Dewa Arak - Ilmu Halimun
SATU
Angin malam yang dingin menggigit tulang kembali berhembus. Memang, suasana malam saat ini tampaknya tidak menyenangkan. Keadaan langit begitu kelam. Apalagi hanya diterangi bulan sepotong. Bahkan tak ada setitik pun bintang di langit, karena tertutup awan hitam yang menggumpal. Kini, titik-titik air dari langit mulai jatuh ke bumi satu persatu diiringi hembusan angin kencang menggigit tulang. Persada mulai dibasahi hujan gerimis.
Dia berlari melewati rumah-rumah penduduk Desa Sampar. Pakaiannya yang berwarna hitam melindunginya dari pandangan orang. Menilik tindak-tanduk dan juga gerakannya, bisa diperkirakan kalau dia memiliki kepandaian silat juga.
Tubuhnya sama sekali tidak menggigil. Padahal suasana malam itu sangat dingin. Apalagi angin kencang senantiasa berhembus. Hal ini saja sudah membuktikanan kalau sosok tubuh berpakaian hitam itu memiliki tenaga dalam tinggi. Sosok berpakaian hitam itu memiliki bentuk tubuh kekar. Wajahnya tidak jelas, karena dipenuhi coreng moreng dan lumuran tanah berlumpur.
Beberapa kali tubuh laki-laki itu terhuyung-huyung dan hampir jatuh, karena tanah yang dipijaknya licin. Hanya berkat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, dia tidak sampai jatuh di tanah becek. Suara air menyiprat mengiringi langkah kaki laki-laki berpakaian hitam yang terus saja berlari menuju keluar Desa Sampar. Dan tak lama kemudian, tembok batas Desa Sampar pun telah nampak di depan mata nya. Namun....
"Hei...! Siapa itu...?!" tegur salah seorang dari dua penjaga malam yang berada dalam gardu ronda.
Sebenarnya ada empat orang yang mendapat tugas menjaga Desa Sampar setiap malam. Dua orang penduduk, dan dua orang murid Perguruan Kelabang Sakti. Tapi kini dua orang yang terdiri dari satu orang penduduk dan satu lagi murid perguruan itu tengah keliling desa.
Kepala laki-laki berpakaian hitam itu cepat menoleh ke arah bentakan tadi. Lalu, tangannya bergerak mengibas, dan kedua kakinya menjejak tanah. Maka sesaat kemudian tubuhnya meluncur ke arah gardu ronda itu.
Sing, sing...!
Crap, trang...!
Satu dari dua buah pisau yang dilepaskan laki-laki berpakaian hitam itu mendarat di leher salah seorang peronda. Tak pelak lagi, tubuhnya pun terguling roboh tanpa sempat menjerit lagi. Tapi penjaga gardu yang seorang lagi adalah murid Perguruan Kelabang Sakti. Tidak heran kalau dia masih sempat mencabut pedang dan menangkis pisau yang mengarah ke tubuhnya. Tapi, akibat yang diterima benar-benar membuatnya kaget. Tangan yang menggenggam pedang terasa lumpuh, sehingga senjatanya terlepas dari pegangan.
"Hup...!" Laki-laki berpakaian hitam itu sudah mendaratkan kedua kakinya di tanah.
"Hih...!" Walaupun tanpa senjata lagi, murid Perguruan Kelabang Sakti langsung menyerang orang berpakaian serba hitam itu. Segera dikirimkannya tendangan lurus ke arah dada.
Bukkk! Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai sasaran. Seketika, terdengarlah jeritan kesakitan. Tapi bukan laki-laki berpakaian hitam yang menjerit kesakitan. Ternyata, justru murid Perguruan Kelabang Sakti yang berteriak kesakitan, karena kakinya terasa seperti menghajar dinding baja! Rasa sakit yang amat sangat langsung mendera kakinya.
Belum sempat murid Perguruan Kelabang Sakti itu berbuat sesuatu, tangan laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah meluncur cepat ke arah kakinya. Dan...
Tappp...!
Pergelangan kaki murid Perguruan Kelabang Sakti berhasil ditangkap. Langsung kaki itu disentakkannya.
"Ukh...!" Murid Perguruan Kelabang Sakti itu mengeluh tertahan ketika sambungan tulang lututnya terlepas. Memang, betapa kerasnya sentakan lawan tadi. Bahkan tubuhnya ikut tertarik ke depan.
"Hmh...!" Laki-laki berwajah coreng-moreng mendengus. Lalu, tangan kanannya bergerak menyambut tubuh yang terhuyung ke arahnya dengan jari-jari terkembang membentuk cakar. Dan...
Crokkk...!
Ubun-ubun kepala murid Perguruan Kelabang Sakti itu kontan hancur berantakan. Darah bercampur otak pun mengalir keluar dari kepalanya yang pecah. Seiring tubuhnya yang roboh di tanah, nyawanya pun melayang meninggalkan raga. Tanpa mempedulikan mayat kedua orang itu, laki-laki berpakaian hitam ini kembali meneruskan perjalanannya. Dia berlari cepat menuju luar desa.
Samar-samar telinganya mendengar kentongan dari dua orang peronda yang bertugas keliling. Tapi nada kentongannya sama sekali tidak mengisyaratkan apa-apa. Hanya beberapa kali lesatan saja, tubuh laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah berada di luar Desa Sampar.
Hujan yang masih turun rintik-rintik sama sekali tidak menghalangi langkahnya untuk terus berlari. Lelaki bertubuh kekar itu baru memperlambat larinya ketika agak jauh di depan. Di sebelah kanannya nampak berjajar tak teratur gundukan-gundukan tanah. Jelas, itu adalah pemakaman. Dan semakin lama, langkahnya semakin perlahan.
Pada akhirnya, dia berhenti tepat di sebelah tempat pemakaman itu. Sesaat lamanya, laki-laki berwajah coreng-moreng itu berdiri diam. Pandangannya tertuju ke arah makam-makam yang berjajar di hadapannya.
"Hhh...!" Setelah terlebih dahulu menghembuskan napas berat, laki-laki berpakaian hitam itu menghampiri sebatang pohon, lalu mematahkan beberapa batang rantingnya. Kemudian, batang ranting itu digosok-gosoknya!
Sulit dipercaya! Hanya beberapa kali gosok, laki-laki berpakaian hitam itu telah mampu menyalakan api! Padahal ranting kayu itu agak lembab karena siraman hujan. Jelas, tenaga dalam orang itu telah cukup tinggi!
Dengan nyala obor di tangan, laki-laki berwajah coreng-moreng itu memperhatikan satu persatu gundukan makam yang terhampar. Nampaknya memang ada sesuatu yang tengah dicarinya. Beberapa saat lamanya dia memperhatikan tiap-tiap makam, kemudian ditinggalkannya. Begitu seterusnya.
Beberapa kali laki-laki berpakaian hitam itu bertindak demikian. Akhirnya, langkahnya berhenti ketika matanya tertumbuk pada sebuah gundukan tanah merah yang masih baru.
"Akhirnya kutemukan juga...," gumam laki-laki berwajah coreng-moreng itu.
Tampak jelas ada nada kegembiraan dalam gumamannya. Sepasang matanya pun berbinar-binar menampakkan kegembiraan. Dengan gerakan terlihat agak tergesa-gesa, laki-laki berpakaian hitam itu menancapkan obornya di tanah. Kemudian, dipungutnya sebatang ranting sebesar ibu jari kaki, sepanjang sejengkal yang berada di situ. Lalu, ranting itu dipergunakannya untuk menggali makam yang baru saja ditemukannya.
Dengan ranting yang terlihat lemah itu, sedikit demi sedikit dia mulai menggali makam. Tampaknya orang itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untul menggali. Dan hanya dalam waktu sebentar saja, makam itu sudah tergali. Kini, tampaklah sebuah lubang menganga, dengan sebuah peti berwarna hitam kelam di dalamnya.
Laki-laki berwajah coreng-moreng itu kemudian berlutut. Kedua tangannya dijulurkan untuk memegang sisi-sisi kedua peti itu. Sesaat kedua tangannya tampak mengejang dan bergetar keras.
"Hih...!" Sambil menggertakkan gigi, kedua tangannya bergerak mengangkat. Lalu, perlahan-lahan peti mati berwarna hitam itu pun terangkat naik.
Brukkk...!
Laki-laki berpakaian hitam itu meletakkan peti mati di pinggir lubang. Dipandanginya sejenak, sebelum kedua tangannya diulurkan ke arah tutup peti mati. Kini jari-jari kedua tangannya telah mencengkeram sisi-sisi kedua peti mati itu erat-erat. Kemudian, kedua tangannya bergerak membuka.
Krakkk...!
Kontan tutup peti mati itu hancur berantakan. Tampak di dalamnya sesosok tubuh yang terbungkus pakaian putih.
"Akhirnya, kudapatkan juga benda ini...," desisan pelan terdengar dari mulut laki-laki berwajah coreng-moreng itu.
Dan begitu ucapannya selesai, tangannya bergerak cepat membuka kain putih yang membungkus mayat itu. Melihat dari caranya yang terlalu hati-hati, bisa diketahui kalau kain putih itu sangat berarti sekali baginya.
Tak lama kemudian, kain putih itu pun telah berhasil dilepaskan semuanya dari tubuh mayat. Dalam keremangan malam, sepasang mata laki-laki berpakaian hitam ini tampak berkilat-kilat ketika melipat tain putih yang baru saja dilepaskan dari mayat itu.
Dengan terkekeh pelan dan menyeramkan, laki-laki berwajah coreng-moreng itu menutup peti mati kembali. Lalu, dilemparkannya peti itu begitu saja ke dalam lubangnya. Dan tanpa menguruknya lagi, dia melesat kabur dari situ. Seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkannya agar bisa tiba di mulut Desa Sampar, sebelum para peronda yang berkeliling menemukan rekan-rekannya yang tewas di gardu ronda.
Bila mayat para penjaga malam di gardu itu keburu diketahui para peronda sebelum dia kembali ke desa, maka kesulitan akan menghadangnya. Dan laki-laki berpakaian hitam tidak menginginkan hal itu terjadi. Makanya kuburan yang telah dibongkar tidak dibereskan kembali. Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sebentar saja laki-laki berpakaian coreng-moreng itu telah tiba di mulut desa.
Ternyata kekhawatirannya sama sekali tidak beralasan. Mulut desa kelihatan masih tetap sepi. Dan tampaknya, para penjaga malam yang mengelilingi desa belum kembali ke gardu ronda. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki berpakaian hitam itu melesat masuk terus ke dalam desa. Dan berkat ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat tinggi, sebentar saja gardu penjagaan itu telah dilalunya.
Laki-laki berpakaian hitam itu terus saja berlari cepat. Sengaja jalan utama desa tidak dilaluinya. Dia khawatir, akan berpapasan dengan para peronda malam yang tengah berkeliling. Tak lama kemudian, dari kejauhan laki-laki berpakaian serba hitam itu sudah melihat sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Dia terus berlari cepat. Arahnya yang ditempuh adalah bangunan besar yang dikelilingi pagar kayu bulat di hadapannya.
Seiring semakin dekat jaraknya dengan bangunan besar itu, langkah laki-laki berpakaian hitam semakin tampak berhati-hati. Kini, dia berlari cepat sambil mengendap-endap.
"Hup...!" Laki-laki berpakaian hitam itu menggulingkan tubuhnya ke tanah, dan terus bergulingan mendekati pagar kayu di depannya. Baru setelah tubuhnya menyentuh pagar kayu itu, dia berhenti berguling. Kemudian dia bangkit berdiri lalu bergerak cepat mengitarinya. Dan ketika telah berada di bagian pagar kayu bulat yang ditumbuhi pepohonan, kakinya bergerak menotol. Dan....
"Hih...!" Tubuh laki-laki berpakaian hitam itu melayang ke atas melewati pagar kayu. Kemudian, kakinya mendarat ringan tanpa suara di dalam halaman luas itu. Lalu, secepat kedua kakinya mendarat, secepat itu pula berlari menuju ke arah salah satu dari sekian banyak bangunan yang ada di sana.
* * * * * * * *
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan tanda bahaya terdengar bertubi-tubi dari arah mulut desa. Tepatnya, dari dalam gardu penjagaan. Suasana malam yang sepi, membuat suara kuntongan itu terdengar semakin jelas. Menyeruak, merobek kesunyian malam.
Sementara, penduduk Desa Sampar yang tinggal di dekat gardu ronda, dan mendengar suara kentongan, segera menyambutnya dengan pukulan kentongan pula. Maka dalam waktu sebentar saja, suasana malam sudah dirobek oleh suara kentongan bertubi-tubi.
Tak lama kemudian, para penduduk Desa Sampar keluar dari rumah masing-masing. Di tangan mereka semua telah tergenggam berbagai macam senjata.
"Ada apa, Wirja?" tanya seorang dari sekian banyak penduduk pada seorang penduduk yang tinggal dekat gardu ronda.
Laki-laki bertubuh kekar yang dipanggil Wirja menggelengkan kepala. "Aku juga tidak tahu, Kang Boma. Tapi yang jelas, suara kentongan itu berasal dari mulut desa...."
Boma, laki-laki berwajah hitam yang tadi menemui Wirja, mengernyitkan kening. "Kalau begitu mari kita ke sana...!"
"Mari, Kang...!" sambut Wirja cepat.
Boma berlari-lari paling dulu. Maka rombongan penduduk Desa Sampar segera bergerak cepat menuju mulut desa. Semakin dekat dengan tempat yang dituju, semakin banyak jumlah mereka. Karena, di tengah-tengah perjalanan bertemu dan bergabung dengan penduduk lain.
Akibatnya, malam kelam yang semula sunyi mencekam, kini menjadi terang-benderang oleh obor-obor yang tergenggam di tangan para penduduk. Bahkan juga ramai oleh langkah-langkah kaki yang bertubi-tubi menghantam bumi.
Tak lama kemudian, mereka tiba di gardu ronda. Tampak salah seorang penjaga malam tengah memukul-mukul kentongan. Sedangkan satu orang lagi menatap ke sekeliling dengan sinar mata waspada.
"Ada apa, Dirja?" tanya seorang laki-laki setengah baya berpakaian putih pada penjaga malam yang memukul kentongan. Dia sebenarnya adalah Kepala Desa Sampar. Namanya, Ki Dungkul Taji.
"Dua penjaga yang berada di gardu, ditemukan tewas sewaktu kami kembali, Ki," lapor orang yang dipanggil Dirja.
"Ahhh...!" Ki Dungkul Tap terperanjat. "Mengapa bisa begitu?!"
"Kami pun tidak tahu, Ki. Tapi, itulah kenyataannya," sahut Dirja.
Ki Dungkul Taji diam seribu bahasa, dengan pandangan nanar. Kakinya dilangkahkan menuju gardu muda untuk melihat kenyataan laporan Dirja. Langkah laki-laki setengah baya itu diikuti puluhan penduduk lainnya. Mau tidak mau, Dirja ikut melangkah pula.
"Keparat..!" maki Ki Dungkul Taji ketika melihat keadaan mayat para penjaga malam itu.
Karena tak puas hanya melihat dari agak jauh, kepala Desa Sampar ini membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan hati-hati dan seksama, ditelitinya kedua mayat itu.
"Hm...!" gumam Ki Dungkul Taji sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu para penduduk desa dan dua orang penjaga malam hanya bisa memperhatikan semua yang dilakukan Ki Dungkul Taji.
"Jelas kalau orang yang telah melakukan kekejian ini memiliki kepandaian tinggi," gumam Ki Dungkul Taji, pelan.
"Aku pun menduga demikian, Ki," sambut penjaga malam yang menjadi murid Perguruan Kelabang Sakti. "Melihat dari keadaan mayat rekanku, jelas kalau sebelum tewas, dia telah melakukan perlawanan lebih dahulu."
"Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan sepertil itu?" Ki Dungkul Taji balas bertanya.
"Pedangnya yang terlempar jauh dari mayat ini. Dan juga, keadaan kakinya."
"Yahhh...!" sahut Ki Dungkul Taji, setengah mendeesah. "Sambungan tulang lututnya terlepas...." Setelah berkata demikian, Kepala Desa Sampar itu bangkit berdiri. "Urus baik-baik mayat-mayat mereka," ujar Ki Dungkul Taji, tanpa penjelasan, kepada siapa perintah itu ditujukan.
"Hm...!" gumam Ki Dungkul Taji perlahan. "Jelas kalau orang yang telah melakukan kekejian ini memiliki kepandaian sangat tinggi."
Mendengar itu, para penduduk desa hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Memperhatikan semua yang dilakukan Kepala Desa Sampar itu. Kemudian, beberapa orang penduduk memisahkan dari kerumunan, lalu bergerak menghampiri mayat dua orang penjaga malam itu.
"Sudah kau beri tahukan kejadian ini pada gurumu, Permana?" tanya Ki Dungkul Taji pada murid Perguruan Kelabang Sakti yang bertubuh pendek kekar.
"Belum, Ki," sahut murid yang bernama Permana itu.
"Begitu, kulihat mayat-mayat di sini, kami langsung memukul kentongan untuk memberitahukan kejadian ini"
Ki Dungkul Taji mengangguk-anggukkan kepala. Tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya yang putih, tapi hanya berjumlah beberapa gelintir.
"Sebaiknya kita beri tahukan hal ini pada gurumu dulu," usul laki-laki berpakaian putih itu.
Permana menganggukkan kepala. "Kalau begitu, mari kita ke sana."
Setelah berkata demikian, Ki Dungkul Taji segera mengalihkan pandangan ke arah penduduk.
"Kalian semua berpencar. Bikin kelompok-kelompok, dan cari penjahat keji itu. Ingat! Bila bertemu jangan bertindak gegabah, segera beri tahukan kawan-kawan yang lain. Kalian mengerti?!"
"Mengerti, Ki!" sahut puluhan penduduk itu serempak.
"Apa itu tidak terlalu berbahaya, Ki?" selak Permana berbisik. "Ingat, pembunuh keji itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Aku khawatir akan jatuh korban sia-sia di antara penduduk desa...."
Ki Dungkul Taji mengernyitkan kening sebentar.
"Tunggu sebentar...! Dengarkan baik-baik," lanjut laki-laki berpakaian putih itu pada kerumunan penduduknya. "Tiap kelompok, paling sedikit berjumlah tujuh orang. Ingat! Tujuh orang! Kalian, mengerti?!"
"Mengerti, Ki...!" sahut para penduduk serempak.
"Bagus! Kalian boleh bubar...!" perintah Ki Dungkul Taji lagi.
Tanpa menunggu perintah dua kali, kerumunan penduduk Desa Sampar itu pun membubarkan diri untuk melaksanakan perintah Kepala Desa Sampar. Tak lama kemudian, tempat itu pun kembali sepi. Kini yang tinggal di tempat itu hanya Ki Dungkul Taji dan Permana.
"Ki...."
"Hm...!" sahut Kepala Desa Sampar itu, menggumam pelan.
"Aku masih belum mengerti... mengapa kedua orang penjaga malam itu dibunuh...?"
"Aku juga tidak mengerti, Permana," jawab Ki Dungkul Taji. "Tapi yang jelas, mungkin kedatangan orang itu diketahui para peronda...."
"Kira-kira..., apa maksudnya pembunuh itu datang ke desa ini, Ki?" tanya Permana lagi.
Ki Dungkul Taji mengangkat bahu. "Aku sendiri tidak tahu, Permana, Dan itulah yang akan kubicarakan dengan gurumu. Mari kita ke sana!"
Sambil berkata demikian, Kepala Desa Sampar itu berjalan meninggalkan gardu penjagaan. Mau tidak mau, Permana pun mengikutinya. Kini keduanya sudah berlari cepat menuju Perguruan Kelabang Sakti.
Ternyata laki-laki berpakaian putih itu memiliki kepandaian yang lumayan juga. Terbukti, Permana harus bersusah payah untuk mengimbangi. Bahkan kalau saja Ki Dungkul Taji tidak berkali-kali memperlambat lari, mungkin murid Perguruan Kelabang Sakti itu sudah tertinggal jauh.
* * * * * * * *
DUA
"Hhh...!" Helaan napas berat keluar dari mulut seorang laki-laki berwajah keras. Cambang bauk yang lebat dan hitam, tampak menghias wajahnya. Hal ini semakin menambah kegagahannya saja.
"Jadi... peristiwa itu telah menimpa Desa Sampar, Dungkul?" tanya laki-laki berwajah keras itu. Pakaiannya berwarna hitam. Pada bagian dadanya terdapat seekor kelabang yang disulam oleh benang berwarna merah.
"Benar, Rupaksa," jawab Ki Dungkul Taji sambil menganggukkan kepala. "Aku ingin tahu pendapatmu mengenai masalah ini...."
Laki-laki berwajah keras bernama Rupaksa yang menjadi Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu terdiam sejenak. Pertanyaan Ki Dungkul Taji tidak langsung dijawabnya.
"Aku belum bisa memberikan pendapat, Dungkul. Karena, masalah ini masih terlalu gelap. Tapi yang jelas, siapa pun orang itu, akan berurusan denganku, Rupaksa. Dia telah berani mengganggu ketenteraman desa ini. Apalagi, telah berani membunuh muridku!" tegas Ketua Perguruan Kelabang Sakti mantap.
"Ya! Tindakan pengacau itu sama saja sebuah tantangan padamu, Rupaksa. Karena, hampir semua orang tahu kalau Desa Sampar ini berada dalam perlindunganmu!"
Rupaksa mengangguk membenarkan.
"Lalu, sekarang apa yang kau ingin lakukan, Rupaksa?" tanya Ki Dungkul Taji lagi.
"Kita tunggu perkembangan selanjutnya, Dungkul"
"Hanya itu?" Ada nada kekecewaan dalam suara Kepala Desa Sampar itu.
"Tentu saja tidak. Aku akan mengutus beberapa orang murid utama untuk menyelidikinya. Kau tahu sendiri, Dungkul. Masalah ini masih gelap. Aku yakin, masih ada kelanjutan peristiwa ini. Aku yakin itu...."
"Aku juga mempunyai pikiran yang sama, Rupaksa," sambut Ki Dungkul Taji seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi hanya dinding dan langit-langit rumah yang terlihat. Memang, mereka berdua berada dalam sebuah ruangan di salah satu bangunan di Perguruan Kelabang Sakti.
"Kalau begitu... aku permisi dulu, Rupaksa...," pamit Kepala Desa Sampar itu seraya bergerak bangkit dari duduk bersilanya.
"Hei? Mengapa buru-buru, Dungkul? Tidak bisakah kau tinggal lebih lama di sini?"
"Sayang sekali, Rupaksa," keluh Ki Dungkul Taji bernada menyesal. "Aku harus kembali ke desa. Barangkali saja penduduk telah menemukan titik terang tentang pembunuh keji itu."
Rupaksa tidak bisa menahan lagi. Disadarinya kebenaran dalam ucapan tokoh nomor satu di Desa Sampar itu. "Hhh...! Apa boleh buat..."
Ketua Perguruan Kelabang Sakti pun bergerak bangkit dari duduk bersilanya, lalu berjalan keluar ruangan bersama-sama Ki Dungkul Taji.
"Permana...," panggil Rupaksa setibanya di luar. Tampak laki-laki bertubuh kekar itu ada di dekat situ.
"Ya, Guru...!" sahut Permana seraya bergera mendekat dan memberi hormat pada gurunya.
"Panggil Sempana dan Garba. Suruh mereka pergi ke pintu gerbang. Aku dan Ki Dungkul Taji menunggu di sana," perintah Rupaksa dengan suara berwibawa.
"Baik, Guru...!"
Permana pun berlalu untuk memenuhi perintah gurunya Sedangkan Rupaksa dan Ki Dungkul Taji terus melangkah menuju pintu gerbang.
Tak lama kemudian dua tokoh Desa Sampar itu telah hampir mencapai pintu gerbang. Beberapa murid Perguruan Kelabang Sakti segera membuka daun pintu gerbang, setelah terlebih dahulu mengangkat palangnya.
"Garba dan Sempana akan kutugaskan untuk mencari keterangan tentang pengacau itu, Dungkul. Mudah-mudahan saja, mereka bisa menemukan dan sekaligus meringkusnya"
"Mudah-mudahan, Rupaksa," sambut Ki Dungkul Taji, penuh harap.
Baru saja Kepala Desa Sampar itu menghentikan ucapannya, terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka. Ki Dungkul Taji dan Rupaksa pun menolehkan kepala. Tampak Permana bersama dua orang yang berwajah dan bersikap gagah melangkah menghampiri tempat mereka.
"Guru memanggil kami berdua?" tanya salah seorang di antara mereka yang bermata sipit, setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat.
"Benar, Sempana. Kau dan Garba kutugaskan ke desa bersama Ki Dungkul Taji. Ada masalah di sana," kata Rupaksa sambil mengangguk.
"Kalau boleh tahu, apa masalahnya, Guru?" Garba yang bertubuh kekar berotot ikut angkat bicara. Sesuai keadaan tubuhnya, Garba memiliki suara berat dan mantap.
"Akan sangat membuang waktu untuk menceritakannya, Garba. Padahal, Ki Dungkul Taji harus segera kembali ke desa. Nanti saja, beliau yang akan menceritakannya di perjalanan."
Ki Dungkul Taji mengangguk-anggukkan kepala mendukung usul Rupaksa. Sementara Garba dan Sempana pun diam tidak berkata-kata lagi.
"Aku pamit dulu, Rupaksa," kata Ki Dungkul Taji setelah agak lama tidak ada yang membuka pembicaraan lagi. Rupaksa mengangguk, menyambuti.
"Kami pergi dulu, Guru," pamit Sempana.
"Pergilah. Ingat, jangan bertindak gegabah," ujar Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu memberi nasihat.
"Akan kami perhatikan semua nasihat guru...," sambut Garba.
Ki Dungkul Taji, Sempana dan Gaiba pun melesat cepat menuju ke Desa Sampar. Kepala Desa Sampar itu melesat lebih dahulu, baru disusul Garba dan Sempana di belakangnya. Entah karena hendak menguji kelihaian kedua murid ketua Perguruan Kelabang Sakti, atau karena hendak terburu-buru tiba di sana, Ki Dungkul Taji segera mengerahkan seluruh kemampuan lari yang dimilikinya. Memang, dia memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Maka dalam waktu sebentar saja, tubuhnya telah berada belasan tombak di depan.
Garba dan Sempana menggertakkan gigi, dan langsung mengerahkan kemampuan larinya. Sesaat, kemudian, tubuh mereka melesat cepat ke depan, mengejar tubuh Ki Dungkul Taji yang telah melesat lebih dahulu.
Sementara itu, Rupaksa dan beberapa orang murid Perguruan Kelabang Sakti yang masih berdiri di dekat pintu gerbang perguruan memperhatikan hingga tiga sosok tubuh itu lenyap di kejauhan.
"Tutup pintu gerbang...!" perintah Rupaksa sambil membalikkan tubuh. Kemudian, kakinya melangkahi menuju ke dalam.
Murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang bertugas jaga segera menutupkan pintu gerbang kembali. Lalu, mereka kembali ke tempat jaga.
* * * * * * * *
Hari masih pagi. Sang surya belum lama menampakkan diri di ufuk Timur. Kicau burung-burung pun masih terdengar ketika serombongan penduduk Desa Sampar yang dipimpin Ki Dungkul Taji, dan beberapa orang murid Perguruan Kelabang Sakti yang dipimpin Garba dan Sempana, bergerak menuju pemakaman. Mereka mengusung dua peti mati, yang berisikan mayat dua peronda malam yang terbunuh semalam.
Tapi belum juga melangkah masuk ke areal pemakaman, mereka sudah dikejutkan teriakan keras yang disusul berlari-larinya sesosok tubuh kekar yang tengah dilanda ketakutan hebat.
"Hm...! Bukankah itu Suraba. Mengapa dia seperti ketakutan begitu...," kata Ki Dungkul Taji dengan kening berkernyit.
"Ki...! Ki...!"
Orang bertubuh kekar yang bernama Suraba itu berteriak-teriak seraya terus berlari cepat menghampiri rombongan penduduk. Saking terburu-burunya, dia tersandung, Suraba hampir jatuh, untung saja Garba keburu cepat menangkap. Tapi, Suraba langsung melepaskan pegangan Garba.
"Ki...! Ki Dungkul...!" Dengan napas terengah-engah yang menyebabkan ucapannya terputus-putus. Suraba menghampiri Kepala Desa Sampar itu.
"Tenanglah, Suraba," ujar Ki Dungkul Taji penuh wibawa. "Tarik napas dalam-dalam, dan hembuskan. Kalau sudah tenang, ceritakanlah apa yang telah terjadi sehingga sikapmu jadi aneh seperti ini."
Ucapan Ki Dungkul Taji menyadarkan Suraba akan ketidakpantasan sikapnya itu. Pandangannya segera beredar berkeliling. Dan dia pun menjadi semakin malu ketika melihat pandangan mata penuh tanda tanya para penduduk desa.
Buru-buru laki-laki bertubuh kekar itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Beberapa kali hal itu dilakukan, sehingga dia menjadi tenang.
"Sekarang, ceritakanlah," ujar Ki Dungkul Taji ketika melihat Suraba telah tenang.
"Kuburan Nilam, Ki..."
"Kuburan Nilam?!" selak Boma, sebelum Suraba menyelesaikan ucapannya. Langsung disibaknya kerumunan penduduk yang berada di depannya. Semua kepala langsung menoleh ke arah Boma.
"Katakan cepat! Ada apa dengan kuburan adikku. Katakan!" sentak Boma kalap, seraya memegang kedua bahu Suraba dan mengguncang-guncangkannya. Karuan saja perbuatan Boma malah menyulitkan Suraba untuk melanjutkan cerita. Untung saja Ki Dungkul Taji cepat bertindak. Ditepuk-tepuknya bahu Boma untuk memberi ketenangan.
"Tenanglah, Boma...," pelan dan lembut ucapan Kepala Desa Sampar itu.
"Tapi, Ki...," Boma masih mencoba membantah.
Guncangan tangan pada tubuh Suraba memang telah dihentikannya. Tapi, pegangannya tetap belum dilepaskan.
"Tindakanmu itu malah menyulitkan Suraba menceritakannya, Boma." Masih tetap halus ucapan yang keluar dari mulut Ki Dungkul Taji.
Boma terperangah. Disadari ada kebenaran dalam ucapan laki-laki berpakaian putih itu. Ditatapnya wajah Ki Dungkul Taji lekat-lekat. Sementara yang ditatap hanya tersenyum lebar, kemudian menganggukkan kepala. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Boma melepaskan pegangan tangannya pada kedua bahu Suraba. Kemudian dia melangkah mundur kembali ke kerumunan penduduk lain.
"Maafkan aku, Suraba. Aku khawatir," ucap laki-laki berwajah hitam itu pelan sebelum membaurkan diri dengan kerumunan penduduk lain.
"Lupakanlah, Kang. Aku bisa memakluminya...," jawab Suraba bijaksana.
"Sekarang lanjutkan ceritamu, Suraba," selak Ki Dungkul Taji cepat. "Apa yang terjadi terhadap kuburan Nilam?"
Meskipun yang bertanya hanya Ki Dungkul Taji, tapi yang dilanda perasaan ingin tahu bukan hanya dia saja. Semua yang berada di situ juga menanti jawaban Suraba dengan hati berdebar-debar. Tak terkecuali, Garba dan Sempana. Namun di antara mereka semua, hanya Boma yang dilanda perasaan paling tegang. Di samping, ada juga rasa khawatir yang melanda.
"Kuburan Nilam terbongkar, Ki... Dan...!"
"Hah...?!"
Hampir semua mulut ternganga mendengar berita yang disampaikan Suraba. Memang, laki-laki bertubuh kekar itu mempunyai pekerjaan sebagai penggali kubur.
"Oh, Tuhan...!" keluhan tertahan terdengar dari mulut Boma, wajahnya langsung berubah pucat laksana mayat.
"Bagaimana keadaan mayat Nilam, Suraba?" tanya Ki Dungkul Taji beberapa saat kemudian ketika keterkejutan yang melanda telah lenyap.
"Aku tidak tahu, Ki," jawab Suraba sambil mengelengkan kepala. "Begitu kulihat kuburannya terbongkar, aku segera pergi untuk memberitahukanmu."
"Bagaimana kalau kita melihatnya, Ki," usul Sempana sebelum Kepala Desa Sampar itu menyambuti ucapan Suraba.
"Memang seharusnya begitu, Sempana," hanya itu yang diucapkan Ki Dungkul Taji.
"Ayo, Suraba. Antarkan kami ke kuburan Nilam."
Suraba mengangguk. Sebelum membalikkan tubuh untuk memenuhi perintah Ki Dungkul Taji, pandangan matanya tertumbuk pada dua buah peti mati yang digeletakkan di tanah.
"Siapa yang meninggal, Ki?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu.
"Dua orang peronda malam tewas dibunuh semalam," jawab Ki Dungkul Taji dengan suara hambar.
"Ah!" seru Suraba kaget. "Bagaimana itu bisa terjadi, Ki?"
"Akan kuceritakan sambil kita menuju kuburan Nilam," sahut Ki Dungkul Taji singkat.
Suraba tidak bisa mendesak lagi. Tubuhnya berbalik, kemudian melangkah menuju kuburan Nilam. Ki Dungkul Taji dan rombongannya segera melangkah mengikuti. Kepala Desa Sampar itu berjalan di samping Suraba. Sedangkan yang lain berjalan di belakang. Sambil mengayunkan langkah, Ki Dungkul Taji menceritakan kejadian yang menimpa Desa Sampar.
"Jadi, pembunuh itu belum diketemukan, Ki?" tanya Suraba.
Memang, Ki Dungkul Taji menceritakan semua peristiwa sampai kembalinya para penduduk yang mencari-cari pembunuh itu dengan hasil hampa.
"Mungkin pembunuh itu telah kabur jauh meninggalkan desa, Suraba," sahut Ki Dungkul Taji sekadarnya. Memang, itu dimaksudkan untuk menghibur hati karena kegagalan dalam menemukan pembunuh itu.
Suraba tidak menyambutinya. Ki Dungkul Taji pun tidak melanjutkan ucapannya. Sehingga, suasana menjadi hening. Kini yang terdengar hanyalah derap langkah kaki yang menapak tanah becek, karena bekas tersiram hujan semalam.
"Itu kuburan Nilam, Ki," tunjuk Suraba sera menuding ke sebuah makam yang telah porak-poranda. Tidak tampak lagi adanya gundukan tanah seperti layaknya sebuah makam.
Ki Dungkul Taji dan rombongan menatap terbelalak ke arah yang ditunjukkan Suraba. Mereka semua tidak melihat adanya makam. Yang tampak hanyalah sebuah lubang menganga dan gundukan tanah di sisi-sisi atas lubang.
"Biadab...!" jerit kemarahan terdengar dari mulut Boma.
Wajah laki-laki ini merah padam karena amarah yang bergolak. Kedua tangannya pun tampak mengepal kencang. Tapi, kali ini Boma tidak menyeruak ke kerumunan penduduk seperti sebelumnya. Meskipun kemarahan hebat melanda, dan keinginan untuk melihat keadaan lubang makam adiknya sudah melonjak-lonjak, Boma masih dapat menahan diri untuk tidak bertindak lancang mendahului Ki Dungkul Taji.
Ki Dungkul Taji membungkukkan tubuhnya. Ditatapnya lubang yang di dasarnya tampak sebuah peti mati berwarna hitam. Baru kemudian dia bangkit berdiri kembali.
"Angkat peti itu ke atas...!" perintah laki-laki berpakaian putih itu dengan suara parau.
Sebelum para penduduk melaksanakan perintah itu, Garba telah lebih dahulu melangkah maju. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, peti mati itu dikeluarkan dari dalam lubang, dan diletakkannya di atas. Semua pasang mata menatap peti mati yang berisikan mayat Nilam. Dan sekali pandang saja, semua tahu kalau peti mati itu telah dibuka orang. Tutup peti mati yang rusak menjadi saksi bisu.
Ki Dungkul Taji menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian tubuhnya membungkuk dan tangannya terulur untuk menyentuh tutup peti mati itu. Jelas, dia berusaha menenangkan hatinya. Memang, Ki Dungkul Taji agak terguncang melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Untuk apa orang membongkar kuburan dan merusak peti mati itu?
Semua pasang mata menatap ke arah peti mati. Semua jantung berdebar tegang, terutama sekali jantung Boma. Semua benak sama-sama mengajukan pertanyaan. Masih adakah mayat Nilam di dalam peti mati itu?
"Nilam...!" Kali ini Boma tidak bisa menahan diri lagi ketika melihat seraut wajah cantik seorang wanita yang terbujur dalam peti mati itu. Melihat keadaannya, dan kalau saja tidak berada di dalam peti mati itu, mungkin orang akan menyangka kalau gadis cantik itu tengah tertidur!
Seiring teriakannya, Boma menyeruak kerumunan penduduk di depannya. Langsung tubuhnya terbungkuk. Kalau saja Ki Dungkul Taji tidak segera mencegahnya, mungkin laki-laki berwajah hitam itu telah memeluki mayat yang baru kemarin dikubur.
"Nilam...!" Boma menjerit-jerit keras. Sekuat tenaga tangan dan kakinya digerakkan untuk melepaskan diri dari cekalan Ki Dungkul Taji. Tapi, usahanya sia-sia. Cekalan Kepala Desa Sampar itu terlalu kuat baginya.
"Boma, sadarlah...! Nilam tidak apa-apa...," bujuk Ki Dungkul Taji menenangkan hati laki-laki berwajah hitam itu.
Tapi bujukan Ki Dungkul Taji kali ini sia-sia. Rupanya, guncangan yang melanda hati Boma terlalu besar. Dia tetap saja meronta-ronta. Mulutnya pun terus menjerit-jerit, memanggil nama adiknya.
"Nilam...! Nilaaam...!"
Ki Dungkul Taji tahu kalau Boma tidak akan mungkin bisa ditenangkan lagi. Hatinya begitu tergoncang melihat kenyataan di hadapannya. Sehingga pikiran sehatnya menguap entah ke mana. Hanya ada satu cara yang dapat dilakukan untuk menemani Boma yang sedang kalap itu.
Tapi sebelum Ki Dungkul Taji berbuat sesuai Garba telah lebih dahulu bergerak mendekat. Dan sekali tangan laki-laki bertubuh kekar berotot itu bergerak menekan tengkuk, tubuh Boma pun terkulai lemas. Pingsan.
"Terima kasih, Garba," ucap Ki Dungkul Taji seraya meletakkan tubuh Boma yang pingsan di bawah sebatang pohon.
Garba hanya tersenyum menanggapi ucapan terima kasih Kepala Desa Sampar itu.
"Hhh...!" Ki Dungkul Taji menghela napas berat. Perhatiannya dialihkan kembali pada sosok tubuh cantik yang tergolek di peti mati. "Pembongkar kuburan itu ternyata hanya mengambil kain kafan Nilam," keluh laki-laki berpakaian putih itu pelan. Kemudian, ditutupnya kembali peti mati itu. Dahinya berkernyit. Jelas, ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Bisa kau perkirakan, apa maksudnya manusia jahanam itu mencuri kain kafan Nilam, Ki?" tanya Sempana seraya menatap wajah Ki Dungkul Taji lekat-lekat.
Kini semua pasang mata tertuju ke arah Kepala Desa Sampar. Seperti juga Sempana, mereka semua ingin tahu maksud orang mencuri kain kafan Nilam. Keheningan pun menyelimuti tempat itu, karena semua orang ingin mendengar jawaban Ki Dungkul Taji.
* * * * * * * *
TIGA
Ki Dungkul Taji tidak langsung menjawab pertanyaan Garba. Sepasang matanya beredar untuk menatap wajah-wajah di sekelilingnya. "Rasanya bisa kuperkirakan maksud pencuri kain kafan itu, Garba...," jawab Kepala Desa Sampar itu seraya menatap wajah murid utama Perguruan Kelabang Sakti tajam-tajam.
"Apa itu, Ki?" desak Garba yang memang tidak tahu.
"Hhh...!" Ki Dungkul Taji menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Untuk mengatakan secara pasti, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, kain kafan itu pasti digunakan untuk menuntut sebuah ilmu hitam."
"Kira-kira ilmu apa itu, Ki?" selak Wirja yang juga ingin tahu.
"Kau tidak mendengar ucapanku tadi, Wirja?" Ki Dungkul Taji malah balas bertanya. "Bukankah sudah kukatakan, aku tidak tahu ilmu yang dituntut pencuri kain kafan itu. Kau tahu, Wirja. Terlalu banyak macam ilmu di dunia ini. Juga, ada berbagai macam cara pula untuk memperolehnya."
Garba dan Sempana mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan Kelapa Desa Sampar. Mereka berdua tahu kalau ucapan Ki Dungkul Taji mengandung kebenaran.
"Mengenai ilmu yang dituntut pencuri kain kafan Nilam, sama sekali tidak kupikirkan. Dan memang sulit menduganya," lanjut Ki Dungkul Taji.
"Lalu... apa yang kau pikirkan sekarang, Ki?" tanya Garba cepat. Memang, dia menangkap adanya hal lain yang tengah dipikirkan Ki Dungkul Taji. Dan itu bisa diketahuinya dari ucapan yang dikeluarkan laki-laki berpakaian putih itu.
"Kau cerdas juga, Garba," puji Ki Dungkul Taji. "Kau bisa mengetahui kalau aku tengah memikirkan sesuatu. Kau tahu, aku tengah memikirkan hubungan kejadian yang menimpa desa kita ini."
"Aku belum mengerti maksudmu, Ki?" Merah wajah Garba ketika mengungkapkan ketidak-mengertiannya. Baru saja Ki Dungkul Taji memujinya, tapi kini dia menyatakan tidak mengerti maksud pembicaraan itu.
"Aku tengah memikirkan... apakah kejadian di desa kita ini mempunyai hubungan satu sama lain," jelas Ki Dungkul Taji.
"Ah...!" seruan kaget terdengar dari mulut Sempana. Karuan saja hal itu bukan hanya membuat Ki Dungkul Taji dan Garba terkejut. Tapi juga seluruh orang yang berada di situ. Kini semua pasang mata tertuju pada Sempana. Sorot mata mereka mengandung keingintahuan yang mendalam.
"Dugaanmu mungkin benar, Ki! Bukankah kejadian terbunuhnya dua orang penjaga malam dan lenyapnya kain kafan Nilam terjadi pada malam yang sama?" sambut Sempana berapi-api.
"Jadi, maksudmu.... Kedua kejadian itu dilakukan oleh orang yang sama, Sempana?" tanya Ki Dungkul Taji ingin memastikan.
"Benar, Ki!" sahut Sempana.
"Hhh...!" Ki Dungkul Taji menghela napas berat. "Atas dasar apa kau menduga demikian, Sempana. Apakah hanya karena kejadian itu berlangsung pada waktu yang bersamaan?"
"Kira-kira begitu, Ki," lanjut Sempana.
"Hhh...! Dugaanmu membuat dugaan sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi, Sempana."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki?" tanya Sempana kembali mengernyitkan alisnya.
Ki Dungkul Taji menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Dugaan selama ini, pelaku pembunuhan dua orang peronda malam itu adalah bukan orang desa kita, Sempana. Dia pasti berasal dari luar desa. Pembunuhan itu dilakukan dengan terpaksa, karena dia dipergoki hendak berbuat kejahatan oleh para peronda malam."
Kepala Desa Sampar itu menghentikan ucapannya sejenak untuk menarik napas, seraya menatap wajah laki-laki bermata sipit itu penuh selidik.
"Tapi dengan adanya dugaanmu itu, dugaan sebelumnya itu akan lenyap. Dugaanmu, mengisyaratkan kalau pembunuh itu berasal dari desa kita sendiri. Sebuah dugaan yang sama sekali tidak terlintas di benakku sebelumnya," lanjut Ki Dungkul Taji.
"Mengapa begitu, Ki?" tanya Permana tak tahan memendam rasa ingin tahu.
"Begini, Permana," Ki Dungkul Taji mengernyitkan kening sejenak untuk memikirkan kata-kata yang tepat dalam mengawali ceritanya. "Kita misalkan saja dugaan Sempana benar, bahwa pelaku pencurian kain kafan Nilam dan pembunuh terhadap dua orang penjaga malam itu dilakukan oleh orang yang sama."
Ki Dungkul Taji menghentikan ucapannya sejenak. Ditatapnya wajah Permana dan wajah-wajah di sekelilingnya untuk melihat tanggapan mereka.
"Sekarang aku tanya. Perbuatan mana yang dilakukan lebih dahulu oleh orang itu? Dan menurutku, kalau si pelaku lebih dahulu membunuh, baru kemudian mencuri kain kafan, itu tandanya dia berasal dari Desa Sampar. Tapi kalau mencuri kain kafan dulu lalu membunuh, untuk apa capai-capai pergi ke Desa Sampar? Hanya untuk membunuh dua orang penjaga malam? Jadi kesimpulanku, kejadian itu dilakukan oleh satu orang, Dan sudah pasti, pembunuhan itu dilakukan penduduk Desa Sampar," jelas Ki Dungkul Taji.
"Kalau begitu, dugaanku keliru, Ki," desah Sempana pelan.
Ki Dungkul Taji menggelengkan kepala. "Benar atau tidaknya belum bisa kita ketahui sekarang. Tapi yang jelas, dugaanmu telah memberikan satu dugaan baru yang selama ini tidak pernah hinggap di benakku. Terima kasih, Sempana."
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu hanya tersenyum kecil.
"Sekarang, kita harus waspada penuh. Ingat! Sekarang ada kemungkinan pelaku semua kejadian ini adalah orang desa kita sendiri. Memang, rasanya tidak mungkin ada dua kejadian yang terjadi dalam satu malam, dan pelakunya berlainan. Kecuali kalau mereka itu lebih dari satu orang."
Semua kepala terangguk-angguk.
"Mulai malam nanti, penjagaan harus ditingkatkan. Tapi, ingat. Jangan ada yang berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Jumlah kalian paling sedikit tujuh orang dalam tiap kelompok! Mengerti?!"
"Mengerti, Ki....!" sahut rombongan penduduk Desa Sampar serempak.
Setelah yakin semua penduduk telah mengerti, Ki Dungkul Taji segera memerintahkan agar mayat-mayat segera dikubur. Begitu pula mayat Nilam. Tapi, tentu saja setelah dibalut dengan kain kafan lagi. Menjelang matahari berada di atas kepala, iring-iringan penduduk Desa Sampar pun bergerak meninggalkan areal pemakaman itu. Kini yang tinggal hanya Suraba seorang diri karena memang tinggal di sekitar situ.
* * * * * * * *
Kepakan kelelawar memecahkan keheningan malam yang sepi. Kerik jangkrik dan serangga malam lainnya pun terdengar menyemaraki. Dan di saat itulah sesosok tubuh kekar berpakaian hitam bergerak cepat keluar dari salah satu bangunan yang terkurung pagar kayu bulat tinggi. Begitu telah berada dekat pagar di bagian belakang, kakinya bergerak menotol. Sesaat kemudian, tubuhnya telah melayang ke atas, melewati pagar kayu bulat yang tinggi itu. Dan...
"Huppp...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya mendarat di tanah luar pagar. Sebentar laki-laki berpakaian hitam itu berdiri diam di situ. Pandangannya langsung beredar mengawasi sekeliling. Baru ketika diyakini kalau suasana di sekeliling sepi, dia bergerak cepat menuju ke mulut desa.
Bangunan besar yang terkurung pagar kayu bulat tinggi itu letaknya memang jauh dari pemukiman penduduk. Apalagi, dari mulut desa. Tak aneh kalau laki-laki berpakaian hitam harus mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya agar bisa segera tiba di tempat yang dituju.
Tak lama kemudian, rumah-rumah penduduk pun mulai terlihat. Di sini, laki-laki berpakaian hitam itu baru bersikap hati-hati. Dia kini tidak melesat sembarangan seperti sebelumnya. Beberapa kali laki-laki berpakaian hitam itu bergerak menyelinap ke balik semak-semak atau batang pohon. Dan juga terkadang menyelinap rumah-rumah penduduk ketika berpapasan dengan serombongan penduduk yang tengah meronda.
Berkat sikap hati-hatinya, laki-laki berpakaian hitam itu tidak pernah berpapasan dengan rombongan penduduk yang memang telah memperketat penjagaan. Rupanya, dia tidak ingin kejadian di malam kemarin terulang kembali. Memang dengan sikap seperti itu, perjalanan yang ditempuhnya jadi agak lama. Tapi yang jelas, dia berhasil keluar dari mulut desa dengan aman.
Setelah melalui batas tembok desa, laki-laki berpakaian hitam itu kembali, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam waktu sebentar saja, tubuhnya telah mengecil di kejauhan. Ternyata, laki-laki berpakaian hitam itu menuju tempat yang didatangi sebelumnya. Memang, kini dia telah berada di dekat pemakaman. Gerakannya demikian cepat saat menuju ke arah sana. Yang dituju langsung ke arah makam Nilam.
"Hm...!"
Ada suara gumam perlahan keluar dari mulut laki-laki berpakaian hitam itu ketika melihat keadaan makam yang telah kembali rapi seperti sebelumnya. Lalu, perlahan tubuhnya dibungkukkan. Kemudian diambilnya sebatang ranting yang berada di situ. Dan dengan ranting kecil di tangan, kuburan Nilam mulai digalinya.
Walau laki-laki berpakaian hitam itu menggali hanya mempergunakan sebatang ranting, tapi hebatnya tanah yang terbongkar seolah-olah digali dengan cangkul. Bahkan hanya sekejapan saja, gundukan tanah makam Nilam sudah lenyap. Dan tak akan lama lagi, peti matinya pun tampak kembali.
Mendadak laki-laki berpakaian hitam itu menghentikan gerakan ketika pendengarannya yang tajam, menangkap adanya langkah kaki mendekati tempatnya. Hanya dengan bergerak ringan, tubuhnya telah agak jauh dari kuburan Nilam. Dia kini bersembunyi di balik batang pohon besar. Dari situ, diamatinya arah asal suara langkah kaki tadi. Tak lama kemudian, muncul sesosok tubuh kekar lengan obor tergenggam di tangan.
"Ah...!" Terdengar suara keterkejutan dari mulut laki-laki bertubuh kekar yang tak lain Suraba, ketika pandangan matanya tertumbuk pada makam Nilam. "Iblis dari mana yang melakukan hal keji seperti ini lagi...?" desis Suraba dengan suara bergetar.
Diangkatnya obor tinggi-tinggi, kemudian dilayangkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari-cari orang yang telah melakukan kekejian seperti itu. Wajah Suraba kontan pucat ketika melihat sesosok tubuh kekar berpakaian hitam menyeringai seraya melangkah mendekatinya.
"Kkk... kau... kau...! Jadi.... Kau yang melakukannya?" tanya Suraba terputus-putus. Tanpa sadar dia melangkah mundur ke belakang, ketika menyadari ada sorot maut memancar di wajah laki-laki berpakaian hitam itu.
"Ya!" sahut laki-laki berpakaian hitam penuh ejekan. "Kalian tidak menyangka bukan?"
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu terus melangkah mendekat. Karuan saja Suraba yang merasa gentar, terus melangkah mundur.
"Akulah yang membunuh dua orang penjaga malam itu," lanjut laki-laki berpakaian hitam itu pula. "Dan aku juga yang telah mengambil kain kafan Nilam! Dan kini, aku datang untuk mencicipi tubuhnya. Namun, aku butuh dua orang mayat gadis yang masih suci untuk menyempurnakan ilmuku. Dan setelah itu, aku tidak akan memiliki tandingan lagi. Ha ha ha...!"
"Ap... apa yang akan kau lakukan pada diriku...?! tanya Suraba dengan suara bergetar seraya terus me langkah mundur.
"Membunuhmu...," ringan saja jawaban laki laki berpakaian hitam itu. "Dan ini bukan kesalahanku, Suraba. Kau sendiri yang mencari penyakit. Dan aku tidak ingin mati konyol dengan membiarkan kau hidup, sehingga dapat memberitahukan pada orang lain perihal diriku."
"Ng.... Lalu... kain kafan Nilam yang kau curi untuk apa..?" Suraba mencoba mengulur waktu. Barangkali saja ada orang yang akan datang ke tempat ini. Meskipun, sepertinya hal itu tidak mungkin.
"Hmh...!" Laki-laki berpakaian hitam mendengus. "Aku tahu, kau bermaksud mengulur-ulur waktu, Suraba. Tapi, biarlah. Hitung-hitung sebagai balas budi padamu. Pertanyaan ini akan kujawab."
Laki-laki berpakaian hitam itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk meyakinkan hati kalau di sekitar tempat itu tidak ada orang yang akan menguping pembicaraannya.
"Aku tengah mempelajari ilmu 'Halimun', Suraba. Dan kain kafan itu adalah syarat pertamanya. Kain kafan dari seorang yang meninggal di malam jumat kliwon."
"Hanya dengan kain kafan orang yang meninggal di malam itu, bisa kau dapatkan ilmu 'Halimun'?" tanya Suraba untuk terus mengulur waktu.
"Tentu saja tidak, Suraba," sergah laki-laki berpakaian hitam. "Di samping kain kafan, masih ada lagi yang lainnya. Kembang tujuh rupa, kemenyan, air dari tujuh tempat, dan tiga gadis suci yang harus kutiduri dalam keadaan telah menjadi mayat."
"Ng... lalu..."
"Cukup, Suraba!" potong laki-laki berpakaian hitam cepat. "Waktu yang kuberikan untukmu sudah habis! Kini, sudah saatnya bagimu untuk mati!"
Suraba terperangah. Kalau saja suasana malam tidak remang-remang, akan tampak jelas wajah Suraba yang pucat seperti sesosok mayat! Laki-laki berpakaian hitam memasuki tangan kanannya ke balik pakaian. Dan ketika tangan itu dikeluarkan, tampak sinar berkilat-kilat. Di tangan laki-laki berpakaian hitam itu kini tergenggam sebilah pisau! Hal ini membuat Suraba kalap bukan kepalang.
"Ah! Ja... jangan...! Tolooong...!" Tanpa pikir panjang lagi, Suraba segera mambalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu. Dari mulutnya, keluar jeritan-jeritan ketakutan dan teriakan minta pertolongan. Tapi, siapa yang akan mendengarnya? Desa Sampar sangat jauh letaknya dari tempat itu.
"Hmh...!" Laki-laki berpakaian hitam hanya mendengus. Dibiarkan saja Suraba berteriak-teriak minta tolong berlari-lari. Baru ketika jarak Suraba sudah sekitar delapan tombak di depan, tangannya yang menggenggam pisau dikibaskan.
Singgg...! Cappp...!
"Akh...!" Jeritan kematian keluar dari mulut Suraba ketika pisau yang dilepaskan laki-laki berpakaian hitam menghunjam punggungnya hingga tembus ke dada. Seketika itu pula, tubuh Suraba tersungkur. Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Mati!
"Kau sendiri yang mencari penyakit. Jangan salahkan aku, Suraba!"
Tanpa mempedulikan mayat Suraba lagi, laki-laki berpakaian hitam itu kembali menghampiri makam Nilam. Kemudian, dia kembali sibuk menggali tanah makam yang menutupi peti. Laki-laki berpakaian hitam itu mengerahkan seluruh kemampuan untuk menggali tanah. Maka, meskipun yang digunakan hanya sebatang ranting kecil, waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya malah lebih cepat daripada menggali kubur yang menggunakan cangkul! Tak lama kemudian, peti mati Nilam telah berada di atas lubang kembali. Laki-laki berpakaian hitam itu bergegas mengeluarkan mayat Nilam dari dalamnya. Lalu peti mati itu dibiarkan berada tetap di situ.
"Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia persilatan akan berada di tanganku. Dan aku akan bebas berbuat apa saja sekehendak hatiku! Ha ha ha...!"
Setelah puas berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu segera melesat dari situ dengan memondong mayat Nilam. Hanya dalam beberapa langkah saja, tubuhnya telah lenyap ditelan kegelapan malam dan kerimbunan pepohonan.
* * * * * * * *
EMPAT
Baru saja tubuh laki-laki berpakaian hitam itu lenyap dari daerah pemakaman, berkelebat cepat dua sosok bayangan.
"Kau yakin suara minta tolong itu asalnya dari sini Kang Arya?!" tanya salah satu dari sosok bayangan itu.
Dia adalah seorang gadis berpakaian putih, rambutnya panjang tergerai, hingga ke punggung. Wajahnya cantik jelita. Penampilannya semakin tampak cantik, karena dandanan rambut dan pakaian yang kenakannya.
"Aku yakin betul, Melati," sahut sosok bayangan satu lagi.
Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan. Pakaiannya ketat berwana ungu. Rambutnya berwarna putih keperakan. Matanya yang bersinar tajam makin menambah kejantanan dan kematangan sikapnya. Pemuda yang dipanggil Arya itu segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan memang, jika melihat dari ciri- cirinya, jelas dia adalah Dewa Arak. Melihat tindakan yang dilakukan Arya, mau tidak mau Melati mengedarkan pandangan pula.
Memang, mereka telah mendengar jerit ketakutan dan meminta pertolongan ketika lewat di depan area pemakaman tadi. Maka, tanpa ragu-ragu lagi mereka segera bergerak cepat memasuki wilayah pemakaman.
"Kang..!" panggil Melati. "Lihat ini..!"
Sekali melangkah, Arya yang tadi berada agak jauh dari putri angkat Raja Bojong Gading itu, kini telah berada di sebelah Melati. Pandangannya langsung dilayangkan ke arah yang ditunjuk.
"Biadab!" desis Arya menahan geram. "Siapa yang yang telah melakukan perbuatan terkutuk seperti ini?!"
Di hadapan Arya dan Melati, tergolek sebuah peti mati dalam keadaan terbuka. Gundukan tanah yang berceceran di sekitar lubang yang menganga lebar, sudah memberi petunjuk pada Dewa Arak dan Melati tentang kejadian sebenarnya.
"Kang...! Benarkah yang kulihat ini? Mungkinkah ada orang yang telah mencuri mayat? Dan bila benar, untuk apa?" tanya Melati, memberondong. Memang gadis berpakaian putih itu merasa bergidik melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
"Hhh...!" Dewa Arak mendesah pelan, sebelum akhirnya menganggukkan kepala membenarkan. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.
"Rasanya semua yang kau lihat ini tidak salah, Melati. Tampaknya ada orang yang telah mencuri mayat. Dan sepanjang yang pernah kualami, hal ini pasti berkaitan dengan adanya sebuah ilmu yang tengah tuntut seseorang."
Benak Dewa Arak, kemudian menerawang pada pengalaman mengerikan yang pernah dialami waktu menghadapi pasangan tokoh sesat yang memiliki ilmu hitam luar biasa. Dan tokoh-tokoh itu juga menggunakan mayat manusia untuk mendapatkan ilmu yang ditekuni. Kalau saja tidak ada gurunya dan pertolongan Malini, putri sepasang tokoh sesat itu, munkin Dewa Arak sudah tewas (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Penganut Ilmu Hitam).
"Ilmu apa yang dituntut, kok sampai tega-teganya menggunakan mayat, Kang?" tanya Melati lagi, penasaran.
"Sulit menduganya, Melati. Di dunia ini sudah terlampau banyak ilmu. Tapi yang jelas, ilmu yang dituntut dengan menggunakan jalan seperti itu adalah ilmu hitam!" tandas Dewa Arak sambil menggelengkan kepala. Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Mari kita cari orang yang telah menjerit-jerit meminta pertolongan itu. Melati," ajak Arya mengingatkan.
"O, ya. Aku sampai lupa, Kang..!" sahut Melati mulai teringat pada maksud semula.
Kini sepasang pendekar muda itu kembali melangkah sambil mengedarkan pandangan berkeliling untuk mencari-cari orang yang telah menjerit-jerit meminta tolong.
"Itu dia, Melati...!" tunjuk Arya. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah mayat yang tak lain adalah Suraba yang tergolek di tanah berjarak tiga tombak dari mereka.
Melati mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Arya. Sedangkan pemuda berambut putih kearakan itu sudah melangkah menghampiri mayat Suraba yang tertelungkup dengan pisau menghunjam dalam di punggungnya. Perlahan Arya dan Melati membungkukkan tubuh, dan memperhatikan mayat Suraba beberapa saat.
"Hhh...!" Sambil mendesah, Dewa Arak mengulurkan tangan menyentuh punggung mayat Suraba, kemudian membalikkannya.
"Bagaimana, Kang?" tanya Melati.
"Dia sudah tewas...," jawab Arya bernada keluh.
"Hhh...!" Melati ikut menghela napas berat. "Mengapa orang ini berada di sini? Bahkan dalam suasana malam selarut ini, Kang?"
"Mungkin dia orang yang bertugas menjaga kuburan ini, Melati," sahut Arya.
"Kang...." Melati menghentikan ucapannya saat melihat Dewa Arak menempelkan jari telunjuknya di depan mulut, pertanda jangan berisik.
"Aku mendengar adanya langkah-langkah kaki yang bergerak cepat ke sini, Melati," jelas Arya pelan lebih mirip bisikan.
Melati menelengkan kepalanya, mencoba menangkap suara-suara yang didengar kekasihnya. Tapi rupanya jarak pemilik langkah itu masih terlalu jauh dari tempat mereka. Buktinya, putri angkat Raja Bo jong Gading itu tidak menangkap adanya suara seperti yang dimaksud Dewa Arak.
"Aku tidak mendengar apa-apa, Kang?" sahut Melati sambil menggelengkan kepala.
"Jaraknya masih cukup jauh, Melati," kata Arya dengan bibir menyunggingkan senyum. "Sebentar lagi, kau pun akan mendengarnya andaikata mereka menuju kemari"
"Mereka?" Melati mengernyitkan dahi.
"Ya," sambut Arya. "Jumlahnya tidak seorang saja, Melati. Tapi beberapa orang. Bahkan kalau aku tidak salah tangkap, jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang."
Melati pun terdiam, berusaha mendengarkan langkah-langkah yang didengar Arya. Ucapan pemuda berpakaian ungu itu ternyata bukan bualan belaka. Tak lama kemudian. Melati mulai mendengar suara-suara yang dikatakan kekasihnya. Semula hanya samar-samar saja, tapi lama-kelamaan semakin jelas. Ini berarti para pemilik langkah itu tengah menuju kemari.
"Mungkin mereka ini adalah orang yang telah mencuri mayat, Kang?" tanya Melati mengajukan dugaan.
Arya menggelengkan kepala. "Aku yakin bukan, Melati. Pencuri itu tidak mungkin bertindak sedemikian bodoh dengan kembali kemari setelah mendapatkan yang dicari. Lagi pula, jumlah orang yang datang ke sini terlalu banyak. Aku yakin, pencuri mayat itu tidak akan membawa kawan sebanyak ini untuk melaksanakan maksudnya."
Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya gadis berpakaian putih itu.
"Tidak ada yang perlu kita lakukan, Melati. Tunggu saja di sini. Lalu, kita lihat perkembangan selanjutnya."
Semakin lama, suara-suara yang terdengar semakin jelas di telinga Arya dan Melati. Dan akhirnya, tampak oleh sepasang pendekar muda itu serombongan obor yang bergerak ke arah mereka. Memang di tangan masing-masing orang yang datang itu tergenggam sebatang obor. Sehingga suasana di sekitar tempat itu menjadi terang-benderang.
Arya menghitung jumlah mereka dengan pandangan matanya. Tepat seperti dugaannya, jumlah mereka tak kurang dari dua belas orang. Alis Dewa Arak berkerut ketika melihat sebagian besar rombongan mengenakan pakaian serba hitam. Pada dada kiri, tampak bergambar seekor kelabang berwarna merah.
Sekali lihat saja, Arya tahu kalau orang-orang berpakaian hitam itu berasal dari sebuah perguruan. Dan menilik dari gambar yang tertera, rasanya mereka dari Perguruan Kelabang Sakti. Perguruan besar yang ditakuti lawan dan disegani kawan! Tokoh persilatan mana yang tidak pernah mendengar kedigdaya Rupaksa, sang Ketua perguruan itu?
Di mulut Dewa Arak sudah tersungging sebuah senyuman, bersiap-siap untuk menegur. Tapi niatnya langsung diurungkan ketika melihat gelagat tak baik dari laki-laki bermata sipit. Rupanya, dia beranda sebagai pemimpin rombongan. Dia tak lain adalah Sempana!
"Kali ini kau tidak bisa lolos dari sini, Manusia Jahanam!" seru Sempana keras.
Sepasang mata Sempana menatap berganti-gantian ke arah Arya dan Melati. Hanya saja, sewaktu beralih ke Melati pandangan matanya agak berlama-lama. Memang, hampir tidak ada seorang laki-laki pun yang hanya sekilas memandang Melati. Setiap kali sehabis memandang, selalu ingin memandang lagi.
"Sabar dulu, Kisanak! Kau salah terka," sergah Arya mencoba menjelaskan permasalahan sebenarnya.
Tapi Sempana dan rombongan tak mempeduli alasan Dewa Arak. Mereka langsung menyebar, mengurung Arya dan Melati. Sikap mereka semua terlihat penuh ancaman. Sempana yang tepat berada di hadapan Arya dan Melati melangkah menghampiri. Sebuah senyuman mengejek tersungging di bibirnya.
"Aku tahu, kata-kata apa yang akan kau lontarkan, Manusia Keji! Apalagi kalau bukan alasan kuno yang sudah biasa kami dengar. Kau pasti akan mengelak dari tuduhan sebagai pembunuh Suraba dan membongkar kuburan Nilam, bukan? Kalian kira kami semua bodoh, heh?! Mana ada maling mengaku, sekalipun hasil curian ada di tangannya!"
Dewa Arak menghela napas berat. Sementara, Melati hanya diam saja mendengarkan. Dia tidak berusaha turut campur, karena tahu kalau Dewa Arak selalu menemukan jalan keluar yang terbaik dalam setiap permasalahan.
"Kami berkata sebenarnya, Kisanak."
"Baik! Baik! Tapi sekarang, tolong jelaskan padaku. Mengapa kalian berada di sini, di tengah pekuburan pada malam-malam begini?! Apakah hendak menengok keluarga kalian yang telah meninggal?!" Ada nada ejekan dalam ucapan Sempana. Bahkan mulutnya pun menyunggingkan senyuman sinis pada Dewa Arak.
Tapi, Dewa Arak sama sekali tidak meladeni sikap dan ucapan Sempana. Wajah dan sikapnya masih tetap tenang. Tampak jelas kematangan jiwanya. Berbeda dengan Arya yang sama sekali tidak terpengaruh ejekan Sempana, Melati tidak mampu menahan kemarahannya.
"Kang! Buat apa merengek-rengek seperti itu. Dia akan menjadi besar kepala nanti. Dikiranya kau takut padanya. Huh! Lagaknya...!"
"Melati...," panggil Arya bernada teguran.
Tapi amarah Melati yang telah bangkit melihat kekasihnya dihina, tak mungkin bisa dicegah lagi. Hanya saja, tangan atau kakinya tidak bekerja, karena masih tidak mau melancangi Dewa Arak. Tapi, mulutnya tidak tinggal diam. "Hei, Monyet Kurus! Jangan pentang bacot di sini! Jangankan hanya kalian! Biar ditambah sepuluh kali lipat lagi pun kalau kawanku sudah menjatuhkan tangan kejam, kalian sudah tidak punya nyawa lagi!"
Hebat bukan main akibat makian Melati. Seketika itu pula wajah Sempana berubah-ubah. Sebentar pucat, sebentar memerah. Kemarahan yang hebat memang melanda laki-laki bermata sipit itu.
"Hhh...!" Dewa Arak hanya bisa menghela napas berat. Disadarinya kalau pertarungan tidak akan bisa dielakkan lagi. Tapi, dia tidak bisa menyalahkan Melati. Juga, tidak bisa menyalahkan Sempana. Wajar saja kalau Sempana bersikap seperti itu. Namun demikian, tidak juga heran kalau Melati merasa marah melihat kekasihnya direndahkan dan dihina orang!
Dugaan Dewa Arak memang tidak salah. Bagaikan api yang tengah menyala-nyala disiram minyak tanah, kemarahan Sempana semakin bergolak, setelah mendengar makian Melati.
"Walaupun kepandaianku memang tidak bisa di samakan dengan iblis-iblis semacam kalian, tapi bukan berarti aku akan mundur dan membiarkan kalian menyebar kerusuhan. Biar pun harus mati di tangan kalian, aku rela!"
Setelah berkata demikian, dengan nada yang semakin lama semakin meninggi, Sempana melangkah menghampiri Dewa Arak.
"Hiaaat..!" Begitu jarak antara mereka telah berada sekitar tiga tombak, Sempana melompat ke atas. Dan begitu telah berada di udara, tubuhnya berputar sambil mengibaskan kaki kanannya ke arah pelipis Arya.
Wuttt...!
Deru angin keras mengawali tibanya kibasan kaki Sempana. Menilik dari sini saja, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya. Jangankan kepala manusia, pohon yang berhalang besar pun akan tumbang bila terkena kibasan kakinya.
Dewa Arak pun tahu kedahsyatan tendangan itu. Tapi, tentu saja bukan hal yang sulit untuk mengelakkan, sekaligus melumpuhkannya. Maka tubuhnya langsung membungkuk, hingga kibasan itu lewat di atas kepala. Akibatnya, rambut dan sekujur pakaiannya berkibar keras. Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Dewa Arak. Begitu kibasan kaki lawan lewat, tangan kanannya diulurkan. Dan....
Tappp...!
Pergelangan kaki Sempana telah ditangkapnya. Maka karuan saja hal itu membuat murid utama Perguruan Kelabang Sakti itu kaget bukan kepalan! Apalagi ketika belum sempat berbuat sesuatu. Dewa Arak telah memutar-mutarkan tangannya. Tak pelak lagi, tubuh Sempana pun terputar-putar. Dan Dewa Arak terus memutar-mutar tubuh Sempana!
Kejadian yang menimpa Sempana membuat adik-adik seperguruannya, dan juga penduduk Desa Sampar yang ikut rombongan itu jadi terkejut bukan kepalang. Maka tanpa ragu-ragu lagi, tangan mereka semua bergerak ke arah punggung. Sebagian di antaranya menggerakkan tangan ke arah pinggang. Sesaat kemudian...
Srattt...! Srattt..!
Sinar-sinar terang berkeredep ketika mereka semua mencabut senjata masing-masing. Dan dengan senjata di tangan, semuanya bergerak cepat menyerbu Dewa Arak.
"Hiyaaa...!"
"Hiaaat...!"
"Hiyaaat...!"
Suara-suara teriakan keras terdengar saling mengiringi tubuh-tubuh yang meluruk cepat ke arah Dewa Arak dengan senjata di tangan. Tapi, Dewa Arak bersikap tenang, Dewa Arak. Seolah-olah tidak mengetahui adanya hujan berbagai senjata yang mengancam ke arah berbagai bagian tubuhnya. Dia tetap saja memutar-mutar tubuh Sempana. Pemuda berambut putih keperakan itu memang sengaja hendak memberi pelajaran pada Sempana yang memiliki sikap begitu sombong dan jumawa.
Semakin lama putaran tangan Dewa Arak semakin cepat. Dan dengan sendirinya, putaran tubuh Sempana pun semakin cepat pula. Rasa pusing dan mual yang amat sangat kontan mendera murid utama Perguruan Kelabang Sakti itu. Kalau saja Dewa Arak terus memutar-mutarkan tubuhnya, laki-laki berata sipit itu pasti akan muntah-muntah!
Untung Dewa Arak tidak meneruskannya. Cekalan pada kaki Sempana dilepaskannya. Sehingga, tubuh laki-laki bermata sipit itu terlempar dan melayang jauh. Saat itulah hujan senjata rombongan Sempana meluruk tiba. Tapi, tidak tampak adanya tanda-tanda kalau Dewa Arak akan mengelakkan atau menangkis serangan itu. Dan memang, Dewa Arak membiarkan saja. Tapi tentu saja, terlebih dahulu mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi kulit tubuhnya.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti logam-logam keras berbenturan terdengar ketika belasan senjata menghantam berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
"Ah...!" Seruan-seruan kaget terdengar dari mulut rombongan Sempana ketika melihat senjata-senjata mereka sama sekali tidak mampu melukai tubuh Dewa Arak. Jangankan luka, lecet pun tidak! Malah sebaliknya, senjata-senjata mereka terpental balik.
Tidak hanya itu saja! Tangan mereka pun tergetar hebat. Bahkan jari-jari yang menggenggam senjata, terasa sakit bukan kepalang. Seolah-olah, yang hantam bukan tubuh manusia, melainkan batang baja yang amat keras! Beberapa saat lamanya, belasan orang itu terpaku seolah-olah tak percaya akan kejadian yang dialami. Namun mereka kembali menyerang dengan senjata-senjata di tangan.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat. Sudah diduga kalau lawan-lawannya tidak akan mudah begitu saja menyerah. Maka diputuskan untuk memberikan pelajaran yang lebih keras lagi. Dewa Arak segera mengibas-ngibaskan tangannya secara sembarangan. Tapi hebatnya, dari kedua tangan yang mengibas itu keluar angin keras. Akibatnya belasan orang yang bergerak menyerbu berpentalan tak tentu arah ke belakang.
Betapapun murid-murid Perguruan Kelabang Sakti dan penduduk Desa Sampar berusaha keras bertahan tetap saja tidak mampu. Tubuh mereka pun berpentalan tak tentu arah dan jatuh bergulingan di tanah. Senjata-senjata yang digenggam pun terlepas dari pegangan.
"Bagaimana? Masih ingin diteruskan lagi?" tanya Arya tanpa terdengar adanya nada tantangan atau kesombongan di dalamnya.
Belasan orang itu merangkak bangkit. Memang tidak ada satu pun di antara mereka yang terluka. Dewa Arak memang tidak bermaksud melukainya, dan hanya membuat tubuh mereka berpentalan tak tentu arah. Belasan orang itu saling pandang satu sama lain.
"Perlu kalian ketahui, kalau aku mau, bukan hal yang sulit untuk membunuh kalian semua! Tapi untuk apa?! Aku tahu kalian semua salah paham. Dan kalian bukan orang jahat! Itulah sebabnya, aku tidak mau menurunkan tangan kejam kepada kalian!" tegas Arya sambil menatap wajah belasan orang itu satu persatu.
"Baiklah agar kalian lebih percaya lagi, dan tidak memendam curiga padaku..., perhatikan baik-baik...!" Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah batang pohon yang mempunyai ukuran batang tak kurang dari tiga pelukan orang dewasa.
Wusss....
Brakkk...! Pohon itu kontan tumbang memperdengarkan suara bergemuruh, ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak menghantam telak sasarannya.
* * * * * * * *
LIMA
Semua penduduk Desa Sampar dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti hanya bisa saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman. Wajah mereka menampakkan perasaan kaget dan ngeri. Apalagi, jika membayangkan apabila pukulan jarak jauh Dewa Arak diarahkan kepada mereka. Kini, mereka pun sadar kalau pemuda berambut putih keperakan itu adalah seorang yang amat sakti.
Setelah yakin kalau belasan orang itu sama sekali tidak melanjutkan serangan, Dewa Arak berjalan meninggalkan mereka. Yang dituju adalah Sempana yang tadi dilemparkannya. Dewa Arak berjalan menghampiri kerimbunan semak-semak, karena ke situlah tubuh Sempana dilemparkannya tadi. Dewa Arak melemparkan tubuh lawan memang tidak sembarangan saja. Tapi lemparannya diarahkan ke tempat yang tidak membahaya Sempana.
Sebelum Dewa Arak tiba di tempat yang dituju, terdengar suara berkerosakan. Disusul, keluarnya tubuh Sempana. Mau tidak mau pemuda berambut putih keperakan itu pun membatalkan maksudnya semula. Tapi Sempana sama sekali tidak menyerang Dewa Arak, karena sudah tidak sanggup melancarkan serangan lagi. Perutnya terasa mual bukan kepalang. Belum lagi, rasa pusing amat sangat yang menyerang kepalanya. Jangankan menyerang, untuk melangkah saja sudah sulit. Beberapa kali tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh karena rasa pusing yang mendera.
Dua orang murid Perguruan Kelabang Sakti bergegas menghampiri dan menggamit lengan Sempana, kemudian membawanya ke tempat rekan-rekan mereka yang lain.
"Kisanak semua...!" seru Arya. Pandangan Dewa Arak beredar ke arah belasan orang yang berdiri di hadapannya. Teriakannya pun dikerahkan lewat tenaga dalam. "Perlu kalian ketahui semua...! Aku bukan pelaku pembunuhan dan pencurian terhadap mayat seperti yang kalian duga semula. Keberadaanku bersama kawanku ini karena mendengar jeritan orang meminta tolong. Tapi ketika tiba di sini, hanya mayat dan peti mati kosong yang kujumpai! Percayalah! Aku dan kawanku ini akan berusaha menangkap orang yang telah melakukan semua kekejian ini!"
Dewa Arak menghentikan ucapannya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah yang berdiri di hadapannya untuk melihat tanggapan mereka.
"Kalau boleh kami tahu, siapakah namamu, Kisanak?" tanya Permana.
"Namaku Arya. Dan kawanku ini Melati...!" jelas Arya sambil menunjuk ke arah Melati yang sejak tadi berdiri diam saja memperhatikan. Pelan saja ucapan Dewa Arak, tapi akibatnya tidak sesederhana itu. Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut murid-murid Perguruan Kelabang Sakti.
"Arya...?! Apakah nama lengkapmu Arya Buana?" tanya Sempana yang kini sudah berhasil memulihkan keadaannya setelah menarik napas dan menghembuskannya berulang-ulang. Meskipun hanya Sempana yang bertanya, tapi berpasang-pasang mata murid-murid Perguruan Kelabang Sakti langsung menatap ke arah Dewa Arak. Pandangan mata mereka mengandung keingintahuan yang mendalam.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. Helaan napas yang keluar dikarenakan perasaan lega. Dewa Arak tahu bila kepalanya terangguk pasti akan lenyap kecurigaan mereka terhadapnya. Namun hatinya tidak enak karena dirinya kembali dikenal orang. Tapi akhirnya perlahan pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala.
"Jadi... kau..., Dewa Arak yang menggemparkan itu, Kisanak?" desak Sempana lagi. Memang, dia telah mendengar kabar yang menggemparkan kalau di dunia persilatan telah muncul seorang pendekar muda yang sakti, dan berjuluk Dewa Arak.
"Begitulah orang menjulukiku..," sahut Arya pelan. Tidak terdengar adanya kebanggaan atau kesombongan dalam nada suaranya.
"Ah...!" Sempana menjerit kaget, kemudian melangkah tergesagesa menghampiri Dewa Arak. "Kalau begitu, kami telah salah mengenali orang," kata laki-laki bermata sipit itu. "Aku, Sempana, mewakili kawan-kawanku semua meminta maaf atas kecerobohan tadi, Dewa Arak."
"Lupakanlah," desah Arya bijaksana sambil mengulapkan tangannya. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua ini hanya kesalahpahaman belaka."
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Dewa Arak. Ah! Aku saja yang tidak tahu diri! Benar kata kawanmu, Dewa Arak. Jangankan hanya satu, biar ada seribu orang sepertiku, mana mungkin mampu mengalahkanmu?"
"Ah! Kau terlalu merendah, Kakang Sempana. Kepandaianmu pun cukup tinggi. Kalau saja kau tidak terlalu ceroboh, tidak akan semudah itu aku bisa merobohkanmu," sahut Arya merendah. "Sudah lama kudengar nama Perguruan Kelabang Sakti yang terkenal. Sama sekali tidak kuduga kalau kali ini aku mendapat kehormatan besar menjumpai muridnya."
"Kalau begitu kebetulan sekali, Dewa Arak!" sambut Sempana tiba-tiba.
"Mengapa, Kang Sempana?" tanya Arya heran. "Guruku sudah lama sekali ingin bertemu denganmu untuk berbincang-bincang. Sudikah kau ikut bersamaku menemui beliau?"
"Sungguh sebuah tawaran yang menarik!" jawab Arya penuh semangat.
"Sudah lama aku mendengar nama besar Ki Rupaksa. Dan sudah lama pula aku ingin menjumpainya. Mana mungkin aku akan menolak tawaranmu, Kang Sempana," jawab Arya disertai anggukan kepala.
"Kalau begitu... mari kita ke perguruanku, Dewa Arak...!" ajak Sempana penuh semangat.
Sudah terbayang di benak laki-laki bermata sipit ini, betapa gurunya akan gembira bukan kepalang mendapat tamu yang tidak disangka-sangka. Dan dia sebagai orang yang telah menemukan tamu itu, pasti akan menerima pujian dari gurunya. Dewa Arak mengernyitkan keningnya.
"Apakah tidak lebih baik kalau kita mengurus mayat dan kuburan ini dulu?" usul pemuda berambut putih keperakan itu sambil menatap wajah Sempana lekat-lekat.
"Oh, ya..! Tentu saja...!" jawab Sempana agak tergagap.
Memang, dalam cekaman rasa gembiranya, dia sampai melupakan mayat Suraba dan kuburan Nilam yang terbongkar. Maka, Sempana segera menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah rombongannya. Kemudian tangan kirinya bergerak mengulap ke depan. Meskipun laki-laki bermata sipit itu tidak mengatakannya, tapi semua anggota rombongan tahu maksudnya. Mereka segera melangkah maju. Sebagian di antara mereka menghampiri mayat Suraba, sedangkan yang sebagian lagi menghampiri peti mati Nilam.
"Kang Sempana..!" Seruan kaget Permana, membuat Sempana terperanjat dan menolehkan kepala ke arah adik seperguruannya.
Tak puas hanya dengan itu, Sempana melangkah menghampiri Permana. "Ada apa, Permana?"
"Kau lihat Kang."
Permana sama sekali tidak menjawab pertanyaan kakak seperguruannya. Bahkan menyuruhnya melihat ke arah peti mati Nilam. Dengan hati penasaran dan benak dipenuhi tanda tanya, Sempana melangkah menghampiri peti mati Nilam. Dan....
"Hah...?!" Hampir sepasang mata Sempana terlompat ketika melihat peti mati Nilam telah kosong!
Bukan hanya laki-laki bermata sipit itu saja yang terkejut. Penduduk dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang ingin tahu dan ikut melongok ke dalam peti mati itu pun terperanjat bukan kepalang.
"Ada apa. Kang Sempana?" tanya Arya sambil melangkah menghampiri.
"Mayat Nilam hilang, Dewa Arak...!"
"Memang sejak aku datang tadi, peti mati telah kosong, Kang Sempana...!"
Sempana mengusapkan tangan ke wajahnya. "Kasihan kau. Nilam. Manusia jahanam itu rupanya tidak ingin membiarkanmu tenang di alam kubur.... Tidak henti-henti kau diganggunya...."
"Jadi... peristiwa diganggunya mayat Nilam bukan yang pertama kali?" tanya Arya yang mulai mengerti persoalan sebenarnya.
Sementara Melati tetap diam saja. Rupanya, gadis berpakaian putih itu ingin bertindak sebagai pendengar saja. Sempana menggelengkan kepala.
"Bagaimana, Kang?" tanya Permana meminta pendapat kakak seperguruannya.
"Masukkan saja peti mati itu ke tempatnya. Nanti, baru kita cari mayat Nilam," terdengar lesu kata-kata yang keluar dari mulut Sempana.
Permana tidak bertanya lagi. Bersama-sama yang lainnya, segera dikerjakannya perintah kakak seperguruannya. Sementara sekelompok lainnya menguburkan mayat Suraba tanpa menggunakan peti lagi.
"Bisa kau ceritakan padaku, apa yang tengah menimpa desa ini. Kang Sempana?" pinta Arya.
Sempana menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab pertanyaan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan Dewa Arak hanya diam menunggu ucapan yang keluar dari mulut laki-laki bermata sipit itu. Ternyata bukan hanya dia saja yang menunggu, tapi juga Melati.
"Kami juga tidak tahu, Dewa Arak. Siapa pelakunya dan apa yang diinginkannya, semua masih gelap!" kata Sempana memulai. Kemudian dicerita semua kejadian di Desa Sampar.
"Setelah menunggu, tidak juga terlihat ada tanda-tanda pembunuh itu muncul, aku mengajak rombonganku pergi ke kuburan ini. Barangkali saja, penculik mayat itu datang lagi. Ternyata, dugaanku tidak keliru. Hanya saja aku datang terlambat. Sehingga, hanya dapat bertemu denganmu," tutur Sempana menutup ceritanya.
Dewa Arak dan Melati mengernyitkan keningnya begitu Sempana menghentikan ceritanya. Jelas kalau sepasang pendekar muda itu tengah berpikir keras.
"Mari kita temui guruku dulu, Dewa Arak. Barangkali saja beliau bisa memberikan keterangan yang lebih lengkap dariku."
Dewa Arak hanya menganggukkan kepala. Memang, para penduduk dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti telah menyelesaikan pekerjaannya. Tak lama kemudian, rombongan Sempana kembali menuju ke Desa Sampar. Kini di dalam rombongan itu ada Dewa Arak dan Melati.
* * * * * * * *
"Paman...! Paman Suraba...! Kenapa kau tinggalkan aku, Paman...?!" seru seorang pemuda bertubuh tinggi kurus, berpakaian lusuh sambil duduk bersimpuh di dekat gundukan tanah yang berisikan mayat Suraba. Suaranya terdengar pilu, mengandung kesedihan mendalam.
Ternyata pemuda tinggi kurus itu tidak hanya seorang diri saja di situ. Di belakangnya, berdiri puluhan orang. Di antara mereka terdapat pula belasan murid Perguruan Kelabang Sakti. Bahkan di antara mereka terdapat Rupaksa, Garba, Dewa Arak, Melati, Sempana, serta seorang kakek berpakaian putih longgar. Kumis dan jenggotnya telah memutih. Dialah penjaga ruang pustaka Perguruan Kelabang Sakti Eyang Baranang Siang namanya.
Eyang Baranang Siang melangkah maju. Tangannya diulurkan dan ditepuk-tepuknya bahu laki laki tinggi kurus itu. "Sudahlah, Giwali. Yang sudah tiada, lupakanlah. Sekalipun kau mengeluarkan tangis darah, pamanmu tidak akan bangkit dari lubang kuburnya," hibur Eyang Baranang Siang, lembut.
Rupanya ucapan kakek berpakaian putih longgat itu termakan juga oleh laki-laki tinggi kurus yang ternyata bernama Giwali. Kini keluhannya berhenti, lalu bangkit berdiri.
"Akan kucari pembunuh laknat itu!" desis Giwali penuh dendam. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam. "Aku akan membuat perhitungan dengannya!" Usai berkata demikian, Giwali mengepalkan kedua tangannya. Terdengar suara bergemeretak keras ketika jari-jari tangannya mengepal.
"Apa yang kau andalkan untuk menghadapi pembunuh itu, Giwali?" tanya Eyang Baranang Siang bernada teguran.
Sementara, ekor matanya melirik ke arah Rupaksa. Sedangkan Dewa Arak merasa heran melihat wajah Rupaksa memerah begitu dilirik Eyang Baranang Siang.
"Tentu saja ilmu yang diwariskan guru padaku!"
"Hmh...!" Eyang Baranang Siang menggumam. "Jangankan hanya kau yang menerima sebagian kecil dari ilmu Rupaksa. Garba dan Sempana yang telah mewarisi ilmu banyak saja tidak mampu membekuk pembunuh itu, Giwali! Camkan itu!"
Semakin memerah wajah Rupaksa mendengar ucapan Eyang Baranang Siang. "Kuakui, Giwali memang kurang kuperhatikan, Eyang. Tapi, jangan kira aku tidak tahu kalau kau secara diam-diam menurunkan ilmu yang kau miliki padanya."
"Itu kulakukan karena kau menelantarkannya, Rupaksa! Padahal, dia seangkatan dengan Garba dan Sempana. Tapi, kenapa hanya kedua orang itu saja yang dididik dan digembleng?!" sergah Eyang Baranang Siang berapi-api. "Aku tahu, kenapa kau bersikap seperti itu! Karena, bibi Giwali dulu telah menolak lamaranmu!"
"Kurasa, tidak baik mengungkit-ungkit masalah lama. Eyang. Saat ini, kita berhadapan dengan pengacau yang tidak kita ketahui orangnya. Ada baiknya urusan sepele itu tidak dibicarakan lagi!" kata Rupaksa dengan wajah memerah dan suara halus.
Eyang Baranang Siang terdiam karena menyadari ada kebenaran dalam ucapan Rupaksa. Sementara, Dewa Arak hanya diam saja dan tidak bermaksud mencampuri pembicaraan tokoh-tokoh utama Perguruan Kelabang Sakti. Bahkan malah merasa tidak enak hati, karena sebagai orang luar mendengarkan pembicaraan urusan dalam perguruan.
"Kebetulan di sini ada tokoh persilatan yang sudah terkenal dan menggemparkan dunia persilatan Eyang," sambut Rupaksa lagi seraya mengerling ke arah Dewa Arak.
"Hm...!" Eyang Baranang Siang hanya bergumam tidak jelas.
"Dia adalah Dewa Arak!" lanjut Rupaksa. "Dengan adanya Dewa Arak, aku yakin pembunuh sekaligus pencuri mayat itu akan berhasil kita tumpas!"
"Hm...!" Lagi-lagi Eyang Baranang Siang hanya menggumam. Tapi, sepasang matanya menatap Dewa Arak penuh selidik. Rupanya, kakek berpakaian putih ilu tengah menilai kemampuan pemuda berambut pulih keperakan itu dengan pandangan matanya. Cukup lama juga Eyang Baranang Siang memperhatikan sekujur tubuh Dewa Arak, sebelum akhirnya melangkah meninggalkan tempat itu. Giwali menatap sekali lagi kuburan pamannya sebelum akhirnya melangkah menyusul tubuh Eyang Baranang Siang.
"Hhh...!" Ki Dungkul Taji menghela napas berat. Ditatapnya sejenak wajah Rupaksa dan Dewa Arak. Kepalanya dianggukkan sedikit, baru kemudian melangkah meninggalkan tempat itu.
Melihat kepala desanya telah berlalu, para penduduk Desa Sampar pun satu persatu berjalan meninggalkan tempat itu. Dan kini, yang tinggal hanya Dewa Arak, Melati, Rupaksa, dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti.
"Kalian semua kembali ke perguruan...," perintah Kupaksa pada murid-muridnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Sempana, Garba, dan murid-murid lainnya melangkah meninggalkan tempat itu. Kini hanya Rupaksa, Dewa Arak, dan Melati saja yang tertinggal di situ. Rupaksa memandangi hingga tubuh-tubuh murid-muridnya lenyap dari pandangan mata.
"Ada yang ingin kau bicarakan denganku, Ki?" tanya Arya ketika Rupaksa mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Benar, Arya," jawab laki-laki berwajah keras itu sambil menganggukkan kepala.
Dia memanggil pemuda berambut putih keperakan itu dengan nama saja, karena permintaan Dewa Arak sebelumnya. Memang, pemuda berpakaian ungu itu merasa risih, dipanggil julukannya oleh seorang tokoh seperti Rupaksa.
"Katakanlah, Ki. Aku bersedia mendengarnya."
Rupaksa tidak langsung mengutarakan hal yang ingin dibicarakannya. Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya kuat-kuat. Sepertinya, masalah yang akan diutarakan amat berat untuk dikeluarkan.
"Ini adalah masalah dalam perguruan. Dan tidak ada seorang pun murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang mengetahuinya. Kau bersedia merahasiakan hal ini, Arya?"
Sambil berkata demikian, Rupaksa menatap wajah Dewa Arak tajam-tajam. Seolah-olah, dia ingin menilai keteguhan hati Dewa Arak dalam menjaga rahasia dengan pandangan matanya.
"Kalau kau merasa ragu... lebih baik tidak usah kau beri tahukan padaku, Ki," kalem dan tenang Arya memberikan tanggapan.
"Aku percaya padamu, Arya," kata Rupaksa buru-buru.
"Apakah ini ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Desa Sampar ini, Ki?"
"Kalau tidak, aku tak akan membicarakan masalah ini denganmu, Arya."
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya tersenyum getir, dan tidak berkata-kata lagi. Rupaksa menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau di sekitar tempat itu tidak ada orang yang akan mendengarkan penuturannya.
"Leluhurku dulu bukan orang baik-baik, Arya. Dia adalah seorang tokoh sesat yang selalu berbuat kejahatan. Berbagai macam kejahatan dan kekejian telah dilakukannya. Maaf, aku tidak bisa menyebut julukannya," Rupaksa memulai ceritanya.
Dewa Arak dan Melati sama sekali tidak menampakkan perasaan terkejut mendengar awal cerita Rupaksa. Dari pengalaman, sepasang pendekar muda itu itu, tidak semua tokoh jahat mempunyai keturunan jahat juga. Bahkan pernah juga dijumpai, seorang tokoh sesat sadar dari kesesatannya. Tapi, tentu saja hal itu karena ada satu peristiwa yang dialami.
"Bukan hanya ilmu silat saja yang dimiliki leluhurku itu. Tapi juga ilmu hitam! Berbagai ilmu hitam yang mengerikan dimilikinya. Dan satu di antaranya adalah ilmu 'Halimun'."
Rupaksa menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah sepasang muda-mudi di hadapannya. Laki-laki berwajah gagah itu ingin melihat tanggapan Dewa Arak dan Melati atas ceritanya. Harapan Rupaksa terkabul. Dewa Arak dan Melati mengernyitkan kening begitu mendengar ceritanya.
"Ilmu 'Halimun'?!" celeluk Melati tanpa menyembunyikan keheranannya. "Ilmu apa itu, Ki?"
Rupaksa tersenyum lebar mendengar pertanyaan Melati. Sedikit banyak, hatinya merasa bangga melihat kawan Dewa Arak itu kebingungan.
"Kau bisa mengira-ngira ilmu itu, Arya?" Rupaksa mengalihkan pertanyaan Melati pada Dewa Arak. Ingin diketahuinya, dari tokoh yang menggemparkan itu akan ilmu yang disebutkan tadi.
Namun Dewa Arak tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia terdiam sejenak dengan dahi berkernyit dalam. Jelas, Dewa Arak tengah berpikir keras. "Secara pasti sih, tidak, Ki," kata Arya jujur. "Tapi sedikit banyak aku sudah bisa menduganya."
"Katakanlah, Arya," Rupaksa memberi angin.
Sementara Melati pun diam pula mendengarkan. Dia ingin tahu, apakah kekasihnya benar-benar mengenal ilmu 'Halimun'?
"Kalau menurut perkiraanku... ilmu 'Halimun' adalah sejenis ilmu yang membuat kita mampu menghilang," tebak Arya.
"Tepat!" kata Rupaksa membenarkan.
"Ihhh...!" pekik Melati kaget. "Apakah ilmu seperti itu benar-benar ada, Ki? Kupikir ilmu itu hanya sekadar dongeng saja...."
Rupaksa menggelengkan kepala. "Kau salah, Nisanak. Ilmu seperti itu memang benar-benar ada. Dan leluhurku dulu memilikinya," ada nada kebanggaan dalam ucapan Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu.
"Gila...!" desis Melati, masih dengan kekagetan yang mendera. "Lalu... bagaimana cara mengalahkannya, Ki? Maksudku... apabila lawan benar-benar memilikinya?"
Rupaksa terdiam sejenak. Begitu pula Dewa Arak. Berbeda dengan Melati, pemuda berambut putih keperakan itu memang tidak merasa aneh, apabila benar ilmu 'Halimun' ada yang memilikinya. Karena, gurunya sendiri, Ki Gering Langit, banyak memiliki ilmu gaib yang sukar diterima otaknya.
"Sayang sekali, Nisanak. Aku sendiri belum pernah mendapatkan keberuntungan menemukan lawan yang memiliki ilmu 'Halimun' itu," sahut Rupaksa bernada penyesalan.
"Ah! Tidak mengapa, Ki," kata Melati sambil menyunggingkan senyum manis.
Dan memang, gadis berpakaian putih ini tidak merasa kecewa karena Rupaksa tidak dapat menjawab pertanyaannya. Suasana menjadi hening ketika Melati telah menyelesaikan ucapannya. Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama, karena Rupaksa telah kembali menyambung ceritanya.
"Oleh keturunan-keturunan setelah leluhurku, ilmu 'Halimun' sama sekali tidak dipelajari...."
"Mengapa begitu, Ki? Apakah mereka tidak sayang membiarkan ilmu itu akhirnya musnah?" selak Melati tidak kuat menahan perasaan hatinya.
"Hhh...! Karena ilmu hitam itu, sebuah ilmu keji!" tandas Rupaksa. "Untuk menguasainya harus melakukan banyak pekerjaan terkutuk!"
Melati terperanjat. Diam-diam disesali ucapannya.
"Beberapa syarat yang harus dipenuhi, dan ini pun kudengar dari keturunan-keturunan leluhurku, harus mencuri kain kafan dari orang yang meninggal di malam tertentu."
Melati bergidik. Memang, walaupun dia seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian tinggi, tapi masih takut juga mendengar cerita tentang hantu dan kuburan.
"Di samping itu juga... maaf... menggauli mayat gadis yang masih suci. Ada aturan jumlahnya dan tidak sembarangan saja. Juga syarat yang harus dipenuhi, kemenyan, kembang beberapa macam, dan juga air dari beberapa tempat."
"Mengerikan!" desis Melati dengan bulu tengkuk meremang.
"Itulah sebabnya, mengapa ilmu itu tidak dipelajari, Nisanak. Sampai akhirnya, ilmu itu lenyap!"
"Syukurlah...!" desah Melati lega.
"Kau bilang ilmu itu kini telah lenyap, Ki?" selak Arya dengan dahi berkenyit. Nada suaranya menyiratkan ketidak-percayaan.
Rupaksa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Semula memang begitu, Arya...," pelan dan lemah ucapan Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu.
"Dan sekarang...," potong Arya, sengaja menggantung ucapannya.
"Hhh..." Rupaksa menghela napas berat. "Itulah sebabnya, aku mengajakmu berbicara tanpa ada orang lain yang kuikut-sertakan, kecuali kawanmu itu."
Sambil berkata demikian, Rupaksa menudingkan telunjuknya ke arah Melati. Sementara, Melati kini mulai mengerti, kalau cerita yang dipaparkan Rupaksa mempunyai hubungan dengan peristiwa yang tengah melanda Desa Sampar. Jadi, pengacau itu tengah mempelajari ilmu-ilmu hitam yang kemungkinan besar milik leluhur Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu.
"Mungkinkah kalau penuntut ilmu hitam itu bukan mempelajari berdasarkan warisan leluhurmu, Ki?" tanya Arya mengajukan dugaan.
Rupaksa menggelengkan kepala. "Aku yakin, penuntut ilmu hitam itu mempelajarinya dari warisan leluhurku!" tandas Rupaksa tidak ragu-ragu.
"Mengapa kau begitu yakin, Ki? Padahal, sebagai tokoh tingkat tinggi kurasa kau pun tahu, tidak ada orang yang paling sakti di dunia ini. Di atas langit masih ada langit. Banyak sekali orang-orang persilatan yang mempunyai ilmu beraneka ragam."
"Aku mengerti, Arya," sahut Rupaksa sabar. "Tapi perlu kau ketahui, hanya leluhurku yang memiliki aturan seperti itu untuk mendapatkan ilmu-ilmu hitam. Dan aku tahu betul hal itu dari cerita yang kudengar dari salah seorang keturunan leluhurku yang telah melanglang buana untuk menuntut berbagai ilmu hitam."
"Kalau begitu... ada orang yang telah mencuri ilmu leluhurmu, Ki."
Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu menggelengkan kepala. "Belum pernah ada orang atau tokoh persilatan lain yang masuk ke perguruanku, dan mengacak-acak perpustakaan untuk mencari ilmu hitam peninggalan leluhurku." Mantap dan penuh keyakinan ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berwajah gagah itu.
Wajah Dewa Arak kontan berubah. Maksud ucapan Rupaksa telah menggiringnya ke dalam satu kesimpulan. "Berarti, ada orang dalam perguruanmu yang diam-diam telah melatih ilmu itu," ucap Arya dengan suara kering.
"Yahhh...," Rupaksa menganggukkan kepala seraya menghela napas berat.
"Kau bisa mengira-ngira, siapa orangnya, Ki?" tanya Arya. Dadanya kini berdebar tegang!
Perasaan yang sama pun melanda Melati. Kini dengan dada berdebar tegang, Dewa Arak dan Melati menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Rupaksa.
"Bagaimana dengan kau, Arya? Apakah kau bisa mengira-ngira, siapa pelakunya?" Rupaksa balas bertanya.
* * * * * * * *
ENAM
Dewa Arak tercenung sejenak. Sepasang matanya terpaku pada satu titik. Sedangkan ibu jari dan telunjuknya mengusap-usap ujung hidungnya. Rupaksa agak heran juga melihat kelakuan Dewa Arak. Tapi tidak demikian halnya Melati. Gadis berpakaian putih itu tahu kalau Dewa Arak tengah memutar otak, untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dan memang, bila persoalan yang dihadapi amat sulit, kebiasaan kekasihnya adalah mengusap-usap ujung hidungnya.
"Masalah ini cukup pelik juga, Ki," kata Arya sambil menurunkan tangan dari ujung hidungnya. Ditatapnya wajah Rupaksa tajam-tajam.
Rupaksa tidak menanggapi ucapan Dewa Arak. Dia tahu, pemuda berpakaian ungu itu belum menyelesaikan ucapannya. Maka, dia bersikap diam dan menunggu.
"Tadi kau mengatakan, murid-murid Perguruan Kelabang Sakti pun tidak tahu kalau leluhurmu dulu adalah datuk golongan hitam yang banyak memiliki ilmu hitam. Bukankah begitu?"
"Benar," jawab Rupaksa singkat.
"Berarti, hanya kau seorang yang mengetahui rahasia leluhurmu," lanjut Arya. "Tapi, mengapa ada orang yang melakukan perbuatan yang menurut keyakinanmu menuntut ilmu berdasarkan ilmu warisan leluhurmu? Itulah yang menjadi masalah. Memang aku pun bisa menduga kalau pelaku semua kejahatan itu, tengah menuntut ilmu hitam. Tapi sungguh tidak kusangka kalau milik perguruanmu, Ki."
"Maaf, Arya. Kau salah mengerti ucapanku sebelumnya," kata Rupaksa setelah Dewa Arak menghentikan ucapannya.
"Maaf, Ki," ucap Arya buru-buru. "Tapi... ucapan mu yang mana yang salah kuartikan?"
Rupaksa terdiam sejenak. "Tadi, aku hanya mengatakan kalau murid-murid Perguruan Kelabang Sakti tidak mengetahui leluhurku. Tapi, itu bukan berarti hanya aku seorang yang mengetahui rahasia itu."
"Berarti, ada orang lain yang tahu rahasia leluhurmu. Dan dia bukan murid Perguruan Kelabang Sakti. Bukankah itu berarti dia orang luar, Ki? Padahal, tadi jelas-jelas kudengar kalau kau mengatakan tidak ada orang luar yang mengetahui rahasia leluhurmu. Aku malah jadi bingung, Ki," selak Melati yang merasa tertarik dengan percakapan itu. Makanya, gadis itu langsung ikut campur dalam pembicaraan.
"Aku bisa menduga orang yang kau maksud itu, Ki," kata Arya setelah beberapa saat lamanya tercenung sehabis mendengar bantahan Rupaksa atas kesimpulan yang didapat.
Melati dan Rupaksa menatap Dewa Arak. "Aku tahu, kau akan bisa menduga, Arya," kalem dan tenang sekali ucapan Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu. "Dan aku yakin kalau dugaanmu itu pasti benar. Coba katakan, siapa adanya orang itu, Arya?"
"Eyang Baranang Siang," jawab Arya.
Rupaksa menganggukkan kepala. "Sudah kuduga, kau akan mampu menduganya dengan tepat, Arya."
Dewa Arak hanya tersenyum hambar. "Sebenarnya... apa hubunganmu dengan Eyang Baranang Siang, Ki? Melihat dari sikapnya terhadapmu... rasa-rasanya dia memiliki kedudukan yang tidak berada di bawahmu. Maaf, kalau aku bersikap lancang karena mengajukan pertanyaan ini, Ki"
"Tidak apa, Arya," Rupaksa menggelengkan kepala. "Kau wajib tahu, karena bantuanmu kubutuhkan untuk menyelesaikan kemelut di desa ini. Jangan ragu-ragu untuk menanyakan apa saja yang ingin kau ketahui"
"Terima kasih atas pengertianmu, Ki."
"Eyang Baranang Siang adalah kakak tiriku. Dia anak ayahku, dari ibu yang berlainan."
"Tapi, sepertinya usia kalian berdua terpaut terlalu jauh, Ki."
"Tidak terlalu jauh sebenarnya, Arya. Hanya saja, dia memang terlihat tua sekali. Dialah satu-satunya orang selain diriku yang mengetahui rahasia leluhur kami."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Tapi sepertinya... antara dirimu dengan Eyang Baranang Siang ada semacam permusuhan tersembunyi, Ki?" desak Arya lebih berani karena telah mendapat izin dari Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu sendiri.
"Yahhh...! Dugaanmu sama sekali tidak salah, Arya," jawab Rupaksa setengah mengeluh.
"Mengapa bisa demikian, Ki? Aku yakin, pasti ada sebab-sebabnya. Apakah karena pemuda bernama Giwali itu?"
Rupaksa menggelengkan kepala. "Bukan karena Giwali yang menyebabkan terjadinya perang dingin antara kami, Arya. Memang kuakui, Giwali semakin menambah meruncingnya persoalan. Tapi sebenarnya kami memang sudah saling tidak menyukai sejak belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lalu."
"Ah...!" desah Arya dan Melati kaget.
"Perang dingin itu berlangsung sejak kami kecil, Arya," lanjut Rupaksa tanpa mempedulikan keterkejutan yang melanda Dewa Arak dan Melati. "Sebagai orang yang lebih tua, Kakang Baranang Siang mendapat bimbingan silat dari ayahku lebih dulu daripadaku. Baru beberapa tahun kemudian, aku mendapat giliran."
Laki-laki berwajah gagah itu menghentikan ucapannya sejenak. Sepasang matanya menerawang ke langit, seakan-akan di sana terpampang gambaran masa kecilnya.
"Di sinilah perasaan iri Kakang Baranang Siang timbul. Aku yang dididik belakangan, ternyata cepat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan ayah. Sementara, dia agak lambat. Tak heran setelah di didik selama lima tahun, aku berhasil menyamai tingkatannya. Sehingga, ayah tidak perlu dua kali mendidik. Kalau dulu, beliau harus mengajar Kakang Baranang Siang, baru kemudian mengajarku. Setelah lima tahun kemudian, hal itu tidak perlu dilakukannya lagi. Dia bisa mendidik kami sekaligus, karena aku dan Kakang Baranang Siang telah mencapai tingkatan yang sama."
Rupaksa menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. "Setelah berusia tujuh belas tahun, aku justru berhasil melewati tingkatnya. Hal itu semakin menimbulkan rasa iri di hati Kakang Baranang Siang. Apalagi kemudian, aku pun mendapat ilmu-ilmu andalan. Beberapa kali dia berusaha mencelakaiku secara diam-diam, tapi tidak berhasil."
"Kau tahu kalau dia bermaksud mencelakaimu, Ki?" selak Melati.
Rupaksa mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi, aku berpura-pura tidak tahu agar pertentangan yang terjadi tidak semakin meruncing. Memang, tak kusangka kalau dia masih terus memendam meskipun telah berusia selanjut itu. Dan telah kau lihat sendiri buktinya tadi, bukan? Di depan orang banyak dia memojokkanku. Apa pendapat orang kalau melihat Ketua Perguruan Kelabang Sakti diperlakukan seperti itu oleh penjaga pustaka?!"
Semakin lama, nada suara Rupaksa semakin tinggi. Jelas kalau amarahnya bangkit ketika teringat akan peristiwa yang tadi dialaminya.
"Kalau saja tidak ingat dia itu termasuk saudara, bahkan kakak tiriku, mungkin sudah kulabrak dan kuajak bertarung," sambung Rupaksa lagi, tetap dengan nada tinggi "Untung aku masih bisa menahan diri dan mengalihkan pembicaraan."
"Yahhh...!" desah Arya setengah mengeluh. "Aku juga melihat adanya sorot kebencian di wajahnya, Ki."
"Mungkinkah Eyang Baranang Siang orang yang telah melakukan serangkaian kekacauan di Desa Sampar ini?" celetuk Melati.
"Jangan cepat-cepat menarik kesimpulan seperti itu, Melati.. Ingat! Persoalan ini masih gelap. Tidak sepantasnya mengajukan tuduhan seperti itu. Berprasangka boleh-boleh saja. Karena dengan bekal itu, bisa digunakan untuk menyingkap masalah. Kau mengerti, Melati?" sergah kekasihnya.
"Aku mengerti, Kang," sahut gadis berpakaian putih itu sambil menganggukkan kepala.
"Ucapan Arya itu benar, Nisanak," timpal Rupaksa, mendukung ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. "Tidak baik kalau menuduh seseorang sebelum masalahnya jelas. Iya kalau dugaan itu benar. Kalau salah? Hanya akan membuat suasana semakin bertambah kacau!"
"Aku bersedia menyumbangkan kemampuanku yang tidak seberapa ini untuk menangkap pelaku kekacauan itu, Ki," Arya menawarkan diri.
"Sebelumnya, kuucapkan terima kasih atas tawaran bantuanmu itu, Arya. Mulai malam nanti, aku akan berusaha menyingkap biang kekacauan desa ini!" tegas Rupaksa berapi-api.
"Agar tidak terjadi pemusatan kekuatan di satu tempat bagaimana kalau kita adakan pembagian tugas, Arya?"
"Aku belum mengerti maksudmu, Ki," sahut Arya dengan dahi berkernyit.
"Begini, Arya. Kau bersama kawanmu berjaga-jaga di desa. Sedangkan aku, mengawasi perguruanku. Kalau memang benar pelaku tindakan kekacauan itu berasal dari dalam perguruanku, mudah-mudahan saja aku berhasil membekuknya di saat dia tengah melakukan tindak kejahatan."
"Sebuah usul yang sangat baik, Ki…" sambut Arya gembira.
"Kau setuju dengan usulku ini, Arya?" tanya Rupaksa untuk lebih menegaskan lagi.
"Tentu saja, Ki."
"Tapi, Arya...."
"Ada apa lagi, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu, karena menyangka ada yang dilupakan Rupaksa. "Kurasa sebaiknya ada pula yang berjaga-jaga di sekitar kuburan, Arya. Barangkali saja pengacau itu akan datang ke sana."
"Kau benar, Ki," sambut Arya. "Kita pecah kekuatan menjadi tiga. Kau di perguruan, aku berjaga-jaga di sini, sedangkan Melati di desa."
Rupaksa mengangguk-anggukkan kepala. Ada raut kepuasan tergambar di wajahnya.
* * * * * * * *
Sang surya agak lama tenggelam di Barat. Kegelapan pun sudah menyelimuti seluruh mayapada ini. Memang, malam telah menjelang. Seiring datangnya malam, kesibukan yang luar biasa nampak di dalam Desa Sampar. Hampir di tiap penjuru desa nampak orang-orang yang berjaga-jaga bersikap waspada.
Obor-obor yang tercekal di tangan, membuat suasana jadi terangbenderang. Di antara sekian banyak yang berjaga-jaga, tampak di antaranya Ki Dungkul Taji, Permana, Sempana, dan Garba, serta Melati. Mereka semua menjadi pimpinan kelompok.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan yang kesekian kalinya memecahkan keheningan malam. Bunyi ini keluar dari kentongan yang dipukul rombongan di bawah pimpinan Ki Dungkul Taji. Kini rombongan itu mulai melewati kerimbunan semak-semak dan pepohonan yang cukup lebat.
Tibanya rombongan Ki Dungkul Taji di tempat itu, membuat sosok bayangan hitam yang berkelebat cepat menghentikan gerakannya. Dia mengendap-endap di antara kerimbunan semak. Sepasang mata sosok tubuh hitam itu menatap tajam penuh selidik pada rombongan peronda itu.
Malam yang cukup gelap, dan pakaiannya yang serba hitam, serta tempatnya yang terlindung semak-semak, membuat keberadaannya sama sekali tidak diketahui rombongan Ki Dungkul Taji. Sosok tubuh hitam itu diam menunggu. Dia tahu, tak akan lama lagi rombongan yang dilihatnya akan meninggalkan tempat itu.
Dan ketika rombongan Ki Dungkul Taji sudah meninggalkan tempat itu, sosok tubuh hitam itu keluar dari kerimbunan semak-semak. Dia melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dengan kecepatan yang mengagumkan, tubuhnya berkelebat. Tak heran kalau dalam beberapa saat saja, bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi.
Sosok tubuh hitam itu terus melesat cepat bagai kilat. Tapi, itu tak berlangsung lama. Beberapa kali larinya harus diperlambat. Bahkan juga harus dihentikannya. Dia langsung menyelinap ke balik pepohonan, semak-semak atau di balik rumah, ketika bertemu rombongan penduduk dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang meronda.
Beberapa kali sosok tubuh hitam itu hampir berpapasan dengan rombongan peronda. Tapi berkat kelihaiannya, dia berhasil menyelinap atau menyembunyikan diri sebelum diketahui.
"Huppp...!"
Sosok tubuh hitam itu menyelinap ke balik dinding sebuah rumah penduduk. Sesaat lamanya dia berdiri bersandar di situ untuk menenangkan debaran hatinya. Sinar bulan yang remang-remang, menyorot sekujur tubuh laki-laki berpakaian hitam itu. Tampak kalau tubuh tinggi dan tegap. Wajahnya tidak tampak jelas, karena tertutup coreng-moreng arang hitam.
Rupanya dia memang bermaksud untuk menyembunyikan wajahnya. Kemudian dengan langkah hati-hati, laki-laki berpakaian hitam itu memutari dinding menuju ke depan. Langkahnya baru dihentikan ketika telah berada tepat di depan pintu. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau perbuatannya tidak dipergoki orang lain. Kemudian tangan kanannya dijulurkan ke depan, ditempelkan ke daun pintu.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan laki-laki berpakaian hitam itu. Tangan yang menempel di pintu segera bergerak mendorong. Perlahan saja kelihatannya. Tapi akibatnya, daun pintu itu jebol berentakan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat pemilik rumah bergegas keluar dari kamar, dan langsung ke depan. Di tangannya sudah tergenggam sebilah golok. Lelaki pemilik rumah yang ternyata Boma, terkejut bukan kepalang ketika melihat adanya sesosok tubuh berpakaian serba hitam di ambang pintu rumahnya.
"Sss... siapa kau...?" tanya Boma. Suaranya terdengar terputus-putus karena rasa kaget yang melanda.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu hanya mendengus. Dan dengusan itu menyadarkan Boma dari keterkejutannya. Langsung disadarinya kalau laki-laki berpakaian hitam itu mempunyai maksud yang tidak baik. Coreng-moreng yang melumuri wajah, dan kedatangannya yang merusak daun pintu itu, merupakan bukti nyata itikadnya.
"Hiyaaa...!"
Diiringi teriakan membahana, Boma menyerang laki-laki berpakaian hitam itu. Sambil berlari cepat menghampiri, golok yang sejak tadi tergenggam di tangan diayunkan ke arah tamu tak diundang itu dari atas ke bawah. Rupanya, dia hendak membelah tubuh laki-laki berpakaian hitam itu menjadi dua bagian.
"Hmh...!"
Kembali laki-laki berpakaian hitam itu hanya mendengus. Tanpa menggeser kaki dan merubah kedudukannya, tangan kanannya dengan jari-jari terbuka diulurkan ke atas. Rupanya datangnya serangan golok itu ingin disambutnya dengan tangan telanjang. Itu pun dilakukannya setelah serangan menyambar dekat. Boma terkejut melihat tindakan lawan. Meskipun begitu, serangannya sama sekali tidak dihentikan. Dan...
Tappp...!
Di luar perkiraan Boma, goloknya sama sekali tidak mampu memutuskan tangan laki-laki berpakaian hitam itu. Jangankan putus, lecet pun tidak! Bahkan goloknya malah kena cekal. Tentu saja Boma tidak bisa tinggal diam. Sekuat tenaga goloknya ditariknya. Dan rasanya, bila laki-laki berpakaian hitam itu terus mempertahankannya, jari-jari tangannya pasti putus. Atau paling tidak tangan yang mencekal itu akan terlukai.
Tapi kembali Boma kecele. Betapa pun seluruh tenaga yang dimilikinya telah dikerahkan, tetap saja golok itu sama sekali tidak bergeming dari cekalan tangan lawan. Gagal menarik dengan satu tangan, tidak membuat Boma putus asa. Dia memang termasuk orang yang keras hati. Maka, sekarang dia menggunakan dua buah tangan untuk menarik.
Meskipun demikian, hasil yang didapatkan Boma pun tetap tidak berubah. Wajahnya sampai merah padam karena telah mengeluarkan tenaga melampaui batas. Suara lenguhan pun keluar pula dari mulutnya. Sementara, laki-laki berpakaian hitam itu terlihat seperti tidak mengerahkan tenaga sedikit pun!
Mendadak, laki-laki berpakaian hitam itu melepaskan cengkeramannya pada golok. Padahal pada saal itu, Boma tengah mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk membetot. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Boma terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Tindakan laki-laki berpakaian hitam itu ternyata tidak berhenti sampai di situ. Di saat tubuh Boma tengah terhuyung-huyung ke belakang, tangannya dengan jari-jari terkepal meluncur ke depan.
Wusss...! Bukkk...!
"Aaa...!" Boma menjerit menyayat ketika pukulan jarak jauh itu menghantam perutnya, hingga hancur. Darah segar kontan berhamburan dari mulut Boma, seiring tubuhnya melayang ke belakang, yang langsung menabrak dinding rumah hingga bergetar hebat. Saat itu juga nyawa laki-laki berwajah hitam itu melayang.
"Kakang...! Jahanam...! Iblis kau! Kami ini yatim-piatu. Mengapa kau bunuh juga kakakku! Dia adalah pelindungku satu-satunya...," ratap seorang gadis begitu mendengar jeritan Boma. Dia langsung menghambur memeluk mayat Boma yang berlumuran darah.
Memang, gadis cantik bernama Rukmini itu sebenarnya telah mendengar suara ribut-ribut di depan tadi. Tapi oleh Boma, kakaknya, dia dilarang keluar demi keselamatannya sendiri. Namun begitu mendengar teriakan Boma, hatinya tak tahan. Apalagi, saat mendapati kakaknya telah tewas. Maka, air matanya tak terbendung lagi.
"Hm!" orang berbaju serba hitam itu hanya menggumam perlahan. Matanya liar merayapi tubuh molek yang kini juga tengah menatap ke arahnya.
"Bajingan! Kubunuh kau!" tiba-tiba Rukmini bangkit, hendak menyerang laki-laki berpakaian hitam itu dengan golok bekas kakaknya yang tergeletak tidak jauh dari situ.
Hanya dengan memiringkan tubuh ke kanan sedikit, orang berpakaian hitam itu menghindari tebasan golok Rukmini. Tangannya langsung bergerak, ke arah dada dan leher gadis itu.
Tukkk! Tukkk!
Rukmini langsung roboh pingsan tertotok tangan orang berpakaian hitam itu. Totokan tadi memang tepat bersarang di dada dan lehernya. Sebelum Rukmini jatuh, orang berpakaian hitam itu segera meraih tubuhnya.
Orang berpakaian serba hitam itu kemudian memondong tubuh Rukmini dan bersiap hendak keluar. Gerakannya ringan sekali saat melesat, dengan tubuh molek seorang gadis dalam pondongannya.
Tapi sebelum melesat keluar, laki-laki berpakaian hitam itu menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah-langkah kaki bergemuruh mendekati tempatnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki berpakaian hitam itu segera melesat keluar. Dan seperti yang sudah diduga, di depan rumah itu telah berkumpul sekitar sepuluh orang bersenjata lengkap di tangan. Berdiri paling depan adalah Sempana. Sementara di belakangnya, berdiri penduduk desa dan murid-murid Rupaksa dengan sikap mengancam.
Memang Sempana dan rombongannya tengah mengelilingi sekitar tempat itu. Dan ketika mendengar jerit kematian Boma dan jeritan Rukmini, mereka bergegas memburu ke tempat asal suara itu. Tak aneh, sebelum laki-laki berpakaian hitam itu sempat kabur, mereka telah berhasil memergokinya.
Srattt, srattt, srattt...!
Sinar-sinar terang nampak berkeredep ketika Sempana dan rombongannya menghunus senjata masing-masing.
"Manusia jahanam!" seru Sempana garang. "Akhirnya kami berhasil memergokimu. Kini jangan harap bisa lolos dari tangan kami!"
Usai berkata demikian, laki-laki bermata sipit itu segera melesat menerjang. Golok di tangannya dibabatkan ke arah leher dengan arah mendatar.
Wuuut..! Deru angin cukup keras mengiringi tibanya serangan golok itu.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu hanya mendengus. Tanpa menggerakkan kaki, dan hanya bertumpu pada pinggang, tubuhnya diputar. Sehingga, serangan golok itu lewat di atas kepala. Dan di saat itulah, tangan kanannya bergerak. Maka....
Tappp...!
Sempana terperanjat ketika pergelangan tangan kanannya telah tercekal lawan. Kecepatan gerak lawan benar-benar tidak bisa diikuti pandangan matanya. Dia hanya tahu sekelebatan bayangan hitam bergerak. Dan tahu-tahu, pergelangan tangannya telah tercekal.
Belum sempat Sempana berbuat sesuatu, laki-laki berpakaian hitam itu telah menarik. Kuat sekali tenaga tariknya, sehingga Sempana tidak mampu menahannya lagi. Tubuh laki-laki bermata sipit itu langsung tertarik ke depan. Dan pada saat tubuh Sempana terhuyung-huyung ke depan, langsung disambut dengan sebuah tendangan ke arah perut dari kaki kanan laki-laki berpakaian hitam itu.
Bukkk!
"Hukh...!" Tubuh Sempana melayang ke belakang. Karena, saat tendangan dilancarkan, laki-laki berpakaian hitam itu melepaskan cekalannya.
Brukkk...!
Diiringi suara keras, tubuh murid kepala Perguruan Kelabang Sakti itu terbanting keras di tanah, setelah melayang-layang sejauh enam tombak lebih. Sempana berkelojotan sebentar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Mati!
Rombongan peronda yang menjadi anak buah Sempana terkejut melihat kematian pemimpinnya dalam segebrakan di tangan laki-laki berpakaian hitam itu. Dan untuk sesaat, mereka hanya bisa terpaku. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh laki-laki berpakaian hitam. Dia melesat kabur dari situ, sebelum kelompok peronda lainnya memergoki.
Melihat laki-laki berpakaian hitam itu melesai kabur, rombongan anak buah Sempana pun tersadar. Serentak mereka bergerak mengejar. Sementara, beberapa orang di antara mereka memukul kentongan tanda bahaya.
* * * * * * *
Tong, tong, tong..!
Bunyi kentongan tanda bahaya pun memecahkan keheningan malam sepi. Hal ini membuat seisi Desa Sampar bagai dibangkitkan dari tidur. Para peronda yang mendengar saling pandang sejenak, sebelum akhirnya bergerak menuju ke arah asal suara. Memang, bunyi itulah yang tengah mereka tunggu-tunggu.
Di antara sekian banyak orang berlari-lari menuju ke arah asal suara, terdapat juga Melari. Dengan tingkat kepandaian yang tinggi, dalam waktu sekejap saja gadis berpakaian putih itu telah meninggalkan para peronda lainnya di belakang.
Belum berapa lama berlari, pandangan mata Melati yang tajam menangkap sekelebatan bayangan hitam yang melesat cepat ke balik kerimbunan pepohonan. Bergegas, gadis berpakaian putih itu segera bergerak mengejar.
Melati menggertakkan giginya. Seluruh kemampuan larinya dikerahkan untuk mengejar sosok bayangan hitam itu. Mata putri angkat Raja Bojong Gading itu sempat melihat adanya sesosok tubuh di bahu bayangan hitam yang dikejarnya.
Ternyata, ilmu meringankan tubuh laki-laki berpakaian hitam itu telah mencapai tingkat tinggi. Tak heran meskipun Melati telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak mampu menyusul. Hal ini membuat Melati merasa penasaran sekali, di samping rasa kaget yang melanda. Kejar-kejaran antara dua tokoh yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi pun berlangsung di malam yang kelam.
Entah sudah berapa lama Melati dan laki-laki berpakaian hitam itu saling kejar-kejaran. Memang kedua belah pihak sama sekali tidak memikirkannya. Sedangkan pihak Melati hanya menggertakkan gigi menahan geram. Disadari kalau dirinya tidak akan mungkin mampu mengejar buruannya. Dan hal itu membuatnya cemas dan gelisah.
Kecemasannya semakin menjadi-jadi ketika akhirinya laki-laki berpakaian hitam itu melesat ke arah kerimbunan pepohonan lebat, yang tidak jauh di depan. Memang, semula kejar-kejaran itu berlangsung di sebuah padang rumput yang cukup luas.
"Hhh...!" Melati hanya bisa menghembuskan napas kesal ketika melihat tubuh lawannya lenyap di balik kerimbunan pepohonan. Langkahnya berhenti di situ, seraya menyeka peluh yang membasahi wajahnya dengan tangan. Dia tidak ingin cari penyakit dengan melanjutkan pengejaran. Karena, bukan tidak mungkin kalau buruannya akan membokongnya di tempat gelap. Beberapa saat lamanya Melati terpaku di situ, sebelum akhirnya menolehkan kepala karena mendengar adanya orang yang memanggilnya.
"Melati...!" Kembali pemilik suara itu memanggilnya, ketika kepala gadis itu sudah menoleh ke arah asal suara. Di kejauhan tampak melesat sesosok bayangan ungu yang meluncur cepat ke arah Melati.
Gadis berpakaian putih itu mengembangkan senyum. Dia tahu, siapa sosok bayangan yang tengah menuju ke arahnya. Masalahnya, suara dan juga warna pakaian Dewa Arak amat dikenalnya. Sesaat kemudian, sosok bayangan ungu yang memang Dewa Arak alias Arya Buana itu telah berada di dekatnya.
"Bagaimana, Melati?" tanya Arya begitu telah menghentikan larinya. "Bisa kau kenali pengacau itu?"
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau Melati tentu gagal menangkap buruannya. Buktinya gadis berpakaian putih itu hanya sendirian saja di situ.
"Tidak, Kang," jawab putri angkat Raja Bojong Gading itu. Pelan sekali suaranya, mirip desahan. "Jangankan melihat wajahnya, mendekatinya saja tidak mampu. Dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Mungkin berada di atasku."
Agak terkejut juga hati Dewa Arak mendengar jawaban Melati. Karena, hal itu mempunyai arti kalau orang yang mengacau Desa Sampar itu pasti memiliki kepandaian tinggi. Dewa Arak tahu, kekasihnya ini memiliki kepandaian tinggi. Terutama sekali ilmu meringankan rubuhnya. Tapi, toh ternyata gadis itu tidak mampu mengejar si pengacau. Hanya saja walau dilanda kaget, Dewa Arak tidak menampakkan keterkejutan pada wajahnya. Memang, pemuda berpakaian ungu itu mampu menguasai perasaan, sehingga tidak bisa diketahui orang lain. Sekalipun, orang itu adalah kekasihnya sendiri.
"Mungkinkah orang itu Eyang Baranang Siang, Melati?" tanya Arya lagi sengaja kali ini diajukan satu nama untuk membantu gadis itu mengingat kembal buruannya.
Lagi-lagi, hanya gelengan kepala Melati saja yang menyambuti pertanyaan Dewa Arak. "Tapi, Kang..," kata Melati setelah tercenung beberapa saat.
Dewa Arak mengalihkan perhatian kembali pada Melati. "Katakanlah, Melati," sambut Arya memberi dukungan.
"Bukan tidak mungkin kalau keteranganmu akan lebih memudahkan kita dalam mengungkap kerusuhan di Desa Sampar ini."
"Kurasa... orang itu bukan Eyang Baranang Siang...!"
"Kau yakin, Melati?"
"Yakin sekali, Kang," sahut Melati tegas dan mantap. "Potongan tubuh orang itu membuatku yakin kalau orang yang kukejar bukan Eyang Baranang Siang."
"Hm.... Jadi, orang yang kau kejar itu memiliki tubuh tinggi besar?" sahut Arya mengambil kesimpulan dari ucapan Melati.
"Tidak juga, Kang," bantah Melati memperbaiki ucapan kekasihnya. "Tapi yang jelas, tubuhnya tidak tinggi kurus seperti Eyang Baranang Siang."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. "Keterangan yang kau berikan sama dengan yang dikatakan rombongan pimpinan Sempana, Melati. Berarti... Eyang Baranang Siang bisa kita hapus dari daftar orang dicurigai. Walaupun, sebenarnya bukan tidak mungkin kalau dia terlibat juga dalam masalah ini."
"Jadi, kau juga telah menemui rombongan penduduk yang menemui pengacau itu, Kang?"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. "Aku membatalkan tugasku untuk menjaga kuburan itu, Melati. Setelah berapa lama kutunggu, ternyata tidak nampak ada orang yang datang ke sana."
"Lalu kau memutuskan ke desa, Kang?" potong Melati tidak sabar.
"Tidak. Aku memutuskan untuk menyelidiki ke Perguruan Kelabang Sakti," jawab Arya sambil menggelengkan kepala. "Tapi di tengah jalan, aku mendengar suara kentongan. Maka terpaksa maksudku yang semula kubatalkan."
Dewa Arak menghentikan penjelasannya sejenak untuk mengambil napas. "Dalam perjalananku menuju asal suara, aku bertemu rombongan peronda yang berada di bawah pimpinan Sempana. Dari merekalah aku tahu kalau kau tengah mengejar buruan. Dan mereka juga mengabarkan kalau Sempana telah tewas," tutur pemuda berambut putih keperakan itu menyambung ceritanya. "Mereka pun memberitahukanku tentang ciri-ciri laki-laki berpakaian hitam itu. Ternyata, keterangan yang diberikan sama dengan keteranganmu tadi, Melati. Hanya saja, keterangan mereka lebih lengkap."
"Bagaimana ciri-ciri pengacau itu, Kang?" tanya Melati ingin tahu ketika Arya menghentikan ucapannya.
"Tubuhnya agak tinggi. Wajahnya tidak memiliki kumis, jenggot, atau cambang. Tapi sayang, mereka tidak bisa mengenali karena wajahnya tertutup coreng moreng arang hitam dan sedikit lumpur."
"Jangan-jangan orang itu adalah Giwali, Kang," duga Melati setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Aku juga semula menduga begitu, Melati," kata Arya, disertai helaan napas beratnya. "Tapi, mungkinkah Giwali sampai hati membunuh Suraba yang menjadi pamannya?"
Melati kontan terdiam. "Mungkin saja. Kang. Barangkali... yahhh karena Suraba mengetahui rahasianya. Daripada membahayakan dirinya, bukankah lebih baik kalau dibunuh, Walaupun mungkin... dengan hati berat."
"Kesimpulan yang kau ambil tidak berbeda dengan kesimpulanku, Melati. Aku pun menduga demikian. Tapi, ingat. Ini baru dugaan. Jadi, jangan main labrak dulu. Bukan tak mungkin kalau Giwali sama sekali tidak bersalah."
"Aku mengerti. Kang," Melati menganggukkan kepala.
"Dan... andaikata benar Giwali pelaku semua kekacauan ini, mau tidak mau kita akan berhadapan dengan Eyang Baranang Siang," lanjut Arya.
"Aku tidak takut, Kang!" sahut Melati cepat. Tegas dan mantap suaranya.
"Aku tahu kau tidak takut Melati" sahut Arya buru-buru dengan mulut menyunggingkan senyum lebar. Dia memang telah mengetahui kekerasan hati kekasihnya. Maka Dewa Arak tidak heran melihat sambutan gadis itu. "Bukan masalah takut atau tidak yang membuatku mengatakan demikian," sambung Arya buru-buru. "Kau tidak menanyakan alasanku, sehingga berarti mengatakan pendapat kalau kita akan berhadapan dengan Eyang Baranang Siang?"
Melati menggelengkan kepala.
"Mengapa, Melati? Kau sudah tahu alasanku?"
Kali ini Melati menganggukkan kepala. "Sudah bisa kuperkirakan, karena Eyang Baranang Siang tampak sayang sekali pada Giwali. Bahkan kalau tidak salah dengar, pemuda itu malah telah menjadi muridnya karena Rupaksa tidak sudi mengajarinya."
"Apa yang kau katakan benar, Melati. Tapi bukan itu alasannya, sehingga aku mengatakan kalau kita akan berhadapan dengan Eyang Baranang Siang. Meskipun, memang cukup beralasan juga."
Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Ditatapnya sejenak wajah gadis berpakaian putih itu untuk meyakinkah kalau tidak ada tanggapan atas ucapannya.
"Tapi alasan yang kau kemukakan itu bisa saja tidak berlaku, Melati. Sungguh pun sayang sekali pada Giwali, Eyang Baranang Siang tetap tidak membelanya. Hanya saja, apabila kakek itu seorang yang berada di jalan lurus."
Kini Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan Dewa Arak. Disadari adanya kebenaran dalam penjelasan kekasihnya. "Mmm.... Lalu, alasanmu itu sendiri bagaimana, Kang? Aku jadi ingin mendengarnya," desak Melati ingin tahu.
Dewa Arak menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum memulai ucapannya. "Kalau benar Giwali pelaku kekacauan di Desa Sampar ini, berarti Eyang Baranang Siang terlibat secara langsung. Dia bukan saja sengaja membiarkan tindak kejahatan itu, tapi juga menjadi pokok pangkal kekacauan ini. Tanpa Eyang Baranang Siang, kekacauan ini tidak akan pernah terjadi."
"Mengapa kau bisa menduga sampai sejauh itu, Kang?" tanya Melati. Raut ketidak-mengertian nampak membayang jelas di wajahnya.
Dewa Arak tersenyum lebar. "Kau tidak ingat cerita Rupaksa tadi pagi, Melati?" tanya Arya bernada mengingatkan.
Putri angkat Raja Bojong Gading itu mengernyitkan dahi untuk mengingat-ingat semua cerita Rupaksa tadi pagi. Tapi sampai beberapa saat lamanya mengingat-ingat, tetap saja tidak menemukan jawabannya. "Entahlah, Kang. Aku tidak tahu ucapan Rupaksa mana yang kau maksudkan," desah Melati sambil menggelengkan kepala.
"Cerita Rupaksa mengenai rahasia Perguruan Kelabang Sakti yang menyangkut ilmu-ilmu warisan milik leluhurnya."
"Ah...!" Seruan keterkejutan keluar dari mulut Melati.
"Sekarang kau ingat, kan?" tebak Arya seolah mengerti maksud pekik keterkejutan yang keluar dari mulut kekasihnya.
"Ingat, Kang. Dan aku yakin dugaanmu pasti benar."
"Jangan terlalu yakin dulu. Melati," potong Arya cepat. "Ingat, itu hanya sebuah kemungkinan saja, apabila Giwali memang menjadi pelakunya. Bukankah yang mengetahui rahasia itu hanya Eyang Baranang Siang dan Rupaksa? Dari mana lagi, Giwali mengetahuinya kalau tidak dari Eyang Baranang Siang?"
"Aku yakin dugaanmu tidak mungkin salah, Kang," tegas Melati yakin.
"Hhh...!" Hanya helaan napas panjang dan berat yang keluar dari mulut Dewa Arak menyahuti ucapan gadis berpakaian putih itu.
"Lalu... sekarang apa rencanamu, Kang?"
"Esok malam, kita intai kegiatan di Perguruan Kelabang Sakti," jawab Arya mengambil keputusan.
"Kita berpencar atau bersama-sama, Kang?"
Dewa Arak tercenung sejenak. "Lebih baik kita mengintai dari tempat yang berlainan. Ini untuk menjaga kemungkinan pengacau itu lolos dari tempat yang tidak bisa diperhatikan dari satu arah," jelas Dewa Arak. "Tapi, ingat. Jangan bertindak ceroboh. Aku akan memberitahukanmu apabila melihat pengacau itu keluar dari sana. Dan kau juga berbuat yang sama. Mengerti, Melati?"
"Jangan khawatir, Kang," jawab Melati. Gadis itu tahu kalau Dewa Arak mengkhawatirkan keselamatannya kalau mengejar pengacau itu sendiri. "Aku akan segera memberitahukanmu, begitu melihat laki-laki berpakaian hitam itu."
"Bagus!" puji Arya dengan mulut menyunggingkan senyum. Tidak cukup hanya bertindak seperti itu, ibu jari tangan kanan Dewa Arak pun diacungkan. Sedangkan Melati menyambutinya dengan cibiran menggoda.
"Sekarang mari kita kembali untuk memberitahukan Ki Dungkul Taji," ajak Arya. "O, ya Melati. Jangan katakan pada siapa pun mengenal rencana kita untuk menyelidiki Perguruan Kelabang Sakti. Aku khawatir, Rupaksa merasa tersinggung karena merasa tidak dipercayai lagi."
"Tenanglah, Kang. Aku bukan sejenis nenek-nenek bawel," jawab Melati memberi jaminan.
"Syukurlah kalau begitu." Setelah berkata demikian. Dewa Arak segera melangkah meninggalkan tempat itu. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera mengikuti, lalu langsung mensejajari.
Kini kedua pendekar muda itu melangkah bersisian menuju Desa Sampar. Tidak puas hanya dengan jalan biasa, Dewa Arak dan Melari lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan berlari cepat. Sehingga yang tampak hanyalah kelebatan bayangan ungu dan putih, yang melesat cepat seperti saling berlomba.
* * * * * * * *
DELAPAN
Suara kukuk burung hantu dan kepak sayap kelelawar membelah keheningan malam. Dari salah satu cabang di sebuah pohon besar yang tumbuh tidak jauh dari markas Perguruan Kelabang Sakti, tampak Dewa Arak tengah mengintai.
Nasib sial rupanya tengah akrab dengan Dewa Arak. Pohon tempatnya bertengger itu ternyata terdapat sarang semut merah besar-besar, di samping nyamuk yang juga besar-besar. Binatang-binatang berbeda jenis itu secara leluasa menggigit sekujur kulit tubuh Dewa Arak. Sementara, pemuda itu tak mampu berbuat apa-apa, karena khawatir akan menimbulkan suara-suara mencurigakan.
Yang dapat dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengerahkan tenaga dalamnya agar gigitan semut dan nyamuk itu tidak menyakitkan. Dengan tenaga dalamnya yang memang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, bukan hal yang sulit bagi Dewa Arak untuk membuat gigitan kedua binatang itu tidak berarti apa pun baginya.
Tapi lama kelamaan, Dewa Arak merasa jengkel juga. Apalagi bila nanti semut merah itu akan merayap ke tempat-tempat yang tidak diinginkan. Maka, dikerahkannya 'Tenaga Sakti Inti Matahari'. Namun tentu saja tidak sepenuhnya. Karena bila dikerahkan seluruhnya, dari tubuhnya akan keluar asap tipis yang tentu saja akan menarik perhatian. Padahal, hal itu sama sekali tidak diinginkannya.
Tentu saja Dewa Arak tidak ingin kehadirannya di situ diketahui orang! Memang hebat akibat yang ditimbulkan oleh 'Tenaga Sakti Inti Matahari'. Semut-semut merah besar yang tadi seenaknya saja merayap di sekujur tubuh Dewa Arak, satu persatu berjatuhan. Tubuh binatang-binatang itu kontan mati dan mengering! Demikian pula nyamuk-nyamuk yang menyerangnya.
Setelah kejadian itu, tidak ada nyamuk atau pun semut yang berani menggigit tubuh Dewa Arak lagi. Rupanya, binatang-binatang itu sadar kalau mangsa mereka kali ini bukan mangsa empuk. Kini Dewa Arak dapat leluasa meneruskan maksudnya, mengintai kemunculan laki-laki berpakaian hitam yang telah mengacau Desa Sampar.
Waktu bagi Dewa Arak terasa berjalan begitu lambat. Sampai bosan menunggu dan sampai lelah sepasang matanya karena menatap terus ke arah markas Perguruan Kelabang Sakti, tapi yang ditunggu tak kunjung terlihat.
"Bagaimana dengan Melati?" kata Arya dalam hati. "Apakah dia belum juga melihat kemunculan laki-laki berpakaian hitam itu? Hm. Pasti Melati belum melihatnya. Kalau telah melihat, tentu akan memberitahukan padaku."
"Kang! Kemari, cepat! Aku telah melihat buruan kita...."
Tiba-tiba terdengar suara Melati di telinga Suara yang dikirimkan dari jauh, dan khusus ditujukan pada Dewa Arak. Memang, Dewa Arak dan Melati telah membuat kesepakatan untuk memberitahukan pesan lewat ilmu mengirim suara dari jauh. Hal seperti itu amat mudah dilakukan bagi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali.
Dewa Arak tidak berani menunggu lebih lama lagi. Segera saja dia bersiap untuk menuju bagian depan. Memang, Melati berjaga-jaga di bagian depan Perguruan Kelabang Sakti. Tapi gerakan Dewa Arak langsung terhenti seketika. Pandangan matanya menangkap adanya sesosok bayangan hitam yang melesat keluar dari salah satu bangunan. Gerak-geriknya terlihat mencurigakan sekali. Sosok bayangan hitam itu melesat cepat, dengan gerakan mengendap-endap menuju ke salah satu pohon.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Ternyata dia juga melihat laki-laki berpakaian hitam itu. Bukankah buruan itu berada di bagian belakang perguruan, dan Melati telah menyuruhnya ke sana? Mengapa kini pengacau itu tahu-tahu telah berada di sini? Apakah dia orang yang sama dengan yang dimaksud Melati? Tapi kalau benar, mengapa Melati tidak memberitahukannya? Atau, pengacau itu tidak hanya satu orang? Berbagai macam, pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
"Kang! Cepat! Orang itu bergerak cepat menuju ke luar desa...!"
Dewa Arak terkejut ketika melihat sesosok bayangan mengendap-endap menuju bagian depan perguruan. Bukankah buruan itu tadi berada di belakang? Mengapa pengacau itu tahu-tahu telah berada di sini? Atau, pengacau itu tidak hanya satu orang? Berbagai macam pertanyaan bergelayut di benak Dewa Arak!
Kembali pemberitahuan Melati terdengar Dewa Arak. Dan kali ini, Dewa Arak segera mengambil keputusan. Siapa pun yang telah dilihatnya, tidak dipedulikan lagi. Langsung diputuskannya untuk menuju ke tempat Melati. Dia tidak ingin kekasihnya itu menjadi korban pengacau yang diyakini memiliki kepandaian lihai itu.
Setelah mengambil keputusan demikian, Dewa Arak segera melesat cepat ke arah depan. Dengan berlindung di balik suasana malam yang remang-remang, tubuhnya melesat cepat bagai kilat. Hanya dalam beberapa lesat saja, Dewa Arak telah berada di bagian depan. Punggungnya dirapatkan dengan pagar kayu yang mengelilingi Perguruan Kelabang Sakti. Ini dilakukannya untuk berjaga-jaga agar tidak terlihat murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang tengah bertugas jaga.
"Melati! Beri tahukan arah yang harus kutempuh...!" bibir Dewa Arak berkemik pelan mengirimkah pertanyaan lewat ilmu mengirimkan suara dari jauh.
"Ke arah Barat, Kang...!" jawab Melati dalam penggunaan ilmu yang sama.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak melesat cepat ke arah yang ditunjuk Melati. Seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Sehingga, yang tampak hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat tanpa ketahuan bentuknya. Setelah cukup lama berlari, pandangan Dewa Arak telah tertumbuk pada sosok bayangan putih yang tengah melaju cepat. Sementara, tak jauh di depannya bergerak cepat sesosok bayangan hitam. Adu kejar-kejaran pun terjadi antara laki-laki berpakaian hitam, Melati, dan Dewa Arak!
"Tidak usah kita susul dulu, Melati," bisik Arya ketika telah berhasil membarengi kekasihnya. Kali ini, Dewa Arak tidak menggunakan lagi ilmu mengirimkan suara jarak jauh. "Kita akan tangkap dia sewaktu hendak mengambil calon korbannya."
Melati menganggukkan kepala, pertanda menyetujui usul kekasihnya. "Rasanya ada keanehan sedikit, Kang...," kata Melati setelah beberapa saat lamanya mereka berdua berdiam diri, walaupun terus bergerak cepat mengikuti langkah laki-laki berpakaian hitam itu.
"Keanehan? Apa maksudmu, Melati?" tanya Arya seraya menolehkan kepala karena merasakan adanya nada keheranan dalam ucapan kekasihnya.
"Nggg.... Rasa-rasanya, kepandaian laki-laki berpakaian hitam ini menurun, Kang. Kecepatan larinya sekarang tidak seperti dulu lagi. Aku yakin, kalau saja kukerahkan seluruh kemampuan lari yang kumiliki, dia akan berhasil kususul sejak tadi."
"Mungkin saja dia tidak tahu kalau kita mengikutinya. Melati. Sehingga, dia tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sedangkan waktu itu, dia tahu kalau kau dan penduduk desa serta murid-murid Perguruan Kelabang Sakti mengejarnya," jelas Arya memberi alasan. Melati kontan terdiam. "Jika masih kurang yakin, bagaimana kalau kita berteriak sambil terus mengejarnya," usul Arya untuk meyakinkan hati gadis berpakaian putih itu.
"Boleh juga. Kang..!"
"Manusia jahanam! Jangan lari kau...!" teriak Arya begitu Melati telah memberi persetujuan.
Seperti yang sudah diduga Melati dan Dewa Arak, laki-laki berpakaian hitam itu kontan terkejut ketika mendengar teriakan tadi. Kepalanya menoleh ke belakang sebentar, lalu kembali lurus ke depan. Dia kemudian terus melesat cepat meneruskan tujuannya.
Melati dan Dewa Arak tentu saja tidak tinggal diam. Melati mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, sedangkan Dewa Arak tidak. Karena, bila hal itu dilakukan, kekasihnya akan tertinggal jauh. Melati dan Dewa Arak mengernyitkan keningnya ketika menyadari jarak mereka dengan laki-laki ber pakaian hitam itu semakin bertambah dekat saja.
"Kang! Aku yakin, orang ini bukan orang yang kukejar waktu itu," kata Melati di sela-sela kesibukannya berlari.
Dewa Arak tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Benaknya langsung berputar cepat, mengingat sosok bayangan hitam lain yang dilihatnya tepat saat Melati juga melihat sosok bayangan hitam.
"Benar tidaknya, dia harus tetap diringkus dulu. Bukan tidak mungkin kalau rencana kita telah diketahui. Dan orang yang kita kejar kali ini digunakan sebagai alat untuk membuat kita mengalihkan perhatian dari sasaran yang sesungguhnya."
Melati langsung tercenung karena menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Dewa Arak.
"Biar aku yang meringkusnya, Melati!"
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh sampai puncaknya. Perlahan-lahan tubuh Melati mulai tertinggal. Sementara jarak antara Dewa Arak dengan laki-laki berpakaian hitam itu semaian dekat.
"Hih...!" Dewa Arak menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya telah melesat ke atas. Dia berputar beberapa kali di udara melewati atas kepala laki-laki berpakaian hitam. Dan....
"Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mendarat di tanah, berjarak tiga tombak di hadapan laki-laki berpakaian hitam yang tadi dikejarnya.
Laki-laki berpakaian hitam itu terperanjat, dan langsung menghentikan larinya. Kemudian, tubuhnya berbalik untuk melarikan diri ke arah yang berlawanan dengan arah semula yang ditempuh. Tapi maksudnya langsung diurungkan. Di hadapannya, dalam jarak dua tombak telah berdiri Melati.
Seperti juga Dewa Arak, gadis berpakaian putih itu telah bersiap-siap meringkus. "Kau...?! Rupanya dugaan kami tidak salah! Jadi, kaulah pengacau terkutuk itu, Giwali?" seru Melati setelah memperhatikan wajah laki-laki berpakaian hitam itu.
"Hhh...!" Laki-laki berpakaian hitam itu memang tidak lain dari Giwali menghela napas berat. Tidak tampak adanya tanda-tanda kalau akan mengadakan perlawanan. Bahkan kepalanya pun ditundukkan ke bawah. Sikapnya menunjukkan kalau hatinya tengah terpukul.
Mendengar seruan Melati, Dewa Arak menjadi terkejut bukan kepalang. Begitu hebatkah sepasang mata Melati sehingga mampu mengenali wajah yang tertutup coreng-moreng arang hitam dan lumpur?
"Hhh...!" Didahului helaan napas berat yang kedua kalinya, Giwali mengangkat kepala. "Aku memang Giwali, Nisanak. Tapi bukan pengacau terkutuk itu!"
"Kau bohong, Giwali!" bentak Melati keras.
"Kau...."
"Sabar, Melati," potong Arya pelan seraya mengangkat tangannya ke atas.
Melati pun tidak melanjutkan ucapan lagi. Dibiarkannya Dewa Arak yang akan menyelesaikan masalah itu. Sedangkan Dewa Arak telah melangkah menghampiri Giwali dan melewatinya, lalu berdiri di samping Melati.
"Kalau kau bukan pengacau biadab itu, lalu mengapa keluar secara gelap begini. Bahkan dengan pakaian seperti ini?" tanya Arya sambil menatap tajam wajah Giwali.
Seketika itu juga pemuda berambut putih keperakan itu mengerti, mengapa Melati bisa mengenali kalau laki-laki berpakaian hitam itu adalah Giwali. Wajah pemuda tinggi kurus itu sama sekali tidak dihias coreng-moreng arang hitam dan borehan lumpur. Lain halnya, wajah pengacau biadab itu.
"Sebenarnya aku malu mengatakannya, Dewa Arak," kata Giwali, pelan. "Tapi aku percaya, kau dan kawanmu ini tidak akan menceritakannya pada orang lain."
Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar. "Kami tahu, mana yang harus dirahasiakan dan mana yang tidak perlu, Giwali. Percayalah. Kami bukan sejenis orang yang suka membuka aib orang lain. Ceritakanlah semuanya, agar kau bebas dari tuduhan."
"Sekitar sebulan yang lalu, aku berjumpa putri Ki Dungkul Taji," Giwali memulai ceritanya. "Aku mencintainya, dan sebaliknya dia juga mencintaiku. Padahal, putri kepala desa kami itu telah dijodohkan dengan putra kepala desa lain."
Giwali menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara, Dewa Arak dan Melati saling pandangan. Tanpa diceritakan lagi pun, sebenarnya mereka sudah bisa menduga kisah yang akan terjadi selanjutnya.
"Betapapun aku telah berusaha membuang perasaan ini, tapi tetap saja tidak mampu. Hal yang sama pun menimpa putri Ki Dungkul Taji. Akibatnya, kami lalu sepakat mengadakan pertemuan secara rahasia. Dan agar sukar dilihat pada malam hari, aku mengenakan pakaian seperti ini," tutur Giwali, menutup ceritanya.
"Kau tahu, kalau desa ini tengah dikacau orang yang memakai pakaian seperti ini, bukan?" pancing Arya.
Giwali menganggukkan kepala. "Sebenarnya, aku juga ingin menangkapnya untuk membalaskan sakit hati Paman Suraba!" desis pemuda tinggi kurus itu penuh dendam.
"Lebih baik buka seragammu itu, Giwali! Agar tidak terjadi kesalah-pahaman nantinya!"
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan membuat Arya, Melati, dan Giwali terperanjat. Sesaat, mereka hanya saling pandang. Sementara, Giwali segera membuka seragam hitamnya tak lama kemudian mereka melesat cepat menuju ke arah asal suara kentongan itu. Memang, bunyi kentongan tanda bahaya menjadi pertanda kebenaran pengakuan Giwali.
Dewa Arak yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling tinggi, berada paling depan. Kemudian diikuti Melati, dan baru Giwali yang kini telah tidak mengenakan pakaian hitam lagi. Dewa Arak memang mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, karena tidak ingin buruannya lolos. Maka tak lama kemudian, pandangan matanya telah tertumbuk pada kerumunan penduduk. Bahkan telinganya telah mendengar suara pertempuran tokoh-tokoh tingkat tinggi.
Hanya dalam beberapa langkah saja. Dewa Arak telah berada di antara kerumunan penduduk yang masing-masing membawa obor. Sehingga suasana di situ jadi terang-benderang. Dan tanpa ragu-ragu langsung disibaknya kerumunan itu.
Sedangkan kakinya terus melangkah ke depan. Jelas sudah hal yang menyebabkan penduduk itu berkerumun. Dalam jarak sekitar dua puluh tombak dari situ, terjadi pertarungan mati-matian antara dua tokoh tingkat tinggi.
Mungkin bagi orang yang memiliki kepandaian rendah yang terlihat hanya kelebatan dua buah bayangan hitam dan putih. Sedangkan Dewa Arak saja membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengetahui tokoh-tokoh yang tengah bertempur.
Sosok bayangan putih itu diketahui Dewa Arak sebagai Eyang Baranang Siang. Tapi sosok yang satu lagi belum bisa dikenalinya. Meskipun begitu Dewa Arak tahu, orang yang menjadi lawan Eyang Baranang Siang pasti pengacau biadab itu!
Dewa Arak tidak merasa terkejut ketika melihat kedua orang yang tengah bertarung mempunyai gerakan mirip satu lain. Memang ada perbedaan di sana-sini, tapi bisa diketahui kalau kedua orang itu berasal dari satu aliran. Yang mengejutkan hati Dewa Arak ketika melihat keadaan Eyang Baranang Siang yang berada dalam keadaan bahaya. Kakek berpakaian putih longgar itu tampak terdesak hebat. Dewa Arak tahu, robohnya Eyang Baranang Siang hanya tinggal menunggu waktu saja.
Perkiraan Dewa Arak tidak melesat. Terdengar suara berdebuk keras yang disusul terpental tubuh Eyang Baranang Siang dari kancah pertarungan. Tubuh kakek berpakaian putih itu terjengkang dan jatuh bergulingan di tanah. Darah segar rampak mengalir deras dari sudut-sudut mulutnya.
Memang, pukulan yang dilancarkan laki-laki berpakaian hitam itu keras sekali. Sehingga walaupun hanya mengenai bahu, cukup membuat Eyang Baranang Siang terluka cukup parah dan tidak bisa bangkit lagi.
"He he he...! Kini saat ajalmu tiba, Baranang Siang...'" desis laki-laki berpakaian hitam itu pongah, seraya melangkah menghampiri kakek berpakaian putih yang sudah tidak mampu bangkit lagi.
"Hentikan, Rupaksa!" teriak Arya, tanpa ragu-ragu lagi memanggil laki-laki berpakaian hitam itu.
Perkembangan gerak Eyang Baranang Siang yang mirip laki-laki berpakaian hitam, telah menimbulkan sebuah dugaan di benak Dewa Arak. Dan dugaan itu diperkuat oleh suara laki-laki berpakaian hitam setelah merobohkan Eyang Baranang Siang. Suara itu jelas-jelas milik Rupaksa. Maka tak heran bila Dewa Arak langsung menyebut nama itu.
"Heh...?" Laki-laki berpakaian hitam itu terjingkat kaget. Kepalanya segera menoleh ke arah asal suara itu. Dan kepalanya pun terangguk-angguk ketika melihat Dewa Arak.
"Dewa Arak...! Ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka aku mendapat kehormatan untuk melenyapkanmu selama-lamanya dari muka bumi ini!" Sambil berkata demikian, lelaki berpakaian hitam yang ternyata Rupaksa melangkah menghampiri Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak melangkah menghampirinya. Dewa Arak sama sekali tidak terkejut melihat tidak adanya cambang bauk lebat yang menghiasi wajah Rupaksa. Jelas, cambang bauk itu palsu!
"Sungguh tidak kusangka kalau kau yang menjadi Iblis itu, Rupaksa! Berarti semua cerita yang kau suguhkan padaku bohong belaka. Bukan begitu, Iblis Berwajah Manusia?!"
"Ha ha ha.... Kau tidak menyangka, bukan? Sebenarnya semua ceritaku tidak salah. Dewa Dungu. Hanya saja mengenai lakon aku dan Eyang Baranang Siang, kedudukannya kurubah. Sebenarnya, akulah yang di pihak yang selalu merasa iri padanya. Maka secara diam-diam semua ilmu hitam milik leluhurku kupelajari untuk menghadapinya. Kau tahu, kenapa itu kulakukan?" tutur Rupaksa. "Dengar! Ini karena dendam lama! Setelah keparat Baranang Siang membuat iri hatiku, dia juga telah merebut kekasihku! Tapi untuk mengalahkannya aku tidak mampu. Maka hanya inilah jalan satu-satunya. Walaupun ilmu 'Halimun'ku belum sempurna betul, tapi aku sudah sanggup untuk mengalahkanmu, Dewa Dungu! Kau harus mati!"
Setelah berkata demikian, Rupaksa langsung mengirimkan serangan ke arah Dewa Arak. Serentetan pukulannya yang bertubi-tubi diarahkan ke ulu hati dan dada lawan. Angin berkesiutan nyaring, mengiringi serangan itu. Jelas betapa kuatnya tenaga dalam Rupaksa.
Karuan saja, kerumunan penduduk itu membuyar. Sementara, Dewa Arak yang tidak ingin ada orang yang terluka apabila serangan itu dielakkan menangkis.
Plak, plak, plak...!
Laki-laki berpakaian hitam alias Rupaksa terhuyung-huyung dua langkah ke belakang akibat tangkisan itu. Sementara, Dewa Arak hanya terhuyung selangkah ke belakang. Dari benturan ini saja sudah bisa diukur kehebatan tenaga dalam Dewa Arak.
Rupaksa terkejut juga ketika menyadari kalau kekuatan tenaga dalam lawan ternyata berada di atasnya. Apalagi ketika tangannya terasa sakit-sakit. Meskipun begitu, bukan berarti hatinya menjadi gentar. Bahkan kemarahannya justru semakin berkobar.
Di pihak Dewa Arak begitu tubuhnya terhuyung langsung digunakan untuk meraih guci peraknya. Arak dalam guci itu segera dituangnya ke mulut.
Gluk... gluk.. gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak. Perut dan kepalanya segera dialiri hawa hangat. Kemudian, tubuhnya mulai oleng ke kanan dan ke kiri. Kini Dewa Arak telah bersiap menghadapi lawannya dengan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Diiringi teriakan menggeledek, Rupaksa melancarkan serangan ke arah Dewa Arak. Tapi mudah sekali Dewa Arak dapat mengelakkan serangan itu dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' andalannya. Tentu tidak hanya itu saja yang dilakukan Dewa Arak. Serangan balasan yang tak kalah dahsyat pun segera dikirimkannya. Sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Di saat kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu terlibat pertarungan, Melati dan Giwali tiba. Melati langsung menyaksikan jalannya pertarungan.
Sementara, Giwali segera memburu tubuh Eyang Baranang Siang yang tengah duduk bersila untuk memulihkan lukanya. Kemudian, dia berdiri di sebelah gurunya. Pandangan matanya tanpa berkedip tertuju ke arah pertempuran yang tengah berlangsung.
Memang dahsyat pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak melawan Rupaksa. Meskipun Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu masih di bawah Dewa Arak dalam ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam, tapi berkat memiliki ilmu-ilmu aneh yang membingungkan, dia masih mampu mengimbangi. Bahkan sampai hampir seratus jurus pertarungan berlangsung masih seimbang.
Sementara itu keadaan di sekitar kancah pertarungan sudah tidak karuan lagi. Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon-pohon bertumbangan menimbulkan suara bergemuruh. Angin berkesiutan mengiringi setiap gerakan Dewa Arak dan Rupaksa.
Sedikit demi sedikit pertarungan mulai berpindah tanpa disadari. Bahkan mereka seperti tidak peduli ketika titik-titik air dari langit mulai membasahi bumi. Menjelang jurus keseratus sepuluh, Rupaksa melempar tubuhnya ke belakang sehabis melancarkan serangan bertubi-tubi sehingga harus memaksa Dewa Arak mundur.
"Huppp...!"
Begitu mendarat di tanah, Rupaksa langsung berdiri dengan kedua kaki dirapatkan. Kedua tangannya, dipertemukan di depan dada dengan jari-jari terbuka lurus ke atas. Sepasang mata Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu pun terpejam.
Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Dengan waspada, diperhatikannya gerak-gerik lawan. Dia ingin tahu, apa yang ingin dilakukan Rupaksa.
Perlahan-lahan, muncul asap disekeliling tubuh Rupaksa. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin menebal. Dan seiring munculnya asap itu, tubuh Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu mulai lenyap dari pandangan.
"Ilmu Halimun...," desis Eyang Baranang Siang yang sudah selesai mengobati luka dalamnya. Raut wajah kakek berpakaian putih ini memperlihatkan keterkejutan yang amat sangat.
Bukan hanya Eyang Baranang Siang saja yang merasa terkejut. Tapi juga Dewa Arak, Giwali, Melati dan seluruh penduduk yang menyaksikan. Dengan mata terbelalak mereka semua memperhatikan tubuh Rupaksa yang semakin lama semakin tidak terlihat dan akhirnya lenyap sama sekali.
"Ha ha ha...! Dewa Arak..! Sekarang hadapilah ilmuku ini. Ha ha ha...!"
"Jangan gugup. Dewa Arak! Jangan kau pergunakan matamu untuk melawannya," seru Eyang Baranang Siang memberi nasihat.
Sebenarnya tanpa diberi tahu pun, Dewa Arak telah mengerti. Gurunya, Ki Gering Langit memiliki banyak ilmu gaib yang sukar diterima akal. Dan darinya pula Arya mendapat sedikit pengertian mengenai ilmu-ilmu gaib yang masih ada di dunia persilatan. Tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak memejamkan mata. Kini kedua belah telinganya digunakan untuk mengetahui, keberadaan lawan, dan tibanya serangan.
Tapi karena Rupaksa memiliki tingkat kepandaian yang hampir sejajar dengannya, Dewa Arak jadi dibuat kedodoran. Setiap kali serangan Rupaksa datang, dia hanya mampu bergerak mengelak tanpa membalas. Kini keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, Dewa Arak telah dibuat pontang-panting untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Beberapa kali untuk mengurangi desakan yang bertubi-tubi, serangan yang dilancarkan hanya membabi buta. Untungnya berkat keanehan jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak berhasil menyelamatkan diri dari setiap serangan maut Rupaksa.
Di bawah selimut malam dan siraman hujan yang rintik-rintik, terjadi pertarungan aneh. Dewa Arak seperti orang gila saja layaknya. Dia melompat menunduk, dan sesekali memukul, tanpa ketahuan siapa yang tengah dilawannya.
Belasan jurus kembali telah berlalu. Namun selama itu, tak satu pun serangan Rupaksa yang berhasil mendarat di sasaran. Dewa Arak dengan keanehan jurus 'Delapan Langkah Belalang' selalu berhasil mengelak setiap serangan lawan meskipun dengan susah payah. Dan kini, Dewa Arak juga sudah membuka matanya. Pada kenyataannya, dia seperti melawan angin saja.
Walaupun tengah bergulat dengan maut, Dewa Arak tetap memutar otak untuk mencari cara, agar dapat memunahkan ilmu lawannya. Kini satu hal telah diketahuinya. Tubuh Rupaksa tetap berada di sekitar pertarungan, namun tidak terlihat. Memang, Rupaksa menggunakan ilmu yang membuat tubuhnya tidak bisa dilihat orang. Jadi, harus dicari sebuah cara agar tubuh lawannya jadi terlihat.
"Akh...!" Dewa Arak menjerit ketika mata kakinya terhantam sesuatu yang diyakini pasti kaki Rupaksa. Rupanya, Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu menyerang dengan sapuan kaki, ketika Dewa Arak baru saja mendaratkan kaki di tanah, sehabis menghindari sebuah serangan. Tak pelak lagi, tubuh Dewa Arak pun terjatuh, tepat di tanah berlumpur yang tergenang air berwarna kecoklatan.
Pyarrr...! Air berwarna kecoklatan dan lumpur memercik ke sana kemari. Dalam suasana yang terang benderang oleh cahaya obor, tampak sepasang mata Dewa Arak terbelalak. Ternyata beberapa percikan air kecoklatan dan lumpur itu terapung di udara, seperti menempel pada sesuatu yang tidak nampak. Tanpa berpikir lagi Dewa Arak pun tahu, air kecoklatan itu pasti melekat di bagian tubuh Rupaksa!
Hampir meledak dada Dewa Arak karena rasa gembira yang amat sangat. Tampak percikan air kecoklatan dan lumpur itu bergerak cepat ke arahnya, disusul deru angin keras. Jelas, Rupaksa tengah melancarkan serangan.
Maka, Dewa Arak segera menggulingkan tubuhnya di tanah becek, seraya mengibaskan tangannya yang telah berlumur air kecoklatan yang berlumpur. Dan seperti yang sudah diduga, percikan air kecoklatan dan lumpur seperti tertahan di udara.
Kini, semakin banyak percikan air kecoklatan dan lumpur yang menempel di udara. Dan dengan sendirinya, semakin terlihatlah sosok Rupaksa. Dan itu berarti ilmu 'Halimun'nya sudah tidak ada gunanya lagi. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya ke arah lawan. Langsung dilancarkannya jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!" Tubuh Rupaksa melayang deras ke belakang. Darah segar mengucur saat tubuhnya melayang di udara.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Rupaksa ambruk di tanah becek. Sesaat tubuh itu berkelojotan, kemudian diam tidak bergerak lagi. Mati!
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat seraya bangkit dari berbaringnya. Kemudian dia melangkah menuju ke arah Melati yang telah berlari cepat ke arahnya. Raut kecemasan masih belum lenyap dari wajah gadis berpakaian putih itu. Apalagi ketika melihat Dewa Arak tadi terjatuh. Hampir saja dia terjun ke dalam kancah pertarungan.
"Kau hebat. Dewa Arak...!" puji Eyang Baranang Siang seraya melangkah menyambuti. "Kau berhasil menemukan cara untuk memunahkan ilmu 'Halimun' itu."
"Hanya kebetulan, Eyang Baranang Siang," sahut Arya jujur.
"Sayang, aku mengetahui semua ini setelah sudah ada korban jatuh," keluh Eyang Baranang Siang menyesali dirinya sendiri. "Hhh...! Tak kusangka kalau Rupaksa akan sejahat ini. Bahkan dia sampai hati membunuh Suraba orang yang telah menanam budi besar padanya. Suraba telah berusaha keras membujuk bibi Giwali agar suka berjodoh dengannya."
"Sudahlah, Eyang. Tidak perlu disesali lagi. Toh, sumber kejahatan itu telah berhasil dilenyapkan," hibur Arya.
Eyang Baranang Siang hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"O, ya, Eyang. Maaf, kami tidak bisa tinggal lebih lama lagi karena ada urusan lain yang harus diselesaikan," ucap Arya lagi.
Eyang Baranang Siang hanya mengangkat bahu saja. Dia tidak berusaha menahan, karena tahu kalau Dewa Arak memang tidak bisa ditahan lagi. Memang terasa adanya nada kesungguhan dalam ucapan Arya.
Dewa Arak menyentuh tangan Melati. Dan hampir berbarengan, sepasang pendekar muda ini melesat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh mereka telah berubah menjadi titik hitam yang semakin mengecil di kejauhan.
Sementara, puluhan pasang mata menatap kepergian Dewa Arak dan Melati dengan pandangan kagum. Baru setelah tubuh pasangan pendekar muda itu tak terlihat lagi, mereka beranjak menghampiri mayat Rupaksa.
"Eyang, apakah Rukmini sudah ditemukan?" tanya Giwali.
"Sudah, Giwali. Dia ditemukan di tepi pemakaman, ketika Rupaksa akan membuangnya di sana setelah dibunuh dan dinodai terlebih dahulu," Ki Dungkul Taji yang mengikuti.
"Dan, saat Rupaksa dipergoki oleh Eyang Baranang Siang, hingga bertarung," tambah Permana.
"Yahhh... Ternyata ilmu Halimun Rupaksa belum sempurna. Dia masih membutuhkan satu orang gadis lagi, tapi sudah lebih dahulu terbongkar kedoknya. Mudah-mudahan saja tidak ada lagi orang yang menuntut ilmu seperti itu," desah Eyang Baranang Siang.
Kini para penduduk Desa Sampar dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti segera menggotong mayat Rupaksa. Lalu, mereka bersama-sama menuju ke Perguruan Kelabang Sakti untuk mengantarkan mayat itu ke sana. Kini, hari hampir menjelang pagi. Sayup-sayup terdengar kokok ayam yang bersahut-sahutan, mengiringi langkah-langkah mereka.
SELESAI
Selanjutnya,