Sang Penerus Bagian 09

Cerita Silat Indonesia Serial Arya Manggada episode Sang Penerus Bagian 09 karya Singgih Hadi Mintardja
Sonny Ogawa
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA dan Laksana memang menjadi ragu-ragu. Jika ia langsung demikian mencampurinya, maka kemungkinan buruk dapat terjadi. Dengan demikian mereka tidak akan dapat menyembunyikan diri lagi terhadap anak-anak muda pedukuhan itu sehingga hubungannya dengan anak-anak muda sepadukuhah akan berubah.

Dalam pada itu Winih pun menjawab "Maaf, Ki Sanak. Aku akan segera pulang. Aku justru mengajak Rambatan singgah di rumahku.”

Tetapi kawannya masih saja berkata "Tentu kurang pantas jika Rambatan yang harus singgah di rumah kakekmu. Kau sajalah yang singgah di rumahnya.”

Manggada ternyata tidak tahan lagi. Karena itu, maka ia pun menjawab “Itu terbalik Ki Sanak. Bukankah lebih baik seorang laki-laki datang berkunjung ke rumah seorang gadis daripada sebaliknya?"

"Itu pikiran orang-orang tua yang tidak tahu diri” jawab kawan Rambatan itu "Tetapi apa pun alasannya, sebaiknya Winih singgah sebentar di rumah Rambatan.”

Rambatan sendiri memang menjadi agak bingung. Ia bahkan menjadi sangat gelisah. Apalagi ketika Winih menjawab langsung ditujukan kepadanya "Rambatan. Bukankah kau tidak berkeberatan berjalan bersama aku dan singgah di rumah kakek?"

Rambatan memang tidak segera menjawab. Tetapi kawannya yang lain tiba-tiba dengan kasar berkata "Kau tidak mempunyai pilihan, Winih. Kau harus singgah. Manggada dan Laksana juga harus ikut meskipun kalian tidak perlu ikut singgah di rumah Rambatan.”

Manggada dan Laksana melihat gelagat yang tidak baik. karena itu maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka Laksana pun telah menjawab meskipun masih berusaha mengekang diri. "Jangan begitu Ki Sanak Winih tentu akan bersedia singgah. Tetapi lain kali. Tidak sekarang. Jika ia terlambat pulang, tentu ibu dan ayahnya menjadi gelisah sekali.”

"Mungkin. Tetapi jika saatnya Winih pulang dengan membawa dua ekor ayam, ayah dan ibunya tentu tidak akan marah.” jawab kawan Rambatan yang bermata merah.

Karena Rambatan sendiri masih saja berdiam diri, maka seorang kawannya menggamitnya sambil berkata "Kau harus berkata dengan tegas. Kau adalah seorang laki-laki. Bahkan laki-laki yang paling ditakuti di padukuhan ini. Bukan saja oleh anak-anak muda, tetapi orang-orang tua pun takut kepadamu.”

Rambatan mengerutkan dahinya. Sementara kawannya berkata "Dua orang kakak Winih itu pun tentu tidak akan berani menghalangimu. Karena itu, kau mempunyai wewenang untuk memaksa Winih mengikutimu.”

Rambatan memandang Manggada dan Laksana berganti-ganti. Meskipun ia menjadi bingung menghadapi seorang gadis, tetapi ketika ia melihat Manggada dan Laksana, maka kekerasan hatinya dan kekasarannya pun justru timbul. Hampir di luar sadarnya ia berkata "Jangan ikut campur. Nanti aku memilin lehermu sampai patah.”

Manggada dan Laksana sebenarnya sama sekali tidak takut terhadap anak muda yang bernama Rambatan itu. Bahkan dengan kawan-kawannya sama sekali. Tetapi yang diragukan justru anak-anak padukuhan akan mengenali kemampuannya.

Namun dalam pada itu, mereka melihat seorang yang masih nampak muda, sedikit lebih tua dari Manggada dan Laksana, berjalan menuju kearah mereka. Langkahnya lebar dan cepat, sehingga beberapa saat kemudian orang itu pun menjadi semakin dekat.

"Sukurlah" berkata Winih “Ada orang lewat. Aku akan, berjalan bersamanya jika Rambatan tidak mau berjalan bersama aku.”

Tetapi seorang kawannya memperingatkan "Jangan menyeret orang itu ke dalam kesulitan. Biarlah orang itu tidak usah turut campur, sehingga ia tidak akan terjerumus ke dalam lumpur sawah yang basah itu”

Tetapi orang itu sudah menjadi semakin dekat. Bahkan kemudian orang itu justru melangkah langsung mendekati Winih. Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Hampir saja mereka menahan orang itu agar tidak berdiri terlalu dekat dengan Winih.

Tetapi demikian orang itu berhenti, maka ia pun segera, menghadap kearah Rambatan sambil berkata "Apakah kalian bermaksud mengganggu gadis ini?"

"Siapakah kau?" bertanya kawan Rambatan.

"Namaku Darpati. Aku kebetulan saja lewat. Dari kejauhan aku melihat sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi di sini, sehingga aku tergesa-gesa mendekat”

Rambatan yang melihat sikap anak muda itu hatinya bagaikan disulut api. Kekerasan dan kekasarannya yang mulai terungkit oleh sikap Manggada dan Laksana, semakin membara di hatinya. Karena itu maka ia pun berkata lantang,

"He, anak dungu. Jika kau ingin lewat, lewat sajalah. Jangan ikut mencampuri persoalan kami dengan gadis itu. Tidak ada persoalan apa-apa di antara kami. Kami yang sudah akrab memang sedang berbincang-bincang saja. Karena itu, pergilah dan jangan membuat aku marah”

Namun tiba-tiba saja Winih berkata kepada anak muda yang lewat itu "Ki Sanak. Apakah kau akan pergi ke padukuhan sebelah? Jika demikian, marilah, kita akan berjalan bersama-sama.”

Darpati mengerutkah dahinya. Namun kemudian ia menjawab "Marilah, aku memang akan berjalan ke padukuhan sebelah.”

Tetapi seorang kawan Rambatan justru berteriak "Tidak. Kau tidak akan pergi kemana pun. Kau harus mengambil dua ekor ayam itu. Ayam itu sudah terlanjur ditangkap dan diikat sejak fajar”

"Kalian memang aneh Ki Sanak" berkata Darpati "sikap kalian tidak dapat aku mengerti. Gadis ini akan berjalan terus. Agaknya kalian memaksa gadis ini untuk melakukan sesuatu”

"Ia sendiri yang memesan dua ekor ayam" jawab kawan Rambatan "Ayam itu sudah disediakan”

"Sudahlah" berkata Winih yang nampaknya masih saja tenang "aku akan pulang bersama anak muda ini. Selain kedua orang kakakku itu”

"Tidak. Kau tidak dapat berbuat begitu" kawan Rambatan mulai membentak.

Namun Darpati pun berkata" Marilah. Aku antar kau sampai ke rumahmu. Jangan takut” Lalu ia pun berpaling kepada Manggada dan Laksana "aku akan pulang bersamamu”

Tetapi Rambatan menggeram "Anak muda. Tinggalkan tempat ini atau kau akan menyesali tingkah lakumu itu”

"Kau mau apa?" bertanya Darpati.

"Aku akan memilin lehermu." jawab Rambatan.

Darpati tertawa. Ia pun kemudian berpaling kepada Manggada dan Laksana. Darpati tahu bahwa Manggada dan Laksana memiliki kemampuan yang tentu cukup untuk mengalahkan Rambatan dan kawan-kawannya, karena Darpati sudah mendengar tentang keduanya. Tetapi adalah kebetulan bahwa Manggada dan Laksana belum berbuat sesuatu Darpati memang merasa beruntung mendapatkan kesempatan itu, karena dengan demikian ia akan dapat berkenalan dengan Winih dan bahkan telah memberikan jasa baiknya pula.

Dengan nada rendah ia berkata kepada Manggada dan Laksana “Bawa adikmu menepi. Aku akan menyelesaikan anak yang tidak tahu diri ini”

"Setan kau!” geram Rambatan. Ia sudah terbiasa berbuat kasar. Di antara kawan-kawannya maka ia adalah anak muda yang paling ditakuti. Bahkan sepadukuhan menganggapnya orang yang terkuat dari antara semua laki-laki. Karena itu, melihat sikap Darpati, jantungnya benar-benar telah terbakar. Dengan garangnya ia menggeram pula. "Aku tidak terbiasa memberi kesempatan orang yang berani menentangku lolos dari tanganku. Tetapi kali ini aku masih berusaha untuk mengekang diri. Pergilah dan jangan ganggu gadis itu.”

Darpati justru tertawa. Katanya “Siapakah yang mengganggu gadis itu. Ia minta agar aku berjalan bersamanya ke padukuhan sebelah.”

"Jika kau tidak mau mendengar kata-kataku, maka aku akan melakukan sebagaimana selalu aku lakukan terhadap siapa saja yang menentangku.”

Tetapi Darpati masih saja tertawa. Katanya "Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Hanya para pengecut sajalah yang takut kepadamu.”

Rambatan tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera bergeser dan bersiap untuk berkelahi. Manggada dan Laksana telah membawa Winih menepi. Keduanya memang merasa beruntung pula bahwa mereka tidak perlu berkelahi. Melihat sikap dan gerak Darpati, maka Manggada dan Laksana mengetahui bahwa ia tentu seorang yang memiliki bekal ilmu kanuragan. Memang agak berbeda dengan Rambatan yang melandasi keberaniannya pada tenaganya yang besar dan mungkin sedikit saja pengetahuannya tentang olah kanuragan.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Rambatan pun mulai menyerang dengan garangnya. Tenaganya memang kuat sekali. Ayunan serangannya telah menggetarkan udara di sekitarnya.

Tetapi Darpati tersenyum saja melihat serangan itu. Dengan gerak yang sederhana ia berhasil menghindarinya. Bahkan demikian tangan Rambatan terayun sejengkal dihadapan wajahnya, maka dengan keempat ujung jarinya yang terbuka dan merapat Darpati menyentuh lambung Rambatan. Sambil menyeringai menahan sakit yang menyengat Rambatan meloncat surut.

Darpati tidak memburunya. Sambil tersenyum ia berkata "Ki Sanak. Untuk memenangkan sebuah perkelahian, seseorang tidak cukup mengandalkan kekuatan kewadagan saja. Tetapi kita harus mengenal cara dan akal untuk mengatasi sekedar kekuatan wadag. Bahkan seseorang yang lebih lemah akan dapat mengalahkan lawannya yang jauh lebih kuat, justru dengan meminjam kekuatan lawannya yang berlebihan itu”

"Cukup..." bentak Rambatan "Aku tidak perlu sesorahmu. Aku justru ingin mengoyak mulutmu itu”

Darpati justru tertawa. Kalanya "Kau harus berlatih bertahun-tahun untuk dapat menguasai dasar ilmu untuk menyelesikan tataran pertama. Dan bertahun-tahun tataran kedua dan berikutnya”

Tetapi Rambatan tidak menjawab. Sekali lagi ia meloncat menyerang. Tangannya yang kuat dengan jari-jari terbuka menerkam wajahnya.

Darpati sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menghindar. Tetapi Darpati tidak menghindar seluruhnya. Seperti yang dikatakan, maka Darpati justru menangkap pergelangan tangan Rambatan dan mempergunakan tenaga dorongnya, maka Darpati membalikkan tubuhnya sambil menarik tangan lawannya.

Tarikan yang tidak begitu kuat, didorong oleh tenaganya sendiri, maka Rambatan justru terlempar lewat di atas pundak Darpati yang merendah, sambil membalikkan tubuhnya. Rambatan benar-benar telah terlempar. Bahkan berputar sekali di udara dan jatuh terbanting di tanah.

Darpati yang kemudian berdiri bertolak pinggang memandangi Rambatan yang kesakitan. Anak muda itu memang berusaha untuk bangkit dan berdiri. Tetapi punggungnya terasa nyeri. Dalam pada itu adalah di luar dugaan, bahwa seorang di antara kawan Rambatan telah meloncat menyerang dari belakang.

Darpati pun sama sekali tidak menduga. Sementara itu Manggada dan Laksana berdiri pada jarak yang cukup jauh karena mereka telah mengajak Winih menepi. Dengan demikian maka serangan kaki itu langsung mengenai punggung Darpati.

Darpati terdorong dengan derasnya beberapa langkah dan bahkan jatuh terjerembab. Tetapi Darpati memang tangkas. Ia tidak tersuruk dengan wajahnya membentur tanah. Tetapi Darpati justru melingkar dan jatuh pada pundaknya dan bergulung beberapa kali.

Dalam sekejap Darpati sudah berdiri tegak. Keningnya nampak berkerut, sementara sorot, matanya memancarkan kemarahan yang menyala di dadanya. Dengan nada tinggi ia berkata, "Pengecut kau. Kau serang aku dari belakang justru saat aku memberi kesempatan kawanmu bangkit. Karena itu, maka kau akan menerima akibat dari perbuatanmu itu”

Anak muda yang telah menyerang Darpati dari belakang itu mundur selangkah. Sorot mata Darpati memang membuat jantungnya bergetar. Tetapi karena Ia tidak sendiri maka ia pun berpaling kepada kawan-kawannya agar mereka pun ikut bertanggung jawab.

Sebenarnyalah bahwa kawan-kawannya memang tidak membiarkannya melawan seorang diri. Bahkan Rambatan yang punggungnya terasa nyeri itu pun sudah siap untuk berkelahi. Darpati menyadari bahwa ia harus melawan lima orang sekaligus. Tetapi ia sama sekali tidak tergetar hatinya.

Manggada dan Laksana yang melihat Darpati harus berhadapan dengan lima orang itu tidak dapat tinggal diam. Betapa pun mereka ingin berbuat sebagaimana Kiai Gumrah tanpa menunjukkan kemampuannya kepada orang-orang padukuhan itu, namun mereka tidak akan dapat berdiam diri melihat Darpati yang berusaha melindungi Winih harus bertempur seorang diri.

Tetapi ketika Manggada dan Laksana melangkah maju meninggalkan Winih sendiri, Darpati itu pun berkata "Jangan tinggalkan gadis itu sendiri. Biarlah aku selesaikan anak-anak yang tidak tahu diri ini”

Rambatan dan keempat kawannya itu mulai mengepungnya. Rambatan yang punggungnya masih terasa nyeri itu pun berkata, "Kau akan menyesal anak yang sombong.”

Tetapi Darpati tertawa. Katanya "Aku tidak akan pernah menyesal menginjak kepala cucurut yang licik”

Rambatan memang merasa terhina sekali. Ia pun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawan untuk segera menyerang. Kelima orang itu memang serentak menyerang. Tetapi Darpati benar-benar seorang yang tangkas. Ketika kelima orang itu menyerang, maka Darpati nampaknya memang tidak menghindar.

Tetapi orang-orang yang sedang berkelahi itu nampak berputaran, berbenturan dan kemudian seakan-akan tidak dapat diikuti lagi apa yang terjadi karena, mereka saling berbaur seakan-akan hanya sekedar dorong-mendorong. Tetapi yang mengejutkan kemudian adalah, kelima orang itu seakan-akan telah terlempar dan berjatuhan terbanting di tanah.

"Apa yang terjadi?" bertanya Manggada di dalam hatinya. Demikian pula Laksana memang menjadi heran melihat peristiwa itu.

Kelima orang anak muda yang dipimpin oleh Rambatan itu ternyata telah mengalami kesulitan. Mereka mengalami kesulitan untuk bangkit berdiri, badan mereka terasa sakit. Tulang-tulang mereka bagaikan menjadi retak. Apalagi Rambatan sendiri yang nyeri di punggungnya masih terasa. Ditambah lagi dengan perasaan sakit yang menyengat pundak dan lambungnya. Bahkan nafasnya pun seakan-akan menjadi sesak.

Darpati berdiri tegak di antara tubuh yang terbaring dan menggeliat Kesakitan. Namun ternyata ia masih marah kepada anak muda yang menyerangnya dari belakang. Digapainya baju anak itu dan ditariknya berdiri. Dengan geram Darpati berkata, "Nah, sekarang aku ingin membalas. Aku ingin menyerang punggungmu dengan tendangan sekuat tenagaku”

"Jangan..." anak itu merengek "Aku minta ampun.”

"Aku mengampuni kawan-kawanmu. Tetapi karena kau licik, maka aku tidak mengampunimu.”

"Ampun. Aku mohon ampun!" anak itu menangis.

Tiba-tiba saja Darpati mendorong anak itu sehingga jatuh. Namun ia pun kemudian tertawa sambil berkata "Kau benar-benar licik. Kau serang aku dari belakang, sekarang kau menangis, sehingga aku menjadi iba”

Darpati pun kemudian meninggalkan anak-anak muda yang sudah tidak mampu berbuat, apa-apa itu. Bahkan Rambatan masih saja mengerang kesakitan. Sambil mendekati Winih. ia berkata "Marilah. Aku antar kau pulang, Winih...”

Winih tersenyum sambil menjawab "Terima kasih. Aku hanya merepotkan saja.”

"Tidak" jawab Darpati "Itu sudah menjadi kewajibanku.”

Winih tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian melangkah bersama Darpati menuju ke padukuhan sebelah. Sekali Winih masih berpaling kepada Rambatan dan kawan-kawannya. Namun kemudian ia melangkah semakin jauh.

Manggada dan Laksana berjalan di belakang mereka. Di sebelah Rambatan yang berusaha bangkit, keduanya berhenti. Tetapi keduanya juga tidak berbuat sesuatu, karena keduanya pun segera melanjutkan perjalanan mereka mengikuti Winih yang berjalan bersama Darpati.

Di belakang mereka pada jarak beberapa langkah Manggada berkata "Orang itu ternyata seorang yang memiliki kelebihan”

"Ya. Hanya orang berilmu tinggi dapat berbuat seperti itu" jawab Laksana.

"Siapakah orang itu sebenarnya? Orang itu sengaja mencegah kita melibatkan diri dalam perkelahian itu. Apakah ia mengetahui bahwa kita sengaja menyembunyikan sedikit kemampuan yang kita miliki terhadap anak-anak muda padukuhan ini? Atau ia ingin menunjukkan kepada Winih bahwa ia memiliki ilmu yang tinggi atau maksud-maksud yang lain lagi?" desis Manggada.

Laksana mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab "Perhatiannya tertumpah kepada Winih. Ia tentu ingin menunjukkan kepada gadis itu bahwa ia memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan mudah ia dapat mengalahkan lima orang anak muda termasuk Rambatan, anak muda yang ditakuti di seluruh padukuhan”

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia sempat bergurau, katanya "Sudahlah, biarlah orang itu menjadi seorang pahlawan bagi Winih. Kau tidak usah menyesal”

"He?" Laksana justru berhenti melangkah. Manggada pun berhenti pula. Namun Laksana pun kemudian berkata “Bukankah Winih itu adik kita?"

Manggada tertawa. Laksana pun kemudian tertawa. Demikianlah, mereka berempat menyusuri jalan padukuhan di sebelah bulak yang tidak begitu luas itu. Ternyata Darpati yang mengantar Winih tidak menjadi canggung ketika Winih mempersilahkannya untuk singgah pula.

Kiai Gumrah, Ki Prawara dan bahkan Nyi Prawara telah ikut menemui Darpati yang menyerahkan Winih kepada kedua orang tuanya itu. Darpati pun telah menceriterakan apa yang telah terjadi atas Winih di jalan bulak yang meskipun tidak begitu luas, tetapi jalan memang agak sepi. Demikian pula tidak nampak para petai berada disawah mereka.

"Terima kasih ngger..." berkata Kiai Gumrah "Angger telah menyelamatkan cucuku. Jika saja angger tidak membantunya, maka tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat melepaskannya dari tangan Rambatan itu”

Darpati tertawa. Ia bukan saja tertawa atas pujian itu. Tetapi sebenarnyalah ia mentertawakan Kiai Gumrah, karena Darpati sebagai bagian dari kekuatan Kiai Windu Kusuma sudah mengerti bahwa Kiai Gumrah adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan ketika ia bertemu dan berbicara dengan Ki Prawara, Darpati itu pun menduga bahwa anak Kiai Gumrah itu tentu juga seorang yang berilmu meskipun seandainya, tidak, atau belum setinggi ilmu Kiai Gumrah.

Untuk beberapa lama Darpati berada di rumah Kiai Gumrah. Winih sendiri yang ikut menemui Darpati bersikap sangat ramah. Setiap kali nampak senyumnya menghiasi bibirnya. Ia berbicara panjang, namun terasa nada bicaranya, bahwa Winih adalah seorang gadis yang lugu. Tetapi apakah tersirat perasaan lain pada nada bicaranya selain ungkapan terima kasihnya dan pendapatnya yang serta-merta saja keluar dari mulutnya.

Namun akhirnya setelah meneguk minuman yang dihidangkan baginya serta sepotong ketela pohon rebus, maka Darpati pun minta diri. Kiai Gumrah serta kedua orang tua winih masih saja mengucapkan terima kasih ketika Darpati itu keluar dari regol halaman rumah Kiai Gumrah.

Sepeninggal Darpati, maka Kiai Gumrah, kedua orang tua Winih telah memanggil Manggada dan Laksana serta Winih sendiri. Mereka minta mereka menceriterakan apa yang telah terjadi. Manggada dan Laksana hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara. Winih sendirilah yang berceritera banyak tentang Darpati yang telah menolongnya.

"Seandainya Darpati itu tidak datang menolongmu, bukankah ada kakakmu Manggada dan Laksana?" bertanya Kiai Gumrah.

"Kakang Manggada dan Laksana tidak berbuat apa-apa" jawab Winih.

"Apakah begitu?" bertanya Kiai Gumrah.

Sebelum Manggada dan Laksana menjawab, Winih sudah mendahuluinya "Aku tidak tahu pasti apakah mereka akan melindungi aku atau tidak, tetapi setidak-tidaknya mereka sangat lamban”

"Seandainya Manggada dan Laksana lamban, serta orang itu tidak datang?" desak ibunya.

Manggada dan Laksana mengerutkan dahinya. Baginya pertayaan itu memang aneh. Tetapi Winih tidak menjawab. Ia hanya menunduk saja.

"Winih" berkata Ki Prawara "Aku ingin mendengar pendapat Manggada dan Laksana tentang orang itu. Aku minta kau diam saja lebih dahulu”

Winih memandang ayahnya sejenak. Namun kemudian kembali ia menunduk.

Ki Prawara pun kemudian bertanya kepada Manggada dan Laksana "Menurut pendapatmu, apakah ia memang berilmu tinggi?"

"Ya paman!" jawab Manggada "Kami kadang-kadang tidak sempat mengikuti apa yang dilakukannya”

Ki Prawara mengangguk-angguk, sementara Laksana sempat menceriterakan apa yang telah terjadi dengan lebih jelas, apakah yang telah dilakukan oleh Darpati terhadap kelima orang anak muda yang dipimpin oleh Rambatan itu.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Sementara itu kepada Kiai Gumrah ia berkata, "Apakah sebelumnya ayah pernah mendengar di sekitar daerah atau lingkungan ini terdapat satu perguruan atau sekelompok orang yang berilmu tinggi?"

Kiai Gumrah menggelengkan kepalanya. Katanya, "Baru setelah orang-orang Windu Kencana ada di sini”

Ki Prawara masih mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah ada hubungannya antara orang»orang Kiai Windu Kusuma dengan orang ini? Seandainya demikian, maka kita harus menjadi sangat berhati-hati...”

"Ayah terlalu curiga" berkata Winih hampir bergumam.

"Bukan terlalu curiga Winih" jawab ayahnya "mungkin orang itu sengaja memanfaatkan kehadiranmu di sini agar ia sempat memasuki dan melihat-lihat rumah ini...”

"Orang itu telah menolongku. Sekarang ayah menjadi curiga kepadanya. Bukankah seharusnya ayah berterima-kasih sebagaimana ayah katakan? Apakah apa yang ayah katakan memang tidak sesuai dengan apa yang ayah pikirkan?” bertanya Winih.

“Bukan begitu Winih" jawab ayahnya "tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, maka wajarlah jika kita mencurigai setiap orang. Tentu saja termasuk Darpati”

"Tetapi ia orang baik, ayah” gumam Winih.

Ayahnya hanya mengangguk-angguk. Kemudian Ki Prawara itu pun telah memberikan isyarat kepada Nyi Prawara untuk membawa anaknya keluar atau ke dapur saja. Nyi Prawara yang tanggap itu kemudian berkata, "Winih. Sudahlah, bantu saja aku masak di dapur”

"Aku ingin menunjukkan kain lurikku” gumam Winih sambil memberengut.

"Oh" sahut ibunya "bawa saja ke dapur. Aku akan melihatnya. Mungkin aku juga ingin memiliki kain seperti itu”

Winih pun kemudian pergi ke dapur bersama ibunya sambil membawa kainnya yang dibelinya di pasar. Sementara itu, Kiai Gumrah dan Ki Prawara masih menahan Manggada dan Laksana. Mereka ingin mendapat keterangan keduanya lebih banyak lagi.

Kesan yang diberikan oleh Manggada dan Laksana memang mengatakan mempunyai dasar ilmu kanuragan, masih merasa sulit untuk memahami apa yang telah dilakukan oleh Darpati atas Rambatan dan kawan-kawannya.

"Aku menjadi gelisah" berkata Ki Prawara "nampaknya Winih menganggap orang itu terlalu baik”

Kiai Gumrah mengangguk kecil. Katanya "Agaknya lebih dari itu. Bukankah kau merasakan pertumbuhan anakmu itu, baik secara kewadagan maupun kajiwan. Ujud anakmu sekarang adalah benar-benar seorang gadis dewasa, sedangkan jiwanya pun tentu sedang bergejolak menembus dinding masa remajanya memasuki usia dewasanya. Justru pada umur. yang paling rawan bagi seorang gadis yang sedang tumbuh”

Ki Prawara mengangguk-angguk. Ia memang merasakan beberapa perubahan pada anak gadisnya. Sikapnya terhadap anak-anak muda pun berubah. Agaknya sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gumrah, bahwa umur Winih adalah umur yang paling rawan dalam pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang gadis.

"Sudahlah" berkata Kiai Gumrah "kitalah yang harus berhati-hati. Kita awasi Winih sebagaimana menguasai kanak-kanak yang bermain di pinggir jurang. Kita memang tidak boleh lengah sekejap pun”

"Ya, ayah" sahut Ki Prawara sambil mengangguk kecil. Namun ia pun berdesis "Darpati, menilik ujudnya, memang seorang yang menarik. Adalah mungkin sekali Winih sudah tertarik sejak penglihatannya yang pertama atas orang lain. Apalagi Darpati telah menunjukkan jasanya kepada Winih. Meskipun Winih sudah ditemani oleh Manggada dan Laksana”

"Maaf kek" berkata Manggada kemudian "kami memang terlambat berbuat sesuatu. Kami merasa ragu, karena selama ini kami menyatakan diri sebagai anak-anak muda kebanyakan tanpa ilmu kanuragan jika kami berada di antara anak-anak muda padukuhan”

Kiai Gumrah mengangguk sambil menjawab. "Sudahlah. Kalian tidak dapat disalahkan. Keragu-raguan itu wajar sekali. Kalian tentu tahu bahwa orang-orang padukuhan ini mengenal aku sebagai seorang pembuat dan penjual gula, tidak lebih. Karena itu, maka sudah sepantasnya jika kalian juga menyesuaikan diri”

Manggada dan Laksana, hanya dapat menundukkan kepalanya Tetapi mereka masih juga merenungi sikap Winih. Bahkan mereka juga merasa menyesal, kenapa mereka tidak segera berbuat sesuatu, saat Rambatan, sudah menjadi semakin kasar.

Namun perkenalan antara Rambatan dan Darpati itu sudah terjadi. Yang harus dilakukan memang sebagaimana dikatakan, oleh Kiai Gumrah, bagaimana melepas kanak-kanak di pinggir jurang. Ketika kemudian Manggada dan Laksana meninggalkan ruang dalam dan keluar ke halaman, maka mereka terkejut. Mereka melihat seekor burung elang yang melayang-layang tinggi. Burung yang sudah sangat mereka kenal.

"Beritahukan kakek" desis Manggada "Aku akan melihatnya kemana burung itu terbang”

Laksana mengangguk. Sambil melangkah masuk ia berkata "Baiklah. Aku akan memberitahukan kepada kakek.”

Ketika hal itu disampaikan kepada Kiai Gumrah, maka Kiai Gumrah pun berkata kepada Ki Prawara, "Burung itu adalah perpanjangan mata Kiai Windu Kusuma. Sebenarnya burung itu milik seseorang yang disebut Panembahan, yang mengingini pusaka-pusaka itu. Burung itu mampu menterjemahkan penglihatannya sehingga dapat memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan oleh Kiai Windu Kusuma. Isyarat yang diberikan burung itu dapat dibaca dengan tepat oleh seseorang yang bertugas sebagai pawangnya”

"Luar biasa" desis Ki Prawara "Apakah burung itu hanya seekor?"

"Tidak" jawab Kiai Gumrah "lebih dari seekor. Cobalah kau melihat burung itu dari halaman belakang saja. Mungkin kau perlu berlindung di bawah dedaunan”

Ki Prawara mengangguk-angguk. Namun, kemudian katanya. "Betapa pun pandainya seekor burung, tetapi akal manusia akan tetap lebih mampu mengatasinya”

Demikianlah, maka Ki Prawara dan Kiai Gumrah pun segera keluar dari ruang dalam. Namun mereka telah pergi ke belakang, melalui pintu butulan untuk melihat seekor burung elang yang berterbangan di langit.

Ki Prawara mengangguk-angguk kecil melihat burung itu. Memang ada kesan bahwa burung itu seakan-akan mempunyai nalar. Seakan-akan burung itu tahu benar apa yang harus dilihat dan diperhatikannya di rumah yang ditunjuk oleh pawangnya.

"Asal kau mengetahui saja..." berkata Kiai. Gumrah yang ada di bawah sebatang pohon yang berdaun rimbun.

"Aku tidak perlu bersembunyi dari tatapan mata burung itu" berkata Ki Prawara "orang-orang Kiai Windu Kusuma tentu sudah tahu bahwa aku ada di sini”

"Burung itu mengawasi tempat ini untuk melihat apa yang sedang dikerjakan di tempat ini, jika saja ada kesibukan apa pun atau mungkin sekali kesibukan yang tinggi di sini”

Ki Prawara mengangguk-angguk. Tetepi burung itu memang memberikan kesan tersendiri. Dengan nada dalam Ki Prawara berkata "Burung itu tentu tidak sekedar mengawasi. Tetapi burung itu dipersiapkan untuk menyerang dan setidak-tidaknya mengganggu. Kukunya memberikan kesan khusus”

"Ya" jawab Kiai Gumrah. "Kuku-kukunya berselut baja.”

Ki Prawara tidak menjawab lagi. Dipandanginya burung yang berputaran beberapa kali. Bahkan menukik beberapa kali. Kemudian terbang tinggi menyusup awan yang mengalir rendah.

Ketika burung elang itu kemudian hilang dari pandangan mata mereka, maka Ki Prawara pun telah masuk kembali ke ruang dalam. Manggada dan Laksana telah berada di ruang dalam pula. Demikian juga Kiai Gumrah.

"Kita memang harus berhati-hati terhadap burung-burung itu" berkata Ki Prawara.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka mengenal burung-burung itu sejak mereka mengenal seseorang yang bernama Panembahan yang bergelimang kegelapan itu.

Demikianlah, maka orang-orang yang tinggal di rumah Kiai Gumrah itu menjadi semakin bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Memang tidak ada niat mereka untuk minta perlindungan kepada pihak lain atau menitipkan pusaka-pusaka itu kepada siapa pun juga. Mereka berniat untuk menyelamatkan pusaka-pusaka itu sendiri bersama dengan kawan-kawan mereka.

Yang membuat Kiai Gumrah dan Ki Prawara prihatin adalah anak gadis Ki Prawara. Nampaknya Winih benar-benar telah tertarik pada pertemuannya yang pertama dengan Darpati. Ketika di hari berikutnya Darpati datang berkunjung kerurnah Kiai Gumrah, maka Winih telah menerimanya dengan akrab.

Ki Prawara dan Nyi Prawara tidak dapat dengan serta merta melarang hubungan anaknya dengan orang yang baru saja dikenalnya itu. Meskipun demikian, ketika kemudian Darpati itu minta diri, maka Ki Prawara mencoba untuk menasehati anaknya.

"Winih" berkata Ki Prawara "Kau harus membatasi hubunganmu dengan orang asing itu”

"Orang asing?" bertanya Winih "Bukankah ia orang baik ayah. Jika ia bukan orang baik, ia tidak akan menolong aku. Ia dapat saja membiarkan aku diperlakukan buruk oleh siapa pun, karena itu memang bukan tanggung-jawabnya”

“Kita memang harus berterima kasih kepadanya, Tetapi untuk berhubung jauh lagi. Maka kita perlu mengetahui, siapakah orang itu. Bagaimana dengan keluarganya dan bagaimana sikapnya memandang kehidupan” berkata ayahnya.

"Apakah kita masih membedakan latar belakang kehidupan seseorang dalam hubungan pergaulan ini?" bertanya Winih.

"Tentu, Winih. Apalagi pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing sudah menginjak dewasa" berkata ayahnya.

"Jadi apakah ayah bermaksud menjadikan aku gadis pingitan seperti kebanyakan kawan-kawanku? bukankah ayah dan ibu sudah berjanji untuk tidak menjadikan aku gadis pingitan yang hanya boleh mengintip sisi pergaulan anak-anak muda dari lubang-lubang dinding?” bertanya Winih.

"Bukan maksud ayah dan ibu Winih. Tetapi kau tidak boleh bergaul terlalu akrab dengan orang yang baru kau kenal kemarin. Kau tentu mengetahui perlunya kita mengenal latar belakang kehidupan orang baru itu. Misalnya saja, jika orang itu mempunyai isteri dan apalagi anak, bukankah hubunganmu dengan orang itu akan menimbulkan persoalan bagi isteri dan anak-anaknya? Katakan bahwa hubunganmu dengan orang itu sama sekali tidak mengarah pada perhubungan yang lebih khusus, namun bahwa ia datang kepadamu dengan sikapnya seperti itu, akan dapat menimbulkan persoalan pada keluarganya”

Winih mengerutkan keningnya. Wajahnya memang menjadi buram. Dengan nada berat ia berkata, "Ayah dan ibu selalu berpikir hal yang bukan-bukan.”

"Mungkin ayah dan ibu terlalu berhati-hati Winih. Tetapi bukankah sudah banyak terjadi bahwa pergaulan dari perkenalan yang terlalu singkat tanpa mengetahui latar belakang kehidupan masing-masing akan dapat menimbulkan persoalan”

“Bukankah aku sudah dewasa, sehingga aku akan dapat menjaga diri?" berkata Winih.

"Menjaga diri dalam kesadaran sepenuhnya memang dapat menghindarkan diri setidak-tidaknya mengurangi kemungkinan yang tidak diinginkan. Tetapi jika perasaan mulai diguncang oleh perasaan lain, maka penalaran akan terdorong ke samping”

Namun Winih itu berkata dengan suara bergetar. "Ayah dan ibu masih selalu menganggap aku kanak-kanak”

"Tidak. Bukan begitu. Tetapi jika kau katakan bahwa ayah dan ibu menganggapku kurang berpengalaman dalam pergaulan, memang benar!” jawab ayahnya.

Winih memang tidak menjawab. Tetapi di wajahnya nampak betapa ia menjadi kecewa terhadap sikap ayah dan ibunya. Tetapi ternyata di hari berikutnya, Darpati itu datang kembali. Winih pun masih tetap bersikap akrab sekali. Bahkan setelah mereka berbicara serba sedikit, maka Winih itu menemui ayah dan ibunya untuk minta ijin melihat-lihat keadaan di sekitar padukuhan itu.

Ayah dan ibunya memang menjadi cemas. Mereka memang berusaha untuk mencegah. Tetapi Winih selalu berkata "Aku hanya ingin berjalan jalan. Bukankah Winih bukan kanak-kanak lagi? Winih akan dapat menjaga diri dan mengetahui batas-batas yang tidak harus dilewati”

"Winih" berkata ibunya kemudian "Jika kau ingin pergi juga, ajak kakak-kakakmu. Manggada dan Laksana.

"Ibu, bukankah itu aneh?" bertanya Winih.

“Tidak Winih Tidak aneh bagi mereka yang baru berkenalan dua hari yang lalu. Aku tidak ingin kau dianggap seorang gadis yang dengan mudah dapat dibujuk oleh kata-kata, sikap dan meskipun oleh kebaikan hati sekali pun. Atau kau tidak akan pergi sama sekali.” ibunya mulai bersikap keras.

Winih menundukkan kepalanya. Ia tahu sifat ibunya. Karena itu, betapa pun ia sebagai gadis tunggal yang manja, namun Winih tidak berani lagi menolak perintah ibunya. Karena itu, maka Winih pun mengangguk kecil.

Ketika hal itu didengar oleh Kiai Gumrah, serta Winih pun sedang memanggil Manggada dan Laksana, maka Kiai Gumrah itu pun berkata, "Manggada dan Laksana tidak akan mampu menjaga Winih jika terjadi kekerasan. Ilmu anak muda itu menurut Manggada dan Laksana sendiri, jauh lebih tinggi dari anak-anak itu”

"Tetapi setidak-tidaknya kehadiran mereka akan dapat mempengaruhi sikap Darpati jika ia berniat buruk” jawab ibunya.

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti”

Demikianlah, maka Winih pun telah mengatakan pula kepada Darpati bahwa kedua orang kakaknya akan ikut pula bersama mereka melihat-lihat keadaan di sekitar padukuhan itu.

Adalah di luar dugaan Winih, bahwa Darpati dengan serta merta menyahut "Bagus sekali. Aku senang Manggada dan Laksana bersama kita. Rasa-rasanya kita tidak kesepian di jalan” Darpati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata selanjutnya. "Sebenarnya aku juga merasa ragu untuk berjalan-jalan berdua. Mungkin orang-orang padukuhan ini tidak terbiasa melihat hal yang demikian. Karena itu, menyenangkan sekali jika Manggada dan Laksana ikut pula.”

Wajah Winih memang menjadi merah. Tetapi ia merasa beruntung bahwa ibunya berkeras untuk mengajak Manggada dan Laksana. Jika tidak, agaknya pandangan dan anggapan Darpati terhadap dirinya pun akan terpengaruh juga. Bahkan Winih itu bertanya kepada diri sendiri. "Apakah Darpati itu sedang menilai sikapku?"

Diam-diam Winih merasa berterima kasih kepada ibunya. Demikianlah maka sejenak kemudian mereka berempat pun telah meninggalkan rumah Kiai Gumrah. mereka memang hanya ingin berjalan-jalan saja. Tetapi Darpati tidak menawarkan kepada Winih untuk pergi ke pasar. Bahkan Darpati mengajak Winih serta Manggada dan Laksana untuk melihat pancuran di pinggir hutan.

"Bukankah kalian belum pernah melihatnya? Pancuran itu terhitung pancuran yang jarang ada duanya. Airnya memang tidak begitu deras dan tidak pula begitu tinggi. Tetapi di dekat pancuran itu terdapat semacam hutan pepohonan berbunga yang sangat indah. Seakan-akan ada tangan yang telah mengaturnya”

"Menarik sekali" sahut Winih dengan serta merta.

Manggada dan Laksana yang memang sudah merasa cemas terhadap Darpati bahwa ia mempunyai hubungan dengan Kiai Windu Kusuma tidak berkata sesuatu. Kelebihan Darpati dari orang kebanyakan, bahkan ilmunya yang sangat tinggi memang sangat menarik perhatian. Apalagi sebelumnya Darpati tidak dikenal di daerah itu dan di sekitarnya.

Sinar matahari pagi yang cerah, angin yang semilir menggoyang batang padi yang sedang tumbuh segar, membuat Winih manjadi semakin gembira. Tetapi semakin Winih gembira dan seakan-akan melupakan kehati-hatian, maka Manggada dan Laksana justru menjadi semakin berhati-hati.

Ketika mereka kemudian mendekati hutan yang terhitung agak lebat, Winih mulai menyadari kembali perjalanannya. Bahkan kemudian ia mulai memperlambat langkahnya.

"Dimanakah letak pancuran itu?" bertanya Winih.

"Kau lihat bukit kecil itu?" bertanya Darpati.

Winih mengangguk.

"Kita akan pergi ke bukit kecil itu. Di sisi sebelah Timur, kita akan melihat taman yang telah diciptakan oleh alam itu. Taman yang melampaui keindahan taman yang dibuat oleh tangan manusia” jawab Darpati.

Winih mengangguk-angguk. Bukit itu memang tidak terlalu jauh lagi. Justru karena Winih melihat pohon-pohon raksasa di atas bukit kecil itu, maka winih percaya bahwa di lereng bukit itu memungkinkan sekali terdapat sebuah pancuran.

Beberapa saat lagi mereka berjalan. Sekali-sekali Winih memang harus berhenti dan bahkan harus ditolong meloncati parit-parit kecil yang dibuat oleh arus air yang mengalir dari bukit. Bahkan parit-parit itu ada yang agak dalam dan licin.

Tetapi ternyata apa yang dikatakan oleh Darpati itu benar. Beberapa saat kemudian mereka sampai di sebuah lembah yang tidak begitu luas. Tetapi di lembah itu memang terdapat air terjun meskipun tidak terlalu besar sehingga Darpati menyebutnya sebagai pancuran saja.

Tidak seorang pun yang telah mengaturnya, bahwa lembah itu menjadi sebuah lembah yang sangat menarik. Di sekitar air terjun yang memang tidak begitu deras itu terdapat sekelompok pepohonan berbunga yang sangat menarik.

"Bagus sekali" desis Winih dengan serta-merta.

Manggada dan Laksana pun ikut mengagumi pepohonan di lembah itu pula Mereka terpesona memandangi pepohonan yang sedang berbunga. Berbagai warna tersebar memanjang lembah yang basah itu.

Namun Manggada yang dengan tidak sengaja memandang langit, nampak dua ekor burung elang yang terbang berputaran. Karena itu, maka ia pun telah menggamit Laksana sambil berdesis. "kau lihat burung-elang itu?”

Wajah Laksana menjadi tegang. Katanya. "Ya. Burung elang itu mulai melingkar-lingkar”

Keduanya pun segera mempersiapkan diri. Mereka sejak semula sudah merasa curiga kepada Darpati. Apalagi ketika mereka melihat sepasang elang yang berterbangan justru selagi mereka berada di tempat yang jarang dikunjungi orang itu.

Darpati sendiri sama sekali tidak menghiraukan sepasang elang yang berterbangan itu. Kepada Winih ia berceritera tentang jenis-jenis pepohonan yang terdapat di lembah kecil di sekitar air terjun yang tidak begitu besar itu. Namun Manggada dan Laksana menjadi semakin tegang ketika mereka melihat kedua ekor burung itu mulai menukik dan menyambar-nyambar.

Manggada dan Laksana pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mereka memperhitungkan bahwa bukan hanya sepasang elang itu saja yang hadir di tempat itu, yang seakan-akan memang telah diatur oleh Darpati.

"Winih, berhati-hatilah!" berkata Manggada tiba-tiba. Winih berpaling kepadanya sambil bertanya. "Kenapa?"

"Kau lihat burung elang itu." jawab Manggada.

Winih mengangkat wajahnya. Demikian pula. Darpati. Dengan nada tinggi Darpati bertanya. "Kenapa dengan burung elang itu?"

Namun Winih memang sudah mendengar serba sedikit tentang burung elang itu. Karena itu, maka iapun bergeser mendekati Manggada dan Laksana sambil berkata. "Apa yang akan dilakukan oleh burung elang itu?”

"Kedua ekor burung itu sangat berbahaya." berkata Winih kemudian.

"Aku tidak takut kepada siapa pun juga. Apalagi hanya kepada dua ekor burung elang” jawab Darpati.

Winih mengangguk kecil. Ia percaya kepada kata-kata Darpati itu, karena Darpati memang seorang yang berilmu tinggi.

Namun dalam pada itu, kedua ekor burung itu tidak juga segera pergi. Justru keduanya berputar semakin cepat dan menukik semakin dalam. Darpati juga memperhatikan kedua ekor elang itu. Nampaknya ia pun telah bersiap untuk melawan, jika elang itu akan menyerangnya. Bahkan tangan Darpati itu sudah melekat pada hulu pedangnya.

Namun tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh teriakan nyaring yang datang dari dalam gerumbul-gerumbul lebat di sekitar pepohonan yang berbunga itu. Beberapa orang telah berloncatan muncul dengan senjata di tangan mereka.

"Jangan lari..." teriak orang-orang itu "Kalian telah terkepung rapat.”

Manggada dan Laksana segera merapat. Demikian pula Darpati. Ia pun segera menarik pedangnya sambil berdiri di depan Winih.

"Siapakah kalian dan apakah yang kalian inginkan?" bertanya Darpati.

"Jangan melawan. Berikan gadis itu kepada kami.” bentak seorang di antara orang-orang yang muncul dari hutan itu.

"Kau gila!" geram Darpati "Gadis ini bukan sanak kadangku. Tetapi akulah yang mengajaknya datang ke tempat ini. Karena itu, maka aku bertanggung jawab, atas keselamatannya!”

"Jangan membunuh diri. Aku hanya membutuhkan gadis itu. Bukan siapa-siapa. Jika kalian akan pergi, pergilah. Tetapi jika kalian mencoba untuk mencegahnya, maka kalian akan mati. Pada akhirnya gadis itu akan jatuh ke tanganku juga.”

"Tidak" teriak Darpati sambil membelalakkan matanya "Pergi kalian. Atau kalian yang akan mati di sini.”

Ternyata orang-orang itu tidak mau pergi. Mereka justru mulai bergeser mendekat di seputar mereka berempat. Manggada dan Laksana pun sudah menggenggam pedangnya pula. Ketika mereka sempat menghitung, maka orang-orang yang mengepung mereka itu berjumlah tidak lebih dari empat orang saja.

Darpati tidak berbicara lebih panjang lagi. Kepada Manggada dan Laksana ia berkata "Kali ini aku terpaksa minta bantuan kalian. Nampaknya orang-orang ini bukan tataran Rambatan dan kawan-kawannya. Orang-orang ini memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan.”

Manggada dan Laksana memang sudah bersiap. Karena itu. ketika orang-orang itu mulai bergerak, maka bertempur an pun segera terjadi. Sementara itu sepasang burung elang itu masih saja berputaran dan menukik-nukik tajam. Bahkan kemudian sepasang burung itu telah ikut pula menyerang Manggada dan Laksana. Sehingga dengan demikian maka kedua anak muda itu harus bertempur melawan kedua orang lawannya serta kedua ekor burung elang yang berkuku baja itu...

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 10
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.