Pewaris Ilmu Tokoh Sesat

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Pewaris Ilmu Tokoh Sesat karya Ajisaka
Sonny Ogawa
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka

Dewa Arak - Pewaris Ilmu Tokoh Sesat

Karya : Ajisaka

SATU

Brakkk...! Terdengar suara berderak keras, ketika sepasang tangan kokoh seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berompi kuning, menghantam daun pintu gerbang Perguruan Kumbang Merah. Kontan, daun pintu itu hancur berkeping-keping mengeluarkan suara hiruk pikuk. Padahal daun pintu gerbang itu terbuat dari kayu jati yang keras dan tebal.

Suara ribut-ribut itu tentu saja membuat murid-murid Perguruan Kumbang Merah berlarian menuju ke arah asal suara. Apalagi murid-murid yang mendapat tugas jaga. Merekalah yang tahu lebih dahulu. Dan buru-buru melesat ke arah pintu gerbang.

"Siapa kau?!" tanya salah seorang murid yang bertubuh pendek gemuk bernada kasar. Laki-laki inilah yang bertugas sebagai kepala jaga hari itu. Ditatapnya wajah orang yang berdiri di hadapannya. Seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun. Berwajah meruncing ke depan, dengan bola mata yang selalu berputar liar. Di tangan kanannya tergenggam sebuah trisula.

"He he he...!" Hanya suara tawa terkekeh saja yang menyahuti pertanyaan murid bertubuh pendek gemuk itu.

''Tidak usah banyak basa-basi lagi, Kang Gilang. Hajar saja pengacau ini!" ucap salah seorang yang berdiri di belakang laki-laki pendek gemuk yang bernama Gilang.

Memang kepala jaga itu berdiri paling depan. Sementara rekan-rekannya yang berjumlah tiga orang, berada di belakangnya. Mereka telah menghunus senjata masing-masing. Sebatang pedang yang batangnya berwarna merah.

"Hmh...!" laki-laki berompi kuning itu mendengus dan mendesis tajam. "Kalianlah yang akan mampus!"

"Keparat!"

Seorang murid Perguruan Kumbang Merah yang berambut merah, tidak kuat lagi menahan kemarahan. Sambil berteriak nyaring, dia melompat menerjang laki-laki berompi kuning itu. Pedang di tangannya ditusukkan cepat ke arah leher. Tapi, laki-laki berompi kuning itu hanya tersenyum sinis. Tanpa menggeser kaki, didoyongkan tubuhnya ke samping kanan, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Lewat setengah jengkal di sebelah kiri lehernya. Dan pada saat yang sama, trisulanya ditusukkan ke arah perut lawan.

Wukkk! Angin mengiuk keras mengiringi tibanya sambaran trisula itu. Suatu pertanda kalau trisula itu dimainkan oleh orang yang memiliki tenaga dalam tinggi. Laki-laki berambut merah terkejut bukan main. Serangan lawan datang secara tiba-tiba dan cepat sekali.

Padahal, saat itu posisinya tidak menguntungkan. Tubuhnya masih berada diudara. Jangankan mengelak, menangkis pun sudah tidak ada waktu lagi. Gilang dan kedua temannya pun mengetahui bahaya maut yang tengah mengancam rekannya ini. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, hampir berbarengan mereka melesat untuk menolong. Tapi...

Jrebbb...! Trisula milik laki-laki berompi kuning, telah lebih dulu menghunjam dalam di perut murid yang sial itu. Darah pun bermuncratan dari luka yang menganga lebar ketika trisula itu dicabut kembali.

Brukkk! Suara berdebuk keras terdengar, begitu tubuh laki-laki berambut merah ambruk di tanah. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Kemudian diam tidak bergerak lagi. Bertepatan dengan robohnya tubuh murid yang sial itu, serangan Gilang dan rekan-rekannya menyusul tiba. Kembali trisula di tangan laki-laki berompi kuning itu berkelebat.

Tranggg, tranggg, tranggg...!

Suara berdentangan nyaring terdengar. Bunga-bunga api pun memercik ke udara, diikuti dengan berpentalannya senjata murid-murid Perguruan Kumbang Merah. Karena tangan yang menggenggam senjata terasa lumpuh! Tapi tindakan laki-laki berompi kuning itu tidak hanya sampai di situ saja. Trisulanya kembali berkelebat. Dan....

Crattt, crattt, crattt!

Darah segar bermuncratan ketika trisula merobek perut dan dada, serta leher Gilang dan kawan-kawannya. Suara jerit memilukan terdengar saling susul. Jeritan kematian. Seketika itu juga, tubuh Gilang dan kawan-kawannya ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Luar biasa! Hanya dalam segebrakan saja, ketiga murid Perguruan Kumbang Merah itu telah menggeletak tanpa nyawa.

Baru saja Gilang dan kedua rekannya melepas nyawa, muncul sembilan murid Perguruan Kumbang Merah lainnya. Memang sejak mendengar hiruk-pikuk hancurnya pintu gerbang, mereka telah bergegas memburu ke arah asal suara. Tapi, karena jarak yang agak jauh, kedatangan mereka terlambat. Apalagi, para murid penjaga pintu gerbang itu tewas hanya dalam segebrakan!

Begitu tiba, sembilan orang murid Perguruan Kumbang Merah langsung terpaku. Menatap ke arah mayat-mayat saudara seperguruan mereka yang bergeletakan tanpa nyawa. Tapi hanya sesaat saja, kemudian telah berganti dengan perasaan marah dan dendam yang berkobar-kobar.

"Iblis! Kau harus menebus semua ini dengan nyawamu!" seru seorang murid yang berwajah bopeng.

"Ha ha ha...!" Laki-laki berompi kuning itu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang penuh ejekan. "Majulah kalian semua!"

"Kawan-kawan...! Serbu...! Kita cincang iblis ini!" seru murid yang berwajah bopeng itu lagi seraya bergerak mendahului menyerang.

Tentu saja kawan-kawannya tidak tinggal diam. Mereka pun meluruk menyerang tamu tak diundang ini sambil berteriak-teriak penuh kemarahan. Tapi Laki-laki berompi kuning itu hanya tersenyum mengejek. Jelas kalau dia memandang rendah murid-murid Perguruan Kumbang Merah. Baru setelah serangan-serangan itu menyambar dekat, tubuhnya menyelinap di antara hujan senjata lawan-lawannya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit bagi laki-laki berompi kuning itu untuk melakukannya.

Begitu berhasil mengelakkan diri, laki-laki berompi kuning itu lalu melancarkan serangan balasan. Trisula di tangannya berkelebatan cepat mencari-cari sasaran. Hebatnya, setiap kali senjatanya berkelebat, sudah dapat dipastikan ada seorang murid Perguruan Kumbang Merah yang roboh. Suara jerit kematian terdengar saling susul. Sampai akhirnya, tidak ada lagi seorang pun yang masih hidup.

"Biadab...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring penuh kegeraman. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh, yang kemudian hinggap di depan laki-laki berompi kuning itu.

Laki-laki berompi kuning tersenyum sinis. Sepasang matanya menatap orang yang berdiri di hadapannya lekat-lekat. Dilihatnya seorang pria bertubuh tegap, berwajah gagah, berkumis dan berjenggot rapi, berdiri di hadapannya. Usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya, seperti juga pakaian murid-murid Perguruan Kumbang Merah lainnya, berwarna merah. Inilah Ketua Perguruan Kumbang Merah. Suntara namanya.

Sepasang mata Suntara merayapi sekitarnya. Terdengar suara gemeletuk dari mulutnya. Ketua Perguruan Kumbang Merah ini merasa geram, ketika melihat belasan muridnya bergelimpangan tumpang tindih tanpa nyawa. Murid-murid yang telah bertahun-tahun dididiknya dengan susah payah.

Perguruan Kumbang Merah memang terbilang sebuah perguruan silat yang kecil. Jumlah murid-muridnya hanya belasan orang. Dan sama sekali belum punya murid-murid kepala. Jadi, Suntaralah yang turun tangan mendidiknya sendiri.

"Bagaimana, Suntara?" tanya laki-laki berompi kuning seraya menyunggingkan senyum mengejek.

Ketua Perguruan Kumbang Merah menggertakkan gigi. Kemarahannya semakin meluap mendengar ucapan itu. Dengan sekuat tenaga, ditahannya amarah yang hampir meledak. Sekujur tubuh laki-laki berkumis dan berjenggot rapi ini, nampak menggigil menahan kemarahan yang amat sangat.

"Siapa kau, Keparat Keji?! Mengapa membantai semua muridku?!" suara Suntara terdengar bergetar. Ada nada ancaman dalam ucapannya.

"He he he...!" laki-laki berompi kuning itu terkekeh pelan. "Kau lupa padaku, Suntara?"

Wajah Suntara seketika berubah. Ketua Perguruan Kumbang Merah ini mengernyitkan dahi, mencoba mengingat-ingat sesuatu. Suara orang ini sepertinya memang pernah didengar dan dikenalnya. Tapi, dia lupa kapan dan di mana. Amarah yang sudah bergelora, membuatnya sulit berpikir.

"Aku tidak peduli siapa kau, Keparat! Yang jelas kau harus menebus nyawa semua muridku!" tegas Suntara tandas.

"Kau telah jadi pikun sebelum tua, Suntara. Seharusnya bukan kau yang mengucapkan perkataan itu. Tapi aku!" tegas laki-laki berompi kuning itu keras.

Lenyap sudah tawanya. Rupanya ucapan Ketua Perguruan Kumbang Merah membuat dia teringat pada maksud kedatangannya ke sini!

"Katakan siapa kau sebenarnya, sebelum hilang kesabaranku!" sambut Suntara tak sabar. Kemarahannya hampir tidak bisa ditahan lagi.

"Aku Wisanggeni! Asalku Desa Babut!" sahut laki-laki berompi kuning itu keras.

"Wisanggeni...? Desa Babut?!" gumam Suntara dengan wajah berubah hebat. Jelas kalau ucapan laki-laki yang mengaku bernama Wisanggeni itu membuatnya terkejut. Ingatannya langsung melayang pada kejadian belasan tahun silam di desa kelahirannya, Desa Babut, yang membuat keluarganya pindah dari desa itu. Dulu, di desa itu, dia memang terkenal sebagai orang yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.

"Ya. Aku, Wisanggeni!" sahut laki-laki berompi kuning itu menegaskan. "Aku datang untuk membalas kematian kakakku di tanganmu!"

"Kakakmu memang layak mati, Wisanggeni!" sergah Suntara tak kalah keras. "Dia telah menodai adikku!"

"Menodai?!" ejek Wisanggeni sinis. "Adikmu memang sudah bukan gadis lagi saat berkenalan dengan kakakku. Dan..., semua peristiwa itu pun terjadi karena kebinalan adikmu sendiri!"

"Keparat! Kau harus mampus di tanganku!" bentak Ketua Perguruan Kumbang Merah keras. Setelah berkata demikian, Suntara mencabut senjata andalannya. Sepasang tombak pendek berwarna hitam mengkilat yang sejak tadi ditancapkan di tanah.

Wuk, wuk, wuk...! Angin menderu cukup keras, begitu Ketua Perguruan Kumbang Merah memutar sepasang tombaknya laksana baling-baling hingga lenyap bentuknya. Terdengar suara mengaung keras begitu tombak itu diputar. Melihat Suntara sudah mulai memainkan jurus-jurus mautnya, maka Wisanggeni tidak bersikap main-main lagi. Trisula di tangannya pun diputar-putar di depan dada sehingga mengeluarkan suara mengiuk nyaring.

"Hiyaaa...!" Suntara berteriak nyaring seraya cepat menusukkan tombak pendek di tangan kanannya ke arah perut. Sementara tombak yang satu lagi, disilangkan di depan dada. Berjaga-jaga bila lawan mengirimkan serangan balasan.

Wunggg!

Suara mengaung terdengar cukup keras, begitu tombak itu meluncur deras menuju sasaran. Wisanggeni yang ingin melihat dulu perkembangan ilmu lawannya, tidak langsung menangkis. Tapi segera melangkahkan kakinya ke kanan, sehingga ujung tombak itu lewat setengah jengkal di samping kiri pinggangnya. Dan pada saat yang bersamaan, Wisanggeni segera menusukkan trisulanya ke leher Suntara. Ketua Perguruan Kumbang Merah yang memang sudah menduga hal itu, tidak menjadi gugup. Tombak yang berada di tangan kiri segera digerakkan untuk menangkis.

Tranggg!

Keras bukan main benturan kedua senjata itu. Bunga-bunga api pun sampai memercik ke sana kemari. Suntara terperanjat kaget ketika merasakan sekujur tangannya tergetar hebat. Hampir-hampir tombaknya lepas dari genggaman. Bahkan bukan hanya itu saja, tubuhnya pun sampai terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sementara Wisanggeni sama sekali tidak bergeming.

"Ha ha ha...!" Wisanggeni tertawa terbahak-bahak melihat keunggulannya. "Ajalmu hampir tiba, Suntara!"

Ketua Perguruan Kumbang Merah ini menggertakkan gigi. Tanpa mempedulikan ejekan lawannya, laki-laki berkumis dan berjenggot rapi ini segera melompat, dan kembali menyerang dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Hanya dua pilihan yang ada dalam benaknya. Membunuh atau dibunuh!

Tapi bukan hanya Suntara saja yang mempunyai tekad begitu. Wisanggeni pun mempunyai tekad serupa. Maka tak aneh jika laki-laki berompi kuning ini mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Pertarungan sengit dan mati-matian pun tidak bisa dihindarkan lagi.

Sementara itu dari balik pintu sebuah bangunan yang daun pintunya sedikit terbuka, nampak beberapa kepala mengintai ke arah pertarungan. Kepala seorang laki-laki setengah tua bermata juling. Seorang anak lelaki berusia dua belas tahun berpakaian coklat, dan seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun berpakaian biru.

"Apakah ayah mampu mengalahkan orang jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian coklat pada laki-laki bermata juling. Laki-laki setengah tua yang sebenarnya bernama Wijaya itu menoleh. Dia adalah pelayan sekaligus pengasuh anak majikannya.

"Entahlah, Den Wuraji. Aku khawatir sekali. Tampaknya orang jahat itu memiliki kepandaian amat tinggi...," sahut Wijaya setengah mendesah. Raut kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya.

"Jadi..., ayah akan kalah, Paman?" tanya anak berpakaian coklat yang ternyata bernama Wuraji. Nada suara dan wajahnya menyorotkan ketidak-percayaan. Memang, bocah ini tidak percaya kalau ayahnya akan kalah. Selama ini dia menganggap ayahnya adalah orang yang paling sakti di jagat ini!

"Aku tidak tahu, Den," Wijaya menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita berdoa agar ayah Aden bisa mengalahkan penjahat itu."

Wuraji tidak menyahuti ucapan pengasuhnya. Pandangannya dilayangkan ke arah pertempuran. Baru kali ini dia melihat ayahnya bertarung. Dan bocah kecil ini merasa kagum sekali. Wuraji yakin kalau ayahnya akan menang. Ayahnya sangat sakti, ucapnya dalam hati penuh rasa bangga. Tapi Wuraji sama sekali tidak tahu kalau ayahnya tengah berada dalam cengkeraman maut.

Memang pada jurus-jurus awal, pertarungan antara kedua orang itu berjalan imbang. Tapi, begitu menginjak jurus ke lima belas, Ketua Perguruan Kumbang Merah itu mulai terdesak Dan seiring dengan semakin lamanya pertarungan, keadaan Suntara kian terdesak hebat. Ruang gerak permainan sepasang tombak pendeknya semakin lama semakin menyempit. Suntara hanya mampu mengelak dan bertahan. Hanya sesekali saja dia mampu balas menyerang.

"Hiaaat..!" Tiba-tiba Wisanggeni berteriak nyaring. Trisulanya berputar cepat di depan dada. Kemudian masih dengan gerakan berputar, trisula itu melesat ke arah perut Suntara.

Wunggg...! Suara mengaung keras mengiringi tibanya serangan trisula.

Hati Suntara tersekat karena senjata yang berputaran itu membuatnya bingung bukan main. Sepasang matanya jadi berkunang-kunang. Meskipun begitu, Ketua Perguruan Kumbang Merah ini berusaha keras menyelamatkan selembar nyawanya. Jalan satu-satunya hanya menangkis. Dan itulah yang sekarang dilakukannya. Kedua tombak pendeknya disilangkan di depan dada.

Trang, trang...!

"Uh...!" Suntara mengeluh tertahan. Sepasang tombak pendeknya seketika terlepas dari genggaman. Serangan trisula yang berputar seperti orang mengebor itu, membuatnya mati kutu. Dan sebelum Ketua Perguruan Kumbang Merah ini sempat berbuat sesuatu, trisula yang masih berputaran terus meluncur ke arah perutnya.

Crattt, crattt...!

Darah segar bermuncratan dari perut yang koyak-koyak dibor trisula. Seketika itu juga tubuh Suntara terjengkang ke belakang disertai jeritan menyayat yang keluar dari mulutnya. Tapi tindakan Wisanggeni tidak hanya sampai di situ saja. Trisula di tangannya kembali melesat. Kali ini ke arah leher. Meluncur deras, tanpa berputaran lagi. Dan....

Crasss!

Seketika kepala Suntara terlepas dari leher, begitu ujung trisula mengenai sasaran. Tanpa bersuara lagi, tubuhnya roboh ke tanah. Nyawa Ketua Perguruan Kumbang Merah melayang saat itu juga.

"A.... Hps...!"

Wijaya cepat-cepat mendekap mulut Wuraji, sebelum bocah lelaki itu sempat menjerit ketika melihat ayahnya tewas di tangan Wisanggeni. Pada saat yang sama, tangan yang satunya lagi menepuk tengkuk gadis kecil berpakaian biru. Perlahan saja kelihatannya, tapi hebatnya, gadis kecil itu langsung pingsan. Dan sekali tangan pelayan ini bergerak menekan tengkuk Wuraji, seketika itu juga putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini pingsan. Kemudian dengan langkah hati-hati tapi bergegas, Wijaya segera meninggalkan tempat itu.

Pelayan setia ini bergerak cepat menuju ke dapur, sambil memondong tubuh kedua anak itu di bahunya. Dia harus memburu waktu, kalau tidak ingin didahului laki-laki berompi kuning. Sesampainya di dapur, Wijaya segera menekan ke bawah batang obor yang tertempel di dinding.

Grrrkkk...! Terdengar suara berderak keras yang disusul dengan bergesernya salah satu dinding dapur. Dan di balik dinding, terlihat sebuah tangga batu yang menuju ke bawah. Tanpa ragu-ragu Wijaya segera menuruni anak tangga batu. Dan begitu laki-laki bermata juling ini melangkah masuk, tiba-tiba pintu ruangan itu tertutup kembali. Wijaya melangkahkan kakinya perlahan-lahan menuruni anak tangga.

Cukup lama juga dia bergerak turun, sebelum akhirnya tidak ada lagi anak tangga. Tangga itu ternyata berakhir di sebuah ruangan yang cukup luas. Berkat lampu obor yang terpasang di dinding-dinding ruangan bawah tanah ini, Wijaya dapat melihat cukup jelas suasana di sekitarnya. Ternyata hanya ada sebuah jalan yang ada di ruangan ini. Jalan yang berbentuk sebuah lorong panjang.

Untuk yang kesekian kalinya, tanpa ragu-ragu Wijaya menempuhnya. Berjalan melalui lorong yang panjang dan lengang. Agak meremang juga bulu kuduk laki-laki bermata juling ini melihat suasana yang cukup seram itu. Hanya kesunyian yang melingkupi suasana lorong. Yang terdengar hanyalah desah napas Wijaya yang memburu, dan detak suara langkahnya di lantai. Entah sudah berapa lama dia berjalan, Wijaya tidak tahu pasti. Yang dia tahu, kedua kakinya telah hampir tidak kuat lagi melangkah, ketika akhirnya mengetahui lorong itu berakhir di sebuah pintu.

Kriiittt...! Suara berderit tajam dan nyaring bergema di sepanjang lorong, tatkala Wijaya membuka pintu. Ternyata di balik pintu itu tidak ada jalan lagi. Yang ada hanyalah ruang kecil berukuran satu tombak kali satu tombak. Yang pertama kali dilihat pelayan setia berpakaian serba hitam ini adalah sebuah tangga kayu yang menjulang ke langit-langit ruangan. Wijaya mengedarkan pandangannya ke setiap tudut ruangan.

Seketika wajahnya berseri-seri ketika melihat sebuah pot bunga bertengger di sudut. Bergegas dia melangkahkan kakinya menghampiri. Lalu membungkukkan tubuhnya dan meletakkan kedua bocah yang dipanggulnya di tanah. Baru setelah itu laki-laki bermata juling ini memegang pot dengan kedua tangan. Kemudian memutarnya ke kanan.

Grrrrggghhh...!

Sesaat kemudian terdengar suara berderak keras, yang membuat dinding-dinding dan atap ruangan bergetar. Sesaat kemudian, di atap ruangan, tepat di bawah tangga, terpampang sebuah lubang bergaris tengah setengah tombak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wijaya segera menaiki anak-anak tangga sambil membawa tubuh kedua bocah itu satu persatu. Tak lama kemudian, laki-laki bermata juling ini telah berada di atas.

Wijaya memandang ke sekelilingnya. Yang tampak hanyalah kelebatan pepohonan dan rerimbunan semak-semak. Rupanya pelayan setia ini telah berada di dalam sebuah hutan. Laki-laki bermata juling ini lalu memutar sebuah gundukan batu. Seketika itu pula, salah sebuah kelompok rerimbunan semak bergerak. Sesaat kemudian, lubang tadi telah tertutup rerimbunan semak-semak.

"Uhhh...!" Terdengar suara keluhan. Wijaya menolehkan kepalanya. Dilihatnya Wuraji mulai siuman. Putra almarhum Ketua Perguruan Kumbang Merah ini mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak.

"Uhhh...!" Kembali terdengar keluhan lirih, yang disusul dengan mengeriap-ngerjapnya sepasang mata bening milik gadis kecil berpakaian biru.

"Syukurlah, kalian sudah sadar...," ucap Wijaya sambil memandang wajah kedua anak itu bergantian.

"Di mana kita, Paman?" tanya gadis berpakaian biru sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi yang dilihatnya hanya rerimbunan semak dan pepohonan yang lebat.

"Di sebuah tempat yang aman, Marni," jawab Wijaya, seraya menatap wajah gadis kecil berpakaian biru yang ternyata bernama Marni.

"Ayah...," desah Wuraji lirih ketika teringat kembali pada semua kejadian yang dilihatnya. Memang, sejak siuman, anak berpakaian coklat ini tercenung. Sepasang matanya nampak merembang berkaca-kaca. Bahkan kedua bibirnya terlihat gemetar. Jelas kalau bocah laki-laki ini dilanda perasaan sedih yang amat sangat. Hanya kekerasan hatinya saja yang membuat dia tidak menitikkan air mata.

"Kuatkanlah hatimu, Den," hibur Wijaya seraya menatap wajah bocah di hadapannya penuh rasa haru. Laki-laki bermata juling ini dapat merasakan betapa sedih dan terpukulnya hati anak tunggal majikannya ini. Karena Wijaya tahu kalau selama ini Wuraji amat mengagumi ayahnya. Wuraji menganggap ayahnya adalah orang yang paling sakti. Bagaimana hatinya tidak terpukul? Dengan mata kepala sendiri, bocah itu melihat ayah yang sangat dikaguminya tewas terbunuh!

"Aku sama sekali tidak menyangka kalau Paman adalah seorang pengecut! Bahkan Paman telah membawa-bawa aku menjadi seorang pengecut! Melarikan diri dari musuh yang telah membunuh ayah dan menghancurkan perguruan!"

Dengan berapi-api, Wuraji mencela pelayannya. Sepasang matanya menatap penuh penyesalan pada laki-laki bermata juling di hadapannya.

"Aku lebih suka mati bersama ayah daripada menjadi seorang pengecut seperti ini!" Keras dan tajam sekali ucapan yang keluar dari mulut bocah berpakaian coklat ini.

Seketika itu juga wajah Wijaya merah padam. Kalau saja tidak mengingat orang yang mencelanya adalah putra tunggal majikannya, mungkin sudah ditamparnya mulut itu. Dia bukanlah seorang pengecut! Dan paling tidak suka dimaki seperti itu.

"Wuraji...!" tegur Marni seraya menatap tajam putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah itu. Gadis kecil ini kasihan pada Wijaya yang dimaki sekasar itu.

"Tutup mulutmu...! Ini bukan urusan anak perempuan!" bentak Wuraji kasar.

Seketika wajah Marni memucat. Kontan dia terdiam. Agak heran juga hatinya mendengar kata-kata kasar yang dilontarkan Wuraji barusan. Biasanya setiap kali ditegur, Wuraji akan mengalah. Tapi kali ini, bocah itu malah membentaknya. Melihat kejadian itu, Wijaya segera mengelus rambut Marni dan menganggukkan kepalanya. Gadis kecil ini segera tahu apa arti anggukan itu. Dia disuruh diam, dan tidak usah ikut campur.

"Hhh...!" Wijaya hanya dapat menghela napas berat. Laki-laki bermata juling ini memaklumi mengapa anak yang biasanya sopan dan hormat kepadanya, dan pengalah kepada Marni, kini bicara sekasar itu. Wijaya tahu kalau hati Wuraji masih terguncang hebat dengan kejadian yang baru saja dilihatnya.

"Kau salah sangka, Den," sahut Wijaya dengan suara berdesah. "Asal kau tahu saja, Den. Semua ini kulakukan atas perintah ayahmu. Kau tahu, kalau menuruti perasaan, aku lebih suka tewas bersama-sama yang lain. Tapi, aku juga tidak berani menolak perintah. Walau dengan hati berat, terpaksa kusanggupi perintah ini...."

''Tidak mungkin!" bantah Wuraji cepat dan dengan suara keras. ''Tak mungkin ayah memberi perintah seperti itu!"

"Dengar dulu penjelasanku, Den," sahut Wijaya tetap sabar. Wuraji pun terdiam seketika. "Ayahmu punya banyak alasan untuk menyuruhku berbuat seperti ini."

Wijaya menghentikan ucapannya sejenak. Menghela napas panjang seraya melihat tanggapan anak berpakaian coklat ini. Tapi Wuraji tetap diam saja.

"Ayahmu tahu kalau musuh yang datang tadi memiliki kepandaian amat tinggi. Dan dia tidak yakin dapat mengalahkannya. Maka dia berpesan padaku, apabila sesuatu terjadi pada dirinya, aku harus cepat menyelamatkanmu dan Marni. Ayahmu tidak ingin kau mati percuma, Den! Dan untuk itu, ayahmu telah memberitahu jalan rahasia untuk membawamu kabur."

"Tapi, aku tidak takut mati!" selak Wuraji keras. Wijaya tersenyum getir.

"Ayahmu juga tahu hal itu, Den. Demikian pula aku. Oleh karena itu, ayahmu telah menyuruhku. Yahhh..., kalau memang terpaksa, aku diijinkan menggunakan kekerasan untuk membawamu pergi."

Wuraji menurup wajahnya yang pucat pasi dengan kedua telapak tangannya. Beberapa saat lamanya anak berpakaian coklat ini berbuat seperti itu. "Mengapa ayah berbuat seperti itu....?" keluh putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah ini lirih. Seperti berbicara pada dirinya sendiri. Perlahan-lahan kepalanya diangkat kembali.

"Karena ayahmu ingin kau selamat, Den," sahut Wijaya cepat.

"Aku tahu itu, Paman," sergah Wuraji. Masih dengan nada tinggi. "Tapi untuk apa?!"

"Karena ayahmu tidak ingin kau mati sia-sia, Den. Ayahmu menginginkan kau memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi darinya. Baru setelah itu, kau boleh menghadapi musuh tadi!"

"Jadi...," sepasang mata Wuraji terbelalak.

"Ya! Setelah kau memiliki ilmu kepandaian tinggi, baru kau bisa membalaskan sakit hati ayah dan juga kakak-kakak seperguruanmu! Kalau bukan kau, lalu siapa lagi yang akan membalaskannya. Itulah sebabnya, ayahmu memerintahku untuk menyelamatkanmu...''

Kini Wuraji mulai mengerti. Maksud ayahnya memang benar! Untuk apa dia ikut melawan, kalau akhirnya hanya akan mengantar nyawa sia-sia! Perlahan-lahan emosinya pun mulai reda.

"Tapi, apakah ada orang yang memiliki kepandaian tinggi selain ayah, Paman?" tanya bocah berpakaian coklat itu beberapa saat kemudian.

Wijaya tersenyum lebar. "Dunia sangat luas, Den. Orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi tak terhitung jumlahnya. Mudah-mudahan saja kau bernasib baik. Menemukan tokoh sakti yang bersedia menjadikanmu sebagai muridnya."

"Tapi..., apakah orang itu memiliki kepandaian melebihi ayah, Paman?"

"Perlu kau ketahui, Den. Orang yang memiliki kepandaian melebihi ayahmu tidak sedikit jumlahnya di dunia ini. Salah satu contohnya adalah pembunuh ayahmu. Jadi, kau tidak perlu khawatir." Wijaya menjelaskan dengan sabar. Hatinya menjadi lega melihat Wuraji sudah bisa ditenangkan.

"Lalu..., ke mana kita harus mencari orang sakti itu, Paman?" tanya Wuraji lagi. Nada suaranya menyiratkan keragu-raguan.

Seketika itu juga Wijaya terdiam. Ya, ke mana dia harus mencari orang sakti? Dan andaikata sudah bertemu, belum tentu orang itu bersedia mengambil Wuraji sebagai murid. "Aku juga tidak tahu, Den. Tapi yang jelas, aku akan berusaha. Kalau perlu kita datangi perguruan-perguruan silat aliran putih yang besar dan ternama."

Wuraji menganggukkan kepalanya. Kini wajahnya mulai berseri-seri. Begitu pula Marni yang sejak tadi hanya diam mendengarkan tanpa berkata-kata. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, Paman? Mart kita cari orang sakti itu!" ucap Wuraji penuh semangat seraya bergegas bangkit.

"Mari, Den," sahut Wijaya seraya menggandeng tangan kedua anak itu. Wuraji di kiri dan Marni di kanan. Baru setelah itu, dilangkahkan kakinya, menerobos rerimbunan semak dan pepohonan yang lebat.

Wuraji dan Marni melangkah penuh semangat. Ucapan Wijaya benar-benar membuat semangat mereka bangkit. Kini kedua anak itu sudah punya tujuan. Mencari orang-orang sakti untuk berguru. Lega hati Wijaya melihat kedua anak itu mulai melupakan kesedihannya. Meskipun begitu, ada perasaan tidak tenang yang menyelimuti hatinya. Ke mana dia harus mencari orang sakti untuk guru kedua anak ini?

Tapi, laki-laki bermata juling ini tidak ingin menampakkan kecemasan hatinya. Justru perasaan gembiranya yang ditonjolkan. Setelah menerobos rerimbunan semak-semak dan pepohonan, dihadapan ketiga orang ini terpampang sebuah sungai yang lebar dan cukup deras arusnya. Wijaya mengedarkan pandangannya ke sepanjang aliran sungai.

Sepasang matanya berbinar. Wajahnya pun berseri tatkala melihat sebuah rakit terapung di pinggir sungai. Dengan langkah penuh semangat, masih tetap menggandeng tangan Wuraji dan Marni, laki-laki bermata juling ini bergegas melangkah menuju rakit itu.

* * * * * * * *

DUA

Wijaya, Marni, dan Wuraji segera menaiki rakit. Dan begitu semua telah berada di atasnya, Wijaya mengayuh rakit itu menuju seberang. Dengan menggunakan sebatang bambu panjang, laki-laki bermata juling itu berusaha melawan derasnya arus sungai. Karena tenaga yang mendorong rakit itu tertalu lemah, ditambah lagi derasnya arus sungai, meskipun rakit itu sedikit demi sedikit dapat menuju ke seberang, tapi arahnya tidak lurus, melainkan miring.

"Paman! Awas...!" Wuraji yang berada di pinggir, terkejut ketika melihat tak jauh di samping kiri rakit terdapat batu besar yang menonjol di permukaan sungai. Dan rakit itu bergerak menuju ke situ.

Wiyaya terkejut bukan main mendengar teriakan putra tunggal majikannya. Dengan sekuat tenaga, dia mengayuh rakit itu menghindari batu yang menonjol. Seluruh urat-urat tangan dan wajahnya menggembung ketika berusaha membelokkan arah rakit. Tapi....

Brakkk...!

"Paman..!" Wuraji berteriak keras ketika tubuhnya terlempar ke sungai. Benturan yang terjadi antara rakit dan batu besar begitu keras, sehingga Wuraji yang tengah berada di pinggir, tidak mampu mempertahankan keseimbangan tubuhnya.

Byurrr...! Air memercik ke atas ketika tubuh putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah itu jatuh ke sungai.

"Den Wuraji...!"

"Wuraji...!"

Hampir berbareng Wijaya dan Marni menjerit keras melihat bocah berpakaian coklat itu terpental ke dalam sungai, dan langsung terseret arus yang deras. Tanpa pikir panjang lagi, Wijaya segera terjun ke sungai. Pelayan setia ini tidak mengkhawatirkan nasib Marni. Karena yakin kalau anak perempuan itu tidak akan tertimpa bahaya apa-apa. Wijaya berpikir secara biasa. Rakit itu tersangkut di batu besar yang menonjol di permukaan sungai, sehingga tidak bisa bergerak ke sana kemari lagi walaupun arus sungai terus-menerus mendorongnya.

Byurrr...! Air sungai kembali memercik ke atas ketika tubuh Wijaya melayang ke arah sungai. Kali ini percikannya lebih tinggi dari sebelumnya. Marni yang tetap tinggal di atas rakit, berpegangan kuat-kuat. Gadis kecil ini berharap agar Wijaya berhasil menyelamatkan Wuraji. Ngeri hatinya membayangkan temannya itu tewas dibawa arus sungai.

"Den Wuraji...! Di mana kau...?!" teriak Wijaya begitu kepalanya muncul di permukaan sungai, setelah terbenam beberapa saat lamanya. Diam-diam laki-laki bermata juling ini terkejut bukan main tatkala merasakan kuatnya arus sungai. Wijaya menunggu sejenak. Tapi sama sekali tidak terdengar sahutan dari anak berpakaian coklat itu.

Dengan jantung berdetak keras, pandangannya diedarkan ke seluruh permukaan sungai. Hatinya mencelos ketika tidak melihat adanya Wuraji. Tidak ada kemungkinan lain, Wuraji pasti terseret arus sungai. Begitu kesimpulan laki-laki bermata juling ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera Wijaya kembali menyelam dan berenang mengikuti arus.

Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari. Barangkali saja dapat menemukan anak tunggal mendiang majikannya. Air sungai itu memang jernih, sehingga pelayan setia ini dapat melihat keadaan di sekitarnya dengan jelas. Wijaya terus berenang mengikuti arus sungai. Sama sekali dia tidak menyadari kalau semakin lama, arus sungai semakin deras.

"Den...! Di mana kau...?!" Wijaya kembali berseru keras, ketika untuk yang kesekian kalinya kepalanya muncul di permukaan air. Sepasang matanya terus menatap berkeliling. Hati Wijaya tersekat begitu merasakan arus sungai yang semakin deras. Apalagi ketika pendengarannya yang tajam mendengar suara gemuruh di depannya. Sebagai seorang yang telah kenyang pengalaman, laki-laki bermata juling ini tahu apa sebenarnya suara gemuruh itu. Apalagi kalau bukan air terjun!

Sadar akan bahaya besar yang mengancam di depannya, Wijaya segera berbalik arah begitu menyadari dirinya terseret ke air terjun. Kembali hatinya tersekat ketika tak lagi melihat rakit beserta Marni yang tadi ditinggalkannya. Rupanya dia telah terlalu jauh dari tempat semula.

Kini Wijaya berusaha keras berenang melawan arus yang akan menyeretnya ke air terjun. Tapi, betapapun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja laki-laki bermata juling ini tidak mampu maju. Tubuhnya hanya bergerak di situ-situ saja.

Semakin lama tenaga Wijaya semakin lemah. Dan dengan sendirinya, perlahan-lahan mulai terbawa arus. Seiring dengan tubuhnya terbawa aliran sungai, tenaga arus yang menyeretnya pun semakin membesar. Sementara tenaganya sendiri semakin lemah. Tubuh laki-laki berpakaian hitam ini pun mulai terbawa arus. Meskipun begitu, Wijaya tidak putus asa. Tenaganya terus dikerahkan untuk melawan dorongan arus sungai, meskipun tubuhnya terus saja terseret. Tapi akhirnya Wijaya terpaksa mengalah. Tidak ada lagi tenaga yang dimilikinya untuk melawan arus sungai yang menyeretnya.

Sementara itu, agak jauh di depan Wijaya, Wuraji terus terseret cepat mendekati pinggir air terjun. Putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah ini memang sama sekali tidak bisa berenang. Maka seketika itu juga, tubuhnya hanyut terbawa arus yang deras itu.

Dalam keadaan setengah sadar, Wuraji mendengar suara panggilan pelayannya. Dia berusaha menyahut, tapi tidak mampu. Hanya suara mirip bisikan saja yang keluar dari mulutnya ketika dia berusaha menyahuti panggilan Wijaya. Bahkan, ketika tubuhnya telah berada di tepi air terjun, dan akhirnya jaruh ke bawah, Wuraji sama sekali tidak mampu berteriak. Tubuhnya melayang deras ke bawah. Siap untuk dicabik-cabik batu-batuan yang berada di bawah sana!

Di dasar air terjun, sekitar beberapa tombak dari tempat jatuhnya air, dua sosok tubuh tengah duduk bersila saling berhadapan. Keduanya duduk di sebongkah batu besar dan lebar yang menonjol di permukaan sungai. Yang satu berpakaian hitam, sedangkan yang satunya lagi berpakaian kulit ular. Sosok berpakaian hitam yang duduk menghadap jatuhnya air terjun terperanjat ketika melihat sesosok tubuh kecil meluncur deras dari atas.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, disertai teriakan nyaring, sosok bayangan hitam itu melesat cepat ke arah tubuh yang tengah melayang jatuh. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan hitam saja. Dan....

Tappp...! Luar biasa! Tubuh Wuraji berhasil ditangkap oleh sosok bayangan hitam itu, sebelum sempat terhempas ke batu-batuan di bawahnya. Kemudian dengan indah dan manis, sosok bayangan hitam itu melenting dan hinggap di atas salah satu baru yang menonjol di permukaan sungai.

Perasaan heran yang melanda hati sosok tubuh berpakaian kulit ular lenyap ketika melihat sosok bayangan hitam itu mendarat di batu-batuan dengan seorang anak dalam pondongannya. Memang, semula dia merasa heran tatkala melihat sosok bayangan hitam itu melesat meninggalkannya.

Sosok bayangan hitam itu kembali menggerakkan kakinya. Kelihatannya hanya melangkah perlahan saja. Tapi sekejap kemudian, tubuhnya sudah berada di sebelah sosok yang mengenakan pakaian kulit ular.

"Nasib bocah ini baik sekali, Ular Kaki Seribu," ucap sosok bayangan hitam seraya mengangsurkan Wuraji yang telah pingsan dalam pondongannya. Suaranya terdengar aneh. Kecil, tapi melengking tinggi, seperti suara seorang wanita. Sepasang matanya menatap wajah sosok berpakaian kulit ular yang ternyata adalah seorang laki-laki setengah baya.

Laki-laki itu bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan agak bungkuk. Wajahnya mirip wajah seekor kuda. Apalagi dengan adanya jenggot kasar, panjang dan jarang-jarang yang menghiasi dagunya. Pakaiannya terbuat dari kulit ular yang berwarna kuning keemasan.

"Yahhh...," sosok berpakaian kulit ular yang ternyata mempunyai julukan Ular Kaki Seribu hanya mendesah. "Dia akan jadi murid kita, Monyet Tanpa Bayangan."

Kini terlihat jelas kalau sosok hitam itu ternyata adalah seorang kakek kecil kurus berpakaian serba hitam. Pakaiannya yang hitam terbuat dari kulit beruang. Kakek kecil kurus yang berjuluk Monyet Tanpa Bayangan ini hanya terkekeh pelan. Kemudian merebahkan tubuh Wuraji di atas batu.

Ular Kaki Seribu memperhatikan wajah bocah berpakaian coklat mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Tampak jelas kalau kakek bertubuh tinggi kurus ini tengah menilai Wuraji. Setelah memperhatikan beberapa saat, kemudian Ular Kaki Seribu membungkukkan tubuh dan memegang-megang seluruh tulang-belulang Wuraji. Secercah senyum gembira menghias bibirnya. Kakek ini merasa puas ketika mengetahui kalau putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini memiliki bakat yang amat baik untuk dilatih ilmu silat.

"Bagaimana, Ular Kaki Seribu?" tanya Monyet Tanpa Bayangan meminta pendapat rekannya.

"Kurasa anak ini tidak memalukan kalau menjadi murid kita," jawab Ular Kaki Seribu.

Monyet Tanpa Bayangan tersenyum lega mendengar keputusan rekannya.

"Mari kita kembali," sahut Ular Kaki Seribu seraya bergerak meninggalkan tempat itu.

Tanpa banyak bicara, Monyet Tanpa Bayangan membungkuk, mengangkat tubuh Wuraji dan memondongnya. Kemudian membawanya melesat, menyusul rekannya yang telah berkelebat lebih dulu. Hebatnya, meskipun Ular Kaki Seribu bergerak lebih dulu, Monyet Tanpa Bayangan mampu memperpendek jarak. Bahkan membarenginya. Dan dengan berlari bersisian, kedua kakek ini bergerak ke arah air terjun. Lincah dan gesit laksana kera, kedua kakek itu berlompatan ke sana kemari.

Anehnya, Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan malah melesat ke arah air terjun. Mendadak langkah kaki kedua kakek ini terhenti ketika mendengar sebuah jeritan panjang menyayat hati. Hampir berbarengan keduanya mendongak ke atas. Tampak oleh mereka sesosok tubuh yang melayang jatuh, bersama dengan curahan air terjun. Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu hanya memperhatikan saja hingga sosok tubuh yang tak lain dari Wijaya jatuh ke dasar air terjun.

Terdengar suara berderak keras dari tulang-belulang yang patah ketika tubuh pelayan setia itu menghantam batu-batuan. Seketika itu juga nyawa Wijaya langsung lepas dari raganya. Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa, kedua kakek sakti ini kembali melanjutkan langkahnya. Dan begitu dekat dengan air terjun, Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu bergerak menerobosnya. Menerobos curahan air terjun!

Pyarrr...! Air yang tercurah dari atas berpentalan ke sana kemari tatkala tubuh kedua kakek itu menerobos. Ternyata di balik air terjun terdapat sebuah gua yang cukup besar. Inilah tempat tinggal Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. Lubang gua itu cukup besar. Garis tengahnya saja tak kurang dari dua tombak. Kedua kakek itu melangkah pelan ke dalam gua yang cukup lebar dan sedikit berliku. Di kanan kiri dindingnya tergantung obor, sehingga membuat suasana di dalam agak terang.

Monyet Tanpa Bayangan lalu merebahkan Wuraji di atas sebongkah batu pipih berbentuk persegi panjang seukuran balai-balai. Baru setelah itu, kakek kecil kurus berpakaian kulit beruang ini duduk bersila, di atas batu pipih dan lebar lainnya. Duduk berhadapan dengan Ular Kaki Seribu.

"Uhhh...!" Terdengar suara keluhan yang disusul dengan mengerjap-ngerjapnya kelopak mata Wuraji. Sesaat kemudian, setelah kesadarannya pulih, bocah berpakaian coklat ini lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya. Seketika itu juga pandangannya tertumbuk pada dua orang kakek yang tengah memperhatikan dirinya.

"Di manakah aku...?" tanya Wuraji lirih seperti pada diri sendiri. Sepasang matanya menatap berkeliling. Sementara benaknya sibuk berpikir keras. Mengingat-ingat semua kejadian yang dialaminya.

"Kau berada di tempat kami, Bocah," sahut Monyet Tanpa Bayangan sambil tersenyum.

"Di tempatmu, Kek?" Wuraji bertanya lagi meminta kepastian.

Kembali Monyet Tanpa Bayangan yang menjawab. Kepala kakek kecil kurus ini mengangguk pelan. "Ya, aku melihat tubuhmu jatuh dari air terjun. Kau segera kutangkap sebelum menghantam batu-batuan, dan kubawa ke sini,"

Monyet Tanpa Bayangan menjelaskan. Kini Wuraji mulai teringat dengan kejadian yang dialaminya. Dia telah terseret menuju tepi air terjun dan kemudian jatuh ke dasarnya. Bagaimana dengan nasib Marni dan Wijaya? tanya anak berpakaian coklat ini dalam hati.

''Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ucap Wuraji seraya bangkit dari berbaringnya.

"He he he...!" Hanya suara tawa terkekeh Monyet Tanpa Bayangan yang menyahuti ucapan terima kasih putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini.

"Siapa namamu, Bocah?" Ular Kaki Seribu mulai membuka suara.

"Wuraji, Kek," sahut anak berpakaian coklat itu cepat.

"Wuraji...," gumam Ular Kaki Seribu seraya mengelus-elus dagunya. "Begini, Wuraji. Hari ini kami tengah berbahagia. Karena telah berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu yang kami miliki. Dan karena rasa gembira, kami telah bersumpah, akan mengangkat murid pada orang yang pertama bertemu dengan kami. Kebetulan kaulah orang yang bernasib baik itu. Jadi, kaulah yang akan jadi murid kami."

Jantung Wuraji berdebar mendengar kata-kata itu. Sungguh sama sekali tidak diduga kalau dirinya akan begitu mudah mendapat guru. Tapi, masih ada yang dipikirkannya. Apakah tingkat kepandaian kedua kakek ini melebihi ayahnya. Kalau melebihi, dia pun bersedia menjadi murid. Tapi kalau tidak, dia akan menolak.

''Tapi, Kek. Aku hanya mau jadi murid orang yang memiliki kepandaian tinggi, Kek."

"Ha ha ha...." Monyet Tanpa Bayangan tertawa bergelak. "Kau pintar, Wuraji. Tapi akan kami penuhi permintaanmu. Nah, sekarang kau perhatikan baik-baik. Akan kami buktikan kalau kami pantas menjadi guru-gurumu."

Setelah berkata demikian, Monyet Tanpa Bayangan lalu menoleh. Jari telunjuknya ditudingkan ke arah sebatang obor yang tergantung di dinding. Jaraknya sekitar lima tombak dari tempatnya berdiri. "Mampukah kau mematikan obor itu dari sini, Wuraji?" tanya kakek kurus itu seraya menatap Wuraji.

"Tidak, Kek," Wuraji menggeleng, setelah memperhatikan obor sejenak. "Apakah Kakek bisa?"

''Tentu saja," sahut Monyet Tanpa Bayangan cepat. "Kau lihat ini...!" Setelah berkata demikian, kakek kecil kurus ini lalu mengepalkan tangan kanannya. Kemudian dipukulkan ke depan.

Wusss... Angin berhembus keras begitu Monyet Tanpa Bayangan memukulkan tangannya. Sesaat kemudian, api obor pun padam, tanpa meliuk-liuk lebih dahulu!

"Hebat...!" Wuraji memuji penuh kagum.

"He he he...!" Monyet Tanpa Bayangan terkekeh gembira mendengar pujian calon muridnya.

''Tapi, ilmu seperti itu tidak berguna untuk menghadapi musuh," sambung Wuraji seraya menghela napas panjang.

"Siapa bilang?!" Monyet Tanpa Bayangan mulai bangkit emosinya begitu mendengar ucapan itu. "Dengan gerakan seperti itu kau dapat membunuh lawan tanpa menyentuhnya!"

"Aku tidak percaya!" sergah Wuraji cepat dan berani. Memang, anak yang sudah yatim piatu ini memiliki keberanian luar biasa.

Monyet Tanpa Bayangan menjadi kesal melihat sikap yang ditunjukkan Wuraji. Tanpa banyak bicara, kepalan tangan kanannya kembali dipukulkan. Tapi sasaran kali ini adalah sebongkah batu sebesar anak kambing, yang berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya duduk bersila.

Wusss...!

Brakkk...! Batu itu langsung hancur berkeping-keping ketika pukulan jarak jauh kakek berpakaian kulit beruang itu menghantamnya. Pecahannya berpentalan ke segala arah.

Wajah Wuraji pucat seketika. Sama sekali tidak disangkanya kalau Monyet Tanpa Bayangan memiliki kepandaian begitu tinggi. Dia tahu betul kalau ayahnya sendiri pun tidak sanggup untuk melakukan hal seperti yang dilakukan kakek ini. Tanpa pikir panjang lagi, Wuraji segera memberi hormat.

"Guru...!" tanpa ragu-ragu lagi, putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini menyebut guru pada Monyet Tanpa Bayangan. Kakek kecil kurus ini tertawa terkekeh.

"Ular Kaki Seribu pun akan mengajarmu pula, Wuraji," jelas Monyet Tanpa Bayangan seraya menudingkan telunjuknya pada kakek bermuka kuda. "Dia memiliki kepandaian yang tidak kalah denganku."

"Guru...!" panggil Wuraji pula pada Ular Kaki Seribu.

Sejak saat itu Wuraji menjadi murid Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. Putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini sama sekali tidak tahu kalau orang yang menjadi guru-gurunya adalah tokoh-tokoh golongan hitam. Kedua kakek itu adalah pentolan-pentolan tokoh aliran sesat.

* * * * * * * *

TIGA

Krotok, krotok...! Suara berkerotokan keras terdengar memecahkan keheningan pagi di sebuah sungai di dasar air terjun. Suara itu ternyata berasal dari seorang pemuda yang tengah berlatih silat. Pemuda itu berdiri di atas sebongkah batu pipih dan lebar yang menonjol di permukaan sungai. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua tahun. Wajahnya tampan, tapi terlihat keras. Mungkin disebabkan oleh tulang rahangnya yang kokoh dan kuat.

Tubuhnya yang kekar dan penuh otot-otot melingkar lampak jelas, karena dia memang tengah bertelanjang dada. Menilik peluh yang telah membasahi sekujur wajah dan tubuhnya, bisa ditebak kalau pemuda berwajah tampan namun keras ini telah lama berlatih. Dan itu memang benar. Sejak pagi-pagi sekali, sebelum sang surya muncul di ufuk Timur, pemuda berwajah keras ini telah berlatih.

Kini, dia hampir menyelesaikan bagian terakhir latihannya. Ternyata suara berkerotokan keras tadi terdengar ketika pemuda tampan berwajah keras itu menarik kedua tangannya yang terkepal ke sisi pinggang. Perlahan-lahan tapi penuh tenaga, dia menarik kedua tangan yang terkepal dan saling bersilangan di depan dada. Kedua kakinya terletak sejajar, dengan kuda-kuda rendah.

"Hih!" Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, pemuda tampan berwajah keras itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Ke arah sebongkah batu sebesar anak kerbau yang terletak di pinggir sungai yang berjarak sekitar tiga tombak dari tempatnya berdiri. Wusss! Angin menderu keras. Debu-debu pun mengepul tinggi ke udara. Dan....

Blarrr!

Disertai suara hiruk-pikuk, batu besar itu hancur berkeping-keping. Pecahan-pecahannya berpentalan ke segala arah. Bahkan ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuhnya. Tapi, sama sekali tidak nampak ada tanda-tanda kalau dia merasa kesakitan.

"Phhh...!" Pemuda berwajah keras itu menghembuskan napas panjang. Perasaan puas tergambar jelas di wajahnya. Dengan punggung tangan, peluh yang membasahi keningnya segera dihapus.

"Ha ha ha...!" Terdengar suara tawa bergelak yang kasar begitu pemuda tampan berwajah keras itu selesai menghapus peluhnya. Tapi, sama sekali tidak nampak raut keterkejutan di wajahnya. Tenang saja dia membalikkan tubuh. Tampak sekitar tiga tombak di hadapannya, di seberang sungai, berdiri dua sosok tubuh.

"Guru...!" ucap pemuda berwajah keras itu seraya memberi hormat. Kedua kakinya saling bersilangan dengan tubuh agak direndahkan. Kedua tangannya saling bertemu di depan dada. Tangan kanan terkepal, sementara tangan kiri terbuka. Ujung jari-jari tangan kiri menghadap ke atas. Kedua tangannya didorong ke depan. Kemudian dikembalikan lagi ke depan dada.

"Bagus...! Rupanya kau telah menguasai 'Pukulan Penghancur Gunung', Wuraji," ucap salah seorang di antara dua orang itu. Dia bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan berwajah mirip kuda. Usianya sekitar enam puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari kulit ular berwarna kuning keemasan. Siapa lagi kalau bukan Ular Kaki Seribu?!

"Tidak percuma kami mengangkatmu sebagai murid, Wuraji," ucap kakek yang satunya lagi. Suaranya terdengar aneh. Kecil, tapi melengking, mirip suara wanita. Kakek ini bertubuh kecil kurus. Wajahnya terlihat pucat dan layu, seperti orang penyakitan. Pakaiannya yang berwarna hitam terbuat dari kulit beruang.

Masih tampak jelas kekasaran pakaian yang dikenakannya. Kakek itu tak lain dari Monyet Tanpa Bayangan. Sikap kedua kakek itu tampak liar, dan tidak menghiraukan sopan santun. Sepasang mata keduanya menyiratkan kekejaman yang tersembunyi. Memang dua orang kakek ini adalah pentolan-pentolan tokoh golongan hitam. Mereka terkenal memiliki kepandaian tinggi.

"Semua ini berkat bimbingan Guru berdua," ucap pemuda berahang kokoh yang ternyata bernama Wuraji. Pelan, lembut, dan sopan suaranya. Berbeda sekali dengan kedua gurunya yang berwatak kasar dan liar.

"Ahhh...!" sergah Ular Kaki Seribu. Keras dan kasar nada suaranya. "Sudah berkali-kali kukatakan, Wuraji. Buang semua sifat-sifat yang membuat kami muak itu. Bersikaplah seperti kami!"

"Kukira, ada baiknya kalau Wuraji kita suruh bergabung dengan Pati Gala, Ular Kaki Seribu," usul Monyet Tanpa Bayangan. "Barangkali kalau mereka bergaul bersama, sifat Wuraji akan berubah."

"Itu sudah kupikirkan, Monyet Tanpa Bayangan," sahut Ular Kaki Seribu.

"Pati Gala? Siapa dia, Guru?" tanya Wuraji seraya mengernyitkan alisnya. Jelas kalau pemuda berahang kokoh ini tidak mengenal orang yang disebutkan gurunya. Ditatapnya wajah kedua kakek itu berganti-ganti.

"Kami memang belum pernah menceritakannya padamu, Wuraji," ucap Ular Kaki Seribu.

"Maukah Guru memberitahukannya padaku?" pinta Wuraji.

"Memang, kami ingin memberitahumu. Dan harus memberitahumu!" Monyet Tanpa Bayangan ikut menimpali. "Pati Gala adalah murid kami sebelum kau, Wuraji," sambung Ular Kaki Seribu. "Jadi, dia adalah kakak seperguruanmu."

''Tapi, mengapa aku tidak pernah mengetahuinya, Guru?" tanya Wuraji lagi. Masih terdengar nada keheranan dalam suaranya.

"Karena kau jadi murid kami setelah dia pergi," lagi-lagi Monyet Tanpa Bayangan menyahuti.

Wuraji mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini pemuda berahang kokoh ini baru mengerti permasalahannya. "Jadi..., aku harus mencari kakak seperguruanku itu, Guru?" tanya Wuraji meminta kepastian. Ular Kaki Seribu menganggukkan kepalanya.

"Tapi, bagaimana aku bisa menemukan dia, Guru? Bukankah aku belum pernah bertemu dengan dia?! Dan..., andaikata bertemu pun, belum tentu dia akan mengenaliku."

"He he he...!" Ular Kaki Seribu hanya tertawa terkekeh-kekeh saja melihat muridnya kebingungan. "Kau cari saja orang yang berjuluk Siluman Tangan Maut. Aku yakin tidak akan sulit kau menemukan dia," Monyet Tanpa Bayangan yang menjawab pertanyaan muridnya. "Sedangkan pertanyaanmu yang lain, tidak perlu kujawab, Wuraji. Kau punya otak, bukan? Nah! Pergunakanlah otakmu!"

Wuraji terdiam seketika. "Kapan aku harus berangkat, Guru?" tanya Wuraji setelah terdiam beberapa saat.

''Terserah kau, Wuraji. Tapi, lebih cepat lebih baik!" sahut Ular Kaki Seribu tegas. Kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, diikuti Monyet Tanpa Bayangan. Kini yang tinggal hanya Wuraji.

"Hhh...!" Pemuda berahang kokoh ini menghela napas berat. Ada perasaan tidak enak di hatinya, melihat tingkah laku kedua gurunya. Tapi, bagaimana lagi? Guru-gurunya adalah tokoh-tokoh sesat persilatan. Hanya dia saja yang bernasib tidak begitu baik. Memiliki guru tokoh golongan hitam! Dan, menjadi pewaris ilmu tokoh sesat.

Akan tetapi Wuraji mengusir semua pikiran-pikiran itu. Dipusatkan perhatian untuk memenuhi tugas gurunya. Di samping itu juga, di dalam hatinya tersirat niat untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Dan juga mencari Marni dan Wijaya. Bagaimana keadaan mereka sekarang? Wuraji tidak pernah tahu. Walaupun sejak menjadi murid Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan, dia selalu memikirkan nasib kedua orang itu. Tapi apa dayanya? Kedua gurunya melarang dia mencari mereka. Tapi sekarang kesempatan itu terbuka. Dia telah bebas.

* * * * * * * *

Seorang pemuda berwajah tampan namun keras, dan berpakaian coklat melangkah pelan memasuki mulut hutan. Sebuah buntalan yang berisi pakaian tergantung di bahunya. Pemuda berahang kokoh ini menoleh ketika pendengarannya yang tajam, menangkap suara derak roda kereta di belakangnya. Ternyata agak jauh di belakang, dilihatnya sebuah rombongan berkuda.

Bergegas dia berjalan agak ke pinggir, agar tidak mengganggu jalannya rombongan itu. Semakin lama, rombongan kereta semakin dekat jaraknya dengan pemuda tampan berahang kokoh itu. Tak lama kemudian, rombongan kereta itu pun sudah menyusulnya.

Sekilas orang-orang yang berkuda paling depan memalingkan kepala. Menatap pemuda tampan berahang kokoh itu penuh perhatian. Pemuda itu pun balas menoleh. Sebentar saja. Bahkan hanya sekilas. Lalu tidak ambil peduli. Terus saja kakinya melangkah kian jauh ke dalam hutan. Iring-iringan berkuda itu ternyata adalah serombongan orang berkuda yang mengawal sebuah kereta. Di belakang, kanan, kiri, dan belakang kereta, empat orang berwajah dan bersikap gagah mengiringi.

Tampak jelas kalau orang-orang berkuda itu tengah mengawal kereta. Semakin lama, rombongan itu pun semakin jauh meninggalkan pemuda berpakaian coklat itu. Pemuda berahang kokoh itu terus memandangi rombongan itu hingga semakin jauh ke dalam hutan. Ada pertanyaan yang bergayut di benaknya. Siapakah gerangan orang yang ada di dalam kereta? Sehingga sampai dikawal oleh sekumpulan orang yang menilik dari gerak-geriknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tidak rendah.

Tapi pemuda berahang kokoh itu tidak ambil peduli. Terus saja dia melanjutkan perjalanannya. Kini tidak lagi perlahan-lahan seperti tadi, melainkan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Ternyata pemuda tampan berahang kokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Gerakannya cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kecoklatan yang melesat cepat menembus ke dalam hutan.

Pemuda berahang kokoh itu berlari tidak mengikuti jalan yang ditempuh rombongan kereta tadi. Tapi mengambil jalan pintas. Menembus rerimbunan pepohonan lebat. Bahkan tidak jarang harus berlompatan dari satu batang ke batang pohon lainnya. Gerakannya gesit dan lincah sekali. Tak ubahnya seekor kera.

Mendadak gerakannya terhenti ketika mendengar dentang suara senjata beradu di kejauhan. Cepat pemuda berbaju coklat ini berhenti sejenak dan mendengarkan lebih seksama. Mencoba mengetahui asal suara. Sesaat kemudian, pemuda berahang kokoh ini telah mengetahui asal suara. Cepat laksana kilat, kakinya. bergerak menuju ke sana sambil mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Berlompatan dari satu pohon ke pohon yang lain.

Tak lama kemudian, pemuda berahang kokoh ini berhasil menemukan penyebab suara keributan. Dari cabang sebatang pohon, pemuda itu melihat rombongan kereta yang tadi melewatinya telah berhenti, dan kini tengah terlibat pertarungan dengan serombongan orang-orang berwajah kasar. Beberapa saat lamanya pemuda berpakaian coklat itu kebingungan.

Meskipun sudah dapat menduga kalau rombongan itu dihadang oleh gerombolan orang kasar. Tapi dia masih belum dapat membedakan rombongan kereta dan rombongan penghadang. Tapi sesaat kemudian, pemuda berahang kokoh ini sudah bisa membedakan. Rombongan berkuda yang tadi mengawal kereta rata-rata berpakaian hijau muda.

Sementara para penghadang rata-rata mengenakan rompi. Sama sekali pemuda berpakaian coklat ini tidak tahu kalau dia bukan hanya berada di pihak yang mengintai. Tapi juga sedang diintai. Dua sosok yang berpakaian kulit ular dan hitam, tengah memperhatikannya dari cabang pohon lain. Dan ternyata bukan hanya sosok berpakaian hitam dan kulit ular saja yang memperhatikan. Tapi juga sepasang muda-mudi. Yang satu berpakaian ungu dan yang satu lagi berpakaian putih.

Sejenak pemuda berahang kokoh itu memperhatikan jalannya pertempuran. Sesaat kemudian, dia sudah tahu kalau kepandaian para pengawal kereta berkuda sebenarnya tidak kalah dibanding lawan-lawannya. Tapi karena jumlahnya kalah banyak, akhirnya mereka terdesak hebat. Satu orang pengawal berkuda, rata-rata menghadapi dua sampai tiga penghadang.

Beberapa sosok tubuh yang menilik dari pakaiannya adalah rombongan pengawal berkuda, sudah bergeletakan bersimbah darah di tanah. Dan jumlah korban di antara mereka semakin bertambah, ketika beberapa saat kemudian, terdengar jerit kematian melengking nyaring. Pemimpin rombongan yang berkumis melintang, marah bukan main melihat anak buahnya satu demi satu terbantai. Tapi, apa dayanya?

Dia sendiri tengah sibuk mempertahankan selembar nyawanya dari ancaman maut pimpinan rombongan penghadang. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan bersenjata sebatang golok besar. Laki-laki berkumis melintang ini menggertakkan gigi. Dan pedang di tangannya pun berkelebatan semakin cepat, berusaha merobohkan lawan secepat mungkin.

"Hiaaat...!" Seraya mengeluarkan bentakan nyaring, pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher. Tapi, pimpinan penghadang hanya tertawa bergelak. Dan sekali memiringkan kepala, tusukan pedang lewat di samping kepalanya. Dan pada saat yang sama, golok besar di tangannya disabetkan ke leher laki-laki berkumis melintang. Pemimpin rombongan kereta berkuda itu terkejut bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....

Crattt!

Ujung golok besar tadi tahu-tahu sudah menyerempet bagian atas dada kirinya. Dan seketika itu juga, darah segar merembes dari luka yang robek cukup lebar. Tapi tidak terdengar suara keluhan dari mulut laki-laki berkumis melintang itu. Belum lagi pemimpin rombongan pengawal ini sempat berbuat sesuatu, pimpinan penghadang yang bertubuh tinggi besar itu sudah melayangkan kakinya.

Bukkk! Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai perut laki-laki berkumis melintang. Seketika itu juga tubuhnya terjengkang ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah. "Haaat...!" Melihat lawannya tak berdaya, pimpinan pengha dang itu segera menubruk tubuh yang tertelentang di tanah, disertai pekikan melengking nyaring. Golok besar di tangannya, ditusukkan cepat ke arah perut lawannya.

Laki-laki berkumis melintang terkejut bukan main. Serangan itu datang begitu tiba-tiba. Sehingga tidak ada waktu lagi baginya untuk mengelak. Bahkan untuk menangkis pun sudah tidak sempat lagi. Pedangnya sudah terlempar entah ke mana ketika perutnya kena tendang. Kini yang dapat dilakukannya hanyalah berdiam diri, menanti datangnya maut. Tapi sebelum golok itu menghunjam perutnya, sesosok bayangan biru melesat cepat, memotong arah lompatan pemimpin rombongan penghadang itu.

Tranggg...!

Suara berdentang keras terdengar memekakkan telinga. Bunga-bunga api pun memercik ke sana kemari. Laki-laki tinggi besar itu terkejut bukan main begitu merasakan seluruh tubuhnya tergetar hebat. Tangan yang menggenggam golok terasa lumpuh. Bahkan senjatanya pun hampir terlepas dari genggaman. Kini di hadapan laki-laki tinggi besar, membelakangi pemimpin rombongan pengawal kereta berkuda, berdiri seorang gadis cantik jelita berambut kepang, berpakaian biru. Di tangan gadis itu tergenggam sebatang pedang.

"Kurang ajar! Siapa kau, Wanita Liar! Mengapa mencampuri urusanku?! Apakah sudah bosan hidup?!" pimpinan penghadang itu memaki kalang kabut.

"Pasang telingamu baik-baik! Aku Marni! Kedatanganku sengaja untuk membasmimu!" gadis berambut kepang itu balas membentak tak kalah keras.

"Sapi! Rupanya kau sudah bosan hidup, sehingga berani menentang Raksageti!"

Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar yang ternyata bernama Raksageti itu menyerang Marni. Golok besarnya dibabatkan ke arah leher. Tapi Marni hanya tersenyum-senyum saja. Baru setelah sambaran golok mendekat, dengan enak dia merendahkan tubuh, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Dan begitu sabetan golok besar itu lewat, tangan kanannya bergerak cepat.

Crattt!

Luar biasa sekali kecepatan gerak Marni! Sebelum Raksageti sempat menyadari, pedang di tangan gadis berpakaian biru itu telah membabat sikunya. Tak pelak lagi tangan laki-laki tinggi besar itu buntung sebatas siku. Dan seketika itu juga, darah mengalir deras dari tangan yang putus itu. Raksageti menggigit bibir menahan rasa sakit yang mendera. Buru-buru dia menotok jalan darah di sekitar lukanya untuk menghentikan aliran darah. Sesaat kemudian aliran darah itu pun terhenti.

"Bagaimana, Raksageti?! Masih mau diteruskan lagi...?" tanya Marni sambil bertolak pinggang. Cairan merah kental masih menetes dari batang pedangnya.

Raksageti menggeram keras. Rupanya laki-laki tinggi besar ini tidak jera melihat akibat yang diterimanya. Pemimpin rombongan penghadang ini tidak percaya kalau gadis semuda Marni mampu memiliki kepandaian selihai itu. Dia lebih percaya kalau penyebab tangannya putus adalah keteledorannya sendiri.

Kini dia memungut golok besarnya dengan tangan kiri. Dan kembali menyerang Marni. Kali ini Raksageti mengeluarkan seluruh kepandaian yang dimilikinya. Sementara itu, begitu gadis berpakaian biru menyebut namanya, seketika wajah pemuda berpakaian coklat berubah. Jelas, kalau nama itu mempunyai arti baginya.

"Apakah Marni yang dulu kurus dan kerempeng itu kini sudah menjadi gadis yang cantik jelita? Menjadi gadis berwajah molek dan bertubuh menggiurkan?" tanya pemuda berahang kokoh itu dalam hati.

Karena didorong rasa ingin tahu tentang gadis itu, juga di samping ingin menolong rombongan pengawal berkuda yang sudah dapat dipastikan akan terbantai semuanya, akhirnya pemuda berpakaian coklat ini melompat ke tengah arena pertempuran. Dan begitu kedua kakinya mendarat di tanah, pemuda berahang kokoh itu langsung menyelak ke arah seorang pengawal yang tengah terdesak hebat oleh tiga orang penghadang.

Hebat dan menggiriskan sekali tindakan pemuda berahang kokoh itu. Begitu memasuki arena pertempuran, kedua tangan dan kakinya langsung berkelebat. Dan hanya dalam dua gebrakan saja, ketiga penghadang itu telah berpentalan jauh, dalam keadaan tanpa nyawa! Jerit panjang memilukan, mengiringi melayangnya nyawa mereka.

Tapi tindakan pemuda berahang kokoh itu tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Kembali tubuhnya melesat ke arah kelompok penghadang lain yang tengah mengeroyok seorang pengawal pasukan berkuda. Kaki dan tangan pemuda ini pun kembali beraksi. Tak lama kemudian, jerit-jerit kematian pun terdengar saling susul.

Marni melirik sekilas ke arah pemuda berahang kokoh yang juga tengah melirik ke arahnya. Dua pasang mata pun saling bertemu. Marni melempar sebuah senyum manis. Dan seketika pemuda berahang kokoh itu terkesima. Hanya sesaat memang.

Tapi, karena saat itu pemuda itu tengah dikeroyok banyak lawan, hampir saja membuat lehernya putus tersambar senjata lawan. Untung saja dia sempat membanting tubuh ke tanah, sehingga serangan itu berhasil dihindarkan.

"Hi hi hik..!" Gadis berpakaian biru tertawa mengikik, melihat kejadian yang menimpa pemuda berahang kokoh.

Karuan saja hal ini membuat sekujur wajah pemuda berpakaian coklat merah padam ketika bangkit dari bergulingnya. Ternyata baik Marni mau pun pemuda berahang kokoh sama sekali tidak mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Tingkat kepandaian si gadis dan juga tingkat kepandaian pemuda berahang kokoh itu berada amat jauh di atas lawan-lawannya.

Apalagi Marni yang hanya menghadapi seorang lawan. Enak saja dia menghadapi dan mempermainkannya. Rupanya gadis berpakaian biru ini suka mempermainkan orang. Baru setelah dirasa cukup, tiba-tiba Marni bergerak cepat. Kaki kanannya melakukan tendangan bertubi-tubi ke depan.

Plakkk, bukkk, bukkk...!

Terdengar suara keras berkali-kali ketika kaki Marni menghujani Raksageti. Tubuh pimpinan penghadang itu pun terlempar jauh ke belakang. Darah segar menetes deras dari mulut hidung, dan telinganya. Raksageti tewas sebelum tubuhnya ambruk mencium tanah.

Tendangan pertama yang dilepaskan gadis berpakaian biru itu mengenai pergelangan tangan Raksageti, sehingga sambungan tulang pergelangan laki-laki itu terlepas, dan senjatanya terlepas dari genggaman. Tendangan susulan yang dikirimkan Marni, mengenai perut dan dada. Dan tendangan susulan itulah yang menyebabkan nyawa laki-laki tinggi besar ini melayang seketika.

Bersamaan dengan tewasnya Raksageti, pemuda berahang kokoh pun berhasil merobohkan dua orang pengeroyok yang tersisa. Seluruh pengawal yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, menghela napas lega begitu melihat seluruh rombongan penghadang berhasil dibinasakan.

Laki-laki berkumis melintang, yang menjadi pemimpin rombongan, segera menghampiri sepasang muda-mudi itu sambil tersenyum lebar. Tapi baru juga beberapa tindak kakinya melangkah, gadis berpakaian biru sudah berkelebat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja, tubuh Marni sudah berada dalam jarak sepuluh tombak dari situ.

"Nisanak! Tunggu...!" laki-laki berkumis melintang berteriak mencegah. Tapi Marni sama sekali tidak mempedulikan, dan terus saja melangkahkan kakinya.

"Hhh...!" Pemimpin rombongan itu menghela napas berat. Kemudian mengalihkan perhatian ke arah pemuda berpakaian coklat. Namun, kembali dia tersentak. Ternyata pemuda itu pun melesat pergi. Sia-sia dia berteriak-teriak menyuruh pemuda penolongnya untuk berhenti melangkah sejenak. Akhirnya laki-laki berkumis melintang hanya bisa mengangkat bahu, kemudian melangkahkan kakinya. Kembali ke tempat semula.

"Urus semua kawan-kawan kita yang tewas atau yang luka. Dan kita lanjutkan perjalanan!" ucap pemimpin rombongan itu pada anak buahnya yang masih tersisa. Tanpa menunggu diperintah dua kali, sisa pengawal yang masih hidup bergegas melaksanakan perintah pemimpin mereka.

Sementara si kumis melintang menatap ke depan, ke arah kepergian sepasang muda-mudi perkasa penolongnya, dengan pandang mata kecewa. Kecewa karena tidak sempat mengenai kedua orang itu lebih jauh. Bukan hanya laki-laki berkumis melintang itu saja yang menatap kepergian sepasang muda-mudi tadi dengan perasaan kecewa. Masih ada empat pasang mata lagi yang menatap penuh kecewa.

Tapi, rasa kecewa yang melanda mereka, masing-masing berbeda. Mata dari sosok hitam, kulit ular, dan ungu serta putih. Dan begitu melihat pemuda berpakaian coklat tadi melesat pergi, bayangan hitam dan kulit ular itu pun melesat cepat pula. Menyusul arah kepergian pemuda itu. Belum lama dua sosok bayangan itu melesat sosok bayangan ungu dan putih, bergerak pula menguntit dua sosok bayangan yang menguntit pemuda berahang kokoh.

* * * * * * * *

EMPAT

"Nisanak...! Tunggu...!"

Pemuda berpakaian coklat berteriak keras memanggil, setelah sampai sekian lamanya, tak juga mampu mengejar gadis berpakaian biru. Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Jangankan mengejar, memperpendek jarak pun tidak mampu! Diam-diam dalam hati pemuda berahang kokoh ini timbul rasa penasaran. Dia adalah murid seorang tokoh sesat yang terkenal dengan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Dan dia telah mewarisinya. Mengapa sekarang tidak mampu mengejar seorang gadis muda?

Bukan hanya pemuda berpakaian coklat itu saja yang merasa penasaran. Marni pun dilanda perasaan serupa. Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki telah dikeluarkannya, tapi tetap saja dia tidak mampu memperpanjang jarak. Hal ini menandakan kalau pengejarnya memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di bawahnya. Rasa penasaran itulah yang membuat gadis ini malah semakin mempercepat larinya. Tapi, ternyata pemuda yang mengejarnya tetap saja mampu mengimbangi. Sehingga jarak di antara mereka tetap tidak berubah.

"Nisanak...! Tunggu sebentar...!" lagi-lagi pemuda berpakaian coklat itu berteriak.

Kali ini gadis berpakaian biru tidak meneruskan langkah. Seketika dia menghentikan larinya. Kemudian membalikkan tubuh. Berdiri menanti pemuda yang mengejarnya. Napas gadis ini nampak memburu. Bahkan wajahnya yang berkulit putih, halus dan mulus pun nampak memerah. Peluh membasahi kening dan lehernya.

Pemuda berahang kokoh gembira bukan main melihat gadis berpakaian biru menghentikan larinya dan berdiri menunggu. Bergegas dia berlari menghampiri dan menghentikan langkahnya begitu berada dalam jarak dua tombak.

"Mau apa kau mengejar-ngejarku?!" tanya gadis berpakaian biru itu pelan.

"Aku hanya ingin bertanya satu hal padamu, Nisanak," ucap pemuda berpakaian coklat, langsung pada pokok permasalahan. Wajahnya terlihat tegang. Bahkan suaranya pun terdengar bergetar. Suatu pertanda kalau pemuda ini dilanda perasaan tegang.

"Apa itu? Katakanlah," sahut gadis berpakaian biru, pelan. Tentu saja dia mengenal pemuda ini sebagai orang yang telah membantunya melawan gerombolan orang kasar. Ada perasaan suka di hatinya melihat pemuda yang berwajah gagah dan bersikap sopan itu.

"Apakah benar namamu Marni, Nisanak?" tanya pemuda berahang kokoh. Sepasang matanya menatap wajah molek gadis di hadapannya penuh selidik.

"Benar. Namaku memang Marni. Memangnya kenapa?" gadis berpakaian biru malah balik bertanya. Perasaan heran merayapi hati gadis ini. Mengapa pemuda berpakaian coklat itu begitu ingin tahu kepastian namanya?

"Kau... kenal dengan Wuraji?" pemuda tampan berahang kokoh itu balas bertanya.

"Wuraji...," ucap Marni lambat-lambat. "Aku memang kenal orang yang bernama Wuraji. Dia memang sahabatku sewaktu kecil. Tapi apakah orang yang kau maksudkan sama dengan Wuraji yang kukenal, aku tidak yakin. Yang jelas, Wuraji sahabatku itu mungkin telah tewas."

Ada nada kesedihan dalam ucapan gadis berpakaian biru itu. "Mengapa kau begitu yakin kalau Wuraji sahabatmu itu telah tewas?" selidik pemuda berpakaian coklat Marni tercenung sejenak. Tidak langsung menjawab pertanyaan itu.

"Dalam sebuah perjalanan, dia terlempar ke sungai yang berarus deras. Dan tak pernah kembali"

"Akulah Wuraji sahabatmu Marni," ucap pemuda berpakaian coklat.

"Apa?!" Marni membelalakkan sepasang matanya. "Jangan harap kau bisa membohongiku, Kisanak. Aku tahu betul wajah Wuraji. Wajahnya tidak sepertimu. Memang ada sedikit kemiripan antara wajahmu dengannya. Tapi, aku yakin kau bukan Wuraji."

Pemuda berahang kokoh tersenyum lebar. "Akulah Wuraji itu, Marni. Suntara, Ketua Perguruan Kumbang Merah adalah ayahku."

"Kau... kau...." Marni tergagap.

"Aku selamat, Marni. Dua orang sakti telah menyelamatkanku dari kematian. Bahkan mengangkatku sebagai murid. Kau pun kulihat telah jadi pendekar wanita yang lihai. Ceritakanlah semua pengalamanmu, Marni Dan..., mana Paman Wijaya?"

"Aku tidak tahu, Kang," kini Marni tidak ragu-ragu lagi kalau pemuda di hadapannya benar-benar Wuraji. Dan dengan sendirinya perasaan sukanya semakin membesar. "Dia menyusulmu terjun ke sungai. Dan setelah itu, aku tidak pernah menemuinya lagi."

Wuraji tercenung sejenak. "Mudah-mudahan saja Paman Wijaya selamat, Marni." Hanya itu saja yang diucapkan Wuraji.

"Mudah-mudahan, Kang," harap Marni pula. Suasana jadi hening sejenak setelah gadis berpakaian biru itu menghentikan kata-katanya.

"O,ya, Marni. Aku ingin mendengar semua pengalamanmu. Perlu kau ketahui, aku pun sampai tidak mengenalimu lagi tadi. Kau kini telah jadi seorang gadis yang begini lihai dan... cantik."

Seketika wajah Marni menyemburat merah. Pujian Wuraji-lah yang menjadi penyebabnya. Sejenak gadis ini tercenung. Rupanya tengah mengumpulkan segenap ingatannya. "Sewaktu kau terlempar ke sungai, Paman Wijaya segera menyusulmu. Karena tidak ada hal lain yang dapat kulakukan, aku hanya diam menunggu di rakit. Tapi sampai bosan menunggu, kau dan Paman Wijaya tidak pernah datang. Sementara perutku mulai terasa lapar. Rasa lapar dan takut membuatku tak mampu menahan perasaan hati. Aku menangis."

Marni menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas, dan juga mencari-cari kata-kata untuk melanjutkan ceritanya. "Rupanya suara tangisku membuat seorang kakek datang. Setelah menceritakan semua yang terjadi kakek itu lalu mencari kalian. Hebat sekali cara kakek itu mencari, Kang. Dia menggunakan papan yang agak lebar di bawah tapak sepatunya. Lalu bergerak di atas air. Meloncat ke sana kemari."

"Hm..., lalu?" tanya Wuraji menyelak.

''Tak lama kemudian, kakek itu muncul kembali dengan membawa cerita yang mengejutkan. Katanya kau dan Paman Wijaya mungkin sudah tewas, terseret air terjun."

"Hm...!" Wuraji bergumam seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Rupanya kakek itu kasihan padaku. Lalu mengajakku ke tempat tinggalnya. Kemudian mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian yang dimilikinya. Kakek itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi, Kang. Terutama sekali ilmu meringankan tubuhnya. Kakek itu berjuluk Camar Laut Merah."

Wuraji menganggukkan kepalanya. Dari kedua orang gurunya, dia telah mendengar tokoh yang berjuluk Camar Laut Merah. Seorang tokoh persilatan aliran putih yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, dan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Tidak kalah dengan Monyet Tanpa Bayangan, gurunya.

"Sepuluh tahun aku dididiknya, Kang. Lalu aku pamit untuk mencari musuh besar kita. Membalas dendam kematian ayahmu, orang yang telah menanam budi besar padaku."

Wuraji tercenung. Memang pemuda berpakaian coklat ini telah mengetahui cerita itu. Ayahnya telah menceritakan padanya kalau Marni adalah anak yang berhasil ditemukan ayahnya, di sebuah desa yang telah hancur lebur dijarah perampok. Kala itu Marni baru berusia lima tahun. Ayahnya lalu membawa Marni karena sudah tidak punya kerabat lagi.

"Sekarang kau yang ganti bercerita, Kang. Aku ingin mendengar semua pengalamanmu."

Wuraji pun menceritakan semua pengalamannya. Tapi sama sekali tidak memberitahukan kalau kedua gurunya adalah pentolan-pentolan kaum sesat.

"Sekarang ke mana tujuanmu, Kang?" tanya Marni ketika pemuda berpakaian coklat itu menyelesaikan ceritanya. Sepasang matanya menatap wajah pemuda itu.

"Hhh...!" Wuraji menghela napas berat. "Tujuan utamaku adalah mencari pembunuh ayah dan seluruh kakak seperguruanku..., dan membalaskan kematian mereka. Tapi...."

"Kenapa, Kang?" Marni merasa heran melihat keragu-raguan yang membayang di wajah pemuda itu.

"Guru-guruku menyuruh mencari kakak seperguruanku...."

"Apa keperluannya, Kang?"

"Mereka ingin aku belajar hidup darinya...," pelan dan berdesah suara Wuraji.

"Belajar hidup?!" dahi Marni berkernyit. "Aku tidak mengerti maksud ucapan Kakang."

Wuraji terdiam. Pemuda berahang kokoh ini tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sementara Marni masih terus menunggu jawaban dengan penuh rasa ingin tahu.

"Guru-guruku adalah tokoh-tokoh sesat. Dan mereka ingin agar aku jadi penjahat juga. Tapi, tetap saja aku tidak bisa. Sehingga mereka menyuruhku bergabung dengan kakak seperguruanku. Maksud mereka, agar aku dapat meniru-niru kelakuan kakak seperguruanku."

"Ih...!" Marni berseru kaget. "Rencana gila! Siapakah nama kakak seperguruanmu itu, Kang?"

"Aku sendiri belum pernah berjumpa dengannya. Tapi, guruku memberi tahu julukannya, Siluman Tangan Maut."

"Siluman Tangan Maut?!" Marni berseru kaget. "Dia adalah seorang tokoh hitam yang amat jahat dan kejam!"

"Kau mengenalnya, Marni?" Wuraji ingin tahu.

"Kenal sih tidak," Marni menggelengkan kepalanya. ''Tapi, sepak terjangnya sudah lama kudengar. Dia telah membuat kekacauan di dunia persilatan. Sudah tak terhitung lagi orang-orang yang mati di tangannya. Kau tahu, Kang? Rombongan berkuda yang kita tolong tadi adalah orang kaya yang melarikan diri dari tempat tinggalnya karena takut pada Siluman Tangan Maut. Padahal orang kaya itu tahu kalau di hutan ini ada segerombolan perampok yang akan menghadang perjalanannya. Aku sendiri mengetahuinya secara kebetulan. Mendengar percakapan orang yang mengawal orang kaya itu."

"Ah...! Sejahat itukah dia?" desah Wuraji penuh rasa terkejut.

Marni menganggukkan kepalanya. "Dan kau..., menuruti saja saran guru-gurumu untuk belajar hidup dari orang seperti dia?!"

Kini ganti Wuraji yang menganggukkan kepalanya.

"Gila!" desis Marni tajam. "Mengapa kau mau saja melaksanakan perintah mereka, Kang?! Kau ingin jadi penjahat?! Ah...! Kalau saja ayahmu mendengar semua ini, mungkin dia akan bangkit dari liang kuburnya.''

Wuraji tercenung mendengar ucapan berapi-api itu. Kepala pemuda ini tertunduk dalam. "Aku terpaksa," sahut Wuraji. Suaranya terdengar mendesah.

"Maksudmu...? Guru-gurumu memaksa?!" selak Marni cepat. "Jangan khawatir, Kang. Aku ada di sampingmu. Kita tentang kesewenang-wenangan mereka!"

"Kau salah paham, Marni," kembali Wuraji menggelengkan kepalanya. "Guru-guruku sama sekali tidak memaksa."

"Aku semakin tidak mengerti maksudmu, Kang."

"Aku terpaksa menerima usul mereka hanya sekadar, yahhh...! Kuanggap ini sebagai balas budi atas kebaikan mereka yang telah susah payah merawat dan mendidikku."

"Lalu..., hanya untuk membalas budi mereka, kau rela jadi penjahat...?" desak Marni penasaran.

"Siapa yang ingin jadi penjahat?!" bantah Wuraji cepat.

"Heh...?!" Marni terkejut. "Bukankah kau sendiri yang mengatakannya tadi?"

"Aku tidak berkata demikian. Aku hanya mengatakan, guru menyuruh untuk menjumpai kakak seperguruanku dan belajar hidup darinya. Kalau aku tetap tidak bisa, tidak jadi masalah. Yang penting, hati ini tenang, karena telah menunaikan perintah mereka."

"Jadi...?" wajah Marni mulai berseri kembali.

"Kewajibanku hanya menemui kakak seperguruanku. Masalah mengikuti jejaknya atau tidak, tergantung pada kemauanku sendiri."

"Kalau begitu..., aku ikut, Kang," ucap Marni sambil tersenyum gembira. "Aku juga ingin tahu, seperti apakah tokoh yang menggemparkan itu!"

* * * * * * * *

Wuraji dan Marni melangkah perlahan menuju sebuah bangunan besar berhalaman luas yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan kokoh. Di bagian depan pintu gerbang, nampak berdiri dua orang kasar berwajah angker. Sebatang golok nampak tergantung di pinggang mereka. Dua orang berwajah kasar itu mengerutkan alisnya, begitu melihat sepasang muda-mudi yang melangkah mendekati pintu gerbang.

"Berhenti...!" seru penjaga yang berwajah bopeng, seraya memasang wajah angker, begitu jarak di antara mereka ringgal dua tombak lagi. Wuraji dan Marni langsung berhenti melangkah.

"Siapa kalian?! Dan mengapa kalian kemari?!" tanya penjaga yang berkumis jarang. Tangan kanannya bergerak memelintir kumisnya yang hanya beberapa lembar saja. Sementara sepasang matanya melirik ke arah Marni. Merayapi wajah molek dan tubuh montok menggiurkan di hadapannya. Marni langsung membuang muka melihat tingkah laki-laki berkumis jarang yang memuakkan itu.

Melihat sikap Marni, wajah laki-laki berkumis jarang itu merah padam karena marah. Wuraji yang melihat hal ini jadi merasa khawatir akan terjadi keributan. Dan itu tidak diinginkannya. Maka buru-buru dia melangkah maju. "Aku Wuraji. Kedatanganku kemari untuk bertemu Siluman Tangan Maut."

Ucapan pemuda berahang kokoh itu terbukti ampuh. Mendengar julukan itu disebut seketika wajah laki-laki berkumis jarang berubah hebat. "Apa keperluanmu menemui ketua kami?" tanya laki-laki yang berwajah bopeng. Kali ini suaranya terdengar lunak. Tidak keras dan kasar seperti sebelumnya.

"Aku adalah adik seperguruannya," sahut Wuraji pelan.

"Ahhh...!" Tentu saja kedua penjaga itu terkejut bukan main mendengarnya. Beberapa saat lamanya mereka terlongong bingung. Menilik sikap dan gerak-geriknya, sepasang muda-mudi ini bukanlah termasuk golongan kaum sesat. Lalu mengapa pemuda berpakaian coklat ini mengaku adik seperguruan Siluman Tangan Maut?

"Siapa gurumu?" tanya laki-laki berkumis jarang. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan.

"Guruku berjuluk Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan."

Kedua penjaga itu tercenung sejenak. Mereka memang tidak pernah tahu asal-usul ketua mereka. Maka keduanya tidak bisa memastikan kebenaran ucapan Wuraji. "Kalian tunggu sebentar," ucap laki-laki berwajah bopeng. "Aku hendak memberitahu kedatangan kalian pada ketua."

Setelah berkata demikian, dia bergegas melangkah ke dalam. Pintu gerbang memang sengaja tidak dikunci sehingga laki-laki berwajah bopeng itu tidak mengalami kesulitan ketika masuk ke dalam. Wuraji dan Marni terpaksa menunggu dengan ditemani penjaga yang berkumis jarang. Cukup lama juga sepasang muda-mudi itu menunggu, sebelum akhirnya laki-laki berwajah bopeng muncul kembali.

"Kalian berdua disuruh masuk," ucap laki-laki itu mempersilakan.

Tanpa merasa ragu-ragu sedikit pun, Wuraji dan Marni melangkah ke dalam. Dan begitu sampai di halaman yang luas, sepasang muda-mudi ini melihat sesosok tubuh yang berdiri tegak seperti sedang menunggu. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

Wajah Wuraji dan Marni kontan berubah begitu mengenali sosok tubuh itu. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun dan berwajah meruncing ke depan. Pakaiannya adalah sebuah rompi berwarna kuning. Tangan kirinya menggenggam sebuah trisula.

Baik Wuraji maupun Marni kenal betul siapa laki-laki berompi kuning ini. Dialah orang yang telah membunuh Ketua Perguruan Kumbang Merah, ayah Wuraji! Laki-laki inilah yang dikenal oleh Wuraji dan Marni bernama Wisanggeni.

Memang sepasang muda-mudi ini mendengar nama itu dari mulut almarhum ayah Wuraji. Meskipun kemarahan yang amat sangat melanda hatinya, tapi Wuraji masih mampu menahan diri untuk tidak terburu-buru membuat perhitungan. Sebuah dugaan lain yang berkelebat di benaknya, membuatnya masih mampu menahan diri.

Suara gemeretak di sebelahnya, menyadarkan Wuraji kalau bukan hanya dirinya saja yang dilanda amarah. Ada seorang lagi yang juga tengah diamuk dendam. Orang itu adalah Marni. Dan untuk mencegah gadis berpakaian biru itu tidak langsung menyerang, maka Wuraji segera berbisik pelan di telinga gadis itu.

''Tahan dulu amarahmu, Marni. Aku ingin tahu, apakah dia yang berjuluk Siluman Tangan Maut. Menurut guruku, nama kakak seperguruanku adalah Pati Gala."

Mendengar keseriusan ucapan Wuraji, Marni tidak berani membantah. Dia tahu betul arti penting hal itu bagi Wuraji. Ditariknya napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat untuk meredakan gejolak amarah yang seperti akan memecahkan dadanya.

"Kau yang bernama Wuraji?" tanya laki-laki berompi kuning yang bukan lain adalah Wisanggeni.

Wuraji hanya menganggukkan kepalanya. Dia sengaja tidak menjawab. Khawatir kalau-kalau suaranya akan terdengar bergetar.

"Benar kau murid Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan?" tanya Wisanggeni lagi. Kembali Wuraji menganggukkan kepalanya.

"Apakah gadis itu saudara seperguruan kita juga?"

Wuraji menggelengkan kepalanya.

"Kau tidak bisa bicara, Wuraji?" Wisanggeni mulai jengkel, begitu menyadari kalau pertanyaannya hanya dijawab dengan anggukan dan gelengan kepala.

"Bicaralah sebelum hilang kesabaranku. Dan kau kubunuh! Ingat, meskipun kau adik seperguruanku, aku tidak segan-segan membunuhmu!"

Tidak nampak ada perubahan pada wajah Wuraji. "Aku ingin menanyakan sesuatu. Boleh?" terdengar kaku suara pemuda berahang kokoh ini. Padahal Wuraji sudah berusaha keras untuk melunakkan suaranya.

Wisanggeni mengerutkan alisnya. Rupanya laki-laki berpakaian rompi kuning ini menangkap nada suara yang terdengar agak kasar itu. Kelakuan orang yang mengaku sebagai adik seperguruannya ini begini aneh sehingga membuatnya curiga. Dengan sendirinya, seluruh otot-otot dan urat-urat syaraf di tubuhnya pun menegang. Apalagi ketika melihat wanita ber-pakaian biru yang sejak tadi menundukkan kepala saja. Tak sedikit pun mengangkat kepalanya.

"Tanyalah apa yang ingin kau tanyakan." Wisanggeni menyahut tak kalah kaku.

"Apakah kau yang berjuluk Siluman Tangan Maut dan bernama Pati Gala?"

"Benar. Akulah orang yang kau cari," sahut Wisanggeni dingin.

''Tapi sekarang namaku bukan lagi Pari Gala. Tapi Wisanggeni."

"Mengapa?!" tanya Wuraji dengan suara kian gemetar karena dugaan yang semakin kuat kalau orang di hadapannya adalah musuh besarnya.

"Karena musuh besarku telah berhasil kubunuh. Dulu aku bersumpah, selama belum berhasil membunuh musuh besarku, nama asliku tidak kuperkenalkan." Siluman Tangan Maut memberi tahu.

Wuraji mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini dia mengerti. Rupanya Pati Gala hanya nama samaran. "Siapakah musuh besarmu, Wisanggeni?" Wuraji bertanya lagi, ingin memastikan.

"Suntara."

"Kalau begitu, mampuslah kau!" Terdengar bentakan nyaring, yang bukan hanya membuat Siluman Tangan Maut terkejut. Tapi juga Wuraji. Bentakan itu ternyata keluar dari mulut Marni. Dan seiring dengan keluarnya suara bentakan, gadis berpakaian biru ini sudah menyerang Siluman Tangan Maut dengan sebuah serangan mematikan. Jari-jari telunjuk kedua tangan Marni menegang kaku. Dan langsung menusuk cepat ke arah tenggorokan Wisanggeni alias Pati Gala.

Ciiit, ciiit...! Suara mencicit nyaring terdengar mengiringi tibanya totokan-totokan Marni. Memang hebat bukan main serangan gadis berpakaian biru ini Apalagi dilakukan dengan tiba-tiba. Untung, Siluman Tangan Maut sudah sejak tadi bersikap waspada. Sehingga meskipun serangan Marni tiba begitu cepat, dia mampu bergerak lebih cepat lagi. Wisanggeni menarik kaki kanannya ke belakang, seraya mendoyongkan tubuh, sehingga totokan-totokan itu mengenai tempat kosong. Sejengkal di depan wajahnya.

Marni yang tengah diamuk dendam, tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan totokannya luput, kaki kanannya mencuat ke arah perut, dengan sebuah tendangan lurus. Kali ini Siluman Tangan Maut tidak mengelak. Tapi menangkis dengan membacokkan tangan kanannya ke bawah.

Takkk! Terdengar suara berdetak keras seperti beradunya dua buah benda keras, tatkala tangan dan kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam penuh itu berbenturan. Marni meringis begitu merasakan kakinya sakit bukan main. Gadis berpakaian biru ini terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Sementara Siluman Tangan Maut hanya tergetar saja kedua tangannya.

"Keparat! Kenapa kau menyerangku, Gadis Liar?!" bentak Wisanggeni seraya melempar tubuh ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara sebelum mendarat ringan di tanah. Sepasang mata gadis ini berapi-api memandang Siluman Tangan Maut.

"Aku adalah murid musuh besarmu!" tandas Marni, keras.

"Ooo..., jadi kau murid Suntara?" kalem dan tenang suara Siluman Tangan Maut.

''Tidak usah banyak bicara!" sergah Marni keras. "Yang jelas, kau harus membayar semua kekejianmu dengan nyawa!" Setelah berkata demikian, Marni kembali melancarkan serangan. Tubuh gadis berpakaian biru ini melayang di udara, melancarkan tendangan terbang.

Wisanggeni hanya tersenyum mengejek. Dari benturan tadi, dia sudah bisa menebak kalau tenaga dalamnya masih lebih unggul daripada tenaga dalam Marni. Oleh karena itu, dia tidak mau mengelak. Laki-laki berompi kuning ini sengaja akan menggunakan kelebihannya untuk mendesak gadis berpakaian biru ini.

Sebagai orang yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan, dan puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertempur menghadapi lawan tangguh, Wisanggeni dapat menduga kalau tendangan terbang itu kemungkinan besar akan datang beruntun. Maka, dia pun bersiap siaga. Dugaan laki-laki berompi kuning ini ternyata tepat. Serangan Marni ternyata tidak hanya sekali saja. Mula-mula yang datang lebih dulu adalah kaki kanan, ke arah leher Wisanggeni. Siluman Tangan Maut segera menyilangkan kedua tangannya di depan wajah. Tanpa ragu-ragu lagi, seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan.

Dukkk!

Saking kuatnya tendangan yang dilakukan Marni, apalagi ditambah dengan tenaga luncurnya, menyebabkan tenaga serangan itu jadi berlipat ganda. Maka meskipun telah mengerahkan seluruh tenaganya, tak urung kuda-kuda Wisanggeni tergempur. Bahkan kedua tangannya goyah. Dan di saat itulah, kaki kiri Marni meluncur tiba! Cepat bukan main datangnya serangan yang kedua ini. Serangan ini memang merupakan serangan beruntun. Tapi, masih lebih cepat lagi gerakan Wisanggeni. Laki-laki berompi kuning ini segera menghentakkan kedua tangannya ke bawah.

Plakkk!

Marni meringis. Kaki kirinya terasa sakit bukan main. Tangkisan yang dilakukan Siluman Tangan Maut memang keras sekali. Meskipun begitu, gadis ini masih sempat mempertunjukkan kelihaiannya. Seraya mengeluarkan pekik melengking nyaring, tubuhnya melenting ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat ringan tanpa suara di tanah, walaupun agak terhuyung. Terdengar suara gemeretak ketika Siluman Tangan Maut menggertakkan gigi. Laki-laki berompi kuning ini memang murka bukan main. Maka begitu melihat Marni menghentikan serangan, dia pun balas menyerang.

LIMA

"Hiyaaa...!" Sekali menyerang, Siluman Tangan Maut sudah mengeluarkan ilmu andalannya, 'Tendangan Angin Puyuh'. Kaki kanannya melakukan tendangan miring bertubi-tubi ke arah perut, dada, dan leher. Cepat bukan main tendangan beruntun itu. Angin serangannya pun menimbulkan suara menderu-deru yang membuat batu-batu kecil berpentalan tak tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.

Marni tidak berani bertindak gegabah. Gadis berpakaian biru ini sadar kalau serangan lawan amat berbahaya. Tambahan lagi dia belum mengetahui perkembangan gerakan lawan. Maka dia tidak berani menangkis. Marni langsung melompat mundur ke belakang, sehingga tendangan tadi mengenai tempat kosong. Beberapa jengkal di depan tubuhnya.

Tapi Wisanggeni yang tengah murka, tidak mau memberi kesempatan lagi. Begitu serangannya berhasil dielakkan, dia pun kembali melancarkan serangan susulan. Sesaat kemudian, kedua tokoh ini sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.

Tentu saja keributan yang terjadi, segera mengundang perhatian anak buah Siluman Tangan Maut. Sebentar saja tempat itu telah dikurung belasan orang berwajah kasar. Tapi mereka sama sekali tidak berani bertindak, kalau tidak diperintah Wisanggeni. Wuraji memperhatikan jalannya pertarungan dengan perasaan cemas bukan main.

Di dalam dada pemuda berpakaian coklat ini tengah terjadi pertentangan batin yang hebat. Sungguh dia tidak menyangka kalau kakak seperguruan yang belum pernah dilihatnya adalah pembunuh ayah dan kakak-kakak seperguruannya. Hal inilah yang membuat pemuda berpakaian coklat ini terpaku untuk beberapa saat. Tak tahu harus berbuat apa.

Sementara itu pertarungan antara Marni dan Siluman Tangan Maut berlangsung cepat. Kedua orang ini memang sama-sama memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Hal ini ini tidak aneh. Karena Wisanggeni adalah murid kesayangan tokoh sesat yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa, dan berjuluk Monyet Tanpa Bayangan.

Begitu pula halnya dengan Marni. Karena pertarungan yang berjalan cepat itulah, maka dalam waktu singkat tiga puluh jurus telah berlalu. Dan mulai tampak kalau Marni bukan tandingan Siluman Tangan Maut yang memiliki kepandaian menggiriskan.

Marni terdesak hebat. Memang gadis berpakaian biru ini kalah segala-galanya dibanding lawannya. Kalah dalam hal tenaga dalam, kecepatan gerak, maupun pengalaman bertarung. Lewat tiga puluh lima jurus, Marni hanya mampu mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya kadang-kadang mengjrim serangan balasan.

"Hiaaat..!" Marni berteriak keras. Dan seiring dengan teriakannya, tubuhnya melenting jauh ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara. Tapi Wisanggeni tidak mau memberinya kesempatan. Begitu melihat tubuh lawannya melenting, segera dia melompat mengejar. Siluman Tangan Maut tidak mau memberi kesempatan pada Marni untuk memperbaiki posisi.

Tapi kali ini Wisanggeni salah perhitungan. Sambil bersalto, tangan Marni bergerak cepat ke arah punggung. Dan begitu serangan yang memburunya menyambar tiba, tahu-tahu pedang gadis ini melesat cepat memapak. Wisanggeni terkejut bukan main melihat hal ini. Sebelum serangannya tiba, sudah dapat dipastikan kalau tubuhnya akan terlebih dulu tertembus pedang lawan. Oleh karena itu, buru-buru serangannya dibatalkan.

Bukan hanya itu saja yang dilakukan laki-laki berompi kuning ini. Seraya menarik pulang serangannya, tubuhnya dilempar ke samping kiri, sehingga sabetan pedang Marni mengenai tempat kosong. Berbareng dengan itu, tangan kanannya dikibaskan.

Takkk!

Pedang Marni terlempar jauh, ketika tangan Wisanggeni mengenai pergelangan tangan kirinya. Padahal kibasan tangannya hanya menyerempet saja. Wuraji tentu saja terperanjat melihat hal itu. Kini pemuda berahang kokoh ini sudah mengambil keputusan untuk membantu Marni. Apa pun yang terjadi, dia harus membuat perhitungan dengan orang yang telah membunuh ayah dan kakak-kakak seperguruannya. Tapi sebelum Wuraji menerjang, anak buah Wisanggeni yang sejak tadi hanya mengurung, tidak tinggal diam.

Srattt, srattt..!

Sinar-sinar menyilaukan berpendar tatkala anak buah Siluman Tangan Maut mencabut senjata masing-masing. Dan secepat senjata mereka terhunus, secepat itu pula diayunkan ke arah pemuda berpakaian coklat itu. Seketika itu juga, hujan senjata berkelebatan ke arah berbagai bagian tubuh Wuraji.

Terpaksa pemuda berahang kokoh ini mengurungkan niat hendak menolong Marni, ketika melihat berkelebatannya senjata-senjata lawan. Dengan gerakan yang lincah laksana kera, Wuraji berhasil mengelakkan semua serangan. Tubuhnya berkelebatan di antara hujan senjata tajam yang mengancam berbagai bagian tubuhnya. Sebaliknya, setiap kali tangan atau kaki putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini bergerak, sudah dapat dipastikan ada yang bergelimpangan di tanah tanpa nyawa.

Sebetulnya Wuraji tidak berniat membunuh keroco-keroco seperti mereka. Tapi, karena tahu lawan berjumlah banyak, dan lagi keadaan Marni sudah mengkhawatirkan, maka pemuda berpakaian coklat ini tidak mempunyai pilihan lain lagi. Suara jerit kematian terdengar susul-menyusul mengiringi bertumbangannya tubuh-tubuh tanpa nyawa.

Siluman Tangan Maut menggertakkan gigi begitu melihat anak buahnya bertumbangan satu persatu. Dan seiring dengan kemarahannya yang bergolak, serangannya pun jadi kian dahsyat. Dan akibatnya segera dirasakan Marni. Gadis berpakaian biru ini merasakan serangan-serangan Wisanggeni semakin tambah sulit dibendung. Tentu saja Wuraji pun tahu keadaan yang dialami Marni. Maka dia segera bergerak menerobos kepungan, dan langsung melompat menerjang musuh besarnya.

Begitu Wuraji ikut campur tangan, keadaan langsung berubah. Kini Marni tidak mengalami tekanan berat lagi. Malah sebaliknya, Siluman Tangan Maut yang kerepotan. Wuraji kini tidak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan seluruh kemampuannya. Yang ada dalam benaknya hanya satu. Membalas dendam kepada pembunuh ayah dan saudara-saudara seperguruannya.

Wisanggeni menggertakkan gigi. Kini dia harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghadapi kedua lawannya. Kepandaian kedua orang muda itu tidak berselisih jauh dengannya. Tapi, dia lebih menitikberatkan serangannya pada Marni. Memang pemuda berpakaian coklat itu memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan Marni.

Tapi, ada satu kekurangan pada Wuraji. Semua ilmu yang dimilikinya, dimiliki Siluman Tangan Maut. Dan dengan sendirinya Wisanggeni tahu cara mengatasinya. Berbeda dengan Marni. Gadis berpakaian biru ini memiliki ilmu-ilmu yang sama sekali tidak dikenalnya. Itulah sebabnya mengapa Siluman Tangan Maut lebih memperhatikan setiap serangan gadis itu ketimbang serangan yang dikirim Wuraji.

Begitu bertarung dengan Siluman Tangan Maut, Wuraji baru sadar kalau ada beberapa ilmu yang tidak dimilikinya. Di antaranya adalah 'Tendangan Angin Puyuh' yang merupakan ilmu andalan Ular Kaki Seribu. Dan juga jurus 'Kera', milik Monyet Tanpa Bayangan Kini pemuda berpakaian coklat ini pun sadar kalau guru-gurunya tidak menurunkan seluruh ilmu-ilmu yang mereka miliki. Tapi Wuraji tidak sempat memikirkan hal itu. Seluruh pikirannya dipusatkan untuk merobohkan kakak seperguruannya secepat mungkin.

Hebat bukan main pertarungan antara ketiga orang sakti itu. Suara angin menderu-deru dan bercicitan terdengar meningkahi pertarungan. Batu-batu kecil beterbangan tak tentu arah, dan tanah terbongkar di sana-sini. Bahkan debu pun mengepul tinggi ke udara. Tapi lewat lima puluh jurus, Siluman Tangan Maut mulai terdesak.

"Hiaaat...!" Laki-laki berompi kuning berteriak keras menggelegar. Sesaat kemudian, di tangan kanannya telah tergenggam trisula yang tadi ditancapkannya di tanah, sewaktu Marni melompat menyerangnya. Tahu akan kelihaian Wisanggeni, apalagi dengan senjata andalan di tangan, Wuraji tidak berani bertindak ceroboh. Cepat dia mengeluarkan senjata andalannya yang berupa sepasang tombak pendek. Bahkan Marni pun telah mengambil pedangnya yang tadi telah terlempar ke tanah.

Pertarungan kembali terjadi. Kali ini lebih seru dari sebelumnya, karena kedua belah pihak telah mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Suara bercicitan, mendesing, dan mengaung, menyemaraki pertempuran.

Semua anak buah Siluman Tangan Maut yang sejak tadi sudah menyingkir, menjauhi pertempuran, kini bergerak semakin menjauh. Mereka khawatir terkena serangan nyasar. Jangankan terkena telak, tersambar angin serangannya saja sudah cukup untuk mengirim nyawa mereka ke alam baka.

Pertarungan berlangsung cepat. Sehingga tak terasa lima puluh jurus lagi telah berlalu. Dan lagi-lagi, Wisanggeni harus menelan kenyataan pahit. Dia tetap tidak mampu mengatasi lawan-lawannya. Semakin lama keadaan Siluman Tangan Maut semakin terdesak. Kini dia hanya mampu mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya kadang-kadang saja balas menyerang.

Wisanggeni menggertakkan gigi. Berusaha menguras seluruh kemampuannya. Tapi karena lawan terlalu kuat, semua yang dilakukannya tetap saja tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Laki-laki berompi kuning ini tetap saja terdesak hebat.

"Hiaaat..!" Seraya mengeluarkan pekikan melengking nyaring, Marni melompat ke atas. Dan laksana seekor burung garuda menerkam mangsa, dari atas, tubuhnya menukik deras ke bawah. Pedang di tangannya ditusukkan cepat ke arah dada. Hati Siluman Tangan Maut tersekat. Apalagi pada saat yang sama, Wuraji juga mengirim serangan tak kalah dahsyat. Sepasang tombak pendek pemuda berpakaian coklat itu berputaran, sebelum akhirnya menotok deras ke arah ulu hati dan pusar.

"Hih...!" Tanpa pikir panjang lagi, Wisanggeni segera membanting tubuh di tanah, dan langsung bergulingan menjauh. Tapi Wuraji dan Marni mana mau membiarkan musuh besar mereka lolos? Tanpa membuang-buang waktu, mereka langsung mengejar tubuh laki-laki berompi kuning itu. Dan langsung menghujani dengan serangan-serangan maut.

Kini Siluman Tangan Maut jadi sibuk mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak ada jalan lain lagi baginya untuk menyelamatkan selembar nyawanya kecuali terus bergulingan di atas tanah. Tapi, sampai berapa lama dia bisa bertahan seperti ini? Sebuah pemandangan menarik pun terlihat Tubuh Siluman Tangan Maut yang terus bergulingan. Sementara Wuraji dan Marni berusaha keras menyarangkan serangan. Menghujani tubuh yang bergulingan dengan serangan-serangan mematikan.

Sambil terus bergulingan, Wisanggeni memutar otaknya. Sebagai orang yang kenyang pengalaman bertempur, laki-laki berompi kuning ini sadar kalau dirinya berada dalam keadaan berbahaya. Kemungkinan untuk terkena sasaran serangan lawan, besar sekali. Dia harus cepat-cepat membebaskan diri kalau tidak ingin celaka.

Tapi, bagaimana caranya? Sampai beberapa saat lamanya, Siluman Tangan Maut terus bergulingan, sambil memutar trisula di atas tubuh untuk melindungi selembar nyawanya. Benaknya terus berputar untuk mencari jalan agar bebas dari keadaan yang tidak menguntungkan ini.

Desss!

Hati Siluman Tangan Maut tersekat ketika sebuah tendangan Marni tepat mengenai pergelangan tangannya. Tak pelak lagi, trisulanya pun terlepas dari genggaman dan terlempar jauh. Di saat itulah pedang di tangan gadis berpakaian biru itu dan sepasang tongkat Wuraji menyambar deras ke arah tubuhnya. Sepasang mata Wisanggeni terbelalak lebar. Dia sudah berada dalam posisi yang benar-benar terjepit. Tidak ada jalan lagi baginya untuk mengelak.

Tapi di saat gawat bagi keselamatan nyawa Siluman Tangan Maut tiba-tiba berkelebat sosok bayangan kuning keemasan dan hitam memapak serangan itu.

Plakkk, plakkk...!

Terdengar suara benturan keras berkali-kali, disusul dengan terlemparnya tubuh Wuraji dan Marni ke belakang. Sekujur tubuh mereka tergetar hebat. Dada pun terasa sesak bukan main. Bahkan tangan yang terbentur itu bagaikan patah-patah. Tanpa dapat dicegah lagi, senjata mereka pun terlepas dari genggaman.

Wuraji dan Marni menatap dua sosok tubuh yang berdiri membelakangi Siluman Tangan Maut yang kini mulai bergerak bangkit. Seketika wajah pemuda berahang kokoh itu memucat begitu mengenali orang yang telah menggagalkan serangannya dan Marni. Betapa tidak? Di hadapan mereka telah berdiri dua orang yang tak lain adalah Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan. Guru-gurunya!

"Guru...," ucap Wuraji pelan seraya bergerak memberi hormat Kedua kakek itu hanya mendengus kasar.

"Untung kami tidak percaya penuh padamu, Wuraji," Monyet Tanpa Bayangan yang menyahuti. Nada suaranya terdengar datar. Tidak ada nada penyesalan di dalamnya. "Kalau tidak, Pati Gala sudah terbunuh."

''Tanpa kau ketahui, kami mengikuti semua perjalananmu," sambung Ular Kaki Seribu. "Kami lihat semua kelakuanmu yang benar-benar mengecewakan kami. Seperti menolong rombongan kereta berkuda."

Wuraji hanya diam. Kepalanya tertunduk dalam. Sama sekali tidak membantah semua ucapan kedua gurunya. Sementara Marni menatap kedua kakek itu dengan sepasang mata penuh selidik. Inikah guru-guru Wuraji? tanyanya dalam hati.

"Bagaimana ceritanya sehingga Guru bisa salah memungut murid? Kedua orang ini punya hubungan erat dengan orang yang telah kubunuh!" Siluman Tangan Maut angkat suara.

"Karena kecerobohan kami juga," keluh Monyet Tanpa Bayangan. "Untung saja ilmu-ilmu andalan kami tidak diturunkan semua."

"Lalu..., apa yang akan Guru lakukan terhadap murid murtad ini?" Wisanggeni ingin tahu.

"Hanya mengambil kembali ilmu yang telah kami wariskan kepadanya," jawab Ular Kaki Seribu ringan.

Siluman Tangan Maut tampak gembira bukan main. Sepasang matanya berbinar-binar. Seulas senyum keji tersungging di mulutnya. Sementara wajah Wuraji dan Marni berubah pucat. Mereka tahu apa arti mengambil kembali ilmu yang telah diberikan itu. Membuat pemuda berahang kokoh ini menjadi orang cacat. Meskipun begitu, Wuraji sama sekali tidak bersikap seperti hendak menentang atau melawan. Dia tetap diam dengan kepala tertunduk. Tentu saja Marni jadi cemas bukan kepalang melihat hal ini.

"Bersiaplah, Wuraji," ucap Ular Kaki Seribu seraya melangkah maju. Nada suaranya terdengar dingin. "Aku akan mengambil kembali ilmu yang telah kami wariskan kepadamu."

"Silakan, Guru," sahut Wuraji dengan suara bergetar.

''Tidak!" Terdengar suara bentakan tinggi melengking, disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan biru. Tahu-tahu di depannya, membelakangi Wuraji, berdiri seorang gadis cantik jelita, berwajah molek, dan bertubuh montok menggiurkan.

"Siapa kau, Nisanak?!" tanya Ular Kaki Seribu kalem. "Menyingkirlah, sebelum aku lupa kalau kau hanya seorang gadis ingusan."

"Aku kawan Wuraji!" jawab Marni ketus. "Dan aku tidak akan membiarkan kau melakukan kekejaman terhadapnya!"

"Hm...," Ular Kaki Seribu hanya menggumam pelan. Lalu menatap wajah gadis di hadapannya lekat-lekat.

"Marni! Menyingkirlah...! Jangan campuri urusanku...!" ujar Wuraji memberi nasihat.

''Tidak!" bantah Marni tegas. "Aku tidak akan menyingkir!"

Berkilat sepasang mata Ular Kaki Seribu. Laki-laki berpakaian kulit ular ini memang pemarah. Begitu melihat sikap keras kepala Marni, kemarahannya bergolak seketika. "Kau membuat kesabaranku habis, Wanita Sial!" desis Ular Kaki Seribu. Tangan kanannya, dengan jari-jari terbuka, mengarah ke ubun-ubun Marni. Sebuah serangan keji! Sekali menyerang, Ular Kaki Seribu telah bermaksud membinasakan gadis berpakaian biru itu. Cepat bukan main serangan itu. Angin yang bercicitan tajam mengiringi tibanya serangan.

Tapi, Marni bukan seorang gadis lemah. Gadis berpakaian biru ini tahu kalau lawan yang dihadapinya kali ini adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi. Maka sejak tadi dia sudah bersiap siaga. Oleh karena itu, begitu melihat serangan maut Ular Kaki Seribu, Marni tidak menjadi gugup. Cepat tubuhnya direndahkan, sehingga serangan lawan lewat di atas kepalanya. Semula, gadis berpakaian biru ini ingin melompat ke belakang, tapi karena di belakangnya ada Wuraji, maka niatnya diurungkan.

Wuttt..! Angin bersiutan keras kembali terdengar, begitu Ular Kaki Seribu melancarkan serangan susulan. Kaki kanannya mencuat ke arah perut Marni. Tidak ada jalan mengelak lagi bagi Marni. Gadis ini tahu jika dia mengelak, maka Wurajilah yang akan terkena tendangan itu. Karena pemuda berpakaian coklat itu memang berdiri tepat di belakangnya. Maka gadis ini pun memaksakan diri menangkis tendangan Ular Kaki Seribu dengan kedua tangan yang disertai pengerahan seluruh tenaga dalam.

Plakkk...!

Suara keras seperti beradunya dua batang logam keras, terdengar. Marni meringis. Sekujur tangannya terasa seperti patah-patah tulangnya. Dadanya pun dirasakan sesak bukan main. Bahkan bukan hanya itu saja. Tubuhnya pun terlempar keras ke belakang, dan menabrak tubuh Wuraji. Tak pelak lagi, sepasang muda-mudi itu jatuh saling tumpang tindih. Dan sebelum Marni sempat berbuat sesuatu, Ular Kaki Seribu telah kembali melancarkan serangan. Kaki kirinya menendang ke arah kepala gadis itu.

Wuraji terperanjat ketika melihat bahaya maut yang mengancam keselamatan gadis berpakaian biru itu. Pemuda berpakaian coklat ini tahu betul kedahsyatan tendangan laki-laki bermuka kuda itu. Jangankan kepala manusia, sebongkah batu karang yang keras pun akan hancur lebur terkena tendangan itu. Wuraji tidak bisa menahan diri lagi melihat gadis yang diam-diam mulai memikat hatinya terancam maut.

"Guru...! Jangan...!" teriak Wuraji keras. Dan dalam kekhawatiran yang amat sangat akan keselamatan Marni, masih dalam keadaan berbaring, Wuraji memapak tendangan gurunya dengan tendangan kaki kanan juga.

Dukkk!

Dua buah kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Wuraji meringis, menahan sakit yang membuat sekujur tulang-tulang kakinya seperti patah-patah. Bukan hanya itu saja, tubuhnya pun terjengkang ke belakang dan kembali bergulingan di tanah. Meskipun begitu, akhirnya Marni berhasil diselamatkan.

"Keparat! Kau berani melawanku, Murid Murtad?!" Ular Kaki Seribu membentak keras. Amarahnya menggelegak seketika melihat muridnya berani menangkis serangannya.

"Jangan celakakan dia, Guru...," pinta Wuraji memohon, seraya bangkit berdiri. Tampak mulut pemuda ini menyeringai ketika berhasil berdiri. Kaki kanannya tidak lagi menapak dengan kokoh di tanah. Jelas kalau dia merasa kesakitan akibat benturan tadi.

Ular Kaki Seribu yang tengah murka mana mau mendengar ucapan muridnya. Sambil memutar tubuh, kaki kanannya dikibaskan ke arah kepala muridnya. Tapi Wuraji sama sekali tidak berusaha mengela atau menangkis. Untunglah di saat terakhir, Marni cepat mencekal tangan pemuda itu dan menariknya ke belakang.

ENAM

Wusss...! Kibasan Ular Kaki Seribu mengenai tempat kosong. Lewat sejengkal di depan wajah Wuraji. Rambut dan sekujur pakaian yang dikenakan pemuda berahang kokoh itu berkibaran keras, saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam kibasan kaki tadi.

Ular Kaki Seribu meraung murka melihat serangannya kembali lolos. Sambil mengeluarkan suara teriakan keras menggelegar, kakek bermuka kuda ini melompat menerjang. Ular Kaki Seribu melompat tinggi di udara. Dan dari atas, tubuhnya menukik deras bagaikan seekor burung garuda. Kedua tangannya yang membentuk cakar mengancam ubun-ubun Marni dan Wuraji.

"Kalau kau tidak mau menangkis, aku pun tidak akan menangkis serangan itu, Wuraji," bisik Marni tajam. "Biarlah aku mati penasaran di tangan gurumu!"

Wajah Wuraji berubah seketika mendengar ucapan Marni. Terpaksa dia mengurungkan niatnya yang hendak membiarkan serangan gurunya. Rupanya dia tidak mau gadis berpakaian biru itu tewas karena dirinya.

"Hiaaat..!" Wuraji memekik melengking nyaring. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar dihentakkan ke depan, menangkis serangan tangan kiri Ular Kaki Seribu.

"Hiyaaa...!" teriak Marni pula. Tangan kanannya pun dihentakkan menangkis serangan tangan kanan kakek bermuka kuda itu.

Prattt, prattt..!

Tubuh Wuraji dan Marni terjengkang ke belakang, dan terbanting keras di tanah. Seluruh tubuh mereka terasa sakit bukan main. Apalagi tangan yang menangkis. Tangan itu terasa patah-patah!

Tubuh Ular Kaki Seribu pun terpental balik ke atas. Namun dengan manis, tubuhnya bersalto beberapa kali di di udara kemudian mendarat di tanah. Dengan raut wajah beku, kakek bermuka kuda ini menghampiri Wuraji dan Marni yang masih belum mampu bangkit.

Sekujur tubuh sepasang muda-mudi itu terasa lemas. Seolah-olah tidak bertulang sama sekali. Sementara Ular Kaki Seribu telah siap menjatuhkan serangan mematikan. Wuraji dan Marni tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah menerima nasib. Kakek bermuka kuda itu memang terlalu kuat untuk mereka. Apabila pertarungan akan terjadi, sepasang muda-mudi itu pasti akan kalah. Tapi kalau saja Wuraji mau melawan sungguh-sungguh, tidak akan semudah itu Ular Kaki Seribu dapat merobohkan mereka berdua.

Namun sebelum Ular Kaki Seribu menjatuhkan tangan maut, terdengar sebuah seruan cukup keras yang menyindirnya. "Sebuas-buasnya seekor harimau, belum pernah kudengar memakan anaknya sendiri. Tapi sekarang, aku melihat ada seorang guru yang begitu tega hendak membunuh murid yang tidak mau melawannya."

Ular Kaki Seribu menoleh ke arah asal suara dengan wajah merah padam. Sepasang matanya berkilat memancarkan hawa maut. Dia ingin tahu, siapa orang yang telah berani menyindirnya. Dalam jarak sekitar lima tombak di samping kirinya, berdiri dua sosok tubuh. Sosok pertama adalah seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Sebuah guci arak yang terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Sedangkan sosok kedua adalah seorang wanita berpakaian putih berambut panjang terurai. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.

Sekali lihat saja, Ular Kaki Seribu tahu kalau orang yang tadi menyindirnya adalah pemuda berambut putih keperakan itu. Suara yang tadi didengarnya, jelas-jelas suara seorang lelaki. Oleh karena itu, perhatiannya lebih dicurahkan pada pemuda berambut putih keperakan. Mendadak jantung kakek bermuka kuda ini berdebar tegang, tatkala teringat pada seorang tokoh yang menggemparkan dunia persilatan belum lama ini. Tokoh itu mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan pemuda di hadapannya.

"Siapa kau, Keparat?! Mengapa mencampuri urusanku?!" bentak Ular Kaki Seribu keras.

"Aku Arya, orang yang kebetulan lewat. Dan sudah jadi tekadku untuk ikut campur bila melihat tindak kejahatan berlangsung di depan mataku!" sahut pemuda berambut putih keperakan yang tidak lain adalah Arya Buana alias Dewa Arak.

"Hm..., kalau begitu, kaulah kiranya orang berjuluk Dewa Arak, Manusia Usil?!" Ular Kaki Seribu mulai yakin dengan dugaannya. Memang telah menjadi rahasia umum kalau Dewa Arak mempunyai nama asli Arya. Tapi Dewa Arak sama sekali tidak tampak marah mendengar ejekan itu. Bahkan pemuda berambut putih keperakan ini diam-diam merasa geli mendengar makian Ular Kaki Seribu.

"Julukan yang terlalu berlebihan, Kek," jawab Arya merendah. Masih tetap tersenyum.

"Orang lain boleh gentar mendengar julukanmu, Dewa Arak. Tapi jangan harap kalau aku, Ular Kaki Seribu akan gentar. Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Sudah lama aku menanti-nanti kesempatan untuk bertarung denganmu!"

"Hhh...!" Arya menghela napas panjang. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan menerima tantangan itu. Memang, Dewa Arak sebenarnya tidak suka mencari permusuhan. Kalau bisa, dia ingin agar setiap masalah yang dihadapinya dapat diselesaikan tanpa perkelahian. Apalagi pertumpahan darah.

Tapi kini, pertarungan pasti tidak bisa dihindari lagi. Ular Kaki Seribu sudah tidak bisa dicegah. Dewa Arak tahu kalau kakek bermuka kuda ini memiliki kepandaian tinggi. Nama besar kakek itu sebagai seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti, telah lama didengarnya. Dan tadi pun dia telah menyaksikan sendiri kelihaian Ular Kaki Seribu.

Sementara itu Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman Tangan Maut, begitu tahu kalau pemuda berambut putih keperakan ini adalah Dewa Arak, segera melangkah maju dan berdiri di sebelah Ular Kaki Seribu. Nama besar Dewa Arak telah lama mereka dengar, tapi baru kali inilah mereka berkesempatan melihat tokoh muda yang menggemparkan itu. Arya yang telah dapat memperkirakan kelihaian kakek bermuka kuda ini, segera menjumput guci araknya. Kemudian dituangkan ke mulut.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga, ada hawa hangat yang merayap di perut Arya. Kemudian bergerak naik ke atas kepala.

"Hiaaat..!" Sambil berteriak melengking nyaring, Ular Kaki Seribu menyerang Dewa Arak. Sekali menyerang, kakek bermuka kuda ini sudah menggunakan ilmu andalannya, 'Tendangan Angin Puyuh'. Ular Kaki Seribu membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah dengan langsung menangkis serangan itu. Tapi dia ingin mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan lebih dahulu, agar bisa menangkis tanpa melukai, bila ternyata tenaga dalam kakek itu berada di bawahnya.

Seperti biasanya, pemuda berambut putih keperakan ini menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Ular Kaki Seribu terkejut bukan main tatkala melihat lawannya mendadak lenyap, dan serangannya mengenai tempat kosong. Sesaat lamanya kakek bermuka kuda ini kebingungan. Baru ketika merasakan adanya sambaran angin dari arah belakang, dia tahu kalau lawan berada di belakang, dan tengah melancarkan serangan ke arahnya.

Memang begitu telah berada di belakang lawan, Dewa Arak segera melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah tengkuk. Cepat bukan main serangannya. Tapi, gerakan Ular Kaki Seribu pun tidak kalah cepat. Segera tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan Arya mengenai tempat kosong. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya menyapu kaki Dewa Arak sambil memutar tubuh.

"Hih...!" Arya menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya melenting ke udara. Dan dari atas, kedua tangannya meluncur cepat ke arah kepala lawan. Hebat bukan main serangan Dewa Arak. Apalagi datangnya begitu mendadak.

Tapi, Ular Kaki Seribu kembali menunjukkan kalau dirinya adalah seorang pentolan tokoh sesat. Tiba-tiba kakek bermuka kuda ini menghempaskan tubuhnya. Dan dengan bertumpu pada punggung, tubuhnya berputar. Sesaat kemudian kakinya telah bergerak menangkis serangan Arya.

Plakkk, plakkk...!

Dengan bantuan tenaga benturan, Dewa Arak melenting ke udara. Tubuhnya bersalto beberapa kali sebelum mendarat beberapa tombak dari tempat semula. Pada saat yang bersamaan, Ular Kaki Seribu pun telah bangkit berdiri. Kini kedua tokoh sakti ini saling tatap dalam jarak tiga tombak. Arya menatap Ular Kaki Seribu penuh takjub. Kini dia mengerti mengapa kakek bermuka kuda ini mendapat julukan seperti itu. Kecepatan gerak, dan kedahsyatan kakinya memang luar biasa!

"Kau hebat Dewa Arak," puji Ular Kaki Seribu seraya menatap tajam wajah Arya.

"Kaulah yang hebat Ular Kaki Seribu," Arya balas memuji sejujurnya. "Aku harap kau sudi mengalah dan membiarkan kedua orang muda itu pergi dari sini."

"Mereka harus mati!" terdengar suara bentakan keras menggelegar. Dan sebelum gema suara itu lenyap, sesosok tubuh berompi kuning, telah berdiri di sebelah Ular Kaki Seribu.

Monyet Tanpa Bayangan pun tak mau ketinggalan. Segera kakek berpakaian kulit beruang ini melangkahkan kaki menghampiri. Dan sesaat kemudian, telah berdiri di sebelah Ular Kaki Seribu dan Wisanggeni

Dewa Arak mengernyitkan dahinya. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau keadaan menguntungkan pihak lawan. Sekali lihat saja Arya tahu kalau kedua orang yang berada di sebelah Ular Kaki Seribu, memiliki kepandaian tinggi. Sorot mata mereka yang mencorong tajam, merupakan salah satu buktinya.

Seandainya hanya dia dan Melati yang ada di situ, tidak jadi persoalan bagi Dewa Arak untuk menghadapi ketiga orang ini. Tapi, karena di situ masih ada Wuraji dan Marni yang tengah membutuhkan pertolongan, sementara kedua orang itu tengah terluka, membuat Arya harus berpikir dua kali.

"Melati..., selamatkan kedua orang muda itu. Biar aku yang menahan mereka...," pesan Dewa Arak pada Melati dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.

Gadis berpakaia putih itu rupanya mengerti maksud tunangannya. Menyadari posisi lawan yang lebih menguntungkan. Maka tanpa menunggu disuruh dua kali, Melati melesat cepat ke arah Wuraji dan Marni.

"Hei...!" Siluman Tangan Maut terperanjat. Cepat laksana kilat, tubuhnya berkelebat memburu tubuh Melati yang telah melesat lebih dulu. Kejadian seperti ini sudah diperhitungkan sebelumnya oleh Arya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua tangannya segera dihentakkan ke depan. Memapak tubuh Wisanggeni.

Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat, meluncur ke arah tubuh Siluman Tangan Maut. Laki-laki berompi kuning ini kaget bukan main. Terpaksa maksudnya dibatalkan untuk memburu Melati. Kemudian melempar tubuhnya ke samping menghindari serangan Dewa Arak. Dan bergulingan di tanah.

Brakkk...! Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa tumbang seketika. Suara hiruk-pikuk terdengar mengbingi robohnya pohon itu ke tanah. Batangnya hangus. Sementara daun-daunnya layu mengering.

Dengan wajah sepucat mayat, Wisanggeni bangkit berdiri. Keringat sebesar biji-biji jagung membasahi wajahnya. Meskipun begitu, sorot kelegaan memancar dari sepasang matanya. Lega karena telah berhasil lolos dari maut.

Bukan hanya Siluman Tangan Maut yang terkejut melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh Dewa Arak. Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan pun terperanjat. Sungguh tidak mereka sangka kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki pukulan jarak jauh yang begitu menggiriskan. Sementara Melati sudah langsung memanggul tubuh Marni yang sudah terkulai tak berdaya.

"Mari kita pergi...!" seru gadis berpakaian putih itu pada Wuraji, seraya melesat dari situ.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wuraji yang tengah dilanda perasaan bingung ini segera berkelebat menyusul Melati. Tapi anak buah Siluman Tangan Maut tidak tinggal diam. Cepat mereka mencegat lari Melati dan Wuraji. Gadis berpakaian putih yang tengah diburu waktu ini tidak bertindak tanggung-tanggung lagi. Segera tangan kanannya bergerak. Dan sesaat kemudian di tangan gadis ini telah tergenggam sebatang pedang. Secepat pedang keluar dari sarungnya, secepat itu pula Melati menggerakkannya.

Wunggg...! Terdengar suara menggerung keras seperti di dalam pedang itu ada naga yang tengah murka. Dan sesaat kemudian, suara jerit kematian terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh tak bernyawa pun berjatuhan satu persatu.

Melati dan Wuraji bahu-membahu berjuang membuka jalan untuk bisa lolos dari tempat itu. Pedang di tangan Melati dan sepasang tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan cepat mencari sasaran. Setiap kali pedang atau tombak mereka bergerak, sudah dapat dipastikan, ada nyawa yang terlepas dari badan.

Sementara di arena lain, Dewa Arak tengah berjuang keras menghadapi lawan-lawannya. Pemuda berambut putih keperakan ini memang sengaja menahan ketiga orang lawannya dalam usaha mencegah mereka mengejar tunangannya menyelamatkan sepasang muda-mudi itu.

Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman Tangan Maut yang semula hendak mengejar Melati, jadi membatalkan maksudnya. Beberapa kali usaha mereka untuk mengejar dihambat oleh Dewa Arak. Mau tidak mau hal itu membuat mereka geram. Dan kegeraman itu pun dilampiaskan pada pemuda yang telah menghalangi tindakan mereka.

Setelah kini tiga orang lawannya memusatkan perhatian menghadapinya, baru terasa oleh Dewa Arak betapa hebatnya kepandaian mereka. Masing-masing lawan punya keistimewaan sendiri-sendiri. Ular Kaki Seribu dengan keistimewaan kakinya. Monyet Tanpa Bayangan dengan keistimewaan ilmu meringankan tubuhnya.

Sementara Siluman Tangan Maut, tak kalah lihai dari kedua orang itu. Karena laki-laki berompi kuning ini justru memiliki gabungan keistimewaan kedua gurunya. Gerakan kaki yang menggiriskan, dan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.

Dewa Arak menggertakkan gigi. Pemuda berambut putih keperakan ini telah mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' sampai ke puncaknya. Pada jurus-jurus awal, Dewa Arak masih mampu mengimbangi. Tapi menginjak jurus kelima belas, dia mulai terdesak. Serangan-serangan ketiga lawannya datang susul-menyusul bagaikan ombak di lautan.

Menginjak jurus ke dua puluh, Dewa Arak hanya dapat mengelak. Sesekali menangkis. Tapi hampir tidak pernah menyerang. Arya sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menyerang. Pemuda berambut putih keperakan ini terus didesak. Untung saja Dewa Arak memiliki langkah ajaib jurus 'Delapan Langkah Belalang'.

Sehingga beberapa kali, di saat kritis, masih berhasil menyelamatkan selembar nyawanya. Sambil terus mengelakkan setiap serangan yang datang, Arya menyempatkan diri melihat Melati dan Wuraji. Lega hatinya tatkala melihat kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri.

"Hih...!" Arya memekik nyaring. Dan berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', yang membuat pemuda ini dapat melakukan gerakan yang bagaimanapun sulitnya. Dewa Arak melentingkan tubuh menerobos kepungan. Dan kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Arya memang tidak ingin mencari keributan dengan mereka. Cepat sekali gerakan Dewa Arak.

Tapi masih lebih cepat lagi gerakan Monyet Tanpa Bayangan. Tubuhnya melesat ke depan. Cepat bukan main gerakannya. sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan hitam yang melesat melewati Dewa Arak. Tapi Arya sudah memperhitungkan hal ini. Maka begitu melihat bayangan hitam melesat, memotong arus lompatannya, segera dia menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'.

Wussss...! Angin keras berhawa panas menyengat, meluncur ke arah Monyet Tanpa Bayangan. Tapi, kakek berpakaian kulit beruang ini dengan mudah mengelak. Ringan laksana seekor kera, tubuhnya melenting ke atas, menghindari pukulan jarak jauh Dewa Arak. Kesempatan yang hanya sekejap itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya. Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula tubuhnya berkelebat meninggalkan lawan-lawannya.

Anak buah Siluman Tangan Maut yang hanya tinggal beberapa orang saja, tidak berani menghalangi Dewa Arak. Mereka semua telah melihat sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu. Dan mereka tidak mau mencari celaka sendiri. Ular Kaki Seribu dan Siluman Tangan Maut tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak lolos. Cepat mereka bergerak mengejar. Bahkan hingga Arya telah berada di luar pun mereka terus memburu. Monyet Tanpa Bayangan juga bergerak mengejar.

Tapi, karena Dewa Arak telah cukup jauh meninggalkan mereka, tambahan lagi ilmu meringankan tubuh mereka berada di bawah Dewa Arak, maka walaupun telah berusaha sekuat tenaga, tetap saja ketiganya tidak mampu mengejar. Jangankan mengejar, memperpendek jarak pun tidak mampu!

Bahkan jarak di antara mereka semakin jauh. Terpaksa mereka menghentikan pengejaran, dan membiarkan tubuh Arya lenyap di kejauhan. Dengan langkah lunglai Ular Kaki Seribu, Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman Tangan Maut kembali ke markas.

* * * * * * * *

TUJUH

"Kang...," sebuah suara yang amat dikenal Arya, membuat Dewa Arak menghentikan larinya. Kepalanya lalu ditolehkan ke arah rerimbunan semak yang berada di sebelah kanan. Tempat asal suara panggilan. Dari balik rerimbunan semak, tahu-tahu muncul sosok tubuh ramping dari seorang gadis berpakaian putih dan berambut panjang. Siapa lagi kalau bukan Melati. "Bagaimana dengan lawan-lawanmu, Kang?" tanya Melati begitu Arya menghampirinya.

"Kutinggalkan...," sahut Arya kalem seraya mengedipkan sebelah mata pada tunangannya. Seketika itu juga, apa yang akan diucapkan Melati buyar. Mulut gadis ini pun merengut. Tapi sepasang matanya sama sekali tidak menampakkan kemarahan. Karena memang dia tidak marah. Justru bahagia. Melati tahu, Arya menggodanya. Dan itu bukan untuk yang pertama kalinya. Pemuda berambut putih keperakan itu sudah seringkali menggodanya, dengan mengedipkan sebelah mata.

Anehnya, dia sendiri senang digoda seperti itu. Malah menginginkan kekasihnya itu menggodanya lagi. Tapi tentu saja bila keadaan memungkinkan. Tidak seperti sekarang ini. Di situ masih ada Marni dan Wuraji. Tapi itulah Arya! Pemuda ini selalu mengedipkan matanya bila sedang timbul keinginan menggodanya. Sekalipun ada orang lain, dia akan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya tatkala orang itu lengah.

"Mengapa kau tinggalkan?!" tanya Melati dengan suara ketus yang dibuat-buat.

"Aku tidak punya urusan dengan mereka, Melati," sahut Arya. "Lagi pula..., aku tidak tahu ada urusan apa antara kedua orang muda ini dengan mereka."

Melati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia telah tahu betul sifat Arya. Pemuda ini tidak pernah ikut campur dalam urusan orang lain, kalau tidak benar-benar terpaksa.

"O ya, bagaimana keadaan mereka, Melati?" tanya Dewa Arak begitu teringat pada sepasang muda-mudi yang baru saja mereka tolong. "Apakah keadaan mereka mengkhawatirkan?"

Melati menggelengkan kepalanya. ''Yang terluka agak parah hanya yang wanita. Sementara kawannya tidak," sahut Melati memberi tahu seraya melangkah menerobos semak semak.

Sesaat kemudian, Arya telah melihat sepasang muda-mudi itu. Tampak oleh Dewa Arak, gadis berpakaian biru tengah bersemadi. Mencoba mengobati luka dalamnya. Sementara laki-laki berpakaian coklat berdiri tak jauh darinya. Berjaga-jaga jika ada sesuatu yang tidak diinginkan datang secara tiba-tiba.

Begitu mendengar adanya suara langkah-langkah kaki yang mendekat, Wuraji segera menoleh. Sikapnya nampak waspada. Bahkan wajahnya teriihat tegang. Tapi, begitu tahu siapa yang datang, dia menganggukkan kepalanya sambil melempar senyum. Arya pun balas tersenyum.

"Bantulah gadis itu mengobati luka dalamnya, Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan itu pada kekasihnya.

Melati menganggukkan kepalanya, kemudian menghampiri Marni. Tanpa bicara apa-apa, gadis berpakaian putih ini segera duduk bersila di belakang Marni. Kemudian menempelkan kedua tangannya ke punggung gadis berpakaian biru itu. Menyalurkan tenaga dalamnya secara perlahan-lahan. Berusaha membantu Marni mengobati luka dalamnya.

Melihat Melati telah mulai membantu Marni mengobati luka dalamnya, Dewa Arak segera mendekati Wuraji. Pemuda berpakaian coklat ini sejak tadi hanya termenung saja. Dahinya tampak berkernyit dalam. Jelas, ada sesuatu yang menggelisahkan batinnya. Bahkan tadi, sehabis mengangguk dan tersenyum, pemuda ini kembali termenung.

"Ehm...!" Arya mendehem sebentar, untuk menarik perhatian pemuda berpakaian coklat itu. Dan cara yang dilakukan pemuda ini memang terbukti ampuh. Wuraji menoleh, menatap Dewa Arak seraya melempar senyum.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap pemuda berpakaian coklat ini pelan.

"Lupakanlah, Kisanak. Bukankah sudah merupakan kewajiban kita untuk saling tolong-menolong antar sesama manusia?" sahut Arya kalem.

"O ya, siapa namamu?"

"Wuraji," jawab pemuda berpakaian coklat itu. Masih pelan suaranya. Pelan dan tidak bersemangat.

"Aku Arya Buana." Dewa Arak balas memperkenalkan diri.

"Aku sudah tahu," sahut Wuraji kalem.

"O ya?!" Arya agak kaget juga. Tapi sesaat kemudian, dia sudah bisa menduga dari mana pemuda berpakaian coklat ini mengetahui namanya. "Pasti Melati yang memberi tahu." Wuraji menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu..., panggillah aku dengan namaku saja," pinta pemuda berambut putih keperakan itu. "Arya. Jangan Dewa Arak."

"Baiklah, Arya." Wuraji mengalah. Suasana menjadi hening sejenak ketika Wuraji menghentikan ucapannya.

"Kalau boleh kutahu..., mengapa kau terlibat perkelahian dengan orang-orang yang berada di bangunan tadi?" tanya Arya setelah beberapa saat lamanya terdiam.

"Hhh...!" Wuraji menghela napas berat. Sementara Dewa Arak tetap diam. Sabar menunggu pemuda berpakaian coklat itu menjawab pertanyaannya. Sepasang matanya menatap sekujur wajah Wuraji. Tak terasa putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah ini bergidik. Sepasang mata Dewa Arak begitu mencorong tajam dan bersinar kehijauan. Laksana mata seekor harimau dalam gelap!

Wuraji tidak bisa membayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu pemuda di hadapannya ini. Tadi sempat dilihatnya dua orang guru berikut kakak seperguruannya, telah mengeroyok pemuda ini. Tapi Dewa Arak masih mampu menyelamatkan diri. Luar biasa!

Tanpa ragu-ragu, Wuraji menceritakan semuanya. Semenjak kejadian yang menimpa perguruan ayahnya sampai dia dan Marni diselamatkan Dewa Arak. Tidak lupa Wuraji menceritakan sepak terjang Siluman Tangan Maut yang kejam. Meskipun hal itu hanya didengarnya dari mulut Marni.

Arya mendengarkan semua cerita Wuraji penuh perhatian. Tak sedikit pun pemuda berambut putih keperakan ini menyelak, sampai pemuda berpakaian coklat ini selesai bercerita. Kening Dewa Arak berkernyit ketika Wuraji meyelesaikan ceritanya. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Dan memang dia tengah berpikir keras.

"Itulah yang sejak tadi membuatku bimbang, Arya. Aku ingin membalaskan dendamku pada Siluman Tangan Maut yang telah membunuh ayah dan seluruh kakak seperguruanku. Tapi, guru-guruku membela dia. Tak mungkin aku melawan mereka yang telah susah payah mendidikku selama sepuluh tahun. Aku tidak ingin jadi murid murtad, Arya."

"Siluman Tangan Maut?!" Arya mengerutkan alisnya. Tampak jelas kalau pemuda berambut putih keperakan ini terperanjat. Memang Dewa Arak telah mendengar sepak terjang tokoh yang berjuluk Siluman Tangan Maut. Seorang tokoh jahat dan kejam, yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.

"Di antara tiga orang di gedung itu, manakah yang berjuluk Siluman Tangan Maut, Wuraji?" tanya Arya. Meskipun sebenarnya dia sudah bisa menduga, kalau yang berjuluk Siluman Tangan Maut itu adalah orang yang memakai rompi kuning. Karena dialah orang termuda di antara mereka. Sementara yang dua orang lagi telah berusia lanjut. Jadi, kemungkinan besar kedua orang itu adalah guru-guru Wuraji.

"Orang yang berompi kuning," sahut Wuraji lirih.

"Jadi, kedua orang kakek yang sakti tadi adalah guru-gurumu?" tanya Arya.

Wuraji menganggukkan kepalanya.

"Pantas mereka begitu lihai," desah Arya.

"Arya...."

"Ada apa, Wuraji?" tanya Dewa Arak seraya menoleh ke arah pemuda tampan berahang kokoh di sebelahnya. "Bagaimana menurutmu, Arya?" Wuraji meminta pendapat. "Apakah aku harus melupakan dendamku? Aku berada dalam pilihan yang sangat sulit, Arya. Kalau tidak membalas, rasanya terlalu enak bagi orang sekejam Siluman Tangan Maut kubiarkan begitu saja. Membalas pun bingung juga. Tak mungkin aku melawan guruku sendiri."

"Aku ada jalan, Wuraji," ucap Arya setelah sekian lamanya termenung.

"Katakanlah, Arya. Bagaimana caranya?" tanya Wuraji penuh gairah.

"Kau dan Marni yang menghadapi Siluman Tangan Maut. Sementara guru-gurumu, biar aku dan Melati yang akan mengurus."

"Tapi, Arya...." Wuraji masih mencoba membantah.

"Sudahlah, Wuraji," potong Arya. "Nanti, setelah Marni sembuh dari luka-lukanya, kita menyerbu kediaman Siluman Tangan Maut. Orang seperti dia harus cepat-cepat dilenyapkan dari muka bumi."

Wuraji tak bisa membantah lagi. Pemuda berpakaian coklat ini terdiam. Dan dengan sendirinya, suasana pun jadi hening karena Dewa Arak sendiri tidak berkata apa-apa lagi. Kini, baik Arya maupun Wuraji mengalihkan perhatian pada Melati dan Marni yang tengah sibuk mengobati luka dalam.

"Cukup, Melati," ucap Marni seraya menghentikan semadinya. "Terima kasih atas bantuanmu."

Melati pun segera menarik tangannya kembali. Dan begitu Marni bangkit gadis berpakaian putih ini pun bangkit berdiri. Arya dan Wuraji tersenyum lebar.

"Bagaimana, Marni?" tanya Wuraji lirih seraya menatap wajah molek gadis berpakaian biru itu.

Marni tersenyum lebar. Rupanya gadis berpakaian biru ini telah sembuh dari luka dalamnya.

"Nanti malam kita menyerbu kediaman Siluman Tangan Maut" ucap Wuraji memberi tahu.

"Benarkah itu, Kang?" tanya Marni seraya menatap wajah Wuraji lekat-lekat.

Perlahan kepala Wuraji mengangguk.

"Lalu kedua gurumu?" tanya Marni lagi. Nada ucapan dan suaranya menyiratkan perasaan gentar. Dan memang sebenarnya Marni merasa gentar bukan main. Dia telah merasakan sendiri kehebatan guru Wuraji yang bermuka kuda.

"Dewa Arak dan Melati yang akan menghadapi mereka," jelas Wuraji lagi.

"Ah...!" Marni terkejut bukan main. Tapi rasa terkejut bercampur gembira. "Benarkah itu, Melati?" Gadis berpakaian biru itu merasa risih bertanya pada Arya. Oleh karena itu dia bertanya pada Melati. Tentu saja gadis berpakaian putih yang tidak tahu apa-apa itu jadi gelagapan.

Sesaat lamanya gadis ini melongo. Baru setelah tersadar, Melati menoleh ke arah Arya. Dewa Arak menjadi geli melihat kekasihnya bingung. Meskipun telah berusaha menahan, tapi tetap saja seulas senyum geli terpampang di wajahnya. Dan masih dengan senyum di bibir, pemuda berambut putih keperakan ini menganggukkan kepala. Dan tak lupa mengedipkan sebelah matanya. Melati merengut melihat Arya masih sempat menggodanya. Tapi dia tidak bisa berlama-lama begitu, karena Marni masih menunggu jawabannya.

"Eh... nggg... Ya. Ya benar...," Melati menyahut agak tergagap. Mendengar jawaban itu, seketika wajah Marni berseri-seri.

Suara kepak kelelawar memecahkan keheningan malam sepi yang hanya dihiasi bulan sepotong di langit. Angin dingin yang berhembus, dan sesekali agak keras, terasa menusuk sampai ke tulang. Dalam suasana malam seperti ini, orang rasanya akan lebih suka berdiam diri di rumah. Tapi rupanya ada juga orang yang berkeliaran dalam suasana malam seperti ini.

Terbukti dengan berkelebatannya empat sosok bayangan. Gerakan mereka rata-rata cepat. Pertanda kalau keempat orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah. Empat sosok bayangan itu bergerak cepat menuju sebuah bangunan yang besar dan megah. Bangunan yang memiliki halaman luas dan terkurung pagar tembok tinggi. Tapi ternyata tingginya tembok pagar tidak bisa menghambat masuknya empat sosok bayangan itu.

Dengan mudah, indah, dan manis keempat sosok bayangan itu melompati pagar tembok. Sesaat kemudian keempat orang itu telah berada di halaman. Baru saja orang terakhir mendaratkan kedua kakinya di tanah, terdengar bentakan keras menggelegar.

"Hei...! Siapa kalian...?!"

Seiring dengan lenyapnya gema suara bentakan, tiba-tiba di hadapan empat sosok bayangan itu berdiri belasan sosok tubuh bersenjata tajam. Dan langsung mengepung. Hebatnya, empat sosok bayangan itu sama sekali tidak merasa gugup melihat hal ini. Bahkan sebaliknya, para pengepungnya itulah yang merasa kaget begitu melihat jelas wajah empat sosok yang mereka kurung.

Mereka mengenali empat sosok bayangan itu karena empat orang itulah yang siang tadi telah menyerbu dan telah menimbulkan banyak korban di antara mereka. Empat sosok bayangan itu memang tidak lain dari Dewa Arak, Melati, Marni, dan Wuraji. Marni dan Wuraji tanpa membuang-buang waktu lagi segera mencabut senjata andalannya, dan langsung menerjang para pengepung. Mau tidak mau, anak buah Siluman Tangan Maut terpaksa melayani.

Tranggg, tranggg, tringgg...!

Dentang suara senjata beradu kontan mengusik keheningan malam begitu senjata-senjata mereka sating berbenturan. Bunga-bunga api pun memercik ke udara. Marni dan Wuraji bertindak tidak kepalang tanggung. Pedang di tangan Marni dan sepasang tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan cepat mencari sasaran. Suara jerit kematian terdengar susul-menyusul mengiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa nyawa di tanah. Roboh dan tidak pernah bangkit lagi untuk sdama-lamanya.

Memang Wuraji dan Marni tidak bermaksud untuk memberi ampun pada lawan-lawannya. Setiap serangan mereka selalu mengandung hawa kematian, Dewa Arak mengernyitkan alisnya melihat tindakan Wuraji dan Marni. Pemuda berambut putih keperakan ini memang tidak mau membunuh lawan kecuali kalau memang terpaksa sekali. Sementara yang dilihatnya kini, Wuraji dan Marni enak saja menyebar maut.

Dalam waktu sebentar saja hanya tinggal beberapa orang saja yang tersisa. Dan tentu saja mereka merupakan sasaran empuk buat Marni dan Wuraji. Sesaat kemudian, sisa gerombolan itu menjerit memilukan. Roboh di tanah dengan nyawa terlepas dari raga. Marni menyeka batang pedang yang penuh berlumuran darah dengan pakaian salah seorang pengeroyok. Kemudian menyarungkan pedangnya kembali.

Dewa Arak hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat mayat-mayat yang bergeletakan di sana-sini. Tapi hal itu tidak lama. Karena Marni dan Wuraji sudah bergerak cepat menuju ke dalam. Arya tidak bisa membiarkan sepasang muda-mudi itu mengantar nyawa menghadapi Siluman Tangan Maut dan kedua orang gurunya. Oleh karena itu, pemuda be-rambut putih keperakan ini segera menyusul, diiringi Melati.

Dengan langkah gagah, Wuraji dan Marni melangkah ke dalam. Tapi langkah keduanya langsung terhenti ketika pandang mata mereka tertumbuk pada tiga sosok tubuh yang berdiri menghadang. Dan tak terasa sepasang muda-mudi ini melangkah mundur begitu mengenali tiga sosok di hadapan mereka. Siapa lagi kalau bukan Siluman Tangan Maut, Ular Kaki Seribu, dan Monyet Tanpa Bayangan?

Dewa Arak dan Melati segera melangkah maju. Kini mereka berdiri di kanan kiri Wuraji dan Marni. Dengan tenang Arya memperhatikan ketiga orang itu. Kemudian menjumput guci arak yang berada di punggung, lalu menuangkan ke mulut.

Gluk.. gluk... gluk...! Terdengar suara tegukan ketika arak melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu juga ada hawa hangat menyebar di dalam perutnya. Kemudian perlahan-lahan hawa hangat itu naik ke atas kepala.

"Kali ini kalian tidak akan kubiarkan lolos!" desis Ular Kaki Seribu tajam. Nada suaranya sarat dengan ancaman. "Terutama sekali kau, Murid Murtad!"

Tanpa sadar Wuraji melangkah mundur mendengar ucapan gurunya. Apalagi ketika kakek berpakaian kulit ular itu menudingkan telunjuk ke arahnya begitu ucapannya selesai. Wajah pemuda tampan berahang kokoh ini seketika pucat pasi. Bukan karena takut menghadapi kematian. Tapi karena tidak ingin menjadi murid murtad yang menentang guru sendiri.

Marni tahu perasaan yang bergolak di hati Wuraji. Segera dia mengulurkan tangannya. Kemudian menggenggam tangan pemuda berpakaian coklat itu erat-erat. Meskipun untuk melakukan itu gadis berpakaian biru ini harus berjuang keras memerangi perasaan malunya. Wuraji menoleh. Pemuda berpakaian coklat ini bukan orang bodoh. Tentu saja dia tahu maksud Marni melakukan itu. Maka dia pun memberikan senyum penuh rasa terima kasih. Tangannya pun balas menggenggam tak kalah erat.

"Ular Kaki Seribu...," ucap Dewa Arak dengan langkah kaki tidak tetap. Oleng ke sana kemari. "Pertarungan di antara kita belum selesai."

"Kau benar, Dewa Arak! Mari kita lanjutkan pertarungan yang tertunda," sambut Ular Kaki Seribu tak kalah gertak.

Belum lagi gema kata-katanya lenyap, kakek bermuka kuda ini sudah menerjang Arya dengan sebuah tendangan terbang.

DELAPAN

Karena telah merasakan sendiri kelihaian ilmu tendangan lawannya, Dewa Arak tidak berani bersikap ceroboh. Maka dia tidak berani langsung menangkis serangan itu. Pemuda berambut putih keperakan ini ingin mengetahui perkembangan serangan lawan lebih dulu. Oleh karena itu, Dewa Arak langsung saja melempar tubuhnya ke belakang kemudian bersalto beberapa kali di udara.

Akibatnya sudah bisa diduga. Tendangan lawan mengenai tempat kosong karena Arya sudah tidak berada di situ lagi Ular Kaki Seribu menggertakkan gigi melihat serangannya berhasil dielakkan. Kemarahannya pada Dewa Arak semakin berkobar-kobar. Tentu saja akibatnya, serangan kakek bermuka kuda ini semakin dahsyat. Sambaran-sambaran kakinya datang susul-menyusul bagaikan angin ribut. Tapi, berkat keunikan jurus „Delapan Langkah Belalang‟, Arya tidak mengalami kesuhtan untuk menangkalnya.

Sementara itu Melati sendiri sudah mulai sibuk menghadapi Monyet Tanpa Bayangan. Gadis berpakaian putih ini telah melihat sendiri kesaktian lawannya. Maka begitu menyerang, dia langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'. Kedua tangannya, sampai sebatas pergelangan, berubah merah seperti darah.

“Hiyaaat..!” Sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring, Melati menyerang. Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka, membentuk cakar naga, meluncur deras ke arah ulu hati lawan.

Rupanya gelar Monyet Tanpa Bayangan yang disandang kakek kecil kurus ini bukan omong kosong. Meskipun serangan Melati meluruk cepat ke arahnya, kakek kecil kurus ini mampu bergerak lebih cepat lagi. Tanpa menggeser kaki, dia segera mendoyongkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan Melati lewat setengah jengkal di samping kiri pinggangnya. Dan pada saat yang bersamaan, tangan kirinya disampokkan ke arah pelipis Melati.

Tapi Melati tidak menjadi gugup. Serangan balasan ini, sudah diperhitungkannya sejak tadi. Hanya saja yang membuat gadis ini agak gelagapan adalah kecepatannya yang luar biasa. Meskipun begitu, berkat pengalaman menghadapi berbagai macam pertempuran, Melati masih dapat memunahkan serangan mendadak itu. Tangan kanannya cepat diangkat ke atas kepala. Dan….

Plakkk…!

Suara benturan keras seperti beradunya dua batang logam terdengar, ketika dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Baik Melati maupun Monyet Tanpa Bayangan, sama-sama terhuyung. Dari benturan ini dapat diketahui kalau kedua tokoh ini memiliki tenaga dalam seimbang.

Monyet Tanpa Bayangan menggeram keras. Rupanya kakek ini merasa penasaran bukan main. Dia adalah seorang pentolan kaum sesat yang jarang menemukan tandingan. Selama berpuluh-puluh tahun merajalela di dunia persilatan, dia hampir tidak pernah menemukan tandingan.

Maka tentu saja kakek kecil kurus ini jadi penasaran bukan main tatkala mengetahui ada seorang tokoh muda yang mampu menandingi tenaga dalamnya. Dalam luapan perasaan amarah bercampur penasaran yang menggelora, Monyet Tanpa Bayangan mengerahkan seluruh kemampuannya. Jurus „Kera‟ yang dimilikinya langsung dimainkan. Ilmu meringankan tubuhnya pun dikerahkan sampai ke puncaknya.

“Hiyaaat..!” Monyet Tanpa Bayangan membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Kemudian langsung melompat, menyerang dengan sampokan tangan kiri ke arah pelipis. Melati terkejut bukan main.

Gadis berpakaian putih ini benar-benar gelagapan menghadapi cara penyerangan lawannya. Gerakannya begitu liar, tapi sangat cepat Mengingatkan dia pada seekor kera! Dengan agak terburu-buru Melati merundukkan tubuhnya sehingga serangan kakek berpakaian kulit beruang itu lewat di atas kepalanya.

Pada saat yang sama, kedua tangannya meluncur deras ke arah dada dan perut. Hebat bukan main serangan yang dilakukan Melati. Apalagi pada saat itu, tubuh Monyet Tanpa Bayangan sedang berada di udara. Posisi yang benar-benar tidak menguntungkan.

Tapi kelihaian Monyet Tanpa Bayangan benar-benar luar biasa! Dalam keadaan seperti itu, dia masih mampu memunahkan bahaya besar yang mengancam keselamatan nyawanya. Tangan kanannya segera dikibaskan ke bawah, menangkis kedua serangan itu.

Prattt…!

Baik Melati maupun Monyet Tanpa Bayangan sama-sama meringis begitu terjadi benturan. Namun kakek kecil kurus ini sama sekali tidak peduli. Dengan tubuh yang masih berada di udara, kaki kanannya menendang dada Melati.

Wuuuttt..!

“Hih…!” Tidak ada jalan lain bagi gadis berpakaian putih itu selain melempar tubuh ke belakang. Kemudian bersalto beberapa kali di udara. Kembali untuk yang kesekian kalinya serangan Monyet Tanpa Bayangan gagal total. Dengan sebuah gerakan yang indah dan manis, Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah.

Pada saat yang sama, Monyet Tanpa Bayangan pun hinggap di tanah. Secepat kedua pasang kaki mereka mendarat di tanah, secepat itu pula keduanya kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Kini Melati harus berjuang keras untuk menundukkan lawan tangguhnya ini.

Sementara di arena yang lain, Wuraji dan Marni pun tengah sibuk bahu-membahu menghadapi Siluman Tangan Maut. Untuk yang kedua kalinya, sepasang muda-mudi ini kembali berhadapan dengan musuh besar mereka. Bedanya, kali ini mereka bisa lebih memusatkan perhatian pada lawan. Tidak khawatir diganggu yang lain.

Kali ini kedua belah pihak yang bertarung sama-sama mengerahkan kemampuan sampai di puncaknya. Siluman Tangan Maut telah memainkan trisulanya. Sementara Wuraji menggunakan tombak pendek, dan pedang digunakan oleh Marni. Suara desing, deru, dan decit senjata tajam menyemarakkan pertarungan antara musuh bebuyutan itu.

Baik Wisanggeni maupun Wuraji dan Marni, sama-sama bersikap hati-hati. Kedua belah pihak telah sama-sama mengenal kelihaian lawan, sehingga pertarungan jadi berlangsung seru. Tak kalah seru dengan pertarungan antara Monyet Tanpa Bayangan dengan Melati.

Memang kalau dihitung perorangan, baik Wuraji maupun Marni bukan tandingan Wisanggeni. Siluman Tangan Maut jauh lebih unggul daripada mereka. Baik kekuatan tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuh. Setiap kali terjadi benturan senjata, tubuh Marni maupun Wuraji terhuyung-huyung ke belakang dengan sekujur tangan terasa hampir lumpuh.

Di saat itulah, Siluman Tangan Maut melancarkan serangan susulan. Kalau saja yang seorang lagi tidak membantu kawannya yang tengah terancam, sudah sejak tadi Wisanggeni menghabisi sepasang muda-mudi ini. Selama puluhan jurus, pertarungan antara musuh bebuyutan itu berlangsung imbang.

Tapi menginjak jurus ke enam puluh, Siluman Tangan Maut mulai terdesak. Semakin lama laki-laki berompi kuning ini semakin terdesak. Pada jurus ke tujuh puluh tiga, Marni melompat tinggi ke udara. Dan dari atas, pedangnya menyabet cepat ke arah leher. Pada saat yang bersamaan, Wuraji melemparkan tombak pendek di tangan kirinya. Bukan hanya itu saja. Pemuda berpakaian coklat ini pun meloncat menerjang. Tombak pendek di tangan kanannya menusuk deras ke arah dada.

Wunggg…!

Siluman Tangan Maut terkejut bukan main melihat serangan beruntun ini. Trisulanya diputar cepat laksana baling-baling dalam upaya menyelamatkan selembar nyawanya. Tranggg, tranggg…! Suara berdentang nyaring terdengar dua kali ketika trisula Wisanggeni berhasil menangkis serangan pedang Marni dan lemparan tombak pendek Wuraji. Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tusukan tombak putra Ketua Perguruan Kumbang Merah telah meluncur tiba. Dan….

Cappp…! Telak dan keras sekali tombak pendek Wuraji menembus perut Siluman Tangan Maut hingga ke punggung. Seketika itu juga cairan merah kental bermuncratan dari perutnya yang robek lebar. Tubuh Wisanggeni terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya mendekap luka yang menganga lebar di perutnya. Tapi pada saat itu juga, serangan susulan Marni menyambar tiba. Gadis berpakaian biru ini mengirimkan sebuah tendangan keras ke arah dada.

Desss! Terdengar suara berderak keras ketika tendangan itu telak mengenai sasaran. Seketika itu juga, tubuh Wisanggeni terlempar jauh ke belakang. Tulang dadanya remuk seketika. Cairan merah kental mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Nyawa Siluman Tangan Maut telah melayang meninggalkan raganya sebelum tubuhnya jatuh di tanah.

Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan hanya bisa menggertakkan gigi menahan geram melihat kematian Wisanggeni. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong Siluman Tangan Maut karena keadaan mereka sendiri pun tengah terdesak.

Memang, baik Dewa Arak maupun Melati, telah berhasil mendesak lawan masing-masing, setelah melalui pertarungan sengit seratus lima puluh jurus lebih. Baik Melati maupun Monyet Tanpa Bayangan sama-sama telah mengeluarkan senjata andalannya. Kakek kecil kurus berpakaian kulit beruang ini telah menggunakan kipas baja berwarna merah.

“Hiaaat…!” Arya memekik keras. Tubuhnya melompat ke atas melewati kepala lawan. Dan sesampainya di atas, tubuhnya berputar. Kemudian tangan kirinya menepak ke arah punggung Ular Kaki Seribu.

Plakkk!

Telak dan keras sekali tepakan Dewa Arak mengenai sasaran. Seketika itu juga, Ular Kaki Seribu terhuyung-huyung ke depan dan tersungkur di tanah. Segumpal cairan merah kental menyembur dari mulutnya. Ular Kaki Seribu terluka dalam!

Pada saat yang sama, Monyet Tanpa Bayangan menusukkan kipas baja merahnya ke arah dada Melati. Tapi dengan mudahnya gadis berpakaian putih itu mendoyongkan tubuh ke samping kanan, hingga serangan itu mengenai tempat kosong. Lewat setengah jengkal di samping kirinya. Tidak hanya itu saja yang dilakukan Melati. Tangan kirinya tiba-tiba meluncur cepat ke arah dada kanan lawan.

Monyet Tanpa Bayangan segera mendoyongkan tubuh ke belakang. Menurut perhitungannya, dengan cara seperti itu, serangan gadis berpakaian putih tidak mungkin mengenai sasaran. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kakek kecil kurus ini ketika tangan Melati terus mengejarnya. Sebisa-bisanya dia mencoba mengelak. Tapi….

Prattt…!

Tubuh Monyet Tanpa Bayangan terjengkang ke belakang ketika tangan Melati mengenai dada kanannya. Darah segar menyembur deras dari mulut kakek kecil kurus ini. Jelas kalau dia terluka dalam. Kakek berpakaian kulit beruang ini sama sekali tidak tahu kalau Melati menggunakan jurus „Naga Merah Mengulur Kuku‟, yang membuat tangannya bisa memanjang hampir dua kali lipat.

Kini Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan hanya bisa pasrah saja ketika Dewa Arak dan Melati menghampiri mereka yang terduduk berjejer di tanah. Aneh memang, kedua kakek ini jatuh di tempat yang berdekatan. Tapi di saat itulah sesosok bayangan coklat berkelebat menghadang langkah Dewa Arak dan Melati. Pemuda itu ternyata adalah Wuraji. Sepasang tombak pendeknya disilangkan di depan dada. Tampak jelas kalau Wuraji telah siap bertarung.

“Langkahi dulu mayatku kalau kalian ingin membunuh guruku,” tegas dan mantap sekali kata-kata yang keluar dari mulut pemuda berpakaian coklat itu.

Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan saling pandang dengan perasaan terharu melihat pembelaan Wuraji. Mereka tahu betul kalau pemuda berpakaian coklat itu bukanlah lawan Dewa Arak dan gadis berpakaian putih yang memiliki kepandaian menggiriskan. Dan seketika itu pula, timbul rasa khawatir mereka pada keselamatan muridnya. Dari semula mereka memang telah tahu kalau Wuraji adalah seorang murid yang berbakti. Hanya saja saat itu kesadaran belum timbul dalam hati mereka.

“Menyingkirlah, Wuraji. Kedua orang itu bukan tandinganmu,” ucap Ular Kaki Seribu serak seraya berusaha bangkit yang diikuti Monyet Tanpa Bayangan.

“Tidak, Guru,” bantah Wuraji tak mau kalah. “Guru telah terluka. Biar aku yang akan menghadapi mereka!”

Ternyata bukan hanya Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu yang merasa khawatir. Marni pun dilanda perasaan serupa. Hanya saja kekhawatirannya berbeda. Dia mengkhawatirkan keselamatan Wuraji. Pemuda yang menarik hatinya sejak pertama kali bertemu. Dan tanpa ragu-ragu lagi, gadis berpakaian biru ini berdiri di sebelah Wuraji menentang Dewa Arak dan Melati. Pedangnya melintang di depan dada. Kini di hadapan Dewa Arak dan Melati berdiri empat sosok yang siap bertarung.

“Apa maksudmu, Wuraji?” tanya Melati seraya menghentikan langkah dan menatap pemuda berpakaian kuning itu tajam. Nada suara gadis ini menyiratkan rasa penasaran yang amat sangat.

“Kalian hanya dapat membunuh guruku setelah terlebih dulu melangkahi mayatku!” tandas Wuraji tegas. Kedua tangannya yang memegang sepasang tombak pendek tampak menegang. Jelas pemuda berpakaian kuning ini telah siap bertarung.

Wajah Melati memerah. Dia merasa tersinggung mendengar ucapan Wuraji. Gadis berpakaian putih ini memang paling pantang mendengar tantangan yang ditujukan padanya. Tidak heran kalau ucapan Wuraji membuat amarahnya bangkit. “Gurunya setan, muridnya pun sudah pasti iblis!”

Setelah berkata demikian, Melati melompat menerjang. Pedangnya menusuk cepat ke arah leher. Ada suara menggerung keras seperti naga murka ketika pedang itu bergerak. Cepat bukan main serangan yang dilancarkan Melati. Tapi gerakan Wuraji pun tak kalah cepat. Sepasang tombak pendeknya disilangkan, menangkis serangan Melati.

Wuraji yang tahu kelihaian lawan, segera mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam tangkisannya. Tranggg…! Suara berdentang nyaring terdengar ketika dua macam senjata itu beradu. Bunga-bunga api pun memercik ke sana kemari mengiringi benturan itu Wuraji menggertakkan gigi. Kedua tangannya terasa bergetar hebat bahkan tubuhnya pun sampai terhuyung dua langkah ke belakang.

Sementara Melati sama sekali tidak bergeming. Suatu bukti kalau tenaga dalamnya masih berada di bawah Melati. Belum juga Melati melancarkan serangan susulan, sebuah serangan yang mengeluarkan suara mencuit nyaring, membuatnya melompat ke belakang untuk mengelak.

“Marni…! Kau…?!” seru Melati tak percaya, begitu melihat orang orang telah menyerangnya.

Marni menganggukkan kepala. Memang gadis berbaju biru inilah yang tadi telah menyerang Melati. “Maafkan aka Melati,” ucap Marni pelan. “Bukannya aku bermaksud melawanmu. Tapi aku tidak bisa membiarkan kau mencelakai Wuraji.”

Pelan tapi mantap suara Marni, meskipun diucapkan dengan wajah memerah. Memang, gadis berpakaian biru ini merasa malu karena ucapannya itu sama saja membuka rahasia hatinya terhadap Wuraji.

“Tahan…!” seru Arya. Dan sekali melangkahkan kaki, tubuhnya sudah berada di tengah-tengah kedua wanita cantik itu. Mencegah pertarungan yang sudah bisa dipastikan akan terjadi. “Sabar dulu, Melati. Sarungkan pedangmu,” ucap Dewa Arak pada tunangannya. “Dan kau juga, Marni.”

Melati tidak membantah. Meskipun dengan mulut agak cemberut, dimasukkan pedangnya ke dalam sarung. Begitu melihat Melati telah memasukkan pedang, Marni tanpa ragu-ragu lagi memasukkan pedangnya pula.

“Wuraji…,” panggil Arya pada pemuda tampan berahang kokoh yang kini sudah berada di sebelah Marni.

Wuraji mengangkat wajahnya, memandang Dewa Arak. “Jawab pertanyaanku,” ucap Arya lagi dengan suara yang lebih tegas. “Mengapa kau menghalangi kami?”

“Aku tidak bisa membiarkan guru-guruku dibunuh di hadapanku!” sahut Wuraji tegas. Meskipun tahu kalau dirinya bukan tandingan Dewa Arak, pemuda berahang kokoh ini tidak merasa gentar.

‟Tapi, guru-gurumu adalah datuk-datuk sesat yang jahat, Wuraji,” bantah Arya. “Merupakan kesalahan besar kalau aku membiarkan mereka mengumbar kejahatan di sana-sini.”

“Biar bagaimanapun, mereka adalah guru-guruku, Dewa Arak! Orang yang telah menanam budi besar kepadaku! Mendidikku selama bertahun-tahun. Dan kini kau menyuruhku diam melihat mereka kau bunuh?!” Wuraji menghentikan kata-katanya sebentar untuk mengambil napas.

“Andaikata mereka benar telah melakukan kejahatan besar pun, aku akan membela mereka sekalipun untuk itu aku harus mati di tanganmu. Hitung-hitung sebagai balas budiku atas jasa kedua guruku selama ini! Apalagi mereka tidak melakukan kejahatan! Aku lebih berkewajiban lagi untuk membela mereka!”

“Maksudmu.., mereka sama sekali tidak jahat..?” tanya Arya ragu-ragu.

“Mereka telah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan, Arya. Dan selama bertahun-tahun aku tinggal bersama mereka, tak sekali pun kudengar mereka melakukan kejahatan. Siluman Tangan Maut alias Wisanggeni lah yang telah mengacau dunia persilatan!”

Arya dan Melati tercenung. Mereka percaya sepenuhnya kebenaran ucapan Wuraji. Setelah saling pandang sejenak dan Arya memberi isyarat. Mendadak keduanya membalikkan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.

Tentu saja hal itu membuat keempat orang itu terkejut. Beberapa saat lamanya mereka memandangi arah kepergian Dewa Arak dan Melati dengan perasaan bingung. Terutama sekali Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. Semakin besarlah niat mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Baru sesaat kemudian Wuraji tersadar.

“Guru…,” panggil Wuraji seraya memberi hormat. Kali ini Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Siapakah gadis cantik ini, Wuraji?” tanya Ular Kaki Seribu sambil menatap Marni.

“Temanku sejak kecil, Guru,” sahut Wuraji malu-malu.

Sementara Marni hanya menunduk. Wajah gadis itu merona merah. Sejenak Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan saling pandang. Kemudian kedua kakek ini saling melempar senyum. Keduanya tahu kalau sepasang muda-mudi ini saling mencintai. Karena gadis inilah Wuraji sampai berani melawan mereka. Dan karena hendak membela Wurajilah, Marni berani menentang Dewa Arak dan Melati.

Sementara itu nun jauh di sana, Dewa Arak dan Melati tengah berjalan bersisian. Wajah sepasang muda-mudi ini nampak cerah. Satu tugas lagi telah mereka selesaikan dengan hasil baik.

Selanjutnya,
Keris Peminum Darah
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.