Dewa Arak - Misteri Raja Racun
SATU
"Ck, ck, ck...!"Ctar, ctar, ctar...!
Suara decakan pelan, lecutan cambuk, langkah kaki kuda, dan gemeretak roda kereta kuda menggilas jalan, memecah keheningan pagi. Saat itu suasana pagi masih menyelimuti mayapada. Sang Surya belum begitu jauh bergeser dari tempat terbitnya. Sinarnya masih terasa lembut menghangatkan kulit. Desir angin pun masih membawa hawa kesegaran.
Dan lelaki yang duduk di bangku kusir kereta itu pun nampaknya tahu benar manfaat udara pagi seperti itu. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengisi rongga dadanya dengan udara bersih yang terus menerpa wajahnya.
"Ck, ck, ck...!"
Untuk kesekian kali, mulut lelaki kekar yang mengenakan pakaian coklat itu berdecak. Kemudian dengan pelan sekali cambuknya dilecutkan ke punggung kuda. Lecutan itu tidak sekeras lazimnya kusir yang menghendaki kudanya agar bergerak lebih cepat.
Kereta sederhana yang ditarik seekor kuda itu terus bergerak meninggalkan jalan berbatu-batu yang sulit untuk dilalui. Tak jauh di depan kereta yang berjalan terseok-seok itu tampak membentang sebuah hutan lebat.
"Kalau kita telah melewati hutan itu, kau bisa beristirahat, Putih," kata lelaki berpakaian coklat itu sambil menatap kudanya.
Ternyata, kuda putih penarik kereta itulah yang barusan dipanggil Putih. Aneh juga tingkah laku lelaki itu. Kalau saja ada orang melihat tingkah lakunya itu, mungkin akan merasa heran. Betapa tidak? Seorang manusia tampak akrab berbicara dengan seekor kuda.
Namun, rupanya kuda putih itu berbeda dengan kuda umumnya. Kuda putih penarik kereta itu meskipun tak dapat berbicara seperti manusia, seakan-akan mengerti benar ucapan lelaki itu. Buktinya, kuda itu langsung meringkik pelan, dan segera mempercepat langkahnya. Padahal, lelaki berpakaian coklat itu sama sekali tidak mencambuknya.
Tak lama kemudian, kereta kuda itu mulai memasuki mulut hutan yang cukup besar dan menyeramkan. Pepohonan di dalam hutan itu besar-besar dan menjulang tinggi. Kelebatan pepohonan menghalangi sinar matahari menembus ke dalam hutan itu. Sehingga suasana pagi hari di dalam hutan terlihat begitu remang-remang.
Meskipun keadaan hutan yang bernama Hutan Gendar itu cukup menyerarnkan, lelaki berpakaian coklat itu tidak cemas sedikit pun. Nampaknya dia tahu pasti tentang hutan itu. Itulah sebabnya, meski sendirian, lelaki itu dengan tenang memasuki hutan lebat itu.
Gemeretak bunyi roda, langkah kaki kuda, dan sesekali decakan mulut lelaki itu seolah-olah memecah kesunyian hutan. Namun, betapa kagetnya hati lelaki tua yang duduk di kereta kuda itu ketika melihat kemunculan beberapa sosok berpakaian hitam. Wajah mereka tak dapat dikenali karena tertutup selubung kain hitam.
Mereka langsung bergerak menyebar untuk mengepung dan menghadang kereta yang memasuki hutan itu. Seketika lelaki berpakaian coklat itu menghentikan keretanya.
"Hhh...!" Lelaki berpakaian coklat itu mendesah dalam hati. Sebenarnya tadi telinganya mendengar suara berkerosakan dalam hutan itu. Tapi dia tidak menaruh curiga sama sekali. Diduganya, suara berkerosakan itu hanya disebabkan binatang-binatang di dalam hutan. Sama sekali hatinya tak menduga kalau ternyata yang muncul di hadapannya sosoksosok berpakaian serba hitam.
"Hm... siapa kalian? Mengapa merintangi jalanku? Kalau kalian perampok, sia-sia saja kalian! Aku tidak punya barang-barang berharga sama sekali!" tandas lelaki berpakaian coklat itu, seolah ingin memberi tahu.
"Perampok? Jaga mulutmu, Ki Gadung! Atau kuhancurkan mulutmu!" bentak salah satu dari tiga orang yang berdiri di depan kereta.
"Hehhh...? Jadi, kalian mengenalku? Hebat! Tidak kusangka kalau namaku demikian terkenal! Sekarang, kuminta buka tutup muka kalian! Dan..."
"Diam...!" bentak seseorang yang bertubuh tinggi kurus. "Turun dari keretamu! Cepat! Atau aku harus menyeretmu turun!"
Kusir kereta yang ternyata bernama Ki Gadung itu tercenung sejenak. Kemudian bangkit dari duduknya dan melompat turun dari kereta.
"Hap!"
Jiiggg!
Tanpa menimbulkan suara keras, kedua kaki Ki Gadung mendarat di tanah. Dari lompatannya yang indah dan cepat ini bisa diketahui kalau Ki Gadung pun mempunyai kepandaian silat yang perlu diperhitungkan. Setidak-tidaknya dia menguasai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Hm...!" Sosok berseragam hitam yang bertubuh tinggi kurus mendengus. Sepasang mata yang terlihat melalui dua lubang pada selubung itu, menatap sekujur tubuh Ki Gadung dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Bunuh dia!" perintah sosok tinggi kurus itu.
Perintah itu terdengar begitu datar, seperti perintah untuk membunuh nyamuk atau tikus. Ki Gadung tentu saja terkejut mendengar ucapan sosok tinggi kurus yang dilihat dari tindak-tanduknya dialah pemimpin gerombolan itu. Dan keterkejutan Ki Gadung semakin menjadi-jadi ketika melihat sosok-sosok serba hitam itu mulai bergerak mendekatinya. Sehingga keadaannya semakin terjepit.
"Tahan! Tunggu sebentar!" cegah Ki Gadung, buru-buru. "Mungkin kalian salah orang. Kurasa kita tidak pernah bertemu dan tak ada urusan antara kita!"
Ucapan Ki Gadung membuat mereka yang tengah bergerak mendekat, menghentikan langkah. Mereka tidak-berani melancarkan serangan terhadap Ki Gadung, karena lelaki berpakaian coklat itu kemudian terlibat percakapan dengan pimpinan mereka.
"Ha ha ha...!" Sosok serba hitam yang bertubuh tinggi kurus tertawa bergelak begitu mendengar ucapan Ki Gadung. "Kau kira kami keliru? Ha ha ha...! Bukankah namamu Gadung? Siapa yang tidak mengenalmu? Kau terkenal sebagai orang yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Asalmu Desa Gedong, kan?"
Tanpa sadar, Ki Gadung menganggukkan kepala membenarkan.
"Nah, sekarang sudah jelas. Bunuh dia!" perintah pemimpin gerombolan itu.
Orang-orang berseragam hitam itu tidak ragu-ragu lagi bergerak ke arah Ki Gadung.
Srat, srat, srattt!
Cahaya berkilau pun segera nampak ketika sosok berseragam serba hitam mencabut senjata masing-masing. Golok-golok besar terhunus sudah diayun-ayunkan tangan mereka terarah ke tubuh Ki Gadung.
Sing, sing, sing!
Bunyi desing nyaring terdengar dari golok-golok besar yang terayun-ayun membelah udara. Nampaknya ayunan golok itu dibarengi pengerahan tenaga dalam yang cukup kuat. Ki Gadung segera sadar kalau saat ini bukan waktunya lagi untuk berdebat kalau dirinya masih ingin selamat. Yang harus dilakukannya sekarang mempersiapkan perlawanan. Ki Gadung segera mencabut sepasang pedang yang tergantung bersilangan di punggung.
Srat, srat!
Sinar-sinar yang tidak kalah terang pun keluar dari kedua batang pedang Ki Gadung. Pedang itu mulai terayun-ayun mencoba mengatasi serangan serangan gencar golok lawan.
Trang, trang, trang!
Suara riuh rendah teriakan dan dentang senjata memecah keheningan hutan. Percikan bunga-bunga api dari benturan senjata senjata tajam pun menambah semarak pertarungan.
Untuk sementara Ki Gadung berhasil menangkis dan mengelakkan setiap serangan golok-golok besar itu. Tentu saja Ki Gadung terus mempercepat gerakannya. Kini Ki Gadung bersikap lebih waspada. Dengan tajam kedua matanya memperhatikan tiap gerak-gerik lawan yang berada di sekelilingnya. Lelaki berpakaian coklat ini telah bersiap-siap untuk menghadapi munculnya serangan mendadak yang sewaktu-waktu berkelebat ke tubuhnya.
Sementara itu, sosok-sosok berseragam hitam yang masih mengepung Ki Gadung pun tidak kalah waspada dalam bertindak. Dengan langkah hati-hati, mereka mendekati Ki Gadung. Selangkah demi selangkah kepunganitu pun semakin menyempit.
"Hiaaat...!"
Diawali sebuah teriakan keras, tiga dari sembilan sosok berpakaian hitam yang mengurung, langsung melancarkan serangan. Namun Ki Gadung nampak tidak begitu terkejut, karena sejak tadi sudah bersiap menghadapi setiap serangan. Maka begitu serangan tiba, Ki Gadung langsung menyambutnya.
Lelaki berpakaian coklat ini secepat kilat memutar sepasang pedangnya di atas kepala seperti baling-baling. Tak lama kemudian kedua pedang itu diayunkan memapak serangan lawan-lawannya.
"Hiaaat...!"
Trang! Trang! Trang!
Tiga serangan golok besar lawan berhasil dipatahkan Ki Gadung. Bahkan akibat benturan itu, tiga penyerangnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Ki Gadung sendiri hanya tergetar saja.
Namun, lelaki berpakaian coklat itu belum sempat berbuat sesuatu, serangan sosok-sosok berpakaian hitam lainnya datang meluncur. Akibatnya, Ki Gadung kewalahan menghadapi serangan itu. Betapa tidak? Serangan datang silih berganti. Namun, dalam keadaan terjepit, lelaki berpakaian coklat ini terus mengadakan perlawanan sengit.
Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung seimbang. Kedua belah pihak belum berani membuka diri. Serangan-serangan dan elakan-elakan yang dilakukan sebagian besar hanya bersifat penjajakan kemampuan terhadap lawan.
Tapi ketika pertarungan mulai menginjak jurus ketiga puluh, Ki Gadung mulai kewalahan. Perlahan-lahan serangannya menurun dan tidak segencar pada awal-awal pertarungan. Bahkan akhirnya Ki Gadung lebih banyak melakukan gerakan menghindar.
Sekarang keadaan Ki Gadung tak ubahnya seekor tikus kecil yang tengah dipermainkan sekelompok kucing. Ki Gadung rerpontang-panting ke sana kemari berusaha menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan. Bahkan terkadang tubuhnya bergulingan di tanah, sementara senjata lawan terus memburunya.
Dan pada jurus keempat puluh tiga, salah seorang lawan yang bertubuh sedang melancarkan serangan berupa sabetan mendatar ke arah leher. Buru-buru Ki Gadung merendahkan tubuhnya.
Wuttt!
Babatan golok itu lewat beberapa jari di atas kepala Ki Gadung. Tapi belum sempat berbuat sesuatu, dari belakang sebatang golok meluncur ke punggung. Dan...
Jrottt!
"Aaakh...!" Ki Gadung terpekik keras. Darah segar muncrat dari bagian punggungnya yang tertikam ketika golok yang menembus punggung dicabut. Seketika itu pula tubuhnya tersungkur ke tanah, tidak berdaya lagi.
"Tahan...!"
Terdengar suara bentakan keras mencegah, ketika sosok berseragam hitam itu hendak menghabisi nyawa Ki Gadung. Seketika itu pula mereka mengurungkan tindakan itu. Mereka tahu suara bentakan itu berasal dari mulut pemimpin mereka yang sejak awal berdiri sambil menyaksikan pertarungan dari kejauhan.
Dugaan mereka tidak salah. Suara bentakan itu berasal dari sang Pemimpin. Dan melihat anak buahnya telah menjatuhkan lawan, lelaki tinggi kurus ini mengayunkan langkah menuju anak buahnya. Maka, sosok-sosok berpakaian hitam yang tengah berkerumun pun menyibak, memberi jalan pada pemimpinnya.
"Ha ha ha...!" Lelaki tinggi kurus itu tertawa bergelak penuh kemenangan. Masih dengan tawa yang belum putus ditatapnya Ki Gadung yang tengah mengerang kesakitan.
"Itulah ganjaran bagi orang yang terlalu usil!" ujar lelaki tinggi kurus. "Dan perlu diketahui, kau bukan orang pertama yang kami lenyapkan. Sudah beberapa orang yang punya keahlian sepertimu terpaksa kami lenyapkan. Kau tahu, kenapa?"
Tidak ada sambutan dari mulut Ki Gadung atas pertanyaan lelaki tinggi kurus itu. Bagaimana mungkin Ki Gadung akan dapat menjawabnya? Sedangkan ucapan pimpinan gerombolan berpakaian hitam itu hanya samar-samar tertangkap telinganya. Ditambah lagi rasa sakit yang teramat sangat, membuat pikirannya tak mampu memperhatikan ucapan pemimpin gerombolan berpakaian serba hitam itu.
"Karena mereka mempunyai sifat seperti kau. Gemar mencampuri urusan orang lain. Nah, sekarang terimalah kematianmu!"
Setelah berkata demikian, pemimpin gerombolan itu mencabut golok besarnya yang tergantung di punggung.
Srat!
"Hihhh...!" Mata golok besar itu terayun siap menebas leher Gadung. Semua mata anak buahnya telah siap menyaksikan suatu pemandangan mengerikan, terputusnya batang leher Ki Gadung. Tapi, tiba-tiba...
Singgg! Tukkk!
Sebuah batu meluncur ke tangan pemimpin yang tengah mengacungkan golok besarnya.
"Aaakh...!" Jerit kesakitan keluar dari mulut pemimpin gerombolan, ketika sebuah batu sebesar ibu jari menghantam punggung tangannya. Telak dan keras. Tak aneh kalau pemimpin gerombolan itu merasa sakit bukan kepalang.
Goloknya sampai terlepas ke samping. Tubuhnya membungkuk sambil mulutnya menyeringai kesakitan. Tangan kirinya nampak memegangi punggung tangan kanannya yang kesakitan. Dan sebelum laki-laki tinggi kurus itu sempat berbuat sesuatu, seosok bayangan ungu berkelebat.
Wuttt! Tappp!
Begitu cepat sosok bayangan ungu itu berkelebat. Sehingga, tak seorang pun dari mereka yang dapat melihat jelas bentuknya. Lelaki berpakaian serba hitam begitu terkejut ketika melihat tubuh Ki Gadung sudah tidak ada di tempat semula. Seketika mereka menduga kalau sosok yang barusan berkelebat begitu cepat itu yang telah membawa tubuh Ki Gadung. Siapa lagi kalau bukan sosok ungu itu, karena tak ada orang lain yang datang ke tempat ini.
Orang-orang berseragam hitam segera mengalihkan pandangan ke arah melesatnya sosok bayangan ungu. Ternyata benar, sekitar enam tombak dari tempat mereka tampak dua sosok tubuh.
"Siapa kalian, Keparat?! Dan mengapa men-ampuri urusan kami?!" bentak lelaki tinggi kurus.
Tidak percuma lelaki tinggi kurus ini menjadi pimpinan rekan-rekannya. Dia mampu menguasai perasaan. Sehingga, meskipun kemarahan hebat melandanya, tidak langsung mengumbarnya. Pikirannya berputar untuk mengungkap maksud campur tangan orang atas urusannya.
Sang pemimpin gerombolan ini memperhatikan dua sosok tubuh yang berada di hadapannya. Yang satu, seorang pemuda berpakaian ungu dengan rambut putih keperakan. Sedangkan di sebelahnya, seorang gadis cantik berpakaian putih dengan rambut panjang tergerai, sedang berlutut memeriksa luka Ki Gadung.
"Maaf! Bukan aku tidak mau memperkenalkan diri. Tapi jika kalian bersedia membuka selubung, dengan senang hati akan kusebutkan namaku!" jawab pemuda berpakaian ungu, kalem. Ternyata pemuda itu yang telah menyambar tubuh Ki Gadung dari kerumunan orang-orang berpakaian hitam tadi.
"Keparat! Kuberikan kesempatan sekali lagi, apabila kau dan kawanmu tetap tidak mau memperkenalkan diri, jangan salahkan kalau kami akan menangkapmu!" ancam laki-laki tinggi kurus.
"Sudah kukatakan, aku dan kawanku akan memperkenalkan diri. Tapi dengan syarat, kalian semua membuka selubung yang menutup wajah kalian. Bagaimana? Setuju dengan usul kami?!" masih tetap tenang ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Keparat! Mampuslah kau...! Hiyaaat…!"
Diiringi teriakan keras, lelaki tinggi kurus itu melompat menerjang pemuda berambut putih keperakan. Sambil melompat, pimpinan gerombolan berseragam hitam ini langsung mengirimkan sebuah tendangan terbang dengan kaki kanan meluncur ke dada.
Wuttt!
Tendangan yang begitu cepat dan keras itu cukup berbahaya, karena mendapat bantuan dari tenaga lompatan. Pemuda berambut pulih keperakan tetap bersikap tenang meskipun agak terkejut melihat tendangan yang begitu cepat itu. Tidak nampak tanda-tanda kalau dirinya akan melakukan tangkisan atau elakan.
Baru ketika serangan itu meluncur hampir mengenai dadanya tanpa menggeser kaki, tubuhnya dimiringkan ke kiri. Kemudian gerakan menghindar itu disusul dengan gerakan tangan yang cepat. Tangan kanannya dengan cepat sekali menyambar pergelangan kaki kanan lawan.
Tappp!
Kaki kanan pimpinan gerombolan itu berhasil dicekalnya. Tentu saja lelaki tinggi kurus itu kelabakan dan begitu kaget. Belum sempat lelaki tinggi kurus itu berbuat sesuatu, tiba-tiba pemuda berpakaian ungu itu telah lebih dulu menarik kakinya. Kemudian dengan cepat pemuda berpakaian ungu itu memutar-mutarkan tubuh lawannya di atas kepala.
Wuk! Wuk! Wuk...!
"Aaa...!" Lelaki tinggi kurus itu menjerit. Betapa tidak? Tubuhnya yang kurus itu diputar begitu cepat, hingga semua yang berada di sekelilingnya seolah-olah berputar-putar. Kepalanya mulai merasa pening tidak karuan, sedang perutnya terasa mual seperti hendak muntah. Semua anak buahnya terlongong bengong menyaksikan tubuh pimpinannya diputar-putar seperti itu.
Sementara, lelaki bertubuh kurus itu merasa perutnya mual dan kepalanya pusing. Dia langsung menduga, jika pemuda itu mempercepat putarannya, sudah pasti perutnya yang mual akan segera memuntahkan isinya. Tapi kekhawatiran pemimpin gerombolan orang berseragam hitam ini ternyata tidak terjadi. Pemuda berambut putih keperakan itu tiba-tiba melepaskan cekalannya.
Wuttt!
"Aaa...!"
DUA
Untuk yang kesekian kalinya, tanpa sadar laki-laki tinggi kurus ini terpekik keras ketika tubuhnya terlempar dengan deras. Untung saja tubuhnya terlempar ke semak-semak yang rimbun.
Gusrakkk!
Tubuh lelaki tinggi kurus itu masuk ke semak-semak rimbun. Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Sehingga, orang-orang berpakaian hitam yang lain tidak sempat berbuat sesuatu untuk menolong pemimpin mereka. Baru ketika tubuh pemimpin itu terjatuh ke dalam semak-semak, mereka tersadar.
Seiring dengan timbulnya kesadaran itu, kemarahan pun menyeruak. Gerombolan itu pun segera menyerbu pemuda berpakaian ungu di depan mereka.
Sing! Sing! Sing!
Desing suara ayunan golok-golok membeset udara, terdengar ketika gerombolan berseragam hitam itu mengayunkan senjatanya dengan cepat ke bagian tubuh pemuda berpakaian ungu itu. Tujuh dari sembilan orang berseragam hitam kini serentak menyerbu pemuda itu. Sedangkan dua lainnya berlari ke semak-semak untuk menolong pemimpin mereka.
Tapi seperti juga sebelumnya, pemuda berambut putih keperakan itu begitu tenang menghadapi serangan lawan-barannya. Dia tetap berdiri di tempat semula. Tidak nampak tanda-tanda akan mengelak atau merubah kedudukan kaki. Bahkan hingga serangan-serangan golok itu menghujani tubuhnya.
Trak! Trak! Trak!
Suara berdetak keras terdengar seperti benturan antara dua benda yang terbuat dari logam, ketika golok-golok itu mengenai sekujur tubuh pemuda itu. Tak satu pun serangan golok-golok itu yang melukai kulit tubuhnya.
Dari kejadian ini bisa diketahui kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi. Dan jelas jauh di atas tingkat tenaga dalam lawan-lawannya.
"Hehhh...?!"
Orang-orang berpakaian hitam yang menyerangnya terkejut bukan kepalang. Betapa tidak? Semula mereka menduga kalau golok-golok mereka akan merobek kulit lawan. Kulit tubuh pemuda berambut putih keperakan itu keras bagai batu. Tidak sedikit pun luka yang menggores tubuhnya. Bahkan beberapa mata golok mereka gompal!
Ketika ketujuh orang berpakaian serba hitam tengah dicekam rasa kaget dan heran, tiba-tiba tangan pemuda berambut putih keperakan mengibas dengan cepat sekali. Sehingga orang-orang yang berusaha menyerangnya tak sempat berkelit atau menangkis.
Buk, bukkk...!
"Uhk! Akh! Hugkh...!"
Suara jeritan tertahan terdengar bersahutan ketika kedua tangan pemuda berambut putih keperakan itu mendarat di tubuh tujuh orang lawannya. Pukulan tangan kosong itu terjadi begitu cepat. Dalam waktu sekejap, tujuh orang berseragam hitam itu terjengkang ke belakang. Tubuh mereka terguling-guling di tanah.
Sementara itu kedua orang yang memisahkan diri untuk menolong sang Pemimpin, menyeruak keluar dari balik kerimbunan semak-semak. Mereka memapah lelaki tinggi kurus yang masih dalam keadaan payah itu. Langkahnya masih goyah dan terseok-seok.
"Badai datang, gulung layar...!" seru lelaki tinggi kurus pada tujuh orang anak buahnya yang tengah berusaha bangkit dengan susah payah.
Kemudian tanpa menunggu ketujuh anak buahnya siap, sang Pemimpin dan dua orang yang bersamanya segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ketujuh orang anak buahnya yang baru dipecundangi pemuda berambut putih keperakan, berlari menyusul, meskipun dengan langkah terseok-seok.
Pemuda berambut putih keperakan hanya memperhatikan sambil tersenyum. Sama sekali tidak dicegahnya mereka melarikan diri. Kemudian wajahnya segera dipalingkan pada rekannya yang tengah tertunduk lesu mengawasi Ki Gadung.
"Bagaimana keadaannya, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
"Hhh...!" gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading itu menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Tidak ada harapan lagi, Kang Arya. Luka-Iuka yang dideritanya terlalu parah. Jadi..., hanya tinggal menunggu saatnya saja."
Pemuda berambut putih keperakan yang d-panggil Arya atau lebih terkenal berjuluk Dewa Arak itu ikut membungkukkan tubuh. Kemudian berjongkok dengan bertumpu pada ujung-ujung jari kakinya. Dewa Arak memperhatikan keadaan Ki Gadung sejenak.
"Kau benar, Melati. Nyawanya tidak mungkin bisa diselamatkan lagi. Kita harus cepat mengorek keterangan dari mulutnya, untuk mengetahui penyebab bentrokan antara dirinya dengan gerombolan berseragam hitam tadi."
"Kau benar, Kang," hanya itu yang bisa dikatakan Melati.
Dewa Arak melemparkan seulas senyum sebagai tanggapan atas persetujuan kekasihnya. Segera perhatiannya dialihkan pada Ki Gadung. Keadaan lelaki berpakaian coklat ini sudah payah sekali. Napasnya sudah terengah-engah dan dadanya bergerak lambat.
"Katakan pada kami, Ki. Mengapa mereka hendak membunuhmu? Dan siapa mereka?" tanya Arya tidak sabar.
"Hhh... hhh... hhh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu tidak langsung menjawab pertanyaan Dewa Arak. Dia sibuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "A..., aku... ti... tidak tahu, Anak Muda.... Tapi..., sempat kudengar... mereka menuduhku telah mencampuri urusannya. Hhh... hhh...!"
Sampai di sini Ki Gadung menghentikan ucapannya. Keadaannya yang sudah payah, hingga tak mampu meneruskan ucapannya. Meskipun keinginannya untuk menceritakan tentang kejadian yang dialami terlihat sangat besar. Terbukti, beberapa saat kemudian ucapannya kembali dilanjutkan.
"Mereka mengatakan... hhh... hhh..., sebelum aku, telah dibinasakan pula beberapa orang yang telah mencampuri urusan mereka... hhh... hhh...."
"Apa sebenarnya urusan yang mereka maksudkan itu, Ki?" tanya Melati yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.
"Aku..., aku..., akh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu belum sempat menuntaskan ucapan, maut telah lebih dulu menjemputnya. Seketika itu pula kepalanya terkulai.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat! Ditatapnya Melati, yang pada saat itu juga tengah menatapnya.
"Sayang dia tidak sempat menyebutkan urusan yang dimaksudkannya itu, Kang," kata Melati pelan.
"Bukan hanya urusannya saja yang tidak sempat kita ketahui, Melati. Nama dan tempat tinggalnya pun kita tidak tahu. Hhh...! Persoalan ini belum jelas bagi kita," kata Arya mengeluh.
"Tapi..., aku percaya kau akan bisa mengungkapkannya, Kang," jawab Melati bernada yakin.
"Kau memang pandai membesarkan hati orang, Melati," kata Dewa Arak sambil tersenyum.
"Persoalan ini harus segera terungkap, Kang," sambut Melati lagi.
"Sudahlah...! Mari kita urus dulu mayat ini," ajak Arya, memutuskan pembicaraan.
Setelah itu, Dewa Arak lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia bermaksud mencari tempat yang layak untuk mengubur mayat lelaki itu.
"Kang, kita kubur saja di sana!" kata Melati sambil jarinya menunjuk sebatang pohon beringin yang tumbuh di dekat situ.
"Aku pun berpendapat begitu, Melati," sahut Arya. Lalu Dewa Arak segera bangkit sambil membopong tubuh Ki Gadung ke arah pohon beringir itu.
Setelah selesai mengubur mayat Ki Gadung, Dewa Arak dan Melati melangkah ke kereta berkuda putih yang tidak jauh dari tempat itu.
"Kalau menurutmu, siapa pemilik kereta itu, Melati?" tanya Arya sambil menatap kereta itu.
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan kekasihnya. Sambil mengayunkan langkah mendekati kereta, diikutinya langkah Dewa Arak. Pikirannya diputar untuk mencari jawaban bagi pertanyaan itu.
"Kurasa, kereta itu pasti milik lelaki yang tewas tadi, Kang," jawab Melati.
"Dugaanku juga begitu, Melati. Rasanya dugaan kita tidak keliru. Tidak mungkin gerombolan berseragam hitam itu menggunakan kereta sepert ini."
Melati mengangguk-anggukkan kepala sambil merayapi kereta yang berkuda putih itu. "O ya, Kang. Bagaimana kalau kita periksa isi kereta itu. Barangkali ada sesuatu yang bisa kita dapatkan untuk menambah jelas persoalan ini!" usul Melati sambil mendekat ke arah kereta.
"Boleh juga, Melati," sahut Arya menyetujui.
Sesaat kemudian mereka telah berada di dekat kereta itu. Dengan agak bergegas mereka menuju bagian belakang untuk mendapatkan pintu kereta itu. Tanpa bicara sepatah kata pun, Melati langsung mengulurkan tangan untuk membuka daun pintu kereta.
"Tunggu! Tahan dulu, Melati! Jangan tergesa-gesa!"
Melati langsung membatalkan maksudnya. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Dewa Arak yang masih berdiri di belakangnya.
"Mengapa kau menahanku, Kang?" tanya Melati merasa penasaran.
"Aku tidak melarangmu, Melati. Aku hanya ingin agar kita bertindak hati-hati. Bukan tidak mungkin, di dalam kereta itu ada sesuatu yang membahayakan kita. Bisa jadi..., binatang. Atau, mungkin... ada senjata rahasianya."
Melati hanya terdiam. Disadari kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan kekasihnya itu. "Betul juga, Kang. Aku sering lupa untuk waspada. Apalagi setelah keadaan seperti ini. Maksudku..., ketika lawan sudah kabur seperti ini," jawab Melati mengakui keteledorannya.
"Jangan mempunyai pikiran seperti itu, Melati. Usahakan untuk tidak meninggalkan kewaspadaanmu dalam setiap tindakan yang akan kau lakukan. Kau mengerti maksudku?" ujar Dewa Arak.
"Mengerti, Kang," jawab Melati.
"Nah! Sekarang bukalah pintu kereta itu."
Tanpa menunggu perintah dua kali, dengan hati-hati Melati mengulurkan tangan untuk membuka daun pintu kereta. Sekujur otot dan urat syarafnya menegang, bersiap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi.
Kreeet!
Dengan sekali sentak, Melati membuka daun pintu itu sambil melompat ke belakang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kemungkinan seperti yang dikatakan Dewa Arak.
Wuttt!
Begitu daun pintu telah terkuak lebar, tiba-tiba dari dalam kereta melesat dengan cepat bayangan hitam menuju leher Melati. Begitu cepat lesatan bayangan hitam itu hingga Melati bahkan Dewa Arak tidak sempat melihat jelas bentuknya.
Namun, Melati tidak nampak gugup melihat lesatan bayangan hitam itu. Karena gadis berpakaian putih ini telah lebih dulu bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Bahkan, buru-buru tangannya mencabut pedang yang tergantung di punggung.
Srattt!
Secepat pedang itu tercabut, secepat itu pula diayunkan ke arah kelebatan bayangan hitam yang tengah meluncur ke arahnya.
"Ihhh...!" Melati kaget melihat darah muncrat ketika pedangnya berhasil membabat benda hitam itu.
Plukkk!
Benda hitam itu jatuh ke tanah. Secara bersamaan, Melati dan Dewa Arak langsung mengarahkan matanya ke benda itu. Dan seketika itu pula mereka terperanjat. Ternyata benda hitam itu seekor ular hitam mengkilat. Dan kini ular sebesar lengan bayi itu tergeletak tak bernyawa lagi. Darah mengalir dari luka akibat tebasan pedang Melati.
"Minggir, Melati! Mungkin masih ada yang lainnya."
Dewa Arak yang merasa khawatir akan keselamatan kekasihnya, segera bergerak melompat mendekati Melati yang masih berdiri di depan pintu kereta. Matanya diedarkan merayapi bagian dalam kereta itu.
Pemuda berambut putih keperakan ini mengawasi dengan cermat seluruh bagian dalam kereta. Bahkan sampai ke sudut-sudutnya. Namun tak satu pun benda yang mencurigakan dapat membahayakan dirinya. Kecuali sebuah peti coklat dan berukir yang terletak di dalam kereta itu.
Panjang dan lebar peti itu sekitar lima jengkal tangan. Dewa Arak mengernyitkan dahi melihat peti itu. Apakah isi yang ada di dalamnya? Apakah ular juga? Tapi rasanya tidak mungkin. Peti itu sama sekali tidak berlubang untuk pertukaran udara. Sehingga, tidak mungkin kalau di dalamnya tersimpan makhluk hidup.
Setelah meyakini dugaannya benar dan setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda akan terjadinya penyerangan, Dewa Arak memutuskan untuk memeriksa peti itu. Tanpa meninggalkan kewaspadaan, Dewa Arak menurunkan peti itu dari kereta. Di luar dugaan, ternyata peti itu cukup berat.
Sementara Melati hanya memperhatikan semua tindakan yang dilakukan kekasihnya. Sama seperti Dewa Arak, hatinya pun ingin tahu isi peti itu. Maka gadis berpakaian putih itu mendekat ketika Dewa Arak akan membuka peti. Hatinya penasaran ingin tahu makhluk atau benda di dalamnya.
Dewa Arak mulai memperhatikan sekeliling peti itu. Melati tampaknya tahu maksudnya. Dewa Arak tengah mencari bagian dari peti itu yang dapat dibuka. Dugaan Melati tidak salah! Dewa Arak tengah mencari bagian yang menjadi tutup peti. Akhirnya, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil menemukannya. Segera ditariknya bagian penutup peti coklat dan berukit itu.
Kriiit...!
Suara berderit pelan terdengar ketika tutup peti terbuka. Dan seiring dengan terbukanya tutup peti, tercium bau menyengat hidung, seperti bau rempah-rempah. Ketika akhirnya tutup peti itu terbuka lebar, tampak benda-benda yang ada di dalamnya. Benda-benda itu tidak lain guci-guci kecil yang besarnya tidak lebih dari kepalan tangan. Lubang guci-guci itu tertutup rapat.
Sebenarnya, tanpa memeriksa pun Dewa Arak telah menduga isi guci-guci itu. Bau khas yang tercium sudah menjelaskan isi guci-guci itu. Tapi, untuk memastikan kebenaran dugaannya, Dewa Arak mengambil salah satu guci dan membuka penyumbatnya. Kemudian guci itu didekatkan ke hidungnya.
"Apa isi guci itu, Kang? Benarkah obat-obatan?" tanya Melati tidak sabar.
Dewa Arak menganggukkan kepala membenarkan dugaan Melati.
"Jadi..., lelaki berpakaian coklat yang tewas itu seorang tabib, Kang?" tanya Melati lagi.
"Yahhh...! Kira-kira begitulah," jawab Arya.
"Berarti sebuah keterangan telah kita dapatkan, Kang. Kemungkinan, lelaki berpakaian coklat itu tengah menuju suatu tempat untuk mengobati orang sakit atau terluka. Tapi ternyata ada pihak yang tidak menginginkan orang yang terluka itu diobati. Maka tabib itu dibunuh," ujar Melati mencoba menguraikan kesimpulan yang ada dalam benaknya.
"Kemungkinan besar memang demikian, Melati," dukung Arya.
"Jadi..., dugaanmu sama denganku, Kang?" tanya Melati, setengah tak percaya.
Dewa Arak menganggukkan kepala. "Hanya dugaan itu yang paling masuk akal, Melati."
Melati terdiam, matanya memandang ke sekeliling hutan yang sangat lebat itu. Dia pun menyadari kalau dugaan yang dikemukakannya kemungkinan besar benar.
"Sekarang yang perlu kita ketahui, ke mana sebenarnya tujuan lelaki berpakaian coklat itu?" tanya Dewa Arak bernada desahan.
Suasana hening langsung melingkupi tempat itu. Hanya suara burung dan angin yang bertiup terdengar. Baik Dewa Arak maupun Melati tenggelam dalam pikirannya sendiri. Masing-masing memikirkan pertanyaan yang dikeluarkan Dewa Arak.
"Tapi, ada satu hal yang aneh, Kang," kata Melati tiba-tiba.
"Apa itu, Melati?" tanya Arya, terpaksa menghentikan pikirannya yang tengah berusaha memecahkan teka-teki itu.
"Mengapa di dalam kereta itu dimasukkan seekor ular? Bukankah binatang itu dapat mengancam orang yang membuka pintu kereta?"
"Hal itu bisa dimaklumi, Melati," sahut Arya sambil tersenyum. "Obat-obatan itu bagi seorang tabib seperti dia sangat berharga. Dan untuk melindunginya dari tangan orang-orang yang bermaksud tidak baik, hal itu dilakukannya. Walaupun mungkin dalam keadaan terpaksa. Namun, aku juga tidak yakin, kalau hanya untuk itu dimasukkan ular ke dalamnya. Aku yakin ada maksud lainnya."
Selesai berkata demikian, Dewa Arak melangkah menuju bangkai ular hitam yang tergeletak di samping roda kereta itu. Begitu berada dekat, tubuhnya dibungkukkan. Sambil berjongkok dengan bertumpu pada jari-jari kakinya, Dewa Arak memperhatikan bangkai ular hitam yang sudah tak berkepala itu.
Kurang puas hanya dengan memperhatikan, Dewa Arak lalu memungut sebilah golok yang tergeletak dekat situ. Kemudian dengan senjata itu, bangkai ular hitam itu dibolak-balikkan.
"Bukan ular sembarangan, Melati," kata Arya setelah cukup lama memeriksa.
"Aku belum mengerti maksudmu, Kang? Jadi..., ini ular ajaib?"
Dewa Arak menggelengkan kepala, tanpa mengalihkan matanya dari ular hitam itu. "Tidak, Melati. Terlalu berlebihan kalau disebut ajaib. Tetapi, ular ini memiliki banyak kelebihan dibanding dengan ular lainnya. Darah dan bisa ular ini bisa dijadikan untuk obat," jelas Arya.
"Ooo...," sambut Melati sambil mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya itulah alasan lelaki berpakaian coklat itu membawa ular ini, Kang."
"Kira-kira begitu, Melati."
"Kau tahu ular apa itu, Kang?" tanya Melati, setelah terdiam beberapa saat, sambil memandangi ular hitam itu.
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Apa, Kang?" tanya Melati lagi.
"Ular Terbang Hitam," jawab Arya. "Jenis ular yang cukup sulit didapatkan. Tidak banyak orang yang tahu tempat hidup ular seperti ini. Apalagi untuk menangkapnya. Ular macam ini banyak dicari jago-jago racun dan ahli obat. Karena memang itulah kegunaan Ular Terbang Hitam seperti ini."
"Berarti..., lelaki yang kita kubur tadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Kang. Buktinya dia berhasil menangkap Ular Terbang Hitam itu," ujar Melati membuat kesimpulan.
"Belum tentu demikian, Melati. Tidak perlu kepandaian yang terlalu tinggi untuk menangkapnya. Yang penting tahu kelemahannya. Dan, lelaki berpakaian coklat itu rupanya memiliki keahlian itu," jelas Arya.
Untuk yang kesekian kalinya, Melati mengangguk-anggukkan kepala. Dia menyadari adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan Dewa Arak. Kalau benar Ki Gadung memiliki kepandaian tinggi, barangkali gerombolan orang berseragam hitam itu tidak mampu melukainya. Padahal, Melati sendiri yakin kalau dirinya saja mungkin akan mampu mengatasi gerombolan berseragam hitam itu.
"Berarti tinggal satu persoalan lagi. Dan setelah itu, masalahnya akan selesai, Kang," kata Melati bernada yakin.
"Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan, Melati," kata Arya. "Bukankah yang kau maksud tempat tujuan lelaki berpakaian coklat itu?"
Melati menganggukkan kepala.
"Kalau demikian, kau terlalu cepat menarik kesimpulan. Kau tahu, Melati. Kalau kita berhasil menemukan tempat tujuan lelaki berpakaian coklat itu, berarti kita baru masuk dalam persoalan. Masih banyak liku-liku yang harus kita selesaikan."
Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk membasahi tenggorokannya yang kering, sambil bangkit dari jongkoknya.
"Sampai di sana nanti kita harus menyelidiki apakah orang yang bakal ditolong lelaki berpakaian coklat itu terluka secara wajar ataukah tidak. Setelah itu, kita masih harus menyelidiki lagi tentang orang-orang yang tadi membunuh lelaki berpakaian coklat itu. Benarkah mereka terlibat dalam masalah ini? Dan banyak lagi hal lain yang harus diselidiki, Melati."
Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Sekarang mari kita memulai penyelidikan, Melati. Aku yakin tempat orang-orang yang akan diobati tak jauh dari tempat orang-orahg berseragam hitam berada. Dan, aku yakin kalau mereka berada di salah satu desa sekitar sini."
"Tapi bukankah di sekitar tempat ini banyak terdapatdesa, Kang? Di sebelah barat, timur, mau pun utara, ada desa. Arah mana yang harus kita tempuh, Kang?" tanya Melati.
"Kalau melihat jejak yang ditinggalkan roda kereta, jelas berasal dari timur. Tinggal tiga pilihan yang harus kita tuju, utara, selatan, dan barat."
"Lalu..., sekarang arah mana dulu yang harus kita tempuh, Kang?" tanya Melati lagi.
"Aku belum bisa memutuskannya. Tapi kalau menurutku, lebih baik kita coba ikuti gerombolan berseragam hitam tadi. Barangkali mereka meninggalkan jejak yang bisa kita ikuti," jawab Arya sambil mengarahkan matanya ke tempat gerombolan tadi pergi.
Melati sama sekali tidak memberikan tanggapan. Di dalam hati, dia menyetujui tindakan yang akan dilakukan Dewa Arak. Namun hatinya merasa tidak yakin mereka akan menemukan jejak orang-orang berseragam hitam tadi.
Sesaat kemudian, Dewa Arak dan Melati bergerak meninggalkan tempat itu. Tetapi kali ini sepasang muda-mudi yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh untuk mengejar gerombolan berpakaian hitam. Hal itu karena Dewa Arak dan Melati berjalan sambil terus memeriksa ke sekeliling. Barangkali ada jejak yang ditinggalkan gerombolan berseragam hitam itu.
Beberapa kali Dewa Arak dan Melati menghentikan langkah ketika menemukan tanda-tanda adanya jejak yang ditinggalkan gerombolan berseragam hitam.
* * *
TIGA
Brakkk!
Seketika sebuah meja bundar terbuat dari papan tebal hitam dan berukir, hancur berkeping-keping. Sebuah tangan yang tertutup sarung tangan menghantamnya. Jelas, pukulan tangan kosong itu mengerahkan tenaga dalam tinggi.
"Bodoh! Dungu! Kalian semua benar-benar buta!" Suara bentakan terdengar menggelegar keras dari mulut lelaki yang telah menghancurkan meja barusan. Suaranya yang begitu keras menggelegar bagaikan halilintar itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Ampunkan kami, Ketua. Sebenarnya..., kalau saja tidak segera muncul segerombolan orang yang langsung menolong Ki Gadung, tentu kepalanya akan kami bawa kemari. Tapi, serbuan gerombolan itu terlalu kuat untuk bisa kami lawan. Namun, kami yakin Ki Gadung akan tewas sebelum sempat mengatakan sesuatu. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah," lapor salah satu dari sepuluh orang berseragam serba hitam yang bertubuh tinggi kurus.
Sembilan orang yang berdiri di belakangnya, hanya diam membisu. Mereka berdiri dengan kepala tertunduk. Kepasrahan akan jatuhnya hukuman atas diri mereka, terlihat jelas dalam sikap seperti itu.
Sang Ketua yang tengah murka, langsung terdiam mendengar laporan laki-laki tinggi kurus itu. Hanya ada sebuah perbedaan pada mereka, yaitu bagian dahi di selubung sosok yang tengah murka terdapat sebuah gambar tengkorak kecil.
"Segerombolan orang?! Coba kau ceritakan dengan jelas, bagaimana mereka bisa muncul? Bagaimana ciri-ciri pimpinan mereka?" tanya sosok hitam yang pada dahinya terdapat gambar sebuah tengkorak.
Lelaki tinggi kurus itu tidak segera menjawab. Ditelannya air liur yang sejak tadi terbendung di mulutnya.
"Tentang kemunculan mereka, kami tidak tahu pasti, Ketua. Mereka muncul secara mendadak. Tapi, kalau pemimpinnya kami tahu. Dia adalah seorang pemuda tampan, berpakaian ungu dan rambutnya putih keperakan," jawab lelaki kurus yang tadi memimpin gerombolan itu.
Sekelebatan terlihat ada perubahan pada sorot mata sang Ketua. Nampaknya cerita lelaki tinggi kurus itu berpengaruh cukup besar terhadap dirinya.
"Hm..., jadi orang itu pemimpinnya?" tanya sang Ketua menegaskan keterangan anak buahnya.
"Benar, Ketua," jawab lelaki tinggi kurus yakin.
"Hm...!" Sosok berseragam hitam yang dipanggil ketua mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian tatapan matanya dialihkan ke sembilan orang berseragam hitam yang lainnya.
"Angkat wajah kalian, dan tatap aku!"
Tanpa menunggu keluarnya perintah yang kedua kali, sembilan orang berseragam hitam itu langsung mengangkat kepala dan menatap sang Ketua. Karena sosok yang mempunyai tanda tengkorak di dahinya itu tengah menatap pula, maka bentrokan pandangan pun tidak bisa dihindari lagi.
"Aku akan bertanya pada kalian. Benarkah ada yang menghalangi kalian membunuh Ki Gadung?" tanya sang Ketua sambil mengedarkan pandangan, menatap wajah mereka satu persatu.
"Benar, Ketua," jawab sembilan orang berseragam hitam itu serempak sambil menganggukkan kepala.
"Apakah benar mereka berjumlah banyak dan dipimpin oleh seorang pemuda berambut putih keperakan?" tanya sang Ketua lagi.
Kali ini sembilan orang berseragam hitam yang berdiri di hadapannya tidak langsung menjawab. Mereka tampak merasa ragu untuk menjawabnya. Tenntu saja hal ini membuat lelaki tinggi kurus kebingungan. Dia mengharap rekan-rekannya turut mendukung pengakuannya.
"Bagus! Rupanya kalian masih kepingin hidup, sehingga tidak berani mendustaiku seperti dia!" bentak sang Ketua sambil menuding lelaki tinggi kurus yang kini tertunduk ketakutan.
Kemudian dengan sorot mata bengis, ditatapnya wajah lelaki tinggi kurus yang tanpa sadar melangkah mundur. Hatinya ngeri ketika melihat sorot mata penuh ancaman.
"Kau kira aku percaya ceritamu itu, Keparat?! Untung saja yang lain tidak mengikutimu, mencoba membohongiku. Kalau tidak, mereka akan mengalami nasib yang sama sepertimu!" tandas sang Ketua dengan suara berdesis. Lelaki tinggi kurus mengetahui adanya bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan dirinya. Maka secepat kilat tubuhnya berbalik. Lalu berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu.
"Mau lari ke mana kau, Keparat Busuk?! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" seru sang Ketua dengan nada suara yang membuat bulu kuduk berdiri. Seiring dengan ucapan itu, tangannya dikebutkan.
Srrr!
Suara berdesir pelan mengiringi meluncurnya beberapa batang jarum berwarna kehijauan.
Crep! Crep!
"Aaakh...!" Tubuh laki-laki tinggi kurus itu kontan menggeliat diiringi pekikan keras ketika jarum-jarum halus menancap ditubuhnya. Tapi hal itu hanya berlangsung sebentar. Karena kemudian lelaki tinggi kurus itu telah kembali berlari.
Kali ini sang Ketua tidak kembali melancarkan jarum dari tangannya. Hanya matanya yang terus memperhatikan larinya lelaki tinggi kurus itu. Apakah sang Ketua hendak melepaskan anak buahnya vang telah berbohong begitu saja? Ternyata tidak! Tak ada maksud sedikit pun di henaknya untuk membiarkan anak buahnya itu lolos. Tidak dilakukannya tindakan apa pun, karena diyakini kalau jarum-jarum yang telah mendarat di sasaran akan mampu menghentikan anak buahnya itu.
Ternyata benar! Tubuh lelaki tinggi kurus itu seketika terjungkal hanya beberapa langkah setelah berlari lagi.
"Akh...!" Kembali teriakan keras terdengar seiring dengan robohnya tubuh lelaki tinggi kurus yang berusaha kabur itu.
"Ha ha ha...!" Sang Ketua tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang mengandung kemenangan. Menilik dari tawanya yang keras dan menggelegar, sosok dengan gambar tengkorak kecil di dahinya ini mengerahkan tenaga dalam sewaktu mengeluarkan tawanya.
Sembilan orang berseragam hitam yang berdiri di belakangnya, semua mendekapkan tangan pada kedua telinga masing-masing. Suara tawa itu dirasakan telah mengguncangkan dada mereka. Untung saja suara tawa itu tidak berlangsung lama. Sehingga sembilan orang itu kembali tenang setelah tawa menggelegar itu terhenti. Namun ketakutan di hati mereka belum juga reda.
"Bawa si keparat itu kemari!" perintah sang Ketua sambil menggelengkan kepala kepada kesembilan anak buahnya yang tengah gemetar ketakutan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, salah satu dari mereka yang berseragam hitam itu berlari menuju lelaki tinggi kurus yang terkulai lemah di tanah. Sosok lelaki tinggi besar yang berlari untuk menjalankan perintah itu segera membungkuk. Kemudian mengangkat tubuh lelaki tinggi kurus yang tengah terkulai lemas. Namun, baru saja sosok tinggi besar itu mengulurkan kedua tangannya untuk memondong kawannya, tiba-tiba terdengar suara sang Ketua.
"Apa yang akan kau lakukan, Manusia Dungu?!" Seketika itu pula sosok tinggi besar itu mengurungkan maksudnya. Kedua tangannya yang sudah meluncur itu seketika terhenti.
"A..., aku... Aku hanya bermaksud melaksanakan perintahmu, Ketua," jawab lelaki tinggi besar itu dengan gugup.
"Lalu..., apa yang akan kau lakukan?!" tanya sang Ketua lagi, dengan suara keras.
"Aku..., aku akan memondongnya..., tentu saja untuk kubawa ke hadapan Ketua," jawab sosok tinggi besar, juga tetap terbata-bata.
"Siapa suruh kau memondongnya?! Atau..., rupanya kau pun ingin menerima hukuman yang sama?!" ancam sang Ketua keras.
"Tentu saja tidak, Ketua," sahut sosok tinggi besar itu lagi.
"Kalau begitu, seret dia kemari! Dia bukan anak buahku lagi! Jadi, jangan terlalu baik kepadanya. Kau mengerti?"
"Me..., mengerti, Ketua."
"Nah! Sekarang bawa kemari!" perintah sang Ketua lagi.
"Baik, Ketua."
Dengan agak bergegas, sosok tinggi besar itu lalu meraih kedua pergelangan kaki bekas pimpinannya. Lalu menyeretnya dengan kasar. Sosok-sosok berseragam hitam yang lain hanya mampu memandangi bekas pimpinannya yang diseret di atas lantai. Suara mengerang masih terdengar dari mulut lelaki tinggi kurus itu, menahan rasa sakit akibat tusukan jarum-jarum yang menghunjam tubuhnya.
Sosok berseragam hitam dan bertubuh tinggi besar yang menyeret tubuh bekas pimpinannya berhenti di depan sang Ketua. Kemudian melangkah kembali ke kelompoknya.
"Bagaimana rasanya, Manusia Busuk? Nikmat bukan?" ejek sang Ketua sambil menatap wajah lelaki tinggi kurus dengan sorot mata puas.
Lelaki tinggi kurus itu hanya diam, tidak menjawab pertanyaan ketuanya. Karena tengah sibuk menahan rasa sakit yang hebat akibat jarum-jarum yang menancap di tubuhnya. Kini beberapa saat setelah jarum-jarum itu menancap di tubuh, akibatnya mulai terasa. Seluruh otot dan tulang-belulangnya seperti lumpuh. Semakin lama rasa sakit itu semakin hebat menjalari seluruh tubuhnya. Kemudian, sedikit demi sedikit muncul rasa gatal menjalari kulit tubuhnya.
Kalau menurut perasaan, ingin rasanya lelaki tinggi kurus itu menggaruk tubuhnya untuk mengusir rasa gatal yang semakin bertambah terus. Namun sayang, hal itu tidak bisa dilakukan karena kedua tangannya sama sekali tak mampu digerakkan. Kedua tangannya telah lumpuh seperti juga kedua kaki dan tubuhnya.
Karena sibuk dengan rasa sakit yang tengah dideritanya, lelaki tinggi kurus ini tidak bisa memberikan tanggapan atas pertanyaan mengejek dari sang Ketua.
"Itulah ganjaran bagi orang yang mencoba berbohong padaku!" dengus sang Ketua. "Dengar, Manusia Busuk! Aku percaya kalau kegagalan kalian akibat campur tangan pihak lain. Aku pun akan percaya seandainya kalian mengatakan diserbu segerombolan orang yang jumlahnya lebih banyak dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi."
Sang Ketua menghentikan ucapannya sebentar. Ditelannya air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Tapi kepercayaanku membuyar, ketika kudengar pemimpin mereka seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Aku mengenal..., maksudku setidak-tidaknya pernah mendengar berita tentang orang yang kalian maksud. Tapi setahuku, pemuda itu tidak pernah bekerja dengan gerombolan. Dia selalu bekerja sendiri. Itulah sebabnya aku tidak percaya pada ceritamu!"
Lagi-lagi sang Ketua menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. Sama sekali tidak dihiraukannya lelaki tinggi kurus yang tengah menggeliat-geliat kesakitan di bawah kakinya.
"Tanpa kau ceritakan pun aku tahu. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak bersama rombongannya. Dia sendirian! Dan kau tahu siapa orang itu?"
Sang Ketua menghentikan ucapannya sejenak, lalu melihat tanggapan dari semua anak buahnya. Kesembilan orang itu menggelengkan kepala.
"Kalian memang bukan manusia! Tapi kerbau! Ya, kerbau-kerbau dungu! Oleh karena itu sama sekali tidak tahu kalau keadaan kini sangat berbahaya! Pemuda berambut putih keperakan yang kalian temui itu adalah orang yang paling usil di dunia ini. Dia adalah Dewa Arak! Kalian dengar! Dewa Arak!" tandas sang Ketua, keras.
Sembilan orang berseragam hitam itu saling pandang. Raut wajah mereka menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Jadi, orang yang telah mereka hadapi itu adalah pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan. Kalau saja tidak mendengar sendiri dari sang Ketua, mereka tak akan percaya.
Padahal, sebenarnya mereka telah mendengar julukan Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan. Tahu pula kalau tokoh yang tersohor itu masih berusia muda, dan memiliki rambut berwarna putih keperakan. Namun sama sekali tidak disangka kalau orang yang mereka temui di Hutan Gendar tadi adalah Dewa Arak. Seandainya pemudaberambut putih keperakan itu memperkenalkan diri pun belum tentu mereka akan percaya. Hanya seperti itukah penampilan Dewa Arak yang namanya telah menggegerkan rimba persilatan?
"Sudah bisa kuperkirakan kalau sekarang Dewa Arak pasti tengah berusaha menyelidiki kalian. Hal ini berarti rencana yang telah kuatur bisa hancur berantakan. Aku tak mau hal ini terjadi. Sebelum Dewa Arak berhasil menemukan sesuatu, kita harus mendahuluinya lebih dulu. Dewa Arak harus disingkirkan secepat mungkin!"
Sembilan orang berseragam hitam itu tidak memberi tanggapan apa pun. Mereka khawatir salah tanggap dapat mengakibatkan kemarahan ketua mereka.
Sang Ketua rupanya tidak memerlukan adanya tanggapan apa pun dari mulut sembilan orang berseragam hitam itu. Matanya kembali beralih pada anak buahnya yang sedang kesakitan.
"Tapi sebelum aku melenyapkan Dewa Arak, terlebihdulu kau kusingkirkan, Manusia Busuk!"
Setelah berkata demikian, sang Ketua segera memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sebentar kemudian, tangannya telah menggenggam sebuah guci kecil.
"He he he...!"
Sang Ketua tertawa terkekeh bernada menyeramkan. Dan masih dengan tertawa, dicabutnya sumbat guci kecil itu. Kemudian dituangkannya isi guci itu ke tubuh lelaki tinggi kurus yang tengah mengerang kesakitan dan tak mampu bergerak sedikit pun.
Tesss! Tesss!
Cairan kuning berbau tak sedap menetes dari mulut guci kecil itu. Hanya dua tetes yang dituangkan, namun tepat mengenai tubuh lelaki tinggi kurus yang tengah terkulai tak berdaya.
"Wuaaa...!"
Jeritan kesakitan langsung keluar dari mulut lelaki tinggi kurus. Selain itu, tubuhnya yang sejak tadi terkulai tanpa mampu bergerak sedikit pun, kini kontan menggelepar-gelepar seperti ikan dilemparkan ke darat. Hal ini mungkin pertanda betapa hebatnya rasa sakit yang diderita. Tubuhnya yang sejak tadi sama sekali tak berkutik, mampu bergerak-gerak.
"Ha ha ha...!" Sang Ketua tertawa terbahak-bahak menyaksikan derita yang dialami anak buahnya. Nampak begitu puas dengan hasil perbuatannya.
Sementara itu, kesembilan anak buahnya yang lain merasa sedih dan ngeri. Bahkan nyali mereka menciut, menyaksikan derita dan rasa sakit yang dialami bekas pimpinannya. Lelaki tinggi kurus terus menjerit dan menggelepar-gelepar kesakitan.
Betapa tidak? Dari bagian tubuh yang terkena tetesan cairan kuning itu, timbul asap. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin tebal, diikuti bau busuk yang menusuk hidung. Tak lama kemudian, seiring dengan semakin tebalnya asap, tubuhnya mulai meleleh bagai lilin terbakar.
Tak berapa lama kemudian, tubuh lelaki tinggi kurus itu lenyap. Sementara sembilan anak buahnya hanya bisa diam membisu dengan perasaan takut dan ngeri yang berkecamuk di hati.
Cukup lama sang Ketua hanyut dalam perasaan gembira. Dan ketika tawanya terhenti, pandangannya dialihkan pada sembilan anak buahnya yang masih terpaku dengan perasaan ngeri. Sepasang mata yang menyeramkan milik sang Ketua menatap wajah mereka satu persatu.
"Sebenarnya aku tidak ingin melenyapkan kalian. Tapi, karena sekarang Dewa Arak telah mengetahui masalah ini, dan sudah pasti akan mencari kalian, aku mengambil kebijaksanaan lain. Daripada nanti kalian membocorkan rahasiaku. Lebih baik kalian semua kulenyapkan!" tandas sang Ketua dengan suara bergetar.
Kontan wajah sembilan orang itu berubah memucat mendengar ucapan sang Ketua. Meskipun tidak terlihat karena wajah itu tertutup selubung, namun bisa diketahui dari sorot mata mereka. Mata-mata mereka saling memandang satu sama lain. Dan dengan perasaan sangat takut, mereka melangkah mundur perlahan.
"Kami..., kami berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini, Ketua..," ujar salah satu dari sembilan orang berseragam hitam itu dengan suara gagap.
"Be..., benar, Ketua," sambung yang lainnya. Dan berturut-turut semua mendukung ucapan kedua rekan mereka dengan menganggukkan kepala. Lidah-lidah mereka terasa kelu saking takutnya, sehingga tidak mampu mengeluarkan ucapan sepatah kata pun.
"Hmh...!" sang Ketua mendengus. "Sayang sekali, aku tidak bisa mempercayai ucapan kalian begitu saja!"
Ringan saja ucapan sosok yang mempunyai gambar tengkorak kecil di dahinya itu. Tapi bagi kesembilan anak buahnya yang tengah ketakutan, ucapan itu bagaikan halilintar di telinga mereka.
"Tapi karena kesalahan kalian tidak sebesar si keparat itu, maka kalian akan mati tanpa menderita."
Sambil berkata begitu, tangan kanan sang Ketua terjulur. Telunjuk dan jari tengah dihimpitkan menunjuk lurus. Lalu ditudingkan ke arah sembilan anak buahnya. Kesembilan orang berpakaian serba hitam yang belum sempat tahu benar apa yang bakal terjadi, terkejut seketika. Dan....
Cit, cit, cit!
Suara mencicit nyaring seperti ada tikus terjepit, terdengar ketika tangan itu ditudingkan. Dan hasilnya benar-benar menakjubkan.
"Akh! Akh! Akh...!"
Berturut-turut sembilan orang berseragam hitam itu menjerit tertahan. Jerit yang belum sempat keluar seluruhnya terputus karena nyawa mereka telah lebih dulu melayang dari raga.
Bruk! Bruk! Bruk...!
Susul-menyusul tubuh mereka ambruk ke tanah dan tak berkutik lagi. Nampak pelipis mereka sobek dan mengeluarkan darah segar. Luka yang dilancarkan sang Ketua itu, seperti tersabet senjata tajam.
"Ha ha ha...!" Kembali sang Ketua tertawa terbahak-bahak. Kemudian untuk yang kedua kalinya, isi gucinya dituangkan pada tubuh sembilan orang itu. Sesaat kemudian, kejadian yang dialami lelaki tinggi kurus tadi berulang pada sembilan orang anak buahnya.
* * *
EMPAT
"Uh, panasnya hari ini," keluh gadis cantik jelita berpakaian putih. Rambutnya yang hitam, panjang, dan tergerai disibakkan. Dan sesekali tangannya mengusap keringat yang membasahi leher dan kening.
"Bukan hanya panas," sambut pemuda berambut putih keperakan yang berjalan di sebelahnya. "Angin yang berhembus pun mengandung hawa yang tidak sedap. Tempat ini benar-benar tidak nyaman, Melati."
"Benar, Kang," jawab gadis berpakaian putih yang tidak lain Melati. "Sepertinya udara di tempat ini telah tercemar racun."
"Dugaanmu beralasan, Melati," jawab Arya, pemuda berambut putih keperakan yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak itu. "Aku pun menduga demikian. Tapi, hal itu kita pikirkan saja nanti. Sekarang yang penting mengisi perut. Apakah kau tidak merasa lapar, Melati?"
"Bukan hanya lapar, Kang. Tenggorokanku juga kering sejak tadi," sambut Melati cepat. "Hawa panas dan tidak sehat di sini membuatku cepat merasa haus."
"Kalau begitu kita mencari kedai makan untuk mengisi perut."
"Tapi..., mana ada kedai di sekitar sini, Kang?" sergah Melati sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling mereka tidak tampak satu bangunan pun. Yang terlihat hanya hamparan tanah gersang. Tempat sepasang pendekar muda ini berada sebuah tanah lapang luas yang sedikit berumput. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah tanah yang di beberapa bagian ditumbuhi rumput dan ilalang.
"Di sini memang tidak ada, Melati. Tapi aku yakin di sana ada," jawab Dewa Arak sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.
"Kalau begitu...," Melati menggantung ucapannya.
"Yahhh..., kita harus mempercepat perjalanan kalau ingin segera tiba di sana."
Usai berkata demikian, Melati lalu menjejakkan kaki melesat mendahului Dewa Arak. Dalam sekejap, tubuh gadis berpakaian putih itu telah melesat sejauh sembilan tombak di depan kekasihnya. Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Melati. Namun hal itu hanya sebentar saja dilakukannya. Kakinya segera menjejak pula dengan cepat. Dalam sekejap saja tubuhnya telah menjajari Melati yang bergerak cepat sekali.
Sesaat kemudian, sepasang pendekar muda itu telah nampak saling berkejaran. Keduanya melesat cepat, sehingga yang nampak hanya dua bayangan putih dan ungu dalam bentuk tidak jelas yang terus melesat.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Baru beberapa kali lesatan, dari kejauhan mereka telah melihat banyak bangunan berdiri. Semangat mereka semakin besar untuk segera tiba di sana. Dan ketika akhirnya jarak itu telah demikian dekat, Dewa Arak dan Melati menghentikan lesatan mereka. Hal itu dilakukan agar tidak membuat terkejut penduduk tempat itu.
Kini sepasang muda-mudi itu meneruskan perjalanan dengan berjalan biasa. Pandangan mereka beredar ke sekeliling tempat itu, menatap satu persatu bangunan-bangunan yang ada. Namun, kedua pendekar muda itu tidak mendapatkan yang diharapkan.
"Sepi, Kang," ujar Melati memecahkan keheningan.
"Benar, Melati. Rumah-rumah ini seperti tak berpenghuni. Tapi..., tunggu dulu. Kau dengar suara gaduh itu?" tanya Dewa Arak sambil menggerakkan kepalanya perlahan, seolah-olah tengah mempertajam pendengarannya.
Melati terdiam sejenak. Kedua telinganya dipusatkan untuk mencoba menangkap suara gaduh yang dikatakan Dewa Arak. Kepalanya bergerak perlahan mencari asal suara itu.
"Kau benar, Kang. Aku pun mendengar suara-suara itu. Arahnya dari sebelah sana."
"Mari kita ke sana," sambut Arya memutuskan.
Melati langsung menganggukkan kepala dan segera menghentakkan kaki melesat mendahului Dewa Arak. Tak berapa lama kemudian, mereka telah sampai di tempat asal suara riuh-rendah.
"Sebuah kedai, Kang!" ujar Melati gembira. Perutnya merasa lapar bukan kepalang, dan sudah dari tadi minta diisi. Maka hatinya gembira ketika melihat sebuah kedai di depan matanya.
"Mari kita masuk!"
Kemudian Dewa Arak dan Melati melangkah memasuki kedai. Dewa Arak berjalan di depan. Di Ambang pintu kedai pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan langkah sebentar, lalu matanya memandang ke dalam kedai.
Pengunjung kedai itu ternyata cukup ramai. Beberapa meja yang tersedia, hampir terisi semua. Tinggal dua buah meja kosong yang terletak di tengah-tengah ruangan. Setelah sekian lama memperhatikan ke dalam, Dewa Arak mendekat ke salah satu meja. Melati menyikuti dari belakangnya.
"Mau makan apa, Den?" tanya seorang lelaki kira-kira empat puluh lima tahun dan bertubuh kecil kurus ketika melihat Dewa Arak dan Melati telah duduk di bangku.
"Teh manis seguci kecil, arak seguci besar, ayam panggang, dan jagung bakar empat buah," sebut Dewa Arak untuk pesanannya.
"Harap sabar menunggu, Den!" jawab lelaki kecil kurus yang ternyata pemilik kedai itu. Setelah itu pemilik kedai segera beranjak ke dalam untuk menyiapkan pesanan Dewa Arak.
Selama menunggu pesanan, baik Dewa Arak maupun Melati tidak berbicara sepatah kata pun. Keduanya diam sambil memperhatikan keadaan sekitar ruangan kedai yang ramai itu.
Meskipun nampak tenang-tenang saja, Dewa Arak tetap memasang kewaspadaan penuh. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab ketika memasuki kedai ini, hatinya membisikkan akan adanya bahaya yang mengancam. Dan getaran perasaan itu semakin membesar setelah berada di dalam kedai.
Dewa Arak bukan orang yang terlalu menuruti perasaan prasangka buruknya. Tapi kali ini lain. Bukan perasaannya menyimpulkan demikian, tapi naluri jiwanya. Memang, sejak belalang raksasa dari alam gaib berhasil ditarik masuk ke tubuhnya, naluri Dewa Arak bertambah tajam. Dan semakin seringnya belalang raksasa itu masuk ke tubuhnya, nalurinya pun semakin bertambah tajam.
(Untuk jelasnya cerita mengenai belalang raksasa, silakan baca serial Dewa Arak, dalam episode Makhluk dari Dunia Asing dan Dalam Cengkeraman Biang Iblis).
Dewa Arak tahu naluri itu sama sekali tidak pernah meleset. Memang benar ada bahaya yang tengah mengancam. Sayangnya, Dewa Arak belum tahu dari mana asal bahaya itu. Yang jelas, nalurinya membisikkan adanya bahaya di tempat ini.
Dewa Arak semakin bersikap waspada. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Bahkan ekor matanya beberapa kali diedarkan ke sekeliling. Barangkali ditemukan adanya tanda-tanda mencurigakan. Tapi sampai sejauh itu belum terlihat adanya hal-hal yang mencurigakan.
Sementara itu, lelaki pemilik kedai telah datang sambil membawa baki berisi pesanan Dewa Arak. Di belakangnya, berjalan seorang lelaki bertubuh kekar, membawa seguci besar berisi arak. Pemilik kedai itu meletakkan semua pesanan di meja dengan hati-hati.
"Silakan dinikmati, Den," ujar pemilik kedai mempersilakan.
"Terima kasih, Ki."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu mengambil guci araknya yang tergantung di punggung. Lalu diletakkannya di atas meja. Sementara itu Melati mulai mengambil salah satu potongan ayam panggang dan segera menyantapnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Sementara Dewa Arak sibuk menuangkan arak dari guci besar ke dalam guci miliknya, Melati mulai mengunyah santapannya. Di tangan Dewa Arak, guci besar yang berisi penuh dengan arak itu, bagaikan segumpal kapas. Dengan ringan, satu tangannya mengangkat guci itu. Padahal, lelaki bertubuh kekar tadi membawanya dengan kedua tangan. Itu pun nampaknya sambil mengerahkan sebagian besar tenaganya.
Setelah guci miliknya penuh. Dewa Arak segera mengambil gelas bambu yang disediakan pemilik kedai untuknya. Kemudian sisa arak dalam guci besar itu dituangkan ke dalam alat minum dari bambu itu. Dalam sekejapan saja arak itu telah ditenggaknya. Kemudian, diambilnya sebuah jagung bakar dan segera digigit. Kini nampak sepasang muda-mudi itu tengah menikmati santapannya. Namun sebelum sebatang jagung habis di tangan Dewa Arak, tiba-tiba Melati memanggilnya.
"Kang...," suara panggilan lemah Melati membuat Dewa Arak mengalihkan perhatian dari jagung yang tengah dinikmatinya.
"Ada apa, Melati?" tanya Dewa Arak sambil menatap wajah kekasihnya.
"Kepalaku pusing, Kang. Tubuhku gemetaran dan lemas...," lanjut gadis berpakaian putih itu sambil memijit-mijit keningnya.
"Apa?!" Dewa Arak terlonjak kaget bagai disengat ular berbisa. Matanya langsung menatap tajam makanan dan minuman yang tersaji di atas meja mereka. "Jangan lanjutkan makan dan minummu. Makanan ini pasti mengandung racun!" seru Dewa Arak ketika merasakan sepasang matanya mulai berkunang-kunang. Seketika itu juga Dewa Arak bangkit dari duduknya. Namun tiba-tiba...
Srat! Srat! Srat!
Sinar-sinar terang berpendar ketika semua orang di kedai itu menghunus senjatanya masing-masing. Kemudian, sambil mengacungkan senjata, mereka bergerak menerjang Dewa Arak dan Melati.
Sing! Sing! Sing...!
Suara berdesing nyaring mengiringi ayunan senjata-senjata itu menuju sasaran. Sementara, keadaan sepasang pendekar muda itu semakin parah. Terutama sekali Melati. Kepalanya semakin bertambah pening, matanya berkunang-kunang, sehingga semua yang dilihat berputaran tidak karuan.
Kalau hanya rasa pening menyerang kepalanya, bagi Melati mungkin bukan masalah berat. Meskipun sepasang matanya tidak mampu melihat jelas, dia masih mempunyai pendengaran. Dengan pendengaran yang tajam, Melati mampu mengetahui arah yang dituju.
Namun sayangnya, tiba-tiba seluruh kekuatan tenaga dalamnya bagaikan lenyap. Tubuhnya gemetaran dan lemas. Keringat dingin pun mulai membasahi sekujur tubuhnya. Bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan, tubuh Melati tidak mampu berbuat apa pun selain berdiam diri.
Untung saja keadaan Dewa Arak tidak separah yang dialami Melati. Mengetahui keadaan mulai berbahaya, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, Dewa Arak menyambar tubuh Melati.
"Hih!" Dewa Arak melesat dan melenting beberapa kali melewati kepala-kepala para penyerangnya.
Jliggg!
Dengan begitu ringan dan manis sekali, kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mendarat di belakang para pengeroyoknya. Tentu saja para pengunjung kedai yang nampaknya bermaksud hendak melenyapkan Dewa Arak dan Melati, tidak membiarkan buruan mereka lolos.
Maka begitu melihat Dewa Arak berhasil meloloskan diri dari kepungan, mereka serentak membalikkan tubuh memburu Dewa Arak yang memapah tubuh Melati. Sewaktu para pengeroyok tengah membalikkan tubuh, Dewa Arak nampak menuangkan arak dari guci ke mulutnya.
Gluk.., gluk..., gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan. Seketika itu pula hawa hangat terasa berhembus di dalam perut Arya. Perlahan-lahan hawa itu merayap ke atas. Dan akhirnya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun limbung.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera menyampirkan kembali gucinya ke punggung. Karena, tangan kirinya memanggul tubuh Melati, Dewa Arak terpaksa menggunakan satu tangan dalam menghadapi lawan-lawannya.
Dan Dewa Arak tidak perlu menunggu lama kedatangan serangan lawan-lawannya. Karena baru saja gucinya tersampir kembali ke punggung, serangan-serangan itu datang.
Para penyerang itu ternyata tidak hanya pengunjung kedai. Pemilik kedai dan laki-laki tinggi besar yang membawa guci juga turut menyerang. Jelas, kalau semua kejadian itu memang telah direncanakan sebelumnya.
Dewa Arak segera mempersiapkan diri menghadapi serangan-serangan itu. Jumlah para pengeroyoknya sepuluh orang. Namun, pemuda berambut putih keperakan ini nampak tidak menganggap remeh lawan-lawannya yang memiliki kepandaian lumayan itu.
Dewa Arak merasa bahwa tubuhnya pun telah kemasukan racun dari makanan yang tadi disantapnya. Itulah sebabnya Dewa Arak segera menenggak arak dari gucinya, karena arak yang telah masuk ke gucinya akan mampu menawarkan segala macam racun yang masuk ke tubuhnya.
Di samping itu dengan perantaraan arak, Arya ingin mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Dewa Arak merasa perlu mengerahkan ilmu itu untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
"Hait...!" Dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan lawan-lawannya. Padahal serangan itu datang dari segala penjuru, sehingga sulit baginya untuk lolos dari kepungan para pengeroyok.
Namun ternyata kecepatan tubuhnya berkelit mampu menyelamatkan jiwanya dan Melati yang masih tetap dalam dekapannya. Bahkan, sesekali sambil berkelit di antara kelebatan senjata lawan-lawannya, tangan dan kakinya sempat bergerak cepat melancarkan serangan balasan.
Plak! Bukk! Desss!
"Akh! Ugkh...!"
Jerit kesakitan berturut-turut terdengar seiring dengan pukulan tangan dan kaki Dewa Arak yang mendarat di tubuh lawan. Dua di antaranya bersarang di dada, sedangkan yang satu lagi menghantam perut. Seketika ketiga tubuh lawannya terjengkang ke belakang. Nampak dari mulut ketiga penyerang itu memuntahkan darah.
Dewa Arak tidak meneruskan serangannya kepada ketiga lawannya yang nampak tengah memegangi dada dan perut mereka. Barangkali karena Dewa Arak belum tahu dengan jelas mengapa tiba-tiba mereka menyerang dirinya dan Melati. Nampak ketiga orang yang terjungkal karena serangan balik Dewa Arak, kini bergerak terseok-seok meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, ketujuh orang lainnya sama sekali tidak ciut nyalinya melihat kejadian yang menimpa tiga teman mereka. Bahkan sebaliknya mereka semakin ganas menyerang. Golok dan pedang di tangan mereka berkelebatan ke bagian tubuh Dewa Arak.
"Hiaaat...!"
Sing! Sing! Sing!
Mata-mata senjata tajam berkilat dan meluncur dari berbagai arah, siap mencacah tubuh Dewa Arak yang masih tetap berdiri tenang. Namun, ketika serangan itu hampir menyambarnya, pemuda berambut putih keperakan itu bergerak melancarkan serangan balik.
"Akh! Ukh! Hugkh...!"
Jeritan-jeritan tertahan terdengar berkali-kali. Tangan dan kaki Dewa Arak beberapa kali tepat mendarat di tubuh lawan-lawannya. Sesaat kemudian disusul ambruknya tubuh-tubuh mereka ke tanah dan tak mampu bangkit lagi. Mereka hanya merintih-rintih kesakitan sambil memegangi bagian tubuh yang terkena serangan Dewa Arak.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas lega melihat semua lawannya telah roboh di tanah. Kejadian itu begitu cepat. Sepasang matanya menatap tubuh-tubuh yang tergeletak dengan luka parah itu. Satu persatu wajah-wajah kesepuluh orang itu ditatapnya.
"Katakan, mengapa kalian ingin membunuhku?" tanya Dewa Arak dengan suara yang ditekan.
"Cuihhh...!" Pemilik kedai membuang ludah sambil menatap tajam ke arah Dewa Arak. "Tidak usah banyak tanya, Dewa Arak! Kau tidak perlu tahu mengapa kami hendak membunuhmu! Mau bunuh, silakan bunuh! Kami tidak takut mati. Yang penting, tugas kami untuk membunuhmu telah selesai dan berhasil dengan baik!"
"Kau terlalu berlebihan, Sobat!" sergah Dewa Arak. "Kuakui kelicikan kalian telah berhasil melukai kawanku. Tapi terhadapku, kalian tidak berhasil. Pimpinan kalian akan memberi hukuman atas kegagalan tugas kalian."
Dengan cerdik Dewa Arak mengajukan pernyataan demikian untuk memancing apakah orang-orang itu hanya suruhan. Dengan kata lain ada tokoh yang telah mendalangi tindakan mereka.
"Mana mungkin pimpinan kami akan memberikan hukuman pada anak-anak buahnya yang telah berhasil menunaikan tugas dengan baik? Kau yang keliru, Dewa Arak. Kau telah terkena racun kami, dan jangan harap dapat lolos dari maut!" ucap sang Pemiliki kedai begitu semangat dan yakin.
"Aku keracunan...? Sayang sekali, Sobat. Kurasa keinginan kalian tidak berhasil. Aku tadi telah minum obat untuk menawarkan pengaruh racun itu."
"Ha ha ha...! Jangan terlalu yakin dengan obat penawar racun yang kau miliki, Keparat! Kau tahu, racun milik pimpinan kami tidak bisa dimusnahkan dengan penawar racun apa pun," sergah pemilik kedai.
Dan ternyata benar. Dewa Arak tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran ucapan lelaki kecil kurus itu. Karena tiba-tiba dirasakan ada kabut yang meliputi sepasang matanya. Kabut itu membuat pandangan matanya samar-samar. Bahkan perlahan-lahan tubuhnya dirasakan mulai gemetar dan lemas. Racun itu benar-benar telah menjalar dan mulai bekerja.
"Dan jangan harap kau akan bisa lolos dari sini. Dewa Goblok! Pimpinan kami telah memperhitungkan semuanya secara cermat...."
Bersamaan dengan ucapan lelaki kecil kurus itu, telinga Dewa Arak segera menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati tempatnya. Langkah-langkah kaki yang hanya dimiliki orang-orang berkepandaian tinggi.
Bergegas Dewa Arak mengalihkan pandangan ke luar. Dilihatnya dengan jelas, belasan orang yang menggenggam senjata terhunus di tangan, bergerak cepat menuju kedai itu. Dewa Arak segera menyadari keadaan yang tengah dihadapinya tidak dapat dianggap remeh. Sepasang matanya yang telah berpengalaman, segera mengetahui kalau orang-orang itu memiliki kepandaian yang perlu diperhitungkan.
Kalau dalam keadaan biasa bukan soal berat untuk berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Tapi kini tubuh Dewa Arak telah terkena racun ganas yang tak mampu diatasi oleh arak dari gucinya yang selalu tersampir di punggung itu. Apalagi kini disadarinya kalau racun itu telah mulai menyerangnya. Sehingga, tubuhnya dirasakan semakin melemah.
"Aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini, sebelum seluruh tenaga dalamku lenyap," pikir Dewa Arak, sambil menatap tubuh-tubuh lelaki yang tengah bergerak ke kedai itu.
Dewa Arak segera melesat ke luar. Dan serangan pemuda berambut putih keperakan ini langsung mendapat sambutan. Belasan orang yang tengah menuju tempatnya siap memapak dengan senjata di tangan mereka. Dewa Arak segera berhenti dan bersiap menghadapi mereka. Dipapaknya serangan senjata lawan dengan ayunan gucinya.
"Hiaaat...!"
Klang! Klang....!
LIMA
Dentang suara nyaring diiringi berpijarnya bunga-bunga api langsung terjadi ketika senjata-senjata itu berbenturan dengan guci Dewa Arak. Seketika tubuh para pengeroyok itu terhuyung-huyung ke belakang. Tangan mereka terasa bergetar.
Sementara Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Karena belasan senjata-senjata lawan membentur gucinya hampir bersamaan, sehingga mengakibatkan tenaga-tenaga itu seperti bersatu. Gabungan dari belasan tenaga itu dirasakan begitu kuat menghantam guci yang digerakkan untuk menangkis. Lebih-lebih saat itu kekuatan Dewa Arak telah berkurang akibat ganasnya racun yang menjalari tubuhnya.
Dewa Arak menggertakkan gigi ketika merasakan kekuatannya semakin menurun. Dirasakan pula kedua matanya semakin tertutup penghalang berupa lapisan putih. Sehingga pemandangan yang dilihatnya pun semakin kabur, dan tidak jelas.
Untung saja rasa pusing yang dialami Melati, tidak terjadi pada kepala Dewa Arak. Meskipun takaran racun yang disajikan untuk dirinya jauh lebih besar. Namun, di samping daya tahannya yang lebih besar, Dewa Arak pun sempat menenggak araknya. Meskipun arak itu tidak mampu memusnahkan seluruh racun yang menjalar di tubuhnya, setidak-tidaknya mampu mengusir rasa pening akibat racun itu.
Rupanya lawan-lawannya mengetahui keadaan yang tengah dialami Dewa Arak. Buktinya, mereka tidak memberikan kesempatan sama sekali padanya. Begitu kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung telah berhasil dipatahkan, kembali serangan lanjutan dilancarkan.
Kali ini belasan orang yang menggunakan beraneka ragam senjata itu menerapkan siasat lain dalam menghadapi Dewa Arak. Mereka tidak langsung menyerang sekaligus. Tapi menyerang secara berganti-ganti.
Kekuatan mereka yang cukup besar dengan enam belas orang, membuat taktik itu tidak terlalu sulit untuk diwujudkan. Delapan orang dengan senjata terayun mulai maju menyerang lebih dulu. Sisanya, delapan orang lagi bersiap menunggu giliran. Dengan siasat penyerangan seperti itu, diharapkan Dewa Arak tak punya kesempatan untuk beristirahat.
"Hiaaat...!"
Teriakan-teriakan melengking nyaring yang susul menyusul saling bersahutan, seiring dengan serangan delapan orang itu. Seketika itu pula, cicitan senjata-senjata tajam seperti tombak, pedang, dan golok berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Mereka menyerang dari berbagai jurusan secara bersamaan.
Dewa Arak yang memang sejak tadi sudah bersiaga, merasa kewalahan. Meskipun sepasang matanya tidak bisa diandalkan, tapi dia masih mempunyai sepasang telinga yang dapat diandalkan. Dengan menggunakan pendengaran, Dewa Arak mencoba meladeni serbuan lawan-lawannya.
Menyadari keadaan yang tidak menguntungkan, Dewa Arak segera mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya segera dikerahkan. Namun kali ini ilmu andalannya tidak sedahsyat biasanya. Karena di samping kekuatan Dewa Arak telah menurun, di bahunya terpanggul tubuh Melati. Bukan tidak mungkin kedua hal ini mengganggu kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti'.
Meskipun demikian, bukan berarti kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti' itu pupus. Jurus-jurus dalam ilmu itu, tetap menunjukkan keampuhannya. Dan hal itu terbukti.
"Heit!" Dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak mengelakkan serangan berbahaya lawannya. Inilah jurus 'Delapan Langkah Belalang.’
Tapi, baru saja Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan itu, beberapa serangan susulan telah meluncur ke tubuhnya. Kali ini dilakukan oleh kelompok kedua. Untuk yang kedua kalinya beberapa senjata tajam mengancam keselamatan Dewa Arak dan Melati yang terkulai di bahunya.
Dewa Arak melakukan hal yang sama, hanya mengelak. Sama sekali tidak dilancarkannya serangan balasan. Karena yang ada di benak pemuda berambut putih keperakan itu bagaimana secepatnya meninggalkan tempat ini sebelum seluruh tenaga dalamnya habis terkuras.
Sebagai pendekar yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan, Dewa Arak tahu kalau penyebaran racun akan semakin cepat jika peredaran darah cepat. Dan, cepatnya peredaran darah tergantung kegiatan yang dilakukan tubuh. Itulah sebabnya, Dewa Arak berusaha tidak melakukan perlawanan. Bahkan setiap kali berkelit, dilakukan sambil menjauhkan diri.
Usaha Dewa Arak tidak sia-sia. Lawan-lawannya yang terlalu bersemangat untuk segera merobohkannya, sama sekali tidak menduga kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan melarikan diri. Apalagi, jurus 'Delapan Langkah Belalang' terlalu cepat untuk bisa diketahui perkembangannya oleh para pengeroyok yang memiliki kemampuan jauh di bawah Dewa Arak.
Dan akhirnya, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil meloloskan diri dari sergapan lawan-lawannya. Karuan saja hal itu membuat enam belas orang pengeroyoknya terkejut bukan kepalang. Dengan serentak mereka bergerak mengejar.
"Mau lari ke mana kau, Dewa Pengecut?!" teriak salah seorang di antara mereka yang berkumis melintang. Seperti juga yang lainnya, lelaki itu memiliki raut wajah kasar dan tubuh kekar.
"Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!" sambung lainnya yang memiliki codet menyilang di dahi, dengan suara tak kalah keras.
Suara-suara makian dan teriakan keluar dari mulut-mulut mereka yang terus berusaha mengejar Dewa Arak. Sementara itu, Dewa Arak terus melesat cepat meninggalkan lawan-lawannya. Dia tidak mempedulikan caci-maki dan ejekan yang diteriakkan orang-orang yang mengejarnya.
Hinaan, caci-maki, dan ejekan terus terdengar dari mulut mereka. Dengan sabar, hatinya tidak menghiraukan suara-suara itu. Yang penting bagi Dewa Arak dapat segera meninggalkan tempat itu, untuk menyelamatkan dirinya dan Melati. Disadari benar kalau keselamatan jiwanya dalam bahaya kalau tidak segera lolos dari mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak terus mengayunkan langkahnya, berusaha secepat mungkin meninggalkan lawan-lawannya sebelum kekuatan yang dimilikinya lenyap. Namun harapan memang tidak selamanya bisa menjadi kenyataan. Ketika Dewa Arak melarikan diri, kekuatan tubuhnya telah menurun jauh.
Semakin lama, kekuatan tubuhnya semakin berkurang. Sehingga, pemuda berambut putih keperakan itu tak mampu bergerak cepat untuk segera kabur sejauh-jauhnya dari para pengeroyoknya. Meskipun tenaganya terus dikerahkan sekuat tenaga, para pengejar semakin mendekat. Dan lebih sial lagi ketika tiba-tiba seluruh tenaganya musnah! Rasa lemas yang luar biasa melanda tubuhnya. Seluruh tulang-tulangnya bagai dilolosi. Tubuhnya lunglai, dan....
Brukkk!
Seketika tubuh Dewa Arak yang tengah memanggul Melati, ambruk ke tanah. Dewa Arak tidak putus asa, diusahakannya untuk segera bangkit. Semangat yang besar karena dorongan ingin menyelamatkan Melati, membuatnya mampu terus bertahan sehingga tidak pingsan. Berkali-kali dicobanya untuk bangkit, tapi sia-sia. Rasa lemas yang melanda tubuhnya membuat Dewa Arak tidak mampu berdiri lagi.
"Ha ha ha...!"
Tawa keenam belas orang pengejar Dewa Arak pun meledak. Tawa kegembiraan bercampur ejekan. Mereka merasa menang melihat tubuh Dewa Arak terkulai lemas di samping tubuh kekasihnya. Dan masih dengan tawa yang belum tuntas, mereka menyerbu ke arah Dewa Arak yang terkulai beberapa tombak di depan mereka. Senjata-senjata tajam yang tergenggam di tangan, telah siap untuk diayunkan.
Srat! Srat! Srat!
Senjata-senjata mereka seketika terayun. Cahaya berkilau bermunculan dari senjata-senjata yang tertimpa sinar matahari. Keenam belas orang itu telah siap menebas kepala Dewa Arak! Mereka begitu bernafsu untuk segera menghabisi nyawa pemuda yang namanya tengah menggemparkan dunia persilatan itu. Apalagi mata mereka melihat tubuh Dewa Arak yang terkulai tak berdaya itu.
Tapi rupanya nasib baik berpihak pada Dewa Arak. Sebelum belasan senjata beraneka ragam itu merencah tubuhnya, sesosok bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuhnya dan Melati.
Tappp, tappp!
Cappp! Cappp! Kreppp! Jrebbb!
Seketika sambaran senjata-senjata itu membabat tempat kosong. Gerakan sosok bayangan putih itu begitu cepat. Sehingga dalam sekejap saja kedua tubuh yang terkulai lemas telah berada di tangannya. Terlambat sedikit saja, pasti tubuh sepasang pendekar muda itu akan hancur terbabat belasan senjata.
"Keparat!" Laki-laki berkumis melintang menggeram ketika mengetahui senjatanya hanya membabat tanah. Mereka segera tahu kalau dua orang calon korban mereka telah berhasil diselamatkan seseorang. Keenam belas pengeroyok Dewa Arak itu melihat kelebatan sosok bayangan putih itu, meskipun tidak begitu jelas.
Sesaat setelah hilang rasa terkejutnya, mereka bergerak memburu bayangan putih itu. Namun enam belas orang ini kecele! Sosok bayangan putih itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Sehingga keenam belas lelaki berwajah kasar dan beringas itu tidak mampu mengejarnya. Sosok bayangan putih yang membawa tubuh Dewa Arak dan Melati melesat secepat kilat. Sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata. Terpaksa gerombolan pengejar itu menghentikan langkahnya.
"Keparat!" Untuk yang kesekian kalinya, lelaki berkumis melintang mengeluarkan makian. Kegeraman yang hebat tampak jelas di wajahnya.
"Kau kenal orang usilan itu, Kang?" tanya lelaki yang memiliki codet melintang di dahi.
Lelaki berkumis melintang menggelengkan kepala. "Aku tidak sempat melihatnya. Jangankan wajahnya, bentuk tubuhnya pun tidak sempat kulihat secara jelas. Keparat! Orang itu harus mendapat ganjaran atas kelancangannya!" desis lelaki berkumis melintang dengan sorot mata memancarkan dendam.
"Apa yang harus kita laporkan pada ketua, Kang?" tanya salah seorang di antara mereka yang berkulit wajah kemerahan.
"Hhh...!" lelaki berkumis melintang menghela napas berat. "Apa lagi kalau bukan menceritakan apa adanya? Tapi, yang jelas kita semua tidak akan lolos dari hukuman! Hhh...! Padahal, ketua sudah yakin, kalau rencana ini akan berhasil. Sukar dibayangkan kemurkaannya, kalau mengetahui Dewa Arak berhasil lolos."
"Tapi, Kang," sergah salah seorang yang mempunyai tahi lalat besar di pipi kanan. "Bukankah Dewa Arak dan kawannya telah berhasil kita cekoki racun? Aku yakin nyawa mereka akan melayang. Bukankah racun milik ketua tidak diragukan lagi kemampuannya? Jadi, meskipun kita tidak melihat sendiri kematian Dewa Arak dan kawannya, tapi sudah pasti mereka akan tewas!"
"Apa yang kau katakan itu benar, Wigura," kata lelaki berkumis melintang pada rekannya yang memiliki tahi lalat besar di pipi kanan. "Menurut pengalaman selama ini, Dewa Arak dan rekannya itu akan tewas. Tapi, aku yakin ketua tidak akan berpendapat seperti itu. Tanpa melihat dengan mata kepala sendiri bangkai Dewa Arak, ketua tidak akan percaya kalau Dewa Arak telah tewas. Aku sendiri pun tidak yakin kalau Dewa Arak tewas! Bukan tidak mungkin dia tetap hidup."
Kontan semua yang mendengar ucapan lelaki berkumis melintang itu terdiam. Tidak satu pun dari mereka yang berbicara. Disadari kebenaran dari ucapan lelaki berkumis melintang itu. Mereka nampak mulai merasa cemas.
"Lalu..., sekarang apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya lelaki yang memiliki kulit wajah kemerahan.
"Tentu saja melaporkan semuanya pada ketua," jawab lelaki berkumis melintang, tak bergairah. Usai berkata demikian, lelaki berkumis melintang itu segera membalikkan tubuhnya.
"Mari kita berangkat," ajak lelaki berkumis melintang itu tidak bersemangat.
Kelima belas orang kawannya segera mengayunkan langkah, mengikuti gerakan lelaki berkumis melintang yang telah melesat lebih dulu.
* * *
ENAM
"Uaaah...!" Arya membuka mulutnya lebar-lebar sambil menggeliatkan tubuh untuk melemaskan urat-uratnya yang terasa kaku. Perlahan-lahan sepasang matanya terbuka. Seketika dia tersentak dari berbaringnya. Tampak jelas kalau pemuda berambut putih keperakan ini merasa kaget bukan kepalang.
Saat ini, Dewa Arak berada di sebuah ruangan yang luas dan cukup baik, meskipun dinding-dindingnya terbuat dari bilik. Tubuhnya pun tergolek di sebuah balai-balai dari bambu. Sementara tak jauh darinya, tampak sebuah meja yang di atasnya terdapat kendi, dan beberapa buah gelas bambu. Salah satu dari gelas bambu itu mengepulkan asap beraroma khas. Aroma yang telah dikenal pemuda berambut putih keperakan itu. Aroma ramuan obat.
Kontan benak Arya berputar keras. Berbagai macam pertanyaan muncul di benaknya. Mengapa dirinya berada di sini? Dan di mana adanya tempat ini? Mengapa ada obat-obatan di tempat ini? Siapakah yang tengah sakit?
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul di benak membuat Dewa Arak penasaran. Dan karena tidak ada orang di sekitar situ, pikirannya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dicobanya juga untuk mengingat-ingat kejadian yang telah dialaminya.
Kemudian sedikit demi sedikit ingatannya kembali ke kejadian yang baru saja dialaminya. Dia diracuni secara licik oleh pemilik kedai palsu, yang ternyata sudah merencanakan semua itu untuk membunuhnya. Kemudian dia kabur untuk menyelamatkan diri. Tapi, sebelum maksudnya terlaksana dia keburu jatuh, dan akhirnya pingsan. Lalu, bagaimana dengan Melati?
Teringat akan Melati, membuat Dewa Arak tersentak kaget. Perasaan khawatirnya pun kembali menyeruak. Dan dalam cekaman rasa cemas yang melanda, pandangannya diedarkan kesekeliling. Namun, Melati tidak ditemukannya. Hal ini membuat Dewa Arak kalap. Perasaan khawatir yang amat sangat akan keselamatan kekasihnya, membuat pemuda berambut putih keperakan itu berusaha bangkit dari berbaringnya. Tapi....
"Uuuh...!" Tanpa sadar sebuah keluhan tertahan keluar dari mulut Arya ketika baru saja tubuhnya sedikit terangkat. Rasa pusing yang amat sangat langsung melandanya, membuat pemandangan yang terlihat berputaran. Terpaksa pemuda berambut putih keperakan itu mengurungkan niatnya. Tubuhnya direbahkan kembali dipembaringan. Kemudian matanya dipejamkan untuk menghilangkan rasa pusing yang melanda.
Saat itulah telinganya mendengar suara langkah-langkah halus di luar kamar. Semakin lama semakin jelas tertangkap di telinganya. Seseorang yang tengah menuju tempatnya, tentu memiliki kepandaian tinggi. Ini dibuktikan dari ringannya suara langkah kaki yang menapak tanah.
Rasa ingin tahu membuat Dewa Arak membuka matanya. Dia tidak khawatir orang yang hendak datang ke tempatnya bermaksud buruk. Dewa Arak yakin kalau orang itu adalah orang yang membawanya kemari. Dan menilik dari perlakuan orang itu terhadap dirinya, hatinya menduga kalau orang itu bermaksud menolongnya. Lagi pula, sebelum pingsan Dewa Arak sempat merasakan ada sesosok bayangan yang telah menyambar tubuhnya, tepat ketika sambaran senjata-senjata para pengeroyok hampir menerjangnya. Tak lama kemudian.... Kriiit...! Suara berderit pelan terdengar dari daun pintu ruangan yang terbuka. Dan sesaat kemudian, seraut wajah tua menyembul dan balik daun pintu itu. Seraut wajah yang terlihat masih segar meskipun telah ditumbuhi kumis dan jenggot putih. Warna pakaian yang dikenakannya pun putih bersih.
"Rupanya kau telah sadar, Anak Muda," kata kakek berpakaian putih itu sambil mengayunkan langkah menghampiri Dewa Arak.
"Berkat pertolonganmu, Ki," jawab Arya agak gugup. Nampaknya pemuda berambut putih keperakan itu belum yakin benar kalau kakek berpakaian putih itulah yang telah menolongnya. Meskipun diakui kalau samar-samar telah melihat orang yang telah menolongnya, mengenakan pakaian putih.
"Ah! Matamu sungguh awas, Anak Muda. Dalam keadaan gawat kau masih bisa mengenaliku? Hebat! Benarkah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya kakek berpakaian putih itu sambil menarik kursi yang terletak di kolong meja tempat guci dan gelas-gelas bambu berada. Kemudian dengan perlahan-lahan pantatnya diletakkan di kursi itu.
"Apa istimewanya julukan itu, Ki? Aku yakin kau memiliki kepandaian dan julukan yang melebihiku," sambut Arya merendah.
"Ha ha ha...!" Kakek berpakaian putih itu tertawa lunak sambil menatap wajah Dewa Arak. "Kau terlalu merendah, Dewa Arak. Siapa yang belum mendengar tentang dirimu? Julukanmu begitu menggemparkan dunia persilatan. Hampir semua tokoh persilatan tahu kalau kau memiliki kepandaian yang tidak ada bandingannya. Tak terhitung sudah datuk-datuk kaum sesat yang tewas di tanganmu. Tapi kau masih bersikap begitu rendah hati. Luar biasa! Kau luar biasa, Dewa Arak!" lanjut kakek berpakaian putih itu.
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki. Toh, kenyataannya menghadapi gerombolan orang kasar saja aku dan kawanku tak berdaya. Kalau kau tidak datang menolongku, mungkin kami telah tewas, Ah, ya...! Apakah kau melihat kawanku, Ki?"
Langsung saja Dewa Arak menanyakannya begitu teringat kembali akan Melati. Perasaan penuh harap tampak jelas baik dalam sorot wajah dan sinar matanya, maupun nada suaranya.
"Apakah kawanmu itu gadis berpakaian putih yang tergeletak di sampingmu?" tanya kakek berpakaian putih memastikan.
"Benar, Ki. Melati namanya," sambut Dewa Arak penuh semangat. "Apakah kau melihatnya...?"
Kakek berpakaian putih itu menganggukkan kepala. "Bukan hanya melihatnya, aku pun membawanya kemari. Seperti kau, dia pun menderita keracunan hebat. Kutempatkan dia di kamar sebelah, setelah kuberikan pengobatan seperlunya."
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega. "Aku tak tahu harus berkata apa untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang telah kau berikan, Ki. Budi yang kau berikan pada kami terlalu besar...."
"He he he...!" Kakek berpakaian putih tertawa terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kau ini aneh, Dewa Arak. Masih saja kau meributkan soal budi. Padahal, dibandingkan dengan semua yang telah kau lakukan terhadap dunia persilatan, tindakanku ini sama sekali tidak berarti apa-apa."
Dewa Arak hanya bisa menyunggingkan senyum kaku. Kini disadari mengapa orang-orang yang telah diberinya pertolongan mengucapkan terima kasih. Rupanya karena perasaan bersyukur atas pemberian bantuan yang diberikan sang penolong.
"Kau terlalu merendahkan diri, Ki. Meskipun demikian, aku yakin kau bukan orang sembarangan. Bolehkah aku mengenalmu lebih jauh, Ki?" tanya Dewa Arak hati-hati.
"Tentu saja boleh, Dewa Arak. Tapi hal itu nanti saja. Sekarang, yang lebih penting menyembuhkan lukamu dulu. Kau tahu, racun yang mengendap di tubuhmu dan juga di tubuh kawanmu itu adalah sejenis racun yang amat berbahaya. Racun ganas yang mematikan."
Kakek berpakaian putih itu menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas.
"Untunglah aku berhasil menjinakkannya. Sekarang keadaanmu dan juga kawanmu sudah tidak berbahaya lagi. Tinggal menunggu waktu agar kau segera sembuh."
"Terima kasih atas jerih payahmu, Ki. Kebehasilanmu menyembuhkan kami sebagai bukti kalau kau bukan orang sembarangan. Kalau aku tidak salah menebak, kau pasti yang berjuluk Dewa Obat Baju Putih. Apakah dugaanku benar, Ki?"
"Kau memang cerdik, Dewa Arak. Dugaanmu sama sekali tidak keliru. Memang, akulah yang berjuluk Dewa Obat Baju Putih. Tapi, apa alasan yang mendorongmu menduga demikian, Dewa Arak?" tanya kakek berpakaian putih yang ternyata berjuluk Dewa Obat Baju Putih.
"Sederhana saja, Ki. Ucapanmu dan terutama sekali keberhasilan pengobatanmu, serta ciri-ciri yang kau miliki. Telah kudengar kalau Dewa Obat Baju Putih adalah seorang kakek ahli obat, sakti, dan mengenakan pakaian putih," jawab Arya.
"Kau memang cerdik, Dewa Arak," puji Dewa Obat Baju Putih tulus.
"Rupanya kau senang memuji, Ki," sahut Arya merasa tidak enak. Kemudian dengan mata tajam, ditatapnya wajah kakek berpakaian putih itu lekat-lekat. "Kurasa agar percakapan kita berjalan lebih enak, bagaimana kalau kau memanggil namaku saja, Ki? Namaku Arya Buana. Tapi, orang-orang biasa menyapaku Arya."
"Begitu pun boleh, De..., eh Arya...!" sambut Dewa Obat Baju Putih. "Sayang sekali, aku tidak ingat lagi nama asliku sendiri, Arya."
"Tidak mengapa, Ki. Aku pun bisa memaklumi," sambut Arya.
Dewa Obat Baju Putih mengembangkan senyum tipis. "O, ya Arya. Hampir saja aku lupa. Kau masih harus minum sekali lagi ramuan obatku agar pengaruh racun yang mengendap di tubuhmu lenyap semua."
Dewa Obat Baju Putih lalu mengambil gelas bambu berisi ramuan obat yang dibuatnya. Kemudian gelas itu didekatkan ke mulut Arya. Semerbak aroma agak pedas tercium hidung Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu tidak mempedulikannya. Tanpa ragu-ragu ramuan obat itu diminumnya hingga habis.
"Sekarang beristirahatlah, Arya. Aku pergi dulu untuk menengok kawanmu. Dia pun harus minum ramuanku sekali lagi agar terbebas dari pengaruh racun itu."
Kemudian tanpa menunggu tanggapan Arya, Dewa Obat Baju Putih mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Sementara Dewa Arak hanya memandangi punggung kakek berpakaian putih itu. Lega sudah rasa hatinya mendengar Melati berada di situ pula. Dan bahkan akan sembuh dari lukanya. Kini tanpa perasaan cemas lagi, sepasang matanya dipejamkan.
* * *
Matahari sudah naik tinggi, bahkan sudah hampir tegak lurus ketika tiga sosok tubuh duduk di teras depan sebuah pondok berdinding bilik bambu. Tiga sosok itu terdiri dari dua orang lelaki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak, Melati, dan Dewa Obat Baju Putih. Kini mereka duduk saling berhadapan beralaskan tikar daun kelapa.
"Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan padamu, Ki. Dan aku ingin sekali mendapatkan jawabannya. Tapi tentu saja, kalau kau tidak keberatan," ucap Arya. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu terlihat sudah cerah kembali. Tubuhnya telah pulih seperti sediakala. Seluruh kekuatannya pun telah pulih kembali.
"Katakan saja, Arya. Kalau bisa, tentu akan kujawab," ringan sambutan Dewa Obat Baju Putih.
"Terima kasih, Ki. Begini. Di perjalanan, kami bertemu seseorang yang tengah dikeroyok segerombolan orang berseragam hitam yang mukanya tertutup kain hitam. Sayangnya, kami agak terlambat sehingga orang itu keburu tewas."
Dewa Arak berhenti sejenak ingin melihat tanggapan Dewa Obat Baju Putih. Tapi ternyata kakek berpakaian putih itu tetap diam mendengarkan.
"Tapi berdasarkan hasil penyelidikan kami dan berbekal sedikit keterangan dari si korban, bisa kami ketahui kalau dia seorang ahli obat yang bermaksud melaksanakan tugasnya. Sedangkan orang-orang berselubung hitam itu pihak yang tidak menyenangi pekerjaan yang akan dilakukan ahli obat itu. Sehingga ahli obat itu dibinasakan."
Kembali Dewa Arak menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas.
"Penyelidikan membawa kami ke sebuah tempat yang berhawa tidak enak. Tapi kami belum sempat menyelidikinya lebih lanjut. Karena perut kami waktu itu sangat lapar," lanjut Dewa Arak.
"Benar, Ki," sambung Melati ketika melihat isyarat dari Arya untuk menggantikan melanjutkan cerita. "Kami lalu menemukan sebuah kedai. Kemudian memesan makanan dan minuman. Siapa sangka kalau dalam makanan dan minuman itu telah dicampuri racun. Akibatnya, yahhh...! Seperti yang kau jumpai, Ki."
"Nah! Yang menjadi pertanyaan kami, Ki. Apakah kau mengetahui pula akan adanya peristiwa seperti ini?" sambung Dewa Arak seraya mengajukan pertanyaan pada kakek berpakaian putih itu.
Dewa Obat Baju Putih tidak langsung menjawab pertanyaan Dewa Arak. Bibirnya tersenyum pada sepasang muda-mudi yang duduk di hadapannya. Kemudian dihelanya napas panjang sebentar.
"Maksudmu peristiwa pembunuhan terhadap ahli obat itu, Arya?" kakek berpakaian putih malah balas bertanya.
"Tidak, Ki," jawab Dewa Arak sambil menggelengkan kepala. "Yang kumaksudkan adalah, apakah kau mengetahui adanya orang-orang yang membutuhkan pengobatan si ahli obat itu?"
"Kalau secara pastinya..., aku tidak tahu, Arya. Tapi yang jelas di tempat kau mencium bau tidak enak itu, memang telah terjadi malapetaka hebat," ujar Dewa Obat Baju Putih.
"Malapetaka hebat, Ki?" selak Melati tidak sabar.
"Benar. Malapetaka hebat!" jawab Dewa Obat Baju Putih sambil menganggukkan kepala. "Di dekat tempat itu beberapa waktu yang lalu berdiri sebuah perguruan silat yang bernama Perguruan Naga Terbang. Ketuanya adalah sahabat lamaku. Memang, muridnya tidak banyak. Tapi, saat ini perguruan itu sudah tidak ada lagi. Sudah musnah! Mereka semua tewas karena racun. Tapi, konon menurut berita yang kudengar, sebagian dari mereka mati secara perlahan-lahan."
"Ahhh...!" desah Arya. "Kau tahu siapa pelaku tindak kekejian itu, Ki?"
"Secara pastinya, aku belum tahu. Tapi, dari hasil pemeriksaanku terhadap mayat orang-orang Perguruan Naga Terbang, aku bisa menduga siapa pelakunya," kata Dewa Obat Baju Putih lagi.
"Siapa, Ki?" tanya Melati ingin tahu. Memang gadis ini memiliki watak tidak sabaran. Bahkan kadang-kadang kewaspadaannya hilang karena tergesa-gesa.
"Raja Racun...," jawab Dewa Obat Baju Putih.
"Raja Racun?" tanya Dewa Arak dengan suara berdesah. "Kau menduga dia pelakunya, Ki?"
Dewa Obat Baju Putih menganggukkan kepala, membenarkan pertanyaan itu. Arya memperhatikan wajah kakek berpakaian putih sejenak.
"Maaf, kalau aku bersikap lancang, Ki. Tapi, menurut perasaanku, aku tidak yakin kalau pelakunya adalah Raja Racun. Ini hanya dugaanku saja, Ki."
"He he he...!" Dewa Obat Baju Putih tertawa lunak. "Kau memang cerdik, Arya. Kuakui, aku tidak yakin akan dugaanku sendiri."
"Boleh aku tahu alasannya, Ki?" desak Arya lagi, sedangkan Melati hanya mendengarkan saja percakapan yang terjadi.
Dewa Obat Baju Putih menghela napas berat. "Sayang sekali aku tidak bisa menjelaskan alasannya, Arya. Bukannya tidak mau, tapi memang sulit untuk mengutarakannya. Tapi secara singkat bisa kukatakan. Aku telah lama menjalin hubungan dengan Raja Racun. Lebih dari dua puluh tahun. Kami sering mengadakan pertemuan untuk saling menguji kepandaian. Itu kami lakukan setiap dua tahun sekali. Dan, aku tahu betul sifat-sifatnya. Karena itulah aku tidak percaya kalau pelaku semua pembantaian itu adalah dia. Jelas, Arya?!"
Dewa Arak tidak langsung memberikan sambutan. Dia tengah berusaha mencerna penjelasan Dewa Obat Baju Putih. Hal yang sama pun dilakukan Melati.
"Mungkin keteranganku kurang jelas, Arya. Agar kau jelas, bisa kuambil perbandingan. Andaikata kau dengar berita yang mengatakan kawanmu melakukan tidak kejahatan. Apakah kau akan percaya begitu saja, Arya? Misalnya saja, korban itu tewas karena ilmu yang kau tahu dimiliki kawanmu ini. Percayakah kau, Arya?"
"Tidak, Ki," Dewa Arak menggelengkan kepala. "Tapi meskipun demikian, aku akan menyelidiki keberarannya. Kalau benar dia pelakunya, aku yakin ada hal-hal yang mendorongnya melakukan tindakan seperti itu."
"Tepat! Tindakan itu pula yang tengah kulakukan, Arya!" sambut Dewa Obat Baju Putih, cepat. "Walaupun tidak percaya akan berita yang tersebar, penyelidikan tetap kulakukan. Sayangnya sampai sekarang, tetap saja belum kutemukan adanya titik terang. Masalah ini masih gelap!"
"Aku dan kawanku akan membantumu menyingkap masalah ini, Ki. Mudah-mudahan saja bantuan yang kami berikan ini ada gunanya," ujar Dewa Arak menawarkan diri.
"Terima kasih, Arya. Memang, aku sangat membutuhkan bantuanmu untuk menyingkap masalah ini. Banyak hal di luar pengetahuanku yang kudengar dari mulutmu. Di antaranya adalah pembunuhan terhadap ahli obat."
"O ya, Ki. Menurut ceritamu, kau telah menjalin hubungan cukup lama dengan Raja Racun. Jadi..., setidak-tidaknya kau mengetahui ciri-ciri racun yang dimilikinya. Apakah racun yang menyerang kami termasuk di antara racun yang dimiliki Raja Racun?!" tanya Dewa Arak ingin mencari kejelasan.
"Hhh...!" Dengan didahului helaan napas berat, Dewa Obat Baju Putih menganggukkan kepala. "Racun yang menyerangmu dan kawanmu memang racun yang dimiliki Raja Racun. Tidak ada orang lain yang memilikinya kecuali dia! Hhh...! Entah apa yang membuatnya bertindak seperti itu...?" keluh Dewa Obat Baju Putih dengan pandang mata menerawang jauh ke atas.
"Jawaban dari pertanyaan itu hanya kita dapatkan melalui penyelidikan, Ki," ujar Dewa Arak pelan.
Ucapan Dewa Arak membuat kakek berpakaian putih itu tersentak. "Apa yang kau ucapkan benar, Arya. Tunggu apa lagi? Mari kita memulainya sekarang!"
Usai berkata demikian, kakek berpakaian putih itu bergerak bangkit. Hal yang sama pun dilakukan Dewa Arak dan Melati.
"Apakah kau telah mempunyai tujuan, Ki?" tanya Dewa Arak sambil lalu.
"Ya!" jawab Dewa Obat Baju Putih singkat.
"Ke mana, Ki?" tanya Dewa Arak lagi.
"Tempat kediaman Raja Racun!"
Kemudian, tanpa menunggu pertanyaan selanjutnya keluar dari mulut Dewa Arak, Dewa Obat Baju Putih mengayunkan langkah. Hanya sekali hentak, tubuhnya telah melesat jauh. Kali ini Dewa Arak dan Melati dapat melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek berpakaian putih itu. Tubuh Dewa Obat Baju Putih begitu cepat melesat, sehingga yang nampak hanyalah sebuah bayangan putih yang melesat.
Tapi sepasang muda-mudi itu tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam kekagumannya. Keduanya segera melesat begitu cepat menyusul Dewa Obat Baju Putih yang telah jauh meninggalkan tempat itu.
* * *
TUJUH
"Itulah tempat kediaman Raja Racun, Arya," kata Dewa Obat Baju Putih sambil menudingkan jari telunjuknya ke sebuah gua yang tak jauh di hadapan mereka.
Saat itu, Dewa Arak, Dewa Obat Baju Putih, dan Melati berada di lereng Gunung Gawar. Dewa Arak dan Melati segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling lereng gunung itu. Kemudian kembali menatap tajam ke gua tempat tinggal Raja Racun.
Alis sepasang pendekar muda itu sama-sama berkerut ketika melihat gua yang ditunjukkan Dewa Obat Baju Putih. Yang terlihat hanyalah kegelapan di sekitar mulut gua. Tidak terlihat sedikit pun isi yang ada di dalamnya.
"Mari kita lihat lebih dekat lagi," ajak Dewa Obat Baju Putih ketika melihat sepasang pendekar muda itu terdiam.
Dewa Arak dan Melati mengayunkan kaki mengikuti Dewa Obat Baju Putih yang telah melangkah lebih dahulu. Hanya dalam beberapa langkah, jarak antara mereka dengan mulut gua itu tinggal tiga tombak lagi. Dan di sini, Dewa Obat Baju Putih menghentikan langkahnya. Mau tak mau Dewa Arak dan Melati pun berhenti.
"Boleh aku mengajukan permohonan pada kalian berdua?" tanya Dewa Obat Baju Putih sambil menatap wajah Dewa Arak dan Melati bergantian.
"Apa itu, Ki? Katakanlah. Apabila kami mampu dan selama tidak bertentangan dengan kebenaran, pasti akan kami kerjakan," mantap dan tegas ucapan Dewa Arak.
Melati hanya menganggukkan kepala. Memang, gadis berpakaian putih itu telah percaya penuh pada Arya. Dia yakin setiap keputusan yang diambil pemuda berambut putih keperakan itu pasti benar dan sesuai dengan pendapatnya. Seulas senyum lebar dan sorot mata kekaguman terpancar dari sepasang mata Dewa Obat Baju Putih.
"Tentu saja tidak bertentangan dengan kebenaran, Arya. Aku hanya minta agar kau dan Melati bersembunyi dulu. Aku khawatir, dengan keberadaan kalian, Raja Racun tidak mau menemuiku. Paling tidak, dia tidak akan terus-terang mengutarakan hal-hal yang mengganjal di hatinya. Bagaimana? Kau bersedia meluluskan permintaanku ini, Arya?"
"Hanya permintaan seperti itu, apa beratnya, Ki? Baiklah. Kami akan bersembunyi dan baru akan keluar apabila kau memberikan isyarat, atau jika ada perkembangan lain yang tidak terduga."
"Terima kasih atas kebijaksanaan hatimu, Arya." Dewa Arak hanya tersenyum.
"Mari, Melati," ajak Arya pada kekasihnya.
Tanpa membantah, Melati mengikuti Dewa Arak yang telah bergerak lebih dulu menuju gundukan-gundukan batu yang terdapat di sekitar tempat itu. Besarnya gundukan batu-batu yang sebesar kerbau itu memungkinkan untuk dijadikan tempat bersembunyi.
Sementara itu, Dewa Obat Baju Putih mengamati hingga Arya dan Melati menyelinap di balik batu besar itu. Baru setelah itu, matanya menatap gua di hadapannya.
"Raja Racun....! Aku, Dewa Obat Baju Putih datang...! Ada urusan yang harus kubicarakan denganmu. Keluarlah...!" seru kakek berpakaian putih itu.
Pandangan matanya tetap tertuju ke dalam gua. Tenaga dalamnya dikerahkan pada teriakan itu. Hal ini dimaksudkan agar ucapan itu terdengar sampai jauh ke dalam gua. Namun, tidak hanya ke dalam gua suara teriakan itu bergema. Teriakan lelaki tua itu menggema ke seluruh dataran di lereng gunung. Gema suara menggelegar itu terdengar berulang-ulang.
Beberapa saat Dewa Obat Baju Putih menunggu. Dia yakin teriakannya akan terdengar telinga Raja Racun, jika tokoh yang ahli racun itu berada di dalam guanya. Harapan Dewa Obat Baju Putih terlaksana. Tidak perlu menunggu lama, karena sesaat kemudian dari dalam gua berkelebat sesosok bayangan.
Jliggg!
Begitu cepat gerakan sosok bayangan itu. Hanya dalam sekelebatan telah mendarat tepat di hadapan Dewa Obat Baju Putih. Jarak dua tombak memisahkan antara mereka. Dewa Obat Baju Putih langsung memasang sikap waspada. Meskipun kelihatannya bersikap tenang saja, seluruh otot dan urat syarafnya telah menegang. Jelas, kakek berpakaian putih ini telah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Bagaimana kabarmu, Raja Racun. Baik-baik saja bukan?" sapa Dewa Obat Baju Putih sambil menatap penuh selidik sosok yang berdiri di hadapannya.
Tokoh yang berjuluk Raja Racun itu ternyata adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun, berwajah pucat, dan bermata sipit. Pakaian terbuat dari kulit ular membungkus tubuhnya yang tinggi kurus. Penampilannya menimbulkan perasaan gentar di hati orang yang bernyali kecil. Apalagi jika sampai beradu tatap dengan sepasang matanya. Betapa tidak?
Sepasang mata itu mencorong tajam dan berwarna kehijauan. Sorot seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Jelas, kakek tinggi kurus ini bukan orang sembarangan.
Raja Racun tersenyum. Tapi Dewa Obat Baju Putih yang telah lama mengenal kakek tinggi kurus itu, tahu kalau senyum itu adalah senyum paksaan. Sehingga kewaspadaannya semakin ditingkatkan.
"Aku baik baik saja, Dewa Obat," ujar Raja Racun berusaha terlihat gembira. "O, ya. Pasti ada keperluan sangat penting yang kau butuhkan dariku, Dewa Obat. Kalau tidak, mana mungkin kau mau bersusah payah datang ke tempatku. Padahal, waktu pertandingan masih cukup lama. Katakan, Dewa Obat. Apa keperluanmu kemari?"
Dewa Obat Baju Putih tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Malah kakek berpakaian putih itu menghela napas berat. Seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya.
"Dugaanmu memang tidak keliru, Raja Racun. Ada keperluan sangat penting yang memaksaku keluar dari tempat tinggalku dan menemuimu di sini. Apakah kau bisa menduga keperluanku itu?"
Raja Racun mengernyitkan dahi beberapa saat sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tak tahu alasan yang mendorongmu untuk menemuiku di sini," jawab Raja Racun dengan wajah sungguh-sungguh.
"Hhh...!" Dewa Obat Baju Putih menghela napas berat. Dia tahu Raja Racun tidak berbohong dengan ucapannya. Tarikan wajah kakek tinggi kurus yang terlihat bersungguh-sungguh itu telah menjadi pertanda kebenaran ucapan yang keluar dari mulutnya.
"Apakah kau tidak mendengar berita yang menggemparkan dunia persilatan belum lama ini?" tanya Dewa Obat Baju Putih sambil menatap wajah Raja Racun penuh selidik.
"Tidak, Dewa Obat. Aku selalu berdiam di guaku dan tidak pernah turun gunung. Dan lagi tidak ada orang yang memberitakan padaku mengenai kejadian yang menimpa dunia persilatan. Lain halnya dengan kau," jawab Raja Racun sambil menggelengkan kepala. "Memangnya kenapa, Dewa Obat?"
"Perguruan Naga Terbang dihancurkan. Ada segerombolan orang yang menyerbunya. Dan menurut berita yang kudapatkan, keberhasilan gerombolan itu melaksanakan maksudnya karena menggunakan racun. Mereka lebih dulu melumpuhkan perlawanan orang-orang Perguruan Naga Terbang dengan menggunakan racun," jelas Dewa Obat Baju Putih panjang lebar.
Raja Racun mengangguk-anggukkan kepala ketika kakek berpakaian putih itu menghentikan ceritanya. Menilik sikapnya, bisa ditebak kalau Raja Racun telah berhasil menarik sebuah kesimpulan, setelah mendengar cerita Dewa Obat Baju Putih. Dan itu terbukti beberapa saat kemudian.
"Sekarang aku mengerti maksud tujuanmu menemuiku, Dewa Obat Baju Putih. Bukankah kau ingin mengatakan kalau orang-orang Perguruan Naga Terbang tewas akibat racun milikku?." tebak Raja Racun, langsung.
Dewa Obat Baju Putih tidak terkejut mendengar ucapan Raja Racun. Telah diketahuinya betul sifat sahabatnya yang selalu blak-blakan dan terbuka.
"Dugaanmu hampir tepat, Raja Racun. Hanya saja aku tidak menduga sekasar itu. Yang jelas, orang-orang Perguruan Naga Terbang tewas karena racun yang mirip dengan racun milikmu. Namun, kebenaran dugaan itu masih belum bisa kupastikan. Itulah sebabnya, aku bersusah payah mencarimu. Kau tahu, orang-orang persilatan belum dapat menduganya. Itu pun karena aku mengenali ciri-ciri racun yang kau miliki," jelas Dewa Obat Baju Putih panjang lebar.
"Memangnya kenapa kalau kalangan persilatan mengetahui penyebab kematian orang-orang Perguruan Naga Terbang itu? Mengapa pula kalau mereka mengetahui pemilik racun itu? Mereka akan mencari-cariku, dan kemudian menyerbu kemari? Begitu kan maksudmu?"
Tanpa sadar Dewa Obat Baju Putih menganggukkan kepala mendengar desakan Raja Racun yang begitu berapi-api.
"Huh! Kau kira aku takut mati, Dewa Obat?!" semakin meninggi suara Raja Racun. "Aku bukan seorang pengecut! Biar mereka semua datang ke sini dan mengeroyok, aku tidak takut!"
"Rupanya watakmu tetap belum berubah, Raja Racun. Masih saja keras kepala! Kau tahu yang menjadi permasalahan di sini bukannya perkara takut atau beraninya kau menghadapi mereka. Tapi, kebenaran kenyataan yang kulihat. Benarkah kau yang telah melakukan semua kekejian itu, Raja Racun?! Kalau bukan kau pelakunya, untuk apa membiarkan orang-orang persilatan datang kemari untuk membinasakanmu? Katakan saja kau bukan pelakunya. Gampang kan?! Nah, sekarang katakan terus terang, demi persahabatan kita, Raja Racun. Benarkah kau yang melakukan semua kekejian itu?!"
Dewa Obat Baju Putih menatap wajah Raja Racun lekat-lekat. Hal yang sama pun dilakukan Raja Racun.
"Sayang sekali, Dewa Obat. Aku tidak bisa menjawabnya! Hanya itu yang bisa kukatakan!"
Terdengar keras dan mantap ucapan yang keluar dari mulut Raja Racun. Tapi Dewa Obat Baju Putih yang telah berhubungan lama dengan tokoh itu tahu kalau ucapan yang terdengar tidak sesuai dengan hatinya. Ada keluhan yang tertangkap oleh perasaan Dewa Obat Baju Putih.
"Katakan, Raja Racun! Kau tahu, aku tidak percaya kalau kau pelaku semua kekejian itu. Katakanlah kalau kau bukan pelaku semua kekejian itu!" desak Raja Obat Baju Putih lagi.
"Jangan paksa aku untuk mengatakan hal yang tidak ingin kukatakan, Dewa Obat!" tandas Raja Racun tegas. "Atau pertarungan antara kita berlangsung lebih cepat dari rencana semula."
"Tapi..."
"Kalau begitu, jaga seranganku...! Hih!"
Raja Racun membuka serangannya dengan sebuah tusukan jari-jari tangannya ke arah perut Dewa Obat Baju Putih. Bertubi-tubi serangan itu dilancarkan. Suara mencicit nyaring yang menyakitkan telinga, terdengar seiring meluncurnya serangan yang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi.
"Hehhh...?!" Dewa Obat Baju Putih yang tidak menyangka akan meluncurnya serangan mendadak itu menjadi terkejut. Dengan cepat tubuhnya melakukan lompatan harimau ke samping. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Sehingga serangan yang dilancarkan Raja Racun mengenai tempat kosong.
Akan tetapi serangan Raja Racun tidak berhenti. Begitu berhasil dielakkan Dewa Obat Baju Putih, kembali dikirimkan serangan lanjutan. Kakek tinggi kurus ini melakukan lompatan harimau pula. Bahkan tubuhnya pun digulingkan pula untuk mengejar Dewa Obat Baju Putih.
"Hih!" Begitu telah berada dalam jarak serangan, Raja Racun langsung melancarkan kibasan kaki kanan ke tubuh Dewa Obat Baju Putih yang baru saja berhenti.
Wukkk!
"Hih!" Lagi-lagi serangan Raja Racun kandas. Dewa Obat Baju Putih yang mengetahui serangan susulan itu langsung menjejakkan kaki, sehingga tubuhnya melenting ke atas. Akibatnya, sapuan Raja Racun hanya mengenai angin kosong. Bahkan kali ini Dewa Obat Baju Pulih yang berada di udara, dengan manis berputar. Lalu....
"Hih!"
"Kalau begitu, jaga seranganku...! Hih!" Raja Racun membuka serangannya dengan tusukan jari-jari tangan ke arah perut Dewa Obat Baju Putih.
"Hehhh...?!" Dewa Obat Baju Putih segera melakukan lompatan harimau ke samping. Sehingga, serangan yang dilancarkan Raja Racun mengenai tempat kosong!
Wuttt!
Sebuah serangan berupa sampokan kedua tangan ke bagian belakang kepala lawan, dilancarkan. Begitu keras dan cepat sampokan itu dilakukan. Sehingga kalau serangan itu mengenai sasaran, mungkin nyawa lawan akan melayang.
Namun, Raja Racun bukan tokoh sembarangan. Seperti juga Dewa Obat Baju Putih, dia pun memiliki kepandaian tinggi. Maka menghadapi serangan itu, tidak sedikit rasa gugup di wajahnya.
Wusss!
Serangan Dewa Obat Baju Putih lewat beberapa jari di atas kepala Raja Racun. Rambut dan pakaian si ahli racun yang berkibaran keras, karena kekuatan yang terkandung dalam serangan itu. Sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Kejadian itu tidak lepas dari perhatian Dewa Arak dan Melati. Kini yang bisa mereka lakukan hanyalah menyaksikan jalannya pertarungan. Apabila Dewa Obat Baju Putih dalam keadaan bahaya, baru Dewa Arak akan turun tangan. Dewa Arak merasa hanya dirinya yang dapat membantu jika Dewa Obat Baju Putih terdesak. Melati jelas tak mungkin mampu, karena kepandaiannya jauh di bawah mereka.
Sementara itu pertarungan berlangsung semakin sengit. Sampai belasan jurus pertarungan berlangsung, belum nampak salah satu pihak yang terdesak atau kalah. Pertarungan masih berlangsung imbang. Suara angin menderu, mencicit terdengar setiap kali kedua belah pihak menggerakkan tangan atau kaki. Tanah yang terbongkar di sana-sini pertanda dahsyatnya setiap serangan yang terlontar dari tangan dan kaki kedua tokoh tua itu.
Jurus demi jurus berlangsung cepat, karena kedua belah pihak memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Dalam wakru sebentar saja lima puluh jurus telah terlewati, tapi keadaan masih belum berubah. Pertarungan masih berlangsung imbang.
Saat itulah Dewa Arak dan Melati mendengar adanya langkah-langkah kaki yang bergerak mendekati tempat itu. Suara itu terdengar jelas di telinga sepasang pendekar muda itu. Nampaknya langkah-langkah kaki seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh biasa-biasa saja.
Yang mengejutkan hati Dewa Arak dan Melati jumlah mereka yang begitu banyak. Sehingga suara langkah mereka bergemuruh. Siapakah mereka? Dan mengapa datang kemari? Apakah orang-orang persilatan? Dan mereka datang karena telah bisa menduga pelaku kekejian terhadap Perguruan Naga Terbang?
Pertanyaan demi pertanyaan itu yang menggayuti benak Dewa Arak dan Melati. Tapi karena tahu kalau jawaban bagi pertanyaan itu akan mereka dapatkan, segera dibuangnya semua pertanyaan itu. Kini keduanya bersikap waspada menghadapi kemungkinan yang akan terjadi.
Dewa Arak dan Melati tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan jawaban Itu. Karena sesaat kemudian, orang-orang itu telah terlihat. Kontan Dewa Arak dan Melati terperanjat ketika melihat mereka mulai mendekat.
Rombongan itu ternyata orang-orang berpakaian serba hitam dan berselubung hitam. Jelas, mereka mempunyai hubungan dengan orang-orang berselubung hitam di Hutan Gendar.
"Akhirnya kita menemukan mereka kembali, Kang," desah Melati setengah berbisik.
Raut ketegangan tampak jelas di wajah gadisberambut putih itu. Karena sosok-sosok yang tengah mereka cari-cari akhirnya berhasil diketemukan juga.
"Benar, Melati," sahut Dewa Arak sambil menganggukkan kepala. "Tapi yang membuatku bingung, untuk apa mereka kemari? Apakah ada hubungan antara mereka dengan gerombolan yang menyergap kita di kedai dulu?"
"Tak lama lagi akan kita ketahui, Kang. Sekarang, apa yang harus kita lakukan?"
"Untuk sementara kita menunggu saja, Melati. Kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya. Apakah yang akan dilakukan gerombolan orang berseragam hitam itu?" ujar Arya memutuskan.
Melati menganggukkan kepala menyetujui keputusan yang diambil Dewa Arak. Karena disadari ada kebenaran dalam keputusan yang diambil kekasihnya itu. Dan sekarang, sepasang pendekar muda itu terus memperhatikan gerombolan berseragam hitam tak jauh di hadapan mereka. Seluruh urat syaraf menegang waspada.
Apabila keadaan menghendaki, mereka tinggal melesat menyerbu. Tapi ternyata gerombolan serba hitam itu tidak langsung bertindak. Mereka hanya berdiri diam sambil memperhatikan pertarungan sengit antara kedua tokoh tua itu.
Sementara itu, meskipun tengah bertarung sengit, Dewa Obat Baju Putih maupun Raja Racun nampaknya mengetahui keadaan di sekitarnya. Mereka pun mengetahui kedatangan orang-orang berseragam hitam. Namun, Raja Racun bersikap tidak peduli. Perhatian tetap dipusatkan pada pertarungannya menghadapi Dewa Obat Baju Putih.
Tidak demikian halnya dengan Dewa Obat Bau Putih. Begitu mengetahui keberadaan orang-orang berselubung hitam itu, pikirannya langsung teringat pada cerita Dewa Arak. Maka, perhatiannya pun terpecah. Sepercik harapan untuk bisa mengungkap rahasia pembunuh besar-besaran terhadap Perguruan Naga Terbang melalui mulut orang orang berseragam hitam itu, menyeruak di benaknya. Sehingga dia kehilangan semangat untuk terus melanjutkan pertarungan.
Dan seiring dengan hilangnya gairah untuk terus melangsungkan pertarungan, serangan-serangan Dewa Obat Baju Putih pun semakin berkurang. Kini dia lebih banyak mengelak. Kakek berpakaian putih itu ingin segera mengakhiri pertarungan. Namun, belum menemukan kesempatan untuk menjauhkan diri. Lagi pula, nampaknya Raja Racun tidak menginginkan pertarungan itu dihentikan.
Akhirnya, pertarungan unik pun terjadi. Dewa Obat Baju Putih terus-menerus menjauhkan diri untuk menghentikan pertarungan. Sementara, Raja Racun tak henti-hentinya berusaha melancarkan serangan. Sehingga pertarungan berlangsung tidak manarik lagi karena mirip dengan kejar-mengejar. Pemandangan seperti itu berlangsung sampai hampir sepuluh jurus. Semua itu disaksikan oleh Dewa Arak dan Melati.
"Aneh...!" gumam Dewa Arak.
"Apa yang aneh, Kang?" tanya Melati.
"Tindakan Raja Racun!" jawab Dewa Arak. "Menurut perhitunganku, dia tahu kalau Dewa Obat Baju Putih tidak berminat untuk melanjutkan pertarungan lagi. Dan kurasa dia pun tahu penyebabnya. Yaitu karena Dewa Obat Baju Putih melihat keberadaan orang-orang berseragam hitam, tapi mengapa Raja Racun bersikap seolah-olah keberadaan orang-orang berseragam hitam sama sekali tidak menimbulkan masalah?"
Melati kontan terdiam. Dia tidak tahu harus memberikan tanggapan apa. Tapi, kebingungan gadis berpakaian putih itu tidak berlangsung lama.
"Kang! Lihat! Dewa Obat Baju Putih berhasil melaksanakan maksudnya...," bisik Melati dengan suara agak ditekan. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.
Dewa Arak melayangkan pandangan ke arah yang ditunjukkan Melati. Tampak olehnya, Dewa Obat melentingkan tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara, sebelum tubuhnya meluruk ke arah rombongan orang-orang berseragam hitam.
"Hih!" Laksana seekor garuda yang menerkam mangsa, Dewa Obat Baju Putih mengirimkan serangan dari udara. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar, meluncur deras ke kepala rombongan orang berseragam hitam.
Wuttt!
DELAPAN
"Hey...!"
Sosok berpakaian hitam yang mendapat serangan dari Dewa Obat Baju Putih adalah sosok yang pada dahinya terdapat gambar tengkorak kecil. Berarti, sosok hitam ini adalah sang Pemimpin. Dan dia merasa terkejut bukan kepalang mendapat serangan yang tidak disangka-sangka itu.
Akibatnya, jerit kekagetan pun keluar dari mulutnya. Meskipun demikian bukan berarti sosok berpakaian hitam itu berdiam diri begitu saja. Walaupun sama sekali tidak menduga, tetap saja masih bisa menyelamatkan diri. Dan hal itu terjadi dengan sendirinya.
Wut! Wut!
Plak! Plak!
Sang Pemimpin itu mengibaskan kedua tangan ke atas untuk memapak serangan yang mengancam ubun-ubunnya. Tak pelak lagi benturan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun terjadi. Sosok hitam yang memiliki tanda tengkorak di bagian dahinya itu mengerahkan seluruh tenaga dalam pada kibasan yang dilakukannya.
Tubuh kedua belah pihak sama-sama terpental balik. Bedanya, Dewa Obat Baju Putih terpental ke udara, karena kedudukannya yang memang berada di udara. Sementara sang Pemimpin terhuyung-huyupg beberapa langkah ke belakang. Namun, tanpa kesulitan, kedua belah pihak berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung.
Jliggg!
Bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa Obat Baju Putih secara mantap di tanah, sang Pemimpin gerombolan telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
"Buka kedokmu, Pengecut! Dan katakan kalau kaulah pelaku semua kekejian terhadap Perguruan Naga Terbang?!" bentak Dewa Obat Baju Putih penuh ancaman.
"Hmh...!" Sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi mendengus mendengar perintah Dewa Obat Baju Putih. Tampak jelas adanya nada mengejek dalam dengusannya.
"Tidak pantas makian seperti itu kau tujukan padaku, Dewa Obat Baju Putih...!" sahut pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu.
"Tidak usah berbelit-belit! Aku hanya ingin tahu, apakah kau yang telah melakukan semua kekejian terhadap Perguruan Naga Terbang?!" potong Dewa Obat Baju Putih dengan suara semakin meninggi.
"Benar! Lalu, apa maumu?!" tanya sosok berpakaian hitam menantang.
"Melenyapkanmu dari muka bumi ini!" seru Dewa Obat Baju Putih keras.
Seiring lenyapnya gema teriakan itu, Dewa Obat Baju Putih melompat menerjang pemimpin gerombolan itu. Di udara, tubuhnya berputar seraya mengibaskan kaki kanannya. Tidak tanggung-tanggung lagi sasaran yang ditujunya, pelipis. Andaikata terkena, sekalipun tidak telak, sudah cukup untuk mengirim nyawa sosok hitam itu ke neraka.
Pimpinan sosok berseragam hitam bukan orang bodoh. Dia pun tahu betapa berbahayanya serangan yang telah dilancarkan lawan terhadapnya. Buru-buru kaki kanannya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh.
Wuttt!
Tendangan itu lewat beberapa jari di depan wajahnya. Meskipun demikian, tendangan itu membuat selubung dan pakaian sang Pemimpin berkibaran keras. Begitu dahsyat kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam kibasan kaki itu. Namun tindakan pimpinan sosok berseragam hitam segera bersiap kembali menghadapi lawannya. Begitu kibasan lawan berhasil dielakkan, tangan kanannya dijulurkan ke depan untuk menangkap kaki lawan yang masih berada di udara.
Plasss!
Usaha sang Pemimpin ternyata sia-sia. Tangannya hanya menangkap angin. Dewa Obat Baju Putih telah lebih dulu menarik kakinya kembali. Bahkan secepat kedua kakinya telah mendarat di tanah, secepat itu pula kembali dilancarkan serangan terhadap pimpinan gerombolan berseragam hitam. Rupanya, kakek berpakaian putih ini begitu bersemangat untuk dapat merobohkan lawannya secepat mungkin.
Namun pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu bukan lawan yang mudah untuk dibekuk. Buktinya, mampu melakukan perlawanan sengit. Sehingga meskipun Dewa Obat Baju Putih telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk secepat mungkin merobohkan lawannya, pemimpin itu masih mampu bertahan.
Mendadak Dewa Obat Baju Putih menghentikan desakannya terhadap sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi. Padahal, pertarungan baru berlangsung dua belas jurus. Dan kini, kakek berpakaian putih itu menatap mata lawannya penuh selidik.
"Siapa sebenarnya kau, Pengecut?! Cepat buka selubungmu!" seru Dewa Obat Baju Putih, keras.
"Ha ha ha...! Mengapa kau menyuruhku, Dewa Obat?! Apakah kau tak mampu melakukannya sendiri? Ha ha ha...! Tak malukah dengan ucapan yang kau keluarkan itu?" sambut sang Pemimpin sambil tertawa bergelak.
"Tutup mulutmu, Pengecut! Asal kau tahu saja, sekarang aku tidak akan mengampunimu lagi. Kau punya tiga kesalahan besar! Pertama, kau telah melakukan tindak kejahatan terhadap Perguruan Naga Terbang! Kedua kau telah keterlaluan menghinaku! Dan ketiga..., kau telah mencuri ilmu-ilmu yang kumiliki! Kau tidak bisa ingkar lagi, Pengecut! Aku belum buta! Aku tahu pasti kalau ilmu-ilmu yang kau gunakan sebagian, merupakan ilmu milikku! Sekarang, terimalah kematianmu!"
Srat! Srat!
Seketika Dewa Obat Baju Putih mencabut sepasang pedang yang tersampir di punggung. Inilah senjata andalan kakek berpakaian putih itu. Dan secepat kilat pedang itu diputar-putar di depan dada, sehingga mengeluarkan suara mengaung nyaring.
Wung! Wung! Wung...!
"Keluarkan senjatamu kalau tidak ingin mati percuma, Pengecut!" seru kakek berpakaian putih itu memberi peringatan.
Tanpa berkata sepatah pun, sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi segera mengeluarkan senjatanya. Sebuah ruyung baja yang ujung-ujungnya dihubungkan dengan rantai terbuat dari baja. Masih tanpa mengeluarkan suara apa pun, senjatanya diputar-putarkan di depan dada.
Wuk! Wuk! Wuk!
"Terimalah kematianmu, Pengecut...!" Diiringi suara teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Dewa Obat Baju Putih melancarkan serangan. Sepasang pedangnya berputaran cepat sehingga tak jelas bentuknya. Dan kini, yang terlihat hanyalah segulungan sinar menyilaukan mata yang meluruk ke tubuh lawan.
Namun pemimpin gerombolan berseragam hitam ini sama sekali tidak gugup. Dia sudah bersiap siaga untuk menghadapi setiap serangan Dewa Obat Baju Putih. Dengan ruyung andalannya, dihadapinya kakek berpakaian putih itu. Tak pelak lagi, pertarungan yang lebih seru dan sengit kembali berlangsung.
Suara mendesing, mengaung, dan menderu mengiringi pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh sakti itu. Pertarungan yang terjadi berlangsung dalam tempo tinggi. Jurus demi jurus berlalu demikian cepat.
Pertarungan tingkat tinggi itu disaksikan puluhan pasang mata dengan hati berdebar tegang. Termasuk di antara yang menyaksikan pertarungan itu adalah Dewa Arak, Melati, dan Raja Racun. Tentu saja belasan orang berseragam hitam pun menyaksikan pula. Meskipun yang mereka lihat hanyalah bayangan hitam dan putih yang tidak jelas bentuknya.
"Menurutmu..., siapa yang akan keluar sebagai pemenang, Kang?" tanya Melati dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangan dari pertarungan sengit itu.
"Kalau tidak ada perubahan mendadak, Dewa Obat Baju Putih akan keluar sebagai pemenang," ujar Dewa Arak pelan.
Kesimpulan yang didapat Dewa Arak memang beralasan. Setelah pertarungan menginjak jurus ke delapan puluh, perlahan-lahan sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi mulai terdesak. Ruyung di tangannya yang semula sering berkelebatan ke arah bagian tubuh Dewa Obat Baju Putih, kini mulai jarang beraksi. Sekarang, senjata itu hanya digunakan untuk bertahan saja.
Singgg, trakkk...!
"Hih!"
"Ahhh...!"
Kejadian yang berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu, ruyung baja itu terlepas dari pegangan dan terlempar ke udara, ketika pimpinan sosok berseragam hitam itu menangkis serangan pedang Dewa Obat Baju Putih. Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Obat Baju Putih langsung menyentakkan pedangnya sehingga ruyung itu terbabat dan lepas.
Menyadari keadaan yang sangat berbahaya itu, sang Pemimpin buru-buru melentingkan tubuh ke belakang untuk menyelamatkan diri. Tapi, Dewa Obat Baju Putih yang sudah berada di atas angin nampaknya tidak mau memberikan kesempatan kepada lawan. Dikejarnya lelaki berpakaian hitam itu dan menghujaninya dengan serangan sepasang pedangnya.
Akibatnya, pimpinan sosok berseragam hitam itu terpontang-panting ke sana kemari menyelamatkan nyawanya. Dan sekarang, keselamatan sang Pemimpin benar-benar, bagai telur di ujung tanduk. Sampai akhirnya, tokoh yang mukanya berselubung ini terjepit. Dan belum sempat bangkit dari bergulingnya saat pedang Dewa Obat Baju Putih meluncur ke tubuhnya.
Maka yang bisa dilakukan hanya menanti maut dengan sepasang mata terbelalak ngeri. Di saat yang amat genting bagi keselamatan pemimpin gerombolan itu, terdengar sura jeritan melengking tinggi.
"Hiyaaat...!" Suara itu ternyata berasal dari mulut Raja Racun. Kakek tinggi kurus itu melompat menerjang Dewa Obat Baju Putih sambil mengayunkan senjata andalannya, sebuah tongkat yang gagangnya berbentuk kepala ular.
Wukkk!
Suara mengiuk keras terdengar ketika tongkat itu diayunkan ke kepala Dewa Obat Baju Putih. Pada saat yang bersamaan dengan gerakan Raja Racun, puluhan sosok berseragam hitam pun meluruk ke arah Dewa Obat Baju Putih untuk menyelamatkan sang Pemimpin. Maka belasan senjala tajam pun berkelebatan ke tubuh Dewa Obat Baju Putih.
Dewa Arak dan Melati terkejut bukan kepalang melihat kejadian itu. Bukan karena melihat gerombolan itu menyerbu. Tapi ikut sertanya Raja Racun dalam penyerangan itu, benar-benar menimbulkan keterkejutan di hati merka.
Bagai diperintah, sepasang pendekar muda ini melesat keluar dari tempat persembunyiannya untuk menolong Dewa Obat Baju Putih. Melati berusaha mencegat puluhan sosok berseragam hitam. Sedangkan Dewa Arak meluruk ke arah Raja Racun.
Sementara itu, Dewa Obat Baju Putih telah mengetahui adanya penyerbuan terhadap dirinya. Dalam waktu yang amat singkat, benaknya berputar cepat. Dia tahu, penyerbuan yang datang dari puluhan sosok berseragam hitam, bukan masalah baginya. Karena menurutnya, mereka dapat dengan mudah dihalau setelah menyelesaikan pemimpinnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah Raja Racun yang juga tengah melesat ke arahnya.
Memang, perhitungan kakek berpakaian putih itu sama sekali tidak salah. Kecepatan gerak Raja Racun menyebabkan Dewa Obat Baju Putih segera memperhitungkan tindakannya. Karena jika serangannya diteruskan, pasti kepalanya terkena tongkat lawan.
Dalam waktu yang sangat singkat itu, Dewa Obat Baju Putih mengambil keputusan. Serangannya terhadap sang Pemimpin tetap diteruskan dengan pedang di tangan kanannya. Sedangkan gebukan tongkat Raja Racun ditangkisnya dengan pedang di tangan kirinya.
Wuttt....! Tranggg!
"Aaakh...!"
Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Bentrokan antara pedang Dewa Obat Baju Putih dan tongkat Raja Racun, serta menancapnya pedang Dewa Obat Baju Putih di perut sang Pemimpin terjadi hampir berbarengan. Tepat seperti yang telah diperhitungkan Dewa Obat Baju Putih.
"Ludira...!"
Jeritan melengking tinggi penuh keterkejutan, keluar dari mulut Raja Racun, seiring dengan tubuhnya yang melesat ke tubuh pemimpin gerombolan itu. Tongkat yang berada di tangannya di lemparkan begitu saja.
"Ludira...?!" Ucapan yang sama keluar dari mulut Dewa Obat Baju Putih. Ketidakpercayaan dan keterkejutan yang dalam tersirat dalam ucapannya. Dengan wajah bingung, ditatapnya Raja Racun yang telah berjongkok di dekat pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu. Tokoh misterius yang mengaku sebagai pelaku pembantaian terhadap Perguruan Naga Terbang itu kini terkulai dengan napas satu-satu.
Darah segar mengalir dari bagian perutnya yang terobek lebar. Ternyata bukan hanya Dewa Obat Baju Putih saja yang terpaku kaku. Puluhan sosok berseragam hitam, Dewa Arak dan Melati yang telah berada di situ pun ikut membisu penuh perasaan bingung.
Perkembangan kejadian yang mereka saksikan sama sekali tidak dimengerti Dewa Arak dan Melati. Mereka hanya menyaksikan semua peristiwa yang terjadi begitu cepat di depan mata.
"Ludira...!" Dengan kedua bahu terguncang-guncang, Raja Racun memeluk tubuh sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak didahi. "Kau tidak boleh mati, Anakku...."
"I... ibu...! Kini... hatiku... lega.... Sakit hati ibu telah berhasil kubalaskan... Aku tidak akan mati penasaran...," ujar sosok berpakaian hitam yang dipanggil Ludira, terbata-bata.
"Tidak, Ludira! Kau tidak boleh mati!" pekik Raja Racun kalap. "Kau... kau akan sembuh!"
"Be... benarkah dia Ludira, Kanti?"
Dewa Obat Baju Putih yang tiba-tiba telah berada di situ menyapa Raja Racun. Dewa Arak dan Melati yang mendengar semua pembicaraan itu saling pandang. Raja Racun itu ternyata seorang wanita! Buktinya sosok hitam yang tubuhnya tengah sekarat itu memanggilnya ibu. Bahkan Dewa Obat Baju Putih menyapanya dengan nama Kanti. Nama yang hanya dimiliki oleh seorang wanita.
Karuan saja Dewa Arak dan Melati semakin bingung. Namun, karena tahu jawabannya ada di mulut tiga sosok yang telah berkumpul itu, mereka berdiam diri untuk mendengarkan.
Sementara itu, sebelum Raja Racun yang ternyata seorang wanita dan bernama Kanti menjawab, sosok hitam yang bernama Ludira mendahului menjawabnya.
"Be..., benar, Ayah. Aku Ludira!" ujar pimpinan sosok berseragam hitam. Kemudian dengan susah payah, dicabutnya selubung yang menutupi wajahnya.
"Ludira...!" Seketika itu pula Dewa Obat Baju Putih terpekik ketika melihat seraut wajah muda berwajah tampan dan berkumis tipis yang saat itu tengah dibanjiri keringat dingin. Wajah itu memang dikenal betul. Wajah Ludira, anaknya!
Tanpa ragu-ragu lagi Dewa Obat Baju Putih memeluk Ludira. Penyesalan tergambar jelas di wajahnya. Dia telah kesalahan tangan terhadap putranya sendiri. Apalagi ketika disadari nyawa Ludira tidak akan tertolong lagi, karena luka yang dideritanya sangat parah.
"Mengapa kau lakukan ini, Ludira?!" tanya Dewa Obat Baju Putih penuh penyesalan.
Ludira tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Keadaannya yang parahlah penyebab utamanya. Beberapa saat kemudian, dengan suara terputus-putus Ludira mulai berbicara.
"Orang-orang Perguruan Naga Terbang memang patut dibasmi, Ayah. Mereka orang-orang terkutuk. Tahukah Ayah, apakah yang menyebabkan ibu meninggalkan Ayah?!"
Dewa Obat Baju Putih yang sama sekali tidak menyangka akan mendengar ucapan seperti itu, terkejut. Apalagi saat itu penyesalan tengah melandanya. Pikirannya tak mampu mencari kata-kata untuk menanggapi pertanyaan Ludira. Maka, kepalanya digelengkan perlahan.
"Ketua Perguruan Naga Terbang itu telah memperkosa ibu ketika menginap di rumah kita. Sejak kejadian itu, ibu merasa tidak berharga lagi hidup bersama Ayah. Maka ibu pergi meninggalkan Ayah dengan hati hancur. Untung ibu bertemu seorang ahli racun yang mengangkatnya menjadi murid. Ibu pun berlatih dengan tujuan untuk membalas dendam...."
"Hahhh...!" Dewa Obat Baju Putih terperanjat mendengar penuturan putranya. Karena masalah itu sama sekali tidak diketahuinya. Memang, sekitar dua puluh tahun lalu, sahabatnya yang waktu itu belum mendirikan Perguruan Naga Terbang pernah menginap di rumahnya. Saat itu Ludira baru berusia sepuluh tahun.
"Mengapa kau tidak menceritakan peristiwa itu padaku, Kanti?" tanya Dewa Obat Baju Putih pada Raja Racun.
"Ibu sengaja tutup mulut karena khawatir Ayah akan membuat perhitungan terhada si keparat itu. Ibu tidak ingin Ayah mati percuma di tangan Ketua Perguruan Naga Terbang yang jelas memiliki kepandaian di atas Ayah."
Lagi-lagi Ludira menjawab dengan suara yang semakin melemah. Sedangkan Raja Racun hanya mengangguk-angguk menahan isak tangis.
"Agar Ayah mau menambah kepandaian, Ibu sengaja meninggalkan surat yang mengatakan, kalau Ayah sanggup mengalahkannya, ibu baru bersedia tinggal kembali bersama Ayah. Tapi, sampai dua kali pertarungan, Ayah tetap tidak bisa mengalahkan ibu," lanjut Ludira.
Dewa Obat Baju Putih sama sekali tidak memberikan tanggapan. "Lalu..., dari mana kau tahu cerita itu, Ludira?" tanya Dewa Obat Baju Putih dengan suara berat. "Apakah ibumu yang menceritakannya?"
Ludira menggelengkan kepala. "Dulu aku melihat kejadian terkutuk itu tetapi waktu itu aku belum mengerti. Kalau saja Ibu tidak memaksaku berjanji untuk tutup mulut, hal itu telah kuberitahukan pada Ayah."
"Tapi, mengapa kau yang membalaskan dendam itu? Mengapa bukan ibumu?" desak Dewa Obat Baju Putih, penasaran.
Ibu kehilangan jejaknya. Dan aku yang sejak sepuluh tahun lalu belajar pada ibu, mengajukan diri untuk mencarinya. Kutaklukkan orang-orang golongan hitam agar membantu rencananku. Syukur, aku berhasil dan dendam ibu telah berhasil kubalaskan. Aku puas dan... akh...!"
Kepala Ludira terkulai sebelum menyelesaikan ucapannya. Maut telah lebih dulu menjemputnya. Ludira tewas dengan senyum tersungging di bibir.
"Ludira...!" rintih Raja Racun.
"Ludira...!" panggil Dewa Obat Baju Putih pula sambil mengguncang-guncangkan tubuh pemuda berkumis tipis itu.
Melihat kejadian ini, Dewa Arak segera memberi isyarat pada Melati agar meninggalkan tempat itu. Tanpa membantah, Melati segera bangkit dan melangkah mengikuti Dewa Arak. Dengan hati penuh rasa haru, sepasang pendekar muda itu beranjak pergi.
Hembusan angin lembut sama sekali tidak berhasil mengusir rasa terenyuh di hati mereka. Dewa Arak dan Melati semakin jauh melangkah meninggalkan keluarga yang tengah berkabung itu.
SELESAI
Selanjutnya,