiga orang berada di serambi rumah itu. Dengan cepat, ketiga orang itu meraih busurnya dan memasang anak panah.
Tetapi sesaat kemudian terdengar suara Ki Ajar, “Keduanya adalah harimau yang jinak. Keduanya tidak pernah mengganggu aku. Karena itu, akupun tidak mengganggu mereka. Si Bongkok telah memelihara harimau itu sejak masih muda.”
Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ki Ajar yang keluar dari dalam rumahnya langsung turun ke halaman. Kedua ekor harimau itu memandanginya. Mereka menundukkan kepala ketika Ki Ajar kemudian membelai tengkuk keduanya.
“Pergi saja ke kebun. Kau mengejutkan tamu-tamuku,” berkata Ki Ajar.
Tetapi Manggada berkata, “Jika kedua harimau itu tidak berbahaya, biar saja keduanya berada di halaman, Ki Ajar.”
Ki Ajar tersenyum. Ditepuknya harimau itu. Seakan-akan mengetahui maksud orang tua itu, keduanyapun kemudian berjalan perlahan-lahan ke luar halaman dan hilang di dalam semak-semak.
Ketika Ki Ajar kemudian duduk bersama mereka, ia berkata, “Maaf, aku sedang menghidupkan api di perapian. Aku sedang merebus air. Si Bongkok nampaknya baru keluar.”
“Ki Ajar tidak usah terlalu repot,” berkata Ki Wiradadi.
“Aku mempersilahkan kalian singgah. Karena itu, aku harus menyediakan suguhan bagi kalian, meski hanya air,” jawab Ki Ajar yang kemudian berdiri dan masuk lagi ke dalam rumahnya untuk melihat apakah api di perapian tidak padam.
Ketika Ki Ajar duduk kembali di serambi, ia berkata, “Tempat ini cukup tersembunyi. Panembahan Lebdagati tidak akan dapat mengetahui kehadiran orang lain di sebelah Hutan Jatimalang, di lereng gunung ini. Dari tempat ini aku sudah cukup lama mengamati apa yang dilakukan oleh Sang Panembahan.”
“Apakah Ki Ajar sudah mendapatkan kesimpulan?” bertanya Ki Wiradadi.
“Belum kesimpulan akhir,” berkata Ki Ajar. “Tetapi yang terang, Panembahan Lebdagati menganut aliran kepercayaan sesat. Bahkan kadang-kadang tidak dapat disebut sebagai orang yang waras. Ia memang mengorbankan gadis-gadis untuk menemukan inti kekuatan bumi. Nampaknya Lebdagati percaya, bahwa dengan lakunya yang sesat itu ia akan menemukan kekuatan menjadi orang tak terkalahkan. Bukan saja kemampuan ilmunya, tetapi juga pusakanya. Panembahan itu memiliki sebilah keris besar, yang pada tiap bulan purnama harus dicuci dengan darah seorang gadis. Dengan demikian, kepercayaannya yang sesat itu telah membuatnya setiap kali mengorbankan nyawa gadis-gadis yang diambilnya dari balik Hutan Jatimalang.”
“Dan Ki Ajar tidak berusaha mencegahnya?” bertanya Laksana.
“Bagaimana aku dapat mencegahnya?” sahut Ki Ajar. “Jika aku mendekati induk padepokannya, itu berarti aku akan membunuh diri.”
“Jika hal itu telah Ki Ajar yakini, kenapa Ki Ajar tidak melaporkannya ke Pajang? Jika Pajang mengirimkan pasukan segelar sepapan, maka betapapun kuatnya pertahanan Panembahan Lebdagati, padepokannya tentu akan dapat dihancurkan,” berkata Laksana.
Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Tidak mudah untuk meyakinkan Pajang, bahwa hal seperti ini terjadi balik Hutan Jatimalang.”
“Tetapi pada peristiwa terakhir, hilangnya anak perempuan Ki Wiradadi, persoalannya telah dilaporkan kepada prajurit Pajang. Beberapa orang petugas sandi sedang berusaha memecahkan persoalannya. Bagaimana jika Ki Ajar memberikan keterangan kepada mereka, sehingga mempermudah langkah-langkah yang akan diambil oleh para prajurit Pajang itu?”
“Soalnya tidak begitu sederhana, anak muda,” berkata Ki Ajar. “Jika prajurit itu datang dan tidak menemukan bukti apapun, bagaimana mereka dapat mengambil tindakan? Jika sepasukan prajurit datang, maka yang akan mereka temui adalah padukuhan-padukuhan sebagaimana padukuhan kebanyakan. Mereka tidak akan menemukan sebuah padepokan dengan sanggar khusus untuk menyerahkan persembahan bagi ilmu sesat mereka. Tidak akan ada alas persembahan, di mana gadis-gadis itu dibaringkan kemudian ditusuk dengan keris itu tepat pada jantungnya. Para prajurit itu tidak akan menemukan apa-apa.”
“Tetapi sikap bermusuhan seperti yang dilakukan oleh kelima orang itu, akan dapat dipergunakan sebagai alasan penyelidikan selanjutnya di lingkungan ini,” berkata Laksana pula.
Ki Ajar itu tersenyum. Katanya, “Jika yang datang pasukan Pajang, mereka tidak akan menjumpai orang-orang seperti itu.”
“Jadi?” desak Laksana.
“Yang dijumpai oleh para prajurit Pajang adalah para petani yang bekerja tekun di sawah mereka masing-masing. Mencangkul dan menyiangi tanaman, memperbaiki tanggul dan pematang, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Para prajurit Pajang tidak akan bertemu dengan orang yang bernama Panembahan Lebdagati, meskipun orang yang disebut panembahan itu telah berbincang-bincang dengan para prajurit sebagai seorang petani yang menunggui air di tepi parit,” berkata Ki Ajar.
“Licik sekali,” geram Laksana.
“Licik dan memang mengerikan,” berkata Ki Ajar. Lalu katanya, “Bagi kalian, anak-anak muda, apa yang terjadi di balik Hutan Jatimalang itu akan dapat memperluas cakrawala penglihatan kalian atas isi dunia ini. Hal yang tidak pernah kalian bayangkan telah terjadi di balik cakrawala penglihatan kalian.”
Laksana mengangguk-angguk. Namun yang kemudian berbicara adalah Ki Wiradadi, “Jangankan anak-anak muda itu. Apa yang aku ketahui agaknya masih terlalu sempit. Rasa-rasanya kedatangan kami kemari bagaikan sedang menjenguk peristiwa yang terjadi di balik cakrawala penglihatan kami yang sempit.”
“Sudahlah,” berkata Ki Ajar. “Adalah kebetulan bahwa aku berada di sini, sehingga aku dapat menceriterakan kemungkinan-kemungkinan itu.”
“Bukan satu kebetulan,” desis Manggada.
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Anak muda yang seorang ini agaknya memang mampu berpikir lebih tenang dari yang lain. Namun demikian Ki Ajar menjawab, “Agaknya memang gabungan antara kebetulan dan kesengajaan.”
Manggada tersenyum. Katanya, “Apapun yang Ki Ajar lakukan, namun Ki Ajar tentu akan dapat mendekatkan kami kepada persoalan yang ingin kami pecahkan.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Sementara Ki Wiradadi berkata, “Waktu kita tinggal sedikit. Jika saatnya purnama naik, maka akan ada lagi satu jiwa melayang. Mungkin yang akan mendapat giliran kali ini adalah anak perempuanku.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Perbuatan itu memang harus dihentikan. Menurut pendengaranku, keris itu menuntut seratus nyawa untuk menjadikannya pusaka tidak ada duanya di dunia. Jika keris itu ditusukkan untuk keseratus kalinya pada jantung seorang gadis, maka keris itu akan mempunyai tuah yang tidak ada bandingnya. Keris itu akan sanggup melawan semua pusaka yang ada di tanah ini. Termasuk Kangjeng Kiai Pleret.”
Terasa bulu tengkuk mereka meremang mendengarkan penjelasan itu. Seratus orang gadis? Benar-benar satu kepercayaan yang bukan saja sesat, tapi gila. Dalam pada itu, Ki Ajar berkata, “Dengan demikian kita tidak boleh tergesa-gesa. Jika selama ini aku sendiri, maka sekarang aku mendapat tiga orang kawan. Tentu satu dukungan yang sangat besar, sehingga pada saatnya aku tidak akan bekerja sendiri.”
“Tetapi di hadapan Ki Ajar, ternyata kami masih terlampau kecil untuk dapat ikut membantu. Apa yang dapat kami lakukan di daerah ini, jika Ki Ajar saja merasa banyak mengalami kesulitan?” berkata Manggada.
Ki Ajar tertawa. Katanya, “Kau terlalu merendahkan diri. Tetapi kita masih mempunyai kesempatan beberapa hari. Kita dapat membuat perhitungan yang paling baik untuk bertindak.”
Namun Ki Wiradadi nampaknya menjadi sangat gelisah. Bagaimanapun juga, anak perempuannyalah yang berada di tangan orang-orang berkepercayaan sesat itu. Ia tidak dapat berpikir begitu tenang seperti Ki Ajar.
Tetapi Ki Wiradadi tidak dapat berbuat lebih banyak. Nampaknya medan yang dihadapinya benar-benar sangat berat. Ia tidak akan dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Tetapi Ki Wiradadi juga tidak mau berdiam diri hingga ada berita anaknya telah menjadi korban dari ilmu sesat itu.
Selagi mereka berbincang di serambi, mereka melihat pembantu Ki Ajar, seorang bongkok dan timpang, memasuki halaman. Dua ekor harimau mengikutinya. Orang bongkok itu berhenti di pintu pagar dan mengusir kedua ekor harimau itu. Nampaknya kedua ekor harimau itu agak malas pergi, sehingga orang bongkok itu harus melemparinya dengan batu.
“Kedua ekor harimau itu sangat manja kepadanya,” berkata Ki Ajar.
“Apakah orang itu pawang harimau yang dapat menguasai semua harimau, atau hanya kedua ekor harimau itu?” bertanya Laksana.
“Hanya kedua ekor harimau itu. Kedua ekor harimau itu bersahabat dengan orang itu sejak bayi, sejak kedua ekor harimau itu ditinggalkan induknya,” berkata Ki Ajar.
Ketiga orang tamu Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Ki Wiradadi kemudian bertanya, “Siapakah nama pembantu Ki Ajar?”
“Aku memanggilnya Si Bongkok. Begitu saja,” jawab Ki Ajar.
“Tetapi jika kami menyebutnya demikian, tentu kami telah berbuat tidak sopan. Bagaimanapun juga, ia tentu mempunyai nama atau sebutan,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Ajar tidak segera menjawab. Dipanggilnya orang bongkok itu, “Bongkok, kemarilah.”
Orang bongkok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun ke serambi.
“Aku mempunyai tiga orang tamu,” berkata Ki Ajar.
Orang bongkok itu memandangi ketiga orang itu dengan curiga. Ketika matanya singgah pada busur dan anak panah, ia berdesis, “Kalian pemburu-pemburu yang tidak berjantung.”
“Bongkok,” potong Ki Ajar, “mereka adalah tamu-tamuku.”
“Aku melihat busur dan anak panah ada pada mereka. Mereka tentu pemburu-pemburu yang membunuh binatang tanpa perhitungan. Mereka adalah pemburu-pemburu yang asal saja mendapat banyak kulit berbagai jenis binatang yang dapat dijualnya dengan harga mahal,” geram orang bongkok itu.
“Diamlah,” berkata Ki Ajar kemudian. “Bertanyalah kepadaku, siapakah mereka.”
Orang bongkok itu termangu-mangu. Namun Ki Ajar membentak, “Cepat. Bertanyalah kepadaku.”
“Siapakah mereka, Ki Ajar?” orang bongkok itu kemudian bertanya.
Ki Ajar tertawa. Kemudian menjawab, “Mereka adalah tamu-tamuku. Akulah yang mempersilahkan mereka singgah di gubuk kita ini. Karena itu, kau harus bersikap baik kepada mereka.”
“Dimana Ki Ajar bertemu dengan mereka?” bertanya orang bongkok itu.
“Di jalan yang menuju ke Padepokan Lebdagati,” jawab Ki Ajar.
“Nah, bukankah mereka pemburu yang telah memasuki Hutan Jatimalang dan yang barangkali tersesat sehingga tidak dapat keluar lagi ke arah yang benar?” berkata orang bongkok itu.
“Kau jangan memperbodoh orang lain,” berkata Ki Ajar. “Mereka memang pengembara. Mereka tidak begitu mudah tersesat. Apalagi mereka mendapat petunjuk dari kemiringan tanah dan arah puncak gunung itu.”
“Jadi, apa yang terjadi atas mereka? Apakah mereka ingin berburu di hutan pegunungan yang mempunyai beberapa jenis binatang berkaki belah, yang tidak dimiliki oleh Hutan Jatimalang?” bertanya orang bongkok itu.
“Kemarilah,” suara Ki Ajar menjadi lunak. “Perkenalkan dirimu. Selama ini aku memanggilmu dengan Si Bongkok saja. Tetapi ketika aku sebut nama itu, ketiga tamuku menolak. Mereka merasa diri mereka tidak sopan dengan menyebut cacatmu itu. Karena itu. duduklah, dan sebut namamu. Kemudian kita berbicara tentang tamu-tamu kita serta niat mereka.”
Orang bongkok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia duduk bersama mereka di serambi itu.
“Kau dapat mengukur betapa mereka mematuhi unggah-ungguh, meskipun mereka pengembara. Jika bukan mereka, maka aku kira tidak akan berkeberatan untuk memanggilmu dengan cacat punggungmu itu. Karena itu, kaupun harus menempatkan dirimu. Meskipun kau sudah lama tinggal di hutan dan di tempat terpencil seperti ini, kau dahulu juga pernah mengenal unggah-ungguh,” berkata Ki Ajar.
Orang bongkok itu mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Aku minta maaf, Ki Sanak. Aku sudah terlalu lama tinggal di tempat ini, berkawan binatang, sehingga aku banyak melupakan unggah-ungguh.”
“Tidak apa, Ki Sanak,” jawab Ki Wiradadi yang kemudian telah memperkenalkan namanya dan menyebut nama kedua anak muda yang bersamanya itu. Namun akhirnya iapun bertanya, “Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku pun ingin tahu, siapakah nama Ki Sanak.”
Orang bongkok itu termangu-mangu. Namun rasa-rasanya memang aneh baginya untuk menyebut namanya yang sudah lama sekali tidak diucapkan.
Namun Ki Ajar berkata, “Kau tentu pernah punya nama.”
Orang bongkok itu mengangguk. Katanya, “Namaku di masa kecil Pandi, Ki Sanak. Karena aku ompong sejak kecil, aku disebut Pandi Ompong. Bahkan bukan saja aku ompong, tapi cacat tubuhku itu juga terjadi ketika aku terjatuh ke dalam jurang ketika aku berumur sekitar duabelas tahun.”
“Kenapa?” bertanya Ki Wiradadi.
“Kenakalan anak-anak. Sudah berpuluh kali orang tuaku melarang aku mencari siwalan yang tumbuh di lereng jurang. Tetapi aku dan beberapa orang kawan rasa-rasanya tidak pernah menghiraukannya, sehingga pada suatu hari aku telah terjatuh, langsung masuk ke dalam jurang. Untunglah Yang Maha Agung masih membiarkan aku hidup, meskipun cacat. Namun cacat di tubuhku itulah agaknya yang telah membuat aku mengasingkan diri,” jawab orang bongkok itu.
“Baiklah, Ki Pandi,” berkata Ki Wiradadi. “Dengan demikian aku mempunyai sebutan untuk memanggilmu.”
Ki Ajar kemudian memberitahukan kepada orang bongkok itu, kenapa orang-orang itu telah melintasi Hutan Jatimalang dan mendaki lereng gunung.
Si Bongkok mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah kalian bertemu dengan Ki Ajar. Jika tidak, aku yakin kalian tidak akan dapat menolong gadis itu, dan bahkan kalianpun akan menjadi korban pula.”
“Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi,” berkata Ki Wiradadi.
“Sudahlah,” berkata Ki Ajar. “Yang penting bagi kita, bagaimana kita dapat menembus lingkungan Panembahan Lebdagati itu.”
Ki Wiradadi hanya mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Ajar minta Ki Pandi untuk menyelesaikan minuman.
“Aku sudah menjerang air,” berkata Ki Ajar.
Ketika Ki Pandi masuk ke ruang dalam, Ki Ajar mengajak ketiga orang tamunya untuk berjalan-jalan di halaman rumahnya, melihat-lihat kebun di belakang sambil berbicara tentang kemungkinan yang paling baik yang dapat mereka lakukan. Ternyata di belakang rumah Ki Ajar banyak terdapat tanaman yang dapat menjadi bahan makanan mereka. Ketela pohon dan ketela rambat. Bahkan di lereng gumuk kecil telah ditanami dengan jagung.
“Kami juga menanam padi,” berkata Ki Ajar.
“Kenapa Ki Ajar tinggal di sini?” bertanya Laksana tiba-tiba.
Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Di sini aku mendapat ketenangan.”
“Tetapi tenaga yang tersimpan di dalam diri Ki Ajar yang seharusnya sangat berarti bagi banyak orang, bagaikan hilang ditelan sepinya lingkungan ini,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Ajar memandang Ki Wiradadi beberapa saat. Namun kemudian sambil merentangkan tangannya ia berkata, “Hidupku memang sudah tidak banyak berarti lagi.”
“Bukannya tidak berarti,” jawab Ki Wiradadi, “tetapi Ki Ajar sendiri tidak memberikan arti, meskipun sebenarnya hidup Ki Ajar akan dapat sangat berarti.”
“Sudahlah,” berkata Ki Ajar. “Kita mempunyai masalah yang harus kita pecahkan. Orang-orang yang berkepercayaan sesat itu.”
Jantung Ki Wiradadi bergetar. Katanya, “Maaf, Ki Ajar. Aku hampir melupakannya. Nampaknya justru di sini hidup Ki Ajar akan sangat berarti.”
“Sudahlah,” ulang Ki Ajar. “Bukan saatnya untuk memuji. Kita memang harus menemukan satu cara yang terbaik. Tetapi kita harus mengakui kenyataan tentang keadaan lawan.”
“Ya, Ki Ajar,” desis Ki Wiradadi.
Ketiganya kemudian sempat duduk di sebuah batu padas yang besar di kebun belakang rumah Ki Ajar. Dengan nada rendah Ki Ajar berkata, “Kehadiran kalian memang memberikan harapan. Jika semula aku sendiri, sekarang setidak-tidaknya aku menjadi berempat.”
“Tetapi kami tidak berarti apa-apa, Ki Ajar,” berkata Ki Wiradadi.
“Jangan berkata begitu,” sahut Ki Ajar. “Aku sudah melihat bagaimana kalian menghadapi kelima orang itu. Namun bukankah kalian menyadari, apa yang akan terjadi? Padepokan Ki Lebdagati akan kehilangan lima orangnya. Mustahil bahwa orang dari padepokan Lebdagati meninggalkan lingkungannya dan tidak kembali.”
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Wiradadi berkata, “Kami menyadari, Ki Ajar.”
“Nah, bukankah genderang perang sudah dipalu?” bertanya Ki Ajar.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Wiradadi berkata, “Mungkinkah Panembahan Lebdagati akan menyebar orang-orangnya untuk mencari kelima orang yang hilang itu?”
“Ya. Mereka agaknya akan menemukan kuburan itu,” jawab Ki Ajar
“Tetapi kuburan itu sama sekali tidak diberi tanda apa-apa. Bagaimana mungkin mereka dapat menemukan di daerah seluas ini?” bertanya Ki Wiradadi.
“Mungkin juga tidak,” jawab Ki Ajar. Namun kemudian katanya, “Tetapi mereka akan menemukan tanda-tanda tempat yang dihuni orang, seperti tempat kita ini.”
Ki Wiradadi menundukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Aku minta maaf, Ki Ajar. Rasa-rasanya kami telah membangunkan Ki Ajar yang sedang nyenyak. Bahkan menghadapkan Ki Ajar pada kesulitan yang dapat berakibat gawat.”
“Jangan terlalu sering menyalahkan diri sendiri,” berkata Ki Ajar. “Justru kita harus bersyukur karena kita dapat bertemu dan memiliki tujuan sama, menghancurkan aliran yang sesat itu.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Namun ia kemudian berdesis, “Tetapi apakah kita akan dapat ingkar pada kenyataan tentang kemampuan diri sendiri?”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita masih mempunyai beberapa hari menjelang malam purnama. Kita masih melihat bulan sabit yang tidak lebih dari setebal lidi. Karena itu kita akan mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
“Apa yang harus kita kerjakan, Ki Ajar?” bertanya Ki Wiradadi.
“Menunggu sampai orang-orang mereka datang kemari. Bahkan kita mengharap akhirnya panembahan itu sendiri datang pula kemari,” jawab Ki Ajar.
Ki Wiradadi jadi agak bingung. Karena itu ia bertanya, “Apakah kita menggantungkan penggunaan waktu itu pada mereka? Bagaimana jika mereka baru mencari kita setelah purnama?”
Ki Ajar menggeleng. Katanya, “Tidak. Tidak sampai sepuluh hari semuanya akan selesai. Tetapi kita tidak dapat meramalkan akhir dari persoalan ini. Apakah kita berhasil menghancurkan kepercayaan sesat itu atau justru kita yang akan mereka binasakan. Tetapi bukankah itu akibat yang wajar?”
“Ya, Ki Ajar,” jawab Ki Wiradadi.
“Nah, bagaimanapun juga, ada baiknya kita berusaha. Sebenarnya aku segan untuk mengatakannya. Tetapi apa boleh buat.” Ki Ajar berhenti sejenak, lalu, “Aku ingin menawarkan kepada kalian bertiga untuk sama-sama berlatih. Mungkin akan sangat berarti jika pada suatu saat kita bertemu dengan pengikut Panembahan Lebdagati. Melihat apa yang kalian lakukan menghadapi kelima orang itu, aku berpengharapan kalian dapat melakukan tugas dengan baik jika kalian menyempatkan diri berlatih bersama aku.”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Dari wajah dan sorot mata mereka memancar kegembiraan. Karena dengan demikian, ilmu mereka akan bertambah.
Namun yang menjawab adalah Ki Wiradadi, “Kemurahan hati Ki Ajar sangat kami hargai.”
“Jika demikian, setelah beristirahat, nanti akan segera kita mulai. Waktu kita tidak cukup banyak,” berkata Ki Ajar.
Demikianlah, sejenak kemudian, mereka telah berada di serambi gubuk itu lagi. Ternyata yang dihidangkan oleh orang bongkok, yang bernama Ki Pandi Ompong, bukan hanya minuman, tapi juga jagung bakar yang masih hangat.
“Marilah,” Ki Ajar mempersilahkan.
Hidangan itu menyenangkan hati Manggada dan Laksana. Sebenarnyalah mereka sudah merasa lapar. Seperti yang dikatakan Ki Ajar setelah beristirahat secukupnya, mereka lantas pergi ke lereng bukit kecil. Ternyata Ki Ajar telah membuat sanggar terbuka yang cukup luas, meskipun di atas lantai yang agak sulit karena sebagian miring, berpuntuk-puntuk kecil, berlubang-lubang dan berbatu-batu padas runcing.
“Aku tidak dapat membuat sanggar yang memenuhi syarat,” berkata Ki Ajar.
“Tapi ini justru sanggar terbuka yang bagus sekali,” desis Manggada. “Di sini kita dapat berlatih dengan cara yang jauh lebih baik dari sebuah sanggar tertutup yang sempit dan miskin dari kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan seperti ini. Biasanya lantai sanggar dibuat rata, halus dan bahkan diatur sebaik-baiknya. Tempat lompatan yang bagus dan sudah dihaluskan agar kaki kita tidak tergores, tali-tali yang telah ditata serta kotak-kotak pasir yang terawat, justru kurang memberi keleluasaan.”
Ki Ajar hanya tersenyum sambil menjawab, “Jika aku mampu, akupun akan membuat sanggar yang terawat agar kita lebih mampu mensiasati ruangan sempit. Namun nampaknya yang ada inipun cukup memadai.”
“Justru lebih menguntungkan,” sahut Manggada.
Ki Ajar hanya tersenyum. Kemudian ia mulai bersiap-siap melakukan latihan. Tetapi sebelumnya, Ki Ajar berkata, “Aku mohon maaf. Sebelum latihan dimulai, aku ingin tahu seberapa jauh puncak kemampuan kalian. Aku sudah melihat kalian bertempur, sehingga aku sudah mempunyai ancar-ancar. Namun aku masih ingin meyakinkannya.”
Demikianlah, Manggada dan Laksana kemudian melakukannya lebih dahulu. Berdua mereka bersama-sama melakukan latihan olah kanuragan. Mereka saling menyerang dan menghindar, desak-mendesak dan saling menekan.
Dalam latihan yang nampaknya seperti sungguh-sungguh itu, Ki Ajar memang melihat bahwa ilmu Manggada nampak lebih dewasa dari Laksana. Namun demikian, Manggada yang umurnya lebih tua sedikit agak menahan diri, sehingga mereka berdua nampaknya berada pada lapisan yang sama.
“Terima kasih,” berkata Ki Ajar setelah ia merasa cukup. Kemudian katanya, “Aku mohon maaf, Ki Wiradadi. Mudah-mudahan Ki Wiradadi tidak tersinggung karenanya.”
“Tentu tidak,” berkata Ki Wiradadi.
Seperti terhadap kedua anak muda tadi, Ki Ajar memperhatikan unsur-unsur gerak ilmu Ki Wiradadi. Pada Ki Wiradadi, Ki Ajar melihat pengalaman yang jauh lebih luas dari kedua anak muda itu. Namun yang pada dasarnya, alas ilmu kedua anak muda itu lebih tinggi dari Ki Wiradadi. Meskipun demikian, selisih itu tidak terlalu banyak. Sementara pengalaman Ki Wiradadi dapat menutup kekurangannya.
“Terima kasih,” berkata Ki Ajar. “Dengan demikian, kita tahu dari mana akan memulai latihan. Yang penting, kita harus meningkatkan ilmu yang memang sudah ada pada diri kita. Jika kita menyadap jenis ilmu yang lain, memerlukan waktu untuk melihat apakah ilmu yang baru dan ilmu yang telah ada di dalam diri kita tidak saling berbenturan.”
“Kita menyerahkan segalanya pada kebijaksanaan Ki Ajar,” berkata Ki Wiradadi sambil mengusap peluhnya.
Ternyata Ki Ajar adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Setelah memperhatikan kemampuan ketiga orang itu, ia mampu menentukan satu patokan untuk memulai latihan. Ia sama sekali tidak memberikan pengetahuan, apalagi ilmu baru. Ia hanya memacu orang itu untuk dapat melepaskan kekuatan dan kemampuan mereka berdasarkan ilmu yang telah mereka miliki.
Ternyata latihan-latihan itu sangat menarik bagi Manggada dan Laksana. Sementara Ki Wiradadi yang umurnya telah melambat tua, tidak dapat maju sepesat Manggada dan Laksana. Namun demikian, Ki Wiradadi tetap mendapatkan kemajuan yang berarti. Seakan-akan tenaganya jadi semakin kuat, dan daya tahan tubuhnya seakan bertambah.
Sementara itu, Manggada dan Laksana yang dinyatakan telah mewarisi segenap ilmu guru mereka dengan tuntas, namun sulit mengembangkannya, seolah-olah mendapatkan jalan. Pengalaman mereka memang mampu mengembangkan ilmu mereka, meski hanya sekedarnya. Apalagi pengalaman mereka yang masih terlalu sedikit. Namun atas petunjuk dan tuntunan Ki Ajar, ilmu mereka berkembang dengan cepat.
Unsur-unsur gerak yang lebih mereka kuasai menemukan bentuk perkembangannya, sehingga mereka menguasai ilmu yang semakin luas. Mereka pun telah mendapat petunjuk dari Ki Ajar, apa yang sebaiknya mereka lakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dengan ilmu yang ada pada mereka.
Sejak saat itu ketiganya menetap di pondok Ki Ajar. Mereka mulai bergaul lebih akrab dengan Ki Pandi Ompong yang cacat. Mereka bertiga pun mulai berkenalan dengan sepasang harimau yang menjadi piaraan Ki Ajar.
Sesekali ketiga orang itu dikejutkan auman dahsyat pasangan harimau itu. Seakan-akan keduanya sedang bertempur dengan garangnya. Ketika mereka menghampiri, ternyata Ki Pandi sedang bermain-main dengan kedua ekor harimau itu. Ia seolah tengah melatih kedua ekor harimau itu untuk berkelahi lebih baik daripada sekedar menggantungkan naluri. Dan ternyata pasangan harimau itu mampu, sebagaimana Manggada dan Laksana mampu mengembangkan kemampuan dasar yang telah mereka miliki.
Demikianlah, dari hari ke hari mereka tenggelam dalam latihan-latihan, sehingga kemampuan mereka benar-benar berkembang. Suatu hari, selagi Ki Ajar, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana duduk beristirahat di serambi setelah melakukan latihan yang melelahkan, Ki Pandi datang dengan tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah dan keringat mengembun di keningnya.
“Ada apa, Bongkok?” bertanya Ki Ajar.
“Aku melihat lima orang berkeliaran di seberang gumuk kecil itu,” jawab Ki Pandi bergetar.
“Biar saja. Kenapa? Bukankah gumuk itu masih agak jauh?” bertanya Ki Ajar.
Ki Pandi Ompong yang bongkok itu, termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Bagaimana jika mereka sampai ke tempat ini?”
“Kita akan mempersilahkan mereka duduk,” berkata Ki Ajar. “Tetapi sudah tentu mereka tidak akan kami persilahkan meninggalkan tempat ini.”
Orang Bongkok itu nampaknya masih belum puas dengan jawaban Ki Ajar. Namun Ki Ajar berkata, “Baiklah. Awasi mereka. Bawa kentongan. Jika kau perlukan kami, pukul kentongan itu”
Orang bongkok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengamati mereka.”
Demikian orang bongkok itu bergerak, di semak-semak di luar pagar, nampak dua ekor harimau berlari-lari menjauh.
“Bongkok,” berkata Ki Ajar, “hati-hati dengan harimau itu. Kendalikan mereka agar mereka tidak mendahului kita.”
“Baiklah, Ki Ajar,” jawab Ki Pandi.
Sejenak kemudian Ki Pandi telah meninggalkan serambi gubuk itu sambil menggapai kentongan kecil yang tergantung di sudut. Beberapa saat kemudian orang bongkok itu hilang di balik pohon-pohon perdu, menyusul kedua ekor harimaunya.
Sepeninggal Ki Pandi, Ki Ajar berdesis, “Nampaknya mereka sudah mulai. Sementara itu saat bulan purnama menjadi semakin dekat. Kalian telah memanfaatkan waktu yang pendek ini dengan meningkatkan ilmu kalian. Sebaliknya aku berterus-terang tentang ilmu kalian. Aku sangat mengagumi Manggada dan Laksana. Dalam waktu singkat, kalian berdua telah mampu meningkatkan ilmu kalian pada tataran yang jauh lebih tinggi. Bahkan di luar dugaanku sendiri. Bekal yang kalian bawa adalah bekal yang telah mapan, sehingga dengan sedikit pengembangan, kalian jadi perkasa. Kalian telah mencapai tataran puncak dalam pengerahan tenaga cadangan, yang ada dalam diri kalian. Kalian telah menguasai segala unsur olah kanuragan. Meskipun pada dasarnya unsur-unsur itu adalah hasil yang dilahirkan oleh perguruanmu. Namun dengan pengembangannya, maka segala persoalan dalam olah kanuragan akan dapat diatasi. Sedangkan Ki Wiradadi, yang telah mencapai masa-masa pertengahannya, memang tidak dapat maju sejauh kedua anak muda itu. Tetapi kemampuan Ki Wiradadipun telah memadai. Pisau-pisau kecil yang kalian bawa akan memberikan perlindungan kepada kalian bertiga. Pedang kalian akan dapat melindungi kalian pula dari senjata lawan, sekaligus akan mampu menghancurkannya. Akupun tidak berkeberatan kalian membawa busur dan anak panah serta keris. Mungkin semuanya akan memberi arti tersendiri, karena kalian akan menghadapi lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya.”
Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda itu mengangguk hormat. Ki Wiradadi memang sudah merasa, bahwa keterbatasannya, serta umurnya yang sudah menjadi semakin tua, telah menjadi hambatan yang sulit untuk diatasinya dalam meningkatkan ilmu.
Namun demikian, setelah beberapa hari itu, terasa beberapa kemajuan pada ilmunya. Rasa-rasanya tangannya menjadi semakin terampil untuk menggerakkan senjatanya. Kekuatan atas dukungan tenaga cadangannyapun menjadi semakin besar.
Namun ia menyadari sepenuhnya, bahwa laju perkembangan ilmunya tidak akan dapat menyamai kedua anak muda yang memang sedang tumbuh itu. Apalagi ia memang merasa bahwa alas kemampuannyapun ada di bawah kemampuan kedua anak muda itu.
Dalam pada itu, Ki Ajar berkata, “Mulai saat ini, kita harus mulai melakukan persiapan seperlunya. Nampaknya Panembahan Lebdagati sudah mulai dengan perburuannya. Ia mulai menyadari, bahwa beberapa orang pengikutnya telah hilang. Sementara itu, ia harus segera mulai melakukan persiapan menjelang malam purnama itu.”
Ketiga orang yang diajaknya berbincang itu mengangguk-angguk. Bahkan Ki Wiradadipun nampak menjadi semakin gelisah. Ia sadar, bahwa semakin dekat malam purnama, berarti semakin dekat saat-saat yang menentukan bagi anak gadisnya, apabila anak itu masih hidup.
Ki Ajar agaknya melihat kegelisahan itu. Lalu katanya, “Kita akan berusaha sejauh dapat kita lakukan, Ki Wiradadi. Karena itu, jangan cemas. Kita percaya bahwa Yang Maha Agung akan menuntun kita dalam pekerjaan yang berat ini.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk kecil.
“Nah, nanti malam kita akan mulai,” berkata Ki Ajar.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana tiba-tiba memandang wajah Ki Ajar dengan kerut di dahi. Sementara Ki Ajar mengulanginya, “Ya. Nanti malam kita harus mulai. Kita akan melihat-lihat medan yang akan kita hadapi.”
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya dalam nada rendah, “Terima kasih, Ki Ajar. Ternyata bahwa Ki Ajar telah memberikan pertolongan yang sangat berharga bagi kami. Terutama bagiku, karena kedua anak muda inipun pada dasarnya telah menolongku pula.”
“Sudahlah. Kita mempunyai kepentingan yang sama. Kita tidak akan membiarkan kepercayaan yang sesat itu semakin berkembang dan mencengkam lingkungan ini. Bahkan seluruh tanah yang kita cintai ini.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimanapun juga aku merasa bahwa aku telah berhutang budi.”
Ki Ajar tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Aku akan melihat, barangkali air telah mendidih. Kita akan minum wedang sere hangat dengan gula kelapa.”
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Ajar masuk ke dalam, menuju dapur. Hampir di luar sadarnya Ki Wiradadi berkata pada diri sendiri, “Malam nanti kita akan mulai. Kita tinggal mempunyai beberapa malam lagi.”
Manggada menyahut, “Kita sudah melakukan persiapan yang lebih baik, Ki Wiradadi. Dalam waktu yang pendek ini, ternyata bekal kita telah bertambah hampir dua kali lipat.”
“Ya. Mudah-mudahan Yang Maha Agung memberikan jalan kepada kita,” berkata Ki Wiradadi.
Beberapa saat kemudian, mereka masih sempat minum minuman panas. Namun kemudian, orang bongkok itu telah datang lagi. Tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya.
“Bagaimana dengan orang-orang itu?” bertanya Ki Ajar setelah orang bongkok itu ikut duduk di serambi.
“Mereka telah naik, Ki Ajar,” jawab orang bongkok itu.
“Naik kemana?” bertanya Laksana.
Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Orang-orang yang menuju ke arah puncak gunung itu, kita sebut naik.”
Laksana mengangguk-angguk. Sementara Ki Ajar berkata selanjutnya, “Malam nanti, kita pun akan naik.”
“Bagus,” sahut Laksana. “Aku ingin melihat apa yang ada di atas. Bukankah kita naik ke atas?”
Ki Ajar tertawa. Katanya, “Ya. Kita akan naik semakin ke atas dari kaki gunung ini. Kita akan menjumpai beberapa padukuhan yang terasing dari pergaulan hidup sewajarnya. Orang-orang yang menganggap bahwa Panembahan Lebdagati adalah pemimpin mereka yang tertinggi. Mereka tidak mengenal Kangjeng Sultan serta para pemimpin yang lain. Bahkan mereka menganggap bahwa dunia ini dibatasi oleh Hutan Jatimalang, kecuali beberapa orang tertentu yang sudah mendapat kepercayaan untuk menyeberangi hutan. Selain untuk mengambil gadis-gadis, mereka juga mencari garam dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat mereka hasilkan sendiri. Mereka tidak memerlukan bahan pakaian dari luar. Beberapa orang telah dapat menenun sendiri. Padi telah mereka tanam, gulapun telah mereka sadap sendiri dari batang-batang kelapa yang terhitung banyak disini.”
Yang mendengarkan keterangan Ki Ajar mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan, justru karena orang-orang di belakang Hutan Jatimalang ini dapat memenuhi sebagian besar dari kebutuhan mereka sendiri, maka mereka dapat membatasi hubungan mereka dengan orang-orang di luar lingkungan mereka. Justru itulah yang menjadi sangat menarik bagi Manggada dan Laksana, di samping usaha mereka untuk membebaskan anak gadis Ki Wiradadi.
Dengan demikian, maka mereka menggunakan sisa hari itu untuk beristirahat. Menjelang senja, mereka bersiap-siap untuk melakukan pengamatan. Sementara Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana sibuk mempersiapkan diri, Ki Pandi menyiapkan makan malam sebelum mereka berangkat.
Demikianlah, setelah makan malam, mereka berlima meninggalkan gubuk kecil itu. Ki Pandi ternyata telah diminta oleh Ki Ajar untuk ikut serta. Melalui jalan yang rumit, perjalanan mereka mulai. Agak tersendat. Terutama Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana yang belum terbiasa melalui jalan-jalan lereng terjal, di tanggul yang licin dan di antara semak-semak, meskipun di langit nampak bulan bersinar tetapi belum bulat.
Mereka masih juga terkejut ketika tiba-tiba saja muncul seekor harimau dari semak-semak di sebelah mereka lewat, disusul oleh seekor yang lain. Namun mereka segera menyadari, bahwa kedua ekor harimau itu tentu harimau jinak yang dipelihara oleh Ki Pandi.
Kendati keduanya adalah harimau jinak, Ki Pandi telah berhasil menggelitik naluri keduanya, sehingga seakan-akan harimau itu menjadi lebih cerdik dari harimau-harimau yang lain. Keduanya mampu bergerak secara naluriah, lebih cepat dan lebih mapan. Merekapun mampu memanfaatkan senjata yang ada pada diri mereka, lebih baik dari seekor harimau liar. Oleh Ki Pandi, kedua ekor harimau itu telah dilatih bergerak lebih cepat, lebih lama dan lebih kuat.
Meskipun kelima orang itu harus melalui jalan yang sulit, tetapi akhirnya mereka dapat mencapai tempat yang lebih baik. Meskipun tanahnya juga miring, tetapi mereka dapat berjalan dengan mudah dan tidak berbahaya. Meskipun demikian, kelima orang itu tidak berjalan melalui jalan yang memanjat naik. Mereka telah berjalan di antara pohon-pohon perdu.
Di langit bulan sudah terang, meski belum bulat. Justru karena itu Ki Wiradadi menjadi semakin gelisah. Beberapa saat kemudian, mereka telah melampaui beberapa padukuhan kecil, yang nampak sepi di ujung malam. Tidak ada gardu bagi para peronda. Tidak ada obor di regol, dan tidak ada orang berjaga di waktu malam.
“Mereka tidak memerlukannya,” berkata Ki Ajar. “Di daerah ini memang tidak ada kejahatan dalam arti pencurian, perampokan dan sebagainya. Yang ada kesesatan, karena pemimpin mereka adalah penganut kepercayaan sesat.”
“Dan pembunuhan,” Ki Wiradadi melanjutkan.
“Itu adalah akibat dari kepercayaan mereka,” sahut Ki Ajar.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Akibat kepercayaan sesat itu. Tapi itu justru lebih berbahaya dari sekedar pencurian dan perampokan.”
“Tentu,” jawab Ki Ajar. Lalu katanya, “Pada saatnya, para pemimpin padepokan melakukan sebagaimana dilakukan pimpinan tertinggi mereka. Satu-satu mereka jadi bertuah. Mereka akan membunuh gadis-gadis di saat purnama penuh, sampai jumlah yang ditentukan. Memang lebih sedikit dari yang dilakukan panembahan gila itu, tapi mungkin dua tiga orang melakukan bersama-sama. Itu berarti kematian menjadi semakin banyak di padepokan ini.”
“Daerah ini memang harus dibebaskan dari kepercayaan sesat itu,” berkata Ki Wiradadi.
Mereka kemudian terdiam karena harus menuruni lereng rendah yang curam. Kemudian mereka menelusuri lekuk berkelok-kelok. Si Bongkok yang berjalan di depan agaknya sudah mengenali tempat itu dengan baik. Karena itu, ia berjalan tanpa ragu-ragu. Ketika mereka kemudian memanjat naik, mereka tiba di tepi padang rumput yang tidak terlalu luas.
“Berhati-hatilah,” desis Ki Pandi.
Merekapun menjadi sangat berhati-hati. Mereka masih belum sepenuhnya berada di atas tanggul. Kepala-kepala mereka sajalah yang tersembul, dibayangi rerumputan yang tumbuh liar di pinggir padang itu.
“Apa itu?” bertanya Laksana ketika melihat bangunan kecil di tengah padang rumput itu.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Pandi berdesis, “Jangan terlalu keras.”
“Tidak ada orang,” sahut Laksana.
Tetapi Manggada menggamitnya sambil berkata perlahan, “Kita memang harus berhati-hati. Jika Ki Pandi yang sudah terbiasa di tempat ini meminta kita untuk berhati-hati, tentu bukan sekedar untuk menakut-nakuti kita.”
Laksana tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.
“Bangunan itulah tempat untuk menyerahkan korban,” berkata Ki Ajar kemudian.
Ki Wiradadi menjadi tegang. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita harus menghancurkan bangunan itu.”
“Jangan sekarang,” berkata Ki Ajar. “Jangan tergesa-gesa. Jika mereka menyadari bahwa akan terjadi gangguan berarti saat mereka akan menyerahkan korban, mereka akan mengambil langkah-langkah pengamanan. Mungkin mereka akan memindahkan tempat menyerahkan korban. Mungkin mereka akan mengerahkan semua orang untuk menjaga pelaksanaan korban agar tidak terganggu. Tetapi mungkin juga, menjelang korban itu diserahkan, daerah ini akan dijelajahi sampai sudut-sudut yang belum pernah mereka jamah. Sementara itu, nasib gadis yang akan dikorbankan akan terancam.”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Wiradadi.
“Jika saja kita berhasil mengetahui dimana gadis itu disimpan,” berkata Ki Ajar hampir kepada diri sendiri.
“Tidak mungkin untuk dilakukan,” berkata Ki Pandi.
“Kenapa?” bertanya Ki Wiradadi.
“Gadis itu disimpan di padukuhan induk dan dijaga serta diawasi dengan ketat. Tidak ada orang yang dapat masuk ke dalamnya selain orang-orang tertentu. Di padukuhan induk itu terdapat tempat-tempat pemujaan. Setelah melalui beberapa upacara di tempat pemujaan itu, mereka membawa korban ke tempat penyerahan korban untuk dibunuh. Tepat di saat bulan bulat dan berada di puncak langit,” jawab Ki Ajar.
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha menekan kegelisahannya sampai ke dasar jantung. Namun bagaimanapun juga, Ki Wiradadi nampak sangat gelisah.
“Bongkok,” berkata Ki Ajar perlahan-lahan, “lihat, apakah tidak seorang pun di sekitar padang ini. Kau jangan sendiri. Biarlah anak-anakmu itu melakukannya.”
Ki Pandi mengangguk kecil. Ia kemudian memberi isyarat pada kedua ekor harimaunya. Dengan bahasa khusus yang hanya dimengerti oleh orang bongkok dan kedua ekor harimau itu, Ki Pandi telah melepaskan kedua ekor harimaunya untuk memasuki padang. Ketika kedua ekor harimau itu berlari-lari kecil di bawah cahaya bulan yang semakin terang di padang, Ki Pandi berdesis, “Hati-hatilah.”
Kedua ekor harimau itu kemudian menelusuri padang rumput itu. Mereka menuju ke bangunan yang tidak lebih dari setumpuk batu yang dibuat sebagai satu pembaringan besar dan lebih tinggi dari pembaringan biasa. Tangga batu yang mengelilinginya, agaknya menjadi tempat pemimpin upacara berdiri, kemudian mengangkat pusakanya tinggi-tinggi sebelum diayunkan ke arah jantung korbannya.
Dua kali harimau itu mengelilingi bangunan batu itu yang nampaknya tidak terjaga. Kemudian keduanya mendekati padukuhan yang ada di seberang padang rumput itu. Nampaknya padukuhan itu dipergunakan untuk membuat perlengkapan upacara mereka, menyimpan berbagai macam peralatan dan tempat menyelenggarakan persiapan-persiapan.
Namun dalam pada itu Ki Pandi berkata, “Menjelang dikorbankan, gadis-gadis ditempatkan di padukuhan itu. Di tempat itu mereka dirias sebagaimana merias pengantin. Pakaian yang dipergunakannyapun adalah pakaian pengantin pula.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk kecil. Betapa dadanya bagaikan terguncang-guncang.
Sementara itu Ki Ajar pun berkata, “Kita harus tahu pasti, dimana gadis itu dirias. Di rumah yang mana dan sejak kapan.”
“Aku sudah pernah menyaksikan,” berkata Ki Pandi. “Tetapi waktu itu kita belum kuasa mencegahnya. Kita masih terlalu lemah. Kita hanya berdua. Sementara kedua ekor harimau itu belum mapan seperti sekarang. Jika saat itu kita bertindak, maka kitapun akan menjadi korban pula, sehingga kita tidak akan berhasil menghentikan tindakan mereka untuk seterusnya.”
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Saat itu kita hanya dapat mengusap dada. Tetapi aku tidak berani menyaksikannya. Si Bongkok itulah yang sempat melihat apa yang terjadi.”
“Sebulan yang lalu?” bertanya Ki Wiradadi.
“Jangan sebutkan itu lagi,” minta Ki Ajar. “Kau tentu berkata dalam hati, bahwa kami membiarkan hal itu berulang kali terjadi. Tetapi sebenarnyalah kami mempergunakan waktu-waktu kami untuk mencari jalan bagaimana kami dapat mencegah hal itu terjadi. Kedatangan kalian telah memberikan harapan kepada kami untuk melakukannya, meskipun kemungkinan lain dapat terjadi. Justru kemungkinan yang sangat pahit bagi kita.”
Ki Wiradadi tidak bertanya lagi. Ia menyadari bahwa Ki Ajar sudah cukup tersiksa oleh keadaan. Ia melihat sesuatu yang harus dicegahnya, tapi nalarnya mengatakan bahwa berdua saja ia tidak akan dapat melakukannya. Sementara itu, Ki Wiradadi tidak tahu apakah orang bongkok itu juga mampu membantu Ki Ajar dalam benturan ilmu dengan para pemimpin padepokan itu.
Ki Ajar kembali berkata, “Sekarang kita tengadahkan wajah kita. Kita akan mencegah hal seperti itu terjadi selanjutnya.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Namun terasa jantungnya bagaikan ditusuk duri jika ia membayangkan, berapa orang tua yang kehilangan anak gadisnya yang dibaringkan di atas pembaringan batu itu, kemudian ditusuk di arah jantungnya sampai mati. Tetapi Ki Wiradadi tidak bertanya sesuatu.
Sementara itu, nampak di cahaya bulan dua ekor harimau Ki Pandi telah datang kembali. Keduanya langsung menemui Ki Pandi. Nampak keduanya memberikan isyarat kepada Ki Pandi yang bongkok itu, bahwa keduanya tidak menjumpai seseorang pun. Baik di sekitar bangunan batu itu, maupun di padukuhan.
“Kita dapat mendekat,” berkata Ki Pandi kemudian, setelah menjelaskan isyarat yang diberikan oleh kedua ekor harimaunya.
Dengan demikian, kelima orang itu telah berjalan melintasi padang rumput dalam siraman cahaya bulan, menuju ke padukuhan di seberang. Namun mereka sempat melihat bangunan batu yang ada di tengah-tengah padang rumput itu, yang ternyata dibuat oleh tangan-tangan yang memiliki ketrampilan memahat batu.
“Sebuah candi kecil,” desis Laksana.
“Ya. Di atasnya korban diletakkan, kemudian ditusuk sampai mati. Darah dari dada korban itu akan mengalir membasahi permukaan bangunan kecil itu,” desis Ki Ajar. Lalu katanya, “Memang mengerikan.”
Ki Wiradadi memalingkan wajahnya. Ia selalu membayangkan hal itu terjadi atas anak gadisnya. Karena itu, Ki Ajar yang mengetahui isi hati Ki Wiradadi telah melanjutkan langkahnya menuju ke padukuhan. Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun. Ternyata padukuhan itu diputari dinding yang cukup tinggi. Sedangkan regol padukuhan itu tertutup rapat.
“Bongkok,” desis Ki Ajar, “regol itu tertutup. Bagaimana kedua ekor harimaumu dapat mengatakan bahwa di padukuhan ini tidak ada orang?”
Orang bongkok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Harimau dungu. Yang dimaksud tentu di luar padukuhan itu. Tetapi kita tidak dapat memastikan, apakah di dalam padukuhan itu ada orang atau tidak.”
Ki Ajar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia justru memberikan isyarat agar mereka lebih melekat dinding dan berhenti di bawah bayangan yang gelap. Terlindung dari cahaya bulan yang hampir bulat di langit.
“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Si Bongkok.
“Kita akan memasuki padukuhan itu,” berkata Ki Ajar.
“Meloncat dinding?” bertanya Si Bongkok pula.
“Ya. Tetapi kita harus berusaha melindungi diri kita dari kemungkinan yang paling buruk. Setidak-tidaknya, mengurangi kemungkinan itu,” berkata Ki Ajar.
“Aku tidak tahu maksud Ki Ajar,” jawab orang bongkok itu.
“Aku akan mempergunakan ilmu sirep. Jika ada orang di padukuhan itu, maka ia akan tertidur. Asal bukan para pemimpin dari padepokan raksasa ini,” berkata Ki Ajar.
“Aku kira, seandainya di padukuhan itu ada orang, mereka tentu sekedar orang yang berjaga-jaga menjelang saat jatuhnya waktu untuk menyerahkan korban,” sahut orang bongkok itu. “Tetapi bukan para pemimpinnya.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Ki Wiradadi, dan kedua anak muda yang menyertainya, “Aku minta bantuan kalian, agar ilmu sirepku dapat menguasai seluruh padukuhan ini. Tetapi kalian harus berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh sirep itu, dengan kekuatan jiwani, agar kalian tidak malah tertidur di sini.”
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana mengangguk. Mereka mengerti bahwa mereka terutama harus menjaga diri mereka sendiri, agar pengaruh sirep itu tidak mencengkam mereka sebagaimana orang-orang padukuhan itu.
Dengan nada rendah Ki Wiradadi berkata, “Aku mengerti, Ki Ajar.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Ajar telah memusatkan nalar budinya untuk melepaskan ilmu sirepnya. Udara tiba-tiba bergetar, memancarkan ilmu Ki Ajar yang menyebar ke seluruh padukuhan. Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana berusaha untuk mengatasi kekuatan ilmu sirep itu, sehingga mereka tidak kehilangan kesadaran mereka.
Baru beberapa saat kemudian, Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Mudah-mudahan ilmuku mencapai sasarannya. Tetapi jika ada seorang pemimpin yang berilmu tinggi di padukuhan ini, maka ia akan segera tahu, bahwa di atas padukuhan ini telah ditaburkan kekuatan ilmu sirep.”
“Ki Ajar memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Hanya dengan mengerahkan segenap daya tahan, aku dapat mengatasi pengaruh sirep ini,” berkata Ki Wiradadi.
“Sudahlah,” berkata Ki Ajar. “Kita akan memasuki padukuhan ini.”
“Bagaimana dengan aku?” bertanya si bongkok itu.
“Kau ikut kami. Biarlah kedua ekor harimau itu menunggu di luar,” berkata Ki Ajar.
Dengan sangat berhati-hati, orang-orang itu meloncati dinding dan memasuki lingkungan padukuhan yang suram. Tidak banyak terdapat obor di luar rumah. Hanya beberapa nampak menerangi jalan induk dan regol-regol terpenting.
Bangunan-bangunan yang terdapat di padukuhan itu bukan bangunan-bangunan biasa. Bukan rumah-rumah yang dihuni oleh keluarga-keluarga, sebagaimana padukuhan-padukuhan di seberang Hutan Jatimalang. Yang terdapat adalah sedikit bangunan untuk kepentingan khusus.
Kelima orang yang memasuki padukuhan itu kemudian berjalan mengelilingi padukuhan. Ternyata bahwa padukuhan itu memang tidak kosong. Tetapi yang mereka ketemukan adalah orang-orang yang telah tertidur nyenyak di serambi-serambi bangunan yang ada di padukuhan itu.
Seperti yang mereka duga, di padukuhan itu terdapat sebuah bangunan induk yang lebih besar dari bangunan-bangunan yang lain.
“Marilah kita melihat apa isinya,” berkata Ki Ajar.
“Baik, Ki Ajar,” jawab Ki Wiradadi.
Dengan melangkahi beberapa sosok tubuh dari para penjaga yang tertidur nyenyak, mereka berhasil mendekati pintu bangunan induk itu. Dengan hati-hati pula Ki Ajar mendorong pintu sehingga terbuka. Ternyata di ruang dalam bangunan itu terdapat berbagai macam alat yang akan dipergunakan pada upacara korban, di saat bulan bulat. Di belakang ruang itu terdapat sebuah sentong yang nampaknya dipergunakan untuk merias korban.
“Di sinilah korban itu disiapkan,” desis Ki Ajar.
Ki Wiradadi menggeram. Tetapi hatinya menjadi semakin gelisah. Ia semakin membayangkan kehadiran anak perempuannya di rumah itu menjelang kematiannya.
Beberapa lama mereka mengamati tempat itu. Ditelitinya setiap pintu dan lorong-lorong yang ada di rumah itu dan sekitarnya. Longkangan yang agak luas, seketheng yang berpintu, dan dinding-dinding yang rendah.
“Kita telah melihat tempat ini,” berkata Ki Ajar. “Kita akan dapat membuat perhitungan-perhitungan yang mapan. Jangan meninggalkan bekas di sini, sehingga tidak terjadi perubahan adat dan upacara. Jika mereka mengetahui bahwa rencana mereka telah diketahui orang lain, atau semacam kecurigaan seperti itu, maka tentu akan terjadi perubahan-perubahan yang mungkin akan menyulitkan kita.”
Ki Wiradadi mengangguk. Katanya, “Agaknya tidak terdapat jejak kita di sini, selain saksi dari orang-orang yang telah tertidur itu.”
Ki Ajar mengangguk. Katanya dengan nada rendah, “Mudah-mudahan mereka masing-masing merahasiakan kelemahan mereka. Jika diketahui mereka telah tertidur ketika bertugas, maka mereka akan dihukum.”
Ki Wiradadi masih saja mengangguk-angguk. Kemudian terdengar ia berdesis, “Kita berdoa, mudah-mudahan kita tidak akan gagal.”
“Marilah,” berkata Ki Ajar kemudian. “Kita tinggalkan tempat ini. Kita akan dapat menyusun rencana. Jika datang saatnya, kita harus sudah dapat menyusun rencana terperinci, sehingga kita tinggal melaksanakan saja, meskipun dengan taruhan nyawa kita.”
Ki Wiradadi tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti Ki Ajar keluar dari rumah itu. Pintunya telah ditutup kembali dengan tertib, sebagaimana sebelum mereka buka. Dengan pengenalan yang cermat atas padukuhan itu, maka kelima orang itu telah meninggalkan padukuhan. Dua ekor harimau si bongkok masih tetap berada di tempatnya. Merekapun kemudian mengikuti si bongkok, melintasi padang yang tidak terlalu luas itu, dan kembali hilang di balik pohon-pohon perdu.
Ternyata kedatangan mereka berlima itu memang tidak berbekas. Ketika kekuatan sirep itu perlahan-lahan semakin longgar dan beberapa orang mulai terbangun, maka kelima orang itu telah berada di tempat yang jauh.
Dalam pada itu, melalui jalan berbelit sebagaimana saat mereka berangkat, mereka telah sampai ke gubuk kecil Ki Ajar. Namun di sisa malam itu, mereka tidak sempat beristirahat. Mereka telah berbicara panjang tentang langkah-langkah yang akan mereka ambil. Sebelum mereka kehilangan gambaran tentang padukuhan itu, mereka telah mencocokkan kesan mereka satu dengan yang lain, sehingga dengan demikian mereka akan dapat menyusun rencana sebaik-baiknya.
Ki Ajar setiap kali telah menekankan, bahwa rencana mereka akan dilaksanakan dengan taruhan nyawa mereka. “Kita berhadapan dengan satu kekuatan yang besar,” berkata Ki Ajar.
Ki Wiradadi menunduk dalam-dalam. Setiap kali ia memang dihadapkan pada simpang jalan yang sulit untuk dipilihnya. Di satu jalan ia merasa berkepentingan sekali untuk membebaskan anaknya, apapun yang terjadi, namun di jalan lain ia tidak sampai hati mengorbankan anak-anak muda itu, jika mereka gagal.
“Apakah aku harus mengorbankan dua orang anak muda yang memiliki masa depan cerah itu bagi anak perempuanku?” pertanyaan itu selalu bergejolak di dalam dadanya.
Namun setiap kali ia digoncang keragu-raguan itu, seakan-akan Ki Ajar mengetahuinya. Demikian juga Manggada dan Laksana, sehingga mereka telah menyatakan sikap mereka masing-masing.
“Jika Ki Wiradadi masih saja ragu-ragu sampai saat terakhir, maka rencana kita akan kabur,” berkata Manggada. Lalu katanya pula, “Kita harus melaksanakan rencana kita dengan mantap dan tanpa ragu-ragu. Setiap keragu-raguan akan dapat menghambat langkah-langkah kita, yang justru akan dapat berakibat sangat buruk.”
“Kau benar, anak muda,” sahut Ki Ajar. “Kita harus melakukannya dengan mantap.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Kemudian dengan suara berat ia berkata, “Baiklah. Kita memang tidak boleh ragu-ragu.”
“Bagus,” desis Ki Ajar. “Kita sudah menentukan pola langkah kita. Sebelum berangkat, kita akan dapat mengulanginya sambil mengisi bagian-bagian yang lebih kecil dari rencana itu.”
“Mudah-mudahan kita berhasil. Mudah-mudahan rencana kita sesuai dengan kenyataan yang kita hadapi di medan,” sahut Manggada.
“Kita memang harus menyiapkan rencana cadangan,” desis Ki Ajar.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Ajar melanjutkan, “Jika rencana kita gagal, maka yang harus kita lakukan kemudian adalah meninggalkan upacara itu, dan kemudian menghilang. Kita harus mengulanginya lagi jika penyerahan korban itu tetap akan dilakukan kemudian. Kita tidak tahu, apakah jika malam purnama mereka gagal menyerahkan korban, akan dapat dilakukan malam berikutnya. Namun penundaan waktu itu memberi kesempatan kepada kita untuk berpikir.”
Memang tidak ada cara lain yang dapat mereka tempuh. Karena itu, mereka menetapkan bahwa langkah itulah yang dapat mereka ambil untuk mengatasi rencana mereka jika gagal. Dengan demikian, yang dapat mereka lakukan kemudian adalah menunggu. Menunggu bulan bulat di langit.
Untuk menghilangkan kejemuan menunggu, Manggada dan Laksana mengasah kemampuan mereka. Meskipun tidak mungkin meningkatkan ilmu mereka hanya dalam dua hari, namun seakan-akan mereka mampu mempertajam ujung kemampuan mereka menghadapi keadaan yang khusus itu.
Ketika malam kemudian datang, maka bulan rasa-rasanya sudah bulat. Ki Wiradadi bahkan menjadi gelisah. Jika mereka salah menghitung hari, dan malam itu adalah malam purnama, maka anaknya malam itu tentu sudah dibaringkan di atas tempat upacara, di tengah-tengah padang rumput itu.
Untuk menenangkan perasaan Ki Wiradadi, maka mereka telah menelusuri lagi jalan yang rumit untuk sampai ke tepi padang rumput itu. Mula-mula mereka memang terkejut. Di padang rumput itu ternyata telah banyak orang. Obor telah terpasang, meskipun baru beberapa...
Dengan demikian mereka dapat membayangkan betapa besar kemampuan ilmu orang itu dibandingkan dengan mereka bertiga. Dibandingkan dengan anak panah dan busur mereka. Dibandingkan dengan pedang dan pisau-pisau kecil mereka.
Karena ketiga orang itu tidak menyahut, Ki Ajar pun berkata, “Lihat lagi luka itu. Obati lagi jika perlu.”
Manggadalah yang kemudian melihat lagi luka saudara sepupunya. Ia memang merasa perlu untuk menaburkan lagi obat pada luka Laksana.
Dalam pada itu, Ki Ajar berkata lagi, “Padepokanku tidak berisi apa-apa. Berbeda dengan padepokan Ki Lebdagati yang dihuni banyak pengikutnya. Aku tinggal di padepokanku sendiri.”
“Sendiri?” bertanya Ki Wiradadi.
Ki Ajar Pangukan tertawa. Katanya dengan nada rendah, “Ya, sendiri saja. Jika aku tinggal bersama beberapa orang, maka kehadiranku di sini akan segera diketahui oleh Sang Panembahan.”
Ketiganya tidak menyahut. Mereka kemudian meneruskan perjalanan. Padang perdu itu semakin lama memang menjadi semakin banyak ditumbuhi pepohonan yang cukup besar. Pohon mindi, pakis hutan dan beberapa jenis pohon berduri. Ilalangpun tumbuh semakin tinggi.
Beberapa saat kemudian mereka melintasi sebuah parit yang berair bening. Namun mereka mendengar tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah gerojogan. Agaknya air parit itu sampai ke lereng yang agak terjal.
Ki Ajar agaknya mengetahui bahwa ketiga orang itu sedang memperhatikan suara gerojogan. Katanya, “Kita memang akan pergi ke gerojogan itu.”
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun Ki Ajar berkata, “Marilah. Kita teruskan perjalanan kita. Sebelum senja kita harus sudah sampai.”
Ketiga orang itu menengadahkan wajahnya hampir berbareng. Matahari memang sudah menjadi semakin rendah. Beberapa saat mereka berjalan. Mereka memanjat tebing, tak lama kemudian meniti jalan-jalan sempit yang menurun. Meloncati bebatuan, dan sekali-sekali meluncur berpegangan rumput-rumput liar, sehingga mereka tiba di sebuah lembah yang diapit oleh lereng yang ditumbuhi berbagai macam pepohonan besar dan kecil.
Seakan-akan mereka memasuki lembah hijau subur, jauh berbeda dengan tanah-tanah gersang yang baru saja mereka lewati. Suara gerojogan itu semakin dekat. Akhirnya mereka sampai ke lingkungan yang basah, seperti rawa dangkal.
“Itulah gerojogan itu,” berkata Ki Ajar Pangukan.
Gerojogan itu cukup tinggi. Air dari parit yang tadi mereka seberangi, meluncur dari atas tebing dan jatuh ke lembah. Kemudian mengalir menelusuri lembah itu dan hilang ke dalam rimbunnya pepohonan di lembah itu.
“Marilah,” berkata Ki Ajar Pangukan. “Aku persilahkan kalian singgah di padepokanku.”
Ketiga orang itu mengerutkan keningnya. Namun sambil tertawa Ki Ajar berkata, “Padepokan menurut pengertianku. Memang agak lain dari padepokan menurut pengertian orang lain.”
Keempat orang itu kemudian memanjat kembali lereng lembah itu. Kemudian berbelok di belakang pepohonan. Ternyata terdapat sebuah dataran yang tidak terlalu luas. Di atas dataran yang nampaknya sengaja dibuat itu, terdapat sebuah rumah kecil, beratap ilalang.
“Inilah padepokanku,” berkata Ki Ajar sambil tertawa.
Ketiga orang yang mengikutinya mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya, Ki Wiradadi bertanya, “Ki Ajar tinggal seorang diri di sini?”
“Ya. Seorang diri,” jawab Ki Ajar. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku dikawani oleh seorang pembantuku. Seorang yang bertubuh cacat. Agak bongkok dengan kaki yang sedikit timpang. Ia adalah orang yang setia dan baik. Setiap pagi ia mengambil air dari gerojogan itu, dan kemudian menyediakan minum dan makanku. Mencari kayu bakar dan menyapu halaman.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun sementara itu, Ki Ajarpun telah mempersilahkan ketiga tamunya memasuki halaman yang memang nampak bersih.
“Duduklah.” Ki Ajar telah membawa tamunya duduk di serambi, di sebuah amben bambu yang panjang. Sementara Ki Ajar sendiri langsung masuk ke dalam rumahnya.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu duduk sambil mengamati keadaan di sekelilingnya. Suara gerojogan masih terdengar. Hanya kadang-kadang angin berubah arah, sehingga suaranya menjadi lemah. Tetapi sering terdengar gerojogan itu menjadi begitu dekat.
Halaman rumah Ki Ajar nampak bersih, meski tanpa tanaman hias. Agak jauh dari rumah, terdapat kebun pisang yang agak luas. Di belakang kebun itu, terdapat rumpun bambu lebat.
Agaknya kebun di belakang rumah Ki Ajar itu berhubungan langsung dengan hutan yang tumbuh memanjang di sekitar gerojogan. Hutan yang tidak terlalu luas, namun agaknya cukup lebat. Bahkan masih ada beberapa batang pohon raksasa bertebaran.
Ketiga orang itu tertarik pada beberapa jenis burung yang ada di sekitar rumah itu. Burung yang kicaunya seakan-akan mendekatkan ketiga orang itu pada alam. Suara angin, gerojogan, burung berkicau, dan suara kera, pelengkap suasana tenang padepokan itu.
Namun ketiganya terkejut ketika tiba-tiba saja sepasang harimau memasuki halaman itu. Keduanya berjalan begitu tenang, seakan-akan mereka sudah terbiasa berada di tempat itu. Namun sepasang harimau itu terkejut ketika melihat tiga orang berada di serambi rumah itu. Dengan cepat, ketiga orang itu meraih busurnya dan memasang anak panah.
Tetapi sesaat kemudian terdengar suara Ki Ajar, “Keduanya adalah harimau yang jinak. Keduanya tidak pernah mengganggu aku. Karena itu, akupun tidak mengganggu mereka. Si Bongkok telah memelihara harimau itu sejak masih muda.”
Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ki Ajar yang keluar dari dalam rumahnya langsung turun ke halaman. Kedua ekor harimau itu memandanginya. Mereka menundukkan kepala ketika Ki Ajar kemudian membelai tengkuk keduanya.
“Pergi saja ke kebun. Kau mengejutkan tamu-tamuku,” berkata Ki Ajar.
Tetapi Manggada berkata, “Jika kedua harimau itu tidak berbahaya, biar saja keduanya berada di halaman, Ki Ajar.”
Ki Ajar tersenyum. Ditepuknya harimau itu. Seakan-akan mengetahui maksud orang tua itu, keduanyapun kemudian berjalan perlahan-lahan ke luar halaman dan hilang di dalam semak-semak.
Ketika Ki Ajar kemudian duduk bersama mereka, ia berkata, “Maaf, aku sedang menghidupkan api di perapian. Aku sedang merebus air. Si Bongkok nampaknya baru keluar.”
“Ki Ajar tidak usah terlalu repot,” berkata Ki Wiradadi.
“Aku mempersilahkan kalian singgah. Karena itu, aku harus menyediakan suguhan bagi kalian, meski hanya air,” jawab Ki Ajar yang kemudian berdiri dan masuk lagi ke dalam rumahnya untuk melihat apakah api di perapian tidak padam.
Ketika Ki Ajar duduk kembali di serambi, ia berkata, “Tempat ini cukup tersembunyi. Panembahan Lebdagati tidak akan dapat mengetahui kehadiran orang lain di sebelah Hutan Jatimalang, di lereng gunung ini. Dari tempat ini aku sudah cukup lama mengamati apa yang dilakukan oleh Sang Panembahan.”
“Apakah Ki Ajar sudah mendapatkan kesimpulan?” bertanya Ki Wiradadi.
“Belum kesimpulan akhir,” berkata Ki Ajar. “Tetapi yang terang, Panembahan Lebdagati menganut aliran kepercayaan sesat. Bahkan kadang-kadang tidak dapat disebut sebagai orang yang waras. Ia memang mengorbankan gadis-gadis untuk menemukan inti kekuatan bumi. Nampaknya Lebdagati percaya, bahwa dengan lakunya yang sesat itu ia akan menemukan kekuatan menjadi orang tak terkalahkan. Bukan saja kemampuan ilmunya, tetapi juga pusakanya. Panembahan itu memiliki sebilah keris besar, yang pada tiap bulan purnama harus dicuci dengan darah seorang gadis. Dengan demikian, kepercayaannya yang sesat itu telah membuatnya setiap kali mengorbankan nyawa gadis-gadis yang diambilnya dari balik Hutan Jatimalang.”
“Dan Ki Ajar tidak berusaha mencegahnya?” bertanya Laksana.
“Bagaimana aku dapat mencegahnya?” sahut Ki Ajar. “Jika aku mendekati induk padepokannya, itu berarti aku akan membunuh diri.”
“Jika hal itu telah Ki Ajar yakini, kenapa Ki Ajar tidak melaporkannya ke Pajang? Jika Pajang mengirimkan pasukan segelar sepapan, maka betapapun kuatnya pertahanan Panembahan Lebdagati, padepokannya tentu akan dapat dihancurkan,” berkata Laksana.
Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Tidak mudah untuk meyakinkan Pajang, bahwa hal seperti ini terjadi balik Hutan Jatimalang.”
“Tetapi pada peristiwa terakhir, hilangnya anak perempuan Ki Wiradadi, persoalannya telah dilaporkan kepada prajurit Pajang. Beberapa orang petugas sandi sedang berusaha memecahkan persoalannya. Bagaimana jika Ki Ajar memberikan keterangan kepada mereka, sehingga mempermudah langkah-langkah yang akan diambil oleh para prajurit Pajang itu?”
“Soalnya tidak begitu sederhana, anak muda,” berkata Ki Ajar. “Jika prajurit itu datang dan tidak menemukan bukti apapun, bagaimana mereka dapat mengambil tindakan? Jika sepasukan prajurit datang, maka yang akan mereka temui adalah padukuhan-padukuhan sebagaimana padukuhan kebanyakan. Mereka tidak akan menemukan sebuah padepokan dengan sanggar khusus untuk menyerahkan persembahan bagi ilmu sesat mereka. Tidak akan ada alas persembahan, di mana gadis-gadis itu dibaringkan kemudian ditusuk dengan keris itu tepat pada jantungnya. Para prajurit itu tidak akan menemukan apa-apa.”
“Tetapi sikap bermusuhan seperti yang dilakukan oleh kelima orang itu, akan dapat dipergunakan sebagai alasan penyelidikan selanjutnya di lingkungan ini,” berkata Laksana pula.
Ki Ajar itu tersenyum. Katanya, “Jika yang datang pasukan Pajang, mereka tidak akan menjumpai orang-orang seperti itu.”
“Jadi?” desak Laksana.
“Yang dijumpai oleh para prajurit Pajang adalah para petani yang bekerja tekun di sawah mereka masing-masing. Mencangkul dan menyiangi tanaman, memperbaiki tanggul dan pematang, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Para prajurit Pajang tidak akan bertemu dengan orang yang bernama Panembahan Lebdagati, meskipun orang yang disebut panembahan itu telah berbincang-bincang dengan para prajurit sebagai seorang petani yang menunggui air di tepi parit,” berkata Ki Ajar.
“Licik sekali,” geram Laksana.
“Licik dan memang mengerikan,” berkata Ki Ajar. Lalu katanya, “Bagi kalian, anak-anak muda, apa yang terjadi di balik Hutan Jatimalang itu akan dapat memperluas cakrawala penglihatan kalian atas isi dunia ini. Hal yang tidak pernah kalian bayangkan telah terjadi di balik cakrawala penglihatan kalian.”
Laksana mengangguk-angguk. Namun yang kemudian berbicara adalah Ki Wiradadi, “Jangankan anak-anak muda itu. Apa yang aku ketahui agaknya masih terlalu sempit. Rasa-rasanya kedatangan kami kemari bagaikan sedang menjenguk peristiwa yang terjadi di balik cakrawala penglihatan kami yang sempit.”
“Sudahlah,” berkata Ki Ajar. “Adalah kebetulan bahwa aku berada di sini, sehingga aku dapat menceriterakan kemungkinan-kemungkinan itu.”
“Bukan satu kebetulan,” desis Manggada.
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Anak muda yang seorang ini agaknya memang mampu berpikir lebih tenang dari yang lain. Namun demikian Ki Ajar menjawab, “Agaknya memang gabungan antara kebetulan dan kesengajaan.”
Manggada tersenyum. Katanya, “Apapun yang Ki Ajar lakukan, namun Ki Ajar tentu akan dapat mendekatkan kami kepada persoalan yang ingin kami pecahkan.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Sementara Ki Wiradadi berkata, “Waktu kita tinggal sedikit. Jika saatnya purnama naik, maka akan ada lagi satu jiwa melayang. Mungkin yang akan mendapat giliran kali ini adalah anak perempuanku.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Perbuatan itu memang harus dihentikan. Menurut pendengaranku, keris itu menuntut seratus nyawa untuk menjadikannya pusaka tidak ada duanya di dunia. Jika keris itu ditusukkan untuk keseratus kalinya pada jantung seorang gadis, maka keris itu akan mempunyai tuah yang tidak ada bandingnya. Keris itu akan sanggup melawan semua pusaka yang ada di tanah ini. Termasuk Kangjeng Kiai Pleret.”
Terasa bulu tengkuk mereka meremang mendengarkan penjelasan itu. Seratus orang gadis? Benar-benar satu kepercayaan yang bukan saja sesat, tapi gila. Dalam pada itu, Ki Ajar berkata, “Dengan demikian kita tidak boleh tergesa-gesa. Jika selama ini aku sendiri, maka sekarang aku mendapat tiga orang kawan. Tentu satu dukungan yang sangat besar, sehingga pada saatnya aku tidak akan bekerja sendiri.”
“Tetapi di hadapan Ki Ajar, ternyata kami masih terlampau kecil untuk dapat ikut membantu. Apa yang dapat kami lakukan di daerah ini, jika Ki Ajar saja merasa banyak mengalami kesulitan?” berkata Manggada.
Ki Ajar tertawa. Katanya, “Kau terlalu merendahkan diri. Tetapi kita masih mempunyai kesempatan beberapa hari. Kita dapat membuat perhitungan yang paling baik untuk bertindak.”
Namun Ki Wiradadi nampaknya menjadi sangat gelisah. Bagaimanapun juga, anak perempuannyalah yang berada di tangan orang-orang berkepercayaan sesat itu. Ia tidak dapat berpikir begitu tenang seperti Ki Ajar.
Tetapi Ki Wiradadi tidak dapat berbuat lebih banyak. Nampaknya medan yang dihadapinya benar-benar sangat berat. Ia tidak akan dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Tetapi Ki Wiradadi juga tidak mau berdiam diri hingga ada berita anaknya telah menjadi korban dari ilmu sesat itu.
Selagi mereka berbincang di serambi, mereka melihat pembantu Ki Ajar, seorang bongkok dan timpang, memasuki halaman. Dua ekor harimau mengikutinya. Orang bongkok itu berhenti di pintu pagar dan mengusir kedua ekor harimau itu. Nampaknya kedua ekor harimau itu agak malas pergi, sehingga orang bongkok itu harus melemparinya dengan batu.
“Kedua ekor harimau itu sangat manja kepadanya,” berkata Ki Ajar.
“Apakah orang itu pawang harimau yang dapat menguasai semua harimau, atau hanya kedua ekor harimau itu?” bertanya Laksana.
“Hanya kedua ekor harimau itu. Kedua ekor harimau itu bersahabat dengan orang itu sejak bayi, sejak kedua ekor harimau itu ditinggalkan induknya,” berkata Ki Ajar.
Ketiga orang tamu Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Ki Wiradadi kemudian bertanya, “Siapakah nama pembantu Ki Ajar?”
“Aku memanggilnya Si Bongkok. Begitu saja,” jawab Ki Ajar.
“Tetapi jika kami menyebutnya demikian, tentu kami telah berbuat tidak sopan. Bagaimanapun juga, ia tentu mempunyai nama atau sebutan,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Ajar tidak segera menjawab. Dipanggilnya orang bongkok itu, “Bongkok, kemarilah.”
Orang bongkok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun ke serambi.
“Aku mempunyai tiga orang tamu,” berkata Ki Ajar.
Orang bongkok itu memandangi ketiga orang itu dengan curiga. Ketika matanya singgah pada busur dan anak panah, ia berdesis, “Kalian pemburu-pemburu yang tidak berjantung.”
“Bongkok,” potong Ki Ajar, “mereka adalah tamu-tamuku.”
“Aku melihat busur dan anak panah ada pada mereka. Mereka tentu pemburu-pemburu yang membunuh binatang tanpa perhitungan. Mereka adalah pemburu-pemburu yang asal saja mendapat banyak kulit berbagai jenis binatang yang dapat dijualnya dengan harga mahal,” geram orang bongkok itu.
“Diamlah,” berkata Ki Ajar kemudian. “Bertanyalah kepadaku, siapakah mereka.”
Orang bongkok itu termangu-mangu. Namun Ki Ajar membentak, “Cepat. Bertanyalah kepadaku.”
“Siapakah mereka, Ki Ajar?” orang bongkok itu kemudian bertanya.
Ki Ajar tertawa. Kemudian menjawab, “Mereka adalah tamu-tamuku. Akulah yang mempersilahkan mereka singgah di gubuk kita ini. Karena itu, kau harus bersikap baik kepada mereka.”
“Dimana Ki Ajar bertemu dengan mereka?” bertanya orang bongkok itu.
“Di jalan yang menuju ke Padepokan Lebdagati,” jawab Ki Ajar.
“Nah, bukankah mereka pemburu yang telah memasuki Hutan Jatimalang dan yang barangkali tersesat sehingga tidak dapat keluar lagi ke arah yang benar?” berkata orang bongkok itu.
“Kau jangan memperbodoh orang lain,” berkata Ki Ajar. “Mereka memang pengembara. Mereka tidak begitu mudah tersesat. Apalagi mereka mendapat petunjuk dari kemiringan tanah dan arah puncak gunung itu.”
“Jadi, apa yang terjadi atas mereka? Apakah mereka ingin berburu di hutan pegunungan yang mempunyai beberapa jenis binatang berkaki belah, yang tidak dimiliki oleh Hutan Jatimalang?” bertanya orang bongkok itu.
“Kemarilah,” suara Ki Ajar menjadi lunak. “Perkenalkan dirimu. Selama ini aku memanggilmu dengan Si Bongkok saja. Tetapi ketika aku sebut nama itu, ketiga tamuku menolak. Mereka merasa diri mereka tidak sopan dengan menyebut cacatmu itu. Karena itu. duduklah, dan sebut namamu. Kemudian kita berbicara tentang tamu-tamu kita serta niat mereka.”
Orang bongkok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia duduk bersama mereka di serambi itu.
“Kau dapat mengukur betapa mereka mematuhi unggah-ungguh, meskipun mereka pengembara. Jika bukan mereka, maka aku kira tidak akan berkeberatan untuk memanggilmu dengan cacat punggungmu itu. Karena itu, kaupun harus menempatkan dirimu. Meskipun kau sudah lama tinggal di hutan dan di tempat terpencil seperti ini, kau dahulu juga pernah mengenal unggah-ungguh,” berkata Ki Ajar.
Orang bongkok itu mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Aku minta maaf, Ki Sanak. Aku sudah terlalu lama tinggal di tempat ini, berkawan binatang, sehingga aku banyak melupakan unggah-ungguh.”
“Tidak apa, Ki Sanak,” jawab Ki Wiradadi yang kemudian telah memperkenalkan namanya dan menyebut nama kedua anak muda yang bersamanya itu. Namun akhirnya iapun bertanya, “Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku pun ingin tahu, siapakah nama Ki Sanak.”
Orang bongkok itu termangu-mangu. Namun rasa-rasanya memang aneh baginya untuk menyebut namanya yang sudah lama sekali tidak diucapkan.
Namun Ki Ajar berkata, “Kau tentu pernah punya nama.”
Orang bongkok itu mengangguk. Katanya, “Namaku di masa kecil Pandi, Ki Sanak. Karena aku ompong sejak kecil, aku disebut Pandi Ompong. Bahkan bukan saja aku ompong, tapi cacat tubuhku itu juga terjadi ketika aku terjatuh ke dalam jurang ketika aku berumur sekitar duabelas tahun.”
“Kenapa?” bertanya Ki Wiradadi.
“Kenakalan anak-anak. Sudah berpuluh kali orang tuaku melarang aku mencari siwalan yang tumbuh di lereng jurang. Tetapi aku dan beberapa orang kawan rasa-rasanya tidak pernah menghiraukannya, sehingga pada suatu hari aku telah terjatuh, langsung masuk ke dalam jurang. Untunglah Yang Maha Agung masih membiarkan aku hidup, meskipun cacat. Namun cacat di tubuhku itulah agaknya yang telah membuat aku mengasingkan diri,” jawab orang bongkok itu.
“Baiklah, Ki Pandi,” berkata Ki Wiradadi. “Dengan demikian aku mempunyai sebutan untuk memanggilmu.”
Ki Ajar kemudian memberitahukan kepada orang bongkok itu, kenapa orang-orang itu telah melintasi Hutan Jatimalang dan mendaki lereng gunung.
Si Bongkok mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah kalian bertemu dengan Ki Ajar. Jika tidak, aku yakin kalian tidak akan dapat menolong gadis itu, dan bahkan kalianpun akan menjadi korban pula.”
“Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi,” berkata Ki Wiradadi.
“Sudahlah,” berkata Ki Ajar. “Yang penting bagi kita, bagaimana kita dapat menembus lingkungan Panembahan Lebdagati itu.”
Ki Wiradadi hanya mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Ajar minta Ki Pandi untuk menyelesaikan minuman.
“Aku sudah menjerang air,” berkata Ki Ajar.
Ketika Ki Pandi masuk ke ruang dalam, Ki Ajar mengajak ketiga orang tamunya untuk berjalan-jalan di halaman rumahnya, melihat-lihat kebun di belakang sambil berbicara tentang kemungkinan yang paling baik yang dapat mereka lakukan. Ternyata di belakang rumah Ki Ajar banyak terdapat tanaman yang dapat menjadi bahan makanan mereka. Ketela pohon dan ketela rambat. Bahkan di lereng gumuk kecil telah ditanami dengan jagung.
“Kami juga menanam padi,” berkata Ki Ajar.
“Kenapa Ki Ajar tinggal di sini?” bertanya Laksana tiba-tiba.
Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Di sini aku mendapat ketenangan.”
“Tetapi tenaga yang tersimpan di dalam diri Ki Ajar yang seharusnya sangat berarti bagi banyak orang, bagaikan hilang ditelan sepinya lingkungan ini,” berkata Ki Wiradadi.
Ki Ajar memandang Ki Wiradadi beberapa saat. Namun kemudian sambil merentangkan tangannya ia berkata, “Hidupku memang sudah tidak banyak berarti lagi.”
“Bukannya tidak berarti,” jawab Ki Wiradadi, “tetapi Ki Ajar sendiri tidak memberikan arti, meskipun sebenarnya hidup Ki Ajar akan dapat sangat berarti.”
“Sudahlah,” berkata Ki Ajar. “Kita mempunyai masalah yang harus kita pecahkan. Orang-orang yang berkepercayaan sesat itu.”
Jantung Ki Wiradadi bergetar. Katanya, “Maaf, Ki Ajar. Aku hampir melupakannya. Nampaknya justru di sini hidup Ki Ajar akan sangat berarti.”
“Sudahlah,” ulang Ki Ajar. “Bukan saatnya untuk memuji. Kita memang harus menemukan satu cara yang terbaik. Tetapi kita harus mengakui kenyataan tentang keadaan lawan.”
“Ya, Ki Ajar,” desis Ki Wiradadi.
Ketiganya kemudian sempat duduk di sebuah batu padas yang besar di kebun belakang rumah Ki Ajar. Dengan nada rendah Ki Ajar berkata, “Kehadiran kalian memang memberikan harapan. Jika semula aku sendiri, sekarang setidak-tidaknya aku menjadi berempat.”
“Tetapi kami tidak berarti apa-apa, Ki Ajar,” berkata Ki Wiradadi.
“Jangan berkata begitu,” sahut Ki Ajar. “Aku sudah melihat bagaimana kalian menghadapi kelima orang itu. Namun bukankah kalian menyadari, apa yang akan terjadi? Padepokan Ki Lebdagati akan kehilangan lima orangnya. Mustahil bahwa orang dari padepokan Lebdagati meninggalkan lingkungannya dan tidak kembali.”
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Wiradadi berkata, “Kami menyadari, Ki Ajar.”
“Nah, bukankah genderang perang sudah dipalu?” bertanya Ki Ajar.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Wiradadi berkata, “Mungkinkah Panembahan Lebdagati akan menyebar orang-orangnya untuk mencari kelima orang yang hilang itu?”
“Ya. Mereka agaknya akan menemukan kuburan itu,” jawab Ki Ajar
“Tetapi kuburan itu sama sekali tidak diberi tanda apa-apa. Bagaimana mungkin mereka dapat menemukan di daerah seluas ini?” bertanya Ki Wiradadi.
“Mungkin juga tidak,” jawab Ki Ajar. Namun kemudian katanya, “Tetapi mereka akan menemukan tanda-tanda tempat yang dihuni orang, seperti tempat kita ini.”
Ki Wiradadi menundukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Aku minta maaf, Ki Ajar. Rasa-rasanya kami telah membangunkan Ki Ajar yang sedang nyenyak. Bahkan menghadapkan Ki Ajar pada kesulitan yang dapat berakibat gawat.”
“Jangan terlalu sering menyalahkan diri sendiri,” berkata Ki Ajar. “Justru kita harus bersyukur karena kita dapat bertemu dan memiliki tujuan sama, menghancurkan aliran yang sesat itu.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Namun ia kemudian berdesis, “Tetapi apakah kita akan dapat ingkar pada kenyataan tentang kemampuan diri sendiri?”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita masih mempunyai beberapa hari menjelang malam purnama. Kita masih melihat bulan sabit yang tidak lebih dari setebal lidi. Karena itu kita akan mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
“Apa yang harus kita kerjakan, Ki Ajar?” bertanya Ki Wiradadi.
“Menunggu sampai orang-orang mereka datang kemari. Bahkan kita mengharap akhirnya panembahan itu sendiri datang pula kemari,” jawab Ki Ajar.
Ki Wiradadi jadi agak bingung. Karena itu ia bertanya, “Apakah kita menggantungkan penggunaan waktu itu pada mereka? Bagaimana jika mereka baru mencari kita setelah purnama?”
Ki Ajar menggeleng. Katanya, “Tidak. Tidak sampai sepuluh hari semuanya akan selesai. Tetapi kita tidak dapat meramalkan akhir dari persoalan ini. Apakah kita berhasil menghancurkan kepercayaan sesat itu atau justru kita yang akan mereka binasakan. Tetapi bukankah itu akibat yang wajar?”
“Ya, Ki Ajar,” jawab Ki Wiradadi.
“Nah, bagaimanapun juga, ada baiknya kita berusaha. Sebenarnya aku segan untuk mengatakannya. Tetapi apa boleh buat.” Ki Ajar berhenti sejenak, lalu, “Aku ingin menawarkan kepada kalian bertiga untuk sama-sama berlatih. Mungkin akan sangat berarti jika pada suatu saat kita bertemu dengan pengikut Panembahan Lebdagati. Melihat apa yang kalian lakukan menghadapi kelima orang itu, aku berpengharapan kalian dapat melakukan tugas dengan baik jika kalian menyempatkan diri berlatih bersama aku.”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Dari wajah dan sorot mata mereka memancar kegembiraan. Karena dengan demikian, ilmu mereka akan bertambah.
Namun yang menjawab adalah Ki Wiradadi, “Kemurahan hati Ki Ajar sangat kami hargai.”
“Jika demikian, setelah beristirahat, nanti akan segera kita mulai. Waktu kita tidak cukup banyak,” berkata Ki Ajar.
Demikianlah, sejenak kemudian, mereka telah berada di serambi gubuk itu lagi. Ternyata yang dihidangkan oleh orang bongkok, yang bernama Ki Pandi Ompong, bukan hanya minuman, tapi juga jagung bakar yang masih hangat.
“Marilah,” Ki Ajar mempersilahkan.
Hidangan itu menyenangkan hati Manggada dan Laksana. Sebenarnyalah mereka sudah merasa lapar. Seperti yang dikatakan Ki Ajar setelah beristirahat secukupnya, mereka lantas pergi ke lereng bukit kecil. Ternyata Ki Ajar telah membuat sanggar terbuka yang cukup luas, meskipun di atas lantai yang agak sulit karena sebagian miring, berpuntuk-puntuk kecil, berlubang-lubang dan berbatu-batu padas runcing.
“Aku tidak dapat membuat sanggar yang memenuhi syarat,” berkata Ki Ajar.
“Tapi ini justru sanggar terbuka yang bagus sekali,” desis Manggada. “Di sini kita dapat berlatih dengan cara yang jauh lebih baik dari sebuah sanggar tertutup yang sempit dan miskin dari kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan seperti ini. Biasanya lantai sanggar dibuat rata, halus dan bahkan diatur sebaik-baiknya. Tempat lompatan yang bagus dan sudah dihaluskan agar kaki kita tidak tergores, tali-tali yang telah ditata serta kotak-kotak pasir yang terawat, justru kurang memberi keleluasaan.”
Ki Ajar hanya tersenyum sambil menjawab, “Jika aku mampu, akupun akan membuat sanggar yang terawat agar kita lebih mampu mensiasati ruangan sempit. Namun nampaknya yang ada inipun cukup memadai.”
“Justru lebih menguntungkan,” sahut Manggada.
Ki Ajar hanya tersenyum. Kemudian ia mulai bersiap-siap melakukan latihan. Tetapi sebelumnya, Ki Ajar berkata, “Aku mohon maaf. Sebelum latihan dimulai, aku ingin tahu seberapa jauh puncak kemampuan kalian. Aku sudah melihat kalian bertempur, sehingga aku sudah mempunyai ancar-ancar. Namun aku masih ingin meyakinkannya.”
Demikianlah, Manggada dan Laksana kemudian melakukannya lebih dahulu. Berdua mereka bersama-sama melakukan latihan olah kanuragan. Mereka saling menyerang dan menghindar, desak-mendesak dan saling menekan.
Dalam latihan yang nampaknya seperti sungguh-sungguh itu, Ki Ajar memang melihat bahwa ilmu Manggada nampak lebih dewasa dari Laksana. Namun demikian, Manggada yang umurnya lebih tua sedikit agak menahan diri, sehingga mereka berdua nampaknya berada pada lapisan yang sama.
“Terima kasih,” berkata Ki Ajar setelah ia merasa cukup. Kemudian katanya, “Aku mohon maaf, Ki Wiradadi. Mudah-mudahan Ki Wiradadi tidak tersinggung karenanya.”
“Tentu tidak,” berkata Ki Wiradadi.
Seperti terhadap kedua anak muda tadi, Ki Ajar memperhatikan unsur-unsur gerak ilmu Ki Wiradadi. Pada Ki Wiradadi, Ki Ajar melihat pengalaman yang jauh lebih luas dari kedua anak muda itu. Namun yang pada dasarnya, alas ilmu kedua anak muda itu lebih tinggi dari Ki Wiradadi. Meskipun demikian, selisih itu tidak terlalu banyak. Sementara pengalaman Ki Wiradadi dapat menutup kekurangannya.
“Terima kasih,” berkata Ki Ajar. “Dengan demikian, kita tahu dari mana akan memulai latihan. Yang penting, kita harus meningkatkan ilmu yang memang sudah ada pada diri kita. Jika kita menyadap jenis ilmu yang lain, memerlukan waktu untuk melihat apakah ilmu yang baru dan ilmu yang telah ada di dalam diri kita tidak saling berbenturan.”
“Kita menyerahkan segalanya pada kebijaksanaan Ki Ajar,” berkata Ki Wiradadi sambil mengusap peluhnya.
Ternyata Ki Ajar adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Setelah memperhatikan kemampuan ketiga orang itu, ia mampu menentukan satu patokan untuk memulai latihan. Ia sama sekali tidak memberikan pengetahuan, apalagi ilmu baru. Ia hanya memacu orang itu untuk dapat melepaskan kekuatan dan kemampuan mereka berdasarkan ilmu yang telah mereka miliki.
Ternyata latihan-latihan itu sangat menarik bagi Manggada dan Laksana. Sementara Ki Wiradadi yang umurnya telah melambat tua, tidak dapat maju sepesat Manggada dan Laksana. Namun demikian, Ki Wiradadi tetap mendapatkan kemajuan yang berarti. Seakan-akan tenaganya jadi semakin kuat, dan daya tahan tubuhnya seakan bertambah.
Sementara itu, Manggada dan Laksana yang dinyatakan telah mewarisi segenap ilmu guru mereka dengan tuntas, namun sulit mengembangkannya, seolah-olah mendapatkan jalan. Pengalaman mereka memang mampu mengembangkan ilmu mereka, meski hanya sekedarnya. Apalagi pengalaman mereka yang masih terlalu sedikit. Namun atas petunjuk dan tuntunan Ki Ajar, ilmu mereka berkembang dengan cepat.
Unsur-unsur gerak yang lebih mereka kuasai menemukan bentuk perkembangannya, sehingga mereka menguasai ilmu yang semakin luas. Mereka pun telah mendapat petunjuk dari Ki Ajar, apa yang sebaiknya mereka lakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dengan ilmu yang ada pada mereka.
Sejak saat itu ketiganya menetap di pondok Ki Ajar. Mereka mulai bergaul lebih akrab dengan Ki Pandi Ompong yang cacat. Mereka bertiga pun mulai berkenalan dengan sepasang harimau yang menjadi piaraan Ki Ajar.
Sesekali ketiga orang itu dikejutkan auman dahsyat pasangan harimau itu. Seakan-akan keduanya sedang bertempur dengan garangnya. Ketika mereka menghampiri, ternyata Ki Pandi sedang bermain-main dengan kedua ekor harimau itu. Ia seolah tengah melatih kedua ekor harimau itu untuk berkelahi lebih baik daripada sekedar menggantungkan naluri. Dan ternyata pasangan harimau itu mampu, sebagaimana Manggada dan Laksana mampu mengembangkan kemampuan dasar yang telah mereka miliki.
Demikianlah, dari hari ke hari mereka tenggelam dalam latihan-latihan, sehingga kemampuan mereka benar-benar berkembang. Suatu hari, selagi Ki Ajar, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana duduk beristirahat di serambi setelah melakukan latihan yang melelahkan, Ki Pandi datang dengan tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah dan keringat mengembun di keningnya.
“Ada apa, Bongkok?” bertanya Ki Ajar.
“Aku melihat lima orang berkeliaran di seberang gumuk kecil itu,” jawab Ki Pandi bergetar.
“Biar saja. Kenapa? Bukankah gumuk itu masih agak jauh?” bertanya Ki Ajar.
Ki Pandi Ompong yang bongkok itu, termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Bagaimana jika mereka sampai ke tempat ini?”
“Kita akan mempersilahkan mereka duduk,” berkata Ki Ajar. “Tetapi sudah tentu mereka tidak akan kami persilahkan meninggalkan tempat ini.”
Orang Bongkok itu nampaknya masih belum puas dengan jawaban Ki Ajar. Namun Ki Ajar berkata, “Baiklah. Awasi mereka. Bawa kentongan. Jika kau perlukan kami, pukul kentongan itu”
Orang bongkok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengamati mereka.”
Demikian orang bongkok itu bergerak, di semak-semak di luar pagar, nampak dua ekor harimau berlari-lari menjauh.
“Bongkok,” berkata Ki Ajar, “hati-hati dengan harimau itu. Kendalikan mereka agar mereka tidak mendahului kita.”
“Baiklah, Ki Ajar,” jawab Ki Pandi.
Sejenak kemudian Ki Pandi telah meninggalkan serambi gubuk itu sambil menggapai kentongan kecil yang tergantung di sudut. Beberapa saat kemudian orang bongkok itu hilang di balik pohon-pohon perdu, menyusul kedua ekor harimaunya.
Sepeninggal Ki Pandi, Ki Ajar berdesis, “Nampaknya mereka sudah mulai. Sementara itu saat bulan purnama menjadi semakin dekat. Kalian telah memanfaatkan waktu yang pendek ini dengan meningkatkan ilmu kalian. Sebaliknya aku berterus-terang tentang ilmu kalian. Aku sangat mengagumi Manggada dan Laksana. Dalam waktu singkat, kalian berdua telah mampu meningkatkan ilmu kalian pada tataran yang jauh lebih tinggi. Bahkan di luar dugaanku sendiri. Bekal yang kalian bawa adalah bekal yang telah mapan, sehingga dengan sedikit pengembangan, kalian jadi perkasa. Kalian telah mencapai tataran puncak dalam pengerahan tenaga cadangan, yang ada dalam diri kalian. Kalian telah menguasai segala unsur olah kanuragan. Meskipun pada dasarnya unsur-unsur itu adalah hasil yang dilahirkan oleh perguruanmu. Namun dengan pengembangannya, maka segala persoalan dalam olah kanuragan akan dapat diatasi. Sedangkan Ki Wiradadi, yang telah mencapai masa-masa pertengahannya, memang tidak dapat maju sejauh kedua anak muda itu. Tetapi kemampuan Ki Wiradadipun telah memadai. Pisau-pisau kecil yang kalian bawa akan memberikan perlindungan kepada kalian bertiga. Pedang kalian akan dapat melindungi kalian pula dari senjata lawan, sekaligus akan mampu menghancurkannya. Akupun tidak berkeberatan kalian membawa busur dan anak panah serta keris. Mungkin semuanya akan memberi arti tersendiri, karena kalian akan menghadapi lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya.”
Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda itu mengangguk hormat. Ki Wiradadi memang sudah merasa, bahwa keterbatasannya, serta umurnya yang sudah menjadi semakin tua, telah menjadi hambatan yang sulit untuk diatasinya dalam meningkatkan ilmu.
Namun demikian, setelah beberapa hari itu, terasa beberapa kemajuan pada ilmunya. Rasa-rasanya tangannya menjadi semakin terampil untuk menggerakkan senjatanya. Kekuatan atas dukungan tenaga cadangannyapun menjadi semakin besar.
Namun ia menyadari sepenuhnya, bahwa laju perkembangan ilmunya tidak akan dapat menyamai kedua anak muda yang memang sedang tumbuh itu. Apalagi ia memang merasa bahwa alas kemampuannyapun ada di bawah kemampuan kedua anak muda itu.
Dalam pada itu, Ki Ajar berkata, “Mulai saat ini, kita harus mulai melakukan persiapan seperlunya. Nampaknya Panembahan Lebdagati sudah mulai dengan perburuannya. Ia mulai menyadari, bahwa beberapa orang pengikutnya telah hilang. Sementara itu, ia harus segera mulai melakukan persiapan menjelang malam purnama itu.”
Ketiga orang yang diajaknya berbincang itu mengangguk-angguk. Bahkan Ki Wiradadipun nampak menjadi semakin gelisah. Ia sadar, bahwa semakin dekat malam purnama, berarti semakin dekat saat-saat yang menentukan bagi anak gadisnya, apabila anak itu masih hidup.
Ki Ajar agaknya melihat kegelisahan itu. Lalu katanya, “Kita akan berusaha sejauh dapat kita lakukan, Ki Wiradadi. Karena itu, jangan cemas. Kita percaya bahwa Yang Maha Agung akan menuntun kita dalam pekerjaan yang berat ini.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk kecil.
“Nah, nanti malam kita akan mulai,” berkata Ki Ajar.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana tiba-tiba memandang wajah Ki Ajar dengan kerut di dahi. Sementara Ki Ajar mengulanginya, “Ya. Nanti malam kita harus mulai. Kita akan melihat-lihat medan yang akan kita hadapi.”
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya dalam nada rendah, “Terima kasih, Ki Ajar. Ternyata bahwa Ki Ajar telah memberikan pertolongan yang sangat berharga bagi kami. Terutama bagiku, karena kedua anak muda inipun pada dasarnya telah menolongku pula.”
“Sudahlah. Kita mempunyai kepentingan yang sama. Kita tidak akan membiarkan kepercayaan yang sesat itu semakin berkembang dan mencengkam lingkungan ini. Bahkan seluruh tanah yang kita cintai ini.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimanapun juga aku merasa bahwa aku telah berhutang budi.”
Ki Ajar tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Aku akan melihat, barangkali air telah mendidih. Kita akan minum wedang sere hangat dengan gula kelapa.”
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Ajar masuk ke dalam, menuju dapur. Hampir di luar sadarnya Ki Wiradadi berkata pada diri sendiri, “Malam nanti kita akan mulai. Kita tinggal mempunyai beberapa malam lagi.”
Manggada menyahut, “Kita sudah melakukan persiapan yang lebih baik, Ki Wiradadi. Dalam waktu yang pendek ini, ternyata bekal kita telah bertambah hampir dua kali lipat.”
“Ya. Mudah-mudahan Yang Maha Agung memberikan jalan kepada kita,” berkata Ki Wiradadi.
Beberapa saat kemudian, mereka masih sempat minum minuman panas. Namun kemudian, orang bongkok itu telah datang lagi. Tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya.
“Bagaimana dengan orang-orang itu?” bertanya Ki Ajar setelah orang bongkok itu ikut duduk di serambi.
“Mereka telah naik, Ki Ajar,” jawab orang bongkok itu.
“Naik kemana?” bertanya Laksana.
Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Orang-orang yang menuju ke arah puncak gunung itu, kita sebut naik.”
Laksana mengangguk-angguk. Sementara Ki Ajar berkata selanjutnya, “Malam nanti, kita pun akan naik.”
“Bagus,” sahut Laksana. “Aku ingin melihat apa yang ada di atas. Bukankah kita naik ke atas?”
Ki Ajar tertawa. Katanya, “Ya. Kita akan naik semakin ke atas dari kaki gunung ini. Kita akan menjumpai beberapa padukuhan yang terasing dari pergaulan hidup sewajarnya. Orang-orang yang menganggap bahwa Panembahan Lebdagati adalah pemimpin mereka yang tertinggi. Mereka tidak mengenal Kangjeng Sultan serta para pemimpin yang lain. Bahkan mereka menganggap bahwa dunia ini dibatasi oleh Hutan Jatimalang, kecuali beberapa orang tertentu yang sudah mendapat kepercayaan untuk menyeberangi hutan. Selain untuk mengambil gadis-gadis, mereka juga mencari garam dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat mereka hasilkan sendiri. Mereka tidak memerlukan bahan pakaian dari luar. Beberapa orang telah dapat menenun sendiri. Padi telah mereka tanam, gulapun telah mereka sadap sendiri dari batang-batang kelapa yang terhitung banyak disini.”
Yang mendengarkan keterangan Ki Ajar mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan, justru karena orang-orang di belakang Hutan Jatimalang ini dapat memenuhi sebagian besar dari kebutuhan mereka sendiri, maka mereka dapat membatasi hubungan mereka dengan orang-orang di luar lingkungan mereka. Justru itulah yang menjadi sangat menarik bagi Manggada dan Laksana, di samping usaha mereka untuk membebaskan anak gadis Ki Wiradadi.
Dengan demikian, maka mereka menggunakan sisa hari itu untuk beristirahat. Menjelang senja, mereka bersiap-siap untuk melakukan pengamatan. Sementara Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana sibuk mempersiapkan diri, Ki Pandi menyiapkan makan malam sebelum mereka berangkat.
Demikianlah, setelah makan malam, mereka berlima meninggalkan gubuk kecil itu. Ki Pandi ternyata telah diminta oleh Ki Ajar untuk ikut serta. Melalui jalan yang rumit, perjalanan mereka mulai. Agak tersendat. Terutama Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana yang belum terbiasa melalui jalan-jalan lereng terjal, di tanggul yang licin dan di antara semak-semak, meskipun di langit nampak bulan bersinar tetapi belum bulat.
Mereka masih juga terkejut ketika tiba-tiba saja muncul seekor harimau dari semak-semak di sebelah mereka lewat, disusul oleh seekor yang lain. Namun mereka segera menyadari, bahwa kedua ekor harimau itu tentu harimau jinak yang dipelihara oleh Ki Pandi.
Kendati keduanya adalah harimau jinak, Ki Pandi telah berhasil menggelitik naluri keduanya, sehingga seakan-akan harimau itu menjadi lebih cerdik dari harimau-harimau yang lain. Keduanya mampu bergerak secara naluriah, lebih cepat dan lebih mapan. Merekapun mampu memanfaatkan senjata yang ada pada diri mereka, lebih baik dari seekor harimau liar. Oleh Ki Pandi, kedua ekor harimau itu telah dilatih bergerak lebih cepat, lebih lama dan lebih kuat.
Meskipun kelima orang itu harus melalui jalan yang sulit, tetapi akhirnya mereka dapat mencapai tempat yang lebih baik. Meskipun tanahnya juga miring, tetapi mereka dapat berjalan dengan mudah dan tidak berbahaya. Meskipun demikian, kelima orang itu tidak berjalan melalui jalan yang memanjat naik. Mereka telah berjalan di antara pohon-pohon perdu.
Di langit bulan sudah terang, meski belum bulat. Justru karena itu Ki Wiradadi menjadi semakin gelisah. Beberapa saat kemudian, mereka telah melampaui beberapa padukuhan kecil, yang nampak sepi di ujung malam. Tidak ada gardu bagi para peronda. Tidak ada obor di regol, dan tidak ada orang berjaga di waktu malam.
“Mereka tidak memerlukannya,” berkata Ki Ajar. “Di daerah ini memang tidak ada kejahatan dalam arti pencurian, perampokan dan sebagainya. Yang ada kesesatan, karena pemimpin mereka adalah penganut kepercayaan sesat.”
“Dan pembunuhan,” Ki Wiradadi melanjutkan.
“Itu adalah akibat dari kepercayaan mereka,” sahut Ki Ajar.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Akibat kepercayaan sesat itu. Tapi itu justru lebih berbahaya dari sekedar pencurian dan perampokan.”
“Tentu,” jawab Ki Ajar. Lalu katanya, “Pada saatnya, para pemimpin padepokan melakukan sebagaimana dilakukan pimpinan tertinggi mereka. Satu-satu mereka jadi bertuah. Mereka akan membunuh gadis-gadis di saat purnama penuh, sampai jumlah yang ditentukan. Memang lebih sedikit dari yang dilakukan panembahan gila itu, tapi mungkin dua tiga orang melakukan bersama-sama. Itu berarti kematian menjadi semakin banyak di padepokan ini.”
“Daerah ini memang harus dibebaskan dari kepercayaan sesat itu,” berkata Ki Wiradadi.
Mereka kemudian terdiam karena harus menuruni lereng rendah yang curam. Kemudian mereka menelusuri lekuk berkelok-kelok. Si Bongkok yang berjalan di depan agaknya sudah mengenali tempat itu dengan baik. Karena itu, ia berjalan tanpa ragu-ragu. Ketika mereka kemudian memanjat naik, mereka tiba di tepi padang rumput yang tidak terlalu luas.
“Berhati-hatilah,” desis Ki Pandi.
Merekapun menjadi sangat berhati-hati. Mereka masih belum sepenuhnya berada di atas tanggul. Kepala-kepala mereka sajalah yang tersembul, dibayangi rerumputan yang tumbuh liar di pinggir padang itu.
“Apa itu?” bertanya Laksana ketika melihat bangunan kecil di tengah padang rumput itu.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Pandi berdesis, “Jangan terlalu keras.”
“Tidak ada orang,” sahut Laksana.
Tetapi Manggada menggamitnya sambil berkata perlahan, “Kita memang harus berhati-hati. Jika Ki Pandi yang sudah terbiasa di tempat ini meminta kita untuk berhati-hati, tentu bukan sekedar untuk menakut-nakuti kita.”
Laksana tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.
“Bangunan itulah tempat untuk menyerahkan korban,” berkata Ki Ajar kemudian.
Ki Wiradadi menjadi tegang. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita harus menghancurkan bangunan itu.”
“Jangan sekarang,” berkata Ki Ajar. “Jangan tergesa-gesa. Jika mereka menyadari bahwa akan terjadi gangguan berarti saat mereka akan menyerahkan korban, mereka akan mengambil langkah-langkah pengamanan. Mungkin mereka akan memindahkan tempat menyerahkan korban. Mungkin mereka akan mengerahkan semua orang untuk menjaga pelaksanaan korban agar tidak terganggu. Tetapi mungkin juga, menjelang korban itu diserahkan, daerah ini akan dijelajahi sampai sudut-sudut yang belum pernah mereka jamah. Sementara itu, nasib gadis yang akan dikorbankan akan terancam.”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Wiradadi.
“Jika saja kita berhasil mengetahui dimana gadis itu disimpan,” berkata Ki Ajar hampir kepada diri sendiri.
“Tidak mungkin untuk dilakukan,” berkata Ki Pandi.
“Kenapa?” bertanya Ki Wiradadi.
“Gadis itu disimpan di padukuhan induk dan dijaga serta diawasi dengan ketat. Tidak ada orang yang dapat masuk ke dalamnya selain orang-orang tertentu. Di padukuhan induk itu terdapat tempat-tempat pemujaan. Setelah melalui beberapa upacara di tempat pemujaan itu, mereka membawa korban ke tempat penyerahan korban untuk dibunuh. Tepat di saat bulan bulat dan berada di puncak langit,” jawab Ki Ajar.
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha menekan kegelisahannya sampai ke dasar jantung. Namun bagaimanapun juga, Ki Wiradadi nampak sangat gelisah.
“Bongkok,” berkata Ki Ajar perlahan-lahan, “lihat, apakah tidak seorang pun di sekitar padang ini. Kau jangan sendiri. Biarlah anak-anakmu itu melakukannya.”
Ki Pandi mengangguk kecil. Ia kemudian memberi isyarat pada kedua ekor harimaunya. Dengan bahasa khusus yang hanya dimengerti oleh orang bongkok dan kedua ekor harimau itu, Ki Pandi telah melepaskan kedua ekor harimaunya untuk memasuki padang. Ketika kedua ekor harimau itu berlari-lari kecil di bawah cahaya bulan yang semakin terang di padang, Ki Pandi berdesis, “Hati-hatilah.”
Kedua ekor harimau itu kemudian menelusuri padang rumput itu. Mereka menuju ke bangunan yang tidak lebih dari setumpuk batu yang dibuat sebagai satu pembaringan besar dan lebih tinggi dari pembaringan biasa. Tangga batu yang mengelilinginya, agaknya menjadi tempat pemimpin upacara berdiri, kemudian mengangkat pusakanya tinggi-tinggi sebelum diayunkan ke arah jantung korbannya.
Dua kali harimau itu mengelilingi bangunan batu itu yang nampaknya tidak terjaga. Kemudian keduanya mendekati padukuhan yang ada di seberang padang rumput itu. Nampaknya padukuhan itu dipergunakan untuk membuat perlengkapan upacara mereka, menyimpan berbagai macam peralatan dan tempat menyelenggarakan persiapan-persiapan.
Namun dalam pada itu Ki Pandi berkata, “Menjelang dikorbankan, gadis-gadis ditempatkan di padukuhan itu. Di tempat itu mereka dirias sebagaimana merias pengantin. Pakaian yang dipergunakannyapun adalah pakaian pengantin pula.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk kecil. Betapa dadanya bagaikan terguncang-guncang.
Sementara itu Ki Ajar pun berkata, “Kita harus tahu pasti, dimana gadis itu dirias. Di rumah yang mana dan sejak kapan.”
“Aku sudah pernah menyaksikan,” berkata Ki Pandi. “Tetapi waktu itu kita belum kuasa mencegahnya. Kita masih terlalu lemah. Kita hanya berdua. Sementara kedua ekor harimau itu belum mapan seperti sekarang. Jika saat itu kita bertindak, maka kitapun akan menjadi korban pula, sehingga kita tidak akan berhasil menghentikan tindakan mereka untuk seterusnya.”
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Saat itu kita hanya dapat mengusap dada. Tetapi aku tidak berani menyaksikannya. Si Bongkok itulah yang sempat melihat apa yang terjadi.”
“Sebulan yang lalu?” bertanya Ki Wiradadi.
“Jangan sebutkan itu lagi,” minta Ki Ajar. “Kau tentu berkata dalam hati, bahwa kami membiarkan hal itu berulang kali terjadi. Tetapi sebenarnyalah kami mempergunakan waktu-waktu kami untuk mencari jalan bagaimana kami dapat mencegah hal itu terjadi. Kedatangan kalian telah memberikan harapan kepada kami untuk melakukannya, meskipun kemungkinan lain dapat terjadi. Justru kemungkinan yang sangat pahit bagi kita.”
Ki Wiradadi tidak bertanya lagi. Ia menyadari bahwa Ki Ajar sudah cukup tersiksa oleh keadaan. Ia melihat sesuatu yang harus dicegahnya, tapi nalarnya mengatakan bahwa berdua saja ia tidak akan dapat melakukannya. Sementara itu, Ki Wiradadi tidak tahu apakah orang bongkok itu juga mampu membantu Ki Ajar dalam benturan ilmu dengan para pemimpin padepokan itu.
Ki Ajar kembali berkata, “Sekarang kita tengadahkan wajah kita. Kita akan mencegah hal seperti itu terjadi selanjutnya.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Namun terasa jantungnya bagaikan ditusuk duri jika ia membayangkan, berapa orang tua yang kehilangan anak gadisnya yang dibaringkan di atas pembaringan batu itu, kemudian ditusuk di arah jantungnya sampai mati. Tetapi Ki Wiradadi tidak bertanya sesuatu.
Sementara itu, nampak di cahaya bulan dua ekor harimau Ki Pandi telah datang kembali. Keduanya langsung menemui Ki Pandi. Nampak keduanya memberikan isyarat kepada Ki Pandi yang bongkok itu, bahwa keduanya tidak menjumpai seseorang pun. Baik di sekitar bangunan batu itu, maupun di padukuhan.
“Kita dapat mendekat,” berkata Ki Pandi kemudian, setelah menjelaskan isyarat yang diberikan oleh kedua ekor harimaunya.
Dengan demikian, kelima orang itu telah berjalan melintasi padang rumput dalam siraman cahaya bulan, menuju ke padukuhan di seberang. Namun mereka sempat melihat bangunan batu yang ada di tengah-tengah padang rumput itu, yang ternyata dibuat oleh tangan-tangan yang memiliki ketrampilan memahat batu.
“Sebuah candi kecil,” desis Laksana.
“Ya. Di atasnya korban diletakkan, kemudian ditusuk sampai mati. Darah dari dada korban itu akan mengalir membasahi permukaan bangunan kecil itu,” desis Ki Ajar. Lalu katanya, “Memang mengerikan.”
Ki Wiradadi memalingkan wajahnya. Ia selalu membayangkan hal itu terjadi atas anak gadisnya. Karena itu, Ki Ajar yang mengetahui isi hati Ki Wiradadi telah melanjutkan langkahnya menuju ke padukuhan. Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun. Ternyata padukuhan itu diputari dinding yang cukup tinggi. Sedangkan regol padukuhan itu tertutup rapat.
“Bongkok,” desis Ki Ajar, “regol itu tertutup. Bagaimana kedua ekor harimaumu dapat mengatakan bahwa di padukuhan ini tidak ada orang?”
Orang bongkok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Harimau dungu. Yang dimaksud tentu di luar padukuhan itu. Tetapi kita tidak dapat memastikan, apakah di dalam padukuhan itu ada orang atau tidak.”
Ki Ajar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia justru memberikan isyarat agar mereka lebih melekat dinding dan berhenti di bawah bayangan yang gelap. Terlindung dari cahaya bulan yang hampir bulat di langit.
“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Si Bongkok.
“Kita akan memasuki padukuhan itu,” berkata Ki Ajar.
“Meloncat dinding?” bertanya Si Bongkok pula.
“Ya. Tetapi kita harus berusaha melindungi diri kita dari kemungkinan yang paling buruk. Setidak-tidaknya, mengurangi kemungkinan itu,” berkata Ki Ajar.
“Aku tidak tahu maksud Ki Ajar,” jawab orang bongkok itu.
“Aku akan mempergunakan ilmu sirep. Jika ada orang di padukuhan itu, maka ia akan tertidur. Asal bukan para pemimpin dari padepokan raksasa ini,” berkata Ki Ajar.
“Aku kira, seandainya di padukuhan itu ada orang, mereka tentu sekedar orang yang berjaga-jaga menjelang saat jatuhnya waktu untuk menyerahkan korban,” sahut orang bongkok itu. “Tetapi bukan para pemimpinnya.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Ki Wiradadi, dan kedua anak muda yang menyertainya, “Aku minta bantuan kalian, agar ilmu sirepku dapat menguasai seluruh padukuhan ini. Tetapi kalian harus berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh sirep itu, dengan kekuatan jiwani, agar kalian tidak malah tertidur di sini.”
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana mengangguk. Mereka mengerti bahwa mereka terutama harus menjaga diri mereka sendiri, agar pengaruh sirep itu tidak mencengkam mereka sebagaimana orang-orang padukuhan itu.
Dengan nada rendah Ki Wiradadi berkata, “Aku mengerti, Ki Ajar.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Ajar telah memusatkan nalar budinya untuk melepaskan ilmu sirepnya. Udara tiba-tiba bergetar, memancarkan ilmu Ki Ajar yang menyebar ke seluruh padukuhan. Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana berusaha untuk mengatasi kekuatan ilmu sirep itu, sehingga mereka tidak kehilangan kesadaran mereka.
Baru beberapa saat kemudian, Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Mudah-mudahan ilmuku mencapai sasarannya. Tetapi jika ada seorang pemimpin yang berilmu tinggi di padukuhan ini, maka ia akan segera tahu, bahwa di atas padukuhan ini telah ditaburkan kekuatan ilmu sirep.”
“Ki Ajar memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Hanya dengan mengerahkan segenap daya tahan, aku dapat mengatasi pengaruh sirep ini,” berkata Ki Wiradadi.
“Sudahlah,” berkata Ki Ajar. “Kita akan memasuki padukuhan ini.”
“Bagaimana dengan aku?” bertanya si bongkok itu.
“Kau ikut kami. Biarlah kedua ekor harimau itu menunggu di luar,” berkata Ki Ajar.
Dengan sangat berhati-hati, orang-orang itu meloncati dinding dan memasuki lingkungan padukuhan yang suram. Tidak banyak terdapat obor di luar rumah. Hanya beberapa nampak menerangi jalan induk dan regol-regol terpenting.
Bangunan-bangunan yang terdapat di padukuhan itu bukan bangunan-bangunan biasa. Bukan rumah-rumah yang dihuni oleh keluarga-keluarga, sebagaimana padukuhan-padukuhan di seberang Hutan Jatimalang. Yang terdapat adalah sedikit bangunan untuk kepentingan khusus.
Kelima orang yang memasuki padukuhan itu kemudian berjalan mengelilingi padukuhan. Ternyata bahwa padukuhan itu memang tidak kosong. Tetapi yang mereka ketemukan adalah orang-orang yang telah tertidur nyenyak di serambi-serambi bangunan yang ada di padukuhan itu.
Seperti yang mereka duga, di padukuhan itu terdapat sebuah bangunan induk yang lebih besar dari bangunan-bangunan yang lain.
“Marilah kita melihat apa isinya,” berkata Ki Ajar.
“Baik, Ki Ajar,” jawab Ki Wiradadi.
Dengan melangkahi beberapa sosok tubuh dari para penjaga yang tertidur nyenyak, mereka berhasil mendekati pintu bangunan induk itu. Dengan hati-hati pula Ki Ajar mendorong pintu sehingga terbuka. Ternyata di ruang dalam bangunan itu terdapat berbagai macam alat yang akan dipergunakan pada upacara korban, di saat bulan bulat. Di belakang ruang itu terdapat sebuah sentong yang nampaknya dipergunakan untuk merias korban.
“Di sinilah korban itu disiapkan,” desis Ki Ajar.
Ki Wiradadi menggeram. Tetapi hatinya menjadi semakin gelisah. Ia semakin membayangkan kehadiran anak perempuannya di rumah itu menjelang kematiannya.
Beberapa lama mereka mengamati tempat itu. Ditelitinya setiap pintu dan lorong-lorong yang ada di rumah itu dan sekitarnya. Longkangan yang agak luas, seketheng yang berpintu, dan dinding-dinding yang rendah.
“Kita telah melihat tempat ini,” berkata Ki Ajar. “Kita akan dapat membuat perhitungan-perhitungan yang mapan. Jangan meninggalkan bekas di sini, sehingga tidak terjadi perubahan adat dan upacara. Jika mereka mengetahui bahwa rencana mereka telah diketahui orang lain, atau semacam kecurigaan seperti itu, maka tentu akan terjadi perubahan-perubahan yang mungkin akan menyulitkan kita.”
Ki Wiradadi mengangguk. Katanya, “Agaknya tidak terdapat jejak kita di sini, selain saksi dari orang-orang yang telah tertidur itu.”
Ki Ajar mengangguk. Katanya dengan nada rendah, “Mudah-mudahan mereka masing-masing merahasiakan kelemahan mereka. Jika diketahui mereka telah tertidur ketika bertugas, maka mereka akan dihukum.”
Ki Wiradadi masih saja mengangguk-angguk. Kemudian terdengar ia berdesis, “Kita berdoa, mudah-mudahan kita tidak akan gagal.”
“Marilah,” berkata Ki Ajar kemudian. “Kita tinggalkan tempat ini. Kita akan dapat menyusun rencana. Jika datang saatnya, kita harus sudah dapat menyusun rencana terperinci, sehingga kita tinggal melaksanakan saja, meskipun dengan taruhan nyawa kita.”
Ki Wiradadi tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti Ki Ajar keluar dari rumah itu. Pintunya telah ditutup kembali dengan tertib, sebagaimana sebelum mereka buka. Dengan pengenalan yang cermat atas padukuhan itu, maka kelima orang itu telah meninggalkan padukuhan. Dua ekor harimau si bongkok masih tetap berada di tempatnya. Merekapun kemudian mengikuti si bongkok, melintasi padang yang tidak terlalu luas itu, dan kembali hilang di balik pohon-pohon perdu.
Ternyata kedatangan mereka berlima itu memang tidak berbekas. Ketika kekuatan sirep itu perlahan-lahan semakin longgar dan beberapa orang mulai terbangun, maka kelima orang itu telah berada di tempat yang jauh.
Dalam pada itu, melalui jalan berbelit sebagaimana saat mereka berangkat, mereka telah sampai ke gubuk kecil Ki Ajar. Namun di sisa malam itu, mereka tidak sempat beristirahat. Mereka telah berbicara panjang tentang langkah-langkah yang akan mereka ambil. Sebelum mereka kehilangan gambaran tentang padukuhan itu, mereka telah mencocokkan kesan mereka satu dengan yang lain, sehingga dengan demikian mereka akan dapat menyusun rencana sebaik-baiknya.
Ki Ajar setiap kali telah menekankan, bahwa rencana mereka akan dilaksanakan dengan taruhan nyawa mereka. “Kita berhadapan dengan satu kekuatan yang besar,” berkata Ki Ajar.
Ki Wiradadi menunduk dalam-dalam. Setiap kali ia memang dihadapkan pada simpang jalan yang sulit untuk dipilihnya. Di satu jalan ia merasa berkepentingan sekali untuk membebaskan anaknya, apapun yang terjadi, namun di jalan lain ia tidak sampai hati mengorbankan anak-anak muda itu, jika mereka gagal.
“Apakah aku harus mengorbankan dua orang anak muda yang memiliki masa depan cerah itu bagi anak perempuanku?” pertanyaan itu selalu bergejolak di dalam dadanya.
Namun setiap kali ia digoncang keragu-raguan itu, seakan-akan Ki Ajar mengetahuinya. Demikian juga Manggada dan Laksana, sehingga mereka telah menyatakan sikap mereka masing-masing.
“Jika Ki Wiradadi masih saja ragu-ragu sampai saat terakhir, maka rencana kita akan kabur,” berkata Manggada. Lalu katanya pula, “Kita harus melaksanakan rencana kita dengan mantap dan tanpa ragu-ragu. Setiap keragu-raguan akan dapat menghambat langkah-langkah kita, yang justru akan dapat berakibat sangat buruk.”
“Kau benar, anak muda,” sahut Ki Ajar. “Kita harus melakukannya dengan mantap.”
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Kemudian dengan suara berat ia berkata, “Baiklah. Kita memang tidak boleh ragu-ragu.”
“Bagus,” desis Ki Ajar. “Kita sudah menentukan pola langkah kita. Sebelum berangkat, kita akan dapat mengulanginya sambil mengisi bagian-bagian yang lebih kecil dari rencana itu.”
“Mudah-mudahan kita berhasil. Mudah-mudahan rencana kita sesuai dengan kenyataan yang kita hadapi di medan,” sahut Manggada.
“Kita memang harus menyiapkan rencana cadangan,” desis Ki Ajar.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Ajar melanjutkan, “Jika rencana kita gagal, maka yang harus kita lakukan kemudian adalah meninggalkan upacara itu, dan kemudian menghilang. Kita harus mengulanginya lagi jika penyerahan korban itu tetap akan dilakukan kemudian. Kita tidak tahu, apakah jika malam purnama mereka gagal menyerahkan korban, akan dapat dilakukan malam berikutnya. Namun penundaan waktu itu memberi kesempatan kepada kita untuk berpikir.”
Memang tidak ada cara lain yang dapat mereka tempuh. Karena itu, mereka menetapkan bahwa langkah itulah yang dapat mereka ambil untuk mengatasi rencana mereka jika gagal. Dengan demikian, yang dapat mereka lakukan kemudian adalah menunggu. Menunggu bulan bulat di langit.
Untuk menghilangkan kejemuan menunggu, Manggada dan Laksana mengasah kemampuan mereka. Meskipun tidak mungkin meningkatkan ilmu mereka hanya dalam dua hari, namun seakan-akan mereka mampu mempertajam ujung kemampuan mereka menghadapi keadaan yang khusus itu.
Ketika malam kemudian datang, maka bulan rasa-rasanya sudah bulat. Ki Wiradadi bahkan menjadi gelisah. Jika mereka salah menghitung hari, dan malam itu adalah malam purnama, maka anaknya malam itu tentu sudah dibaringkan di atas tempat upacara, di tengah-tengah padang rumput itu.
Untuk menenangkan perasaan Ki Wiradadi, maka mereka telah menelusuri lagi jalan yang rumit untuk sampai ke tepi padang rumput itu. Mula-mula mereka memang terkejut. Di padang rumput itu ternyata telah banyak orang. Obor telah terpasang, meskipun baru beberapa...
Selanjutnya, Menjenguk Cakrawala Bagian 09 |