Dewa Arak - Geger Pulau Es

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Geger Pulau Es karya Ajisaka
Sonny Ogawa
SATU
Trang, trang, tring!

Dentang nyaring senjata beradu yang diiringi percikan bunga-bunga api ke udara, menambah tidak nyaman suasana persada. Memang, saat itu musim kemarau tengah melanda bumi. Matahari tepat berada di atas kepala, dan menyorotkan sinarnya dengan garang. Panasnya tak terkira lagi.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
Dalam suasana demikian, pertarungan itu berlangsung. Yang lebih gila lagi, pertarungan itu terjadi di hamparan tanah lapang luas. Sejauh mata memandang tidak terlihat pepohonan, yang ada hanya rerumputan. Itu pun pendek pendek dan berwarna kuning kecoklatan, terpanggang slnar matahari!

Tidak adanya pohon-pohon menyebabkan sengatan garang sinar matahari langsung menerpa tubuh orang-orang yang tengah bertarung. Tapi semua itu tidak dipedulikan mereka. Bahkan, sinar garang sang Surya semakin menambah semangat bertarung mereka. Suasana riuh rendah pun melingkupi sekitar tempat itu. Pertarungan itu terjadi antara dua kelompok yang memiliki perbedaan yang menyolok.

Kelompok yang satu adalah sepasukan tentara kerajaan. Ini bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan. Sedangkan lawan mereka sekelompok orang yang memiliki tindak-tanduk kasar. Pakaian yang dikenakan pun beraneka ragam. Rupanya, pertarungan itu sudah berlangsung cukup lama. Wajah-wajah orang yang terlibat pertarungan telah dibasahi cucuran peluh. Napas yang keluar dari hidung dan mulut mereka pun terdengar memburu. Mendadak...

Crattt!

“Akh!” Salah seorang anggota pasukan kerajaan menjerit kesakitan ketika senjata lawan membeset pinggangnya. Prajurit sial itu pun mendekapkan tangannya ke bagian tubuh yang terluka.

“Permana...!”

Hampir serempak rekan-rekan prajurit itu menjerit kaget. Tapi hanya sampai di situ saja. Tidak ada tindakan pertolongan. Keadaan mereka sendiri pun tidak berbeda jauh dengan Permana. Pasukan prajurit kerajaan rupanya tengah terdesak.

Itu tidak aneh, karena jumlah lawan terlalu banyak untuk mereka. Satu orang prajurit harus menghadapi tiga orang lawan. Sedangkan tingkat kepandaian mereka hanya sedikit di atas lawan-lawannya. Akibatnya, pasukan prajurit itu kewalahan. Hingga mereka tak bisa membantu Permana.

Permana, prajurit bertubuh pendek kekar, harus berjuang keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Tubuhnya bergerak ke sana kemari meng-hindari bahaya maut yang datang dari sambaran senjata lawan. Untuk beberapa saat lamanya Permana masih berhasil menghindar. Tapi sampai kapan dia dapat bertahan? Begitu pun dengan rekan-rekannya. Hanya saja keadaan mereka sedikit lebih baik dari Permana.

Di saat yang amat gawat itu, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan yang langsung memasuki kancah pertarungan. Cepat bukan main gerakannya. Betapa tidak? Dua sosok bayangan ungu dan putih itu mampu menyelinap di antara kelebatan senjata orang-orang yang tengah bertarung. Kalau saja tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh tinggi, tindakan dua sosok bayangan itu hanya akan mengakibatkan bahaya! Tubuh mereka akan terkena sabetan senjata-senjata yang tengah berkelebatan cepat.

Namun, kenyataannya berbeda jauh. Keduanya berhasil mendarat di tengah-tengah kancah pertarungan. Sosok bayangan putih melesat ke arah Permana yang berada dalam bahaya. Laki-laki pendek kekar itu tengah terpojok oleh keroyokan senjata tiga orang lawannya.

Plak, plak, plakkk!

Bunyi berdetak keras terdengar ketika senjata-senjata itu berbenturan dengan sepasang tangan sosok bayangan putih! Sosok bayangan putih itu menangkis semua serangan dengan tangan telanjang. Dapat diperkirakan, betapa besar kekuatan tenaga dalam yang tersalur pada kedua tangannya.

Akibatnya, tubuh ketiga orang kasar itu terhuyung huyung ke belakang dengan tangan terasa sakit. Hal yang sama pun menimpa teman-teman mereka yang menghadapi sosok bayangan ungu. Melihat kenyataan itu, orang-orang kasar lainnya segera meninggalkan lawan-lawannya. Kemudian, mereka berkumpul menjadi satu.

“Siapa kalian? Mengapa mencampuri urusan kami?!” bentak salah seorang dari gerombolan orang kasar yang berjumlah enam belas orang.

Orang itu bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak. Menilik sikapnya dia adalah sang Pemimpin. Golok besar yang tergenggam di tangannya diacung-acungkan. Wajah orang itu menggambarkan rasa penasaran. Betapa tidak? Kalau saja tidak ada campur tangan sosok bayangan putih, tentu saat ini dia telah berhasil memenggal kepala Permana.

Sepasang matanya yang besar dan buiat seperti jengkol, merayapi sekujur tubuh sosok bayang ungu yang tampak telah berdiri bersebelahan. Sementara kedua sosok itu berdiri tenang, membelakangi pasukan kerajaan yang telah berkumpul mengobati luka-luka mereka.

“Hi hi hi...!” Sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis jelita, berpakaian putih dan berambut panjang, tertawa mengikik. Nadanya meremehkan lawan. “Orang seperti kalian ingin mengetahui siapa kami?! Hi hi hi...! Lucu sekali!”

Wajah laki-laki berkepala botak langsung merah padam. Amarahnya naik ke ubun-ubun! Kemarahan akibat campur tangan gadis berpakaian putih itu saja belum lenyap, eh... kini ditambah dengan hinaan itu. Siapa yang tidak kalap?

“Keparat! Mulutmu terlalu kurang ajar, Wanita Sundal! Kau akan menerima balasannya. Kau akan kami telanjangi dan akan kami perkosa ramai-ramai sampai mati! Serbu...!”

Usai berkata demikian, laki-laki berkepala botak memberi aba-aba pada kawan-kawannya untuk menyerang. Disadarinya kalau kedua lawannya bukan orang sembarangan. Telah dirasakan sendiri kelihaian gadis berpakaian putih. Sedangkan kawan gadis itu, pemuda berpakaian ungu, meskipun belum dirasakan sendiri kelihaiannya, tapi bisa diperkirakan. Hingga dirinya tidak berani bertindak gegabah, dan langsung memerintahkan penyerangan bersama-sama.

Seketika itu pula, beraneka ragam dan berbagai bentuk senjata meluncur ke arah sepasang muda-mudi yang berwajah elok itu. Bunyi bercericitan mengiringi meluncurnya senjatasenjata itu.

Tapi, sepasang muda-mudi itu tidak menjadi gugup. Apalagi gadis berpakaian putih! Bukannya gugup atau gentar, dia malah murka bukan main. Ucapan pemimpin orang-orang kasar itu telah menyinggung harga dirinya. Dari mulut gadis itu keluar lengking kemarahan. Dengan amarah berkobar-kobar, disambutnya serbuan lawan-lawannya.

Tindakan sepasang muda-mudi itu memang patut diacungi jempol. Meskipun belasan lawan menyerbu dengan menggunakan senjata yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya, mereka tetap tidak mengeluarkan senjata. Serbuan itu disambut mereka dengan tangan kosong.

Hebat! Tindakan yang diambil sepasang muda-mudi itu bukan didorong oleh kesombongan, tapi karena memang memiliki kemampuan. Lincah laksana kera dan gesit laksana bayangan, tubuh mereka berkelebat di antara kelebatan senjata-senjata lawan. Hasilnya, tidak satu pun serangan lawan yang mengenai sasaran.

Sebaliknya, setiap kali tangan atau kaki gadis berpakaian putih dan pemuda berpakaian ungu bergerak, dapat dipastikan ada sosok tubuh yang terlempar keluar dari kancah pertarungan dengan diiringi jerit kesakitan. Dan serbuan belasan orang kasar itu laksana sekumpulan laron menerjang api. Mereka roboh sebelum berhasil melaksanakan maksudnya.

Jeritan kesakitan terdengar susul-menyusul mengiringi berpentalannya tubuh orang-orang kasar itu. Dalam waktu singkat hampir tidak ada lagi rombongan orang kasar yang berdiri tegak. Semua bergeletakan di tanah, tak mampu melanjutkan pertarungan. Tapi, tak ada seorang pun di antara mereka yang tewas. Kini yang masih berdiri tegak hanya lelaki berkepala botak. Hal itu memang disengaja.

“Menyingkirlah, Kakang. Biar aku yang membereskannya. Orang yang mempunyai mulut dan pikiran kotor seperti dia tidak pantas dibiarkan hldup,” kata gadis berpakaian putih pada rekannya yang berpakaian ungu.

Tanpa berkata apa pun, pemuda berpakaian ungu yang berambut panjang dan berwarna keperakan itu melangkah mundur. Pemuda itu ingin memberi kesempatan pada kawannya untuk melaksanakan maksudnya. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menyaksikannya.

Dengan sorot mata penuh kemarahan, gadis berpakaian putih menghampiri pemimpin rombongan orang kasar. Laki-laki berkepala botak itu menyadari bahaya yang mengancam. Tapi apa yang dapat dilakukannya? Lari? Tidak mungkin! Gadis berpakaian putih itu tak akan membiarkannya. Akhirnya dia bertindak nekat!

“Hiaaat..!” Diiringi teriakan menggeledek, golok besar diputar di depan dada. Kemudian, sambil memutar senjata lelaki berkepala botak itu melompat menerjang lawan.

Wuk wuk wuk...!

“Hmh!” Gadis berpakaian putih mendengus, melihat serangan yang menyambar ke arah dada. Ditunggunya hingga serangan golok lawan menyambar dekat Lalu tangannya digerakkan. Cepat bukan main. Tahu-tahu....

Tappp!

Mata golok laki-laki berkepala botak berhasil dicekal tangan kanan gadis itu. Sebelum pemimpin gerombolan itu sempat berbuat sesuatu, gadis berpakaian putih membalikkan ujung golok ke arah lawan, lalu menyorongkannya.

Cappp!

“Aaakh...!” Laki-laki berkepala botak menjerit ngeri ketika goloknya menembus perut hingga ke punggung. Seketika itu pula sepasang matanya membelalak lebar. Darah muncrat dari luka di perutnya. Tindakan gadis berpakaian putih tidak hanya sampai di situ, kakinya melayang ke arah dada.

Bukkk!

Telak dan keras tendangan itu mendarat di sasarannya, hingga menimbulkan bunyi gemeretak. Sesaat kemudian, tubuh laki-laki berkepala botak terdorong ke belakang beberapa tombak. Dan jatuh terbanting ke tanah. Saat itu juga nyawanya melayang ke alam baka!

“Hhh...!” Gadis berpakaian putih meghela napas lega.

“Ah! Kiranya Gusti Ayu dan Raden...! Sungguh suatu kebetulan,” kata Permana gembira seraya mengayunkan langkah menghampiri.

Gadis berpakaian putih dan pemuda berambut putih keperakan membalikkan tubuh sambil tersenyum lebar. “Mengapa Paman semua berada di tempat ini dan terlibat pertarungan dengan mereka? Dan apa maksud ucapan Paman tadi?” tanya gadis berpakaian putih tenang. Dari sikap dan nada bicaranya agaknya gadis itu mengenal pasukan kerajaan itu.

“Kami berada di sini untuk memenuhi perintah Yang Mulia Prabu Nalanda, Gusti Ayu Melati,” beritahu seorang prajurit yang bercambang bauk lebat.

“Perintah Ayahanda Prabu?!” ulang gadis berpakaian putih yang ternyata Melati. “Apakah perintah itu, Paman?”

“Gusti Prabu memerintahkan kami untuk mencarimu, Gusti Ayu. Bahkan kalau dapat sekaligus dengan Raden Arya. Ada masalah penting yang melanda Kerajaan Bojong Gading.” Kali ini Permana yang memberikan jawaban.

Melati menoleh ke arah pemuda berpakaianungu yang sejak tadi berdiam diri. “Bagaimana, Kakang?” tanya Melati pada pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Arya dan lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak.

“Karena kita tidak mempunyai keperluan lain, maka tidak ada salahnya kita patuhi perintah Prabu Nalanda, Melati. Kalau tidak ada masalah penting, Gusti Prabu tidak akan bersusah-payah menyuruh orang untuk mencari kita,” jawab Arya.

“Kau benar, Kakang,” Melati mengangguk-angguk menyetujui ucapan kekasihnya.

Kemudian, perhatiannya kembali dialihkan ke arah para prajurit vang ternyata berasal dari Kerajaan Bojong Gading.

“Apa masalah penting yang melanda Kerajaan Bojong Gading, Paman?” tanya Melati mencoba mencari tahu.

Bukannya menjawab pertanyaan itu, Permana malah memasukkan tangannya ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan, tangannya menggenggam segulungan surat. Dengan penuh hormat diberikannya surat itu pada Melati.

Gadis berpakaian putih itu segera membuka dan membacanya:

Melati, putriku....
Bersama surat ini, kuberitahukan padamu bahwa Patih Juminta telah pergi bersama beberapa orang pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading. Beliau menyusul putranya yang pergi ke Pulau Es. Karena perjalanan menuju Pulau Es tidak mudah, aku mengkhawatirkan keselamatan mereka. Oleh karena itu, kutitahkan padamu untuk menyusul mereka. Kalau bisa tentu saja bersama Dewa Arak. Pergilah Melati. Dan bawa pulang Patih Juminta beserta putranya.

"Ayahmu, Prabu Nalanda Raja Kerajaan Bojong Gading.


“Hhh...!” Melati menghela napas berat. Perlahan-lahan digulungnya kembali surat itu. “Sampaikan pada Ayahanda Prabu bahwa kami telah mengetahui perintahnya dan akan melaksankannya. Sampaikan pula salam hormat kami padanya,” ucap Melati penuh wibawa.

“Baik, Gusti Ayu. Semua perintahmu akan kami sampaikan,” jawab Permana sambil memberi hormat. Demikian pula anggota pasukan lainnya. Permana lalu mengalihkan perhatian ke arah pasukannya.

Tapi baru beberapa tindak Permana dan pasukannya meninggalkan tempat itu, Melati memanggil mereka. Seketika itu pula langkah pasukan itu terhenti.

“Apa yang dapat kami bantu, Gusti Ayu?” tanya Permana penuh hormat.

“Hanya sebuah jawaban. Tadi aku telah mengajukan pertanyaan. Tapi kalian belum menjawabnya. Mengapa kalian bentrok dengan rombongan penjahat kasar itu?!” tanya Melati sambil menudingkan jari telunjuknya pada sosok-sosok tubuh kasar yang tergolek di tanah.

“O ya, hampir kami lupa. Orang-orang itu hendak membalas dendam atas kematian sahabat-sahabat mereka di tangan pasukan Kerajaan Bojong Gading dan Gusti Ayu,” jawab Permana.

“Hehhh? Aku?!” tanya Melati setengah tak percaya.

“Benar, Gusti Ayu. Ingatkah Gusti Ayu akan perampok-perampok di Hutan Buaran?!”

“Ya. Aku ingat. Jadi mereka anggota kelompok itu yang berhasil meloloskan diri?”

(untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: Kelelawar Beracun.)

“Bukan, Gusti Ayu. Tapi kenalan dan sahabat mereka. Karena tahu tidak mungkin bisa membalas pada Gusti Ayu, maka mereka melampiaskannya pada pasukan Kerajaan Bojong Gading. Mungkin mereka telah lama mengetahui kami. Hanya baru berani bertindak di tempat ini.”

“O, begitu? Baiklah. Kalian boleh pergi.”

“Hamba mohon pamit, Gusti Ayu.”

“Ya,” jawab Melati singkat.

Permana dan pasukannya kembali melanjutkan perjalanan. “Beritahu pada pasukan yang lain bahwa perintah Gusti Prabu telah kita laksanakan,” perintah Permana.

Tanpa menunggu perintah dua kali, prajurit yang bertugas menyampaikan pemberitahuan segera, mengambil busur. Kemudian dipasang anak panah.

Twang...!

Diiringi bunyi cukup keras, anak panah itu melesat ke angkasa. Setibanya di atas, entah dengan cara bagaimana, timbul percikan bunga api berwarna-warni.

Pemberitahuan itu tidak hanya dilakukan satu kali. Sambil tetap melangkah meninggalkan tempat itu, pelepasan anak panah terus dilakukan. Dan baru berhenti ketika anak anak panah telah habis. Sementara itu, Melati dan Arya terus memandangi hingga pasukan prajurit Kerajaan Bojong Gading lenyap di kejauhan.

“Apa yang terjadi, Melati?” tanya Arya kemudian.

Tanpa berkata sepatah pun Melati mengangsurkan gulungan surat yang masih dipegangnya. Arya menerima, lalu membacanya. Hanya sebentar saja. Sesaat kemudian surat itu digulungnya kembali.

'Pulau Es...?!” ucap Arya dengan dahi berkernyit dalam. “Kau tahu di mana letaknya, Melati?”

“Hhh...!” Melati menghembuskan napas berat lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan itu. “Tahu secara pasti, tidak. Tapi aku mempunyai dugaan di mana Pulau Es itu berada.”

“Dari mana kau mengetahuinya, Melati?” kejar Arya. “Kalau aku, jangankan tahu tempatnya... dengar namanya saja baru kali ini.”

“Aku mengetahuinya dari almarhum guruku, Kakang,” ucap Melati dengan nada sedih. Perkataan itu mengingatkannya kembali pada kematian gurunya yang mengenaskan, di tangan seorang tokoh sesat yang mengiriskan. (Untuk jelasnya silakan baca serial dewa Arak dalam episode: Dendam Tokoh Buangan.)

“Maksudmu..., Ki Julaga?” ulang Arya.

Melati menganggukkan kepala. “Benar, Kakang. Dari beliaulah aku mengetahuinya. Bahkan tidak hanya Pulau Es. Tapi juga Pulau Air dan Pulau Api. Tempat-tempat itu letaknya tersembunyi dan merupakan tempat keramat. Bahkan, konon ditinggali tokoh-tokoh sakti yang mengasingkan diri,” papar Melati.

“Aaah...!” desah Arya kaget Tidak disangkanya akan mendengar cerita itu secara terperinci.

Kedua orang muda itu kemudian terdiam. Suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya. Tetapi keheningan itu tidak beriangsung lama.

“Kau mengenal putra Patih Juminta itu, Melati?” tanya pemuda berambut putih keperakan membuka pembicaraan.

"Tidak, Kang,” Melati menggelengkan kepala. “Aku hanya mengenal nama dan ciri-cirinya saja. Itu pun dari cerita Patih Juminta."

“Jadi kau belum pernah bertemu dengannya?” tanya Arya memastikan. Kembali Melati menggelengkan kepala. “Lalu, bagaimana kita dapat menemukannya?” sergah Arya tidak yakin.

Melati tercenung sejenak. “Aku yakin tidak sulit, Kang. Toh, aku telah mengetahui nama dan ciri-cirinya. Di samping itu, andaikata bertemu, aku yakin dia akan mengenali kita. Karena kau mempunyai ciri-ciri khas,” sahut Melati yakin.

“Tidak bisa kubantah akan kekhasan ciri-ciri yang kumiliki, Melati. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah putra Patih Juminta mengenal diriku?” Arya mengemukakan pendapatnya.

“Jangan khawatir, Kang. Patih Juminta kagum padamu. Dia amat memujamu. Aku yakin dia telah menceritakan semua tentangmu pada putranya,” lagi-lagi Melati menyambut dengan nada yang mantap.

“Syukurlah kalau begjtu,” Arya terpaksa mengalah. “Tapi, dari tadi aku belum tahu nama putra Patih Juminta. Dan anehnya, mengapa kau tidak pernah melihatnya? Ini kan aneh! Atau... dia tidak tinggal di Istana Kerajaan Bojong Gading?”

“Dia memang tidak tinggal di Istana Kerajaan Bojong Gading. Dia ditugaskan oleh Ayahanda Prabu untuk menjadi salah seorang pengawal khusus Adipati Setyaki Di Kadipaten Lawung. O ya, nama putra Patih Juminta adalah Abimanyu.”

“Lalu..., dari mana dia tahu mengenai Pulau Es, Melati?” kejar Arya.

“Mana kutahu, Kang,” jawab Melati sambil mengangkat bahu. “Bukankah di surat itu Ayahanda Prabu tidak memberitahukannya?!”

“Kalau begitu..., mengapa kita tidak ke Istana Kerajaan Bojong Gading dulu untuk mencari keterangan?!”

“Kalau kita ke Istana Kerajaan Bojong Gading dulu, perjalanan ke Pulau Es akan lebih lama, Kang. Kalau dari tempat ini, tak lama lagi kita akan sampai di tepi pantai. Nah! Dari situ kita dapat menuju Pulau Es,” urai Melati.

Arya mengangguk-angguk. Pemuda berambut putih keperakan itu merasa puas dengan penjelasan kekasihnya. Hingga tidak memberi sanggahan lagi.

“Bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat ke Pulau Es, Kang? Kau setuju?” usul Melati.

“Tentu saja, Melati!” sambut Arya cepat “Kalau tidak sekarang, kapan lagi?!”

Sesaat kemudian kedua pendekar muda yang berwajah elok itu telah melesat meninggalkan tempat itu. Sementara tubuh orang-orang kasar masih tergolek tak berdaya di atas tanah.

* * *

DUA

Sang Surya belum beranjak jauh dari tempat terbitnya, ketika tiga orang laki-laki bertampang kasar melangkah bergegas mendekati pantai. Mereka bertubuh tinggi besar dan kekar. Untaian otot dan urat tubuh ketiganya tampak jelas. Sebab mereka hanya mengenakan rompi hitam yang tak sampai menutupi dada dan perut. Kelihatan mereka orang-orang yang menguasai ilmu bela diri. Kesimpulan ini rasanya tidak salah. Ada sebatang golok besar tergantung di pinggang mereka.

“Menurutmu, perahu mana yang sebaiknya kita gunakan, Kang Bandita?” tanya salah satu dari mereka yang berkumis tebal dan hitam sambil terus mengayunkan langkah menjajari langkah dua rekannya.

“Hm...” Laki-laki yang bercambang lebat tanpa kumis atau jenggot dan bernama Bandita menggumam. Sepasang matanya disipitkan, agar dapat memperhatikan lebih jelas jajaran perahu yang terhampar di tepi pantai.

“Kalau menurutku... yang merah, Kang. Kelihatannya lebih kuat dan kokoh disbandingkan perahu yang lain,” laki-laki satunya lagi, yang berjenggot lebat tanpa kumis atau cambang mengajukan usul. “Bagaimana, Kang?”

“Kelihatannya pilihanmu tidak keliru, Reksa,” jawab Bandita memuji. Laki-laki bercambang lebat itu menyetujui usul rekannya.

Ketiga orang kasar itu segera mengayunkan langkah tanpa berkata-kata lagi. Tak lama kemudian, hembusan angin laut yang menyebarkan bau khas tercium hidung mereka. Mereka pun terus melangkah. Arah yang mereka tuju sudah jelas. Tempat berjejernya perahu-perahu.

Langkah Bandita dan dua rekannya baru berhenti ketika telah sampai di dekat jajaran perahu-perahu. Seperti telah disepakati, ketiganya langsung mengedarkan pandangan mengawasi perahu-perahu yang ditambatkan di situ.

“Pilihanku tidak salah kan, Kang? Perahu merah ini jauh lebih kokoh dan kuat daripada perahu lainnya?!” ujar Reksa dengan bangga.

Ucapan Reksa ditanggapi dengan cibiran bernada ejekan kedua kawannya. Tapi Reksa tidak mempedulikannya. Dengan sikap tidak peduli, dilangkahkannya kaki menuju tonggak pengikat perahu. Lelaki itu ingin melepas perahu dari tambatannya. Tapi baru saja Reksa memegang tali pengikat perahu, terdengar teriakan nyaring dari kejauhan.

“Hey...! Apa yang hendak kalian lakukan dengan perahuku...?!”

Seketika itu pula gerakan tangan Reksa berhenti di tengah jalan. Maksudnya diurungkan. Kemudian pandangannya dilayangkan ke arah asal suara. Demikian pula kedua orang rekannya.

Terlihat oleh ketiga orang itu, sesosok tubuh berlari cepat menuju tempat mereka. Sementara di belakang sosok itu berlari-lari serombongan orang yang rata-rata bertubuh kekar. Tak berapa lama kemudian, sang pemilik suara telah berada di dekat Bandita dan kawan-kawannya.

“Siapa kalian? Dan apa yang hendak kalian lakukan dengan perahuku?” tanya si pemilik suara terengah-engah.

Bandita dan dua rekannya tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dirayapinya sekujur tubuh si pemilik perahu. Sosok tubuh itu kekar dan berkulit hitam kecoklatan. Otot dan urat-urat memenuhi sekujur tubuhnya.

“Kaukah pemilik perahu ini?” tanya Reksa sedikit kasar.

“Benar,” jawab laki-laki berkulit hitam kecoklatan sambil menganggukkan kepala. “Apa yang hendak kalian lakukan?”

“Aku hendak mengambil perahumu!” jawab Reksa kasar. “Lalu kau mau apa?!”

Wajah lelaki pemilik perahu langsung memucat. Dia pun sadar tengah berhadapan dengan orang-orang yang terbiasa menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Tanpa sadar kakinya melangkah ke belakang.

“Ada apa, Gondo?”

Sebuah pertanyaan bernada ingin tahu membuat lelaki pemilik perahu yang bernama Gondo menoleh ke belakang. Keberaniannya kembali timbul ketika melihat keberadaan kawan-kawannya.

“Mereka ingin mengambil perahuku,” jawab Gondo bernada meminta bantuan.

“Apa?!” seru kawan-kawan Gondo yang berjumlah sebelas orang setengah kaget. Betapa tidak? Baru pertama kali ini ada orang yang ingin merampas perahu mereka. Tentu saja mereka kaget bercampur heran.

Di saat Gondo tengah terlibat perbincangan dengan rekan-rekannya, Reksa kembali menghampiri tonggak tambatan perahu. Dengan sikap tenang dilepaskannya ikatan pada tonggak. Sedangkan kedua rekannya telah bersiap untuk mendorong perahu ke laut.

“Hentikan!”

Kali ini Gondo tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Sambil mengeluarkan seruan melarang, dia meluruk ke arah Reksa.

Wuttt!

Tanpa ragu-ragu lagi, Gondo segera mengayunkan tangannya memukul. Tapi karena dia memang tidak bermaksud melukai Reksa, pukulan itu ditujukan ke bahu. Gondo hanya ingin menghentikan perbuatan Reksa. Baik Reksa maupun kedua rekannya sebenarnya mengetahui serangan itu. Tapi mereka membiarkannya, seakan-akan tidak mengetahui adanya serangan. Akibatnya....

Bukkk!

Telak dan keras sekali pukulan Gondo mendarat di sasaran. Tapi hasilnya benar-benar di luar dugaan Gondo dan rekan-rekannya. Yang menjerit-jerit kesakitan ternyata... Gondo! Lelaki pemilik perahu merah itu mengaduh-aduh kesakitan sambil memegangi tangannya.

Tangan itu terasa sakit bukan main, seakan-akan yang dipukulnya bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, melainkan segundukan baja keras. Dan, orang yang dipukul enak-enak saja meneruskan kesibukannya.

Melihat kejadian ini, teman-teman Gondo tidak bisa tinggal diam. Serentak mereka meluruk, menyerbu Reksa dan kawan-kawannya. Mengetahui ketiga orang itu bukan orang sembarangan, tanpa ragu-ragu lagi mereka mencabut golok yang terselip di pinggang. Gondo tak mau ketinggalan ikut menyerbu pula meski tangannya masih terasa sakit.

Kali ini, Reksa dan dua kawannya tidak bisa tinggal diam. Apalagi para nelayan telah menggunakan senjata. Bukan tidak mungkin kulit mereka akan sobek bila tetap berdiam diri.

Mereka sendiri mulai merasa jengkel melihat kebandelan nelayan-nelayan itu. Maka dengan geram, mereka meninggalkan kesibukannya dan mencabut senjata masing-masing.

Srat, srat, srat!

Sinar menyilaukan langsung berkilatan ketika golok-golok besar ketiga orang itu terhunus keluar dari sarungnya.

“Monyet-monyet Dungu tidak tahu diri!” maki Bandita geram. “Semula kami tidak ingin menimbulkan korban di antara kalian. Kami sedang tergesa-gesa. Tapi karena kalian memaksa, terpaksa kami bertindak. Jangan harap kalian dapat melihat matahari esok pagi!”

Bandita tidak bisa berkata lebih banyak, karena serangan Gondo dan kawan-kawannya telah meluruk datang. Dia dan dua kawannya segera menyambut serangan itu dengan tak kalah cepatnya.

Trang trang trang!

Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika senjata-senjata itu berbenturan. Bandita dan dua rekannya berhasil mengandaskan semua serangan yang mengancam mereka, Tidak Hanya itu saja. Begitu serangan lawan berhasil dipatahkan, secepat itu pula dikirimkan serangan balasan.

Crat crat crat!

“Akh akh akh...!”

Serangan balasan yang dikirimkan Bandita dan dua rekannya terlalu cepat untuk bisa diikuti pandang mata Gondo dan rekanrekannya. Tiga orang dari mereka langsung terkapar mandi darah terkena sabetan golok. Kejadian yang menimpa tiga rekannya tidak membuat Gondo dan yang lainnya gentar.

Bahkan sebaliknya! Mereka malah tambah bersemangat melancarkan serangan untuk membalas sakit hati rekan-rekan mereka. Serbuan nelayan-nelayan itu semakin membabi buta. Tapi semua tindakan mereka sia-sia. Bandita dan dua rekannya memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi. Apalagi mereka telah terbiasa bertarung. Kecepatan gerak mereka pun berada jauh di atas lawan.

Dengan keunggulan-keunggulan itu, mereka berhasil memusnahkan setiap serbuan lawan. Dan, mengelakkan setiap serangan yang datang. Sebaliknya, setiap serangan balasan yang dikirimkan selalu membuahkan hasil. Setiap kali golok di tangan mereka berkelebat, dapat dipastikan ada lawan yang roboh dengan diiringi jeritan menyayat.

Akhir dari pertarungan itu sudah bisa ditebak, Gondo dan rekan-rekannya akan roboh di tangan ketiga orang itu. Apalagi sekarang jumlah mereka telah jauh berkurang. Kini hanya tinggal sembilan orang. Itu pun keadaan mereka sudah sangat mengkhawatirkan. Tapi rupanya nasib baik masih menyukai para nelayan yang tidak berdosa. Di saat yang amat gawat itu, terdengar sebuah bentakan keras menggelegar.

“Hentikan pertempuran...!”

Hebat bukan main pengaruh yang ditimbulkan oleh bentakan itu. Semua orang yang terlibat dalam pertarungan langsung menahan diri dan melompat mundur. Bandita dan rekan-rekannya saling berpandangan. Tampak jelas sorot keheranan dalam pandangan mata mereka. Betapa tidak? Mereka tidak habis mengerti, mengapa mau menuruti perintah itu.

Ada sebuah pengaruh aneh yang membuat mereka mengikutinya. Begitu berhasil melepaskan dari pengaruh itu, Bandita dan rekan-rekannya segera mengalihkan perhatian ke arah asal bentakan.

Beberapa tombak di belakang Gondo dan kawan-kawannya tampak berdiri dua sosok tubuh. Yang seorang pemuda berambut putih keperakan mengenakan pakaian ungu. Sedangkan yang satunya lagi seorang gadis berpakaian putih. Mereka adalah Dewa Arak dan Melati!

Dengan tenang, Dewa Arak dan Melati mengayunkan langkah menghampiri tiga orang kasar berompi hitam itu.

“Menyingkirlah, Kisanak. Mereka bukan tandingan kalian. Biar kami yang akan mengurusnya,” ucap Dewa Arak ketika melihat Gondo dan kawan-kawannya masih ingin melanjutkan pertarungan.

Gondo dan kawan-kawannya menolehkan kepala. Alis mereka berkernyit melihat orang yang bermaksud menggantikan mereka menghadapi ketiga orang itu! Betapa tidak? Keduanya terlihat lemah dan tidak memiliki kekuatan. Mereka yang bertenaga kuat saja bukan tandingan Bandita dan kawan-kawannya. Apalagi sepasang muda-mudi berwajah elok itu?

Dewa Arak mengerti akan hal itu. Ekor matanya sempat melihat ada kesan tidak percaya. Pada wajah para nelayan itu. Bahkan mereka tetap mengayunkan langkah menghampiri Bandita dan kawan-kawannya. Hanya saja mereka berjalan di belakang dirinya dan Melati. Jarak Dewa Arak dan Melati dengan ketiga orang itu memang terpisah tiga tombak.

Dewa Arak tidak mau membuang waktu lagi. Kemampuannya harus segera ditunjukkan untuk meyakinkan nelayan-nelayan itu. Cepat tenaga dalam dikerahkan pada kedua telapak kaki. Hingga....

Blos blos blos!

Gila! Hamparan pasir pantai tak ubahnya bubur lumpur. Landasan tempat Dewa Arak berpijak langsung amblas hampir mencapai lutut.

“Hahhh?!”

Bukan hanya Gondo dan kawan-kawannya yang terkejut dengan pertunjukan Dewa Arak. Bandita dan dua rekannya pun kaget. Mereka tidak melihat pemuda berambut putih keperakan mengerahkan tenaga dalam. Langkahnya terlihat biasa saja. Tapi akibat yang ditimbulkannya benar-benar menggiriskan hati!

Melihat hal itu, kesembilan nelayan itu langsung melangkah mundur. Sekarang mereka percaya kalau sepasang muda-mudi berwajah elok itu bukan orang sembarangan!

Begitu pun Bandita dan kedua rekannya. Meskipun demikian, mereka tidak menjadi gentar. Ketiga orang berompi hitam itu memang sangat membanggakan kepandaiannya. Mereka sempat mengeluarkan dengusan mengejek melihat pertunjukan Dewa Arak hingga Melati kalap dibuatnya.

“Kau tidak usah turun tangan, Kang. Biar aku yang menghadapi mereka,” ujar Melati pada kekasihnya.

“Silakan, Melati,” sahut Arya mempersilakan gadis berpakaian putih menghadapi tiga lawannya sendirian.

Dewa Arak tentu tidak bertindak gegabah. Membiarkan Melati menghadapi Bandita dan rekan-rekannya sendirian bukan tanpa pemikiran. Pemuda itu tahu tingkat kepandaian lawan belum terlalu tinggi dan masih terpaut jauh di bawah Melati. Dewa Arak yakin kekasihnya akan dapat mengalahkan mereka. Itulah sebabnya ketiga orang itu diserahkan pada Melati.

“Pencuri-pencuri tengik! Orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan hidup terlalu lama!” desis Melati marah sambil melangkah mendekati tiga calon lawannya.

“Tutup mulutmu, Wanita Binal! Kau akan menerima ganjaran atas kekurang-ajaranmu. Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa? Kami adalah Tiga Golok Maut. Kau telah berani memaki kami. Sebagai balasannya, kau akan kami bunuh setelah tubuhmu yang montok dan menggiurkan itu dinikmati!” ujar Bandita.

“Keparat!” Melati menggeram bagai harimau luka. Gadis cantik itu marah bukan main mendengar omongan kotor Bandita. “Kurobek mulutmu yang kotor itu, Jahanam! Hiyaaattt...!”

Diawali sebuah teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Melati melancarkan serangan. Dalam kemarahannya, tanpa ragu-ragu lagi Melati mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'.

Hebat bukan main akibat pengerahan ilmu 'Cakar Naga Merah'. Sebatas pergelangan kedua tangan Melati berwarna merah darah. Dengan kedudukan jari-jari tangan terkembang membentuk cakar naga, Melati mulai melancarkan serangan. Gadis cantik itu membuka serangan dengan sebuah sapuan tangan ke arah dagu Bandita yang dilakukannya dengan mengayunkan tangan dari bawah ke atas.

Cittt!

Bunyi berdecit nyaring mengawali tibanya serangan itu. Pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Bandita bukan orang bodoh. Dia pun tahu kedahsyatan serangan Melati. Lelaki bercambang lebat itu tidak berani bertindak sembarangan. Tubuhnya dilemparkan ke belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauhkan diri.

Melati yang tengah dilanda kemurkaan hebat, tidak mau membiarkan musuh besarnya lolos begitu saja. Begitu serangan pertama berhasil dikandaskan, gadis itu segera menyusuli serangannya. Dengan sekali hentak, tubuh Melati melayang menyusul tubuh Bandita yang masih berjumpalitan di udara.

Bandita terkejut bukan main melihat kecepatan Melati mengirimkan serangan susulan. Disadarinya bahaya maut yang mengancam. Padahal saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Kedudukan itu membuatnya sulit untuk mengelak atau menangkis. Tapi....

“Hiyaaat..! Haaat..!”

Wuk wuk!

Prat prattt!

TIGA

Kejadian berlangsung demikian cepat dan sukar diikuti mata. Tubuh Reksa dan rekannya terjengkang ke belakang, sedangkan serangan Melati kandas. Gadis berpakaian putih itu mendaratkan kakinya di tanah. Padahal, serangan yang dikirimkannya belum mengenai sasaran.

Rupanya di saat yang amat gawat itu, sambil berteriak keras, Reksa dan rekannya menerjang Melati untuk menyelamatkan Bandita. Kedua rekan Bandita itu meluncurkan goloknya ke bagian berbahaya dari tubuh Melati. Terpaksa gadis cantik itu segera mengurungkan maksudnya. Dengan tangan kosong, dipapakinya golok kedua orang itu.

“Hiyaaat..!” Bandita langsung melancarkan serangan ketika Melati baru saja mendaratkan kedua kakinya. Golok besarnya disabetkan ke leher gadis itu dengan gerakan mendatar. Cepat serangan Bandita. Tapi masih lebih cepat gerakan Melati. Dengan sebuah jejakan kaki pada tanah, tubuh Melati seperti mengambang.

Tubuhnya melayang di udara dengan kedudukan tengkurap. Akibatnya, babatan golok Bandita lewat di bawah tubuhnya. Inilah jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor' yang merupakan salah satu jurus ilmu 'Cakar Naga Merah'. Tindakan Melati tidak berhenti sampai di situ. Dalam keadaan tubuh masih mengambang, tangannya dihentakkan ke depan.

Wuttt!

Bandita menyadari bahaya maut yang tengah mengancamnya. Cakar tangan Melati meluncur deras ke arah wajah. Bergegas kaki kanannya ditarik mundur. Dan, tubuhnya dicondongkan ke belakang. Betapa kaget hati Bandita ketika melihat cakar Melati tetap mengejarnya. Lelaki berjambang lebat itu tidak mengerti, mengapa hal itu bisa terjadi. Bukankah dia telah mengelak, tapi mengapa jarak wajahnya dengan tangan Melati seperti tidak berubah? Tangan itu tetap meluruk ke wajahnya.

Tidak ada tindakan apa pun yang dapat dilakukan Bandita. Di samping kedudukannya tidak memungkinkan, dia pun telah demikian gugup. Akibatnya....

Crokkk!

“Aaakh...!” Bandita mengeluarkan jeritan menyayat ketika jari-jari tangan Melati menembus ubun-ubun dan sebagian wajahnya. Darah bercampur otak bermuncratan dari kepala Bandita yang bolong-bolong.

Jliggg!

Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah, setelah menarik kembali tangannya dari batok kepala Bandita. Buru-buru dibersihkannya noda darah dan otak yang melekat di jari tangannya. Sementara itu, tubuh Bandita ambruk ke tanah. Tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!

“Kakang Bandita...!”

Dua rekan Bandita menjerit keras melihat kematian rekannya itu. Keduanya berdiri terpaku dengan pandangan tertuju pada tubuh Bandita. Sorot mata keduanya memancarkan rasa tidak percaya yang sangat, akan pemandangan yang terpampang di hadapan mereka.

Peristiwa itu demikian cepat terjadi, sehingga Reksa dan rekannya tidak sempat berbuat sesuatu untuk memberikan pertolongan. Apalagi, saat itu mereka tengah sibuk memperbaiki kedudukan setelah memapaki serangan Melati.

“Kakang Bandita...!”

Diiringi teriakan keras menggelegar, Reksa dan rekannya meluruk ke arah tubuh Bandita yang tergolek di tanah. Keduanya langsung berjongkok di dekat mayat Bandita. Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Dewa Arak, Melati serta Gondo dan kawan-kawannya. Meskipun saat itu nelayan-nelayan itu tengah sibuk mengurus kawan-kawan mereka.

“Hhh...!” Dewa Arak menghela napas berat. Diam-diam hati pemuda berambut putih keperakan itu menyesal melihat kematian Bandita yang demikian tragis. Tapi Dewa Arak tidak menegur Melati. Disadarinya kalau kekasihnya melakukan semua itu dalam luapan emosi yang menggelegak. Dan saat ini mungkin Melati tengah menyesali tindakannya. Dugaan Arya agaknya tidak salah. Gadis berpakaian putih itu tampak termenung.

“Kau harus menerima balasan atas kekejianmu ini, Wanita Sundal!” geram Reksa penuh kemarahan setelah berhasil menghalau perasaan sedihnya.

“Ya! Kau harus mati!” sambut lelaki berkumis tebal tak kalah geram.

Kemudian, kedua orang berompi hitam ini bangkit. Sepasang mata mereka menyorotkan dendam kesumat, tertuju lurus pada Melati. Keduanya merasa sangat menyesal karena tidak sempat menolong Bandita.

Lelaki bercambang lebat itu tewas dengan membawa rasa penasaran. Mengapa tangan Melati tetap mengenainya, padahal dirinya telah mengelak? Pertanyaan yang menggayuti hati Bandita tidak melanda hati Reksa dan rekannya. Mereka melihat jelas tangan Melati mendadak mulur!

Tangan gadis berpakaian putih itu memanjang lebih dari satu setengah kali panjang tangan aslinya! Itulah jurus 'Cakar Naga Merah' milik Melati. Sementara itu Melati tetap bersikap tenang. Tanpa gentar, dibalasnya tatapan kedua rekan Bandita.

“Kawan kalian memang lebih baik mati, daripada hidup di dunia cuma menyebarkan malapetaka bagi orang lain,” jawab gadis berpakaian putih tenang.

Dalam ucapan Melati tersirat alasan membunuh Bandita. Di lubuk hati gadis berpakaian putih itu ada rasa bersalah, telah membunuh lelaki bercambang lebat itu dengan cara yang demikian mengerikan.

Tapi Reksa dan rekannya tak mau mendengar alasan Melati. Yang mereka tahu, Bandita telah mati. Dan itu diakibatkan oleh tangan Melati. Sekarang, yang ada di benak mereka adalah membalas dendam kematian rekannya. Mereka berpencar untuk melakukan penyerangan dari dua arah! Lalu....

“Tutup mulutmu, Wanita Sundal! Hiyaaat..!” teriak Reksa sambil melompat menerjang. Goloknya ditusukkan ke arah perut Melati.

“Haaat...!”

Pada saat yang bersamaan rekan Reksa pun melancarkan serangan. Laki-laki berkumis tebal itu melompat ke atas. Begitu tubuhnya berada di udara, goloknya dikelebatkan ke arah leher!

Wuttt!

Kedua serangan itu hampir tiba bersamaan. Melati menjejakkan kakinya dan melempar tubuhnya ke belakang. Gadis cantik itu berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong, belasan jengkal di depan Melati.

Tapi dua orang berompi hitam itu tidak putus asa, meskipun serangannya berhasil dipunahkan. Begitu kedudukannya berhasil diperbaiki, serangan susulannya segera meluncur. Bahkan serangan-serangan mereka lebih dahsyat dari semula.

Namun hasilnya tetap sia-sia! Tingkat kepandaian Melati berada jauh di atas lawan-lawannya. Baik di dalam tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh, kemampuannya berada di atas Reksa dan kawannya. Dengan keunggulan itu, mudah bagi Melati untuk menggagalkan serangan lawan.

Untungnya, Melati tidak bermaksud membunuh mereka. Hingga Melati tidak melakukan perlawanan. Gadis itu hanya mengelakkan serangan demi serangan yang dilancarkan lawan. Lincah laksana kera dan gesit laksana bayangan, tubuh Melati menyelinap di antara kelebatan senjata lawan.

Kenyataan itu membuat Reksa dan kawannya penasaran bercampur geram. Telah lebih dari sepuluh jurus mereka melancarkan serangan, tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal, Melati tidak melakukan perlawanan dan hanya mengelak.

Menginjak jurus kedua belas, Melati merasa sudah waktunya melancarkan serangan balasan. Bila dibiarkan terus-menerus Reksa dan rekannya tidak akan mempunyai pikiran dan menyadari kalau Melati telah bersikap mengalah. Hingga Melati memutuskan untuk mengadakan perlawanan.

“Hih...!” Sambil menggertakkan gigi, Melati menggenjotkan kedua kakinya hingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala lawan.

Sedangkan pada saat itu, Reksa dan rekannya tengah meluruk ke arahnya sambil melancarkan serangan. Ketika telah berada di atas kepala keduanya, Melati membalikkan tubuh. Dan, kedua tangannya ditepukkan. Kelihatannya pelan dan tanpa pengerahan tenaga dalam. Tapi hasilnya tidak seperti yang diduga.

Plak plak!

“Hukh! Hukh!”

Dua orang kasar berompi hitam itu langsung terbatuk. Tubuh mereka terjerembab deras ke depan seperti ditubruk kerbau liar. Darah segar keluar dari mulut mereka. Agaknya, keduanya terluka dalam.

Jliggg!

Pada saat yang bersamaan Melati mendaratkan kakinya. Kemudian gadis berpakaian putih itu berbalik dan memperhatikan kedua lawannya yang tergolek tanpa daya di tanah. Mereka tidak mampu bangkit lagi karena luka dalamnya yang parah.

Arya yang sejak tadi hanya sebagai penonton, bergegas mengayunkan kaki mendekati Melati. Begitu pula Gondo dan kawan-kawannya. Begitu melihat rekan-rekan Bandita berhasil dirobohkan, mereka langsung menghampiri Melati. Setelah mengurus kawan-kawan mereka yang tewas atau terluka.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak Kalau tidak ada kau dan kawanmu ini, mungkin kami semua telah tewas di tangan tiga orang jahat itu,” ucap Gondo mewakili kawan-kawannya, kemudian kawan-kawannya mengangguk membenarkan ucapan Gondo.

“Jangan berterima kasih kepada kami, Kisanak. Tapi berterima kasihlah pada Tuhan. Atas kehendakNya langkah kaki kami tertuju kemari,” elak Melati merendahkan diri. “O ya, ngomong-ngomong mengapa kalian terlibat pertarungan dengan mereka?”

“Ketiga orang itu hendak mencuri perahu kami,” jawab Gondo. "Tentu saja kami mencegahnya. Karena mereka berkeras, maka pertarungan pun terjadi.”

“Mencuri perahu?” Melati dan Arya saling pandang.

Dalam adu pandang itu, sepasang muda-mudi itu menemukan jawabannya. Mungkinkah rombongan Bandita ingin menuju Pulau Es? Kalau benar demikian, berarti berita tentang pulau keramat itu telah tersebar luas di dunia persilatan. Kalau orang-orang kasar seperti mereka saja tahu dan bermaksud mendatanginya, apalagi tokoh-tokoh tingkat atas?

“Kisanak tahu, mengapa mereka hendak mencuri perahu?” kali ini Arya yang mengajukan pertanyaan.

Gondo menggelengkan kepala. “Sayang sekali aku tidak mengetahuinya. Mereka hanya mengatakan tengah tergesa-gesa. Itu saja. Tapi..., o ya aku ingat... beberapa hari ini banyak orang-orang yang menuju ke laut. Entah apa yang mereka cari. Kalau melihat gerak-gerik dan ciri-cirinya, mereka adalah tokoh-tokoh persilatan,” jelas Gondo.

Melati dan Arya kembali saling pandang. Kini mereka semakin yakin akan kebenaran dugaan semula. Ya! Pasti orang-orang yang diceritakan Gondo tengah menuju Pulau Es! Dugaan itu tidak mungkin salah!

“Terima kasih atas pemberitahuanmu, Kisanak. Kami ingin menanyakannya pada orang-orang itu.”

Usai berkata demikian, Arya menghampiri Reksa dan rekannya yang masih tergolek tak berdaya. Melati mengikuti di belakang.

“Aku ingin mengajukan pertanyaan. Kuharap kalian bersedia menjawabnya dengan benar,” ujar Arya tenang.

“Cuhhh!” Jawaban yang diterima Dewa Arak adalah semburan ludah Reksa. Memang tidak mengenai Arya, karena lelaki berjenggot lebat itu tidak mampu menggerakkan kepala. Wajahnya sendiri tak menghadap ke atas.

“Keparat!” Melati tersinggung melihat tanggapan Reksa. “Rupanya kau sudah bosan hidup, hahhh?! Kau ingin menerima nasib seperti kawanmu itu?!” Melati menuding mayat Bandita.

Reksa langsung terdiam. Meskipun dendam, tapi keadaannya tidak menguntungkan. Jika menuruti perasaan hati, dia sendiri yang akan rugi.

“Tenanglah, Melati,” Arya yang tidak ingin Melati kelepasan tangan kembali, buru-buru menengahi. “Biar aku yang mengurusnya.”

Melati tidak membantah. Gadis berpakaian putih itu langsung diam. Dibiarkannya pemuda berambut putih keperakan itu yang mengurusnya. Gadis itu hanya memperhatikan semua tindakan yang dilakukan kekasihnya.

“Sebenarnya, tanpa kalian jawab pun aku telah tahu ke mana kalian hendak pergi. Pulau Es, kan?!” tebak Arya langsung, untuk melihat tanggapan Reksa dan kawannya.

Seketika itu pula, raut wajah dua orang berompi hitam itu berubah. Dugaan Dewa Arak tidak salah! Mereka memang ingin menuju Pulau Es! Sungguh tidak disangka kalau Arya dan Melati mengetahui perihal pulau keramat itu. Reksa dan rekannya memperhatikan sepasang muda-mudi itu dengan pandangan menyelidik. Terutama terhadap Arya yang berperawakan lebih angker dibanding Melati. Keduanya memperhatikan dengan sungguh-sungguh.

Sepasang mata mereka menelusuri sekujur tubuh Arya mulai dari rambut sampai ujung kaki. Hasil yang mereka dapatkan sungguh mengejutkan. Ciri-ciri yang dimiliki Arya amat mirip dengan pendekar muda yang julukannya saat ini tengah menggemparkan dunia persilatan!

“Kau..., apakah kau Dewa Arak?!” tanya Reksa gagap. Dengan harap-harap cemas, ditunggunya jawaban. Demikian pula lelaki berkumis lebat.

“Benar. Dia Dewa Arak. Namanya adalah Arya Buana!” Melati mendahului menjawab dengan penuh kebanggaan. “Apakah sekarang kalian masih berani macam-macam?!”

Reksa dan kawannya menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokan mereka seperti tersumbat begitu mendengar jawaban Melati.

“Dan kalau kalian ingin tahu siapa aku, akan kuperkenalkan. Kalian pernah mendengar julukan Dewi Penyebar Maut?!”

Dengan gugup kedua orang berompi hitam itu menganggukkan kepala. Mereka memang, pernah mendengar julukan Dewi Penyebar Maut. Bahkan tokoh itu jauh lebih ditakuti dari Dewa Arak! Karena Dewi Penyebar Maut mempunyai watak telengas.

Tapi, hanya sebentar saja dunia persilatan digemparkan oleh Dewi Penyebar Maut, dengan tindakan-tindakannya yang menggiriskan hati. Setelah itu, tokoh itu lenyap tanpa bekas bagai ditelan bumi. Hingga Reksa dan rekannya merasa heran mendapat pertanyaan tentang tokoh itu.

“Nah! Akulah Dewi Penyebar Maut,” jawab Melati dengan sikap dibuat seram.

“Hekh!” Meskipun ucapan Melati sudah dapat diduga, tapi tak urung Reksa dan kawannya terkejut juga.

“Nah! Kalau kalian tidak ingin mati secara menyakitkan, ceritakan dari mana kalian tahu mengenai Pulau Es. Dan mengapa kalian pergi ke sana? Ingat! Jangan coba-coba untuk berbohong. Akibatnya sangat berat. Asal kalian tahu saja, aku tahu banyak mengenai pulau itu bahkan beberapa pulau keramat lainnya!” ancam Melati dengan bengis.

Mau tidak mau Arya hanya bertindak sebagai penonton. Disadarinya kalau sesekali tindakan keras itu perlu dilakukan. Maka, dibiarkannya Melati menggertak kedua orang itu.

“Baik...! Baik...! Kami akan beritahu semuanya,” ucap Reksa terbata-bata, karena rasa takut yang menggelegak.

“Bagus! Nah, ceritakanlah...!” sahut Melati.

EMPAT

“Kami bertiga hendak pergi ke Pulau Es,” ujar Reksa memulai keterangannya.

“Dari mana kalian mendengar berita tentang Pulau Es?! Dan untuk apa kalian ke sana?!” tanya Melati tak sabar melihat lelaki berjenggot lebat itu menghentikan ucapannya.

“Dari mana tepatnya, kami tidak tahu. Yang jelas, berita mengenai pulau itu tiba-tiba menggaung di dunia persilatan. Sewaktu pertama kali mendengamya, kami sendiri merasa heran. Apa lagi, ketika mendengar cerita selanjutnya,”

Reksa menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. Sementara Melati dan Arya terus mendengarkan penuh perhatian. Kali ini Melati tidak memotong cerita Reksa. Dengan sabar, ditunggunya lelaki ber-jenggot lebat itu melanjutkan ceritanya.

“Menurut berita yang kami dapat... pulau itu memang terbuat dari es! Baik daratan maupun bukit-bukitnya semua terdiri dari es! Cerita itu membuat kami tertarik untuk menyaksikan pulau itu dengan mata kepala sendiri.”

Lagi-lagi Reksa menghentikan ceritanya. Lelaki itu menelan ludah untuk membasahi tenggerokannya yang kering.

“Rasa tertarik kami semakin besar ketika beberapa waktu kemudian mendapat berita yang lebih terperinci,” lanjut Reksa.

“Menurut berita yang kami dapat, pulau itu ditinggali tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi. Tokoh-tokoh itu meninggal karena usia tua, tanpa mempunyai keturunan. Dengan sendirinya, pusaka-pusaka dan kitab-kitab yang tersimpan di sana tidak mempunyai majikan lagi. Hal terakhir inilah yang membangkitkan semangat kami untuk mendatangi Pulau Es. Kami ingin mendapatkan pusaka dan kitab-kitab yang ada di sana,” papar Reksa mengakhiri ceritanya.

Lelaki berjenggot lebat itu kemudian menatap Arya dan Melati, ingin melihat tanggapan mereka atas ceritanya. Reksa tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahuinya. Begitu ceritanya selesai, sepasang muda-mudi berwajah elok itu saling pandang. Sayang, Reksa tidak mengetahui apa yang menyebabkan Melati dan Dewa Arak berbuat demikian. Wajah sepasang pendekar muda itu tidak menunjukkan perasaan apa pun.

Sebaliknya, Dewa Arak dan Melati tahu pasti perasaan yang bergulat di hati masing-masing. Mulut mereka memang tidak mengatakan sesuatu. Tapi mata mereka telah mengatakannya secara gamblang. Antara Dewa Arak dan Melati seperti ada tali batin. Masing-masing dapat mengetahui apa yang dipikirkan, meskipun yang bersangkutan tidak mengatakannya. Dewa Arak dan Melati ternyata mempunyai tanggapan yang sama atas cerita Reksa!

Keduanya terkejut dan khawatir. Betapa tidak? Kalau semua yang diceritakan Reksa betul, berarti keadaan benar-benar gawat! Pertumpahan darah akan terjadi untuk memperebutkan pusaka dan kitab-kitab yang ada di Pulau Es! Dan andaikata pusaka dan kitab-kitab itu jatuh ke tangan tokoh sesat, akan terjadi bencana dalam dunia persilatan. Dewa Arak dan Melati tidak menginginkan hal itu terjadi. Mereka harus mencegahnya. Untuk melaksanakan tugas itu mereka harus menuju Pulau Es secepatnya.

“O ya, ada sedikit tambahan,” selak Reksa ketika melihat Dewa Arak dan Melati masih tercenung.

Melati dan Dewa Arak segera mengalihkan pandangan. Mereka ingin mendengar tambahan cerita Reksa.

“Kami dengar, dua tokoh tingkat tinggi kaum sesat pun ikut dalam perburuan pusaka Pulau Es,” jelas lelaki berjenggot lebat itu.

“Dua tokoh tingkat tinggi kaum sesat?!” Melati mengernyitkan dahi. Gadis itu belum mengetahui tokoh-tokoh yang dimaksud.

“Benar,” Reksa menganggukkan kepala. “Apakah kalian belum pernah mendengar julukan mereka?!”

Dewa Arak dan Melati saling bertukar pandang sesaat. “Kami memang pernah mendengar tentang tokoh-tokoh yang kau maksudkan. Sepanjang yang kami dengar, mereka telah puluhan tahun merajai dunia persilatan tanpa terkalahkan. Bukankah demikian?!” Arya yang memberikan sambutan.

“Benar,” Lagi-lagi Reksa menganggukkan kepala. “Kedua datuk sesat itu memang belum terkalahkan. Padahal, keduanya telah ratusan kali bertarung. Tak terhitung sudah berapa orang yang tewas di tangan mereka, baik dari aliran hitam maupun putih. Kalian juga mengetahuinya?!”

“Kami hanya mendengar beritanya saja,” jawab Arya. “Bukankah mereka yang berjuluk Raja Iblis Baju Emas dan Raja Kera Muka Hitam?!”

Reksa mengangguk. “Raja Iblis Baju Emas merajai daerah utara. Sedangkan daerah selatan dikuasai Raja Kera Muka Hitam,” jelas lelaki berjenggot lebat itu.

Dewa Arak mengangguk, membenarkan ucapan Reksa. “Bila datuk-datuk sesat itu ikut memperebutkan pusaka Pulau Es, berarti keadaan sudah sangat gawat,” ucap Arya pelan, seperti berbicara pada diri sendiri.

“Kalau begitu..., tunggu apalagi, Kang?! Mari kita segera ke sana!” usul Melati.

“Kau benar, Melati,” sambut Arya cepat sebelum Melati memberikan tanggapan, Gondo telah memotong pembicaraan. Sejak tadi, dia dan rekan-rekannya mendengarkan semua percakapan itu.

“Jadi..., kalian berdua juga membutuhkan perahu?!” tanya Gondo penuh rasa ingin tahu.

Karena memang membutuhkan perahu untuk menuju Pulau Es, Arya menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan itu.

“Kalau begitu, silakan pakai perahuku. Itu yang merah,” ucap Gondo menawarkan jasa.

Arya dan Melati saling pandang. “Maafkan kami, Kisanak. Bukannya ingin menolak... tapi sebelumnya kami memang ingin membeli perahu. Dan....”

“Tidak usah kau beli, Tuan Pendekar,” potong Gondo cepat sambil merubah panggilan. “Ambil saja perahu yang Tuan dan Nona Pendekar inginkan. Tidak usah bayar. Percayalah. Kami ikhlas memberikannya. Bukankah demikian, kawan-kawan?!”

“Benar, Tuan Pendekar,” sahut rombongan nelayan serempak bagai diberi perintah. Kepala mereka dianggukkan pertanda menyetujui keputusan Gondo.

"Tapi...,” Arya masih mencoba membantah.

“Kami harap Tuan dan Nona Pendekar tidak menolak pemberian ini. Andaikata tidak ada kalian berdua, bukan hanya perahu-perahu saja yang lenyap, tapi juga diri kami,” Gondo terus mendesak.

Melihat kekerasan hati Gondo, Arya tidak bisa mengelak lagi. “Baiklah kalau begitu, Kisanak. Kami terima pemberian kalian. Tapi percayalah. Kami akan berusaha menjaga perahu ini sebaik-baiknya. Jadi, andaikata kami kembali, perahu ini bisa kami kembalikan."

"Terserah Tuan dan Nona Pendekar sajalah. Kami setuju saja dengan keputusan kalian berdua,” ujar Gondo pasrah.

“Kami hanya menyatakan terima kasih atas kebaikan hatimu, Kisanak Maaf, kami tidak bisa berlama-lama di sini. Urusan ini sangat mendesak,” ucap Arya, berusaha untuk tidak berpanjang kata.

“Kami mengerti. Selamat jalan, Tuan dan Nona Pendekar. Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan.”

Dewa Arak dan Melati mengangguk sambil mengulas senyum. Lalu mereka mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Gondo dan kawan-kawannya melepas kepergian mereka dengan pandangan penuh kekaguman dan terima kasih yang mendalam.

* * *

“Ke mana arah yang harus kita tempuh, Melati?” tanya Arya sambil tetap mengayuh dayung.

Sepasang pendekar muda yang berwajah elok itu kini telah berada di tengah laut. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya air. Sedangkan perahu merah yang mereka tumpangi melesat cepat membelah permukaan air.

Dewa Arak dan Melati mengerahkan tenaga dalam untuk mengayuhnya. Hingga meskipun hanya dua pasang tangan yang mengayuh, perahu itu melaju cepat seperti dikayuh puluhan tangan nelayan bertenaga kuat.

“Ke utara, Kang,” jawab Melati tanpa menghentikan kayuhannya.

“Kau sudah pernah pergi ke sana, Melati?”

“Maksudmu... ke Pulau Es, Kang?”

“Benar,” Arya menganggukkan kepala. “Pernah?!”

“Belum, Kang,” sahut gadis berpakaian putih itu sambil menggeleng.

“Lalu..., bagaimana kau bisa tahu arah yang harus kita tuju? Ah, ya! Pasti dari Ki Julaga, kan?!” Arya sendiri yang menjawab pertanyaan itu.

“Benar, Kang. Dari gurulah aku tahu arah yang harus dituju. Kebetulan pantai yang menjadi patokan keberangkatan itu adalah pantai yang kita tinggalkan tadi. Jadi.., kita tidak repot-repot lagi memikirkan arah yang harus kita tempuh,” urai Melati.

Arya terdiam. Melati pun tidak melanjutkan ucapannya, hingga keheningan menyelimuti mereka. Yang terdengar hanya bunyi dayung mengoyak-ngoyak permukaan air.

Waktu berlalu tanpa dapat dicegah. Sang Surya terus berputar sesuai aturannya. Bola raksasa itu kini telah condong ke barat Tapi, Arya dan Melati tidak peduli. Dayung di tangannya terus dikayuh, menempuh arah yang mereka tuju.

Nasib baik menyertai pasangan pendekar muda itu. Laut tetap tenang. Dan, ombak yang bergulung-gulung tidak terlalu besar. Hingga, mereka tidak mengalami hambatan yang berarti. Perahu yang mereka kemudikan dengan lincah membelah gulungan ombak kecil-kecil yang datang melanda.

Tak lama kemudian, sang Surya tenggelam di ufuk barat. Pemandangan yang terbentang terlihat demikian indah. Bola raksasa berwama merah itu seperti tenggelam ke dalam laut. Indah bukan main. Langit di sekitarnya dipenuhi bias-bias kemerahan. Kini hanya Arya yang mengemudikan perahu.

Melati sedang beristirahat untuk memulihkan tenaga, dan menyantap makanan yang telah mereka siapkan. Ketika malam telah larut dan Melati sudah bangun dari tidurnya, Arya pun beristirahat. Gadis berpakaian putih itu menggantikan tugas kekasihnya mendayung.

Waktu terus berlalu. Dan ketika perjalanan Arya dan Melati memasuki hari ketiga, sebuah pemandangan yang mendebarkan hati terlihat di kejauhan.

“Kakang! Lihat..!” teriakan Melati sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.

Arya melayangkan pandangan ke arah yang ditunjuk gadis berpakaian putih itu. Sebenarnya, tanpa diberitahu dia telah melihatnya. Pemandangan yang membuat sepasang matanya membelalak.

Di kejauhan, tampak sebuah daratan berwarna putih berkilauan. Kelihatan berkilat-kilat. Sekali lihat saja, pasangan pendekar muda itu tahu pulau yang mereka lihat berbeda dengan pulau pada umumnya. Itukah Pulau Es yang tengah ramai diperbincangkan orang.

Tanpa dapat dicegah, jantung Arya dan Melati berdetak kencang. Perasaan tegang menyelimuti hati sepasang pendekar muda itu. Mereka teringat akan cerita Ki Julaga dan Reksa, yang mengatakan bahwa Pulau Es dihuni tokoh-tokoh berkepandaian tinggi. Penampilan daratan Pulau Es menimbulkan rasa kagum di hati Arya dan Melati terhadap tokoh-tokoh yang menghuninya.

“Itukah Pulau Es...?!” tanya Arya dengan suara agak bergetar.

“Kalau melihat ciri-ciri daratan itu... rasanya kita tidak salah, Kang. Tapi... memang ada yang kurang....”

“Aku belum mengerti apa yang kau maksudkan, Melati?” tanya Arya dengan alis berkerut.

Melati tidak segera menjawab. Gadis cantik itu tercenung. Kemudian menghembuskan napas berat. “Menurut cerita yang kudapat dari guru... sebelum mencapai Pulau Es kita akan dihadang oleh angin topan. Tapi, nyatanya kita tidak menemukannya,” jelas Melati.

“Jadi..., kita tidak yakin daratan yang kita lihat itu Pulau Es, Melati?” tanya Arya penasaran.

“Bukannya tidak yakin, Kang. Tapi kurang yakin,” ulang Melati setengah memperbaiki kata-kata Arya. “Kau sendiri bagaimana?”

“Aku yakin daratan yang kita lihat Pulau Es!” jawab Arya mantap. “Mengenai angin topan yang kau ceritakan, anggaplah nasib baik tengah berpihak pada kita. Dengan kata lain, kedatangan kita tidak pada waktu angin itu muncul.”

“Mungkin kau benar, Kang,” sahut Melati setelah tercenung beberapa saat.

“Menurutku, lebih baik, kita tidak usah meributkan kebenarannya sekarang. Lebih baik kita datangi dan buktikan sendiri, benar tidak daratan itu Pulau Es. Setuju?!” usul Arya.

“Aku setuju, Kang!” mantap dan tegas jawaban Melati. “Bagus! Nah! Mari kita bergegas!”

Arya dan Melati kelihatan makin bersemangat untuk segera tiba di daratan itu. Mereka mendayung dengan sebuah tenaga, hingga laju perahu semakin cepat Jarak antara sepasang pendekar muda itu dengan daratan yang terlihat putih berkilauan, semakin lama bertambah dekat. Pemandangan yang terlihat pun tampak semakin jelas.

“Kau benar, Kang. Tidak salah lagi. Ini pasti Pulau Es,” ucap Melati ketika melihat dengan jelas.

Arya hanya mengangguk menanggapi pernyataan Melati. Seluruh perhatian pemuda itu tengah tertuju pada daratan yang terpampang di depan mereka. Sorot mata dan tarikan wajah Arya menyiratkan kekaguman yang sangat.

“Kalau tidak melihat sendiri rasanya sulit kupercaya, Melati,” kata Arya takjub. “Di tengah-tengah lautan luas seperti ini, terdapat Pulau Es. Benar-benar menakjubkan! Yang membuatku heran, mengapa esnya tidak mencair?”

Melati tidak menanggapi pernyataan Arya. Gadis berpakaian putih itu pun tengah dilibatkan pertanyaan yang sama. Dia pun bingung.

“Kalau benar seluruh pulau ini terdiri dari batu-batu es, tentu bagian bawahnya akan mencair. Ataukah pulau ini hanya merupakan pulau terapung? Bila benar demikian, tempatnya pasti berpindah-pindah. Atau....”

“Lebih baik tidak usah dipikirkan mengenai hal itu, Kang. Bukan hanya kau yang akan pusing, tapi aku juga. Menurutku, lebih baik kau buang pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin terjawab itu. Yakinkan saja dalam hatimu, bahwa bagi Tuhan tidak ada hal yang tidak mungkin. Dengan kata lain, meskipun menurut pemikiran kita tidak mungkin, tapi bagi Tuhan merupakan hal yang sepele. Mudah kan?!” potong Melati.

“Kau benar, Melati. Mengapa aku harus pusing-pusing memikirkannya? Mungkin ini merupakan salah satu keajaiban. Dan lagi ada yang lebih penting bagi kita, secepatnya mendarat di sana. Bukankah demikian?!” Arya membuang jauh-jauh pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Tak berapa lama kemudian, perahu yang ditumpangi mereka menepi.

“Hup!” Arya dan Melati segera melompat dari perahu. Kemudian, Arya menambatkan perahu pada salah satu karang es yang ada di tepi pantai.

“Luar biasa...! Betul-betul menakjubkan...!”

Seruan bernada kekaguman keluar hampir bersamaan dari mulut Arya dan Melati. Keduanya berdiri terpaku memandang ke sekeliling mereka. Pemandangan yang terlihat memang sungguh mengagumkan. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya warna putih berkilauan. Baik itu daratan maupun bukit-bukitnya.

“Hawanya dingin ya, Kang?” celetuk Melati.

“Benar, Melati. Kita harus mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya,” ujar Arya.

Sebenarnya, pemberitahuan Dewa Arak tidak perlu. Begitu merasakan dingin, dengan sendirinya tenaga dalam yang mereka miliki bergolak melawan. Tapi, yah... begitulah. Karena seluruh pikiran pemuda itu tengah terpusat pada masalah yang dihadapi, maka jawaban-jawaban yang diberikan Arya terkadang keluar tanpa dipikir lagi.

“Mari kita kelilingi pulau ini, Melati. Akan kita buktikan, benarkah tempat seperti ini ditinggali manusia. Bila hal itu benar, pasti ada sebuah tempat tinggal di sini.”

Tanpa berkata apa-apa, Melati mengayunkan langkah mengikuti Arya yang telah lebih dulu menindakkan kaki. Hati-hati sekali, pasangan pendekar muda itu melangkah. Tempat itu memang masih sangat asing bagi mereka.

Hingga Dewa Arak dan Melati tidak berani bertindak gegabah. Sekujur urat syaraf dan otot-otot tubuh mereka menegang penuh kesiagaan, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Selangkah demi selangkah Dewa Arak dan Melati meninggalkan pantai. Kaki-kaki mereka terus diayunkan, hingga tanpa disadari tempat mendarat mereka telah tertinggal jauh. Mendadak kedua pendekar muda itu saling pandang.

“Kau dengar suara-suara itu, Melati?” tanya Arya sambil menghentikan langkah. Sepasang matanya menatap kekasihnya penuh rasa ingin tahu.

Melati tidak segera menjawab. Kepalanya digelengkan, dan perhatiannya dipusatkan untuk mendengar suara yang dimaksudkan Arya.

“Kau benar, Kang. Ada suara-suara gaduh seperti tengah terjadi keributan. Tapi aku tidak bisa mengetahui dari mana asalnya,” jawab gadis berpakaian putih itu.

“Arahnya dari sana, Melati,” jawab Dewa Arak sambil menunjuk ke depan.

“Kalau begitu..., mari kita ke sana, Kang!”

Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak, Melati langsung melesat dengan mengarahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap tubuh gadis itu telah berada belasan tombak di depannya.

Mau tidak mau, Dewa Arak pun melakukan hal yang sama. Dia tidak akan membiarkan kekasihnya menuju tempat itu seorang diri. Hanya dengan beberapa kali lesatan, pemuda berambut putih keperakan itu berhasil menyusul Melati. Sekarang keduanya berlari bersisian menuju asal suara yang mereka dengar.

LIMA

Begitu melewati bukit es yang cukup besar, Dewa Arak dan Melati baru mengetahui asal suara riuh rendah itu. Dugaan mereka tidak salah. Suara-suara itu disebabkan oleh pertarungan. Dewa Arak dan Melati menghentikan lari dalam jarak tujuh tombak dari pertarungan yang tengah berlangsung. Keduanya memperhatikan jalannya pertarungan.

Memang tidak aneh kalau pertarungan yang terjadi demikian riuh rendah. Yang terlibat dalam pertarungan itu tidak satu atau dua orang melainkan belasan! Pertarungan itu lebih tepat disebut pertarungan antar kelompok.

Betapa tidak? Orang-orang yang terlibat dalam pertarungan, mengenakan pakaian seragam. Satu kelompok berseragam serba merah, sedangkan kelompok lainnya berseragam serba hitam.

Beberapa saat lamanya pasangan pendekar muda itu hanya memperhatikan pertarungan yang tengah berlangsung. Keduanya tidak tahu mengapa kedua kelompok itu bertarung. Siapa yang benar dan yang salah tidak diketahui. Itu sebabnya, Dewa Arak dan Melati tidak ikut campur.

“Kau mengenal mereka, Kang?” tanya Melati pelan mirip bisikan.

“Ya. Tapi hanya kelompok yang berseragam hitam. Kau lihat gambar cakar burung di dada kiri mereka? Nah! Mereka adalah orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Sebuah perkumpulan beraliran sesat yang cukup terkenal. Sedangkan kelompok yang berseragam merah, aku tidak tahu. Entah kelompok dari mana mereka. Ciri-ciri yang mereka miliki sangat aneh,” jawab Arya.

Melati mengangguk-angguk. Ucapan Dewa Arak memang tidak salah. Kelompok orang berpakaian merah itu mempunyai ciri-ciri aneh. Kulit tubuh mereka kemerahan. Berambut tipis dan kekuningan seperti rambut jagung. Yang mengerikan adalah matanya. Mata itu tidak hitam seperti mata pada umumnya, tapi kebiruan!

“Mungkinkah mereka para penghuni pulau ini, Melati?” duga Arya.

Melati langsung terperanjat, dan memaki-maki dirinya. Mengapa dia begitu bodoh? Ya! Orang-orang berpakaian merah itu pasti para penghuni pulau ini. “Aku rasa begitu, Kang. Ya! Mereka pasti penghuni pulau ini. Sekarang sudah bisa diketahui penyebab pertarungan itu. Mereka ingin mengusir orang-orang itu dari tempat kediaman mereka.”

Arya mengangguk-angguk menyetujui pendapat Melati. Sementara pandangannya tetap terarah ke arena pertarungan yang terlihat semakin menarik. Meskipun orang-orang berseragam merah itu hanya berjumlah lima orang, sedangkan lawannya berjumlah lima belas orang, namun mereka mampu mengadakan perlawanan sengit, hingga pertarungan berjalan seimbang.

“Hm...,” Arya menggumam pelan. “Untunglah orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam bertindak cerdik dengan melakukan pertarungan bersama. Kalau tidak, orang-orang berseragam merah pasti mampu menggilas mereka dengan mudah.”

Melati mengangguk. Gadis cantik itu melihat kebenaran ucapan kekasihnya. Kemampuan perorangan orang-orang berseragam merah memang berada di atas orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Taktik pertarungan kelompok Perkumpulan Garuda Hitam itu membuat pertarungan berlangsung sengit.

“Kakang...,” sapaan Melati mengalihkan perhatian Arya.

“Ada apa, Melati?” tanya pemuda berambut putih keperakan itu.

“Kalau benar orang-orang berpakaian merah itu para penghuni Pulau Es, rasanya tempat ini tidak cocok untuk mereka...”

“Aku belum mengerti maksudmu, Melati?” Arya mengeryitkan dahi.

"Tindakan mereka terlalu kasar, Kang. Kulihat setiap serangan mereka mengandung ancaman maut. Apa kau tidak melihat kalau ilmu-ilmu mereka lebih patut dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam?” tanya Meteti setengah memberi tahu.

“Ah...! Kau benar, Melati!” sentak Dewa Arak kaget “Mengapa aku begini bodoh! Ya! Ilmu mereka memang lebih patut dimiliki tokoh-tokoh beraliran hitam. Serangan mereka penuh dengan tipuan. Lalu..., apa maksudmu, Melati?”

Melati tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali dilayangkan pada pertarungan, setelah gadis berpakaian putih itu menatap kekasihnya.

“Sewaktu kau pertama kali mendengar nama Pulau Es, dan mengetahui siapa penghuninya... apa yang terlintas dalam benakmu tentang mereka, Kang?” Melati malah balas mengajukan pertanyaan.

“Kau benar, Melati. Kali ini otakmu sungguh cemerlang! Kau telah memikirkan masalah yang tidak terpikir olehku! Luar biasa! Ya! Aku baru melihat keanehannya di sini. Pantas tadi kau mengatakan orang-orang berpakaian merah tidak cocok menghuni Pulau Es.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Kang,” ujar Melati mengingatkan. “Kalau belum mendengar sendiri jawabanmu, rasanya aku belum puas.”

“Baiklah, kalau begitu. Dugaanku mereka rata-rata berusia tua, mempunyai sikap sabar dan welas asih,” jelas Arya.

“Persis! Aku pun menduga demikian, Kang! Itu sebabnya kukatakan kalau orang-orang berpakaian merah itu tidak cocok menghuni Pulau Es,” sambung Melati mendukung dugaan Arya.

Arya tercenung mendengar ucapan Melati. Meskipun sepasang matanya menatap ke arah pertarungan yang masih terus berlangsung, tapi pikirannya diputar untuk mencerna ucapan-ucapan Melati.

“Mungkinkah mereka bukan penghuni pulau ini, Melati?” duga Arya tiba-tiba sambil menatap wajah Melati lekat-lekat.

Gadis cantik itu terperanjat Dengan raut wajah bodoh, ditatapnya wajah kekasihnya. “Kalau begitu..., mereka dari mana, Kang? Mereka tidak mungkin berasal dari daratan yang sama dengan kita. Ciri-ciri mereka amat aneh....” ujar Melati.

“Barangkali berasal dari salah satu pulau yang ada di dekat pulau ini. Mungkin dari Pulau Api atau Pulau Air?” sahut Dewa Arak.

“Hehhh...?!” Melati tersentak. “Mengapa kau berpikir sejauh itu, Kang?! Keberadaan penghuni Pulau Es saja masih merupakan tanda tanya besar. Kini kau tambah lagi dengan Pulau Air dan Pulau Api.”

“Eh...?! Kau ini lupa atau berpura-pura pikun, Melati. Bukankah berita tentang Pulau Air dan Pulau Api itu kudapatkan darimu?! Tapi, mengapa malah kau yang bingung sekarang?!” ujar Arya setengah bercanda.

“Akh...!” Sebuah jerit kesakitan mengalihkan perhatian Melati dan Arya. Pasangan pendekar muda itu langsung melupakan persoalan yang tengah mereka debatkan.

Seorang anggota Perkumpulan Garuda Hitam tampak terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya didekapkan ke perutnya yang terluka. Darah merembes dari celah-celah jari tangan.

Dewa Arak dan Melati segera mengedarkan pandangan ke arah orang-orang berpakaian merah. Mereka ingin tahu siapa yang telah melukai orang Perkumpulan Garuda Hitam itu. Dan ketika pasangan pendekar muda itu melihatnya, Melati tidak kuasa menahan jeritan. Gadis berpakaian putih itu terkejut bukan main!

Betapa tidak? Seorang lelaki berpakaian merah yang berkumis tipis, tengah memasukkan sesuatu yang berlumur darah segar ke dalam mulutnya. Melati maupun Arya tidak mengetahui secara pasti benda apa yang dimakan. Tapi yang jelas benda itu berasal dari dalam tubuh anggota Perkumpulan Garuda Hitam yang terluka.

Hampir saja Melati muntah-muntah melihat pemandangan itu. Seorang manusia memakan jantung atau hati atau ampela atau paru-paru manusia lainnya mentah-mentah! Sungguh tidak pemah dibayangkannya! Apalagi dengan cara demikian lahap!

Orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam pun kelihatan terkejut melihat hal itu. Hanya mereka tidak sampai menjerit seperti Melati. Seketika itu pula pertarungan langsung terhenti. Orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam masih terlalu kaget untuk melanjutkan pertarungan.

Sedangkan orang-orang berseragam merah memperhatikan kesibukan kawannya. Dengan sorot mata penuh minat dan air liur menetes, mereka memperhatikan laki-laki berkumis tipis yang asyik mengunyah.

Tapi, keadaan itu hanya berlangsung sesaat. Begitu kekagetannya lenyap, yang tinggal dalam hati dan benak setiap anggota Perkumpulan Garuda Hitam adalah, membalas sakit hati rekan mereka yang tewas dengan cara demikian mengerikan. Anggota Perkumpulan Garuda Hitam yang malang itu memang hanya mampu bertahan sebentar, kemudian mati. Dengan kemarahan yang menggebu-gebu, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam menghunus senjata masing-masing.

Srat srat, srat!

Sinar terang segera terpancar ketika mereka mencabut senjatanya masing-masing. Sebatang keris berlekuk sembilan berwarna putih mengkilat. Sejak tadi pertarungan memang berlangsung dengan tangan kosong. Orang-orang berseragam merah itu rupanya tidak mau kalah gertak. Mereka segera mengeluarkan senjata andalannya.

Ctar ctar ctar!

Bunyi meledak-ledak seperti halilintar terdengar susul-menyusul ketika kelima orang berkulit kemerahan itu melecutkan cambuknya. Seperti orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam, orang-orang berpakaian merah ini juga memiliki senjata seragam. Senjata mereka berupa cambuk.

Bunyi ledakan itu mengagetkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Mereka segera bergerak mundur sambil melihat senjata lawan-lawannya. Dan ketika telah berhasil melihat secara jelas, mereka langsung bergidik ngeri. Cambuk lawan ternyata berbeda dengan cambuk biasa. Cambuk itu mirip gada berduri! Dari pertengahan terus ke ujung penuh dengan duri!

Tapi, perasaan kaget dan ngeri itu hanya sebentar menyelimuti hati orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Sesaat kemudian, laki-laki berbibir tebal dan hitam yang bertindak sebagai pemimpin mengeluarkan aba-aba penyerangan.

“Serbu...!”

Tanpa menunggu perintah dua kali, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam meluruk maju. Keris-keris di tangan mereka siap dihunjamkan ke tubuh lawan. Serbuan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam mendapat sambutan hangat dari lawan-lawannya. Pertarungan sengit pun terjadi.

Dengan senjata-senjata andalan di tangan, pertarungan berlangsung semakin seru. Jauh lebih ramai dan menarik dari sebelumnya. Bunyi lecutan cambuk yang menggelegar dan desing tajam udara yang terobek keris-keris, menyemaraki suasana pertarungan.

Kali ini, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam tidak beruntung. Sejak mula melancarkan serangan, mereka langsung dibuat kelabakan oleh kecerdikan orang-orang berpakaian merah. Mereka dapat memanfaatkan kelebihan senjata yang mereka pergunakan.

Setiap kali orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam melancarkan serangan dan belum mencapai sasaran, orang-orang berpakaian merah telah melancarkan serangan lebih dahulu. Terpaksa orang-orang berseragam hitam itu mengurungkan maksudnya.

Kenyataan ini sangat merugikan orang-orang berseragam hitam. Sebelum senjata mereka berhasil didaratkan di tubuh lawan, senjata lawan telah lebih dulu melecut tubuh mereka. Sebab daya jangkau senjata lawan lebih jauh. Sedangkan mereka tidak berani sembarangan memapaki serangan lawan. Sasaran yang dituju lawan sukar dapat dipastikan.

Ini tidak berlebihan. Senjata orang-orang berpakaian merah adalah senjata lemas, hingga mudah dikendalikan. Dan lagi mereka telah amat mahir menggunakannya. Di tangan orang-orang berseragam merah, cambuk itu mempunyai keistimewaan beraneka ragam.

Terkadang mereka menggerakkan cambuk itu secara biasa. Dilecutkan hingga menimbulkan bunyi menggelegar. Tapi tak jarang gerakan cambuk itu meliuk-liuk seperti ular akan menerkam mangsa. Yang lebih hebat lagi, orang-orang yang berciri aneh itu mampu membuat tali cambuk menegang kaku dan lurus seperti sebatang tongkat baja. Tentu untuk melakukannya dibutuhkan tenaga dalam tinggi.

Hanya dalam beberapa gebrakan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam kewalahan. Taktik yang semula akan mereka terapkan hancur berantakan Pupus. Semula mereka bermaksud mengurung lawan sedemikian rupa, sehingga tidak ada jalan keluar sedikit pun. Tapi, tidak disangka niat itu gagal. Bukan lawan yang mereka kepung. Bahkan sebaliknya, kepungan mereka hancur berantakan. Masing-masing berjuang keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya.

Belum sampai sepuluh jurus bertarung, kedudukan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam telah berada di bawah angin. Robohnya mereka hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan, itu diketahui pasti oleh Dewa Arak dan Melati. Tanpa kesulitan mereka dapat menyaksikan jalannya pertarungan. Keduanya pun tahu kalau tak lama lagi orang-orang berpakaian merah akan mendapat kemenangan mutlak! Dugaan pasangan pendekar itu tepat. Sebab, sesaat kemudian....

Ctarrr! Prattt!

“Akh!” Jeritan tertahan keluar dari mulut seorang anggota Perkumpulan Garuda Hitam ketika ujung cambuk lawan menyerempet bahunya. Sebelum gema teriakannya lenyap, rekannya menyusul ikut menjerit. Dalam sekejap, lima orang anggota Perkumpulan Garuda Hitam terkena lecutan cambuk. Tinggal sembilan orang yang masih mampu mengelak. Tapi, giliran mereka sudah dapat dipastikan akan tiba.

Semua kejadian itu tidak lepas dari pandangan Dewa Arak dan Melati. Sebuah senyuman penuh kelegaan tersungging di mulut Dewa Arak. Pemuda itu melihat lecutan cambuk orang-orang berseragam merah tidak ada yang mengenai bagian mematikan. Bagian yang terlecut hanya bahu atau paha.

Agaknya dugaan Dewa Arak dan Melati telah keliru selama ini. Orang-orang berserangan merah ternyata tidak sejahat yang mereka duga. Kenyataan serangan cambuk mereka hanya mengenai bagian yang tidak berbahaya. Padahal, untuk mencambuk ke bagian yang berbahaya mudah saja dilakukan oleh orang-orang berpakaian merah itu.

“Dugaan kita ternyata keliru, Melati,” kata Arya, “Orang-orang berpakaian merah ternyata tidak sejahat yang kita kira. Kau lihat sendiri, kan?!”

Tapi sebelum Melati sempat memberikan tanggapan, terdengar suara jeritan menyayat. Seketika itu pula perhatian sepasang muda-mudi itu berpindah ke arah asal suara. Dan mata mereka membelalak kaget. Suara jeritan itu berasal dari orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam yang tadi terkena cambuk.

Orang-orang itu menjerit-jerit dan menggeliat-geliat dengan raut wajah menunjukkan rasa sakit yang sangat. Yang membuat bulu kuduk berdiri, adanya kepulan asap yang keluar dari bagian tubuh yang terkena lecutan cambuk. Mula-mula sedikit dan tipis. Tapi lama-kelamaan semakin banyak dan tebal.

Kejadian yang menggiriskan hati ini pun disaksikan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam lainnya. Meskipun mereka tengah bertarung hidup dan mati. Tapi, apa yang dapat mereka lakukan? Jangankan menolong, mempertahankan nyawa dari serangan ujung cambuk lawan saja sudah amat sulit.

Akhirnya, mereka berusaha menulikan telinga dan mematikan perasaan akan penderitaan yang dialami rekan-rekannya. Sedangkan Dewa Arak dan Melati menyaksikan kejadian itu dengan jelas dan gamblang. Keduanya memperhatikan tanpa berkedip.

“Mereka..., apa yang terjadi atas diri mereka, Kang?” tanya Melati terbata-bata. Tarikan wajah gadis berpakaian putih itu menyiratkan rasa ngeri yang besar.

“Entahlah, Melati. Aku sendiri belum bisa memastikan. Tapi, kemungkinan besar orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam itu tengah keracunan hebat... Sejenis racun yang amat keji!” desis Dewa Arak penuh kemarahan.

“Racun?! Mereka terkena racun? Kapan dan bagaimana mereka dapat terkena racun keji itu, Kang?!” tanya Melati penasaran.

“Tidakkan kau lihat dari mana keluarnya asap itu, Melati? Tempat luka-luka cambuk?! Nah! Racun itu berasal dari cambuk orang-orang berseragam merah. Hhh...! Kini aku tahu, mengapa mereka tidak mengarahkan lecutan cambuknya pada bagian yang mematikan!” ujar Arya geram.

“Mengapa, Kang?!” desak Melati tidak sabar.

“Mereka tidak menginginkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam tewas secara enak. Mereka ingin lawan tewas secara perlahan-lahan dan penuh penderitaan. Kita salah duga, Melati. Orang-orang yang kita sangka malaikat ternyata iblis-iblis keji yang berhati kejam. Hm.... Kalau mereka tetap menyebar kekejian itu, jangan harap aku akan tinggal diam!” mantap dan tegas Dewa Arak mengucapkan kata-kata.

Sementara itu keadaan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam yang dilanda keracunan semakin menggiriskan hati. Racun yang menyerang mereka adalah racun ganas dan keji. Racun itu membuat kulit, daging, dan tulang mereka hancur luluh seperti lilin terbakar.

Asap yang keluar itu tercipta karena melelehnya daging, kulit, dan tulang mereka. Orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam itu menanggung rasa sakit yang sangat. Lolong kesakitan dan geliatan-geliatan tubuh mereka menjelaskan semuanya.

“Ada yang bisa kau lakukan untuk menolong mereka, Kang?” tanya Melati. Ada nada permintaan dalam ucapannya. Gadis cantik itu sudah tidak tahan melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.

“Sayang sekali, Melati. Aku tidak bisa menolong mereka. Aku tidak tahu bagaimana mengobati orang yang terkena racun seperti itu,” jawab Arya menyesal.

“Kalau begitu..., bagaimana kalau mereka kita bunuh saja, Kang?! Aku tidak tahan melihatnya. Lagi pula, aku rasa mereka lebih suka mati dibunuh daripada mati perlahan-lahan dan penuh penderitaan seperti itu,” usul Melati.

“Sebuah usul yang baik, Melati.” Arya memberikan tanggapan setelah termenung beberapa saat. "Tapi, akan lebih baik kalau rekan-rekan mereka sendiri yang melakukannya. Di samping untuk melepaskan kita dari kesalah-pahaman yang mungkin terjadi, nyawa mereka pun dapat kita selamatkan. Aku tidak ingin mereka ikut menjadi korban keganasannya!”

“Aku setuju, Kang!” dukung Melati.

“Kalau begitu..., mari kita selamatkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam itu!” Usai berkata demikian, Dewa Arak melesat ke arah kencah pertarungan.

Demikian pula Melati. Mereka ingin menyelamatkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam dari incaran maut orang-orang berseragam merah. Sungguh merupakan suatu kebetulan. Keadaan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam memang sudah sangat mengkhawatirkan. Mereka terpontang-panting ke sana kemari mengelakkan serangan cambuk lima orang lawan mereka.

ENAM

“Harap kalian menyingkir! Dan urus kawan-kawan kalian. Biar kami yang mengurus mereka!”

Dalam kedudukan masih berada di udara, Dewa Arak memberi perintah. Tidak itu saja. Di samping memberi perintah pada orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam, pemuda itu pun memberi kesempatan pada mereka untuk melakukannya. Di saat tubuh pemuda itu melayang mendekati kancah pertarungan, Dewa Arak dan Melati mengibaskan kedua tangannya bertubi-tubi ke arah orang-orang berpakaian merah.

Wut, wut wut!

Deru angin keras mengiringi tibanya serangan itu. Menjadikan peringatan bagi orang-orang berpakaian merah. Mereka tahu pukulan-pukulan jarak jauh itu mengandung tenaga dalam amat kuat. Maka, mereka pun segera menghindar. Dengan demikian, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam dapat dengan leluasa memenuhi anjuran Dewa Arak.

Tanpa menunggu perintah dua kali mereka berlompatan mundur. Lalu, menghampiri kawan-kawannya yang terluka. Tentu saja dalam jarak yang aman. Karena mereka khawatir akan terkena percikan lelehan tubuh itu. Bukan tidak mungkin melalui lelehan itu racun akan menular!

Beberapa saat lamanya, sepuluh orang Perkumpulan Garuda Hitam yang masih sehat berdiri terpaku tanpa tahu harus berbuat apa. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka memberi pertolongan. Tapi apa daya? Mereka tidak tahu caranya! Akhirnya mereka tertegun bingung. Sementara kelima orang berpakaian merah telah berhasil memperbaiki keadaannya. Tepat pada saat Dewa Arak dan Melati mendaratkan kaki.

“Siapa kalian?! Mengapa begitu berani mencampuri urusan ini?! Apakah kalian sudah bosan hidup?!” tanya seseorang yang berkumis tipis. Nada suaranya sarat dengan kemarahan.

“Kalian sendiri siapa?!” bukannya menjawab, Melati malah mengajukan pertanyaan. “Beritahu dulu siapa kalian. Setelah itu, dengan senang hati kami akan memberitahu siapa kami.”

“Keparat! Wanita tak tahu diuntung! Mulutmu terlalu lancang! Rupanya kau sudah bosan hidup, hehhh?!”

Ctarrr...!

Dengan terlebih dulu melecutkan cambuknya ke udara sehingga mengeluarkan bunyi keras yang menggelegar dan asap mengepul tipis ke atas, laki-laki berkumis tipis yang bertindak sebagai pemimpin melancarkan serangan.

Hebat! Permainan cambuknya patut mendapat pujian. Ujung cambuk itu tidak melecut! Tapi mematuk-matuk. Yang lebih mengagumkan, bagian yang dituju jalan darah kematian! Ubun-ubun, pelipis, dan bawah hidung! Melati tidak berani bertindak gegabah!

Disadarinya betapa berbahaya serangan itu. Bukan hanya karena bagian mematikan yang dituju, tapi cambuk itu mengandung racun yang mengerikan! Tersentak sedikit saja berarti maut! Melati menyadari betul akan hal itu. Karena itu, pedangnya segera dihunus. Dengan senjata andalan di tangan, dipapaknya patukan ujung cambuk.

Prat, prat, prat!

Terdengar bunyi cukup keras ketika pedang dan cambuk berbenturan beberapa kali. Tindakan Melati tidak terhenti sampai di situ. Begitu serangan lawan berhasil dipatahkan, serangan balasan langsung dikirimkan. Diiringi bunyi menggerung keras seperti naga murka, Melati menusukkan pedangnya ke arah leher lawan.

Laki-laki berkumis tipis itu terperanjat. Serangan balasan yang dikirimkan lawan begitu cepat. Dengan agak gugup tubuhnya dibanting ke tanah. Dan hasilnya memang jitu! Serangan Melati kandas!

Tapi Melati tidak berminat membiarkan lawannya lolos. Gadis berpakaian putih itu mengejarnya, kemudian kembali melancarkan serangan. Hingga lawan kewalahan. Karena untuk bangkit tidak mungkin lagi, lelaki berkumis tipis itu mengelakkan serangan dengan menggulingkan tubuh. Lagi-lagi Melati tidak tinggal diam. Dikejarnya ke mana lawan mengelak, dan menghujani dengan serangan-serangan mematikan.

Hasilnya terpampang sebuah pemandangan yang menarik. Laki-laki berpakaian merah terus-menerus menggulingkan tubuh, sedangkan Melati memburunya sambil melancarkan tusukan bertubi-tubi.

Kelincahan lelaki berkumis tipis memang patut diacungkan ibu jari. Lelaki itu mampu mengelakkan setiap serangan Melati. Hingga berlangsung beberapa jurus. Meskipun demikian, keadaan lelaki berpakaian merah itu tetap mengkhawatirkan. Sampai berapa lama dia dapat bertahan dengan sikapnya itu? Dan itu disadari betul oleh pihak-pihak yang bertarung.

Dewa Arak dan orang-orang berpakaian merah lainnya. Empat lelaki berpakaian merah itu tidak berani mengambil resiko dengan membiarkan lelaki berkumis tipis terus diburu dan dihujani serangan.

“Hiaaat..!” Dengan didahului teriakan melingking nyaring, empat lelaki berpakaian merah melompat menyerbu Melati.

Ctar, ctar, ctar!

Bunyi meledak-ledak terdengar ketika empat cambuk meluncur ke arah Melati. Masing-masing lawan melancarkan serangan dalam bentuk yang berlainan. Melati tidak terkejut melihat serangan mereka. Itu memang sudah diperhitungkannya.

Pengejarannya segera dihentikan. Lalu tubuhnya dilempar ke belakang dan bersalto menjauhkan diri. Hasilnya memang ampuh. Semua serangan cambuk itu berhasil dipunahkan.

Jliggg!

Begitu kedua kaki Melati mendarat di tanah, di sebelahnya telah berdiri Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa tinggal diam melihat kekasihnya menghadapi keroyokan lima orang lawan. Arya sadar kalau lima orang berpakaian merah itu berkepandaian cukup tinggi.

“Sabarlah, Kisanak. Aku yakin ada kesalahpahaman di antara kita. Dan...”

Dewa Arak yang bermaksud mencegah terjadinya pertarungan, terpaksa menghentikan ucapannya. Kelima orang itu tidak mempedulikan seruannya. Mereka terus merangsek maju. Mau tidak mau pemuda berambut putih keperakan itu melakukan perlawanan.

Berbeda dengan Melati yang langsung menggunakan ilmu andalan 'Pedang Seribu Naga', pemuda berambut putih keperakan itu tidak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Yang dikeluarkannya ilmu-ilmu warisan ayahnya.

Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Pembunuh Naga' (Untuk jelasnya silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode perdana: 'Pedang Bintang')

Ctar, ctar, ctar!

Bunyi menggeletar seperti halilintar menyambar terdengar, ketika lima orang berpakaian merah meluruk ke arah Dewa Arak dan Melati. Mereka menyerbu dengan berpencar dari berbagai arah. Orang-orang berpakaian merah tidak ingin menghadapi lawan satu-satu.

Melihat taktik lawan, Melati langsung membalikkan tubuh. Gadis itu saling membelakangi dengan kekasihnya untuk menghadapi kepungan lawan. Untuk menghadapi kepungan, taktik perlawanan seperti itu memang lebih menguntungkan. Dengan begitu, mereka berdua bisa memusatkan perhatian pada lawan yang berada di depan dan samping mereka.

“Hiaaat..!”

Dibarengi teriakan menggeledek yang menggetarkan tempat itu, lima orang berpakaian merah melancarkan serangan. Cambuk-cambuk berduri di tangan mereka saling mendahului mencapai sasaran. Serangan yang dilakukan berbeda-beda. Melecut, mematuk-matuk, dan meliuk-liuk seperti ular merayap.

Pertarungan pun tidak bisa dihindarkan lagi. Melati mempergunakan pedang sedangkan Dewa Arak menggunakan guci, yang kali ini isinya tidak ditenggak. Karena Dewa Arak tidak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Setelah terlibat pertarungan langsung dengan mereka, Dewa Arak dan Melati baru mengetahui kehebatan orang-orang berpakaian merah.

Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa diremehkan. Mereka pun mampu melakukan kerjasama dalam pertarungan keroyokan. Sebuah kerjasama yang luar biasa! Betapa tidak? Meskipun mereka berlima, tapi seperti mempunyai satu pikiran. Mereka mampu saling mengisi satu sama lain, baik dalam pertahanan maupun penyerangan. Dengan kerja sama begitu, serangan mereka menjadi lebih dahsyat dan kekuatan pertahanan mereka lebih kokoh!

Semua itu dirasakan sendiri oleh Dewa Arak dan Melati. Setiap serangan mereka selalu dipapaki tiga orang lawan. Anehnya, tenaga lawan seperti menyatu. Hingga kekuatan lawan berlipat ganda dan Dewa Arak serta Melati tidak bisa mengambil keuntungan dari keunggulan tenaga mereka. Kehebatan serangan gabungan ini mampu bertahan hingga tiga puluh jurus.

Melati dan Dewa Arak tetap terkurung. Sementara sepuluh orang anggota Perkumpulan Garuda Hitam yang selamat tertunduk lesu. Tubuh lima orang rekan mereka yang tadi menjerit-jerit kesakitan kini tidak terlihat lagi. Mereka telah tiada. Mati secara mengerikan tanpa jejak. Tubuh mereka meleleh dan terserap ke dalam tanah.

Setelah berhasil meredakan rasa sedih yang mendera, kesepuluh orang itu mengalihkan perhatian ke arah pertempuran. Sorot mata mereka memancarkan dendam. Tapi apa yang bisa dilakukan? Lawan terlalu kuat untuk mereka. Yang dapat dilakukan hanya berharap agar Dewa Arak dan Melati dapat merobohkan lawan. Sementara itu pertarungan masih berlangsung sengit. Belum terlihat tanda-tanda pihak mana yang akan kalah. Mendadak....

“Hey...!” Salah seorang lelaki berpakaian merah berseru kaget. Serangannya segera dihentikan dan jari telunjuknya menunjuk ke angkasa.

Melihat kelakuan rekannya, empat orang berseragam merah lainnya pun menghentikan penyerangan dan melompat ke belakang. Dan di saat tubuh mereka berada di udara, pandangannya diarahkan ke angkasa. Terlihat oleh mereka cahaya kemerahan yang gemerlapan.

Pemandangan itu pun tidak luput dari penglihatan Dewa Arak dan Melati. Dan, mereka tidak menggunakan kesempatan itu untuk mendesak lawan. Dewa Arak dan Melati tidak mau melancarkan serangan di saat lawan belum siap. Kedua pendekar muda itu melihat betapa sikap lima lelaki berpakaian merah berubah gelisah.

Mereka tidak mempedulikan keberadaan sepasang pendekar muda itu lagi. Sebaliknya, saling bertukar pandang sebelum akhimya melesat menuju tempat cahaya kemerahan itu berasal.

“Keparat keji! Tunggu...!”

Orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam yang dendam atas kematian rekan-rekannya langsung berseru mencegah, melihat orang-orang berpakaian merah melarikan diri. Secepat itu pula mereka bergerak mengejar. Tapi orang-orang berseragam merah tidak mempedulikan teriakan itu. Mereka terus berlari dengan kecepatan penuh. Sehingga dalam beberapa kali lesatan, sepuluh orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam tertinggal jauh.

Kejadian itu diperhatikan oleh Dewa Arak dan Melati. Kali ini, sepasang pendekar muda itu tidak mencampurinya. Mereka tahu orang-orang berpakaian merah tidak akan meladeni permintaan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Maka mereka pun mengalihkan perhatian dari sosok-sosok tubuh saling berkejaran itu. Setelah sosok sosok itu tidak terlihat lagi, Dewa Arak dan Melati saling bertukar pandang.

“Apa yang terjadi, Kang? Mengapa orang-orang berseragam merah tiba-tiba meninggalkan pertarungan?! Mungkinkah cahaya kemerahan tadi merupakan isyarat dari kawan-kawan mereka yang membutuhkan bantuan?!” tanya Melati ingin tahu.

“Aku pun menduga demikian, Melati. Cahaya kemerahan itu dilepaskan oleh kawan-kawan mereka yang meminta bantuan,” ujar Arya.

“Kalau benar demikian, berarti ada bahaya yang tengah mengancam orang-orang berpakaian merah! Tapi..., bahaya dari mana, Kang?” Melati kembali mengajukan pertanyaan.

“Hhh...! Entahlah, Melati. Tapi... eh...! Ingatkah kau akan cerita Reksa tentang dua datuk sesat?” tanya Arya.

“Ah...! Kau benar, Kang. Pasti bahaya itu yang tengah menimpa rekan-rekan orang-orang berpakaian merah,” sahut Melati yakin. “Kalau begitu... mari kita ke sana, Kang.”

Begitu Dewa Arak menganggukkan kepala, Melati melesat dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dewa Arak pun melesat mengikuti gadis itu. Sesaat kemudian, sepasang pendekar muda itu telah berlari bersisian menuju asal cahaya kemerahan itu.

Dewa Arak dan Melati berlari cepat sambil mengingat tempat munculnya cahaya kemerahan di langit. Tak lama kemudian, sepasang muda-mudi itu terperanjat melihat pemandangan yang terbentang tak jauh di hadapan mereka. Sebuah bangunan besar mirip istana! Tak teriihat jelas dari kejauhan karena permukaan tanah yang tinggi rendah. Hingga mereka hanya melihat berupa bangunan besar.

Belum juga rasa kaget kedua orang muda itu reda, datang kejutan lainnya. Di depan bangunan besar itu tampak banyak bergeletakan sosok tubuh. Tidak terlihat adanya sosok yang berdiri tegak di sana. Bahkan suasana kelihatan sepi.

Melihat kenyataan ini Dewa Arak menyuruh Melati menghentikan langkah. Dengan gerak isyarat diberitahukannya agar gadis itu jangan bertindak gegabah. Tanpa banyak bicara Melati menurutinya. Gadis itu tidak melakukan tindakan apa pun, hingga Dewa Arak memberi isyarat selanjutnya.

Kemudian, sepasang muda-mudi itu menghampiri dengan sikap penuh waspada. Tapi kekhawatiran mereka tidak beralasan. Sampai tiba di tempat sosok-sosok tubuh yang bergeletakan, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Sepertinya telah terjadi pertarungan di tempat ini, Kang,” duga Melati pelan. Pandangan diedarkan ke arah sosok yang bergeletakan di bawah kakinya.

“Benar, Melati,” jawab Arya. Pandangannya tertuju pada sosok-sosok yang tergolek di tanah. “Melihat keadaan mayat-mayat ini mungkin tidak hanya dua pihak yang terlibat.”

Melati menganggukkan kepala membenarkan dugaan kekasihnya. Telah disaksikan sendiri kenyataan itu. Sosok-sosok yang bergeletakan tanpa nyawa itu mengenakan pakaian yang berlainan. Bahkan beberapa di antaranya memiliki ciri-ciri yang unik!

“Perkembangan kejadian di sini jadi demikian memusingkan,” ujar Dewa Arak dengan dahi berkernyit. “Orang-orang berpakaian merah belum kita ketahui asal-usulnya. Kini kita jumpai orang-orang berpakaian serba putih dengan kulit kepucatan seperti tidak pernah terkena sinar matahari.”

Di antara sosok-sosok itu memang terdapat sosok yang berpakaian putih. Di samping itu, terdapat sosok-sosok yang berpakaian hitam dan merah!

“Kakang...,” sapa Melati hati-hati.

Arya mengangkat kepala menatap wajah gadis berpakaian putih itu. “Ada apa, Melati?”

“Rupanya masih ada yang hidup, Kang,” beri tahu Melati sambil menunjuk ke arah seorang kakek berpakaian putih.

Melihat kenyataan itu, tanpa membuangbuang waktu Arya menghampiri dan berjongkok di dekatnya. “Apa yang terjadi, Ki?” tanya Arya segera.

Khawatir orang itu keburu mati sebelum memberikan jawaban. Sebab keadaan orang itu sudah amat parah. “Seorang kakek mirip monyet dan berkulit hitam... akh...!”

Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, kakek berpakaian putih itu menghembuskan napas terakhir.

“Raja Monyet Muka Hitam...,” Arya dan Melati hampir bersamaan. menyebutkan julukan itu. Kemudian perlahan-lahan keduanya bergerak bangkit. Mendadak...

“Kakang...!” kembali Melati menyapa.

“Ada apa, Melati?”

“Dugaanmu tepat, Kang. Di sini ada tempat tinggal. Berarti pulau ini tidak kosong,” Melati mengalihkan pandang ke arah bangunan besar mirip istana yang putih berkilauan. Pulau Es.

“Ya,” hanya itu yang dapat diucapkan Dewa Arak. Bertumpuk-tumpuk pertanyaan membebani benaknya. Hingga otaknya sukar untuk diajak berpikir.

“Sekarang yang menjadi pertanyaan..., siapa atau lebih tepatnya kelompok mana yang memiliki pulau ini, Kang?!” ucap Melati lagi.

“Hhh...!” Dewa Arak menghembuskan napas berat. “Itu akan kita ketahui nanti, Melati. Saat ini lebih baik kita mencari orang-orang berpakaian merah. Kita harus mendapat keterangan dari mereka, siapa atau kelompok mana pemilik pulau ini sebenarnya. Aku yakin mereka mengetahuinya.”

“Ke mana kita harus mencarinya, Kang. Mereka tidak ada di sini. Dan ke mana mereka pergi, kita tidak tahu.”

“Kalau begitu, sekarang kita pusatkan perhatian kita pada bangunan itu. Mudah-mudahan di sana ada jawabnya. Malah bukan tidak mungkin mereka tengah berada di dalam sana,” jelas Arya sambil menunjuk ke arah bangunan besar mirip istana.

Melati mengernyitkan dahi. “Menurutku..., mereka tidak berada di sana, Kang. Suasana di dalam sana tampak sangat sepi. Aku lebih condong kalau bangunan besar itu kosong,” ujar Melati yakin.

“Mari kita buktikan kebenarannya,” Dewa Arak mengayunkan langkah memasuki bangunan itu. Melati mengikuti di belakangnya.

Sepasang mata gadis berpakaian putih itu merayapi bangunan yang seluruhnya tertutup es.

Sambil berjalan, Dewa Arak berpikir keras. Korban yang berjatuhan cukup banyak, semuanya kurang lebih lima belas orang. Keadaan di sekitar tempat itu pun kacau balau. Pertarungan itu pasti berlangsung sengit. Tapi mengapa dia maupun Melati tidak mendengarnya sama sekali? Pemuda berambut putih keperakan itu rupanya tidak tahu, bentuk dan keadaan daratan Pulau Es telah membuat perjalanan gelombang suara dan bunyi terhambat.

Selangkah demi selangkah, pasangan pendekar muda itu mendekati pintu gerbang yang terbuka lebar sehingga memperlihatkan sebagian isi bangunan. Sebelum Dewa Arak dan Melati berhasil melewati daun pintu gerbang....

“Berhenti...!”

Seruan keras terdengar. Dewa Arak dan Melati menghentikan langkah dan berbalik dengan sikap waspada. Tepat pada saat itu, sesosok bayangan putih melesat cepat ke arah Dewa Arak. Sosok menerjang pemuda berambut putih keperakan. Gerak serangannya mengingatkan orang akan serbuan burung elang menerkam mangsanya.

Serangan yang tidak disangka-sangka itu mengejutkan Dewa Arak. Namun, kesigapan membuatnya langsung bertindak. Karena tidak mungkin mengelak lagi, dipapakinya serangan itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.!

Wut! Plak, plak..!!

TUJUH

"Aih...!” Diiringi jeritan kaget, tubuh Dewa Arak dan sosok bayangan putih terjengkang. Dewa Arak terhuyung-huyung ke belakang, sedang sosok bayangan putih terpental balik. Tapi...

“Hup!” Dengan gerakan manis dan indah, Dewa Arak maupun sosok bayangan putih berhasil mematahkan kekuatan daya dorong tubuh mereka. Setelah berhasil memperbaiki kedudukan, kedua orang itu kembali bersikap siaga. Dua pasang mata saling beradu pandang. Masing-masing pihak berusaha mengukur kemampuan lawan melalui sorot mata. Mendadak...!

“Siapa kau...? Cepat katakan. .?!” ucap sosok bayangan putih dengan suara bergetar.

Sosok itu adalah seorang kakek yang sudah sangat tua. Pakaian yang dikenakannya serba putih. Demikian pula rambut, alis, kumis, jenggot, dan cambangnya. Kulitnya pun pucat seperti tidak pernah terkena sinar matahari.

Kesan yang timbul, kakek itu mirip mayat. Sesaat kemudian, wajah kakek itu dilanda rasa kaget yang amat sangat. Tarikan wajah dan desah suaranya yang menggeletar menjelaskan semua itu. Hingga Arya heran dibuatnya. Mengapa kakek itu nampak demikian kaget melihatnya?!

“Aku Arya dan kawanku ini Melati. Kami bukan orang jahat..,” jelas Dewa Arak jujur! Pemuda berambut putih keperakan khawatir jika kakek berpakaian putih itu salah paham dan berprasangka buruk.

“Arya?!” Kakek berpakaian putih mengernyitkan aiis. Ada sorot kekecewaan pada sepasang matanya. Kenyataan itu membuat Dewa Arak dan Melati semakin heran. Tanpa sadar keduanya saling berpandangan. Dan, Melati menduga kakek yang berdiri di hadapan mereka bukan orang waras!

“Berapa usiamu sekarang..., Anak Muda?!” kakek berpakaian putih itu tampak bingung untuk memanggil Dewa Arak.

Arya dan Melati bertambah kaget bercampur heran mendengar pertanyaan itu.

“Jangan-jangan kakek ini tidak waras, Kang,” bisik Melati. Khawatir akan terdengar kakek berpakaian putih. Dan kekhawatiran Melati terwujud. Terbukti dari ucapan selanjutnya kakek berpakaian putih itu.

“Jangan khawatir, Bocah Ayu. Aku bukan orang gila. Aku hanya ingin tahu lebih jelas tentang diri kawanmu ini. Boleh kan kalau aku ingin mengenalnya lebih jauh?!”

Melati terkejut bukan main mengetahui kakek itu mendengar bisikannya. Arya pun agak terkejut Walaupun dia tahu kalau kakek itu berkepandaian tinggi. Namun sungguh tidak disangka pendengarannya demikian tajam, sehingga mampu mendengar bisikan halus dalam jarak sekitar delapan tombak! Kenyataan ini membuat Dewa Arak semakin berhati-hati.

“Tentu saja boleh, Ki,” jawab Arya tenang. Pemuda berambut putih keperakan itu telah berhasil menguasai perasaannya. “Tapi, tentu tidak adil kalau hanya aku yang mendapat pertanyaan. Aku juga ingin mengenalmu.”

“He he he...!” kakek berpakaian putih itu tertawa lunak. “Maaf. Maaf. Aku telah berlaku kurang sopan. Kuharap kalian bisa memaklumi. Kedatangan orang-orang yang tidak bermaksud baik ke pulauku, dan menyebar keonaran di sana-sini membuatku kurang bisa bersikap layak terhadap kalian."

“Ah...!” Dewa Arak dan Melati berseru kaget “Jadi..., kau pemilik Pulau Es ini, Ki?” Arya berusaha memastikan setelah berhasil menenangkan perasaannya.

“Benar. Aku adalah pemilik pulau ini,” kakek itu mengangguk. “Namaku Sangga Buana. Dan bangunan yang hendak kalian masuki adalah tempat tinggalku.”

Sangga Buana?! Ulang Dewa Arak dalam hati. Rasanya dia pemah mendengar nama itu. Tapi Arya lupa. Kapan dan di mana nama itu pernah didengamya. Benaknya berputar menggali seluruh ingatannya. Di saat Dewa Arak tengah berkutat dengan ingatannya, Melati mengambil alih pembicaraan.

“Kalau kau pemilik pulau ini..., lalu siapa orang-orang itu?!” tanya Melati sambil menunjuk ke arah sosok-sosok tubuh berpakaian putih yang bergeletakan di sekitar tempat itu.

“Hhh...!' Kakek Sangga Buana menghembuskan napas berat. Tarikan wajahnya menyiratkan kedukaan. Pertanyaan Melatilah penyebabnya. Hingga gadis berpakaian putih itu merasa tidak enak.

“Maafkan aku, Ki. Bukan maksudku membuatmu bersedih....”

“Aku tahu!” potong kakek berpakaian putih cepat. “Aku tahu kau tidak bermaksud demikian. Tanpa kau bertanya pun aku sudah merasa tidak nyaman. Hhh...! Mereka adalah orang-orangku yang setia. Menemaniku di sisa umurku. Bagaimana aku tidak bersedih atas kematian mereka?” Sangga Buana menundukkan kepala. Tampak jelas dia merasa terpukul akan kenyataan yang dihadapinya.

Melati tidak berani mengganggu lagi. Dibiarkan saja kakek berpakaian putih itu tertunduk. Ditengoknya Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengangkat bahu sambil memberi isyarat agar tidak mengganggu Sangga Buana.

Tidak lama Sangga Buana tenggelam dalam kesedihannya. Sesaat kemudian, kakek itu mengangkat wajahnya. Tidak tampak lagi kesedihan di sana. Rupanya kakek berpakaian putih itu telah berhasil menguasai perasaannya.

“Maafkan aku...,” ucap Sangga Buana lemah. “Aku telah bertindak cengeng di hadapan kalian....”

“Ah, tidak mengapa, Ki,” jawab Dewa Arak bijaksana. “Kami bisa memakluminya. Dan....”

“Lupakan saja, Anak Muda. Oh, ya. Tadi aku belum selesai dengan pertanyaanku. Sekarang akan kuulangi lagi. Berapa usiamu, Anak Muda? Maaf bukannya aku bermaksud mengejekmu. Melihat keadaan tubuh dan wajahmu, aku yakin usiamu tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Tapi..., mengapa rambutmu berwarna seperti itu? Apakah memang sejak lahir rambutmu berwarna demikian?”

"Tidak, Ki,” Arya menggeleng, “Warna rambutku berubah seperti ini sewaktu usiaku hampir dua puluh tahun. Menurut guruku, ini disebabkan oleh ilmu yang kupelajari.”

“Ooo...,” mulut Sangga Buana membentuk bulatan. “Lalu... berapa usiamu yang sebenarnya, Anak Muda?”

“Sekitar dua puluh satu tahun, Ki,” jawab Arya.

Sangga Buana mengangguk-angguk. “Mengenai namamu tadi... Arya bukan? Apakah itu nama lengkapmu?” tanya kakek itu menyelidik.

"Tidak, Ki,” Arya menggeleng. “Namaku sebenarnya Arya Buana.”

“Dan di dunia persilatan dikenal dengan julukan Dewa Arak, Ki,” sambung Melati bangga.

“Arya Buana?!” ulang Sangga Buana setengah terpekik karena rasa kaget yang sangat. “Apa hubunganmu dengan Tribuana?”

“Tribuana?!” ulang Arya tak kalah kaget. “Kau mengenalnya, Ki?! Beliau adalah mendiang ayahku!”

“Mendiang?! Jadi..., maksudmu Tribuana telah meninggal dunia? Dan kau anaknya?!” kali ini ucapan kakek berpakaian putih terdengar terbata-bata. Kakek itu dicekam rasa tegang yang memuncak.

“Benar, Ki. Ayahku telah meninggal. Kejadiannya sudah lama terjadi. Kalau boleh kutahu... di mana kau mengenalnya?” tanya Arya penasaran.

Sangga Buana tidak segera menjawab pertanyaan itu. Kepala malah ditundukkan. Cukup lama hal itu dilakukannya sehingga Dewa Arak dan Melati hampir kehilangan kesabaran menunggu. Dan sebelum kedua pendekar muda itu kehilangan kesabaran, Sangga Buana telah mengangkat wajahnya.

Begitu melihatnya, tanpa sadar Arya dan Melati melangkah mundur. Betapa tidak? Tarikan wajah Sangga Buana menyiratkan kemarahan yang sangat. Dalam sorot matanya terpancar kebencian yang menggelegak. Semua itu tertuju pada Arya!!

“Apa yang terjadi, Ki? Mengapa kau menatapku seperti itu?” tanya Arya kebingungan. Pemuda berambut putih keperakan itu merasakan yang tidak beres. Dugaan Dewa Arak tidak melesat. Beberapa saat kemudian....

“Kau bilang Tribuana telah meninggal?! Hah...! Enak saja! Kau tahu, dia berhutang nyawa padaku. Aku tidak mau tahu. Apa pun yang terjadi, hutang nyawa itu harus dibayar!” tandas Sangga Buana geram.

Dewa Arak mengernyitkan alis. Sungguh tidak disangka akan jadi begini. “Aku minta kebijaksanaanmu, Ki. Ayahku meninggal... dan....”

“Ayahmu memang telah meninggal! Tapi masih ada anaknya. Kaulah yang harus membayar hutang nyawa itu!” potong Sangga Buana cepat. “Bersiaplah, Arya! Ingat, aku tidak ragu-ragu untuk membunuhmu!”

“Hhh...!” Dewa Arak menghela napas berat. “Kau terlalu mendesakku, Ki. Apa boleh buat terpaksa kuladeni kemauanmu. Asal tahu saja, aku hanya menuruti kehendakmu!”

Mantap dan tegas jawaban Dewa Arak. Tapi tanggapan yang diberikan Sangga Buana dengusan penuh ejekan. Dewa Arak segera memberi isyarat pada Melati untuk menyingkir dari tempat itu. Tanpa banyak membantah gadis berpakaian putih itu melaksanakan permintaan kekasihnya.

“Hati-hati, Kang,” ucap Melati sebelum menjauhkan diri.

Dewa Arak hanya mengangguk Kemudian, mengalihkan perhatiannya pada Sangga Buana. Kakek berpakaian putih itu telah siap. Tanpa membuang waktu lagi pemuda berambut putih keperakan itu bersiap siaga. Diambilnya guci arak yang tergantung di punggung. Lalu dituangkan ke mulutnya.

Gluk.... Gluk... Gluk...! Terdengar suara tegukan arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, terasa ada hawa hangat berputar di dalam perut pemuda berambut putih keperakan itu. Perlahan-lahan hawa itu naik ke atas kepala. Sekejap kemudian, kedudukan kaki Dewa Arak sudah tidak tetap lagi. Oleng ke kanan-kiri. Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya telah siap untuk dipergunakan.

Semua gerak-gerik Dewa Arak tidak luput dari perhatian Sangga Buana. Dahi kakek berpakaian putih itu berkernyit dalam. Sangga Buana heran bukan main melihat kelakuan Dewa Arak. Rupanya kakek itu belum pernah mendengar akan ilmu 'Belalang Sakti' yang unik dan dahsyat.

Tapi sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Sangga Buana tidak berani bertindak gegabah. Disadarinya kalau di dunia ini banyak terdapat ilmu. Tidak sedikit di antaranya yang kelihatan aneh dan lucu, tapi mengandung kedahsyatan yang tidak terperikan. itu, sebabnya begitu melihat tubuh Dewa Arak mulai terhuyung huyung seperti akan jatuh kakek itu mempersiapkan ilmunya. Tanpa ragu-ragu lagi, kakek berpakaian putih itu mengeluarkan ilmu andalannya.

“Ssshhh...!” Bunyi berdesis keras seperti seekor ular besar yang murka terdengar, ketika Sangga Buana mengejangkan kedua tangannya. Kedudukan jari-jari tangannya lurus, menegang kaku, penuh kekuatan.

Bunyi berdesis semakin keras terdengar seiring dengan juluran kedua tangannya ke depan. Uap tipis mengepul dari sekujur tubuh Sangga Buana. Mula-mula sedikit dan tipis, tapi makin lama makin tebal. Dan, hawa dingin menyebar dari tubuh Sangga Buana. Inilah ilmu andalan kakek berpakaian putih itu, ilmu 'Ular Es'.

“Ssshhh...!” Diawali bunyi desisan keras yang membuat bulu kuduk berdiri, Sangga Buana menghampiri Dewa Arak dengan langkah-langkah silang. Sepasang matanya yang mencorong tajam laksana mata harimau dalam gelap, merayapi sekujur tubuh lawan. Kakek itu tengah mencari celah-celah yang akan dijadikan sasaran.!

Begitu pula Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu pun segera menghampiri lawan. Kalau lawan melangkah mantap dengan sikap penuh waspada, Dewa Arak tidak demikian. Pendekar muda yang mempunyai julukan menggemparkan dunia persilatan itu melangkah sembarangan. Tanpa perhitungan.

Langkahnya terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Kelihatan lucu. Sekali kakinya melangkah ke depan, tiga kali mundur ke belakang. Ditambah lagi dengan tindakannya yang membuat Sangga Buana heran. Dewa arak maju sambil terus menuangkan arak ke dalam mulutnya.

“Gluk... gluk... gluk....”

Tak lama kemudian, jarak antara mereka telah dekat Saat Sangga Buana menerjang Dewa Arak.

“Ssshhh...!” Dengan diawali bunyi desisan yang tidak putus sejak tadi, Sangga Buana melancarkan serangan. Kakek berpakaian putih itu membuka serangan dengan totokan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati!!

Cit, cit, cit!!

Bunyi berdecit nyaring terdengar ketika tangan Sangga Buana meluncur menuju sasaran. Bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu. Cepat bukan main luncuran serangan itu. Padahal, saat itu Dewa Arak masih sibuk menenggak arak.

Tapi begitu serangan itu meluncur dekat, dengan sekali jejak tubuh Dewa Arak melayang melewati kepala Sangga Buana. Hingga serangan-serangan itu meluncur lewat di bawah kakinya. berada di atas, tubuh Dewa Arak berjumpalitan di udara. Kemudian, tangan kanannya disampokkan ke arah belakang kepalaSangga Buana.

Wuttt!!

Sampokan Dewa Arak mengenai tempat kosong. Sangga Buana merendahkan tubuhnya untuk menghindar. Jari-jari tangan pemuda berambut putih keperakan lewat beberapa jari di atas sasaran. Rambut dan pakaian Sangga Buana berkibar keras seperti dilanda angin keras. Betapa kuat tenaga dalam yang terkandung dalam sampokan Dewa Arak.!

Kegagalan serangan itu rupanya sudah diperhitungkan Dewa Arak. Sebuah serangan susulan segera dikirimkan. Kaki kanannya disepakkan di bawah.!

Wukkk!!

Kali ini Sangga Buana tidak sempat mengelak. Padahal, kaki Dewa Arak meluncur ke arah belakang kepalanya. Bila maksud pemuda berambut putih keperakan itu tercapai, kepalanya akan hancur berantakan. Sangga Buana tidak menginginkan hal itu terjadi. Kakek berpakaian putih itu lalu mengulur tangan kanannya. Itu dilakukannya sambil menolehkan kepala ke arah datangnya serangan.!

Tappp!!

Gila! Patut diacungkan jempol kecepatan perubahan gerak Sangga Buana. Betapa tidak? Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu pergelangan kaki Dewa Arak berhasil dicekalnya. Dan secepat itu pula disentakkan.!

“Akh...!” Dewa Arak memekik kaget ketika tubuhnya melayang oleh sentakan Sangga Buana. Kejadian itu sungguh di luar dugaan, sehingga Dewa Arak tidak sempat berbuat sesuatu.!

Di saat tubuh pemuda itu tengah melayang, Sangga Buana memburu sambil melancarkan totokan yang bertubi-tubi ke arah bagian-bagian mematikan. Tapi bukan Dewa Arak kalau dengan cara semudah itu dapat dipecundang. Dalam keadaan tubuh masih melayang dipapakinya serangan-serangan Sangga Buana.!

Plak, plak, plak!!

Terdengar berdetak keras seperti beradunya lo gam-logam keras, ketika dua pasang tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang. Setelah memperbaiki kedudukan masing-masing keduanya kembali saling gebrak Pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.!

Hebat bukan main pertarungan yang terjadi antara dua tokoh yang sama-sama berkepandaian tinggi itu. Bunyi menderu, mencicit, dan mengaung, terdengar setiap kali tangan atau kaki Dewa Arak dan Sangga Buana bergerak. Debu mengepul tinggi ke udara.!

Melati yang menjadi penonton satu-satunya, terpaksa menyingkir lebih jauh. Sambaran angin serangan kedua tokoh yang bertarung itu terlalu berbahaya. Hawa panas dan dingin menyebar dari kancah pertarungan.!

Sementara itu di kancah pertarungan, baik Dewa Arak maupun Sangga Buana dilibat perasaan kagum terhadap lawan masing-masing. Walaupun telah menduga akan kelihaian lawan, namun sungguh tidak disangka kalau lawan akan setangguh ini. Tapi perasaan kagum yang lebih besar melanda Sangga Buana. Kakek itu tidak menyangka orang semuda Dewa Arak mempunyai kepandaian setinggi ini! Kalau tidak mengalami sendiri, dia tidak akan percaya!!

Kekuatan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh dan ilmu-ilmu andalan Dewa Arak sungguh luar biasa. Di dalam hati kakek itu pun terselip rasa penasaran yang mendalam. Setiap serangan yang dikirimkan selalu dapat dipunahkan Dewa Arak dengan gerakan uniknya. Sebaliknya serangan balasan pemuda berambut putih keperakan membuatnya kelabakan. Serangan-serangan Dewa Arak tak ubahnya hantaman gelombang laut susul-menyusul dan penuh kekuatan.!

Yang lebih menakjubkan adalah hawa panas yang menyebar dari sekujur tubuh Dewa Arak. Apalagi ketika pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan. Namun dari semuanya, yang membuat kakek berpakaian putih itu kewalahan adalah kecepatan gerak Dewa Arak. Gerakan pemuda berambut putih keperakan itu sulit diterka. Terkadang gerakannya lemas seperti tanpa tenaga, tapi sesaat kemudian keras dan penuh kekuatan. Perubahan-perubahan gerak itu terlalu cepat untuk diduga.!

Temyata, Dewa Arak pun mengalami hal yang sama! Pemuda itu merasa kesulitan mematahkan perlawanan kakek itu. Gerakan Sangga Buana terlampau cepat dan tiba-tiba, tapi selalu penuh dengan kekuatan! Mirip halilintar. Di samping itu, setiap kali tangan atau kaki Sangga Buana bergerak, menyebar hawa dingin yang sanggup membekukan otot-otot tubuh. Untunglah, Dewa Arak memiliki tenaga panas sehingga pengaruh hawa dingin itu tidak terlalu berpengaruh baginya.!

Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Dalam waktu tak lama, tujuh puluh jurus telah berlalu. Selama itu tidak nampak tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.!

Menginjak jurus kedelapan puluh satu, Sangga Buana tidak sabar lagi. Bila keadaan seperti itu dibiarkan terus, pertarungan tidak akan pernah berakhir. Maka seluruh kemampuannya dikerahkan. Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya. Memang, sebelum itu kemampuan. tertingginya belum dikerahkan.!

Hasil tindakan yang diambil Sangga Buana langsung terlihat. Tampak ketika terjadi benturan antara mereka. Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah lebih jauh dengan seringai kesakitan di mulutnya.!

Dengan mengandalkan keunggulan tenaga dalamnya, Sangga Buana berusaha keras menekan Dewa Arak. Dipaksanya pemuda berambut putih keperakan itu terus-menerus berbenturan tangan atau kaki. Memang bukan pekerjaan mudah. Tapi beberapa kali hal itu berhasil dilakukan Sangga Buana. Dan itu tercipta karena keunggulannya pula dalam ilmu meringankan tubuh.

Dewa Arak menggertakkan gigi. Baru disadarinya kalau sejak tadi lawan belum mengeluarkan seluruh kemampuannya. Begitu Sangga Buana mengeluarkan kemampuan tertingginya, harus diakui kalau kakek itu masih terlalu tangguh untuknya. Perlahan-lahan dirinya berhasil ditekan.

Hingga Dewa Arak penasaran bukan main. Tidak pernah disangka masih ada orang yang memiliki kepandaian di atasnya. Padahal kepandaiannya telah meningkat pesat! Karena sering berlatih, dan terutama sekali karena beberapa kali belalang raksasa masuk ke dalam tubuhnya. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Makhluk dari Dunia Asing')

Semakin lama kedudukan Dewa Arak semakin terjepit. Hanya karena keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya hingga dirinya masih mampu mengadakan perlawanan. Tapi kekalahannya akan tiba pula. Haruskah belalang raksasa di alam gaib sana dipanggil untuk menghadapi Sangga Buana?! Pertanyaan itu menggayuti hati Dewa Arak.!

Plak, plak, plakkk!

Untuk yang kesekian kali, dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam kuat berbenturan. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terpelanting. Tapi dengan sebuah genjotan, Dewa Arak berhasil berdiri di tanah dengan mantap dan siap menghadapi serangan selanjutnya.!

Tapi kesiap-siagaannya sia-sia. Serangan yang ditunggu-tunggu tidak muncul. Sangga Buana tidak memburunya. Kakek berpakaian putih itu malah berdiam diri dengan kedua tangan disedakapkan di dada. Seulas senyum lebar menghias bibirnya.!

Karuan saja Dewa Arak heran bercampur jengkel. Sikap Sangga Buana menunjukkan kesan seolah-olah Dewa Arak bukan tandingan kakek itu. Dan kakek itu sengaja memberinya kesempatan untuk memperbaiki kedudukan. Dewa Arak tersinggung. Maka diputuskan untuk mengadakan perlawanan mati-matian. Namun sebelum Dewa Arak sempat melancarkan serangan.!

“Cukup, Cucuku,” ucap Sangga Buana.

“Apa?!”

DELAPAN

Sebuah seruan penuh kekagetan keluar dari mulut Dewa Arak. Tarikan wajah pemuda berambut putih keperakan itu menyiratkan keterkejutan yang sangat. Pancaran perasaan yang sama terlihat pada sorot matanya.

“Apa katamu, Ki?” Arya mengulang pertanyaannya dengan suara terbata-bata karena perasaan tegang dan kaget yang melanda.

Bukan hanya Dewa Arak yang dilanda perasaan itu. Melati pun mengalami hal yang sama. Rasa heran dan ingin tahu membuat gadis itu mengayunkan langkah mendekati Dewa Arak dengan pandangan tertuju pada Sangga Buana.

“Hati-hati, Kang. Jangan-jangan ini hanya tipu muslihatnya saja,” beritahu Melati ketika telah berada di sebelah kekasihnya.!

“Kau benar, Melati,” sahut Arya mendesah. Seketika itu pula, perasaan tegang dan herannya berangsur-angsur mereda. Ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan Melati.

“He he-he...! Tidak bisa kusalahkan kalau kau curiga padaku, Cucuku. Kau memang punya alasan yang kuat untuk itu. Tapi percayalah... aku mengatakan hal yang sesungguhnya. Kau, cucuku.” Terdengar lembut tapi penuh keyakinan Sangga Buana mengatakannya.

“Tidak usah berpura-pura, Ki!” sentak Arya tegas. “Bukankah tadi kau mengatakan ayahku berhutang nyawa denganmu, dan dengan sendirinya aku menjadi musuh besarmu? Lalu... mengapa sekarang kau mengatakan aku adalah cucumu?!”

“He he he...! Kau memang cucuku, Arya. Dan...”

“Tidak usah kau lanjutkan tipu muslihatmu, Ki!” potong Melati cepat. “Percuma! Tidak akan berhasil! Kami tidak akan mempercayainya.”

“Tenanglah, Bocah Ayu,” Sangga Buana masih bersikap sabar. “Tahanlah emosimu. Persoalan ini tidak akan selesai bila kita kalap. Dinginkan kepalamu dan dengarkan baik-baik penjelasanku. Setelah itu, terserah kau dan Arya untuk memutuskan kebenaran ucapanku.”

Rupanya Melati tidak bisa dibujuk. Tapi sebelum dia sempat mengeluarkan ucapannya, Dewa Arak telah lebih dulu menyentuh lengannya dan menyuruhnya bersabar.

"Tenang, Melati. Berikan kesempatan padanya. Tidak ada ruginya mendengarkan dia bicara,” pelan dan lembut ucapan Dewa Arak.

Tidak ada alasan lagi bagi Melati untuk memotong ucapan Sangga Buana. “Terserah kau sajalah, Kang,” hanya itu jawaban yang diberikan Melati.

Melihat hal itu, Arya lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada Sangga Buana. “Bicaralah, Ki. Tapi perlu kau tahu, aku tidak akan mudah percaya dengan ucapanmu,” mantap dan tegas kata-kata Dewa Arak.

“He he he...! Aku jadi lebih kagum dengan sikap yang kau ambil, Arya. Memang seharusnya begitu, sebelum kau memutuskan benar tidaknya sebuah berita yang kau dengar,” puji Sangga Buana. “Nah! Sekarang dengarkan baik-baik alasan yang membuatku mengakuimu sebagai cucuku.”

Sampai di sini, kakek berpakaian putih itu menghentikan ucapannya. Sangga Buana ingin memberi kesempatan pada sepasang muda-mudi berwajah elok itu, terutama Melati, untuk memusatkan perhatiannya pada ucapan yang akan dikatakannya.

“Sebelum kuceritakan semuanya, perlu kuberitahukan padamu kalau Tribuana bukan musuh besarku. Alasan itu sengaja kuciptakan agar aku bisa bertarung denganmu. Baiklah, sekarang aku akan menceritakan sesuatu yang menjadi alasanku memanggilmu cucu. Bagaimana? Bersedia untuk mendengarkan?!” tanya Sangga Buana sambil menatap Dewa Arak.!

“Ceritakanlah,” sahutnya mempersilakan. “Kami telah siap mendengarkan.”

“Puluhan tahun yang lalu, di pulau ini yang lebih terkenal dengan sebutan Pulau Es ini, kami tinggal. Kami yang kumaksud adalah aku, permaisuriku, anakku, pengawal-pengawal, dan panglima. Kami tinggal di bangunan itu. Istana Es, demikian nama yang kami berikan,” Sangga Buana memulai kisahnya.

Dewa Arak dan Melati tidak berkeinginan memotong cerita itu. Mereka ingin mendengarkan kisah Sangga Buana. Sebuah cerita yang menarik tentunya.

“Kami hidup aman dan damai. Bahagia rasanya. Apalagi, saat itu anak kami tengah lucu-lucunya. Dia baru berusia satu tahun. Kami asuh dia dengan penuh kasih sayang. Sehingga tumbuh menjadi seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun yang bertubuh sehat dan kuat,” Sangga Buana menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.

“Karena tempat ini berudara dingin, maka aku mewariskannya ilmu silat agar dia tak mudah sakit. Anakku ternyata seorang anak yang rajin dan berbakat, sehingga dalam usia sepuluh tahun telah mempunyai kepandaian yang cukup bisa dibanggakan. Kami pun tidak ragu-ragu lagi melepasnya sendiri. Jarang kami mengawasinya. Terkadang dia pergi bersama prajurit-prajurit untuk bermain perahu atau menangkap ikan.”

Lagi-lagi Sangga Buana menghentikan cerita. Ditelannya air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering!

“Pada suatu hari, seperti biasa anakku bersama dua orang prajurit pergi ke laut untuk menangkap ikan. Sungguh tidak kami sangka pertemuan kali itu adalah pertemuan terakhir dengannya. Dalam perjalanan pulang dari laut mereka dicegat oleh segerombolan bajak laut. Secara kasar gerombolan bajak laut itu merampas ikan-ikan hasil tangkapan dua orang prajuritku. Semula hal itu dibiarkan saja asalkan mereka tidak diganggu. Kedua prajurit itu mengkhawatirkan keselamatan anakku. Bajak laut itu pun mulai melakukan tindak kekerasan. Tidak hanya pada dua pengawal kepercayaanku. Tapi juga terhadap anakku.”

Untuk yang kesekian kali Sangga Buana menghentikan ceritanya. Sementara Dewa Arak dan Melati terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Cerita yang disuguhkan Sangga Buana sangat menarik. Mereka terbawa tegang meskipun hanya mendengar cerita itu.

“Melihat hal itu, kedua pengawal kepercayaanku tidak bisa tinggal diam. Mereka pun melakukan perlawanan. Tapi karena jumlah para bajak itu banyak dan amat ahli bertarung di laut, dengan mudah perlawanan dua orang pengawalku dipatahkan. Perahu yang mereka tumpangi digulingkan.”

“Ah...!” tanpa sadar Melati menjerit kaget. “Bagaimana nasib anakmu dan kedua pengawal itu?!”

Sangga Buana tersenyum getir. “Salah seorang pengawalku tewas dengan tubuh penuh luka tusukan dan bacokan. Sedangkan yang satunya selamat dan berhasil tiba di pulau ini setelah berpura-pura mati. Setelah memberitahukan semua kejadiannya padaku, dia tewas. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah. Keberhasilannya bertahan hidup karena ingin menyampaikan berita yang dibawanya,” jelas kakek berpakaian putih itu.

“Bagaiman nasib anakmu, Ki?” kembali Melati mengajukan pertanyaan karena tidak kuat menahan rasa ingjn tahunya.

“Hhh...!” Sangga Buana menghembuskan napas berat.

Gadis berpakaian putih itu pun dapat menduga jawaban kakek itu. Dugaan Melati tidak salah.

“Anakku lenyap di lautan lepas, setelah disiksa para bajak. Pengawal kepercayaanku yang selamat tidak tahu ke mana perginya anakku. Mendengar cerita itu, aku bergegas ke laut dan mencarinya. Tapi sampai lelah kumencari, menelusuri lautan lepas, tidak kutemukan anakku. Maka kupasrahkan segalanya pada Tuhan. Aku yakin dia akan selamat bila Tuhan menghendaki,” urai Sangga Buana.

“Lalu bagaimana dengan gerombolan bajak itu, Ki? Apakah kau mencari mereka?” lagi-lagi Melati mengajukan pertanyaan.

“Benar. Mereka kucari,” jawab Sangga Buana sambil menganggukkan kepala. Ketika kutemukan, kuhancurkan mereka semua! Tidak ada seorang pun yang kusisakan. Bahkan sarang mereka pun rata dengan tanah!”

Suasana berlangsung hening saat Sangga Buana menghentikan ucapannya. Yang terdengar hanya desir angin yang berhembus pelan. Ketiga orang itu tenggelam dalam alun pikirannya masing-masing.

“O, ya, Ki. Aku hampir lupa. Sejak tadi kau tidak pernah menyebut nama anakmu. Boleh kutahu namanya?” tanya Arya ingin tahu.

“Kau belum bisa menebaknya, Arya?” Sangga Buana balas bertanya.

Seketika itu pula Arya tertegun heran mendengar jawaban kakek itu. Ditatapnya wajah Sangga Buana penuh selidik. Wajah dihiasi senyum meskipun dalam sorot matanya terpancar kedukaan yang mendalam. Arya tersentak!!

“Jadi..., anakmu adalah... ayahku...?!” tanya Arya memastikan. Hatinya berdebar-debar tak menentu. Berharap-harap cemas.

“Benar,” jawab Sangga Buana seraya mengangguk. “Tribuana adalah anakku. Wajahnya sangat mirip denganmu. Itu sebabnya aku terkejut ketika pertama kali melihatmu. Kukira kau dirinya. Untung aku langsung menyadari kalau Tribuana tidak mungkin semuda kau. Andaikata dia masih hidup, usianya sekitar lima puluh tahun.”

“Tapi..., kalau benar ayahku adalah anakmu... kau pasti mengetahui ciri-cirinya. Kebetulan aku melihat ada sebuah tanda khusus di tubuhnya. Ketika kutanyakan, katanya tanda itu sudah ada sejak lahir. Kalau kau benar ayahnya, kau pasti tahu tanda itu,” ujar Arya.

Sangga Buana tidak segera menjawab. Kakek itu tertegun beberapa saat lamanya dengan dahi berkerut. Kakek berpakaian putih itu tengah berusaha menggali ingatannya. Akhirnya dia berhasil.

“Aku ingat, Arya. Di bagian punggung atas sebelah kiri terdapat tanda merah sebesar daun telinga. Betul kan?!” ujar Sangga Buana yakin.

Kali ini Arya tidak ragu-ragu lagi mengakui Sangga Buana kakeknya. “Kakek...!” seru Arya sambil menghambur ke arah kakek berpakaian putih itu.

Dengan tersenyum lebar, Sangga Buana mengembangkan kedua tangannya. Sesaat kemudian kakek dan cucu yang baru bertemu untuk pertama kalinya itu berpelukan erat. Perasaan sedih, gembira, dan haru bercampur jadi satu. Lalu tanpa diminta, Arya menceritakan sebab-sebab kematian ayahnya. Sangga Buana mendengarkan dengan penuh perhatian. Cerita Arya tidak dipotongnya hingga tuntas.

“Semula aku lupa, kapan dan di mana pernah mendengar nama kakek. Tapi sekarang aku ingat, nama itu kudengar dari ayah. Walau ayah sendiri lupa, siapa pemilik nama itu. Beliau hanya ingat nama itu dan pulau yang selalu diselimuti es dan salju. Hanya itu yang diingatnya,” tutur Arya mengakhiri ceritanya!

“Kalau begitu..., meskipun selamat, tapi kejadian di laut telah membuat ingatannya tentang masa lalu lenyap. Tapi aku ikhlas melepaskan kepergiannya menghadap Tuhan. Dia telah menurunkan seorang anak yang demikian luar biasa. Aku puas dan bangga dengan dirimu, Arya. Kalau tidak kugunakan siasat bahwa aku musuh besar ayahmu, mana mungkin tadi kau mau bersungguh-sungguh menghadapi ku?“

“Ah...! Kau memang cerdik, Kek,” puji Arya sambil melepaskan pelukannya!

Begitu tubuh Arya dan Sangga Buana terpisah, Melati bergegas menghampiri kekasihnya. Sedangkan Sangga Buana melesat cepat ke dalam istana. Hingga pasangan pendekar muda itu merasa heran. Tapi tak ada yang dapat mereka lakukan, selain menatap punggung kakek itu dengan pandang mata penuh pertanyaan. Tidak lama Sangga Buana pergi. Sesaat kemudian dia telah kembali. Tapi ada kemurungan di wajahnya!

“Maukah kau menerima sebuah tugas dariku, Arya?”! tanya Sangga Buana begitu dekat Arya!

“Tentu saja mau, Kek!” sambut Arya mantap!

Pemuda itu yakin tugas yang akan diberikan kakeknya tidak akan bertentangan dengan norma-norma kebenaran. Apalagi saat itu kakeknya tengah dilibat masalah. Terlihat kemurungan di wajahnya!

“Cari dan selidiki orang-orang yang terlibat dalam pertarungan ini. Aku yakin mereka telah membawa lari pusaka-pusaka Pulau Es. Sebagian dari mereka, yang berseragam merah itu, kukenal sebagai orang-orang dari Pulau Api. Sungguh sebuah siasat yang amat licik! Ketuanya mengundangku datang ke Pulau Bidadari untuk merundingkan suatu masalah. Sampai lelah kumenunggu, tidak nampak batang hidungnya. Rupanya, dia mempergunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam istanaku dan mengambil benda-benda pusaka. Sungguh licik!” maki Sangga Buana geram!

“Aku berjanji akan mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu, Kek. Tapi kalau boleh kutahu, berupa apakah pusaka pusaka itu?” tanya Arya!

“Sepasang pedang yang bernama Pedang Matahari dan Pedang Bulan. Dan, dua buah kitab pusaka yang berisikan pelajaran tentang Tenaga Dalam Inti Es' dan ilmu 'Ular Es'!” jawab Sangga Buana. Kemudian memberitahukan ciri-ciri semua pusaka itu secara terperinci. “Jelas?!”

“Jelas, Kek! Sekarang juga aku akan pergi! Ayo, Melati!”

Dewa Arak dan Melati segera melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka sudah pasti, mencari orang yang mencuri pusaka pusaka Pulau Es. Dan tuduhan itu jatuh pada orang-orang Pulau Api dan Raja Monyet Muka Hitam!

Siapakah orang yang telah mengambil pusaka-pusaka Pulau Es? Dan berhasilkah Dewa Arak mengambil pusaka leluhurnya itu? Jawabannya ada di dalam episode yang berjudul: Pertarungan di Pulau Api

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.