Dewa Arak - Neraka Untuk Sang Pendekar
SATU
Malam telah larut. Bahkan sudah mendekati dini hari. Tapi seorang pemuda tampan berambut keperakan dan seorang laki-laki setengah baya berpakaian indah, masih memeriksa bangunan demi bangunan di dalam lingkungan Istana Kadipaten Blambang.
"Hhh...!" Sambil melangkah keluar dari salah satu bangunan yang telah selesai diperiksa, laki-laki setengah baya itu menghela napas berat. Tarikan wajahnya menyiratkan kelesuan.Memang, laki-laki tinggi besar ini merasa lelah bukan kepalang, baik lahir maupun batin. Hampir semalam suntuk dia bersama pemuda yang kalau dilihat dari ciri-cirinya adalah Dewa Arak itu memeriksa seisi bangunan. Harapannya akan didapatkan sebuah petunjuk. Tapi, ternyata semuanya nihil. Tidak ada satu pun petunjuk yang didapatkan.
"Bagaimana, Kang? Rasanya semua bangunan sudah diperiksa. Tapi, tak satu pun petunjuk yang diperoleh."
Celetuk Arya seraya menatap wajah laki-laki setengah baya yang tak lain dari Adipati Blambang yang bernama Subali.
"Aku juga bingung, Arya," sambut Adipati Subali bernada keluhan. "Entah, dari mana lagi aku harus menyingkap teka-teki yang menyelimuti Rara Kunti."
Arya tidak menyahuti ucapan itu. Dan Adipati Subali pun tidak meneruskan ucapannya lagi. Maka, suasana jadi hening. Masing-masing pihak tenggelam dalam alun lamunan.
Sambil menghela napas panjang, Adipati Subali mengedarkan pandang. Tapi ketika kedua bola matanya tertumbuk pada pot-pot tanaman dia terjingkat kaget.
Meskipun tidak memperhatikan, tapi sudut mata Arya melihat gerakan mendadak laki-laki tinggi besar itu. Sudah bisa diperkirakan ada sesuatu yang mengejutkan harinya. Hanya saja Arya tidak ingin bertindak lancang. Sikapnya seperti berpura-pura tidak tahu. Barangkali saja hal itu tidak boleh diketahuinya.
"Masih ada harapan, Arya," ungkap Adipati Subali sambil menoleh Dewa Arak disertai sinar mata penuh harap.
"Mengapa kau berkata demikian, Kang?" Tanya Arya ingin tahu.
"Ada sebuah ruang rahasia. Tepatnya lagi, sebuah tempat persembunyian. Di... ah! Lebih baik kutunjukkan saja tempatnya, Arya. Mari."
Lalu Adipati Subaji bergegas menuju pot-pot kayu yang terletak beberapa tombak di hadapannya. Dewa Arak pun mengikuti di belakangnya. Hanya dalam beberapa langkah saja, mereka telah berada di dekat pot-pot kayu itu.
Adipati Subali langsung membungkukkan tubuhnya. Dengan bantuan sinar bulan yang cukup terang, diperhatikannya satu persatu pot-pot tanaman itu. Sedangkan Arya hanya memperhatikan tingkah lakunya saja.
Meskipun tidak diberi tahu, pemuda berambut putih keperakan sudah bisa menduga penyebab Adipati Subali bertindak demikian. Salah satu dari sekian banyaknya pot yang berjejer, ada yang mempunyai hubungan dengan ruangan rahasia. Itu kesimpulan yang didapatnya.
Mendadak Arya merasakan keanehan dalam dirinya. Dia merasa seakan-akan ada orang yang tengah memperhatikan mereka. Arya tahu, kalau telah mempunyai indera keenam yang pada binatang disebut naluri. Bahkan nalurinya lebih tajam. Dengan agak bergegas pandangannya dialihkan ke sekeliling. Dan ternyata nalurinya tidak keliru. Di pinggir atap bangunan, tampak sesosok tubuh tengah duduk bersila.
Sorot matanya tampak angker bukan kepalang. Dalam siraman sinar rembulan yang pucat, terlihat cukup jelas sosok tubuh itu. Dia ternyata seorang kakek berusia sangat lanjut. Tubuhnya kurus kering, sehingga yang terlihat, hanyalah tonjolan tulang-tulang di sana-sini, terbungkus kulit keriput, kumis, dan jenggotnya berwarna putih. Kepalanya agak sedikit botak, karena rambutnya telah banyak yang rontok.
Yang membuat penampilan sosok tubuh itu semakin menyeramkan adalah pakaiannya yang berwarna merah menyala. Pada bagian dadanya, tampak gambar sebuah peri mati berwarna hitam.
"Hentikan usahamu, Kang. Ada orang yang tengah mengintai kita," bisik Arya, pelan.
Kontan hati Adipati Subali tercekat mendengar penjelasan Arya. Buru-buru dia berdiri tegak. Pandangannya juga beralih ke arah Arya menatap. Seketika itu pula, laki-laki tinggi besar ini terjingkat kaget.
"Dia... dia.... Iblis Mayat Hidup...," desis Adipati Subali bergetar penuh nada gentar.
Arya tidak menyambuti ucapan itu. Memang, dia sudah menduga siapa kakek kurus kering ini, setelah melihat warna pakaian dan gambar yang sama dengan pakaian Jaranta. Dan Jaranta sendiri adalah anak Iblis Mayat Hidup.
Arya tahu, kakek kurus kering yang ternyata berjuluk Iblis Mayat Hidup itu adalah seorang berkepandaian tinggi. Putranya saja memiliki kepandaian tinggi. Apalagi Iblis Mayat Hidup?! Pemuda berambut putih keperakan ini sukar membayangkannya.
Bukan hanya hal itu saja yang membuat Arya menduga demikian. Sepasang mata Iblis Mayat Hidup yang mencorong tajam dan bersinar kehijauan seperti mata harimau dalam gelap, menunjukkan kalau tenaga dalamnya amat kuat. Karena hanya tokoh yang memiliki tenaga dalam amat tinggi yang mempunyai sorot mata seperti itu.
Mendadak, tubuh Iblis Mayat Hidup melesat. Herannya masih dalam keadaan duduk bersila. Beberapa saat lamanya, tubuh Iblis Mayat Hidup yang dalam keadaan bersila itu melayang-layang di udara.
Dan sekitar setengah tombak dari permukaan tanah, kedua kaki yang dilipat segera diluruskan kembali. Kemudian, kakinya menjejak tanah tanpa suara sama sekali.
"Siapa di antara kalian yang menjadi keturunan Eyang Mandura?"
Bulu kuduk Adipati Subali langsung merinding mendengar pertanyaan itu. Tapi bukan karena suara yang bernada serak, berat, dan bergaung itu yang menjadi penyebabnya. Tapi justru ketakutannya karena ketika melihat bibir Iblis Mayat Hidup sama sekali tidak bergerak sewaktu mengucapkannya. Padahal, jelas-jelas kalau kakek kurus kering itu yang mengatakannya.
Iblis Mayat Hidup menggeram ketika tak mendengar adanya jawaban sepotong pun dari mulut kedua orang yang hanya berjarak tiga tombak di hadapannya. Bila Adipati Subali mungkin karena masih dilanda perasaan kaget, sedangkan Arya memang tidak ingin menjawab.
Seiring lenyap geraman, Iblis Mayat Hidup menatap wajah Adipati Subali dan Arya. Ada nada selidik di samping kemarahan di dalam sorot matanya. Adipati Subali merasa gentar bukan kepalang. Tanpa sadar kakinya mundur selangkah. Sedangkan Arya tetap tenang. Meskipun demikian, sekujur urat syaraf dan otot pemuda berambut putih keperakan ini telah menegang penuh kewaspadaan.
"Kau... ya... Pasti kau yang menjadi keturunan Eyang Mandura," tuding Iblis Mayat Hidup ke wajah Adipati Subali.
Karuan saja hal itu membuat Adipati Subali terperanjat. Wajahnya langsung pucat pasi. Disadari ada bahaya yang tengah mengancamnya sekarang. Meskipun kematian bukan merupakan hal yang menakutkan bagi Adipati Subali, tapi mati di tangan datuk sesat seperti Iblis Mayat Hidup merupakan sebuah hal yang mengerikan.
Perasaan ngeri itulah yang membuat Adipati Subali tanpa sadar melangkah mundur. Sementara, Iblis Mayat Hidup terus menatapnya penuh selidik. Sama sekali tidak dipedulikan keberadaan Dewa Arak yang sejak tadi sudah bersikap waspada. Bahkan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
"Benar..., kau pasti keturunan Eyang Mandura... Ada kemiripan antara dirimu dengannya," lanjut Iblis Mayat Hidup, semakin meninggi nada ucapannya. "Kau harus bertanggung jawab atas perbuatan leluhurmu! Ayo, hadapi aku! Akan kubuktikan kalau ilmu-ilmu ciptaanku lebih dahsyat daripada ilmu leluhurmu!"
Usai berkata demikian, kakek kurus kering itu mengulurkan tangan kanannya. Jari-jari tangan yang terkembang membentuk cakar itu meluncur ke arah ubun-ubun Adipati Subali, diiringi suara mencicit menyakitkan telinga.
Arya yang memang sudah bersiaga sejak tadi, tidak tinggal diam. Buru-buru kakinya melangkah ke kiri, menghadang di depan Iblis Mayat Hidup. Tak lupa, tangan kanannya diayunkan untuk menangkis serangan dengan arah dari dalam keluar.
Takkk!
Suara keras seperti beradunya dua batang logam keras terdengar, ketika benturan terjadi. Dewa Arak dan Iblis Mayat Hidup sama-sama terhuyung mundur selangkah ke belakang. Jelas, tenaga dalam dua tokoh tingkat tinggi berbeda aliran ini berimbang.
"Keparat!" Iblis Mayat Hidup mendesis penuh kemurkaan, disamping keterkejutan seorang pemuda belia ternyata mampu membuatnya terhuyung dalam benturan! Padahal, tadi telah seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Ini benar-benar merupakan sebuah tamparan keras padanya. Ini adalah penghinaan! Lawan di hadapannya ini harus menanggung akibat perbua-tannya.
"Siapa kau, Keparat?!" Tanya Iblis Mayat Hidup, keras dengan sepasang mata menyala-nyala.
"Namaku Arya Buana. Orang-orang biasa memanggilku Arya," kalem jawaban pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ha ha ha...!" Iblis Mayat Hidup tertawa bergelak-gelak dan keras sekali. Bahkan mulutnya sampai terbuka lebar. Padahal sejak tadi jangankan terbuka. Bibirnya bergerak-gerak saja, tidak!
"Jadi, kiranya kau yang berjuluk Dewa Arak?! Ha ha ha...! Sungguh kebetulan! Julukanmu terkenal sekali, Dewa Arak! Menurut berita yang kudengar, kau telah banyak merobohkan lawanmu. Sehingga banyak tokoh persilatan yang mengatakan, kalau kau patut mendapat julukan Jago Nomor Satu!"
Iblis Mayat Hidup menghentikan ucapannya. Matanya nyalang, menatap Dewa Arak.
"Hatiku seketika panas mendengar berita itu. Rasanya, ingin kubuktikan sendiri kebenarannya. Aku akan mati penasaran, apabila belum sempat bertemu dan membuktikan sendiri kelihaianmu! Sama sekali tidak kusangka kalau kita akan bertemu di sini! Ha ha ha...! Roboh di tanganmu, bukan merupakan hal yang memalukan, Dewa Arak! Bersiaplah kau! Hiyaaat..!"
Iblis Mayat Hidup membuka serangannya dengan sebuah gedoran ke arah dada. Tapi hanya melangkah mundur, telah membuat serangan kakek kurus kering itu luput.
Iblis Mayat Hidup tidak kecil hati melihat serangannya berhasil dipunahkan Dewa Arak. Disadari kalau lawannya berkepandaian amat tangguh. Hasil dari benturan tenaga dalam saat pertama kali, telah menjadi patokannya.
Kalau tidak mengalami sendiri, Iblis Mayat Hidup tidak akan percaya. Tidak masuk diakal, orang semuda Arya mempunyai tenaga dalam demikian tinggi. Atas dasar pemikiran itulah, Iblis Mayat Hidup terus melancarkan serangan-serangan lanjutan. Tentu saja kali ini lebih dahsyat daripada sebelumnya.
Bukan hanya Iblis Mayat Hidup saja yang menyadari ketangguhan lawan. Dewa Arak pun demikian pula. Itulah sebabnya, pemuda berambut putih keperakan itu tidak berani bertindak main-main. Seluruh kemampuannya dikerahkan. Meskipun demikian, ilmu 'Belalang Sakti' andalannya belum dikeluarkan.
Dewa Arak tahu, Iblis Mayat Hidup pun belum mengeluarkan ilmu andalan. Tapi tak urung, pertarungan berlangsung letap dahsyat dan menggiriskan. Masalahnya, ilmu-ilmu yang dimiliki kedua tokoh berbeda aliran itu memang bermutu tinggi.
Suara mencicit, mendesing, dan mengaung menyemaraki pertarungan. Dan hal itu terdengar setiap kali Iblis Mayat Hidup dan Dewa Arak menggerakkan tangan atau kakinya.
Akibatnya hebat bukan kepalang pada keadaan di sekitamya. Pepohonan, semak-semak, tanah, dan tembok-tembok bangunan, porak-poranda. Keadaan sekitar tempat itu seperti habis diobrak-abrik puluhan ekor kerbau liar.
Untung saja, Adipati Subali sudah sejak tadi menyingkir dari tempat itu. Kalau tidak, mungkin dia sudah terkapar di tanah terkena angin pukulan yang bisa saja nyasar, meskipun hanya terkena angin pukulan nyasar dari kedua tokoh sakti itu, ternyata cukup membuat nyawa melayang ke alam baka.
Sementara itu, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi, pertarungan menjadi berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, pertarungan sudah berlangsung lima puluh jurus. Selama itu, belum nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak dan masih berlangsung imbang.
Mendadak terdengar suara melengking tinggi, seperti pekik seekor burung garuda. Nadanya pun menyakitkan telinga. Jelas, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Menilik dari suaranya, bisa diketahui kalau pemiliknya masih berada di tempat yang jauh.
"Hi...!" Mendadak Iblis Mayat hidup menjauhkan diri dari kancah pertarungan. Kakek kurus kering ini kemudian bersalto beberapa kali di udara, sebelum hinggap di tanah tanpa suara sedikit pun.
Dewa Arak sama sekali tidak mengejar. Padahal, hal itu bisa saja dilakukannya sambil mengirimkan serangan-serangan susulan. Paling tidak, dia akan berada di atas angin. Dan kenyataannya, Dewa Arak memang membiarkan saja tindakan Iblis Mayat Hidup yang kini berdiri tenang.
"Kau hebat, Dewa Arak! Julukanmu yang menggemparkan memang bukan omong kosong. Sayang, aku mempunyai urusan lain yang lebih penting. Apabila urusanku telah selesai, kau akan kutantang lagi, Dewa Arak!"
Usai berkata demikian, tubuh Iblis Mayat Hidup lalu berbalik. Begitu kakinya dijejakkan, maka seketika itu juga tubuhnya melesat dari situ. Tampak jelas kalau arah yang ditempuh adalah asal jeritan melengking tinggi yang tadi terdengar.
Luar biasa! Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuhnya telah lenyap di balik tembok benteng Istana Kadipaten Blambang.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pandangannya masih tertuju ke arah yang tengah dituju Iblis Mayat Hidup.
Sementara Adipati Subali yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan dari kejauhan, menghampiri Arya.
"Mengapa tidak kau kejar, Arya?" Tanya Adipati Subali heran.
Arya tersenyum getir. "Iblis Mayat Hidup sudah tidak menghendakinya lagi, Kang. Tidak ada gunanya pertarungan dilangsungkan."
Adipati Subali mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Iblis Mayat Hidup memang seorang lawan tangguh, Kang. Padahal, dia belum mengeluarkan ilmu andalannya. Tak bisa kubayangkan kalau ilmu andalannya telah dikeluarkan," desah Arya penuh kagum.
"Tapi..., bukankah kau juga belum mengeluarkan Ilmu andalanmu, Arya," bantah Adipati Subali. "Jadi, kalian sama-sama belum mengeluarkan ilmu andalan."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Memang, dia tadi juga belum mengeluarkan ilmu andalan. Dan Dewa Arak jadi tersenyum kecut dalam hati.
"Kalau begitu, kita lanjutkan urusan yang belum selesai, Arya." Ajak Adipati Subali ketika teringat kembali akan maksudnya semula.
"Kau benar, Kang," sambut Arya cepat.
Mendapat sambutan menggebu-gebu seperti itu, Adipati Subali jadi bersemangat. Cepat kakinya diayunkan menuju pot-pot kayu yang sebagian besar telah porak-poranda.
Sekarang, Adipati Subali tidak terlalu sulit lagi untuk mengetahui pot yang menjadi kunci masuk ke tempat rahasia. Karena, pot-pot yang masih utuh tinggal sedikit. Dan ketika akhirnya berhasil menemukannya, Adipati Subali langsung memegang sisi-sisi pot itu dan memutarnya ke kanan. Dan, ternyata pot itu sama sekali tidak bergeming.
"Harapan kita semakin besar, Arya!" cetus Adipati Subali penuh rasa gembira.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Kang," kata Arya.
"Kalau ruangan rahasia itu belum dimasuki orang, pot ini bisa diputar untuk membuka jalan masuk ke ruangan rahasia. Dan apabila pot ini tidak bisa diputar, berarti seseorang telah masuk ke dalam ruangan dan menghambat bekerjanya pot yang menjadi pembuka ini. Memang, dari dalam kegunaan pot ini bisa ditangkal," urai Adipati Subali panjang lebar.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Lalu..., bagaimana caranya kita masuk ke sana, Kang?" Tanya Arya, agak heran.
"Melalui tembusan jalan rahasia ini," jawab Adipati Subali, kalem. "Mari, Dewa Arak...!"
Arya tersenyum geli sendiri ketika mendengar jawaban Adipati Subali. Mengapa dia menjadi begitu bodoh? Bukankah hal-hal seperti itu telah dialaminya sendiri. Bahkan di lstana Kerajaan Bojong Gading juga ada hal seperti ini.
Arya tahu, tembusan jalan-jalan rahasia seperti itu biasanya terletak di tempat-tempat terpencil dan sulit ditemukan orang.
"Ada apa, Arya?" Tanya Adipati Subali ketika melihat Arya termenung dengan bibir menyunggingkan senyuman lebar.
Teguran ini membuat Arya tersentak. Buru-buru kepalanya digelengkan beberapa kali. "Ah...! Tidak apa-apa, Kang...," jawab pemuda berambut putih keperakan.
Tentu saja Adipati Subali tidak percaya atas jawaban Arya. Dia tahu, tidak ada sesuatu yang dipikirkan bila pemuda berambut putih keperakan itu tidak termenung. Tapi laki-laki tinggi besar itu berusaha bertindak bijaksana, dan tidak berusaha mendesaknya lagi. Adipati Subali tahu, pendekar muda itu adalah seorang yang berwawasan luas. Apabila telah mengeluarkan jawaban seperti itu, berarti memang tidak ada hal yang penting.
"Kalau begitu, mari kita mencari Rara Kunti."
Arya menganggukkan kepala. Sesaat kemudian kedua tokoh yang baru berkenalan ini sudah melesat meninggalkan tempat itu. Suara cicit burung, dan keruyuk ayam jantan menjadi pertanda dini hari telah tiba. Itu berarti sang Surya akan segera muncul di ufuk Timur untuk mengusir kegelapan yang mencengkeram bumi.
* * *
DUA
Hari sudah tidak pagi lagi. Bola raksasa di langit sudah mulai menyilaukan mata, ketika sesosok bayangan hitam melesat cepat. Dia ternyata seorang gadis cantik berusia dua puluh tahun. Pakaiannya serba hitam, membungkus tubuhnya yang langsing.
Rambutnya yang berwarna hitam digelung ke atas dan dihiasi sebuah amel berbentuk bunga mawar. Menilik dari larinya yang cepat dan ringan, bisa diperkirakan kalau gadis berpakaian hitam itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Sementara itu, gadis berpakaian hitam terus berlari cepat. Di tangan kanannya tercekal dua ekor kelinci yang masih hidup. Entah, bagaimana binatang itu bisa tertangkap hidup-hidup.
Langkah gadis berpakaian hitam melambat, dan akhirnya terhenti ketika melihat sesosok tubuh berdiri di depannya. Dia berhenti dalam jarak sekitar lima tombak di depan penghadangnya.
"Siapa kau?! Mengapa menghadang jalanku?!" tanya gadis berambut digelung itu, keras.
Sepasang mata bening dan indah milik gadis berpakaian hitam itu menatap ke arah penghadangnya, sesosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya tidak terlihat, karena tertutup selubung berwarna hitam pekat. Yang terlihat hanya sepasang matanya, karena pada bagian selubung itu memang terdapat dua buah lubang, tepat pada bagian matanya.
"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam itu tertawa bergelak. "Siapa adanya aku, tidak soal. Yang jelas, kau harus ikut denganku, Nisanak! Atau... kau ingin dibunuh kawan-kawanku. Mereka tidak puas hanya dengan merebut Kadipaten Blambang! Mereka juga menginginkan dirimu!"
Gadis berpakaian hitam itu mengedarkan pandangan berkeliling. Dia tahu, sosok berpakaian hitam itu seorang laki-laki. Nada suaranyalah yang memperkuat dugaannya. Tapi hal itu tidak menarik perhatiannya. Dan pandangannya kembali beredar berkeliling, untuk memastikan kalau laki-laki berpakaian hitam itu hanya sendirian.
"Kau hanya akan dapat membawaku, apabila aku telah menjadi mayat!"
Usai berkata demikian, gadis berpakaian hitam itu langsung melemparkan kelinci dalam genggamannya. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya bergerak mencabut pedang yang tergantung di punggungnya.
Srattt!
Sinar terang berkeredep ketika pedang itu keluar dari sarungnya. Sinar mata hari yang menyorot tepat di bilah pedang yang putih mengkilat, dapat membuat lawan silau memandangnya. Maka hal itu akan membuat sasaran yang dituju oleh pedang tidak terlihat.
Tapi, rupanya hal itu sama sekali tidak berlaku bagi laki-laki berpakaian hitam. Buktinya ketika pedang menyambar ke arah lehernya dengan arah serangan mendatar, hal itu bisa diketahuinya. Malah, dia bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan senjata lawan mendekat. Baru ketika angin serangannya sudah mulai menghembus lehernya, tubuhnya dirundukkan. Dan...
Wusss!
Babatan pedang itu lewat beberapa jari di atas kepalanya. Menilik dari berkibarnya penutup kepala ketika bilah pedang lewat, bisa diketahui kalau tenaga yang menopang serangan gadis berpakaian hitam itu cukup kuat.
Gadis berpakaian hitam itu merasa penasaran bukan kepalang melihat serangannya mampu dielakkan begitu mudah. Maka ketika serangan pembukanya gagal mengenai sasaran, masih dalam keadaan berada di udara, kaki kanannya meluncur ke arah dada.
Wuttt!
Kali ini, laki-laki berpakaian hitam itu tidak mengelakkannya. Tendangan itu hanya dipapak dengan kedua tangan terkepal yang saling disilangkan di depan dada.
Dukkk!
Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tidak bisa dielakkan lagi. Kontan tubuh gadis berpakaian hitam terpental balik ke belakang. Sedangkan penghadangnya terhuyung satu langkah ke belakang.
Meskipun demikian, laki-laki maupun gadis berpakaian hitam itu mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung dengan gerakan manis.
"Hup!"
Pada saat yang bersamaan dengan hinggapnya kedua kaki gadis berpakaian hitam itu di tanah, penghadangnya pun telah berhasil memperbaiki keadaannya pula. Tanpa memberi kesempatan lagi, gadis berambut digelung itu langsung melancarkan serangan kembali. Pedang di tangannya kembali berkelebat cepat ke arah berbagai bagian tubuh lawan disertai suara mendesing nyaring.
Tapi, lak-laki berpakaian hitam ternyata bukan orang sembarangan. Meskipun gadis berambut digelung itu melancarkan serangan secara cepat dan bertubi-tubi, namun berhasil ditangkal tanpa menemui kesulitan. Laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di celah-celah sambaran pedang lawan.
Bahkan ketika pertarungan mulai menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berpakaian hitam itu telah berani menangkis serangan pedang lawan dengan tangan telanjang. Luar biasa! Jangankan putus atau terluka.
Tergores pun tidak. Malah sebaliknya, tangan kanan gadis berambut digelung itu yang terasa sakit dan kesemutan setiap kali pedangnya berbenturan dengan tangan lawan.
Perlahan-lahan gadis berpakaian hitam itu mulai terdesak. Gulungan sinar pedangnya yang tadi membentuk gundukan lebar, dan terkadang mengurung tubuhnya bersama lawannya, kini mulai menyempit Serangan-serangan yang dilancarkannya juga mulai berkurang!
"Hhh...!" Gadis berpakaian hitam itu mengeluh dalam hati. Sama sekali tidak disangka kalau penghadangnya akan selihai ini. Padahal, semula dia telah berbesar hati ketika melihat laki-laki berpakaian hitam itu hanya sendirian saja. Dan dia yakin akan mampu membereskannya.
Perasaan kaget bercampur cemas mulai melanda, ketika dalam benturan pertama kali ternyata kemampuan lawan tidak di bawahnya. Dan kekhawatirannya semakin membesar ketika mengetahui kepandaian laki-laki berpakaian hitam itu kian lama kian hebat. Tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun serangan-serangannya ternyata jauh lebih dahsyat.
Namun gadis berambut digelung itu juga bukan orang bodoh. Dia tahu, tadi lawannya tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Rupanya laki-laki berpakaian hitam itu ingin menjajaki kepandaiannya lebih dahulu.
Tak sampai lima belas jurus, gadis berpakaian hitam itu sudah dibuat terpontang-panting untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Beberapa kali tubuhnya jatuh bangun dan bergulingan. Sekujur wajah dan tubuhnya telah basah kuyup oleh keringat.
Napasnya pun terengah-engah, karena terlalu memaksakan diri untuk mengerahkan seluruh kemampuan.
"Akh...!"
Gadis berambut digelung itu menjerit tertahan ketika kaki lawan menggaet kakinya, sehingga tubuhnya jatuh telentang di tanah. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, laki-laki berpakaian hitam itu telah memburunya dengan sebuah totokan ke arah jalan darah di leher.
Kali ini, gadis berambut digelung itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Untuk mengelak atau menang kis, sama sekali tidak bisa dilakukan. Memang, keadaannya yang lelah dan keadaannya yang sama sekali tidak menguntungkan, membuatnya tidak mampu bertindak apa-apa.
Namun, rasanya dia tidak sanggup menerima kenyataan kalau dirinya tertotok lumpuh tidak berdaya. Jelas malapetaka mengerikan akan terjadi atas dirinya. Maka dengan sikap pasrah sepasang matanya dipejamkan agar tidak menyaksikan kejadian itu.
Tapi, gadis berpakaian hitam itu menjadi heran ketika menyadari serangan yang ditunggu-tunggu sama sekali tidak kunjung datang. Bahkan suasana di sekelingnya terasa hening dan sepi. Masih disertai perasaan heran yang melanda, kelopak matanya segera dibuka. Maka seketika itu pula matanya terbelalak.
Betapa tidak? Laki-laki berpakaian hitam itu ternyata sudah tidak berada lagi di situ. Tentu saja hal ini membuat gadis berambut digelung itu heran bukan kepalang. Benarkah orang tadi telah pergi?
Lalu, mengapa meninggalkannya begitu saja. Padahal, dirinya tadi telah dirobohkan! Perasaan heran pun berkecamuk di dalam benak gadis berpakaian hitam itu. Benarkah laki-laki berpakaian hitam itu telah pergi?
Perasaan penasaran mendorong gadis berpakaian hitam itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tetap saja tidak dijumpai adanya laki-laki berpakaian hitam tadi. Sekitar tempat itu sepi, tidak nampak adanya sepotong makhluk pun disana.
Masih dengan dahi berkeryit dalam, gadis itu bangkit dari terlentangnya. Pakaiannya yang kotor dikebut-kebutkan, lalu dijumput pedangnya dan dimasukkan kembali ke dalam sarung. Kemudian setelah mengedarkan pandangan sekali lagi ke sekitarnya, dia melangkah meninggalkan tempat itu.
"Kunti...!"
Suara panggilan keras membahana terdengar di sekitarnya, ketika gadis berambut digelung itu baru saja melangkah beberapa tombak. Anehnya, dia terlonjak pertanda terkejut. Cepat laksana kilat kepalanya dipalingkan ke belakang, karena suara itu memang berasal dari sana.
"Ayah...!"
Terdengar teriakan bernada ketidakpercayaan, keheranan, sekaligus bercampur kegembiraan dari mulutnya. Kemudian dengan kedua tangan terkembang, gadis berpakaian hitam itu menghambur ke arah asal panggilan tadi.
Orang yang memanggil tadi ternyata seorang laki-laki tinggi besar. Tubuhnya kekar, terbungkus pakaian indah berwarna kuning keemasan. Cambang bauk lebat yang menghias wajah, semakin menambah kegagahan dan keangkerannya. Dia tak lain dari Adipati Subali!
"Tahan!" tiba-tiba Adipati Subali menjulurkan tangannya ke depan.
"Ayah...?!"
Di tengah-tengah perjalanan, tubuh gadis berpakaian hitam yang ternyata Rara Kunti itu langsung berhenti tak mengerti. Raut kekecewaan dan ketidak-mengertiannya tampak jelas pada wajahnya.
"Sebelum telanjur, bisa kau tunjukkan punggungmu lebih dulu, Kunti?" Tanya Adipati Subali.
Sambil mengucapkan pertanyaan demikian, laki-laki tinggi besar itu melangkah mundur. Sikapnya tampak penuh kewaspadaan. Jelas, dia masih mencurigai Rara Kunti. Dan mundurnya, Adipati Subali pun sudah dapat dipastikan untuk menjaga jarak antara mereka berdua. Setidak-tidaknya apabila Rara Kunti melancarkan serangan, sebelum mengenai sasaran dia mampu lebih dulu mengelak atau menangkis.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ayah?!" sambut Rara Kunti disertai sorot mata penuh tanda-tanya. Dan tampaknya, dia merasa tidak suka atas usul yang diajukan ayahnya.
"Untuk saat sekarang ini kau tidak perlu mengerti, Kunti," penuh kesungguhan ucapan Adipati Subali. "Yang penting, lakukan saja perintah yang kuberikan itu."
"Kau membuatku bingung, Ayah. Perintahmu sama sekali tidak masuk di akal. Aku tidak sudi melakukannya!" Tandas Rara Kunti, keras.
"Mengapa?" Tanya Adipati Subali, agak bergetar suaranya.
"Karena itu akan membuatku malu! Kau ingin aku memperlihatkan punggungku di depan orang asing?!"
Sambil mengucapkan perkataan berapi-api, gadis berpakaian hitam itu mengerling ke arah sosok tubuh yang tadi datang bersama ayahnya, dan kini berdiri di belakang. Sosok tubuh seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu, yang tak lain dari Dewa Arak!
Adipati Subali terlonjak kaget bagai disengat kalajengking. Mengapa hal itu sampai dilupakannya? Rara Kunti benar! Kalau perintah itu dilakukan, putrinya akan menanggung malu!
Namun bukan hanya Adipati Subali saja yang terkejut. Arya demikian pula. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu dilanda perasaan malu yang lebih besar lagi. Selebar wajahnya kontan memerah. Maka, bergegas, Arya membalikkan tubuh.
"Nah! Sekarang apa lagi alasanmu, Kunti? Arya telah memberikan kelonggaran padamu untuk melaksanakan perintahku. Cepat, Kunti! Terus terang, aku ingin menyingkap tabir yang menyelimuti perasaanku. Bagaimana, Kunti? Kau keberatan memenuhi perintahku itu?" Tanya Adipati Subali lagi, meminta kepastian.
Rara Kunti tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menganggukkan kepala perlahan. Bibirnya digigit kuat-kuat gejolak perasaan yang melanda hatinya.
"Jadi..., kau setuju, Kunti?" desak Adipati Subali lagi.
Rara Kunti kembali mengangguk-anggukkan kepala. Kini Adipati Subali tidak ragu-ragu lagi. Buru-buru dihampirinya Rara Kunti. Meskipun demikian, laki-laki tinggi besar itu masih bersikap waspada. Tapi, ternyata tidak dijumpai adanya tindakan-tindakan yang mencurigakan pada Rara Kunti. Maka buru-buru kedua tangannya dibalikkan dan diletakkan pada bahu gadis berpakaian hitam itu.
Sementara itu, Rara Kunti tampak terguncang-guncang menahan isak tangis. Hal ini karena ayahnya seperti sudah tak mempercayainya sebagai anak. Namun, dia dapat memakluminya, karena diyakini tujuan ayahnya benar. Dan kini, ternyata Rara Kunti tidak tinggal diam. Dia ikut membantu memperlihatkan bagian punggungnya, dengan mengangkat baju bagian belakang.
Srrrkkk!
Sesaat kemudian, terpampang punggung yang berkulit putih, halus, dan mulus, tanpa cacat sama sekali. Namun kemulusan itu terusik oleh tanda yang berbentuk seekor ular kobra berwarna biru. Suatu tanda kalau gadis berpakaian hitam itu adalah keturunan Eyang Mandura.
"Kau memang benar Rara Kunti. Anakku. Hhh...!
Kini sudah jelas masalahnya. Kau sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan terhadap ibumu!" desah Adipati Subali sambil merapikan kembali pakaian Rara Kunti, seraya memeluk anaknya.
"Apa?! Apa katamu, Ayah?!" Pekik Rara Kunti, keras. Raut wajah maupun sinar matanya kontan memancarkan ketidakpercayaan dan keterkejutan yang amat sangat, tepat ketika dia melepaskan pelukannya.
"Ibumu tewas, Kunti! Dan perintahku padamu tadi bukan perbuatan mengada-ada. Itu merupakan salah satu cara untuk menyingkap tabir pembunuhan terhadap ibumu!" Jelas Adipati Subali panjang lebar.
"Ohhh...?!"
Rara Kunti mengeluh tertahan, bibirnya tampak berkembik-kembik seperti ingin menangis. Raut wajahnya pucat pasi laksana mayat. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Keluhan-keluhan kesedihan keluar dari tenggorokannya. Jelas, gadis berpakaian hitam ini makin dilanda sedih yang menggelegak.
"Ayah...!"
Tangis Rara Kunti langsung meledak ketika Adipati Subali tanpa ragu-ragu memeluknya kembali. Rara Kunti menangis sesenggukan di pelukan ayahnya. Adipati Subali membiarkan saja Rara Kunti menumpahkan perasaannya. Dia tahu, hal itu akan melegakan tekanan batin yang melanda putrinya. Yang dilakukan Adipati Subali hanyalah mengelus-elus rambut hitam dan tebal milik putrinya penuh kasih sayang.
Sepasang mata laki-laki tinggi besar ini nampak memerah, karena perasaan haru yang melanda. Haru karena telah yakin kalau yang berada dalam pelukannya benar-benar anaknya. Di samping itu juga karena mereka kembali bertemu.
Dan kini Rara Kunti sudah bisa menguasai perasaannya. Perlahan-lahan gadis berpakaian hitam itu melepaskan pelukannya. Air mata dan ingus yang timbul karena tangis disusut dengan sapu tangannya. Kemudian, disimpannya kembali benda yang telah basah itu ke selipan pinggangnya.
Sementara itu, Dewa Arak yang berdiri di belakang mereka tampak tersenyum haru melihat pertemuan ayah dan anak itu.
"Mengapa kau hanya sendirian saja, Ayah? Mana Paman Sagala? Dan mengapa kau waktu itu meninggalkanku sendirian, Ayah?" Tanya Rara Kunti bertubi-tubi, seraya menatap wajah laki-laki tinggi besar itu lekat-lekat. Sinar mata Rara Kunti tampak penuh tuntutan dan menghendaki jawaban atas pertanyaannya.
"Hhh...!" Sambil menghela napas berat, Adipati Subali membalas tatapan putrinya tak kalah tajam. "Panjang ceritanya, Kunti," jawab laki-laki tinggi besar itu setengah mendesah.
Tarikan wajah Adipati Subali tampak penuh kedukaan. Karuan saja hal itu membuat wajah Rara Kunti yang telah basah oleh air mata itu menjadi heran bukan kepalang.
"Apakah kau keberatan untuk menceritakan semua peristiwa itu, Ayah?" Tanya Rara Kunti, melihat tatapan ayahnya seperti itu.
Masih terdengar serak dan tersendat-sendat suara Rara Kunti, meskipun tangisnya telah usai. Sekarang, yang tertinggal hanyalah sepasang mata dan ujung hidung yang merah.
"Tidak," sahut Adipati Subali sambil menggelengkan kepala.
Kemudian laki-laki tinggi besar ini lalu menceritakan semua kejadiannya. Sementara, Rara Kunti mendengarkan penuh perhatian.
"Begitulah ceritanya, Kunti. Kalau saja tidak ada Arya alias Dewa Arak, mungkin kau tidak akan pernah bertemu lagi dengan ayahmu ini," tutur Adipati Subali mengakhiri ceritanya.
Seiring selesainya cerita itu, Adipati Subali dan Rara Kunti teringat akan keberadaan pemuda berambut putih keperakan yang berdiri membelakangi mereka. Bagai diperintah, keduanya sama-sama mengalihkan pandangan ke tempat Arya berada. Tampak pemuda berambut putih keperakan itu masih dalam keadaan seperti tadi.
"Cukup, Arya." ujar Adipati Subali.
Arya membalikkan badan, kemudian menghampiri Adipati Subali dan Rara Kunti.
"Maaf. Kami terlupa Arya. Ah! Masalah ini memang membingungkan kami...," desah Adipati Subali penuh penyesalan.
"Lupakan, Kang. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Karena memang tidak ada kesalahan apa-apa. Aku memakluminya, kok," ringan jawaban Arya.
"Aku pun minta maaf padamu, Arya," ucap Rara Kunti pula sambil mengulurkan tangan. Dan Arya menyambutnya.
"Justru akulah yang seharusnya minta maaf padamu, Kunti." tegas Arya, menyebut nama gadis berpakaian hitam itu seperti Adipati Subali memanggilnya.
"Hehhh...?! Mengapa begitu, Arya?" Tanya Rara Kunti dengan alis berkerut, heran.
"Karena, akulah yang telah membuatmu terjatuh tadi," jelas Arya.
"Jadi..., kau...?!" Rara Kunti sengaja menggantung ucapannya di tengah jalan.
Tapi, Arya tahu kelanjutannya. Maka kepalanya pun dianggukkan. "Benar. Akulah orang yang tadi bertarung denganmu. Akulah laki-laki yang berpakaian hitam tadi," jelas pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ahhh...!"
TIGA
Rara Kunti berseru kaget. Memang, apa yang didengar tadi sama sekali tidak disangka-sangka. "Mengapa kau lakukan itu, Arya?" Tanya Rara Kunti bernada kesal. "Apakah hendak menunjukkan ketinggian ilmu yang kau miliki, atau ingin menghinaku?"
Karuan saja nada tidak senang yang terdengar jelas dalam ucapan gadis berpakaian hitam itu, membuat Arya kelabakan. Apalagi, ketika melihat sorot mata Rara Kunti yang begitu tajam menusuk. Tidak lagi ramah, seperti sebelumnya. Arya bisa memaklumi sikap yang ditunjukkan Rara Kunti. Dia tahu, kelakuannya tadi pasti menyinggung hati gadis itu.
"Sabar dulu, Kunti." Sergah Arya cepat sambil menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada. "Kau salah paham. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu."
"Tidak usah pura-pura, Dewa Arak!" Potong Rara Kunti keras. "Aku tahu, kepandaianku memang tidak ada artinya bila dibanding kepandaianmu. Kuakui, kau seorang tokoh besar. Tapi itu bukan berarti kau bisa seenaknya menghinaku! Mari, kita lanjutkan pertarungan tadi."
Arya kebingungan melihat kemarahan Rara Kunti semakin berkobar-kobar. Apalagi, ketika melihat tangan gadis itu sudah terjulur ke punggung. Maksudnya sudah bisa ditebak. Apalagi kalau bukan untuk menghunus pedangnya?
Tapi sebelum maksud gadis berpakaian hitam itu tercapai, sebuah tangan kekar telah mencekal pergelangan tangannya. "Sabar dulu, Kunti," cegah Adipati Subali lembut Memang, dialah pemilik tangan kekar itu.
"Lepaskan, Ayah. Biar aku mengadu nyawa dengan pendekar besar ini! Jangan dikira mentang-mentang telah menolong, lantas bisa seenaknya saja menghina orang lain!" Rara Kunti tetap bersikeras.
"Dengar dulu penjelasan Ayah, baru setelah itu terserah padamu untuk memutuskannya. Jangan khawatir, Ayah akan berada di pihakmu!"
Tangan Rara Kunti yang semula sudah menegang keras dan siap untuk memberontak, perlahan-lahan mengendur. Bahkan akhirnya kembali ke sisi pinggang.
"Kalau begitu..., terserah Ayah," desah Rara Kunti mengalah. Pelan sekali suaranya, mirip bisikan.
Adipati Subali menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap putrinya. Dia tahu betul sifat Rara Kunti yang demikian keras! Apabila berkata hitam, tetap hitam sebelum mendapat bukti kalau ucapannya salah. Meskipun demikian, dia tidak pernah membantah perintah. Terutama apabila ayahnya telah menunjukkan sikap sungguh-sungguh.
"Arya tidak bisa disalahkan, Kunti. Karena itu memang bukan kesalahannya. Hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi permintaan Ayah," jelas laki-laki tinggi besar itu.
"Aku..., aku jadi semakin tidak mengerti, Ayah. Arya menghadang perjalananku dan memaksaku bertarung adalah untuk memenuhi permitaan Ayah. Atau..., Ayah ingin melihat kemajuanku?" Bertubi-tubi dan hampir tanpa henti Rara Kunti mengutarakan kedongkolan hatinya.
"Kau kan sudah dengar cerita ayah tadi, Kunti?!" tanya Adipati Subali, mengingatkan.
Rara Kunti menganggukkan kepala. Namun masih belum dimengerti, mengapa laki-laki tinggi besar itu mengaitkan penyerangan Dewa Arak dengan peristiwa berdarah yang menimpa rombongan ayahnya.
"Kau lupa, Kunti. Gadis yang bersama Sagala, menampilkan wajah dan sosok tubuh dirimu! Hanya saja, kepandaiannya amat tinggi. Aku dan Dewa Arak mempunyai dua buah dugaan mengenai dirimu tadi."
Sampai di sini Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk melihat tanggapan anaknya. Tapi gadis berpakaian hitam itu sama sekali tidak memberi tanggapan apa pun. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil mengernyitkan dahi. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Dugaan pertama, gadis yang bersama Sagala benar-benar dirimu. Hanya saja, diam-diam kau telah mempelajari ilmu kepandaian darinya. Sedangkan dugaan kedua, ada gadis yang mempunyai hubungan perguruan dengan Sagala, dan menyamar sebagai dirimu. Untuk membuktikan dugaan itulah, aku dan Arya kembali kemari," sambung Adipati Subali.
Ekor mata Rara Kunti mulai mengerling ke arah Arya. Tampak pemuda berambut putih keperakan itu bersikap tenang. Tak terlihat ada sedikit pun gambaran dendam di wajahnya. Hal ini membuat hati gadis berpakaian hitam tidak enak. Dan gelagat adanya ketidak-benaran tuduhannya terhadap Dewa Arak sudah mulai tercium. Diam-diam dia mulai menyesali kecerobohannya.
"Di istana, aku tidak menemukan dirimu. Untung, aku ingat ruang rahasia di balik pot. Sampai akhirnya, aku bertemu denganmu. Untuk membuktikan dugaanku, Arya kuminta untuk membuatmu terlibat dalam pertarungan. Sedangkan aku menyaksikan dari tempat tersembunyi. Lega hatiku ketika kulihat kau benar-benar mengeluarkan ilmu warisanku. Dan aku tidak melihat adanya kelihaian yang ditampilkan sewaktu terjadi peristiwa pembunuhan itu. Maka aku yakin, ada orang yang telah memalsukan dirimu. Namun demikian, aku masih belum yakin atas dirimu. Makanya, aku memintamu agar memperlihatkan punggungmu!" Adipati Subali mengakhiri penjelasannya dengan raut wajah gembira bercampur lega.
"Tapi... Mengapa Ayah masih mencurigaiku?" Sergah Rara Kunti penasaran.
"Aku hanya merasa penasaran. Tanda di punggungmu itu merupakan bukti kalau kau adalah keturunanku," sahut Adipati Subali mantap. "Tanda itu berupa gambar seekor ular kobra. Maaf. Selama ini aku belum menceritakannya padamu."
Rara Kunti kontan terdiam. Tidak ada lagi pertanyaan yang bergayut, baik di benak maupun di hatinya. Semuanya jelas, kalau dia telah salah duga terhadap Arya. Maka dengan wajah merah padam karena perasaan malu, tatapannya dialihkan pada pemuda berambut putih keperakan itu.
"Maafkan aku, Arya. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," ucap gadis berpakaian hitam itu pelan. Bahkan ucapan itu dikeluarkan sambil menundukkan wajah. Kalau saja Arya dan Adipati Subali bukan orang-orang yang memiliki kepandaian, pasti tidak akan mendengarnya.
"Lupakanlah, Kunti. Aku tahu, kau hanya salah paham. Lagi pula, kau memang patut untuk marah, kok. Aku memang keterlaluan memperlakukanmu. Dan justru akulah yang seharusnya minta maaf padamu," ucap Arya.
Kontan Rara Kunti jadi tersipu-sipu mendengar sambutan Dewa Arak.
"Nah! Sekarang masalah ini telah selesai. Kini tinggal dua masalah lagi yang belum diselesaikan," kata Adipati Subali mengalihkan pembicaraan agar suasana canggung itu lenyap.
"Apa masalah itu, Ayah?" Tanya Rara Kunti, cepat. Sebenarnya bukan karena Rara Kunti ingin mengetahui masalah-masalah itu. Tapi sebagian besar didorong oleh perasaan ingin membebaskan diri dari keadaan tidak enak yang mengungkukungnya.
"Masalah pertama, mencari dan membalas dendam pada pembunuh ibumu. Kunci masalah ini ada di tangan Sagala. Dan kedua, memecahkan rahasia leluhurmu!"
Setelah berkata demikian, Adipati Subjali menoleh ke arah Arya. Tanpa laki-laki tinggi besar itu membuka suara pun, Dewa Arak telah tahu maksudnya. Maka buru-buru dikeluarkannya gulungan kulit binatang dari batik bajunya.
Adipati Subali mengulurkan tangan menerimanya. Kemudian secara singkat tapi jelas, semua hal yang berhubungan dengan surat peninggalan ini diceritakannya. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca episode sebelumnya, serial Dewa Arak dalam episode Rahasia Syair Leluhur).
Rara Kunti mendengarkan semua cerita ayahnya penuh minat. Karena, memang baru kali inilah Adipati Subali menceritakannya.
"Begitulah ceritanya, Kunti," kata Adipati Subali mengakhiri ceritanya.
"Bisa kulihat surat itu, Ayah?" Pinta gadis berpakaian hitam itu.
"Tentu saja, Rara Kunti!" Lalu Adipati Subali menyerahkan gulungan surat yang terbuat dari kulit binatang itu pada putrinya.
Rara Kunti menerimanya penuh gairah, dan langsung membuka gulungannya. Sementara Arya dan Adipati Subali hanya memperhatikan tanpa perasaan curiga. Memang, kedua orang ini telah percaya kalau Rara Kunti sama sekali tidak terlibat dalam masalah pembunuh itu.
Dengan bibir sedikit berkemik-kemik, Rara Kunti membaca huruf-huruf yang tertera di atas surat yang terbuat dari kulit binatang.
Matahari beredar....
Dari tempat hati yang pilu
Air berasal...
Tempat yang akan dituju
Bukti leluhur....
Awal dari kerja keras
Akhir dari Raja Memberi Derma
Pintu kebahagiaan
"Bagaimana tanggapanmu, Kunti?" Tanya Adipati Subali tak sabar ketika melihat gadis berpakaian hitam itu termenung.
Rara Kunti mengalihkan pandangannya dari gulungan kulit binatang itu. Kini, ditatapi wajah ayahnya lekat-lekat. Kemudian, perlahan-lahan kepalanya menggeleng.
"Aku tidak bisa mengambil kesimpulan apa-apa dari bait-bait syair ini, Ayah. Tapi aku hanya merasa heran. Mengapa 'Bukti Leluhur' yang baru saja Ayah ceritakan dan 'Raja Memberi Derma' yang merupakan salah satu jurus yang kita miliki masuk dalam bait-bait ini." gumam Rara Kunti.
Adipati Subali terlonjak. Wajahnya pun kontan berubah hebat. Tarikan wajahnya menyiratkan keterkejutan yang amat sangat. Jelas, hal ini karena ucapan Kara Kunti. Melihat sikap ini, tentu saja membuat gadis berpakaian hitam itu jadi heran. Belum lagi hilang perasaan kagetnya, Adipati Subali telah mengulurkan tangan. Dan....
Tappp!
Tanpa Rara Kunti mampu berbuat apa-apa, gulungan kulit binatang itu telah berpindah tangan. Memang, gerakan laki-laki tinggi besar terlalu cepat Jadi, andaikata dia sempat berbuat sesuatu pun, tetap saja gulungan kulit binatang itu akan terampas oleh Adipati Subali.
Secepat surat itu berada di tangan, secepat itu pula Adipati Subali membuka gulungannya dan membaca ulang. Sementara, Rara Kunti mengawasi dengan perasaan heran. Tapi, tidak demikian halnya dengan Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu, ucapan Rara Kunti telah membuat Adipati Subali menemukan hubungan bait-bait yang berada dalam surat peninggalan leluhurnya.
"Ah! Kau benar, Kunti!" seru Adipati Subali seraya menggulung surat itu. "Mengapa, aku demikian bodoh?! Ah! Ucapanmu ini telah membuat salah satu bait ini telah terpecahkan. Sekarang, tinggal satu bait lagi, Kunti, Arya."
"Aku tidak mengerti, bagaimana hal itu bisa kau pecahkan, Ayah?" Tanya Rara Kunti tidak mengerti.
"Baris demi baris yang terdapat dibait kedua ini mudah sekali diartikan, setelah kau menemukan kuncinya, Kunti. Ah! Kau benar-benar seorang gadis cerdik," jawab Adipati Subali. "Agar kau jelas, sebaiknya kuterangkan padamu."
Laki-laki tinggi besar ini menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Syair dibait kedua ini berhasil kupecahkan setelah menggabungkan kesimpulan yang kudapatkan bersama Arya, dengan ucapanmu tadi. Menurut dugaanku, kita harus mencari tempat yang memiliki tanda atau gambar seperti yang tertera pada punggung kita. Di sini dikatakan, bukti leluhur awal dari kerja keras. Oleh karena itu, kita harus mencarinya."
Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk menenangkan deru napasnya. Perasaan tergesa-gesa untuk memberitahukan kesimpulan yang didapatnya pada Arya serta Rara Kunti, dan perasaan gembira karena telah berhasil menemukan kesimpulan bait kedua, menjadi penyebabnya.
"Dan apabila kita telah menemukan gambar atau tanda 'Bukti Leluhur' di tempat itu, maka kita dapat menemukan tempatnya hanya dengan jurus 'Raja Memberi Derma'," sambung laki-laki tinggi besar itu lagi.
Rara Kunti Dan Arya mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya kedua orang itu sama-sama menyetujui kesimpulan yang didapatkan Adipati Subali.
"Bagaimana pendapatmu atas kesimpulanku, Arya?" Adipati Subali yang belum puas melihat anggukan kepala Arya, mengajukan pertanyaan secara langsung.
"Aku yakin, kesimpulan yang kau dapatkan itu sangat tepat, Kang," sahut Arya.
"Apa alasanmu, Arya?" desak Adipati Subali tidak begitu saja menelan jawaban itu.
"Ada dua alasan yang menyebabkannya."
"Dua?!" Alis Adipati Subali berkernyit dalam. "Banyak sekali, Arya?!"
Arya hanya menyunggingkan senyum lebar. "Pertama, kesimpulan yang Kakang dapatkan itu memang masuk akal apabila dihubung-hubungkan dengan syair yang terdapat pada bait kedua," Arya mulai menguraikan alasannya.
Adipati Subali menggumam pelan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Jawaban seperti itu memang sudah diduga. "Lalu yang kedua?"
"Ini alasan yang paling tepat, Kang. Begini. Leluhurmu tak akan mungkin sembarangan membuat surat rahasia yang berisi pusaka-pusaka peninggalannya. Aku yakin, dia tidak ingin surat itu terjatuh di tangan orang yang bukan keturunannya. Jadi, dia harus membuat sebuah teka-teki yang hanya dapat dipecahkan keturunannya. Itu alasanku, Kang," urai Arya panjang lebar.
"Kau benar, Arya," ujar Adipati Subali, setelah termenung sejenak memikirkan kata-kata pemuda berambut putih keperakan itu. "Kini aku baru ingat, mengapa ayahku begitu memperhatikan ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'. Padahal, ilmu itu termasuk ilmu rendahan. Ketika kutanyakan mengapa demikian? Jawabannya, itu adalah pesan kakek sebelum meninggal. Hhh...! Sama sekali tidak kusangka kalau ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'lah yang akan menjadi bagian terpenting untuk bisa mendapatkan pusaka itu."
"Ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'?!" Tanya Arya dengan alis berkerut.
"Benar," Adipati Subali menganggukkan kepala. "Jurus-jurus yang terkandung dalam ilmu itu, di antaranya adalah jurus 'Raja Menolak Sembah', jurus 'Raja Merebut Tahta', dan jurus 'Raja Memberi Derma'."
Sekarang Arya baru mengerti, dan membuatnya terdiam. Adipati Subali tidak melanjutkan ucapannya lagi. Demikian pula Rara Kunti. Gadis berpakaian hitam ini pun membisu. Hasilnya, suasana menjadi hening.
"Tapi, di mana tempat gambar atau tanda 'Bukti Leluhur' itu, Ayah?" Tanya Rara Kunti memecahkan keheningan yang terjadi.
"Itu yang harus kita cari, Kunti," jawab Adipati Subali cepat.
"Di mana kita harus mencarinya, Ayah? Dunia ini begitu luas? Apakah kita harus meneliti setiap tempat yang ditemui? Lalu sampai kapan kita akan menemukannya? Aku yakin sampai usia selesai pun, dunia ini belum habis kita jelajahi." Sambut Rara Kunti mengemukakan pendapat Adipati Subali tercenung mendengar ucapan putrinya. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Rara Kunti.
"Jangan berputus asa seperti itu, Kunti. Tidak baik," celetuk Arya. "Ingat, ayahmu baru memecahkan rahasia di bait kedua. Aku yakin, jawaban pertanyaanmu ada di bait pertama."
"Kau benar, Arya!" Sentak Adipati Subali cepat. Kembali laki-laki tinggi besar ini membuka kembali gulungan kulit binatang itu. "Ah! Mengapa aku sampai lupa? Bukankah aku baru memecahan rahasia di bait kedua?!" rutuk Adipati Subali dalam hati.
Tampak kedua tangan Adipati Subali agak menggigil ketika membuka gulungan surat itu. Meskipun hafal syair itu, tapi dia lebih suka membaca ketimbang mengingat-ingat hafalannya. Karena dengan melihat lulisan syair itu, lebih mudah untuk memikirkan pemecahannya.
"Mungkin aku bisa menyumbangkan pikiran, Kang. Aku mempunyai sebuah kesimpulan, tapi sayangnya tidak untuk keseluruhan syair," sambung Arya yang sejak tadi juga berusaha memecahkan bait pertama. Tanpa disengaja, Rara Kunti telah membuat tabir gelap yang melingkupi syair leluhur itu mulai tersingkap.
"Apa kesimpulan yang kau dapatkan, Arya? Katakanlah," desah Adipati Subali seraya mengalihkan pandangan ke arah Dewa Arak.
"Aku hanya bisa menarik kesimpulan dari tiga baris syair itu, Kang. Satu baris di antaranya, tidak bisa kuartikan. Aku yakin hal ini hanya akan dapat dipecahkan oleh kau atau Rara Kunti!" sahut Arya. "Begini, Kang. Baris pertama, baris kedua, baris ke tiga, dan keempat, tidak bisa diartikan perbaris. Karena masing-masing mempunyai hubungan. Untuk mengetahui arti baris pertama atau ketiga, kita harus meminta bantuan baris kedua dan keempat."
Sampai di sini Arya menghentikan penjelasannya untuk melihat tanggapan Adipati Subali dan Rara Kunti atas kesimpulan yang diutarakan. Dan seperti yang sudah diduga, baik Rara Kunti maupun Adipati Subali sama-sama menganggukkan kepala pertanda menyetujui kesimpulannya. Maka Dewa Arak pun meneruskan ucapannya.
"Baris pertama mengandung arti, kalau kita ingin menemukan tempat yang memiliki gambar bukti leluhur, maka kita harus mengikuti terbitnya matahari. Jadi kita harus menuju ke arah Timur. Sayangnya, darimana harus memulai pencarian itu, aku tidak bisa memastikan. Di situ dikatakan, 'Dari tempat hati yang pilu’. Aku tidak bisa mengartikannya. Tapi aku yakin, kau akan tahu."
Arya menghentikan ucapannya sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ucapannya.
"Baris ketiga menunjukkan pada mata air. Dan tempat itu akan ditemukan, apabila kita telah melakukan perjalanan ke arah Timur, 'Dari tempat hati yang pilu itu'. Begitulah kesimpulan yang kudapatkan, Kang," Kata Arya, mengakhiri.
"Luar biasa!" seru Adipati Subali sambil mengacungkan jempol kanannya. Laki-laki tinggi besar ini tampak gembira bukan kepalang. "Kau benar-benar hebat, Arya! Aku yakin kesimpulan yang kau dapatkan tidak meleset. Kita akan dapat memecahkan rahasia syair ini!"
"Mengapa kau demikian yakin, Kang? Bukankah itu hanya kesimpulanku saja. Dan lagi, baris kedua tidak bisa kujabarkan," sambut Arya, heran.
"Baris kedua tidak jadi masalah, Arya. Karena, aku telah bisa menduga di mana tempatnya," jawab Adipati Subali bernada yakin.
Seketika itu juga, wajah Arya dan Rara Kunti berseri-seri.
"Benarkah ucapanmu itu, Ayah? Kau tahu arti yang terkandung di dalam baris kedua?!" Tanya Rara Kunti, penasaran.
Adipati Subali menganggukkan kepala. "Aku teringat cerita ayah padaku. Beliau mengatakan, kakek meninggal dunia karena penyakit. Penyakit itu timbul karena kakek dilanda perasaan sedih yang amat sangat dan berkepanjangan. Dan kesedihan itu timbul karena kakek terpaksa harus meninggalkan tempat yang amat dicintainya. Memang, kakek meninggalkan tempatnya disertai perasaan pilu."
"Jadi...," Rara Kunti menggantung ucapannya.
"Kita harus menuju ke tempat kediaman kakek kalau ingin menemukan pusaka peninggalannya," sahut Adipati Subali, memberi keputusan.
"Berarti, teka-teki ini telah terpecahkan, Ayah?” Tanya Rara Kunti, meminta kepastian.
Laki-laki tinggi besar itu menganggukkan kepala. Sepasang matanya berbinar-binar. Wajahnya pun tampak ceria. Jelas, Adipati Subali merasa gembira bukan kepalang.
"Sekarang, kita harus menuju tempat tinggal kakek yang dulu. Dari sana, kita akan menuju ke arah Timur sampai akhirnya bertemu sebuah mata air kecil...."
"Lalu, kita cari tanda atau gambar 'Bukti Leluhur’ di sekitar tempat itu. Dan bila telah bertemu, mainkan jurus 'Raja Memberi Derma' untuk menemukan pusaka rahasia itu. Bukan begitu, Ayah?" potong Rara Kunti, cepat.
"Kau cerdik, Kunti," puji Adipati Subali.
"Kau mengejekku, Ayah," rajuk Rara Kunti manja.
"Tidak, Kunti. Ayah mengatakan yang sejujurnya. Kau memang benar-benar cerdik. Bukankah kau yang telah menyebabkan Ayah berhasil memecahkan teka-teki ini?" Adipati Subali memberi alasan.
Rara Kunti pun terdiam. Diam-diam matanya mengerling pada Arya. Memang, timbul perasaan suka di hatinya melihat pemuda berambut keperakan itu. Ketenangannya, ketampanan wajahnya, dan kematangan sikapnya membuat hatinya tergetar. Tapi, gadis berpakaian hitam ini merasa kecewa ketika mengetahui Arya sama sekali tidak memperhatikan dirinya.
"Tidak sukakah dia padaku? Bukankah aku cantik?" kata Rara Kunti sendiri dalam hati.
"Mengapa melamun, Kunti. Mari berangkat. Kita harus bergegas agar tidak keduluan orang lain."
Ucapan Adipati Subali membuat Rara Kunti tersadar dari lamunannya. Buru-buru kakinya melangkah mengikuti Adipati Subali dan Arya yang telah bersiap berangkat Sesaat kemudian, ketiga orang ini pun telah beranjak meninggalkan tempat itu.
* * *
EMPAT
"Keparat!"
Sebuah makian keras menguak keheningan pagi. Embun belum seluruhnya terusir pergi. Tampak masih ada sebagian yang menempel di dedaunan.
"Mengapa, Kang Sagala?" Suara bernada lembut menyambut makian kera tadi. Meskipun demikian, tampak jelas nada keingintahuannya.
Pemilik suara lembut itu ternyata seorang wanita berwajah cantik. Pakaiannya berwarna hitam. Rambutnya digelung ke atas dan ditusuk sebatang amel berbentuk bunga mawar. Wanita berpakaian hitam itu menatap ke arah seorang lelaki di sebelahnya yang dipanggil Sagala tadi.
Lelaki itu berwajah pucat, seperti orang penyakitan. Pakaiannya berwarna kuning, membungkus tubuhnya yang kecil kurus. Saat ini, Sagala memang tengah marah-marah. Ini bisa dibuktikan dari sorot matanya dan raut wajahnya yang merah padam.
"Kau bertanya mengapa, Kumari? Tidak bisakah kau menduga?! Aku sedang kesal tahu! Berhari-hari makna syair ini kupikirkan, tapi tak juga kutemukan maksud yang terkandung di dalamnya. Syair sialan!"
Sagala mengalihkan pandangan ke arah surat yang tergenggam di kedua tangannya. Secarik surat yang terbuat dari kulit binatang.
"Hehhh...?! Mengapa kau memanggilku Kumari, Sagala? Mengapa tidak lagi Rara Kunti seperti sebelumnya?!" wanita berpakaian hitam yang menyamar sebagai Rara Kunti, padahal sebenarnya bernama Kumari, menyambuti penuh ejekan.
"Sudahlah, Kumari. Aku sedang tidak ingin bermain-main! Lebih baik, copot penyamaranmu! Tidak ada gunanya lagi menyamar sebagai Rara 'Kunti! Aku muak melihatnya, tahu!" Sergah Sagala keras.
"Hi hi hi...! Baiklah kalau itu maumu, Sagala!"
Setelah berkata demikian, Kumari bangkit. Hanya dengan sekali lesatan, tubuhnya telah lenyap di balik semak-semak yang terletak di dekat mereka.
"Hhh...!"
Sagala menghela napas berat. Sama sekali tidak dipedulikan keadaan Kumari lagi. Pandangannya dialihkan sebentar ke arah sungai yang terbentang di hadapannya. Sebuah sungai berair jemih dan terlihat segar. Begitu indah. Apalagi di bagian kirinya tampak gerombolan semak-semak memanjang, yang membuat sungai ini tidak tampak dari arah kiri.
Tapi hanya sebentar saja Sagala terlarut dalam lamunan seperti itu, karena sekejap kemudian sepasang mata dan pikirannya ditujukan ke arah secarik kulit binatang yang dibentang oleh kedua tangannya. Dibacanya sekali lagi huruf-huruf yang tertera di atas kulit binatang itu.
Orang mengajukan pertanyaan padaku.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan
Untuk pergi mengelilingi dunia?
Itu pertanyaannya
Aku hanya tersenyum saja
Karena itu pertanyaan yang mudah
Aku jawab sambil tertawa
Sehari bagi sang surya
"Keparat! Syair terkutuk!"
Kembali Sagala memaki. Tapi, kali ini disertai gerakan kedua tangannya yang meremas. Terdengar suara berkerisik pelan ketika lembaran kulit binatang itu hancur berkeping-keping.
"Phuhhh...!"
Sagala meniup cabikan-cabikan kulit binatai yang tergenggam di kedua tangannya. Maka cabikan-cabikan itu pun melayang jauh ke angkasa. Lelaki kecil kurus itu hanya mengikuti dengan pandangan matanya.
Dan pandangan mata Sagala sama sekali tidak berubah sekalipun, di angkasa sudah tidak terlihat lagi adanya cabikan-cabikan kulit binatang. Tampaknya Sagala tengah melamun.
* * *
"Ikh...!"
Sagala sampai terlompat dari duduknya ketika mendengar pekik keterkejutan itu. Pemilik suara itu dikenalinya betul. Rara Kunti palsu alias Kumari!
Cepat laksana kilat, laki-laki kecil kurus Ini mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Sekujur uraturat syaraf Ian otot-otot tubuhnya menegang waspada. Sagala tahu, pasti ada sesuatu yang tengah terjadi. Oleh karena itu, dia bersiap-siap untuk menyambutnya.
Belum juga Sagala sempat berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan biru. Cepat bukan kepalang gerakannya, sehingga hanya dalam sekejapan saja telah berada didepan Sagala.
"Ada apa, Kumari?! Kau tampak demikian pucat?!" Tanya Sagala, heran.
Bayangan biru itu memang tak lain dari Kumari, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya cantik, tapi pesolek dan terlihat genit. Rambutnya yang semula digelung ke atas, sekarang dibiarkan terurai di bahu.
Tapi bukan dandanan Kumari yang membuat Sagala kaget, karena memang dandanannya demikian. Yang membuat Sagala heran adalah sikap Kumari yang nampak demikian gugup. Bahkan wajahnya pun pucat bukan kepalang.
"Celaka, Sagala! Cepat pergi dari sini...!"
Bukannya menjawab pertanyaan Sagala, Kumari malah mengajaknya pergi. Bahkan diucapkan dengan suara gugup. Terbukti, bibir yang mengucapkan perkataan itu tampak menggigil. Karuan saja hal itu membuat Sagala semakin heran dan kesal.
"Tingkahmu seperti anak kecil saja, Kumari! Katakan, mengapa kau bersikap seperti ini! Kalau kau tidak mau mengatakannya, jangan harap aku akan memenuhi ajakanmu itu!" keras ucapan Sagala.
"Aku melihat guru...," pelan dan bergetar ucapan Kumari, pertanda dikeluarkan lewat hati yang ketakutan. Kepala yang menoleh kesana kemari sebelum berucap, menjadi pertanda betapa besarnya perasaan takut yang tengah melandanya.
"Apa...?! Kau yakin itu guru?" Tanya Sagala berbisik.
Meskipun demikian, tarikan wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Maka dengan sebuah lesatan cepat, Sagala bersembunyi di balik kerimbunan semak-semak. Hal yang sama pun dilakukan Kumari.
"Aku yakin sekali, Sagala! Karena, aku jelas melihatnya. Aku tengah berganti pakaian di dalam semak-semak, ketika melihat guru bersama orang yang kuduga adalah Iblis Mayat Hidup, tengah berjalan perlahan-lahan menuju kemari. Ahhh...! Mudah-mudahan saja tua bangka-tua bangka itu tidak lewat sini...!" desah wanita berpakaian hitam itu lagi dalam bisiknya di telinga Sagala.
"Sayang sekali, keinginanmu tidak terkabul, Kumari." Sebuah suara serak dan berat menyambuti ucapan Kumari.
Bagai disengat ular berbisa, tubuh Kumari dan Sagala terjingkat ke belakang. Raut wajah mereka menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Bahkan wajah keduanya pucat pasi, seperti tidak dialiri darah sama-sekali.
Bagai diperintah, Sagala dan Kumari langsung memalingkan wajah ke arah belakang. Kontan keduanya melangkah mundur tanpa sadar, ketika melihat dua sosok tubuh tengah berdiri berjarak tiga tombak di depan mereka.
"Bagaimana kabar kalian berdua, Sagala, Kumari?"
Suara yang berasal dari pemilik yang sama kembali terdengar serak dan berat. Sagala dan Kumari saling berpandangan sejenak. Kelihatan sekali kalau kedua orang ini merasa gugup bukan kepalang. Kemudian, pandangan mereka dialihkan ke arah orang yang menegur.
Dia adalah seorang kakek berwajah mirip kera. Tubuhnya agak membungkuk. Kedua tangannya terkulai di bawah lutut, mirip seekor kera. Bulu-bulu lebat, tebal, dan hitam memenuhi sekujur tangan dan dadanya yang terbuka. Memang, guru Kumari dan Sagala ini mengenakan rompi berwarna hitam dan berbulu kasar.
"Ba..., baik, Guru. Ka..., kami baik-baik saja. Bukan begitu, Kumari?" sahut Sagala gugup.
"Be..., benar, Guru," sahut Kumari, cepat.
"Ha ha ha...!"
Kakek berwajah mirip kera itu tertawa bergelak. Keras bukan kepalang, sehingga terdengar menggelegar seperti suara halilintar. Bahkan suasana di sekitar tempat itu seperti tergetar. Jelas, tawa itu dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam.
"Kau lihat sendiri, Iblis Mayat Hidup. Inilah murid muridku yang membanggakan hati!" ujar kakek berwajah kera sambil menoleh ke arah orang yang berdiri di sebelah kirinya.
"Aku tidak butuh khotbahmu, Lutung Tangan Baja! Aku hanya ingin melihat, bagaimana tindakanmu terhadap kedua orang muridmu yang sangat membanggakan hati itu," sambut Iblis Mayat Hidup tak acuh.
Kakek berwajah keras yang ternyata berjuluk Lutung Tangan Baja mendengus keras mendengar ucapan yang cukup menyakitkan hati itu. Dengan langkah satu-satu, dihampirinya Sagala dan Kumari.
"Perlu kalian ketahui. Aku sengaja keluar dari tempat kediamanku hanyalah untuk mencari kalian, Murid-Murid Murtad!"
"Ampunilah kami, Guru. Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan kami lagi," ratap Sagala, mewakili dirinya dan Kumari.
"Benar, Guru. Aku pun bersedia kembali pada Guru. Aku tidak akan menyeleweng lagi," pinta Kumari pula.
"Tidak ada ampunan bagi kalian berdua!" tandas Lutung Tangan Baja keras. "Kesalahan yang kalian lakukan sudah terlalu banyak dan tidak bisa diampuni. Hukuman mati tampaknya adalah ganjaran yang paling tepat untuk kalian!"
Lutung Tangan Baja sampai terengah-engah ketika mengucapkan kata-katanya. Jelas hatinya tengah dilanda kemarahan yang amat sangat. Sehingga, membuat napasnya memburu hebat.
"Kesalahan pertama, kalian berdua berani bermain gila di belakangku! Kedua, kalian malah bersekongkol meracuniku sehingga aku hampir tewas. Untung, nyawaku mampu kuselamatkan. Walau untuk itu aku harus beristirahat, mengobati luka dan bersemadi selama bertahun-tahun. Dan ketiga, kalian tidak mewakiliku menerima tantangan yang diajukan Tengkorak Darah. Sekarang, bersiaplah kalian menerima kematian!"
Sagala dan Kumari sadar, Lutung Tangan Baja tidak akan mengampuni mereka. Maka diputuskanlah untuk mengadakan perlawanan daripada mati konyol! Memang, tampaknya Lutung Tangan Baja tidak salah.
Buktinya, Sagala telah berani bermain gila dengan Kumari. Padahal, dia tahu kalau wanita berpakaian biru itu adalah murid, sekaligus gundik Lutung Tangan Baja. Tidak heran hal itu membuat kakek berwajah kera ini mencak-mencak.
Srattt!
Sinar terang berkeredep ketika Sagala mencabut goloknya.
Ctarrr!
Kumari pun tidak tinggal diam. Wanita berpakaian hitam ini mengeluarkan sabuknya, kemudian melecutkannya ke udara. Sehingga, terdengar ledakan keras yang memekakkan telinga.
"Ha ha ha...! Anak-anak domba ingin menantang harimau?! Silakan! Majulah kalian!" tantang Lutung Tangan Baja sambil tertawa bergelak. Kegembiraan yang amat sangat, tampak jelas di wajahnya.
Iblis Mayat Hidup sama sekali tidak menampakkan perasaan apa-apa di wajahnya, melihat sikap guru dan murid yang jelas-jelas akan terlibat dalam pertarungan. Dengan sikap tak acuh kakinya melangkah menyingkir dari tempat itu.
Sementara itu, Sagala dan Kumari sudah saling memberi tanda. Maka....
"Haaat...!" Sagala menyerang lebih dulu. Laki-laki kecil kurus ini melompat ke udara, menubruk Lutung Tangan Baja.
"Hiyaaat...!" Diiringi teriakan tak kalah nyaring, Kumari menerjang pula. Hanya saja, dia tidak melompat seperti Sagala. Wanita itu bergerak mendekati Lutung Tangan Baja dengan langkah-langkah silang.
Ctarrr!
Pada saat yang bersamaan dengan gerakan membabat golok Sagala ke arah leher Lutung Tangan Baja, Kumari melecutkan sabuknya. Diawali lecutan keras, benda lemas itu meluncur ke arah ulu hati Lutung Tangan Baja. Jangan dipandang ringan serangan sabuk ini. Karena sekali lecut saja, akan mampu menumbangkan sebatang pohon besar sekalipun! Apalagi, dada manusia!
"Ha ha ha...!" Lutung Tangan Baja masih tertawa terkekeh-kekeh melihat serangan-serangan dari murid-muridnya. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau dia akan mengelak atau menangkis. Baru ketika serangan-serangan itu menyambar dekat, kakek berwajah kera ini bertindak.
Cepat laksana kilat, Lutung Tangan Baja bergerak. Tangan kirinya diangkat ke atas untuk melindungi leher. Sementara, tangan kanannya digunakan untuk memapak lecutan sabuk.
Takkk, ctarrr!
Hampir bersamaan waktunya, dua kejadian berlangsung. Kedua tangan Lutung Tangan Baja berhasil menangkis dua serangan yang menuju ke arah sasaran. Tangan kiri membentur mata golok, sedangkan tangan kanan memapak sabuk.
"Akh...!"
Baik Sagala maupun Kumari melompat mundur disertai perasaan kaget. Bahkan pada Sagala sampai terdengar suara pekik tertahan. Memang, laki-laki kecil kurus ini merasakan betapa tangan yang menggenggam golok terasa sakit-sakit ketika berbenturan dengan tangan Lutung Tangan Baja. Pada Kumari, hal itu tidak terasakan karena senjata yang digunakannya lemas. Sehingga meskipun kalah tenaga benturan, sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Ha ha ha...!" Lutung Tangan Baja tertawa bergelak. Hatinya gembira melihat kedua orang bekas muridnya terpukul mundur. Masih dengan tawa yang belum putus, ditunggunya serangan lanjutan yang akan meluncur.
Dan memang, Lutung Tangan Baja tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menerima serangan susulan. Begitu telah berhasil memperbaiki kedudukannya, Sagala dan Kumari kembali menerjang. Sekejap kemudian, suara mengaung dari gerakan golok Sagala dan suara ledakan keras dari sabuk Kumari, mulai memeriahkan suasana di sekitar tempat itu.
Sagala dan Kumari mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Memang mereka tahu kelihaian Lutung Tangan Baja, guru mereka. Lutung Tangan Baja adalah salah satu dari empat datuk aliran hitam yang dulu dikalahkan Eyang Mandura. Maka bisa diperkirakan ketinggian ilmunya. Tak pelak lagi, pertarungan antara ketiga orang ini pun berlangsung sengit.
Memang hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi. Hanya saja, terlihat tidak menarik karena kedua belah pihak terutama sekali Lutung Tangan Baja, telah mengetahui semua ilmu yang digunakan Sagala dan Kumari. Tidak heran, kedua orang itu adalah muridnya. Sebagai akibatnya, kakek berwajah kera itu tahu arah yang dituju setiap serangan yang dilancarkan Kumari maupun Sagala.
Pada jurus-jurus awal, pertarungan masih berlangsung imbang. Karena baik pihak Lutung Tangan Baja maupun pihak Sagala dan Kumari sama-sama mengetahui tujuan serangan lawan. Tapi begitu menginjak jurus ketiga puluh, Lutung Tangan Baja mulai mengeluarkan ilmu-ilmu yang belum diajarkannya. Hasilnya, Kumari dan Sagala mulai kebingungan. Dan sebagai akibatnya, mereka mulai terdesak.
Di jurus keempat puluh tiga, Lutung Tangan Baja melompat mundur. Sagala dan Kumari sama sekali tidak mengejarnya, karena khawatir kalau tindakan yang dilakukan lawan hanya pancingan saja. Maka, kedua orang ini sama-sama menatap penuh selidik ke arah bekas guru mereka. Tampak Lutung Tangan Baja termenung sejenak. Kemudian....
"Hih...!"
Kakek berwajah kera ini meluruk ke arah Sagala dan Kumari sambil memutar tubuhnya seperti gasing. Suara angin menderu mengiringi berpusingnya tubuh Lutung Tangan Baja.
Sagala dan Kumari membelalakkan mata. Mereka merasa bingung bukan kepalang melihat hal ini. Memang, keduanya tahu kalau guru mereka menggunakan ilmu andalan, 'Hujan Angin Badai Neraka'.
Dan mereka sering pula melihat kakek berwajah kera itu mempertunjukkannya. Tapi sayangnya, mereka belum mendapatkan kesempatan mempelajarinya. Dan kini, Lutung Tangan Baja menggunakan ilmu itu untuk menghadapi mereka. Maka tak heran kalau keduanya kontan bingung.
Sagala dan Kumari sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun. Keduanya hanya berdiri terpaku dengan senjata di tangan. Hanya pandangan mata mereka saja yang tertuju ke arah tubuh Lutung Tangan Baja yang tengah berpusing. Dan arahnya jelas menuju tempat mereka berdua.
Mendadak, ketika telah berada cukup dekat, dari tubuh yang berpusing itu mencuat serangan-serangan ke arah Sagala. Laki-laki kecil kurus ini terkejut bukan kepalang ketika mendadak sekelebatan bayangan meluncur ke arah ubun-ubunnya. Meskipun demikian, Sagala mampu melihat sesuatu yang tengah meluncur ke arahnya. Yang tengah mengancam ubun-ubunnya jelas adalah tangan Lutung Tangan Baja.
Walaupun serangan itu begitu mendadak dan tak disangka-sangka, namun Sagala masih mampu adalah seorang berkepandaian cukup tinggi. Maka cepat-cepat pedangnya dibabatkan untuk menangkis.
Takkk!
Gila! Pedang Sagala malah terlepas dari pegangan ketika berbenturan dengan tangan Lutung Tangan Baja. Dan sebelum Sagala sempat berbuat sesuatu, kembali dari tubuh yang berpusing itu mencuat kaki Lutung Tangan Baja. Bahkan terus meluncur ke arah perut.
Bukkk!
Telak dan keras sekali tendangan Lutung Tangan Baja mendarat di sasaran. Maka seketika itu juga tubuh Sagala terlempar jauh ke belakang. Darah segar langsung memancur deras dari mulut, dan membasahi tanah sepanjang tubuhnya melayang. Terus....
Byurrr!
Tubuh Sagala terjatuh ke dalam sungai. Seketika itu juga laki-laki keci kurus pun hanyut. Memang, arus sungai itu kuat cukup deras.
"Sagala...!" teriak Kumari keras.
Wanita berpakaian biru ini memang terkejut bukan kepalang melihat kejadian ini. Sayang, dia tidak sempat bertindak apa-apa. Karena, semua kejadian itu berlangsung demikian cepat. Dan tahu-tahu, tubuh Sagala sudah terlempar jauh. Dari perasaan kaget, muncul perasaan murka dalam diri Kumari. Maka...
"Hiyaaat...!" Kumari menjerit keras. Sabuk di tangannya dilecutkan ke arah tubuh Lutung Tangan Baja yang tengah berputar. Wanita berpakaian biru ini mengarahkan secara sembarangan saja. Hal itu terpaksa dilakukan, karena mengalami kesulitan untuk menentukan bagian yang akan diserang.
Tubuh Lutung Tangan Baja yang berpusing itu membuatnya tidak bisa melihat bagian demi bagian tubuh lawan secara jelas. Yang kelihatan hanyalah segulung bayangan kehitaman yang berpusing laksana gasing.
Tappp!
LIMA
"Akh!"
Kumari memekik tertahan ketika ujung sabuknya tidak bisa ditarik pulang. Dia pun sadar kalau senjata andalannya telah kena cengkeraman lawan. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tubuhnya telah terbetot ke depan. Rupanya Lutung Tangan Baja telah membetot ujung sabuk itu secara tiba-tiba.
Kumari terkejut bukan kepalang ketika menyadari tubuhnya telah melayang ke arah Lutung Tangan Baja. Otaknya seketika diputar, mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Dalam waktu yang demikian singkat, wanita berpakaian biru ini telah menemukan sebuah jalan keluar. Segera pegangan pada sabuknya dilepaskan, kemudian kedua tangannya dimasukkan ke balik baju.
Sing, sing, sing...!
Suara mendesing nyaring terdengar ketika Kumari mengibaskan kedua tangannya. Sekejap kemudian, melesat benda-benda berkilat ke arah Lutung Tangan Baja! Sementara di belakangannya, Kumari menyusul. Malah di kedua tangannya telah tergenggam sebilah pisau.
Tapi Lutung Tangan Baja tidak gugup melihat perubahan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Dia tahu, benda-benda berkilat itu adalah pisau-pisau terbang. Dan apabila mengenai sasaran, hal yang akan terjadi sudah bisa diperkirakan.
Maka kakek berwajah kera ini cepat-cepat bertindak cepat. Sabuk yang dilepaskan Kumari segera dipergunakannya. Meskipun hanya memegang ujung sabuk, tapi kemampuannya menggunakan senjata lemas itu tidak kalah dengan Kumari.
"Hih!" Lutung Tangan Baja menggertakkan gigi, dan menggerak-gerakkan tangannya. Luar biasa! Sabuk itu bergerak naik turun seperti gelombang laut. Hebatnya lagi, pisau-pisau yang meluncur ke arahnya jadi terhalang!
Ajaib! Semua pisau langsung runtuh begitu berpapakan dengan sabuk yang bergerak naik turun. Sementara, sabuk itu sama sekali tidak terpengaruh sedikit pun. Tanpa mempunyai tenaga dalam tinggi, rasanya sulit melakukan hal seperti itu.
Saat itulah tubuh Kumari meluruk turun dengan sebilah pisau di kanan kiri tangannya. Jelas, dia bersiap-siap melancarkan tikaman Tapi sebelum jarak jangkauan tikaman tercapai, Lutung Tangan Baja kembali melakukan tindakan yang tidak terduga-duga. Bahkan sepasang matanya kontan memancarkan kilatan aneh. Mendadak....
Blesss...!
"Aaakh...!" Kumari menjerit memilukan ketika perutnya tertembus sabuk yang tahu-tahu telah mengejang kaku laksana sebilah pedang panjang. Sabuk yang telah kaku itu menembus perut Kumari hingga sampai ke punggung. Darah kontan muncrat-muncrat dari bagian yang terluka.
Lutung Tangan Baja menghentikan pengerahan tenaga dalam, sehingga telah membuat sabuk itu menegang kaku laksana sebilah pedang. Seketika itu juga, sabuk itu melemas kembali Tapi tetap saja masih menghunjam di perut Kumari hingga tembus ke punggung. Sementara itu, tubuh Kumari langsung meluncur turun. Wajahnya menampakkan perasaan penasaran.
Rupanya, dia tidak menyangka akan terjadi peristiwa seperti itu. Masalahnya, tadi sabuk itu tampak terkulai, sehabis Lutung Tangan Baja membuatnya bergerak naik turun seperti gelombang laut.
Brukkk!
Tanpa sempat menggelepar lagi, Kumari langsung tewas! Nyawanya langsung melayang meninggalkan raga ketika tubuhnya masih berada di udara. Sementara, sepasang pisaunya sudah jatuh lebih dulu ke tanah.
"Cuhhh...!" Lutung Tangan Baja meludahi mayat Kumari, kemudian tubuhnya berbalik. Lalu, dihampirinya Iblis Mayat Hidup yang sejak tadi hanya bertindak sebagai penonton saja.
"Kau hebat, Lutung.Tangan Baja," puji Iblis Mayat Hidup, kalem. "Ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka'mu memang hebat bukan kepalang. Entah mana yang lebih hebat bila dibandingkan ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'."
"Ha ha ha..! Kau memang cerdik, Iblis Mayat Hidup! Katakan saja terus terang, kau ingin menantangku bertarung, bukan?" Sergah Lutung Tangan Baja, cepat.
"Itulah dugaanku ketika kau mengeluarkan pekikan. Huh! Betapa kecewanya hatiku, ketika kau malah meminta bantuanku untuk mencari tempat murid-murid murtadmu berada!" rutuk Iblis Mayat Hidup.
"Dugaanmu tidak seluruhnya benar, Iblis Mayat Hidup," bantah Lutung Tangan Baja. "Lengkingan yang kukeluarkan, semula untuk menantang bertarung. Tapi setelah kupikir-pikir, pertarungan antara kita bisa diurus belakangan. Maka kuurus murid-muridku lebih dahulu."
"Terserahlah, Iblis Mayat Hidup!" Lutung Tangan Baja mengangkat bahu. "Ingat! Dua minggu lagi kita bertemu di Lembah Seribu Bunga!"
Usai berkata demikian, Lutung Tangan Baja menjejakkan kakinya. Gila! Hanya dalam sekali langkah saja, tubuhnya telah berada dua belas tombak didepan. Ilmu meringankan tubuh kakek berwajah kera ini memang luar biasa. Iblis Mayat Hidup memandangi hingga tubuh Lutung Tangan Baja Lenyap ditelah kejauhan.
Disadari kalau dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Baru setelah tubuh Lutung Tangan Baja telah tidak terlihat lagi, kakek kurus kering ini berlari cepat menempuh arah yang berbeda.
* * *
"Hih!" Sesosok bayangan kuning melambung ke atas, kemudian mendarat di atas sebongkah batu yang menonjol. Kembali kakinya menjejak, maka tubuhnya pun kembali melambung ke udara. Begitu hinggap di tonjolan batu yang lebih atas. Kakinya menotol lagi.
Demikian seterusnya. Rupanya, sosok bayangan kuning itu tengah mendaki lereng sebuah gunung. Ternyata bukan hanya bayangan kuning saja yang mendaki. Terbukti di belakangnya menyusul sosok bayangan hitam, dan sosok bayangan ungu. Gerakan mereka rata-rata gesit dan lincah. Terutama sekali, sosok bayangan ungu.
"Hup!" Ringan hampir tanpa suara, sosok bayangan kuning itu mendarat di tanah datar. Memang, dia telah berada di bagian gunung yang mempunyai permukaan datar. Sesampainya di sini, sosok bayangan kuning itu menghentikan gerakannya dan berdiri diam di situ, seakan-akan tengah menunggu sesuatu.
Sesaat kemudian, melesat sosok bayangan hitam dan disusul sosok bayangan ungu. Kini, tiga sosok bayangan itu telah berkumpul di bagian yang datar. Mereka ternyata Adipati Subali, Dewa Arak, dan Rara Kunti.
"Masih jauhkah tempat yang akan kita tuju, Ayah?" Tanya Rara Kunti, agak terengah-engah. Rupanya gadis berpakaian hitam ini telah merasa lelah. Bahkan wajahnya yang cantik itu pun dipenuhi butir-butir keringat.
"Memang masih cukup jauh, Kunti," kata Adipati Subali sambil menganggukkan kepala. "Kita masih harus melalui jalan setapak, padang ruput yang cukup tinggi dan luas, serta sebuah sungai untuk tiba di sana."
"Hhh...!" Rara Kunti menghela napas berat. "Bagaimana kalau kita beristirahat dulu, Ayah?"
"Sebuah usul yang cukup baik," Arya yang menyahuti. "Sebaiknya kita memang beristirahat dulu."
Adipati Subali sama sekali tidak membantah. Terus terang, dia sendiri juga merasa lelah, meskipun tidak selelah putrinya. Hanya Arya sendiri yang terlihat biasa-biasa saja, tidak terlihat adanya tanda-tanda kelelahan. Padahal, mereka bertiga telah mendaki hingga ke lereng.
Kini Arya, Adipati Subali, dan Rara Kunti mengedarkan pandangan berkeliling untuk mencari tempat istirahat. Sekitar beberapa tombak di kanan mereka, tampak sebatang pohon yang cukup rindang. Maka ke sanalah ketiga orang ini menuju, karena hanya itulah satu-satunya yang dapat dijadikan tempat beristirahat.
Tempat itu memang sebuah lapangan terbuka. Pada, saat itu matahari telah mulai beranjak menuju titik tengahnya, sehingga suasana terasa panas bukan kepalang.
Tapi langkah ketiga orang itu langsung terhenti ketika mendengar suara riuh, yang berasal dari lereng yang dituju. Karuan saja hal itu membuat mereka terperanjat.
Baik Adipati Subali maupun Arya langsung bisa menduga apa yang telah terjadi. Dari ciri-ciri suaranya, sepertinya ada seseorang yang tengah mendaki puncak. Tapi sewaktu menjejakkan kaki, batu yang dipijaknya ternyata menggelincir dan menggelinding ke bawah.
Perasaan ingin tahu mendorong Arya, Adipati Subali, dan terutama sekali Rara Kunti yang tidak menduga apa pun, untuk bergegas meluruk ke sana. Tapi baru beberapa tindak, langkah ketiga orang itu kontan terhenti. Karena, sesosok bayangan hitam itu bersalto beberapa kali di udara dari bawah lereng, lalu.
"Hup!"
Ringan laksana daun kering, kedua kaki sosok bayangan hitam itu mendarat di tanah. Jaraknya hanya empat tombak dari Arya, Adipati Subali, dan Rara Kunti. Ada perubahan di wajah kedua belah pihak, pertanda tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling tatap penuh selidik.
"Lutung Tangan Baja! Dia... Lutung Tangan Baja." desis Adipati Subali.
Ada nada kegentaran dalam ucapan laki-laki tinggi besar ini. Masalahnya, Adipati Subali kenal betul tokoh yang berjuluk Lutung Tangan Baja ini.
Arya menganggukkan kepala, dengan sikap tampak waspada. Memang, dia telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Lutung Tangan Baja. Baik dari mulut Adipati Subali sendiri, maupun dari kabar dalam dunia persilatan. Dewa Arak langsung teringat Iblis Mayat Hidup yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan sekarang, dia bertemu lagi dengan tokoh yang mempunyai tingkat setara dengan Iblis Mayat Hidup. Lutung Tangan Baja, julukannya!
Sementara itu, Lutung Tangan Baja yang juga memperhatikan ketiga sosok di hadapannya, mulai berkernyit dahinya.
"Kau...," tuding kakek berwajah kera ini pada Adipati Subali. "Apa hubunganmu dengan Eyang Mandura?!" Ucapan Lutung Tangan Baja benar-benar mengejutkan.
Bukan hanya Adipati Subali yang merasa kaget, tapi juga Rara Kunti dan Arya! Dari mana kakek berwajah kera ini tahu kalau Adipati Subali mempunyai hubungan dengan Eyang Mandura?
"Kau tidak bisa mungkir, Keparat! Kau pasti mempunyai hubungan dengan Eyang Mandura? Entah sebagai anaknya atau cucunya!" Cetus Lutung Tangan Baja lagi, ketika melihat Adipati Subali malah diam.
"Kalau kau bukan seorang pengecut, mengakulah! Atau..., keturunan Eyang Mandura adalah seorang pengecut hina?!"
"Tutup mulutmu yang busuk, Manusia Kera!" tandas Rara Kunti keras sambil menudingkan telunjuknya. "Ayahku memang keturunan Eyang Mandura! Tokoh sakti yang telah membuatmu lari terkentut-kentut!"
Keras dan tajam bukan kepalang ucapan Rara Kunti, sehingga membuat Lutung Tangan Baja sampai menggemeretakkan gigi karena hawa amarah yang melanda.
"Bocah liar! Rupanya kau dan ayahmu adalah keturunan-keturunan si Keparat Eyang Mandura?! Kalau demikian, kalian berdua harus mampus!"
Usai berkata demikian, Lutung tangan Baja langsung menerjang Adipati Subali! Tanpa ragu-ragu lagi, segera seluruh kemampuannya dikerahkan dalam serangan pembukaannya. Kakek berwajah kera ini menyangka kalau Adipati Subali sebagai keturunan Eyang Mandura, pasti memiliki kepandaian amat tinggi.
Wuttt!
Deru angin keras terdengar ketika Lutung Tangan Baja melancarkan serangan. Kakek berwajah kera ini menyampokkan tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar ke arah pelipis kiri Adipati Subali. Kalau mengenai sedikit saja, sepertinya cukup untuk mengirim nyawa laki-laki tinggi besar itu ke neraka!
Dewa Arak tahu, Adipati Subali tidak mungkin bisa mengelakkan serangan yang datang secara tiba-tiba dan cepat bukan kepalang. Maka buru-buru tubuhnya melesat ke arah orang nomor satu di Kadipaten Blambang itu. Dengan tangan kanan, didorongnya tubuh Adipati Subali. Sedangkan, tangan kirinya memapak serangan Lutung Tangan Baja.
Tappp! Plakkk!
Berbarengan dengan terdorongnya tubuh Adipati Subali hingga jatuh terpelanting, tangan kiri Dewa Arak berbenturan dengan tangan kanan Lutung Tangan Baja. Akibatnya, baik tubuh Arya maupun tubuh Lutung Tangan Baja sama-sama terjengkang ke belakang. Hanya saja, Dewa Arak terpental lebih jauh, dan tangannya terasa nyeri. Hal. ini bukan karena tenaga dalam Arya kalah kuat dibanding lawannya, tapi karena tenaganya terbagi. Sebagian digunakan untuk mendorong tubuh Adipati Subali, sebagian lagi untuk memapak.
"Hup!"
Hampir berbarengan, Lutung Tangan Baja dan Dewa Arak sama-sama mendaratkan kedua kaki di tanah tanpa terhuyung sedikit pun. Sementara, Adipati Subali dan Rara Kunti telah menyingkir dari situ. Memang, mereka mengetahui betapa besar bahaya yang mengancam apabila berada di sekitar pertarungan.
Kini dari jarak yang aman, Adipati Subali dan Rara Kunti menatap ke arah Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja yang tengah berdiri berhadapan dalam jarak empat tombak.
"Hm... Rupanya kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak," Lutung Tangan Baja mengangguk-anggukkan kepala, setelah memperhatikan Arya beberapa saat lamanya. "Memang, julukanmu sempat juga mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh luar biasa, Dewa Arak. Tapi nyaliku tidak ciut karenanya. Aku bahkan berkeinginan untuk mengajakmu bertarung! Dan keinginan itu semakin membesar ketika Iblis Mayat Hidup kudengar telah bertarung denganmu. Hm.... Dia pun memujimu."
"Sayang sekali, Kek. Aku tidak ingin bertarung denganmu," kalem ucapan Arya.
"Apakah kau tetap tidak ingin bertarung denganku, apabila aku berminat membunuh kedua orang kawanmu itu!"
Usai berkata demikian, Lutung Tangan Baja melesat ke arah Adipati Subali dan Rara Kunti. Cepat dan indah gerakannya. Apalagi, ketika bersalto beberapa kali di udara. Kemudian, tubuhnya menukik ke bawah dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar. Tingkahnya mengingatkan orang akan seekor burung garuda yang tengah menyambar mangsa.
Hebatnya, dalam sekali serang kakek berwajah kera ini telah mengancam ke arah Adipati Subali dan Rara Kunti. Sasaran kedua cakar itu adalah ubun-ubun kepala.
"Ihhh...!" Rara Kunti tidak bisa menahan jeritan yang keluar dari mulutnya. Memang, dia dan ayahnya merasa terkejut bukan kepalang melihat serangan yang tengah meluncur itu.
Tapi untuk yang kedua kalinya, Dewa arak kembali menyelamatkan Adipati Subali dan putrinya. Pemuda berambut putih keperakan itu menghentakkan kedua tangannya kedepan, mengeluarkan serangan pukulan jarak jauh. Langsung dipotongnya jalur lompatan Lutung Tangan Baja. Apabila kakek berwajah kera itu melanjutkan serangan, pukulan jarak jauh Dewa Arak akan lebih dulu menghempaskan tubuhnya.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Lutung Tangan Baja tahu akan hal itu. Dan tentu saja dia tidak ingin bertindak bodoh dengan meneruskan serangan. Buru-buru maksudnya diurungkan. Dan dengan menjadikan tangan sebagai tumpuan, tubuhnya melenting ke udara. Sehingga, serangan pukulan jarak jauh itu meluncur di bawah kakinya.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Lutung Tangan Baja mendarat di tanah, Dewa Arak telah berada didepan Adipati Subali dan Rara Kunti. Pemuda berambut putih keperakan itu berdiri membelakangi. Sikap yang ditunjukkannya memberi tanda seperti bermaksud melindungi ayah dan anak itu.
"Hiaaat..!" Kali ini Dewa Arak yang membuka serangan lebih dulu. Hal itu terpaksa dilakukan untuk menghindarkan bahaya yang akan mengancam Adipati Subali dan Rara Kunti, kalau Lutung Tangan Baja dibiarkan menyerang lebih dahulu. Karena bukan mustahil, angin serangannya akan mengenai kedua orang itu.
Serangan Dewa Arak dibuka dengan sebuah terjangan. Hebatnya begitu berada di tengah jalan, tubuhnya langsung berbalik. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya bergerak mengibas ke arah pelipis lawan. Dan apabila mengenai sasaran, meskipun hanya menyerempet saja, cukup untuk mengirim nyawa ke alam baka.
Lutung Tangan Baja tidak berani bertindak gegabah. Dari deru angin yang mengawali serangan lawan, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Memang, Dewa Arak telah mengetahui kalau lawan yang dihadapinya sekarang tidak bisa dianggap sembarangan. Maka, langsung saja dikeluarkannya seluruh kemampuannya.
Wukkk!
Kibasan kaki Dewa Arak lewat di atas kepala, ketika Lutung Tangan Baja merundukkan tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, kakek itu mengirimkan serangan berupa tusukan jari-jari tangan terbuka ke arah ulu hati Dewa Arak. Terpaksa pemuda berambut putih keperakan itu memapaknya, karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi.
Pratrt!
Benturan keras yang terjadi membuat kedua belah pihak sama-sama mundur. Lutung Tangan Baja terhuyung-huyung, sedangkan Dewa arak terpental belakang. Masalahnya, kedudukan Arya tengah berada di udara.
Lutung Tangan Baja dan Dewa Arak saling berpandangan sejenak. Dalam adu pandang itu, tampak sinar kekagumam terhadap lawan di dalamnya. Tapi hal itu hanya berlangsung sekejap saja, karena sesaat kemudian keduanya telah saling menggebrak kembali.
Hebat bukan kepalang pertarungan antara dua tokoh sakti berkepandaian tinggi itu. Suara mencicit mengaung, dan menderu mengiringi setiap gerakan tangan atau kaki. Tanah kontan terbongkar di sana sini, sehingga menimbulkan kepulan debu tebal.
Keadaan di sekitar tempat itu seperti habis dibajak belasan kerbau liar saja layaknya. Adipati Subali dan Rara Kunti menatap ke arah pertarungan penuh takjub. Hati ayah dan anak ini diliputi perasaan kagum bukan kepalang, terutama sekali terhadap Dewa Arak.
Sementara, tokoh-tokoh yang dikagumi sama sekali tidak tahu-menahu. Keduanya sibuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk bisa mengalahkan satu sama lain. Lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama ini belum nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung, dan saling bergantian melancarkan serangan.
"Hih...!"
Di jurus keenam puluh tiga, Lutung Tangan Baja melentingkan tubuh ke belakang. Kemudian, dia bersalto beberapa kali ke belakang.
Dewa Arak sama sekali tidak mengejar. Dia tahu, lawan ingin mengeluarkan ilmu andalan. Maka guci araknya segera dijumput, dan diangkatnya di atas kepala. Kemudian, isinya dituangkan ke dalam mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mulai oleng ke sana dan oleng ke sini. Itu berarti pertanda Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Di saat tubuh Dewa Arak tengah limbung itu, Lutung Tangan Baja melompat menerjang! Dan ketika telah berada di tengah perjalanan, tubuhnya berputaran. Inilah ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka' yang dahsyat.
ENAM
Hebat bukan kepalang ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka'. Seiring meluncurnya tubuh Lutung Tangan Baja yang sambil berputaran seperti gasing, bertiup angin keras berhawa panas membawa debu. Inilah salah satu keistimewaannya. Debu yang bertiup membuat pandangan lawan terhalang. Padahal, serangan yang dilancarkan belum tiba.
Dewa Arak kebingungan melihat ilmu lawannya. Tubuh Lutung Tangan Baja yang berputaran, membuatnya mengalami kesulitan untuk menjatuhkan serangan. Karena yang terlihat hanyalah segulungan bayangan hitam yang berputaran.
Belum juga kebingungannya itu lenyap, dari balik tubuh yang berputaran mencuat serangan-serangan ke arah bagian-bagian berbahaya di tubuh Dewa Arak. Terkadang tangan, tapi tidak jarang kaki. Dan yang lebih gila lagi, setiap serangan itu selalu didahului sergapan angin panas.
Menghadapi ilmu aneh lawannya ini, Dewa Arak tidak berani bertarung jarak dekat. Disadari kalau hal itu amat berbahaya, sehingga akan menjadi sasaran empuk lawannya. Sedangkan tubuh Lutung Tangan Baja sepertinya sukar diserang.
Untuk pertama kali dalam pertarungan yang sudah tidak terhitung, Dewa Arak menghadapi penyerbuan lawan dengan elakan-elakan jauh. Dia tidak berani mengelak, tanpa menggerakkan kaki. Malah, itu pun dengan melompat jauh ke belakang.
Untuk beberapa jurus lamanya, tokoh muda yang menggemparkan itu hanya mengelak saja. Kalau pun beberapa kali melancarkan serangan, itu hanya berupa semburan araknya saja. Akibatnya bisa ditebak. Dewa Arak berada di bawah angin, dan terus-menerus terdesak.
Meskipun demikian, bukan berarti Dewa Arak harus putus asa. Jelas tidak ada kata putus asa dalam kamus hidup Dewa Arak. Dia tahu, dalam setiap persoalan selalu ada jalan keluarnya. Maka sambil terus mengelak, benaknya berputar keras. Disadari kalau betapa pun tingginya setiap ilmu, selalu mempunyai kelemahan. Apalagi, ilmu-ilmu yang diciptakan tokoh sesat seperti Lutung Tangan Baja.
Sementara itu, Adipati Subali dan Rara Kunti yang menyaksikan jalannya pertarungan menjadi cemas. Meskipun, tak bisa menyaksikan jalannya pertarungan secara jelas, tapi Adipati Subali dan Rara Kunti dapat memperkirakannya. Sehingga yang jadi patokan ayah dan anak ini hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu.
Memang, gerakan-gerakan Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja terlalu cepat. Dan tidak bisa tertangkap oleh pandang mata mereka. Dan karena melihat bayangan ungu terdesak dan bergerak mundur, Adipati Subali dan Rara Kunti cemas. Rupanya, Dewa Arak yang berpakaian ungu terus bermain mundur.
Tak terasa, pertarungan sudah berlangsung masuk seratus jurus. Dan selama itu, Lutung Tangan tetap belum mampu merobohkan Dewa Arak. Padahal, sejak jurus kedua puluh kakek berwajah kera telah mendesak lawannya.
Memang, meskipun kelihatannya ilmu 'Belalang Sakti' tidak berdaya, tetap saja ilmu itu menunjukkan keanehannya. Dalam penggunaan ilmu itu, Dewa Arak laksana bayangan. Sulit dijadikan sasaran serangan lawan.
Beberapa kali, Dewa Arak sangat terhimpit. Tapi dengan semburan arak dan jurus 'Pukulan Belalang”, desakan lawannya berhasil dikendurkan. Itulah sebabnya, sampai seratus jurus tetap saja Lutung Tangan Baja yang mendesak tetap tidak mampu merobohkan lawan.
Karuan saja hal ini membuat Lutung Tangan Panjang penasaran bukan kepalang. Apalagi, ketika melihat Dewa Arak mengelak sambil masih sempat menengak araknya beberapa kali. Hal ini membuat kegeraman kakek berwajah kera ini semakin kalap.
Disangkanya, Dewa Arak melakukan hal itu untuk mengejek dirinya. Sama sekali Lutung Tangan Baja tidak mengetahui kalau ilmu 'Belalang Sakti' memang harus demikian. Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan tokoh sesat itu semakin menggebu-gebu. Dengan sendirinya, Arya semakin kerepotan dibuatnya.
Menginjak jurus keseratus sepuluh, Dewa Arak mulai menemukan cara untuk menghadapi ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka' itu. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, segera dipergunakannya.
"Hih!" Dewa Arak menggertakkan gigi dalam usahanya mengerahkan seluruh kemampuan sampai ke puncaknya. Sekejap kemudian, tubuhnya melesat seraya berputar mengelilingi tubuh Lutung Tangan Baja disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat kesempurnaan. Hanya saja, arah putarannya berbeda dengan kakek berwajah kera itu.
Dan kini bentuk tubuh Dewa Arak pun lenyap. Yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu tak jelas bentuknya mengelilingi tubuh Lutung Tangan Baja yang berputaran.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak meleset. Begitu cara ini dipergunakan, Lutung Tangan Baja tampak kebingungan. Gerakan Dewa Arak yang berputar mengelilingi, membuatnya kesulitan untuk menjatuhkan serangan. Keadaan yang berbeda didapat Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu sambil berlari mengelilingi, terkadang melancarkan serangan-serangan. Kadang dengan jurus 'Pukulan Belalang', tak jarang dengan semburan araknya.
Tanpa disadari, tempat pertarungan mulai bergeser. Tak sampai dua puluh jurus, Lutung Tangan Baja sudah kebingungan. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang, karena berusaha mencari-cari tubuh lawan yang terus berputaran untuk diserang. Perlahan-lahan kakek berwajah kera ini mulai terdesak.
Memang bila diperbandingkan, keadaan Arak lebih menguntungkan. Putaran tubuhnya yang tidak di satu tempat, membuatnya lebih sulit diserang lawan.
"Haaat..!" Di jurus keseratus empat puluh lima, Lutung Tangan Baja mengeluarkan teriakan melengking nyaring sambil menghentikan putaran tubuhnya. Sekarang dia berdiri diam, tidak bertindak apa-apa pun. Hanya sepasang matanya yang melirik kesana ke-mari memperhatikan Dewa Arak yang masih mengelilinginya. Mendadak....
"Haaat...!" Lutung Tangan Baja mengeluarkan teriakan kencang menggeledek, sehingga mampu membuat Adipati Subali terhuyung-huyung dan Rara Kunti jatuh terduduk. Memang, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Bukan hanya itu saja akibatnya. Suasana di sekitar tempat itu pun sampai bergetar hebat.
Dan berbareng keluarnya teriakan menggeledek itu, Lutung Tangan Baja melesat menerjang Di Arak yang masih berputar mengelilinginya Kakek berwajah kera ini berlari, menyambut tubuh Dewa Arak yang tengah berputar. Tentu saja tidak hanya hal itu yang dilakukan. Sambil meluruk menghadang laju gerakan Dewa Arak, kedua tangan dihentakkan kedepan.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Tindakan Lutung Tangan Baja sama sekali tidak diduga. Tambahan lagi, tubuhnya saat itu tengah melesat dengan kecepatan penuh. Jadi, tidak mungkin untuk menahannya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menghadapi serangan itu sama kerasnya.
"Hih!" Dewa Arak pun menghentakkan kedua tangan pula untuk menyambuti. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dalam tangkisan ini, karena betapa besar bahayanya mengadu tenaga dalam secara langsung seperti ini. Akibatnya, yang kalah kuat sedikit saja akan tewas. Apalagi, bila perbedaan tenaga dalam itu terpaut hanya sedikit Tapi memang, pertemuan tenaga dalam seperti itu tidak bisa dicegah lagi. Dan...
Blanggg...!
Suara menggelegar keras seperti halilintar menyambar di tempat itu kontan terdengar ketika benturan itu terjadi. Bahkan lereng gunung itu bergetar hebat seperti akan runtuh. Sampai-sampai, Rara Kunti dan Adipati Subali terhuyung-huyung.
Dengan raut wajah memancarkan kengerian yang amat sangat, Adipati Subali dan putrinya itu memandang ke arah pertarungan. Dan seketika itu pula, sepasang mata mereka terbelalak.
Betapa tidak? Tampak jelas tubuh Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja sama-sama melayang ke belakang, seperti daun kering tertiup angin. Beberapa saat lamanya tubuh kedua tokoh sakti itu melayang-layang di udara.
"Arya...!"
Hampir berbarengan, Adipati Subali dan Kunti menjerit. Mereka terkejut bukan kepalang melihat keadaan yang diderita Dewa Arak. Apalagi, ketika melihat arah melayangnya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Bagai diperintah, keduanya bergegas melesat mengejar ke arah tubuh Dewa Arak yang melayang ke jurang! Tapi, ternyata usaha yang dilakukan sia-sia. Tubuh Dewa Arak telah melayang deras ke jurang yang sama sekali tidak kelihatan dasarnya.
"Arya...!"
Adipati Subali dan Rara Kunti kembali memang untuk yang kedua kalinya, ketika telah berada di bibir jurang. Pandangan mata mereka terhunjam ke bawah tapi sama sekali tidak melihat apa-apa. Di bawah sana terlalu pekat, terselimut kabut yang menghalangi pandangan.
Beberapa saat lamanya ayah dan anak itu terpaku di bibir jurang. Raut wajah mereka menampakkan kedukaan besar. Kemudian sambil menghela nafas berat dan menggumam ucapan selamat tinggal, mereka beranjak dari tempat itu. Adipati Subali dan Rara Kunti melanjutkan perjalanan, mencari tempat leluhur mereka. Sama sekali tidak dipedulikan tubuh Lutung Tangan Baja yang tergolek tak jauh dari situ. Kakek berwajah kera itu memang telah tewas, akibat benturan tadi yang telah membuat seluruh isi dadanya hancur!
Wusss!
Tubuh Arya terus melayang ke dalam jurang, tanpa disadarinya. Entah, sudah mati atau masih hidup. Sukar diketahui, karena tidak nampak adanya gerakan apapun yang dilakukan. Mendadak....
Brusss! Srakkk!
Sebuah keajaiban terjadi. Tubuh pemuda berambut putih keperakan ini berhenti meluncur, begitu menimpa sebuah pohon berdaun rimbun yang tumbuh di dinding jurang. Cabang-cabangnya yang alot dan rapat, membuat tubuhnya tersangkut di situ. Tapi, Arya tetap tidak tahu apa-apa.
Matahari terus bergulir. Hari pun berganti. Malam telah tiba. Dan persada kini disaput kegelapan. Bulan yang tampak di langit, hanya mampu membuat suasana menjadi remang-remang. Dan Arya tetap belum sadarkan diri dari pingsannya.
Ketika sang Surya mulai muncul di ufuk Timur berupa sebuah bola raksasa berwarna merah menyala, baru tampak adanya gerakan-gerakan Arya. Memang masih lemah, tapi sudah menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Dan semakin lama, gerakan yang timbul semakin terlihat. Sampai akhirnya....
"Uhhh...!" Dewa Arak menggeliat Tapi seketika itu pula, mulutnya menyunggingkan seringai kenyerian. Perlahan-lahan kelopak matanya dibuka, tapi langsung ditutup kembali. Ada keterkejutan yang amat sangat pada sorot mata pemuda berambut putih keperakan itu.
Arya membuka kembali kedua kelopak matanya setelah beberapa saat. Tapi, ternyata pemandangan yang tampak di hadapannya sama sekali tidak berubah. Yang dilihatnya hanya tebing-tebing yang menjulang tinggi ke atas, tanpa teriihat ujungnya.
Sekarang Arya baru yakin kalau dirinya berada atas cabang sebatang pohon yang berada di dalam jurang. Mengapa bisa sampai ada di sini? Beberapa pertanyaan yang bergayut di benaknya. Masih dengan pertanyaan yang belum terjawab Dewa Arak bangkit dari berbaringnya. Tapi baru badannya terangkat sedikit...
"Ukh...!" Arya batuk-batuk setelah sebelumnya menyunggingkan seringai kenyerian. Dadanya terasa sakit bukan kepalang. Bahkan ketika batuk, tampak ada percikan-percikan cairan kemerahan keluar dari mulutnya.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Dewa Arak langsung bisa mengetahui kalau dirinya telah terluka dalam. Arya berusaha mengingat-ingat kejadian yang menimpa dirinya. Tak memakan waktu lama, pemuda berambut putih keperakan itu sudah teringat.
"Jadi..., aku telah terjatuh ke dalam jurang sehabis berbenturan dengan Lutung Tangan Baja," desah Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Masalahnya telah jelas sekarang. Dan yang penting, Dewa Arak harus mengobati luka dalamnya dulu. Paling tidak, agar bisa mencari jalan untuk lolos dari dalam jurang ini.
Berpikir sampai di sini, Arya memaksakan diri untuk bangkit. Betapapun besar rasa sakit dan nyeri yang melanda, sama sekali tidak dipedulikan. Yang penting, dirinya harus bisa duduk bersila untuk bersemadi.
Pohon itu bergoyang-goyang ketika Arya berusaha bangkit, dan akhirnya gagal. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu tidak putus asa, dan terus mengulangi sampai akhirnya bisa duduk bersila. Tampak airan merah kental di sudut-sudut mulutnya mengalir, ketika telah mulai bersemadi.
Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang terdengar hanyalah alunan napasnya yang secara teratur dan berirama tetap. Punggung Arya tampak lurus, dengan kedua telapak tangan dipertemukan di depan dada. Arah ujung-ujung jari tangannya mengarah ke langit.
Arya terus menarik, menahan, dan mengeluarkan napas tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya. Yang ada di benaknya hanya satu, mengobati luka dalamnya. Sama sekali tidak diketahui kalau letak matahari kini sudah hampir berada di atas kepala.
Krrrkkk!
Terdengar suara gemeretak pelan, disusul goyang-goyangnya pohon tempat Arya bersemadi. Tanah tempat akar pohon itu terhunjam mulai berguguran. Tampaknya, pohon itu sudah tidak kuat lagi menahan bobot tubuhnya.
Goyangan pada pohon itu sama sekali tidak mengganggu keheningan semadi Arya. Tapi, semakin liar goyangan itu semakin sering dan menjadi-jadi. Mau tidak mau, semadi Dewa Arak mulai terusik. Dengan agak segan, tarikan napasnya dihentikan. Kemudian sepasang matanya dibuka.
Krakkk! Pada saat yang bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mata Dewa Arak, pohon itu tidak lagi bertahan. Bahkan langsung tumbang ke jurang bersama akar-akamya.
Arya terkejut bukan kepalang ketika menyadari tubuhnya melayang turun seiring robohnya pohon yang didudukinya. Padahal, dasar jurang sama sekali tidak terlihat Seandainya jatuh ke bawah sana, kemungkinan nyawanya akan melayang.
Dewa Arak tentu saja tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, dia berusaha menyelamatkan diri, dengan sebisa-bisanya menjejakkan kakinya pada pohon yang tengah meluncur turun.
Tukkk!
Tubuh Arya pun kembali melayang ke atas. Sasarannya adalah lubang tempat tumbuhnya akar pohon tadi. Karena, memang hanya itulah satu-satunya tempat yang bisa dijadikan pegangan.
Tappp!
Usaha Arya tidak sia-sia, begitu kedua tangannya berhasil menggapai mulut lubang. Tak pelak lagi, tubuh pemuda berambut putih keperakan ini pun tergantung di dinding jurang.
"Ukh...!" Arya menyeringai ketika dadanya terasa sesak. Cairan merah kental pun kembali mengalir di sudut-sudut mulutnya. Memang, luka dalam yang diderita Dewa Arak terlalu parah. Meskipun telah diobati dengan semadi, tapi rupanya belum sembuh betul.
Maka ketika tenaga dalamnya dipergunakan kembali, luka dalamnya pun kambuh. Arya menggigit bibirnya untuk menguatkan tekadnya. Biar bagaimanapun, Dewa Arak harus tiba dulu di dalam lubang. Apapun yang terjadi! Tidak mungkin dia mampu bertahan tergantung seperti ini.
Berpikir demikian, Arya segera menggerakkan kedua tangan untuk mengangkat tubuhnya ke atas. Cairan merah kental yang mengalir melalui sudut bibirnya semakin banyak. Bahkan rasa nyeri yang amat sangat pun semakin melanda. Tapi Arya berusaha keras untuk bertahan. Dan ternyata, usahanya tidak sia-sia. Dia kini telah berhasil sampai di dalam lubang. Dan lubang itu ternyata besar juga. Garis tengahnya lebih dari setengah tombak. Sebuah lubang yang cukup besar untuk akar sebatang pohon.
"Hehhh...?" Arya terperanjat ketika melihat lubang tempat akar pohon itu ternyata panjang, sehingga berbentuk lorong. Seketika itu pula timbul harapan di hati Arya untuk bisa lotos dari jurang ini. Dia yakin, lubang yang ternyata lorong ini mempunyai hubungan dengan dunia luar. Dan hal seperti itu sudah dibuktikan sendiri kebenarannya (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode Runtuhnya Sebuah Kerajaan).
Meskipun demikian, Arya tidak gegabah oleh perasaan gembira. Disadari, ada hal terpenting yang harus dilakukannya, yakni mengobati luka dalamnya. Paling tidak agar perjalanan bisa dilakukan secara cepat. Di samping itu, untuk menghindari adanya bahaya yang tidak diinginkan. Maka pemuda berambut putih keperakan itu pun kembali bersemadi. Bagian tubuh depannya menghadap keluar lubang, sedangkan punggungnya berhadapan dengan bagian dalam gua.
Arya baru menghentikan semadinya ketika malam telah menyelimuti persada. Rasa nyeri yang menusuk-nusuk dada setiap kali napas ditarik, sudah tidak terasa lagi. Sekarang yang tertjnggal adalah perasaan lapar.
Masalahnya, sudah dua hari perutnya tidak diisi. Minuman pun demikian pula. Malah, Dewa Arak sendiri tengah dilanda kebingungan tentang keberadaan gucinya! Yang diketahui, guci itu sudah tidak ada lagi sewaktu tersadar dari pingsannya.
Tapi, Dewa Arak berusaha untuk tidak mempedulikan perasaan lapar dan haus yang menyerangnya. Bahkan dia malah memulai usahanya, merayapi lorong itu. Dewa Arak mengernyitkan dahi ketika menyadari lorong ini ternyata panjang dan berkelok-kelok.
Tapi anehnya, arahnya selalu menanjak. Karena tinggi lorong ini tidak sama, sehingga membuat pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa menyusurinya dengan beberapa cara. Terkadang merayap seperti seekor ular, tapi tak jarang merangkak seperti seekor kambing.
Entah berapa lama menempuh perjalanan itu, Dewa Arak sama sekali tidak tahu. Yang jelas, bajunya di bagian perut telah koyak-koyak. Demikian pula celananya. Bahkan kedua tangan dan kakinya pun telah terasa pegal-pegal ketika akhirnya berhadapan dengan jalan buntu. Kini, di hadapannya terpampang dinding batu yang menghambat jalannya.
Berbeda dengan lorong sebelumnya, atap lorong ini berjarak tak kurang satu tombak dari tanah. Sehingga, di sini Arya bisa berdiri secara leluasa. Meskipun berhadapan dengan jalan buntu, Dewa Arak tidak putus asa. Dia sudah terlalu sering bertemu ruangan-ruangan rahasia.
Maka begitu melihat kenyataan kalau lorong yang ditelusurinya buntu, dia tidak begitu saja percaya. Dia yakin, ada cara untuk membuka jalan. Itulah sebabnya, pemuda berambut putih keperakan ini mengedarkan pandangan berkeliling.
Seketika itu pula, sepasang matanya tertumbuk pada sebatang obor yang bertengger di dinding sebelah kiri. Maka buru-buru tangannya terulur, dan menekan obor ke bawah.
Grrrggghhh...!
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dinding batu yang menghadang jalan bergeser ke kanan. Perlahan-lahan namun pasti, dinding batu itu memperlihatkan pemandangan di baliknya. Ternyata, di balik dinding itu terdapat sebuah ruangan luas.
Dewa Arak bergegas melangkah maju. Pandangannya seketika beredar ke sekeliling ruangan. Tampak di bagian kanan ruangan terdapat sebuah gua. Dengan langkah perlahan-lahan Arya segera memasukinya.
Ruangan itu berbentuk memanjang. Dan dalam jarak sekitar tujuh tombak dari ambang gua terdapat sebuah gundukan batu setinggi dua jengkal, dan mempunyai bagian atas pipih.
Di atas gundukan itu tampak sesosok kerangka manusia yang tengah duduk bersila. Dan kini, mata Dewa Arak tertumbuk pada sebuah benda di pangkuan kerangka itu. Sebuah buntalan kain yang cukup besar dan berwarna hitam.
Dewa Arak terkesima melihat hal ini. Tapi ketika matanya tertumbuk pada sebuah papan yang tergantung di atas gua dengan dua buah tali, dia langsung mengerti. Jaraknya sekitar dua tombak darinya, dan letaknya di sebelah kanan.
Sebuah papan berukir dan berwarna hitam, sehingga terlihat indah. Tidak terlalu panjang atau terlalu lebar. Tapi, bukan itu yang membuat Dewa Arak nengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti, melainkan tulisan-tulisan yang tertera di atasnya. Arya segera membacanya dalam hati.
TUJUH
Aku ucapkan selamat atas keberuntunganmu. Kaulah yang telah berhasil mengungkapkan rahasia syair itu. Kini terimalah hasil jerih payahmu. Semua pusaka ini menjadi milikmu. Di dalam buntalan itu ada kitab-kitab ilmu silat, senjata-senjata pusaka, buku pengobatan, dan pel-pel yang dapat membuat dirimu mempunyai tenaga dalam dahsyat yang berhawa dingin dan panas, apabila menuruti saran-saran yang tertera.
(Eyang Mandura)
"Eyang Mandura...." Arya mendesis setengah tak percaya. Jadi, ini tempat pusaka leluhur Adipati Subali. Sungguh gila! Mengapa jadi dirinya yang menemukan tempatnya? Yang lebih gila lagi, Eyang Mandura malah mewariskan pusaka itu padanya. Bukankah dalam papan itu tidak disebut-sebut tentang keturunannya? Dia hanya mengatakan kalau orang yang telah berhasil menemukan tempat itu akan menjadi pemiliknya.
Tapi, Arya bukan termasuk orang yang serakah terhadap ilmu dan pusaka-pusaka. Apalagi, diketahuinya ada orang yang lebih berhak atas pusaka-pusaka itu. Adipati Subali dan Rara Kunti! Tidak! Dia tidak akan mengambil hak orang lain! Maka Arya menundukkan kepala untuk memberi hormat.
"Maafkan aku, Eyang. Aku tidak bisa menerima kebaikanmu. Aku telah mempunyai guru. Pantang bagiku menerima warisan ilmu orang lain, tanpa seizin guruku," ucap Arya, pelan.
Mendadak Arya mengernyitkan dahi ketika tertumbuk pada guratan-guratan halus di tanah. Secara kebetulan saja, guratan itu tertangkap matanya. Dan itu terjadi karena dia bermaksud memberi hormat pada Eyang mandura.
Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau guratan-guratan itu adalah tulisan. Hanya yang membuatnya heran bercampur curiga, mengapa ditulis di tempat yang begitu tersembunyi? Kecil-kecil lagi! Seakan-akan memang sengaja ditulis agar tidak diketahui orang!
Perasaan penasaran pun bersemayam di hati Dewa Arak. Dan perasaan itulah yang menyebabkannya membungkukkan tubuh untuk melihat lebih jelas lagi. Kemudian dibacanya tulisan yang tertera di dalam hati.
Cucuku....
Apabila kau maju setindak saja melewati guratan tulisan, kau akan mati keracunan. Karena di sekitar tempat ini telah kutaburkan racun yang mematikan. Di samping itu, ada jebakan-jebakan maut lainnya. Kalau kau ingin selamat, gunakan ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'. Tapi hanya gerakan-gerakan langkah kakinya saja yang perlu dipergunakan.
Eyang Mandura
Arya mengangguk-anggukkan kepala, menyiratkan kemengertiannya. Perasaan kagum di hatinya terhadap Eyang Mandura semakin membesar. Sama sekali tidak diduga kalau kakek Adipati Subali itu ternyata memiliki kecerdikan yang mengagumkan!
Semua jalan untuk mendapatkan pusaka-pusaka peninggalannya hanya ditujukan untuk keturunannya. Karena bila orang ingin selamat dalam mengambil pusaka, harus menggunakan ilmu milik Eyang Mandura turun-temurun. Jadi yang tidak mempunyai ilmu itu, mustal akan berhasil.
Bahkan di bagian terakhir, Eyang Mandura mengadakan penyaringan juga. Sekalipun, orang itu keturunannya. Dan andaikata orang itu lupa daratan begitu melihat pusaka sehingga tidak memberi penghormatan terlebih dulu, jelas tidak akan pemah berhasil mendapatkan pusaka. Bahkan ajallah yang akan menjemput.
Arya menghela napas berat, kemudian melangkah kembali ke tempat semula. Tempat dia tadi keluar dinding batu. Kemudian pandangannya beredar berkeliling. Tampak sebuah gua di depannya, dan nampak terlihat terang. Maka bergegas langkahnya diayunkan menuju kesana.
Arya terkejut ketika melihat gua itu, seperti terang benderang. Sekitar satu tombak di depannya, berkas-berkas cahaya tampak menyinari dari atasnya. Sesaat kemudian, Dewa Arak tahu kalau bagian gua yang berbentuk bundar ini mirip sebuah sumur. Jadi kalau digambarkan, seperti sebuah sumur yang berhubungan dengan sebuah gua tempat Arya berdiri.
Gua ini ternyata tidak beda dengan sebuah sumur, namun tidak terlalu dalam sinar terang yang menyinari dasarnya, memang karena sinar matahari dari langit yang cerah. Rupanya, hari telah siang.
"Hih!" Arya menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu melayang ke atas. Dan....
"Hup!" Ringan laksana daun kering, tubuh Dewa Arak telah mendarat di tanah, tidak jauh dari letak sumur. Suara bergemerisik nyaring terdengar ketika kaki pemuda berambut putih keperakan hinggap di tumpukan daun dan rerumputan mengering.
"Hey!"
Terdengar seruan kaget, disusul dengan berpalingnya tiga sosok tubuh yang tengah membersihkan tangan dan wajah, di sebuah sungai yang terletak bawah sebatang pohon besar.
Kontan wajah tiga orang yang tengah membersihkan diri di sungai jernih itu, berubah ketika melihat Dewa Arak. Hal yang sama juga melanda pemuda berambut putih keperakan itu. Menilik dari sikap kedua belah pihak yang langsung waspada, bisa diketahui kalau masing-masing telah saling mengenal.
Tentu saja Arya mengenali ketiga orang itu, karena belum lama ini telah berjumpa. Bahkan telah bertarung dengan salah satu di antara mereka.
"Kita berjumpa lagi, Dewa Arak," kata salah seorang pemuda yang berwajah pucat dan berpakaian merah menyala. Pada bagian dadanya tertera gambar sebuah peti mati berwarna hitam. Dialah Jaranta.
"Sungguh suatu hal yang sangat kebetulan," sambung seorang lagi yang berkepala botak. Namanya, Taliwang. Tubuhnya pendek gemuk, dan hanya mengenakan celana pendek putih.
"Kita tuntaskan urusan yang belum selesai," lanjut wanita berpakaian serba putih dan bertopeng tengkorak, yang tidak lain dari Ratna Ningsih.
Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi ucapan ketiga orang keturunan datuk-datuk sesat di empat penjuru angin itu. Disadari, tidak ada gunanya hal itu dilakukan.
"Terimalah kematianmu, Dewa Arak!" Usai berkata demikian, Jaranta menyerang Dewa Arak. Tak tanggung-tanggung, sekali menyerang langsung menggunakan ilmu andalannya, 'Tangan Delapan Penjuru Angin'. Hasilnya, sebelum serangan itu tiba, muncul kekuatan tak nampak yang menekan Dewa Arak dari berbagai arah. Semakin serangan Jaranta mendekat, kekuatan tekanan itu semakin membesar pula.
Kontan Dewa Arak merasakan sesak pada dadanya. Dewa Arak tidak berani bertindak setengah-setengah lagi. Segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk melawan pengaruh kekuatan tak nampak yang menekannya. Dan ketika pengaruh tekanan itu lenyap, kakinya cepat melangkah mundur. Sehingga, serangan-serangan Jaranta hanya mengenai tempat kosong, beberapa jengkal di depan sasaran yang dicari.
Jaranta, Taliwang, dan Ratna Ningsih seketika mengernyitkan kening. Mereka merasa heran bukan kepalang melihat tindakan yang diambil Dewa Arak. Mengapa pemuda berambut putih keperakan itu tidak menangkis, tapi malah mengelak? Bukankah dengan tenaga dalamnya yang jauh lebih kuat, dia bisa menekan Jaranta? Tapi mengapa malah mengelak? Tidak seperti pertemuan di waktu lalu!
Ketiga pemuda sesat itu sama sekali tidak tahu kalau Dewa Arak baru saja berhasil memulihkan tenaga dalamnya akibat luka dalam yang baru-baru ini diderita. Memang, luka dalamnya telah sembuh. Tapi, tenaga yang dimilikinya belum pulih seluruhnya. Paling tidak masih membutuhkan beberapa kali semadi untuk mengembalikan kekuatannya seperti semula.
Meskipun heran, Jaranta tidak mengambil pusing. Sebagai seorang pemuda cerdik, maka bisa diduga ada sesuatu yang terjadi pada Dewa Arak. Kalau tidak terjadi apa-apa, tak akan mungkin pemuda berambut putih keperakan itu bertindak demikian. Pasti ada penyebabnya.
Yakin pada dugaannya, Jaranta semakin bersemangat melancarkan serangan-serangan. Ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' dikerahkan sampai di puncaknya. Dewa Arak dicecarnya dengan serangan-serangan beruntun yang mematikan.
Celakalah bagi Dewa Arak! Keadaan pemuda berambut putih keperakan ini bagai telur di ujung tanduk. Tenaga dalamnya belum pulih semua. Senjata andalannya yang berupa guci arak pun tidak berada di tangannya. Maka, leluasalah Jaranta melancarkan desakan.
Taliwang dan Ratna Ningsih yang semula akan membantu, jadi mengurungkan niatnya melihat rekan mereka berhasil mendesak Dewa Arak. Tampak jelas pemuda berambut putih keperakan itu terpontang-panting kesana kemari untuk menyelamatkan diri.
Kedua orang ini pun saling berpandangan dengan perasaan heran. Benarkah orang ini adalah Dewa Arak yang beberapa waktu lalu mereka temui? Kalau benar demikian, mengapa kepandaiannya begitu cepat menurun? Serangan-serangannya pun tidak terlalu hebat.
Memang, hanya di jurus-jurus awal saja Dewa Arak berhasil mengimbangi lawannya. Begitu menginjak jurus kedua puluh, dia sudah terdesak. Hal ini membuat Jaranta semakin bernafsu untuk dapat merobohkan lawannya secepat mungkin.
Merupakan hal yang tidak aneh kalau Dewa Arak sampai terdesak. Kali ini dia kalah segala-galanya dibanding Jaranta. Kalah tenaga, kegesitan, dan mutu ilmu silat. Dan tanpa adanya guci, Dewa Arak sama sekali tidak bisa menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', yang hanya bisa muncul apabila dalam keadaan mabuk! Di samping itu juga, membutuhkan arak untuk diminum dalam pertarungan.
Tanpa arak, menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' untuk menghadapi lawan samasaja mencari celaka. Apalagi di saat keadaan seperti ini. Mempergunakan ilmu andalan itu sama saja mencari mati! Dan hal itu memang sudah dibuktikan Dewa Arak dalam pertarungan-pertarungannya terdahulu.
Maka Dewa Arak hanya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. Padahal, ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' milik Jaranta mempunyai mutu di atas kedua ilmu yang dipergunakan Dewa Arak.
Di jurus kelima puluh satu, Dewa Arak tidak mampu lagi bertahan. Tekanan kekuatan tak nampak yang berasal dari berbagai penjuru dan membuat dadanya sesak itulah, yang menjadikan Dewa Arak tidak berdaya. Tubuhnya kini tampak terhuyung-huyung. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Jaranta telah meluncur ke arah dadanya.
Bukkk!
"Huakh...!" Cairan merah kental terlontar dari mulut Arya seiring tubuhnya yang melayang, begitu serangan Jaranta menghantam sasaran dengan telak. Untungnya, pemuda berwajah pucat itu tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak sudah tewas. Memang Jaranta mempunyai rencana atas diri Dewa Arak.
Byurrr!
Tubuh Dewa Arak tercebur di permukaan air dan langsung tenggelam ke dasar. Dewa Arak yang sudah terluka tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sehingga banyak menelan air sungai. Tak aneh kalau beberapa saat kemudian, gelap melingkupi pandangan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi sebelum tidak sadarkan diri, matanya masih sempat melihat kalau di dekat pohon ada air mengalir keluar. Mata air! Jadi, inilah tempat yang dimaksud Eyang Mandura. Sekejap kemudian, Dewa Arak sudah tidak ingat apa-apa lagi.
* * *
Dewa Arak membuka matanya ketika merasakan perih menyengat sekujur punggungnya. Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengetahui kalau dirinya tengah diseret-seret melalui jalan berbatu. Tampak oleh Dewa Arak, Jaranta tengah menyeret tubuhnya. Kedua kakinya diikat dan disatukan.
Demikian pula tangannya, yang diikat pada bagian pergelangan. Sedangkan ujung tali lainnya dipegang Jaranta. Dengan keadaan telentang, tubuh Dewa Arak ditarik oleh pemuda berwajah pucat itu. Tak pelak lagi, tubuh tak berdaya itu terseret-seret.
Srettt!
"Akh...!" Sebuah pekikan tertahan keluar dari mulut Dewa Arak ketika sebuah gundukan batu kerikil tajam, menggurat punggungnya. Seketika itu pula pakaian di bagian punggungnya koyak-koyak. Bahkan darah yang keluar dari bagian punggung semakin banyak.
Dewa Arak hanya bisa menggigit bibir, dan tidak mampu berbuat apa pun. Jangankan mengerahkan tenaga dalam untuk membuat kulit tubuhnya kebal, menggerakkan ujung jari kelingkingnya saja tidak mampu! Rupanya, Jaranta telah menotok lumpuh tubuhnya.
Maka, leluasalah Jaranta menyiksa Dewa Arak. Sambil tertawa-tawa, diseretnya tubuh Arya melewati jalan-jalan yang berbatu runcing. Darah pun membasahi sepanjang jalan yang dilalui pemuda berwajah pucat itu.
Bisa dibayangkan penderitaan yang dialami Dewa Arak. Pakaian di bagian punggungnya sampai habis tergesek, berbarengan dengan kulitnya. Darah merembes keluar ketika kulit pemuda berambut putih keperakan itu mulai direncah-rencah batu-batu runcing. Sakitnya sukar dilukiskan.
Bahkan Dewa Arak yang terkenal paling kuat menahan rasa sakit. Sepertinya sudah tak sanggup bertahan lagi. Suara kesakitan dan desah kenyerian, bercampur baur dengan suara tawa Jaranta dan kedua orang sekutunya. Jaranta baru menghentikan siksaannya ketika Dewa Arak tidak kuat lagi menahan rasa sakit, dan akhirnya jatuh pingsan.
"Hmh...!" Jaranta mendengus kesal ketika melihat korbannya pingsan. Dicampakkannya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu di tanah. Kemudian, dia bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi tak lama, Jaranta sudah kembali sambil membawa sebuah guci.
"He he he...!"
Taliwang dan Rama Ningsih tertawa terkekeh, karena tahu apa isi guci itu. Air cuka! "Tunggu sebentar, Jaranta! Terlalu enak baginya kalau kau melakukannya pada saat dia tak sadar diri. Lebih baik kusadarkan dulu, dan kuberi beberapa tambahan pekenaan yang membuat calon korban kita menggeliat-geliat karena perasaan nikmat!"
Sambil berkata demikian, Taliwang menghampiri tubuh Arya yang tergolek. Di tangan pemuda berkepala botak ini terjinjing sebuah ember kayu berisi air. Lalu, disiramkannya air itu pada Dewa Arak.
Byurrr!
Air sungai itu tepat mengguyur wajah Arya. Kontan pemuda berambut putih keperakan itu gelagapan, dan langsung tersadar dari pingsannya. Sesaat sepasang mata itu kebingungan, tapi langsung sadar akan kejadian yang tengah dialami ketika melihat raut-raut wajah yang tengah memperhatikannya dengan sinar mata bengis! Wajah Ratna Ningsih, Jaranta, dan Taliwang.
"Nah! Sekarang, baru kuberikan latihan tambahan padanya!" desis Taliwang dengan sinar mata menyiratkan kekejaman.
Tangan pemuda berkepala botak ini pun bergerak ke arah pinggang. Ternyata, pinggangnya terbelit cambuk berwarna coklat dan berbulu kasar. Hanya dengan sekali sentak saja, Taliwang telah membuat cambuk itu lolos dari pinggangnya.
"Hih!"
Ctarrr, ctarrr, ctarrr...!
Arya hanya mampu menggigit bibir. Dia berusaha untuk tidak berteriak, ketika cambuk itu melecuti sekujur dadanya yang memang dalam keadaan telentang. Dari tersentaknya tubuh Dewa Arak setiap kali cambuk melecut tubuhnya, bisa diketahui kalau rasa sakit benar-benar melanda tubuhnya. Garis-garis kehitaman memanjang pun menghias sekujur tubuh Dewa Arak seiring terkoyak-koyak pakaian yang dikenakan.
Bukan hanya di perut dan di dada, tapi juga di wajah. Untungnya, seperti juga Jaranta, Taliwang mencambuk hanya mengerahkan tenaga kasar saja. Kalau disertai pengerahan tenaga dalam, Dewa Arak yang sudah tidak berdaya itu pasti akan tewas!
Taliwang menghentikan tindakannya ketika seluruh tubuh Arya telah dipenuhi garis-garis menghitam bekas cambukan.
"Hanya seperti itu saja hasil pekerjaanmu, Taliwang," cibir Jaranta, bernada mencomooh. "Hanya sebuah perbuatan yang membuang-buang tenaga percuma!"
"Tutup dulu bacotmu, Jaranta! Lihat apa yang terjadi?!" Ternyata bukan hanya Jaranta saja yang mengalihkan pandangan ke arah Arya. Ratna Ningsih pun demikian pula. Rupanya wanita bertopeng tengkorak ini ingin tahu juga peristiwa yang dialami Dewa Arak.
Bagaikan menyaksikan sebuah tontonan yang menarik, Ratna Ningsih, Taliwang, dan Jaranta menatap ke arah Dewa Arak. Ternyata, pemuda berambut putih keperakan itu tengah mendesis-desis. Sepasang bola matanya berputaran liar. Jelas, ada sesuatu yang amat dahsyat tengah dirasakan pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan memang demikian kenyataannya. Ada rasa gatal yang tidak tertahankan menjalar dari bilur-bilur bekas cambukan. Kalau bisa, tentu Arya akan menggaruknya, sekalipun kulitnya sampai terkelupas. Tapi karena hal itu tidak bisa dilakukan, bisa dibayangkan rasa tersiksa yang melandanya.
Meskipun demikian, Arya berusaha bertahan sekuat tenaga. Dia tidak ingin mengeluarkan keluhan sedikit pun dari mulutnya. Tapi karena tubuhnya tidak bisa bergerak, tidak ada pelampiasan lain yang harus dikeluarkannya. Dan akhirnya, Dewa Arak tidak tahan. Maka desisan-desisan kesakitan pun meluruk dari mulutnya.
"Ha ha ha...!"
Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang malah terbahak-bahak melihat adegan yang terpampang di hadapan mereka. Seakan-akan yang mereka saksikan adalah sebuah pertunjukkan lucu yang menggelitik hati.
"Kurasa, sekaranglah saat yang paling tepat untuk menyiramkan ini!" ujar Jaranta sambil menuangkan isi gucinya ke tubuh Arya. Dan...
Cuuur...!
"Aaakh...!" Arya memekik tertahan ketika air cuka itu mengguyur sekujur tubuhnya yang telah dipenuhi luka. Rasanya, sukar dilukiskan lagi. Rasa gatal, panas, dan nyeri yang tidak tertahankan bercampur aduk menjadi satu. Kalau saja Dewa Arak mampu bergerak, tentu sudah bergulingan ke sana kemari seperti ayam disembelih. Tapi karena tidak mampu melakukannya, dia hanya memekik tertahan. Rupanya, kekerasan hati saja tidak cukup untuk bertahan terhadap siksaan.
Beberapa saat lamanya pendekar muda yang telah menggemparkan itu hanya mendesis-desis karena siksaan ketiga orang lawannya, sebelum akhirnya tidak sadarkan diri. Pingsan.
* * *
DELAPAN
Hari sudah agak siang. Sang Mentari tampak menyorot cukup garang ke bumi. Sinarnya yang cukup panas itu menyengat tubuh Arya yang tergantung di atas cabang pohon dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Pergelangan kaki kanannya diikat dengan seutas tali yang kuat ke cabang pohon itu.
Sudah sejak matahari terbit Dewa Arak tergantung seperti itu. Kepalanya telah terasa panas bukan kepalang. Terutama sekali, matanya. Hal ini disebabkan, semua darah mengalir ke kepala. Kalau dibiarkan terus, Arya akan tewas dengan pembuluh-pembuluh darah di bagian kepala pecah!
Luar biasa perubahan yang dialami Dewa Arak Tidak sampai sehari di tangan Jaranta, Ratna Ningsih dan Taliwang, dia sudah berubah demikian jauh. Sekujur tubuhnya mulai dari wajah sampai kaki, penuh luka-luka. Bahkan rambutnya yang semula berwarna putih keperakan, dan meriap-riap, kini tampak kotor, kumuh, dan rusak di sana-sini. Dewa Arak benar-benar mengalami perubahan yang amat cepat.
Untung saja Dewa Arak yang mengalami siksaan seperti itu. Kalau saja orang lain, mungkin sudah tewas. Memang, meskipun saat itu kemampuan Arya yang sesungguhnya tidak keluar, tapi tetap saja tubuhnya yang sudah terlatih mempunyai kekuatan di atas orang lain.
Tapi kalau disiksa seperti itu, rasanya Arya tidak akan bertahan lama. Kepalanya sudah terasa panas demikian pula sepasang matanya. Rasanya tidak akan lama lagi, pendekar muda yang menggemparkan itu akan tamat riwayatnya.
"Hi hi hi...! Bagaimana siksaanku, Dewa Arak?' Tegur sebuah suara kecil dan melengking nyaring.
Sepertinya suara seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Ratna Ningsih? Arya sama sekali tidak berminat menyambuti, dan hanya diam saja. Lagi pula andai kata berminat pun belum tentu mampu menyambuti ucapan Ratna Nigsih. Yang dapat dilakukannya hanya menatap tiga orang lawannya dengan sepasang mata yang telah berwarna merah membara.
Terlihat olehnya, meskipun dalam keadaan terbalik, Ratna Ningsih, berdiri paling depan. Sementara Taliwang dan Jaranta berdiri di belakangnya. Wajah wajah mereka tampak menyiratkan kegembiraan.
"Ah!" Terdengar jeritan kaget dari mulut Ratna Ningsih. "Kau tidak boleh mati dulu, Dewa Arak! Aku mempunyai permainan yang menyenangkan untukmu!"
Setelah berkata demikian, Ratna Ningsih menudingkan dua buah jarinya ke arah tambang.
Cittt, tasss! Brukkk!
Tubuh Arya jatuh berdebuk keras di tanah, ketika tali pengikat kakinya putus tersambar angin pukulan Ratna Ningsih. Luar biasa ilmu yang dimiliki wanita bertopeng tengkorak ini. Angin pukulannya tak kalah tajam dengan babatan pedang atau pisau yang bermata paling tajam!
Dewa Arak menyeringai kesakitan. Memang bukan kepalanya yang jatuh lebih dahulu melainkan bahu kanannya, tapi, tetap saja terasa sakit bukan kepalang. Dan dia tidak mengeluh sedikit pun.
Mendadak, tubuh Dewa Arak terangkat naik. Ketika matanya melirik, ternyata Ratna Ningsih yang telah mengangkatnya. Lalu bagaikan menjinjing sehelai kain basah, wanita bertopeng tengkorak itu membawanya pergi. Sedangkan Taliwang dan Jaranta melangkah di belakangnya.
"Aku ingin tahu, permainan apa yang akan kau suguhkan, Ratna Ningsih!" Kata Jaranta bernada mengejek.
Tawa bergelak bernada mendukung Jaranta diperdengarkan Taliwang. Tapi semua itu hanya disambut dengusan Ratna Ningsih. Jelas, murid Ratu Tengkorak Putih ini tidak terpengaruh ejekan rekan-rekannya, dan terus saja berjalan. Tak lama kemudian, terdengar decak kekaguman dari mulut Jaranta dan Taliwang.
"Luar biasa! Sama sekali tidak kusangka, kalau kau mempunyai pemikiran yang demikian cemerlang, Ratna Ningsih! Permainanmu akan menjadi tontonan yang paling menarik," puji Jaranta.
"Benar, Ratna Ningsih. Kau benar-benar luar biasa! Aku sama sekali tidak terpikir sampai kemari. Kau memang pintar mencari permainan!" Taliwang ikut memuji.
"Hi hi hi...!" Ratna Ningsih hanya tertawa mengikik saja mendengar pujian kedua orang rekannya.
Arya memandang ke depan. Seketika, sepasang matanya terbelalak lebar. Betapa tidak? Sekitar lima tombak di depannya nampak empat ekor kuda yang masing-masing menghadap arah mata angin. Binatang-binatang itu berdiri seperti patung, tidak bergerak-gerak sama sekali. Jelas, kuda-kuda itu telah ditotok oleh tokoh yang mengerti jalan-jalan darah binatang itu.
Yang membuat Arya terkejut adalah ketika melihat di leher masing-masing binatang itu, tampak di situ terlilit tali panjang yang terhampar ke belakang. Bisa diperkirakan hal yang akan dilakukan Ratna Ningsih dengan kuda-kuda itu.
Tapi, Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena Ratna Ningsih telah membawanya ke arah tempat kuda-kuda itu berada. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu diturunkannya. Kemudian, masing-masing tali yang terhampar di tanah, diikatkan pada pergelangan kedua tangan dan kaki Arya.
"Mhh...!" Arya mengeluh dalam hati. Disadari akan bahaya yang tengah mengancamnya. Apabila dikejutkan, maka seketika itu pula kuda-kuda ini akan berlari cepat ke arah masing-masing menghadap. Dan karena masing-masing kuda menghadap satu mata angin, maka tubuh Arya dapat dipastikan akan tercerai-berai ke tempat-tempat yang terpisah.
"Hi hi hi...!" Ranta Ningsih tertawa terkikih ketika telah selesai mengikatkan tali-tali itu pada pergelangan tangan dan kaki Arya. Lalu, tangannya bergerak menepuk punggung Arya. Maka totokan pada tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun punah. Kini, Arya berdiri limbung di tengah-tengah empat ekor kuda yang akan menamatkan riwayatnya secara mengerikan.
Hanya sekali lesatan, Ratna Ningsih telah berada di sebelah Jaranta Dan Taliwang yang sejak tadi terkekeh-kekeh penuh kegembiraan. Sudah terbayang di benak kedua orang itu tubuh Dewa Arak yang akan tercerai-berai.
"Mari kita mulai...!"
Seiring ucapannya, Ratna Ningsih mengayunkan tangannya. Maka meluncurlah dua buah benda kecoklatan sebesar ibu jari kaki ke arah dua dari empat ekor kuda yang berdiri mematung. Pada saat yang bersamaan, Taliwang dan Jaranta pun mengayunkan tangan pula. Maka, benda-benda coklat sebesar ibu jari yang tak lain adalah kerikil itu meluncur menuju dua ekor kuda lainnya.
Sing, sing, sing...!
Sementara itu pemuda berambut putih keperakan ini menyadari akan adanya bahaya yang tengah mengancam. Disadari pula kalau saat ini dia tidak bisa menyelamatkan selembar nyawanya. Maka pada saat yang bersamaan dengan ketiga orang lawannya menyambitkan kerikil untuk membebaskan totokan pada keempat ekor kuda, Dewa Arak cepat memusatkan pikiran pada belalang raksasa. Hati dan pikirannya disatukan untuk memanggil binatang yang terdapat di alam gaib itu.
Seketika itu pula, tubuh Arya bergetar ketika belalang Raksasa masuk ke dalam dirinya. Dan masuknya binatang dari alam gaib itu, berbarengan waktunya dengan tibanya kerikil-kerikil yang diluncurkan Ratna Ningsih dan rekan-rekannya pada tubuh empat ekor kuda.
Tuk, tuk, tukkk...!
Begitu kerikil-kerikil itu mengenai sasaran, totokan yang membelenggu kuda-kuda itu langsung punah. Bagai diberi perintah, maka binatang-binatang itu segera berlari ke arah menghadapnya. Tapi baru beberapa langkah kuda-kuda itu berlari, terdengar suara geraman keras yang mengejutkan.
"Grrrhhh...!"
Suara geraman keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar ternyata berasal dari mulut Arya! Dan secepat geraman itu keluar, secepat itu pula tangan dan kaki Dewa Arak bergerak aneh!
Luar biasa! Tali-tali yang membelenggu pergelangan tangan dan kakinya langsung terputus. Hasilnya, kuda-kuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu tanpa membuat tubuh Dewa Arak cerai berai.
Pemandangan yang tidak disangka-sangka itu tentu saja terlihat jelas oleh Ratna Ningsih, Taliwang dan Jaranta. Sepasang mata mereka kontan terbelalak. Tapi bukan karena kejadian yang tidak disangka-sangka itu, karena melihat adanya bayangan seekor binatang berwarna coklat dan bersayap di belakang tubuh Dewa Arak. Bentuknya besar bukan kepalang, tapi hanya tampak seperti bayangan. Samar namun jelas. Mereka tidak tahu, binatang apa itu.
Dan sebelum Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang sadar dari keterkejutan yang mendera, Dewa Arak telah melesat ke arah mereka disertai suara geraman mengerikan. Bahkan geraman seperti itu rasanya tidak layak keluar dari mulut manusia.
Jaranta, Ratna Ningsih dan Taliwang, kontan terkejut ketika melihat gerakan Dewa Arak. Saat itu, Dewa Arak seperti bukan manusia, melainkan seekor burung. Gerakannya ketika meluruk, tak ubahnya seekor burung garuda menyambar mangsa.
Hati Jaranta, Taliwang, dan Ratna Ningsih kontan tercekat melihat hal ini. Seketika mereka saling mendahului untuk menyelamatkan diri. Ratna Ningsih ke kiri, Taliwang ke kanan, dan Jaranta yang berada di tengah-tengah segera melompat ke belakang.
Menakjubkan! Masih dengan keadaan tubuh berada di udara, Dewa Arak menghentakkan tangannya ke arah Jaranta. Tidak hanya sekali saja tangan itu dihentakkan dalam penggunaan jurus 'Pukulan belalang', tapi berkali-kali. Seketika deru angin ke berhawa panas menyengat, meluncur bertubi-tubi arah Jaranta.
Jaranta kelabakan bukan main. Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya dikerahkan untuk mengelakkan diri dari incaran serangan pukulan jarak jauh Dewa Arak. Beberapa kali dia memang berhasil mengelakkan. Dan pukulan jarak jauh itu hanya mengenai tanah, sehingga menimbulkan lubang yang mengepulkan asap tipis. Tapi pada hentakan tangan Dewa Arak yang ketiga, keturunan Iblis Makhluk Hidup ini tidak bisa menghindari lagi.
Telak dan sekali jurus 'Pukulan Belalang' menghantam dada Jaranta. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Jaranta langsung melayang jauh ke belakang diiringi pekik kesakitan. Darah segar langsung memancur deras dari mulut. Tubuh Jaranta jatuh berdebuk keras di tanah setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak. Jaranta seketika tidak bergerak lagi untuk selamanya. Tewas dengan seluruh tubuh gosong. Samar-samar tercium bau hangus daging yang terbakar.
Ratna Ningsih dan Taliwang terperanjat melihat hal ini. Mereka sama sekali tidak sempat bertindak apa-apa untuk membantu Jaranta. Memang, kejadian itu berlangsung cepat bukan kepalang, Mereka juga baru saja bangkit dari mengelaknya, ketika tubuh Jaranta terhantam jurus 'Pukulan Belalang'.
Tapi hanya sebentar saja Ratna Ningsih dan Taliwang dilanda perasaan itu, karena sebentar kemudian telah mampu menguasai diri. Dan mereka langsung mencabut senjata masing-masing, siap menyerang Dewa Arak.
Wuk, wuk, wuk!
Suara mengaung keras terdengar ketika Ratna Ningsih memutar tongkat berujung kepala tengkoraknya di depan dada. Hebat! Kontan bentuk senjata itu lenyap, dan kini menjadi segulungan sinar berwarna kecoklatan.
Ctar!
Taliwang tidak mau kalah. Cambuknya segera dicabut dan dilecutkan. Sehingga, memperdengarkan suara menggelegar keras laksana halilintar. Samar-samar terlihat kepulan asap tipis keluar ketika cambuk itu dilecutkan.
"Haaat...!"
Hampir berbareng, Taliwang dan Ratna Ningsih mengeluarkan teriakan keras menggeledek. Tubuh mereka melesat menuju Dewa Arak. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan, siap diarahkan ke tubuh lawan.
Wukkk!
Setelah sebelumnya memutar-mutarkan tongkatnya laksana baling-baling di atas kepala, Ratna Ningsih menyodokan senjata itu ke arah dada Dewa Arak. Pada saat yang bersamaan, dari arah samping kanan Taliwang meluncurkan cambuknya ke arah ubun-ubun. Hebat! Cambuk itu bergerak mematuk-matuk seperti gerakan seekor ular.
Serangan-serangan yang dilancarkan kedua tokoh sesat ini memang serangan maut. Apabila salah satu ada yang mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa tokoh berkepandaian tanggung ke akhirat.
Dewa Arak tentu saja tahu hal itu. Meskipun telah kemasukan belalang raksasa, pikirannya berjalan seperti biasa. Hanya saja, gerakan-gerakan yang dilakukannya lebih liar dan ganas. Gerakannya mirip tingkah laku binatang. Dan dengan perantaraan belalang raksasa, Dewa Arak tidak mengalami kesulitan sedikit pun dalam menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'!. Kegunaan arak dan gucinya, telah digantkan belalang alam gaib itu.
Kini, Dewa Arak bersiap-siap menghadapi serangan-serangan yang datang dari Ratna Ningsih dan Taliwang. Luar biasa! Serangan-serangan yang meluncur ke arahnya, dihadapi. dengan cara menakjubkan. Tangan kanan ditetakkan ke bawah, sedangkan tangan kiri diangkat ke atas kepala untuk melindungi ubun-ubun.
Takkk, tappp, tappp...!
Gila! Dalam waktu demikian singkat, senjata-senjata milik Ratna Ningsih dan Taliwang telah tertangkap! Hanya bedanya tongkat Ratna Ningsih lebih dulu ditangkis, dan baru ditangkap!
Karuan saja Ratna Ningsih dan Taliwang kaget bukan kepalang melihat senjata andalan masing-masing tercengkeram tangan lawan. Buru-buru mereka mengerahkan tenaga untuk menarik pulang senjata itu. Tapi sampai terdengar suara keluhan berat dari mulut mereka, tetap saja senjata-senjata itu tidak bergeming dari cengkeraman tangan Dewa Arak.
Mendadak Dewa Arak melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh kedua orang itu terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikan sendiri. Namun dengan sebuah jejakan kaki pada tanah, Ratna Ningsih dan Taliwang telah berhasil memperbaiki keadaannya. Dan saat itulah Dewa Arak meluruk ke arahnya. Ratna Ningsih dan Taliwang bergegas menyambutnya. Maka, pertarungan sengit pun berlangsung.
Baik Ratna Ningsih, Taliwang, maupun Dewa Arak sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Masing-masing pihak berkeinginan merobohkan lawan secepat mungkin. Suara mengaung, meledak-ledak, dan menderu dari setiap gerakan tangan, kaki, atau senjata-senjata pihak yang bertarung, menyemaraki pertarungan.
Di awal jurus, pertarungan berlangsung imbang. Masing-masing pihak saling melancarkan serangan. Tapi begitu menginjak jurus kelima puluh, Ratna Ningsih dan Taliwang mulai terdesak. Serangan-serangan mereka yang semula gencar, kian lama kian berkurang. Sebaliknya, gerakan mengelak lebih sering dilakukan.
Memang, meskipun tanpa adanya guci dan arak, kelihaian Dewa Arak sama sekali tidak berkurang. Bahkan sepertinya malah bertambah. Keberadaan belalang raksasa di dalam tubuhnya ternyata jauh lebih menguntungkan daripada hanya guci dan arak saja.
"Haaat...!"
Di jurus kerujuh puluh dua, Ratna Ningsih membabatkan tongkatnya ke arah pinggang Dewa Arak. Pada saat yang bersamaan, dari sebelah kanan Taliwang melecutkan cambuknya ke arah pelipis. Dua buah serangan yang benar-benar berbahaya.
Tapi, Dewa Arak tidak gugup menghadapi Kenyataan seperti ini. Kakinya segera dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas. Dan tangan kanannya langsung digerakkan untuk menangkap cambuk Taliwang yang meluncur ke arahnya.
Wukkk! Bukkk!
"Akh...!" Begitu babatan tongkat Ratna Ningsih lewat bawah kakinya, kaki kanan Dewa Arak langsung meluncur ke arah dada. Bidang lowong itu sama sekali tidak disadari Ratna Ningsih. Akibatnya, tendangan Dewa Arak telak mengenai sasaran. Suara bergemeretak keras terdengar diiringi terpentalnya tubuh wanita bertopeng tengkorak itu ke belakang disertai jerit memilukan dari mulutnya. Dapat dipastikan, wanita itu langsung tewas sekerika.
Pada saat yang bersamaan dengan terpentalnya tubuh Ratna Ningsih, tangan kanan Dewa Arak bergerak menangkap cambuk Taliwang yang tengah meluncur ke arah pelipis.
Tappp!
Cambuk itu berhasil dicengkeram. Lalu, cepat-cepat Dewa Arak menyentakkannya.
"Ah...!" Tubuh Taliwang seketika melayang ke atas, meluncur ke arah tubuh Dewa Arak yang tengah berada di udara. Maka, Dewa Arak buru-buru melepaskan cekalan cambuknya. Dan secepat cambuk itu terlepas, secepat itu pula tangan kanannya bergerak ke arah ubun-ubun Taliwang.
Taliwang terperanjat bukan kepalang. Rentetan kejadian yang demikian cepat sungguh membuatnya gugup. Meskipun demikian, dia berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar nyawanya. Sebisa-bisa tubuhnya digeliatkan. Tapi....
Crokkk!
"Aaakh...!" Taliwang menjerit memilukan ketika jari-jari tangan Dewa Arak mencucuk ubun-ubunnya. Darah bercampur otak langsung muncrat-muncrat.
Brukkk! Tubuh Taliwang jatuh di tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati!
"Hup!"
Begitu kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, belalang raksasa itu pun keluar dari dalam tubuhnya. Anehnya, saat itu juga semua luka dalam yang diderita Arya sembuh sama sekali! Luar biasa!
"Hehhh...?!" Arya terperanjat ketika mendengar jeritan di kejauhan. Apalagi, ketika dikenalinya betul pemilik jeritan itu. Rara Kunti!
Maka secepat kilat, pemuda berambut putih keperakan itu melesat cepat menuju ke arah asal suara. Dan ternyata, suara itu berasal dari sumur yang tadi ditinggalkannya.
Begitu telah berada di pinggir sumur, tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak melompat turun. Ringan laksana daun kering, kedua kakinya mendarat di tanah. Lalu, dia melesat cepat ke arah tempat pusaka peninggalan Eyang Mandura.
Tapi beberapa tombak sebelum mencapai pintu gua ruangan pusaka peninggalan Eyang Mandura, Dewa Arak terpaksa menghentikan langkahnya. Memang, dari arah depannya tengah bergerak, dua sosok tubuh menghampirinya. Mereka tak lain dari Adipati Subali dan Rara Kunti. Dan di tangan Adipati Subali sudah terjinjing buntalan kain hitam. Sementara tidak jauh dari situ, tergolek sosok mayat yang sepertinya jasad Iblis Mayat Hidup.
"Arya...!"
Hampir berbareng, Adipati Subali dan Rara Kunti berseru kaget ketika melihat Dewa Arak. Apalagi ketika melihat keadaan pendekar muda yang menggemparkan itu. Bagai berlomba, keduanya melesat cepat mendekati Dewa Arak.
"Apa yang terjadi terhadapmu, Arya?"
Begitu telah berada di dekat Arya, gadis berpakaian hitam ini langsung mengajukan pertanyaan. Sepasang matanya seperti juga sepasang mata ayahnya, beredar memperhatikan sekujur tubuh Dewa Arak.
"Tidak apa-apa," jawab Arya.
Kemudian secara singkat tapi jelas, Dewa Arak menceritakan semua kejadiannya. Rara Kunti dan Adipati Subali mendengarkan penuh perhatian. Tidak sekali pun ada yang menyelak, hingga cerita yang dituturkan selesai. Tentu saja Arya tidak menceritakan kalau telah berhasil lolos dari maut karena bantuan belalang raksasa.
"Hhh...!"
Rara Kunti dan Adipati Subali menghela napas berat mendengar cerita Dewa Arak.
"Sekarang, ganti kau dan putrimu yang harus bercerita, Kang. Mengapa Iblis Mayat Hidup sampai tewas?" Tanya Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah tubuh Iblis Mayat Hidup yang tergolek dengan tubuh hangus.
"Hhh..!" Adipati Subali menghembuskan napas berat terlebih dulu. "Setelah kau jatuh ke dalam jurang, terpaksa kami melanjutkan perjalanan tanpa dirimu. Terus terang, kami berkeyakinan kau telah tewas. Di tengah perjalanan, atau tepatnya di pinggir sebuah sungai, kami bertemu Sagala yang tengah sekarat. Tapi sebelum tewas, dia sempat menceritakan banyak hal pada kami."
Sampai di sini, Adipati Subali menghentikan cerita. Dengan gerak isyarat diperintahkannya Rara Kunti melanjutkan ceritanya.
"Paman Sagala mengakui, bahwa dia dan adik seperguruannya yang menyamar sebagai diriku, memang menjadi dalang kehancuran Kadipaten Blambang. Begitu pula pembunuhan terhadap ibuku. Namun pelaku yang telah membunuh anggota rombongan ayah, telah dibinasakannya," tutur Rara Kunti.
"Sagala dan adik seperguruannya telah tewas di tangan Lutung Tangan Baja, karena sebuah kesalahan. Itulah yang diceritakan Sagala sebelum tewas." urai Adipati Subali.
"Kami melanjutkan perjalanan, hingga menemukan tempat tinggal Eyang Mandura. Kemudian, kami mengikuti petunjuk yang telah didapat hingga berhasil sampai di sini. Tapi sayang, Iblis Mayat Hidup menguntit perjalanan kami, tanpa diketahui mulai dari mana. Begitu melihat pusaka peninggalan Eyang Mandura, dia lalu muncul dan langsung melesat ke arah buntalan itu," lanjut Rara Kunti.
Tapi sebelum maksudnya tercapai, tubuhnya kontan menggelepar-gelepar. Rupanya, lantai gua di depan pusaka itu telah ditaburi racun ganas, yang mampu menembus alas kaki. Dan akhirnya dia tewas dengan tubuh hangus. Malah Rara Kunti sampai menjerit!" sambung Adipati Subali.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti, mengapa Rara Kunti tadi menjerit.
"Semula kami kebingungan. Tapi sewaktu memberi hormat pada tengkorak manusia yang diyakini adalah leluhur kami, tampaklah tulisan-tulisan tertera di atas lantai. Kami pun mengikuti petunjuknya. Dan inilah hasilnya," tutur Adipati Subali sambil mengacungkan buntalan kain itu.
"Selamat, Kang, Kunti. Mudah-mudahan harapan leluhur kalian terkabul," ujar Arya.
"Terima kasih, Arya," sahut Rara Kunti dan Adipati Subali berbareng.
Arya mengembangkan senyum lebar. "Oya, Kang. Aku ingin memberi hadiah padamu atas segala jasa yang kau berikan pada kami. Bukan begitu, Ayah?"
Adipati Subali tampak kebingungan. Tapi ketika melihat kerdipan pada mata anaknya, buru-buru kepalanya terangguk. "Benar... Benar sekali, Arya. Memang, kami akan menghadiahkan sesuatu padamu," kata laki-laki tinggi besar itu agak gagap.
"Tapi...," Arya mencoba membantah.
"Tidak ada penolakan, Arya. Lagi pula, aku yakin kau akan menerimanya. Inilah hadiah dari kami!"
Sepasang mata Arya membelalak lebar ketika melihat benda yang tergenggam di tangan Rara Kunti. Benda itu adalah guci araknya. Maka buru-buru tangannya diulurkan untuk menerimanya.
"Terima kasih, Kunti, Kang," ucap Arya penuh kegembiraan.
"Aku menemukannya di dekat mulut jurang.
Rupanya, benda ini terjatuh sewaktu tubuhmu terpental," jelas Rara Kunti, senang karena melihat kegembiraan Arya melihat pemberiannya.
Sementara Adipati Subali hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, bingung. Memang, dia tidak tahu-menahu akan masalah ini.
Matahari mulai tergelincir dari titik tengahnya ketika Dewa Arak, Adipati Subali, dan Rara Kunti keluar dari sumur yang menjadi kunci masuk tempat pusaka peninggalan Eyang Mandura.
SELESAI
Selanjutnya,