KEDUA orang anak muda itu telah menyusuri jalan padukuhan Nguter yang menjadi sibuk karena persoalan Mas Rara. Beberapa orang prajurit masih nampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Namun Manggada dan Laksana berjalan semakin lama semakin jauh, sehingga keduanya telah meninggalkan pintu gerbang padukuhan. Sebuah padukuhan yang ternyata menyimpan persoalan yang justru menjadi rumit.
Sementara itu. panas matahari terasa menyengat kulit. Namun hijaunya batang padi di sawah, membuat indera terasa segar. Pohon turi yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan bulak telah memberikan perlindungan kepada para pejalan. Sementara bunganva setiap kali dipetik untuk dimasak bersama beberapa jenis dedaunan.
Parit di pinggir jaian mengalir deras. Airnya jernih menyusup di antara rerumputan yang tumbuh di tanggul. Di teriknya sinar matahari, masih nampak beberapa erang bekerja di sawah. Menyiangi rumput liar yang tumbuh di sela-sela batang padi.
"Kita sekarang akan pulang" berkata Manggada. Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jalan ini adalah jalan yang langsung menuju Pajang, meskipun kita tidak akan sampai ke Pajang pada hari ini."
Manggada mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis "Bukankah kita masih mempunyai uang serba sedikit?”
"Kita masih mempunyai cukup uang. Kita belum banyak mempergunakannya dalam perjalanan" jawab Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya ia berkata. "Ternyata Mas Rara bukan gadis desa".
Laksana tertawa. Katanya, “Gadis itu juga menuju ke Pajang hari ini"
"Naik kereta" desis Manggada.
"Pengiringnya naik kuda" sahut Laksana.
"Jika demikian, kita akan mengambil jalan lain. Jika mereka juga mengambil jalan ini, mereka tentu akan melampaui kita!" berkata Manggada.
"Ya. Mas Rara yang naik kereta itu bersama Nyi Partija Wirasentana akan melambaikan tangannya kepada kita" desis Laksana sambil tertawa.
"Kita harus mengambil jalan lain" berkata Manggada.
Sebenarnyalah, ketika mereka sampai ke simpang empat Manggada telah mengajak Laksana berbelok meninggalkan jalan utama menuju ke Pajang. Dengan demikian, mereka telah menempuh jalan yang lebih kecil. Namun mereka yakin, bahwa mereka tidak akan dapat menunjukkan jalan yang menuju ke Pajang.
Ternyata jalan yang lebih kecil itu justru telah melewati sebuah padukuhan yang besar. Di sudut padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang agaknya cukup ramai di pagi hari. Menilik luasnya dan beberapa gubug di tepi pasar yang dipergunakan oleh para pande besi, maka pasar itu merupakan pasar yang cukup penting. Setidak-tidaknya di hari pasaran sepekan sekali.
Tetapi ketika keduanya melewati jalan di sebelah pasar itu, maka pasar itu sudah menjadi sepi. Meskipun demikian, masih juga ada sebuah kedai yang masih dibuka. Bahkan masih ada satu dua orang di dalamnya.
"Kita berhenti sebentar. Aku haus" desis Laksana.
Manggada mengangguk. Iapun merasa sangat haus setelah berjalan di bawah teriknya matahari di bulak panjang.
Di kedai itu Manggada dan Laksana itu mendengar beberapa orang yang telah ada di dalamnya berbicara tentang padukuhan mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang tinggal di sekitar pasar itu.
Seorang di antara mereka berkata “Ternyata keadaan mulai menjadi buruk lagi. Perselisihan di antara kedua orang yang berpengaruh itu akibatnya tidak hanya menimpa mereka dan keluarga mereka. Tetapi orang-orang yang terkait dalam kerja dengan merekapun terpengaruh pula".
Manggada dan Laksana yang sedang minum minuman hangat itupun tergoda untuk mendengarkannya. Namun kemudian keduanya menarik nafas dalam-dalam hampir bersamaan. Ternyata yang mereka bicarakan benar-benar persoalan keluarga.
Seorang yang lain berkata “Lamaran yang semula nampaknya akan diterima itu, kenapa tiba-tiba saja telah ditolak?”
"Kau benar-benar tidak tahu sebabnya?" orang pertama bertanya.
"Tidak!"
"Itulah. Semula keadaan membaik. Keduanya nampaknya akan mengijinkan anak-anak mereka menikah. Tetapi tiba-tiba keadaan menjadi buruk lagi ketika mereka mulai berbicara tentang air yang mengalir di antara sawah-sawah mereka yang sudah lama menjadi sengketa" jawab orang pertama.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa persoalan air telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di antara kedua keluarga dari orang-orang yang berpengaruh di padukuhan itu. Nampaknya perselisihan itu akan diakhiri dengan perkawinan antara anak-anak mereka. Tetapi perkawinan itupun telah urung pula.
Manggada dan Laksana tidak menaruh banyak perhatian tentang persoalan keluarga itu. Namun yang kemudian menarik adalah justru ketika mereka berbicara tentang pasar yang cukup luas itu.
Dari pembicaraan mereka, Manggada dan Laksana dapat mengetahui bahwa pasar itu adalah pasar yang terbesar di antara tiga buah pasar yang ada di Kademangan mereka. Justru lebih besar dari pasar yang ada di Kademangan induk. Namun pembicaraan mereka terputus ketika dua orang di antara mereka harus meninggalkan kedai itu.
"Kami masih harus melihat air. Jika kotak sawah kami sudah penuh, kami harus menutupnya. Kotak-kotak sawah yang lain tentu membutuhkannya" berkata salah seorang dari mereka yang meninggalkan kedai itu.
Manggada dan Laksanapun kemudian telah membayar harga minuman dan beberapa potong makanan. Ketika mereka keluar dari kedai itu, matahari sudah condong di sisi Barat.
Keduanyapun kemudian telah melanjutkan perjalanan melewati lorong di dalam padukuhan yang cukup besar itu. Beberapa rumah di pinggir jalan itu memang cukup besar dan rapi. Agaknya padukuhan itu termasuk padukuhan yang berkecukupan.
Namun ketika Manggada dan Laksana melewati tiga padukuhan yang disekat oleh bulak-bulak panjang, matahari sudah menjadi sangat rendah. Sebentar lagi senja tentu akan segera turun.
"Apakah kita akan bermalam di sini?" bertanya Manggada.
Laksana termangu-mangu. Padukuhan itu memang tidak sebesar padukuhan yang memiliki pasar terbesar di Kademang-an itu. Tetapi nampaknya padukuhan itu cukup ramai.
"Kita bermalam di padukuhan yang kecil dan sepi saja" berkata Laksana.
"Kenapa?" bertanya Manggada.
"Nampaknya di sini terlalu sibuk. Jika bermalam di banjar, agaknya di banjar padukuhan itupun banyak terdapat anak-anak muda atau orang-orang lain dengan kesibukannya" jawab Laksana.
Manggada mengangguk. Katanya “baiklah. Kita melintasi satu bulak lagi"
Keduanyapun telah meneruskan perjalanan. Langitpun menjadi semakin suram. Matahari telah semakin rendah dan kemudian bertengger di punggung bukit. Namun sejenak kemudian, senja benar-benar turun.
Kedua anak muda itu telah memasuki sebuah padukuhan yang lebih kecil dan lebih sepi, sehingga Laksana menganggap bahwa tempat itu adalah tempat yang paling baik untuk beristirahat. Apalagi di pinggir padukuhan itu terdapat sebuah sungai kecil yang airnya cukup jernih. Karena itulah, kedua orang anak muda itu telah menuju ke banjar padukuhan ketika malam mulai turun.
Ternyata banjar padukuhan yang tidak begitu besar itu nampak sepi. Lampu memang sudah dinyalakan, tetapi tidak ada seorangpun yang nampak di banjar maupun di halamannya. Agaknya orang yang menyalakan lampu minyak itu telah pergi pula meninggalkan banjar yang kosong itu.
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun Manggadapun kemudian berdesis “Suasana yang sesuai dengan keinginanmu. Sepi".
"Ah" Laksana berdesah “kita bertanya di rumah sebelah".
Keduanya telah pergi ke rumah di sebelah banjar itu Rumah yang juga tidak begitu besar meskipun halamannya cukup luas. Namun nampaknya tidak cukup terpelihara. Ternyata pintu rumah itu sudah tertutup. Perlahan-lahan agar tidak mengejutkan pemilik rumah itu. Manggada mengetuk pintunya.
Sejenak kemudian, pintu rumah itu memang terbuka. Seorang laki-laki yang sudah lewat setengah abad berdiri lermangu-mangu di belakang pintu.
"Siapa yang kalian cari anak-anak muda?" bertanya laki-laki itu.
Manggadapun kemudian menjelaskan, bahwa ia sekadar ingin bermalam di banjar. Tetapi banjar itu ternyata kosong meskipun lampu telah menyala.
"O. Mari... mari silahkan. Akulah yang telah menyalakan lampu di banjar itu" orang tua itu ternyata cukup ramah.
"Tetapi kami hanya ingin mohon ijin untuk bermalam di banjar" berkata Manggada.
"Banjar kami seluruhnya terbuka anak-anak muda" jawab orang tua itu "angin malam akan berhembus mendinginkan darah kalian. Karena itu, jika kalian ingin bermalam, marilah, bermalam saja di rumahku. Aku jugalah yang melayani banjar itu. sehingga bagiku, kalian lebih baik bermalam di sini daripada di banjar. Jika ada air panas, aku tidak usah membawa ke banjar".
"Tetapi, kami tidak ingin membuat Kiai menjadi sibuk” jawab Manggada "kami hanya ingin tidur. Itu saja".
"Sudahlah, marilah. Jangan segan-segan. Di rumah ini aku juga hanya sendiri" orang tua itu masih saja mempersilahkan.
Manggada dan Laksana tidak dapat menolak. Merekapun kemudian telah melangkah masuk ke rumah orangtua itu.
Seperti halamannya yang kurang terpelihara, isi rumah itu pun agaknya kurang terawat. Apalagi perabot rumah itu memang cukup sederhana. Tidak ada barang-barang yang berharga yang tampak. Tentu saja keduanya tidak tahu, apakah orangtua itu mempunyai simpanan atau tidak.
"Duduklah" orangtua itu mempersilahkan.
Manggada dan Laksanapun duduk di sebuah amben yang besar. Ketika orangtua itu masuk ke sentong kiri sejenak, Manggada dan Laksana sempat memperhatikan isi rumah itu. Selain amben besar tempat mereka duduk, mereka hanya melihat sebuah geledeg bambu yang agak besar. Ajug-ajug, tempat orangtua itu meletakkan dlupak minyak klentik yang sudah menyala. Apinya tampak bening dan tidak terlalu banyak mengeluarkan asap kehitam-hitaman.
Sejenak kemudian, orangtua itu telah keluar dari sentong kiri. Ternyata ia telah membenahi pakaiannya. Dikenakannya baju yang lebih pantas, serta merapikan rambutnya yang panjang di bawah ikat kepalanya.
"Di sini angger berdua tentu merasa lebih hangat daripada di banjar" berkata orangtua itu.
"Tetapi kami benar-benar tidak ingin merepotkan Kiai. Kami hanya ingin tidur. Besok pagi-pagi kami ingin melanjutkan perjalanan" jawab Manggada dan Laksana.
"Angger berdua itu akan pergi kemana?" bertanya orangtua itu.
Manggada dan Laksana sempat menceriterakan serba sedikit tentang perjalanannya. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin pulang.
"Apakah angger berdua sudah tahu, jalan manakah yang harus angger lalui?" bertanya orangtua itu.
"Tidak terlalu sulit. Kiai. Bukankah setiap orang akan dapat menunjukkan jalan ke Pajang? Setelah sampai di Pajang, kami dapat dengan mudah mencari jalan pulang" jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Katanya “Baiklah jika demikian. Tampaknya, angger berdua telah berpengalaman menempuh perjalanan".
"Kami memang sedang menempuh perjalanan panjang. Mungkin jauh lebih panjang dari jalan yang seharusnya menuju ke Pajang, karena kami memang sedang mengembara. Kami ingin melihat seberapa jauhnya cakrawala".
Orangtua itu tertawa. Katanya “Kalian tampaknya memang anak-anak muda yang haus akan pengalaman. Jika kau dekati cakrawala, maka cakrawala itu akan selalu saja tetap jauh. Jika cakrawala itu kemudian membentur gunung, maka cakrawala itu justru akan menghilang".
"Itulah yang menarik, Kiai" jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk pula. Katanya “Bagus anak muda. Pengalaman dapat memberikan banyak pengetahuan kepada kalian, asal kalian dapat menangkapnya dan mencerna dengan baik didalam dirimu".
"Kami memang ingin melakukannya Kiai. Tetapi betapa bodohnya kami, sehingga apa yang kami alami, apa yang kami lihat, dan apa yang kami dengar, tidak menambah pengetahuan kami, sehingga kami masih saja tetap dungu" jawab Manggada.
Orangtua itu tertawa. Katanya “Kalian ternyata adalah anak-anak muda yang cerdas. Bukankah kalian ingin mengatakan, semakin banyak yang kalian ketahui, maka kalian merasa semakin banyak pula yang tidak kalian ketahui?”
Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Namun Laksana kemudian berkata “Ya Kiai. Kami memang merasa demikian".
"Bagus" orangtua itu mengangguk-angguk "itu adalah pertanda bahwa pintu berbendaharaan ilmumu terbuka. Kalian akan dapat menimba pengetahuan sebanyak-banyaknya. Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan, maka itu adalah batas akhir dari kemampuannya, la telah menutup pintu perbendaharaan pengetahuannya sendiri, sehingga orang yang demikian itu tidak akan dapat menambah ilmu dan pengetahuan lagi".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Menurut pendapat kedua anak muda itu, orangtua itu ternyata memiliki jangkauan penalaran yang jauh. Jauh lebih luas dari ujud kewadagannya yang sangat sederhana itu. Tetapi kedua anak muda itu tidak mengatakan sesuatu tentang orangtua itu.
Namun orangtua itu tiba-tiba saja berkata “Silakan duduk anak muda. Aku akan merebus air".
Sudahkah Kiai. Terima kasih. Kiapun sudah waktunya untuk beristirahat Bukankah Kiai tadi sudah berbaring?" bertanya Mangagada.
Orangtua itu tersenyum. Katanya “Aku mempunyai pohon jeruk pecel. Tentu sedap sekali untuk membuat minuman di malam yang dingin begini. Hanya daunnya. Bukan jeruknya. Aku juga mempunyai beberapa tangkap gula kelapa Jangan kira aku membeli. Aku justru menjual gula kelapa, karena aku mempunyai beberapa batang pohon kelapa yang aku sadap air manggarnya".
"Tetapi sudahlah Kiai. Kiai tidak usah menjadi sibuk karena kehadiran kami" berkata Laksana.
Orangtua itu justru tertawa. Katanya “Aku ingin memanaskan tubuhku. Malam terasa sangat dingin." Manggada dan Laksana tidak dapat mencegahnya lagi. Orangtua itu kemudian meninggalkan keduanya di ruang tengah. Lewat pintu samping' orangtua itu telah pergi ke dapur.
Ketika pintu samping terbuka, dan tengah bertiup menyibakkan kain yang menutup pintu sentong tengah yang tidak berdaun, kedua anak muda itu sempat melihat sebuah ploncon dengan tiga batang tombak di dalamnya, serta sebuah songsong yang berwarna kuning bergaris hijau.
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Demikian orangtua itu pergi ke dapur, maka Manggadapun berkata “Kau lihat songsong itu?”
"Ya. Tetapi apakah songsong itu milik Kiai pemilik rumah ini? Jika ia petugas banjar padukuhan, ia tentu orang yang sudah terhitung lama tinggal di sini" jawab Laksana.
Manggadapun mengangguk-angguk. Namun songsong dan tiga batang tombak di sentong tengah itu, telah menimbulkan pertanyaan di hati kedua anak muda itu. Ternyata orangtua itu cukup lama berada di dapur. Ia harus, membuat api, mengisi periuk dan menunggu air itu mendidih. Di ruang dalam, Manggada dan Laksana menjadi gelisah.
Bahkan Laksana pun berdesis “Aku sudah mengantuk".
"Orangtua itu sedang merebus air bagi kita. Jangan kecewakan dia" berkata Manggada.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, pintu samping telah terbuka lagi. Orangtua itu dengan nampan yang bulat terbuat dari kayu, telah membawa beberapa mangkuk minuman dan bahkan ketela rebus. Asapnya masin tampak mengepul di atasnya.
"Maaf, mungkin aku terlalu lama. Aku telah pergi ke kebun untuk memetik daun jeruk pecel dan mencabut dua batang ketela pohon" berkata orangtua itu.
"Ah, kami membuat Kiai menjadi sibuk sekali" desis Manggada.
"Tidak. Tidak. Aku senang masih ada orang yang mau datang kerumahku" jawab orangtua itu seakan-akan di luar sadarnya.
Manggada dan Laksana saling berpandangan pula. Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa.
Demikianlah. Sejenak kemudian, mereka telah menikmati rebus ketela dan minuman yang masih hangat. Seperti dikatakan oleh orangtua itu. Mereka menghirup wedang jeruk. Namun bukan jeruknya, tetapi daunnya sajalah yang dipakai untuk menyedapkan air yang telah mendidih, kemudian diberi beberapa potong gula kelapa.
Ketika kemudian angin malam menyusup di antara dinding-dinding yang berlubang, dan sekali lagi menyingkapkan kain penutup pintu yang tidak berdaun di sentong tengah, maka di luar sadar, Manggada dan Laksana telah memperhatikan lagi songsong dan tombak yang ada di sebuah ploncon yang besar di sentong tengah itu.
Ternyata orangtua itu tanggap. Karena itu, tanpa diminta orangtua itupun berkata “Songsong itu adalah songsong titipan. Selain songsong itu ada tiga batang tombak yang menurut pemiliknya mempunyai tuah".
Kedua anak muda yang mulai berkeringat oleh panasnya wedang jeruk dan ketela pohon yang masih hangat itu, mengangguk-angguk. Tetapi mereka mengharap orangtua itu berceritera lebih banyak lagi tentang songsong dan tombak itu. Namun ternyata orangtua itupun telah menghirup minuman panas dan makan ketela rebus itu pula. Bahkan telah mempersilahkan kedua anak itu untuk makan pula lebih banyak lagi.
Berapa saat Manggada dan Laksana menunggu. Tetapi orangtua itu tidak berceritera lagi tentang songsong dan tombak itu. Karena itu, Laksana yang ingin mengetahui 'ebih banyak lelah bertanya “Siapakah yang telah menitipkan songsong dan tombak-tombak itu?”
Orangtua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya "Sudah lama terjadi. Aku sendiri tidak tahu. apakah orang yang menitipkan benda-benda itu masih ingat atau tidak" orangtua itu berhenti sejenak. Lalu katanya “Saat itu, banjar di sebelah masih dianggap banjar padukuhan ini".
"Apakah sekarang sudah tidak?" bertanya Laksana.
"Orang-orang padukuhan ini telah membuat banjar yang lebih baik. Karena itu, banjar ini tidak lagi banyak dipergunakan. Hanya kadang-kadang saja jika kegiatan di banjar yang baru itu sudah tidak menampung lagi. Karena itu, banjar ini tampak sepi. Hanya kadang-kadang saja para pemuda singgah beberapa lama duduk-duduk di banjar lama itu. Lalu meneruskan tugas mereka lagi mengelilingi padukuhan. Terakhir mereka kembali ke banjar baru”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Merekapun menganggap bahwa banjar itu memang terlalu sepi. Namun merekapun kemudian mengetahui bahwa disamping banjar lama itu, sudah ada lagi banjar yang baru, sehingga hampir semua kegiatan padukuhan itu telah beralih ke banjar yang baru itu.
Tetapi kedua anak muda itu segera teringat kembali kepada pertanyaan mereka yang belum terjawab. Karena itu, Laksanapun kembali bertanya “Tetapi, siapakah yang telah menitipkan pusaka-pusaka itu?”
"Itu sudah lama terjadi" jawab orangtua itu “seandainya aku sekarang bertemu dengan orang yang menitipkan pusaka-pusaka itu, aku sudah tidak akan dapat mengenalinya lagi".
"Jadi, bagaimana seandainya ada orang lain yang berpura-pura memiliki pusaka-pusaka itu?" bertanya Manggada. Lalu "Orang yang pernah mengetahuinya, datang dan mengaku bahwa orang itulah yang telah menitipkannya dan kemudian akan mengambilnya kembali".
Orangtua itu tertawa. Katanya “Itu tidak mungkin ngger. Pada tangkai songsong itu terdapat karah besi baja. Di bawah karah besi baja itu, terdapat patung kecil yang kakinya tepat masuk pada karah besi itu. Patung seekor harimau yang terbuat dari perunggu. Nah, siapa yang membawa patung itu dan kakinya dapat masuk tepat pada lubang karah besi itu, barulah ia dapat mengambilnya"
Manggada mengerutkan dahinya dan Laksana mengangguk-angguk. Katanya “Jika orang yang memiliki patung itu telah melupakannya dan tidak akan mengambilnya lagi?”
"Benda-benda itu akan menjadi benda-benda yang tidak bertuan. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya" jawab orangtua itu.
"Bukankah dengan demikian benda-benda itu akan menjadi milik Kiai?" bertanya Manggada.
"Ah" orangtua itu tertawa. Katanya “Tidak pantas aku memiliki benda-benda seperti itu. Yang pantas bagiku adalah cangkul dan barangkali bajak dan garu".
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggadapun bertanya “Kenapa patung kecil itu dilepas, Kiai. Apakah sengaja untuk menjadi pertanda bagi pemiliknya, atau karena perhitungan lain".
"Yang penting adalah bagi pertanda itu. Tanpa pertanda itu, tidak seorangpun dapat mengambilnya. Tetapi sebenarnya patung kecil itu sejak sebelumnya memang sudah dilepas. Pemilik songsong itu tidak sampai hati melihat patung harimau yang kakinya melekat pada karah tangkai songsong itu. Jika songsong itu diletakkan pada tangkainya, maka kepala harimau itulah yang akan menjadi tumpuannya." jawab orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum, Manggada bertanya “Apakah orang yang memiliki songsong itu seorang yang hatinya sangat lembut, sehingga merasa belas kasihan terhadap sebuah patung?”
"Ya" orangtua itu mengangguk-angguk "seorang yang hatinya memang sangat lembut. Seorang yang ramah dan berpandangan luas"
"Apakah ia datang seorang diri dengan membawa songsong dan pusaka-pusaka itu?" bertanya Laksana.
"Tidak. Ia datang dengan beberapa orang pengiringnya" jawab orangtua itu. Lalu katanya “Tanpa mau mengatakan tentang dirinya, asalnya dan tujuannya. Ia hanya mengatakan bahwa ia menitipkan songsong dan pusaka-pusaka itu. Pada suaiu saat, akan diambilnya dengan pertanda yang dibawanya. Tetapi ternyata, sampai sekarang benda-benda itu masih belum diambilnya".
"Sudah berapa tahun benda itu ada di sini?" bertanya Manggada.
"Sudah lama. Jauh sebelum Raden Panji Prangpranata berkuasa di daerah ini" jawab orangtua itu.
"Jadi kekuasaan Raden Panji Prangpranata juga terasa sampai di sini?" bertanya Manggada.
"Ya. Raden Panji yang semula menjadi gantungan harapan rakyat dengan menghalau kerusuhan di daerah ini, ternyata kemudian justru mencemarkan sekali" jawab o-rangtua itu.
"Apakah Raden Panji sering datang kemari?" bertanya Laksana.
"Perempuan di sebelah, kira-kira berantara empat rumah dari rumah ini, telah diambil menjadi isterinya. Tetapi entah apa yang terjadi, perempuan itu telah meninggal" jawab orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Jarak padukuhan itu dari pusat pengendalian pasukan Raden Panji tidak jauh berbeda dengan jarak antara Nguter dan tempat tinggal orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Jarak padukuhan itu dari pusat pengendalian pasukan Raden Panji tidak jauh berbeda dengan jarak antara Nguter dan tempat tinggal Raden Panji.
"Untunglah bahwa Raden Panji tidak mengetahui Songsong dan pusaka-pusaka yang ada di rumah ini. Jika ia mengetahui, mungkin benda-benda itu sudah diambilnya." berkata orangtua itu pula.
Namun kemudian Manggada berkata “Raden Panji" telah diganti Kiai".
"He?" orangtua itu terkejut "darimana kau tahu?
"Aku baru saja dari Nguter. Peristiwa pergantian kedudukan itu terjadi di Nguter" jawab Manggada.
"Siapakah yang menggantikan kedudukan Raden Panji sekarang?" bertanya orangtua itu.
"Ki Panji Wiratama" jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Katanya “Aku belum mengenalnya. Tetapi mudah-mudahan caranya memerintah lebih baik dari Raden Panji Prangpranata.
"Tampaknya begitu Kiai" jawab Manggada.
"Petugas yang baru itu tentu saja tidak tahu bahwa di rumah ini ada benda-benda pusaka yang dititipkan. Jika mereka mengetahui, dan berusaha untuk mengambilnya tanpa menunjukkan penanda sebagaimana yang diperankan oleh pemiliknya, aku tentu menjadi sangat bingung. Aku tidak berani menolak, tetapi aku juga tidak berani memberikan" berkata orangtua itu.
"Ki Panji Wiratama tidak akan berbuat seperti Raden Panji" berkata Manggada. "Menilik sikapnya dan langkah-langkah yang diambilnya."
"Sebelum memegang kekuasaan" desis orangtua itu.
"Ya. Sebelum menggantikan kedudukan Raden Panji" jawab Manggada.
"Itulah nggger. Kadang-kadang seseorang dapat berubah karena kedudukanya. Kelengkapan duniawi yang mewarnai kehidupan seseorang, akan dapat menusuk sampai kewatak dan pribadinya, sehinggga seseorang akan dapat menjadi orang lain. Tetapi mudah-mudahan tidak demikian dengan orang yang baru itu. Karena aku yakin bahwa masih ada orang yang tetap teguh berpijak pada pribadinya, meskipun ia mengalami banyak perubahan dalam hubungannya dengan tata kehidupan keduniawiannya" berkata orang itu.
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata “Ya. Mungkin sekali hal seperti itu terjadi".
"Ya anak-anak. muda" berkata orangtua itu bersungguh-sungguh "kalian berdua masih muda. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Jika pada suatu ketika kalian mendapat satu kedudukan yang tinggi, maka kalian jangan cepat berubah. Jika perubahan itu membuat kalian menjadi lebih baik, itu tidak mengapa. Tetapi jika sebaliknya".
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara orangtua itu berkata “Marilah. Silahkan minuman hangat kalian".
"Ya, ya Kiai" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Namun rasa-rasanya kedua anak muda itu masih ingin mengetahui lebih banyak tentang pusaka-pusaka itu. Tetapi mereka tidak merasa pantas untuk mendesak orangtua itu untuk berbicara lebih banyak lagi.
Yang kemudian diceriterakan oleh orangtua itu adalah perkembangan padukuhannya. Meskipun perlahan-lahan, namun semakin lama menjadi semakin baik. "Kita sudah berhasil membuat sebuah banjar yang lebih baik, dan perbaikan-perbaikan yang lain yang mulai merata"
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sebenarnya mereka tidak begitu tertarik mendengar ceritera tentang padukuhan itu. Namun mereka tidak ingin menyinggung perasaan orangtua itu.
Tetapi tiba-tiba saja Laksana bertanya “Apakah nama padukuhan ini Kiai?”
Orangtua itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Nama padukuhan ini singkat saja. seperti padukuhan yang kau sebut-sebut, Nguter. Nama padukuhan ini Ngandong. Termauk Kademangan Ringin Sewu".
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu, orangtua itu masih juga berceritera tentang padukuhan dan Kademangan, tanpa menyinggung lagi tentang songsong dan pusaka-pusaka itu.
Baru setelah orangtua itu merasa puas dengan ceriteranya, iapun berkata “Nah anak muda. Maaf, aku terlalu banyak berbicara. Kalian berdua tentu letih dan mengantuk. Silahkan angger berdua beristirahat".
"Terima kasih Kiai" jawab keduanya hampir berbareng.
"Tetapi aku tidak mempunyai tempat yang lebih baik dari amben ini ngger. Aku persilahkan kalian tidur di amben ini" berkata orangtua itu.
"Terima kasih Kiai. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya!" sahut Manggada. Namun ia masih juga bertanya. “Tetapi kenapa Kiai tinggal seorang diri di sini? Apakah Kiai tidak mempunyai sanak kadang?”
"Ada ngger. Aku sebenarnya mempunyai seorang anak laki-laki" jawab orang itu "tetapi ia sudah dewasa dan berumah-tangga. Sebenarnya, anakku minta aku tinggal bersamanya, namun padukuhan ini masih memerlukan aku, sehingga aku harus tetap tinggal di sini merawat banjar tua itu. Entahlah besok kalau aku menjadi semakin tua. Sementara anakku sama sekali tidak berminat untuk menggantikan tugasku merawat banjar tua ini".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula. Sementara orangtua itu berkata “Silahkan beristirahat anak muda. Akupun sudah mengantuk".
Orangtua itupun kemudian telah menyingkirkan mangkuk-mangkuk minuman dan dibawanya ke dapur. Manggada dan Laksana memandangi ruangan itu sekilas. Kemudian mereka membaringkan diri. Mereka meletakkan pedang-pedang mereka di sisi tubuh mereka yang terbaring.
Bagaimanapun juga. kedua anak muda itu harus berhati-hati. Mereka berada di tempat yang tidak begitu dikenalnya. Karena itu, mereka telah sepakat untuk bergantian tidur.
Namun mereka berdua tidak ingin menunjukkan sikap hati-hati kepada orangtua pemilik rumah itu. Orangtua itu akan dapat menjadi salah mengerti dan tersinggung karena merasa dicurigai.
Beberapa saat kemudian suasana di rumah itu telah menjadi hening. Orangtua pemilik rumah itu, yang membawa mangkuk-mangkuk ke dapur, telah kembali pula dan masuk ke dalam sebuah bilik kecil di sebelah kiri sentong tengah, tempat ia menyimpan songsong dan tiga batang tombak yang dikatakannya barang-barang titipan itu.
Sesekali angin memang menyingkap tirai sentong tengah itu, dan kedua anak muda itu dapat melihat songsong dan tiga batang tombak yang panjangnya tidak sama itu.
Ketika malam menjadi semakin hening, Manggada yang mendapat giliran untuk berjaga-jaga, meskipun sambil berbaring, melihat orangtua itu keluar dari bilik kecilnya.. Di bawah cahaya lampu yang redup, Manggada melihat orangtua itu termangu-mangu sejenak. Diperhatikannya kedua anak muda yang disangkanya telah tertidur itu.
Perlahan-lahan orangtua itu melangkah ke sentong tengah. Kemudian hilang di balik tirai yang tergantung di lubang pintu yang tidak berdaun itu.
Manggada telah menggamit Laksana yang sudah mulai tertidur. Namun Manggadapun telah berdesis untuk memberi isyarat agar Laksana tidak bertanya kepadanya. Dengan isyarat pula, Manggada menunjuk pintu sentong tengah yang tertutup oleh tirai itu.
Tetapi ketika tirai itu tersingkap oleh angin yang menyusup lewat lubang-lubang dinding, kedua anak muda itu melihat, orangtua pemilik rumah itu berjongkok di depan ploncon tempat ia meletakkan songsong dan ketiga batang tombak itu. Tangannya diletakkannya pada ploncon itu. sedangkan kepalanya menunduk dalam-dalam.
Hal itu dilakukannya beberapa saat. Namun kedua anak muda itu tidak melihat orangtua itu keluar dari sentong tengah. Tangannya sibuk mengusap matanya, tanpa diketahui sebabnya. Apakah ada seekor binatang kecil masuk ke dalam mata tua itu, atau orangtua itu baru saja menangis.
Namun sejenak kemudian, orangtua itu justru melangkah mendekati Manggada dan Laksana yang baru tidur, meskipun hanya berpura-pura. Kepada diri sendiri, orangtua itu bergumam "Sebaiknya mereka meninggalkan rumah ini pagi-pagi benar, sebelum orang-orang itu datang. Sayang, mereka datang pada saat yang tidak baik. Jika saja tidak ada persoalan apapun, aku ingin menahannya barang satu dua hari untuk menemani aku".
Orangtua itupun kemudian melangkah meninggalkan Manggada dan Laksana kembali masuk ke dalam biliknya. Manggada dan Laksana tidak mengatakan apa-apa. Mereka berdua justru terdiam dan mencoba mengurai kata-kata orangtua itu. Namun akhirnya justru kedua-duanya tertidur bersama-sama.
Menjelang fajar, keduanya terkejut. Mereka mendengar pintu samping berderit keras. Ketika keduanya terbangun, mereka melihat orangtua itu masuk membawa mangkuk minuman hangat. Agaknya orangtua itu sudah lebih dahuiu bangun dan menjerang air di dapur,
"Hampir fajar" berkata orang itu sambil tersenyum "silahkan minum minuman hangat. Kalian tentu akan berangkat sebelum matahari terbit. Saat yang paling baik untuk memulai sebuah perjalanan. Mungkin kalian masih akan mandi lebih dahulu. Di belakang rumah ini ada pakiwan.
Manggada dan Laksana kemudian bergantian pergi ke pakiwan. Bergantian pula mereka menimba air dengan timba upih yang tergantung pada senggol bambu yang panjang. Namun kedua anak muda itu sempat berbicara tentang kata-kata orangtua yang sama-sama dapat mereka dengar.
"Tampaknya akan terjadi sesuatu di rumah ini" berkata Manggada.
"Ya. Itulah agaknya, dengan sengaja ia membuka pintunya agak keras, agar kita berdua terbangun karena ternyata kita berdua telah titidur bersama-sama" sahut Laksana.
"Ia menghendaki agar kita meninggalkan tempat ini pagi-pagi sekali" desis Manggada.
"Kita akan mengulur waktu" desis Laksana,
"Ya. Akupun ingin tahu apa yang akan cerjadi. Apakah ada hubungannya dengan songsong dan tombak-tombak itu" sahut Manggada
Laksana mengangguk-angguk. Mereka harus mendapatkan cara untuk dapat bertahan berada di tempat itu sampai orang-orang yang dimaksusud oleh orangtua itu datang.
Sejenak kemudian, mereka telah duduk di ruang dalam rumah orang-tua yang tidak begitu besar itu. Minuman yang disediakan masih tetap hangat. Wedang jahe dengan gula kelapa yang kehitam-hitaman.
"Marilah ngger" orangtua itu mempersilahkan "mumpung masih pagi. Udaranya masih segar dan matahari pun belum mulai naik".
"Terima kasih Kiai" jawab Manggada sambil mengangkat mangkuknya. Demikian pula Laksana.
"Aku tidak dapat menyuguhkan apapun kecuali sekadar minum" berkata orangtua itu pula,
Kaduanya tidak menjawab. Tetapi keduanya sibuk meneguk minuman hangat dengan gula kelapa yang menurut orangtua itu dibuatnya sendiri.
“Maaf anak-anak muda" berkata orangtua itu kemudian "sebentar lagi, aku harus berada di kebun kelapaku. Aku harus menyadap legen untuk membuat gula. Pekerjaan yang aku lakukan dua kali sehari".
"Kiai masih memanjat dan menyadap sendiri?" bertanya Manggada.
"Ya. Aku lakukan itu setiap hari, pagi dan sore" berkata orangtua itu,
"Kiai" tiba-tiba saja Laksana berkata “apakah kami dapat membantu?”
Wajah orangtua itu berkerut. Katanya “Tidak. Itu tidak perlu. Aku justru ingin mempersilahkan angger berdua mulai dengan perjalanan pagi-pagi, mumpung matahari belum terbit. Sementara aku pergi ke kebun kelapa. Aku harus mulai pagi-pagi sekali agar tidak kesiangan"
"Kiai" berkata Manggada "kami berdua tidak tergesa-gesa. Kami ingin mengucapkan terima kasih dengan melakukan apa saja pagi ini. Nanti setelah matahari sepenggalah. kami akan melanjutkan perjalanan"
Orangtua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Aku tahu. Kalian berdua tentu masih ingin mendengar ceritera tentang songsong dan pusaka-pusaka itu. Marilah, aku akan menunjukkan kepada angger berdua agar angger tidak dibebani oleh perasaan ingin tahu. Benda-benda yang terlarang untuk disaksikan. Tetapi aku memang membatasi diri agar tidak terlalu banyak orang yang mengetahuinya. Jika demikian, maka kemungkinan buruk akan dapat terjadi".
Sebelum kedua anak muda itu menjawab, orangtua itu telah melangkah ke sentong tengah. Disingkapkannya tirai pintu sentong tengah itu dan disangkutkannya pada uger-uger di sebelah.
"Marilah ngger. Silahkan melihat-lihat benda-benda titipan ini." berkata orangtua itu.
Manggada dan Laksana tidak dapat menolak. Merekapun telah masuk pula ke sentong tengah, sementara orangtua itu berlutut di depan ploncon tempat songsong dan tombak-tombak itu diletakkan.
“Inilah benda-benda itu ngger. Bukankah seperti songsong kebanyakan?" Tampaknya memang songsong bertanda kebangsawanan, karena warnanya yang kuning emas itu dan lingkaran hijau di tengah-tengahnya.
Manggada dan Laksana masih tetap berdiri tegak. Tetapi dalam cahaya pagi serta sinar lampu di ruang tengah, keduanya melihat karah tangkai tombak di bawah mata tombak itu terbuat dari logam yang berwarna kekuning-kuningan, “Emas” desis keduanya di dalam hati. Bahkan ketika mereka sempat melihat tombak yang bertangkai lebih pendek, karah itu bukan saja terbuat dari emas. tetapi terdapat pula permata yang gemerlapan.
Agaknya orangtua itu mengerti, apa yang diperhatikan oleh kedua anak muda itu. Karena itu, maka katanya “Sama sekali bukan emas dan permata. Tetapi logam-logam tiruan sehingga mirip seperti emas. Demikian pula permata itu”
“Meskipun tiruan, tetapi bentuknya bagus sekali Kiai” sahut. Manggada.
“Nah, sekarang angger berdua telah melihatnya” desis orangtua itu sambil bangkit dan melangkah surut. “Marilah kita kembali ke ruang tengah”
Ketiganya telah duduk kembali diamben yang besar. Sementara orang tua itu berkata “Maaf angger. Sebentar lagi aku akan pergi ke kebun. Mungkin agak lama. Karena itu. maka biasanya aku menutup pintu depan rapat-rapat dan keluar lewat pintu butulan. Sementara itu, angger berdua dapat melanjutkan perjalanan angger”
“Kami berdua ingin ikut ke kebun Kiai. Kami benar-benar ingin membantu Kiai” jawab Manggada.
“Tetapi angger tentu tidak tahu caranya menyadap legen. Sekali salah potong, maka manggar itu tidak akan mengeluarkan legen lagi ngger. Setidak-tidaknya untuk satu janjang” berkata orangtua itu.
“Kami tidak akan melakukannya Kiai. Tetapi kerja apapun yang dapat kami lakukan, Atau sekadar menunggui Kiai bekerja di kebun” desis Laksana.
Tetapi orangtua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya dengan nada rendah “Jangan ngger. Aku perintahkan angger meninggalkan rumah ini. Aku sama sekali tidak mengusir angger, tetapi aku memang tidak dapat berbuat lain”
“Maaf Kiai. Kenapa Kiai berkeberatan jika aku masih ingin tinggal bersama Kiai barang sepagi ini?” bertanya Manggada.
“Aku tidak ingin terganggu ngger” jawab orangtua itu.
“Kiai, kami justru ingin berbuat sesuatu bagi Kiai yang telah dengan senang hati menerima kami bermalam. Memberikan minuman dan makanan dengan ikhlas” berkata Laksana kemudian.
Tetapi orangtua itupun berkeras. Katanya “Sudah ngger. Aku sudah merasa berbuat sebaik-baiknya terhadap angger berdua. Kini angger berdua jangan mengecewakan aku”
“Sama sekali tidak Kiai. Justru sebaliknya” jawab Laksana.
Wajah orangtua itu menegang. Dengan dahi yang berkerut orangtua itu berkata dengan nada yang semakin keras “Tidak. Aku minta kalian pergi. Aku tidak dapat menerima kalian lebih lama lagi”
“Kenapa Kiai berkeberatan membiarkan kami lebih lama berada di sini? Apakah kami telah mengganggu Kiai?” bertanya Laksana pula.
“Ya” jawab orangtua itu tegas ”aku akan pergi ke kebun untuk menyadap legen. Selama itu kau akan dapat mengambil benda-benda yang agaknya kau kagumi dan membawanya lari”
“Kiai” desis Laksana. Namun Manggada menggamitnya dan berkata “Apakah pernyataan itu benar-benar keluar dari hati Kiai? Jika demikian, alangkah nistanya kami berdua. Tetapi jika karena kecemasan itu, baiklah. Aku akan meninggalkan tempat ini”
Orangtua itu memandang kedua anak muda itu berganti-ganti. Wajahnya tiba-tiba menjadi buram. Katanya dengan nada sendai ”Tidak ngger. Tidak. Aku sama sekali tidak mencurigai angger berdua. Tetapi aku tidak dapat membiarkan angger berdua tetap berada di rumah ini. Meskipun hanya setengah hari. Kau datang pada waktu yang kurang baik."
“Apakah sebenarnya yang akan terjadi Kiai? Jika Kiai berkata sebenarnya, sementara kami berdua dapat mengerti, maka kami tentu akan melakukannya” berkata Manggada.
Orangtua itu menunduk dalam-dalam. Katanya “Aku tidak mengira bahwa benda-benda itu pada suatu saat akan mendatangkan kesulitan padaku”
“Kesulitan apa Kiai?” bertanya Laksana tidak sabar.
Orangtua itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang terasa berat baginya untuk mengatakan kepada kedua anak muda itu. Namun Manggada pun mendesaknya,
”Katakan Kiai. Kiai telah berbuat baik kepada kami. Apa yang telah Kiai lakukan, telah menumbuhkan kesan tersendiri di dalam hati kami. Dengan sikap Kiai terhadap kami. yang sebelumnya belum pernah Kiai kenal itu. menunjukkan bahwa Kiai memang seorang yang baik tanpa pamrih. Kiai pun tidak cemas bahwa semalam kami mencuri benda-benda berharga itu dan membawanya lari. Karena itu, ketika Kiai mengatakan bahwa Kiai mencemaskan benda-benda aku yakin bahwa itu bukan maksud Kiai yang sebenarnya untuk mencurigai kami”
“Anak-anak muda” berkata orangtua itu ”baiklah aku katakan kesulitanku kepada kalian. Tetapi aku minta kalian jangan melibatkan diri. Biarlah aku sendiri yang mengalaminya” berkata orangtua itu.
“Aku akan mempertimbangkan Kiai” Jawab Manggada.
Orangtua itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata “Ternyata seperti yang pernah angger tanyakan, bagaimana jika ada orang yang berpura-pura berhak atas benda-benda berharga itu?”
“Jadi ada seseorang yang mengaku berhak alas benda-benda itu. Kiai?” potong Laksana.
Orangtua itu mengangguk kecil. Katanya “Seseorang telah datang, la mengaku mendapat perintah dari pemilik songsong dan tombak-tombak itu. Tetapi ia tidak membawa pertanda sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Tidak ada patung perunggu berbentuk seekor harimau yang kakinya dapat tepat masuk ke dalam lubang di karah besi pada pangkal tangkai songsong itu. Tentu saja aku tidak dapat memberikannya sebelum orang itu dapat menunjukkan patung kecil itu”
“Lalu. apakah orang itu memaksa Kiai?” bertanya Laksana.
“Waktu itu, orang itu menyatakan kesediaannya untuk mengambilnya. Hari ini ia akan datang kembali” berkata orangtua itu. Namun katanya kemudian. ”Tetapi orang itu tampaknya kurang meyakinkan. Aku juga kurang yakin bahwa ia akan datang dengan membawa pertanda yang sudah disepakati itu”
“Jika ia tidak membawa?” bertanya Manggada.
“Aku tidak akan memberikannya” jawab” orangtua itu.
“Bagaimana jika ia memaksa?” desak Laksana.
“Persoalannya jadi lain ngger. Sudah tentu aku akan tetap mempertahankannya. Tetapi aku harus menyadari bahwa aku adalah seorangtua yang lemah. Yang tentu tidak akan dapat berbuat banyak” Orangtua itu berhenti sejenak, lalu ”tetapi aku tidak dapat memberikan benda-benda itu selagi aku masih ada”
“Jadi, Kiai akan mempertahankannya sampai tuntas?” bertanya Manggada dengan cemas.
“Aku sudah tua ngger. Umurku tentu sudah tidak jauh lagi. Jika aku harus mati, maka tidak akan banyak bedanya. Apalagi aku mempunyai satu keyakinan, bahwa kematian itu tidak akan dapat dipercepat akan ditunda. Jika aku harus mati, maka aku akan mati dengan sebab apapun juga” berkata orangtua itu ”Namun sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat mempertahankannya lagi”
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada pun berkata “Biarlah aku berada di sini”
“Jangan ngger. Sebaiknya kau tidak mengalami perlakuan buruk dari orang-orang yang tidak kau kenal dan tidak mempunyai sangkut paut apapun juga” berkata orangtua itu dengan nada rendah.
“Tetapi Kiai sudah berbuat baik terhadap kami” sahut Manggada ”apa gunanya kami membawa senjata di lambung jika kami akan menyingkir dari tindak kebajikan Kiai, aku akan tetap berada di sini dengan adikku”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku sudah mencoba memperingatkan kalian”
“Ya, kami mengerti. Segala sesuatunya adalah tanggung-jawab kami sendiri Kiai” desis Manggada.
Ternyata orangtua itu tidak dapat memaksa kedua anak muda itu untuk pergi. Ia memang menjadi cemas. Namun sesuatu terasa bergetar di dalam hatinya. Anak-anak muda itu ternyata memiliki jiwa yang besar serta kesediaan untuk melindungi sesama yang mengalami kesulitan.
Karena itu, orangtua itu tidak memaksa mereka lagi. Bahkan katanya kemudian ”Baiklah anak muda. Jika kalian berkeras untuk tinggal. Sekarang, marilah kita pergi ke kebun belakang. Aku akan menyadap legen di belakang. Aku akan menyelarak pintu depan dan membuka pintu butulan yang langsung dapat diawasi dari kebun”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Keduanyapun kemudian mengikuti orangtua itu keluar dari pintu belakang. Seperti kebiasaannya, orangtua itu membawa beberapa buah bumbung untuk mengganti bumbung yang telah dipasang kemarin sore.
“Mereka akan datang hari ini” desis orangtua itu sambil mendekati sebatang pohon kelapa.
Manggada dan Laksana mengangguk kecil. Namun mereka tidak menjawab. Sementara itu, orangtua itupun telah mulai memanjai sebatang pohon kelapa dengan membawa satu di antara bumbung-bumbungnya yang diikatnya dengan tali sabut pada lambungnya. Meskipun orang itu sudah tua, namun dengan tangkasnya ia memanjat.
Dalam waktu yang terhitung singkat, orangtua itu sudah bertengger pada pelepah pohon kelapa itu untuk melepas bumbung yang sudah terpasang. Kemudian memotong manggar itu dengan irisan-irisan tipis dan memasang bumbung yang baru untuk menerima titik-titik legen dari manggar yang telah diirisnya itu. Sejenak kemudian, bumbung legen yang baru saja dilepas itupun le'ah dibawanya turun.
“Biarlah kami membantu membawa bumbung itu Kiai” berkata Laksana.
Orangtua itu tersenyum. Katanya “Biasanya aku melakukannya sendiri”
“Tetapi hari ini kami ada di sini” jawab Laksana. Orangtua itu tertawa kecil. Tetapi ia tidak berkeberatan memberikan bumbung-bumbung itu kepada Manggada dan Laksana.
Dari satu pohon, orangtua itu pergi ke pohon yang lain. Memang tidak cukup banyak. Tetapi beberapa batang pohon kelapa ia telah memberikan beberapa bumbung legen yang dapat dibuatnya menjadi gula kelapa.
Ternyata kerja itu telah membuat orangtua itu melupakan kegelisahannya. Yang masih saja gelisah, justru Manggada dan Laksana. Setiap kali mereka berpaling ke arah pintu butulan yang meskipun tertutup, tetapi tidak diselarak itu. Sementara merekapun sadar, bahwa jika orang yang akan mengambil pusaka-pusaka itu datang, mereka tentu tidak akan masuk dengan diam-diam dan membawa lari benda-benda berharga itu.
Ternyata sampai batang kelapa yang terkahir, belum ada seorangpun yang datang memasuki halaman rumah orang itu. Sehingga orangtua itu sempat mengerjakan pekerjaannya yang lain. Menuang legen ke tempayan dan mempersiapkan pembuatan gula kelapa di serambi belakang rumahnya.
Manggada dan Laksana yang dipersilahkan duduk di dalam, ternyata lebih senang menunggui orangtua itu bekerja. Keduanya masih mengagumi tenaga orangtua itu yang bekerja dengan tangkasnya.
Sejenak kemudian, maka perapianpun telah menyala. Legen kelapa di tempayan itupun kemudian diletakkan di atas perapian. Dengan kayu bakar yang dikumpulkan di kebun serta dicampur dengan daun-daun kering yang dikumpulkan pagi-pagi ketika menyapu halaman, maka legen kelapa itu direbus sehingga menyusut. Pada akhirnya, legen itu menjadi semakin lama semakin kental dan siap dituang di tempurung kelapa sebagai alat untuk mencetak gula kelapa.
Namun orang tua itu sempat berkata kepada Manggada dan Laksana. ”Tolong, cabut satu atau dua batang ketela pohon!”
“Untuk apa?” bertanya Manggada.
“Kita masukkan kedalam legen yang hampir siap dituang ini.” berkata orang tua itu.
Manggada dan Laksana tahu benar maksud orang tua itu. Karena itu maka keduanyapun telah berlari-lari kekebun, mencabut masing-masing sebatang ketela pohon. Dengan cepat mereka mengupasnya dan mencucinya. Kemudian membawa kepada orang tua di dapur rumahnya.
Tetapi ternyata orangtua itu sudah tidak berada disana. Sebagian gulanya sudah dituang di tempurung kelapa, namun yang lain masih di tempayan, bahkan diatas perapian. Untunglah bahwa api dari kayu-kayu seadanya dan daun-daun kering itu sudah padam dengan sendirinya, sehingga sisa legen di tempayan tidak kering...
Sementara itu. panas matahari terasa menyengat kulit. Namun hijaunya batang padi di sawah, membuat indera terasa segar. Pohon turi yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan bulak telah memberikan perlindungan kepada para pejalan. Sementara bunganva setiap kali dipetik untuk dimasak bersama beberapa jenis dedaunan.
Parit di pinggir jaian mengalir deras. Airnya jernih menyusup di antara rerumputan yang tumbuh di tanggul. Di teriknya sinar matahari, masih nampak beberapa erang bekerja di sawah. Menyiangi rumput liar yang tumbuh di sela-sela batang padi.
"Kita sekarang akan pulang" berkata Manggada. Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jalan ini adalah jalan yang langsung menuju Pajang, meskipun kita tidak akan sampai ke Pajang pada hari ini."
Manggada mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis "Bukankah kita masih mempunyai uang serba sedikit?”
"Kita masih mempunyai cukup uang. Kita belum banyak mempergunakannya dalam perjalanan" jawab Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya ia berkata. "Ternyata Mas Rara bukan gadis desa".
Laksana tertawa. Katanya, “Gadis itu juga menuju ke Pajang hari ini"
"Naik kereta" desis Manggada.
"Pengiringnya naik kuda" sahut Laksana.
"Jika demikian, kita akan mengambil jalan lain. Jika mereka juga mengambil jalan ini, mereka tentu akan melampaui kita!" berkata Manggada.
"Ya. Mas Rara yang naik kereta itu bersama Nyi Partija Wirasentana akan melambaikan tangannya kepada kita" desis Laksana sambil tertawa.
"Kita harus mengambil jalan lain" berkata Manggada.
Sebenarnyalah, ketika mereka sampai ke simpang empat Manggada telah mengajak Laksana berbelok meninggalkan jalan utama menuju ke Pajang. Dengan demikian, mereka telah menempuh jalan yang lebih kecil. Namun mereka yakin, bahwa mereka tidak akan dapat menunjukkan jalan yang menuju ke Pajang.
Ternyata jalan yang lebih kecil itu justru telah melewati sebuah padukuhan yang besar. Di sudut padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang agaknya cukup ramai di pagi hari. Menilik luasnya dan beberapa gubug di tepi pasar yang dipergunakan oleh para pande besi, maka pasar itu merupakan pasar yang cukup penting. Setidak-tidaknya di hari pasaran sepekan sekali.
Tetapi ketika keduanya melewati jalan di sebelah pasar itu, maka pasar itu sudah menjadi sepi. Meskipun demikian, masih juga ada sebuah kedai yang masih dibuka. Bahkan masih ada satu dua orang di dalamnya.
"Kita berhenti sebentar. Aku haus" desis Laksana.
Manggada mengangguk. Iapun merasa sangat haus setelah berjalan di bawah teriknya matahari di bulak panjang.
Di kedai itu Manggada dan Laksana itu mendengar beberapa orang yang telah ada di dalamnya berbicara tentang padukuhan mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang tinggal di sekitar pasar itu.
Seorang di antara mereka berkata “Ternyata keadaan mulai menjadi buruk lagi. Perselisihan di antara kedua orang yang berpengaruh itu akibatnya tidak hanya menimpa mereka dan keluarga mereka. Tetapi orang-orang yang terkait dalam kerja dengan merekapun terpengaruh pula".
Manggada dan Laksana yang sedang minum minuman hangat itupun tergoda untuk mendengarkannya. Namun kemudian keduanya menarik nafas dalam-dalam hampir bersamaan. Ternyata yang mereka bicarakan benar-benar persoalan keluarga.
Seorang yang lain berkata “Lamaran yang semula nampaknya akan diterima itu, kenapa tiba-tiba saja telah ditolak?”
"Kau benar-benar tidak tahu sebabnya?" orang pertama bertanya.
"Tidak!"
"Itulah. Semula keadaan membaik. Keduanya nampaknya akan mengijinkan anak-anak mereka menikah. Tetapi tiba-tiba keadaan menjadi buruk lagi ketika mereka mulai berbicara tentang air yang mengalir di antara sawah-sawah mereka yang sudah lama menjadi sengketa" jawab orang pertama.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa persoalan air telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di antara kedua keluarga dari orang-orang yang berpengaruh di padukuhan itu. Nampaknya perselisihan itu akan diakhiri dengan perkawinan antara anak-anak mereka. Tetapi perkawinan itupun telah urung pula.
Manggada dan Laksana tidak menaruh banyak perhatian tentang persoalan keluarga itu. Namun yang kemudian menarik adalah justru ketika mereka berbicara tentang pasar yang cukup luas itu.
Dari pembicaraan mereka, Manggada dan Laksana dapat mengetahui bahwa pasar itu adalah pasar yang terbesar di antara tiga buah pasar yang ada di Kademangan mereka. Justru lebih besar dari pasar yang ada di Kademangan induk. Namun pembicaraan mereka terputus ketika dua orang di antara mereka harus meninggalkan kedai itu.
"Kami masih harus melihat air. Jika kotak sawah kami sudah penuh, kami harus menutupnya. Kotak-kotak sawah yang lain tentu membutuhkannya" berkata salah seorang dari mereka yang meninggalkan kedai itu.
Manggada dan Laksanapun kemudian telah membayar harga minuman dan beberapa potong makanan. Ketika mereka keluar dari kedai itu, matahari sudah condong di sisi Barat.
Keduanyapun kemudian telah melanjutkan perjalanan melewati lorong di dalam padukuhan yang cukup besar itu. Beberapa rumah di pinggir jalan itu memang cukup besar dan rapi. Agaknya padukuhan itu termasuk padukuhan yang berkecukupan.
Namun ketika Manggada dan Laksana melewati tiga padukuhan yang disekat oleh bulak-bulak panjang, matahari sudah menjadi sangat rendah. Sebentar lagi senja tentu akan segera turun.
"Apakah kita akan bermalam di sini?" bertanya Manggada.
Laksana termangu-mangu. Padukuhan itu memang tidak sebesar padukuhan yang memiliki pasar terbesar di Kademang-an itu. Tetapi nampaknya padukuhan itu cukup ramai.
"Kita bermalam di padukuhan yang kecil dan sepi saja" berkata Laksana.
"Kenapa?" bertanya Manggada.
"Nampaknya di sini terlalu sibuk. Jika bermalam di banjar, agaknya di banjar padukuhan itupun banyak terdapat anak-anak muda atau orang-orang lain dengan kesibukannya" jawab Laksana.
Manggada mengangguk. Katanya “baiklah. Kita melintasi satu bulak lagi"
Keduanyapun telah meneruskan perjalanan. Langitpun menjadi semakin suram. Matahari telah semakin rendah dan kemudian bertengger di punggung bukit. Namun sejenak kemudian, senja benar-benar turun.
Kedua anak muda itu telah memasuki sebuah padukuhan yang lebih kecil dan lebih sepi, sehingga Laksana menganggap bahwa tempat itu adalah tempat yang paling baik untuk beristirahat. Apalagi di pinggir padukuhan itu terdapat sebuah sungai kecil yang airnya cukup jernih. Karena itulah, kedua orang anak muda itu telah menuju ke banjar padukuhan ketika malam mulai turun.
Ternyata banjar padukuhan yang tidak begitu besar itu nampak sepi. Lampu memang sudah dinyalakan, tetapi tidak ada seorangpun yang nampak di banjar maupun di halamannya. Agaknya orang yang menyalakan lampu minyak itu telah pergi pula meninggalkan banjar yang kosong itu.
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun Manggadapun kemudian berdesis “Suasana yang sesuai dengan keinginanmu. Sepi".
"Ah" Laksana berdesah “kita bertanya di rumah sebelah".
Keduanya telah pergi ke rumah di sebelah banjar itu Rumah yang juga tidak begitu besar meskipun halamannya cukup luas. Namun nampaknya tidak cukup terpelihara. Ternyata pintu rumah itu sudah tertutup. Perlahan-lahan agar tidak mengejutkan pemilik rumah itu. Manggada mengetuk pintunya.
Sejenak kemudian, pintu rumah itu memang terbuka. Seorang laki-laki yang sudah lewat setengah abad berdiri lermangu-mangu di belakang pintu.
"Siapa yang kalian cari anak-anak muda?" bertanya laki-laki itu.
Manggadapun kemudian menjelaskan, bahwa ia sekadar ingin bermalam di banjar. Tetapi banjar itu ternyata kosong meskipun lampu telah menyala.
"O. Mari... mari silahkan. Akulah yang telah menyalakan lampu di banjar itu" orang tua itu ternyata cukup ramah.
"Tetapi kami hanya ingin mohon ijin untuk bermalam di banjar" berkata Manggada.
"Banjar kami seluruhnya terbuka anak-anak muda" jawab orang tua itu "angin malam akan berhembus mendinginkan darah kalian. Karena itu, jika kalian ingin bermalam, marilah, bermalam saja di rumahku. Aku jugalah yang melayani banjar itu. sehingga bagiku, kalian lebih baik bermalam di sini daripada di banjar. Jika ada air panas, aku tidak usah membawa ke banjar".
"Tetapi, kami tidak ingin membuat Kiai menjadi sibuk” jawab Manggada "kami hanya ingin tidur. Itu saja".
"Sudahlah, marilah. Jangan segan-segan. Di rumah ini aku juga hanya sendiri" orang tua itu masih saja mempersilahkan.
Manggada dan Laksana tidak dapat menolak. Merekapun kemudian telah melangkah masuk ke rumah orangtua itu.
Seperti halamannya yang kurang terpelihara, isi rumah itu pun agaknya kurang terawat. Apalagi perabot rumah itu memang cukup sederhana. Tidak ada barang-barang yang berharga yang tampak. Tentu saja keduanya tidak tahu, apakah orangtua itu mempunyai simpanan atau tidak.
"Duduklah" orangtua itu mempersilahkan.
Manggada dan Laksanapun duduk di sebuah amben yang besar. Ketika orangtua itu masuk ke sentong kiri sejenak, Manggada dan Laksana sempat memperhatikan isi rumah itu. Selain amben besar tempat mereka duduk, mereka hanya melihat sebuah geledeg bambu yang agak besar. Ajug-ajug, tempat orangtua itu meletakkan dlupak minyak klentik yang sudah menyala. Apinya tampak bening dan tidak terlalu banyak mengeluarkan asap kehitam-hitaman.
Sejenak kemudian, orangtua itu telah keluar dari sentong kiri. Ternyata ia telah membenahi pakaiannya. Dikenakannya baju yang lebih pantas, serta merapikan rambutnya yang panjang di bawah ikat kepalanya.
"Di sini angger berdua tentu merasa lebih hangat daripada di banjar" berkata orangtua itu.
"Tetapi kami benar-benar tidak ingin merepotkan Kiai. Kami hanya ingin tidur. Besok pagi-pagi kami ingin melanjutkan perjalanan" jawab Manggada dan Laksana.
"Angger berdua itu akan pergi kemana?" bertanya orangtua itu.
Manggada dan Laksana sempat menceriterakan serba sedikit tentang perjalanannya. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin pulang.
"Apakah angger berdua sudah tahu, jalan manakah yang harus angger lalui?" bertanya orangtua itu.
"Tidak terlalu sulit. Kiai. Bukankah setiap orang akan dapat menunjukkan jalan ke Pajang? Setelah sampai di Pajang, kami dapat dengan mudah mencari jalan pulang" jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Katanya “Baiklah jika demikian. Tampaknya, angger berdua telah berpengalaman menempuh perjalanan".
"Kami memang sedang menempuh perjalanan panjang. Mungkin jauh lebih panjang dari jalan yang seharusnya menuju ke Pajang, karena kami memang sedang mengembara. Kami ingin melihat seberapa jauhnya cakrawala".
Orangtua itu tertawa. Katanya “Kalian tampaknya memang anak-anak muda yang haus akan pengalaman. Jika kau dekati cakrawala, maka cakrawala itu akan selalu saja tetap jauh. Jika cakrawala itu kemudian membentur gunung, maka cakrawala itu justru akan menghilang".
"Itulah yang menarik, Kiai" jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk pula. Katanya “Bagus anak muda. Pengalaman dapat memberikan banyak pengetahuan kepada kalian, asal kalian dapat menangkapnya dan mencerna dengan baik didalam dirimu".
"Kami memang ingin melakukannya Kiai. Tetapi betapa bodohnya kami, sehingga apa yang kami alami, apa yang kami lihat, dan apa yang kami dengar, tidak menambah pengetahuan kami, sehingga kami masih saja tetap dungu" jawab Manggada.
Orangtua itu tertawa. Katanya “Kalian ternyata adalah anak-anak muda yang cerdas. Bukankah kalian ingin mengatakan, semakin banyak yang kalian ketahui, maka kalian merasa semakin banyak pula yang tidak kalian ketahui?”
Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Namun Laksana kemudian berkata “Ya Kiai. Kami memang merasa demikian".
"Bagus" orangtua itu mengangguk-angguk "itu adalah pertanda bahwa pintu berbendaharaan ilmumu terbuka. Kalian akan dapat menimba pengetahuan sebanyak-banyaknya. Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan, maka itu adalah batas akhir dari kemampuannya, la telah menutup pintu perbendaharaan pengetahuannya sendiri, sehingga orang yang demikian itu tidak akan dapat menambah ilmu dan pengetahuan lagi".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Menurut pendapat kedua anak muda itu, orangtua itu ternyata memiliki jangkauan penalaran yang jauh. Jauh lebih luas dari ujud kewadagannya yang sangat sederhana itu. Tetapi kedua anak muda itu tidak mengatakan sesuatu tentang orangtua itu.
Namun orangtua itu tiba-tiba saja berkata “Silakan duduk anak muda. Aku akan merebus air".
Sudahkah Kiai. Terima kasih. Kiapun sudah waktunya untuk beristirahat Bukankah Kiai tadi sudah berbaring?" bertanya Mangagada.
Orangtua itu tersenyum. Katanya “Aku mempunyai pohon jeruk pecel. Tentu sedap sekali untuk membuat minuman di malam yang dingin begini. Hanya daunnya. Bukan jeruknya. Aku juga mempunyai beberapa tangkap gula kelapa Jangan kira aku membeli. Aku justru menjual gula kelapa, karena aku mempunyai beberapa batang pohon kelapa yang aku sadap air manggarnya".
"Tetapi sudahlah Kiai. Kiai tidak usah menjadi sibuk karena kehadiran kami" berkata Laksana.
Orangtua itu justru tertawa. Katanya “Aku ingin memanaskan tubuhku. Malam terasa sangat dingin." Manggada dan Laksana tidak dapat mencegahnya lagi. Orangtua itu kemudian meninggalkan keduanya di ruang tengah. Lewat pintu samping' orangtua itu telah pergi ke dapur.
Ketika pintu samping terbuka, dan tengah bertiup menyibakkan kain yang menutup pintu sentong tengah yang tidak berdaun, kedua anak muda itu sempat melihat sebuah ploncon dengan tiga batang tombak di dalamnya, serta sebuah songsong yang berwarna kuning bergaris hijau.
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Demikian orangtua itu pergi ke dapur, maka Manggadapun berkata “Kau lihat songsong itu?”
"Ya. Tetapi apakah songsong itu milik Kiai pemilik rumah ini? Jika ia petugas banjar padukuhan, ia tentu orang yang sudah terhitung lama tinggal di sini" jawab Laksana.
Manggadapun mengangguk-angguk. Namun songsong dan tiga batang tombak di sentong tengah itu, telah menimbulkan pertanyaan di hati kedua anak muda itu. Ternyata orangtua itu cukup lama berada di dapur. Ia harus, membuat api, mengisi periuk dan menunggu air itu mendidih. Di ruang dalam, Manggada dan Laksana menjadi gelisah.
Bahkan Laksana pun berdesis “Aku sudah mengantuk".
"Orangtua itu sedang merebus air bagi kita. Jangan kecewakan dia" berkata Manggada.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, pintu samping telah terbuka lagi. Orangtua itu dengan nampan yang bulat terbuat dari kayu, telah membawa beberapa mangkuk minuman dan bahkan ketela rebus. Asapnya masin tampak mengepul di atasnya.
"Maaf, mungkin aku terlalu lama. Aku telah pergi ke kebun untuk memetik daun jeruk pecel dan mencabut dua batang ketela pohon" berkata orangtua itu.
"Ah, kami membuat Kiai menjadi sibuk sekali" desis Manggada.
"Tidak. Tidak. Aku senang masih ada orang yang mau datang kerumahku" jawab orangtua itu seakan-akan di luar sadarnya.
Manggada dan Laksana saling berpandangan pula. Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa.
Demikianlah. Sejenak kemudian, mereka telah menikmati rebus ketela dan minuman yang masih hangat. Seperti dikatakan oleh orangtua itu. Mereka menghirup wedang jeruk. Namun bukan jeruknya, tetapi daunnya sajalah yang dipakai untuk menyedapkan air yang telah mendidih, kemudian diberi beberapa potong gula kelapa.
Ketika kemudian angin malam menyusup di antara dinding-dinding yang berlubang, dan sekali lagi menyingkapkan kain penutup pintu yang tidak berdaun di sentong tengah, maka di luar sadar, Manggada dan Laksana telah memperhatikan lagi songsong dan tombak yang ada di sebuah ploncon yang besar di sentong tengah itu.
Ternyata orangtua itu tanggap. Karena itu, tanpa diminta orangtua itupun berkata “Songsong itu adalah songsong titipan. Selain songsong itu ada tiga batang tombak yang menurut pemiliknya mempunyai tuah".
Kedua anak muda yang mulai berkeringat oleh panasnya wedang jeruk dan ketela pohon yang masih hangat itu, mengangguk-angguk. Tetapi mereka mengharap orangtua itu berceritera lebih banyak lagi tentang songsong dan tombak itu. Namun ternyata orangtua itupun telah menghirup minuman panas dan makan ketela rebus itu pula. Bahkan telah mempersilahkan kedua anak itu untuk makan pula lebih banyak lagi.
Berapa saat Manggada dan Laksana menunggu. Tetapi orangtua itu tidak berceritera lagi tentang songsong dan tombak itu. Karena itu, Laksana yang ingin mengetahui 'ebih banyak lelah bertanya “Siapakah yang telah menitipkan songsong dan tombak-tombak itu?”
Orangtua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya "Sudah lama terjadi. Aku sendiri tidak tahu. apakah orang yang menitipkan benda-benda itu masih ingat atau tidak" orangtua itu berhenti sejenak. Lalu katanya “Saat itu, banjar di sebelah masih dianggap banjar padukuhan ini".
"Apakah sekarang sudah tidak?" bertanya Laksana.
"Orang-orang padukuhan ini telah membuat banjar yang lebih baik. Karena itu, banjar ini tidak lagi banyak dipergunakan. Hanya kadang-kadang saja jika kegiatan di banjar yang baru itu sudah tidak menampung lagi. Karena itu, banjar ini tampak sepi. Hanya kadang-kadang saja para pemuda singgah beberapa lama duduk-duduk di banjar lama itu. Lalu meneruskan tugas mereka lagi mengelilingi padukuhan. Terakhir mereka kembali ke banjar baru”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Merekapun menganggap bahwa banjar itu memang terlalu sepi. Namun merekapun kemudian mengetahui bahwa disamping banjar lama itu, sudah ada lagi banjar yang baru, sehingga hampir semua kegiatan padukuhan itu telah beralih ke banjar yang baru itu.
Tetapi kedua anak muda itu segera teringat kembali kepada pertanyaan mereka yang belum terjawab. Karena itu, Laksanapun kembali bertanya “Tetapi, siapakah yang telah menitipkan pusaka-pusaka itu?”
"Itu sudah lama terjadi" jawab orangtua itu “seandainya aku sekarang bertemu dengan orang yang menitipkan pusaka-pusaka itu, aku sudah tidak akan dapat mengenalinya lagi".
"Jadi, bagaimana seandainya ada orang lain yang berpura-pura memiliki pusaka-pusaka itu?" bertanya Manggada. Lalu "Orang yang pernah mengetahuinya, datang dan mengaku bahwa orang itulah yang telah menitipkannya dan kemudian akan mengambilnya kembali".
Orangtua itu tertawa. Katanya “Itu tidak mungkin ngger. Pada tangkai songsong itu terdapat karah besi baja. Di bawah karah besi baja itu, terdapat patung kecil yang kakinya tepat masuk pada karah besi itu. Patung seekor harimau yang terbuat dari perunggu. Nah, siapa yang membawa patung itu dan kakinya dapat masuk tepat pada lubang karah besi itu, barulah ia dapat mengambilnya"
Manggada mengerutkan dahinya dan Laksana mengangguk-angguk. Katanya “Jika orang yang memiliki patung itu telah melupakannya dan tidak akan mengambilnya lagi?”
"Benda-benda itu akan menjadi benda-benda yang tidak bertuan. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya" jawab orangtua itu.
"Bukankah dengan demikian benda-benda itu akan menjadi milik Kiai?" bertanya Manggada.
"Ah" orangtua itu tertawa. Katanya “Tidak pantas aku memiliki benda-benda seperti itu. Yang pantas bagiku adalah cangkul dan barangkali bajak dan garu".
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggadapun bertanya “Kenapa patung kecil itu dilepas, Kiai. Apakah sengaja untuk menjadi pertanda bagi pemiliknya, atau karena perhitungan lain".
"Yang penting adalah bagi pertanda itu. Tanpa pertanda itu, tidak seorangpun dapat mengambilnya. Tetapi sebenarnya patung kecil itu sejak sebelumnya memang sudah dilepas. Pemilik songsong itu tidak sampai hati melihat patung harimau yang kakinya melekat pada karah tangkai songsong itu. Jika songsong itu diletakkan pada tangkainya, maka kepala harimau itulah yang akan menjadi tumpuannya." jawab orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum, Manggada bertanya “Apakah orang yang memiliki songsong itu seorang yang hatinya sangat lembut, sehingga merasa belas kasihan terhadap sebuah patung?”
"Ya" orangtua itu mengangguk-angguk "seorang yang hatinya memang sangat lembut. Seorang yang ramah dan berpandangan luas"
"Apakah ia datang seorang diri dengan membawa songsong dan pusaka-pusaka itu?" bertanya Laksana.
"Tidak. Ia datang dengan beberapa orang pengiringnya" jawab orangtua itu. Lalu katanya “Tanpa mau mengatakan tentang dirinya, asalnya dan tujuannya. Ia hanya mengatakan bahwa ia menitipkan songsong dan pusaka-pusaka itu. Pada suaiu saat, akan diambilnya dengan pertanda yang dibawanya. Tetapi ternyata, sampai sekarang benda-benda itu masih belum diambilnya".
"Sudah berapa tahun benda itu ada di sini?" bertanya Manggada.
"Sudah lama. Jauh sebelum Raden Panji Prangpranata berkuasa di daerah ini" jawab orangtua itu.
"Jadi kekuasaan Raden Panji Prangpranata juga terasa sampai di sini?" bertanya Manggada.
"Ya. Raden Panji yang semula menjadi gantungan harapan rakyat dengan menghalau kerusuhan di daerah ini, ternyata kemudian justru mencemarkan sekali" jawab o-rangtua itu.
"Apakah Raden Panji sering datang kemari?" bertanya Laksana.
"Perempuan di sebelah, kira-kira berantara empat rumah dari rumah ini, telah diambil menjadi isterinya. Tetapi entah apa yang terjadi, perempuan itu telah meninggal" jawab orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Jarak padukuhan itu dari pusat pengendalian pasukan Raden Panji tidak jauh berbeda dengan jarak antara Nguter dan tempat tinggal orangtua itu.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Jarak padukuhan itu dari pusat pengendalian pasukan Raden Panji tidak jauh berbeda dengan jarak antara Nguter dan tempat tinggal Raden Panji.
"Untunglah bahwa Raden Panji tidak mengetahui Songsong dan pusaka-pusaka yang ada di rumah ini. Jika ia mengetahui, mungkin benda-benda itu sudah diambilnya." berkata orangtua itu pula.
Namun kemudian Manggada berkata “Raden Panji" telah diganti Kiai".
"He?" orangtua itu terkejut "darimana kau tahu?
"Aku baru saja dari Nguter. Peristiwa pergantian kedudukan itu terjadi di Nguter" jawab Manggada.
"Siapakah yang menggantikan kedudukan Raden Panji sekarang?" bertanya orangtua itu.
"Ki Panji Wiratama" jawab Manggada.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Katanya “Aku belum mengenalnya. Tetapi mudah-mudahan caranya memerintah lebih baik dari Raden Panji Prangpranata.
"Tampaknya begitu Kiai" jawab Manggada.
"Petugas yang baru itu tentu saja tidak tahu bahwa di rumah ini ada benda-benda pusaka yang dititipkan. Jika mereka mengetahui, dan berusaha untuk mengambilnya tanpa menunjukkan penanda sebagaimana yang diperankan oleh pemiliknya, aku tentu menjadi sangat bingung. Aku tidak berani menolak, tetapi aku juga tidak berani memberikan" berkata orangtua itu.
"Ki Panji Wiratama tidak akan berbuat seperti Raden Panji" berkata Manggada. "Menilik sikapnya dan langkah-langkah yang diambilnya."
"Sebelum memegang kekuasaan" desis orangtua itu.
"Ya. Sebelum menggantikan kedudukan Raden Panji" jawab Manggada.
"Itulah nggger. Kadang-kadang seseorang dapat berubah karena kedudukanya. Kelengkapan duniawi yang mewarnai kehidupan seseorang, akan dapat menusuk sampai kewatak dan pribadinya, sehinggga seseorang akan dapat menjadi orang lain. Tetapi mudah-mudahan tidak demikian dengan orang yang baru itu. Karena aku yakin bahwa masih ada orang yang tetap teguh berpijak pada pribadinya, meskipun ia mengalami banyak perubahan dalam hubungannya dengan tata kehidupan keduniawiannya" berkata orang itu.
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata “Ya. Mungkin sekali hal seperti itu terjadi".
"Ya anak-anak. muda" berkata orangtua itu bersungguh-sungguh "kalian berdua masih muda. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Jika pada suatu ketika kalian mendapat satu kedudukan yang tinggi, maka kalian jangan cepat berubah. Jika perubahan itu membuat kalian menjadi lebih baik, itu tidak mengapa. Tetapi jika sebaliknya".
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara orangtua itu berkata “Marilah. Silahkan minuman hangat kalian".
"Ya, ya Kiai" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Namun rasa-rasanya kedua anak muda itu masih ingin mengetahui lebih banyak tentang pusaka-pusaka itu. Tetapi mereka tidak merasa pantas untuk mendesak orangtua itu untuk berbicara lebih banyak lagi.
Yang kemudian diceriterakan oleh orangtua itu adalah perkembangan padukuhannya. Meskipun perlahan-lahan, namun semakin lama menjadi semakin baik. "Kita sudah berhasil membuat sebuah banjar yang lebih baik, dan perbaikan-perbaikan yang lain yang mulai merata"
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sebenarnya mereka tidak begitu tertarik mendengar ceritera tentang padukuhan itu. Namun mereka tidak ingin menyinggung perasaan orangtua itu.
Tetapi tiba-tiba saja Laksana bertanya “Apakah nama padukuhan ini Kiai?”
Orangtua itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Nama padukuhan ini singkat saja. seperti padukuhan yang kau sebut-sebut, Nguter. Nama padukuhan ini Ngandong. Termauk Kademangan Ringin Sewu".
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu, orangtua itu masih juga berceritera tentang padukuhan dan Kademangan, tanpa menyinggung lagi tentang songsong dan pusaka-pusaka itu.
Baru setelah orangtua itu merasa puas dengan ceriteranya, iapun berkata “Nah anak muda. Maaf, aku terlalu banyak berbicara. Kalian berdua tentu letih dan mengantuk. Silahkan angger berdua beristirahat".
"Terima kasih Kiai" jawab keduanya hampir berbareng.
"Tetapi aku tidak mempunyai tempat yang lebih baik dari amben ini ngger. Aku persilahkan kalian tidur di amben ini" berkata orangtua itu.
"Terima kasih Kiai. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya!" sahut Manggada. Namun ia masih juga bertanya. “Tetapi kenapa Kiai tinggal seorang diri di sini? Apakah Kiai tidak mempunyai sanak kadang?”
"Ada ngger. Aku sebenarnya mempunyai seorang anak laki-laki" jawab orang itu "tetapi ia sudah dewasa dan berumah-tangga. Sebenarnya, anakku minta aku tinggal bersamanya, namun padukuhan ini masih memerlukan aku, sehingga aku harus tetap tinggal di sini merawat banjar tua itu. Entahlah besok kalau aku menjadi semakin tua. Sementara anakku sama sekali tidak berminat untuk menggantikan tugasku merawat banjar tua ini".
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula. Sementara orangtua itu berkata “Silahkan beristirahat anak muda. Akupun sudah mengantuk".
Orangtua itupun kemudian telah menyingkirkan mangkuk-mangkuk minuman dan dibawanya ke dapur. Manggada dan Laksana memandangi ruangan itu sekilas. Kemudian mereka membaringkan diri. Mereka meletakkan pedang-pedang mereka di sisi tubuh mereka yang terbaring.
Bagaimanapun juga. kedua anak muda itu harus berhati-hati. Mereka berada di tempat yang tidak begitu dikenalnya. Karena itu, mereka telah sepakat untuk bergantian tidur.
Namun mereka berdua tidak ingin menunjukkan sikap hati-hati kepada orangtua pemilik rumah itu. Orangtua itu akan dapat menjadi salah mengerti dan tersinggung karena merasa dicurigai.
Beberapa saat kemudian suasana di rumah itu telah menjadi hening. Orangtua pemilik rumah itu, yang membawa mangkuk-mangkuk ke dapur, telah kembali pula dan masuk ke dalam sebuah bilik kecil di sebelah kiri sentong tengah, tempat ia menyimpan songsong dan tiga batang tombak yang dikatakannya barang-barang titipan itu.
Sesekali angin memang menyingkap tirai sentong tengah itu, dan kedua anak muda itu dapat melihat songsong dan tiga batang tombak yang panjangnya tidak sama itu.
Ketika malam menjadi semakin hening, Manggada yang mendapat giliran untuk berjaga-jaga, meskipun sambil berbaring, melihat orangtua itu keluar dari bilik kecilnya.. Di bawah cahaya lampu yang redup, Manggada melihat orangtua itu termangu-mangu sejenak. Diperhatikannya kedua anak muda yang disangkanya telah tertidur itu.
Perlahan-lahan orangtua itu melangkah ke sentong tengah. Kemudian hilang di balik tirai yang tergantung di lubang pintu yang tidak berdaun itu.
Manggada telah menggamit Laksana yang sudah mulai tertidur. Namun Manggadapun telah berdesis untuk memberi isyarat agar Laksana tidak bertanya kepadanya. Dengan isyarat pula, Manggada menunjuk pintu sentong tengah yang tertutup oleh tirai itu.
Tetapi ketika tirai itu tersingkap oleh angin yang menyusup lewat lubang-lubang dinding, kedua anak muda itu melihat, orangtua pemilik rumah itu berjongkok di depan ploncon tempat ia meletakkan songsong dan ketiga batang tombak itu. Tangannya diletakkannya pada ploncon itu. sedangkan kepalanya menunduk dalam-dalam.
Hal itu dilakukannya beberapa saat. Namun kedua anak muda itu tidak melihat orangtua itu keluar dari sentong tengah. Tangannya sibuk mengusap matanya, tanpa diketahui sebabnya. Apakah ada seekor binatang kecil masuk ke dalam mata tua itu, atau orangtua itu baru saja menangis.
Namun sejenak kemudian, orangtua itu justru melangkah mendekati Manggada dan Laksana yang baru tidur, meskipun hanya berpura-pura. Kepada diri sendiri, orangtua itu bergumam "Sebaiknya mereka meninggalkan rumah ini pagi-pagi benar, sebelum orang-orang itu datang. Sayang, mereka datang pada saat yang tidak baik. Jika saja tidak ada persoalan apapun, aku ingin menahannya barang satu dua hari untuk menemani aku".
Orangtua itupun kemudian melangkah meninggalkan Manggada dan Laksana kembali masuk ke dalam biliknya. Manggada dan Laksana tidak mengatakan apa-apa. Mereka berdua justru terdiam dan mencoba mengurai kata-kata orangtua itu. Namun akhirnya justru kedua-duanya tertidur bersama-sama.
Menjelang fajar, keduanya terkejut. Mereka mendengar pintu samping berderit keras. Ketika keduanya terbangun, mereka melihat orangtua itu masuk membawa mangkuk minuman hangat. Agaknya orangtua itu sudah lebih dahuiu bangun dan menjerang air di dapur,
"Hampir fajar" berkata orang itu sambil tersenyum "silahkan minum minuman hangat. Kalian tentu akan berangkat sebelum matahari terbit. Saat yang paling baik untuk memulai sebuah perjalanan. Mungkin kalian masih akan mandi lebih dahulu. Di belakang rumah ini ada pakiwan.
Manggada dan Laksana kemudian bergantian pergi ke pakiwan. Bergantian pula mereka menimba air dengan timba upih yang tergantung pada senggol bambu yang panjang. Namun kedua anak muda itu sempat berbicara tentang kata-kata orangtua yang sama-sama dapat mereka dengar.
"Tampaknya akan terjadi sesuatu di rumah ini" berkata Manggada.
"Ya. Itulah agaknya, dengan sengaja ia membuka pintunya agak keras, agar kita berdua terbangun karena ternyata kita berdua telah titidur bersama-sama" sahut Laksana.
"Ia menghendaki agar kita meninggalkan tempat ini pagi-pagi sekali" desis Manggada.
"Kita akan mengulur waktu" desis Laksana,
"Ya. Akupun ingin tahu apa yang akan cerjadi. Apakah ada hubungannya dengan songsong dan tombak-tombak itu" sahut Manggada
Laksana mengangguk-angguk. Mereka harus mendapatkan cara untuk dapat bertahan berada di tempat itu sampai orang-orang yang dimaksusud oleh orangtua itu datang.
Sejenak kemudian, mereka telah duduk di ruang dalam rumah orang-tua yang tidak begitu besar itu. Minuman yang disediakan masih tetap hangat. Wedang jahe dengan gula kelapa yang kehitam-hitaman.
"Marilah ngger" orangtua itu mempersilahkan "mumpung masih pagi. Udaranya masih segar dan matahari pun belum mulai naik".
"Terima kasih Kiai" jawab Manggada sambil mengangkat mangkuknya. Demikian pula Laksana.
"Aku tidak dapat menyuguhkan apapun kecuali sekadar minum" berkata orangtua itu pula,
Kaduanya tidak menjawab. Tetapi keduanya sibuk meneguk minuman hangat dengan gula kelapa yang menurut orangtua itu dibuatnya sendiri.
“Maaf anak-anak muda" berkata orangtua itu kemudian "sebentar lagi, aku harus berada di kebun kelapaku. Aku harus menyadap legen untuk membuat gula. Pekerjaan yang aku lakukan dua kali sehari".
"Kiai masih memanjat dan menyadap sendiri?" bertanya Manggada.
"Ya. Aku lakukan itu setiap hari, pagi dan sore" berkata orangtua itu,
"Kiai" tiba-tiba saja Laksana berkata “apakah kami dapat membantu?”
Wajah orangtua itu berkerut. Katanya “Tidak. Itu tidak perlu. Aku justru ingin mempersilahkan angger berdua mulai dengan perjalanan pagi-pagi, mumpung matahari belum terbit. Sementara aku pergi ke kebun kelapa. Aku harus mulai pagi-pagi sekali agar tidak kesiangan"
"Kiai" berkata Manggada "kami berdua tidak tergesa-gesa. Kami ingin mengucapkan terima kasih dengan melakukan apa saja pagi ini. Nanti setelah matahari sepenggalah. kami akan melanjutkan perjalanan"
Orangtua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Aku tahu. Kalian berdua tentu masih ingin mendengar ceritera tentang songsong dan pusaka-pusaka itu. Marilah, aku akan menunjukkan kepada angger berdua agar angger tidak dibebani oleh perasaan ingin tahu. Benda-benda yang terlarang untuk disaksikan. Tetapi aku memang membatasi diri agar tidak terlalu banyak orang yang mengetahuinya. Jika demikian, maka kemungkinan buruk akan dapat terjadi".
Sebelum kedua anak muda itu menjawab, orangtua itu telah melangkah ke sentong tengah. Disingkapkannya tirai pintu sentong tengah itu dan disangkutkannya pada uger-uger di sebelah.
"Marilah ngger. Silahkan melihat-lihat benda-benda titipan ini." berkata orangtua itu.
Manggada dan Laksana tidak dapat menolak. Merekapun telah masuk pula ke sentong tengah, sementara orangtua itu berlutut di depan ploncon tempat songsong dan tombak-tombak itu diletakkan.
“Inilah benda-benda itu ngger. Bukankah seperti songsong kebanyakan?" Tampaknya memang songsong bertanda kebangsawanan, karena warnanya yang kuning emas itu dan lingkaran hijau di tengah-tengahnya.
Manggada dan Laksana masih tetap berdiri tegak. Tetapi dalam cahaya pagi serta sinar lampu di ruang tengah, keduanya melihat karah tangkai tombak di bawah mata tombak itu terbuat dari logam yang berwarna kekuning-kuningan, “Emas” desis keduanya di dalam hati. Bahkan ketika mereka sempat melihat tombak yang bertangkai lebih pendek, karah itu bukan saja terbuat dari emas. tetapi terdapat pula permata yang gemerlapan.
Agaknya orangtua itu mengerti, apa yang diperhatikan oleh kedua anak muda itu. Karena itu, maka katanya “Sama sekali bukan emas dan permata. Tetapi logam-logam tiruan sehingga mirip seperti emas. Demikian pula permata itu”
“Meskipun tiruan, tetapi bentuknya bagus sekali Kiai” sahut. Manggada.
“Nah, sekarang angger berdua telah melihatnya” desis orangtua itu sambil bangkit dan melangkah surut. “Marilah kita kembali ke ruang tengah”
Ketiganya telah duduk kembali diamben yang besar. Sementara orang tua itu berkata “Maaf angger. Sebentar lagi aku akan pergi ke kebun. Mungkin agak lama. Karena itu. maka biasanya aku menutup pintu depan rapat-rapat dan keluar lewat pintu butulan. Sementara itu, angger berdua dapat melanjutkan perjalanan angger”
“Kami berdua ingin ikut ke kebun Kiai. Kami benar-benar ingin membantu Kiai” jawab Manggada.
“Tetapi angger tentu tidak tahu caranya menyadap legen. Sekali salah potong, maka manggar itu tidak akan mengeluarkan legen lagi ngger. Setidak-tidaknya untuk satu janjang” berkata orangtua itu.
“Kami tidak akan melakukannya Kiai. Tetapi kerja apapun yang dapat kami lakukan, Atau sekadar menunggui Kiai bekerja di kebun” desis Laksana.
Tetapi orangtua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya dengan nada rendah “Jangan ngger. Aku perintahkan angger meninggalkan rumah ini. Aku sama sekali tidak mengusir angger, tetapi aku memang tidak dapat berbuat lain”
“Maaf Kiai. Kenapa Kiai berkeberatan jika aku masih ingin tinggal bersama Kiai barang sepagi ini?” bertanya Manggada.
“Aku tidak ingin terganggu ngger” jawab orangtua itu.
“Kiai, kami justru ingin berbuat sesuatu bagi Kiai yang telah dengan senang hati menerima kami bermalam. Memberikan minuman dan makanan dengan ikhlas” berkata Laksana kemudian.
Tetapi orangtua itupun berkeras. Katanya “Sudah ngger. Aku sudah merasa berbuat sebaik-baiknya terhadap angger berdua. Kini angger berdua jangan mengecewakan aku”
“Sama sekali tidak Kiai. Justru sebaliknya” jawab Laksana.
Wajah orangtua itu menegang. Dengan dahi yang berkerut orangtua itu berkata dengan nada yang semakin keras “Tidak. Aku minta kalian pergi. Aku tidak dapat menerima kalian lebih lama lagi”
“Kenapa Kiai berkeberatan membiarkan kami lebih lama berada di sini? Apakah kami telah mengganggu Kiai?” bertanya Laksana pula.
“Ya” jawab orangtua itu tegas ”aku akan pergi ke kebun untuk menyadap legen. Selama itu kau akan dapat mengambil benda-benda yang agaknya kau kagumi dan membawanya lari”
“Kiai” desis Laksana. Namun Manggada menggamitnya dan berkata “Apakah pernyataan itu benar-benar keluar dari hati Kiai? Jika demikian, alangkah nistanya kami berdua. Tetapi jika karena kecemasan itu, baiklah. Aku akan meninggalkan tempat ini”
Orangtua itu memandang kedua anak muda itu berganti-ganti. Wajahnya tiba-tiba menjadi buram. Katanya dengan nada sendai ”Tidak ngger. Tidak. Aku sama sekali tidak mencurigai angger berdua. Tetapi aku tidak dapat membiarkan angger berdua tetap berada di rumah ini. Meskipun hanya setengah hari. Kau datang pada waktu yang kurang baik."
“Apakah sebenarnya yang akan terjadi Kiai? Jika Kiai berkata sebenarnya, sementara kami berdua dapat mengerti, maka kami tentu akan melakukannya” berkata Manggada.
Orangtua itu menunduk dalam-dalam. Katanya “Aku tidak mengira bahwa benda-benda itu pada suatu saat akan mendatangkan kesulitan padaku”
“Kesulitan apa Kiai?” bertanya Laksana tidak sabar.
Orangtua itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang terasa berat baginya untuk mengatakan kepada kedua anak muda itu. Namun Manggada pun mendesaknya,
”Katakan Kiai. Kiai telah berbuat baik kepada kami. Apa yang telah Kiai lakukan, telah menumbuhkan kesan tersendiri di dalam hati kami. Dengan sikap Kiai terhadap kami. yang sebelumnya belum pernah Kiai kenal itu. menunjukkan bahwa Kiai memang seorang yang baik tanpa pamrih. Kiai pun tidak cemas bahwa semalam kami mencuri benda-benda berharga itu dan membawanya lari. Karena itu, ketika Kiai mengatakan bahwa Kiai mencemaskan benda-benda aku yakin bahwa itu bukan maksud Kiai yang sebenarnya untuk mencurigai kami”
“Anak-anak muda” berkata orangtua itu ”baiklah aku katakan kesulitanku kepada kalian. Tetapi aku minta kalian jangan melibatkan diri. Biarlah aku sendiri yang mengalaminya” berkata orangtua itu.
“Aku akan mempertimbangkan Kiai” Jawab Manggada.
Orangtua itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata “Ternyata seperti yang pernah angger tanyakan, bagaimana jika ada orang yang berpura-pura berhak atas benda-benda berharga itu?”
“Jadi ada seseorang yang mengaku berhak alas benda-benda itu. Kiai?” potong Laksana.
Orangtua itu mengangguk kecil. Katanya “Seseorang telah datang, la mengaku mendapat perintah dari pemilik songsong dan tombak-tombak itu. Tetapi ia tidak membawa pertanda sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Tidak ada patung perunggu berbentuk seekor harimau yang kakinya dapat tepat masuk ke dalam lubang di karah besi pada pangkal tangkai songsong itu. Tentu saja aku tidak dapat memberikannya sebelum orang itu dapat menunjukkan patung kecil itu”
“Lalu. apakah orang itu memaksa Kiai?” bertanya Laksana.
“Waktu itu, orang itu menyatakan kesediaannya untuk mengambilnya. Hari ini ia akan datang kembali” berkata orangtua itu. Namun katanya kemudian. ”Tetapi orang itu tampaknya kurang meyakinkan. Aku juga kurang yakin bahwa ia akan datang dengan membawa pertanda yang sudah disepakati itu”
“Jika ia tidak membawa?” bertanya Manggada.
“Aku tidak akan memberikannya” jawab” orangtua itu.
“Bagaimana jika ia memaksa?” desak Laksana.
“Persoalannya jadi lain ngger. Sudah tentu aku akan tetap mempertahankannya. Tetapi aku harus menyadari bahwa aku adalah seorangtua yang lemah. Yang tentu tidak akan dapat berbuat banyak” Orangtua itu berhenti sejenak, lalu ”tetapi aku tidak dapat memberikan benda-benda itu selagi aku masih ada”
“Jadi, Kiai akan mempertahankannya sampai tuntas?” bertanya Manggada dengan cemas.
“Aku sudah tua ngger. Umurku tentu sudah tidak jauh lagi. Jika aku harus mati, maka tidak akan banyak bedanya. Apalagi aku mempunyai satu keyakinan, bahwa kematian itu tidak akan dapat dipercepat akan ditunda. Jika aku harus mati, maka aku akan mati dengan sebab apapun juga” berkata orangtua itu ”Namun sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat mempertahankannya lagi”
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada pun berkata “Biarlah aku berada di sini”
“Jangan ngger. Sebaiknya kau tidak mengalami perlakuan buruk dari orang-orang yang tidak kau kenal dan tidak mempunyai sangkut paut apapun juga” berkata orangtua itu dengan nada rendah.
“Tetapi Kiai sudah berbuat baik terhadap kami” sahut Manggada ”apa gunanya kami membawa senjata di lambung jika kami akan menyingkir dari tindak kebajikan Kiai, aku akan tetap berada di sini dengan adikku”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku sudah mencoba memperingatkan kalian”
“Ya, kami mengerti. Segala sesuatunya adalah tanggung-jawab kami sendiri Kiai” desis Manggada.
Ternyata orangtua itu tidak dapat memaksa kedua anak muda itu untuk pergi. Ia memang menjadi cemas. Namun sesuatu terasa bergetar di dalam hatinya. Anak-anak muda itu ternyata memiliki jiwa yang besar serta kesediaan untuk melindungi sesama yang mengalami kesulitan.
Karena itu, orangtua itu tidak memaksa mereka lagi. Bahkan katanya kemudian ”Baiklah anak muda. Jika kalian berkeras untuk tinggal. Sekarang, marilah kita pergi ke kebun belakang. Aku akan menyadap legen di belakang. Aku akan menyelarak pintu depan dan membuka pintu butulan yang langsung dapat diawasi dari kebun”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Keduanyapun kemudian mengikuti orangtua itu keluar dari pintu belakang. Seperti kebiasaannya, orangtua itu membawa beberapa buah bumbung untuk mengganti bumbung yang telah dipasang kemarin sore.
“Mereka akan datang hari ini” desis orangtua itu sambil mendekati sebatang pohon kelapa.
Manggada dan Laksana mengangguk kecil. Namun mereka tidak menjawab. Sementara itu, orangtua itupun telah mulai memanjai sebatang pohon kelapa dengan membawa satu di antara bumbung-bumbungnya yang diikatnya dengan tali sabut pada lambungnya. Meskipun orang itu sudah tua, namun dengan tangkasnya ia memanjat.
Dalam waktu yang terhitung singkat, orangtua itu sudah bertengger pada pelepah pohon kelapa itu untuk melepas bumbung yang sudah terpasang. Kemudian memotong manggar itu dengan irisan-irisan tipis dan memasang bumbung yang baru untuk menerima titik-titik legen dari manggar yang telah diirisnya itu. Sejenak kemudian, bumbung legen yang baru saja dilepas itupun le'ah dibawanya turun.
“Biarlah kami membantu membawa bumbung itu Kiai” berkata Laksana.
Orangtua itu tersenyum. Katanya “Biasanya aku melakukannya sendiri”
“Tetapi hari ini kami ada di sini” jawab Laksana. Orangtua itu tertawa kecil. Tetapi ia tidak berkeberatan memberikan bumbung-bumbung itu kepada Manggada dan Laksana.
Dari satu pohon, orangtua itu pergi ke pohon yang lain. Memang tidak cukup banyak. Tetapi beberapa batang pohon kelapa ia telah memberikan beberapa bumbung legen yang dapat dibuatnya menjadi gula kelapa.
Ternyata kerja itu telah membuat orangtua itu melupakan kegelisahannya. Yang masih saja gelisah, justru Manggada dan Laksana. Setiap kali mereka berpaling ke arah pintu butulan yang meskipun tertutup, tetapi tidak diselarak itu. Sementara merekapun sadar, bahwa jika orang yang akan mengambil pusaka-pusaka itu datang, mereka tentu tidak akan masuk dengan diam-diam dan membawa lari benda-benda berharga itu.
Ternyata sampai batang kelapa yang terkahir, belum ada seorangpun yang datang memasuki halaman rumah orang itu. Sehingga orangtua itu sempat mengerjakan pekerjaannya yang lain. Menuang legen ke tempayan dan mempersiapkan pembuatan gula kelapa di serambi belakang rumahnya.
Manggada dan Laksana yang dipersilahkan duduk di dalam, ternyata lebih senang menunggui orangtua itu bekerja. Keduanya masih mengagumi tenaga orangtua itu yang bekerja dengan tangkasnya.
Sejenak kemudian, maka perapianpun telah menyala. Legen kelapa di tempayan itupun kemudian diletakkan di atas perapian. Dengan kayu bakar yang dikumpulkan di kebun serta dicampur dengan daun-daun kering yang dikumpulkan pagi-pagi ketika menyapu halaman, maka legen kelapa itu direbus sehingga menyusut. Pada akhirnya, legen itu menjadi semakin lama semakin kental dan siap dituang di tempurung kelapa sebagai alat untuk mencetak gula kelapa.
Namun orang tua itu sempat berkata kepada Manggada dan Laksana. ”Tolong, cabut satu atau dua batang ketela pohon!”
“Untuk apa?” bertanya Manggada.
“Kita masukkan kedalam legen yang hampir siap dituang ini.” berkata orang tua itu.
Manggada dan Laksana tahu benar maksud orang tua itu. Karena itu maka keduanyapun telah berlari-lari kekebun, mencabut masing-masing sebatang ketela pohon. Dengan cepat mereka mengupasnya dan mencucinya. Kemudian membawa kepada orang tua di dapur rumahnya.
Tetapi ternyata orangtua itu sudah tidak berada disana. Sebagian gulanya sudah dituang di tempurung kelapa, namun yang lain masih di tempayan, bahkan diatas perapian. Untunglah bahwa api dari kayu-kayu seadanya dan daun-daun kering itu sudah padam dengan sendirinya, sehingga sisa legen di tempayan tidak kering...
Selanjutnya, Sang Penerus Bagian 02 |