Dewa Arak - Empat Dedengkot Pulau Karang
SATU
"Auuung...!"Lolong anjing hutan terdengar membelah kesunyian malam. Begitu menyayat hati, seakan-akan mengisyaratkan akan terjadi sesuatu. Lolongan itu terus terbawa angin, sehingga sampai ke telinga empat sosok yang tengah bersila di dalam ruangan sebuah bangunan tua di kaki bukit.
Bagai diperintah, empat sosok tubuh yang semuanya laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, saling berpandangan. Tampak ada sorot keheranan, baik pada tarikan wajah maupun sorot mata mereka.
"Aneh! Aku seperti merasakan adanya keanehan dalam lolongan anjing hutan kali ini. Atau..., aku yang terlalu berprasangka...," desis kakek pendek kekar bertelanjang dada, pelan.
"Lho?! Mengapa dugaan kita bisa sama, Malaikat Pisau?" sambut kakek yang bertubuh kurus terbalut pakaian kuning, sambil menatap wajah kakek pendek kekar, penuh rasa heran.
Kakek pendek kekar yang ternyata berjuluk Malaikat Pisau menatap wajah kakek kecil kurus itu lekat-lekat. Tidak aneh kalau kakek itu berjuluk Malaikat Pisau. Karena di bagian dadanya tampak bertengger jajaran pisau-pisau mengkilat Dan sepak terjangnya juga bagaikan malaikat maut.
"Suatu hal yang aneh kalau kita bisa mempunyai dugaan sama, Pendekar Tangan Sakti," desah Malaikat Pisau pada kakek kecil kurus yang berjuluk Pendekar Tangan Sakti. "Mungkinkah ini pertanda buruk?"
"Bagaimana dengan kau, Lodra? Petani Maut?!" tanya Pendekar Tangan Sakti seraya menoleh ke arah dua sosok lainnya.
Kakek yang berpakaian lusuh berwarna abu-abu dan berkulit hitam kecoklatan, serta mengenakan sebuah caping bambu, hanya mengangkat bahu.
"Rasanya sulit untuk memberikan tanggapan, karena aku tidak merasakan seperti yang kalian rasakan," jawab kakek berkulit hitam, kalem. Menilik ciri-cirinya, dialah yang berjuluk Petani Maut.
"Kalau menurut pendapatku, untuk apa memperasalahkan hal itu? Pertemuan kita di tempat ini hanyalah untuk mempererat persahabatan yang telah dibina sejak belasan tahun lalu, dan untuk melihat kemajuan masing-masing," sergah kakek yang terakhir, yang dipanggil Lodra.
Kakek yang nama panjangnya Sima Lodra itu mempunyai ciri-ciri paling angker dibanding ketiga orang kawannya. Tubuhnya tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat. Rambutnya hitam, panjang, dan bergelombang. Cambang bauk lebat yang menghias wajah, semakin menambah keangkerannya.
"Misalkan saja, dugaan kalian berdua benar," lanjut Sima Lodra, sambil menatap berganti-ganti wajah Malaikat Pisau dan Pendekar Tangan Sakti. "Lalu, mengapa perlu dipusingkan? Toh, kita bukan tokoh sembarangan. Andaikata benar itu suatu bahaya, mengapa mesti takut menghadapinya?"
Malaikat Pisau dan Pendekar Tangan Sakti saling berpandangan sejenak sebelum menganggukkan kepala. Sedangkan Petani Maut sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa-apa pada wajahnya.
"Terima kasih atas nasihatmu, Lodra. Kau benar. Tidak selayaknya bersikap seperti itu. Aku terbawa perasaan...," ucap Malaikat Pisau malu-malu.
Sima Lodra hanya mengangkat bahu. "Bagaimana? Bisakah acara ini dilanjutkan?!" desak Petani Maut tak sabar.
"Ha ha ha...!" Tawa ketiga orang rekannya seketika meledak.
"Kau benar, Petani Maut! Kami pun sudah tidak sabar lagi untuk melihat kemajuan ilmu yang kau miliki! Ingin kulihat kehebatan permainan tudung dan cangkulmu!" sambut Sima Lodra, keras.
"Ah! Mana bisa dibandingkan dengan jurus 'Harimau' yang kau miliki, Lodra?!" sahut Petani Maut, merendah.
"Tapi sehebat-hebatnya jurus 'Harimau'ku, tak akan berarti apa-apa bila menghadapi ilmu 'Tinju Angin' Pendekar Tangan Sakti," kelit Sima Lodra sambil mengerling ke arah kakek kecil kurus.
Pendekar Tangan Sakti mengarahkan pandangan ke arah Sima Lodra dan Petani Maut berganti-ganti. "Tidakkah kalian mendengar kehebatan permainan pisau dari Malaikat Pisau?! Dengan pisau-pisaunya jangankan aku, nyamuk pun tidak akan lolos dari kematian!"
Malaikat Pisau menggelengkan-gelengkan kepala. "Kau keliru, Pendekar Tangan Sakti! Apa sih, artinya sebuah pisauku jika dipakai untuk menghadapi tudung dan cangkul Petani Maut?! Tidak akan berarti apa-apa!" kakek pendek kekar ini tidak kalah merendah.
"Ha ha ha...!" Terdengar suara tawa keras menggelegar dari mulut Sima Lodra. Rupanya, kakek tinggi besar ini gemar tertawa. Tawanya pun terdengar menggiriskan, mirip auman harimau!
Semula suara tawa keempat tokoh persilatan aliran putih itu terdengar begitu keras, bagai hendak meruntuhkan bangunan yang mereka tempati. Apalagi dalam suara tawa itu terkandung tenaga dalam. Dan semakin lama, suara tawa itu semakin mengecil. Sampai akhirnya, lenyap sama sekali. Dan kini suasana sekitar tempat itu pun sunyi sepi seperti mati.
Tapi sebelum keempat orang kakek sakti itu berbuat sesuatu, terdengar sebuah tawa keras menggelegar, namun bukan dari salah seorang di antara mereka.
"Ha ha ha...!"
Keras bukan kepalang tawa itu, sehingga membuat dinding-dinding dan atap bangunan bergetar hebat bagai terjadi gempa. Jelas, tawa itu dikeluarkan dari mulut orang-orang bertenaga dalam tinggi.
Bagai diberi perintah, Pendekar Tangan Sakti, Petani Maut, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra serentak melesat keluar. Memang, dari sanalah suara itu berasal. Cepat laksana kilat gerakan mereka, sehingga yang terlihat hanyalah kelebat bayangan yang tak jelas bentuknya.
Begitu menginjakkan kaki di luar bangunan, keempat kakek sakti itu segera melihat pemilik suara tawa keras menggelegar tadi. Sekitar tiga tombak di depan Pendekar Tangan Sakti, Petani Maut, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra, berdiri empat sosok tinggi besar berkulit hitam. Pakaian yang dikenakan sama dengan warna kulit. Bahkan rambut mereka keriting semuanya.
Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, Petani Maut, dan Sima Lodra saling berpandangan sejenak. Meskipun demikian, langsung bisa diketahui kalau ada sebuah pertanyaan yang bergayut di dalam hati masing-masing. Salah satu di antara mereka ternyata tidak ada yang mengenal empat sosok berpakaian hitam itu.
"Siapakah di antara kalian yang berjuluk Pendekar Tangan Sakti?" tanya salah seorang yang dahinya terdapat sebuah codet. Suaranya keras mengguntur, tak kalah dengan suara Sima Lodra.
"Aku!" jawab Pendekar Tangan Sakti mantap sambil melangkah setindak.
Laki-laki bercodet itu menatap wajah Pendekar Tangan Sakti penuh selidik. Seakan-akan, dia tengah menilai dengan sinar matanya. "Kalau begitu..., tiga orang yang berada bersamamu ini pasti Sima Lodra, Malaikat Pisau, dan Petani Maut," tebak laki-laki berhidung gerumpung.
"Dugaanmu tidak salah, Kisanak! Sekarang kami yang ganti bertanya. Siapakah Kisanak semua?" Sima Lodra yang menyambuti pertanyaan itu.
Lantang dan mantap suara Sima Lodra. Sikapnya terlihat gagah. Apalagi sambil berkata demikian, kakinya melangkah maju dengan dada dibusungkan.
"Kami memang tidak tersohor seperti kalian berempat. Karena, kami memang tidak suka nama. Kami berasal dari sebuah perguruan yang terletak di sebuah pulau yang jauh dari sini. Kedatangan kami sengaja untuk meluaskan pengalaman. Maka kami ingin mengadakan pertarungan melawan tokoh-tokoh persilatan yang mempunyai kepandaian tinggi. Dan kami dengar di pulau ini banyak tokoh sakti. Salah satu tokoh yang kami kenal ciri-cirinya adalah Pendekar Tangan Sakti. Dan menurut kabar, Pendekar Tangan Sakti selalu mengadakan pertemuan dengan tiga orang temannya yang bernama Sima Lodra, Malaikat Pisau, dan Petani Maut. Untunglah pada saat yang tepat, kami bisa bertemu kalian berempat. Maka, kalian berempatlah pilihan pertama kami. Berilah kami pelajaran!" jelas salah seorang yang berwajah bopeng.
"Tapi sebelum pertarungan berlangsung, kami akan mengenalkan diri," sambung lainnya yang berbibir tebal. "Aku Bandawasa!"
"Namaku Janaka," sebut laki-laki berwajah bopeng.
"Aku Mahesa," sambung laki-laki berhidung gerumpung.
"Mahadewa," sebut laki-laki bercodet, tak ketinggalan.
Pendekar Tangan Sakti, Petani Maut, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra tersenyum lebar. Lega rasanya hati mereka ketika mengetahui tidak ada persoalan dengan keempat orang berpakaian hitam itu.
"Tapi perlu kalian ketahui," sambung Mahadewa. "Meskipun pertarungan nanti tanpa persoalan, tapi kami akan mengerahkan seluruh kemampuan. Jadi, keluarkanlah kemampuan kalian. Jangan sungkan-sungkan, karena bukan tidak mungkin di antara kita ada yang tewas!"
Petani Maut, Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra saling berpandangan. Mereka tahu, Mahadewa bermaksud baik. Tapi meskipun demikian, tetap saja keempat tokoh persilatan aliran putih ini tersinggung, karena merasa diremehkan.
"Kami tidak butuh nasihatmu, Mahadewa! Kami tahu apa yang harus dilakukan!" tandas Sima Lodra keras. Memang, dialah yang paling berangasan dibanding ketiga orang kawannya.
"Kalau begitu, bersiaplah kalian!" Bandawasa memberi peringatan.
Serentak keempat orang berpakaian hitam itu berpencar. Dan kelihatannya pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. Maka Pendekar Tangan Sakti dan rekan-rekannya pun bergerak menyebar pula.
"Hiaaat...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, Mahadewa, Janaka, Mahesa, dan Bandawasa meluruk ke arah lawan masing-masing. Maka Pendekar Tangan Sakti dan ketiga orang kawannya langsung menyambut. Sesaat kemudian, pertarungan pun berlangsung.
Janaka ternyata tidak berbohong sewaktu mengatakan kalau dia dan rekan-rekannya berasal dari satu perguruan. Jelas kalau dari gerakan menunjukkan bahwa mereka berasal dari satu aliran. Dasar-dasar, gerakan, dan kuda-kuda menunjukkan kemiripan satu sama lain. Yang menyebabkan adanya perbedaan pada gerakan-gerakan mereka hanya terlihat dari bakat masing-masing saja.
"Hiyaaat..!"
Bandawasa membuka serangan dengan sebuah pukulan lurus ke arah dada kiri Pendekar Tangan Sakti. Deru angin keras mengiringi tibanya serangannya. Namun Pendekar Tangan Sakti tak gugup melihat serangan lawan. Maka, buru-buru kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Dan ternyata serangan itu mengenai tempat kosong, beberapa jari di sebelah kiri Pendekar Tangan Sakti.
Tapi tindakan kakek kecil kurus ini tidak hanya sampai di situ saja. Cepat laksana bayangan, tangan kirinya meluncur cepat ke arah rusuk. Gerakannya sama sekali tidak terduga. Meluncur, setelah terlebih dahulu berputar mempergunakan pangkal lengan. Sungguh tidak percuma, kakek kecil kurus ini berjuluk Pendekar Tangan Sakti. Gerakan tangannya sangat cepat dan tidak terduga-duga.
Bandawasa agak terkejut juga, ketika melihat serangan yang meluncur tidak terduga-duga itu. Meskipun demikian, kelihaiannya masih mampu ditunjukkan. Buru-buru kakinya melangkah ke belakang, seraya mendoyongkan tubuh. Dan nyatanya, serangan itu tidak mencapai sasaran, beberapa jengkal di depan Bandawasa.
Tindakan laki-laki berbibir tebal tidak hanya sampai di situ saja. Begitu kakinya ditarik mundur, tangan kanannya pun digerakkan untuk menangkis serangan Pendekar Tangan Sakti. Rupanya, Bandawasa tidak mau kalah gertak. Maka....
Plakkk!
Suara berderak keras seperti dua logam keras berbenturan terdengar ketika dua buah tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur dua tindak. Hal ini menandakan kedua belah pihak mempunyai tenaga dalam berimbang.
Pendekar Tangan Sakti dan Bandawasa sama-sama menghentikan gerakan. Keduanya saling tatap sejenak, seperti mengukur kekuatan masing-masing. Dan mereka juga sama-sama tidak menyangka, kalau satu sama lain memiliki tenaga dalam sekuat itu.
Tapi hanya sesaat saja hal itu dilakukan, karena sebentar kemudian keduanya tdah kembali saling gebrak disertai pengerahan seluruh kemampuan. Bukan hanya Bandawasa dan Pendekar Tangan Sakti saja yang terlibat dalam pertarungan sengit.
Masing-masing pihak juga terlibat pertarungan yang tak kalah serunya. Mahesa menghadapi Malaikat Pisau, Mahadewa melawan Petani Maut, dan Janaka dengan Sima Lodra. Bagai telah berjanji sebelumnya, masing-masing tokoh bertarung tanpa senjata. Bagi Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra, ini merupakan sebuah keuntungan.
Karena keduanya merupakan tokoh persilatan yang mempunyai ilmu andalan tangan kosong. Sementara, kedua orang rekan mereka yang lain lebih menonjol dalam penggunaan senjata. Malaikat Pisau dengan pisau-pisaunya, sedangkan Petani Maut dengan tudung dan cangkulnya.
Dan kedahsyatan ilmu tangan kosong Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra bisa dirasakan sendiri oleh lawan masing-masing. Bandawasa dan Janaka yang berasal dari satu perguruan itu berkali-kali terperanjat dan tanpa sadar terpekik, kendati bercampur kagum. Tapi hal itu bukan berarti Bandawasa dan Janaka terdesak. Mereka sampai saat ini buktinya masih mampu melayani lawan-lawannya.
Di jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung imbang. Masing-masing pihak saling berganti-ganti melancarkan serangan maupun mengelak. Tapi menginjak jurus kelima puluh, mulai tampak adanya perubahan dalam kancah pertarungan.
Empat orang laki-laki berpakaian hitam itu ternyata memiliki kepandaian lebih tinggi. Buktinya, Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, Sima Lodra, dan Petani Maut yang terkenal itu mengalami kerepotan untuk menundukkan lawan-lawannya. Bahkan sebaliknya, Petani Maut dan Malaikat Pisau kelihatan lebih terdesak.
Semakin lama, kedudukan Petani Maut dan Malaikat Pisau semakin mengkhawatirkan. Kedua orang lawan mereka ternyata memiliki ilmu tangan kosong yang hebat luar biasa. Meskipun demikian, mereka berusaha melakukan perlawanan sekuatnya. Tapi, usaha mereka sama sekali tidak berarti banyak. Begitu pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh....
"Hih!"
Bukkk, desss!
"Akh! Hugh!"
Pada saat yang hampir bersamaan, tubuh Petani Maut dan Malaikat Pisau terlempar ke belakang. Petani Maut terkena tendangan pada paha kanannya, sedangkan Malaikat Pisau menerima sebuah pukulan telak di perut.
Seketika itu pula, kedua pentolan golongan putih rimba persilatan itu pun menyeringai kesakitan. Bahkan tampaknya Malaikat Pisau terluka dalam, ketika terlihat adanya tetesan darah segar di sudut mulutnya.
Meskipun demikian, Malaikat Pisau dan Petani Maut bukan jenis orang yang gampang menyerah. Sambil menggertakkan gigi, mereka kembali menerjang. Malaikat Pisau menubruk Mahesa dan Petani Maut menerjang Mahadewa. Hasilnya, pertarungan pun kembali berlangsung sengit.
Malaikat Pisau dan Petani Maut rupanya sudah nekat. Serangan yang dilancarkan kelihatan bertubi-tubi pada lawan masing-masing. Padahal keadaan mereka saat itu tidak menguntungkan, karena telah sama-sama terluka.
Hasil kenekatan Petani Maut dan Malaikat Pisau sudah bisa ditebak. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, tubuh kedua orang itu telah kembali dibuat terjengkang ke belakang. Masing-masing terkena pukulan pada bahu kanannya.
Brukkk!
Belum sempat Petani Maut dan Malaikat Pisau berbuat sesuatu, tubuh Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra juga terjengkang ke belakang, lalu jatuh berdebuk di tanah. Anehnya, kedua orang itu terkapar jatuh di dekat mereka. Berbeda dengan kedua rekannya yang masih mampu bangkit, Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra justru seperti tak berdaya. Luka-luka yang diderita kelihatannya memang cukup parah, begitu menerima hajaran yang cukup keras pada bagian dada.
Sementara itu, Petani Maut dan Malaikat Pisau yang masih berusaha bangkit, kembali harus menelan pil pahit. Ternyata, Mahesa dan Mahadewa kini sudah mengirimkan serangan disertai pengerahan tenaga lebih kuat daripada sebelumnya. Akibatnya, kini mereka tidak mampu bangkit lagi.
"Hhh...!"
Bandawasa menghela napas berat. Ditatapnya sosok-sosok yang bergeletakan di tanah. Dia kelihatan tidak ingin melancarkan serangan susulan. Demikian pula ketiga rekannya.
"Sama sekali tidak kusangka pertarungan akan berlangsung sesingkat ini," desah Bandawasa bernada keluhan. "Aku kecewa sekali! Apa hanya sampai di sini saja tingkat kepandaian jago-jago di pulau ini?!"
Pendekar Tangan Sakti dan ketiga orang rekannya saling berpandangan satu sama lain. Ucapan Bandawasa membuat mereka merasa tersinggung bukan kepalang. Dan dalam pertemuan pandang itu, mereka seperti sudah sepakat.
"Jangan berbangga hati dulu, Bandawasa! Kemenanganmu terhadap kami bukan jaminan kalau kepandaian kalian melebihi jago-jago persilatan di pulau ini," kata Pendekar Tangan Sakti yang merupakan orang tertua bila dibandingkan ketiga rekannya.
"Lho?! Mengapa demikian? Bukankah kalian pentolan-pentolan persilatan aliran putih di pulau ini? Dan kalian telah kami kalahkan! Bahkan sedemikian rendah! Bukankah itu berarti tingkat kepandaian kami jauh di atas jago-jago di pulau ini?!" bantah Bandawasa, tak mau kalah.
"Ha ha ha...! Kau keliru, Bandawasa!" Kali ini Sima Lodra yang menanggapi dengan suara parau dan keras.
"Keliru?!" ulang Janaka dengan kening berkernyit dalam.
"Benar!" sambut Petani Maut, tidak mau ketinggalan.
"Mengapa kalian berkata demikian?" tanya Mahadewa penasaran.
"Kami memang pentolan aliran putih di pulau ini. Tapi, bukan berarti memiliki tingkat kepandaian tertinggi. Masih banyak tokoh yang memiliki kepandaian jauh di atas kami! Salah satunya, adalah seorang pendekar yang amat terkenal. Apabila dia berhasil dikalahkan, kau boleh bersikap takabur seperti tadi," sergah Pendekar Tangan Sakti, panjang lebar.
"Katakan siapa orang itu?!" desak Bandawasa, penuh rasa ingin tahu. Laki-laki berbibir tebal ini melangkah mendekat. "Katakan siapa dia?!"
Pendekar Tangan Sakti menengadahkan kepala. Tanpa rasa gentar sedikit pun, ditatapnya wajah Bandawasa. Kemudian secara lambat-lambat tapi penuh tekanan, digumamkan sebuah julukan.
"Dewa Arak...!"
DUA
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbarengan, Bandawasa dan ketiga rekannya mengulang julukan yang diucapkan Pendekar Tangan Sakti.
"Benar! Dewa Arak!" tegas Pendekar Tangan Sakti. "Kalau mampu mengalahkannya, baru kalian boleh sesumbar dengan mengalahkan seluruh jago persilatan di pulau ini!"
"Dewa Arak...," Mahesa mengulang julukan itu seperti khawatir akan terlupa. "Sebuah julukan aneh. Nggg..., apakah dia jago minum arak?!"
"Ha ha ha...! Jago minum arak?! Semua tokoh persilatan tahu kalau ketahanannya dalam minum arak tidak mungkin ditandingi jago-jago minum manapun juga. Dialah yang telah memenangkan pertandingan dalam adu kekuatan minum arak dengan jago-jago minum!" sambut Sima Lodra membanggakan. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Pertarungan Raja-Raja Arak).
"Bukan hanya itu saja," sambut Petani Maut. "Apabila dia telah meminum araknya, jangan harap ada seorang pun yang mampu mengalahkannya. Ilmu 'Belalang Sakti'nya belum pernah terkalahkan sampai sekarang!"
"Aku jadi ingin menjajaki, sampai di mana tingkat kepandaian Dewa Arak," kata Janaka, bergetar.
"Jangan-jangan berita yang kami dengar sama dengan apa yang kami dapatkan! Orang-orang persilatan mengatakan kalau kalian adalah pentolan aliran putih di empat penjuru angin. Tapi nyatanya...?" Bandawasa ikut angkat bicara.
"Benar! Apa yang kami dapati dari kalian ternyata benar-benar membuat kecewa!" sambung Mahesa.
"Tidak kami pungkiri, julukan kami cukup terkenal dalam dunia persilatan. Aku di Timur, Pendekar Tangan Sakti di Selatan, Petani Maut di Barat, dan Sima Lodra di Utara. Tapi, kami tidak termasuk datuk-datuk persilatan. Kami terkenal karena banyak terlibat pertarungan melawan tokoh-tokoh aliran hitam!" jelas Malaikat Pisau, panjang lebar.
Bandawasa, Janaka, Mahadewa, dan Mahesa tercenung. Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, tanpa bersuara sepatah kata pun.
"Di mana kami bisa menemukan Dewa Arak?" tanya Bandawasa, tanpa menyembunyikan perasaan ingin tahunya.
"Bagaimana kalian bisa menemukan tempat kami?" Pendekar Tangan Sakti malah balas bertanya.
"Kami menyatroni perguruan silatmu. Dan dari mulut salah seorang murid utama, kami bisa tahu tempat berkumpulnya kalian! Kalian berempat bersahabat baik sejak belasan tahun lalu. Dan setiap dua tahun sekali mengadakan pertemuan untuk menguji kemampuan ilmu," urai Mahesa, panjang lebar.
"Apa yang kalian perbuat terhadap murid-muridku?!" sentak Pendekar Tangan Sakti, kalap. Kakek kurus berbaju kuning ini khawatir, jangan-jangan telah terjadi malapetaka hebat terhadap perguruan silat yang dipimpinnya.
"Tidak usah khawatir, Pendekar Tangan Sakti. Perguruan yang kau pimpin sama sekali tidak terobrak-abrik. Kami hanya memberi luka ringan pada beberapa muridmu yang membandel," jawab Mahesa, kalem.
Mendengar jawaban yang mengandung kesungguhan besar itu, hati Pendekar Tangan Sakti sedikit tenang. Dirasakan ada kesungguhan pada nada ucapan maupun raut wajah Mahesa.
"Kita kembali pada pokok persoalan, Pendekar Tangan Sakti," selak Bandawasa, cepat.
Pendekar Tangan Sakti mengalihkan tatapan ke arah Bandawasa.
"Katakan, di mana kami bisa menemukan Dewa Arak?!"
Pendekar Tangan Sakti saling berpandangan dengan ketiga orang rekannya. Dari adu pandang sebentar itu, bisa diketahuinya kalau ketiga orang rekannya tidak tahu Dewa Arak berada. "Sayang sekali, Bandawasa. Kami tidak tahu, di mana Dewa Arak dan...."
"Bohong! Kau bohong, Pendekar Tangan Sakti!" potong Mahadewa capat. Keras bukan kepalang ucapan Mahadewa, sehingga membuat seluruh tempat ini seperti tergetar hebat. Jelas, laki-laki bercodet ini mengerahkan tenaga dalam sewaktu mengeluarkan bentakan tadi.
Pendekar Tangan Sakti mengalihkan pandangan ke arah Mahadewa. Tampak jelas adanya sinar kemarahan di matanya. Kelihatannya, kakek berpakaian kuning ini merasa tersinggung mendengar ucapan Mahadewa.
"Kami bukan orang semacam itu, Mahadewa! Bagi kami, lebih baik mati daripada berbohong! Sekali kami berkata hijau, tak akan berubah menjadi merah!"
Terdengar berapi-api dan penuh semangat ucapan Pendekar Tangan Sakti. Hatinya benar-benar tersinggung mendengar ucapan Mahadewa. Bahkan bukan hanya Pendekar Tangan Sakti saja. Ketiga orang rekannya pun demikian pula. Tapi yang mereka lakukan hanyalah memandang Mahadewa dengan sorot mata berapi-api.
Melihat hal ini, Bandawasa buru-buru menjulurkan kedua tangannya ke depan. "Tenang, Pendekar Tangan Sakti. Bukannya kami menuduh kau berbohong. Tapi rasanya ucapanmu itu sama sekali tidak masuk akal. Kau mengatakan, Dewa Arak itu seorang tokoh yang amat terkenal. Jadi, mana mungkin kalian tidak tahu tempat tinggalnya!"
"Dia tidak mempunyai tempat tinggal, Bandawasa! Dewa Arak seorang pengelana. Tempat tinggalnya tidak tetap. Nah! Bagaimana mungkin aku bisa menunjukkannya?"
Ucapan Pendekar Tangan Sakti membuat Bandawasa dan ketiga orang rekannya saling berpandangan.
"Luar biasa! Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Arak masih mempunyai semangat sedemikian besar, tidak kalah dengan anak muda! Patut dipuji pengabdiannya pada sesama manusia!" puji Bandawasa, bernada kagum.
Pendekar Tangan Sakti dan ketiga rekannya saling berpandangan. Tarikan wajah mereka memancarkan kebingungan dan keheranan, mendengar ucapan Bandawasa.
"Mengapa kalian tampaknya kebingungan?" bentak Mahadewa, keras. Sebenarnya, bukan hanya Mahadewa saja yang melihat wajah bingung Pendekar Tangan Sakti dan tiga orang rekannya. Tapi, Mahadewalah yang lebih dulu mengajukan pertanyaan.
"Jadi, kalian kira Dewa Arak itu seorang yang sudah jompo?!" Sima Lodra yang mempunyai sifat berangasan langsung angkat bicara.
"Jadi..., Dewa Arak bukan seorang kakek-kakek? Maksudku..., dia seorang pemuda?" tebak Bandawasa mulai mengerti.
"Tepat! Dewa Arak adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluhan," Malaikat Pisau buru-buru menjelaskan. Ada nada kebanggaan dalam ucapannya.
"Seorang pemuda?! Bahkan sudah menjadi jago nomor satu di pulau ini?! Gila!" seru Bandawasa, kaget bercampur kagum.
"Benar," Pendekar Tangan Sakti menganggukkan kepala.
Bandawasa dan ketiga rekannya saling berpandangan. Tarikan wajah mereka menyiratkan keterkejutan. Sungguh tidak disangka kalau Dewa Arak yang begitu dikagumi Pendekar Tangan Sakti dan ketiga rekannya, ternyata seorang pemuda belia.
"Kalau kalian ingin menemukannya, bukan hal yang sulit. Ciri-ciri yang dimilikinya amat menyolok," kata Pendekar Tangan Sakti.
"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Bandawasa penuh gairah.
Pendekar Tangan Sakti tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia termenung, seperti tengah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai menjelaskan. "Nama aslinya Arya Buana. Wajahnya tampan dan gagah. Pakaiannya berwarna ungu. Dan di punggungnya tergantung sebuah guci arak dari perak."
"Jadi itu ciri-cirinya?" desak Bandawasa ketika Pendekar Tangan Sakti menghentikan ucapannya. Dahi laki-laki berbibir tebal itu tampak berkernyit. Sikapnya memberi petunjuk kalau tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Belum semua ciri-cirinya kusebutkan. Masih ada satu ciri lagi yang lebih menyolok. Dewa Arak mempunyai rambut panjang sampai melewati bahu. Dan warnanya..., putih keperakan!" sambung Pendekar Tangan Sakti.
"Hahhh...!" Bandawasa dan ketiga rekannya kaget mendengar ucapan terakhir Pendekar Tangan Sakti.
"Rambutnya putih?" desis Mahesa setengah tidak percaya.
Pendekar Tangan Sakti menganggukkan kepala. "Benar."
Untuk yang kesekian kalinya Bandawasa dan ketiga rekannya termenung. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena....
"Kurasa sudah cukup banyak keterangan yang kami dapat mengenai Dewa Arak. Sekarang, kami pergi untuk mencarinya."
Usai berkata demikian, Bandawasa segera menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke aras dan mendarat beberapa tombak di depan.
Melihat Bandawasa telah melesat, Janaka, Mahesa, dan Mahadewa segera bergerak mengikuti. Hanya dalam waktu sebentar saja, tubuh mereka semua telah lenyap ditelan kejauhan dan kegelapan malam.
"Hhh...! Orang-orang yang amat berbahaya," desis Pendekar Tangan Sakti sambil menghembuskan napas berat.
Kemudian, kakek berpakaian kuning ini bangkit berdiri, diikuti yang lainnya. Kini luka dalam mereka tidak terlalu mengganggu lagi, karena telah diobati dengan bersemadi.
"Benar! Mudah-mudahan saja Dewa Arak berhasil menanggulangi mereka," sambung Malaikat Pisau, berharap.
"Mudah-mudahan," sambut Petani Maut, berharap pula.
"Tapi..., sepertinya mereka bukan termasuk orang jahat," ucap Pendekar Tangan Sakti lagi.
"Aku masih belum yakin, Pendekar Tangan Sakti," Sima Lodra angkat bicara.
"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Lodra? Kalau mereka berniat jahat, kita tidak akan dibiarkan hidup! Mereka tentu akan membunuh kita," bantah Pendekar Tangan Sakti.
"Apa yang dikatakan Pendekar Tangan Sakti tidak salah, Lodra," kata Malaikat Pisau, memberi dukungan pada Pendekar Tangan Sakti.
"Mungkin kau benar, Malaikat Pisau. Tapi, bagaimana ya.... Rasanya aku tidak percaya kalau kita dibiarkan hidup..."
"Ha ha ha...! Kau memang mempunyai perasaan tajam, Sima Lodra! Ha ha ha...!"
Sebuah ucapan kasar dan parau memotong ucapan Sima Lodra yang belum selesai. Hampir berbarengan, keempat orang itu menoleh ke arah asal suara, yang ternyata dari atas genteng.
"Mahadewa...," desis Pendekar Tangan Sakti dan ketiga rekannya berbarengan.
Memang, orang yang berdiri sambil bersedakap di atas genteng itu ternyata Mahadewa. Entah kapan, tahu-tahu laki-laki berpakaian hitam dan berambut keriting serta mempunyai sebuah codet di dahinya itu telah berada di situ.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Kalian masih mengingat namaku rupanya! Ha ha ha...! Bagus! Ingat-ingatlah, sebelum kukirim ke neraka! Ha ha ha...!"
Masih dalam keadaan tertawa-tawa, Mahadewa melompat turun. Laksana seekor burung garuda, tubuhnya melayang ringan.
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun, kedua kaki Mahadewa hinggap di tanah. "Bersiaplah menerima kematian!"
Usai berkata demikian, Mahadewa melompat menerjang Pendekar Tangan Sakti yang berjarak paling dekat. Jari-jari kedua tangannya dikembangkan membentuk cakar. Lalu, tiba-tiba tangan kanannya disampokkan ke arah pelipis. Sedangkan tangan kiri yang terletak di sisi pinggang, belum bergerak.
Pendekar Tangan Sakti terkejut bukan kepalang melihat serangan mendadak itu, namun tidak gugup. Buru-buru kepalanya ditarik ke belakang sambil melangkah mundur.
Wuttt!
Sampokan Mahadewa ternyata hanya lewat beberapa jari di depan wajah Pendekar Tangan Sakti. Rambut dan pakaian kakek kurus yang berkibaran keras membuktikan betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan lawan.
Tapi tindakan Mahadewa tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan pertamanya luput, serangan lainnya segera menyusul. Kaki kanannya meluncur cepat, melepaskan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Maka, tidak ada pilihan bagi Pendekar Tangan Sakti, kecuali mengelak. Disadari kalau keadaannya sekarang ini tidak memungkinkan untuk menangkis. Apalagi kekuatan tenaga dalamnya telah merosot jauh. Jadi, merupakan sebuah tindakan bodoh kalau memaksakan diri untuk mengadu tenaga dalam.
Mendapat pikiran demikian, Pendekar Tangan Sakti segera melempar tubuhnya ke belakang. Hasilnya, tendangan Mahadewa hanya mengenai tempat kosong. Kegagalan serangan yang kedua kalinya, membuat Mahadewa geram bukan kepalang. Maka begitu kedua kakinya hinggap di tanah, langsung saja tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Tangan Sakti.
Tapi, laki-laki bercodet ini terpaksa menghentikan maksudnya, karena Malaikat Pisau, Petani Maut, dan Sima Lodra telah melesat menghadang. Mahadewa segera merayapi wajah-wajah penghadangnya. Lalu....
"Ha ha ha...!" Bukan hanya Petani Maut dan Malaikat Pisau saja yang merasa geram melihat sikap Mahadewa. Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra pun dilanda perasaan sama.
Maka keempat orang ini segera mencabut senjata andalan masing-masing. Kini dengan senjata andalan di tangan, empat orang pentolan aliran putih ini menyerbu Mahadewa. Dalam sekejap saja, senjata di tangan mereka berkelebat mengancam berbagai bagian tubuh tokoh yang ternyata berasal dari Pulau Karang itu.
Hebat dan menggiriskan serangan-serangan empat tokoh aliran putih itu. Tapi, masih lebih hebat lagi tindakan Mahadewa. Ruyung berbatang dua di tangannya berkelebat cepat di sekeliling tubuhnya. Dan hasilnya luar biasa! Setiap serangan yang dilancarkan empat orang lawan selalu membentur batang ruyungnya.
Kelebatan ruyung di sekujur tubuhnya laksana benteng yang melindungi diri dari berbagai serangan. Padahal, serangan yang datang tidak hanya berupa tusukan, babatan, atau tetakan, tapi juga lemparan. Dan itu bukan sembarang lemparan, karena yang melakukannya Malaikat Pisau dan Petani Maut.
Masing-masing dengan pisau dan caping bambu. Tapi yang lebih menggiriskan hati adalah lemparan caping Petani Maut. Senjata berbentuk caping dari bambu itu, mampu meluncur kembali pada pemiliknya, apabila berhasil dielakkan atau ditangkis lawan! Ini memang suatu kelebihan senjata milik Petani Maut.
Meskipun demikian, toh semua serangan itu berhasil dimentahkan Mahadewa! Walaupun, bukan berarti mudah saja bagi Mahadewa untuk menaklukkan lawan. Empat orang lawan itu masih cukup tangguh meskipun kemampuan mereka telah menurun jauh.
Sejak dari pertama menggebrak hingga berlangsung dua puluh jurus, Mahadewa masih tetap bertahan dan belum melancarkan serangan sama sekali. Ruyungnya digunakan hanya untuk menangkis setiap serangan lawan.
Tapi menginjak jurus ketiga puluh lima, Mahadewa mulai melancarkan serangan balasan. Ruyungnya mulai meluncur ke arah lawan. Mula-mula hanya sesekali saja, tapi semakin lama porsi serangannya semakin bertambah.
"Hiyaaa...!" Diiringi pekik melengking nyaring, Mahadewa memutar ruyungnya di sekeliling tubuhnya. Kedahsyatan putaran ruyungnya masih pula diiringi putaran tubuhnya.
Wuttt!
Melihat hal ini, Petani Maut, Malaikat Pisau, Sima Lodra, dan Pendekar Tangan Sakti tidak berani menangkis. Bahkan tangan mereka telah sejak tadi terasa pedas-pedas dan sakit-sakit, karena terlalu sering menangkis ruyung lawan. Maka bagai diberi perintah, keempat orang itu segera melompat mundur. Sehingga, serangan itu lewat beberapa jengkal di depan mereka.
Tapi tindakan Mahadewa tidak hanya sampai di situ saja. Kini, tubuhnya segera melompat menerjang Petani Maut yang ada di hadapannya. Dan....
Wukkk!
Ruyung baja Mahadewa meluncur ke arah kepala kakek berpakaian abu-abu lusuh itu. Apabila mengenai sasaran, sudah bisa ditebak akibat yang akan terjadi pada kepala itu.
Tranggg!
Bunga api berpercikan ke sana kemari begitu Petani Maut menangkis dengan cangkulnya. Seketika itu pula, tubuh kakek berpakaian lusuh ini terhuyung-huyung ke belakang.
Dan saat itulah Mahadewa menggunakan kesempatan baik di depan matanya. Langsung dilancarkannya serangan susulan. Kakinya meluncur cepat ke arah perut, melepaskan sebuah tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Desss!
"Aaakh...!" Petani Maut menjerit memilukan. Seketika itu pula, tubuhnya terlempar ke belakang. Darah segar seketika keluar dari mulutnya, mengiringi luncuran tubuhnya.
Pada saat tubuh Petani Maut tengah terlempar, Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra segera melancarkan serangan dari tiga jurusan.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
"Haaat...!"
Namun Mahadesa tidak gugup karenanya. Dan masih dalam keadaan di udara, ruyung di tangannya diayunkan ke belakang.
Wuttt!
Prak, prak, prakkk!
Sungguh mengagumkan tindakan Mahadewa! Permainan ruyungnya benar-benar elok! Meskipun tanpa melihat, dia mampu mengirimkan serangan ke bagian yang mematikan. Berturut-turut kepala ketiga lawannya terhantam batang ruyungnya, hingga hancur berantakan.
Tampaknya, Mahadewa mengerahkan seluruh tenaga dalamnya saat melepaskan pukulan keras ke kepala lawan-lawannya.
Brukkk!
Tubuh Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra roboh di tanah. Sebentar mereka kelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Mati, dengan darah membanjiri tanah.
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun jatuh, kedua kaki Mahadewa hinggap di tanah. Sebentar sepasang matanya beredar ke arah sosok-sosok tubuh lawan yang sudah tidak bergerak lagi di tanah.
"Ha ha ha...!" Mahadewa tertawa bergelak bernada kemenangan dan kegembiraan. Masih dengan suara tawa yang belum putus, tubuhnya segera melesat cepat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakannya. Hanya beberapa kali lesatan saja, tubuhnya telah tidak terlihat lagi. Yang terlihat kini hanya sebuah titik hitam di kejauhan. Semakin lama, titik itu semakin kecil, hingga akhirnya lenyap sama sekali!
Sang surya sudah hampir di tengah-tengah langit. Tapi suasana di persada tidak terasa panas. Banyaknya awan yang menggantung di langit, membuat matahari terhalang dalam memancarkan sinarnya. Dan, dalam suasana seperti itu, dua sosok tubuh tampak melangkah memasuki Desa Ceger.
"Hey! Apa yang tengah terjadi di sana, Kang? Mengapa banyak orang berkerumun?" tanya seorang gadis cantik sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan, tanpa menghentikan langkahnya.
Pemuda tampan berpakaian ungu yang berjalan di sebelah gadis berpakaian putih berambut panjang itu tidak langsung menjawab. Namun pandangannya dialihkan ke arah yang ditunjuk gadis itu.
"Entahlah, Melati." Hanya itu jawaban yang diberikan pemuda berpakaian ungu itu.
Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati dan sekaligus putri angkat Raja Bojong Gading itu terdiam. Tapi sesaat kemudian, sepasang bola mata gadis yang berjuluk Dewi Penyebar Maut itu berputar merayapi sekujur wajah pemuda di sebelahnya.
Sepasang bola mata bening dan indah itu berhenti agak lama ketika tertumbuk pada guci perak yang tergantung di punggung pemuda berpakaian ungu itu. Sebagian badan guci tidak terlihat, karena tertutup rambut berwarna putih keperakan milik pemuda itu. Memang, rambut itu panjang dan terurai melewati punggung.
Melihat dari ciri-cirinya, bisa diketahui kalau pemuda berpakaian ungu itu adalah Arya Buana, yang berjuluk Dewa Arak.
"Mari kita lihat keramaian di depan itu dulu, Melati," putus Arya.
Melati sama sekali tidak menyambuti. Yang dilakukannya hanya mengangkat bahu pertanda menyetujui usul Arya. Kini Arya dan Melati melangkah menuju tempat keramaian terjadi. Dan saat melangkah, kini merekamengerahkan ilmu meringankan tubuh. Hasilnya, tubuh mereka telah berada beberapa tombak dari tempat semula.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Arya dan Melati telah tiba di dekat kerumunan orang-orang yang memang adalah para penduduk desa. Arya dan Melati menghentikan langkah. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu kembali menatap ke arah kerumunan orang-orang yang membentuk lingkaran.
Memang, kerumunan itu menyulitkan mereka untuk mengetahui, apa yang ada di tengah-tengahnya. Sesaat sepasang pendekar muda ini berdiam diri, namun telah memasang pendengaran setajam mungkin.
Mereka mencoba mendengarkan, namun hasilnya nihil. Ternyata yang tertangkap hanyalah gumaman-gumaman tidak jelas, mirip sekumpulan lebah yang sarangnya diobrak-abrik! Dan tentu saja berasal dari mulut kerumunan orang-orang yang berbicara semaunya.
Karena yakin tidak akan mengetahui apa pun, Arya segera menekuk kedua lututnya. Dan sekali kakinya bergerak menekan, tubuhnya melayang ke atas, dan langsung hinggap pada sebuah dahan pohon yang rumbuh tak jauh dari kerumunan.
Dari atas pohon, pemuda berambut putih keperakan itu mengarahkan pandangan pada sesuatu di tengah-tengah kerumunan orang-orang di bawahnya. Ternyata, di situ tergeletak seorang kakek yang bersimbah darah pada mulutnya.
Jliggg!
"Ada apa, Kang?" tanya Melati begitu Dewa Arak telah mendarat kembali di tanah.
Gadis berpakaian putih ini rupanya sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi, sehingga langsung menyodorkan pertanyaan. Padahal, Dewa Arak baru saja ingin membuka mulutnya.
"Ada seorang kakek tergeletak di dalam kerumunan orang-orang itu. Aku yakin, dia terluka. Tadi sempat kulihat adanya noda-noda darah di sekitar mulutnya," jawab Arya. "Kita harus cepat bertindak sebelum terlambat, Melati."
Usai berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan itu menghampiri kerumunan para penduduk dengan langkah-langkah panjang. "Permisi, Kisanak semua. Biarkah kami menolongnya."
Kontan hampir semua kepala orang yang tengah berkerumun, menoleh. Seketika itu pula, para penduduk itu menggeser memberi jalan pada Dewa Arak dan Melati.
"Terima kasih." Arya mengucapkan perkataan itu sambil menganggukkan kepala. Kemudian, kakinya melangkah cepat menuju ke arah sosok tubuh yang tergolek lemas.
Hanya dalam beberapa kali langkah, Dewa Arak dan Melati telah berada di dekatnya. Lalu, sepasang pendekar muda ini berjongkok dan memeriksa keadaan si kakek. Sementara, para penduduk desa terus mengamati setiap gerak-gerik Arya dan Melati.
Dewa Arak dan Melati kontan saling berpandangan ketika telah memeriksa keadaan sosok tubuh yang tergolek tak berdaya. Dan sebentar kemudian, pandangan mereka kembali beralih ke arah sosok tubuh itu. Namun, kali ini lebih bersifat memperhatikan.
Memang tampaknya keadaan kakek berpakaian abu-abu lusuh itu amat mengkhawatirkan. Lukanya sangat parah. Arya dan Melati tahu, kakek ini telah mendapat serangan dari orang yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Di lain hal, kakek berpakaian abu-abu lusuh dan memiliki kulit hitam kecoklatan itu kelihatannya memang memiliki kepandaian cukup tinggi. Buktinya, Arya dan Melati merasakan adanya putaran hawa yang cukup kuat di bawah pusar. Dan kelihatannya, dia juga bukan seorang penduduk biasa.
Setelah memperhatikan kakek berpakaian abu-abu lusuh itu, Arya mengedarkan pandangan ke arah para penduduk yang masih berkerumun di sekitarnya.
"Apakah di antara kalian ada yang mengenal kakek ini?" tanya Dewa Arak keras, agar terdengar jelas sampai kerumunan paling belakang.
Namun, ternyata para penduduk hanya menggelengkan kepala. Dan Dewa Arak sudah mengerti maksudnya.
"Berarti dia bukan penduduk desa ini, Kang," kata Melati. Kepala Arya mengangguk, menyetujui ucapan Melati. "Mengapa tidak ada seorang pun di antara kalian yang tergerak untuk menolongnya? Bukankah dia tengah terluka parah? Setidak-tidaknya, membawanya ke tempat yang lebih nyaman," kata Arya.
Ada nada penasaran dalam perkataan Dewa Arak. Apalagi diucapkannya sambil bangkit berdiri, dengan sepasang mata beredar merayapi orang-orang di sekelilingnya.
Luar biasa! Setiap kepala yang ditatap Dewa Arak, langsung tertunduk. Beberapa di antaranya mencoba untuk balas menatap, tapi hanya berlangsung sekejap saja. Sinar mata Aryalah yang membuat mereka tidak kuasa bertahan lama-lama. Betapa tidak? Sepasang mata itu mencorong tajam dan berwarna kehijauan, mirip sorot mata harimau dalam gelap!
"Kami tidak berani bertindak apa-apa, Den," kata salah seorang penduduk yang bertubuh kecil kurus, dan berjenggot panjang.
"Mengapa, Ki?" tanya Arya, ingin tahu.
"Dulu, hal seperti ini pernah terjadi. Ada seseorang terluka, lalu dengan perasaan kasihan penduduk desa menolongnya. Dan orang itu pun dirawat di rumahku. Lalu kejadian selanjutnya...."
Kakek kecil kurus itu menghentikan ceritanya, seperti tengah mengenang suatu peristiwa yang menggores hatinya. Ditatapnya wajah pemuda berambut putih keperakan itu penuh selidik.
"Teruskan, Ki," pinta Arya. Sebenarnya Arya sudah bisa menebak kejadian yang diterima kakek itu. Akibat kebaikan hatinya, yang diterimanya adalah peristiwa tidak enak. Wajah tua yang semula berseri-seri dan langsung berubah mendung itulah yang menguatkan dugaan Dewa Arak.
"Ketika telah sembuh, orang itu malah berusaha memperkosa anak perempuanku. Dan akibatnya, anakku bunuh diri setelah kejadian itu. Kau bayangkan saja, Den. Dia anakku satu-satunya. Dan hidupku juga hanya berdua saja dengannya. Ah! Sayang, si keparat itu tidak ikut membunuhku pula!"
Melati seperti tidak kuasa menahan kegeramannya. Sedangkan, Dewa Arak tampak bersikap tetap tenang. Tapi, raut wajah dan sinar matanya menunjukkan perasaan ikut prihatin atas peristiwa yang menimpa kakek kecil kurus itu.
"Aku turut prihatin atas peristiwa yang kau alami, Ki," hanya itu yang keluar dari mulut Arya.
"Terima kasih, Den." "Hal itu bukan kejadian satu-satunya di tempat kami, Den," sambung seorang laki-laki bertubuh kekar.
"Jadi, masih ada peristiwa lainnya?" tanya Arya.
Laki-laki kekar itu menganggukkan kepala. "Tapi, pelaku kejahatan itu bukan orang yang kami tolong, melainkan tokoh yang menjadi musuh orang itu. Tokoh itu mengamuk, sehingga banyak penduduk desa yang dibantai. Akibat kejadian-kejadian itu, kami tidak berani sembarangan lagi menolong orang yang tengah terluka. Kecuali, bila telah diketahui kepala desa."
Arya dan Melati menganggukkan kepala. Kini baru disadari, mereka tidak bisa menyalahkan sikap para penduduk Desa Ceger.
"Lalu kalau tidak ingin menolong, mengapa berkerumun di sini?" tanya Arya lagi.
"Kami tengah menunggu kedatangan kepala desa. Salah seorang dari kami telah pergi memberitahunya. Biarlah kepala desa yang akan mengurusnya," jawab laki-laki kekar itu.
Kembali Arya dan Melati mengangguk-anggukkan kepala. Kagum juga sepasang pendekar muda ini melihat sikap penduduk Desa Ceger. Meskipun beberapa kali mengalami kejadian buruk, tapi tetap saja tidak kapok memberi pertolongan pada orang yang tengah terluka.
"Kalian benar-benar memiliki hati mulia. Dan sambil menunggu kedatangan kepala desa, aku akan mencoba meringankan luka-lukanya."
Setelah berkata demikian, kembali Dewa Arak mengalihkan perhatian ke arah kakek berpakaian abu-abu lusuh. Lalu, tangannya bergerak menotok dan mengurut sana-sini. Sesaat kemudian....
"Huakh...!" Segumpal darah kental berwarna merah kehitaman kontan keluar dari mulut kakek berpakaian abu-abu itu. Darah mati!
"Hey!" Para penduduk Desa Ceger berseru kaget ketika melihat keadaan kakek berpakaian abu-abu lusuh itu. Mereka kira, Dewa Arak bukan hendak mengobati, melainkan menyiksa. Maka bagai diberi perintah, mereka bergerak ke depan. Tangan-tangan mereka pun mulai meraba sisi pinggang, siap mencabut senjata. Tapi....
"Tahan...!" Bentakan keras tlba-tiba terdengar. Ternyata, berasal dari mulut Melati. Maka, mau tak mau langkah para penduduk Desa Ceger berhenti.
"Apa yang hendak kalian lakukan?!" tanya Melati keras, sambil mengedarkan pandangan berkeliling. Tahu akan keadaan yang agak gawat, Melati menggerakkan tenaga dalam pada teriakannya. Hasilnya, suara yang keluar terdengar penuh wibawa. Sehingga, membuat penduduk Desa Ceger jadi ciut nyalinya.
"Kawanmu hendak membunuh kakek itu. Dan kami tidak bisa membiarkannya," kata kakek kecil kurus, mantap.
"Siapa yang ingin membunuhnya? Kawanku itu hendak mengobatinya. Bukankah telah kalian lihat sendiri, kalau kakek itu kini telah sadarkan diri?!" sergah Melati, masih penuh wibawa.
"Tapi.... Tapi..., darah itu...." Kakek kecil kurus itu terbata-bata mengajukan tuduhannya.
"Benar!" sambut laki-laki kekar.
"Betul!" seru yang lain tak mau kalah.
"Diam...!"
Melati mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Hebat bukan kepalang akibatnya! Para penduduk Desa Ceger seperti kena sirep. Mereka semua tercenung dengan raut wajah bingung. Tentu saja bukan karena acungan tangan Melati, melainkan karena pengerahan tenaga dalam yang dikeluarkan bersama seruannya.
TIGA
"Kalian dengar baik-baik. Darah yang dikeluarkan kakek itu adalah darah mati! Darah yang sudah tidak berguna lagi, dan justru malah akan membahayakan apabila tidak dibuang! Dan kawanku tadi berusaha mengeluarkannya. Kalian mengerti?!" kata Melati.
"Ooo..." Sambil mengangguk-angguk pertanda mengerti, para penduduk Desa Ceger membulatkan bibirnya.
"Sekarang kami mengerti. Maafkan atas kebodohan kami," ucap kakek kecil kurus.
"Terima kasih atas pengertian kalian. Dan kumohon, kalian bersedia mundur sedikit. Berikan ruangan yang agak longgar agar kawanku dapat melanjutkan pengobatannya," lanjut Melati dengan suara lebih lunak.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para penduduk Desa Ceger itu segera melangkah mundur.
"Terima kasih," ucap Melati. Lalu, gadis berpakaian putih itu kembali mengalihkan pandangan ke arah Dewa Arak. Tampak kekasihnya itu tengah duduk bersila dengan telapak tangan menempel ke punggung kakek yang juga tengah duduk bersila. Rupanya, Dewa Arak tengah mengobati luka dalam kakek itu dengan pengerahan hawa murni.
Melihat hal ini, Melati pun bersikap waspada. Matanya menatap sekitarnya dengan sorot penuh selidik. Gadis berpakaian putih ini tahu, sekarang Dewa Arak tengah tidak berdaya. Apabila ada lawan yang datang menyerang, pasti akan celaka. Itu sebabnya Melati perlu menjaga dari segala kemungkinan yang akan terjadi.
Melati kini kembali mengedarkan pandangan berkeliling. Dan sesekali, sepasang matanya tertuju ke arah Arya yang masih sibuk mengobati kakek berpakaian abu-abu. Berbeda dengan Melati, para penduduk Desa Ceger sama sekali tidak mempedulikan keadaan sekitarnya.
Pandangan mereka semua tertuju pada Arya yang masih sibuk mengobati kakek berpakaian abu-abu itu. Dan Arya baru melepaskan tempelan tangannya dari punggung kakek berpakaian abu-abu, ketika bantuannya dirasakan telah cukup.
"Terima kasih atas bantuanmu, Anak Muda," ucap kakek berpakaian abu-abu itu ketika telah berdiri tegak.
"Lupakanlah, Ki. Tolong-menolong merupakan hal biasa. Bukan tidak mungkin, lain waktu kau yang akan ganti menolongku," sahut Arya buru-buru.
"Memang sudah kuduga jawaban yang kuterima akan seperti ini. Berita yang kudengar mengenai dirimu, ternyata sama sekali tidak menyimpang, Dewa Arak!"
Karuan saja wajah Arya berubah ketika mendengar ucapan kakek berpakaian abu-abu. Sama sekali tidak terduga kalau kakek itu mengenal julukannya.
"Aku sama sekali tidak menyangka bisa bertemu tokoh yang menggemparkan dunia persilatan seperti dirimu! Kalau saja masih ingat namaku yang sebenarnya, tentu akan kusebutkan, Dewa Arak. Sayang sekali, aku telah lupa, Hanya julukan tak berguna saja yang kumiliki. Aku berjuluk Petani Maut. Sebuah julukan yang terlalu berlebihan," sambung kakek berpakaian abu-abu yang ternyata berjuluk Petani Maut, sebelum Arya sempat berkata.
"Kau terlalu berlebihan. Dari julukan yang kau sandang saja, kemampuanmu sudah bisa kuperkirakan, Ki," Arya balas memuji.
Petani Maut tersenyum pahit. "Hanya sebuah julukan kosong, Dewa Arak. Menghadapi seorang tokoh yang sama sekali tidak terkenal saja, dengan mudah aku dapat dikalahkan."
"Kalah dan menang dalam sebuah pertempuran adalah soal biasa, Ki. Sekali waktu kita menang. Tapi bukan tidak mungkin kalau di lain hari kita akan dikalahkan. Tidak ada orang yang paling sakti," ujar Arya tanpa bernada menggurui.
Petani Maut semakin bertambah kagum mendengar ucapan Arya. Perkataan pemuda berambut putih keperakan itu diketahuinya mengandung kebenaran, yang tidak bisa diganggu gugat lagi kebenarannya.
Petani Maut benar-benar dibuat terkagum-kagum oleh perkataan Dewa Arak. Sama sekali tidak disangka orang semuda Dewa Arak mempunyai wawasan demikian luas. Walaupun kepandaiannya amat tinggi, namun tidak nampak adanya kesombongan sedikit pun di dalam ucapannya. Inilah yang membuat Petani Maut kagum bukan kepalang.
"Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak salah, Dewa Arak. Tapi...."
Petani Maut menghentikan ucapannya di tengah jalan, karena mendengar suara ribut-ribut.
"Ki Manda datang. Beri jalan...! Ki Manda telah tiba...!"
Kerumunan penduduk Desa Ceger pun menyibak, memberi jalan pada orang yang bernama Ki Manda. Arya, Melati, dan Petani Maut pun mengalihkan pandangan ke arah kerumunan penduduk yang menyibak.
Tampak seorang laki-laki setengah baya berpakaian putih tengah berjalan menghampiri. Meskipun rambut di kedua pelipisnya sebagian telah memutih, tapi masih terlihat angker. Potongan tubuhnya kekar. Keberadaan kumis serta jenggot lebat yang menghias wajah, semakin menambah keangkerannya.
Apalagi ditambah sebatang golok pendek yang terselip di pinggang. Lengkap sudah keangkeran itu. Inilah orang yang disebut-sebut sebagai Ki Manda, Kepala Desa Ceger.
Di belakang Ki Manda, berjalan dua orang yang bertubuh tinggi kekar dan dipenuhi otot melingkar-lingkar. Rompi berwarna hitam yang membungkus tubuh, tak mampu menyembunyikan otot-otot yang me-nyelimuti tubuh mereka. Semua penduduk Desa Ceger tahu, siapa kedua orang berompi hitam ini Mereka adalah pengawal kepercayaan Ki Manda. Namanya, Ragola dan Paroga.
Ki Manda menghentikan langkahnya ketika telah berjarak tiga tombak di hadapan Arya, Melati, dan Petani Maut. "Kudengar di tempat ini ada seorang kakek yang tengah terluka...."
Orang nomor satu di Desa Ceger itu sengaja tidak meneruskan ucapan. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah di hadapannya. Sekali lihat saja telah bisa diduga kalau orang yang dimaksud adalah kakek berpakaian abu-abu.
"Akulah orang yang terluka itu, Ki," kata Petani Maut, cepat "Tapi, kini telah sembuh karena telah ditolong Dewa Arak."
"Dewa Arak?!"
Bukan hanya Ki Manda saja yang terkejut bukan kepalang, tapi juga dua orang pengawal kepercayaannya. Bagai diberi aba-aba, kedua orang itu sama-sama mengalihkan pandangan ke arah Arya. Memang, pemuda itulah yang mempunyai ciri-ciri sebagai pendekar yang menggemparkan dunia persilatan.
"Jadi..., dia Dewa Arak?!" tanya Ki Manda, memastikan. Kepala Desa Ceger itu menudingkan telunjuk kanannya ke arah Arya. Tapi, tatapan sepasang matanya tertuju pada Petani Maut. Sepertinya ada nada ketidakpercayaan dalam ucapan Ki Manda.
"Ada kalanya, berita yang tersebar di dunia persilatan bertentangan dengan kenyataan sebenarnya," selak salah seorang pengawal Ki Manda yang bercambang bauk lebat sebelum Dewa Arak dan yang lain menyahuti.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ragola?" Ki Manda mengalihkan pandangan ke arah pengawalnya.
Pengawal bercambang bauk lebat yang bemama Ragola itu tidak langsung menjawab. Dia berdehem sebentar. "Begini, Ki. Ada kalanya berita yang tersebar di dunia persilatan tidak sesuai kenyataannya. Dan tentu saja karena perlu diuji kebenarannya!" kata Ragola, seraya menatap Arya dengan nada menantang.
Sementara orang yang bernama Paroga mengangguk-anggukkan kepala, pertanda mendukung ucapan rekannya. Bahkan dia pun ikut menatap Dewa Arak pula.
Suasana langsung hening. Semua pasang mata kontan tertuju pada Dewa Arak. Mereka semuanya ingin melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu terhadap perkataan bernada tantangan dari Pragola.
Tapi ternyata Arya tidak terpancing oleh ucapan itu. Bahkan tetap bersikap tenang. Disadari kalau Ragola dan Paroga adalah jagoan-jagoan tanggung Desa Ceger. Dan mungkin, selama ini belum pernah dikalahkan orang. Jadi begitu mendengar Dewa Arak mendapat pujian seperti itu, mereka berniat mengajak bertarung!
Berbeda dengan Arya, Melati dan Petani Maut ternyata merasa tersinggung bukan kepalang. Sepasang mata Petani Maut sudah berkilat, sedangkan kedua tangan Melati telah mengepal karena amarah yang langsung menggejolak. Melati dan Petani Maut berharap, Dewa Arak menanggapi tantangan Ragola.
"Mungkin ucapanmu benar," jawab Arya, kalem.
Ragola dan Paroga yang sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu jadi saling berpandangan. Bingung. Tapi sebelum sempat berbuat sesuatu, tiga sosok tubuh berpakaian abu-abu dan mengenakan caping, berlari cepat menerobos kerumunan penduduk Desa Ceger.
"Guru...! Bagaimana keadaanmu?" salah seorang yang baru datang itu langsung menghampiri Petani Maut, dan melontarkan pertanyaan.
"Keadaanku baik-baik saja, Rantung. Dari mana kalian tahu kalau aku ada di sini?" tanya Petani Maut. "Kau, Rimang. Mungkin kau bisa menjawabnya."
"Baru saja kami singgah di sini. Dan begitu melihat kerumunan orang, kami langsung bertanya pada seorang penduduk Desa Ceger tentang keberadaanmu. Dan begitu mereka menyebutkan ciri-cirinya, kami langsung bisa menduga kalau yang tengah terluka adalah dirimu," jelas orang yang dipanggil Rimang.
"Hm.... Lantas, mengapa kalian mencariku? Ada apa rupanya? Kau, Jalu. Coba jawab pertanyaanku," ujar Petani Maut, penuh wibawa.
"Celaka, Guru...!" hanya itu yang keluar dari mulut Jalu.
"Ada apa, Rantung?" desak Petani Maut mengalihkan tatapannya pada Rantung. Memang, dialah yang paling tertua di antara murid Petani Maut. Terdengar penuh wibawa ucapan Petani Maut. Ada nada teguran dalam suaranya.
"Perkumpulan kita diobrak-abrik orang jahat, Guru. Semua murid dibunuh. Hanya kami bertigalah yang dibiarkan hidup!" lapor Rantung, takut-takut.
"Keparat!" Petani Maut menggeram. Jari-jari kedua tangannya langsung dikepalkan, sehingga menimbulkan suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah. Kelihatan kalau laki-laki berpakaian lusuh ini tengah dilanda kemarahan yang menggejolak.
Rantung, Rimang, dan Jalu tentu saja tahu kalau pimpinan mereka tengah murka. Maka, ketiganya pun semakin menundukkan kepala, tidak berani balas menatap.
"Kalian kenal orang yang telah melakukan semua kekejian itu?" tanya Petani Maut. Suaranya terdengar bergetar, setelah berhasil menenangkan hati.
Dan bagai diberi perintah, Rantung, Rimang, dan Jalu menggelengkan kepala.
"Tapi kami bisa menjelaskan ciri-ciri orang itu, Guru," kata Rantung setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Katakan, bagaimana ciri-ciri orang itu?" desak Petani Maut masih dengan suara kaku.
Rantung tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Benaknya segera diputar untuk mengingat-ingat orang yang telah membunuhi rekan-rekannya.
"Pengacau itu memiliki tubuh tinggi besar. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, dan ada sebuah codet di dahinya. Pakaian yang dikenakannya berwarna...."
"Hitam," selak Petani Maut, sebelum Rantung menyelesaikan penjelasannya.
"Benar, Guru," sahut Rantung dengan raut wajah bingung. "Guru mengenalnya?"
"Hhh...!" Sambil menghela napas berat, Petani Maut menganggukkan kepala. "Mahadewa...," desah kakek berkulit hitam ke-coklatan ini, dalam hati. Memang, ciri-ciri yang diuraikan Rantung tepat mengarah pada satu orang. Mahadewa!
"Mahadewa...," desis Petani Maut dengan suara ditekan. "Dosa yang kau perbuat semakin banyak saja. Hanya kematianlah yang pantas untuk menebus dosa-dosamu. Aku berjanji akan mengadu nyawa untuk menumpas sepak terjangmu!"
Pelan saja Petani Maut mengucapkan sumpahnya. Tapi karena suasana di sekitar tempat itu hening, sumpah itu terdengar jelas. Tak terkecuali, telinga Dewa Arak dan Melati.
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar suara tawa tergelak yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.Suasana di sekitar tempat itu kontan bergetar hebat. Bahkan seluruh penduduk Desa Ceger merasakan kaki mereka mendadak lemas. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh berlutut di tanah.
Yang masih berdiri tegak di tanah hanya Petani Maut, Dewa Arak, Melati, dan Ki Manda. Sedangkan Ragola dan Paroga memang masih tetap berdiri. Tapi, kedua kaki mereka sudah tidak tegak lagi. Lutut mereka terasa lemas bukan kepalang!
Hampir berbarengan, semua pasang mata dilayangkan ke arah suara tawa berasal. Tampak di luar kerumunan penduduk Desa Ceger yang sudah bergeletakan di tanah, berdiri sesosok tubuh tinggi berpakaian hitam.
Semua yang ada di situ menatap dengan hati berdebar tegang. Betapa tidak? Sosok tubuh berkulit hitam, berambut keriting, dan mempunyai sebuah codet di dahi itu kelihatan menggiriskan sikapnya. Siapa lagi orang itu kalau bukan Mahadewa?
"Grrrhhh...!" Bagai seekor harimau lapar, Petani Maut yang tidak bisa menahan kegeramannya lagi langsung menggeram. Sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot tubuhnya telah menegang, karena siap-siap ingin melancarkan serangan. Tapi ketegangan itu langsung mengendur, karena ada orang yang mendahului tindakan Petani Maut.
"Keparat! Berani kau memamerkan kemampuan di Desa Ceger?!" Usai berkata demikian, orang yang tak lain Ragola itu melompat menerjang. Kedua tangannya yang terkepal, melepaskan pukulan ke arah dua tulang rusuk Mahadewa.
"Hmh...!" Mahadewa hanya mendengus. Sorot meremehkan tampak terpancar dari kedua matanya. Kelihatannya serangan Ragola tidak dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Buktinya, dia hanya diam saja, sekalipun serangan itu semakin mendekat!
Buk, buk, buk!
Bertubi-tubi pukulan Ragola mengenai sasaran, karena Mahadewa sama sekali tidak mengelak. Seketika itu pula, terdengar jeritan kesakitan yang disusul terhuyung-huyungnya tubuh Ragola!
"Ha ha ha...!"
Mahadewa tertawa terbahak-bahak melihat Ragola terhuyung-huyung ke belakang sambil menjerit-jerit kesakitan. Tidak hanya itu saja. Kedua tangannya kontan bengkak-bengkak membiru. Memang, Ragola merasakan seakan-akan yang dipukulnya adalah gundukan besi baja yang amat kuat.
"Keparat! Berani kau melukai kawanku?!"
Paroga tidak tinggal diam melihat keadaan rekannya. Seketika itu pula, tubuhnya melompat menerjang Mahadewa. Dan ketika tubuhnya berada di udara, tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggang.
Srattt!
Sinar terang kontan berkeredep, ketika golok besar yang terselip di pinggang telah tercabut. Dan secepat senjata itu tercabut, secepat itu pula terayun ke arah leher Mahadewa! Paroga menggerakkan goloknya secara mendatar.
Wuttt!
Diiringi suara mendesing cukup nyaring, golok besar itu melesat cepat menuju sasaran. Tapi seperti ketika menghadapi serangan Ragola, menghadapi serangan ini pun Mahadewa sama sekali tidak mengelak atau menangkisnya. Laki-laki bercodet itu tetap saja tertawa-tawa, seperti tidak ada bahaya yang tengah mengancam. Maka, hasilnya pun sudah bisa diduga.
Takkk!
Telak dan keras sekali mata golok itu menghantam sasaran. Bunyi yang terdengar mirip benturan dua buah logam keras.
Takkk!
Telak dan keras sekali mata golok Paroga menghantam leher lawan. Tetapi Mahadewa tenang saja. Sebaliknya dengan Paroga, laki-laki itu malah merasakan tangannya sakit dan linu bukan kepalang setelah goloknya membentur leher Mahadewa.
Paroga kontan merasakan tangannya sakit dan linu bukan kepalang setelah membenturkan goloknya dengan leher Mahadewa. Bahkan hampir-hampir senjata yang digenggamnya terlepas dari pegangan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Kali ini, rupanya Mahadewa berniat unjuk gigi. Buktinya, tindakannya tidak hanya sampai di situ saja. Masih dengan tawa yang belum putus, telunjuk tangan kanannya langsung ditudingkan ke arah Paroga.
Cit!
Suara mendecit nyaring seperti ada tikus mencicit, terdengar ketika Mahadewa menudingkan jari telunjuknya. Dan....
Crattt!
"Aaakh...!"
Paroga langsung menjerit kesakitan ketika tahu-tahu pelipisnya terasa perih, seperti tersayat sebilah pisau tajam. Pengawal Ki Manda ini sama sekali tidak tahu kalau ada darah yang mengalir keluar dari pelipisnya yang terluka. Dan dia juga tidak tahu kalau luka itu terjadi akibat tudingan telunjuk Mahadewa.
Memang, laki-laki bercodet itu mempunyai sebuah ilmu yang membuat jari-jari tangannya mampu melukai lawan-lawannya dari jarak jauh! Bahkan angin serangannya tak kalah tajamnya dengan sabetan pedang tajam!
Sebentar Paroga terhuyung-huyung, lalu ambruk di tanah. Tanpa menunggu lama lagi, nyawanya pun melayang ke alam baka saat itu juga.
"Iblis keji!" Ki Manda tidak bisa menahan kemarahannya lagi melihat nasib Paroga. Cepat laksana kilat, golok pendek yang berada di pinggang dicabutnya. Tapi....
"Tahan...!"
Dan sebelum Ki Manda sempat menoleh ke arah asal suara, mendadak melesat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu, di sebelah kirinya telah berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak. Pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan ini berdiri dengan sikap tenang.
"Siapa kau, Kisanak? Mengapa menyebar kerusuhan di sini?" tanya Dewa Arak, kalem.
EMPAT
"Ha ha ha...!" Jawaban yang diterima Dewa Arak ternyata hanya suara tawa keras menggelegar dari Mahadewa. Tampak jelas kalau laki-laki bercodet ini memandang rendah Dewa Arak. Tapi seperti biasanya, Arya sama sekali tidak terpancing. Sikapnya tetap seperti semula, tenang.
"Bukankah kau telah mengetahui namaku, Dewa Arak. Aku Mahadewa! Apakah Petani Maut tidak menceritakan kejadian yang dialaminya padamu?" Mahadewa malah balas bertanya.
"Sayang sekali, Mahadewa. Petani Maut sama sekali tidak menceritakan apa-apa padaku. Mungkin kejadian yang dialami bersamamu dianggap sebuah masalah yang sama sekali tidak penting. Jadi, rasanya tidak perlu diceritakan padaku," kalem jawaban Arya, tapi ada nada sindiran di dalamnya.
Mahadewa bukan orang bodoh! Dia pun tahu, Dewa Arak memang sengaja mengejeknya. Maka seketika raut wajahnya merah padam. Dengan sepasang mata membeliak lebar, ditatapnya Dewa Arak.
"Keparat! Berarti kau main-main denganku?! Awas, kuhancurkan tubuhmu!"
Sebelum gema ancamannya lenyap, Mahadewa telah melompat menerkam Dewa Arak. Kedua tangannya yang berbentuk cakar, terkembang di sisi tubuhnya. Serangannya mengingatkan pada terkaman seekor harimau lapar.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi tibanya serbuan Mahadewa. Betapa dahsyatnya serangan itu. Tapi, Dewa Arak tidak gugup. Sikapnya tetap tenang, menunggu hingga luncuran tubuh Mahadewa dekat.
"Hih...!" Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan untuk memapak serangan lawan. Sebenarnya hal ini merupakan tindakan yang di luar kebiasaan. Biasanya, Dewa Arak tidak pernah menangkis saat lawan melancarkan serangan pertama. Hal ini karena Arya tidak mau mencelakai lawan. Masalahnya, bukan tidak mungkin tenaga yang digunakan akan terlalu kuat bagi lawan.
Tapi kali ini kebiasaan itu terpaksa dilanggar Dewa Arak, karena melihat sikap telengas Mahadewa. Bahkan Dewa Arak tidak segan-segan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena diyakini kalau Mahadewa memiliki tenaga dalam tinggi.
Prattt!
Suara keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur. Dewa Arak terhuyung dua langkah, sedangkan Mahadewa empat langkah. Dari sini bisa diketahui kalau tenaga dalam Dewa Arak berada di atas lawannya.
Mahadewa menggertakkan gigi menyadari keunggulan lawan. Dari benturan tadi, tokoh dari Pulau Karang ini geram bukan kepalang. Apabila ketika tangannya terasa sakit-sakit. Maka begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung lenyap, langsung saja dikeluarkannya ilmu 'Tangan Sakti Pedang dan Golok' andalannya.
Mahadewa menyusun jari-jari tangannya membentuk kepala ular. Sementara, Dewa Arak memperhatikan penuh waspada. Disadari kalau lawan akan mengeluarkan ilmu andalan.
"Hiaaat...!" Diawali teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Mahadewa segera menerjang Dewa Arak. Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya dibacokkan ke arah leher Dewa Arak.
Wuttt!
Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan Mahadewa. Itu pun masih ditambah berkesiurnya angin tajam yang dapat melukai kulit. Dewa Arak sendiri tidak berani bertindak gegabah. Dari desir angin tajam yang mengiringi tibanya serangan, bisa diperkirakan kehebatan ilmu lawan.
Maka, buru-buru tubuhnya melompat ke belakang untuk mengelakkan serangan itu, Dan tindakan Dewa Arak tidak hanya sampai di situ. Dalam keadaan masih di udara, guci araknya diambil dan dituangkan ke mulut.
Gluk, gluk, gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Hawa hangat yang semula beredar di perut perlahan-lahan naik ke atas kepala.
Jliggg!
Dengan keadaan tubuh sempoyongan, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Lalu, tokoh muda yang menggemparkan ini mulai menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan dada dengan tubuh terhuyung-huyung.
Gerakan kedua tangannya mengingatkan orang pada seekor belalang yang tengah mempermainkan kakinya. Mahadewa belum pernah melihat ilmu andalan Dewa Arak. Apalagi, membuktikan kelihaiannya. Maka dia agak bingung begitu melihat gerakan-gerakan yang dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi sebagai seorang tokoh sakti, laki-laki bercodet ini langsung bisa memperkirakan kedahsyatan ilmu lawannya. Maka tindakannya tidak berani ceroboh lagi. Mahadewa tahu, Dewa Arak pasti mengeluarkan ilmu andalannya. Dan dia tidak berani langsung melancarkan serangan. Diperhatikannya secara seksama tindakan tokoh muda yang telah menggemparkan dunia persilatan itu.
"Hiaaat...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, kini Mahadewa melancarkan serangan pada Dewa Arak. Jari-jari tangannya terbuka lurus, siap menggunakan ilmu 'Tangan Sakti Pedang dan Golok' untuk mematahkan perlawanan Dewa Arak. Dalam penggunaan ilmu itu, Mahadewa melancarkan tusukan, bacokan, babatan, maupun tetakan. Yang menggiriskan hati, setiap gerakan tangannya selalu menimbulkan suara angin mencicit nyaring.
Tapi lawan yang dihadapi adalah Dewa Arak! Seorang pendekar yang meskipun masih muda, tapi memiliki kemampuan luar biasa. Ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Ilmu-ilmu yang dimilikinya juga merupakan ilmu-ilmu pilihan. Itu pun masih ditambah lagi dengan pengalaman bertarungnya. Gabungan dari semua kemampuan itu merupakan satu kesatuan maha dahsyat, yang mampu menggilas habis perlawanan yang dilakukan lawan.
Menarik bukan kepalang pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak menghadapi Mahadewa. Sejak awal, pertarungan telah berlangsung sengit. Mahadewa tampak bersemangat sekali untuk dapat segera merobohkan lawannya. Kedua tangannya menusuk, membacok, membabat, dan menetak ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak diiringi suara mendesing nyaring. Tapi, semua serangan itu berhasil dielakkan Dewa Arak dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'nya.
Mahadewa menggertakkan gigi menahan geram ketika menyadari semua serangannya berhasil dipunahkan lawan. Apalagi ketika melihat gerakan-gerakan Dewa Arak dalam mengelak, sama sekali tidak pantas dinamakan gerakan-gerakan ilmu bela diri.
Berkali-kali pemuda berambut putih keperakanitu seperti akan jatuh, ketika mengelakkan serangan. Bahkan, tak jarang seperti akan menubrukkan tubuhnya pada serangan yang tengah meluncur.
Yang membuat Mahadewa heran bukan kepalang, ketika menyadari kalau dengan gerakan seperti itu Dewa Arak malah terbebas dari serangan yang dikirimkannya. Kekaguman Mahadewa semakin bertambah ketika Dewa Arak mulai melancarkan serangan balasan. Setiap serangan pemuda berambut putih keperakan itu terasa berat sekali dihadapinya.
Dalam waktu sebentar saja, pertarungan telah berlangsung hampir tujuh puluh jurus. Hal itu terjadi, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat. Namun, sampai saat ini belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, puluhan mata telah sejak tadi memperhatikan pertarungan sengit itu dengan penuh minat. Bahkan mata mereka hampir tidak berkedip. Tapi apa yang disaksikan ternyata sia-sia belaka. Mereka tetap saja tidak bisa mengikuti jalannya pertarungan, karena yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu saja. Dua bayangan itu tampak saling belit, dan terkadang saling pisah. Tapi, terpisahnya hanya sekejap saja, karena kini sudah saling belit kembali!
Hanya dua orang saja dari sekian banyaknya penonton yang dapat melihat jelas pertarungan sengit itu. Mereka adalah Melati dan Petani Maut, yang menyaksikan penuh minat. Memang, sebagai tokoh persilatan yang berilmu tinggi, tidak ada hal yang paling menyenangkan kecuali menyaksikan pertarungan.
Terutama sekali, pertarungan tokoh-tokoh sakti! Dan sepasang mata Melati dan Petani Maut kelihatan hampir tidak pernah berkedip menyaksikannya.
"Hiaaat..!" Di jurus keseratus dua, Mahadewa melancarkan tusukan bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak.
Cit, cit cit!
"Hih!"
Tak tak tak!
Suara berderak keras terdengar ketika Dewa Arak memapak serangan itu dengan tetakan kedua tangan berturut-turut. Bunyinya laksana dua batang logam beradu. Dan hasilnya juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Baik Dewa Arak maupun Mahadewa sama-sama terhuyung tiga langkah ke belakang.
Dewa Arak menggigit bibir ketika merasakan sakit yang amat sangat pada pergelangan tangan yang berbenturan tadi. Tapi, hal itu tidak dipedulikannya. Kedua tangannya terus saja dihentakkan ke depan. Dewa Arak melancarkan serangan jarak jauh, mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'. Hal itu dilakukan saat tubuhnya masih terhuyung-huyung.
Wusss!
Serentetan angin keras berhawa panas menyengat keluar dari kedua tangan Dewa Arak yang dihentakkan. Tentu saja hal ini membuat Mahadewa terkejut bukan kepalang. Disadari akan adanya bahaya maut yang tengah mengancam, maka buru-buru daya yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung dipatahkan dengan menjejakkan kaki.
Kemudian tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan. Tindakan yang dilakukan kelihatan agak tergesa-gesa. Meskipun demikian, telah cukup untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Pukulan jarak jauh Dewa Arak hanya meluncur jauh dari sasaran semula. Begitu serangan itu lewat, Mahadewa segera berhenti berguling. Lalu tubuhnya melenting ke atas, dan....
"Hey! Berhenti kau, Pengecut!"
Petani Maut yang sejak tadi memang memperhatikan jalannya pertarungan, langsung berseru kaget ketika melihat Mahadewa melarikan diri. Dan sebelum gema ucapannya lenyap, tubuhnya telah melesat menyusul Mahadewa. Sedangkan Melati yang berdiri di sebelahnya bergegas mendekati Dewa Arak.
"Kita harus mengikuti mereka, Melati. Aku khawatir, Petani Maut akan menjadi korban Mahadewa," ujar Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu mengarahkan pandangan pada dua sosok tubuh yang saling kejar-mengejar beberapa belas tombak di depan.
"Tapi, Kang," Melati berusaha membantah.
"Ayolah, Melati. Mahadewa adalah tokoh angkara murka. Bukankah kau telah mendengar sendiri dari mulut murid-murid Petani Maut? Lagi pula, kulihat Petani Maut juga mempunyai urusan dengan Mahadewa."
"Terserahmulah, Kang." Hanya itu jawaban yang dikemukakan Melati. Kelihatannya keputusannya telah diserahkan pada Dewa Arak.
"Kalau begitu..., mari kita bergegas, Melati."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan itu melesat ke arah kepergian Mahadewa dan Petani Maut, diikuti Melati. Sepasang pendekar muda itu berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Kalau Melati mengerahkan seluruh kemampuannya, maka Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian saja. Itu pun sudah cukup untuk menyaingi lari Melati.
Puluhan pasang mata mengiringi kepergian Dewa Arak dan Melati. Termasuk, Ki Manda dan Ragola. Pengawal Kepala Desa Ceger yang tangannya masih bengkak-bengkak ini sudah tidak bisa menyombongkan diri lagi. Lenyap sudah keinginannya untuk menguji kepandaian Dewa Arak. Telah disaksikannya sendiri kelihaian tokoh muda yang ditantangnya. Dan dia tahu, Dewa Arak dengan mudah bisa menundukkannya.
Diam-diam, Ragola bersyukur Dewa Arak tidak meladeni tantangannya. Segumpal perasaan terima kasih pun bergayut di benaknya. Dan dia pun berjanji dalam hati akan membantu, apabila pemuda berambut putih keperakan itu mengalami kesulitan.
Kini yang dapat dilakukan Ragola hanya menatap kepergian Dewa Arak seperti puluhan pasang mata lain. Diperhatikannya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu dengan sorot mata penuh terima kasih, hingga lenyap di kejauhan.
Sementara itu, orang yang bersangkutan sama sekali tidak tahu. Dewa Arak dan Melati terus saja berlari cepat. Tapi belum berapa jauh berlari, mereka terpaksa berhenti begitu melihat sosok Petani Maut yang tengah berdiri diam sekitar lima tombak di depan.
Petani Maut menoleh, begitu mendengar adanya suara langkah kaki di belakangnya. "Ah! Kiranya kau, Dewa Arak," desah kakek berpakaian abu-abu lusuh ketika melihat keberadaan Dewa Arak dan Melati di belakangnya.
Memang, tadi Dewa Arak dan Melati sengaja memberatkan langkah kaki agar terdengar Petani Maut. Kini sepasang mata pendekar muda itu mengembangkan senyum dan menganggukkan kepala, menyambut sapaan Petani Maut.
"Bagaimana, Ki?" tanya Arya, sambil melangkah menghampiri.
"Hhh...! Iblis itu terlalu lihai, Dewa Arak. Aku tidak bisa mengejarnya...," desah Petani Maut.
Arya terdiam. Tanpa dijawab lebih jelas oleh Petani Maut pun, sudah bisa diduga kalau Mahadewa telah berhasil meloloskan diri. Ketidakberadaan Mahadewa di situ telah cukup menjelaskan masalahnya.
"Kau mengenal Mahadewa, Ki?" tanya Arya setelah beberapa saat termenung.
Petani Maut tidak langsung menjawab. Pandangannya malah dilayangkan ke atas seperti tengah mencari jawabannya di sana. "Mengenalnya jelas sih, tidak. Tapi, dialah orang yang telah membunuh tiga rekanku."
Kemudian, kakek berpakaian abu-abu lusuh ini menceritakan semua kejadian yang dialami. Dan dengan penuh perhatian, Dewa Arak dan Melati mendengarkan cerita Petani Maut. Sama sekali cerita itu tidak diselak, hingga selesai.
"Kalau saja kami dalam keadaan sewajarnya, tidak akan semudah itu Mahadewa membunuh tiga orang sahabatku," tutur Petani Maut menutup kisahnya.
Dewa Arak termenung ketika Petani Maut telah menyelesaikan cerita. Menilik kernyitan pada dahinya, bisa diketahui kalau Dewa Arak tengah berpikir keras.
"Kalau mendengar ceritamu, Ki," kata Arya lambat-lambat. "Hanya Mahadewa seorang yang mempunyai niat tidak baik, sehubungan kedatangannya bersama tiga rekannya ke pulau ini. Kemungkinan besar, tindakannya itu tidak diketahui tiga orang rekannya."
"Aku pun menduga demikian, Dewa Arak. Pertarungan antara kami berlangsung secara adil. Hal itu membuat kami terkecoh, dan menyangka mereka semua adalah orang yang mempunyai watak gagah. Tapi sama sekali tidak disangka kalau Mahadewa adalah seekor serigala berbulu domba."
Dewa Arak mengangguk-angguk. Telah disaksikannya sendiri ketelengasan Mahadewa. Buktinya, tanpa ragu-ragu lagi ilmu andalannya yang mengerikan digunakan pada jurus-jurus awal.
"Apakah mereka semua selihai Mahadewa?" Jantung Dewa Arak berdetak keras ketika mengajukan pertanyaan ini. Betapa tidak? Menundukkan Mahadewa saja sudah merupakan pekerjaan sulit.
Apalagi, ditambah tiga orang rekannya! Dewa Arak khawatir mereka akan membela, apabila keadaan Mahadewa terancam. Jika hal itu terjadi, Dewa Arak benar-benar dilanda masalah besar.
Petani Maut menganggukkan kepala pertanda membenarkan. "O ya, Dewa Arak. Kau tahu, alasan yang mendorong mereka datang ke pulau ini?" tanya Petani Maut.
"Tidak, Ki," jawab Arya sejujurnya, karena memang benar-benar tidak tahu.
"Mereka ingin menjajal kepandaian tokoh-tokoh persilatan terkenal di pulau ini," jelas Petani Maut.
Dewa Arak diam. Bisa dimaklumi tindakan tokoh-tokoh dari Pulau Karang itu. Arya tahu kalau setiap tokoh persilatan, apalagi tokoh tingginya, pasti mempunyai penyakit sama. Gemar mengadu kesaktian! Paling tidak, suka menyaksikan pertarungan antar tokoh!
"Kau pun tidak luput dari ancaman mereka, Dewa Arak! Setelah kami berempat berhasil dikalahkan, kaulah sasaran berikutnya!" sambut Petani Maut.
"Heh...?! Mengapa demikian?" tanya Dewa Arak, heran.
"Begitu berhasil mengalahkan kami berempat, mereka mengutarakan ketidakpuasannya atas perlawanan kami yang dianggap tokoh tersakti di pulau ini. Nah! Karena merasa tersinggung, kami lalu menceritakan perihal dirimu. Kukatakan kalau kau adalah jago nomor satu di pulau ini."
"Kau terlalu berlebihan, Ki. Ucapanmu itu akan membuat banyak tokoh mencariku! Kau tahu, Ki. Dunia amat luas. Banyak orang yang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadaku. Tapi, mereka tidak ingin campur tangan dalam urusan dunia persilatan. Namun, apabila mereka mendengar berita yang kau sebarkan itu, aku tidak yakin tokoh-tokoh itu akan tetap berpangku tangan."
"Maafkan aku, Dewa Arak. Sungguh aku tidak pernah memikirkan hal itu. Waktu itu, semua perkataan keluar tanpa sempat dipikir masak-masak lagi," kata Petani Maut, bernada penyesalan.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Lupakanlah, Ki. Tidak ada yang perlu dimaafkan. O, ya. Mahadewa telah berhasil menjajal kepandaianku. Mungkin, sekarang tengah memberitahukan kawan-kawannya."
"Kau benar, Dewa Arak. Kini, kita tingal menunggu kedatangan mereka. Aku yakin, empat orang tokoh dari Pulau Karang itu akan mencarimu," sambut Petani Maut.
Ada nada kegembiraan dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu lusuh itu, karena tidak perlu lagi repot-repot mencari jejak Mahadewa. Dia hanya tinggal mengikuti, ke mana perginya Dewa Arak.
"Akan ke mana kau sekarang, Ki?" tanya Arya sambil lalu.
"Semula, aku tidak tahu arah yang harus kutempuh. Tujuanku hanya ingin membalas dendamku saja pada Mahadewa. Tapi, kini aku tahu ke mana harus pergi, walaupun dengan perasaan tidak enak."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki" kata Arya sejujurnya.
"Aku terpaksa harus mengikuti ke mana kau pergi, Dewa Arak. Karena aku yakin, tokoh-tokoh dari Pulau Karang itu akan mencarimu. Itulah yang membuatku merasa tidak enak," jelas Petani Maut.
Dewa Arak tersenyum lebar. "Hilangkan perasaan itu, Ki. Aku sama sekali tidak merasa keberatan. O, ya. Mari kita kembali ke desa."
* * *
LIMA
Sang surya sudah sejak tadi tenggelam di ufuk Barat. Kini yang menggantikan tugas untuk menerangi persada adalah sang dewi malam. Bentuknya bulat utuh, dengan sinarnya yang memancar lembut. Kukuk burung hantu dan kerik jangkrik serta binatang malam lainnya, menambah semaraknya suasana.
Di bawah siraman lembut sinar bulan, tampak berkelebatan empat sosok bayangan hitam. Gerakan mereka rata-rata cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan yang tak jelas bentuknya. Apabila ada orang yang melihatnya, tentu akan menyangka hantu-hantu yang tengah bercanda.
Kaki-kaki empat sosok bayangan hitam itu seperti tidak menyentuh tanah ketika melesat cepat memasuki tembok batas Desa Ceger. Dan masih dengan kecepatan sama, mereka melesat menuju ke lambung desa.
Empat sosok bayangan hitam itu melesat tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Tak aneh kalau mereka tidak tahu gerak-geriknya diperhatian tiga sosok tubuh yang bersembunyi di atap rumah.
"Itukah tokoh-tokoh dari Pulau Karang, Ki?" tanya sosok berpakaian ungu yang tak lain dari Dewa Arak pelan.
Meskipun hanya Dewa Arak yang mengajukan pertanyaan, tapi tak urung seorang gadis berpakaian putih di sebelahnya yang memang Melati ikut menoleh. Sama seperti Arya, Melati juga menatap Petani Maut, orang yang ditanya.
"Benar, Dewa Arak," jawab Petani Maut, singkat.
Berbeda dengan Dewa Arak dan Melati, Petani Maut mengeluarkan ucapan tanpa mengalihkan pandangannya. Sepasang matanya tetap tertuju lurus ke arah empat sosok bayangan yang bergerak cepat di bawah.
Arya dan Melati pun mengalihkan pandangan ke bawah, ke arah empat sosok bayangan hitam yang ternyata Mahadewa dan kawan-kawannya. Sementara yang ditatap terus saja berlari, sehingga semakin lama semakin jauh dari tempat Dewa Arak dan rekan-rekannya berada.
"Akan ke mana mereka, Kang?" tanya Melati, ingin tahu,
"Ke mana lagi kalau bukan ke rumah Ki Manda, Melati. Aku yakin, mereka akan menanyakan padanya tentang keberadaan kita."
"Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati lagi, setelah terdiam sesaat lamanya.
"Mengejarnya, Melati. Aku khawatir, mereka akan melakukan tindakan yang tidak diinginkan apabila mendapat jawaban berbeda dengan yang diharapkan," jelas Arya panjang lebar.
"Apa yang kau katakan itu benar, Dewa Arak," sambut Petani Maut, yang memang sudah sejak tadi merasa tidak sabar untuk segera mengejar.
"Kalau demikian, mari kita ikuti mereka," putus Arya.
Jawaban dari Petani Maut adalah sebuah lompatan ke tanah. Laksana seekor burung garuda, tubuhnya melayang ke tanah. Lalu, ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di tanah. Pada saat yang hampir berbarengan, Melati dan Dewa Arak mendaratkan kakinya pula. Bahkan gerakan mereka terlihat jauh lebih indah daripada Petani Maut.
Tapi, kakek berpakaian abu-abu itu sama sekali tidak melihatnya. Karena begitu kakinya menjejak tanah, langsung saja melesat mengejar Mahadewa dan kawan-kawannya yang semakin mengecil. Tentu saja melihat hal ini, Dewa Arak tidak bisa berpangku tangan. Dia pun melesat cepat mengejar Petani Maut diikuti Melati.
Meskipun Petani Maut melesat lebih dulu, namun beberapa saat kemudian Dewa Arak dan Melati berhasil membarenginya. Apalagi ilmu lari cepat sepasang pendekar muda itu berada di atas Petani Maut. Bahkan kalau mau, dengan mudah Petani Maut bisa tersusul dan tertinggal.
Tapi, Dewa Arak dan Melati terpaksa harus menyesuaikan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya sebatas kemampuan yang dimiliki Petani Maut. Maka akibatnya, jarak di antara mereka dengan empat tokoh dari Pulau Karang semakin jauh. Semakin lama, tubuh Mahadewa dan kawan-kawannya terlihat semakin mengecil. Hingga akhirnya, lenyap sama sekali.
Walaupun demikian, ketiga tokoh silat itu sama sekali tidak merasa khawatir akan kehilangan buruannya. Mereka telah yakin kalau arah tujuan empat tokoh dari Pulau Karang itu adalah rumah Kepala Desa Ceger.
Dewa Arak dan Melati memang tidak tahu letak tempat tinggal Ki Manda. Maka mereka berdua tinggal mengikuti saja, ke mana arah Petani Maut melangkah. Dan karena kakek berpakaian abu-abu lusuh ini sering melintasi Desa Ceger, tak heran kalau jadi tahu tempat tinggal kepala desa itu.
"Heh...?!" Dewa Arak, Petani Maut, dan Melati tiba-tiba berhenti berlari, dan saling berpandangan. Raut wajah mereka menyiratkan keheranan. Betapa tidak?
Samar-samar telinga mereka menangkap suara gaduh, yang sudah pasti timbul karena adanya pertarungan. Terdengarnya jerit kemarahan yang ditopang pengerahan tenaga dalam dan benturan senjata, telah menjelaskan adanya pertarungan berlangsung.
"Sepertinya ada yang tengah bertempur," bisik Petani Maut, bernada memberi tahu.
Sebenarnya pemberitahuan itu hanya basa-basi, karena Petani Maut tahu kalau Dewa Arak dan Melati pasti juga mendengar suara gaduh itu.
"Kau benar, Ki," hanya itu sambutan Dewa Arak.
"Arahnya dari tempat tinggal Ki Manda," kata Petani Maut lagi. "Jangan-jangan...."
Meskipun Petani Maut tidak meneruskan ucapannya, namun Dewa Arak dan Melati bisa menerka kelanjutannya. Itulah sebabnya, mereka tidak heran melihat Petani Maut melesat. Bahkan sepasang pendekar muda ini ikut melesat ke arah yang sama.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, asal suara keributan itu sudah terlihat Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut. Dan dugaan mereka ternyata tidak salah. Ternyata buruan yang tadi mereka kejar-kejar, tengah bertarung menghadapi lawan-lawannya.
Dewa Arak, Petani Maut, dan Melati berhenri melesat. Lalu dengan penuh selidik, mereka mengalihkan pandangan ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.
Maka sebentar saja, telah bisa diketahui kalau Mahadewa dan kawan-kawannya tengah berhadapan dengan gabungan tokoh-tokoh persilatan. Hanya saja, Dewa Arak dan Melati mengenal sebagian kecil dari mereka.
Sedangkan Petani Maut mengenal sebagian besar tokoh persilatan yang berada di situ. Saat ini, Mahadewa dan ketiga kawannya memang tengah bertarung melawan tokoh persilatan yang jumlahnya jauh lebih besar. Tak kurang dari sepuluh kali lipat dari jumlah mereka yang hanya berempat.
Walaupun demikian, empat tokoh dari Pulau Karang itu sama sekali tidak terdesak. Bahkan tampaknya berada di atas angin. Keadaan yang menguntungkan bagi Mahadewa dan kawan-kawannya ini diketahui secara pasti oleh Dewa Arak, Petani Maut, dan Melati.
Sama sekali tidak mengherankan kalau Mahadewa dan kawan-kawannya mampu berada di atas angin. Para pengeroyoknya ternyata hanya memiliki kepandaian tidak terlalu tinggi, walaupun sudah punya nama dalam dunia persilatan. Tapi kalau dibandingkan dengan empat tokoh Pulau Karang, jelas sangat jauh. Sebagian besar dari para pengeroyok adalah murid-murid Petani Maut dan Pendekar Tangan Sakti. Sisanya, adalah tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian lumayan.
Pengeroyokan orang-orang itu bagi Mahadewa dan rekan-rekannya sama sekali tidak menimbulkan masalah. Setiap serangan berhasil ditanggulangi secara mudah. Sebaliknya setiap serangan balasan Mahadewa dan kawan-kawan, selalu menimbulkan akibat. Hanya dengan kibasan-kibasan tangan saja, sudah cukup membuat tubuh lawan-lawannya berpentalan ke belakang bagai dilanda angin ribut.
Ada perasaan kagum di hati Dewa Arak pada empat tokoh Pulau Karang itu. Arya melihat tidak ada satu pun lawan empat tokoh itu yang tewas. Bahkan terluka berat pun tidak, kecuali hanya pingsan saja. Hal ini menandakan kalau mereka tidak mempunyai jiwa kejam.
Meskipun ada perasaan kagum, namun timbul pula rasa heran di hati Arya. Tindakan Mahadewalah yang membuatnya heran. Berbeda dengan penampilan pertamanya, tindakan Mahadewa kini sama sekali tidak telengas. Sekarang lawannya dirobohkan tanpa dibunuh atau dilukai.
Tapi Arya tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun pikirannya. Dan itu terjadi karena perubahan besar dalam kancah pertarungan, ketika semua lawan empat tokoh dari Pulau Karang telah berjatuhan di tanah.
Jliggg!
Hampir berbarengan, di depan Mahadewa dan kawan-kawannya tahu-tahu telah berdiri dua sosok tubuh. Mereka tampak tengah menatap tokoh-tokoh dari Pulau Karang itu dengan raut wajah tidak bersahabat.
Sementara itu, Petani Maut yang sejak melihat Mahadewa, sudah merasa murka bukan kepalang. Dan dia tidak bisa menahan diri lagi, sehingga segera melangkah menghampiri. Tentu saja melihat hal ini, Dewa Arak ikut bergerak, diikuti Melati. Gadis itu melangkah di belakang kekasihnya. Kemudian, Dewa Arak cepat mengulurkan tangan, menyentuh bahu Petani Maut. Kakek berpakaian abu-abu lusuh itu langsung menoleh.
"Kumohon kau jangan bertindak dulu, Ki. Kita lihat dulu perkembangannya," pinta Arya, pelan.
Petani Maut tidak langsung menganggukkan kepala. Dengan perasaan berat, permintaan pemuda berambut putih keperakan itu disetujuinya. Buru-buru keinginan untuk menerjang Mahadewa ditekan. Yang dilakukannya sekarang adalah memperhatikan peristiwa yang akan terjadi.
Secercah senyum tampak tersungging di mulut Dewa Arak, tatkala melihat Petani Maut memenuhi permintaannya. Kini, dia bisa ikut tenang menyaksikan keadaan yang terjadi di depan. Kini Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut menatap dua orang yang tengah mendekati Mahadewa dan tiga orang kawannya. Dua orang itu sama-sama telah lanjut usia.
Yang seorang bertubuh gemuk dan besar, mirip lembu. Sebatang tongkat dari kayu yang saling melilit, dengan gagang kepala ular tampak tergenggam di tangannya. Pakaian berwarna coklat tua, semakin menambah keangkeran penampilannya.
Sedangkan kakek yang seorang lagi bertubuh, tinggi kurus dan berwajah kekuningan. Bentuk wajah-nya tirus, mirip tikus. Pakaiannya berwarna kuning muda. Sungguh sangat jauh kalau dikatakan angker. Kakek tinggi kurus ini mirip orang penyakitan.
Memang bagi orang yang tidak mengenai, kakek berpakaian coklat tualah yang kelihatan lebih berbahaya. Tapi, penilaian seperti itu tidak masuk dalam benak Dewa Arak. Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau kakek tinggi kurus itu tidak kalah lihai dibanding kakek berpakaian coklat.
"Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning," desis Petani Maut pada Dewa Arak dan Melati.
Arya dan Melati agak terkejut juga mendengarnya. Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning adalah datuk-datuk persilatan yang belum pernah ada tandingannya. Telah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali kedua tokoh itu bertarung. Dan selama itu, belum pernah ada orang yang mampu menandingi.
Bahkan mereka tetap tak terkalahkan, sampai akhirnya mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kalau sampai kedua datuk ini keluar dari tempat pengasingannya, bisa diperkirakan penyebabnya. Jelas telah terjadi suatu hal yang amat penting!
Brosss!
Tanah langsung amblas ketika Malaikat Tongkat Sakti menekankan kaki kanannya ke tanah. Padahal, kelihatannya sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam. Namun akibatnya luar biasa. Dari sini bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Malaikat Tongkat Sakti.
"Orang-orang asing...!"
Malaikat Tongkat Sakti mulai membuka suara. Suaranya terdengar keras bukan kepalang, laksana guntur. Memang, ucapan itu dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam. Diiringi ucapan itu, Malaikat Tongkat Sakti menatap wajah empat tokoh Pulau Karang satu persatu. Sikapnya terlihat penuh wibawa. Sehingga, tidak hanya Mahadewa dan kawan-kawannya saja yang memperhatikan. Dewa Arak, Petani Maut, dan Melati juga sampai-sampai tak berkedip menatapnya.
"Sebenarnya aku sudah tidak berminat lagi untuk campur tangan dalam urusan kekerasan. Tapi, tindakan kalian telah melampaui batas. Kalian terlalu angkara murka! Membanggakan kemampuan sendiri hanya untuk berbuat sewenang-wenang! Perguruan silat yang didirikan orang yang terhitung muridku telah kalian hancurkan!"
Malaikat Tongkat Sakti menghentikan ucapan. Dibasahinya tenggorokannya yang kering dengan air ludahnya sendiri.
"Sekarang, bersiaplah menerima pembalasanku!" lanjut Malaikat Tongkat Sakti, menutup ucapannya. Usai berkata demikian, Malaikat Tongkat Sakti melangkah maju. Sikap dan tindak-tanduknya menunjukkan kalau telah siap-siap bertarung. Tapi....
"Tahan, Malaikat Tongkat Sakti!"
Sebuah cegahan keras yang menggema di seluruh penjuru tempat itu, membuat Malaikat Tongkat Sakti menghentikan langkah dan menolehkan kepala. Bahkan bukan hanya dia saja yang menoleh. Ular Muka Kuning dan empat tokoh Pulau Karang juga mengarahkan pandangan pada asal bantahan tadi.
Baik Malaikat Tongkat Sakti, Ular Muka Kuning maupun empat tokoh Pulau Karang itu tahu kalau pemilik suara tadi pasti memiliki kepandaian tinggi. Kerasnya suara yang terdengar tadi telah mampu membuktikannya.
"Siapa kau, Anak Muda? Dan mengapa mencampuri urusan kami?" tanya Malaikat Tongkat Sakti bernada tidak senang.
Sepasang mata datuk yang telah lama mengasingkan diri itu menatap wajah orang yang telah berani mencegah tindakannya. Kernyitan pada dahi menjadi pertanda kalau Malaikat Tongkat Sakti tengah berpikir.
Sambutan yang ditatap dan tak lain dari Dewa Arak itu tersenyum lebar. Masih dengan mulut tersenyum, kakinya melangkah mendekat. "Namaku Arya, Ki," jawab Arya masih dengan senyum. "Dan maksud tindakanku ini demi kebaikan kita bersama."
"Arya?! Apakah nama lengkapmu Arya Buana, Anak Muda?!" terka Malaikat Tongkat Sakti, setengah kaget.
Bukan hanya Malaikat Tongkat Sakti yang merasa terkejut ketika Arya memperkenalkan diri. Raut keterkejutan pun tampak di wajah semua orang yang berada di situ. Tentu saja, Melati dan Petani Maut merupakan pengecualian. Dengan agak berat, Arya menganggukkan kepala. "Jadi, kau.... Dewa Arak...?!" desis Malaikat Tongkat Sakti.dengan suara bergetar.
Untuk yang kesekian kalinya pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala, membenarkan.
"Ah...! Sungguh merupakan sebuah anugerah besar. Ternyata di saat akhir hayatku, masih bisa bertemu seorang pendekar muda yang telah mengukir nama besar dalam rimba persilatan. Tapi, apa alasanmu mencegah tindakan Malaikat Tongkat Sakti, Dewa Arak?!" Ular Muka Kuning yang sejak tadi diam, mulai angkat bicara.
Dewa Arak tidak Iangsung menjawab. Dia tercenung sejenak, memikirkan kata-kata yang pantas untuk memulai pembicaraan. Paling tidak, untuk mencegah terjadinya salah pengertian.
"Sebelumnya, aku minta maaf padamu, Ki," ucap Arya pada Malaikat Tongkat Sakti. "Bukan maksudku untuk menggurui. Tapi alangkah bijaksananya apabila memberi kesempatan pada mereka untuk mengajukan alasan dari tindakan yang telah diperbuat. Aku yakin, mereka akan mengajukan alasannya," urai Dewa Arak panjang lebar.
Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning sekilas saling berpandangan. Tidak terlihat adanya gambaran perasaan apa pun di wajah keduanya. Memang, baik Malaikat Tongkat Sakti maupun Ular Muka Kuning telah bisa menguasai perasaan, sehingga tidak tampak pada wajah mereka.
Meskipun demikian, kedua belah pihak telah bisa mengetahui perasaan masing-masing. Mereka sama-sama menyadari kalau ucapan Dewa Arak mengandung kebenaran.
"Kau benar, Dewa Arak. Terima kasih atas alasanmu.".Meskipun perasaan malu menjalar hati, Malaikat Tongkat Sakti tidak ragu-ragu mengakui kebenaran ucapan Dewa Arak.
"Ah! Kau terlalu merendah, Ki," ucap Arya, jadi malu hati.
Tapi Malaikat Tongkat Sakti malah menyunggingkan senyum lebar. Kemudian pandangannya beralih pada empat tokoh dari Pulau Karang. "Kalian dengar ucapan Dewa Arak?!"
Empat tokoh Pulau Karang itu mengalihkan pandangan dari Dewa Arak, pada Malaikat Tongkat Sakti.
"Ya. Kami mendengarnya," Bandawasa yang menyahuti. "Ternyata berita yang terdengar mengenai Dewa Arak sama sekali tidak berlebihan. Memang, wawasannya sangat luas dan...."
"Aku tidak ingin mendengar ceramahmu, Orang Asing!" sergah Malaikat Tongkat Sakti, cepat. "Aku hanya butuh alasanmu! Cepat katakan, mengapa kalian menghancurkan Perguruan Tapak Sakti?! Cepat! Sebelum kesabaranku hilang!"
Empat tokoh dari Pulau Karang itu saling berpandangan. Raut wajah mereka menyiratkan kebingungan hebat. "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Malaikat Tongkat Sakti," kilah Bandawasa, dengan raut wajah tidak berdosa.
"Tidak mengerti?! Rupanya kalau tidak ditunjukkan bukti sejelas-jelasnya kalian masih mencoba menyangkal! Baik! Apakah kalian masih mencoba menyangkal kalau kukatakan telah mendatangi Perguruan Tapak Sakti, membuat keonaran di sana, membunuhi semua orang yang berada di sana tanpa kecuali, kemudian membumihanguskan perguruan itu?! Katakan, kalau hal itu tidak kalian lakukan!" urai Malaikat Tongkat Sakti panjang lebar, penuh ancaman.
"Kau terlalu berlebihan, Malaikat Tongkat Sakti!" bantah Bandawasa berapi-api. "Kuakui, kami memang mendatangi Perguruan Tapak Sakti dan terlibat pertarungan melawan murid-murid perguruan itu. Tapi, kami hanya merobohkan mereka tanpa luka berat. Apalagi, sampai membunuh! Itu fitnah! Tapi aku yakin, kalau saja ada murid Perguruan Tapak Sakti ada di sini, mereka akan mengatakan bahwa ucapan itu benar."
"Hmh...!" dengus Malaikat Tongkat Sakti. "Aku tahu, mengapa kau berani berharap demikian, Orang Asing! Karena, kau yakin kalau semua murid Perguruan Tapak Sakti telah kau binasakan! Bukankah demikian?"
"Terserah kalau anggapanmu demikian," ujar Bandawasa sambil mengangkat bahu. "Tapi, percayalah. Aku mengatakan yang sebenarnya."
"Baik! Keinginanmu kupenuhi. Ketahuilah, tidak semua murid Perguruan Tapak Sakti berhasil kalian binasakan. Ada yang berhasil melarikan diri, lalu melaporkan semua kekejaman yang kalian lakukan. Sumantri! Kemari kau!"
Malaikat Tongkat Sakti menoleh ke arah sebatang pohon besar yang terletak di belakangnya. Sesaat kemudian, dari balik pohon menyembul keluar sesosok tubuh berpakaian coklat. Dialah yang bernama Sumantri, murid Perguruan Tapak Sakti yang berhasil selamat.
Bandawasa dan ketiga orang kawannya memperhatikan penuh selidik pada Sumantri yang tengah menuju ke arah mereka. Melihat dari pakaian yang dikenakan, empat tokoh Pulau Karang itu tahu kalau orang yang tengah berjalan menghampiri benar murid Perguruan Tapak Sakti.
"Ceritakanlah semua kejadian yang kau alami, Sumantri," perintah Malaikat Tongkat Sakti ketika murid Perguruan Tapak Sakti telah berada di sebelahnya.
"Beberapa hari yang lalu, empat orang itu menyatroni Perguruan Tapak Sakti. Mereka menanyakan guru, namun kami tidak memberitahukan. Tapi, mereka terus memaksa sehingga akhirnya terjadi pertarungan."
Sumantri menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. "Tapi, mereka terlalu kuat untuk kami. Satu persatu, kami berhasil dirobohkan. Dan mereka pergi, setelah berhasil mendapatkan keterangan mengenai guru...."
"Nah! Kau buktikan sendiri kebenaran ucapanku, Malaikat Tongkat Sakti?!" selak Bandawasa, bernada penuh kemenangan.
"Jangan terburu nafsu, Orang Asing! Ucapan Sumantri belum selesai. Ayo, Sumantri. Lanjutkan ceritamu!"
"Tak lama kemudian, salah seorang dari mereka kembali lagi. Lalu, membunuhi semua murid Perguruan Tapak Sakti dan membumihanguskan perguruan."
"Heh...?!" Bandawasa dan ketiga rekannya terperanjat.
"Salah seorang di antara kami? Katakan, siapa orang itu?!" tanya Mahadewa tidak sabar.
Sumantri tersenyum mengejek. "Kau benar-benar ingin tahu orang yang telah melakukan kekejian itu?!" murid Perguruan Tapak Sakti ini malah balas bertanya.
Meskipun yang mendapat pertanyaan itu Mahadewa, tapi tanpa sadar Bandawasa, Janaka, dan Mahesa ikut menganggukkan kepala. Jantung mereka berdebar tegang, menanti jawaban yang akan keluar dari mulut Sumantri.
Sumantri tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah-wajah yang menyiratkan perasaan penuh rasa ingin tahu satu persatu. Sampai akhirnya, tatapannya berhenri pada orang terakhir. Mahadewa!
"Pembunuh biadab itu adalah kau...!" tuding Sumantri pada Mahadewa.
"Apa?!" Mahadewa terlonjak kaget. "Kau..., kau dusta! Ini fitnah! Kubunuh kau...!"
Begitu ucapannya selesai, laki-laki bercodet ini menerkam Sumantri. Gerakannya mengingatkan orang akan tindakan seekor harimau yang hendak menyantap mangsanya.
Sumantri terkejut bukan kepalang. Tindakan Mahadewa memang sama sekali tidak disangka. Akibatnya, dia tidak mampu berbuat sesuatu. Bahkan andaikata telah menduga pun, Sumantri juga tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tibanya serangan memang terlalu cepat.
Tentu saja Malaikat Tongkat Sakti tidak tinggal diam melihat adanya bahaya maut yang tengah mengancam keselamatan Sumantri. Buru-buru kaki kirinya melangkah ke depan, sambil menyilangkan kedua tangan di atas kepala.
Prattt!
Benturan antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat tidak bisa dihindari lagi. Bahkan bunyi yang terdengar lebih mirip benturan dua buah logam keras, ketimbang dua pasang tangan manusia.
Akibat yang terjadi cukup hebat. Tubuh Mahadewa melayang kembali ke tempat semula. Kejadian yang sama pun dialami Malaikat Tongkat Sakti. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa tombak. Tapi hanya dengan gerakan sederhana, kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung telah berhasil dipatahkan.
Hal yang sama pun berhasil dilakukan Mahadewa. Kekuatan yang membuat tubuhnya melayang dipatahkan, meskipun untuk itu harus terbawa dulu di udara selama beberapa tombak.
Jliggg!
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Mahadewa langsung bersiap melancarkan serangan kembali. Sedangkan Malaikat Tongkat Sakti yang telah bisa memperkirakan kekuatan lawan, tidak mau tinggal diam. Dia pun bersiap-siap pula. Tapi....
"Mahadewa! Tahan...!"
Mahadewa terpaksa mengendurkan otot-otot dan urat-urat syarafnya yang telah menegang waspada, karena telah siap bertarung. Ditatapnya wajah Bandawasa, orang yang mengeluarkan cegahan tadi.
"Mengapa kau mencegahku, Bandawasa? Mereka telah memfitnahku! Dan hal itu hanya bisa ditebus dengan darah!" ujar Mahadewa berapi-api.
Bandawasa tersenyum pahit. "Menempur mereka masalah mudah, Mahadewa. Dan itu bisa diurus belakangan. Yang penting sekarang adalah bantahanmu dari tuduhan yang telah mereka lontarkan. Kini, aku ingat. Kau selalu menghilang setiap kali kita habis merobohkan lawan-lawan. Maksudku..., kau selalu mengajukan alasan untuk memisahkan diri dari kami bertiga, setiap kali habis meninggalkan lawan yang telah tidak berdaya. Cepat kemukakan alasanmu!"
Mahadewa tersentak melihat sikap Bandawasa. "Kau... Kau ini aneh, Bandawasa! Mengapa malah menyudutkanku?" tanya Mahadewa, terbata-bata. Sepasang matanya dialihkan ke arah Mahesa dan Janaka. Tapi wajah kedua orang rekannya itu tampak juga menyiratkan kecurigaan terhadapnya.
"Katakan saja, Mahadewa. Ke mana kau pergi waktu itu? Aku ingat, sewaktu kita selesai mendatangi Perguruan Tapak Sakti, kau meminta izin untuk memisahkan diri. Begitu pula, sewaktu sehabis mengalahkan Pendekar Tangan Sakti dan ketiga orang kawannya. Ah! Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu atas mereka," harap Bandawasa.
Ucapan Bandawasa membuat semua orang yang ada di situ, terutama sekali Mahadewa, Mahesa, dan Janaka, tersentak. Bahkan Bandawasa sendiri tersentak kaget ketika teringat, kalau tadi telah melihat keberadaan Petani Maut. Keberadaan Dewa Arak, dan berita tak disangka-sangka mengenai Mahadewa, membuat mereka semua melupakan keberadaan Petani Maut.
Hampir serentak, semua kepala tertuju pada Petani Maut. Dan sebelum semua sempat berkata apa-apa, Petani Maut yang memang sudah sejak tadi menahan-nahan amarah, langsung angkat suara.
"Harapanmu sama sekali tidak terkabul, Bandawasa! Mahadewa waktu itu kembali dan berusaha membantai kami semua yang sudah tidak berdaya. Ah...! Untung aku masih mujur, hingga bisa bertahan hidup!"
"Keparat! Fitnah keji! Kurobek mulutmu yang lancang!" Belum hilang gema ucapan itu, Mahadewa telah melompat menerjang Petani Maut.
"Tak akan kubiarkan kau menyebar kekejian lagi dan mengotori nama perguruan kita, Mahadewa!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Bandawasa melompat memapak luncuran tubuh Mahadewa. Hal ini membuat laki-laki bercodet itu menghentikan gerakannya.
"Kau..., kau lebih mempercayai ucapan mereka ketimbang ucapanku, Bandawasa?!" terbata-bata Mahadewa mengucapkan perkataannya.
"Aku tidak punya pilihan lain, Mahadewa. Semua bukti memberatkanmu," jawab Bandawasa, bernada penyesalan.
"Benar, Mahadewa," sambung Mahesa. "Sekarang, menyerahlah. Kau harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatanmu. Jangan paksa kami melakukan tindak kekerasan."
"Kau telah membuat kami semua malu, Mahadewa. Yang lebih parah lagi, kau telah mencorengkan lumpur pada nama perguruan kita," timpal Janaka, penuh penyesalan seperti juga ketiga rekannya.
Mahadewa menatap wajah rekan-rekannya satu persatu. "Baiklah kalau kalian sudah tidak mempercayaiku lagi. Aku memang tidak mempunyai bukti untuk menyanggahnya. Tapi, aku tidak sudi dihukum untuk kesalahan yang tidak pernah kuperbuat. Selamat tinggal."
Secepat ucapannya selesai, secepat itu pula Mahadewa mengambil senjata andalannya yang terselip di pinggang. Sebatang ruyung berbatang dua yang kedua ujungnya dihubungkan rantai baja. Dan, rantai baja itulah yang digunakan untuk membelit lehernya. Lalu...
Krrrrk...! Terdengar suara berderak keras ketika tulan tulang leher Mahadewa hancur berantakan. Darah segar pun memancur deras dari mulutnya. Laki-laki bercodet itu terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di tanah. Saat itu juga, nyawa Mahadewa melayang ke alam baka.
"Mahadewa...!"
Hampir berbareng, Bandawasa, Mahesa, dan Janaka berseru keras. Laksana terbang, mereka bertiga langsung meluruk ke arah Mahadewa.
"Mahadewa...," keluh Bandawasa sedih. Tampak jelas ada nada kesedihan dalam ucapannya. Matanya pun tampak merembang, menahan duka yang mendalam. Hal yang serupa pun terpancar di wajah Mahesa dan Janaka. Mereka hanya bisa menatap tubuh Mahadewa yang terkapar di tanah.
ENAM
Semua orang yang berada di situ menyaksikan jalannya kejadian dengan perasaan bingung. Mereka juga tidak sempat berbuat apa-apa untuk mencegah tindakan bunuh diri Mahadewa. Masalahnya, kejadian itu berlangsung demikian cepat dan tidak terduga-duga.
Apalagi, jarak mereka cukup jauh dengan Mahadewa. Dan dengan sendirinya, suasana menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang berbicara, semuanya tenggelam dalam alunan pikiran sendiri-sendiri.
Bandawasa dan dua orang rekannya sibuk dengan mayat Mahadewa. Sedangkan Dewa Arak dan yang lain sibuk dengan pertanyaan yang menggayuti benak.
Tokoh-tokoh tingkat tinggi dunia persilatan itu mempunyai pandangan luas. Melihat tindakan Mahadewa, seketika timbul keraguan dalam hati. Benarkah Mahadewa yang telah melakukan semua kekejian itu? Kalau benar, mengapa demikian kerasnya menolak? Bahkan sampai-sampai bunuh diri.
Tapi, mungkinkah Petani Maut dan yang lain salah melihat? Rasanya, mustahil! Atau ada orang menyamar sebagai Mahadewa? Kalau benar, siapa dan mengapa hal itu dilakukan?
Tapi, mereka tidak bisa berlama-lama terhanyut alun perasaan itu. Sedangkan, Bandawasa dan dua rekannya telah bisa menguasai perasaan sedihnya. Kini, mereka mengalihkan perhatian pada Malaikat Tongkat Sakti dan yang lainnya.
Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Malaikat Tongkat Sakti. "Kisanak semua," kata Malaikat Tongkat Sakti membuka pembicaraan. "Dengan tewasnya pelaku semua kekejian itu, aku mohon diri. Saat ini juga, persoalan kuanggap telah tuntas. Selamat tinggal."
Malaikat Tongkat Sakti menganggukkan kepala sedikit, lalu berbalik. Dan dia bersiap meninggalkan tempat itu, namun....
"Tidak semudah itu masalahnya selesai, Malaikat Tongkat Sakti!" cegah Bandawasa.
Seketika itu juga, langkah kaki Malaikat Tongkat Sakti terhenti di udara. Kembali tubuhnya berbalik untuk menghadap Bandawasa. "Jadi..., apa maumu sekarang, Orang Asing?!" sambut Malaikat Tongkat Sakti, berbau tantangan.
"Menuntut tanggung jawab kalian semua!" tandas Bandawasa keras, sambil menudingkan jari telunjuk ke arah semua tokoh tingkat tinggi yang berada di situ.
"Heh...?! Tidak salah dengarkah aku? Kau ingin menuntutku?!" Malaikat Tongkat Sakti meminta ketegasan.
"Bukan hanya kau, Malaikat Tongkat Sakti," Bandawasa membenarkan. "Tapi juga Ular Muka Kuning dan Dewa Arak!"
"Kau gila!" maki Ular Muka Kuning, yang sejak tadi diam saja.
Sedangkan Dewa Arak saat ini tetap bersikap tenang.
"Aku hanya menuntut keadilan! Nyawa harus ditebus nyawa! Kawanku sama sekali tidak bersalah. Tapi akibat tindakan kalian, dia telah tewas! Kami akan menuntut balas atas kematiannya, agar rohnya tenang di alam baka."
"Heh?! Bukankah tadi kau juga yakin kalau temanmu itu bersalah?" Arya ikut membuka suara sambil melangkah mendekat, diikuti Melati dan Petani Maut.
Sementara itu, Bandawasa mengalihkan perhatian pada Arya. "Semula, aku memang yakin kalau dia bersalah. Tapi, sekarang tidak lagi. Aku yakin, rekanku bukan pelaku semua kekejian yang dituduhkan. Ini pasti fitnah yang tidak bisa kudiamkan begitu saja!" tandas Bandawasa, keras.
"Apa yang membuatmu berubah pikiran secepat itu, Bandawasa?" tanya Dewa Arak, ingin tahu. "Apakah karena dia berani bunuh diri?"
Bandawasa tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah Dewa Arak lekat-lekat, kemudian perlahan-lahan kepalanya terangguk. "Perguruan kami mempunyai sebuah aturan khusus, yaitu bunuh diri dengan menggunakan senjata sendiri, untuk membuktikan kebenarannya. Dan kini, Mahadewa melakukannya. Maka, kami yakin kalau dia tidak bersalah. Jadi, sekarang merupakan kewajiban kami untuk membalaskan semua sakit hati yang dideritanya," urai Bandawasa panjang lebar.
Kini, semua tokoh yang berada di situ mengerti, mengapa Bandawasa bisa berubah pikiran demikian cepat.
"Bersiaplah kalian semua. Kita harus selesaikan urusan ini!" Janaka ikut berbicara.
Seiring ucapannya, Janaka melangkah maju. Sikap yang diperlihatkannya menunjukkan kesiapan bertarung. Bahkan bukan hanya Janaka saja. Bandawasa dan Mahesa pun telah melangkah pula.
Tentu saja melihat hal ini, Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning tidak tinggal diam. Mereka juga telah bersiap-siap, untuk menyambut tibanya serangan tokoh dari Pulau Karang itu.
"Tahan...!" Sebelum kedua belah pihak terlibat pertarungan, Dewa Arak telah mencegah. Dihadangnya langkah tiga tokoh dari Pulau Karang itu. Mau tak mau, hal itu membuat Bandawasa dan dua rekannya mengurungkan maksud.
"Jangan halangi kami, Dewa Arak! Apabila kau ingin bertarung dengan kami, tunggulah hingga urusan ini selesai!" kata Bandawasa.
"Sabar dulu, Bandawasa. Jangan biarkan persoalan ini berlarut-larut. Aku yakin, telah terjadi kesalahpahaman di sini."
"Maksudmu?" Janaka mengernyitkan kening.
"Kalian percaya padaku?!" Arya malah balas bertanya.
Bagai diberi perintah, tiga tokoh dari Pulau Karang itu menganggukkan kepala. Sikap Dewa Arak yang tampak tidak memihak, membuat mereka menaruh kepercayaan.
"Terima kasih atas kepercayaan yang kalian berikan padaku. Percayalah! Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan," ucap Arya, sungguh-sungguh. "Nah! Sekarang, dengarkan baik-baik."
Sampai di sini Dewa Arak menghentikan ucapannya. Kepalanya segera ditengadahkan ke langit, seperti tengah mencari-cari sesuatu di awang-awang. Dan sebentar kemudian, pandangannya telah dialihkan kembali pada Bandawasa dan rekan-rekannya.
"Perlu kalian ketahui. Apa yang dikatakan Petani Maut dan murid Perguruan Tapak Sakti, sama sekali bukan fitnah! Mereka mengatakan yang sebenarnya! Dan ucapanku ini keluar bukan karena ikut-ikutan, tapi karena aku telah melihat dengan mata kepala sendiri!"
"Maksudmu...?!" Bandawasa menggantung ucapannya.
"Aku telah berhadapan sendiri dengan Mahadewa."
"Kau bertarung melawan Mahadewa, Dewa Arak?!" tebak Mahesa.
"Benar," jawab Dewa Arak, sambil menganggukkan kepala.
"Lalu, bagaimana kesudahannya?" desak Bandawasa penuh minat.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Bandawasa?"
"Maksudku..., siapa yang menang?" tanya Bandawasa, lebih lengkap.
"Entahlah," Arya menggelengkan kepala. "Pertarungan antara kami telah bubar, sebelum usai. Bukan tidak mungkin, aku akan kalah kalau pertarungan dilanjutkan. Dia memang lihai bukan kepalang."
"Mengapa kau bertarung dengannya, Dewa Arak?" tanya Bandawasa lebih jauh.
"Dia membunuh penduduk Desa Ceger. Dan aku paling pantang melihat adanya tindak kekejaman di depan mataku. Maka, dia lebih baik kutantang. Lalu, kami terlibat pertarungan," jelas Dewa Arak panjang lebar.
Untuk kedua kalinya, Bandawasa, Mahesa, dan Janaka saling berpandangan. Kemudian Bandawasa mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku mengerti maksudmu, Dewa Arak. Bukankah kau juga menuduh Mahadewa sebagai pelaku semua pembunuhan keji itu?!" Bandawasa memberi kesimpulan.
Dewa Arak tersenyum tenang. "Aku yakin, pelaku semua kekejian itu adalah Mahadewa. Tapi, Mahadewa yang mana, itulah pertanyaannya!"
Tiga tokoh dari Pulau Karang itu bingung mendengar ucapan Dewa Arak. Dahi mereka berkernyit dalam, menandakan besarnya perasaan heran yang melingkupi. Bukan hanya tiga tokoh dari Pulau Karang itu saja yang merasa heran. Bahkan semuanya merasa bingung mendengar ucapan Dewa Arak.
"Hm... Apakah maksud ucapanmu itu berarti... ada dua Mahadewa? Maksudmu..., Mahadewa mempunyai kembaran?" terka Bandawasa.
"Tidak seperti itu, Bandawasa. Tapi dugaanku, ada seseorang yang menyamar sebagai Mahadewa. Dan...."
"Tutup mulutmu! Kau hanya mengada-ada, Dewa Arak!" potong Bandawasa, keras.
Setelah berkata demikian, Bandawasa menerjang Dewa Arak. Serangannya dibuka dengan sebuah pukulan lurus ke arah dada lawan dengan tangan kiri.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi tibanya pukulan Bandawasa, karena pukulannya disertai pengerahan tenaga dalam kuat. Tapi, lawan yang diserangnya bukan tokoh rendahan! Menghadapi serangan itu, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang. Itu pun masih disertai dengan liukan tubuhnya ke kanan. Hasilnya, serangan Bandawasa hanya mengenai tempat kosong.
Tapi serangan Bandawasa tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan, langsung dilancarkannya serangan susulan. Kaki kanannya cepat diluncurkan dalam sebuah tendangan lurus ke arah pusar.
"Hebat!" Pujian tulus terlontar dari mulut Dewa Arak. Arya memang kagum melihat serangan Bandawasa yang bertubi-tubi. Meskipun demikian, bukan berarti pemuda berambut putih keperakan itu kerepotan. Dengan kecepatan gerakan ahli silat, kakinya langsung digenjot. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke belakang. Maka, kaki Bandawasa hanya meluncur di bawah kakinya.
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun, kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah. Tapi belum juga Dewa Arak sempat menarik napas lega, Bandawasa telah kembali memburu.
Bahkan kali ini bukan hanya Bandawasa saja yang melancarkan serangan. Entah kapan, tahu-tahu Janaka dan Mahesa telah bertarung. Janaka menerjang Malaikat Tongkat Sakti, sedangkan Mahesa menyerang Ular Muka Kuning. Dan kini, terjadilah pertarungan sengit.
Melihat hal ini, Melati, Petani Maut dan beberapa orang yang masih berada di situ bergegas menyingkir. Mereka semua tahu, betapa berbahayanya berada di dekat kancah pertarungan. Jangankan terkena langsung. Angin serangannya saja, sudah cukup membuat nyawa melayang!
Sementara itu, seperti sudah direncanakan saja, masing-masing pasangan yang bertarung saling memisahkan diri. Hasilnya, di tempat itu tercipta tiga kancah pertarungan.
Seperti juga pertarungan antara Dewa Arak dengan Bandawasa, pertempuran lain yang terjadi juga tanpa menggunakan senjata. Meskipun demikian, bukan berarti tidak berbahaya. Dengan tenaga dalam yang dimiliki, tangan dan kaki mereka tak kalah berbahayanya dibanding senjata tajam. Angin serangannya saja sudah cukup membuat nyawa orang melayang ke alam baka.
Bandawasa, Janaka, dan Mahesa bertarung bagai macan luka. Dan hal itu disebabkan kematian Mahadewa. Dan satu hal lagi, mereka memang ingin bertarung melawan tokoh-tokoh tersakti di pulau ini. Dan kini, tokoh-tokoh itu ada di hadapan mereka. Maka, kesempatan itu pun dipergunakan sebaik-baiknya.
"Haaat...!"
Jeritan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, diiringi deru angin keras, menyemaraki jalannya pertarungan. Masing-masing tokoh mengerahkan seluruh kemampuan terbaik yang dimiliki.
Bandawasa dan dua rekannya tahu, lawan yang dihadapi memiliki kepandaian amat tinggi. Maka tanpa ragu-ragu, seluruh kemampuan mereka dikerahkan sejak serangan pertama. Harapan mereka adalah, merobohkan lawan-lawan secepat mungkin.
Tapi, Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning adalah tokoh-tokoh nomor satu dunia persilatan. Kepandaian mereka sukar diukur tingginya. Maka akibatnya sudah bisa diduga. Tiga tokoh dari Pulau Karang itu pun mendapat perlawanan sengit! Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi. Dan hal itu berlangsung sejak jurus-jurus awal. Dan sekarang, telah memasuki jurus ketiga puluh lima.
Namun, jalannya pertarungan tetap seimbang. Sama sekali belum terlihat adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Karuan saja hal ini membuat semua pihak yang bertarung, kecuali Dewa Arak, merasa penasaran bukan main. Harga diri masing-masing seperti tersinggung melihat lawan mampu bertahan. Apalagi, ketika pertarungan telah melewati jurus kelima puluh.
Hasilnya, masing-masing berusaha semakin memperhebat serangan. Bahkan telah mengeluarkan ilmu andalan. Dengan sendirinya, pertarungan yang terjadi pun semakin sengit.
Di antara mereka semua, hanya Dewa Arak yang belum mengeluarkan ilmu andalan. Pemuda berambut putih keperakan itu masih saja mengandalkan ilmu-ilmu tangan kosong yang diterima dari ayahnya, yakni ilmu 'Sepasang Tangan Pembunuh Naga' dan 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.
Dan walaupun hanya menggunakan ilmu-ilmu warisan ayahnya, Dewa Arak berhasil menanggulangi setiap serangan Bandawasa. Tentu saja, hal itu membuat tokoh muda yang menggemparkan ini heran bukan kepalang. Berbagai macam pertanyaan langsung bergayut di benaknya.
"Hanya sampai di sini sajakah tingkat kepandaian Bandawasa? Mengapa berbeda jauh bila dibanding Mahadewa?" tanya Dewa Arak dalam hati.
Tapi, Dewa Arak tidak mau membiarkan pertanyaan seperti itu bergayut terus di benaknya. Disadari kalau hal itu terus dilakukan, kemungkinan besar dia akan celaka di tangan Bandawasa.
Sementara itu, Bandawasa mulai dirayapi perasaan penasaran. Seluruh kepandaiannya telah dikerahkan, tapi tetap saja belum mampu mendesak Dewa Arak. Padahal, dia tahu betul kalau pemuda berambut putih keperakan itu belum mengeluarkan ilmu andalan.
Memang, Bandawasa telah mendengar kabar kalau Dewa Arak selalu menenggak araknya bila ingin mengeluarkan ilmu andalan. Dari berita inilah diketahuinya kalau tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu belum mengeluarkan ilmu andalan. Dan memang, sejak tadi Dewa Arak belum menenggak araknya.
Perasaan penasaran Bandawasa semakin menggebu-gebu ketika menyadari kenyataan kalau dirinyalah yang perlahan-lahan terdesak oleh Dewa Arak. Padahal, akal sehat Bandawasa mengakui kalau Dewa Arak memang lebih unggul. Tapi karena Dewa Arak berhasil mendesak tanpa mengeluarkan ilmu andalan, Bandawasa jadi penasaran bukan kepalang.
Ternyata, bukan hanya Bandawasa saja yang mengalami nasib buruk. Mahesa dan Janaka pun demikian pula. Dua rekan Bandawasa ini tengah kerepotan menghadapi perlawanan Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning. Dan itu terjadi setelah pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh. Perlahan-lahan, serangan-serangan dua tokoh dari Pulau Karang ini mulai berkurang.
Seiring semakin lamanya pertarungan berlangsung, serangan-serangan tiga tokoh Pulau Karang semakin berkurang. Dan mereka hanya mengelak saja. Karena tangkisan-tangkisan pun semakin berkurang. Sebenarnya hal ini disebabkan kekuatan tenaga dalam Malaikat Tongkat Sakti, Ular Muka Kuning, dan Dewa Arak yang memang di atas lawan masing-masing. Betapa tidak?
Setiap kali terjadi benturan baik tangan atau kaki, sudah dapat dipastikan mulut ketiga tokoh Pulau Karang itu langsung menyeringai. Itulah sebabnya tiga tokoh dari Pulau Karang itu lebih suka mengelak daripada menangkis.
Akhir dari pertarungan sudah bisa ditebak. Tiga tokoh Pulau Karang itu akan roboh di tangan lawan masing-masing. Hal ini bisa dibuktikan dari keadaan mereka yang semakin terhimpit. Bandawasa dan kedua rekannya terus bermain mundur. Dan kelihatannya tak lama lagi pertarungan akan berakhir.
Hal ini pun disadari tiga tokoh dari Pulau Karang itu. Tahu kalau memenangkan pertarungan suatu hal yang tak mungkin, mereka memutuskan untuk mengajak lawan mati bersama! Hasilnya, Bandawasa dan dua rekannya bertindak nekat. Sekarang perhatian mereka lebih dipusatkan pada serangan. Bandawasa, Janaka, dan Mahesa bertarung tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Yang ada di benak mereka adalah menyarangkan serangan pada lawan.
Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kurring terperanjat bukan kepalang menyaksikan perubahan gaya bertarung lawan. Betapa tidak? Beberapa kali ketika mereka melancarkan serangan, lawan yang dihadapi sama sekali tidak mengelak. Bahkan malah mengirimkan serangan pula. Jelas, tiga tokoh Pulau Karang itu tidak mempedulikan keselamatan diri lagi.
Sebagai tokoh tingkat tinggi dunia persilatan dan kenyang pengalaman, Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning mengerti maksud tindakan lawan. Dan tentu saja, mereka tidak sudi bertindak bodoh dengan mengikuti ajakan itu.
Maka begitu melihat serangan yang dilancarkan sama sekali tidak dipedulikan, Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning terpaksa mengurungkan serangan. Kemudian, mereka buru-buru mengelakkan serangan tiga tokoh Pulau Karang itu.
Melihat tindakan lawan-lawannya, tiga tokoh dari Pulau Karang jadi berbesar hati. Semangat mereka pun timbul. Sebagai akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan semakin bertubi-tubi.
Sekarang, mulai ada perubahan dalam kancah pertarungan. Perlahan-lahan, kedudukan tiga tokoh Pulau Karang yang semula sudah terhimpit, mulai di atas angin kembali. Sedikit demi sedikit, Bandawasa dan dua rekannya mulai bisa menyamakan kedudukan.
Memang, kini Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning segera menghentikan serangan. Mereka hanya mengelak dan menangkis. Bahkan tidak berusaha melancarkan serangan balasan, karena dianggap tidak akan membawa hasil. Sudah bisa diduga, di saat mereka melancarkan serangan, lawan akan melakukan hal yang sama. Jadi, terpaksa Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning membatalkan serangan kembali kalau tidak ingin mati konyol.
Bandawasa dan dua rekannya jadi bertambah semangat melihat hasil usaha mereka. Apalagi, setelah keadaan malah berbalik. Merekalah yang kini lebih banyak melancarkan serangan, ketimbang lawan-lawannya. Keadaan seperti itu terus berlangsung beberapa jurus lamanya. Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning terus dicecar dan didesak.
Kini, kelihatannya tiga tokoh Pulau Karang itu yang berada di atas angin. Sedangkan Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning berada di pihak yang terdesak. Padahal, kenyataan sebenarnya tidak demikian. Ketiga tokoh tingkat tinggi dunia persilatan itu tengah menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Sementara itu, pertarungan telah memasuki jurus kesembilan puluh tiga.
TUJUH
"Haaat...!" Diiringi pekikan keras mengguntur yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Janaka melancarkan kibasan dengan kaki kanan ke arah kepala Malaikat Tongkat Sakti. Hal itu dilakukan sambil memutar tubuh.
Wukkk!
Serangan itu lewat beberapa jari di depan sasaran, ketika Malaikat Tongkat Sakti menarik kaki kanan ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Malaikat Tongkat Sakti. Begitu serangan lawan berhasil dielakkan, sebuah serangan balasan dikirimkan. Kakek bertubuh tinggi besar ini melancarkan sebuah tendangan kaki kiri ke arah punggung lawan.
Bukkk!
Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Dan, Janaka sama sekali tidak menduga, sehingga tidak sempat berbuat sesuatu. Tahu-tahu saja, punggungnya telah menerima tendangan keras. Seketika itu pula, tubuhnya terlempar. Suara berderak keras dari tulang yang patah, semburan darah dari mulut dan hidung, bercampur jerit kesakitan, mengiringi melayangnya tubuh Janaka.
Ternyata, tidak hanya Janaka saja yang mengalami nasib naas. Dua rekannya pun mengalami nasib serupa. Mahesa terpaksa menerima sebuah tetakan tangan miring Ular Muka Kuning pada lehernya. Sedangkan Bandawasa menerima gedoran dari Dewa Arak pada perutnya.
Brukkk!
Berturut-turut tubuh tiga tokoh dari Pulau Karang itu ambruk di tanah disertai suara berdebuk cukup keras. Lalu tubuh mereka tidak bergerak lagi, setelah berguling-guling beberapa tombak jauhnya.
"Hhh...!"
Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning menghela napas lega, setelah terlebih dulu menghentikan gerakan. Kemudian, dua datuk yang telah menggemparkan dunia persilatan itu menatap tubuh tiga tokoh Pulau Karang yang tergolek di tanah.
Sementara itu, Dewa Arak buru-buru melesat ke arah tempat tergoleknya tubuh tiga tokoh dari Pulau Karang. Raut kecemasan membayang jelas pada wajahnya, karena khawatir kalau Bandawasa dan dua rekannya tewas. Dan dia tahu pasti, tiga tokoh dari Pulau Karang itu sama sekali tidak bersalah. Namun sebelum maksud Dewa Arak tercapai....
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah tawa keras menggelegar, sehingga membuat seluruh tempat itu bergetar hebat. Bisa ditebak kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Seketika itu pula, Dewa Arak mengurungkan maksudnya. Buru-buru langkahnya dihentikan. Memang, suara tawa itu pernah didengarnya. Tapi sayangnya, dia lupa kapan dan di mana.
Dewa Arak tidak mempedulikan hal itu. Secepat langkahnya dihentikan, secepat itu pula kepalanya ditolehkan ke arah asal suara. Hal yang sama pun dilakukan, Malaikat Tongkat Sakti, Ular Muka Kuning, dan yang lainnya.
Jliggg!
Masih dengan suara tawa yang belum putus, sosok yang mengeluarkan tawa itu mendarat di tanah. Begitu kedua kakinya hinggap, sedikit pun tak terdengar suara. Padahal, dia melompat dan cabang pohon yang cukup tinggi.
"Hah...?!"
Hampir semua pasang mata yang berada di situ terbelalak, begitu melihat jelas si pemilik suara tawa. Betapa tidak? Karena orang itu adalah... Mahadewa! Tidak dapat disangsikan lagi kalau orang itu Mahadewa!
Keterkejutan orang-orang yang berada di situ tidak hanya terlihat dari sepasang mata yang terbelalak lebar, tapi juga dari raut wajah yang berubah pucat. Bukankah Mahadewa telah tewas?!
Teringat akan hal itu, membuat tokoh-tokoh tingkat tinggi dunia persilatan ini menoleh ke arah tempat tubuh Mahadewa tergolek. Dan..., ternyata tubuh Mahadewa masih ada di sana! Jadi..., Mahadewa ada dua orang?!
"Rupanya kalian bingung, heh?!" ujar sosok yang menyerupai Mahadewa gembira, bernada mengejek.
"Siapa kau?!" tanya Malaikat Tongkat Sakti sudah tidak bisa menahan sabar lagi.
"Aku?! Bukankah aku orang yang kalian cari-cari?!" Mahadewa malah balas bertanya.
"Jadi..., kau...?!" Suara Malaikat Tongkat Sakti terdengar terbata-bata. Hal ini karena dia telah mendapat gelagat kalau telah salah menuduh orang.
"Ya! Akulah yang telah melakukan semua pembunuhan itu!"
"Keparat jahanam!" maki Malaikat Tongkat Sakti, geram. "Manusia keji!" Ular Muka Kuning tak mau ketinggalan.
Wajah kedua datuk tingkat tinggi dunia persilatan itu tampak merah padam, karena tengah dilanda amarah. Dengan sendirinya, tenaga dalam pun mengalir deras ke seluruh tubuh, sehingga menimbulkan suara berkerotokan keras seperti ada tulang patah. Padahal, Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning sama sekali tidak bertindak apa-apa.
"Tahan, Ki...!" Dewa Arak yang melihat adanya tanda-tanda Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning akan melancarkan serangan, buru-buru mencegah.
"Mengapa kau melarang kami, Dewa Arak?!" sergah Malaikat Tongkat Sakti, bernada teguran. Memang kakek ini memiliki watak beringas. "Dialah pelaku semua kekejian itu!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. "Apa yang kau katakan itu, sama sekali tidak salah, Ki. Dialah pelaku semua kekejian itu. Tapi sebaiknya kita harus tahu alasan dia melakukan semua tindakan keji itu."
Malaikat Tongkat Sakti kontan tertegun mendengar penjelasan Dewa Arak. Disadari adanya kebenaran dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Bahkan Ular Muka Kuning mengangguk-anggukkan kepala, pertanda ikut membenarkan.
"Ha ha ha...!" Mahadewa, yang mendengar pembicaraan itu langsung tertawa bergelak. "Tanpa kau tanyakan pun, semuanya akan kujelaskan, Dewa Arak. Nah! Sekarang, kalian dengarkan baik-baik semua ucapanku!"
Sosok berwajah mirip Mahadewa itu menghetikan ucapannya, memberikan kesempatan pada semua tokoh yang berada di situ mengalihkan perhatian ke arahnya. Kemudian, kedua tangannya bergerak ke atas. Sebentar tangannya berhenti di wajah, lalu bergerak kembali. Dan begitu kedua tangannya disentakkan....
Bret!
Tampaklah seraut wajah tampan, jauh berbeda dengan wajah Mahadewa yang asli. Matanya dihiasi alis lebat. Hidungnya mancung, dengan andeng-andeng di batangnya. Sungguh jauh dengan perkiraan semula.
"Namaku Burisrawa. Sama seperti empat orang itu, aku juga berasal dari perguruan yang sama di Pulau Karang. Kami berlima adalah murid utama Perguruan Hati Suci. Salah seorang di antara kami, dicalonkan untuk menggantikan guru kami yang hampir pikun. Tapi sayang, guru tidak menyukai watakku. Katanya, aku berwatak jelek, dan suka mempelajari ilmu-ilmu sesat. Jadi, aku tidak mungkin bisa menggantikan kedudukannya," jelas sosok Mahadewa yang kini berganti wajah, setelah membuka topeng karet tipis. Rupanya, lelaki itu juga mahir membuat topeng, sehingga mampu menyamarkan diri menjadi Mahadewa.
Sosok berwajah mirip Mahadewa yang ternyata bernama Burisrawa itu menghentikan ucapannya. Pandangannya diedarkan, merayapi satu persatu wajah-wajah yang berada di sekitarnya.
"Padahal, aku sangat berminat menjadi Ketua Perguruan Hati Suci. Maka ketika empat orang kesayangan guruku ini memutuskan untuk memperluas pengalaman dengan berkelana, aku pun ikut tanpa sepengetahuan mereka. Lalu, kulakukan semua pembunuhan dengan menyamar sebagai Mahadewa, agar mereka mendapat banyak musuh di sini. Ha ha ha...! Dan kalian lihat sendiri hasilnya, bukan? Usahaku kini berhasil baik! Aku akan menjadi ketua perkumpulan di sana, dan menjadi jago nomor satu di seluruh dunia! Ha ha ha..! Kalian tak akan mampu mengalahkan aku! Ha ha ha...!"
"Manusia sombong! Mampuslah kau...!" Seiring bentakan itu, Malaikat Tongkat Sakti melompat menerjang Burisrawa. Dan begitu telah dekat, tongkatnya dihantamkan ke dada.
Namun sungguh aneh! Serangan Malaikat Tongkat Sakti sama sekali tidak dielakkan Burisrawa. Tokoh dari Pulau Karang ini terus saja tertawa, seolah-olah tidak tahu ada bahaya mengancam. Akibatnya....
Bukkk!
Telak dan keras sekali serangan Malaikat Tongkat Sakti menemui sasarannya. Hasiinya, tubuh Burisrawa melayang ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Setelah melayang-layang hampir sepuluh tombak, tubuh Burisrawa jatuh berdebuk keras di tanah, kemudian terguling-guling. Dan akhirnya, tubuhnya berhenti karena kekuatan yang mendorongnya telah lenyap.
Melihat kejadian itu, semua tokoh yang berada di situ saling berpandangan penuh rasa bingung. Begitu mudahkah Burisrawa dibinasakan?
Beberapa gelintir dari sekian banyak orang yang berada di situ merasa curiga melihat kejadian yang menimpa Burisrawa. Mereka adalah Dewa Arak, Melati, Petani Maut, Ular Muka Kuning, dan Malaikat Tongkat Sakti sendiri. Dan mereka semua tidak percaya kalau Burisrawa akan demikian mudah ditewaskan. Dan ternyata kecurigaan mereka beralasan. Sambil mengeluarkan tawa bergelak bernada penuh kegembiraan, Burisrawa langsung bangkit.
Kenyataan ini membuat semua orang yang berada di situ, merasa terkejut bukan kepalang. Begitu saktikah Burisrawa, sehingga mampu menerima serangan Malaikat Tongkat Sakti tanpa melawan?
"Tidak mungkin!" bantah Dewa Arak dalam hati. Pemuda berambut putih keperakan ini memang pernah bertarung melawan Burisrawa. Maka bisa diperkirakan tingkat kepandaian Burisrawa. Dewa Arak tahu, Burisrawa tidak akan mungkin mampu menerima serangan Malaikat Tongkat Sakti secara demikian. Pasti ada keganjilan di sini!
"Keparat!" Malaikat Tongkat Sakti menggeram murka, ketika melihat Burisrawa masih segar bugar. Bahkan tokoh dari Pulau Karang itu malah menghampirinya sambil terus tertawa-tawa.
"Haaat...!" Diiringi teriakan nyaring yang memekakkan telinga, Malaikat Tongkat Sakti kembali menerjang Burisrawa. Dan begitu jaraknya telah dekat, serangan yang serupa dengan sebelumnya langsung dilancarkan. Rupanya, Malaikat Tongkat Sakti masih belum percaya kalau Burisrawa mampu menerima serangannya. Apalagi, tanpa melawan!
"Malaikat Tongkat Sakti! Tahan...!"
Dewa Arak yang mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Tongkat Sakti, berseru mencegah. Tapi sayang, peringatannya terlambat! Kakek tinggi besar itu telah lebih dulu melancarkan serangan dahsyat tanpa memikirkan keselamatannya.
Kali ini, Burisrawa tidak berdiam diri. Begitu serangan Malaikat Tongkat Sakti telah menyambar dekat, kedua tangannya cepat dihentakkan untuk melancarkan tangkisan.
Blarrr!
Suara keras mengguntur seperti gunung meletus terdengar, ketika dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Beberapa tokoh yang kurang kuat tenaga dalamnya, langsung terjatuh, karena lutut mereka terasa lemas. Hanya Dewa Arak dan Ular Muka Kuning saja yang sama sekali tidak terpengaruh. Sedangkan Melati dan Petani Maut masih menerima akibatnya, yang terlihat dari pucatnya wajah walau hanya sesaat.
Meskipun demikian, seperti juga Dewa Arak dan Ular Muka Kuning, Melati dan Petani Maut tetap mengarahkan pandangan ke tempat terjadinya bentrokan antara Malaikat Tongkat Sakti melawan Burisrawa.
Seketika itu pula, mata mereka semua terbelalak. Betapa tidak? Tampak tubuh Malaikat Tongkat Sakti terlempar ke belakang, seperti daun kering tertiup angin. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Seruan menyayat seperti seekor sapi disembelih, mengiringi tubuhnya yang terlempar ke belakang.
"Gila!" Seruan keterkejutan keluar dari mulut Dewa Arak. Dan memang, hanya pemuda berambut putih keperakan ini saja yang merasa terkejut bukan kepalang. Dewa Arak tahu, sampai di mana tingkat tenaga dalam Burisrawa. Merupakan hal yang mustahil kalau Malaikat Tongkat Sakti akan tewas demikian mengenaskan dalam sekali bentrokan tenaga dalam saja.
Dan kenyataannya, tanpa melihat lagi pun, Dewa Arak tahu kalau Malaikat Tongkat Sakti telah tewas. Itu pun di saat tubuhnya tengah berada di udara. Buktinya begitu jatuh di tanah, Malaikat Tongkat Sakti tidak bergerak-gerak lagi.
"Ha ha ha...!"
Burisrawa tertawa bergelak-gelak. Sambil berkacak pinggang, pandangannya dialihkan ke arah tokoh-tokoh dunia persilatan yang berada di situ.
"Siapa lagi yang ingin menguji kesaktianku?! Kau, Dewa Arak?! Ha ha ha...! Kali ini jangan harap bisa mempecundangiku lagi. Kau akan kulumatkan! Ha ha ha...!"
Usai berkata demikian, Burisrawa mendekati Dewa Arak. Lambat-lambat saja kakinya melangkah. Sikap dan tindak-tanduknya tampak tenang. Jelas, tokoh dari Pulau Karang ini merasa yakin akan kemampuan dirinya.
Namun, Dewa Arak tidak mau membiarkan Burisrawa semakin dekat, karena khawatir Melati dan Petani Maut akan ikut terbawa. Maka dihampirinya Burisrawa. Tapi....
"Minggir, Dewa Arak...!"
Sebelum Dewa Arak dan Burisrawa tiba dalam jarak tempur, sesosok bayangan kuning berkelebat mendahului. Dan hal ini membuat Dewa Arak terkejut. Dia tahu, siapa sebenarnya sosok bayangan kuning itu. Siapa lagi kalau bukan Ular Muka Kuning?
Dugaan Dewa Arak sama sekali tidak meleset.Datuk dunia persilatan yang bertubuh kurus ini memang murka bukan kepalang ketika melihat Malaikat Tongkat Sakti tewas. Dengan mata kepala sendiri, dia melihat tubuh Malaikat Tongkat Sakti terbujur tanpa nyawa bergelimang darahnya sendiri. Perasaan sakit hati itulah yang mendorong Ular Muka Kuning mendahului Dewa Arak menerjang Burisrawa.
DELAPAN
Ular Muka Kuning tidak membuang-buang waktu lagi. Begitu telah mendekati Burisrawa, langsung saja dikirimkan sebuah sampokan ke arah pelipis. Itu dilakukan dalam keadaan tubuh masih berada di udara.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi tibanya serangan Ular Muka Kuning. Hal ini tidak aneh, karena datuk bertubuh kurus itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Apalagi, dalam kemarahan amat sangat. Ular Muka Kuning jelas bermaksud membinasakah Burisrawa secepat mungkin.
Maka, sudah dapat dibayangkan kedahsyatan serangan Ular Muka Kuning. Di samping dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, sasaran yang dituju pun adalah bagian yang mematikan.
Tapi seperti juga sebelumnya, Burisrawa sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan malah tersenyum mengejek. Sikapnya terlihat memandang rendah sekali. Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau Burisrawa akan mengelak atau menangkis. Mahadewa palsu ini malah seakan-akan membiarkan serangan itu mengenai sasarannya.
"Gila...!" Tanpa sadar Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut memekik kaget ketika melihat tindakan Burisrawa! Betapa tidak! Di saat serangan Ular Muka Kuning semakin mendekati sasaran, Burisrawa malah melancarkan serangan pula!
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Burisrawa melancarkan totokan ke arah perut Ular Muka Kuning dengan susunan jari membentuk kepala ular. Dan ternyata Ular Muka Kuning terkejut pula melihat hal itu. Bahkan perasaan kaget yang melanda jauh lebih besar. Ular Muka Kuning tahu, merupakan hal mustahil untuk mengelak. Serangan Burisrawa terlalu mendadak datangnya.
Tambahan lagi, dilancarkan dalam jarak yang demikian dekat. Tubuhnya yang tengah berada di udara semakin menambah kesulitannya. Dalam keadaan terjepit itulah yang membuat Ular Muka Kuning memutuskan untuk melanjutkan serangan. Dia sudah bertekad untuk mati demi membalas kematian Malaikat Tongkat Sakti.
Tentu saja keputusan yang diambil Ular Muka Kuning diketahui Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut Dan mereka pun tidak bisa menyalahkan tindakannya. Meskipun begitu, tak urung ada perasaan menyesal yang amat sangat menyelinap di lubuk hati Dewa Arak. Tapi, apa yang bisa dilakukannya? Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Sedangkan dirinya berada cukup jauh dari kancah pertarungan.
Dan yang dilakukan Dewa Arak hanya menunggu kejadian selanjutnya. Dan tindakan seperti itu pula yang dilakukan Melati, Petani Maut, dan beberapa tokoh persilatan yang masih berada di situ. Sementara itu di kancah pertarungan....
Prattt! Brolll!
"Aaakh...!" Dalam selisih waktu yang amat singkat, serangan kedua belah pihak mendarat di sasaran masing-masing.
Sampokan Ular Muka Kuning lebih dulu mendarat di pelipis Burisrawa. Baru sekejap kemudian, tusukan tangan Burisrawa memporakporandakan perut Ular Muka Kuning.
Kejadian selanjutnya sudah bisa ditebak. Tubuh kedua belah pihak sama-sama terlempar. Terdengar jeritan menyayat dari mulut Ular Muka Kuning. Darah segar tampak menyembur deras dari bagian perut yang terkoyak-koyak mengiringi Iuncuran tubuhnya.
Tanpa diberi perintah, Dewa Arak dan Melati melesat ke arah jatuhnya tubuh Ular Muka Kuning.
Brukkk! Brukkk!
Berturut-turut tubuh Ular Muka Kuning dan Burisrawa jatuh berdebuk di tanah.
"Hhh... hhh..., akh!"
Setelah meregang nyawa sejenak, Ular Muka Kuning menghembuskan napas terakhir. Mati!
"Hhh...!" Dewa Arak hanya bisa menghela napas berat. Sama sekali tidak disangka, dua datuk dunia persilatan yang sama-sama tangguh itu tampaknya telah tewas secara mengenaskan.
Karena perhatian Dewa Arak dan Melati tengah terpusat pada Ular Muka Kuning, sama sekali tak ada yang menyadari keadaan Burisrawa. Dan tiba-tiba saja, terdengar jerit kesakitan dan kematian, sehingga membuat sepasang pendekar muda itu mengalihkan perhatian.
"Hah...?!" Mulut Melati ternganga. Bahkan sepasang matanya pun terbelalak lebar, menampakkan keterkejutan yang amat sangat.
Sementara meskipun tidak terlihat adanya raut keterkejutan pada wajah dan sikapnya, namun sebenarnya Dewa Arak kaget bukan kepalang. Belapa tidak! Jeritan-jeritan itu ternyata terdengar dari mulut tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ. Tak terkecuali, Petani Maut sendiri. Mereka roboh di tanah dalam keadaan tewas! Paling tidak, luka berat Dan pelaku semua itu adalah Burisrawa!
"Kang..., tidak salah lihatkah aku?" tanya Melati dengan bibir bergetar, karena perasaan tegang.
Dewa Arak meraih tangan Melati dan meremasnya perlahan, untuk memberi ketenangan. "Kau tidak salah lihat, Melati. Burisrawa memang belum mati. Hhh...! Aku yakin dia memiliki sebuah ilmu, sehingga membuatnya tidak gampang mati. Kita harus mengetahui kelemahannya terlebih dulu, kalau tidak ingin mati konyol!" jelas pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apakah ilmu yang dimiliki Burisrawa adalah 'Rawa Rontek', Kang?" tebak Melati.
"Aku belum bisa memastikannya, Melati. Terkecuali, apabila telah bertarung dengannya. Tunggulah disini."
"Ha ha ha...! Majulah, Dewa Arak..!" tantang Burisrawa lantang, sambil bertolak pinggang.
Di sekeliling Burisrawa tampak bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa. Semuanya adalah tokoh persilatan yang berada di sekitar tempat itu. Termasuk, Petani Maut.
"Mengapa kau membunuh mereka, Burisrawa?!" tegur Dewa Arak bernada geram.
"Mengapa kau menyalahkan aku, Dewa Arak. Mereka memang pantas mati! Ha ha ha...!" Burisrawa tertawa bergelak gelak.
Dewa Arak hanya bisa mengepalkan tinju menahan geram, melihat ketelengasan Burisrawa. Memang, pada saat perhatian Dewa Arak dan Melati tengah terpusat pada Ular Muka Kuning, Petani Maut dan beberapa tokoh persilatan lain menghampiri Burisrawa. Mungkin mereka mengira Burisrawa telah tewas. Tapi, siapa sangka kalau tokoh dari Pulau Karang itu justru masih hidup?
"Kau terlalu telengas, Burisrawa. Biar kupertaruhkan selembar nyawaku untuk mencegah tindak angkara murkamu!"
Begitu ucapannya selesai, Dewa Arak menghampiri Burisrawa. Tokoh dari Pulau Karang itu juga melangkah maju. Sudah dapat dipasrikan kalau pertarungan antara mereka akan segera berlangsung. Sikap kedua belah pihak mirip dua ekor ayam jantan yang siap bertarung.
Sementara itu, Dewa Arak tidak berani bertindak main-main lagi. Disadari kalau Burisrawa sekarang berbeda daripada sebelumnya. Entah bagaimana, Dewa Arak tidak tahu. Yang jelas kepandaian Burisrawa meningkat demikian pesat. Dewa Arak berani bertaruh kalau kepandaian Burisrawa jauh lebih lihai daripada ketika bertarung dengannya belum lama ini.
Maka sambil terus melangkah, Dewa Arak mengambil guci araknya yang tersampir di punggung. Kemudian, gucinya diangkat ke atas kepala dan isinya dituangkan ke mulutnya.
Gluk..., gluk..., gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanan menuju ke lambung. Tak lama kemudian, hawa hangat mulai merayap di perut pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan itu. Perlahan-lahan, hawa hangat itu naik ke atas kepala. Dan seketika itu pula langkah kaki Dewa Arak mulai sempoyongan. Hal ini menjadi pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti' telah siap digunakan.
Burisrawa tentu saja dapat menduga kalau Dewa Arak telah menggunakan ilmu andalannya. Tapi, dia tidak merasa gentar sama sekali. Bahkan malah mengumbarkan tawa keras.
"Ha ha ha...! Aku telah mendengar kehebatan ilmu 'Belalang Sakti' andalanmu, Dewa Arak. Sekarang, aku akan mencoba kehebatannya."
Usai berkata demikian, Burisrawa menyusun jari-jarinya. Dewa Arak tahu, tokoh Pulau Karang itu akan mengeluarkan ilmu 'Tangan Pedang dan Golok'.
"Bersiaplah untuk mati, Dewa Arak! Haaat...!" Burisrawa membuka serangan dengan sebuah bacokan sisi tangan miring ke arah leher Dewa Arak. Suara bercicitan nyaring mengawali serangannya.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang ketika mengetahui lehernya terasa perih. Memang dia tahu, angin serangan Burisrawa tak kalah berbahaya dibanding sebatang pedang pusaka. Tapi sungguh di luar dugaan kalau dalam jarak setengah tombak sudah membuat lehernya terasa perih.
Padahal, sebelumnya tidak demikian! Ini berarti dugaan kalau tenaga dalam Burisrawa bertambah, sama sekali tidak keliru. Menyadari betapa berbahayanya serangan itu, Dewa Arak tidak berani berrindak sembrono. Buru-buru serangan itu dipapak dengan ayunan gucinya.
Klanggg!
Gila! Tubuh Dewa Arak kontan terhuyung-huyung jauh ke belakang begitu terjadi benturan. Tak kurang dari lima langkah tubuhnya terhuyung-huyung. Sementara, Burisrawa hanya bergetar saja.
"Iiih...!" Melati terkejut bukan kepalang melihat tubuh kekasihnya terhuyung-huyung. Dari hasil benturan itu bisa diketahui kalau tenaga dalam Dewa Arak kalah jauh dibanding Burisrawa. Dan hal itu membuat Melati khawatir bukan kepalang. Tapi, kekhawatiran itu buru-buru dibuangnya. Maka meskipun dengan perasaan kebat-kebit, pandangannya dilayangkan ke arah pertarungan.
Di arena pertarungan, Burisrawa terus mengumbar kepandaian. Tampak jelas kalau dia bernafsu sekali merobohkan Dewa Arak. Bahkan seluruh kemampuannya telah dikeluarkan. Dan memang, usaha tokoh dari Pulau Karang ini sama sekali tidak sia-sia. Nyatanya Dewa Arak benar-benar dibuat kewalahan.
Padahal, tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu telah mengeluarkan seluruh kemampuan. Kedua tangan, guci, dan semburan-semburan araknya telah dikeluarkan untuk menanggulangi amukan Burisrawa.
Dahsyat dan menggiriskan pertarungan yang terjadi. Suara mencicit tajam dari udara yang terobek, menyemaraki jalannya pertarungan. Dan itu timbul dari angin serangan Burisrawa, maupun semburan arak Arya. Bahkan juga masih ditingkahi suara menderu-deru tajam.
Kali ini, Dewa Arak benar-benar dipaksa menguras seluruh kemampuannya. Meskipun demikian, harus diakui kalau tingkat kepandaian Burisrawa memang di atasnya. Baik dalam kecepatan gerak maupun tenaga dalam. Hanya berkat keanehan ilmu 'Belalang Sakti'lah yang membuat Dewa Arak mampu menandingi Burisrawa sampai hampir seratus jurus. Itu pun dilakukan dengan susah payah.
Dewa Arak benar-benar terdesak sekarang. Jurus yang lebih banyak digunakan adalah 'Delapan Langkah Belalang'. Ini berarti Dewa Arak terpaksa lebih banyak mengelak, karena tenaga dalamnya jauh di bawah Burisrawa. Berbenturan tangan atau kaki hanya akan mengakibatkan sekujur tulang-tulangnya sakit-sakit.
Meskipun berada dalam keadaan di bawah angin, Dewa Arak berusaha keras mencari kelemahan lawannya. Telah dibuktikannya sendiri, ilmu yang membuat Burisrawa sulit mati bukan 'Rawa Rontek'.
"Akh..." Tubuh Dewa Arak kontan terjengkang akibat menangkis serangan Burisrawa. Hal itu terpaksa dilakukan, karena sudah tidak mempunyai kesempatan mengelak. Dan di saat Dewa Arak tengah terhuyung-huyung, Burisrawa menerjang. Tampak sekali kalau tokoh Pulau Karang ini bermaksud memberi pukulan terakhir.
"Serang bayangannya, Kang. Bayangan itu adalah tubuhnya yang asli.” Tiba-tiba terdengar pemberitahuan. Dan datangnya ternyata dari Melati.
Meskipun heran dari mana Melati mendapat dugaan seperti itu, namun Dewa Arak memutuskan untuk menuruti. Matanya kemudian melirik ke tanah. Tampak bayangan tubuh Burisrawa di tanah, tersorot sinar bulan di atas sana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak menghentakkan tangan ke arah bayangan Burisrawa. Tak tanggung-tanggung lagi, jurus 'Pukulan Belalang' dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wusss! Blarrr!
Jelas sekali kalau Dewa Arak menyerang tanah. Tapi akibatnya benar-benar aneh. Tiba-tiba terdengar jeritan menyayat dari mulut Burisrawa berbareng dengan tubuhnya yang terlempar ke belakang. Samar-samar, tercium bau sangit daging terbakar.
Brukkk!
Tubuh Burisrawa ambruk di tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Tokoh sesat yang memiliki kepandaian demikian menggiriskan itu tewas dengan tubuh hangus.
Melati langsung menghambur ke arah Dewa Arak. Sementara, tokoh persilatan yang masih hidup dengan sikap hati-hati mendekati tubuh Burisrawa yang telah hangus. Mereka khawatir, tokoh dari Pulau Karang itu bangkit kembali dan membunuh seperti tadi. Tapi, ternyata tidak.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Melati. Kalau tidak, mungkin aku sudah tewas. Hhh...! Burisrawa memang hebat bukan kepalang. Tapi, dari mana kau bisa mengetahui kelemahan ilmunya?" tanya Arya ingin tahu.
"Jangan berterima kasih padaku, Kang," bantah Melati. "Tapi berterimakasihlah pada Bandawasa. Dialah yang memberitahukannya padaku. Bandawasa mengakui kalau tenaga dalamnya belum cukup untuk melenyapkan Burisrawa. Tapi, dia tahu kelemahannya."
"Bandawasa? Sudah kuduga kalau dia belum mati. Mana dia, Melati?" tanya Arya, penuh gairah.
"Baru saja pergi mencari kereta, untuk mengangkut mayat rekan-rekannya, Kang," jawab Melati.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. "O, ya. Apa nama ilmu yang dimiliki Burisrawa itu, Melati. Apakah Bandawasa mengatakannya?" tanya Arya.
Melati menggelengkan kepala. "Bandawasa tidak mau memberitahukannya. Rahasia perguruan, katanya. Apalagi, ilmu yang dimiliki Burisrawa adalah ilmu-ilmu yang tidak boleh dipelajari. Dua macam ilmu telah dikuasai Burisrawa. Yang satu membuat dia susah mati, dan yang satu lagi membuat dia menyerap seluruh kepandaian orang yang sealiran dengannya," urai Melati panjang lebar.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru dimengerti, mengapa kepandaian Burisrawa meningkat demikian pesat. Seluruh kepandaian yang dimiliki Janaka, Mahadewa, dan Mahesa ternyata telah terwaris kepadanya.
Keruyuk ayam jantan mulai terdengar, tanda sebentar lagi pagi akan datang. Sang surya pun akan muncul di utuk Timur. Sebuah lembaran kehidupan baru, akan dimulai lagi.
SELESAI
Selanjutnya,