Dewa Arak - Algojo Algojo Bukit Larangan
SATU
Matahari tepat berada di atas kepala. Tidak ada awan yang menggelantung di langit, membuat Sang Raja Siang leluasa memancarkan sinamya yang terik. Suasana di persada pun menjadi panas bukan kepalang. Dalam suasana seperti itu, rasanya orang lebih suka memilih berdiam diri di rumah, atau beristirahat di tempat yang teduh.Tapi, tindakan seperti itu ternyata tidak dilakukan semua orang. Terbukti di bawah sengatan sinar matahari yang seperti akan membakar kulit itu, berjalan tiga sosok tubuh. Tiga sosok tubuh itu mengenakan pakaian dan ikat kepala yang berwarna sama. Hitam pekat. Di bagian dada kiri pakaiannya, tampak tersulam dari benang merah gambar gunung yang menjulang tinggi.
Sulaman gambar dari benang yang sama terdapat pula pada bagian depan ikat kepalanya. Tanpa mempedulikan suasana panas membakar, tiga sosok tubuh itu melangkah tenang di jalan tanah yang berdebu. Sesekali hembusan angin yang berhawa panas, menerbangkan debu-debu dan menerpa tubuh mereka. Tapi mereka sama sekali tidak perduli.
"Masih jauhkah Perguruan Tapak Malaikat itu, Pergola?" tanya salah seorang dari tiga sosok tubuh itu, tanpa menghentikan langkah. Dia adalah seorang laki-laki yang bertubuh pendek kekar. Wajahnya menyiratkan keangkuhan besar, dan dipenuhi bintikbintik hitam bekas jerawat.
"Sebelum matahari tergelincir di Barat, kita telah tiba di sana, Sanca Kala," jawab orang yang dipanggil Pergola, setelah tercenung beberapa saat lamanya untuk memperkirakan jarak yang harus mereka tempuh. "Bukan begitu, Gurida?"
Gurida, orang yang satunya lagi, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berotot, urat tubuh menonjol dan berkepala botak, menganggukkan kepala. Ia membenarkan perkataan Pergola, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, berkumis dan berjenggot jarang.
"Mengapa kau menanyakan hal itu, Sanca Kala?" tanya Pergola seraya menatap wajah rekannya. "Kau takut? Atau lelah?"
"Aku takut?! Cuihhh...! Kau keliru, Pergola! Aku malah sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di sana!" sergah Sanca Kala dengan nada suara tinggi karena tersinggung. Tapi terdengar lucu di telinga, laki-laki pendek itu ternyata cadel, ia mengucapkan kata R dengan L.
"Tidak usah tergesa-gesa, Sanca Kala," sambut Pergola. "Percayalah. Tidak akan lari gunung dikejar. Lagi pula, apakah kau belum puas berlari-lari terus sejak beberapa hari yang lalu? Apa salahnya kali ini kita beristirahat dan berjalan santai. Anggap saja sebagai selingan sebelum kita terlibat dalam kerja keras?"
"Ho ho ho...! Aku pun mengira kau takut, Sanca Kala!" timpal Gurida dengan suaranya yang keras menggelegar mirip halilintar.
"Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Gurida!" bantah Sanca Kala dengan suara cadel.
"Kalau benar begitu, tenang saja, Sanca Kala! Percayalah, kita pasti akan tiba di Perguruan Tapak Malaikat, sebelum matahari terbenam," kata Pergola mantap. Tapi karena suaranya yang kecil dan melengking mirip ringkik kuda, kemantapannya berkurang.
Sanca Kala tidak membantah. Dia diam, dan tidak melanjutkan ucapannya. Setelah ia meludah ke tanah dengan cara kasar dan menjijikkan. Rupanya, itulah kebiasaan buruk Sanca Kala, meludah ke tanah bila sedang dilanda amarah.
Gurida dan Pergola yang paham dengan kebiasaan buruk Sanca Kala sama sekali tidak peduli. Mereka terus melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi.
Gurida, Pergola, dan Sanca Kala sama sekali tidak mempedulikan suasana sekeliling yang hening. Mereka tidak ambil pusing, meskipun di sepanjang perjalanan tidak menjumpai seorang pun. Suasana sepi tetap mereka rasakan, kendati mereka telah memasuki mulut sebuah desa. Jalan utama desa yang cukup lebar tampak sunyi.
"Gila! Ke mana para penghuni desa ini?!" maki Gurida dengan suara yang keras mengguntur.
Laki-laki bertubuh tinggi ini menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Tapi matanya tidak melihat seorang pun. Padahal, rumah penduduk cukup banyak. Tapi, daun pintu dan jendelanya tertutup rapat-rapat.
"Mengapa kau mengurusi orang-orang yang tidak perlu, Gurida?!" tegur Sanca Kala sambil tersenyum mengejek. Gembira hatinya karena mendapat kesempatan untuk balas mengejek Gurida.
Memang tampak aneh sikap Gurida, Pergola, dan Sanca Kala. Melihat dari pakaian yang dikenakan, bisa diduga kalau ketiga orang ini mempunyai hubungan satu sama lain. Tapi, bila melihat dari sikap mereka, terkesan persaingan di antara ketiga orang itu.
Gurida tahu kalau dirinya sedang diejek. Tapi karena dia tidak tergolong orang yang pandai berdebat, ejekan Sanca Kala tidak langsung bisa ditangkalnya. Beberapa saat lamanya Gurida terdiam dengan wajah merah padam.
"Apakah kau akan membunuhi mereka dulu untuk meyakinkan diri sebelum menghadapi orang-orang Perguruan Tapak Malaikat?!" ejek Sanca Kala lagi, sehingga membuat wajah Gurida semakin merah.
Gurida menggertakkan giginya, menahan perasaan geram. Karena ia tak tahan dengan ejekan Sanca Kala yang semakin memanaskan telinga. Lalu, ia melangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkan kedua rekannya.
"Ha ha ha...!" Gelak tawa Pergola dan Sanca Kala mengiringi langkah kaki Gurida yang mendahului mereka. Masih dengan tawa yang tidak putus-putus, Pergola dan Sanca Kala mengikuti langkah Gurida yang benarak empat tombak di depan.
Sekarang tiga orang aneh itu meneruskan tujuan mereka, tapi tidak lagi berjalan berbarengan seperti semula. Gurida berjalan di depan. Sedang Sanca Kala dan Pergola berjalan di belakangnya.
* * * * * * * *
"Berhenti...! Siapa, kisanak semua?! Dan, apa keperluan Kisanak kemari?!" tanya salah satu dari dua orang pemuda berpakaian coklat. Tampak di bagian dada mereka tersulam gambar telapak tangan berwarna putih bersih. Dia adalah seorang pemuda berkulit hitam dan beralis tebal.
Dua orang itu berdiri di depan pintu gerbang. Di atas gerbang itu tergantung sebuah papan tebal berukir, dan bertuliskan 'Perguruan Tapak Malaikat'. Dua orang yang sebenarnya adalah murid-murid Perguruan Tapak Malaikat, berdiri berjajar dalam jarak sekitar setengah tombak. Keduanya saling memiringkan tombak, untuk menghalangi jalan.
Pemuda beralis tebal dan rekannya menatap tajam penuh selidik terhadap tiga sosok tubuh, yang berdiri di hadapan mereka. Ketiga sosok tubuh itu mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam mengkilat. Pada dada kiri dan ikat kepala mereka terlihat gambar gunung menjulang tinggi dari sulaman benang merah.
Tiga sosok tubuh yang bukan lain Gurida, Sanca Kala, dan Pergola tertawa. Mereka tertawa bersama dan berbarengan. Tak pelak lagi terdengarlah suara gabungan tawa yang aneh.
"Orang seperti kalian ingin mengenal kami?!" bentak Gurida. Memang dia memiliki suara keras, ditambah lagi membentak, tak mengherankan bila terdengar suara yang keras bukan kepalang.
Saking kerasnya suara yang keluar dari mulut Gurida membuat dua murid Perguruan Tapak Malaikat, yang menghalangi langkah mereka, sempat terjingkat ke belakang. Tapi, rasa kaget yang melanda hati kedua penjaga Perguruan Tapak Malaikat itu hanya sebentar. Kemudian mereka telah menguasai diri kembali.
"Benar! Kami ingin tahu siapa kisanak semua. Dan apa pula maksudnya kisanak mengunjungi perguruan kami. Semua itu untuk bahan laporan kepada kakak seperguruan kami. Kemudian diteruskan kepada ketua untuk mempertimbangkan pantas tidaknya menerima kalian," jawab penjaga pintu gerbang satunya lagi, seorang pemuda bercambang panjang dan tak mau kalah gertak dengan Gurida.
"Tikus Buduk tak tahu penyakit!" desis Gurida penuh amarah. Memang, dibanding kedua orang rekannya, laki-laki tinggi besar ini memiliki sifat berangasan. Mudah marah dan tersinggung! "Kau rupanya sudah ingin pergi ke akherat, hah?! Baik. Kuturuti maumu!"
Belum lenyap gema ucapannya, Gurida telah melangkahkan kakinya ke depan. Tentu saja dua orang penjaga pintu gerbang Perguruan Tapak Malaikat itu tidak tinggal diam. Tombak yang tadi bersilang menghalangi jalan, segera ditusukkan ke arah perut dan leher Gurida.
"Hmh...!" Gurida mendengus. Dengan sikap sembarangan dan seperti tanpa mengerahkan tenaga sama sekali, diulurkan tangannya menangkap kedua tombak yang tertuju ke arahnya.
Tap, tappp...!
Sepasang mata dua orang murid Perguruan Tapak Malaikat terbelalak, ketika melihat mata tombak mereka telah berada dalam cengkeraman tangan Gurida. Sebelum rasa kaget mereka lenyap, Gurida telah menggerakkan dan menggentakkan tangannya yang menggenggam tombak ke atas.
Jerit keterkejutan terdengar dari mulut kedua orang itu ketika tubuh mereka terlempar ke atas akibat sentakan tangan Gurida. Tubuh kedua orang penjaga pintu gerbang itu melayang setinggi dua tombak ke udara. Kemudian meluncur ke bawah ketika kekuatan yang melemparkan tubuh mereka ke atas tidak bersisa lagi.
"Sekarang giliran kami, Gurida!"
Hampir berbareng ucapan yang sama itu keluar dari mulut Sanca Kala dan Pergola. Meskipun Gurida tidak memberikan tanggapan atas ucapan Sanca Kala dan Pergola, tapi ia setuju. Terbukti, dia menyingkir dan tidak mempedulikan nasib kedua orang penjaga pintu gerbang itu.
Tapi, keduanya tahu kalau bahaya akan mengancam keselamatan jiwa mereka. Maka keduanya pun berusaha untuk menyelamatkan diri. Di saat tubuh mereka meluncur turun dengan derasnya ke tanah, usaha penyelamatan diri itu dilakukan. Tubuh mereka berputar beberapa kali di udara.
Kemudian dengan bantuan jari-jari kedua tangan yang disatukan dan dijadikan landasan, kedua orang itu segera menyerang Pergola dan Sanca Kala dari udara. Tindakan yang mereka lakukan mengingatkan pada kelakuan burung garuda yang menyambar mangsanya.
Sanca Kala dan Pergola tersenyum mengejek melihat serangan yang mengancam mereka. Dengan gerakan sembarangan keduanya mengulurkan tangan menyambuti.
Plak, plakkk...!
Jerit kesakitan terdengar dari mulut dua murid Perguruan Tapak Malaikat, ketika empat pasang tangan berbenturan. Untuk kedua kalinya tubuh mereka terlempar kembali ke udara. Sambungan pergelangan tangan dan sikut mereka langsung terlepas ketika benturan itu terjadi.
Brukkk...!
Suara berdebuk keras terdengar tatkala tubuh mereka jatuh di tanah, setelah terlempar sejauh satu tombak. Memang, rasa sakit yang mendera tangan, membuat mereka tidak mampu menguasai diri. Sehingga, mereka tidak dapat mendarat dengan sempurna.
Tanpa mempedulikan dua orang penjaga pintu gerbang yang masih berguling-guling menahan sakit, Sanca Kala, Pergola, dan Gurida melangkah menghampiri pintu gerbang yang daun pintunya terbuka sedikit.
"Hih...!" Gurida yang berwatak berangasan menghantam daun pintu gerbang itu.
Brakkk!
Suara hiruk-pikuk yang keras mengiringi hancurnya daun pintu gerbang Perguruan Tapak Malaikat. Karuan saja suara bergemuruh itu membuat kaget penghuni Perguruan Tapak Malaikat. Puluhan orang murid yang tengah berlatih di halaman, dengan bimbingan seorang murid utama, menolehkan kepala ke asal suara bergemuruh itu.
Wajah-wajah puluhan murid yang terdiri dari beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok berisi murid-murid yang setingkatan, langsung merah padam menahan amarah. Setelah mereka mengetahui kalau suara riuh rendah itu berasal dari daun pintu gerbang yang hancur berantakan.
Kemarahan semakin berkobar di dada mereka ketika tiga sosok tubuh berpakaian dan berikat kepala hitam melangkah masuk. Jelas, ketiga orang inilah yang menghancurkan daun pintu gerbang perguruan mereka, tebak murid Perguruan Tapak Malaikat.
Yakin kalau Sanca Kala, Pergola, dan Gurida yang harus bertanggung jawab, puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat yang bertelanjang dada bersiap mengadakan perhitungan. Tapi...
"Tahan...!"
Suara bentakan itu dikenal oleh puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat, sehingga mereka menghentikan gerakan.
"Mengapa kau melarang kami, Kang Sena?" tanya seorang murid yang mempunyai tahi lalat di dahi.
Ada nada penasaran dalam ucapan laki-laki bertahi lalat di dahi. Bahkan sorot matanya mengandung pertanyaan besar ketika menatap wajah Sena. Salah seorang murid kepala Perguruan Tapak Malaikat yang bermata sipit.
"Kalian jangan bertindak ceroboh. Kita belum tahu maksud mereka," jawab Sena kalem sambil menatap adik seperguruannya beberapa saat Setelah itu pandangannya diedarkan ke sekeliling.
Semua murid Perguruan Tapak Malaikat kontan diam. Tidak ada satu pun yang membuat gerakan atau menyambuti ucapan kakak seperguruan mereka. Setelah yakin kalau semua adik seperguruannya sudah tenang, Sena melangkah menghampiri Sanca Kala, Pergola dan Gurida yang juga tengah menuju ke tempat mereka.
Karena mereka khawatir akan keselamatan kakak seperguruannya puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat pun melangkah di belakang Sena. Ketika jarak antara mereka ringgal tiga tombak lagi, Sena menghentikan langkah. Tentu saja hal itu memaksa adik-adik seperguruannya yang berada di belakangnya menghentikan langkah pula.
"Siapakah, kisanak semua?! Mengapa masuk dengan cara seperti ini?!" tanya Sena tenang dan penuh wibawa. Sikapnya seperti itu tidaklah aneh, karena dia sering mendapat tugas pengganti, apabila gurunya berhalangan. Memang masih ada dua orang lagi yang menjadi murid kepala selain Sena. Tapi hanya dia yang mendapat kepercayaan dari Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
"Kami datang dari tempat yang jauh untuk menemui Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Kami yakin kalau kau bukan orang yang kami maksudkan! Karena itu kau menyingkirlah dari situ dan panggil ketua kalian kemari!" sambut Sanca Kala dengan suara cadelnya.
"Kalau tidak, kami akan mencarinya sendiri ke dalam!" sambung Gurida.
Sena tetap bersikap tenang. "Sayang sekali, kisanak semua. Guruku saat ini sedang tidak ingin diganggu. Beliau berpesan untuk tidak membiarkan seorang pun menemuinya," jawab Sena dengan tenang. "Kalau Kisanak berkeras ingin bertemu, aku bersedia mewakili guruku. Katakanlah. Apakah ada yang bisa kubantu?"
"Kau tidak akan mampu mewakili urusan ini, Tikus Buduk!" sergah Gurida keras. "Panggil gurumu cepat! Atau..., tanah perguruan ini akan dibanjiri darah kalian!"
"Sayang sekali, Kisanak! Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu," kata Sena masih dengan sikap tenang. Dia tidak terpengaruh sama sekali dengan kemarahan lawan.
"Kucing pincang belagak jadi macan...," desis Pergola nyaring.
"Apa pun pendapat kalian, aku tidak perduli. Kedatangan kalian kemari tidak sopan saja, sudah menjadi alasan bagi kami untuk mengusir kalian," kata Sena masih tenang.
"Kang..., mungkin kedua orang rekan kita telah mereka bunuh," sela laki-laki yang bertahi lalat di dahi.
Sena terjingkat kaget. Ya. Mengapa dia bisa melupakan adik-adik seperguruannya yang menjaga pintu gerbang? Kalau ketiga orang kasar ini bisa masuk ke dalam, berarti telah terjadi sesuatu atas murid-murid Perguruan Tapak Malaikat yang menjaga pintu gerbang.
"Hmh...!" Gurida yang berwatak berangasan langsung mendengus keras. "Kami tidak sudi mengotori tangan dengan membunuh kucing-kucing pincang seperti kalian!"
"Ya! Kami hanya butuh Ketua Perguruan Tapak Malaikat!" timpal Sanca Kala keras. "Cepat beritahukan padanya! Atau..., kalian semua akan kubantai! Ini peringatan terakhir!"
"Sudah kubilang beliau tidak mau diganggu!" sambut Sena tegas.
"Kalau begitu, biar aku sendiri yang mencarinya ke dalam!" sergah Gurida keras sambil melangkah maju.
"Kau hanya bisa masuk ke dalam bila berhasil melangkahi mayatku!" kata Sena tegas dan mantap sambil menggeser kakinya ke kanan. Sehingga menghalangi jalan yang akan ditempuh Gurida.
Gurida menggeram keras seperti binatang buas yang murka. "Kalau begitu, kau dulu yang akan kulenyapkan...! Hih...!"
Gurida melancarkan tendangan kaki kanan lurus ke arah dada Sena. Dalam puncak kemarahan, dikeluarkan seluruh tenaga dalamnya.
Wuttt...! Deru angin keras mengiringi serangan Gurida. Sena tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu kalau serangan itu mengandung tenaga dalam amat kuat. Maka murid kepala Perguruan Tapak Malaikat ini buru-buru melempar tubuh ke belakang, sehingga tendangan Gurida hanya mengenai daerah kosong.
Gurida penasaran bukan kepalang melihat serangannya berhasil dielakkan. Tanpa memberi kesempatan lawan ia segera melancarkan serangan susulan dengan menggunakan kaki.
Sena kaget bukan kepalang, melihat kecepatan serangan lawan. Dia baru saja mendaratkan kaki, serangan susulan lawan telah meluncur ke arah tubuhnya. Karuan saja membuatnya menjadi kelabakan. Untunglah, murid-murid Perguruan Tapak Malaikat yang memang sudah bersiap siaga sejak tadi, langsung bertindak cepat. Beberapa orang mencabut pedang dan langsung melancarkan serangan ke arah bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Gurida. Sedangkan sisanya langsung menyerbu Sanca Kala dan Pergola.
Melihat sambaran berbagai macam senjata ke arah bagian berbahaya di tubuhnya, Gurida terpaksa membatalkan serangan. Kalau ia teruskan, sebelum serangannya mengenai sasaran, pedang murid-murid Perguruan Tapak Malaikat akan menghantamnya lebih dulu. Gurida tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu ia mengurungkan maksudnya, dan melemparkan tubuhnya ke samping.
"Rupanya kalian benar-benar menghendaki kematian! Baik kalau itu yang kalian inginkan, aku akan memenuhinya...!" ucap Gurida ketika telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Tapi ancaman Gurida disambut dengan serbuan murid-murid Perguruan Tapak Malaikat Mereka, di bawah pimpinan Sena, segera meluruk menyerbu lawan. Dan, serangan itu disambut hangat, oleh Gurida. Tak pelak lagi pertarungan sengit pun meletus.
Kini, di halaman depan Perguruan Tapak Malaikat, terjadi tiga buah kancah pertarungan! Suara desing senjata menyambar, dentang senjata beradu diiringi percikan bunga api, jerit kesakitan dan kematian, menyemaraki pertarungan.
* * * * * * * *
DUA
Kepandaian Sanca Kala, Pergola, dan Gurida ternyata berada jauh di atas tingkat kepandaian murid-murid Perguruan Tapak Malaikat. Sejak awal, hal itu sudah disadari ketiga tokoh berpakaian hitam pekat itu. Terbukti, mereka sama sekali tidak menggunakan senjata untuk menghadapi para pengeroyok.
Dengan tangan kosong, Sanca Kala, Gurida dan Pergola menghadapi hujan serbuan senjata-senjata lawan. Mereka tanpa ragu-ragu menangkis babatan, tusukan, dan berbagai macam serangan senjata lawan dengan tangan telanjang. Dan setiap kali terjadi benturan, terdengar suara berdetak keras seperti benturan antara benda keras.
Tak sedikit pun tangan atau kaki ketiga tokoh yang berpakaian hitam itu terluka, atau tergores. Tetapi itu bukanlah hal yang aneh. Karena tangan dan kaki Sanca Kala, Gurida, dan Pergola telah terlindung oleh tenaga dalam. Bahkan sebaliknya tangan yang menggenggam senjata itu tergetar hebat dan hampir lumpuh.
Karuan saja hal itu membuat murid-murid Perguruan Tapak Malaikat merasa terkejut bukan kepalang, terutama sekali Sena. Karena hal itu menandakan ketiga orang lawannya memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Betapapun murid-murid Perguruan Tapak Malaikat telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk merobohkan, atau menewaskan lawan. Tapi tetap saja usaha mereka kandas. Setiap serangan yang mereka lancarkan, selalu dapat dipunahkan ketiga tokoh berpakaian hitam pekat itu.
Sebaliknya setiap Gurida, Sanca Kala, maupun Pergola melancarkan serangan balasan, sudah dapat dipastikan salah satu para pengeroyoknya akan roboh ke tanah dan tewas.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar saling susul menyusul seiring dengan robohnya satu demi satu murid-murid Perguruan Tapak Malaikat. Dan, itu terjadi setiap kali ketiga orang laki-laki berpakaian hitam itu menggerakkan tangan atau kaki. Dalam waktu sepuluh jurus saja, tak kurang dari sembilan orang murid-murid Perguruan Tapak Malaikat, tergolek tanpa nyawa di tanah.
Sena menggertakkan gigi melihat adik-adik seperguruannya berguguran. Dengan kemarahan yang meluap-luap, ia memperhebat permainan pedangnya. Tapi semua usaha Sena tidak membuahkan hasil sama sekali. Gurida terlalu sakti untuk dilawan, sekalipun dia telah menghadapinya bersama temantemannya.
Amukannya sama sekali tidak merubah keadaan. Adik-adik seperguruannya roboh dalam keadaan tanpa nyawa, dan lolong kematian saling susul-menyusul. Rasa marah dan sedih berkecamuk dalam hati Sena melihat kematian adik-adik seperguruannya.
Dengan susah payah dia membimbing dan mendidik mereka. Tapi, secara mudah Gurida, Sanca Kala, dan Pergola membinasakannya. Bagaimana Sena tidak menjadi terpukul melihat kenyataan itu?
Seiring dengan makin sedikitnya jumlah murid-murid Perguruan Tapak Malaikat, maka perlawanan yang mereka berikan pun semakin tidak berarti. Dan, ketiga tokoh itu dengan mudah membantai mereka. Sekarang tinggal beberapa gelintir murid-murid Perguruan Tapak Malaikat yang tersisa. Dan....
"Akh...! Akh...! Akh...!"
Jerit kematian beruntun terdengar kembali ketika Gurida dan rekannya melancarkan serangan. Nyawa Sena dan adik-adik seperguruannya pun melayang ke alam baka.
Sanca Kala, Gurida, dan Pergola saling pandang. "Apakah yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita harus memasuki bangunan demi bangunan satu persatu. Memeriksa ruangan-ruangan sampai kita menemukan tempat si tua bangka itu, Pergola?" tanya Sanca Kala sambil menatap wajah laki-laki tinggi kurus itu.
Pergola tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah tercenung. Melihat kerut pada keningnya, bisa diperkirakan kalau dia tengah berpikir. "Kalau menurutmu bagaimana, Gurida?" tanya Pergola meminta pendapat rekannya yang berkepala botak.
Gurida terperanjat. Tampak dia tidak siap dengan pertanyaan seperti itu. "Kita bakar saja semua bangunan yang ada di sini. Mustahil tua bangka itu tidak keluar dari tempat persembunyiannya!" jawab Gurida lantang.
Pergola dan Sanca Kala berpikir sejenak, mempertimbangkan usul yang sama sekali tidak mereka duga itu. Sesaat kemudian, mereka berdua saling pandang, lalu tersenyum lebar.
"Tidak kusangka kau mempunyai usul yang begitu cemerlang, Gurida," puji Sanca Kala.
Gurida terkekeh keras. Kebanggaan terlihat jelas baik pada nada suara maupun wajahnya.
"Ha ha ha...!" Sambil tertawa ngakak Pergola, Sanca Kala, dan Gurida segera melangkah menghampiri obor yang tergantung di sudut-sudut bangunan. Kemudian digosokkannya satu sama lain, sehingga timbul percikan api. Bagi mereka yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, pekerjaan semacam itu sangat mudah dilakukan.
Begitu api menyala pada sumbu obor, ketiga orang yang berpakaian hitam itu melontarkan obor yang menyala ke arah bangunan Perguruan Tapak Malaikat. Dan, setiap bagunan dilempari dengan beberapa batang obor. Baik atap, jendela, maupun lantai. Karena mereka ingin api segera berkobar dan besar.
Brill...! Sekejap kemudian, api mulai menelan bangunanbangunan yang terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Asap hitam dan tebal pun membumbung tinggi ke angkasa.
"Ha ha ha...!" Gurida, Sanca Kala, dan Pergola tertawa terbahak-bahak melihat kobaran api yang membumbung tinggi. Mereka yakin sekali, Ketua Perguruan Tapak Malaikat akan keluar dari tempat semadinya. Dugaan ketiga orang sakti ini tepat, karena salah satu bangunan yang terbakar hebat itu, mendadak jebol dan dindingnya berantakan sebelum dijilat api.
Brakkk...! Pecahan kayu, arang, dan percikan bunga api berhamburan berpentalan ke sana kemari, seiring dengan melesatnya sesosok bayangan dari dalam bangunan yang sedang diamuk api.
"Hup...!" Setelah bersalto beberapa kali di udara, sosok bayangan itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Indah dan manis sekali gerakannya. Bahkan ketika kedua kakinya mendarat di tanah, tampak gerakannya ringan seperti sehelai bulu yang jatuh.
"Iblis! Biadab! Siapa yang telah melakukan semua ini?" seru sosok bayangan yang ternyata, seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya terlihat sudah keriput dihiasi kumis dan jenggot yang cukup lebat. Kendati demikian, tubuhnya tampak masih kekar, dan terbungkus pakaian berwarna coklat. Sebuah sulaman berbentuk sebuah telapak tangan menghias bagian dadanya.
"Kaukah Ketua Perguruan Tapak Malaikat?" tanya Gurida keras. Ada ancaman, baik dalam nada suara maupun pandangan mata, laki-laki berkepala botak itu.
"Benar! Siapa kalian? Apakah kalian yang telah melakukan tindakan biadab ini?" tanya laki-laki berkumis lebat itu geram sambil menunjuk bagunan-bangunan yang terbakar dan mayat murid-muridnya yang tergeletak di tanah.
Patut dipuji tindakan yang dilakukan Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu. Meskipun ia telah menduga kalau pelaku kejahatan di perguruannya adalah ketiga orang berpakaian hitam yang berdiri di hadapannya. Namun, ia tidak langsung melancarkan serangan.
"Ha ha ha...!"
Bagai diperintah, Sanca Kala, Gurida, dan Pergola tertawa berbarengan. Gabungan suara tawa yang lucu pun terdengar. Suara parau dan melengking nyaring berbaur menjadi satu.
Melihat tingkah ketiga tokoh itu wajah Ketua Perguruan Tapak Malaikat memerah. Dia merasa tersinggung sekali. Betapa tidak? Dia telah mengajukan pertanyaan secara baik-baik, tapi dijawab dengan tawa bernada mengejek ketiga orang itu!
"Diam...!" bentak Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu lantaran ia tak mampu lagi menahan perasaan geram dalam dadanya. Teriakan yang keluar dari mulut laki-laki berjenggot lebat keras bukan kepalang. Karena teriakan itu dikeluarkan melalui pengerahan tenaga dalam.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, suara tawa itu kontan terhenti. Ketiga orang berpakaian nitam pekat itu merasa terkejut, sehingga tanpa sadar mereka menghentikan tawanya. Begitu mereka sadar, kemarahanlah yang timbul.
"Keparat! Berani kau membentak kami?!" bentak Gurida keras dengan nafsu amarah.
"Jangan hanya membentak, membunuh pun akan kulakukan apabila kalian terbukti telah melakukan semua kekejian ini!" tegas Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
"Ooo..., begitu?! Sekarang dengarkan baik-baik, Tua Bangka! Kamilah yang telah membunuh semua muridmu! Dengar! Kami yang telah melakukan semua itu. Bahkan kami pula yang telah membakar bangunan-bangunan perguruanmu!" kali ini Sanca Kala menyambuti dengan suara lantang, meskipun setiap kali bertemu, selalu tersendat.
"Keparat! Kenapa kalian bertindak sekejam itu?! Apa salah mereka pada kalian?!" Ketua Perguruan Tapak Malaikat masih sempat mengajukan pertanyaan, meskipun keinginan untuk menerjang ketiga orang berpakaian hitam itu sangat menggebu-gebu. Tapi, ia ingin mengetahui alasan ketiga orang itu melakukan pembantaian di perguruannya, sebelum turun tangan membasmi mereka.
"Sebenarnya mereka tidak mempunyai kesalahan apa-apa," ucap Pergola kalem, sekan-akan tewasnya puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat itu tak ubahnya seperti kematian nyamuk saja.
"Jahanam! Lalu, mengapa kalian membunuhnya?!" kejar Ketua Perguruan Tapak Malaikat dengan suara meninggi karena kemarahan yang semakin bergelora.
"Karena mereka tidak mau memberitahu kedatangan kami padamu, Tua Bangka!" sambut Gurida keras.
"Ya! Kalau saja mereka mau memberitahukan kedatangan kami padamu, mereka tidak perlu pergi ke alam baka. Bahkan terluka pun tidak. Karena kami memang tidak punya urusan dengan mereka, kecuali denganmu, Tua Bangka!" urai Pergola panjang lebar.
"Aku mempunyai urusan dengan kalian?!" Masih dengan suara tinggi, laki-laki berjenggot lebat itu mengernyitkan kening. "Rupanya kalian adalah orang-orang yang kurang waras! Jangankan aku punya urusan, melihat kalian pun baru sekarang!"
"Hal itu tidak perlu kau pusingkan, Tua Bangka!" sergah Gurida parau. "Yang penting kau adalah Ketua Perguruan Tapak Malaikat, karena itu kau mempunyai urusan dengan kami!"
"Benar!" sambut Sanca Kala. "Bukankah kau yang bernama Tanjak Gara?"
"Ki Tanjak Gara?!" alis Ketua Perguruan Tapak Malaikat berkernyit daiam. "Kalian keliru. Aku Gilang Sangkur, bukan Ki Tanjak Gara."
"Kau Bohong, Tua Bangka!" bentak Gurida keras sepasang matanya tampak berkilat-kilat pertanda tengah dilanda kemarahan menggelegak. "Kami tahu kalau Ketua Perguruan Tapak Malaikat adalah Tanjak Gara! Aku, Gurida, tidak bisa kau bohongi!"
"Jaga mulutmu yang kotor itu, Gurida!" teriak Gilang Sangkur tak kalah keras.
Untuk yang kesekian kalinya, Gilang Sangkur merasa tersinggung. Dia adalah seorang Ketua Perguruan Tapak Malaikat, sebuah perguruan silat aliran putih yang besar. Ditakuti kawan dan disegani lawan, tapi sekarang dia dimaki sebagai pembohong oleh Gurida. Siapa yang tidak menjadi kalap?
"Memang benar Tanjak Gara adalah Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Tapi itu dulu! Sudah bertahun-tahun lamanya, dia mengundurkan diri, dan aku yang menggantikan kedudukannya sebagai ketua perguruan ini!" jelas Gilang Sangkur dengan suara berapi-api.
Gurida, Sanca Kala, dan Pergola saling pandang. Wajah dan sinar mata mereka memancarkan ketidak-percayaannya akan kenyataan yang dihadapi.
"Lalu..., kemanakah perginya, Tanjak Gara?" tanya Sanca Kala mulai melunak. Pertanda dia mulai percaya dengan ucapan Gilang Sangkur.
"Aku tidak tahu," jawab Gilang Sangkur masih dengan nada tinggi. "Dan andaikata aku tahu pun, tidak akan kuberitahu pada kalian!"
"Hmh...!" Gurida yang berangasan mendengus. "Ingin kutahu, apakah kau akan tetap bersikeras apabila kami menyiksamu!"
"Itu memang yang tengah kutunggu-tunggu!" sambut Gilang Sangkur cepat. "Tanganku sudah gatal-gatal sejak tadi untuk menghukum kalian. Karena kalian telah lancang membakar bangunan dan bertindak keji atas murid-muridku!"
"Kau mencari penyakit sendiri, Tua Bangka...!" desis Gurida sambil melangkah menghampiri.
Gilang Sangkur tidak berani bertindak gegabah. Begitu melihat Gurida menghampiri, dia memasang sikap waspada. Sepasang matanya beredar memperhatikan semua gerak-gerik laki-laki berkepala botak itu. Mendadak sepasang matanya terbelalak ketika melihat sulaman gambar yang tertera pada dada kiri maupun pada ikat kepala Gurida. Rupanya sejak tadi, karena kemarahan yang melanda, ia tidak sempat melihat sulaman gambar itu.
Karena merasa kurang percaya dengan sulaman gambar yang ada pada Gurida, Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu mengalihkan pandangan ke arah Pergola, dan Sanca Kala. Dan keterkejutan yang membayang di wajahnya pun semakin tampak jelas.
"Apa hubungan kalian dengan Perguruan Bukit Larangan?" tanya Gilang Sangkur dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Kami memang utusan Ketua Perguruan Bukit Larangan. Dan kedatangan kami kemari untuk mencari Tanjak Gara. Dia telah terbukti bersalah," tandas Pergola.
Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini berusaha mempertunjukkan sikap penuh wibawa. Karena itu, dia mengucapkan kata-katanya satu demi satu. Itu pun masih ditambah dengan membusungkan dada. Tapi karena suaranya yang cadel, dan tubuhnya kurus, semua usahanya menjadi sia-sia. Bukan kewibawaan yang nampak malah kelucuan yang terlihat.
"Aku tidak percaya!" desis Gilang Sangkur terbata-bata. "Tokoh-tokoh Perguruan Bukit Larangan tidak pernah keluar dari tempatnya! Apalagi sampai menimbulkan bencana seperti ini! Kalian pasti pengacau-pengacau busuk yang menggunakan nama Perguruan Bukit Larangan untuk menimbulkan malapetaka!"
"Semua terserah padamu, Tua Bangka. Mau Percaya atau tidak, itu bukan urusan kami. Tapi yang jelas, beberapa saat lagi kau akan percaya! Hih...!"
Gurida menggulingkan tubuh ke depan. Dan langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati dan pusar Gilang Sangkur dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar.
Cit, cit...! Suara bercicitan tajam dari udara yang terobek oleh gerakan tangan Gurida, pertanda kalau serangan yang dilancarkan mengandung tenaga dalam tinggi.
Gilang Sangkur tahu kalau serangan lawan berbahaya. Meskipun belum dibuktikannya sendiri, namun, ia bisa memperkirakan kalau jari-jari tangan itu tak kalah tajam dari pisau yang paling tajam. Suara mendecit nyaring itulah yang telah memberi petunjuk kepadanya.
Karena itu, Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini tidak mau bertindak ceroboh. Dia belum tahu keistimewaan ilmu lawan, dan perkembangan gerakannya. Maka dia buru-buru melompat jauh ke belakang, sehingga pukulan Gurida hanya mengenai tempat kosong.
Tapi serangan Gurida tidak hanya berhenti sampai di situ. Begitu lawannya berhasil mengelakkan serangan, dia segera melompat dan memburu Gilang Sangkur. Dan, begitu jarak di antara mereka makin dekat, Gurida kembali melancarkan serangan bertubi-tubi yang mengeluarkan suara angin bercicitan.
Mengerikan dan menggiriskan sekali ilmu yang dipergunakan Gurida. Kedua tangannya yang membentuk cakar, selalu menimbulkan decitan angin tajam ketika digerakkan. Baik menyampok, mengibas, menetak, maupun mengebut.
Menyadari keanehan ilmu lawan, Gilang Sangkur bertindak hati-hati. Selama beberapa jurus, dia terus menerus mengelak. Tak sekalipun dia balas menyerang atau menangkis. Ketua Perguruan Tapak Malaikat memang ingin mengetahui lebih dahulu perkembangan gerakan ilmu lawan, dan juga kedahsyatannya.
Tindakan Gilang Sangkur yang berhati-hati itu dinilai lain oleh Gurida. Laki-laki tinggi besar berkepala botak ini menduga Ketua Perguruan Tapak Malaikat memandang rendah dirinya, sehingga sampai sekian lama hanya mengelak. Tindakan Gilang Sangkur membuatnya tersinggung. Akibatnya serangan-serangan yang dilancarkan pun makin dahsyat.
Melihat serangan Gurida, Gilang Sangkur tidak berani mengelak terus-menerus. Sebab tindakan yang sangat berbahaya bila hanya mengelak, menghadapi serangan yang semakin bertubi-tubi. Maka, begitu memasuki jurus kesebelas, mulai mengadakan perlawanan.
Dan, itu dilakukannya ketika sebuah sampokan tangan kanan Gurida, meluncur cepat ke arah pelipisnya. Ketua Perguruan Tapak Malaikat langsung mengangkat tangan kiri untuk melindungi pelipisnya. Sudah diduga bila serangan lawan mendarat di sasaran, kepalanya bisa hancur.
Plakkk...!
Suara benturan keras terdengar, manakala kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu saling berbenturan. Akibatnya, kedua tubuh itu sama-sama terhuyung tiga langkah ke belakang. Jelas, kalau tenaga dalam yang dimiliki kedua tokoh ini berimbang.
Tanpa mempedulikan akibat benturan itu, Gurida dan Gilang Sangkur kembali menerjang lawan begitu kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung, berhasil dipatahkan. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi.
Gurida dan Gilang Sangkur mengerahkan seluruh kepandaian yang mereka miliki. Di samping karena lawan yang dihadapi memang lihai, kedua belah pihak pun sama-sama menghendaki pertarungan berakhir secepat mungkin. Karena kedua tokoh yang bertarung itu sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, pertarungan pun berlangsung cepat. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam dan coklat.
Terkadang mereka saling belit, tapi tak jarang saling pisah satu sama lain. Namun, terpisahnya kedua bayangan itu hanya berlangsung sebentar. Karena sesaat kemudian, kedua tokoh itu saling menerjang. Sanca Kala dan Pergola memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar. Kedua tokoh sakti ini tahu kalau rekan mereka menghadapi lawan yang tangguh. Bukan tidak mungkin Gurida akan roboh, bahkan bisa tewas di tangan Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
* * * * * * * *
Pertarungan di antara kedua tokoh itu tampak berlangsung seru dan menarik. Baik Gurida maupun Ki Gilang Sangkur tengah berusaha keras untuk merobohkan lawan. Beberapa kali tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke belakang ketika terjadi benturan. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena keduanya langsung saling menyerang kembali.
Tak terasa pertarungan sudah berlangsung tujuh puluh lima jurus. Dan selama itu tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang, karena keduanya sama-sama memiliki tingkat tenaga dalam, meringankan tubuh, dan mutu ilmu silat yang berada dalam satu tingkatan.
Melihat hal ini, baik Sanca Kala maupun Pergola menjadi tidak sabar. Mereka menduga, pertarungan tetap akan berlangsung alot. Karena tidak ada tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang, padahal pertarungan telah berlangsung hampir seratus jurus.
Dugaan kedua tokoh berpakaian hitam pekat itu memang sama sekali tidak meleset. Sebagai tokoh tingkat tinggi, mereka bisa memperkirakan hasil akhir pertarungan. Keduanya tahu, kemungkinan pertarungan akan berubah, dan salah satu di antara mereka akan keluar sebagai pemenang. Tapi hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara mereka diburu waktu untuk secepatnya menyelesaikan urusan.
"Hiaaat...!" Dengan diiringi suara jeritan melengking nyaring, Sanca Kala melompat memasuki kancah pertarungan. Dan selagi tubuhnye berada di udara, langsung saja ia melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Ki Gilang Sangkur.
Ki Gilang Sangkur terperanjat bukan kepalang. Segera tubuhnya dilempar ke belakang, dan bersalto. "Hup...!" Ringan dan mantap kedua kaki Ki Gilang Sangkur mendarat di tanah. Tidak ada serangan susulan sama sekali terhadapnya. Padahal semula hal itu amat dikhawatirkannya.
Sanca Kala dan Gurida dilihatnya hanya berdiri memperhatikan dirinya. Memang, baik Sanca Kala maupun Gurida sama sekali tidak mengejar. Kedua tokoh itu merasa malu untuk melakukan serangan. Karena itu mereka membiarkan Ki Gilang Sangkur memperbaiki posisinya.
Hati Ki Gilang Sangkur berdebar tegang. Dia tahu kalau lawannya ingin mengeroyoknya. Padahal, menghadapi satu orang saja dia belum tentu mampu mengalahkan. Apalagi menghadapi dua orang! Padahal ilmu andalannya, 'Tapak Malaikat', telah dipergunakan!
"Hiaaat...!" teriak Gurida keras seraya meluruk ke arah Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Dia melakukan lompatan harimau, bergulingan di tanah beberapa kali menuju ke arah lawan. Dan kemudian, langsung menyerang dengan sebuah sapuan ke arah kaki. Deru angin keras membuat debu mengepul tinggi ke udara, mengawali tibanya serangan sapuan yang mampu mematahkan pohon besar.
"Hih...!" Hampir bersamaan dengan meluruknya tubuh Gurida, Sanca Kala pun berteriak keras seraya melompat menerjang. Dan selagi berada di udara, tubuhnya berputar beberapa kali sebelum meluncur ke bawah. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar dilontarkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh bagian atas Ki Gilang Sangkur.
Ketua Perguruan Tapak Malaikat melihat serangan kedua lawannya. Sanca Kala dan Gurida ternyata memiliki bentuk penyerangan yang berbeda. Sanca Kala selalu menyerang dari atas, sementara Gurida dari bawah. Keduanya memiliki ilmu andalan yang berbeda satu sama lain.
Akibatnya, Ki Gilang Sangkur mengalami kerepotan bukan kepalang. Dia harus membagi perhatian terhadap dua buah serangan, yang meluncur ke arahnya dari dua arah yang berbeda. Yang lebih merepotkan lagi, kedua serangan itu tiba pada saat yang bersamaan. Tak pelak lagi, Ki Gilang Sangkur menjadi repot bukan main menghadapi serangan kedua tokoh itu.
Tapi tidak percuma, Ki Gilang Sangkur menjadi ketua Perguruan Tapak Malaikat. Dalam keadaan kritis, dan waktu yang sempit, dia masih sanggup membuktikan kelihaiannya. Dia melempar tubuh ke belakang, dan berjumpalitan dengan menggunakan kedua telapak tangan sebagai tempat bertumpu.
Wuttt, wuttt...!
Sampokan dan sapuan itu lewat beberapa jari dari sasaran. Begitu tubuh Gurida dan Sanca Kala telah mendarat kembali di tanah, Ki Gilang Sangkur sudah berhasil memperbaiki kedudukannya. Tapi, kali ini Gurida dan Sanca Kala sama sekali tidak memberi kesempatan. Kedua tokoh itu kembali menyerang dengan keistimewaan mereka masing-masing.
Ki Gilang Sangkur benar-benar dibuat mereka menjadi repot. Ilmu 'Tapak Malaikat' dikerahkan sampai ke puncak kemampuan, untuk mengatasi serangan bertubi-tubi dari kedua orang lawan.
Ternyata usaha Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini sia-sia. Ia terpaksa mengakui kalau serangan Gurida dan Sanca Kala benar-benar terlalu kuat dan sulit diatasi. Serangan yang kompak dari kedua orang lawannya itulah yang membuat Ki Gilang Sangkur mati kutu! Kalau saja, dua orang tokoh yang mengaku utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan itu menyerang tanpa kerja sama, tidak mudah ia terdesak hebat! Sekalipun ia akan mengalami kekalahan.
Memang, patut dipuji kerja sama antara Gurida dan Sanca Kala. Serangan mereka berdua seperti dikendalikan oleh satu pikiran. Keduanya, bisa saling melindungi dan memperkuat serangan. Setiap serangan yang dilancarkan Ki Gilang Sangkur selalu kandas. Sebaliknya, serangan balasan mereka sulit dibendung lawan. Tidak mengherankan bila pertarungan belum sampai dua puluh jurus Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu sudah terdesak hebat.
Sekarang Ki Gilang Sangkur hanya bisa mengelak, dan sesekali menangkis. Dan, untuk membalas sudah tidak mungkin lagi. Karena ia tidak mampu lagi melancarkan serangan balasan.
"Hiaaat..!" Menginjak jurus kedua puluh tiga, Sanca Kala melompat dan menerjang lawan seraya meluncurkan serangan bertubi-tubi ke arah ubun-ubun lawan.
Ki Gilang Sangkur terkejut bukan kepalang. Tidak ada pilihan lain baginya untuk menyelamatkan nyawa, kecuali menangkis. Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi. Maka, dia segera mengangkat kedua tangannya dan memapak serangan yang dapat membahayakan nyawa.
Plakkk, plakkk...!
Serangan maut itu memang berhasil digagalkan Ki Gilang Sangkur. Bahkan tubuh Sanca Kala terlempar ke belakang akibat benturan keras. Sedangkan tubuh Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu terhuyung-huyung ke belakang.
Saat itulah serangan Gurida meluncur bersamaan Sanca Kala melancarkan serangan. Laki-laki berkepala botak itu menggulingkan tubuhnya, dan langsung melancarkan tendangan ke arah lutut kanan Ki Gilang Sangkur.
Tukkk...!
"Akh...!" Ki Gilang Sangkur menjerit tertahan ketika tendangan itu menghantam telak lututnya. Kontan sambungan tulang lututnya terlepas. Akibatnya, tubuh Ki Gilang Sangkur doyong ke belakang.
Gurida tidak hanya bertindak sampai di situ. Kembali tubuhnya berguling, memburu Ki Gilang Sangkur. Begitu jarak antara mereka telah dekat, kaki kanannya meluncur ke arah perut. Dan, pada saat yang bersamaan, Sanca Kala melenting ke arah tubuh Ki Gilang Sangkur. Kedua tangannya dengan jari-jari terkepal, segera dipukulkan ke arah kedua bahu Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu.
Bukkk, dukkk, dukkk...!
Tiga pukulan keras bertubi-tubi mendarat disasaran. Sehingga membuat tubuh Ki Gilang Sangkur terjungkal jauh ke belakang. Dan, darah segar pun langsung menyembur dari mulutnya. Tulang-tulang kedua bahunya pun remuk!
Brukkk...! Setelah melayang sejauh beberapa tombak, tubuh Ki Gilang Sangkur jatuh di tanah. Karena kekuatan yang melontarkan tubuh Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini belum habis, tak mengherankan bila tubuhnya terguling-guling di tanah. Dan, baru berhenti ketika tenaga luncuran itu sudah habis.
Ki Gilang Sangkur ternyata bukan sejenis orang yang mudah menyerah. Meskipun kedua tangannya dan sebelah kakinya tidak dapat digunakan lagi, dia tetap berusaha bangkit. Tapi usahanya ternyata sia-sia. Betapapun seluruh kemampuannya telah dikeluarkan, dia tetap tak mampu bangkit berdiri. Tubuhnya hanya menggeliat-geliat ke sana kemari seperti cacing kena abu.
"Ha ha ha...!"
Sanca Kala, Gurida, dan Pergola tertawa berkakakan melihat kelakuan Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Dengan langkah perlahan dan suara tawa yang tidak putus-putus, Sanca Kala dan Gurida melangkah menghampiri Ki Gilang Sangkur.
Dua orang urusan Perguruan Bukit Larangan itu tidak melancarkan serangan, karena mereka tahu Ki Gilang Sangkur sudah tidak berdaya. Dan, secara perlahan Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu akan tewas. Karena luka-luka yang diderita terlalu parah.
"Cepat katakan di mana Ki Tanjak Gara berada!" ucap Gurida keras dan penuh ancaman.
"Cuihhh...!" Ki Gilang Sangkur menjawab pertanyaan itu dengan semburan air ludah. Walaupun tidak ditujukan ke arah Gurida, tapi tak urung percikan ludah itu mengenai kaki laki-laki berkepala botak itu.
Gurida menggeram. Dia merasa tersinggung sekali melihat sambutan yang diterimanya. Lelaki berkepala botak itu menatap tubuh lawan yang tergolek di tanah dengan sepasang mata berapi-api.
"Ini kesempatan terakhir bagimu, Gilang Sangkur! Katakan di mana Tanjak Gara!" ancam Gurida. Suara laki-laki tinggi besar ini terdengar bergetar. Memang dia telah murka bukan kepalang. Perlahan-lahan kaki kanannya diangkat dan diletakkan di kaki kiri Ki Gilang Sangkur.
Tapi lagi-lagi jawaban yang diterima Gurida, semburan ludah Ki Gilang Sangkur. Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini tidak gentar sedikit pun dengan acaman lelaki berkepala botak itu. Dengan hati tabah ditantangnya pandangan mata lawan.
"Grhhh...!" Gurida menggeram keras. Kaki yang berada di atas kaki Ki Gilang Sangkur mengejang, pertanda telah dialiri tenaga dalam. Dan, sekali kaki laki-laki berkepala botak itu bergerak menekan, sudah dapat dipastikan kalau kaki Ketua Perguruan Tapak Malaikat akan luluh lantak. Namun sebelum hal itu terjadi....
"Tahan, Gurida...!"
Gurida menoleh ke belakang ke arah Sanca Kala yang melangkah menghampiri. Kemudian ia berdiri di sebelah Gurida. Sinar mata lelaki berkepala botak itu menyorotkan ketidak senangan karena tindakannya dihalangi. "Mengapa kau mencegahku, Sanca Kala?" tegur Gurida keras.
Sanca Kala hanya tersenyum sekilas. Kemudian mengalihkan pandangan ke arah Ki Gilang Sangkur, tanpa mempedulikan Gurida yang semakin dongkol melihat sikap Sanca Kala.
"Tidak kusangka sama sekali...," ucap Sanca Kala pelan. "Orang-orang Perguruan Tapak Malaikat ternyata terdiri dari orang-orang pengecut!"
"Tutup mulutmu!" sergah Ki Gilang Sangkur keras. Dia merasa tersinggung mendengar ucapan yang dianggapnya tidak berdasar itu. Pantang baginya bersikap pengecut! "Aku bukan jenis orang semacam kalian!"
"Keparat...!" Gurida yang memang sudah dilanda amarah sejak tadi, tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Kakinya bergerak menekan.
Krekkk, krekkk...!
Terdengar suara gemeretak keras ketika tulang-tulang kaki Ki Gilang Sangkur hancur. Rasa sakit yang mendera, sulit untuk digambarkan. Meskipun begitu, tidak terdengar suara keluhan sedikit pun dari mulutnya. Namun, tanda-tanda kalau dia tengah dilanda rasa sakit yang tak terperikan, terlihat dari bibirnya yang digigit erat-erat sampai pecah berdarah, dan keringat sebesar biji-biji jagung menghiasi wajahnya.
"Ucapanmu sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan yang kulihat, Gilang Sangkur," ujar Sanca Kala tanpa mempedulikan keadaan yang tengah dialami Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu. "Tindakan Tanjak Gara yang menyembunyikan diri ketika melihat kedatangan kami. Juga sikapmu yang menyembunyikan kebenaran. Kau tidak jujur dan berbohong, Gilang Sangkur! Kalau kau dan Tanjak Gara yang merupakan pucuk pimpinan, bersikap pengecut! Sulit aku membayangkan sikap murid-murid Perguruan Tapak Malaikat..!"
"Mulutmu terlalu keji, Keparat! Aku mengatakan hal yang sebenarnya!" tandas Ki Gilang Sangkur.
"Bagaimana kami bisa mempercayai ucapanmu itu, Gilang Sangkur?!" pancing Sanca Kala tenang. Seolah-olah tidak terpengaruh dengan kemarahan lawan. Gurida dan Pergola kini mengerti maksud rekan mereka. Karena itu mereka membiarkan Sanca Kala yang mengurus semuanya.
Ki Gilang Sangkur menggertakkan gigi karena geram. Dia bukan orang bodoh! Tidak aneh kalau dia tahu kalau Sanca Kala berusaha memojokkan untuk mengaku. "Aku bersumpah dan mempertaruhkan kedudukanku sebagai seorang Ketua Perguruan Tapak Malaikat!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut Ki Gilang Sangkur.
Sanca Kala, Gurida, dan Pergola yang berdiri di sebelah kedua rekannya saling pandang. Mereka tahu, Ki Gilang Sangkur sama sekali tidak berbohong. Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu mengatakan apa adanya. Nada suara dan sikap Ki Gilang Sangkur yang sungguh-sungguh, telah meyakinkan hati mereka. Tapi yang lebih meyakinkan mereka, Ki Gilang Sangkur telah mempertaruhkan kehormatannya sebagai Ketua Perguruan Tapak Malaikat atas keterangan yang diucapkannya.
"Cuihhh...!" Gurida menyemburkan ludah ke arah wajah Ki Gilang Sangkur. Tentu saja tanpa pengerahan tenaga dalam. Karena bila hal itu dilakukan akan membuat kulit wajah Ketua Perguruan Tapak Malaikat luka.
Percikan air liur yang menjijikkan itu, bila keluar dari mulut Gurida dengan pengerahan tenaga dalam, tak ubahnya seperti luncuran jarum-jarum! Ki Gilang Sangkur, tentu saja tidak rela wajahnya terkena ludah Gurida. Maka, buru-buru diegoskan kepalanya. Dan, usahanya tidak sia-sia. Luncuran air liur itu tidak mengenai sasaran. Meskipun begitu, tak urung, percikan itu mengenai beberapa bagian wajahnya.
"Iblis Jahanam...!" hanya desis kegeraman yang bisa dilakukan Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu atas perlakuan Gurida. Perasaan sakit hati dan dendam berkecamuk di dalam hati Ki Gilang Sangkur. Tapi, ia tak dapat melakukan apa-apa. Jangankan menyerang, bangkit saja dia tidak mampu! Hanya sepasang matanya berkilat sebagai pertanda hatinya geram.
Gurida, Sanca Kala, dan Pergola tentu saja mengetahui arti pandangan Ki Gilang Sangkur. Tapi, mereka tidak gentar! Jangankan dalam keadaan Ketua Perguruan Tapak Malaikat tidak berdaya. Dalam keadaan siap tarung pun hati mereka tidak kecut.
"Ha ha ha...!"
Ketiga tokoh itu tertawa bergelak. Senang sekali hati mereka melihat lawan mendendam tanpa bisa melampiaskan. Ki Gilang Sangkur akan tewas dengan hati penasaran! Begitu kesimpulan mereka. Tentu saja kesimpulan yang diambil ketiga utusan Bukit Larangan itu bukan sembarangan. Sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, mereka tahu keadaan Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu sangat gawat. Luka-luka yang diderita terlalu parah. Dan, sulit untuk pulih kembali seperti semula. Andaikan dapat sembuh, mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun.
"Kami bukan iblis-iblis, Gilang Sangkur," ucap Pergola ketika tawanya terhenti. "Tapi algojo-algojo yang akan membunuh kalian. Algojo-Algojo Bukit Larangan. Ha ha ha...!"
"Lalu..., ke mana lagi kita harus mencari si Pengecut Tanjak Gara itu, Sanca Kala?" tanya Gurida yang memang kurang cerdas bila dibandingkan kedua rekannya.
"Kita cari di tempat kediaman temannya. Ki Rajung," sahut Sanca Kala setelah berpikir sejenak. Pergola dan Gurida menganggukkan kepala. Kemudian tanpa mempedulikan keadaan Ki Gilang Sangkur lagi, ketiga orang tokoh sakti yang mengaku Algojo-Algojo Bukit Larangan itu segera melesat meninggalkan Ketua Perguruan Tapak Malaikat yang sekarat.
Kini tidak ada lagi suara riuh rendah yang terdengar. Suasana hening menyelimuti sekitar tempat itu. Sosok-sosok tubuh bergeletakan tanpa nyawa dan puing-puing bangunan terhampar berserakan. Dalam keadaan berbaring, Ki Gilang Sangkur mengedarkan pandangan berkeliling. Sepasang matanya memandangi mayat-mayat muridnya dan bangunan Perguruan Tapak Malaikat yang masih terbakar. Terlihat kesedihan yang mendalam pada sorot matanya. Ia tidak pernah bermimpi sama sekali kalau perguruannya akan musnah dari kancah dunia persilatan.
Rasa sakit yang mendera dan guncangan batin melihat keadaan perguruannya, membuat Ki Gilang Sangkur roboh pingsan. Angin senja yang bertiup lembut seakan-akan ingin menyadarkan Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
* * * * * * * *
EMPAT
Sang Dewi Malam mulai menampakkan dirinya di angkasa, menerangi persada yang diselimuti kegelapan. Hembusan angin malam yang meniup lembut di kulit membuat dua sosok tubuh melangkah perlahan.
Dua sosok tubuh itu ternyata terdiri dari sepasang muda-mudi yang sama-sama berwajah elok. Mereka berjalan bergandengan, dengan jari-jari tangan saling tergenggam seperti dua sejoli yang tengah menikmati indahnya suasana malam.
Lelaki berwajah tampan dengan tubuh tegap terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya berwarna putih keperakan tergerai sampai ke pundak. Sesekali rambut itu disibak angin malam, sehingga membuat guci perak yang tersampir di punggungnya tertutupi.
Sedangkan gadis berwajah cantik jelita mengenakan pakaian serba putih seperti warna kulitnya, tampak semakin menonjolkan kecantikannya karena rambutnya yang putih panjang dibiarkan terjuntai.
Mendadak langkah kaki gadis berpakaian putih itu terhenti. Sepasang matanya menatap ke depan. Menilik dari pandang matanya bisa diketahui kalau dia merasa terkejut.
"Apa itu, Kang Arya?" tanya gadis berpakaian serba putih sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah kejauhan.
Lelaki berambut putih keperakan itu tidak lain Arya Buana. Dan, di gelanggang dunia persilatan ia dikenal dengan julukan Dewa Arak. Lelaki itu segera mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjukkan gadis yang berdiri di sampingnya.
"Asap...," gumam Arya perlahan. "Mungkinkah disana ada kebakaran?"
"Mungkin dugaanmu benar, Kang," timpal gadis berpakaian putih.
"Kalau begitu..., kita harus cepat ke sana, Melati!" sambut Arya memutuskan. "Barangkali di sana ada yang membutuhkan pertolongan...."
Melati, si gadis berpakaian putih itu menganggukkan kepala. Kini pasangan muda-mudi, yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu, melesat cepat ke arah asap hitam yang berarak ke angkasa. Keduanya berlari dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar secepat mungkin tiba di tempat asal asap. Gerakan Arya dan Melati cepat bukan main. Sehingga yang tampak hanya sekelebatan bayangan ungu dan putih yang melesat cepat.
Andaikan ada orang yang melihatnya, mungkin akan menyangka kalau bayangan ungu dan putih itu adalah dua setan atau makhluk halus lainnya yang tengah berkejaran di bawah siraman sinar bulan purnama.Berkat ilmu meringankan tubuh, sepasang pendekar muda yang telah mencapai tingkat kepandaian tinggi, sudah dapat melihat asal asap itu. Dahi Arya dan Melati berkernyit. Dugaan Dewa Arak ternyata tidak meleset. Asap itu memang tidak terjadi secara wajar. Terbukti di hadapan mereka, dalam jarak sekitar tujuh tombak, terlihat bangunan bangunan yang terkurung oleh pagar kayu bulat tinggi. Tapi bukan hal itu yang membuat dahi Arya dan Melati berkerut Melainkan keadaan pintu gerbang bangunan itu. Bangunan-bangunan yang tidak tampak dari luar karena tertutup oleh pagar kayu bulat itu, ternyata tidak mempunyai daun pintu lagi. Tampak dua sosok tubuh tergolek di depan ambang pintu gerbang, menimbulkan dugaan di benak sepasang pendekar muda itu, bahwa telah terjadi pembunuhan keji. Hal itu membuat Arya dan Melati jadi semakin mempercepat langkah. Sesaat kemudian, mereka telah berada di dekat dua sosok tubuh yang telah tak bernyawa itu. Arya dan Melati memperhatikan sekilas kedua sosok tubuh itu. Mereka pun tahu, dua sosok tubuh berpakaian coklat itu telah tewas! Arya dan Melati pun segera mengalihkan pandangan. "Perguruan Tapak Malaikat..," gumam Arya pelan ketika sepasang matanya tertumbuk pada tulisan yang tertera pada kayu berukir dan tergantung di atas pintu gerbang. Memang, tempat itu adalah Perguruan Tapak Malaikat Sedangkan dua sosok tubuh itu adalah mayat dua orang penjaga pintu gerbang Perguruan Tapak Malaikat. Semula keduanya belum tewas. Tapi, Gurida yang masih diliputi rasa jengkel membunuh mereka sebelum meninggalkan tempat itu. "Biadab...!" kutuk Arya geram ketika kakinya telah melangkah memasuki ambang pintu gerbang Perguruan Tapak Malaikat. "Terkutuk...!" maki Melati. Pemandangan yang terlihat oleh sepasang muda-mudi itu memang cukup mendirikan bulu roma. Puluhan sosok tubuh, yang sebagian besar di antaranya, sudah terlihat tak bernyawa, terhampar di sana-sini. Sedangkan tak jauh dari situ, tampak bangunan-bangunan yang telah menjadi puing, berjajar. Asap masih mengepul dari puing-puing itu. Bergegas Arya dan Melati menghampiri puluhan sosok tubuh yang tergolek. Barangkali masih ada yang bisa mereka selamatkan. Kemudian, Arya dan Melati berjongkok dan memeriksa. Setiap kali mereka memeriksa, setiap kali pula, bangkit dengan sikap lesu. Berkali-kali hal itu yang dijumpai Arya dan Melati. Tapi, mereka tidak putus asa dan terus memeriksa. Mendadak.... "Kang...! Kemari...! Orang ini masih hidup...!" Cepat Arya melesat ke arah Melati yang tengah berjongkok di hadapan sesosok tubuh yang tergolek terlentang. Menilik dari pakaian yang dikenakan, Arya bisa menduga kalau sosok itu adalah pimpinan Perguruan Tapak Malaikat. "Kau benar, Melati...," ucap Arya ketika selesai memeriksa keadaan sosok tubuh yang tak lain Ki Gilang Sangkur itu. "Dia masih hidup. Tapi.... Keadaannya terlalu parah. Dia tetap tidak dapat diselamatkan lagi...." Melati menatap ke arah Arya. Ternyata kesimpulan yang didapat kekasihnya tidak berbeda dengan pendapatnya. Ki Gilang Sangkur tidak bisa ditolong lagi! Mendadak Melati dan Arya mendengar suara langkah kaki. Bergegas mereka berpaling, Dan.... "Pembunuh biadab! Rasakan pembalasan kami!" Suara makian keras dilontarkan ke arah Arya dan Melati. Belum hilang gema bentakannya, sang pemilik suara yang terdiri dari dua orang sudah melancarkan serangan. Mereka mengibaskan dan menusukkan pedang dengan mengeluarkan suara berdesing nyaring. "Jangan jatuhkan tangan jahat, Melati. Mereka salah paham...!" Arya langsung memberi peringatan pada Melati. Makian kedua orang itu membuat pemuda berambut putih keperakan itu menduga kalau mereka salah paham. Dan, dugaan itu diperkuat oleh warna pakaian yang dikenakan dua orang itu sama dengan warna pakaian puluhan sosok mayat yang bergeletakan di tanah. Melati bisa menduga mengapa Arya memerintahkan demikian. Dan, tanpa banyak pikir lagi ia segera menganggukkan kepala. Sepasang muda-mudi ini melakukan lompatan harimau ke samping. Arya ke samping kanan dan Melati ke samping kiri. Mereka berdua bertumpu pada kedua telapak tangan. Lalu, mereka melompat saling mendekati. Arya dan Melati berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah tanpa mendapat halangan sama sekali, karena dua sosok bayangan coklat yang menyerang mereka tidak melanjutkan penyerangan. Dua sosok bayangan coklat, yang terdiri dari dua orang laki-laki berusia tiga puluhan itu, rupanya lebih mementingkan keadaan Ki Gilang Sangkur daripada menyerang Arya dan Melati. Yang seorang di antara mereka langsung membungkukkan tubuh dan memeriksa keadaan Ki Gilang Sangkur. Dia adalah seorang laki-laki berambut kecoklatan. Sementara rekannya berdiri membelakanginya dengan pedang melintang di depan dada. "Bagaimana keadaan guru, Randaka?" tanya laki-laki yang berdiri dengan pedang di tangan. "Tidak ada harapan, Gunawa," sahut laki-laki berambut kecoklatan yang dipanggil Randaka. "lblis-iblis Jahanam! Kalian harus mempertanggung-jawabkan semua kekejian ini! Tandas Randaka geram sambil bangkit berdiri. Wajahnya merah padam. Sepasang matanya berkilat menyeramkan. Jelas, dia telah dilanda kemarahan hebat. Bukan hanya Randaka, tapi juga Gunawa marah besar. Di samping perasaan marah yang berkobar, menyeruak pula rasa sedih. Pemandangan yang mereka saksikan memang terlalu luar biasa! Mayat-mayat saudara seperguruan mereka, dan perguruan mereka terbakar, juga keadaan Ki Gilang Sangkur sudah di ambang ajal. Kenyataan itu memukul batin mereka. "Sabar, Kisanak," ucap Dewa Arak buru-buru karena khawatir Randaka dan Gunawa akan menyerang, sebelum ia berhasil memberikan penjelasan yang sebenarnya. Arya tahu kalau dua orang itu adalah murid-murid Perguruan Tapak Malaikat. Dan, itu diketahuinya dari pakaian dan gambar sulaman yang sama dengan para korban. Panggilan kedua orang itu terhadap Ki Gilang Sangkur kian mempertebal keyakinan Arya akan dugaannya. Memang, kedua orang itu adalah murid kepala Perguruan Tapak Malaikat yang tengah mendapat tugas ke luar perguruan. "Bukan kami pelaku semua kekejaman ini!" ucap pemuda berambut putih keperakan lagi. "Kalian kira kami percaya alasan itu, Keparat!" sambut Randaka keras bernada kemarahan. "Mana ada maling mengaku?!" sambung Gunawa tak kalah keras. Nada suaranya terdengar penuh ejekan. "Tutup mulut kalian, Manusia-manusia berhati kerdil!" sergah Melati tak kalah keras. Memang putri angkat Raja Bojong Gading ini merasa tersinggung bukan main, mendengar perkataan kasar dari dua orang murid Perguruan Tapak Malaikat itu terhadap kekasihnya. Randaka dan Gunawa terkejut ketika merasakan getaran amat kuat menerpa dada mereka. Dari sini mereka sudah dapat menduga kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam teriakan itu. Tidak mereka duga kalau seorang gadis semuda Melati bisa memiliki tenaga dalam yang kuat. Tapi ketika teringat kematian semua murid Perguruan Tapak Malaikat dan Ki Gilang Sangkur, keheranan mereka lenyap. "Apakah mata kalian buta?! Tidakkah kalian bisa mengenali siapa orang yang berdiri di hadapan kalian ini?!" sambung Melati berapi-api. "Melati...," ucap Arya pelan bernada menegur, dan berusaha mengingatkan Melati untuk tidak melanjutkan ucapannya. Tapi kali ini Melati tidak mempedulikan teguran Arya. "Kalau kawanku ini mau..., mudah saja baginya untuk membunuh kalian, sekalipun jumlah kalian ditambah seratus kali lipat!" "Melati...." Arya kembali menegur dengan suara lebih keras dari semula. "Biar aku yang menyelesaikannya, Kang," potong Melati cepat. Dia tidak memberikan kesempatan pada Arya untuk melanjutkan ucapannya. Arya tidak berbicara lagi. Dia hanya mengangkat kedua bahunya, pertanda menyerahkan seluruh keputusan kepada Melati. Sementara itu, Randaka dan Gunawa menggertakkan gigi karena geram mendengar ucapan Melati. "Kematian bukanlah yang menakutkan bagi kami, Wanita Jahat! Majulah! Dan serang kami! Bunuh kami seperti kau membunuh rekan-rekan kami! Kami tidak mau menyerang lebih dulu terhadap seorang wanita!" tegas Randaka agak bergetar karena hatinya diliputi amarah. "Cihhh! Sombongnya!" cibir Melati. "Buka telinga kalian lebar-lebar. Kawanku ini bernama Arya Buana. Dan ia berjuluk Dewa Arak! Kalian dengar, Dewa Arak!" "Ah...!" Jerit keterkejutan hampir berbarengan keluar dari mulut Randaka dan Gunawa. Tanpa sadar sepasang mata mereka terbelalak lebar. Bahkan kaki mereka pun melangkah ke belakang. "Dewa Arak...?!" ucap Randaka dan Gunawa terbata-bata karena kaget. "Jadi.... kau..., Dewa Arak...?!" Arya menganggukkan kepala. "Begitulah orang memberiku julukan," jawab pemuda berambut putih keperakan itu setengah berdesah. Tidak tampak adanya kebanggaan. Baik dalam ucapan maupun raut wajahnya. "Kalau begitu..., maafkan kami, Dewa Arak. Kami telah menduga yang tidak patut terhadapmu," ucap Gunawa sambil memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung, dan diikuti oleh Randaka. Memang, kedua orang murid kepala Perguruan Tapak Malaikat itu pecaya kalau pemuda berpakaian ungu yang berdiri di depan mereka adalah Dewa Arak. Semua ciri-ciri yang terdapat pada diri pemuda itu sama seperti yang selama ini mereka dengar. Rambut, guci, dan pakaiannya semuanya ada pada Dewa Arak. "Lupakanlah. Kami tahu kalian salah paham. Dan, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama bila berdiri di pihak kalian," sahut Arya bijaksana. Diam-diam Arya memuji kecerdikan Melati. Gadis itu telah menemukan cara yang paling tepat untuk menyelesaikan kesalah-pahaman di antara mereka. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Dewa Arak," kali ini Gunawa yang mengatakannya. "Namaku Arya. Panggillah namaku saja, jangan julukanku. Risih kedengarannya," pinta Arya. Randaka dan Gunawa saling pandang sejenak. "Aku Randaka," ucap laki-laki berambut kecoklatan menyebut namanya. "Aku Gunawa," sebut rekan Randaka. "Dan aku Melati," ucap Melati tak mau kalah. Randaka dan Gunawa menganggukkan kepala. Diam-diam mereka memuji kecantikan Melati. Tentu saja keduanya tidak berani memperlihatkan secara terang-terangan. "O ya, Arya," ucap Randaka bernada akrab. "Apakah kau mengetahui pelaku kekejian ini?" "Sayang sekali, Randaka," sahut Arya bernada penyesalan. "Aku tidak mengetahuinya. Keadaan sudah seperti ini sewaktu kami sampai di sini." "Hhh...! Sayang sekali...!" keluh Gunawa. "Kalau saja kujumpai, akan kuhancurkan seluruh tulang-belulang iblis kejam itu." Berbareng keluarnya ucapan itu, Gunawa mengepalkan kedua tangannya hingga terdengar suara-suara gemeretak keras seperti ada tulang-tulang yang patah. Bukan Gunawa saja yang merasa geram bukan kepalang. Randaka pun demikian. Raut wajahnya tampak membesi. Sepasang matanya terlihat berkilat-kilat memancarkan kemarahan. "Kita bisa mengetahuinya dari mulut orang yang selamat," kata Arya pelan. "Tapi.... Rasanya tidak ada harapan baginya untuk hidup, Arya," lesu terdengar ucapan yang dikeluarkan Randaka. "Ya," sambung Gunawa. "Luka-lukanya terlalu parah...." Arya menganggukkan kepala. "Apa yang kalian katakan sama sekali tidak salah. Luka guru kalian terlalu parah, dan tidak ada harapan untuk hidup. Tapi, kita dapat memanfaatkan sisa umurnya untuk mengetahui pelaku kekejian ini!" "Aku belum mengerti maksudmu, Arya?" Randaka mengernyitkan alisnya. "Begini. Aku bisa menyadarkan guru kalian, sebelum dia meninggal. Dari mulut dia, kita dapat mengetahui siapa pelaku pembunuhan ini," jelas Arya. "Bagaimana? Kalian menyetujui usulku?" Randaka dan Gunawa saling pandang sejenak. Kemudian, keduanya tahu kalau masing-masing pihak menyetujui usul yang diajukan Arya. "Baiklah, Arya," dengan berat hati Randaka mengucapkannya. "Kami menyetujui usulmu." "Terima kasih." Arya membungkukkan tubuhnya, dan duduk bersila. Kemudian disusun jari-jarinya. Jari telunjuk dan tengah diluruskan, sedangkan jari-jari lainnya dilipat dalam. Tuk, tuk, tuk...! Dengan kedudukan jari-jari tangan seperti itu, Arya menotok beberapa bagian di tubuh Ki Gilang Sangkur. Kemudian ia menghentikan totokannya. Lalu, ditariknya napas dalam-dalam, kedua tangan dipertemukan di depan dada. Beberapa saat lamanya, Arya bersikap seperti itu sebelum akhirnya kedua telapak tangannya ditempelkan di punggung Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Randaka, Gunawa, dan Melati mengamati dengan penuh perhatian semua yang dilakukan Arya. Ketiga orang ini tahu, Dewa Arak tengah menyalurkan hawa murni ke tubuh Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Tak lama kemudian, tampak oleh mereka asap mengepul dari kepala pemuda berambut putih keperakan itu, setelah menempelkan kedua tapak tangannya di punggung Ki Gilang Sangkur. "Huaaakh...!" Dari mulut Ki Gilang Sangkur menyembur darah kental berwarna kehitaman. Darah mati. Arya segera melepaskan kedua tangannya dari punggung Ketua Perguruan Tapak Malaikat. "Cepat tanyakan hal-hal yang ingin kalian ketahui," beritahu Arya. Peluh tampak membasahi dahi dan leher Arya. Jelas kalau dia telah mengerahkan tenaga yang cukup banyak untuk menyadarkan Ki Gilang Sangkur. Arya buru-buru duduk bersila untuk memulihkan tenaga dalamnya yang telah terkuras. Sesaat kemudian, dia pun tenggelam dalam keheningan semadi. Yang terdengar hanyalah napas keluar dan masuknya udara dari dalam mulut dan hidungnya. Menyadari waktu yang tersedia amat sedikit, Randaka dan Gunawa buru-buru mendekati Ki Gilang Sangkur. "Siapa yang telah melakukan semua kekejian ini, Guru?" tanya Randaka agak bergegas. Ki Gilang Sangkur yang telah sadar, membuka matanya yang sudah mulai kehilangan sinar. Napasnya memburu seperti orang berlari jauh. "U..., utusan... Perguruan... B... Bbb Bukit Larangaan..," sahut Ketua Perguruan Tapak Malaikat terputus-putus. "Perguruan Bukit Larangan?!" ulang Gunawa setengah tak percaya. Memang, dia telah mendengar tentang Perguruan Bukit Larangan. Ya, sebuah perguruan yang penuh rahasia. Bahkan Ki Gilang Sangkur pun telah melarang murid-muridnya mendekati bukit itu. Bahkan disediakan hukuman berat bagi murid-murid Perguruan Tapak Malaikat yang melanggar larangan itu. "Benar. Merekalah yang telah melakukan semua pembantaian ini," jawab Ketua Perguruan Tapak Malaikat menegaskan. Kemudian ia menceritakan semua kejadian secara rinci. Randaka dan Gunawa mendengarkan penuh perhatian. Keduanya memusatkan seluruh perhatian cerita Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Karena cerita itu dikeluarkan dengan suara terputus-putus, dan tak sekali pun mereka menyelak. "Begitulah kejadiannya, Randaka," tutur Ketua Perguruan Tapak Malaikat mengakhiri ceritanya. "O ya. Kini mereka tengah menuju tempat tinggal Dewa Halilintar. Cepat kau ke sana. Katakan padanya akan ancaman bahaya." "Boleh aku mengajukan pertanyaan, Guru?" tanya Randaka hati-hati. "Katakanlah!" sambut Ki Gilang Sangkur cepat. "Kami ingin tahu mengenai Perguruan Bukit Larangan itu, Guru. Bersediakah Guru menceritakannya?" Ki Gilang Sangkur menatap tajam wajah dua orang murid secara berganti-ganti. "Aku... aku tidak tahu banyak, Randaka. Guruku... Ki Tanjak Gara melarang mendekati tempat itu. Ada ancaman berat yang akan dijatuhkan bila ke sana...," jawab Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Dengan suara pelan-pelan dan terputus-putus, sehingga sulit tertangkap. "Tapi setidak-tidaknya, ada yang kau ketahui, Guru?" Gunawa ikut mendesak. "Untuk memudahkan kami melakukan balas dendam atas utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan itu." Ki Gilang Sangkur tidak langsung menjawab perta nyaan itu. Deru napasnya makin memburu. Jelas, keadaan Ketua Perguruan Tapak Malaikat sudah mengkhawatirkan. "Yang aku tahu sedikit sekali, Randaka. Bukit Larangan, tempat terlarang untuk dikunjungi. Bagi orang yang berani mendaki ke sana akan ditemukan mati. Tapi, yang menjadi pertanyaan, kenapa Gurukku melarang pergi ke sana... Dan..." Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya kepala Ki Gilang Sangkur terkulai, karena nyawanya telah melayang meninggalkan raga. "Guru...!" panggil Randaka pilu. "Guru...!" sebut Gunawa serak. Kepala kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat tertunduk. Mereka merasa terpukul menyaksikan kematian Ki Gilang Sangkur. Bahkan hati Melati pun ikut terenyuh melihat kejadian di hadapannya. "Sudahlah, Randaka, Gunawa. Yang sudah pergi, relakan pergi. Sekalipun kita mengeluarkan tangis darah, guru kalian tak akan kembali lagi," hibur Arya yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah Randaka dan Gunawa, yang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Rupanya Arya telah menyelesaikan semadi. Randaka dan Gunawa bangkit berdiri. Mereka menyadari kebenaran nasihat Arya. "Lebih baik, kalian pusatkan untuk mencari pelaku pembunuhan keji ini. Tapi, yang terpenting adalah menguburkan semua mayat-mayat yang ada di sini." Randaka dan Gunawa.menganggukkan kepala. "Terima kasih atas semua nasihatmu, Arya," ucap Randaka serak karena perasaan sedih menyesak hatinya. Kini dua orang murid Perguruan Tapak Malaikat sibuk mengumpulkan mayat-mayat saudara seperguruannya. Arya dan Melati pun turut membantu. Sepasang muda-mudi ini menggali beberapa buah lubang untuk menanam mayat-mayat itu. * * * * * * * * LIMA Dewa Arak, Melati, Randaka, dan Gunawa melesat cepat meninggalkan Perguruan Tapak Malaikat. Tentu saja Melati dan Arya tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Karena bila hal itu dilakukan, kedua orang murid Kepala Perguruan Tapak Malaikat itu akan tertinggal jauh. Apalagi, Arya dan Melati tidak tahu tempat tinggal Dewa Halilintar. Kedua alasan itu membuat sepasang pendekar muda itu terpaksa mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan tubuh, yang mereka miliki. Agar dapat berlari bersama-sama dengan Randaka dan Gunawa. Kerena keempat orang itu melakukan perjalanan tanpa henti. Di samping itu ilmu meringankan tubuh Randaka dan Gunawan sudah mencapai tingkatan lumayan. Maka, menjelang tengah malam, mereka telah melihat bangunan tempat tinggal Dewa Halilintar dari kejauhan yang diterpa sinar rembulan. "Rasanya kita sudah terlambat," ucap Arya di sela-sela ayunan langkah kakinya. "Celaka...!" Teriak Randaka dan Gunawa hampir berbareng di sela ayunan kaki mereka. Dan, karena saat itu keduanya telah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh, maka suara mereka pun terputus-putus dan memburu hebat. Arya dan Melati mengalihkan pandangan ke arah kejauhan. Tampak oleh mereka sebuah rumah yang tengah terbakar. Tapi, menilik dari kobaran api yang sudah mengecil, dapat diperkirakan kalau perisnwa itu sudah berlangsung lama. "Itukah rumah Dewa Halilintar?" tanya Arya. Dewa Arak mengajukan pertanyaan untuk meyakinkan kebenaran dugaannya. Karena memang dari kejauhan, hanya ada sebuah rumah yang tampak. Sebuah bangunan yang letaknya terpencil, jauh terpisah dari bangunan lain. "Benar," sahut Randaka lemah. Merasa terpukul sekali melihat kenyataan itu. Mereka berempat mempercepat lari. Karena itu Randaka dan Gunawa tidak sempat memperhatikan kalau nada bicara Arya terdengar biasa saja. Tidak terputus-putus atau terengah-engah seperti dirinya. "Hhh...!" hanya helaan napas berat Dewa Arak yang menyahuti jawaban Randaka. Arya tahu kecil kemungkinannya Dewa Halilintar masih hidup, bila dilihat dari keadaan tempat tinggalnya. Tapi, hal itu tidak diutarakannya agar Gunawa dan Randaka tetap tenang. Sesaat kemudian, sekitar lima tombak dari tempat tinggal Dewa Halilintar, keempat orang itu berdiri terpaku. Sedang mata mereka tertuju ke arah bangunan yang terbakar, tempat tinggal Dewa Halilintar. Api telah tidak berkobar lagi. Hanya kepulan asap dan puing-puing bangunan. Samar-samar tercium bau sangit daging yang terbakar. Sadar dari keterpakuan, Randaka dan Gunawa segera menghampiri puing-pung itu. Dengan sebatang kayu mereka berdua mengais-kais reruntuhan puing, guna mencari mayat-mayat yang terbakar. Arya dan Melati mengernyitkan kening, ketika melihat kedua orang murid utama Perguruan Tapak Malaikat itu menemukan beberapa sosok mayat yang terbakar. "Apakah Dewa Halilintar tinggal sendirian di sini?" tanya Arya heran. Ketika melihat Randaka dan Gunawa menemukan dua sosok mayat yang telah hangus terbakar. "Tidak," sahut Gunawa sambil menggelengkan kepala. "Dewa Halilintar tinggal bersama dua orang pelayan, yang sekaligus menjadi muridnya." "Berarti..., ada kemungkinan Dewa Halilintar tidak terhitung dari orang yang tewas," cetus Melati menduga. "Siapa bilang aku tewas?" sambutan sebuah suara yang lain, sehingga membuat Arya, Melati, Randaka, dan Gunawa memalingkan kepala ke arah asal suara. Sekitar enam tombak di sebelah kanan mereka, berdiri sesosok tubuh kecil kurus. Dalam siraman sinar rembulan yang cukup terang di langit, tampak agak jelas wajahnya. Pemilik suara itu ternyata seorang kakek berwajah tirus. Kulit wajahnya agak keriput, tampak dihiasi kumis dan jenggot yang jarang-jarang tapi panjang-panjang. Usai berkata demikian, kakek kecil kurus itu melangkah menghampiri mereka. Setelah berlari Gunawa dan Randaka menghampiri pula. "Ki Rajung...!" seru Randaka agak tersendat karena tidak menduga kalau kakek kecil kurus itu ternyata selamat. "Ha ha ha...!" Dewa Halilintar yang ternyata bernama Ki Rajung tertawa. Tapi semua orang yang berada di situ tahu, nada tawa kakek itu tidak keluar dari lubuk hati. Tawanya terdengar sumbang. Jelas, kalau ia tertawa dengan terpaksa. "Ah! Apakah mataku tidak salah lihat? Bukankah kau..., Dewa Arak?!" seru Ki Rajung kaget ketika melihat Arya secara jelas. "Hanya sebuah julukan kosong, Ki," ucap Arya merendah. "Tidak ada artinya bila dibandingkan dengan nama besarmu." "Kau terlalu merendah, Anak Muda," sambut Dewa Halilintar gembira, "Julukanmu telah terkenal ke seantero dunia akibat sepak terjangmu yang luar biasa. Aku kagum padamu, Dewa Arak. Semuda ini kau telah membuat nama besar di dunia persilatan." "Namaku Arya, Ki, Arya Buana," tegur Arya halus karena merasa risih mendengar Dewa Halilintar begitu membesar-besarkannya. "Luar biasa! Kepandaianmu ternyata bertolak belakang dengan sikapmu, Dewa..., eh... Arya. Kepandaianmu tak terukur tingginya, begitu yang kudengar. Tapi sikapmu..., terlalu merendah." "Maaf, Ki. Apakah ini tempat tinggalmu?" tanya Arya mengalihkan pembicaraan. Ki Rajung bukan orang bodoh. Dia tahu kalau Arya tidak suka melanjutkan pembicaraan itu. Maka, dia pun tidak memperpanjang lagi. "Benar, De... eh! Arya," jawab Dewa Halilintar. "Ini tempat tinggalku. Sayang sekali, aku tengah tidak berada di rumah ketika pertistiwa ini terjadi. Kalau saja kutahu siapa pelaku semua kekejian ini..." "Kami tahu siapa pelakunya, Ki," potong Randaka cepat. "Kalian tahu?" tanya Dewa Halilintar setengah tak percaya. "Benar, Ki," kali ini Gunawa yang menjawab. "Almarhum guru kami yang memberitahukannya..." "Almarhum...?!" tanya Dewa Halilintar setengah menjerit. Hampir berbareng Randaka dan Gunawa menganggukkan kepala. Karuan saja hal ini membuat Dewa Halilintar melongo. "Jadi..." "Benar, Ki. Guru kami, Ki Gilang Sangkur telah tewas sore tadi." "Ahhh...!" desah Ki Rajung sambil menundukkan kepala. Tampak jelas dia merasa terpukul mendengar berita itu. Baik Randaka maupun Gunawa tidak mau mengganggu. Keduanya segera menghentikan ucapan. Sedangkan Arya dan Melati diam saja, mendengarkan. Sehingga suasana menjadi hening. "Siapa yang telah membunuhnya," ucap Dewa Halilintar sambil mengangkat wajahnya, setelah berhasil menenangkan guncangan hatinya. Meskipun demikian kesedihan pada wajah Dewa Halilintar masih terlihat. "Orang yang membunuh Guru, adalah orang yang telah melakukan perbuatan biadab di tempat tinggalmu juga, Ki," jawab Randaka. Kemudian secara singkat tapi jelas diceritakan semua kejadian yang menimpa Perguruan Tapak Malaikat Randaka dan Gunawa berganti-ganti menceritakannya. "Begitulah kejadiannya, Ki. Kalau saja tidak ada pemberitahuan dari Guru, mungkin kami pun tidak tahu pelaku kekejian itu," tutur Randaka mengakhiri ceritanya. "Tidak mungkin!" tandas Dewa Halilintar keras. "Aku tidak percaya kalau utusan Perguruan Bukit Larangan yang melakukannya! Kalian pasti salah dengar!" "Kalau hanya aku yang mendengar, mungkin boleh kau tidak percaya, Ki," bantah Randaka. "Tapi bukan aku sendiri yang mendengar. Gunawa pun mendengar." "Kami pun mendengar pula ketika Ki Gilang Sangkur menceritakan semuanya," sambung Arya ikut angkat bicara. Dewa Halilintar tercenung. Menilik dari kerut-kerut pada dahinya, bisa diperkirakan kalau dia tengah berpikir keras. "Mungkinkah pelaku pembunuhan ini adalah utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan? Lalu, Kalau benar, mengapa?" ucap Ki Rajung pelan seperti ia berbicara dengan dirinya sendiri. "O ya, Ki," ujar Gunawa. "Menurut Guru, semula utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan itu tidak berniat melakukan pembantaian. Karena hanya ingin bertemu dengan Ki Tanjak Gara. Anehnya, mereka menduga kalau Ki Tanjak Gara Ketua Perguruan Tapak Malaikat." "Benar, Ki," sambung Randaka. "Bahkan utusan-utusan itu telah menyiksa Guru secara keji untuk meminta keterangan tempat berada Ki Tanjak Gara." Semakin dalam kerutan di dahi Dewa Halilintar. "Utusan-utusan itu mencari Tanjak Gara. Kemudian ke tempat tinggalku. Berarti mereka mencariku dan Ki Tanjak Gara. Mungkinkah utusan-utusan itu dikirim untuk melenyapkan Tanjak Gara dan aku?! Kalau begitu berarti dia telah mengkhianati perjanjian yang telah disepakati!" Randaka, Gunawa, Arya, dan Melati saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud ucapan Dewa Halilintar. "Ki..., boleh aku mengajukan pertanyaan?" ujar Arya dengan hati-hati melihat Dewa Halilintar tercenung diam. Ki Rajung menatap wajah Arya. "Silakan, Arya. Katakanlah apa yang ingin kau tanyakan padaku?" Arya berdehem sebentar. "Lebih dulu aku mohon maaf, Ki. Aku bukan bermaksud mencampuri urusan ini...." "Langsung saja pada pokok persoalan, Arya," potong Dewa Halilintar yang membuat Melati mengernyitkan alis tidak senang. "Baiklah kalau begitu, Ki," ucap Arya lega walau wajahnya memerah. "Mengapa kau sepertinya tidak percaya kalau pelaku semua ini, orang-orang Perguruan Bukit Larangan? Kalau boleh kutahu, mengapa perguruan itu mempunyai nama yang begitu aneh?" Randaka, Gunawa, dan Melati mengangguk-anggukkan kepala. Memang, mereka pun ingin menanyakan hal itu. Tapi, mereka merasa sungkan. Tidak aneh, begitu Arya menghentikan pertanyaan, mereka bersiap-siap mendengarkan jawaban Ki Rajung. Dewa Halilintar menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Rupanya dia merasa berat untuk menceritakan pada Arya dan yang lainnya. "Sebenarnya ini rahasia perguruan...," kata Ki Rajung membuka cerita. "Kalau begitu..., kau tidak usah menceritakannya, Ki," sergah Arya cepat dengan perasaan tidak enak. Ki Rajung menggelengkan kepala. Kedua tangannya dijulurkan ke depan. Arya tahu, Dewa Halilintar menyuruhnya diam. Maka dia pun tidak melanjutkan ucapannya. "Tapi, setelah kupertimbangkan..., rasanya kalian patut mengetahuinya. Meskipun, semula aku ingin rahasia itu hanya diketahui oleh kami bertiga. Barangkali kalian bisa memberikan bantuan pikiran padaku. Terutama sekali kau, De..., Arya." Dewa Halilintar-menghentikan ceritanya sejenak. Diedarkan pandangannya berkeliling, dan menatap satu persatu wajah-wajah yang penuh minat di sekelilingnya. "Puluhan tahun lalu..., mungkin sekitar lima puluh tahun lalu. Aku, Tanjak Gara, dan Wiratmaja menjadi murid seorang tokoh sakti yang mengasingkan diri. Entah karena apa dia mengasingkan diri, kami sendiri tidak tahu. Maaf, namanya tidak bisa kusebutkan." Dewa Halilintar menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. "Beliau mempunyai sebuah bangunan megah di sebuah bukit yang akhirnya dinamakan Bukit Larangan. Karena tidak diperkenankan seorang pun mendaki bukit itu. Apalagi sampai memasuki bangunan itu. Pokoknya, siapa pun yang melanggar akan menerima hukuman berat, dan mati secara mengerikan." "Kejam!" cetus Melati tak sabar. Karuan saja ucapan itu membuat Gunawa, Randaka, dan terutama sekali Dewa Arak menatap ke arah wajah kakek itu. Ada nada ketidak-senangan dalam sorot mata kakek kecil kurus itu. Arya tahu kalau Melati telah keterlepasan berbicara. Lalu, ia langsung menyentuh punggung Melati untuk memberi isyarat agar gadis itu diam saja. "Memang kejam, Nisanak," kata Dewa Halilintar getir. "Tapi, aku yakin ada alasan yang mendorong guruku bertindak seperti itu. Walaupun sampai sekarang aku tetap belum mengetahuinya." "Maafkan atas ucapan kawanku itu, Ki," ucap Arya buru-buru. "Ah! Tidak mengapa, Arya. Memang begitulah sifat orang muda. Aku pun dulu bersikap seperti itu. Jadi, aku memakluminya," sambut Ki Rajung bijaksana. "Syukurlah kalau begitu, Ki," kata Arya gembira. Dia berpura-pura tidak melihat raut wajah Melati yang berubah cemberut. "Kita kembali ke pokok pembicaraan," ujar Dewa Halilintar mengalihkan pembicaraan. "Setelah guru mangkat, beliau memberikan pesan pada kami bertiga. Dia minta agar kami bergiliran menjaga bangunan miliknya. Bukit tempat tinggalnya tetap menjadi daerah terlarang. Dan, itu peraturan yang tidak beleh dilanggar!" Ki Rajung berdehem sebentar untuk memulihkan suaranya yang telah serak, karena tenggorokannya kering akibat terlalu banyak bercerita. "Melalui sebuah perdebatan sengit di antara kami bertiga aku, Tanjak Gara dan Wiratmaja saling mengajukan alasan untuk dapat menjaga bangunan peninggalan guru. Hasilnya nol besar. Akhirnya diputuskan melalui sebuah pertarungan. Siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak menjaga bangunan itu." "Jadi..., Ki Wiratmaja yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu, Ki?" selah Randaka tidak sabar. Dan, ada nada kekecewaan dalam ucapannya ketika mengetahui Ketua Perguruan Tapak Malaikat kalah bertarung. "Benar," sahut Dewa Halilintar dengan suara kering. Jelas dia merasa kecewa dengan kekalahannya. "Wiratmaja keluar sebagai pemenangnya. Dan, dia berhak sebagai penjaga bangunan itu. Tapi, sesuai perjanjian yang kami sepakati, dia akan menjaganya selama sepuluh tahun. Setelah itu, diperebutkan kembali lewat pertarungan." Ki Rajung menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering. "Tapi, pertarungan kedua dan ketiga pun kembali Wiratmaja yang keluar sebagai pemenang. Bahkan, harus kami akui. Kepandaian yang dia miliki mengalami kemajuan yang pesat. Rupanya dia memperdalam kepandaiannya dari kitab-kitab yang ada di sana." Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia mulai bisa menarik hubungan dari semua peristiwa yang terjadi. "Kami pun tidak tinggal diam dan terus melatih diri. Kini, masa pertarungan tinggal belasan hari lagi. Baik aku maupun Tanjak Gara telah menciptakan ilmu-ilmu baru untuk dipakai menghadapi pertarungan yang akan berlangsung. Sungguh tidak kusangka akan terjadi peristiwa unik seperti ini. Utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan yang datang mencari Tanjak Gara dan aku dengan niat tidak baik. Padahal, waktu pertarungan tinggal beberapa hari lagi. Aneh! Apakah Wiratmaja bermaksud mengkhianati persetujuan kami?" Suasana menjadi hening ketika Dewa Halilintar menghentikan ucapannya. Karena Arya, Melati, Gunawa, dan Randaka sama sekali tidak menanggapinya lagi. Rupanya mereka tenggelam dalam lamunannya masing-masing. "Tidak mungkinkah ada orang luar yang bermaksud mengadu domba?" cetus Arya menduga. Melati, Randaka, dan Gunawa menganggukkan kepala. Mereka membenarkan dugaan pemuda berambut putih keperakan itu. "Tidak mungkin, Arya. Karena yang mengetahui rahasia ini hanya aku, Tanjak Gara, dan Wiratmaja. Dan, kami semua tidak menceritakan hal ini pada murid-murid kami," ucap Ki Rajung mengajukan alasan. Arya pun terdiam. "Ah...! jadi..., kau dan Ki Tanjak Gara saudara seperguruan, Ki?" tanya Randaka kaget. "Kalian tidak mengetahuinya, bukan?" Dewa Halilintar malah balas mengajukan pertanyaan. Gunawa menggelengkan kepala. "Ki Tanjak Gara sama sekali tidak memberitahukannya pada kami. Entah pada Ki Gilang Sangkur." "Aku yakin, Tanjak Gara tidak menceritakan masalah ini pada siapa pun," ucap Ki Rajung mantap. Keyakinan yang amat sangat tampak jelas, baik pada nada suara maupun sikapnya. Arya, Melati, Randaka dan Gunawa diam. Mereka tidak menanggapi ucapan kakek kecil kurus itu. "Lalu..., apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya Randaka memecahkan keheningan. "Hm..., maksud kalian bagaimana? Aku belum mengerti." Randaka terdiam. Sejenak memikirkan kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan Dewa Halilintar. "Perguruan kami dibasmi, Ki. Guru dan semua saudara perguruan kami dibantai. Kami tidak bisa membiarkan peristiwa ini!" "Jadi..., kalian bermaksud membalas dendam?" tanya Ki Rajung mulai mengerti maksud pembicaraan Randaka. "Hanya itulah yang bisa kami lakukan untuk membalaskan sakit hati Guru dan semua saudara perguruan kami, Ki!" Gunawa yang memberikan alasan. Dewa Halilintar berpikir keras. Sedang Randaka diam saja, menunggu jawaban dari lelaki berwajah tirus itu. Sementara Arya dan Melati hanya memandangi mereka. * * * * * * * * * ENAM Ki Rajung mengangguk-anggukkan kepala. Dia dapat memaklumi perasaan yang melanda hati kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat itu. "Aku tidak bisa menyalahkan tindakan yang akan kalian lakukan," ucap Ki Rajung pelan. "Aku pun mungkin akan melakukan hal yang serupa bila aku berada di pihak kalian. Tapi...." "Tapi kenapa, Ki?" potong Gunawa tidak sabar. "Kalian tidak ingat cerita yang baru saja kubeberkan tadi...?" tanya Ki Rajung menjawab pertanyaan Gunawa. Randaka, Gunawa, Arya, dan Melati terdiam dengan alis bekernyit. Rupanya bukan hanya Ki Rajung dan Gunawa saja yang jadi tercenung untuk mengingat-ingat cerita Ki Rajung. "Cerita mengenai pesan guruku...," tambah Ki Rajung memberi bantuan pada keempat orang muda untuk mengingat-ingat ceritanya. Randaka dan Gunawa saling pandang. Ucapan tambahan Ki Rajung membuat mereka mengetahui apa yang dimaksudkan. "Kalau kalian berniat untuk membalas dendam, berarti kalian pergi menuju Bukit larangan, kan?" terka Ki Rajung. Randaka dan Gunawa mengangguk membenarkan. Sedang Arya dan Melati hanya mendengarkan. Mereka berdua pun sudah mengerti arah pembicaraan Ki Rajung. "Sebagai salah seorang murid yang baik, aku harus mematuhi semua perintah guruku. Dan, guruku melarang siapa saja tidak boleh mendaki Bukit Larangan. Apalagi memasuki bangunan peninggalannya." Sampai di sini, Ki Rajung menghentikan ucapannya. Mata Ki Rajung memandangi satu persatu wajah-wajah yang ada di hadapannya. Dia ingin melihat tanggapan mereka atas ucapannya. Wajah Arya dan Melati tampak biasa-biasa saja. Tapi tidak demikian dengan Randaka dan Gunawa. Kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat ini, tahu kalau mereka akan mendapatkan sebuah sandungan berat. Meskipun Ki Rajung belum menyelesaikan ucapannya, mereka sudah bisa menebak kalau kakek itu akan menghalangi mereka untuk pergi ke Bukit Larangan. "Jadi..., bagaimana kalau kami ingin pergi ke sana juga, Ki?" tanya Randaka. dengan suara bergetar karena dilanda perasaan tegang. "Aku akan mencegah kalian!" tandas Ki Rajung mantap. "Sudah kukatakan, siapa pun tak akan kubiarkan pergi ke sana! Tanpa kecuali!" "Kau tidak adil, Ki!" tandas Gunawa keras. "Kau tahu, kami tidak ingin mencari urusan! Tapi kami hanya meminta keadilan! Menuntut balas pada orang-orang yang telah menghancurkan perguruan kami!" "Apa pun alasan kalian! Aku tetap tidak dapat membiarkan siapa pun pergi ke sana!" sambut Ki Rajung tak kalah keras. Jelas amarah kakek kecil kurus ini mulai berkobar. "Lalu..., haruskah kami membiarkan iblis-iblis dari Bukit Larangan yang telah melakukan kekejian-kekejian itu?!" dalam keadaan amarah yang menggelegak, Randaka memaki sejadi-jadinya. "Tutup mulutmu, Monyet kecil!" bentak Ki Rajung keras. Karena amarah yang mendera, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Tidak aneh kalau membuat kedua kaki murid Perguruan Tapak Malaikat menggigil keras. Dan, telinga mereka pun terasa mendengung keras dengan dada bergetar. Tapi, hal yang seperti itu sama sekali tidak menimpa Arya dan Melati. Memang, dengan pengerahan tenaga dalam yang dimiliki, mereka berhasil menekan pengaruh teriakan itu. "Sekali lagi kau ucapkan kata-kata kotor itu, aku tak akan segan-segan untuk memukul mulutmu sampai hancur!" ancam Ki Rajung dengan wajah merah padam. Jelas, dia tengah dilanda kemarahan hebat. "Kami bukan orang yang mudah digertak, Ki!" Randaka malah menyambut ancaman yang diajukan Ki Rajung. "Demi membela guru dan saudara-saudara seperguruan, kami rela mati!" "Ya! Siapa pun yang menghalangi, kami akan tetap pergi ke bukit tempat tinggal iblis-iblis itu!" sambung Gunawa tak kalah keras. "Keparat! Hih...!" Diiringi suara makian keras, Ki Rajung mengibaskan tangannya ke arah pelipis Gunawa. Wuttt...! Dari deru angin keras yang mengawali tibanya serangan itu, dapat diduga kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Dan, memang kibasan tangan Ki Rajung mampu menghancurkan batu yang paling keras sekalipun. Kini sasaran yang dituju adalah pelipis Gunawa, yang merupakan salah satu bagian terlemah dari anggota tubuh manusia. Akibat serangan ini sudah bisa diterka. Kepala Gunawa akan hancur berantakan. Tapi sebelum serangan itu mengenai sasaran, sebuah tangan meluncur memapak. Plakkk...! Suara benturan keras terdengar ketika kedua tangan itu berbenturan. Akibatnya, pemilik masing-masing tangan terhuyung mundur ke belakang. Ki Rajung menggertakkan gigi. Dengan sepasang mata bernyala-nyala, segera ia mengalihkan pandang annya ke arah orang yang telah menangkis serangannya. Dan, seperti yang sudah diduga, pemilik tangan itu tidak lain Dewa Arak! "Tidak sepantasnya kau menjatuhkan tangan maut pada orang yang berjiwa pendekar seperti dia, Ki," tegur Arya halus. "Kau tidak usah mengajariku, Pemuda Sombong!" bentak Ki Rajung keras. Amarahnya, memang semakin berkobar-kobar karena tindakan Arya, yang telah lancang menangkis serangannya. Apalagi ketika pemuda berambut putih keperakan itu menegurnya. "Aku sama sekali tidak bermaksud demikian, Ki," kata Arya masih dengan suara pelan. "Jangan kira karena kau adalah Dewa Arak, lalu bisa seenaknya saja berbicara?!" tanpa peduli pada jawaban Arya, Ki Rajung terus saja mengumbar kemarahannya. "Jangan kau kira aku takut padamu, Dewa Arak! Memang, sudah lama aku ingin menjajal kepandaianmu! Bersiaplah kau!" "Ki...!" Arya masih mencoba meredakan kemarahan Ki Rajung. Tapi sia-sia. Dewa Halilintar tidak mempedulikan ucapannya. Dia langsung melancarkan serangan ke arah Dewa Arak. Dia melompat dan menerjang Dewa Arak. Begitu tubuhnya telah berada di udara, kaki kanannya bergerak mengibas kepala Arya. Wuttt..! Kibasan itu lewat di atas kepala ketika Dewa Arak merendahkan tubuhnya. Menilik dari angin kibasannya, yang mampu membuat rambut dan pakaian Arya berkibar keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu. "Hup...!" Dengan cepat kakinya dijejakkan di tanah, secepat itu pula Ki Rajung melancarkan serangan susulan. Kaki kirinya meluncur cepat ke arah dada Arya. Tapi, karena saat itu kedudukan pemuda berambut putih keperakan itu tengah membungkuk, tendangan itu mengancam kepalanya. Dewa Arak bersikap tenang. Dengan sekali menjejakkan kaki, tubuhnya telah dilemparkan ke belakang. Sehingga untuk kedua kalinya serangan Dewa Halilintar mengenai daerah kosong. Gerakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika kedua kakinya mendarat di tanah, kembali ditotolkan. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Hal itu terpaksa dilakukan Arya untuk menghindari serangan susulan Dewa Halilintar. Dugaan Arya sama sekali tidak meleset Ketika melihat serangannya kembali berhasil dielakkan, Dewa Halilintar segera melompat dan mengejar. Kali ini, Dewa Arak memutuskan untuk mengadakan perlawanan. Disadarinya, menghadapi orang yang memiliki kepandaian seperti Dewa Halilintar, tanpa mengadakan perlawanan merupakan perbuatan konyol. Kecuali bila ia menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Setelah mengambil keputusan demikian, kedua kakinya telah menjejak tanah. Dewa Arak pun bersiap mengadakan perlawanan. Tapi ia tidak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', melainkan ilmu yang diwarisi dari ayahnya, ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Dua jenis ilmu yang mempunyai keistimewaan serupa, sama-sama menitikberatkan pada penyerangan. Pertarungan antara Dewa Halilintar dan Dewa Arak tak terelakkan lagi. Dan, mereka pun terlibat dalam pertarungan yang seru dan sengit. Melati, Randaka, dan Gunawa memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh minat. Mereka menyaksikan dari tempat yang berjarak sekitar sepuluh tombak. Ketika Ki Rajung melancarkan serangan ke arah Dewa Arak, memang ketiga orang itu buru-buru mundur menghindar agar tidak terkena serangan nyasar. Kini mereka, terutama sekali, Randaka dan Gunawa memperhatikan dengan penuh semangat pertarungan yang tengah berlangsung di depan mata. Tapi, karena tingkat kepandaian kedua murid Perguruan Tapak Malaikat itu terpaut jauh, baik dengan Dewa Arak dan Dewa Halilintar, maka betapapun mereka melihat secara jelas. Namun tetap saja yang mereka lihat bayangan ungu dan kuning yang berkelebatan cepat. Terkadang kedua bayangan itu saling belit. Tapi tak jarang saling pisah. Karena kedua belah pihak memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tidak aneh bila pertarungan sudah berlangsung hampir lima puluh jurus. Dewa Halilintar menggertakkan gigi karena setelah sekian lamanya bertarung, tidak juga mampu mengalahkan lawan. Jangankan mengalahkan, tanda-tanda untuk mendesak pun belum terlihat. Padahal, tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, telah dikerahkan seluruhnya. Karuan saja hal ini membuat Dewa Halilintar penasaran bukan kepalang. Haruskah dikeluarkan ilmu andalannya? Berbeda dengan lawannya, Dewa Arak sama sekali tidak merasa berat menghadapi pertarungan itu Memang, Arya sama sekali tidak mengerahkan seluruh kemampuannya. Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, hanya ia kerahkan tiga perempat saja. Dengan kemampuan itu, Dewa Arak sudah cukup untuk mengimbangi Dewa Halilintar. Bahkan serangan-serangan yang dilancarkannya pun tidak terlalu menggebu-gebu. Beberapa kali ketika ia berhasil mendesak lawan, segera ia menghentikan serangan untuk memberi kesempatan bagi Dewa Halilintar memperbaiki keadaan. Dewa Halilintar bukan orang bodoh! Tentu saja dia tahu, Dewa Arak bersikap mengalah. Dan, sikap itu telah membuat Ki Rajung penasaran. Apalagi ketika menyadari lawan belum mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' yang merupakan andalannya. Menginjak jurus ke delapan puluh tiga, Dewa Halilintar melemparkan tubuh ke belakang dan bersalto. Kemudian tubuhnya meluncur turun, ketika telah berjarak sekitar tujuh tombak dari tempat Arya. Dewa Arak tidak mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan serangan susulan. Dewa Halilintar berdiri dengan kedua kaki terpentang agak lebar. Ditariknya napas dalam-dalam sambil mengepalkan jari-jari tangan. Suara berkerotokan seperti ada tulang-tulang yang patah, terdengar tatkala jari-jari tangan kakek kecil kurus ini terkepal. Dewa Arak hanya memperhatikan saja. Dia tahu Dewa Halilintar telah bersiap menggunakan ilmu andalannya. Apalagi kalau bukan ilmu 'Tinju Halilintar' yang telah membuat julukannya menjulang di dunia persilatan. Memang julukan Dewa Halilintar telah menggemparkan dunia persilatan belahan Barat. Belasan tahun yang lalu. Dan, itu terjadi karena sepak tenang kakek kecil kurus ini selalu bertindak brutal terhadap tokoh-tokoh golongan hitam yang menjadi lawannya. Tapi julukan Dewa Halilintar hanya menggaung beberapa tahun saja. Setelah itu lenyap dan tak terdengar beritanya lagi. Karena ia menarik diri dari dunia persilatan untuk menyempurnakan ilmunya. Sementara itu, meskipun Dewa Arak tahu Dewa Halilintar telah mengeluarkan ilmu andalannya, tapi ia belum berniat mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Dia yakin mampu menahan serbuan ilmu lawan dengan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. Mendadak... "Tahan...!" Suara bentakan keras yang menggetarkan seluruh tempat itu terdengar. Jelas, suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dewa Arak, Randaka, Gunawa, Melati, dan Dewa Halilintar kontan menolehkan kepala ke asal suara. Tapi yang paling terkejut justru Dewa Halilintar karena dia kenal betul pemilik suara itu. "Tanjak Gara...!" seru Ki Rajung keras seraya bergerak meninggalkan kancah pertarungan, dan membatalkan penggunaan ilmu 'Tinju Halilintar'nya. Bukan hanya Ki Rajung yang merasa terkejut bukan kepalang, Randaka dan Gunawa pun dilanda perasaan yang sama. Walaupun jarang bertemu dengan Tanjak Gara, tapi mereka mengenalnya. Tanjak Gara adalah kakek guru mereka. Karena guru mereka, Gilang Sangkur, murid Tanjak Gara. Tanjak Garalah yang mendirikan Perguruan Tapak Malaikat! Tapi karena sikap Tanjak Gara yang aneh, Randaka dan Gunawa tidak berani bergerak mendekat. Mereka hanya berdiri dan memperhatikan Ki Rajung yang melangkah menghampiri Tanjak Gara dengan bergegas. Mereka membiarkan Ki Rajung bertemu dengan Tanjak Gara terlebih dahulu. Dengan raut wajah beseri-seri, Ki Rajung melangkah menghampiri seorang laki-laki tinggi besar berpakaian coklat. Wajahnya dipenuhi cambang bauk yang lebat Dialah Tanjak Gara. Dan, kini Tanjak Gara melangkahkan kaki menghampiri Ki Rajung. "Ha ha ha...! Bagaimana kabarmu, Tanjak Gara?" tanya Ki Rajung gembira seraya mengulurkan tangan menyambut uluran tangan bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu, dan mengguncang-guncangkannya. "Ke mana saja kau sehingga tidak pemah muncul selama ini?" "Seperti juga kau..., aku pergi ke tempat yang sunyi untuk memperdalam ilmuku. Kau kan tahu, Rajung. Tak lama lagi pertarungan untuk memperebutkan bangunan peninggalan guru akan dimulai. Sesekali aku ingin mencicipi tinggal di tempat itu. Tidak hanya Wiratmaja saja yang merasakannya," jawab Tanjak Gara panjang lebar sambil tersenyum dan mengguncang-guncangkan tangan Ki Rajung. Bagai ada yang memberi perintah, Ki Rajung dan Tanjak Gara sama-sama melepaskan pegangan tangannya. "Kukira hanya aku saja yang melakukan hal itu. Rupanya kau pun melakukan hal yang sama. Ha ha ha...!" sambut Ki Rajung masih dengan tawa yang tidak lepas dari mulutnya. "Rupanya kau pintar berpura-pura tidak tahu, Rajung," ujar Ki Tanjak Gara dengan gembira. "Bukan kau saja yang menginginkan kemenangan dalam pertarungan nanti. Aku pun demikian pula! Ha ha ha...!" "Ha ha ha...!" Ki Tanjak Gara pun tertawa pula. "Sayang..., aku terlalu buru-buru mencegah terjadinya pertarungan. Kalau tidak, pasti akan kusaksikan kedahsyatan ilmu 'Tinju Halilintar'mu itu! O ya..., mengapa kau terlibat bertarung dengannya, Rajung! Bukankah dia yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya Ki Tanjak Gara ketika teringat akan ciri-ciri Dewa Arak. Usai berkata demikian, bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini mengerling ke arah Arya, yang sudah berdiri di sebelah Melati. Seperti Randaka dan Gunawa, pemuda berambut putih keperakan itu hanya memperhatikan pertemuan antara Ki Tanjak Gara dengan Ki Rajung. Tawa Ki Rajung kontan berhenti. "Agak panjang ceritanya, Gara," pelan terdengar ucapan yang keluar dari mulut Dewa Halilintar. Kemudian diceritakannya semua persoalan yang menyebabkan terjadinya pertarungan antara dia dengan Dewa Arak. Ki Tanjak Gara mendengarkan penuh perhatian. Dan ketika Ki Rajung menyelesaikan cerita, dia mengangguk-anggukan kepala. "Iblis-iblis Jahanam!" kutuk Ki Tanjak Gara geram. Suara gemeretak dari gigi-gigi yang beradu terdengar. Ketua Perguruan Tapak Malaikat murka bukan kepalang mendengar cerita saudara seperguruannya. "Randaka...! Gunawa...! Kemarii...!" teriak Ki Tanjak Gara sambil melambaikan tangan. Dengan kepala tertunduk, dua orang murid kepala Perguruan Tapak Malaikat itu menghampiri kakek guru mereka. Di benak mereka sudah terbayang hukuman yang bakal dijatuhkan. Kali ini Arya tidak bisa ikut campur lagi. Dia hanya berdiri dan memperhatikan semua kejadian yang berlangsung di hadapannya. Demikian pula halnya dengan Melati. "Benarkah semua yang diceritakan Ki Rajung itu?" tanya Ki Tanjak Gara dengan suara keras. Hampir berbarengan Randaka dan Gunawa mengangguk membenarkan. Memang mereka mendengar semua cerita Ki Rajung karena diucapkan dengan uara keras. "Benarkah kalian akan mendaki Bukit Larangan itu, tanpa peduli siapa yang akan menjadi penghalang?" desak Ki Tanjak Gara keras. "Benar, Ki," sahut Randaka dan Gunawa jujur. "Bagaimana kalau yang menghalangi tindakan kalian adalah aku. Apakah maksudmu akan diteruskan?!" Randaka dan Gunawa tersentak. Tanpa sadar kepala mereka yang semula tertunduk, tertengadah. "Mana kami berani bertindak lancang, Ki? Kalau kau yang menghalangi, terpaksa maksud itu kami batalkan," pelan dan bergetar ucapan yang keluar dari mulut Randaka. "Hm...!" Ki Tanjak Gara mengangguk-anggukkan kepala seraya menatap wajah murid-muridnya. Jari-jari tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya yang lebat. "Kalian tahu kalau tindakan kalian itu hanya akan mengantarkan nyawa secara sia-sia?! Apakah kalian tidak dapat berpikir bahwa orang yang telah berhasil membunuh guru dan seluruh saudara seperguruan kalian, pasti orang yang berkepandaian jauh di atas kalian?!" "Kami mengerti, Ki. Tapi... kami rela mati asal dapat membalaskan kekejian ini!" sahut Gunawa mantap. Ki Tanjak Gara mengangguk-anggukan kepala. "Kalau saja Gilang Sangkur mendengar ucapan kalian, aku yakin dia akan berbangga hati. Ternyata murid-muridnya sangat berbakti dan tidak berjiwa pengecut! Jangan takut. Aku di pihak kalian." "Hahhh...?!" Randaka dan Gunawa terperanjat mendengar ucapan Ki Tanjak Gara. Saking kagetnya kedua murid Perguruan Tapak Malaikat itu menatap wajah kakek guru mereka dengan sinar mata tak percaya. Ki Tanjak Gara menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. "Ya. Aku akan ikut bersama kalian! Kita minta pertanggung-jawaban Perguruan Bukit Larangan atas kejadian yang menimpa Perguruan Tapak Malaikat!" "Ahhh...!" Ucapan kaget dan sekaligus kelegaan keluar dari mulut Randaka dan Gunawa. Hati mereka gembira bukan kepalang ketika mengetahui bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu berada di pihak mereka. Bukan hanya kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat itu yang merasa gembira. Arya dan Melati pun dilanda perasaan yang sama. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum lega. Di antara mereka semua, hanya Ki Rajung yang terkejut bukan kepalang mendengar jawaban Ki Tanjak Gara. "Gara! Kau ingin mengkhianati kesepakatan yang telah kita buat bersama?! Apa kau akan melanggar pesan guru kita?!" tanya Ki Rajung setengah berteriak. Ki Tanjak Gara menatap wajah Ki Rajung lekat-lekat. "Kali ini keadaan menghendaki lain, Rajung. Orang-orang Perguruan Bukit Larangan telah menghancurkan perguruan yang telah kudirikan dengan susah payah. Penghinaan ini harus kubalas! Jadi, terpaksa aku melanggar kesepakatan kita kali ini," sahut bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu mengajukan alasan. "Lalu..., larangan guru kita?" desak Ki Rajung penasaran. "Kau harus berpikir panjang dalam hal ini, Rajung. Kau jangan menuruti perintah itu secara membuta. Aku yakin andai kata guru masih ada, beliau akan memaklumi tindakanku ini. Toh, aku berada di pihak yang benar! Aku ingin meminta keadilan atas kejadian yang menimpa perguruanku!" Kali ini Ki Rajung tidak bisa membantah lagi. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat dalam ucapan Ki Tanjak Gara. Maka dia pun terdiam, tidak berkata-kata lagi. "Ada satu hal lagi yang perlu kau ingat, Rajung. Wiratmaja sebenarnya sudah menyeleweng dari pesan yang diberikan guru." "Menyeleweng?" Ki Rajung mengernyitkan alisnya. "Ya. Guru hanya berpesan untuk menjaga Bukit Larangan dan bangunan tempat tinggalnya. Tapi, Wiratmaja malah mendirikan perguruan silat. Sungguhpun tidak besar. Kita berdua tahu dia belum tentu menghuni bangunan itu untuk seterusnya, bila kita memenangkan pertarungan?" sambung Ki Tanjak Gara menjelaskan. "Lalu bagaimana nasib perguruannya? Padahal, dia telah memberikan perguruan itu dengar nama Bukit Larangan!" "Kau benar, Gara," ucap Ki Rajung setelah menghela napas berat. Bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Randaka dan Gunawa. "Sekarang kita harus ke sana!" kata Ki Tanjak Gara. "Masalah ini harus diselesaikan secepatnya." Usai berkata demikian, bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini melangkah meninggalkan tempat itu. "Kau boleh ikut kalau ingin, Dewa Arak," kata Ki Tanjak Gara sebelum meninggalkan tempat itu. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Ki. Sayang kami punya urusan lain yang harus diselesaikan," kilah Arya. "Kalau begitu kami pergi dulu, Dewa Arak," pamit Ki Tanjak Gara. Ki Rajung, Randaka, dan Gunawa pun melakukan hal yang sama. "Silakan, Ki," sambut Arya sambil menganggukkan kepala. Demikian pula Melati. Sesaat kemudian, rombongan kecil itu berangkat meninggalkan tempat itu, menuju Bukit Larangan. Malam yang sudah larut sama sekali tidak menghalangi langkah mereka. Arya dan Melati memandangi rombongan Ki Tanjak Gara hingga lenyap di kejauhan. Baru mereka melanjutkan perjalanan. * * * * * * * * TUJUH Hari masih pagi. Kicauan burung terdengar riuh. Dan, rombongan yang dipimpin Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung, telah berada di lereng Bukit Larangan. Tanpa mengalami kesulitan, keempat orang itu menotokkan kakinya ke sana kemari. Kini mereka telah tiba di bagian bukit yang datar. Mendadak Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara menghentikan langkah, disusul Randaka dan Gunawa. Mereka berdua memandangi wajah kedua kakek itu berganti-ganti. Sinar mata mereka memancarkan keheranan dan ketidakmengertian. "Mengapa kita berhenti, Ki? Apakah kita telah tiba di tempat tujuan?" tanya Randaka karena tak tahan menahan rasa keheranan. Kepala murid utama Perguruan Tapak Malaikat itu menoleh ke sana kemari dan memperhatikan keadaan sekitarnya. Tapi, tidak tampak olehnya bangunan Perguruan Bukit Larangan. Yang terlihat hanya pepohonan dan semak-semak di sana-sini. Bukan hanya Randaka yang merasa heran. Hati Gunawa pun diliputi rasa heran juga. Tetapi dia mampu menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Walaupun demikian, Gunawa ikut menolehkan kepala ke sana kemari dan mengedarkan pandangan. "Diamlah, Randaka. Ada beberapa orang yang tengah menuju kemari. Rupanya kedatangan. Kita telah diketahui," tegur Ki Tanjak Gara pelan. Randaka kontan terdiam. Ditelengkan kepalanya untuk lebih menajamkan pendegarannya. Gunawa pun berbuat yang sama. Tapi, mereka tidak mendengar sama sekali suara apa-apa. Dari sini, mereka menebak kalau orang-orang yang datang memiliki ilmu meringankan tubuh amat tinggi. Tak lama kemudian, mereka baru mendengar suara yang dimaksudkan Ki Tanjak Gara. Memang, ada beberapa pasang kaki yang tengah menuju ke arah mereka. Mula-mula hanya terdengar samar-samar. Tapi semakin dekat semakin jelas. Sekejap kemudian pemilik langkah-langkah itu, terlihat oleh rombongan Ki Tanjak Gara. "Siapa kalian? Mengapa datang kemari? Cepat pergi sebelum kami kehilangan kesabaran dan membunuh kalian semua!" seru salah seorang dari delapan orang laki-laki berpakaian hitam dan berikat kepala hitam bersulamkan gambar bukit yang menjulang tinggi. Sikapnya terlihat memandang rendah rombongan Ki Tanjak Gara. Wajah Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung langsung memerah, karena mereka merasa tersinggung dengan ucapan orang yang berpakaian hitam itu. Seumur hidup baru kali ini mereka diperlakukan seperti itu. Tak heran bila kedua tokoh sakti itu menjadi marah. Apalagi kedua kakek itu, terutama sekali Ki Tanjak Gara, tengah uring-uringan. Tak mengherankan bila kemarahan mereka makin berkobar. "Kami beri peringatan yang terakhir. Cepat kalian pergi dari sini. Mumpung kami masih berbaik hati mengampuni kelancangan kalian. Karena kalian belum melewati daerah larangan!" sambung murid Perguruan Bukit Larangan yang lain. "Kalau kami tidak mau pergi kalian mau apa?!" sahut Ki Tanjak Gara menantang. Suara bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu terdengar bergetar karena pengaruh amarahnya. Tapi, kemarahan Ki Tanjak Gara tidak sebesar kemarahan yang ada di hati Randaka dan Gunawa. Kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat ini, merasa tersinggung sekali melihat tindakan yang tidak sopan terhadap kakek guru mereka. Andaikata mereka tidak takut dianggap lancang oleh Ki Tanjak Gara, mungkin Randaka dan Gunawa sudah melompat menerjang murid-murid Perguruan Bukit Larangan yang telah bersikap terlalu kurang ajar. "Tua Bangka tidak tahu diuntung! Kau mencari mati sendiri." Usai berkata demikian, salah seorang murid Perguruan Bukit Larangan itu meluruk maju. Kedua tangannya yang telah terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Ki Tanjak Gara. "Hmh...!" Ki Tanjak Gara hanya mendengus. Dibiarkan serangan yang meluncur ke arahnya itu. Tentu saja ia terlebih dulu mengerahkan tenaga dalamnya. Bukkk, bukkk, bukkk...! Ki Tanjak Gara membiarkan saja serangan yang meluncur ke arahnya. Bukkk, bukkk, bukkk...! Bertubi-tubi pukulan murid Perguruan Bukit Larangan itu mengenai sasaran. Tapi bukan Ki Tanjak Gara yang kesakitan, melainkan yang memukul! Mereka yang memukul itu yang menjerit kesakitan. Kedua kepalan tangannya tampak bengkak-bengkak dan terasa sakit bukan main. Mereka merasa seolah-olah bukan memukul tubuh manusia, tapi gumpalan baja yang amat keras. Apa yang dialami oleh rekan mereka, membuat murid-murid Perguruan Bukit Larangan lainnya terkejut bukan kepalang. Jelas mereka melihat kalau pukulan rekannya mengenai dada Ki Tanjak Gara. Tapi, mengapa malah rekannya berteriak-teriak kesakitan? Pikir mereka bingung. Memang, murid-murid Perguruan Bukit Larangan itu sama sekali tidak mengenai Ki Tanjak Gara. Sementara itu, Ki Tanjak Gara yang sudah murka, tidak bertindak sampai di situ saja. Tangan kanannya segera ia kibaskan. Tampak kibasannya dilakukan sembarangan, seperti tanpa pengerahan tenaga dalam. Tapi hasilnya, murid-murid Perguruan Bukit Larangan yang masih sibuk dengan rasa sakit itu merasakan hembusan angin yang kencang. Sehingga tubuh mereka terlempar beberapa langkah ke belakang. Murid-murid Perguruan Bukit Larangan mulai sadar. Kakek tinggi besar itu bukan orang sembarangan. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, mereka segera menghunus senjata masing-masing. Sebuah golok besar yang tajam berkilat. Srattt, srattt, srattt...! Sinar-sinar terang tampak berkilat ketika golokgolok itu keluar dari sarungnya. Bahkan murid Perguruan Bukit Larangan yang tadi terduduk di tanah telah pula menghunus senjata. "Serbu...!" Murid Perguruan Bukit Larangan yang berkumis tebal memberi aba-aba. Kontan delapan orang itu bergerak cepat ke arah Ki Tanjak Gara. Begitu jarak mereka telah dekat, golok-golok yang berada dalam genggaman segera dikibaskan ke arah Ki Tanjak Gara. Tak pelak lagi, hujan senjata pun meluncur deras ke arah tubuh Ki Tanjak Gara. Seperti sebelumnya, bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu sama sekali tidak melakukan gerakan apa pun. Dia sama sekali tidak berusaha mengelak atau menangkis. Takkk, takkk, takkk...! Delapan batang golok besar itu mendarat di sasaran masing-masing. Terlihat tidak sedikit pun darah mengalir dari bagian yang terbabat atau terbacok. Sedikit pun tubuhnya tidak tergores! Sebaliknya, tangan murid-murid Perguruan Bukit Larangan itu terasa lumpuh. Dan, senjata yang mereka cekal hampir terlepas dari pegangan, kalau mereka tidak segera mempererat cengkeramannya. Mengalami kejadian yang tidak disangka-sangka itu, membuat delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu terperanjat. Sehingga, untuk beberapa saat, mereka berdiri terpaku dengan mata terbelalak. Sinar mata mereka memancarkan ketidakpercayaan yang mendalam. "Kini giliranku," pelan ucapan yang keluar dari mulut Ki Tanjak Gara. Begitu gema ucapan itu lenyap, tubuh bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu bergerak ke depan. Gerakannya cepat bukan main sehingga yang tampak hanya sekelebatan bayangan coklat yang meluruk ke arah murid-murid Perguruan Bukit Larangan. Delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan gugup. Mereka tahu kalau lawan yang dihadapi amat sakti itu mulai melancarkan serangan balasan. Begitu mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya, seleret bayangan coklat melesat ke arah mereka. Sayang, gerakan Ki Tanjak Gara terlalu cepat bagi pandangan mereka. Sehingga mereka tidak dapat melihat kalau mereka akan diserang. Maka, sebisa-bisanya delapan orang itu membolang-balingkan golok di depan dada untuk menjaga diri dari serangan yang akan tiba. Namun, usaha mereka ternyata sia-sia. Karena mendadak tangan mereka lumpuh dan senjata terlepas dari pegangan. Sama sekali mereka tidak mengetahui kalau Ki Tanjak Gara telah menotok sikut mereka. Lalu merampas golok yang mereka genggam. Delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu hanya memandang dengan wajah pucat ke arah Ki Tanjak Gara, yang telah berada kembali di tempat semula. Kedua tangannya mengenggam senjata-senjata yang mereka gunakan untuk menebas Ki Tanjak Gara. Murid-murid Perguruan Bukit Larangan mulai sadar, kalau Ki Tanjak Gara tak mungkin dapat mereka lawan. Kepandaian kakek itu terlalu sakti. Ki Tanjak Gara tentu saja mengetahui perasaan yang berkecamuk di hati lawan. Tapi, dia tidak peduli karena telah memutuskan untuk memberikan pelajaran pada orang-orang yang lancang menghinanya. Maka, dengan raut wajah dingin, digerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja dan terlihat seperti tanpa pengerahan tenaga dalam. Namun, akibatnya luar biasa sekali. Krakkk, krakkk, krakkk...! Golok besar itu berpatahan. Seolah-olah yang dipatahkan kakek tinggi besar itu bukan batang-batang logam keras, melainkan batang-batang lidi! Karuan saja hal itu membuat pandangan mata delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu semakin terbelalak lebar. Dan saat itulah, tangan Ki Tanjak Gara kembali bergerak. Kali ini, kedua tangan kakek itu melemparkan potongan-potongan golok itu ke arah delapan orang lawannya. Singgg, singgg, singgg...! Cappp, cappp...! "Akh, akh...!" Jerit kesakitan terdengar dari mulut murid-murid Perguruan Bukit Larangan itu. Karena potongan-potongan golok itu menancap pada kedua paha mereka. Tak pelak lagi, tubuh delapan orang itu terguling roboh! "Mari kita lanjutkan perjalanan!" ucap Ki Tanjak Gara sambil menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah rombongan kecilnya. Ki Rajung, Randaka, dan Gunawa yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja, segera bergerak meninggalkan tempat itu dan mengikuti langkah Ki Tanjak Gara. Mereka tidak mempedulikan delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan. Ki Tanjak Gara sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menuju bangunan Perguruan Bukit Larangan, karena dia dan Ki Rajung memang pernah tinggal di sana. Tak berapa lama kemudian, bangunan itu pun telah terlihat oleh mereka. "Rupanya kedatangan kita telah diketahui, Ki," kata Randaka ketika melihat belasan sosok tubuh telah berdiri di depan bangunan Perguruan Bukit Larangan. "Hm...!" Hanya gumaman pelan tak jelas yang keluar dari mulut Ki Tanjak Gara. Memang, dia telah melihat belasan sosok tubuh itu. Meskipun tahu kalau pihak tuan rumah telah siaga menyambut mereka, Ki Tanjak Gara tetap melangkah dengan sikap tenang. Demikian pula sikap yang ditunjukkan Ki Rajung. Tidak tampak tanda-tanda kala mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Sementara itu, Randaka dan Gunawa sudah merasa tegang. Bahkan tangan keduanya telah menyentuh hulu pedang masing-masing. Siap untuk bertarung. Apa yang dikhawatirkan kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat itu pun terjadi. Tiba-tiba telinga mereka mendengar teriakan-teriakan dari puluhan sosok berpakaian hitam. "Serbu...!" Dan puluhan orang berseragam hitam itu meluruk ke arah rombongan Ki Tanjak Gara dengan senjata di tangan yang terhunus. Sinar matahari yang memancar ke persada, menimbulkan pantulan sinar yang menyilaukan mata. Ketika cahaya itu jatuh tepat di batang-batang golok yang telanjang digenggam tangan lawan. Sratt, srart...! Randaka dan Gunawa segera mencabut senjata masing-masing. Mereka tidak ingin mati konyol. Karena itu mereka siap dengan senjata untuk menghadapi serangan yang mendadak ke arah mereka. Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung mengernyitkan alisnya. Kedua kakek sakti ini saling pandang. Raut wajah mereka memacarkan pertanyaan besar. "Mengapa Wiratmaja tidak muncul sama sekali, Gara?" tanya Ki Rajung yang tak kuat menahan rasa herannya. "Apakah dia ingin mengadakan perang terbuka?" Ki Tanjak Gara mengangkat bahu, pertanda ia tidak tahu. "Kurasa kita harus memberitahukan kedatangan kita, Gara. Aku tidak ingin ada korban. Padahal, aku belum yakin kalau dalang semua kekejian pada perguruanmu dan tempat tinggalku adalah tindakan Wiratmaja...," ujar Ki Rajung lagi. "Kau benar, Rajung!" Ki Tanjak Gara terjingkat kaget. "Hei! Kalian semua dengarkan! Aku Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung! Datang ke sini untuk bertemu ketua kalian. Harap panggil dia kemari! Katakan Rajung dan Tanjak Gara ingin berbicara dengannya!" Keras sekali ucapan yang keluar dari mulut Ki Tanjak Gara, karena dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga dalam. Gema suaranya menggaung ke seluruh penjuru tempat itu. Bahkan, terdengar sampai ke lereng bukit. Tapi pemberitahuan Ki Tanjak Gara sama sekali tidak berguna. Puluhan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu, tidak mempedulikan ucapannya. Mereka terus saja meluruk maju. Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung saling pandang. Mereka tahu kalau saat ini sikap lunak sama sekali tidak bermanfaat Maka, jalan satu-satunya melakukan tindak kekerasan. Dan, itu akan dilakukan Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung. Kini rombongan Ki Tanjak Gara memperhatikan dengan waspada lawan-lawannya yang tengah meluruk ke arah mereka. "Heiyaaa...! Apa yang akan kalian lakukan?!" sentak Ki Rajung ketika melihat puluhan orang berseragam hitam itu tiba memecah, dan menjadi beberapa kelompok. Tiap-tiap kelompok mempunyai anggota berseragam hitam dalam jumlah yang tidak sama. "Mereka membuat kelompok-kelompok penyerangan," desis Ki Tanjak Gara kaget, setelah beberapa saat memperhatikan mereka. "Ah...!" desah Ki Rajung kaget. Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah mempunyai pengalaman tak terhitung, Ki Rajung tentu saja mengerti maksud ucapan rekannya. Tapi, tidak demikian dengan Randaka dan Gunawa. Mereka sama sekali tidak mengerti dan sama sekali tidak bertanya karena keadaan sudah tidak memungkinkan lagi. Karena jarak lawan terlampau dekat dengan mereka. "Hiyaaa...!" Dengan diawali teriakan-teriakan nyaring dan membahana, puluhan murid Perguruan Bukit Larangan mulai melancarkan serangan. Seperti sudah mereka sepakati bersama, kolompok-kelompok itu menyerang rombongan Ki Tanjak Gara tanpa awut-awutan. Kelompok yang beranggotakan lima orang menyerbu Randaka dan Gunawa. Dan, kelompok yang terdiri delapan orang menyerang Ki Rajung, dan kelompok yang beranggota dua belas orang menghadapi Ki Tanjak Gara. Rombongan Ki Tanjak Gara tidak tinggal diam. Mereka pun mengadakan perlawanan. Hanya Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung belum menggunakan senjata. Randaka dan Gunawa baru mengerti maksud ucapan kakek guru mereka. Lima orang yang menyerang mereka, melakukan penyerangan secara teratur. Meskipun jumlah mereka kecil, tapi mereka saling bantu-membantu dalam melakukan penyerangan, dan juga saling melindungi tatkala mendapat serangan balasan. Maka, tak mengherankan mereka dapat membuat Randaka dan Gunawa mati kutu. Kendati kepandaian lima orang itu berada di bawah kedua orang murid kepala Perguruan Tapak Malaikat itu. Randaka dan Gunawa benar-benar kewalahan. Mereka berdua tidak mampu bekerja sama. Karena itu, tanpa kesulitan mereka dikurung dan didesak lawan. Setiap serangan yang dilancarkan Randaka dan Gunawa selalu kandas, oleh dua orang lawan yang melakukan tangkisan secara berbarengan. Sebaliknya bila murid-murid Perguruan Bukit Larangan itu melancarkan serangan mereka senantiasa kelabakan. Tak sampai sepuluh jurus, Randaka dan Gunawa terdesak hebat. Sementara pertarungan lain di arena, murid-murid Perguruan Bukit Larangan belum mampu mendesak lawan. Padahal, kelompok ini memiliki kepandaian perorangan yang berada di atas anggota yang mengeroyok Randaka dan Gunawa. * * * * * * * * DELAPAN Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung memang belum sungguh-sungguh mengadakan perlawanan. Mereka tampak lebih memusatkan perhatian pada inti gerakan lawan. Jadi, kedua orang itu hanya mengelak selama dalam pertempuran. Semua itu berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan amat tinggi dan jauh berada di atas lawan. "Akh...! Akh...!" Dua lolong kesakitan yang saling susul menyusul membuat Ki Tanjak Gara terkejut bukan kepalang. Secepat kilat ia menolehkan kepala ke arah asal suara. Terlihat rasa cemas membayang di wajahnya. Kecemasan Ki Tanjak Gara sangat beralasan, Karena sepasang matanya menangkap tubuh Randaka dan Gunawa terhuyung-huyung. Tampak darah segar mengalir dari perut dan pinggang mereka yang terluka. Melihat dari banyaknya darah yang keluar, bisa diketahui kalau luka mereka amat parah! Ki Tanjak Gara menggeram. Dia murka bukan kepalang, ketika melihat tubuh Randaka dan Gunawa roboh ke tanah, dan tak bergerak lagi. Tubuh bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini meluncur ke arah para pengeroyok pewaris ilmunya. Di dalam cekaman marah yang berkobar-kobar, Ki Tanjak Gara menghunus pedang dan langsung melancarkan serangkaian serangan bertubi-tubi ke arah lima orang pengeroyok Randaka dan Gunawa. Dengan diiringi suara desingan nyaring yang menyakitkan telinga, pedang Ki Tanjak Gara meluncur. Lima orang itu segera membentuk kedudukan. Tiga di antara mereka, secara bersama-sama, langsung memapak serangan yang datang. Sedangkan dua orang lagi bersiap melancarkan serangan susulan. Tetapi, kali ini mereka terkecoh! Begitu pedang dan golok-golok itu berbenturan, tangan mereka seperti lumpuh dan senjata-senjata yang digenggam terlepas dan berjatuhan di tanah. Saat itulah kaki Ki Tanjak Gara bergerak cepat melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah dada tiga orang musuhnya. Cepat bukan main serangan itu. Apalagi serangan itu datang secara tiba-tiba, sehingga ketiga orang murid Perguruan Bukit Larangan itu tak mampu menghindari. Dan.... Bukkk, bukkk, bukkk...! Telak dan keras sekali tendangan Ki Tanjak Gara mengenai sasaran. Tubuh ketiga orang itu langsung terjungkal jauh ke belakang. Suara berderak keras dari tulang-tulang yang hancur berantakan terdengar manakala kaki Ki Tanjak Gata mengenai dada ketiga orang itu. Mengerikan sekali pemandangan yang terlihat Darah segar menyembur keluar dari mulut mereka, membasahi tanah sepanjang tubuh ketiga orang murid Perguruan Bukit Larangan itu melayang. Dan, nyawa mereka pun terbang seketika tanpa ada suara keluhan sedikit pun. Ki Tanjak Gara benar-benar sudah tidak ingat apa-apa lagi. Yang ada di benaknya membalaskan kematian cucu muridnya. Dan, itulah yang kini dilakukannya. Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, ia langsung melesat ke arah dua orang lawannya yang masih tersisa. Kedua orang murid rendahan, itu tak mampu bertahan dari amukan Ki Tanjak Gara. Hanya sekali gebrak saja, nyawa mereka pun melayang ke alam baka. Ki Tanjak Gara benar-benar kesetanan. Delapan orang yang tadi menyerangnya segera ia buru dan langsung diterjangnya. Kini, ia tidak segan-segan lagi menjatuhkan tangan kejam pada mereka. Berbeda dengan Ki Tanjak Gara, Ki Rajung masih belum mau menjatuhkan tangan kejam. Walaupun demikian, tidak menyalahkan sikap rekannya. Maka, ia membiarkan Ki Tanjak Gara bertarung menghadapi para pengeroyoknya dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Beberapa jurus pertama, delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu memang agak menyulitkan Ki Tanjak Gara. Sehingga cukup lama pertarungan berlangsung sengit. Menginjak jurus ke sebelas, Ki Tanjak Gara yang sudah mempunyai pengalaman luas, mengetahui inti kerja sama lawan dan kelemahannya. Hasilnya, dalam beberapa gebrakan saja, kerjasama delapan orang itu menjadi porak-poranda. Satu demi satu mereka berguguruan disertai jeritan kematian menyayat. Andaikata tidak terkena pedang, tangan dan kaki Ki Tanjak Gara pun telah mengirim nyawa mereka ke akhirat. Tak lama kemudian, delapan orang itu roboh bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa. Pada saat yang bersamaan dengan tewasnya lawan terakhir Ki Tanjak Gara, Ki Rajung pun berhasil pula merobohkan lawan-lawannya. Tanpa mengambil nyawa seorang pun. "Tanjak Gara! Rajung! Kalian benar-benar biadab...!" Terdengar bentakan keras. Belum lagi gema suara itu lenyap, di hadapan Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung telah berdiri seorang kakek berwajah hitam. Pakaian dan ikat kepala yang dipakai sama dengan warna kulit wajahnya. "Kau yang biadab, Wiratmaja!" sembur Ki Tanjak Gara tak kalah keras. "Kalian telah melakukan dua macam kesalahan yang tidak bisa diampuni! Dan hukuman yang tepat untuk kalian adalah mati!" tandas Wiratmaja. "Pertama, kalian telah berani memasuki wilayah ini. Bahkan membawa orang luar! Padahal, kalian sudah tahu larangan itu. Kedua, kalian telah membantai murid-muridku! Bersiaplah, Tanjak Gara! Rajung! Atas nama guru, aku akan menghukum kalian!" "Kau kira aku takut padamu, Wiratmaja?!" sambut Ki Tanjak Gara lantang. Dan.... "Haaat...!" Ki Tanjak Gara meloncat dan menerjang Wiratmaja. Tanpa ragu-ragu, ia segera mengerahkan ilmu 'Tapak Malaikat' yang menjadi andalan pada. penyerangan pertama. Ki Tanjak Gara membuka serangan dengan gedoran kedua telapak tangannya. Angin menderu keras, pertanda kedahsyatan serangan yang dilancarkan. Namun Wiratmaja bersikap tenang. Meskipun begitu tidak berarti dia memandang rendah. Kendati terlihat belum siaga, tapi sebetulnya sekujur urat-urat syaraf dan otot-ototnya telah menegang. Dan, ketika serangan menyambar ke arahnya, dia segera menggerakkan tangan dan menyambut serangan lawan. Tampak kedudukan jari-jari kedua tangannya mirip dengan posisi lawan. Prattt...! Kedua belah pihak sama-sama terhuyung kebelakang ketika tangan-tangan mereka saling berbenturan. Hanya Wiratmaja yang terhuyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Ki Tanjak Gara terhuyung empat langkah ke belakang. Itu pun masih ditambah dengan seringai yang tampak di mulutnya. Jelas, ia merasa kesakitan akibat benturan itu. Tapi Ki Tanjak Gara sama sekali tidak peduli. Begitu kedudukannya berhasil diperbaiki, ia kembali melancarkan serangan susulan. Wiratmaja menyambut serangan itu dengan tak kalah semangat. Sehingga pertarungan antara dua orang saudara seperguruan itu pun berlangsung sengit. Ki Rajung hanya mengawasi jalannya pertarungan dengan hati tidak karuan. Dia belum yakin kalau Wiratmaja yang menjadi dalang dalam pembantaian terhadap murid-muridnya dan murid Perguruan Tapak Malaikat. Ingin dia mencegah pertarungan itu, dan menyuruh kedua orang itu menyelesaikan secara baik-baik. Tapi, dia tahu hal itu tidak akan mungkin terjadi. Wiratmaja dan Ki Tanjak Gara sama-sama memiliki watak keras, dan tak akan mungkin mereka mau menghentikan pertarungan. Itulah sebabnya Ki Rajung sama sekali tidak bisa berbuat apa pun, kecuali menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati cemas. Sementara itu, pertarungan antara Ki Tanjak Gara dan Wiratmaja berlangsung sengit. Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi, sehingga pertarungan berlangsung sangat cepat. Tak terasa pertarungan sudah memasuki jurus ke sembilan puluh. Begitu pertarungan memasuki jurus ke sembilan puluh satu Ki Tanjak Gara mulai terdesak hebat. Memang, Wiratmaja jauh lebih unggul daripada Ki Tanjak Gara, baik tenaga maupun kelincahan. Sebenarnya, sejak memasuki jurus keenam puluh bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu sudah terdesak. Hanya saja, belum terdesak hebat seperti saat ini. Bukkk...! "Akh...!" Ki Tanjak Gara memekik tertahan disertai semburan darah dari mulutnya ketika pukulan Wiratmaja menghantam telak dadanya. Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Tapi Ki Tanjak Gara pantang menyerah. Dengan menggertakkan gigi dia mencoba untuk bangkit. Namun.... "Huakkkh...!" Ki Tanjak Gara memuntahkan darah segar dari mulutnya, pertanda ia mengalami luka dalam. "Gara...!" teriak Ki Rajung kaget. Buru-buru kakek berwajah tirus ini melesat mendekat. Kemudian berdiri membelakangi tubuh Ki Tanjak Gara. Dia berdiri di tengah-tengah antara Wiratmaja dan kakek tinggi besar itu. Hal itu terpaksa dilakukan Ki Rajung ketika melihat Wiratmaja akan melakukan pukulan terakhir untuk Ki Tanjak Gara. "Rupanya kau tidak sabar untuk menunggu giliranmu, Rajung!" dengus Wiratmaja. Ki Rajung sama sekali tidak menyahuti ucapan Wiratmaja. Dia tahu tidak ada gunanya bersilat lidah. Wiratmaja sudah tidak bisa dicegah lagi. Pertarungan antara mereka berdua pun tak dapat dielakkan. Maka, ia pun menyiapkan ilmu 'Tinju Halilintar' andalannya. Rupanya Wiratmaja tidak sabar lagi. Dengan disertai teriakan menggeledek, dia melompat dan menerjang Ki Rajung. Sekali menyerang, kakek berwajah hitam ini telah melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dengan tendangan kaki kanannya. Ki Rajung segera melompat jauh ke belakang dan bersalto, sehingga serangan lawan mengenai daerah kosong. Dia sengaja melakukan hal itu, agar Ki Tanjak Gara selamat dari bahaya serangan lawan. Dan seperti sudah diduganya, Wiratmaja akan melanjutkan serangan kedua, maka Ki Rajung pun bersiap. Tak pelak lagi pertarungan pun kembali berlangsung sengit. Pertarungan kali ini tampak lebih seru dan meriah. Karena suara meledak-ledak seperti ada petir sungguhan terdengar setiap kali Ki Rajung mengepalkan kedua tangannya. Seperti juga pertarungan antara Ki Tanjak Gara dengan Wiratmaja. Pertarungan yang berlangsung ini pun, seru bukan kepalang. Kedua belah pihak sama-sama memiliki kepandaian tinggi. Setiap serangan yang mereka lancarkan menimbulkan suara deru angin yang keras sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu menjadi riuh. Sama halnya dengan Ki Tanjak Gara, Ki Rajung pun mau tidak mau harus mengakui keunggulan Wiratmaja. Kakek berwajah hitam itu memilikikelebihan dalam segala hal. Kalau saja Wiratmaja tidak habis bertempur dengan Ki Tanjak Gara yang telah menguras sebagian kemampuannya, mungkin Ki Rajung sudah bisa dirobohkan. Karena keadaan Wiratmaja yang sudah lelah, maka ketika pertarungan telah memasuki jurus yang ke seratus, Ki Rajung belum dapat dikalahkan. Kendati keadaan kakek berwajah tirus itu telah terdesak. "Haaat...!" Pada jurus ke seratus tiga, Wiratmaja memekik keras sambil melancarkan serangan. "Hiyaaat...!" Ki Rajung mengeluarkan teriakan pula sambil melancarkan serangan. Bukkk, bukkk...! Hantaman Wiratmaja dan pukulan Ki Rajung sama-sama mendarat di dada kanan masing-masing pihak. Akibatnya kedua tubuh tokoh sakti itu sama-sama terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Darah segar muncrat dari mulut mereka masing-masing. Wiratmaja dan Ki Rajung sama sekali tidak berusaha bangkit. Keduanya sadar kalau mereka menderita luka dalam. Yang dapat mereka lakukan hanyalah saling pandang dengan sorot mata penuh penasaran. "Ha ha ha...!" Terdengar suara tawa yang riuh dan keras membahana, pertanda suara itu didukung oleh pengerahan tenaga dalam. Ki Tanjak Gara, Ki Rajung, dan Wiratmaja sama-sama menolehkan kepala ke arah asal suara. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi mereka tahu kalau pemilik suara itu, orang-orang yang berkepandaian tinggi. Lagi pula jumlah mereka tidak seorang. Karena itu tiga nada suara tawa terdengar berbeda. Tampak oleh mereka tiga sosok tubuh berdiri dengan senyum mengejek. Pakaian dan ikat kepala yang mereka kenakah adalah seragam Perguruan Bukit Larangan. "Sss... siapa kalian?" tanya Wiratmaja kaget. Suaranya terdengar mendesis. Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara saling pandang, dalam jarak berjauhan. Ciri-ciri yang terdapat pada ketiga orang yang mengenakan seragam Perguruan Bukit Larangan itu persis dengan yang diberitahukan oleh Randaka dan Gunawa sebagai Algojo-Algojo Bukit Larangan. Tapi yang membuat heran kedua kakek sakti itu ketika mengetahui Wiratmaja tidak mengenal sama sekali ketiga orang itu. Padahal, jelas-jelas kalau ketiga orang itu mengenakan seragam Perguruan Bukit Larangan. Dan, dugaan jelek pun berkelebat di hati Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung. "Kau tidak mengenal mereka, Wiratmaja?" tanya Ki Rajung bernada khawatir. "Apakah mereka bukan orang perguruanmu?" Wiratmaja menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tidak mengenalnya. Mereka bukan orang Perguruan Bukit Larangan. Tapi mengapa mengenakan seragam perguruanku?" Wajah Ki Rajung kontan pucat pasi. Terutama sekali wajah Ki Tanjak Gara. Segumpal perasaan bersalah bersarang di dalam hatinya. "Kalau itu yang kau tanyakan bisa kujawab sekarang, Wiratmaja. Mereka mengenakan seragam Perguruan Bukit Larangan untuk mengadu domba kita," ujar Ki Rajung seraya menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada perguruan milik Ki Tanjak Gara dan rumah kediamannya. Wiratmaja mendengarkan semua cerita Ki Rajung dengan penuh perhatian. Sama sekali tidak diselaknya, hingga kekek berwajah tirus itu menyelesaikan cerita. Dan, selama Ki Rajung bercerita, wajah Wiratmaja berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah. "Terkutuk...!" maki Ketua Perguruan Bukit Larangan dengan suara keras. "Ha ha ha...!" Tiga sosok tubuh yang tidak lain adalah Gurida, Sanca Kala, dan Pergola tertawa tergelak mendengar cerita Ki Rajung. "Kau cerdas juga, Rajung!" puji Gurida dengan suara keras dan mengguntur. "Tapi, sayang sekali kesadaranmu terlambat. Sehingga tidak ada gunanya lagi! Karena kalian semua akan kami bunuh!" "Keparat! Mengapa kau berlaku sekeji itu! Bukankah kami sama sekali tidak mempunyai urusan denganmu!" tandas Ki Rajung penasaran. "Siapa bilang?! Kalian dan aku tidak mempunyai urusan!" sergah Sanca Kala dengan suara khasnya yang melengking nyaring seperti ringkikan kuda. "Kami dan kalian bertiga punya urusan. Malah sebuah urusan yang sangat besar!" "Ya! Itulah sebabnya kami bertekad untuk melenyapkan kalian!" sambung Pergola. Wiratmaja, Ki Tanjak Gara, dan Ki Rajung saling pandang. Sepasang mata mereka sama-sama memancarkan ketidak-mengertian. "Kami ingin tinggal di tempat ini. Tempat yang menjadi hak kami!" ujar Sanca Kala keras. "Tutup mulutmu, Keparat! Tempat ini adalah milik kami bertiga! Warisan dari guru kami!" sergah Wiratmaja gusar mendengar ucapan Sanca Kala. "Apakah guru kalian memberikannya?" tanya Pergola bernada mengejek. Merah wajah Wiratmaja. "Memang tidak. Tapi..., dia menyuruh kami menjaganya...," jawab Ketua Perguruan Bukit Larangan terbata-bata. "Nah! Hanya menjaganya! Sedangkan kami malah diwarisi! Orang yang berhak atas tempat ini, yang telah mewariskan kepada kami!" tegas Sanca Kala penuh rasa menang. "Bohong! Guru kami tidak memiliki murid sama sekali, kecuali kami bertiga!" sergah Ki Tanjak Gara. "Siapa yang bilang kami murid gurumu! Kami memang bukan murid gurumu! Kami murid putra gurumu. Dan putra gurumu itulah yang telah mewariskan tempat ini pada kami!" Ki Tanjak Gara, Wiratmaja,dan Ki Rajung saling pandang penuh rasa bingung. Guru mereka punya anak? Mengapa mereka sama sekali tidak mengetahuinya? Bukankah mereka telah menjadi murid sejak berusia delapan tahun? Tapi, mengapa mereka tidak mengetahuinya? "Percuma saja kau mengobral bualanmu itu, Keparat! Kami tidak akan percaya!" tandas Wiratmaja keras. "Kalau beliau mempunyai anak, pasti kami akan mengetahuinya. Dan, guru kami pun pasti akan memperkenalkan anaknya." Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara menganggukkan kepala, membenarkan bantahan Ketua Perguruan Bukit Larangan itu. "Kalian tidak akan mengenalnya, karena guru kalian sama sekali tidak mau memperkenalkannya!" tandas Gurida keras. "Mustahil!" sergah Ki Tanjak Gara keras. "Tidak mungkin beliau bersikap demikian!" "Mengapa tidak?!" kali ini Pergola yang menyahuti. "Anaknya itu cacat tubuh dan pikiran! Sebelah kakinya dan sebelah tangannya lebih kecil dari yang lainnya. Itulah sebabnya dia tidak memperkenalkan kepada kalian. Dia merasa malu sebagai seorang tokoh sakti mempunyai keturunan seperti itu! Dan, karena takut kesaktiannya akan punah, dia memungut kalian bertiga sebagai murid! Sementara anaknya sendiri disembunyikan! Dan kalian tahu di mana ia sembunyikan? Di tempat yang tidak boleh kalian kunjungi. Ruang semadi guru kalian!" "Bohong! bantah Wiratmaja keras." Sanca Kala tersenyum mengejek. "Rupanya bukan hanya kepalamu saja yang hitam, Wiratmaja. Tapi otakmu pun keruh sehingga tidak bisa berpikir! Apakah kalian tidak menemui kejanggalan pada sikap guru kalian, sejak dulu?!" Ucapan itu membuat Wiratmaja, Ki Rajung, dan Ki Tanjak Gara saling pandang. Memang, dulu mereka sering melihat keanehan pada sikap guru mereka. Wajah sang guru selalu murung, dan sering terlihat merenung seperti ada beban berat yang dipikirkannya. Dan, lebih aneh, beberapa kali guru mereka terlihat membawa banyak sekali buah-buahan dan daging binatang-binatang hutan ke dalam ruang semadi. Bekal makanan yang dibawa guru mereka rasanya tak akan habis sampai sebulan. Tapi, anehnya belum sampai tiga hari kakek itu sudah keluar dari ruang semadi. Tak jarang guru mereka membawa pakaian-pakaian ke dalam ruang semadi. Dulu mereka tidak pernah berhasil menjawabnya. Apalagi mereka tidak pernah berani menanyakannya. Kini teka-teki yang ada dalam pikiran mereka selama ini mulai terjawab! "Karena anaknya itulah, dia melarang seorang pun menginjakkan kakinya ke tempat ini! Dan aku yakin, itulah yang diperintahkannya pada kalian semua! Apakah kalian mengetahui mengapa perintah itu dikeluarkan?!" sambung Sanca Kala lagi yang bertindak selaku juru bicara. Tanpa sadar Ki Tanjak Gara, Wiratmaja, dan Ki Rajung menggelengkan kepala. "Karena dia takut orang-orang akan melihat anaknya. Seorang anak yang serba kurang. Cacat tubuh dan juga cacat pikiran! Dan, kami adalah pengasuh-pengasuh anak itu!" sela Gurida. "Kalau kalian menginginkan tempat ini, aku tidak keberatan," ucap Wiratmaja bernada keluh. Dia percaya semua cerita yang didengarnya itu benar. "Tapi mengapa harus mengadu domba kami!" "Itulah pesan terakhir majikan muda kami sebelum meninggal. Dia merasa iri karena ayahnya, tidak mempedulikan dirinya. Sebaliknya kalian, orang-orang luar dibimbingnya!" "Jadi majikan kalian itu sudah meninggal dunia?!" tanya Ki Rajung setelah terpekik. Ada rasa kasihan menyelinap di hati lelaki berwajah tirus itu, ketika mengingat nasib yang diterima putra gurunya. "Ya!" Sanca Kala menganggukkan kepala. "Dia meninggal karena sakit. Mungkin cacat tubuh dan pikiran. Itu yang menyebabkan ia meninggal secara mengenaskan. Dan, hanya kami bertiga yang menemaninya." "Lalu..., ayahnya ke mana?" tanya Ki Tanjak Gara terharu. "Guru kalian tidak mengetahui. Karena majikan kami menemukan sebuah ruang rahasia yang tidak diketahui ayahnya. Di situlah majikan kami tinggal," jelas Sanca Kala. Wiratmaja, Ki Rajung, dan Ki Tanjak Gara saling pandang dengan hati terharu. Sungguh menyedihkan sekali nasib putra guru mereka. Sekarang mereka tahu, kenapa guru mereka pergi tanpa sebab. Rupanya ia telah kehilangan putranya. "Apakah...,kalian pun disembunyikan oleh guru kami ke ruang semadi itu?" tanya Ki Tanjak Gara. Sanca Kala menggelengkan kepala. "Guru kalian sama sekali tidak mengenal kami. Karena kami adalah pemburu yang diselamatkan oleh majikan kami, sewaktu hampir menjadi santapan harimau. Sebagai balas budi kami ikut tinggal bersamanya. Menemani majikan kami sampai beliau meninggal." "Bukankah menurut cerita kalian, putra guru kami cacat pikiran? Tapi mengapa bisa menyelamatkan kalian?" tanya Ki Rajung heran. "Cacat pikiran yang dideritanya hanya muncul kadang-kadang saja. Kalau tengah kumat dia menjerit-jerit keras sambil memegangi kepala. Selain itu, sikapnya sangat baik terhadap kami." "Kalian mengaku pemburu-pemburu, tapi mengapa memiliki kepandaian setinggi ini? Dan menurut cerita muridku yang kalian bunuh, kalian menguasai ilmu aliran perguruan kami!" tanya Ki Tanjak Gara penasaran. "Kami mempelajari kepandaian itu dari kitab-kitab yang ada di tempat pengasingan majikan kami. Rupanya, meskipun kecewa, guru kalian masih berbaik hati memberikan kitab-kitab ilmu silat untuk dipelajari oleh putranya, di samping diturunkannya sedikit ilmu silat pada majikan muda kami. Dengan ilmu itulah dia menyelamatkan nyawa kami dari ancaman maut harimau!" "Mengapa aku atau murid-muridku sama sekali tidak melihat putra guru kami? Padahal untuk memasuki ruang semadi kalian harus melalui tempat yang dijaga ketat," Wiratmaja mengajukan rasa herannya. Sanca Kala terkekeh. "Ruang rahasia yang ditemukan majikan kami, ternyata berhubungan dengan sebuah gua di bukit itu. Dan, dari situlah kami keluar masuk!" Wiratmaja, Ki Rajung, dan Ki Tanjak Gara terdiam. "Sudahlah, Sanca Kala! Kurasa sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengirim nyawa mereka semua ke alam baka!" sela Gurida yang sudah merasa tidak sabar lagi. Pergola menganggukkan kepala membenarkan ucapan rekannya. Mau tidak mau Sanca Kala pun menghentikan keterangannya. "Sekarang terimalah kematian kalian...!" Setelah berkata demikian, Pergola, Sanca Kala, dan Gurida melangkah menghampiri tubuh tiga tokoh sakti yang tergolek tak berdaya. Nasib tiga orang sakti yang sama-sama berasal dari satu perguruan itu sudah bisa dipastikan! Di saat gawat itu, melesat dua sosok bayangan ke arah tiga Algojo Bukit Larangan itu. Yang satu berwarna ungu, sedangkan yang satu lagi berwarna putih. Kedua sosok itu langsung melancarkan serangan ke arah tiga orang berpakaian hitam itu. Pergola, Sanca Kala, dan Gurida tentu saja tidak mau mati konyol. Buru-buru mereka melempar tubuh ke samping dan bergulingan menjauh. Serangan dua sosok bayangan itu pun mengenai tempat kosong. Sosok bayangan ungu dan putih itu sama sekali tidak mengejar mereka. Melainkan mendaratkan kaki di tanah, dan berdiri membelakangi tubuh tiga orang kakek sakti. "Dewa Arak...!" seru Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara berbareng. Memang, dua sosok bayangan itu tidak lain adalah Arya Buana dan Melati. Rupanya mereka memutuskan untuk menuju ke Bukit Larangan. Barangkali saja ada yang dapat mereka lakukan. Paling tidak, mereka ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah antara saudara seperguruan. Sungguh sama sekali tidak disangka kalau mereka tiba pada saat yang tepat Arya membalikkan tubuh dan melemparkan seulas senyum pada Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung. Sedangkan Wiratmaja hanya memandang dengan sepasang mata terbelalak. Dewa Arak! Sama sekali tidak menduga kalau dirinya akan bertemu dengan tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu. Anehnya, mengapa Dewa Arak seperti telah mengenal Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara. Karena tahu kebingungan yang melanda hati Wiratmaja, Ki Rajung menceritakan pertemuan mereka dengan Dewa Arak. Dan kakek berwajah hitam itu pun mulai mengerti mengapa Dewa Arak dapat mengenal dua orang saudara seperguruannya. Sedangkan Dewa Arak dan Melati sudah tidak bisa memperhatikan tiga orang kakek sakti itu lagi, karena tiga orang lawannya telah menerjangnya. Pergola, Sanca Kala, dan Gurida sangat murka karena tindakan mereka dihalangi. Dalam kemarahannya, ketiga orang berpakaian serba hitam itu langsung menyerang berbareng, tanpa ragu-ragu. Gurida dan Sanca Kala menyerbu Dewa Arak, sedangkan Pergola meluruk ke arah Melati. Tiga lelaki yang mengaku sebagai Algojo Bukit Larangan itu, langsung mengeluarkan ilmu andalan mereka masing-masing. Dewa Arak dan Melati pun tidak ingin bersikap sungkan-sungkan. Mereka segera mengeluarkan ilmu andalannya. Gluk.... Gluk.... Gluk..! Suara tegukan terdengar ketika Dewa Arak menuangkan guci araknya ke mulut. Suara itu terdengar saat cairan memabukkan itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian hawa hangat menjalari perut pemuda berambut putih kerperakan itu. Lalu, merayap ke kepala, dan membuat kedua kaki Dewa Arak tidak tetap lagi berdiri di tanah. Ini menjadi pertanda, dia telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' nya. Pada saat itulah, serangan Gurida dan Sanca Kala meluncur. Gurida menggulingkan tubuh ke depan dan menghampiri Dewa Arak. Begitu jarak mereka mendekat, kaki kanannya segera bergerak menyapu. Sedangkan Sanca Kala melompat ke udara, dan bersalto. Dan dari atas, ia mengibaskan golok ke arah batang leher Dewa Arak. Menghadapi serangan beruntun seperti itu, Dewa Arak tidak gugup. Dia segera melompat ke belakang, sehingga sapuan Gurida mengenai tempat kosong. Pada saat bersamaan, gucinya diangkat ke atas kepala untuk menangkis serangan golok Sanca Kala. Dan.... Klanggg...! Benturan keras tedengar memekakkan telinga. Beberapa tetes arak memercik dari mulut guci saking kuatnya benturan itu terjadi. Dewa Arak yang berada dalam kedudukan kurang menguntungkan, tubuhnya terhuyung ke belakang. Hal serupa menimpa Sanca Kala. Tubuhnya terlontar kembali ke belakang. Bahkan, tangannya yang menggenggam guci terasa hampir lumpuh. Hal itu pertanda kalau tenaga Dewa Arak berada di atas lawan. Meskipun demikian. Sanca Kala langsung melancarkan serangan lanjutan. Seperti juga Gurida, laki-laki berkepala botak itu telah melancarkan serangan lebih dulu. Sesaat kemudian, Dewa Arak harus menghadapi pengeroyokan Sanca Kala dan Gurida yang memiliki kerja sama luar biasa. Mereka mampu saling dukung dalam serangan dan saling melindungi ketika diserang. Pertarungan pun berlangsung menarik dan sengit. Sementara itu, arena pertarungan lain, tampak Melati tengah terlibat pertarungan sengit pula. Meskipun pertarungan mereka tidak sesengit pertarungan antara Dewa Arak dan kedua orang lawannya. Dalam penggunaan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya, Melati berusaha keras mendesak lawannya. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar, dan kakinya yang sesekali melancarkan serangan tak terduga-duga, memaksa Pergola berjuang keras agar tidak bisa ditakluk-kan lawan. Ki Tanjak Gara, Ki Rajung, dan Wiratmaja menyaksikan jalannya pertarungan dengan penuh minat. Sepasang mata mereka berganti-ganti mengawasi pertarungan. Kadang melihat ke arah pertarungan Dewa Arak, dan terkadang menyaksikan pula pertarungan Melati. Tapi mata mereka lebih terpaku pada pertarungan Dewa Arak. Memang, pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak dan dua orang lawannya benar-benar luar biasa menarik. Dan seru! Kerja sama yang rapi dari lawannya, membuat pertarungan berjalan alot, Dewa Arak harus mengerahkan seluruh kemampuannya kalau tidak mau digilas lawan. Kerja sama antara Gurida dan Sanca Kala benar-benar luar biasa. Mereka mampu saling melindungi jika mengalami desakan. Sebaliknya dalam penyerangan, mereka bisa saling memperkuat. Di dalam pandangan mata mereka berdua. Tapi dalam kenyataan mereka seperti dikendalikan oleh satu pikiran. Mereka bekerja sama demikian kompak! Diam-diam tiga orang kakek sakti, yang tengah tergolek tak berdaya harus mengakui, kalau diri mereka tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan Gurida dan Sanca Kala. Dewa Arak dipaksa bekerja keras untuk menghadapi kedua musuhnya. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya merupakan satu kesatuan yang saling tunjang-menunjang untuk menahan setiap serangan lawan. Sebaliknya, dapat pula menggilas habis setiap pertahanan lawan. Karena tokoh-tokoh yang bertarung memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, maka pertarungan pun berlangsung cepat. Tak terasa pertarungan mereka sudah hampir mencapai seratus jurus. Tapi, selama itu belum nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan mereka tetap berlangsung imbang. Menginjak jurus ke seratus, di benak Dewa Arak timbul sebuah dugaan. Selama lawannya masih bersama-sama, akan sulit untuk dirobohkan. Satu-satunya jalan harus memisahkan mereka berdua. Setelah mengambil keputusan demikian, Dewa Arak memutar otak. Siapa di antara kedua orang itu yang harus dirobohkannya? Setelah menimbangnimbang, ia memilih Sanca Kala. Posisi Sanca Kala, lebih mudah untuk didesak daripada posisi Gurida yang selalu berada di bawah. Segera Dewa Arak mempraktekkan keputusannya, ketika Gurida melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah perut dan dada dari arah bawah. Dan, Sanca Kala menusukkan goloknya dari atas ke arah dada lawan. Dewa Arak langsung menotolkan kakinya, sehingga tubuhnya melinting ke atas. Arahnya menyerong ke belakang, sehingga kedua serangan lawan mengenai tempat kosong. Di saat itulah, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tubuhnya berputar beberapa kali di udara, dan gucinya diayunkan ke arah kepala Sanca Kala. Kontan lawan menjadi terkejut dengan serangan yang tidak diduganya sama sekali. Dengan agak gugup, dipapaknya serangan guci itu dengan goloknya. Klanggg...! Saat itulah Dewa Arak menghentakkan tangan kirinya, melancarkan serangan dengan jurus 'Pukulan Belalang'. Wusss...! Deru angin keras berhawa panas menyengat meluruk ke arah Sanca Kala. Dia terperanjat dan berusaha semampu mungkin mengelak. Tapi, kedudukan tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkannya. Maka.... Bresss...! Tubuh Sanca Kala kontan melayang ke belakang disertai jerit kesakitan. Dia tewas seketika sebelum tubuhnya jatuh berdebuk di tanah dengan tubuh menghitam dan hangus! Bau sangit daging yang terbakar pun tercium. Gurida meraung keras melihat kematian rekannya. Segera ia menggulingkan tubuh dan memburu Dewa Arak yang akan mendarat. Begitu kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, kaki Gurida meluncur ke arah pusar lawan. Tapi Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu. Ia segera menggerakkan tangan kirinya. Tappp...! Kaki Gurida tercekal tangan Dewa Arak. Lalu, diputar beberapa saat lamanya. Kemudian ia melemparkan tubuh itu dengan keras. Wuttt.... Crokkk...! Kepala Gurida kontan hancur berantakan ketika membentur pohon besar. Darah pun menyembur bercampur otak dari batok kepalanya yang pecah. Hati Pergola terguncang bukan kepalang. Meskipun tidak melihat kematian rekannya. Tapi dari suara lolong mereka, dia tahu apa yang telah terjadi. Padahal, saat itu keadaannya tengah terdesak hebat. "Hiaaat..!" Melati berteriak keras. Tangan kanannya disampokkan ke arah pelipis Pergola. Namun, meskipun agak gugup, laki-laki bertubuh pendek kekar itu berhasil mengelak dengan membungkukkan badan. Tapi benar-benar tidak diduga oleh Pergola. Kalau serangan intinya adalah tangan kiri. Maka, tangan itu pun meluncur cepat menyampok ke arah pelipis. Dan.... Prokkk...! Tanpa sempat melolong lagi, tubuh Pergola ambruk ditanah. Dia tewas seketika dengan tulang pelipis hancur. Melati menatap kearah Arya yang tengah menatapnya. Kemudian sepasang muda-mudi ini saling melempar senyum. Sementara itu, Ki Rajung, Ki Tanjak Gara, dan Wiratmaja pun tersenyum lega melihat ketiga lawan tangguh itu berhasil dibinasakan Dewa Arak dan Melati. Waktu terus berlalu. Matahari naik semakin tinggi. Namun, sekelompok awan yang berarak menutupinya, sehingga keadaan di situ tidak terasa panas. Alam tampaknya menyambut kemenangan pasangan pendekar muda itu.
SELESAI
|