Dewa Arak - Bencana Patung Keramat
Hari sudah agak siang. Sang Surya pun sudah mulai meninggi. Angin yang berhembus sudah tidak nikmat lagi dihirup ke dada, tapi cukup membuat semak-semak dan daun pepohonan di Hutan Jati bergoyang-goyang.
"Nah, kurasa tempat ini cocok, Kang. Sepi! Kecil sekali kemungkinan kita akan mendapatkan gangguan," sebuah suara kecil dan melengking nyaring menyeruak mengatasi hembusan angin di Hutan Jati itu.
Suara itu ternyata berasal dari mulut gadis cantik berpakaian serba putih. Rambutnya hitam panjang dan dibiarkan melambai-lambai tertiup angin. Gadis itu tidak sendirian. Di sebelahnya tampak seorang pemuda berpakaian ungu.
Seperti si gadis, pemuda itu pun memiliki rambut panjang. Hanya saja tidak hitam, melainkan putih keperakan. Indah sekali kelihatannya. Pemuda yang berambut putih keperakan tak langsung menanggapi ucapan gadis berpakaian putih itu. Dihentikan langkahnya, kemudian diedarkan pandangannya ke sekeliling. Tapi yang nampak hanya pepohonan besar dan rimbun daunnya.
"Kau benar, Melati. Tempat ini memang cocok. Jauh dari keramaian dan terlindung. Seperti katamu tadi, kecil sekali kemungkinan akan adanya gangguan," sambut pemuda berambut putih keperakan, menyetujui usul yang diajukan Melati, gadis berpakaian putih itu.
Sekarang sudah bisa diketahui, pemuda berambut putih keperakan itu tak lain Arya, yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak. Melati tersenyum manis mendengar ucapan persetujuan kekasihnya.
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Kang?! Mari kita mulai," ajak Melati penuh semangat.
"Ayolah!" sahut Arya mengalah.
Melati telah berjalan mendahului, lalu keduanya nampak mengayunkan kaki menuju sebatang pohon besar yang berada di dekat situ. Lagi-lagi Melati mendahului duduk di akar pohon yang menyembul ke atas tanah. Terlihat jelas kalau gadis berpakaian putih itu sudah merasa tidak sabar.
"Hhh...!" Arya menghela napas lebih dulu sebelum memulai ucapannya. "Sebenarnya..., mengapa kau berkeinginan memanggil naga merah di alam gaib itu, Melati?"
"Yang pertama, aku ingin menambah ilmuku. Kusadari betapa banyak orang sakti di dunia persilatan. Sudah tidak terhitung banyaknya aku bertemu dengan tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian di atasku. Oleh karena itu timbul keinginanku untuk menambah ilmu," jawab Melati setelah tercenung beberapa saat lamanya.
"Hm..., mengapa tak menempuh dengan cara latihan saja, Melati? Dengan sering berlatih dan bersemadi, kemampuanmu akan meningkat. Dan itu sudah pasti! Akan semakin kuat tenaga dalammu dan semakin lincah gerakanmu. Dengan sendirinya tingkat kepandaianmu akan bertambah!" jelas Arya.
"Buru-buru amat Kakang memberi nasihat?" selak Melati, berpura-pura merengut. "Aku kan belum mengutarakan semuanya."
"O ya, aku lupa mungkin ada alasan lain hingga kau berkeinginan memanggil naga merah di alam gaib! Coba utarakan, Melati!"
"Aku tahu, Kang. Bahkan tahu pasti, kalau dengan sering berlatih dan bersemadi, kemampuanku akan meningkat. Tapi, untuk melakukannya sulit sekali. Selalu saja ada masalah yang kuhadapi. Sehingga membuatku tidak sempat untuk berlatih. Ini alasan kedua, Kang."
Melati menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Alasan ketiga, karena rasa ingin tahuku. Bagaimana rasanya kalau tubuh kita termasuki makhluk gaib itu? Bagaimana rupa naga itu?" lanjut Melati. "Kuakui, di antara ketiga alasan, yang lebih membuatku bersikeras untuk memasukkan naga di alam gaib ke dalam diriku adalah alasan yang ketiga."
Keadaan langsung hening ketika Melati menghentikan ucapannya, dan Arya belum memberikan tanggapan. Yang terdengar hanya suara binatang-binatang penghuni hutan, dan gemerisik dedaunan serta semak-semak dihembus angin.
"Aku tak menyalahkan kalau kau punya keinginan demikian, Melati. Aku sendiri kalau dalam keadaan seperti dirimu kemungkinan akan melakukan tindakan yang sama," ujar Arya bijaksana.
"Lalu..., bagaimana, Kang? Apa keinginanku bisa kau kabulkan?!" tanya Melati ingin mengetahui tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tentu saja! Jangankan hanya permintaan seperti itu, yang lebih besar lagi pun akan kuusahakan asal kau yang meminta!" mantap dan tegas jawaban yang keluar dari mulut Dewa Arak. "Kapan kau ingin melakukannya?!"
"Sekarang, Kang!" tegas jawaban Melati.
"Baik, kalau itu yang kau mau! Nah, sekarang dengarkan baik-baik ucapanku ini, Melati!"
Sampai di sini Arya sengaja menghentikan ucapannya. Maksudnya memberi kesempatan pada Melati agar mempersiapkan diri mendengar kelanjutan ucapannya.
"Sebelum membawa masuk naga merah di alam gaib itu ke dalam tubuhmu, perlu kau ketahui secara pasti keberadaannya dan hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan naga merah itu."
Untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak menghentikan ucapannya. Dan itu dilakukannya dengan sengaja, agar Melati bisa memahami setiap kata-katanya.
"Naga merah itu bukan sejenis makhluk ataupun roh, Melati. Dia merupakan sebuah ilmu. Mungkin perlu kujelaskan sedikit. Di alam gaib, setiap ilmu itu mempunyai bentuk. Hanya saja tidak bisa kita lihat. Dan karena ilmu, naga merah itu bisa kita bawa masuk ke dalam tubuh kita. Kau bisa mengerti uraianku ini, Melati?!"
Melati menganggukkan kepala. Memang, bisa ditangkapnya penjelasan kekasihnya, meskipun tidak begitu jelas. Tapi secara kasar Melati mengerti maksud pembicaraan Arya.
"Berbeda dengan ilmu-ilmu yang dimiliki orang lain, ilmu yang kita miliki, utuh bentuknya. Ilmuku, 'Belalang Sakti', di alam gaib berbentuk seekor belalang raksasa. Demikian pula dengan ilmu 'Cakar Naga Merah' milikmu, di alam gaib bentuknya berupa seekor naga berwarna merah darah. Sedangkan ilmu-ilmu yang dimiliki orang lain rata-rata tidak mempunyai bentuk di alam gaib," sambung Dewa Arak menjelaskan.
"Mengapa demikian, Kang?! Mengapa hanya ilmu kita yang mempunyai bentuk di alam gaib? tanya Melati heran, setelah terlebih dulu mengernyitkan kening.
"Karena cara pengambilan ilmu itu berbeda. Guruku..., yang berarti gurumu juga, mengambil ilmu secara utuh dari belalang dan naga merah yang ada di alam gaib. Hal ini tidak rumit baginya. Karena beliau telah lebih dahulu menguasai seluk-beluk alam gaib. Bahkan, ilmu-ilmu yang dimilikinya sebagian besar merupakan ilmu gaib!" jawab Arya panjang lebar agar Melati jelas. "Mengerti, Melati?"
"Mengerti, Kang."
Arya tersenyum lebar. "Kalau begitu, sekarang kita masuk pada pokok persoalan. Yaitu, bagaimana caranya memasukkan naga merah di alam gaib itu ke dalam dirimu," lanjut Dewa Arak.
"Mudahkah menarik naga merah ke dalam diri kita, Kang?!" tanya Melati ingin tahu.
Pada sepasang mata yang berbentuk indah milik gadis berpakaian putih itu, terlihat ada kilatan rasa gentar. Hal ini wajar saja. Karena dirinya memang belum tahu pasti kejadian sebenarnya.
"Dibilang mudah, tidak. Dikatakan sulit.., sebenarnya juga tidak. Jadi, kira-kira setengah sulitlah. Sedangkan modal terpenting agar usaha yang dilakukan dapat berhasil yaitu dengan kemauan keras! Lalu yang kedua, penekanan terhadap alam bawah sadar kita!" jelas Dewa Arak.
Sampai di sini, pemuda berpakaian ungu itu teringat kembali akan pengalamannya ketika berusaha memasukkan belalang raksasa ke dalam dirinya. (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak, dalam episode: Dalam Cengkeraman Biang Iblis). Membutuhkan kesabaran yang tinggi untuk bisa memasukkan belalang raksasa itu ke dalam dirinya.
"Jadi..., apa yang harus kulakukan, Kang?" selak Melati. Nampaknya gadis itu merasa belum jelas dengan keterangan kekasihnya. Dia masih belum tahu, bagaimana caranya memasukkan naga merah ke dalam dirinya.
Dewa Arak tercenung sebentar untuk mencari kata-kata yang tepat guna memulai nasihatnya. "Pertama-tama, buang semua pikiran lain yang ada di benakmu. Kemudian, pusatkan perhatian pada naga merah yang akan kau bawa masuk ke dalam dirimu. Panggillah dia dalam hati, agar masuk ke dalam dirimu. Mengerti, Melati?!"
Gadis berpakaian putih hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sama sekali tak disangka kalau cara untuk mendapatkan naga merah demikian mudahnya. Memusatkan pikiran, bagi orang yang memiliki kepandaian seperti Melati bukan hal yang sulit. Betapa tidak?
Semadi, yang dilakukan sejak mempelajari ilmu silat, telah mengajarkan cara-cara pemusatan pemikiran. Bagaimana setiap kali dalam menarik napas, dibayangkan kalau udara yang dihirup mengandung kekuatan dahsyat. Yang ada sebenarnya berasal dari tiada, itulah prinsipnya!
"Boleh kumulai sekarang, Kang?" Melati meminta pendapat dengan penuh gairah Arya menganggukkan kepala pertanda menyetujuinya.
Seketika itu pula wajah Melati berubah cerah. Dengan senyum manis terkembang di bibir, dirinya mulai duduk bersila, mengambil sikap seperti tengah bersemadi. Namun, kedua tangannya tidak terletak di depan dada, melainkan di atas lutut. Memang, Melati bukan hendak bersemadi, tapi memusatkan pikiran agar dapat memanggil naga merah.
Tak lama kemudian, Melati mulai tenggelam dalam alun pikirannya. Segenap hati, perasaan, dan pikiran dicurahkan untuk naga merah. Suasana menjadi hening, karena tidak ada lagi di antara mereka yang bersuara.
Dewa Arak pun berdiam diri di tempatnya. Jangankan berbicara, bergerak pun tidak. Pemuda berambut putih keperakan ini khawatir kalau gerakan yang dilakukan akan mengejutkan Melati. Bahkan, bernapas pun agak ditahan-tahan.
Waktu berlalu terasa demikian lambat bagi Dewa Arak. Apalagi berdiam diri begitu saja, tanpa ada yang harus dilakukan. Dengan sendirinya waktu pun berjalan seperti keong merayap. Lambat sekali!
Semula Dewa Arak mengarahkan pandangan ke tanah, tapi lama-kelamaan bosan sendiri. Maka biji matanya pun diedarkan ke sana kemari, memperhatikan sekelilingnya tanpa menggerakkan leher. Akhirnya bosan juga. Perhatian Dewa Arak kembali dialihkan. Kali ini ke tubuh Melati. Yang pertama kali dilihatnya wajah kekasihnya, tampak cantik bukan kepalang.
Dan dalam keadaan mata terpejam seperti itu, Melati seakan tengah menunggu Dewa Arak untuk berbuat sesuatu. Karuan saja, hal itu membuat jantung Arya berdetak kencang. Tenggorokannya pun dirasakan kering, dan susah-payah ditelan air liurnya. Di benak Arya mulai berputaran pikiran-pikiran indah.
Perhatian Dewa Arak mulai beralih. Dan hatinya langsung memuji, setiap kali sepasang matanya terpaku di satu titik. Mulai dari dahi Melati yang licin, putih, halus, dan terlihat begitu mulus. Lalu merayap turun ke pipi yang agak kemerahan, juga hidungnya yang bangir, bibir yang indah, ranum, terlihat menantang. Semua itu membuat jakun Dewa Arak turun naik.
Serentetan kata-kata pun muncul di relung hatinya, Melati memang seorang gadis yang memiliki kecantikan sempurna! Ada suatu dorongan kuat yang tiba-tiba membuat Dewa Arak mendekatkan wajahnya ke wajah Melati. Hati-hati sekali, pemuda berambut putih keperakan ini melaksanakan tindakannya. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit jarak antara dua wajah semakin dekat Arya lupa akan keinginannya semula untuk tak mengganggu kekasihnya.
Cuppp!
Pelan sekali mulut Arya menyentuh dahi Melati. Tapi, kecupan itu sudah cukup membuat gadis tersentak kaget dan segera menjauhkan tubuhnya. Raut wajahnya memancarkan keterkejutan yang amat sangat. Namun, ketika disadari hal yang telah terjadi, dan orang yang melakukannya, Melati menghembuskan napas lega.
"Hhh...! Kau mengejutkanku saja, Kang," ujar Melati pelan.
"Maaf, Melati! Aku..., aku tidak sengaja," sahut Dewa Arak terbata-bata karena gugup. Perasaan gugup muncul ketika teringat bahwa tindakannya telah mengganggu Melati. Usaha gadis berpakaian putih itu batal, dan tentu saja harus diulang dari semula.
"Ah..., tidak apa-apa, Kang," ucap Melati buru-buru karena tahu perasaan yang tengah berkecamuk di hati kekasihnya. "Lagi pula, aku sendiri memang sudah ingin menghentikannya. Untuk pertama kali kurasa cukup sampai di sini dulu. Perkenalan!" lanjutnya sambil tersenyum pada Dewa Arak.
Memang, cukup lama juga Melati tenggelam dalam alun pikirannya. Mulai dari matahari belumberada di atas kepala, sampai hampir condong ke barat!
"Maafkan aku, Melati! Aku telah membuat usahamu sia-sia. Ah...! Keinginan itu muncul begitu tiba-tiba. Dan aku tak sempat menyadarinya...," perasaan bersalah yang melanda belum juga lenyap dari hati Arya.
"Lupakanlah, Kang! Toh, usahaku sama sekali tak sia-sia. Lagi pula, masih ada kesempatan lainnya kan?"
Ada nada tantangan dalam ucapan itu, meskipun samar-samar. Namun, cukup untuk dapat ditangkap Arya.
"Kalau begitu...," ucapan pemuda berambut putih keperakan itu terhenti sebelum selesai.
"Kenapa, Kang...?!" tanya Melati sambil tersenyum menggoda.
Dewa Arak diam. Kelihatan hatinya merasa ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Kenapa sih, Kang...?!" rajuk Melati, tak sabar menunggu ucapan selanjutnya dari mulut kekasihnya.
"Bagaimana kalau kuteruskan tindakanku tadi. Hanya saja, kali ini dengan sepengetahuanmu?!" Arya nekat meneruskan ucapannya meskipun dengan suara bergetar dan serak karena malu bercampur ragu.
Tak ada tanggapan sama sekali dari Melati. Baik berupa ucapan maupun anggukan kepala. Gadis berpakaian putih itu hanya menundukkan kepala. Namun, Arya sama sekali tak khawatir melihat sikap yang ditunjukkan kekasihnya. Dirinya tahu kalau Melati tak marah padanya. Dia hafal benar bagaimana tanda-tanda kalau kekasihnya itu tengah marah.
Oleh karena itu, Arya yang sejak tadi sudah terbuai bayangan-bayangan nikmat yang melintas-lintas di pikirannya, tanpa ragu-ragu meneruskan tindakannya. Dengan perlahan-lahan dan hati-hati sekali, pemuda berambut putih keperakan mengulurkan tangannya. Kemudian, dengan jari telunjuk dipegangnya dagu Melati. Lalu diangkatnya secara perlahan-lahan dan begitu lembut.
Dan seperti yang diduga Dewa Arak, tak ada perlawanan sama sekali atas tindakan yang dilakukannya. Melati pasrah. Gadis berpakaian putih itu membiarkan saja tindakan kekasihnya yang memaksanya untuk saling bertatapan wajah.
Kemudian perlahan-lahan Dewa Arak mendekatkan wajah. Tetap tak ada tanggapan dari Melati. Bahkan, ketika akhirnya wajah Arya menyentuh wajahnya. Melati baru memberikan tanggapan ketika Arya mulai melumat bibirnya. Gadis berpakaian putih itu balas memagut dengan tubuh saling berangkulan erat.
Rupanya Arya benar-benar sudah kehilangan kesadarannya. Yang ada di benaknya hanya menuruti secara membuta, keinginan yang tak tertahankan. Ciuman dan kecupan yang semula hanya bersarang di wajah Melati, kini mulai merayap ke leher. Sehingga, membuat tubuh Melati menggeliat-geliat ke sana kemari karena rasa geli bercampur nikmat yang mulai melanda sekujur tubuhnya.
Tindakan Arya semakin menggila. Kini, kedua tangannya pun mulai bergerilya, berusaha melepaskan pakaian Melati. Dan Melati, yang juga sudah lupa daratan, membiarkan saja tindakan kekasihnya. Bahkan dirinya nampak membantu tangan Dewa Arak membuka pakaiannya.
Sudah dapat dipastikan segalanya akan terjadi, kalau saja tidak ada sesuatu yang tiba-tiba membuat Dewa Arak dan Melati tersentak kaget. Dan sesuatu itu adalah....
"Aaakh...!"
Jeritan panjang menyayat keluar dari mulut seseorang yang berada di ambang kematian, memecahkan kesunyian yang melingkupi Hutan Jati. Jeritan itulah yang membuat Dewa Arak dan Melati terkejut, dan seketika langsung menyadari ketidakpantasan sikap mereka.
"Ah..., eh..., ma... maafkan aku, Melati!" untuk yang kesekian kalinya Arya mengeluarkan ucapan minta maaf. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu memerah karena perasaan malu yang mendera, setelah menyadari ketidakpantasan kelakuannya barusan.
"Ti... tidak apa-apa, Kang," jawab Melati gugup. Seperti Arya, dia pun merasa malu. Apalagi ketika menyadari letak pakaiannya yang sudah tidak karuan. Buru-buru dirapikan lagi.
"Kau dengar suara jeritan tadi, Melati?" tanya Dewa Arak mencoba mengalihkan perhatian untuk menghilangkan kecanggungan yang terjadi di antara mereka. Terdengar jelas kalau suara Arya belum pulih. Masih bergetar dan memburu akibat dorongan perasaan yang mendera. Melati menganggukkan kepala. Wajahnya nampak dingin dan kaku.
"Sepertinya ada orang yang membutuhkan pertolongan...," jawab Melati sekenanya.
"Kalau begitu, mari kita ke sana!" ajak Dewa Arak lagi. Kali ini tidak ada suara keluar dari mulut Melati. Gadis berpakaian putih itu hanya menganggukkan kepala pertanda menyetujui ajakan kekasihnya.
Melihat sikap Melati, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak segera melesat menuju asal jeritan keras tadi. Melati pun mengikuti di belakangnya. Sesaat kemudian, Dewa Arak dan Melati seperti berlomba untuk bisa lebih dulu tiba.
Begitu cepat lari Dewa Arak dan Melati. Sehingga, bentuk tubuh mereka lenyap, yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih dan ungu saling mengejar. Karena ilmu meringankan tubuh sepasang pendekar muda itu telah mencapai tingkatan tinggi, hanya dalam beberapa kali lesatan, mereka telah mengetahui penyebab timbulnya jeritan menyayat.
Memang, untuk mencapai tempat itu keduanya harus melalui kerimbunan semak-semak dan pepohonan yang cukup lebat. Tapi tentu saja bagi sepasang muda-mudi itu, hambatan seperti demikian sama sekali tak berarti.
Dewa Arak dan Melati langsung terperanjat, ketika berhasil mengetahui asal timbulnya jeritan menyayat. Tanpa sadar keduanya melangkah mundur dengan wajah bersemu merah!
Betapa tidak? Di hadapan mereka, dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri sebuah patung besar yang berbentuk aneh. Patung itu berwajah manusia dan berbadan kuda, tapi berdiri dengan dua kaki. Kedua kaki yang di atas, berbentuk seperti tangan manusia dengan kedudukan jari saling dirangkapkan. Dan pada bagian mulutnya ada taring.
Namun, yang lebih menggiriskan hati adanya dua buah tanduk pada bagian atas kepalanya. Ditambah sepasang matanya yang bagaikan hidup, mencorong! Hal itu bisa terjadi karena mata makhluk itu terbuat dari intan.
Namun, yang menarik perhatian Dewa Arak dan Melati bukanlah besar dan tinggi patung yang hampir dua kali lipat manusia biasa. Melainkan sosok yang tergantung di tangan patung itu. Sosok itu seorang wanita muda yang pakaiannya terkoyak-koyak.
Menilik dari keadaannya, bisa diketahui, wanita berpakaian compang-camping itu telah tewas. Lidahnya terjulur keluar, dan sepasang matanya yang membelalak lebar menjadi tanda kematiannya. Rupanya wanita ini mati tercekik. Memang ada tali yang melilit lehernya dan terikat pada tangan patung. Sehingga tubuh wanita itu nampak tergantung!
"Keparat! Siapa pun pelaku kekejian ini, jangan harap akan bisa lolos dari tanganku!" desis Arya penuh kemarahan.
"Benar, Kang! Penjahat keji ini harus kita kirim ke akhirat!" sambut Melati dengan suara tak kalah geram.
Wajar saja kalau Dewa Arak dan Melati merasa murka. Karena keadaan wanita itu begitu mengenaskan. Memang, dia mati karena jeratan tambang. Namun, baik Dewa Arak maupun Melati tahu belaka bahwa sebelum dibunuh, wanita itu telah diperkosa dulu. Tanda-tanda itu nampak jelas. Baik dari pakaiannya yang compang-camping maupun pada keadaan tubuhnya.
"Lebih baik kau turunkan tubuhnya dulu, kasihan kalau dia harus tergantung terus di sana," sambil berkata demikianDewa Arak menundukkan kepala.
Tentu saja ada alasan yang membuat Dewa Arak melakukan hal seperti itu. Keadaan pakaian mayat wanita yang compang-camping itulah penyebabnya. Dengan keadaan pakaian seperti itu, bagian-bagian tubuhnya menyeruak di sana sini.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Melati segera menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas. Lalu tangannya pun digerakkan membacok!
Tasss!
Luar biasa! Tali penggantung tubuh wanita malang itu pun putus. Rupanya dalam pengerahan tenaga dalamnya, Melatimampu membuat tangannya setajam pedang.
"Hup!" Dengan sigap Melati menangkap tubuh wanita berpakaian compang-camping itu sebelum jatuh di tanah. Lalu,...
Jliggg!
Dengan begitu ringan kedua kaki Melati hinggap di tanah. Dalam keadaan memondong mayat seorang wanita, gadis berpakaian putih itu mampu mendarat secara manis dan mengagumkan. Melati mengedarkan pandangan berkeliling. Hal itu membuat Dewa Arak merasa heran.
"Apa yang kau cari, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan ingin tahu.
"Tempat yang baik untuk mengubur mayat wanita malang ini, Kang. Aku tidak sampai hati membiarkan mayatnya begitu saja. Paling tidak kita bisa memberinya tempat istirahat yang cukup nyaman," jawab Melati.
"Kau benar, Melati," hanya jawaban itu yang diberikan Dewa Arak. Disadari ada kebenaran dalampendapat Melati.
Melati hanya melemparkan seulas senyum tipis. Kemudian diayunkan kakinya menuju sebatang pohon kamboja. Gadis berpakaian putih bermaksud mengubur wanita yang malang itu di sana.
Sementara itu, Dewa Arak hanya mengawasi semua tindakan Melati. Namun, sikap pemuda berambut putih keperakan ini tampak waspada. Nampaknya Dewa Arak telah bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Barangkali saja orang yang telah melakukan kekejian itu masih berada di sekitarnya dan saat ini tengah bersiap untuk melancarkan serangan mendadak.
Dewa Arak tidak hanya mengawasi Melati. Keadaan di sekitarnya pun diperhatikan secara seksama. Namun, dari hasil pengamatannya, bisa diketahui kalau pelaku tindak kekejian itu sudah tidak berada lagi di sinl Hanya anehnya,mengapa perasaannya mengatakan, bahwa ada orang lain selain dirinya, Melati, dan wanita malang itu, di sekitar sini?
Dewa Arak tidak berani mengenyampingkan perasaannya. Dirinya tahu kalau perasaan itu bukan sembarang perasaan. Tapi, naluri yang telah dimiliki semenjak belalang raksasa dari alam gaib masuk ke dalam dirinya. Dan Arya telah beberapa kali membuktikan kebenaran nalurinya itu.
Oleh karena itu, kali ini Dewa Arak tidak mau menyepelekannya begitu saja. Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan kebenaran dugaannya. Hasil yang didapatnya sama! Tidak terlihat seorang pun di sekitar tempat itu.
Mungkin kali ini naluriku keliru, batin Dewa Arak karena nalurinya tetap mengatakan adanya orang lain di sekitar tempat itu. Lalu Arya mengalihkan perhatian pada Melati yang telah menyelesaikan tugasnya. Sesaat kemudian Melati telah berada di dekat Dewa Arak.
"Ada apa, Kang?" tanya Melati.
Memang, meskipun Arya tidak memberitahu, dan pada wajah dan sikapnya tidak menampakkan perasaan apa pun, Melati telah mengenal kekasihnya secara mendalam. Itulah sebabnya gadis itu tahu, ada sesuatu yang tengah dipikirkan di benak Dewa Arak.
"Hhh...!" Dewa Arak lebih dulu menghembuskan napas berat sebelum menjawab pertanyaan kekasihnya. "Aku merasakan adanya kehadiran orang lain di sekitar sini, Melati. Tapi..., betapapun telah kupasang mata dan pendengaranku ke sekeliling, tetap tak kutemukan keberadaan orang itu. Apakah perasaanku keliru?!" pertanyaan ini seperti tidak ditujukan kepada Melati, melainkan kepada dirinya sendiri.
Melati tidak langsung menanggapi pertanyaan itu. Wajahnya tercenung sejenak. Telah diketahuinya kalau Arya mempunyai perasaan yang amat tajam, yang lebih tepat disebut naluri. Dan biasanya perasaan itu benar. Tapi kini pemuda berambut putih keperakan itu merasa bimbang terhadap nalurinya sendiri.
"Kalau menurutku..., perasaanmu benar, Kang. Ada seseorang berada di sekitar sini. Hanya mungkin berada di tempat tersembunyi."
"Mungkin kau benar, Melati. Kalau begitu kita harus lebih berhati-hati. Bukan tak mungkin orang yang bersembunyi itu tengah merencanakan sesuatu," ujar Dewa Arak pada Melati dengan suara yang jauh lebih pelan dari sebelumnya. Melati menganggukkan kepala.
"Kita berada di pihak yang tidak menguntungkan, Melati. Orang itu tahu kedudukan kita, sedangkan kita sama sekali tidak tahu keberadaannya. Kita harus meningkatkan kewaspadaan," lanjut Arya memperingatkan kekasihnya.
Untuk yang kedua kali Melati hanya menganggukkan kepala. Sementara Dewa Arak mulai mengalihkan perhatian ke patung besar yang memiliki wujud aneh. Melati pun mengarahkan pandangan seperti yang dilakukan Arya.
"Kau tidak melihat adanya keanehan, Melati?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Melati mengedarkan pandangan ke sekelilingnya sejenak. Kemudian perlahan digelengkan kepalanya. "Tidak, Kang. Aku tidak melihat keanehan yang kau maksudkan."
"Patung itu, Melati," ujar Dewa Arak sambil menudingkan jari telunjuk ke patung yang tingginya hampir mencapai dua tombak itu.
"Aku tidak melihat adanya keanehan yang kau maksudkan, Kang," jawab Melati setelah memperhatikan patung itu beberapa saat "Apakah bentuknya yang kau maksudkan?"
"Bukan, Melati," kata Dewa Arak. "Bukan itu keanehan yang kumaksudkan."
"Lalu apa, Kang?" ujar Melati.
"Keberadaan patung ini, Melati. Patung ini berbeda dengan pepohonan dan semak-semak yang ada di sini..."
"Ah! Ucapanmu semakin ngawur dan aneh, Kang!" selak Melati cepat, dan tidak sabar. 'Tanpa kau katakan pun aku tahu, patung itu berbeda dengan pepohonan, semak-semak, dan juga binatang-binatang."
"Bukan itu maksudku, Melati," jelas Dewa Arak dengan sabar. "Begini. Apakah kau merasa heran dengan keberadaan pepohonan dan semak-semak yang ada di sekelilingmu, Melati?"
"Lho?! Mengapa aku harus heran?! Ini hutan, Kang. Merupakan sesuatu yang wajar, dan bahkan keharusan kalau di tempat ini ada pepohonan dan semak-semak! Mengapa kau malah mempertanyakannya?" bantah Melati, heran.
"Nah! Itulah yang kumaksudkan, Melati. Tempat ini adalah hutan. Keberadaan pepohonan dan semak-semak di tempat ini tidak aneh. Bahkan andaikata tempat ini bukan hutan pun, keberadaan pepohonan dan semak-semak bukan hal yang patut dipertanyakan. Mengapa demikian? Karena pepohonan dan semak-semak terjadi atas kekuasaan Tuhan. Dengan kata lain, bukan buatan manusia. Tapi patung itu...?" tanya Arya setelah memberi penjelasan panjang lebar.
"Sekarang aku mengerti maksudmu, Kang," sahut Melati sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang aku mengerti mengapa kau mengatakan kalau patung ini berbeda dengan pohon. Patung ini tidak mungkin terjadi begitu saja. Jadi, jelas tak mungkin berada di sini kalau tidak ada yang menciptakan."
"Tepat! Itulah yang kumaksudkan, Melati!" sambut Arya cepat. "Ada orang yang membuatnya. Dan siapa pun orangnya tentu punya maksud tertentu."
Melati kontan tercenung. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan kekasihnya. Dan sekarang, gadis itu tengah memikirkan maksud dan tujuan orang yang telah membawa patung itu ke hutan ini.
"Apa kau sudah punya dugaan, Kang?" tanya Melati, ingin tahu.
"Ya," jawab pemuda berambut putih keperakan singkat "Patung ini diciptakan sebagai alat pembantaian yang ditujukan untuk sebuah maksud. Yahhh..., misalnya pemujaan terhadap roh-roh yang ada di alam ini. Dan, kalau dugaanku benar, pelakunya mungkin merupakan sekelompok orang yang menganut suatu kepercayaan keji!" jelas Arya panjang lebar.
"Ya, mungkin kau benar, Kang," Melati mendukung dugaan kekasihnya. "Kalau begitu, kita harus segera mencegah terjadinya tindak kekejian berikutnya, Kang!"
"Tentu saja, Melati!" tandas Arya mantap. "Kita harus melakukan penyelidikan."
"Tapi dari mana kita harus memulainya, Kang? Titik terang persoalan ini sama sekali belum kita dapatkan."
"Kita mulai saja dari bukti-bukti yang telah kita dapatkan," jawab Arya. "Patung ini dan wanita itu. Kau ingat ciri-cirinya kan, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu menganggukkan kepala. "Nah, kita mulai dari patung ini dulu!"
Usai berkata demikian, maka pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan anehnya itu, mengayunkan langkah mendekati patung. Hal yang sama pun dilakukan Melati.
"Hm..., patung ini ternyata telah lama dibuat, Melati. Menilik dari keadaannya... jelas usianya jauh lebih tua dari umur kita," ucap Arya seraya memperhatikan penuh seksama keadaan patung berwujud aneh di hadapannya.
Melati tak memberikan tanggapan. Namun dirinya mengakui kalau kesimpulan kekasihnya kemungkinan besar, benar. Keadaan patung memang sudah tidak bisa dikatakan baru lagi. Selain hampir sekujur bagian patung telah ditumbuhi lumut, tanda-tanda kalau usia patung itu telah tua pun terlihat jelas.
"Berarti..., kalau patung ini merupakan tempat dilangsungkannya sebuah upacara keji sekelompok orang yang menganut kepercayaan aneh, tentu telah berlangsung lama, tahunan. Bahkan mungkin belasan, atau puluhan tahun!" lanjut Arya lagi.
"Tapi, sepengetahuanku... upacara seperti itu hanya dilangsungkan pada waktu-waktu tertentu, Kang. Misalnya pada waktu bulan purnama. Sedangkan saat ini tidak, Kang," bantah Melati.
"Hm... kau benar, Melati," sahut Arya dengan suara mendesah, menyadari kebenaran bantahan kekasihnya. "Hhh...! Persoalan ini mulai rumit."
Usai berkata demikian, sejenak pemuda berambut putih keperakan tercenung. Kernyitan dahinya, memperlihatkan kalau Arya tengah berpikir.
"Bagaimana kalau kita mengungkapnya melalui wanita malang itu, Kang?" usul Melati tiba-tiba.
"Apa boleh buat," ucap Arya sambil mengangkat bahu. "Penyelidikan tentang patung ini telah buntu sampai di sini. Dan sekarang kita lanjutkan penyelidikan terhadap wanita itu. Tapi, tidak berarti penyelidikan kita terhadap patung ini terhenti, Melati. Kita selidiki terus keduanya. Mari, Melati!"
Lalu Dewa Arak mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu, diikuti Melati. Sepasang muda-mudi itu sama sekali tidak tahu kalau dari atas sehuah pohon besar yang berdaun rimbun, ada sepasang mata yang tengah memperhatikan tingkah mereka.
"Hhhh...!"
Sebuah helaan napas berat keluar dari mulut seorang lelaki bertubuh pendek dan kekar yang tengah mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Sementara pandangannya tertuju ke satu arah.
"Bagaimana, Kang? Warsini sudah pulang?"
Seiring terdengarnya pertanyaan yang sarat dengan rasa kekhawatiran, di ambang pintu menyeruak sesosok mungil berusia tidak muda lagi. Seperti juga wajah lelaki pendek kekar, wajah wanita mungil itu diselimuti perasaan khawatir yang amat sangat.
"Belum, Ni," jawab lelaki pendek kekar tanpa mengalihkan pandangannya, tetap tertuju ke satu tempat.
"Kalau begitu, cepat susul, Kang. Aku khawatir terjadi sesuatu atas dirinya," seru wanita mungil dengan perasaan khawatir yang sudah tak bisa dibendung lagi.
Kini lelaki pendek itu baru membalikkan tubuhnya. "Jangan mengharapkan yang tidak-tidak, Ni! Desa kita aman. Kau tahu, selama ini tak pernah terjadi peristiwa yang mencemaskan di sini. Karena itu tenangkanlah dirimu!"
"Bagaimana aku bisa tenang, Kang!" sergah wanita mungil itu keras. "Warsini itu anakku, dan sampai sekarang belum pulang! Hhh...! Kalau tahu akan begini, tak akan kuizinkan dirinya pergi tadi! Warsini..! Anakku... oh...!"
"Ni...! Tak usah kau khawatirkan! Tenangkan saja hatimu. Toh, dia tidak sendiri. Ada Barada yang menyertainya. Aku yakin Barada akan mampu melindunginya kalau ada bahaya mengancam," ujar lelaki pendek kekar, berusaha menenangkan hati istrinya.
"Tapi mana bukti kebenaran ucapanmu, Kang?! Nyatanya sekarang Warsini belum juga kembali! Tanda-tanda kemunculannya pun belum terlihat. Padahal sebentar lagi malam akan tiba. Ohhh..., Warsini, anakku! Apa yang terjadi atas dirimu, nak!" keluh wanita mungil itu.
"Diam!" bentak lelaki pendek kekar kehilangan kesabaran. "Kau pikir hanya kau yang merasa cemas?! Aku juga! Warsini bukan hanya anakmu! Tapi, juga anakku! Kau dengar?! Aku juga menyayanginya! Tapi, tidak dengan cara begitu mempertunjukkan perasaan sayang itu!"
"Kalau begitu, mengapa kau tidak mencarinya, Kang?! Mengapa?! Mengapa kau malah diam saja di sini?!" perasaan kalap yang melanda, membuat wanita mungil itu tak bisa menggunakan pikirannya dengan benar.
"Hhh...!" Lelaki pendek kekar menghembuskan napas berat untuk menenangkan gejolak perasaan yang tengah melandanya. Disadari kalau dirinya menanggapi ucapan-ucapan istrinya dengan keras, persoalan akan semakin meruncing. Hal itu sama sekali tidak diinginkannya, sebab saat itu nampak istrinya telah kehilangan pikiran jernihnya.
"Aku bukan tak mampu mencarinya, Ni! Aku hanya khawatir akan terjadi selisih jalan. Hal itulah yang membuatku ragu untuk menyusulnya."
"Aku tak peduli! Yang penting, Warsini harus kembali! Oh, Warsini, anakku! Betapa malangnya nasibmu, nak!" Dan wanita mungil itu menangis mengguguk.
"Hhh...!" Telah yang kesekian kalinya lelaki pendek kekar menghela napas berat untuk melonggarkan isi dadanya yang dirasakan sesak. Kalau menuruti perasaan, mungkin sudah dimaki-maki istrinya. Dirinya tengah kebingungan hebat, menghadapi tindakan-tindakan istrinya. Sehingga beban perasaan yang harus ditang-gung semakin berat.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Ni. Aku akan memberitahukan kejadian ini pada yang lain. Sekarang, lebih baik kau masuk ke dalam. Kunci pintu dan jangan buka sebelum aku kembali!"
Kali ini wanita mungil itu tidak banyak membantah lagi. Sambil menyusut air matanya dia membalikkan tubuh, kemudian mengayunkan kaki ke dalam. Dan....
Trakkk! Pintu rumah telah dikuncinya.
"Hhh...!" Lelaki pendek kekar itu kembali menghembuskan napas berat sebelum menghampiri kentongan yang tergantung di sudut rumah. Diulurkan tangan mengambil kayu pemukulnya, lalu dipukulnya ke badan kentongan itu.
Tong! Tong! Tong!
Bunyi kentongan pun terdengar memecahkan suasana sepi seluruh desa. Karena malam memang telah turun. Dan penduduk Desa Ginang yang sebagian besar petani, telah bersiap-siap untuk melanglang buana ke alammimpi setelah seharian bekerja keras.
Hal yang sama hendak dilakukan seorang petani yang tempat tinggalnya tidak jauh dengan lelaki pendek kekar. Lelaki itu tengah rebahan di balai bambu ketika mendengar suara kentongan.
Tong! Tong! Tong!
Kentongan tanda bahaya? Pikirnya. Seketika itu pula lelaki bertubuh tinggi besar ini melompat bangun.
"Mau ke mana, Kang?" tegur istrinya.
"Kau dengar bunyi kentongan itu?" lelaki tinggi besar itu balas bertanya.
Sang istri yang bertubuh gemuk, menganggukkan kepala. "Arahnya dari sebelah kiri, Kang."
"Ya. Kau tunggu di sini. Ada orang yang membutuhkan pertolongan," sahut petani itu.
Tak lama kemudian, lelaki tinggi besar itu bergegas keluar dari dalam dan menuju ke pintu. Lalu membukanya dengan cepat. Dan setelah berada di luar rumah, langsung dihampirinya kentongan. Sesaat kemudian...,
Tong! Tong! Tong...!
Isyarat tanda bahaya yang dikirimkan lelaki pendek kekar, disambung oleh lelaki tinggi besar. Tak lama kemudian, bunyi kentongan lain pun menggema di seluruh penjuru Desa Ginang mengisyaratkan adanya bahaya. Sesaat kemudian, lelaki pendek kekar telah berkumpul belasan penduduk Desa Ginang dengan obor terangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
"Apa yang telah terjadi, Gobar?" tanya seorang lelaki setengah baya berpakaian putih. Sikapnya terlihat penuh wibawa. Apalagi karena raut wajahnya penuh dengan sorot ketenangan. Dialah Kepala Desa Ginang, Ki Sagotra namanya.
"Anakku, Ki," lapor lelaki pendek kekar yang ternyata bernama Gondewa. "Anakku belum kembali."
"Apa yang terjadi dengan anakmu, Gondewa? Ceritakanlah secara jelas!" masih tetap tenang ucapan Ki Sagotra. Tampak jelas kematangan sikapnya.
Gondewa tak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia tercenung sebentar, mencari kata-kata yang tepat untuk memberitahukan peristiwa yang telah terjadi. Sementara Ki Sagotra dan belasan penduduk Desa Ginang menunggu keluarnya penjelasan Gondewa dengan perasaan tak sabar.
"Begini, Ki. Tadi menjelang siang, anakku, Warsini berniat pergi ke rumah kakeknya. Karena tempat tinggal kakeknya cukup jauh, istriku menyuruh Barada, untuk mengantarkannya. Memang, Barada yang biasanya mengantarkan jika Warsini hendak ke sana."
Gondewa menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara Ki Sagotra dan para penduduk desa dengan sabar mendengarkan penuturan itu. Sama sekali mereka tak bermaksud menyelaknya. Mereka semua tahu bahwa Barada adik Gondewa.
"Tapi, sampai sekarang mereka belum kembali. Padahal, biasanya sebelum matahari condong ke barat, Warsini dan Barada telah berada di rumah. Aku khawatir terjadi sesuatu terhadap mereka berdua. Itulah sebabnya segera kupukul kentongan," tutur Gondewa mengakhiri ceritanya.
"Di mana tempat tinggal kakeknya, Gondewa?" tanya Ki Sagotra.
"Di Desa Dadap," jawab Gondewa cepat.
"Hm..., berarti kita harus melewati mulut Hutan Jati," desah Ki Sagotra.
"Benar, Ki," jawab Gondewa sambil menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita mencarinya! Kau tahu jalan yang dilalui anakmu kalau pergi ke sana, Gondewa?" tanya Ki Sagotra lagi.
Gondewa menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu lewat jalan mana biasanya anakku pergi. Tapi, aku tahu jalan pintas untuk menuju ke sana."
"Kalau begitu..., kita pakai jalan yang biasa kau lalui saja," putus Ki Sagotra. "Mari kita berangkat!"
Sesaat kemudian rombongan penduduk Desa Ginang pun mulai bergerak menuju Desa Dadap. Ki Sagotra dan Gondewa berada di barisan terdepan.
"Kang...! Lihat...!" seru Melati sambil menudingkan jari telunjuknya.
Arya menolehkan pandangan ke arah yang ditunjuk kekasihnya. Terlihat api obor tengah menuju arah mereka berdua. Jumlahnya belasan. Alis pemuda berambut putih keperakan itu berkernyit dalam.
"Aneh...! Apa yang akan dilakukan mereka malam-malam begini?!" desah Dewa Arak keras. "Apakah mereka akanmenuju Hutan Jati?"
Saat itu, Arya dan Melati baru saja keluar dari mulut Hutan Jati.
"Jangan-jangan..., mereka rombongan orang yang akan melakukan upacara keji itu, Kang?!" duga Melati.
"Mungkin dugaanmu benar, Melati. Tapi lebih baik jangan melakukan tindakan apa pun. Siapa tahu, dugaan kita keliru. Barangkali mereka rombongan orang yang tengah mencari wanita malang tadi. Aku yakin, wanita itu berasal dari salah satu desa di sekitar sini," urai Dewa Arak panjang lebar.
Melati mengangguk-anggukkan kepala karena merasa kalau dugaan Dewa Arak lebih mendekati kebenaran. Karena biasanya hanya penduduk desa dan yang kebetulan tengah melakukan suatu pencarian, beramai-ramai dan menggunakan obor.
"Lalu..., sekarang bagaimana baiknya, Kang? Kita teruskan perjalanan, atau bersembunyi di sini sambil mengawasi keadaan selanjutnya?" tanya Melati.
"Kita teruskan perjalanan," jawab Dewa Arak memberi keputusan.
Melati hanya mengangkat bahu. Sebenarnya dirinya tak setuju dengan keputusan kekasihnya, tapi sama sekali tidak membantahnya. Hatinya segera terhibur dengan keyakinan, bahwa tindakan yang diambil Dewa Arak selalu benar.
Dan karena keyakinan itulah Melati mengikuti Arya yang terus saja mengayunkan langkahnya. Dewa Arak dan Melati menuju ke arah rombongan yang membawa obor itu berasal. Sehingga jarak antara mereka pun semakin dekat. Kedua belah pihak nampak seperti saling menghampiri.
Seiring dengan semakin dekatnya jarak antara kedua belah pihak, mereka pun telah saling melihat. Seperti Dewa Arak dan Melati, rombongan pembawa obor itu juga dapat melihat mereka berdua.
"Hati-hati...! Siapa tahu dua orang ini mempunyai maksud tidak baik terhadap kita," ujar lelaki berpakaian putih yang berdiri terdepan dari rombongannya.
Lelaki ini tak lain Ki Sagotra. Memang, mereka rombongan penduduk dari Desa Ginang. Mendengar pemberitahuan itu, belasan orang di belakangnya pun bersikap waspada. Pemberitahuan yang disampaikan kepala desa mereka diperhatikan betul-betul.
Namun tidak hanya rombongan penduduk Desa Ginang saja yang bersikap waspada. Dewa Arak dan Melati pun demikian pula. Dan semakin dekat jarak mereka, kewaspadaan pun semakin ditingkatkan.
"Selamat malam, Kisanak semua!" tegur Arya dengan sopan ketika jarak antara dirinya dengan rombongan penduduk Desa Ginang sekitar dua tombak.
"Selamat malam?" sambut Ki Sagotra tak kalah ramah. Seperti juga Arya dan Melati, Kepala Desa Ginang ini menghentikan langkah. Sehingga gerak maju rombongannya pun terhenti.
"Kami berdua pengelana, boleh kami bertanya?" ujar Arya lagi memperkenalkan diri.
Dalam waktu sesingkat itu, sepasang mata tajam pemuda berambut putih keperakan itu langsung bisa mengetahui kalau rombongan ini bukan orang-orang yang terbiasa dengan kerasnya dunia persilatan. Ini bisa diketahuinya dari sikap dan gerakan mereka yang tidak gesit. Napas mereka pun nampak terengah-engah. Dewa Arak segera menyimpulkan bahwa rombongan ini adalah penduduk desa. Oleh karena itu, dirinya bermaksud mengutarakan peristawa yang ditemuinya tadi siang.
"Ooo... silakan, Anak Muda!" sambut Ki Sagotra cepat.
"Begini, Ki. Kami hanya ingin tahu, hendak ke manakah kau dan rombongan waktu malam begini?"
Keramahan Ki Sagotra langsung lenyap. Dan kini ketegasanlah yang tampak di wajahnya. "Maaf, Anak Muda! Bukannya kami bersikap tidak sopan. Tapi, kami tidak bisa memberitahukannya. Kuharap kau bisa mengerti!"
Arya segera menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada. "Tentu saja kami mengerti, Ki. Kami sama sekali tak menganggap kau dan rombonganmu tidak sopan. Bisa dimaklumi. Karena kami orang-orang asing, bukan?"
"Terima kasih, kalau kau dapat mengerti, Anak Muda! Sekarang, kami akan melanjutkan perjalanan. Dan kuharap kau jangan menghalang-halangi!" tandas Ki Sagotra mantap.
"Tentu saja tidak, Ki. Maaf, kalau aku telah bertindak lancang, berani menanyakan sesuatu masalah yang bukan urusanku. Tapi, ini terpaksa kami lakukan. Tadi siang kami menemui sesuatu di tengah perjalanan. Barangkali saja hal yang telah kami jumpai ada hubungannya dengan urusan rombonganmu."
"Menyingkirlah, Anak Muda! Kami tidak ada waktu untuk berbincang-bincang denganmu! Kami mempunyai urusan yang lebih penting! Tahu?! Jangan paksa kami bertindak kasar!" seru Gondewa tak sabar.
Lelaki pendek kekar ini sejak tadi memang telah menahan-nahan sabar. Hatinya tengah dilanda kegelisahan akan nasib putrinya. Tentu saja menjadi kesal dengan tindakan Dewa Arak yang dianggapnya memperlambat tindakan pencarian terhadap Warsini.
Ucapan keras Gondewa membuat Melati naik darah. Hal ini tidak aneh karena Melati memiliki watak pemarah. "Mari kita pergi, Kang!" ajak Melati sambil menggamit tangan Dewa Arak.
Lalu, tanpa memberi kesempatan pada Dewa Arak untuk berbuat sesuatu, gadis berpakaian putih itu langsung menarik tangan kekasihnya. Kemudian melangkah untuk meninggalkan rombongan itu.
Dewa Arak terpaksa membiarkan tindakan kekasihnya yang menariknya untuk meninggalkan tempat itu. Rombongan penduduk Desa Ginang pun menyeruak memberi jalan.Karena apabila hal itu tidak dilakukan, tentu mereka ditabrak Melati yang saking kesalnya tak mempedulikan jalan di hadapannya terhalang rombongan itu. Memang, Melati berjalan biasa, tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Belum jauh Melati membawa Arya dari tempat itu. Ketika tiba-tiba....
"Tunggu!" seru Ki Sagotra keras.
Namun Melati tak menghiraukan perintah itu dan terus melanjutkan langkahnya dengan setengah menyeret Arya.
Melihat hal ini, Ki Sagotra tidak tinggal diam. Memang, Kepala Desa Ginang ini bukan orang sembarangan. Digenjotkan kakinya. Maka sesaat kemudian tubuhnya melesat menuju Melati dan Dewa Arak.
Jliggg!
Setelah bersalto beberapa kali di udara, Ki Sagotra mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan mantap, tepat di hadapan Melati dan Arya.
"Tunggu sebentar, Nisanak!" cegah Ki Sagotra sambil menjulurkan kedua tangannya ke depan.
"Apa lagi yang kau inginkan? Menyingkirlah dari situ sebelum hilang kesabaranku!" tandas Melati keras.
"Sayang sekali, Nisanak! Aku tidak akan memenuhi permintaanmu sebelum kawanmu menjelaskan maksud ucapannya," tolak Ki Sagotra.
"Kalau memang begitu, mengapa tadi kau biarkan orangmu mengucapkan kata-kata tak pantas pada kawanku?!" sergah Melati keras.
"Kalau hal itu kau anggap suatu kesalahan, biar aku yang meminta maaf padamu. Tapi, percayalah! Aku tak bermaksud membiarkannya mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi, karena saat itu aku tengah berusaha memahami ucapan kawanmu. Jadi, aku tidak sempat mencegah ucapan kasar tadi. Bahkan mencegah kepergianmu pun akan hampir tidak sempat" bantah Kepala Desa Ginang.
Melati kontan terdiam. Amarahnya mulai mereda. Memang, gadis berpakaian putih ini memiliki watak aneh. Sifatnya sukar untuk ditebak. Hatinya mudah marah. Tapi, kalau orang minta maaf padanya maka amarahnya langsung lenyap. Dengan kata lain, kalau orang bersikap kejam, dia bisa membalas lebih kejam, dan sebaliknya. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak.
"Apa yang kau inginkan, Ki?" tanya Arya tenang.
Sementara itu rombongan penduduk Desa Ginang bergegas menghampiri, dan berdiri di dekat Ki Sagotra. Nampaknya mereka bersiap-siap untuk membantu apabila terjadi sesuatu atas diri Kepala Desa Ginang. Di samping itu, mereka pun ingin mendengar lebih jelas mengenai hal yang membuat Ki Sagotra mencegah sepasang muda-mudi itu meninggalkan tempat itu.
"Aku hanya ingin kau menjelaskan padaku maksud ucapanmu yang tadi, Anak Muda. Bukankah kau tadi mengatakan, kalau sesuatu yang kau temui dalam perjalananmu itu ada hubungannya dengan urusan kami?! Nah! Kami ingin tahu apa sebenarnya yang telah kau temui," jelas Ki Sagotra sabar.
Dewa Arak tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sejenak matanya menatap satu persatu wajah-wajah di hadapannya. "Sebenarnya, agak berat untuk mengutarakannya, Ki. Karena hal yang akan kukatakan kepadamu ini mungkin bukan berita yang menyenangkan, bahkan sebaliknya."
"Tidak mengapa, Anak Muda. Kami siap untuk mendengarnya. Lagi pula, belum tentu hal yang akan kau beritahukan itu ada hubungannya dengan kami," kelit Ki Sagotra cerdik.
"Aku pun berharap demikian, Ki. Karena apabila benar ada hubungannya, sulit kubayangkan betapa kecewa dan sedihnya hati kalian. Terutama bagi orang yang bersangkutan," ucap Arya masih belum menuju pokok permasalahan.
Bukan tanpa alasan pemuda berambut putih keperakan itu berkata demikian. Dirinya tak ingin, jika benar berita yang dibawanya mempunyai hubungan dengan rombongan Ki Sagotra, akan berakibat yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya Dewa Arak tidak langsung mengatakannya.
"Kalau kau memang ingin mengatakannya, katakanlah, Anak Muda! Tidak usah bertele-tele. Kecuali bila kau menghendaki lain. Kami, terutama sekali aku tidak akan memaksamu. Kau dan kawanmu boleh pergi dari sini!" tegas Ki Sagotra.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Ki," sahut Arya memutuskan. "Begini ceritanya, Ki. Tadi menjelang matahari tenggelam, ketika tengah melewati hutan, kami mendengar adanya suara jeritan menyayat. Begitu kami menuju ke tempat suara berasal, kami temui mayat tergantung pada sebuah patung besar. Wanita itu telah tewas," lanjutnya menjelaskan.
"Seorang wanita? Bagaimana ciri-cirinya?!" selak Gondewa penuh nafsu. Ada kecemasan yang amat sangat dalam suaranya.
Arya menatap wajah Gondewa sejenak. "Mengenai pertanyaan itu aku tidak bisa menjawabnya, Ki. Biar kawanku ini yang akan menjawabnya." Lalu pemuda berambut putih keperakan ini memberi isyarat pada Melati.
Melati tidak langsung memberikan jawaban pada Gondewa yang telah menunggu dengan perasaan tidak sabar. Rupanya kejengkelan atas kelakuan lelaki pendek kekar itu terhadap kekasihnya, masih membekas di hati.
Gondewa pun rupanya mengetahui perasaan yang berkecamuk di hati Melati. Maka, meski dengan perasaan berat karena perasaan ingin tahunya jauh lebih besar, dikuatkan hati untuk berbicara pada gadis berpakaian putih itu.
"Aku minta maaf atas ucapanku tadi, Nisanak. Andaikata, sukar bagimu untuk memaafkanku, dengan memandang muka Ki Sagotra selaku Kepala Desa Ginang, sudilah kiranya kau memaafkanku," ucap Gondewa dengan suara lirih.
Kejengkelan hati Melati pun lenyap seperti asap ditiup angin. Kini, tanpa diberitahu pun pikirannya telah bisa menebak, kalau rombongan ini memang bermaksud akan mencari seorang wanita. Dan, wanita yang dicari sudah pasti putri Gondewa. Buktinya, dia lah yang paling kalap ketika mendengar berita dari Dewa Arak tentang mayat seorang wanita.
"Kawanku menyerahkan jawabannya padaku, bukan karena hatinya masih mendendam atas ucapanmu, Ki. Tapi..., karena dia memang tidak mengetahui ciri-ciri wanita yang malang ini. Akulah yang tahu, meskipun sebenarnya kami berdua yang menjumpainya terbunuh," jelas Melati dengan hati lapang.
"Mengapa demikian, Nisanak?" tanya Ki Sagotra, heran.
"Karena..., karena keadaan wanita itu amat mengenaskan, Ki. Dia... dia menerima perlakuan tak patut dari orang yang membunuhnya. Perlakuan yang..., ah sulit bagiku untuk mengatakannya, Ki," ucap Melat dengan wajah memerah.
"Ya, ya, aku mengerti, Nisanak," potong Ki Sagotra, cepat Lelaki berpakaian putih ini tak tega melihat Melati yang dilanda kebingungan untuk menerangkan kejadian yang sebenarnya. "Ceritakan saja ciri-cirinya, biar kami mengetahuinya secara jelas. Karena terus terang, tujuan kami semua mencari seorang wanita."
Lalu, tanpa diminta, orang nomor satu di Desa Ginang ini menceritakan semuanya, lengkap, berdasarkan cerita yang didapatnya dari Gondewa. Sementara Dewa Arak dan Melati mendengarkan penuh perhatian.
"Jadi..., Warsini mengenakan pakaian hijau?!" tanya Melati dengan suara pahit.
"Benar, Nisanak," Gondewa yang menyahuti dengan suara bergetar karena perasaan tegang yang melanda. Lelaki pendek kekar sadar kalau sebuah kenyataan pahit sebentar lagi akan diterimanya. Pertanyaan bemada minta penegasan dari mulut Melati barusan menjadi pertanda buruk baginya. Karena anaknya, Warsini memang mengenakan pakaian hijau!
"Benar, Nisanak," jawab Gondewa terbata-bata karena rasa khawatir yang berkecamuk di hati. "Apakah wanita yang kau temukan mengenakan pakaian hijau?"
Dengan hati berat Melati menganggukkan kepala, Bisa dibayangkan betapa terpukulnya hati lelaki pendek kekar ini, apabila wanita malang yang ditemui Melati benar putrinya. Dan hal itu bisa dirasakan Melati.
Tanggapan yang diberikan Gondewa memang seperti yang diduga Melati. Lelaki pendek kekar itu kontan terdiam dengan raut wajah pucat pasi.
"Bisa kau sebutkan ciri-ciri lainnya, Nisanak?" tanya Ki Sagotra mengambil alih ketika melihat keadaan Gondewa.
"Tentu saja, Ki," jawab Melati sambil menganggukkan kepala. Sementara Dewa Arak hanya bertindak sebagai pendengar.
"Kalau begitu, tolong katakan, Nisanak! Barangkali saja wanita yang kau temukan itu bukan Warsini. Tapi kebetulan mengenakan pakaian yang sama," Ki Sagotra masih berharap akan kemungkinan lainnya.
"Mudah-mudahan, Ki!" hampir berbareng Arya dan Melati memberikan harapan.
"Wanita yang kami temukan itu berambut panjang terurai sampai di pinggang," Melati mulai menurutkan ciri-ciri yang dimiliki wanita itu.
"Kalau begitu bukan Warsini!" selak Ki Sagoi penuh perasaan gembira.
"Benarkah begitu, Ki?" tanya Melati dengan perasaan lega.
"Benar," Ki Sagotra menganggukkan kepala, "Sepengetahuanku Warsini memiliki rambut pendek."
"Warsini berambut panjang, Ki," selak Gondewa dengan suara getir. "Hanya dia jarang mengurai rambutnya. Lebih sering digelungnya. Agar lebih rapi, katanya," lanjut Gondewa.
Seketika rasa lega di wajah Ki Sagotra dan Melati lenyap. Keduanya mulai menyadari adanya kemungkinan kalau korban itu adalah Warsini.
"Lalu, adakah ciri-ciri lain yang kau temui, Nisanak?" tanya Gondewa lesu.
"Ada, Ki. Ada. Ada dua buah tahi lalat yang kulihat. Satu di leher sebelah kanan, dan satu lagi di…"
"Cukup, Nisanak. Tak perlu kau jelaskan lagi!" potong Gondewa, sambil menjulurkan kedua tangannya.
"Jadi...," Ki Sagotra tidak meneruskan ucapan yang akan dikeluarkan. Ditatapnya wajah lelaki pendek kekar lekat-lekat. Wajah Kepala Desa Ginang itu pun tampak diiiputi perasaan cemas.
"Ciri-ciri itu hanya dimiliki Warsini. Warsini, anakku...! Sama sekali tak kuduga kalau nasib hidupmu demikian buruk!" keluh Gondewa dengan sedih. "Kekhawatiran ibumu ternyata tidak keliru."
"Kalau dia benar Warsini, lalu ke mana perginya Barada?!" tanya Ki Sagotra sambil menatap wajah Gondewa. Dan ketika tak ada jawaban, karena Gondewa memang tidak mengetahuinya, dialihkan perhatiannya ke Melati. "Apakah kau melihat ada orang lain di sekitar situ, Nisanak? Seorang pemuda...."
"Hm... aku tidak melihatnya. Yang ada di sana hanya mayat wanita itu, tidak ada lainnya." Suasana langsung hening ketika Melati menghentikan ucapannya. Mereka terhanyut dalam alun pikiran masing-masing. Yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan serangga malam serta angin yang berhembus di antara pepohonan.
"O ya, Nisanak. Kalau aku tidak salah dengar, kau mengatakan mayat Warsini tergantung pada sebuah patung. Padahal, aku tahu betul, di Hutan Jati tak ada patung apa pun. Apalagi patung yang sebesar ukuran manusia. Apakah kau dan kawanmu ini tidak mengada-ada?! Maaf, aku tak bermaksud mencurigai kalian. Tapi, di antara keterangan yang kau berikan, ada beberapa di antaranya yang tidak masuk akal kami "
Bukan hanya Melati yang mengernyitkan alisnya kali ini Dewa Arak pun demikian pula. Sepasang muda mudi ini menyadari adanya kecurigaan dalampernyataanKi Sagotra.
"Coba katakan, mana di antara keterangan kami yang tidak masuk akal itu, Ki?"
Arya buru-buru mendahului bertanya sebelum Melati menyambut ucapan Ki Sagotra. Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir kekasihnya akan tersinggung dan marah besar, lalu mengakibatkan terjadinya keributan.
"Pertama, masalah patung itu. Dan yang kedua, ketidak-tahuan kalian atas nasib Barada. Padahal Baradalah yang mengantarkan Warsini!"
Rombongan penduduk Desa Ginang itu termakan ucapan Ki Sagotra. Mereka pun, terutama Gondewa, menatap Melati dan Dewa Arak berganti-ganti dengan sorot mata mengandung keingintahuan besar. Mereka semua ingin tahu alasan yang dikemukakan sepasang muda-mudi berwajah elok itu.
"Mengenai patung itu, perlu kuberitahukan, Ki. Jangankan kau, kami berdua pun sempat merasa heran. Mengapa patung itu ada di sana? Menurut pendapatku, ada orang yang telah membawanya ke sana. Entah berapa orang. Tapi yang jelas, andaikata pelaku tindak kekejian ini hanya seorang, maka tenaga dalamnya sudah pasti amat kuat! Karena patung itu amat besar!"
"Hm...," Ki Sagotra bergumam. Tampak jelas kalau laki-laki pendek kekar ini tidak mempercayai keterangan Dewa Arak. "Lalu..., bagaimana dengan Barada? Kata rekanmu yang kalian lihat hanya mayat Warsini. Padahal Warsini pergi bersama dengan Barada. Lebih jelasnya bisa kukatakan kalau Barada bertugas menjaga keselamatan Warsini. Lalu..., mengapa kalian berdua tidak melihatnya? Suatu hal yang aneh, bukan?!" urai Ki Sagotra menjelaskan kecurigaannya.
"Sama sekali tidak, Ki. Bisa saja Barada dibunuh, sedangkan Warsini dibawa ke tempat itu. Ini kemungkinan pertama andaikata benar wanita yang terbunuh itu Warsini. Kemungkinan keduanya, bisa saja Barada pelaku pembunuhan itu. Kalau dia bukan pembunuhnya, mengapa tidak kembali?! Ini juga dapat dijadikan bahan kecurigaan, Ki?!" bantah Arya.
"Kau memang pintar bicara, Anak Muda. Kuakui alasan yang kau jelaskan itu memang masuk akal. Tapi, kau jangan bergembira dulu. Perasaan curiga terhadapmu tetap belum hilang di hatiku!" tandas Ki Sagotra tegas.
"Terima kasih atas kejujuranmu, Ki!"
"Bisa antarkan aku ke tempat kau mengubur mayat wanita itu, Nisanak?!"
Tanpa mempedulikan Ki Sagotra dan Arya yang masih berbicara. Gondewa langsung saja menyelaknya. Lelaki pendek kekar itu tetap belum mengakui kalau mayat yang ditemukan Melati adalah anaknya.
Itulah sebabnya dia tetap memanggilnya dengan wanita itu. Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Malah dialihkan pandangannya ke Dewa Arak. Baru setelah melihat kekasihnya menganggukkan kepala, gadis itu langsung meluluskan permintaan Gondewa.
"Aku bersedia mengantarkanmu ke sana, Ki."
"Terima kasih, Nisanak! Bisa kita berangkat sekarang?" tanya Gondewa lagi, tidak sabar.
"Bisa, Ki," Arya yang memberikan jawaban. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu sudah tak terlibat pertengkaran lagi dengan Ki Sagotra, setelah tindakan Gondewa yang menyelak pembicaraan.
"Kalau demikian tunggu apa lagi?"
Melihat hal ini, Ki Sagotra hanya mengangkat bahu. Dibiarkannya Gondewa melaksanakan keinginannya. Perasaan kasihan yang mendorongnya seperti itu.
"Kita selesaikan persoalannya nanti, Dewa Arak!" kata Kepala Desa Ginang itu bernada menantang.
Dewa Arak menyambutnya dengan senyum di bibir. Kemudian diayunkan langkahnya menuju Hutan Jati kembali. Belasan penduduk Desa Ginang mengikuti di belakangnya.
"Itu kuburannya, Ki," ujar Melati sambil menuding sebuah gundukan tanah berisi mayat wanita malang yang diduga Warsini.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, belasan penduduk Desa Ginang meluruk ke gundukan tanah itu. Mereka seperti saling mendahului untuk segera tiba di Sana. Namun, yang berada paling depan adalah Gondewa.
Arya, Melati, dan Ki Sagotra serta beberapa orang penduduk Desa Ginang yang tidak ikut mendekati kuburan Warsini, hanya mengawasi.
"O ya, di mana patung yang kau ceritakan itu, Anak Muda?" tanya Ki Sagotra sambil matanya beredar ke sekeliling tempat itu.
Namun belum sempat Arya maupun Melati memberikan jawaban, terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka! Rombongan penduduk desa yang bermaksud membongkar kuburan Warsini rupanya mendapat masalah.
"Aaakh...!"
"Aduhhh...!"
"Uuukh, kakiku...!"
Terdengar suara-suara jeritan dari sebagian besar penduduk. Dan tiba-tiba langkah kaki mereka pun terhenti. Melihat kejadian ini, tanpa membuang waktu Dewa Arak dan Melati segera melesat ke sana. Tapi, tentu saja sepasang pendekar muda yang telah kesohor ini tetap selalu berwaspada. Sebelum mencapai tempat rombongan penduduk menjerit-jerit kesakitan, keduanya tidak melanjutkan lari mereka.
Arya dan Melati memperhatikan. Sesaat kemudian keduanya telah mengetahui penyebabnya. Di sekitar kuburan Warsini, telah tersebar ratusan bahkan mungkin ribuan paku berukuran cukup panjang, sehingga mampu menembus alas kaki dan melukai yang menginjaknya.
Paku-paku itu tidak terlihat jelas karena tanah itu ditumbuhi rumput yang meskipun pendek, cukup untuk menutupi paku-paku itu hingga tidak jelas terlihat mata. Apalagi di waktu malam seperti sekarang
Sekarang para penduduk Desa Ginang yang sial itu harus menerima akibat tindakan mereka yang tergesa-gesa. Telapak kaki mereka tertembus paku dan terluka. Mereka terkejut dan kebingungan. Betapa tidak? Kedua telapak kaki mereka tertusuk paku-paku beracun!
Belasan orang penduduk Desa Ginang itu pun semakin kebingungan. Mereka tak dapat berdiri. Paku-paku beracun itu telah menembus telapak kaki mereka. Dan sialnya, karena kedua telapak kaki tertusuk paku menyebabkan kesulitan untuk mencopoti paku yang menancap.
Betapa tidak? Untuk mencopoti paku-paku itu tentu memerlukan salah satu kaki untuk bertumpu. Dengan sendirinya luka yang diderita semakin parah, jika paku semakin dalam menembus. Dan hal itu dialami mereka yang berusaha mencopot paku. Sementara sebagian lagi hanya berdiamdiri saja di tempat karena menyadari sulitnya melakukan tindakan pertolongan.
Ketika mereka terlibat dalam kesulitan itulah Dewa Arak dan Melati menghentikan langkah sambil mengawasi keadaan. Sepasang muda-mudi berwajah elok ini tak berani bertindak gegabah. Itulah sebabnya mereka tidak langsung memberikan pertolongan. Yang dilakukan hanya memperharikan sejenak suasana sekitar tempat itu. Tiba-tiba....
"Aaakh...!"
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut salah seorang penduduk yang berusaha mencopot paku dari telapak kakinya. Seiring dengan keluarnya jeritan itu, tubuh penduduk itu menggelepar-gelepar. Dan dari mulutnya keluar busa putih dan kental!
Kemudian diiringi suara mengorok seperti kerbau disembelih, tubuh lelaki yang sial itu ambruk ke tanah. Di situ, tubuhnya berkelojotan seperti orang ayan. Sementara dari mulutnya terus-menerus keluar cairan kental berwarna putih.
"Lugira...!" seru kawan-kawannya yang juga terjebak di tempat itu. Mereka semua terkejut bukan kepalang melihat kejadian yang menimpa Lugira.
Dewa Arak, Melati, dan Ki Sagotra, serta penduduk yang bersamanya pun terkejut. Dengan tindakan tergesa-gesa, Kepala Desa Ginang bersama warga desa yang bersamanya melesat mendekati. Dan mereka menghentikan langkah ketika telah berada di dekat Dewa Arak dan Melati.
"Kalian harus bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa ini!" tandas Ki Sagotra keras sambil menatap Dewa Arak. "Kalianlah yang membuat mereka semua terjerumus di situ!"
"Simpan dulu kemarahanmu, Ki. Tindakan yang harus kita lakukan sekarang, menolong mereka sebelum segalanya terlambat. Hal-hal lain bisa diurus belakangan," sahut Dewa Arak, cepat.
Ki Sagotra melengak. Mengapa dia begini bodoh?! Mengapa dia meributkan masalah seperti itu di saat genting seperti ini? Apa yang dikatakan Dewa Arak benar belaka. Pada saat gawat seperti ini, hal yang paling penting dilakukan mencari jalan untuk menyelamatkan mereka. Bukan meributkan peristiwa. yang telah terjadi.
Maka, lelaki berpakaian putih pun terdiam. Pikirannya berputar mencari cara untuk menyelamatkan nyawa warga desanya yang belum menjadi korban. Tapi sebelum Ki Sagotra menemukan cara, Dewa Arak telah berhasil mendapatkannya.
"Lepaskan sabuk kalian, dan pergunakan untuk menjerat tubuh mereka," ucap Dewa Arak tiba-tiba.
Sambil berkata demikian pemuda berambut putih keperakan itu segera meloloskan sabuk dari pinggangnya. Hal yang sama dilakukan pula oleh Melati dan Ki Sagotra. Sementara para penduduk Desa Ginang yang berada bersama kepala desanya hanya bisa saling pandang. Mereka sama sekali tidak mengenakan sabuk pengikat pinggang. Sebagai petani mereka tidak terbiasa mengenakan sabuk di pinggang.
Namun, Dewa Arak sama sekali tidak mempedulikan karena menyadari kalau Ki Sagotra dan penduduk desanya tak akan mampu melakukan hal yang telah direncanakan. Seruan itu sebenarnya ditujukan pada Melati. Namun, karena khawatir Ki Sagotra dan lainnya merasa disepelekan, maka ditujukan ucapannya itu untuk mereka semua.
Dan dugaan pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak keliru. Ki Sagotra meloloskan sabuknya juga seperti yang dilakukan Dewa Arak dan Melati, tapi raut wajahnya memancarkan kebingungan. Sementara itu Dewa Arak danMelati langsung bertindak.
"Harap kalian tenang, dan jangan melakukan tindakan apa pun," teriak Dewa Arak.
"Kami hendak menolong. Apabila sabuk ini telah membelit tubuh kalian, jangan melakukan tindakan perlawanan. Lemaskan saja, agar pertolongan ini berjalan lancar!" Lalu....
Ctarrr!
Diawali bunyi ledakan keras, sabuk di tangan Dewa Arak dan Melati mulai meluncur menuju para penduduk yang tengah menunggu maut. Salah seorang di antara mereka telah tewas setelah menggelepar lepar beberapa saat lamanya.
Siuuut! Rrrttt!
Seperti telah disepakati saja, sabuk Dewa Arak dan Melati meluncur ke sasaran yang berlainan. Perhitungan yang tepat, sabuk itu berhasil membelit tubuh dua di antara para penduduk yang terjebak. Dan ketika Dewa Arak dan Melati melakukan sentakan, tubuh-tubuh yang telah terbelit itu pun terbawa ke arah mereka.
"Cepat kau berikan pertolongan pada mereka Melati! Mereka keracunan. Biar aku yang menarik mereka keluar dari sana," kata Dewa Arak setelah tubuh dua penduduk itu berada di antara mereka.
Tanpa menunggu perintah dua kali Melati langsung membelitkan sabuknya kembali ke pinggang, ia berjongkok dan memeriksa keadaan mereka. Ki Sagotra dan para penduduk yang bersaman pun ikut berjongkok. Mereka ingin tahu kejadian yang tengah menimpa kawan-kawan mereka. Ki Sagotra kini telah menyimpan kembali sabuknya karena menyadari kalau dirinya tidak dapat membantu Dewa Arak.
Karena tugas yang diterima Melati membutuhkan waktu yang lebih lama, maka ketika Dewa Arak telah menyelesaikan semua tugasnya, gadis itu baru melakukan tindakan pencegahan terhadap semua korban. Berarti pertolongan yang diberikan Melati baru dimaksudkan untuk mencegah racun menjalar lebih jauh.
"Bagaimana, Melati?" tanya Arya ketika melihat kekasihnya telah selesai memberikan pertolongan pada orang yang terakhir.
"Ini jenis racun yang aneh, Kang," jawab Melati sambil menyusut peluh yang membasahi keningnya.
"Ya. Aku juga telah melihat akibatnya tadi," jawab Dewa Arak sambil menghela napas, karena merasa tidak yakin apakah mereka akan sanggup menyelamatkan nyawa para penduduk Desa Ginang yang malang itu.
"Tidak akan ada satu pun di antara mereka yang selamat, Anak Muda," selak Ki Sagotra sambil menatap Dewa Arak.
Karuan saja ucapan itu membuat Dewa Arak dan Melati menolehkan kepala. "Mengapa kau berkata demikian, Ki?" tanya Arya bernada penasaran. Sorot perasaan yang sama, terpancar pula di wajah Melati.
"Hhh...!" Jawaban bagi pertanyaan Dewa Arak hanya hembusan napas berat. Tapi hal itu tidak membuat Dewa Arak terkejut. Yang membuatnya merasa terkejut bukan kepalang justru ketika melihat adanya kengerian, baik di wajah maupun di mata Ki Sagotra.
"Sebenarnya berat bagiku untuk mengatakannya, Anak Muda. Tapi, bisa kukatakan secara singkat. Kematian yang didahului tanda-tanda seperti ini telah pernah terjadi di Desa Ginang dan di desa-desa sekitarnya," jelas Ki Sagotra dengan suara lirih.
"Maksudmu..., kematian yang didahului dengan gejala-gejala seperti ini, Ki?!" tanya Arya menegaskan.
Ki Sagotra menganggukkan kepala membenarkan pertanyaan Dewa Arak. Sementara Melati tengah sibuk memerangi racun yang mengendap di tubuh para penduduk yang malang itu. Namun, seperti yang telah dikatakan Ki Sagotra, tindakan Melati ternyata sia-sia. Salah seorang di antara mereka tahu-tahu menggelepar-gelepar disertai keluarnya cairan putih dan kental dari mulutnya, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
"Bisa kau jelaskan padaku tentang kejadian itu, Ki?" pinta Arya hati-hati.
Ki Sagotra tidak langsung memberikan tanggapan terhadap pertanyaan Dewa Arak. Dilayangkan pandangannya ke angkasa seolah-olah tengahmencari jawaban di sana.
"Sebenarnya..., aku tak pernah ingin mengingatnya lagi, Anak Muda. Kejadian itu telah lama berlalu. Tepatnya puluhan tahun lalu. Rentetan kejadian mengerikan yang membuat bulu kuduk berdiri. Begitu mengerikan!" ujar Ki Sagotra masih dengan tatapan tertuju ke angkasa.
Jelas, ingatan lelaki berpakaian putih itu melayang ke masa puluhan tahun lalu. Dewa Arak sama sekali tak memberikan tanggapan. Dengan sabar ditunggunya hingga Kepala Desa Ginang itu melanjutkan ucapannya. Sementara itu, Melati masih tetap sibuk menyelamatkan nyawa para penduduk yang keracunan.
"Puluhan tahun lalu..., ketika aku seusiamu, terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan. Entah dari mana datangnya tak seorang pun yang tahu. Ada sekelompok orang yang menganut kepercayaan keji. Suatu kepercayaan yang sangat menggiriskan. Mereka melakukan pemujaan terhadap roh-roh jahat. Dan demi kesempurnaan pemujaan, mereka harus mengorbankan seorang wanita yang masih suci. Entah bagaimana kejadiannya aku tak tahu dengan pasti. Yang jelas, kami hanya selalu menemukan sesosok mayat wanita tergantung di atas sebuah patung dalam keadaan mengenaskan!"
Ki Sagotra menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas, lalu menelan ludahnya yang terbendung dimulutnya. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak untuk mengutarakan hal yang mengganjal di dadanya.
"Seperti itu pula keadaan mayat wanita yang kami temukan, Ki," sahut Arya. "Dia pun tergantung di atas sebuah patung besar yang berwujud mengerikan."
Ki Sagotra tersenyum pahit. Wajahnya pun tampak tegang. "Sekarang aku bisa mempercayai ceritamu, Anak Muda. Tanpa kau jelaskan pun aku tahu bentuk patung yang kau maksudkan. Bukankah patung itu terdiri dari campuran beberapa macam bentuk? Badan dan kaki belakangnya berbentuk kuda, wajah dan tangan manusia, bertaring, dan memiliki tanduk?" tanya Ki Sagotra sambil menatap wajahDewa Arak.
Dewa Arak juga menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"Hhh...! Berarti bencana yang pernah menghebohkan puluhan tahun lalu akan terulang. Bencana yang terjadi akibat patung yang dianggap keramat oleh kelompok itu. Padahal, dahulu banyak tokoh persilatan yang telah membantu, tapi kami tetap mengalami kesulitan. Tak mampu mengatasi setiap malapetaka mengerikan itu. Apalagi sekarang?! Hhh...! Entah apa yang bakal terjadi terhadap desa ini!" keluh Ki Sagotra lagi sambil menghembuskan napas berat.
"Maaf, Ki! Boleh kudengar cerita selengkapnya sehingga kelompok yang mempunyai kepercayaan keji itu bisa dimusnahkan?!"
"O ya, aku belum menyelesaikan ceritaku," Ki Sagotra teringat kembali. "Teror yang melanda Desa Ginang, puluhan tahun lalu lebih mengerikan lagi. Bukan hanya wanita yang menjadi korban. Tapi juga para pemuda yang masih perjaka. Tak sedikit korban yang berjatuhan. Dan hal itu membuat para penduduk memutuskan untuk melakukan perlawanan. Di bawah pimpinan guru silat desa, kami menyiapkan perlawanan. Tapi sayang, dengan mudah perlawanan kami dapat dipatahkan."
Ki Sagotra menghentikan ceritanya kembali untuk mengambil napas sambil berusaha mengingat-ingat peristiwa mengerikan yang sejak lama diusahakan untuk dilupakannya.
"Untung berita itu terdengar oleh tokoh-tokoh persilatan aliran putih. Itu pun berkat usaha guru silat desa yang sebelum tewas sempat meminta bantuan perguruan-perguruan silat aliran putih melalui surat. Pertarungan demi pertarungan pun terjadi. Tapi tetap saja kemenangan berada di pihak kelompok penganut aliran sesat itu. Mereka menggunakan ilmu hitam yang mereka dapatkan dari hasil upacara mengerikan itu!"
Lagi-Iagi Ki Sagotra menghentikan ucapannya. Ditelannya kembali liur untuk melegakan tenggorokannya yang kering.
"Dan ketika tokoh-tokoh persilatan aliran putih mulai putus asa, muncul seorang kakek sakti. Berkat bantuannya kelompok itu bisa dihancurkan. Dia memiliki ilmu yang membuat ilmu hitam kelompok itu tak berdaya. Bahkan pimpinan gerombolannya pun berhasil dibinasakan! Sehingga kelompok keji itu pun berhasil dihancurkan! Ditumpas habis! Itu keyakinan kami dahulu. Namun nyatanya, sekarang peristiwa ini berulang lagi. Berarti kelompok itu belum sepenuhnya tuntas. Kupikir masih ada di antara mereka yang selamat!"
Ki Sagotra mengakhiri ceritanya dengan raut wajah memancarkan kengerian mendalam. Beberapa kali terdengar napasnya dihembuskan dengan berat karena menahan ketegangan di hatinya.
Dewa Arak tercenung begitu Ki Sagotra menyelesaikan cerita. Lalu diedarkan pandangan ke wajah-wajah penduduk Desa Ginang. Dan seperti juga Ki Sagotra, wajah dan sorot mata mereka semua memancarkan kengerian yang amat sangat. Kengerian yang sama melanda hati Melati. Gadis berpakaian putih ini membayangkan betapa besarnya perasaan ngeri yang melanda hati para penduduk Desa Ginang puluhan tahun lalu.
"Ki...," sapa Arya perlahan.
"Hm...," hanya gumaman pelan Ki Sagotra yang menyambut ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau mendengar ceritamu tadi, berarti sumber bencana itu tak lain patung yang dianggap keramat oleh kelompok penganut kepercayaan itu. Bukankah demikian?"
Ki Sagotra mengernyitkan dahi sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Benar, Anak Muda."
"Barangkali..., kalau patung aneh itu tidak ada, malapetaka pun tidak akan terjadi lagi? Begitu kan, sepatutnya?!" tanya Arya.
Kini kernyitan dahi Ki Sagotra makin dalam. Rupanya kepala desa itu belum bisa menebak arah pembicaraan Dewa Arak. Namun, karena pernyataan yang dikemukakan Arya sama sekali tidak salah, Ki Sagotra mengangguk meskipun kebingungan masih terlihat jelas di wajahnya.
"Kalau begitu..., patung keramat itu akan kuhancurkan saja! Dengan demikian tidak ada lagi tempat yang dapat dijadikan peristiwa keji oleh kelompok penganut kepercayaan keji itu!" tandas Dewa Arak penuh semangat.
"Kau benar, Kang!" Melatilah yang pertama kali memberikan sambutan. "Biar aku saja yang menghancurkannya. Bagaimana, Ki?!"
"Sebuah usul yang bagus!" sambut Ki Sagotra, juga dengan perasaan gembira.
"Apakah hal itu tidak akan membuat gerombolan keji itu semakin meningkatkan kekejiannya?" bantah seorang lelaki bertubuh tinggi besar ragu-ragu. Sorot matanya memancarkan kekhawatiran besar.
"Kalau menurut pendapatku, sama saja, Ki," sahut Arya, cepat.
"Kau benar, Anak Muda. Mari kita hancurkan patung keparat itu!" ajak Ki Sagotra penuh semangat. Tapi riak penuh semangat di wajah Ki Sagotra kontan buyar ketika melihat sikap Dewa Arak dan Melati. Kedua pendekar muda ini tampak menatap penuh perasaan heran pada satu arah.
"Apa yang terjadi, Anak Muda?" tanya Ki Sagotra penasaran.
"Patung itu sudah tidak ada lagi, Ki," jawab Arya tenang. Rupanya pemuda berambut putih keperakan ini telah mampu menguasai dirinya kembali.
"Apakah tadi sewaktu kita datang, patung itu masih ada, Anak Muda?" tanya Ki Sagotra ingin tahu.
"Sayang sekali, aku tak melihatnya, Ki. Urusan mayat wanita itu yang menyebabkan kami tidak ingat sama sekali. Tapi, barangkali masih ada di sekitar sini. Kau juga di sini, Melati. Aku akan memeriksa sekitar tempat itu. Siapa tahu patung itu masih ada dan kita hanya keliru tempat!"
"Aku yakin kita tidak keliru tempat, Kang. Orang itu pasti telah memindahkannya."
"Ucapanmu mungkin benar, Melati. Tapi tak ada salahnya kalau aku memeriksanya untuk meyakinkan benar tidaknya," kelit Arya.
"Kalau begitu pergilah, Kang! Biar aku berjaga-jaga di sini."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak segera melesat. Ingin dibuktikannya sendiri kalau patung itu benar-benar sudah tidak berada di tempatnya lagi. Berkat sinar bulan dan tidak adanya awan yang menggantung, suasana di persada cukup terang. Sehingga Arya tak mengalami kesulitan untuk mengawasi segala sesuatu di sekelilingnya. Dan memang ucapan Melati benar. Patung keramat yang memiliki bentuk aneh itu sudah tidak berada di situ! Maka dengan lesu, Arya mengayunkan langkah kembali ke tempat semula.
"Bagaimana, Kang?" Sebelum Arya tiba di dekat mereka, Melati telah lebih dulu mengajukan pertanyaan. Gadis itumerasa tidak sabar untuk segera mengetahuinya.
"Tidak ada, Melati. Mungkin dugaanmu benar, orang itu telah lebih dulu menyembunyikan di tempat yang aman," jawab Arya ketika telah berada di dekat mereka.
"Kalau begitu, kami akan kembali ke desa, Anak Muda. Tentu saja setelah mengurus mayat-mayat ini," ujar Ki Sagotra sambil menudingkan jari telunjuknya ke mayat-mayat yang tergolek di hadapannya. Memang, tidak ada satu pun yang selamat di antara orang-orang yang terkena paku beracun.
Ki Sagotra segera memberi perintah pada para penduduk Desa Ginang yang masih hidup agar membuatkan kuburan bagi mereka yang tewas karena paku beracun. Tak berapa lama kemudian, lubang-lubang kuburan pun terbentuk karena Arya dan Melati ikut membantu.
"Bagaimana, Anak Muda? Kau ingin melanjutkan perjalanan sendiri atau ikut bersama kami?" tanya Ki Sagotra ketika urusan penguburan mayat telah selesai.
"Karena sudah telanjur terlibat, tambahan lagi karena tertarik, kami putuskan untuk ikut bersamamu, Ki. Meskipun mungkin tidak banyak berarti, akan kami coba untuk membantu menyelesaikan kemelut ini," ujar Arya panjang lebar.
"Terima kasih, Anak Muda. Memang itulah yang kami harapkan," sambut Ki Sagotra gembira. Ki Sagotra merasa gembira mendengar kesanggupan Dewa Arak membantu penyelesaian ini. Karena telah dilihatnya tadi, kedua pendekar muda itu memperlihatkan kelihaian ketika memberi pertolongan kepada penduduknya yang menginjak paku beracun.
Maka sesaat kemudian, rombongan penduduk Desa Ginang itu pun kembali bergerak. Ada rasa duka dan ngeri yang menyelimuti hati, ketika teringat bencana yang bakal mengancam mereka.
Keesokan harinya seluruh Desa Ginang gempar ketika mendengar berita yang dibawa rombongan Ki Sagotra. Kesan kengerian tampak jelas baik pada wajah maupun sorot mata mereka. Sebagian besar penduduk masih bersedih karena kematian suami, ayah, anak, ataupun saudara Ki Sagotra sengaja mengumpulkan semua penduduknya di balai desa guna memberitahukan peristiwa yang dialami rombongan tadi malam.
"Kuharapkan, dengan adanya pemberitahuan ini, kita semua semakin meningkatkan kewaspadaan! Hindarilah bepergian jauh. Dan kalau terpaksa, usahakan untuk tidak sendiri. Paling sedikit bertiga! Ini untuk sekadar pencegahan terhadap terjadinya hal-hal yang tak kita inginkan!" jelas Ki Sagotra panjang lebar.
Tidak ada tanggapan sama sekali dari para penduduk. Mereka semua tenggelam dalam alun pikiran masing-masing. Pikiran-pikiran yang diselimuti kengerian dan ketakutan. Karena itulah, meskipun kelihatannya mendengarkan, mereka tidak mendengar jelas semua ucapan Kepala Desa Ginang itu.
"Nah! Kalau kalian semua telah merasa jelas, kupersilakan meninggalkan tempat ini! Tapi ingat baik-baik pesanku, usahakan untuk tidak berada sendirian! Kalian mengerti?!"
"Mengerti...!" sahut para penduduk meskipun dengan pengertian setengah-setengah.
"Bagus! Sekarang kalian boleh pergi! Tenangkanlah hati kalian, karena aku tidak akan berdiam diri begitu saja. Akan kukirim orang untuk meminta bantuan pada perguruan-perguruan silat aliran putih. O ya, hampir lupa. Di sini pun telah hadir dua orang pendekar sakti! Yang lelaki bernama Arya Buana, tapi lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak," lanjut Ki Sagotra sambil menolehkan wajah ke Dewa Arak. "Sedangkan yang di sebelahnya adalah rekan seperjalanannya. Melati namanya. Dirinya pun memiliki kepandaian yang tidak kalah hebat dibanding Dewa Arak! Merekalah yang akan membantu kita menumpas sisa-sisa kaum iblis itu!" jelas kepala desa dengan lantang.
Memang antara Arya, Melati, dan Ki Sagotra telah saling mengenal lebih jauh. Hal itu dilakukan selama perjalanan menuju Desa Ginang. Tak aneh kalau kini Ki Sagotra telah bisa memperkenalkan sepasang pendekar itu pada warganya.
Seketika itu pula puluhan pasang mata tertuju ke Dewa Arak dan Melati yang duduk di sebelah Ki Sagotra. Ada sorot ketidakyakinan dalam pancaran sinar mata dan raut wajah para penduduk, ketika melihat kedua tokoh yang akan membantu mereka menghadapi penyembah patung keramat itu adalah dua orang muda belia.
Sementara itu, Dewa Arak dan Melati langsung menganggukkan kepala sambil melemparkan senyum ramah pada para penduduk Desa Ginang, begitu Ki Sagotra memperkenalkan jati diri mereka.
"Nah! Sekarang kalian boleh kembali ke tempat masing-masing. Kecuali... kau! Kau, dan kau!" tuding Ki Sagotra pada tiga orang di antara mereka. "Aku memerlukan kalian untuk menyampaikan surat permintaan tolongku kepada perguruan-perguruan silat aliran putih."
Seketika itu pula wajah ketiga orang yang terpilih itu pias. Terlihat jelas kalau mereka dilanda rasa takut yang amat sangat. Tapi, apa daya? Ini sudah pilihan kepala desa, dan mereka tidak bisa membantah lagi. Dengan perasaan iri, mereka menatap kawan-kawan mereka yang tidak terpilih, dan kini tengah beranjak meninggalkan tempat pertemuan itu.
Dewa Arak dan Melati hanya bisa mengeluh dalam hati melihat ketakutan yang melanda hati tiga penduduk yang terpilih itu. Mereka berdua sama sekali tidak bisa menyalahkan. Karena sepasang pendekar muda ini telah mendengar berita kalau dulu, puluhan tahun lalu, setiap urusan yang dikirimkan guru silat desa ini tidak pernah sampai di tempat tujuan! Mereka tewas di tengah jalan dalam keadaan mengerikan!
"Nah! Ini surat yang harus kalian sampaikan!" kata Ki Sagotra lagi, berusaha untuk tidak mempedulikan perasaan yang berkecamuk di hati ketiga orang urusan itu.
Dengan hati berat, ketiga penduduk yang terpilih jadi utusan itu bangkit dan menerima gulungan surat yang diulurkan kepala desa. Ada dua buah gulungan.
"Serahkan surat ini ke Perguruan Belibis Putih dan Perguruan Tangan Geledek," perintah Ki Sagotra. "Kalian tak perlu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, di dalam surat itu telah kuceritakan semuanya. Jelas?!" pesan Ki Sagotra lagi.
"Jelas, Ki," jawab tiga orang itu hampir berbareng.
"Bagus! Nah, sekarang berangkatlah!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, ketiga utusan yang bertubuh kekar dan berotot karena terbiasa bekerja keras itu mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Langkah mereka nampak gontai. Lesu, selesu hati dan wajah mereka yang terus diliputi rasa takut dan cemas.
Sekarang di tempat itu tinggal Ki Sagotra, Arya, dan Melati, serta lima orang kepercayaan Ki Sagotra. Mereka termasuk di antara penduduk yang selamat dalam peristiwa paku beracun karena tak ikut meluruk ke kuburan Warsini.
Setelah ketiga orang utusan tak terlihat lagi, Ki Sagotra mengalihkan perhatian ke Dewa Arak dan Melati. Kedua pendekar itu sejak tadi diam saja menyaksikan semua kejadian di dalampertemuan warga Desa Ginang.
"Bagaimana dengan nasib Barada, Ki?! Apakah sudah ada berita mengenai dirinya?!" tanya Arya tiba-tiba.
"Hhh...! Aku belum sempat melakukan tindakan apa pun untuk mengusut beritanya, Arya. Mungkin nanti siang baru kuutus serombongan orang untuk mencari jejaknya. Hhh...! Kali ini kelompok penyembah setan terkutuk itu memang harus dilenyapkan untuk selama-lamanya. Bahkan patung itu pun harus dihancurkan! Kalau tidak, bencana ini akan terus datang," desis Ki Sagotra dengan suara ditekan berat.
"Kami berada di belakangmu, Ki," sambut Dewa Arak, cepat "Percayalah, kami tak akan meninggalkan Desa Ginang sebelum masalah ini tuntas!"
"Benar, Ki!" Melati pun menyahut "Dan jangan khawatir masalah ini tidak akan selesai! Kau tahu, Ki. Tidak ada satu pun persoalan yang tidak selesai, setiap kali kawanku ini turun tangan!"
"Melati...," tegur Arya, pelan mendengar ucapan Melati yang sepintas lalu menunjukkan kesombongan.
"Ah...! Begitukah?! Kalau benar demikian, seluruh penduduk desa ini, tentu saja termasuk aku akan berterima kasih sekali pada kalian berdua. Walaupun, untuk kesediaan kalian membantu kami saja, sudah cukup untuk membuat kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga," ujar Ki Sagotra dengan sepasang mata berbinar.
"Lupakanlah semua basa-basi itu, Ki! Bukankah hal paling penting yang harus kita lakukan adalah melenyapkan pelaku penyebar maut itu?!" Arya berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ki Sagotra mengangguk-anggukkan kepala membenarkan ucapan pemuda berambut putih keperakan di sampingnya.
Mendadak Dewa Arak menolehkan kepala ke kiri. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah kaki mendekati tempat itu. Namun, belum sempat pemuda berambut putih keperakan itu berpaling secara penuh, angin telah lebih dulu berkesiut. Dan...
Jliggg!
Di tempat itu telah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi kurus dan berpakaian kuning. Menilik dari kumis, jenggot, dan rambutnya yang telah memutih, kakek itu telah berusia lanjut. Mungkin tak kurang dari delapan puluh tahun.
"Eyang Sawunggaling...!" seru Ki Sagotra agak terkejut. Kepala Desa Ginang itu langsung memberi hormat, diikuti lima orang kepercayaannya. Maka, Dewa Arak dan Melati pun buru-buru memberi hormat pula.
Kakek berpakaian kuning yang ternyata bernama Eyang Sawunggaling segera membalas penghormatan mereka. "Aku mendengar keributan di desa ini, Sagotra?! Apa yang telah terjadi?! Kudengar kelompok penyembah patung keramat itu muncul lagi dan meminta korban! Apakah hal itu benar?!" tanya Eyang Sawunggaling.
Anehnya, kedua bibir kakek berpakaian kuning sama sekali tidak bergerak! Padahal suara tanya itu jelas terdengar di telinga mereka. Dewa Arak dan Melati terkejut bukan kepalang melihat kenyataan ini, Jelas, kalau kakek itu memiliki kepandaian tinggi, sehingga mampu berbicara tanpa menggerakkan bibir.
Eyang Sawunggaling mampu berbicara melalui perut! Sepasang pendekar muda itu melirik Ki Sagotra dan orang-orang kepercayaannya. Ternyata raut wajah mereka tidak menampakkan perasaan kaget. Hanya ada dua dugaan. Mereka tidak menganggap hal itu sebagai hal yang aneh, atau mungkin mereka memang sudah mengetahui, kakek berpakaian kuning itu orang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Benar, Eyang. Semua yang Eyang dengar itu benar. Korban telah berjatuhan dengan ciri-ciri kematian yang sama dengan kejadian puluhan tahun lalu. Aku, lima orang kepercayaanku, dan para penduduk yang selamat telah menyaksikan sendiri kematian beberapa penduduk desa."
Kemudian secara singkat Ki Sagotra menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi.
"Hm..., benarkah patung keramat itu telah muncul lagi?!" tanya Eyang Sawunggaling setengah tak percaya.
"Benar, Eyang. Memang, kami tidak sempat menyaksikan kebenarannya, begitu juga dengan korban yang berada di patung itu. Tapi dua orang sahabat ini menyaksikannya," sahut Ki Sagotra sambil menunjuk Dewa Arak dan Melati sebagai saksinya.
Eyang Sawunggaling menolehkan kepala ke Dewa Arak dan Melati. Dengan penuh selidik ditatapnya sepasang pendekar muda itu. "Hm..., kalian berdua bukan orang sembarangan rupanya," ujar Eyang Sawunggaling tanpa menggerakkan bibir, setelah memperhatikan sejenak. "Coba kalian ceritakan semua yang kalian lihat."
Dewa Arak dan Melati segera menceritakan semuanya secara bergantian.
"Hm...," Eyang Sawunggaling mengangguk-anggukkan kepala setelah sepasang pendekar berwajah elok itu menyelesaikan ceritanya.
"O ya, hampir aku lupa. Arya, Melati, beliau ini Eyang Sawunggaling. Orang yang telah berhasil menumpas kepala kelompok penyembah patung keramat itu," Ki Sagotra memperkenalkan Eyang Sawunggaling pada Melati dan Dewa Arak.
Dewa Arak dan Melati mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya ini dia tokoh yang luar biasa itu? Pantas Ki Sagotra dan lima orang kepercayaannya begitu menghormatinya, pikir kedua pendekar itu.
"Aku juga semula tidak percaya, Eyang. Bukankah dahulu kita dibantu tokoh-tokoh persilatan aliran putih telah berhasil menumpas habis gerombolan itu. Bahkan sarang mereka pun telah kita hancurkan hingga rata dengan tanah! Rasanya mustahil kalau ada dari antara mereka yang selamat. Bukankah begitu, Eyang?!" ucap Ki Sagotra lagi.
Eyang Sawunggaling tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kakek berpakaian kuning itu terdiam dengan dahi berkernyit dalam seperti tengah memikirkan sesuatu. Lalu...,
"Hhh...!" Eyang Sawunggaling menghela napas berat seolah-olah tengah mengusir suatu ganjalan di hati. "Sebenarnya tidak semua anggota gerombolan itu tertumpas. Masih ada di antara mereka yang selamat," lanjutnya.
"Mana mungkin, Eyang?!" bantah Ki Sagotra, heran. "Aku tahu pasti tak seorang pun di antara mereka yang selamat. Sekeliling tempat itu telah kita kurung. Demikian pula dengan jalan rahasia yang menghubungkan sarang mereka dengan tempat lain, telah kita hadang! Bagaimana bisa ada yang lolos?! Apa kau tidak salah, Eyang?!"
"Tidak, Sagotra. Aku tidak salah. Memang masih ada yang tidak tertumpas," ujar kakek berpakaian kuning itu dengan yakin.
"Kau mengetahuinya secara pasti, Eyang?" tanya Ki Sagotra meminta ketegasan.
"Benar," Eyang Sawunggaling menganggu kepala.
Terlihat jelas di mata Dewa Arak betapa kakek berpakaian kuning itu menanggung beban berat. Itu bisa diketahui dari caranya menjawab pertanyaan Sagotra. Tentu saja hal ini menimbulkan tanda tanya besar di hati pemuda berambut putih keperakan itu.
"Dan kau membiarkannya, Eyang?!" kejar Ki Sagotra setengah tak percaya bercampur kaget. Bahkan saking tidak menyangkanya, pertanyaan itu dikeluarkan dengan setengah menjerit.
Kali ini Eyang Sawunggaling tak menjawab, hanya menganggukkan kepala. Tapi hal itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
"Hhh...!" Ki Sagotra menghela napas berat "Kalau tidak mendengar dari Eyang, aku tak akan percaya, Eyang. Tapi, mengapa kau melakukan hal itu, Eyang? Bukankah kau sendiri telah mengetahui betapa besar ancaman bahaya kelompok terkutuk itu. Jangan-jangan kekuatan kelompok setan itu sekarang jauh lebih kuat dari yang dulu."
"Tidak mungkin!" tandas Eyang Sawunggalin mantap.
"Mengapa kau begitu yakin, Eyang?! O ya, kalau boleh, aku ingin tahu mengapa Eyang membiarkannya lolos dari kematian? Dan bagaimana caranya dia bisa lolos dari maut?!"
"Sayang sekali, Sagotra. Aku belum bisa menjawabnya sekarang. Tapi, percayalah! Aku yang akan menangkapnya dan membawanya kepadamu untuk dihukum sesuai dengan tindakan kejahatannya!"
Usai berkata demikian, kakek berpakaian kuning itu menghentakkan kaki. Hanya dengan sekali lesatan saja, tubuhnya telah berada tiga belas tombak di depan. Hal ini menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat kesempurnaan.
Dewa Arak, Melati, dan Ki Sagotra menatap hingga bayangan tubuh Eyang Sawunggaling lenyap di kejauhan.
"Hhh...! Sama sekali tak kusangka kalau Eyang Sawunggaling melakukan tindakan yang demikian berbahaya. Membiarkan anggota kelompok penyembah setan itu lolos. Hhh...! Benar-benar tak bisa kumengerti," desah Ki Sagotra setengah tidak percaya.
"Tapi kalau mendengar ceritanya, bisa kusimpulkan kalau yang dibiarkan lolos oleh Eyang Sawungga ling hanya satu orang," ujar Arya.
"Meskipun hanya satu orang, tetap saja berbahaya, Arya. Keberanian tindakannya telah menjadi bukti bahwa dirinya telah memiliki kekuatan! Dan jika hal itu benar, dengan mudah kami akan dibinasakannya. Masalahnya, saat ini kami belum mempunyai persiapan sedikit pun untuk menghadapinya," jelas Kepala Desa Ginang setengah mengeluh.
"Lalu..., sekarang apa yang hendak kau lakukan, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
Ki Sagotra mengangkat bahu. "Aku belum memikirkan tindakan apa pun, Arya. Paling-paling mencari tahu di mana kelompok jahanam itu bersarang. Baru setelah itu, dengan bantuan tokoh-tokoh persilatan yang kami hubungi, dan juga kalian berdua, serta mungkin Eyang Sawunggaling, tindakan penyerbuan akan dilakukan."
"Kalau demikian, bagaimana jika kami mencoba mencari tahu sarang mereka, Ki? Daripada hanya berdiam diri di sini. Barangkali ada yang kami dapatkan. Kalau tidak sarang penjahat itu, yahhh..., siapa tahu mayat Barada," usul Dewa Arak.
"Itu pun bagus, Arya," jawab Ki Sagotra setelah memikirkannya sejenak.
"Kalau demikian, kami pergi dulu, Ki. Ayo, Melati!"
Setelah berkata demikian, Arya segera melesat meninggalkan tempat itu bersama Melati. Hanya dalam beberapa lesatan, tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan Ki Sagotra dan anak buahnya.
Bunyi derap kaki-kaki kuda menghantam jalan tanah berdebu mengiringi perjalanan tiga sosok tubuh kekar berotot. Menilik pakaian yang dikenakan, mereka adalah para petani.
Tidak salah, ketiga orang ini ternyata penduduk Desa Ginang yang diutus untuk mengirimkan surat Ki Sagotra kepada Perguruan Belibis Putih dan Perguaian Tangan Geledek.
Ctar! Ctar! Ctar!
"Hiya! Hiyaaa...!"
Tak henti-hentinya tiga orang warga Desa Ginang itu melecutkan cambuknya ke bagian belakang tubuh kuda tunggangannya. Itu pun masih disertai teriakan-teriakan keras. Semua dimaksudkan agar kuda-kuda itu berlari lebih cepat.
Dalam cekaman rasa takut yang luar biasa, tiga orang bertubuh kekar itu kehilangan akal jernihnya. Tak terpikir oleh mereka rasa sakit yang diderita kuda-kuda itu. Yang ada di benak mereka hanyalah tiba di tempat tujuan secepat mungkin.
Dan hal itu hanya bisa tercapai kalau kuda-kuda mereka berlari dengan cepat. Sehingga mereka melecutnya terus-menerus. Ketiga orang itu tidak berpikir kalau kekuatan binatang-binatang yang mereka tunggangi ada batasnya. Demikian pula kecepatannya.
Debu tebal yang mengepul tinggi di belakang jadi pertanda betapa cepatnya lari kuda-kuda itu. Tak aneh kalau sebentar saja mereka telah melewati mulut desa. Dan tak lama lagi mereka akanmelewati Hutan Jati.
Dan seiring dengan semakin dekatnya dengan mulut Hutan Jati, ketegangan yang melanda hati ketiga orang itu pun semakin memuncak. Mereka tahu kalau beberapa penduduk Desa Ginang telah tewas secara mengerikan di dalam hutan itu.
Seiring dengan meningkatnya rasa takut yang mencekam, semakin sering pula pecut-pecut mereka mendarat di tubuh kuda-kuda itu. Dan kekhawatiran tiga orang penduduk Desa Ginang itu terbukti. Ketika mereka baru saja melewati mulut Hutan Jati, berkelebat sesosok bayangan coklat memotong jalan. Dan...,
"Hup!" Tepat di hadapan mereka, sosok bayangan coklat itu mendaratkan kaki. Karuan saja ketiga utusan Ki Sagotra terkejut bukan kepalang. Tanpa sadar, tali kekang kuda ditarik.
"Hiiieeeh...!" Diiringi suara ringkikan nyaring, kuda-kuda itu berhenti, dengan kaki depan terangkat tinggi-tinggi ke udara.
"Aaah..., kiranya kau, Den! Hampir saja kami mati kaget...?" seru salah seorang di antara tiga utusan Ki Sagotra. Suaranya menyiratkan perasaan lega.
Sosok berpakaian coklat itu menyeringai. "Hendak ke mana kalian sampai tergesa-gesa begitu?" tanya sosok yang dipanggil den itu, tidak ramah suaranya.
"Kami diutus ayahmu untuk menyampaikan surat kepada Perguruan Belibis Putih dan Perguruan Tangan Geledek," jawab lelaki itu sambil mengacungkan dua gulungan surat.
Lelaki itu menjawab pertanyaan sambil tersenyum. Dirinya masih menunjukkan sikap ramah, kendati sosok berpakaian coklat itu memperlihatkan tindak-tanduk sebaliknya. Dan begitu lelaki itu tersenyum tampak gigi depannya yang patah.
"Kau sendiri mengapa berada di sini, Den?" tanya lelaki bergigi patah itu.
"Aku?! Kau menanyakan keberadaanku di sini?! Tidakkah kalian bisa menduganya?!" sambut sosok berpakaian coklat dengan sikap dan suara yang semakin membuat tiga utusan itu merasa tidak enak.
"Benar, Den. Kalau kau tidak keberatan, kita bisa pergi bersama mengantarkan surat ini. Kau tahu, Den. Sekarang bencana besar tengah mengancam desa kita...," jelas lelaki bergigi patah dengan suara pelan.
"Benar, Den!" sambung kawannya mulai bicara.
"Hmh...! Tak perlu kalian memberitahukannya padaku!" tandas sosok berpakaian coklat ketus. "Bukankah bencana yang diakibatkan munculnya patung keramat itu lagi?!"
"Benar. Jadi, kau telah mengetahuinya pula, Den? Apakah ayahmu yang menceritakannya? Tapi, kami yakin jika Eyang Sawunggaling, gurumu, bersedia turun tangan dan surat-surat ini bisa sampai di tujuan, kelompok keji itu bisa kita tumpas seperti puluhan tahun lalu," lelaki bergigi patah terus mengumbar pembicaraan.
"Tutup mulutmu! Jangan sembarangan membacot! Aku sudah tahu bencana yang akan menimpa Desa Ginang, karena akulah pelakunya! Kalian dengar?! Aku pelakunya! Dan kalian enak saja mengatakan kalau aku bakal tertumpas?! Kalian harus mampus! Cabut senjata kalian! Atau ingin mati tanpa melakukan perlawanan?!"
"Biadab! Jadi, kau pelaku semua kekejian itu, Bangsat! Kau tahu tindakanmu akan membuat ayah dan gurumu tak akan bisa mati meram! Kau harus menerima balasannya, Manusia Keji!"
Usai berkata demikian, lelaki bergigi patah itu melompat turun dari kuda. Dan dengan cukup mantap, kedua kakinya berhasil mendarat Tindakan yang sama pun dilakukan kedua temannya. Mereka melompat dari punggung kuda. Dan....
Srat! Srat! Srat!
Sinar terang berkeredep ketika golok-golok yang tergantung di pinggang, mereka cabut "Kau harus menerima balasannya, Iblis Keji! Hiyaaat..!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi tiga utusan Ki Sagotra langsung melakukan penyerangan terhadap sosok berpakaian coklat. Golok-golok mereka menyambar deras ke bagian tubuh putra Ki Sagotra itu.
Tapi sosok berpakaian coklat hanya tersenyum mengejek melihat serangan lawan-lawannya. Jelas, dirinya menganggap ringan serangan-serangan itu. Tak nampak adanya gelagat kalau putra Ki Sagotra akan melakukan tindakan, baik menangkis maupun mengelak. Dia tetap berdiam diri dengan senyum penuh ejekan menghias wajahnya.
Tak! Tak! Tak!
Bertubi-tubi tiga batang golok itu mendarat di dada dan perut sosok berpakaian coklat. Namun bukan tubuh putra Kepala Desa Ginang yang terbelah, melainkan tubuh tiga utusan itu. yang terhuyung-huyung! beberapa langkah ke belakang. Mata golok mereka gompal-gompal. Ketiganya merasakan tangannya begitu sakit.
Seolah-olah bukan tubuh manusia yang mereka bacok melainkan gumpalan baja! Benturan mata golok dengan tubuh putra Ki Sagotra pun terdengar seperti beradunya dua buah logam keras.
"Ha ha ha...!" Sosok berpakaian coklat itu tertawa bergelak. Tawa gembira bernada penuh kemenangan. "Kalian boleh pilih bagian yang paling empuk! Ha ha ha...! Kuberi kalian kesempatan untuk melancarkan serangan sepuas hati kalian, sebelum aku turun tangan membunuh kalian! Ha ha ha...!"
Tiga orang utusan Ki Sagotra saling menatap dengan sorot mata ngeri. Sejak semula pun mereka telah menyadari kalau sosok berpakaian coklat itu terlalu kuat bagi mereka. Namun, perasaan geram dan dendam, membuat mereka tak menghiraukannya. Ditambah karena adanya perasaan nekat karena tahu kalau sosok berpakaian coklat tak akan mau mengampuni mereka.
Tapi sekarang ketiganya sadar kalau tindakan perlawanan mereka akan sia-sia. Itulah sebabnya meskipun dalam adu pandang itu tidak terlihat isyarat apa pun. Namun mereka sama-sama mengerti kalau masing-masing diri membuat keputusan sama. Kabur! Kebetulan kuda-kuda mereka masih berada di situ. Maka bagai diberi perintah, ketiga orang ini membalikkan tubuh dan berlari menuju kuda-kuda mereka.
"Hup!" Hampir bersamaan waktunya, ketiga penduduk desa itu telah berhasil duduk di punggung kuda.
"Hmh! Mau ke mana kalian? Jangan harap bisa lolos dari tanganku!" desis sosok berpakaian coklat, masih dengan sikap tenang. Tidak terlihat sedikit pun tanda-tanda kalau dirinya merasa kaget melihat tindakan yang diambil tiga orang lawannya. Dan seiring keluarnya ucapan itu, tangan kanannya dikibaskan setelah terlebih dulu dimasukkan ke balik baju.
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring terdengar dari bendar benda yang dikibaskan sosok berpakaian coklat, dan ternyata paku itu, meluncur.
Cap! Cap! Cap!
"Hieeeh...!"
Baru saja ketiga kuda itu berlari beberapa langkah, paku paku yang dilepaskan sosok berpakaian coklat telah menancap di tubuh bagian belakangnya. Dan seperti juga paku-paku yang membantai penduduk Desa Ginang, paku-paku yang dilepaskan sosok berpakaian coklat kali ini pun mengandung racun. Bahkan mungkin jauh lebih ganas. Terbukti, daya kerjanya demikian cepat Baru saja berlari beberapa tindak setelah terhujam paku, ketiga kuda langsung ambruk ke tanah.
Tentu saja hal itu membuat para penunggangnya terkejut bukan kepalang. Tapi karena sama sekali tidak menyangka terjadinya hal seperti itu, mereka tidak sempat melompat. Akibatnya, tiga utusan Ki Sagotra pun ambruk di tanah bersama kuda-kuda tunggangannya.
Brukkk!
Untungnya di saat terakhir, mereka masih sempat melakukan tindakan penyelamatan diri, sehingga tidak tertindih kuda. Jadi, meskipun ikut terbawa jatuh, mereka tetap berada di atas tubuh kuda. Tapi keberuntungan mereka hanya sampai di situ saja. Karena sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tangan sosok berpakaian coklat kembali dikibaskan.
Sing! Sing!
Cap, cap!
"Akh! Akh!"
Jeritan-jeritan tertahan keluar dari mulut tiga penduduk yang malang itu, ketika paku-paku yang dilepaskan sosok berpakaian coklat menancap di tubuh mereka. Sesaat kemudian, akibatnya mulai tampak. Tubuh ketiga orang itu berkelojotan seperti ayam disembelih! Dan yang lebih mengerikan lagi, dari mulut mereka keluar cairan putih dan kental.
"Ha ha ha...!" Sosok berpakaian coklat tertawa bergelak melihat ketiga lawannya menggelepar-gelepar menjelang ajal. Masih dengan tawa yang tidak putus, ditunggunya hingga tubuh ketiga orang itu diam, tidak berkutik lagi. Setelah itu, putra Ki Sagotra melesat cepat meninggalkan mayat ketiga lawannya. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan tubuhnya telah lenyap ditelan kelebatan Hutan Jati.
Kini di tempat itu tinggal ketiga mayat utusan Ki Sagotra. Tidak ada lagi suara ribut-ribut yang berasal dari teriakan-teriakan dan sabetan senjata tajam. Suasana kembaii hening seperti semula. Yang terdengar hanyalah hembusan angin. Pelan, seperti tengah bersedih. Bahkan awan pun berarak menutupi sang Surya yang telah hampir berada di atas kepala. Alam seperti ikut bersedih dengan terjadinya peristiwa itu.
Cukup lama keheningan berlangsung, sebelum akhirnya dari arah Desa Ginang melesat cepat dua sosok bayangan! Mula-mula tak jelas karena jaraknya yang masih terlalu jauh sehingga yang terlihat hanya benda hitam sebesar ibu jari kaki.
Namun ternyata benda-benda hitam itu memiliki kecepatan luar biasa. Terbukti hanya dalam bebera saat saja, bentuknya telah terlihat jelas. Dua benda itu ternyata dua orang manusia yang mengenakan pakaian ungu dan putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati.
"Kau lihat itu, Melati?" sambil tetap berlari, Arya bertanya. Telunjuk kanannya ditudingkan ke depan.
"Lihat, Kang," sahut Melati sambil menganggukkan kepala. Gadis berpakaian putih telah melihat jelas pemandangan di hadapannya. Tiga sosok tubuh manusia tiga ekor kuda bergeletakan di atas tanah.
Seperti juga Arya, gadis berpakaian putih itu menjawab pertanyaan tanpa menghentikan lari. Yang menakjubkan, mereka sama sekali tidak merasa kesulitan melakukan hal itu. Nada bicaranya biasa saja, tidak terengah-engah seperti biasanya orang yang berbicara dalam keadaan berlari.
"Sepertinya..., korban-korban itu para penduduk yang diutus Ki Sagotra untuk menyampaikan surat ke Perguman Belibis Putih dan Perguman Tangan Geledek, Kang?" duga Melati.
"Kurasa kau benar, Melati."
"Hih!"
Hampir berbarengan, sepasang pendekar muda sampai di dekat tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak dan Melati langsung jongkok memeriksa ketiga mayat itu. Hariya sebentar mereka melakukan pemeriksaan.
"Benar. Mereka utusan-utusan yang dikirim Ki Sa gotra, Melati," ucap Arya dengan suara berdesah.
"Ya.... Dan kematian mereka sama persis dengan kematian para penduduk yang mencoba mendekati makam Warsini," sahut Melati. "Berarti mereka dibunuh orang yang sama."
"Lebih tepatnya lagi kelompok yang sama andaikata pelakunya lebih dari seorang," sambung Arya setengah memperbaiki ucapan kekasihnya.
"Kalau menurut dugaanmu..., apakah pelakunya lebih dari seorang, Kang?" tanya Melati, ingin tahu pendapat kekasihnya.
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Diedarkan pandangannya sebentar. Lalu...,
"Meskipun memang belum tentu benar, tapi kemungkinannya besar, Melati. Misalnya, pelaku pencegatan ini seperti telah tahu kalau ada orang yang akan melalui tempat ini untuk meminta bantuan. Kau lihat buktinya? Surat-surat yang dititipkan Ki Sagotra tidak ada di sini. Berarti pelaku pencegatan ini telah mengambilnya," jelas Arya panjang lebar.
"Jadi, kalau menurutmu kelompok penyembah setan itu mempunyai mata-mata, Kang? Dan mata-mata itu hadir ketika Ki Sagotra memberikan tugas pada ketiga orang ini? Menurutku, sulit, Kang. Kau tahu sendiri, kalau waktu Ki Sagotra menyerahkan surat-surat itu hanya ada kita, Ki Sagotra, dan lima orang pengawalnya. Dan sampai kita pergi, tak ada satu pun di antara mereka yang beranjak dari tempatnya. Kapan mereka memberitahukan kepada kelompoknya di sini untuk bersiap-siap mencegat?!" berondong gadis berpakaian putih itu, menyatakan ketidak-setujuannya.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Bisa diterimanya alasan yang diajukan kekasihnya. Alasan itu demikian masuk akal.
"Aku lebih condong menduga kalau tindakan yang akan dilakukan Ki Sagotra, sudah ditebak oleh kelompok keji itu. Tentu, terkaan itu berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan puluhan tahun lalu. Bagaimana menurutmu, Kang?" tanya Melati penuh semangat.
"Dugaanmu masuk akal, Melati. Dan mungkin pula benar. Meskipun demikian, aku tetap yakin kalau pelaku keonaran ini tidak sendirian!" Arya tetap berkeras dengan keyakinannya.
"Aku pun menduga demikian, Kang," dukung Melati.
Arya tak menanggapinya lagi. Dan rupanya Melati memang telah selesai pula mengeluarkan dugaan yang berkecamuk di hatinya. Dan sekarang, keduanya mulai sibuk memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu.
"Apakah kau telah menemukan titik terang yang dapat dijadikan batu loncatan untuk mengungkap rahasia ini, Kang?" tanya Melati, lagi.
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"Apakah titik terang itu, Kang?" lanjut Melati ingin tahu.
"Eyang Sawunggaling," jawab Arya singkat.
"Eyang Sawunggaling," dahi Melati berkernyit "Apakah kau bermaksud mencari keterangan darinya mengenai kelompok penyembah setan itu, Kang?! Apakah penjelasan Ki Sagotra kurang jelas?!"
"Bukan hal itu yang menjadi alasanku, menjadikan Eyang Sawunggaling sebagai titik terang yang dapat membantu kita mengungkapkan rahasia ini," jawab Arya setengah memperbaiki ucapan Melati.
"Lalu...,"
"Kau tidak mendengar percakapan Eyang Sawunggaling dengan Ki Sagotra, Melati?" Dewa Arak malah balas bertanya.
Kontan Melati termenung. Benaknya berputar untuk mengingat-ingat pembicaran yang berlangsung antara Eyang Sawunggaling dan Ki Sagotra di balai desa tadi.
"Aku ingat, Kang!" celetuk Melati setelah beberapa saat lamanya memutar otak. "Bukankah Eyang Sawunggaling telah membiarkan salah seorang kelompok keji itu lolos dari maut?!"
'Tepat, Melati! Dan kau dengar sendiri kan? Eyang Sawunggaling tidak mau memberitahukan pada Ki Sagotra siapa orang yang ditolongnya dan di mana adanya sekarang!"
"Benar, Kang. Malah Eyang Sawunggaling seperti berada di pihak pelaku pembunuhan keji itu. Ini berarti Eyang Sawunggaling punya hubungan erat dengan kelompok keji itu!" dengan penuh semangat Melati mengutarakan dugaannya.
"Tapi ingat, Melati. Kakek itulah yang telah menumpas kelompok itu. Mustahil kalau dirinya kini malah bersekutu," bantah Arya.
"Barangkali dia diancam, Kang?" kembali Melati mengajukan dugaan.
"Untuk jelasnya lebih baik kita selidiki nanti. Sekarang yang penting kita harus masuk Hutan Jati lagi. Barangkali ada sesuatu yang kita temukan di sana."
Kemudian setelah mengubur mayat utusan Ki Sagotra dan bangkai tiga ekor kuda itu. Dewa Arak dan Melati melesat memasuki hutan.
"Kang...," sapa Melati.
Saat itu sepasang pendekar muda telah berada di dalam Hutan Jati. Mereka berjalan saling bersisian.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya seraya menolehkan kepala pada kekasihnya.
"Apakah kau bermaksud terus mengadakan pencarian?! Ingat, Kang. Kita sudah sejak siang tadi mengaduk-aduk seluruh hutan ini, tapi mana hasilnya? Tidak! Kini kau masih saja terus memutari seisi hutan ini! Apakah kau tidak bosan?"
Arya menghentikan langkah. Kemudian ditatap wajah kekasihnya lekat-lekat. Mau tak mau hal itu membuat Melati menghentikan langkah kakinya pula. Bahkan, gadis berpakaian putih itu balas menatap. Dewa Arak tersenyum untuk meredakan ketegangan yang melanda hati kekasihnya.
"Aku akan terus melakukan pencarian, Melati. Dan bahkan aku bertekad untuk tinggal di tempat ini sampai berhasil kudapatkan sebuah titik terang. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau pemecahan semua masalah ada di Hutan Jati ini. Sekarang, kita cari tempat untuk beristirahat!" begitu keputusan yang diambil pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan seiring selesai ucapannya, pemuda berambut putih keperakan itu mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Hanya sebentar saja. Dalam waktu sesingkat itu telah berhasil ditemukan tempat istirahat yang tengah dicarinya. Memang, sinar bulan sepotong di langit cukup jelas untuk menampakkan keadaan di sekitar tempat itu.
"Mari, Melati," ajak Dewa Arak seraya mengayunkan langkah lebih dulu menghampiri sebatang pohon besar berdaun rimbun yang tumbuh di dekat situ.
"Apa yang hendak kau lakukan, Kang?" tanya Melati. Rupanya gadis itu masih belum mengerti tindakan yang akan dilakukan Dewa Arak.
"Istirahat di tempat yang aman, Melati," jawab Arya. Kemudian....
"Hih!" Hanya dengan sekali genjotan kaki, tubuhnya telah melayang ke atas dan hinggap pada salah satu cabang pohon itu. Terpaksa Melati pun melakukan tindakan yang sama.
"Mengapa kau jadi berubah pikiran demikian cepat, Kang?! Bukankah kau bermaksud menyelidiki Eyang Sawunggaling?!" meskipun telah berada di atas pohon, Melati yang tengah dilanda rasa penasaran, langsung mengajukan pertanyaan.
"Aku tidak berubah pikiran, Melati. Justru malah sebaliknya. Aku tengah menunggu Eyang Sawunggaling di sini. Aku yakin dirinya menuju kemari. Hanya saja aku masih belum yakin, apakah sudah berada di dalam hutan ini atau belum. Tapi, tidak ada salahnya kita menunggunya di sini."
Sekarang Melati tidak mengajukan pertanyaan lagi. Walaupun merasa heran, disembunyikan saja perasaan itu, karena dirinya tahu tindakan yang diambil kekasihnya, biasanya benar. Maka, gadis itu pun duduk bersandar pada batang pohon dan menunggu.
Belum berapa lama gadis berpakaian putih itu berada dalam keadaan seperti itu, Arya telah memberikan isyarat padanya. Dengan raut wajah dipenuhi pertanyaan, dijauhkan punggungnya dari batang pohon. Tapi sebelum dirinya sempat mengeluarkan pertanyaan, Dewa Arak telah mendahuluinya. Pemuda berambut putih keperakan itu membisikkan peringatan padanya melalui ilmu mengirim suara dari jauh.
"Jangan berisik, Melati! Aku mendengar ada langkah kaki orang yang mendekati tempat kita...,"
Mendengar pemberitahuan Dewa Arak, Melati langsung memusatkan perhatian pada kedua telinganya, karena ingin mendengar bunyi langkah yang didengar kekasihnya.
Tanpa bersusah-payah dan berlama-lama, Melati telah berhasil mendengarnya. Hal itu bukan karena sosok yang tengah bergerak mendekat memiliki ilmu meringankan tubuh belum sempurna, melainkan karena langkah kakinya yang menerobos hamparan rumput dan semak-semak kering. Jelas, sosok yang bergerak mendekati, tidak memilih-milih jalan.
Menilik dari semakin kerasnya bunyi yang terdengar, dapat diketahui kalau si pemilik langkah memang tengah menuju tempat Dewa Arak dan Melati berada. Karuan saja hal itu membuat sepasang muda-mudi berwajah elok ini menjadi tegang. Di tempat persembunyian, keduanya tak berani bergerak karena khawatir terdengar oleh sosok yang akan melewati tempat mereka itu.
Dan memang, sesaat kemudian sosok yang ditunggu-tunggu lewat di dekat tempat persembunyian Dewa Arak dan Melati. Sepasang pendekar muda itu pun melihatnya. Seketika itu pula, jantung mereka berdebar tegang. Betapa tidak? Sosok itu ternyata Eyang Sawunggaling! Pucuk dicinta ulam tiba! Demikian pikir Arya dan Melati.
Berbeda dengan Dewa Arak dan Melati yang melihat Eyang Sawunggaling, kakek berpakaian kuning itu sama sekali tidak mengetahui adanya sepasang pendekar berwajah elok itu di dekatnya. Dia terus saja mengayunkan langkahnya semakin memasuki perut hutan.
"Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
"Jangan melakukan rindakan apa pun! Tunggu saja sampai saat yang tepat. Aku ingin tahu ke mana dia akan pergi. Barangkali dirinya tengah menuju ke tempat pelaku pembunuhan keji itu. Mudah-mudahan saja hal itu benar, sehingga kita tak perlu repot-repot lagi untuk mencari sarangnya," jawab Dewa Arak.
Seperti juga Melati, pemuda berambut putih keperakan itu memberikan jawaban dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Sementara itu, Eyang Sawunggaling terus mengayunkan kakinya. Terlihat agak tergesa-gesa, tapi tidak berlari. Langkah yang digunakannya lebar-lebar.
Dengan pandangan mata, Dewa Arak dan Melati memperhatikan Eyang Sawunggaling yang mulai menjauh. Baru setelah dirasakan keadaan aman, Arya merayap turun. Pemuda berambut putin keperakan itu tidak berani melompat turun karena khawatir bunyi yang terdengar akan sampai di telinga Eyang Sawunggaling. Telah disaksikan sendiri kelihaian Eyang Sawunggaling, ketika berada di balai desa.
Hal itulah yang menyebabkan Arya bertindak hati-hati. Hal yang sama pun dilakukan Melati. Dan kini dengan langkah hati-hati, serta sesekali berlindung di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak, sepasang pendekar muda mengikuti Eyang Sawunggaling dari belakang.
Sementara itu Eyang Sawunggaling terus mengayunkan langkah tanpa memperhatikan suasana di sekelilingnya. Sama sekaii tidak ditoleh-tolehkan kepalanya ke belakang. Kakek berpakaian kuning terus melangkah dengan pasti. Seolah-olah dirinya tak merasa khawatir sekali kalau ada orang yang menguntit perjalanannya.
Setelah melalui perjalanan yang berliku-liku, dan terkadang menguak kerimbunan semak-semak, tak lama kemudian di kejauhan tampak sebuah bangunan. Dewa Arak dan Melati saling berpandangan. Mereka sama sekali tak menyangka, di dalam hutan ini terdapat sebuah bangunan. Mereka telah mengaduk-aduk seluruh penjuru hutan, tapi tak pernah menemukan adanya bangunan itu.
Meskipun demikian, Dewa Arak dan Melati langsung bisa menduga kalau bangunan itu sarang kelompok penjahat keji di waktu puluhan tahun lalu. Benarkah Eyang Sawunggaling tersangkut-paut dengan peristiwa pembunuhan beruntun belakangan ini? Batin sepasang muda-mudi ini menduga-duga.
Masih dengan pandangan tertuju ke depan, Eyang Sawunggaling mengayunkan langkah memasuki bangunan yang sudah tidak pantas disebut bangunan itu. Keadaannya amat menyedihkan. Di samping sudah tua, juga terlihat porak-poranda.
Yang lebih parah lagi, tidak nampak sedikit pun bentuk bangunannya. Hanya pagar tembok melingkari bekas sebuah bangunan yang terlihat. Pagar itu pun tidak memiliki daun pintu gerbang. Dan di dalam pagar tembok itu pun hanya hamparan lantai semen dengan sedikit puing-puing di sana-sini.
Begitu melihat Eyang Sawunggaling telah berada di dalam lingkungan pagar tembok tinggi itu, Dewa Arak dan Melati pun melesat cepat ke balik tembok. Merapatkan punggung di sana. Kemudian dengan langkah hati-hati, menuju ke pagar tembok yang berada di samping kanan. Di sana, tumbuh sebatang pohon besar berdaun rimbun. Mereka telah sepakat untuk melakukan pengintaian dari sana.
Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak dan Melati telah berhasil duduk di salah satu cabang pohon yang terlindung dedaunan rimbun. Dari sini sepasang pendekar muda melayangkan pandang ke bawah.
Dugaan mereka ternyata tidak meleset. Di tengah hamparan lantai semen, di antara puing-puing yang berserakan, tampak benda yang selama ini dicari-cari Arya, patung keramat! Patung itu berdiri kokoh seperti menunjukkan kelebihannya atas semua reruntuhan puing-puing di sekitar situ.
Hampir saja Dewa Arak dan Melati berseru gembira saking senangnya melihat pemandangan di bawah mereka. Apalagi ketika melihat adanya pemuda berpakaian coklat yang duduk bersimpuh di depan patung itu. Inikah pelaku serangkaian pembunuhan keji itu?! Batin kedua pendekar itu.
Bukan hanya itu yang dapat mereka saksikan. Nampak Eyang Sawunggaling tengah mengayunkan langkah mendekati pemuda berpakaian coklat. Pemuda berpakaian coklat rupanya mengetahui kedatangan Eyang Sawunggaling, buktinya langsung bangkit berdiri sambil membalikkan tubuh. Sikapnya terlihat demikian waspada. Jelas, pemuda berpakaian coklat itu telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi, begitu melihat orang yang menghampirinya, pemuda berpakaian coklat langsung merubah sikap.
"Guru...," sambut pemuda berpakaian coklat itu sambil memberi hormat.
"Hm...," sambutan yang keluar hanya dengus pendek bernada dingin. Ketidak-senangan tampak jelas di wajah Eyang Sawunggaling.
"Bagus benar kelakuanmu, Jantara," terdengar dingin ucapan dari mulut Eyang Sawunggaling. Sama dinginnya dengan tarikan wajah dan sorot sepasang matanya.
"Aku... aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Guru," ujar pemuda berpakaian coklat yang ternyata bernama Jantara, terbata-bata.
"Rupanya kau masih mau berpura-pura bodoh, hehhh?! Kau tahu semua perbuatanmu sudah kuketahui! Kau tidak usah mungkir lagi! Sekarang juga saatnya kau harus menerima kematian, Manusia Tidak Tahu Diri!" hardik Eyang Sawunggaling, keras. "Dari mana kau dapatkan patung itu, hehhh?!"
"Aku mengambilnya dari dalam Danau Songket, Guru," jawab Jantara, bernada salah.
"Itulah tempat aku membuang patung itu, tahu?! Dari mana kau bisa mengetahui tentang patung itu, hehhh?!" desak Eyang Sawunggaling masih dengan rasa murka yang tidak tertahan.
"Maaf, Guru! Aku tidak bisa memberitahukannya padamu."
"Keparat! Menyesal aku menyelamatkanmu dulu, Manusia Tidak Tahu Di Untung! Kau tahu siapa dirimu?! Kau keturunan iblis-iblis berwajah manusia penyembah patung sialan itu! Karena tak sampai hati, kuselamatkan dirimu dari ancaman maut ketika kelompok jahat orang-tuamu hampir menemui kehancuran!"
Eyang Sawunggaling menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Rasa kecewa terhadap kelakuan muridnya telah menyebabkan dirinya mengeluarkan kata-kata yang kasar.
"Tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh persilatan lain kau telah kuselamatkan. Harapanku, mudah-mudahan kau tidak mempunyai kelakuan seperti orangtuamu! Saat itu kau masih bayi. Umurmu belum ada satu tahun. Dengan harapan agar menjadi orang baik, kuangkat kau sebagai murid. Bahkan kuminta Ki Sagotra agar bersedia menjadi ayahmu. Karena memandang diriku, dia bersedia. Sama sekali tidak kusangka kalau kau mempunyai kelakuan tak beda dengan orangtuamu! Aku lupa kalau buah apel tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Orang-tuanya jahat, mana mungkin keturunannya akan baik!"
"Aku mohon hentikan, Guru," pinta Jantara memelas. "Kau boleh menghukumku atas kesalahan yang telah kuperbuat. Tapi, jangan menghina orang-tuaku terus-menerus! Betapapun jahatnya mereka masih tetap orang-tuaku, orang yang telah membuatku lahir ke atas dunia ini. Dan aku tak rela mereka dijelek-jelekkan!"
"Kau tidak usah mengajariku, Murid Murtad!" dalam cekaman rasa kecewa yang menggelegak, Eyang Sawunggaling tidak kuasa mengontrol ucapannya. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Sebenarnya, bisa dimaklumi kekecewaan Eyang Sawunggaling, karena semula berharap banyak pada muridnya itu. Murid yang membuatnya merasa bangga kalau dalam usia dua puluh tahun telah berhasil mewarisi seluruh ilmunya.
"Bersiaplah untuk menerima hukumannya, Murid Murtad! Hih!"
Wuttt!
Deru angin keras terdengar ketika Eyang Sawunggaling melancarkan serangan ke arah dada Jantara. Tapi pemuda berpakaian coklat itu sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Dia berdiri tanpa persiapan sama sekali. Bahkan sepasang matanya pun dipejamkan. Jelas, Jantara telah pasrah menerirna hukuman gurunya.
Semua kejadian itu tidak luput dari pandangan Melati dan Dewa Arak. Kedua pendekar muda terkejut bukan kepalang. Mereka tak menyangka kalau masalahnya berkembang seperti itu. Dan keterkejutan keduanya semakin memuncak ketika melihat sikap pasrah yang ditunjukkan Jantara!
Perasaan kaget ini membuat Melati terjingkat. Bunyi gemerisik dedaunan pun timbul. Suara itu ternyata berpengaruh terhadap Jantara dan Eyang Sawunggaling! Murid dan guru yang sama sekali tak menyangka ada orang lain di sekitar tempat itu, juga menjadi kaget karenanya. Dan hal itu kembali menyebabkan perubahan yang tak terduga. Pukulan yang dilancarkan Eyang Sawunggaling jadi meleset arahnya. Tidak menghantam ulu hati, melainkan dada kiri.
Bukkk!
"Huakh...!" Darah segar muncrat dari mulut Jantara ketika pukulan Eyang Sawunggaling menghantam telak dadanya. Seketika tubuh pemuda berpakaian coklat itu terlempar deras ke belakang, dan melayang sejauh beberapa tombak sebelum akhirnya terbanting di tanah.
Tanpa mempedulikan keadaan Jantara lagi, Eyang Sawunggaling mengalihkan perhatian ke asal suara yang mengejutkannya barusan. Tapi belum lagi, dia berbuat sesuatu, telah berkelebat dua sosok bayangan.
Jliggg!
Begitu ringan kedua sosok tubuh itu mendarat di dekat Eyang Sawunggaling. Hal ini membuat kakek berpakaian kuning itu mengalihkan perhatian.
"Ah...! Kiranya kau, Sagotra, Liwung," ujar Eyang Sawunggaling dengan suara berdesah.
Dua sosok yang baru datang itu memang Ki Sagotra bersama seorang pemuda berpakaian coklat. Tubuhnya kekar. Namun wajah pemuda gagah itu tidak mempunyai kulit yang baik. Kulit wajahnya rusak, penuh bopeng!
"Guru...!" sebut pemuda berpakaian coklat yang bernama Liwung itu pada Eyang Sawunggaling. "Apa yang terjadi, Guru?!"
"Iya. Apa yang telah terjadi? Mengapa Jantara terkapar di sana? Siapa yang telah melakukannya? Dan.., bukankah itu patung keramat milik kelompok penyembah setan itu, Eyang?" Ki Sagotra menudingkan telunjuknya ke patung yang berada tak jauh dari mereka.
"Hhh...!" Eyang Sawunggaling menghela napas berat. "Ceritanya cukup panjang. Tapi akan kucoba untuk menjelaskannya pada kalian."
Kakek berpakaian kuning ini menghentikan ucapannya untuk mencari kata-kata yang tepat guna memulai ceritanya,
"Begitu kudapat berita darimu, aku langsung kemari, Sagotra. Mengapa? Karena aku tahu, anggota kelompok pembunuh keji yang masih tersisa itu akan berada di sini, di tempat leluhurnya. Dan dugaanku tidak salah. Kujumpai orang itu di sini. Jantaralah, orang yang kubiarkan lolos waktu itu, Sagotra. Jantara, saudara seperguruanmu, sekaligus adikmu adalah keturunan kelompok penyembah setan, Liwung! Maka aku terpaksa melenyapkannya selamalamanya!" tutur Eyang Sawunggaling menutup ceritanya.
"Aaah...! Sama sekaii tidak kusangka!" desis Liwung setengah tak percaya.
"Untunglah, kau telah bertindak cepat, Eyang. Sehingga malapetaka selanjutnya tidak akan terjadi lagi," sambung Ki Sagotra penuh perasaan gembira.
"Semua itu karena tindakan cepatmu, Sagotra. Kalau tidak ada kau, mungkin peristiwa puluhan tahun lalu akan terulang kembali. Maafkan aku, Sagotra! Kecerobohanku membuat petaka ini telah terulang lagi. Bahkan mungkin akan membuatmu malu, bagaimanapun orang-orang desa hanya tahu kalau Jantara adalah anakmu. Mereka tak tahu kalau Jantara anak angkatmu!" ujar Eyang Sawunggaling penuh penyesalan.
"Lupakanlah, Eyang! Semua itu telah terjadi. Tidak ada gunanya lagi disesali," sahut Ki Sagotra bi-jaksana.
"Kau benar, Sagotra," ujar Eyang Sawunggaling menganggukkan kepala. "Tapi..., ada satu masalah yang masih membuatku bingung."
"Apa itu, Eyang?" tanya Ki Sagotra ingin tahu.
"Dari mana Jantara tahu kalau dirinya keturunan kelompok penyembah setan itu? Patung keramat itu, dan bahkan tempat di mana patung itu kubuang! Aku yakin, kalau tidak ada yang memberitahukannya, dia tak akan pernah tahu. Karena aku tidak pernah membicarakannya. Bahkan aku selalu mengatakan kalau dia putramu! Aku yakin, ada yang telah memberitahukannya. Apakah kau tahu dengan siapa dia sering berbincang-bincang, Sagotra?"
Ki Sagotra tercenung sejenak. "Aku juga tidak tahu, Eyang," jawab Ki Sagotra, singkat.
Eyang Sawunggaling mengangguk-anggukkan kepala dengan dahi berkernyit dalam. Jelas, kakek berpakaian kuning ini tengah berpikir keras.
"Guru...," Mendengar sapaan Liwung itu, membuat Eyang Sawunggaling menolehkan kepala ke belakang. Entah kapan, Liwung berada di belakangnya, Eyang Sawunggaling sama sekali tidak mengetahuinya. Dan begitu, kepala Eyang Sawunggaling ditolehkan,
Brrr!
"Uhp!" Secepat kilat Eyang Sawunggaling melindungi wajah dan terutama sekali sepasang matanya ketika Liwung menyebarkan serbuk ke wajahnya. Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Dan Eyang Sawunggaling tak menyangkanya. Akibatnya, dia sama sekali tak sempat mengelak selain hanya melindungi wajahnya.
Dan memang Eyang Sawunggaling berhasil melindungi sepasang matanya dari serbuk-serbuk itu, tapi gagal untuk menghalangi hidungnya. Begitu terisap, Eyang Sawunggaling merasa kepalanya mendadak pening. Saat itulah Ki Sagotra membokongnya dengan babatan pedang!
Wuttt! Crattt!
"Akh...!" Eyang Sawunggaling memekik kesakitan ketika pedang Ki Sagotra menyerempet perutnya. Lalu dengan cepat Ki Sagotra melompat ke belakang, menjauhkan diri dari serangan balasan yang akan dilancarkan Eyang Sawunggaling. Tindakan yang sama telah dilakukan Liwung setelah berhasil melaksanakan maksudnya.
"Uh...! Uh...!" Dengan tubuh terhuyung-huyung Eyang Sawunggaling mendekap perutnya yang mengeluarkan darah. "Kalian..., apa yang telah kalian lakukan...?" tanya Eyang Sawunggaling terbata-bata. Raut wajahnya menyiratkan keheranan yang amat sangat.
"Sederhana saja, Eyang. Kami ingin membunuhmu," datar ucapan Ki Sagotra.
"Uh... uh...! Tapi, mengapa?" kejar Eyang Sawunggaling lagi, masih dengan raut wajah yang menyiratkan ketidak mengertian.
"Tentu saja untuk membuang ancaman dikemudian hari," enteng jawaban Ki Sagotra.
"Ancaman?! Aku merupakan ancaman bagi kalian?! Aku... aku jadi semakin tidak mengerti...!"
"Ha ha ha...!" Hampir berbareng Liwung dan Ki Sagotra tertawa bergelak.
"Sebenarnya kau tak perlu mengerti, Eyang Sawunggaling! Tapi, karena kau memaksa, akan kami beritahukan. Tapi, akibatnya kau tahu? Kau tak akan bisa mati meram! Kau akan mati dengan penuh perasaan menyesal! Mengapa? Karena kau telah membunuh orang yang sama sekali tak bersalah!" tandas Ki Sagotra.
"Aku membunuh orang yang tak bersalah?! Aku... aku jadi semakin tak mengerti!" raut keheranan semakin tampak jelas di wajah Eyang Sawunggaling.
"Hehhh?! Kau tak mengerti? Bukankah kau baru saja membunuh orang yang tak bersalah, Eyang? Orang yang sama sekali tidak tahu malapetaka yang tengah menimpa Desa Ginang karena sibuk dengan patung peninggalan orang-tuanya?!"
"Hahhh...? Jadi..., jadi... Jantara bukan pelaku pembunuhan beruntun terhadap penduduk Desa Ginang?!" tanya Eyang Sawunggaling dengan perasaan terkejut yang tak terkira. Sorot penyesalan pun mulai nampak pada wajahnya.
"Siapa yang mengatakan kalau Jantara pembunuh yang cerdik itu?! Tidak ada bukan? Kau saja yang terlalu terburu nafsu! Kau!" tuding Ki Sagotra pada Eyang Sawunggaling.
"Oooh...!" Masih dengan kedua tangan memegangi perutnya, Eyang Sawunggaling menundukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan penyesalan. "Lalu..., siapa sebenarnya pelaku pembunuhan itu, Sagotra? Pasti kau, bukan?! Kau bersama Liwung, bukan?!" tebak Eyang Sawunggaling tanpa gairah.
Rasa menyesal yang amat sangat memenuhi seluruh rongga dada kakek berpakaian kuning itu. Betapa tidak? Dirinya telah menghukum Jantara yang sama sekali tidak bersalah.
"Dugaanmu tepat, Eyang. Aku bersama anakkulah pelaku semua pembantaian ini! Aku yang merencanakannya, dan Liwung yang melaksanakannya. Rapi, bukan?!" jelas Ki Sagotra panjang lebar.
"Aku masih tidak mengerti mengapa kau lakukan semua kekejian ini, Sagotra? Padahal, apa yang kau dapatkan dari semua tindakanmu?" tanya Eyang Sawunggaling tidak mengerti.
Kepala Desa Ginang tak langsung menjawab pertanyaan itu. Diperhatikannya Eyang Sawunggaling penuh selidik. Aliran darah dari perut sudah terhenti karena kakek itu telah menotok jalan darah di sekitar luka. Dilihatnya pula sikap berdiri Eyang Sawunggaling yang mulai limbung. Ki Sagotra tahu apa penyebabnya.
Apalagi kalau bukan bubuk yang ditaburkan Liwung. Bubuk itu mengandung racun yang dapat membuat orang kehilangan tenaga dalamnya sekalipun hanya mengisap baunya. Untung dirinya dan Liwung telah lebih dulu meminum obat penangkalnya sehingga tidak terpengaruh.
Karena tahu kalau kakek berpakaian kuning yang sakti ini sudah tidak berdaya, Ki Sagotra berani membuka semua rahasia yang selama ini disimpannya.
"Tentu saja kepuasan batin, Eyang. Kau tahu kan, puluhan tahun lalu seluruh anggota keluargaku habis dibantai kelompok penyembah setan itu! Bahkan istriku pun demikian pula. Adik-adik perempuanku malah mengalami nasib yang lebih mengerikan! Sejak itulah aku bersumpah untuk membasmi habis kelompok jahanam itu! Akan kuhancurkan semua orang yang termasuk dalam kelompok itu berikut keturunannya!" terdengar berapi-api dan penuh dendam ucapan yang keluar dari mulut Ki Sagotra. Rupanya dirinya teringat kembali sakit hatinya.
"Dapat kau bayangkan betapa sakitnya hatiku, ketika kutahu kau malah menyelamatkan keturunan pimpinan kelompok penjahat itu!" sambung Ki Sagotra lagi dengan nada pahit. Ingatan-ingatan tentang masa lalu, membuat kegembiraannya tertutupi.
"Jadi..., kau tahu kalau aku menyelamatkan keturunan Sepasang Iblis Kembar itu?" tanya Eyang Sawunggaling setengah tak percaya.
Memang, kelompok penyembah setan itu dipimpin suami istri tokoh sesat yang berjuluk Sepasang Iblis Kembar. Suami istri ini sebenarnya saudara kembar. Namun mereka sakti, di samping sangat kejam. Telah banyak tokoh persilatan yang tewas di tangan mereka. Baik dikalahkan oleh ilmu silat, maupun ilmu hitam yang mereka miliki.
"Kau kira aku buta, Eyang Sawunggaling?! Hanya saja aku berpura-pura tidak tahu! Kulayani permainan sandiwaramu, sambil diam-diam merancang siasat yang baik untuk menghancurkannya!" tukas Ki Sagotra cepat.
"Oooh..., kalau demikian akulah yang bodoh!" keluh Eyang Sawunggaling lemas.
"Dendamku semakin berkobar ketika kau malah menyuruhku mengangkatnya sebagai anakku. Apalagi ketika kau menjadikannya murid!" sambung Ki Sagotra dengan suara tinggi. "Aku pun membencinya pula!" sahut Liwung. "Karena di samping dia punya bakat yang lebih baik dariku. Aku iri padanya. Dan perasaan iri itu berkembang menjadi kebencian dan dendam ketika dia memikat hati Warsini bermodal ketampanannya. Maka kuputuskan untuk melenyapkannya agar aku bisa mendapatkan Warsini!"
"Aku tahu perasaan yang berkobar di hati Liwung. Itulah sebabnya kuajak dia merencanakan suatu jalan untuk melenyapkan Jantara. Untuk melakukannya secara berterus terang, kami tidak berani karena Jantara memiliki kepandaian tidak rendah. Belum lagi kau yang berada di belakangnya. Maka kuputuskan untuk mencari siasat yang dapat menyingkirkannya sekaligus menghancurkanmu! Tindakan-tindakanmu yang selalu menyakitikulah yang membuatku mengambil keputusan untuk membawamu serta dalam pembalasan dendam ini, Eyang," urai Ki Sagotra panjang lebar.
"Dan rencana yang kami susun ternyata luar biasa. Mula-mula kuceritakan pada Jantara siapa sebenarnya dirinya. Tentu saja setelah lebih dulu kubuat janji dengannya, agar dia tidak membicarakan hal itu denganmu."
"Terkutuk! Iblis! Rupanya kau yang telah memberitahukannya!" maki Eyang Sawunggaling geram. Kini dia duduk di tanah karena tidak kuat lagi berdiri. Tubuhnya terasa lemas bukan kepalang.
"Setelah dia berhasil mengambil patung keramat milik orangtuanya dari danau, pelaksanaan rencana yang kami susun pun, kami mulai. Keberuntungan tengah berpihak pada kami, Warsini dan Barada melakukan perjalanan ke Desa Dadap. Maka rencana pertama pun kulaksanakan. Barada kubunuh dan mayatnya kubuang ke tempat yang tidak mungkin kalian temui. Sedangkan Warsini..., tentu saja kunikmati dulu sebelum kubunuh. Aku sama sekali tidak mimpi akan bisa mendapatkan dara molek itu," ujar Liwung dengan nada kurang ajar.
"Dan kejadian selanjutnya berlangsung sesuai rencana kami," sambung Ki Sagotra lagi.
"Oooh...!" Kembali Eyang Sawunggaling mengeluarkan keluhan penyesalan. Dilayangkan lagi pandangannya ke sosok tubuh Jantara yang terkapar. Sorot penyesalan tampak jelas baik pada tarikan wajah maupun sorot matanya. "Untuk melaksanakan pembalasan dendam, kau tega membunuhi penduduk yang sama sekali tidak berdosa, Sagotra?!"
"Apa boleh buat? Untuk mencapai sebuah tujuan selalu diperlukan pengorbanan. Lagi pula, bukan aku yang melakukan pembunuhan, jadi aku sama sekaii tidak menyesal," kelit Ki Sagotra.
"Aku pun tidak menyesal. Bahkan aku merasa gembira melakukannya, orang-orang itu sering mengejekku karena cacat yang kumiliki. Memang, tidak secara langsung tapi aku tahu. Mengapa aku harus menyesal membunuh orang seperti itu?" bantah Liwung pula.
"Lalu..., tindakanmu terhadapku?!" kejar Eyang Sawunggaling lagi.
"Apa boleh buat, Eyang," jawab Ki Sagotra. "Hal itu kami lakukan sebagai pembelaan diri saja. Kau dapat menjadi ancaman di kemudian hari, apabila tidak dilenyapkan. Karena kami tahu, serapat-rapatnya rahasia disimpan, pasti akan terbongkar pula. Dan kami tidak ingin itu terjadi! Itulah sebabnya hal ini kami lakukan!"
"Mereka sama sekali tidak salah, Liwung. Kaulah yang salah. Watak yang buruk membuat mereka tak suka padamu. Bukan karena wajahmu. Kenyataannya, semua penduduk menyukai Jantara. Hhh...! Hanya aku saja yang terburu nafsu, sehingga tak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka! Dan mampuslah! Hih!"
Diawali sebuah teriakan keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar, Liwung melompat menerjang gurunya. Golok besar di tangannya disabetkan ke leher Eyang Sawunggaling secara mendatar.
Wukkk!
Bunyi mengiuk nyaring dari udara yang terbabat golok mengiringi meluncurnya serangan itu menuju sasaran. Sudah dapat dipastikan kalau sebentar lagi kepala kakek berpakaian kuning itu akan terpisah dari lehernya karena sudah tidak berdaya lagi.
Patut dipuji kebesaran hati Eyang Sawunggaling. Meskipun maut tengah menghampirinya, tetap tidak merasa gentar. Bahkan matanya menatap terus senjata Liwung yang tengah meluruk ke tubuhnya. Tapi sebelum mata golok itu mendarat di sasaran, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat memapak!
Trangngng!
Bunga api berpijar ketika batang golok Liwung berbenturan dengan pedang sosok bayangan putih. Begitu keras benturan yang terjadi, sehingga mengakibatkan tubuh kedua belah pihak sama-sama kembali ke tempat semula. Liwung terhuyung-huyung ke belakang, sedangkan sosok bayangan putih kembali terlempar ke udara.
Namun dengan sebuah gerakan manis, baik Liwung maupun sosok bayangan putih berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terlon-tar ke belakang.
"Keparat! Kiranya kau, Wanita Jalang! Kau akan menerima ganjaran atas kelancanganmu ini! Kau akan kutelanjangi lalu kuperkosa sampai mati!" seru Liwung keras.
Wajah sosok bayangan putih yang tak lain adalah Melati ini kontan merah padam, mendengar ucapan Liwung. Maka sambil mengeluarkan jeritan melengking nyaring, diteriangnya pemuda berpakaian coklat itu.
Wungngng!
Bunyi mendengung keras laksana naga murka terdengar ketika Melati menusukkan pedangnya ke leher Liwung. Dalam kemarahannya gadis berpakaian putih itu mengeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.
Liwung terkejut bukan kepalang melihat kedahsyatan serangan Melati. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi gugup. Buru-buru dilempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara untukmenyelamatkan diri.
Usaha yang dilakukan Liwung tidak sia-sia. Serangan Melati hanya mengenai tempat kosong. Tapi, tentu saja gadis berpakaian putih itu tidak tinggal diam. Serangan yang dilancarkannya tidak berhenti sampai di situ. Begitu, serangan pertamanya berhasil dielakkan, segera dilancarkan serangan susulan. Maka Liwung pun kewalahan menyelamatkan diri.
Wajah Ki Sagotra langsung berubah ketika mengetahui orang yang telah menyerang putranya. Dirinya tahu kalau Melati ada, Dewa Arak pasti ada pula. Dan ternyata benar dugaan Kepala Desa Ginang. Karena sesaat kemudian, berkelebat sosok bayangan biru. Dan tahu-tahu didekat Eyang Sawunggaling telah berdiri Dewa Arak.
Dewa Arak menatap Ki Sagotra sekilas. Kemudian menatap pertarungan yang berlangsung antara Melati dan Liwung sejenak. Baru ketika diyakini kalau Melati akan sanggup menghadapi lawannya, dialihkan perhatian pada Eyang Sawunggaling.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, Anak Muda," ucap Eyang Sawunggaling. "Tapi kumohon, kau periksa dulu keadaan muridku! Barangkali dia belum tewas."
"Jangan khawatir, Eyang! Aku akan melaksanakan permintaanmu. Tapi, terlebih dulu aku akan membawa Eyang ke sana agar bisa lebih leluasa memberikan pertolongan."
Usai berkata demikian, Dewa Arak membopong tubuh Eyang Sawunggaling. Kemudian membawanya ke tempat tubuh Jantara tergeletak. Karuan saja tindakan Dewa Arak membuat Ki Sagotra khawatir bukan kepalang. Dia tahu kalau Eyang Sawunggaling tertolong, bahaya besar akan mengancam dirinya dan Liwung.
Maka begitu dilihatnya, pemuda berambut putih keperakan itu tengah menuju ke arah Jantara, dan tidak mempedulikannya lagi. Langsung saja goloknya dicabut!
Srattt! Singngng!
Ki Sagotra langsung melemparkan goloknya ke punggung Dewa Arak. Tapi serangan itu tak berarti banyak untuk tokoh yang memiliki kepandaian seperti Dewa Arak. Tanpa membalikkan tubuh, dipapaknya luncuran golok itu dengan sebuah tendangan kaki kanan ke belakang.
Takkk! Singngng!
Dengan tendangan seperti itu, Dewa Arak telah berhasil membuat golok yang ditemparkan Ki Sagotra meluncur kembali ke arah dirinya. Dan yang lebih mengerikan lagi, golok itu meluncur dengan kecepatan yang berlipat ganda.
Tentu saja kejadian itu sama sekali tidak disangkanya. Ki Sagotra menjadi gugup. Buruburu dilempar tubuhnya ke samping dan dengan menggunakan tangan sebagai tumpuan, digulingkan tubuhnya. Ki Sagotra melakukan lompatan harimau untuk menyelamatkan diri.
"Uuuh...!" Ki Sagotra menghembuskan napas lega begitu berhasil menyelamatkan diri dari maut Dihapusnya keringat yang membasahi kening dengan punggung tangan.
Sementara itu Dewa Arak terus saja mengayunkan langkahnya. Dirinya sama sekali tak mempedulikan akibat papakan yang dilakukannya tadi. Langkah pemuda berambut putih keperakan itu terhenti ketika telah berada di dekat tubuh Jantara yang tergolek. Dibungkukkan tubuhnya, lalu diletakkannya tubuh Eyang Sawunggaling di tanah, di sebelah tubuh Jantara.
Setelah itu Dewa Arak baru memeriksa tubuh Jantara. Dengan tindakan seorang yang telah memiliki pengalaman luas, Dewa Arak memeriksa detak jantung dan denyut nadi Jantara. Hasil pemeriksaan yang didapat membuat wajah Arya berseri.
"Bagaimana keadaannya, Anak Muda? Ada harapan?" tanya Eyang Sawunggaling tak sabar ingin segera mengetahui hasilnya. Meskipun dari raut wajah Dewa Arak bisa diperkirakan hasilnya, tapi kakek ini ingin mendengar jawaban dari Dewa Arak.
"Ada, Eyang," jawab Dewa Arak sambil menggelengkan kepala.
"Syukurlah," ucap Eyang Sawunggaling dengan bibir menyunggingkan senyuman. "Yang jelas, membutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkannya kembali seperti sediakala."
"Hal itu tidak menjadi masalah, Anak Muda. Asal dirinya selamat aku sudah sangat bersyukur. Kalau tidak, aku akan mati penasaran. Hhh...! Sudah dua kali kau menolong kami, Anak Muda."
"Dua kali?" Dewa Arak mengernyitkan alis. "Bukankah hanya baru kali ini aku menolongmu, Eyang."
"Bukankah kau dan kawanmu yang berada di atas pohon itu?" tanya Eyang Sawunggaling.
"Benar, Eyang," Arya menganggukkan kepala. "Tapi apa hubungannya?"
"Keberadaan kalian ketika aku tengah melancarkan serangan terhadap Jantaralah yang telah menyelamatkan nyawanya. Aku kaget karena tidak menyangka ada orang yang mengintai kami. Sehingga serangan yang kulakukan meleset. Jantara pun dilanda perasaan yang sama. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tenaga dalamnya bergolak sehingga tubuhnya terlindung tenaga dalam sewaktu seranganku menghantamnya. Padahal, aku tahu kalau semula dirinya tak mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Bukankah itu berarti kau telah menyelamatkan kami pula?" jelas Eyang Sawunggaling panjang lebar.
"Kalau begitu kau keliru dua kali, Eyang. Yang menyelamatkan kalian berdua adalah kawanku. Kedua-duanya dia yang melakukannya. Pertama dia kaget melihat sikap pasrah Jantara, sehingga tanpa sadar dia melakukan gerakan yang membuat kau dan muridmu mengetahuinya. Dan yang kedua, dia pula yang menyelamatkan nyawamu dari tangan Liwung!" bantah Arya bermaksud meluruskan keadaan yang sebenarnya.
"Kau atau dia sama saja, Anak Muda. Yang jelas, kami berdua berhutang nyawa padamu. Mudah-mudahan kami berhasil membalasnya kelak," ucap Eyang Sawunggaling berharap.
"Lupakanlah, Eyang! Orang hidup di dunia ini memang untuk saling tolong-menolong. Kau pun bertindak demikian, Eyang. Bukankah kau yang telah membasmi kelompok pemuda setan itu?!"
Usai berkata demikian, Arya mengalihkan perhatian ke arah Melati. Ternyata keadaan di kancah pertarungan sudah mulai berubah. Melati mulai kerepotan menghadapi lawannya.
Karena kini yang dihadapinya bukan hanya Liwung tapi juga Ki Sagotra. Mereka berdua tak segan-segan mempergunakan racun dalam serangannya. Baik dengan mempergunakan serbuk-serbuk beracun, maupun serangan berupa senjata rahasia berbentuk paku.
Dewa Arak tak berani mengambil risiko. Dirinya tidak ingin Melati menjadi korban. Telah disaksikannya sendiri kedahsyatan racun yang terkandung dalam paku.
"Menyingkirlah, Melati! Biar aku yang menghadapi mereka. Kau jaga Eyang Sawunggaling dan Jantara saja!" ujar Dewa Arak dengan penggunaan ilmu mengirim suara dari jauh.
Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak melesat menuju kancah pertarungan. Dan ketika tubuhnya tengah berada di udara, diambil guci yang tergantung di punggung, kemudian dituangkan kemulutnya.
Gluk...! Gluk...! Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar, ketika arak itu melewati tenggorokan Arya dalam perjalanannya menuju ke perut. Seketika itu pula ada hawa hangat yang berputar di perut Dewa Arak. Perlahan-lahan hawa itu naik ke atas.
Jliggg!
Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya dekat kancah pertarungan dengan kedudukan kaki tidak tetap. Tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari seperti hendak jatuh. Hal ini menjadi pertanda kalau Dewa Arak telah siap mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Melihat kekasihnya telah siap untuk bertarung, Melati pun melempar tubuh ke belakang untuk menjauhkan diri. Tubuhnya bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat tepat di dekat tubuh Jantara dan Eyang Sawunggaling tergolek.
Liwung dan Ki Sagotra sama sekali tidak bisa mengejar Melati untuk melancarkan serangan-serangan susulan. Karena Dewa Arak telah menghadang langkah mereka. Mau tak mau ayah dan anak yang merupakan orang-orang terpandang Desa Ginang ini menyerbu Dewa Arak.
Tahu kalau Dewa Arak merupakan lawan yang amat tangguh dan sudah pasti memiliki kepandaian di atas Melati, Liwung, dan Ki Sagotra tak ragu-ragu mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Golok di tangan Liwung dan Ki Sagotra berkelebat cepat mencari-cari sasaran.
Rupanya Ki Sagotra telah mengambil kembali golok miliknya yang tadi hampir memanggang tubuh Arya. Tidak hanya itu saja serangan-serangan yang di kirimkan Liwung dan Ki Sagotra. Sesekali Liwung melemparkan paku-paku beracunnya.
Sing! Sing! Sing!
Tapi semua serangan ayah dan anak ini selalu kandas. Serangan-serangan yang dikirimkan selalu saja mengenai tempat kosong. Memang, dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' tidak merupakan hal yang sulit bagi Dewa Arak mengelakkan setiap serangan yang mengancamnya. Bahkan Dewa Arak membalas dengan serangan-serangan yang membuat Liwung dan Ki Sagotra kelabakan dan pontang panting berusaha menghindarinya.
Dewa Arak tahu di antara lawannya, Ki Sagotra yang lebih lemah. Itulah sebabnya desakan-desakan yang dilancarkan sebagian besar ditujukan pada Ki Sagotra. Karuan saja hal itu membuat Ki Sagotra kelabakan. Untung berkali-kali Liwung berhasil menyelamatkannya.
Brrr!
Pada jurus ketiga puluh dua, mendadak Liwung melemparkan serbuk beracunnya. Menurut perkiraan pemuda berpakaian coklat ini, Dewa Arak pasti akan mengelakkannya seperti yang dilakukan Melati. Namun dia kecele! Dewa Arak malah meniup serbuk itu. Terlihat jelas pemuda berambut putih keperakan itu tidak merasa khawatir kalau hawa beracun itu akan terisap olehnya.
Melihat hal ini Liwung dan Ki Sagotra merasa girang bukan kepalang. Menurut dugaan mereka, Dewa Arak pasti akan lemas. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak terpengaruh. Memang, di dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak seperti kebal akan segala jenis racun (Untuk jelasnya, silakan baca serialDewa Arak dalam episode perdananya: Pedang Bintang).
Liwung dan Ki Sagotra merasa takjub bercampur geram melihat kenyataan ini. Sama sekaii tak disangka, kalau racun mereka sama sekaii tidak berpengaruh terhadap Dewa Arak yang bertarung bagai orang mabuk itu. Beberapa kali pemuda berambut putih keperakan itu seperti akan jatuh. Baik dalam mengelak atau melakukan penyerangan. Dan yang lebih hebat lagi, saat mendapat serangan pemuda berambut putih keperakan itu malah enak-enakan menenggak araknya. Begitu juga ketika melakukan serangan.
Kini pertarungan telah menginjak jurus ke sembilan puluh sembilan. Keadaan Liwung dan Ki Sagotra semakin terdesak. Sudah dapat dipastikan kalau mereka akan roboh di tangan Arya. Lamanya pertarungan itu pun sebagian karena serangan-serangan racun mereka yang cukup menghambat serangan balasan Dewa Arak.
Penyebab lain yang membuat pertarungan itu berlangsung lama, kemampuan ayah dan anak ini untuk bekerja sama. Hal ini tidak aneh karena Liwung dan Ki Sagotra memiliki ilmu yang sama, ilmu-ilmu milik Eyang Sawunggaling. Liwung menimbanya dari Eyang Sawunggaling, sedangkan Ki Sagotra mempelajarinya dari putranya.
"Hiaaat...!"
"Hiyaaat..!"
Pada jurus ke seratus tiga belas, Liwung dan Ki Sagotra melancarkan serangan berbareng dari dua arah. Liwung mengirimkan serangan dari depan dengan sebuah babatan ke pinggang Dewa Arak. Sedangkan Ki Sagotra melancarkan serangan berupa tusukan ke arah punggung pemuda berambut putih keperakan itu.
"Hih!"
Dewa Arak menghentakkan kaki hingga tubuhnya melayang ke atas. Hasilnya serangan-serangan lawannya mengenai tempat kosong. Pada saat yang bersamaan dengan lompatannya, dilancarkan serangan ke arah lawan-lawannya dengan kakinya. Kaki kanan ke tubuh Liwung sedang kaki kiri pada Ki Sagotra. Masing-masing kaki menjulur ke arah yang berlawanan.
Bukkk! Bukkk!
Bunyi berderak keras tulang-tulang yang patah terdengar ketika sepasang kaki Dewa Arak mendarat di tenggorokan kedua lawannya,. Telak dan keras bukan kepalang. Sehingga tubuh Liwung dan Ki Sagotra terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Darah segar menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinga. Saat itu juga nyawa ayah dan anak itu melayang ke alam baka.
Jiiggg!
Begitu mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak memperhatikan tubuh Liwung dan Ki Sagotra tergolek diam di tanah. Kemudian dilangkahkan kakinya menuju tempat Melati, Jantara, dan Eyang Sawunggaling berada.
Seiring dengan selesainya pertarungan itu, suasana hening pun kembali menyergap. Malam semakin terus bergulir menuju dini hari, dan tak lama lagi fajar akan muncul mengusir kegelapan yang menerangi persada...