LAKSANA menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian telah memungut sapu lidi yang ditinggalkan Winih dan menyelesaikan pekerjaan Winih yang tinggal sedikit. Sebagian kecil sampah itu ternyata masih tersisa. Belum seluruhnya masuk ke dalam lubang sampah di sudut halaman itu.
Dalam pada itu, maka Manggada dan Laksana pun telah mencari Kiai Gumrah di kebun. Agaknya Kiai Gumrah juga sudah selesai dengan pekerjaannya. Sambil membawa beberapa buah bumbung legen ia berjalan menuju ke dapur.
Manggada dan Laksana pun telah membantunya membawa bumbung legen itu. Sementara itu Manggada pun berkata "Kek, apakah kami berdua boleh pergi ke pasar?"
"Untuk apa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Winih ingin pergi ke pasar. Ia minta kami mengantarkannya.”
"Ah, anak itu...!" desis Kiai Gumrah "Ia tidak tahu bahaya yang tersembunyi di sekitar keluarga kita!”
"Winih nampaknya ingin sekali pergi ke pasar!” desis Laksana. Lalu katanya "Agaknya ia pun akan minta ijin kepada kakek. Tentu saja juga kepada ayah dan ibunya, karena Winih masih akan minta uang lebih dahulu.”
"Apa yang akan dicarinya di pasar?" bertanya Kiai Gumrah.
"Anak itu ingin berbelanja. Katanya jenis sayuran di pasar jauh lebih banyak dari jenis sayuran yang ada di kebun.” jawab Laksana.
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Biar anak itu minta ijin ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya tentu sudah tahu bahwa kita seluruh keluarga harus berhati-hati.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab lagi. Tetapi ketika mereka sampai di dapur, Winih itu sudah menunggu. Demikian ia melihat Manggada dan Laksana, maka ia pun berkata lantang "He, kalian belum mandi?"
"Apakah kau sudah selesai berbenah diri?" bertanya Manggada.
“Tentu. Aku sudah menunggumu” jawab Winih.
"Apakah kau sudah minta ijin ayah dan ibumu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Sudah kek. Ayah dan ibu tidak berkeberatan. Ibu malahan sudah memberi uang belanja kepadaku”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun, kemudian katanya "Baiklah. Jika kau sudah mendapat ijin ayah dan ibumu” Lalu Kiai Gumrah itu pun berkata kepada Manggada dan Laksana "Kalian harus tetap berhati-hati”
"Ya kek" jawab Manggada.
Tetapi Winih segera memotong "Tetapi mereka belum mandi”
Kiai Gumrah itu pun tersenyum. Katanya "Mandilah”
"Cepat sedikit. Biasanya laki-laki berbenah diri lebih cepat dari perempuan” berkata Winih.
Kiai Gumrah bahkan tertawa. Katanya "Hari masih pagi. Pasar itu tidak akan segera bubar”
"Tetapi sayuran yang segar itu sudah habis” jawab Winih.
"Tentu belum. Tetapi seandainya sudah habis, maka biarlah Manggada dan Laksana memetik sayuran segar dari kebun dan biar mereka membawanya ke pasar. Nah, kau akan dapat membeli sayuran yang masih sangat segar” berkata Kiai Gumrah.
"Ah, kakek mesti bercanda” desis gadis itu.
Sementara itu Manggada dan Laksana tergesa-gesa menyiapkan dirinya. Sementara Winih menunggu di depan. Bahkan hampir saja ia kehilangan kesabaran. Tetapi ketika Manggada dan Laksana selesai berpakaian, maka mereka justru dipanggil oleh Nyi Prawara di dapur. Katanya,
"Kalian belum minum. Nanti minuman ini menjadi dingin”
"Terima kasih Nyi" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng. Tetapi demikian keduanya meneguk minumannya, Winih telah berdiri di pintu sambil berkata “Kalian masih sempat minum. Matahari semakin tinggi”
"Kenapa kau Winih” ibunya yang menyahut “Biarlah mereka minum lebih dahulu. Bukankah hari masih pagi. Justru para penjual sayuran masih belum ada di pasar”
"Kakek kalau pergi ke pasar agak siang" berkata Manggada.
"Tetapi kakek menjual gula. Itu pun sudah ada orang-orang tertentu yang menerimanya sehingga kakek tidak usah menjajakan dagangannya dan menungginya berlama-lama” jawab Winih.
"Baiklah" berkata Laksana kemudian "kami sudah selesai”
Demikianlah mereka bertiga pun segera meninggalkan regol halaman rumahnya. Di simpang tiga tidak jauh dari banjar mereka bertemu dengan beberapa orang anak muda yang akan pergi ke sawah. Ternyata anak-anak muda itu terkejut melihat Manggada dan Laksana berjalan bersama seorang gadis yang tumbuh dewasa. Gadis yang sangat cantik menurut penglihatan mereka.
"He!" seorang dari anak-anak muda itu menegur.
Dengan cepat Manggada tanggap dan menjawab "Kami. mengantar adik!”
Anak-anak muda itu tersenyum Seorang di antara mereka bertanya "Kapan adikmu datang?"
“Kemarin” jawab Manggada.
Beberapa anak muda itu tanpa berjanji mengangguk hormat, sementara Winih pun mengangguk hormat pula meskipun ia melihat kerlingan mata yang nakal. Tetapi Winih tidak menghiraukannya. Sebagai seorang gadis yang tumbuh dewasa dengan gaya hidupnya yang agak lebih bebas dari gadis-gadis sebayanya maka Winih telah sering melihat sorot mata yang seolah-olah ingin menusuk sampai ke dasar jantungnya.
Tetapi anak-anak muda itu masih tetap dalam batas-batas kewajaran, sehingga Winih pun tidak terlalu merasa terganggu. Sesaat kemudian, maka masing-masing pun telah meneruskan perjalanan mereka. Winih diantar oleh Manggada dan Laksana ke pasar, sementara beberapa orang anak muda itu pergi ke sawah.
Namun belum lagi mereka melangkah terlalu jauh, mereka pun telah berpaling ketika mereka mendengar langkah sorang berlari-lari. Seorang anak muda yang bertubuh kekar dan berwajah keras. Anak muda itu berlari-lari menyusul kawan-kawannya yang pergi ke sawah.
Namun Manggada dan Laksana yang telah mengenal anak muda itu pula menjadi berdebar-debar. Dari kawan-kawannya Manggada dan Laksana mengetahui, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang keras hati, yang hanya menuruti kemauannya sendiri tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Beberapa orang kawannya berusaha untuk menjauhinya.
Tetapi anak-anak muda itu tidak dapat menghindarinya jika anak yang bertubuh kekar dan berwajah keras itu hadir di antara mereka. Hampir seluruh anak-anak muda sepadukuhan berada di bawah pengaruhnya. Bukan karena ia mempunyai wibawa yang tinggi, tetapi karena kekasaran dan kekerasannya.
Ketika Manggada dan Laksana sekali-sekali berpaling, mereka melihat bahwa anak muda yang bertubuh kekar itu memperhatikan Winih dengan penuh perhatian.
"Mudah-mudahan tidak ada niat buruknya" berkata Manggada di dalam hatinya. Sementara itu Laksana pun menjadi cemas karena sikap anak muda itu.
Winih sendiri tidak menghiraukannya lagi. Ia belum mengetahui sifat anak muda yang berlari-lari itu. Ia mengira bahwa anak muda itu ingin menyusul kawan-kawannya yang sudah berangkat lebih dahulu. Demikianlah, maka ketiga orang itu berjalan agak bergegas menuju ke pasar yang tidak begitu jauh.
Tetapi Winih yang ingin cepat-cepat sampai ke pasar di luar sadarnya telah berjalan semakin cepat, sehingga Manggada merasa perlu untuk memperingatkannya "Jangan terlalu cepat Winih. Orang-orang yang berpapasan dengan kita akan memperhatikan kita, seolah-olah kita sedang dikejar oleh satu kepentingan yang sangat mendesak!”
"Oh" Winih mengangguk-angguk kecil. Ia memang memperlambat langkahnya. Tetapi langkahnya yang kecil itu semakin lama menjadi semakin cepat pula. Bahkan kemudian Winih tidak menghiraukan lagi orang-orang yang melihatnya.
Setelah melewati bulak-bulak kecil, maka mereka pun sampai ke pasar. Pasar yang terhitung ramai di hari pasaran sebagaimana hari itu. Beberapa orang pedagang dari padukuhan lain telah berdatangan ke pasar itu.
Ternyata Winih memang menjadi gembira melihat keramaian di pasar itu. Tidak seperti yang direncanakan, bahwa ia akan segera membeli sayur-sayuran segar. Tetapi yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah justru para pedagang kain lurik yang beraneka-warna. Kain dengan garis-garis yang besar, tetapi ada yang bergaris-garis lembut. Ada yang berwarna pekat, tetapi ada juga yang berwarna cerah.
Laksana yang berjalan di paling belakang sempat bertanya "He, aku kira kita salah memilih sasaran”
“Kenapa?" bertanya Winih.
"Bukankah kau tergesa-gesa karena kau tidak mau kehabisan sayuran segar?" bertanya Laksana pula.
"Nanti dulu" jawab Winih "aku senang melihat kain yang beraneka warna ini. Sebenarnya aku ingin membeli barang selembar atau dua lembar. Tetapi uang yang diberikan ibu hanya cukup untuk berbelanja sayur-sayuran dan bahan masakan yang lain”
"Karena itu, marilah, kita pergi ke sisi lain, ke tempat para pedagang, sayuran menjajakan dagangannya” berkata Laksana.
"Nanti dulu. Aku masih ingin melihat-lihat” jawab Winih.
Laksana tidak berkata apa pun lagi. Ia hanya berjalan saja mengikuti Winih sebagaimana Manggada. Keduanya tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan seperti kerbau dicocok hidung.
Namun dalam pada itu, ketiga anak muda itu sama sekali tidak menyadari, bahwa dua pasang mata tengah mengawasi mereka. Kedua orang yang melihat mereka bertiga telah dengan sengaja menjauhkan diri meskipun keduanya tetap mengawasinya.
“Kedua orang anak muda itu adalah cucu Kiai Gumrah" berkata seorang di antara mereka.
Yang seorang lagi adalah Kundala. Keringatnya mengaur membasahi seluruh tubuhnya seperti saat ia berada di rumah Kiai Gumrah. Ia tahu bahwa gadis itu tentu juga cucu Kiai Gumrah. Bahkan saat ia memasuki dapur Kiai Gumrah ia telah melihat pula gadis itu di dapur bersama seorang perempuan yang disebut oleh Kiai Gumrah sebagai menantunya.
"Kenapa kau menjadi gelisah?" bertanya kawannya
. Kundala bagaikan tersadar dari mimpi buruknya. Dengan gagap ia menjawab "Tidak. Sama sekali tidak”
"Wajahmu menampakkan kecemasanmu. He, jangan takut terhadap anak-anak”
"Aku tidak takut. Aku pernah mengalahkan mereka berdua" jawab Kundala.
"Jadi kenapa kau menjadi begitu gelisah. Bahkan wajahmu bukan saja menunjukkan kecemasan hatimu, tetapi bahkan wajahmu menjadi pucat” berkata kawannya pula.
"Aku sama sekali tidak cemas karena anak-anak itu. Tetapi Kiai Gumrah adalah pedagang gula di pasar ini. Ia mempunyai beberapa kawan di sini. Juga para pedagang gula" jawab Kundala.
“Darimana kau tahu?" bertanya kawannya.
"Bukankah aku sering mendapat tugas ke pasar. Menjemput seseorang, mengawasi seseorang atau bertemu dengan siapa pun menurut perintah Kiai Windu Kusuma” jawab Kundala.
Kawannya mengangguk-angguk. Ia memang percaya bahwa Kundala sudah sering berada di pasar bahkan tugas-tugas lain di luar lingkungan mereka. "Siapakah gadis itu" tiba-tiba kawannya bertanya.
"Aku tidak tahu" jawab Kundala. Namun terasa kata-katanya itu begitu pahitnya di lidahnya. Setiap kali ia selalu dibayangi oleh tuduhan di hidungnya bahwa ia telah berkhianat. "Aku tidak peduli" Kundala berteriak di dalam hatinya "Aku memang berkhianat”
Namun mulutnya justru terkatup rapat. Sementara kawannya berkata "Kundala. Kau tidak perlu menjadi sangat cemas seperti itu. Seandainya pedagang gula itu berniat berbuat sesuatu, maka kita masih dapat melawan. Jika tidak, maka kesempatan untuk menghindar pun banyak sekali, karena kita ada di pasar yang ramai”
Kundala tidak menjawab. Namun jantungnya berdenyut semakin keras ketika ia mendengar kawannya itu berdesis "Gadis itu sangat cantik”
"Jangan ganggu gadis itu!”
Kawannya justru tertawa. Tetapi ia bertanya, "Siapakah gadis itu sebenarnya? Bukankah ia bukan anakmu?"
"Memang bukan!" jawab Kundala "Tetapi jika gadis itu bersama-sama dengan cucu Kiai Gumrah, maka gadis itu tentu ada hubungannya pula dengan Kiai Gumrah.”
"Aku tidak peduli” jawab kawannya “Aku masih muda. Gadis itu tumbuh dewasa. Apa salahnya jika aku memperkenalkan diriku? Jika kau takut dikenali kedua cucu Kiai Gumrah itu sebaiknya kau tidak usah ikut aku” berkata kawannya.
“Kedua cucu Kiai Gumrah itu akan mengenalmu..." jawab Kundala yang menjadi semakin gelisah.
"Mereka belum mengenal aku" jawab kawannya.
"Tetapi darimana kau tahu bahwa mereka adalah cucu Kiai Gumrah? Bukankah kau mengenalnya saat kau menyerang rumah Kiai Gumrah itu?" bertanya Kundala.
"Sama sekali tidak. Bukankah aku belum pernah datang ke rumah itu? Aku mengenalinya dari pengamatan saja. He, bukankah anak itu yang sering berada di regol rumah Kiai Gumrah? Yang sering pergi ke banjar lama itu?" sahut kawannya.
Kundala tidak menjawab. Tetapi dengan demikian keringatnya menjadi semakin deras mengalir di punggungnya. Karena dengan demikian ia tahu bahwa yang bertugas keluar lingkungan Kiai Windu Kusuma itu tentu beberapa orang pula. Bahkan tugas pengamatan. Jika saja ada tugas pengamatan yang dikirim oleh Kiai Windu Kusuma melihat ia singgah di rumah Kiai Gumrah, maka umurnya tentu akan segera berakhir.
"Ternyata para pengikut Kiai Windu Kusuma tidak saling mengetahui tugas mereka yang satu dengan yang lain" berkata Kundala di dalam hatinya.
Namun Kundala pun meyadari bahwa dengan demikian maka Kiai Windu Kusuma akan dapat mengawasi orang-orangnya sebaik-baiknya, meskipun Kundala sampai saat itu masih belum diketahui bahwa ia telah berkhianat.
Meskipun Kundala masih dicengkam oleh kegelisahan, namun ia masih juga sempat memperingatkan kawannya itu. "Jika kau mau mendengarkan aku, jangan ganggu gadis itu atau kau akan terjerumus ke dalam kesulitan. Bahkan akan dapat mempengaruhi usaha Kiai Windu Kusuma yang menginginkan pusaka-pusaka di rumah Kiai Gumrah itu. Jika Kiai Windu Kusuma menganggap bahwa kau yang menyebabkannya, maka kau tahu akibat apa yang akan kau alami”
"Kau tahu hubunganku dengan Kiai Windu Kusuma?" bertanya kawannya.
"Kau memang dianggap orang penting. Tetapi kedudukanmu bukan berarti memberimu kesempatan berbuat apa saja." berkata Kundala bersungguh-sungguh.
Kawannya tertawa lagi. Katanya "Aku memang pengikut Kiai Windu Kusuma. Tetapi aku masih tetap mempunyai hak dan wewenang dalam persoalan pribadiku”
"Tetapi kau tidak akan dapat menempatkan hak dan wewenangmu dalam persoalan pribadimu sekali pun melampaui kepentingan Kiai Windu Kusuma” berkata Kundala.
"Kau tidak usah mengajari aku Kundala. Aku lebih tahu dari kau. Sebaliknya justru aku memperingatkanmu agar kau tidak mencampuri persoalanku”
Kundala memang tidak menjawab. Tetapi ia menjadi gelisah. Gadis itu pernah melihat ia datang ke rumah Kiai Gumrah. Seandainya gadis itu kemudian benar-benar dapat berkenalan dengan kawannya itu, maka Kundala sendiri akan menjadi semakin sulit berhubungan dengan Kiai Gumrah. Bahkan mungkin gadis itu akan berceritera tentang hubungannya dengan penjual gula itu.
Tetapi Kundala memang tidak berhasil mencegah kawannya itu. Dalam segala hal ia memang berada di bawah tatarannya. Termasuk kemampuan olah kanuragan. Dalam pada itu, Winih memang sudah berada di sudut tempat para penjual sayuran menjajakan dagangannya.
Dengan senang hati Winih memilih sayuran yang dikehendaki. Sambil menimang sebuah waluh kenti gadis itu berkata “Nah, bukankah di kebun kakek tidak ada buah waluh kenti seperti ini? Juga kangkung yang segar seperti ini”
"Kau senang sayur waluh kenti?" bertanya Laksana.
"Tidak” jawab Winih.
"Kenapa kau akan membelinya?" bertanya Laksana pula.
"Siapa yang akan membelinya?" justru Winih bertanya.
"Jadi?" Laksana termangu-mangu.
"Aku hanya mengatakan bahwa di kebun kakek tidak terdapat buah waluh kenti. Tetapi aku tidak ingin membelinya”
Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Manggada tersenyum sambil menggamitnya. Namun dalam pada itu Winih pun berkata "Aku akan membeli kangkung. Aku ingin ibu membuat sayur padamara. Kangkung dengan kedelai hitam”
Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak ingin bertanya atau menebak kemauan Winih. Beberapa saat Winih memilih beberapa ikat daun kangkung yang nampak muda, hijau dan segar Kemudian setelah ia membayarnya, maka ia pun segera beralih untuk membeli beberapa kebutuhan dapur yang lain.
Namun ketika ia akan membeli seekor ayam, Manggada bertanya "Untuk apa kau membeli ayam?"
"Aku ingin ayah menyembelihnya. Hari ini aku ingin makan dengan daging ayam selain sayur padamara” jawab Winih.
"Bukankah kakek mempunyai banyak sekali ayam. Setiap kali kakek ingin daging ayam, maka kakek akan menyembelihnya seekor” berkata Manggada.
"Aku tidak pernah dapat makan daging ayam yang pernah dipelihara sendiri” jawab Winih.
"Bukankah ayam kakek itu bukan ayam yang pernah kau pelihara karena ketika kau datang ayam itu sudah ada di sana”
"Tetapi bukankah ayam itu dipelihara oleh kakek? Nah, itu sama saja artinya dengan ayam itu dipelihara sendiri”
Manggada tidak bertanya lagi. Ia hanya mengikut saja di belakang ketika Winih kemudian membeli bukan hanya seekor, tetapi bahkan dua ekor ayam. Beberapa saat kemudian, maka Winih pun telah selesai berbelanja. Ketika mereka pulang, maka Manggada dan Laksana harus ikut membantu membawa hasil pembelian Winih di pasar.
Ketika mereka berjalan meninggalkan pasar itu, maka Darpati, kawan Kundala itu, memandang Winih dari kejauhan. Kundala yang telah mengenal dan dikenal oleh Winih, Manggada dan Laksana tidak ingin terlihat oleh ketiganya, sehingga Kundala lebih senang berada di dalam pasar yang ramai ketika Darpati berada di luar pasar untuk memperhatikan Winih yang berjalan meninggalkan pasar bersama Manggada dan Laksana.
Beberapa saat kemudian, maka perjalanan Winih bersama Manggada dan Laksana telah sampai ke bulak yang tidak begitu luas. Sementara itu, jalan pun nampak sepi. Orang-orang yang pergi ke pasar masih belum banyak yang pulang. Sementara itu, tanaman di sawah yang tumbuh subur tidak lagi memerlukan penanganan setiap hari, sehingga dengan demikian maka bulak pendek itu kesannya memang sepi.
Manggada dan Laksana memang terkejut ketika ia melihat anak muda yang tadi berlari-lari menyusul kawannya itu duduk di atas tanggul parit di pinggir jalan. Manggada dan Laksana yang berjalan di belakang Winih pun merapat. Hampir berbisik Manggada pun berkata "Apa maksud anak muda itu? Kawan-kawan tidak begitu senang dengan anak muda itu”
"Nampaknya ia sangat memperhatikan Winih” jawab Laksana.
"Jika ia berniat buruk, maka kita akan menghadapi persoalan yang rumit. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar atas anak-anak-muda sepadukuhan” desis Manggada.
Laksana mengangguk kecil. Ia pun sudah membayangkan kesulitan yang bakal terjadi jika anak itu mulai mengganggu Winih. Manggada dan Laksana sama sekali tidak takut menghadapi anak muda itu sendiri. Tetapi itu akan berarti hubungannya dengan anak-anak muda padukuhan itu mengalami hambatan. Anak muda yang mempunyai pengaruh yang sangat besar itu akan dapat mengendalikan sikap anak-anak muda padukuhan itu.
Namun demikian mereka berjalan terus. Manggada dan Laksana masih belum melihat apakah anak muda itu memang bermaksud buruk atau kebetulan saja ia memang duduk di situ. Semakin dekat dengan anak muda yang duduk di tanggul parit itu, maka Manggada dan Laksana menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika kemudian anak muda itu justru berdiri saat Winih tinggal beberapa langkah saja dari padanya.
Tetapi Winih sendiri sama sekali tidak memperhatikan anak muda itu. Ia berjalan saja tanpa berprasangka apa pun terhadap anak muda yang kemudian berdiri di atas tanggul itu. Namun Winih itu terpaksa menghentikan langkahnya ketika anak muda itu mengangguk hormat. Dengan nada rendah ia berkata, "Selamat datang di padukuhan kami, anak manis”
Winih mengerutkan dahinya. Ketika ia berpaling kepada Manggada dan Laksana, maka kedua anak muda itu sudah berdiri dekat di belakangnya. “Dia itu adikku" berkata Manggada.
"O" anak muda itu mengangguk-angguk "Satu kebetulan. Bukankah kita sudah bersahabat? Apa salahnya jika aku juga berkenalan dengan adikmu?"
Manggada dan Laksana terkejut ketika Winih sendiri menjawab "Jika kau sahabat kakak-kakakku, maka sudah tentu aku tidak berkeberatan berkenalan dengan kau”
Bahkan anak muda itu sendiri terheran-heran mendengar jawaban gadis itu. Apalagi kemudian Winih itu berkata "Namaku Winih. Siapa namamu?"
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia menjawab "Namaku Rambatan”
"Nama yang bagus" sahut Winih. Rambatan itu semakin heran ketika Winih berkata "Marilah. Aku akan pulang. Ibu tentu menunggu. Jika aku kesiangan sampai di rumah, maka ibu pun akan kesiangan pula menyiapkan makan kami sekeluarga”
Rambatan semakin termangu-mangu. Niat yang sudah memenuhi kepalanya untuk mengganggu gadis itu justru bagaikan terdesak tenggelam dalam keheranannya melihat sikap Winih yang sama sekali tidak diduganya. Sama sekali tidak terlintas di kepalanya jika kemudian gadis itu berkata "Rambatan. Marilah, kita berjalan bersama. Bukankah kita tinggal di padukuhan yang sama”
Rambatan itu dengan gagap menjawab "Tetapi, tetapi aku masih harus pergi ke sawah. Terima kasih. Lain kali saja”
Manggada dan Laksana justru termangu-mangu ketika Rambatan itu berkata kepada mereka "Aku akan pergi ke sawah. Sawahku ada di sebelah itu”
"Baiklah" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Rambatan memang segera pergi. Sementara itu seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Winih melanjutkan perjalanannya. Dengan nada tinggi ia berkata. "Ibu tentu sudah menunggu”
Manggada dan Laksana mengikuti saja langkah Winih yang menjadi semakin cepat. Sementara itu Manggada dan Laksana justru mulai menilai sikap gadis itu. Apakah gadis itu memiliki kemampuan menilai seseorang, kemudian dengan kematangan sikapnya menanggapinya atau justru karena Winih seorang gadis yang lugu sehingga ia sama sekali tidak berprasangka buruk terhadap siapa pun juga. Juga kepada Rambatan.
Namun Manggada dan Laksana yang kemudian saling berbincang di perjalanan meskipun perlahan-lahan telah memutuskan untuk menyampaikan hal itu kepada Kiai Gumrah dalam kesempatan yang khusus. Agar ayah dan ibu Winih tidak mendengarnya. Kecuali jika kemudian Kiai Gumrah memang ingin berbicara dengan ayah dan ibunya.
Ketika mereka bertiga sampai di rumah, maka ibu Winih memang sudah sibuk di dapur. Nasi telah dijerang. Bumbu yang sudah ada pun telah tersedia. Namun, demikian Kiai Gumrah melihat Laksana membawa dua ekor ayam, maka ia pun bertanya. "He, untuk apa kalian membeli ayam?"
"Hari ini kita akan makan agak lain dari biasanya" jawab Winih "Aku akan minta ayah memotong kedua ekor ayam itu”
"Winih, bukankah kakek mempunyai beberapa ekor ayam?" berkata Kiai Gumrah.
"Aku tidak mau menyembelih ayam sendiri” jawab Winih.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara Nyi Prawara berkata, "Anak itu memang tidak mau menyembelih ayam yang dipelihara sendiri. Karena itu, jika ia ingin ayahnya menyembelih ayam, maka lebih baik ia membeli. Bahkan jika tidak mempunyai uang ayamnya sendiri dijualnya”
Kiai Gumrah tersenyum. Namun terbersit di hatinya tanggapannya atas jiwa cucunya itu. Gadis itu tentu mempunyai perasaan yang mudah tersentuh serta kesetia-kawanan yang tinggi. Karena itu, maka Kiai Gumrah pun tidak bertanya lagi tentang kedua ekor ayam itu.
Sementara itu Rambatan memang telah pergi ke sawahnya. Tetapi demikian ia sampai di sawah, maka ia pun menjadi seperti tersadar dari mimpi yang asing. “Kenapa aku justru seperti orang yang terbius?" pertanyaan itu telah bergejolak di hatinya.
Rambatan menyesal, kenapa ia tidak berjalan mengikuti gadis itu sampai ke padukuhan. Berbicara dan barangkali bercanda dengan gadis cantik itu. Manggada dan Laksana tentu tidak akan berani melarangnya berbuat apa saja terhadap adiknya itu.
"Aku telah melewatkan kesempatan ini" berkata Rambatan yang kesal kepada diri sendiri.
Tetapi sebenarnyalah kesempatan itu masih terbuka baginya. Winih tidak hanya sekali pergi ke pasar. Di keesokan harinya, ternyata Winih minta Manggada dan Laksana mengantarnya lagi ke pasar.
"Apakah kau akan membeli ayam lagi?" bertanya Manggada.
"Ah kau" desis Winih "Aku ingin membeli kain lurik yang berwarna merah bata itu. Aku senang sekali. Mungkin ibu juga senang setelah melihatnya dan ingin pula membelinya”
Namun Manggada dan Laksana masih saja selalu ingat pesan Kiai Gumrah. Jika mereka terlalu sering keluar rumah maka persoalannya akan dapat berkembang. Orang-orang Kiai Windu Kencana mungkin akan mempunyai rencana tertentu terhadap mereka. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa Winih memang cucu Kiai Gumrah.
Namun agaknya Winih sama sekali tidak menghiraukan bahaya itu. Bahkan ketika ayahnya memperingatkan agar ia tidak usah pergi ke pasar hari itu, Winih mulai merengek.
"Biarlah ia pergi" desis ibunya "Angger Manggada dan Laksana akan menemaninya”
Ki Prawara sempat berbisik. "Ayah mencemaskannya. Orang-orang Kiai Windu Kusuma mungkin sekali mengamatinya”
"Apa yang akan mereka lakukan di siang hari? Bukankah jalan tidak terlalu sepi? Sementara itu angger Manggada dan Laksana bersamanya”
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi besok Winih tidak boleh pergi lagi ke pasar!”
Nyi Prawara mengangguk. Katanya. "Baiklah. Setelah hari ini, maka ia tidak boleh terlalu sering pergi ke pasar. Kecuali untuk menjaga keselamatannya, maka uang kita pun akan segera habis”
Ki Prawara pun tersenyum. Sambil mengangguk kecil ia berkata, "Kau benar. Bekal kita memang tidak terlalu banyak”
Seperti direncanakan, maka Winih memang telah pergi ke pasar bersama Manggada dan Laksana. Mereka bertemu lagi beberapa orang anak muda yang pergi ke sawah. Mereka pun melihat anak muda yang berwajah keras dan bernama Rambatan itu berjalan dengan beberapa orang anak muda pula sambil membawa cangkul.
Winih menanggapi sikap mereka dengan baik. Ketika anak-anak muda itu mengangguk hormat, maka Winih pun mengangguk homat pula. Demikian pula ketika ia bertemu dengan Rambatan. Ia menjawab sapa Rambatan dengan wajar.
Namun nampaknya Winih tidak memperhatikan sorot mata Rambatan yang memancar bagaikan sorot mata serigala yang melihat seekor anak domba. Manggada dan Laksana yang melihat kilatan sorot mata itu menjadi berdebar-debar pula. Tetapi Laksana pun berkata perlahan-lahan tanpa didengar oleh Winih,
"Tetapi kemarin ia bersikap baik. Rambatan tidak mengganggu Winih”
"Mudah-mudahan untuk seterusnya ia bersikap baik” jawab Manggada.
Di pasar, Winih memang langsung menuju ke tempat para penjual kain lurik. Beberapa kali ia memilih. Digelarnya beberapa lembar kain. Tetapi kain itu pun harus dilipat lagi oleh penjualnya karena Winih ternyata tidak menyenanginya.
Manggada dan Laksana menjadi tidak telaten menunggu Winih memilih kain lurik yang di ingininya. Tetapi ketika hal itu dikatakan oleh Laksana, maka sambil memberengut Winih berkata "Jika kalian akan pulang dahulu, pulang sajalah”
"Bukan itu maksudku, Winih" jawab Laksana "Tetapi penjual kain itu akan dapat marah kepada kita. Berapa saja yang sudah digelarnya. Tetapi kau selalu menolaknya”
Winih memandang Laksana sejenak. Namun kemudian katanya "Bukankah wajar untuk memilih barang yang hendak kita beli?"
"Tetapi tidak terlalu lama seperti itu”
Namun ternyata Winih pun mengangguk. Seperti yang direncanakan dari rumah, maka akhirnya Winih memang memilih selembar kain yang berwarna merah bata.
Tetapi sementara itu, sepasang mata masih saja selalu mengikutinya. Ternyata Darpati, kawan Kundala, yang melihat Winih berada di pasar lagi, telah mengikutinya meskipun dari jarak tertentu, sehingga Winih, Manggada dan Laksana tidak mengetahuinya, bahkan ketika Darpati itu lewat dan sempat menyinggung Winih yang sedang memilih kain lurik itu. Namun yang kemudian telah mengambil jarak lagi.
Dalam pada itu, setelah mendapat kain yang diingininya, maka Winih pun mengajak Manggada dan Laksana pulang. Namun Winih masih singgah untuk membeli beberapa kebutuhan dapur sesuai dengan pesan ibunya.
Dengan wajah yang cerah Winih melangkah menyusuri jalan pulang. Manggada dan Laksana yang berjalan di belakangnya mengikuti langkah-langkah kecil yang cepat itu,
Sambil berpaling Winih berkata "Marilah. Kenapa begitu lambat? Aku ingin segera menunjukkan kain itu kepada ibu. Biarlah ibu menilainya, apakah pilihanku tepat atau tidak. Sesuai atau tidak dengan kulitku”
Di luar sadarnya Manggada dan Laksana justru memperhatikan kulit Winih. Gadis itu kulitnya memang nampak bersih. Sebagai seorang gadis desa, maka Winih termasuk berkulit kuning meskipun nampak terpaan sinar matahari yang membakar. Seperti dikatakan ibunya, Winih hampir setiap hari dipanggang oleh panasnya matahari di sawah dan pategalan bersama dengan ayah dan ibunya.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sampai di bulak kecil, Manggada dan Laksana melihat lagi Rambatan duduk di tanggul parit, la tidak sendiri. Tetapi Rambatan duduk diparit bersama dengan ampat orang kawannya.
Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Bahwa Rambatan berada di bulak pendek itu bersama dengan ampat orang kawannya, maka persoalan yang tidak diinginkan akan dapat timbul.
Winih pun kemudian melihat pula Rambatan dan kawan-kawannya. Karena itu, maka berbeda dengan hari sebelumnya, Winih telah memperlambat langkahnya. Bahkan kemudian ia bertanya, "Kenapa Rambatan itu ada di sana lagi?"
"Entahlah..." berkata Manggada "Mudah-mudahan ia tidak mengganggumu lagi”
"Rambatan belum pernah menggangguku" jawab Winih.
"Bukankah kemarin ia juga menunggumu di sana?" bertanya Laksana.
"Tetapi aku tidak merasa terganggu dengan kehadirannya kemarin. Tetapi sekarang ia datang lagi bersama beberapa orang kawannya. Jika semuanya nanti bertanya seorang demi seorang, maka aku memang akan merasa terganggu” desis Winih.
"Mudah-mudahan mereka hanya bertanya saja" desis Laksana.
"Apakah mungkin lebih dari itu?" bertanya Winih
"Winih" berkata Manggada kemudian "Hati-hatilah. Menurut beberapa orang kawannya yang aku kenal. Rambatan bukan seorang yang baik. Ia mempunyai sifat yang tidak disukai oleh kawan-kawannya karena ia sangat mementingkan dirinya sendiri”
"Tetapi kenapa kawan-kawannya mau datang bersamanya?" bertanya Winih.
"Memang ada beberapa orang anak muda yang secara khusus sangat dekat dengan Rambatan. Anak-anak muda itu tentu mempunyai pamrih. Karena Rambatan ditakuti oleh anak-anak muda sepadukuhan dan bahkan padukuhan-padukuhan di sekitarnya, maka ada beberapa orang yang ingin menompang untuk ikut ditakuti karena mereka adalah kawan-kawan dekat Rambatan” jawab Manggada.
"Tetapi di siang hari mereka tidak akan berbuat apa-apa" berkata Winih.
"Belum tentu Winih" jawab Laksana "bulak kecil ini terhitung sepi pada saat seperti ini. Memang sebentar lagi jalan ini akan banyak dilalui orang dari pasar. Tetapi sekarang kita tidak melihat orang lewat dan orang yang berada di sawah”
Winih tidak menjawab. Tetapi ia tidak lagi berjalan terlalu cepat.
Sementara itu Rambatan dan kawan-kawannya telah bangkit berdiri. Dengan nada berat Rambatan berkata kepada kawan-kawannya. "Gadis itu tidak akan dapat menyihirku lagi”
"Apakah kau pernah disihirnya?" bertanya seorang kawannya.
"Kemarin aku seakan-akan disihirnya. Tiba-tiba saja aku menjadi dungu, dan kehilangan akal menghadapi gadis itu” jawab Rambatan.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan?" bertanya kawannya yang lain.
"Aku akan mengajaknya singgah di rumah. Aku mempunyai dua ekor ayam yang dapat aku berikan kepadanya. Kemarin gadis itu membawa dua ekor ayam dari pasar” jawab Rambatan.
"Hanya itu?" bertanya kawannya yang lain lagi.
"Ya. Lalu apa?" Rambatan justru bertanya "Aku tidak gila untuk berbuat lebih dari itu kali ini. Entah besok atau lusa. Mudah-mudahan ia berada di sini untuk waktu yang lama. Kakeknya, penjual gula itu tidak akan banyak bertingkah”
"Bagaimana dengan ayahnya dan kedua orang anak muda itu?" bertanya kawannya pula.
"Mereka bukan penghuni padukuhan ini. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa” jawab Rambatan.
Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Winih dan Manggada serta Laksana yang berjalan di sebelah menye-belah menjadi semakin dekat. Bertiga mereka memang nampak berhati-hati.
Demikian Winih menjadi semakin dekat maka Rambatan itu pun melangkah menyongsongnya sambil tersenyum. Winih yang mulai memperhatikan anak muda itu melihat betapa Wajahnya nampak keras sehingga senyumnya sama sekali tidak berkesan ramah.
Tetapi Winih justru bertanya lebih dahulu. "Bukankah kau Rambatan yang kemarin?"
"Ya" jawab Rambatan "Aku memang ingin berbicara dengan kau Winih”
“Berbicara apa? Bukankah sejak kemarin kita sudah berbicara?" justru Winih yang bertanya.
Rambatan mengerutkan dahinya. Namun sambil mengangguk ia menjawab. "Ya. Kemarin kita memang sudah berbicara!”
"Jika demikian, apa lagi yang akan kita bicarakan?"
Rambatan tiba-tiba menjadi bingung. Di luar sadarnya ia berpaling kepada kawan-kawannya. Seorang kawannyalah yang kemudian berkata, "Bukankah kau mempunyai dua ekor ayam?"
"O, ya" berkata Rambatan dengan serta merta "Aku mempunyai dua ekor ayam. Aku minta kau singgah sebentar dirumahku. Kau dapat membawa dua ekor ayam itu. Bukankah kemarin kau membeli dua ekor ayam di pasar?"
Winih tersenyum. Katanya "Terima kasih Rambatan. Ayam itu masih ada sampai sekarang. Ayah belum sempat menyembelihnya. Karena itu, aku masih belum memerlukan ayam lagi. Mungkin lain kali saja”
Satu kesalahan telah dilakukan oleh Winih tanpa disadarinya. Justru karena itu tersenyum. Rambatan yang melihat Winih tersenyum, jantungnya serasa berdebar semakin cepat. Meskipun kemarin Winih juga tersenyum, tetapi saat itu Rambatan melihat wajah Winih menjadi secantik wajah bidadari.
Karena itu, maka perasaan Rambutan menjadi semakin goncang. Dengan suara bergetar ia kemudian berkata bahkan dengan nada memaksa, "Winih. Aku minta kau singgah sebentar di rumahku. Aku sudah menyediakan dua ekor ayam buatmu. Kau tidak boleh menolak. Ayah dan ibuku sudah tahu bahwa kedua ekor ayam itu akan aku peruntukkan bagimu!”
"Bagaimana ayah dan ibumu mengetahui tentang aku?" bertanya Winih.
"Aku yang mengatakannya kepada mereka. Aku berceritera tentang kau. Bahwa kau cucu pembuat dan penjual gula itu. Bahwa kau cantik dan ramah.” berkata Rambatan.
Winih menarik nafas dalam-dalam. Pernyataan itu mulai tidak menyenangkan hati gadis itu. Tetapi gadis itu masih saja mengulangi kesalahan yang tidak disadarinya. Tersenyum. Winih sama sekali tidak mengetahui bahwa senyumnya telah membuat Rambatan menjadi bagaikan orang mabuk.
Namun Winih itu menjawab "Rambatan. Aku tidak dapat membuat ibu gelisah. Aku harus segera pulang. Atau kau saja yang pergi ke rumah kakek? Aku akan menghidangkan minuman hangat dengan gula kelapa. Kakek mempunyai banyak gula kelapa.”
Rambatan menjadi bingung. Bahkan ia menjadi gelisah. Keringat dingin membasahi punggung dan keningnya. Hampir saja ia mengangguk mengiakan. Tetapi seorang kawannya berkata "Bukankah kau telah berniat untuk mengajak Winih pulang dan memberinya dua ekor ayam?"
Sebelum Rambatan menjawab, Winih sudah lebih, dahulu menjawab "Ia sudah mengatakannya tadi. Aku pun telah menjawab.”
"Tetapi jawabmu tidak sebagaimana dimaksudkan oleh Rambatan" berkata anak muda kawan Rambatan itu "Rambatan ingin mengajak kau ke rumahnya sekarang...”
Dalam pada itu, maka Manggada dan Laksana pun telah mencari Kiai Gumrah di kebun. Agaknya Kiai Gumrah juga sudah selesai dengan pekerjaannya. Sambil membawa beberapa buah bumbung legen ia berjalan menuju ke dapur.
Manggada dan Laksana pun telah membantunya membawa bumbung legen itu. Sementara itu Manggada pun berkata "Kek, apakah kami berdua boleh pergi ke pasar?"
"Untuk apa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Winih ingin pergi ke pasar. Ia minta kami mengantarkannya.”
"Ah, anak itu...!" desis Kiai Gumrah "Ia tidak tahu bahaya yang tersembunyi di sekitar keluarga kita!”
"Winih nampaknya ingin sekali pergi ke pasar!” desis Laksana. Lalu katanya "Agaknya ia pun akan minta ijin kepada kakek. Tentu saja juga kepada ayah dan ibunya, karena Winih masih akan minta uang lebih dahulu.”
"Apa yang akan dicarinya di pasar?" bertanya Kiai Gumrah.
"Anak itu ingin berbelanja. Katanya jenis sayuran di pasar jauh lebih banyak dari jenis sayuran yang ada di kebun.” jawab Laksana.
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Biar anak itu minta ijin ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya tentu sudah tahu bahwa kita seluruh keluarga harus berhati-hati.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab lagi. Tetapi ketika mereka sampai di dapur, Winih itu sudah menunggu. Demikian ia melihat Manggada dan Laksana, maka ia pun berkata lantang "He, kalian belum mandi?"
"Apakah kau sudah selesai berbenah diri?" bertanya Manggada.
“Tentu. Aku sudah menunggumu” jawab Winih.
"Apakah kau sudah minta ijin ayah dan ibumu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Sudah kek. Ayah dan ibu tidak berkeberatan. Ibu malahan sudah memberi uang belanja kepadaku”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun, kemudian katanya "Baiklah. Jika kau sudah mendapat ijin ayah dan ibumu” Lalu Kiai Gumrah itu pun berkata kepada Manggada dan Laksana "Kalian harus tetap berhati-hati”
"Ya kek" jawab Manggada.
Tetapi Winih segera memotong "Tetapi mereka belum mandi”
Kiai Gumrah itu pun tersenyum. Katanya "Mandilah”
"Cepat sedikit. Biasanya laki-laki berbenah diri lebih cepat dari perempuan” berkata Winih.
Kiai Gumrah bahkan tertawa. Katanya "Hari masih pagi. Pasar itu tidak akan segera bubar”
"Tetapi sayuran yang segar itu sudah habis” jawab Winih.
"Tentu belum. Tetapi seandainya sudah habis, maka biarlah Manggada dan Laksana memetik sayuran segar dari kebun dan biar mereka membawanya ke pasar. Nah, kau akan dapat membeli sayuran yang masih sangat segar” berkata Kiai Gumrah.
"Ah, kakek mesti bercanda” desis gadis itu.
Sementara itu Manggada dan Laksana tergesa-gesa menyiapkan dirinya. Sementara Winih menunggu di depan. Bahkan hampir saja ia kehilangan kesabaran. Tetapi ketika Manggada dan Laksana selesai berpakaian, maka mereka justru dipanggil oleh Nyi Prawara di dapur. Katanya,
"Kalian belum minum. Nanti minuman ini menjadi dingin”
"Terima kasih Nyi" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng. Tetapi demikian keduanya meneguk minumannya, Winih telah berdiri di pintu sambil berkata “Kalian masih sempat minum. Matahari semakin tinggi”
"Kenapa kau Winih” ibunya yang menyahut “Biarlah mereka minum lebih dahulu. Bukankah hari masih pagi. Justru para penjual sayuran masih belum ada di pasar”
"Kakek kalau pergi ke pasar agak siang" berkata Manggada.
"Tetapi kakek menjual gula. Itu pun sudah ada orang-orang tertentu yang menerimanya sehingga kakek tidak usah menjajakan dagangannya dan menungginya berlama-lama” jawab Winih.
"Baiklah" berkata Laksana kemudian "kami sudah selesai”
Demikianlah mereka bertiga pun segera meninggalkan regol halaman rumahnya. Di simpang tiga tidak jauh dari banjar mereka bertemu dengan beberapa orang anak muda yang akan pergi ke sawah. Ternyata anak-anak muda itu terkejut melihat Manggada dan Laksana berjalan bersama seorang gadis yang tumbuh dewasa. Gadis yang sangat cantik menurut penglihatan mereka.
"He!" seorang dari anak-anak muda itu menegur.
Dengan cepat Manggada tanggap dan menjawab "Kami. mengantar adik!”
Anak-anak muda itu tersenyum Seorang di antara mereka bertanya "Kapan adikmu datang?"
“Kemarin” jawab Manggada.
Beberapa anak muda itu tanpa berjanji mengangguk hormat, sementara Winih pun mengangguk hormat pula meskipun ia melihat kerlingan mata yang nakal. Tetapi Winih tidak menghiraukannya. Sebagai seorang gadis yang tumbuh dewasa dengan gaya hidupnya yang agak lebih bebas dari gadis-gadis sebayanya maka Winih telah sering melihat sorot mata yang seolah-olah ingin menusuk sampai ke dasar jantungnya.
Tetapi anak-anak muda itu masih tetap dalam batas-batas kewajaran, sehingga Winih pun tidak terlalu merasa terganggu. Sesaat kemudian, maka masing-masing pun telah meneruskan perjalanan mereka. Winih diantar oleh Manggada dan Laksana ke pasar, sementara beberapa orang anak muda itu pergi ke sawah.
Namun belum lagi mereka melangkah terlalu jauh, mereka pun telah berpaling ketika mereka mendengar langkah sorang berlari-lari. Seorang anak muda yang bertubuh kekar dan berwajah keras. Anak muda itu berlari-lari menyusul kawan-kawannya yang pergi ke sawah.
Namun Manggada dan Laksana yang telah mengenal anak muda itu pula menjadi berdebar-debar. Dari kawan-kawannya Manggada dan Laksana mengetahui, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang keras hati, yang hanya menuruti kemauannya sendiri tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Beberapa orang kawannya berusaha untuk menjauhinya.
Tetapi anak-anak muda itu tidak dapat menghindarinya jika anak yang bertubuh kekar dan berwajah keras itu hadir di antara mereka. Hampir seluruh anak-anak muda sepadukuhan berada di bawah pengaruhnya. Bukan karena ia mempunyai wibawa yang tinggi, tetapi karena kekasaran dan kekerasannya.
Ketika Manggada dan Laksana sekali-sekali berpaling, mereka melihat bahwa anak muda yang bertubuh kekar itu memperhatikan Winih dengan penuh perhatian.
"Mudah-mudahan tidak ada niat buruknya" berkata Manggada di dalam hatinya. Sementara itu Laksana pun menjadi cemas karena sikap anak muda itu.
Winih sendiri tidak menghiraukannya lagi. Ia belum mengetahui sifat anak muda yang berlari-lari itu. Ia mengira bahwa anak muda itu ingin menyusul kawan-kawannya yang sudah berangkat lebih dahulu. Demikianlah, maka ketiga orang itu berjalan agak bergegas menuju ke pasar yang tidak begitu jauh.
Tetapi Winih yang ingin cepat-cepat sampai ke pasar di luar sadarnya telah berjalan semakin cepat, sehingga Manggada merasa perlu untuk memperingatkannya "Jangan terlalu cepat Winih. Orang-orang yang berpapasan dengan kita akan memperhatikan kita, seolah-olah kita sedang dikejar oleh satu kepentingan yang sangat mendesak!”
"Oh" Winih mengangguk-angguk kecil. Ia memang memperlambat langkahnya. Tetapi langkahnya yang kecil itu semakin lama menjadi semakin cepat pula. Bahkan kemudian Winih tidak menghiraukan lagi orang-orang yang melihatnya.
Setelah melewati bulak-bulak kecil, maka mereka pun sampai ke pasar. Pasar yang terhitung ramai di hari pasaran sebagaimana hari itu. Beberapa orang pedagang dari padukuhan lain telah berdatangan ke pasar itu.
Ternyata Winih memang menjadi gembira melihat keramaian di pasar itu. Tidak seperti yang direncanakan, bahwa ia akan segera membeli sayur-sayuran segar. Tetapi yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah justru para pedagang kain lurik yang beraneka-warna. Kain dengan garis-garis yang besar, tetapi ada yang bergaris-garis lembut. Ada yang berwarna pekat, tetapi ada juga yang berwarna cerah.
Laksana yang berjalan di paling belakang sempat bertanya "He, aku kira kita salah memilih sasaran”
“Kenapa?" bertanya Winih.
"Bukankah kau tergesa-gesa karena kau tidak mau kehabisan sayuran segar?" bertanya Laksana pula.
"Nanti dulu" jawab Winih "aku senang melihat kain yang beraneka warna ini. Sebenarnya aku ingin membeli barang selembar atau dua lembar. Tetapi uang yang diberikan ibu hanya cukup untuk berbelanja sayur-sayuran dan bahan masakan yang lain”
"Karena itu, marilah, kita pergi ke sisi lain, ke tempat para pedagang, sayuran menjajakan dagangannya” berkata Laksana.
"Nanti dulu. Aku masih ingin melihat-lihat” jawab Winih.
Laksana tidak berkata apa pun lagi. Ia hanya berjalan saja mengikuti Winih sebagaimana Manggada. Keduanya tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan seperti kerbau dicocok hidung.
Namun dalam pada itu, ketiga anak muda itu sama sekali tidak menyadari, bahwa dua pasang mata tengah mengawasi mereka. Kedua orang yang melihat mereka bertiga telah dengan sengaja menjauhkan diri meskipun keduanya tetap mengawasinya.
“Kedua orang anak muda itu adalah cucu Kiai Gumrah" berkata seorang di antara mereka.
Yang seorang lagi adalah Kundala. Keringatnya mengaur membasahi seluruh tubuhnya seperti saat ia berada di rumah Kiai Gumrah. Ia tahu bahwa gadis itu tentu juga cucu Kiai Gumrah. Bahkan saat ia memasuki dapur Kiai Gumrah ia telah melihat pula gadis itu di dapur bersama seorang perempuan yang disebut oleh Kiai Gumrah sebagai menantunya.
"Kenapa kau menjadi gelisah?" bertanya kawannya
. Kundala bagaikan tersadar dari mimpi buruknya. Dengan gagap ia menjawab "Tidak. Sama sekali tidak”
"Wajahmu menampakkan kecemasanmu. He, jangan takut terhadap anak-anak”
"Aku tidak takut. Aku pernah mengalahkan mereka berdua" jawab Kundala.
"Jadi kenapa kau menjadi begitu gelisah. Bahkan wajahmu bukan saja menunjukkan kecemasan hatimu, tetapi bahkan wajahmu menjadi pucat” berkata kawannya pula.
"Aku sama sekali tidak cemas karena anak-anak itu. Tetapi Kiai Gumrah adalah pedagang gula di pasar ini. Ia mempunyai beberapa kawan di sini. Juga para pedagang gula" jawab Kundala.
“Darimana kau tahu?" bertanya kawannya.
"Bukankah aku sering mendapat tugas ke pasar. Menjemput seseorang, mengawasi seseorang atau bertemu dengan siapa pun menurut perintah Kiai Windu Kusuma” jawab Kundala.
Kawannya mengangguk-angguk. Ia memang percaya bahwa Kundala sudah sering berada di pasar bahkan tugas-tugas lain di luar lingkungan mereka. "Siapakah gadis itu" tiba-tiba kawannya bertanya.
"Aku tidak tahu" jawab Kundala. Namun terasa kata-katanya itu begitu pahitnya di lidahnya. Setiap kali ia selalu dibayangi oleh tuduhan di hidungnya bahwa ia telah berkhianat. "Aku tidak peduli" Kundala berteriak di dalam hatinya "Aku memang berkhianat”
Namun mulutnya justru terkatup rapat. Sementara kawannya berkata "Kundala. Kau tidak perlu menjadi sangat cemas seperti itu. Seandainya pedagang gula itu berniat berbuat sesuatu, maka kita masih dapat melawan. Jika tidak, maka kesempatan untuk menghindar pun banyak sekali, karena kita ada di pasar yang ramai”
Kundala tidak menjawab. Namun jantungnya berdenyut semakin keras ketika ia mendengar kawannya itu berdesis "Gadis itu sangat cantik”
"Jangan ganggu gadis itu!”
Kawannya justru tertawa. Tetapi ia bertanya, "Siapakah gadis itu sebenarnya? Bukankah ia bukan anakmu?"
"Memang bukan!" jawab Kundala "Tetapi jika gadis itu bersama-sama dengan cucu Kiai Gumrah, maka gadis itu tentu ada hubungannya pula dengan Kiai Gumrah.”
"Aku tidak peduli” jawab kawannya “Aku masih muda. Gadis itu tumbuh dewasa. Apa salahnya jika aku memperkenalkan diriku? Jika kau takut dikenali kedua cucu Kiai Gumrah itu sebaiknya kau tidak usah ikut aku” berkata kawannya.
“Kedua cucu Kiai Gumrah itu akan mengenalmu..." jawab Kundala yang menjadi semakin gelisah.
"Mereka belum mengenal aku" jawab kawannya.
"Tetapi darimana kau tahu bahwa mereka adalah cucu Kiai Gumrah? Bukankah kau mengenalnya saat kau menyerang rumah Kiai Gumrah itu?" bertanya Kundala.
"Sama sekali tidak. Bukankah aku belum pernah datang ke rumah itu? Aku mengenalinya dari pengamatan saja. He, bukankah anak itu yang sering berada di regol rumah Kiai Gumrah? Yang sering pergi ke banjar lama itu?" sahut kawannya.
Kundala tidak menjawab. Tetapi dengan demikian keringatnya menjadi semakin deras mengalir di punggungnya. Karena dengan demikian ia tahu bahwa yang bertugas keluar lingkungan Kiai Windu Kusuma itu tentu beberapa orang pula. Bahkan tugas pengamatan. Jika saja ada tugas pengamatan yang dikirim oleh Kiai Windu Kusuma melihat ia singgah di rumah Kiai Gumrah, maka umurnya tentu akan segera berakhir.
"Ternyata para pengikut Kiai Windu Kusuma tidak saling mengetahui tugas mereka yang satu dengan yang lain" berkata Kundala di dalam hatinya.
Namun Kundala pun meyadari bahwa dengan demikian maka Kiai Windu Kusuma akan dapat mengawasi orang-orangnya sebaik-baiknya, meskipun Kundala sampai saat itu masih belum diketahui bahwa ia telah berkhianat.
Meskipun Kundala masih dicengkam oleh kegelisahan, namun ia masih juga sempat memperingatkan kawannya itu. "Jika kau mau mendengarkan aku, jangan ganggu gadis itu atau kau akan terjerumus ke dalam kesulitan. Bahkan akan dapat mempengaruhi usaha Kiai Windu Kusuma yang menginginkan pusaka-pusaka di rumah Kiai Gumrah itu. Jika Kiai Windu Kusuma menganggap bahwa kau yang menyebabkannya, maka kau tahu akibat apa yang akan kau alami”
"Kau tahu hubunganku dengan Kiai Windu Kusuma?" bertanya kawannya.
"Kau memang dianggap orang penting. Tetapi kedudukanmu bukan berarti memberimu kesempatan berbuat apa saja." berkata Kundala bersungguh-sungguh.
Kawannya tertawa lagi. Katanya "Aku memang pengikut Kiai Windu Kusuma. Tetapi aku masih tetap mempunyai hak dan wewenang dalam persoalan pribadiku”
"Tetapi kau tidak akan dapat menempatkan hak dan wewenangmu dalam persoalan pribadimu sekali pun melampaui kepentingan Kiai Windu Kusuma” berkata Kundala.
"Kau tidak usah mengajari aku Kundala. Aku lebih tahu dari kau. Sebaliknya justru aku memperingatkanmu agar kau tidak mencampuri persoalanku”
Kundala memang tidak menjawab. Tetapi ia menjadi gelisah. Gadis itu pernah melihat ia datang ke rumah Kiai Gumrah. Seandainya gadis itu kemudian benar-benar dapat berkenalan dengan kawannya itu, maka Kundala sendiri akan menjadi semakin sulit berhubungan dengan Kiai Gumrah. Bahkan mungkin gadis itu akan berceritera tentang hubungannya dengan penjual gula itu.
Tetapi Kundala memang tidak berhasil mencegah kawannya itu. Dalam segala hal ia memang berada di bawah tatarannya. Termasuk kemampuan olah kanuragan. Dalam pada itu, Winih memang sudah berada di sudut tempat para penjual sayuran menjajakan dagangannya.
Dengan senang hati Winih memilih sayuran yang dikehendaki. Sambil menimang sebuah waluh kenti gadis itu berkata “Nah, bukankah di kebun kakek tidak ada buah waluh kenti seperti ini? Juga kangkung yang segar seperti ini”
"Kau senang sayur waluh kenti?" bertanya Laksana.
"Tidak” jawab Winih.
"Kenapa kau akan membelinya?" bertanya Laksana pula.
"Siapa yang akan membelinya?" justru Winih bertanya.
"Jadi?" Laksana termangu-mangu.
"Aku hanya mengatakan bahwa di kebun kakek tidak terdapat buah waluh kenti. Tetapi aku tidak ingin membelinya”
Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Manggada tersenyum sambil menggamitnya. Namun dalam pada itu Winih pun berkata "Aku akan membeli kangkung. Aku ingin ibu membuat sayur padamara. Kangkung dengan kedelai hitam”
Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak ingin bertanya atau menebak kemauan Winih. Beberapa saat Winih memilih beberapa ikat daun kangkung yang nampak muda, hijau dan segar Kemudian setelah ia membayarnya, maka ia pun segera beralih untuk membeli beberapa kebutuhan dapur yang lain.
Namun ketika ia akan membeli seekor ayam, Manggada bertanya "Untuk apa kau membeli ayam?"
"Aku ingin ayah menyembelihnya. Hari ini aku ingin makan dengan daging ayam selain sayur padamara” jawab Winih.
"Bukankah kakek mempunyai banyak sekali ayam. Setiap kali kakek ingin daging ayam, maka kakek akan menyembelihnya seekor” berkata Manggada.
"Aku tidak pernah dapat makan daging ayam yang pernah dipelihara sendiri” jawab Winih.
"Bukankah ayam kakek itu bukan ayam yang pernah kau pelihara karena ketika kau datang ayam itu sudah ada di sana”
"Tetapi bukankah ayam itu dipelihara oleh kakek? Nah, itu sama saja artinya dengan ayam itu dipelihara sendiri”
Manggada tidak bertanya lagi. Ia hanya mengikut saja di belakang ketika Winih kemudian membeli bukan hanya seekor, tetapi bahkan dua ekor ayam. Beberapa saat kemudian, maka Winih pun telah selesai berbelanja. Ketika mereka pulang, maka Manggada dan Laksana harus ikut membantu membawa hasil pembelian Winih di pasar.
Ketika mereka berjalan meninggalkan pasar itu, maka Darpati, kawan Kundala itu, memandang Winih dari kejauhan. Kundala yang telah mengenal dan dikenal oleh Winih, Manggada dan Laksana tidak ingin terlihat oleh ketiganya, sehingga Kundala lebih senang berada di dalam pasar yang ramai ketika Darpati berada di luar pasar untuk memperhatikan Winih yang berjalan meninggalkan pasar bersama Manggada dan Laksana.
Beberapa saat kemudian, maka perjalanan Winih bersama Manggada dan Laksana telah sampai ke bulak yang tidak begitu luas. Sementara itu, jalan pun nampak sepi. Orang-orang yang pergi ke pasar masih belum banyak yang pulang. Sementara itu, tanaman di sawah yang tumbuh subur tidak lagi memerlukan penanganan setiap hari, sehingga dengan demikian maka bulak pendek itu kesannya memang sepi.
Manggada dan Laksana memang terkejut ketika ia melihat anak muda yang tadi berlari-lari menyusul kawannya itu duduk di atas tanggul parit di pinggir jalan. Manggada dan Laksana yang berjalan di belakang Winih pun merapat. Hampir berbisik Manggada pun berkata "Apa maksud anak muda itu? Kawan-kawan tidak begitu senang dengan anak muda itu”
"Nampaknya ia sangat memperhatikan Winih” jawab Laksana.
"Jika ia berniat buruk, maka kita akan menghadapi persoalan yang rumit. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar atas anak-anak-muda sepadukuhan” desis Manggada.
Laksana mengangguk kecil. Ia pun sudah membayangkan kesulitan yang bakal terjadi jika anak itu mulai mengganggu Winih. Manggada dan Laksana sama sekali tidak takut menghadapi anak muda itu sendiri. Tetapi itu akan berarti hubungannya dengan anak-anak muda padukuhan itu mengalami hambatan. Anak muda yang mempunyai pengaruh yang sangat besar itu akan dapat mengendalikan sikap anak-anak muda padukuhan itu.
Namun demikian mereka berjalan terus. Manggada dan Laksana masih belum melihat apakah anak muda itu memang bermaksud buruk atau kebetulan saja ia memang duduk di situ. Semakin dekat dengan anak muda yang duduk di tanggul parit itu, maka Manggada dan Laksana menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika kemudian anak muda itu justru berdiri saat Winih tinggal beberapa langkah saja dari padanya.
Tetapi Winih sendiri sama sekali tidak memperhatikan anak muda itu. Ia berjalan saja tanpa berprasangka apa pun terhadap anak muda yang kemudian berdiri di atas tanggul itu. Namun Winih itu terpaksa menghentikan langkahnya ketika anak muda itu mengangguk hormat. Dengan nada rendah ia berkata, "Selamat datang di padukuhan kami, anak manis”
Winih mengerutkan dahinya. Ketika ia berpaling kepada Manggada dan Laksana, maka kedua anak muda itu sudah berdiri dekat di belakangnya. “Dia itu adikku" berkata Manggada.
"O" anak muda itu mengangguk-angguk "Satu kebetulan. Bukankah kita sudah bersahabat? Apa salahnya jika aku juga berkenalan dengan adikmu?"
Manggada dan Laksana terkejut ketika Winih sendiri menjawab "Jika kau sahabat kakak-kakakku, maka sudah tentu aku tidak berkeberatan berkenalan dengan kau”
Bahkan anak muda itu sendiri terheran-heran mendengar jawaban gadis itu. Apalagi kemudian Winih itu berkata "Namaku Winih. Siapa namamu?"
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia menjawab "Namaku Rambatan”
"Nama yang bagus" sahut Winih. Rambatan itu semakin heran ketika Winih berkata "Marilah. Aku akan pulang. Ibu tentu menunggu. Jika aku kesiangan sampai di rumah, maka ibu pun akan kesiangan pula menyiapkan makan kami sekeluarga”
Rambatan semakin termangu-mangu. Niat yang sudah memenuhi kepalanya untuk mengganggu gadis itu justru bagaikan terdesak tenggelam dalam keheranannya melihat sikap Winih yang sama sekali tidak diduganya. Sama sekali tidak terlintas di kepalanya jika kemudian gadis itu berkata "Rambatan. Marilah, kita berjalan bersama. Bukankah kita tinggal di padukuhan yang sama”
Rambatan itu dengan gagap menjawab "Tetapi, tetapi aku masih harus pergi ke sawah. Terima kasih. Lain kali saja”
Manggada dan Laksana justru termangu-mangu ketika Rambatan itu berkata kepada mereka "Aku akan pergi ke sawah. Sawahku ada di sebelah itu”
"Baiklah" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.
Rambatan memang segera pergi. Sementara itu seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Winih melanjutkan perjalanannya. Dengan nada tinggi ia berkata. "Ibu tentu sudah menunggu”
Manggada dan Laksana mengikuti saja langkah Winih yang menjadi semakin cepat. Sementara itu Manggada dan Laksana justru mulai menilai sikap gadis itu. Apakah gadis itu memiliki kemampuan menilai seseorang, kemudian dengan kematangan sikapnya menanggapinya atau justru karena Winih seorang gadis yang lugu sehingga ia sama sekali tidak berprasangka buruk terhadap siapa pun juga. Juga kepada Rambatan.
Namun Manggada dan Laksana yang kemudian saling berbincang di perjalanan meskipun perlahan-lahan telah memutuskan untuk menyampaikan hal itu kepada Kiai Gumrah dalam kesempatan yang khusus. Agar ayah dan ibu Winih tidak mendengarnya. Kecuali jika kemudian Kiai Gumrah memang ingin berbicara dengan ayah dan ibunya.
Ketika mereka bertiga sampai di rumah, maka ibu Winih memang sudah sibuk di dapur. Nasi telah dijerang. Bumbu yang sudah ada pun telah tersedia. Namun, demikian Kiai Gumrah melihat Laksana membawa dua ekor ayam, maka ia pun bertanya. "He, untuk apa kalian membeli ayam?"
"Hari ini kita akan makan agak lain dari biasanya" jawab Winih "Aku akan minta ayah memotong kedua ekor ayam itu”
"Winih, bukankah kakek mempunyai beberapa ekor ayam?" berkata Kiai Gumrah.
"Aku tidak mau menyembelih ayam sendiri” jawab Winih.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara Nyi Prawara berkata, "Anak itu memang tidak mau menyembelih ayam yang dipelihara sendiri. Karena itu, jika ia ingin ayahnya menyembelih ayam, maka lebih baik ia membeli. Bahkan jika tidak mempunyai uang ayamnya sendiri dijualnya”
Kiai Gumrah tersenyum. Namun terbersit di hatinya tanggapannya atas jiwa cucunya itu. Gadis itu tentu mempunyai perasaan yang mudah tersentuh serta kesetia-kawanan yang tinggi. Karena itu, maka Kiai Gumrah pun tidak bertanya lagi tentang kedua ekor ayam itu.
Sementara itu Rambatan memang telah pergi ke sawahnya. Tetapi demikian ia sampai di sawah, maka ia pun menjadi seperti tersadar dari mimpi yang asing. “Kenapa aku justru seperti orang yang terbius?" pertanyaan itu telah bergejolak di hatinya.
Rambatan menyesal, kenapa ia tidak berjalan mengikuti gadis itu sampai ke padukuhan. Berbicara dan barangkali bercanda dengan gadis cantik itu. Manggada dan Laksana tentu tidak akan berani melarangnya berbuat apa saja terhadap adiknya itu.
"Aku telah melewatkan kesempatan ini" berkata Rambatan yang kesal kepada diri sendiri.
Tetapi sebenarnyalah kesempatan itu masih terbuka baginya. Winih tidak hanya sekali pergi ke pasar. Di keesokan harinya, ternyata Winih minta Manggada dan Laksana mengantarnya lagi ke pasar.
"Apakah kau akan membeli ayam lagi?" bertanya Manggada.
"Ah kau" desis Winih "Aku ingin membeli kain lurik yang berwarna merah bata itu. Aku senang sekali. Mungkin ibu juga senang setelah melihatnya dan ingin pula membelinya”
Namun Manggada dan Laksana masih saja selalu ingat pesan Kiai Gumrah. Jika mereka terlalu sering keluar rumah maka persoalannya akan dapat berkembang. Orang-orang Kiai Windu Kencana mungkin akan mempunyai rencana tertentu terhadap mereka. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa Winih memang cucu Kiai Gumrah.
Namun agaknya Winih sama sekali tidak menghiraukan bahaya itu. Bahkan ketika ayahnya memperingatkan agar ia tidak usah pergi ke pasar hari itu, Winih mulai merengek.
"Biarlah ia pergi" desis ibunya "Angger Manggada dan Laksana akan menemaninya”
Ki Prawara sempat berbisik. "Ayah mencemaskannya. Orang-orang Kiai Windu Kusuma mungkin sekali mengamatinya”
"Apa yang akan mereka lakukan di siang hari? Bukankah jalan tidak terlalu sepi? Sementara itu angger Manggada dan Laksana bersamanya”
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi besok Winih tidak boleh pergi lagi ke pasar!”
Nyi Prawara mengangguk. Katanya. "Baiklah. Setelah hari ini, maka ia tidak boleh terlalu sering pergi ke pasar. Kecuali untuk menjaga keselamatannya, maka uang kita pun akan segera habis”
Ki Prawara pun tersenyum. Sambil mengangguk kecil ia berkata, "Kau benar. Bekal kita memang tidak terlalu banyak”
Seperti direncanakan, maka Winih memang telah pergi ke pasar bersama Manggada dan Laksana. Mereka bertemu lagi beberapa orang anak muda yang pergi ke sawah. Mereka pun melihat anak muda yang berwajah keras dan bernama Rambatan itu berjalan dengan beberapa orang anak muda pula sambil membawa cangkul.
Winih menanggapi sikap mereka dengan baik. Ketika anak-anak muda itu mengangguk hormat, maka Winih pun mengangguk homat pula. Demikian pula ketika ia bertemu dengan Rambatan. Ia menjawab sapa Rambatan dengan wajar.
Namun nampaknya Winih tidak memperhatikan sorot mata Rambatan yang memancar bagaikan sorot mata serigala yang melihat seekor anak domba. Manggada dan Laksana yang melihat kilatan sorot mata itu menjadi berdebar-debar pula. Tetapi Laksana pun berkata perlahan-lahan tanpa didengar oleh Winih,
"Tetapi kemarin ia bersikap baik. Rambatan tidak mengganggu Winih”
"Mudah-mudahan untuk seterusnya ia bersikap baik” jawab Manggada.
Di pasar, Winih memang langsung menuju ke tempat para penjual kain lurik. Beberapa kali ia memilih. Digelarnya beberapa lembar kain. Tetapi kain itu pun harus dilipat lagi oleh penjualnya karena Winih ternyata tidak menyenanginya.
Manggada dan Laksana menjadi tidak telaten menunggu Winih memilih kain lurik yang di ingininya. Tetapi ketika hal itu dikatakan oleh Laksana, maka sambil memberengut Winih berkata "Jika kalian akan pulang dahulu, pulang sajalah”
"Bukan itu maksudku, Winih" jawab Laksana "Tetapi penjual kain itu akan dapat marah kepada kita. Berapa saja yang sudah digelarnya. Tetapi kau selalu menolaknya”
Winih memandang Laksana sejenak. Namun kemudian katanya "Bukankah wajar untuk memilih barang yang hendak kita beli?"
"Tetapi tidak terlalu lama seperti itu”
Namun ternyata Winih pun mengangguk. Seperti yang direncanakan dari rumah, maka akhirnya Winih memang memilih selembar kain yang berwarna merah bata.
Tetapi sementara itu, sepasang mata masih saja selalu mengikutinya. Ternyata Darpati, kawan Kundala, yang melihat Winih berada di pasar lagi, telah mengikutinya meskipun dari jarak tertentu, sehingga Winih, Manggada dan Laksana tidak mengetahuinya, bahkan ketika Darpati itu lewat dan sempat menyinggung Winih yang sedang memilih kain lurik itu. Namun yang kemudian telah mengambil jarak lagi.
Dalam pada itu, setelah mendapat kain yang diingininya, maka Winih pun mengajak Manggada dan Laksana pulang. Namun Winih masih singgah untuk membeli beberapa kebutuhan dapur sesuai dengan pesan ibunya.
Dengan wajah yang cerah Winih melangkah menyusuri jalan pulang. Manggada dan Laksana yang berjalan di belakangnya mengikuti langkah-langkah kecil yang cepat itu,
Sambil berpaling Winih berkata "Marilah. Kenapa begitu lambat? Aku ingin segera menunjukkan kain itu kepada ibu. Biarlah ibu menilainya, apakah pilihanku tepat atau tidak. Sesuai atau tidak dengan kulitku”
Di luar sadarnya Manggada dan Laksana justru memperhatikan kulit Winih. Gadis itu kulitnya memang nampak bersih. Sebagai seorang gadis desa, maka Winih termasuk berkulit kuning meskipun nampak terpaan sinar matahari yang membakar. Seperti dikatakan ibunya, Winih hampir setiap hari dipanggang oleh panasnya matahari di sawah dan pategalan bersama dengan ayah dan ibunya.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sampai di bulak kecil, Manggada dan Laksana melihat lagi Rambatan duduk di tanggul parit, la tidak sendiri. Tetapi Rambatan duduk diparit bersama dengan ampat orang kawannya.
Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Bahwa Rambatan berada di bulak pendek itu bersama dengan ampat orang kawannya, maka persoalan yang tidak diinginkan akan dapat timbul.
Winih pun kemudian melihat pula Rambatan dan kawan-kawannya. Karena itu, maka berbeda dengan hari sebelumnya, Winih telah memperlambat langkahnya. Bahkan kemudian ia bertanya, "Kenapa Rambatan itu ada di sana lagi?"
"Entahlah..." berkata Manggada "Mudah-mudahan ia tidak mengganggumu lagi”
"Rambatan belum pernah menggangguku" jawab Winih.
"Bukankah kemarin ia juga menunggumu di sana?" bertanya Laksana.
"Tetapi aku tidak merasa terganggu dengan kehadirannya kemarin. Tetapi sekarang ia datang lagi bersama beberapa orang kawannya. Jika semuanya nanti bertanya seorang demi seorang, maka aku memang akan merasa terganggu” desis Winih.
"Mudah-mudahan mereka hanya bertanya saja" desis Laksana.
"Apakah mungkin lebih dari itu?" bertanya Winih
"Winih" berkata Manggada kemudian "Hati-hatilah. Menurut beberapa orang kawannya yang aku kenal. Rambatan bukan seorang yang baik. Ia mempunyai sifat yang tidak disukai oleh kawan-kawannya karena ia sangat mementingkan dirinya sendiri”
"Tetapi kenapa kawan-kawannya mau datang bersamanya?" bertanya Winih.
"Memang ada beberapa orang anak muda yang secara khusus sangat dekat dengan Rambatan. Anak-anak muda itu tentu mempunyai pamrih. Karena Rambatan ditakuti oleh anak-anak muda sepadukuhan dan bahkan padukuhan-padukuhan di sekitarnya, maka ada beberapa orang yang ingin menompang untuk ikut ditakuti karena mereka adalah kawan-kawan dekat Rambatan” jawab Manggada.
"Tetapi di siang hari mereka tidak akan berbuat apa-apa" berkata Winih.
"Belum tentu Winih" jawab Laksana "bulak kecil ini terhitung sepi pada saat seperti ini. Memang sebentar lagi jalan ini akan banyak dilalui orang dari pasar. Tetapi sekarang kita tidak melihat orang lewat dan orang yang berada di sawah”
Winih tidak menjawab. Tetapi ia tidak lagi berjalan terlalu cepat.
Sementara itu Rambatan dan kawan-kawannya telah bangkit berdiri. Dengan nada berat Rambatan berkata kepada kawan-kawannya. "Gadis itu tidak akan dapat menyihirku lagi”
"Apakah kau pernah disihirnya?" bertanya seorang kawannya.
"Kemarin aku seakan-akan disihirnya. Tiba-tiba saja aku menjadi dungu, dan kehilangan akal menghadapi gadis itu” jawab Rambatan.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan?" bertanya kawannya yang lain.
"Aku akan mengajaknya singgah di rumah. Aku mempunyai dua ekor ayam yang dapat aku berikan kepadanya. Kemarin gadis itu membawa dua ekor ayam dari pasar” jawab Rambatan.
"Hanya itu?" bertanya kawannya yang lain lagi.
"Ya. Lalu apa?" Rambatan justru bertanya "Aku tidak gila untuk berbuat lebih dari itu kali ini. Entah besok atau lusa. Mudah-mudahan ia berada di sini untuk waktu yang lama. Kakeknya, penjual gula itu tidak akan banyak bertingkah”
"Bagaimana dengan ayahnya dan kedua orang anak muda itu?" bertanya kawannya pula.
"Mereka bukan penghuni padukuhan ini. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa” jawab Rambatan.
Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Winih dan Manggada serta Laksana yang berjalan di sebelah menye-belah menjadi semakin dekat. Bertiga mereka memang nampak berhati-hati.
Demikian Winih menjadi semakin dekat maka Rambatan itu pun melangkah menyongsongnya sambil tersenyum. Winih yang mulai memperhatikan anak muda itu melihat betapa Wajahnya nampak keras sehingga senyumnya sama sekali tidak berkesan ramah.
Tetapi Winih justru bertanya lebih dahulu. "Bukankah kau Rambatan yang kemarin?"
"Ya" jawab Rambatan "Aku memang ingin berbicara dengan kau Winih”
“Berbicara apa? Bukankah sejak kemarin kita sudah berbicara?" justru Winih yang bertanya.
Rambatan mengerutkan dahinya. Namun sambil mengangguk ia menjawab. "Ya. Kemarin kita memang sudah berbicara!”
"Jika demikian, apa lagi yang akan kita bicarakan?"
Rambatan tiba-tiba menjadi bingung. Di luar sadarnya ia berpaling kepada kawan-kawannya. Seorang kawannyalah yang kemudian berkata, "Bukankah kau mempunyai dua ekor ayam?"
"O, ya" berkata Rambatan dengan serta merta "Aku mempunyai dua ekor ayam. Aku minta kau singgah sebentar dirumahku. Kau dapat membawa dua ekor ayam itu. Bukankah kemarin kau membeli dua ekor ayam di pasar?"
Winih tersenyum. Katanya "Terima kasih Rambatan. Ayam itu masih ada sampai sekarang. Ayah belum sempat menyembelihnya. Karena itu, aku masih belum memerlukan ayam lagi. Mungkin lain kali saja”
Satu kesalahan telah dilakukan oleh Winih tanpa disadarinya. Justru karena itu tersenyum. Rambatan yang melihat Winih tersenyum, jantungnya serasa berdebar semakin cepat. Meskipun kemarin Winih juga tersenyum, tetapi saat itu Rambatan melihat wajah Winih menjadi secantik wajah bidadari.
Karena itu, maka perasaan Rambutan menjadi semakin goncang. Dengan suara bergetar ia kemudian berkata bahkan dengan nada memaksa, "Winih. Aku minta kau singgah sebentar di rumahku. Aku sudah menyediakan dua ekor ayam buatmu. Kau tidak boleh menolak. Ayah dan ibuku sudah tahu bahwa kedua ekor ayam itu akan aku peruntukkan bagimu!”
"Bagaimana ayah dan ibumu mengetahui tentang aku?" bertanya Winih.
"Aku yang mengatakannya kepada mereka. Aku berceritera tentang kau. Bahwa kau cucu pembuat dan penjual gula itu. Bahwa kau cantik dan ramah.” berkata Rambatan.
Winih menarik nafas dalam-dalam. Pernyataan itu mulai tidak menyenangkan hati gadis itu. Tetapi gadis itu masih saja mengulangi kesalahan yang tidak disadarinya. Tersenyum. Winih sama sekali tidak mengetahui bahwa senyumnya telah membuat Rambatan menjadi bagaikan orang mabuk.
Namun Winih itu menjawab "Rambatan. Aku tidak dapat membuat ibu gelisah. Aku harus segera pulang. Atau kau saja yang pergi ke rumah kakek? Aku akan menghidangkan minuman hangat dengan gula kelapa. Kakek mempunyai banyak gula kelapa.”
Rambatan menjadi bingung. Bahkan ia menjadi gelisah. Keringat dingin membasahi punggung dan keningnya. Hampir saja ia mengangguk mengiakan. Tetapi seorang kawannya berkata "Bukankah kau telah berniat untuk mengajak Winih pulang dan memberinya dua ekor ayam?"
Sebelum Rambatan menjawab, Winih sudah lebih, dahulu menjawab "Ia sudah mengatakannya tadi. Aku pun telah menjawab.”
"Tetapi jawabmu tidak sebagaimana dimaksudkan oleh Rambatan" berkata anak muda kawan Rambatan itu "Rambatan ingin mengajak kau ke rumahnya sekarang...”
Selanjutnya, Sang Penerus Bagian 09 |