Dewa Arak - Gerombolan Singa Gurun
SATU
ANGIN siang ini berhembus keras, membawa udara panas dan debu. Memang, saat itu musim kemarau tengah melanda sebagian belahan persada. Di sana-sini yang terlihat hanyalah kekeringan. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Pepohonan pun kering tak berseri."Uph!" Seorang gadis cantik berpakaian putih buru-buru menutupkan sapu tangan ke wajah untuk melindunginya dari sergapan angin yang membawa debu. Sejak tadi, sapu tangan itu memang telah tergenggam di tangannya.
Gadis itu berwajah cantik jelita. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Paduan warna pakaiannya yang putih bersih dengan rambutnya yang hitam panjang tergerai, terlihat sangat pas. Apalagi, ditambah oleh wajahnya yang cantik. Bak bidadari dari kahyangan saja layaknya.
Masih dengan sapu tangan menutupi wajah, gadis berpakaian putih itu melang-kah memasuki tembok batas Desa Telaga Sewu. Wajahnya tampak berseri-seri menandakan kegembiraan hatinya.
Hanya dalam beberapa langkah saja, gadis berpakaian putih itu telah melewati tembok batas desa. Lalu, sepasang matanya beredar ke sekeliling. Tapi, yang terlihat hanya kesunyian belaka. Sepi, seperti mati.
Agak berkerut sepasang alis yang berbentuk indah itu ketika melihat keadaan sekitarnya. Tarikan wajah maupun sorot matanya tampak menyiratkan keheranan. Entah, perasaan apa yang tengah berkecamuk dalam benak gadis berpakaian putih ini.
Suasana di sekitar Desa Telaga Sewu memang mengherankan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya kesunyian. Jalan utama desa pun tampak lengang. Pintu dan jendela rumah-rumah penduduk pun tampak tertutup rapat. Sunyi sepi seperti mati!
"Apakah yang telah terjadi di desa ini?" tanya gadis itu dalam hati.
Usai berkata demikian, gadis itu menotolkan kaki. Kelihatan pelan saja saat kakinya dijejakkan, tapi akibatnya menakjubkan. Tubuhnya langsung melesat ke depan. Hanya dalam sekali langkah saja, dia telah berjarak sepuluh tombak di depan. Jelas, kepandaiannya telah cukup tinggi.
Bagai orang tak waras, gadis berpakaian putih itu terus saja berlari cepat. Padahal saat itu keadaan di persada amat panas. Bahkan, matahari sudah berada di atas kepala. Kini yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih dalam bentuk tak jelas, melesat cepat menuju lambung Desa Telaga Sewu.
Entah sudah berapa jauh berlari, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak mempedulikannya. Terus saja berlari disertai pengerahan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Gadis berpakaian putih itu baru memperlambat lari ketika melihat sebuah bangunan yang terkurung pagar tembok. Dan ketika tepat di depan pintu gerbang, langkahnya dihentikan.
"Hhh!" Hembusan napas berat terdengar dari mulut gadis itu. Entah, apa maksudnya. Hanya dia sendiri yang tahu. Yang jelas, sepasang matanya tertuju ke bagian dalam, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.
Tapi hanya sesaat saja hal itu dilakukan, kemudian kakinya sudah melangkah memasuki pintu gerbang yang terbuka lebar. Tanpa suara, kedua kakinya bergerak melangkah di halaman yang cukup luas.
"Hm...!" Gadis berpakaian putih berguman tidak jelas ketika melihat suasana sekitar halaman yang tampak kumuh, kotor, dan tidak terurus. Dedaunan berserakan di sana sini. Ranting-ranting kering juga memenuhi tempat ini.
Sambil memperhatikan keadaan sekitarnya, gadis berpakaian putih itu terus saja melangkah menuju ke arah bangunan yang tampak cukup megah. Kini, jaraknya tak sampai lima tombak dengan bangunan itu.
Hanya dalam beberapa kali langkah, gadis berpakaian putih itu telah berada sekitar tiga tindak lagi dari pintu bangunan. Namun, tiba-tiba langkahnya dihentikan. Sepasang matanya menatap ke bagian dalam bangunan disertai sorot kecurigaan. Mendadak....
"Keluar, Tikus-tikus Busuk!"
Pada saat yang bersamaan dengan keluarnya makian, kaki kanan gadis itu bergerak menendang dinding batu di sebelah kanan pintu.
Brakkk...!"
"Akh...!" Suara gemuruh hancurnya dinding batu bangunan, diselingi suara jerit kesakitan langsung terdengar. Tampaknya, di balik dinding dekat pintu ada orang yang bersiap membokong.
"Hih!" Gadis berpakaian putih tidak tinggal diam. Begitu dinding batu hancur berantakan, dia melompat ke belakang. Hal itu dilakukan untuk berjaga-jaga terhadap kejadian yang tidak diinginkan.
Dugaan gadis berpakaian putih itu ternyata tidak meleset! Dari dalam bangunan, meluruk tiga orang la-ki-laki berwajah kasar. Mereka mengenakan rompi coklat, dengan bahan yang sama membelit pergelangan tangan.
"Siapa kalian?! Mengapa berada di rumahku?" tanya gadis berpakaian putih, keras.
"Ha ha ha...!"
Tiga orang berompi coklat itu tertawa bergelak.
"Tidak usah berpura-pura lupa pada kami, Wanita Liar?" sergah seorang yang mempunyai rajahan bergambar kepala seekor harimau di lengan atas bagian kanan.
"Tidak usah berbasa-basi lagi padanya, Dipa!" tegur rekannya yang wajahnya berbentuk persegi.
"Ucapan Rodra benar! Wanita liar itu telah terlalu banyak membuat kesulitan pada kita! Telah banyak waktu terbuang hanya untuk mengejarnya. Kalau tidak atas perintah Ketua, sudah kubunuh dia! Apalagi, sekarang dia telah menewaskan dua orang kawan kita lagi!" dukung yang lainnya, yang memiliki cambang bauk lebat.
Laki-laki yang lengan kanannya dirajah, dan ternyata bernama Dipa itu terdiam. Sama sekali tidak dibantahnya ucapan kedua orang rekannya. Disadari, ada kebenaran yang tidak bisa disangkal dalam ucapan mereka berdua.
"Hiaaat...!
Laki-laki yang bercambang bauk tidak bisa menahan diri lagi. Diiringi teriakan keras menggelegar, diterjangnya gadis berpakaian putih itu. Kedua tangannya diluncurkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawan.
Wut, wut, wut!
Deru angin yang cukup kuat mengiringi tibanya serangan laki-laki bercambang bauk itu.
"Hmh!" Gadis berpakaian putih itu mendengus melihat serangan lawannya. Jelas, sikapnya tampak memandang rendah terhadap serangan laki-laki bercambang bauk itu. Bahkan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mengelak atau menangkis. Sepertinya, ingin dibiarkan saja serangan-serangan itu mengenai sasaran.
Tapi, ternyata tidak demikian. Rupanya, gadis berpakaian putih itu tidak berdiam diri melihat serangan-serangan yang tertuju ke arahnya. Ketika pukulan-pukulan laki-laki bercambang bauk itu hampir mengenai sasaran, tangan kanannya cepat bergerak.
Prattt!
"Akh...!"
Tappp!
Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Serangan-serangan laki-laki bercambang bauk itu berhasil dimentahkan oleh gadis berpakaian putih dengan kibasan tangan kanannya.
Kibasan yang pertama membuat laki-laki bercambang bauk itu menjerit kesakitan. Tangan kirinya seperti berbenturan dengan logam keras saja layaknya. Sakitnya bukan kepalang, sehingga dari mulutnya keluar jeritan kesakitan. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, tangan kanannya telah tercekal tangan kanan gadis berpakaian putih itu.
Begitu tangan laki-laki bercambang bauk ini tercekal, gadis berpakaian putih itu bergegas mengerahkan tenaga untuk meremasnya.
"Aaakh...!" Laki-laki bercambang bauk itu kontan memekik kesakitan. Tangannya seolah-olah seperti tergencet jepitan baja. Rasanya, tulang-tulang tangan yang terjepit seperti hancur berantakan. Bahkan sakitnya sampai menembus tulang sumsum.
"Cepat jawab pertanyaanku kalau tidak ingin kuhancurkan tulang-tulangmu! Siapa kalian?! Dan mengapa berada di rumahku? Cepat katakan!" dengus gadis berpakaian putih itu seraya menambahkan pengerahan tenaga dalamnya pada tangan yang mencekal.
"Ah-ah uh-uh...!" Laki-laki bercambang bauk itu menjerit-jerit kesakitan. Keringat sebesar-besar biji jagung bermunculan di wajahnya. Jelas, dia tengah dilanda kesakitan yang hebat. Seringai yang muncul di wajah semakin menampakkan rasa sakit yang diderita.
Tapi sebelum laki-laki bercambang bauk itu menjawab pertanyaan gadis berpakaian putih. Dua orang rekannya, yang bernama Dipa dan Rodra telah lebih dulu melompat menerjang.
Srattt! Wukkk, wukkk!
Ketika tengah berada di udara, Dipa dan Rodra mencabut senjata masing-masing. Dipa menghunus pedangnya. Sedangkan Rodra mengeluarkan kapaknya. Dan dengan senjata andalan masing-masing di tangan, mereka melancarkan serangan dahsyat pada gadis berpakaian putih itu.
Rodra melompat tinggi ke atas melewati kepala rekannya yang tangannya tengah tercekal tangan gadis berpakaian putih. Malah kepala gadis berpakaian putih pun dilewatinya juga. Baru ketika telah berada di atas kepala gadis itu, tubuhnya cepat berputar. Lalu, sepasang kapaknya dikibaskan ke arah belakang ke-pala lawannya.
Wukkk!
Pada saat yang bersamaan, dari sebelah kanan, Dipa melesat. Pedang di tangan kanannya diluncurkan cepat ke arah rusuk kanan gadis berpakaian putih.
Singgg!
Lagi-lagi, gadis berpakaian putih itu hanya mendengus melihat serangan-serangan yang mengancam nyawanya. Kemudian dengan sebuah perhitungan yang luar biasa tubuh laki-laki bercambang bauk itu didorong ke kanan sambil merendahkan tubuhnya.
Wusss! Cappp!
"Aaakh...!"
Berbarengan dengan lewatnya babatan kapak Rodra di atas kepala gadis berpakaian putih, pedang di tangan Dipa menghunjam punggung laki-laki bercambang bauk hingga tembus ke punggung. Lolong kesakitan terdengar seiring bermuncratan-nya darah dari bagian tubuh yang tertembus pedang.
Jliggg!
Seiring hinggapnya kedua kaki Rodra di tanah, Dipa mencabut pedang yang menembus punggung rekannya. Wajah Dipa kontan berubah pucat. Memang sama sekali tidak disangka akan terjadi hal seperti itu. Sepasang mata Dipa terbelalak lebar. Bahkan mulutnya ternganga ketika melihat tubuh laki-laki bercambang bauk itu ambruk di tanah.
"Keparat!" maki Dipa keras.
Laki-laki yang mempunyai rajah di pangkal lengan ini tampak marah bukan kepalang. Wajahnya kini jadi merah padam. Sepasang matanya pun menyorotkan kebencian dan dendam.
"Kubunuh kau...!" teriak Dipa bergetar penuh kemarahan. Seiring selesai ucapan itu, Dipa melompat menerjang. Pedang di tangannya diluncurkan cepat ke arah leher gadis berpakaian putih. Tapi....
"Tahan, Dipa!"
Laki-laki yang mempunyai rajahan di pangkal lengan ini menghentikan gerakan. Dipandanginya wajah Rodra yang tengah bergerak menghampiri. Memang, Rodralah yang tadi mengeluarkan cegahan itu.
Sedangkan gadis berpakaian putih itu tampak masih bersikap tenang. Sama sekali kesempatan itu tidak dipergunakan untuk melancarkan serangan. Bahkan hanya memperhatikan saja ketika Rodra menghampiri Dipa. Sementara itu, hanya dalam beberapa langkah saja, Rodra telah berada di dekat Dipa.
"Mengapa kau mencegah tindakanku, Rodra?" tanya Dipa, tak sabar.
Ada nada penasaran yang amat sangat dalam ucapan laki-laki berajah kepala harimau di pangkal lengan itu. Bahkan pertanyaan itu diutarakan di saat rekannya tengah mengayunkan langkah.
Sementara itu Rodra tidak langsung menjawab, dan terus saja melangkah. Rupanya, dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu sebelum tiba di dekat Dipa.
"Tahan amarahmu sebentar, Dipa. Aku merasa curiga pada gadis ini," bisik Rodra, di dekat telinga Dipa.
Sambil berkata demikian, Rodra mengerling ke arah tempat gadis berpa-kaian putih itu. Dia khawatir, kalau-kalau gadis itu mendengarkan ucapannya. Dan hatinya terasa lega ketika tidak melihat tanda-tanda hal yang mencemaskan. Gadis berpakaian putih itu sepertinya tidak mempedulikan mereka sama sekali. Tidak nampak adanya tanda-tanda kalau tengah berusaha mendengarkan pembicaraan.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Rodra," Dipa balas berbisik seraya mengalihkan pandangan ke arah gadis berpakaian putih pula.
"Kurasa dia bukan Mawar," semakin pelan ucapan laki-laki berwajah persegi itu.
Wajah Dipa kontan berubah. Rupanya, ucapan Rodra bisa diterima akal sehatnya. Terbukti, dahinya kontan berkernyit dalam. Malah sekarang, sepasang matanya menatap gadis berpakaian putih yang berdiri di hadapannya penuh selidik.
"Rasanya, ucapanmu benar, Rodra. Tapi, dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?" tanya Dipa setelah memperhatikan gadis berpakaian putih itu beberapa saat Namun demikian tetap pelan ucapan yang dikeluarkan.
"Tidakkah kau perhatikan kepandaiannya? Aku tahu betul, Mawar tidak mungkin mampu menewaskan rekan kita demikian mudah," jawab Rodra, berbisik. "Hal kedua adalah, warna pakaian yang dikenakannya. Dan yang ketiga, ucapan pertama kali yang dikeluarkan sewaktu pertama kali melihat kita. Tidakkah hal itu menjadi bukti kalau dia bukan Mawar?"
Sepasang alis Dipa berkerut dalam. Tampaknya dia tengah berpikir keras. "Kalau dugaanmu benar, lalu siapa gadis ini?" tanya Dipa.
"Mana kutahu?!" Rodra mengangkat bahu. "Siapa tahu dia saudaranya, atau temannya. Atau...."
"Dugaanmu tidak salah, Rodra. Aku adalah saudara kembar Mawar," jelas gadis berpakaian putih itu.
"Hehhh...?!"
Hampir berbareng, Dipa dan Rodra terperanjat. Tarikan wajah mereka memancarkan keterkejutan yang amat sangat ketika menatap ke arah gadis berpakaian putih itu. Ucapan itulah yang membuat mereka merasa kaget, karena mengandung pengertian kalau gadis berpakaian putih itu mendengar pembicaraan mereka. Padahal, jelas-jelas gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak ambil peduli. Tapi, mengapa bisa mengetahui hal yang tengah dibicarakan?
Dipa dan Rodra sama sekali tak tahu kalau tanpa melihat, gadis berpakaian putih bisa mengetahui hal yang tengah dibicarakan. Memang, tingkat kepandaiannya amat tinggi, sehingga pendengarannya amat tajam. Tak aneh kalau bisik kedua orang terdengar.
"Mengapa kalian berdua malah bengong?! Cepat katakan, siapa kalian?! Mengapa berada di rumahku?! Dan apa yang telah kalian perbuat pada ibu dan saudaraku?!" sambung gadis berpakaian putih itu lagi.
Tak terlihat lagi sikap tak acuh pada gadis berpakaian putih itu. Yang tampak hanyalah ketegasan! Raut wajahnya menyiratkan kesungguhan ketika mengajukan pertanyaan tadi. Bahkan ada sorot penuh ancaman pada sepasang mata yang bening dan indah itu.
Dipa dan Rodra saling berpandangan. Tapi hanya sebentar saja, karena....
"Hiaaat...!"
"Hiyaaat...!"
Jawaban bagi pertanyaan gadis berpakaian putih adalah teriakan-teriakan melengking nyaring Dipa dan Rodra. Sesaat kemudian, pedang dan kapak di tangan mereka telah meluncur ke arah gadis berpakaian putih itu.
Singgg!
Pedang di tangan Dipa membabat ke arah leher gadis berpakaian putih dengan gerakan mendatar. Laki-laki berajah kepala harimau ini pada pangkal lengan kanan itu menyerbu dari sebelah kiri lawannya.
Wuk, wuk!
Rodra menyerang dari sebelah kanan gadis berpakaian putih. Sepasang kapaknya diputar-putarkan dengan bertumpu pada pergelangan tangan. Kemudian, senjata itu dibabatkan ke arah dada dan rusuk lawannya. Dalam serangan ini, Rodra memusatkan kekuatan pada pinggang kanan. Dan untuk melakukannya, laki-laki berwajah persegi ini menggeliatkan tubuhnya.
DUA
Gadis yang mengaku saudara kembar orang bernama Mawar itu tetap bersikap tenang melihat ancaman maut yang tengah meluruk ke arahnya. Tidak nampak adanya tanda-tanda gerakan yang akan dilakukan. Dan....
Takkk! Bukkk, bukkk!
Dalam waktu yang hampir bersamaan, pedang dan kapak itu mengenai sasaran masing-masing. Namun akibatnya, justru Dipa dan Rodra yang tersentak kaget. Senjata-senjata mereka seakan-akan bukan membentur tubuh manusia, melainkan gumpa-lan karet keras. Sehingga, membuat senjata-senjata itu terpental balik.
Malah kedua tangan yang menggenggam senjata terasa bergetar hebat hampir lumpuh! Sedangkan tubuh gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak menampakkan pengaruh apa-apa. Jangankan terluka, tergores pun tidak!
Dipa dan Rodra saling berpandangan. Tarikan wajah mereka menampakkan keterkejutan dan ketidakpercayaan. Memang, sama sekali tidak disangka kalau hal seperti itu akan terjadi. Untuk sesaat lamanya kedua orang berompi coklat ini sama-sama tertegun dengan raut wajah dicekam kebingungan.
"Hmh...!" Gadis berpakaian putih mendengus melihat kelakuan Dipa dan Rodra, namun tetap diam saja di tempatnya. Sama sekali kesempatan itu tidak dipergunakannya untuk melancarkan serangan pada kedua lawan. Sikapnya menunjukkan kalau gadis berpakaian putih itu tidak menganggap Dipa dan Rodra sebagai lawan yang patut diperhitungkan.
Sementara itu dengusan tadi membuat Dipa dan Rodra sadar kembali. Maka, mereka langsung melancarkan serangan kembali. Teriakan-teriakan keras dari mulut mereka, dan desing senjata merobek udara mengiringi tibanya serangan-serangan.
Sekarang, gadis berpakaian putih itu tidak tinggal diam. Meskipun tanpa bergeser dari tempatnya, tapi serangan-serangan yang meluncur ke arahnya segera dipapak. Kedua tangannya yang berkulit putih, halus, dan mulus itu bergerak cepat menahan gempuran lawan.
Cepat bukan kepalang gerakan tangan gadis berpakaian putih itu. Dan yang terlihat hanya seleret sinar berwarna putih yang tidak jelas bentuknya. Tapi, tahu-tahu...
Takkk, takkk!
"Aaakh...! Akh...!"
Dipa dan Rodra sama-sama menjerit tertahan ketika tangan gadis berpakaian putih itu menghantam pergelangan tangan mereka yang memegang senjata. Kedua orang itu sama sekali tidak tahu, mengapa hal seperti itu sampai terjadi. Padahal, bukanlah senjata di tangan mereka yang tengah meluncur lebih dahulu?
Tanpa dapat dicegah lagi, pedang dan sepasang kapak itu pun terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah. Betapa tidak? Tangan yang terbentur tangan gadis berpakaian putih seakan-akan telah beradu dengan logam keras.
Dan sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tangan gadis berpakaian putih itu kembali bergerak cepat seperti semula. Hanya saja, kali ini meluncur ke arah dada.
Dipa dan Rodra mengetahui akan ancaman yang tengah menuju ke arah mereka. Dengan susah payah, serangan itu dielakkan. Tapi....
Plakkk, plakkk!
Tubuh Dipa dan Rodra sama-sama terjengkang ke belakang seperti diseruduk kerbau. Dada mereka terasa sesak bukan kepalang. Bahkan untuk beberapa saat lamanya, Dipa dan Rodra sama-sama mengalami kesulitan bernapas! Padahal, tangan gadis berpakaian putih itu hanya menepuk perlahan saja, dan seperti tanpa pengerahan tenaga dalam! Bisa diperkirakan akibatnya apabila dilakukan dengan sekuat tenaga.
"Hih...!" Gadis berpakaian putih menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke arah tubuh Dipa dan Rodra yang tengah terhuyung. Lalu, kaki yang mungil bentuknya itu bergerak mengait.
Prattt, prattt!
Brukkk, brukkk!
Dipa dan Rodra sama-sama terjengkang di tanah dan jatuh bergulingan. Patut dipuji kekerasan hati kedua orang berompi coklat itu. Meskipun telah dibuat tak berdaya dalam segebrakan, mereka tetap tidak sudi menyerah. Buktinya, mereka masih berusaha bangkit berdiri.
Tapi sebelum maksud itu terlaksana, kembali gadis berpakaian putih itu telah lebih dulu bertindak. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, dan....
"Hup!"
Masing-masing kaki gadis itu hinggap di atas perut lawan-lawannya. Memang, kedua orang itu tergeletak di tanah secara berdekatan. Meskipun demikian, tak urung gadis berpakaian putih berdiri dengan kaki terpentang lebar.
Dipa dan Rodra tidak bisa berkutik lagi. Dada mereka terasa sesak bukan main. Seakan-akan bukan kaki seorang gadis cantik yang berada di atas mereka, melainkan kaki seekor gajah!
"Apakah kalian berdua masih keras kepala untuk tidak menjawab pertanyaan ku?!" tanya gadis berpakaian putih itu sambil menambahkan pengerahan tenaga dalam pada kedua kakinya.
Hasilnya, siksaan yang melanda Dipa dan Rodra pun semakin menghebat Perasaan sesak yang mendera dada semakin menjadi-jadi. Tidak hanya itu saja. Butir-butir keringat sebesar biji jagung pun bermunculan di selebar wajah mereka.
Dipa dan Rodra menatap gadis berpakaian putih yang memandangi wajah mereka berdua berganti-ganti. Dalam sinar mata kedua orang itu, sama sekali tidak terlihat adanya sorot kegentaran.
Gadis berpakaian putih itu merasa penasaran bukan kepalang melihat tanggapan kedua orang laki-laki berompi coklat Mereka terus saja memandanginya dengan mulut terkatup rapat.
Tapi sesaat kemudian, gadis itu terkejut bukan kepalang. Tampak ada cairan berwarna kekuningan keluar dari sudut-sudut mulut mereka. Perasaan kaget kontan membuat gadis berpakaian putih itu melompat mundur.
Jliggg!
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, langsung dihampirinya tubuh Dipa dan Rodra. Ingin diketahuinya, apa sebenarnya cairan kuning itu. Tapi baru saja gadis berpakaian putih itu akan membungkukkan tubuh, kepala Dipa dan Rodra telah terkulai. Karuan saja hal itu membuat si gadis terkejut bukan kepalang. Agak bergegas tubuhnya dibungkukkan, kemudian diperiksanya tubuh kedua orang itu.
Gadis berpakaian putih itu ternyata memiliki sikap waspada. Buktinya sewaktu memeriksa tubuh dua orang berompi coklat itu, dia tidak berani sembarangan menyentuh. Diperhatikannya dada dan denyut jantung mereka itu beberapa taat lamanya.
Hanya dengan cara demikian gadis berpakaian putih itu mampu mengetahui kalau Dipa dan Rodra telah tewas. Sambil menghela napas panjang, tubuhnya ditegakkan kembali. Kedua orang berompi coklat itu ternyata benar-benar telah tewas karena racun.
Bisa diduga kalau racun itu terselip di dalam mulut. Entah di mana diletakkannya, dan bagaimana bentuknya, dia tidak tahu. Yang jelas, apabila dalam keadaan terancam, mereka bisa bunuh diri dengan menelan racun tanpa diduga. Benar-benar luar biasa!
Gadis berpakaian putih itu termenung melihat kenyataan yang dihadapi. Sama sekali tidak disangka kalau kenyataannya akan seperti ini. Tapi, segera dilupakannya masalah itu. Masih ada hal lain yang lebih perlu dipikirkan, yakni persoalan mengenai ibu dan saudaranya. Maka, gadis berpakaian putih itu melesat cepat ke arah bangunan di depannya.
Kali ini gadis itu tidak berhenti lagi di depan pintu seperti sebelumnya, karena yakin sudah tidak ada orang yang tengah bersiap untuk membokongnya. Tadi, dia tahu ada orang yang bersembunyi di depan, pintu ketika mendengar desah napas orang itu.
Langkah gadis berpakaian putih itu terhenti ketika melihat pemandangan yang terpampang di bawah kakinya. Sesosok tubuh mengenakan rompi coklat tampak tergeletak. Genangan darah tampak di sekitar tubuhnya, berdekatan dengan reruntuhan puing-puing dinding batu. Rupanya, dialah pengintai yang sial tadi. Dia tewas dengan dada pecah terkena tendangan gadis berpakaian putih tadi.
Tapi hanya sebentar saja gadis berpakaian putih itu menghentikan langkah, kemudian kembali melangkah menuju ke dalam!
"Ibuuu...! Mawaaar...! Ini aku Melati...! Keluarlah kalian...!"
Sambil melangkah, gadis berpakaian putih yang ternyata tidak lain dari Melati, putri angkat Raja Bojong Gading itu berteriak. Dan tidak aneh kalau ketiga lawannya dengan mudah dapat ditanggulangi. Karena memang, Melati memiliki kepandaian amat tinggi. Bahkan dulu pernah dijuluki Dewi Penyebar Laut.
Tidak hanya sekali saja Melati memanggil-manggil ibu dan saudaranya, tapi berkali-kali. Setiap panggilannya dikeluarkan mempergunakan pengerahan tenaga dalam. Sehingga membuat suara itu terdengar keras. Apalagi diucapkan di dalam sebuah bangunan besar, sehingga semakin nyata kedengarannya.
Tapi sampai lelah Melati memanggil-manggil, tidak juga terdengar adanya sahutan sepotong pun. Hasil yang sama diperoleh dari pencarian yang dilakukan. Semua tempat sunyi sepi, tidak terlihat sepotong pun orang di sana. Ruangan, setiap ruangan yang dimasuki hanya menampakkan kesunyian.
"Hhh...!" Melati menghembuskan napas kesal ketika melihat ruangan terakhir yang dimasukinya juga kosong. Sarang laba-laba yang tampak di sudut-sudut ruangan. Debu dan kotoran yang melapisi perabotan yang ada di situ menjadi pertanda kalau ruangan ini sudah lama tidak diurus lagi.
Brukkk!
Melati menghempaskan pantatnya di kursi luar kamar. Menilik dari sepasang matanya yang menatap tajam pada satu titik, bisa diperkirakan kalau dia tengah melamun. Memang, gadis berpakaian putih ini tengah memikirkan ke mana perginya ibu dan saudaranya. Tapi sampai lelah berpikir, tidak juga menemukan jawabannya.
"Kalau saja Kang Arya ada di sini, pasti bisa memecahkan masalah ini," gumam Melati penuh sesal. Teringat akan Arya yang berjuluk Dewa Arak timbul perasaan rindu di hati.
Melati. Sudah cukup lama dia tidak bertemu pemuda berambut putih keperakan itu. Seorang pemuda tampan dan jantan. Sikapnya tenang. Penuh percaya akan kemampuan sendiri. Tanpa sadar, Melati tersenyum sendiri ketika mengingat pengalaman-pengalamannya bersama Arya. Terutama, pengalaman yang lucu-lucu.
Tiba-tiba wajah Melati berubah cerah ketika teringat akan nasihat Arya padanya. Pemuda berambut putih keperakan itu pernah memberi nasihat padanya, apabila menghadapi sebuah persoalan, harus bersikap tenang. Kemudian, harus dicari hubungan demi hubungan dari persoalan itu. Lalu, korek melalui keterangan yang telah berhasil didapat.
Plakkk!
Melati menepak dahinya pelan. "Mengapa aku begitu bodoh?!" maki gadis berpakaian putih itu dalam hati. "Mengapa sampai bisa terlupakan nasihat yang amat berharga itu?!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati lalu menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat Beberapa kali hal itu dilakukannya, hingga tenang.
Baru setelah pikirannya tenang, Melati mulai menghubung-hubungkan perma-salahan. Dan seperti nasihat Arya, keterangan-keterangan yang telah didapat mulai dihubung-hubungkannya.
Cukup lama juga Melati termenung, sebelum akhirnya berhasil menarik kesimpulan dari kejadian-kejadian yang dialami. Sesaat kemudian, gadis berpakaian putih itu telah melesat cepat meninggalkan tempat itu.
* * *
Ctar, ctarrr...! Hiyaaa...! Hiyaaa...!
Suara lecutan cambuk bertubi-tubi menghantam bagian belakang tubuh dua ekor kuda, bercampur teriakan keras sang Kusir, yang menyentakkan suasana siang nan terik. Itu pun masih ditambah lagi suara tapak kaki-kaki kuda menghantam tanah, dan gerit roda kereta menggilas jalan.
Saat ini tampak sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda tengah melaju cepat memasuki tembok batas Desa Watu. Kusirnya yang seorang pemuda berpakaian indah tak henti-hentinya menyabetkan cambuk ke arah bagian belakang tubuh kudanya. Jelas, binatang-binatang itu dipaksa berlari lebih cepat lagi. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Kereta kuda itu terus melaju cepat sekalipun telah memasuki desa. Sedikit pun tidak mengurangi kecepatannya. Sesaat kemudian rumah-rumah penduduk pun mulai tampak. Dan hampir semua rumah pintunya terbuka, yang kemudian disusul dengan bergerombolannya para penghuni di ambang pintu.
Wajah-wajah mereka terarah ke kedatangan kereta kuda itu. Jelas, suara riuh rendah yang ditimbulkan kereta itu yang menjadi penyebab keluarnya para penduduk Desa Watu dari rumah masing-masing.
Tidak hanya itu saja. Di tangan masing-masing penduduk juga sudah tergenggam senjata, walaupun tidak seragam. Memang, mereka adalah penduduk desa yang hidup dari sawah, ladang, dan ternak. Maka senjata-senjata yang dibawa pun hanya alat kerja mereka. Bahkan ada pula yang membawa kayu atau bambu sebesar pergelangan kaki!
Menilik dari persiapan yang dilakukan, bisa diketahui kalau para penduduk Desa Watu telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Keramaian para penduduk desa berkumpul di depan pintu rumah masing-masing, rupanya sama sekali tidak digubris kusir kereta kuda. Terbukti, cambuknya terus saja dilecutkan ke arah binatang-binatang tunggangannya, sambil tak henti-hentinya berteriak.
Brakkk, brakkk!
Diiringi suara hiruk pikuk, empat buah pintu kereta yang terletak di samping kiri dan kanan hancur berantakan. Dan dari dalam kereta, melesat keluar beberapa sosok tubuh. Gila! Dalam keadaan kuda berlari cepat, orang-orang itu berani melompat keluar. Bisa diperkirakan kalau sosok-sosok tubuh itu bukan orang sembarangan.
Sementara itu, sang Kusir tetap saja memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Seakan-akan dia tidak tahu kalau dari dalam kereta melesat keluar pintu kanan dan kiri beberapa sosok tubuh dengan lompatan harimau.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua tangan di tanah, sosok-sosok tubuh itu menggulingkan tubuhnya di tanah. Beberapa kali mereka bergulingan, dan sebelum akhirnya bangkit. Lalu, mereka bergerak cepat menghampiri para penduduk.
"Gerombolan Singa Gurun...," desis salah seorang penduduk yang berkumis tebal.
Ada nada keterkejutan dan kegentaran yang amat sangat dalam ucapan laki-laki berkumis tebal itu. Memang, dia telah mendengar tentang Gerombolan Singa Gurun, sebuah gerombolan yang penuh teka-teki. Pimpinannya saja tidak jelas. Hanya anggota-anggotanya saja yang dikenal orang, karena pakaiannya khas. Rompi coklat.
Yang membuat Gerombolan Singa Gurun ini di-takuti adalah tindakan-tindakan nya. Setiap kali datang, pasti membawa korban. Orang-orang muda dan tua diangkut. Tak pernah diketahui, untuk apa hal itu dilakukan! Karena memang, tidak pernah ada orang yang berhasil mengungkapkannya.
Sementara itu dua sosok tubuh berompi coklat sama sekali tidak menyambuti ucapan penduduk berkumis tebal tadi. Tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun, mereka segera meluruk ke arah para penduduk.
Hal yang sama pun dilakukan dua anggota Gerombolan Singa Gurun yang melesat ke arah yang berbeda. Jelas, gerombolan itu telah merencanakan hal ini. Dan itu bisa dilihat dari cara kerja mereka yang teratur.
Mendapat serangan seperti itu, tentu saja para penduduk Desa Watu tidak tinggal diam. Para kepala keluarga dan anak laki-laki yang telah cukup dewasa segera maju menyambut. Sedangkan wanita dan anak-anak diperintah menyelamatkan diri.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Orang-orang dewasa dan kepala keluarga yang bertubuh kuat melakukan perlawanan sekuat tenaga. Senjata-senjata yang digenggam, dikelebatkan ke sana kemari dengan penuh semangat.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya yang dipukul salah seorang penduduk wanita seketika menggema. Sesaat kemudian, bunyi tanda bahaya itu disambut para penduduk yang tinggal lebih di dalam. Demikian seterusnya. Maka, tidak aneh kalau dalam sekejap saja bunyi kentongan tanda bahaya menggema di seluruh pelosok desa.
Karuan saja, bunyi tanda bahaya itu membuat para penduduk Desa Watu keluar dari rumah masing-masing sambil membawa senjata. Para penduduk yang merasa dirinya laki-laki dan dewasa, tidak ada yang berpangku tangan. Mereka dengan sigap membantu yang lain untuk menghadapi Gerombolan Singa Gurun.
"Dari mana suara kentongan itu berasal, Gulata?" tanya seorang laki-laki berpakaian putih yang mempunyai sikap penuh wibawa. Usianya tak lebih dari empat puluh lima tahun. Dialah Kepala Desa Watu, Ki Tiraga namanya.
Di sebelah Ki Tiraga, berdiri seorang laki-laki berusia empat puluhan. Tubuhnya tegap kekar dan berkumis melintang. Pakaiannya yang serba hitam, semakin menambah keangkerannya. Dialah guru silat Desa Watu dan bernama Wagul. Sementara, di belakang kedua orang itu bergerombol puluhan penduduk desa.
"Arahnya dari mulut desa, Ki," jawab Gulata.
"Kalau begitu, mari kita ke sana," ajak Ki Tiraga, cepat sambil melangkah menuju mulut desa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para penduduk Desa Watu melangkah mengikuti. Termasuk, di antara mereka, adalah Wagul dan Gulata. Tapi baru beberapa tindak melangkah, di kejauhan bergerak cepat mendatangi sebuah kereta kuda dengan kecepatan tinggi.
Ki Tiraga menghentikan langkah sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Maka rombongan yang dipimpinnya pun menghentikan langkah pula. Kemudian, Wagul segera melangkah maju dan berdiri di sebelah Ki Tiraga.
"Hati-hati, Tiraga. Aku khawatir, kereta kuda inilah bahaya yang dimaksud para penduduk di mulut desa," ujar Wagul bernada menasehati.
Ki Tiraga menganggukkan kepala.
"Bagaimana kalau kita beri peringatan dulu, Tiraga. Kalau mereka tidak mengindahkan, baru kita serang. Ini lebih baik daripada mereka yang mendekati kita. Karena, akibatnya akan berbahaya," Wagul kembali memberi saran.
"Kau benar, Wagul. Lakukanlah," ujar Ki Tiraga.
TIGA
Wagul terdiam sejenak. Lalu.... "Hoy...! Orang-orang yang di kereta. Cepat hentikan perjalanan, kalau tidak..., kalian akan kami serang!"
Keras bukan kepalang teriakan Wagul. Gemanya terdengar hingga sampai ke tempat yang cukup jauh. Guru silat Desa Watu ini memang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu berteriak.
Ki Tariga, Wagul, dan seluruh penduduk Desa Watu menunggu hasil peringatan itu dengan hati berdebar tegang. Tanpa disadari jantung mereka pun berdetak jauh lebih cepat. Wajah dan sepasang mata mereka tertuju ke arah kereta kuda yang tengah melaju.
"Hhh...!" Hembusan napas bernada kelegaan keluar dari mulut Ki Tariga, Wagul, dan seluruh penduduk Desa Watu. Ternyata, kereta kuda itu mau juga memenuhi permintaan. Tampak sang Kusir tengah menarik tali kekang kudanya, sehingga kereta kuda itu pun berhenti. Ki Tariga dan Wagul saling pandang. "Mari kita hampiri dan menanyakan, apa maksudnya melarikan kereta seperti itu."
Usai berkata demikian, Ki Tariga menghampiri kereta kuda yang berada sekitar tujuh tombak di depan. Wagul dan para penduduk Desa Watu pun mengikuti di belakang.
Selangkah demi selangkah, jarak antara rombongan Ki Tariga dan kereta kuda semakin dekat. Pandangan mata mereka semua tertuju pada sang Kusir yang tetap duduk di kursinya, acuh tak acuh.
"Hati-hati, Ki Tariga," bisik Wagul di telinga Kepala Desa Watu, tanpa menghentikan langkah. "Aku merasa curiga melihat tindak-tanduknya...."
Ki Tariga sama sekali tidak memberi jawaban. Mengangguk pun tidak. Yang dilakukannya hanya mengangkat kedua buah alisnya. Tapi, hal itu sudah dianggap cukup oleh Wagul.
Srattt, srattt!
Sinar terang berkeredep ketika Ki Tariga dan Wagul mencabut senjata masing-masing. Memang, jarak antara mereka sudah hampir tinggal satu tombak. Itulah sebabnya, kedua orang tetua Desa Watu itu mencabut senjata. Tampaknya, mereka juga menjaga diri.
Melihat hal ini, para penduduk Desa Watu menghunus senjata masing-masing. Berbeda dengan Ki Tariga dan Wagul yang mempunyai senjata berupa pedang dan golok besar, mereka mempergunakan senjata beraneka ragam. Sebagian besar berupa arit atau clurit. Hanya sebagian kecil yang menggunakan golok. Bahkan ada yang mempergunakan cangkul, maupun potongan bambu atau kayu sebesar pergelangan tangan.
Dengan senjata-senjata tergenggam di tangan, rombongan Desa Watu yang dipimpin Wagul dan Ki Tariga bergegas terus melangkah mendekat. Mendadak....
Siut, siut, siuuut..!
Beberapa buah benda bulat sebesar telur bebek tiba-tiba melesat cepat ke arah tanah di depan, kanan, kiri dan belakang rombongan Desa Watu. Semua itu berasal dari kusir kereta dan dua sosok tubuh berompi coklat yang tiba-tiba muncul dari kanan kiri pintu kereta. Masing-masing melemparkan benda-benda bulat itu.
Ki Tariga dan Wagul yang memiliki mata lebih awas, terkejut bukan kepalang melihat serangan mendadak ini. Memang, mereka tidak tahu jenis serangan yang tengah meluncur. Tapi untuk keselamatan diri, tentu saja lebih baik menghindar daripada berdiam diri.
"Menyingkir semua...!"
Wagul masih sempat memberitahukan penduduk Desa Watu, sebelum melempar tubuh ke samping kiri. Sementara, Ki Tariga tidak sempat berteriak, karena harus buru-buru melompat ke kanan.
Dar, dar, darrr...!
Terdengar ledakan keras ketika benda-benda bulat sebesar telur bebek itu berbenturan dengan tanah. Seketika itu, muncul asap tebal berwarna putih. Dan karena empat benda bulat itu meledak di sekeliling rombongan yang dipimpin Ki Tariga, maka mereka semua terkurung dalam gulungan asap!
"Uhuk... uhuk... uhuk...!"
Suara batuk terdengar bertubi-tubi dari mulut para penduduk Desa Watu. Tidak hanya itu saja yang dialami. Sesaat kemudian, kepala mereka pun pusing, dan sepasang mata terasa berat.
Hanya dalam waktu sebentar saja tubuh penduduk Desa Watu berjatuhan di tanah. Satu persatu mereka ambruk, sampai akhirnya tak ada lagi yang berdiri tegak. Semuanya tergolek di tanah. Jelas, semua itu terjadi akibat pengaruh asap yang mengandung racun pembius.
Hanya dua orang saja yang tidak terkena akibat asap yang keluar dari ledakan benda tadi. Kedua orang itu adalah Wagul dan Ki Tariga, karena telah lebih dulu berhasil! menyelamatkan diri. Mereka tadi melakukan lompatan harimau. Kemudian dengan bertumpu pada kedua tangan, mereka digulingkan hingga berhasil keluar dari kungkungan asap putih tebal.
"Hup!"
Wagul dan Ki Tariga berdiri berjarak tiga tombak di luar kungkungan asap. Ki Tariga berdiri di sebelah kanan, dan Wagul di sebelah kiri. Keduanya menatap ke arah tempat yang ditinggalkan dengan jantung berdebar tegang.
"Apakah para penduduk Desa Watu mati?" tanya hati Wagul dan Ki Tariga.
Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya kedua tetua Desa Watu itu meluruk ke kungkungan asap dan memeriksa nasib penduduk Desa Watu. Tapi kalau hal itu dilakukan, mereka pun akan mengalami hal yang sama. Jadi, yang dapat dilakukan hanyalah menunggu kungkungan asap itu sirna tertiup angin.
Sebuah keuntungan bagi Wagul dan Ki Tariga, angin berhembus tidak ke arah mereka. Sehingga, kungkungan asap itu tidak menyerang mereka. Memang ada sebagian kecil yang menuju mereka, tapi dengan mudah bisa ditanggulangi. Hanya dengan mengibas-ngibaskan tangan, asap-asap itu berhasil diusir pergi.
Tak lama kemudian, asap-asap yang mengungkungi puluhan penduduk Desa Watu pun sirna. Kini yang tertinggal hanyalah sosok-sosok tubuh yang tergolek di tanah. Entah dalam keadaan mati atau hidup.
Wagul dan Ki Tariga hendak beranjak dari tempat masing-masing untuk menghampiri tubuh penduduk Desa Watu yang tergolek di tanah. Tapi niat itu terpaksa diurungkan, karena....
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa bergelak bernada penuh ejekan terdengar. Dan sebelum gema suara tawa itu lenyap, di hadapan masing-masing tetua Desa Watu itu telah berdiri sesosok tubuh mengenakan rompi coklat.
"Gerombolan Singa Gurun...," desis Wagul ketika melihat orang yang berdiri di hadapannya.
Raut wajah guru silat Desa Watu ini memancarkan keterkejutan yang amat sangat. Hal yang sama juga dialami Ki Tariga.
"Hmh...!" Laki-laki bertubuh pendek kekar yang berdiri di hadapan Wagul mendengus menanggapi keterkejutan Wagul. Sikapnya terlihat memandang rendah sekali.
Melihat sikap yang ditunjukkan anggota Gerombolan Singa Gurun, kemarahan Wagul meledak. Memang, sejak melihat tergoleknya puluhan penduduk Desa Watu tanpa ketahuan nasibnya, dia sudah merasa geram. Maka....
"Hiaaat!" Diiringi teriakan melengking nyaring. Wagul menerjang laki-laki pendek kekar itu. Golok besar di tangannya diputar-putarkan di atas kepala laksana kitiran.
Wunggg!
Suara mengaung keras terdengar ketika golok besar itu lenyap bentuknya. Kini, yang terlihat hanya segundukan bayangan berwarna keperakan yang menyilaukan mata.
Singgg!
Wagul membabatkan golok ke arah leher lawan. Senjata itu diayunkan dengan arah mendatar.
"Hmh...!" Sambil mendengus penuh ejekan, anggota Gerombolan Singa Gurun itu mendoyongkan tubuh ke belakang Dan itu dilakukan tanpa menggeser kaki sama sekali!
Wuttt!
Babatan golok itu lewat beberapa jari dari sasaran semula. Tapi, tindakan anggota Gerombolan Singa Gurun ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Ketika serangan Wagul lewat di hadapannya, tangan kanannya bergerak cepat. Dan...
Tappp!
Gila! Pergelangan tangan kanan Wagul telah berhasil dicekalnya. Tentu saja hal ini membuat guru silat Desa Watu itu terkejut bukan kepalang. Sekuat tenaga, diusahakannya untuk melepaskan tangannya dari cekalan lawan. Tapi, usahanya sia-sia. Tangannya bagaikan terhimpit jepitan baja yang kuat bukan kepalang!
Sebaliknya ketika laki-laki pendek kekar itu menggerakkan tangan menyentak, tubuh Wagul tertarik ke depan. Dan ketika tubuh guru silat Desa Watu itu tertarik, tangan kiri anggota Gerombolan Singa Gurun itu meluncur ke arah dahi. Tiga jari tangannya yang masing-masing telunjuk, jari tengah, dan jari manis diluruskan.
Tukkk!
Terlihat jelas sekali kalau tiga jari tangan itu menghantam sasarannya secara perlahan. Mungkin hanya sekedar menyentuh saja. Tapi akibatnya, pada dahi Wagul tertera tanda tiga bulatan merah kecil berbentuk seperti tapak kaki kucing.
"Akh...!" Wagul menjerit ngeri. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung dan ambruk di tanah. Guru silat Desa Watu ini langsung menggelepar-gelepar seperti hewan disembelih. Dari mulut, hidung, telinga, dan bahkan matanya mengalir darah segar.
Yang lebih mengerikan lagi, aliran darah itu terus saja berlangsung selama Wagul menggelepar-gelepar. Bahkan ketika akhirnya kepala guru silat Desa Watu itu terkulai mati, darah yang mengalir tidak berhenti juga.
"Ha ha ha!" Laki-laki pendek kekar itu tertawa bergelak penuh kegembiraan melihat keadaan lawannya. Nada kebanggaan dan kesombongan tampak jelas pada wajah dan suara tawanya.
"Sungguh tidak kusangka ilmu 'Jari Darah Beracun' begini hebat. Ah! Padahal tingkat yang kumiliki belum seberapa. Sulit kubayangkan kalau telah berhasil kucapai tingkatan seperti Nyi Kati," desis anggota Gerombolan Singa Gurun penuh kebanggaan.
Laki-laki pendek kekar itu mengalihkan perhatian ke arah kanannya, untuk melihat rekannya yang menghadapi Ki Tariga. Dan ternyata Ki Tariga juga telah tergolek di tanah. Ilmu 'Tangan Darah Beracun' yang dilancarkan anggota Gerombolan Singa Gurun lainnya ternyata juga telah berhasil menjatuhkan Ki Tariga.
"Ha ha ha...!"
Dua orang laki-laki berompi coklat ini sama-sama tertawa bergelak, penuh kegembiraan. Masih dengan tawa yang tidak putus-putus, mereka menghampiri puluhan sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Bukan hanya kedua orang berompi coklat saja yang menghampiri puluhan sosok tubuh itu. Sang Kusir pun demikian pula. Dia melompat turun dari tempat duduknya di kereta, lalu bergerak menghampiri puluhan sosok tubuh itu.
Begitu telah berada di dekat puluhan sosok tubuh penduduk Desa Watu, mereka mencekal tangan atau kaki para penduduk. Kemudian, menyeretnya ke arah kereta.
Brukkk!
Setiba di dekat kereta, dilemparkan begitu saja tubuh para penduduk Desa Watu itu ke dalam kereta. Satu persatu tubuh-tubuh yang tidak berdaya dimasukkan ke dalam kereta, sampai tidak ada lagi yang tersisa.
Baru saja tiga orang anggota Gerombolan Singa Gurun itu menyelesaikan urusannya, terdengar suara derap kaki kuda menapak tanah, diiringi gerit roda kereta menggilas jalan. Itu pun masih ditambah lecutan keras cambuk menghantam bagian belakang tubuh kuda, dan teriakan sang Kusir. Memang, dari kejauhan tengah meluncur cepat sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda.
Seperti juga sang Kusir yang datang lebih dulu, kusir kereta kuda yang baru datang ini pun mengenakan pakaian indah berwarna biru.
"Mereka menyelesaikan urusan tepat pada waktunya," kata laki-laki berompi coklat yang bertubuh pendek kekar.
Laki-laki berompi coklat yang satu lagi dan sang Kusir, hanya menganggukkan kepala. Jelas, mereka membenarkan ucapan laki-laki pendek kekar tadi.
Baru saja gema ucapan laki-laki pendek kekar lenyap, kereta kuda itu telah mencapai tempat mereka. Diawali suara ringkikan melengking tinggi dan nyaring, kuda-kuda itu menghentikan lari dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi di udara.
Di sudut-sudut kereta, berdiri sesosok tubuh berpakaian coklat. Jelas, mereka juga anggota Gerombolan Singa Gurun.
"Hup!" Laki-laki berompi coklat yang berdiri di sudut kanan belakang kereta melompat Ternyata, dia seorang laki-laki berwajah codet.
"Bagaimana urusanmu, Kang?" tanya laki-laki berwajah codet pada laki-laki pendek kekar.
"Beres. Dan kau?" laki-laki pendek kekar balas bertanya.
"Beres, Kang," sahut laki-laki bercodet, mantap.
"Bagus!"
"Tepat pada waktunya," ucap laki-laki pendek kekar.
"Dia datang, tepat pada saat kami telah berhasil membereskan mereka semua," kata laki-laki bercodet seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah kusir kereta yang ditumpanginya.
"Kalau begitu, mari kita berangkat," ajak laki-laki tinggi kekar. "Kurasa Nyi Kati sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan kita."
"Benar. Darah merekalah yang membuat ilmu 'Tangan Darah Beracun' Nyi Kati semakin hebat," sambung laki-laki ber-codet sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah tubuh para penduduk Desa Watu yang bertumpuk-tumpuk di atas kereta.
"Kata-katamu perlu diperbaiki sedikit. Bukan hanya Nyi Kati saja. Tapi, kita pun demikian pula," sanggah laki-laki pendek kekar bernada teguran.
Laki-laki bercodet pun diam tidak berkata-kata lagi. Sementara, laki-laki pendek kekar itu tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Kemudian kakinya digenjot. Dan...
"Hup!"
Kini, dia telah hinggap di sudut kanan belakang kereta. Tindakannya segera diikuti rekan-rekannya. Sesaat kemudian, dua kereta kuda itu sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Ctar, Ctarrr!
* * *
"Ah!" Seruan keterkejutan keluar dari mulut seorang gadis cantik jelita berpakaian serba putih. Rambutnya yang berwarna hitam, panjang, dan mengkilap, dibiarkan tergerai hingga ke bawah bahu. Sehingga, semakin menambah kecantikannya saja.
Gadis berpakaian putih yang tak lain Melati ini mengedarkan pandang ke depan. Dan karena pemandangan yang terlihat di depan itulah, sebuah keluhan terdengar dari mulutnya. Masalahnya, sekitar seratus tombak di depannya tampak debu mengepul tinggi ke udara.
"Apakah ada serombongan pasukan berkuda lewat di depan sana?" tanya Melati dalam hati.
Karena tidak akan mendapatkan jawaban pertanyaan itu kecuali melihat langsung, Melati segera melesat ke depan. Seluruh ilmu larinya seketika dikerahkan. Hebat! Seketika itu pula, bentuk tubuh Melati lenyap. Yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan putih dalam bentuk yang tidak jelas tengah melesat cepat ke depan.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tembok batas Desa Watu telah terlewati Melati. Gadis berpakaian putih ini menghentikan langkah sejenak. Dirayapinya suasana sekelilingnya. Sepi. Kelihatannya memang belum ada satu pun rumah penduduk yang nampak.
Tapi hal ini sama sekali tidak menarik perhatian Melati. Pandangannya segera tertuju ke tanah. Tampak jelas adanya bekas tapak-tapak kuda dan gilasan roda kereta di sana.
"Hm...," gumam gadis berpakaian putih ini, pelan. "Rupanya sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda telah melewati tempat ini. Jadi, ini rupanya yang telah menimbulkan kepulan debu tebal tadi"
Meskipun telah berhasil mengetahui sesuatu yang telah menimbulkan kepulan debu tebal dan tinggi di udara, Melati tidak langsung berdiam diri. Pandangannya terus diedarkan ke hamparan tanah sekitar tempat itu. Sepasang alis yang indah bentuknya itu berkerut ketika melihat ada tanda-tanda yang sama, tak jauh di sebelah tanda yang ditemukannya.
"Astaga...! Kiranya ada dua buah kereta kuda. Siapakah gerangan orang yang mengendarainya?" tanya Melati dalam hati.
Perasaan ingin tahu, memaksa Melati untuk mengikuti arah yang dituju tapak kaki kuda dan gilasan roda kereta. Tentu saja tidak diikutinya sambil melangkah perlahan-lahan, tapi dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh.
Belum berapa lama berlari, Melati telah menghentikan langkah. Pandangannya tertumbuk pada hancuran kayu-kayu indah berukir di sebelah kanan kiri jejak roda kereta.
Melati membungkukkan tubuh, untuk meneliti lebih jelas hancuran kayu berukir yang dilihatnya. Agak berkernyit juga dahinya ketika mengetahui kalau hancuran kayu berukir itu adalah bagian dari kereta kuda. Sebagai putri angkat seorang raja Kerajaan Bojong Gading yang besar, bukan hal yang aneh kalau Melati bisa menebaknya secara tepat.
"Aneh...," desah keheranan keluar dari mulut Melati. "Menilik dari kayu-kayunya, bisa kutebak kalau ini adalah pecahan-pecahan pintu kereta. Dan menilik dari letak pecahan-pecahan ini, bisa kuperkirakan kalau pintu-pintu kereta ini dihancurkan dari dalam. Tapi kenapa?"
Melati memusatkan perhatian pada hancuran kayu yang berada di sebelah kiri. Kemudian, dengan mata tajam ditelusurinya terus ke kiri. Sepasang matanya kontan terbelalak ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Agak bergegas Melati menghampiri. Hanya dalam sekali lesatan saja, dia telah berada di dekat sana.
"Ada bekas-bekas pertarungan di sini," gumam Melati ketika melihat keadaan tanah di depan rumah itu terlihat acak-acakan. Banyak terdapat bekas tapak kaki di sana sini.
Keyakinan Melati semakin menebal ketika melihat bermacam ragam senjata bergeletakan di depan tiap-tiap rumah penduduk. Maka, perasaan penasaran mendorong gadis itu untuk memeriksa ke dalam setiap rumah. Hasilnya, kosong!
"Hhh...!" Setiba di luar kembali, Melati menghela napas berat. Kini sebuah kesimpulan telah didapat mengenai hilangnya para penduduk di desa Telaga Sewu tempat tinggal ibunya. Dan jawaban itu didapat di Desa Watu ini. Semua ini ada hubungannya dengan dua buah kereta berkuda! Kemungkinan besar, rombongan itu yang mengambilnya, Tapi untuk apa?
Hal itulah yang harus dipecahkan Melati. Maka, gadis berpakaian putih ini pun memutuskan untuk mengikuti perjalanan kereta itu. Karena, hanya itulah kunci jawaban satu-satunya dari pertanyaan yang bergayut di benaknya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Melati pun melesat cepat meninggalkan Desa Watu. Tujuannya jelas, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan pemilik kereta berkuda.
* * *
EMPAT
"Tolooong...! Tolooong...!"
Jerit minta tolong yang sarat oleh rasa takut memecahkan kesunyian siang yang sudah mendekati petang. Suara itu berasal dari dalam sebuah hutan.
Sesaat kemudian, muncul lah seorang wanita berusia tiga puluh tahun. Pakaian berwarna hitam membungkus tubuhnya yang cukup padat berisi. Menilik dari kulit tubuhnya yang hitam kecoklatan, kelihatannya dia sering terkena matahari. Bisa diperkirakan kalau wanita yang berwajah tidak cantik ini adalah seorang petani.
Wanita berpakaian hitam ini berlari pontang-panting. Sama sekali tidak dipedulikan yang berada di hadapannya. Tak aneh kalau dia beberapa kali jatuh tersungkur karena tersangkut semak-semak ataupun ranting yang melintang di jalan. Tapi dengan cepat dan sigap, wanita itu bangkit berdiri dan melanjutkan larinya kembali. Jelas, ada sesuatu yang amat ditakuti tengah mengejarnya.
Ternyata, sesuatu yang memang benar-benar menakutkan tengah mengejar wanita berpakaian hitam itu. Dan sesuatu itu tidak lain seekor harimau loreng. Sambil mengaum menggetarkan suasana di sekitar tempat itu, sang Raja Hutan berlari memburu calon korbannya.
Srakkk!
"Akh...!"
Brukkk!
Diawali jeritan kecil, tubuh wanita berpakaian hitam itu jatuh berdebuk di tanah ketika kakinya tersangkut semak-semak yang menghalangi jalan. Dan sebelum wanita itu bangkit berdiri, harimau loreng itu telah keburu menerkamnya.
"Auuum...!" Suara mengaum keras terdengar dari mulut sang Raja Hutan, ketika tubuhnya melayang ke arah calon korbannya.
"Aaa...!" Hanya jerit kepasrahan yang keluar dari mulut wanita berpakaian hitam ketika menyadari kalau dirinya tidak akan bisa lolos dari kematian. Sudah terbayang di benaknya kalau tubuhnya akan hancur tercabik-cabik kuku dan gigi binatang buas itu. Dia kemudian sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Tapi di saat yang gawat bagi keselamatan wanita berpakaian hitam itu, mendadak melesat sesosok bayangan ungu ke arahnya. Dan begitu tiba, sosok bayangan ungu itu langsung memapak tertanam si Raja Hutan!
Prattt, prattt..!
"Graunggg...!"
Diiringi geram kemarahan, tubuh harimau loreng itu terpental balik ke belakang. Tapi dengan manis sekali binatang buas itu mendarat di tanah.
"Grauuung...!"
Harimau loreng itu menggerung keras seraya menatap sosok bayangan ungu yang telah membuat calon korbannya tidak berhasil disantap. Sepasang matanya yang mencorong kehijauan tampak menatap geram ke arah orang yang mengganggu seleranya.
Tapi orang yang mengganggu seleranya ternyata seorang pemuda berpakaian ungu dan memiliki wajah tampan itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dia malah balas menatap sang Raja Hutan. Hebatnya, sepasang mata pemuda berpakaian ungu yang memiliki warna rambut putih keperakan itu ternyata tak kalah di banding mata si harimau!
Sepasang matanya tajam mencorong dan berwarna kehijauan. Ini menjadi pertanda kalau pemuda berpakaian ungu itu memiliki tenaga dalam tinggi. Karena, hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang sinar matanya bisa seperti itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu tetap bersikap tenang. Dia berdiri di tempatnya semula, di depan wanita berpakaian hitam yang kini telah bangkit berdiri.
Mendadak pemuda berambut putih keperakan itu mengeluarkan suara lengkingan tinggi. Gila! Mendadak saja, sikap harimau yang semula garang itu menjadi berubah. Sorot matanya berubah melunak. Kemudian sambil mengeluarkan keluhan pelan, binatang buas itu membalikkan tubuh, lalu berlari cepat masuk ke dalam hutan. Pemuda berambut putih keperakan itu memandanginya hingga harimau loreng itu lenyap dari pandangan. Baru, setelah itu tubuhnya berbalik.
"Sekarang bahaya itu sudah lenyap, Ni sanak. Silakan melanjutkan perjalanan," kata pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi, sambutan yang diberikan wanita berpakaian hitam itu membuat pemuda berpakaian ungu ini terperanjat. Bahkan tanpa sadar melompat ke belakang. Wanita berpakaian hitam itu ternyata malah menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.
"Tidak ada gunanya menolongku, Den. Lebih baik bunuh saja aku. Apa gunanya hidup kalau seperti ini," keluh wanita berpakaian hitam itu terputus-putus.
"Tenang, Nyi. Tenang. Jangan berkata seperti itu. Lebih baik, ceritakanlah masalahnya. Barangkali saja aku bisa menolongmu," hibur pemuda berambut putih keperakan itu, agak terbata-bata.
"Sungguhkah itu, Den?" tanya wanita berkulit coklat kehitaman itu sambil mengangkat wajahnya. Tarikan wajah maupun sorot matanya menyiratkan harapan besar.
Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. "Aku berjanji. Dan sekarang, bangkitlah kau dulu."
Tanpa menunggu diperintah dua kali, wanita berpakaian hitam itu bangkit berdiri. Wajahnya kini berseri-seri. Tampak jelas ada harapan yang terpancar di wajahnya.
"Ceritakanlah masalahmu, Nyi. Dan kumohon, jangan memanggilku dengan sebutan seperti itu. Panggilah Arya. Atau lengkapnya, Arya Buana," pinta pemuda berpakaian ungu itu sambil memperkenalkan diri.
"Baiklah, Den... eh, Arya."
"Nah! Begitulah lebih enak, Nyi," sambut pemuda berambut putih keperakan yang memang tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak, gembira. "Sekarang, ceritakanlah masalah yang tengah kau hadapi."
Wanita berpakaian hitam itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-buskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia ingin menenangkan diri lebih dulu.
"Suami dan anak-anakku dibawa Gerombolan Singa Gurun," jawab wanita itu terputus-putus.
"Gerombolan Singa Gurun?!" ulang Arya dengan alis berkerut. "Gerombolan macam apa pula itu?"
Kini ganti wanita berpakaian hitam yang kebingungan. Dahinya berkernyit menatap ke arah Arya. "Jadi, kau belum pernah mendengar berita mengenai gerombolan itu?!" tanya wanita berpakaian hitam setengah tak percaya.
Dewa Arak menggelengkan kepala. "Mendengarnya pun baru sekali ini, Nyi."
"Hhh...!" wanita berpakaian hitam menghela napas berat "Rupanya, kau pendatang, Arya?"
"Benar. Nyi. Aku adalah seorang pengembara. Ke mana langkah kakiku membawa, ke situlah aku menuju," jelas Arya.
"Kalau begitu, tak ada salahnya apabila kuberi tahu dulu," wanita berpakaian hitam memutuskan. "Gerombolan Singa Gurun adalah sebuah gerombolan yang penuh teka-teki. Di mana gerombolan itu bermarkas, dan siapa ketuanya, memang sulit dijawab. Yang diketahui, anggota-anggota gerombolan itu mengenakan rompi dari kulit harimau. Celakanya, setiap gerombolan itu keluar sarang, selalu menimbulkan keonaran. Dan anehnya, mereka membawa orang-orang yang berhasil dikalahkan. Entah, untuk apa, sama sekali belum ada orang yang berhasil mengungkapnya."
Wanita berpakaian hitam itu menghentikan ucapannya sejenak. Sementara Arya sama sekali tidak menyelaknya. Dia menunggu kelanjutan cerita dengan sabar.
"Tadi siang, gerombolan itu datang lagi. Dan hampir seluruh penduduk Desa Watu diangkut. Hhh...! Seperti nasib penduduk lainnya, sudah bisa kutebak hal yang akan menimpa mereka," lanjut wanita berpakaian hitam itu.
"Apa itu, Nyi?!" tanya Arya ingin tahu.
"Lenyap tanpa berita!" tandas wanita berpakaian hitam itu.
Kontan Arya terdiam. Benaknya berputar keras. Benarkah ada sebuah gerombolan yang demikian aneh? "Kalau boleh kutahu, bagaimana ciri-ciri suamimu, Nyi?" tanya Arya setelah termenung beberapa saat.
"Kalau kuberi tahu ciri-cirinya, akan menyulitkanmu, Arya. Karena banyak penduduk yang memiliki ciri-ciri seperti dirinya. Tapi kalau nama, mungkin tidak ada yang menyamainya. Namanya Gulata!" urai wanita berpakaian hitam, panjang lebar.
"Gulata," ulang Arya pelan untuk mengingat nama itu. "Baiklah, Nyi. Masalah ini akan kucoba menyelidikinya. O ya, Nyi. Sekarang kau hendak ke mana."
"Aku hendak pergi menjumpai saudaraku, Arya. Tinggalnya di dalam hutan ini, di atas sebuah pohon. Dia memang orang aneh, sampai sampai membuat rumah di atas pohon," jawab istri Gulata.
"Bagaimana kalau kuantarkan?" tanya Dewa Arak menawarkan diri.
"Tentu saja boleh," sambut wanita berpakaian hitam, gembira.
Sesaat kemudian, Arya dan istri Gulata itu telah melangkah meninggalkan tempat ini. Tujuan mereka adalah tempat tinggal saudara wanita berpakaian hitam itu.
* * *
"Hhh...!" Helaan napas berat keluar dari mulut Melati. Gadis ini tampak kebingungan, karena jejak kereta dan kuda itu mendadak lenyap begitu saja. Karena rasa penasaran yang menggebu, Melati sampai membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat lebih jelas lagi.
Tapi, tetap saja pemandangan yang nampak tidak berubah! Keadaan tanah itu tetap saja seperti semula, tidak nampak adanya bekas-bekas tapak kaki kuda atau pun gilasan roda kereta. Melati menyerah. Disadari kalau dirinya terpaksa harus menghadapi kenya-taan pahit. Jejak-jejak yang diikutinya, kini mendadak lenyap di sini!
Kini gadis berpakaian putih itu mengedarkan pandangan berkeliling. Rupanya, kini dia berada di sebuah tempat yang tanahnya ditumbuhi sedikit rumput. Di kanan kirinya terdapat jejeran pohon dan semak-semak lebat.
Setelah memperhatikan suasana sekelilingnya sejenak, Melati melanjutkan langkahnya. Dia yakin, buruannya masih tetap berada di sekitar tempat ini. Maka diputuskannya untuk meneruskan pencarian.
Wukkk!
"Hey! Hih...!"
Sepotong kayu sebesar badan manusia yang di sekelilingnya penuh ditancapi besi runcing, tiba-tiba terayun ke arah kepala Melati. Untung saja, gadis berpakaian putih itu bertindak sigap dan langsung melempar tubuh ke belakang.
Jliggg!
Melati mendaratkan kedua kakinya beberapa tombak dari tempat semula. Pada dahinya yang berkulit putih, halus, dan mulus, tampak butir-butir keringat. Memang, dia merasa terkejut bukan kepalang ketika melihat sambaran benda tadi. Ditatapnya benda mengerikan yang tadi hampir mencabut nyawanya. Dan kini, benda itu masih berayun-ayun.
Melati mengusap keningnya yang basah dengan sapu tangan. Kini dia tahu, mengapa benda penuh besi runcing yang hampir menyate tubuhnya meluncur ke arahnya. Ternyata, kakinya telah menyentuh penggeraknya tadi. Akibatnya, benda mengerikan itu meluncur, mengancam jiwanya.
Sekarang Melati tidak berani bertindak sembarangan lagi. Sepasang matanya yang bening dan indah itu beredar ke selebar tanah di hadapannya. Selangkah demi selangkah Melati semakin menjauhi tempat semula, sampai beberapa tombak. Dan selama itu belum dijumpai adanya perangkap lain. Mendadak....
Brosss...! Srakkk...! Wuttt!
"Akh...!" Melati menjerit kaget ketika tanah yang dipenuhi hamparan daun kering yang diinjaknya amblas ke bawah.
Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tubuhnya telah terbungkus sebuah jaring, dan langsung terangkat cepat ke atas. Kini, Melati telah tergantung di dalam sebuah jaring di atas cabang pohon. Tidak hanya itu saja kejadian yang mengejutkan. Karena, sesaat kemudian....
Srak, srak, srakkk...!
Suara berkerosakan keras terdengar saling susul. Sesaat kemudian, muncullah beberapa sosok tubuh yang mengenakan rompi coklat.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki pendek kekar yang berdiri paling depan mendongak sambil tertawa bergelak. Tampak jelas, ada nada ejekan di dalam suara tawanya.
"Kau memang terlalu berani, Wanita Liar! Kau kira kami tidak tahu kalau diikuti?! Ha ha ha...! Jangan terlalu memandang rendah Gerombolan Singa Gurun!"
Laki-laki pendek kekar menghentikan ucapannya sejenak. Matanya menatap tajam, langsung menusuk bola mata Melati.
"Aku tahu, kau bukanlah wanita yang kami cari-cari. Kepandaian yang kau miliki jauh lebih tinggi dari padanya. Tapi hal itu bukan berarti kau akan bisa menentang Gerombolan Singa Gurun! Orang sepertimu harus diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, laki-laki pendek kekar itu menoleh ke arah rombongan orang berompi coklat di belakangnya. Menilik dari tindak-tanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki pendek kekar ini adalah pemimpin gerombolan.
"Cari ranting-ranting kering! Akan kubuat api unggun di bawah wanita liar ini! Biar dia rasakan akibat terlalu berani menentang Gerombolan Singa Gurun!"
Melati terperanjat bukan kepalang mendengar ucapan laki-laki pendek kekar itu. Apalagi ketika melihat beberapa orang berompi coklat beranjak dari tempat itu, untuk melaksanakan perintah laki-laki pendek kekar tadi.
Perasaan khawatir akan ancaman laki-laki pendek kekar, membuat Melati kelabakan. Dengan susah payah pedangnya dihunus. Kemudian dengan senjata andalan itu, dicobanya untuk memutuskan tali-tali jaring yang mengurungnya.
Tapi usaha Melati sia-sia. Tali jaring itu ternyata sangat alot. Buktinya, pedang gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak mampu memutuskan-nya. Memang, pedang Melati bukan termasuk pedang pusaka walaupun terbuat dari bahan pilihan.
"Ha ha ha...!"
Kembali laki-laki pendek kekar tertawa bergelak, menertawakan tindakan Melati. Rupanya dalam penglihatan Pemimpin Gerombolan Singa Gurun itu, usaha-usaha yang dilakukan Melati sangat menggelikan hati.
"Boleh kau cari tali yang paling empuk, Wanita Liar! Asal tahu saja, sampai tenagamu habis tali itu tidak akan bisa putus! Tali itu terbuat dari ramu-ramuan pemimpin besar kami! Ha ha ha...!"
Mendengar ejekan laki-laki pendek kekar itu Melati menghentikan usahanya. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Pemimpin Gerombolan Singa Gurun itu. Tali-tali jaring itu tidak akan mungkin bisa diputuskan.
Dengan perasaan kesal bercampur cemas, Melati memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung. Tapi, saat itu juga langsung diurungkan, begitu terdengar adanya bisikan di telinga.
"Pedangmu jangan dimasukkan kembali, Nisanak. Bersiap-siaplah untuk menghadapi mereka. Aku tengah melepaskan ikatan jaring ini pada cabang pohon."
Melati bukan orang bodoh. Dia tahu, ada seorang tokoh sakti yang hendak menolongnya. Karena, hanya tokoh saktilah yang mampu mengirimkan suara dari jauh seperti itu.
Melati tahu, pengirim suara itu tidak bermaksud menipunya. Dan dia juga tahu, jaring seperti ini memang dihubungkan dengan tali, dan diikatkan pada sebuah tempat. Apabila ikatan tali itu dilepas, kurungan jaring itu pun akan terbuka sendiri begitu tubuhnya menyentuh tanah.
Melati merasakan dadanya berdebar tegang. Apalagi begitu merasakan adanya getaran-getaran dari ikatan tali yang tengah dibuka si pengirim suara. Sampai akhirnya....
Rrrttt..!
Jaring itu meluncur turun membawa tubuh Melati bersamanya. Maka gadis itu buru-buru mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya agar dapat mendarat manis di tanah.
"Hey...!"
Jeritan-jeritan keterkejutan terdengar dari mulut laki-laki pendek kekar dan gerombolannya ketika melihat jaring itu meluncur turun.
"Sebagian ke tempat ikatan jaring itu! Selidiki, apakah ada tikus yang masuk ke dalam sana!" perintah laki-laki pendek kekar.
Masih dengan pandangan mata yang tidak lepas dari jaring yang tengah meluncur turun, laki-laki pendek kekar memberi perintah pada gerombolan anak buahnya. Tanpa menunggu perintah dua kali, sebagian laki-laki berompi coklat melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara, laki-laki pendek kekar dan sisa Gerombolan Singa Gurun berdiam diri di situ, menanti jatuhnya tubuh Melati yang berada dalam jaring perangkapnya. Gerombolan Singa Gurun memang tidak perlu terlalu lama menunggu, karena sesaat kemudian tubuh Melati telah menghantam tanah.
Jliggg!
Berbareng hinggapnya kedua kaki Melati di tanah, Gerombolan Singa Gurun telah meluruk ke arahnya di bawah pimpinan laki-laki pendek kekar. Sebuah keuntungan bagi Melati, musuh yang menyerbunya sudah jauh berkurang. Hingga, mereka hanya bisa menyerbu dari satu arah saja.
Sing, sing, sing...!
LIMA
Suara berdesing nyaring terdengar ketika laki-laki pendek kekar dan gerombolannya mengayunkan senjata. Kali ini, sang Pemimpin gerombolan sengaja menggunakan senjata karena tahu kalau lawan yang dihadapinya tidak bisa dianggap enteng.
Tentu saja Melati terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Meskipun demikian, dia tidak gugup. Dalam keadaan masih berada di dalam jaring, pedangnya diayunkan untuk menangkis serangan lawan-lawannya. Anehnya, semua lawan yang dihadapi bersenjatakan sepasang kapak.
Trang, trang, trang...!
Suara berdentang nyaring terdengar ketika senjata kedua belah pihak berbenturan. Hasilnya, tubuh para anggota Gerombolan Singa Gurun itu terhuyung-huyung ke belakang Tangan mereka yang menggenggam senjata bergetar hebat dan hampir lumpuh.
Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Melati untuk membebaskan diri dari kurungan jaring. Dan sebelum lawan-lawannya berhasil memperbaiki keadaan, Melati telah berhasil meloloskan diri dari kungkungan jaring.
"Hih!" Begitu jaring-jaring itu berhasil dilepaskan, langsung saja dilemparkannya ke arah lawan-lawannya.
Wut!
Lemparan Melati lewat di atas kepala, ketika lawan-lawannya telah lebih dulu merunduk. Tapi, tindakan Melati tidak hanya sampai di situ saja. Pedang di tangannya langsung dibabatkan ke arah lawan-lawannya dengan arah mendatar.
Crattt!
"Aaakh...!"
Jeritan-jeritan menyayat hati terdengar disusul robohnya tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun dengan kepala hampir terpisah dari tubuh. Darah langsung menyembur dari leher yang terbabat pedang.
Hanya sesaat saja tubuh Gerombolan Singa Gurun menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Nyawa mereka langsung melayang seketika itu juga.
Laki-laki pendek kekar yang menjadi pemimpin gerombolan itu terkejut bukan kepalang. Bahkan bercampur marah dan ngeri. Disadari kalau Melati merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dan tentu saja, dirinya bukan tandingan gadis itu. Bila terus memaksakan diri melawan, hanya mencari kematian secara sia-sia. Apalagi, dia hanya tinggal sendirian.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki itu segera melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Dan secepat kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula melesat kabur.
Melati hanya tersenyum saja. Sama sekali kesempatan itu tidak dipergunakannya untuk menghabisi nyawa lawannya. Padahal kalau mau, mudah saja hal itu dilakukan. Melati memang sengaja membiarkan lawannya hidup, karena ingin mengetahui sarang Gerombolan Singa Gurun. Dan hal itu hanya akan didapatkan, apabila mengikuti lelaki pendek kekar tadi.
Maka begitu laki-laki pendek kekar melarikan diri, Melati pun segera mengejarnya. Tapi tentu saja seluruh kemampuannya tidak dikerahkan. Disadari, apabila hal itu dilakukan, buruannya akan segera terkejar. Dan Melati tidak mau hal itu terjadi. Memang dengan mengerahkan kemampuan seperti itu, Melati tetap berada di belakang lawannya. Bahkan jarak antara mereka tetap tidak berubah.
Sementara itu, laki-laki pendek kekar ini memang bukan orang bodoh. Dia tahu, Melati mengejarnya. Dan sudah bisa diperkirakan kalau akan terkejar, Melati memang sungguh-sungguh ingin membunuhnya. Meskipun demikian, laki-laki pendek kekar itu tidak mau menyerah begitu saja. Tetap seluruh ilmu lari cepatnya dikerahkan. Maka adu kejar-mengejar pun segera terjadi.
Suara berisik kaki-kaki yang menginjak rerumputan dan melanggar semak-semak pun langsung terdengar. Memang, kedua orang itu sama sekali tidak mempedulikan rintangan di depan. Sekalipun rintangan itu semak-semak berduri, tetap saja diterabas. Dengan pengerahan tenaga dalam yang dimiliki, bukan hal yang sulit untuk membuat kulit dan daging mereka tidak terluka oleh tajamnya duri.
Sang pemimpin gerombolan itu bukan orang bodoh. Ketika adu kejar-mengejar telah berlangsung cukup lama, tapi jarak antara mereka sama sekali tidak berubah, seketika timbul perasaan curiganya. Maka benaknya langsung diputar.
Hanya dalam sekejapan saja, laki-laki pendek kekar itu telah menemukan dugaan yang menjadi penyebab tindakan lawannya. Gadis berpakaian putih itu pasti sengaja menguntitnya, dan berarti ingin menge-tahui sarangnya.
Dugaan yang muncul, membuat laki-laki pendek kekar itu mengurungkan maksudnya semula. Memang, dia tidak ingin sarang gerombolannya diketahui oleh siapa pun. Karena bila hal itu terjadi, hukuman berat akan didapatnya, maka buru-buru arah larinya dialihkan.
Namun, Melati sama sekali tidak tahu kalau buruannya telah menyelewengkan arah. Dan dia tetap saja meneruskan pengejaran. Gadis berpakaian putih ini sama sekali tidak sadar kalau laki-laki pendek kekar itu telah mempunyai rencana lain.
Pandangan mata Melati terus mengikuti tubuh pemimpin Gerombolan Singa Gurun yang terus melesat di depan, menyeruak semak-semak dan pepohonan. Tak sedikit di antara tanaman-tanaman berduri tajam itu yang menyayat kulit dan daging.
Takkk! Sing, sing, sing...!
"Hey!" Melati terpekik kaget ketika mendengar desingan tajam yang disusul berkelebatnya beberapa batang tombak dari kanan kirinya. Gadis berpakaian putih ini tahu kalau kakinya telah menyentuh sesuatu yang diyakininya sebagai pelatuk yang menyebabkan tombak-tombak itu melesat ke arahnya.
Meskipun kejadiannya demikian mendadak, Melati tidak gugup. Segera dipapaknya kedatangan tombak-tombak itu dengan kedua tangannya.
Takkk, takkk, takkk!
Suara berdetak keras terdengar ketika tombak-tombak itu runtuh ke tanah dalam keadaan patah-patah.
"Hehhh?!"
Seruan keterkejutan keluar dan mulut laki-laki pendek kekar ketika melihat tombak-tombak itu gagal mencapai sasaran. Memang, Melati sengaja diajak ke tempat-tempat yang banyak mengandung jebakan. Tentu saja agar gadis itu celaka. Sementara bagi gadis itu, jebakan-jebakan tadi sama sekali tidak membahayakan. Apalagi, telah diketahuinya betul letak tempat-tempat yang berbahaya.
Tapi laki-laki pendek kekar itu tidak larut dalam keterkejutan. Seiring keluarnya teriakan keterkejutan, dia terus melesat kabur. Sedangkan Melati tentu saja tidak membiarkan buruannya lolos. Kembali dia melesat mengejar. Tapi....
Takkk! Wukkk!
"Hih!"
Pyarrr!
Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Untuk yang kedua kalinya, kakinya menghantam sesuatu. Dan tahu-tahu, sebatang pohon yang masih lengkap dengan daun-daun dan ranting-ranting menyabet ke arah dada. Agak bergegas, Melati memapaknya dengan kedua tangan hingga pohon itu hancur berkeping-keping.
Melati langsung melompat mundur. Tarikan wajahnya masih menyiratkan keterkejutan. Memang, kejadian yang baru saja dialami membuatnya kaget. Dalam hati, dia memuji kerajinan orang yang telah membuat perangkap seperti itu. Karena, hal itu membutuhkan perhitungan yang cukup matang.
Namun Melati tidak sudi membiarkan dirinya berlama-lama hanyut dalam kekagetan. Kembali kakinya melangkah untuk mengejar buruannya yang kembali melesat kabur, ketika Melati berhasil mematahkan penghalang. Maka kejar-mengejar pun kembali terjadi.
Tapi, kali ini Melati tidak berani bertindak sembarangan. Diperhatikannya betul-betul setiap tempat yang diinjak pimpinan Gerombolan Singa Gurun Dan memang, setelah mempergunakan cara seperti ini, jebakan seperti sebelumnya tidak lagi ditemui.
Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah ketika melihat buruannya masih terus saja berlari. Begitu jauhkah sarang Gerombolan Singa Gurun itu? Jangan-jangan laki-laki pendek kekar itu sengaja menipunya! Kini perasaan curiga mulai bersemayam di hati Melati.
Sementara itu, adu kejar-mengejar kini telah berpindah tempat. Melati dan pemimpin Gerombolan Singa Gurun telah berada di sebuah lapangan terbuka yang luas membentang. Tidak terlihat lagi adanya pohon-pohon besar dan tinggi yang menjulang. Yang terlihat hanyalah hamparan rumput kering yang pendek-pendek. Mendadak, laki-laki pendek kekar itu menghentikan larinya dan membalikkan tubuh. Kemudian, tangan kanannya bergerak mengibas.
Siut, siut!
Beberapa buah benda bulat sebesar telur bebek melesat ke arah Melati. Maka Melati kontan menghentikan larinya. Diperhatikannya sejenak benda-benda bulat yang meluncur ke arahnya, lalu cepat-cepat melempar tubuhnya ke samping kanan dan bergulingan menjauh. Melati tidak berani memapak luncuran benda-benda itu, karena telah mengetahui keistimewaannya. Apalagi, keistimewaan benda itu telah beberapa kali disaksikannya sendiri.
Dar, dar, darrr!
Ledakan riuh kontan terdengar ketika benda-benda bulat itu berbenturan dengan tanah. Seketika itu pula, muncul asap tebal berwarna putih di tempat Melati berdiri tadi.
Melati berhasil menyelamatkan diri dari sasaran benda-benda bulat sebesar telur bebek itu. Tapi, hal itu bukan merupakan jaminan kalau berhasil menyelamatkan diri dari bahaya. Karena ternyata....
Blosss!
Tubuh Melati langsung masuk ke dalam lubang ketika tanah berumput, tempat tubuhnya berguling tiba-tiba amblas. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan kepalang. Sedapat mungkin ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan untuk berjaga-jaga agar tidak mengalami cedera yang berarti, apabila jatuh ke dasar lubang nanti.
Tapi di saat tubuh Melati melayang ke lubang, pimpinan Gerombolan Singa Gurun tidak tinggal diam. Cepat bagai kilat tangannya kembali dikibaskan. Maka, benda bulat sebesar telur bebek itu kembali meluncur, dan kali ini diarahkan ke dalam lubang.
Darrr!
Baru saja Melati berhasil mendarat di lubang dengan kedua kakinya, benda bulat sebesar telur bebek itu meledak. Asap putih tebal pun menyeruak keluar dan mengungkungi sekitar dalam lubang.
Melati tahu, asap putih tebal itu mengandung racun. Maka, sedapat-dapatnya dia menahan napas untuk mencegah asap itu terhisap ke dalam perut. Masih dalam keadaan seperti itu, kakinya segera dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas.
Melati belum bisa memperkirakan tingginya lubang itu dari permukaan tanah. Tapi yang jelas, lubang itu tidak seberapa dalam. Hal ini bisa diketahui dari kecepatan jatuhnya ke dasar lubang. Karena tidak tahu pasti tingginya bagian atas lubang, tambahan lagi dalam keadaan agak kalap, Melati mengerahkan seluruh kemampuannya untuk melompat ke atas.
Hasilnya sudah bisa diduga. Tubuh Melati melesat laju ke atas. Tapi baru saja melewati permukaan atas lubang, pimpinan Gerombolan Singa Gurun telah meluncurkan benda-benda bulat sebesar telur bebek ke arah Melati.
Melati terkejut bukan kepalang. Serangan lawan meluncur di saat tubuhnya tengah berada di udara. Jadi, merupakan yang mustahil untuk bisa mengelak. Apalagi tidak ada landasan yang dapat dijadikan tempatnya berpijak. Untuk menggeliatkan tubuhnya, dia tidak berani.
Dia tahu, tindakan seperti itu amat berbahaya, karena benda-benda bulat yang dilemparkan laki-laki pendek kekar tampak berjajar. Jadi, tetap saja akan ada yang mengenai sasaran kalau dipaksakan menggeliatkan tubuh.
Melati tidak punya pilihan lain lagi, kecuali memapak serangan-serangan itu. Dan hal itulah yang akan dilakukannya. Sambil menggertakan gigi, luncuran benda-benda bulat itu dipapaknya dengan pukulan kedua tangan.
Dar, dar, darrr!
Seperti yang sudah diduga Melati, benda-benda bulat itu langsung meledak ketika berbenturan dengan tinju kedua tangannya. Ledakannya ternyata cukup dahsyat. Terbukti, gadis berpakaian putih itu sampai memekik, meskipun hanya pelan dan singkat.
Jliggg!
Meskipun agak terhuyung, Melati berhasil mendaratkan kedua kakinya di pinggir lubang. Asap tebal yang keluar dari ledakan benda-benda bulat itu segera menyebar, menyelubungi tempat itu. Kali ini, Melati tidak bisa menahan napas lagi untuk mencegah terhisapnya asap. Pekikan kecil dan pendek yang tadi keluar dari mulutnya, membuat asap itu terhisap masuk.
Rupanya, asap itu mengandung racun yang mempunyai daya kerja cepat. Buktinya Melati langsung merasakan kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang ketika asap itu terhisap.
Meskipun demikian, dia masih sempat melihat kalau akibat tindakannya cukup mengerikan. Darah telah membasahi kedua tangannya. Bahkan bajunya sampai hampir sebatas siku telah compang-camping. Jelas, akibat ledakan benda bulat itu amat dahsyat.
Tapi, Melati tidak bisa berpikir lebih jauh lagi. Pandangannya mendadak gelap, lalu tubuhnya limbung. Kalau saja laki-laki pendek kekar tidak bertindak cepat dengan menangkap tubuhnya, Melati telah terjatuh ke dalam lubang semula.
"Ha ha ha...!" Laki-laki pendek kekar tertawa bergelak. "Jangan mimpi untuk bisa meruntuhkan Gerombolan Singa Gurun, Cah Ayu! Ha ha ha...!"
Setelah berkata demikian, pimpinan Gerombolan Singa Gurun ini melesat cepat meninggalkan tempat itu seraya memperdengarkan tawanya yang penuh kegembiraan dan kemenangan.
* * *
"Ah! Aku terlambat!" Ucapan bernada penyesalan keluar dari mulut seorang kakek berpakaian putih berkepala botak. Pandangan mata kakek berpakaian putih itu tertuju ke arah lubang yang terletak di sebuah tanah lapang luas yang ditumbuhi rumput-rumput pendek.
Kakek berpakaian putih ini mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sesaat, edaran sepasang matanya terhenti ketika melihat sebuah benda yang tergolek tak jauh dari lubang. Perasaan ingin tahu tampak jelas pada sorot mata dan raut wajahnya.
Kakek berpakaian putih itu mengayunkan langkahnya. Luar biasa! Kelihatannya kakinya hanya diayunkan selangkah. Tapi anehnya, tubuhnya telah berjarak tak kurang dari sebelas tombak dari tempat semula. Jelas, ilmu meringankan tubuh kakek ini amat tinggi.
Sesaat kemudian, kakek berpakaian putih itu telah berada di dekat benda yang menjadi pusat perhatiannya. Sepasang alisnya berkerut ketika mengetahui kalau benda yang menarik perhatiannya ternyata sebilah pedang telanjang.
Perlahan-lahan kakek berpakaian putih itu membungkukkan tubuhnya dan memungut pedang itu. Lalu diperhatikannya pedang itu penuh minat. Pedang itu ternyata bukan sebatang pedang pusaka. Meskipun demikian, bilahnya terbuat dari logam yang cukup baik. Jelas, jauh lebih kuat daripada pedang umumnya.
"Sebuah senjata yang cukup baik," puji kakek itu sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Usai berkata demikian, kakek berpakaian putih itu mengalihkan perhatian ke arah gagang pedang. Bentuk gagangnya memang gagah sekali. Berukir, membentuk kepala seekor naga. Tapi anehnya, pada ujung gagangnya terikat sulaman gambar bunga melati.
"Dari mana kau dapatkan pedang itu, Ki?!"
Tiba-tiba sebuah pertanyaan bernada penuh tuntutan membuat kakek berpakaian putih itu terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa. Raut wajahnya jelas menampakkan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan. Raut kekagetan yang nampak di wajah kakek itu semakin terlihat jelas. Bahkan ada nada ketidakpercayaan ketika melihat si pemilik suara.
"Siapa kau?" tanya kakek berpakaian putih sambil menatap sekujur tubuh si pemilik suara penuh selidik. Sama sekali tidak dipedulikan pertanyaan yang tertuju kepadanya.
Si pemilik suara ternyata seorang pemuda tampan. Usianya paling banyak dua puluh dua tahun. Tampak alis pemuda itu berkernyit. Bahkan sepasang matanya di raut wajah yang jantan tampak mencorong, menyiratkan sinar kehijauan laksana sorot mata seekor harimau dalam gelap.
Jelas, pemuda bertubuh tegap kekar dan terbungkus pakaian berwarna ungu ini bukan orang sembarangan. Karena, sorot mata seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah memiliki tenaga dalam amat kuat.
"Jawab pertanyaanku, Anak Muda! Cepat! Sebelum kesabaranku hilang!" sambung kakek berpakaian putih lebih keras.
Sambil berkata demikian, pandangannya dialihkan ke arah rambut pemuda berpa-kaian ungu itu. Bukan karena panjangnya yang membuatnya agak heran, tapi warna rambutnya yang putih keperakan! Warna yang seharusnya dimiliki orang-orang yang telah berusia cukup lanjut. Sudah bisa diduga, siapa adanya pemuda ini. Ya! Dialah Arya Buana alias Dewa Arak.
Sorot mata Arya yang semula lembut, langsung mengeras mendengar ucapan kakek berpakaian putih itu. "Bukan hanya kau saja yang bermaksud seperti itu, Ki! Aku juga demikian! Jawab dulu pertanyaanku, dari mana pedang itu kau dapatkan!" tandas Arya sambil menudingkan jari telujuknya ke arah pedang yang tergenggam di tangan kakek berpakaian putih.
ENAM
Kakek berpakaian putih itu mengamati pedang di tangannya sejenak, kemudian perhatiannya dialihkan pada Arya.
"Kalau aku tidak mau?!" sahut kakek berpakaian putih itu, bernada tantangan.
"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut Arya.
Kakek berpakaian putih tersenyum lebar. "Aku ingin tahu, apakah kemampuan yang kau miliki sedahsyat ucapanmu."
Darah muda Arya meluap mendengar sambutan bernada tantangan ini. Meskipun demikian, masih dicobanya untuk menahan diri. Padahal, perasaannya hampir tidak terkendalikan. Pedang yang berada di tangan kakek itulah yang membuat perasaannya hampir tidak bisa terken-dalikan.
Memang pedang itu dikenalinya betul, sebagai milik Melati! Bentuk gagang, dan hiasan berbentuk bunga melati, amat dikenalinya. Tidak ada lagi orang yang memiliki pedang seperti itu kecuali tunangannya.
Arya tahu betul, pedang itu tidak pernah terpisah dari tunangannya. Itulah sebabnya, harinya merasa khawatir melihat keberadaan pedang di tangan kakek itu. Apalagi dalam keadaan tanpa warangka. Jelas, telah terjadi sesuatu atas diri Melati. Itulah sebabnya, Arya hampir tidak sabar mendapatkan jawaban dari kakek berpakaian putih.
"Aku tidak ingin bertarung denganmu, Ki," jawab Arya setelah menghela napas berat untuk menenangkan hati. "Aku hanya minta, beritahukanlah padaku dari mana pedang itu didapat."
Kakek berpakaian putih tersenyum mengejek. "Rupanya kau termasuk orang yang mudah menjilat ludahmu yang telah jatuh ke tanah, Anak Muda. Sebelumnya, kau mengatakan ingin tahu, dari mana pedang ini kudapatkan. Sekalipun, untuk itu harus dengan jalan kekerasan. Sekarang kau mengatakan tidak ingin bertarung denganku. Lucu! Lucu sekali! Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan, ternyata hanya seorang yang tidak mempunyai pendirian!"
Wajah Dewa Arak kontan merah padam. Kemarahan yang sejak tadi timbul semakin bernyala-nyala. Ucapan kakek berpakaian putih tadi membuat kemarahannya semakin berkobar-kobar. Belum pernah dia dilecehkan seperti itu. Padahal, Dewa Arak sendiri paling benci pada orang yang tidak mempunyai pendirian.
"Jaga mulutmu, Ki. Aku bukan orang seperti yang kau tuduhkan!" dengus Dewa Arak, keras.
"Kalau begitu, mengapa maksudmu dibatalkan untuk menempurku?!" sergah kakek berpakaian putih, cepat. "Atau kau merasa gentar?!"
"Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Ki!" sambut Dewa Arak tak kalah keras.
"Kalau begitu..., tunggu apa lagi?! Dengar, Dewa Arak! Aku bersedia memberitahukan padamu, apabila kau mampu mengalahkanku!"
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan hati. Disadari kalau kemarahan hanya akan merugikan dirinya sendiri. "Itu tidak menjadi alasan kuat untuk bertarung, Ki."
Kakek berpakaian putih tercenung sejenak. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. "Baiklah, Dewa Arak. Aku tidak akan memaksamu bertarung. Aku akan pergi, dan silakan cari sendiri pemilik pedang ini. Hanya satu yang perlu kau ketahui, pemilik pedang ini tengah dalam bahaya besar. Kalau kau tidak segera menolongnya, mungkin akan tewas! Selamat tinggal!"
Usai berkata demikian, kakek berpakaian putih itu segera membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan Dewa Arak. Kelihatan enak saja saat melangkah, tapi hebatnya telah berada dalam jarak sebelas tombak di depan!
Arya kontan terkejut bukan kepalang. Tapi bukan karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek berpakaian putih itu, melainkan karena ucapannya. Melati dalam bahaya! Dan dugaannya ternyata tidak meleset!
"Jangan harap bisa lolos dari sini sebelum menjawab pertanyaanku!"
Seiring keluar ucapannya, Dewa Arak segera menjejakkan kaki. Tubuhnya melesat cepat ke atas, melewati kepala kakek berpakaian putih di depannya. Beberapa kali tubuhnya bersalto di udara, sebelum mendaratkan di tanah.
Jliggg!
Ringan laksana jatuhnya sehelai daun di tanah, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di depan kakek berpakaian putih. Karuan saja, kakek itu menghentikan langkahnya. Kini, mereka berdua berdiri berhadapan dalam jarak empat tombak.
"Menyingkirlah, Dewa Arak! Jangan halangi jalanku! Atau..., terpaksa kita harus bertempur!" dengus kakek berpakaian putih memperingatkan Arya.
"Aku tidak akan bergeser sedikit pun dari tempat ini, Ki! Kecuali, bila kau beritahukan padaku kejadian yang menimpa pemilik pedang itu!" keras dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut Dewa Arak.
"Kalau begitu, mampuslah kau!"
Kakek berpakaian putih itu langsung melepaskan pedang bergagang kepala naga ke tanah, hingga amblas setengahnya lebih. Kemudian, dia melompat menerjang Dewa Arak. Serangannya diawali dengan pukulan tangan bertubi-tubi ke arah dada.
Wut, wut, wut!
Deru angin keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Hal ini menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu. Tapi, Dewa Arak tidak gugup melihat hal ini. Ditunggunya hingga serangan-serangan kakek berpakaian putih itu dekat. Kemudian dengan tetakan kedua tangannya, serangan-serangan yang melun-cur dipapaknya.
Tak, tak, tak!
Suara berdetak keras seperti benturan logam keras terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur ke belakang. Dewa Arak terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan kakek berpakaian putih terhuyung tiga langkah. Dari sini bisa diduga, tenaga dalam Dewa Arak lebih kuat daripada lawannya.
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji kakek berpakaian putih itu, disertai seringai di mulutnya. Jelas, dia merasa kesakitan akibat benturan itu. "Tapi jangan bangga dulu. Aku belum kalah! Hih!"
Kakek berpakaian putih itu kembali menyerang Dewa Arak. Kali ini, dengan serangan-serangan yang jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya. Lebih-lebih keli-haian Arya telah diketahuinya.
Dewa Arak yang telah mengetahui kelihaian kakek berpakaian putih itu tidak tinggal diam, dan segera melakukan perlawanan sengit. Pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan seluruh kemampuannya, karena merasa cemas akan keselamatan Melati. Arya ingin buru-buru menolong tunangannya. Dan sumber keterangan itu adalah kakek berpakaian putih ini!
Hebat bukan kepalang pertarungan antara kedua orang sakti itu. Setiap gerakan mereka menimbulkan deru angin keras, pertanda didukung pengerahan te-naga dalam tinggi. Suara angin mencicit, mengaung, dan menderu menyemaraki jalannya pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Debu pun mengepul tinggi ke udara. Rumput-rumput kering dan pendek terpijak-pijak di sana sini. Tanaman-tanaman lain bergoyang-goyang ke sana kemari, setiap kali kedua tokoh yang tengah bertarung itu menggerakkan tangan atau kaki.
Dewa Arak mengerahkan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' sampai ke puncaknya, untuk dapat merobohkan lawan secepatnya. Meskipun demikian, tetap saja menemui kesulitan. Ternyata, kakek berpakaian putih itu amat tangguh! Sejak jurus-jurus awal, masing-masing pihak telah menguras seluruh kemampuan yang dimiliki. Meskipun memang, belum mengeluarkan ilmu andalan.
Kini, tubuh Dewa Arak dan kakek berpakaian putih itu lenyap bentuknya. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan putih dan ungu. Terkadang kedua bayangan itu saling belit, tapi tak jarang saling pisah. Beberapa kali bayangan putih terlempar keluar kancah pertarungan, tapi hal itu hanya berlangsung sekejap saja. Sesaat kemudian, kedua bayangan itu kembali saling belit.
Mula-mula pertarungan antara dua tokoh sakti itu berlangsung seimbang. Masing-masing pihak tampak saling ganti-berganti melancarkan serangan. Tapi menginjak jurus keseratus, keunggulan Dewa Arak mulai tampak.
Serangan-serangan kakek berpakaian putih itu mulai berkurang. Dan sekarang lebih banyak mengelak. Bahkan menangkis pun hanya sekali-sekali saja karena hanya mendatangkan kerugian baginya. Masalahnya, tenaga dalamnya berada di bawah Dewa Arak. Semakin lama, keadaan kakek berpa-kaian putih itu semakin terdesak. Robohnya kakek itu hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Hiaaat..!" Pada jurus keseratus dua belas, Dewa Arak melancarkan sapuan kaki tanah. Namun kakek berpakaian putih berhasil mengelakkannya dengan melompat ke atas.
Dan ternyata, tindakan Dewa Arak tidak hanya sampai di situ saja. Tangan kanannya diluncurkan cepat ke arah bahu kanan lawannya. Arya memang tidak ingin membunuh kakek berpakaian putih itu. Tidak heran bila serangan-serangan yang dilancarkannya ditujukan pada bagian-bagian yang tidak mematikan.
Kakek berpakaian putih itu terkejut bukan kepalang. Keadaannya saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkan untuk berkelit dari serangan itu. Terpaksa serangan itu dipapaknya dengan tangan kiri.
Prattt!
Tubuh kakek berpakaian putih itu terlempar ke belakang, kemudian jatuh bergulingan di tanah. Pada saat yang bersamaan Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya secara mantap di tanah. Lalu, tubuhnya langsung meluruk ke arah kakek berpakaian putih. Maksudnya, hendak melumpuhkan lawan tangguhnya. Tapi....
"Tahan, Kang Arya...!"
Arya terkejut bukan kepalang. Nada suara itu serasa pernah dikenalnya. Tapi sayang, dia lupa. Kapan dan di mana pernah mendengar suara itu. Maka, cepat-cepat serangannya dibatalkan. Tangannya cepat dipergunakan sebagai tumpuan kaki untuk membatalkan serangannya.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, sesosok bayangan merah ber-kelebat mendekati tempat kakek berpakaian putih, lalu berdiri membelakanginya. Kini sosok berpakaian merah itu berdiri di antara Dewa Arak dan kakek berpakaian putih.
"Ah!" Arya menjerit kaget ketika melihat jelas sosok berpakaian merah yang berdiri di hadapannya. Dikenalinya betul sosok itu.
"Kau... kau..., Mawar...! Ya, Tuhan.... Mengapa kau ada disini, Mawar...?!" seru Arya setengah tak percaya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghampiri sosok berpakaian merah yang ternyata seorang gadis berwajah cantik jelita. Rambutnya yang berwarna hitam mengkilap digelung ke atas. Dia memang Mawar, saudara kembar Melati. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar).
"Ceritanya panjang sekali, Kang Arya," sahut Mawar, sambil berdiri diam menunggu. "Tapi yang jelas dan perlu kau ketahui, kakek yang menjadi lawanmu bertarung bukan musuh."
"Ooo...." Arya hanya bisa membulatkan mulutnya pertanda mengerti. Namun langkahnya tetap tak dihentikan. Meskipun demikian, bola matanya sempat dilayangkan ke arah kakek berpakaian putih yang kini sudah berdiri tegak.
"Kalau dia bukan musuh, mengapa menunjukkan sikap yang tidak bersahabat padaku, Mawar?" ada nada penasaran dalam pertanyaan Arya.
Mawar mengangkat bahu. "Kalau begitu... kupersilakan kau untuk menanyakan sendiri."
Usai berkata demikian, Mawar bergeser untuk memberi kesempatan pada kakek berpakaian putih memberikan jawaban atas pertanyaan Dewa Arak.
Kakek berpakaian putih melangkah maju dengan pandangan diarahkan pada Dewa Arak. Ditatapnya pemuda berambut putih keperakan itu tajam-tajam, tepat pada bola matanya.
Sementara itu, Arya telah menghentikan langkahnya. Kakek berpakaian putih juga berhenti, ketika telah melangkah sebanyak tiga tindak. Sekarang, kedua tokoh yang baru saja bertarung sengit itu saling menatap tajam.
"Apa yang dikatakan Mawar benar belaka, Arya," ucap kakek berpakaian putih itu membuka pembicaraan.
Arya sama sekali tidak memberi tanggapan, sekalipun kakek berpakaian putih itu kembali merubah panggilan terhadapnya.
"Tapi sebelum kukatakan alasan sebenarnya yang membuatku menunjukkan sikap tidak bersahabat padamu, aku ingin memperkenalkan namaku padamu," lanjut kakek berpakaian putih. "Namaku Palungga."
"Palungga?!"
Arya mengulang nama itu dalam hati disertai kernyitan pada dahi. Betapa tidak? Rasanya nama itu pernah didengarnya. Hanya saja dia lupa, kapan dan di mana nama itu pernah didengarnya.
Kakek berpakaian putih yang mengaku bernama Palungga tersenyum simpul melihat kernyitan di dahi Dewa Arak. Sepertinya, dia tahu mengapa pemuda berambut putih keperakan itu bersikap demikian.
"Aku sengaja menunjukkan sikap bermusuhan karena ingin menguji kepandaianmu. Kudengar, julukanmu amat menggeparkan dunia persilatan. Bahkan salah satu dari dua anakku yang berhasil kutemukan, banyak memuji-mujimu. Baik kepandaian maupun sikapmu. Sehingga, aku merasa penasaran sekali. Aku ingin menjumpaimu secara langsung untuk membuktikan kebenaran semua cerita itu."
"Dan kenyataannya sama sekali tidak benar kan, Ki?" potong Arya buru-buru.
"Kau keliru, Arya. Semua cerita yang kudengar tentang dirimu benar belaka," bantah Palungga sambil tersenyum. "Kesakitan, kerendahan hati, dan tindakanmu benar-benar sesuai kenyataan yang selama ini kulihat. Aku tahu, kau tidak melancarkan serangan-serangan yang mematikan terhadapku."
Arya kontan terdiam. Diam-diam, dipujinya kejelian sepasang mata Palungga. "Kalau boleh kutahu, siapakah salah seorang anakmu yang terlalu berlebihan memujiku itu, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
Semakin lebar senyum yang tersungging di bibir Palungga. "Kau ingin tahu, Arya? Nah! Baiklah akan kuberitahukan. Inilah salah seorang anakku yang amat memujamu," kata Palungga sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke arah Mawar.
"Hah...?! Jadi... jadi.... Ah! Mengapa aku begini pelupa?! Kau..., ayah Mawar dan Melati...," ucap Arya agak tergagap.
Sekarang pemuda berambut putih keperakan itu baru teringat nama yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Pantas, perasaan nama itu pernah didengarnya. Dulu, sewaktu bertemu Mawar nama itu pernah didengarnya. Mawar memperkenalkannya sebagai ayahnya, sekaligus ayah Melati (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar).
Palungga menganggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan Arya. "Aku tidak kecewa. Kau lebih dari pantas untuk menjadi jodoh anakku."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti, ternyata Palungga tadi bermaksud mengujinya. Tapi bukankah menurut pengakuan Melati, Palungga telah tewas dikeroyok tokoh-tokoh golongan hitam yang bersatu padu? Kalau benar kakek ini adalah ayah Melati, kenapa membiarkan anaknya tertimpa bahaya seperti yang tadi dikatakannya? Berbagai macam pertanyaan bergayut dalam benak Arya.
TUJUH
"Aku tahu, kau akan mengajukan keheranan yang sama dengan Mawar," kata Palungga bernada yakin. "Kau pasti menduga kalau aku telah tewas di tangan para tokoh persilatan aliran hitam?"
Arya menganggukkan kepala, karena memang itu yang akan dikatakannya. Dan seperti itulah yang diceritakan Karina, istri Palungga. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar).
"Aku berhasil melarikan diri dari mereka," jelas Palungga. "Ahhh! Kalau saja tidak mengingat nasib anakku, mungkin aku lebih rela mati daripada hidup sebagai pengecut."
Palungga menghentikan ucapannya. Sepasang matanya menerawang ke atas, seakan-akan ada yang tengah dicarinya di atas sana.
"Setelah berhasil menyelamatkan diri, aku mulai mencari berita beradanya istri dan anakku. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi. Tapi nyatanya mereka lenyap seperti ditelan bumi. Usaha-usahaku sia-sia saja rupanya, sehingga membuatku hampir putus asa. Namun, betapa gembiranya hatiku ketika pencarianku ternyata menemukan titik terang. Aku berhasil menemukan Mawar ketika tengah melarikan diri dari sesuatu yang tengah ditakutinya. Sekarang, kau yang ganti bercerita, Mawar."
Mawar menganggukkan kepala. "Beberapa hari yang lalu, muncul belasan orang berpakaian coklat. Mereka mengaku sebagai Gerombolan Singa Gurun. Dengan cara kasar, mereka berusaha membawaku dan ibu. Dan tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tapi, karena kepandaian mereka rata-rata lumayan dan jumlahnya cukup banyak, jadi terdesak hebat."
Mawar menghentikan cerita. Untuk membasahi tenggorokannya yang kering karena kebanyakan berbicara dia menelan ludah.
"Ibu tahu, keadaan kami tidak menguntungkan. Maka disuruhnya aku melarikan diri, dan dia berusaha mencegah lawan-lawan mengejarku," sambung Mawar. "Semula, aku tidak mau. Tapi karena ibu terlalu memaksa, apa boleh buat. Dengan perasaan sedih, dia kutinggalkan. Dan ketika akhirnya aku bertemu ayah, kami segera kembali memeriksa ke sana. Tapi, keadaan telah kembali sepi. Tidak ada Gerombolan Singa Gurun maupun ibu. Entah bagaimana nasib ibu..."
Arya hanya bisa menghela napas berat pertanda ikut prihatin ketika Mawar menyelesaikan cerita. "O ya, Ki. Masih ada hal yang ingin kutanyakan padamu," kata Arya ketika teringat kembali.
Palungga tersenyum simpul. Rupanya pertanyaan yang akan diajukan Arya sudah bisa diduga. "Silakan, Arya. Kalau aku bisa menjawabnya, tentu akan kujawab," kalem ucapan kakek berpakaian putih itu.
"Mengenai pedang itu, Ki. Kalau tidak salah, pedang itu milik Melati. Kalau boleh kutahu, mengapa berada di tanganmu, Ki?"
"Hhh...!" Palungga menghela napas berat. Raut wajahnya tersaput kesedihan yang mendalam. "Hal ini terjadi karena kecerobohanku, Arya. Kalau saja aku bertindak cepat, mungkin Melati tidak mengalami kejadian apa-apa," jawab Palungga setengah mengeluh. "Awalnya dari rasa tertarikku ketika mendengar suara ribut-ribut. Ketika kuselidiki, ternyata ada seorang gadis terkurung di dalam sebuah jaring Gerombolan Singa Gurun. Melihat dari raut wajahnya yang mirip Mawar, bisa kuduga kalau dia adalah anakku juga. Memang, Mawar telah bercerita banyak mengenai saudara kembarnya, berikut kau, Arya."
Palungga menghentikan ucapannya sebentar untuk menarik napas. "Dia segera kubebaskan dari kurungan. Tapi, rupanya Gerombolan Singa Gurun tahu, ada orang yang menolong Melati. Maka, mereka meluruk ke tempatku. Serbuan mereka membuat perhatian teralih dari Melati. Memang hanya sebentar, karena dengan mudah mereka semua kubereskan. Tapi, hal itu cukup membuatku kehilangan jejak Melati. Dan inilah yang kutemui. Tapi jangan khawatir, Arya. Sekarang aku telah tahu letak sarang Gerombolan Singa Gurun."
Palungga menutup ceritanya sambil mengangsurkan pedang milik Melati. Dewa Arak menatap senjata milik kekasihnya disertai perasaan yang semrawut. Ada rasa rindu yang menyeruak di hatinya ketika melihat pedang Melati. Masalahnya, sudah cukup lama dia tidak bertemu kekasihnya itu. Namun, di samping rasa rindu, ada pula rasa cemas yang melanda. Mengingat, Melati sekarang tengah berada dalam bahaya besar.
"Hm..., bagaimana kalau sekarang juga kita satroni sarang mereka, Ki?"
"Sebuah usul yang amat baik, Arya," sambut Palungga, cepat. "Ayo, Mawar. Kita serbu sarang Gerombolan Singa Gurun. Barangkali saja, ibu dan saudara kembarmu masih bisa diselamatkan!"
Gadis berpakaian merah itu menganggukkan kepala.
"Silakan, Ki," ucap Arya pada Palungga, karena memang kakek itulah yang tahu jalan menuju ke sarang Gerombolan Singa Gurun.
Tanpa berkata apa-apa, Palungga segera melesat lebih dulu, disusul oleh Mawar dan Arya. Tentu saja kakek berpakaian putih itu hanya mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan tubuhnya, karena tidak mungkin Mawar dibiarkan tertinggal. Sesaat kemudian, Palungga, Arya, dan Mawar telah berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Ada dua hal yang membuatku merasa heran, Ki," kata Arya di sela-sela langkah kakinya. Suaranya terdengar biasa saja. Tidak terdengar tersengal-sengal seperti lainnya orang yang tengah berlari.
"Apa itu, Arya?" tanya Palungga tanpa mengalihkan wajah. Langkah kakinya pun tidak dihentikan.
"Pertama, mengapa Gerombolan Singa Gurun menculik seluruh penduduk setiap kali menyerbu sebuah desa?" ujar Arya.
"Sayang sekali, aku juga tidak tahu Arya," jawab Palungga bernada penyesalan. "Lalu yang lainnya?"
Arya tidak langsung menyahut dengan sebuah pertanyaan lagi. Sementara kakinya terus melangkah beberapa saat. Sedangkan Mawar yang berada di sebelahnya diam membisu, tapi telinganya terpasang tajam. Memang, dia pun ingin tahu hal-hal yang ditanyakan Dewa Arak.
"Mengapa kau tidak menyerbu Gerombolan Singa Gurun sejak dulu, Ki. Maaf, kalau pertanyaan ini menyinggung hatimu."
"Sama sekali aku tidak tersinggung, Arya. Hanya saja yang perlu kau ketahui, aku pun baru mengetahui sarang gerombolan itu dari salah seorang anggotanya yang tidak kuat menahan siksaanku, dan tidak sempat bunuh diri karena keburu kucegah" jelas Palungga.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Sama sekali tidak disangka kalau kakek berpakaian putih itu pun baru mengetahui sarang Gerombolan Singa Gurun pula.
Suasana pun menjadi hening ketika Palungga menghentikan ucapannya. Apalagi, Arya tidak mengajukan pertanyaan lagi. Kini yang terdengar hanyalah suara langkah kaki menyibak semak-semak dan rerumputan.
"Itu pintu masuk sarang mereka, Arya," jelas Palungga. Sambil berkata demikian, kakek berpakaian putih itu menudingkan jari telunjuknya ke arah sebatang pohon besar yang bagian tengahnya ada lubang, mirip pintu.
Batang pohon itu memang besar sekali. Paling tidak, diperlukan enam pelukan tangan orang dewasa untuk mengukur keliling pohon itu. Sedangkan garis tengah lubang yang mirip pintu itu hampir setengah tombak. Sedangkan tingginya, tak kurang dari satu tombak. Bagian atasnya, berbentuk setengah lingkaran.
Arya dan Mawar diam-diam memuji kecerdikan Gerombolan Singa Gurun. Pintu masuk sarang ini letaknya demikian tersembunyi, terlindung pohon-pohon tinggi dan semak-semak yang lebat. Bahkan beberapa kali mereka harus berhadapan dengan aneka macam jebakan. Kalau saja bukan Dewa Arak dan Palungga, mungkin akan mengalami kerepotan yang tidak sedikit. Mawar pun berhasil selamat dari berbagai jebakan berkat adanya Dewa Arak dan ayahnya di sampingnya.
Palungga, Arya, dan Mawar tidak berani bersikap main-main lagi. Sekujur urat syaraf dan otot mereka menegang penuh kewaspadaan. Jebakan demi jebakan yang sejak tadi bertubi-tubi menghadang, membuat mereka tidak berani bertindak gegabah.
Dengan langkah hati-hati, Palungga mendekati pohon yang mempunyai lubang di tengahnya itu. Setindak demi setindak, kakek berpakaian putih itu melangkah, diikuti Arya dan Mawar di belakangnya. Sikap mereka tampak waspada penuh. Mendadak...
Blosss!
"Akh...!" Palungga menjerit tertahan ketika tahu-tahu kaki kanannya yang menjejak tanah di depan amblas. Tanah ditumbuhi rumput-rumput pendek itu ternyata lunak! Dan kekagetannya semakin bertambah ketika terasa ada tarikan kuat pada kakinya.
"Lumpur hidup...," desis Palungga, kaget.
Arya yang melihat hal ini tak kalah kagetnya. "Diam di situ, Mawar," kata pemuda berambut putih keperakan itu pada Mawar.
Sambil berkata demikian, Arya segera melangkah menghampiri Palungga. Maksudnya, hendak menolong kakek berpakaian putih itu. Tapi sebelum maksudnya terlaksana, Palungga telah lebih dulu berhasil membebaskan diri dari cengkeraman lumpur dengan sekali betot.
"Berbahaya sekali," desah Palungga.
Arya dan Mawar menganggukkan kepala. Mereka sadar ucapan Palungga benar. Kalau saja Palungga tidak berhati-hati dan tidak melangkah satu-satu, tubuhnya sudah terjerumus kedalam lumpur hidup itu. Apalagi kedua kaki telah masuk ke dalam lumpur hidup, sudah bisa diperkirakan nasib yang akan menimpa. Betapapun tinggi kepandaian seseorang, rasanya amat sulit menyelamatkan diri dari tempat itu.
"Lalu, bagaimana kita bisa masuk ke sana, Ayah?" tanya Mawar, bingung.
"Kurasa, tetap melalui tempat ini, Mawar," Arya yang menyahuti. "Hanya saja, kita perlu mengetahui tempat-tempat yang aman."
Pemuda berambut putih keperakan ini lalu mengedarkan pandangan berkeliling. Jelas, ada sesuatu yang tengah dicarinya. Palungga dan Mawar tidak tahu tindakan Dewa Arak selanjutnya. Dan mereka hanya bisa membiarkannya saja.
Setelah mengedarkan pandangan beberapa saat lamanya, Arya berjalan meninggalkan Palungga dan Mawar. Ayah dan anak itu hanya bisa menatap arah yang dituju Arya. Mereka juga ingin tahu, apa yang akan dilakukan Arya.
Mawar mengerutkan alisnya yang berbentuk indah ketika melihat Arya memunguti beberapa buah batu sebesar kepalan. Gadis itu tidak mengerti, apa yang akan dilakukan Dewa Arak. Matanya kemudian melirik ayahnya. Maka kontan kerutan alisnya semakin bertambah ketika melihat kakek berpakaian putih itu mengangguk-anggukkan kepala disertai sorot mata kagum.
"Apa yang akan dilakukannya dengan batu-batu itu, Ayah?" Mawar tak tahan lagi memendam rasa ingin tahunya.
Palungga menolehkan kepala. "Perhatikan saja tindakannya, Mawar, Kalau tidak melihat sendiri, aku tidak akan percaya. Dalam usia semuda ini, wawasannya sudah demikian luas. Jelas, dia telah banyak mendapatkan pengalaman yang berharga dalam perantauannya."
Mawar tidak bertanya lagi. Terpaksa rasa ingin tahu yang menggelegak ditahannya. Diperhatikannya semua tindakan Dewa Arak Dan kini, tampak Arya menghampiri tempat mereka kembali.
"Mudah-mudahan saja, batu-batu ini dapat membantu kita masuk ke sarang Gerombolan Singa Gurun," kata Arya. Dewa Arak lalu melemparkan batu itu ke atas.
Siuuut! Plukkk!
Setelah melayang ke atas beberapa saat lamanya, batu sebesar kepalan itu jatuh di hamparan tanah yang berumput pendek. Maka, batu itu langsung amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih. Perlahan-lahan batu itu semakin tenggelam sampai akhirnya lenyap.
Sekarang Mawar baru mengerti kegunaan batu-batu yang diambil Dewa Arak. Kepalanya jadi terangguk-angguk sambil menatap Arya penuh kagum.
Sementara itu, orang yang dikagumi Mawar sama sekali tidak tahu-menahu. Dia tengah sibuk melakukan hal yang serupa ke arah kanan dan kiri tempat itu. Kakinya melangkah ke kanan sejauh lima tombak, dan lima tombak pula ke kiri. Kemudian dia melakukan usahanya kembali, tapi hasilnya sama saja.
Arya kembali ke tempat semula. Kemudian, hal yang sama dilakukannya kembali. Tapi kali ini batu-batu itu dijatuhkan di tempat yang lebih jauh dari tempat semula.
Tukkk!
Batu itu ternyata tidak mengalami nasib seperti tiga sebelumnya. Jelas, tempat mendarat benda itu bukan lumpur hidup. Melihat hal ini, Arya tersenyum lebar. Demikian pula Palungga dan Mawar. Mereka tahu, tempat mendaratnya batu yang keempat adalah tempat yang aman.
"Dugaanmu tidak salah, Arya. Jalan masuk ke sarang Gerombolan Singa Gurun tetap dari tempat ini. Daerah lumpur hidup ini tidak begitu luas, dan hanya panjang ke samping saja. Sedangkan ke depan, tak lebih dari tiga tombak!" Palungga membuka suara.
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan kakek berpakaian putih itu. "Silakan, Ki."
Palungga menganggukkan kepala, kemudian menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas melompati daerah lumpur hidup. Tapi...
Sing, sing, sing...!
Siut, siut, siut…!
Belasan senjata yang terdiri dari pedang, golok, tombak, pisau, dan benda bulat sebesar telur bebek meluncur ke arah tubuh Palungga yang tengah melayang.
Untungnya, Palungga sudah menduga kejadian seperti itu. Tanpa ragu-ragu lagi, segera tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan kembali, tangannya telah menggenggam sebatang pedang di sana. Dan secepat pedang itu tergenggam, secepat itu pula dikibaskan ke arah beraneka ragam senjata yang meluncur ke arahnya.
Trang, trang, trang...!
Bunga-bunga api berpercikan ke sana kemari ketika pedang di tangan Palungga berbenturan dengan beraneka ragam senjata yang meluncur ke arahnya. Meskipun demikian, tidak satu pun benda-benda bulat sebesar telur bebek yang dipapaknya. Rupanya, Palungga telah mengetahui keistimewaan benda-benda bulat itu sehingga tidak mau sembarangan memapaknya.
Hebatnya, begitu pedang di tangannya membentur senjata-senjata yang meluncur ke arahnya, tenaga benturan itu dipergunakan untuk melompat ke atas. Hasilnya, luncuran benda-benda bulat itu lewat di bawah kakinya.
Jliggg!
Begitu kaki Palungga mendarat di tanah seberang daerah lumpur hidup, bermunculan belasan orang berompi coklat. Di tangan mereka tampak tergenggam beraneka ragam senjata. Tampak laki-laki pendek kekar yang telah menawan Melati ada di antara mereka. Palungga tidak bertindak setengah-setengah lagi. Segera serangan-serangan anggota Gerombolan Singa Gurun disambutnya.
Trang, trang, trang...!
Untuk kedua kalinya, bunga-bunga api berpercikan ketika senjata-senjata itu berbenturan disertai suara berdentang nyaring. Pekik-pekik kesakitan kontan ter-dengar dari mulut-mulut anggota Gerombolan Singa Gurun begitu senjata mereka berbenturan dengan senjata Palungga. Bahkan tangan-tangan mereka terasa lumpuh.
Tanpa dapat dicegah lagi, senjata-senjata yang tergenggam pun terlepas dari pegangan. Jelas, Palungga telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam tangkisan itu. Akibatnya, anggota Gerombolan Singa Gurun tidak mampu bertahan. Dan di saat tubuh mereka tengah terhuyung-huyung itu, Palungga kembali membabatkan pedangnya. Dan....
Crasss!
Lolong kematian terdengar berkali-kali begitu ujung pedang Palungga merobek perut beberapa anggota Gerombolan Singa Gurun. Seketika itu pula, darah segar menyembur dari perut yang terobek lebar. Sesaat lamanya anggota-anggota Gerombolan Singa Gurun itu berdiri dengan kedua kaki menggigil, menjelang ajal. Baru kemudian, mereka roboh di tanah dan diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu, beberapa sosok tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun telah bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Karuan saja hal ini membuat sisa anggota Gerombolan Singa Gurun terkejut bukan kepalang, termasuk laki-laki yang bertubuh pendek kekar.
Keterkejutan hati laki-laki pendek kekar semakin bertambah ketika melihat Arya dan Mawar pun telah berhasil menyeberangi daerah lumpur hidup. Apalagi, ketika Mawar dan Arya pun ikut terjun dalam kancah pertarungan.
Maka, pertarungan yang berlangsung semakin tidak berimbang. Anggota Gerombolan Singa Gurun yang kini berjumlah sekitar sembilan orang sama sekali bukan tandingan Palungga, Arya, dan Mawar. Jeritan-jeritan kematian pun kembali terdengar saling susul.
Tubuh-tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun berjatuhan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Nasib mereka tampaknya sial, karena lawan-lawan yang dihadapi sama sekali tidak berminat memberi ampun. Palungga maupun Mawar enak saja menewaskan mereka satu persatu.
Dewa Arak pun, walau dengan hati berat, memutuskan untuk membinasakan lawan-lawannya. Ketentraman penduduklah yang menjadi pertimbangannya.
Hanya dalam beberapa gebrakan, sudah tidak ada lagi anggota Gerombolan Singa Gurun yang berdiri tegak. Semuanya telah bergeletakan di tanah, dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Palungga, Arya, dan Mawar sama sekali tidak mempedulikan keadaan lawan-lawan lagi. Cepat ketiganya melesat ke arah pohon yang mempunyai rongga di tengah-tengahnya.
Hanya beberapa kali lesatan saja, tubuh Dewa Arak, Palungga, dan Mawar telah berada di pintu masuk sarang Gerombolan Singa Gurun.
DELAPAN
Dengan kewaspadaan yang semakin dilipat-gandakan, Dewa Arak dan Palungga melangkah melewati ambang pintu. Suasana tampak remang-remang, karena di pinggir kiri kanannya terpancang sebatang obor. Memang, begitu memasuki pintu di batang pohon itu, mereka harus menuruni tangga yang langsung berhubungan dengan ruang bawah tanah.
Dewa Arak, Palungga, dan Mawar sempat mengernyitkan dahi ketika melihat dinding di kanan kiri yang tidak melengkung seperti sebuah goa, tapi datar seperti dinding rumah umumnya.
Dewa Arak, Palungga, dan Mawar kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, Dewa Arak yang berada di depan. Mawar di tengah, dan Palungga berjalan paling belakang.
Seperti juga sebelumnya, ketiga orang ini bersikap penuh waspada. Mereka khawatir akan adanya jebakan-jebakan lainnya. Tapi sampai beberapa kali melangkah mereka tidak mendapatkan adanya jebakan lagi. Tak lama kemudian, Dewa Arak menghentikan langkah. Mau tidak mau, Mawar dan Palungga pun berhenti pula.
"Mengapa berhenti, Arya?" tanya Palungga, berbisik.
"Jalan kita harus menurun kembali," jelas Arya.
Palungga pun diam tidak bertanya lagi. Sedangkan Arya mulai menuruni anak tangga setelah memberi jawaban. Satu demi satu dan berhati-hati, kakinya melangkah menuruni anak-anak tangga itu.
Tak lama kemudian, tidak ada lagi anak tangga yang harus dituruni. Di hadapan Dewa Arak, kini membentang dinding. Tidak ada jalan lain lagi, kecuali di sebelah kanan dan kirinya.
Arya tercenung. Sama sekali tidak dikira kalau jalan ini terpecah menjadi dua. Jalan mana yang hams dipilih?
Sesaat kemudian, Mawar dan Palungga riba pula di anak tangga terakhir. Seperti juga Dewa Arak, Palungga pun kebingungan sebentar.
"Begini saja, Arya. Lebih baik, kita berpencar. Kau pilihlah satu jalan. Biar aku memilih yang lainnya," usul Palungga yang bisa menebak perasaan yang berkecamuk di hati Arya.
"Usul yang baik, Ki," sambut Arya, gembira.
"Lalu aku bagaimana, Ayah?" tanya Mawar, agak bingung.
"Kau ikut aku, Mawar," jawab Palungga, cepat "Nah! Sekarang, pilihlah satu jalan, Arya. Biar aku memilih yang lainnya." Arya tercenung sejenak.
"Kupilih jalan yang sebelah kanan, Ki," kata Arya.
"Kalau begitu, kupilih jalan yang sebelah kiri," sambut Palungga, cepat
Kakek berpakaian putih ini lalu melangkah menempuh jalan sebelah kiri. Mawar mengikut di belakangnya. Sementara, Dewa Arak menempuh jalan sebelah kanan.
Meskipun sejak tadi tidak menemukan jebakan, Dewa Arak tetap tidak meninggalkan kewaspadaannya. Sepasang mata, kaki, dan sekujur urat syaraf di tubuhnya menegang waspada.
Arya diam-diam merasa bingung juga melihat keadaan di bagian dalam ruangan ini Luar biasa! Tak ubahnya sebuah bangunan besar.
Entah, telah berapa jauh kakinya melangkah, jalan yang dipilih Dewa Arak membelok ke kiri. Karena memang tidak ada jalan lain, pemuda berambut putih keperakan itu pun membelok, kemudian terus melangkah. Dan baru beberapa tindak, Dewa Arak melihat pintu sebuah ruangan. Atau tepatnya, pintu sebuah penjara.
Jantung Arya berdebar tegang melihat hal ini. Kalau menuruti perasaan hati, ingin rasanya bergegas melangkah ke arah sana. Tapi hal itu segera ditahan, karena teringat akan jebakan demi jebakan yang menghampar di sepanjang perjalanan.
Beberapa langkah kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu yang ternyata lebih tepat disebut sebagai terali besi. Seketika, sepasang matanya terbelalak. Betapa tidak? Di dalam ruangan yang berukuran tak kurang dari enam kali lima tombak itu berdiri belasan sosok tubuh. Menilik dari pakaiannya, bisa diketahui kalau sebagian besar dari mereka adalah penduduk desa.
Bukan hanya Arya yang terkejut, tapi juga orang-orang yang berada dalam kurungan. Tapi sebelum mereka sempat mengeluarkan suara gaduh, pemuda berambut putih keperakan ini telah lebih dulu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat agar tidak berisik.
Beruntung! Mereka rupanya mengerti isyarat yang diberikan Arya. Buktinya tidak ada-seorang pun yang membuka suara. Kepala-kepala mereka terangguk pelan. Padahal, di dalam ruangan itu tidak hanya orang dewasa saja. Anak kecil dan orang-orang tua pun ada pula di sana.
Setelah yakin kalau orang-orang yang berada di dalam kurungan itu tidak akan menimbulkan kegaduhan, Dewa Arak segera melangkah meninggalkan tempat itu. Diputuskannya untuk melihat-lihat sekitar tempat ini, sebelum memutuskan untuk menolong para tahanan itu. Baru lima tindak melangkah, Dewa Arak mendengar suara tawa bergelak.
"Hi hi hik...! Tak lama lagi aku akan keluar dari tempat ini dan menjagoi dunia persilatan! Kalian tahu, mengapa? Karena ilmu 'Jari Darah Beracun' milikku telah hampir sempurna. Kalian mendapat untung, karena bisa merasakan sendiri kedahsyatannya. Kalian mati terhormat! Tidak seperti yang lain yang mati seperti hewan! Kalian tahu mengapa?! Karena mereka mati disembelih!"
Arya mengernyitkan dahi. "Ilmu 'Jari Darah Beracun'? Ilmu macam apa itu?" tanya Dewa Arak dalam hati.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, Dewa Arak mendekati asal suara. Hati-hati sekali kakinya melangkah. Jelas, kedatangannya tidak ingin diketahui lawan.
Ternyata, suara itu berasal dari ruangan yang mempunyai bentuk sama dengan sebelumnya. Hanya saja, letaknya agak berjauhan. Arya pun mengintai dengan menyembulkan sedikit kepala di balik terali besi.
Sebuah keuntungan bagi Arya, pemilik suara tawa itu berdiri membelakangi terali besi. Namun kerugiannya, Arya tidak bisa melihat jelas wajahnya. Tapi menilik dari potongan tubuh dan suaranya, bisa diperkirakan kalau pemilik suara itu seorang wanita. Tubuhnya tampak kurus kering, terbungkus pakaian berupa rompi berwarna coklat. Sehingga, kulit tubuhnya yang penuh keriput di sana-sini terlihat. Tampaknya, sosok tubuh itu adalah seorang nenek.
Yang terlihat Dewa Arak adalah orang-orang yang diajak bicara oleh nenek berompi coklat. Mereka berjumlah tiga orang, dan dalam keadaan terbelenggu. Rantai baja yang dihubungkan ke dinding membuat tubuh mereka terikat secara terentang.
"Sebelum menerima kehormatan mencicipi kedahsyatan ilmu 'Jari Darah Beracun', kalian kuperkenankan menyebutkan nama. Ini merupakan kehormatan besar bagi kalian! Tentu saja, kalau kalian tidak takut menyebut nama!"
"Kami bukan pengecut-pengecut yang takut mati, Keparat! Namaku Tiraga?" sahut laki-laki berpakaian putih berusia empat puluhan. Raut wajahnya menyiratkan kewibawaan.
"Dan aku, Wagul," sambung laki-laki kekar berkumis melintang dan berpakaian hitam.
"Aku Gulata," laki-laki yang satunya lagi tak mau ketinggalan.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus...!" kata nenek berompi coklat itu penuh kegembiraan ketika mendengar tiga orang itu menyebut namanya masing-masing.
Tanggapan nenek berompi coklat berbeda dengan Dewa Arak yang kaget bukan kepalang. Namun ada juga rasa gembira dalam hati Dewa Arak. Dan hal ini terjadi ketika mendengar laki-laki terakhir menyebut namanya. Gulata! Dialah orang yang tengah dicarinya! Sama sekali tidak disangka akan semudah itu berhasil menemukan orang yang tengah dicarinya.
Tapi, Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alunan kekagetannya. Karena, nenek berompi coklat itu kini telah kembali membuka suara.
"Kini terimalah penghormatan yang kuberikan." Usai berkata demikian, nenek berompi coklat itu menjulurkan tangannya ke arah Tariga yang tak lain Kepala Desa Watu.
Tappp!
Keempat jari tangan kanan yang tahu-tahu berwarna merah membara ditempelkan oleh nenek itu pada dada Ki Tariga. Arya yang sama sekali belum menduga hal yang akan terjadi, tidak sempat berbuat apa pun. Yang dapat dilakukannya hanya menatap, untuk mengetahui kelanjutan akibat tempelan tangan nenek berompi coklat itu.
"Aaa...!"
Sepasang mata Dewa Arak, Wagul, dan Gulata terbelalak ketika melihat bagian dada yang tersentuh tangan nenek berompi coklat. Pakaian itu kontan hangus terbakar, bertanda empat jari. Dan yang lebih mengerikan, kulit yang berada di baliknya ikut hangus terbakar.
Kulit dada Ki Tariga mula-mula berwarna merah bertanda empat jari tangan. Kemudian, tanda itu berubah warna menjadi hitam seperti hangus, disertai kepulan asap dan suara mendesis seperti besi panas direndam dalam air es.
Kejadian yang mengerikan itu ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Noda berwarna hitam itu menyebar cepat ke seluruh bagian tubuh Ki Tariga. Lalu, kulit tubuh itu mulai mencair. Ki Tariga melolong-lolong kesakitan dijemput ajal.
"Hi hi hik...!" Nenek berompi coklat itu tertawa bergelak-gelak melihat kejadian di hadapannya. Tarikan wajahnya yang tidak terlihat oleh Arya, tampak menyiratkan kegembiraan yang amat sangat. Jerit kesakitan itu, bagi nenek berompi coklat tak ubahnya nyanyian bidadari.
"Sekarang giliranmu," kata nenek berompi coklat itu sambil menoleh ke arah Wagul. Tak dipedulikannya lagi Ki Tariga yang tengah melolong-lolong sambil menggeliat-geliat ke sana kemari menerima siksaan.
Nenek berompi coklat itu mulai menjulurkan tangannya ke arah Wagul. Melihat hal ini, guru silat Desa Watu itu kontan pucat wajahnya. Raut kengerian tampak jelas pada wajahnya. Kejadian yang dialami Ki Tariga itulah yang menimbulkan kengerian di hatinya. Tapi sebelum tangan nenek berompi coklat itu menyentuhnya.
"Manusia biadab! Hentikan...!"
Brakkk! Terali besi yang memisahkan ruangan penyiksaan dengan Dewa Arak hancur berantakan, ketika pendekar muda yang menggemparkan itu menghajarnya.
Nenek berompi coklat itu terkejut bukan kepalang mendengar teriakan Arya. Apalagi ketika juga mendengar terali besi kurungannya hancur berantakan. Cepat laksana kilat, tubuhnya berbalik.
"Siapa kau?!" bentak nenek berompi coklat itu keras bernada kemarahan.
"Namaku Arya! Dan kedatanganku untuk menghentikan semua kekejianmu!" lantang dan mantap sambutan Dewa Arak. Bahkan terkesan adanya kemarahan dalam ucapannya.
"Keparat! Kau hanya mencari mati saja! Mampuslah kau! Hih!"
Nenek berompi coklat yang ternyata berwajah persegi, melancarkan serangan. Jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya, diluruskan. Sedangkan jari-jari lainnya ditekuk. Dan dengan keadaan jari-jari tangan seperti itu, dilancarkannya tusukan-tusukan bertubi-tubi ke arah dada Arya.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah terhadap serangan nenek bertubuh kurus kering itu. Apalagi ketika sekujur tangan lawannya tampak merah membara seperti besi terbakar. Dari ucapannya bisa diketahuinya kalau lawannya ini telah menggunakan ilmu 'Jari Darah Beracun'.
Dewa Arak segera melompat jauh ke belakang. Disadari kalau serangan lawan mengandung racun yang mematikan. Asap yang keluar dari tangan nenek bertubuh kurus kering dan sempat tercium hidungnya, membuat kepalanya pusing.
Itulah sebabnya, sambil melompat ke belakang dan dalam keadaan berada di udara, Dewa Arak mengambil guci araknya. Lalu, isinya dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk.... Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak.
Jliggg!
Bertepatan dengan kedua kaki Dewa Arak menginjak tanah, tubuhnya pun langsung oleng. Jelas, pemuda berpakaian ungu ini telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Nenek bertubuh kurus kering yang tengah dilanda kemarahan hebat itu sama sekali tidak memberi kesempatan bagi Dewa Arak. Begitu serangannya berhasil dielakkan, serangan lanjutannya segera dikirimkan.
Tapi, kali ini Dewa Arak telah menggunakan ilmu andalannya. Dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', asap beracun dari ilmu 'Jari Darah Beracun' seperti kehilangan keampuhannya. Bahkan enak saja Dewa Arak menghisap asap beracun itu tanpa terkena pengaruh sedikit pun.
Nenek bertubuh kurus kering menggerutkan gigi karena geram ketika melihat asap beracunnya sama sekali tidak menimbulkan pengaruh sedikit pun pada lawan. Dan sebagai akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkannya semakin menjadi-jadi. Jari-jari kedua tangannya meluncur ke sana kemari mencari sasaran di sekujur tubuh Dewa Arak.
Dapat dibayangkan, betapa geramnya hati nenek bertubuh kurus kering ketika melihat semua serangannya berhasil dikandaskan Dewa Arak. Padahal, lawannya seperti orang mabuk dalam mengelakkan setiap serangannya. Gerakan-gerakannya Dewa Arak hampir-hampir tidak masuk akal.
Terkadang seperti orang akan jatuh, dan tak jarang malah seperti menyambut tibanya serangan. Tapi anehnya dengan gerakan-gerakan seperti itu, serangan-serangan yang dilancarkan nenek itu malah tidak mengenai sasaran.
Tak terasa, tiga puluh lima jurus telah berlalu. Dan selama itu Dewa Arak tidak berani membenturkan tangannya dengan tangan lawannya. Jadi, dia hanya mengelak dengan menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Sesekali, dilancarkannya serangan dengan jurus 'Belalang Mabuk'nya. Tapi itu langsung dibatalkan ketika lawan tampak akan menangkisnya. Tidak heran bila dalam pandangan Wagul dan Gulata, Dewa Arak tampak terdesak.
Kedua orang warga Desa Watu itu sama sekali tidak tahu kalau Dewa Arak sama sekali tidak terdesak. Sebaliknya, pemuda berambut putih keperakan itu sebenarnya tengah menunggu saat yang tepat untuk merobohkan lawan.
Nenek bertubuh kurus kering itu semakin bertambah geram ketika melihat Dewa Arak berkali-kali malah menenggak araknya. Padahal, pertarungan tengah berlangsung sengit. Hal yang dilakukan Dewa Arak dianggap memandang rendah dirinya. Sama sekali tidak diketahuinya kalau hal itu wajar-wajar saja dilakukan Dewa Arak.
Menginjak jurus kedelapan puluh tiga, Dewa Arak memberanikan diri untuk menangkis langsung serangan lawan.
Prattt!
Seketika itu pula, tubuh nenek bertubuh kurus kering terhuyung-huyung empat langkah ke belakang. Sedangkan Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah.
Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Dewa Arak dan nenek bertubuh kurus kering menyempatkan diri melihat ke satu sasaran, tangan Arya. Ternyata tangan Dewa Arak yang berbenturan langsung tadi sama sekali tidak apa-apa! Hanya baju di bagian pergelangannya saja yang hancur berkeping-keping.
"Hhh...! Dewa Arak menghela napas lega melihat keadaan tangannya.
Sedangkan nenek bertubuh kurus kering malah terkejut bercampur geram. Sama sekali tidak pernah dibayangkan kalau ilmu 'Jari Darah Beracun'nya tidak menimbulkan akibat seperti yang diharapkannya. Ataukah ilmu itu telah kehilangan kegunaannya? Ataukah..., lawan yang dihadapinya bukan manusia?
Nenek bertubuh kurus kering sama sekali tidak tahu, Dewa Arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', jelas akan jadi kebal terhadap segala macam racun.
Setelah yakin tidak terjadi sesuatu atas dirinya, Dewa Arak meluruk menerjang nenek bertubuh kurus kering kembali, maka pertarungan sengit pun kembali terjadi. Kali ini, pertarungan yang terjadi berlangsung lebih sengit karena Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi melancarkan serangan balasan dan memapak serangan.
Nenek bertubuh kurus kering mengeluh dalam hati. Kini setelah Dewa Arak melancarkan serangan balasan, baru terasa akibatnya. Setiap serangan-serangan Dewa Arak mengandung tekanan-tekanan berat. Hingga tak sampai dua puluh lima jurus, nenek itu sudah terdesak hebat.
"Hiaaat...!"
Di jurus keseratus tiga puluh, Dewa Arak melakukan sapuan kaki kanan ke arah nenek bertubuh kering. Tapi, serangannya berhasil dielakkan nenek itu dengan melompat ke atas. Tapi sungguh di luar dugaan, mendadak Dewa Arak mengayunkan gucinya. Dan....
Bukkk!
"Akh!" Nenek bertubuh kurus kering memekik tertahan ketika guci Dewa Arak menghantam pinggangnya. Beruntung, tenaga dalamnya sempat dikerahkan untuk bertahan. Sehingga, akibatnya tidak terlalu parah. Hanya rasa sakit saja yang mendera, disertai luncuran tubuhnya yang terpental ke belakang.
Brukkk!
Nenek bertubuh kurus kering itu tidak sempat memperbaiki kedudukannya. Tubuhnya langsung terbanting keras di tanah.
Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada lawannya. Cepat laksana kilat, tubuh yang tergolek di tanah diburunya. Pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan tendangan terbang ke arah dada nenek bertubuh kurus kering. Dan....
Bukkk!
"Huakh...!" Nenek bertubuh kurus kering kontan memuntahkan darah segar dari mulutnya, seiring terdengarnya suara berderak keras tulang yang patah begitu tendangan Dewa Arak mengenai sasaran. Sesaat tubuh nenek berompi coklat ini menggelepar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Dewa Arak memperhatikan wajah lawannya sejenak, lalu perhatiannya beralih ke arah Wagul dan Gulata. Kontan wajahnya memucat ketika melihat kedua orang warga Desa Watu itu terkulai dalam belenggunya. Keadaan mereka menimbulkan kekhawatiran di hati Dewa Arak.
Semula Dewa Arak kebingungan. Tapi sesaat kemudian, telah diketahui hal yang menjadi menyebab Wagul dan Gulata terkulai. Pasti asap yang keluar dari penggunaan ilmu 'Jari Darah Beracun' yang menjadi penyebabnya.
Dugaan itu membuat Dewa Arak melesat menghampiri tubuh dua warga Dewa Watu itu. Hanya sekali hentak, rantai-rantai baja yang membelenggu tubuh mereka telah berhasil diputuskan. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh-tubuh itu dibawa keluar.
Sesampainya di luar, tubuh Wagul dan Gulata segera diperiksa. Tercekat hati Dewa Arak ketika ternyata Wagul telah tewas. Ajaibnya, Gulata malah belum tewas. Dengan segala macam cara, nyawa Gulata berusaha diselamatkan.
"Uuuhhh...!" Keluhan perlahan dari Gulata membuat Arya menghentikan usaha pertolongannya.
"Ahhh...! Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Gulata ketika telah sadar sepenuhnya. Dia tahu, tentang Dewa Arak memang dari Wagul.
"Lupakanlah," sahut Arya buru-buru. "Sekarang yang penting, bebaskan semua teman-temanmu. Dan jangan lupa, temui istrimu. Dia menunggumu di rumah kerabatnya di dalam hutan. Kau tahu?!"
Dengan agak lemah, Gulata menganggukkan kepala. Tapi Arya sama sekali tidak melihatnya. Pemuda berambut putih keperakan itu telah melesat cepat dari situ. Dia bermaksud menyusul Palungga dan Mawar. Apalagi jalan yang ditempuhnya saat ini sudah tidak mempunyai tembusan lagi.
Tapi baru beberapa kali lesatan, di depan sana tampak empat sosok tubuh tengah menuju ke arahnya. Dan semuanya dikenalinya betul. Mereka adalah Mawar, Palungga, Karina, dan Melati!
"Kang Arya...!"
Melati yang juga melihat kedatangan Arya, segera berseru keras sambil berlari cepat mendekati. Kedua tangannya terkembang. Sedangkan Arya juga mengembangkan tangannya, menunggu kedatangan tunangan-nya. Sesaat kemudian, tubuh sepasang pendekar muda itu telah berpelukan erat.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya Arya tanpa melepaskan pelukannya.
"Tidak, Kang. Nyi Kati menempatkan kami dalam sel yang terpisah dengan orang lain. Dia bermaksud menyembelih kami di saat bulan purnama nanti. Kau sudah menjumpainya, Kang?!"
"Maksudmu..., nenek tua bertubuh kurus kering yang menguasai tempat itu?" tanya Dewa Arak menegaskan.
"Benar! Dia adalah tokoh sesat pemimpin gerombolan yang menamakan diri Gerombolan Singa Gurun, yang selama ini kucari-cari. Nenek itu memang tengah menuntut suatu ilmu sesat, untuk menguasai rimba persilatan! Dan untuk menuntut ilmu itu, diperlukan darah manusia agar sempurna. Itulah sebabnya, agar tidak terganggu, dia sengaja menyembunyikan diri di tempat ini. Bahkan merahasiakan pimpinan gerombolannya, yang padahal dia sendiri yang jadi pimpinannya," jelas Melati, yang rupanya telah berhasil mendapat keterangan tentang Gerombolan Singa Gurun.
"Lalu, apa maksudnya ingin menguasai rimba persilatan?" desak Dewa Arak.
"Waktu aku tertangkap, dia mengatakan kalau suaminya tewas di tangan seorang penduduk. Sejak itu, dia dendam pada tokoh golongan putih, dan berusaha memperdalam ilmu-ilmu hitam. Hingga akhirnya, dia berhasil menguasai Gerombolan Singa Gurun, dan mengangkat diri menjadi pemimpin. Karena merasa belum puas dengan ilmunya, maka dia kembali memperdalam ilmu sesat yang lebih dahsyat, dengan tumbal darah penduduk." tutur Melati lagi.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Kini rasa penasarannya cair sudah. Ilmu sesat itu memang dahsyat. Pantas, tubuh Ki Tariga bisa seperti mencair dengan hanya sekali sentuhan Nyi Kati.
Sementara itu, Melati sudah membenamkan wajahnya di dada Dewa Arak yang bidang. Palungga, Karina, dan Mawar tersenyum gembira melihat pertemuan sepasang pendekar muda yang sama-sama sakti itu.
SELESAI
Selanjutnya,