NAMUN dengan demikian, Ki Ajar mengambil keputusan bersama Senapati prajurit Pajang bahwa padepokan induk itu akan dimusnahkan seluruhnya. Karena itu, merekapun segera keluar dari bangunan itu, dan seorang prajurit telah menyulutnya dengan obor.
Sejenak kemudian, setelah tengkorak-tengkorak itu diselamatkan untuk dikuburkan, apipun telah berkobar bagaikan menjilat bintang-bintang di langit. Bukan hanya sebuah bangunan, tetapi beberapa buah bangunan telah menjadi onggokan api yang semakin lama semakin besar. Asappun membubung tinggi, kemudian pecah ditiup angin.
Mereka berharap, bahwa lambang dari kepercayaan sesat itu telah dimusnahkan, meskipun dengan kecewa mereka harus menghadapi kenyataan, bahwa Panembahan Lebdagati sendiri ternyata luput dari tangan mereka.
Sementara itu, mereka menyadari bahwa Panembahan Lebdgati adalah orang yang memiliki ilmu tinggi, yang akan dapat berbuat banyak untuk kepentingan diri sendiri, tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Bahkan jika perlu, mengorbankan bukan saja kepentingan orang lain, tetapi orang lain itu sendiri.
Namun dalam pada itu, dari kejauhan, seorang dengan geram melihat asap yang membubung tinggi itu. Giginya gemeretak. Sementara, dari matanya memancar kemarahan yang tiada taranya. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi"
Sebenarnyalah bahwa terlepasnya Panembahan Lebdagati adalah pertanda bahwa ilmu yang sesat itu belum mati. Padepokannya dapat dihancurkan, bahkan kemudian menjadi abu. Tetapi orang yang menumbuhkan kepercayaan sesat itu masih tetap hidup. Bahkan hatinya bagaikan membara oleh dendam yang tiada taranya. Apa yang telah dirintisnya, ternyata telah dihancurkan menjadi abu.
Panembahan Lebdagati memang tidak ingin kembali ke padepokannya yang telah dihancurkan. Tetapi itu bukan berarti ia tidak akan bangkit lagi dengan sebuah padepokan baru untuk mengembangkan aliran sesatnya. Bahkan seperti, yang dikatakannya, kegagalannya menikam korban di saat terang bulan yang baru saja lewat, maka ia harus mengulanginya dengan mengorbankan gadis-gadis lebih banyak lagi.
Ki Ajar Pangukan berkata kepada Senapati dari Pajang "Pajang tidak boleh berhenti memburu orang itu. Jika ia sempat bangkit lagi, maka ia akan dapat menimbulkan malapetaka yang lebih besar lagi"
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya "Orang itu berilmu sangat tinggi. Meskipun sekelompok prajurit terpilih, tidak akan dapat menangkapnya. Harus ada orang pilihan yang menyertai para prajurit itu"
"Jika salah seorang dari dua Panglima Wira Tamtama Pajang turun langsung menanganinya, Panembahan Lebdagati tentu akan dapat diselesaikan. Apakah Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi” berkata Ki Ajar.
"Apabila keadaan memaksa, keduanya tentu tidak akan berkeberatan" berkata Senapati itu.
"Panembahan Lebdagati tentu tidak akan dapat lepas dari tangan mereka, jika mereka berhasil menemukannya, Ki Gede Pemanahan maupun Ki Penjawi, adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sulit dicari duanya di muka bumi ini” berkata Ki Ajar.
"Apalagi jika Ki Juru Martani, saudara tua seperguruan mereka, ikut pula mencampuri persoalan ini” sahut orang bongkok itu. Lalu katanya "Persoalan ini adalah persoalan yang sangat pelik"
Senapati itu mengangguk. Katanya "Aku akan melaporkannya kepada para Panglima Wira Tamtama. Aku kira mereka akan mengambil kebijaksanaan yang sebaik-baiknya atas persoalan ini"
Demikianlah. Orang-orang yang tengah menghancurkan padepokan itu, ternyata tidak segera meninggalkannya. Mereka masih berada di tempat keesokan harinya mereka mempergunakan kesempatan itu untuk berhubungan dengan orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan, yang untuk beberapa lama, berada di bawah pengaruh Panembahan Lebdagati.
Orang-orang yang tidak tahu menahu tentang jalur kekuasaan Pajang, karena mereka mengira bahwa pemimpin mereka yang tertinggi di dunia ini adalah Panembahan Lebdagati. Dengan demikian, Senapati itu berkesimpulan bahwa daerah itu harus dibuka.
"Lingkungan ini tidak boleh terus-menerus tertutup seperti ini, sehingga orang yang tinggal di belakang hutan Jatimalang mengira, dunia ini hanya seluas padukuhan-padukuhan yang ada di lereng gunung ini” berkata Senapati itu.
"Jika Pajang dapat membuka jalan menembus hutan Jatimalang, daerah ini tentu akan menjadi daerah yang terbuka. Daerah ini akan dapat berhubungan dengan daerah-daerah lain, sebagaimana seharusnya” berkata Ki Ajar.
Senapati Pajang itu mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan menyampaikannya kepada pimpinan pemerintahan di Pajang. Kemungkinan seperti itu tentu selalu terbuka, meskipun diperlukan waktu dan tenaga yang sangat besar. Tetapi menyangkut satu lingkungan yang cukup luas di lereng gunung ini"
Demikianlah. Senapati Pajang itu melakukan pengamatan dalam waktu singkat. Senopati itu sempat pula berhubungan dengan orang-orang yang berpengaruh di padukuhan-padukuhan untuk memberikan penjelasan. Ternyata bahwa pengenalan orang-orang di daerah itu atas diri mereka sendiri, dalam hubungannya dengan mereka di seberang hutan Jatimalang, adalah sangat sedikit.
Dalam pada itu, Ki Wiradadi yang telah berhasil mengambil anaknya, meskipun harus bertaruh nyawa, telah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantunya.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar menjawab “Kita mempunyai kepentingan yang sama. Sebagaimana para prajurit Pajang yang berhasil aku hubungi sebelumnya, sehingga kita dapat melakukan tugas ini bersama-sama”
"Tetapi bagaimanapun juga, aku merasa berhutang budi kepada semua pihak" berkata Ki Wiradadi "ternyata bahwa anakku telah dapat diselamatkan"
"Tetapi hati-hatilah Ki Wiradadi" berkata orang bongkok itu "Panembahan Lebdagati masih belum tertangkap. Untuk beberapa lama, Panembahan itu tentu tidak akan melakukan kegiatan apapun juga. Tetapi pada suatu saat, ia akan mengejutkan banyak orang. Karena itu, segala pihak harus berhati-hati. Ki Wiradadi harus menghimpun semua orang yang mungkin dapat menjaga ketertiban padukuhan, karena tidak ada orang secara pribadi akan mampu menghadapi Panembahan Lebdagati. Namun bagaimanapun juga, untuk melawan orang sepadukuhan, Panembahan Labdagati tentu juga harus berpikir beberapa kali"
"Aku akan menghubungi Ki Bekel dan Ki Demang" berkata Ki Wiradadi.
Namun ketika Ki Wiradadi mohon diri, Ki Ajar berkata "Jangan berjalan seorang diri"
Arya Manggada berkata "Kami berdua akan menyertainya sampai ke padukuhannya. Kami berangkat bersama-sama. Maka kami pun akan kembali bersama-sama"
Ki Ajar tersenyum. Katanya "Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Tetapi sebaiknya, kalian tidak saja berpegang kepada gelora yang menyala di dalam dada kalian, tetapi sebaiknya kalian harus mulai mengetrapkan perhitungan-perhitungan di setiap langkah kalian"
Manggada dan Laksanapun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah, Manggada berkata "Kami akan selalu mengingat pesan Ki Ajar"
"Bagus anak-anak muda" berkata Ki Ajar. Tetapi ia berkata selanjutnya "Tetapi kami masih ingin mempersilahkan Ki Wiradadi dengan anak gadisnya, serta anak-anak muda berdua, untuk singgah di rumahku. Beberapa orang prajurit Pajang masih ada di sana. Sebaiknya kalian berangkat dari rumahku itu”
Ki Wiradadi, anak gadisnya serta kedua orang anak muda itu, tidak dapat menolak. Demikian pula Senapati prajurit Pajang. Mereka semuanya telah dipersilahkan singgah di rumah Ki Ajar, yang tidak cukup besar untuk menampung semua orang. Apalagi semua prajurit Pajang yang datang ke seberang hutan Jatimalang itu.
Tetapi ternyata, orang bongkok itu sempat menyuguhi mereka dengan makan dan minuman, meskipun Senapati itu berkata, bahwa mereka telah membawa bekal sendiri-sendiri.
"Bukankah sudah ada di antara orang-orang kami yang bertugas untuk menyediakan makan dan minuman kami dalam keadaan yang bagaimanapun juga?" berkata Senapati itu.
Tetapi orang bongkok itu berkata sambil tersenyum "Aku akan bekerja bersama dengan mereka”
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Ajar telah sempat membawa Manggada dan Laksana ke tempat yang tersembunyi. Keduanya memang menjadi berdebar-debar, karena Ki Ajar tidak mengatakan apakah maksudnya membawa keduanya menyendiri.
Ketika mereka bertiga telah berada di balik sebuah gumuk kecil, Ki Ajar mempersilahkan kedua orang anak muda itu untuk duduk di atas batu hitam yang seakan-akan memang sudah disediakan.
"Anak-anak muda" berkata Ki Ajar "kalian memang sangat menarik perhatianku. Dalam usia kalian yang masih sangat muda, kalian telah memiliki bekal yang tinggi"
Kedua orang anak muda itu masih saja termangu-mangu. Sementara itu, Ki Ajar berkata selanjutnya "Karena itu, anak-anak muda, aku ingin ikut menitipkan bekal bagi kalian berdua. Tetapi waktu yang pendek sekali, tidak akan mungkin dapat aku pergunakan untuk meningkatkan ilmu kalian dengan kemampuan yang berarti. Karena itu, aku akan mempergunakan cara lain untuk membantu kalian”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Keduanya tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Tetapi menilik kata-kata Ki Ajar, serta sorot matanya yang terang, maka Ki Ajar bermaksud baik bagi kepentingan mereka berdua. Karena itu, keduanya berharap bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu, setidak-tidaknya petunjuk bagi kepentingan ilmu mereka.
Beberapa saat kemudian, Ki Ajar Pangukan menuntun keduanya melakukan gerak-gerak langkah tertentu, selagi mereka masih duduk di atas batu hitam. Kemudian, pada gerak-gerak tertentu, mereka harus menarik nafas dalam-dalam, memusatkan nalar budi, sehingga pernafasan mereka berjalan sesuai dengan kehendak.
Demikianlah. Kedua anak muda itu telah melakukan beberapa kali dengan kesungguhan hati. Pemusatan perhatian sepenuhnya dengan lambaran kemampuan yang ada di dalam diri mereka.
Ketika hal itu sudah dilakukan beberapa kali, Ki Ajar mengajari anak-anak muda itu melakukannya dengan gerakan yang lebih sederhana, namun mencapai daya kemampuan yang sama. Demikian dilakukan beberapa kali, sehingga akhirnya, keduanya dapat mengatur pernafasan mereka hanya dengan satu gerak yang paling sederhana.
"Luar biasa!" berkata Ki Ajar kemudian "kalian memang memiliki kelebihan dari orang-orang lain. Agaknya kalian pernah menempuh masa-masa latihan yang sangat berat sebelumnya, sehingga kalian dapat melakukan satu cara pernafasan dengan latihan-latihan yang terhitung singkat”
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Mereka memang merasakan semacam udara baru yang terhembus di dalam tubuh mereka, membawa kesegaran tersendiri. Darah mereka pun menembus urat-urat yang paling lembut di dalam tubuh mereka.
Ki Ajar yang nampak tersenyum-senyum itu berkata "Lakukanlah dalam latihan-latihan olah kanuragan. Tetapi aku masih belum berani membiarkan kalian berdua berlatih bersama. Karena itu, sebaiknya kalian berdua berlatih bersamaku”
Manggada dan Laksana pun kemudian diminta bersiap. Demikian pula Ki Ajar Pangukan. Dengan isyarat, mereka segera mulai dengan latihan-latihan olah kanuragan. Kedua anak muda itu harus menghadapi Ki Ajar dalam latihan olah kanuragan.
Kedua anak muda itu berloncatan, ketika Ki Ajar mulai menyerang. Dengan lantang Ki Ajar berkata "Lakukanlah dengan sungguh-sungguh, agar kalian dapat menilai arti pengaturan nafas bagi kesiagaan tenaga cadangan di dalam dirimu"
Kedua anak muda itu mengerahkan kemampuannya, karena mereka menyadari tataran kemampuan Ki Ajar. Apalagi Ki Ajar memang mendorong anak-anak muda itu mengerahkan kemampuan mereka dengan cara yang paling singkat. Sesuai dengan laku yang telah di ajarkan oleh Ki Ajar dengan landasan pengaturan pernafasan.
Ternyata kedua anak muda itu dapat merasakan dorongan kekuatan yang terasa lebih besar. Bukan karena mereka dengan tiba-tiba mendapat kekuatan baru, tapi Ki Ajar telah mengajarkan kepada mereka untuk mempergunakan tenaga cadangan sebaik-baiknya, sehingga kekuatan dari dalam seakan-akan menjadi lebih besar, mendorong kekuatan kewadagan mereka.
Dengan demikian, kedua anak muda itu mampu bergerak lebih cepat. Loncatan mereka lebih panjang. Sedangkan ayunan kekuatan mereka, menjadi lebih deras. Seakan-akan keduanya telah berlatih untuk waktu yang panjang, sehingga ilmu mereka meningkat.
Tetapi keduanya menyadari, bahwa bukan landasan ilmu merekalah yang meningkat, tapi kemampuan mereka untuk mempergunakan tenaga cadangan yang telah menjadi semakin baik, karena tuntunan Ki Ajar dalam menyempurnakan pernafasan mereka.
Beberapa saat, kedua anak muda itu masih bertempur melawan Ki Ajar. Setiap kali, Ki Ajar masih berteriak memberikan aba-aba kepada kedua anak muda itu, sehingga petunjuk apa yang paling baik harus mereka lakukan.
Ternyata Ki Ajar pun semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Dalam benturan-benturan yang terjadi, Ki Ajar telah meningkatkan kekuatannya. Dengan demikian, kedua anak muda itu harus mengerahkan tenaga cadangan, sejauh dapat mereka lakukan.
Ki Ajar akhirnya melihat hasil yang sangat baik, dari waktu yang sangat singkat itu. Ilmu kedua anak muda itu memang tidak meningkat, tapi mereka dapat memanfaatkan kekuatan di dalam dirinya dengan lebih baik.Beberapa saat kemudian, Ki Ajar mengambil jarak dan memberikan isyarat bahwa latihan telah berakhir.
Manggada dan Laksana pun kemudian telah mengekang kekuatan di dalam dirinya. Kemudian perlahan-lahan mengendapkannya kembali, sehingga akhirnya keduanya telah menyimpan tenaga cadangannya sepenuhnya.
Ki Ajar berdiri di atas sebuah onggokan batu padas sambil tersenyum. Namun dalam sekilas, Ki Ajar melihat perbedaan di antara kemampuan kedua anak muda itu. Nampaknya Manggada mampu menyerap lebih banyak petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Ki Ajar. Tetapi perbedaan itu agaknya terlalu kecil, sehingga dapat diabaikan.
Ketika kedua anak muda itu telah berdiri tegak, sambil memandang Ki Ajar yang berdiri diatas onggokan batu padas itu, Ki Ajar pun berkata
"Bagus sekali anak-anak muda. Aku tidak mengira bahwa dalam waktu yang pendek, kalian mampu menyerap petunjuk-petunjukku sedemikian dalamnya, sehingga tenaga cadangan kalian, yang dapat kalian pergunakan, bukan saja meningkat tapi berlipat. Dalam tataran ilmu yang sama, maka kalian telah menjadi lebih berarti bagi dunia kanuragan”
Kedua anak muda itu mengangguk hormat. Dengan nada berat, Manggada berkata, “Kami mengucapkan beribu terima kasih Ki Ajar. Kami juga merasakan bahwa arus kehendak kami lebih cepat terungkap dalam gerak. Unsur naluriah telah terpacu pula karenanya. Darah kami rasa-rasanya mengalir semakin lancar, sesuai dengan tingkat gerak tubuh kami. Kekuatan tenaga cadangan kami, seakan-akan memang meningkat dengan cepat. Bahkan seperti yang Ki Ajar katakan, justru berlipat."
Ki Ajar tertawa. Katanya, "Tidak semua orang dapat berbuat sebagaimana kalian lakukan. Pintu kemampuan kalian telah terbuka sebelumnya, dengan latihan-latihan yang berat, sehingga tidak akan terlalu sulit untuk menerima unsur-unsur baru, dan bahkan dorongan kekuatan dari dalam tubuh kalian. Karena itu, kalian jadi semakin dewasa dalam olah kanuragan” Ki Ajar berhenti sejenak, lalu katanya "Dengan landasan penyempurnaan pernafasan kalian, maka kalian akan mampu mengembangkan ilmu kalian semakin tinggi. Aku yakin, ketajaman penalaran kalian akan dapat membawa kalian ke jenjang yang lebih tinggi”
"Terima kasih Ki Ajar" sahut Laksana sambil membungkuk hormat" mudah-mudahan semuanya itu menjadi bekal bagi kami untuk menyongsong masa depan."
"Bagus" jawab Ki Ajar "apa yang kalian saksikan di sini, adalah satu peristiwa yang barangkali tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Perjalanan kalian kali ini, dari padepokan kalian, adalah perjalanan yang sangat berarti, meski taruhannya sangat berat, yaitu nyawa kalian. Namun dengan demikian, kalian telah berhasil menguak cakrawala dari satu dunia yang ternyata tidak sebersih keinginan kita. Kenyataan ini harus kita terima dan kita hadapi sebagai satu tantangan bagi kehidupan orang-orang yang ingin menegakkan tatanan kehidupan yang lurus”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Ajar pun berkata, “Sudahlah. Marilah kita kembali. Ki Wiradadi dan para prajurit Pajang tentu sudah menunggu. Agaknya mereka tentu sudah selesai makan.”
Ketiga orang itupun kemudian meninggalkan tempat yang terlindung oleh sebuah gubuk kecil, dan kembali ke rumah Ki Ajar. Ternyata seperti yang diduga oleh Ki Ajar, jika ketika mereka meninggalkan tempat itu, orang bongkok itu mulai menyiapkan makan bersama prajurit Pajang yang bertugas, maka para prajurit dan bahkan para perwiranyapun sudah selesai makan.
Melihat Ki Ajar dan kedua anak muda itu, Senapati Pajang bertanya, "Darimana saja Ki Ajar selama ini. Kami telah mendahului makan hidangan yang diberikan oleh Ki Pandi. Ternyata Ki Pandi adalah juru masak yang paling baik. Buah kates yang masih mentah itu, dapat dibuatya menjadi sayur yang nikmat”
"Ah" desis Ki Ajar" agaknya hanya itu yang dapat disuguhkan oleh si Bongkok. Seandainya kalian tidak tergesa-gesa, kami dapat mengeringkan sebuah belumbang dan menyiapkan gurameh yang besar-besar bagi kalian”
"Berapa puluh gerameh yang Ki Ajar butuhkan untuk menyuguhi kami?" bertanya Senapati itu.
Ki Ajar tertawa. Namun kemudian katanya “Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian menghancurkan kekuatan hitam di seberang hutan yang masih pepat itu, sehingga seakan-akan daerah ini merupakan daerah yang terpisah dari kehidupan sewajarnya”
"Bukan Ki Ajar yang harus mengucapkan terima kasih. Kami yang mengemban tugas dari Kanjeng Sultan Pajang lah yang mengucapkan terima kasih atas bantuan Ki Ajar dan Ki Pandi. Tanpa kalian berdua, maka aku kira kita masih belum berhasil dengan tugas yang berat ini”
"Ternyata kita mempunyai kepentingan yang sama” berkata Ki Ajar.
Demikianlah, Pasukan Pajang kemudian bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Ki Wiradadi dan anak gadisnya, ternyata akan berada di antara para prajurit itu, agar perjalanan mereka tidak terganggu. Demikian pula Manggada dan Laksana akan meninggalkan tempat itu pula.
"Makanlah dahulu. Semuanya sudah makan" berkata Senapati itu.
Ternyata Manggada dan Laksana sempat makan lebih dahulu, sebelum mereka meninggalkan lingkungan terpencil yang dihuni oleh Ki Ajar Pangukan dan orang bongkok yang bernama Ki Pandi itu. Orang-orang yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Demikianlah, beberapa saat kemudian para prajurit Pajang telah meninggalkan tempat yang terpencil itu. Beberapa orang yang terluka, juga dibawa bersama. Bahkan ada yang terpaksa dibawa dengan usungan yang disiapkan dengan tergesa-gesa, namun cukup memadai.
Ki Wiradadi dan anak gadisnya, juga menyertai iring-iringan itu, karena Ki Wiradadi tidak mau anaknya dirampas kembali oleh Panembahan Lebdagati yang ternyata berhasil lolos dari tangan Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.
Manggada dan Laksana pun ikut pula dalam iring-iringan itu. Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi, yang nampaknya menaruh perhatian besar pada anak-anak muda itu, sempat bertanya kemana anak-anak muda itu akan pergi.
"Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi" berkata Ki Pandi.
"Senang sekali bertemu lagi dengan Ki Ajar dan Ki Pandi satu saat nanti" berkata Manggada.
"Bagaimana jika suatu saat kami datang ke tempat ini lagi?" bertanya Laksana.
Ki Ajar tertawa. Katanya “Sebaiknya kalian tidak usah datang kemari. Kami tidak selalu ada di rumah ini. Bahkan kadang-kadang kami pergi untuk waktu yang cukup lama. Sepuluh hari atau bahkan lebih”
"Jadi, bagaimana jika kami ingin bertemu lagi dengan Ki Ajar dan Ki Pandi?" bertanya Laksana.
"Kamilah yang akan menemui kalian" jawab Ki Ajar.
"Kapan?" bertanya Laksana.
Ki Ajar tertawa. Katanya “Sudah tentu kami belum dapat menyebut waktu yang paling baik untuk menemui kalian”
Manggada dan Laksana berada di paling belakang, di belakang Ki Wiradadi yang berjalan bersama anak perempuannya. Perjalanan keluar dari tempat itu, memang pekerjaan yang sulit. Ki Ajar dan Ki Pandi sempat mengantar mereka sampai keluar dari batas liku-liku yang rumit. Kemudian, keduanya terhenti di atas batu-batu padas.
"Berhati-hatilah anak-anak muda!" desis Ki Ajar.
"Terima kasih Ki Ajar" sahut keduanya hampir berbareng.
"Aku yakin kita akan bertemu lagi" berkata Ki Pandi.
"Kami pun sangat mengharapkannya" desis Manggada.
Sementara, Laksana berkata “Semakin cepat, tentu semakin menggembirakan hati kami”
Ki Pandi tersenyum. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Sementara, iring-iringan prajurit Pajang bersama Ki Wiradadi dan anak gadisnya sudah berjalan menjauh. Sebelum kedua orang anak muda itu meninggalkan Ki Ajar dan Ki Pandi, mereka sempat melihat dua ekor harimau yang berjalan melingkar agak jauh dari mereka. Keduanya segera mengenali, bahwa kedua ekor harimau itu adalah harimau peliharaan Ki Pandi.
Perjalanan keluar dari hutan Jatimalang, ternyata tidak sesulit perjalanan memasukinya. Mereka juga tidak dibebani oleh ketegangan yang mencengkam, sebagaimana saat-saat mereka dengan meraba-raba kemungkinan yang bakal mereka hadapi di saat mereka menyeberangi hutan itu. Tetapi kedua orang anak muda itu tidak berhasil menemukan kembali kerangka seseorang yang pernah dilihat ketika mereka memasuki hutan itu.
Demikianlah. Beberapa saat kemudian, mereka telah melintasi hutan itu. Meskipun perjalanan itu merupakan perjalanan yang cukup berat, tetapi mereka telah menempuhnya dengan hati yang tidak tertekan.
Ki Wiradadi memang tidak dapat berjalan secepat para prajurit. Namun ternyata pemimpin prajurit Pajang itu dapat mengerti kesulitan Ki Wiradadi yang harus menuntun anak gadisnya. Karena itu, sang Senapati memerintahkan pasukannya untuk memperlambat perjalanan mereka. Dengan demikian, perjalanan kembali menjadi lebih lama, tapi tidak ada hambatan jiwani sama sekali.
Demikianlah, Manggada dan Laksana telah menyelesaikan satu perjalanan yang mendebarkan. Mereka sempat melihat satu segi kehidupan yang belum pernah dibayangkannya sebelumnya, bahwa ada orang yang sampai hati mengorbankan orang lain dengan cara yang sangat keji untuk kepentingan kepuasan diri.
Namun pengalaman yang pernah dijalaninya itu, merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi keduanya. Keduanya sempat memperbandingkan ilmu yang telah mereka pelajari dengan gejolak dunia olah kanuragan. Jika sebelumnya mereka merasa telah memiliki bekal yang cukup, sehingga mereka tidak pernah merasa gentar menghadapi apapun juga, mereka kemudian harus mengakui bahwa mereka adalah bagian yang sangat kecil dari kerasnya dunia olah kanuragan.
Bahkan mereka harus mengakui, bahwa apa yang telah mereka lakukan tidak ubahnya seperti seorang bayi yang memegang bara api. Hal itu dilakukannya bukan karena bayi seorang yang sangat berani, tetapi dilakukan karena tidak tahu bahwa api itu panas dan berbahaya bagi kulitnya.
Kedua anak muda itu memang menjadi ngeri jika mengingat kembali apa yang telah terjadi. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan bahwa mereka akan bertemu dengan kekuatan ilmu, sebagaimana dimiliki Panembahan Lebdagati dan saudara seperguruannya. Bahkan beberapa orang pengikutnyapun, memiliki ilmu yang tinggi pula.
Seandainya di lereng Gunung itu tidak ada Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi, serta prajurit-prajurit Pajang yang memang telah membuat hubungan lebih dahulu dengan Ki Ajar, mereka berdua tentu sudah menjadi debu.
Pengalaman itu ternyata merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi kedua orang anak muda itu. Mereka akan dapat menilai setiap langkahnya di kemudian hari. Apakah mereka memiliki bekal yang cukup untuk melakukannya.
Namun ketika keduanya berbicara tentang hal itu, Laksana masih juga berkata, "Tetapi seandainya kita tidak memberanikan diri memasuki tempat itu, gadis Ki Wiradadi tentu sudah menjadi korban”
"Belum tentu!" jawab Manggada "Nyawa seseorang berada di tangan Yang Maha Agung. Bukankah Ki Ajar telah bersiap pula untuk melakukannya. Bahkan Ki Ajar telah berhubungan dengan para prajurit di Pajang”
Laksana mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Agaknya memang demikian”
Manggada tidak berkata apa-apa lagi. Ia justru sedang merenungi dirinya sendiri. Bekal yang diberikan Ki Ajar ternyata sangat berarti baginya, karena ia akan mampu mengungkapkan tenaga cadangannya lebih meningkat lagi. Bahkan Ki Ajar telah memberikan petunjuk bagaimana ia dapat mengembangkannya sendiri dengan latihan-latihan yang teratur dan semakin rumit, sehingga seakan-akan dapat membuka seluruh jalur-jalur nadinya sampai yang sekecil-kecilnya. Dengan demikian, ia akan dapat mempergunakan tenaga cadangannya sebanyak-banyaknya.
Dalam pada itu, ternyata perjalanan pasukan Pajang dan Ki Wiradadi pada satu saat memang harus berpisah. Padukuhan Ki Wiradadi tidak berada di pinggir jalan menuju ke Pajang. Namun jalan yang harus ditempuh oleh Ki Wiradadi dan anak gadisnya, tidak terlalu jauh lagi.
Sementara itu, anak gadis Ki Wiradadi sudah menjadi sangat letih. Bahkan hampir tidak dapat melanjutkan perjalanan lagi. Karena itu, Ki Wiradadi menyampaikannya kepada pemimpin prajurit Pajang itu, bahwa ia dan anaknya akan beristirahat. Selanjutnya, mereka akan memisahkan diri mengambil jalan terdekat menuju ke rumahnya.
Pemimpin prajurit Pajang menjadi ragu-ragu. Dengan nada rendah, ia bertanya “Apakah tidak ada kemungkinan buruk dapat terjadi atas anak gadis Ki Wiradadi?”
"Mudah-mudahan tidak. Tetapi sudah barang tentu bahwa kami tidak mempunyai pilihan lain, karena kami tidak akan mungkin ikut bersama pasukan ini ke Pajang" berkata Ki Wiradadi.
"Jika Ki Wiradadi menghendaki, kami akan mengantar Ki Wiradadi sampai rumah" berkata pemimpin prajurit itu.
"Terima kasih. Kami tidak ingin terlalu merepotkan para prajurit" berkata Ki Wiradadi.
"Soalnya bukan itu" jawab pemimpin prajurit itu "Tetapi jika Ki Wiradadi bertemu dengan Panembahan Lebdagati yang lepas dari tangan kita, maka segala jerih-payah Ki Wiradadi akan hilang tanpa arti sama sekali”
"Kita akan berdoa" berkata Ki Wiradadi. Kemudian pemimpin prajurit Pajang itu berpaling kepada Manggada dan Laksana. Dengan ragu-ragu, pemimpin prajurit itu bertanya “Kalian akan pergi kemana anak-anak muda?”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada yang menjawab “Biarlah kami mengawani Ki Wiradadi sampai kerumahnya. Selanjutnya, kami berdua akan dapat melanjutkan perjalanan kami”
"Kemanakah tujuan kalian sebenarnya?" bertanya pemimpin prajurit itu.
Manggada termangu-mangu. Namun akhirnya ia menjawab. “Kami memang akan pergi ke Pajang. Tetapi kami tidak dibatasi oleh waktu. Kapan saja, kami dapat menempuh perjalanan ke Pajang”
Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Sukurlah. Jika demikian, biarlah anak-anak muda itu mengantar Ki Wiradadi sampai kerumah. Meskipun seandainya Panembahan Lebdagati ingin menyelesaikan kalian semuanya, tidak akan mengalami kesulitan. Tapi bagaimanpun juga, Ki Wiradadi tidak sendiri”
Demikianlah. Sejenak kemudian. Ki Wiradadi memisahkan diri bersama anak gadisnya serta Arya Manggada dan Laksana, yang telah membantunya mencari anak gadis itu. Meskipun kedua anak muda itu tidak dapat menyelesaikan orang-orang yang menculik anak gadisnya, karena orang itu ternyata berilmu tinggi, namun keduanya telah mendorongnya untuk berusaha tanpa mengenal hambatan apapun juga.
"Yang Maha Agung telah memenuhi permohonanku" berkata Ki Wiradadi di dalam hati. Sejak semula ia memang yakin, jika permohonannya dipanjatkan dengan kesungguhan hati, Yang Maha Agung akan memberinya, asal permohonan itu tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.
Untuk tidak menarik perhatian banyak orang, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana tidak mengenakan senjatanya, terutama busur dan anak panahnya, dipunggung. Ketiganya memberikan kesan sebagai pemburu yang pulang dari hutan.
Dalam pada itu, Ki Wiradadi yang melihat anaknya letih, mengajak untuk berhenti di kedai pinggir jalan. Kedai yang tidak terlalu besar, namun cukup ramai. Ketika ketiga orang beserta anak gadis Ki Wiradadi, memasuki kedai itu, beberapa orang telah berada di dalam. Namun Ki Wiradadi masih mendapatkan tempat di sudut agak terpisah, sehingga tidak banyak terganggu oleh para pembeli yang lain. Kebetulan menghadap pintu butulan.
Demikian mereka memesan minuman, dalam waktu singkat pesanan telah dihidangkan. Begitu cepat, sehingga Ki Wiradadi berkata, “Pelayanan di kedai ini cukup baik. Itulah agaknya yang membuat kedai ini menjadi ramai dengan pembeli”
"Memang menyenangkan" sahut Manggada "jika kita harus menunggu terlalu lama, rasa-rasanya begitu cepat menjadi jemu. Kadang-kadang kita tidak lagi merasa haus dan lapar”
"Nah..." berkata Ki Wiradadi "sekarangi kita akan makan apa?”
Mereka pun kemudian memesan nasi untuk mereka berempat. Tetapi selagi mereka mulai meneguk minuman, mereka dikejutkan kehadiran beberapa orang penunggang kuda. Begitu cepat dan tiba-tiba berhenti di depan kedai itu, sehingga debu berhamburan. Semua berpaling ke arah mereka. Empat orang anak muda diatas punggung kuda. Demikian mereka berloncatan turun, terdengar suara tertawa mereka yang keras.
"Kita makan dulu" berkata salah seorang di antara mereka, hampir berteriak.
Yang lainpun kemudian mengikuti anak muda itu masuk ke dalam kedai. Sementara itu, orang-orang didalam kedai tiba-tiba menjadi gelisah. Seorang di antara mereka berdesis, “Anak-anak itu lagi”
Ki Wiradadi tertarik pada kata-kata itu. Selagi anak-anak itu masih di luar, ia bangkit dan melangkah mendekati orang itu sambil berdesis. “Kenapa dengan anak-anak itu?”
"Mereka adalah anak orang kaya. Mereka terlalu dimanjakan, sehingga tidak mau menghargai orang lain. Mereka menganggap bahwa uang di kantong ikat pinggang mereka, adalah segala-galanya" berkata orang itu.
Tetapi mereka tidak sempat berbicara lagi. Anak-anak muda itu telah berdiri di pintu. Yang agaknya paling berpengaruh di antara mereka, berdiri bertolak pinggang sambil memandang berkeliling. Sementara, Ki Wiradadi melangkah kembali ke tempatnya.
"Nampaknya kedai ini telah penuh" berkata yang berdiri di pintu. Tapi seorang yang berdiri di sampingnya, setelah matanya singgah di sudut kedai itu, berkata “He, di sana ada tempat”
Kawan-kawannya serentak memandang ke arah yang ditunjuk. Yang bertolak pinggang kemudian tertawa sambil berkata “Telah disediakan tempat bagi kita”
Suasana di dalam warung itu menjadi sepi. Pelayan yang menyerahkan nasi pesanan Ki Wiradadi, berbisik" Hati-hati dengan anak perempuan Ki Sanak”
Ki Wiradadi mengerutkan keningnya. Ia cepat menyadari keadaan. Karena itu, ketika pelayan pergi, Ki Wiradadi berkata “Marilah, anak-anak muda. Aku mohon kalian duduk di lincak pada deretan ini”
"Kenapa?" bertanya Laksana yang duduk bersama Manggada, berhadapan dengan Ki Wiradadi dipisahkan geledeg bambu rendah untuk meletakkan makanan.
"Cepatlah, sebelum anak-anak muda itu mengambil tempat. Jangan pikirkan yang macam-macam. Anak gadisku tentu tidak keberatan jika ia tahu kepentingannya" Berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana tidak sempat berpikir. Sementara anak-anak muda itu memasuki kedai sambil tertawa dan berkelakar berlebihan. Manggada dan Laksana telah bergeser duduk di lincak bambu, di deretan Ki Wiradadi dan anak perempuannya, sehingga gadis itu berada di antara Ki Wiradadi dan Laksana. Baru kemudian Manggada duduk sambil menarik mangkuk minumannya dari sisi lain.
Sejenak kemudian, keempat anak muda itu sudah berdiri di sebelah lincak panjang mereka. Seorang di antaranya berkata “Tempat kita sudah digeser anak-anak ini”
Yang lain tertawa. Katanya “Barangkali mereka termasuk keluarga dekat, atau barangkali adiknya atau kakaknya”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Mereka tetap sibuk minum minuman hangat mereka. Sementara itu, pelayan kedai telah menghidangkan pula makanan bagi Manggada dan Laksana.
"Orang-orang ini membawa busur" tiba-tiba seorang di antara anak-anak muda itu berteriak. Ternyata busur dan anak panah yang mereka letakkan di gledeg bambu rendah itu, menarik perhatian. Mereka berganti-ganti menimangnya.
Seorang di antara mereka bertanya “He, Ki Sanak. Apakah kalian pemburu?”
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab lemah "Ya, anak-anak muda. Kami adalah pemburu, karena kami tidak punya mata pencaharian lain”
"Kalian jual daging buruan itu?" bertanya salah seorang lagi.
"Tidak" jawab Ki Wiradadi "penghasilan kami justru dari kulit binatang buruan itu”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba, seorang di antara mereka.berdiri di belakang anak gadis Ki Wiradadi. Dengan nada tinggi ia bertanya “Apakah gadis ini juga ikut berburu?”
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya “Ya, anak-anak muda. Anak gadisku sudah terbiasa ikut dalam perburuan. Jika kami berada di tengah hutan sampai berhari-hari, dialah yang menyediakan makan dan minuman kami”
"Luar biasa" desis anak muda yang berdiri di belakang anak perempuan Ki Wiradadi, yang duduk dengan tubuh gemetar di amben bambu. Meskipun ia tidak akan mengalami peristiwa seperti di atas altar penyerahan korban, tapi ngeri juga melihat tingkah laku anak-anak muda itu.
"Sayang Ki Sanak" berkata anak muda yang lain" gadis itu terlalu cantik untuk hidup di dalam hutan. Kulitnya yang lembut, dan sorot matanya yang redup, membuatnya menjadiseorang gadis yang luruh”
Tapi tiba-tiba saja seorang di antara anak-anak muda itu berkata “Mari, kita duduk untuk makan dan minum”
Keempat orang itupun kemudian duduk di atas lincak panjang, berhadapan dengan Ki Wiradadi, anak gadisnya dan kedua orang anak muda yang menyertainya.
Manggada dan Laksana nampaknya tidak begitu menghiraukan mereka. Keduanya, tetap memakan pesanan mereka dengan lahapnya. Tetapi sikap kedua orang anak muda itu, menarik perhatian keempat orang berkuda yang baru datang itu. Mereka agak tersinggung dengan sikap itu. Orang-orang lain begitu menghormati mereka, tapi kedua anak muda itu sama sekali tidak memperhatikannya, apalagi menghormatinya sebagaimana orang lain.
Namun anak-anak muda itu mempunyai cara tersendiri untuk mengusik Manggada dan Laksana. Seorang di antara anak-anak muda itu tiba-tiba saja bertanya, “Ki Sanak. Dari pada anak gadismu kau bawa ke sana ke mari, bahkan berburu di hutan, biarlah aku membawanya. Ibuku memerlukan seorang pelayan khusus. Anakmu tentu akan diterima oleh ibuku. Aku menanggungnya. Jika ibu menolaknya, biarlah aku yang membawanya”
Laksana dan Manggada memang tergelitik hatinya. Tetapi keduanya tidak cepat mengambil sikap. Keduanya masih saja makan tanpa mengangkat wajah mereka. Ki Wiradadi pun tidak menjawab sama sekali. Tetapi ia tidak dapat makan begitu saja, tanpa menghiraukan anak-anak muda itu. Apalagi ketika seorang di antara mereka berkata,
“Ki Sanak. Semua orang tahu di mana rumah kami. Karena itu, biarlah aku membawa anak perempuanmu sekarang. Ambil nanti di rumahku. Aku membeli sebuah kalung emas, yang barangkali akan berarti bagi anakmu”
Yang lain telah menyahut. "Anakmu terlalu cantik” Anak muda itu sama sekali tidak menahan diri lagi. Ia telah berdiri. Dan dari tempatnya, ia mencoba menggapai wajah anak Ki Wiradadi.
Betapapun mereka menahan diri, namun terasa bahwa api telah mulai menyentuh perasaan mereka. Sehingga Ki Wiradadi tergeser sejengkal. Tetapi anak-anak muda yang datang berkuda itu justru tertawa melihat anak Ki Wiradadi ketakutan. Sambil tertawa, seorang di antara mereka berkata “Kau tambah cantik. Pipimu menjadi merah.
Yang lain tertawa menyentak. Di sela-sela tertawanya, seorang berkata, “Gadis itu semakin membuat aku gila. Mari kita persilahkan gadis itu singgah di rumah kita. Makin cepat semakin baik”
Tanpa menghiraukan Ki Wiradadi, Manggada serta Laksana, anak-anak muda itu mulai berbuat kasar. Mereka bangkit dan melingkari geledeg bambu tempat meletakkan makanan. Dengan serta merta, mereka menangkap pergelangan tangan gadis yang menjadi semakin ketakutan itu.
Orang-orang yang ada di dalam kedai tidak ada yang berani menolong. Mereka kebanyakan sudah mengenal anak-anak muda itu, yang berasal dari keluarga kaya dan berilmu tinggi. Jika anak-anak itu tidak dapat menyelesaikan satu persoalan, yang biasanya menyangkut gadis, janda, atau bahkan perempuan yang sudah bersuami, beberapa orang upahan akan ikut campur.
Karena itu, mereka yang tidak sampai hati melihat seorang gadis diseret ke atas punggung kuda dan dibawa lari ke tempat yang tidak banyak diketahui orang, lebih baik secepatnya meninggalkan kedai itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba Manggada berteriak "Tolong, tolong saudara kami ini”
Sejenak ruangan itu dicekam ketegangan. Tapi keempat anak muda yang berusaha menyeret gadis itu, justru tertawa berkepanjangan. Seorang di antara mereka berkata "Tidak ada gunanya kau berteriak. Tidak ada orang yang akan menolongmu”
Bahkan Laksana bertanya "Kenapa kau berteriak minta tolong. Apa kita tidak dapat menyelesaikan sendiri?”
Tapi Manggada menjawab "Aku bukan minta tolong. Aku hanya ingin tahu pengaruh mereka terhadap orang-orang di sini. Ternyata tidak seorang pun dari sekian banyak laki-laki yang berani menolong, meski nampaknya mereka ingin”
"Persetan" geram salah seorang dari anak muda yang ingin merampas anak Ki Wiradadi itu "apa yang kau katakan tentang kami?”
Ki Wiradadi kemudian berdiri. Ditariknya anak gadisnya, dan disuruhnya berdiri menempel dinding. Sementara, Ki Wiradadi berdiri di depannya. Tapi tampaknya Ki Wiradadi masih bersikap tenang. Orang-orang dalam kedai itu menjadi heran. Tapi Manggada justru tersenyum sambil berkata,
"Pengaruh kalian besar di sini. Tapi bukan pengaruh baik. Kalian ditakuti oleh orang-orang di tempat ini. Terbukti, tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu ketika kalian berusaha melakukan kejahatan. Lihat, semua laki-laki di kedai ini bagaikan membeku di tempatnya. Satu dua merasa lebih baik pergi daripada menolong kami yang mengalami kesulitan”
"Tutup mulutmu!" geram salah satu pemuda itu "kami memang ditakuti di sini. Tidak ada orang yang berani menghalangi kemauan kami. Nampaknya kau orang asing di sini. Karena itu, aku peringatkan agar kalian tidak menentang niat kami. Biarkan kami membawa gadis itu. Tunggu di sini. Kami akan mengembalikannya kemari dengan sebuah kalung emas di lehernya”
Tetapi Manggada justru tertawa. Katanya "Kalian terlalu kasar. Kalian tidak berusaha mengambil hati gadis itu atau ayahnya atau kami, saudara-saudaranya. Kalian seperti serigala melihat kelinci yang putih mulus”
"Diam" seorang di antara mereka berteriak "jika kalian berani menentang kehendak kami, maka kalian akan menyesal. Sementara, gadis itu akan mengalami nasib lebih buruk”
Namun Laksana menyahut tidak kalah lantangnya "Jangan menakut-nakuti kami. Kalian tentu tidak akan seimbang dibanding Panembahan Lebdagati”
Keempat orang-itu memang termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka sempat juga bertanya "Siapa Panembahan Lebdagati itu?”
"Baiklah. Jika kau belum pernah mendengar, tidak ada gunanya aku memberitahukan. Tapi yang perlu kau ketahui, Panembahan Lebdagati itu berilmu sangat tinggi” jawab Laksana.
"Apa hubungannya dengan kami?" bertanya seorang di antara mereka.
"Kalian tentu bukan murid-muridnya" jawab Laksana.
"Persetan" geram yang lain dari keempat anak-anak muda itu, "berikan gadis itu padaku. Kau tidak akan mendapat pertolongan dari siapapun”
"Dari bebahu padukuhan ini?" desis Manggada.
"Persetan dengan mereka. Yang jelas berani ikut campur, kami putar lehernya sampai patah” geram anak muda itu.
Manggada akhirnya kehilangan kesabaran. Kemudian katanya pada Ki Wiradadi "Lindungi anak itu. Biarlah kami melayani keempat anak-anak muda ini”
Keempat anak muda yang lebih tua dari Manggada dan Laksana itu, terkejut mendengar kata-kata Manggada. Bahkan orang-orang dalam kedai itupun terkejut. Tetapi mereka mengerti bahwa anak muda itu tidak benar-benar minta tolong tadi. Ia hanya ingin mengetahui lingkungan yang sedang dihadapinya.
Seseorang di antara anak muda penunggang kuda itu menggeram "Apakah kau sudah jemu hidup?”
"Pertanyaan yang aneh" desis Manggada tanpa menjawab pertanyaan itu.
Laksana tidak sabar lagi. Tapi ketika ia bergeser maju, Manggada mencegahnya. Katanya “Jangan di dalam”
"Bagus" sahut Laksana. Kemudian katanya "Mari kita keluar. Jika kalian berhasil mengalahkan kami berdua, baru kalian akan berhadapan dengan ayah. Dan bila ayah juga kalah, bawalah gadis itu kemana kalian suka”
Keempat anak muda itu merasa heran melihat sikap kedua orang yang mengaku sebagai saudara gadis itu. Keduanya masih sangat muda, tapi agaknya memiliki kepercayaan diri sangat tinggi. Seorang dari keempat anak muda itu berkata lantang "Cepat keluar. Kita selesaikan persoalan ini dengan baik. tapi jangan mencoba berbuat licik dengan membawa gadis itu pergi. Dia harus ikut keluar, agar dapat kami awasi”
"Bagus" kata Manggada "gadis itu akan berada di luar pula. Dengan berkelahi di luar, kita tidak perlu mengganti barang-barang atau makanan dan minuman yang kita rusakkan”
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Manggada dan Laksana melangkah keluar. Keempat anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun telah menyusul Manggada dan Laksana. Seorang di antara mereka sempat mengajak Ki Wiradadi dan anak gadisnya ikut keluar pula.
Dengan tenang, Ki Wiradadi mengajak anak gadisnya keluar dari kedai itu. Bahkan ia sempat berbisik "Satu hambatan kecil dibandingkan apa yang pernah kau alami, ngger?”
Gadis itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah keluar, mengikuti Ki Wiradadi. Beberapa orang memang menjadi tegang. Mereka menganggap bahwa orang-orang asing itu tidak mengenal, siapa keempat anak muda penunggang kuda itu. Orang-orang asing itu tentu akan mengalami banyak kesulitan jika mereka berani malawan mereka.
Tetapi orang-orang itupun menyadari, bahwa mereka tentu tidak akan begitu saja menyerahkan gadis mereka yang akan dibawa oleh keempat orang anak muda penunggang kuda itu, sebagaimana sering mereka lakukan.
Sejenak kemudian, kedua belah pihak telah berada di halaman kedai itu. Ki Wiradadi yang masih tenang-tenang saja, mengajak anak gadisnya berdiri di bawah sebatang pohon. Sementara Manggada dan Laksana telah berdiri di tengah-tengah halaman yang agak luas, justru di samping kedai itu.
Keempat orang anak muda itupun kemudian perlahan-lahan mendekati kedua orang yang telah menunggunya. Tetapi dari keempat orang itu, hanya dua saja yang melangkah terus. Nampaknya, dua orang yang lain tidak akan segera turun ke arena.
"Patahkan tangan mereka!" berkata salah seorang yang kemudian berhenti beberapa langkah dari kawan-kawannya yang mendekati Manggada dan Laksana.
"Kenapa kalian tidak turun bersama-sama?" bertanya Laksana.
"Permainan licik. Kalian mencari kesempatan untuk melarikan gadis itu bukan?" bertanya seorang di antara mereka yang tidak ikut turun ke arena.
Manggada dan Laksana tidak menyahut. Namun keduanya telah bersiap. Masing-masing menghadapi satu orang lawan. Bagi Manggada dan Laksana, hal itu memang lebih baik. Dengan demikian, mereka akan bertempur melawan seorang demi seorang. Sebenarnya, keduanya sama sekali tidak ingin merendahkan kemampuan orang lain, termasuk keempat anak muda itu. Tapi sikap keempat orang itu sangat menjengkelkan.
Pengalaman kedua anak muda itu di seberang hutan Jatimalang, membuatnya tetap tenang dan percaya diri menghadapi lawan-lawannya. Bahkan Laksana telah berkata didalam hatinya. "Satu kesempatan untuk menguji ilmu, setelah mendapat dorongan kekuatan dari Ki Ajar Pangukan”
Sejenak kemudian, dua anak muda yang datang berkuda itu telah berdiri di hadapan Manggada dan Laksana, sementara masing-masing pihak telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Bagaimanapun juga, Manggada dan Laksana telah mendapat pesan dari guru mereka agar tidak merendahkan orang lain. Mereka tidak boleh merasa dirinya terlalu baik dalam penguasaan ilmu, sehingga menyombongkan diri. Kesombongan adalah kelemahan yang paling berbahaya di dalam benturan ilmu kanuragan.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, dua orang yang mengganggu anak gadis Ki Wiradadi itu telah mulai menyerang. Ternyata keduanya mampu bergerak cepat. Serangan mereka nampak garang, sehingga baik Manggada maupun Laksana harus melompat menghindarinya.
Namun lawan-lawan mereka tidak membiarkan keduanya terlepas dari sasaran. Dengan serta merta, mereka telah memburu dengan serangan-serangan yang garang. Beberapa serangan telah berlalu. Tetapi keduanya sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Manggada dan Laksana. Bahkan, anak-anak muda yang telah menyeberangi hutan Jatimalang itu segera dapat menjajagi kemampuan lawan. Ternyata mereka tidak harus bekerja keras, sebagaimana mereka lakukan di padepokan raksasa yang menyeramkan itu.
Ketegangan yang semula mencengkam jantung, di saat kedua anak muda yang mengganggu gadis Ki Wiradadi itu menyerang, kini menyusut. Menurut pengamatan, anak-anak muda itu sekedar mengandalkah dukungan kekuatan di belakang mereka, karena mereka sendiri ternyata tidak mampu berbuat apa-apa. Keduanya sama sekali tidak mempunyai latar belakang kanuragan yang memadai, meskipun agaknya mereka pernah berlatih.
Tetapi hal itu sangat tidak menarik bagi Laksana. Ia tidak merasa mendapat kesempatan untuk menilai ilmunya, karena lawannya sama sekali tidak bertenaga menurut penilaiannya. Karena itu, Laksana ingin segera mengakhiri pertempuran yang mulai menjemukan itu. Memang agak berbeda dengan niat Manggada. Ia ingin membiarkan lawannya kelelahan dan berhenti dengan sendirinya. Laksana telah melakukan yang terbaik menurut penilaiannya.
Dalam waktu singkat, Laksana telah benar-benar mendesak lawannya. Beberapa kali pukulannya telah mengena dan membuat lawannya menyeringai kesakitan. Akhirnya, lawan Laksana tidak dapat menolak kenyataan yang dialaminya. Laksana terlalu kuat baginya, sehingga pada satu serangan yang keras, lawan Laksana terlempar dan terbanting jatuh. Sambil menyeringai menahan sakit di punggung, anak muda itu berusaha untuk bangkit. Meski ia berhasil berdiri, tapi rasa-rasanya ia sudah tidak mampu lagi berkelahi.
Seorang kawannya yang berdiri di luar arena, segera berdiri mendapatkannya. Dengan cemas ia bertanya “Bagaimana?”
"Punggungku telah patah. Ia harus bertanggung-jawab atas perbuatannya. Punggungnya harus dipatahkan juga. Bahkan, tulang-tulangnya harus diremukkan” geram anak muda yang terjatuh itu.
Kawannya termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling melihat kawannya yang seorang lagi, nampak masih berloncatan. Sama sekali tidak sempat menggapai Manggada. Apalagi mengenainya dengan serangan-serangan yang berarti. Bahkan, Manggada beberapa kali telah menyentuh tubuh anak muda itu. Terakhir, disambarnya ikat kepala anak muda itu dan dilemparkannya tinggi-tinggi.
"Setan kau!" geram anak muda itu.
Manggada tertawa. Katanya "Jangan mengumpat-umpat seperti itu. Ambil ikat kepalamu”
Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi nafasnya telah terengah-engah. Ia tidak dapat menerima kekalahan begitu saja, tapi ia pun tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan ini. Karena itu, ia berpaling kepada kawannya dan berkata, “Kita tangkap anak itu”
Tetapi kawannya ragu-ragu. Ia sudah lihat bagaimana Manggada mempermainkan lawannya, sehingga kehabisan nafas. Tiba-tiba saja anak muda yang termangu-mangu itu berteriak "Jangan biarkan mereka lolos. Aku akan memanggil Sura Gayam. Ia akan menyelesaikan segala-galanya”
Tanpa menunggu jawaban, anak muda itu segera berlari dan melompat ke punggung kudanya. Ketika kuda itu berlari, terdengar suaranya "Dalam sekejap aku kembali"
Anak muda yang hampir kehilangan kesempatan untuk berdiri lagi itu, karena tulang punggungnya sakit, berkata "Tunggu sebentar. Tulang punggungmu pun akan dipatahkan”
"Aku tidak mematahkan tulang punggungmu" jawab Laksana "jika tulang punggungmu patah, kau tidak dapat bergerak sama sekali. Apalagi bangkit berdiri”
"Nah, kau mulai merasa takut" geram anak muda itu.
Tetapi Laksana tertawa. Katanya "Aku akan menunggu orang yang sedang dipanggil oleh kawanmu itu. Aku tahu, orang itu pastilah upahan. Justru karena itu, aku akan membuat perhitungan dengan orang-orang seperti itu”
"Kau akan menyesal...!" geram anak muda itu.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Kalian tentu akan berusaha mencegah jika aku berusaha melarikan diri. Sementara itu, saudara perempuanku tentu tidak akan dapat berlari cepat. Karena itu, aku harus menunggu. Orang-orang upahan yang tidak mempedulikan kepentingan orang lain, bahkan untuk membunuh sekalipun, harus dibuat menjadi jera” berkata Laksana.
"Suaramu seperti dapat meruntuhkan langit" geram kawan anak muda yang punggungnya bagaikan patah itu.
"Tidak. Aku tidak berniat menyombongkan diri. Aku berkata sebenarnya. Aku akan menunggu orang upahanmu itu datang, dan kemudian membuatnya jera. Jika ia keras kepala, terpaksa harus dibuat kehilangan kemampuan untuk berbuat seperti itu selanjutnya" berkata Laksana.
Wajah anak-anak muda itu menjadi merah. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu. Sementara itu, Manggada sudah sampai pada akhir permainannya. Lawannya benar-benar telah kehilangan kemampuan untuk melawan. Nafasnya berkejaran di lubang hidungnya. Keringatnya bagai terperas membasahi pakaiannya.
Ketika ia menyerang Manggada, dan tidak mengenai sasarannya, anak muda itu terseret oleh berat tubuhnya sendiri, sehingga hampir saja jatuh terjerembab. Wajahnya bagai tersengat api ketika tahu Manggadalah yang menahan tubuhnya, sehingga ia tidak terjatuh.
"Cukup...!" geram anak muda itu "kau telah menghinaku. Sebentar lagi, kau akan menjadi sayatan daging”
Manggada tersenyum. Katanya "Jangan terlalu garang. Sekarang, kau cukup menemui orang tua itu. Minta maaf padanya, dan kami akan pergi dari tempat ini”
"Kau tidak boleh pergi. Kau harus mendapat hukuman yang sesuai dengan kesombonganmu, berani melawan kami. Tidak ada orang yang pernah menolak kehendak kami, apapun akibatnya. Apalagi hanya menyerahkan seorang gadis, yang nanti akan segera aku kembalikan. Sebab taruhannya adalah nyawa" geram anak muda itu.
"Untuk kehormatan seorang gadis, taruhannya memang nyawa. Aku sudah siap" berkata Manggada yang mulai tersinggung lagi.
"Sebentar lagi, orang-orangku akan datang" geram anak muda itu.
"Semakin cepat, semakin baik” Jawab Manggada yang sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya.
"Kau memang sombong sekali. Kau orang asing di sini, sehingga belum mengenal orang yang namanya Sura Gayam” anak muda yang marah itu hampir berteriak. Tetapi ia sendiri sudah tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu.
"Aku akan menunggunya" berkata Manggada, sebagaimana dikatakan Laksana.
Belum lagi anak muda itu menyahut, mereka telah mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Sejenak kemudian, debu pun telah mengepul. Dari tikungan, muncul empat ekor kuda mendekati kedai itu dengan cepat.
"Ternyata Sura Gayam tidak sendiri" geram anak muda itu.
Manggada mengerutkan keningnya. Tapi ia kemudian berkata "Aku akan menunggunya. Biarlah ia mempersiapkan diri bersama kawan-kawannya”
"Nasibmu memang buruk. Seandainya ia datang sendiri pun, kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan padukuhan ini. Apalagi kini ia datang dengan dua temannya" berkata anak muda itu.
Manggada tidak menjawab. Ketika kuda-kuda itu sampai di halaman kedai, Manggada mendekati Ki Wiradadi.
"Hati-hatilah Ki. Nampaknya persoalan telah berkembang. Meski tidak segawat di seberang hutan Jati-malang, tapi kerikil-kerikil kecil seperti ini kadang-kadang dapat membuat kita tergelincir. Karena itu, kita harus tetap berhati-hati”
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pikiran anak muda itu cukup dewasa menanggapi keadaan. Sementara, Laksana yang juga mendekat berdesis "Satu kesempatan yang tidak boleh kita lewatkan. Kita dapat menjajagi tingkat kemampuan ilmu kita, setelah mendapat kesempatan mengembangkan tenaga cadangan sebagaimana tuntutan Ki Ajar.”
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun ia akhirnya berkata "Kita tidak mencari lawan...”
"Memang tidak. Karena itu, kesempatan seperti ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Bukan kita yang memulainya!" sahut Laksana....
Sejenak kemudian, setelah tengkorak-tengkorak itu diselamatkan untuk dikuburkan, apipun telah berkobar bagaikan menjilat bintang-bintang di langit. Bukan hanya sebuah bangunan, tetapi beberapa buah bangunan telah menjadi onggokan api yang semakin lama semakin besar. Asappun membubung tinggi, kemudian pecah ditiup angin.
Mereka berharap, bahwa lambang dari kepercayaan sesat itu telah dimusnahkan, meskipun dengan kecewa mereka harus menghadapi kenyataan, bahwa Panembahan Lebdagati sendiri ternyata luput dari tangan mereka.
Sementara itu, mereka menyadari bahwa Panembahan Lebdgati adalah orang yang memiliki ilmu tinggi, yang akan dapat berbuat banyak untuk kepentingan diri sendiri, tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Bahkan jika perlu, mengorbankan bukan saja kepentingan orang lain, tetapi orang lain itu sendiri.
Namun dalam pada itu, dari kejauhan, seorang dengan geram melihat asap yang membubung tinggi itu. Giginya gemeretak. Sementara, dari matanya memancar kemarahan yang tiada taranya. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi"
Sebenarnyalah bahwa terlepasnya Panembahan Lebdagati adalah pertanda bahwa ilmu yang sesat itu belum mati. Padepokannya dapat dihancurkan, bahkan kemudian menjadi abu. Tetapi orang yang menumbuhkan kepercayaan sesat itu masih tetap hidup. Bahkan hatinya bagaikan membara oleh dendam yang tiada taranya. Apa yang telah dirintisnya, ternyata telah dihancurkan menjadi abu.
Panembahan Lebdagati memang tidak ingin kembali ke padepokannya yang telah dihancurkan. Tetapi itu bukan berarti ia tidak akan bangkit lagi dengan sebuah padepokan baru untuk mengembangkan aliran sesatnya. Bahkan seperti, yang dikatakannya, kegagalannya menikam korban di saat terang bulan yang baru saja lewat, maka ia harus mengulanginya dengan mengorbankan gadis-gadis lebih banyak lagi.
Ki Ajar Pangukan berkata kepada Senapati dari Pajang "Pajang tidak boleh berhenti memburu orang itu. Jika ia sempat bangkit lagi, maka ia akan dapat menimbulkan malapetaka yang lebih besar lagi"
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya "Orang itu berilmu sangat tinggi. Meskipun sekelompok prajurit terpilih, tidak akan dapat menangkapnya. Harus ada orang pilihan yang menyertai para prajurit itu"
"Jika salah seorang dari dua Panglima Wira Tamtama Pajang turun langsung menanganinya, Panembahan Lebdagati tentu akan dapat diselesaikan. Apakah Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi” berkata Ki Ajar.
"Apabila keadaan memaksa, keduanya tentu tidak akan berkeberatan" berkata Senapati itu.
"Panembahan Lebdagati tentu tidak akan dapat lepas dari tangan mereka, jika mereka berhasil menemukannya, Ki Gede Pemanahan maupun Ki Penjawi, adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sulit dicari duanya di muka bumi ini” berkata Ki Ajar.
"Apalagi jika Ki Juru Martani, saudara tua seperguruan mereka, ikut pula mencampuri persoalan ini” sahut orang bongkok itu. Lalu katanya "Persoalan ini adalah persoalan yang sangat pelik"
Senapati itu mengangguk. Katanya "Aku akan melaporkannya kepada para Panglima Wira Tamtama. Aku kira mereka akan mengambil kebijaksanaan yang sebaik-baiknya atas persoalan ini"
Demikianlah. Orang-orang yang tengah menghancurkan padepokan itu, ternyata tidak segera meninggalkannya. Mereka masih berada di tempat keesokan harinya mereka mempergunakan kesempatan itu untuk berhubungan dengan orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan, yang untuk beberapa lama, berada di bawah pengaruh Panembahan Lebdagati.
Orang-orang yang tidak tahu menahu tentang jalur kekuasaan Pajang, karena mereka mengira bahwa pemimpin mereka yang tertinggi di dunia ini adalah Panembahan Lebdagati. Dengan demikian, Senapati itu berkesimpulan bahwa daerah itu harus dibuka.
"Lingkungan ini tidak boleh terus-menerus tertutup seperti ini, sehingga orang yang tinggal di belakang hutan Jatimalang mengira, dunia ini hanya seluas padukuhan-padukuhan yang ada di lereng gunung ini” berkata Senapati itu.
"Jika Pajang dapat membuka jalan menembus hutan Jatimalang, daerah ini tentu akan menjadi daerah yang terbuka. Daerah ini akan dapat berhubungan dengan daerah-daerah lain, sebagaimana seharusnya” berkata Ki Ajar.
Senapati Pajang itu mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan menyampaikannya kepada pimpinan pemerintahan di Pajang. Kemungkinan seperti itu tentu selalu terbuka, meskipun diperlukan waktu dan tenaga yang sangat besar. Tetapi menyangkut satu lingkungan yang cukup luas di lereng gunung ini"
Demikianlah. Senapati Pajang itu melakukan pengamatan dalam waktu singkat. Senopati itu sempat pula berhubungan dengan orang-orang yang berpengaruh di padukuhan-padukuhan untuk memberikan penjelasan. Ternyata bahwa pengenalan orang-orang di daerah itu atas diri mereka sendiri, dalam hubungannya dengan mereka di seberang hutan Jatimalang, adalah sangat sedikit.
Dalam pada itu, Ki Wiradadi yang telah berhasil mengambil anaknya, meskipun harus bertaruh nyawa, telah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantunya.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar menjawab “Kita mempunyai kepentingan yang sama. Sebagaimana para prajurit Pajang yang berhasil aku hubungi sebelumnya, sehingga kita dapat melakukan tugas ini bersama-sama”
"Tetapi bagaimanapun juga, aku merasa berhutang budi kepada semua pihak" berkata Ki Wiradadi "ternyata bahwa anakku telah dapat diselamatkan"
"Tetapi hati-hatilah Ki Wiradadi" berkata orang bongkok itu "Panembahan Lebdagati masih belum tertangkap. Untuk beberapa lama, Panembahan itu tentu tidak akan melakukan kegiatan apapun juga. Tetapi pada suatu saat, ia akan mengejutkan banyak orang. Karena itu, segala pihak harus berhati-hati. Ki Wiradadi harus menghimpun semua orang yang mungkin dapat menjaga ketertiban padukuhan, karena tidak ada orang secara pribadi akan mampu menghadapi Panembahan Lebdagati. Namun bagaimanapun juga, untuk melawan orang sepadukuhan, Panembahan Labdagati tentu juga harus berpikir beberapa kali"
"Aku akan menghubungi Ki Bekel dan Ki Demang" berkata Ki Wiradadi.
Namun ketika Ki Wiradadi mohon diri, Ki Ajar berkata "Jangan berjalan seorang diri"
Arya Manggada berkata "Kami berdua akan menyertainya sampai ke padukuhannya. Kami berangkat bersama-sama. Maka kami pun akan kembali bersama-sama"
Ki Ajar tersenyum. Katanya "Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Tetapi sebaiknya, kalian tidak saja berpegang kepada gelora yang menyala di dalam dada kalian, tetapi sebaiknya kalian harus mulai mengetrapkan perhitungan-perhitungan di setiap langkah kalian"
Manggada dan Laksanapun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah, Manggada berkata "Kami akan selalu mengingat pesan Ki Ajar"
"Bagus anak-anak muda" berkata Ki Ajar. Tetapi ia berkata selanjutnya "Tetapi kami masih ingin mempersilahkan Ki Wiradadi dengan anak gadisnya, serta anak-anak muda berdua, untuk singgah di rumahku. Beberapa orang prajurit Pajang masih ada di sana. Sebaiknya kalian berangkat dari rumahku itu”
Ki Wiradadi, anak gadisnya serta kedua orang anak muda itu, tidak dapat menolak. Demikian pula Senapati prajurit Pajang. Mereka semuanya telah dipersilahkan singgah di rumah Ki Ajar, yang tidak cukup besar untuk menampung semua orang. Apalagi semua prajurit Pajang yang datang ke seberang hutan Jatimalang itu.
Tetapi ternyata, orang bongkok itu sempat menyuguhi mereka dengan makan dan minuman, meskipun Senapati itu berkata, bahwa mereka telah membawa bekal sendiri-sendiri.
"Bukankah sudah ada di antara orang-orang kami yang bertugas untuk menyediakan makan dan minuman kami dalam keadaan yang bagaimanapun juga?" berkata Senapati itu.
Tetapi orang bongkok itu berkata sambil tersenyum "Aku akan bekerja bersama dengan mereka”
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Ajar telah sempat membawa Manggada dan Laksana ke tempat yang tersembunyi. Keduanya memang menjadi berdebar-debar, karena Ki Ajar tidak mengatakan apakah maksudnya membawa keduanya menyendiri.
Ketika mereka bertiga telah berada di balik sebuah gumuk kecil, Ki Ajar mempersilahkan kedua orang anak muda itu untuk duduk di atas batu hitam yang seakan-akan memang sudah disediakan.
"Anak-anak muda" berkata Ki Ajar "kalian memang sangat menarik perhatianku. Dalam usia kalian yang masih sangat muda, kalian telah memiliki bekal yang tinggi"
Kedua orang anak muda itu masih saja termangu-mangu. Sementara itu, Ki Ajar berkata selanjutnya "Karena itu, anak-anak muda, aku ingin ikut menitipkan bekal bagi kalian berdua. Tetapi waktu yang pendek sekali, tidak akan mungkin dapat aku pergunakan untuk meningkatkan ilmu kalian dengan kemampuan yang berarti. Karena itu, aku akan mempergunakan cara lain untuk membantu kalian”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Keduanya tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Tetapi menilik kata-kata Ki Ajar, serta sorot matanya yang terang, maka Ki Ajar bermaksud baik bagi kepentingan mereka berdua. Karena itu, keduanya berharap bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu, setidak-tidaknya petunjuk bagi kepentingan ilmu mereka.
Beberapa saat kemudian, Ki Ajar Pangukan menuntun keduanya melakukan gerak-gerak langkah tertentu, selagi mereka masih duduk di atas batu hitam. Kemudian, pada gerak-gerak tertentu, mereka harus menarik nafas dalam-dalam, memusatkan nalar budi, sehingga pernafasan mereka berjalan sesuai dengan kehendak.
Demikianlah. Kedua anak muda itu telah melakukan beberapa kali dengan kesungguhan hati. Pemusatan perhatian sepenuhnya dengan lambaran kemampuan yang ada di dalam diri mereka.
Ketika hal itu sudah dilakukan beberapa kali, Ki Ajar mengajari anak-anak muda itu melakukannya dengan gerakan yang lebih sederhana, namun mencapai daya kemampuan yang sama. Demikian dilakukan beberapa kali, sehingga akhirnya, keduanya dapat mengatur pernafasan mereka hanya dengan satu gerak yang paling sederhana.
"Luar biasa!" berkata Ki Ajar kemudian "kalian memang memiliki kelebihan dari orang-orang lain. Agaknya kalian pernah menempuh masa-masa latihan yang sangat berat sebelumnya, sehingga kalian dapat melakukan satu cara pernafasan dengan latihan-latihan yang terhitung singkat”
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Mereka memang merasakan semacam udara baru yang terhembus di dalam tubuh mereka, membawa kesegaran tersendiri. Darah mereka pun menembus urat-urat yang paling lembut di dalam tubuh mereka.
Ki Ajar yang nampak tersenyum-senyum itu berkata "Lakukanlah dalam latihan-latihan olah kanuragan. Tetapi aku masih belum berani membiarkan kalian berdua berlatih bersama. Karena itu, sebaiknya kalian berdua berlatih bersamaku”
Manggada dan Laksana pun kemudian diminta bersiap. Demikian pula Ki Ajar Pangukan. Dengan isyarat, mereka segera mulai dengan latihan-latihan olah kanuragan. Kedua anak muda itu harus menghadapi Ki Ajar dalam latihan olah kanuragan.
Kedua anak muda itu berloncatan, ketika Ki Ajar mulai menyerang. Dengan lantang Ki Ajar berkata "Lakukanlah dengan sungguh-sungguh, agar kalian dapat menilai arti pengaturan nafas bagi kesiagaan tenaga cadangan di dalam dirimu"
Kedua anak muda itu mengerahkan kemampuannya, karena mereka menyadari tataran kemampuan Ki Ajar. Apalagi Ki Ajar memang mendorong anak-anak muda itu mengerahkan kemampuan mereka dengan cara yang paling singkat. Sesuai dengan laku yang telah di ajarkan oleh Ki Ajar dengan landasan pengaturan pernafasan.
Ternyata kedua anak muda itu dapat merasakan dorongan kekuatan yang terasa lebih besar. Bukan karena mereka dengan tiba-tiba mendapat kekuatan baru, tapi Ki Ajar telah mengajarkan kepada mereka untuk mempergunakan tenaga cadangan sebaik-baiknya, sehingga kekuatan dari dalam seakan-akan menjadi lebih besar, mendorong kekuatan kewadagan mereka.
Dengan demikian, kedua anak muda itu mampu bergerak lebih cepat. Loncatan mereka lebih panjang. Sedangkan ayunan kekuatan mereka, menjadi lebih deras. Seakan-akan keduanya telah berlatih untuk waktu yang panjang, sehingga ilmu mereka meningkat.
Tetapi keduanya menyadari, bahwa bukan landasan ilmu merekalah yang meningkat, tapi kemampuan mereka untuk mempergunakan tenaga cadangan yang telah menjadi semakin baik, karena tuntunan Ki Ajar dalam menyempurnakan pernafasan mereka.
Beberapa saat, kedua anak muda itu masih bertempur melawan Ki Ajar. Setiap kali, Ki Ajar masih berteriak memberikan aba-aba kepada kedua anak muda itu, sehingga petunjuk apa yang paling baik harus mereka lakukan.
Ternyata Ki Ajar pun semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Dalam benturan-benturan yang terjadi, Ki Ajar telah meningkatkan kekuatannya. Dengan demikian, kedua anak muda itu harus mengerahkan tenaga cadangan, sejauh dapat mereka lakukan.
Ki Ajar akhirnya melihat hasil yang sangat baik, dari waktu yang sangat singkat itu. Ilmu kedua anak muda itu memang tidak meningkat, tapi mereka dapat memanfaatkan kekuatan di dalam dirinya dengan lebih baik.Beberapa saat kemudian, Ki Ajar mengambil jarak dan memberikan isyarat bahwa latihan telah berakhir.
Manggada dan Laksana pun kemudian telah mengekang kekuatan di dalam dirinya. Kemudian perlahan-lahan mengendapkannya kembali, sehingga akhirnya keduanya telah menyimpan tenaga cadangannya sepenuhnya.
Ki Ajar berdiri di atas sebuah onggokan batu padas sambil tersenyum. Namun dalam sekilas, Ki Ajar melihat perbedaan di antara kemampuan kedua anak muda itu. Nampaknya Manggada mampu menyerap lebih banyak petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Ki Ajar. Tetapi perbedaan itu agaknya terlalu kecil, sehingga dapat diabaikan.
Ketika kedua anak muda itu telah berdiri tegak, sambil memandang Ki Ajar yang berdiri diatas onggokan batu padas itu, Ki Ajar pun berkata
"Bagus sekali anak-anak muda. Aku tidak mengira bahwa dalam waktu yang pendek, kalian mampu menyerap petunjuk-petunjukku sedemikian dalamnya, sehingga tenaga cadangan kalian, yang dapat kalian pergunakan, bukan saja meningkat tapi berlipat. Dalam tataran ilmu yang sama, maka kalian telah menjadi lebih berarti bagi dunia kanuragan”
Kedua anak muda itu mengangguk hormat. Dengan nada berat, Manggada berkata, “Kami mengucapkan beribu terima kasih Ki Ajar. Kami juga merasakan bahwa arus kehendak kami lebih cepat terungkap dalam gerak. Unsur naluriah telah terpacu pula karenanya. Darah kami rasa-rasanya mengalir semakin lancar, sesuai dengan tingkat gerak tubuh kami. Kekuatan tenaga cadangan kami, seakan-akan memang meningkat dengan cepat. Bahkan seperti yang Ki Ajar katakan, justru berlipat."
Ki Ajar tertawa. Katanya, "Tidak semua orang dapat berbuat sebagaimana kalian lakukan. Pintu kemampuan kalian telah terbuka sebelumnya, dengan latihan-latihan yang berat, sehingga tidak akan terlalu sulit untuk menerima unsur-unsur baru, dan bahkan dorongan kekuatan dari dalam tubuh kalian. Karena itu, kalian jadi semakin dewasa dalam olah kanuragan” Ki Ajar berhenti sejenak, lalu katanya "Dengan landasan penyempurnaan pernafasan kalian, maka kalian akan mampu mengembangkan ilmu kalian semakin tinggi. Aku yakin, ketajaman penalaran kalian akan dapat membawa kalian ke jenjang yang lebih tinggi”
"Terima kasih Ki Ajar" sahut Laksana sambil membungkuk hormat" mudah-mudahan semuanya itu menjadi bekal bagi kami untuk menyongsong masa depan."
"Bagus" jawab Ki Ajar "apa yang kalian saksikan di sini, adalah satu peristiwa yang barangkali tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Perjalanan kalian kali ini, dari padepokan kalian, adalah perjalanan yang sangat berarti, meski taruhannya sangat berat, yaitu nyawa kalian. Namun dengan demikian, kalian telah berhasil menguak cakrawala dari satu dunia yang ternyata tidak sebersih keinginan kita. Kenyataan ini harus kita terima dan kita hadapi sebagai satu tantangan bagi kehidupan orang-orang yang ingin menegakkan tatanan kehidupan yang lurus”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Ajar pun berkata, “Sudahlah. Marilah kita kembali. Ki Wiradadi dan para prajurit Pajang tentu sudah menunggu. Agaknya mereka tentu sudah selesai makan.”
Ketiga orang itupun kemudian meninggalkan tempat yang terlindung oleh sebuah gubuk kecil, dan kembali ke rumah Ki Ajar. Ternyata seperti yang diduga oleh Ki Ajar, jika ketika mereka meninggalkan tempat itu, orang bongkok itu mulai menyiapkan makan bersama prajurit Pajang yang bertugas, maka para prajurit dan bahkan para perwiranyapun sudah selesai makan.
Melihat Ki Ajar dan kedua anak muda itu, Senapati Pajang bertanya, "Darimana saja Ki Ajar selama ini. Kami telah mendahului makan hidangan yang diberikan oleh Ki Pandi. Ternyata Ki Pandi adalah juru masak yang paling baik. Buah kates yang masih mentah itu, dapat dibuatya menjadi sayur yang nikmat”
"Ah" desis Ki Ajar" agaknya hanya itu yang dapat disuguhkan oleh si Bongkok. Seandainya kalian tidak tergesa-gesa, kami dapat mengeringkan sebuah belumbang dan menyiapkan gurameh yang besar-besar bagi kalian”
"Berapa puluh gerameh yang Ki Ajar butuhkan untuk menyuguhi kami?" bertanya Senapati itu.
Ki Ajar tertawa. Namun kemudian katanya “Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian menghancurkan kekuatan hitam di seberang hutan yang masih pepat itu, sehingga seakan-akan daerah ini merupakan daerah yang terpisah dari kehidupan sewajarnya”
"Bukan Ki Ajar yang harus mengucapkan terima kasih. Kami yang mengemban tugas dari Kanjeng Sultan Pajang lah yang mengucapkan terima kasih atas bantuan Ki Ajar dan Ki Pandi. Tanpa kalian berdua, maka aku kira kita masih belum berhasil dengan tugas yang berat ini”
"Ternyata kita mempunyai kepentingan yang sama” berkata Ki Ajar.
Demikianlah, Pasukan Pajang kemudian bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Ki Wiradadi dan anak gadisnya, ternyata akan berada di antara para prajurit itu, agar perjalanan mereka tidak terganggu. Demikian pula Manggada dan Laksana akan meninggalkan tempat itu pula.
"Makanlah dahulu. Semuanya sudah makan" berkata Senapati itu.
Ternyata Manggada dan Laksana sempat makan lebih dahulu, sebelum mereka meninggalkan lingkungan terpencil yang dihuni oleh Ki Ajar Pangukan dan orang bongkok yang bernama Ki Pandi itu. Orang-orang yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Demikianlah, beberapa saat kemudian para prajurit Pajang telah meninggalkan tempat yang terpencil itu. Beberapa orang yang terluka, juga dibawa bersama. Bahkan ada yang terpaksa dibawa dengan usungan yang disiapkan dengan tergesa-gesa, namun cukup memadai.
Ki Wiradadi dan anak gadisnya, juga menyertai iring-iringan itu, karena Ki Wiradadi tidak mau anaknya dirampas kembali oleh Panembahan Lebdagati yang ternyata berhasil lolos dari tangan Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.
Manggada dan Laksana pun ikut pula dalam iring-iringan itu. Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi, yang nampaknya menaruh perhatian besar pada anak-anak muda itu, sempat bertanya kemana anak-anak muda itu akan pergi.
"Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi" berkata Ki Pandi.
"Senang sekali bertemu lagi dengan Ki Ajar dan Ki Pandi satu saat nanti" berkata Manggada.
"Bagaimana jika suatu saat kami datang ke tempat ini lagi?" bertanya Laksana.
Ki Ajar tertawa. Katanya “Sebaiknya kalian tidak usah datang kemari. Kami tidak selalu ada di rumah ini. Bahkan kadang-kadang kami pergi untuk waktu yang cukup lama. Sepuluh hari atau bahkan lebih”
"Jadi, bagaimana jika kami ingin bertemu lagi dengan Ki Ajar dan Ki Pandi?" bertanya Laksana.
"Kamilah yang akan menemui kalian" jawab Ki Ajar.
"Kapan?" bertanya Laksana.
Ki Ajar tertawa. Katanya “Sudah tentu kami belum dapat menyebut waktu yang paling baik untuk menemui kalian”
Manggada dan Laksana berada di paling belakang, di belakang Ki Wiradadi yang berjalan bersama anak perempuannya. Perjalanan keluar dari tempat itu, memang pekerjaan yang sulit. Ki Ajar dan Ki Pandi sempat mengantar mereka sampai keluar dari batas liku-liku yang rumit. Kemudian, keduanya terhenti di atas batu-batu padas.
"Berhati-hatilah anak-anak muda!" desis Ki Ajar.
"Terima kasih Ki Ajar" sahut keduanya hampir berbareng.
"Aku yakin kita akan bertemu lagi" berkata Ki Pandi.
"Kami pun sangat mengharapkannya" desis Manggada.
Sementara, Laksana berkata “Semakin cepat, tentu semakin menggembirakan hati kami”
Ki Pandi tersenyum. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Sementara, iring-iringan prajurit Pajang bersama Ki Wiradadi dan anak gadisnya sudah berjalan menjauh. Sebelum kedua orang anak muda itu meninggalkan Ki Ajar dan Ki Pandi, mereka sempat melihat dua ekor harimau yang berjalan melingkar agak jauh dari mereka. Keduanya segera mengenali, bahwa kedua ekor harimau itu adalah harimau peliharaan Ki Pandi.
Perjalanan keluar dari hutan Jatimalang, ternyata tidak sesulit perjalanan memasukinya. Mereka juga tidak dibebani oleh ketegangan yang mencengkam, sebagaimana saat-saat mereka dengan meraba-raba kemungkinan yang bakal mereka hadapi di saat mereka menyeberangi hutan itu. Tetapi kedua orang anak muda itu tidak berhasil menemukan kembali kerangka seseorang yang pernah dilihat ketika mereka memasuki hutan itu.
Demikianlah. Beberapa saat kemudian, mereka telah melintasi hutan itu. Meskipun perjalanan itu merupakan perjalanan yang cukup berat, tetapi mereka telah menempuhnya dengan hati yang tidak tertekan.
Ki Wiradadi memang tidak dapat berjalan secepat para prajurit. Namun ternyata pemimpin prajurit Pajang itu dapat mengerti kesulitan Ki Wiradadi yang harus menuntun anak gadisnya. Karena itu, sang Senapati memerintahkan pasukannya untuk memperlambat perjalanan mereka. Dengan demikian, perjalanan kembali menjadi lebih lama, tapi tidak ada hambatan jiwani sama sekali.
Demikianlah, Manggada dan Laksana telah menyelesaikan satu perjalanan yang mendebarkan. Mereka sempat melihat satu segi kehidupan yang belum pernah dibayangkannya sebelumnya, bahwa ada orang yang sampai hati mengorbankan orang lain dengan cara yang sangat keji untuk kepentingan kepuasan diri.
Namun pengalaman yang pernah dijalaninya itu, merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi keduanya. Keduanya sempat memperbandingkan ilmu yang telah mereka pelajari dengan gejolak dunia olah kanuragan. Jika sebelumnya mereka merasa telah memiliki bekal yang cukup, sehingga mereka tidak pernah merasa gentar menghadapi apapun juga, mereka kemudian harus mengakui bahwa mereka adalah bagian yang sangat kecil dari kerasnya dunia olah kanuragan.
Bahkan mereka harus mengakui, bahwa apa yang telah mereka lakukan tidak ubahnya seperti seorang bayi yang memegang bara api. Hal itu dilakukannya bukan karena bayi seorang yang sangat berani, tetapi dilakukan karena tidak tahu bahwa api itu panas dan berbahaya bagi kulitnya.
Kedua anak muda itu memang menjadi ngeri jika mengingat kembali apa yang telah terjadi. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan bahwa mereka akan bertemu dengan kekuatan ilmu, sebagaimana dimiliki Panembahan Lebdagati dan saudara seperguruannya. Bahkan beberapa orang pengikutnyapun, memiliki ilmu yang tinggi pula.
Seandainya di lereng Gunung itu tidak ada Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi, serta prajurit-prajurit Pajang yang memang telah membuat hubungan lebih dahulu dengan Ki Ajar, mereka berdua tentu sudah menjadi debu.
Pengalaman itu ternyata merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi kedua orang anak muda itu. Mereka akan dapat menilai setiap langkahnya di kemudian hari. Apakah mereka memiliki bekal yang cukup untuk melakukannya.
Namun ketika keduanya berbicara tentang hal itu, Laksana masih juga berkata, "Tetapi seandainya kita tidak memberanikan diri memasuki tempat itu, gadis Ki Wiradadi tentu sudah menjadi korban”
"Belum tentu!" jawab Manggada "Nyawa seseorang berada di tangan Yang Maha Agung. Bukankah Ki Ajar telah bersiap pula untuk melakukannya. Bahkan Ki Ajar telah berhubungan dengan para prajurit di Pajang”
Laksana mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Agaknya memang demikian”
Manggada tidak berkata apa-apa lagi. Ia justru sedang merenungi dirinya sendiri. Bekal yang diberikan Ki Ajar ternyata sangat berarti baginya, karena ia akan mampu mengungkapkan tenaga cadangannya lebih meningkat lagi. Bahkan Ki Ajar telah memberikan petunjuk bagaimana ia dapat mengembangkannya sendiri dengan latihan-latihan yang teratur dan semakin rumit, sehingga seakan-akan dapat membuka seluruh jalur-jalur nadinya sampai yang sekecil-kecilnya. Dengan demikian, ia akan dapat mempergunakan tenaga cadangannya sebanyak-banyaknya.
Dalam pada itu, ternyata perjalanan pasukan Pajang dan Ki Wiradadi pada satu saat memang harus berpisah. Padukuhan Ki Wiradadi tidak berada di pinggir jalan menuju ke Pajang. Namun jalan yang harus ditempuh oleh Ki Wiradadi dan anak gadisnya, tidak terlalu jauh lagi.
Sementara itu, anak gadis Ki Wiradadi sudah menjadi sangat letih. Bahkan hampir tidak dapat melanjutkan perjalanan lagi. Karena itu, Ki Wiradadi menyampaikannya kepada pemimpin prajurit Pajang itu, bahwa ia dan anaknya akan beristirahat. Selanjutnya, mereka akan memisahkan diri mengambil jalan terdekat menuju ke rumahnya.
Pemimpin prajurit Pajang menjadi ragu-ragu. Dengan nada rendah, ia bertanya “Apakah tidak ada kemungkinan buruk dapat terjadi atas anak gadis Ki Wiradadi?”
"Mudah-mudahan tidak. Tetapi sudah barang tentu bahwa kami tidak mempunyai pilihan lain, karena kami tidak akan mungkin ikut bersama pasukan ini ke Pajang" berkata Ki Wiradadi.
"Jika Ki Wiradadi menghendaki, kami akan mengantar Ki Wiradadi sampai rumah" berkata pemimpin prajurit itu.
"Terima kasih. Kami tidak ingin terlalu merepotkan para prajurit" berkata Ki Wiradadi.
"Soalnya bukan itu" jawab pemimpin prajurit itu "Tetapi jika Ki Wiradadi bertemu dengan Panembahan Lebdagati yang lepas dari tangan kita, maka segala jerih-payah Ki Wiradadi akan hilang tanpa arti sama sekali”
"Kita akan berdoa" berkata Ki Wiradadi. Kemudian pemimpin prajurit Pajang itu berpaling kepada Manggada dan Laksana. Dengan ragu-ragu, pemimpin prajurit itu bertanya “Kalian akan pergi kemana anak-anak muda?”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada yang menjawab “Biarlah kami mengawani Ki Wiradadi sampai kerumahnya. Selanjutnya, kami berdua akan dapat melanjutkan perjalanan kami”
"Kemanakah tujuan kalian sebenarnya?" bertanya pemimpin prajurit itu.
Manggada termangu-mangu. Namun akhirnya ia menjawab. “Kami memang akan pergi ke Pajang. Tetapi kami tidak dibatasi oleh waktu. Kapan saja, kami dapat menempuh perjalanan ke Pajang”
Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Sukurlah. Jika demikian, biarlah anak-anak muda itu mengantar Ki Wiradadi sampai kerumah. Meskipun seandainya Panembahan Lebdagati ingin menyelesaikan kalian semuanya, tidak akan mengalami kesulitan. Tapi bagaimanpun juga, Ki Wiradadi tidak sendiri”
Demikianlah. Sejenak kemudian. Ki Wiradadi memisahkan diri bersama anak gadisnya serta Arya Manggada dan Laksana, yang telah membantunya mencari anak gadis itu. Meskipun kedua anak muda itu tidak dapat menyelesaikan orang-orang yang menculik anak gadisnya, karena orang itu ternyata berilmu tinggi, namun keduanya telah mendorongnya untuk berusaha tanpa mengenal hambatan apapun juga.
"Yang Maha Agung telah memenuhi permohonanku" berkata Ki Wiradadi di dalam hati. Sejak semula ia memang yakin, jika permohonannya dipanjatkan dengan kesungguhan hati, Yang Maha Agung akan memberinya, asal permohonan itu tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.
Untuk tidak menarik perhatian banyak orang, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana tidak mengenakan senjatanya, terutama busur dan anak panahnya, dipunggung. Ketiganya memberikan kesan sebagai pemburu yang pulang dari hutan.
Dalam pada itu, Ki Wiradadi yang melihat anaknya letih, mengajak untuk berhenti di kedai pinggir jalan. Kedai yang tidak terlalu besar, namun cukup ramai. Ketika ketiga orang beserta anak gadis Ki Wiradadi, memasuki kedai itu, beberapa orang telah berada di dalam. Namun Ki Wiradadi masih mendapatkan tempat di sudut agak terpisah, sehingga tidak banyak terganggu oleh para pembeli yang lain. Kebetulan menghadap pintu butulan.
Demikian mereka memesan minuman, dalam waktu singkat pesanan telah dihidangkan. Begitu cepat, sehingga Ki Wiradadi berkata, “Pelayanan di kedai ini cukup baik. Itulah agaknya yang membuat kedai ini menjadi ramai dengan pembeli”
"Memang menyenangkan" sahut Manggada "jika kita harus menunggu terlalu lama, rasa-rasanya begitu cepat menjadi jemu. Kadang-kadang kita tidak lagi merasa haus dan lapar”
"Nah..." berkata Ki Wiradadi "sekarangi kita akan makan apa?”
Mereka pun kemudian memesan nasi untuk mereka berempat. Tetapi selagi mereka mulai meneguk minuman, mereka dikejutkan kehadiran beberapa orang penunggang kuda. Begitu cepat dan tiba-tiba berhenti di depan kedai itu, sehingga debu berhamburan. Semua berpaling ke arah mereka. Empat orang anak muda diatas punggung kuda. Demikian mereka berloncatan turun, terdengar suara tertawa mereka yang keras.
"Kita makan dulu" berkata salah seorang di antara mereka, hampir berteriak.
Yang lainpun kemudian mengikuti anak muda itu masuk ke dalam kedai. Sementara itu, orang-orang didalam kedai tiba-tiba menjadi gelisah. Seorang di antara mereka berdesis, “Anak-anak itu lagi”
Ki Wiradadi tertarik pada kata-kata itu. Selagi anak-anak itu masih di luar, ia bangkit dan melangkah mendekati orang itu sambil berdesis. “Kenapa dengan anak-anak itu?”
"Mereka adalah anak orang kaya. Mereka terlalu dimanjakan, sehingga tidak mau menghargai orang lain. Mereka menganggap bahwa uang di kantong ikat pinggang mereka, adalah segala-galanya" berkata orang itu.
Tetapi mereka tidak sempat berbicara lagi. Anak-anak muda itu telah berdiri di pintu. Yang agaknya paling berpengaruh di antara mereka, berdiri bertolak pinggang sambil memandang berkeliling. Sementara, Ki Wiradadi melangkah kembali ke tempatnya.
"Nampaknya kedai ini telah penuh" berkata yang berdiri di pintu. Tapi seorang yang berdiri di sampingnya, setelah matanya singgah di sudut kedai itu, berkata “He, di sana ada tempat”
Kawan-kawannya serentak memandang ke arah yang ditunjuk. Yang bertolak pinggang kemudian tertawa sambil berkata “Telah disediakan tempat bagi kita”
Suasana di dalam warung itu menjadi sepi. Pelayan yang menyerahkan nasi pesanan Ki Wiradadi, berbisik" Hati-hati dengan anak perempuan Ki Sanak”
Ki Wiradadi mengerutkan keningnya. Ia cepat menyadari keadaan. Karena itu, ketika pelayan pergi, Ki Wiradadi berkata “Marilah, anak-anak muda. Aku mohon kalian duduk di lincak pada deretan ini”
"Kenapa?" bertanya Laksana yang duduk bersama Manggada, berhadapan dengan Ki Wiradadi dipisahkan geledeg bambu rendah untuk meletakkan makanan.
"Cepatlah, sebelum anak-anak muda itu mengambil tempat. Jangan pikirkan yang macam-macam. Anak gadisku tentu tidak keberatan jika ia tahu kepentingannya" Berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana tidak sempat berpikir. Sementara anak-anak muda itu memasuki kedai sambil tertawa dan berkelakar berlebihan. Manggada dan Laksana telah bergeser duduk di lincak bambu, di deretan Ki Wiradadi dan anak perempuannya, sehingga gadis itu berada di antara Ki Wiradadi dan Laksana. Baru kemudian Manggada duduk sambil menarik mangkuk minumannya dari sisi lain.
Sejenak kemudian, keempat anak muda itu sudah berdiri di sebelah lincak panjang mereka. Seorang di antaranya berkata “Tempat kita sudah digeser anak-anak ini”
Yang lain tertawa. Katanya “Barangkali mereka termasuk keluarga dekat, atau barangkali adiknya atau kakaknya”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Mereka tetap sibuk minum minuman hangat mereka. Sementara itu, pelayan kedai telah menghidangkan pula makanan bagi Manggada dan Laksana.
"Orang-orang ini membawa busur" tiba-tiba seorang di antara anak-anak muda itu berteriak. Ternyata busur dan anak panah yang mereka letakkan di gledeg bambu rendah itu, menarik perhatian. Mereka berganti-ganti menimangnya.
Seorang di antara mereka bertanya “He, Ki Sanak. Apakah kalian pemburu?”
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab lemah "Ya, anak-anak muda. Kami adalah pemburu, karena kami tidak punya mata pencaharian lain”
"Kalian jual daging buruan itu?" bertanya salah seorang lagi.
"Tidak" jawab Ki Wiradadi "penghasilan kami justru dari kulit binatang buruan itu”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba, seorang di antara mereka.berdiri di belakang anak gadis Ki Wiradadi. Dengan nada tinggi ia bertanya “Apakah gadis ini juga ikut berburu?”
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya “Ya, anak-anak muda. Anak gadisku sudah terbiasa ikut dalam perburuan. Jika kami berada di tengah hutan sampai berhari-hari, dialah yang menyediakan makan dan minuman kami”
"Luar biasa" desis anak muda yang berdiri di belakang anak perempuan Ki Wiradadi, yang duduk dengan tubuh gemetar di amben bambu. Meskipun ia tidak akan mengalami peristiwa seperti di atas altar penyerahan korban, tapi ngeri juga melihat tingkah laku anak-anak muda itu.
"Sayang Ki Sanak" berkata anak muda yang lain" gadis itu terlalu cantik untuk hidup di dalam hutan. Kulitnya yang lembut, dan sorot matanya yang redup, membuatnya menjadiseorang gadis yang luruh”
Tapi tiba-tiba saja seorang di antara anak-anak muda itu berkata “Mari, kita duduk untuk makan dan minum”
Keempat orang itupun kemudian duduk di atas lincak panjang, berhadapan dengan Ki Wiradadi, anak gadisnya dan kedua orang anak muda yang menyertainya.
Manggada dan Laksana nampaknya tidak begitu menghiraukan mereka. Keduanya, tetap memakan pesanan mereka dengan lahapnya. Tetapi sikap kedua orang anak muda itu, menarik perhatian keempat orang berkuda yang baru datang itu. Mereka agak tersinggung dengan sikap itu. Orang-orang lain begitu menghormati mereka, tapi kedua anak muda itu sama sekali tidak memperhatikannya, apalagi menghormatinya sebagaimana orang lain.
Namun anak-anak muda itu mempunyai cara tersendiri untuk mengusik Manggada dan Laksana. Seorang di antara anak-anak muda itu tiba-tiba saja bertanya, “Ki Sanak. Dari pada anak gadismu kau bawa ke sana ke mari, bahkan berburu di hutan, biarlah aku membawanya. Ibuku memerlukan seorang pelayan khusus. Anakmu tentu akan diterima oleh ibuku. Aku menanggungnya. Jika ibu menolaknya, biarlah aku yang membawanya”
Laksana dan Manggada memang tergelitik hatinya. Tetapi keduanya tidak cepat mengambil sikap. Keduanya masih saja makan tanpa mengangkat wajah mereka. Ki Wiradadi pun tidak menjawab sama sekali. Tetapi ia tidak dapat makan begitu saja, tanpa menghiraukan anak-anak muda itu. Apalagi ketika seorang di antara mereka berkata,
“Ki Sanak. Semua orang tahu di mana rumah kami. Karena itu, biarlah aku membawa anak perempuanmu sekarang. Ambil nanti di rumahku. Aku membeli sebuah kalung emas, yang barangkali akan berarti bagi anakmu”
Yang lain telah menyahut. "Anakmu terlalu cantik” Anak muda itu sama sekali tidak menahan diri lagi. Ia telah berdiri. Dan dari tempatnya, ia mencoba menggapai wajah anak Ki Wiradadi.
Betapapun mereka menahan diri, namun terasa bahwa api telah mulai menyentuh perasaan mereka. Sehingga Ki Wiradadi tergeser sejengkal. Tetapi anak-anak muda yang datang berkuda itu justru tertawa melihat anak Ki Wiradadi ketakutan. Sambil tertawa, seorang di antara mereka berkata “Kau tambah cantik. Pipimu menjadi merah.
Yang lain tertawa menyentak. Di sela-sela tertawanya, seorang berkata, “Gadis itu semakin membuat aku gila. Mari kita persilahkan gadis itu singgah di rumah kita. Makin cepat semakin baik”
Tanpa menghiraukan Ki Wiradadi, Manggada serta Laksana, anak-anak muda itu mulai berbuat kasar. Mereka bangkit dan melingkari geledeg bambu tempat meletakkan makanan. Dengan serta merta, mereka menangkap pergelangan tangan gadis yang menjadi semakin ketakutan itu.
Orang-orang yang ada di dalam kedai tidak ada yang berani menolong. Mereka kebanyakan sudah mengenal anak-anak muda itu, yang berasal dari keluarga kaya dan berilmu tinggi. Jika anak-anak itu tidak dapat menyelesaikan satu persoalan, yang biasanya menyangkut gadis, janda, atau bahkan perempuan yang sudah bersuami, beberapa orang upahan akan ikut campur.
Karena itu, mereka yang tidak sampai hati melihat seorang gadis diseret ke atas punggung kuda dan dibawa lari ke tempat yang tidak banyak diketahui orang, lebih baik secepatnya meninggalkan kedai itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba Manggada berteriak "Tolong, tolong saudara kami ini”
Sejenak ruangan itu dicekam ketegangan. Tapi keempat anak muda yang berusaha menyeret gadis itu, justru tertawa berkepanjangan. Seorang di antara mereka berkata "Tidak ada gunanya kau berteriak. Tidak ada orang yang akan menolongmu”
Bahkan Laksana bertanya "Kenapa kau berteriak minta tolong. Apa kita tidak dapat menyelesaikan sendiri?”
Tapi Manggada menjawab "Aku bukan minta tolong. Aku hanya ingin tahu pengaruh mereka terhadap orang-orang di sini. Ternyata tidak seorang pun dari sekian banyak laki-laki yang berani menolong, meski nampaknya mereka ingin”
"Persetan" geram salah seorang dari anak muda yang ingin merampas anak Ki Wiradadi itu "apa yang kau katakan tentang kami?”
Ki Wiradadi kemudian berdiri. Ditariknya anak gadisnya, dan disuruhnya berdiri menempel dinding. Sementara, Ki Wiradadi berdiri di depannya. Tapi tampaknya Ki Wiradadi masih bersikap tenang. Orang-orang dalam kedai itu menjadi heran. Tapi Manggada justru tersenyum sambil berkata,
"Pengaruh kalian besar di sini. Tapi bukan pengaruh baik. Kalian ditakuti oleh orang-orang di tempat ini. Terbukti, tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu ketika kalian berusaha melakukan kejahatan. Lihat, semua laki-laki di kedai ini bagaikan membeku di tempatnya. Satu dua merasa lebih baik pergi daripada menolong kami yang mengalami kesulitan”
"Tutup mulutmu!" geram salah satu pemuda itu "kami memang ditakuti di sini. Tidak ada orang yang berani menghalangi kemauan kami. Nampaknya kau orang asing di sini. Karena itu, aku peringatkan agar kalian tidak menentang niat kami. Biarkan kami membawa gadis itu. Tunggu di sini. Kami akan mengembalikannya kemari dengan sebuah kalung emas di lehernya”
Tetapi Manggada justru tertawa. Katanya "Kalian terlalu kasar. Kalian tidak berusaha mengambil hati gadis itu atau ayahnya atau kami, saudara-saudaranya. Kalian seperti serigala melihat kelinci yang putih mulus”
"Diam" seorang di antara mereka berteriak "jika kalian berani menentang kehendak kami, maka kalian akan menyesal. Sementara, gadis itu akan mengalami nasib lebih buruk”
Namun Laksana menyahut tidak kalah lantangnya "Jangan menakut-nakuti kami. Kalian tentu tidak akan seimbang dibanding Panembahan Lebdagati”
Keempat orang-itu memang termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka sempat juga bertanya "Siapa Panembahan Lebdagati itu?”
"Baiklah. Jika kau belum pernah mendengar, tidak ada gunanya aku memberitahukan. Tapi yang perlu kau ketahui, Panembahan Lebdagati itu berilmu sangat tinggi” jawab Laksana.
"Apa hubungannya dengan kami?" bertanya seorang di antara mereka.
"Kalian tentu bukan murid-muridnya" jawab Laksana.
"Persetan" geram yang lain dari keempat anak-anak muda itu, "berikan gadis itu padaku. Kau tidak akan mendapat pertolongan dari siapapun”
"Dari bebahu padukuhan ini?" desis Manggada.
"Persetan dengan mereka. Yang jelas berani ikut campur, kami putar lehernya sampai patah” geram anak muda itu.
Manggada akhirnya kehilangan kesabaran. Kemudian katanya pada Ki Wiradadi "Lindungi anak itu. Biarlah kami melayani keempat anak-anak muda ini”
Keempat anak muda yang lebih tua dari Manggada dan Laksana itu, terkejut mendengar kata-kata Manggada. Bahkan orang-orang dalam kedai itupun terkejut. Tetapi mereka mengerti bahwa anak muda itu tidak benar-benar minta tolong tadi. Ia hanya ingin mengetahui lingkungan yang sedang dihadapinya.
Seseorang di antara anak muda penunggang kuda itu menggeram "Apakah kau sudah jemu hidup?”
"Pertanyaan yang aneh" desis Manggada tanpa menjawab pertanyaan itu.
Laksana tidak sabar lagi. Tapi ketika ia bergeser maju, Manggada mencegahnya. Katanya “Jangan di dalam”
"Bagus" sahut Laksana. Kemudian katanya "Mari kita keluar. Jika kalian berhasil mengalahkan kami berdua, baru kalian akan berhadapan dengan ayah. Dan bila ayah juga kalah, bawalah gadis itu kemana kalian suka”
Keempat anak muda itu merasa heran melihat sikap kedua orang yang mengaku sebagai saudara gadis itu. Keduanya masih sangat muda, tapi agaknya memiliki kepercayaan diri sangat tinggi. Seorang dari keempat anak muda itu berkata lantang "Cepat keluar. Kita selesaikan persoalan ini dengan baik. tapi jangan mencoba berbuat licik dengan membawa gadis itu pergi. Dia harus ikut keluar, agar dapat kami awasi”
"Bagus" kata Manggada "gadis itu akan berada di luar pula. Dengan berkelahi di luar, kita tidak perlu mengganti barang-barang atau makanan dan minuman yang kita rusakkan”
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Manggada dan Laksana melangkah keluar. Keempat anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun telah menyusul Manggada dan Laksana. Seorang di antara mereka sempat mengajak Ki Wiradadi dan anak gadisnya ikut keluar pula.
Dengan tenang, Ki Wiradadi mengajak anak gadisnya keluar dari kedai itu. Bahkan ia sempat berbisik "Satu hambatan kecil dibandingkan apa yang pernah kau alami, ngger?”
Gadis itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah keluar, mengikuti Ki Wiradadi. Beberapa orang memang menjadi tegang. Mereka menganggap bahwa orang-orang asing itu tidak mengenal, siapa keempat anak muda penunggang kuda itu. Orang-orang asing itu tentu akan mengalami banyak kesulitan jika mereka berani malawan mereka.
Tetapi orang-orang itupun menyadari, bahwa mereka tentu tidak akan begitu saja menyerahkan gadis mereka yang akan dibawa oleh keempat orang anak muda penunggang kuda itu, sebagaimana sering mereka lakukan.
Sejenak kemudian, kedua belah pihak telah berada di halaman kedai itu. Ki Wiradadi yang masih tenang-tenang saja, mengajak anak gadisnya berdiri di bawah sebatang pohon. Sementara Manggada dan Laksana telah berdiri di tengah-tengah halaman yang agak luas, justru di samping kedai itu.
Keempat orang anak muda itupun kemudian perlahan-lahan mendekati kedua orang yang telah menunggunya. Tetapi dari keempat orang itu, hanya dua saja yang melangkah terus. Nampaknya, dua orang yang lain tidak akan segera turun ke arena.
"Patahkan tangan mereka!" berkata salah seorang yang kemudian berhenti beberapa langkah dari kawan-kawannya yang mendekati Manggada dan Laksana.
"Kenapa kalian tidak turun bersama-sama?" bertanya Laksana.
"Permainan licik. Kalian mencari kesempatan untuk melarikan gadis itu bukan?" bertanya seorang di antara mereka yang tidak ikut turun ke arena.
Manggada dan Laksana tidak menyahut. Namun keduanya telah bersiap. Masing-masing menghadapi satu orang lawan. Bagi Manggada dan Laksana, hal itu memang lebih baik. Dengan demikian, mereka akan bertempur melawan seorang demi seorang. Sebenarnya, keduanya sama sekali tidak ingin merendahkan kemampuan orang lain, termasuk keempat anak muda itu. Tapi sikap keempat orang itu sangat menjengkelkan.
Pengalaman kedua anak muda itu di seberang hutan Jatimalang, membuatnya tetap tenang dan percaya diri menghadapi lawan-lawannya. Bahkan Laksana telah berkata didalam hatinya. "Satu kesempatan untuk menguji ilmu, setelah mendapat dorongan kekuatan dari Ki Ajar Pangukan”
Sejenak kemudian, dua anak muda yang datang berkuda itu telah berdiri di hadapan Manggada dan Laksana, sementara masing-masing pihak telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Bagaimanapun juga, Manggada dan Laksana telah mendapat pesan dari guru mereka agar tidak merendahkan orang lain. Mereka tidak boleh merasa dirinya terlalu baik dalam penguasaan ilmu, sehingga menyombongkan diri. Kesombongan adalah kelemahan yang paling berbahaya di dalam benturan ilmu kanuragan.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, dua orang yang mengganggu anak gadis Ki Wiradadi itu telah mulai menyerang. Ternyata keduanya mampu bergerak cepat. Serangan mereka nampak garang, sehingga baik Manggada maupun Laksana harus melompat menghindarinya.
Namun lawan-lawan mereka tidak membiarkan keduanya terlepas dari sasaran. Dengan serta merta, mereka telah memburu dengan serangan-serangan yang garang. Beberapa serangan telah berlalu. Tetapi keduanya sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Manggada dan Laksana. Bahkan, anak-anak muda yang telah menyeberangi hutan Jatimalang itu segera dapat menjajagi kemampuan lawan. Ternyata mereka tidak harus bekerja keras, sebagaimana mereka lakukan di padepokan raksasa yang menyeramkan itu.
Ketegangan yang semula mencengkam jantung, di saat kedua anak muda yang mengganggu gadis Ki Wiradadi itu menyerang, kini menyusut. Menurut pengamatan, anak-anak muda itu sekedar mengandalkah dukungan kekuatan di belakang mereka, karena mereka sendiri ternyata tidak mampu berbuat apa-apa. Keduanya sama sekali tidak mempunyai latar belakang kanuragan yang memadai, meskipun agaknya mereka pernah berlatih.
Tetapi hal itu sangat tidak menarik bagi Laksana. Ia tidak merasa mendapat kesempatan untuk menilai ilmunya, karena lawannya sama sekali tidak bertenaga menurut penilaiannya. Karena itu, Laksana ingin segera mengakhiri pertempuran yang mulai menjemukan itu. Memang agak berbeda dengan niat Manggada. Ia ingin membiarkan lawannya kelelahan dan berhenti dengan sendirinya. Laksana telah melakukan yang terbaik menurut penilaiannya.
Dalam waktu singkat, Laksana telah benar-benar mendesak lawannya. Beberapa kali pukulannya telah mengena dan membuat lawannya menyeringai kesakitan. Akhirnya, lawan Laksana tidak dapat menolak kenyataan yang dialaminya. Laksana terlalu kuat baginya, sehingga pada satu serangan yang keras, lawan Laksana terlempar dan terbanting jatuh. Sambil menyeringai menahan sakit di punggung, anak muda itu berusaha untuk bangkit. Meski ia berhasil berdiri, tapi rasa-rasanya ia sudah tidak mampu lagi berkelahi.
Seorang kawannya yang berdiri di luar arena, segera berdiri mendapatkannya. Dengan cemas ia bertanya “Bagaimana?”
"Punggungku telah patah. Ia harus bertanggung-jawab atas perbuatannya. Punggungnya harus dipatahkan juga. Bahkan, tulang-tulangnya harus diremukkan” geram anak muda yang terjatuh itu.
Kawannya termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling melihat kawannya yang seorang lagi, nampak masih berloncatan. Sama sekali tidak sempat menggapai Manggada. Apalagi mengenainya dengan serangan-serangan yang berarti. Bahkan, Manggada beberapa kali telah menyentuh tubuh anak muda itu. Terakhir, disambarnya ikat kepala anak muda itu dan dilemparkannya tinggi-tinggi.
"Setan kau!" geram anak muda itu.
Manggada tertawa. Katanya "Jangan mengumpat-umpat seperti itu. Ambil ikat kepalamu”
Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi nafasnya telah terengah-engah. Ia tidak dapat menerima kekalahan begitu saja, tapi ia pun tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan ini. Karena itu, ia berpaling kepada kawannya dan berkata, “Kita tangkap anak itu”
Tetapi kawannya ragu-ragu. Ia sudah lihat bagaimana Manggada mempermainkan lawannya, sehingga kehabisan nafas. Tiba-tiba saja anak muda yang termangu-mangu itu berteriak "Jangan biarkan mereka lolos. Aku akan memanggil Sura Gayam. Ia akan menyelesaikan segala-galanya”
Tanpa menunggu jawaban, anak muda itu segera berlari dan melompat ke punggung kudanya. Ketika kuda itu berlari, terdengar suaranya "Dalam sekejap aku kembali"
Anak muda yang hampir kehilangan kesempatan untuk berdiri lagi itu, karena tulang punggungnya sakit, berkata "Tunggu sebentar. Tulang punggungmu pun akan dipatahkan”
"Aku tidak mematahkan tulang punggungmu" jawab Laksana "jika tulang punggungmu patah, kau tidak dapat bergerak sama sekali. Apalagi bangkit berdiri”
"Nah, kau mulai merasa takut" geram anak muda itu.
Tetapi Laksana tertawa. Katanya "Aku akan menunggu orang yang sedang dipanggil oleh kawanmu itu. Aku tahu, orang itu pastilah upahan. Justru karena itu, aku akan membuat perhitungan dengan orang-orang seperti itu”
"Kau akan menyesal...!" geram anak muda itu.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Kalian tentu akan berusaha mencegah jika aku berusaha melarikan diri. Sementara itu, saudara perempuanku tentu tidak akan dapat berlari cepat. Karena itu, aku harus menunggu. Orang-orang upahan yang tidak mempedulikan kepentingan orang lain, bahkan untuk membunuh sekalipun, harus dibuat menjadi jera” berkata Laksana.
"Suaramu seperti dapat meruntuhkan langit" geram kawan anak muda yang punggungnya bagaikan patah itu.
"Tidak. Aku tidak berniat menyombongkan diri. Aku berkata sebenarnya. Aku akan menunggu orang upahanmu itu datang, dan kemudian membuatnya jera. Jika ia keras kepala, terpaksa harus dibuat kehilangan kemampuan untuk berbuat seperti itu selanjutnya" berkata Laksana.
Wajah anak-anak muda itu menjadi merah. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu. Sementara itu, Manggada sudah sampai pada akhir permainannya. Lawannya benar-benar telah kehilangan kemampuan untuk melawan. Nafasnya berkejaran di lubang hidungnya. Keringatnya bagai terperas membasahi pakaiannya.
Ketika ia menyerang Manggada, dan tidak mengenai sasarannya, anak muda itu terseret oleh berat tubuhnya sendiri, sehingga hampir saja jatuh terjerembab. Wajahnya bagai tersengat api ketika tahu Manggadalah yang menahan tubuhnya, sehingga ia tidak terjatuh.
"Cukup...!" geram anak muda itu "kau telah menghinaku. Sebentar lagi, kau akan menjadi sayatan daging”
Manggada tersenyum. Katanya "Jangan terlalu garang. Sekarang, kau cukup menemui orang tua itu. Minta maaf padanya, dan kami akan pergi dari tempat ini”
"Kau tidak boleh pergi. Kau harus mendapat hukuman yang sesuai dengan kesombonganmu, berani melawan kami. Tidak ada orang yang pernah menolak kehendak kami, apapun akibatnya. Apalagi hanya menyerahkan seorang gadis, yang nanti akan segera aku kembalikan. Sebab taruhannya adalah nyawa" geram anak muda itu.
"Untuk kehormatan seorang gadis, taruhannya memang nyawa. Aku sudah siap" berkata Manggada yang mulai tersinggung lagi.
"Sebentar lagi, orang-orangku akan datang" geram anak muda itu.
"Semakin cepat, semakin baik” Jawab Manggada yang sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya.
"Kau memang sombong sekali. Kau orang asing di sini, sehingga belum mengenal orang yang namanya Sura Gayam” anak muda yang marah itu hampir berteriak. Tetapi ia sendiri sudah tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu.
"Aku akan menunggunya" berkata Manggada, sebagaimana dikatakan Laksana.
Belum lagi anak muda itu menyahut, mereka telah mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Sejenak kemudian, debu pun telah mengepul. Dari tikungan, muncul empat ekor kuda mendekati kedai itu dengan cepat.
"Ternyata Sura Gayam tidak sendiri" geram anak muda itu.
Manggada mengerutkan keningnya. Tapi ia kemudian berkata "Aku akan menunggunya. Biarlah ia mempersiapkan diri bersama kawan-kawannya”
"Nasibmu memang buruk. Seandainya ia datang sendiri pun, kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan padukuhan ini. Apalagi kini ia datang dengan dua temannya" berkata anak muda itu.
Manggada tidak menjawab. Ketika kuda-kuda itu sampai di halaman kedai, Manggada mendekati Ki Wiradadi.
"Hati-hatilah Ki. Nampaknya persoalan telah berkembang. Meski tidak segawat di seberang hutan Jati-malang, tapi kerikil-kerikil kecil seperti ini kadang-kadang dapat membuat kita tergelincir. Karena itu, kita harus tetap berhati-hati”
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pikiran anak muda itu cukup dewasa menanggapi keadaan. Sementara, Laksana yang juga mendekat berdesis "Satu kesempatan yang tidak boleh kita lewatkan. Kita dapat menjajagi tingkat kemampuan ilmu kita, setelah mendapat kesempatan mengembangkan tenaga cadangan sebagaimana tuntutan Ki Ajar.”
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun ia akhirnya berkata "Kita tidak mencari lawan...”
"Memang tidak. Karena itu, kesempatan seperti ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Bukan kita yang memulainya!" sahut Laksana....
Selanjutnya, Menjenguk Cakrawala Bagian 12 |