Dewa Arak - Makhluk Dari Dunia Asing

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Makhluk Dari Dunia Asing Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Maklhuk Dari Dunia Asing

SATU
Siang ini cuaca di persada terasa panas sekali. Matahari tepat di atas kepala. Sinarnya yang garang, memancar tanpa halangan oleh awan yang menggantung di angkasa. Seolah-olah, sang raja siang ingin memanggang semua makhluk yang ada di bawahnya.

Glarrr...!

Sungguh mengherankan! Betapa tidak? Langit tampak cerah, tapi kenapa terdengar suara seperti halilintar. Malah tidak hanya sekali saja, tapi berulang-ulang.

Sesaat kemudian, keadaan angkasa tampak mulai berubah. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di langit muncul awan tebal dan hitam yang berarak. Sehingga, suasana di persada perlahan-Iahan mulai gelap. Apalagi, ketika kumpulan awan itu mulai menutupi matahari.

Peristiwa itu berlangsung demikian cepat. Dalam beberapa saat saja, suasana yang tadi terang benderang segera berubah gelap pekat. Dan untuk yang kesekian kalinya, terjadi peristiwa lain yang mengejutkan! Hujan turun dari langit secara tiba-tiba, Bahkan langsung lebat. Sama sekali tidak didahului titik-titik hujan gerimis. Tapi, anehnya sesaat kemudian hujan langsung berhenti.

Lebih anehnya lagi, semua peristiwa itu hanya terjadi di Desa Maja! Halilintar yang tiba-tiba menyalak, langit yang mendadak gelap, dan hujan lebat yang tahu tahu turun dan berhenti, semua itu terjadi di langit di atas Desa Maja!

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
Sementara, langit di sekelilingnya nampak cerah. Karuan saja kejadian janggal ini membuat para penduduk Desa Maja menjadi heran bercampur bingung. Para penduduk yang masih berada di sawah, ladang, kebun, dan tempat-tempat lain, bergegas berlari-lari cepat ke rumah.

Kejadian yang aneh itu ternyata menarik perhatian dua orang muda-mudi yang berada di dalam dangau. Mereka sebenarnya hendak menyantap makanan, sehabis lelah bekerja. Yang laki-laki bertubuh kekar dan berpakaian coklat. Dia kemudian bangkit berdiri, lalu menjulurkan kepala ke luar melalui bagian dangau yang terbuka. Segera pandangannya dilayangkan ke angkasa. Wajah pemuda itu langsung berubah hebat. Buru-buru dia kembali ke tempat semula, kemudian bergegas berlari keluar dangau. Tidak dipedulikan lagi makanannya yang belum disantap.

"Cepat, Seriti...!" seru laki-laki bertubuh kekar berpakaian coklat. Tangan kanannya menyambar tangan wanita cantik yang tidak lain istrinya, agar berlari meninggalkan tempat itu.

"Tapi, Kang Sampur...! Bekal yang kita bawa dari rumah belum disantap...," bantah wanita cantik berpakaian biru yang ternyata bernama Seriti. Namun, dia juga berlari tertatih-tatih mengikuti langkah suaminya. Tanah tampak agak basah karena hujan lebat, meskipun hanya sekejapan saja.

"Lupakanlah, Seriti," potong Sampur. "Yang penting kita harus tiba lebih dulu di rumah." Suara laki-laki yang ternyata bernama Sampur terdengar terengah-engah. Di samping karena tengah berlari-lari, juga karena perasaan tegang yang melanda.

"Memangnya ada apa sih, Kang?" tanya Seriti, dengan suara terengah-engah. Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.

'Kau tidak melihat kejadian aneh itu, Seriti?" Sampur malah balas bertanya.

Seriti mengangguk membenarkan. "Ya, Kang. Aku melihatnya. Tapi..., apa anehnya? Bukankah hal seperti itu biasa. Malah kita sering melihatnya. Langit cerah dan gelap itu kan merupakan gejala alam, Kang?" Meskipun agak terengah-engah, Seriti berhasil memuntahkan semua uneg-uneg yang bersarang dalam dadanya.

"Tapi kali ini lain, Seriti!" sergah Sampur agak keras karena terbawa amarah. Dalam keadaan terburu-buru seperti ini, istrinya malah justru mengajak berdebat! Dan itu yang membuat amarahnya bangkit.

"Lainnya di mana, Kang?" tanya istrinya lagi, seperti tidak tahu kemarahan yang melanda hati Sampur. Tapi, mungkin saja benar-benar tidak mengetahuinya.

"Semua peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba! Dan hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya, Seriti! Itu anehnya!" Semakin meninggi suara Sampur, karena amarah yang semakin menggelegak. Dan dengan sendirinya, sauranya pun jadi semakin terdengar terengah-engah. Di samping karena lelah, tegang, juga karena perasaan amarah.

Kini Seriti terdiam. Dia mulai menangkap ada nada kemarahan yang terkandung dalam suara suaminya.

"Tidak bisa kubayangkan hal yang akan terjadi, Seriti," sambung laki-laki berpakaian coklat itu lagi. "Kalau alam sampai menunjukkan keanehan seperti ini, tak bisa kubayangkan peristiwa yang akan terjadi..."

"Oh...!" pekik Seriti kaget. Dia memang tidak menyangka akan sejauh itu, akibat perubahan alam yang secara mendadak.

"Dan yang lebih membuatku merasa ngeri, peristiwa aneh dan beruntun itu hanya terjadi di desa kita. Desa Maja! Tadi sempat kulihat kalau langit di sekelilingnya cerah."

"Maksudmu, Kang...." Seriti tidak melanjutkan ucapannya.

Sampur tidak langsung menanggapi pertanyaan istrinya. Sementara, kakinya terus saja melangkah cepat dan beruntun. "Aku khawatir malapetaka akan menimpa Desa Maja...," kali ini suara Sampur lebih pelan dari biasanya. "Entah malapetaka apa..."

Wajah Seriti jadi bertambah pucat begitu mendengar ucapan suaminya. Dan kini keheningan menyelimuti mereka. Apalagi Sampur tidak lagi melanjutkan ucapan. Sementara Seriti juga tidak menanggapi. Yang terdengar hanyalah langkah kaki mereka yang menerobos rerumputan.

"Kang..., bulu kudukku merinding...," kata Seriti pelan dan terengah-engah ketika mereka telah berlari cukup jauh.

Ucapan itu membuat Sampur menoleh ke arah istrinya dengan wajah pucat. Memang, dia pun mengalami hal yang sama. Tapi, karena mengira hal itu terjadi akibat rasa takut dan tegang, dia tidak terlalu mempedulikannya. Baru ketika istrinya mengatakan, laki-laki itu bersikap lain.

"Kang..., aku lelah sekali...," desah Seriti lagi ketika tidak terdengar adanya tanggapan dari Sampur, selain tolehan kepala.

Terpaksa Sampur menghentikan lari. Tampak keadaan Seriti memang sudah payah. Kalau dipaksakan terus, bukan tidak mungkin istrinya akan tewas kelelahan. Bahkan tadi sudah beberapa kali Seriti tersandung.

"Hhh...!" Wanita berpakaian biru itu menghembus napas lega. Kemudian dihapusnya peluh yang membasahi wajah dan lehernya dengan saputangan. Sampur pun juga bertindak demikian. Napas sepasang suami istri itu memburu hebat, dengan dada turun naik cepat.

"Kang..., sekarang tidak hanya bulu kudukku saja yang berdiri," kata Seriti dengan napas yang mulai tidak memburu lagi. "Tapi juga bulu-bulu di tanganku, Kang...."

Sampur sama sekali tidak menyambutinya. Seperti halnya Seriti, dia pun dilanda keadaan yang sama. Tapi hal itu sengaja tidak diutarakan agar istrinya tidak semakin ketakutan. Kini yang dilakukan laki-laki berpakaian coklat itu justru mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya kesunyian dan remang-remang yang terlihat, selain hamparan rumput pendek dan beberapa pepohonan.

Namun, mendadak saja Sampur terjingkat kaget ketika melihat sesosok tubuh keluar dari balik pepohonan. Bahkan jantungnya kontan berdebar tegang. Pandangan matanya langsung terpaku ke arah sosok tubuh itu. Seriti yang merasa heran melihat kelakuan suaminya, ikut mengalihkan tatapan ke arah yang sama dengan mata Sampur.

"Ikh...!" Kontan seru keterkejutan keluar dari mulut Seriti ketika pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh yang juga ditatap Sampur.

Wajar saja kalau Sampur dan Seriti dilanda keterkejutan yang amat sangat. Mereka memang melihat sosok tubuh yang berdiri di dekat sebatang pohon, dengan berbagai macam keanehan. Sosok itu memang hanya memiliki tubuh sedang. Namun anehnya, kulitnya berwarna putih berkilauan. Itu bisa dilihat karena tak ada pakaian yang menutupi bagian atas tubuhnya. Di dadanya tampak bulu-bulu hitam dan lebat, sehingga menambah keangkerannya saja.

Yang lebih mengerikan lagi, di bagian kepalanya yang botak itu nampak bertengger dua buah telinga berujung lancip. Sepasang matanya berkilatan aneh seperti bersinar. Bahkan gigi-giginya tampak runcing-runcing. Dua buah taring berkilatan tampak menjulur keluar. Sosok yang tidak pantas disebut manusia itu melangkah mendekati Sampur dan Seriti yang masih terpaku. Jelas, sepasang suami istri itu dilanda keterkejutan yang amat sangat.

Semakin lama, jarak Sampur dan Seriti dengan makhluk aneh itu semakin dekat. Namun, sepasang suami istri itu tetap saja belum sadar dari keterpakuannya. Sepasang mata mereka terbelalak, dengan mulut lemganga lebar.

"Hmrrrhhh...!" Kembali makhluk itu menggeram. Tapi kali ini sambil menjulurkan tangannya yang berkuku runcing dan berwarna hitam ke depan. Kemudian tangannya dltarik ke dalam, seperti orang melambai.

Akibatnya hebat bukan kepalang! Sampur dan Seriti seperti tertahan oleh sesuatu yang tidak tampak. Meskipun kedua kaki tetap berlari, tapi gerakan mereka tetap berada di situ-situ saja. Sampur dan Seriti seperti orang berlari-lari di tempat.

Makhluk itu menyeringai, sehingga membuat wajahnya yang sudah seram jadi semakin terlihat mengerikan. Gerakan-gerakan kedua tangannya tetap diteruskan, tapi kali ini lebih bertenaga daripada sebelumnya.

"Aaa...!" Sampur dan Seriti menjerit berbareng ketika tubuh mereka tertarik ke belakang, sehingga terjatuh di tanah. Ada kekuatan yang tidak tampak, sehingga membuat tubuh mereka tertarik ke belakang. Bahkan ketika mereka jatuh, kekuatan yang menarik itu pun tidak juga lenyap.

Tak pelak lagi, tubuh Sampur dan Seriti tertarik hingga bergulingan di tanah. Arahnya menuju makhluk berkepala botak itu. Dan kekuatan yang tidak tampak itu baru lenyap, ketika tubuh Sampur dan Seriti telah berada tepat di bawah kakinya.

"Hmrrrhhh...! Katakan, siapa di antara kalian yang bernama Eyang Bantara?! Hmrrrhhh...! Cepat katakan! Sebelum kesabaranku hilang!" ancam makhluk botak yang ternyata bisa berbicara dengan bahasa manusia.

"Aku tidak kenal orang yang kau maksudkan, Kisanak..," sahut Sampur, terbata-bata.

"Hmrrrhhh...!" geram makhluk itu keras. Sepasang matanya berkilat-kilat, menyiratkan kemarahan hebat. "Berani kau membohongi Gandula?!" Setelah berkata demikian, makhluk bernama Gandula itu menjulurkan tangannya ke arah Sampur yang masih belum mampu bangkit. Lalu....

"Aaakh...!"

Jari-jari tangan Gandula yang berkuku runcing dan hitam itu langsung mencengkeram perut Sampur hingga amblas ke dalamnya. Darah pun mengalir keluar dari bagian yang terluka. Sampur merasakan sakit yang amat sangat pada perutnya. Wajahnya menyeringai, dipenuhi butir-butir peluh sebesar biji jagung. Gandula mempererat cengkeramannya, sehingga membuat Sampur melolong-lolong kesakitan.

"Hmrrrhhh...! Cepat katakan, Manusia! Di mana Eyang Bantara, sebelum aku bertindak lebih kejam lagi!" ancam Gandula masih memberi kesempatan pada Sampur.

Sampur menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah. Namun hal itu tidak dihiraukannya. Bahkan rasa sakit amat sangat pada perutnya jadi terlupakan ketika mendengar ucapan Gandula. Makhluk botak itu menyebutnya manusia! Memangnya, dia bukan manusia?

Bergidiklah Sampur ketika mendapat dugaan seperti itu "Hmrrrhhh...! Katakan, Manusia!" ancam Gandula lagi sambil mempererat cengkeramannya. Akibatnya Sampur kembali berdesis karena rasa sakit yang menyengat.

"Aku benar-benar tidak tahu...," sahut Sampur terputus-putus.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram hebat. Tangan yang mencengkeram daging perut Sampur ditarik, seraya mempererat cengkeramannya.

"Aaakh...!" jerit Sampur keras ketika perutnya koyak, karena sebagian dagingnya terbawa tangan Gandula. Tubuh laki-laki berpakaian coklat ini pun menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang mendera. Darah semakin banyak menyembur keluar dari bagian yang terluka.

"Kang Sampur...!" jerit Seriti keras melihat kenyataan menyedihkan yang menimpa suaminya.

Memang, hanya sampai sebatas itu saja yang mampu dilakukan Seriti. Karena, dia sendiri pun belum mampu bangkit dari berbaringnya. Meskipun kekuatan tak tampak yang menariknya telah tidak ada lagi, tapi akibatnya masih terasa. Sekujur tubuhnya lemah tak bertenaga, bagai tidak mempunyai tulang dan otot sama sekali.

Tanpa menghiraukan jerit kesakitan dan tubuh Sampur yang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih, Gandula membawa daging perut Sampur yang berada dalam cengkeraman ke mulut. Kemudian daging itu dikunyahnya.

Hampir saja seluruh isi perut Seriti keluar melihat kelakuan makhluk berkepala botak itu. Apalagi ketika dengan enaknya Gandula mengunyah. Sepasang mata makhluk botak itu merem-melek seperti tengah menikmati makanan yang amat lezat! Maka hanya dalam waktu singkat daging perut Sampur telah lenyap ke dalam perut Gandula.

"Hmrrrhhh...!" geram Gandula sambil mendecap-decapkan lidah. Tak puas hanya dengan itu, tangannya yang masih berlumuran darah juga dijilati hingga ludas!

"Hmrrrhhh...!" Kembali Gandula menggeram. Sepasang matanya berkilat aneh ketika menatap Sampur.

"Hmrrrhhh...! Tidak kusangka, ternyata manusia mempunyai daging yang begini lezat..!"

Bulu tengkuk Sampur dan Seriti kontan berdiri mendengar ucapan itu. Jelas, ucapan itu mengandung pengertian kalau makhluk berkepala botak ini bukan manusia! Lalu, apa? Besarnya rasa takut yang mendera ketika dugaan itu muncul membuat Sampur dan Seriti seketika ngeri. Jantung mereka terasa copot, menyadari kalau makhluk berkepala botak ini memakan daging manusia.

Dengan sorot mata mengancam, kini Gandula membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tangannya yang berbentuk cakar itu terulur ke arah tubuh Sampur. Dan..., mulai merobek-robek sekujur tubuh Sampur, kemudian dimakannya!

Sampur kontan menjerit-jerit, merasakan sakit yang amat sangat. Sedangkan Seriti juga menjerit, karena perasaan ngeri yang menggelegak melihat Sampur meraung-raung saat tubuhnya sedikit demi sedikit dipereteli.

Suara gerengan seperti seekor kucing lapar tengah memakan sepotong ikan, terdengar ketika Gandula melahap tubuh Sampur. Gandula sama sekali tidak mempedulikan tubuh korbannya yang menggelepar-gelepar menahan sakit.

Makhluk berkepala botak itu terus saja menyantap dengan nikmatnya. Bahkan ketika suara Sampur melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi, Gandula belum juga menghentikan kesibukannya. Baru ketika tidak ada lagi daging yang tersisa di tubuh Sampur, Gandula menghentikan kesibukannya. Dipandanginya sejenak tubuh yang hanya tinggal tulang belulang itu.

"Hmrrrhhh...!" Terdengar suara geram kepuasan dari mulut Gandula. Mulutnya mendecap-decap. Bahkan lidahnya pun ikut menjilat-jilat untuk membersihkan sisa-sisa darah yang masih berada di mulut dan di jari-jari tangan. Kemudian Gandula bangkit berdiri. Dipandanginya sejenak tubuh Seriti yang tergolek tidak bergerak di tanah.

Memang, wanita berpakaian biru itu telah sejak tadi jatuh pingsan karena tak kuat menahan guncangan hati melihat pemandangan mengerikan didepannya. Pemandangan yang belum pernah disaksikan, sekalipun dalam mimpinya yang paling buruk.

Sesaat lamanya, Gandula berlaku demikian sebelum akhirnya melangkah perlahan meninggalkan tempat itu, tanpa mengganggu sedikit pun tubuh Seriti.

Sementara, halilintar terus menyalak. Sehingga, bumi yang semula remang-remang menjadi terang-benderang dalam sekejap.

* * * * * * * *

DUA

"Kalau semua yang dikatakan Seriti benar..., aku tidak tahu makhluk macam apa yang telah memangsa Sampur siang tadi..," keluh seorang laki-laki setengah baya berpakaian coklat. Wajahnya yang berbentuk persegi, ditambah lagi cambang bauk lebat, membuatnya tampak gagah.

Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian coklat itu mengedarkan pandangan ke arah beberapa sosok tubuh yang duduk bersila di sekelilingnya. Memang, mereka semua tengah berbincang-bincang di sebuah ruangan tengah yang cukup luas di dalam sebuah rumah.

"Mungkinkah dia makhluk biadab, Anabrang?" duga seorang laki-laki setengah baya berdandan urakan. Kumis dan jenggotnya seperti dibiarkan tak terurus. Matanya yang agak lebar menatap orang yang dipanggil Anabrang.

"Aku masih belum mengerti maksudmu, Saraji?" Laki-laki berpakaian coklat yang sebenarnya Kepala Desa Maja dan bernama Ganda Anabrang malah balas menatap wajah laki-laki urakan yang ternyata bernama Saraji.

Saraji memang dikenal sebagai orang yang gemar mengembara. Telah banyak tempat yang dijelajahinya. Maka, tidak aneh kalau memiliki pengetahuan luas. Di samping itu, dia juga diketahui memiliki kepandaian slat yang tidak rendah, dan termasuk orang penting di Desa Maja.

Bukan hanya Ganda Anabrang saja yang menatap Saraji. Tapi, empat orang lain yang duduk bersila di situ pun menatap ke arah yang sama, dengan sorot mata mengandung rasa keingintahuan yang mendalam.

"Ini hanya dugaanku saja..., jadi belum tentu benar," kata Saraji lagi, seraya mengedarkan pandangan ke arah wajah-wajah yang menggambarkan rasa ingin tahu yang amat besar.

"Kami paham, Saraji. Katakanlah dugaanmu itu," ujar laki-laki bertubuh gemuk yang mengenakan pakaian mewah. Nada suaranya menyiratkan ketidak sabaran.

"Apa yang dikatakan Juragan Donggala benar, Saraji," sambut yang lain. Dia adalah seorang laki-laki berwajah gagah. Tubuhnya yang kekar terbungkus pakaian silat, sehingga semakin menampakkan kegagahannya. Memang, dia adalah seorang guru silat Desa Maja. Raksakipu namanya.

"Kalau menurutku..., makhluk yang ditemui Seriti adalah manusia biadab yang masih suka makan daging manusia. Aku pernah menjumpai sekumpulan orang seperti itu dalam pengembaraanku. Mungkin yang ditemui Seriti salah seorang dari mereka yang terpisah dari kelompoknya...," urai Saraji panjang lebar.

Ganda Anabrang dan empat orang lainnya mengernyitkan dahi beberapa saat, setelah Saraji menyelesaikan penjelasannya.

"Aku kurang setuju dengan pendapatmu, Saraji," sanggah Ganda Anabrang, setelah beberapa saat lamanya terdiam.

"Hm.... Aku bisa memakluminya, Anabrang," sahut Saraji. "Tapi..., boleh kutahu alasanmu sehingga tidak setuju dengan pendapatku?"

"Aku memang mempunyai alasan cukup kuat, Saraji," kata Kepala Desa Maja itu seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Bahkan sangat kuat..."

Ganda Anabrang menghentikan ucapannya sejenak. Pandangannya beredar berkeliling, menatap satu persatu wajah-wajah yang berada di sekelilingnya.

"Apakah kalian setuju dengan dugaan Saraji?" tanya Ganda Anabrang.

Juragan Donggala mengangkat bahu. "Sebenarnya aku agak kurang setuju. Tapi... aku juga tidak mempunyai dugaan apa-apa. Jadi... yahhh... Aku tidak bisa bicara apa-apa," kata laki-laki bertubuh gemuk itu pelan.

"Kau, Raksakipu?" Ganda Anabrang mengalihkan tatapan ke arah guru silat Desa Maja.

"Sama seperti Juragan Donggala, aku pun tidak setuju dengan pendapat yang dikemukakan Saraji," jawab Raksakipu seraya mengerling ke arah laki-laki berwajah urakan. "Tapi aku mempunyai alasan, mengapa aku tidak menyetujui dugaannya."

"Katakan, Raksakipu. Apa alasanmu," desah Kepala Desa Maja.

Guru silat Desa Maja itu tidak langsung menjawab pertanyaan Ganda Anabrang. Dia malah menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. "Cerita Seritilah yang menjadi alasan ketidak-setujuanku."

"Cerita Seriti?!" potong Saraji cepat. Memang meskipun wajahnya tidak tampak perasaan apa-apa, tapi sebenarnya hati laki-laki urakan ini agak dongkol juga melihat rekan-rekannya tidak ada yang menyetujui pendapatnya. "Cerita Seriti yang mana, Raksakipu?"

Sungguhpun hanya Saraji yang bertanya, tapi bukan berarti rekan-rekannya yang lain tidak ingin mengetahui alasan Raksakipu. Hanya saja, mereka kalah dulu mengucapkannya. Dan kini, mereka semua diam menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut Raksakipu.

"Kedatangan makhluk aneh itu kemari, karena tidak mampu menunjukkan apa yang telah dicarinya. Kalian tahu kan, apa yang tengah dicarinya?"

Kepala semua orang yang berada di situ terangguk. "Ya. Makhluk aneh itu mencari Eyang Bantara," Juragan Donggala yang menyambutinya.

"Tepat! Jadi, tindakannya memangsa Sampur berarti bukan tujuan utama," sambung Raksakipu lagi. "Padahal, sepanjang yang kutahu..., manusia-manusia biadab itu tidak pernah mempedulikan urusan apa pun selain makan."

Kembali semua kepala terangguk pertanda menyetujui pendapat Raksakipu. Bahkan Saraji pun menganggukkan kepala, karena menyadari adanya kebenaran ucapan guru silat Desa Maja itu.

"Sekarang giliranmu, Anabrang," pinta Raksakipu mempersilakan. "Kami juga ingin mendengar alasanmu."

"Hhh...!" Ganda Anabrang menghela napas berat. "Alasan ketidak-setujuanku atas pendapat Saraji, benar-benar membuatku merasa ngeri. Dan kuharap, dugaanku ini salah."

Kepala Desa Maja menghentikan ucapannya. Gerakgeriknya menunjukkan kalau hatinya merasa berat untuk mengemukakan alasannya. Karuan saja hal ini membuat semua yang hadir di situ merasa heran bukan kepalang.

"Katakanlah, Anabrang," desah Saraji. "Janganlah menyimpan perasaan takut itu sendiri. Bagi-bagilah pada kami. Percayalah. Kami semua berdiri di belakangmu. Dan kita semua bertanggung jawab atas keamanan desa ini."

"Benar, Anabrang," timpal Juragan Donggala. "Apa yang dikatakan Saraji tadi benar. Katakanlah, Anabrang. Daripada hal itu menjadi beban di hati ini?"

Ganda Anabrang menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Tidak hanya sekali saja hal itu dilakukan. Tapi berulang-ulang agar perasaannya benar-benar tenang.

"Aku yakin, makhluk yang telah memangsa Sampur bukan berasal dari alam kita," ujar Ganda Anabrang membuka pembicaraan dengan suara serak.

"Apa?!"

Hampir berbareng, Juragan Donggala, Saraji, dan Raksakipu berseru keras. Di raut-raut wajah mereka tampak terbayang keterkejutan yang amat sangat.

"Tidak salahkah ucapanmu itu, Anabrang," sergah Saraji yang mempunyai watak urakan. "Bukan dari alam kita? Lalu..., dari alam mana?"

"Mana kutahu, Saraji?!" Ganda Anabrang malah balas bertanya. "Tapi yang jelas, dia bukan manusia seperti kita!"

"Lalu, mengapa kau menduga demikian?" timpal Raksakipu cepat.

Memang, seperti juga saraji, guru silat Desa Maja ini merasa heran mendengar ucapan Kepala Desa Maja itu.

"Kalian tidak ingat peristiwa aneh tadi siang?" tanya Ganda Anabrang kembali, yang disambut anggukan kepala tiga orang yang berada di dekatnya. "Aku yakin, kejadian alam yang begitu mendadak ada hubungannya dengan kemunculan makhluk yang memangsa Sampur!"

Kepala Desa Maja itu menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. Dan sebelum rekan-rekannya mengucapkan sesuatu, dengan penuh semangat dan berapi-api ucapannya dilanjutkan.

"Alam tidak akan menunjukkan perubahan aneh seperti itu kalau tidak ada peristiwa luar biasa! Masuknya makhluk dari alam lain ke alam kita, sepertinya merupakan sebuah kejadian luar biasa!"

Suasana kontan hening ketika Ganda Anabrang menghentikan ucapannya. Wajah Saraji, Rupaksa, dan Juragan Donggala, menyiratkan keterkejutan yang amat sangat. Bahkan bukan hanya keterkejutan saja yang nampak di sana. Tapi juga kengerian bila hal itu benar-benar terjadi.

"Jadi.., kau menduga makhluk itu sebangsa jin, setan..., atau dedemit, Anabrang?" tanya Saraji. Suara laki-laki itu terdengar serak. Padahal telah berkali-kali dia berdehem untuk melonggarkan tenggorokannya yang seperti tersangkut sesuatu.

Ganda Anabrang menatap tajam wajah Saraji beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya menganggukkan kepala disertai helaan napas berat.

"Tapi..., mengapa makhluk itu sampai keluar dari alamnya dan memasuki alam kita?" tanya Juragan Donggala dengan suara kering.

"Mengapa kau tanyakan hal itu padaku, Juragan Donggala?" Ganda Anabrang malah balas bertanya. "Aku sama seperti kalian juga. Tidak tahu apa-apa. Kalau hanya menduga-duga..., mungkin aku bisa."

"Katakanlah dugaanmu itu, Anabrang," Raksakipu ikut angkat bicara.

Kepala Desa Maja itu tidak langsung menanggapi permintaan Raksakipu Kepalanya lantas menoleh menatap wajah-wajah yang terpampang di hadapannya. Wajah-wajah yang dicekam kengerian.

"Kalau makhluk itu bisa sampai keluar dari alamnya, sudah pasti ada alasan yang mendorongnya. Dan ini pasti berhubungan erat dengan orang yang bernama Eyang Bantara. Mungkin Eyang Bantara telah bertindak sesuatu yang merugikan makhluk itu."

Saraji, Raksakipu, dan Juragan Donggala sama sekali tidak mengangguk atau menggelengkan kepala mendengar pendapat yang gamblang oleh Anabrang. Walaupun hati mereka membenarkan kemungkinan itu.

"Memang..., alasan dan dugaan yang kau kemukakan lebih masuk akal ketimbang dugaan yang dikemukakan Saraji, Anabrang," kata Raksakipu pelan.

Kali ini semua orang menganggukkan kepala. Tak lerkecuali, Saraji. Diakui dugaan yang dikemukakan Ganda Anabrang memang lebih masuk akal.

"Aku malah berharap kalau dugaanku itu salah, Raksakipu," sambut Ganda Anabrang.

"Kami pun mengharapkan hal yang sama, Anabrang," timpal Juragan Donggala. "Aku lebih suka dugaan Sarajilah yang benar. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana kita harus melawan makhluk itu."

'Yahhh...! Sebagai makhluk dari alam galb, sudah pasti dia memiliki banyak keanehan. Igauan Seriti bisa kita ambil sebagai dasarnya," tandas Raksakipu pula.

Untuk yang kesekian kalinya, keempat orang itu termenung. Benak mereka semua melayang ke arah Seriti. Wanita berpakaian biru itu memang belum sadar. Sungguhpun sebenarnya sudah sadar, tapi sama sekali tidak ingat apa-apa kecuali teriakan-teriakannya tentang semua kejadian yang dialami. Jelas, batin Seriti terguncang hebat.

"Ada apa, Saraji?" tanya Ganda Anabrang ketika melihat laki-laki urakan itu terlihat resah.

"Entahlah, Ki," sahut Saraji gugup. "Tapi.., naluriku membisikkan adanya bahaya mengancam...."

Kontan ucapan Saraji membuat semua yang berada di situ tersentak. Memang, sudah sejak tadi mereka semuadilanda perasaan tegang. Tak aneh kalau ucapan itu membuat kengerian mereka semakin memuncak!

Bagai diberi aba-aba, kepala-kepala mereka semua dialihkan ke arah pintu. Sikap mereka semua tampak waspada dan telah siap menghadapi segala kemungkinan. Semua tangan telah mencekal erat-erat gagang senjata masing-masing. Wajah-wajah mereka juga tampak tegang menatap ke arah pintu!

Ada satu hal yang membuat mereka langsung percaya pada ucapan Saraji mengenai adanya bahaya, sekalipun belum mendengar suara apa-apa. Saraji adalah seorang perantau tulen. Dia telah berpuluh tahun masuk keluar hutan, turun naik gunung, dan bergaul dengan berbagai macam suku. Tak terhitung sudah bahaya-bahaya maut yang dihadapinya.

Dan berkat pengalamannya itulah sehingga nalurinya amat tajam. Dia bisa mengetahui adanya bahaya sebelum orang lain tahu. Saraji benar-benar mempunyai naluri seperti binatang! Dan hal itu diketahui secara pasti oleh keempat orang rekannya.

"Bulu kudukku merinding, Anabrang," kata Juragan Donggala dengan suara berdebar tegang.

Raksakipu, Ganda Anabrang, dan Saraji menatap ke arah Juragan Donggala dengan sorot mata tegang dan ngeri. Karena, kejadian yang dialami laki-laki berpakaian mewah itu dialami pula oleh mereka.

"Mungkinkah..., makhluk itu menuju kemari, Anabrang?" tanya Raksakipu dengan suara serak.

"Bisa jadi...," sahut Ganda Anabrang tak kalah serak, setelah beberapa kali gagal menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.

Trak! Klotrak...!

Empat pasang mata yang berada di dalam rumah Ki Ganda Anabrang terbelalak lebar begitu melihat palang pintu terangkat naik dan jatuh ke lantai. Padahal, jelas-jelas mereka semua melihat kalau tidak ada sepotong makhluk pun yang mengangkatnya. Dan belum lagi keterkejutan mereka lenyap, daun pintu bergerak membuka pelan-pelan sampai akhirnya menyentuh dinding.

Ganda Anabrang, Juragan Donggala, Raksakipu, dan Saraji menatap dengan wajah tegang ke arah pintu. Dan kontan jantung mereka berdetak keras ketika melihat sesosok tubuh yang berdiri sekitar dua tombak dari ambang pintu.

Benak Ganda Anabrang, Juragan Donggala, Raksakipu, dan Saraji sama-sama diliputi ketegangan hebat. Dua kejadian aneh yang baru saja disaksikan, telah menambah tebalnya keyakinan mereka akan kebenaran dugaan Ganda Anabrang.

Memang, sosok tubuh yang berdiri berjarak dua tombak dari daun pintu rumah Ganda Anabrang adalah Gandula. Makhluk berkepala botak yang telah memangsa Sampur.

"Hmrrrhhh...!" Sambil menggeram, Gandula melangkah menghampiri ambang pintu.

Maka karuan saja tindakan Gandula membuat Ganda Anabrang dan rekan-rekannya bangkit berdiri.

"Kurasa dugaanmu benar, Anabrang," kata Saraji. "Makhluk ini bukan manusia, tapi siluman!"

"Jangan menampakkan sikap bermusuh padanya," bisik Ganda Anabrang. "Aku yakin, dia tidak bermaksud jahat..."

"Tapi..., bagaimana kalau dia menyerang kita, Anabrang," tanya Juragan Donggala, pelan.

"Tentu saja kita harus melawannya. Donggala. Kalau dia yang menyerang kita, masalahnya jadi lain. Yang penting, jangan melakukan gerakan-gerakan permusuhan terhadapnya. Dan ucapanku ini bukan hanya tertuju padamu, Donggala. Tapi juga untuk yang lain."

Juragan Donggala, Saraji, dan Raksakipu menangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Maka, meskipun keinginan untuk segera menghunus senjata sangat besar, keempat orang itu bertahan untuk tidak melakukannya. Mereka berdiri menunggu kedatangan Gandula sambil mengembangkan senyum. Tapi karena perasaan tegang yang melanda, senyum yang tercipta lebih mirip seringai.

Selangkah demi selangkah jarak antara Gandula dengan mereka semakin dekat. Dan seiring dengan itu, perasaan tegang yang melanda pun semakin menjadi-jadi. Jantung keempat orang itu semakin berdetak cepat dan keras.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram keras begitu kakinya telah melangkah melewati ambang pintu.

Hal ini membuat kedua kaki Juragan Donggala kontan lemas. Bukan karena geraman itu ditopang tenaga dalam tinggi, tapi karena laki-laki berpakaian mewah itu sudah tidak kuasa lagi menahan rasa takut yang melanda hatinya.

Sementara, Juragan Donggala, Saraji, Ganda Anabrang, dan Raksakipu masih bisa menguasai diri. Sehingga, meskipun geraman Gandula membuat ketegangan yang melanda hati semakin memuncak, hal itu dapat ditanggulanginya.

Ketegangan Saraji, Ganda Anabrang, dan Raksakipu semakin besar ketika melihat keadaan Juragan Donggala. Mereka khawatir laki-laki berpakaian mewah itu tidak mampu menguasai diri dan jatuh pingsan. Tapi kekhawatiran itu lenyap. Ternyata Juragan Donggala berhasil menguasai diri dan tidak sampai jatuh.

"Siapa di antara kalian yang bernama Eyang Bantara?" tanya Gandula dengan suara parau. Sepasang matanya menatap berganti-ganti ke arah wajah-wajah yang berdiri di hadapannya.

"Sayang sekali, Kisanak. Tidak ada di antara kami yang bernama Eyang Bantara," jawab Ganda Anabrang pelan, sambil menyunggingkan senyum.

"Hmmmrrrhhh...! Jangan coba-coba hendak menipu Gandula, Manusia! Akan mengerikan akibatnya!" ancam makhluk berkepala botak itu keras penuh ancaman.

"Kami sama sekali tidak bohong, Kisanak," kata Ganda Anabrang masih dengan suara lembut. "Tidak ada di antara kami yang bernama Eyang Bantara. Aku bernama Ganda Anabrang."

"Aku Saraji," sambung Saraji cepat.

"Aku Raksakipu."

"Aku Donggala," sebut Juragan Donggala lemah.

"Hmrrrhhh...!" Kembali Gandula menggeram setelah mengedarkan sepasang matanya ke arah keempat orang yang telah memperkenalkan nama itu. "Aku tidak peduli nama kalian! Yang kuperlukan, Eyang Bantara! Cepat tunjukkan sebelum kesabaranku hilang!"

"Sayang sekali, Kisanak! Jangankan memberitahukannya padamu, mendengar namanya pun baru kali ini. Itu pun dari mulutmu sendiri. Barangkali, Eyang Bantara tidak berada di desa ini."

"Hmrrrhhh...! Kalian mencoba menipuku rupanya. Kalian semua sudah bosan hidup! Aku tahu pasti, Eyang Bantara tinggal di Desa Maja. Bukankah ini desa yang kumaksudkan?!" sergah Gandula, terdengar keras suaranya.

"Tidak salah, Kisanak!" sambut Ganda Anabrang masih tetap tenang. "Tapi sungguh mati, tidak ada orang yang bernama Eyang Bantara di desa kami. Kami tidak bohong!"

"Hmrrrhhh...! Kalian telah membuat kesabaranku habis! Rupanya kalian menginginkan kekerasan!"

Keempat tetua Desa Maja itu merasa heran melihat kelakuan Gandula. Tapi sesaat kemudian, keheranan itu berganti keterkejutan ketika melihat senjata-senjata mereka mendadak keluar dari sarungnya!

Tentu saja Ganda Anabrang dan ketiga warga desanya terperanjat. Untuk sesaat lamanya, mereka hanya terpaku. Belum pernah seumur hidup mereka melihat senjata keluar dari sarungnya tanpa si pemilik yang mengeluarkannya. Itulah sebabnya, untuk beberapa saat mereka sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun.

* * * * * * * *

TIGA

Begitu telah berada di udara, mendadak saja empat buah senjata yang terdiri dari pedang dan golok, meluncur ke arah masing-masing pemiliknya.

Singgg...!

Suara berdesing nyaring mengiringi meluncurnya senjata-senjata itu ke arah sasaran. Karuan saja hal itu membuat Ganda Anabrang dan tiga orang warga desanya terperanjat dan bergegas menyelamatkan diri. Mereka semua membanting tubuh di lantai, kemudian bergulingan menjauh.

Cappp!

Empat buah senjata itu langsung menancap di dinding, hingga setengahnya lebih.

"Mengapa kau menyerang kami, Kisanak?!" tanya Ganda Anabrang begitu telah bangkit dari bergulingnya.

"Hmrrrhhh...!" Hanya geram kemarahan Gandula saja yang menyambuti pertanyaan Kepala Desa Maja itu.

"Tidak ada gunanya berbasa-basi dengan makhluk jahanam ini, Anabrang!" seru Saraji.

Selesai berkata demikian, laki-laki urakan ini kemudian melompat menerjang. Kedua tangannya yang terkepal, diluncurkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Gandula. Angin berkesiutan tampak mengiringi tibanya serangan itu.

"Hmrrrhhh...! Pergilah kau ke neraka, Manusia Lancang!" seru Gandula seraya menudingkan tangannya ke arah dinding yang tertembus senjata.

Ajaib! Bagai dilemparkan sebuah kekuatan raksasa, tubuh Saraji yang tengah menerjang Gandula, terlempar ke arah dinding, tempat jari tangan Gandula menuding. Sementara laki-laki urakan itu belum mampu berbuat apa-apa. Maka....

Jreppp!

"Aaakh...!" Saraji menjerit memilukan ketika punggungnya membentur tembok yang tertancap pedang. Darah langsung muncrat-muncrat dari perut yang tertembus gagang pedang. Saraji menggelepar-gelepar menjelang maut sesaat, kemudian diam tidak bergerak lagi. Mengenaskan sekali nasib laki-laki urakan itu. Dia tewas dalam keadaan terpaku di dinding. Darah yang keluar dari luka di tubuhnya mengalir ke bawah melalui dinding.

"Saraji...!"

Hampir berbareng Ganda Anabrang, Raksakipu, dan Juragan Donggala menjerit keras ketika melihat nasib buruk yang menimpa Saraji.

"Ilmu iblis...!" desis Raksakipu geram bercampur ngeri.

Sebagai seorang guru silat, meskipun tidak tertalu tinggi, Raksakipu tahu kalau ilmu yang dimiliki Gandula tidak mungkin dimiliki manusia. Betapapun tingginya kepandaian manusia itu. Ilmu seperti itu hanya bisa dimiliki makhluk-makhluk dunia gaib. Biasanya, makhluk gaib memang banyak memiliki kemampuan yang tidak masuk akal!

"Hmrrrhhh...! Kau pun ingin menyusul temanmu? Pergilah!"

Kembali tangan Gandula ditudingkan. Kali ini ke arah lantai! Maka hal yang mengerikan kembali terjadi! Raksakipu tiba-tiba saja membenturkan kepalanya ke lantai. Kalau tidak melihat wajah Raksakipu yang tampak jelas melakukan perlawanan, tentu Ganda Anabrang dan Juragan Donggala akan menyangka kalau Raksakipu ingin bunuh diri!

"Raksakipu! Tahan...!"

Hampir berbareng, Ganda Anabrang dan Juragan Donggala berteriak keras seraya melompat ke depan untuk mencegah guru silat itu melakukan tindakan seperti bunuh diri.

Namun sayang tindakan kedua orang itu terlambat. Suara kepala pecah disusul muncrat-muncratnya darah segar dari kepala yang hancur langsung terdengar, begitu kepala Raksakipu berbenturan dengan lantai. Maka tanpa sempat menjerit lagi, tubuh Raksakipu terkulai. Saat itu juga nyawanya telah melayang meninggalkan raga.

Ganda Anatrang dan Juragan Donggala memandang Gandula dengan sorot mata ngeri. Kedua orang itu tahu, Gandula akan bisa melenyapkan mereka secara mudah dengan ilmunya yang mengerikan.

"Hmrrrhhh...! Kalian berdua tidak akan kubunuh," kata Gandula. "Karena aku membutuhkan bantuan kalian untuk mencari Eyang Bantara. Hmrrrhhh...!"

Ganda Anabrang dan Juragan Donggala saling pandang.

"Hmrrrhhh! Jangan harap bisa menipuku, Manusia! Aku tidak sebodoh yang kalian kira! Hmrrrhhh...! Kemari kalian!"

Kembali Ganda Anabrang dan Juragan Donggala saling pandang. Dari adu pandang yang sekilas itu, keduanya memutuskan untuk mematuhi perintah Gandula. Mereka memutuskan untuk berpura-pura takluk, sambil mencari jalan untuk melenyapkan Gandula.

Ganda Anabrang tahu kalau Juragan Donggala tidak akan mau disuruh melangkah lebih dulu. Oleh karena itu, Kepala Desa Maja itu melangkah maju. Sedangkan Juragan Donggala mengikuti di belakangnya.

"Hmrrrhhh! Kau yang bernama Ganda Anabrang?" tanya Gandula ketika Kepala Desa Maja itu telah barjarak setengah tombak darinya.

Ganda Anabrang menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang memang sudah kering sejak tadi. Baru kemudian kepalanya dianggukkan. "Benar, aku Ganda Anabrang," sahut Kepala Desa Maja itu.

"Kau Kepala Desa Maja?" tanya Gandula lagi disertai geraman.

Kembali Ganda Anabrang menganggukkan kepala.

"Cepat tunjukkan padaku orang yang bernama Eyang Bantara! Hmrrrhhh...! Kalau tidak, kau akan bernasib seperti kedua orang kawanmu itu!" ancam Gandula.

Ganda Anabrang membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya. "Sudah kukatakan, aku tidak kenal orang yang kau maksudkan," terdengar lesu ucapan Ganda Anabrang. Dia tahu, nasibnya tak akan jauh berbeda dengan Saraji dan Raksakipu.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram. Sepasang matanya bernyala-nyala ketika menatap ke arah wajah Kepala Desa Maja itu. Beberapa saat lamanya, pandangannya terpaku di sana. Baru kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Juragan Donggala yang berdiri di belakang Ganda Anabrang.

"Bagaimana denganmu? Apakah bisa memberi tahu padaku tempat tinggal Eyang Bantara?"

Juragan Donggala yang sejak tadi sudah merasa gentar bukan kepalang, sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara, karena saking takutnya. Kedua kakinya tampak menggigil keras menandakan besarnya perasaan takut yang melanda. Dia hanya mampu menggelenggelengkan kepala pertanda tidak tahu.

"Hmrrrhhh...!" Gandula kembali menggeram. Sepasang matanya menatap wajah Ganda Anabrang dan Juragan Donggala berganti-ganti. "Kalian jangan coba-coba menipuku. Eyang Bantara tinggal dan berasal dari Desa Maja. Bukankah ini Desa Maja?"

Ganda Anabrang kembali menelan ludah. Ini memang Desa Maja. Tapi, tidak ada seorang pun di sini yang bernama Eyang Bantara...."

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggerung keras. "Mampuslah kalian!"

Usai berkata demikian, makhluk berkepala botak itu menggerakkan tangannya. Untuk yang kesekian kalinya peristiwa yang mengerikan kembali terjadi. Tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala mendadak terangkat naik ke atas. Betapapun berusaha turun dengan memberatkan tubuh, tetap saja mereka tidak mampu mencegah terangkatnya tubuh mereka.

Ganda Anabrang dan Juragan Donggala tahu kalau usaha mereka gagal. Yang kini dapat dilakukan hanya saling pandang dengan wajah pucat pasi dan sepasang mata menyiratkan kengerian yang menggelegak. Rasanya tak sanggup dua orang sesepuh Desa Maja ini membayangkan kejadian yang akan menimpa. Kematian Saraji dan Raksakipu telah membuat sebagian besar nyali mereka melayang entah ke mana.

Perlahan namun pasti, tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala semakin tinggi terangkat. Dan ketika jarak kedua kaki telah satu tombak dari lantai, kekuatan aneh yang mengangkat mereka terhenti. Dan begitu tubuh mereka mulai rebah, lalu bagai disentakkan kekuatan raksasa, tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala saling meluncur cepat hingga bertumbukan. Maka, sudah bisa diperkirakan kejadian yang terjadi.

Prakkk...!

Suara berderak keras terdengar ketika kedua batok kepala itu berbenturan keras bukan kepalang. Seketika itu juga, kepala kedua Sesepuh Desa Maja itu hancur berantakan. Darah bercampur otak kontan muncrat-muncrat dari kepala yang pecah.

Brukkk!

Tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala jatuh berdebuk di tanah, diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Karena pada saat tubuh masih di udara dan tengah melayang jauh, nyawa mereka pun melawat ke alam baka.

Mendadak Gandula membalikkan tubuhnya. Pandangan matanya menyorot tajam keluar. Dan sekali tangannya ditudingkan, dari luar berlari-lari sesosok tubuh ke arahnya.

Larinya benar-benar lucu. Sambil berlari, dia terhuyung-huyung ke depan. Bahkan beberapa kali hampir jatuh. Tapi, terus saja kedua kakinya melangkah cepat ke depan. Bisa diketahui kalau pemilik sosok tubuh itu tidak berlari secara wajar. Ada sebuah kekuatan aneh yang membawa tubuhnya ke arah Gandula. Dan kekuatan itu berasal dari keinginan makhluk berkepala botak itu.

Brukkk...! Tepat di bawah kaki Gandula, pemilik sosok tubuh itu jatuh berdebuk di lantai.

"Hmrrrhhh...!" Kembali Gandula menggeram. Sepasang matanya yang memancarkan hawa maut menyorot ke arah sekujur tubuh milik sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya cukup tampan. Apalagi, tubuhnya yang cukup kekar itu terbungkus pakaian indah.

"Jangan bunuh aku...," ratap pemuda berpakaian indah itu. Suara pemuda itu terdengar bergetar. Jelas, hatinya dilanda perasaan takut. Wajahnya pun pucat pasi, ketika menengadah untuk memandang Gandula yang berdiri tegak di hadapannya.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram memperlihatkan gigi-giginya yang runcing dan tajam.

"Aku akan membantumu untuk menemukan orang yang kau cari," kata pemuda berpakaian indah itu lagi! Masih gemetar dan bergetar suaranya.

"Kau tahu orang yang kucari?"

"Eyang Bantara, kan?" duga pemuda berpakaian indah.

"Benar."

"Tentu saja benar, karena aku melihat dan mendengar semua kejadian di tempat ini," jawab pemuda itu, tapi hanya dalam benaknya saja.

Dan karena melihat kejadian itulah, sehingga pemuda berpakaian indah menawarkan bantuannya. Tentu saja tidak keluar dari hati yang tulus, melainkan karena keinginan untuk mencari keuntungan.

"Namaku Caraka," sebut pemuda berpakaian indah itu memperkenalkan diri.

Gandula sama sekali tidak mengatakan apa pun, kecuali sebuah geraman keras yang membuat bulu kuduk merinding.

"Aku memang tidak mengetahui, di mana Eyang Bantara. Tapi aku bisa mengantarkanmu pada orang yang mengetahui tempatnya. Bagaimana?" tanya Caraka. Dia berusaha bersikap tenang, walaupun sebenarnya amat cemas.

Gandula menatap Caraka lekat-lekat sambil menggeram. Sepertinya, tawaran yang diajukan Caraka tengah dipikirkan. Sedangkan Caraka hanya bisa menduga kalau Gandula tengah dilanda kebimbangan. Maka siasat terakhirnya segera dilancarkan.

"Daripada melakukan pencarian sendiri dengan hasil tidak memuaskan, lebih baik kau menerima bantuanku. Bagaimana?"

Rupanya ucapan Caraka termakan juga oleh Gandula. Terbukti, kepala makhluk dari dunia asing itu terangguk pelan.

"Kalau begitu, kita harus bergegas," ajak Caraka, seraya bangkit berdiri.

Kali ini, tidak ada lagi geram kemarahan yang keluar dari mulut Gandula. Maka, Caraka pun semakin berani melangkah menuju keluar sambil mengeluarkan ajakan. Maka tanpa banyak membantah lagi, Gandula segera mengekor di belakang Caraka.

Di luar pengetahuan Gandula, Caraka mengerling ke arah mayat Juragan Donggala. Memang, laki-laki kaya raya itu adalah pamannya. Tapi sedikit pun tidak ada rasa sedih dalam wajahnya. Karena, Caraka memang tidak menyukai pamannya.

* * * * * * * *

EMPAT

Malam telah datang menjelang. Kegelapan pun mulai menyelimuti mayapada. Tapi, suasana malam Ini berbeda dengan sebelumnya. Tidak terdengar adanya kukuk burung hantu, kepak kelelawar, kerik jangkrik, atau nyanyian binatang malam lain. Suasana terasa hening, sepi, dan seperti mati!

Suasana seperti itu sebenarnya sudah cukup menyeramkan hati. Tapi yang lebih menggetarkan hati lagi, adalah keadaan alam di malam ini! Langit tampak merah membara seperti terbakar. Tidak tampak adanya awan, bulan, ataupun bintang di angkasa raya. Seluruh penjuru langit tampak berwarna merah, sungguh beda dan bertentangan dengan biasanya.

Karuan saja peristiwa yang aneh itu membuat orangorang yang menyaksikan jadi kaget bercampur ngeri. Para penduduk yang tidak mengerti ilmu silat, buru-buru masuk ke dalam rumah, seraya menutup pintu dan jendela rapat-rapat.

Mereka semua yakin, kalau keadaan alam demikian adalah pertanda akan terjadinya sesuatu yang mengerikan. Berbeda dengan para penduduk desa, orang-orang yang merasa memiliki ilmu bela diri, paling tidak suka bersembunyi. Hal seperti ini dilakukan semua anggota Perguruan Ayam Emas. Dari sang Ketua, sampai murid-murid yang terendah, semuanya berdiri di halaman perguruan dengan kepala menengadah menatap langit.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Guru?" tanya seorang laki-laki berambut dikuncir.

Tubuh laki-laki itu tegap dan kekar, dan terbungkus pakaian berwarna putih. Di bagian dada kirinya tampak tersulam gambar kepala seekor ayam jantan dari benang emas.

"Aku juga tidak mengerti, Lintar," jawab orang yang dipanggil guru.

Dia adalah seorang kakek tinggi kurus, berjenggot putih panjang mirip kambing. Dialah Ketua Perguruan Ayam Emas. Ki Tarung namanya.

"Tapi yang jelas, sesuatu yang hebat pasti akan terjadi," sambung Ki Tarung.

Pemuda yang ternyata bernama Lontar mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kemarin siang aku menjumpai hal yang aneh pula. Guru," lapor seorang murid Perguruan Ayam Emas yang berhidung besar.

"Hm...!" Ki Tarung menghela napas berat. "Katakanlah, kejadian apa yang kau anggap aneh itu. Samba."

Murid berhidung besar yang ternyata bernama Samba itu membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. "Kemarin siang, sewaktu melewati Desa Maja, aku menjumpai hal yang aneh, Guru."

Kemudian Samba menceritakan kejadian aneh yang dijumpainya. "Begitulah, Guru." tutur Samba menyelesaikan ceritanya.

Suasana kontan hening ketika Samba menghentikan ucapannya. Semua orang yang berada di situ tercenung dengan sepasang mata menatap tajam pada satu titik. Jelas, mereka semua tengah hanyut dalam akan pikiran masing-masing.

Ki Tarung mengelus-elus jenggotnya. "Kini masalahnya mulai jelas...," gumam Ketua Perguruan Ayam Emas.

Menilik dari ucapannya yang pelan, sepertinya Ki Tarung tengah berbicara untuk diri sendiri. Tapi tak urung, semua murid Perguruan Ayam Emas menoleh ke arahnya.

Memang, mereka semua juga mendengar ucapan itu, dan ingin mengetahui kesimpulan yang telah didapat guru mereka. Ki Tarung menyadari, pandangan murid-muridnya itu jelas penuh pertanyaan.

"Kurasa, kejadian di Desa Maja adalah merupakan awal kejadian malam ini," lanjut Ketua Perguruan Ayam Emas, tetap dengan suara pelan.

"Kejadian apa, Guru?" selak Samba tidak sabar.

"Sabarlah, Samba," sergah Lintar seraya menatap Samba dengan sorot mata penuh teguran. "Biarkan guru menyelesaikan ucapannya dulu."

"Maafkan aku, Kang," ucap Samba pelan sambil menundukkan kepala.

Lintar, murid utama Perguruan Ayam Emas, menganggukkan kepala. Sementara, Ki Tarung membiarkan saja keributan kecil itu. Benaknya tengah disibuki kejadian aneh itu. Dan dia tidak ingin menambah keruwetannya dengan memikirkan hal lainnya.

"Apa yang kau katakan itu benar, Tarung."

Hampir berbareng, Ki Tarung dan murid-muridnya menolehkan kepala ke arah asal suara. Tampak tahu-tahu saja tidak jauh dari situ sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar. Cambang bauk berwarna hitam dan lebat tampak menghias wajahnya. Pakaian dalamnya berwarna merah menyala, terbungkus jubah berwarna hitam kelam.

"Ah! Kiranya Pandanaran...," sebut Ki Tarung. "Apa maksud ucapanmu tadi, Pandanaran?"

Kakek tinggi besar yang ternyata Eyang Pandanaran tidak langsung menjawab. Kakinya terus melangkah menghampiri. "Dugaan yang kau kemukakan itu benar, Tarung," tegas Eyang Pandaranan.

Memang dia adalah kawan akrab Ki Tarung. Seorang ahli pengobatan, sekaligus memiliki banyak kemampuan ajaib. Eyang Pandanaran tidak ubahnya dukun.

"Maksudmu..., semua keanehan alam ini berasal dari Desa Maja?" tanya Ki Tarung menegaskan.

"Benar," Eyang Pandanaran menganggukkan kepala. "Ada hal luar biasa yang terjadi di mayapada ini, sehingga memaksaku keluar dari tempat tinggalku yang menyenangkan."

"Ah...!" seru Ki Tarung kaget. Ki Tarung baru teringat kalau Eyang Pandanaran tinggal agak jauh dari markas Perguruan Ayam Emas. Tambahan lagi, kakek tinggi besar itu sudah tidak berkeinginan lagi untuk terjun ke dunia ramai. Keberadaannya di sini, jelas menjadi pertanda adanya urusan yang amat besar. Sehingga, dia harus keluar dari tempat tinggalnya.

"Bisa kau ceritakan secara lebih jelas, Pandanaran?" pinta Ki Tarung.

"Hhh...!" Eyang Pandanaran menghela napas berat. Sementara, Ki Tarung dan murid-muridnya menunggu-nunggu keluarnya ucapan dari mulut kakek tinggi besar itu. "Kalau menuruti perasaan, lebih baik aku tidak menceritakannya. Paling tidak, agar kalian tidak ikut menjadi ngeri karenanya...," pelan dan satu-satu ucapan yang keluar dari mulut Eyang Pandanaran.

"Aku tidak setuju dengan pendapatmu, Pandanaran," kata Ki Tarung. "Kalau menurutku, lebih baik kau katakan apa sebenarnya yang tengah terjadi. Dengan begitu kita akan siap menghadapinya."

Eyang Pandanaran menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum memutuskan untuk memulai ceritanya. "Sejak sekitar seminggu yang lalu... aku selalu merasa gelisah tanpa sebab. Perasaan hatiku selalu waswas...," Eyang Pandanaran memulai ceritanya dengan suara kering dan getir.

Sedangkan Ki Tarung dan murid-muridnya menunggu dengan sabar. Mereka tidak ingin menyelak cerita, sekalipun Eyang Pandanaran menghentikannya beberapa saat.

"Dengan kemampuan yang kumiliki, aku mencoba mencari sebab kegelisahanku. Tapi, hasilnya malah membuat kegelisahanku bertambah. Peralatan yang kupakai untuk mencari penyebab kegelisahanku malah porak-poranda tak tentu arah ketika aku tengah menggunakannya. Karuan saja hal ini membuatku kaget, karena kejadian seperti ini belum pernah kualami."

Eyang Pandanaran menghentikan ceritanya sejenak. Diperhatikannya satu persatu wajah-wajah yang berada di sekelilingnya. Wajah-wajah yang tampak penuh rasa ingin tahu, terkecuali wajah Ki Tarung. Wajah Ketua Perguruan Ayam Emas itu tampak tegang di samping rasa ingin tahu yang membayang.

Memang, Ki Tarung merasa tegang bukan kepalang. Dia kenal berul, siapa Eyang Pandanaran itu. Dia adalah seorang yang memiliki berbagai kepandaian gaib. Bahkan dapat menyembuhkan atau membunuh orang sekalipun dari jarak jauh. Dia dapat mengetahui keberadan seseorang, hanya dengan melihat pada telapak tangannya. Kenyataan kalau Eyang Pandanaran merasa gelisah dan tidak mampu menemukan penyebabnya, bahkan peralatannya juga porak-poranda, telah membuktikan kalau ancaman yang datang bukan main-main.

"Meskipun hasil yang kuperoleh mengejutkan, tapi tidak membuatku kapok dan putus asa. Apalagi ketika kusadari rasa gelisah tanpa sebab yang melanda hatiku makin lama semakin membesar," lanjut Eyang Pandanaran.

"Aku terus mencoba mengetahuinya. Dan anehnya, kejadian yang menimpa peralatanku semakin menjadi-jadi. Semula, aku masih belum paham. Tapi ketika dua hari yang lalu kembali kucoba, peralatanku hancur berantakan semua. Bahkan aku sendiri terlempar jauh ke belakang."

"Jadi, sekarang kau telah paham?" selak Ki Tarung dengan suara kering.

"Yahhh...!" jawab Eyang Pandanaran, mendesah. "Saat semua peralatanku hancur dan aku terjengkang jatuh pingsan, berarti sesuatu yang menggelisahkan hatiku telah datang"

"Lalu..., apakah yang menyebabkanmu gelisah tanpa sebab itu, Pandanaran?" tanya Ki Tarung lagi.

"Bahaya yang akan muncul itu, Tarung."

"Sebenarnya..., apa bahaya itu, Pandanaran?"

"Makhluk alam gaib yang keluar dari dunianya, dan memasuki dunia kita," jawab kakek tinggi besar itu pelan.

"Maksudmu..., siluman?!" tanya Ketua Perguruan Ayam Emas minta penegasan, dengan suara tercekat di tenggorokan.

"Kira-kira begitu, Tarung."

"Dari mana kau bisa mengetahuinya, Pandanaran?" Ki Tarung membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.

"Dari tanda-tanda yang ada pada alam," jawab Eyang Pandanaran, lemah. "Kau tahu, setiap akan ada peristiwa aneh, alam akan menunjukkan tanda-tanda. Tentu saja itu akan kau ketahui bila kau mempelajari ilmu-ilmu gaib. Angin yang berhembus, bila kau mempelajari ilmu gaib dapat diketahui, apakah itu angin sewajarnya, atau angin yang timbul dari berlalunya makhluk gaib."

Ki Tarung sama sekali tidak menanggapinya. Dia tahu, dalam hal ilmu gaib Eyang Pandanaran adalah ahlinya. Dia sendiri tidak tahu apa-apa.

"Kita kembali ke pokok persoalan, Tarung," kata Eyang Pandanaran memecah keheningan yang tercipta ketika tidak ada yang menanggapinya ketika ucapannya telah selesai.

"Kau benar, Pandanaran," sahut Ki Tarung, lesu. "Memang, sejak tadi aku pun tengah menunggu-nunggu alasanmu, untuk membenarkan dugaanku yang mengatakan kalau awal semua kejadian ini adalah Desa Maja."

"Dugaanmu itu memang tidak salah, Tarung. Desa Maja adalah tempat kedatangan makhluk alam gaib yang belum kuketahui jenisnya. Jin, Siluman, Kuntilanak, atau dedemit. Tapi sekarang, kemungkinan besar tidak hanya Desa Maja yang akan menjadi sasaran. Tapi seluruh desa."

"Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Pandanaran?" tanya Ki Tarung, bingung.

"Mencari penjelasan, mengapa makhluk alam gaib itu memasuki alam kita," jawab Eyang Pandanaran kalem. "Aku yakin, makhluk itu tidak hanya sekadar melancong. Tapi, ada sesuatu yang tengah dicarinya...."

Mendadak Eyang Pandanaran menghentikan ucapannya. Kepalanya ditolehkan ke arah belakangnya. Bahkan sikapnya telihat gelisah sekali.

"Ada apa, Pandanaran?" tanya Ki Tarung, heran melihat kelakuan rekannya.

"Aku merasakan keberadaan makhluk itu," jawab Eyang Pandanaran.

Karuan saja ucapan itu membuat semua orang yang berada di situ terkejut bukan kepalang. Tak terkecuali Ki Tarung. Hanya saja, Ketua Perguruan Ayam Emas ini mampu menyembunyikannya sehingga tidak tampak pada wajahnya.

"Dari mana kau tahu, Pandanaran?" tanya Ki Tarung, setengah tak percaya.

Eyang Pandanaran menatap wajah sahabatnya lekat-lekat. "Sukar diutarakan dengan kata-kata, Tarung. Yang jelas, aku bisa mengetahuinya. Ah! Celaka! Makhluk itu sepertinya tengah menuju kemari. Keberadaannya semakin jelas tertangkap olehku. Ini berarti, dia tengah mendekati tempat ini!"

Bagaikan kumpulan semut-semut dilemparkan api kerumunan murid murid Perguruan Ayam Emas itupun membuyar. Ketegangan yang hebat tampak jelas di wajah-wajah mereka.

Memang, sudah sejak tadi mereka merasa gentar dan ngeri begitu mendengar keterangan tentang kedatangan makhluk dari alam gaib itu. Dapat dibayangkan, betapa besar kengerian yang melanda ketika Eyang Pandanaran mengatakan makhluk alam gaib itu tengah menuju kemari.

"Bersiap-siaplah kalian! Kurasakan kehadiran makhluk dari alam gaib itu semakin nyata. Tidak salah lagi, dia pasti menuju kemari!"

Walaupun masih merasa ragu, tapi melihat sikap Eyang Pandanaran yang terlihat bersungguh-sungguh, Ki Tarung jadi terpengaruh juga. Apalagi ketika melihat ketegangan yang membayang jelas pada raut wajah kakek tinggi besar itu. Maka, dia semakin percaya saja. Oleh karena itu, Ki Tarung segera mengedarkan pandangan ke arah wajah murid-muridnya.

"Kalian semua harus bersikap waspada. Mungkin ucapan sahabatku ini benar. Tidak ada salahnya bila kita terjaga-jaga," ujar Ketua Perguruan Ayam Emas itu. Baru saja ucapan Ki Tarung selesai, mendadak...

Brakkk...! Daun pintu gerbang Perguruan Ayam Emas hancur berantakan. Dan dari balik serpihan kayu tebal, nampak berdiri dua sosok tubuh yang tak lain adalah Caraka dan Gandula.

Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat semua yang ada di situ terjingkat kaget. Memang, mereka semua tengah dilanda ketegangan. Jadi tak heran suara ribut yang mendadak itu membuat mereka terlonjak kaget. Wajah-wajah mereka tampak sudah berubah pucat.

Ki Tarung dan Eyang Pandanaran pun dilanda perasaan yang sama. Hanya saja, kedua kakek yang telah kenyang makam garam dunia persilatan itu tidak menampakkan keterkejutannya. Baik dalam sikap maupun raut wajah. Hanya ada sentakan kuat dalam dada karena keterkejutan yang melanda.

Puluhan pasang mata milik murid Perguruan Ayam Emas, Ki Tarung, dan Eyang Pandanaran, menatap hampir tak berkedip ke arah pintu gerbang. Meskipun ada dua sosok tubuh di sana, tapi yang menjadi perhatian mereka hanya Gandula! Sedangkan Caraka tidak diperhatikan sama sekali! Memang, mereka mengenal orang yang bernama Caraka itu!

"Itukah makhluk alam gaib yang kau maksudkan, Pandanaran?" tanya Ki Tarung. Pelan suaranya, dan lebih mirip bisikan.

Eyang Pandanaran menganggukkan kepala. Perasaan terkejut melihat kedatangan makhluk alam gaib yang demikian cepat, membuatnya tidak mampu berbicara untuk beberapa saat lamanya. Lidahnya benar-benar terasa kelu!

Sementara itu, Gandula langsung mengedarkan pandangan berkeliling. Diperhatikannya satu persatu sosok-sosok tubuh yang ada di hadapannya, seakan-akan ingin mencari mana orang yang patut menjadi ayahnya.

"Mana di antara mereka yang bernama Eyang Bantara?" tanya Gandula keras seraya menolehkan kepala ke arah Caraka.

"Tidak ada," sahut Caraka.

"Hmrrrhhh...!" geram Gandula keras. "Berani kau mempermainkan Gandula?" Kemarahan Gandula menyadarkan Caraka akan kesalahan sikapnya. Buru-buru kedua tangannya dijulurkan ke depan dan digoyang-goyangkannya.

"Sabar dulu, Gandula. Mereka memang bukan Eyang Bantara. Tapi, mereka tahu tempat persembunyiannya," kata Caraka memulai tindakan liciknya.

Ucapan itu membuat Gandula mengurungkan maksudnya. Dengan sendirinya, Caraka pun selamat dari maut. Sehingga, pemuda berpakaian mewah itu bisa menghembuskan napas lega dalam hati.

"Cepat kau tanyakan pada mereka, Gandula. Kalau mereka tidak mau memberitahukannya, paksa sampai mengaku!"

Gandula melangkah maju beberapa tindak. Sepasang matanya beredar mengawasi sekilas wajah-wajah yang berada di hadapannya. Dan dalam waktu sesingkat itu, dia tahu kalau di antara sekian banyak orang yang ada di situ hanya Ki Tarung dan Eyang Pandanaranlah yang merupakan tokoh penting.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram keras.

Tanpa sadar, murid-murid Perguruan Ayam Emas melangkah mundur. Hanya Ki Tarung dan Eyang Pandanaran yang tidak bergeming dari tempatnya. Meskipun demikian, tak urung raut wajah keduanya menampakkan ketegangan.

Memang, sekalipun belum terlihat adanya tindak-tanduk yang mencurigakan, Ki Tarung dan Eyang Pandanaran sudah bersiap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan yang terburuk sekalipun! Malah uraturat syaraf dan otot-otot mereka sudah menegang waspada.

"Cepat kalian tunjukkan padaku, di mana Eyang Bantara!" kata Gandula keras disertai geramannya.

Ki Tarung dan Eyang Pandanaran saling pandang. Dalam adu pandang yang hanya sebentar itu, mereka maklum kalau masing-masing pihak tidak mengetahui jawabannya.

"Sayang sekali, Kisanak. Kami tidak mengenal orang yang kau maksud. Sungguh kami belum pernah mengenal orang yang bernama Eyang Bantara," jawab Ki Tarung mewakili Eyang Pandanaran. Hati-hati sekali Ketua Perguruan Ayam Emas ini mengucapkannya.

Di dalam hati, Ki Tarung menerima kebenaran ucapan Eyang Pandanaran. Memang, ada sesuatu yang tengah dicari makhluk asing itu. Dan yang dicarinya adalah Eyang Bantara. Hanya saja yang masih membuat Ketua Perguruan Ayam Emas ini tidak habis mengerti adalah, hubungan antara Caraka dengan Gandula! Bagaimana Caraka bisa datang bersama-sama makhluk alam gaib itu. Ki Tarung tahu betul, siapa Caraka itu.

"Mampuslah kau...!" bentak Gandula keras setelah dldahului geraman keras. Berbareng keluarnya bentakan itu, Gandula menudingkan telunjuknya ke tanah.

Maka karuan saja semua orang yang berada di situ merasa heran. Hanya Eyang Pandanaran saja yang tidak. Dan memang, kekhawatiran kakek ahli ilmu gaib itu beralasan. Tampak tubuh Ki Tarung tertekan ke bawah secara cepat. Ki Tarung seakan-akan ingin memecahkan kepalanya dengan cara membenturkannya ke tanah.

"Guru...!"

Hampir berbareng, seluruh murid Perguruan Ayam Emas menjerit keras. Mereka merasa keget dan heran bukan kepalang melihat tindakan guru mereka. Memang, keanehan itu belum mereka sadari.

Tapi, tidak demikian halnya dengan Eyang Pandanaran. Sebagai orang yang telah berkecimpung dalam ilmu-ilmu gaib, langsung disadari kalau adanya keanehan dalam ucapan dan gerak tangan Gandula. Eyang Pandanaran merasakan ada kekuatan dahsyat yang tidak tampak dalam suara dan gerak tangan makhluk aneh itu.

Oleh karena itu, sebelum kepala Ki Tarung sempat membentur lantai, Eyang Pandanaran bertindak cepat. Mulutnya secepat kilat berkomat-kamit membaca sesuatu yang tidak jelas bunyinya. Kemudian, kedua kakinya dihentakkan ke tanah. Dan....

"Tarung...! Tahan...!" teriak kakek tinggi besar itu.

Tidak percuma usaha yang dilakukan Eyang Pandanaran. Ki Tarung berhasil memusnahkan pengaruh gaib yang membuat kepalanya hampir dibenturkan ke tanah. Ketua Perguruan Ayam Emas ini segera menghentak kepalanya ke belakang sambil berteriak nyaring menggetarkan.

Nyawa Ki Tarung pun lolos dari bahaya maut. Dan tentu saja, ini semua karena bantuan Eyang Pandanaran. Tanpa bantuannya Ki Tarung pasti sudah tewas. Walaupun tentu saja bila Ki Tarung pun tidak berusaha melawan pengaruh aneh itu, usaha Eyang Pandanaran akan sia-sia. Dengan kata lain, Ki Tarung berhasil lolos dari maut karena usaha bersama.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram keras melihat calon korbannya berhasil meloloskan diri. Kini, kedua telunjuknya sama-sama digerakkan. Yang kanan digerakkan ke kiri dan yang kiri bergerak ke kanan. Akibanya, kedua jari telunjuk itu seperti akan berbenturan di depan dada.

Ki Tarung dan Eyang Pandanaran sudah bersiap sedia. Mereka pun berusaha mempertahankan diri dari pengaruh serangan Gandula dengan cara masing-masing. Eyang Pandanaran segera menghentakkan kedua kakinya di tanah. Itu dilakukan setelah terlebih dahulu mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak jelas. Sedangkan Ki Tarung mempertahankan diri dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke kaki. Sehingga, tubuh Ketua Perguruan Ayam Emas ini seperti bersatu dengan tanah.

Tapi, usaha kedua orang kakek sakti itu sama sekali tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Memang, pengaruh ilmu Gandula terlalu kuat. Dan ini terbukti dengan melayangnya tubuh Ki Tarung dan Eyang Pandanaran, mengikuti arah telunjuk tangan Gandula. Hanya saja melayangnya tubuh kedua orang itu tidak berbarengan.

Tubuh Ki Tarung melayang lebih dulu, baru kemudian tubuh Eyang Pandanaran. Dari sini bisa dibuktikan kalau perlawanan kakek ilmu gaib itu lebih kuat.

Prokkk! Suara berderak keras terdengar ketika kepala Eyang Pandanaran dan Ki Tarung berbenturan. Darah bercampur otak kontan berhamburan dari kepala yang pecah. Seketika itu juga, nyawa kedua kakek melayang meninggalkan raga.

Karuan saja hal itu membuat murid-murid Perguruan Ayam Emas marah bukan kepalang, di samping perasaan kaget yang mendera. Maka, tanpa mempedulikan keselamatan diri, mereka meluruk menerjang Gandula dengan senjata terhunus.

Gandula hanya menggeram. Kembali kedua tangannya bergerak. Dan sesaat kemudian, jerit-jerit kematian terdengar saling susul. Serbuan murid-murid Perguruan Ayam Emas itu tak ubahnya sekumpulan semut menyerang api. Mereka semuanya roboh sebelum berhasil mendekati tubuh Gandula.

Caraka tersenyum gembira melihat tewasnya murid-murid Perguruan Ayam Emas. Sungguh tidak pernah diimpikannya sehingga bisa membalas sakit hatinya.

"Aaakh...!" Dua jeritan terakhir, menjadi akhir dari serbuan murid-murid Perguruan Ayam Emas.

Caraka melangkah menghampiri Gandula yang berdiri memandangi sosok mayat yang berada di sekelilingnya.

"Mereka memang orang-orang keras kepala," kata Caraka, bernada menghibur. "Mereka lebih suka mati daripada memberitahukan tempat persembunyian Eyang Bantara. Tapi jangan khawatir, Gandula masih ada orang yang mengetahui tempat tinggal Eyang Bantara, si Jari Maut. Mari ikut aku...!"

Usai berkata demikian, Caraka lalu meninggalkan tempat itu. Mau tak mau, Gandula pun melangkah mengikuti. Kini hanya keheningan yang menyelimuti Perguruan Ayam Emas. Tidak ada lagi jerit kesakitan atau teriakan bemada kemarahan. Semuanya telah lenyap terbawa angin.

* * * * * * * *

LIMA

Sang surya sudah sejak tadi menampakkan diri. Cahayanya yang lembut menerangi persada. Bias-bias sinarnya menembus hutan, melalui celah-celah daun. Sehingga membentuk jalan-jalan sinar yang terlihat indah dipandang mata.

Kicau burung dan teriakan penghuni hutan lainnya menyemaraki suasana pagi yang hampir beranjak siang. Di saat seperti itulah tampak seorang gadis cantik melangkah melewati deretan pepohonan.

Gadis itu berpakaian biru, membungkus kulitnya putih halus dan mulus. Apalagi, rambutnya yang berwarna hitam mengkilat itu dikepang. Sehingga semakin menambah kecantikannya. Melihat dari keadaannya, usia gadis itu tak akan lebih dari dua puluh tiga tahun.

Gadis itu melangkah hati-hati, menyusuri jalan di tengah hutan. Sepasang matanya beredar mengawasi sekeliling. Jelas, ada sesuatu yang tengah dicarinya. Dan menilik sebatang anak panah yang siap meluncur di busurnya, bisa diketahui sesuatu yang tengah dicarinya adalah binatang buruan!

Mendadak kepala gadis berpakaian biru itu menoleh ke samping ketika mendengar adanya suara berkeresekan pelan. Gerakannya terlihat sigap pertanda bukan gadis kebanyakan. Begitu matanya menangkap bayangan seekor binatang, busurnya segera dijepretkan.

Twanggg...!

Anak panah itu meluncur cepat ke arah binatang yang ternyata seekor kijang. Cepat bukan main luncurannya. Tapi, masih lebih cepat lagi gerakan kijang itu. Begitu melihat adanya bahaya mengancam, kijang itu segera melesat kabur. Dan...

Tappp! Anak panah itu langsung menancap di batang sebuah pohon besar hingga setengahnya lebih.

"Brengsek!" Gadis berpakaian biru memaki, karena bidikannya tidak mengenai sasaran. Meskipun begitu, dia tidak putus asa dan langsung berlari mengejar. Gadis itu membuktikan kalau dirinya bukan gadis lemah. Larinya cepat sekali. Bahkan kedua kakinya hampir tidak menapak tanah ketika berlari mengejar binatang buruannya.

Si kijang tahu kalau orang yang akan mencelakainya mengejar. Maka, larinya pun semakin dipercepat. Melihat hal ini, gadis berpakaian biru itu segera menambah kecepatan larinya. Beberapa saat kemudian, mulai terlihat kijang itu memang memiliki kemampuan lari yang cepat. Apalagi saat itu tengah kalap, karena ada bahaya besar mengancam.

Betapapun gadis itu mengerahkan seluruh kemampuannya, tapi tetap saja tidak mampu menandinginya. Perlahan-lahan jarak antara dua makhluk itu semakin menjauh. Dengan napas terengah-engah, gadis itu menatap sosok tubuh binatang buruannya yang semakin lama semakin menjauh, dan akhirnya lenyap di kerimbunan pepohonan lebat,

"Brengsek!" Untuk yang kedua kalinya makian itu keluar mulut mungil berbentuk indah itu. Kemudian, dihapusnya peluh yang membasahi selebar wajah dan lehernya dengan saputangan. Baru setelah itu, kakinya melangkah menghampiri sebatang pohon besar di dekatnya dan berdiri bersandar di situ. Di samping untuk meredakan deru napasnya, juga untuk menghilangkan rasa kesal yang melanda. Mendadak...

"Ssshhh...!" Desisan tajam yang berasal dari atas kepalanya membuat gadis berpakaian biru itu terkejut bukan kepalang. Secepat kilat, kepalanya menengadah. Maka kontan sepasang matanya terbelalak ketika melihat kepala seekor ular besar yang mulutnya telah terbuka meluncur cepat ke arah kepalanya. Menilik dari besarnya mulut ular itu, bisa dipastikan gadis berpakaian biru itu bisa masuk ke dalam mulut ular itu dalam sekali caplok.

Tentu saja gadis itu tidak ingin kepalanya tertelan mulut ular itu. Maka walaupun sepasang matanya terbelalak lebar karena takut, disertai jerit kekagetan, dia masih sanggup melakukan lompatan harimau. Maka dengan mempergunakan kedua telapak tangannya sebagai tempat bertumpu, gadis berpakaian biru itu menggulingkan tubuhnya di tanah.

Tapi, ternyata ular itu merasa penasaran melihat mangsanya berhasil lolos. Maka binatang melata itu pun melesat turun dari atas pohon, dan mengejar buruannya. Rupanya, dia kelaparan!

Gadis itu sangat kaget ketika melihat ular yang tadi hampir memangsanya begitu besar. Badannya hampir sebesar batang pohon kelapa. Panjangnya pun tak akan kurang dari empat tombak. Jelas, binatang berbisa itu mampu menelannya bulat-bulat.

Wajah gadis berpakaian biru itu pucat pasi ketika membayangkan tubuhnya akan masuk ke dalam perut ular itu. Dengan menggigil, kakinya melangkah mundur. Tampak jelas, dia merasa takut terhadap binatang melata itu.

Sebenarnya, gadis berpakaian biru itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi sayangnya sebagai seorang wanita, dia mempunyai sebuah kelemahan. Takut pada binatang yang menjijikkan. Dan ular adalah merupakan binatang yang paling ditakutinya. Tak heran bila dia mundur melihat ular itu mendekatinya. Tapi, langkahnya langsung terhenti ketika punggungnya membentur sesuatu. Dan ketika ditoleh, ternyata hanya batang sebuah pohon besar.

"Sssshhh...!" Diawali sebuah desisan tajam, kepala ular besar itu meluncur ke arah dada buruannya.

Karuan saja gadis itu terperanjat. Secara tergesa-gesa, kepalanya menoleh kembali ke arah semula. Dan tampak moncong ular yang tengah meluncur ke arahnya. Gadis itu sadar, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan itu. Hanya ada satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan selembar nyawanya, yakni menangkis! Maka sambil menggertakkan gigi, gadis berpakaian biru itu mengulur tangannya. Dan....

Tappp! Leher ular besar itu berhasil ditangkapnya. Langsung saja tenaga dalamnya dikerahkan untuk meremas hancur leher binatang melata itu. Namun binatang itu tidak menyerah begitu saja. Segera ekor ular itu bergerak menyambar. Dan...

Bukkk! Telak dan keras sekali sambaran ekor ular itu menghantam dada buruannya. Kontan tubuh gadis itu terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Dia berusaha bangkit tapi malah seringai kesakitan yang muncut di mulutnya. Dadanya yang terkena sambaran tadi terasa sesak bukan kepalang. Untuk beberapa saat lamanya, gadis berpakaian biru itu mengalami kesulitan bernapas.

Sebelum buruannya sempat berbuat sesuatu, ular besar itu telah bergerak cepat menghampirinya. Dan tahu-tahu, tubuh gadis itu telah dililit, mulai dari bawah lutut sampai ke bawah leher. Sedangkan kepala ular berada di atas kepala si gadis. Mulut ular itu terbuka lebar. Jelas, maksudnya untuk menelan gadis itu hidup-hidup setelah terlebih dulu meremukkan tulang-belulang tubuhnya.

Gadis berambut kepang semakin geram. Maka, seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk menahan belitan badan ular besar yang akan meluluh-lantakkan tulang-tulang tubuhnya. Sebuah perjuangan mati-matian untuk menyelamatkan selembar nyawa, dilakukan gadis berpakaian biru itu.

Namun akhirnya, gadis berpakaian biru itu harus mengakui kuatnya belitan ular besar ini. Semakin lama, belitan ular itu semakin terasa menyakitkan. Urat-urat, otot-otot dan tulang-belulang tubuhnya seperti luluh lantak!

Disadari kalau tak akan lama lagi tenaganya akan habis. Di saat yang amat gawat bagi keselamatan gadis berambut dikepang ini, melesat sekelebatan benda berwarna gelap ke arah kepala ular besar itu Suara berdesing nyaring yang terdengar menjadi pertanda besarnya tenaga yang terkandung dalam luncuran benda gelap tadi.

Prokkk..!

Diiringi suara berderak keras, kepala ular besar itu hancur berantakan ketika benda gelap yang ternyata sebuah batu sebesar kepalan bayi telak menghantam.

Gadis berpakaian biru memekik ngeri bercampur jijik. Sepasang matanya buru-buru dipejamkan. Bahkan mulutnya langsung dirapatkan ketika darah memercik ke sana kemari dari kepala ular yang pecah. Dan sebagian besar, memerciki wajahnya.

Seiring pecah kepalanya, nyawa ular besar itu pun melawat ke alam baka. Dan dengan sendirinya, belitan pada sekujur tubuh gadis berpakaian biru itu pun mengendur, lalu terlepas. Sementara, gadis itu langsung bergerak menjauh dengan sikap jijik. Dengan saputangannya, buru-buru percikan darah ular pada wajahnya dihapus.

Setelah diyakini tidak ada lagi darah yang mengotori wajahnya, pandangannya dilayangkan ke sekeliling. Dia ingin tahu, siapa orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Dalam jarak empat tombak dari tempatnya berdiri, tampak berdiri dua sosok tubuh yang menatap ke arahnya dengan bibir menyunggingkan senyum.

Semula, pandangan gadis berpakaian biru itu biasa saja. Tapi sesaat kemudian, sepasang alisnya yang berbentuk indah itu hampir bertautan. Jelas, ada sesuatu yang menyebabkannya demikian.

Memang, gadis itu merasa heran pada salah satu sosok yang ternyata seorang pemuda. Memang melihat wajah dan tubuhnya, tidak ada yang aneh. Wajah pemuda itu tampan dan gagah. Tubuhnya terlihat tegap dan berisi.

Pakaiannya yang berwarna ungu, semakin menonjolkan ketampanannya. Namun yang membuat alis gadis berpakaian biru itu heran adalah rambutnya.

Rambut pemuda itu hitam, seperti pada pemuda umumnya. Tapi berwarna putih seperti layaknya orang yang telah berusia lanjut. Namun begitu, sungguh kelihatan lebih indah. Karena, warna putihnya berkilauan seperti perak.

Seumur hidup, baru kali inilah gadis itu melihat pemuda yang memiliki rambut demikian. Tapi, tunggu dulu! Selintas, gadis itu teringat sesuatu. Memang dia pernah mendengar kalau ada seorang pemuda yang memiliki rambut putih keperakan. Berita itu begitu mengguncangkan dunia persilatan. Dan pemiliknya adalah Dewa Arak!

Sementara itu, sosok yang seorang lagi adalah gadis berwajah cantik jelita. Rambutnya berwarna hitam, dan dibiarkan panjang tergerai. Pakaiannya serba putih, sehingga semakin menonjolkan kecantikannya. Di dalam hati, gadis berpakaian biru itu harus mengakui kalau gadis di hadapannya memiliki kecantikan yang melebihinya.

Kini gadis berpakaian biru itu memperhatikan pemuda berambut putih keperakan lebih lanjut. Memang, pemuda itu adalah tokoh yang menggemparkan dunia persilatan! Ini bisa dilihat dari ciri-ciri yang menyolok, yakni rambutnya yang berwarna aneh. Maka dengan agak terburu-buru, gadis berambut kepang itu menghampiri.

"Apakah penglihatanku tidak salah? Benarkah kau Dewa Arak?" tanya gadis berpakaian biru, sambil menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu lekat-lekat.

Karuan saja pemuda berpakaian ungu yang tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak, menjadi kikuk mendapat tatapan seperti itu dari seorang gadis! Cantik lagi. Sungguh pun memang, masih jauh bila dibandingkan Melati.

"Itu adalah julukan yang diberikan orang padaku, Nisanak!" jawab Arya, merendah. "Sedangkan namaku..."

"Arya, kan?! Arya Buana?!" selak gadis berambut dikepang, cepat.

"Betul," Arya menganggukkan kepala. Dia tidak merasa heran kalau gadis itu mengetahui namanya. Memang, hampir semua orang persilatan tahu kalau nama Dewa Arak yang sebenarnya adalah Arya Buana. "Kau sendiri siapa?"

"Aku Wigati," sebut gadis berpakaian biru itu. "Kaukah yang telah menolongku dari ular keparat itu?"

Gadis berambut dikepang yang ternyata bernama Wigati menudingkan jari telunjuknya ke arah bangkai ular besar yang tergolek di tanah. Sedangkan Arya menyunggingkan senyuman lebar di mulutnya. Kemudian, perlahan kepalanya menggeleng.

"Bukan aku yang menolongmu, tapi teman wanitaku ini," kalem jawaban Arya.

"Ahhh...!" Wigati mendesah kaget. Kontan wajahnya memerah ketika menyadari ketidak-pantasan sikapnya. Sejak tadi, dia hanya mencecar Dewa Arak saja. Sama sekali tidak dipedulikannya kalau ada sosok lain yang berdiri di sebelah tokoh yang menggemparkan itu.

"Terima kasih atas pertolonganmu..," Wigati menggantung ucapannya di tengah jalan, karena belum mengetahui nama gadis teman Arya.

"Aku Melati," potong Melati buru-buru.

"O, ya.... Kuucapkan ribuan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku, Melati. Kalau tidak..., entah bagaimana nasibku ini," ulang Wigati.

"Ah! Tidak perlu banyak peradatan, Wigati. Tolong-menolong di antara sesama manusia adalah hal yang wajar." Seulas senyum tulus terkembang di bibir Melati, meskipun beberapa saat sebelumnya sempat merasa dongkol melihat sikap Wigati pada Arya.

"Ucapanmu seperti orang tua, Melati," kata Wigati.

"Maksudmu?" tanya Melati disertai kernyitan pada dahinya.

"Tidak ada maksud apa-apa," ringan jawaban yang keluar dari mulut Wigati. "Aku hanya teringat ucapan ayahku setiap kali selesai menolong orang. Ucapan yang tadi keluar dari mulutmu itulah yang selalu dikatakannya."

Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti maksudnya. Sedangkan Arya hanya menundukkan kepala, menyembunyikan senyum lebar yang tidak bisa ditahan. Melati tentu saja tahu, mengapa tunangannya menundukkan kepala. Kalau saja tidak ada Wigati, sudah dicubitnya Arya! Tapi karena keadaan tidak memungkinkan, terpaksa sikapnya seolah-olah tidak mengetahui.

"Hm..., boleh kutahu siapa orang tuamu, Wigati?" tanya Melati setengah hati.

"Tentu saja boleh!" jawab Wigati cepat sambil mengerling ke arah Arya. "Ayahku meskipun tidak setenar Dewa Arak, tapi cukup ditakuti tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Julukannya, si Jari maut."

Melati dan Dewa Arak agak terkejut ketika mendengar julukan ayah Wigati. Bahkan wajah Melati sampai berubah. Sedangkan Arya sampai mendongakkan kepala. Mengapa bisa begitu kebetulan? Bukankah murid Perguruan Ayam Emas mengatakan kalau iblis yang telah membantai demikian banyak orang di perguruan itu akan menyerbu kediaman si Jari Maut. Sungguh sama sekali tidak disangka kalau akan bertemu putri si Jari Maut sendiri.

"Kalian mengenal ayahku?" tanya Wigati ragu ketika melihat keterkejutan pada wajah Arya dan Melati Hampir berbareng Arya dan Melati menggelengkan kepala.

"Tapi kalian tampak terkejut ketika aku menyebut julukan ayahku?!" desak Wigati penasaran.

Arya dan Melati saling berpandangan. Sesaat keduanya kebingungan. Haruskah mereka katakan pada Wigati berita yang mereka dapatkan dari mulut Perguruan Ayam Emas? Dan dalam adu pandang sesaat itu, Arya tahu kalau Melati menyerahkan persoalan itu padanya.

Rasa penasaran Wigati semakin menjadi-jadi ketika melihat sepasang muda-mudi itu malah saling pandang ketika habis dilontarkan pertanyaan. "Katakan, mengapa kalian seperti terkejut ketika kusebutkan julukan ayahku?!"

Mulai meninggi suara yang keluar dari mulut gadis berpakaian biru itu. Sepasang matanya menatap berganti-ganti ke arah wajah Arya dan Melati. Ada nada kepenasaran yang menggebu-gebu, baik pada raut wajah maupun nada suara Wigati.

Namun, Arya tidak langsung menjawab. Dia malah berdehem sebentar untuk melonggarkan tenggorokannya. "Kami hanya terkejut karena tidak menyangka ayahmu adalah seorang tokoh pendekar yang terkenal," kata Arya sekenanya.

Sungguh, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menyangka apabila jawabannya tepat pada sasaran. Si Jari Maut adalah tokoh besar aliran putih pada puluhan tahun yang lalu. Julukannya disebut-sebut dengan perasaan gentar oleh tokoh-tokoh aliran hitam. Dan hal itu terjadi karena sepak terjangnya yang terlalu kejam pada tokoh-tokoh aliran hitam.

"Jadi, kau pernah mendengar julukan ayahku, Dewa Arak?!" sambut Wigati gambira. "Hal ini benar-benar di luar dugaanku. Karena, ayahku mengatakan kalau tokoh-tokoh persilatan jarang yang mengenalnya. Kecuali, tokoh-tokoh tua atau keturunan tokoh hitam yang tewas di tangannya. Sungguh tidak kusangka kau pernah mendengarnya, Dewa Arak!"

Arya menyunggingkan senyum. Tapi karena tidak keluar dari lubuk hati, jadi terlihat kaku dan dipaksakan malah lebih mirip sebuah seringai ketimbang senyuman.

Tapi Wigati yang tengah dilanda kegembiraan karena mengetahui Dewa Arak mengenal julukan ayahnya, sama sekali tidak melihat kejanggalan itu Dewa Arak adalah tokoh yang amat dikaguminya. Apalagi, ketika diketahuinya bahwa tokoh yang menggemparkan itu seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah. Itulah sebabnya, Wigati merasa gembira bukan kepalang mengetahui Arya pernah mendengar julukan ayahnya.

"Kalau boleh kutahu, dari mana kau tahu julukan ayahku, Dewa Arak? Padahal, sudah lebih dari dua puluh tahun ayahku meninggalkan dunia persilatan. Malah pada saat itu, kau mungkin masih sangat kecil. Dan aku yakin, kau belum tahu apa-apa!" cecar Wigati penuh semangat.

Mendapat desakan bertubi-tubi itu, membuat Arya kelabakan namun untungnya, pemuda berambut putih keperakan itu mampu menyembunyikannya. Sehingga, tidak terlihat pada sikapnya.

Memang, Wigati tidak mengetahuinya. Tapi tidak demikian halnya Melati. Putri angkat Raja Bojong Gading itu tentu saja tahu kalau kekasihnya tengah kelabakan. Keringat yang bermunculan di dahi, dan sorot mata Arya yang tidak biasanya, telah menggambarkan kekalutan Arya.

* * * * * * * *

ENAM

Untuk pertama kalinya, Arya dibuat kelabakan dan kebingungan. Bukan karena apa-apa, tapi karena mau tak mau terpaksa harus berbohong! Yang lebih membingungkan lagi, kebohongannya harus dilanjutkan untuk menutupi kebohongan yang pertama. Inilah yang membuat Arya kelabakan!

Diam-diam, Dewa Arak menyesali jawabannya tadi. Sama sekali tidak disangka kalau jawaban asal-asalan itu mengenai sasarannya. Dan lebih celaka lagi, Wigati demikian bernafsu untuk menanyainya terus-menerus. Maka dengan demikian, dia harus berbohong lagi.

"Katakan, Dewa Arak. Tidak usah ragu-ragu. Dari siapa kau mengetahui julukan ayahku?! Jangan katakan kalau kau telah mendengar julukan ayahku sewaktu masih bayi?!" desak Wigati setengah bergurau.

"Aku mohon, kau jangan memanggilku Dewa Arak, Wigati. Panggillah Arya saja," kata Arya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Baiklah," Wigati menganggukkan kepala. "Katakan, Arya. Dari mana kau tahu julukan ayahku?!"

Arya terdiam. Rupanya, Wigati termasuk gadis yang memiliki watak keras. Sebelum mengetahui sampai tuntas desakannya belum juga dihentikan. Namun melihat Arya belum juga menyambuti pertanyaannya, Wigati jadi kehilangan kesabaran.

"Biar kutebak sendiri, deh! Kau pasti mengetahui julukan ayahku dari gurumu kan?!" duga Wigati, sok tahu.

"Benar kan dugaanku?!"

"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Dia ingin buru-buru lepas dari desakan Wigati. Maka meskipun dengan berat hati, kepalanya dianggukkan. "Maafkan aku, Guru. Aku telah mencatut nama mu," ucap Arya dalam hati.

"Tepat kan dugaanku, Arya?" kata Wigati samba tersenyum lebar.

Kembali Arya menganggukkan kepala. Sedangkan Melati terpaksa berpura-pura batuk, untuk menutupi tawanya yang hampir meledak melihat peristiwa di hadapannya. "O ya, Wigati. Bisa kau bawa kami menemui ayahmu? Kami ingin sekali berbincang-bincang dengan beliau," Arya buru-buru mengalihkan persoalan agar tidak terlibat dalam kebohongan lagi.

"Tentu saja bisa, Arya," sambut Wigati gembira. "Aku yakin, ayah akan gembira berkenalan denganmu. Ayah sering menyebut-nyebut namamu, Arya. Dia kagum sekali padamu. Kau pendekar bijaksana katanya. Dia yakin, banyak orang jahat yang sadar berkat kebijaksanaanmu. Tampaknya, ayah menyesali tindakannya yang keras terhadap tokoh-tokoh hitam dulu."

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Hanya dia sendiri yang mengetahui maksudnya. "Mengapa kau bisa dilibat ular, Wigati?" tanya Melati untuk mengurangi perasaan tidak enak mengigat sikapnya tadi.

Putri angkat Raja Bojong Gading ini khawatir, Wigati merasa tersinggung melihat sikapnya tadi. Itulah sebabnya, dia mengajukan pertanyaan pada gadis itu. Walaupun sebenarnya dia kurang berminat untuk mengutarakannya.

"Aku tengah berburu kijang," jawab Wigati. Kemudian gadis berpakaian biru itu menceritakan semua kejadian yang dialaminya. "Untunglah kau memberi pertolongan, Melati. Kalau tidak, mungkin tubuhku sudah berada di dalam perut ular sialan itu," tutur Wigati menutup ceritanya.

Melati menyunggingkan senyuman lebar. Dia sama sekali tidak mengucapkan apa pun sebagai tanggapan terhadap cerita Wigati.

"Bagaimana kalau perbincangan ini dilanjutkan dalam perjalanan menuju ke rumah ayahmu, Wigati?" usul Arya bernada mengingatkan.

"Sebuah usul yang baik sekali," sambut Wigati cepat.

Melati dan Arya saling berpandangan. Sama sekali tidak disangka kalau perjalanan mencari si Jari Maut tidak terlalu sulit. Seorang penunjuk jalan yang tidak mungkin salah, telah menjadi pemandunya. Kini, ketiga orang muda itu bergerak menuju tempat kediaman si Jari Maut. Sepanjang perjalanan Wigati tak henti-hentinya berceloteh. Terutama sekali pada Arya. Perasaan kagumnya terhadap pemuda berambut putih keperakan tampak jelas sekali.

Namun hal ini justru membuat Arya dan Melati sedikit merasa kasihan. Mereka berdua tahu, Wigati merupakan seorang gadis lugu. Tanpa ragu-ragu perasaan kagumnya ditonjolkan! Melati yang semula mendongkol, akhirnya malah jatuh kasihan. Dia tahu, Arya hanya mencintai dirinya. Di hati Dewa Arak hanya ada satu nama, yakni Melati!

* * * * * * * *

"Kau yang salah bicara, atau telingaku yang salah dengar, Arya?!" tanya seorang kakek bertubuh tinggi kurus laksana galah. Dia mengenakan pakaian berwarna kuning, membungkus tubuhnya yang kurus kering. Kakek itu tengah duduk bersila di sebuah ruangan tengah di dalam sebuah rumah. Di sekelilingnya, duduk bersila juga Melati, Wigati, dan Arya yang mengelilinginya.

Arya duduk tepat di hadapan kakek berpakaian kuning itu. "Aku hanya menyampaikan semua yang kulihat dan kudengar, Ki," ucap Arya, kalem.

Kakek tinggi kurus itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Raut wajahnya tampak menyiratkan kesedihan.

"Ayah! Aku percaya kalau Arya mengatakan hal yang sebenarnya," tegas Wigati, seraya memandang wajah kakek tinggi kurus.

Kakek tinggi kurus yang ternyata ayah Wigati dan berjuluk si Jari Maut, menatap wajah putrinya tajam-tajam beberapa saat lamanya. "Bukannya aku tidak percaya ceritamu, Arya," ucap si Jari Maut setengah mengeluh. "Tapi, berita yang kau sampaikan ini terlalu mengejutkan bagiku. Kau mengatakan, Perguruan Ayam Emas telah musnah. Dan ketuanya sendiri telah tewas. Kau tahu, Arya. Ki Tarung adalah sahabat kentalku! Aku sering mengunjunginya. Bahkan beberapa hari yang lalu, aku mengunjunginya. Hhh...! Sukar dipercaya!"

Arya diam saja. Sama sekali tidak ditanggapinya ucapan si Jari Maut. Disadari kalau kakek tinggi kurus itu merasa terpukul. Maka, membiarkannya adalah tindakan yang paling bijaksana. Orang seperti si Jari Maut tidak akan lama tenggelam dalam kesedihan. Suasana di sekitar tempat itu kontan hening. Semuanya tidak ada yang membuka suara, dan tenggelam dalam lamunannya masing-masing.

Plak! Keheningan suasana itu dipecahkan dengan dipukulnya kepalan tangan kanan si Jari Maut ke telapak tangan kirinya yang terbuka. Maka kontan tiga pasang mata terarah pada wajah si Jari Maut,

"Kau bilang, pembunuh itu akan datang kemari, Arya?!" ada nada dendam dalam pertanyaan kakek berpakaian kuning itu.

"Begitulah berita yang kudengar dari mulut seorang murid Perguruan Ayam Emas yang belum tewas, Ki," javuab Arya. Memang Arya dan Melati telah menemukan murid Perguruan Ayam Emas yang menjadi korban keganasan Gandula. Dan dari salah seorang murid yang masih hidup, berita itu didapatkannya.

"Hm...!" Si Jari Maut mengggumam pelan. Kepalanya terangguk-angguk. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri yang tahu. "Baik! Aku akan menunggunya di sini. Dan kalau benar-benar datang, pembunuh itu akan menerima pembalasannya dariku!" ada nada ancaman dalam ucapan kakek tinggi kurus itu.

Arya diam saja tidak menanggapi. Bisa dimaklumi kemarahan yang melanda hati si Jari Maut. Ki Tarung Ketua Perguruan Ayam Emas adalah sahabat akrabnya. Tidak aneh kalau si Jari Maut begitu murka mendengar kematian sahabatnya, berikut kehancuran perguruannya.

* * * * * * * *

"Jari Maut! Keluar kau...!"

Sebuah panggilan bernada tantangan membuat si Jari Maut, Dewa Arak, Melati dan Wigati tersadar dari lamunan masing-masing. Dan bagai diberi perintah keempat orang itu berbareng bangkit berdiri. Si Jari Mautlah orang yang pertama kali bangkit dari duduk bersilanya, dan langsung melangkah keluar. Memang, panggilan itu datangnya dari luar rumah!

Wajah si Jari Maut tampak merah membara memancarkan kemarahan yang amat sangat. Dengan langkah lebar-lebar kakinya terayun keluar.

Arya, Melati, dan Wigati bergegas melangkah menyusul di belakang si Jari Maut. Arya dan Melati sempat saling berpandangan dengan sorot mata menyiratkan keheranan. Dan memang sebenarnya kedua orang itu merasa heran bukan kepalang. Mereka tahu kalau panggilan bernada tantangan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.

Dan dari kekuatan suara itu, sepasang pendekar muda itu bisa mengukur kekuatan tenaga dalam si pemiliknya yang tidak begitu kuat. Dan itulah sebabnya, mengapa mereka merasa heran. Kalau hanya sampai di situ saja kekuatan tenaga dalam pemiliknya, mengapa dengan leluasa bisa menyebar maut di Perguruan Ayam Emas? Bahkan sampai Ki Tarung yang merupakan ketuanya berhasil dibunuh! Padahal menurut kabar yang terdengar, kepandaian Ki Tarung amat tinggi!

Di halaman rumah tampak berdiri dua sosok tubuh, yang tak lain adalah Caraka dan Gandula. Caraka berdiri sekitar setengah tombak di hadapan Gandula, dengan dada dibusungkan. Bahkan kepalanya pun agak ditengadahkan. Kedua tangannya yang terkacak pinggang semakin memperjelas kesombongan sikapnya.

Ternyata, Caraka-lah yang tadi meneriakkan tantangan pada si Jari Maut. Meskipun Caraka berdiri di depan, tapi pandangan mata si Jari Maut, Dewa Arak, Melati, dan Wigati sama sekali tidak tertuju padanya. Tapi tertuju pada sosok tubuh asing di belakang Caraka. Pandangan mata mereka semua menyorotkan keheranan. Bukan karena ciri-ciri yang terdapat pada Gandula, tapi juga bulu-bulu kuduk mereka merinding tanpa sebab.

"Makhluk dari mana ini...?" desis si Jari Maut bernada kaget dan tidak percaya. Tanpa sadar, kakek tinggi kurus ini menoleh ke arah Arya yang telah berdiri di sebelahnya. "Kau mengenal makhluk aneh itu, Arya?" tanya si Jari Maut, pelan.

Arya menggelengkan kepala. "Seumur hidup, baru kali ini aku melihat makhluk seperti ini, Ki," jawab pemuda berambut putih keperakan itu.

Dan memang, Arya sama sekali tidak berbohong. Gandula memang memiliki keadaan mengerikan. Sungguhpun Arya telah pernah melihat makhluk-makhluk biadab, tapi tidak seperti Gandula. Arya merasa keanehan timbul dalam dirinya. Sebuah perasaan gelisah tanpa sebab tiba-tiba muncul. Dan inilah yang membuatnya heran bukan kepalang. Mengapa sekarang merasa gelisah? Padahal tadi tidak!

Benak Arya pun berputar untuk mencari-cari penyebab timbulnya perasaan gelisah itu. Cukup lama juga benaknya berpikir keras, sebelum akhirnya timbul pada satu kesimpulan yang tidak bisa dibantah lagi. Perasaan gelisahnya itu muncul ketika dia melihat Gandula. Ada apa dengan Gandula?

Tapi Arya segera membuang pertanyaan yang menggelayuti benaknya itu jauh-jauh. Karena tampak si Jari Maut sudah siap memuntahkan kemarahannya.

"Jari Maut...." seru Caraka keras, masih dengan tangan berkacak di pinggang.

Si Jari Maut yang tengah sibuk memperhatikan Gandula jadi mengalihkan pandangan ke arah Caraka. "Kau…?! Apa maumu, Caraka?! Cepat pergi dari sini, sebelum kemarahanku timbul!"

Memang, si Jari Maut mengenal Caraka yang merupakan keponakan Juragan Donggala. Caraka mencintai Wigati. Dan beberapa bulan silam, dengan perantaraan pamannya, Caraka meminang Wigati. Tapi lamarannya ditolak mentah-mentah oleh si Jari Maut, karena kakek itu tahu kalau Caraka adalah seorang pemuda yang berwatak tidak baik! Bahkan sering mengganggu anak gadis orang!

Sebenarnya kalau saja si Jari Maut tidak disibuki oleh pikiran tentang Gandula, mungkin akan merasa heran. Mengapa Caraka berani bersikap seperti itu padanya? Apakah pemuda itu sudah mempunyai nyawa rangkap!

"Tidak usah banyak bicara, Jari Maut!" bentak Caraka, semakin berani "Cepat katakan padaku, di mana Eyang Bantara! Jangan coba-coba menyembunyikannya! Cepat, sebelum segalanya terlambat! Dan kau akan bernasib seperti si Tarung dan perguruannya!"

Terdengar suara gemeretak dari mulut si Jari Maut mendengar ucapan dan sikap Caraka yang kurang ajar. Tapi, kemarahannya sedikit bercampur keheranan besar! Ancaman Caraka mengisyaratkan seakan-akan pemuda itulah yang telah melakukan pembantaian Perguruan Ayam Emas.

Karuan saja hal itu membuat si Jari Maut bingung. Apakah telinganya tidak salah dengar? Sampai mati pun dia tidak percaya kalau orang seperti Caraka mampu melakukan itu. Dia tahu betul, sampai di mana ketinggian ilmu Caraka. Walaupun diakui Caraka mempunyai ilmu tinggi, tapi paling hebat hanya setingkat dengan Lintar, murid utama Perguruan Ayam Emas! Tak akan mungkin bila mampu membunuh Ki Tarung!

"Rupanya kau mengetahui tentang pembunuhan di Perguruan Ayam Emas itu juga, Caraka?" panci si Jari Maut.

"Hmh..." Caraka mendengus, kemudian melangkah ke belakang beberapa tindak. Tangannya diulurkan menyentuh tangan Gandula, yang sejak tadi hanya menggeram saja. "Aku dan kawanku inilah yang telah menghancur-leburkan Perguruan Ayam Emas itu, Jari Maut!" jelas Caraka penuh nada bangga.

"Hukh!" Tubuh si Jari Maut terhuyung ke belakang seperti diseruduk seekor kerbau. Ucapan Carakalah yang menyebabkannya demikian.

Wigati bergegas menghampiri. "Apa yang terjadi, Ayah...?" tanya Wigati penuh rasa khawatir.

Berbeda dengan Wigati, Arya dan Melati diam saja. Mereka tahu, si Jari Maut hanya mengalami guncangan hati. Sepasang muda-mudi ini lebih memusatkan perhatian pada Gandula, sosok yang mengherankan hati Sepasang mata Caraka berkilat-kilat ketika melihat Wigati, gadis yang teiah membuatnya tergila-gila. Tapi dasar mata keranjang, ekor matanya pun sejak tadi beberapa kali mengerling ke arah Melati. Tampak liar, dan menyimpan nafsu birahi!

"Sekarang ayahmu tidak apa-apa, Wigati. Tapi tak lama lagi, aku tidak berani menjamin keselamatannya!" ejek Caraka.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram keras. Rupanya dia merasa sudah tidak sabar lagi mengetahui berita tempat Eyang Bantara berada.

Caraka terjingkat kaget, karena geraman Gandula menyadarkannya. Maka, dia tidak berani bertele-tele lagi. Memang, dia belum mengenal betul watak Gandula. Jadi, bukan hal yang mustahil apabila makhluk berkepala botak itu tiba-tiba mengamuk. Jangan-jangan, dia pun ikut menjadi korban amukannya.

"Cepat, Jari Maut! Katakan, di mana Eyang Bantara!" teriak Caraka keras.

"Cuhhh...!" Wigati menyemburkan ludahnya ke arah Caraka. Kini gadis itu tidak merasa heran lagi melihat sikap Caraka yang sombong. Dia seperti juga ayahnya, tahu kalau Caraka pasti mengandalkan makhluk aneh yang diakui sebagai teman.

Si Jari Maut menggeram keras. "Sikapmu telah melampaui batas, Caraka. Kau harus diberi pelajaran agar tidak semakin kurang ajar! Dan kalau Donggala, pamanmu itu marah, aku tidak ragu-ragu lagi menghajarnya pula!"

Usai mengucapkan ancaman, si Jari Maut melangkah menghampiri Caraka. Tentu saja Caraka yang telah mengetahui kesaktian ayah Wigati itu, tidak mau mencari penyakit. Buru-buru kakinya melangkah mundur dan berlindung di belakang Gandula.

"Dia tidak mau mengatakan di mana adanya Eyang Bantara, Gandula. Kini semuanya kuserahkan padamu untuk mengurusnya!" kata Caraka, licik.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram keras. Dia murka bukan kepalang terhadap si Jari Maut. Telah didengarnya sendiri, Caraka berkali-kali mengajukan pertanyaan, tapi sama sekali tidak dijawab oleh si Jari Maut. Dan ini sudah membuatnya cukup mempunyai alasan untuk membunuh kakek berpakaian kuning itu.

Si Jari Maut sama sekali tidak merasa gentar. Bahkan sebaliknya, dadanya terasa panas karena hawa amarah yang membakar dada. Sudah bisa diperkirakan, Gandula-lah pelaku pembantaian di Perguruan Ayam Emas. Siapa pun makhluk aneh ini, dan dari mana pun asalnya, sudah tidak terpikirkan lagi. Yang menjadi keinginannya hanya satu.

Membunuh Gandula dan Caraka untuk membalaskan kematian sahabat kentalnya. Si Jari Maut tahu, Gandula pasti bukan tokoh sembarangan. Makhluk berkepala botak itu pasti memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kalau tidak, mustahil Ki Tarung bisa tewas di tangannya. Padahal, kepandaian Ketua Perguruan Ayam Emas itu hanya berselisih sedikit daripadanya. Itulah sebabnya, si Jari Maut bersiap-siap mengeluarkan ilmu andalannya, 'Jari Pengejar Nyawa'!

Kakek tinggi kurus ini menyusun jari-jari tangannya. Jari telunjuk diacungkan, sedangkan jari-jari tangan lainnya dikepalkan. Inilah ilmu 'Jari Pengejar Nyawa'. Wigati, Arya, dan Melati segera menyingkir. Demikian pula Caraka. Mereka memperhatikan pertarungan yang akan berlangsung dengan perasaan tegang, Sementara, Caraka sambil tersenyum simpul juga terus memperhatikan. Jelas dia merasa yakin, Gandula akan keluar sebagai pemenang.

Sementara itu, Arya semakin dilanda rasa heran ketika mengetahui perasaan gelisah yang melandanya semakin besar. Bahkan sudah menjurus ke arah perasaan takut. Siapakah Gandula sebenarnya?

"Apakah ayahmu mengenal orang yang bernama Eyang Bantara, Wigati?" tanya Arya pelan.

"Entahlah, Arya," Wigati menggelengkan kepala. "Tapi aku yakin dia tidak mengetahuinya."

"Apakah makhluk berkepala botak itu kawan Caraka?" Arya kembali bertanya, setelah beberapa saat lamanya tercenung dengan dahi berkernyit.

"Aku baru pertama kali ini melihatnya, Arya. Mengapa?" Wigati malah balik bertanya.

Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu, ia malah menghembuskan napas dalam-dalam. "Aku merasa ada keanehan pada laki-laki berkepala botak itu, Wigati. Dugaanku, Caraka memperalatnya untuk kepentingan dirinya sendiri," jelas Arya. "Dari mulut murid Perguruan Ayam Emas, sempat kudengar kalau Caraka dan kawannya pernah menanyakan tentang orang yang bernama Eyang Bantara. Dan ketika jawaban itu tidak didapat, mereka semua dibantai!"

Wigati terdiam dengan dahinya berkernyit. Jelas, ada sesuatu yang dipikirkannya. Tapi hal itu segera dilupakannya ketika melihat ayahnya telah siap bertarung dengan Gandula.

Arya pun rupanya sudah merasa cukup mengeluarkan uneg-unegnya. Pandangannya dilayangkan ke arah yang sama dengan Wigati. Demikian pula halnya dengan Melati yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar saja.

* * * * * * * *

TUJUH

"Hiaaat…!" Diiringi bentakan keras yang membuat Caraka dan Wigati menutup telinga, si Jari Maut melancarkan serangan. Dia melompat menerjang dengan kedua jari telunjuk meluncur cepat ke arah makhluk berkepala botak itu. Serangkaian serangan bertubi-tubi tampak mengarah ke ubun-ubun. Ada suara mendecit nyaring seperti seekor tikus terjepit ketika jari-jari tangan itu meluncur ke arah sasaran.

"Terimalah kematianmu, Manusia Dungu!" seru Gandula keras, seraya menudingkan jari telunjuk ke tanah.

Untuk yang kesekian kalinya, terjadi peristiwa yang membuat berpasang-pasang mata terbelalak. Keadaan yang dialami si Jari Maut, laksana seekor burung yang tengah terbang di angkasa, kemudian meluncur sebatang anak panah menembus tubuhnya! Namun, terjangan si Jari Maut terhenti secara mendadak. Dan tahu-tahu, tubuhnya meluncur deras ke tanah dengan kepala lebih dulu! Cepat sekali meluncurnya tubuh itu ke tanah!

"Ayah...!"

"Ki...!"

Hampir berbareng, Arya, Melati dan Wigati terpekik. Mereka semua merasa terkejut bukan kepalang melihat kejadian aneh yang menimpa kakek tinggi kurus itu. Memang buat Wigati dan Melati, mereka sama sekali tidak mengerti kejadian yang tengah menimpa si Jari Maut. Tapi tidak demikian halnya dengan Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu sudah bisa memperkirakan, mengapa tubuh si Jari Maut bisa meluncur ke bawah.

Memang Arya pernah mengalami hal seperti itu. Hanya saja, waktu itu saat berlatih dengan gurunya, Ki Gering Langit. Kejadiannya persis seperti yang dialami oleh si Jari Maut.

"Mungkinkah laki-laki berkepala botak ini memiliki ilmu 'Pitunduk'?" tanya Arya dalam hati. Tapi, Dewa Arak tidak sempat berpikir lebih lama lagi. Maka buru-buru dia melompat ke arah si Jari Maut. Maksudnya hendak menyelamatkan kakek tinggi kurus itu sebelum kepalanya menghantam tanah!

Sementara itu, si Jari Maut sendiri dicekam rasakaget yang tidak terperikan. Betapa tidak? Tubuhnya meluncur ke bawah tanpa mampu berbuat apa-apa. Betapapun seluruh ilmu meringankan tubuhnya telah dikerahkan untuk menahan kecepatan luncuran, tetap saja tidak mampu! Tubuhnya terus meluncur ke tanah dengan kecepatan tinggi.

"Hih...!" Saat itulah, pertolongan Dewa Arak tiba. Memang, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak jadi seperti mempunyai sepasang sayap. Sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melakukan gerakan dan lompatan seperti apa pun, dan dalam keadaan yang bagaimanapun.

Tappp...!

Dewa Arak berhasil menangkap pergelangan kaki si Jari Maut. Tapi akibatnya tubuhnya malah ikut terbawa turun! Untung saja secepat dia menangkap pergelangan kaki si Jari Maut, secepat itu pula disetakkannya, sambil melepaskan cekalan. Suara bergemeletuk yang terdengar menjadi pertanda lepasnya sambungan tulang kaki kanan si Jari Maut.

Memang, sentakan Dewa Arak keras bukan main! Namun usaha Dewa Arak ternyata tidak percuma! Walaupun, sentakan itu sama sekali tidak mampu menghalangi luncuran tubuh si Jari Maut namun ternyata nyawanya bisa diselamatkan. Karena sentakan itu telah membuat arah luncuran agak nyerong, sehingga hanya bahu kanan nya saja yang menghantam tanah.

Brukkk...! Keras sekali tubuh si Jari Maut menghantam tanah. Sebuah seringai kesakitan tampak di mulutyna. Tapi si Jari Maut pantang menyerah. Tanpa memperdulikan rasa sakit yang melanda, dia langsung bangkit dan menerkam Gandula.

Kali ini Gandula sama sekali tidak berbuat sesuatu, dan malah seperti membiarkan terkaman lawan. Anehnya, tubuh si Jari Maut mendadak terjengkag ke belakang. Dirasakan ada sebuah kekuatan tak nampak yang membuat kekuatannya membalik sendiri. Di sekitar tubuh Gandula seperti dikungkungi gumpalan karet yang mampu membuat tubuh lawan yang nyerang malah terpental balik!

Maka, seketika tubuh si Jari Maut melayang deras ke belakang, tanpa mampu berbuat sesuatu untuk mematahkan lontaran itu. Semua itu diperhatikan Melati dan Wigati dengan pandangan mata cemas, ngeri, bercampur takjub. Bahkan Arya yang telah berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah pun, menyaksikannya pula.

Wigati yang merasa cemas bukan kepalang melihat keadaan ayahnya, hendak bergerak menolong. Tapi, keburu dicegah Melati.

"Lebih baik diam saja, Wigati. Biarkan Dewa Arak dan ayahmu yang melawannya. Kalau mereka saja tidak mampu menghadapinya apalagi kita?"

Kepala Wigati bagai diguyur seember air es. Langsung disadari kalau Melati benar! Kalau ayahnya dan Dewa Arak saja tidak mampu, apalagi dirinya?! Maka kini gadis itu hanya bisa memperhatikan Dewa Arak yang langsung melesat ke arah si Jari Maut. Jelas, pemuda berambut putih keperakan itu ingin mematahkan kekuatan yang membuat tubuh ayah Wigati terlempar!

Tappp!

Dewa Arak berhasil menangkap tangan si Jari Maut, dan langsung membawanya. Agak sedikit heran hati Dewa Arak ketika menyadari kekuatan yang mendorong tubuh kakek itu tidak seberapa kuat! Namun Dewa Arak cepat menyadari kalau Gandula sama sekali tidak melakukan gerakan penyerangan apa pun. Dan memang, makhluk berkepala botak itu sama sekali tidak menyerang!

"Hup!" Dengan gerakan indah dan manis, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sementara si Jari Maut buru-buru melompat turun.

Sesaat Arya dan si Jari Maut saling berpandangan. Mereka merasa heran, ketika melihat Gandula sama sekali tidak menyerang lagi. Meskipun begitu, keduanya tetap bersikap waspada. Sepasang mata keduanya pun menatap Gandula penuh selidik, dan bersiap-siap menghadapi munculnya serangan mendadak.

"Kau hebat juga, Pemuda Rambut Putih!" kata Gandula, selalu diiringi geraman. "Aku kagum padamu. Maka, kau kuberi kesempatan untuk bertarung denganku dalam keadaan kau siap! Berdua dengan kawanmu pun boleh!"

Arya dan si Jari Maut saling berpandangan. Kini keduanya mengerti, mengapa tidak muncul serangan lanjutannya. Rupanya, Gandula ingin mereka bersiap-siap lebih dulu.

"Kuterima tantanganmu..., Kisanak," sahut Dewa Arak lantang. "Tapi kumohon, kau mau melepaskan orang yang tidak tersangkut dengan urusan ini!"

"Hmrrrhhh...! Apa maksudmu?!" sentak Gandula keras. "Jangan main-main denganku!"

Dewa Arak menggelengkan kepala. "Aku tidak main-main," kata Arya sungguh-sungguh. "Aku hanya ingin kau membiarkan kedua orang wanita itu pergi!"

"Jangan kabulkan permintaannya, Gandula! Wanita-wanita itulah yang bisa kita gunakan untuk mengorek keterangan tentang Eyang Bantara. Dengan adanya wanita itu sebagai sandera, kita bisa membuat mereka bercerita mengenai Eyang Bantara!" seru Caraka buru-buru.

Pemuda berpakaian indah, keponakan Juragan Donggala ini khawatir Gandula akan mengabulkan permintaan itu. Padahal, dia sudah tidak sabar lagi untuk mendapatkan Wigati. Dan yang lebih menggembirakan hatinya, di sana masih ada gadis yang jauh lebih cantik daripada Wigati. Melati!

"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu!" tegas Gandula.

Dewa Arak dan si Jari Maut saling berpandangan. Semula mereka yakin, Gandula akan memenuhi permintaan mereka. Tapi, maksudnya diurungkan oleh ucapan Caraka. Karuan saja hal ini membuat dua tokoh sakti ini khawatir. Mereka tahu, Gandula telah kena diperalat Caraka! Padahal, pemuda berpakaian indah itu adalah seorang yang memiliki watak bejat. Tidak mustahil kalau kekacauan pasti akan timbul.

Sebuah dugaan menyelinap di hati si Jari Maut dan Dewa Arak. Jangan-jangan, tindakan pembantaian di Perguruan Ayam Emas pun terjadi karena keinginan Caraka. Begitu pula dengan kejadian yang akan menimpa si Jari Maut.

Si Jari Maut mempunyai alasan yang lebih kuat. Dia tahu, Caraka memang mempunyai dendam terhadap murid Perguruan Ayam Emas. Terutama sekali pada Lintar. Karena murid kepala Perguruan Ayam Emas itu telah beberapa kali menggagalkan tindak kejahatan Caraka. Tambahan lagi, Lintar lah yang direncanakan menjadi suami Wigati!

Namun keadaan yang tengah dihadapi, memaksa Dewa Arak dan si Jari Maut melupakan pikiran-pikiran yang menggeluti kepala. Maka mereka bersiap-siap mengadakan perlawanan. Si Jari Maut buru-buru mempersiapkan ilmu 'Jari Pengejar Nyawa' andalannya. Sedangkan Arya segera mengambil guci arak yang tergantung di punggung dan kemudian menuangkan ke dalam mulut.

Gluk.... Gluk.... Gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya dalam perjalanan menuju ke perut. Kontan ada hawa hangat yang merayapi perut Dewa Arak, kemudian merayap ke atas kepala. Sikap kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap. Ini menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.

"Hiaaat...?" teriak si Jari Maut keras. Seiring keluarnya teriakan, kakek tinggi kurus itu melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada ulu hati dan pusar lawan. Decitan angin tajam pun kontan terdengar.

Wusss...!

Pada saat yang hampir bersamaan, Dewa Arak pun menerjang Gandula. Tubuhnya melayang udara, dan bersalto beberapa kali. Kemudian, guci yang tergenggam di tangan kanannya diayunkan ke arah kepala Gandula. Apabila mengenai sasaran, sudah bisa dipastikan kalau kepala makhluk aneh akan hancur berantakan.

Kali ini di sekeliling Gandula tidak ada kekuatan aneh yang mampu membuat tubuh si penyerang terlontar kembali. Sehingga, Dewa Arak dan si Jari Maut leluasa melancarkan serangan.

"Pergilah kalian ke neraka!" bentak Gandula. Akibatnya luar biasa bagi Dewa Arak dan si Jari Maut.

Terjangan mereka kontan pupus. Bahkan sebaliknya, tubuh mereka terlempar deras ke belakang! Dewa Arak yang berada di udara, terpental melayang ke belakang, dengan arahnya agak menyerong ke atas. Sedangkan si Jari Maut yang berada terjengkang ke belakang, tapi tidak ke udara seperti Dewa Arak.

"Kang Arya...!" teriak Melati.

"Ayaaah...!" jerit Wigati pula. Hampir berbareng, kedua gadis yang sama-sama cantik manis ini menghambur ke arah Dewa Arak dan si Jari Maut.

"Tangkapkan gadis berpakalan biru untukku, Gandula," kata Caraka bernada perintah.

Gandula hanya menggeram pelan. Jari telunjuk kanannya bergerak pelan, tapi akibatnya, Wigati yang tengah berlari merasa sekujur tubuhnya langsung lemas mendadak! Sekujur otot-otot dan urat-urat syarafnya seperti kehilangan daya. Hasilnya, tubuhnya pun terjerembab ke tanah. Namun demikian, Wigati sempat melihat tubuh ayahnya yang meluncur deras ke arah gundukan batu sebesar gajah. Dan....

Prakkk!

Tanpa sempat bersambat lagi, nyawa si Jari Maut pun pergi meninggalkan raga Darah bercampur otak muncrat-muncrat dari kepalanya yang hancur berantakan. Tubuh itu pun kemudian ambruk di tanah, dan tak bergerak lagi untuk selamanya.

"Ayah...!" Wigati berusaha menjerit keras. Tapi perasaan lemas mendadak yang melanda tubuhnya, ternyata juga mempengaruhi suaranya. Sehingga jeritan yang keluar terdengar seperti keluhan!

"Ha ha ha...!" Caraka tertawa bergelak-gelak. Hatinya merasa gembira bukan kepalang melihat si Jari Maut telah tewas. Dengan langkah lebar-Iebar dihampirinya Wigati yang masih tergolek tak berdaya. "Akhirnya kau kudapatkan juga, Wigati," kata Caraka bernada kemenangan.

Pemuda berpakaian indah itu kemudian mengulurkan tangan. Dan sekali jari tangannya menotok punggung, Wigati pun terkulai. Caraka terpaksa menotok karena Gandula telah memberitahukan, kalau rasa lemas yang melanda Wigati tidak akan berlangsung lama!

"Hup...!" Dengan wajah berseri-seri gembira, diangkatnya tubuh Wigati. Meskipun ada sedikit perasaan kecewa karena Melati tidak berhasil didapatkan.

Memang, gadis berpakaian putih itu telah lenyap ke balik kerimbunan pepohonan dalam usahanya mengejar tubuh Dewa Arak yang melayang jauh ke udara, tak ke tahuan di mana jatuhnya. Kalau menuruti perasaan, Caraka ingin mengejarnya. Tapi dia khawatir tidak akan mampu menandingi Melati. Maka, maksudnya itu diurungkan. Biarlah kali ini hatinya puas dengan hanya berhasil mendapatkan Wigati!

Sementara itu, Gandula hanya mengawasi saja semua kelakuan Caraka. Ada perasaan putus asa yang menyelinap, mengingat orang-orang yang ditemuinya tidak mengetahui Eyang Bantara. Jangankan tempat tinggalnya, namanya pun jarang dikenal. Kini dia hanya menggantungkan harapan pada Caraka yang mengaku tahu sahabat-sahabat Eyang Bantara.

"Mari, Gandula. Kita kembali dulu untuk beristirahat. Nanti kutunjukkan kawan-kawan Eyang Bantara yang lain. Sayang, si keparat Jari Maut tidak menunjukkannya."

Setelah berkata demildan, Caraka melangkah meninggalkan tempat itu. Ada senyum gembira tersungging di bibirnya. Dia merasa gembira berhasil mendapatkan gadis yang diidam-idamkannya selama ini. Sedangkan Gandula hanya menggeram pelan, kemudian melangkah mengikuti Caraka yang telah melangkah lebih dulu.

Sepeninggal Gandula dan Caraka suasana kembali hening. Tidak terdengar lagi suara sedikit pun. Kesunyian menyelimuti tempat itu, sehingga tampak menyeramkan!

* * * * * * * *

Dengan pandangan mata tertuju pada tubuh Dewa Arak yang terus melayang, Melati mengayunkan kakinya mengejar. Beberapa kali kakinya tersandung akar-akar pohon melintang yang menyembul keluar permukaan tanah. Hanya berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi saja, sehingga dia tidak jatuh tersungkur di tanah. Wajah Melati kontan pucat pasi ketika melihat tubuh kekasihnya meluncur ke arah sebatang pohon besar.

"Kang Arya...! Awas... ! Kau akan menabrak pohon besar...!" teriak Melati kalap.

Arya yang sejak tadi melihat Melati memburunya, tentu saja mendengar seruan itu. Dia memang tidak melihat sasaran tempat tubuhnya meluncur, karena luncurannya didahului oleh dengan punggung. Namun apa dayanya? Sejak tadi pun kekuatan yang membuat tubuhnya meluncur telah diusahakan untuk dipatahkan. Tapi, tetap saja dia tidak mampu. Sekarang pun Dewa Arak masih tetap melanjutkan usahanya, walaupun tanpa hasil! Apakah nasibnya akan berakhir di sini?

Arya sudah bisa memperkirakan, apabila tubuhnya menghantam batang pohon itu, pasti akan tewas. Atau paling tidak, akan terluka parah. Tulang-tulang punggungnya akan hancur berantakan karena dia sama sekali tidak bisa mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi tubuhnya.

Sementara Melati hanya bisa memperhatikan semua kejadian itu dengan sepasang mata terbelalak. Gadis itu sama sekali tidak bisa berbuat apa pun untuk menyelamatkan kekasihnya. Karena, tubuh Arya meluncur melewati sebuah sungai yang cukup lebar. Paling tidak, akan membutuhkan waktu beberapa saat, sebelum sampai ke seberang.

Dan andaikata bisa mencapai seberang sungai pun, tubuh Arya pasti sudah menghantam pohon besar itu. Namun meskipun demikian, Melati tidak putus asa. Maka segera dipungutnya potongan kayu yang ada di sekitar shu. Benda-benda itu diperlukannya untuk mencapai seberang.

"Hih...!"

"Hih...!" belum juga Melati mencapai pertengahan sungai, daya lompatannya sudah habis. Melati buru-buru menjauhkan potongan kayu pertama, untuk tempat berpijaknya di atas air. Meskipun tengah sibuk dengan usahanya, Melati masih sempat memperhatikan tubuh Dewa Arak yang terus meluncur deras ke arah pohon besar!

Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, Melati melompat. Tapi seperti yang sudah diduga, belum juga mencapai pertengahan sungai, daya lompatannya habis. Tubuhnya kontan meluncur ke permukaan sungai. Dan sebelum tubuhnya tercebur ke dalam sungai, Melati buru-buru menjatuhkan potongan kayu pertama, tepat di bagian sungai tempat tubuhnya akan terjatuh.

Prattt...!

Begitu kakinya menyentuh kayu itu, Melati langsung menotolkan kaki. Maka, tubuhnya pun kembali melenting ke atas. Dan hal yang sama dilakukan Melati ketika tubuhnya hampir meluncur ke sungai kembali.

Meskipun tengah sibuk dengan usahanya, Melati masih sempat memperhatikan Arya. Hampir sepasang matanya terbelalak ketika melihat tubuh Arya yang tengah meluncur deras ke arah pohon besar, mendadak terhenti dan melayang turun. Sambil melentingkan tubuh kembali sehabis menjejak potongan kayu, Melati mengalihkan pandangan ke arah tempat tubuh Arya meluncur turun.

Kontan bulu tengkuk Melati merinding ketika melihat seorang kakek berpakaian putih bersih berdiri di situ. Kumis, jenggot, dan jambangnya telah memutih semua. Bahkan panjang jenggotnya sampai ke dada! Sekujur tubuh kakek itu tampak seperti mengeluarkan sinar berkilauan! Terutama sekali wajahnya! Bahkan Melati sampai memejamkan mata karena tak kuat memandang wajah kakek itu berlama-lama. Silau!

"Hup...!" Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Melati di seberang sungai, Arya pun hinggap di tanah pula, tepat di depan kakek itu.

"Guru...," sebut Arya sambil memberi hormat. Kini keheranan yang melanda hati Arya lenyap. Memang, semula hatinya merasa heran ketika merasakan luncuran tubuhnya terhenti, lalu meluncur turun. Apalagi ketika dirasakan kepandaiannya mampu dikeluarkan kembali! Tapi setelah mengetahui keberadaan kakek berpakaian putih bersih di situ, keheranannya pun langsung hilang.

Kakek berpakaian putih bersih yang memang tidak lain adalah Ki Gering Langit hanya tersenyum lebar. "Bangunlah, Arya," ujar Ki Gering Langit pelan Arya pun bangkit berdiri.

Dan pada saat itulah, Melati melangkah ragu-ragu menghampiri. Kemudian, gadis itu berdiri di sebelah kekasihnya. "Syukur kau selamat, Kang," ucap Melati, masih bergetar suaranya karena perasaan tegang yang melanda. "Padahal, tadi aku sudah khawatir sekali...."

"Gurulah yang telah menyelamatkanku, Melati," jelas Arya.

Melati pun buru-buru memberi hormat pada Ki Gering Langit. "Terima kasih atas pertolonganmu pada Arya, Ki," kata Melati penuh terima kasih.

"He he he...!" Ki Gering Langit tertawa. Lembut sekali suaranya, sehingga menyejukkan dada. "Guru manapun akan menyelamatkan muridnya selama bisa dilakukan, Melati."

Wajah Melati kontan berubah muram. Ucapan Ki Gering Langit mengingatkannya akan nasib gurunya yang tewas secara mengenaskan. Tapi toh, gurunya yang bernama Ki Julaga itu merasa gembira sebelum mati. Gembira karena murid yang disayanginya berhasil dibujuk untuk menyelamatkan diri, persis seperti ucapan Ki Gering Langit. Teringat akan nasib gurunya membuat Melati teringat akan pesan yang dititipkan kepadanya sebelum kakek itu meninggal dunia.

"Boleh aku bertanya, Ki," tanya Melati sambil menatap wajah guru Arya, tapi pandangannya kemudian dipalingkan lagi karena tak tahan menghadapi sinar-sinar pada wajah itu terlalu lama.

"Tanyakanlah," sambut Ki Gering Langit lembut.

Keberanian Melati semakin membesar mendengar sambutan kakek berpakaian putih bersih itu. Memang, semula dia merasa segan untuk mengajukan pertanyaan. Ada sesuatu dalam diri Ki Gering Langit yang membuat orang merasa segan dan hormat padanya.

"Apakah kau yang bernama Ki Gering Langit, Ki?" tanya Melati, polos.

Di bibir Ki Gering Langit tersungging senyuman ketika Melati mengucapkan pertanyaannya. "Benar, Melati. Aku Ki Gering Langit. Apakah Arya tidak pernah bercerita tentang diriku padamu?" Ki Gering Langit malah balas bertanya. "Padahal padaku, Arya banyak bercerita tentang dirimu."

Ucapan bernada godaan ini membuat wajah Melati memerah. Bahkan Arya pun memaksakan diri untuk berdehem, karena terasa ada sesuatu yang mengganjal di lehernya. Sungguh sama sekali tidak disangka kalau gurunya bisa bercanda pula!

"Pernah, Ki. Arya pernah bercerita tentang dirimu," jawab Melati setelah rasa malunya lenyap "Guruku pun banyak bercerita tentang dirimu, Ki."

* * * * * * * *

DELAPAN

Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala. "Arya pun sudah menceritakannya padaku, Melati. Bukankah gurumu adalah Ki Julaga?" tanya Ki Gering Langit.

"Benar, Ki," jawab Melati sambil menganggukkan kepala. Di dalam hati, Melati merasa heran bercampur kagum. Tampak tidak ada kemarahan, kejengkelan atau dendam baik pada raut wajah maupun nada suara guru Arya. Padahal, Ki Julaga itu adalah pelayan Ki Gering Langit yang telah mengkhianatinya. Dia telah kabur dari tempat tinggalnya dan membawa lari kitab-kitab pusaka. Lalu Melatilah yang menjadi pewaris tunggal dari ilmu-iimu yang dimiliki Ki Julaga. Berarti, Melati terhitung cucu murid Ki Gering Langit.

"Sudah cukup lama aku ingin menemuimu, Ki," kata Melati lagi setelah beberapa saat lamanya terdiam.

"Mengapa kau ingin bertemu denganku, Melati?'" tanya Ki Gering Langit tersenyum dikulum.

Arya bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Melati ingin bertemu dengan Ki Gering Langit? Malahan niat itu, katanya, sudah lama! Untuk apa? Dan mengapa Melati tidak pernah menyatakan hal itu padanya? Dan lagi, seingatnya Melati tidak pernah bertemu dengan Ki Gering Langit (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Tinju Penggetar Bumi). Berbagai pertanyaan bergelayut di benak Arya. Tapi tidak ada satu jawaban pun yang didapatkannya.

"Bukankah waktu itu kau telah bertemu denganku?" tanya Ki Gering Langit.

Arya mengangguk membenarkan ucapan gurunya.

"Waktu itu, aku belum dititipi amanat, Ki," jawab Melati yang membuat Arya dan Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala.

"Jadi..., ada orang yang ingin menyampaikan pesan padaku. Dan kau yang menjadi kurirnya, Melati?" duga KiGering Langit, tetap dengan suara lembut.

Melati menganggukkan kepala. Arya memandang wajah gurunya sekilas. Kini sudah bisa diduga, orang yang telah menyampaikan pesan pada Melati itu pasti Ki Julaga (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Dendam Tokoh Buangan).

"Sebelum meninggal..., guru telah menitipkan pesan padaku untuk meminta maaf padamu, Ki. Dia merasa bersalah karena telah mengkhianatimu...," kata Melati dengan suara serak dan terbata-bata.

Ki Gering Langit mengelus-elus jenggotnya. "Sebenarnya..., aku sudah lama memaafkannya, Melati. Apalagi ketika kutahu, dia sudah menyadari kesalahannya. Tambahan lagi, dia telah berhasil mendidik seorang pendekar wanita yang gagah seperti dirimu. Aku sudah lama memaafkanmu, kalau tidak, mungkin sudah sejak dulu kusuruh Arya untuk menghukumnya," urai kakek berpakaian putih bersih itu panjang lebar.

"Tapi..., dia ingin mendengar kau sendiri yang mengatakan bahwa semua kesalahannya telah kau maafkan, Ki," kata Melati lagi. "Biar hatinya tenang, Begitu katanya, Ki."

"Baiklah," Ki Gering Langit mengalah. "Kalian berdua menjadi saksi atas ucapanku ini. Aku, Ki Gering Langit telah memaafkan semua kesalahan-kesalahan yang dibuat Ki Julaga."

"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Ki," ujar Melati penuh haru karena teringat nasib gurunya kembali. Ki Gering Langit mengulapkan tangannya.

"Tidak perlu berterima kasih, Melati, bahkan kalau kutahu ilmu yang dicurinya malah menimbulkan seorang pendekar wanita sepertimu, aku malah mengizinkannya untuk mencuri kitabku yang lain. Andaikata kitab itu ada!"

Seulas senyum sendu tersungging di bibir Melati. Senyum yang hadir dalam cekaman hati yang masih dilanda kedukaan. Arya buru-buru merangkulnya.

"Kalau saja gurumu masih hidup, tak bisa kubayangkan, betapa besar perasaan gembiranya melihat bakti yang kau berikan padanya, Melati," kata Ki Gering Langit lagi.

Memang, kakek berpakaian putih bersih itu telah mendengar kematian Ki Julaga dari Dewa Arak. Sedangkan Arya sendiri mendengarnya dari Melati. Suasana langsung hening ketika Ki Gering Langit menghentikan ucapannya. Karena, baik Arya maupun Melati tidak memberikan tanggapan.

"Sekarang giliranmu, Arya," kata Ki Gering Langit sambil menoleh ke arah pemuda berambut putih keperakan itu "Katakanlah ganjalan di hatimu."

Arya agak tergagap mendapat pertanyaan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Tapi hanya sebentar saja, karena sesaat kemudian sudah bisa mengendalikan diri.

"Memang ada hal-hal yang ingin kutanyakan, Guru," kata Arya setelah tercenung beberapa saat lamanya. "Mengenai belalang raksasa yang ada di alam gaib." Kemudian, Arya menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai bertemu belalang raksasa.

Ki Gering Langit mendengarkan semua cerita Arya penuh perhatian. Sama sekali cerita murid nya tidak diselak. Namun bukan hanya kakek berpakaian putih itu saja yang mendengarkan cerita Arya. Melati pun ikut mendengarkan. Kini dia pun mengerti, hal-hal aneh yang terjadi sewakru Arya berhasil menewaskan Dedemit Api (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Dalam Cengkeraman Biang Iblis).

"Begitulah ceritanya, Guru," tutur Arya, menyelesaikan ceritanya.

Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala. "Apa yang kau dengar dan kau lihat di dalam mimpimu itu memang benar, Arya. Mimpi itu bukan hanya sebagai bunga tidur. Itu memang cara lain yang bisa kugunakan untuk memberitahukanmu," kalem jawaban Ki Gering Langit.

"Jadi..., belalang raksasa itu benar-benar ada, Guru?" desak Arya ingin tahu.

Ki Gering Langit menganggukkan kepala.

"Dan benarkah belalang raksasa itu bisa kubawa masuk ke dalam diriku. Guru?" tanya Arya lagi meminta kepastian.

"Bukankah kau sendiri telah membuktikannya, Arya?" Ki Gering Langit malah balas bertanya.

Arya menganggukkan kepala. Kini hatinya merasa lega, karena pertanyaan yang sudah lama menggelayuti benaknya telah terjawab.

"Satu hal yang perlu kau tahu, Arya. Kau jangan sembarangan membawa masuk belalang raksasa itu. Lakukanlah hal itu apabila sudah tidak sanggup menghadapi lawanmu!" jelas Ki Gering Langit.

''Akan kuingat-ingat semua nasihatmu itu, Guru," janji Arya.

"Bagus!" puji Ki Gering Langit "Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Arya. Setiap kali kau membawa belalang raksasa itu ke dalam dirimu, kemampuan ilmu 'Belalang Sakti'mu akan bertambah. Baik tenaga dalam, maupun kemampuan jurus-jurus dalam ilmu 'Belalang Sakti'mu. Semakin lama belalang raksasa itu ada di dalam dirimu. semakin banyak ilmu yang akan kau serap."

Kembali sebuah teka-teki yang selama ini menggelayuti benak Arya, terjawab. Tidak heran jika pada saat itu dia mampu mengalahkan Dedemit Salju. Padahal, Dedemit Salju belum tentu kalah menghadapi Dedemit Api. Sedangkan Dewa Arak menghadapi Dedemit Api tanpa bantuan belalang raksasa, pasti akan roboh.

"O ya, Arya. Ada sebuah hal lagi yang ingin kuberitahukan padamu," kata Ki Gering Langit lagi.

"Mengenai lawan yang tadi kau hadapi."

"Ada apa dengan lawanku, Guru?"

"Dia bukan manusia biasa, Arya," jawab kakek berpakaian putih bersih itu. "Dia merupakan gabungan antara makhluk alam gaib dengan manusia biasa. Ibunya, makhluk alam gaib. Entah itu berupa siluman, jin, atau dedemit, aku kurang jelas. Dan ayahnya adalah manusia biasa."

"Ah...!" Hampir berbareng Arya dan Melati terpekik keras.

"Dari mana kau mengetahui kalau lawanku itu adalah makhluk alam gaib. Guru?" tanya Arya ingin tahu.

Ki Gering Langit tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah terdiam beberapa saat lamanya. "Pertama kali, adalah kejadian-kejadian aneh pada alam. Apabila tidak ada sesuatu yang menggemparkan, alam tidak akan menunjukkan gejala-gejala seperti itu," jawab Ki Gering Langit. "Dan yang kedua, ibu dari lawanmu datang menemuiku. Dia menceritakan semuanya."

"Bagaimana mungkin, manusia dan makhluk halus bisa kawin dan mendapatkan keturunan, Ki?" tanya Melati, heran bercampur ingin tahu.

"Kalau menurut sewajarnya tidak mungkin, Melati. Tapi karena kedua-duanya menyimpang, yahhh..., terjadilah hal seperti itu. Menurut berita yang kudapatkan, seorang penduduk yang bernama Bantara ingin memperoleh kedudukan, kekayaan, dan juga ilmu pengobatan. Dia bertapa beberapa lamanya, lalu menggauli seorang makhluk gaib yang berwujud binatang."

Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak. "Bantara sama sekali tidak mengetahui kalau kejadian itu menyebabkan makhluk dari alam gaib itu hamil, dan akhirnya melahirkan anak berjenis laki-laki. Setelah besar, anak campuran itu kemudian menanyakan ayahnya pada sang Ibu. Hal itu karena dia memiliki keanehan ketimbang makhluk lainnya."

Kembali Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak, untuk mengambil napas. Sementara, Melati dan Arya tetap mendengarkan dengan perasaan semakin tertarik.

"Semula sang Ibu tidak memberitahukannya. Tapi karena Gandula terlalu mendesak, akhirnya diberitahukannya juga. Akibatnya, seperti ini. Gandula melakukan pencarian terhadap ayahnya secara membabi buta."

"Lalu..., Eyang Bantara itu sekarang di mana. Guru?" tanya Arya ingin tahu.

"Hhh...!" Ki Gering Langit menghela napas berat. Karuan saja hal ini membuat Arya dan Melati merasa heran danmenduga-duga. Apakah telah terjadi sesuatu terhadap Eyang Bantara?

"Eyang Bantara telah meninggal dunia sekitar seratus tahun yang lalu, Arya."

"Ahhh...!" Hampir berbareng, Arya dan Melati terpekik kaget. "Mengapa Gandula sama sekali tidak mengetahui hal itu?" tanya sepasang muda-muda itu dalam hati.

"Gandula sama sekali tidak tahu kalau perbedaan waktu di alam gaib dengan di alam nyata sangat jauh. Satu hari disana, mungkin sama dengan sepuluh tahun di sini," jelas Ki Gering Langit ketika melihat keheranan yang membayang di wajah Arya dan Melati.

Kontan kepala Arya dan Melati terangguk-angguk. Perasaan bingung yang melanda pun kontan lenyap. Yang tinggal hanya perasaan kasihan terhadap Gandula. Sebab, usaha pencariannya ternyata sia-sia!

"Kalau begitu, aku harus memberitahukan hal ini pada Gandula, Guru," kata Arya mengambil keputusan.

"Aku tidak yakin Gandula akan mendengarkan ucapanmu, Arya," sahut Ki Gering Langit. "Keinginannya untuk bertemu ayahnya terlalu menggebu-gebu. Aku yakin, dia tidak mau mendengarkan ucapan apapun selain pemberitahuan tempat tinggal ayahnya."

Arya langsung terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan gurunya.

"Meskipun begitu, memang lebih baik kau memberitahukannya dulu, Arya. Barangkali saja Gandula bisa sadar. Apabila tidak, baru kau harus menunaikan tugasmu selaku seorang pendekar. Memberantas semua kekacauan yang terjadi di muka bumi, sebatas kemampuanmu!" tandas Ki Gering Langit.

Arya menganggukkan kepala, pertanda siap memenuhi perintah itu. Tapi ternyata anggukan kepala pemuda berambut putih keperakan itu terlihat kaku. Melati tentu tahu sebabnya. Dewa Arak sama sekali tidak berdaya menghadapi Gandula!

"He he he...!" Ki Gering Langit tertawa terkekeh. Rupanya masalah yang tengah melibat muridnya diketahuinya. "Kau merasa kesulitan untuk menghadapinya, Arya?"

"Benar, Guru," sahut Arya sambil menganggukkan kepala. "Dia memiliki ilmu yang luar biasa. Tanpa susah payah, dia mampu membuatku tidak berdaya. Ilmunya mengingatkanku akan ilmu 'Pitunduk' milik Guru."

Ki Gering Langit menganggukkan kepala. "Memang begitulah makhluk-makhluk alam gaib, Arya. Mereka banyak memiliki keistimewaan. Tapi, percayalah. Kau akan bisa menghadapinya. Bahkan mungkin bisa mengalahkannya," tegas Ki Gering Langit, bernada yakin.

Arya dan Melati saling pandang. "Bagaimana aku bisa menghadapinya, Guru? Apakah Guru akan menurunkan ilmu lagi padaku?"

Ki Gering Langit menggelengkan kepala. "Ilmu yang kau miliki sudah cukup untuk membuat kau mampu mengalahkannya, Arya," jawab kakek berpakaian putih bersih itu.

"Aku sudah mengerahkan seluruh kemampuanku sewaktu menghadapinya, Guru. Tapi, dengan mudah aku berhasil ditundukkannya," bantah Arya.

"Kau hanya menggunakan ilmu-ilmu kasar, Arya. Padahal apabila menghadapi ilmu gaib, kita harus menghadapi dengan ilmu yang sama. Dan apabila tidak, kita harus mencari kelemahan dari ilmu itu," papar Ki Gering Langit.

"Tapi bagaimana aku akan bisa menemukan kelemahannya. Guru? Sebelum aku berbuat sesuatu, makhluk itu sudah bisa membinasakanku dengan ilmu ajaibnya itu!"

Ki Gering Langit tersenyum lebar. "Akan kuterangkan sejelas-jelasnya agar kau mengerti, Arya. Begini. Gandula adalah keturunan dua jenis makhluk yang berbeda. Dia bisa hidup di alam gaib dan alam nyata, karena mempunyai raga di samping jiwa. Berbeda dengan makhluk halus lainnya," urai Ki Gering Langit panjang lebar. "Sebagai keturunan makhluk alam gaib, dia pun memiliki berbagai keistimewaan yang dimiliki leluhurnya. Kemampuan-kemampuan yang tidak masuk akal manusia!"

Ki Gering Langit menatap wajah Arya dan Melati berganti-ganti untuk mengetahui apakah sepasang muda-mudi itu mengerti atau tidak pada penjelasannya. Tapi setelah sesaat ditunggu, ternyata tidak ada pertanyaan yang muncul.

"Seperti juga Gandula, kau memiliki raga kasar dan raga halus. Hanya saja, raga halusmu tidak memiliki keistimewaan seperti halnya Gandula. Sehingga, kau bisa dipecundanginya. Raga halusmu perlu memiliki kemampuan agar bisa menghadapi ilmu-ilmu mengerikan milik Gandula. Memang, bisa saja aku memberi sebagian ilmu-ilmu gaib yang kumiliki padamu, Arya. Tapi..., hanya ilmu-ilmu gaib yang layaknya dimiliki manusia biasa saja. Tentu saja tidak akan berarti saat menghadapi Gandula."

"Kalau begitu..., bagaimana Kang Arya akan bisa menghadapi makhluk itu, Ki?" tanya Melati tanpa menyembunyikan perasaan cemasnya.

"Kau bisa menduga, ke mana harus mencari bantuan untuk raga halusmu itu?" Ki Gering Langit malah melontarkan pertanyaan itu kembali pada Arya.

Arya tercenung. Dahi pemuda berambut putih keperakan ini tampak berkernyit, pertanda tengah berpikir keras untuk menjawab pertanyaan gurunya. Sekelebatan dugaan, melintas di benaknya. "Apakah..., aku harus membawa masuk belalang raksasa itu ke dalam diriku, Guru?" terka Arya.

"Tepat!" Ki Gering Langit mengacungkan jempolnya.

"Jadi..., belalang raksasa itu juga memiliki kemampuan seperti yang dimiliki Gandula, Guru?" tanya Arya setengah tak percaya.

"Meskipun belalang raksasa itu tidak berwujud raga halus seperti yang dimiliki Gandula, tapi karena berada di alam gaib, belalang itu pun mempunyai banyak keistimewaan. Tapi mengenai mampu tidaknya mengalahkan Gandula aku tidak tahu pasti!" jawab Ki Gering Langit, tak mau memberi kepastian. Arya mengangguk-anggukkan kepala.

"O ya, Ki," celetuk Melati tiba-tiba. "Bukankah apabila belalang raksasa itu masuk ke dalam tubuh Kang Arya, maka kemampuannya ada yang tertinggal di tubuh Kang Arya. Apakah ilmu-ilmu gaibnya pun ikut pula diwarisi Kang Arya."

Ki Gering Langit menggelengkan kepala. "Kemampuan gaib belalang raksasa itu tidak akan diwarisi Arya. Kemampuan yang diwarisinya hanya bersifat menambahi kemampuan yang sudah dimiliki Arya. Jadi, mana mungkin Arya akan menerima cipratan kemampuan gaib karena tidak memiliki dasarnya. Dia hanya mendapat tambahan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, dan semakin sempurnanya ilmu 'Belalang Sakti'. Di samping itu, Arya pun jadi seperti memiliki indera keenam. Dia bisa lebih dulu mengetahui akan adanya sebuah bahaya, ketimbang orang lain," urai Ki Gering Langit panjang lebar.

Melati tidak bertanya lagi. Sedangkan Arya kini mengerti, mengapa tadi perasaan gelisahnya timbul ketika bertemu Gandula. Indera keenamnya yang pada binatang disebut naluri, ternyata telah menajam. Sehingga, dia bisa mengetahui adanya bahaya mengancam.

"Apakah kalian berdua sudah mengerti?"

"Mengerti, Guru," jawab Arya.

"Mengerti, Ki," sahut Melati tak mau kalah.

"Kalau begitu..., aku pergi dulu. Selamat bertugas, Arya."

Arya dan Melati bergegas memberi hormat, sebelum akhirnya tubuh Ki Gering Langit raib dari pandangan.

* * * * * * * *

Riuh suara makian mengusik keheningan malam yang sudah mendekati dini hari. Suara itu ternyata berasal dari salah sebuah kamar di dalam sebuah pondok. Di dalam kamar itu, ternyata ada dua sosok tubuh manusia yang tengah bergumul di balai-balai. Sementara makian-makian itu keluar dari mulut orang yang digumuli.

Dia adalah seorang gadis berwajah cantik jelita dan berambut dikepang. Wajah gadis itu cukup cantik. Meskipun sepasang matanya tampak merah dan agak membengkak, pertanda habis menangis. Beberapa kali mulutnya yang berbentuk mungil dan indah itu mengeluarkan keluhan-keluhan memohon belas kasihan, di samping makiannya. Tapi sambutan yang diterimanya adalah ciuman dan remasan bertubi-rubi di sekujur tubuhnya, disertai dengus napas memburu yang menerpa wajahnya. Sampai akhirnya....

"Akh...!" Gadis berambut kepang yang tak lain dari Wigati itu menjerit tertahan. Dan beberapa saat kemudian, sosok tubuh di atasnya yang bukan lain adalah Caraka segera bangkit. Sebuah seringai kepuasan tersungging di bibirnya.

"Biadab! Terkutuk kau, Caraka! Akan kurobek-robek jantungmu dan kuhirup darahmu!" maki Wigati kalap. Sepasang mata gadis berambut dikepang itu memancarkan hawa kebencian yang memuncak. Kalau saja, tidak tertotok lemas, mungkin Caraka sudah diterjangnya.

"He he he...!" Caraka hanya tertawa terkekeh-kekeh, meskipun bulu tengkuknya sempat meremang mendengar ancaman itu. Sorot mata, wajah, dan nada suara, membuktikan Wigati tidak main-main dengan ancamannya. Tapi, semua itu tidak dipedulikannya. Dia kini malah beranjak meninggalkan ruangan itu.

Belum juga kakinya mencapai pintu, terdengar bentakan yang membuat Caraka terlonjak kaget. Memang, dia mengenal siapa pemilik suara itu. Suara yang baru saja didengarnya, yang ternyata Dewa Arak!

"Hoooi...! Caraka! Keluar kau...! Kembalikan Wigati...!"

Karuan saja hal itu membuat Caraka kelabakan. Dia tahu, dirinya bukan tandingan Dewa Arak yang telah disaksikan sendiri kesaktiannya. Tapi, hatinya kemudian tenang ketika teringat akan Gandula. Bukankah makhluk aneh yang memiliki kemampuan ajaib itu berada di ruang depan?

Teringat akan Gandula, membuat Caraka tidak ragu-ragu lagi melangkah keluar dari ruangannya. Dan memang, ketika daun pintu dibuka, terlihat Gandula tengah melangkah keluar. Jelas, makhluk berkepala botak itu akan menghampiri Dewa Arak! Maka, buru-buru dia bergegas mengejar untuk membarengi langkah Caraka.

Di depan pondok yang letaknya terpisah dari pondok-pondok lainnya, berdiri dua sosok tubuh yang memang tak lain dari Dewa Arak dan Melati. Memang, sepeninggal Ki Gering Langit, Melati dan Arya langsung mencari jejak Gandula. Tidak sulit menemukannya, karena makhluk dari dunia asing itu memang memiliki ciri-ciri yang menyolok. Di sepanjang perjalanan, Arya tidak lupa memusatkan perhatian pada belalang raksasa, agar nanti tidak mengalami kesulitan untuk membawanya masuk ke dalam tubuhnya.

"Gandula...!" seru Arya ketika Gandula dan Caraka telah beberapa langkah melewati ambang pintu. "Aku membawa berita tentang orang yang kau cari!"

Tepat seperti yang sudah diduga, Gandula langsung kelabakan. Makhluk dari dunia asing ini menggeram keras. "Katakan, di mana Eyang Bantara!" bentak Gandula tidak sabaran.

"Eyang Bantara, ayahmu, telah lama tewas, Gandula. Kau terlambat datang. Dan...."

"Hmrrrhhh...!" Gandula meraung seperti binatang buas terluka. Telunjuk tangan kanannya langsung ditudingkan ke bawah. Maka, hebat akibatnya bagi Dewa Arak. Sekujur tulang-tulangnya bagai lolos dan tubuhnya terasa lemas bukan kepalang. Maka seperti karung basah, tubuhnya ambruk ke tanah!

"Kang...!" jerit Melati kaget. Dan kekagetan Melati berganti kekhawatiran ketika melihat Gandula menghampiri Arya dengan langkah lebar.

Geraman-geraman kemurkaan terdengar jelas dari mulutnya. Memang, Gandula merasa murka bukan kepalang mendengar ucapan Dewa Arak. Dan karena kemarahan yang amat sangat, membuatnya mengambil keputusan untuk menghabisi nyawa Dewa Arak.

Srattt...! Melati langsung mencabut pedangnya ketika melihat bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan kekasihnya.

"Hiaaat..!" Didahuiui pekikan melengking nyaring, Melati menerjang Gandula. Pedang di tangannya mengeluarkan suara menggerung seperti naga murka ketika diluncurkan ke arah leher Gandula.

Gandula yang tengah murka kembali menudingkan jari telunjuknya. Seketika itu pula, luncuran tubuh Melati kontan terhenti, dan ganti meluruk ke bawah. Melati merasakan seluruh tenaganya langsung habis. Bahkan sekujur otot-otot dan tulang-tulangnya loyo, tak bertenaga.

Sementara itu, Dewa Arak memang dilanda perasaan lemas secara mendadak ketika Melati menyerang Gandula. Tapi apa dayanya? Jangankan berteriak melarang, menggerakkan bibir saja tidak mampu! Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya memusatkan pikirannya untuk membawa belalang raksasa ke dalam tubuhnya.

"Hmrrrhhh...!" Gandula menggeram keras. Langkahnya kontan terhenti. Sepasang matanya menatap ke kejauhan. Rupanya, dia mengetahui ada 'makhluk gaib' lain yang muncul.

Sesaat kemudian, Arya merasakan angin pelan tapi dingin menggigilkan, menghembus tubuhnya. Dalam sekejapan saja, sekujur bulu-bulu di tubuhnya kontan bangun. Dewa Arak tampak menggigil.

"Arrrggghhh...!" Dengan geraman aneh yang belum pernah keluar dari mulutnya selama belum mengenal belalang raksasa, Dewa Arak membuka mulut. Kemudian, diambilnya guci arak dari punggung, dan dituangkan ke atas kepala.

Gluk... Gluk... Gluk....!

Suara tegukan kasar terdengar dari mulut Arak ketika arak itu melewati kerongkongannya. Memang, kali ini tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan ini meminum araknya dengan kasar. Sebagian araknya berceceran di sekitar mulut dan di tangan tapi segera diusapnya dengan punggung tangan.

Ketika hawa panas yang semula muncul di perut perlahan naik ke atas kepala, keadaan kaki Dewa Ara pun tidak tetap lagi. Oleng sana, oleng sini. Ini menjadi pertanda, Dewa Arak telah siap dengan ilmu 'Belalang Mabuk'nya.

"Hmrrrhhh...! Binatang jelek! Mengapa kau membela orang yang menjadi lawanku?! Apakah kau pun ingin kumusnahkan?!" ancam Gandula seraya menatap Dewa Arak.

Memang, Gandula tahu di dalam tubuh Dewa Arak telah bersemayam belalang raksasa dari alam gaib. Maka dia pun menegurnya. Bahkan sebelum binatang itu masuk, Gandula telah melihat kedatangannya.

Berbeda dengan Gandula yang melihat belalang raksasa itu mulai dari awal kedatangannya, Caraka tidak demikian. Pemuda berpakaian indah itu melihat belalang raksasa itu telah masuk ke dalam tubuh Dewa Arak, tapi tidak terlihat jelas. Caraka hanya melihat bayang-bayang samar, tapi cukup jelas di belakang Dewa Arak!

Usai mengucapkan kata-kata ancaman itu, Gandula segera menudingkan telunjuk ke bawah. "Pergilah ke neraka bersama pemuda itu, Binatang Jelek!" bentak Gandula keras.

Seketika itu pula, Dewa Arak merasa sebuah kekuatan raksasa yang tidak tampak menekannya ke bawah. Rupanya, Gandula ingin membuat kepala lawannya hancur menghantam tanah.

Di saat gawat itu, tiba-tiba dalam diri Dewa Arak timbul keinginan untuk membuka mulut. Keinginan itu begitu kuat, sehingga membuat Dewa Arak mengikutinya. Ketika mulut Dewa Arak membuka, terdengar geraman keras dari mulutnya. Keras sekali! Tapi anehnya, kekuatan yang menekan tubuh pemuda itu langsung hilang! Jelas, geraman itulah yang telah memunahkan kekuatan yang hampir saja menghancurkan kepala Dewa Arak!

"Keparat!" Gandula memaki keras melihat Dewa Arak berhasil melepaskan diri dari pengaruh ilmunya. Diiringi geraman menyeramkan tangannya kembali bergerak. Kali ini telunjuknya ditudingkan ke atas.

Tapi untuk yang kedua kalinya pengaruh serangan itu lenyap ketika Dewa Arak mengeluarkan geraman keras. Memang, sekarang pemuda berambut putih keperakan itu tidak merasa ragu-ragu lagi untuk mengikuti keinginan yang muncul mendadak. Dia tahu keinginan itu muncul dari belalang raksasa!

Gandula menggeram keras. Disadari, tidak ada gunanya lagi melancarkan serangan seperti itu. Serangan anehnya yang didasari pada ucapan dan pemusatan pikiran, dipunahkan oleh belalang raksasa dengan suara pula! Kini, Gandula menyerang tanpa menggunakan ilmu ajaibnya! Dan ternyata, makhluk gaib ini juga memiliki kepandaian silat. Ilmu meringankan tubuhnya amat tinggi! Begitu pula kepandaian dan mutu ilmu silatnya!

Untung saja yang dihadapinya adalah Dewa Arak! Meskipun masih muda tapi memiliki kesaktian luar biasa! Maka pertarungan pun jadi berlangsung sengit. Pertarungan antara dua makhluk yang berasal dari alam yang berbeda itu berlangsung sengit bukan kepalang.

Deru angin keras dari pergerakan setiap serangan keduanya, diselingi geraman yang berbunyi berbeda satu sama lain. Dan juga, diiringi terdengarnya tegukan arak ketika di tengah-tengah pertarungan, ketika Dewa Arak menenggak araknya.

Caraka memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang. Sama sekali tidak diduganya kalau Dewa Arak mampu mengimbangi Gandula. Karena sibuk memperhatikan pertarungan, Caraka sama sekali tidak melihat ketika Melati bangkit dan bergerak mengendap-endap menuju pondok. Memang, Melati memutuskan untuk menyelamatkan Wigati lebih dulu.

Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, putri angkat Raja Bojong Gading itu berhasil masuk ke dalam rumah. Lalu, dia perlahan-lahan melangkah menghampiri sebuah kamar yang pintunya tertutup rapat. Kriiit…!

"Ikh...!" Melati menjerit kaget ketika melihat sesosok tubuh yang terlentang di balai-balai tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh. Apalagi, ketika mengetahui kalau sosok tubuh itu adalah Wigati. Dengan langkah gemetar Melati melangkah menghampiri. Sedangkan Wigati hanya menatap Melati dengan air mata berlinang. Kalau saja Melati bukan gadis berwatak keras, mungkin sudah terisak-isak karena terharu melihat malapetaka yang menimpa Wigati.

Meski dengan tangan gemetar, Melati masih mampu untuk membebaskan totokan pada Wigati! Gadis berambut kepang itu langsung memeluk Melati ketika pengaruh totokannya telah punah. Melati pun balas memeluk dengan perasaan tak karuan.

"Melati...!" jerit Wigati pilu. Dada Wigati tampak berguncang-guncang karena isak tangis yang melanda. Sementara, Melati mengelus-elus rambut gadis itu. Putri angkat Raja Bojong Gading itu merasa terenyuh sekali pada Wigati. Tapi hanya sesaat saja Wigati larut dalam kesedihan. Dilepaskan pelukannya pada Melati.

"Terima kasih atas pertotonganmu, Melati," ucap Wigati tersendat karena bercampur isak. "Sekarang aku harus membalaskan sakit hati ini pada jahanam keparat itu!"

Setetah berkata demikian, Wigati bergegas mengenakan pakaiannya, lalu melesat keluar. Sedangkan Melati mengikuti di belakangnya.

"Caraka! Iblis keji! Rasakan pembalasanku!" Wigati langsung memaki ketika tiba di luar pintu, dan langsung menerjang dengan sepasang pisaunya. Karuan saja seruan itu membuat Caraka terkejut dan langsung menolehkan kepala. Keterkejutannya semakin bertambah ketika melihat Wigati tengah melesat ke arahnya dengan sepasang pisau siap untuk menjagal dirinya!

Dengan agak gugup, Caraka mengelakkan serangan itu dan langsung mencabut senjata andalannya, berupasepasang golok pendek! Dan dengan kedua senjata itu di tangan, dihadapinya serangan membabi buta Wigati! Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam pertarungan mati-matian!

Dua kancah pertarungan mempertahankan nyawa itu disaksikan seorang penonton saja, yakni Melati! Gadis berpakaian putih ini beberapa kali harus menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan jalannya pertarungan kedua belah pihak. Sebuah senyum lega tersungging di mulut Melati ketika melihat Wigati berhasil mendesak Caraka. Memang, kepandaian putri si Jari Maut itu berada di atas lawannya. Wigati unggul dalam segala hal. Tidak aneh apabila dalam tiga puluh jurus saja, Caraka terdesa hebat. Dan akhirnya pada jurus ke tiga puluh dua....

"Akh...!" Caraka roboh tersungkur ketika pisau Wigati menembus lambungnya. Dan belum sempat keponakan Juragan Donggala ini berbuat sesuatu, Wigati melesat memburu. Dan dengan amarah meluap-luap, sepasang pisau itu dihunjamkan bertubi-tubi ke sekujur tubuh Caraka. Maka seketika lolong kesakitan terdengar berkali-kali dari mulut Caraka, tapi Wigati bagaikan sudah kesetanan. Pisaunya terus dihunjamkan.

Melati sampai menutup matanya, tidak sanggup lagi melihat tubuh Caraka hancur tercacah. Dan begitu tubuh Caraka telah tidak berbentuk lagi, Wigati baru menghentikan perbuatannya. Dengan disertai keluhan tertahan, gadis itu pergi dari situ.

"Wigati...!" panggil Melati. Tapi Wigati terus saja berlari, seolah-olah tidak mendengar panggilan itu. Sebentar kemudian tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.

Melati bermaksud mengejar Wigati, tapi kemudian mengurungkan niatnya ketika mendengar dua buah geraman yang berbeda, tapi sama-sama mengandung getaran kuat. Sehingga membuatnya tidak kuasa berdiri karena lututnya kontan lemas. Tapi putri angkat Raja Bojong Gading itu masih mampu untuk menolehkan kepala ke arah asal suara geraman yang tak lain adalah pertarungan antara Dewa Arak dan Gandula.

Saat itu, pertarungan antara Dewa Arak melawan Gandula telah mencapai seratus delapan puluh jurus. Dari kedua kepala kedua tokoh sakti itu pun tejah mengepul asap, ketika keduanya sama-sama melompat menerjang lawan!

Wuttt, wuttt..! Dukkk...!

"Aaargh...!"

Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Kedua sampokan tangan Gandula berhasil dielakkan Dewa Arak dengan menundukkan kepala. Sebaliknya tendangan kaki kanan Dewa Arak langsung mengenai telak lawan. Tak pelak lagi, tubuh Gandula pun terlempar disertai semburan darah dari mulutnya. Nyawa Gandula melayang sebelum tubuhnya ambruk ke tanah menimbulkan suara berdebuk!

"Sebelum kedua kaki Dewa Arak menyentuh tanah, belalang raksasa itu melesat keluar dari tubuhnya.

"Kang Arya...!" Didahului seruan dari hati yang lega, Melati menghambur ke arah Arya dengan tangan terkembang. Arya pun menyambutnya. Sesaat kemudian, keduanya sudah saling peluk penuh rasa syukur.

Perlahan-lahan sepasang pendekar muda itu melepaskan pelukannya, dan memandang ke arah lenyapnya tubuh Wigati yang pergi dengan hati hancur. Ada rasa iba yang amat sangat dalam hati sepasang pendekar muda itu.

Sementara itu, malam telah mulai mendekati dini hari. Keruyuk ayam jantan di kejauhan telah mulai terdengar. Tak lama lagi, sang surya akan menampakkan diri.

SELESAI

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.