Misteri Dewa Seribu Kepalan
SATU
SANG Surya menyorot garang ke bumi. Saat ini, bola api raksasa itu memang telah berada tepat di atas kepala. Dan siraman cahayanya jatuh tepat ke persada bagai hendak membakar apa saja di bawahnya."Hhh!" Seorang pemuda berpakaian coklat mendongakkan kepala ke atas sebentar. Dengan sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat, ditatapnya kemilau bola apa raksasa di langit. Tapi hanya sekejap saja hal itu dilakukannya, karena sesaat kemudian matanya telah silau, tak mampu menentang matahari. Pandangannya kini beralih ke arah jalan di hadapannya.
Pemuda itu bertubuh kekar, berotot, dan berisi. Langkah kaki maupun sorot matanya menunjukkan kalau dirinya bukan orang sembarangan. Buktinya, langkahnya terlihat gesit. Sedangkan sepasang matanya tampak berkilat-kilat tajam.
Sambil memanggul sebuah buntalan kain cukup besar yang tersampir di ketiak, pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun itu melangkah cepat. Pandangannya terus tertuju ke depan, karena beberapa tombak di depan sana tampak tembok batas sebuah desa. Ke sanalah, pemuda berpakaian coklat tengah menuju.
Tak lama kemudian, pemuda berpakaian coklat itu berhenti begitu telah memasuki mulut desa. Dan langsung saja pandangannya beredar berkeliling. Tapi, yang dilihatnya hanya kesunyian belaka. Sepanjang jalan utama desa itu tampak lengang.
Memang tidak aneh kalau suasana di sekitar tempat itu sepi, karena suasana saat ini panas bukan kepalang. Tampaknya orang-orang lebih suka beristirahat di tempat-tempat yang teduh, daripada di jalan yang panas berdebu.
Mulut pemuda berpakaian coklat itu menyunggingkan senyum kecil ketika menyadari hanya dirinya yang berada di tempat terbuka dalam suasana seperti ini. Masih dengan senyum di bibir, kakinya kembali melangkah untuk menyusuri jalan utama desa.
Pemuda berpakaian coklat itu terus saja melangkah sambil mengedarkan pan-dangan ke kanan kiri. Tapi yang dijum-painya hanya rumah-rumah penduduk yang pintunya tertutup rapat. Hanya jendela nya saja yang terbuka. Tanpa mempedulikan semua itu, kakinya terus saja melangkah.
Entah, sudah berapa lama pemuda berpakaian coklat itu melangkah. Dia sama sekali tidak menghitung nya. Apalagi ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah kedai. Maka, wajahnya berseri-seri. Sepasang matanya pun bersinar-sinar. Raut kegembiraan terlihat pada wajahnya. Memang, pemuda berpakaian coklat itu telah merasa lapar dan haus bukan kepalang.
Dengan langkah agak bergegas, dihampirinya kedai itu. Hanya dalam beberapa langkah, dia telah berada di ambang pintu kedai. Di tempat ini langkahnya dihentikan. Lalu, sepasang matanya beredar ke seluruh penjuru bagian dalam kedai.
Dan rupanya, kedai itu telah dipenuhi orang, sehingga hampir semua meja telah terisi. Untung masih tersisa sebuah meja. Maka, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melangkah menuju ke sana.
"Hhh!" Sambil menghembuskan napas lega, pantatnya dihempaskan ke kursi. Namun baru saja punggung pemuda berpakaian coklat itu bersentuhan dengan sandaran kursi, seorang laki-laki setengah tua dan bertubuh kecil kurus me-langkah menghampiri.
"Pesan apa, Den?" tanya laki-laki kecil kurus yang ternyata pemilik kedai.
"Singkong goreng, pisang rebus, dan teh hangat, Ki," sebut pemuda berpakaian coklat itu.
Laki-laki kecil kurus itu pun berlalu untuk menyiapkan pesanan tamunya. Dan tak lama kemudian, dia telah kembali sambil membawa baki yang berisi pesanan.
"Apa nama desa ini, Ki?"
Pemuda berpakaian coklat mengajukan pertanyaan di saat laki-laki pemilik kedai tengah meletakkan makanan dan minuman ke atas meja.
"Desa Sawang," jawab laki-laki kecil kurus itu. "Memangnya kenapa, Den?"
"Ah, tidak ada apa-apa. Hanya tanya saja, Ki," sahut pemuda itu buru-buru.
"Kalau ada yang ingin ditanyakan, katakan saja, Den. Dengan senang hati akan kujawab pertanyaan itu, kalau aku bisa menjawabnya," ujar lelaki kecil kurus itu, setelah selesai meletakkan semua pesanan.
"Apakah tawaran seperti itu kau ajukan pada setiap orang yang bersantap di sini, Ki?" tanya pemuda berpakaian coklat itu.
"Tidak, Den. Tawaran ini hanya ku ajukan pada orang-orang yang menarik hatiku," jawab pemilik kedai jujur.
"Jadi..., aku menarik hatimu, Ki?" Laki-laki kecil kurus itu langsung menganggukkan kepala.
"Wajahmu mengingatkan ku pada orang yang keluarganya telah banyak berjasa pada desa ini," lirih jawaban yang keluar dari mulut pemilik kedai.
Sementara, pemuda berpakaian coklat itu mulai mengupas ujung kulit pisangnya. "Memang, paman guruku sendiri mengatakan kalau aku mempunyai wajah yang mirip ibuku. Sayang, aku lupa nama ibuku. Aku masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui nama ibu."
Wajah laki-laki kecil kurus itu kontan berubah hebat. Tapi, pemuda ber-pakaian coklat itu seperti tidak mengetahuinya. Bahkan terus saja melanjutkan ucapannya.
"Malah, nama ayahku sendiri aku tidak tahu. Untungnya, aku sering mendengar kalau julukannya disebut-sebut orang..., Pendekar Tombak Sakti, demikian julukannya. Dan...."
"Kau...?! Kau...?!" sepasang mata laki-laki kecil kurus itu terbelalak lebar, seakan tengah melihat hantu. "Ya Tuhan! Kau pasti..., Palasena!"
Pemuda berpakaian coklat yang ternyata bernama Palasena itu menganggukkan kepala. Pisang rebus yang telah terkupas kulitnya dimasukkan ke dalam mulut, digigit, dan dikunyahnya. Pelan dan lembut sekali Palasena mengunyahnya.
"Duduklah, Ki. Kita rayakan pertemuan ini," ujar Palasena masih sambil mengunyah potongan pisang di mulutnya.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, laki-laki kecil kurus itu meletakkan pantatnya di kursi di hadapan Palasena. Sebuah meja berbentuk persegi menjadi pembatas antara mereka berdua.
"Makanlah, Ki," ujar Palasena mempersilakan.
"Terima kasih, Sena!" hanya itu yang bisa diucapkan laki-laki kecil kurus itu. "Oh, ya. Coba ceritakan, hingga kau sampai disini dan sudah demikian besar seperti ini."
Palasena kemudian menerawang jauh, ke masa silamnya. Dia berusaha mengingat-ingat peristiwa enam tahun yang lalu, ketika masih berusia lima belas tahun.
* * *
Malam ini langit terlihat cerah. Bulan bersinar penuh, menggantung di langit. Sinarnya yang putih keperakan menyorot ke bumi, lembut menguak kegelapan malam. Bintang yang bertebaran di angkasa, membuat angkasa tambah semarak.
Tapi ternyata hal itu tidak berlangsung lama, begitu sekelompok awan hitam dan pekat tiba-tiba muncul. Secara perlahan-lahan, gerombolan awan itu mulai bergerak menyebar. Langit tampak mulai gelap. Dan dengan sendirinya keadaan di persada pun menjadi temaram. Apalagi ketika kumpulan awan itu mulai menyembunyikan sang Dewi Malam, sehingga sinarnya tidak lagi sampai ke persada.
Seiring mulai gelapnya keadaan di persada, hembusan angin pun mulai berubah dingin. Semakin lama, semakin keras hembusannya dan semakin menggigit tulang. Sesaat kemudian, hujan mulai turun. Semula hanya berupa titik-titik air yang jatuh satu persatu, tapi tak lama kemudian hujan lebat mengguyur bumi.
Air yang turun bagaikan dicurahkan dari langit. Hembusan angin kencang berhawa dingin, seakan-akan ingin menumbangkan sekaligus membekukan benda-benda yang ada di persada. Itu pun masih ditambah gelegar halilintar! Alam benar-benar menunjukkan kekuasaannya sekarang ini.
Glarrr!
Halilintar menggelegar lagi. Kontan suasana di persada yang semula gelap gulita sekejap jadi terang benderang. Meskipun hanya sekejap, tapi cukup memperlihatkan sesosok tubuh sedang berpakaian coklat yang tengah berlari keluar dari pintu sebuah bangunan yang cukup megah.
Sosok tubuh sedang itu ternyata anak lelaki berusia sekitar lima belas tahun. Tubuhnya kurus seperti orang kurang makan. Wajahnya berbentuk bulat telur. Dan ada setitik tahi lalat di bibir bawahnya.
Anak lelaki berpakaian coklat itu berlari cepat, melintasi halaman ketika telah berada di luar pintu. Tak dihiraukannya lagi curahan hujan lebat dan hembusan angin kencang yang menerpa tubuhnya.
Prat, prat...!
Air berwarna kecoklatan muncrat ke sana kemari ketika anak lelaki berpakaian coklat itu berlari di halaman. Dan memang, hujan telah membuat sebagian halaman depan bangunan itu tergenang air.
Baru saja beberapa tombak bocah berpakaian coklat itu menempuh halaman, sesosok tubuh lain muncul di ambang pintu yang baru saja ditinggalkan.
"Kang Palasena...! Jangan pergi...! Jangan tinggalkan aku...!" teriak sosok tubuh yang berdiri di ambang pintu, keras.
Rupanya, seluruh kemampuan berteriak nya dikerahkan. Terbukti, panggilannya mampu menembus riuhnya suara hujan dan angin.
Anak berpakaian coklat dalam siraman hujan yang ternyata bernama Palasena itu menghentikan larinya. Kemudian tubuhnya berbalik menatap ke arah sosok tubuh yang memanggilnya. Keberadaan sosok tubuh di ambang pintu memang bisa terlihat karena di sudut-sudut rumah itu tergantung obor-obor.
Halilintar kembali menggelegar bagai hendak merobohkan bumi. Suasana di persada kembali terang-benderang sekejap. Dan kini, sosok yang berdiri di ambang pintu bisa melihat Palasena. Sosok tubuh di ambang pintu itu ternyata seorang gadis sedang berusia tiga betas tahun, mengenakan pakaian serba hitam.
Tampak oleh gadis itu, Palasena tengah berdiri mematung menatap ke arahnya. Anak lelaki berpakaian coklat itu sama sekali tidak mempedulikan curahan hujan dan debu angin keras yang berhawa dingin menusuk tulangnya.
"Kang Palasena...! Kembali...!" teriak gadis berpakaian hitam itu lagi, seraya melambaikan tangannya.
Palasena terpaku. Tarikan wajahnya memancarkan kebimbangan. Jelas, ucapan bocah perempuan itu yang membuat hatinya ragu. Tapi sebelum Palasena sempat memutuskan sesuatu, di belakang tubuh gadis berpakaian hitam itu muncul seorang wanita berusia tiga puluh tahun dan berpakaian hijau. Raut wajahnya memperlihatkan kecantikan yang sudah matang.
Begitu tiba, wanita berpakaian hijau itu langsung saja menyentuh bahu gadis di depannya. "Biarkan anak jahanam itu pergi, Widuri," ujar wanita berpakaian hijau.
Sambil berkata demikian, pandangan-nya dilayangkan ke depan. Tapi, yang terlihat hanya kegelapan belaka.
''Tapi.... Tapi, kasihan Kang Palasena, Bu. Cuaca begitu dingin. Kang Sena bisa sakit, Bu. Jangan biarkan Kang Sena pergi...," ratap gadis cilik yang ternyata bernama Widuri.
"Biar anak sialan itu mampus!" dengus wanita berpakaian hijau yang ternyata ibu Widuri. "Sudah! Mari kita masuk, Widuri!"
Sambil berkata demikian, wanita berpakaian hijau itu menarik tangan putrinya. Diajaknya gadis itu masuk ke dalam. Tapi Widuri tidak mau, dan malah meronta-ronta.
"Tidaaak...! Aku tidak mau...! Kang Sena...!" jerit Widuri sambil terus meronta-ronta.
Tangan kiri Widuri cepat memegang pinggir ambang pintu erat-erat, agar tidak bisa ditarik ke dalam oleh ibunya. Namun perlawanan Widuri membuat wanita berpakaian hijau itu menjadi kehilangan kesabaran. Ditambahkan lagi, tenaga untuk membawa gadis itu masuk ke dalam rumah jauh lebih kuat.
Widuri berusaha keras untuk bertahan. Seluruh tenaganya dikerahkan. Tapi, apa artinya tenaga seorang anak berusia tiga belas tahunan dalam menghadapi tenaga orang dewasa? Mau tak mau tubuhnya pun tertarik ke dalam.
Widuri terus menjerit-jerit keras, tapi sama sekali tidak dipedulikan oleh ibunya. Dan ketika tubuh gadis itu telah melewati ambang pintu, wanita berpakaian hijau itu melepaskan tangan kiri. Kemudian, tangan kirinya itu diulurkan untuk menjangkau daun pintu. Dan....
Blammm...!
Daun pintu itu tertutup kembali disertai suara yang demikian keras. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita berpakaian hijau itu memasang palang pintu, leluasa lah dia membawa Widuri ke dalam.
"Aku tidak mau...! Kang Sena...!" teriak Widuri, sehingga sampai terdengar keluar.
Sementara itu Palasena mengusap wajahnya. Di samping untuk mengusap air hujan yang telah membasahi selebar wajahnya, juga untuk mencegah mengalirnya keluar air mata. Nyatanya, sepasang mata anak laki-laki itu memang telah berkaca-kaca sejak tadi, karena Palasena menyaksikan adegan yang terjadi di sekitar empat tombak di hadapannya. Adegan yang terjadi antara Widuri dengan ibunya.
Tapi, ternyata Palasena bukan orang yang berjiwa cengeng. Dia tidak ingin terlalu berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Kepalanya segera digeleng-gelengkan untuk mengusir gambaran-gam-baran tadi. Lalu, dipandanginya bangunan yang baru ditinggalkannya beberapa saat. Dan setelah menggertakkan gigi untuk menguatkan hati, tubuh Palasena berbalik, kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Hujan masih terus turun deras. Hembusan angin berhawa dingin yang sesekali bertiup keras, masih juga berlangsung. Gelegar halilintar pun tidak juga terhenti. Namun, Palasena terus saja berlari. Bahkan tidak ingin berhenti untuk berteduh. Dia tahu, apabila hal itu dilakukan, perjalanannya tak akan bisa diteruskan. Hawa dingin akan semakin menyiksanya.
Sesaat kemudian, tubuh Palasena pun lenyap ditelan kegelapan malam yang menyelimuti sekitarnya.
* * *
Sang Surya muncul di ufuk Timur, Sinarnya yang lembut menguak kegelapan, yang semalaman mengungkung persada. Semilir angin yang bertiup terasa nikmat di kulit.
Perasaan yang sama dirasakan pula oleh seorang anak lelaki berpakaian coklat. Dia tak lain dari Palasena! Sejuknya hembusan angin pagi cukup menghibur hatinya. Walaupun memang, tidak bisa mengobati rasa lapar yang menggerogoti perutnya.
Sudah lima hari lamanya Palasena meninggalkan bangunan tempatnya selama ini bernaung. Perjalanan ditempuhnya tanpa mempunyai arah dan tujuan, dan hanya mengikuti langkah kakinya saja. Dan kini, dia telah tiba di sebuah padang pasir luas! Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan pasir.
Palasena memegang perutnya ketika terdengar suara berkeruyuk yang cukup nyaring. Perutnya memang sudah menagih minta diisi. Tapi, dengan apa harus diisi? Sejak tadi belum ditemukan sesuatu yang dapat digunakan untuk mengganjal perutnya. Sudah lima hari Palasena kelaparan! Kalau toh makan, itu hanya sekadarnya saja. Bahkan hanya memakan pucuk-pucuk daun muda serta buah yang ditemukan di jalan.
"Hhh...!"
Palasena menghela napas berat. Diusapnya peluh yang membasahi wajah dengan punggung tangan. Ditatapnya sejenak bola raksasa di langit. Sebagai anak laki-laki yang baru berusia lima belas tahun dan belum berpengalaman menempuh hidup secara liar seperti ini, maka dia tidak tahu kalau nyawanya laksana telur di ujung tanduk.
Tempat Palasena berada adalah sebuah padang pasir yang luas. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah hamparan pasir belaka. Bahkan untuk menemukan jejak-jejak bekas orang lewat di hamparan padang pasir ini, rasanya sulit sekali. Sementara suasana di tempat itu panas! Jelas hal ini akan membuat orang mati secara menyedihkan! Kehausan!
Palasena terus melangkah. Harapannya, hamparan pasir bisa cepat ditinggalkannya. Lalu, dia akan bertemu sebuah hutan yang penuh buah-buahan segar dan nikmat.
Tapi harapan hanya tinggal harapan. Nyatanya, kedua kakinya hampir tidak kuat lagi melangkah. Malah, tanda-tanda kalau hamparan padang pasir ini akan berakhir, sama sekali belum tampak. Sementara, matahari telah naik semakin tinggi. Dan dengan sendirinya, sinar yang dipancarkan pun semakin terasa panas menyengat kulit.
Palasena hampir tidak kuat lagi melangkah. Rasa lapar yang melanda perut, haus yang mencekik tenggorokan, tambahan lagi sinar sang Mentari yang menyorot, membuat ayunan kakinya goyah. Bahkan pandangannya pun mulai mengabur.
Samar-samar, sepasang mata Palasena mulai melihat adanya hamparan air beberapa tombak di hadapannya. Kontan semangatnya bangkit.
"Air...! Air...!" seru Palasena kalap. Sambil berteriak-teriak demikian, Palasena berlari ke arah hamparan air yang nampak. Dan ketika sudah dekat, langsung saja tubuhnya diceburkan ke hamparan air, kemudian meraupnya.
Kontan Palasena kecewa ketika hamparan air itu mendadak lenyap. Tidak ada air sama sekali di situ. Bahkan titik-titik air saja tidak. Yang ada, tidak lebih hanya hamparan pasir saja. Tempat dia menceburkan diri, dan juga air yang diraupnya, sebenarnya hanya pasir belaka.
Di samping perasaan kecewa, rasa heran juga menggayuti hari Palasena. Bocah berpakaian coklat ini sama sekali tidak tahu kalau peristiwa yang dialaminya itu merupakan sebuah hal yang biasa di padang pasir. Di tempat seperti itu, tipuan mata memang sering terjadi.
Kontan tubuh Palasena lemas. Rasa lapar, pusing dan terutama sekali haus, membuat pandangannya berkunang-kunang. Sesaat kemudian, bocah berpakaian coklat ini terguling pingsan.
Entah berapa lama pingsan, Palasena sama sekali tidak tahu. Yang jelas, tahu-tahu seluruh tubuhnya terasa sejuk, seperti orang yang tengah kepanasan berendam di sungai yang berair jernih dan segar. Perasaan nikmat yang timbul sukar diutarakan dengan kata-kata.
Perlahan-lahan Palasena membuka mata. Tampak matahari sudah agak tergelincir dari titik tengahnya. Padahal, tadi bola raksasa itu belum berada di atas kepala. Rupanya dia telah tergolek pingsan cukup lama!
Tapi anehnya, tubuhnya kini terasa sejuk. Padahal, sepatutnya kepanasan. Hamparan pasir tempat tubuhnya tergolek, sebenarnya masih menyisakan panas menyengat kulit. Tapi mengapa tubuhnya malah terasa sejuk? Yang jelas, ada suatu kekuatan tak nampak, yang membuat Palasena merasa sejuk.
Entah dari mana datangnya. Karena tidak juga menemukan jawabannya, Palasena, memutuskan untuk melupakan masalah itu. Kemudian ia bangkit berdiri, dan mengedarkan pan-dangan berkeliling. Hampir saja bocah remaja ini terjingkat kaget ketika melihat segundukan benda di kejauhan. Jaraknya, tak akan kurang dari lima tombak di sebelah kanan.
Perasaan ingin tahu mendorong Palasena untuk menghampiri dua buah benda yang tergolek di situ. Memang, seiring munculnya perasaan sejuk, kelelahan yang diderita berkurang jauh! Walaupun rasa lapar dan haus tetap merajalela, tapi tidak segila sebelumnya.
Selangkah demi selangkah, jarak antara Palasena dengan dua benda itu semakin mendekat. Dengan sendirinya, benda-benda itu semakin terlihat jelas. Dan, ternyata sebuah buntalan kain dan sebuah guci air.
Sejenak Palasena bimbang. Ditatapnya buntalan kain dan sebuah guci air. Betapapun besar keinginan untuk membuka buntalan dan guci air untuk menikmati isinya, namun anak lelaki berpakaian coklat ini berusaha keras untuk bertahan. Dia tak ingin bertindak lancang, sebelum mengetahui secara pasti kalau barang-barang itu tidak ada pemiliknya.
Tapi setelah menunggu beberapa saat lamanya tidak juga ada tanda-tanda kemunculan pemilik barang, Palasena memutuskan untuk mengambil. Barangkali saja di dalamnya ada sesuatu yang bisa dimakan atau diminum. Setidak-tidaknya, untuk mengurangi rasa haus dan lapar yang menyiksanya.
Namun, begitu tangan Palasena terjulur untuk meraih buntalan itu, terdengar suara rintihan halus. Seketika Palasena menghentikan gerakannya. Matanya langsung ditajamkan, mencari-cari asal suara. Dan sekitar lima tombak di hadapannya, tampak tergolek sosok tua berpakaian seperti pengemis. Gerakan orang tua itu demikian lemah, seperti hendak mati.
"Air..., air.... Aku haus...."
Ucapan kali ini membuat Palasena mengambil keputusan. Sosok tubuh yang tergolek itu pasti membutuhkan pertolongan. Bukan tidak mungkin kalau dia memang sudah sejak tadi tergolek di situ. Hanya saja mungkin matanya tadi tidak melihat, karena hari memang sudah agak gelap. Dan lagi, pikirannya masih diliputi kebingungan.
Perasaan kasihan mendorong Palasena mendekati sosok tubuh yang tergolek itu. Dijumputnya buntalan yang ternyata berisi buah-buahan segar dengan tangan kirinya, dan guci air dengan tangan kanan. Palasena mengambil keputusan untuk memberikan sebagian penemuannya pada sosok tubuh yang tergolek itu.
"Dia pasti sangat menderita," ucap hati Palasena. "Pakaian yang dikenakan sudah sangat lusuh dan penuh tambalan. Mungkin sudah berhari-hari lamanya dia kelaparan."
Palasena membungkukkan tubuhnya ketika telah berada di dekat sosok tubuh yang mengeluh tadi. "Ki..., ini air. Minumlah."
Usai berkata demikian, Palasena segera mengangsurkan guci berisi air yang belum sempat dinikmatinya.
Sosok yang tergolek itu ternyata memang seorang kakek yang bertubuh kurus kering. Kulitnya yang tak tertutup pakaian tampak coklat. Tapi anehnya, kulit wajahnya berwarna merah.
Pengemis berwajah kemerahan itu membuka matanya, yang sejak tadi tertutup. Dan secepat mata itu melihat guci, secepat itu pula tangannya diulurkan untuk menyambuti. Tampak ke dua tangan pengemis itu menggigil ketika terulur.
Tangannya juga gemetar ketika pengemis tua itu menuangkan guci itu ke mulutnya. Sehingga Palasena yang khawatir kalau-kalau guci itu akan jatuh dan airnya tumpah, segera membantu meme-ganginya. Baru ketika mulut guci telah menempel dengan mulut pengemis bermuka merah itu, tangannya dilepaskan dari guci.
Glek.... Glek.... Glek...!
Tegukan air ketika melewati tenggorokan terdengar jelas. Tampaknya kakek itu minum dengan lahap. Malah sampai agak lama, guci itu tak juga diturunkan dari mulutnya. Dan selama itu, suara menggeluguk keras terus terdengar.
Palasena memandangi tindakan kakek pengemis itu disertai perasaan kasihan. Rupanya, pengemis berwajah merah ini amat kehausan.
"Hhh...!"
Kakek berpakaian pengemis itu menghela napas penuh kepuasan, begitu gucinya diturunkan. Kemudian punggung tangannya diusapkan ke sudut-sudut mulutnya untuk membersihkan ceceran air di sekitar bibirnya.
“Terima kasih, Anak Baik," ucap pengemis tua itu, seraya mengulurkan guci itu pada Palasena. Palasena menerima angsuran guci itu dengan senyum terkembang di bibir.
"Apakah kau tidak mempunyai sesuatu yang bisa dimakan, Anak Baik?!" tanya pengemis berwajah merah itu ketika Palasena telah memegang guci yang diangsurkannya.
"Oh! Ada, Ki," jawab Palasena cepat Usai berkata demikian, anak lelaki berpakaian coklat itu mengangsurkan buntalan yang berisi buah-buahan. Maka dengan sigap, pengemis tua itu menerimanya.
"Terima kasih..., terima kasih. Kau memang seorang anak yang baik," puji pengemis bermuka merah.
Pada saat yang bersamaan dengan keluarnya ucapannya, kakek pengemis itu mulai memasukkan butir buah merah segar pertama ke dalam mulutnya.
Dan semua itu dipandangi Palasena dengan senyum senang. Gembira rasa hatinya ketika melihat pengemis tua itu terlihat segar kembali.
Ketika pengemis bermuka merah itu memasukkan butir buah yang ke tiga, Palasena baru mengalihkan pandangannya. Memang, dia pun tengah kehausan, sehingga berniat untuk minum juga. Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati anak lelaki itu ketika tidak mendapati setetes air pun di gucinya. Rupanya, kakek pengemis itu telah menghabiskan semuanya!
Tanpa bicara apa-apa, Palasena meletakkan guci itu ke tanah. Sepasang matanya diedarkan ke arah kakek pengemis yang masih sibuk memasukkan butir demi butir buah merah segar sebesar kepalan bayi ke dalam mulutnya.
Palasena menduga, pengemis tua itu tidak akan mampu menghabiskan buah itu, karena jumlahnya cukup banyak! Dan tampaknya, buah itu sangat nikmat bila dimakan pada tempat panas seperti ini, karena mengandung air. Tampak jelas percikan-percikan air ketika pengemis berwajah merah menggigitnya, hingga terlihat bagian dalamnya yang berwarna putih bersih.
Tapi, keyakinan Palasena mulai pupus ketika melihat kakek pengemis itu terus saja memasukkan butir demi butir buah ke dalam mulutnya. Bahkan masih terlihat kelahapannya, tanpa terlihat tanda-tanda kalau akan berhenti.
Akhirnya, hal yang dikhawatirkan Palasena pun terjadi. Dengan sepasang mata membelalak lebar, anak laki-laki itu menatap pengemis tua itu mengambil sisa dua butir buah sekaligus, dan langsung menggigitnya. Kini tidak ada lagi yang tersisa!
Palasena hanya bisa menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Itu pun dilakukannya dengan susah payah, karena di dalam mulutnya persediaan air ludah hampir sudah tidak tersisa lagi! Tapi Palasena tetap melakukan hal itu, karena hanya itulah satu-satunya yang bisa dilakukan.
"Siapa namamu, Anak Baik. Aku, Lawata." Meskipun masih sibuk mengunyah buah, kakek pengemis itu sudah memperkenalkan diri.
"Aku..., Palasena, Ki," lirih jawaban Palasena.
"Palasena.... Sebuah nama yang bagus. Akan ke mana kau, Sena?" tanya pengemis berkulit kemerahan yang ternyata bernama Lawata.
Palasena menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, bagaimana kalau ikut aku saja?" Lawata menawarkan.
Anak berpakaian coklat itu termenung sejenak, tapi kemudian menganggukkan kepala.
"Mari...!" Setelah berkata. demikian, Lawata berjalan mendahului Palasena. Mau tidak mau anak lelaki berpakaian coklat itu bergegas mengikuti.
DUA
Palasena melangkah tersuruk-suruk mengikuti Lawata yang telah berada beberapa tombak di depan. Beberapa kali tubuhnya hampir jatuh tersungkur. Memang, anak lelaki itu telah lelah bukan kepalang. Masalahnya, dia telah menderita rasa lapar dan haus yang amat sangat.
Tambahan lagi, teriknya sinar matahari menyorot kepala membuatnya pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Terlihat oleh Palasena tubuh kakek pengemis itu mulai terbayang dan mengabur.
"Kek..!" Palasena memanggil Lawata ketika menyadari kenyataan kalau tidak kuat lagi mengikuti kakek itu. Seluruh tenaga yang tersisa dalam panggilannya dikerahkan. Tapi, yang keluar hanyalah bisikan lirih. Dan seiring selesainya ucapan itu, pandangan Palasena pun gelap. Kemudian, dia roboh tersungkur di hamparan pasir.
Brukkk!
Lawata langsung berbalik, dan menatap Palasena dengan bibir menyunggingkan senyum. Beberapa saat, diperhatikannya tubuh yang tergolek sebelum akhirnya menghampiri.
"Seorang anak yang luar biasa," puji kakek berpakaian penuh tambalan itu sambil menggeleng-gelengkan kepala setelah berada di dekat Palasena. "Dia bukan hanya mempunyai watak yang baik, tapi juga mempunyai kemauan keras. Hhh...! Inilah anak yang kucari-cari selama ini! Hm... tidak sia-sia aku mengujinya tadi."
Usai berkata demikian, Lawata mencungkil tubuh Palasena dengan ujung kaki kanannya. Luar biasa! Kelihatannya pelan, dan tanpa tenaga gerakan yang dilakukan Lawata. Tapi akibatnya, tubuh anak lelaki berpakaian coklat itu terpental ke atas.
"Hup!"
Tubuh Palasena bagaikan segumpal kapas di tangan Lawata, Buktinya tubuh yang semula terlontar ke atas dan kemudian melayang turun, hendak ditangkapnya dengan tangan kiri.
Tappp!
Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau Lawata mengerahkan tenaga sewaktu menangkap tubuh Palasena. Dari sini saja, bisa diperkirakan kalau kakek pengemis itu memiliki tenaga dalam cukup tinggi.
"Tak akan ku sia-siakan permata terpendam seperti ini," ujar kakek berpakaian tambal-tambalan itu.
Lawata memandangi sekali lagi tubuh Palasena, sebelum meletakkan di bahunya. Kemudian, kakinya melangkah. Luar biasa! Hanya dalam sekali langkah saja, tubuhnya telah berjarak belasan tombak dari tempat semula. Jelas, ilmu meringankan tubuh Lawata telah mencapai tingkatan yang sukar diukur.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh Lawata telah tidak terlihat lagi. Yang tampak hanyalah sebuah titik hitam di kejauhan yang kian lama kian mengecil. Dan akhirnya, titik itu lenyap ditelan kejauhan.
* * *
"Uhhh...!" Palasena menggeliatkan tubuhnya untuk mengendorkan urat-urat tubuhnya yang kaku. Kemudian, perlahan-lahan kelopak matanya terbuka. Yang pertama kali dilihatnya adalah wajah kakek berpakaian penuh tambalan. Dialah pengemis yang telah ditolongnya ketika tergolek di hamparan padang pasir.
"Syukur kau sadar juga, Sena," lembut ucapan Lawata.
"Di manakah aku, Kek?" tanya Palasena, seraya beringsut bangun.
Bocah berpakaian coklat itu sama sekali tidak mempedulikan ucapan Lawata. Pandangannya beredar berkeliling. Memang, pemandangan yang terpampang di hadapannya jauh berbeda dengan yang waktu itu dilihatnya. Pemandangan di sini kini tampak sangat subur. Di kanan kirinya, berderet pepohonan hijau. Tanpa menegaskan lebih jauh pun, bisa diduga kalau dirinya berada di puncak sebuah gunung.
"Di sebuah tempat yang nyaman, Sena," jawab Lawata sambil menyunggingkan senyum lebar.
Palasena menatap redup wajah kakek berpakaian abu-abu itu. "Kaukah yang telah membawaku kemari, Kek?" tanya Palasena lagi.
"Benar," sahut Lawata sambil menganggukkan kepala. "Dan ini kupetikkan makanan untukmu."
Lawata mengangsurkan beberapa buah tempurung kelapa yang di dalamnya telah terisi berbagai macam buah-buahan. Semuanya berwarna merah segar dan mengandung air. Kakek itu pun rupa-rupanya memberikan air minum yang berwarna jernih dengan wadah tempurung. Maka, melihat semua itu kontan rasa lapar dan haus Palasena kembali timbul. Dengan lahap disantapnya buah-buahan yang tersedia.
Lawata tersenyum saja melihat tingkah Sena. Tapi, sepasang matanya menatap penuh sinar aneh. Pandangan Lawata seperti orang yang tengah menyelidik. Sementara, orang yang tengah diperhatikan sama sekali tidak tahu. Atau mungkin memang tidak mempedulikannya. Tangan dan mulutnya sibuk mengunyah buah-buahan dan menenggak minuman, saling silih berganti. Tapi setelah memakan kira-kira dua belas butir buah, Palasena menghentikan kegiatannya.
"Mengapa tidak kau habiskan, Sena? Buah itu semuanya kuberikan untukmu. Atau..., perutmu sudah tidak sanggup menampung lagi?" tanya Lawata, memancing.
"Terima kasih, Kek. Kurasa ini sudah lebih dari cukup. Aku tidak biasa makan sampai kekenyangan," sahut Palasena.
Lawata mengangguk-anggukkan kepala. Kekagumannya pada anak berpakaian coklat ini pun semakin menjadi-jadi. Memang, makan terlalu kenyang tidak baik untuk perut.
"Kau benar, Sena," sambut kakek berpakaian pengemis ini. "O, ya. Dari mana asalmu dan akan ke mana tujuanmu?"
Kontan wajah Palasena murung ketika mendengar pertanyaan yang diajukan Lawata. Karena hal itu akan mengingatkannya kembali pada kejadian yang menimpa dirinya.
Dan Lawata bukan orang bodoh. Sekali lihat saja, bisa diketahui ada kejadian tidak enak yang telah dialami Palasena.
"Apakah kau masih mempunyai orangtua, Sena?" tanya Lawata lembut.
Palasena menggelengkan kepala. "Mereka sudah tiada, Kek," lemah jawaban yang terdengar dari mulut Palasena.
Lawata mengangguk-anggukkan kepala sambil mengelus-elus dagunya yang tidak ditumbuhi rambut sehelai pun.
"Bagaimana kematian mereka. Secara wajar, atau dibunuh orang lain, Sena?" kejar kakek berwajah kemerahan itu lagi.
"Kedua orangtua ku tewas dibunuh orang, Kek. Kemudian, aku dipelihara adik seperguruan ayahku. Sampai akhirnya, aku terpaksa harus pergi dari tempat tinggalnya."
"Apakah kau ingin membalas dendam atas kematian orangtua mu, Sena?" pancing Lawata.
"Tentu, Kek! Kalau aku telah memiliki kepandaian tinggi, akan kucari manusia laknat yang telah membunuh kedua orang tuaku!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut Palasena.
"Apakah kau mengenalnya, Sena?" Lawata ingin tahu.
Palasena mengangguk mantap. "Kenal, Kek. Nama orang itu telah tertanam dalam hatiku!"
"Apakah aku boleh mengetahuinya, Sena?"
''Tentu saja boleh, Kek. Manusia laknat itu berjuluk Dewa Kaki Maut!" jawab Palasena lantang.
"Hugh!"
Lawata merasakan dadanya seketika mendadak sesak. Dewa Kaki Maut! Jadi, orang yang telah membunuh kedua orangtua Palasena adalah Dewa Kaki Maut. Ah! Betapa banyaknya tokoh itu menyebar maut.
"Ada apa, Kek?" tanya Palasena cemas ketika melihat wajah Lawata memucat Lawata pun sadar dari keterkejutannya. Buru-buru perasaannya ditenangkan.
"Aku tidak apa-apa, Sena. Hanya..., aku merasa heran mengapa Dewa Kaki Maut membunuh orang tuamu!"
"Ayahku adalah seorang pendekar pembela kebenaran!" tandas Palasena penuh kebanggaan. "Dunia persilatan menjulukinya, Pendekar Tombak Sakti. Jadi, orang yang berjuluk Dewa Kaki Maut itu pasti seorang tokoh sesat!"
Lawata mengelus-elus dagunya. "Ternyata, kau keturunan pendekar juga, Sena."
"Jadi, kau mengenal ayahku juga, Kek?" tanya Palasena penuh gairah.
"Mengenal sih, tidak. Tapi aku sering mendengar mengenai kegagahan dan kesaktiannya. Sayang, dia harus mati muda," desah Lawata. Ada nada penyesalan dalam ucapan kakek berwajah kemerahan itu.
Suasana kontan berubah hening, karena Lawata menghentikan ucapan dan Palasena pun diam. Masing-masing tenggelam dalam alun lamunannya.
"O ya, Sena. Apakah kau berminat menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi?" tanya Lawata memecahkan keheningan.
“Tentu, Kek. Aku mau sekali!" sahut Palasena penuh gairah. “Tapi, di mana bisa kutemukan orang yang bersedia mengajarkan kepandaian kepadaku?"
Nada ucapan Palasena melemah dengan sendirinya, ketika teringat keadaannya.
"Mengapa kau berpikiran seperti itu, Sena?" sela Lawata. "Banyak orang sakti yang bersedia mengajarkan ilmu kepadamu!!!"
"Aku tidak percaya, Kek! Jangankan tokoh yang tidak mempunyai hubungan denganku. Sedangkan, paman dan bibi guruku saja tidak sudi mengajarkanku."
"Hehhh...?! Benarkah paman gurumu sejahat itu?!"
Palasena menggelengkan kepala. "Sebenarnya, paman tidak jahat. Bahkan boleh dibilang baik. Tapi dia tidak mempunyai waktu untuk mengajarkan aku dan Widuri. Dia selalu sibuk dengan tugasnya selaku panglima kerajaan. Maka tugas untuk mengajarkan hal itu, diberikan pada bibi."
Anak berpakaian coklat ini menghentikan ucapannya sejenak. Sementara, terdengar helaan napas berat Lawata.
“Tapi bibi sama sekali tidak pernah mengajarkan aku, dan hanya mengajarkan anaknya yang bernama Widuri saja. Dia memang tidak suka padaku tanpa diketahui sebabnya. Dia seperti membenciku. Malah, aku jarang diberi makan. Tapi, kalau menyiksaku sering sekali."
"Sudahlah, Lawata. Lupakan saja kejadian yang telah berlalu. Sekarang, tenangkanlah hatimu. Percayalah. Kau akan memiliki kepandaian tinggi, Sena. Aku akan membawamu pada sahabatku yang memiliki kepandaian tinggi. Percayalah. Kau pasti akan diterima menjadi muridnya! Bagaimana? Kau setuju, Sena?!"
“Setuju sekali, Kek. Kapan kita akan berangkat?!" tanya Palasena penuh gairah.
"Itu terserah padamu, Sena. Kapan pun kau siap, dengan senang hati aku akan mengantarmu!"
Sepasang mata Palasena berputar. "Kalau begitu, aku ingin sekarang juga, Kek."
"Ha ha ha...!" Tawa Lawata kontan meledak. "Kau memang anak yang cerdik, Sena! Tapi, baiklah. Sekarang juga kau akan kubawa menghadap sahabatku!"
Usai berkata demikian, Lawata lalu menyambar tubuh Palasena. Dan sekali kakinya digerakkan, tubuhnya telah berada belasan tombak di depan. Hebat bukan kepalang ilmu meringankan tubuh kakek berpakaian pengemis.
Tapi anehnya, mulutnya menyunggingkan seringai kesakitan. Bahkan dari sudut-sudut bibirnya mengalir darah segar. Tampaknya Lawata tengah terluka dalam. Dan hal ini belum diketahui Palasena.
* * *
TIGA
"Hiaaat...!" Teriakan keras menggelegar memecahkan kesunyian pagi. Dan sebelum gema teriakan itu lenyap, melesat sesosok tubuh ke arah sebatang pohon dengan ukuran batang sepelukan orang dewasa. Sosok tubuh yang tampak bertelanjang dada itu melakukan tendangan menggunting!
Tappp!
"Hih!"
Krakkk! Brukkk!
Kejadiannya berlangsung cepat sekali. Batang pohon itu berhasil dijepit di antara kedua kaki sosok bayangan tadi, dengan gerakkan menggunting. Hebat! Batang pohon itu langsung terpenggal pada bagian yang digunting, kemudian roboh mengeluarkan suara gemuruh.
"Hup!"
Setelah bersalto beberapa kali, sosok bayangan itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tanpa suara sedikit pun, seperti layaknya sehelai daun kering. Dan hinggapnya kedua kaki itu hampir berbarengan dengan robohnya batang pohon yang terpenggal.
"Bagus sekali, Sena!"
Terdengar seruan memuji. Itu pun masih disertai tepukan tangan yang berkepanjangan dari arah belakangnya.
Sebenarnya, tanpa menoleh pun sosok tubuh yang telah merobohkan pohon dan dipanggil Palasena, telah mengetahui orang yang telah mengeluarkan pujian tadi. Suara itu amat dikenalnya, karena memang suara gurunya! Tapi, Palasena tetap membalikkan tubuh.
Di hadapan Palasena kini berdiri seorang kakek bertubuh kecil kurus. Wajahnya pun pucat, seperti orang penyakitan. Garuda Cakar Lima, demikian julukannya. Dia seorang tokoh aliran putih yang memiliki kepandaian tinggi. Tak terhitung tokoh sesat yang telah ditewaskannya.
Julukannya telah menjadi momok yang menakutkan di kalangan rimba persilatan belasan tahun yang lalu. Tapi sejak tujuh tahun yang lalu, dia telah mengundurkan diri dan tinggal di Gunung Kumang. Sejak saat itu, julukannya pun tidak terdengar lagi.
"Kau benar-benar tidak mengecewakanku dan sahabatku, Sena," tambah Cakar Lima lagi.
Tampak jelas kalau Garuda Cakar Lima gembira bukan kepalang. Hal ini terlihat dari wajahnya yang tampak berseri-seri. Sepasang matanya pun berbinar-binar, bagai kerlipan bintang.
"Ah! Semua itu adalah atas jerih payahmu, Guru," sahut Sena merendah sambil menghampiri Garuda Cakar Lima.
"Kau memang pandai menyenangkan hati, Sena!" celetuk sebuah suara merdu. "Bukankah demikian, Kek?"
Dan sebelum gema suara itu lenyap, berkelebat cepat sesosok bayangan hijau. Dan tahu-tahu, di sebelah Garuda Cakar Lima telah berdiri seorang gadis cantik manis berusia sekitar enam belas tahun. Rambutnya berwarna hitam mengkilap, tampak dikepang indah.
"Ha ha ha...! Benar! Benar...! Ucapanmu sama sekali tidak keliru, Kuntari," sambut Garuda Cakar Lima cepat, seraya menoleh ke arah gadis cantik manis yang tidak lain adalah cucunya sendiri. "Palasena memang pintar menyenangkan hati orang!"
Sambil berkata demikian, Garuda Cakar Lima menatap wajah Palasena penuh rasa bangga. Keadaan Palasena yang sekarang, memang jauh berbeda dengan waktu dulu. Memang, tanpa terasa kini tubuhnya telah berubah tinggi tegap dan kekar.
Putra Pendekar Tombak Sakti ini telah berusia delapan belas tahun. Genap tiga tahun dia menuntut ilmu dari Garuda Cakar Lima. Pakaian coklat yang membungkus tubuhnya pun sudah tidak lusuh lagi.
"Terima kasih atas pujianmu, Kuntari. Kau memang seorang gadis cantik yang baik," Palasena balas memuji.
Kontan wajah Kuntari memerah.
"Sudah! Sudah! Lupakan dulu perselisihan ini! Apakah kalian berdua tidak tahu, kalau sekarang sudah tiba saatnya untuk berpisah?!" lerai Garuda Cakar Lima.
"Berpisah?!" Hampir berbareng ucapan itu keluar dari mulut Kuntari dan Palasena. "Apa maksud ucapanmu, Kek?" tanya Kuntari, penuh rasa penasaran.
"Hhh!" Garuda Cakar Lima menghela napas berat. Rupanya, kakek kecil kurus ini merasa berat juga untuk berpisah dengan Palasena. Sementara, dua muda-mudi di dekatnya hanya menunggu keluarnya ucapan lanjutan Garuda Cakar Lima, dengan perasaan tidak sabar.
"Kau ingat Lawata, Sena?" tanya Garuda Cakar Lima.
Palasena yang telah menjadi pemuda gagah hanya menganggukkan kepala. Tentu saja pemuda itu ingat pada kakek berpakaian pengemis yang ditemukannya secara tidak sengaja di padang pasir. Dan ternyata, bukan hanya Palasena saja yang menganggukkan kepala. Dan tanpa sadar, Kuntari pun demikian pula. Memang, Kuntari mengenal sewaktu Lawata menyerahkan Palasena pada Garuda Cakar Lima.
"Nah! Perlu kalian ketahui, Sena, Kuntari! Lawata menitipkan Palasena di sini, dan memesan agar aku menurunkan ilmuku selama tiga tahun. Dan setelah itu, dia akan datang untuk mengambil Lawata kembali. Dan..."
"Mengapa begitu, Kek?" selak Kuntari tidak sabar.
"Karena Lawata ingin menurunkan seluruh ilmu yang dimiliki pada Palasena!" jawab Garuda Cakar Lima cepat.
"Jadi, Ki Lawata memiliki kepandaian juga, Guru?" tanya Palasena, heran.
Garuda Cakar Lima tersenyum getir. "Bukan hanya punya, Sena! Lawata adalah seorang tokoh sakti! Kepandaiannya sukar diukur. Bahkan kepandaian yang kumiliki ini sama sekali tidak berarti apa-apa bila dibandingkan kepandaiannya," jelas kakek kecil kurus itu.
"Ahhh! Tapi, kenapa dia tidak mau mengajarkanku sejak dulu, Guru?!" Ada nada penasaran dalam pertanyaan Palasena.
"Karena dia tengah terluka, Sena! Dengan cara licik, seorang musuh telah meracuninya dengan racun yang mematikan. Tapi, ternyata Lawata terlalu tangguh untuk dibinasakan seperti itu. Orang yang memberi racun mengira, Lawata telah tewas. Sama sekali tidak diketahuinya kalau Lawata ternyata berhasil menyelamatkan diri dengan semadi. Hanya saja, perlu waktu bertahun-tahun untuk melenyapkan racun itu. Dan menurut perhitungan, tahun ini semua racunnya telah tuntas," jelas Garuda Cakar Lima panjang lebar.
Palasena dan Kuntari termenung ketika Garuda Cakar Lima menghentikan ceritanya. Kini keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing.
"Perlu kau ketahui, Sena! Semadi, pernapasan, dan latihan ilmu meringankan tubuh yang kuajarkan padamu adalah berasal dari Lawata. Dia telah mengajarkannya padaku untuk kuajarkan padamu, apabila kau telah cukup mengalami kemajuan selama menjadi muridku. Aku sendiri tidak mempelajarinya. Bahkan kepada Kuntari pun tidak kuajarkan," sambung kakek kecil kurus itu lagi.
Mendengar penjelasan ini, Kuntari dan Palasena kontan mengerti. Jelas sudah, mengapa Palasena lebih cepat mendapat kemajuan ketimbang Kuntari. Meskipun Palasena menjadi murid Garuda Cakar Lima belakangan, namun tingkatan yang dimilikinya jauh lebih tinggi daripada cucu Garuda Cakar Lima itu. Hal itu tidak aneh, karena baik dalam ilmu meringankan tubuh maupun tenaga Kuntari jauh di bawah Palasena.
"Semua yang dikatakan Garuda Cakar Lima tidak salah, Sena!"
Suara keras mengguntur yang menggema di sekitar tempat itu terdengar. Jelas, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Hampir berbareng, Garuda Cakar Lima, Palasena, dan Kuntari menolehkan kepala ke arah asal suara. Maka, tampaklah seorang kakek berpakaian penuh tambalan. Kulit wajahnya tampak berwarna kemerahan.
"Kek..!" seru Palasena.
"Lawata...!" teriak Garuda Cakar Lima pula. Bagai diperintah Garuda Cakar Lima dan Palasena bergegas menghampiri Lawata. Mau tidak mau, Kuntari pun ikut pula melangkah di belakang mereka pada saat yang bersamaan, Lawata pun menghampiri pula.
"Kau datang tepat pada waktunya, Lawata," kata Garuda Cakar Lima sambil mengulurkan tangan.
"Syukurlah kalau demikian, Garuda Cakar Lima," sahut Lawata.
Pada saat yang bersamaan dengan keluar ucapannya, kakek pengemis itu menyambut uluran tangan Garuda Cakar Lima dan menggegamnya erat-erat.
"Bagaimana?"
Meskipun Lawata hanya mengeluarkan ucapan seperti itu, Garuda Cakar Lima sudah tahu maksudnya.
"Luar biasa! Kau benar-benar beruntung, Lawata. Dia mampu menguasai dengan baik semua yang kuajarkan. Palasena memang mempunyai bakat yang luar biasa!" sahut Garuda Cakar Lima penuh kegembiraan.
"Ha ha ha...!" Sudah kuduga demikian, dan ternyata dugaanku tidak meleset! Ha ha ha...!" Masih dengan tawa yang tidak putus-putus, Lawata melepaskan genggaman tangannya.
Sementara, Palasena hanya bisa tersenyum dikulum melihat pertemuan antara Garuda Cakar Lima dengan Lawata. Hanya Kuntari yang terlihat agak murung. Jelas, gadis berambut dikepang ini tengah dilanda perasaan sedih. Dan kalau dia mau berterus terang, perpisahan dengan Palasena lah yang membuatnya sedih. Apabila Palasena pergi, maka dia tidak punya teman main lagi.
Kesedihan yang melanda hari Kuntari sama sekali tidak diketahui dua orang tokoh sakti yang tengah bergembira. Tapi, tidak demikian halnya Palasena. Perasaan yang tengah melanda Kuntari bisa diketahuinya, karena dia sendiri juga dilanda perasaan yang sama. Yang jelas, tanpa disadari benih-benih asmara mulai bersemi di hati mereka berdua.
Tapi Palasena tidak bisa berbuat apa-apa, karena Garuda Cakar Lima telah menoleh ke arahnya seiring lepasnya genggaman tangan dari tangan Lawata.
"Cepat tunjukkan hasil latihanmu selama ini pada Lawata, Sena!" seru kakek kecil kurus itu pada Palasena.
"Baik, Guru. Dan, harap Guru dan kakek Lawata bersedia memberi petunjuk," jawab Palasena lembut.
Setelah memberi hormat pada Garuda Cakar Lima dan Lawata, Palasena mulai memperagakan ilmu-ilmu silat yang dimilikinya.
Memang tidak salah kalau Lawata merasa bangga bukan kepalang terhadap Palasena. Pemuda berpakaian coklat itu memang patut dibanggakan, karena mampu memainkan jurus demi jurus hampir tanpa cela. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, membuat bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan coklat yang tidak jelas bentuknya, bergerak ke sana kemari.
Yang lebih menggiriskan lagi, setiap gerakan Palasena selalu menimbulkan deru angin keras. Hal ini menandakan tenaga dalam yang menyertai gerakannya cukup tinggi.
Lawata mengangguk-anggukkan kepala setelah menyaksikan beberapa saat lamanya. Seulas senyum tampak tersungging di bibirnya. Jelas, harinya merasa puas menyaksikan kemampuan Palasena.
Garuda Cakar Lima tentu saja melihat anggukan kepala dan senyum pengemis berkulit kemerahan itu. Dan dia tahu artinya. Maka perasaan bangganya pun semakin membesar.
“Terima kasih, Garuda Cakar Lima. Memang, sudah kuduga kalau kau tidak akan mengecewakanku."
Ucapan terima kasih dari Lawata membuat wajah Garuda Cakar Lima semakin berseri-seri.
"Kau tidak usah berterima kasih padaku, Lawata. Tapi bersyukurlah, karena telah menemukan seorang anak yang berbakat dan gigih. Yang kulakukan hanya sekedar mengajarnya saja. Hasil semuanya, terpulang pada Palasena," sahut Garuda Cakar Lima merendah.
"Ucapanmu itu tidak seluruhnya benar, Garuda Cakar Lima," cela Pengemis berkulit kemerahan. "Betapapun berbakat dan gigihnya seorang murid, tapi kalau sang Guru tidak bisa memberi pelajaran dengan baik, maka hasilnya akan mengecewakan pula. Kau tahu itu, bukan?"
Garuda Cakar Lima menganggukkan kepala, karena memang ucapan Lawata benar belaka.
"Dan..., itu berarti kau adalah seorang guru yang mampu memberi pelajaran dengan baik. Kau seorang guru yang pandai, Garuda Cakar Lima," sambung Lawata bernada menang.
"Kau memang pintar menyudutkan orang, Lawata," terpaksa Garuda Cakar Lima mengalah.
"Ha ha ha...! Tapi, semua yang kukatakan itu benar, bukan?! Coba bantah kalau memang aku salah," tantang Lawata gembira.
"Aaah...! Sudahlah, Lawata! Kalau dilanjutkan, entah kapan akan berakhir perdebatan ini. Dan...."
"Kau benar!" selak Lawata cepat, sebelum Garuda Cakar Lima melanjutkan ucapannya.
Usai berkata demikian, Lawata mengalihkan perhatian pada Palasena yang masih sibuk berlatih.
"Cukup, Sena!" perintah Pengemis berkulit kemerahan itu pada Sena.
Remaja berpakaian coklat itu sama sekali tidak berani membantah. Segera gerakannya dihentikan dan diberikannya penghormatan pada Garuda Cakar Lima dan Lawata.
"Aku puas melihat hasil latihanmu selama ini, Sena. Ternyata kau tidak mengecewakanku. Aku puas...," puji Lawata, bernada sungguh-sungguh.
"Semua itu berkat didikan Garuda Cakar Lima, Kek. Beliau melatihku secara sungguh-sungguh," sahut Palasena merendah.
"Hal itu memang tidak bisa kupungkiri, Sena. Nah! Sekarang, sudah tiba saatnya kau menjadi muridku. Sebelum mati, aku ingin mewariskan seluruh ilmu yang kumiliki padamu. Kau sudah siap meninggalkan tempat ini?!"
"Siap, Kek!" jawab Palasena tegas dan mantap.
"Bagus! Sekarang, berpamitanlah!" perintah Lawata.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Palasena segera meninggalkan Lawata. Dihampirinya Garuda Cakar Lima dan Kuntari untuk yang terakhir kalinya.
Sementara itu, Garuda Cakar Lima dan Kuntari memang sudah mengetahui kalau saat perpisahan akan datang juga. Maka mereka pun bergerak menghampiri Palasena pula. Seketika itu pula, suasana haru menyelimuti sekitarnya.
Garuda Cakar Lima dan Kuntari memang menyukai Palasena, karena sikapnya yang menyenangkan. Demikian pula sebaliknya Palasena. Pemuda itu benar-benar mengagumi keramahan mereka.
"Aku pergi dulu, Guru, Kuntari," pamit Palasena setelah semuanya selesai. "Jaga diri kalian baik-baik."
Garuda Cakar Lima dan Kuntari menganggukkan kepala, meskipun sambil tersenyum getir.
"Jaga dirimu baik-baik, Sena!"
Hampir berbareng, kakek kecil kurus dan cucunya itu mengucapkan demikian.
Palasena hanya bisa mengangguk. Perasaan haru yang menyesakkan dada dan menyumbat tenggorokannya, membuatnya mengalami kesulitan untuk mengucapkan kata-kata. Maka, hanya itulah yang bisa dilakukannya.
Tak lama kemudian, Palasena dan Lawata melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja setelah Lawata berpamitan pada Garuda Cakar Lima. Tubuh kedua orang berbeda usia yang telah berpisah selama tiga tahun itu melesat menuruni lereng gunung.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiiki, bukan merupakan masalah sulit bagi mereka menuruni lereng gunung. Meskipun, banyak terdapat tonjolan baru. Apalagi lereng itu sendiri cukup terjal.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh Palasena dan Lawata telah lenyap dari pandangan Garuda Cakar Lima dan Kuntari. Tapi, tetap saja kedua orang itu berdiri mematung di situ.
* * *
Waktu berlalu tanpa terasa. Terkadang melesat cepat laksana anak panah lepas dari busurnya, tapi tak jarang bergerak lambat seperti seekor siput merayap.
Hari masih pagi. Sang Surya baru saja muncul di langit dalam bentuk bola besar berwarna merah membara. Angin yang bertiup pun masih terasa segar di dada dan nikmat di kulit. Dan dalam suasana seperti ini, dua sosok tubuh tampak tengah berhadap-hadapan. Keduanya sama-sama duduk bersila, dengan telapak tangan bertumpu pada lutut.
Hebatnya, dua sosok tubuh itu sama-sama duduk di atas tiang bambu yang runcing, yang tingginya tidak kurang dari dua tombak. Anehnya, sedikit pun tidak terlihat kesulitan pada dua sosok tubuh duduk di sana! Jangankan jatuh. Bergoyangpun tidak. Jelas, kedua sosok tubuh itu bukan orang sembarangan.
Dua sosok tubuh itu terdiri dari seorang kakek berpakaian pengemis dan seorang pemuda berpakaian coklat. Wajah kakek itu berkulit kemerahan. Sementara si pemuda berwajah tampan dan jantan. Tubuhnya tegap, kekar, dan berisi.
"Sena."
Pengemis berkulit kemerahan itu membuka ucapan seraya menatap wajah pemuda berpakaian coklat di hadapannya.
"Ya, Kek," sahut pemuda berpakaian coklat yang ternyata Palasena, sambil mengangkat wajah sejenak menatap wajah pengemis berkulit kemerahan yang tidak lain Lawata. Kemudian, kepala pemuda itu menunduk kembali.
"Sudah tiga tahun kau tinggal bersamaku di sini," sambung Lawata lagi. "Dan selama itu pula, kau mempelajari ilmu-ilmu yang kuturunkan padamu. Dan sekarang, tidak ada lagi ilmu yang bisa kuajarkan padamu. Semua ilmuku telah kuwariskan!"
Lawata menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Kini sudah saatnya bagimu untuk terjun ke dunia persilatan. Amalkanlah semua yang telah kau pelajari di sini, Sena! Kau harus menjadi seorang pendekar pembela kebenaran. Cegahlah kejahatan semampumu!"
"Tapi, Kek. Aku tidak tega meninggalkan Kakek sendirian di sini, di tempat yang terasing seperti ini. Dan...."
"Kau keliru, Sena!" potong Lawata cepat sebelum Palasena terus melanjutkan ucapannya. Lawata memang sengaja melakukannya untuk mencegah Palasena meneruskan perkataan-perkataan yang berisi kecengengan. Dia tidak ingin pemuda berpakaian coklat itu tenggelam dalam kesedihan.
"Aku sama sekali tidak merasa kesepian," lanjut Lawata ketika melihat Palasena terdiam. "Sebelum kau datang, aku sudah sendirian di sini. Kau tahu, Sena. Bagi orang yang berusia sepertiku, tidak ada yang lebih menarik hati kecuali mengasingkan diri. Tinggal di sebuah tempat yang sunyi dan terpencil serta jauh dari keramaian. Ini adalah tempat tinggalku, dan aku amat mencintainya."
Palasena kontan terdiam mendengar ucapan itu. Tapi itu hanya sesaat saja. "Tapi, Kek. Aku belum sempat membalas budi baikmu dengan menemanimu di sini, dan melayani segala keperluanmu. Jelas, hatiku tak akan tenang," bantah Palasena.
"Justru kalau kau tinggal di sini, malah membuatku tidak senang, Sena. Kau, tahu. Kalau benar-benar ingin membalas budiku, terjunlah ke dunia persilatan. Cegah kejahatan semampumu. O, ya. Kau harus mencari orang yang berjuluk Iblis Tanpa Wajah dan Memedi Tangan Merah. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang banyak menyebar kejahatan di muka bumi!" tegas Lawata.
"Hhh...! Baiklah, Guru. Aku akan terjun ke dunia persilatan. Akan kucamkan semua nasihatmu. Lagi pula..., aku pun mempunyai seorang musuh besar yang harus kubinasakan! Seorang tokoh laknat yang telah membunuh ayah dan ibuku. Dia adalah Dewa Seribu Kepalan! Aku harus membalas dendam padanya agar arwah kedua orang tuaku tenteram di alam baka!"
Ada kebencian yang amat sangat di dalam ucapan Palasena. Raut wajah dan sorot matanya pun menyiratkan dendam menggelora. Dari sini saja bisa diperkirakan sakit hati yang melanda pemuda berpakaian coklat itu.
“Hhhh...!" Lawata menghembuskan napas berat. "Mudah-mudahan kau menemukan orang yang telah membuat kedua orang tuamu terbunuh, Sena."
"Pasti, Kek! Biar bersembunyi di ujung langit pun, akan terus kukejar! Hutang darah harus dibayar darah!" tandas Palasena tegas.
Lawata diam, tidak berkata-kata lagi. Dan karena Palasena tidak melanjutkan ucapannya, maka suasana menjadi hening.
"Kurasa, sudah tiba saatnya untuk berangkat, Sena," ujar Lawata. "Tidak baik berlama-lama di sini. Lagi pula, aku akan bersemedi dan tidak ingin diganggu hingga beberapa hari."
"Kalau demikian, aku berangkat sekarang juga, Kek," cepat Palasena mengambil keputusan.
Kini, tidak ada lagi keraguan di wajah Palasena. Keinginannya untuk terjun ke dunia persilatan langsung berkobar ketika teringat keinginannya. Dia harus mencari Dewa Seribu Kepalan untuk membalaskan sakit hati kedua orang tuanya.
"Lebih cepat lebih baik, Sena."
Hanya itu yang diucapkan Lawata. Dan ketika gema perkataan itu selesai, pengemis berkulit kemerahan itu melompat ke bawah. Padahal, dia masih berada dalam keadaan duduk bersila. Dan kini, tubuhnya melayang ke bawah.
Melihat hal ini, Palasena tidak mau kalah. Dia pun ikut melompat ke bawah tanpa merubah keadaan kaki. Sesaat kemudian, dengan keadaan duduk bersila tubuhnya meluruk turun. Kini, terlihat pemandangan aneh dan mungkin jarang terlihat dalam dunia persilatan. Dua sosok tubuh yang memiliki perbedaan menyolok dalam usia, sama-sama melayang turun ke tanah dengan keadaan bersila.
Tapi sekitar setengah tombak sebelum menyentuh tanah, baik Lawata maupun Palasena membuka lipatan kakinya. Maka....
Tappp!
Luar biasa! Lawata dan Palasena mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Bahkan mereka langsung berdiri di atas tanah.
"Berangkatlah, Sena! Camkan baik-baik semua nasihatku. Dan yang perlu kau ingat, berhari-hatilah! Dunia persilatan tidak selamanya jujur. Apalagi, bila kau bertempur dengan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Kau harus lebih hati-hati. Bagi mereka, yang penting dalam pertarungan adalah menang. Cara apa pun akan dilakukan untuk mencapainya!"
Usai berkata demikian, Pengemis berkulit kemerahan itu memberitahukan sebagian cara yang dipergunakan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam untuk memperoleh kemenangan.
Palasena mendengarkan penuh per-hatian. Disimaknya baik-baik semua ucapan Lawata. Dia yakin, perkataan pengemis berkulit kemerahan ini akan terbukti dalam pengembaraannya nanti.
Setelah cukup memberi pesan-pesan pada Palasena, Lawata memerintahkan pemuda berpakaian coklat itu untuk segera meninggalkan tempat itu. Dan agar tidak membuat Palasena bimbang, Palasena segera ditinggalkannya.
Lawata sengaja tidak menoleh-noleh, dan terus saja berjalan seolah-olah tidak mempedulikan Palasena lagi. Hal itu terpaksa dilakukan, agar tidak memberatkan langkah pemuda berpakaian coklat untuk terjun dalam dunia persilatan.
Sementara itu, Palasena pun membalikkan tubuh dan berjalan menempuh arah yang berlawanan dengan gurunya. Itu dilakukan ketika bayangan tubuh Lawata telah lenyap di balik gundukan batu besar.
Palasena sama sekali tidak tahu kalau Lawata memperhatikannya dari balik gundukan batu dengan mata berkaca-kaca. Pengemis berwajah kemerahan ini memperhatikan semua tindak-tanduk muridnya, penuh rasa haru.
Tampak olehnya Palasena mendorong perahu yang tertambat di pinggir pantai, ke air. Lalu, pemuda berpakaian coklat itu memasukkan bekal-bekalnya ke dalam perahu, dan segera mendayung hingga meninggalkan tempat tinggal Lawata.
Memang, tempat tinggal Lawata berada di sebuah pulau terpencil di tengah laut. Sambil mendayung, sebentar-sebentar Palasena menoleh ke arah pulau yang ditinggalkannya. Ada titik-titik air bening di sudut matanya, ketika teringat budi baik Lawata.
* * *
EMPAT
"Begitulah ceritanya, Ki. Hingga akhirnya, aku ada di sini," tutur Palasena, mengakhiri ceritanya.
Walaupun cerita Palasena demikian panjang, tapi Ki Tiwung tetap setia mendengarkan. Bahkan tanpa memotong sedikit pun.
"Dan salah satu alasan yang mendorong hatiku untuk datang ke sini sebenarnya karena perasaan rindu ingin melihat desa kelahiranku. Tapi, ternyata desa ini telah jauh berubah. Untung saja, aku ingat kedaimu yang belum begitu berubah. Dan lagi, ayah dan ibu juga sering mengajakku ke sini. Jadi, aku hapal juga tempatnya.”
"Ya! Kami memang bersahabat erat, Sena. Orangtua mu meskipun memiliki kepandaian tinggi, tapi tidak sombong. Hhh...! Sayang, nasibnya tidak begitu baik," keluh laki-laki kecil kurus itu.
"Itulah sebabnya aku kemari, Ki," celetuk Palasena. "Di samping karena rindu desa kelahiran, juga aku ingin mengetahui berita tentang keadaan di sini. Juga, aku ingin melihat apakah desa kelahiranku tetap aman seperti pada masa ayahku masih hidup!"
Wajah pemilik kedai itu berubah memucat. Malah sorot matanya menampakkan kebingungan. Karuan saja, hal ini membuat Palasena merasa heran bukan kepalang. Tapi sebelum sempat menanyakan sebab-musabab perubahan itu tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
"Ki Tiwung!"
Aneh! Meskipun bentakan itu terdengar mengejutkan hati, namun hampir tidak ada satu pun pengunjung kedai yang mengangkat kepala. Bahkan mereka malah menundukkan kepala. Meskipun demikian, masih tampak pucatnya wajah-wajah mereka!
Hanya ada tiga kepala yang tidak menunduk. Kepala pemilik kedai yang ternyata bernama Ki Tiwung, kepala Palasena, dan kepala seorang laki-laki berambut putih keperakan. Pakaiannya ungu. Sedangkan wajahnya tidak tampak jelas, karena tertutup sebuah caping bambu.
Laki-laki berambut putih keperakan itu tetap bersikap tenang. Sikapnya menunjukkan kalau keadaan panas yang mulai timbul, sama sekali tidak patut dikhawatirkannya. Dan dia terus saja menggeragoti potongan ayam panggang santapannya.
Raut wajah Ki Tiwung kontan memucat ketika melihat dua sosok tubuh yang berdiri di ambang pintu kedainya. Apalagi, ketika melihat tarikan wajah mereka yang kelam, dan sinar mata yang menyorotkan kemarahan. Maka, nyalinya kontan menciut.
Buru-buru laki-laki pemilik kedai itu bangkit dari duduknya, tanpa mendengar teguran Palasena. Kini yang ada di benaknya hanya dua orang kasar itu. Dan dengan tubuh terbungkuk-bungkuk, Ki Tiwung mendekati dua sosok tubuh itu.
"Bagaimana, Tiwung? Apakah pesanan pemimpin kami sudah beres?" tanya salah seorang dari dua sosok tubuh itu.
Dia adalah seorang laki-laki berwajah kasar dan berkumis melintang. Sambil mengajukan pertanyaan demikian, tangannya memelintir kumisnya yang tebal, lebat, dan melintang.
"Maafkan aku, Den Sangga.... Aku belum bisa memenuhi permintaan pemimpin kalian. Putriku Nawangsih, sukar dibujuk.... Berilah waktu lagi untuk membujuknya. Barangkali saja...."
"Kurang ajar...!" Sosok tubuh yang satu lagi menggeram, seraya menggerakkan tangannya. Dan....
Plakkk!
Keras bukan kepalang tamparan sosok tubuh orang kasar yang bertubuh pendek kekar itu. Apalagi, tamparannya mengenai sasaran dengan telak di pipi. Seketika itu juga, tubuh Ki Tiwung terpelanting!
"Ki...!" Palasena yang melihat kejadian itu menjerit kaget. Bahkan hampir berdiri dari kursinya. Menilik dari kedua tangannya yang terkepal kencang, bisa diketahui kalau pemuda berpakaian coklat ini telah bersiap-siap turun tangan.
Sementara itu, Ki Tiwung bergegas bangkit. Tampak di pipinya telah bergambar telapak tangan berwarna merah. Di sudut-sudut mulutnya tampak titik-titik darah segar!
"Percayalah, Den Raka. Aku pasti akan bisa membujuk Nawangsih untuk memenuhi permintaan pemimpin kalian. Tapi, tidak sekarang. Berilah aku waktu dan...."
"Omong kosong!" hardik laki-laki pendek kekar yang ternyata bernama Raka. Tidak hanya itu saja yang dilakukannya. Seiring selesai ucapannya, kedua tangannya bergerak mendorong.
"Minggir, Tua Bangka! Biar kami yang akan mengambilnya sendiri, Hih!"
Brukkk!
Untuk yang kedua kalinya, tubuh Ki Tiwung terkapar di lantai. Hanya saja, kali ini tidak terlalu sakit. Kecuali, rasa nyeri yang mendera pinggulnya. Masalahnya, dorongan Raka keras bukan kepalang sehingga membuat pinggulnya membentur lantai dengan keras pula.
"Manusia-manusia biadab...!"
Didahului bentakan keras menggelegar, Palasena bergerak menghampiri tempat Ki Tiwung dan dua orang laki-laki kasar itu berada. Memang, putra Pendekar Tombak Sakti ini sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Tindakan Sangga dan Raka memang sudah melampaui batas. Maka meskipun tidak mengetahui masalahnya, Palasena memutuskan untuk ikut campur.
Sangga dan Raka tentu saja mendengar seruan keras tadi. Maka seketika mereka membatalkan langkah saat hendak menuju ke bagian dalam kedai. Yang sekaligus menjadi tempat tinggal Ki Tiwung pula.
Dengan sorot mata penuh ancaman, Sangga dan Raka menatap Palasena yang tengah menghampiri mereka. Tampak wajah pemuda berpakaian coklat itu merah padam karena amarah yang menggelegak.
Tapi, ternyata bukan hanya Sangga dan Raka saja yang menatap Palasena. Semua pengunjung kedai pun mengangkat kepala, untuk melihat orang yang telah begitu berani menentang Sangga dan Raka.
Padahal, kedua orang kasar itu amat ditakuti penduduk Desa Sawang. Dan sebenarnya, kedua orang itu hanyalah segelintir orang-orang kasar yang telah menguasai desa ini. Di samping Sangga dan Raka, masih ada belasan orang kawan mereka yang juga berkepandaian lumayan. Itu pun masih ditambah sang pemimpin. Maka, tak ada satu penduduk yang berani menentang mereka.
Dulu, pernah ada orang-orang berkepandaian lumayan dari golongan putih yang datang untuk menumpas kelompok Sangga dan Raka ini. Tapi tidak pernah ada yang berhasil. Bahkan mereka semua tewas. Kalau tidak di tangan Sangga dan Raka, pasti di tangan sang pemimpin!
Maka melihat Palasena berani menentang Sangga dan Raka, para pengunjung kedai yang sebagian besar penduduk Desa Sawang, menatap disertai perasaan khawatir. Mereka sudah menduga kalau Palasena akan menjadi korban seperti orang-orang sebelumnya.
"Ha ha ha...!" Raka tertawa menghina. "Ada kucing pincang berlagak jadi macan! Lucu! Lucu dan menggelikan!"
"Kau akan membayar mahal atas tindakanmu yang sok pahlawan itu, Anjing Buduk!" Sangga ikut angkat bicara.
"Sena! Pergilah dari sini! Cepat, sebelum terlambat! Tidak usah kau campuri urusan ini! Kau akan celaka!" seru Ki Tiwung penuh kekhawatiran.
"Apa yang dikatakan Tiwung benar belaka, Kucing Pincang! Sudah tidak terhitung pahlawan kesiangan yang telah membuang nyawa di desa ini. Dan semua itu terjadi karena berani mencampuri urusan kami! Dan, kau pun akan mengalami nasib serupa!" desis Sangga yang mempunyai watak pemberang.
"O... rupanya kalian penjahat-penjahat hina yang menggunakan kekuatan untuk menindas si lemah?! Kebetulan sekali! Rupanya tidak sia-sia perjalananku kemari untuk melanjutkan perjuangan ayahku. Orang-orang macam kalian memang patut dibasmi!"
"Keparat! Mampuslah kau, Anjing Buduk! Hih...!"
Sangga menerjang Palasena disertai kemarahan menggebu-gebu. Kedua tangannya yang dikepalkan, dan langsung dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada pemuda berpakaian coklat itu.
Wut, wut, wut!
Deru angin yang cukup kuat mengiringi tibanya pukulan beruntun Sangga. Jelas, serangan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam cukup kuat.
Tapi Palasena bukan lawan empuk. Dia itu telah mendapat warisan seluruh ilmu Lawata, seorang pengemis sakti! Maka menghadapi serangan seperti itu, sikapnya demikian tenang. Ditunggunya hingga pukulan lawan mendekat, kemudian tangannya diulurkan.
Kelihatannya sembarangan saja Palasena menggerakkan tangan. Tapi, akibatnya cukup hebat. Dan tahu-tahu, kedua pergelangan tangan Sangga telah tercekal. Dan sekali pemuda berpakaian coklat itu memutarkan pergelangan tangannya, sambungan kedua pergelangan Sangga pun terlepas.
"Akh...!" Sangga memekik kesakitan karena perasaan nyeri yang melanda seketika. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Palasena bergerak membetot. Tak pelak lagi, tubuh Sangga pun tertarik ke depan. Maka, saat itulah jari telunjuk kanan Palasena meluncur ke arah samping leher.
Tukkk!
"Akh!" Tubuh Sangga kontan terkulai. Dan ketika Palasena melepaskan cekalannya, tubuh laki-laki kasar itu ambruk ke lantai. Sangga tewas seketika, dengan totokan Palasena yang mendarat di jalan darah kematiannya!
Semua pasang mata yang berada di dalam kedai membelalak lebar melihat kematian Sangga yang demikian mudah. Sama sekali tidak disangka kalau Palasena akan selihai itu.
Namun, orang yang paling terkejut adalah Raka. Hampir tidak dipercaya pemandangan yang disaksikannya. Sangga tewas hanya dalam segebrakan. Jadi, betapa dia tidak menjadi kaget?
Dari heran, Raka menjadi murka. Walaupun telah dilihat sendiri bukti kelihaian Palasena, kegentaran Raka tidak susut Pada pikirnya, Sangga tewas karena terlalu ceroboh.
Srattt!
Sinar terang berkeredep, ketika Raka mencabut senjatanya berupa sebuah golok besar. Dan dengan senjata terhunus di tangan, diterjangnya Palasena.
Singgg!
Dibarengi desingan yang menyakitkan telinga, golok besar itu meluncur ke arah leher Palasena. Seketika itu juga, semua pengunjung kedai menundukkan kepala. Terutama sekali Ki Tiwung. Mereka tidak sanggup melihat kepala pemuda berpakaian coklat itu terlepas dari badannya karena babatan golok Raka.
Namun ada seorang pengunjung kedai yang tidak menundukkan kepala. Bahkan malah menatap ke arah pertarungan. Dia adalah laki-laki berpakaian ungu yang mengenakan caping bambu di kepalanya.
Sementara itu, di arena pertarungan, Palasena tetap bersikap tenang menghadapi serangan golok itu. Baru ketika telah hampir mendekati sasaran, tangannya bergerak cepat. Dan....
Tappp!
Gila! Mata golok yang tajam itu malah ditangkapnya dengan jari-jari tangan telanjang. Hebatnya, tidak sedikit pun tangan itu terluka. Seakan-akan yang dicekalnya hanyalah sebatang ranting. Dan ternyata tindakan Palasena tidak berhenti sampai di situ saja. Tangannya yang menggenggam golok segera disodokkan.
Hal ini membuat Raka terperanjat, karena mengetahui bahaya yang tengah mengancam. Maka buru-buru seluruh tenaganya dikerahkan untuk mempertahankan diri.
Tapi, usaha Raka sia-sia! Apalagi kekuatan tenaga dalam mereka terpaut terlalu jauh. Betapapun telah dikerahkan tenaganya, tetap saja golok itu meluncur terus ke arah perutnya. Lancar tanpa hambatan!
Blesss!
"Akh...!" Raka meraung ketika golok itu menghunjam perutnya. Padahal, bukan mata golok yang terlebih dulu menembus perutnya, melainkan gagangnya. Tapi meskipun demikian, tetap saja menembus sampai ke punggung.
Darah muncrat-muncrat seiring limbungnya tubuh Raka yang tengah meregang nyawa. Dan ketika Palasena melepaskan genggamannya pada golok itu, tubuh Raka pun ambruk ke tanah. Laki-kali itu langsung diam untuk selama-lamanya.
LIMA
Suasana di dalam kedai kontan gempar. Semua pengunjung bergegas bangkit dari kursinya masing-masing, karena tidak ingin ikut terbawa sial. Sangga dan Raka telah tewas. Dan kejadian itu saja sudah membuat kawan-kawannya mempunyai alasan untuk membasmi semua orang yang berada di situ. Dan hal seperti itu memang pernah terjadi.
Hanya laki-laki berpakaian ungu yang masih tetap duduk di tempatnya. Diperhatikannya saja para pengunjung yang saling dahulu mendahului keluar. Dan ternyata bukan hanya para pengunjung itu saja yang menjadi kalap, Ki Tiwung pun demikian pula.
"Kenapa mesti jadi begini, Sena?! Celaka! Kawan-kawan kedua orang ini pasti datang untuk menuntut balas! Cepat tinggalkan tempat ini! Cepat, sebelum mereka datang!"
"Kuucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatianmu pada keselamatanku, Ki. Tapi, aku bukan seorang pengecut yang hanya berani berbuat tanpa bertanggung jawab!"
Lantang dan tegas ucapan Palasena, sehingga membuat Ki Tiwung diam. Disadari kalau Palasena tidak mungkin bisa dibujuk untuk meninggalkan tempat itu. Ada tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan dalam ucapannya.
"Lagi pula bila aku pergi, maka para penduduk desa ini yang menjadi pelampiasan kemarahan mereka. Terutama sekali, kau, Ki. Dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi," sambung Palasena lagi. "Biar akan kuhadapi mereka, apa pun yang terjadi!"
"Hhh!"
Ki Tiwung hanya bisa menghela napas berat. Dalam hatinya, dia memuji sikap Palasena. Pemuda berpakaian coklat ini ternyata mempunyai pendirian yang teguh!
Sementara, Palasena mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tampak seisi kedai sudah sepi. Tidak ada pengunjung lagi yang tergopoh-gopoh untuk keluar. Memang, mereka semua telah keluar dari kedai dengan meninggalkan pembayaran atas pesanannya di meja masing-masing.
Namun Palasena terperanjat juga ketika melihat ada seorang pengunjung yang belum keluar kedai dan masih duduk tenang di kursinya. Bahkan sambil mengge-ragoti potongan ayam panggang. Mengapa orang ini tidak ikut keluar?
Perasaan heran yang melanda, membuat Palasena menatap sekujur tubuh laki-laki berpakaian ungu penuh selidik. Seketika itu pula, muncul kernyitan pada dahinya. Keadaan sosok tubuh itulah yang membuat Palasena bingung.
Tampak jelas kalau laki-laki berpakaian ungu itu mempunyai rambut panjang berwarna putih keperakan. Tapi, mengapa tubuhnya tampak demikian kekar? Bahkan kedua tangan yang tengah sibuk memegang potongan ayam panggang yang sesekali dibawa ke mulutnya tampak kekar dan tidak berkeriput! Aneh!
Sayangnya, Palasena tidak bisa melihat wajah laki-laki berpakaian ungu itu. Karena di samping laki-laki berambut putih keperakan itu mengenakan caping, makannya pun sambil menundukkan kepala. Sehingga, yang terlihat hanyalah caping bambu dan juntaian rambut yang melewati leher.
"Kau kenal orang itu, Ki," bisik Palasena sambil menoleh ke arah Ki Tiwung.
Laki-laki pemilik kedai itu menggelengkan kepala. "Dia seperti juga kau, Sena! Baru sekali bersantap di sini," jawab Ki Tiwung dengan suara tak kalah pelan.
"Hm...!" Palasena hanya bisa mengguman pelan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sementara, sepasang matanya masih tertuju pada laki-laki bercaping bambu itu disertai perasaan curiga.
"Memangnya kenapa, Sena?" tanya Ki Tiwung ingin tahu.
"Orang ini kelihatan mencurigakan, Ki. Jangan-jangan dia merupakan anggota gerombolan itu...."
"Tidak, Sena!" Ki Tiwung menggelengkan kepala. "Aku tahu betul. Tidak ada anggota gerombolan itu yang mempunyai ciri-ciri seperti dia!”
Palasena kontan terdiam. "Bisa kau ceritakan padaku, siapa mereka dan apa yang tengah terjadi di desa ini, Ki?" tanya Palasena
Ki Tiwung tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia tengah membuang sebuah ganjalan yang bersarang di dalam rongga dadanya.
"Kejadiannya berawal dari tewasnya ayahmu, Sena," Ki Tiwung mulai membuka cerita.
"Jadi.., pengacau-pengacau itu mempunyai hubungan dengan si Keparat Dewa Seribu Kepalan?!" tukas Palasena, geram.
"Bukan demikian maksudku, Sena," sahut Ki Tiwung masih tetap tenang. "Gerombolan ini sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Dewa Seribu Kepalan, tapi dengan murid-murid Memedi Tangan Api! Mereka semua tadi adalah pengikut Memedi Tangan Api! Entah, siapa itu Memedi Tangan Api. Aku sendiri sama sekali tidak mengetahuinya. Yang kutahu, gerombolan itu datang kemari, dua tahun setelah kematian ayahmu!"
"Dan selama itu..., mereka telah mengacau desa ini?" tanya Palasena, untuk mendapatkan kepastian.
Ki Tiwung menganggukkan kepala.
"Hal ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus menumpasnya! Hhh...! Kalau tidak karena perbuatan Dewa Seribu Kepalan, desa ini tidak akan diporak-porandakan orang!" tandas Palasena geram. "Apabila urusan ini telah kuselesaikan, akan kucari Dewa Seribu Kepalan! Biar ke perut bumi sekalipun kau bersembunyi, tetap akan kukejar!"
Ki Tiwung tidak menyambuti. Dia tahu perasaan yang tengah berkecamuk dalam hati Palasena. Itulah sebabnya, laki-laki tua ini mengambil sikap demikian.
"Aku mendengar banyak langkah kaki menuju kemari, Ki," kata Palasena. "Kau tunggu di sini. Biar aku yang akan menyambut kedatangan mereka di luar, agar kedaimu tidak hancur."
Pemuda berpakaian coklat itu lalu melesat keluar. Luar biasa! Hanya dengan sekali lesat saja, dia telah berada di luar. Bahkan bentuk tubuhnya hampir tidak terlihat ketika melesat. Yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan coklat yang, tahu-tahu telah berada di depan pintu kedai.
Ki Tiwung menggeleng-gelengkan kepala melihat hal ini. Sungguh tidak disangka kalau Palasena akan selihai ini. Meskipun demikian, dia tidak yakin kalau Palasena akan mampu menghadapi gerombolan itu.
Ki Tiwung tercenung, dan hatinya dilanda kebimbangan. Apakah dia di dalam saja, atau keluar untuk menemani pemuda berpakaian coklat itu. Setelah mempertimbangkannya masak-masak diputuskannya untuk ikut keluar.
Tapi baru saja melangkah beberapa tindak, sesosok bayangan ungu melintas di hadapannya. Gerakannya cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanya sekelebat bayangan ungu yang tidak jelas bentuknya.
Karena tahu kalau yang berada di dalam kedai hanya laki-laki berambut putih keperakan, Ki Tiwung segera menolehkan kepala ke sana. Dan ternyata, dugaannya benar! Laki-laki berpakaian ungu sudah tidak ada lagi di tempatnya semula. Buktinya, kursi tempat duduknya telah kosong.
Ki Tiwung menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata, laki-laki berambut putih keperakan yang diduga seorang kakek itu memiliki kepandaian tinggi pula. Buktinya, dia mampu melesat tanpa bisa dilihat.
Tapi, Ki Tiwung buru-buru melupakan hal itu. Segera langkahnya dilanjutkan kembali. Sehingga beberapa saat kemudian, dia telah berada di luar kedai.
Ki Tiwung kini melihat Palasena tengah berdiri berjarak tiga tombak di depannya. Sikap pemuda berpakaian coklat itu tampak tenang. Padahal, tak jauh di depannya tengah bergerak mendatangi belasan orang laki-laki berwajah dan bersikap kasar.
Dada Ki Tiwung berdebar tegang melihat hal ini. Hatinya merasa cemas bukan kepalang. Karena disadari, bila Palasena gagal menahan serbuan gerombolan itu, dia dan anaknya akan menjadi korban kemarahan rekan-rekan Sangga dan Raka.
Mendadak, Ki Tiwung teringat kembali pada laki-laki berpakaian ungu yang tadi berada dalam kedainya. Kemana gerangan laki-laki itu? Di pihak manakah dia berdiri? Kalau di pihak lawan, jelas akan semakin menambah beratnya beban Palasena! Buktinya ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi.
Teringat akan hal itu, Ki Tiwung pun mengedarkan pandangan. Tapi, ternyata tetap saja tidak dijumpai keberadaan laki-laki bercaping bambu tadi.
"Sudah pergikah orang itu?" tanya Ki Tiwung dalam hati. "Kalau sudah pergi, memang lebih baik ketimbang berada dipihak lawan. Hhhh..."
Tanpa sadar, Ki Tiwung menghela napas sambil mendongakkan kepala. Kontan sepasang matanya terbelalak lebar, karena orang yang dicari-carinya ternyata berada di atas cabang sebatang pohon yang tumbuh lima tombak dari depan kedainya.
Ki Tiwung mengucek-ngucek matanya untuk meyakinkan kalau tidak salah lihat. Betapa tidak bingung? Di situ, tampak laki-laki bercaping itu tengah duduk bersila di atas sebuah cabang pohon kecil sebesar ibu jari kaki! Bahkan cabang pohon itu sampai melengkung, karena hampir tak mampu menahan bobot laki-laki berpakaian ungu itu. Tapi hebatnya, tubuh laki-laki itu sama sekali tidak bergeming!
Setelah beberapa kali mengucek-ngucek mata, ternyata pemandangan itu masih tetap terlihat oleh Ki Tiwung. Kini laki-laki tua itu yakin kalau sepasang matanya tidak keliru! Maka kontan bulu kuduk laki-laki pemilik kedai ini pun merinding. Apakah laki-laki berambut putih keperakan itu bukan manusia? Atau memang hantu?
Perasaan takut yang muncul, memaksa Ki Tiwung mengalihkan pandangan ke arah Palasena yang tengah berdiri menunggu tibanya gerombolan teman-teman Sangga dan Raka.
Ternyata gerombolan itu telah berjarak empat tombak dari Palasena yang masih juga berdiri tenang. Dan ketika telah berjarak tiga tombak, mereka semua menghentikan langkah. Dan kini, kedua belah pihak telah saling berhadapan. Palasena seorang diri, sedangkan gerom-bolan itu berjumlah belasan.
Palasena menatap wajah orang-orang kasar yang berdiri di hadapannya. Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau mereka, memiliki kepandaian yang tidak jauh berbeda dengan Sangga dan Raka.
Hanya satu orang saja yang mendapat perhatian lebih dari Palasena, yakni seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, dan berkepala botak. Sebuah rompi berwarna hitam tampak membungkus tubuhnya yang pendek gemuk. Perutnya yang gendut, membuat rompi yang dikenakannya tidak mampu menutup seluruh bagian depan tubuhnya.
"Inikah yang disebut sang Pemimpin?" tanya Palasena dalam hati.
Palasena menduga demikian, karena melihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki pendek gemuk ini dengan belasan orang lainnya. Buktinya, gerombolan orang kasar itu terlihat menghormati orang ini. Ditambah lagi, langkah kaki dan sorot matanya semakin meyakinkan Palasena akan kebenaran dugaannya.
Langkah kaki laki-laki pendek gemuk itu terlihat ringan dan gesit, tidak terlihat kalau bentuk tubuhnya menyulitkan langkahnya. Sementara, sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam menatap bengis ke arah Palasena.
"Kaukah orang yang telah membunuh anak buahku, Keparat Busuk?!" tanya laki-laki pendek gemuk itu, penuh ancaman.
"Benar!" Palasena menganggukkan kepala. "Bahkan bukan hanya mereka berdua saja yang akan kulenyapkan. Tapi juga kau dan semua orang-orangmu!"
"Keparat! Kau benar-benar tidak tahu penyakit, Anjing Buduk?! Tidak tahukah, dengan siapa kau berhadapan sekarang?!" bentak laki-laki berperut gendut itu.
"Aku memang tidak kenal orang yang tengah berada di hadapanku. Yang jelas, sekarang aku tengah berhadapan dengan seorang penjahat rendah yang hanya berani menindas orang-orang tidak berdaya!" sambut Palasena, lantang.
"Keparat! Cincang dia!" teriak laki-laki berkepala botak itu, keras sambil mengibaskan tangan ke depan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang di belakangnya yang sejak tadi sudah tidak sabar, segera bergerak.
Srattt, singgg, wukkk!
Desing suara senjata kontan terdengar ketika belasan orang itu mengeluarkan senjata masing-masing. Golok, pedang, tombak, dan trisula telah tergenggam di tangan masing-masing. Dalam siraman sinar matahari siang, kilatan lidah senjata gerombolan itu sangat menyilaukan mata. Sehingga, membuat Ki Tiwung terpaksa menutup mata karena silau.
"Hiaaat..,!"
Diiringi teriakan-teriakan keras yang membahana, belasan orang itu meluruk ke arah Palasena. Senjata-senjata di tangan masing-masing langsung bergerak, disertai suara mendesing nyaring.
Namun Palasena tidak gugup melihat hujan berbagai macam senjata yang meluruk ke arahnya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia tidak berdiam diri. Pemuda berpakaian coklat itu melesat, menyambut serbuan lawan-lawannya. Hebatnya, Palasena hanya menggunakan tangan kosong.
Laki-laki berperut gendut itu mengerutkan alisnya ketika melihat Palasena sama sekali tidak menggunakan senjata. Ini menandakan kalau pemuda berpakaian coklat itu merasa yakin akan kemampuannya dalam menundukkan lawan-lawan dengan tangan kosong. Dan hal itu berarti tingkat kepandaian Palasena tidak bisa dianggap remeh.
Melihat hal itu, membuatnya jadi penasaran. Benarkah Palasena mampu menghadapi dan mengalahkan serbuan anak buahnya dengan tangan kosong? Maka dengan penuh perhatian, pandangannya dipalingkan ke arah pertarungan.
Laki-laki bertubuh pendek gemuk ini bukan satu-satunya orang yang menyaksikan jalannya pertarungan. Masih banyak penonton pertarungan Palasena. Dua di antaranya adalah laki-laki berambut putih keperakan, dan Ki Tiwung.
Di samping mereka, ada juga orang-orang yang menyaksikan jalannya perta-rungan secara sembunyi-sembunyi. Mereka adalah para penduduk desa yang mengintai dari tempat tersembunyi. Baik melalui celah-celah dinding, pintu, maupun jendela.
Sementara itu, kedua belah pihak yang tengah bertarung sama sekali tidak mempedulikan sekelilingnya. Masing-masing memusatkan perhatian pada lawan yang tengah dihadapi. Memang, baik Palasena maupun lawan-lawannya berusaha untuk secepatnya membunuh satu sama lain.
Itulah sebabnya, Palasena harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang dimiliki, dikeluarkan semua. Akibatnya pun menakjubkan. Setiap serangan anggota gerombolan itu selalu mengenai tempat kosong.
Dalam pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Palasena bagaikan berubah menjadi bayangan. Malah dengan mudah tubuhnya menyelinap ke sana kemari, di sela-sela hujan serangan senjata lawan-lawannya. Palasena benar-benar membuat lawan-lawannya seakan-akan tengah menye-rang bayangan.
Tentu saja yang dilakukan Palasena tidak hanya mengelak saja. Sering pula dia menangkis. Bahkan dengan tangan telanjang! Hebatnya, setiap serangan golok, tombak, pedang, dan trisula, tidak membuat kulit tangannya lecet. Memang dalam lindungan tenaga dalamnya, tangan pemuda berpakaian coklat itu tidak kalah kuat dibanding senjata-senjata lawannya.
Maka tidak aneh bila pertarungan baru berlangsung beberapa gebrakan, korban di pihak lawan telah jatuh. Palasena memang tidak main-main dalam bertindak. Pengeroyok yang sial itu langsung tewas setelah mengeluarkan lolong kematian yang membuat bulu roma berdiri.
Dan sebelum jeritan kematian itu lenyap, kembali terdengar lolong kematian lainnya, diikuti robohnya sesosok tubuh ke tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Hebat bukan kepalang sepak terjang Palasena. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, satu nyawa pasti roboh ke tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Dalam waktu sebentar saja, lawan-lawan yang dihadapinya hanya tinggal empat orang! Tidak heran, akhir dari pertarungan sudah bisa ditebak.
"Keparat!" Laki-laki berperut gendut tidak bisa menahan kesabaran lagi. Memang, sudah sejak tadi hatinya geram melihat kematian anak buahnya satu persatu. Maka begitu ucapan makiannya keluar, kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya segera telah meluruk ke arah Palasena membawa ancaman kematian.
Gerakan laki-laki berkepala botak ini tampak aneh. Malah, lompatan yang dilakukannya, lebih mirip lompatan seekor kodok. Apalagi, jangkauan lompatannya memang amat jauh.
Palasena tahu adanya serangan dari laki-laki berkepala botak itu. Tapi karena saat itu serangannya tengah meluncur ke arah salah seorang lawan, maka diputuskannya untuk meneruskan serangannya lebih dulu.
"Akh!" Kembali terdengar jerit kematian dari salah seorang gerombolan pengacau Desa Sawang, ketika jari tangan Palasena menotok jalan darah kematian di leher. Maka, orang itu kontan roboh tanpa nyawa di tanah.
Pada saat yang hanya sekejapan mata, laki-laki berkepala botak itu telah berada di dekatnya. Dan begitu Palasena menarik pulang tangannya, pemimpin gerombolan itu menghentakkan kedua tangannya ke arah dada.
Melihat hal ini, tanpa pikir panjang lagi Palasena langsung memapak serangan lawan dengan gedoran kedua tangannya pula. Keadaan jari-jari tangannya pun terbuka, seperti halnya laki-laki gemuk itu.
"Jangan lakukan itu, Sena!"
Terdengar seruan keras menggelegar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Jelas, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Palasena terkejut mendengar peringatan itu. Dan ketika hidungnya mencium bau amis yang memuakkan dari kedua tangan lawan, baru disadari adanya bahaya mengancam. Rupanya, serangan lawan mengandung racun ganas. Tapi, kesadaran yang datang telah terlambat! Karena....
Plakkk!
Benturan keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh masing-masing sama-sama terjengkang ke belakang.
Lelaki pendek gemuk menyeringai saat merasakan kedua tangannya seperti lumpuh ketika benturan terjadi Jelas, tenaga dalam Palasena jauh lebih kuat ketimbang dirinya. Bukan itu saja. Tubuhnya pun juga melayang ke atas. Memang, sewaktu benturan tadi terjadi, tubuhnya tengah berada di udara.
Setelah melayang sejauh beberapa tombak, laki-laki berkepala botak ini berhasil mendarat di tanah. Meskipun, dengan agak sempoyongan. Langsung dikerahkannya tenaga untuk menghilangkan rasa sesak di dada dan sakit-sakit pada kedua tangan, akibat benturan keras tadi.
Memang buruk keadaan yang dialami kepala gerombolan pengacau itu. Tapi, masih lebih buruk lagi keadaan yang diderita Palasena. Meskipun murid Lawata itu hanya terhuyung satu langkah ke belakang, tapi keadaannya lebih mengkhawatirkan.
Kedua telapak tapak tangannya segera penuh bintik-bintik merah. Yang lebih mengerikan, perlahan-lahan bintik-bintik itu merayap naik ke atas disertai rasa gatal, panas, dan nyeri!
"Akh...!"
ENAM
Palasena memekik tertahan. Padahal, telah diusahakan dengan sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan jeritan itu. Tapi, ternyata tidak mampu juga. Pengaruh racun itu memang terlalu kuat untuk bisa ditangkal.
"Cepat kemarikan tanganmu! Jangan lalai!" Dan seiring lenyapnya gema suara itu, di sebelah Palasena telah berdiri seorang laki-laki berpakaian ungu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Palasena segera mengulurkan kedua tangannya. Kekhawatiran yang amat sangat terhadap akibat racun, membuatnya harus melupakan dugaan sebelumnya. Palasena tidak ingat lagi kalau sebelumnya sudah menaruh curiga terhadap laki-laki bercaping bambu ini.
Palasena memang telah melupakan kecurigaannya. Dia tahu pasti, laki-laki berambut putih keperakan itu bukan orang yang patut dicurigai. Suara laki-laki berpakaian ungu ini dikenalinya betul sebagai suara yang tadi mencegahnya agar jangan membenturkan tangan dengan lawan.
Memang, orang berpakaian ungu itu tadi segera melompat turun dari cabang pohon yang diduduki, ketika melihat Palasena keracunan. Dan begitu Palasena mengangsurkan tangan, segera ditotoknya beberapa jalan darah pada kedua tangan itu. Ini dilakukan untuk mencegah racun agar tidak menjalar lebih jauh.
"Apa yang kau rasakan, Sena?" tanya laki-laki berambut putih keperakan itu, seraya menatap wajah Palasena yang dibanjiri peluh.
“Tanganku terasa gatal, perih, dan panas sekali," jawab Palasena sambil menggigit bibir.
"Kalau begitu, kau telah terkena racun yang mengandung hawa panas," jelas laki-laki berambut putih keperakan itu.
"Ah! Kalau begitu, aku punya obatnya. Guruku telah memberi bekal padaku berupa obat penawar beberapa macam racun. Tolong ambilkan obatku, Kek," pinta Palasena pada laki-laki bercaping itu.
Tapi sebelum laki-laki berpakaian ungu itu melaksanakannya, laki-laki pendek gemuk yang menjadi lawan Palasena tadi telah meluruk ke arah Palasena. Dia tidak membiarkan laki-laki muda itu diobati. Kini, kedua tangannya tidak kosong seperti sebelumnya, karena telah tergenggam sepasang kapak kecil berwarna hitam mengkilat.
"Orang sepertimu ingin menumpas Gajah Kecil Berbisa? Sungguh mengagumkan. Apa kau punya nyawa rangkap, heh?! Sekarang, terimalah kematianmu! Hih!"
Sepasang kapak berwarna hitam di tangan laki-laki bertubuh pendek gemuk yang ternyata berjuluk Gajah Kecil Berbisa itu meluncur ke arah Palasena dengan gerakan menggunting.
Palasena terperanjat sesaat melihat datangnya ancaman maut ini. Dia sudah bersiap-siap untuk melompat ke belakang, tapi cepat diurungkan ketika laki-laki bercaping itu telah lebih dulu bergerak. Tangan kanannya bergerak mengambil caping yang menutup kepalanya, lalu dikibaskan.
Wunggg!
Trakkk!
Serangan kapak Gajah Kecil Berbisa langsung kandas terbentur caping bambu yang dilemparkan laki-laki berambut putih keperakan. Dan akibatnya, penutup kepala itu hancur berantakan. Namun meskipun demikian, tubuh Gajah Kecil Berbisa terhuyung-huyung karenanya. Jelas, tenaga yang terkandung dalam lemparan caping itu kuat bukan kepalang.
“Hahhh...?!" Sepasang mata Palasena langsung terbelalak ketika melihat wajah laki-laki berambut putih keperakan yang tadi disapa dengan panggilan kakek. Wajah laki-laki itu ternyata masih muda. Paling tidak usianya baru dua puluh dua tahun. Di samping muda, wajahnya pun tampak tampan dan gagah. Bahkan masih lebih tampan ketimbang Palasena!
Jadi, tidak aneh kalau Palasena terkejut bukan kepalang. Memang, siapa sangka kalau pemilik rambut yang berwarna putih keperakan itu ternyata seorang pemuda!
"Namaku Arya Buana, Sena. Orang-orang biasa memanggilku Arya!" kata pemuda berambut putih keperakan yang memang Arya alias Dewa Arak. "Maaf, aku tadi telah mendengarkan pembicaraanmu dengan pemilik kedai ini. Jadi, akupun telah tahu namamu."
Usai berkata demikian, Arya lalu mengulurkan tangannya ke balik baju Palasena. Diambilnya buntalan kain hitam, lalu isinya dikeluarkan. Ternyata, obat pulung berwarna coklat.
"Apakah ini obat yang kau maksud?" tanya Arya meminta kepastian.
Tanpa ragu sedikit pun, Palasena menganggukkan kepala. Dan Arya pun segera memasukkan obat pulung itu ke dalam mulut Palasena.
Sebelum Arya mengembalikan buntalan itu ke tempat semula, serangan Gajah Kecil Berbisa kembali meluncur. Sepasang kapak di tangannya dibabatkan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh lawannya, yang kini adalah Dewa Arak. Gajah Kecil Berbisa benar-benar tidak tahu penyakit! Jangankan menghadapi Dewa Arak, melawan Palasena saja belum tentu menang.
Sementara itu, Dewa Arak sama sekali tidak gugup melihat serangan datang. Tanpa menggeser kaki, tubuhnya segera dicondongkan ke belakang. Hasilnya, serangan-serangan kapak Gajah Kecil Berbisa lewat beberapa jari di depan tubuhnya. Dan, pada saat itulah, kaki kanan Dewa Arak bergerak menendang dua kali.
Tuk, tuk!
"Akh!" Gajah Kecil Berbisa memekik tertahan. Kedua kapak di tangannya kontan terlempar jauh ketika kedua kaki Dewa Arak telak mengenai pergelangan tangan-nya, hingga terasa lumpuh. Dan sebelum laki-laki bertubuh pendek gemuk itu sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Dewa Arak telah meluncur ke arah perutnya.
Bukkk!
"Hugh!" Tubuh Gajah Kecil Berbisa kontan terjengkang ke belakang dan terbanting keras di tanah. Bahkan langsung tidak sadarkan diri tanpa sempat mengeluh lagi.
Palasena benar-benar takjub melihat Dewa Arak yang dengan mudahnya merobohkan Gajah Kecil Berbisa. Memang, dia mampu pula merobohkan laki-laki berperut gendut itu, tapi tidak akan secepat itu. Palasena segera sadar kalau pemuda berambut putih keperakan itu pasti memiliki kepandaian amat tinggi. Maka, dia segera mengingat-ingat cerita gurunya tentang tokoh-tokoh persilatan yang terkenal. Hanya sebentar saja waktu yang dibutuhkannya, dan dia langsung teringat.
"Jadi..., kau Dewa Arak?!" tanya Palasena tergagap.
Palasena benar-benar tidak menyangka akan bertemu Dewa Arak. Ki Lawata maupun Garuda Cakar Lima sering menceritakan padanya tentang tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan. Bahkan kedua orang pendidiknya itu tampak sangat mengagumi Dewa Arak!
"Begitulah julukan yang diberikan orang persilatan padaku, Sena. Tapi, aku lebih suka kau memanggilku Arya," sahut pemuda berambut putih keperakan itu, buru-buru.
Palasena hanya tersenyum saja, tanpa menyambuti ucapan Arya.
"Rupanya obat yang diberikan gurumu manjur, Sena," kata Arya.
Palasena segera memandang ke arah kedua tangannya. Dan ternyata, memang benar. Bintik merah pada kedua tangannya sudah mulai melenyap. Sampai akhirnya, lenyap sama sekali. Mendadak....
"Selamat tinggal, Sena!"
Palasena terperanjat mendengar ucapan itu. Tapi belum sempat berkata apa-apa, Arya telah melesat meninggalkan dirinya. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu telah belasan tombak di depan.
"Hhh...!" Palasena hanya bisa menghela napas, tanpa berusaha mengejar. Dia sadar, hal itu akan sia-sia. Jarak antara mereka terpaut terlalu jauh. Lagi pula, hanya sekali lihat saja, pemuda berpakaian coklat itu bisa menilai kalau ilmu lari Dewa Arak jauh di atasnya.
"Guru dan Ki Lawata ternyata tidak salah dalam hal mengagumi orang. Dewa Arak memang merupakan seorang tokoh kosen yang patut dikagumi," kata Palasena dalam hati.
Palasena terus menatap tubuh Dewa Arak, hingga lenyap di kejauhan. Dalam pertemuan sekali saja, Palasena telah kagum pada Dewa Arak. Gerak-gerik Dewa Arak terlihat begitu tenang. Sikapnya terlihat demikian matang.
Baru setelah tubuh Dewa Arak tidak terlihat lagi, Palasena melangkah menuju kedai. Ki Tiwung yang sejak tadi hanya memperhatikan, segera melangkah mengikuti. Sesaat kemudian, seisi Desa Sawang gempar ketika terdengar berita dari mulut ke mulut kalau Gajah Kecil Berbisa bersama rombongannya telah berhasil ditumpas putra Pendekar Tombak Sakti yang datang bersama kawannya.
* * *
"Apa?! Tidak salahkah berita yang kudengar ini, Sena?!"
Pertanyaan bernada kaget terdengar dari mulut seorang kakek kecil kurus berwajah pucat, seperti orang penyakitan. Sepasang matanya merayapi selebar wajah Palasena penuh selidik.
"Tidak, Guru. Memang itulah maksudku sejak pertama kali mempelajari ilmu silat," sahut Palasena yang duduk bersila di hadapan gurunya.
"Bisa kau beritahukan padaku, apa maksudmu mencari Dewa Seribu Kepalan dan membalas dendam padanya?" tanya Garuda Cakar Lima setelah terlebih dulu menghela napas berat.
Palasena tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia termenung untuk mencari kata-kata yang tepat, guna memulai ceritanya. Memang, pemuda berpakaian coklat belum pernah menceritakan tentang sakit hatinya. Maka ketika keinginan hatinya diutarakan, Garuda Cakar Lima terkejut bukan kepalang.
"Si Keparat Dewa Seribu Kepalan telah membunuh ayah dan ibuku, Guru," jawab Palasena, penuh dendam.
"Hentikan makianmu terhadap Dewa Seribu Kepalan, Sena! Dari siapa cerita busuk seperti itu kau dapat?!" hardik Garuda Cakar Lima keras penuh kemarahan.
“Tapi itu bukan cerita busuk, Guru. Buktinya seluruh penduduk Desa Sawang menyaksikan pertarungan yang berlangsung antara ayah dan Dewa Seribu Kepalan. Bibiku pun mengatakan kalau pembunuh ayah dan ibuku adalah Dewa Seribu Kepalan!" bantah Palasena tak mau kalah.
"Hhh...!" Garuda Cakar Lima menghela napas, melihat sikap keras muridnya. "Apakah kau sudah menceritakan maksudmu ini pada Ki Lawata?!"
"Sudah, Guru."
"Bagaimana sambutannya, Sena?" tanya Garuda Cakar Lima penuh gairah.
Palasena menggelengkan kepala. "Ki Lawata sama sekali tidak mengatakan apa pun. Aku hanya disuruhnya mengamalkan ilmu yang kumiliki. Dia pun menyuruhku untuk mencari Memedi Tangan Api dan Iblis Tanpa Wajah."
"Hanya itu?!" celetuk Garuda Cakar Lima, setengah tidak percaya.
Kembali Palasena menganggukkan kepala. Garuda Cakar Lima tercenung. "Memangnya ada apa Guru?" tanya Palasena heran melihat sikap Garuda Cakar Lima.
“Tidak apa," jawab Garuda Cakar Lima setengah mendesah. "Hanya saja aku merasa heran, mengapa Ki Lawata tidak menceritakannya padamu."
"Maksud, Guru?" desak Palasena ingin tahu.
"Mengenai kematian ayahmu di tangan Dewa Seribu Kepalan!" "Aku masih belum mengerti maksud guru,” dahi pemuda berpakaian coklat itu berkernyit dalam.
Garuda Cakar Lima menatap wajah Palasena lekat-lekat. "Lupakanlah, Sena. Kelak, kau pun akan tahu. Hanya kalau kau bersedia mendengar saranku, lupakan saja niatmu untuk membalas dendam pada Dewa Seribu Kepalan. Oh, ya. Apakah Ki Lawata pernah menceritakan padamu tentang Dewa Seribu Kepalan?!"
Palasena menggelengkan kepala. Garuda Cakar Lima mengernyitkan dahi. "Benar-benar aku tidak habis mengerti tindakan Ki Lawata, Sena. Seharusnya hal itu harus sudah diceritakannya padamu. Paling tidak, agar pandanganmu berubah. Tapi, biarlah. Aku yang akan mewakilinya untuk menceritakannya."
Garuda Cakar Lima menghentikan ucapannya sejenak, untuk mengambil napas. "Dewa Seribu Kepalan sebenarnya seorang tokoh golongan putih, dan amat sakti. Dia disegani kawan, dan ditakuti lawan. Maaf. Hanya itu yang bisa kuka-takan padamu, Sena. Dewa Seribu Kepalan bukan tokoh golongan hitam seperti yang kau duga."
“Tapi, ayahku berjuluk Pendekar Tombak Sakti, Guru. Dia juga seorang pendekar. Kalau Dewa Seribu Kepalan tokoh golongan putih, mengapa mesti membunuhnya?!" bantah Palasena penasaran.
"Aku tidak berhak menjawab pertanyaan itu, Sena. Lebih baik, tanyakanlah pada keluargamu," tolak Garuda Cakar Lima halus.
"Mereka sudah tidak tinggal di rumah itu lagi, Guru. Sewaktu aku singgah di sana, bangunan itu sudah kosong. Entah ke mana mereka pergi. Aku pergi ke sana dalam usaha untuk menanyakan pada mereka mengenai Dewa Seribu Kepalan. Karena, tokoh itu telah lenyap bagaikan ditelan bumi!" jelas Palasena. Kontan Garuda Cakar Lima diam. Mendadak....
"Garuda Cakar Lima! Keluar kau! Jangan suka sembunyi seperti seorang pengecut!"
Suatu bentakan keras membuat Garuda Cakar Lima dan Palasena mengalihkan kepala ke arah luar. Memang, mereka berdua tengah duduk di dalam sebuah ruangan dalam yang cukup luas.
Wajah Garuda Cakar Lima kontan merah padam. Makian 'pengecut' itulah yang membuatnya marah. Dengan gerakan kasar, dia bangkit dan segera berjalan menuju ke luar.
Tanpa banyak cakap, Palasena mengikutinya. Dia memang penasaran dan ingin tahu orang yang mengeluarkan bentakan seperti itu. Karena, tenaga dalam yang terkandung dalam teriakan tadi amat kuat.
Begitu Palasena telah berada di luar, tampak Garuda Cakar Lima tengah berdiri berhadap-hadapan dengan tiga sosok tubuh. Kedua belah pihak saling pandang, dalam jarak tiga tombak. Palasena menatap tiga sosok tubuh yang berdiri di hadapan Garuda Cakar Lima, penuh selidik.
"Akhirnya, kutemukan juga tempat persembunyianmu, Garuda Cakar Lima!"
Suara yang tadi terdengar mem-bentak, kembali terdengar. Ternyata suara itu berasal dari laki-laki bertubuh tinggi kurus. Tinggi tubuhnya mungkin satu setengah kali orang biasa. Wajahnya tirus, ditumbuhi kumis dan jenggot kasar-kasar. Pakaian berwarna abu-abu yang membungkus tubuhnya, semakin membuat pucat wajahnya.
"Hi hi hik!" Sebuah suara mengikik, menimpali. Ternyata, tawa itu berasal dari seorang wanita berpakaian indah. Wajahnya terlihat cantik, meskipun usianya tak kurang dari empat puluh tahun.
"Dikiranya, dia sudah lepas dari cengkeraman tangan kita, Memedi Tangan Api. Lucu! Lucu sekali," sambut wanita berpakaian indah itu.
Laki-laki bertubuh jangkung yang ternyata berjuluk Memedi Tangan Api mendengus. Keras sekali dengusannya, sehingga tak kalah dengan dengusan seekor kerbau liar!
"Sekarang ingin kulihat, ke mana dia akan melarikan diri, Iblis Tanpa Wajah," sambut Memedi Tangan Api sambil mengumandangkan tawa penuh ejekan pada Garuda Cakar Lima.
"Biar aku yang membunuhnya, Bu," kata gadis cantik berpakaian hitam. Nada suaranya terdengar dingin, sedingin sorot mata dan raut wajahnya.
"Tidak usah, Widuri," tolak Iblis Tanpa Wajah. "Biar Memedi Tangan Api yang akan membunuhnya. Dan kita tinggal menontonnya."
"Widuri?" gumam Palasena dengan bibir bergetar.
Ingatan pemuda berpakaian coklat itu melayang pada seorang gadis kecil yang ditinggalkannya enam tahun yang silam. Sama sekali tidak disangka kalau Widuri tumbuh menjadi seorang gadis berwatak seperti itu. Dingin.
Sementara itu, Garuda Cakar Lima tetap bersikap tenang. Padahal, sebenarnya jantung di dalam dadanya berdebar tegang.
"Kiranya Memedi Tangan Api dan Iblis Tanpa Wajah. Sama sekali tidak kusangka akan bisa bertemu kalian lagi." Terlihat tenang sikap Garuda Cakar Lima melihat kehadiran tiga orang itu.
"Bersenang-senanglah sebelum kami mencabut nyawamu, Garuda Cakar Lima. Muridku pun tengah bersenang-senang dengan cucumu. Mereka kami tinggalkan sewaktu adegan yang tak pantas dilihat orang tua sepertiku terpampang di depan mata."
Kalem saja Memedi Tangan Api mengucapkan-nya. Tapi, akibatnya bagi Garuda Cakar Lima tidak sesederhana itu. Wajah kakek kecil kurus ini pucat pasi. Tarikan wajahnya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat.
"Kau jahanam! Apa yang kalian perbuat terhadap cucuku, Manusia-manusia iblis?" bentak Garuda Cakar Lima, berang.
Bukan hanya Garuda Cakar Lima saja yang merasa terkejut. Bahkan Palasena hampir terjingkat. Tanpa sadar, dia melangkah menghampiri dan berdiri di sebelah Garuda Cakar Lima. Memedi Tangan Api, Iblis Tanpa Wajah, dan Widuri menatap wajah Palasena sekilas.
"Inilah pemuda yang telah membawa kami kemari, Garuda Cakar Lima. Pemuda ini telah menghancurkan gerombolan Gajah Kecil Berbisa di Desa Sawang. Begitu mendapat penjelasan anak buah kami tentang gerakannya, bisa terduga kalau dia adalah muridmu. Maka, kami menyu-sulnya. Dan, inilah akhirnya?!"
"Tutup mulutmu, Memedi Tangan Api! Sekarang aku tidak perduli dengan maksud kedatangan kalian kemari! Yang kutanyakan, apa yang kalian lakukan terhadap cucuku!?" dengus Garuda Cakar Lima kalap.
"Lho?! Mana mungkin kami melakukan sesuatu terhadap cucumu. Iblis Tanpa Wajah dan putrinya adalah seorang wanita. Sedangkan aku sudah terlalu tua. Jadi, muridkulah yang mendapat keberuntungan. Maklum, dia seorang laki-laki dan masih muda."
"Keparat! Kubunuh kalian!"
Sambil meraung keras seperti seekor binatang buas murka, Garuda Cakar Lima melompat menerjang Memedi Tangan Api. Disadari kalau lawan yang dihadapinya amat tangguh. Maka, tanpa ragu-ragu lagi seluruh kemampuannya dikerahkan.
Ciiit...!
Suara mencicit nyaring terdengar ketika Garuda Cakar Lima mengayunkan kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar, ketika tubuhnya telah berada di udara. Memang, kakek kecil kurus ini telah mengeluarkan ilmu andalannya yakni jurus 'Garuda'.
TUJUH
"Hmh...!" Memedi Tangan Api mendengus melihat serangan itu. Dengan sikap sembarangan, tangannya cepat diayunkan untuk menangkis serangan Garuda Cakar Lima!
Prattt!
Benturan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tingkat tinggi terjadi. Hasilnya, tubuh Garuda Cakar Lima kembali terjengkang ke belakang. Sedangkan Memedi Tangan Api hanya tergempur saja kedudukannya.
"Keparat!" desis kakek tinggi kurus ini geram ketika melihat pergelangan bajunya hancur berantakan.
Sementara itu, Garuda Cakar Lima segera bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat manis di tanah. Dan sepasang mata kakek kecil kurus ini kontan membelalak ketika mengetahui pada pergelangan tangan Memedi Tangan Api sama sekali tidak terjadi apa-apa. Padahal, sampokan Garuda Cakar Lima mampu menghancurkan batu yang paling keras sekalipun!
Tapi, ternyata sama sekali tidak membuahkan hasil ketika berbenturan dengan tangan Memedi Tangan Api. Jelas, dalam pengerahan tenaga dalam tadi, Memedi Tangan Api telah membuat keampuhan cakar lawan menjadi putus.
Memedi Tangan Api yang semula dilanda kemarahan melihat kejadian yang menimpa pakaiannya, jadi gembira melihat keterkejutan lawan. Dia tahu, mengapa Garuda Cakar Lima terkejut.
"Hanya sampai disitukah keampuhan ilmu yang kau miliki, Garuda Cakar Lima? Kudengar, kedua cakarmu sanggup menghan-curkan benda yang keras sekali pun. Tapi kenyataannya, tak lebih dari elusan tangan wanita!"
Garuda Cakar Lima menggertakkan gigi mendengar ejekan itu. Dia tahu, Memedi Tangan Api memiliki tenaga dalam jauh lebih kuat daripadanya. Dan dengan keunggulan itulah, kakek bertubuh jangkung ini mampu membuat serangan kedua cakarnya pudar! Tapi, hal itu tidak membuatnya gentar.
"Hiaaat...!" Didahului pekikan melengking nyaring yang menyakitkan telinga, Garuda Cakar Lima kembali menerjang Memedi Tangan Api. Jurus 'Garuda'nya kembali dikeluarkan.
Hebat bukan kepalang jurus 'Garuda' milik Garuda Cakar Lima. Dengan ilmu itu, kakek kecil kurus ini memang seperti menjelma seperti seekor burung garuda. Tubuhnya yang selalu berada di udara melancarkan serangan bertubi-tubi yang mematikan ke berbagai bagian tubuh Memedi Tangan Api.
Tapi, sepak terjang Memedi Tangan Api tidak kalah menggiriskan. Serangan Garuda Cakar Lima yang mau tidak mau harus dihadapi dengan sepasang tangan, tidak membuatnya terdesak. Gerakan kedua tangannya tidak kalah berbahaya dibanding serangan-serangan lawan. Bahkan beberapa kali kakek kecil kurus itu dibuatnya terpental.
Iblis Tanpa Wajah, Widuri, dan Palasena memperhatikan pertarungan yang berlangsung disertai perhatian penuh. Mata mereka hampir tidak berkedip, karena pertarungan memang berlangsung amat menarik. Pertarungan seperti itu mengingatkan orang akan pertarungan seekor garuda melawan ular!
Di jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung kurang imbang. Serangan-serangan Garuda Cakar Lima datang bertubi-tubi, laksana gelombang. Dan Memedi Tangan Api yang kesulitan untuk melancarkan serangan karena kedudukan lawan berada di udara, tampak menjadi kewalahan. Dia dipaksa mundur. Hal ini tidak aneh, karena kakek bertubuh jangkung ini tidak bisa menggunakan kakinya.
Tapi memasuki jurus kesepuluh, Memedi Tangan Api mulai bisa memperbaiki keadaannya. Dan itu dilakukan dengan sering tangkisannya terhadap serangan Garuda Cakar Lima. Dengan keunggulan tenaga dalam, tubuh Garuda Cakar Lima mampu dibuat terjengkang ke belakang. Dan saat itu pula, dia memburu dengan melancarkan serangan-serangan susulan.
Perlahan-lahan Memedi Tangan Api mulai ganti menguasai keadaan. Sampai akhirnya, Garuda Cakar Lima malah mulai terdesak. Apalagi ketika ilmu andalannya yang bernama 'Tangan Api' dikeluarkan. Garuda Cakar Lima tampak semakin terdesak hebat.
Hebat bukan kepalang ilmu 'Tangan Api' milik Memedi Tangan Api. Penggunakan ilmu itu membuat kedua tangannya terlihat merah seperti besi terbakar. Dan yang lebih gila lagi, setiap gerakan tangan kakek bertubuh jangkung ini menimbulkan hawa panas.
Semakin lama, hawa di sekitar pertempuran itu mulai semakin panas. Bahkan semakin menggila. Sampai akhirnya, Garuda Cakar Lima mulai merasakan akibatnya. Sekujur wajah dan tubuh Garuda Cakar Lima malah telah dibanjiri peluh. Pakaiannya pun sudah basah kuyup, karena keringat yang terus-menerus keluar. Bukan itu saja. Pengaruh hawa panas itu membuat dada Garuda Cakar Lima terasa sesak, karena udara di sekitar tempat itu telah pengap.
Menginjak jurus keempat puluh, keadaan Garuda Cakar Lima semakin mengkhawatirkan. Palasena yang melihat hal ini menjadi cemas bukan kepalang. Sebaliknya, Iblis Tanpa Wajah dan Widuri tampak gembira. Mereka tahu, robohnya Garuda Cakar Lima hanya tinggal menunggu waktu saja.
Garuda Cakar Lima sudah tidak mampu melancarkan serangan lagi. Menangkis pun tidak pernah dilakukan sejak Memedi Tangan Api menggunakan ilmu 'Tangan Api'nya. Tentu saja, karena dia tidak mau tangannya hangus terbakar. Maka yang diperbuatnya hanya mengelak saja!
Di jurus keempat puluh tujuh, Memedi Tangan Api melancarkan gedoran ke arah rusuk kanan Garuda Cakar Lima. Kakek kecil kurus itu langsung mengelakkan serangan itu dengan melompat ke belakang.
Sungguh sama sekali tidak disangka oleh Garuda Cakar Lima, kalau tangan kiri Memedi Tangan Api ikut digedorkan pula. Padahal, pada saat itu tubuhnya tengah berada di udara.
Kakek kecil kurus ini merasa heran bukan kepalang melihat serangan susulan Memedi Tangan Api ini. Sekali lihat saja bisa diketahui kalau serangan susulan itu tidak akan mencapai sasaran, karena memang tubuhnya telah berada di luar jangkauan tangan manusia. Sekalipun tangan Memedi Tangan Api berukuran panjang, tapi mengapa kakek jangkung itu tetap melancarkan serangan?
Keheranan Garuda Cakar Lima berganti keterkejutan, ketika melihat tapak tangan Memedi Tangan Api terus meluncur mengejarnya. Padahal, Garuda Cakar Lima tahu kalau sampai jarak itu seharusnya tangan Memedi Tangan Api tidak akan bisa meluncur lagi. Tapi, ternyata Garuda Cakar Lima kecele. Buktinya telapak tangan Memedi Tangan Api terus mengikutinya.
Sesaat Garuda Cakar Lima kebingungan. Tapi sebagai tokoh ber-pengalaman, sudah bisa diduga mengapa tangan itu terus mengikutinya. Memedi Tangan Api ternyata telah menguasai ilmu yang dapat memanjang dan memendekkan tangan atau kaki.
Sayang, sadarnya Garuda Cakar Lima pada saat yang tidak tepat. Sekarang, dia tidak bisa berbuat sesuatu lagi untuk menyelamatkan nyawanya dari tangan maut lawan. Dengan untung-untungan, tubuhnya segera digeliatkan. Namun....
Bukkk!
Gedoran Memedi Tangan Api mendarat cukup telak di dada atas sebelah kanan. Memang, usaha untung-untungan Garuda Cakar Lima cukup berguna. Hingga, serangan yang semula mengancam dada tengah, jadi menghantam dada atas sebelah kanan.
Tubuh Garuda Cakar Lima kontan terjengkang ke belakang. Darah segar menitik di sudut-sudut mulutnya. Dan pada bagian yang kena gedoran pun tampak tergambar tapak tangan berwarna merah.
"Guru...!" jerit Palasena keras. Pemuda berpakaian coklat ini terkejut bukan kepalang melihat apa yang dialami gurunya. Dan seiring teriakan itu, tubuhnya melesat cepat ke arah Garuda Cakar Lima.
Cepat bukan kepalang gerakan Palasena. Tapi, masih lebih cepat lagi gerakan Iblis Tanpa Wajah. Sebelum pemuda berpakaian coklat ini mendekati Garuda Cakar Lima, wanita berpakaian indah itu telah terlebih dulu mencegatnya. Hal ini bukan karena ilmu meringankan tubuh Palasena berada di bawah Iblis Tanpa Wajah, tapi karena memang harus melewati Iblis Tanpa Wajah bila ingin mendekati tempat gurunya berada.
Iblis Tanpa Wajah menatap wajah Palasena penuh selidik, kemudian mendengus keras. Sementara Palasena yang terpaksa menghentikan langkah, balas menatap. Dikenalinya betul, kalau ternyata orang yang tengah berdiri di hadapannya adalah bibi gurunya.
Baru disadari kalau bibinya ternyata berjuluk Iblis Tanpa Wajah, sekaligus musuh gurunya. Namun, dia berusaha menahan rasa dendam yang diamanatkan gurunya.
Namun, lain halnya Iblis Tanpa Wajah. Dia tidak tahu kalau pemuda berpakaian coklat yang berdiri di hadapannya adalah Palasena, anak yang dulu telah diusirnya. Memang, Palasena sekarang jauh berbeda dengan Palasena dulu.
"Kau harus bayar mahal atas perbuatanmu terhadap Gajah Kecil Berbisa, Anak Sombong!" desis Iblis Tanpa Wajah, penuh ancaman.
Palasena menghela napas berat. "Aku tidak ingin melawanmu, Bibi. Dan aku hanya ingin mengajukan pertanyaan padamu, setelah guruku kutolong terlebih dahulu," kata Palasena, pelan.
"Keparat! Apa maksudmu memanggilku seperti itu, Anak Sombong?! Cepat katakan sebelum kesabaranku hilang?!" hardik Iblis Tanpa Wajah disertai kerutan alis, karena heran mendengar panggilan Palasena terhadapnya.
"Aku Palasena, Bi. Apakah kau tidak ingat lagi?!"
"Hahhh...?!" Sepasang mata Iblis Tanpa Wajah terbelalak. Bahkan mulutnya pun ternganga lebar. Jelas, pernyataan Palasena membuatnya terkejut bukan kepalang.
"Kau..., kau..., Palasena?!" tanya Iblis Tanpa Wajah terbata-bata.
Palasena menganggukkan kepala. "Benar, Bi. Maaf... Aku harus segera menolong guruku...." Usai berkata demikian, Palasena menjejakkan kaki. Sesaat, tubuhnya melesat ke depan. Memang, Garuda Cakar Lima tampak mulai terancam lagi.
"Mau ke mana kau, Anak Sialan?! Serahkan dulu nyawamu! Baru boleh pergi!" Seiring keluarnya ucapan itu, Iblis Tanpa Wajah menggenjotkan kaki. Maka tubuhnya melayang, lalu hinggap manis di atas tanah di depan Palasena.
Palasena menggertakkan gigi, karena merasa sangat kesal melihat Iblis Tanpa Wajah menghalangi maksudnya. Sama sekali tidak disangka kalau bibi gurunya ini ternyata tetap membencinya. Dan jelas, dia bermaksud membunuhnya. Maka disadarinya, apabila tidak menyingkirkan Iblis Tanpa Wajah lebih dulu, Garuda Cakar Lima tidak akan bisa tertolong lagi.
Palasena melirik keadaan Garuda Cakar Lima. Tampak gurunya tengah mendekapkan tangan kanannya pada bagian dada yang terkena gedoran tangan lawan. Darah segar mengalir dari sudut mulutnya.
Sementara, Memedi Tangan Api melangkah menghampirinya sambil tertawa terbahak-bahak. Menilik dari langkahnya yang satu-satu dan lambat-lambat, bisa diketahui kalau kakek jangkung ini tidak tergesa-gesa untuk menghabisi nyawa lawannya.
"Kau telah terkena pukulan 'Tangan Api', Garuda Cakar Lima. Tidak ada lagi harapan bagimu untuk hidup. Tanda tapak tangan pada dadamu akan terus meluas. Dan darah akan terus mengalir keluar dari mulutmu. Perginya nyawa dari tubuhmu hanya tinggal menunggu waktu saja, Garuda Cakar Lima! Ha ha ha…"
Keras sekali ucapan Memedi Tangan Api, sehingga menggema di seluruh penjuru tempat itu. Iblis Tanpa Wajah, Widuri, dan Palasena pun mendengarnya. Dan pemuda berpakaian coklat itu merasa cemas bukan kepalang.
Namun perasaan yang sebaliknya melanda Iblis Tanpa Wajah, yang tergambar jelas pada wajahnya. Hanya Widuri yang tidak menampakkan perasaan apa-apa, dan tetap dingin. Tidak ada gambaran perasaan sama sekali.
"Hiyaaa...!"
Tak kuat menahan gejolak perasaan cemas yang melanda, Palasena menjerit keras. Dan pada saat yang bersamaan dengan keluarnya jeritan itu, tubuhnya melenting ke atas. Langsung dilewatinya kepala Iblis Tanpa Wajah.
"Hey! Jangan harap bisa melewati Iblis Tanpa Wajah, Bocah Keparat!"
Iblis Tanpa Wajah melenting ke belakang tanpa membalikkan tubuh. Tak pelak lagi, tubuhnya melayang ke belakang dalam keadaan tubuh menelentang. Sedangkan beberapa jengkal di atasnya, Palasena melayang dalam keadaan tubuh terlungkup.
Tidak hanya sampai di situ saja Iblis Tanpa Wajah bertindak. Saat tubuhnya tengah berada di udara, tangannya langsung bergerak. Bahkan sebuah kipas baja merah berbentuk indah telah disodokkan ke arah dada Palasena.
Cittt!
Suara mencicit nyaring terdengar ketika ujung-ujung runcing kipas baja itu meluncur menuju sasaran. Maka bisa diperkirakan akibat yang akan terjadi apabila serangan ini mengenai sasaran.
Palasena terkejut bukan kepalang. Disadari kalau bibi gurunya ini benar-benar hendak membunuhnya. Maka dia pun tidak mempunyai pilihan lain. Buru-buru senjatanya yang terselip di balik pinggang dikeluarkan untuk memapak serangan Iblis Tanpa Wajah.
Tranggg!
Bunga api memercik ke sana kemari ketika senjata-senjata mereka berbenturan keras di udara.
"Hup!"
Hampir berbarengan, Iblis Tanpa Wajah dan Palasena mendaratkan kedua kakinya di tanah, dan langsung memperhatikan senjata masing-masing. Keduanya khawatir kalau benturan keras itu membuat senjata rusak. Hati mereka pun lega ketika melihat senjata-senjata yang tergenggam tidak menampakkan kerusakan sama sekali.
"Hey! Dari mana kau dapat senjata itu, Bocah Keparat?!" tanya Iblis Tanpa Wajah keras, agak membentak.
Pertanyaan wanita berpakaian indah itu diucapkan demikian keras, karena perasaan terkejut yang amat sangat. Bahkan mulutnya sampai ternganga lebar.
Karuan saja hal ini membuat Palasena heran. Demikian pula Widuri, Garuda Cakar Lima, dan Memedi Tangan Api. Bahkan Memedi Tangan Api sampai menghentikan langkahnya, dan menengok untuk mengetahui jenis senjata digenggam Palasena.
Luar biasa! Tarikan keterkejutan yang menggelegak tampak pada wajah Memedi Tangan Apt Sorot matanya menampakkan ketidakpercayaan ketika menatap ke arah senjata yang tergenggam di tangan Palasena.
Keterkejutan yang melanda Memedi Tangan Api semakin membuat perasaan Palasena penasaran. Diperhatikannya senjata yang dulu sering dipandangnya. Senjata itu adalah pemberian Ki Lawata, berupa sebuah keris berkeluk sembilan. Bilahnya berwarna kuning berkilauan, seakan-akan terbuat dari emas murni. Sementara, gagangnya terbuat dari gading!
"Dari mana kau dapatkan senjata itu, Bocah Keparat?!" tanya Iblis Tanpa Wajah lagi dengan suara bergetar.
"Dari guruku...," jawab Palasena jujur.
"Gurumu...?! Jadi..., dia bukan gurumu?!" tanya Iblis Tanpa Wajah sambil menunjuk ke arah Garuda Cakar Lima.
"Dia guruku juga. Guru yang pertama. Dan...."
"Jangan kau jawab pertanyaannya, Sena! Dia..., huakh...!"
Garuda Cakar Lima memuntahkan darah, sebelum sempat menyelesaikan ucapannya. Kemudian, dia jatuh tanpa daya di tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar di tanah seperti ayam dipotong urat lehernya.
"Guru...!" jerit Palasena keras. Pemuda berpakaian coklat itu menghambur ke arah Garuda Cakar Lima. Tapi baru beberapa tindak, kembali langkahnya berhenti begitu Iblis Tanpa Wajah telah berdiri di depannya. Bahkan, kali ini wanita itu telah didampingi Memedi Tangan Api.
"Kalau kau masih menganggapku sebagai bibi gurumu, jangan hiraukan dia!" tandas Iblis Tanpa Wajah keras.
"Tapi..., dia guruku. Dan, aku harus menolongnya...," jawab Palasena cemas ketika melihat keadaan gurunya.
Kakek kecil kurus itu masih menggelepar-gelepar di tanah. Inilah kekejian ilmu 'Tangan Api', apabila pengaruhnya sudah memuncak. Dan lawan yang menjelang ajal, nasibnya akan mengerikan.
"Kalau kau masih ingin berbakti kepada orang tuamu..., dan bermaksud membalaskan sakit hati mereka, tidak usah mempedulikannya! Bahkan kau sebenarnya bergembira melihat penderitaannya!" cetus Iblis Tanpa Wajah lagi.
"Mengapa?" tanya Palasena serak.
"Karena, dia adalah sahabat akrab Dewa Seribu Kepalan! Orang yang telah membunuh kedua orang tuamu!" kali ini Memedi Tangan Api yang menjawab.
"Apa?!" teriak Palasena kaget. "Kau bohong! Bohong! Kubunuh kau...! Hiyaaat...!"
Dengan kemarahan meluap-luap, Palasena menerjang Memedi Tangan Api. Kedua tangannya yang terkepal dipukulkan bertubi-tubi.
Angin menderu keras terdengar, seiring tibanya serangan Palasena. Batu-batu besar kecil bergulingan dan beterbangan. Dari ini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Palasena.
Memedi Tangan Api dan Iblis Tanpa Wajah saling berpandangan dengan mata terbelalak melihat kedahsyatan ilmu itu. Bahkan Widuri yang sejak tadi diam membisu, agak berubah wajahnya. Apalagi, ketika melihat kepalan tangan Palasena berubah menjadi banyak. Bahkan melihat hal ini, kepalanya menjadi pusing. Sukar untuk mengetahui bagian yang akan diserang.
"Hih!"
Memedi Tangan Api mengertakkan gigi, kemudian melompat memapak datangnya serbuan Palasena. Sudah bisa diperkirakan kalau kedua belah pihak akan berpapakan di tengah jalan.
Bresss!
Di tengah-tengah perjalanan, ben-turan di udara tidak bisa dielakkan lagi. Keras bukan kepalang! Tubuh Palasena dan Memedi Tangan Api kontan terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Tapi, baik Palasena maupun Memedi Tangan Api ternyata sama-sama sigap. Dengan gerakan cepat dan indah, keduanya bangkit berdiri. Yang lucu, keduanya sama-sama menggelengkan kepala seperti hendak membuang rasa pusing yang menyerang. Palasena telah bersiap untuk melakukan serangan kembali. Tapi....
"Tahan, Sena!"
Untuk pertama kalinya, Iblis Tanpa Wajah memanggil pemuda berpakaian coklat itu dengan namanya. Kontan Palasena pun menoleh. Dan dengan sendirinya, niatnya untuk menyerang Memedi Tangan Api diurungkan. Memedi Tangan Api sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu untuk melakukan serangan.
"Kalau kau melanjutkan serangan, aku tidak akan memberitahukan tempat persembunyian musuh besarmu!" ancam Iblis Tanpa Wajah.
"Maksudmu..., Dewa Seribu Kepalan?!" tanya Palasena setengah tidak percaya.
"Benar! Hanya aku, dia, dan kedua gurumu yang mengetahui tempat persem-bunyian Dewa Seribu Kepalan," jawab wanita berpakaian indah itu sambil menunjuk Memedi Tangan Api.
"Benar," sahut Memedi Tangan Api. "Kau tahu..., Dewa Seribu Kepalan telah menyembunyikan diri. Dan itu dilakukan setelah membunuh kedua orang tuamu. Hampir tidak ada orang yang mengetahui tempatnya. Dan kami bersedia mengantarmu ke sana. Asal.., kau tidak menyerang kami. Kau bersedia berjanji?!"
Palasena segera memikirkan tawaran Memedi Tangan Api sejenak. Lalu.... "Baiklah. Aku tidak akan menyerang kalian. Tapi, awas! Kalian jangan coba-coba permainkan aku!" ancam putra Pendekar Tombak Sakti itu.
"Jangan khawatir.'" sahut Iblis Tanpa Wajah bernada yakin.
"Kalau begitu, mari kita berangkat'" ajak Memedi Tangan Api, seraya beranjak meninggalkan tempat itu.
Iblis Tanpa Wajah pun melangkah pula. Tapi....
"Tunggu sebentar? Aku akan menguburkan mayat guruku dulu," kata Palasena. Memang, Garuda Cakar Lima sudah tidak bernyawa lagi. Dia telah tewas ketika Palasena tengah bertarung melawan Memedi Tangan Api.
"Kau masih mau menguburkan mayatnya? Kau harus tahu. Dia adalah sahabat baik musuh besar ayahmu, Sena!" tandas Iblis Tanpa Wajah.
"Biar bagaimanapun juga, dia adalah guruku, Bibi," cetus Palasena ragu-ragu.
Memang, ketika mengetahui Garuda Cakar Lima adalah sahabat Dewa Seribu Kepalan, hilanglah rasa hormat Palasena terhadap kakek itu. Bahkan keinginan untuk menguburkannya amat kecil. Tak aneh, begitu mendapat teguran Iblis Tanpa Wajah jiwanya langsung melempem.
"Kita tidak punya banyak waktu, Sena. Aku khawatir, bila kita menguburkan mayat Garuda Cakar Lima lebih dulu, Dewa Seribu Kepalan akan keburu melarikan diri. Lagi pula, mayat itu bisa diurus Kuntari."
Palasena mengangguk-anggukkan kepa-la pertanda membenarkan usul bibi gurunya. Benaknya seakan buntu, dan tidak bisa diajak berpikir. Sama sekali tidak teringat kalau menurut cerita Memedi Tangan Api tadi, Kuntari tengah berada dalam cengkeraman murid kakek jangkung itu.
Kali ini Palasena tidak menahan lagi ketika Memedi Tangan Api, Iblis Tanpa Wajah, dan Widuri melangkah meninggalkan tempat itu. Bahkan ikut melangkah di belakang mereka. Tidak ada perasaan menyesal sedikit pun di hati Palasena, ketika meninggalkan mayat gurunya dalam keadaan seperti itu. Kenyataan kalau Garuda Cakar Lima adalah sahabat kental Dewa Seribu Kepalan, telah menghilangkan rasa hormatnya terhadap kakek itu.
DELAPAN
"Ki Lawata! Keluar kau, Pengecut! Aku datang ingin menghukummu...!" teriak Memedi Tangan Api keras di depan sebuah mulut gua.
Kakek jangkung ini mengerahkan tenaga dalam pada teriakannya. Jadi, tak aneh kalau teriakan itu menggema sampai jauh. Usai mengucapkan panggilan, Memedi Tangan Api berdiri diam menunggu. Demikian pula Iblis Tanpa Wajah dan Widuri yang berdiri di kanan kirinya. Namun, Palasena tidak tampak ada di situ.
Memang, Palasena memutuskan untuk bersembunyi lebih dulu, dan mengintai dari tempat yang tersembunyi. Memedi Tangan Api menjamin Palasena akan bertemu Dewa Seribu Kepalan, apabila mau memenuhi sarannya itu. Dan Memedi Tangan Apilah yang menyarankan Palasena agar bersembunyi lebih dulu.
Semula Palasena menolak. Tapi ketika ditekankan kalau hal itu sangat penting, maka pemuda berpakaian coklat ini tidak bisa menolak lagi. Keinginannya untuk bertemu Dewa Seribu Kepalan sangat besar. Dia tidak keberatan untuk memenuhi permintaan seperti itu, apabila benar-benar bisa menemukan musuh besarnya. Dan kini, Palasena tengah mengintai dari balik gundukan batu, sekitar tiga tombak di belakang mereka.
Tampak olehnya seorang kakek berpakaian penuh tambahan melangkah keluar dari dalam gua. Sikapnya terlihat tenang sekali. Tanpa perlu memperhatikan lebih lama pun, Palasena tahu kalau orang itu adalah Ki Lawata!
Sementara itu, Ki Lawata tampak menghentikan langkahnya ketika telah berada dalam jarak dua tombak di hadapan ketiga orang tamu tak diundang itu. "Rupanya kau, Memedi Tangan Api. Entah, bagaimana caranya kau bisa sampai di sini. Dan siapa pula dua orang wanita yang kau bawa ini?"
Pelan ucapan Ki Lawata, tapi bergema di sekitar tempat itu. Sehingga, Palasena yang berada agak jauh pun mendengarnya.
"Kau tidak mengenalnya, Ki Lawata?! Dia adalah kawan lamaku! Iblis Tanpa Wajah. Inilah wajah aslinya!"
''Iblis Tanpa Wajah?" Dahi Ki Lawata langsung berkernyit dalam. Ditatapnya wajah wanita berpakaian indah itu lekat-lekat "Rupanya ini orang yang mempunyai julukan itu. O ya, Memedi Tangan Api. Sikapmu sekarang aneh sekali. Mengapa kau memanggilku Ki Lawata? Dan, dari mana kau dapatkan nama itu?!" sambung Ki Lawata.
"Ha ha ha...! Jadi, kau ingin agar aku memanggilmu dengan julukan yang selama ini kau sembunyikan, karena takut bertanggung jawab akibat perbuatanmu?! Baiklah! Aku akan memanggil dengan julukanmu yang dulu, Dewa Seribu Kepalan! Rupanya, kau sudah bosan juga menggunakan nama palsu, Dewa Seribu Kepalan!"
"Dewa Seribu Kepalan...?! Jadi, Ki Lawata adalah Dewa Seribu Kepalan...?!" ucap Palasena dalam hati disertai perasaan kaget, di tempat persembunyiannya.
Wajah pemuda berpakaian coklat itu tampak pucat pasi. Otaknya bagaikan buntu, tidak mau diajak berpikir. Sehing-ga untuk beberapa saat lamanya dia hanya terdiam. Ki Lawata yang sebenarnya adalah Dewa Seribu Kepalan mengernyitkan dahi. Jelas, dia bukan orang bodoh. Oleh karena itu, bisa dirasakan adanya keanehan pada sikap Memedi Tangan Api.
"Kau belum menjawab, dari mana kau mendapat nama Ki Lawata, Memedi Tangan Api," tagih Dewa Seribu Kepalan.
Memedi tangan Api tersenyum mengejek. "Kalau hal itu memang sangat berarti bagimu, baiklah akan kukatakan. Nama itu kudapat dari seorang pemuda yang tengah mencari-cari pembunuh orang tuanya. Namanya, Palasena."
Kakek jangkung itu menghentikan ucapannya sejenak. Ditatapnya wajah Dewa Seribu Kepalan alias Ki Lawata yang mendadak pucat laksana mayat.
"Pemuda itu sekarang berada di sini...."
Seketika itu pula, Dewa Seribu Kepalan tersentak. Pandangannya pun langsung diedarkan berkeliling. Dia percaya, Memedi Tangan Api mengatakan hal yang sebenarnya. Sikap kakek jangkung itulah yang menyebabkan harus menduga demikian. Meskipun demikian, tak urung Dewa Seribu Kepalan terjingkat ke belakang ketika melihat Palasena muncul dari balik sebuah batu besar.
"Hhh...!" Ki Lawata alias Dewa Seribu Kepalan menghela napas berat melihat sikap Palasena. Tanpa bertanya pun, sudah bisa diperkirakan akan hal yang akan dilakukan putra Pendekar Tombak Sakti itu. Sikap, tingkah, dan raut wajah Palasena tampak tidak menunjukkan persahabatan.
Sementara itu, Memedi Tangan Api segera memberi isyarat pada Iblis Tanpa Wajah, dan Widuri untuk menyingkir dari tempat ini. Kakek jangkung ini memang bermaksud membiarkan Dewa Seribu Kepalan dan Palasena gontok-gontokan. Maka, sudah bisa diperkirakannya hal itu akan terjadi.
Iblis Tanpa Wajah tentu saja mengerti maksud Memedi Tangan Api. Maka putrinya pun diajak untuk menyingkir. Dan Widuri yang kini berubah menjadi seorang gadis yang berwatak dingin, melangkah me-ninggalkan tempat itu. Tapi Dewa Seribu Kepalan melihat hal itu. Dengan beringas kepalanya menoleh.
"Tak akan kubiarkan kau menyebar malapetaka lagi, Memedi Tangan Api!"
Usai berkata demikian Dewa Seribu Kepalan melesat ke arah Memedi Tangan Api. Gilanya, dalam serangan pertama ilmu andalannya yang bernama 'Tinju Bayangan' sudah dikeluarkan. Kedua tangannya seperti telah berubah menjadi puluhan banyaknya. Hingga, sulit diketahui sasaran yang akan dituju.
Deru angin yang jauh lebih keras dari akibat yang ditimbulkan Palasena langsung tercipta. Debu mengepul tinggi ke udara. Batu-batu besar dan kecil beterbangan ke sana kemari. Dan semua itu terjadi akibat serangan yang tengah dilancarkan Dewa Seribu Kepalan.
Memedi Tangan Api begitu terkejut melihat serangan Dewa Seribu Kepalan. Sama sekali tidak disangka kalau Palasena tidak langsung menyerang kakek berkulit merah ini. Bahkan pemuda berpakaian coklat itu malah termenung.
Memedi Tangan Api tidak tahu kalau di hati Palasena tengah terjadi pergulatan batin. Dia ingin membalaskan sakit hati orang tuanya, tapi di lain pihak tidak ingin menentang gurunya. Ki Lawata adalah orang yang amat dihormati dan dicintainya. Bahkan, mungkin melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Sama sekali tidak disangka kalau Ki Lawata itu adalah Dewa Seribu Kepalan! Orang yang amat dibencinya di dunia ini!
Pertarungan batin itulah yang menyebabkan Palasena termenung bagai orang kehilangan akal. Sepasang matanya menatap kosong ke depan. Bahkan sama sekali tidak tahu kalau Dewa Seribu Kepalan alias Ki Lawata tengah menyerang Memedi Tangan Api. Sehingga, kakek bertubuh jangkung ini kelabakan.
Meskipun demikian, Memedi Tangan Api adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Maka tidak heran kalau bisa bertindak cepat. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, sehingga serangan Dewa Seribu Kepalan hanya mengenai tempat kosong. Tapi, tindakan Dewa Seribu Kepalan tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan, kembali dilancarkan serangan susulan.
Memedi Tangan Api tidak tinggal diam. Segera dikeluarkannya ilmu 'Tangan Api' untuk mengadakan perlawanan. Maka, pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Iblis Tanpa Wajah terperanjat melihat perkembangan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Matanya segera melirik Palasena. Dahinya kontan berkernyit ketika melihat pemuda berpakaian coklat itu tengah termenung "Tunggu apa lagi, Sena! Pembunuh orang tuamu telah berada di depan mata! Cepat balas sakit, hatimu!" teriak Iblis Tanpa Wajah.
Palasena masih diam. Tapi melihat dari gerakan air mukanya, bisa diketahui kalau ucapan Iblis Tanpa Wajah berpengaruh padanya. Meskipun demikian, tetap saja pemuda berpakaian coklat itu belum bertindak apa-apa. Iblis Tanpa Wajah tidak kehilangan akal.
"Bahkan bukan itu saja yang dilakukan. Selama bertahun-tahun, kau telah ditipu mentah-mentah! Kau tahu, Paman gurumu pun telah tewas di tangannya ketika hendak membalas dendam atas kematian kedua orang tuamu!" lanjut wanita berpakaian indah itu lagi.
Palasena tersentak. Bahkan kali ini Palasena tidak bisa tinggal diam lagi. Pemuda berpakaian coklat ini langsung mengeluarkan suara melengking nyaring, kemudian melompat menerjang Dewa Seribu Kepalan. Tanpa ragu-ragu, ilmu andalannya yang bernama 'Tinju Bayangan' dikeluarkan.
Wuttt!
Diiringi suara menderu, kedua tinju Palasena meluncur ke arah Dewa Seribu Kepalan. Dewa Seribu Kepalan terkejut bukan kepalang melihat Palasena menyerang. Apalagi, secara kalang kabut begitu. Padahal saat itu Memedi Tangan Api tengah melancarkan serangan ke arahnya! Maka serangan itu membuat sasaran Memedi Tangan Api tidak lagi tertuju pada dirinya, melainkan Palasena.
"Awas, Sena!"
Dewa Seribu Kepalan berteriak keras, memberi peringatan ketika dilihat Palasena terus saja melancarkan serangan tanpa mempedulikan meluncurnya serangan Memedi Tangan Api. Sementara Memedi Tangan Api pun tidak menghentikan serangannya, sekalipun sasaran serangan itu berubah.
Sebagai seorang yang berwatak licik, Memedi Tangan Api tahu kalau Dewa Seribu Kepalan sangat menyayangi muridnya. Jadi, tak mungkin pengemis tua itu membiarkan muridnya celaka. Dia pasti akan bertindak untuk menyelamatkan nyawa muridnya.
Dugaan Memedi Tangan Api ternyata tidak meleset. Dewa Seribu Kepalan yang melihat bahaya besar tengah mengancam muridnya segera bertindak cepat. Dengan sebuah gerakan mengagumkan, pergelangan tangan Palasena berhasil ditangkapnya, dan langsung dilemparkannya. Ini adalah satu jenis ilmu yang dimiliki Dewa Seribu Kepalan. Ilmu 'Gulat'!
Baru saja tubuh Palasena melayang, serangan Memedi Tangan Api meluncur. Memang terlalu tiba-tiba datangnya. Jelas, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelak atau menangkis. Patut diacungkan jempol kemampuan Dewa Seribu Kepalan. Dalam keadaan terjepit seperti itu, tubuhnya masih mampu digeliatkan. Hasilnya, serangan itu mengenai tempat kosong!
Rupanya, Memedi Tangan Api sudah memperhitungkan hal itu. Buktinya, begitu serangannya berhasil dielakkan, kaki kanannya meluncur. Cepat bukan kepalang. Akibatnya....
Bukkk!
Telak dan keras sekali tendangan Memedi Tangan Api mengenai perut Dewa Seribu Kepalan. Tubuh guru Palasena kontan terjengkang ke belakang. Cairan merah kental langsung memercik dari mulutnya.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Dewa Seribu Kepalan ambruk di tanah. Pada saat yang bersamaan Palasena mendarat di tanah. Hanya bedanya, pemuda berpakaian coklat itu hinggap dengan kedua kaki. Sedangkan Dewa Seribu Kepalan dengan punggungnya.
Dewa Seribu Kepalan mencoba bangkit, tapi ternyata tidak mampu. Bahkan justru dari mulutnya menyemburkan darah segar. Jelas, dia telah terluka dalam.
"Ha ha ha...!"
Memedi Tangan Api tertawa tergelak-gelak penuh kemenangan. Kemudian dengan langkah satu-satu, dihampirinya tubuh Dewa Seribu Kepalan yang tergolek.
"Hi hi hik...!" Iblis Tanpa Wajah pun tertawa pula, seraya melangkah di sebelah Memedi Tangan Api.
Hanya Widuri dan Palasena yang tidak menunjukkan perasaan apa pun pada wajahnya. Widuri memang seakan tidak peduli terhadap keadaan di sekitarnya. Sedangkan, Palasena masih dilanda perasaan bimbang.
"Sekarang balaskan dendammu, Sena! Musuh besarmu telah tak berdaya di depan mata! Kau, tahu. Ayah dan ibumu meninggal secara mengenaskan! Ibumu telah diperkosa olehnya, dan ayahmu mencoba membalas penghinaan itu. Tapi, dia kalah dan tewas. Ibumu kemudian bunuh diri, karena tidak kuat menahan penghinaan itu!"
Terdengar suara bergemeretak keras dari mulut Palasena ketika mendengar ucapan Iblis Tanpa Wajah. Dengan wajah beringas, dihampirinya Dewa Seribu Kepalan. Lenyap sudah kebimbangan yang melanda hatinya. Yang ada di benaknya hanya membalas dendam pada Dewa Seribu Kepalan.
Tapi sebelum Palasena sempat menjatuhkan serangan, sesosok bayangan ungu berkelebat dan menyambar tubuh Dewa Seribu Kepalan.
Tappp!
"Hey!"
Bukan hanya Palasena saja yang terkejut. Memedi Tangan Api, Iblis Tanpa Wajah, dan Widuri pun dilanda perasaan yang sama. Bagai diperintah, pandangan mata mereka semua beredar ke arah melesatnya sosok bayangan ungu itu.
"Hup!" Sosok bayangan ungu itu mendarat berjarak sepuluh tombak dari tempat Palasena. Dan di situ pula tubuh Dewa Seribu Kepalan yang berada di pondongannya diturunkan.
"Dewa Arak...!" desis Palasena kaget.
Sosok bayangan ungu yang ternyata memang Dewa Arak tersenyum getir. "Sama sekali tidak kusangka kau akan bertindak sekeji ini, Sena! Kau hendak membunuh gurumu sendiri. Padahal, orang ini telah menyelamatkan hidupmu," ucap Dewa Arak keren.
"Kau tidak usah membelanya, Dewa Arak!" sentak Palasena keras. "Dia seorang manusia terkutuk. Orang tuaku telah dibunuh secara keji! Wajarlah kalau aku bermaksud membalas dendam padanya?!"
"Wajar kalau hal itu benar. Tapi yakinkah kau kalau pembunuh orang tuamu adalah Dewa Seribu Kepalan?! Sadarkah kau, Sena? Kau telah ditipu mentah-mentah! Pembunuh orang tuamu adalah Memedi Tangan Api dan Iblis Tanpa Wajah!" tandas Dewa Arak.
"Jangan kau dengar ucapannya, Sena!"
Tapi Palasena tidak menghiraukan ucapan Iblis Tanpa Wajah. Jelas, perkataan Dewa Arak benar-benar membuat hatinya penasaran bukan kepalang.
"Semua ucapan Dewa Arak benar, Sena! Bukan Dewa Seribu Kepalan yang membunuh orang tuamu. Aku telah menyelidikinya selama bertahun-tahun!" sambut sebuah suara.
Bukan hanya Palasena saja yang menoleh. Widuri dan Iblis Tanpa Wajah pun melakukan hal yang sama. Mereka memang amat mengenal suara itu.
"Kau..., kau..., masih hidup...?!" desis Iblis Tanpa Wajah terbata-bata ketika melihat pemilik suara itu. Dia adalah seorang laki-laki berwajah gagah, dan bercambang bauk lebat.
"A..., ayah...?! Kau..., masih hidup...?!" Terdengar amat lirih ucapan Widuri. Tapi, jelas dikeluarkan dengan penuh perasaan. Raut wajahnya yang biasanya membeku kaku, kini tampak menampakkan ketidakpercayaan. Di wajah cantik itu tersirat gambaran perasaan gembira bercampur tak percaya.
Laki-laki bercambang lebat yang tak lain dari adik seperguruan Pendekar Tombak Sakti dan bernama Wangun Santang, menganggukkan kepala. "Aku masih hidup, Widuri. Ibumu mengiraku telah tewas!"
"Jadi...?"
"Ibumu berusaha membunuhku. Dia telah membubuhkan racun dalam minumanku, hingga aku tidak berdaya. Kemudian tubuhku dibuangnya ke dalam jurang. Untung nasib baik berpihak padaku. Dewa Arak telah menolongku," tutur Wangun Santang.
"Ah...!" Wajah Widuri menampakkan gambaran perasaan yang sukar dilukiskan. Tapi, yang terlihat jelas adalah perasaan terluka.
"Be..., benarkah ucapan Ayah, Bu?!" tanya gadis berpakaian hitam ini, gagap.
"Aku bukan ibumu! Dan dia bukan ayahmu! Kau dengar?! Kau adalah anak kelaparan yang dipungut si Keparat Wangun Santang untuk teman bermain Palasena! Kau dengar?! Mampuslah kau, Anak Liar! Hih...!"
Wuttt! Crottt...!
"Akh...!" Widuri memekik tertahan ketika ujung kipas baja yang ditusukkan Iblis Tanpa Wajah tepat menghujam perutnya. Memang, serangan itu terjadi demikian cepat. Akibatnya, Widuri yang tengah terpukul mendengar cerita Iblis Tanpa Wajah, tidak sempat mengelak. Cairan merah segar langsung muncrat-muncrat dari bagian yang terluka.
"Widuri...!" Hampir berbarengan, Wangun Santang dan Palasena menjerit keras. Dan....
"Haaat...!" Diiringi jeritan keras yang lebih mirip raung binatang buas terluka, Wangun Santang menerjang Iblis Tanpa Wajah. Sedangkan Palasena masih berdiri diam terpaku.
Iblis Tanpa Wajah bertindak cepat. Ditariknya kipas yang terhujam di perut Widuri. Darah pun semakin membanjir keluar dari bagian yang terluka. Tubuh gadis berpakaian hitam itu pun terhuyung-huyung ke belakang, kemudian ambruk ke tanah.
"Widuri...!" jerit Palasena lagi. Semula, Palasena hendak menghambur ke arah Widuri. Tapi, maksudnya langsung diurungkan begitu melihat Iblis Tanpa Wajah mengibaskan kipasnya. Semula, Palasena memang merasa heran melihat tindakan wanita berpakaian indah itu. Tapi kebenarannya langsung berganti keterkejutan.
Betapa tidak? Ketika kipas itu dikibaskan, ujung-ujungnya melesat keluar. Bagaimana hal itu terjadi, Palasena sama sekali tidak mengerti. Yang jelas, ujung-ujung kipas itu ternyata mirip mata pisau.
Sing, sing, sing!
Ujung-ujung kipas itu meluncur cepat ke arah Wangun Santang. Padahal, saat itu tubuh adik seperguruan Pendekar Tombak Sakti tengah berada di udara. Memang, Wangun Santang tengah meluruk ke arah Iblis Tanpa Wajah.
Wangun Santang terperanjat. Apalagi ketika melihat ujung-ujung kipas itu meluncur ke arahnya secara beriringan. Hal itu terjadi karena Iblis Tanpa Wajah mengibaskan kipasnya beberapa kali.
Hal inilah yang membuat Palasena menghentikan maksudnya menghambur ke arah Widuri. Pemuda berpakaian coklat ini segera melesat ke arah Iblis Tanpa Wajah yang masih mengibaskan kipasnya. Dan tanpa sungkan-sungkan lagi, Palasena langsung melancarkan tendangan miring bertubi-tubi ke arah Iblis Tanpa Wajah.
Iblis Tanpa Wajah menyadari adanya bahaya mengancam. Maka tanpa ragu-ragu lagi tubuhnya segera berbalik, dan langsung menangkis dengan kipasnya yang ternyata masih lengkap bilah-bilahnya!
Tukkk, desss!
"Akh...!" Iblis Tanpa Wajah menjerit memilukan. Tubuhnya kontan terjengkang ke belakang disertai semburan darah segar dari mulut. Memang, kejadiannya berlangsung demikian cepat!
Pergelangan kaki Palasena berputar aneh, lalu terus melanjutkan serangan. Hasilnya, kaki itu tidak membentur kipas, melainkan membentur pergelangan tangan Iblis Tanpa Wajah. Akibatnya, kipas wanita sesat itu terlempar karena pergelangan tangannya terasa lumpuh.
Dan sebelum Iblis Tanpa Wajah sempat berbuat sesuatu, tendangan susulan Palasena menghantam telak dadanya disertai suara gemeretak tulang-belulang yang patah. Jelas, tendangan Palasena kuat bukan kepalang.
"Akh!" Jerit kesakitan Wangun Santang terdengar bersamaan dengan terlemparnya tubuh Iblis Tanpa Wajah. Ternyata, ada beberapa buah ujung-ujung kipas yang sempat menghunjam perutnya. Dan itu terjadi karena ujung kipas tidak hanya satu buah, dan meluncur susul-menyusul.
Brukkk!
Hampir berbareng tubuh Wangun Santang dan Iblis Tanpa Wajah jatuh ke tanah. Iblis Tanpa Wajah tewas seketika, sedangkan Wangun Santang sekarat. Dewa Arak yang sejak tadi tidak sempat berbuat apa-apa karena kejadiannya berlangsung sangat cepat, segera menghampiri Wangun Santang. Hanya sekali lesat saja, dia telah berada di dekat Wangun Santang.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat melihat keadaan Wangun Santang. Sekali lihat saja bisa diketahui, tidak ada harapan hidup lagi bagi adik seperguruan Pendekar Tombak Sakti itu. Dan baru saja helaan napas pemuda berambut putih keperakan itu lenyap, pendengarannya yang tajam menangkap adanya gerakan yang mencurigakan. Dan ketika kepalanya menoleh hati Dewa Arak langsung tercekat. Dilihatnya Memedi Tangan Api menyerang ke arah Dewa Seribu Kepalan yang tengah bersemadi untuk memulihkan luka dalamnya.
"Hih...!" Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika itu, berhembus angin keras berhawa panas menyengat dari kedua tangan yang dihentakkan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'! Dan Dewa Arak terpaksa menggunakannya untuk mencegah serangan Memedi Tangan Api terhadap Dewa Seribu Kepalan.
Memedi Tangan Api terkejut bukan kepalang, namun tidak berani bertindak sembarangan untuk memapak. Disadari bahaya besar yang terkandung dalam serangan itu. Maka serangannya terpaksa dibatalkan. Dan dia cepat melompat mundur, sehingga serangan itu menyambar lewat di depannya.
Kesempatan itu memang ditunggu-tunggu Dewa Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan itu buru-buru melesat. Dan hanya dalam sekali lesatan saja, tubuhnya telah berada di hadapan Memedi Tangan Api.
"Keparat! Terpaksa kau yang akan kubunuh lebih dulu, Dewa Arak!" geram Memedi Tangan Api.
"Hih!" Kakek jangkung ini langsung melancarkan serangan berupa gedoran kedua telapak tangannya. Tampak kedua tangan itu berwarna merah ketika ilmu 'Tangan Api' telah digunakan.
Melihat hal ini, Dewa Arak buru-buru mengambil gucinya yang kemudian dituangkan ke dalam mulut.
Gluk... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian, kedua kaki Dewa Arak pun tidak berdiri tetap lagi di tanah. Pada saat yang sama, gedoran kedua tapak tangan terbuka Memedi Tangan Api meluncur. Maka, buru-buru Dewa Arak memapaknya. Guci yang dipegang oleh kedua tangannya segera disorongkan.
Blanggg!
Keras bukan kepalang benturan yang terjadi. Akibatnya, tubuh Dewa Arak dan Memedi Tangan Api sama-sama terhuyung ke belakang. Dewa Arak terjajar dua langkah, sedangkan Memedi Tangan Api empat langkah.
Memedi Tangan Api menggeram melihat kenyataan ini. Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Arak memiliki tenaga dalam sekuat ini. Padahal, tenaga Dewa Seribu Kepalan saja tidak sekuat ini. Dan tentu saja hal ini membuatnya penasaran di hatinya. Maka diputuskannya untuk menyerang lebih dahsyat. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun berlangsung.
Hebat bukan kepalang pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu. Debu mengepul tinggi ke udara. Tanah terbongkar tak tentu arah. Itu pun masih ditambah suasana di sekitar pertarungan yang panas bukan kepalang.
Hal itu terjadi karena kedua tokoh yang bertarung sama-sama menggunakan tenaga berhawa panas. Dewa Arak dengan 'Tenaga Sakti Inti Matahari', sedangkan Memedi Tangan Api menggunakan ilmu 'Tangan Api'nya.
Sayangnya, pertarungan yang berlangsung dahsyat itu sama sekali tidak mempunyai penonton. Palasena satu-satunya orang yang sama sekali tidak terluka, tengah sibuk dengan Widuri dan Wangun Santang. Memang, pemuda berpakaian coklat itu telah meletakkan tubuh Wangun Santang dan Widuri berdampingan. Sementara, Dewa Seribu Kepalan masih tenggelam dalam semedinya.
"Benarkah pembunuh orang tuaku bukan Dewa Seribu Kepalan, Paman?" tanya Palasena ingin memastikan. Pemuda itu masih merasa bimbang sampai saat ini.
Wangun Santang mengangguk. "Agar kau tidak bertanya-tanya lagi, akan kuceritakan sejelas-jelasnya!"
Wangun Santang menghentikan ucapannya yang terputus-putus. Ditatapnya wajah Widuri yang telah menjadi mayat. Sinar mata adik seperguruan Pendekar Tombak Baja itu tampak menyorotkan kesedihan mendalam.
"Dewa Seribu Kepalan adalah tokoh sakti aliran putih yang telah banyak membinasakan tokoh jahat. Rupanya, di antara yang tewas terdapat orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Iblis Tanpa Wajah dan Memedi Tangan Api. Maka, keduanya berniat membalas dendam".
Kembali Wangun Santang menghentikan ucapannya. Keadaannya memang sudah mengkhawatirkan. Bahkan ketika bercerita pun, napasnya terengah-engah.
"Namun, usaha kedua itu gagal. Dewa Seribu Kepalan terlalu sakti untuk mereka. Maka diputuskan untuk mengambil jalan lain. Kebetulan, Iblis Tanpa Wajah memendam sakit hati pada Pendekar Tombak Sakti. Karena, pendekar yang dicintainya itu menikah dengan wanita lain. Iblis Tanpa Wajah mengatur siasat. Salah seorang murid Memedi Tangan Api disamarkan, sehingga serupa dengan Dewa Seribu Kepalan. Kemudian, Dewa Seribu Kepalan palsu ini memperkosa istri Pendekar Tombak Sakti. Akibatnya, Pendekar Tombak Sakti mencari Dewa Seribu Kepalan yang padahal adalah sahabat karibnya. Dan pertarungan tidak bisa dielakkan lagi, meskipun Dewa Seribu Kepalan tegas-tegas mengatakan kalau tidak melakukannya."
"Lalu..., Dewa Seribu Kepalan membunuh ayahku?" potong Palasena tidak sabar.
"Sama sekali tidak, Sena. Meskipun kalau mau, Dewa Seribu Kepalan bisa membunuh ayahmu. Tapi, itu tidak dilakukannya. Bahkan malah bersikap mengalah. Dia tidak melancarkan serangan-serangan yang melukai, apalagi membunuh. Padahal, ayahmu menyerang dengan maksud membunuh. Karena tak tahan menanggung malu, ayahmu bunuh diri. Demikian pula istrinya."
"Ahhh...!" desah Palasena kaget.
''Tapi Dewa Seribu Kepalan tidak ingin tokoh persilatan lain tahu masalah kalau ayahmu membunuh diri. Karena, hal itu akan membuat nama besar ayahmu akan jatuh. Dengan kelihaiannya, dibuat kejadian kalau seakan-akan ayahmu tewas di tangannya. Meskipun demikian, Dewa Seribu Kepalan terpukul melihat kenyataan ini. Maka dia pun mengasingkan diri...."
"Lalu..., mengapa Dewa Seribu Kepalan tidak menceritakan masalah sebenarnya padaku, Paman?" tanya Palasena.
Suara pemuda berpakaian coklat ini terdengar bergetar karena perasaan haru yang menggelegak. Segumpal perasaan bersalah pun bersarang dalam hatinya. Dia telah menuduh Dewa Seribu Kepalan yang ternyata berhati mulia dengan tuduhan sekeji itu. Padahal, pengorbanan gurunya amat besar. Sungguh dirinya telah berubah menjadi manusia terkutuk!
"Dari mana kau mengetahui semua ini, Paman?"
"Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengungkap rahasia ini, Sena. Sama sekali tidak kusangka kalau istriku adalah Iblis Tanpa Wajah. Padahal, dulu kukira Iblis Tanpa Wajah itu adalah seorang laki-laki. Dia dijuluki seperti itu, karena tak seorang pun yang mengenal wajahnya. Kasihan, Widuri. Bertahun-tahun dia telah diasuh Iblis Tanpa Wajah, dan dididik dengan ajaran-ajaran yang sama sekali tidak disukainya. Batinnya tertekan. Jadi tidak heran kalau wataknya jadi aneh. Dingin. Apalagi, ketika diberitahu aku telah meninggal. Dia seperti orang kurang akal. Ah! Aku telah menelantarkannya. Dan... akh...!"
Wangun Santang memekik tertahan, lalu kepalanya pun terkulai.
"Paman...!"
Palasena mengguncang-guncangkan tubuh Wangun Santang sambil terus berteriak-teriak. Tapi, paman gurunya sama sekali tidak menyambut. Karena, nyawa Wangun Santang memang telah melayang meninggalkan raga.
"Akh...!" Di sela-sela teriakan Palasena, terdengar jeritan menyayat. Tapi pemuda berpakaian coklat itu sama sekali tidak mempedulikannya. Dia memang masih sibuk mengguncang-guncangkan tubuh pamannya. Jelas Palasena belum bisa menerima kenyataan kalau paman gurunya telah tiada.
Palasena baru menoleh ketika terdengar suara berdebuk keras di sebelahnya. Ternyata, tubuh Memedi Tangan Api telah terjerembab tak berdaya. Kakek jangkung ini terjengkang ke belakang, karena guci Dewa Arak menghantam dadanya. Sehingga terluka dalam. Hal itu terjadi di jurus ke seratus dua puluh, setelah Dewa Arak mencurahkan seluruh kemampuannya. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya merupakan satu kesatuan yang menggilas habis perlawanan Memedi Tangan Api.
"Huakh...!"
Memedi Tangan Api memuntahkan darah segar dari mulutnya ketika berusaha bangkit. Hal ini menandakan kakek jangkung ini sedang terluka dalam. Memang, gedoran guci Dewa Arak keras bukan kepalang.
Palasena menggeram keras, dan amarahnya kontan bergolak. Diletakkannya mayat Wangun Santang di tanah, kemudian meluruk ke arah Memedi Tangan Api dengan keris di tangan.
Jrottt!
Sepasang mata Memedi Tangan Api membelalak lebar ketika keris Palasena menyate lehernya. Seketika itu juga, darah berhamburan keluar. Dan ketika pe-muda berpakaian coklat mencabut kembali kerisnya, Memedi Tangan Api tewas untuk selamanya.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat melihat hal itu, namun tidak bisa menyalahkan tindakan Palasena. Gucinya disampirkan kembali ke punggung, kemudian kakinya melangkah menghampiri Palasena.
Palasena mengangkat kepala. "Mengapa kau bisa berada di sini, Arya?" tanya Palasena tanpa gairah.
"Pertemuanku denganmu, kuceritakan pada Wangun Santang. Beliau kaget, karena namamu mirip dengan keponakannya. Ketika telah sembuh dari pengaruh racun, kami berdua mencarimu sampai tiba di Gunung Kumang. Di sana, kami menjumpai murid Memedi Tangan Api tengah memperkosa Kuntari. Lalu, murid Memedi Tangan Api itu kubunuh. Sedangkan aku telah terlambat menyelamatkan Kuntari yang bunuh diri. Dan setelah itu, kami mengikuti jejakmu sampai di sini."
Palasena mengangguk-anggukkan kepala. Hanya dia sendiri yang mengerti maksudnya. Kemudian dengan langkah lesu, dihampirinya Dewa Seribu Kepalan yang masih sibuk bersemadi. Arya hanya menatapinya dengan sinar mata penuh haru.
Angin senja meniup semilir lembut, seakan-akan tengah berusaha menghibur keresahan di hati Palasena. Perlahan-lahan matahari mulai tenggelam di Barat. Tak lama lagi, tempatnya akan digantikan sang Dewi Malam.
Selanjutnya,