Dewa Arak - Kemelut Rimba Hijau

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Kemelut Rimba Hijau karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Kemelut Rimba Hijau

SATU

Hari sudah agak siang. Kicau sang burung-burung sudah tidak seramai sebelumnya. Angin yang bertiup pun terasa tidak begitu nikmat lagi di kulit. Memang, sang surya sudah sejak tadi muncul di ufuk Timur, mengiringi perjalanan sebuah kereta kuda yang dikawal delapan orang penunggang kuda.

Para pengiringnya rata-rata memiliki wajah maupun sikap gagah. Kereta kuda itu ternyata juga tidak memakai kusir. Jadi jalannya kereta itu karena tali kekang kuda penariknya ditarik oleh seorang pengawal yang berada di depan.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
Rombongan kereta kuda itu tampak bergerak pelan di dalam hutan Kaji. Sebuah hutan yang cukup lebat dan ditumbuhi pohon-pohon besar berdaun rimbun, sehingga menghalangi pancaran sinar matahari yang berhasil menerobos lebatnya hutan hanya berupa bias sinarsinar yang berbentuk cahaya memanjang. Meskipun demikian, cukup membuat suasana di dalam hutan jadi terang.

Para pengiring kereta kuda itu masing-masing empat berada di depan, dan yang empat lagi berada di belakang. Menilik dari gerak-geriknya, bisa diduga kalau mereka benar-benar bertugas sebagai pengawal kereta.

Memang, sebenarnya mereka bertugas sebagai pengawal barang-barang kiriman yang dibawa kereta kuda itu. Pada bagian badan kereta kuda tampak sehelai kain panjang berwarna putih bersih, bergambar seekor harimau bersayap yang disulam dari benang warna merah. Gambar serupa tampak pula pada bagian dada kiri pakaian para pengawal yang berwarna putih bersih itu.

Seorang yang bertubuh kekar dan berkumis tebal rupanya menjadi pemimpin rombongan ini. Terbukti, dialah yang berkuda paling depan sambil memberi aba-aba.

"Kakang Sangga Juwana," sapa salah seorang dari empat orang yang berkuda paling depan.

Laki-laki berkumis tebal yang ternyata bernama Sangga Juwana itu menoleh ke arah orang yang menyapanya. Dia seorang laki-laki bertubuh kekar berotot dan berwajah persegi.

"Ada apa, Lantar?" tanya Sangga Juwana.

"Begitu berhargakah kiriman yang harus kita antarkan, sehingga sampai-sampai guru menyuruhmu ikut dalam rombongan ini? Padahal, biasanya kau tidak pernah diikut-sertakan."

Dua orang penunggang kuda lainnya yang berada di depan kereta menganggukkan kepala, pertanda membenarkan ucapan Lantar. Sementara, Sangga Juwana menyunggingkan senyum lebar sebelum menjawab pertanyaan Lantar.

"Mungkin kau benar, Lantar. Sayang sekali, aku juga tidak tahu barang yang akan kita antarkan ini. Tapi menilik dari pesan guru yang memperingatkan agar kita lebih meningkatkan kewaspadaan, bisa diperkirakan kalau barang yang akan dikirim ini benar-benar berbahaya. Oleh karena itu, kuharap kalian semua lebih meningkatkan kewaspadaan."

"Jangan khawatir, Kang," jawab Lantar mantap. "Aku pun tidak ingin memupuskan kepercayaan orang yang menitipkan barang-barang ini, karena kita tidak sanggup mengantarnya sampai tujuan."

"Benar, Kang," sambut orang yang berwajah bulat "Kalau hal itu terjadi, langganan kita akan lari ke Perguruan Naga Laut."

"Syukur kalau kau pun tahu itu, Guntar," sahut Sangga Juwana. "Memang, Perguruan Naga Laut adalah saingan kuat kita dalam hal pengiriman barang."

"Tapi, toh Perguruan Harimau Terbang tidak kalah dengan Perguruan Naga Laut. Buktinya, orang-orang lebih suka menitipkan barang kiriman pada kita," sanggah Lantar bernada sombong.

"Buang jauh-jauh sikap seperti itu, Lantar," tegur Sangga Juwana sambil menatap tajam wajah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.

"Maafkan aku, Kang. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri," sahut Lantar dengan kepala tertunduk.

"Lupakanlah," desah Sangga Juwana, tanpa mampu memperpanjang persoalan.

Kini, iring-iringan Perguruan Harimau Terbang melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Langkah pelan kaki kuda yang menapak tanah, dan disertai derit pelan suara roda kereta, memecah keheningan hutan. Karena, Sangga Juwana dan rekan-rekannya sama sekali tidak terlibat dalam percakapan lagi. Sikap mereka semuanya tampak waspada, memperhatikan sekeliling hutan.

"Hati-hatilah," ujar Sangga Juwana memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka. "Kudengar, di hutan ini ada gerombolan perampok..."

"Tapi, Kang.... Gerombolan perampok disini telah kami hancurkan beberapa waktu yang lalu," bantah Lantar.

Sangga Juwana menatap wajah Lantar sekilas. Seakan-akan dia ingin mencari kebenaran di wajah laki-laki kekar berotot itu. "Meskipun benar begitu, kita harus tetap berhati-hati. Beritahukan pada rombongan di belakang, agar bersikap lebih waspada."

"Baik, Kang," sahut Lantar, tak berani membantah lagi. Disadari ada kebenaran dalam ucapan laki-laki berkumis tebal itu.

Lantar lalu bersiul. Tentu saja disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga terdengar sampai ke rombongan belakang. Inilah tanda rahasia untuk bersikap hati-hati. Baru saja siulan itu lenyap, mendadak....

Singgg.... Cappp!

Diiringi suara mendesing nyaring, tiba-tiba sebatang tombak meluncur dan menancap di tanah. Tepat, hanya beberapa tombak di depan Sangga Juwana dan ketiga rekannya. Tentu saja hal itu mengejutkan seluruh anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang. Kontan Sangga Juwana dan ketiga rekannya menarik tali kekang kuda, lalu baru diikuti yang lain. Dan didahului suara ringkikan nyaring, kuda-kuda itu menghentikan langkahnya sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas.

Srat, srat, srat..!

Sinar-anar keperakan langsung berkelebatan ketika Sangga Juwana dan semua rekannya mencabut pedang masing-madng, yang bergagang kepala harimau. Dan sambil tetap memegangi tali kekang kuda dengan tangan kiri agar binatang itu tidak menjadi liar, rombongan Perguruan Harimau Terbang mengedarkan pandangan berkeliling. Sikap mereka tampak waspada. Bahkan tangan yang menggenggam pedang tampak sudah mengejang penuh tenaga.

Tidak percuma mereka bersikap demikian. Karena sesaat kemudian, terdengar suara berkerosakan keras. Lalu, disusul bermunculannya sosok-sosok tubuh dari balik kerimbunan semak-semak di depan iring-iringan rombongan itu.

Melihat hal ini, penunggang-penunggang kuda yang berada di belakang kereta langsung bergerak ke depan, bergabung dengan rombongan Sangga Juwana. Meskipun demikian, dua di antara mereka tetap berjaga-jaga di belakang kereta. Mereka bersiap-siap untuk menghadapi hal yang tidak diinginkan.

Para penghadang yang berjumlah lima belas orang itu rata-rata bertubuh kekar dan bersikap liar. Menilik cara kemunculan mereka, bisa ditebak kalau mereka bermaksud tidak baik.

"Siapa kalian?! Mengapa menghadang perjalanan kami?!" tanya Sangga Juwana tidak mau bersikap sembrono.

"Ha ha ha...!" Suara tawa bergelak yang keluar dari seorang laki-laki berkepala botak menjadi jawaban pertanyaan Sangga Juwana tadi. Sekujur wajah laki-laki itu tampak dipenuhi kumis, cambang, dan jenggot yang kasar serta lebat.

Rupanya, laki-laki berkepala botak ini adalah pimpinan rombongan penghadang itu. Buktinya, ketika dia tertawa, belasan orang kasar lainnya tertawa bergelak.

Meskipun mendapat sambutan seperti itu, Sangga Juwana tetap bersikap tenang. Raut wajahnya sama sekali tidak menyiratkan ketegangan. Hanya sinar matanya tampak sekelebatan berkilat, pertanda amarahnya mulai bangkit.

Berbeda dengan Sangga Juwana yang mampu mengekang amarah, ternyata Lantar tidak demikian. Perasaannya kontan tersinggung bukan kepalang melihat perlakukan belasan orang kasar itu. Suara bergemeretak keras dari gigi-giginya yang beradu karena perasaan geram, menjadi pertanda kemarahannya.

"Anjing-anjing kurap dari mana kalian?!" teriak Lantar keras dan lantang "Aku yakin, kalian bukan perampok-perampok Hutan Kaji. Karena, semua perampok di sini telah kami basmi beberapa waktu yang lalu!"

Keras dan kasar bukan kepalang makian yang dilontarkan Lantar. Sehingga, bukan hanya membuat belasan orang kasar itu menghentikan tawa, tapi juga membuat Sangga Juwana terkejut. Dia pun sadar, bentrokan tidak akan bisa dihindari lagi. Laki-laki berkumis tebal itu tidak menyangka kalau Lantar akan bersikap seperti itu.

"Semula, kami tidak ingin bertindak kejam, kecuali mengambil barang kiriman kalian. Tapi, kini kami berubah pikiran. Di samping barang itu, kami juga ingin ambil nyawa kalian semua!" tegas lelaki berkepala botak.

"Kau lucu, Kisanak," sambut Sangga Juwana, tenang. Bagi kami, lebih baik mati daripada kehilangan barang kiriman. Kami adalah orang yang dipercayakan mengawal barang. Bagi kami, keberadaan barang ini lebih berharga ketimbang nyawa kami. Sikap kami tidak main-main lagi bila kau terus melanjutkan keinginan untuk mengambil barang!"

"Keparat! Kau tahu, dengan siapa berhadapan sekarang?!" bentak laki-laki berkepala botak, sete-ngah menggertak.

Sangga Juwana menggelengkan kepala. "Sudah banyak aku mengenal tokoh persilatan, baik aliran hitam maupun putih. Tapi aku belum pernah bertemu atau mengenal tokoh sepertimu," lanjut Sangga Juwana.

"Keparat! Rupanya kau mencari mampus sendiri, Kunyuk! Serbu...!" teriak laki-laki berkepala botak memberi aba-aba pada kawan-kawannya.

Maka, serentak belasan orang kasar itu menyerbu rombongan Sangga Juwana. Disertai teriakan-teriakan keras membahana, mereka meluruk maju dengan senjata terhunus di tangan. Namun Sangga Juwana dan kawan-kawannya memang sudah siaga sejak tadi. Mereka menyambut serangan ini dengan lompatan lincah laksana kera dari punggung kuda.

Para pengawal kereta barang ini langsung bergerak menyongsong serbuan belasan orang laki-laki kasar itu. Sementara dua orang pengawal barang lainnya hanya berjaga-jaga di belakang kereta. Kedua orang itu tidak ikut bertarung, karena harus menjaga kereta.

Pertarungan antara para pengawal barang kiriman dari Perguruan Harimau Terbang menghadapi lima belas orang kasar pun tidak bisa dielakkan lagi.

Trang, trang..!

Dentang senjata beradu diiringi percikan bunga-bunga api ke udara menyemaraki bentrokan yang terjadi. Apalagi, kedua belah pihak mengerahkan sekuruh kemampuan yang dimiliki. Maka yang terjadi adalah pertempuran yang benar-benar menegangkan.

Sadar kalau laki-laki berkepala botak itu bertindak sebagai pemimpin, yang sudah pasti memiliki kepandaian paling tinggi, Sangga Juwana tidak tanggung-tanggung lagi menghadapinya. Sedangkan Lantar, Guntar, dan yang lainnya menghadapi belasan orang kasar itu. Sementara, dua orang lagi tetap berjaga-jaga.

"Hiaaat...!" Laki-laki berkepala botak itu berteriak keras sambil melancarkan serangan bertubi-tubi. Senjata andalannya berupa golok besar yang salah satu matanya bergerigi dikelebatkan cepat ke leher lawan.

Wuttt...! Sambaran golok itu ternyata hanya mengenai tempat kosong, ketika Sangga Juwana menundukkan kepala sedikit. Bahkan sebaliknya, serangan balasan Sangga Juwana yang berupa sapuan kaki telah memaksa laki-laki berkepala botak itu melompat mundur. Namun sambil melompat mundur, goloknya dibabatkan untuk mencegah pengejaran lawan.

Dan memang, usaha laki-laki berkepala botak itu tidak sia-sia. Buktinya, Sangga Juwana terpaksa menahan serangan untuk memburu lawannya, kalau tidak ingin terbacok! Sesaat kemudian, kedua orang itu sudah terlibat pertarungan sengit. Namun bukan hanya pertarungan antara kedua orang pemimpin itu saja yang berlangsung sengit. Di tempat lain, pertarungan para pengawal kereta barang melawan para perampok juga tak kalah sengitnya.

Memang, meskipun jumlah orang-orang kasar itu dua kali lipat, tapi belum mampu mendesak para pengawal kereta barang. Hal itu terjadi karena kepandaian murid-murid Perguruan Harimau Terbang memang di atas anggota gerombolan perampok itu. Terutama sekali kepandaian Lantar dan Guntar. Dua orang ini biasanya bertindak sebagai pimpinan rombongan, apabila Sangga Juwana tidak ditunjuk guru mereka. Dan tentu saja sebagai pimpinan rombongan, mereka memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada para anggota lainnya.

Sekarang pun, baik Lantar maupun Guntar menghadapi keroyokan lawan-lawannya. Masing-masing menghadapi empat orang lawan. Sedangkan sisanya dihadapi oleh tiga orang anggota Perguruan Harimau Terbang Sementara, dua orang pengawal masih tetap berjagajaga di belakang kereta barang dengan sikap waspada. Sampai saat ini, memang belum ada perampok yang menyerang mereka.

Walaupun menghadapi lawan lebih banyak, tidak ada satu pengawal barang pun yang terdesak. Bahkan sebaliknya, pihak Perguruan Harimau Terbang tampak berada di atas angin. Terutama sekali, pertarungan antara Sangga Juwana menghadapi laki-laki berkepala botak. Tidak sampai lima belas jurus, pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu telah berhasil mendesak lawan.

Kini, laki-laki berkepala botak itu hanya bisa bertarung mundur. Serangan-serangannya yang semula bertubi-tubi, kini tampak tumpul kembali. Laki-laki berkepala botak itu sekarang lebih sering mengelak. Bahkan menangkis pun jarang dilakukan, karena hanya akan merugikan dirinya. Memang, tenaga dalam Sangga Juwana jauh lebih unggul daripada tenaga pimpinan orang-orang kasar itu. Beberapa kali ketika menangkis, laki-laki berkepala botak itu menyeringai. Tangannya tergetar hebat, dan jari-jari tangannya terasa seperti tersengat kala berbisa.

Sementara itu, dua anggota Perguruan Harimau Terbang yang tidak ikut bertempur, menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati lega. Mereka tahu, kemenangan di pihak para pengawal barang hanya tinggal menunggu waktu saja. Dugaan itu ternyata tidak salah. Karena beberapa saat kemudian terdengar jeritan menyayat, yang disusul oleh robohnya salah seorang dari pihak penghadang. Ternyata, pedang di tangan Lantar telah merobek lehernya.

Belum juga lenyap gema teriakan itu, segera menyusul jerit kematian lainnya. Kematian, susul-menyusul orang-orang kasar itu berguguran di tanah tanpa mampu bangkit lagi untuk selamanya. Maka dalam waktu sebentar saja, sudah lebih dari lima orang perampok yang tewas. Sedangkan lelaki berkepala botak itu pun tampaknya sudah terdesak hebat.

"Hiaaat...!" Sangga Juwana berteriak keras. Pedang di tangan kanannya ditusukkan bertubi-tubi ke arah leher lawan. Karuan saja hal ini membuat laki-laki berkepala botak itu terkejut bukan kepalang. Dia ingin mengelak, tapi sudah tidak memiliki kesempatan lagi. Maka, terpaksa serangan itu ditangkisnya.

Trang, tranggg...! Cappp!

Lelaki berkepala botak ini memang berhasil menangkis serangan Sangga Juwana. Tapi, serangan yang dilakukan laki-laki berkumis tebal itu begitu bertubi-tubi. Dan pada tusukan yang ketiga kalinya, laki-laki berkepala botak itu tidak mampu menangkis lagi. Akibatnya, pedang Sangga Juwana langsung memanggang lehernya!

Darah segar kontan menyembur keluar. Apalagi, ketika mencabut pedang itu. Maka darah semakin mengucur deras. Pimpinan perampok kasar itu rupanya memiliki kekuatan tubuh yang mengagumkan juga. Meskipun luka-luka yang dideritanya amat parah, tapi masih mampu berdiri beberapa saat lamanya dengan kedua kaki limbung.

Tapi, hanya beberapa saat saja lelaki berkepala botak itu mampu bertahan. Karena tak lama kemudian, dia roboh di tanah tanpa bergerak lagi untuk selamanya. Berbarengan dengan robohnya laki-laki berkepala botak itu, Lantar, Guntar, dan tiga orang anggota Perguruan Harimau Terbang telah berhasil pula merobohkan lawan-lawannya.

Dan hebatnya, tidak ada seorang pun anggota Perguruan Harimau Terbang yang tewas. Bahkan terluka berat pun tidak. Meskipun demikian, ternyata seorang di antara mereka yang menderita luka ringan.

Trek! Sangga Juwana memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangkanya. Demikian pula yang dilakukan rekan-rekannya. Kemudian setelah memperhatikan mayat orang-orang kasar itu sejenak, mereka beranjak menghampiri binatang tunggangan mereka.

"Hup!" Indah dan manis gerakan anggota-anggota Perguruan Harimau Terbang itu saat melompat ke atas punggung kuda.

"Mari kita lanjutkan perjalanan," kata Sangga Juwana memberi perintah sambil mengibaskan tangannya.

Setelah memberi aba-aba demikian, laki-laki berkumis tebal ini menggeprak pelan tali kekang kudanya. Mulutnya pun berdecak pelan, memberi tanda pada binatang tunggangannya untuk segera berangkat. Maka, kuda itu pun melangkah perlahan.

Lantar, Guntar, dan yang lainnya pun berbuat hal yang sama. Maka, sesaat kemudian rombongan Perguruan Harimau Terbang telah kembali melanjutkan perjalanan. Pengawalan pun telah seperti semula. Empat orang berada di belakang, dan empat orang berada di depan kereta. Hanya saja, kedudukan Guntar diubah. Dia tidak lagi berada di depan, melainkan di belakang. Hal ini karena atas perintah Sangga Juwana. Sangga Juwana ingin, di rombongan belakang juga mempunyai orang yang dapat diandalkan. Jadi tidak semua tokoh yang memiliki kemampuan tinggi berada di depan.

Suara tapak kaki kuda dan derit roda kereta terdengar kembali. Rombongan Perguruan Harimau Terbang melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan barang kiriman ke tempat yang telah ditentukan.

* * * * * * * *

DUA

Waktu berjalan sesuai kodratnya. Dan kini, sang surya tidak lagi berada di langit sebelah Timur. Tapi, tepat berada di atas kepala. Warna dan bentuknya pun sudah mulai berubah. Tidak lagi merah dan besar seperti waktu pagi. Tapi kecil dan menyilaukan mata. Seiring letak matahari yang telah berubah, suasana di persada pun berganti. Tidak lagi sejuk seperti sebelumnya, melainkan panas menyengat kulit. Bahkan angin yang berhembus pun terasa kering.

"Hooop...!"

Sangga Juwana mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Berbarengan dengan itu, tangan kirinya menarik tali kekang kudanya. Dengan sendirinya, langkah binatang tunggangannya pun berhenti. Lantar dan yang lainnya pun menghentikan langkah kudanya pula.

"Kita beristirahat di sini," ujar Sangga Juwana.

Lantar memandang berkeliling. Diam-diam hatinya memuji tempat yang dipilih Sangga Juwana untuk beristirahat. Terlihat sejuk, karena terlindung pepohonan lebat. Sehingga, sinar matahari tidak mampu menerobos masuk ke tempat itu.

"Bagaimana, Lantar?" tanya Sangga Juwana, meminta pendapat. Laki-laki berkumis tebal itu tahu kalau Lantar tengah menilai tempat beristirahat yang dipilihnya. Itulah sebabnya pertanyaan seperti itu diajukannya.

"Kau memang pintar memilih tempat, Kang," puji Lantar sambil mengacungkan ibu jari tangan kanannya.

"Ha ha ha...!" Sangga Juwana tertawa terbahak-bahak. "Kau memang pintar mengangkat perasaan orang, Lantar!"

"Lho?! Aku mengatakan yang sebenarnya, Kang!" sambut Lantar cepat. "Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada Guntar!"

"Tidak perlu, Lantar. Aku percaya padamu. Lebih baik, kita lupakan masalah itu. Mari lata istirahat dan mengisi perut. Setuju?!"

"Tidak usah kau tanyakan lagi, Kang. Memang sudah sejak tadi perutku menjerit-jerit minta diisi. Pertempuran tadi rupanya telah membuat perutku lebih cepat lapar," sergah Lantar.

"Itulah sebabnya kalian semua kuajak beristirahat," tegas Sangga Juwana. "Karena aku pun merasa lapar juga."

Usai berkata demikian, Sangga Juwana langsung melompat turun dari kudanya diikuti yang lainnya. Sesaat kemudian mereka semua sudah duduk di atas rerumputan hijau tebal yang menghampar laksana permadani.

Sementara, kuda-kuda mereka dibiarkan istirahat sambil menikmati rumput-rumput hijau segar yang terhampar luas. Sama sekali tak ada perasaan khawatir kalau binatang-binatang itu akan kabur.

Dengan perasaan tenang, rombongan Perguruan Harimau Terbang mulai mengeluarkan bekal makanan yang dibawa. Nasi, ikan bakar, sambal terasi, dan arak.

"Lantar!" panggil Sangga Juwana sebelum mulai menyentuhkan tangan pada bekalnya.

"Ya, Kang," sahut Lantar, cepat. Laki-laki bertubuh kekar berotot itu langsung mengalihkan pandangan dari bekal yang dibawanya.

"Kurasa, ada baiknya sebelum kita makan kau mencari air dulu. Tanganku kotor sekali. Penuh debu."

Lantar melirik ke arah tangannya. Ternyata, sama seperti yang dikatakan laki-laki berkumis tebal itu. Maka mangkuknya diletakkan, lalu bangkit berdiri.

"Apakah di sekitar tempat ini ada sungai, Lantar?" tanya Sangga Juwana lagi.

Lantar membalikkan tubuhnya. "Sepengetahuanku, di dekat sini ada sungai, Kang."

"Kalau begitu, lekaslah," perintah Sangga Juwana.

"Tapi, ingat. Jangan tinggalkan kewaspadaan, Lantar."

"Beres, Kang." Lantar pun beranjak meninggalkan anggota Perguruan Harimau Terbang lainnya.

Sementara, Sangga Juwana dan yang lain mulai terlibat dalam percakapan. Tapi, tentu saja tanpa melepaskan perhatian pada kereta yang berisikan barang kiriman.

Dengan agak tergesa-gesa, Lantar mengayunkan langkahnya. Dia ingin secepatnya tiba disungai untuk mengambil air. Perutnya sudah lapar bukan kepalang. Memang, Lantar tidak berdusta pada Sangga Juwana. Sungai yang ditujunya memang tidak jauh dari tempat rekan-rekannya beristirahat. Paling jauh, hanya berjarak sepuluh tombak. Hanya saja, letaknya tidak bisa terlihat dari tempat peristirahatan mereka karena terhalang pepohonan.

Sebentar kemudian, Lantar telah tiba di tempat yang dimaksud. Ternyata, bukan sungai seperti yang dikatakannya, melainkan sebuah mata air. Letaknya di bawah sebatang pohon besar dengan garis tengah tak lebih dari satu setengah tombak.

Lantar tersenyum melihat air yang terlihat amat jernih itu. Kelihatannya segar sekali kalau wajahnya yang telah dipenuhi keringat ini dibasuh dengan air itu. Tapi itu nanti! Yang penting, sekarang memasukkan air yang jernih itu ke dalam guci besar yang dibawanya sebagai tempat menampung air.

Dengan hati-hati Lantar menenggelamkan guci itu ke dalam air. Dan ketika seluruh bagian guci telah terendam air, laki-laki kekar berotot ini lalu mengangkatnya ke atas. Mudah saja Lantar melakukannya, karena leher guci itu telah diikat dengan tali. Jadi dia hanya tinggal menarik saja.

Permukaan air tampak bergelombang ketika guci itu terangkat keluar. Lalu, Lantar meletakkannya di atas tanah. Lantar kemudian menggulung lengan bajunya, dan mengulurkan tangannya ke permukaan air. Memang, melihat jernihnya air itu, laki-laki kekar berotot ini tidak kuat menahan keinginannya untuk membasuh wajahnya. Kesegaran air itu sudah terasa pada kulit wajahnya, meskipun belum membasuhnya.

"Akh...!" Jeritan keras keluar dari mulut Lantar ketika kedua tangannya telah tercelup ke dalam air. Secepat itu pula, kedua tangannya ditarik. Dengan wajah pucat Lantar menatap kedua tangannya. Tampak warna kedua punggung tangannya merah seperti kepiting rebus. Memang, sakit yang diderita kedua tangannya ketika tercelup ke dalam air, membuat laki-laki kekar berotot buru-buru menarik tangannya.

Namun rasa panas membakar dan gatal-gatal yang luar biasa langsung mendera. Baik ketika kedua tangannya berada di dalam air, maupun sesudahnya. Wajah Lantar yang sudah pucat semakin pias ketika melihat warna merah yang semula hanya mencapai pergelangan tangannya kini bergerak naik ke atas. Demikian pula rasa panas dan gatal yang mendera.

Mendadak, telinga Lantar mendengar suara langkah-langkah kaki yang menuju ke arahnya. Maka, buru-buru kepalanya menoleh ke belakang. Dia bersiap-siaga untuk menghadapi segala kemungkinan.

Tapi, sekujur urat-urat syaraf di tubuhnya yang semula menegang kaku penuh kewaspadaan, langsung mengendur kembali. Ternyata, yang datang kedua orang rekannya sendiri, yakni Sangga Juwana dan salah seorang anggota Perguruan Harimau Terbang.

"Ada apa, Lantar?" tanya Sangga Juwana, cepat bernada khawatir. Raut kecemasan tampak jelas di wajah Sangga Juwana. Bahkan pertanyaan tadi diajukannya saat masih berada beberapa tombak dari Lantar.

Memang, jeritan yang keluar dari mulut Lantar terdengar sampai ke tempat peristirahatan rekan-rekannya. Begitu mendengar, Sangga Juwana langsung melesat bersama salah seorang rekannya. Dan rupanya kedatangan Sangga Juwana bersama rekannya ini tepat waktunya dengan Lantar memperhatikan tangannya.

"Aku tidak tahu, Kang. Yang jelas, tanganku jadi seperti ini ketika kucelupkan kedalam air ini," jelas Lantar sambil menunjukkan kedua tangannya.

Kemudian secara singkat, laki-laki kekar berotot menceritakan semua kejadiannya. Sementara Sangga Juwana memperhatikan tangan Lantar sambil mendengarkan cerita yang tengah dituturkan.

"Air itu pasti mengandung racun ganas, Lantar," jelas Sangga Juwana ketika Lantar telah menyelesaikan ceritanya.

"Aku juga menduga demikian, Kang. Lalu, apa yang harus kulakukan?" Baru kali ini Lantar merasa begitu tidak berdaya. Otaknya sama sekali tidak bisa digunakan untuk berpikir. Sedangkan sepasang matanya menatap wajah Sangga Juwana penuh permohonan.

Sangga Juwana tentu saja mengerti arti pandangan mata Lantar. Tapi apa dayanya? Pikirannya juga sama seperti Lantar. Bingung! Harus diakui, baru pertama kalinya dia melihat racun yang demikian ganas, dan menyebar demikian cepat. Untuk beberapa saat lamanya, pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang ini tertegun.

"Kang...?! Tanganku, Kang...?!"

Panggilan yang bercampur kengerian itu membuat Sangga Juwana kembali menatap ke arah tangan Lantar. Dan seketika itu pula, sepasang matanya terbelalak lebar. Betapa tidak? Jari-jari tangan Lantar ternyata mulai mencair seperti lilin terkena api!

Dan hal itu dimulai dari ujung-ujung jarinya. Sangga Juwana bingung bukan kepalang. Apalagi ketika tanda merah itu semakin merayap naik. Dan sekarang, tanda merah itu sudah hampir mencapai sikut!

Srattt..!

Sinar terang berkiblat ketika Sangga Juwana mencabut pedangnya. Melihat tindakan Sangga Juwana, karuan saja Lantar dan rekannya merasa heran. Apa yang hendak dilakukan laki-laki berkumis tebal itu?

Namun, Sangga Juwana sama sekali tidak mempedulikan keheranan dalam pandangan mata kedua rekannya. "Maafkan aku, Lantar. Terpaksa hal ini harus kulakukan, agar kau selamat! Kau jangan bertindak apa pun."

Setelah berkata demikian, Sangga Juwana langsung mengayunkan pedangnya, membabat kedua sikut Lantar.

Crasss...!

"Aaakh...!" Lantar menjerit ngeri ketika pedang Sangga Juwana membabat kedua sikutnya. Maka darah segar kontan membanjir ke luar.

Sedangkan Sangga Juwana segera melemparkan pedangnya ke tanah, lalu secepat kilat bergerak menghampiri Lantar. Segera ditotoknya jalan darah di sekitar luka, agar darah yang mengalir keluar terhenti. Memang, setelah Sangga Juwana menotok beberapa jalan darah di sekitar luka, aliran darah itu langsung terhenti.

"Hhh...!" Sangga Juwana menghela napas lega ketika melihat tidak ada warna kemerahan di tangan Lantar. Dengan pandangan mata sayu, ditatapnya wajah laki-laki kekar berotot itu.

Sementara itu, Lantar sama sekali tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Dia hanya berdiri mematung, dengan pandangan tertuju lurus, kedepan. Sekujur wajahnya dipenuhi butir-butir keringat sebesar biji jagung.

Sangga Juwana tahu perasaan yang bergolak di hati Lantar. Maka dengan langkah perlahan-lahan dihampirinya Lantar. Kemudian, ditepuk-tepuknya bahu laki-laki kekar berotot itu.

Sedangkan anggota Perguruan Harimau Terbang yang tadi datang bersama Sangga Juwana, sama sekali tidak berkata apa-apa. Seperti juga Lantar, hatinya begitu terkesiap melihat tindakan yang diambil Sangga Juwana. Raut keterkejutan pun masih tampak jelas pada wajahnya.

"Sudahlah, Lantar. Lupakanlah kedua tanganmu yang telah hilang itu. Walaupun sebenarnya aku menyesal melakukan hal ini, tapi penyesalanku akan lebih besar lagi apabila membiarkan kau tewas secara mengerikan. Yahhh..., hanya inilah satu-satunya yang bisa kulakukan untukmu," urai Sangga Juwana panjang lebar.

Lantar tetap diam. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa pun. Jelas, laki-laki kekar berotot ini mengalami pukulan batin yang amat kuat.

"Lantar, sadarlah," Sangga Juwana masih terus berusaha menyadarkan Lantar sambil memukul-mukul bahu Lantar. Malah kini, tidak lagi dipukul-pukulkan ke bahu, tapi ke pipi.

Plok, plok...!

Tapi usaha yang dilakukan Sangga Juwana sama sekali tidak menunjukkan hasil. Keadaan Lantar masih tetap seperti semula. Dia berdiri mematung dengan sepasang mata menatap tajam pada satu titik. Wajahnya pun tetap tidak berubah. Dingin tanpa gairah kehidupan apa pun!

"Hhh...!" Sangga Juwana menghela napas berat. Dia tahu, Lantar sangat terpukul menerima kenyataan kalau tangannya telah buntung. Memang sungguh tidak disangka, akan sebesar ini pukulan yang diterima laki-laki kekar berotot itu.

"Tampaknya dia sangat terpukul, Kang," kata anggota Perguruan Harimau Terbang yang datang bersama Sangga Juwana.

"Yahhh...! Kira-kira begitulah, Sarka," sahut Sangga Juwana setengah mendesah.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya orang yang bernama Sarka, ingin tahu. Sangga Juwana menatap Sarka sejenak, kemudian kembali menatap Lantar.

"Apa boleh buat," desah Sangga Juwana pelan. "Menyadarkan orang yang mengalami hal seperti ini, membutuhkan kekuatan hati."

"Aku belum mengerti maksudmu, Kang." Sarka mengernyitkan keningnya.

"Menghadapi orang yang mengalami guncangan batin seperti ini, membutuhkan kekuatan hati untuk melawan perasaan kita sendiri," jelas Sangga Juwana lagi.

Setelah berkata demikian, Sangga Juwana kembali mengalihkan perhatian pada Lantar. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat, seperti hendak membuang perasaan yang mengganjal hatinya. Mendadak Sangga Juwana mengayunkan tangannya. Dan....

Plak, plak, plak...!

Keras dan bertubi-tubi telapak tangan Sangga Juwana singgah di wajah Lantar. Kepala laki-laki kekar berotot itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri mengikuti gerak tamparan.

"Kang...!" seru Sarka, bernada tidak setuju. Memang, Sarka merasa tidak tega melihat Lantar yang baru saja mengalami kehilangan tangan harus menerima tamparan keras bertubi-tubi. Itulah sebabnya, mengapa dia mengeluarkan teriakan keras.

Tapi, Sangga Juwana sama sekali tidak mempedulikannya. Tangannya terus saja diayunkan untuk menampar wajah Lantar, dengan seluruh kekuatan tenaga kasarnya. Pada tamparan yang entah untuk keberapa belas kalinya, Lantar tidak diam begitu saja. Badannya tiba-tiba dicondongkan ke belakang, sehingga tamparan itu mengenai tempat kosong. Lewat beberapa jari di depan wajahnya.

Kontan Sangga Juwana menghentikan tamparannnya. Bibirnya menyunggingkan senyum getir ketika menatap Lantar. Raut wajah laki-laki kekar berotot itu membuat hati Sangga Juwana tersiksa. Wajah yang bengkak-bengkak. Bahkan sepasang matanya pun hampir tak terlihat, karena tertutup bengkak dan memar.

"Mengapa kau memukulku, Kang?" tanya Lantar, pelan. Bahkan hampir tak terdengar suaranya.

Sangga Juwana tersenyum getir, meskipun terselip perasaan gembira di hatinya ketika Lantar bisa disadarkan. "Maafkan aku, Lantar. Aku tidak menemukan jalan lain untuk menyadarkanmu, kecuali dengan cara itu," jelas Sangga Juwana, meminta pengertian laki-laki kekar berotot.

"Hahhh…?!" Lantar tersentak. Ucapan Sangga Juwana mengingatkannya kembali pada keadaan tangannya. Dengan pandangan mata sayu, ditatapnya kedua tangannya yang hanya sampai sikut saja. "Apa yang bisa kulakukan tanpa adanya kedua tangan, Kang?! Mengapa aku tidak dibiarkan mati saja? Hidup seperti ini malah akan menyiksa diriku!"

"Hhh...!" Sangga Juwana menghela napas berat. "Aku pun bisa merasakannya, Lantar. Tapi percayalah. Masih banyak hal yang bisa kau lakukan, meskipun kau tidak mempunyai tangan lagi. Kau toh, masih dapat menggunakan kaki," hibur Sangga Juwana sambil menepuk-nepuk pundak Lantar.

Lantar hanya memandang kedua tangannya yang telah buntung itu. Dia tampaknya masih belum percaya dengan keadaannya. Namun demikian, dia berusaha memaklumi maksud Sangga Juwana.

"Tenagamu masih kami butuhkan Lantar. Perjalanan kami masih panjang. Dan kau merupakan orang yang paling mengetahui keadaan," sambung Sangga Juwana.

Lantar masih terdiam. Namun, semangatnya yang tadi sudah hampir pudar pun timbul kembali. Sangga Juwana bukan orang bodoh. Dia tahu ucapannya itu mengenai sasaran. Maka buru-buru ditepuk-tepuknya bahu Lantar, kemudian secara halus diajaknya meninggalkan tempat itu.

"Mari kita kembali ke tempat peristirahatan, Lantar. Kawan-kawan yang lain sudah menunggu kita," ajak Sangga Juwana seraya melangkah meninggalkan tempat itu.

Tanpa banyak bicara, Sarka pun melangkah mengikuti. Dalam hati dipujinya kemampuan Sangga Juwana yang selalu saja menemukan cara untuk menemukan jalan keluar bagi setiap persoalan yang dihadapi.

* * * * * * * *

TIGA

"Hieeeh...!" Ringkik suara kuda membuat Sangga Juwana, Lantar, dan Sarka terperanjat. Nampaknya ringkikan itu menandakan kegelisahan. Dan hal ini menjadi pertanda kalau ada sesuatu yang membuat binatang-binatang itu ketakutan.

"Sarka...!" Sangga Juwana menolehkan kepala ke arah Sarka. "Kau berangkat lebih dulu. Lihat apa yang terjadi! Kalau tidak ada sesuatu, tak mungkin kuda-kuda itu akan demikian gelisah."

"Baik, Kang!" sahut Sarka cepat sambil berlari meninggalkan Sangga Juwana dan Lantar.

"Hieeeh...!" Kali ini ringkikan itu terdengar lebih keras dari sebelumnya. Bahkan bukan hanya itu saja. Berbarengan dengan terdengarnya ringkikan itu, terdengar pula derap kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam bumi. Menilik dari suaranya, jelas tidak hanya seekor kuda saja yang tengah berlari, tapi beberapa ekor!

Sangga Juwana dan Lantar saling berpandangan. "Sepertinya, kuda-kuda itu kabur, Kang," kata Lantar, pelan.

"Sepertinya memang begitu," sambut Sangga Juwana setelah mengernyitkan kening sejenak. "Apa saja sih, kerjanya yang lain? Mengapa tidak berusaha menenangkan kuda-kuda itu?"

Ada nada kejengkelan dalam pembicaraan laki-laki berkumis tebal. Hal ini wajar saja, bila mengingat bahwa Sangga Juwana telah ditimpa masalah yang bertubi-tubi dalam waktu sebentar saja. Persoalan yang satu belum tuntas, muncul persoalan lainnya. Siapa yang tidak menjadi jengkel?

Belum juga Lantar sempat mengatakan sesuatu sebagai sambutan atas kata-kata Sangga Juwana, terdengar siulan nyaring. Bunyinya mengingatkan orang akan suara burung perkutut.

"Tanda bahaya dari Guntar," desis Sangga Juwarna, setelah saling berpandangan sejenak dengan Lantar.

Laki-laki bertubuh kekar berotot itu menganggukkan kepala. "Kalau begitu, kita harus cepat, Kang," ajak Lantar. "Kalau tidak ada bahaya yang terlalu besar, Guntar tak akan mengirimkan tanda seperti itu."

"Kau benar, Lantar."

Kini kedua orang tokoh penting dari Perguruan Harimau Terbang ini segera berlari cepat. Perasaan gelisah akan keselamatan rekan-rekan mereka, membuat Lantar mampu berlari cepat. Rasa sakit yang mendera tangannya sama sekali tidak diingatnya lagi.

Berkat ilmu meringahkan tubuh yang sudah mencapai tingkat lumayan, tambahan lagi jarak tempat peristirahatan itu memang tidak terlalu jauh, sekejapan saja Lantar dan Sangga Juwana telah bisa melihat bahaya yang tengah mengancam rombongan mereka.

Di depan sana, tampak Guntar dan yang lain tengah berdiri di depan kereta, dengan pedang terhunus di tangan masing-masing. Tapi, sebenarnya bukan hal itu yang menarik perhatian Sangga Juwana dan Lantar, melainkan apa yang ada di sekeliling rekan-rekan mereka. Seketika baru disadari, mengapa kuda-kuda mereka kabur.

Betapa tidak? Di sekeliling rombongan Perguruan Harimau Terbang tampak puluhan, bahkan mungkin ratusan ekor ular dari berbagai jenis. Maka berdiri bulu tengkuk Sangga Juwana dan Lantar melihat pemandangan yang disaksikan.

Untuk sesaat lamanya Sangga Juwana dan Lantar terpaku dengan sepasang mata terbelalak lebar. Saat itu pula, pertanyaan bergayut di benak mereka. Dari mana munculnya ular sebanyak itu?

Tapi ketika tampak sosok yang tengah berdiri di hadapan rombongan Perguruan Harimau Terbang, seketika kedua orang ini baru mengerti. Memang, mereka telah banyak mendengar tentang sosok tubuh itu.

Sosok tubuh itu adalah seorang kakek kecil kurus, namun bermata picak. Pakaiannya hanya berupa sebuah rompi dan celana sebatas lutut, terbuat dari kulit ular. Di tangannya tampak tergenggam sebuah suling yang telah ditiupnya. Baik Sangga Juwana maupun Lantar tahu, alunan tiupan suling itulah yang telah mendatangkan ratusan ekor binatang melata yang menjijikkan itu.

Sosok tubuh itu dikenal Sangga Juwana dan Lantar sebagai tokoh sesat aliran hitam. Bahkan bukan hanya sekadar tokoh, melainkan seorang datuk golongan hitam. Dia adalah satu di antara tiga datuk yang merajai dunia persilatan. Julukannya Raja Ular Beracun, dan dia adalah datuk sesat yang merajai daratan.

Raja Ular Beracun menolehkan kepala ke arah Sangga Juwana dan Lantar tanpa menghentikan tiupan sulingnya yang bernada aneh di telinga. Memang, nada aneh inilah yang menyebabkan datangnya ular-ular yang ada di hutan itu.

Sangga Juwana dan Lantar menoleh ketika mendengar suara berkerosakan di belakang mereka. Maka seketika keduanya terperanjat saat melihat banyak sekali ular yang tengah merayap ke arah Raja Ular Beracun.

Srattt..!

Khawatir akan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, Sangga Juwana segera mencabut pedangnya. Dia bersiap-siap untuk melindungi dirinya dan Lantar, apabila binatang-binatang melata yang menjijikkan itu menyerang.

Tapi kekhawatiran Sangga Juwana sama sekali tidak beralasan. Binatang-binatang itu sama sekali tidak mempedulikan keberadaan mereka. Ular-ular itu terus saja merayap melewati Sangga Juwana dan Lantar. Bahkan beberapa di antaranya ada yang melewati selasela kaki dua orang tokoh penting Perguruan Harimau Terbang itu. Tampak jelas kalau ular-ular itu ingin segera tiba di tempat asal suara suling itu.

"He he he...!" Raja Ular Beracun tertawa terkekeh melihat ratusan ular telah berada di sekitar tempat itu. Baru kemudian, tiupan sulingnya dihentikan.

Berbeda dengan Raja Ular Beracun yang merasa gembira bukan kepalang melihat banyaknya ular telah berkumpul, rombongan Perguruan Harimau Terbang merasa ngeri. Mereka tak berani membayangkan apabila binatang-binatang melata yang menjijikkan itu menyerang.

Sangga Juwana dan Lantar yang berada di luar kurungan ular-ular itu saja sudah merasa ngeri. Apalagi Guntar dan kawan-kawannya yang berada dalam kepungan ular, bersama-sama Raja Ular Beracun.

"He he he...!" Untuk yang kedua kalinya, Raja Ular Beracun kembali tertawa terkekeh, Kemudian pandangannya beralih ke arah Sangga Juwana dan Lantar.

"Sebentar lagi, kalian berdua akan melihat sebuah pertunjukan menarik," kata Raja Ular Beracun.

Sangga Juwana dan Lantar saling berpandangan. Meskipun Raja Ular Beracun belum menjelaskan, mereka berdua sudah mengerti. Pertunjukan menarik itu pasti serangan ratusan ular pada rombongan Perguruan Harimau Terbang!

Tentu saja hal itu membuat Sangga Juwana dan Lantar merasa khawatir bukan kepalang. Kalau Raja Ular Beracun benar-benar akan memerintahkan binatang-binatang peliaraannya agar menyerang Guntar dan rekan-rekan Perguruan Harimau Terbang lainnya, jelas mereka tidak akan bisa membantu. Karena, tempat rombongan Perguruan Harimau Terbang itu terkurung ratusan ekor ular. Jadi, bagaimana mereka bisa menerobos?

"Kalau tidak salah lihat, kau adalah Raja Ular Beracun," kata Sangga Juwana mencoba mengulur-ulur waktu. Sambil berkata demikian, laki-laki berkumis tebal ini memutar otaknya, mencari jalan untuk menyelamatkan nyawa rekan-rekannya.

"He he he...! Matamu awas juga, Monyet Kecil," sambut Raja Ular Beracun seenaknya.

"Guruku sering menceritakan tentang dirimu. Kata beliau, kau adalah seorang datuk sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Di samping itu, kau pun memiliki ilmu yang dapat memerintahkan ular."

"Hanya itu yang diceritakan gurumu?" tanya Raja Ular Beracun setengah tidak percaya.

"Ya," sahut Sangga Juwana sambil menganggukkan kepala.

"Kalau begitu, pengetahuan gurumu tentang diriku tidak seberapa banyak," terdengar agak kesal nada suara Raja Ular Beracun.

"Apa yang tidak diketahuinya. Raja Ular?" tanya Sangga Juwana, berpura-pura tertarik. Dan sewaktu mengajukan pertanyaan itu, benaknya terus berputar untuk mencari jalan agar dapat menyelamatkan rekan-rekannya.

"Keahlianku mengenai racun," jelas kakek berompi ular ini. "Bukankah kawanmu itu telah merasakannya. Bagaimana, Kecoa Buntung? Hebat tidak racun yang kusebarkan dalam mata air itu?" Raja Ular Beracun menatap Lantar.

Gigi Lantar kontan bergemeletuk, menahan geram bukan kepalang. Dia memang sudah menyangka kalau ada orang yang telah mencampurkan racun tidak berwarna dan tidak berbau dalam air itu. Tapi sungguh di luar dugaan kalau justru akan mendengar pengakuan dari mulut si pelaku sendiri.

"Ah...!" Sangga Juwana mendesah kaget. Kini Sangga Juwana tidak merasa heran lagi, mengapa ada orang yang bisa menaruh racun dalam mata air itu tanpa diketahui. Lagi pula, dari mana Raja Ular Beracun itu tahu kalau Lantar akan menuju ke mata air? Hanya ada sebuah kesimpulan yang berhasil didapat Raja Ular Beracun mengikuti semua gerak-gerik mereka dari jarak dekat. Dan menilik dari ketidaktahuan mereka, bisa diperkirakan kelihaian penguntit itu.

Sebenarnya, Sangga Juwana pun merasa marah bukan kepalang berhadapan dengan orang yang telah membuat buntung kedua tangan rekannya. Tapi, perasaan itu terpaksa ditelannya dulu demi keselamatan rekan-rekannya. Maka buru-buru pergelangan tangan Lantar disentuhnya untuk menenangkan hati laki-laki kekar berotot itu. Untungnya, Lantar bisa ditenangkan.

"Aku hanya merasa heran, mengapa orang yang memiliki kepandaian sepertimu, sampai hati mencegat rombongan kami? Apabila sampai didengar orang-orang persilatan, apakah kau tidak malu?"

Merah selebar wajah Raja Ular Beracun ketika Sangga Juwana menghentikan pertanyaannya. Jelas, pertanyaan itu mengenai sasaran. "Kalau saja tidak suatu hal yang lebih penting, jangan harap keroco-keroco dari Perguruan Harimau Terbang lolos dari tanganku," jawab Raja Ular Beracun mencari alasan.

"Katakan, apa yang dapat kami lakukan?" tawar Sangga Juwana. Laki-laki berkumis tebal ini bukan orang bodoh. Dia tahu, keadaan Raja Ular Beracun berada di atas angin. Kalau dituruti perasaan hati, maka yang rugi adalah pihaknya sendiri.

"Kalau permintaanku dituruti, kalian semua tidak akan kusakiti atau kubunuh."

Raja Ular Beracun memutuskan demikian karena termakan pujian yang dikeluarkan Sangga Juwana.

"Tidak berat," lanjut Raja Ular Beracun kalem. "Serahkan barang yang hendak kalian antarkan, maka kalian semua akan selamat."

"Hehhh...?!" Sangga Juwana tersentak kaget. "Tidak salahkah pendengaranku? Apakah kini Raja Ular Beracun yang menjadi datuk persilatan aliran hitam bagian daratan telah menjadi seorang perampok barang kiriman?"

Kata-kata itu diucapkan Sangga Juwana untuk menolak permintaan Raja Ular Beracun. Paling tidak, agar tokoh hitam itu malu hati.

"Tutup mulutmu!" sentak Raja Ular Beracun, keras.

"Bagaimana kalau peristiwa ini didengar orang-orang persilatan, Raja Ular?" sambung Sangga Juwana lagi tanpa mengenal takut "Mau ditaruh di mana mukamu?"

Raja Ular Beracun tersentak kaget. Diam-diam hatinya memaki kecerobohan rencana sebelumnya. Dan pikirannya baru terbuka ketika Sangga Juwana mengucapkannya. Namun, hanya sesaat saja kakek bermata picak ini kebingungan. Karena, sekarang wajahnya telah kembali cerah seperti semula. Bahkan sebuah senyum keji tersungging di bibirnya.

"Kalau begitu, apa boleh buat," kata Raja Ular Beracun. "Kalian berdua pun akan mendapat giliran setelah semua rekan kalian kubereskan."

Sangga Juwana dan Lantar saling berpandangan. Tampak ada sorot keheranan yang amat sangat dalam pandangan mata mereka. Memang kedua orang ini merasa heran bukan kepalang, karena seorang seperti Raja Ular Beracun berminat pula dengan barang yang akan dikirimkan! Sebenarnya, barang apakah yang dikawal ini, sehingga seorang tokoh sakti seperti Raja Ular Beracun ingin pula merebutnya?

"Sebenarnya tanpa binatang-binatang ini pun sangat mudah bagiku untuk membunuh kalian semua," kata Raja Ular Beracun, pongah. "Tapi saat ini, aku ingin sebuah pertunjukan menarik untuk menyegarkan otakku. Maka, dengan terpaksa hal ini kulakukan."

Usai berkata demikian, datuk sesat yang merajai daratan ini menghentakkan tangan kanannya ke arah sebatang pohon besar yang berjarak tak kurang dari delapan tombak.

Wusss! Brakkk...!

Hembusan angin keras seketika keluar dari tangan yang dihentakkan, dan langsung menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang. Suara gemuruh terdengar mengiringi robohnya pohon itu.

Sangga Juwana, Lantar, Guntar, dan semua orang yang berada dalam rombongan Perguruan Harimau Terbang memandang dengan sepasang mata terbelalak. Kalau sebatang pohon yang berbatang besar dan terlihat kuat itu saja hancur berantakan, apalagi tubuh mereka?

"Hak hak hak...!"

Suara tawa keras mirip burung gagak terdengar menyambut, seiring robohnya pohon besar itu. Ada nada meremehkan dan mengejek dalam suara tawa tadi.

"Tak kusangka, Raja Ular Beracun sekarang telah memiliki jiwa seperti anak kecil. Suka mememamerkan kemampuan yang tak seberapa," sambung si pemilik tawa.

Seperti juga suara tawa tadi, nada ucapan pemilik tawa itu pun terdengar parau dan serak seperti suara burung gagak. Bukan hanya Raja Ular Beracun saja yang menoleh ke arah teguran itu, tapi juga seluruh rombongan Perguruan Harimau Terbang. Termasuk di antaranya, Sangga Juwana dan Lantar.

Tampak oleh mereka seorang kakek bertubuh kurus, namun tinggi sekali. Mungkin tingginya tak akan kurang dari satu setengah kali manusia biasa. Sedangkan kepalanya kecil, sepasang matanya sipit. Kumis dan jenggot yang pendek-pendek tapi kasar, tampak menghias wajahnya.

Yang lebih menggelikan hati, seluruh tubuh laki-laki tua itu tertutup pakaian hingga ke jari-jari tangannya. Warna pakaiannya yang berwarna merah menyala semakin menampakkan kepucatan wajahnya.

Alis Sangga Juwana dan rombongan Perguruan Harimau Terbang mengerut, mencoba mengingat-ingat tokoh yang memiliki ciri-ciri seperti ini. Tapi, tetap saja mereka tidak mengetahuinya.

Tapi kebingungan rombongan Perguruan Harimau Terbang, tidak melanda Raja Ular Beracun. Karena, nyatanya dia sudah mengenal kakek itu. "Garuda Laut Timur," desis Raja Ular Beracun menyebut julukan kakek berpakaian merah menyala itu.

"Hak hak hak...!" Kakek tinggi kurus yang ternyata berjuluk Garuda Laut Timur itu tertawa berkakakan. Sebuah tawa yang membuat telinga terasa sakit.

"Sungguh tidak kusangka, kau akan pergi meninggalkan kandangmu," kata Raja Ular Beracun lagi. "Tentu ada hal penting, sehingga mendorongmu merantau kemari."

"Tidak usah berpura-pura bodoh, Raja Ular Beracun!" sergah Garuda Laut Timur, keras. "Urusan yang membuatku keluar dari istanaku, tidak berbeda denganmu!"

Sangga Juwana, Lantar, dan Guntar yang mendengarkan percakapan itu menjadi terkejut bukan kepalang. Dua buah keterkejutan kini melanda hati mereka. Pertama, ketika mengetahui kakek berpakaian merah menyala itu berjuluk Garuda Laut Timur. Sementara kedua ketika mendengar kalau kedatangan tokoh itu bermaksud sama dengan Raja Ular Beracun! Apa lagi kalau bukan merampas barang kiriman?

Sangga Juwana, Lantar, dan Guntar saling berpandangan satu sama lain. Sebuah pertanyaan seketika bergayut dalam benak mereka. Barang apakah yang tengah mereka kawal sehingga tokoh seperti Garuda Laut Timur dan Raja Ular Beracun pun berkeinginan untuk memilikinya?

Memang meskipun tidak mengenal, julukan Garuda Laut Timur pernah didengar para pemimpin rombongan Perguruan Harimau Terbang ini. Seperti juga Raja Ular Beracun, Garuda Laut Timur adalah seorang datuk golongan hitam. Hanya saja, kakek tinggi kurus itu merajai seluruh lautan. Dan tempat tinggalnya memang di Laut Timur.

Untuk pertama kalinya barang kiriman yang dibawa Perguruan Harimau Terbang diinginkan dua orang datuk persilatan aliran hitam. Jangankan menyangka, dalam mimpi pun Sangga Juwana tidak pernah terlintas akan terjadi hal seperti ini.

Tapi tokoh-tokoh penting Perguruan Harimau Terbang ini tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alam pikirannya. Karena, perdebatan antara kedua tokoh persilatan aliran hitam itu sudah mulai memanas. Maka mereka pun mengalihkan perhatian ke arah perdebatan itu kembali.

* * * * * * * *

EMPAT

"Kau benar-benar keterlaluan, Garuda Laut Timur," kata Raja Ular Beracun, mulai meninggi nada suaranya. "Kau ternyata telah berani melanggar wilayah kekuasaanku."

"Hak hak hak...!" Garuda Laut Timur melepas sebuah tawa parau. "Masalah barang kiriman itu membuatku harus melupakan wilayah kekuasaanmu, Raja Ular Beracun!"

"Ini artinya kau mengajukan sebuah tantangan terbuka kepadaku, Garuda Laut Timur!" tandas Raja Ular Beracun.

"Terserah bagaimana anggapanmu, Raja Ular!" sahut Garuda Laut Timur, tak kalah gertak. "Demi benda itu, apa pun akan kulakukan!"

Raja Ular Beracun menggertakkan gigi. Tampak jelas kalau datuk penguasa daratan ini tengah dilanda amarah menggelegak. "Kini aku mengerti, mengapa banyak kujumpai beberapa mayat, di sekitar tempat ini. Padahal aku tahu, mereka tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Beberapa di antara mereka adalah tokoh aiiran putih dan hitam yang cukup ternama. Semula aku bingung, siapa pembunuh mereka? Dan rasanya, tak mungkin kalau rombongan kecoa dari Perguruan Harimau Terbang yang membunuh mereka. Karena aku tahu, mereka tidak akan mampu melakukan hal itu," kata Raja Ular Beracun pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Hak hak hak...! Syukur kalau kau telah mengetahuinya, Raja Ular! Aku benar-benar tidak menyangka, demikian banyak orang yang menginginkan benda itu. Tidak hanya dari golongan kita, tapi juga dari golongan putih. Daripada merepotkan nantinya, kukirim saja mereka semuanya ke neraka!"

"Sebenarnya aku ingin segera menerjangmu, Garuda Laut Timur! Tapi sayang sekali..., aku sudah lama tidak menonton pertunjukan menarik. Jadi, kau akan kuurus belakangan. Aku akan mengurus kecoa-kecoa Perguruan Harimau Terbang dulu!"

Usai berkata demikian. Raja Ular Beracun segera menempelkan ujung suling ke mulutnya, dan mulai meniup. Tapi nada kali ini berbeda dengan sebelumnya. Luar biasa pengaruh tiupan suling itu. Ratusan ular dari berbagai jenis yang sejak tadi diam saja seperti menunggu perintah, langsung bergerak cepat ke arah rombongan Guntar dan rekan-rekannya.

"Sss...!" Suara mendesis dari ratusan ekor ular segera meramaikan suasana di tempat itu. Dan berbareng keluarnya desisan, binatang-binatang itu merayap ke arah sasaran.

"Ha ha ha...! Sebentar lagi aku akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang sangat menarik!" kata Raja Ular Beracun gembira, di sela-sela tiupan sulingnya.

Sangga Juwana dan Lantar saja yang tidak diserang menjadi terkesiap hatinya. Apalagi Guntar dan rekan-rekannya yang diserang. Bulu kuduk mereka berdiri melihat sekian banyaknya ular telah menyergap ke arah mereka.

Meskipun demikian, sebagai pengawal-pengawal barang yang sudah terbiasa berhadapan dengan maut, mereka tidak menjadi gugup. Rombongan Perguruan Harimau Terbang ini pun bersiap mengadakan perlawanan Guntar dan rekan-rekannya tidak sudi menunggu hingga gerombolan binatang melata itu mendekat.

Karena bila hal itu terjadi, kecelakaanlah yang akan diterima. Jumlah binatang itu terlalu banyak. Dan dalam waktu yang sama, mungkin bisa puluhan ular yang melancarkan patukan. Lalu, bagaimana mungkin mereka bisa menghalau serangan sebanyak itu?

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Guntar dan rekan-rekannya segera mengeluarkan senjata rahasia yang berupa pisau-pisau terbang, mata anak panah, dan juga jarum-jarum.

"Hih...!" Sambil menggertakkan gigi, rombongan Perguruan Harimau Terbang melontarkan senjata-senjata rahasia ke arah kumpulan ular yang tengah merayap ke arah mereka.

Singgg, siuttt, wuttt...!

Riuh suara senjata-senjata rahasia yang meluncur, menyaingi suara desis yang keluar dari mulut ular-ular itu.

Tasss, cappp, cappp...!

Belasan ekor ular langsung menggelepar sesaat, dan tidak bergerak lagi untuk selamanya ketika tersambar senjata-senjata rahasia yang dilemparkan anggota Perguruan Harimau Terbang. Sebagian tewas dengan kepala terpisah dari badan, dan sebagian lagi mati tertembus jarum atau mata anak panah.

Tidak hanya sekali saja hal itu dilakukan rombongan Perguruan Harimau Terbang. Mereka terus saja melontarkan senjata-senjata rahasia ke sasaran. Dan seperti juga yang pertama, usaha mereka selanjutnya tampaknya membuahkan hasil.

Tapi sisa ular-ular lainnya terus saja merangsek maju. Matinya puluhan ular itu seakan-akan tidak mengurangi jumlahnya. Padahal, dari belakang pun Sangga Juwana membantu mengurangi jumlah binatang melata itu dengan lemparan-lemparan senjata rahasianya hingga habis.

Malah Lantar pun tidak ketinggalan pula. Meskipun kedua tangannya tidak bisa digunakan lagi, namun laki-laki bertubuh kekar berotot ini tidak kehilangan akal. Dengan kakinya, dikirimkannya bantuan untuk rekan-rekannya. Secara bergantian, kedua kakinya menendangi batu-batu kecil yang ada di situ.

Tentu saja Lantar tidak sembarangan menendangi batu-batu itu. Dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, Lantar mampu menendangi batu-batu dengan sebagai sasaran adalah kepala ular-ular yang tengah mengancam rekan-rekannya.

Tak, tak, tak...!

Berkali kali batu-batu yang ditendangi Lantar menghancurkan kepala ular-ular yang tengah merayap itu. Tapi seperti juga Sangga Juwana, tak lama kemudian Lantar pun kehabisan batu-batu. Tanpa mempedulikan keselamatan dirinya, pemuda kekar berotot ini melesat ke arah kumpulan ular yang telah dekat sekali dengan rombongan Perguruan Harimau Terbang yang dipimpin Guntar. Padahal, Guntar dan rekan-rekannya telah bergerak mundur dan merapat dengan kereta.

"Lantar...!" Sangga Juwana terpekik kaget ketika melihat tindakan yang diambil laki-laki kekar berotot itu. Memang, tindakan yang diambil Lantar sama saja bunuh diri. Jelas, dia menghadapi gerombolan ular itu hanya dengan kakinya. Dan itu berarti, kemungkinan terpatuk ular sangat besar. Maka, tanpa ragu-ragu Sangga Juwana pun melesat menyusul Lantar, menerobos gerombolan ular.

Bertepatan dengan masuknya Lantar ke dalam gerombolan ular yang paling belakang, rombongan ular yang di depan telah berada dalam jarak patuk terhadap Guntar dan rekan-rekannya. Saat itu pula, Sangga Juwana tiba di samping Lantar. Mereka berdua pun mengamuk. Lantar menggunakan sepasang kakinya untuk membasmi gerombolan binatang melata itu.

Dan tentu saja hal ini cukup menyulitkan, karena berarti Lantar harus mengarahkan serangannya ke kepala ular. Namun tidak demikian halnya dengan Sangga Juwana atau rombongan Perguruan Harimau Terbang lainnya. Mereka bebas mengayunkan senjata ke berbagai bagian tubuh ular.

Dan pertarungan mengerikan antara manusia menghadapi gerombolan ular pun berlangsung. Dan pada akhirnya, Lantar memang menjadi korban pertama. Keadaan tubuhnya yang memang kurang menguntungkan, menjadi penyebabnya. Beberapa ekor ular langsung mematuknya tanpa mampu dielakkan.

Tuk, tuk, tuk...!

"Aaakh...!" pekik Lantar, menahan sakit. Di saat Lantar jatuh ambruk di tanah, puluhan ekor ular segera mengerubutinya. Hanya dalam sekejap, tubuh laki-laki kekar berotot ini sudah tidak terliat lagi, tertutup kerumunan binatang melata itu!

"Lantar...!" Jerit Sangga Juwana kaget ketika melihat nasib yang menimpa rekannya itu.

Kalau saja menuruti hati, ingin rasanya Sangga Juwana berlari ke sana. Namun apa daya? Dia juga tengah terkurung puluhan ekor ular. Jangankan untuk menuju ke tempat robohnya Lantar, untuk melindungi diri sendiri dari keroyokan ular itu saja sudah kewalahan.

Guntar pun tahu nasib mengenaskan yang menimpa Lantar. Dan itu membuatnya geram bukan kepalang. Maka kegeramannya itu dilampiaskan pada binatang-binatang yang tengah mengeroyoknya. Pedang di tangannya langsung berkelebat cepat membabati tubuh-tubuh ular yang mengurungnya.

Darah langsung muncrat-muncrat setiap kali pedang Guntar berkelebat. Entah sudah berapa puluh ekor ular yang tewas terbabat pedangnya. Sehingga, senjatanya pun hampir tidak kelihatan lagi karena dipenuhi darah ular. Bahkan sampai hampir ke gagangnya!

Bukan hanya Guntar saja yang telah merobohkan demikian banyak binatang melata, tapi juga semua anggota Perguruan Harimau Terbang Maka, darah pun membanjiri seluruh tempat itu. Potongan-potongan tubuh ular berserakan di sana-sini. Bau anyir darah pun menyebar di sekitar tempat itu.

Sementara itu, gerombolan ular yang tadi menggeluti tubuh Lantar telah bergerak meninggalkan korbannya. Seketika, berdiri bulu kuduk semua anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang saat melihat keadaan mayat Lantar yang sudah tidak berbentuk lagi. Yang tampak hanyalah tubuh bengkak membiru, dengan kulit terkelupas! Benar-benar mengerikan!

Namun perasaan ngeri sama sekali tidak melanda hati Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur yang menyaksikan jalannya pertarungan antara manusia melawan keroyokan ular di depan mereka. Bahkan wajah kedua datuk sesat itu tampak berseri-seri.

"Ha ha ha...!" Raja Ular Beracun tertawa terbahak-bahak. "Baru kali ini tontonan yang begitu menarik kulihat. Hm..., sebentar lagi akan terpampang yang lebih menarik."

Apa yang diucapkan Raja Ular Beracun ternyata tidak salah. Beberapa saat kemudian, anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang mulai roboh satu persatu. Dan nasib seperti yang menimpa Lantar pun terjadi pada mereka. Gerombolan ular mengerubuti tubuh dan mematuki mereka. Sehingga, tubuh mereka menjadi bengkak membiru dengan kulit terkelupas!

"Aaakh...!" Setelah enam anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang tewas, kali ini giliran Guntar. Bahkan salah seekor ular telah berhasil mematuk betisnya. Kontan tubuh Guntar menegang kaku, lalu roboh. Tak pelak lagi, ular-ular lainnya segera mengerubuti tubuhnya. Kini tubuh Guntar tak terlihat lagi. Dan sudah bisa dipastikan, bagaimana bentuk tubuh Guntar.

Kini hanya tinggal Sangga Juwana seorang yang masih mengamuk. Namun, gerakannya sudah tidak begitu lincah lagi. Memang tenaga yang dimiiikinya telah hampir habis terkuras. Sudah dapat dipastikan, nyawa laki-laki berkumis tebal ini pun akan sirna pula menyusul rekan-rekannya. Mendadak....

"Swiiinggg...!"

Tiba-tiba siulan bernada aneh terdengar. Keras sekali, dan bahkan mampu membuat telinga Sangga Juwana sakit. Jelas, siulan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Hebatnya, serangan ular-ular itu terhadap Sangga Juwana kontan terhenti. Binatang-binatang melata itu bergerak mundur. Jelas, siulan itu mempunyai pengaruh besar terhadap binatang-binatang melata ini.

Sangga Juwana bukan orang bodoh. Dia tahu, pasti ada orang sakti yang menolongnya untuk mengusir ular-ular dengan siulan tadi. Maka tanpa membuang-buang waktu, dia melompat meninggalkan kerumunan ular yang terus bergerak mundur. Kalau Sangga Juwana saja tahu ada pertolongan terhadap dirinya, apalagi Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur.

"Keparat! Siapa yang berani main-main dengan Raja Ular Beracun?!" teriak kakek kecil kurus ini bernada kemarahan.

Setelah berkata demikian, kembali sulingnya ditiup. Dibunyikannya nada-nada yang menyuruh ular-ular berbisa itu untuk menyerang Sangga Juwana kembali.

Pengaruh tiupan suling Raja Ular Beracun segera nampak. Gerombolan ular yang semula bergerak mundur, kembali merayap maju sambil mendesis keras. Memang, dalam kemarahannya, Raja Ular Beracun telah menciptakan nada-nada yang membuat ular-ular berbisa itu menjadi amat ganas!

Tapi baru juga beberapa rayapan, suara melengking nyaring tadi kembali terdengar. Untuk kedua kalinya, rayapan gerombolan binatang melata itu kembali terhenti. Suara desis kegelisahan kembali keluar dari mulut ular-ular yang hendak menyerang Sangga Juwana.

Meskipun tidak paham dengan nada-nada suling maupun siulan tadi, Garuda Laut Timur dan Sangga Juwana tahu kalau ada dua belah pihak tengah berusaha memerintah binatang-binatang melata itu. Yang satu memerintahkan menyerang, sedangkan yang lain mengusir. Tak heran kalau ular-ular itu menjadi kebingungan.

"Keparat!" bentak Raja Ular Beracun. Raja Ular Beracun tahu, tidak ada gunanya meneruskan perintah terhadap ular-ular itu. Maka, tiupan suling yang bernada perintah dihentikannya. Sebaliknya, dia malah mengeluarkan nada yang menyuruh binatang-binatang itu pergi.

Ular-ular itu pun merayap pergi, dan kini yang tinggal hanyalah ceceran darah potongan-potongan tubuh ular, dan mayat-mayat rombongan Perguruan Harimau Terbang.

"Kalau benar-benar jantan, tunjukkan dirimu, Pengecut! Jangan hanya berani main kucing-kucingan seperti anak kecil!" tantang Raja Ular Beracun sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

Datuk sesat yang merajai daratan ini memang ingin melihat orang yang telah membuat pasukan ularnya berantakan. Dia marah bukan kepalang, karena hal itu disaksikan saingannya, Garuda Laut Timur. Bahkan kakek tinggi kurus itu tertawa terbahak-bahak.

Sudah bisa ditebak maksudnya. Apalagi kalau bukan menertawakan dirinya yang mendapat sandungan? Masih terdengar jelas, tawa Garuda Laut Timur di sampingnya.

"Hak hak hak...!"

"Aku sudah berada di sini sejak tadi, Raja Ular Beracun," sahut pemilik siulan itu.

Raja Ular Beracun, Garuda Laut Timur, dan Sangga Juwana menoleh ke arah asal suara. Berbeda dengan sebelumnya, suara kali ini terdengar jelas arahnya. Memang, siulan tadi tidak jelas berasal dari mana, dan seakan-akan keluar dari delapan penjuru angin.

Tampak beberapa tombak di hadapan mereka sosok tubuh berpakaian ungu. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan gagah, serta memiliki tubuh tegap dan kekar. Pemuda itu tengah duduk di sebuah cabang pohon yang agak tinggi. Raja Ular Beracun, Garuda Laut Timur, dan Sangga Juwana menatap penuh selidik.

Ternyata warna rambut pemuda itu aneh sekali. Rambutnya yang putih keperak-perakan itu kini tengah berkibaran keras, karena tertiup angin. Sebuah guci arak di punggungnya, membuat ketiga orang itu mengenal pemilik siulan tadi.

"He he he...! Rupanya Dewa Arak!" kata Raja Ular Beracun, terdengar kalem suaranya. "Pantas saja berani mencampuri urusanku! Berita tentang keusilanmu sudah lama kudengar. Tapi, baru kali ini kubuktikan sendiri kebenaran beritanya."

"Hak hak hak...! Apa yang kau ucapkan itu sama sekali tidak salah, Raja Ular! Beberapa pekan yang lalu, dia telah melanggar wilayah kekuasaanku. Gerombolan bajak laut di bawah pimpinan Tengkorak Mata Satu yang terhitung taklukanku, telah dihancurkannya. Sayang sebelum sempat bertemu denganku, dia telah kabur!" sambung Garuda Laut Timur.

(Untuk jelasnya mengenai cerita ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Perjalanan Menantang Maut).

"Belum terlambat untuk menghukumnya sekarang, Garuda Laut Timur," tandas Raja Ular Beracun.

"Kau benar, Raja Ular."

Sementara itu, di saat dua orang datuk sesat dunia persilatan itu terlibat dalam pembicaraan, pemuda berpakaian ungu yang memang Dewa Arak melompat turun dari cabang pohon yang didudukinya. Kelihatan enak saja Arya saat melompat. Ringan seperti kapas.

Tentu saja semua tindakan Dewa Arak tidak lepas dari pengamatan Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur. Memang, kedua datuk sesat ini berbincang-bincang dengan mata tertuju pada Arya.

"Hup...!" Ringan tanpa suara, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Kemudian dengan langkah tenang, kakinya terayun ke arah tempat Sangga Juwana berdiri. Laki-laki berkumis tebal itu tetap memperhatikan semua gerak-gerik Dewa Arak.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Sangga Juwana, masih dengan pandangan penuh kagum pada Arya.

"Lupakanlah, Kisanak," sambung Dewa Arak. "Tolong-menolong sudah menjadi kewajiban kita bersama. Sayang sekali, kedatanganku agak terlambat. Sehingga, semua temanmu menjadi korban."

Ada nada penyesalan dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan memang, sebenarnya Arya merasa menyesal atas keterlambatannya. Saat itu, Dewa Arak memang tengah melalui hutan ini ketika mendengar suara seperti orang bertarung. Dan ketika dihampirinya, ternyata Sangga Juwana tengah dikeroyok gerombolan ular.

Dengan pengerahan tenaga dalamnya, Arya menciptakan bunyi-bunyian yang dapat digunakan untuk menguasai ular. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini mampu membunyikan siulan bernada untuk memanggil dan juga mengusir binatang. Bahkan bukan hanya ular saja, tapi juga binatang-binatang lain. Ilmu itu didapatkan ketika telah beberapa kali memasukkan belalang raksasa ke dalam dirinya.

Kali ini, Arya terlihat sendirian. Melati saat ini tidak ikut bersamanya, karena masih tinggal di Kerajaan Bojong Gading. Gadis itu memang harus ikut membantu memulihkan keadaan diwilayah Kerajaan Bojong Gading yang hancur berantakan akibat serbuan Kerajaan Medang (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Runtuhnya Sebuah Kerajaan).

* * * * * * * *

LIMA

"Dewa Arak...!" panggil Raja Ular Beracun keras, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Arya menoleh. Tenang sekali kelihatan sikapnya. "Kau telah berani mencampuri urusanku, Dewa Arak! Padahal, tidak ada seorang pun, yang bisa selamat setelah mencampuri urusan Raja Ular Beracun! Bersiaplah kau, Dewa Arak!"

Arya tersenyum getir. "Bukan hanya kau saja yang menjadi urusan, Raja Ular!" sambut pemuda berambut putih keperakan itu. "Aku pun demikian pula! Tindakanmu yang begitu keji telah membuatku cukup mempunyai alasan untuk membunuhmu!"

Sambil berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini mengedarkan pandangan ke arah rombongan Perguruan Harimau Terbang yang telah membengkak dan membiru, serta kulit terkelupas.

"Orang lain boleh kau robohkan, Dewa Arak. Tapi jangan harap bisa merobohkanku!" tandas Raja Ular Beracun, bernada jumawa.

"Hm...!" Hanya gumaman perlahan Dewa Arak yang menyambuti ucapan datuk sesat yang merajai wilayah daratan itu. Dan rupanya, Raja Ular Beracun sudah tidak sabar lagi untuk segera bertempur. Maka sulingnya segera diselipkan di pinggang.

"Hiaaat..!" Diawali teriakan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu, Raja Ular Beracun menerjang Dewa Arak. Serangannya kali ini dibuka dengan sebuah sampokan ke arah pelipis Dewa Arak.

Wuttt...!

Angin berhembus keras ketika sampokan tangan Raja Ular Beracun meluncur ke arah sasaran. Dari suara yang terdengar bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada sampokannya.

Memang, Raja Ular Beracun mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada serangan pendahuluannya. Hal ini dilakukan, karena dia tahu kalau Dewa Arak adalah seorang lawan yang amat lihai! Berita yang didengar, dan juga kenyataan kalau pemuda itu mampu membuat suara seolah-olah berasal dari delapan penjuru angin, telah memperjelas kelihaiannya.

Sementara itu, Dewa Arak yang diserang, belum memperlihatkan tanda-tanda untuk mengelak atau menangkis. Baru ketika serangan itu menyambar dekat, Arya melompat ke belakang.

Wuttt...!

Sampokan itu hanya menyambar lewat beberapa jengkal di depan wajah Dewa Arak. Namun, Raja Ular Betacun rupanya sudah memperhitungkannya. Maka begitu salah satu kakinya mendarat di tanah, langsung saja dikirimkan serangan lanjutannya.

Tapi, Dewa Arak tetap mampu menanggulanginya. Bahkan bisa mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyat Maka sesaat kemudian, pertarungan sengit pun berlangsung. Dewa Arak sama sekali belum mengeluarkan ilmu ‘Belalang Sakti’ andalannya. Dia masih mempelajari kedahsyatan ilmu lawan dan perkembangannya. Jadi selama beberapa jurus lamanya, dia hanya menggunakan ilmu yang diwariskan ayahnya, yakni ilmu Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Pehakluk Naga'.

Pertarungan yang terjadi antara dua orang sakti ini berlangsung seru bukan kepalang. Padahal, kedua belah pihak belum menggunakan ilmu andalan. Suara mendesing, mengaung, dan mencicit menyemaraki pertarungan.

Baik Dewa Arak maupun Raja Ular Beracun sama-sama memiliki gerakan cepat. Tak aneh, hanya dalam sekejap saja, sepuluh jurus sudah terlewat Memang, pertarungan tampaknya berlangsung cepat. Saking cepatnya, tubuh kedua tokoh sakti itu seperti lenyap.

Yang terlihat hanyalah bayangan ungu dan kekuning-kuningan. Terkadang saling belit, tapi tak jarang saling pisah. Setelah lebih sepuluh jurus bertarung, baik Dewa Arak maupun Raja Ular Beracun harus sama-sama mengakui kalau satu sama lain memiliki kepandaian luar biasa.

Plak, plak...!

Untuk yang pertama kali terjadi benturan dahsyat antara dua pasang tangan dari orang-orang yang tengah bertarung itu. Akibatnya, tubuh Raja Ular Beracun terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Dewa Arak hanya selangkah saja.

Raja Ular Beracun menggertakkan gigi. Hatinya merasa penasaran bukan main melihat hasil benturan yang terjadi. Karena, hal itu membuktikan kalau tenaga dalamnya kalah kuat, dibanding Dewa Arak. Kalau tidak mengalami sendiri, datuk sesat penguasa daratan ini tidak akan percaya. Seorang pemuda mengalahkannya dalam hal kekuatan tenaga. Sungguh sulit dipercaya!

Perasaan penasaran mendorongnya untuk buru-buru mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung. Bagi orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti Raja Ular Beracun, bukan hal sulit untuk melakukannya.

Dan ketika telah berhasil melaksanakan maksudnya, langsung saja dikirimkan serangan bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. Tapi serangan Raja Ular Beracun bisa dipunahkan Arya. Bahkan dia segera melancarkan serangkaian serangan balasan yang bertubi-tubi, sehingga membuat Raja Ular Beracun kerepotan.

Sementara itu, Sangga Juwana dan Garuda Laut Timur menyaksikan jalannya pertarungan penuh perhatian. Mereka tampak sungguh-sungguh memperhatikan pertarungan yang tengah berlangsung. Namun rupanya hanya Garuda Laut Timur yang dapat menyaksikan dengan jelas jalannya pertarungan. Memang, gerakan-gerakan Dewa Arak dan Raja Ular Beracun terlalu cepat untuk bisa diikuti mata Sangga Juwana.

Yang bisa dilihat oleh pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu hanyalah kelebatan bayangan ungu dan kuning yang terkadang saling belit dan tak jarang berpencar.

Diam-diam, Dewa Arak memuji kelihaian lawannya. Padahal, seluruh kemampuan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' telah dikerahkannya. Namun tetap saja agak sulit baginya untuk mendesak lawan. Ilmu yang dimiliki Raja Ular Beracun tidak kalah dahsyatnya dibanding ilmu-ilmu warisan ayahnya.

Sebenarnya, bukan hanya Dewa Arak saja yang merasa penasaran. Raja Ular Beracun pun demikian pula. Sungguh di luar dugaan kalau Dewa Arak akan memiliki ilmu-ilmu yang mempunyai daya serang laksana gelombang. Tambahan lagi, setiap serangan yang dilakukannya mengandung tekanan-tekanan berat. Susul-menyusul, bertubi-tubi, dan berat untuk ditahan.

Akhirnya setelah pertarungan berlangsung hampir tujuh puluh jurus, perlahan namun pasti Dewa Arak mulai bisa menguasai keadaan. Tanda-tanda kemenangan pemuda itu telah tampak. Buktinya Raja Ular Beracun tampak mulai kewalahan. Serangan-serangan yang dilancarkannya mulai berkurang, dan kini lebih sering mengelak atau menangkis.

Hal ini sebenarnya tidak aneh. Karena, Raja Ular Beracun memang kalah dalam segala hal. Baik tenaga, kelincahan, maupun mutu ilmu silat. Meskipun demikian. Raja Ular Beracun belum merasa kalah. Memang, ilmu andalannya belum dikeluarkan. Demikian pula kemampuan racunnya.

Walaupun dia tahu kalau Dewa Arak juga belum mengeluarkan ilmu andalannya, tapi dia yakin ilmu yang dimilikinya akan mampu digunakan untuk menggilas habis pertahanan lawan. Berpikir sampai di sini, membuat Raja Ular Beracun memutuskan untuk mengeluarkan ilmu andalannya. Tapi....

"Hey...!" Seru keterkejutan dari Sangga Juwana membuat Raja Ular Beracun menoleh. Dan ketika itu pula, dia pun terkejut. Betapa tidak? Karena tiba-tiba saja Garuda Laut Timur melesat cepat ke arah kereta. Tanpa berpikir lebih lama lagi, datuk sesat wilayah daratan ini tahu apa yang hendak dilakukan Garuda Laut Timur. Pasti mengambil barang kawalan yang dibawa rombongan Perguruan Harimau Terbang!

Berbareng keluarnya teriakan itu, Sangga Juwana segera melesat mengejar Garuda Laut Timur. Jelas, perasaan tanggung jawabnya akan keselamatan barang kawalan membuat laki-laki berkumis tebal ini melupakan kenyataan kalau dirinya bukan tandingan datuk sesat yang merajai wilayah lautan itu.

Tapi, Sangga Juwana bukan satu-satunya orang yang bergerak mengejar Garuda Laut Timur. Ternyata, Raja Ular Beracun pun ikut pula mengejar. Kakek kecil kurus ini melesat cepat mengejar Garuda Laut Timur yang tengah meluruk ke arah kereta.

Dalam ketakutannya kalau barang kiriman yang ada di dalam kereta itu jatuh ke tangan Garuda Laut Timur, Raja Ular Beracun melupakan Dewa Arak Pemuda berambut putih keperakan yang menjadi lawannya ditinggalkan begitu saja.

Cepat bukan kepalang gerakan Raja Ular Beracun. Sehingga, meskipun Sangga Juwana melesat lebih dulu, tetap saja tersusul. Namun meskipun demikian, Raja Ular Beracun tetap saja terlambat! Hal ini tidak aneh, karena orang yang dikejarnya memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di bawahnya.

Sementara itu, Garuda Laut Timur yang telah berada dekat sekali dengan kereta langsung menghantamkan tangan kanannya ke arah samping kereta.

Brakkk..!

Didahului suara berderak keras, samping kereta itu hancur berantakan terhantam tangan yang dialiri tenaga dalam dahsyat. Dan secepat badan kereta itu hancur berantakan, secepat itu pula Garuda Laut Timur melesat ke dalamnya. Dan begitu keluar, di ketiaknya terkempit sebuah peti berukir berwarna hitam. Ukurannya, dua jengkal kali dua jengkal tangan lelaki dewasa.

Namun ketika tubuhnya berada di luar, Raja Ular Beracun telah berhasil pula mendekati kereta. Tak pelak lagi, kedua datuk golongan hitam itu hampir bertubrukan, apabila masing-masing meneruskan langkahnya. Rupanya, Raja Ular Beracun sudah memperhitungkan hal ini. Terbukti, dia langsung saja mengirimkan sebuah gedoran telapak tangan terbuka ke arah dada Garuda Laut Timur.

Garuda Laut Timur terkejut bukan kepalang mendapat serangan tak terduga-duga ini. Tapi sebagai seorang datuk yang telah terbiasa menghadapi bahaya, dan berkat pengalamannya bertarung, serangan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru dipapaknya serangan Raja Ular Beracun dengan gedoran tangan kanan pula.

Prattt..!

Benturan antara kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam dahsyat itu menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga. Sesaat kemudian, tubuh kedua belah pihak sama-sama terjajar mundur sejauh dua langkah dengan tangan bergetar hebat. Jelas, tenaga dalam dua orang datuk kaum sesat ini berimbang.

Namun baik Raja Ular Beracun maupun Garuda Laut Timur sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan dengan kecerdikannya, Garuda Laut Timur memanfaatkan kesempatan tubuhnya yang terhuyung ke belakang, untuk meninggalkan tempat itu. Garuda Laut Timur cepat-cepat menjejakkan kaki kanannya, sehingga tubuhnya melenting ke udara. Tubuhnya kemudian bersalto beberapa kali. Dan ketika mendarat di tanah, dia langsung melesat kabur.

"Keparat! Jangan harap bisa lolos dari tanganku, Garuda Licik!" bentak Raja Ular Beracun keras, sambil melesat mengejar.

Tapi Garuda Laut Timur sama sekali tidak mempedulikan makian saingannya. Dia terus saja berlari meninggalkan tempat itu. Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya dikerahkan untuk dapat meninggalkan Raja Ular Beracun sejauh-jauhnya.

"Hih...!" Raja Ular Beracun yang tidak ingin kehilangan buruannya, segera melesat mengejar. Giginya bergemeletuk geram, sambil mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya sampai ke puncak tertinggi.

Sesaat kemudian, dua orang datuk golongan hitam itu sudah terlibat dalam adu kejarkejaran yang menakjubkan. Gerakan mereka demikian cepat, sehingga yang terhilat hanya dua sosok bayangan kuning dan merah, yang melesat cepat meninggalkan tempat itu.

"Hhh...!" Sangga Juwana menghela napas berat. Dengan sinar mata hampa, ditatapnya dua sosok bayangan yang semakin lama semakin menjauh. Sungguh dia tidak pernah bermimpi kalau barang kawalannya akan bisa diambil orang. Sementara, dirinya selaku pengawal barang itu sama sekali tidak terluka. Sulit dibayangkan, sampai di mana kemarahan gurunya apabila mendengar berita ini.

Suara batuk-batuk kecil menyadarkan Sangga Juwana dan kesibukan lamunannya. Dia tahu, siapa orang yang telah mengeluarkan batuk-batuk kecil itu. Pasti Dewa Arak!

Karena memang tidak ada orang lain di tempat ini kecuali mereka berdua. Dengan lesu, Sangga Juwana menoleh. Dan tepat seperti yang diduga, Dewa Araklah yang mengeluarkan batuk-batuk kecil itu. Sangga Juwana tentu saja tahu maksud batuk buatan itu. Apalagi kalau bukan untuk menyadarkan dirinya dari keterpakuan. Dan kini, Arya tengah melangkah menghampirinya.

"Mengapa kau tidak mengejar mereka, Dewa Arak?" tanya Sangga Juwana ketika pemuda berambut putih keperakan itu telah berada di sebelahnya.

"Untuk apa, Kisanak? Aku tidak suka bertarung dengan orang yang tidak mau melawan," jawab Arya kalem.

"Apakah..., kau tidak berminat, Dewa Arak?" tanya Sangga Juwana, agak ragu.

"Berminat?!" Arya tersentak. Ada kerutan di dahi Dewa Arak. Kerutan yang timbul karena tidak mengerti maksud pembicaraan Sangga Juwana. "Berminat terhadap apa, Kisanak? Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu?!"

Sangga Juwana menatap wajah Arya lekat-lekat. Dirayapinya selebar wajah pemuda berambut putih keperakan itu, seakan-akan ingin mencari kebenaran ucapan tadi lewat pandangan matanya.

"Hhh...!" Sangga Juwana menghela napas berat, seakan-akan ingin membuang sesuatu yang mengganjal hatinya. "Aku juga tidak mengerti, Dewa Arak.... Tapi...."

"Panggil saja aku dengan nama saja, Kisanak. Namaku Arya Buana. Orang-orang biasa memanggilku Arya," potong Arya yang merasa risih mendengar panggilan yang dikeluarkan Sangga Juwana.

Sangga Juwana merasakan adanya tekanan pada nada suara pemuda berambut keperakan itu, meskipun tadi diucapkan dengan suara datar. Maka dia pun tidak berani banyak membantah. "Kalau begitu, baiklah," sahut laki-laki berkumis tebal, mengalah. "Tapi kuminta kau pun juga demikian. Namaku Sangga Juwana. Kau boleh memanggilku Sangga, atau Juwana. Itu terserah. Tapi, orang biasa memanggilku Sangga."

"Kuturuti panggilan orang-orang saja, Sangga," sahut Arya memutuskan. "Nah! Sekarang, ceritakanlah semua kejadiannya. Dan apa maksud ucapanmu tadi."

Sangga Juwana tidak langsung menjawab pertanyaan Dewa Arak. Dia tercenung beberapa saat lamanya, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya.

"Semua ceritamu akan kudengarkan sampai selesai, Sangga. Sepanjang apa pun yang akan kau ceritakan. Tapi, akan lebih bagus lagi kalau kau bisa menceritakannya secara singkat tapi jelas."

"Akan kucoba, Arya," sambut Sangga Juwana, penuh semangat mendengar sambutan Dewa Arak. "Saat itu, perguruan kami kedatangan seorang tamu. Dia meminta agar perguruan kami bersedia mengantarkan suatu barang ke tempat yang diinginkannya. Maaf, aku tidak bisa menyebutkan nama tempatnya, Arya," ucap Sangga Juwana memulai ceritanya.

"Tidak mengapa, Sangga. Aku bisa memakluminya," sahut Arya bijaksana.

"Terima kasih, Arya. Baiklah, akan kulanjutkan ceritaku. Tidak seperti biasanya, kali ini guruku menyuruhku agar ikut dalam rombongan ini. Katanya, barang yang akan dikirimkan sangat penting. Dengan adanya aku, guru akan merasa lega melepas kepergian kami."

Sangga Juwana menghentikan ceritanya sejenak, untuk mengambil napas. Sementara, Arya sama sekali tidak memberi tanggapan apa pun. Didengarkannya saja cerita yang dituturkan pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang penuh perhatian.

"Tapi sungguh tidak kami sangka-sangka, dalam perjalanan kali ini begitu penuh halangan," sambung Sangga Juwana lagi.

Kemudian secara singkat tapi jelas, kejadian demi kejadian yang dialami rombongan yang dipimpinnya diceritakan. Arya terus mendengarkan. Sedikit pun tidak diselaknya cerita yang dituturkan Sangga Juwana.

"Begitulah ceritanya, Arya," urai laki-laki berkumis tebal itu menutup ceritanya. "Itulah sebabnya, aku menduga kau pun berminat terhadap barang itu. Hhh...! Aku sama sekali tidak pernah mimpi kalau datuk-datuk persilatan aliran hitam itu akan memperebutkannya."

Arya tercenung ketika Sangga Juwana menyelesaikan cerita. Benak pemuda berambut putih keperakan ini berputar keras. Seperti juga halnya Sangga Juwana, dia pun merasa heran. Datuk-datuk persilatan aliran hitam sampai menjadi perampok? Sulit dipercayai! Tapi, dia sendiri telah melihat kenyataannya. Kalau bukan sebuah benda yang amat berharga, tidak akan mungkin melakukan perbuatan serendah itu!

"Apakah mereka tidak menyebutkan benda yang dimaksud itu, Sangga? Barangkali, salah seorang dan mereka?" tanya Arya, mulai mencari keterangan.

Sangga Juwana hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Benda yang dikirimkan memang merupakan rahasia pemiliknya. Maka Dewa Arak yakin Sangga Juwana tidak mengetahuinya. Makanya, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menanyakan hal itu lagi.

"Mereka sama sekali tidak menyebut-nyebut benda yang dimaksud. Tapi yang jelas, hampir semua tokoh persilatan mengetahui, dan berusaha memperebutkannya. Hanya saja, mereka semua belum sempat bertemu rombonganku. Mereka semua bertemu Garuda Laut Timur, dan langsung dibantainya."

"Kalau kau tidak bertemu mereka, bagaimana kau tahu kalau Garuda Laut Timur yang membantai mereka?" tanya Arya ingin tahu.

"Aku mendengarkan pembicaraan Garuda Laut Timur dan Raja Ular Beracun," jelas Sangga Juwana.

Semakin dalam kerutan di dahi Dewa Arak. "Jadi tanpa diketahui, barang yang kalian bawa telah diincar tokoh-tokoh persilatan. Hal itu sebenarnya tidak menjadi masalah. Yang membuatku bingung, dari mana asal berita itu?"

"Jangan-jangan, ada orang yang memancing di air keruh, untuk menghancurkan Perguruan Harimau Terbang," duga Sangga Juwana.

"Maksudmu?"

"Selain kami, ada satu lagi yang membuka jasa pengawalan barang. Namanya Perguruan Naga Laut. Barangkali saja mereka menyebarkan berita yang tidak benar ke dunia persilatan," jelas Sangga Juwana.

"Maksudmu, orang-orang Perguruan Naga Laut menyebarkan berita ke dunia persilatan kalau kalian membawa sebuah barang yang amat berharga. Barang yang..., yah katakanlah digandrungi semua orang persilatan. Padahal, sebenarnya barang yang kalian bawa itu barang biasa saja? Begitu maksudmu, Sangga?" tebak Arya.

"Tepat, Arya!"

Arya mengernyitkan kening sejenak. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. "Aku tidak setuju pada dugaanmu itu, Sangga."

"Mengapa, Arya? Apa alasannya?" kejar Sangga Juwana, penasaran.

"Kudengar, Perguruan Naga Laut adalah kelompok pengawal barang aliran putih seperti kalian. Jadi, rasanya tak mungkin kalau mereka melakukan hal sekeji itu," sahut Arya memberi alasan. "Mestinya, memang kemungkinannya ada. Tapi, lebih baik kita menyelidikinya dan awal dulu."

"Kita?" tanya Sangga Juwana setengah tak percaya. "Maksudmu..., kau akan ikut campur dalam masalah ini, Arya?!"

"Begitulah, Sangga," mantap jawaban Dewa Arak. "Masalah ini sudah bukan masalah kecil lagi. Dunia persilatan telah guncang karenanya. Jadi, aku ingin ikut serta menyingkap rahasia aneh ini. Tentu saja kalau kau tidak keberatan."

"Tentu saja tidak, Arya!" jawab Sangga Juwana cepat tanpa menyembunyikan kegembiraannya.

"Kalau begitu, mari kita ke Perguruan Harimau Terbang," ajak Arya.

"Hehhh...?! Mengapa harus ke sana, Arya. Itu kan tempatku?!" tanya Sangga Juwana, heran.

"Untuk memecahkan masalah pelik ini, kita harus memulainya dari awal timbulnya masalah, Sangga. Dan sumbernya adalah perguruanmu!" jelas Arya. "Barangkali saja ada titik terang di sana."

Kali ini Sangga Juwana tidak membantah lagi. Disadari ada kebenaran dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Perasaan kagumnya terhadap Dewa Arak pun semakin menjadi. Sama sekali tidak disangka dalam diri orang semuda Dewa Arak terdapat wawasan yang begitu luas.

"Kapan kita berangkat, Arya?" tanya Sangga Juwana, setelah terdiam beberapa saat lamanya.

"Lebih cepat, lebih baik, Sangga," jawab Arya. "Berarti..., sekarang juga kita berangkat, Arya."

"Itu lebih baik, Sangga. Bagaimana? Apa kau keberatan kalau kita berangkat sekarang?" tanya Arya ketika melihat adanya keraguan di wajah maupun sikap laki-laki berkumis tebal itu.

Sejenak Sangga Juwana gugup. Rupanya, dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. "Keberatan ah tidak, Arya. Malah aku senang. Tapi..., aku tidak tega meninggalkan rekan-rekanku dalam keadaan seperti itu, tanpa dikubur secara layak."

Sambil berkata demikian, Sangga Juwana mengedarkan pandangan ke arah mayat-mayat rombongan Perguruan Harimau Terbaog yang telah tak berbenruk itu.

"Kuatkanlah hatimu, Sangga. Toh, mereka telah menjadi mayat beracun. Jadi tidak ada binatang buas yang akan mengganggu. Nanti setelah dari perguruanmu, kita akan menguburkan mereka secara layak. Barangkali saja dengan keberadaan mereka di situ, akan berguna bagi kita untuk menyelidiki masalah ini," hibur Arya.

Sangga Juwana tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pikirannya buntu, tidak bisa digunakan sama sekali. Dihelanya napas berat untuk menguatkan hati. "Kalau begitu, mari kita berangkat, Arya," ujar Sangga Juwana sambil menggertakkan gigi.

Tanpa banyak bicara, Dewa Arak melangkah menyusul Sangga Juwana yang telah berjalan lebih dulu.

* * * * * * * *

ENAM

Sesosok tubuh berpakaian coklat tampak berlari cepat menuju ke arah sebuah bangunan yang terkurung pagar kayu bulat tinggi. Pada bagian atas pintu gerbang bangunan, terpampang sebuah papan tebal berukir bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Harimau Terbang'.

Sosok tubuh berpakaian coklat itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Tidak heran bila hanya dalam beberapa kali lesatan saja, dia sudah berada dalam jarak dua batang tombak di depan pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang.

Beberapa tindak sebelum mencapai pintu gerbang, sosok berpakaian coklat ini menghentikan langkahnya. Karena, dua orang berpakaian putih yang pada dada kirinya bersulamkan gambar seekor harimau bersayap dan berwarna merah telah menghadangnya.

"Katakan kepada Ki Waringin. Sancaka ingin bertemu dengannya. Ada hal amat penting yang akan kubicarakan padanya," ujar sosok berpakaian coklat itu, sebelum kedua orang penjaga pintu gerbang menanyakannya.

Dua orang penjaga pintu gerbang itu saling berpandangan sejenak. Mereka tentu saja mengenal nama Sancaka, yang biasa disebut orang Ki Sancaka. Dia adalah pemilik Perguruan Naga Laut. Dalam adu pandang sejenak tadi, kedua orang anggota Perguruan Harimau Terbang itu sama-sama dilanda keraguan. Sebuah pertanyaan besar berkecamuk dalam benak kedua orang itu. Apa maksud Ki Sancaka ingin bertemu dengan guru mereka?

Melihat kedua orang penjaga pintu gerbang itu hanya saling pandang, Ki Sancaka yang tengah tergesa-gesa menjadi tidak sabar. "Cepat beritahukan kedatanganku pada Ki Waringin, sebelum semuanya terlambat!" ujar Ketua Perguruan Naga Laut itu. Nada suaranya lebih tinggi dari sebelumnya. "Atau..., aku yang akan masuk sendiri ke dalam?!"

Rupanya ucapan yang lebih mirip bentakan ini membuat kedua orang penjaga pintu gerbang itu kaget. Maka, beberapa saat lamanya mereka gugup. Bahkan jawaban yang diberikan salah seorang dari mereka terdengar terbata-bata.

"Ba... baik... Akan kami sampaikan, Ki" Usai berkata demikian, salah seorang penjaga pintu gerbang itu berlari cepat ke dalam. Sedangkan yang satunya lagi tetap berjaga di luar bersama Ki Sancaka.

Hanya sebentar saja. Ki Sancaka menunggu, karena sesaat kemudian penjaga pintu gerbang yang tadi masuk telah kembali. Hanya saja, dia tidak sendirian. Di sebelahnya kini berdiri seorang kakek bertubuh sedang. Rambutnya yang berwarna putih pada kedua atas telinganya, menambah kewibawaannya.

"Sancaka," sapa kakek berpakaian putih itu.

"Waringin," sahut Ki Sancaka cepat. Orang yang bernama Ki Sancaka ternyata seorang kakek yang masih terlihat kekar. Hanya bulu-bulu alisnya saja yang kelihatan mulai berwarna putih. Pada bagian dada kiri pakaiannya yang berwarna coklat, tersulam gambar seekor naga dari benang emas.

"Angin apa yang membawamu kemari, Sancaka?" tanya Ki Waringin lagi.

Terdengar akrab nada suara Ketua Perguruan Harimau Terbang ini. Sehingga, membuat kedua orang penjaga pintu gerbang menjadi heran. "Bukankah Ki Waringin sedang berbicara dengan saingan usahanya? Mengapa kini mereka teriihat demikian akrab?"

"Angin buruk, Waringin," jawab Ki Sancaka, setelah beberapa saat lamanya termenung.

Ki Waringin tertegun mendengar jawaban Ketua Perguruan Naga Laut itu. Apalagi ketika melihat kegelisahan Ki Sancaka. Maka perasaan heran yang mendera hatinya semakin menjadi-jadi.

"Kalau begitu, mari kita bicara di dalam," ajak Ki Waringin. Ketua Perguruan Harimau Terbang ini lalu melangkah mendahului masuk ke dalam. Sedangkan tanpa memberikan tanggapan apa-apa, Ki Sancaka segera melangkah mengikutinya.

Karuan saja pemandangan ini membuat kedua orang penjaga pintu gerbang itu menjadi semakin heran. Mereka sama sekali tidak tahu kalau puluhan tahun yang lalu, Ki Sancaka dan Ki Waringin adalah sahabat baik. Tentu saja sikap yang ditunjukkan pun ramah satu sama lain. Memang, sampai sekarang kedua kakek itu masih tetap menjalin persahabatan, walaupun jarang bertemu.

Ki Waringin dan Ki Sancaka berjalan melalui halaman yang cukup luas dan sepi. Tidak ada seorang pun anggota Perguruan Harimau Terbang terlihat, kecuali kedua orang penjaga pintu gerbang dan beberapa pelayan di belakang.

Memang, sebenarnya Perguruan Harimau Terbang bukan sebuah perguruan silat, karena tidak menerima murid. Ki Waringin hanya mengambil beberapa orang, kemudian dididik ilmu silat. Dia kemudian menjadikan mereka sebagai pengawal barang. Demikian pula Perguruan Naga Laut.

"Sekarang, ceritakanlah berita buruk yang kau bawa itu, Sancaka," tagih Ki Waringin, ketika mereka telah berada di sebuah ruangan tengah yang cukup luas.

"Berita yang menyedihkan dan mengerikan, Waringin," jawab Ki Sancaka langsung pada pokok persoalan.

"Jangan membuatku penasaran, Sancaka. Ceritakan secara jelas, apa yang kau maksudkan," desak Ki Waringin tidak sabar lagi.

Sancaka tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas panjang-panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan dia tengah mencari kekuatan hati sebelum memulai cerita.

Meskipun keinginan untuk mendengar cerita yang dibawa Ki Sancaka meluap-luap, Ketua Perguruan Harimau Terbang itu masih tetap mampu untuk tidak langsung mendesak rekannya. Dengan sabar, ditunggunya hingga Ki Sancaka siap bercerita.

"Aku mendengar kabar yang tersiar dalam dunia persilatan, Waringin. Sebuah kabar yang mengerikan," Ki Sancaka memulai ceritanya.

"Kabar apa, Sancaka?" tanya Ki Waringin.

"Murid-murid asuhanmu yang membawa sebuah barang, telah membuat dunia persilatan gempar. Semua tokoh persilatan, baik dari aliran hitam maupun putih, telah keluar dari sarangnya untuk merampas barang kiriman itu," tutur Ki Sancaka.

"Ah!" desah Ki Waringin kaget. "Apakah ada yang aneh terhadap barang kiriman itu, Sancaka? Padahal, pemilik barang hanya mengatakan kalau barang itu penting. Maka, kutugaskan Sangga Juwana untuk ikut dalam rombongan. Rasanya, aku tidak melihat adanya keanehan dalam hal ini. Andaikan barang yang dititipkannya amat berharga, rasanya belum tentu mampu menarik hati tokoh-tokon persilatan tingkat atas."

Ki Sancaka menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. "Kau tahu, Waringin. Berpuluh-puluh tokoh persilatan dari berbagai aliran dan tingkatan menyerang rombongan anak didikmu. Mereka semuanya ingin merampas barang kawalan itu. Mungkin kau tidak percaya kalau kuberitahu bahwa ada dua tokoh hitam yang menggiriskan, ikut berminat pula terhadap barang kiriman itu."

"Katakanlah, Sancaka. Aku ingin mendengarnya," sahut Ki Waringin cepat.

"Kau tidak akan kaget mendengarnya?"

"Akan kuusahakan," jawab Ki Waringin, tidak berani memastikan.

"Di antara orang-orang yang akan merampas barang itu..., adalah Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur!" tandas Ki Sancaka.

"Hahhh...?!" Ki Waringin sampai tersentak kaget. Raut keterkejutan yang amat sangat tergambar jelas pada wajahnya. Kedua tokoh yang disebutkan rekannya adalah datuk-datuk persilatan aliran hitam. Rasanya, mustahil kalau mereka akan merampok barang kawalan Perguruan Harimau Terbang!

"Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur...?!" ulang Ki Waringin dengan suara bergetar karena perasaan terkejut.

"Benar," jawab Ki Sancaka sambil menganggukkan kepala.

"Aku tidak percaya!" sentak Ki Waringin keras. "Mustahil orang seperti mereka ikut-ikutan memperebutkan sebuah benda kiriman!"

"Aku tidak memaksamu untuk percaya, Waringin," keluh Ki Sancaka. "Hanya yang perlu diketahui, murid-murid asuhanku secara kebetulan bertemu mereka berdua yang tengah memperebutkan sebuah peti kecil berukir."

Deggg!

Dada Ki Waringin tiba-tiba terasa sesak seperti diseruduk seekor kerbau liar. Peti kecil! Ucapan Ki Sancaka sama sekali tidak salah! Barang kiriman itu memang berupa sebuah peti kecil. Entah apa isinya, Ketua Perguruan Harimau Terbang ini memang tidak tahu.

"Dari mana muridmu tahu kalau kedua orang itu adalah Garuda Laut Timur dan Raja Ular Beracun?" kejar Ki Waringin, masih belum mempercayai.

"Kedua tokoh itu saling memanggil satu sama lain," jawab Ki Sancaka, setelah termenung sejenak untuk mengingat-ingat cerita muridnya.

"Hanya itu?" ada nada kekecewaan dalam ucapan Ki Waringin. Kalau hanya itu, belum pasti kalau kedua tokoh itu adalah Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur.

"Tidak. Muridku itu juga menceritakan ciri-cirinya. Dan ternyata, keterangan yang diberikan sama dengan yang kuketahui selama ini," jawab Ki Sancaka, bernada menang.

"Muridku melihat mereka berkejaran, jauh di luar Hutan Kaji. Garuda Laut Timur yang dikejar, karena dia yang membawa peti."

"Lalu, bagaimana nasib murid-muridku, Sancaka?" tanya Ki Waringin tanpa menyembunyikan kecemasan, baik pada raut wajah maupun nada suaranya.

Ki Sancaka mengangkat bahu. "Maafkan aku, Waringin. Aku tidak tahu. Hanya kedua datuk sesat itulah yang terlihat oleh muridku. Itu pun secara tidak sengaja. Dan dia lalu memberitahukannya padaku. Hhh… Untung saja kedua datuk sesat itu tidak melihatnya. Kalau saja terlihat, nasib muridku pasti sudah bisa kutebak."

Ki Waringin sama sekali tidak memberi tanggapan. Rupanya, dia masih terpengaruh cerita yang dibawa Ki Sancaka. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.

"Kau belum mendengar berita yang tersiar dalam dunia persilatan mengenai barang kiriman yang dititipkan padamu, Waringin?" tanya Ki Sancaka lagi.

Ketua Perguruan Harimau Terbang itu menggelengkan kepalanya. Sikapnya kelihatan lesu sekali.

"Peti yang kau kirimkan itu berisikan..., kepala manusia...."

"Hahhh...?! Kau tidak main-main, Sancaka?! Kepala manusia?! Kepala siapa?!" tanya Ki Waringin bertubi-tubi, sambil bangkit berdiri.

"Siapa adanya pemilik kepala itu, aku tidak tahu. Tapi menurut berita yang kudengar, pemilik kepala itu telah meninggal hampir seratus lima puluh tahun yang lalu."

"Hhh...!" Ki Waringin menghela napas berat. Tangan kanannya memegangi kepalanya. Kemudian, kepalanya tergeleng-geleng seperti hendak mengusir rasa pusing yang mendera. Lalu, perlahan-lahan pantatnya dijatuhkan kembali ke kursi.

"Aku pusing, Sancaka. Pusing sekali. Persoalan ini semakin tidak kumengerti. Untuk apa orang itu memintaku mengantarkan barang, kalau ternyata isinya hanya kepala manusia. Bahkan manusia yang telah meninggal seratus lima puluh tahun yang lalu. Tak bisa kubayangkan, sudah bagaimana bentuknya kepala manusia itu," keluh Ki Waringin sambil memijit-mijit kepalanya.

"Tenanglah, Waringin. Aku akan menceritakan semuanya secara singkat tapi jelas, agar kau bisa mengerti dan tidak kebingungan lagi. Bagaimana? Setuju?!"

Ki Waringin menatap wajah Ki Sancaka sejenak. Sementara, Ki Sancaka pun tengah menatapnya. Tak pelak lagi, untuk sesaat lamanya kedua orang pemilik jasa pengawalan barang itu pun saling berpandangan. Namun kemudian, perlahan-lahan kepala Ki Waringin terangguk.

"Nah, begitu dong!" seru Ki Sancaka gembira. "Sekarang, dengarkan baik-baik!"

Ki Waringin terdiam. Seluruh perhatiannya dipusatkan untuk mendengarkan cerita yang akan disampaikan Ki Sancaka.

"Menurut cerita yang tersebar dan yang kudengar, sekitar hampir dua ratus tahun yang lalu hidup seorang tokoh amat sakti. Dia banyak memiliki kepandaian ajaib. Sayangnya, tokoh itu memiliki watak telengas sehingga perbuatannya sangat sewenang-wenang. Kesukaannya adalah menyebar malapetaka di sana-sini," tutur Ki Sancaka memulai ceritanya.

Ki Waringin sama sekali tidak menyelak cerita rekannya. Dibiarkannya Ki Sancaka bercerita, sambil mendengarkan penuh minat.

"Kelakuannya yang buruk itu tentu saja mendapat tentangan dari tokoh-tokoh persilatan aliran putih. Tidak terhitung sudah tokoh sesat ini bertarung, namun selalu berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Entah sudah berapa ratus tokoh golongan putih yang tewas di tangannya."

Ki Sancaka menghentikan ceritanya sejenak. Ditatapnya wajah Ki Waringin sejenak. Barangkali saja ada yang ingin ditanyakan. Tapi, ternyata tidak.

"Tokoh sesat itu semakin merajalela ketika tindakan angkara murkanya tidak bisa dibendung tokoh-tokoh persilatan aliran putih. Bahkan tindak kejahatannya semakin beringas saja. Membunuh, memperkosa, dan menganiaya. Malah, masih banyak kejahatan lain yang diperbuatnya," lanjut Ki Sancaka. "Sampai akhirnya, semua tokoh golongan putih mengadakan pertemuan untuk menanggulangi tindakan angkara murka tokoh sesat itu."

"Tidak adakah tokoh golongan putih yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari tokoh sesat itu?" tanya Ki Waringin tiba-tiba, ketika Ki Sancaka menghentikan ceritanya sejenak.

"Menurut berita yang kudengar, ada beberapa tokoh golongan putih yang memiliki kepandaian di atas tokoh sesat itu," jawab Ki Sancaka.

"Lalu, mengapa mereka tidak rnembasmi tokoh sesat itu?!" potong Ki Waringin, cepat. Ada nada penasaran besar dalam kata-katanya.

"Tokoh sesat itu memiliki ilmu yang membuatnya tidak bisa mati," sahut Ki Sancaka. "Setiap kali berhasil dibunuh, dia hidup kembali. Telah berbagai macam cara dilakukan, tapi dia tetap hidup. Sampai akhinya tokoh golongan putih kelelahan, dan mati dibantai tokoh sesat itu."

"Ah! Jadi, tokoh sesat itu memiliki ilmu yang membuatnya tidak bisa dibunuh?"

"Benar. Namun, waktu itu belum ada seorang pun yang tahu nama ilmunya dan penangkalnya," jawab Ketua Perguruan Naga Laut. "Baru setelah pertemuan diadakan, seorang tokoh tua berilmu tinggi memberitahukan tentang ilmu itu dan cara penanggulangannya."

"Apa nama ilmu itu, Sancaka?" tanya Ki Waringin penuh gairah.

"Ilmu 'Rawa Rontek'," jawab Ki Sancaka. "Dan menurut tokoh tua itu, kalau hendak menumpas tokoh sesat yang memiliki ilmu 'Rawa Rontek', harus memisahkannya dengan tanah. Tubuhnya jangan dibiarkan bersatu dengan tanah. Dengan kata lain, membunuh tokoh sesat itu harus sewaktu tubuhnya berada di udara. Dan memang, ketika petunjuk dan kakek itu diikuti, tokoh sesat yang angkara murka itu berhasil ditumpas. Dan sesuai petunjuk dari kakek itu pula, kepala dan badannya yang sengaja dipisahkan dan diletakkan di tempat yang berjauhan. Itu pun tidak sampai berhubungan dengan tanah."

"Jadi... kepala yang berada dalam peti barang kawalan adalah kepala tokoh sesat yang tewas seratus lima puluh tahun yang lalu itu?" tanya Ki Waringin, mulai mengerti.

"Benar," Ki Sancaka menganggukkan kepala.

"Lalu, kenapa tokoh-tokoh persilatan hendak merebutnya?!" tanya Ketua Perguruan Harimau Terbang tidak mengerti.

"Kalau tokoh-tokoh aliran putih, mungkin ingin menghalang-halangi agar kiriman itu tidak sampai ke tempat tujuan. Entah apa maksud tokoh aliran hitam merebutnya," jawab Ki Sancaka.

Ki Waringin pun terdiam. Dia memang tidak mengetahui, karena itu tidak memberikan jawaban. Tapi mendadak.... "Aku harus pergi sekarang, Sancaka!" ucap Ketua Perguruan Harimau Terbang, tiba-tiba. Ki Waringin segera bangkit dari kursinya.

Karuan saja, hal itu membuat Ki Sancaka terkejut. Maka dia pun cepat bangkit dan berdiri menghadang sahabatnya. "Tunggu sebentar, Waringin! Mau ke mana kau? Apa yang akan kau lakukan?" tanya kakek berpakaian coklat ini ingin tahu.

"Menyusul murid-muridku, Sancaka. Sebelum mereka tertimpa marabahaya," jawab Ki Waringin, apa adanya.

"Kalau begitu, aku ikut!" tandas Ki Sancaka.

"Kau...?!" desis Ki Waringin tidak percaya. "Kau ingin ikut bersamaku?"

"Benar, Waringin," Ketua Perguruan Naga Laut itu menganggukkan kepala. "Ingat! Kita adalah sahabat. Kesusahanmu, adalah kesusahanku juga. Jadi, biarkan aku ikut bersamamu!"

Ki Waringin tidak langsung menjawab permintaan itu. Ditatapnya wajah kakek berpakaian coklat itu lekat-lekat, sebelum akhirnya kepalanya terangguk sambil tersenyum simpul.

"Sudah kuduga, kau akan mengizinkanku, Waringin," kata Ki Sancaka, gembira.

"Sudahlah. Yang penting, sekarang kita harus bergegas!"

"Kau benar, Waringin," hanya itu yang bisa dikatakan Ki Sancaka, karena harus buru-buru melesat mengejar Ki Waringin yang telah berjalan keluar lebih dulu.

* * * * * * * *

TUJUH

"O ya, Waringin," kata Ki Sancaka ketika mereka berdua telah berada di luar pintu bangunan tempat mereka bercakap-cakap tadi.

"Ada apa, Sancaka?" tanya Ki Waringin sambil membalikkan tubuh. Hal itu terpaksa dilakukan kakek berpakaian putih ini, karena Ki Sancaka memang berada di belakangnya.

"Ada sesuatu hal yang kulupakan," jawab Ketua Perguruan Naga Laut.

"Apa itu, Sancaka?" tanya Ki Waringin ingin tahu.

"Aku ingin tahu orang yang telah menyuruhmu mengirimkan barang itu," ujar Ki Sancaka.

Ki Waringin tercenung sejenak, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. "Dia seorang wanita cantik. Menilik dari keadaannya, dia bukan orang daerah sini. Kulit wajahnya putih bersih. Dan rambutnya melingkar-lingkar," jelas Ketua Perguruan Harimau Terbang tentang ciri-ciri pemilik barang.

Ki Sancaka mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa arti anggukannya. Hanya dia sendiri yang mengerti maknanya.

"Hebatnya, orang hitam itu membayar begitu banyak. Padahal, jarak yang diajukannya sebagai tempat pengiriman barang tidak terlalu jauh. Maka, begitu dia mengatakan kalau barang itu penting dan berharga sekali, segera kuperintahkan Sangga Juwana untuk ikut dalam rombongan."

"Bagaimana kalau setelah menemukan murid-muridmu, tempat pengantaran barang itu kita datangi, Waringin?" usul Ki Sancaka.

"Kau ini bagaimana, Sancaka? Tanpa kau usulkan pun, rombongan kami akan ke sana untuk mengantarkan barang?" bantah Ki Waringin, keras.

"Kau lupa, Waringin," tuding Ki Sancaka. "Menurut cerita muridku, peti itu telah diambil Garuda Laut Timur."

"Kalau begitu, usulmu kita bicarakan lagi nanti," jawab Ki Waringin setelah kebingungan sejenak. Usai berkata demikian, Ki Waringin lalu membalikkan tubuh dan kembali melangkah menuju pintu gerbang.

Ki Sancaka bergegas menyusul dan menjajari langkah sahabatnya. "Ada sebuah hal yang ingin kuketahui. Mengapa Garuda Laut Timur membutuhkan kepala itu. Mungkinkah dia ingin menghidupkan kembali tokoh sesat yang telah tewas itu?" tanya kakek berpakaian coklat itu. Rupanya, dia belum puas membicarakan masalah itu.

Ki Waringin diam saja, tanpa memberikan tanggapan sama sekali. Tapi, hal itu tidak membuat Ki Sancaka berhenti berbicara. Rupanya, bagi kakek berpakaian coklat itu tak ada masalah apakah ditanggapi atau tidak. Yang penting, uneg-uneg yang mengganjal telah keluar.

"Masalah kedua yang membingungkanku adalah, siapakah sumber berita yang menyebarkan kalau Perguruan Harimau Terbang membawa kepala tokoh sesat yang tewas seratus tahun lalu?!" sambung Ki Sancaka lagi.

Langkah Ki Waringin kontan terhenti. Mulai disadari adanya ketidak-beresan dalam masalah ini. Apa yang dikatakan Ki Sancaka sama sekali tidak salah. Memang, dari mana asal berita kalau iring-iringan pengawalan barang Perguruan Harimau Terbang itu membawa kepala tokoh sesat zaman dulu yang memiliki ilmu 'Rawa Rontek'?

Namun sebelum Ki Waringin sempat memberikan tanggapan, tiba-tiba terdengar jeritan keras. Jelas, jeritan kematian! Jeritan itu saja rupanya sudah cukup menimbulkan keterkejutan di hati Ki Waringin dan Ki Sancaka. Apalagi, ketika Ki Waringin mengenali pemilik suara. Yang rupanya seorang dari murid Perguruan Harimau Terbang penjaga pintu gerbang.

Keyakinan Ki Waringin semakin membesar setelah mendengarkan lebih seksama, arah jerit kematian itu. Dan memang, itu benar berasal dari pintu gerbang.

"Kau dengar suara itu, Sancaka?" tanya Ki Waringin untuk lebih meyakinkan diri. Dia takut kalau telinganya salah dengar. Ki Sancaka menganggukkan kepala.

"Sepertinya jeritan kematian."

Bagai kucing dibawakan sapu lidi, Ki Waringin segera melesat cepat menuju pintu gerbang. Dia ingin tahu kejadian yang menimpa di sana. Cepat bukan kepalang gerakannya. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan sinar putih yang melesat cepat menuju pintu gerbang.

"Heyyy...!" Ki Sancaka memekik keras ketika melihat tubuh Ki Waringin melesat. Tanpa membuang-buang waktu, dia pun bergerak mengejar. Sesaat kemudian sosok bayangan coklat yang tak jelas bentuknya telah melesat mengejar sosok bayangan putih yang tak lain adalah Ki Waringin.

Ki Waringin mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya untuk tiba di depan pintu gerbang secepat mungkin. Kekhawatirannya akan nasib kedua orang muridnyalah yang membuatnya bersikap demikian.

Tapi belum juga mencapai pintu gerbang, tampak sesosok tubuh tinggi kurus tengah melangkah masuk dengan tenang. Dia adalah seorang kakek berpakaian merah menyala. Bahkan kedua tangannya tertutup sarung tangan yang juga berwarna merah.

Tapi yang membuat Ki Waringin terkejut adalah sebuah peti kecil berwarna hitam berukir yang terkempit di ketiak kanan kakek tinggi kurus itu. Peti itu adalah barang kiriman yang dibawa Sangga Juwana dan rombongannya. Kalau peti kecil itu kini berada di tangan kakek ini, sudah bisa diperkirakan nasib rombongan murid-muridnya.

Sepasang alis Ki Waringin berkerut ketika teringat cerita Ki Sancaka. Dia kini berdiri terpaku dengan sepasang mata terbelalak lebar, menatap tamu tak diundang itu. Memang sejak melihat kedatangan kakek itu, Ki Waringin sudah menghentikan larinya. Keterkejutannyalah yang membuat langkahnya terhenti tanpa sadar.

"Garuda Laut Timur...," sebuah desisan keluar dari mulut Ki Sancaka yang telah berada di sebelah Ki Waringin. Dia ingin meyakinkan Ketua Perguruan Harimau Terbang ini kalau kakek berpakaian putih itu adalah Garuda Laut Timur.

Wajah Ki Sancaka tampak cemas bukan kepalang. Gambaran perasaan yang sama juga tampak pada wajah Ki Waringin. Memang kehadiran datuk kaum sesat yang merajai wilayah lautan itu amat mengejutkan hati mereka.

Sementara orang yang membuat mereka gentar tengah melangkah menghampiri. Raut wajahnya memancarkan kemarahan yang amat sangat. Bahkan sepasang matanya menyiratkan hawa maut. Jelas, Garuda Laut Timur tengah murka.

Selangkah demi selangkah, jarak Garuda Laut Timur dengan Ki Waringin dan Ki Sancaka semakin bertambah dekat. Baik Ki Waringin maupun Ki Sancaka kini tahu, kepada siapa pandangan mata penuh kemarahan dari Garuda Laut Timur itu ditujukan. Jelas, pada Ki Waringin!

Ketika jarak antara Garuda Laut Timur dengan Ki Sancaka dan Ki Waringin berdiri tinggal sekitar dua tombak lagi, langkah tokoh sesat yang menggiriskan itu berhenti.

Brakkk!

Peti kecil berukir yang terkempit di ketiak kanannya dibanting ke tanah. Dan karena disertai pengerahan tenaga dalam, tak pelak lagi peti itu hancur berkeping-keping. Sehingga, isi peti itu terpental keluar, lalu menggelinding di tanah beberapa saat lamanya sebelum akhirnya berhenti.

Mata Ki Waringin dan Ki Sancaka yang mengikuti arah benda yang menggelinding itu langsung terbelalak. Mereka kini tahu, apa sebenarnya benda itu. Ternyata sebuah kepala. Tapi yang membuat mereka lebih terkejut, adalah ketika mengetahui secara pasti kalau kepala itu bukan kepala manusia. Melainkan, kepala sejenis kera! Tepatnya kepala seekor orang hutan.

"Berani kau mempermainkan dengan menciptakan lelucon seperti ini, Keparat Busuk?!"

Teguran keras bernada kemarahan membuat Ki Waringin dan Ki Sancaka mengalihkan pandangan. Kini mata mereka tertuju pada Garuda Laut Timur. Lagi-lagi, kedua orang ini langsung tahu, kepada siapa kemarahan Garuda Laut Timur ditujukan.

Ki Waringin dan Ki Sancaka langsung bisa meraba-raba penyebab kemarahan datuk penguasa wilayah lautan itu. Pasti karena peti yang berisi kepala orang hutan itu. Bukankah berita yang tersiar luas di dunia persilatan mengatakan, kalau peti itu berisi kepala manusia pemilik ilmu 'Rawa Rontek'? Jelas, Garuda Laut Timur merasa dirinya dipermainkan. Tak heran kalau dia datang ke sini dan langsung murka.

"Kau tahu, tidak ada ampun bagi orang yang berani mempermainkan Garuda Laut Timur!" sambung kakek tinggi kurus itu, masih dengan nada tinggi.

Garuda Laut Timur sama sekali tidak peduli ucapannya didengar atau tidak. Yang dibutuhkannya adalah pelampiasan kekesalan yang terpendam. Baik pelampiasan dalam bentuk ucapan, maupun tindakan.

Betapa Garuda Laut Timur tidak menjadi jengkel bukan kepalang? Dengan susah payah peti yang diperebutkan didapatkan. Bahkan dia datang dari tempat yang amat jauh. Dan ketika sudah berhasil memperolehnya, juga harus bermain kucing-kucingan dengan Raja Ular Beracun, agar tidak terjadi bentrokan. Bukan karena Garuda Laut Timur takut, tapi karena ingin menyelamatkan peti berukir itu lebih dulu.

Dapat dibayangkan betapa geram hatinya, ketika akhirnya berhasil lolos dari kejaran Raja Ular Beracun dan hanya menjumpai kepala seekor orang hutan di dalamnya. Dengan kemarahan yang meluap-luap dalam dada, maka diputuskannya untuk menyatroni tempat Perguruan Harimau Terbang. Dan setelah bertanya sana sini, markas Perguruan Harimau terbang berhasil ditemukannya.

* * * * * * * *

DELAPAN

Ki Waringin tahu, bahaya besar tengah mengancamnya. Garuda Laut Timur tak akan mungkin mau mengampuninya. Datuk sesat penguasa wilayah lautan itu jelas akan membunuhnya. Bahkan mungkin dengan cara mengerikan. Maka, diputuskannya untuk melakukan perlawanan. Sekalipun disadari kalau bukan tandingan Garuda Laut Timur, namun dia tidak mau mati konyol. Setidak-tidaknya, dia tewas secara gagah berani. Maka tanpa ragu-ragu lagi, senjatanya segera dicabut.

Srattt! Sinar terang berkiblat ketika pedang bergagang kepala harimau itu keluar dari sarungnya. Srattt! Untuk yang kedua kali sinar terang menyilaukan mata kembali berkeredep ketika Ki Sancaka mencabut senjatanya pula, berupa sebilah golok pendek bergagang kepala naga.

Rupanya Ki Sancaka tidak ingin berpangku tangan saja melihat bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan sahabatnya. Meskipun tidak masuk calon korban Garuda Laut Timur, Ketua Perguruan Naga Laut ini berniat mengadakan perlawanan. Dan itu jelas dilakukannya untuk membela Ki Waringin.

Ki Sancaka tahu Garuda Laut Timur adalah seorang tokoh amat sakti. Jangankan Ki Waringin sendirian. Biarpun dibantu olehnya pun, belum tentu Garuda Laut Timur bisa dikalahkan. Meskipun demikian, tetap Ki Sancaka nekat. Dia tidak rela membiarkan Ki Waringin mati sendirian. Biariah, kalau perlu mati bersama-sama.

Ki Waringin merasa terharu melihat pembelaan Ki Sancaka. Dia tahu, tindakan Ki Sancaka sama saja mempertaruhkan nyawa. Dan itu dilakukan laki-laki berpakaian coklat itu untuk membelanya. Betapa Ketua Perguruan Harimau Terbang ini tidak terharu?

"Mengapa kau lakukan ini, Sancaka?" tanya Ki Waringin. Agak serak suaranya. Karena perasaan haru yang menggelegak.

Ki Sancaka menoleh, menatap wajah sahabatnya lekat-lekat "Aku tidak mau melihat kau mati dibantai iblis itu, Waringin. Biarlah kita mati bersama," jawab Ki Sancaka kalem.

"Terima kasih, Sancaka. Kau memang sahabatku yang terbaik," puji Ki Waringin dengan suara semakin serak.

"Lupakanlah, Waringin. Kita adalah sahabat baik. Kau ingat?!"

"Apakah kalian sudah saling mengucapkan selamat tinggal? Kalau belum, cepat lakukan! Kalian kuberi kesempatan agar tidak mati penasaran!"

Ucapan keras Garuda Laut Timur menghentikan percakapan antara Ki Waringin dan Ki Sancaka. Mereka pun kembali mengalihkan perhatian ke arah datuk sesat penguasa lautan itu. Memang, kedua pimpinan tertinggi jasa pengawalan barang kiriman itu bercakap-cakap tanpa memperhatikan Garuda Laut Timur. Mereka tahu, Garuda Laut Timur tidak akan mungkin membokong!

"Kami tidak perlu mengucapkan kata-kata itu, Garuda Laut Timur!" sambut Ki Waringin lantang, untuk menutupi kegentaran hatinya. "Karena kami akan melenyapkanmu untuk selama-lamanya!"

"Keparat! Kau mencari mati sendiri, Macan Ompong! Haaat..!"

Diiringi suara mendesing nyaring, Garuda Laut Timur melompat menerjang Ki Waringin. Dan sewaktu berada di udara, tubuhnya berbalik seraya mengibaskan kaki kanan ke arah pelipis.

Wuttt..! Hembusan angin keras mengiringi tibanya tendangan datuk sesat penguasa wilayah lautan itu.

Ki Waringin tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru Ketua Perguruan Harimau Terbang ini melompat ke belakang. Sehingga, serangan itu mengenai tempat kosong, beberapa jengkal dari sasaran. Meskipun demikian, angin kihasan serangan itu saja telah membuat rambut dan pakaian Ki Waringin berkibar keras. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam kibasan itu.

Tapi, bukan Garuda Laut Timur namanya kalau serangan yang dilancarkannya hanya berhenti sampai di situ. Begitu kakinya menyentuh tanah, langsung saja dikirimkan serangan bertubi-tubi ke arah Ki Waringin.

Karuan saja, hal ini membuat Ki Waringin kelabakan. Dengan susah payah Ketua Perguruan Harimau Terbang ini berusaha keras mengelakkan serangan. Malah tubuhnya sampai terpontang-panting ke sana kemari dalam usaha mengelakkan serangan itu.

Sebuah keuntungan bagi Ki Waringin, Ki Sancaka tidak tinggal diam. Begitu sahabatnya tampak terancam bahaya maut, dia langsung terjun ke dalam kancah pertarungan. Ketua Perguruan Naga Laut ini langsung saja mengirimkan serangan mematikan dan bertubi-tubi ke arah Garuda Laut Timur yang tengah memburu Ki Waringin.

Sing, sing, sing...!

Desingan tajam terdengar saling susul ketika golok di tangan Ki Sancaka menyambar ke arah leher dan pelipis Garuda Laut Timur. Pada saat yang sama, tubuh datuk sesat penguasa wilayah lautan itu tengah meluruk, memburu Ki Waringin. Garuda Laut Timur menggeram. Sungguh sama sekali tidak diduganya kalau Ki Sancaka akan secerdik ini. Yang diserang Ketua Perguruan Naga Laut adalah bagian-bagian terlemah dari tubuhnya, yang tidak mungkin bisa dilindungi dengan pengerahan tenaga dalam.

Jadi, Garuda Laut Timur tidak mungkin membiarkan serangan itu begitu saja. Mau tak mau, Garuda Laut Timur terpaksa membatalkan serangannya terhadap Ki Waringin Namun, kini serangannya dialihkan untuk menangkis serangan-serangan yang dikirimkan Ki Sancaka. Dengan tangan telanjang, dipapaknya sambaran golok Ki Sancaka.

Trak, trak, trak...!

"Akh...!" Sebuah pekik kesakitan keluar dari mulut Ki Sancaka ketika golok di tangannya berbenturan dengan tangan Garuda Laut Timur. Tangannya kontan terasa linu-linu. Bahkan jari-jari tangan yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Sehingga, hampir saja golok itu terlepas dari pegangan.

Sedangkan Garuda Laut Timur seperti tidak merasakan akibat benturan itu. Tangannya yang dipakai menangkis babatan golok tidak kurang suatu apa. Jangankan terluka, tergores pun tidak! Hal ini membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam Garuda Laut Timur mampu membuat tangannya seperti sekuat baja!

Tapi, Ki Sancaka berusaha tidak mempedulikan perasaan sakit yang mendera tangannya. Kembali diterjangnya Garuda Laut Timur dengan serangan-serangan mematikan. Bukan hanya Ki Sancaka saja yang bertindak demikian. Ki Waringin pun melakukan hal yang sama. Pedang ditangannya berkelebat cepat, mengancam berbagai bagian berbahaya di tubuh Garuda Laut Timur.

Di lain pihak, Garuda Laut Timur pun memang tidak bertindak main-main lagi. Meskipun kakek berpakaian merah ini sama sekali tidak menggunakan senjata, tapi seluruh kemampuannya dikerahkan. Maka tak pelak lagi pertarungan yang cukup seru dan menarik pun berlangsung.

Tapi, menariknya pertarungan itu tak berlangsung sampai lama. Lewat lima belas jurus, Garuda Laut Timur mulai menguasai kancah pertarungan. Memang tingkat kepandaian datuk sesat penguasa lautan ini terlalu tinggi untuk bisa ditandingi Ki Waringin dan Ki Sancaka. Sekalipun, mereka menghadapinya secara bersama-sama.

Kekuatan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, dan mutu ilmu silat mereka terlalu jauh. Sehingga, perlawanan yang dilakukan tampaknya sia-sia. Setiap serangan yang dilancarkan Ki Sancaka dan Ki Waringin selalu kandas. Kalau tidak tertangkis, pasti bisa dielakkan. Ki Sancaka dan Ki Waringin seperti menyerang bayangan saja, karena kecepatan gerakan Garuda Laut Timur. Dan menginjak jurus ke dua puluh dua....

Tuk, tuk...!

"Akh..., akh...!"

Ki Sancaka dan Ki Waringin memekik tertahan ketika tiba-tiba tangan mereka terasa lumpuh. Tanpa dapat dicegah lagi, senjata-senjata mereka pun terlepas dari pegangan. Ki Sancaka dan Ki Waringin sama sekali tidak tahu kalau Garuda Laut Timur dengan kecepatan geraknya yang luar biasa, telah menotok sikut-sikut mereka. Sehingga, membuat tangantangan mereka lumpuh seketika. Walaupun hanya sekejap.

Dan sebelum Ki Sancaka dan Ki Waringin sempat berbuat sesuatu, kaki Garuda Laut Timur telah menendang kedua senjata yang terlepas dari pegangan.

Tak, tak...!

Singgg, singgg...!

"Akh, akh...!"

Pekik kesakitan tertahan keluar dari mulut Ki Sancaka dan Ki Waringin ketika pedang dan golok yang ditendang Garuda Laut Timur, menghunjam telak pada paha kanan masing-masing sampai setengahnya lebih. Seketika itu pula, tubuh kedua kakek itu terhuyunghuyung ke belakang sambil menyeringai kesakitan.

"Hak hak hak...!"

Garuda Laut Timur tertawa terbahak-bahak. Sejenak ditatapnya kedua lawan yang masih terhuyung-huyung mundur ke belakang. Kemudian dengan langkah lambat-lambat, dia menghampiri kedua kakek tak berdaya itu. Ada sorot kematian pada sepasang matanya. Ki Sancaka dan Ki Waringin saling berpandangan pasrah. Keduanya yakin, tidak akan selamat dari maut.

"Bersiap-siaplah menerima kematian, Monyet-Monyet Kecil!" ujar Garuda Laut Timur dengan suara menyeramkan. Namun sebelum Garuda Laut Timur mengirimkan pukulan terakhir...

"Sungguh gagah sekali tindakanmu, Garuda Laut Timur! Beraninya hanya membunuh lawan tidak berdaya!"

Keras dan lantang suara itu diucapkan, sehingga terdengar jelas ke seluruh penjuru. Jelas, hal ini membuktikan kekuatan tenaga dalam pemiliknya. Bukan hanya Garuda Laut Timur saja yang menoleh untuk melihat orang yang telah begitu berani mencelanya. Ki Sancaka dan Ki Waringin pun ikut pula menoleh. Kedua kakek yang sudah tidak berdaya ini ingin tahu pula orang yang sudah pasti bermaksud menolong.

Garuda Laut Timur menggeram, begitu melihat salah satu dari dua orang yang berdiri di ambang pintu gerbang. Dia seorang pemuda berpakaian ungu dan berambut putih keperakan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak? Sedangkan orang yang satunya lagi sudah bisa ditebak. Ya. Sangga Juwana! Sebab, dia memang diajak Dewa Arak untuk kembali ke perguruannya.

"Lagi-lagi kau, Dewa Arak!" desis Garuda Laut Timur tajam. "Tapi bagus kau datang kemari, sehingga aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu. Memang, sudah lama aku ingin membuat perhitungan denganmu!"

Arya hanya tersenyum getir. "Pantang bagiku menolak tantangan, Garuda Laut Timur!" sambut pemuda berambut putih keperakan itu. Usai berkata demikian, Arya segera melangkah menghampiri Garuda Laut Timur.

Sementara, Sangga Juwana bergegas mendekati Ki Sancaka dan Ki Waringin. "Kau tidak apa-apa, Guru?" tanya Sangga Juwana bernada khawatir, seraya menatap kaki Ki Waringin yang tertancap senjatanya sendiri.

Ketua Perguruan Harimau Terbang hanya menggelengkan kepala. "Hanya sebuah luka kecil, Sangga," jawab Ki Waringin kalem. "O ya, benarkah pemuda yang datang bersamamu itu Dewa Arak?"

Sangga Juwana menganggukkan kepala. "Benar, Guru."

"Ah...!" Hampir berbareng Ki Sancaka dan Ki Waringin berseru kaget. Memang keduanya sama sekali tidak menduga bisa berjumpa pendekar muda yang mempunyai julukan menggemparkan dunia persilatan itu.

"Berita yang tersebar itu benar," desah Ki Sancaka dengan pandangan mata tak lepas dari Dewa Arak. "Tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu ternyata demikian muda."

"Hm...!" Hanya gumam perlahan dari mulut Ki Waringin yang menyambuti ucapan penuh kekaguman dari Ki Sancaka. Dia lebih tertarik memperhatikan Dewa Arak dan Garuda Laut Timur yang sudah pasti akan terlibat dalam pertarungan.

Memang, pertarungan antara Dewa Arak melawan Garuda Laut Timur tidak akan mungkin bisa dielakkan lagi. Garuda Laut Timur sudah terlalu dilanda amarah, dan tidak akan mungkin bisa disabarkan kembali.

Dan itu terbukti. Tampaknya Garuda Laut Timur tidak sabar menunggu hingga Arya mendekat. Dia pun melangkah menghampiri. Dan kini kedua belah pihak saling menghampiri satu sama lain. Lalu langkah keduanya baru terhenti ketika telah berjarak dua tombak lagi. Sesaat, baik Dewa Arak maupun Garuda Laut Timur saling berpandangan. Seakanakan kedua tokoh yang hendak berlaga itu saling mengadu kekuatan pandangan lebih dulu, sebelum bertarung.

"Hiaaat..!" Garuda Laut Timur berteriak, keras menggelegar laksana halilintar. Dan sebelum gema teriakan itu lenyap, dia sudah melompat menerjang Dewa Arak. Dan ketika tubuhnya telah berada di udara, Garuda Laut Timur meluruk turun menyerang Dewa Arak. Kedua tangannya yang membentuk cakar garuda, siap merejam lawannya. Ibu jari dan kelingking terlipat ke dalam, sementara jari-jari lainnya terkembang membentuk cakar. Serangannya mirip seekor garuda menyerbu mangsa.

Dan dengan bentuk jari-jari seperti itulah Garuda Laut Timur melancarkan serangan, bertubi-tubi ke arah pelipis dan ubun-ubun Dewa Arak. Suara mencicit nyaring, menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya. Inilah jurus 'Garuda', ilmu andalan Garuda Laut Timur.

Dewa Arak tahu kalau lawannya telah mengeluarkan ilmu andalan. Maka dia tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru kakinya digenjot, sehingga tubuhnya melayang ke belakang. Akibatnya, serangan serangan yang dilancarkan Garuda Laut Timur kandas. Dan di saat tubuhnya tengah melayang ke belakang, Dewa Arak mengambil gucinya yang tersampir di punggung. Kemudian isinya dituangkan ke dalam mulut.

Gluk.... Gluk.... Gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Kini, pemuda berambut putih keperakan itu telah siap dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.

"Hup!" Begitu kedua kaki Dewa Arak menginjak tanah, serangan susulan dari Garuda Laut Timur kembali meluncur tiba. Suara bercicitan nyaring mengawali serangan yang dilancarkan.

Tapi, Dewa Arak telah siap. Dan rasanya, tak sulit baginya untuk mengelakkan serangan itu dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'nya. Bahkan, langsung dikirimkannya serangan balasan yang membuat Garuda Laut Timur agak sibuk. Sesaat kemudian, kedua tokoh sakti ini sudah teriibat pertarungan sengit.

Pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak dan Garuda Laut Timur memang benar-benar menarik. Tubuh kedua tokoh sakti itu seperti melayang-layang di udara. Memang, keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Baik Dewa Arak maupun Garuda Laut Timur sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing. Kedua tangan, guci, dan semburan-semburan, dikeluarkan Dewa Arak dalam usaha menggilas habis semua perlawanan Garuda Laut Timur.

Tapi, Garuda Laut Timur pun bukan tokoh sembarangan. Dia adalah seorang datuk sesat penguasa wilayah lautan yang memiliki kepandaian tinggi. Maka perlawanan yang dilakukannya pun tak kalah hebat Suara mencicit dan mengaung menyemaraki pertarungan yang terjadi. Debu pun mengepul tinggi ke udara. Memang dahyat sekali pertarungan yang berlangsung. Sehingga, mampu memaksa. Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Sengga Juwana mundur menjauhi arena, tanpa mengalihkan pandangan dari pertempuran. Bahkan tanpa berkedip!

Sementara itu, pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan perlahan-lahan, Dewa Arak berhasil mendesak lawannya. Padahal, Garuda Laut Timur telah menggunakan senjata andalannya, yang berupa tongkat berujung logam tajam, berbentuk bulan sabit. Hebatnya, Dewa Arak tidak terdesak. Memang ilmu 'Belalang Sakti' yang terdiri dari kumpulan serangan tangan, guci, dan semburan arak, merupakan satu kesatuan yang mampu menggilas habis perlawanan lawan. Dan kini, yang menjadi korbannya adalah Garuda Laut Timur.

Menginjak jurus keseratus dua puluh lima, Garuda Laut Timur semakin terdesak. Dan datuk sesat ini pun sadar kalau dirinya tidak akan mungkin mampu mengalahkan Dewa Arak. Kemungkinan besar dia yang akan tewas. Padahal, seumur hidupnya Garuda Laut Timur belum pernah kalah. Namun, dia juga tidak ingin kalah. Maka, diputuskannya untuk mengajak Dewa Arak mati bersama!

Setelah mengambil keputusan demikian, Garuda Laut Timur menyerang kalang kabut Namun serangannya tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. Yang ada di benaknya hanya satu. Dewa Arak harus mati! Dan memang, menyerang secara kalap seperti ini membuat desakan Dewa Arak berkurang. Bahkan kini, ganti pemuda berambut putih keperakan itu yang terdesak.

Tapi terdesaknya Dewa Arak hanya berlangsung beberapa jurus saja. Dan hal itu pun karena Dewa Arak tidak mau meladeni keinginan gila lawannya. Memang, dengan cara menyerang kalap seperti itu kedahsyatannya semakin berlipat ganda. Tapi akibatnya, pertahanan pun melemah. Banyak celah kosong yang dapat dijadikan sasaran serangan lawan. Hal ini pun telah diperhitungkan oleh Dewa Arak.

"Hiaaat...!" Garuda Laut Timur menusukkan tongkat berujung bulan sabit ke arah perut Dewa Arak. Dan dengan perhitungan matang seorang tokoh berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas, Dewa Arak melangkahkan kaki kanannya ke belakang sambil mencondongkan tubuh. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya digerakkan.

Tappp! Tongkat itu berhasil dicekal jari tangan kiri Dewa Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan itu langsung menyentakkannya. Sedangkan Garuda Laut Timur sama sekali tidak menduga tindakan lawan. Tanpa bisa dicegah lagi, tubuhnya kontan melayang ke arah Dewa Arak. Dan saat inilah yang ditunggu-tunggu Dewa Arak. Tubuh Garuda Laut Timur yang melayang itu dipapak dengan gedoran guci araknya. Semua kejadian itu berlangsung demikian cepat. Maka....

Bukkk!

"Akh...!" Garuda Laut Timur melolong memilukan, ketika gedoran guci Dewa Arak tepat menghantam dadanya. Seketika itu pula tubuhnya terjungkal ke belakang. Suara berderak keras dari tulang-tulang yang patah kontan terdengar. Sungguh mengerikan kejadian yang teriihat. Sepanjang tubuh Garuda Laut Timur melayang, darah segar mengalir deras dari dalam mulutnya, mengotori tanah berumput.

Brukkk!

Sama sekali tidak ada gerakan ketika tubuh Garuda Laut Timur menghantam tanah. Datuk sesat ini tewas ketika tubuhnya masih berada di udara. Memang, pukulan guci Dewa Arak keras sekali, hingga membuat isi dada lawan hancur berantakan.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat. Ditatapnya sejenak mayat lawannya, baru kemudian tubuhnya berbalik. Dihampirinya Sangga Juwana, Ki Sancaka, dan Ki Waringin yang tengah menatap penuh kekaguman. Perlahan-lahan matahari mulai turun tergelincir dari titik kulminasi. Angin yang bertiup sepoi-sepoi, seakan-akan menyambut kemenangan Dewa Arak.

Siapakah sebenarnya pemilik peti itu? Benarkah peti itu hanya berisi kepala seekor orang hutan? Lalu, kalau benar berisi kepala tokoh sesat yang telah tewas seratus lima puluh tahun yang lalu, seperti yang tersiar di dunia persilatan, ke manakah perginya kepala tokoh sesat itu?

Lalu, apakah alasan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam merampas kiriman barang yang dikawal orang-orang Perguruan Harimau Terbang. Untuk jelasnya, silakan ikuti petualangan Dewa Arak dalam episode Tokoh dari Masa Silam.

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.