DI HALAMAN beberapa orang telah mengepung tiga orang kawan Kiai Gumrah. Ketika mereka melihat Kiai Gumrah, maka sebagian dari mereka pun telah menyibak. Sehingga akhirnya Kiai Gumrah berdiri di sebelah ketiga orang kawannya.
"Nah" berkata Kiai Windu Kusuma "Jadi kami kau paksa untuk membunuh kalian berempat?"
“Kami atau kalian yang akan mati" berkata Kiai Gumrah "Tetapi sebenarnya bukan kebiasaan kami membunuh seseorang siapa pun mereka”
“Kau tidak usah berpura-pura menjadi orang yang baik hati. Bersiaplah. Kalian akan mati kecuali jika kalian menyerahkan pusaka-pusaka itu”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apa boleh buat. Pertempuran bukan cara yang terbaik untuk memecahkan persoalan. Tetapi jika kalian memaksa kami untuk melakukannya, maka kami tidak akan dapat mengelak. Sudah tentu bahwa kami tidak akan membiarkan kepala kami kalian pisahkan dari tubuh kami. Tetapi sebaliknya kami juga tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, karena aku tidak berhak melakukannya. Berpuluh kali aku katakan, bahwa aku hanya akan menyerahkan kepada orang-orang yang menitipkannya kepadaku”
"Alasan yang basi. Aku muak mendengarnya. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Sementara pusaka-pusaka itu akan jatuh juga ke tangan kami”
Kiai Gumrah dan ketiga orang kawannya pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka berempat menghadap ke empat arah, karena Kiai Windu Kusuma dan kawan-kawannya telah mengepung Kiai Gumrah dan kawan-kawannya dari segala arah pula. Sebelum Kiai Windu Kusuma mulai menyerang. Kiai Gumrah sempat menghitung orang yang datang ke rumahnya itu. Semuanya ada tujuh orang.
"Tujuh..." Kiai Gumrah itu berdesis.
"Ya. Tujuh orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Seorang melawan seorang pun kalian tidak akan dapat berbuat sesuatu. Apalagi jumlah kami lebih banyak dari jumlah kalian” berkata Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ada satu hal yang tidak kau perhitungkan”
"Apa? Aku tahu pasti tingkat kemampuanmu Kiai Gumrah. Kundala memberikan laporan terperinci” jawab Kiai Windu Kusuma dengan penuh keyakinan.
Tetapi Kiai Gumrah menjawab "Satu hal yang tidak kau perhitungkan. Justru yang menentukan. Bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa dapat berbuat apa saja yang tidak mungkin sekali pun”
Tetapi orang itu tertawa. Katanya "Itu adalah tumpuan orang yang sudah berputus-asa. Orang yang tidak mampu keluar dari keruwetan dan kesulitan atas usaha dan kepercayaannya kepada diri sendiri. Lalu mencari sandaran apa pun yang paling tidak masuk akal sekali pun”
"Terkutuklah kalian yang tidak meyakini kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa. Baiklah. Marilah kita lihat. Betapa maha dahsyatnya kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa itu”
Kiai Windu Kusuma masih tertawa. Namun kemudian ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya sambil berkata "He, kita buktikan kepada mereka, bahwa mereka tidak akan dapat bersandar kepada tumpuannya yang disebutnya Tuhan Yang Maha Kuasa. Penguasa dari Telenging Bumi serta Roh dan Arwah orang-orang sakti dari Padepokan kami akan menunjukkan kepada kalian, bahwa sandaran kalian telah lapuk”
Wajah Kiai Gumrah menjadi merah. Ia tidak pernah menjadi demikian marahnya seperti saat ini. Tetapi bagaimana pun juga ia masih tetap mengekang diri dan berpijak pada penalarannya yang terang. Kepada ketiga orang kawannya ia berkata,
"Marilah saudara-saudaraku. Kita berhadapan dengan bayangan dari Penguasa Kegelapan dan Iblis. Kita akan berusaha menerangi bayangan kelam itu dengan cahaya daripada-Nya. Tetapi jika yang harus terjadi justru permusuhan penguasa Iblis itu, maka agaknya demikianlah yang harus terjadi. Mereka agaknya mengira bahwa Rahmat dari yang Tuhan Yang Maha Kuasa itu tidak masuk dalam akal mereka, tetapi mereka justru beralaskan kekuatan Iblis yang menurut mereka masuk akal”
"Tentu, karena kami dapat berhubungan langsung dalam sentuhan indera wadag kami. Tetapi apa yang kau sebut Tuhan Yang Maha Kuasa itu sama sekali tidak”
"Kami tidak memerlukan sentuhan indera wadag. Tetapi hati kami dapat menyentuhnya pula”
Tetapi Kiai Windu Kusuma itu tertawa. Katanya "Satu ceritera yang baik untuk dilaporkan kepada Panembahan”
"Panembahan siapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Panembahan siapa pun, kau tidak akan mengerti" jawab Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah tidak menjawab lagi. Tetapi berempat mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu Kiai Windu Kusuma pun telah memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk bergerak.
Dalam pada itu, Kiai Gumrah telah bersiap langsung menghadapi Kiai Windu Kusuma. Sementara ketiga orang kawannya harus berhadapan dengan enam orang pengikut Windu Kusuma itu. Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun telah terjadi. Kiai Windu Kusuma langsung menyerang Kiai Gumrah dengan garangnya meski pun belum mempergunakan senjatanya.
Sementara itu, para pengikutnya pun telah mulai bertempur pula. Mereka bertempur berpasangan melawan tiga orang kawan Kiai Gumrah. Namun dalam pada itu terdengar perintah Kiai Windu Kusuma kepada para pengikutnya "Salah seorang dari kalian, ambil pusaka-pusaka itu. Hati-hati. Ada dua orang anak muda yang tadi di dapur. Jika keduanya menghalangi, bunuh mereka. Kita sudah tahu tataran kemampuan kedua orang anak muda itu sebagaimana laporan yang pernah disampaikan kepada kita”
Ketika salah seorang dari mereka mulai melangkah keluar dari lingkaran pertempuran, Kiai Windu Kusuma itu berkata "Biarlah Niskara saja melakukannya. Ia tidak akan pernah gagal. Apalagi hanya kedua orang anak muda itu. Berdua mereka tidak dapat mengalahkan Kundala. Bahkan seandainya ada dua orang lagi. Niskara akan dapat menyelesaikannya dengan cepat”
Tidak ada yang menjawab. Namun seorang di antara mereka yang masih bertempur itu melenting dan dengan kecepatan yang sangat tinggi, orang itu bagaikan terbang menuju ke pintu rumah dan kemudian hilang di ruang dalam.
Kiai Gumrah memang menjadi berdebar-debar. Ia yakin bahwa kedua orang anak muda itu tidak akan mampu melawan orang yang disebut bernama Niskara itu. Tetapi ia tidak segera dapat berbuat sesuatu. Ia harus berhadapan dengan Kiai Windu Kusuma yang tentu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Karena itu, maka bagaimana pun juga Kiai Gumrah itu menjadi gelisah. Kedua anak muda itu seharusnya tidak terlibat dalam persoalan yang rumit itu. Tetapi keduanya ternyata berkeras untuk tetap berada di rumahnya.
"Mudah-mudahan mereka mau mendengarkan pesanku agar mereka tidak mempertahankan nyawa mereka" berkata Kiai Gumrah di dalam hatinya. Kiai Gumrah masih berharap jika keduanya itu menyingkir dari pertempuran, maka Niskara tentu akan lebih memperhatikan pusaka-pusaka itu daripada Manggada dan Laksana.
Tetapi bagaimana pun juga Kiai Gumrah tidak dapat membiarkan keduanya tanpa memperhatikannya. Namun Kiai Gumrah tidak mempunyai banyak kesempatan, karena Kiai Windu Kusuma itu mulai menekannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan keras.
Sementara itu, ketiga orang kawannya pun telah bertempur pula. Dua orang di antara mereka harus bertempur melawan masing-masing dua orang. Di dalam rumah, Manggada dan Laksana mendengar langkah seseorang memasuki rumah itu. Dengan cepat mereka pun telah bersiap. Mereka pun menyadari, bahwa orang-orang yang ingin mengambil pusaka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Namun kedua orang anak muda itu sudah berjanji untuk membantu Kiai Gumrah menjaga pusaka-pusaka itu. Apa pun yang terjadi, maka mereka tidak akan ingkar. Karena itu ketika orang itu mendekati bilik tempat pusaka-pusaka itu disimpan, maka Manggada dan Laksana segera menghadang mereka dengan pedang terhunus.
Niskara itu menggeram. Dengan lantang ia berkata "Minggir anak-anak muda. Aku akan mengambil pusaka-pusaka itu. Jika kau mencoba menghalangi, maka kalian akan mati malam ini juga. Aku tidak mempunyai waktu banyak, sehingga karena itu, maka jangan mencoba berbuat sesuatu yang dapat memperpendek umurmu”
"Aku telah berjanji untuk mempertahankan pusaka-pusaka ini” jawab Manggada.
"Jika demikian, jangan menyesal jika kalian akan mati” geram Niskara.
Manggada dan Laksana tidak menghiraukannya. Keduanya hampir berbareng meloncat menyerang. Ternyata Niskara memang seorang yang berilmu tinggi. Dengan cepat ia menggeliat menghindari serangan kedua orang anak muda itu. Bahkan tanpa diketahui apa yang telah dilakukannya, maka Laksana telah terdorong beberapa langkah surut sehingga punggungnya membentur dinding. Wajahnya terasa menjadi panas. Agaknya tangan Niskara telah menampar mukanya.
Tetapi Laksana sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan cepat ia menguasai dirinya dan siap untuk melanjutkan pertempuran. Pedangnya pun berputar cepat saat ia meloncat maju sementara Manggada telah menyerang pula dari arah yang berbeda.
Tetapi serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan kedua orang anak muda ilu telah mengalami serangan yang tidak mereka ketahui bagaimana hal itu dapat terjadi. Keduanya pun telah terdorong beberapa langkah surut.
Sementara itu Niskara pun menggeram. Katanya "Anak-anak muda, sebaiknya kau dengarkan peringatanku. Kali ini untuk yang terakhir. Minggirlah. Jangan ganggu aku. Jika kalian masih saja menghalangi aku. maka kalian benar-benar akan mati”
Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa mereka tidak akan pernah dapat mengalahkan orang itu, apalagi jika ia sudah menarik senjatanya. Mereka pun teringat pesan Kiai Gumrah agar jika terpaksa mereka supaya meninggalkan saja pusaka-pusaka itu. Mereka tidak usah mengorbankan nyawa mereka untuk mempertahankan pusaka-pusaka itu.
Namun ternyata bahwa hati kedua orang anak muda tidak terlalu lentur. Bahkan Manggada telah melangkah maju sambil berkata. "Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami harus mempertahankan pusaka-pusaka itu”
Niskara menggeram. Katanya "Jika demikian maka kalian agaknya memang ingin membunuh diri. Baiklah. Aku akan membantu kalian agar kalian lebih cepat mati dan tidak mengganggu aku lagi”
Dalam pada itu, di halaman Kiai Gumrah tengah bertempur melawan Kiai Windu Kusuma. Bagaimana pun juga ia gelisah karena Manggada dan Laksana, juga karena pusaka-pusaka itu akan dapat diambil oleh Niskara, namun ia tidak dapat meninggalkan lawannya yang memang berilmu tinggi. Bahkan untuk beberapa saat Kiai Windu Kusuma dapat mendesak Kiai Gumrah yang gelisah.
Bagi Kiai Gumrah, seandainya Niskara dapat mengambil pusaka-pusakanya, maka ia akan dapat berusaha menahan Kiai Windu Kusuma dalam pertempuran dengan mempertaruhkan nyawanya. Karena Kiai Windu Kusuma adalah pemimpin dari sekelompok orang yang datang itu, maka seandainya ia dapat mengatasinya, maka Niskara tentu tidak akan tergesa-gesa meninggalkan halaman rumah itu.
Namun agaknya Manggada dan Laksana justru lebih menggelisahkannya lagi. Kedua anak muda yang keras hati itu tentu tidak akan begitu saja meninggalkan pusaka-pusaka itu meski pun ia sudah berpesan kepada mereka. Bagi Kiai Gumrah yang sudah berjanji untuk menyimpan dan menjaga pusaka-pusaka itu ternyata tidak dapat begitu saja membiarkan Manggada dan Laksana menjadi korban. Kecuali mereka masih terlalu muda untuk mati, maka mereka pun sebenarnya tidak mempunyai beban tanggung jawab apa pun terhadap pusaka itu, kecuali karena mereka memang berniat membantunya.
Tetapi untuk sementara Kiai Gumrah harus menghadapi kenyataan. Ia harus bertempur melawan Kiai Windu Kusuma tanpa berbuat apa pun yang lain. Ia sadar, jika ia tidak mampu memusatkan nalar budinya untuk menghadapi Kiai Windu Kusuma, maka ia akan segera mengalami kesulitan karena Kiai Windu Kusuma adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Sementara itu ketiga orang kawan Kiai Gumrah pun harus bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka. Dua di antara kawan-kawan Kiai Gumrah itu harus menghadapi masing-masing dua orang. Namun agaknya mereka bukan orang-orang berilmu sangat tinggi setataran dengan Kiai Windu Kusuma sendiri. Meski pun mereka agaknya memiliki kemampuan lebih baik dari Kundala dan kawannya yang pernah datang pula ke rumah itu, namun mereka tidak dapat dengan cepat menguasai kawan-kawan Kiai Gumrah.
Meski pun sejak Kundala gagal mengambil pusaka-pusaka itu. Kiai Windu Kusuma sudah memperhitungkan bahwa Kiai Gumrah yang ternyata bukan orang kebanyakan itu tentu tidak sendiri, bahkan selain anak-anak muda itu tentu ada orang-orang lain yang berilmu, namun ia tidak mengira bahwa pada saat yang bersamaan ada empat orang tua yang berilmu tinggi. Empat orang yang ilmunya tidak saling bertaut banyak meski pun Kiai Gumrah harus mendapat perhatian terbesar karena Kiai Gumrah adalah orang yang harus mempertanggungjawabkan pusaka-pusaka itu.
Sambil bertempur melawan Kiai Gumrah, Kiai Windu Kusuma sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi disekitarnya. Di bawah cahaya oncor di serambi rumah Kiai Gumrah yang lemah, ia melihat kawan-kawannya berusaha untuk dengan segera mengalahkan ketiga orang tua tamu Kiai Gumrah itu. Tetapi ketiga orang tua itu ternyata juga memiliki ilmu yang tinggi.
Seorang di antaranya, yang disebut juragan yang menerima dan membeli gula kelapa Kiai Gumrah dan para pembuat gula yang lain dan membawanya ke pasar itu, bertempur hanya melawan seorang saja. Tetapi orang itu adalah seorang yang masih terhitung muda, bertubuh tegap dan kekar. Putut Sempada. Dengan keras orang itu menyerang juragan Kiai Gumrah sehingga orang tua itu beberapa kali terdesak mundur.
"Apakah kau tidak mempertimbangkan untuk menyerah saja orang tua? Tulang-tulangmu sudah rapuh dan barangkali penglihatanmu sudah tidak jelas lagi” berkata orang bertubuh kekar itu.
Tetapi orang tua itu tersenyum. Sambil mengelakkan serangan lawannya yang bertubuh tegap dan kekar itu ia menjawab "Aku jauh lebih tua dari kau orang muda. Aku tentu mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak. Karena itu, berhati-hatilah. Apalagi bukankah seharusnya kau menghormati setua aku ini”
"Setan kau kakek tua. Agaknya kau ingin mempercepat kematianmu. Tetapi katakan, siapa namamu?"
"Aku adalah juragan gula kelapa yang dihormati di seluruh lingkungan ini. Kalau kau tidak percaya bertanyalah kepada Kiai Gumrah. Ia salah seorang pembuat gula yang selalu menyerahkan gulanya kepadaku. Aku tidak pernah menghutang dan kemudian baru membayar setelah gula itu laku. Aku selalu membayar langsung demikian mereka menyerahkan gula itu kepadaku”
"Cukup..." orang yang bertubuh tegap kekar itu berteriak "aku tidak ingin mendengar bualanmu itu. Siapa namamu, he. Itu saja yang ingin aku dengar”
Juragan gula itu tertawa. Katanya sambil setiap kali meloncat mengambil jarak "Namaku Ki Padma”
"Uah" desah orang bertubuh kekar itu di luar sadarnya. Sejenak kemudian, maka serangannya pun datang beruntun.
Juragan gula yang menyebut dirinya Ki Padma itu masih saja berloncatan menghindari serangan-serangan itu. Katanya "Kenapa? Kau heran mendengar namaku? Padma adalah bunga. Sama manisnya dengan gula. Kau setuju?"
"Setan tua. Kau tidak pantas dengan nama itu. Pantasnya kau bernama Clurut” geram lawannya.
Ki Padma itu tertawa berkepanjangan sambil berloncatan. Tetapi justru karena itu, maka ia pun telah terdesak beberapa langkah surut. Namun kemudian sambil berganti menyerang ia bertanya "Siapa namamu?"
"Kau tentu juga tidak percaya” jawab lawannya.
"Aku percaya. Katakanlah" sahut Ki Padma.
"Namaku Putut Sempada” jawab orang itu ”Nah, kau tentu akan menyangkal dan akan menyebut nama lain yang paling buruk”
"Tidak. Aku percaya bahwa kau bernama Sempada, meski pun itu bukan nama yang kau terima dari kedua orang tuamu. Namun bagaimana pun juga, sekarang kau disebut Putut Sempada” jawab Ki Padma.
"Atau kau memang pernah mendengar nama itu?" bertanya Putut Sempada.
"Ya. Aku memang pernah mendengar nama itu. Aku juga pernah mendengar nama Putut Bahudenda dan Bahutama. Mereka memiliki ciri perguruan Panjer Bumi. Nah, jangan menyangkal bahwa aku melihat ciri perguruan itu pada unsur-unsur gerakmu”
"Aku tidak menyangkal bahwa aku murid perguruan Panjer Bumi. Jika kau tahu aku dari perguruan Panjer Bumi, katakan, kau bersumber dari perguruan mana?" bertanya Bahusasra.
"Ternyata pengetahuanmu sangat picik. Putut Sempada adalah nama yang agung. Aku tidak ingin meniru kau yang merendahkan pribadiku dibandingkan dengan namaku. Tetapi sebenarnyalah bahwa nama itu terlalu besar buat orang sepicik kau. Kita sudah bergulat dalam pertarungan ilmu sekian jauh, tetapi kau sama sekali tidak mampu menyebut sumber ilmuku”
"Kau tentu lahir dari perguruan kecil di tempat terpencil. Kau dapat melihat kebesaran perguruanku tetapi aku tidak” geram orang yang mengaku bernama Putut Sempada itu.
Ki Padma tertawa. Katanya "Apa pun yang kau katakan, tetapi kita akan menyelesaikan pertempuran ini sampai tuntas. Betapa besarnya perguruanmu, tetapi kau nanti harus mengakui, bahwa kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa akan menentukan segala-galanya. Bukan Penguasa dari Telenging Bumi atau iblis yang mana pun juga. Semakin kau mengingkari, maka kau akan menjadi semakin dihimpit oleh kekuasaan-Nya”
"Kau ingin melarikan diri kenyataan seperti Kiai Gumrah” geram Bahusasra.
"Sama sekali tidak. Tetapi hatiku sejalan dengan orang itu” jawab Ki Padma.
Lawannya tidak menjawab lagi. Tetapi dikerahkannya kemampuan untuk menghancurkan orang yang menyebut dirinya Ki Padma, juragan gula kelapa itu. Namun ternyata bahwa Ki Padma benar-benar orang yang berilmu tinggi. Meski pun Sempada tidak segera melihat sumber ilmu juragan gula itu, tetapi ia merasakan kekuatan yang sangat besar pada ilmu yang melandasi kemampuannya itu. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit sebagaimana Kiai Gumrah melawan Kiai Windu Kusuma yang juga berilmu sangat tinggi.
Sementara itu kedua kawan Kiai Gumrah yang lain masing-masing harus bertempur melawan dua orang. Namun lawan-lawan mereka ilmunya tidak setinggi Kiai Windu Kusuma atau Putut Sempada. Meski pun demikian melawan dua orang, kawan-kawan Kiai Gumrah itu pun harus mengerahkan kemampuan mereka.
"Nah" berkata Kiai Windu Kusuma "Jadi kami kau paksa untuk membunuh kalian berempat?"
“Kami atau kalian yang akan mati" berkata Kiai Gumrah "Tetapi sebenarnya bukan kebiasaan kami membunuh seseorang siapa pun mereka”
“Kau tidak usah berpura-pura menjadi orang yang baik hati. Bersiaplah. Kalian akan mati kecuali jika kalian menyerahkan pusaka-pusaka itu”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apa boleh buat. Pertempuran bukan cara yang terbaik untuk memecahkan persoalan. Tetapi jika kalian memaksa kami untuk melakukannya, maka kami tidak akan dapat mengelak. Sudah tentu bahwa kami tidak akan membiarkan kepala kami kalian pisahkan dari tubuh kami. Tetapi sebaliknya kami juga tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, karena aku tidak berhak melakukannya. Berpuluh kali aku katakan, bahwa aku hanya akan menyerahkan kepada orang-orang yang menitipkannya kepadaku”
"Alasan yang basi. Aku muak mendengarnya. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Sementara pusaka-pusaka itu akan jatuh juga ke tangan kami”
Kiai Gumrah dan ketiga orang kawannya pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka berempat menghadap ke empat arah, karena Kiai Windu Kusuma dan kawan-kawannya telah mengepung Kiai Gumrah dan kawan-kawannya dari segala arah pula. Sebelum Kiai Windu Kusuma mulai menyerang. Kiai Gumrah sempat menghitung orang yang datang ke rumahnya itu. Semuanya ada tujuh orang.
"Tujuh..." Kiai Gumrah itu berdesis.
"Ya. Tujuh orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Seorang melawan seorang pun kalian tidak akan dapat berbuat sesuatu. Apalagi jumlah kami lebih banyak dari jumlah kalian” berkata Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ada satu hal yang tidak kau perhitungkan”
"Apa? Aku tahu pasti tingkat kemampuanmu Kiai Gumrah. Kundala memberikan laporan terperinci” jawab Kiai Windu Kusuma dengan penuh keyakinan.
Tetapi Kiai Gumrah menjawab "Satu hal yang tidak kau perhitungkan. Justru yang menentukan. Bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa dapat berbuat apa saja yang tidak mungkin sekali pun”
Tetapi orang itu tertawa. Katanya "Itu adalah tumpuan orang yang sudah berputus-asa. Orang yang tidak mampu keluar dari keruwetan dan kesulitan atas usaha dan kepercayaannya kepada diri sendiri. Lalu mencari sandaran apa pun yang paling tidak masuk akal sekali pun”
"Terkutuklah kalian yang tidak meyakini kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa. Baiklah. Marilah kita lihat. Betapa maha dahsyatnya kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa itu”
Kiai Windu Kusuma masih tertawa. Namun kemudian ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya sambil berkata "He, kita buktikan kepada mereka, bahwa mereka tidak akan dapat bersandar kepada tumpuannya yang disebutnya Tuhan Yang Maha Kuasa. Penguasa dari Telenging Bumi serta Roh dan Arwah orang-orang sakti dari Padepokan kami akan menunjukkan kepada kalian, bahwa sandaran kalian telah lapuk”
Wajah Kiai Gumrah menjadi merah. Ia tidak pernah menjadi demikian marahnya seperti saat ini. Tetapi bagaimana pun juga ia masih tetap mengekang diri dan berpijak pada penalarannya yang terang. Kepada ketiga orang kawannya ia berkata,
"Marilah saudara-saudaraku. Kita berhadapan dengan bayangan dari Penguasa Kegelapan dan Iblis. Kita akan berusaha menerangi bayangan kelam itu dengan cahaya daripada-Nya. Tetapi jika yang harus terjadi justru permusuhan penguasa Iblis itu, maka agaknya demikianlah yang harus terjadi. Mereka agaknya mengira bahwa Rahmat dari yang Tuhan Yang Maha Kuasa itu tidak masuk dalam akal mereka, tetapi mereka justru beralaskan kekuatan Iblis yang menurut mereka masuk akal”
"Tentu, karena kami dapat berhubungan langsung dalam sentuhan indera wadag kami. Tetapi apa yang kau sebut Tuhan Yang Maha Kuasa itu sama sekali tidak”
"Kami tidak memerlukan sentuhan indera wadag. Tetapi hati kami dapat menyentuhnya pula”
Tetapi Kiai Windu Kusuma itu tertawa. Katanya "Satu ceritera yang baik untuk dilaporkan kepada Panembahan”
"Panembahan siapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Panembahan siapa pun, kau tidak akan mengerti" jawab Kiai Windu Kusuma.
Kiai Gumrah tidak menjawab lagi. Tetapi berempat mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu Kiai Windu Kusuma pun telah memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk bergerak.
Dalam pada itu, Kiai Gumrah telah bersiap langsung menghadapi Kiai Windu Kusuma. Sementara ketiga orang kawannya harus berhadapan dengan enam orang pengikut Windu Kusuma itu. Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun telah terjadi. Kiai Windu Kusuma langsung menyerang Kiai Gumrah dengan garangnya meski pun belum mempergunakan senjatanya.
Sementara itu, para pengikutnya pun telah mulai bertempur pula. Mereka bertempur berpasangan melawan tiga orang kawan Kiai Gumrah. Namun dalam pada itu terdengar perintah Kiai Windu Kusuma kepada para pengikutnya "Salah seorang dari kalian, ambil pusaka-pusaka itu. Hati-hati. Ada dua orang anak muda yang tadi di dapur. Jika keduanya menghalangi, bunuh mereka. Kita sudah tahu tataran kemampuan kedua orang anak muda itu sebagaimana laporan yang pernah disampaikan kepada kita”
Ketika salah seorang dari mereka mulai melangkah keluar dari lingkaran pertempuran, Kiai Windu Kusuma itu berkata "Biarlah Niskara saja melakukannya. Ia tidak akan pernah gagal. Apalagi hanya kedua orang anak muda itu. Berdua mereka tidak dapat mengalahkan Kundala. Bahkan seandainya ada dua orang lagi. Niskara akan dapat menyelesaikannya dengan cepat”
Tidak ada yang menjawab. Namun seorang di antara mereka yang masih bertempur itu melenting dan dengan kecepatan yang sangat tinggi, orang itu bagaikan terbang menuju ke pintu rumah dan kemudian hilang di ruang dalam.
Kiai Gumrah memang menjadi berdebar-debar. Ia yakin bahwa kedua orang anak muda itu tidak akan mampu melawan orang yang disebut bernama Niskara itu. Tetapi ia tidak segera dapat berbuat sesuatu. Ia harus berhadapan dengan Kiai Windu Kusuma yang tentu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Karena itu, maka bagaimana pun juga Kiai Gumrah itu menjadi gelisah. Kedua anak muda itu seharusnya tidak terlibat dalam persoalan yang rumit itu. Tetapi keduanya ternyata berkeras untuk tetap berada di rumahnya.
"Mudah-mudahan mereka mau mendengarkan pesanku agar mereka tidak mempertahankan nyawa mereka" berkata Kiai Gumrah di dalam hatinya. Kiai Gumrah masih berharap jika keduanya itu menyingkir dari pertempuran, maka Niskara tentu akan lebih memperhatikan pusaka-pusaka itu daripada Manggada dan Laksana.
Tetapi bagaimana pun juga Kiai Gumrah tidak dapat membiarkan keduanya tanpa memperhatikannya. Namun Kiai Gumrah tidak mempunyai banyak kesempatan, karena Kiai Windu Kusuma itu mulai menekannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan keras.
Sementara itu, ketiga orang kawannya pun telah bertempur pula. Dua orang di antara mereka harus bertempur melawan masing-masing dua orang. Di dalam rumah, Manggada dan Laksana mendengar langkah seseorang memasuki rumah itu. Dengan cepat mereka pun telah bersiap. Mereka pun menyadari, bahwa orang-orang yang ingin mengambil pusaka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Namun kedua orang anak muda itu sudah berjanji untuk membantu Kiai Gumrah menjaga pusaka-pusaka itu. Apa pun yang terjadi, maka mereka tidak akan ingkar. Karena itu ketika orang itu mendekati bilik tempat pusaka-pusaka itu disimpan, maka Manggada dan Laksana segera menghadang mereka dengan pedang terhunus.
Niskara itu menggeram. Dengan lantang ia berkata "Minggir anak-anak muda. Aku akan mengambil pusaka-pusaka itu. Jika kau mencoba menghalangi, maka kalian akan mati malam ini juga. Aku tidak mempunyai waktu banyak, sehingga karena itu, maka jangan mencoba berbuat sesuatu yang dapat memperpendek umurmu”
"Aku telah berjanji untuk mempertahankan pusaka-pusaka ini” jawab Manggada.
"Jika demikian, jangan menyesal jika kalian akan mati” geram Niskara.
Manggada dan Laksana tidak menghiraukannya. Keduanya hampir berbareng meloncat menyerang. Ternyata Niskara memang seorang yang berilmu tinggi. Dengan cepat ia menggeliat menghindari serangan kedua orang anak muda itu. Bahkan tanpa diketahui apa yang telah dilakukannya, maka Laksana telah terdorong beberapa langkah surut sehingga punggungnya membentur dinding. Wajahnya terasa menjadi panas. Agaknya tangan Niskara telah menampar mukanya.
Tetapi Laksana sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan cepat ia menguasai dirinya dan siap untuk melanjutkan pertempuran. Pedangnya pun berputar cepat saat ia meloncat maju sementara Manggada telah menyerang pula dari arah yang berbeda.
Tetapi serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan kedua orang anak muda ilu telah mengalami serangan yang tidak mereka ketahui bagaimana hal itu dapat terjadi. Keduanya pun telah terdorong beberapa langkah surut.
Sementara itu Niskara pun menggeram. Katanya "Anak-anak muda, sebaiknya kau dengarkan peringatanku. Kali ini untuk yang terakhir. Minggirlah. Jangan ganggu aku. Jika kalian masih saja menghalangi aku. maka kalian benar-benar akan mati”
Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa mereka tidak akan pernah dapat mengalahkan orang itu, apalagi jika ia sudah menarik senjatanya. Mereka pun teringat pesan Kiai Gumrah agar jika terpaksa mereka supaya meninggalkan saja pusaka-pusaka itu. Mereka tidak usah mengorbankan nyawa mereka untuk mempertahankan pusaka-pusaka itu.
Namun ternyata bahwa hati kedua orang anak muda tidak terlalu lentur. Bahkan Manggada telah melangkah maju sambil berkata. "Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami harus mempertahankan pusaka-pusaka itu”
Niskara menggeram. Katanya "Jika demikian maka kalian agaknya memang ingin membunuh diri. Baiklah. Aku akan membantu kalian agar kalian lebih cepat mati dan tidak mengganggu aku lagi”
Dalam pada itu, di halaman Kiai Gumrah tengah bertempur melawan Kiai Windu Kusuma. Bagaimana pun juga ia gelisah karena Manggada dan Laksana, juga karena pusaka-pusaka itu akan dapat diambil oleh Niskara, namun ia tidak dapat meninggalkan lawannya yang memang berilmu tinggi. Bahkan untuk beberapa saat Kiai Windu Kusuma dapat mendesak Kiai Gumrah yang gelisah.
Bagi Kiai Gumrah, seandainya Niskara dapat mengambil pusaka-pusakanya, maka ia akan dapat berusaha menahan Kiai Windu Kusuma dalam pertempuran dengan mempertaruhkan nyawanya. Karena Kiai Windu Kusuma adalah pemimpin dari sekelompok orang yang datang itu, maka seandainya ia dapat mengatasinya, maka Niskara tentu tidak akan tergesa-gesa meninggalkan halaman rumah itu.
Namun agaknya Manggada dan Laksana justru lebih menggelisahkannya lagi. Kedua anak muda yang keras hati itu tentu tidak akan begitu saja meninggalkan pusaka-pusaka itu meski pun ia sudah berpesan kepada mereka. Bagi Kiai Gumrah yang sudah berjanji untuk menyimpan dan menjaga pusaka-pusaka itu ternyata tidak dapat begitu saja membiarkan Manggada dan Laksana menjadi korban. Kecuali mereka masih terlalu muda untuk mati, maka mereka pun sebenarnya tidak mempunyai beban tanggung jawab apa pun terhadap pusaka itu, kecuali karena mereka memang berniat membantunya.
Tetapi untuk sementara Kiai Gumrah harus menghadapi kenyataan. Ia harus bertempur melawan Kiai Windu Kusuma tanpa berbuat apa pun yang lain. Ia sadar, jika ia tidak mampu memusatkan nalar budinya untuk menghadapi Kiai Windu Kusuma, maka ia akan segera mengalami kesulitan karena Kiai Windu Kusuma adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Sementara itu ketiga orang kawan Kiai Gumrah pun harus bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka. Dua di antara kawan-kawan Kiai Gumrah itu harus menghadapi masing-masing dua orang. Namun agaknya mereka bukan orang-orang berilmu sangat tinggi setataran dengan Kiai Windu Kusuma sendiri. Meski pun mereka agaknya memiliki kemampuan lebih baik dari Kundala dan kawannya yang pernah datang pula ke rumah itu, namun mereka tidak dapat dengan cepat menguasai kawan-kawan Kiai Gumrah.
Meski pun sejak Kundala gagal mengambil pusaka-pusaka itu. Kiai Windu Kusuma sudah memperhitungkan bahwa Kiai Gumrah yang ternyata bukan orang kebanyakan itu tentu tidak sendiri, bahkan selain anak-anak muda itu tentu ada orang-orang lain yang berilmu, namun ia tidak mengira bahwa pada saat yang bersamaan ada empat orang tua yang berilmu tinggi. Empat orang yang ilmunya tidak saling bertaut banyak meski pun Kiai Gumrah harus mendapat perhatian terbesar karena Kiai Gumrah adalah orang yang harus mempertanggungjawabkan pusaka-pusaka itu.
Sambil bertempur melawan Kiai Gumrah, Kiai Windu Kusuma sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi disekitarnya. Di bawah cahaya oncor di serambi rumah Kiai Gumrah yang lemah, ia melihat kawan-kawannya berusaha untuk dengan segera mengalahkan ketiga orang tua tamu Kiai Gumrah itu. Tetapi ketiga orang tua itu ternyata juga memiliki ilmu yang tinggi.
Seorang di antaranya, yang disebut juragan yang menerima dan membeli gula kelapa Kiai Gumrah dan para pembuat gula yang lain dan membawanya ke pasar itu, bertempur hanya melawan seorang saja. Tetapi orang itu adalah seorang yang masih terhitung muda, bertubuh tegap dan kekar. Putut Sempada. Dengan keras orang itu menyerang juragan Kiai Gumrah sehingga orang tua itu beberapa kali terdesak mundur.
"Apakah kau tidak mempertimbangkan untuk menyerah saja orang tua? Tulang-tulangmu sudah rapuh dan barangkali penglihatanmu sudah tidak jelas lagi” berkata orang bertubuh kekar itu.
Tetapi orang tua itu tersenyum. Sambil mengelakkan serangan lawannya yang bertubuh tegap dan kekar itu ia menjawab "Aku jauh lebih tua dari kau orang muda. Aku tentu mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak. Karena itu, berhati-hatilah. Apalagi bukankah seharusnya kau menghormati setua aku ini”
"Setan kau kakek tua. Agaknya kau ingin mempercepat kematianmu. Tetapi katakan, siapa namamu?"
"Aku adalah juragan gula kelapa yang dihormati di seluruh lingkungan ini. Kalau kau tidak percaya bertanyalah kepada Kiai Gumrah. Ia salah seorang pembuat gula yang selalu menyerahkan gulanya kepadaku. Aku tidak pernah menghutang dan kemudian baru membayar setelah gula itu laku. Aku selalu membayar langsung demikian mereka menyerahkan gula itu kepadaku”
"Cukup..." orang yang bertubuh tegap kekar itu berteriak "aku tidak ingin mendengar bualanmu itu. Siapa namamu, he. Itu saja yang ingin aku dengar”
Juragan gula itu tertawa. Katanya sambil setiap kali meloncat mengambil jarak "Namaku Ki Padma”
"Uah" desah orang bertubuh kekar itu di luar sadarnya. Sejenak kemudian, maka serangannya pun datang beruntun.
Juragan gula yang menyebut dirinya Ki Padma itu masih saja berloncatan menghindari serangan-serangan itu. Katanya "Kenapa? Kau heran mendengar namaku? Padma adalah bunga. Sama manisnya dengan gula. Kau setuju?"
"Setan tua. Kau tidak pantas dengan nama itu. Pantasnya kau bernama Clurut” geram lawannya.
Ki Padma itu tertawa berkepanjangan sambil berloncatan. Tetapi justru karena itu, maka ia pun telah terdesak beberapa langkah surut. Namun kemudian sambil berganti menyerang ia bertanya "Siapa namamu?"
"Kau tentu juga tidak percaya” jawab lawannya.
"Aku percaya. Katakanlah" sahut Ki Padma.
"Namaku Putut Sempada” jawab orang itu ”Nah, kau tentu akan menyangkal dan akan menyebut nama lain yang paling buruk”
"Tidak. Aku percaya bahwa kau bernama Sempada, meski pun itu bukan nama yang kau terima dari kedua orang tuamu. Namun bagaimana pun juga, sekarang kau disebut Putut Sempada” jawab Ki Padma.
"Atau kau memang pernah mendengar nama itu?" bertanya Putut Sempada.
"Ya. Aku memang pernah mendengar nama itu. Aku juga pernah mendengar nama Putut Bahudenda dan Bahutama. Mereka memiliki ciri perguruan Panjer Bumi. Nah, jangan menyangkal bahwa aku melihat ciri perguruan itu pada unsur-unsur gerakmu”
"Aku tidak menyangkal bahwa aku murid perguruan Panjer Bumi. Jika kau tahu aku dari perguruan Panjer Bumi, katakan, kau bersumber dari perguruan mana?" bertanya Bahusasra.
"Ternyata pengetahuanmu sangat picik. Putut Sempada adalah nama yang agung. Aku tidak ingin meniru kau yang merendahkan pribadiku dibandingkan dengan namaku. Tetapi sebenarnyalah bahwa nama itu terlalu besar buat orang sepicik kau. Kita sudah bergulat dalam pertarungan ilmu sekian jauh, tetapi kau sama sekali tidak mampu menyebut sumber ilmuku”
"Kau tentu lahir dari perguruan kecil di tempat terpencil. Kau dapat melihat kebesaran perguruanku tetapi aku tidak” geram orang yang mengaku bernama Putut Sempada itu.
Ki Padma tertawa. Katanya "Apa pun yang kau katakan, tetapi kita akan menyelesaikan pertempuran ini sampai tuntas. Betapa besarnya perguruanmu, tetapi kau nanti harus mengakui, bahwa kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa akan menentukan segala-galanya. Bukan Penguasa dari Telenging Bumi atau iblis yang mana pun juga. Semakin kau mengingkari, maka kau akan menjadi semakin dihimpit oleh kekuasaan-Nya”
"Kau ingin melarikan diri kenyataan seperti Kiai Gumrah” geram Bahusasra.
"Sama sekali tidak. Tetapi hatiku sejalan dengan orang itu” jawab Ki Padma.
Lawannya tidak menjawab lagi. Tetapi dikerahkannya kemampuan untuk menghancurkan orang yang menyebut dirinya Ki Padma, juragan gula kelapa itu. Namun ternyata bahwa Ki Padma benar-benar orang yang berilmu tinggi. Meski pun Sempada tidak segera melihat sumber ilmu juragan gula itu, tetapi ia merasakan kekuatan yang sangat besar pada ilmu yang melandasi kemampuannya itu. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit sebagaimana Kiai Gumrah melawan Kiai Windu Kusuma yang juga berilmu sangat tinggi.
Sementara itu kedua kawan Kiai Gumrah yang lain masing-masing harus bertempur melawan dua orang. Namun lawan-lawan mereka ilmunya tidak setinggi Kiai Windu Kusuma atau Putut Sempada. Meski pun demikian melawan dua orang, kawan-kawan Kiai Gumrah itu pun harus mengerahkan kemampuan mereka.
Bahkan baik Kiai Gumrah mau pun ketiga orang kawannya, masih harus selalu mengingat kedua orang anak muda yang berada di dalam rumah. Mereka sadar, bahwa orang yang bernama Niskara itu tentu saja seorang yang dianggap akan mampu menyelesaikan kedua orang anak muda itu juga mereka bertahan untuk melindungi pusaka-pusaka itu.
Kawan-kawan Kiai Gumrah itu sebenarnya sudah mendengar bagaimana kekerasan hati kedua anak muda yang terdampar di rumahnya. Meski pun keduanya tidak mempunyai sangkut paut dengan Kiai Gumrah, apalagi pusaka-pusaka itu, namun keduanya telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantunya.
Karena itu, baik Kiai Gumrah mau pun ketiga orang kawannya tentu tidak akan sampai hati membiarkan kedua orang anak muda itu mengalami kesulitan. Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menolong mereka karena mereka sedang terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Namun setelah menjajagi ilmunya beberapa saat, salah seorang kawan Kiai Gumrah yang bertempur melawan dua orang lawan itu berkata lantang "He, aku akan meninggalkan orang-orang itu. Biarlah keduanya menempatkan diri untuk melawan salah seorang dari kalian. Aku akan melihat apa yang terjadi di dalam”
"Lakukanlah" sahut Kiai Gumrah sambil bertempur melawan Kiai Windu Kusuma. Meski pun Kiai Windu Kusuma berilmu sangat tinggi, jika kedua orang itu bergabung bersamanya, maka Kiai Gumrah masih berharap untuk dapat bertahan beberapa lama meski pun ia harus berlari-lari berputaran di halaman. Sementara itu, ia berharap bahwa kawannya itu akan dapat segera menyelesaikan orang yang disebut Niskara itu.
Namun dalam pada itu, kawan Kiai Gumrah yang akan meninggalkan kedua lawannya itu justru tertegun. Karena kedua lawannya masih saja menyerangnya dan seakan-akan tidak ingin melepaskannya, maka kawan Kiai Gumrah itu masih harus berloncatan menghindar. Bahkan kedua orang lawannya itu dengan sengaja menahan agar orang itu tidak dapat meninggalkan mereka.
Sementara keempat orang tua-tua itu masih bertempur dengan sengitnya, maka di dalam rumah itu, Manggada dan Laksana benar-benar tidak mampu berbuat banyak menghadapi Niskara. Meskipun Niskara itu masih belum mempergunakan senjatanya, namun Manggada dan Laksana berkali-kali terdorong dan terbanting jatuh. Bahkan kemudian keduanya menjadi semakin tidak berdaya.
Ketika kepala Laksana membentur tiang, maka seisi rumah itu rasa-rasanya menjadi berputar. Hanya karena ketahanannya saja, ia masih tetap sadar. Meskipun demikian ketika ia berusaha untuk bangkit, ia justru terhuyung-huyung kehilangan keseimbangannya. Meskipun Laksana mencoba berpegangan tiang, tetapi ia pun jatuh terduduk. Pedangnya telah terlepas dari tangannya, sementara nafasnya menjadi sesak.
Sementara itu Manggada pun tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dengan kerasnya Manggada terlempar ketika kaki Niskara itu mengenai pundaknya. Demikian kerasnya sehingga Manggada membentur dinding dan bahkan dinding itu telah terkoyak. Manggada yang terlempar itu terjatuh keluar rumah. Tetapi tidak di halaman depan. Manggada berguling beberapa kali di halaman samping. Kepalanya yang membentur dinding sehingga koyak itu menjadi pening. Matanya berkunang-kunang dan kemudian menjadi gelap. Hampir bersamaan kedua orang anak muda itu menjadi pingsan.
Sementara itu pertempuran di halaman masih berlangsung dengan sengitnya. Kiai Gumrah dengan ketiga orang kawannya yang gelisah itu telah meningkatkan kemampuan mereka. Namun lawan-lawan mereka pun berbuat serupa pula, sehingga karena itu, maka pertempuran itu benar-benar menjadi pertempuran yang seru di antara orang-orang berilmu tinggi.
Kiai Windu Kusuma yang berhadapan dengan Kiai Gumrah, ternyata juga menjadi gelisah. Ia berharap agar Niskara dapat menguasai pusaka-pusaka itu dengan cepat. Namun ternyata Niskara masih juga belum keluar dari rumah itu dengan membawa pusaka-pusaka yang diinginkannya.
Justru karena itu, maka dua orang berilmu tinggi itu bertempur dalam kegelisahan mereka masing-masing. Kiai Gumrah gelisah karena Manggada dan Laksana yang keras hati, keduanya tentu tidak akan begitu saja meninggalkan pusaka-pusaka itu meskipun lawannya dapat mengancam jiwanya. Sementara itu, kawan-kawannya dan bahkan dirinya sendiri tentu tidak akan dapat dengan mudah meninggalkan lawan-lawannya.
Sedangkan Kiai Windu Kusuma menjadi gelisah karena Niskara tidak segera keluar dari rumah dengan membawa pusaka-pusaka yang mereka kehendaki. Menurut perhitungan Kiai Windu Kusuma. Niskara akan dapat dengan mudah menyelesaikan kedua orang anak muda yang ada di dalam yang kemampuannya masih sangat dasar sebagaimana dilaporkan oleh dua orang yang telah datang lebih dahulu ke rumah itu.
Kiai Windu Kusuma untuk sementara masih menahan diri. Ia mencoba untuk mengerahkan kemampuannya serta memusatkan nalar budinya menghadapi Kiai Gumrah. Tetapi kegelisahannya itu seakan-akan tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka ia pun berteriak, "He, lihat, apakah Niskara justru tidur di dalam atau ia telah berkhianat dan membawa pusaka-pusaka itu pergi melalui pintu butulan”
Untuk sesaat masih belum ada yang meninggalkan arena pertempuran itu. Dua orang kawan Kiai Gumrah yang masing-masing harus menghadapi dua orang sekaligus telah mengerahkan ilmunya. Mereka mencoba untuk menahan salah seorang dari lawannya yang akan meninggalkan arena. Tetapi karena lawannya juga menghentakkan kemampuan mereka, maka kedua orang kawan Kiai Gumrah itu justru terdesak surut.
Justru pada saat itu seorang dari mereka telah meloncat meninggalkan salah seorang kawan Kiai Gumrah itu dan berlari ke pintu rumah Kiai Gumrah. Sementara itu seorang kawannya harus bertempur seorang melawan seorang dengan kawan Kiai Gumrah itu. Orang itu memang segera terdesak. Tetapi ia masih mempunyai beberapa cara untuk mempertahankan hidupnya.
Halaman rumah Kiai Gumrah ternyata cukup luas untuk menghindar disaat-saat yang sulit. Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan dapat dipergunakan untuk sekedar menyelamatkan diri pada saat-saat yang paling gawat.
Demikianlah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang memasuki rumah Kiai Gumrah itu pun langsung menuju ke ruang dalam. Dilihatnya seorang anak muda yang pingsan terbaring dilantai. Kemudian dilihatnya pula dinding bambu yang koyak. Demikian ia melihat keluar lewat lubang dinding itu, dilihatnya seorang anak muda yang lain telah terbaring pula.
Namun orang itu terkejut bukan buatan ketika ia melihat Niskara juga terbaring di luar rumah tidak terlalu jauh dari anak muda yang juga terbaring di luar itu. Dengan cepat ia merunduk lewat lubang dinding itu keluar. Ketika ia berjongkok di sebelah Niskara, maka dilihatnya tubuh itu terkoyak mengerikan. Luka-luka yang parah terdapat hampir di seluruh tubuhnya.
"Siapa yang telah memperlakukan Niskara seperti ini?" pertanyaan itu pun telah bergejolak di dalam hatinya. Tetapi orang itu pun harus menjadi sangat berhati-hati. Niskara memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kemampuannya. Tetapi ia gagal mempertahankan hidupnya. Justru dengan luka yang sangat parah.
Tetapi kawan Niskara itu tidak yakin bahwa luka-luka itu adalah luka-luka senjata. Luka-luka itu menurut pengamatannya seakan-akan luka oleh kuku-kuku dan taring binatang buas.
"Tetapi dimana ada binatang buas di sini?" orang itu bertanya di dalam hatinya.
Karena itulah, maka orang itu pun segera mengambil keputusan untuk mengambil pusaka-pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah. Dengan senjata teracu ia kemudian meninggalkan Niskara dengan sangat berhati-hati. Karena Niskara telah mati, maka ia tidak akan berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya. Apalagi kedua orang anak muda itu mungkin pingsan. Jika mereka sadar, maka ia harus bertempur lagi melawan keduanya.
Karena itu, maka kawan Niskara itu pun segera menyuruk kembali masuk ke dalam rumah. Perlahan-lahan ia melangkah ke bilik tempat pusaka-pusaka itu mungkin disimpan. Ketika angin bertiup menyingkap tirai di pintu bilik sebelah, maka nampak sebuah ploncon dengan pusaka-pusaka yang tentu pusaka yang dicarinya. Dalam keremangan lampu yang redup, orang itu melihat beberapa batang tombak dan songsong berdiri tegak pada ploncon itu.
Orang itu tidak berpikir panjang. Dengan serta-merta orang itu meloncat masuk ke dalam bilik yang redup itu. Tetapi orang itu terkejut bukan buatan. Demikian ia berdiri di dalam bilik itu, maka dilihatnya dua ekor harimau menggeram siap untuk menerkamnya. Dengan cepat orang itu meloncat mundur. Namun kedua ekor harimau itu telah mengikutinya, keluar dari bilik itu.
Orang itu bukan seorang penakut. Seandainya ia harus berkelahi melawan seekor dari kedua harimau yang besar itu, ia tidak akan gentar. Tetapi melawan dua ekor harimau yang besar dan garang itu, maka nasibnya tentu tidak akan lebih baik dari Niskara yang telah terbunuh itu.
Dalam waktu yang pendek itu otaknya bekerja dengan cepat. Ia akan memancing harimau itu keluar rumah dan membawanya ke halaman. Jika harimau itu berada di halaman, maka harimau itu tentu tidak akan dapat memilih siapakah yang akan dilawannya.
Meskipun demikian sekilas timbul keheranan di dalam hatinya, bahwa kedua ekor harimau itu tidak berbuat apa-apa terhadap kedua orang anak muda yang pingsan itu. Tetapi ia tidak sempat berpikir panjang. Dengan cepat ia meloncat keluar pintu rumah dan berlari ke halaman.
"Kenapa kau berlari-lari he?" Kiai Windu Kusuma berteriak "Dimana Niskara?"
Orang itu berhenti sejenak. Ternyata kedua ekor harimau itu tidak mengejarnya. Satu pun di antara keduanya tidak ada yang nampak keluar pintu depan rumah itu.
"He, dimana Niskara?" sekali lagi Kiai Windu Kusuma yang masih bertempur melawan Kiai Gumrah itu berteriak.
Terdengar Kiai Gumrah tertawa. Ia memanfaatkan keadaan itu untuk mempengaruhi lawannya. Katanya "Nah, ternyata Niskara tidak dapat mengalahkan kedua orang cucuku itu”
"Tidak" teriak orang itu yang masih berdiri termangu-mangu beberapa langkah di depan pintu. "Kedua anak muda itu terbaring diam di rumah itu. Mungkin ia pingsan atau mati atau pingsan sampai mati”
"Jika demikian kenapa kau berlari-lari keluar?" bertanya Kiai Gumrah.
“Ternyata di dalam rumah terdapat harimau jadi-jadian. Atau pusaka-pusaka itu dapat berwujud harimau. Ada dua ekor harimau di bilik penyimpanan pusaka itu” teriak orang itu dengan suara bergetar. Masih terasa betapa jantungnya menjadi ngeri melihat kedua ekor harimau itu.
Yang mendengarkan teriakan orang itu menjadi terkejut karenanya. Bahkan Kiai Gumrah dan kawan-kawannya pun terkejut pula. Kiai Gumrah yang tinggal di rumah itu tidak pernah melihat ada seekor harimau. Apalagi di dalam rumahnya. Ia juga tidak percaya bahwa pusaka-pusaka itu dapat berubah menjadi harimau atau dari dalamnya keluar seekor harimau atau bahkan lebih.
Namun dalam pada itu, pertempuran itu masih berlangsung. Seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang harus bertempur menghadapi seorang kawan Kiai Gumrah telah mengalami kesulitan. Sejak kawannya meninggalkannya masuk mencari Niskara, maka ia lebih banyak berlari-lari menghindar. Kadang-kadang bahkan ia harus berputar-putar mengelilingi pohon-pohon besar dan perdu untuk menyelamatkan diri.
Karena kawannya yang berlari keluar dari rumah itu masih saja termangu-mangu, sementara kulitnya telah mulai tergores ujung senjata lawannya, maka ia segera berteriak "He, jangan tidur di situ. Kau menunggu jantungku koyak?"
Orang itu pun segera menyadarinya. Karena itu, maka ia pun segera berlari menggabungkan diri dengan kawannya yang ditinggalkannya. Namun keadaan keselamatan pertempuran itu sudah berubah. Kawan-kawan Kiai Gumrah sudah mulai menekan lawan-lawannya. Bahkan yang melawan kedua orang pengikut Kiai Windu Kusuma itu pun telah berhasil menekan lawannya.
Meskipun lawannya bertempur berpasangan, namun kemampuannya memang masih belum setingkat dengan Niskara yang terbunuh itu. Ternyata Kiai Windu Kusuma mulai mempertimbangkan keadaan. Ia sendiri merasa tidak akan dapat mengatasi Kiai Gumrah. Bahkan semakin lama maka tekanan Kiai Gumrah itu pun terasa menjadi semakin berat. Apalagi dengan ceritera tentang kedua ekor harimau itu.
"Jika harimau itu mampu memilih lawan, maka persoalannya akan menjadi lain" berkata Kiai Windu Kusuma di dalam hatinya. Meskipun demikian untuk beberapa saat ia masih mencoba untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi Kiai Gumrah pun telah sampai ketataran yang lebih tinggi pula.
Bagaimana pun juga, maka Kiai Windu Kusuma tidak akan dapat mengalahkan lawannya. Kecuali jika ia mencoba untuk mempergunakan ilmu puncaknya. Meskipun demikian maka Kiai Windu Kusuma itu pun yakin bahwa Kiai Gumrah pun tentu memiliki ilmu simpanannya.
Ternyata kehadirannya di rumah itu telah disambut oleh kekuatan di luar perhitungannya. Meskipun ia memang menduga bahwa Kiai Gumrah tidak sendiri, tetapi ia tidak mengira bahwa ada empat orang berilmu tinggi di rumah itu selain kedua orang cucu Kiai Gumrah.
Memang timbul niat Kiai Windu Kusuma untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan tuntas. Ia sudah siap mempertaruhkan hidup dan matinya untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu. Namun ketika dalam kegelapan malam di halaman samping ia sempat melihat dua pasang sinar yang kehijau-hijauan, maka Kiai Windu Kusuma memang harus berpikir ulang.
Kiai Windu Kusuma sadar, bahwa sinar kehijauan yang dua pasang memancar dalam kegelapan itu tentu mata dua ekor harimau sebagaimana dikatakan oleh salah seorang pengikutnya itu. Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma harus membuat perhitungan yang cermat.
Sementara itu Putut Sempada yang bertempur melawan kawan Kiai Gumrah yang disebut juragan gula itu pun berkata "Jadi kalian menyimpan harimau jadi-jadian di rumah ini? Harimau seperti itu memang berarti untuk satu saat. Tetapi pada kesempatan lain, setelah kami tahu bahwa di sini ada harimau jadi-jadian, maka kalian tidak akan sempat berbuat sesuatu lagi”
Juragan gula itu tidak menjawab. Ia memang ikut bingung menanggapi persoalan harimau yang ada di rumah itu. Ia pun melihat bulatan-bulatan cahaya kehijauan di kegelapan. Juragan gula itu juga mengira bahwa yang bercahaya itu bukan sekedar mata kucing. Tetapi tentu mata harimau.
"Kiai Gumrah belum pernah berceritera tentang harimau itu" berkata juragan gula itu di dalam hatinya.
Bahkan Kiai Gumrah sendiri menjadi gelisah melihat dua pasang mata harimau di halaman samping rumahnya. Ia sendiri tidak tahu sama sekali tentang harimau-harimau itu. Bahkan Kiai Gumrah juga memikirkan kemungkinan buruk atas Manggada dan Laksana yang mungkin pingsan. Jika mereka masih mempunyai kesempatan hidup, maka harimau-harimau itu akan dapat mengoyakkan tubuhnya.
Ternyata kebingungan itu membuat mereka yang sedang bertempur itu tidak lagi memusatkan perhatian mereka. Kiai Windu Kusuma, Putut Sempada, para pengikut Kiai Windu Kusuma yang lain menganggap bahwa harimau-harimau itu adalah semacam harimau jadi-jadian yang dapat membantu Kiai Gumrah.
Jika demikian maka keadaan mereka benar-benar akan menjadi semakin sulit. Tanpa harimau-harimau itu mereka merasa bahwa tidak mudah menundukkan orang-orang tua itu. Apalagi dengan harimau jadi-jadian.
Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma itu tiba-tiba saja berkata lantang "He, Kiai Gumrah. Itukah yang kau sebut pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa? Ternyata kau pun bertumpu pada kekuatan iblis. He, apakah harimau jadi-jadian bukan salah satu ujud kekuatan hitam?"
Kiai Gumrah tidak mau menerima tuduhan itu. Katanya "Aku tidak pernah berhubungan dengan iblis”
"Jadi, apa artinya harimau-harimau itu? Seandainya pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau, itukah yang kau maksudkan?"
"Tidak” jawab Kiai Gumrah "Tetapi jika harimau-harimau itu datang dari hutan karena kebingungan dan di sini mereka menemukan Niskara dan membunuhnya, itu harus kau renungkan”
"Omong kosong!” geram Kiai Windu Kusuma "Tetapi baiklah. Pada kesempatan lain, aku akan datang dan siap melawan harimau jadi-jadianmu. Kau akan menyesal bahwa kau ternyata tidak jujur dan licik”
Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun kemudian terdengar isyarat dari Kiai Windu Kusuma. Isyarat agar para pengikutnya mengundurkan diri dari halaman rumah Kiai Gumrah. Sambil bergeser ke regol halaman, Kiai Windu Kusuma dan para pengikutnya berusaha untuk dapat melepaskan diri dari keempat orang tua yang mempertahankan pusaka-pusaka itu.
Sementara Kiai Gumrah dan kawan-kawannya masih saja memikirkan nasib Manggada dan Laksana. Karena itu, ketika kemudian Kiai Windu Kusuma meloncat meninggalkan halaman itu. Kiai Gumrah tidak mengejarnya. Bahkan ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya agar mereka tidak mengejar orang-orang yang melarikan diri dari halaman rumahnya. Ada yang meloncat keluar dari regol, tetapi ada pula yang memanjat dinding halaman yang memang tidak terlalu tinggi.
Demikian orang-orang itu pergi, maka tanpa berjanji Kiai Gumrah dan kawan-kawannya telah berlari ke pintu rumah. Namun Kiai Gumrah dan kawan-kawannya tidak meninggalkan kewaspadaan. Harimau yang semula ada di halaman, namun kemudian sinar mata itu bagaikan padam, justru mungkin telah ada di dalam rumah itu kembali. Mungkin harimau-harimau itu siap untuk menerkam mereka berempat demikian mereka masuk. Tetapi keempat orang itu tidak melihat sesuatu. Mereka tidak melihat harimau. Yang mereka temukan adalah Laksana yang telah mulai sadar kembali.
"Anak itu pingsan" desis Kiai Gumrah.
Sambil berjongkok disisi Laksana Kiai Gumrah bertanya "Dimana Manggada?"
Laksana termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi. "Aku masih melihat ia bertahan" desis Laksana. Tiba-tiba saja mereka mendengar seorang di antara kawan Kiai Gumrah itu berkata "Ia ada di sini...”
Mereka pun dengan tergesa-gesa telah berlari kearah suara itu, menyusup dinding yang terkoyak dan sebenarnyalah mereka menemukan Manggada yang juga sudah mulai sadar. Laksana yang baru sadar itu pun telah ikut pula berlari. Ia menarik nafas panjang ketika ia melihat Manggada pun telah duduk pula. Tetapi mereka terkejut pula ketika mereka melihat tubuh seseorang terbaring tidak jauh dari Manggada.
"Itulah orang yang disebut Niskara" desis Kiai Gumrah.
"Ya" jawab seorang kawannya yang sedang mengamati tubuh yang terbaring diam dengan luka yang sangat parah itu.
Ketika orang-orang itu menyaksikan luka-luka di tubuh Niskara itu, maka mereka sepakat bahwa luka-luka itu adalah bekas kuku-kuku dan taring harimau.
"Jika hanya seekor harimau, mungkin Niskara akan dapat mengatasinya. Tetapi dua ekor harimau yang besar dan kuat di malam yang gelap. Bahkan mungkin tiba-tiba.” berkata Kiai Gumrah sambil memandang berkeliling.
"Harimau-harimau itu ada di dekat tempat ini. Dari halaman depan kita melihat cahaya matanya yang kehijau-hijauan” berkata salah seorang tamu Kiai Gumrah itu.
"Ya" jawab juragan gula itu "Tetapi aku tidak melihatnya sekarang. Mungkin harimau-harimau itu bersembunyi. Dengan tiba-tiba mereka akan meloncat menerkam kita”
"Apakah kita juga akan menjadi ketakutan?" bertanya Kiai Gumrah.
Juragan gula itu tertawa. Katanya "Harimau itulah yang menjadi ketakutan”
"Ya. Apalagi setelah mendengar suaramu. Jauh lebih garang dari aum seekor harimau" berkata salah seorang yang lain.
Orang-orang tua itu sempat tertawa. Namun kemudian Kiai Gumrah teringat kepada Manggada dan Laksana yang baru saja sadar dari pingsan. Sambil mendekati kedua orang anak yang termangu-mangu itu, Kiai Gumrah pun bertanya "Apakah kau melihat seekor atau dua ekor harimau di dalam atau di luar rumah ini?"
"Tidak kek" jawab Manggada "yang aku ingat adalah, aku terlempar keluar. Sesudah itu semuanya gelap!”
"Manggada" desis juragan gula itu "Kau lihat, seorang di antara mereka yang datang ke rumah ini adalah yang terbunuh itu. Menilik lukanya, tentu bukan luka karena senjata. Luka itu adalah bekas kuku dan taring harimau yang garang. Sementara itu seorang yang lain telah melihat dua ekor harimau di rumah ini. Sehingga dengan demikian mereka tidak sempat mengambil pusaka-pusaka itu meskipun kalian berdua sudah pingsan”
Manggada termangu-mangu sejenak. Sementara Kiai Gumrah pun bertanya kepada Laksana "Apakah kau juga tidak melihat?"
"Tidak kek" jawab Laksana "aku pun menjadi pingsan. Kami berdua tidak mampu menahan orang yang datang untuk mengambil pusaka itu. Tetapi agaknya orang itu gagal karena orang itu justru terbunuh”
"Baiklah. Kita dihadapkan pada satu teka-teki. Tetapi Kiai Windu Kusuma yang agaknya bersumber pada ilmu hitam itu justru mengira bahwa harimau itu adalah harimau jadi-jadian”
Para Tamu Kiai Gumrah pun mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih saja berusaha untuk mengamati keadaan. Seorang di antara mereka telah melihat beberapa batang pohon perdu yang rusak. Ia pun melihat jejak kaki. Kaki harimau.
"Memang ada dua ekor harimau" desis orang itu.
"Baiklah" berkata Kiai Gumrah "Tetapi bagaimana dengan tubuh Niskara ini”
"Bukan kita yang membunuhnya" berkata juragan gula itu.
"Kita kuburkan saja di sudut kebun belakang. Jika ada orang yang melihat, maka akan menjadi persoalan yang berkepanjangan. Apalagi ceritera tentang harimau itu tentu akan segera menjalar ke seluruh padukuhan dan bahkan seluruh Kademangan” berkata seorang yang lain.
Kiai Gumrah pun sependapat. Karena itu, maka mereka telah menggali lubang kubur buat Niskara di sudut halaman belakang rumah itu. Malam yang tersisa itu pun telah diliputi suasana yang lain. Keempat orang tua itu tidak berkelakar lagi seperti sebelum mereka bertempur. Meskipun sekali-sekali masih terdengar mereka tertawa, tetapi tidak meledak-ledak lagi.
Manggada dan Laksana pun tidak lagi berada di dapur. Mereka juga berada di ruang dalam bersama dengan orang-orang tua itu. Untuk sementara dinding yang koyak itu ditautkan dan diikat saja dengan tali ijuk yang sering dipergunakan oleh Kiai Gumrah mengikat keranjang-keranjang gula.
Juragan gula itu pun ternyata menaruh perhatian yang besar kepada Manggada dan Laksana. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, "Ngger, kau telah melihat sendiri apa yang terjadi di sini. Bahkan ikut pula bermain dua ekor harimau yang tidak diketahui asal-usulnya. Di padukuhan ini sebelumnya kami tidak pernah menemukan seekor harimau pun. Bahkan kucing hutan pun tidak, meskipun di sebelah bulak panjang itu terdapat padang perdu yang langsung berhubungan dengan hutan yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi terhitung hutan yang buas. Dan kini, tiba-tiba saja di rumah ini dua ekor harimau. Karena itu, ngger. Sebaiknya kalian berdua mempertimbangkan kemungkinan untuk meninggalkan tempat ini. Bukankah kalian datang ke rumah ini sekedar untuk bermalam? Seandainya malam itu angger berada di banjar, bukankah angger tidak akan tetap berada di banjar sampai sekarang ini?"
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun dengan nada rendah Manggada berkata "Kami mohon maaf bahwa kami masih tetap tinggal. Sebenarnyalah bahwa kami merasa semakin terikat dengan rumah ini. Kami sudah terlanjur terlibat. Setidak-tidaknya menurut pendapat kami sendiri”
"Ngger" berkata Kiai Gumrah "Seharusnya kau tidak lagi bertahan di rumah ini. Kau tentu melihat, betapa aku selama ini berusaha membohongimu. Aku tidak bersikap terbuka terhadap kalian berdua meskipun kalian dengan ikhlas berusaha membantu kami. Dengan demikian, sepantasnya kalian menjadi curiga kepadaku sehingga kalian tidak lagi percaya kepadaku”
"Kiai..." berkata Manggada kemudian "Aku tahu bahwa tidak semua hal dapat Kiai katakan kepada orang lain, termasuk kepada kami berdua. Tetapi bagaimana pun juga, kami merasa wajib untuk membantu Kiai. Meskipun pengertian membantu itu sesungguhnya tidak lebih dari beban bagi Kiai dan yang lain”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apa boleh buat. Tetapi kau sudah melihat bahaya yang mengancam rumah ini. Meskipun demikian aku ingin menjelaskan, bahwa dua ekor harimau itu tidak termasuk permainan kami. Kami benar-benar tidak tahu, bahwa kedua ekor harimau itu ada dan bahkan seakan-akan telah membantu melindungi pusaka-pusaka itu atau bahkan pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka sama sekali tidak melihat harimau itu karena mereka menjadi pingsan. Tetapi mereka melihat jejak harimau itu. Dan harimau itu tidak hilang di dalam bilik penyimpanan pusaka. Tetapi jejaknya menuju ke sudut halaman dan kemudian jejak itu seakan-akan telah hilang...
Kawan-kawan Kiai Gumrah itu sebenarnya sudah mendengar bagaimana kekerasan hati kedua anak muda yang terdampar di rumahnya. Meski pun keduanya tidak mempunyai sangkut paut dengan Kiai Gumrah, apalagi pusaka-pusaka itu, namun keduanya telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantunya.
Karena itu, baik Kiai Gumrah mau pun ketiga orang kawannya tentu tidak akan sampai hati membiarkan kedua orang anak muda itu mengalami kesulitan. Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menolong mereka karena mereka sedang terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Namun setelah menjajagi ilmunya beberapa saat, salah seorang kawan Kiai Gumrah yang bertempur melawan dua orang lawan itu berkata lantang "He, aku akan meninggalkan orang-orang itu. Biarlah keduanya menempatkan diri untuk melawan salah seorang dari kalian. Aku akan melihat apa yang terjadi di dalam”
"Lakukanlah" sahut Kiai Gumrah sambil bertempur melawan Kiai Windu Kusuma. Meski pun Kiai Windu Kusuma berilmu sangat tinggi, jika kedua orang itu bergabung bersamanya, maka Kiai Gumrah masih berharap untuk dapat bertahan beberapa lama meski pun ia harus berlari-lari berputaran di halaman. Sementara itu, ia berharap bahwa kawannya itu akan dapat segera menyelesaikan orang yang disebut Niskara itu.
Namun dalam pada itu, kawan Kiai Gumrah yang akan meninggalkan kedua lawannya itu justru tertegun. Karena kedua lawannya masih saja menyerangnya dan seakan-akan tidak ingin melepaskannya, maka kawan Kiai Gumrah itu masih harus berloncatan menghindar. Bahkan kedua orang lawannya itu dengan sengaja menahan agar orang itu tidak dapat meninggalkan mereka.
Sementara keempat orang tua-tua itu masih bertempur dengan sengitnya, maka di dalam rumah itu, Manggada dan Laksana benar-benar tidak mampu berbuat banyak menghadapi Niskara. Meskipun Niskara itu masih belum mempergunakan senjatanya, namun Manggada dan Laksana berkali-kali terdorong dan terbanting jatuh. Bahkan kemudian keduanya menjadi semakin tidak berdaya.
Ketika kepala Laksana membentur tiang, maka seisi rumah itu rasa-rasanya menjadi berputar. Hanya karena ketahanannya saja, ia masih tetap sadar. Meskipun demikian ketika ia berusaha untuk bangkit, ia justru terhuyung-huyung kehilangan keseimbangannya. Meskipun Laksana mencoba berpegangan tiang, tetapi ia pun jatuh terduduk. Pedangnya telah terlepas dari tangannya, sementara nafasnya menjadi sesak.
Sementara itu Manggada pun tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dengan kerasnya Manggada terlempar ketika kaki Niskara itu mengenai pundaknya. Demikian kerasnya sehingga Manggada membentur dinding dan bahkan dinding itu telah terkoyak. Manggada yang terlempar itu terjatuh keluar rumah. Tetapi tidak di halaman depan. Manggada berguling beberapa kali di halaman samping. Kepalanya yang membentur dinding sehingga koyak itu menjadi pening. Matanya berkunang-kunang dan kemudian menjadi gelap. Hampir bersamaan kedua orang anak muda itu menjadi pingsan.
Sementara itu pertempuran di halaman masih berlangsung dengan sengitnya. Kiai Gumrah dengan ketiga orang kawannya yang gelisah itu telah meningkatkan kemampuan mereka. Namun lawan-lawan mereka pun berbuat serupa pula, sehingga karena itu, maka pertempuran itu benar-benar menjadi pertempuran yang seru di antara orang-orang berilmu tinggi.
Kiai Windu Kusuma yang berhadapan dengan Kiai Gumrah, ternyata juga menjadi gelisah. Ia berharap agar Niskara dapat menguasai pusaka-pusaka itu dengan cepat. Namun ternyata Niskara masih juga belum keluar dari rumah itu dengan membawa pusaka-pusaka yang diinginkannya.
Justru karena itu, maka dua orang berilmu tinggi itu bertempur dalam kegelisahan mereka masing-masing. Kiai Gumrah gelisah karena Manggada dan Laksana yang keras hati, keduanya tentu tidak akan begitu saja meninggalkan pusaka-pusaka itu meskipun lawannya dapat mengancam jiwanya. Sementara itu, kawan-kawannya dan bahkan dirinya sendiri tentu tidak akan dapat dengan mudah meninggalkan lawan-lawannya.
Sedangkan Kiai Windu Kusuma menjadi gelisah karena Niskara tidak segera keluar dari rumah dengan membawa pusaka-pusaka yang mereka kehendaki. Menurut perhitungan Kiai Windu Kusuma. Niskara akan dapat dengan mudah menyelesaikan kedua orang anak muda yang ada di dalam yang kemampuannya masih sangat dasar sebagaimana dilaporkan oleh dua orang yang telah datang lebih dahulu ke rumah itu.
Kiai Windu Kusuma untuk sementara masih menahan diri. Ia mencoba untuk mengerahkan kemampuannya serta memusatkan nalar budinya menghadapi Kiai Gumrah. Tetapi kegelisahannya itu seakan-akan tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka ia pun berteriak, "He, lihat, apakah Niskara justru tidur di dalam atau ia telah berkhianat dan membawa pusaka-pusaka itu pergi melalui pintu butulan”
Untuk sesaat masih belum ada yang meninggalkan arena pertempuran itu. Dua orang kawan Kiai Gumrah yang masing-masing harus menghadapi dua orang sekaligus telah mengerahkan ilmunya. Mereka mencoba untuk menahan salah seorang dari lawannya yang akan meninggalkan arena. Tetapi karena lawannya juga menghentakkan kemampuan mereka, maka kedua orang kawan Kiai Gumrah itu justru terdesak surut.
Justru pada saat itu seorang dari mereka telah meloncat meninggalkan salah seorang kawan Kiai Gumrah itu dan berlari ke pintu rumah Kiai Gumrah. Sementara itu seorang kawannya harus bertempur seorang melawan seorang dengan kawan Kiai Gumrah itu. Orang itu memang segera terdesak. Tetapi ia masih mempunyai beberapa cara untuk mempertahankan hidupnya.
Halaman rumah Kiai Gumrah ternyata cukup luas untuk menghindar disaat-saat yang sulit. Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan dapat dipergunakan untuk sekedar menyelamatkan diri pada saat-saat yang paling gawat.
Demikianlah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang memasuki rumah Kiai Gumrah itu pun langsung menuju ke ruang dalam. Dilihatnya seorang anak muda yang pingsan terbaring dilantai. Kemudian dilihatnya pula dinding bambu yang koyak. Demikian ia melihat keluar lewat lubang dinding itu, dilihatnya seorang anak muda yang lain telah terbaring pula.
Namun orang itu terkejut bukan buatan ketika ia melihat Niskara juga terbaring di luar rumah tidak terlalu jauh dari anak muda yang juga terbaring di luar itu. Dengan cepat ia merunduk lewat lubang dinding itu keluar. Ketika ia berjongkok di sebelah Niskara, maka dilihatnya tubuh itu terkoyak mengerikan. Luka-luka yang parah terdapat hampir di seluruh tubuhnya.
"Siapa yang telah memperlakukan Niskara seperti ini?" pertanyaan itu pun telah bergejolak di dalam hatinya. Tetapi orang itu pun harus menjadi sangat berhati-hati. Niskara memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kemampuannya. Tetapi ia gagal mempertahankan hidupnya. Justru dengan luka yang sangat parah.
Tetapi kawan Niskara itu tidak yakin bahwa luka-luka itu adalah luka-luka senjata. Luka-luka itu menurut pengamatannya seakan-akan luka oleh kuku-kuku dan taring binatang buas.
"Tetapi dimana ada binatang buas di sini?" orang itu bertanya di dalam hatinya.
Karena itulah, maka orang itu pun segera mengambil keputusan untuk mengambil pusaka-pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah. Dengan senjata teracu ia kemudian meninggalkan Niskara dengan sangat berhati-hati. Karena Niskara telah mati, maka ia tidak akan berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya. Apalagi kedua orang anak muda itu mungkin pingsan. Jika mereka sadar, maka ia harus bertempur lagi melawan keduanya.
Karena itu, maka kawan Niskara itu pun segera menyuruk kembali masuk ke dalam rumah. Perlahan-lahan ia melangkah ke bilik tempat pusaka-pusaka itu mungkin disimpan. Ketika angin bertiup menyingkap tirai di pintu bilik sebelah, maka nampak sebuah ploncon dengan pusaka-pusaka yang tentu pusaka yang dicarinya. Dalam keremangan lampu yang redup, orang itu melihat beberapa batang tombak dan songsong berdiri tegak pada ploncon itu.
Orang itu tidak berpikir panjang. Dengan serta-merta orang itu meloncat masuk ke dalam bilik yang redup itu. Tetapi orang itu terkejut bukan buatan. Demikian ia berdiri di dalam bilik itu, maka dilihatnya dua ekor harimau menggeram siap untuk menerkamnya. Dengan cepat orang itu meloncat mundur. Namun kedua ekor harimau itu telah mengikutinya, keluar dari bilik itu.
Orang itu bukan seorang penakut. Seandainya ia harus berkelahi melawan seekor dari kedua harimau yang besar itu, ia tidak akan gentar. Tetapi melawan dua ekor harimau yang besar dan garang itu, maka nasibnya tentu tidak akan lebih baik dari Niskara yang telah terbunuh itu.
Dalam waktu yang pendek itu otaknya bekerja dengan cepat. Ia akan memancing harimau itu keluar rumah dan membawanya ke halaman. Jika harimau itu berada di halaman, maka harimau itu tentu tidak akan dapat memilih siapakah yang akan dilawannya.
Meskipun demikian sekilas timbul keheranan di dalam hatinya, bahwa kedua ekor harimau itu tidak berbuat apa-apa terhadap kedua orang anak muda yang pingsan itu. Tetapi ia tidak sempat berpikir panjang. Dengan cepat ia meloncat keluar pintu rumah dan berlari ke halaman.
"Kenapa kau berlari-lari he?" Kiai Windu Kusuma berteriak "Dimana Niskara?"
Orang itu berhenti sejenak. Ternyata kedua ekor harimau itu tidak mengejarnya. Satu pun di antara keduanya tidak ada yang nampak keluar pintu depan rumah itu.
"He, dimana Niskara?" sekali lagi Kiai Windu Kusuma yang masih bertempur melawan Kiai Gumrah itu berteriak.
Terdengar Kiai Gumrah tertawa. Ia memanfaatkan keadaan itu untuk mempengaruhi lawannya. Katanya "Nah, ternyata Niskara tidak dapat mengalahkan kedua orang cucuku itu”
"Tidak" teriak orang itu yang masih berdiri termangu-mangu beberapa langkah di depan pintu. "Kedua anak muda itu terbaring diam di rumah itu. Mungkin ia pingsan atau mati atau pingsan sampai mati”
"Jika demikian kenapa kau berlari-lari keluar?" bertanya Kiai Gumrah.
“Ternyata di dalam rumah terdapat harimau jadi-jadian. Atau pusaka-pusaka itu dapat berwujud harimau. Ada dua ekor harimau di bilik penyimpanan pusaka itu” teriak orang itu dengan suara bergetar. Masih terasa betapa jantungnya menjadi ngeri melihat kedua ekor harimau itu.
Yang mendengarkan teriakan orang itu menjadi terkejut karenanya. Bahkan Kiai Gumrah dan kawan-kawannya pun terkejut pula. Kiai Gumrah yang tinggal di rumah itu tidak pernah melihat ada seekor harimau. Apalagi di dalam rumahnya. Ia juga tidak percaya bahwa pusaka-pusaka itu dapat berubah menjadi harimau atau dari dalamnya keluar seekor harimau atau bahkan lebih.
Namun dalam pada itu, pertempuran itu masih berlangsung. Seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang harus bertempur menghadapi seorang kawan Kiai Gumrah telah mengalami kesulitan. Sejak kawannya meninggalkannya masuk mencari Niskara, maka ia lebih banyak berlari-lari menghindar. Kadang-kadang bahkan ia harus berputar-putar mengelilingi pohon-pohon besar dan perdu untuk menyelamatkan diri.
Karena kawannya yang berlari keluar dari rumah itu masih saja termangu-mangu, sementara kulitnya telah mulai tergores ujung senjata lawannya, maka ia segera berteriak "He, jangan tidur di situ. Kau menunggu jantungku koyak?"
Orang itu pun segera menyadarinya. Karena itu, maka ia pun segera berlari menggabungkan diri dengan kawannya yang ditinggalkannya. Namun keadaan keselamatan pertempuran itu sudah berubah. Kawan-kawan Kiai Gumrah sudah mulai menekan lawan-lawannya. Bahkan yang melawan kedua orang pengikut Kiai Windu Kusuma itu pun telah berhasil menekan lawannya.
Meskipun lawannya bertempur berpasangan, namun kemampuannya memang masih belum setingkat dengan Niskara yang terbunuh itu. Ternyata Kiai Windu Kusuma mulai mempertimbangkan keadaan. Ia sendiri merasa tidak akan dapat mengatasi Kiai Gumrah. Bahkan semakin lama maka tekanan Kiai Gumrah itu pun terasa menjadi semakin berat. Apalagi dengan ceritera tentang kedua ekor harimau itu.
"Jika harimau itu mampu memilih lawan, maka persoalannya akan menjadi lain" berkata Kiai Windu Kusuma di dalam hatinya. Meskipun demikian untuk beberapa saat ia masih mencoba untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi Kiai Gumrah pun telah sampai ketataran yang lebih tinggi pula.
Bagaimana pun juga, maka Kiai Windu Kusuma tidak akan dapat mengalahkan lawannya. Kecuali jika ia mencoba untuk mempergunakan ilmu puncaknya. Meskipun demikian maka Kiai Windu Kusuma itu pun yakin bahwa Kiai Gumrah pun tentu memiliki ilmu simpanannya.
Ternyata kehadirannya di rumah itu telah disambut oleh kekuatan di luar perhitungannya. Meskipun ia memang menduga bahwa Kiai Gumrah tidak sendiri, tetapi ia tidak mengira bahwa ada empat orang berilmu tinggi di rumah itu selain kedua orang cucu Kiai Gumrah.
Memang timbul niat Kiai Windu Kusuma untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan tuntas. Ia sudah siap mempertaruhkan hidup dan matinya untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu. Namun ketika dalam kegelapan malam di halaman samping ia sempat melihat dua pasang sinar yang kehijau-hijauan, maka Kiai Windu Kusuma memang harus berpikir ulang.
Kiai Windu Kusuma sadar, bahwa sinar kehijauan yang dua pasang memancar dalam kegelapan itu tentu mata dua ekor harimau sebagaimana dikatakan oleh salah seorang pengikutnya itu. Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma harus membuat perhitungan yang cermat.
Sementara itu Putut Sempada yang bertempur melawan kawan Kiai Gumrah yang disebut juragan gula itu pun berkata "Jadi kalian menyimpan harimau jadi-jadian di rumah ini? Harimau seperti itu memang berarti untuk satu saat. Tetapi pada kesempatan lain, setelah kami tahu bahwa di sini ada harimau jadi-jadian, maka kalian tidak akan sempat berbuat sesuatu lagi”
Juragan gula itu tidak menjawab. Ia memang ikut bingung menanggapi persoalan harimau yang ada di rumah itu. Ia pun melihat bulatan-bulatan cahaya kehijauan di kegelapan. Juragan gula itu juga mengira bahwa yang bercahaya itu bukan sekedar mata kucing. Tetapi tentu mata harimau.
"Kiai Gumrah belum pernah berceritera tentang harimau itu" berkata juragan gula itu di dalam hatinya.
Bahkan Kiai Gumrah sendiri menjadi gelisah melihat dua pasang mata harimau di halaman samping rumahnya. Ia sendiri tidak tahu sama sekali tentang harimau-harimau itu. Bahkan Kiai Gumrah juga memikirkan kemungkinan buruk atas Manggada dan Laksana yang mungkin pingsan. Jika mereka masih mempunyai kesempatan hidup, maka harimau-harimau itu akan dapat mengoyakkan tubuhnya.
Ternyata kebingungan itu membuat mereka yang sedang bertempur itu tidak lagi memusatkan perhatian mereka. Kiai Windu Kusuma, Putut Sempada, para pengikut Kiai Windu Kusuma yang lain menganggap bahwa harimau-harimau itu adalah semacam harimau jadi-jadian yang dapat membantu Kiai Gumrah.
Jika demikian maka keadaan mereka benar-benar akan menjadi semakin sulit. Tanpa harimau-harimau itu mereka merasa bahwa tidak mudah menundukkan orang-orang tua itu. Apalagi dengan harimau jadi-jadian.
Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma itu tiba-tiba saja berkata lantang "He, Kiai Gumrah. Itukah yang kau sebut pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa? Ternyata kau pun bertumpu pada kekuatan iblis. He, apakah harimau jadi-jadian bukan salah satu ujud kekuatan hitam?"
Kiai Gumrah tidak mau menerima tuduhan itu. Katanya "Aku tidak pernah berhubungan dengan iblis”
"Jadi, apa artinya harimau-harimau itu? Seandainya pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau, itukah yang kau maksudkan?"
"Tidak” jawab Kiai Gumrah "Tetapi jika harimau-harimau itu datang dari hutan karena kebingungan dan di sini mereka menemukan Niskara dan membunuhnya, itu harus kau renungkan”
"Omong kosong!” geram Kiai Windu Kusuma "Tetapi baiklah. Pada kesempatan lain, aku akan datang dan siap melawan harimau jadi-jadianmu. Kau akan menyesal bahwa kau ternyata tidak jujur dan licik”
Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun kemudian terdengar isyarat dari Kiai Windu Kusuma. Isyarat agar para pengikutnya mengundurkan diri dari halaman rumah Kiai Gumrah. Sambil bergeser ke regol halaman, Kiai Windu Kusuma dan para pengikutnya berusaha untuk dapat melepaskan diri dari keempat orang tua yang mempertahankan pusaka-pusaka itu.
Sementara Kiai Gumrah dan kawan-kawannya masih saja memikirkan nasib Manggada dan Laksana. Karena itu, ketika kemudian Kiai Windu Kusuma meloncat meninggalkan halaman itu. Kiai Gumrah tidak mengejarnya. Bahkan ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya agar mereka tidak mengejar orang-orang yang melarikan diri dari halaman rumahnya. Ada yang meloncat keluar dari regol, tetapi ada pula yang memanjat dinding halaman yang memang tidak terlalu tinggi.
Demikian orang-orang itu pergi, maka tanpa berjanji Kiai Gumrah dan kawan-kawannya telah berlari ke pintu rumah. Namun Kiai Gumrah dan kawan-kawannya tidak meninggalkan kewaspadaan. Harimau yang semula ada di halaman, namun kemudian sinar mata itu bagaikan padam, justru mungkin telah ada di dalam rumah itu kembali. Mungkin harimau-harimau itu siap untuk menerkam mereka berempat demikian mereka masuk. Tetapi keempat orang itu tidak melihat sesuatu. Mereka tidak melihat harimau. Yang mereka temukan adalah Laksana yang telah mulai sadar kembali.
"Anak itu pingsan" desis Kiai Gumrah.
Sambil berjongkok disisi Laksana Kiai Gumrah bertanya "Dimana Manggada?"
Laksana termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi. "Aku masih melihat ia bertahan" desis Laksana. Tiba-tiba saja mereka mendengar seorang di antara kawan Kiai Gumrah itu berkata "Ia ada di sini...”
Mereka pun dengan tergesa-gesa telah berlari kearah suara itu, menyusup dinding yang terkoyak dan sebenarnyalah mereka menemukan Manggada yang juga sudah mulai sadar. Laksana yang baru sadar itu pun telah ikut pula berlari. Ia menarik nafas panjang ketika ia melihat Manggada pun telah duduk pula. Tetapi mereka terkejut pula ketika mereka melihat tubuh seseorang terbaring tidak jauh dari Manggada.
"Itulah orang yang disebut Niskara" desis Kiai Gumrah.
"Ya" jawab seorang kawannya yang sedang mengamati tubuh yang terbaring diam dengan luka yang sangat parah itu.
Ketika orang-orang itu menyaksikan luka-luka di tubuh Niskara itu, maka mereka sepakat bahwa luka-luka itu adalah bekas kuku-kuku dan taring harimau.
"Jika hanya seekor harimau, mungkin Niskara akan dapat mengatasinya. Tetapi dua ekor harimau yang besar dan kuat di malam yang gelap. Bahkan mungkin tiba-tiba.” berkata Kiai Gumrah sambil memandang berkeliling.
"Harimau-harimau itu ada di dekat tempat ini. Dari halaman depan kita melihat cahaya matanya yang kehijau-hijauan” berkata salah seorang tamu Kiai Gumrah itu.
"Ya" jawab juragan gula itu "Tetapi aku tidak melihatnya sekarang. Mungkin harimau-harimau itu bersembunyi. Dengan tiba-tiba mereka akan meloncat menerkam kita”
"Apakah kita juga akan menjadi ketakutan?" bertanya Kiai Gumrah.
Juragan gula itu tertawa. Katanya "Harimau itulah yang menjadi ketakutan”
"Ya. Apalagi setelah mendengar suaramu. Jauh lebih garang dari aum seekor harimau" berkata salah seorang yang lain.
Orang-orang tua itu sempat tertawa. Namun kemudian Kiai Gumrah teringat kepada Manggada dan Laksana yang baru saja sadar dari pingsan. Sambil mendekati kedua orang anak yang termangu-mangu itu, Kiai Gumrah pun bertanya "Apakah kau melihat seekor atau dua ekor harimau di dalam atau di luar rumah ini?"
"Tidak kek" jawab Manggada "yang aku ingat adalah, aku terlempar keluar. Sesudah itu semuanya gelap!”
"Manggada" desis juragan gula itu "Kau lihat, seorang di antara mereka yang datang ke rumah ini adalah yang terbunuh itu. Menilik lukanya, tentu bukan luka karena senjata. Luka itu adalah bekas kuku dan taring harimau yang garang. Sementara itu seorang yang lain telah melihat dua ekor harimau di rumah ini. Sehingga dengan demikian mereka tidak sempat mengambil pusaka-pusaka itu meskipun kalian berdua sudah pingsan”
Manggada termangu-mangu sejenak. Sementara Kiai Gumrah pun bertanya kepada Laksana "Apakah kau juga tidak melihat?"
"Tidak kek" jawab Laksana "aku pun menjadi pingsan. Kami berdua tidak mampu menahan orang yang datang untuk mengambil pusaka itu. Tetapi agaknya orang itu gagal karena orang itu justru terbunuh”
"Baiklah. Kita dihadapkan pada satu teka-teki. Tetapi Kiai Windu Kusuma yang agaknya bersumber pada ilmu hitam itu justru mengira bahwa harimau itu adalah harimau jadi-jadian”
Para Tamu Kiai Gumrah pun mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih saja berusaha untuk mengamati keadaan. Seorang di antara mereka telah melihat beberapa batang pohon perdu yang rusak. Ia pun melihat jejak kaki. Kaki harimau.
"Memang ada dua ekor harimau" desis orang itu.
"Baiklah" berkata Kiai Gumrah "Tetapi bagaimana dengan tubuh Niskara ini”
"Bukan kita yang membunuhnya" berkata juragan gula itu.
"Kita kuburkan saja di sudut kebun belakang. Jika ada orang yang melihat, maka akan menjadi persoalan yang berkepanjangan. Apalagi ceritera tentang harimau itu tentu akan segera menjalar ke seluruh padukuhan dan bahkan seluruh Kademangan” berkata seorang yang lain.
Kiai Gumrah pun sependapat. Karena itu, maka mereka telah menggali lubang kubur buat Niskara di sudut halaman belakang rumah itu. Malam yang tersisa itu pun telah diliputi suasana yang lain. Keempat orang tua itu tidak berkelakar lagi seperti sebelum mereka bertempur. Meskipun sekali-sekali masih terdengar mereka tertawa, tetapi tidak meledak-ledak lagi.
Manggada dan Laksana pun tidak lagi berada di dapur. Mereka juga berada di ruang dalam bersama dengan orang-orang tua itu. Untuk sementara dinding yang koyak itu ditautkan dan diikat saja dengan tali ijuk yang sering dipergunakan oleh Kiai Gumrah mengikat keranjang-keranjang gula.
Juragan gula itu pun ternyata menaruh perhatian yang besar kepada Manggada dan Laksana. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, "Ngger, kau telah melihat sendiri apa yang terjadi di sini. Bahkan ikut pula bermain dua ekor harimau yang tidak diketahui asal-usulnya. Di padukuhan ini sebelumnya kami tidak pernah menemukan seekor harimau pun. Bahkan kucing hutan pun tidak, meskipun di sebelah bulak panjang itu terdapat padang perdu yang langsung berhubungan dengan hutan yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi terhitung hutan yang buas. Dan kini, tiba-tiba saja di rumah ini dua ekor harimau. Karena itu, ngger. Sebaiknya kalian berdua mempertimbangkan kemungkinan untuk meninggalkan tempat ini. Bukankah kalian datang ke rumah ini sekedar untuk bermalam? Seandainya malam itu angger berada di banjar, bukankah angger tidak akan tetap berada di banjar sampai sekarang ini?"
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun dengan nada rendah Manggada berkata "Kami mohon maaf bahwa kami masih tetap tinggal. Sebenarnyalah bahwa kami merasa semakin terikat dengan rumah ini. Kami sudah terlanjur terlibat. Setidak-tidaknya menurut pendapat kami sendiri”
"Ngger" berkata Kiai Gumrah "Seharusnya kau tidak lagi bertahan di rumah ini. Kau tentu melihat, betapa aku selama ini berusaha membohongimu. Aku tidak bersikap terbuka terhadap kalian berdua meskipun kalian dengan ikhlas berusaha membantu kami. Dengan demikian, sepantasnya kalian menjadi curiga kepadaku sehingga kalian tidak lagi percaya kepadaku”
"Kiai..." berkata Manggada kemudian "Aku tahu bahwa tidak semua hal dapat Kiai katakan kepada orang lain, termasuk kepada kami berdua. Tetapi bagaimana pun juga, kami merasa wajib untuk membantu Kiai. Meskipun pengertian membantu itu sesungguhnya tidak lebih dari beban bagi Kiai dan yang lain”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apa boleh buat. Tetapi kau sudah melihat bahaya yang mengancam rumah ini. Meskipun demikian aku ingin menjelaskan, bahwa dua ekor harimau itu tidak termasuk permainan kami. Kami benar-benar tidak tahu, bahwa kedua ekor harimau itu ada dan bahkan seakan-akan telah membantu melindungi pusaka-pusaka itu atau bahkan pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka sama sekali tidak melihat harimau itu karena mereka menjadi pingsan. Tetapi mereka melihat jejak harimau itu. Dan harimau itu tidak hilang di dalam bilik penyimpanan pusaka. Tetapi jejaknya menuju ke sudut halaman dan kemudian jejak itu seakan-akan telah hilang...
Selanjutnya, Sang Penerus Bagian 06 |