Kundala menarik nafas panjang. Terasa bahwa anggota badannya benar-benar telah terbebas dari ketukan orangtua itu. Ia sudah dapat berbuat apa saja. Bahkan rasa-rasanya kekuatannya telah hampir pulih kembali.
“Nah...” berkata Ki Gumrah ”Aku akan pergi sebentar. Silahkan menghabiskan ketela itu. Nanti kita akan membuat lagi. Masih banyak batang pohon ketela yang ada di kebun belakang. Nanti sore aku akan memanjat untuk mengambil legen lagi.”
Ketiganya tidak sempat menjawab. Ki Gumrah itupun kemudian mengambil keranjang yang penuh gula yang terletak di tlundak pintu. Kemudian diangkatnya keranjang itu dan dibawanya di atas kepalanya. Orangtua itu tidak berpaling lagi. Apalagi setelah kepalanya diletakkan keranjang gula itu.
Kundala masih tetap berdiri. Segala-galanya telah pulih kembali. Ketika ia mengangkat tangannya dan menggerakkannya, tidak lagi terasa sesuatu yang menghambat.
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun keduanya sadar, bahwa tampaknya Kundala benar-benar telah memiliki kembali bukan saja tenaganya, tetapi juga kemampuannya. Sementara itu merekapun sadar bahwa Kundala Geni adalah seorang yang berilmu tinggi. Jika saja kepalanya mulai diganggu lagi oleh kepentingannya datang di rumah itu. maka keduanya tidak boleh tinggal diam apapun yang akan terjadi.
Tetapi Kundala itu ternyata tidak menjadi garang. Bahkan dengan kepala tunduk ia mendekati serambi itu dan duduk lagi. Terdengar ia menarik nafas panjang sambil memandang ke kejauhan. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh.
”Apa yang sebenarnya dikehendaki oleh orangtua itu”
Manggada dan Laksana tidak menyahut. Sementara itu Kundala masih berbicara seakan-akan kepada dirinya sendiri.
”Apakah ia dengan sengaja mencobai aku. Dibiarkannya aku tinggal di rumah ini. Dibebaskannya aku dari ketukan jari-jarinya pada simpul-simpul syarafku, sehingga tenaga dan kemampuanku seakan-akan telah pulih kembali. Kemudian ditinggalkannya aku dengan kesempatan yang luas untuk mengambil barang-barang berharga itu.”
Manggada dan Laksana masih saja berdiam diri. Namun di luar sadarnya, keduanya memang sudah mempersiapkan diri. Mereka tahu bahwa keduanya tentu akan sulit bertahan melawan Kundala Geni jika orang itu benar-benar ingin mengambil pusaka-pusaka itu sebagaimana dilakukannya sebelumnya.
Tetapi ternyata Kundala tidak berbuat apa-apa. Bahkan orang itu tampak sangat gelisah. Keringatnya mengembun di keningnya. Yang dilakukan Kundala kemudian adalah justru meraih mangkuk minumannya. Diteguknya wedang serenya. Kemudian sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Kundala duduk termenung memandangi bayang-bayang yang bermain di halaman rumah orangtua itu.
Ternyata Ki Gumrah tidak juga segera kembali. Ketiga orang yang duduk di amben itu saling berdiam diri. Pikiran yang bermacam-macam telah bermain di kepala Kundala. Sekali ia ingin lari saja. Lari dari himpitan perasaannya yang bagaikan mencekik. Namun kemudian timbul niatnya untuk menyelesaikan tugasnya. Mengambil benda-benda pusaka itu. Bahkan kalau perlu menyingkirkan siapa saja yang mencoba menghalanginya. Termasuk kedua anak muda itu.
Tanpa disengaja, Kundala telah berpaling memandangi Manggada dan Laksana yang ternyata juga sedang merenungi pepohonan di halaman. Namun dimata Kundala Geni, Manggada dan Laksana telah berubah. Tidak lagi sebagai anak-anak muda yang garang, yang menghalangi niat mereka dan balikan menghantuinya meskipun Kundala yakin akan dapat mengalahkan mereka.
Namun keduanya dimata Kundala kemudian tampak seperti anak-anak yang tidak tahu menahu tentang kerasnya benturan kepentingan diiatas bumi ini. Sorot matanya yang bersih dan lugu. Kundala Geni menjadi semakin bimbang. Sehingga akhirnya ia hanya dapat berdesah untuk mengurangi sesak nafas didadanya.
Ki Gumrah memang cukup lama pergi. Sementara orang-orang yang berada di serambi rumahnya menjadi gelisah. Namun akhirnya Ki Gumrah itu muncul di regol halaman rumahnya sambil menjinjing keranjangnya yang lelah kosong. Sebelum orang-orang yang berada di serambi itu bertanya. Ki Gumrah sudah mendahului berkata.
“Ada beberapa orang yang menyerahkan gula kelapanya, sehingga menunggu giliran untuk dihitung”
“Apakah banyak orang yang nderes kelapa di sini?” bertanya Kundala yang tidak sempat memikirkan pertanyaan yang lain.
Ki Gumrah mengangguk sambil menjawab ”Ya. Padukuhan ini adalah padukuhannva orang nderes kelapa. Hampir setiap kebun terdapat satu dua batang pohon kelapa yang disadap legennya untuk membuat gula kelapa”
Kundala mengangguk kecil. Namun ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Sementara itu Ki Gumrah pun telah langsung masuk kedalam rumahnya sambil berkata “Aku akan menyimpan keranjangku lebih dahulu”
Manggada yang merasa jantungnya selalu dihinggapi berbagai pertanyaan itu telah bangkit dan menyusul orangtua itu kedalam. la sempat berkata kepada adik sepupunya ”Aku akan ke pakiwan sebentar...”
Laksana mengangguk, la tidak tahu untuk apa Manggada masuk kcdalam rumah itu. Tetapi Laksana sudah mengira bahwa Manggada tidak benar-benar pergi ke pakiwan.
Sebenarnya Manggada hanya sekadar menyusul Ki Gumrah untuk bertanya “Apa yang akan Kiai lakukan terhadap orang itu?”
Ki Gumrah mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak akan berbuat apa-apa atasnya. Jika ia ingin pergi, biarlah ia pergi”
“Tetapi itu akan sangat berbahaya bagi Kiai. karena ia akan dapat datang lagi bersama banyak orang” berkata Manggada pula.
“Jadi apa yang harus aku lakukan?” justru orangtua itulah yang bertanya.
“Aku tidak tahu Kiai” jawab Manggada ”yang aku cemaskan, jika ia benar-benar datang dengan kekuatan yang lebih besar untuk merampas benda-benda berharga itu. Kundala sendiri adalah orang yang berilmu tinggi sebagaimana seorang kawannya yang melarikan diri”
Ki Gumrah termangu-mangu. Katanya “Anak muda. biarlah ia berbuat sesuai dengan keinginannya. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa atasnya”
“Apakah Kiai tidak ingin mengetahui, siapakah yang telah memerintahkan orang itu datang kemari?” bertanya Manggada.
“Pertanyaan yang sia-sia ngger. Orang itu tentu tidak akan mengatakannya” jawab Ki Gumrah.
“Tetapi Kiai perlu mengetahuinya” sahut Manggada.
Ki Gumrah tersenyum. Katanya “Aku tentu tidak akan dapat memaksanya untuk mengatakannya dengan cara-cara yang tidak wajar. Bahkan seandainya ia menyebut satu nama. apakah dapat dijamin bahwa ia berkata jujur?”
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mendesak terus. Karena itu Manggada itupun telah keluar lagi dari ruang dalam dan duduk di serambi bersama Laksana dan Kundala.
Beberapa saat kemudian, orangtua itu telah keluar pula sambil berkata “Nah, duduklah kalian di serambi. Aku harus menanak nasi. Kemudian mencari bahan untuk masak di kebun belakang."
Ketiga orang yang ada di serambi itu termangu-mangu . Namun Kundala ternyata tidak dapat menahan hatinya. Katanya “Kiai. Apa yang sebenarnya Kiai inginkan atasku? Kiai jangan membiarkan aku menjadi gelisah seperti ini”
“Kenapa kau menjadi gelisah?” bertanya Ki Gumrah. “Bukankah aku tidak berbuat sesuatu atasmu? Duduklah. Nanti kita akan makan bersama-sama”
“Justru karena Kiai tidak berbuat apa-apa. Jika Kiai memaksa aku untuk mengaku, mengikat aku atau menyakiti aku agar aku mau berbicara. Itu masih dapat aku mengerti. Tetapi tidak seperti ini” berkata Kundala.
“Aku tidak mengerti maksudmu ngger” desis orangtua itu. Namun kemudian katanya “Mungkin kau membayangkan langkah-langkah kasar yang dapat aku lakukan untuk mengetahui siapakah yang telah memerintahkan kau datang kemari. Tetapi bagiku, itu sama sekali tidak ada gunanya. Karena kau dapat membohongi aku. Dan itu tentu kau lakukan”
Kundala menjadi semakin bingung. Kemudian justru katanya “Bagaimana jika aku melarikan diri? Atau kau memang mengharap aku berusaha melarikan diri sehingga kau mempunyai alasan untuk membunuhku?”
“Sekali lagi aku minta, kau jangan terlalu berprasangka buruk. Aku sama sekali tidak ingin menahanmu di sini. Aku tidak berhak melakukannya jika kau akan pergi, maka kau dapat melakukannya kapan saja. Tetapi sudah tentu tidak pantas bagiku untuk mengusirmu dari tempat ini. Namun jika kau sendiri ingin meninggalkan kami, maka tidak akan ada persoalan” berkata orangtua itu.
Kundala menjadi semakin bingung. Dalam kegelisahan itu ia berkata “Tetapi Kiai tentu akan menyesal. Aku akan datang lagi dengan kekuatan yang jauh lebih besar untuk merampas pusaka-pusaka itu”
“Sudah aku katakan pula” jawab orangtua itu ”Aku akan mempertahankannya. Sukurlah jika pemiliknya sudah mengambilnya sebelum kau datang lagi”
“Kiai benar-benar tidak dapat dimengerti” orang itu benar-benar menjadi bingung.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh Ki Sanak” berkata orangtua itu.
Namun Kundala kemudian bangkit dan berkata lantang “Aku akan pergi dari neraka ini. Aku merasa tersiksa di sini. Jika kau akan membunuhku, bunuhlah. Aku tidak peduli”
Orang itu segera melangkah ke halaman meninggalkan serambi rumah Ki Gumrah. Sementara itu Manggada dan Laksana telah meloncat turun ke halaman.
Namun Ki Gumrah hanya tersenyum saja mengawasi orang yang melangkah menjauh itu. Tetapi sebelum orang itu sampai ke regol halaman, ia pun telah berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya tampak sangat tegang. Bahkan katanya lantang “Kiai. Kenapa kau tidak berbuat sesuatu? Kenapa kau tidak melempar aku dengan gelang-gelangmu, sehingga tulang leherku patah dan aku mati di sini? Kenapa itu tidak kau lakukan?”
“Pergilah. Pergilah Ki Sanak. Seperti kawanmu yang telah pergi lebih dahulu, aku sama sekali tidak berkeberatan kau pergi, dan apapun yang akan kau lakukan kemudian” berkata Ki Gumrah.
“Baik. Baik. Aku akan pergi. Kau kelak tentu akan menyesal” geram orang itu.
Ki Gumrah tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Dengan tergesa-gesa orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Gumrah. Sampai hilang di balik regol, orang itu tidak berpaling lagi.
Sepeninggal orang itu Manggada berkata “Bukan saja orang itu yang tidak dapat mengerti, tetapi kami juga”
“Ya. Justru akulah yang mengerti. Aku tahu bahwa kebiasaan kita adalah memaksa orang untuk berbicara. Kebiasaan kita, kita mempergunakan kekerasan dan menyakiti orang lain untuk memaksanya berbicara, sehingga cara yang lain tidak akan mudah untuk dimengerti” berkata Ki Gumrah sambil tersenyum.
Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja. Namun mereka pun ikut menengadahkan kepala mereka, ketika mereka melihat Ki Gumrah seakan-akan mencari sesuatu di langit. Manggada dan Laksana terkejut. Mereka melihat seekor burung elang yang terbang berputaran di udara.
“Elang itu...” Tiba-tiba Manggada berdesis “Elang dari lingkaran ilmu hitam...”
Ki Gumrah mengerutkan dahinya. Dengan ragu ia bertanya “Kau pernah melihat elang itu?”
“Ya. Elang yang dilepaskan oleh seorang Panembahan yang pernah menggemparkan karena usahanya untuk membuat pusaka-pusakanya menjadi pusaka yang paling baik di seluruh muka bumi. Namun dengan cara yang tidak sewajarnya. Pusakanya harus meneguk darah seratus orang gadis”
“Jadi kau mengenal Panembahan dari dunia hitam itu?” bertanya Ki Gumrah.
“Apakah Kiai juga mengenalnya?” bertanya Laksana tiba-tiba.
“Ya” Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun kemudian kembali ia mengawasi burung elang yang terbang semakin rendah. Katanya “Kalian benar. Elang itu tentu bukan burung elang kebanyakan yang sedang mencari anak ayam. Ujung jari-jari kakinya yang kadang-kadang berkedip itu adalah logam untuk melengkapi agar elang itu mampu bertempur sesuai dengan kehendak Panembahan itu”
“Ya” sahut Manggada” ujung kaki elang itu dilengkapi dengan kuku-kuku buatan yang tajam”
“Elang itu sedang mencari Kundala” desis Ki Gumrah. Lalu katanya “Nah, bukankah aku tidak perlu mengikat dan mencambuk Kundala untuk menanyakan siapakah yang telah memerintahkannya kemari?”
“Panembahan itu?” bertanya Manggada.
“Atau orang lain, namun sejalan dengan ilmu sesat yang dimilikinya” jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana menjadi semakin tertarik. Hampir di luar sadarnya Laksana bertanya “Kiai juga mengenal Ki Ajar Pangukan atau Ki Pandi?”
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Ketika aku melihat kalian bertempur, aku sudah menduga, meskipun landasan ilmumu bukan dari Ki Ajar Pangukan atau Ki Pandi, tetapi pada ilmu kalian terdapat bekas tangan mereka. Semula aku masih ragu-ragu. Tetapi sekarang aku pasti, bahwa kalian pernah tinggal di rumah Ki Ajar Pangukan”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk, Namun Laksana itupun berkata “Jika Kundala ada hubungannya dengan Panembahan itu, bukankah ia orang yang sangat berbahaya?”
“Tetapi aku melihat sesuatu yang masih dapat diharapkan pada Kundala dan mungkin juga kawannya. Perasaannya masih hidup segar di dalam jantungnya, sehingga aku masih berharap bahwa Kundala tidak benar-benar terbenam dalam putaran perbuatan Panembahan hitam itu” berkata Ki Gumrah. Lalu katanya “Aku berharap masih ada sedikit pikiran wajar pada Kundala, sehingga mudah-mudahan dapat tumbuh dan berkembang di hatinya. Tetapi jika ia tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh sesat itu, maka ia masih orang yang terbaik dari segalanya yang hitam itu”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi Laksana masih bertanya “Kiai. Panembahan yang memelihara elang itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Aku tahu, bahwa Kiai pun berilmu tinggi. Tetapi jika ia membawa pengikut-pengikutnya setataran Kundala, sementara Kiai hanya seorang diri, apakah Kiai tidak merasa cemas? Mungkin Kiai sama sekali tidak mencemaskan jiwa Kiai sendiri. Tetapi seandainya Kiai gagal bertahan, pusaka-pusaka itu akan jatuh ketangan mereka? Apalagi Panembahan yang gagal membuat kerisnya menjadi pusaka terbaik di muka bumi ini memerlukan pusaka lain yang tentunya dapat dianggap lebih baik dari kerisnya yang haus darah itu. Bahkan darah seratus orang gadis”
Ki Gumrah tidak segera menjawab. Tetapi katanya “Marilah, kita berbicara di dalam”
Ketiganya kemudian masuk keruang dalam. Manggada dan Laksana membantu membawa mangkuk-mangkuk dan sisa makanan mereka. Setelah meletakkan mangkuk mangkuk itu di belakang, maka mereka telah duduk di ruang tengah.
“Biarlah nanti aku mencucinya” berkata Ki Gumrah. Manggada dan Laksana tidak menyahut. Namun mereka justru memandangi tirai sentong yang bergerak-gerak disentuh angin.
Namun kemudian terdengar orangtua itu berkata “Aku tidak memperhitungkan kemungkinan. Panembahan iblis itu akan mengetahui bahwa aku berada di sini”
“Apakah Kiai mempunyai hubungan dengan Panembahan itu?” bertanya Manggada kemudian.
Ki Gumrah tidak segera menjawab. Namun ia justru bertanya “Di mana angger berdua bertemu dengan Panembahan itu? Apapula yang telah dilakukannya dengan kerisnya itu?”
Manggada pun kemudian lelah menceriterakan apa yang pernah dilakukannya berdua dengan Laksana, la pun berceritera tentang Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi yang bengkok. Manggada tidak merasa perlu untuk merahasiakan lagi, karena menurut pendapatnya. Ki Gumrah adalah orang yang dapat dipercaya, la bukan seorang yang berwatak seperti Panembahan Iblis itu. Bahkan sikapnya agaknya lebih lunak dari Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.
Namun Manggada dan Laksana masih belum tahu pasti, perbandingan ilmu antara orangtua itu dengan Panembahan berilmu sesal itu, serta dengan Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.
Sementara itu Ki Gumrah mendengarkan ceritera Manggada dan Laksana dengan saksama. Sekali-sekali tampak keningnya berkerut. Namun kemudian ia mengangguk-angguk kecil.
Ketika Manggada selesai berceritera. Ki Gumrah berkata “Menarik sekali. Ternyata dalam usia kalian yang muda. kalian telah mengalami banyak hal yang dapat memperkaya pengalaman kalian. Bukan saja pengalaman lahir tetapi juga pengalaman batin. Bahkan kalian lelah berada di Nguler dan bersentuhan dengan kuasa Raden Panji Prangpranata. Telapi apakah kalian tidak berkeberatan jika aku ingin tahu, siapakah sebenarnya kalian seutuhnya?”
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Laksana. Namun Laksana pun tampak bimbang. Tetapi Manggada yang sudah mempercayai orangtua itu akhirnya berceritera juga serba sedikit tentang dirinya dan adik sepupunya itu.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata “Aku belum mengenal pamanmu itu anak muda. la tentu seorang yang berilmu tinggi”
“Tidak Kiai” jawab Laksana ”Ayah bukan seorang yang berilmu tinggi seperti Kiai”
Ki Gumrah tertawa. Katanya “Seorang anak kadang-kadang memang tidak sempat melihat kelebihan ayahnya sendiri. Tetapi jika ayahmu bukan seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak akan dapat meletakkan dasar ilmunya sedalam yang telah kalian miliki. Meskippun Ki Ajar Pangukan telah ikut mengasahnya, namun dasar ilmu kalian telah kuat dan mapan. Hanya orang yang berilmu tinggi sajalah yang mampu melakukannya atas anak-anak semuda kalian”
“Kiai terlalu memuji” desis Laksana.
“Baiklah. Orangtua kalian tentu mengajari kalian untuk menjadi seorang yang rendah hati. Seorang yang tidak menyombongkan kemampuannya. Namun melihat apa yang telah kalian lakukan terhadap orang-orang yang datang itu, maka aku dapat membaca tingkat kemampuan guru kalian itu” berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Sebenarnyalah mereka tidak dapat mengukur kemampuan guru mereka, ayah Laksana.
Ki Gumrah yang telah mendengar ceritera tentang diri kedua anak muda itu kemudian berkata “Jika demikian ngger. sebaiknya kalian meneruskan perjalanan kalian. Ayah angger Manggada tentu sudah menunggu. Dalam perjalanan pulang, angger berdua telah banyak kehilangan waktu di perjalanan”
“Ya Kiai” jawab Manggada ”tetapi kedatangan Kundala dan kawannya itu rasa-rasanya telah menahan kami berdua di sini. Meskipun barangkali kami tidak mampu berbuat sesuatu, tetapi rasa-rasanya tidak adil untuk pergi begitu saja setelah kami menyebut diri kami sebagai cucu-cucu Kiai”
“Aku tahu ngger. Kalian berdua selain memiliki landasan ilmu yang mantap, juga bukan orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kalian tidak ingin melihat orang lain mengalami kesulitan tanpa berbuat sesuatu. Untuk itu aku sangat berterima kasih. Tetapi akupun tidak dapat membiarkan kalian ikut terjerat dalam kesulitan-kesulitan yang akan dapat mengancam keselamatan kalian” jawab orangtua itu.
“Mungkin kami akan menjadi beban Kiai. Tetapi biarlah kami mohon diijinkan tinggal di sini barang dua tiga hari” berkata Manggada kemudian.
Ki Gumrah menarik nafas panjang. Katanya “Persoalanku tidak akan selesai dalam dua tiga hari ini justru tidak akan terjadi sesuatu. Bagaimana dengan kalian jika persoalanku ini akan berkepanjangan sampai berbilang tahun”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun rasa-rasanya mereka tidak dapat begitu saja meninggalkan rumah itu. Karena itu, maka Laksana pun kemudian berkata “Kiai. Apapun yang akan terjadi, biarlah kami tinggal di rumah ini sampai saatnya kami mohon diri. Kami senang dengan kehidupan di rumah ini. Menyadap legen setiap pagi dan sore. Membuat gula kelapa dan merebus ketela.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Baiklah anak-anak muda. Jika kalian memang ingin tinggal di sini. Tetapi sebenarnya aku ingin kalian tidak terpercik getah dari nangka yang tidak kalian makan”
“Kamilah yang menginginkannya. Kiai” jawab Laksana.
“Aku tidak dapat menolaknya. Selain kalian memang ingin menolong aku, maka kalianpun ingin mendapatkan pengalaman yang seluas-luasnya. Tetapi sebenarnya tempat ini tempat yang sangat berbahaya bagi kalian. Bahkan tidak kalah berbahanya dengan daerah yang luas dibawah pengaruh Panembahan Hitam itu. Tidak pula kurang bahayanya dan lingkungan kuasa Raden Panji Prangpranata yang kehilangan calon isterinya itu” berkata Ki Gumrah.
“Terima kasih Kiai” sahut Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Dengan demikian, maka dalam satu dua hari, Manggada dan Laksana akan berada di rumah itu. Memang mendebarkan, tetapi keduanya rasa-rasanya berkewajiban untuk melakukannya. Karena itulah, maka Manggada dan Laksana telah sempat membersihkan halaman depan, yang tampaknya tidak begitu bersih. Memotong dahan yang mulai mengering dari pepohonan yang tumbuh di halaman, agar daunnya yang dengan cepat menguning tidak runtuh di halaman.
Ki Gumrah melihat kedua anak muda itu dengan jantung yang berdebaran. Keduanya bukan saja berilmu, tetapi keduanya ternyata anak-anak muda yang rajin bekerja. Setelah sehari keduanya tinggal di rumah Ki Gumrah, maka halaman rumah itu kelihatan lebih bersih. Pepohonan pun seakan-akan telah dipangkas rapi. Jambangan di pakiwan pun menjadi bersih pula. Lumut yang kehijauan telah dibersihkan. Batang sirih yang tumbuh di dekat pakiwan dan merambat ke segala penjuru, telah ditertibkan pula.
Meskipun Ki Gumrah tidak makan sirih, tetapi daun sirih adalah daun yang dapat dibuat berbagai macam obat. Di halaman belakang empon-empon yang merupakan bagian dari tanaman-tanaman yang mampu dibuat obat pula, telah disiangi sehingga akan dapat menjadi lebih subur.
Namun ketika malam turun, setelah kedua anak muda itu berada di pembaringan, mereka masih juga berbisik yang satu kepada yang lain, ”Jangan terlalu nyenyak tidur.”
Tetapi lewat tengah malam, maka kedua anak muda itu benar-benar telah tertidur nyenyak. Di luar pengetahuan mereka, ketika Ki Gumrah kemudian keluar dari biliknya. Dengan sangat hati-hati, orang itu telah duduk di amben yang cukup besar, tempat Manggada dan Laksana tidur. Ternyata orangtua itu dapat duduk di amben bambu tanpa berderit dan tanpa membangunkan kedua anak muda yang tertidur nyenyak itu.
Dipandanginya wajah kedua anak muda yang memang agak mirip yang satu dengan saudara sepupu. Wajah yang kosong itu tampak bersih, seakan-akan keduanya masih belum menyentuh gejolak kehidupan yang keras dan kadang-kadang terasa buas.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Pada wajah kedua anak muda itu terbayang masa depan. Di luar sadarnya Ki Gumrah itu berdesis “Keduanya akan menjadi bagian dari dunia olah kanuragan di masa depan. Jika saja ada beberapa orang lagi dari antara mereka yang berilmu memiliki jiwa seperti anak itu, maka lingkungannya tentu akan menjadi tenang dan terlindung dari nafsu rendah”
Beberapa saat Ki Gumrah duduk menunggui kedua anak muda yang tidur nyenyak itu. Bahkan kemudian seakan-akan ia akan melakukannya sampai pagi. Sambil bersandar dinding, orangtua itu menyilangkan tangannya di dada.
Namun tiba-tiba saja dahi orangtua itu berkerut. Telinganya yang tajam telah menangkap desir halus di luar dinding rumahnya. Untuk beberapa saat Ki Gumrah tidak berbuat sesuatu, la mendengarkan saja desir itu menyusuri dinding rumahnya yang tidak terlalu besar itu. Namun kemudian seakan-akan telah menghilang di sudut belakang.
Tetapi Ki Gumrah tahu bahwa desir itu tentu masih belum akan meninggalkan halaman rumahnya. Bahkan kemudian Ki Gumrah mendengar bukan saja desir lembut, tetapi desis suara orang berbisik perlahan sekali.
Suara itu jelas dan pasti. Ki Gumrah tahu, bahwa ada lebih dari seorang di luar rumahnya. Namun Ki Gumrah tidak mendengar apa yang dibicarakan. Ketika desir langkah orang itu menjauh lagi, memutari rumahnya, Ki Gumrah bergeser turun dari amben itu dengan hati-hati. Ia tidak ingin mengejutkan anak-anak muda itu. Tetapi iapun tidak ingin membiarkan anak-anak muda itu dikejutkan oleh peristiwa yang tidak mereka ketahui karena mereka masih tertidur nyenyak.
Karena itu, Ketika Ki Gumrah sudah berdiri di lantai rumahnya, iapun menyentuh Manggada pada kakinya. Manggada memang terkejut, Ia cepat tanggap akan keadaan. Karena itu, iapun segera bangkit duduk. Namun sementara itu, Ki Gumrah yang sudah berdiri itu memberikan isyarat agar Manggada tidak berbicara apapun juga dengan meletakkan jari-jari tangannya di mulutnya.
Manggada mengerutkan keningnya. Namun kesadarannya telah sepenuhnya dikuasainya. Karena itu, iapun tidak belianya apapun kepada Ki Gumrah. Bahkan dengan hati-hati iapun telah turun dari amben.
Ki Gumrah memberi isyarat lagi. Vahwa ia masih mendengar sesuatu. Suara itu memang sudah berpindah lagi di dinding bagian depan rumahnya. Bahkan mereka mendengar suara derit amben di serambi. Agaknya orang-orang yang ada di luar itu telah duduk di amben di serambi rumahnya.
Dengan hati-hati puia Manggada telah membangunkan Laksana. Namun secepat Laksana bangun, secepat itu pula Manggada memberikan isyarat agar ia juga tidak bertanya sesuatu.
Demikianlah, ketiga orang itupun segera mengatur diri. Laksana tetap berada di tempatnya, sementara Manggada akan pergi ke belakang. Sedangkan Ki Gumrah sendiri akan pergi ke sentong tempat ia menyimpan pusaka-pusaka yang dititipkannya kepadanya itu.
Perlahan-lahan sekali Ki Gumrah berdesis. “Hati-hatilah. Mungkin mereka akan mempergunakan cara lain untuk mengambil barang-barang berharga itu”
Demikianlah mereka bertiga telah membagi diri. Beberapa saat mereka menunggu. Seperti diperhitungkan oleh Ki Gumrah maka sejenak kemudian, desir langkah itu terdengar lagi dan berhenti di luar sentong tempat benda-benda berharga itu disimpan.
Ki Gumrah yang berada di sentong itu duduk dengan hati yang berdebar-debar. Bahkan Ki Gumrah telati mengatur pernafasan sebaik-baiknya, agar tidak terdengar oleh orang-orang yang berada di luar rumahnya.
“Dinding sentong ini rangkap” desis orang yang di luar.
“Ya” sahut yang lain sambil berbisik ”kita tidak dapat melihat kedalam. Tetapi tampaknya dinding ini tidak terlalu kuat”
Untuk beberapa saat tidak terdengar mereka berbicara lagi. Tetapi Ki Gumrah dengan pendengarannya yang sangat tajam masih mendengar tarikan nafas mereka. Karena itu, Ki Gumrah tahu bahwa orang-orang yang ada di luar rumahnya itu sedang melihat kemungkinan untuk merusak dinding sentong itu.
Tetapi sejenak kemudian terdengar seorang diantara mereka berkata “Apakah kita akan membuat lubang dibawah dinding untuk masuk?”
“Rumah ini diberi sasak bambu berkeliling. Jika menggali tanah dibawah dinding, maka galian itu tentu akan panjang sekali sampai keruang tengah rumah ini” jawab yang lain.
“Jadi apa yang kita lakukan?” bertanya orang yang pertama
Mereka kembali diam. Namun tiba-tiba tiang di sudut sentong itu berguncang. Agaknya salah seorang diantara mereka mencoba untuk mengetahui kekuatan tiang bambu di sudut sentong itu. Tetapi agaknya orang-orang itu tidak memperhatikan, bahwa tiang itu dipergunakan oleh Ki Gumrah untuk menyangkutkan palang bambu jemuran yang meskipun tidak panjang, namun telah mengguncang cabang sebatang pohon waru pula, karena ujung bambu itu terikat pada pohon waru itu.
Guncangan itu sendiri tidak menimbulkan bunyi terlalu keras dan tidak akan membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak. Tetapi karena bambu itu tidak terlalu kuat terikat pada tiang sentong di bagian luar itu, maka bambu jemuran itu telah terjatuh hampir saja menimpa orang yang mengguncang tiang itu, sehingga orang itu telah meloncat ke samping.
Bunyi bambu yang terjatuh itu telah menghentak sepinya malam, Terdengar orang yang ada di luar itu mengumpat. Namun kemudian terdengar langkah cepat menjauh. Agaknya bambu yang terjatuh itu telah mengejutkan orang-orang yang ada di luar rumah Ki Gumrah, sehingga mereka telah dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah itu, yang berkemampuan tinggi, tentu akan terbangun juga.
Manggada dan Laksana yang juga terkejut mendengar suara itu, dengan serta merta telah berlari ke sentong tempat Ki Gumrah menyimpan pusaka-pusaka yang dititipkan kepadanya itu. Keduanya menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Ki Gumrah masih duduk dengan tenang menunggui pusaka-pusaka itu.
“Aku mendengar suara” desis Manggada.
“Sepotong bambu yang terjatuh di luar” jawab Ki Gumrah.
“Dan suara orang berjalan tergesa-gesa” sambung Laksana.
“Kita kehilangan mereka” berkata Ki Gumrah ”Aku berharap mereka masuk ke sentong itu. Aku ingin berbicara dengan mereka. Tetapi karena ketergesa-gesaan mereka, atau kurang berhati-hati, maka bambu jemuran itu telah terjatuh” jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka tidak bertanya lagi. Apalagi Ki Gumrah kemudian telah mengajak anak-anak muda duduk di ruang dalam.
“Ternyata mereka begitu cepat kembali. Meskipun mungkin bukan Kundala dan kawannya yang datang sebelumnya. Tetapi orang yang memerintahkan mereka mengambil pusaka-pusaka itu tentu sudah mendapat laporan tentang kegagalan yang dialami oleh Kundala dan kawannya” berkata Ki Gumrah.
“Bukankah mereka sangat berbahaya bagi Kiai” desis Manggada.
“Sayang sekali bahwa aku tidak dapat berbicara dengan orang-orang yang datang itu ”desis Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun Manggada kemudian berkata “Kiai. Besok atau lusa, mereka tentu akan datang lagi. Mungkin dengan cara sebagaimana dilakukan hari ini. Tetapi mungkin dengan cara yang lebih kasar. Karena itu, apakah Kiai tidak mempunyai cara lain untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Itu? Apakah Kiai pernah berhubungan dengan Ki Bekel atau Ki Demang, sehingga Kiai akan mendapatkan perlindungan. Maksudku, dengan jumlah yang banyak. Anak-anak muda dipadukuhan ini akan dapat membantu Kiai menjaga pusaka-pusaka itu”
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Angger berdua. Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan banyak orang dalam hal ini. Coba bayangkan, seandainya anak-anak muda padukuhan ini terlibat, maka persoalannya akan berkembang semakin jauh. Jika orang yang memelihara burung elang itu datang bersama sepuluh orang saja, maka anak-anak muda di padukuhan itu tentu akan dibantai habis. Nah, apakah aku masih akan dapat tidur nyenyak dan makan minum dengan enak jika hal seperti itu terjadi? Bukan hanya untuk satu dua hari. Tetapi tentu sepanjang hidupku”
“Bagaimana jika Kiai meninggalkan tempat ini dan tinggal di tempat lain? Minta perlindungan prajurit Pajang misalnya?” bertanya Laksana.
“Apakah aku masih harus menjadi beban tugas para prajurit yang sudah mempunyai beban tugas yang berat? Memang tugas prajurit adalah melindungi rakyatnya. Tetapi aku tidak tahu apakah pusaka-pusaka itu tidak malah menimbulkan persoalan? Jika para prajurit itu memerintahkan aku menyerahku, pusaka-pusaka itu, maka aku akan menjadi semakin bingung. Apa yang dapat aku katakan kepada pemiliknya kepadaku” desis Kiai Gumrah.
“Kiai dapat berterus-terang bahwa pusaka-pusaka itu telah mengancam keselamatan Kiai. Apakah Kiai harus mengorbankan jiwa Kiai untuk mempertahankan pusaka-pusaka yang sekadar titipan, sementara yang menitipkan pusaka-pusaka itu tidak mengetahui bahaya yang datang ke-rumah ini? Orang yang menitipkan pusaka-pusaka itu dapat saja marah, menuntut atau menganggap Kiai tidak memegang janji. Tetapi apakah ia tahu apa yang telah terjadi dengan Kiai?” bertanya Manggada.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Pendapat itu wajar sekali ngger. Tetapi aku tidak dapat melakukannya”
“Kenapa? Sampai sejauh mana orang harus memegang janji kepada seseorang yang tidak mau tahu tentang kesulitan-kesulitan kita” desak Laksana.
“Sudahlah” jawab orangtua itu ”penalaranku tidak menolak pendapat itu. Tetapi perasaanku tidak dapat melakukannya. Jika angger berdua bertanya keseimbangan antara penalaran dan perasaan, maka aku akan menjadi semakin bingung. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat melakukannya”
Manggada dan Laksana tidak mendesak lagi. Tampaknya orang tua itu tidak ingin mengganggu orang lain sebagaimana mereka berdua yang didesak untuk meninggalkan rumah itu saat rumah itu akan didatangi Kundala dan kawannya untuk mengambil benda-benda yang berharga sangat tinggi itu.
“Sudahlah” berkata orang tua itu kemudian” sekarang kembalilah ke pembaringan. Masih ada waktu untuk tidur”
“Apakah Kiai tidak akan tidur?” bertanya Laksana.
“Aku akan tidur di sini saja” berkata Ki Gumrah sambil mengambil segulungan tikar di sudut bilik itu dan membentangkannya di sebelah ploncon tempat benda-benda yang sangat mahal itu diletakkan.
Manggada dan Laksana pun segera kembali ke amben mereka dan berbaring di tempat semula. Namun mereka tidak segera dapat tertidur nyenyak. Meskipun keduanya tidak berbicara diantara mereka, namun angan-angan mereka masih saja diliputi oleh berbagai macam pertanyaan tentang pusaka-pusaka yang dihiasi dengan permata dan orang yaag menitipkannya.
“Aku tidak yakin bahwa emas dan permata itu hanya tiruan” berkata Manggada tiba-tiba hampir berbisik.
Laksana yang berbaring menelentang menatap atap, berpaling sambil berdesis perlahan ”Ya. Agaknya orang tua itu bermaksud berhati-hati. Orang itu belum mengenal kita dengan baik, sehingga ia sengaja menyebut emas dan permata itu hanya tiruan”
Keduanya terdiam. Sementara itu, di luar suara cengkerik dan bilalang bersahutan: Sekali-sekali terdengar gonggong anjing liar di kejauhan. Namun akhirnya Manggada dan Laksana sempat tertidur lagi beberapa saat.
Pagi-pagi benar, kedua anak muda itu sudah terbangun. Tetapi ternyata Ki Gumrah telah bangun lebih dahulu. Karena itu, ketika keduanya kemudian duduk di amben tempat mereka tidur, Ki Gumrah berkata,
“Nah, mandilah. Aku sudah menjelang air. Hampir mendidih. Aku membuat wedang sere.”
Kedua anak muda itupun kemudian pergi ke pakiwan. Bergantian mereka menimba air dan mandi. Sejenak kemudian keduanya telah duduk di serambi sambil menghirup wedang sere dengan gula kelapa yang masih hangat. Disilirnya angin pagi yang sejuk, terasa tubuh-tubuh mereka menjadi segar.
“Nah” berkata orangtua itu ”sekarang aku akan mengambil legen dan menurunkannya selagi masih pagi”
“Kiai akan membuat gula hari ini?” bertanya Manggada.
“Bukankah itu pekerjaanku sehari-hari” Ki Gumrah justru bertanya sambil tersenyum.
“Apakah aku boleh mencoba mengambil legen itu Kiai?” bertanya Laksana.
“Jangan ngger. Jika kita salah memotong ujung manggar itu, maka legen itu tidak akan menitik dan bahkan mungkin akan kering untuk selanjutnya” jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara Kiai Gumrah pergi ke kebun dan memanjat beberapa batang pohon kelapa, kedua anak muda itu seperti hari-hari yang lewat, membantu membersihkan halaman dan kebun yang nampak menjadi semakin bersih itu.
Untuk beberapa saat mereka dapat bekerja dengan tenang. Ki Gumrah dengan tangkasnya memanjat batang-batang pohon kelapa, sementara Manggada dan Laksana telah memotong pohon-pohon perdu yang hanya membuat kebun menjadi tampak kotor dan bersemak.
Namun ketika Ki Gumrah telah menyimpan legen di dapur untuk dipanasi, maka orangtua itu mulai menjadi gelisah. Semula Manggada dan Laksana tidak tahu. kenapa orangtua itu beberapa kali keluar masuk dapur. Namun kemudian keduanya melihat Ki Gumrah itu setiap kali menengadahkan wajannya.
Manggada dan Laksana pun segera mengetahui. Ternyata orangtua itu telah melihat lagi burung elang yang terbang mengitari rumah itu. Bahkan sekali-sekali menukik rendah, kemudian naik lagi berputaran. Kedua anak muda itupun kemudian telah berdiri di halaman belakang untuk melihat burung elang yang terbang berputaran itu.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata “Kenapa orang itu masih saja dikendalikan oleh ketamakan hatinya?”
Manggada dan Laksana memang menduga, bahwa Ki Gumrah dan orang yang memiliki burung elang itu telah saling mengenal dan mempunyai hubungan khusus. Tetapi kedua anak muda itu tidak akan dengan mudah mengetahui lebih banyak tentang Ki Gumrah, karena orangtua itu tidak begitu terbuka hatinya.
Namun ketika burung elang itu kemudian terbang menjauh, Ki Gumrah itu berpaling, memandang kedua anak muda itu dengan tatapan mata yang redup. Sambil melangkah mendekati Ki Gumrah berkata ”Anak-anak muda. Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan kalian meninggalkan tempat ini. Tetapi aku tahu pasti, bahwa kalian agaknya memang tidak berniat untuk pergi”
“Kami memang ingin berada di sini untuk beberapa lama Kiai” jawab Manggada.
“Kalian lihat burung elang itu lagi?” bertanya Ki Gumrah.
“Ya” jawab Manggada.
“Burung itu berputar lebih dari empat kali. Menukik seakan-akan ingin menyambar rumah ini, kemudian terbang lagi dan berputar lima kali. Sekali lagi burung itu menukik. Kemudian berputar-putar lagi” berkata orangtua itu.
“Kiai sempat menghitung? Apakah hitungan itu ada artinya?” bertanya Manggada.
“Adalah kebetulan bahwa aku juga mengenali isyarat itu. Dari kejauhan, pemilik burung itu atau orang yang dipercayainya melihat pula isyarat itu?” jawab Ki Gumrah.
“Apakah arti isyarat itu?” bertanya Laksana.
“Aku tidak tahu dengan tepat, Namun elang itu mengatakan bahwa yang dicari masih ada di sini. Rumah ini masih belum dikosongkan”“ jawab Ki Gumrah.
“Bagaimana jika kita berada di dalam rumah?” bertanya Laksana pula.
“Elang itu tahu. Mungkin nalurinya lebih tajam dari kita, sehingga elang itu dapat mengetahui apakah sebuah rumah itu kosong atau ada penghuninya. Bahkan seandainya penghuninya tidak sedang berada di rumah” berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana menjadi semakin yakin, bahwa Ki Gumrah mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan orang yang memiliki burung elang itu, meskipun mungkir, hubungan itu adalah hubungan permusuhan.
Selagi Manggada dan Laksana termangu-mangu, maka orang itupun berkata. “Anak-anak muda. Menilik isyarat yang diberikan oleh burung elang itu, maka kita memang harus lebih berhati-hati. Sebenarnya aku ingin kalian tidak usah terlibat semakin jauh. Bukankah orangtua kalian masih selalu menunggu kalian pulang dengan membawa ilmu dan pengetahuan tentang hidup dan kehidupan? Jika kalian tertahan di sini untuk satu keperluan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian, maka orangtua kalian tentu akan sangat kecewa”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun Manggada pun kemudian berkata “Tidak Kiai. Jika ayah minta agar aku mempelajari ilmu dan pengetahuan, sudah barang tentu tidak hanya sekedar memiliki ilmu dan pengetahuan itu harus aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari”
Orangtua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya “Baiklah. Aku memang tidak berkeberatan kalian tinggal di sini. Mungkin kalian akan mendapatkan pengalaman yang penting bagi kalian dihari depan. Tetapi kalianpun harus tahu bahaya yang dapat mencengkam kalian setiap saat."
“Itu adalah kemungkinan yang harus kami perhitungkan Kiai” jawab Manggada.
Namun pembicaraan mereka terputus, ketika tiba-tiba saja seseorang mengendap-endap melingkari rumah Ki Gumrah dan langsung pergi ke belakang.
“Kau?” desis Ki Gumrah sedikit terkejut.
“Ya Kiai. Kiai tidak lupa kepadaku?” bertanya orang itu.
“Baru kemarin kau datang. Sudah tentu aku tidak lupa” jawab Ki Gumrah.
“Kundala” desis Manggada.
“Ya. Aku hanya sempat singgah sesaat saja. Itupun aku harus menyembunyikan diri dari penglihatan burung elang keparat itu” jawab Kundala.
Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun sambil tersenyum ia berkata “Jika demikian elang itu tentu mengawasi perjalananmu”
“Ya. Aku mendapat perintah dari Ki Lurah untuk melihat-lihat keadaan pasar. Ki Lurah telah berhubungan dengan seseorang. Aku harus menemui orang itu dan membawanya menemui Ki Lurah” jawab Kundala.
“Mana orang itu sekarang?” bertanya Ki Gumrah.
“Aku belum sampai ke pasar. Aku telah berusaha untuk melepaskan diri dari pengamatan burung itu. Tampaknya burung itupun curiga bahwa aku akan datang kemari” berkata Kundala dengan gelisah.
“Jika demikian, dugaanku salah. Aku kira aku dapat menebak tingkah laku elang itu. Aku kira elang itu memberi isyarat bahwa rumah ini masih berpenghuni” berkata Ki Gumrah sambil tertawa kecil.
“Ya. Kiai benar” jawab Kundala ”Aku melihat sikap elang itu dari kejauhan. Selain mengabarkan bahwa aku tidak berada di sini, maka elang itu juga mengatakan bahwa rumah ini masih berpenghuni”
“Darimana kau tahu” bertanya Manggada.
“Aku melihatnya dari kejauhan, dari bawah sebatang pohon gayam” jawab Kundala.
Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya “Lalu. apa sebenarnya maksudmu datang kemari?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ki Lurah akan mengambil pusaka itu sendiri. Maksudku, ia sendiri akan datang kemari bersama orang yang harus aku jemput di pasar."
“Siapa yang kau sebut Ki Lurah itu? Seorang yang mengaku Panembahan?” bertanya Ki Gumrah.
“Tidak” jawab orang itu ”Tetapi ia menyebut dirinya Kiai Windu Kusuma. Tetapi aku memang sering mendengar Kiai Windu Kusuma menyebut-nyebut tentang seorang Panembahan. Tetapi bukan dirinya sendiri”
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengar, nada rendah ia berkata “Apa sebenarnya yang mereka kehendaki?"
“Sudah jelas Kiai. Pusaka pusaka itu” jawab Kundala ”Karena itu sebaiknya Kiai meninggalkan tempat ini sebelum senja. Jika langit menjadi gelap, maka aku kira burung itu tidak akan dapat mengawasi perjalanan Kiai sebaik-baiknya. Kemanapun asal meninggalkan rumah ini”
“Tetapi aku tidak dapat pergi kemana pun. Seandainva nanti menjelang senja aku pergi, akhirnya aku harus kembali lagi” desis Kiai Gumrah.
“Tetapi menilik apa yang ada di rumah ini maka yang paling berharga adalah pusaka-pusaka itu dan nyawa Kiai sendiri. Nyawa Kiai tentu lebih berharga dari perabot-perabot rumah yang sederhana ini. Kiai dan cucu-cucu Kiai akan dapat membawa pusaka-pusaka itu kemanapun” berkata Kundala. Lalu katanya pula ”Kiai dapat mengalahkan kami berdua. Tetapi jika Ki Lurah sendiri dan seorang kawannya yang aku jemput di pasar nanti yang datang kemari, tentu Kiai dan kedua cucu Kiai akan mengalami kesulitan. Apalagi jika mereka membawa kami berdua dan seorang kawan kami yang lain. Maka kami berlima, tentu tidak akan dapat Kiai lawan bersama kedua cucu Kiai itu”
Kiai Gumrah mengangguk-angguk kecil. Katanya “Terima kasih. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kau telah memberitahukan kepadaku, bahaya yang sedang mengintip rumah ini. Baiklah. Aku akan memikirkannya sebaik-baiknya”
“Aku mohon Kiai mengerti” berkata Kundala yang segera minta diri ”Sudahlah. Aku harus pergi ke pasar.”
Kundala tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meninggalkan Ki Gumrah dan kedua orang anak muda yang ada di rumah itu pula. Sekali-sekali Kundala masih menengadahkan kepalanya untuk melihat apakah burung elang yang menghantuinya itu masih nampak di langit.
Namun agaknya elang itu benar-benar telah pergi. Sehingga dengan demikian maka Kundala dapat berjalan cepat-cepat menuju ke pasar. Meskipun ia sadar, bahwa tentu ada orang yang mengamati isyarat burung elang itu. Tetapi tentu tidak dari jarak yang terlalu dekat.
Sepeninggal Kundala, Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya “Aku harus segera membuat gula. Aku harus segera menyerahkan kepada pedagang gula itu. Nampaknya kita memang harus segera mengambil keputusan”
“Aku sependapat dengan orang itu Kiai” berkata Manggada. ”Kiai harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu”
“Nanti sajalah kita bicarakan. Sekarang bantu aku membuat gula. He, sebaiknya kalian ambil ketela pohon dan mengupasnya. Nanti kita masukkan lagi kedalam legen setelah aku hampir selesai” berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Berita yang dibawa Kundala itu bagi mereka merupakan ber-rita yang penting. Yang harus mereka tanggapi dengan sungguh-sungguh. Tetapi orang tua itu masih saja sibuk dengan gulanya. Namun Manggada dan Laksana pergi juga ke kebun untuk mencabut sebatang pohon ketela yang dianggapnya berakar besar dan lebat. Namun keduanya masih juga berbincang tentang orangtua itu.
“Orang yang aneh!” berkata Manggada ”Jika orang yang akan datang itu memiliki ilmu lebih baik dari Kundala, maka orang itu tentu sangat berbahaya. Apalagi jika ia tidak datang seorang diri."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya “Apakah Ki Gumrah terlalu yakin akan kemampuannya sehingga ia menganggap ilmu orang lain terlalu rendah?"
“Tetapi bukan sifatnya. Menilik apa yang dilakukandan apa yang dikatakan, ia bukan orang yang meremehkan orang lain!” jawab Manggada.
“Ya. Tetapi nampaknya kita tidak akan dengan mudah mengetahui latar belakang sikapnya.” berkata Laksana kemudian.
“Aku menjadi semakin tertarik untuk mengetahuinya meskipun sangat berbahaya.” berkata Manggada.
“Ya. Aku juga tidak ingin menghindar. Tetapi dengan kemungkinan yang sangat buruk. Kita akan dapat tidak ke luar dari rumah ini untuk selama-lamanya!” desis Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Bahkan iapun berdesis “Sementara itu kita tidak tahu, kenapa kita tertahan di sini selain sekedar ingin tahu."
“Nah...” berkata Ki Gumrah ”Aku akan pergi sebentar. Silahkan menghabiskan ketela itu. Nanti kita akan membuat lagi. Masih banyak batang pohon ketela yang ada di kebun belakang. Nanti sore aku akan memanjat untuk mengambil legen lagi.”
Ketiganya tidak sempat menjawab. Ki Gumrah itupun kemudian mengambil keranjang yang penuh gula yang terletak di tlundak pintu. Kemudian diangkatnya keranjang itu dan dibawanya di atas kepalanya. Orangtua itu tidak berpaling lagi. Apalagi setelah kepalanya diletakkan keranjang gula itu.
Kundala masih tetap berdiri. Segala-galanya telah pulih kembali. Ketika ia mengangkat tangannya dan menggerakkannya, tidak lagi terasa sesuatu yang menghambat.
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun keduanya sadar, bahwa tampaknya Kundala benar-benar telah memiliki kembali bukan saja tenaganya, tetapi juga kemampuannya. Sementara itu merekapun sadar bahwa Kundala Geni adalah seorang yang berilmu tinggi. Jika saja kepalanya mulai diganggu lagi oleh kepentingannya datang di rumah itu. maka keduanya tidak boleh tinggal diam apapun yang akan terjadi.
Tetapi Kundala itu ternyata tidak menjadi garang. Bahkan dengan kepala tunduk ia mendekati serambi itu dan duduk lagi. Terdengar ia menarik nafas panjang sambil memandang ke kejauhan. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh.
”Apa yang sebenarnya dikehendaki oleh orangtua itu”
Manggada dan Laksana tidak menyahut. Sementara itu Kundala masih berbicara seakan-akan kepada dirinya sendiri.
”Apakah ia dengan sengaja mencobai aku. Dibiarkannya aku tinggal di rumah ini. Dibebaskannya aku dari ketukan jari-jarinya pada simpul-simpul syarafku, sehingga tenaga dan kemampuanku seakan-akan telah pulih kembali. Kemudian ditinggalkannya aku dengan kesempatan yang luas untuk mengambil barang-barang berharga itu.”
Manggada dan Laksana masih saja berdiam diri. Namun di luar sadarnya, keduanya memang sudah mempersiapkan diri. Mereka tahu bahwa keduanya tentu akan sulit bertahan melawan Kundala Geni jika orang itu benar-benar ingin mengambil pusaka-pusaka itu sebagaimana dilakukannya sebelumnya.
Tetapi ternyata Kundala tidak berbuat apa-apa. Bahkan orang itu tampak sangat gelisah. Keringatnya mengembun di keningnya. Yang dilakukan Kundala kemudian adalah justru meraih mangkuk minumannya. Diteguknya wedang serenya. Kemudian sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Kundala duduk termenung memandangi bayang-bayang yang bermain di halaman rumah orangtua itu.
Ternyata Ki Gumrah tidak juga segera kembali. Ketiga orang yang duduk di amben itu saling berdiam diri. Pikiran yang bermacam-macam telah bermain di kepala Kundala. Sekali ia ingin lari saja. Lari dari himpitan perasaannya yang bagaikan mencekik. Namun kemudian timbul niatnya untuk menyelesaikan tugasnya. Mengambil benda-benda pusaka itu. Bahkan kalau perlu menyingkirkan siapa saja yang mencoba menghalanginya. Termasuk kedua anak muda itu.
Tanpa disengaja, Kundala telah berpaling memandangi Manggada dan Laksana yang ternyata juga sedang merenungi pepohonan di halaman. Namun dimata Kundala Geni, Manggada dan Laksana telah berubah. Tidak lagi sebagai anak-anak muda yang garang, yang menghalangi niat mereka dan balikan menghantuinya meskipun Kundala yakin akan dapat mengalahkan mereka.
Namun keduanya dimata Kundala kemudian tampak seperti anak-anak yang tidak tahu menahu tentang kerasnya benturan kepentingan diiatas bumi ini. Sorot matanya yang bersih dan lugu. Kundala Geni menjadi semakin bimbang. Sehingga akhirnya ia hanya dapat berdesah untuk mengurangi sesak nafas didadanya.
Ki Gumrah memang cukup lama pergi. Sementara orang-orang yang berada di serambi rumahnya menjadi gelisah. Namun akhirnya Ki Gumrah itu muncul di regol halaman rumahnya sambil menjinjing keranjangnya yang lelah kosong. Sebelum orang-orang yang berada di serambi itu bertanya. Ki Gumrah sudah mendahului berkata.
“Ada beberapa orang yang menyerahkan gula kelapanya, sehingga menunggu giliran untuk dihitung”
“Apakah banyak orang yang nderes kelapa di sini?” bertanya Kundala yang tidak sempat memikirkan pertanyaan yang lain.
Ki Gumrah mengangguk sambil menjawab ”Ya. Padukuhan ini adalah padukuhannva orang nderes kelapa. Hampir setiap kebun terdapat satu dua batang pohon kelapa yang disadap legennya untuk membuat gula kelapa”
Kundala mengangguk kecil. Namun ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Sementara itu Ki Gumrah pun telah langsung masuk kedalam rumahnya sambil berkata “Aku akan menyimpan keranjangku lebih dahulu”
Manggada yang merasa jantungnya selalu dihinggapi berbagai pertanyaan itu telah bangkit dan menyusul orangtua itu kedalam. la sempat berkata kepada adik sepupunya ”Aku akan ke pakiwan sebentar...”
Laksana mengangguk, la tidak tahu untuk apa Manggada masuk kcdalam rumah itu. Tetapi Laksana sudah mengira bahwa Manggada tidak benar-benar pergi ke pakiwan.
Sebenarnya Manggada hanya sekadar menyusul Ki Gumrah untuk bertanya “Apa yang akan Kiai lakukan terhadap orang itu?”
Ki Gumrah mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak akan berbuat apa-apa atasnya. Jika ia ingin pergi, biarlah ia pergi”
“Tetapi itu akan sangat berbahaya bagi Kiai. karena ia akan dapat datang lagi bersama banyak orang” berkata Manggada pula.
“Jadi apa yang harus aku lakukan?” justru orangtua itulah yang bertanya.
“Aku tidak tahu Kiai” jawab Manggada ”yang aku cemaskan, jika ia benar-benar datang dengan kekuatan yang lebih besar untuk merampas benda-benda berharga itu. Kundala sendiri adalah orang yang berilmu tinggi sebagaimana seorang kawannya yang melarikan diri”
Ki Gumrah termangu-mangu. Katanya “Anak muda. biarlah ia berbuat sesuai dengan keinginannya. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa atasnya”
“Apakah Kiai tidak ingin mengetahui, siapakah yang telah memerintahkan orang itu datang kemari?” bertanya Manggada.
“Pertanyaan yang sia-sia ngger. Orang itu tentu tidak akan mengatakannya” jawab Ki Gumrah.
“Tetapi Kiai perlu mengetahuinya” sahut Manggada.
Ki Gumrah tersenyum. Katanya “Aku tentu tidak akan dapat memaksanya untuk mengatakannya dengan cara-cara yang tidak wajar. Bahkan seandainya ia menyebut satu nama. apakah dapat dijamin bahwa ia berkata jujur?”
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mendesak terus. Karena itu Manggada itupun telah keluar lagi dari ruang dalam dan duduk di serambi bersama Laksana dan Kundala.
Beberapa saat kemudian, orangtua itu telah keluar pula sambil berkata “Nah, duduklah kalian di serambi. Aku harus menanak nasi. Kemudian mencari bahan untuk masak di kebun belakang."
Ketiga orang yang ada di serambi itu termangu-mangu . Namun Kundala ternyata tidak dapat menahan hatinya. Katanya “Kiai. Apa yang sebenarnya Kiai inginkan atasku? Kiai jangan membiarkan aku menjadi gelisah seperti ini”
“Kenapa kau menjadi gelisah?” bertanya Ki Gumrah. “Bukankah aku tidak berbuat sesuatu atasmu? Duduklah. Nanti kita akan makan bersama-sama”
“Justru karena Kiai tidak berbuat apa-apa. Jika Kiai memaksa aku untuk mengaku, mengikat aku atau menyakiti aku agar aku mau berbicara. Itu masih dapat aku mengerti. Tetapi tidak seperti ini” berkata Kundala.
“Aku tidak mengerti maksudmu ngger” desis orangtua itu. Namun kemudian katanya “Mungkin kau membayangkan langkah-langkah kasar yang dapat aku lakukan untuk mengetahui siapakah yang telah memerintahkan kau datang kemari. Tetapi bagiku, itu sama sekali tidak ada gunanya. Karena kau dapat membohongi aku. Dan itu tentu kau lakukan”
Kundala menjadi semakin bingung. Kemudian justru katanya “Bagaimana jika aku melarikan diri? Atau kau memang mengharap aku berusaha melarikan diri sehingga kau mempunyai alasan untuk membunuhku?”
“Sekali lagi aku minta, kau jangan terlalu berprasangka buruk. Aku sama sekali tidak ingin menahanmu di sini. Aku tidak berhak melakukannya jika kau akan pergi, maka kau dapat melakukannya kapan saja. Tetapi sudah tentu tidak pantas bagiku untuk mengusirmu dari tempat ini. Namun jika kau sendiri ingin meninggalkan kami, maka tidak akan ada persoalan” berkata orangtua itu.
Kundala menjadi semakin bingung. Dalam kegelisahan itu ia berkata “Tetapi Kiai tentu akan menyesal. Aku akan datang lagi dengan kekuatan yang jauh lebih besar untuk merampas pusaka-pusaka itu”
“Sudah aku katakan pula” jawab orangtua itu ”Aku akan mempertahankannya. Sukurlah jika pemiliknya sudah mengambilnya sebelum kau datang lagi”
“Kiai benar-benar tidak dapat dimengerti” orang itu benar-benar menjadi bingung.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh Ki Sanak” berkata orangtua itu.
Namun Kundala kemudian bangkit dan berkata lantang “Aku akan pergi dari neraka ini. Aku merasa tersiksa di sini. Jika kau akan membunuhku, bunuhlah. Aku tidak peduli”
Orang itu segera melangkah ke halaman meninggalkan serambi rumah Ki Gumrah. Sementara itu Manggada dan Laksana telah meloncat turun ke halaman.
Namun Ki Gumrah hanya tersenyum saja mengawasi orang yang melangkah menjauh itu. Tetapi sebelum orang itu sampai ke regol halaman, ia pun telah berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya tampak sangat tegang. Bahkan katanya lantang “Kiai. Kenapa kau tidak berbuat sesuatu? Kenapa kau tidak melempar aku dengan gelang-gelangmu, sehingga tulang leherku patah dan aku mati di sini? Kenapa itu tidak kau lakukan?”
“Pergilah. Pergilah Ki Sanak. Seperti kawanmu yang telah pergi lebih dahulu, aku sama sekali tidak berkeberatan kau pergi, dan apapun yang akan kau lakukan kemudian” berkata Ki Gumrah.
“Baik. Baik. Aku akan pergi. Kau kelak tentu akan menyesal” geram orang itu.
Ki Gumrah tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Dengan tergesa-gesa orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Gumrah. Sampai hilang di balik regol, orang itu tidak berpaling lagi.
Sepeninggal orang itu Manggada berkata “Bukan saja orang itu yang tidak dapat mengerti, tetapi kami juga”
“Ya. Justru akulah yang mengerti. Aku tahu bahwa kebiasaan kita adalah memaksa orang untuk berbicara. Kebiasaan kita, kita mempergunakan kekerasan dan menyakiti orang lain untuk memaksanya berbicara, sehingga cara yang lain tidak akan mudah untuk dimengerti” berkata Ki Gumrah sambil tersenyum.
Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja. Namun mereka pun ikut menengadahkan kepala mereka, ketika mereka melihat Ki Gumrah seakan-akan mencari sesuatu di langit. Manggada dan Laksana terkejut. Mereka melihat seekor burung elang yang terbang berputaran di udara.
“Elang itu...” Tiba-tiba Manggada berdesis “Elang dari lingkaran ilmu hitam...”
Ki Gumrah mengerutkan dahinya. Dengan ragu ia bertanya “Kau pernah melihat elang itu?”
“Ya. Elang yang dilepaskan oleh seorang Panembahan yang pernah menggemparkan karena usahanya untuk membuat pusaka-pusakanya menjadi pusaka yang paling baik di seluruh muka bumi. Namun dengan cara yang tidak sewajarnya. Pusakanya harus meneguk darah seratus orang gadis”
“Jadi kau mengenal Panembahan dari dunia hitam itu?” bertanya Ki Gumrah.
“Apakah Kiai juga mengenalnya?” bertanya Laksana tiba-tiba.
“Ya” Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun kemudian kembali ia mengawasi burung elang yang terbang semakin rendah. Katanya “Kalian benar. Elang itu tentu bukan burung elang kebanyakan yang sedang mencari anak ayam. Ujung jari-jari kakinya yang kadang-kadang berkedip itu adalah logam untuk melengkapi agar elang itu mampu bertempur sesuai dengan kehendak Panembahan itu”
“Ya” sahut Manggada” ujung kaki elang itu dilengkapi dengan kuku-kuku buatan yang tajam”
“Elang itu sedang mencari Kundala” desis Ki Gumrah. Lalu katanya “Nah, bukankah aku tidak perlu mengikat dan mencambuk Kundala untuk menanyakan siapakah yang telah memerintahkannya kemari?”
“Panembahan itu?” bertanya Manggada.
“Atau orang lain, namun sejalan dengan ilmu sesat yang dimilikinya” jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana menjadi semakin tertarik. Hampir di luar sadarnya Laksana bertanya “Kiai juga mengenal Ki Ajar Pangukan atau Ki Pandi?”
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Ketika aku melihat kalian bertempur, aku sudah menduga, meskipun landasan ilmumu bukan dari Ki Ajar Pangukan atau Ki Pandi, tetapi pada ilmu kalian terdapat bekas tangan mereka. Semula aku masih ragu-ragu. Tetapi sekarang aku pasti, bahwa kalian pernah tinggal di rumah Ki Ajar Pangukan”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk, Namun Laksana itupun berkata “Jika Kundala ada hubungannya dengan Panembahan itu, bukankah ia orang yang sangat berbahaya?”
“Tetapi aku melihat sesuatu yang masih dapat diharapkan pada Kundala dan mungkin juga kawannya. Perasaannya masih hidup segar di dalam jantungnya, sehingga aku masih berharap bahwa Kundala tidak benar-benar terbenam dalam putaran perbuatan Panembahan hitam itu” berkata Ki Gumrah. Lalu katanya “Aku berharap masih ada sedikit pikiran wajar pada Kundala, sehingga mudah-mudahan dapat tumbuh dan berkembang di hatinya. Tetapi jika ia tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh sesat itu, maka ia masih orang yang terbaik dari segalanya yang hitam itu”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi Laksana masih bertanya “Kiai. Panembahan yang memelihara elang itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Aku tahu, bahwa Kiai pun berilmu tinggi. Tetapi jika ia membawa pengikut-pengikutnya setataran Kundala, sementara Kiai hanya seorang diri, apakah Kiai tidak merasa cemas? Mungkin Kiai sama sekali tidak mencemaskan jiwa Kiai sendiri. Tetapi seandainya Kiai gagal bertahan, pusaka-pusaka itu akan jatuh ketangan mereka? Apalagi Panembahan yang gagal membuat kerisnya menjadi pusaka terbaik di muka bumi ini memerlukan pusaka lain yang tentunya dapat dianggap lebih baik dari kerisnya yang haus darah itu. Bahkan darah seratus orang gadis”
Ki Gumrah tidak segera menjawab. Tetapi katanya “Marilah, kita berbicara di dalam”
Ketiganya kemudian masuk keruang dalam. Manggada dan Laksana membantu membawa mangkuk-mangkuk dan sisa makanan mereka. Setelah meletakkan mangkuk mangkuk itu di belakang, maka mereka telah duduk di ruang tengah.
“Biarlah nanti aku mencucinya” berkata Ki Gumrah. Manggada dan Laksana tidak menyahut. Namun mereka justru memandangi tirai sentong yang bergerak-gerak disentuh angin.
Namun kemudian terdengar orangtua itu berkata “Aku tidak memperhitungkan kemungkinan. Panembahan iblis itu akan mengetahui bahwa aku berada di sini”
“Apakah Kiai mempunyai hubungan dengan Panembahan itu?” bertanya Manggada kemudian.
Ki Gumrah tidak segera menjawab. Namun ia justru bertanya “Di mana angger berdua bertemu dengan Panembahan itu? Apapula yang telah dilakukannya dengan kerisnya itu?”
Manggada pun kemudian lelah menceriterakan apa yang pernah dilakukannya berdua dengan Laksana, la pun berceritera tentang Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi yang bengkok. Manggada tidak merasa perlu untuk merahasiakan lagi, karena menurut pendapatnya. Ki Gumrah adalah orang yang dapat dipercaya, la bukan seorang yang berwatak seperti Panembahan Iblis itu. Bahkan sikapnya agaknya lebih lunak dari Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.
Namun Manggada dan Laksana masih belum tahu pasti, perbandingan ilmu antara orangtua itu dengan Panembahan berilmu sesal itu, serta dengan Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.
Sementara itu Ki Gumrah mendengarkan ceritera Manggada dan Laksana dengan saksama. Sekali-sekali tampak keningnya berkerut. Namun kemudian ia mengangguk-angguk kecil.
Ketika Manggada selesai berceritera. Ki Gumrah berkata “Menarik sekali. Ternyata dalam usia kalian yang muda. kalian telah mengalami banyak hal yang dapat memperkaya pengalaman kalian. Bukan saja pengalaman lahir tetapi juga pengalaman batin. Bahkan kalian lelah berada di Nguler dan bersentuhan dengan kuasa Raden Panji Prangpranata. Telapi apakah kalian tidak berkeberatan jika aku ingin tahu, siapakah sebenarnya kalian seutuhnya?”
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Laksana. Namun Laksana pun tampak bimbang. Tetapi Manggada yang sudah mempercayai orangtua itu akhirnya berceritera juga serba sedikit tentang dirinya dan adik sepupunya itu.
Orangtua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata “Aku belum mengenal pamanmu itu anak muda. la tentu seorang yang berilmu tinggi”
“Tidak Kiai” jawab Laksana ”Ayah bukan seorang yang berilmu tinggi seperti Kiai”
Ki Gumrah tertawa. Katanya “Seorang anak kadang-kadang memang tidak sempat melihat kelebihan ayahnya sendiri. Tetapi jika ayahmu bukan seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak akan dapat meletakkan dasar ilmunya sedalam yang telah kalian miliki. Meskippun Ki Ajar Pangukan telah ikut mengasahnya, namun dasar ilmu kalian telah kuat dan mapan. Hanya orang yang berilmu tinggi sajalah yang mampu melakukannya atas anak-anak semuda kalian”
“Kiai terlalu memuji” desis Laksana.
“Baiklah. Orangtua kalian tentu mengajari kalian untuk menjadi seorang yang rendah hati. Seorang yang tidak menyombongkan kemampuannya. Namun melihat apa yang telah kalian lakukan terhadap orang-orang yang datang itu, maka aku dapat membaca tingkat kemampuan guru kalian itu” berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Sebenarnyalah mereka tidak dapat mengukur kemampuan guru mereka, ayah Laksana.
Ki Gumrah yang telah mendengar ceritera tentang diri kedua anak muda itu kemudian berkata “Jika demikian ngger. sebaiknya kalian meneruskan perjalanan kalian. Ayah angger Manggada tentu sudah menunggu. Dalam perjalanan pulang, angger berdua telah banyak kehilangan waktu di perjalanan”
“Ya Kiai” jawab Manggada ”tetapi kedatangan Kundala dan kawannya itu rasa-rasanya telah menahan kami berdua di sini. Meskipun barangkali kami tidak mampu berbuat sesuatu, tetapi rasa-rasanya tidak adil untuk pergi begitu saja setelah kami menyebut diri kami sebagai cucu-cucu Kiai”
“Aku tahu ngger. Kalian berdua selain memiliki landasan ilmu yang mantap, juga bukan orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kalian tidak ingin melihat orang lain mengalami kesulitan tanpa berbuat sesuatu. Untuk itu aku sangat berterima kasih. Tetapi akupun tidak dapat membiarkan kalian ikut terjerat dalam kesulitan-kesulitan yang akan dapat mengancam keselamatan kalian” jawab orangtua itu.
“Mungkin kami akan menjadi beban Kiai. Tetapi biarlah kami mohon diijinkan tinggal di sini barang dua tiga hari” berkata Manggada kemudian.
Ki Gumrah menarik nafas panjang. Katanya “Persoalanku tidak akan selesai dalam dua tiga hari ini justru tidak akan terjadi sesuatu. Bagaimana dengan kalian jika persoalanku ini akan berkepanjangan sampai berbilang tahun”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun rasa-rasanya mereka tidak dapat begitu saja meninggalkan rumah itu. Karena itu, maka Laksana pun kemudian berkata “Kiai. Apapun yang akan terjadi, biarlah kami tinggal di rumah ini sampai saatnya kami mohon diri. Kami senang dengan kehidupan di rumah ini. Menyadap legen setiap pagi dan sore. Membuat gula kelapa dan merebus ketela.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Baiklah anak-anak muda. Jika kalian memang ingin tinggal di sini. Tetapi sebenarnya aku ingin kalian tidak terpercik getah dari nangka yang tidak kalian makan”
“Kamilah yang menginginkannya. Kiai” jawab Laksana.
“Aku tidak dapat menolaknya. Selain kalian memang ingin menolong aku, maka kalianpun ingin mendapatkan pengalaman yang seluas-luasnya. Tetapi sebenarnya tempat ini tempat yang sangat berbahaya bagi kalian. Bahkan tidak kalah berbahanya dengan daerah yang luas dibawah pengaruh Panembahan Hitam itu. Tidak pula kurang bahayanya dan lingkungan kuasa Raden Panji Prangpranata yang kehilangan calon isterinya itu” berkata Ki Gumrah.
“Terima kasih Kiai” sahut Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Dengan demikian, maka dalam satu dua hari, Manggada dan Laksana akan berada di rumah itu. Memang mendebarkan, tetapi keduanya rasa-rasanya berkewajiban untuk melakukannya. Karena itulah, maka Manggada dan Laksana telah sempat membersihkan halaman depan, yang tampaknya tidak begitu bersih. Memotong dahan yang mulai mengering dari pepohonan yang tumbuh di halaman, agar daunnya yang dengan cepat menguning tidak runtuh di halaman.
Ki Gumrah melihat kedua anak muda itu dengan jantung yang berdebaran. Keduanya bukan saja berilmu, tetapi keduanya ternyata anak-anak muda yang rajin bekerja. Setelah sehari keduanya tinggal di rumah Ki Gumrah, maka halaman rumah itu kelihatan lebih bersih. Pepohonan pun seakan-akan telah dipangkas rapi. Jambangan di pakiwan pun menjadi bersih pula. Lumut yang kehijauan telah dibersihkan. Batang sirih yang tumbuh di dekat pakiwan dan merambat ke segala penjuru, telah ditertibkan pula.
Meskipun Ki Gumrah tidak makan sirih, tetapi daun sirih adalah daun yang dapat dibuat berbagai macam obat. Di halaman belakang empon-empon yang merupakan bagian dari tanaman-tanaman yang mampu dibuat obat pula, telah disiangi sehingga akan dapat menjadi lebih subur.
Namun ketika malam turun, setelah kedua anak muda itu berada di pembaringan, mereka masih juga berbisik yang satu kepada yang lain, ”Jangan terlalu nyenyak tidur.”
Tetapi lewat tengah malam, maka kedua anak muda itu benar-benar telah tertidur nyenyak. Di luar pengetahuan mereka, ketika Ki Gumrah kemudian keluar dari biliknya. Dengan sangat hati-hati, orang itu telah duduk di amben yang cukup besar, tempat Manggada dan Laksana tidur. Ternyata orangtua itu dapat duduk di amben bambu tanpa berderit dan tanpa membangunkan kedua anak muda yang tertidur nyenyak itu.
Dipandanginya wajah kedua anak muda yang memang agak mirip yang satu dengan saudara sepupu. Wajah yang kosong itu tampak bersih, seakan-akan keduanya masih belum menyentuh gejolak kehidupan yang keras dan kadang-kadang terasa buas.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Pada wajah kedua anak muda itu terbayang masa depan. Di luar sadarnya Ki Gumrah itu berdesis “Keduanya akan menjadi bagian dari dunia olah kanuragan di masa depan. Jika saja ada beberapa orang lagi dari antara mereka yang berilmu memiliki jiwa seperti anak itu, maka lingkungannya tentu akan menjadi tenang dan terlindung dari nafsu rendah”
Beberapa saat Ki Gumrah duduk menunggui kedua anak muda yang tidur nyenyak itu. Bahkan kemudian seakan-akan ia akan melakukannya sampai pagi. Sambil bersandar dinding, orangtua itu menyilangkan tangannya di dada.
Namun tiba-tiba saja dahi orangtua itu berkerut. Telinganya yang tajam telah menangkap desir halus di luar dinding rumahnya. Untuk beberapa saat Ki Gumrah tidak berbuat sesuatu, la mendengarkan saja desir itu menyusuri dinding rumahnya yang tidak terlalu besar itu. Namun kemudian seakan-akan telah menghilang di sudut belakang.
Tetapi Ki Gumrah tahu bahwa desir itu tentu masih belum akan meninggalkan halaman rumahnya. Bahkan kemudian Ki Gumrah mendengar bukan saja desir lembut, tetapi desis suara orang berbisik perlahan sekali.
Suara itu jelas dan pasti. Ki Gumrah tahu, bahwa ada lebih dari seorang di luar rumahnya. Namun Ki Gumrah tidak mendengar apa yang dibicarakan. Ketika desir langkah orang itu menjauh lagi, memutari rumahnya, Ki Gumrah bergeser turun dari amben itu dengan hati-hati. Ia tidak ingin mengejutkan anak-anak muda itu. Tetapi iapun tidak ingin membiarkan anak-anak muda itu dikejutkan oleh peristiwa yang tidak mereka ketahui karena mereka masih tertidur nyenyak.
Karena itu, Ketika Ki Gumrah sudah berdiri di lantai rumahnya, iapun menyentuh Manggada pada kakinya. Manggada memang terkejut, Ia cepat tanggap akan keadaan. Karena itu, iapun segera bangkit duduk. Namun sementara itu, Ki Gumrah yang sudah berdiri itu memberikan isyarat agar Manggada tidak berbicara apapun juga dengan meletakkan jari-jari tangannya di mulutnya.
Manggada mengerutkan keningnya. Namun kesadarannya telah sepenuhnya dikuasainya. Karena itu, iapun tidak belianya apapun kepada Ki Gumrah. Bahkan dengan hati-hati iapun telah turun dari amben.
Ki Gumrah memberi isyarat lagi. Vahwa ia masih mendengar sesuatu. Suara itu memang sudah berpindah lagi di dinding bagian depan rumahnya. Bahkan mereka mendengar suara derit amben di serambi. Agaknya orang-orang yang ada di luar itu telah duduk di amben di serambi rumahnya.
Dengan hati-hati puia Manggada telah membangunkan Laksana. Namun secepat Laksana bangun, secepat itu pula Manggada memberikan isyarat agar ia juga tidak bertanya sesuatu.
Demikianlah, ketiga orang itupun segera mengatur diri. Laksana tetap berada di tempatnya, sementara Manggada akan pergi ke belakang. Sedangkan Ki Gumrah sendiri akan pergi ke sentong tempat ia menyimpan pusaka-pusaka yang dititipkannya kepadanya itu.
Perlahan-lahan sekali Ki Gumrah berdesis. “Hati-hatilah. Mungkin mereka akan mempergunakan cara lain untuk mengambil barang-barang berharga itu”
Demikianlah mereka bertiga telah membagi diri. Beberapa saat mereka menunggu. Seperti diperhitungkan oleh Ki Gumrah maka sejenak kemudian, desir langkah itu terdengar lagi dan berhenti di luar sentong tempat benda-benda berharga itu disimpan.
Ki Gumrah yang berada di sentong itu duduk dengan hati yang berdebar-debar. Bahkan Ki Gumrah telati mengatur pernafasan sebaik-baiknya, agar tidak terdengar oleh orang-orang yang berada di luar rumahnya.
“Dinding sentong ini rangkap” desis orang yang di luar.
“Ya” sahut yang lain sambil berbisik ”kita tidak dapat melihat kedalam. Tetapi tampaknya dinding ini tidak terlalu kuat”
Untuk beberapa saat tidak terdengar mereka berbicara lagi. Tetapi Ki Gumrah dengan pendengarannya yang sangat tajam masih mendengar tarikan nafas mereka. Karena itu, Ki Gumrah tahu bahwa orang-orang yang ada di luar rumahnya itu sedang melihat kemungkinan untuk merusak dinding sentong itu.
Tetapi sejenak kemudian terdengar seorang diantara mereka berkata “Apakah kita akan membuat lubang dibawah dinding untuk masuk?”
“Rumah ini diberi sasak bambu berkeliling. Jika menggali tanah dibawah dinding, maka galian itu tentu akan panjang sekali sampai keruang tengah rumah ini” jawab yang lain.
“Jadi apa yang kita lakukan?” bertanya orang yang pertama
Mereka kembali diam. Namun tiba-tiba tiang di sudut sentong itu berguncang. Agaknya salah seorang diantara mereka mencoba untuk mengetahui kekuatan tiang bambu di sudut sentong itu. Tetapi agaknya orang-orang itu tidak memperhatikan, bahwa tiang itu dipergunakan oleh Ki Gumrah untuk menyangkutkan palang bambu jemuran yang meskipun tidak panjang, namun telah mengguncang cabang sebatang pohon waru pula, karena ujung bambu itu terikat pada pohon waru itu.
Guncangan itu sendiri tidak menimbulkan bunyi terlalu keras dan tidak akan membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak. Tetapi karena bambu itu tidak terlalu kuat terikat pada tiang sentong di bagian luar itu, maka bambu jemuran itu telah terjatuh hampir saja menimpa orang yang mengguncang tiang itu, sehingga orang itu telah meloncat ke samping.
Bunyi bambu yang terjatuh itu telah menghentak sepinya malam, Terdengar orang yang ada di luar itu mengumpat. Namun kemudian terdengar langkah cepat menjauh. Agaknya bambu yang terjatuh itu telah mengejutkan orang-orang yang ada di luar rumah Ki Gumrah, sehingga mereka telah dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah itu, yang berkemampuan tinggi, tentu akan terbangun juga.
Manggada dan Laksana yang juga terkejut mendengar suara itu, dengan serta merta telah berlari ke sentong tempat Ki Gumrah menyimpan pusaka-pusaka yang dititipkan kepadanya itu. Keduanya menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Ki Gumrah masih duduk dengan tenang menunggui pusaka-pusaka itu.
“Aku mendengar suara” desis Manggada.
“Sepotong bambu yang terjatuh di luar” jawab Ki Gumrah.
“Dan suara orang berjalan tergesa-gesa” sambung Laksana.
“Kita kehilangan mereka” berkata Ki Gumrah ”Aku berharap mereka masuk ke sentong itu. Aku ingin berbicara dengan mereka. Tetapi karena ketergesa-gesaan mereka, atau kurang berhati-hati, maka bambu jemuran itu telah terjatuh” jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka tidak bertanya lagi. Apalagi Ki Gumrah kemudian telah mengajak anak-anak muda duduk di ruang dalam.
“Ternyata mereka begitu cepat kembali. Meskipun mungkin bukan Kundala dan kawannya yang datang sebelumnya. Tetapi orang yang memerintahkan mereka mengambil pusaka-pusaka itu tentu sudah mendapat laporan tentang kegagalan yang dialami oleh Kundala dan kawannya” berkata Ki Gumrah.
“Bukankah mereka sangat berbahaya bagi Kiai” desis Manggada.
“Sayang sekali bahwa aku tidak dapat berbicara dengan orang-orang yang datang itu ”desis Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun Manggada kemudian berkata “Kiai. Besok atau lusa, mereka tentu akan datang lagi. Mungkin dengan cara sebagaimana dilakukan hari ini. Tetapi mungkin dengan cara yang lebih kasar. Karena itu, apakah Kiai tidak mempunyai cara lain untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Itu? Apakah Kiai pernah berhubungan dengan Ki Bekel atau Ki Demang, sehingga Kiai akan mendapatkan perlindungan. Maksudku, dengan jumlah yang banyak. Anak-anak muda dipadukuhan ini akan dapat membantu Kiai menjaga pusaka-pusaka itu”
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Angger berdua. Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan banyak orang dalam hal ini. Coba bayangkan, seandainya anak-anak muda padukuhan ini terlibat, maka persoalannya akan berkembang semakin jauh. Jika orang yang memelihara burung elang itu datang bersama sepuluh orang saja, maka anak-anak muda di padukuhan itu tentu akan dibantai habis. Nah, apakah aku masih akan dapat tidur nyenyak dan makan minum dengan enak jika hal seperti itu terjadi? Bukan hanya untuk satu dua hari. Tetapi tentu sepanjang hidupku”
“Bagaimana jika Kiai meninggalkan tempat ini dan tinggal di tempat lain? Minta perlindungan prajurit Pajang misalnya?” bertanya Laksana.
“Apakah aku masih harus menjadi beban tugas para prajurit yang sudah mempunyai beban tugas yang berat? Memang tugas prajurit adalah melindungi rakyatnya. Tetapi aku tidak tahu apakah pusaka-pusaka itu tidak malah menimbulkan persoalan? Jika para prajurit itu memerintahkan aku menyerahku, pusaka-pusaka itu, maka aku akan menjadi semakin bingung. Apa yang dapat aku katakan kepada pemiliknya kepadaku” desis Kiai Gumrah.
“Kiai dapat berterus-terang bahwa pusaka-pusaka itu telah mengancam keselamatan Kiai. Apakah Kiai harus mengorbankan jiwa Kiai untuk mempertahankan pusaka-pusaka yang sekadar titipan, sementara yang menitipkan pusaka-pusaka itu tidak mengetahui bahaya yang datang ke-rumah ini? Orang yang menitipkan pusaka-pusaka itu dapat saja marah, menuntut atau menganggap Kiai tidak memegang janji. Tetapi apakah ia tahu apa yang telah terjadi dengan Kiai?” bertanya Manggada.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Pendapat itu wajar sekali ngger. Tetapi aku tidak dapat melakukannya”
“Kenapa? Sampai sejauh mana orang harus memegang janji kepada seseorang yang tidak mau tahu tentang kesulitan-kesulitan kita” desak Laksana.
“Sudahlah” jawab orangtua itu ”penalaranku tidak menolak pendapat itu. Tetapi perasaanku tidak dapat melakukannya. Jika angger berdua bertanya keseimbangan antara penalaran dan perasaan, maka aku akan menjadi semakin bingung. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat melakukannya”
Manggada dan Laksana tidak mendesak lagi. Tampaknya orang tua itu tidak ingin mengganggu orang lain sebagaimana mereka berdua yang didesak untuk meninggalkan rumah itu saat rumah itu akan didatangi Kundala dan kawannya untuk mengambil benda-benda yang berharga sangat tinggi itu.
“Sudahlah” berkata orang tua itu kemudian” sekarang kembalilah ke pembaringan. Masih ada waktu untuk tidur”
“Apakah Kiai tidak akan tidur?” bertanya Laksana.
“Aku akan tidur di sini saja” berkata Ki Gumrah sambil mengambil segulungan tikar di sudut bilik itu dan membentangkannya di sebelah ploncon tempat benda-benda yang sangat mahal itu diletakkan.
Manggada dan Laksana pun segera kembali ke amben mereka dan berbaring di tempat semula. Namun mereka tidak segera dapat tertidur nyenyak. Meskipun keduanya tidak berbicara diantara mereka, namun angan-angan mereka masih saja diliputi oleh berbagai macam pertanyaan tentang pusaka-pusaka yang dihiasi dengan permata dan orang yaag menitipkannya.
“Aku tidak yakin bahwa emas dan permata itu hanya tiruan” berkata Manggada tiba-tiba hampir berbisik.
Laksana yang berbaring menelentang menatap atap, berpaling sambil berdesis perlahan ”Ya. Agaknya orang tua itu bermaksud berhati-hati. Orang itu belum mengenal kita dengan baik, sehingga ia sengaja menyebut emas dan permata itu hanya tiruan”
Keduanya terdiam. Sementara itu, di luar suara cengkerik dan bilalang bersahutan: Sekali-sekali terdengar gonggong anjing liar di kejauhan. Namun akhirnya Manggada dan Laksana sempat tertidur lagi beberapa saat.
Pagi-pagi benar, kedua anak muda itu sudah terbangun. Tetapi ternyata Ki Gumrah telah bangun lebih dahulu. Karena itu, ketika keduanya kemudian duduk di amben tempat mereka tidur, Ki Gumrah berkata,
“Nah, mandilah. Aku sudah menjelang air. Hampir mendidih. Aku membuat wedang sere.”
Kedua anak muda itupun kemudian pergi ke pakiwan. Bergantian mereka menimba air dan mandi. Sejenak kemudian keduanya telah duduk di serambi sambil menghirup wedang sere dengan gula kelapa yang masih hangat. Disilirnya angin pagi yang sejuk, terasa tubuh-tubuh mereka menjadi segar.
“Nah” berkata orangtua itu ”sekarang aku akan mengambil legen dan menurunkannya selagi masih pagi”
“Kiai akan membuat gula hari ini?” bertanya Manggada.
“Bukankah itu pekerjaanku sehari-hari” Ki Gumrah justru bertanya sambil tersenyum.
“Apakah aku boleh mencoba mengambil legen itu Kiai?” bertanya Laksana.
“Jangan ngger. Jika kita salah memotong ujung manggar itu, maka legen itu tidak akan menitik dan bahkan mungkin akan kering untuk selanjutnya” jawab Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara Kiai Gumrah pergi ke kebun dan memanjat beberapa batang pohon kelapa, kedua anak muda itu seperti hari-hari yang lewat, membantu membersihkan halaman dan kebun yang nampak menjadi semakin bersih itu.
Untuk beberapa saat mereka dapat bekerja dengan tenang. Ki Gumrah dengan tangkasnya memanjat batang-batang pohon kelapa, sementara Manggada dan Laksana telah memotong pohon-pohon perdu yang hanya membuat kebun menjadi tampak kotor dan bersemak.
Namun ketika Ki Gumrah telah menyimpan legen di dapur untuk dipanasi, maka orangtua itu mulai menjadi gelisah. Semula Manggada dan Laksana tidak tahu. kenapa orangtua itu beberapa kali keluar masuk dapur. Namun kemudian keduanya melihat Ki Gumrah itu setiap kali menengadahkan wajannya.
Manggada dan Laksana pun segera mengetahui. Ternyata orangtua itu telah melihat lagi burung elang yang terbang mengitari rumah itu. Bahkan sekali-sekali menukik rendah, kemudian naik lagi berputaran. Kedua anak muda itupun kemudian telah berdiri di halaman belakang untuk melihat burung elang yang terbang berputaran itu.
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata “Kenapa orang itu masih saja dikendalikan oleh ketamakan hatinya?”
Manggada dan Laksana memang menduga, bahwa Ki Gumrah dan orang yang memiliki burung elang itu telah saling mengenal dan mempunyai hubungan khusus. Tetapi kedua anak muda itu tidak akan dengan mudah mengetahui lebih banyak tentang Ki Gumrah, karena orangtua itu tidak begitu terbuka hatinya.
Namun ketika burung elang itu kemudian terbang menjauh, Ki Gumrah itu berpaling, memandang kedua anak muda itu dengan tatapan mata yang redup. Sambil melangkah mendekati Ki Gumrah berkata ”Anak-anak muda. Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan kalian meninggalkan tempat ini. Tetapi aku tahu pasti, bahwa kalian agaknya memang tidak berniat untuk pergi”
“Kami memang ingin berada di sini untuk beberapa lama Kiai” jawab Manggada.
“Kalian lihat burung elang itu lagi?” bertanya Ki Gumrah.
“Ya” jawab Manggada.
“Burung itu berputar lebih dari empat kali. Menukik seakan-akan ingin menyambar rumah ini, kemudian terbang lagi dan berputar lima kali. Sekali lagi burung itu menukik. Kemudian berputar-putar lagi” berkata orangtua itu.
“Kiai sempat menghitung? Apakah hitungan itu ada artinya?” bertanya Manggada.
“Adalah kebetulan bahwa aku juga mengenali isyarat itu. Dari kejauhan, pemilik burung itu atau orang yang dipercayainya melihat pula isyarat itu?” jawab Ki Gumrah.
“Apakah arti isyarat itu?” bertanya Laksana.
“Aku tidak tahu dengan tepat, Namun elang itu mengatakan bahwa yang dicari masih ada di sini. Rumah ini masih belum dikosongkan”“ jawab Ki Gumrah.
“Bagaimana jika kita berada di dalam rumah?” bertanya Laksana pula.
“Elang itu tahu. Mungkin nalurinya lebih tajam dari kita, sehingga elang itu dapat mengetahui apakah sebuah rumah itu kosong atau ada penghuninya. Bahkan seandainya penghuninya tidak sedang berada di rumah” berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana menjadi semakin yakin, bahwa Ki Gumrah mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan orang yang memiliki burung elang itu, meskipun mungkir, hubungan itu adalah hubungan permusuhan.
Selagi Manggada dan Laksana termangu-mangu, maka orang itupun berkata. “Anak-anak muda. Menilik isyarat yang diberikan oleh burung elang itu, maka kita memang harus lebih berhati-hati. Sebenarnya aku ingin kalian tidak usah terlibat semakin jauh. Bukankah orangtua kalian masih selalu menunggu kalian pulang dengan membawa ilmu dan pengetahuan tentang hidup dan kehidupan? Jika kalian tertahan di sini untuk satu keperluan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian, maka orangtua kalian tentu akan sangat kecewa”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun Manggada pun kemudian berkata “Tidak Kiai. Jika ayah minta agar aku mempelajari ilmu dan pengetahuan, sudah barang tentu tidak hanya sekedar memiliki ilmu dan pengetahuan itu harus aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari”
Orangtua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya “Baiklah. Aku memang tidak berkeberatan kalian tinggal di sini. Mungkin kalian akan mendapatkan pengalaman yang penting bagi kalian dihari depan. Tetapi kalianpun harus tahu bahaya yang dapat mencengkam kalian setiap saat."
“Itu adalah kemungkinan yang harus kami perhitungkan Kiai” jawab Manggada.
Namun pembicaraan mereka terputus, ketika tiba-tiba saja seseorang mengendap-endap melingkari rumah Ki Gumrah dan langsung pergi ke belakang.
“Kau?” desis Ki Gumrah sedikit terkejut.
“Ya Kiai. Kiai tidak lupa kepadaku?” bertanya orang itu.
“Baru kemarin kau datang. Sudah tentu aku tidak lupa” jawab Ki Gumrah.
“Kundala” desis Manggada.
“Ya. Aku hanya sempat singgah sesaat saja. Itupun aku harus menyembunyikan diri dari penglihatan burung elang keparat itu” jawab Kundala.
Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun sambil tersenyum ia berkata “Jika demikian elang itu tentu mengawasi perjalananmu”
“Ya. Aku mendapat perintah dari Ki Lurah untuk melihat-lihat keadaan pasar. Ki Lurah telah berhubungan dengan seseorang. Aku harus menemui orang itu dan membawanya menemui Ki Lurah” jawab Kundala.
“Mana orang itu sekarang?” bertanya Ki Gumrah.
“Aku belum sampai ke pasar. Aku telah berusaha untuk melepaskan diri dari pengamatan burung itu. Tampaknya burung itupun curiga bahwa aku akan datang kemari” berkata Kundala dengan gelisah.
“Jika demikian, dugaanku salah. Aku kira aku dapat menebak tingkah laku elang itu. Aku kira elang itu memberi isyarat bahwa rumah ini masih berpenghuni” berkata Ki Gumrah sambil tertawa kecil.
“Ya. Kiai benar” jawab Kundala ”Aku melihat sikap elang itu dari kejauhan. Selain mengabarkan bahwa aku tidak berada di sini, maka elang itu juga mengatakan bahwa rumah ini masih berpenghuni”
“Darimana kau tahu” bertanya Manggada.
“Aku melihatnya dari kejauhan, dari bawah sebatang pohon gayam” jawab Kundala.
Ki Gumrah mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya “Lalu. apa sebenarnya maksudmu datang kemari?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ki Lurah akan mengambil pusaka itu sendiri. Maksudku, ia sendiri akan datang kemari bersama orang yang harus aku jemput di pasar."
“Siapa yang kau sebut Ki Lurah itu? Seorang yang mengaku Panembahan?” bertanya Ki Gumrah.
“Tidak” jawab orang itu ”Tetapi ia menyebut dirinya Kiai Windu Kusuma. Tetapi aku memang sering mendengar Kiai Windu Kusuma menyebut-nyebut tentang seorang Panembahan. Tetapi bukan dirinya sendiri”
Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengar, nada rendah ia berkata “Apa sebenarnya yang mereka kehendaki?"
“Sudah jelas Kiai. Pusaka pusaka itu” jawab Kundala ”Karena itu sebaiknya Kiai meninggalkan tempat ini sebelum senja. Jika langit menjadi gelap, maka aku kira burung itu tidak akan dapat mengawasi perjalanan Kiai sebaik-baiknya. Kemanapun asal meninggalkan rumah ini”
“Tetapi aku tidak dapat pergi kemana pun. Seandainva nanti menjelang senja aku pergi, akhirnya aku harus kembali lagi” desis Kiai Gumrah.
“Tetapi menilik apa yang ada di rumah ini maka yang paling berharga adalah pusaka-pusaka itu dan nyawa Kiai sendiri. Nyawa Kiai tentu lebih berharga dari perabot-perabot rumah yang sederhana ini. Kiai dan cucu-cucu Kiai akan dapat membawa pusaka-pusaka itu kemanapun” berkata Kundala. Lalu katanya pula ”Kiai dapat mengalahkan kami berdua. Tetapi jika Ki Lurah sendiri dan seorang kawannya yang aku jemput di pasar nanti yang datang kemari, tentu Kiai dan kedua cucu Kiai akan mengalami kesulitan. Apalagi jika mereka membawa kami berdua dan seorang kawan kami yang lain. Maka kami berlima, tentu tidak akan dapat Kiai lawan bersama kedua cucu Kiai itu”
Kiai Gumrah mengangguk-angguk kecil. Katanya “Terima kasih. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kau telah memberitahukan kepadaku, bahaya yang sedang mengintip rumah ini. Baiklah. Aku akan memikirkannya sebaik-baiknya”
“Aku mohon Kiai mengerti” berkata Kundala yang segera minta diri ”Sudahlah. Aku harus pergi ke pasar.”
Kundala tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meninggalkan Ki Gumrah dan kedua orang anak muda yang ada di rumah itu pula. Sekali-sekali Kundala masih menengadahkan kepalanya untuk melihat apakah burung elang yang menghantuinya itu masih nampak di langit.
Namun agaknya elang itu benar-benar telah pergi. Sehingga dengan demikian maka Kundala dapat berjalan cepat-cepat menuju ke pasar. Meskipun ia sadar, bahwa tentu ada orang yang mengamati isyarat burung elang itu. Tetapi tentu tidak dari jarak yang terlalu dekat.
Sepeninggal Kundala, Ki Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya “Aku harus segera membuat gula. Aku harus segera menyerahkan kepada pedagang gula itu. Nampaknya kita memang harus segera mengambil keputusan”
“Aku sependapat dengan orang itu Kiai” berkata Manggada. ”Kiai harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu”
“Nanti sajalah kita bicarakan. Sekarang bantu aku membuat gula. He, sebaiknya kalian ambil ketela pohon dan mengupasnya. Nanti kita masukkan lagi kedalam legen setelah aku hampir selesai” berkata Ki Gumrah.
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Berita yang dibawa Kundala itu bagi mereka merupakan ber-rita yang penting. Yang harus mereka tanggapi dengan sungguh-sungguh. Tetapi orang tua itu masih saja sibuk dengan gulanya. Namun Manggada dan Laksana pergi juga ke kebun untuk mencabut sebatang pohon ketela yang dianggapnya berakar besar dan lebat. Namun keduanya masih juga berbincang tentang orangtua itu.
“Orang yang aneh!” berkata Manggada ”Jika orang yang akan datang itu memiliki ilmu lebih baik dari Kundala, maka orang itu tentu sangat berbahaya. Apalagi jika ia tidak datang seorang diri."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya “Apakah Ki Gumrah terlalu yakin akan kemampuannya sehingga ia menganggap ilmu orang lain terlalu rendah?"
“Tetapi bukan sifatnya. Menilik apa yang dilakukandan apa yang dikatakan, ia bukan orang yang meremehkan orang lain!” jawab Manggada.
“Ya. Tetapi nampaknya kita tidak akan dengan mudah mengetahui latar belakang sikapnya.” berkata Laksana kemudian.
“Aku menjadi semakin tertarik untuk mengetahuinya meskipun sangat berbahaya.” berkata Manggada.
“Ya. Aku juga tidak ingin menghindar. Tetapi dengan kemungkinan yang sangat buruk. Kita akan dapat tidak ke luar dari rumah ini untuk selama-lamanya!” desis Laksana.
Manggada mengangguk-angguk. Bahkan iapun berdesis “Sementara itu kita tidak tahu, kenapa kita tertahan di sini selain sekedar ingin tahu."
Namun kedua anak muda itu kemudian sepakat untuk tidak meninggalkan rumah itu, setidak-tidaknya sampai senja. Mereka masih mendapat kesempatan untuk berpikir beberapa lama. Karena itu, maka keduanyapun telah mengupas ketela pohon yang kemudian mereka cuci di sumur.
Ketika mereka sampai di dapur, orang tua itu masih sibuk memanasi bakal gula kelapanya. Keringatnya nampak membasahi kening dan lehernya. Namun orang itu sambil tersenyum berkata,
Ketika mereka sampai di dapur, orang tua itu masih sibuk memanasi bakal gula kelapanya. Keringatnya nampak membasahi kening dan lehernya. Namun orang itu sambil tersenyum berkata,
“Nah, kita akan memasukkannya nanti. Letakkan saja dipaga itu. Kalian dapat menunggu di serambi depan.
“Aku ingin membantu membuat gula itu Kiai...” jawab Manggada.
Orang tua itu tertawa. Tetapi ia tidak mengusir kedua orang anak itu....
“Aku ingin membantu membuat gula itu Kiai...” jawab Manggada.
Orang tua itu tertawa. Tetapi ia tidak mengusir kedua orang anak itu....
Selanjutnya, Sang Penerus Bagian 04 |