Dewa Arak - Garuda Mata Satu
SATU
SENJA mulai turun ke bumi. Semburat kemerahan tampak di kaki langit sebelah barat. Indah! Itulah kesan yang timbul di benak orang yang menikmatinya. Tapi keindahan senja hari itu sama sekali tidak menarik perhatian empat orang laki-laki di atas punggung kuda. Tanpa mempedulikan sekitarnya, mereka terus saja menggebah kudanya. Derap kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam tanah, serta debu yang mengepul tinggi, menjadi pertanda kalau kuda itu begitu cepat berlari.
Empat penunggang kuda yang semuanya berpakaian coklat dan bertubuh kekar itu berteriak-teriak keras, agar binatang tunggangannya lebih cepat berlari. Bahkan pecut di tangan kanan mereka pun ikut berperan dalam mempercepat lari kuda.
Ctarrr!
Suara lecutan terdengar cukup nyaring ketika pecut-pecut itu menjilat bagian belakang tubuh kuda masing-masing. Maka, mau tak mau binatang-binatang tunggangan itu semakin cepat berlari.
"Kau yakin dia berada di sana, Kang Wasila?"
Sambil tetap menggeprakkan tali kekang agar kudanya berlari lebih cepat, laki-laki yang bertubuh pendek kekar membuka percakapan. Penunggang kuda terdepan yang satu-satunya mengenakan ikat kepala berwarna merah, menoleh ke belakang. Dialah yang bernama Wasila.
"Aku yakin dia berada di sana, Dulang," jawab Wasila.
Usai berkata demikian, Wasila yang merupakan pemimpin dari ketiga orang yang berada di belakangnya, kembali mengalihkan pandang ke arah semula. Sementara laki-laki yang bernama Dulang mengernyitkan alis sebentar.
Kemudian diliriknya dua rekannya yang berkuda di sebelahnya. Pada saat yang sama, dua orang itu juga tengah melirik ke arahnya. Nama masing-masing kedua orang itu adalah Paksi dan Gora.
"Mengapa kau demikian yakin, Kang?" tanya penunggang kuda yang memiliki sebuah tahi lalat besar di pipi sebelah kiri. Dialah yang bernama Paksi. Tentu saja seperti juga Dulang dan Wasila, dia pun harus mengeraskan suara. Derap suara kaki kuda yang riuh dan bergemuruh, menyebabkan suaranya tertelan begitu saja.
"Tidak usah ditanyakan sekarang nanti pun kalian akan tahu. Sekarang, yang penting kita harus segera tiba di sana! Aku tidak ingin Garuda Mata Satu lebih dulu kabur!" sentak Wasila.
Seketika Dulang dan dua rekannya menghentikan ucapan, begitu sadar kalauWasila tidak menginginkan percakapan dilanjutkan. Maka, kini keempat orang itu pun melanjutkan perjalanan tanpa bercakap-cakap lagi. Yang terdengar sekarang, hanyalah suara kaki-kaki kuda membentur tanah.
Rupanya, kata-kata Wasila dibuktikan oleh tindakannya. Kudanya segera dipacu bagaikan orang kesetanan. Hentakan tali kekang dan hantaman pecutnya semakin sering dilakukan, untuk segera tiba di tempat tujuan. Hal yang sama pun dilakukan Dulang, Paksi, dan Gora.
Yang lebih gila lagi, empat orang berpakaian coklat itu sama sekali tidak memperlambat lari kudanya ketika memasuki mulut Desa Wetan. Kuda-kuda itu terus saja dipacu cepat melintasi jalan utama desa.
Tentu saja tindakan mereka membuat para penduduk Desa Wetan yang sebagian besar tengah beristirahat di dalam rumah, menjadi heran. Tak sedikit di antara mereka yang bergegas keluar rumah dengan senjata tersandang di tangan. Tapi, mereka segera kembali masuk ke dalam rumah sambil menggerutu, karena empat orang penunggang kuda itu sudah amat jauh. Yang tertinggal dan terlihat hanyalah kepulan debu di udara.
Sementara itu, Wasila dan tiga orang anak buahnya terus saja memacu cepat kudanya tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya. Diacuhkan saja rumah-rumah penduduk yang dilewati. Tak dihiraukan lagi kalau pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin lama semakin jarang. Bahkan sampai akhirnya tidak ada sama sekali.
"Itu tempat yang kita cari," tunjuk Wasila dengan tangan kiri sambil terus memacu kudanya.
Dulang, Paksi, dan Gora mengikuti arah tangan Wasila. Dan mereka juga melihat sebuah pondok sederhana yang bertengger di sebuah tanah lapang luas. Jarak pondok itu dengan mereka, tak kurang dari dua puluh tombak.
"Percepat lari kuda kalian!" perintah Wasila. Rupanya, melihat sasaran yang dicari-cari telah berada di depan mata, semangat Wasila kembali berkobar.
Dengan segala daya, Wasila dan ketiga anak buahnya berusaha keras mempercepat lari kuda. Mereka berusaha secepat mungkin untuk tiba di pondok yang dituju. Dalam waktu sebentar saja, Wasila dan tiga anak buahnya telah berada di depan pondok. Segera saja mereka menarik tali kekang, sehingga kuda-kuda itu berhenti berlari cepat mendadak disertai ringkikan nyaring sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Kelihatannya, Wasila dan tiga anak buahnya sudah tak sabar lagi untuk segera bertemu Garuda Mata Satu. Buktinya, sebelum kuda-kuda itu menurunkan kaki depannya kembali, mereka sudah berlompatan turun.
Jliggg!
Berturut-turut Wasila dan tiga anak buahnya mendarat di tanah dengan gerakan yang rata-rata gesit. Dari sini bisa dilihat kalau mereka memiliki ilmu silat lumayan.
Srat, srat, srattt!
Sinar-sinar terang tampak mencuat, begitu Wasila dan anak buahnya menghunus golok yang terselip di pinggang.
"Garda! Keluar kau...!" teriak Wasila sambil menatap penuh waspada pada daun pintu pondok yang tertutup rapat.
Sementara, Dulang, Paksi, dan Gora berdiri di kanan dan kirinya. Mata mereka tampak beredar berkeliling, dengan sikap waspada.
"Kuperingatkan sekali lagi, Garda! Keluar kau! Atau..., aku akan masuk dengan kekerasan! Kuberikan kesempatan sampai tiga hitungan, Garda!"
Wasila mengeluarkan ancaman setelah menunggu beberapa saat lamanya tidak ada tanggapan atas seruannya tadi. "Satu...!"
Wasila memulai dengan hitungan pertama. Sepasang matanya menatap tajam ke pintu pondok. Sedangkan Dulang, Paksi, dan Gora semakin memperhatikan suasana sekelilingnya.
"Dua...!" teriak Wasila sambil menambah keras nada suaranya.
Kriiit...!
Sebelum laki-laki berikat kepala coklat itu mengucapkan hitungan terakhir, daun pintu itu tampak terkuak. Seketika itu pula, Wasila dan tiga orang kawannya mundur beberapa tindak. Tangan mereka yang memegang senjata tampak bergetar, pertanda telah dialiri tenaga dalam! Sedangkan sepasang mata mereka menatap penuh selidik ke arah pintu.
"Siapa kau?! Mana Garuda Mata Satu?! Cepat suruh keluar! Atau..., rumah ini kuhancurkan!" geram Wasila penuh ancaman.
Raut wajah Wasila dan anak buahnya yang semula menegang, kini mengendur. Ternyata setelah daun pintu terbuka, yang muncul bukan Garuda Mata Satu, orang yang tengah dicari-cari.
"Maaf. Kurasa Kisanak semua keliru. Di sini tidak ada orang yang bernama Garuda Mata Satu. Yang ada hanya aku, Kartugi," kata orang yang baru saja membuka pintu.
Dia mengaku bernama Kartugi, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Tubuhnya tegap terbungkus pakaian berwarna abu-abu.
"Keparat! Kau berani membohongi kami, Kartugi?! Apakah kau sudah bosan hidup, heh?! Dulang, Paksi, Gora! Paksa tua bangka ini bicara!" perintahWasila pada anak buahnya.
Tanpa diberi perintah dua kali Dulang, Paksi, dan Gora menghampiri Kartugi dengan sikap mengancam dan sangat memandang rendah. Ini bisa dilihat dari senyum mengejek yang tersungging di bibir dan golok di tangan yang diamang-amangkan.
"Ini peringatan terakhir, Tua Bangka! Katakan, di mana Garuda Mata Satu!" desak Dulang, penuh ancaman.
"Apa lagi yang harus kukatakan padamu, Kisanak? Bukankah tadi aku sudah mengatakannya? Disini tidak ada orang yang bernama Garuda Mata Satu. Hanya aku, Kartugi yang berada di sini," jawab Kartugi kalem.
"Keparat! Rupanya kau tidak mau diajak bicara baik-baik, Tua Bangka! Mampuslah! Hih...!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Dulang melompat menerjang Kartugi. Dan selagi tubuhnya tengah berada di udara, goloknya cepat ditusukkan ke arah perut Kartugi.
Wuttt!
Serangan Dulang mengenai tempat kosong, begitu Kartugi menarik kaki kanannya ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Tindakan Kartugi tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan Dulang berhasil dielakkan, tangan kirinya langsung dikibaskan.
Prattt!
"Akh...!" Dulang kontan memekik ketika tangan Kartugi menghantam telak tangan kanannya, sehingga menimbulkan rasa sakit yang bukan kepalang. Seakan-akan tulang-belulangnya menjadi luluh lantak. Hantaman laki-laki berpakaian abu-abu itu memang keras bukan kepalang. Bahkan golok Dulang pun sampai terlempar dibuatnya.
Tapi sebelum Kartugi melancarkan serangan susulan kembali, Gora dan Paksi telah lebih dulu menyerangnya. Gora melancarkan bacokan ke arah leher, sedangkan Paksi mengirimkan babatan ke arah pinggang kiri. Dua buah serangan yang sama-samamembawa hawa maut!
Wut, wuttt!
Kembali serangan anak buah Wasila berhasil dimentahkan Kartugi. Laki-laki berpakaian abu-abu ini cepat melompat mundur, sehingga semua serangan meluncur lewat di hadapannya.
"Keparat!" geram Wasila sambil mengepalkan tangannya. Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat itu tidak bisa menahan sabar lagi.
Belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuhnya sudah melompat menerjang Kartugi. Dengan bertumpu pada pergelangan tangan, goloknya diputar beberapa saat, kemudian diluncurkan ke arah leher Kartugi.
Wunggg!
Kali ini, Kartugi tidak berani bertindak sembarangan. Buru-buru sepasang pedang yang tergantung di punggungnya dicabut. Lalu, dipapaknya luncuran golok itu dengan sepasang pedangnya yang disilangkan.
Tranggg!
Bunga api langsung berpijar ketika senjata yang berbeda jenis dan ukuran itu saling berbenturan. Akibatnya, tubuh Kartugi terhuyung-huyung ke belakang.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Wasila hinggap di tanah, Kartugi juga telah berhasil memperbaiki keseimbangannya. Dan secepat itu pula, kedua belah pihak saling menggebrak kembali.
Baik Kartugi maupun Wasila telah sama-sama tahu kalau kepandaian yang dimiliki masing-masing pihak tidak bisa dipandang ringan.Maka mereka tidak berani bertindak main-main. Bahkan kini dalam gebrakan selanjutnya seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.
Dan, akibatnya sudah bisa diduga. Suasana di sekitar tempat itu seketika jadi riuh rendah. Desing serangan senjata, dentang suara senjata beradu, dan teriakan masing-masing pihak menyemaraki pertarungan.
Ternyata, semua kejadian itu tidak hanya disaksikan oleh sepasang mata secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan Dulang, Paksi, dan Gora pun juga telah menjadi penonton. Mereka langsung mengundurkan diri dari kancah pertarungan begitu Wasila telah turun tangan.
Meskipun demikian, golok telanjang tetap tercekal di tangan masing-masing. Ketiga orang ini telah bersiap-siap, apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri pemimpin mereka.
Sementara itu, sepasang mata yang menyaksikan pertarungan secara sembunyi-sembunyi, kelihatan tak ingin bergerak dulu. Tampaknya, kehadirannya tidak ingin diketahui orang lain. Bulu matanya yang lentik tampak terus mengintai dari balik dedaunan, di atas cabang pohon tinggi yang tidak jauh dari situ.
Semua orang yang menyaksikan, tampaknya menaruh perhatian atas hasil pertarungan yang tengah berlangsung. Tapi, tidak demikian halnya dengan Wasila dan Kartugi. Mereka sama sekali tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. Yang ada di benak mereka hanya satu, mengalahkan lawan secepat mungkin.
Tapi, kedua orang yang bertarung itu sama-sama menyadari kalau satu sama lain terlalu tangguh untuk bisa ditaklukkan secepat mungkin. Sampai pertarungan berlangsung lebih dari lima puluh jurus, tidak nampak tanda-tanda ada yang akan keluar sebagai pemenang.
Sebenarnya dalam hal tenaga dalam, Kartugi masih lebih unggul sedikit daripada Wasila. Tapi keunggulan itu bisa diimbangi Wasila dengan kelebihan ilmu meringankan tubuh. Maka tak heran kalau pertarungan jadi berlangsung sengit.
Sekarang, pertarungan telah menginjak jurus ketujuh puluh dua. Tapi, tampaknya keadaan masih tetap tidak berubah. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Namun justru keadaan ini membuat Wasila kehilangan kesabaran.
Disadari betul kalau tidak segera dilakukan perubahan, pertarungan akan berlangsung semakin alot. Tanpa terlalu lama memutar otak, lelaki berikat kepalamerah ini telah menemukan suatu cara yang dianggap jitu.
Meskipun demikian, Wasila tidak terlalu terburu-buru menjalankan siasatnya. Dia tahu, sifat terburu-buru akan mendatangkan hasil yang kurang baik. Maka dengan sabar, ditunggunya hingga keadaan menguntungkan.
"Hih!" Di jurus kedelapan puluh dua, Wasila segera melaksanakan siasatnya. Jari-jari tangan kanannya cepat memijit sebuah benjolan yang ada di gagang goloknya. Dan....
Trekkk!
Mengerikan! Mata golok yang semula menempel pada gagangnya, tiba-tiba meluncur ke arah lawan. Padahal, pada saat itu tubuh Kartugi tengah berada di udara, karena baru saja habis mengelakkan sebuah serangan. Tentu saja munculnya serangan itu membuatnya kelabakan bukan kepalang. Tambahan lagi, tibanya serangan terlalu mendadak. Akibatnya, Kartugi tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Dan....
Cappp!
"Akh...!" Lolong kesakitan terdengar dari mulut Kartugi ketika mata golok Wasila yang mendadak bisa lepas dari gagangnya, menancap di dada sebelah kiri. Dan sebelum laki-laki berpakaian abu-abu ini sempat berbuat sesuatu, Wasila kembali memijit benjolan lain pada gagang goloknya. Dan....
Brettt!
Mata golok yang semula tertancap di dada kiri Kartugi, kembali meluncur ke arah gagang golok Wasila. Memang, antara gagang dan mata golok itu dihubungkan oleh per yang dapat melentur dan kembali lagi. Tentu saja, apabila Wasila menyentuh benjolan pada gagang goloknya.
"Hugh!" Dengan sempoyongan, Kartugi mendarat di tanah. Dan dengan tubuh terhuyung-huyung, disimpannya pedang yang terpegang di tangan kanan ke punggung. Kemudian, ditotoknya jalan darah di sekitar luka yang cukup besar dan dalam. Begitu sudah tertotok, tidak ada lagi darah yang keluar. Namun....
"Aaakh...!" Namun, mendadak tubuh Kartugi kembali terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya langsung mendekap luka di perutnya. Pedang yang semula tergenggam di tangan, langsung dilemparkan begitu saja.
"Ha ha ha...!" Wasila tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Kartugi.
"Manusia licik!" maki Kartugi dengan suara mendesis. Menilik seringai di bibirnya, bisa diketahui kalau dia tengah menderita sakit yang amat sangat "Kau membubuhi racun di senjatamu. Hhh...! Kini aku mengerti, mengapa kau tidak melancarkan serangan susulan di saat keadaanku tadi tidak memungkinkan. Aku kenal betul orang macam kau! Segala macam cara akan dipergunakan untuk mencapai kemenangan."
"Ha ha ha...!" Wasila menyambuti ucapan itu dengan tawa keras bernada ejekan. "Syukurlah kau sudah mengerti, Kartugi! Selagi masih ada kesempatan, cepat beritahukan di mana adanya Garuda Mata Satu! Cepat katakan sebelum terlambat. Apabila racun itu sudah menjalar lebih jauh, jangan harap nyawamu akan tertolong!"
Kartugi menggertakkan gigi. Ditahannya sekuat tenaga rasa panas yang membakar bagian perut. "Aku tidak tahu, Manusia Keji! Dan apabila aku tahu pun jangan harap kukatakan padamu! Kau pikir aku takut mati, heh?!" tegas Kartugi cukup lantang, meskipun agak terdengar bergetar.
Wasila mendengus karena jengkel mendengar sambutan yang diterima. "Baik kalau itu maumu, Keparat! Asal tahu saja, aku tahu kalau kau tidak takut mati. Tapi, apakah kau yakin mampu bertahan menanggung siksa racun itu?!"
"Maksudmu...?!" Kartugi merasakan dadanya berdebar tegang. Sudah bisa diduga, maksud ucapan berbau ancaman dari Wasila. Dia akan mati secara perlahan-lahan, dan tentu saja dengan perasaan tidak enak.
"Ya! Wasila menganggukkan kepala disertai sunggingan senyum kemenangan. Memang, Wasila baru mengucapkannya sepotong. Tapi dari tarikan wajah Kartugi yang menegang, sudah bisa diperkirakan kelanjutannya.
"Apabila racun itu telah menyebar dalam darahmu, kau akan menerima akibatnya. Kau akan menderita hebat sebelum mati! Rasa panas dan gatal-gatal akan kau derita sampai mati!"
Kartugi merasakan bulu kuduknya seketika berdiri. Dia tahu, Wasila tidak hanya sekadar menggertak. Perlahan-lahan perasaan ngeri pun timbul di hatinya. Semakin lama semakin membesar, sampai akhirnya justru perasaan nekatlah yang timbul.
"Keparat! Manusia keji! Mampuslah kau! Hiya..., ugh!"
Namun, tubuh Kartugi kontan limbung sebelum berhasil menyarangkan sebuah serangan di tubuh Wasila. Kedua tangannya yang semula mengepal keras penuh kekuatan, kini didekapkan pada perut. Seringai kesakitan yang terpampang di mulut dan tubuhnya yang membungkuk, menjadi pertanda kalau tengah dilanda rasa sakit yang hebat.
"Ha ha ha...!" Wasila tertawa terbahak-bahak. Dengan mulut menyunggingkan senyum sinis, ditatapnya wajah Kartugi lekat-lekat.
"Perlu kau ketahui, Kartugi. Racun itu akan menjalar sangat cepat apabila kau mengerahkan tenaga dalam, dan langsung menunjukkan akibatnya. Kau telah merasakannya sendiri bukan?"
Kartugi sama sekali tidak menanggapi. Di samping memang tidak berminat melakukannya, perasaan sakit yang tengah mendera membuat tubuhnya terbungkuk sambil memegang bagian yang dilanda sakit. Rasanya, perutnya bagai diseruduk seekor kerbau ketika hendak menyerang Wasila.
Tapi dekapan kedua tangan Kartugi hanya sebentar saja. Betapa tidak? Kini rasa gatal mulai melanda sekujur tubuhnya! Bahkan disertai rasa panas membakar! Mulanya rasa panas dan gatal itu tidak begitu menyiksa. Tapi, ternyata semakin lama semakin menjadi-jadi. Terutama sekali rasa gatalnya. Mau tak mau, Kartugi tidak tahan dan harus menggaruk.
Gruk, gruk, gruk...!
Kartugi mulai menggaruk-garuk bagian tubuh yang terasa gatal. Anehnya, begitu digaruk rasa gatal yang melanda semakin menjadi-jadi. Sehingga Kartugi terpaksa harus menggaruk terus. Bahkan kedua tangannya mulai sibuk menggaruk sana-sini, karena bagian tubuh yang terasa gatal semakin meluas.
"Ha ha ha...! Kau boleh menggaruk terus sampai kulit dan bahkan dagingmu habis tercakar, Manusia Bodoh! Ha ha ha...!" ejek Wasila, penuh perasaan gembira.
"Ha ha ha...!"
Dulang, Gora, dan Paksi pun tertawa terbahak-bahak. Seperti juga Wasila, ketiga orang ini pun merasa senang melihat Kartugi tersiksa. Suasana kini semakin riuh oleh gelak tawa mereka. Mendadak....
"Wasila! Manusia terkutuk! Jangan harap kuampuni nyawamu!"
Suara makian keras seketika membuat tawa Wasila dan tiga anak buahnya terhenti. Dengan wajah berubah, mereka mengalihkan perhatian ke arah asal suara. Sikap Wasila dan ketiga orang kawannya tampak penuh kewaspadaan, karena tahu siapa pemilik suara itu.
Wusss!
Diiringi hembusan angin yang cukup keras, tiba-tiba sesosok bayangan coklat berkelebat. Dan...
Jliggg!
Tanpa menimbulkan suara yang berarti, sesosok bayangan coklat itu mendaratkan kedua kakinya di tanah, di antara tubuh Wasila dan Kartugi.
"Rupanya kau masih punya nyali untuk menemui kami, Garuda Mata Satu?! Kukira kau akan tetap bersembunyi karena takut mati!" ejek Wasila, tajam.
Pimpinan rombongan orang bertampang kasar berseragam coklat itu menyunggingkan senyum penuh ejekan di bibir. Dengan sikap merendahkan, ditatapnya sosok berpakaian coklat yang berdiri di hadapannya.
Sosok yang baru tiba itu memang mengenakan pakaian berwarna sama dengan Wasila dan tiga anak buahnya. Coklat. Hanya saja, pada bagian dada kirinya tersulam gambar seekor burung garuda.
Tapi, sulaman gambar burung garuda itu tidak menimbulkan perasaan seram. Demikian pula halnya potongan tubuhnya yang pendek kekar. Yang menimbulkan perasaan segan adalah sepotong kulit hitam berbentuk bulat yang menutupi mata sebelah kiri. Kulit hitam itu diikatkan ke belakang melewati kepala bagian atas secara menyerong. Inilah orang yang dicari-cari Wasila dan tiga kawannya. Garuda Mata Satu!
"Mulutmu terlalu kotor, Wasila! Kau harus dihajar!"
Laki-laki bermata sebelah yang ternyata berjuluk Garuda Mata Satu itu menggeram.Wajahnya yangmerah padam menampakkan kemarahan hatinya. Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu mengambil buntalan kain hitam kecil dari pinggangnya. Lalu, benda itu dilemparkannya ke belakang tanpa mengalihkan pandangan dari Wasila.
"Telan obat itu untuk menghilangkan rasa gatal yang kau derita, Kartugi," ujar Garuda Mata Satu.
"Garuda Mata Satu! Kedatanganku kemari karena Yang Mulia Mata Malaikat menyuruh kami semua untuk mencarimu! Dan kuharap, kau bersedia ikut dengan kami untuk menghadap beliau!" kata Wasila.
"Apa katamu?! Pergi menghadap iblis keji itu?! Cuhhh...! Jangan harap, Wasila! Sampai mati pun aku tidak sudi menghadapnya!" tolak Garuda Mata Satu lantang dan mantap.
"Rupanya kau lebih suka dibawa secara paksa, Garuda Mata Satu?!" ancam Wasila sambil meraba gagang goloknya yang tadi telah diselipkan kembali di pinggang.
Srattt!
Sinar terang tampak mencuat ketika Wasila mencabut golok pendeknya. Melihat hal ini, Dulang, Paksi, dan Gora serentak melangkah maju. Golok mereka memang sudah terhunus, karenamemang sejak tadi masih tergenggam di tangan.
"Kalian mundur! Biar aku yang akan mencoba menjinakkan anjing liar ini," cegah Wasila yang mengetahui tindakan yang akan dilakukan tiga anak buahnya.
Mendengar ucapan pimpinan mereka, Dulang, Pakai, dan Gora kembali ke tempat semula. Meskipun demikian, golok-golok telanjang masih tetap dalam genggaman tangan. Sikap mereka juga tetap waspada, bersiap-siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Luar biasa kemajuan yang kau peroleh, Wasila! Baru beberapa hari bergaul dengannya, kau telah mempunyai nyali yang demikian besar! Kau tidak hanya berani memakiku, tapi juga berani menantangku bertarung. Ha ha ha...! Luar biasa! Aku jadi ingin tahu, apa yang kau andalkan. Pengkhianat Busuk!"
"Tutup mulutmu, Garuda Mata Satu! Jaga seranganku!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Wasila segera melompat menerjang Garuda Mata Satu. Di saat tubuhnya masih berada di udara, golok di tangannya dikelebatkan mendatar, mengarah leher laki-laki bermata satu itu.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi serangan, menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam serangan Wasila.
Garuda Mata Satu menyunggingkan senyum mengejek. Ditunggunya hingga serangan itu menyambar dekat. Baru ketika hampir mencapai sasaran, kakinya buru-buru dilangkahkan ke belakang seraya mencondongkan tubuhnya. Maka....
Wusss!
Mata golok Wasila menyambar lewat beberapa jengkal di depan leher Garuda Mata Satu. Namun, Wasila sudah memperhitungkan hal itu. Dia telah mengenal betul, siapa lawannya. Bahkan tingkat kepandaian Garuda Mata Satu juga telah diketahuinya. Maka ketidak berhasilan serangannya tidak dipikirkannya lagi.
Tapi yang jelas, sebuah serangan susulan akan dikirimkannya. Dan itu memang tidak salah! Begitu serangan pertamanya gagal, Wasila segera menyusulinya dengan sebuah tusukan. Dan ternyata, masih leher Garuda Mata Satu yang dijadikan sasaran!
Tapi untuk yang kesekian kalinya, serangan Wasila hanya menggapai angin. Ketika Garuda Mata Satu merendahkan tubuhnya dengan menekuk lutut, maka serangan itu meluncur beberapa jari di atas kepalanya.
Ternyata, kali ini Garuda Mata Satu tidak hanya berdiam diri saja dalam menghadapi serangan lawan. Secepat tusukan golok Wasila berhasil dielakkan, secepat itu pula serangan balasan dikirimkan.
Laki-laki bermata satu yang belum mau menggunakan senjata itu melancarkan serangan berupa sebuah gedoran dua telapak tangan terbuka ke arah dada.
"Hehhh...?!"
Wasila langsung terpekik kaget, melihat serangan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Tambahan lagi, serangan itu dilancarkan demikian cepat. Namun sebagai seorang ahli silat berpengalaman, otot-otot tubuhnya cepat bergerak dengan sendirinya. Dan dalam saat yang demikian singkat, kedua kakinya diangkat untuk melindungi dada.
Dukkk!
Benturan keras antara sepasang tangan melawan kaki itu tidak bisa dielakkan lagi. Sesaat kemudian, tubuh Wasila langsung terjengkang ke belakang. Sedangkan Garuda Mata Satu terhuyung satu langkah ke belakang. Dan kelihatannya, keadaan laki-laki bermata satu ini lebih menguntungkan daripada lawan.
Jliggg!
Dengan mulut menyeringai, Wasila mendaratkan kedua kakinya di tanah. Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat ini kesakitan. Bahkan tubuhnya agak terhuyung-huyung ketika menjejak tanah.
Tapi, Wasila rupanya termasuk orang yang keras hati. Tanpa mempedulikan rasa sakit yang mendera kaki, kembali diserangnya Garuda Mata Satu. Dan tindakannya mendapat sambutan dari laki-laki bermata satu itu. Sehingga, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu rupanya sebuah pertarungan yang terlihat tidak adil. Satu pihak menggunakan senjata, sementara yang satunya hanya bertangan kosong.
Meskipun tidak menggunakan senjata, Garuda Mata Satu ternyata tetap mampu mengadakan perlawanan sengit. Tubuhnya berkelebat di antara sambaran senjata lawan. Di saat-saat yang memungkinkan, serangan balasan dilancarkannya.
Menarik dan sengit pertarungan antara Wasila melawan Garuda Mata Satu. Hal ini tidak aneh, karena sama-sama telah mengeluarkan seluruh kemampuan sejak gebrakan-gebrakan awal. Itulah sebabnya, walaupun tidak bisa melihat jelas jalannya pertarungan, Dulang, Paksi, Gora, dan juga sosok yang berlindung di balik kerimbunan pohon, terus menajamkan mata penuh perhatian.
Memang, gerakan Wasila dan Garuda Mata Satu terlalu cepat untuk bisa dilihat oleh para penontonnya. Yang bisa terlihat hanyalah kelebatan dua bayangan coklat yang saling belit, dan saling pisah.
Tak terasa, pertarungan telah berlangsung hampir empat puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Di jurus keempat puluh tiga, mendadak Garuda Mata Satu melempar tubuhnya ke belakang. Rupanya, dia bermaksud menjauhi kancah pertarungan.
Maka tentu saja Wasila tidak membiarkannya. Sebagai seorang ahli silat yang telah kenyang makan asam garam, dia tahu alasan yang mendorong Garuda Mata Satu menjauhinya. Apa lagi kalau bukan untuk menerapkan cara pertempuran baru? Bahkan bukan tidak mungkin, Garuda Mata Satu akan mengeluarkan senjata andalan.
Mendapat pemikiran seperti itulah yang menyebabkan Wasila bertindak mengejar. Dia segera melompat menyusul sambil melancarkan serangan.
Wukkk, srattt, crattt!
"Aaakh...!" Rincian kejadian berlangsung sangat cepat. Begitu golok Wasila meluncur, Garuda Mata Satu telah meraih gagang golok besarnya yang tersampir di punggung. Dan saat tusukan Wasila meluncur dan tidak mengenai sasaran, Garuda Mata Satu cepat menusukkan goloknya ke arah perut lawan. Wasila yang sama sekali tidak bersiap menghadapi serangan, tidak sempat berbuat sesuatu. Seketika golok Garuda Mata Satu menembus perut Wasila yang langsung memekik kesakitan.
Brukkk!
Pada saat yang bersamaan dengan ambruknya tubuh Wasila di tanah, Garuda Mata Satu telah berdiri tegak. Di tangannya tampak teracung sebatang golok besar yang bernoda darah.
"Kang Wasila!" Hampir berbareng Dulang, Paksi, dan Gora berseru kaget.
Mereka cepat meluruk ke arah pemimpinnya, dan siap memberikan pertolongan. Tapi, niat itu segera diurungkan ketika melihat Wasila memberi isyarat agar mereka diam.
"Kau.... Kau..., akan menerima balasannya Gardalaya...!" ucap Wasila terbata-bata. "Yang Mulia Mata Malaikat akan menghukummu...."
"Dikira, aku takut pada iblis jelek itu, Wasila?! Jangan samakan dirimu denganku. Aku bukan jenis orang yang takut mati! Kau keliru kalau menyangka aku kabur karena takut pada si Mata Malaikat!" sambut Garuda Mata Satu. "Kepergianku hanya karena tidak ingin banyak orang menjadi korban kekejiannya! Kuakui, aku memang bukan orang baik. Tapi, keinginan si Mata Malaikat membuat bulu kudukku berdiri! Dan karena kau, anak buahku telah berkhianat dariku. Maka sekarang, rasakanlah hukumanmu!"
Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu menghampiri Wasila yang masih terduduk di tanah. Luka yang dideritanya memang cukup parah. Namun sekarang darah tidak mengalir keluar lagi setelah Wasila menotok jalan darahnya di sekitar luka.
Selangkah demi selangkah, jarak Garuda Mata Satu semakin dekat dengan Wasila. Ini berarti malaikat maut semakin mendekatinya. Dan Wasila pun menyadari betul hal itu. Namun, dia juga tidak sudi mati secara percuma.
Maka sekuat tenaga diusahakannya untuk bangkit. Dan begitu berhasil berdiri tegak, tangannya telah menggenggam golok. Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat ini telah bersiap mengadakan perlawanan mati-matian.
Kali ini Dulang, Paksi, dan Gora tidak bisa tinggal diam lagi. Mereka tahu, bila Wasila dibiarkan menghadapi Garuda Mata Satu sendirian saja, pasti akan tewas. Ketika belum terluka saja, Wasila tidak mampu menandingi Garuda Mata Satu. Apalagi di saat tengah terluka. Atas dasar pemikiran itulah, Dulang, Paksi, dan Gora melangkah menghampiri Wasila.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka sama sekali kalau kalian pun akan berkhianat padaku!" kata Garuda Mata Satu sambil tersenyum getir kepada Dulang, Paksi, dan Gora.
"Kau buta oleh keangkuhanmu sendiri, Garuda Mata Satu!" sergah Wasila, keras. "Aku tahu, kau tidak ingin menjadi anak buah, tapi ingin menjadi ketua. Padahal, Yang Mulia Mata Malaikat bersedia menjadikanmu sebagai salah seorang wakilnya. Tapi, kau terlalu angkuh! Kau malah memilih kabur daripada bergabung dengannya. Padahal banyak kepala perampok, perompak, dan tokoh-tokoh hitam lain yang telah bergabung dengannya!"
Keras dan berapi-api ucapan Wasila sehingga membuat selebar wajah Garuda Mata Satu sebentar pucat sebentar merah. Jelas, ucapan Wasila mengenai sasarannya.
"Perlu kau ketahui, kami semua bukan lagi gerombolan perampok yang menamakan diri Gerombolan Garuda Sakti. Kami semua bukan lagi anak buahmu, dan telah menjadi anak buah Yang Mulia Mata Malaikat!"
"Diam!"
Garuda Mata Satu membentak keras. Rupanya, ucapan yang keluar dari mulut Wasila membuat amarahnya bangkit. Dan akibat rasa marah yang bergejolak, bentakan yang dikeluarkannya mengandung pengerahan tenaga dalam.
Maka tak pelak lagi, Dulang, Paksi, dan Gora terpaksa mendekap kedua telinganya. Dada mereka terasa bergetar hebat. Bahkan telinga pun terasa sakit bagai ditusuk-tusuk. Hanya Wasila yang terbebas dari pengaruh bentakan Garuda Mata Satu, karena telah menyumpalnya dengan tenaga dalam.
"Tutup mulutmu, Garuda Mata Satu! Kau tidak berhak lagi membentak-bentak kami. Kau bukan pemimpin lagi!" tandas Wasila, geram.
"Keparat! Mulutmu terlalu lancang, Wasila! Kuakui, aku bukan lagi pimpinan kalian! Tapi, ingat! Aku masih berhak menghukum kalian dengan alasan kuat. Kalian telah berkhianat kepadaku!" sambut Garuda Mata Satu tak kalah keras. Lalu....
Hiyaaa...!"
Diawali sebuah teriakan keras yang memekakkan telinga, Garuda Mata Satu menerjang Wasila. Golok besar yang tercekal di kedua tangannya, teracung lurus ke depan. Dengan kaki lurus, dan tubuh seperti sebatang tonggak, Garuda Mata Satu melakukan penyerangan. Dan dalam keadaan meluncur, tubuhnya terus berputaran. Sebuah cara penyerangan yang aneh!
Wunggg!
Suara mengaung keras mengiringi tibanya serangan yang dilakukan secara berputaran seperti gasing itu, Wasila yang melihat jenis serangan ini terlihat agak gugup. Memang, serangan seperti ini belum pernah dihadapi sebelumnya.
"Tangkis sama-sama!" perintah Wasila. Pada saat yang bersamaan dengan keluarnya ucapan itu, Wasila segera memapaki. Tidak dirasakannya lagi luka di perut, karena khawatir akan bahaya maut yang tengah mengancam.
Dan memang, Wasila tidak sendirian sewaktu memapak serangan itu. Hampir berbarengan, Dulang, Paksi, dan Gora pun melakukan hal yang sama.
Trang, trang!
Crattt!
"Akh!"
Rentetan kejadian berlangsung demikian cepat. Bunga api tampak memercik ke sana kemari ketika lima batang senjata berbenturan. Itu pun masih disusul berpentalannya lima sosok tubuh ke tempat semula, diseling jerit menyayat.
Jliggg!
Lima pasang kaki menjejak tanah. Tapi, hanya Garuda Mata Satu yang bisa hinggap sempurna dengan golok masih tergenggam di tangan. Sementara, empat lawannya terhuyung-huyung ke sana kemari. Golok yang semula berada di tangan, sudah terlempar entah ke mana.
Di antara keempat bekas anggota Gerombolan Garuda Sakti itu, hanya Wasila-lah yang paling sial. Dulang, Paksi, dan Gora hanya terhuyung-huyung dengan senjata lepas dari pegangan. Sedangkan Wasila, harus menerima golok Garuda Mata Satu yang berhasil membor dadanya. Jadi, Wasila-lah yang tadi mengeluarkan jeritan menyayat. Dan setelah terhuyung-huyung beberapa saat, tubuh Wasila ambruk ke tanah. Mati!
"Kang Wasila!" seru Dulang, Paksi, dan Gora hampir berbareng. Mereka terkejut bukan kepalang melihat keadaan yang dialami pimpinan mereka.
"Ha ha ha...! Tidak usah kaget, Pengkhianat-pengkhianat Busuk! Itulah hukuman yang pantas untuk orang seperti kalian! Bersiaplah! Sekarang, kalian yang akan mendapat giliran!" ancam Garuda Mata Satu, penuh nada kemenangan.
Dulang, Paksi, dan Gora saling berpandangan. Mereka sadar, Garuda Mata Satu tidak akan mungkin bisa ditandingi. Apalagi dalam keadaan tanpa senjata seperti ini.
"Ha ha ha...! Mengapa ragu?! Jangan khawatir, aku bukan jenis orang yang bersikap curang dalam pertarungan. Kalau kalian tidak memiliki senjata, aku juga tidak akan menggunakan senjata!"
Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu memasukkan pedang ke dalam sarungnya yang tersampir di punggung.
Trekkk!
"Nah! Sekarang, aku sudah tidak bersenjata! Ayo! Tunggu apa lagi?" tantang Garuda Mata Satu.
Untuk kedua kalinya Dulang, Paksi, dan Gora saling berpandangan. Dalam adu pandang sekilas itu, mereka telah sepakat untuk lebih dulu melancarkan serangan. Disadari kalau tidak ada pilihan lain, kecuali melawan sekuat tenaga. Karena sudah jelas Garuda Mata Satu tidak akan memberikan ampunan.
Kini Dulang, Paksi, dan Gora menghampiri Garuda Mata Satu yang berdiri diam menunggu. Sikap laki laki bermata satu ini tampak seperti tidak peduli. Apalagi memperlihatkan tanda-tanda kalau siap bertarung. Bahkan ketika ketiga lawannya mulai menyebar dan mengepungnya dari tiga jurusan, Garuda Mata Satu masih bersikap biasa-biasa saja.
"Hiaaat..!" Dulang mendahului serangan dari arah sebelah kiri, disusul Paksi dari depan dan Gora dari sebelah kanan.
"Hmh!" Garuda Mata Satu hanya mendengus mirip kerbau liar. Dia masih tetap tidak bertindak apa-apa menghadapi serangan yang susul-menyusul itu. Baru ketika semua serangan itu menyambar dekat, tangan dan kakinya bergerak. Cepat bukan main, sehingga bentuk tangan dan kakinya tidak terlihat.
Bukkk, bukkk, desss!
Suara berdebuk keras terdengar berturut-turut ketika tangan dan kaki Garuda Mata Satu menghantam bagian tubuh lawan-lawannya. Seketika itu pula, tubuh ketiga orang itu melayang ke belakang sejauh beberapa tombak. Darah segar tampak mengalir deras dari mulut dan hidung, membasahi tanah sepanjang tubuh-tubuh yang melayang itu.
Brukkk!
Dulang, Paksi, Gora menggelepar-gelepar sejenak di tanah sebelum akhirnya diam. Dan begitu gerakan tubuh mereka berhenti, nyawa ketiga orang itu melayang ke alam baka.
Garuda Mata Satu sekilas menatap tubuh-tubuh yang bergeletakan di tanah. Kemudian ketika teringat Kartugi, perhatiannya segera dialihkan. Tampak laki-laki berpakaian abu-abu itu tengah berdiri bersandar pada dinding rumah.
"Hhh...!" Sambil menghela napas berat, Garuda Mata Satu menghampiri Kartugi. Raut wajahnya menyiratkan kelesuan bercampur penyesalan. Loyo dan kuyu, seperti langkah kakinya.
"Maafkan aku, Kartugi. Aku tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Ternyata racun itu telah menyebar di seluruh aliran darahmu sebelum obat kuberikan," jelas Garuda Mata Satu, bernada penyesalan. Laki-laki bermata satu itu tampak menyesal sekali. Sepasang matanya yang tertuju pada Kartugi, menyorotkan penyesalan yang mendalam.
"Kau tidak usah menyesali keadaanku, Garuda Mata Satu. Pertolongan yang kau berikan padaku lebih dari cukup. Obat yang kau berikan telah mengusir perasaan gatal yang melanda. Sehingga aku tidak mati secara tersiksa. Hhh...! Sulit kubayangkan bila saja kau tidak menolongku, Garuda Mala Satu. Aku akan tewas dalam keadaan daging hancur tercacah!"
Garuda Mata Satu tidak memberikan tanggapan apa-apa. Meski disadari adanya kebenaran dalam ucapan Kartugi, tapi tetap saja tidak mampu mengusir penyesalan yang bersemayam di lubuk hati. Andaikata saja dia tiba lebih cepat, tentu Kartugi tidak akan bernasib seperti ini. Kini, ditatapnya sekujur kulit tubuh Kartugi yang telah memerah dengan sorot mata penuh penyesalan.
Obat yang diberikan Garuda Mata Satu memang berhasil melenyapkan rasa gatal-gatal yang melanda Kartugi. Tapi, hawa panas membakar akibat pengaruh racun itu tidak bisa ditanggulangi. Yang lebih gila lagi, semakin lama hawa panas itu semakin menyengat.
Maka tak aneh kalau kulit tubuh Kartugi jadi merah seperti udang rebus. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya hawa panas yang membakar. Namun, Kartugi mampu menerimanya tanpa mengeluh sedikit pun. Dari sini saja sudah bisa diketahui keteguhan hatinya.
"Tidak usah kau pusingkan lagi penderitaanku, Garuda Mata Satu! Percayalah, aku telah siap mati. Hanya saja, aku tidak ingin mati penasaran. Maukah kau memenuhi permintaan terakhirku?"
"Katakan! Apa permintaan terakhirmu, Kartugi. Aku berjanji akan memenuhinya," sambut Garuda Mata Satu, penuh gairah.
"Terima kasih, Garuda Mata Satu. Kau memang sahabatku yang baik. Aku yakin, kau mampu memenuhi karena permintaanku yang sama sekali tidak sulit."
"Apa permintaanmu, Kartugi? Cepat katakan," desak Garuda Mata Satu tidak sabar, karena khawatir laki-laki berpakaian abu-abu itu keburu meninggal dunia.
"Hanya satu permintaan, Garuda Mata Satu. Selebihnya aku juga ingin menjelaskan sesuatu padamu. Oh, ya. Tolong kabulkan permintaanku dulu. Aku ingin minum air kelapa. Aku haus sekali," Kartugi memulai permintaannya.
Hampir Garuda Mata Satu tertawa mendengarnya. Permintaan seperti itu sama sekali tidak diduga. Tapi dengan pandainya, rasa gelinya disembunyikan sehingga tidak tampak pada wajahnya. Malah raut wajahnya dipasang sungguh-sungguh.
Sepasang matanya beredar ke sekeliling, memperhatikan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Suasana malam yang diterangi bulan yang hampir bulat di langit, cukup membantu Garuda Mata Satu dalam mencari sesuatu.
"Tunggu sebentar, Kartugi." Hanya ucapan itu yang sempat didengar Kartugi. Karena sebelum dia sempat bicara, Garuda Mata Satu sudah tidak berada di situ lagi. Tubuhnya telah melesat meninggalkan tempat itu. Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan coklat yang berkelebat meninggalkan Kartugi yang duduk bersandar.
Belum lama Kartugi menunggu, terlihat sosok bayangan coklat melesat ke arahnya. Dan....
"Hup!"
Kini Garuda Mata Satu telah berada kembali ditempat semula. Di tangan kanannya telah terjinjing empat butir kelapa. Tiga butir diletakkannya di tanah, sedangkan sebutir lagi dikupasnya. Dan begitu telah dikupas, diserahkannya pada Kartugi, setelah terlebih dahulu dilubangi salah satu bagian batoknya.
Kini Kartugi pun meneguknya. Dalam waktu singkat, air kelapa itu telah tuntas diminum Kartugi. Maka Garuda Mata Satu segera mengupas lagi, sampai akhirnya tandas semuanya.
Garuda Mata Satu tidak merasa heran melihat tingkah laku Kartugi. Dia tahu, mengapa empat butir kelapa itu mampu dihabiskannya. Rasa panas yang membakar tubuh itulah yang menyebabkannya. Kartugi telah kehilangan banyak cairan di dalam tubuh, sehingga telah dilanda rasa haus yang amat sangat.
"Sekarang, apa yang ingin kau jelaskan padaku, Kartugi," ujar Garuda Mata Satu setelah sejenak membiarkan laki-laki berpakaian abu-abu itu telah puas minum air kelapa.
Kartugi tidak langsung menyahuti. Ditatapnya wajah Garuda Mata Satu beberapa saat lamanya. "Kalau tidak melihat sendiri, mungkin aku tidak akan percaya. Kau dulu adalah Kepala Gerombolan Garuda Sakti yang disegani. Tapi kini, diburu-buru bahkan hendak dibunuh anak buahnya sendiri. Ah! Sulit untuk dipercaya," desah Kartugi.
"Hhh...! Bukannya aku tidak mau memberitahukannya padamu, Kartugi. Tapi perlu diketahui, aku butuh waktu lama untuk menjelaskannya. Nantilah semuanya kuceritakan secara lengkap. Yang penting, sekarang katakanlah permintaanmu yang terakhir. Supaya kau tidak penasaran, untuk sementara ini kujelaskan kalau anak buahku telah berkhianat, karena ingin mengubah nasib. Mereka telah menemukan seorang pemimpin yang jauh lebih sakti daripadaku. Dan sang Pemimpin itu memiliki angan-angan tinggi. Nah, kurasa cukup. Sekarang, tolong jelaskan padaku mengenai sesuatu yang ingin kau utarakan."
Kartugi mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menerima alasan yang diajukan Garuda Mata Satu. "Aku ingin memberitahukan padamu mengenai Puspa Kenaka...."
"Puspa Kenaka?!" Garuda Mata Satu tersentak kaget. "Mengapa aku demikian pelupa? Justru tujuanku yang paling pokok ke sini adalah untuk melihatnya. Katakan, Kartugi. Apa yang terjadi terhadap dirinya?"
Kartugi tersenyum melihat tanggapan Garuda Mala Satu yang demikian penuh semangat. Tapi baru saja pertanyaan itu akan dijawabnya, tiba-tiba rasa mual melanda perutnya, kemudian merayap cepat ke atas. Dan....
"Huakh...!" Kartugi memuntahkan darah kental berwarna kehitaman dari mulutnya.
"Kartugi...!" pekik Garuda Mata Satu cemas. Dia tahu, kontrak hidup laki-laki berpakaian abu-abu itu tidak akan lama lagi.
Kartugi berusaha tersenyum untuk menunjukkan kalau tidak apa-apa. Tapi karena saat itu tengah merasakan sakit yang melanda dada, senyum yang ditunjukkannya jadi lebih mirip seringai.
"Aku.... Aku tidak apa-apa, Garuda Mata Satu," kata Kartugi dengan suara tersengal-sengal.
"Tapi...."
"Beri aku kesempatan bicara, Garuda Mata Satu. Waktuku tidak banyak lagi," potong Kartugi cepat, dengan suara semakin pelan dan terputus-putus.
Garuda Mata Satu kontan diam. "Sudah lama sekali Puspa Kenaka menanyakan tentang dirimu, Garuda Mata Satu. Semenjak kau pergi dan menitipkannya padaku, setiap hari dia selalu menanyakan kabar tentang dirimu...."
"Bagaimana kabarnya sekarang, Kartugi? Tentu dia sudah besar, bukan?" selak Garuda Mata Satu tidak sabar.
"Tenangkanlah hatimu, Garuda Mata Satu. Puspa Kenaka bukan saja sehat, tapi juga cantik bukan kepalang. Syukurlah kedatanganmu tepat pada waktunya. Memang saat ini dia sangat membutuhkan pelindung. Puspa Kenaka masih sangat muda, dan baru sembilan belas tahun. Aku khawatir, sepeninggal diriku dia akan diombang-ambingkan ganasnya dunia persilatan...," urai Kartugi panjang lebar. Suaranya terdengar melemah, sehingga membuat Garuda Mata Satu harus lebih mendekatkan telinga untuk bisa menangkap ucapannya.
"Lalu..., sekarang di mana dia, Kartugi?" desak Garuda Mata Satu buru-buru karena khawatir Kartugi akan keburu meninggal.
Kartugi tidak langsung menjawab pertanyaan Garuda Mata Satu. Dengan susah payah, napasnya yang sudah kembang kempis diatur. Nampaknya, waktu hidup untuknya sudah tidak lama lagi.
"Dia kusuruh pergi ketika ada orang yang memanggil-manggilmu. Ah! Puspa Kenaka benar-benar gadis yang tahu budi. Dia tidak mau meninggalkanku sendirian, karena khawatir akan terjadi sesuatu. Hingga terpaksa, aku membungkamnya dengan ucapan yang membuatnya menuruti kemauanku."
"Apa yang kau katakan padanya, Kartugi?"
"Kukatakan padanya, kalau dia tidak mau pergi, aku tidak akan bisa mati meram. Dan dia kuanggap sebagai murid yang tidak berbakti...," jelas Kartugi.
"Lalu..., kemana perginya, Kartugi?"
"Hhh..., hhh.... Aku..., aku tidak ta.... Akh...!"
Kartugi menghembuskan napas terakhir sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya. Namun meskipun demikian, sudah bisa diduga kelanjutan ucapan yang akan dikeluarkan Kartugi.
Garuda Mata Satu menatap mayat sahabatnya penuh rasa duka. Meskipun memang tidak ada pekik atau air mata kedukaan, tapi Garuda Mata Satu merasa sedih bukan kepalang. Dia berdiri dengan kepala tertunduk sebagai penghormatan terakhir pada rekannya.
Angin sejuk yang berhembus semilir serta kicau riang burung menyemaraki suasana pagi. Sang Surya tampak di kaki langit sebelah timur dalam bentuk bulatan berwarnamerah saga. Sehingga, menambah ceria suasana alam ini.
Tapi, keceriaan alam sekitarnya itu tidak sempat dinikmati seorang gadis berwajah cantik jelita berpakaian Jingga. Rambutnya yang dikepang dua, semakin menambah kecantikannya. Gadis berpakaian Jingga itu duduk bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah yang masih baru. Sekali lihat saja bisa diketahui kalau gundukan tanah itu adalah sebuah kuburan.
"Ki Kartugi...." Dengan suara tersendat-sendat karena isak tangis yang membuat tenggorokannya terasa tersekat, gadis berpakaian Jingga itu membuka suara. Sementara jari-jari kedua tangannya terus meremas-remas tanah.
"Mengapa kau meninggalkan diriku, Ki? Padahal, aku belum sempat membalas semua kebaikanmu? Ah! Aku bukan murid yang berbakti...."
Usai berkata demikian, gadis berpakaian Jingga itu menundukkan kepala. Bahunya tampak terguncang-guncang, berusaha menahan sedih yang menggelegak. Mendadak gadis berpakaian Jingga itu menoleh ke belakang. Betapa tidak? Pendengarannya yang cukup terlatih menangkap adanya langkah-langkah kaki dari arah tersebut.
Ternyata, dugaannya benar. Di belakangnya, kini berdiri serombongan orang yang memiliki wajah dan penampilan kasar. Mereka mengenakan seragam rompi, terbuat dari kulit buaya! Bergegas gadis berpakaian jingga itu bangkit. Sadar kalau orang-orang itu tidak bermaksud baik, maka sepasang matanya diusap untuk membersihkan butir-butir air bening yang siap mengalir. Dan kini sikapnya benar-benar waspada.
"Siapa kalian?! Dan, apa maksud kalian datang kemari?!" kata gadis berpakaian jingga itu keras, namun berusaha bersikap tenang. Dan menilik jari-jari tangan kanannya yang sudah meraba senjata di pinggang sebelah kanan, jelas dia telah siap bertempur.
"Ha ha ha...!"
Jawaban yang diterima gadis berpakaian jingga itu adalah tawa bergelak dari seluruh orang bertampang kasar. Karuan saja, hal itu membuat gadis itu merasa heran bercampur marah. Dia telah bertanya baik-baik, tapi malah dijawab dengan tawa keras dan tidak sedap didengar. Bagaimana tidak menjadi kalap?Meskipun demikian, dicobanya untuk bersabar.
"Kau keliru, Nisanak! Seharusnya bukan kau yang mengajukan pertanyaan, tapi kami!" sahut seorang yang berdiri paling depan. Terlebih dulu, tangan kanannya diangkat ke atas, sehingga membuat gelak tawa itu berhenti. Jelas, orang ini adalah pemimpin rombongan.
Orang itu memiliki tubuh kekar, penuh otot melingkar, dan berkepala botak. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebuah gada panjang dan berduri. Dan nampaknya, gada itu berat sekali. Tapi, justru laki-laki berkepala botak itu tidak terlihat merasa keberatan sama sekali. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalamnya cukup kuat.
"Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Kisanak?" kata gadis berpakaian jingga itu dengan alis berkernyit dalam.
"Kau memang bodoh atau berpura-pura goblok, Nisanak?! Kuharap, kau jangan menambah ruwetnya masalah ini. Cepat rubahlah kepura-puraanmu, sebelum nasibmu kuserahkan pada anak buahku!"
Seiring selesai ucapannya, laki-laki berkepala botak itu menudingkan jari telunjuknya ke belakang. Bagai diberi perintah, gadis berpakaian jingga itu mengikuti arah tudingan. Dan seketika itu pula, hatinya merasa ngeri! Belasan orang berpakaian dari kulit buaya itu tampak menatap dengan sorot mata seperti seekor serigala yang tengah melihat seekor anak domba gemuk! Liar, dan penuh nafsu!
Laki-laki berkepala botak itu memang telah kenyang pengalaman. Itulah sebabnya, perasaan yang tengah berkecamuk dalam hati gadis berpakaian jingga itu langsung diketahuinya. Dan sepertinya, gadis itu memang masih polos dan lugu.
"Nah! Sekarang kuceritakan masalahnya," lanjut laki-laki berkepala botak itu penuh nada kemenangan. "Di sini adalah tempat tinggal buruan kami. Namanya Garuda Mata Satu."
Laki laki berkepala botak itu menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. "Beberapa orang kawan kami telah berangkat kemari lebih dulu untuk menangkap Garuda Mata Satu. Tapi rupanya mereka gagal. Buktinya, mayat-mayat mereka menggeletak di sini," laki-laki berkepala botak itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, merayapi mayat Wasila dan tiga anak buahnya. "Kau lihat mayat empat orang itu?"
Tanpa sadar, gadis berpakaian Jingga menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"Nah! Perlu kau ketahui, Nisanak. Mereka adalah kawan-kawan kami. Ini berarti Garuda Mata Satu telah membunuh mereka. Yang masih menjadi pertanyaan bagi kami, mengapa kau berada di tempat ini? Lalu, siapakah orang yang terbaring dalam kuburan yang masih baru itu? Sepertinya, dia masih ada hubungan dengan dirimu. Lalu, ke manakah perginya buruan kami?" tanya laki-laki berkepala botak itu, bertubi-tubi.
"Aku di sini, karena ini adalah tempat tinggalku bersama ayahku," jawab gadis berpakaian Jingga memulai keterangannya.
"Siapa nama ayahmu?" tanya laki-laki berkepala botak penuh gairah.
"Kartugi. Dan sekarang, dia telah tiada. Orang yang berada di dalam kuburan itu adalah ayahku. Salah satu dari empat orang inilah yang telah membunuhnya, dengan menggunakan racun."
"Lalu..., siapa yang telah membunuh kawan-kawan kami kalau ayahmu tewas di tangan mereka?" desak laki-laki berkepala botak itu tidak sabar.
"Seorang laki-laki berpakaian coklat yang mengenakan penutup mata sebelah...."
"Garuda Mata Satu...," desah laki-laki berkepala botak. "Kau tahu ke mana perginya?"
Gadis berpakaian Jingga itu hanya menggelengkan kepala.
"Terima kasih atas keteranganmu, Nisanak. O, ya. Kami lelah sekali menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. Kami ingin beristirahat dirumahmu. Dan kami harap, kau sudi menemani...."
"Aku tidak mau! Aku ingin pergi!" sentak gadis berpakaian Jingga itu keras.
Wajah laki-laki berkepala botak itu berubah kelam. "Rupanya kau lebih suka kalau diperlakukan kasar, Wanita Dungu! Baik! Kalau itu maumu, kuturuti!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkepala botak itu melangkah maju. Kedua tangannya diulurkan, berusaha memeluk tubuh gadis berpakaian jingga itu.
Wuttt!
Ternyata laki-laki berkepala botak itu hanya memeluk angin, begitu sasarannya telah melangkah mundur sambil menghunus senjata.
Trekkk!
Kini di tangan kanan gadis berpakaian jingga telah tergenggam sebuah kipas berwarna hitam yang rangka-rangkanya terbuat dari baja-baja berujung runcing.
"Keparat! Berani kau mempermainkan Buaya Sungai Luwing?" bentak laki-laki berkepala botak, marah.
Laki-laki berkepala botak yang ternyata berjuluk Buaya Sungai Luwing itu kembali melancarkan serangan. Hanya saja, kali ini serangan yang dikirimkan tidak selunak sebelumnya. Disadari kalau gadis berpakaian jingga itu bukan orang lemah.
Wut, wut, wut!
Buaya Sungai Luwing melancarkan sampokan bertubi-tubi ke arah bahu gadis berpakaian jingga itu. Rupanya meskipun tengah dilanda amarah, laki-laki berkepala botak itu masih merasa sayang untuk membunuh korbannya yang demikian cantik.
Gadis berpakaian jingga itu tampak gugup menghadapi serangan lawannya. Dalam pandangan matanya, tangan Buaya Sungai Luwing tidak hanya dua buah, tapi puluhan. Sehingga, pandangannya jadi berkunang-kunang.
Meskipun demikian, gadis berpakaian jingga itu tidak pasrah saja menerima nasib. Dan dia memang tidak bisa melihat jelas serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Tapi keinginannya untuk menyelamatkan diri, membuatnya berusaha sekuat tenaga menjegal serangan Buaya Sungai Luwing. Kipas bajanya cepat dikibas-kibaskan untuk menjegal serangan yang akan meluncur ke arahnya. Namun....
Wut, wut, wuttt!
Tappp! Tukkk!
"Akh...!" Rentetan kejadian yang berlangsung sukar diikuti mata biasa. Karena tahu-tahu gadis berpakaian jingga itu memekik pelan, kemudian roboh di tanah.
Memang, dengan gerakan mengagumkan, Buaya Sungai Luwing telah menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu membuatnya tertotok lemas.
"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kesaktian Buaya Sungai Luwing, Wanita Bodoh! Dan atas penolakanmu tadi, kau akan mendapat hukumannya. Tubuhmu akan kunikmati sampai puas. Kemudian, kau akan digilir sampai mati oleh semua anak buahku!"
"Manusia iblis! Lebih baik kau bunuh saja aku!" teriak gadis berpakaian jingga itu penuh rasa takut.
Kalau saja mampu bergerak, tentu akan diserangnya laki-laki berkepala botak itu mati-matian. Tapi sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan kepalang. Jangankan untuk menyerang, menggerakkan ujung jari pun tidak mampu.
"Ha ha ha...! Membunuhmu? Hanya orang bodoh yang mau membunuh wanita cantik sepertimu, tanpa menikmatinya lebih dulu! Dan aku bukan orang bodoh! Maka sebaiknya tubuhmu kunikmati dulu, Wanita Dungu! Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang belum putus, Buaya Sungai Luwing membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tangannya pun digerakkan. Dan....
Brettt!
Suara kain robek terdengar ketika tangan Buaya Sungai Luwing yang berotot dan penuh bulu menjambret baju gadis berpakaian Jingga di bagian dada. Tak pelak lagi, dua bukit kembar indah menantang pun menyembul keluar.
"Auw...! Iblis keji! Bunuh saja aku!" jerit gadis berpakaian jingga itu. Suaranya terdengar mengandung isak, karena rasa takut yang melanda.
"Ha ha ha...!"
Hanya tawa bergelak dari Buaya Sungai Luwing dan anak buahnya yang menyambuti jerit ketakutan gadis berpakaian jingga itu. Tawa yang agak tertahan-tahan karena nafsu birahi telah menyelimuti hati dan pikiran mereka, ketika melihat kulit tubuh gadis berpakaian jingga yang putih mulus!
Kelihatannya kelanjutan nasib yang menimpa gadis berpakaian jingga sudah bisa ditebak. Apalagi, ketika tangan Buaya Sungai Luwing kembali terulur. Bukan mengarah baju lagi, tapi pakaian bawah! Tapi, sebelum tangan itu mencapai sasaran, mendadak...
Wuttt!Tukkk!
"Akh...!"
Jeritan pendek bernada kesakitan keluar dari mulut Buaya Sungai Luwing, ketika sebuah batu sebesar ibu jari tangan menghantam telak punggung tangannya. Rasa sakit amat sangat, seketika menyengat bagian yang terkena timpukan tadi. Nyeri bukan kepalang membuat maksud untuk menjarah sekujur tubuh gadis berpakaian jingga itu diurungkannya.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani mengganggu Buaya Sungai Luwing?!" teriak laki-laki berkepala botak ini keras bernada ancaman.
Ucapan itu dikeluarkan Buaya Sungai Luwing sambil mengarahkan pandangan ke arah asal batu tadi terlempar. Hal yang sama pun dilakukan seluruh anak buahnya. Dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu tadi terlupakan.
Buaya Sungai Luwing dan anak buahnya kini bisa mengetahui orang yangtadi telah bertindak lancang. Dalam jarak sekitar empat tombak dari mereka, berdiri dua sosok tubuh yang memiliki perbedaan yang amat menyolok. Baik warna pakaian, jenis kelamin, maupun keadaan tubuh.
Yang seorang adalah seorang pemuda tampan. Namun, penampilannya terlihat angker! Betapa tidak? Wajahnya yang terlihat jantan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan. Mirip rambut orang yang berusia lanjut!
Rambut yang seperti benang-benang perak itu terurai sampai ke bahu, sehingga menutupi sebagian guci yang terletak di punggung. Pakaiannya ketat berwarna ungu, menampakkan kegagahannya.
Sama seperti halnya pemuda berpakaian ungu, gadis yang berdiri di sebelahnya pun memiliki wajah cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Pakaian putih yang dikenakan dan rambutnya yang panjang terurai sampai ke pinggang, semakin menambah kecantikan wajahnya.
Namun bertenggernya sebatang pedang di punggung, menandakan kalau gadis berpakaian putih ini bukan wanita lemah. Dan dengan langkah tenang menyorotkan kepercayaan diri yang besar, sepasang anak muda yang sama-sama berwajah elok ini menghampiri Buaya Sungai Luwing dan gerombolannya.
Sementara, Buaya Sungai Luwing yang memang tengah murka, jadi menggeram. "Grrrhhh...! Akan kuhancurkan tulang-belulang kalian," desis Buaya Sungai Luwing sambil menyambar gada berduri yang tadi dititipkan pada salah seorang anak buahnya, ketika hendak memaksakan kehendaknya pada gadis berpakaian jingga.
"Kau selamatkan gadis itu, Melati," kata pemuda berambut putih keperakan itu pada gadis berpakaian putih.
"Baik, Kang," sahut Melati, patuh. Memang, gadis berpakaian putih itu tak lain dari Melati. Dan dia juga putri angkat Raja Bojong Gading. Dan pemuda berambut putih keperakan itu tak lain dari Arya Buana yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
Dengan sikap tenang, Dewa Arak tampak menghampiri Buaya Sungai Luwing yang juga tengah melangkah ke arahnya. Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa langkah lagi, Buaya Sungai Luwing berhenti. Dengan senyum terkembang di bibir, Dewa Arak juga berhenti.
"Kau... kau... Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya Buaya Sungai Luwing setengah terbata-bata. Memang, laki-laki berkepala botak ini mendadak teringat akan selentingan kabar mengenai tokoh muda yangmenggemparkan dunia persilatan itu.
"Kalau benar, mengapa? Dan kalau tidak, kenapa, Kisanak?" Dewa Arak malah balas bertanya.
"Keparat! Tutup mulutmu, Bangsat Kecil! Siapa pun kau, apabila aku tengah bertanya, haram hukumnya mengajukan pertanyaan pula! Dan kau hanya berhak menjawab, tahu?!" sergah Buaya Sungai Luwing berang.
"Tidak usah banyak cakap, Kisanak! Majulah cepat! Aku sudah tidak sabar lagi mematahkan tanganmu yang kurang ajar itu!" sambut Dewa Arak tak kalah marah.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang tengah dilanda amarah. Masalahnya, Dewa Arak paling benci pada penjahat pemerkosa wanita. Pendiriannya sudah ditetapkan untuk membasmi penjahat semacam itu! Itulah sebabnya, dia tidak ragu-ragu lagi mengajukan tantangan.
"Keparat! Rupanya kau harus merasakan kekerasan gada Buaya Sungai Luwing! Barangkali saja kau bisa bersikap lebih sopan di lain hari!
Hiyaaat...!"
Tanpa memberi kesempatan lagi, Buaya Sungai Luwing langsung melancarkan serangan. Gada berduri yang tergenggam di tangan kanannya langsung diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengawali meluncurnya serangan itu menjadi pertanda kuatnya tenaga dalamnya. Bahkan mungkin hanya sekali hantam saja, sebongkah batu karang sebesar kerbau mampu dihancurkan dengan sekali pukul!
Tapi orang yang mendapat serangan seperti itu adalah Dewa Arak! Seorang tokoh sakti yang walau usianya muda, namun pengalamannya amat luas. Maka dalam menghadapi serangan itu, Dewa Arak sama sekali tidak gugup.
"Hup!"
Wusss!
Hanya dengan melangkahkan kaki kanannya ke belakang sambilmendoyongkan tubuh, Dewa Arak telah membuat serangan gada berduri Buaya Sungai Luwing hanya mengenai tempat kosong. Senjata yang mengerikan itu hanya lewat beberapa jari dari wajah Dewa Arak.
Sehingga, sambaran anginnya yang keras membuat pakaian dan rambut pemuda berambut putih keperakan itu berkibar keras. Bisa dirasakan kalau tenaga yang terkandung dalam serangan itu memang tidak main-main.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu gada lawan telah lewat di depan wajahnya, tangan kanannya digerakkan menangkap pergelangan tangan lawan. Tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu segera melancarkan serangan balasan dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Tappp!
Cepat bukan kepalang gerakan tangan Dewa Arak. Sehingga sebelum Buaya Sungai Luwing menyadari, pergelangan tangan kanannya telah tercekal.
"Heh?!" Buaya Sungai Luwing berseru kaget, namun tidak lantas jadi gugup. Berkat pengalamannya bertempur selama ratusan kali, langsung dilakukannya tindakan untuk menyelamatkan tangannya. Buaya Sungai Luwing langsung menarik tangannya agar bisa lepas dari cekalan tangan Dewa Arak. Tapi, maksudnya ternyata tidak sampai.
Jangankan melepas, untuk mengguncangkan pun tidak mampu! Meskipun tahu kalau usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil, Buaya Sungai Luwing tidak menyerah begitu saja. Tambahan lagi, dia terhitung orang keras kepala dan sukar menyadari kalau orang lain memiliki kemampuan di atasnya. Itulah sebabnya, dia terus memaksakan diri untuk membebaskan tangannya dari cekalan Dewa Arak. Begitu keras kemauannya, sampai-sampai terdengar suara merintih lirih darimulutnya.
Sementara itu, Dewa Arak tampak biasa-biasa saja. Baik pada wajah, maupun tangannya. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu mengerahkan tenaga.
"Sekarang giliranku, Kisanak," kata Dewa Arak setelah membiarkan Buaya Sungai Luwing berusaha keras membebaskan diri dari cekalannya. Usai berkata demikian, jari-jari tangan Dewa Arak bergerak meremas.
Krrrkkk!
"Aaakh...!" Buaya Sungai Luwing menjerit kesakitan, seiring terdengarnya suara berderak pelan tulang pergelangan tangannya yang hancur. Seketika itu pula, genggaman jari tangannya pada gada mengendur. Maka, senjata berat itu pun jatuh berdebuk di tanah.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Sehabis mencengkeram, tangan itu langsung bergerak membetot.
"Akh!" Untuk yang kedua kalinya, Buaya Sungai Luwing menjerit tertahan. Tulang sambungan siku dan bahunya langsung terlepas, ketika Dewa Arak melancarkan betotan. Tubuhnya juga kontan tertarik ke arah Dewa Arak. Maka, saat itulah kaki kanan Dewa Arak mencuat ke arah perutnya.
Wuttt! Bukkk!
"Hugkh!" Buaya Sungai Luwing mengeluarkan jerit tertahan ketika kaki Dewa Arak menghantam telak perutnya. Tubuh laki-laki berkepala botak itu langsung terlipat ke depan. Wajahnya merah padam, dan sepasang matanya melotot.
Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar saja. Sesaat kemudian, tubuh Buaya Sungai Luwing terkulai dan ambruk di tanah, kemudian diam untuk selama-lamanya. Tendangan Dewa Arak memang telah menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya.
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat, sehingga gerombolan anak buah Buaya Sungai Luwing tidak sempat berbuat apa-apa. Betapa tidak? Belum sempat mereka membantu, Buaya Sungai Luwing telah keburu tewas!
Tarikan wajah kebingungan dan sorot mata penuh perasaan tidak percaya memancar jelas dari seluruh anak buah gerombolan Buaya Sungai Luwing. Dan mereka belum menerima kenyataan kalau Buaya Sungai Luwing telah tewas!
Dan untuk beberapa saat lamanya, gerombolan anak buah Buaya Sungai Luwing itu terpaku. Beberapa saat lamanya mereka berlaku demikian. Namun begitu telah sadar kembali, mereka yang jumlahnya tak kurang dari dua belas orang itu menjadi murka!
Srat, srattt, sringgg!
Suara riuh rendah terdengar ketika belasan anak buah Buaya Sungai Luwing menghunus senjata masing-masing. Lalu diiringi teriakan keras memekakkan telinga, mereka serentak menyerbu Dewa Arak.
Apa yang menimpa Dewa Arak pun bisa diduga. Belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang dan golok tampak berkelebat menyambar ke berbagai bagian tubuhnya. Menghadapi serangan itu, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Sedikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda akan menangkis atau mengelak. Bahkan ketika hujan serangan itu menyambar demikian dekat, dia belum bertindak apa-apa.
Tentu saja hal itu membuat anak buah Buaya Sungai Luwing heran. Meskipun demikian, tetap saja serangan mereka terus dilanjutkan. Bahkan tetap dalam pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Dan ternyata, Dewa Arak memang tidak mengelakkan serangan itu. Akibat selanjutnya sudah bisa diduga. Belasan senjata tajam itu jelas mengenai secara telak pada sasaran.
Tak, tak, takkk!
Bunyi keras ketika senjata itu berbenturan dengan berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Namun, seakan-akan tubuh Dewa Arak tersusun dari logam keras!
"Hehhh...?!" Jerit keterkejutan terdengar susul-menyusul dari mulut belasan orang anak buah Buaya Sungai Luwing. Betapa tidak? Ternyata apa yang diharapkan atas tubuh Dewa Arak sama sekali tidak terjadi. Bahkan tangan yang menggenggam senjata tadi terasa lumpuh. Dan yang lebih gila lagi, mata senjata mereka langsung gompal!
"Puas?!" sindir Dewa Arak.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan belasan orang kasar yang masih terpaku atas kejadian yang dialami. Saat itu, sebagian dari mereka menatap ke arah Dewa Arak dengan pandangan takjub. Sebagian lagi, tengah merasakan sakit yang melanda tangan mereka. Sedangkan sisanya, menatap mata senjata yang gompal.
Dan seiring timbulnya kesadaran, belasan orang itu saling berpandangan satu sama lain. Sebentar saja hal itu dilakukan, untuk menghasilkan kata sepakat. Dan bagai diberi perintah, mereka kembali menyerang Dewa Arak.
Sing, sing, sing!
Suara berdesing dari senjata-senjata, mengiringi meluncurnya serangan itu. Dan seperti juga sebelumnya, anak buah Buaya Sungai Luwing menerjang Dewa Arak dari berbagai penjuru.
Kini kesabaran Dewa Arak pun habis. Semula lawan-lawannya hanya ingin dibuat gentar tanpa melukai. Tapi, rupanya anak buah Buaya Sungai Luwing ini keras kepala. Maka jalan satu-satunya untuk membuat mereka kapok hanya dengan kekerasan.
Itulah sebabnya, kini Dewa Arak tidak berdiam diri saja menghadapi hujan serangan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, semua serangan yang tertuju ke arahnya mudah saja dielakkan. Bagaikan bayangan, tubuhnya menyelinap di antara sambaran senjata-senjata lawan.
Sambil mengelak, Dewa Arak mengirimkan serangan ke arah lawan-lawannya. Kedua kaki dan tangannya berkelebat cepat! Ke manapun tangan dan kakinya meluncur, pasti ada tubuh lawannya yang terpental ke belakang diiringi jerit kesakitan.
Satu persatu anak buah Buaya Sungai Luwing roboh ke tanah dan tidak mampu bangkit lagi. Meskipun demikian, tidak ada satu pun di antara mereka yang mati atau terluka parah! Dewa Arak hanya membuat mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan saja. Hanya dalam waktu singkat, tak ada lagi satu pun anak buah Buaya Sungai Luwing yang masih berdiri tegak. Mereka semuanya tergolek di tanah.
Sebagian pingsan, sedangkan sisanya merintih-rintih kesakitan karena luka-luka yang diderita. Sementara, senjata-senjata mereka bergeletakan di sana sini. Tentu saja, sekarang hanya tinggal Dewa Arak seorang yang masih berdiri tegak.
Setelah memperhatikan keadaan lawan-lawannya sejenak, perhatiannya dialihkan pada Melati yang baru saja selesai berbincang-bincang dengan gadis berpakaian jingga. Memang, waktu Dewa Arak sibuk menghadapi lawan-lawannya, Melati membebaskan gadis berpakaian jingga dari totokan. Bahkan gadis itu rupanya telah berganti pakaian.
Dengan langkah tenang, Arya menghampiri Melati dan gadis berpakaian jingga itu. Dan seperti telah disepakati, kedua gadis itu melangkah berbarengan menghampiriDewa Arak.
"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Arya.
"Aku juga belum tahu, Kang," sahut Melati sambil menggelengkan kepala.
"Nah, Puspa Kenaka! Sekarang ceritakan, mengapa kau bisa bentrok dengan orang-orang kasar itu?"
Gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Puspa Kenaka itu tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah Arya dan Melati berganti-ganti. "Sebelum kuceritakan masalahnya, kuucapkan banyak terima kasih atas pertolongan kalian. Kalau tidak ada kalian berdua, tidak bisa kubayangkan hal yang akan terjadi pada diriku."
"Lupakanlah, Puspa," Melati yang mewakili Dewa Arak menanggapi.
"Orang hidup memang saling membutuhkan. Saat ini memang kami yang menolongmu. Tapi lain kali, bukan tidak mungkin kau yang ganti menolong. Jadi, lupakanlah hal itu. Dan sekarang, ceritakanlah semua kejadian yang kau alami."
"Baiklah," desah Puspa Kenaka, sambil menelan liur sejenak untuk membasahi tenggorokannya. Baru, setelah itu diceritakannya semua kejadian yang menimpa.
Arya dan Melati mendengarkan semua cerita Puspa Kenaka penuh perhatian. Sama sekali tidak diselak, hingga gadis berpakaian jingga itu mengakhiri penuturannya.
"Garuda Mata Satu?" tanya Arya dengan alis berkerut. Jelas, dia merasa heran. Betapa tidak? Meskipun belum pemah bertemu langsung, tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau Garuda Mata Satu adalah seorang pimpinan gerombolan perampok yang menamakan diri Gerombolan Garuda Sakti. Tapi, mengapa kini dikejar-kejar gerombolan Buaya Sungai Luwing?
Bukan hanya Dewa Arak saja yang sibuk berpikir. Melati pun demikian pula, karena juga telah mendengar selentingan kabar mengenai tokoh yang berjuluk Garuda Mata Satu itu. Itulah sebabnya, dia juga merasa bingung mendengar penuturanPuspa Kenaka.
Tapi Dewa Arak dan Melati terpaksa menunda dalam mencari jawaban atas masalah yang mengherankan, begitu mendengar adanya banyak langkah kaki yang menuju tempat ini. Hanya dalam sekejapan mata saja, sepasang pendekar muda ini langsung dapat mengetahui kalau jumlah langkah itu cukup banyak. Dan menilik dari suara yang terdengar, kepandaian yang dimiliki pemilik langkah itu sangat beragam.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan sebentar. Dan dalam waktu singkat, mereka bisa menebak perasaan yang bergayut di hati masing-masing, perasaan heran! Mereka heran, mengapa demikian banyak orang yang tengah menuju tempat ini?
Apakah tujuan mereka sama seperti gerombolan Buaya Sungai Luwing? Ataukah hanya sebuah kebetulan belaka?
Mula-mula, hanya Dewa Arak dan Melati saja yang mendengar suara langkah itu. Tapi karena semakin lama semakin jelas terdengar, Puspa Kenaka jadi mendengar pula. Ini membuktikan kalau para pemilik langkah itu benar-benar menuju tempat Dewa Arak, Melati, danPuspa Kenaka berada.
"Apakah kalian tidak mendengar sesuatu?" Puspa Kenaka yang tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya, langsung mengajukan pertanyaan. Hampir berbareng, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala pertanda mengiyakan. Sebuah senyum lebar yang dimaksudkan untuk menenangkan hati Puspa Kenaka, tersungging di mulut sepasang pendekar muda itu.
"Rasa-ranya, jumlah mereka tak kalah banyak dari anak buah Buaya Sungai Luwing," kata Puspa Kenaka lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah sosok-sosok yang masih bergeletak di tanah.
"Maksudmu, jumlah mereka sekitar lima belas orang, Puspa Kenaka?" tanya Melati ingin kepastian.
Puspa Kenaka menganggukkan kepala.
"Kau keliru, Puspa," sergah Melati dengan bibir tersungging senyum. "Jumlah orang yang tengah menuju kemari, tidak kurang dari lima puluh orang!"
"Ah!" desah Puspa Kenaka penuh keterkejutan bercampur tidak percaya.
Dengan sorot mata ingin meminta kepastian, Puspa Kenaka menatap Dewa Arak. Sedangkan pemuda berambut putih keperakan yang mengetahui arti tatapan itu, tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan Melati.
Baru saja Puspa Kenaka membuka mulut dan siap mengajukan pertanyaan, Dewa Arak telah menudingkan jari telunjuk ke depannya. Dan ketika Puspa Kenaka menoleh ke belakang, langsung terjingkat kaget. Kini, tampaklah pemandangan yang berjarak sekitar sepuluh tombak!
Sebenarnya, bukan Puspa Kenaka saja yang merasa terkejut. Dewa Arak dan Melati pun demikian. Hanya saja, sepasang pendekar muda itu mampu menguasai perasaan, sehingga tidak tampak pada wajah.
Masih dengan raut wajah tidak menunjukkan perasaan apa pun, Dewa Arak dan Melati menatap ke arah rombongan yang terus bergerak mendekati tempat mereka.
Memang wajar kalau Dewa Arak, Melati, dan Puspa Kenaka sampai terkejut karenanya. Ternyata jumlah rombongan yang tengah bergerak mendekati tempat mereka tidak kurang dari seratus orang! Menilik dari macam-macam pakaian yang dikenakan, bisa diperkirakan kalau mereka terdiri dari banyak golongan. Itulah sebabnya di dalam benak Dewa Arak dan Melati berkecamuk pertanyaan. Apa tujuan rombongan yang demikian besar itu datang ke sini?
Belum lagi rasa kaget karena jumlah rombongan yang besar itu sima, Dewa Arak kembali terkejut dan bercampur khawatir begitu melihat gerakangerakan mereka. Memang, sebagian besar rombongan orang berwajah rata-rata kasar itu memiliki ilmu meringankan lubuh tingkat rendahan. Tapi, ada beberapa gelintir yang membuat hati Dewa Arak tercekat.
Dan terutama sekali, adalah sosok paling depan. Gerakannya ringan bukan kepalang. Bahkan ketika berlari, kedua kakinya seperti tidak menyentuh tanah. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya sudah hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
Sosok yang berlari paling depan ini mendapat perhatian penuh dari Dewa Arak. Dia mengenakan pakaian hitam. Tubuhnya kekar dan berotot, selaras dengan wajahnya yang kasar dan dipenuhi cambang bauk lebat. Rambutnya dikepang satu. Dan pada bagian ujung rambutnya, terpasang sebuah logam berbentuk bintang bersegi lima.
Dan di antara semua ciri-ciri itu, yang membuat orang merasa ngeri adalah sepasang matanya. Bagian yang mengelilingi titik hitam matanya berwarna kuning muda. Mirip mata seekor kucing!
Hanya dalam sekejapan saja, rombongan itu telah berada di hadapan Dewa Arak, Melati, dan Puspa Kenaka. Tentu saja laki-laki bermata aneh itu yang tiba lebih dulu. Menilik dari tindak-tanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki itu adalah ketua rombongan. Dan kini dia berdiri berjarak dua tombak di hadapan Dewa Arak dan rekan-rekannya.
"lkh...!" Jerit kengerian tertahan keluar dari mulut Melati dan Puspa Kenaka ketika melihat mata laki-laki berambut kepang itu. Tanpa sadar, mereka melangkah mundur. Sehingga, Dewa Arak-lah yang berdiri paling depan.
Kengerian Melati dan Puspa Kenaka terlihat jelas. Namun raut wajah laki-laki bermata mengerikan itu sama sekali tidak menggambarkan rasa tersinggung. Tarikan wajahnya tetap seperti biasa. Dingin, tanpa adanya pancaran perasaan apa-apa.
Dengan raut wajah dingin, dirayapinya satu persatu wajah-wajah yang berdiri di hadapannya. Mula-mula Dewa Arak, kemudian Melati, dan terakhir Puspa Kenaka. Dan tatapan itu membuat bulu kuduk merinding! Hanya Dewa Arak yang masih tetap terlihat tenang. Bahkan balas menatap dan memperhatikan.
"Ha ha ha...!
Mendadak laki-laki bermata mengerikan itu tertawa. Keras bukan kepalang, sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat bagai ada halilintar. Bisa diduga kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Yang lebih hebat lagi adalah akibat yang menimpa orang-orang yang berada di situ. Sebagian besar dari mereka langsung merasakan kedua lututnya lemas, seiring keluarnya suara tawa itu. Bahkan langsung jatuh terduduk! Hanya beberapa orang saja yang mampu bertahan. Mereka adalah Dewa Arak, Melati, dan beberapa orang anak buah laki-laki bermata mengerikan itu.
"Tidak salahkah penglihatanku? Benarkah kau Dewa Arak, Pemuda Sombong?!" tegur laki-laki bermata mengerikan itu dengan suara keras menggelegar.
"Itulah julukanku yang diberikan orang kepadaku, Kisanak. Kalau boleh kutahu, siapa namamu? Dan, mengapa kau membawa demikian banyak orang kemari?!" masih dengan sikap tenang, Dewa Arak balas mengajukan pertanyaan.
"Aku? Ha ha ha...! Kau ingin mengenalku, Dewa Arak? Ha ha ha...! Rupanya julukan yang kau sandang telah membuatmu besar kepala, heh?! Kau tahu, dengan siapa berhadapan sekarang?! Akulah si Mata Malaikat! Raja dari semua tokoh golongan hitam yang ada di seluruh jagat ini! Kau dengar?!" jawab laki-laki bermata mengerikan itu yang ternyata berjuluk si Mata Malaikat.
Agak berubah paras Dewa Arak ketika mendengar jawaban bernada keras dari si Mata Malaikat. Apalagi julukan Mata Malaikat telah cukup lama didengarnya. Menurut berita, tokoh itu belum lama muncul. Paling lama baru dua tahun. Namun dalam waktu demikian singkat telah mampu menggegerkan dunia persilatan!
Hal itu karena tindakannya amat menggegerkan dunia persilatan. Hampir tidak ada hari yang dilewatinya tanpa pertempuran. Dan hebatnya, semua lawan dikalahkannya. Yang tunduk dijadikan anak buah, sedangkan yang membangkang dibunuh!
Itulah sebabnya, bukan hal yang aneh kalau dunia persilatan geger. Apalagi, ketika Mata Malaikat seorang diri menghancur-leburkan perguruan-perguruan silat beraliran putih. Maka julukannya semakin membubung tinggi dan ditakuti. Sementara itu, Dewa Arak tidak mau berlama-lama tenggelam dalam alun pikirannya.
"Kau mengejekku, Mata Malaikat. Kalau dibanding julukan yang kau sandang, apa sih artinya julukan Dewa Arak yang baru berusia seumur jagung?!" sambut Dewa Arak merendah.
"Tidak usah sok merendah, Dewa Arak! Kau telah melukai anak buahku, berarti telah menantangku. Maka bersiaplah untuk menerima balasannya!" sergah si Mata Malaikat, tak sabar.
"Kau yang menjual, Mata Malaikat. Dan aku pembelinya. Maka tantanganmu kuterima. Pantang bagiku menolak tantangan. Lagi pula, aku memang bermaksud melenyapkanmu selama-lamanya. Telah kudengar sendiri sepak terjangmu selama ini. Dan aku berkewajiban untuk menanggulanginya!" jawab Dewa Arak mantap dan tegas.
"Tutup mulutmu, Dewa Arak!" bentak Mata Malaikat keras. "Ayo! Kalian tangkap kelinci-kelincimuda itu!"
Usai memberi perintah pada anak buahnya, Mata Malaikat langsung menerjang Dewa Arak. Jari-jari kedua tangannya disusun sedemikian rupa, sehingga berbentuk setengah mengepal. Dan dengan buku-buku jarinya, dilancarkannya serangan ke arah leher dan bawah hidung Dewa Arak.
Wut, wut, wut!
Deru angjn keras terdengar bersamaan dengan meluncurnya serangan itu. Dan ini menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Namun, Dewa Arak mengetahuinya, sehingga tidak berani bertindak gegabah. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara. Maka, serangan MataMalaikat hanyamengenai tempat kosong Tapi, Mata Malaikat tidak berdiam diri saja melihat serangannya berhasil dielakkan Dewa Arak.
Dalam keadaan masih berada di udara, tubuhnya menggeliat. Gila! Meskipun tidak ada tempat berpijak, tubuhnya mampu melenting ke depan untuk menyusul tubuh Dewa Arak. Pada saat yang bersamaan, kedua tangannya kembali diluncurkan ke arah dada Dewa Arak.
Dewa Arak terkejut melihat serangan susulan lawannya. Diperhitungkan kalau sebelum kedua kakinya hinggap di tanah, serangan lawan akan terlebih dulu mengenai sasaran. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis serangan itu.
Setelah mengambil keputusan demikian, Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya kedepan untuk memapak serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Dan....
Prattt!
Seketika terdengar suara gaduh seperti ada dua benda berat beradu, ketika dua pasang tangan berbenturan. Begitu dahsyatnya, sehingga udara di sekitar tempat itu sampai bergetar hebat!
Dan akibatnya, Dewa Arak dan Mata Malaikat sama-sama terjengkang ke belakang. Namun berkat kepandaian masing-masing yang sudah mencapai tingkatan tinggi, bukan merupakan hal yang sulit untuk mematahkannya. Baik Dewa Arak maupun Mata Malaikat sama-sama berjumpalitan beberapa kali di udara, mempergunakan daya lempar tubuh mereka.
Jliggg!
Hampir pada saat yang bersamaan, Dewa Arak dan Mata Malaikat mendaratkan kedua kakinya di tanah, ringan laksana sehelai daun. Kini, mereka berdiri berhadapan dalam jarak enam tombak.
Di saat Dewa Arak dan Mata Malaikat saling berpandangan seperti hendak mengadu kemampuan lewat pancaran sinar mata, Melati dan Puspa Kenaka mulai dihampiri anak buah Mata Malaikat. Sementara sebagian dari mereka menolong yang terluka.
Melati tahu, Puspa Kenaka bukan orang lemah. Tapi disadari pula kalau kemampuan yang dimiliki gadis berpakaian jingga itu hanya sekadarnya saja. Malah mungkin hanya mampu untuk menghadapi tiga orang anggota gerombolan yang memiliki tingkat kepandaian sekadarnya. Karena itulah, Melati segera melangkah maju. Sehingga, kini berada di depan Puspa Kenaka untuk melindunginya.
"He he he...! Mimpi apa aku semalam, sehingga bisa bertemu dua orang bidadari yang molek-molek," kata salah seorang dari empat anggota gerombolan yang berada di barisan terdepan.
Kulit wajah orang itu hitam kelam seperti arang. Sebuah rompi yang terbuat dari kulit beruang membungkus tubuhnya yang kecil kurus.
"Kau memang tidak bisa diam kalau melihat wajah cantik, Setan Kecil Muka Hitam," cela laki-laki berkepala botak. Tubuhnya gemuk, dan perutnya gendut.
"Kalau tidak memiliki sikap seperti itu, mana mungkin dia berjuluk Setan Kecil Muka Hitam, Setan Botak?" timpal rekan lainnya yang tubuhnya tinggi besar melebihi manusia biasa.
"Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak salah, Setan Tenaga Raksasa," sambung orang terakhir. Tubuhnya tinggi kurus, laksana galah. Anehnya, wajahnya tertutup sebuah topeng tengkorak kepala manusia.
Semua pembicaraan itu dikeluarkan dengan suara keras, sehingga Melati dan Puspa Kenaka yang dijadikan pokok pembicaraan mendengarnya. Dan Melati jadi terperanjat ketika mendengar sapaan mereka satu sama lain. Betapa tidak? Julukan-julukan tiga di antara mereka sudah pernah didengarnya. Mereka terkenal sebagai datuk-datuk golongan hitam di berbagai penjuru mata angin!
Kesaktian dan kekejaman tokoh-tokoh itu sudah terkenal di wilayah masing-masing. Selama belasan tahun, mereka telah bercokol di tempat kekuasaannya tanpa ada yang mampu mengalahkan. Dan karena kekejamannya, masing-masing tokoh mendapat julukan setan. Tidak aneh, meskipun orang terakhir belum disapa rekan-rekannya, tapi Melati sudah bisa menduga. Siapa lagi kalau bukan Setan Muka Tengkorak.
Dan begitu telah tahu tokoh-tokoh yang akan menjadi lawannya, Melati segera meningkatkan kewaspadaan. Maka seketika seluruh urat syarafnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, keempat lawannya seperti tidak ingin terburu-buru melancarkan serangan. Sikap mereka menunjukkan kalau Melati sama sekali tidak dipandang sebelah mata.
"Rasanya terlalu berlebihan kalau kita maju bersama-sama. Lebih baik, kalian semua menyingkir dan biarkan aku menundukkan wanita pemberani ini," usul Setan KecilMuka Hitam pada rekan-rekannya.
"Kau maunya memang selalu enak sendiri, Setan Kecil," cela Setan Botak yang rupanya gemar berbicara. "Tapi, baiklah. Aku mengalah. Hanya ingat, Setan Kecil. Wanita ini bukan makanan empuk."
Usai berkata demikian, Setan Botak berbalik dan menyingkir dari situ. Dengus penuh ejekan dari Setan Kecil Mulia Hitam terdengar mengiringi ayunan langkahnya. Namun Setan Botak sama sekali tidak mempedulikannya. Dan langkahnya terus saja terayun. Kini hanya Setan Muka Tengkorak yang masih berdiri di situ.
"Mengapa kau tidak menyingkir juga, Setan Muka Tengkorak?" tanya Setan Kecil Muka Hitam bernada teguran.
"Hmh! Kau lupa atau memang dungu, Setan Kecil. Ada dua wanita di sini. Dan wanita yang satu lagi adalah bagianku!"
Setan Kecil Muka Hitam tidak menyambuti ucapan itu. Disadari, alasan yang diajukan Setan Muka Tengkorak tidak keliru. Apalagi hatinya belum yakin akan mampu menundukkan Melati dalam waktu singkat. Dan dia tahu, Melati bukan orang sembarangan. Sorot mata Melati yang mencorong tajam laksana mata harimau dalam gelap, merupakan satu bukti kalau tingkat kepandaiannya sangat tinggi.
Sementara itu, Melati tahu kalau Setan Muka Tengkorak mendapat kesempatan menyerang Puspa Kenaka. Dan tentu saja gadis itu mudah ditundukkan. Dan itu tidak bisa dibiarkan terjadi. Maka sebelum datuk bertubuh tinggi kurus itu melancarkan serangan, dialah yang melancarkan serangan lebih dulu.
"Hih!" Diiringi pekikan keras yang menyakitkan telinga, putri angkat Raja Bojong Gading itu membuka serangan ke arah Setan Muka Tengkorak dengan jurus 'Naga Merah Kibaskan Ekor'. Dia melompat menerjang lawannya. Dan selagi berada di udara, tubuhnya berbalik sambil mengibaskan kaki. Sasaran yang dituju tidak tanggung-tanggung lagi. Pelipis!
Wuttt!
"Hebat," puji Setan Muka Tengkorak. Datuk tinggi kurus ini benar-benar mengagumi serangan Melati yang tidak bisa dipandang ringan. Dari deru angin keras yang mengiringi serangannya, sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga yang terkandung.
Meskipun demikian, bukan berarti Setan Muka Tengkorak menjadi gentar. Malahan tanpa ragu-ragu, kibasan kaki Melati dipapaknya dengan tangan kiri. Dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Plakkk!
Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun tidak terelakkan lagi. Dan akibatnya, Melati yang berada di udara jadi terpental balik ke belakang. Sedangkan Setan Kecil Muka Hitam terhuyung-huyung. Namun dengan gerakan manis, kedua tokoh yang berbeda jenis kelamin dan golongan ini berhasil mematahkannya.
Jliggg!
Begitu Setan Muka Tengkorak berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya, kedua kaki Melati hinggap di tanah tanpa suara.
"Kau hebat, Wanita Liar!" dengus Setan Muka Tengkorak bernada memuji.
Pujian itu tampaknya keluar dari lubuk hati Setan Muka Tengkorak. Dan hal itu bukan tanpa alasan. Buktinya tangan kanannya yang berbenturan dengan kaki Melati terasa kesemutan. Bisa diperkirakan tenaga dalam yang dimiliki kekasih Dewa Arak itu tidak berada di bawahnya.
Tapi sebelum Setan Muka Tengkorak sempat melancarkan serangan balasan, Setan Kecil Muka Hitam telah mendahuluinya. Datuk berwajah hitam itu langsung mengirimkan serangan berupa cengkeraman ke arah ubun-ubun Melati.
Cit, cit, cit!
Decit angin tajam dari udara yang terobek serangan Setan Kecil Muka Hitam menjadi bukti nyata, betapa bahayanya serangan yang dikirimkannya. Namun Melati bukan wanita kosong. Bahkan waktu pertama kali muncul di dunia persilatan, julukan yang dimilikinya telah mampu mengguncangkan dunia persilatan. Maka menghadapi serangan seperti itu, dia tidak menjadi gugup. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkah tubuh.
Dan hasilnya memang seperti yang diharapkan. Serangan Setan Kecil Muka Hitam hanyamengenai tempat kosong, beberapa jari di depan sasaran. Setan Kecil Muka Hitam sudah menduga kalau Melati akan berhasil memunahkan serangannya. Maka begitu serangannya gagal, kembali dikirimkan serangan susulan. Tentu saja Melati pun tidak tinggal diam. Maka terjadilah pertarungan sengit yang tidak bisa dielakkan lagi.
Menggiriskan dan menarik sekali pertarungan yang berlangsung antara Melati melawan Setan Kecil Muka Hitam. Sehingga, Setan Muka Tengkorak sampai terlupa dengan maksudnya semula, menangkap Puspa Kenaka. Dijauhinya kancah pertarungan, dan menonton seperti halnya Setan Botak, Setan Tenaga Raksasa, dan yang lainnya.
Melati tahu, keadaan sama sekali tidak menguntungkan. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikeluarkannya ilmu andalan yang bernama 'Cakar Naga Merah'. Hal yang sama pun dilakukan Setan Kecil Muka Hitam. Langsung dikeluarkannya jurus 'Harimau' yang dimilikinya. Hal ini membuat pertarungan yang berlangsung jadi menarik bukan kepalang.
Sementara itu di arena pertarungan lainnya, pertarungan antara Dewa Arak melawan Mata Malaikat berlangsung tidak kalah menarik. Kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi itu sudah bertarung hampir lima belas jurus. Namun selama itu, masing-masing pihak belum ada yang mengeluarkan ilmu andalan. Meskipun demikian, pertarungan yang berlangsung tidak kalah seru.
Tak terasa, sepuluh jurus kembali telah berlalu. Jurus demi jurus berlangsung secara cepat, karena gerakan dua tokoh yang tengah bertarung itu memang cepat. Bahkan jalannya pertarungan pun tidak bisa dilihat jelas oleh orang-orang yang berkepandaian lebih rendah. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu yang saling belit, tapi terkadang saling pisah.
Meskipun sibuk menghadapi Mata Malaikat, Dewa Arak sesekali masih sempat mengalihkan perhatian pada Melati dan Puspa Kenaka. Dan hasil dari pengamatannya sekilas, menumbuhkan perasaan khawatir di hatinya. Disadarinya kalau keadaan tidak menguntungkan, begitu melihat lawan berada di atas angin.
Dengan jelas Dewa Arak melihat kalau Melati tetap saja belum mampu mendesak lawannya. Padahal, jelas-jelas terlihat kalau gadis berpakaian putih itu telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Dari sini bisa dilihat kalau lawan yang dihadapi Melati memiliki kepandaian tinggi.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak tidak tenang. Menghadapi satu orang lawan masing-masing saja, dia dan Melati belum mampu berbuat banyak setelah sekian lamanya. Padahal, di belakang masih menunggu calon lawan-lawan lainnya yang memiliki kepandaian tidak kalah hebat. Kalau saja mereka turun bersama-sama, Dewa Arak Melati, dan Puspa Kenaka dalam bahaya besar. Menyadari akan keadaan ini, Dewa Arak memutuskan mencari saat yang tepat untuk menyelamatkan Melati dan Puspa Kenaka.
"Hih!" Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak melempar tubuh ke belakang, kemudian bersalto. Dan di saat itulah pemuda berambut putih keperakan ini menghentakkan kedua tangannya ke arah Mata Malaikat, melepaskan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas menyengat meluruk ke arah Mata Malaikat. Laki-laki bermata mengerikan ini terkejut bukan kepalang. Tapi dengan ketenangan mengagumkan, tubuhnya dibanting ke tanah, kemudian berguling. Maka serangan Dewa Arak hanya mengenai tempat kosong.
Namun, Dewa Arak memang tidak memikirkan keberhasilan serangannya yang memang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan di saat tubuh lawannya masih bergulingan di tanah, dia melompat menerjang Setan Kecil Muka Hitam.
"Minggir, Melati!"
Selagi tubuhnya masih berada di udara, Dewa Arak cepat mengirimkan sebuah serangan. Laksana seekor garuda yang tengah menerkam mangsa, diserangnya Setan Kecil Muka Hitam.
Setan Kecil Muka Hitam terkejut bukan kepalang. Saat itu, serangan maut Melati baru saja dihindarinya. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengelak. Terpaksa serangan yang dilancarkan Dewa Arak dipapaknya dengan sampokan kedua tangannya.
Prattt!
"Akh!" Setan Kecil Muka Hitam terpekik, karena perasaan kaget. Betapa tidak? Tubuhnya kontan terpelanting. Bahkan kedua tangannya terasa sakit, seperti lumpuh akibat benturan tadi.
Namun, tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Bahkan ketika hinggap di tanah, kedua kakinya langsung digenjot. Sehingga tubuhnya kembali melenting ke udara dengan manisnya. Hanya saja kali ini arahnya tertuju pada Puspa Kenaka.
"Cepat, Melati!" seru Dewa Arak. Dan....
Tappp!
Secepat pergelangan tangan Puspa Kenaka dicekal, secepat itu pula dibawanya pergi dari situ. Sedangkan Puspa Kenaka meskipun terkejut, namun sama sekali tidak meronta. Dibiarkan saja tindakan yang dilakukan Dewa Arak.
Sementara itu, Melati langsung mengetahui maksud kekasihnya. Maka tanpa membuang-buang waktu, kakinya segera digenjot. Seketika tubuhnya melesat cepat mengikuti Dewa Arak.
Setan Botak, Setan Tenaga Raksasa, dan Setan Muka Tengkorak, serta semua anak buah gerombolan Mata Malaikat bergerak mengejar. Tapi, baru juga beberapa langkah....
"Tahan!"
Seketika itu pula semua ayunan langkah kaki terhenti. Dan tentu saja mereka semua tahu siapa orang yang mengeluarkan bentakan tadi, kalau bukan Mata Malaikat. Mau tak mau mereka harus mematuhinya.
"Biarkan mereka pergi," kata Mata Malaikat lagi. "Tidak usah dikejar. Kita masih punya urusan yang lebih penting. Dan cecoro-cecoro itu bisa diurus belakangan."
Seketika itu pula, semua kepala yang berada di situ sama-sama terangguk.
"Nah! Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan yang tertunda," kata Mata Malaikat lagi.
Seiring selesai ucapannya, Mata Malaikat mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, diikuti datuk-datuk dari empat penjuru dunia persilatan. Berjalan di belakang keempat orang ini, adalah anak buah Mata Malaikat.
"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas berat, Dewa Arak menghentikan larinya. Kelihatannya dia telah cukup jauh berlari dari tempat semula. Kini cekalannya pada tangan Puspa Kenaka dilepaskan.
"Berbahaya sekali...."
"Kau benar, Kang," sambut Melati, setelah juga menghentikan larinya.
"Kalau tidak mengalami sendiri, aku tidak akan percaya. Rombongan tokoh aliran hitam itu pergi berbondong-bondong dalam jumlah yang besar. Entah, apa yang mereka cari."
"Sepanjang yang kuketahui, mereka mencari-cari orang yang berjuluk Garuda Mata Satu," celetuk Puspa Kenaka.
Melati dan Arya mengangguk-anggukkan kepala.
'"Tapi rasanya janggal juga. Masak, hanya untuk mencari Garuda Mata Satu, pergi berbondong-bondong begitu?" bantah Arya kurang setuju.
"Dugaanku, seharusnya mereka berpencar dan membuat kelompok-kelompok. Karena dengan cara seperti itu, sudah pasti buruan akan lebih mudah ditemukan."
Puspa Kenaka langsung diam. Memang benar apa yang dikatakan Dewa Arak. Bahkan Melati juga terlihat mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menyetujui.
"Lalu, apa yang akan dikerjakan rombongan orang itu?" tanya Puspa Kenaka.
Sebenarnya, pertanyaan seperti itu tidak patut dikeluarkan. Masalahnya, Arya dan Melati sendiri tengah memikirkannya. Namun Dewa Arak bersikap bijaksana, tanpamencela pertanyaan yang dikeluarkan gadis berpakaian jingga itu.
"Aku sendiri tidak tahu, Puspa. Tapi yang jelas, dunia persilatan pasti akan geger. Bahaya besar telah mengancam. Aku tidak percaya, kalau rombongan yang dipimpin Mata Malaikat itu tidak mempunyai tujuan."
"Hhh...!" Melati menghela napas berat. Dirasakan adanya nada kekhawatir yang amat sangat dalam ucapan kekasihnya. "Kau benar, Kang. Gerombolan itu benar-benar berbahaya. Dengan jumlah sebanyak itu, mereka bisa melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kekacauan besar," sambut Melati.
Arya tidak langsung menanggapi ucapan Melati. Dia termenung sejenak, dengan dahi berkernyit dalam. "Siapa pun adanya Mata Malaikat itu, yang jelas mempunyai sebuah keinginan besar. Kalau tidak, untuk apa mempunyai demikian banyak anak buah?!"
"O, ya. Kau tahu empat orang yang tadi menghampiriku dan Puspa Kenaka, Kang?"
Arya menggelengkan kepala.
"Kau tidak mendengar pembicaraan mereka?" tanya Melati, lebih penasaran.
"Sayang sekali, Melati. Saat itu aku tengah bertarung dengan Mata Malaikat sehingga tidak sempat memperhatikan. Apalagi, saat itu kulihat kau belum bertarung. Jadi, perhatianku terpusat pada Mata Malaikat." jelas Arya, mengandung penyesalan.
"Mereka adalah datuk-datuk golongan hitam di empat penjuru angin, Kang," jelas Melati penuh semangat. "Yang bermuka hitam, datuk dari timur. Yang tinggi kurus, datuk dari barat. Yang berkepala botak, datuk dari selatan. Sedangkan yang terakhir datuk dari utara."
"Ah!" desah Arya kaget. Pemuda berambut putih keperakan ini memang terkejut bukan kepalang, karena nama besar datuk-datuk golongan hitam di empat penjuru mata angin itu sudah kerap didengarnya. Jadi, tadi Melati menghadapi salah seorang di antaranya? Pantas mereka demikian lihai! Desis Arya dalam hati.
"Kalau begitu, hal ini bukan merupakan urusan kecil lagi, Melati. Sudah amat berbahaya! Tidak mungkin Mata Malaikat menundukkan datuk-datuk golongan hitam di empat wilayah itu kalau tidak mempunyai sebuah tujuan besar!" duga Arya dengan nada suara semakin terdengar penuh kegelisahan.
"Mungkinkah rombongan itu hendak menyerbu kerajaan, Kang?" terka Melati.
"Dugaanmu mempunyai dasar kuat, Melati. Aku juga menduga seperti itu. Tapi, kerajaan mana yang akan diserbu. Begitu banyak kerajaan dan kadipaten yang dapat mereka tempuh dari tempat pertarungan kemarin. Hhh...! Sulit menebaknya."
Melati pun diam. Sementara, Arya menghentikan ucapannya. Puspa Kenaka yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar saja, belum juga membuka suara. Dan kini suasana di sekitar tempat itu pun hening.
"Kunci satu-satunya hanya pada Garuda Mata Satu. Aku yakin, dia mengetahui rencana Mata Malaikat, sehingga dicari-cari. Gerombolan orang berseragam coklat dan gerombolan Buaya Sungai Luwing telah menjadi bukti, betapa Mata Malaikat amat menginginkan Garuda Mata Satu ditangkap.
Padahal, untuk apa sih seorang Garuda Mata Satu bagi Mata Malaikat? Aku yakin kepandaiannya tidak terlalu berarti. Bahkan mungkin tidak berbeda jauh dengan Buaya Sungai Luwing. Jadi, masih amat jauh di bawah empat datuk itu," urai Arya panjang lebar.
"Kau benar, Kang. O, ya. Apakah tidak sebaiknya kita mencari Garuda Mata Satu?"
Lagi-lagi Arya tidak langsung menjawab. Dia tercenung, dengan sepasang mata menerawang jauh ke langit. "Bagaimana kita harus mencarinya, Melati. Kita buta sama sekali tentang ciri-cirinya. Andaikata bertemu pun, mungkin kita tidak mengenalinya," sahut Arya.
"Mengapa kau begini bodoh, Kang," cela Melati. "Kita bisa saja toh, mencari beritanya di sepanjang perjalanan."
Dewa Arak tersenyum sabar. "Pemikiran seperti itu sudah masuk dalam benakku, Melati. Tapi bagaimana dengan rombongan Mata Malaikat? Haruskah kita mencari Garuda Mata Satu, dan kita biarkan gerombolan Mata Malaikat merajalela?"
Kontan Melati menutup mulutnya dengan wajah memerah. Hal seperti itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya. "Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, lirih dan putus asa.
"Boleh aku bicara, Kang Arya, Melati," celetuk Puspa Kenaka, hati-hati.
Diliriknya wajah pemuda berambut putih keperakan itu sekejap. Memang sejak pertemuan pertama, Puspa Kenaka telah menaruh hati pada Dewa Arak. Hanya saja, hal itu mampu disembunyikannya. Namun diam-diam matanya selalu mencuri pandang wajah Arya bila ada kesempatan.
Bagai diberi perintah, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala pertanda membolehkan.
"Sebelumnya aku terlebih dulu meminta maaf. Bukannya aku sok pintar atau memihak salah satu di antara kalian berdua, tapi hanya ingin mengajukan pendapat saja," ucap Puspa Kenaka, hati-hati sekali.
"Katakanlah, Puspa. Tidak usah ragu-ragu. Kami bukan anak-anak kecil yang mudah marah oleh hal-hal sepele," sambut Arya memberi jaminan.
"Terima kasih, Kang Arya," ucap Puspa Kenaka yang membuat sebelah alis Melati naik ke atas. Entah mengapa bila ada gadis lain, apalagi yang memiliki wajah cantik, memanggil kekasihnya seperti itu, hati Melati jadi terasa panas.
"Begini, Kang Arya, Melati. Kalau menurut pendapatku, memang lebih baik kita mencari Garuda Mata Satu lebih dulu..."
"Kita?" potong Melati cepat "Jadi, kau juga akan ikut dengan kami?"
Wajah Puspa Kenaka kontan memerah mendengar ucapan Melati yang tiba-tiba. Bahkan Arya sendiri pun terkejut mendengar ucapan kekasihnya. Sampai-sampai pandangannya dialihkan ke arah Melati.
Seperti juga Melati, Dewa Arak merasa keberatan kalau Puspa Kenaka terus berada bersama mereka. Bagaimanapun juga, menempuh perjalanan hanya berdua dengan Melati, jauh lebih nikmat. Namun, Arya tidak sampai hati untuk mengutarakan keberatannya pada Puspa Kenaka. Maka karuan saja, Dewa Arak merasa kaget mendengar Melati menunjukkan keberatannya. Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa,Puspa Kenaka telah mendahuluinya.
"Melati.... Maksudku..., nggg.... Aku..., aku tidak bermaksud demikian. Dan, eh! Kalau kalian merasa keberatan, biarlah aku pergi."
Setelah terbata-bata mengucapkan kata-kata, Puspa Kenaka berbalik. Kemudian, kakinya melangkah meninggalkan Dewa Arak dan Melati. Melihat hal ini, Arya tidak tinggal diam.
"Puspa! Tunggu sebentar!" cegah pemuda berambut putih keperakan itu.
Sementara Melati hanya diam saja. Gadis berpakaian putih ini masih merasa bingung harus berbuat apa.
"Cegah dia pergi, Melati," pinta Arya pada Melati, ketika melihat Puspa Kenaka sama sekali tidak mempedulikan panggilannya dan terus berlari.
Melati tidak langsung melaksanakan permintaan kekasihnya. Malah sebaliknya, ditatapnya wajah Dewa Arak. Ada sorot penentangan di sana.
"Rupanya, kau telah terpikat oleh kecantikannya, Kang?! Mengapa tidak kau saja yang mengejarnya?!" tandas Melati, berapi-api dibakar rasa cemburu.
"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Melati!? Kau ingin pertolongan kita terhadapnya sia-sia? Dengan bekal kepandaian seperti itu, keselamatannya akan selalu terancam. Kau tahu sendiri, kan, kerasnya dunia persilatan?"
Pelan dan lembut Arya memberi penjelasan. Meskipun ada nada teguran di dalamnya, tapi terdengar halus. Hanya saja, Melati masih tetap diam. Meskipun disadari akan adanya kebenaran dalam ucapan kekasihnya, tapi perasaan cemburu membuatnya tidak langsung membenarkan kata-kata Arya.
"Percayalah, Melati. Puspa Kenaka tidak akan lama ikut dalam perjalanan bersama kita. Nanti kita akan menitipkannya di tempat yang aman," lanjut Arya penuh kesabaran. Dewa Arak memang sudah bisa menduga, mengapa kekasihnya bertindak seperti itu. "Maukah kau mencegahnya, Melati?"
Sambil berkata begjtu, Arya mengulurkan tangannya membelai rambut Melati.
"Huh! Kau memang paling pintar membujuk orang!" dengus Melati pura-pura marah. Kemudian, gadis itu melesat mengejar tubuh Puspa Kenaka yang sudah berada di tempat yang agak jauh.
"Ha ha ha...!" Arya hanya tertawa lunak. Dipandanginya punggung Melati yang telah berada beberapa tombak di depannya.
Melati mengerutkan alis ketika tidak menjumpai adanya Puspa Kenaka. Padahal, jelas-jelas gadis berpakaian jingga itu tadi dilihatnya menerobos bagian semak-semak yang lebat karena tertutup akar gantung dari sebuah pohon. Memang, Melati kini berada di sebuah perkebunan yang cukup luas yang banyak ditumbuhi semak dan pepohonan di sana sini.
Kembali Melati mengedarkan pandangan berkeliling. Namun tetap saja tidak melihat keberadaan Puspa Kenaka. Mustahil gadis berpakaian jingga itu bisa lenyap demikian cepat. Dan kini tak jauh di depannya melintang sebuah sungai. Sementara di kanan dan kirinya penuh pohon berduri. Melati yakin, bila Puspa Kenaka terus melarikan diri bakalan terkejar. Tapi kesimpulannya, gadis berpakaian jingga itu sengaja menyembunyikan diri!
Yakin akan dugaannya, Melati segera memusatkan pendengarannya. Dia yakin, apabila Puspa Kenaka masih berada di situ, setidak-tidaknya desah napasnya akan terdengar. Usaha Melati ternyata tidak sia-sia. Buktinya, kini terdengar suara desah napas yang asalnya dari atas pohon!
Kenyataan ini tidak mengejutkan Melati, kalau saja tidak mendapat kenyataan lain. Desah napas yang didengarnya, tidak berasal dari satu orang! Dan ternyata, paling sedikit berjumlah tiga orang!Tidak salahkah pendengarannya?
Didorong oleh rasa penasaran, membuat Melati mengarahkan pandangan ke arah pohon tempat suara desah napas itu berasal. Tapi baru saja menengadah....
Brrr...!
Seketika debu-debu halus menyambar ke arah wajah Melati. Dan dengan gerak cepat, gadis berpakaian putih ini menolehkan kepala ke samping, serta melindungi bagian wajah dengan kedua tangan. Mau tak mau. Melati juga memejamkan kedua matanya dan hanya pendengarannya yang kini digunakan. Maka saat itu sepasang telinganya menangkap suara-suara mendesing nyaring yang menyambar dari beberapa arah.
Melati terkejut bukan kepalang, karena berada dalam keadaan sulit. Adalah merupakan perbuatan yang tidak mungkin untuk membuka matanya, kalau tidak ingin debu-debu yang masih tersebar di udara itu akan masuk ke dalam matanya. Dan tentu saja Melati tidak menginginkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya Melati cepat memutuskan untuk menghadapi serangan tanpa membuka matanya. Perhatiannya dipusatkan pada kedua telinganya.
Dan bagi seorang yang memiliki kepandaian tinggi sepertinya, untuk melakukan hal demikian bukanlah pekerjaan sulit. Dari suara deru angin yang mengiringi tibanya serangan, Melati sudah tahu arahnya dan seberapa kuat tenaga dalam orang yang mengirimkannya. Dan atas penilaian yang didapat, tanpa ragu-ragu lagi dia segera bertindak.
Melati tidak mau bertindak sembrono. Padahal, dia tahu kalau tenaga dalam orang yang mengirimkan serangan-serangan gelap itu tidak berapa kuat. Bahkan kalau ditangkis, kedua tangannya tidak akan terluka. Sekalipun, andaikata benda-benda yang meluncur itu terdiri dari benda-benda tajam! Maka, sekuat tenaga diusahakannya untuk mengelakkan setiap serangan yang datang.
Tapi serangan yang meluncur ke arahnya terlalu banyak dan demikian bertubi-tubi. Akhirnya, sebuah serangan yang menuju ke arah leher tidak bisa dielakkannya. Maka, mau tak mau serangan itu terpaksa dipapak dengan sampokan tangan kanannya. Dan....
Darr!
Melati terjingkat ke belakang bagai orang disengat ular berbisa. Betapa tidak? Benda yang dikirimkan lawan ternyata meledak ketika berbenturan dengan tangannya! Seketika itu pula, rasa sakit dan ngilu menjalari tangan. Begitu menyengat!
Belum lagi Melati sempat berbuat sesuatu, hidungnya mencium bau amis yang memuakkan dan memualkan perut. Bahkan membuat kepala pening dan seluruh tubuh lemas. Seketika itu pula,Melati langsung tahu apa yang terjadi.
"Racun...," desis Melati penuh perasaan geram. "Manusia-manusia licik!"
Tapi, Melati tidak bisa menghamburkan amarahnya. Gadis itu masih merasakan sakit pada tangannya yang masih menyengat. Apalagi ditambah rasa pusing dan lemas. Dan kini, tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari. Dalam keadaan terhuyung, Melati memutar otak mencari asal racun itu. Hanya dalam waktu sebentar saja, sudah bisa diketahui dari mana asalnya. Dan ternyata, asalnya tak lain dari benda yang meledak tadi ketika berbenturan dengan tangannya!
Jliggg!
Saat Melati dalam keadaan masih terhuyung-huyung, penyerang-penyerang gelap yang mengirimkan benda-benda beracun itu mendaratkan kaki di tanah. Ketika akhirnya berhasil berdiri, meskipun tidak tegak, Melati berusaha melebarkan sepasang matanya. Dia ingin tahu orang-orang yang telah membokongnya. Memang, suasana untuk membukamata saat itu sudah aman.
Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati Melati ketika ternyata tidak mampu melihat jelas para penyerangnya. Wajah mereka tampak berbayang-bayang. Bahkan jumlah mereka pun sukar dihitung.
"Celaka," desis Melati pelan. Disadari kalau hal itu akibat pengaruh racun lawannya. Dan ini membuat Melati cemas. Apalagi ketika tubuhnyaterasa semakin melemas. Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengerahkan tenaga dalam. Namun, hasilnya malah membuat kecemasannya bertambah. Betapa tidak?
Rasa pusing yang melanda semakin membesar, ketika hal itu dilakukan. Keadaan di sekitarnya seperti berputar, sehingga tanpa sadar dia memegangi kepalanya.
"Ha ha ha...! Lihat! Kuda betina liar yang ini pun sudah hampir jinak."
Terdengar oleh Melati salah seorang dari para pembokongnya berbicara, dan langsung disambut tawa rekan-rekannya.
"Betapa beruntungnya kita. Yang diburu garuda tua dan telah ompong giginya, tapi yang didapat malah dua ekor kuda betina liar! Ha ha ha...! Sungguh menggembirakan hati," sambung suara lain.
Ucapan-ucapan para pembokongnya membuat Melati mengerti, mengapa Puspa Kenaka bisa raib begitu saja. Rupanya, gadis berpakaian jingga itu telah ditangkap gerombolan pembokong yang berada di atas pohon.
Sementara itu, para pembokong Melati yang ternyata berjumlah tiga orang itu terus menghampiri Melati. Sikap mereka tampak tidak terburu-buru, dan tanpa kewaspadaan sama sekali. Hal ini menandakan kalau mereka sudah tidak menganggap Melati sebagai gadis berbahaya.
Sikap ketiga orang yang rata-rata berpakaian merah dan berwajah mirip satu sama lain itu bukan tanpa alasan sama sekali. Mereka semua telah yakin akan keampuhan racun yang dimiliki Dan kelihatannya, keyakinan itu sama sekali tidak keliru.
Semakin lama, keadaan Melati semakin parah. Bahkan rasanya sudah tidak mampu berdiri tegak lagi. Tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri. Sudah dapat dipastikan, tanpa diserang pun tak lama lagi Melati akan roboh sendiri.
"Manusia-manusia keji! Lepaskan wanita-wanita itu!"
Di saat kesadaran yang dimilikinya mulai melenyap, Melati masih sempat mendengar adanya bentakan keras. Dengan pandangan yang telah semakin mengabur, Melati mencoba mengenalinya. Dan kalau menilik dari ucapannya, pemilik suara itu bermaksud menolong dia dan Puspa Kenaka.
Tapi, Melati tidak mampu mengenalinya. Yang terlihat hanyalah sosok tubuh tidak jelas, berwarna kecoklatan. Tak lama kemudian, semuanya gelap pekat. Dan saat itu pula, Melati telah pingsan, ambruk di tanah.
Melati sama sekali tidak sadar kalau begitu tubuhnya roboh, sosok bayangan coklat itu telah berdiri berhadapan dengan tiga orang berpakaian merah yang memiliki wajah dan potongan tubuh mirip. Mereka mempunyai wajah mirip raksasa, tapi tubuh yang dimiliki kerdil.
"Rupanya kau, Garuda Mata Satu!" kata salah seorang dari tiga raksasa kecil berpakaian merah. Orang ini mempunyai sebuah tahi lalat besar di dahinya. "Mimpi apa kami semalam, sehingga bisa mendapatkan keberuntungan yang bertubi-tubi."
Usai berkata demikian, laki-laki bertahi lalat di dahi itu meletakkan tubuh Puspa Kenaka di tanah. Memang, sejak tadi tubuh gadis berpakaian jingga itu dipondong dengan kedua tangannya. Baru setelah itu, perhatiannya dialihkan lagi ke arah Garuda Mata Satu.
Sosok bayangan coklat itu memang tak lain dari Garuda Mata Satu. Dengan matanya yang hanya sebelah, ditatapnya tiga sosok tubuh kerdil yang berdiri di hadapannya.
"Aku sama sekali tidak menyangka kalau Tiga Raksasa Lembah Mayat adalah penjahat hina yang hanya berani menghina wanita tidak berdaya," geram Garuda Mata Satu sambil merayapi tubuh Melati dan Puspa Kenaka.
"Tutup mulutmu, Garuda Mata Satu! Nanti kubutakan matamu yang sebelah lagi!" bentak salah seorang dari Tiga Raksasa Lembah Mayat yang bergigi tonggos.
"Aku ragu, kalau kau akan mampu melakukannya! Setahuku perbuatan yang bisa kalian lakukan adalah menjilat pantat Mata Malaikat!" ejek Garuda Mata Satu, keras.
"Keparat! Kubutakan matamu yang satu lagi, Garuda Picak! Hih!"
Raksasa Lembah Mayat yang bergigi tonggos itu rupanya sudah tidak bisa menahan sabarnya lagi. Dia langsung melompat ke depan. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya bergulingan di tanah. Lalu....
Wuttt!
Ketika telah berada di dekat Garuda Mata Satu, raksasa kecil bergigi tonggos itu berhenti berguling dan langsung melancarkan serangan berupa sapuan kaki kanan.
Kelihatannya, serangan itu tidak bisa dianggap ringan. Karena meskipun kaki itu kecil, tapi kekuatan yang terkandung di dalam sapuannya sanggup mematahkan batang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelukan orang dewasa. Bisa dibayangkan, bagaimana akibatnya kalau kaki manusia yang dijadikan sasarannya!
Garuda Mata Satu pun tahu kedahsyatan serangan lawan. Itulah sebabnya, dia tidak berani bertindak main-main. Buru-buru kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas. Maka, serangan lawannya hanya menyambar tempat kosong.
Tapi, raksasa kecil bergigi tonggos itu pun bukan orang bodoh. Sebaliknya, dia malah telah memperhitungkan tindakan lawan terhadap serangannya.
Maka ketika Garuda Mata Satu mengelak dengan cara melompat ke atas, langsung saja dikirimkan serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas, mempergunakan kaki kiri.
Zebbb!
Garuda Mata Satu tercekat melihat serangan lanjutan ini. Apalagi, ketika mengetahui kalau bagian yang terancam adalah selangkangannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Rasanya, sulit baginya untuk dapat mengelak. Hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan nyawanya, yakni menangkis!
"Hih!" Garuda Mata Satu menghentakkan kakinya ke bawah.
Blakkk!
Benturan antara dua telapak kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya, kedua kaki itu sama-sama kembali ke tempat semula.
"Hup!" Begitu kedua kaki Garuda Mata Satu mendarat di tanah, raksasa kecil bergigi tonggos pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, laki-laki bertubuh cebol ini kembali menerjang Garuda Mata Satu.
Tapi dalam serangan kali ini, raksasa kecil bergigi tonggos itu tidak bertangan kosong. Di tangan kanannya kini telah tergenggam sebuah ganco berwarna hitam kelam. Dan dengan senjata di tangan, digempurnya Garuda Mata Satu.
Melihat lawan telah menggunakan senjata, Garuda Mata Satu tidak berani gegabah. Disadari kalau kepandaian lawan belum tentu berada di bawahnya. Maka senjata andalannya pun dicabut. Sebuah cakar baja bergagang dari gading. Tidak nampak adanya golok besar atau senjata lain pada dirinya.
Memang, cakar baja inilah yang menjadi senjata andalannya. Kini pertarungan jadi jauh lebih menarik. Suara decit angin tajam dari udara yang terobek oleh setiap gerakan dua senjata itu, menyemaraki pertarungan. Beberapa kali bunyi berdentang nyaring diiringi berpercikannya bunga api tercipta, manakala senjata-senjata itu saling berbenturan.
Dalam waktu tak berapa lama, dua puluh jurus telah terlewat. Dan selama itu, belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Dari sini bisa diperkirakan kalau tingkat kepandaian kedua belah pihak berimbang.
Kenyataan ini membuat sisa dari Tiga Raksasa Lembah Mayat tidak sabar. Kedua orang ini tahu, kalau dibiarkan, Garuda Mata Satu belum tentu bisa terdesak. Bahkan, pertarungan masih berlangsung seru dan sengit.
Akhirnya ketika pertarungan telah menginjak jurus ketiga puluh lima, dua raksasa kecil ini tidak bisa menahan sabar lagi. Diiringi pekikan yang menyakitkan telinga, mereka segera terjun dalam kancah pertarungan dan langsung menggunakan senjata andalan masing-masing. Sebuah ganco!
Karuan saja, munculnya bantuan bagi lawannya membuat Garuda Mata Satu kelabakan. Betapa tidak? Menghadapi seorang lawan saja belum mampu berbuat banyak. Apalagi kini ditambah dua orang yang rata-rata memiliki kepandaian setingkat. Maka hanya dalam beberapa gebrakan saja dia mulai terhimpit!
Gulungan sinar senjata cakar Garuda Mata Satu yang semula luas dan mengungkungi sekujur tubuhnya laksana sebuah benteng, kini perlahan mulai mengecil. Dan semakin lama mereka bertarung, Garuda Mata Satu tampaknya semakin terjepit.
Serangan-serangan Garuda Mata Satu semakin berkurang. Sedangkan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan yang dilakukan semakin bertambah sambil bermain mundur. Sudah dapat dipastikan, apabila dibiarkan terus, Garuda Mata Satu akan roboh di tangan lawan-lawannya.
Untungnya, Tiga Raksasa Lembah Mayat itu sepertinya tidak ingin menewaskan Garuda Mata Satu. Buktinya setiap serangan yang dilancarkan, tidak pernah ditujukan pada bagian yang mematikan. Sedikit banyak, hal ini membuat sasaran serangan terhadap Garuda Mata Satu semakin berkurang.
Kini pertarungan telah menginjak jurus keempat puluh. Dan sekarang, Garuda Mata Satu sama sekali tidak mampu mengirimkan serangan balasan, kecuali hanyamengelak dan menangkis. Rupanya, kedua belah pihak yang bertarung itu mencurahkan seluruh perhatian pada pertarungan. Sehingga, tanpa disadari di tempat itu telah muncul seorang pendatang baru.
Sang pendatang itu mula-mula memperhatikan jalannya pertarungan. Tapi ketika melihat sesosok tubuh ramping berpakaian putih tergolek di tanah, segera perhatiannya dialihkan. Dengan sekali ayunan kaki, sang pendatang yang tak lain Arya alias Dewa Arak telah berada di dekat tubuh Melati, gadis berpakaian putih yang tubuhnya tergolek tak berdaya. Padahal, jarak antara Dewa Arak dengan kekasihnya tak kurang dari sepuluh tombak!
Sementara itu, begitu telah berada di dekat kekasihnya, Dewa Arak langsung saja membungkuk. Dengan tarikan wajah penuh perasaan khawatir, diperiksanya keadaan Melati. Segera didengarnya denyut nadi dan detak jantung gadis berpakaian putih itu.
Sebentar saja Dewa Arak memeriksa keadaan Melati. Dan kini sorot kecemasan sudah tidak terlihat lagi di wajahnya ketika tahu kalau keadaan Melati sama sekali tidak membahayakan. Dan ternyata, kekasihnya itu hanya terkena racun pembius yang membuatnya tidak sadar diri untuk beberapa lama. Hanya dengan dorongan hawa murni, racun itu bisa diusir keluar.
Tapi, Dewa Arak tidak terburu-buru untuk melakukannya. Pandangannya kini dialihkan kembali ke arah pertarungan. Beberapa saat lamanya pandangannya terpaku di sana. Menilik dari kernyitan pada dahinya, bisa diketahui kalau pemuda berambut putih keperakan ini tengah berpikir keras ketika ada sesuatu yang mengganggu benaknya. Arya memang tengah menebak, pihak mana yang menjadi kawan dan mana lawan.
Dewa Arak tahu, salah satu pihak yang tengah bertarung jelas penolong Melati dan Puspa Kenaka. Dan pemuda berambut putih keperakan itu sempat juga melihat tubuh Puspa Kenaka yang tergolek di tempat terpisah agak jauh darinya. Tampaknya, Arya tidak khawatir akan keselamatan Puspa Kenaka. Dia tahu, Puspa Kenaka pasti juga masih hidup. Maka, Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya pada pertarungan yang tengah berlangsung.
Sementara itu, keadaan Garuda Mata Satu semakin bertambah gawat. Dia sudah semakin terpojok! Bahkan beberapa kali ujung ganco lawan menggores kulitnya. Kendati tidak dalam, tapi cukup membuat darah mengalir. Dan karena luka-luka yang tercipta cukup banyak, sekujur tubuh Garuda Mata Satu dibanjiri darah!
Sebenarnya luka-luka yang diderita sama sekali tidak parah. Tapi karena Garuda Mata Satu tidak mempunyai kesempatan untuk menghentikan darah yang semakin banyak mengalir, tenaganya jadi berkurang cepat.
Kini perlawanan yang diberikan Garuda Mata Satu pun mengendur. Sebaliknya, lawan-lawannya semakin bersemangat melihat keadaannya yang semakin payah. Tidak sampai tiga jurus lagi, laki-laki bermata satu ini pasti akan roboh di tangan lawannya.
"Sebentar lagi julukan Garuda Mata Satu tidak terpakai, Manusia Dungu. Karena matamu yang tinggal sebelah itu akan kami congkel keluar! Ha ha ha...!" ejek raksasa kecil bergigi tonggos itu penuh bernada kemenangan.
Ucapan dan tawa laki-laki bertubuh cebol itu segera disambut tawa bergelak dari kedua rekannya yang bernada kemenangan. Masih dengan tawa yang belum putus, mereka terus merangsek Garuda Mata Satu.
Tanpa disadari raksasa kecil bergigi tonggos, ucapannya justru telah membuat Dewa Arak tahu pihak yang harus dibantu. Pihak yang telah menyelamatkan Melati dan Puspa Kenaka dari bahaya yang mengerikan.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak langsung melesat ke arah pertarungan. Jarak antara pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini dengan kancah pertarungan, tidak kurang dari tujuh tombak.
Namun hanya sekali genjot dan berjumpalitan di udara sekali, kancah pertarungan telah berhasil dijangkaunya. Dari atas, laksana seekor burung garuda yang tengah menerkam mangsa, Dewa Arak meluruk ke arah Tiga Raksasa Lembah Mayat. Saat itu kebetulan mereka tengah merangsek Garuda Mata Satu yang telah semakin terpojok.
Wurrr!
Deru angin keras yang mengawali tibanya serangan Dewa Arak, membuat Tiga Raksasa Lembah Mayat menyadari akan adanya ancaman bahaya. Maka terpaksa serangan terhadap Garuda Mata Satu dibatalkan. Dan sebagai gantinya, ganco ditangan mereka digunakan untuk memapak serangan mendadak itu.
Wut, wut, wut!
Tak, tak, tak!
Tubuh Tiga Raksasa Lembah Mayat langsung terhuyung-huyung ke belakang ketika senjata mereka berbenturan dengan tangan Dewa Arak. Bahkan tangan-tangan mereka pun terasa sakit-sakit, seperti lumpuh. Sehingga, hampir saja cekalan terhadap senjata itu terlepas.
Berbeda dengan Tiga Raksasa Lembah Mayat yang terhuyung-huyung dengan mulut menyeringai kesakitan, Dewa Arak sama sekali tidak menderita apa-apa. Bahkan dengan enaknya hinggap di depan Garuda Mata Satu.
"Beristirahatlah sebentar, Kisanak. Biar aku yang menghadapi mereka. Dan...."
Dewa Arak tidak bisa meneruskan ucapannya lagi, karena Tiga Raksasa Lembah Mayat sudah keburu melancarkan serangan. Tiga laki-laki setengah tua bertubuh cebol itu meluncurkan ganco ke arah bagian tubuh Dewa Arak yang mematikan.
Wut, wut, wut!
Sikap Dewa Arak terlihat tenang. Serangan itu ditunggunya hingga dekat. Baru setelah itu, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan senjata lawan.
Laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di antara kelebatan sinar ganco. Entah berapa jurus lamanya Dewa Arak bertindak hanya mengelak mempergunakan ilmu meringankan tubuh seperti itu. Sekali pun tak ingin balas menyerang. Karuan saja hal ini membuat Tiga Raksasa Lembah Mayat menjadi murka bukan kepalang, karena merasa dipandang remeh.
Bagai telah sepakat sebelumnya, mendadak ketiga orang itu menghentikan gerakan masing-masing. Kemudian, mereka melangkah mundur. Tentu saja hal inimembuat Arya heran. Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini pun menghentikan gerakan. Diperhatikannya dengan seksama semua tindakan yang dilakukan Tiga Raksasa Lembah Mayat.
Sementara itu, Tiga Raksasa Lembah Mayat malah berdiri berjajar dengan tangan saling bergenggaman satu sama lain. Dengan demikian, orang yang berada di tengah harus menancapkan ganco di depan. Sedangkan, dua rekannya tetap memegang senjata andalan itu. Yang di kiri dengan tangan kiri, sedangkan yang di kanan mempergunakan tangan kanan. Dan bagai diatur saja, laki-laki kerdil di sebelah kiri menghadapkan ujung ganconya ke bumi.
Sedangkan yang di sebelah kanan, ke langit. Kelihatan aneh sekali. Tindak keanehan yang dilakukan, tidak hanya sampai di situ. Dari mulut-mulut mereka terdengar gumaman-gumaman yang aneh terdengar di telinga. Ucapan-ucapan yang tidak bisa dimengerti dan sulit ditangkap jelas. Dan semakin lama, suara yang lebih mirip gumaman itu semakin cepat serta keras diucapkan.
Semula, Dewa Arak merasa heran melihat kelakuan lawan-lawannya. Tapi, keheranannya langsung berganti dengan kekagetan, ketika pemuda berambut putih keperakan ini merasakan perubahan pada suasana di sekitarnya. Dewa Arak melihat suasana di sekitar tempat itu berubah menyolok!
Semula, disadari betul kalau saat itu hampir tengah hari. Walaupun saaat itu matahari bersembunyi di balik awan, namun suasana tetap cerah. Tapi seiring semakin keras dan cepatnya ucapan-ucapan aneh yang keluar dari mulut Tiga Raksasa Lembah Mayat, tiba-tiba saja langit langsung gelap pekat. Awan hitam tampak bergumpal-gumpal. Angin pun berhembus kencang, membawa hawa dingin yang mampu membuat orang sesakti Dewa Arak meremang bulunya! Yang lebih mengerikan lagi, kilat langsung menyambar-nyambar!
Dewa Arak agak gugup menghadapi ancaman ini. Apalagi ketika sekujur tubuhnya terasa mulai lemas. Sekujur otot, urat, dan tulangnya seperti lumpuh, sehingga tenaga dalamnya tidak mampu dikerahkan.
"Sihir...!" desis hati Dewa Arak ketika mulai menyadari adanya Ketidak beresan ini. Setelah menyadari kalau semua keanehan ini tercipta karena pengaruh sihir lawan, Dewa Arak pun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan. Seluruh perhatiannya seketika dipusatkan.
Hasilnya, pertarungan yang aneh pun berlangsung. Tiga Raksasa Lembah Mayat yang bergandengan tangan sambil mengucapkan rangkaian kata-kata dengan nada dan irama yang berganti-ganti, sedangkan Dewa Arak tetap berdiri tegak. Kedua tangannya tampak terlipat di bahu, dengan mata dipejam dan kepala tertunduk.
Dewa Arak berusaha sekuat tenaga mengerahkan tenaga batinnya, sehingga sekujur wajahnya dipenuhi keringat sebesar butir-butir jagung. Namun, tetap saja usahanya sia-sia. Semua keanehan yang mempengaruhinya tetap saja tidak mampu terusir. Banyak hal yang menyebabkan Dewa Arak tidak berhasil mengusir pengaruh sihir lawan. Yang jelas, jalannya pertarungan tampaknya tidak adil.
Dewa Arak yang baru mulai mengadakan perlawanan, namun saat itu tindakan lawan telah mempengaruhinya. Hal lainnya adalah, pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengandalkan kekuatan batin belaka! Dan seiring kegagalan usaha perlawanannya, pengaruh ilmu Tiga Raksasa Lembah Mayat pun semakin menjadi-jadi. Dewa Arak mulai menggigil kedinginan, karena angin yang berhembus ternyata juga membawa butir-butir es. Banyak butiran es yang menempel di tubuh Dewa Arak.
Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan. Keampuhan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'nya tidak terlihat sama sekali. Bahkan sambaran-sambaran kilat pun sudah hampir menjilat tubuh Dewa Arak.
Di saat-saat tubuhnya sudah tidak berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, Dewa Arak teringat akan gucinya. Maka seluruh sisa kemampuan yang dimilikinya dikerahkan untuk mengambil gucinya yang tersampir di punggung. Usaha Dewa Arak sama sekali tidak sia-sia. Guci araknya berhasil digenggam dan buru-buru dituangkan ke mulut, walaupun dengan susah payah.
Gluk... Gluk... Gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanannya menuju perut. Sesaat kemudian, hawa hangat pun berputaran di sekitar perut Dewa Arak, lalu perlahan-lahan naik ke atas. Dan seperti biasanya, kedudukan kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap lagi, oleng sana oleng sini.
Pada saat itu, perkataan-perkataan Tiga Raksasa Lembah Mayat terdengar semakin cepat dan keras di telinga Dewa Arak. Seakan-akan, di dalam kepalanyalah tiga orang itu berkata-kata seperti itu.
"Arrrggghhh...!" Dalam usahanya untuk menghilangkan suara Tiga Raksasa Lembah Mayat yang seperti telah memenuhi isi kepalanya, Dewa Arak meraung keras sekali.
Akibatnya, suasana di sekitar tempat itu langsung bergetar. Memang begitu dahsyat raungan Dewa Arak. Dan ternyata, akibatnya juga begitu menggiriskan. Tubuh Tiga Raksasa Lembah Mayat langsung terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah. Dari mulut mereka tampak menyembur keluar darah segar. Jelas, mereka telah mengalami luka dalam yang amat parah! Tubuh tiga laki-laki cebol itu menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati!
"Hhh...!" Arya menghela napas lega. Dan kini keadaan alam telah kembali seperti biasa. Cerah, tidak hitam pekat seperti sebelumnya. Tidak ada lagi kilat atau hembusan angin dingin. Semuanya telah sirna, seiring tewasnya Tiga Raksasa Lembah Mayat.
Dewa Arak menatap mayat tiga lawannya yang berkubang darahnya sendiri. Dia tahu, Tiga Raksasa Lembah Mayat tewas karena kalah tenaga dalam. Tiga laki-laki cebol itu mencoba mengalahkan Dewa Arak dengan mempergunakan ilmu sihir yang berdasar pada pengaruh suara. Maka ketika Dewa Arak berteriak disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya, mereka kontan tewas. Di samping karena tenaga sendiri yang membalik, serangan Dewa Arak juga ikut membantu kematian mereka.
Hanya sebentar saja, Arya memperhatikan mayat ketiga lawannya. Sekejap kemudian, tubuhnya berbalik. Yang pertama kali terlihat adalah tubuh Garuda Mata Satu yang tergolek lemah. Rupanya, laki-laki bermata satu ini pingsan akibat pengaruh teriakan Dewa Arak. Kalau Garuda Mata Satu saja yang tidak dituju bisa pingsan, tak aneh kalau Tiga Raksasa Lembah Mayat tewas! Teriakan Dewa Arak memang ditujukan pada mereka.
Arya menghampiri tubuh Garuda Mata Satu. Lalu, diurut-urutnya tengkuk Garuda Mata Satu. Hanya dalam beberapa kali urut, laki-laki bermata satu ini mulai mengeluh. Tanpa banyak cakap, Dewa Arak pun meninggalkannya untuk menghampiri Melati. Dia tahu, tak akan lama lagi Garuda Mata Satu akan sadar sepenuhnya.
Begitu tiba di dekat tubuh Melati, Dewa Arak langsung duduk bersila. Kini kedua telapak tangannya ditempelkan di tubuh kekasihnya. Pemuda berambut putih keperakan ini akan mengusir hawa beracun dalam tubuh Melati dengan dorongan tenaga dalamnya.
Di saat Dewa Arak sibuk mengusir hawa beracun di tubuh Melati, Garuda Mata Satu tampak mulai sadar. Sesaat, sepasang matanya terpaku pada Dewa Arak. Tapi, kemudian dialihkan ketika melihat sosok tubuh ramping dari gadis berpakaian jingga.
"Gadis berpakaian jingga?" Garuda Mata Satu tersentak. "Mengapa aku demikian pelupa? Bukankah Kartugi mengatakan kalau Puspa Kenaka adalah seorang gadis berpakaian jingga? Apakah gadis yang tengah tergolek itu Puspa Kenaka?"
Ingatan itu membuat Garuda Mata Satu bergegas bangkit dan menghampiri tubuh gadis berpakaian jingga yang memang tak lain dari Puspa Kenaka. Diperiksanya sejenak keadaan gadis itu. Ternyata sama sekali tidak menderita luka dan hanya tertotok lumpuh. Maka buru-buru Garuda Mata Satu membebaskan totokannya.
"Ayah," ucap Puspa Kenaka ketika telah terbebas dari totokannya.
Kontan sepasang mata Garuda Mata Satu terbelalak mendengar sapaan itu. "Kau..., kau memanggilku ayah? Jadi..., kau Puspa Kenaka?" tanya laki-laki bermata satu itu dengan suara tersekat di tenggorokan, karena perasaan haru yang menggelegak.
"Be... benar, Ayah. Akulah Puspa Kenaka," Jawab gadis berpakaian jingga itu.
"Puspa Kenaka, Anakku...!" Kini, Garuda Mata Satu tidak ragu-ragu lagi mengucapkannya. Direngkuhnya tubuh putrinya penuh kasih sayang. Maka, Puspa Kenaka pun balas memeluk tak kalah erat.
Cukup lama juga ayah dan anak ini berada dalam suasana haru bercampur gembira. Dan kini Garuda Mata Satu-lah yang lebih dulu melepaskan rangkulannya.
"Aku membawa berita yang tidak menyenangkan untukmu. Puspa," ujar Garuda Mata Satu hati-hati. "Sebenarnya, aku tidak ingin menyampaikannya sekarang, karena takut mengganggu suasana pertemuan ini."
"Apakah itu berita mengenai Ki Kartugi, Ayah?" terka Puspa Kenaka.
Seketika itu pula wajah Garuda Mata Satu berubah. Tapi dengan pasti walaupun lambat-lambat, kepalanya terangguk untuk membenarkan dugaan putrinya.
"Aku sudah tahu, Ayah. Ki Kartugi telah tewas bukan?" kata Puspa Kenaka lagi.
"Heh?! Dari mana kau tahu, Puspa?" tanya Garuda Mata Satu tanpa menyembunyikan perasaan kagetnya.
"Aku melihat semua kejadian yang berlangsung sampai beliau tewas. Semula, aku ingin berada di sampingnya sebelum menghembuskan napas terakhir. Tapi saat itu, aku baru tahu kalau yang berdiri di sampingnya adalah Ayah sendiri. Padahal, aku tengah membencimu. Jadi, aku hanya bisa menatap dari kejauhan dengan hati menyesal."
"Heh?!" untuk yang kesekian kalinya Garuda Mata Satu tersentak kaget. "Kau membenciku? Mengapa, Puspa?"
"Karena Ayah tidak pernah sudi menjumpaiku!" tandas Puspa Kenaka, keras. Tampak jelas nada kepenasaran dalam ucapan, tarikan wajah, dan sorot matanya. "Ayah tidak mengakuiku sebagai anak."
"Kau keliru, Puspa! Justru karena menyayangimu, aku menitipkanmu pada Ki Kartugi. Dia adalah sahabat baikku. Maksudku, agar kau tumbuh menjadi anak baik. Aku khawatir akan perkembanganmu, kalau kau tinggal bersamaku," jelas Garuda Mata Satu panjang lebar.
Puspa Kenaka kontan terdiam. Jawaban yang diberikan Garuda Mata Satu tidak berbeda dengan jawaban Ki Kartugi ketika hal itu ditanyakannya. Dan sekarang baru disadari kalau alasan itu ada benarnya. Ayahnya adalah seorang kepala perampok! Meskipun kepala perampok yang berbeda dengan perampok lain, tapi tetap saja lingkungannya kasar.
"Ah! Kiranya kau ayah Puspa Kenaka, Ki. Maaf. Kami secara tidak sengaja mendengarkan pembicaraan kalian," kata Arya, sambil tersenyum lebar.
Di sebelah pemuda berambut putih keperakan itu berdiri Melati. Rupanya gadis berpakaian putih ini telah sembuh dari pengaruh racun yang bersemayam dalam tubuhnya.
"Heh?! Jadi kalian telah saling mengenal rupanya?!" sambut Garuda Mata Satu tak kalah gembira. Ditatapnya wajah putrinya, Melati, dan Arya berganti-ganti.
"Di antara sahabat, tidak usah banyak peradatan. Ceritakan, bagaimana kau bisa bersahabat dengan pemuda dan pemudi yang gagah dan cantik ini, Puspa."
"Merekalah yang menyelamatkan nyawaku, Ayah," jelas Puspa Kenaka.
Kemudian secara singkat, diceritakan semua kejadiannya. Garuda Mata Satu mengangguk-anggukkan kepala ketika Puspa Kenaka menyelesaikan ceritanya.
"Jadi, dugaanku sama sekali tidak keliru. Kau adalah Dewa Arak! Ah! Bagaikan mimpi saja bisa bertemu tokoh yang menggemparkan dunia persilatan seperti dirimu, Dewa Arak!"
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki," ucap Arya malu-malu. "O, ya. Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Ki?"
"Tentu saja boleh, Dewa Arak! silakan, jangan malu-malu!"
"Begini, Ki. Aku hanya ingin bertanya dua hal. Pertama, mengapa Mata Malaikat sepertinya sangat memerlukan dirimu. Yang kedua, apakah kau tahu tujuan Mata Malaikat sehingga demikian banyak memiliki anak buah. Kau telah mendengar sendiri cerita Puspa Kenaka, kalau mereka berbondong-bondong menuju ke arah barat. Entah apa yang akan dilakukan."
Garuda Mata Satu tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan sebaliknya malah menghela napas berat. Seakan-akan, ada sesuatu beban yang menghimpit batinnya.
"Begini, Dewa Arak. Mata Malaikat memang mempunyai keinginan besar. Dia ingin menjadi raja. Dan yang lebih gila lagi, yang diinginkannya adalah sebuah kerajaan besar! Untuk itulah, banyak tokoh aliran hitam ditundukkannya untuk dijadikan anak buah."
Laki-laki bermata satu ini menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Kerajaan terbesar di wilayah barat ini adalah Kerajaan Mandau. Sementara, aku adalah bekas pengawal khusus Kerajaan Mandau. Jadi, dia bermaksud memperalat diriku, apabila kelak kekuatannya telah cukup untuk menyerbu Kerajaan Mandau. Sebagai seorang pengawal khusus, tentu saja aku tahu seluk-beluk Istana Mandau."
"Lalu, mengapa kau bisa menjadi kepala perampok, Ki?" celetuk Melati.
"Karena, waktu itu kerajaan dipimpin seorang raja yang lalim dan hanya mementingkan diri sendiri. Di mana-mana terjadi kelaparan, sementara raja dan para pejabat istana enak-enakan menghambur-hamburkan makanan. Kekacauan dan penindasan terjadi di mana-mana," jawab Garuda Mata Satu berapi-api. Rupanya, dia teringat kembali akan kejadian masa lalu. "Lama-lama, aku tidak tahan. Aku kabur meninggalkan istana sambil membawa anakku yang waktu itu berusia tujuh tahun. Anakku kutitipkan pada seorang sahabatku. Sedangkan aku lari ke hutan menjadi kepala rampok. Dan juragan-juragan kaya dan pelit adalah sasaranku."
Garuda Mata Satu menelan liur untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
"Jabatan kepala perampok pun tidak bisa kupertahankan, ketika seorang yang berjuluk Mata Malaikat datang. Dia memintaku menjadi anak buahnya. Dan tentu saja permintaannya kutolak. Bahkan aku sampai marah besar. Pertarungan antara kami pun terjadi. Tapi, ternyata kepandaiannya sangat tinggi. Hanya dalam beberapa gebrakan, aku berhasil dikalahkan. Lalu, dia menyuruhku menjadi anak buahnya."
"Dan kau menolaknya, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Benar. Karena, Mata Malaikat mempunyai keinginan yang mengerikan. Rakyat akan jadi korban, bila rencana gilanya dilaksanakan," desah Garuda Mata Satu penuh nada prihatin.
"Tapi bukankah raja dan pejabat Kerajaan Mandau sewenang-wenang? Lalu mengapa kau masih setia padanya dan tidak menerima tawaran Mata Malaikat untuk menjadi anak buahnya?!"
"Kau keliru, Dewa Arak. Raja dan pejabat Kerajaan Mandau yang sekarang, jauh berbeda dengan yang dulu. Raja yang sekarang adil, dan memperhatikan kesejahteraan rakyat," sanggah Garuda Mata Satu lagi.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Kalau begitu, sebelum kau berhasil ditemukan, Kerajaan Mandau tidak akan diserbu, Ki?" tanya Arya.
"Benar. Kalau menurut pendapatku, Mata Malaikat pasti menyerbu kerajaan kecil dan kadipaten lebih dulu...."
"Kalau demikian, kami pergi dulu, Ki, Puspa...! Ayo Melati!"
Tanpa menunggu jawaban Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka, Arya melesat meninggalkan tempat itu. Di belakangnya, Melati mengikuti. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh mereka telah lenyap ditelan kejauhan.
Benarkah Mata Malaikat dan rombongannya tengah menyerbu kerajaan kecil dan kadipaten-kadipaten? Apakah tokoh yang memiliki sepasang mata mengerikan itu masih mengejar-ngejar Garuda Mata Satu?
Bagaimanakah kesudahan keinginannya? Berhasilkah Kerajaan Mandau dikuasai? Bagaimana Dewa Arak harus menanggulangi masalah besar ini. Untuk jelasnya, silakan ikuti serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode Tawanan Datuk Sesat
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Empat penunggang kuda yang semuanya berpakaian coklat dan bertubuh kekar itu berteriak-teriak keras, agar binatang tunggangannya lebih cepat berlari. Bahkan pecut di tangan kanan mereka pun ikut berperan dalam mempercepat lari kuda.
Ctarrr!
Suara lecutan terdengar cukup nyaring ketika pecut-pecut itu menjilat bagian belakang tubuh kuda masing-masing. Maka, mau tak mau binatang-binatang tunggangan itu semakin cepat berlari.
"Kau yakin dia berada di sana, Kang Wasila?"
Sambil tetap menggeprakkan tali kekang agar kudanya berlari lebih cepat, laki-laki yang bertubuh pendek kekar membuka percakapan. Penunggang kuda terdepan yang satu-satunya mengenakan ikat kepala berwarna merah, menoleh ke belakang. Dialah yang bernama Wasila.
"Aku yakin dia berada di sana, Dulang," jawab Wasila.
Usai berkata demikian, Wasila yang merupakan pemimpin dari ketiga orang yang berada di belakangnya, kembali mengalihkan pandang ke arah semula. Sementara laki-laki yang bernama Dulang mengernyitkan alis sebentar.
Kemudian diliriknya dua rekannya yang berkuda di sebelahnya. Pada saat yang sama, dua orang itu juga tengah melirik ke arahnya. Nama masing-masing kedua orang itu adalah Paksi dan Gora.
"Mengapa kau demikian yakin, Kang?" tanya penunggang kuda yang memiliki sebuah tahi lalat besar di pipi sebelah kiri. Dialah yang bernama Paksi. Tentu saja seperti juga Dulang dan Wasila, dia pun harus mengeraskan suara. Derap suara kaki kuda yang riuh dan bergemuruh, menyebabkan suaranya tertelan begitu saja.
"Tidak usah ditanyakan sekarang nanti pun kalian akan tahu. Sekarang, yang penting kita harus segera tiba di sana! Aku tidak ingin Garuda Mata Satu lebih dulu kabur!" sentak Wasila.
Seketika Dulang dan dua rekannya menghentikan ucapan, begitu sadar kalauWasila tidak menginginkan percakapan dilanjutkan. Maka, kini keempat orang itu pun melanjutkan perjalanan tanpa bercakap-cakap lagi. Yang terdengar sekarang, hanyalah suara kaki-kaki kuda membentur tanah.
Rupanya, kata-kata Wasila dibuktikan oleh tindakannya. Kudanya segera dipacu bagaikan orang kesetanan. Hentakan tali kekang dan hantaman pecutnya semakin sering dilakukan, untuk segera tiba di tempat tujuan. Hal yang sama pun dilakukan Dulang, Paksi, dan Gora.
Yang lebih gila lagi, empat orang berpakaian coklat itu sama sekali tidak memperlambat lari kudanya ketika memasuki mulut Desa Wetan. Kuda-kuda itu terus saja dipacu cepat melintasi jalan utama desa.
Tentu saja tindakan mereka membuat para penduduk Desa Wetan yang sebagian besar tengah beristirahat di dalam rumah, menjadi heran. Tak sedikit di antara mereka yang bergegas keluar rumah dengan senjata tersandang di tangan. Tapi, mereka segera kembali masuk ke dalam rumah sambil menggerutu, karena empat orang penunggang kuda itu sudah amat jauh. Yang tertinggal dan terlihat hanyalah kepulan debu di udara.
Sementara itu, Wasila dan tiga orang anak buahnya terus saja memacu cepat kudanya tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya. Diacuhkan saja rumah-rumah penduduk yang dilewati. Tak dihiraukan lagi kalau pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin lama semakin jarang. Bahkan sampai akhirnya tidak ada sama sekali.
"Itu tempat yang kita cari," tunjuk Wasila dengan tangan kiri sambil terus memacu kudanya.
Dulang, Paksi, dan Gora mengikuti arah tangan Wasila. Dan mereka juga melihat sebuah pondok sederhana yang bertengger di sebuah tanah lapang luas. Jarak pondok itu dengan mereka, tak kurang dari dua puluh tombak.
"Percepat lari kuda kalian!" perintah Wasila. Rupanya, melihat sasaran yang dicari-cari telah berada di depan mata, semangat Wasila kembali berkobar.
Dengan segala daya, Wasila dan ketiga anak buahnya berusaha keras mempercepat lari kuda. Mereka berusaha secepat mungkin untuk tiba di pondok yang dituju. Dalam waktu sebentar saja, Wasila dan tiga anak buahnya telah berada di depan pondok. Segera saja mereka menarik tali kekang, sehingga kuda-kuda itu berhenti berlari cepat mendadak disertai ringkikan nyaring sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Kelihatannya, Wasila dan tiga anak buahnya sudah tak sabar lagi untuk segera bertemu Garuda Mata Satu. Buktinya, sebelum kuda-kuda itu menurunkan kaki depannya kembali, mereka sudah berlompatan turun.
Jliggg!
Berturut-turut Wasila dan tiga anak buahnya mendarat di tanah dengan gerakan yang rata-rata gesit. Dari sini bisa dilihat kalau mereka memiliki ilmu silat lumayan.
Srat, srat, srattt!
Sinar-sinar terang tampak mencuat, begitu Wasila dan anak buahnya menghunus golok yang terselip di pinggang.
"Garda! Keluar kau...!" teriak Wasila sambil menatap penuh waspada pada daun pintu pondok yang tertutup rapat.
Sementara, Dulang, Paksi, dan Gora berdiri di kanan dan kirinya. Mata mereka tampak beredar berkeliling, dengan sikap waspada.
"Kuperingatkan sekali lagi, Garda! Keluar kau! Atau..., aku akan masuk dengan kekerasan! Kuberikan kesempatan sampai tiga hitungan, Garda!"
Wasila mengeluarkan ancaman setelah menunggu beberapa saat lamanya tidak ada tanggapan atas seruannya tadi. "Satu...!"
Wasila memulai dengan hitungan pertama. Sepasang matanya menatap tajam ke pintu pondok. Sedangkan Dulang, Paksi, dan Gora semakin memperhatikan suasana sekelilingnya.
"Dua...!" teriak Wasila sambil menambah keras nada suaranya.
Kriiit...!
Sebelum laki-laki berikat kepala coklat itu mengucapkan hitungan terakhir, daun pintu itu tampak terkuak. Seketika itu pula, Wasila dan tiga orang kawannya mundur beberapa tindak. Tangan mereka yang memegang senjata tampak bergetar, pertanda telah dialiri tenaga dalam! Sedangkan sepasang mata mereka menatap penuh selidik ke arah pintu.
"Siapa kau?! Mana Garuda Mata Satu?! Cepat suruh keluar! Atau..., rumah ini kuhancurkan!" geram Wasila penuh ancaman.
Raut wajah Wasila dan anak buahnya yang semula menegang, kini mengendur. Ternyata setelah daun pintu terbuka, yang muncul bukan Garuda Mata Satu, orang yang tengah dicari-cari.
"Maaf. Kurasa Kisanak semua keliru. Di sini tidak ada orang yang bernama Garuda Mata Satu. Yang ada hanya aku, Kartugi," kata orang yang baru saja membuka pintu.
Dia mengaku bernama Kartugi, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Tubuhnya tegap terbungkus pakaian berwarna abu-abu.
"Keparat! Kau berani membohongi kami, Kartugi?! Apakah kau sudah bosan hidup, heh?! Dulang, Paksi, Gora! Paksa tua bangka ini bicara!" perintahWasila pada anak buahnya.
Tanpa diberi perintah dua kali Dulang, Paksi, dan Gora menghampiri Kartugi dengan sikap mengancam dan sangat memandang rendah. Ini bisa dilihat dari senyum mengejek yang tersungging di bibir dan golok di tangan yang diamang-amangkan.
"Ini peringatan terakhir, Tua Bangka! Katakan, di mana Garuda Mata Satu!" desak Dulang, penuh ancaman.
"Apa lagi yang harus kukatakan padamu, Kisanak? Bukankah tadi aku sudah mengatakannya? Disini tidak ada orang yang bernama Garuda Mata Satu. Hanya aku, Kartugi yang berada di sini," jawab Kartugi kalem.
"Keparat! Rupanya kau tidak mau diajak bicara baik-baik, Tua Bangka! Mampuslah! Hih...!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Dulang melompat menerjang Kartugi. Dan selagi tubuhnya tengah berada di udara, goloknya cepat ditusukkan ke arah perut Kartugi.
Wuttt!
Serangan Dulang mengenai tempat kosong, begitu Kartugi menarik kaki kanannya ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Tindakan Kartugi tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan Dulang berhasil dielakkan, tangan kirinya langsung dikibaskan.
Prattt!
"Akh...!" Dulang kontan memekik ketika tangan Kartugi menghantam telak tangan kanannya, sehingga menimbulkan rasa sakit yang bukan kepalang. Seakan-akan tulang-belulangnya menjadi luluh lantak. Hantaman laki-laki berpakaian abu-abu itu memang keras bukan kepalang. Bahkan golok Dulang pun sampai terlempar dibuatnya.
Tapi sebelum Kartugi melancarkan serangan susulan kembali, Gora dan Paksi telah lebih dulu menyerangnya. Gora melancarkan bacokan ke arah leher, sedangkan Paksi mengirimkan babatan ke arah pinggang kiri. Dua buah serangan yang sama-samamembawa hawa maut!
Wut, wuttt!
Kembali serangan anak buah Wasila berhasil dimentahkan Kartugi. Laki-laki berpakaian abu-abu ini cepat melompat mundur, sehingga semua serangan meluncur lewat di hadapannya.
"Keparat!" geram Wasila sambil mengepalkan tangannya. Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat itu tidak bisa menahan sabar lagi.
Belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuhnya sudah melompat menerjang Kartugi. Dengan bertumpu pada pergelangan tangan, goloknya diputar beberapa saat, kemudian diluncurkan ke arah leher Kartugi.
Wunggg!
Kali ini, Kartugi tidak berani bertindak sembarangan. Buru-buru sepasang pedang yang tergantung di punggungnya dicabut. Lalu, dipapaknya luncuran golok itu dengan sepasang pedangnya yang disilangkan.
Tranggg!
Bunga api langsung berpijar ketika senjata yang berbeda jenis dan ukuran itu saling berbenturan. Akibatnya, tubuh Kartugi terhuyung-huyung ke belakang.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Wasila hinggap di tanah, Kartugi juga telah berhasil memperbaiki keseimbangannya. Dan secepat itu pula, kedua belah pihak saling menggebrak kembali.
Baik Kartugi maupun Wasila telah sama-sama tahu kalau kepandaian yang dimiliki masing-masing pihak tidak bisa dipandang ringan.Maka mereka tidak berani bertindak main-main. Bahkan kini dalam gebrakan selanjutnya seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.
Dan, akibatnya sudah bisa diduga. Suasana di sekitar tempat itu seketika jadi riuh rendah. Desing serangan senjata, dentang suara senjata beradu, dan teriakan masing-masing pihak menyemaraki pertarungan.
Ternyata, semua kejadian itu tidak hanya disaksikan oleh sepasang mata secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan Dulang, Paksi, dan Gora pun juga telah menjadi penonton. Mereka langsung mengundurkan diri dari kancah pertarungan begitu Wasila telah turun tangan.
Meskipun demikian, golok telanjang tetap tercekal di tangan masing-masing. Ketiga orang ini telah bersiap-siap, apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri pemimpin mereka.
Sementara itu, sepasang mata yang menyaksikan pertarungan secara sembunyi-sembunyi, kelihatan tak ingin bergerak dulu. Tampaknya, kehadirannya tidak ingin diketahui orang lain. Bulu matanya yang lentik tampak terus mengintai dari balik dedaunan, di atas cabang pohon tinggi yang tidak jauh dari situ.
Semua orang yang menyaksikan, tampaknya menaruh perhatian atas hasil pertarungan yang tengah berlangsung. Tapi, tidak demikian halnya dengan Wasila dan Kartugi. Mereka sama sekali tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. Yang ada di benak mereka hanya satu, mengalahkan lawan secepat mungkin.
Tapi, kedua orang yang bertarung itu sama-sama menyadari kalau satu sama lain terlalu tangguh untuk bisa ditaklukkan secepat mungkin. Sampai pertarungan berlangsung lebih dari lima puluh jurus, tidak nampak tanda-tanda ada yang akan keluar sebagai pemenang.
Sebenarnya dalam hal tenaga dalam, Kartugi masih lebih unggul sedikit daripada Wasila. Tapi keunggulan itu bisa diimbangi Wasila dengan kelebihan ilmu meringankan tubuh. Maka tak heran kalau pertarungan jadi berlangsung sengit.
Sekarang, pertarungan telah menginjak jurus ketujuh puluh dua. Tapi, tampaknya keadaan masih tetap tidak berubah. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Namun justru keadaan ini membuat Wasila kehilangan kesabaran.
Disadari betul kalau tidak segera dilakukan perubahan, pertarungan akan berlangsung semakin alot. Tanpa terlalu lama memutar otak, lelaki berikat kepalamerah ini telah menemukan suatu cara yang dianggap jitu.
Meskipun demikian, Wasila tidak terlalu terburu-buru menjalankan siasatnya. Dia tahu, sifat terburu-buru akan mendatangkan hasil yang kurang baik. Maka dengan sabar, ditunggunya hingga keadaan menguntungkan.
"Hih!" Di jurus kedelapan puluh dua, Wasila segera melaksanakan siasatnya. Jari-jari tangan kanannya cepat memijit sebuah benjolan yang ada di gagang goloknya. Dan....
Trekkk!
Mengerikan! Mata golok yang semula menempel pada gagangnya, tiba-tiba meluncur ke arah lawan. Padahal, pada saat itu tubuh Kartugi tengah berada di udara, karena baru saja habis mengelakkan sebuah serangan. Tentu saja munculnya serangan itu membuatnya kelabakan bukan kepalang. Tambahan lagi, tibanya serangan terlalu mendadak. Akibatnya, Kartugi tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Dan....
Cappp!
"Akh...!" Lolong kesakitan terdengar dari mulut Kartugi ketika mata golok Wasila yang mendadak bisa lepas dari gagangnya, menancap di dada sebelah kiri. Dan sebelum laki-laki berpakaian abu-abu ini sempat berbuat sesuatu, Wasila kembali memijit benjolan lain pada gagang goloknya. Dan....
Brettt!
Mata golok yang semula tertancap di dada kiri Kartugi, kembali meluncur ke arah gagang golok Wasila. Memang, antara gagang dan mata golok itu dihubungkan oleh per yang dapat melentur dan kembali lagi. Tentu saja, apabila Wasila menyentuh benjolan pada gagang goloknya.
"Hugh!" Dengan sempoyongan, Kartugi mendarat di tanah. Dan dengan tubuh terhuyung-huyung, disimpannya pedang yang terpegang di tangan kanan ke punggung. Kemudian, ditotoknya jalan darah di sekitar luka yang cukup besar dan dalam. Begitu sudah tertotok, tidak ada lagi darah yang keluar. Namun....
"Aaakh...!" Namun, mendadak tubuh Kartugi kembali terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya langsung mendekap luka di perutnya. Pedang yang semula tergenggam di tangan, langsung dilemparkan begitu saja.
"Ha ha ha...!" Wasila tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Kartugi.
"Manusia licik!" maki Kartugi dengan suara mendesis. Menilik seringai di bibirnya, bisa diketahui kalau dia tengah menderita sakit yang amat sangat "Kau membubuhi racun di senjatamu. Hhh...! Kini aku mengerti, mengapa kau tidak melancarkan serangan susulan di saat keadaanku tadi tidak memungkinkan. Aku kenal betul orang macam kau! Segala macam cara akan dipergunakan untuk mencapai kemenangan."
"Ha ha ha...!" Wasila menyambuti ucapan itu dengan tawa keras bernada ejekan. "Syukurlah kau sudah mengerti, Kartugi! Selagi masih ada kesempatan, cepat beritahukan di mana adanya Garuda Mata Satu! Cepat katakan sebelum terlambat. Apabila racun itu sudah menjalar lebih jauh, jangan harap nyawamu akan tertolong!"
Kartugi menggertakkan gigi. Ditahannya sekuat tenaga rasa panas yang membakar bagian perut. "Aku tidak tahu, Manusia Keji! Dan apabila aku tahu pun jangan harap kukatakan padamu! Kau pikir aku takut mati, heh?!" tegas Kartugi cukup lantang, meskipun agak terdengar bergetar.
Wasila mendengus karena jengkel mendengar sambutan yang diterima. "Baik kalau itu maumu, Keparat! Asal tahu saja, aku tahu kalau kau tidak takut mati. Tapi, apakah kau yakin mampu bertahan menanggung siksa racun itu?!"
"Maksudmu...?!" Kartugi merasakan dadanya berdebar tegang. Sudah bisa diduga, maksud ucapan berbau ancaman dari Wasila. Dia akan mati secara perlahan-lahan, dan tentu saja dengan perasaan tidak enak.
DUA
"Ya! Wasila menganggukkan kepala disertai sunggingan senyum kemenangan. Memang, Wasila baru mengucapkannya sepotong. Tapi dari tarikan wajah Kartugi yang menegang, sudah bisa diperkirakan kelanjutannya.
"Apabila racun itu telah menyebar dalam darahmu, kau akan menerima akibatnya. Kau akan menderita hebat sebelum mati! Rasa panas dan gatal-gatal akan kau derita sampai mati!"
Kartugi merasakan bulu kuduknya seketika berdiri. Dia tahu, Wasila tidak hanya sekadar menggertak. Perlahan-lahan perasaan ngeri pun timbul di hatinya. Semakin lama semakin membesar, sampai akhirnya justru perasaan nekatlah yang timbul.
"Keparat! Manusia keji! Mampuslah kau! Hiya..., ugh!"
Namun, tubuh Kartugi kontan limbung sebelum berhasil menyarangkan sebuah serangan di tubuh Wasila. Kedua tangannya yang semula mengepal keras penuh kekuatan, kini didekapkan pada perut. Seringai kesakitan yang terpampang di mulut dan tubuhnya yang membungkuk, menjadi pertanda kalau tengah dilanda rasa sakit yang hebat.
"Ha ha ha...!" Wasila tertawa terbahak-bahak. Dengan mulut menyunggingkan senyum sinis, ditatapnya wajah Kartugi lekat-lekat.
"Perlu kau ketahui, Kartugi. Racun itu akan menjalar sangat cepat apabila kau mengerahkan tenaga dalam, dan langsung menunjukkan akibatnya. Kau telah merasakannya sendiri bukan?"
Kartugi sama sekali tidak menanggapi. Di samping memang tidak berminat melakukannya, perasaan sakit yang tengah mendera membuat tubuhnya terbungkuk sambil memegang bagian yang dilanda sakit. Rasanya, perutnya bagai diseruduk seekor kerbau ketika hendak menyerang Wasila.
Tapi dekapan kedua tangan Kartugi hanya sebentar saja. Betapa tidak? Kini rasa gatal mulai melanda sekujur tubuhnya! Bahkan disertai rasa panas membakar! Mulanya rasa panas dan gatal itu tidak begitu menyiksa. Tapi, ternyata semakin lama semakin menjadi-jadi. Terutama sekali rasa gatalnya. Mau tak mau, Kartugi tidak tahan dan harus menggaruk.
Gruk, gruk, gruk...!
Kartugi mulai menggaruk-garuk bagian tubuh yang terasa gatal. Anehnya, begitu digaruk rasa gatal yang melanda semakin menjadi-jadi. Sehingga Kartugi terpaksa harus menggaruk terus. Bahkan kedua tangannya mulai sibuk menggaruk sana-sini, karena bagian tubuh yang terasa gatal semakin meluas.
"Ha ha ha...! Kau boleh menggaruk terus sampai kulit dan bahkan dagingmu habis tercakar, Manusia Bodoh! Ha ha ha...!" ejek Wasila, penuh perasaan gembira.
"Ha ha ha...!"
Dulang, Gora, dan Paksi pun tertawa terbahak-bahak. Seperti juga Wasila, ketiga orang ini pun merasa senang melihat Kartugi tersiksa. Suasana kini semakin riuh oleh gelak tawa mereka. Mendadak....
"Wasila! Manusia terkutuk! Jangan harap kuampuni nyawamu!"
Suara makian keras seketika membuat tawa Wasila dan tiga anak buahnya terhenti. Dengan wajah berubah, mereka mengalihkan perhatian ke arah asal suara. Sikap Wasila dan ketiga orang kawannya tampak penuh kewaspadaan, karena tahu siapa pemilik suara itu.
Wusss!
Diiringi hembusan angin yang cukup keras, tiba-tiba sesosok bayangan coklat berkelebat. Dan...
Jliggg!
Tanpa menimbulkan suara yang berarti, sesosok bayangan coklat itu mendaratkan kedua kakinya di tanah, di antara tubuh Wasila dan Kartugi.
"Rupanya kau masih punya nyali untuk menemui kami, Garuda Mata Satu?! Kukira kau akan tetap bersembunyi karena takut mati!" ejek Wasila, tajam.
Pimpinan rombongan orang bertampang kasar berseragam coklat itu menyunggingkan senyum penuh ejekan di bibir. Dengan sikap merendahkan, ditatapnya sosok berpakaian coklat yang berdiri di hadapannya.
Sosok yang baru tiba itu memang mengenakan pakaian berwarna sama dengan Wasila dan tiga anak buahnya. Coklat. Hanya saja, pada bagian dada kirinya tersulam gambar seekor burung garuda.
Tapi, sulaman gambar burung garuda itu tidak menimbulkan perasaan seram. Demikian pula halnya potongan tubuhnya yang pendek kekar. Yang menimbulkan perasaan segan adalah sepotong kulit hitam berbentuk bulat yang menutupi mata sebelah kiri. Kulit hitam itu diikatkan ke belakang melewati kepala bagian atas secara menyerong. Inilah orang yang dicari-cari Wasila dan tiga kawannya. Garuda Mata Satu!
"Mulutmu terlalu kotor, Wasila! Kau harus dihajar!"
Laki-laki bermata sebelah yang ternyata berjuluk Garuda Mata Satu itu menggeram.Wajahnya yangmerah padam menampakkan kemarahan hatinya. Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu mengambil buntalan kain hitam kecil dari pinggangnya. Lalu, benda itu dilemparkannya ke belakang tanpa mengalihkan pandangan dari Wasila.
"Telan obat itu untuk menghilangkan rasa gatal yang kau derita, Kartugi," ujar Garuda Mata Satu.
"Garuda Mata Satu! Kedatanganku kemari karena Yang Mulia Mata Malaikat menyuruh kami semua untuk mencarimu! Dan kuharap, kau bersedia ikut dengan kami untuk menghadap beliau!" kata Wasila.
"Apa katamu?! Pergi menghadap iblis keji itu?! Cuhhh...! Jangan harap, Wasila! Sampai mati pun aku tidak sudi menghadapnya!" tolak Garuda Mata Satu lantang dan mantap.
"Rupanya kau lebih suka dibawa secara paksa, Garuda Mata Satu?!" ancam Wasila sambil meraba gagang goloknya yang tadi telah diselipkan kembali di pinggang.
Srattt!
Sinar terang tampak mencuat ketika Wasila mencabut golok pendeknya. Melihat hal ini, Dulang, Paksi, dan Gora serentak melangkah maju. Golok mereka memang sudah terhunus, karenamemang sejak tadi masih tergenggam di tangan.
"Kalian mundur! Biar aku yang akan mencoba menjinakkan anjing liar ini," cegah Wasila yang mengetahui tindakan yang akan dilakukan tiga anak buahnya.
Mendengar ucapan pimpinan mereka, Dulang, Pakai, dan Gora kembali ke tempat semula. Meskipun demikian, golok-golok telanjang masih tetap dalam genggaman tangan. Sikap mereka juga tetap waspada, bersiap-siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Luar biasa kemajuan yang kau peroleh, Wasila! Baru beberapa hari bergaul dengannya, kau telah mempunyai nyali yang demikian besar! Kau tidak hanya berani memakiku, tapi juga berani menantangku bertarung. Ha ha ha...! Luar biasa! Aku jadi ingin tahu, apa yang kau andalkan. Pengkhianat Busuk!"
"Tutup mulutmu, Garuda Mata Satu! Jaga seranganku!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Wasila segera melompat menerjang Garuda Mata Satu. Di saat tubuhnya masih berada di udara, golok di tangannya dikelebatkan mendatar, mengarah leher laki-laki bermata satu itu.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi serangan, menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam serangan Wasila.
Garuda Mata Satu menyunggingkan senyum mengejek. Ditunggunya hingga serangan itu menyambar dekat. Baru ketika hampir mencapai sasaran, kakinya buru-buru dilangkahkan ke belakang seraya mencondongkan tubuhnya. Maka....
Wusss!
Mata golok Wasila menyambar lewat beberapa jengkal di depan leher Garuda Mata Satu. Namun, Wasila sudah memperhitungkan hal itu. Dia telah mengenal betul, siapa lawannya. Bahkan tingkat kepandaian Garuda Mata Satu juga telah diketahuinya. Maka ketidak berhasilan serangannya tidak dipikirkannya lagi.
Tapi yang jelas, sebuah serangan susulan akan dikirimkannya. Dan itu memang tidak salah! Begitu serangan pertamanya gagal, Wasila segera menyusulinya dengan sebuah tusukan. Dan ternyata, masih leher Garuda Mata Satu yang dijadikan sasaran!
Tapi untuk yang kesekian kalinya, serangan Wasila hanya menggapai angin. Ketika Garuda Mata Satu merendahkan tubuhnya dengan menekuk lutut, maka serangan itu meluncur beberapa jari di atas kepalanya.
Ternyata, kali ini Garuda Mata Satu tidak hanya berdiam diri saja dalam menghadapi serangan lawan. Secepat tusukan golok Wasila berhasil dielakkan, secepat itu pula serangan balasan dikirimkan.
Laki-laki bermata satu yang belum mau menggunakan senjata itu melancarkan serangan berupa sebuah gedoran dua telapak tangan terbuka ke arah dada.
"Hehhh...?!"
Wasila langsung terpekik kaget, melihat serangan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Tambahan lagi, serangan itu dilancarkan demikian cepat. Namun sebagai seorang ahli silat berpengalaman, otot-otot tubuhnya cepat bergerak dengan sendirinya. Dan dalam saat yang demikian singkat, kedua kakinya diangkat untuk melindungi dada.
Dukkk!
Benturan keras antara sepasang tangan melawan kaki itu tidak bisa dielakkan lagi. Sesaat kemudian, tubuh Wasila langsung terjengkang ke belakang. Sedangkan Garuda Mata Satu terhuyung satu langkah ke belakang. Dan kelihatannya, keadaan laki-laki bermata satu ini lebih menguntungkan daripada lawan.
Jliggg!
Dengan mulut menyeringai, Wasila mendaratkan kedua kakinya di tanah. Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat ini kesakitan. Bahkan tubuhnya agak terhuyung-huyung ketika menjejak tanah.
Tapi, Wasila rupanya termasuk orang yang keras hati. Tanpa mempedulikan rasa sakit yang mendera kaki, kembali diserangnya Garuda Mata Satu. Dan tindakannya mendapat sambutan dari laki-laki bermata satu itu. Sehingga, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu rupanya sebuah pertarungan yang terlihat tidak adil. Satu pihak menggunakan senjata, sementara yang satunya hanya bertangan kosong.
Meskipun tidak menggunakan senjata, Garuda Mata Satu ternyata tetap mampu mengadakan perlawanan sengit. Tubuhnya berkelebat di antara sambaran senjata lawan. Di saat-saat yang memungkinkan, serangan balasan dilancarkannya.
Menarik dan sengit pertarungan antara Wasila melawan Garuda Mata Satu. Hal ini tidak aneh, karena sama-sama telah mengeluarkan seluruh kemampuan sejak gebrakan-gebrakan awal. Itulah sebabnya, walaupun tidak bisa melihat jelas jalannya pertarungan, Dulang, Paksi, Gora, dan juga sosok yang berlindung di balik kerimbunan pohon, terus menajamkan mata penuh perhatian.
Memang, gerakan Wasila dan Garuda Mata Satu terlalu cepat untuk bisa dilihat oleh para penontonnya. Yang bisa terlihat hanyalah kelebatan dua bayangan coklat yang saling belit, dan saling pisah.
Tak terasa, pertarungan telah berlangsung hampir empat puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Di jurus keempat puluh tiga, mendadak Garuda Mata Satu melempar tubuhnya ke belakang. Rupanya, dia bermaksud menjauhi kancah pertarungan.
Maka tentu saja Wasila tidak membiarkannya. Sebagai seorang ahli silat yang telah kenyang makan asam garam, dia tahu alasan yang mendorong Garuda Mata Satu menjauhinya. Apa lagi kalau bukan untuk menerapkan cara pertempuran baru? Bahkan bukan tidak mungkin, Garuda Mata Satu akan mengeluarkan senjata andalan.
Mendapat pemikiran seperti itulah yang menyebabkan Wasila bertindak mengejar. Dia segera melompat menyusul sambil melancarkan serangan.
Wukkk, srattt, crattt!
"Aaakh...!" Rincian kejadian berlangsung sangat cepat. Begitu golok Wasila meluncur, Garuda Mata Satu telah meraih gagang golok besarnya yang tersampir di punggung. Dan saat tusukan Wasila meluncur dan tidak mengenai sasaran, Garuda Mata Satu cepat menusukkan goloknya ke arah perut lawan. Wasila yang sama sekali tidak bersiap menghadapi serangan, tidak sempat berbuat sesuatu. Seketika golok Garuda Mata Satu menembus perut Wasila yang langsung memekik kesakitan.
Brukkk!
Pada saat yang bersamaan dengan ambruknya tubuh Wasila di tanah, Garuda Mata Satu telah berdiri tegak. Di tangannya tampak teracung sebatang golok besar yang bernoda darah.
"Kang Wasila!" Hampir berbareng Dulang, Paksi, dan Gora berseru kaget.
Mereka cepat meluruk ke arah pemimpinnya, dan siap memberikan pertolongan. Tapi, niat itu segera diurungkan ketika melihat Wasila memberi isyarat agar mereka diam.
"Kau.... Kau..., akan menerima balasannya Gardalaya...!" ucap Wasila terbata-bata. "Yang Mulia Mata Malaikat akan menghukummu...."
"Dikira, aku takut pada iblis jelek itu, Wasila?! Jangan samakan dirimu denganku. Aku bukan jenis orang yang takut mati! Kau keliru kalau menyangka aku kabur karena takut pada si Mata Malaikat!" sambut Garuda Mata Satu. "Kepergianku hanya karena tidak ingin banyak orang menjadi korban kekejiannya! Kuakui, aku memang bukan orang baik. Tapi, keinginan si Mata Malaikat membuat bulu kudukku berdiri! Dan karena kau, anak buahku telah berkhianat dariku. Maka sekarang, rasakanlah hukumanmu!"
Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu menghampiri Wasila yang masih terduduk di tanah. Luka yang dideritanya memang cukup parah. Namun sekarang darah tidak mengalir keluar lagi setelah Wasila menotok jalan darahnya di sekitar luka.
Selangkah demi selangkah, jarak Garuda Mata Satu semakin dekat dengan Wasila. Ini berarti malaikat maut semakin mendekatinya. Dan Wasila pun menyadari betul hal itu. Namun, dia juga tidak sudi mati secara percuma.
Maka sekuat tenaga diusahakannya untuk bangkit. Dan begitu berhasil berdiri tegak, tangannya telah menggenggam golok. Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat ini telah bersiap mengadakan perlawanan mati-matian.
Kali ini Dulang, Paksi, dan Gora tidak bisa tinggal diam lagi. Mereka tahu, bila Wasila dibiarkan menghadapi Garuda Mata Satu sendirian saja, pasti akan tewas. Ketika belum terluka saja, Wasila tidak mampu menandingi Garuda Mata Satu. Apalagi di saat tengah terluka. Atas dasar pemikiran itulah, Dulang, Paksi, dan Gora melangkah menghampiri Wasila.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka sama sekali kalau kalian pun akan berkhianat padaku!" kata Garuda Mata Satu sambil tersenyum getir kepada Dulang, Paksi, dan Gora.
"Kau buta oleh keangkuhanmu sendiri, Garuda Mata Satu!" sergah Wasila, keras. "Aku tahu, kau tidak ingin menjadi anak buah, tapi ingin menjadi ketua. Padahal, Yang Mulia Mata Malaikat bersedia menjadikanmu sebagai salah seorang wakilnya. Tapi, kau terlalu angkuh! Kau malah memilih kabur daripada bergabung dengannya. Padahal banyak kepala perampok, perompak, dan tokoh-tokoh hitam lain yang telah bergabung dengannya!"
Keras dan berapi-api ucapan Wasila sehingga membuat selebar wajah Garuda Mata Satu sebentar pucat sebentar merah. Jelas, ucapan Wasila mengenai sasarannya.
"Perlu kau ketahui, kami semua bukan lagi gerombolan perampok yang menamakan diri Gerombolan Garuda Sakti. Kami semua bukan lagi anak buahmu, dan telah menjadi anak buah Yang Mulia Mata Malaikat!"
"Diam!"
Garuda Mata Satu membentak keras. Rupanya, ucapan yang keluar dari mulut Wasila membuat amarahnya bangkit. Dan akibat rasa marah yang bergejolak, bentakan yang dikeluarkannya mengandung pengerahan tenaga dalam.
Maka tak pelak lagi, Dulang, Paksi, dan Gora terpaksa mendekap kedua telinganya. Dada mereka terasa bergetar hebat. Bahkan telinga pun terasa sakit bagai ditusuk-tusuk. Hanya Wasila yang terbebas dari pengaruh bentakan Garuda Mata Satu, karena telah menyumpalnya dengan tenaga dalam.
"Tutup mulutmu, Garuda Mata Satu! Kau tidak berhak lagi membentak-bentak kami. Kau bukan pemimpin lagi!" tandas Wasila, geram.
"Keparat! Mulutmu terlalu lancang, Wasila! Kuakui, aku bukan lagi pimpinan kalian! Tapi, ingat! Aku masih berhak menghukum kalian dengan alasan kuat. Kalian telah berkhianat kepadaku!" sambut Garuda Mata Satu tak kalah keras. Lalu....
Hiyaaa...!"
Diawali sebuah teriakan keras yang memekakkan telinga, Garuda Mata Satu menerjang Wasila. Golok besar yang tercekal di kedua tangannya, teracung lurus ke depan. Dengan kaki lurus, dan tubuh seperti sebatang tonggak, Garuda Mata Satu melakukan penyerangan. Dan dalam keadaan meluncur, tubuhnya terus berputaran. Sebuah cara penyerangan yang aneh!
Wunggg!
Suara mengaung keras mengiringi tibanya serangan yang dilakukan secara berputaran seperti gasing itu, Wasila yang melihat jenis serangan ini terlihat agak gugup. Memang, serangan seperti ini belum pernah dihadapi sebelumnya.
"Tangkis sama-sama!" perintah Wasila. Pada saat yang bersamaan dengan keluarnya ucapan itu, Wasila segera memapaki. Tidak dirasakannya lagi luka di perut, karena khawatir akan bahaya maut yang tengah mengancam.
Dan memang, Wasila tidak sendirian sewaktu memapak serangan itu. Hampir berbarengan, Dulang, Paksi, dan Gora pun melakukan hal yang sama.
TIGA
Trang, trang!
Crattt!
"Akh!"
Rentetan kejadian berlangsung demikian cepat. Bunga api tampak memercik ke sana kemari ketika lima batang senjata berbenturan. Itu pun masih disusul berpentalannya lima sosok tubuh ke tempat semula, diseling jerit menyayat.
Jliggg!
Lima pasang kaki menjejak tanah. Tapi, hanya Garuda Mata Satu yang bisa hinggap sempurna dengan golok masih tergenggam di tangan. Sementara, empat lawannya terhuyung-huyung ke sana kemari. Golok yang semula berada di tangan, sudah terlempar entah ke mana.
Di antara keempat bekas anggota Gerombolan Garuda Sakti itu, hanya Wasila-lah yang paling sial. Dulang, Paksi, dan Gora hanya terhuyung-huyung dengan senjata lepas dari pegangan. Sedangkan Wasila, harus menerima golok Garuda Mata Satu yang berhasil membor dadanya. Jadi, Wasila-lah yang tadi mengeluarkan jeritan menyayat. Dan setelah terhuyung-huyung beberapa saat, tubuh Wasila ambruk ke tanah. Mati!
"Kang Wasila!" seru Dulang, Paksi, dan Gora hampir berbareng. Mereka terkejut bukan kepalang melihat keadaan yang dialami pimpinan mereka.
"Ha ha ha...! Tidak usah kaget, Pengkhianat-pengkhianat Busuk! Itulah hukuman yang pantas untuk orang seperti kalian! Bersiaplah! Sekarang, kalian yang akan mendapat giliran!" ancam Garuda Mata Satu, penuh nada kemenangan.
Dulang, Paksi, dan Gora saling berpandangan. Mereka sadar, Garuda Mata Satu tidak akan mungkin bisa ditandingi. Apalagi dalam keadaan tanpa senjata seperti ini.
"Ha ha ha...! Mengapa ragu?! Jangan khawatir, aku bukan jenis orang yang bersikap curang dalam pertarungan. Kalau kalian tidak memiliki senjata, aku juga tidak akan menggunakan senjata!"
Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu memasukkan pedang ke dalam sarungnya yang tersampir di punggung.
Trekkk!
"Nah! Sekarang, aku sudah tidak bersenjata! Ayo! Tunggu apa lagi?" tantang Garuda Mata Satu.
Untuk kedua kalinya Dulang, Paksi, dan Gora saling berpandangan. Dalam adu pandang sekilas itu, mereka telah sepakat untuk lebih dulu melancarkan serangan. Disadari kalau tidak ada pilihan lain, kecuali melawan sekuat tenaga. Karena sudah jelas Garuda Mata Satu tidak akan memberikan ampunan.
Kini Dulang, Paksi, dan Gora menghampiri Garuda Mata Satu yang berdiri diam menunggu. Sikap laki laki bermata satu ini tampak seperti tidak peduli. Apalagi memperlihatkan tanda-tanda kalau siap bertarung. Bahkan ketika ketiga lawannya mulai menyebar dan mengepungnya dari tiga jurusan, Garuda Mata Satu masih bersikap biasa-biasa saja.
"Hiaaat..!" Dulang mendahului serangan dari arah sebelah kiri, disusul Paksi dari depan dan Gora dari sebelah kanan.
"Hmh!" Garuda Mata Satu hanya mendengus mirip kerbau liar. Dia masih tetap tidak bertindak apa-apa menghadapi serangan yang susul-menyusul itu. Baru ketika semua serangan itu menyambar dekat, tangan dan kakinya bergerak. Cepat bukan main, sehingga bentuk tangan dan kakinya tidak terlihat.
Bukkk, bukkk, desss!
Suara berdebuk keras terdengar berturut-turut ketika tangan dan kaki Garuda Mata Satu menghantam bagian tubuh lawan-lawannya. Seketika itu pula, tubuh ketiga orang itu melayang ke belakang sejauh beberapa tombak. Darah segar tampak mengalir deras dari mulut dan hidung, membasahi tanah sepanjang tubuh-tubuh yang melayang itu.
Brukkk!
Dulang, Paksi, Gora menggelepar-gelepar sejenak di tanah sebelum akhirnya diam. Dan begitu gerakan tubuh mereka berhenti, nyawa ketiga orang itu melayang ke alam baka.
Garuda Mata Satu sekilas menatap tubuh-tubuh yang bergeletakan di tanah. Kemudian ketika teringat Kartugi, perhatiannya segera dialihkan. Tampak laki-laki berpakaian abu-abu itu tengah berdiri bersandar pada dinding rumah.
"Hhh...!" Sambil menghela napas berat, Garuda Mata Satu menghampiri Kartugi. Raut wajahnya menyiratkan kelesuan bercampur penyesalan. Loyo dan kuyu, seperti langkah kakinya.
"Maafkan aku, Kartugi. Aku tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Ternyata racun itu telah menyebar di seluruh aliran darahmu sebelum obat kuberikan," jelas Garuda Mata Satu, bernada penyesalan. Laki-laki bermata satu itu tampak menyesal sekali. Sepasang matanya yang tertuju pada Kartugi, menyorotkan penyesalan yang mendalam.
"Kau tidak usah menyesali keadaanku, Garuda Mata Satu. Pertolongan yang kau berikan padaku lebih dari cukup. Obat yang kau berikan telah mengusir perasaan gatal yang melanda. Sehingga aku tidak mati secara tersiksa. Hhh...! Sulit kubayangkan bila saja kau tidak menolongku, Garuda Mala Satu. Aku akan tewas dalam keadaan daging hancur tercacah!"
Garuda Mata Satu tidak memberikan tanggapan apa-apa. Meski disadari adanya kebenaran dalam ucapan Kartugi, tapi tetap saja tidak mampu mengusir penyesalan yang bersemayam di lubuk hati. Andaikata saja dia tiba lebih cepat, tentu Kartugi tidak akan bernasib seperti ini. Kini, ditatapnya sekujur kulit tubuh Kartugi yang telah memerah dengan sorot mata penuh penyesalan.
Obat yang diberikan Garuda Mata Satu memang berhasil melenyapkan rasa gatal-gatal yang melanda Kartugi. Tapi, hawa panas membakar akibat pengaruh racun itu tidak bisa ditanggulangi. Yang lebih gila lagi, semakin lama hawa panas itu semakin menyengat.
Maka tak aneh kalau kulit tubuh Kartugi jadi merah seperti udang rebus. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya hawa panas yang membakar. Namun, Kartugi mampu menerimanya tanpa mengeluh sedikit pun. Dari sini saja sudah bisa diketahui keteguhan hatinya.
"Tidak usah kau pusingkan lagi penderitaanku, Garuda Mata Satu! Percayalah, aku telah siap mati. Hanya saja, aku tidak ingin mati penasaran. Maukah kau memenuhi permintaan terakhirku?"
"Katakan! Apa permintaan terakhirmu, Kartugi. Aku berjanji akan memenuhinya," sambut Garuda Mata Satu, penuh gairah.
"Terima kasih, Garuda Mata Satu. Kau memang sahabatku yang baik. Aku yakin, kau mampu memenuhi karena permintaanku yang sama sekali tidak sulit."
"Apa permintaanmu, Kartugi? Cepat katakan," desak Garuda Mata Satu tidak sabar, karena khawatir laki-laki berpakaian abu-abu itu keburu meninggal dunia.
"Hanya satu permintaan, Garuda Mata Satu. Selebihnya aku juga ingin menjelaskan sesuatu padamu. Oh, ya. Tolong kabulkan permintaanku dulu. Aku ingin minum air kelapa. Aku haus sekali," Kartugi memulai permintaannya.
Hampir Garuda Mata Satu tertawa mendengarnya. Permintaan seperti itu sama sekali tidak diduga. Tapi dengan pandainya, rasa gelinya disembunyikan sehingga tidak tampak pada wajahnya. Malah raut wajahnya dipasang sungguh-sungguh.
Sepasang matanya beredar ke sekeliling, memperhatikan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Suasana malam yang diterangi bulan yang hampir bulat di langit, cukup membantu Garuda Mata Satu dalam mencari sesuatu.
"Tunggu sebentar, Kartugi." Hanya ucapan itu yang sempat didengar Kartugi. Karena sebelum dia sempat bicara, Garuda Mata Satu sudah tidak berada di situ lagi. Tubuhnya telah melesat meninggalkan tempat itu. Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan coklat yang berkelebat meninggalkan Kartugi yang duduk bersandar.
Belum lama Kartugi menunggu, terlihat sosok bayangan coklat melesat ke arahnya. Dan....
"Hup!"
Kini Garuda Mata Satu telah berada kembali ditempat semula. Di tangan kanannya telah terjinjing empat butir kelapa. Tiga butir diletakkannya di tanah, sedangkan sebutir lagi dikupasnya. Dan begitu telah dikupas, diserahkannya pada Kartugi, setelah terlebih dahulu dilubangi salah satu bagian batoknya.
Kini Kartugi pun meneguknya. Dalam waktu singkat, air kelapa itu telah tuntas diminum Kartugi. Maka Garuda Mata Satu segera mengupas lagi, sampai akhirnya tandas semuanya.
Garuda Mata Satu tidak merasa heran melihat tingkah laku Kartugi. Dia tahu, mengapa empat butir kelapa itu mampu dihabiskannya. Rasa panas yang membakar tubuh itulah yang menyebabkannya. Kartugi telah kehilangan banyak cairan di dalam tubuh, sehingga telah dilanda rasa haus yang amat sangat.
"Sekarang, apa yang ingin kau jelaskan padaku, Kartugi," ujar Garuda Mata Satu setelah sejenak membiarkan laki-laki berpakaian abu-abu itu telah puas minum air kelapa.
Kartugi tidak langsung menyahuti. Ditatapnya wajah Garuda Mata Satu beberapa saat lamanya. "Kalau tidak melihat sendiri, mungkin aku tidak akan percaya. Kau dulu adalah Kepala Gerombolan Garuda Sakti yang disegani. Tapi kini, diburu-buru bahkan hendak dibunuh anak buahnya sendiri. Ah! Sulit untuk dipercaya," desah Kartugi.
"Hhh...! Bukannya aku tidak mau memberitahukannya padamu, Kartugi. Tapi perlu diketahui, aku butuh waktu lama untuk menjelaskannya. Nantilah semuanya kuceritakan secara lengkap. Yang penting, sekarang katakanlah permintaanmu yang terakhir. Supaya kau tidak penasaran, untuk sementara ini kujelaskan kalau anak buahku telah berkhianat, karena ingin mengubah nasib. Mereka telah menemukan seorang pemimpin yang jauh lebih sakti daripadaku. Dan sang Pemimpin itu memiliki angan-angan tinggi. Nah, kurasa cukup. Sekarang, tolong jelaskan padaku mengenai sesuatu yang ingin kau utarakan."
Kartugi mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menerima alasan yang diajukan Garuda Mata Satu. "Aku ingin memberitahukan padamu mengenai Puspa Kenaka...."
"Puspa Kenaka?!" Garuda Mata Satu tersentak kaget. "Mengapa aku demikian pelupa? Justru tujuanku yang paling pokok ke sini adalah untuk melihatnya. Katakan, Kartugi. Apa yang terjadi terhadap dirinya?"
Kartugi tersenyum melihat tanggapan Garuda Mala Satu yang demikian penuh semangat. Tapi baru saja pertanyaan itu akan dijawabnya, tiba-tiba rasa mual melanda perutnya, kemudian merayap cepat ke atas. Dan....
"Huakh...!" Kartugi memuntahkan darah kental berwarna kehitaman dari mulutnya.
"Kartugi...!" pekik Garuda Mata Satu cemas. Dia tahu, kontrak hidup laki-laki berpakaian abu-abu itu tidak akan lama lagi.
Kartugi berusaha tersenyum untuk menunjukkan kalau tidak apa-apa. Tapi karena saat itu tengah merasakan sakit yang melanda dada, senyum yang ditunjukkannya jadi lebih mirip seringai.
"Aku.... Aku tidak apa-apa, Garuda Mata Satu," kata Kartugi dengan suara tersengal-sengal.
"Tapi...."
"Beri aku kesempatan bicara, Garuda Mata Satu. Waktuku tidak banyak lagi," potong Kartugi cepat, dengan suara semakin pelan dan terputus-putus.
Garuda Mata Satu kontan diam. "Sudah lama sekali Puspa Kenaka menanyakan tentang dirimu, Garuda Mata Satu. Semenjak kau pergi dan menitipkannya padaku, setiap hari dia selalu menanyakan kabar tentang dirimu...."
"Bagaimana kabarnya sekarang, Kartugi? Tentu dia sudah besar, bukan?" selak Garuda Mata Satu tidak sabar.
"Tenangkanlah hatimu, Garuda Mata Satu. Puspa Kenaka bukan saja sehat, tapi juga cantik bukan kepalang. Syukurlah kedatanganmu tepat pada waktunya. Memang saat ini dia sangat membutuhkan pelindung. Puspa Kenaka masih sangat muda, dan baru sembilan belas tahun. Aku khawatir, sepeninggal diriku dia akan diombang-ambingkan ganasnya dunia persilatan...," urai Kartugi panjang lebar. Suaranya terdengar melemah, sehingga membuat Garuda Mata Satu harus lebih mendekatkan telinga untuk bisa menangkap ucapannya.
"Lalu..., sekarang di mana dia, Kartugi?" desak Garuda Mata Satu buru-buru karena khawatir Kartugi akan keburu meninggal.
Kartugi tidak langsung menjawab pertanyaan Garuda Mata Satu. Dengan susah payah, napasnya yang sudah kembang kempis diatur. Nampaknya, waktu hidup untuknya sudah tidak lama lagi.
"Dia kusuruh pergi ketika ada orang yang memanggil-manggilmu. Ah! Puspa Kenaka benar-benar gadis yang tahu budi. Dia tidak mau meninggalkanku sendirian, karena khawatir akan terjadi sesuatu. Hingga terpaksa, aku membungkamnya dengan ucapan yang membuatnya menuruti kemauanku."
"Apa yang kau katakan padanya, Kartugi?"
"Kukatakan padanya, kalau dia tidak mau pergi, aku tidak akan bisa mati meram. Dan dia kuanggap sebagai murid yang tidak berbakti...," jelas Kartugi.
"Lalu..., kemana perginya, Kartugi?"
"Hhh..., hhh.... Aku..., aku tidak ta.... Akh...!"
Kartugi menghembuskan napas terakhir sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya. Namun meskipun demikian, sudah bisa diduga kelanjutan ucapan yang akan dikeluarkan Kartugi.
Garuda Mata Satu menatap mayat sahabatnya penuh rasa duka. Meskipun memang tidak ada pekik atau air mata kedukaan, tapi Garuda Mata Satu merasa sedih bukan kepalang. Dia berdiri dengan kepala tertunduk sebagai penghormatan terakhir pada rekannya.
* * *
Angin sejuk yang berhembus semilir serta kicau riang burung menyemaraki suasana pagi. Sang Surya tampak di kaki langit sebelah timur dalam bentuk bulatan berwarnamerah saga. Sehingga, menambah ceria suasana alam ini.
Tapi, keceriaan alam sekitarnya itu tidak sempat dinikmati seorang gadis berwajah cantik jelita berpakaian Jingga. Rambutnya yang dikepang dua, semakin menambah kecantikannya. Gadis berpakaian Jingga itu duduk bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah yang masih baru. Sekali lihat saja bisa diketahui kalau gundukan tanah itu adalah sebuah kuburan.
"Ki Kartugi...." Dengan suara tersendat-sendat karena isak tangis yang membuat tenggorokannya terasa tersekat, gadis berpakaian Jingga itu membuka suara. Sementara jari-jari kedua tangannya terus meremas-remas tanah.
"Mengapa kau meninggalkan diriku, Ki? Padahal, aku belum sempat membalas semua kebaikanmu? Ah! Aku bukan murid yang berbakti...."
Usai berkata demikian, gadis berpakaian Jingga itu menundukkan kepala. Bahunya tampak terguncang-guncang, berusaha menahan sedih yang menggelegak. Mendadak gadis berpakaian Jingga itu menoleh ke belakang. Betapa tidak? Pendengarannya yang cukup terlatih menangkap adanya langkah-langkah kaki dari arah tersebut.
Ternyata, dugaannya benar. Di belakangnya, kini berdiri serombongan orang yang memiliki wajah dan penampilan kasar. Mereka mengenakan seragam rompi, terbuat dari kulit buaya! Bergegas gadis berpakaian jingga itu bangkit. Sadar kalau orang-orang itu tidak bermaksud baik, maka sepasang matanya diusap untuk membersihkan butir-butir air bening yang siap mengalir. Dan kini sikapnya benar-benar waspada.
"Siapa kalian?! Dan, apa maksud kalian datang kemari?!" kata gadis berpakaian jingga itu keras, namun berusaha bersikap tenang. Dan menilik jari-jari tangan kanannya yang sudah meraba senjata di pinggang sebelah kanan, jelas dia telah siap bertempur.
"Ha ha ha...!"
Jawaban yang diterima gadis berpakaian jingga itu adalah tawa bergelak dari seluruh orang bertampang kasar. Karuan saja, hal itu membuat gadis itu merasa heran bercampur marah. Dia telah bertanya baik-baik, tapi malah dijawab dengan tawa keras dan tidak sedap didengar. Bagaimana tidak menjadi kalap?Meskipun demikian, dicobanya untuk bersabar.
"Kau keliru, Nisanak! Seharusnya bukan kau yang mengajukan pertanyaan, tapi kami!" sahut seorang yang berdiri paling depan. Terlebih dulu, tangan kanannya diangkat ke atas, sehingga membuat gelak tawa itu berhenti. Jelas, orang ini adalah pemimpin rombongan.
Orang itu memiliki tubuh kekar, penuh otot melingkar, dan berkepala botak. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebuah gada panjang dan berduri. Dan nampaknya, gada itu berat sekali. Tapi, justru laki-laki berkepala botak itu tidak terlihat merasa keberatan sama sekali. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalamnya cukup kuat.
"Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Kisanak?" kata gadis berpakaian jingga itu dengan alis berkernyit dalam.
"Kau memang bodoh atau berpura-pura goblok, Nisanak?! Kuharap, kau jangan menambah ruwetnya masalah ini. Cepat rubahlah kepura-puraanmu, sebelum nasibmu kuserahkan pada anak buahku!"
Seiring selesai ucapannya, laki-laki berkepala botak itu menudingkan jari telunjuknya ke belakang. Bagai diberi perintah, gadis berpakaian jingga itu mengikuti arah tudingan. Dan seketika itu pula, hatinya merasa ngeri! Belasan orang berpakaian dari kulit buaya itu tampak menatap dengan sorot mata seperti seekor serigala yang tengah melihat seekor anak domba gemuk! Liar, dan penuh nafsu!
Laki-laki berkepala botak itu memang telah kenyang pengalaman. Itulah sebabnya, perasaan yang tengah berkecamuk dalam hati gadis berpakaian jingga itu langsung diketahuinya. Dan sepertinya, gadis itu memang masih polos dan lugu.
"Nah! Sekarang kuceritakan masalahnya," lanjut laki-laki berkepala botak itu penuh nada kemenangan. "Di sini adalah tempat tinggal buruan kami. Namanya Garuda Mata Satu."
Laki laki berkepala botak itu menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. "Beberapa orang kawan kami telah berangkat kemari lebih dulu untuk menangkap Garuda Mata Satu. Tapi rupanya mereka gagal. Buktinya, mayat-mayat mereka menggeletak di sini," laki-laki berkepala botak itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, merayapi mayat Wasila dan tiga anak buahnya. "Kau lihat mayat empat orang itu?"
Tanpa sadar, gadis berpakaian Jingga menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"Nah! Perlu kau ketahui, Nisanak. Mereka adalah kawan-kawan kami. Ini berarti Garuda Mata Satu telah membunuh mereka. Yang masih menjadi pertanyaan bagi kami, mengapa kau berada di tempat ini? Lalu, siapakah orang yang terbaring dalam kuburan yang masih baru itu? Sepertinya, dia masih ada hubungan dengan dirimu. Lalu, ke manakah perginya buruan kami?" tanya laki-laki berkepala botak itu, bertubi-tubi.
"Aku di sini, karena ini adalah tempat tinggalku bersama ayahku," jawab gadis berpakaian Jingga memulai keterangannya.
"Siapa nama ayahmu?" tanya laki-laki berkepala botak penuh gairah.
"Kartugi. Dan sekarang, dia telah tiada. Orang yang berada di dalam kuburan itu adalah ayahku. Salah satu dari empat orang inilah yang telah membunuhnya, dengan menggunakan racun."
"Lalu..., siapa yang telah membunuh kawan-kawan kami kalau ayahmu tewas di tangan mereka?" desak laki-laki berkepala botak itu tidak sabar.
"Seorang laki-laki berpakaian coklat yang mengenakan penutup mata sebelah...."
"Garuda Mata Satu...," desah laki-laki berkepala botak. "Kau tahu ke mana perginya?"
Gadis berpakaian Jingga itu hanya menggelengkan kepala.
"Terima kasih atas keteranganmu, Nisanak. O, ya. Kami lelah sekali menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. Kami ingin beristirahat dirumahmu. Dan kami harap, kau sudi menemani...."
"Aku tidak mau! Aku ingin pergi!" sentak gadis berpakaian Jingga itu keras.
Wajah laki-laki berkepala botak itu berubah kelam. "Rupanya kau lebih suka kalau diperlakukan kasar, Wanita Dungu! Baik! Kalau itu maumu, kuturuti!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkepala botak itu melangkah maju. Kedua tangannya diulurkan, berusaha memeluk tubuh gadis berpakaian jingga itu.
Wuttt!
Ternyata laki-laki berkepala botak itu hanya memeluk angin, begitu sasarannya telah melangkah mundur sambil menghunus senjata.
Trekkk!
Kini di tangan kanan gadis berpakaian jingga telah tergenggam sebuah kipas berwarna hitam yang rangka-rangkanya terbuat dari baja-baja berujung runcing.
"Keparat! Berani kau mempermainkan Buaya Sungai Luwing?" bentak laki-laki berkepala botak, marah.
Laki-laki berkepala botak yang ternyata berjuluk Buaya Sungai Luwing itu kembali melancarkan serangan. Hanya saja, kali ini serangan yang dikirimkan tidak selunak sebelumnya. Disadari kalau gadis berpakaian jingga itu bukan orang lemah.
Wut, wut, wut!
Buaya Sungai Luwing melancarkan sampokan bertubi-tubi ke arah bahu gadis berpakaian jingga itu. Rupanya meskipun tengah dilanda amarah, laki-laki berkepala botak itu masih merasa sayang untuk membunuh korbannya yang demikian cantik.
Gadis berpakaian jingga itu tampak gugup menghadapi serangan lawannya. Dalam pandangan matanya, tangan Buaya Sungai Luwing tidak hanya dua buah, tapi puluhan. Sehingga, pandangannya jadi berkunang-kunang.
Meskipun demikian, gadis berpakaian jingga itu tidak pasrah saja menerima nasib. Dan dia memang tidak bisa melihat jelas serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Tapi keinginannya untuk menyelamatkan diri, membuatnya berusaha sekuat tenaga menjegal serangan Buaya Sungai Luwing. Kipas bajanya cepat dikibas-kibaskan untuk menjegal serangan yang akan meluncur ke arahnya. Namun....
Wut, wut, wuttt!
Tappp! Tukkk!
"Akh...!" Rentetan kejadian yang berlangsung sukar diikuti mata biasa. Karena tahu-tahu gadis berpakaian jingga itu memekik pelan, kemudian roboh di tanah.
Memang, dengan gerakan mengagumkan, Buaya Sungai Luwing telah menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu membuatnya tertotok lemas.
"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kesaktian Buaya Sungai Luwing, Wanita Bodoh! Dan atas penolakanmu tadi, kau akan mendapat hukumannya. Tubuhmu akan kunikmati sampai puas. Kemudian, kau akan digilir sampai mati oleh semua anak buahku!"
"Manusia iblis! Lebih baik kau bunuh saja aku!" teriak gadis berpakaian jingga itu penuh rasa takut.
Kalau saja mampu bergerak, tentu akan diserangnya laki-laki berkepala botak itu mati-matian. Tapi sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan kepalang. Jangankan untuk menyerang, menggerakkan ujung jari pun tidak mampu.
"Ha ha ha...! Membunuhmu? Hanya orang bodoh yang mau membunuh wanita cantik sepertimu, tanpa menikmatinya lebih dulu! Dan aku bukan orang bodoh! Maka sebaiknya tubuhmu kunikmati dulu, Wanita Dungu! Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang belum putus, Buaya Sungai Luwing membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tangannya pun digerakkan. Dan....
Brettt!
Suara kain robek terdengar ketika tangan Buaya Sungai Luwing yang berotot dan penuh bulu menjambret baju gadis berpakaian Jingga di bagian dada. Tak pelak lagi, dua bukit kembar indah menantang pun menyembul keluar.
"Auw...! Iblis keji! Bunuh saja aku!" jerit gadis berpakaian jingga itu. Suaranya terdengar mengandung isak, karena rasa takut yang melanda.
"Ha ha ha...!"
Hanya tawa bergelak dari Buaya Sungai Luwing dan anak buahnya yang menyambuti jerit ketakutan gadis berpakaian jingga itu. Tawa yang agak tertahan-tahan karena nafsu birahi telah menyelimuti hati dan pikiran mereka, ketika melihat kulit tubuh gadis berpakaian jingga yang putih mulus!
Kelihatannya kelanjutan nasib yang menimpa gadis berpakaian jingga sudah bisa ditebak. Apalagi, ketika tangan Buaya Sungai Luwing kembali terulur. Bukan mengarah baju lagi, tapi pakaian bawah! Tapi, sebelum tangan itu mencapai sasaran, mendadak...
Wuttt!Tukkk!
"Akh...!"
EMPAT
Jeritan pendek bernada kesakitan keluar dari mulut Buaya Sungai Luwing, ketika sebuah batu sebesar ibu jari tangan menghantam telak punggung tangannya. Rasa sakit amat sangat, seketika menyengat bagian yang terkena timpukan tadi. Nyeri bukan kepalang membuat maksud untuk menjarah sekujur tubuh gadis berpakaian jingga itu diurungkannya.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani mengganggu Buaya Sungai Luwing?!" teriak laki-laki berkepala botak ini keras bernada ancaman.
Ucapan itu dikeluarkan Buaya Sungai Luwing sambil mengarahkan pandangan ke arah asal batu tadi terlempar. Hal yang sama pun dilakukan seluruh anak buahnya. Dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu tadi terlupakan.
Buaya Sungai Luwing dan anak buahnya kini bisa mengetahui orang yangtadi telah bertindak lancang. Dalam jarak sekitar empat tombak dari mereka, berdiri dua sosok tubuh yang memiliki perbedaan yang amat menyolok. Baik warna pakaian, jenis kelamin, maupun keadaan tubuh.
Yang seorang adalah seorang pemuda tampan. Namun, penampilannya terlihat angker! Betapa tidak? Wajahnya yang terlihat jantan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan. Mirip rambut orang yang berusia lanjut!
Rambut yang seperti benang-benang perak itu terurai sampai ke bahu, sehingga menutupi sebagian guci yang terletak di punggung. Pakaiannya ketat berwarna ungu, menampakkan kegagahannya.
Sama seperti halnya pemuda berpakaian ungu, gadis yang berdiri di sebelahnya pun memiliki wajah cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Pakaian putih yang dikenakan dan rambutnya yang panjang terurai sampai ke pinggang, semakin menambah kecantikan wajahnya.
Namun bertenggernya sebatang pedang di punggung, menandakan kalau gadis berpakaian putih ini bukan wanita lemah. Dan dengan langkah tenang menyorotkan kepercayaan diri yang besar, sepasang anak muda yang sama-sama berwajah elok ini menghampiri Buaya Sungai Luwing dan gerombolannya.
Sementara, Buaya Sungai Luwing yang memang tengah murka, jadi menggeram. "Grrrhhh...! Akan kuhancurkan tulang-belulang kalian," desis Buaya Sungai Luwing sambil menyambar gada berduri yang tadi dititipkan pada salah seorang anak buahnya, ketika hendak memaksakan kehendaknya pada gadis berpakaian jingga.
"Kau selamatkan gadis itu, Melati," kata pemuda berambut putih keperakan itu pada gadis berpakaian putih.
"Baik, Kang," sahut Melati, patuh. Memang, gadis berpakaian putih itu tak lain dari Melati. Dan dia juga putri angkat Raja Bojong Gading. Dan pemuda berambut putih keperakan itu tak lain dari Arya Buana yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
Dengan sikap tenang, Dewa Arak tampak menghampiri Buaya Sungai Luwing yang juga tengah melangkah ke arahnya. Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa langkah lagi, Buaya Sungai Luwing berhenti. Dengan senyum terkembang di bibir, Dewa Arak juga berhenti.
"Kau... kau... Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya Buaya Sungai Luwing setengah terbata-bata. Memang, laki-laki berkepala botak ini mendadak teringat akan selentingan kabar mengenai tokoh muda yangmenggemparkan dunia persilatan itu.
"Kalau benar, mengapa? Dan kalau tidak, kenapa, Kisanak?" Dewa Arak malah balas bertanya.
"Keparat! Tutup mulutmu, Bangsat Kecil! Siapa pun kau, apabila aku tengah bertanya, haram hukumnya mengajukan pertanyaan pula! Dan kau hanya berhak menjawab, tahu?!" sergah Buaya Sungai Luwing berang.
"Tidak usah banyak cakap, Kisanak! Majulah cepat! Aku sudah tidak sabar lagi mematahkan tanganmu yang kurang ajar itu!" sambut Dewa Arak tak kalah marah.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang tengah dilanda amarah. Masalahnya, Dewa Arak paling benci pada penjahat pemerkosa wanita. Pendiriannya sudah ditetapkan untuk membasmi penjahat semacam itu! Itulah sebabnya, dia tidak ragu-ragu lagi mengajukan tantangan.
"Keparat! Rupanya kau harus merasakan kekerasan gada Buaya Sungai Luwing! Barangkali saja kau bisa bersikap lebih sopan di lain hari!
Hiyaaat...!"
Tanpa memberi kesempatan lagi, Buaya Sungai Luwing langsung melancarkan serangan. Gada berduri yang tergenggam di tangan kanannya langsung diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengawali meluncurnya serangan itu menjadi pertanda kuatnya tenaga dalamnya. Bahkan mungkin hanya sekali hantam saja, sebongkah batu karang sebesar kerbau mampu dihancurkan dengan sekali pukul!
Tapi orang yang mendapat serangan seperti itu adalah Dewa Arak! Seorang tokoh sakti yang walau usianya muda, namun pengalamannya amat luas. Maka dalam menghadapi serangan itu, Dewa Arak sama sekali tidak gugup.
"Hup!"
Wusss!
Hanya dengan melangkahkan kaki kanannya ke belakang sambilmendoyongkan tubuh, Dewa Arak telah membuat serangan gada berduri Buaya Sungai Luwing hanya mengenai tempat kosong. Senjata yang mengerikan itu hanya lewat beberapa jari dari wajah Dewa Arak.
Sehingga, sambaran anginnya yang keras membuat pakaian dan rambut pemuda berambut putih keperakan itu berkibar keras. Bisa dirasakan kalau tenaga yang terkandung dalam serangan itu memang tidak main-main.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu gada lawan telah lewat di depan wajahnya, tangan kanannya digerakkan menangkap pergelangan tangan lawan. Tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu segera melancarkan serangan balasan dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Tappp!
Cepat bukan kepalang gerakan tangan Dewa Arak. Sehingga sebelum Buaya Sungai Luwing menyadari, pergelangan tangan kanannya telah tercekal.
"Heh?!" Buaya Sungai Luwing berseru kaget, namun tidak lantas jadi gugup. Berkat pengalamannya bertempur selama ratusan kali, langsung dilakukannya tindakan untuk menyelamatkan tangannya. Buaya Sungai Luwing langsung menarik tangannya agar bisa lepas dari cekalan tangan Dewa Arak. Tapi, maksudnya ternyata tidak sampai.
Jangankan melepas, untuk mengguncangkan pun tidak mampu! Meskipun tahu kalau usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil, Buaya Sungai Luwing tidak menyerah begitu saja. Tambahan lagi, dia terhitung orang keras kepala dan sukar menyadari kalau orang lain memiliki kemampuan di atasnya. Itulah sebabnya, dia terus memaksakan diri untuk membebaskan tangannya dari cekalan Dewa Arak. Begitu keras kemauannya, sampai-sampai terdengar suara merintih lirih darimulutnya.
Sementara itu, Dewa Arak tampak biasa-biasa saja. Baik pada wajah, maupun tangannya. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu mengerahkan tenaga.
"Sekarang giliranku, Kisanak," kata Dewa Arak setelah membiarkan Buaya Sungai Luwing berusaha keras membebaskan diri dari cekalannya. Usai berkata demikian, jari-jari tangan Dewa Arak bergerak meremas.
Krrrkkk!
"Aaakh...!" Buaya Sungai Luwing menjerit kesakitan, seiring terdengarnya suara berderak pelan tulang pergelangan tangannya yang hancur. Seketika itu pula, genggaman jari tangannya pada gada mengendur. Maka, senjata berat itu pun jatuh berdebuk di tanah.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Sehabis mencengkeram, tangan itu langsung bergerak membetot.
"Akh!" Untuk yang kedua kalinya, Buaya Sungai Luwing menjerit tertahan. Tulang sambungan siku dan bahunya langsung terlepas, ketika Dewa Arak melancarkan betotan. Tubuhnya juga kontan tertarik ke arah Dewa Arak. Maka, saat itulah kaki kanan Dewa Arak mencuat ke arah perutnya.
Wuttt! Bukkk!
"Hugkh!" Buaya Sungai Luwing mengeluarkan jerit tertahan ketika kaki Dewa Arak menghantam telak perutnya. Tubuh laki-laki berkepala botak itu langsung terlipat ke depan. Wajahnya merah padam, dan sepasang matanya melotot.
Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar saja. Sesaat kemudian, tubuh Buaya Sungai Luwing terkulai dan ambruk di tanah, kemudian diam untuk selama-lamanya. Tendangan Dewa Arak memang telah menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya.
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat, sehingga gerombolan anak buah Buaya Sungai Luwing tidak sempat berbuat apa-apa. Betapa tidak? Belum sempat mereka membantu, Buaya Sungai Luwing telah keburu tewas!
Tarikan wajah kebingungan dan sorot mata penuh perasaan tidak percaya memancar jelas dari seluruh anak buah gerombolan Buaya Sungai Luwing. Dan mereka belum menerima kenyataan kalau Buaya Sungai Luwing telah tewas!
Dan untuk beberapa saat lamanya, gerombolan anak buah Buaya Sungai Luwing itu terpaku. Beberapa saat lamanya mereka berlaku demikian. Namun begitu telah sadar kembali, mereka yang jumlahnya tak kurang dari dua belas orang itu menjadi murka!
Srat, srattt, sringgg!
Suara riuh rendah terdengar ketika belasan anak buah Buaya Sungai Luwing menghunus senjata masing-masing. Lalu diiringi teriakan keras memekakkan telinga, mereka serentak menyerbu Dewa Arak.
Apa yang menimpa Dewa Arak pun bisa diduga. Belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang dan golok tampak berkelebat menyambar ke berbagai bagian tubuhnya. Menghadapi serangan itu, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Sedikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda akan menangkis atau mengelak. Bahkan ketika hujan serangan itu menyambar demikian dekat, dia belum bertindak apa-apa.
Tentu saja hal itu membuat anak buah Buaya Sungai Luwing heran. Meskipun demikian, tetap saja serangan mereka terus dilanjutkan. Bahkan tetap dalam pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Dan ternyata, Dewa Arak memang tidak mengelakkan serangan itu. Akibat selanjutnya sudah bisa diduga. Belasan senjata tajam itu jelas mengenai secara telak pada sasaran.
Tak, tak, takkk!
Bunyi keras ketika senjata itu berbenturan dengan berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Namun, seakan-akan tubuh Dewa Arak tersusun dari logam keras!
"Hehhh...?!" Jerit keterkejutan terdengar susul-menyusul dari mulut belasan orang anak buah Buaya Sungai Luwing. Betapa tidak? Ternyata apa yang diharapkan atas tubuh Dewa Arak sama sekali tidak terjadi. Bahkan tangan yang menggenggam senjata tadi terasa lumpuh. Dan yang lebih gila lagi, mata senjata mereka langsung gompal!
"Puas?!" sindir Dewa Arak.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan belasan orang kasar yang masih terpaku atas kejadian yang dialami. Saat itu, sebagian dari mereka menatap ke arah Dewa Arak dengan pandangan takjub. Sebagian lagi, tengah merasakan sakit yang melanda tangan mereka. Sedangkan sisanya, menatap mata senjata yang gompal.
Dan seiring timbulnya kesadaran, belasan orang itu saling berpandangan satu sama lain. Sebentar saja hal itu dilakukan, untuk menghasilkan kata sepakat. Dan bagai diberi perintah, mereka kembali menyerang Dewa Arak.
Sing, sing, sing!
Suara berdesing dari senjata-senjata, mengiringi meluncurnya serangan itu. Dan seperti juga sebelumnya, anak buah Buaya Sungai Luwing menerjang Dewa Arak dari berbagai penjuru.
Kini kesabaran Dewa Arak pun habis. Semula lawan-lawannya hanya ingin dibuat gentar tanpa melukai. Tapi, rupanya anak buah Buaya Sungai Luwing ini keras kepala. Maka jalan satu-satunya untuk membuat mereka kapok hanya dengan kekerasan.
Itulah sebabnya, kini Dewa Arak tidak berdiam diri saja menghadapi hujan serangan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, semua serangan yang tertuju ke arahnya mudah saja dielakkan. Bagaikan bayangan, tubuhnya menyelinap di antara sambaran senjata-senjata lawan.
Sambil mengelak, Dewa Arak mengirimkan serangan ke arah lawan-lawannya. Kedua kaki dan tangannya berkelebat cepat! Ke manapun tangan dan kakinya meluncur, pasti ada tubuh lawannya yang terpental ke belakang diiringi jerit kesakitan.
Satu persatu anak buah Buaya Sungai Luwing roboh ke tanah dan tidak mampu bangkit lagi. Meskipun demikian, tidak ada satu pun di antara mereka yang mati atau terluka parah! Dewa Arak hanya membuat mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan saja. Hanya dalam waktu singkat, tak ada lagi satu pun anak buah Buaya Sungai Luwing yang masih berdiri tegak. Mereka semuanya tergolek di tanah.
Sebagian pingsan, sedangkan sisanya merintih-rintih kesakitan karena luka-luka yang diderita. Sementara, senjata-senjata mereka bergeletakan di sana sini. Tentu saja, sekarang hanya tinggal Dewa Arak seorang yang masih berdiri tegak.
Setelah memperhatikan keadaan lawan-lawannya sejenak, perhatiannya dialihkan pada Melati yang baru saja selesai berbincang-bincang dengan gadis berpakaian jingga. Memang, waktu Dewa Arak sibuk menghadapi lawan-lawannya, Melati membebaskan gadis berpakaian jingga dari totokan. Bahkan gadis itu rupanya telah berganti pakaian.
Dengan langkah tenang, Arya menghampiri Melati dan gadis berpakaian jingga itu. Dan seperti telah disepakati, kedua gadis itu melangkah berbarengan menghampiriDewa Arak.
"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Arya.
"Aku juga belum tahu, Kang," sahut Melati sambil menggelengkan kepala.
"Nah, Puspa Kenaka! Sekarang ceritakan, mengapa kau bisa bentrok dengan orang-orang kasar itu?"
Gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Puspa Kenaka itu tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah Arya dan Melati berganti-ganti. "Sebelum kuceritakan masalahnya, kuucapkan banyak terima kasih atas pertolongan kalian. Kalau tidak ada kalian berdua, tidak bisa kubayangkan hal yang akan terjadi pada diriku."
"Lupakanlah, Puspa," Melati yang mewakili Dewa Arak menanggapi.
"Orang hidup memang saling membutuhkan. Saat ini memang kami yang menolongmu. Tapi lain kali, bukan tidak mungkin kau yang ganti menolong. Jadi, lupakanlah hal itu. Dan sekarang, ceritakanlah semua kejadian yang kau alami."
"Baiklah," desah Puspa Kenaka, sambil menelan liur sejenak untuk membasahi tenggorokannya. Baru, setelah itu diceritakannya semua kejadian yang menimpa.
Arya dan Melati mendengarkan semua cerita Puspa Kenaka penuh perhatian. Sama sekali tidak diselak, hingga gadis berpakaian jingga itu mengakhiri penuturannya.
"Garuda Mata Satu?" tanya Arya dengan alis berkerut. Jelas, dia merasa heran. Betapa tidak? Meskipun belum pemah bertemu langsung, tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau Garuda Mata Satu adalah seorang pimpinan gerombolan perampok yang menamakan diri Gerombolan Garuda Sakti. Tapi, mengapa kini dikejar-kejar gerombolan Buaya Sungai Luwing?
Bukan hanya Dewa Arak saja yang sibuk berpikir. Melati pun demikian pula, karena juga telah mendengar selentingan kabar mengenai tokoh yang berjuluk Garuda Mata Satu itu. Itulah sebabnya, dia juga merasa bingung mendengar penuturanPuspa Kenaka.
Tapi Dewa Arak dan Melati terpaksa menunda dalam mencari jawaban atas masalah yang mengherankan, begitu mendengar adanya banyak langkah kaki yang menuju tempat ini. Hanya dalam sekejapan mata saja, sepasang pendekar muda ini langsung dapat mengetahui kalau jumlah langkah itu cukup banyak. Dan menilik dari suara yang terdengar, kepandaian yang dimiliki pemilik langkah itu sangat beragam.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan sebentar. Dan dalam waktu singkat, mereka bisa menebak perasaan yang bergayut di hati masing-masing, perasaan heran! Mereka heran, mengapa demikian banyak orang yang tengah menuju tempat ini?
Apakah tujuan mereka sama seperti gerombolan Buaya Sungai Luwing? Ataukah hanya sebuah kebetulan belaka?
Mula-mula, hanya Dewa Arak dan Melati saja yang mendengar suara langkah itu. Tapi karena semakin lama semakin jelas terdengar, Puspa Kenaka jadi mendengar pula. Ini membuktikan kalau para pemilik langkah itu benar-benar menuju tempat Dewa Arak, Melati, danPuspa Kenaka berada.
"Apakah kalian tidak mendengar sesuatu?" Puspa Kenaka yang tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya, langsung mengajukan pertanyaan. Hampir berbareng, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala pertanda mengiyakan. Sebuah senyum lebar yang dimaksudkan untuk menenangkan hati Puspa Kenaka, tersungging di mulut sepasang pendekar muda itu.
"Rasa-ranya, jumlah mereka tak kalah banyak dari anak buah Buaya Sungai Luwing," kata Puspa Kenaka lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah sosok-sosok yang masih bergeletak di tanah.
"Maksudmu, jumlah mereka sekitar lima belas orang, Puspa Kenaka?" tanya Melati ingin kepastian.
Puspa Kenaka menganggukkan kepala.
"Kau keliru, Puspa," sergah Melati dengan bibir tersungging senyum. "Jumlah orang yang tengah menuju kemari, tidak kurang dari lima puluh orang!"
"Ah!" desah Puspa Kenaka penuh keterkejutan bercampur tidak percaya.
Dengan sorot mata ingin meminta kepastian, Puspa Kenaka menatap Dewa Arak. Sedangkan pemuda berambut putih keperakan yang mengetahui arti tatapan itu, tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan Melati.
Baru saja Puspa Kenaka membuka mulut dan siap mengajukan pertanyaan, Dewa Arak telah menudingkan jari telunjuk ke depannya. Dan ketika Puspa Kenaka menoleh ke belakang, langsung terjingkat kaget. Kini, tampaklah pemandangan yang berjarak sekitar sepuluh tombak!
LIMA
Sebenarnya, bukan Puspa Kenaka saja yang merasa terkejut. Dewa Arak dan Melati pun demikian. Hanya saja, sepasang pendekar muda itu mampu menguasai perasaan, sehingga tidak tampak pada wajah.
Masih dengan raut wajah tidak menunjukkan perasaan apa pun, Dewa Arak dan Melati menatap ke arah rombongan yang terus bergerak mendekati tempat mereka.
Memang wajar kalau Dewa Arak, Melati, dan Puspa Kenaka sampai terkejut karenanya. Ternyata jumlah rombongan yang tengah bergerak mendekati tempat mereka tidak kurang dari seratus orang! Menilik dari macam-macam pakaian yang dikenakan, bisa diperkirakan kalau mereka terdiri dari banyak golongan. Itulah sebabnya di dalam benak Dewa Arak dan Melati berkecamuk pertanyaan. Apa tujuan rombongan yang demikian besar itu datang ke sini?
Belum lagi rasa kaget karena jumlah rombongan yang besar itu sima, Dewa Arak kembali terkejut dan bercampur khawatir begitu melihat gerakangerakan mereka. Memang, sebagian besar rombongan orang berwajah rata-rata kasar itu memiliki ilmu meringankan lubuh tingkat rendahan. Tapi, ada beberapa gelintir yang membuat hati Dewa Arak tercekat.
Dan terutama sekali, adalah sosok paling depan. Gerakannya ringan bukan kepalang. Bahkan ketika berlari, kedua kakinya seperti tidak menyentuh tanah. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya sudah hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
Sosok yang berlari paling depan ini mendapat perhatian penuh dari Dewa Arak. Dia mengenakan pakaian hitam. Tubuhnya kekar dan berotot, selaras dengan wajahnya yang kasar dan dipenuhi cambang bauk lebat. Rambutnya dikepang satu. Dan pada bagian ujung rambutnya, terpasang sebuah logam berbentuk bintang bersegi lima.
Dan di antara semua ciri-ciri itu, yang membuat orang merasa ngeri adalah sepasang matanya. Bagian yang mengelilingi titik hitam matanya berwarna kuning muda. Mirip mata seekor kucing!
Hanya dalam sekejapan saja, rombongan itu telah berada di hadapan Dewa Arak, Melati, dan Puspa Kenaka. Tentu saja laki-laki bermata aneh itu yang tiba lebih dulu. Menilik dari tindak-tanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki itu adalah ketua rombongan. Dan kini dia berdiri berjarak dua tombak di hadapan Dewa Arak dan rekan-rekannya.
"lkh...!" Jerit kengerian tertahan keluar dari mulut Melati dan Puspa Kenaka ketika melihat mata laki-laki berambut kepang itu. Tanpa sadar, mereka melangkah mundur. Sehingga, Dewa Arak-lah yang berdiri paling depan.
Kengerian Melati dan Puspa Kenaka terlihat jelas. Namun raut wajah laki-laki bermata mengerikan itu sama sekali tidak menggambarkan rasa tersinggung. Tarikan wajahnya tetap seperti biasa. Dingin, tanpa adanya pancaran perasaan apa-apa.
Dengan raut wajah dingin, dirayapinya satu persatu wajah-wajah yang berdiri di hadapannya. Mula-mula Dewa Arak, kemudian Melati, dan terakhir Puspa Kenaka. Dan tatapan itu membuat bulu kuduk merinding! Hanya Dewa Arak yang masih tetap terlihat tenang. Bahkan balas menatap dan memperhatikan.
"Ha ha ha...!
Mendadak laki-laki bermata mengerikan itu tertawa. Keras bukan kepalang, sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat bagai ada halilintar. Bisa diduga kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Yang lebih hebat lagi adalah akibat yang menimpa orang-orang yang berada di situ. Sebagian besar dari mereka langsung merasakan kedua lututnya lemas, seiring keluarnya suara tawa itu. Bahkan langsung jatuh terduduk! Hanya beberapa orang saja yang mampu bertahan. Mereka adalah Dewa Arak, Melati, dan beberapa orang anak buah laki-laki bermata mengerikan itu.
"Tidak salahkah penglihatanku? Benarkah kau Dewa Arak, Pemuda Sombong?!" tegur laki-laki bermata mengerikan itu dengan suara keras menggelegar.
"Itulah julukanku yang diberikan orang kepadaku, Kisanak. Kalau boleh kutahu, siapa namamu? Dan, mengapa kau membawa demikian banyak orang kemari?!" masih dengan sikap tenang, Dewa Arak balas mengajukan pertanyaan.
"Aku? Ha ha ha...! Kau ingin mengenalku, Dewa Arak? Ha ha ha...! Rupanya julukan yang kau sandang telah membuatmu besar kepala, heh?! Kau tahu, dengan siapa berhadapan sekarang?! Akulah si Mata Malaikat! Raja dari semua tokoh golongan hitam yang ada di seluruh jagat ini! Kau dengar?!" jawab laki-laki bermata mengerikan itu yang ternyata berjuluk si Mata Malaikat.
Agak berubah paras Dewa Arak ketika mendengar jawaban bernada keras dari si Mata Malaikat. Apalagi julukan Mata Malaikat telah cukup lama didengarnya. Menurut berita, tokoh itu belum lama muncul. Paling lama baru dua tahun. Namun dalam waktu demikian singkat telah mampu menggegerkan dunia persilatan!
Hal itu karena tindakannya amat menggegerkan dunia persilatan. Hampir tidak ada hari yang dilewatinya tanpa pertempuran. Dan hebatnya, semua lawan dikalahkannya. Yang tunduk dijadikan anak buah, sedangkan yang membangkang dibunuh!
Itulah sebabnya, bukan hal yang aneh kalau dunia persilatan geger. Apalagi, ketika Mata Malaikat seorang diri menghancur-leburkan perguruan-perguruan silat beraliran putih. Maka julukannya semakin membubung tinggi dan ditakuti. Sementara itu, Dewa Arak tidak mau berlama-lama tenggelam dalam alun pikirannya.
"Kau mengejekku, Mata Malaikat. Kalau dibanding julukan yang kau sandang, apa sih artinya julukan Dewa Arak yang baru berusia seumur jagung?!" sambut Dewa Arak merendah.
"Tidak usah sok merendah, Dewa Arak! Kau telah melukai anak buahku, berarti telah menantangku. Maka bersiaplah untuk menerima balasannya!" sergah si Mata Malaikat, tak sabar.
"Kau yang menjual, Mata Malaikat. Dan aku pembelinya. Maka tantanganmu kuterima. Pantang bagiku menolak tantangan. Lagi pula, aku memang bermaksud melenyapkanmu selama-lamanya. Telah kudengar sendiri sepak terjangmu selama ini. Dan aku berkewajiban untuk menanggulanginya!" jawab Dewa Arak mantap dan tegas.
"Tutup mulutmu, Dewa Arak!" bentak Mata Malaikat keras. "Ayo! Kalian tangkap kelinci-kelincimuda itu!"
Usai memberi perintah pada anak buahnya, Mata Malaikat langsung menerjang Dewa Arak. Jari-jari kedua tangannya disusun sedemikian rupa, sehingga berbentuk setengah mengepal. Dan dengan buku-buku jarinya, dilancarkannya serangan ke arah leher dan bawah hidung Dewa Arak.
Wut, wut, wut!
Deru angjn keras terdengar bersamaan dengan meluncurnya serangan itu. Dan ini menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Namun, Dewa Arak mengetahuinya, sehingga tidak berani bertindak gegabah. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara. Maka, serangan MataMalaikat hanyamengenai tempat kosong Tapi, Mata Malaikat tidak berdiam diri saja melihat serangannya berhasil dielakkan Dewa Arak.
Dalam keadaan masih berada di udara, tubuhnya menggeliat. Gila! Meskipun tidak ada tempat berpijak, tubuhnya mampu melenting ke depan untuk menyusul tubuh Dewa Arak. Pada saat yang bersamaan, kedua tangannya kembali diluncurkan ke arah dada Dewa Arak.
Dewa Arak terkejut melihat serangan susulan lawannya. Diperhitungkan kalau sebelum kedua kakinya hinggap di tanah, serangan lawan akan terlebih dulu mengenai sasaran. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis serangan itu.
Setelah mengambil keputusan demikian, Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya kedepan untuk memapak serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Dan....
Prattt!
Seketika terdengar suara gaduh seperti ada dua benda berat beradu, ketika dua pasang tangan berbenturan. Begitu dahsyatnya, sehingga udara di sekitar tempat itu sampai bergetar hebat!
Dan akibatnya, Dewa Arak dan Mata Malaikat sama-sama terjengkang ke belakang. Namun berkat kepandaian masing-masing yang sudah mencapai tingkatan tinggi, bukan merupakan hal yang sulit untuk mematahkannya. Baik Dewa Arak maupun Mata Malaikat sama-sama berjumpalitan beberapa kali di udara, mempergunakan daya lempar tubuh mereka.
Jliggg!
Hampir pada saat yang bersamaan, Dewa Arak dan Mata Malaikat mendaratkan kedua kakinya di tanah, ringan laksana sehelai daun. Kini, mereka berdiri berhadapan dalam jarak enam tombak.
Di saat Dewa Arak dan Mata Malaikat saling berpandangan seperti hendak mengadu kemampuan lewat pancaran sinar mata, Melati dan Puspa Kenaka mulai dihampiri anak buah Mata Malaikat. Sementara sebagian dari mereka menolong yang terluka.
Melati tahu, Puspa Kenaka bukan orang lemah. Tapi disadari pula kalau kemampuan yang dimiliki gadis berpakaian jingga itu hanya sekadarnya saja. Malah mungkin hanya mampu untuk menghadapi tiga orang anggota gerombolan yang memiliki tingkat kepandaian sekadarnya. Karena itulah, Melati segera melangkah maju. Sehingga, kini berada di depan Puspa Kenaka untuk melindunginya.
"He he he...! Mimpi apa aku semalam, sehingga bisa bertemu dua orang bidadari yang molek-molek," kata salah seorang dari empat anggota gerombolan yang berada di barisan terdepan.
Kulit wajah orang itu hitam kelam seperti arang. Sebuah rompi yang terbuat dari kulit beruang membungkus tubuhnya yang kecil kurus.
"Kau memang tidak bisa diam kalau melihat wajah cantik, Setan Kecil Muka Hitam," cela laki-laki berkepala botak. Tubuhnya gemuk, dan perutnya gendut.
"Kalau tidak memiliki sikap seperti itu, mana mungkin dia berjuluk Setan Kecil Muka Hitam, Setan Botak?" timpal rekan lainnya yang tubuhnya tinggi besar melebihi manusia biasa.
"Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak salah, Setan Tenaga Raksasa," sambung orang terakhir. Tubuhnya tinggi kurus, laksana galah. Anehnya, wajahnya tertutup sebuah topeng tengkorak kepala manusia.
Semua pembicaraan itu dikeluarkan dengan suara keras, sehingga Melati dan Puspa Kenaka yang dijadikan pokok pembicaraan mendengarnya. Dan Melati jadi terperanjat ketika mendengar sapaan mereka satu sama lain. Betapa tidak? Julukan-julukan tiga di antara mereka sudah pernah didengarnya. Mereka terkenal sebagai datuk-datuk golongan hitam di berbagai penjuru mata angin!
Kesaktian dan kekejaman tokoh-tokoh itu sudah terkenal di wilayah masing-masing. Selama belasan tahun, mereka telah bercokol di tempat kekuasaannya tanpa ada yang mampu mengalahkan. Dan karena kekejamannya, masing-masing tokoh mendapat julukan setan. Tidak aneh, meskipun orang terakhir belum disapa rekan-rekannya, tapi Melati sudah bisa menduga. Siapa lagi kalau bukan Setan Muka Tengkorak.
Dan begitu telah tahu tokoh-tokoh yang akan menjadi lawannya, Melati segera meningkatkan kewaspadaan. Maka seketika seluruh urat syarafnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, keempat lawannya seperti tidak ingin terburu-buru melancarkan serangan. Sikap mereka menunjukkan kalau Melati sama sekali tidak dipandang sebelah mata.
"Rasanya terlalu berlebihan kalau kita maju bersama-sama. Lebih baik, kalian semua menyingkir dan biarkan aku menundukkan wanita pemberani ini," usul Setan KecilMuka Hitam pada rekan-rekannya.
"Kau maunya memang selalu enak sendiri, Setan Kecil," cela Setan Botak yang rupanya gemar berbicara. "Tapi, baiklah. Aku mengalah. Hanya ingat, Setan Kecil. Wanita ini bukan makanan empuk."
Usai berkata demikian, Setan Botak berbalik dan menyingkir dari situ. Dengus penuh ejekan dari Setan Kecil Mulia Hitam terdengar mengiringi ayunan langkahnya. Namun Setan Botak sama sekali tidak mempedulikannya. Dan langkahnya terus saja terayun. Kini hanya Setan Muka Tengkorak yang masih berdiri di situ.
"Mengapa kau tidak menyingkir juga, Setan Muka Tengkorak?" tanya Setan Kecil Muka Hitam bernada teguran.
"Hmh! Kau lupa atau memang dungu, Setan Kecil. Ada dua wanita di sini. Dan wanita yang satu lagi adalah bagianku!"
Setan Kecil Muka Hitam tidak menyambuti ucapan itu. Disadari, alasan yang diajukan Setan Muka Tengkorak tidak keliru. Apalagi hatinya belum yakin akan mampu menundukkan Melati dalam waktu singkat. Dan dia tahu, Melati bukan orang sembarangan. Sorot mata Melati yang mencorong tajam laksana mata harimau dalam gelap, merupakan satu bukti kalau tingkat kepandaiannya sangat tinggi.
Sementara itu, Melati tahu kalau Setan Muka Tengkorak mendapat kesempatan menyerang Puspa Kenaka. Dan tentu saja gadis itu mudah ditundukkan. Dan itu tidak bisa dibiarkan terjadi. Maka sebelum datuk bertubuh tinggi kurus itu melancarkan serangan, dialah yang melancarkan serangan lebih dulu.
"Hih!" Diiringi pekikan keras yang menyakitkan telinga, putri angkat Raja Bojong Gading itu membuka serangan ke arah Setan Muka Tengkorak dengan jurus 'Naga Merah Kibaskan Ekor'. Dia melompat menerjang lawannya. Dan selagi berada di udara, tubuhnya berbalik sambil mengibaskan kaki. Sasaran yang dituju tidak tanggung-tanggung lagi. Pelipis!
Wuttt!
"Hebat," puji Setan Muka Tengkorak. Datuk tinggi kurus ini benar-benar mengagumi serangan Melati yang tidak bisa dipandang ringan. Dari deru angin keras yang mengiringi serangannya, sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga yang terkandung.
Meskipun demikian, bukan berarti Setan Muka Tengkorak menjadi gentar. Malahan tanpa ragu-ragu, kibasan kaki Melati dipapaknya dengan tangan kiri. Dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Plakkk!
Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun tidak terelakkan lagi. Dan akibatnya, Melati yang berada di udara jadi terpental balik ke belakang. Sedangkan Setan Kecil Muka Hitam terhuyung-huyung. Namun dengan gerakan manis, kedua tokoh yang berbeda jenis kelamin dan golongan ini berhasil mematahkannya.
Jliggg!
Begitu Setan Muka Tengkorak berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya, kedua kaki Melati hinggap di tanah tanpa suara.
"Kau hebat, Wanita Liar!" dengus Setan Muka Tengkorak bernada memuji.
Pujian itu tampaknya keluar dari lubuk hati Setan Muka Tengkorak. Dan hal itu bukan tanpa alasan. Buktinya tangan kanannya yang berbenturan dengan kaki Melati terasa kesemutan. Bisa diperkirakan tenaga dalam yang dimiliki kekasih Dewa Arak itu tidak berada di bawahnya.
Tapi sebelum Setan Muka Tengkorak sempat melancarkan serangan balasan, Setan Kecil Muka Hitam telah mendahuluinya. Datuk berwajah hitam itu langsung mengirimkan serangan berupa cengkeraman ke arah ubun-ubun Melati.
Cit, cit, cit!
Decit angin tajam dari udara yang terobek serangan Setan Kecil Muka Hitam menjadi bukti nyata, betapa bahayanya serangan yang dikirimkannya. Namun Melati bukan wanita kosong. Bahkan waktu pertama kali muncul di dunia persilatan, julukan yang dimilikinya telah mampu mengguncangkan dunia persilatan. Maka menghadapi serangan seperti itu, dia tidak menjadi gugup. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkah tubuh.
Dan hasilnya memang seperti yang diharapkan. Serangan Setan Kecil Muka Hitam hanyamengenai tempat kosong, beberapa jari di depan sasaran. Setan Kecil Muka Hitam sudah menduga kalau Melati akan berhasil memunahkan serangannya. Maka begitu serangannya gagal, kembali dikirimkan serangan susulan. Tentu saja Melati pun tidak tinggal diam. Maka terjadilah pertarungan sengit yang tidak bisa dielakkan lagi.
Menggiriskan dan menarik sekali pertarungan yang berlangsung antara Melati melawan Setan Kecil Muka Hitam. Sehingga, Setan Muka Tengkorak sampai terlupa dengan maksudnya semula, menangkap Puspa Kenaka. Dijauhinya kancah pertarungan, dan menonton seperti halnya Setan Botak, Setan Tenaga Raksasa, dan yang lainnya.
Melati tahu, keadaan sama sekali tidak menguntungkan. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikeluarkannya ilmu andalan yang bernama 'Cakar Naga Merah'. Hal yang sama pun dilakukan Setan Kecil Muka Hitam. Langsung dikeluarkannya jurus 'Harimau' yang dimilikinya. Hal ini membuat pertarungan yang berlangsung jadi menarik bukan kepalang.
Sementara itu di arena pertarungan lainnya, pertarungan antara Dewa Arak melawan Mata Malaikat berlangsung tidak kalah menarik. Kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi itu sudah bertarung hampir lima belas jurus. Namun selama itu, masing-masing pihak belum ada yang mengeluarkan ilmu andalan. Meskipun demikian, pertarungan yang berlangsung tidak kalah seru.
Tak terasa, sepuluh jurus kembali telah berlalu. Jurus demi jurus berlangsung secara cepat, karena gerakan dua tokoh yang tengah bertarung itu memang cepat. Bahkan jalannya pertarungan pun tidak bisa dilihat jelas oleh orang-orang yang berkepandaian lebih rendah. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu yang saling belit, tapi terkadang saling pisah.
Meskipun sibuk menghadapi Mata Malaikat, Dewa Arak sesekali masih sempat mengalihkan perhatian pada Melati dan Puspa Kenaka. Dan hasil dari pengamatannya sekilas, menumbuhkan perasaan khawatir di hatinya. Disadarinya kalau keadaan tidak menguntungkan, begitu melihat lawan berada di atas angin.
Dengan jelas Dewa Arak melihat kalau Melati tetap saja belum mampu mendesak lawannya. Padahal, jelas-jelas terlihat kalau gadis berpakaian putih itu telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Dari sini bisa dilihat kalau lawan yang dihadapi Melati memiliki kepandaian tinggi.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak tidak tenang. Menghadapi satu orang lawan masing-masing saja, dia dan Melati belum mampu berbuat banyak setelah sekian lamanya. Padahal, di belakang masih menunggu calon lawan-lawan lainnya yang memiliki kepandaian tidak kalah hebat. Kalau saja mereka turun bersama-sama, Dewa Arak Melati, dan Puspa Kenaka dalam bahaya besar. Menyadari akan keadaan ini, Dewa Arak memutuskan mencari saat yang tepat untuk menyelamatkan Melati dan Puspa Kenaka.
"Hih!" Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak melempar tubuh ke belakang, kemudian bersalto. Dan di saat itulah pemuda berambut putih keperakan ini menghentakkan kedua tangannya ke arah Mata Malaikat, melepaskan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas menyengat meluruk ke arah Mata Malaikat. Laki-laki bermata mengerikan ini terkejut bukan kepalang. Tapi dengan ketenangan mengagumkan, tubuhnya dibanting ke tanah, kemudian berguling. Maka serangan Dewa Arak hanya mengenai tempat kosong.
Namun, Dewa Arak memang tidak memikirkan keberhasilan serangannya yang memang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan di saat tubuh lawannya masih bergulingan di tanah, dia melompat menerjang Setan Kecil Muka Hitam.
"Minggir, Melati!"
Selagi tubuhnya masih berada di udara, Dewa Arak cepat mengirimkan sebuah serangan. Laksana seekor garuda yang tengah menerkam mangsa, diserangnya Setan Kecil Muka Hitam.
Setan Kecil Muka Hitam terkejut bukan kepalang. Saat itu, serangan maut Melati baru saja dihindarinya. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengelak. Terpaksa serangan yang dilancarkan Dewa Arak dipapaknya dengan sampokan kedua tangannya.
Prattt!
"Akh!" Setan Kecil Muka Hitam terpekik, karena perasaan kaget. Betapa tidak? Tubuhnya kontan terpelanting. Bahkan kedua tangannya terasa sakit, seperti lumpuh akibat benturan tadi.
Namun, tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Bahkan ketika hinggap di tanah, kedua kakinya langsung digenjot. Sehingga tubuhnya kembali melenting ke udara dengan manisnya. Hanya saja kali ini arahnya tertuju pada Puspa Kenaka.
"Cepat, Melati!" seru Dewa Arak. Dan....
Tappp!
Secepat pergelangan tangan Puspa Kenaka dicekal, secepat itu pula dibawanya pergi dari situ. Sedangkan Puspa Kenaka meskipun terkejut, namun sama sekali tidak meronta. Dibiarkan saja tindakan yang dilakukan Dewa Arak.
Sementara itu, Melati langsung mengetahui maksud kekasihnya. Maka tanpa membuang-buang waktu, kakinya segera digenjot. Seketika tubuhnya melesat cepat mengikuti Dewa Arak.
Setan Botak, Setan Tenaga Raksasa, dan Setan Muka Tengkorak, serta semua anak buah gerombolan Mata Malaikat bergerak mengejar. Tapi, baru juga beberapa langkah....
"Tahan!"
Seketika itu pula semua ayunan langkah kaki terhenti. Dan tentu saja mereka semua tahu siapa orang yang mengeluarkan bentakan tadi, kalau bukan Mata Malaikat. Mau tak mau mereka harus mematuhinya.
"Biarkan mereka pergi," kata Mata Malaikat lagi. "Tidak usah dikejar. Kita masih punya urusan yang lebih penting. Dan cecoro-cecoro itu bisa diurus belakangan."
Seketika itu pula, semua kepala yang berada di situ sama-sama terangguk.
"Nah! Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan yang tertunda," kata Mata Malaikat lagi.
Seiring selesai ucapannya, Mata Malaikat mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, diikuti datuk-datuk dari empat penjuru dunia persilatan. Berjalan di belakang keempat orang ini, adalah anak buah Mata Malaikat.
ENAM
"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas berat, Dewa Arak menghentikan larinya. Kelihatannya dia telah cukup jauh berlari dari tempat semula. Kini cekalannya pada tangan Puspa Kenaka dilepaskan.
"Berbahaya sekali...."
"Kau benar, Kang," sambut Melati, setelah juga menghentikan larinya.
"Kalau tidak mengalami sendiri, aku tidak akan percaya. Rombongan tokoh aliran hitam itu pergi berbondong-bondong dalam jumlah yang besar. Entah, apa yang mereka cari."
"Sepanjang yang kuketahui, mereka mencari-cari orang yang berjuluk Garuda Mata Satu," celetuk Puspa Kenaka.
Melati dan Arya mengangguk-anggukkan kepala.
'"Tapi rasanya janggal juga. Masak, hanya untuk mencari Garuda Mata Satu, pergi berbondong-bondong begitu?" bantah Arya kurang setuju.
"Dugaanku, seharusnya mereka berpencar dan membuat kelompok-kelompok. Karena dengan cara seperti itu, sudah pasti buruan akan lebih mudah ditemukan."
Puspa Kenaka langsung diam. Memang benar apa yang dikatakan Dewa Arak. Bahkan Melati juga terlihat mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menyetujui.
"Lalu, apa yang akan dikerjakan rombongan orang itu?" tanya Puspa Kenaka.
Sebenarnya, pertanyaan seperti itu tidak patut dikeluarkan. Masalahnya, Arya dan Melati sendiri tengah memikirkannya. Namun Dewa Arak bersikap bijaksana, tanpamencela pertanyaan yang dikeluarkan gadis berpakaian jingga itu.
"Aku sendiri tidak tahu, Puspa. Tapi yang jelas, dunia persilatan pasti akan geger. Bahaya besar telah mengancam. Aku tidak percaya, kalau rombongan yang dipimpin Mata Malaikat itu tidak mempunyai tujuan."
"Hhh...!" Melati menghela napas berat. Dirasakan adanya nada kekhawatir yang amat sangat dalam ucapan kekasihnya. "Kau benar, Kang. Gerombolan itu benar-benar berbahaya. Dengan jumlah sebanyak itu, mereka bisa melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kekacauan besar," sambut Melati.
Arya tidak langsung menanggapi ucapan Melati. Dia termenung sejenak, dengan dahi berkernyit dalam. "Siapa pun adanya Mata Malaikat itu, yang jelas mempunyai sebuah keinginan besar. Kalau tidak, untuk apa mempunyai demikian banyak anak buah?!"
"O, ya. Kau tahu empat orang yang tadi menghampiriku dan Puspa Kenaka, Kang?"
Arya menggelengkan kepala.
"Kau tidak mendengar pembicaraan mereka?" tanya Melati, lebih penasaran.
"Sayang sekali, Melati. Saat itu aku tengah bertarung dengan Mata Malaikat sehingga tidak sempat memperhatikan. Apalagi, saat itu kulihat kau belum bertarung. Jadi, perhatianku terpusat pada Mata Malaikat." jelas Arya, mengandung penyesalan.
"Mereka adalah datuk-datuk golongan hitam di empat penjuru angin, Kang," jelas Melati penuh semangat. "Yang bermuka hitam, datuk dari timur. Yang tinggi kurus, datuk dari barat. Yang berkepala botak, datuk dari selatan. Sedangkan yang terakhir datuk dari utara."
"Ah!" desah Arya kaget. Pemuda berambut putih keperakan ini memang terkejut bukan kepalang, karena nama besar datuk-datuk golongan hitam di empat penjuru mata angin itu sudah kerap didengarnya. Jadi, tadi Melati menghadapi salah seorang di antaranya? Pantas mereka demikian lihai! Desis Arya dalam hati.
"Kalau begitu, hal ini bukan merupakan urusan kecil lagi, Melati. Sudah amat berbahaya! Tidak mungkin Mata Malaikat menundukkan datuk-datuk golongan hitam di empat wilayah itu kalau tidak mempunyai sebuah tujuan besar!" duga Arya dengan nada suara semakin terdengar penuh kegelisahan.
"Mungkinkah rombongan itu hendak menyerbu kerajaan, Kang?" terka Melati.
"Dugaanmu mempunyai dasar kuat, Melati. Aku juga menduga seperti itu. Tapi, kerajaan mana yang akan diserbu. Begitu banyak kerajaan dan kadipaten yang dapat mereka tempuh dari tempat pertarungan kemarin. Hhh...! Sulit menebaknya."
Melati pun diam. Sementara, Arya menghentikan ucapannya. Puspa Kenaka yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar saja, belum juga membuka suara. Dan kini suasana di sekitar tempat itu pun hening.
"Kunci satu-satunya hanya pada Garuda Mata Satu. Aku yakin, dia mengetahui rencana Mata Malaikat, sehingga dicari-cari. Gerombolan orang berseragam coklat dan gerombolan Buaya Sungai Luwing telah menjadi bukti, betapa Mata Malaikat amat menginginkan Garuda Mata Satu ditangkap.
Padahal, untuk apa sih seorang Garuda Mata Satu bagi Mata Malaikat? Aku yakin kepandaiannya tidak terlalu berarti. Bahkan mungkin tidak berbeda jauh dengan Buaya Sungai Luwing. Jadi, masih amat jauh di bawah empat datuk itu," urai Arya panjang lebar.
"Kau benar, Kang. O, ya. Apakah tidak sebaiknya kita mencari Garuda Mata Satu?"
Lagi-lagi Arya tidak langsung menjawab. Dia tercenung, dengan sepasang mata menerawang jauh ke langit. "Bagaimana kita harus mencarinya, Melati. Kita buta sama sekali tentang ciri-cirinya. Andaikata bertemu pun, mungkin kita tidak mengenalinya," sahut Arya.
"Mengapa kau begini bodoh, Kang," cela Melati. "Kita bisa saja toh, mencari beritanya di sepanjang perjalanan."
Dewa Arak tersenyum sabar. "Pemikiran seperti itu sudah masuk dalam benakku, Melati. Tapi bagaimana dengan rombongan Mata Malaikat? Haruskah kita mencari Garuda Mata Satu, dan kita biarkan gerombolan Mata Malaikat merajalela?"
Kontan Melati menutup mulutnya dengan wajah memerah. Hal seperti itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya. "Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, lirih dan putus asa.
"Boleh aku bicara, Kang Arya, Melati," celetuk Puspa Kenaka, hati-hati.
Diliriknya wajah pemuda berambut putih keperakan itu sekejap. Memang sejak pertemuan pertama, Puspa Kenaka telah menaruh hati pada Dewa Arak. Hanya saja, hal itu mampu disembunyikannya. Namun diam-diam matanya selalu mencuri pandang wajah Arya bila ada kesempatan.
Bagai diberi perintah, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala pertanda membolehkan.
"Sebelumnya aku terlebih dulu meminta maaf. Bukannya aku sok pintar atau memihak salah satu di antara kalian berdua, tapi hanya ingin mengajukan pendapat saja," ucap Puspa Kenaka, hati-hati sekali.
"Katakanlah, Puspa. Tidak usah ragu-ragu. Kami bukan anak-anak kecil yang mudah marah oleh hal-hal sepele," sambut Arya memberi jaminan.
"Terima kasih, Kang Arya," ucap Puspa Kenaka yang membuat sebelah alis Melati naik ke atas. Entah mengapa bila ada gadis lain, apalagi yang memiliki wajah cantik, memanggil kekasihnya seperti itu, hati Melati jadi terasa panas.
"Begini, Kang Arya, Melati. Kalau menurut pendapatku, memang lebih baik kita mencari Garuda Mata Satu lebih dulu..."
"Kita?" potong Melati cepat "Jadi, kau juga akan ikut dengan kami?"
Wajah Puspa Kenaka kontan memerah mendengar ucapan Melati yang tiba-tiba. Bahkan Arya sendiri pun terkejut mendengar ucapan kekasihnya. Sampai-sampai pandangannya dialihkan ke arah Melati.
Seperti juga Melati, Dewa Arak merasa keberatan kalau Puspa Kenaka terus berada bersama mereka. Bagaimanapun juga, menempuh perjalanan hanya berdua dengan Melati, jauh lebih nikmat. Namun, Arya tidak sampai hati untuk mengutarakan keberatannya pada Puspa Kenaka. Maka karuan saja, Dewa Arak merasa kaget mendengar Melati menunjukkan keberatannya. Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa,Puspa Kenaka telah mendahuluinya.
"Melati.... Maksudku..., nggg.... Aku..., aku tidak bermaksud demikian. Dan, eh! Kalau kalian merasa keberatan, biarlah aku pergi."
Setelah terbata-bata mengucapkan kata-kata, Puspa Kenaka berbalik. Kemudian, kakinya melangkah meninggalkan Dewa Arak dan Melati. Melihat hal ini, Arya tidak tinggal diam.
"Puspa! Tunggu sebentar!" cegah pemuda berambut putih keperakan itu.
Sementara Melati hanya diam saja. Gadis berpakaian putih ini masih merasa bingung harus berbuat apa.
"Cegah dia pergi, Melati," pinta Arya pada Melati, ketika melihat Puspa Kenaka sama sekali tidak mempedulikan panggilannya dan terus berlari.
Melati tidak langsung melaksanakan permintaan kekasihnya. Malah sebaliknya, ditatapnya wajah Dewa Arak. Ada sorot penentangan di sana.
"Rupanya, kau telah terpikat oleh kecantikannya, Kang?! Mengapa tidak kau saja yang mengejarnya?!" tandas Melati, berapi-api dibakar rasa cemburu.
"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Melati!? Kau ingin pertolongan kita terhadapnya sia-sia? Dengan bekal kepandaian seperti itu, keselamatannya akan selalu terancam. Kau tahu sendiri, kan, kerasnya dunia persilatan?"
Pelan dan lembut Arya memberi penjelasan. Meskipun ada nada teguran di dalamnya, tapi terdengar halus. Hanya saja, Melati masih tetap diam. Meskipun disadari akan adanya kebenaran dalam ucapan kekasihnya, tapi perasaan cemburu membuatnya tidak langsung membenarkan kata-kata Arya.
"Percayalah, Melati. Puspa Kenaka tidak akan lama ikut dalam perjalanan bersama kita. Nanti kita akan menitipkannya di tempat yang aman," lanjut Arya penuh kesabaran. Dewa Arak memang sudah bisa menduga, mengapa kekasihnya bertindak seperti itu. "Maukah kau mencegahnya, Melati?"
Sambil berkata begjtu, Arya mengulurkan tangannya membelai rambut Melati.
"Huh! Kau memang paling pintar membujuk orang!" dengus Melati pura-pura marah. Kemudian, gadis itu melesat mengejar tubuh Puspa Kenaka yang sudah berada di tempat yang agak jauh.
"Ha ha ha...!" Arya hanya tertawa lunak. Dipandanginya punggung Melati yang telah berada beberapa tombak di depannya.
* * *
Melati mengerutkan alis ketika tidak menjumpai adanya Puspa Kenaka. Padahal, jelas-jelas gadis berpakaian jingga itu tadi dilihatnya menerobos bagian semak-semak yang lebat karena tertutup akar gantung dari sebuah pohon. Memang, Melati kini berada di sebuah perkebunan yang cukup luas yang banyak ditumbuhi semak dan pepohonan di sana sini.
Kembali Melati mengedarkan pandangan berkeliling. Namun tetap saja tidak melihat keberadaan Puspa Kenaka. Mustahil gadis berpakaian jingga itu bisa lenyap demikian cepat. Dan kini tak jauh di depannya melintang sebuah sungai. Sementara di kanan dan kirinya penuh pohon berduri. Melati yakin, bila Puspa Kenaka terus melarikan diri bakalan terkejar. Tapi kesimpulannya, gadis berpakaian jingga itu sengaja menyembunyikan diri!
Yakin akan dugaannya, Melati segera memusatkan pendengarannya. Dia yakin, apabila Puspa Kenaka masih berada di situ, setidak-tidaknya desah napasnya akan terdengar. Usaha Melati ternyata tidak sia-sia. Buktinya, kini terdengar suara desah napas yang asalnya dari atas pohon!
Kenyataan ini tidak mengejutkan Melati, kalau saja tidak mendapat kenyataan lain. Desah napas yang didengarnya, tidak berasal dari satu orang! Dan ternyata, paling sedikit berjumlah tiga orang!Tidak salahkah pendengarannya?
Didorong oleh rasa penasaran, membuat Melati mengarahkan pandangan ke arah pohon tempat suara desah napas itu berasal. Tapi baru saja menengadah....
Brrr...!
Seketika debu-debu halus menyambar ke arah wajah Melati. Dan dengan gerak cepat, gadis berpakaian putih ini menolehkan kepala ke samping, serta melindungi bagian wajah dengan kedua tangan. Mau tak mau. Melati juga memejamkan kedua matanya dan hanya pendengarannya yang kini digunakan. Maka saat itu sepasang telinganya menangkap suara-suara mendesing nyaring yang menyambar dari beberapa arah.
Melati terkejut bukan kepalang, karena berada dalam keadaan sulit. Adalah merupakan perbuatan yang tidak mungkin untuk membuka matanya, kalau tidak ingin debu-debu yang masih tersebar di udara itu akan masuk ke dalam matanya. Dan tentu saja Melati tidak menginginkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya Melati cepat memutuskan untuk menghadapi serangan tanpa membuka matanya. Perhatiannya dipusatkan pada kedua telinganya.
Dan bagi seorang yang memiliki kepandaian tinggi sepertinya, untuk melakukan hal demikian bukanlah pekerjaan sulit. Dari suara deru angin yang mengiringi tibanya serangan, Melati sudah tahu arahnya dan seberapa kuat tenaga dalam orang yang mengirimkannya. Dan atas penilaian yang didapat, tanpa ragu-ragu lagi dia segera bertindak.
Melati tidak mau bertindak sembrono. Padahal, dia tahu kalau tenaga dalam orang yang mengirimkan serangan-serangan gelap itu tidak berapa kuat. Bahkan kalau ditangkis, kedua tangannya tidak akan terluka. Sekalipun, andaikata benda-benda yang meluncur itu terdiri dari benda-benda tajam! Maka, sekuat tenaga diusahakannya untuk mengelakkan setiap serangan yang datang.
Tapi serangan yang meluncur ke arahnya terlalu banyak dan demikian bertubi-tubi. Akhirnya, sebuah serangan yang menuju ke arah leher tidak bisa dielakkannya. Maka, mau tak mau serangan itu terpaksa dipapak dengan sampokan tangan kanannya. Dan....
Darr!
Melati terjingkat ke belakang bagai orang disengat ular berbisa. Betapa tidak? Benda yang dikirimkan lawan ternyata meledak ketika berbenturan dengan tangannya! Seketika itu pula, rasa sakit dan ngilu menjalari tangan. Begitu menyengat!
Belum lagi Melati sempat berbuat sesuatu, hidungnya mencium bau amis yang memuakkan dan memualkan perut. Bahkan membuat kepala pening dan seluruh tubuh lemas. Seketika itu pula,Melati langsung tahu apa yang terjadi.
"Racun...," desis Melati penuh perasaan geram. "Manusia-manusia licik!"
Tapi, Melati tidak bisa menghamburkan amarahnya. Gadis itu masih merasakan sakit pada tangannya yang masih menyengat. Apalagi ditambah rasa pusing dan lemas. Dan kini, tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari. Dalam keadaan terhuyung, Melati memutar otak mencari asal racun itu. Hanya dalam waktu sebentar saja, sudah bisa diketahui dari mana asalnya. Dan ternyata, asalnya tak lain dari benda yang meledak tadi ketika berbenturan dengan tangannya!
Jliggg!
Saat Melati dalam keadaan masih terhuyung-huyung, penyerang-penyerang gelap yang mengirimkan benda-benda beracun itu mendaratkan kaki di tanah. Ketika akhirnya berhasil berdiri, meskipun tidak tegak, Melati berusaha melebarkan sepasang matanya. Dia ingin tahu orang-orang yang telah membokongnya. Memang, suasana untuk membukamata saat itu sudah aman.
Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati Melati ketika ternyata tidak mampu melihat jelas para penyerangnya. Wajah mereka tampak berbayang-bayang. Bahkan jumlah mereka pun sukar dihitung.
"Celaka," desis Melati pelan. Disadari kalau hal itu akibat pengaruh racun lawannya. Dan ini membuat Melati cemas. Apalagi ketika tubuhnyaterasa semakin melemas. Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengerahkan tenaga dalam. Namun, hasilnya malah membuat kecemasannya bertambah. Betapa tidak?
Rasa pusing yang melanda semakin membesar, ketika hal itu dilakukan. Keadaan di sekitarnya seperti berputar, sehingga tanpa sadar dia memegangi kepalanya.
"Ha ha ha...! Lihat! Kuda betina liar yang ini pun sudah hampir jinak."
Terdengar oleh Melati salah seorang dari para pembokongnya berbicara, dan langsung disambut tawa rekan-rekannya.
"Betapa beruntungnya kita. Yang diburu garuda tua dan telah ompong giginya, tapi yang didapat malah dua ekor kuda betina liar! Ha ha ha...! Sungguh menggembirakan hati," sambung suara lain.
Ucapan-ucapan para pembokongnya membuat Melati mengerti, mengapa Puspa Kenaka bisa raib begitu saja. Rupanya, gadis berpakaian jingga itu telah ditangkap gerombolan pembokong yang berada di atas pohon.
Sementara itu, para pembokong Melati yang ternyata berjumlah tiga orang itu terus menghampiri Melati. Sikap mereka tampak tidak terburu-buru, dan tanpa kewaspadaan sama sekali. Hal ini menandakan kalau mereka sudah tidak menganggap Melati sebagai gadis berbahaya.
Sikap ketiga orang yang rata-rata berpakaian merah dan berwajah mirip satu sama lain itu bukan tanpa alasan sama sekali. Mereka semua telah yakin akan keampuhan racun yang dimiliki Dan kelihatannya, keyakinan itu sama sekali tidak keliru.
Semakin lama, keadaan Melati semakin parah. Bahkan rasanya sudah tidak mampu berdiri tegak lagi. Tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri. Sudah dapat dipastikan, tanpa diserang pun tak lama lagi Melati akan roboh sendiri.
"Manusia-manusia keji! Lepaskan wanita-wanita itu!"
Di saat kesadaran yang dimilikinya mulai melenyap, Melati masih sempat mendengar adanya bentakan keras. Dengan pandangan yang telah semakin mengabur, Melati mencoba mengenalinya. Dan kalau menilik dari ucapannya, pemilik suara itu bermaksud menolong dia dan Puspa Kenaka.
Tapi, Melati tidak mampu mengenalinya. Yang terlihat hanyalah sosok tubuh tidak jelas, berwarna kecoklatan. Tak lama kemudian, semuanya gelap pekat. Dan saat itu pula, Melati telah pingsan, ambruk di tanah.
Melati sama sekali tidak sadar kalau begitu tubuhnya roboh, sosok bayangan coklat itu telah berdiri berhadapan dengan tiga orang berpakaian merah yang memiliki wajah dan potongan tubuh mirip. Mereka mempunyai wajah mirip raksasa, tapi tubuh yang dimiliki kerdil.
"Rupanya kau, Garuda Mata Satu!" kata salah seorang dari tiga raksasa kecil berpakaian merah. Orang ini mempunyai sebuah tahi lalat besar di dahinya. "Mimpi apa kami semalam, sehingga bisa mendapatkan keberuntungan yang bertubi-tubi."
Usai berkata demikian, laki-laki bertahi lalat di dahi itu meletakkan tubuh Puspa Kenaka di tanah. Memang, sejak tadi tubuh gadis berpakaian jingga itu dipondong dengan kedua tangannya. Baru setelah itu, perhatiannya dialihkan lagi ke arah Garuda Mata Satu.
Sosok bayangan coklat itu memang tak lain dari Garuda Mata Satu. Dengan matanya yang hanya sebelah, ditatapnya tiga sosok tubuh kerdil yang berdiri di hadapannya.
"Aku sama sekali tidak menyangka kalau Tiga Raksasa Lembah Mayat adalah penjahat hina yang hanya berani menghina wanita tidak berdaya," geram Garuda Mata Satu sambil merayapi tubuh Melati dan Puspa Kenaka.
"Tutup mulutmu, Garuda Mata Satu! Nanti kubutakan matamu yang sebelah lagi!" bentak salah seorang dari Tiga Raksasa Lembah Mayat yang bergigi tonggos.
"Aku ragu, kalau kau akan mampu melakukannya! Setahuku perbuatan yang bisa kalian lakukan adalah menjilat pantat Mata Malaikat!" ejek Garuda Mata Satu, keras.
"Keparat! Kubutakan matamu yang satu lagi, Garuda Picak! Hih!"
Raksasa Lembah Mayat yang bergigi tonggos itu rupanya sudah tidak bisa menahan sabarnya lagi. Dia langsung melompat ke depan. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya bergulingan di tanah. Lalu....
Wuttt!
TUJUH
Ketika telah berada di dekat Garuda Mata Satu, raksasa kecil bergigi tonggos itu berhenti berguling dan langsung melancarkan serangan berupa sapuan kaki kanan.
Kelihatannya, serangan itu tidak bisa dianggap ringan. Karena meskipun kaki itu kecil, tapi kekuatan yang terkandung di dalam sapuannya sanggup mematahkan batang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelukan orang dewasa. Bisa dibayangkan, bagaimana akibatnya kalau kaki manusia yang dijadikan sasarannya!
Garuda Mata Satu pun tahu kedahsyatan serangan lawan. Itulah sebabnya, dia tidak berani bertindak main-main. Buru-buru kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas. Maka, serangan lawannya hanya menyambar tempat kosong.
Tapi, raksasa kecil bergigi tonggos itu pun bukan orang bodoh. Sebaliknya, dia malah telah memperhitungkan tindakan lawan terhadap serangannya.
Maka ketika Garuda Mata Satu mengelak dengan cara melompat ke atas, langsung saja dikirimkan serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas, mempergunakan kaki kiri.
Zebbb!
Garuda Mata Satu tercekat melihat serangan lanjutan ini. Apalagi, ketika mengetahui kalau bagian yang terancam adalah selangkangannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Rasanya, sulit baginya untuk dapat mengelak. Hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan nyawanya, yakni menangkis!
"Hih!" Garuda Mata Satu menghentakkan kakinya ke bawah.
Blakkk!
Benturan antara dua telapak kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya, kedua kaki itu sama-sama kembali ke tempat semula.
"Hup!" Begitu kedua kaki Garuda Mata Satu mendarat di tanah, raksasa kecil bergigi tonggos pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, laki-laki bertubuh cebol ini kembali menerjang Garuda Mata Satu.
Tapi dalam serangan kali ini, raksasa kecil bergigi tonggos itu tidak bertangan kosong. Di tangan kanannya kini telah tergenggam sebuah ganco berwarna hitam kelam. Dan dengan senjata di tangan, digempurnya Garuda Mata Satu.
Melihat lawan telah menggunakan senjata, Garuda Mata Satu tidak berani gegabah. Disadari kalau kepandaian lawan belum tentu berada di bawahnya. Maka senjata andalannya pun dicabut. Sebuah cakar baja bergagang dari gading. Tidak nampak adanya golok besar atau senjata lain pada dirinya.
Memang, cakar baja inilah yang menjadi senjata andalannya. Kini pertarungan jadi jauh lebih menarik. Suara decit angin tajam dari udara yang terobek oleh setiap gerakan dua senjata itu, menyemaraki pertarungan. Beberapa kali bunyi berdentang nyaring diiringi berpercikannya bunga api tercipta, manakala senjata-senjata itu saling berbenturan.
Dalam waktu tak berapa lama, dua puluh jurus telah terlewat. Dan selama itu, belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Dari sini bisa diperkirakan kalau tingkat kepandaian kedua belah pihak berimbang.
Kenyataan ini membuat sisa dari Tiga Raksasa Lembah Mayat tidak sabar. Kedua orang ini tahu, kalau dibiarkan, Garuda Mata Satu belum tentu bisa terdesak. Bahkan, pertarungan masih berlangsung seru dan sengit.
Akhirnya ketika pertarungan telah menginjak jurus ketiga puluh lima, dua raksasa kecil ini tidak bisa menahan sabar lagi. Diiringi pekikan yang menyakitkan telinga, mereka segera terjun dalam kancah pertarungan dan langsung menggunakan senjata andalan masing-masing. Sebuah ganco!
Karuan saja, munculnya bantuan bagi lawannya membuat Garuda Mata Satu kelabakan. Betapa tidak? Menghadapi seorang lawan saja belum mampu berbuat banyak. Apalagi kini ditambah dua orang yang rata-rata memiliki kepandaian setingkat. Maka hanya dalam beberapa gebrakan saja dia mulai terhimpit!
Gulungan sinar senjata cakar Garuda Mata Satu yang semula luas dan mengungkungi sekujur tubuhnya laksana sebuah benteng, kini perlahan mulai mengecil. Dan semakin lama mereka bertarung, Garuda Mata Satu tampaknya semakin terjepit.
Serangan-serangan Garuda Mata Satu semakin berkurang. Sedangkan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan yang dilakukan semakin bertambah sambil bermain mundur. Sudah dapat dipastikan, apabila dibiarkan terus, Garuda Mata Satu akan roboh di tangan lawan-lawannya.
Untungnya, Tiga Raksasa Lembah Mayat itu sepertinya tidak ingin menewaskan Garuda Mata Satu. Buktinya setiap serangan yang dilancarkan, tidak pernah ditujukan pada bagian yang mematikan. Sedikit banyak, hal ini membuat sasaran serangan terhadap Garuda Mata Satu semakin berkurang.
Kini pertarungan telah menginjak jurus keempat puluh. Dan sekarang, Garuda Mata Satu sama sekali tidak mampu mengirimkan serangan balasan, kecuali hanyamengelak dan menangkis. Rupanya, kedua belah pihak yang bertarung itu mencurahkan seluruh perhatian pada pertarungan. Sehingga, tanpa disadari di tempat itu telah muncul seorang pendatang baru.
Sang pendatang itu mula-mula memperhatikan jalannya pertarungan. Tapi ketika melihat sesosok tubuh ramping berpakaian putih tergolek di tanah, segera perhatiannya dialihkan. Dengan sekali ayunan kaki, sang pendatang yang tak lain Arya alias Dewa Arak telah berada di dekat tubuh Melati, gadis berpakaian putih yang tubuhnya tergolek tak berdaya. Padahal, jarak antara Dewa Arak dengan kekasihnya tak kurang dari sepuluh tombak!
Sementara itu, begitu telah berada di dekat kekasihnya, Dewa Arak langsung saja membungkuk. Dengan tarikan wajah penuh perasaan khawatir, diperiksanya keadaan Melati. Segera didengarnya denyut nadi dan detak jantung gadis berpakaian putih itu.
Sebentar saja Dewa Arak memeriksa keadaan Melati. Dan kini sorot kecemasan sudah tidak terlihat lagi di wajahnya ketika tahu kalau keadaan Melati sama sekali tidak membahayakan. Dan ternyata, kekasihnya itu hanya terkena racun pembius yang membuatnya tidak sadar diri untuk beberapa lama. Hanya dengan dorongan hawa murni, racun itu bisa diusir keluar.
Tapi, Dewa Arak tidak terburu-buru untuk melakukannya. Pandangannya kini dialihkan kembali ke arah pertarungan. Beberapa saat lamanya pandangannya terpaku di sana. Menilik dari kernyitan pada dahinya, bisa diketahui kalau pemuda berambut putih keperakan ini tengah berpikir keras ketika ada sesuatu yang mengganggu benaknya. Arya memang tengah menebak, pihak mana yang menjadi kawan dan mana lawan.
Dewa Arak tahu, salah satu pihak yang tengah bertarung jelas penolong Melati dan Puspa Kenaka. Dan pemuda berambut putih keperakan itu sempat juga melihat tubuh Puspa Kenaka yang tergolek di tempat terpisah agak jauh darinya. Tampaknya, Arya tidak khawatir akan keselamatan Puspa Kenaka. Dia tahu, Puspa Kenaka pasti juga masih hidup. Maka, Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya pada pertarungan yang tengah berlangsung.
Sementara itu, keadaan Garuda Mata Satu semakin bertambah gawat. Dia sudah semakin terpojok! Bahkan beberapa kali ujung ganco lawan menggores kulitnya. Kendati tidak dalam, tapi cukup membuat darah mengalir. Dan karena luka-luka yang tercipta cukup banyak, sekujur tubuh Garuda Mata Satu dibanjiri darah!
Sebenarnya luka-luka yang diderita sama sekali tidak parah. Tapi karena Garuda Mata Satu tidak mempunyai kesempatan untuk menghentikan darah yang semakin banyak mengalir, tenaganya jadi berkurang cepat.
Kini perlawanan yang diberikan Garuda Mata Satu pun mengendur. Sebaliknya, lawan-lawannya semakin bersemangat melihat keadaannya yang semakin payah. Tidak sampai tiga jurus lagi, laki-laki bermata satu ini pasti akan roboh di tangan lawannya.
"Sebentar lagi julukan Garuda Mata Satu tidak terpakai, Manusia Dungu. Karena matamu yang tinggal sebelah itu akan kami congkel keluar! Ha ha ha...!" ejek raksasa kecil bergigi tonggos itu penuh bernada kemenangan.
Ucapan dan tawa laki-laki bertubuh cebol itu segera disambut tawa bergelak dari kedua rekannya yang bernada kemenangan. Masih dengan tawa yang belum putus, mereka terus merangsek Garuda Mata Satu.
Tanpa disadari raksasa kecil bergigi tonggos, ucapannya justru telah membuat Dewa Arak tahu pihak yang harus dibantu. Pihak yang telah menyelamatkan Melati dan Puspa Kenaka dari bahaya yang mengerikan.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak langsung melesat ke arah pertarungan. Jarak antara pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini dengan kancah pertarungan, tidak kurang dari tujuh tombak.
Namun hanya sekali genjot dan berjumpalitan di udara sekali, kancah pertarungan telah berhasil dijangkaunya. Dari atas, laksana seekor burung garuda yang tengah menerkam mangsa, Dewa Arak meluruk ke arah Tiga Raksasa Lembah Mayat. Saat itu kebetulan mereka tengah merangsek Garuda Mata Satu yang telah semakin terpojok.
Wurrr!
Deru angin keras yang mengawali tibanya serangan Dewa Arak, membuat Tiga Raksasa Lembah Mayat menyadari akan adanya ancaman bahaya. Maka terpaksa serangan terhadap Garuda Mata Satu dibatalkan. Dan sebagai gantinya, ganco ditangan mereka digunakan untuk memapak serangan mendadak itu.
Wut, wut, wut!
Tak, tak, tak!
Tubuh Tiga Raksasa Lembah Mayat langsung terhuyung-huyung ke belakang ketika senjata mereka berbenturan dengan tangan Dewa Arak. Bahkan tangan-tangan mereka pun terasa sakit-sakit, seperti lumpuh. Sehingga, hampir saja cekalan terhadap senjata itu terlepas.
Berbeda dengan Tiga Raksasa Lembah Mayat yang terhuyung-huyung dengan mulut menyeringai kesakitan, Dewa Arak sama sekali tidak menderita apa-apa. Bahkan dengan enaknya hinggap di depan Garuda Mata Satu.
"Beristirahatlah sebentar, Kisanak. Biar aku yang menghadapi mereka. Dan...."
Dewa Arak tidak bisa meneruskan ucapannya lagi, karena Tiga Raksasa Lembah Mayat sudah keburu melancarkan serangan. Tiga laki-laki setengah tua bertubuh cebol itu meluncurkan ganco ke arah bagian tubuh Dewa Arak yang mematikan.
Wut, wut, wut!
DELAPAN
Sikap Dewa Arak terlihat tenang. Serangan itu ditunggunya hingga dekat. Baru setelah itu, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan senjata lawan.
Laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di antara kelebatan sinar ganco. Entah berapa jurus lamanya Dewa Arak bertindak hanya mengelak mempergunakan ilmu meringankan tubuh seperti itu. Sekali pun tak ingin balas menyerang. Karuan saja hal ini membuat Tiga Raksasa Lembah Mayat menjadi murka bukan kepalang, karena merasa dipandang remeh.
Bagai telah sepakat sebelumnya, mendadak ketiga orang itu menghentikan gerakan masing-masing. Kemudian, mereka melangkah mundur. Tentu saja hal inimembuat Arya heran. Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini pun menghentikan gerakan. Diperhatikannya dengan seksama semua tindakan yang dilakukan Tiga Raksasa Lembah Mayat.
Sementara itu, Tiga Raksasa Lembah Mayat malah berdiri berjajar dengan tangan saling bergenggaman satu sama lain. Dengan demikian, orang yang berada di tengah harus menancapkan ganco di depan. Sedangkan, dua rekannya tetap memegang senjata andalan itu. Yang di kiri dengan tangan kiri, sedangkan yang di kanan mempergunakan tangan kanan. Dan bagai diatur saja, laki-laki kerdil di sebelah kiri menghadapkan ujung ganconya ke bumi.
Sedangkan yang di sebelah kanan, ke langit. Kelihatan aneh sekali. Tindak keanehan yang dilakukan, tidak hanya sampai di situ. Dari mulut-mulut mereka terdengar gumaman-gumaman yang aneh terdengar di telinga. Ucapan-ucapan yang tidak bisa dimengerti dan sulit ditangkap jelas. Dan semakin lama, suara yang lebih mirip gumaman itu semakin cepat serta keras diucapkan.
Semula, Dewa Arak merasa heran melihat kelakuan lawan-lawannya. Tapi, keheranannya langsung berganti dengan kekagetan, ketika pemuda berambut putih keperakan ini merasakan perubahan pada suasana di sekitarnya. Dewa Arak melihat suasana di sekitar tempat itu berubah menyolok!
Semula, disadari betul kalau saat itu hampir tengah hari. Walaupun saaat itu matahari bersembunyi di balik awan, namun suasana tetap cerah. Tapi seiring semakin keras dan cepatnya ucapan-ucapan aneh yang keluar dari mulut Tiga Raksasa Lembah Mayat, tiba-tiba saja langit langsung gelap pekat. Awan hitam tampak bergumpal-gumpal. Angin pun berhembus kencang, membawa hawa dingin yang mampu membuat orang sesakti Dewa Arak meremang bulunya! Yang lebih mengerikan lagi, kilat langsung menyambar-nyambar!
Dewa Arak agak gugup menghadapi ancaman ini. Apalagi ketika sekujur tubuhnya terasa mulai lemas. Sekujur otot, urat, dan tulangnya seperti lumpuh, sehingga tenaga dalamnya tidak mampu dikerahkan.
"Sihir...!" desis hati Dewa Arak ketika mulai menyadari adanya Ketidak beresan ini. Setelah menyadari kalau semua keanehan ini tercipta karena pengaruh sihir lawan, Dewa Arak pun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan. Seluruh perhatiannya seketika dipusatkan.
Hasilnya, pertarungan yang aneh pun berlangsung. Tiga Raksasa Lembah Mayat yang bergandengan tangan sambil mengucapkan rangkaian kata-kata dengan nada dan irama yang berganti-ganti, sedangkan Dewa Arak tetap berdiri tegak. Kedua tangannya tampak terlipat di bahu, dengan mata dipejam dan kepala tertunduk.
Dewa Arak berusaha sekuat tenaga mengerahkan tenaga batinnya, sehingga sekujur wajahnya dipenuhi keringat sebesar butir-butir jagung. Namun, tetap saja usahanya sia-sia. Semua keanehan yang mempengaruhinya tetap saja tidak mampu terusir. Banyak hal yang menyebabkan Dewa Arak tidak berhasil mengusir pengaruh sihir lawan. Yang jelas, jalannya pertarungan tampaknya tidak adil.
Dewa Arak yang baru mulai mengadakan perlawanan, namun saat itu tindakan lawan telah mempengaruhinya. Hal lainnya adalah, pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengandalkan kekuatan batin belaka! Dan seiring kegagalan usaha perlawanannya, pengaruh ilmu Tiga Raksasa Lembah Mayat pun semakin menjadi-jadi. Dewa Arak mulai menggigil kedinginan, karena angin yang berhembus ternyata juga membawa butir-butir es. Banyak butiran es yang menempel di tubuh Dewa Arak.
Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan. Keampuhan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'nya tidak terlihat sama sekali. Bahkan sambaran-sambaran kilat pun sudah hampir menjilat tubuh Dewa Arak.
Di saat-saat tubuhnya sudah tidak berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, Dewa Arak teringat akan gucinya. Maka seluruh sisa kemampuan yang dimilikinya dikerahkan untuk mengambil gucinya yang tersampir di punggung. Usaha Dewa Arak sama sekali tidak sia-sia. Guci araknya berhasil digenggam dan buru-buru dituangkan ke mulut, walaupun dengan susah payah.
Gluk... Gluk... Gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanannya menuju perut. Sesaat kemudian, hawa hangat pun berputaran di sekitar perut Dewa Arak, lalu perlahan-lahan naik ke atas. Dan seperti biasanya, kedudukan kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap lagi, oleng sana oleng sini.
Pada saat itu, perkataan-perkataan Tiga Raksasa Lembah Mayat terdengar semakin cepat dan keras di telinga Dewa Arak. Seakan-akan, di dalam kepalanyalah tiga orang itu berkata-kata seperti itu.
"Arrrggghhh...!" Dalam usahanya untuk menghilangkan suara Tiga Raksasa Lembah Mayat yang seperti telah memenuhi isi kepalanya, Dewa Arak meraung keras sekali.
Akibatnya, suasana di sekitar tempat itu langsung bergetar. Memang begitu dahsyat raungan Dewa Arak. Dan ternyata, akibatnya juga begitu menggiriskan. Tubuh Tiga Raksasa Lembah Mayat langsung terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah. Dari mulut mereka tampak menyembur keluar darah segar. Jelas, mereka telah mengalami luka dalam yang amat parah! Tubuh tiga laki-laki cebol itu menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati!
"Hhh...!" Arya menghela napas lega. Dan kini keadaan alam telah kembali seperti biasa. Cerah, tidak hitam pekat seperti sebelumnya. Tidak ada lagi kilat atau hembusan angin dingin. Semuanya telah sirna, seiring tewasnya Tiga Raksasa Lembah Mayat.
Dewa Arak menatap mayat tiga lawannya yang berkubang darahnya sendiri. Dia tahu, Tiga Raksasa Lembah Mayat tewas karena kalah tenaga dalam. Tiga laki-laki cebol itu mencoba mengalahkan Dewa Arak dengan mempergunakan ilmu sihir yang berdasar pada pengaruh suara. Maka ketika Dewa Arak berteriak disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya, mereka kontan tewas. Di samping karena tenaga sendiri yang membalik, serangan Dewa Arak juga ikut membantu kematian mereka.
Hanya sebentar saja, Arya memperhatikan mayat ketiga lawannya. Sekejap kemudian, tubuhnya berbalik. Yang pertama kali terlihat adalah tubuh Garuda Mata Satu yang tergolek lemah. Rupanya, laki-laki bermata satu ini pingsan akibat pengaruh teriakan Dewa Arak. Kalau Garuda Mata Satu saja yang tidak dituju bisa pingsan, tak aneh kalau Tiga Raksasa Lembah Mayat tewas! Teriakan Dewa Arak memang ditujukan pada mereka.
Arya menghampiri tubuh Garuda Mata Satu. Lalu, diurut-urutnya tengkuk Garuda Mata Satu. Hanya dalam beberapa kali urut, laki-laki bermata satu ini mulai mengeluh. Tanpa banyak cakap, Dewa Arak pun meninggalkannya untuk menghampiri Melati. Dia tahu, tak akan lama lagi Garuda Mata Satu akan sadar sepenuhnya.
Begitu tiba di dekat tubuh Melati, Dewa Arak langsung duduk bersila. Kini kedua telapak tangannya ditempelkan di tubuh kekasihnya. Pemuda berambut putih keperakan ini akan mengusir hawa beracun dalam tubuh Melati dengan dorongan tenaga dalamnya.
Di saat Dewa Arak sibuk mengusir hawa beracun di tubuh Melati, Garuda Mata Satu tampak mulai sadar. Sesaat, sepasang matanya terpaku pada Dewa Arak. Tapi, kemudian dialihkan ketika melihat sosok tubuh ramping dari gadis berpakaian jingga.
"Gadis berpakaian jingga?" Garuda Mata Satu tersentak. "Mengapa aku demikian pelupa? Bukankah Kartugi mengatakan kalau Puspa Kenaka adalah seorang gadis berpakaian jingga? Apakah gadis yang tengah tergolek itu Puspa Kenaka?"
Ingatan itu membuat Garuda Mata Satu bergegas bangkit dan menghampiri tubuh gadis berpakaian jingga yang memang tak lain dari Puspa Kenaka. Diperiksanya sejenak keadaan gadis itu. Ternyata sama sekali tidak menderita luka dan hanya tertotok lumpuh. Maka buru-buru Garuda Mata Satu membebaskan totokannya.
"Ayah," ucap Puspa Kenaka ketika telah terbebas dari totokannya.
Kontan sepasang mata Garuda Mata Satu terbelalak mendengar sapaan itu. "Kau..., kau memanggilku ayah? Jadi..., kau Puspa Kenaka?" tanya laki-laki bermata satu itu dengan suara tersekat di tenggorokan, karena perasaan haru yang menggelegak.
"Be... benar, Ayah. Akulah Puspa Kenaka," Jawab gadis berpakaian jingga itu.
"Puspa Kenaka, Anakku...!" Kini, Garuda Mata Satu tidak ragu-ragu lagi mengucapkannya. Direngkuhnya tubuh putrinya penuh kasih sayang. Maka, Puspa Kenaka pun balas memeluk tak kalah erat.
Cukup lama juga ayah dan anak ini berada dalam suasana haru bercampur gembira. Dan kini Garuda Mata Satu-lah yang lebih dulu melepaskan rangkulannya.
"Aku membawa berita yang tidak menyenangkan untukmu. Puspa," ujar Garuda Mata Satu hati-hati. "Sebenarnya, aku tidak ingin menyampaikannya sekarang, karena takut mengganggu suasana pertemuan ini."
"Apakah itu berita mengenai Ki Kartugi, Ayah?" terka Puspa Kenaka.
Seketika itu pula wajah Garuda Mata Satu berubah. Tapi dengan pasti walaupun lambat-lambat, kepalanya terangguk untuk membenarkan dugaan putrinya.
"Aku sudah tahu, Ayah. Ki Kartugi telah tewas bukan?" kata Puspa Kenaka lagi.
"Heh?! Dari mana kau tahu, Puspa?" tanya Garuda Mata Satu tanpa menyembunyikan perasaan kagetnya.
"Aku melihat semua kejadian yang berlangsung sampai beliau tewas. Semula, aku ingin berada di sampingnya sebelum menghembuskan napas terakhir. Tapi saat itu, aku baru tahu kalau yang berdiri di sampingnya adalah Ayah sendiri. Padahal, aku tengah membencimu. Jadi, aku hanya bisa menatap dari kejauhan dengan hati menyesal."
"Heh?!" untuk yang kesekian kalinya Garuda Mata Satu tersentak kaget. "Kau membenciku? Mengapa, Puspa?"
"Karena Ayah tidak pernah sudi menjumpaiku!" tandas Puspa Kenaka, keras. Tampak jelas nada kepenasaran dalam ucapan, tarikan wajah, dan sorot matanya. "Ayah tidak mengakuiku sebagai anak."
"Kau keliru, Puspa! Justru karena menyayangimu, aku menitipkanmu pada Ki Kartugi. Dia adalah sahabat baikku. Maksudku, agar kau tumbuh menjadi anak baik. Aku khawatir akan perkembanganmu, kalau kau tinggal bersamaku," jelas Garuda Mata Satu panjang lebar.
Puspa Kenaka kontan terdiam. Jawaban yang diberikan Garuda Mata Satu tidak berbeda dengan jawaban Ki Kartugi ketika hal itu ditanyakannya. Dan sekarang baru disadari kalau alasan itu ada benarnya. Ayahnya adalah seorang kepala perampok! Meskipun kepala perampok yang berbeda dengan perampok lain, tapi tetap saja lingkungannya kasar.
"Ah! Kiranya kau ayah Puspa Kenaka, Ki. Maaf. Kami secara tidak sengaja mendengarkan pembicaraan kalian," kata Arya, sambil tersenyum lebar.
Di sebelah pemuda berambut putih keperakan itu berdiri Melati. Rupanya gadis berpakaian putih ini telah sembuh dari pengaruh racun yang bersemayam dalam tubuhnya.
"Heh?! Jadi kalian telah saling mengenal rupanya?!" sambut Garuda Mata Satu tak kalah gembira. Ditatapnya wajah putrinya, Melati, dan Arya berganti-ganti.
"Di antara sahabat, tidak usah banyak peradatan. Ceritakan, bagaimana kau bisa bersahabat dengan pemuda dan pemudi yang gagah dan cantik ini, Puspa."
"Merekalah yang menyelamatkan nyawaku, Ayah," jelas Puspa Kenaka.
Kemudian secara singkat, diceritakan semua kejadiannya. Garuda Mata Satu mengangguk-anggukkan kepala ketika Puspa Kenaka menyelesaikan ceritanya.
"Jadi, dugaanku sama sekali tidak keliru. Kau adalah Dewa Arak! Ah! Bagaikan mimpi saja bisa bertemu tokoh yang menggemparkan dunia persilatan seperti dirimu, Dewa Arak!"
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki," ucap Arya malu-malu. "O, ya. Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Ki?"
"Tentu saja boleh, Dewa Arak! silakan, jangan malu-malu!"
"Begini, Ki. Aku hanya ingin bertanya dua hal. Pertama, mengapa Mata Malaikat sepertinya sangat memerlukan dirimu. Yang kedua, apakah kau tahu tujuan Mata Malaikat sehingga demikian banyak memiliki anak buah. Kau telah mendengar sendiri cerita Puspa Kenaka, kalau mereka berbondong-bondong menuju ke arah barat. Entah apa yang akan dilakukan."
Garuda Mata Satu tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan sebaliknya malah menghela napas berat. Seakan-akan, ada sesuatu beban yang menghimpit batinnya.
"Begini, Dewa Arak. Mata Malaikat memang mempunyai keinginan besar. Dia ingin menjadi raja. Dan yang lebih gila lagi, yang diinginkannya adalah sebuah kerajaan besar! Untuk itulah, banyak tokoh aliran hitam ditundukkannya untuk dijadikan anak buah."
Laki-laki bermata satu ini menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Kerajaan terbesar di wilayah barat ini adalah Kerajaan Mandau. Sementara, aku adalah bekas pengawal khusus Kerajaan Mandau. Jadi, dia bermaksud memperalat diriku, apabila kelak kekuatannya telah cukup untuk menyerbu Kerajaan Mandau. Sebagai seorang pengawal khusus, tentu saja aku tahu seluk-beluk Istana Mandau."
"Lalu, mengapa kau bisa menjadi kepala perampok, Ki?" celetuk Melati.
"Karena, waktu itu kerajaan dipimpin seorang raja yang lalim dan hanya mementingkan diri sendiri. Di mana-mana terjadi kelaparan, sementara raja dan para pejabat istana enak-enakan menghambur-hamburkan makanan. Kekacauan dan penindasan terjadi di mana-mana," jawab Garuda Mata Satu berapi-api. Rupanya, dia teringat kembali akan kejadian masa lalu. "Lama-lama, aku tidak tahan. Aku kabur meninggalkan istana sambil membawa anakku yang waktu itu berusia tujuh tahun. Anakku kutitipkan pada seorang sahabatku. Sedangkan aku lari ke hutan menjadi kepala rampok. Dan juragan-juragan kaya dan pelit adalah sasaranku."
Garuda Mata Satu menelan liur untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
"Jabatan kepala perampok pun tidak bisa kupertahankan, ketika seorang yang berjuluk Mata Malaikat datang. Dia memintaku menjadi anak buahnya. Dan tentu saja permintaannya kutolak. Bahkan aku sampai marah besar. Pertarungan antara kami pun terjadi. Tapi, ternyata kepandaiannya sangat tinggi. Hanya dalam beberapa gebrakan, aku berhasil dikalahkan. Lalu, dia menyuruhku menjadi anak buahnya."
"Dan kau menolaknya, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Benar. Karena, Mata Malaikat mempunyai keinginan yang mengerikan. Rakyat akan jadi korban, bila rencana gilanya dilaksanakan," desah Garuda Mata Satu penuh nada prihatin.
"Tapi bukankah raja dan pejabat Kerajaan Mandau sewenang-wenang? Lalu mengapa kau masih setia padanya dan tidak menerima tawaran Mata Malaikat untuk menjadi anak buahnya?!"
"Kau keliru, Dewa Arak. Raja dan pejabat Kerajaan Mandau yang sekarang, jauh berbeda dengan yang dulu. Raja yang sekarang adil, dan memperhatikan kesejahteraan rakyat," sanggah Garuda Mata Satu lagi.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Kalau begitu, sebelum kau berhasil ditemukan, Kerajaan Mandau tidak akan diserbu, Ki?" tanya Arya.
"Benar. Kalau menurut pendapatku, Mata Malaikat pasti menyerbu kerajaan kecil dan kadipaten lebih dulu...."
"Kalau demikian, kami pergi dulu, Ki, Puspa...! Ayo Melati!"
Tanpa menunggu jawaban Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka, Arya melesat meninggalkan tempat itu. Di belakangnya, Melati mengikuti. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh mereka telah lenyap ditelan kejauhan.
Benarkah Mata Malaikat dan rombongannya tengah menyerbu kerajaan kecil dan kadipaten-kadipaten? Apakah tokoh yang memiliki sepasang mata mengerikan itu masih mengejar-ngejar Garuda Mata Satu?
Bagaimanakah kesudahan keinginannya? Berhasilkah Kerajaan Mandau dikuasai? Bagaimana Dewa Arak harus menanggulangi masalah besar ini. Untuk jelasnya, silakan ikuti serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode Tawanan Datuk Sesat
SELESAI
Selanjutnya,