Sang Penerus Bagian 10

Cerita Silat Indonesia Serial Arya Manggada episode Sang Penerus Bagian 10 karya SH Mintardja
Sonny Ogawa
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SEMENTARA itu kedua orang yang lain telah bertempur melawan Darpati yang telah mencabut pedangnya. Dengan tangkasnya Darpati berloncatan sambil memutar senjatanya.

Manggada dan Laksana yang bertempur melawan masing-masing seorang lawan dan harus pula memperhatikan sambaran-samabaran kuku baja burung elang yang garang itu, harus mengerahkan kemampuan mereka.

Namun ternyata orang-orang yang bertempur melawan mereka itu adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu yang mapan. Manggada dan Laksana pun dengan cepat mulai terdesak. Ketika Manggada mengayunkan pedangnya menebas seekor burung elang yang menyambar dengan cepat, maka lawannya pun telah meloncat pula sambil menulurkan pedangnya. Manggada terpaksa mengurungkan niatnya menyerang burung elang itu. Dengan cepat ia harus mengelak dari ujung senjata lawannya.

Tetapi demikian Manggada meloncat, maka burung elang itu benar-benar menyambarnya. Kuku-kuku bajanya yang tajam telah menggores pundak anak muda itu. Manggada mengaduh tertahan. Tetapi ia harus menyeringai menahan pedih yang menggigit luka di pundaknya itu.

Laksana terkejut melihat Manggada mulai terluka. Namun ia tidak sempat berbuat banyak. Serangan lawannya datang demikian cepatnya. Dengan tangkas Laksana menangkis serangan itu. Tetapi burung elang itu menyambarnya dengan cepat pula. Hampir saja kuku-kuku tajam itu mengcengkam wajahnya. Tetapi Laksana sempat meloncat mengelak sambil mengayunkan pedangnya. Tetapi burung itu dengan cepat menggeliat dan kemudian terbang membubung.

Tetapi pada saat itu, ujung senjata lawannya ternyata telah menyambarnya ke arah dada. Laksana tidak banyak mendapat kesempatan. Ia memang dapat menarik dadanya surut. Tetapi ia tidak dapat melepaskan diri seluruhnya dari jangkauan pedang lawannya. Karena itu, maka ujung pedang itu telah tergores di dada Laksana. Laksana pun berdesah kesakitan. Luka di dadanya itu kemudian telah mengalirkan darah, sebagaimana luka di pundak Manggada.

Sementara itu Darpati bertempur dengan garangnya. Kakinya berloncatan dengan tangkasnya. Kedua lawannya yang tidak kalah garangnya telah menyerangnya dari arah yang berbeda. Tetapi keduanya ternyata sangat sulit untuk dapat mengenainya. Tetapi Darpati juga tidak segera dapat mendesak kedua lawannya yang seakan-akan bergantian datang menyerang.

Winih berdiri termangu-mangu menyaksikan pertempuran itu. Wajahnya menjadi sangat tegang. Dipandanginya Manggada dan Laksana berganti-ganti. Keduanya memang mengalami kesulitan. Luka Manggada telah bertambah lagi. Lengannya juga telah tergores pedang sehingga kulitnya telah terkoyak.

Winih memang menjadi sangat tegang melihat keadaan Manggada dan Laksana. Sementara itu lawan mereka sama sekali tidak mengekang diri. Keduanya benar-benar berniat untuk membunuh Manggada dan laksana. Senjata mereka terayun-ayun mendebarkan jantung.

Sementara itu, sepasang burung elang itu pun benar-benar telah ikut pula dalam pertempuran itu. Keduanya seakan-akan telah digerakkan oleh kekuatan yang memiliki kemampuan tinggi dalam olah kanuragan. Burung-burung itu seakan-akan tahu, kapan mereka harus menyerang. Kapan mereka harus menarik perhatian sehingga serangan lawan-lawan Manggada dan Laksana mendapat kesempatan menusukkan pedangnya.

Rasa-rasanya Manggada dan Laksana memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Sementara itu Darpati tidak segera dapat mengalahkan lawannya dan membantu mereka. Ketika Darpati masih berusaha untuk mempertahankan dirinya dari serangan kedua lawannya yang datang berganti-ganti susul-menyusul, maka Manggada dan Laksana menjadi semakin terdesak. Luka-luka di tubuh mereka menjadi semakin banyak. Darah pun mengalir semakin deras pula.

Dalam keadaan yang demikian, adalah di luar dugaan bahwa tiba-tiba saja terdengar aum yang keras dari dalam rimbunnya pepohonan dan batang-batang perdu. Aum seekor harimau yang garang telah disaut oleh aum harimau yang lain. Selagi orang-orang yang sedang bertempur itu masih belum siap menghadapi kemungkinan baru itu dua ekor harimau telah bermunculan dari dalam belukar.

Kedua ekor harimau itu dengan serta merta telah menyerang kedua orang lawan Manggada dan laksana serta kedua orang lawan Darpati. Keduanya seakan-akan menyatakan diri untuk ikut bertempur di pihak mereka yang mendapat serangan tiba-tiba itu.

Orang-orang yang mendapat serangan dari sepasang harimau itu terkejut. Sementara Manggada dan Laksana masih berdiri termangu-mangu, maka kedua orang lawan Manggada dan Laksana itu pun segera bergabung untuk melawan seekor di antaranya, sedang lawan Darpati bersama-sama menyerang seekor yang lain.

Orang-orang itu pada dasarnya sama sekali tidak takut menghadapi harimau yang paling garang sekali pun. Namun ternyata bahwa Manggada dan Laksana melihat kedua ekor harimau itu bukan harimau kebanyakan.

Sebagaimana dua ekor elang yang berterbangan melingkar-lingkar dan kemudian menyambar-nyambar itu, maka kedua ekor harimau itu seakan-akan juga memiliki kemampuan untuk bertempur. Keduanya seakan-akan mengenal bahwa pedang itu termasuk senjata yang berbahaya yang dapat melukai kulit mereka.

Namun lebih dari itu, kedua ekor harimau itu mengingatkan Manggada dan Laksana pada dua ekor harimau yang datang ke rumah Kiai Gumrah. Bahkan Manggada dan Laksana pun segera teringat pula dua ekor harimau milik Ki Pandi yang bongkok yang ternyata adalah saudara seperguruan Sang Panembahan. Karena itu, maka rasa-rasanya Manggada dan Laksana tidak dapat membiarkan kedua ekor harimau itu bertempur tanpa bantuan mereka.

Setelah mengamati keadaan sejenak, maka Manggada dan Laksana segera turun lagi ke arena. Mula-mula keduanya harus bertempur melawan kedua ekor elang yang masih saja menyambar-nyambar. Namun ketika pedang Manggada melukai seekor di antaranya, maka kedua ekor elang itu pun terbang menjauh. Yang terluka itu agaknya harus berjuang untuk dapat pulang sampai ke sangkarnya, sedang yang lain mengikutinya di belakangnya, seakan-akan menjaganya agar kawannya itu tidak kehilangan keseimbangannya.

Ketika kedua ekor elang itu terbang semakin tinggi, maka nampak bahwa yang terluka itu menjadi semakin miring. Namun akhirnya keduanya hilang di balik pepohonan. Perhatian Manggada dan Laksana kemudian terpusat kepada empat orang yang bertempur melawan kedua ekor harimau yang sangat garang itu. harimau yang seakan-akan memiliki ilmu kanuragan sehingga keempat orang yang bertempur melawan mereka itu mengalami kesulitan.

Apalagi ketika kemudian Manggada dan Laksana ikut pula dalam pertempuran itu. Luka-luka di tubuh Manggada dan Laksana membuat kedua orang anak muda itu marah dan ingin membalas dendam. Dalam pada itu Darpati menjadi termangu-mangu. Bahkan beberapa kali Darpati memanggil Manggada dan Laksana.

"Kemarilah. Nanti harimau itu keliru menyerangmu” teriak Darpati "harimau itu tidak lebih dari seekor binatang yang tidak tahu apa yang sedang dilakukan”

Tetapi Manggada menjawab "Kedua ekor elang itu ternyata juga tahu, siapa saja yang harus diserangnya. Agaknya demikian pula kedua harimau itu”

Darpati memang menjadi sangat gelisah. Sementara itu keempat orang yang harus bertempur melawan Manggada, Laksana dan dua ekor harimau yang sangat garang itu menjadi semakin terdesak. Bahkan kemudian mereka mulai dilukai oleh kuku-kuku harimau itu. Kulit-kulit mereka menjadi terkoyak dan bahkan darah pun bagaikan terperas dari tubuh mereka.

Manggada dan Laksana yang melihat keadaan keempat orang itu pun telah mengekang diri. Meskipun mereka tahu bahwa orang-orang itu telah benar-benar ingin membunuh mereka, setidak-tidaknya kedua orang lawan Manggada dan Laksana itu.

Tetapi nampaknya kedua ekor harimau itu tidak berbuat sebagaimana Manggada dan Laksana. Keempat orang yang sudah tidak berdaya itu, sama sekali tidak dilepaskan. Bukan saja kuku-kuku kedua ekor harimau itu. Tetapi taring-taring mereka pun telah mengoyak tubuh keempat orang itu, sehingga beberapa saat kemudian, keempat orang itu tidak lagi berdaya untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Manggada, Laksana, Darpati apalagi Winih telah memalingkan wajah mereka. Winih yang gemetar telah berpegangan tangan Manggada sambil berkata, "Tolong mereka...”

Manggada dan Laksana memang tidak dapat berbuat sesuatu. Darpati pun hanya dapat berdiri dengan wajah yang tegang. Ketika kemudian terdengar aum kedua ekor harimau itu, maka Darpati pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ia pun sempat berdesis.

"Manggada dan Laksana. Bersiaplah, harimau-harimau itu tidak akan tahu bahwa kalian telah membantu mereka. Setelah keempat orang itu terbunuh, mungkin keduanya akan menyerang kita”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Mereka memandangi kedua ekor harimau yang masih berbau darah itu. Kedua ekor harimau yang telah membunuh keempat orang itu dengan taringnya yang masih menyeringai memandang keempat orang yang tegang itu. Namun ternyata kedua ekor harimau itu tidak menyerang mereka. Bahkan kemudian keduanya telah meloncat meninggalkan arena pertempuran itu. Yang terdengar adalah aumnya yang panjang seakan-akan menggetarkan pepohonan dan bahkan bukit kecil itu.

Ketika kedua ekor harimau itu hilang, maka Manggada dan Laksana semakin merasa betapa sakit dan nyeri menggigit tubuhnya pada luka-lukanya yang menganga.

"Beristirahatlah" berkata Winih kepada keduanya "tetapi jangan di sini. Kita bergeser menjauh”

Manggada dan Laksana mengerti, bahwa Winih ingin menjauhi keempat sosok tubuh yang telah dikoyak-koyak oleh kedua ekor harimau itu. Di bawah sebatang pohon yang rindang, Manggada dan Laksana duduk dengan lemah. Namun keduanya memang membawa obat yang dapat menolong mereka untuk sementara.

Winih dibantu oleh Darpati telah mencoba untuk mengobati luka-luka keduanya. Luka-luka yang terdapat di beberapa bagian di tubuh mereka. Sebagian luka-luka karena ujung senjata, sedangkan yang lain, luka-luka karena kuku-kuku sepasang elang itu.

Namun angin yang segar yang bertiup di sela-sela pepohonan membuat tubuh kedua orang anak muda itu terasa segar pula. Bahkan kemudian Manggada sempat bertanya "Bagaimana dengan tubuh keempat orang yang telah dibunuh oleh kedua ekor harimau itu?"

"Kita tidak dapat berbuat sesuatu” jawab Darpati.

"Tetapi kita tidak dapat meninggalkan tubuh-tubuh itu begitu saja” sahut Manggada.

"Lalu apa yang dapat kita lakukan?" bertanya Darpati.

"Kita harus menguburkan tubuh-tubuh itu" jawab Manggada.

Darpati mengerutkan dahinya. Katanya "Apakah kita harus menggali empat buah lubang kubur untuk mereka?"

"Tetapi tubuh-tubuh itu harus dilindungi dari ganasnya binatang-binatang buas. Mungkin harimau yang bukan kedua ekor harimau itu, mungkin serigala atau anjing hutan” sahut Laksana yang sambil menunjuk ke udara berkata pula "Lihat, burung-burung gagak pemakan bangkai itu”

Winih pun menengadahkan wajahnya pula. Yang nampak di langit bukan lagi sepasang burung elang. Tetapi beberapa ekor burung gagak yang berwarna hitam lekam. Suaranya bagaikan menguak keheningan lembah kecil itu dan memecahkan suara air terjun yang memang tidak begitu besar.

Darpati yang nampaknya agak segan untuk menggali lubang kubur keempat orang itu kemudian berkata “Kita dapat melindungi tubuh-tubuh itu tanpa membuat lubang kubur. Kita justru menimbuninya dengan bebatuan yang banyak berserakan di tempat ini”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Dengan nada rendah Manggada berkata "Baiklah. Agaknya hanya itulah yang dapat kita lakukan”

“Tetapi kau masih terlalu lemah. Biarlah aku dan Darpati sajalah yang melakukannya" berkata Winih.

"Kau akan menjadi terlalu letih" desis Laksana.

"Aku terbiasa bekerja keras di rumah” jawab Winih.

Namun Manggada dan Laksana tidak membiarkan Darpati dan Winih berdua saja yang melakukannya. Sementara itu Winih berusaha untuk tidak melihat tubuh-tubuh yang terkoyak oleh kuku dan taring harimau itu.

Karena itu, maka Winih hanya membantu dari kejauhan. Ia telah melemparkan bebatuan kearah tubuh-tubuh itu terbaring tanpa melihatnya. Sementara itu Darpatilah yang menempatkan bebatuan itu untuk menutup tubuh-tubuh yang terkoyak itu. Manggada dan Laksana yang lemah itu membantu sejauh dapat mereka lakukan.

Demikianlah, setelah mereka beristirahat barang sejanak, serta setelah mereka mencuci kaki dan tangan mereka, serta minum beberapa teguk air pancuran yang jernih, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu.

Keempat orang itu tidak dapat berjalan terlalu cepat. Manggada dan Laksana yang telah mengobati luka-lukanya meskipun hanya untuk sementara, masih merasa tubuh mereka sangat lemah. Bahkan sekali-sekali Darpati dan Winih harus membantu mereka melintasi batu-batu padas serta mendaki lereng yang meskipun tidak terlalu tinggi.

Ketika kemudian mereka sampai di padukuhan, beruntunglah mereka bahwa jalan-jalan terasa sepi, sehingga tidak banyak orang yang melihat keadaan Manggada dan Laksana.

Satu dua orang yang melihat mereka dari kotak-kotak sawah, tidak begitu menghiraukan keadaan mereka. Orang-orang itu hanya menduga bahwa keempat orang itu sedang berjalan-jalan saja tanpa tujuan, sehingga mereka berjalan perlahan-lahan.

Namun ketika mereka sampai di rumah, maka keadaan Manggada dan Laksana telah mengejutkan seisi rumah itu. Kiai Gumrah, Ki Prawara dan Nyi Prawara dengan serta merta telah mengerumuni kedua anak muda itu tetapi sebelum mereka bertanya, maka Winih sudah berceritera seperti gerontol jagung yang tumpah.

"Benar begitu ngger?" bertanya Ki Prawara.

“Ya paman" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.

Sementara itu Darpati pun berkata "Nampaknya memang terjadi keajaiban. Di tempat itu terdapat dua jenis binatang yang seakan-akan memiliki ketajaman indera sehingga dapat memilih lawan. Bahkan kedua jenis binatang itu seakan-akan telah terlatih dan memiliki kemampuan olah kanuragan”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Baginya kehadiran dua ekor harimau itu bukannya didengarnya untuk yang pertama. Di halaman rumah itu pun pernah hadir dua ekor harimau yang seakan-akan telah membantunya menyelamatkan pusaka-pusaka yang tersimpan di rumahnya itu.

"Dengan demikian jelas, bahwa tidak ada hubungan apapun antara harimau-harimau itu dengan pusaka-pusaka yang tersimpan itu" berkata Kiai Gumrah di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Nyi Prawara pun berkata. “Marilah anak-anak. Aku coba untuk membersihkan luka-luka kalian. Mudah-mudahan luka-luka itu tidak beracun”

Manggada dan Laksana pun kemudian telah pergi ke dapur mengikuti Nyi Prawara. Tubuh mereka memang terasa sangat lemah. Meskipun mereka telah mengobati luka-lukanya dengan obat yang mereka bawa untuk memampatkan darahnya, namun tenaga mereka ternyata sudah banyak tersusut.

Sesaat kemudian Ki Prawara pun telah menyusul mereka ke dapur pula. Bahkan dengan sungguh-sungguh ia bertanya "Bagaimana menurut tanggapanmu atas apa yang telah terjadi?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Mereka telah membuka baju mereka yang bukan saja kusut, kotor dan koyak. Tetapi juga bernoda darah. Ketika Nyi Prawara mengusap lukanya dengan kain yang bersih yang dibasahi dengan air panas, maka mereka harus menahan perasaan pedih yang menggigit.

Baru kemudian Manggada justru bertanya “Maksud paman?" "Maksudku, tanggapanmu atas Darpati”

"Ia telah bertempur pula melawan keempat orang penyerang itu. Justru Darpati telah bertempur melawan dua orang di antara mereka”

"Tetapi ia sama sekali tidak terluka" desis Ki Prawara.

"Darpati memang berilmu tinggi " sahut Nyi Prawara.

“Tetapi kedua ekor burung itu justru menyerang Manggada dan Laksana. Keduanya tidak membantu dan tidak menyerang Darpati yang mampu mengimbangi kedua orang lawannya” berkata Ki Prawara dengan dahi yang berkerut.

Manggada dan Laksana pun mulai berpikir. Semula mereka tidak mengurai persoalan itu sedemikian jauh. Tetapi ternyata keduanya merasakan bahwa kedua orang yang bertempur melawan Darpati tidak segarang kedua orang yang bertempur melawan mereka berdua. Apalagi kedua ekor burung elang berkuku baja itu justru menyerang mereka berdua pula.

Hampir di luar sadarnya Manggada bertanya, “Seandainya hal itu sudah diketahui oleh Darpati sebelumnya, lalu apakah maksudnya hal itu dilakukannya?"

"Anak-anak muda. Menurut ceritera Winih dan apa yang kalian katakan melengkapi ceriteranya, maka kedua orang lawan kalian serta kedua ekor burung itu agaknya benar-benar berniat membunuh kalian. Bukankah begitu?" bertanya Ki Prawara.

"Ya paman" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.

"Tetapi tidak demikian yang dialami Darpati" berkata Ki Prawara selanjutnya.

"Kami tidak begitu yakin, paman" jawab Manggada.

"Tetapi aku mengambil kesimpulan seperti itu” berkata Ki Prawara.

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Sementara itu, Nyi Prawara telah mengusapkan obat pada luka-luka mereka, sehingga keduanya harus menyeringai lagi menahan pedih. Obat itu rasa-rasanya telah menyengat luka-lukanya sampai keurat-urat dagingnya. Bahkan kemudian terasa luka-luka itu menjadi panas.

"Obat kalian cukup baik meskipun hanya sekedar memampatkan luka-luka saja" berkata Nyi Prawara.

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Mereka masih harus menahan pedih untuk beberapa saat.

"Aku akan ke ruang dalam" berkata Ki Prawara.

Ki Prawara tidak menunggu jawaban Manggada dan laksana atau isterinya. Ia pun segera kembali ke ruang dalam. Di ruang dalam masih duduk Darpati, Winih dan Kiai Gumrah. Ketika Ki Prawara sudah pergi ke ruang dalam, maka Nyi Prawara pun telah selesai mengobati luka-luka Manggada dan Laksana. Hampir di luar sadarnya ia berkata,

"Lawan-lawanmu memang benar-benar ingin membunuhmu”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Hampir tidak terdengar Laksana bertanya seakan-akan kepada diri sendiri "Apa maksud mereka sebenarnya?"

Nyi Prawara dengan bersungguh-sungguh berkata perlahan "Ngger. Mereka memang ingin membunuh kalian. Darpati tentu mengetahui bahwa hal itu akan terjadi, katakan, bahwa ia memang merencanakannya. Kita memang tidak tahu, apa maksud mereka melakukan hal itu. Mungkin karena Darpati tahu bahwa kalian bukan sanak-kadang Winih. Atau tegasnya kalian orang lain bagi Winih, sehingga timbul niatnya untuk menyingkirkan kalian dari sisi Winih. Atau justru karena Darpati menganggap bahwa kalian benar-benar cucu Kiai Gumrah yang telah ikut mempertahankan pusaka-pusaka itu. Namun apapun alasannya, kalian memang harus berhati-hati terhadap anak itu”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Agaknya memang masuk akal. Terutama dalam hubungannya dengan kedua ekor elang itu. Namun kemudian justru Nyi Prawaralah yang bertanya, "Tetapi bagaimana dengan sepasang harimau itu?"

“Aku mempunyai jawabnya” sahut Manggada. Katanya kemudian "kedua ekor harimau itu tentu harimau milik Ki Pandi. Saudara seperguruan, tetapi juga lawan bebuyutan Panembahan yang menginginkan pusaka-pusaka itu”

"Bagaimana kedua ekor harimau itu berdiri di pihakmu?" bertanya Nyi Prawara.

"Kami pernah bersama-sama Ki Pandi bertempur melawan Panembahan itu” jawab Manggada.

"Jadi kedua ekor harimau itu pernah mengenalmu?" bertanya Nyi Prawara.

"Ya" jawab Manggada dan Laksana berbareng.

"Bagaimana sikap harimau itu terhadap Darpati?" bertanya Nyi Prawara.

Manggada dan Laksana justru mulai mengingat-ingat. Tetapi yang jelas kedua ekor harimau itu tidak menyerang Darpati.

Meskipun demikian Manggada dan Laksana memang melihat, kedua ekor harimau itu untuk beberapa saat memandangi Darpati dengan menyeringai menampakkan taring-taring mereka. Tetapi keduanya justru meninggalkan arena perkelahian itu dan hilang ke dalam hutan.

Nyi Prawara mengangguk-angguk. Kemudian katanya. "Nah, aku sudah selesai mengobati luka-luka kalian. Sekarang sebaiknya kalian memakai baju kalian. Tentu saja bukan yang sudah koyak dan dikotori oleh noda-noda darah itu. Nampaknya baju-baju itu sudah tidak akan dapat dipakai lagi”

Manggada dan Laksana pun kemudian telah mengambil baju yang lain. Setelah mereka mengenakannya, maka mereka pun segera bersiap untuk pergi ke ruang dalam, ikut menemui Darpati yang masih duduk bersama Kiai Gumrah, Ki Prawara dan Winih.

Namun dalam pada itu, Manggada sempat berbincang dengan Laksana tentang Darpati. Karena sejak semula mereka sudah menaruh kecuriagaan terhadapnya, maka Manggada pun kemudian berkata, "Agaknya ada benarnya juga dugaan Ki Prawara dan Nyi Prawara. Meskipun semula Nyi Prawara bersikap lain, tetapi kemudian pikirannya sejalan dengan suaminya”

"Ya. Ternyata Nyi Prawara juga menaruh perhatian terhadap sikap Darpati” desis Laksana.

"Karena hal itu menyangkut anak gadisnya" jawab Manggada. Namun kemudian katanya "Tetapi agaknya ada hal lain yang perlu diperhatikan. Nyi Prawara memiliki pengetahuan tentang pengobatan. Lebih dari itu, ia pun dapat mengurai peristiwa di dekat pancuran itu dengan cermat”

"Aku juga menganggap bahwa hal itu bukan hal yang kebetulan" berkata Laksana.

Manggada mengangguk-angguk. Katanya "Tentu ada kelebihan pada Nyi Prawara. Setidak-tidaknya ia memiliki ilmu pengobatan yang tinggi”

Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Namun kemudian katanya "Marilah. Kita ikut menemui Darpati”

Keduanya pun kemudian telah masuk ke ruang dalam. Keduanya ikut duduk pula bersama Kiai Gumrah dan Ki Prawara. Bahkan kemudian Nyi Prawara pun telah hadir pula di ruang dalam sambil membawa hidangan. Ketika Winih melihat ibunya membawa nampan berisi mangkuk minuman, maka ia pun segera bangkit. Tetapi ibunya berkata,

"Duduklah Winih. Tidak ada lagi yang harus dihidangkan”

Winih memang duduk lagi. Sementara itu Kiai Gumrah pun berkata “Marilah, silahkan ngger. Hanya minuman yang dapat kami hidangkan”

"Terima kasih Kiai" jawab Darpati "Sebenarnyalah aku memang haus”

Darpati pun kemudian menghirup minuman hangat yang dihidangkan oleh Nyi Prawara dengan gula kelapa. Nampaknya betapa segarnya wedang sere itu. Agaknya Darpati memang benar-benar haus. Untuk beberapa saat Darpati masih berbincang dengan Ki Prawara, Nyi Prawara dan Kiai Gumrah. Meskipun Manggada dan Laksana ada juga di antara mereka, tetapi Darpati seakan-akan tidak banyak menaruh perhatian kepada mereka. Berbeda dengan Winih. Meskipun Winih juga lebih banyak diam, namun Darpati setiap kali berbicara dengan Winih atau tentang Winih.

Kiai Gumrah, Ki Prawara dan Nyi Prawara hanya tersenyum-senyum saja jika Darpati memuji-muji Winih. Mungkin tentang sikapnya, mungkin tentang ketabahan hatinya, juga tentang tanggapannya terhadap Rambatan dan kawan-kawannya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Darpati pun minta diri. Dengan nada tinggi ia berkata "Besok aku datang lagi mengunjungi Winih. Tetapi untuk sementara kita tidak akan berjalan-jalan lebih dahulu”

Kiai Gumrahlah yang menjawab "Ya ngger. Nampaknya ada sesuatu yang harus kita perhitungkan. Agaknya di sekitar padukuhan ini terdapat orang-orang jahat yang berniat buruk. Bahkan anak-anak muda di padukuhan ini pun telah berniat buruk pula terhadap Winih”

"Kita memang harus berhati-hati Kiai" jawab Darpati. Lalu katanya kepada Manggada dan Laksana seperti perintah seorang lurah prajurit "Jaga adikmu baik-baik”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian keduanya pun mengangguk. Meskipun dengan segan Manggada menjawab "Aku akan menjaganya”

Darpati tersenyum. Namun kemudian ia berkata kepada Ki Prawara dan Nyi Prawara “Sudahlah. Aku minta diri. Mudah-mudahan Winih tidak mengalami sesuatu. Sebaiknya Winih jangan diijinkan keluar halaman rumah ini tanpa aku. Lingkungan ini memang berbahaya sekali”

Ki Prawaralah yang menjawab sambil mengangguk-angguk. "Ya, ya ngger. Aku akan melarang Winih keluar halaman. Siapapun yang mengajaknya”

Darpati mengerutkan dahinya. Katanya "Kecuali aku yang mengajaknya”

“Tetapi Winih akan mempersulit keadaan angger. Hampir saja angger mengalami kesulitan karena Winih”

"Bukan aku yang hampir saja mengalami bukan saja kesulitan, bahkan bencana. Tetapi Manggada dan Laksana” jawab Darpati.

"Seandainya Manggada dan Laksana telah diselesaikan oleh kedua orang lawannya, maka kau akan menghadapi empat orang sekaligus. Bahkan dengan dua ekor burung elang” desis Ki Prawara.

Tetapi Darpati tertawa. Katanya "Aku masih akan dapat menyelamatkan diriku”

“Jadi bagaimana dengan Winih?” bertanya Nyi Prawara.

"Sudah tentu menyelamatkan Winih. Aku akan mampu menghancurkan keempat orang itu meskipun mereka bertempur bersama-sama”

“Terima kasih ngger" berkata Ki Prawara "sebagai orang tua, maka aku selalu dibayangi oleh kecemasan tentang satu-satunya anakku”

Darpati tertawa. Hampir saja ia mengatakan bahwa Kiai Gumrah dan sudah tentu Ki Prawara dapat menilai apa yang dihadapinya karena mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Terutama Kiai Gumrah sendiri sebagai dikatakan oleh Ki Windu kusuma sendiri.

Untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri untuk tidak mengatakannya. Ia merasa lebih aman jika Kiai Gumrah dan tentu juga Ki Prawara yang berilmu tinggi itu, tidak mengetahui, bahwa sebenarnya ia sudah tahu tentang kemampuan orang tua itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Darpati pun sudah meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Demikian Darpati itu hilang di balik regol, maka Kiai Gumrah pun berkata "Duduklah Winih. Aku ingin berbicara dengan kau, kedua orang tuamu dan orang kakakmu, nampaknya memang ada yang penting kita bicarakan”

Winih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak membantah. Ia pun kemudian duduk lagi di amben yang besar itu bersama ayah dan ibunya serta Manggada dan Laksana.

"Apa yang ingin kakek katakan?" wajah Winih sudah mulai cemberut. Ia tahu bahwa ayahnya akan berbicara tentang Darpati.

"Winih" berkata kakeknya kemudian "Bagaimana tanggapanmu tentang Darpati?"

"Maksud kakek?" Winih justru bertanya.

"Apakah menurut pendapatmu Darpati itu seorang yang baik, jujur dan dapat dipercaya?"

"Kakek. Darpati adalah seorang yang berilmu tinggi dan mempunyai wawasan yang sangat luas. Ia baik dan bertanggung jawab” jawab Winih.

"Apakah menurut pendapatmu ia melakukannya dengan jujur?” desak kakeknya.

Winih termangu-mangu. Nampak kerut yang dalam di dahinya. Dengan ragu ia berkata “Aku tidak melihat bahwa Darpati berpura-pura. Ia telah mempertaruhkan ilmunya ketika empat orang itu tiba-tiba saja menyerang”

"Bagaimana sikapnya terhadap seorang gadis?" bertanya kakeknya pula.

"Bukankah sikapnya baik sekali? Seperti yang aku katakan, ia seorang yang bertanggung-jawab” jawab Winih.

"Bagiku sikapnya justru terlalu baik. Ia bersikap sangat akrab meskipun kau baru dikenalnya. Sama sekali ia tidak merasa canggung” Berkata Kiai Gumrah.

"Ya. Ia sama sekali tidak merasa canggung” jawab Winih.

"Dan tidak mempunyai perasaan segan" Ki Prawara meneruskan.

"Ya" jawab Winih.

"Kau benar Winih. Darpati sama sekali tidak merasa canggung dan segan meskipun kau baru dikenalnya kemarin. Kau tahu artinya atas sikapnya itu?" bertanya Ki Prawara.

Winih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera mengetahui maksud ayahnya. Karena itu, maka ia pun bertanya "Apakah yang ayah maksudkan? Aku tidak mengerti”

"Winih" berkata Ki Prawara "Menilik sikapnya yang sama sekali tidak canggung dan segan-segan lagi terhadapmu yang baru saja dikenalnya, maka menurut pendapatku, Darpati adalah seorang anak muda yang telah terbiasa berhubungan dengan perempuan. Mungkin mereka adalah gadis-gadis remaja, mungkin sudah dewasa, tetapi mungkin juga perempuan-perempuan yang lebih masak lagi”

"Ayah" Winih benar-benar terkejut.

“Winih. Kau adalah seorang gadis yang baru saja memasuki usia dewasa. Kau baru menginjak satu masa pancaroba. Sementara itu, kau belum mengenal liku-liku kehidupan cukup jauh. Karena itu, jika kau mau mendengar kata-kata ibu, ayah dan kakek, maka kau jangan bergaul terlalu rapat dengan Darpati" berkata ibunya kemudian.

Wajah Winih menjadi tegang. Dengan nada berat ia bertanya “Ibu, ayah dan kakek mencurigainya bahwa ia tidak jujur?" bertanya Winih.

Nyi Prawara memandang mata Winih yang memancarkan kegelisahan hatinya yang sangat. Namun dengan nada dalam Nyi Prawara itu menjawab "Ya Winih. Kami tidak dapat berkata lain, bahwa kami memang mencurigai Darpati, bahwa ia tidak jujur terhadapmu”

Mata Winih menjadi basah. Katanya "Bagaimana kakek, ayah dan ibu dapat menganggap bahwa ia tidak jujur, justru ia sudah menunjukkan jasanya yang besar. Ia menolongku ketika Rambatan dan kawan-kawannya menggangguku, sementara kakang Manggada dan Laksana tidak berbuat apa-apa. Ia pun telah menyelamatkan aku ketika aku diancam untuk dibawa oleh empat orang yang tidak dikenal, sementara kakang Manggada dan Laksana berdua tidak dapat berbuat banyak. Bahkan kakang Manggada dan Laksana belum tentu akan dapat mempertahankan nyawanya sendiri”

"Tetapi bukankah Darpati yang mengajakmu ke tempat yang sepi itu?" bertanya ibunya pula.

"Jadi maksud ibu, Darpati telah menempatkan orang-orangnya di tempat itu?" desak Winih.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya agak sendat. "Kami belum memastikan bahwa hal itu dilakukannya, Winih. Tetapi kami mengambil kesimpulan sementara, bahwa Darpati telah melakukannya. Kami juga menghubungkan kehadiran dua ekor burung elang berkuku baja itu. Luka Manggada dan Laksana menunjukkan, bahwa kedua ekor burung elang itu memang sangat berbahaya. Bekas kuku-kukunya yang mengoyak bukan saja kulitnya, tetapi juga daging kakak-kakakmu. Sementara itu Darpati sama sekali tidak diganggu oleh kedua ekor burung elang itu”

"Tetapi Darpati sudah bertempur melawan dua orang” jawab Winih.

"Apakah kau sempat memperhatikan pertempuran itu?" bertanya ibunya dengan nada lebih keras.

Winih tertunduk dalam-dalam. Perhatiannya memang tertarik pada sepasang burung elang yang menyerang Manggada dan Laksana disamping kedua orang lawannya.

"Sudahlah" berkata Kiai Gumrah "kita memang masih harus menyeledikinya. Namun yang penting kau ketahui Winih, bahwa sikap Darpati kepadamu menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa bergaul dengan perempuan jenis apapun juga. Ketahuilah dan pertimbangkan hal ini baik-baik”

Kata-kata kakeknya itulah yang justru menyentuh perasaannya yang paling dalam. Winih memang menjadi sedih mendengarnya. Sebagai gadis yang tumbuh dewasa, Winih memang jarang bergaul dengan laki-laki. Sebagaimana dengan kawan-kawannya, jika seorang gadis tumbuh mendekati masa dewasanya, maka pergaulannya dengan anak-anak muda justru menjadi semakin jauh.

Meskipun demikian, masih nampak pada mata Winih yang basah, bahwa ia masih belum percaya sepenuhnya kata-kata kakek, ayah dan ibunya. Baginya Darpati adalah seorang laki-laki yang memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Tetapi Winih tidak lagi menjawab.

Kiai Gumrah pun kemudian telah meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kebun. Nyi Prawara pun telah kembali ke dapur, sementara Ki Prawara pergi ke halaman depan. Yang tinggal di ruang dalam adalah Manggada, Laksana dan Winih yang masih merenungi persoalan yang menyangkut Darpati.

Kepada Manggada dan Laksana Winih itu bertanya "Kakang, jika Darpati sengaja memancing kita ke dalam jebakannya di dekat pancuran itu, apa yang mereka kehendaki?”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Manggada pun menjawab "Kami tidak tahu pasti Winih. Tetapi jika ia berhasil menyelamatkanmu, maka di matamu, ia tentu benar-benar menjadi seorang pahlawan”

Winih memandang Manggada dengan tajamnya. Katanya "Apakah ia menjadi sejahat itu?"

Namun Laksana itu justru menjawab "Mungkin lebih jahat dari itu Winih. Mungkin Darpati benar-benar ingin membunuh kami berdua, namun, tanpa meninggalkan jejak kejahatannya”

"Kenapa ia ingin membunuh kalian berdua?" bertanya Winih.

Agaknya hati Laksana lebih terbuka dari Manggada. Karena itu, maka jawabnya menirukan pendapat Nyi Prawara "Mungkin Darpati tahu bahwa kau bukan adikku dan bukan adik kakang Manggada. Maksudku, bukan adik kandung atau sepupu atau sama sekali bukan sanak kadang”

"Lalu, kenapa jika demikian?" bertanya Winih.

"Darpati tidak ingin melihat seorang anak muda ada di dekatmu" jawab Laksana.

Wajah Winih menjadi merah. Ternyata ia menjadi marah mendengar kata-kata Laksana itu. Dengan suara bergetar ia berkata "Jadi selama ini kau menganggap bahwa kehadiranku, sikapku dan keakrabanku terhadap kalian itu kau artikan sebagaimana sikap seorang gadis terhadap seorang anak muda? Kakang, ternyata kaulah yang tidak jujur terhadapku. Selama ini aku menganggap kalian sebagai kakak-kakak kandungku sendiri”

Winih pun segera bangkit berdiri dan hampir saja ia melangkah pergi. Namun Manggadalah yang kemudian berkata dengan sabar "Winih. Dengarlah penjelasan kami. Ternyata kau salah paham”

"Tidak. Aku tidak salah paham. Aku tahu benar apa yang kalian maksudkan" jawab Winih.

"Tunggu Winih. Seandainya kau tahu benar maksud kami, kami masih ingin menambah pengertianmu sedikit saja. Duduklah” berkata Manggada.

Winih memang duduk. Tetapi wajahnya masih saja nampak gelap. Bukan saja kekecewaannya terhadap sikap kakek, ayah dan ibunya, tetapi juga sikap Manggada dan Laksana.

"Winih" berkata Manggada "Kami tidak sedang mengatakan sikap batinmu. Aku tahu bahwa kau telah menganggap kami berdua sebagaimana kakak kandungmu sendiri. Kami berdua pun menganggapmu sebagai adik kandungku sendiri. Sehingga dengan demikian, maka apa yang kami lakukan, adalah ungkapan sikap seorang kakak terhadap adiknya. Tetapi yang kami katakan adalah sikap batin Darpati. Ia tahu bahwa aku dan Laksana bukan kakak kandungmu, bukan pula sepupumu dan bahkan bukan sanak-kadangmu sendiri. Karena itu, maka Darpati berpendapat, bahwa ada kemungkinan, aku atau Laksana ingin berdiri menjadi sekat keinginannya untuk mendekatimu. Karena itu, maka baik aku maupun Laksana harus disingkirkan dengan caranya, agar tidak meninggalkan jejak”

"Hati kalianlah yang berbulu. Kalian menuduh Darpati berbuat jahat. Tetapi bukankah di hati kalian sendiri tumbuh niat seperti itu? Kalian ingin menyingkirkan Darpati, jika tidak merampas nyawanya karena kalian tidak mampu, juga dengan menghancurkan nama baiknya. Agaknya kakek, ayah dan ibu mulai terpengaruh oleh tanggapan kalian terhadap Darpati” sahut Winih.

"Winih" berkata Manggada yang mulai berkeringat mengendalikan perasaannya yang bergejolak "Kau harus mencoba mendengarkan kata-kata kami”

Laksanalah yang menjadi hampir tidak sabar. Tetapi karena ia mengingat bahwa gadis itu adalah cucu Kiai Gumrah, maka Laksana dengan susah payah masih mengendalikan dirinya.

"Apa lagi yang harus aku dengar?" bertanya Winih.

"Apapun yang kami lakukan, adalah karena kami menganggapmu sebagai adik kandung kami sendiri. Kami tidak mau melihat kau ditelan oleh serigala yang ganas, namun yang mengenakan bulu domba itu” berkata Manggada "Sekali lagi harus kau sadari, bahwa yang kami katakan adalah sikap batin Darpati. Bukan sikap hatimu. Kau harus yakin, bahwa kami tidak dapat menganggapmu lain daripada adik kandung. Itu pun merupakan satu kehormatan yang tidak ada taranya, karena kami adalah anak-anak terbuang yang mengembara menyusuri lorong-lorong sempit, lereng-lereng terjal dan tepi-tepi hutan yang pepat. Di siang hari kami berpayung matahari dan di malam hari kami berkandang langit dan berselimut awan. Dengan demikian, bagaimana kami berani memikirkan atau bahkan berangan-angan jauh melampaui derajat dan martabat kami sebagai pengembara yang tidak berharga?"

Winih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata lembut. "Maaf kakang. Tetapi kakang jangan merajuk seperti itu. Seharusnya sebagai seorang laki-laki kakang menjadi marah kepadaku”

"Winih" desis Manggada "Seandainya aku tidak menganggapmu sebagai adik kandungku, maka aku tentu akan marah, karena kau tidak berhak bersikap demikian terhadapku”

"Aku minta maaf kepada kakang berdua" desis Winih pula.

"Baiklah Winih" berkata Manggada kemudian "aku akan melupakannya. Tetapi apa yang aku katakan tentang Darpati sama sekali bukan fitnah. Tetapi benar-benar muncul dari nurani kami, kakak-kakak kandungmu. Mudah-mudahan dugaan kami itu tidak benar sehingga persoalannya tidak akan berekor dengan luka-luka di hatimu dan di hati ayah, ibu serta kakekmu. Jika kau percaya, tentu juga di hatiku dan di hati Laksana”

"Aku berterima kasih bahwa kalian tidak menjadi marah kepadaku kakang” bertaka Winih kemudian.

"Jika kau, mau mendengarkan kata-kata kami, kata-kata kakek, ayah serta ibumu, maka kami akan menjadi sangat berbahagia” jawab Manggada.

Winih pun kemudian bangkit berdiri sambil berdesis "Kakang, aku akan memperhatikan keteranganmu, keterangan ayah, kakek dan ibu. Tetapi kenyataanlah yang akan membuktikan, apakah anggapan kalian terhadap Darpati itu benar”

"Tentu saja Winih. Tetapi kesadaranmu jangan datang terlambat" berkata Manggada.

Winih mengangguk sambil tersenyum. Namun kemudian ia pun melangkah ke dapur sambil berdesis. “Aku harus membantu ibu.”

Demikian Winih hilang di balik pintu, Laksana tiba-tiba saja berkata "Apa pula yang kau lakukah? He, Winih sendiri berkata kepadamu, jangan merajuk. Seharusnya kau marah. Kenapa justru kau berkata dengan nada cengeng tentang pengembaraan kita, seolah-olah kita di siang hari berpayung matahari dan di malam hari hati kita berkandang langit berselimut awan”

Manggada tertawa tertahan. Katanya "Tetapi bukankah hati Winih menjadi luluh? Apa katanya? Ia telah minta maaf kepada kita berdua. He, Laksana. Seorang gadis yang sedang mulai menapakkan kakinya ke dalam dunia mimpi, maka ia akan lebih mudah tersentuh oleh kata-kata yang sedikit merajuk seperti itu”

Laksana mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya "Pantas Winih menyebut kita tidak jujur. Ternyata kau memang pandai berpura-pura”

"Tetapi bukankah kita tidak bermaksud buruk?"

Laksana mengangguk. Katanya “Ya. Kita memang tidak bermaksud buruk”

"Nah, kita sekarang akan turun ke kebun. Kita akan membantu Kiai Gumrah” ajak Manggada.

Namun Laksana sempat berdesis "Tetapi mata Darpati tidak kabur...”

"Kenapa?" bertanya Manggada.

Laksana tersenyum. Perlahan-lahan ia berdesis. "Winih memang cantik...”

"Ah, kau" sahut Manggada "ketika kita menyelamatkan gadis yang hampir saja menjadi korban keris Panembahan itu, kau mengatakan bahwa gadis itu cantik sekali. Kemudian ketika kita membantu menyelamatkan Mas Rara, kau berkata bahwa Mas Rara adalah gadis yang sangat cantik. Sekarang kau bertemu dengan Winih, kau berkata bahwa Winih adalah seorang gadis yang memang cantik...”

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 11
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.