Dewa Arak - Pendekar Sadis
SATU
“Hooop...!”
“Hieeeh...!”
Diiringi ringkikan melengking seekor kuda coklat menghentikan larinya, ketika lelaki yang duduk di atas punggungnya menarik tali kekang. Kedua kaki depan kuda itu terangkat tinggi-tinggi ke udara. Debu pun mengepul menyelimuti kuda itu.
“Hup!”
Dengan begitu ringan, sosok tubuh penunggang kuda itu melompat dari punggung kuda ke tanah. Sosok itu ternyata seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya yang kekar dan gagah terbalut pakaian biru.
Setelah berdiri mantap di tanah, pemuda berpakaian biru itu segera menuntun kudanya dan menambatkan pada sebatang pohon yang tidak jauh dari tempat itu. Kemudian, dengan langkah lebardiayunkan kakinya menuju sebuah kedai yang juga tak berapa jauh dari tempatnya menghentikan kuda.
Pemuda berpakaian biru itu berhenti sejenak di ambang pintu kedai. Sepasang matanya yang tajam memperhatikan ke dalam kedai yang ramai pengunjungnya. Hampir semua meja dan kursi telah terisi. Hanya tinggal sebuah meja yang masih kosong.
Tak lama kemudian, pemuda berpakaian biru itu melangkah memasuki kedai. Namun, baru saja kakinya melangkah, tiba-tiba tubuhnya langsung membalik kembali ke belakang. Karena mendadak telinganya mendengar suara ringkikan kuda.
“Hiiieeeh...!”
“Keparat! Maling-maling busuk!”
Makian penuh kemarahan dan kegeraman seketika keluar dari mulut pemuda berpakaian biru itu. Kuda tunggangannya yang baru saja ditambatkan tiba-tiba hendak dicuri tiga orang berpakaian kuning. Ketiga lelaki berpakaian kuning itu tengah berusaha melepaskan tali tambatan kuda itu. Kalau saja tidak meringkik, mungkin orang-orang itu telah berhasil membawa kabur kuda coklat itu.
Pemuda berpakaian biru itu segera melesat menuju kudanya yang masih tertambat di tempatnya. Hanya sekali hentak tubuh pemuda itu telah melesat sejauh sebelas tombak. Nampaknya pemuda berpakaian biru ini memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal.
Jliggg!
Bersamaan dengan terlepasnya tali kekang kuda dari batang pohon, pemuda berpakaian biru mendarat di tempat itu. Namun, belum pemuda berpakaian biru itu berbuat sesuatu, dua di antara ketiga pencuri telah meluruk ke tubuhnya dengan senjata terayun.
Sing! Sing...!
Bunyi berdesing terdengar ketika golok besar yang tergenggam di tangan dua orang bertubuh kekar itu, diayunkan ke tubuh pemuda berpakaian biru.
“Hmh!” Pemuda berpakaian biru hanya mendengus penuh ejekan melihat serangan-serangan yang meluncur ke tubuhnya. Sikapnya nampak tenang. Raut wajahnya tak berubah sedikit pun. Nampaknya pemuda berpakaian biru itu tidak menganggap berat, serangan dua orang lawannya.
Dan, ketika serangan-serangan itu menyambar dekat, pemuda berpakaian biru dengan cepat bergerak. Kedua tangannya segera terjulur berusaha memapak serangan dengan tangan kosong. Tindakannya itu tentu saja menimbulkan rasa heran kedua lawannya.
“Hah...! Gila barangkali anak muda ini!” seru salah seorang yang merasa keheranan, “Dia mencoba menangkis senjata kita dengan tangan kosong!”
Meskipun diliputi perasaan heran, dua orang kasar itu tetap melanjutkan serangan. Harapan ketiga pencuri itu, dalam satu gebrakan saja dapat mematahkan tangan pemuda berpakaian biru. Tapi harapan memang belum tentu menjadi kenyataan. Demikian yang dialami dua orang kasar itu. Mereka kembali dikejutkan lagi, ketika serangan mereka meluncur ke tubuh pemuda berpakaian biru.
Tak! Tak!
“Hehhh...?”
Tak dapat ditahan, seruan keterkejutan keluar dari mulut dua orang kasar itu ketika melihat kejadian yang sama sekali tak diduga. Betapa tidak? Serangan golok mereka dapat ditangkis dengan tangan pemuda berpakaian biru itu. Tidak sedikit pun tangan itu lecet, apalagi putus. Bahkan tangan pemuda berpakaian biru itu berhasil menangkap golok mereka.
Namun keterkejutan dan keheranan itu hanya berlangsung sesaat. Karena sekejap kemudian kedua lelaki berwajah kasar telah mengerahkan seluruh tenaga. Mereka berusaha menarik golok dari cekalan kuat tangan pemuda tampan berpakaian biru itu.
Lagi-lagi kedua lelaki kasar itu tidak berhasil. Golok itu sama sekali tidak bergeming dalam cekalan tangan pemuda berpakaian biru. Padahal dua orang kasar itu telah mengerahkan seluruh kekuatan, untuk menarik golok mereka.
“Enghhh...! Emhhh...!”
“Uuuh...!” lenguhan panjang keluar dari mulut kedua orang pencuri itu ketika mencoba menarik senjata mereka. Raut wajah mereka yang merah padam, menunjukkan betapa kerasnya usaha yang telah dilakukan.
Berbeda dengan dua orang berwajah kasar, pemuda berpakaian biru nampak tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Raut wajahnya tetap seperti semula, tenang.
“Kerahkan seluruh tenaga yang kalian miliki, Pencuri-Pencuri Busuk!” ujar pemuda berpakaian biru dengan bibir tersenyum mengejek. “Sekarang kuberikan kesempatan lebih dulu pada kalian!”
Pemuda berpakaian biru itu menepati janjinya, tidak melakukan perlawanan sama sekali. Yang dilakukan hanya bertahan. Dibiarkan orang-orang kasar itu terengah-engah karena tenaganya terkuras untuk menarik golok mereka.
“Sekarang giliranku...!” ujar pemuda berpakaian biru, mantap. Usai berkata demikian, jari-jari kedua tangannya bergerak menekuk. Dan....
Tak! Takkk!
“Uhhh...!”
Diiringi suara berdetak nyaring, kedua batang golok yang ada dalam cekalan pemuda tampan itu patah. Seketika itu pula tubuh kedua lelaki berwajah kasar terjengkang dan terpekik kaget. Kedua lelaki berwajah kasar itu pun jatuh bergelimpangan. Tepat ketika tubuh dua orang lawannya terjengkang ke belakang, pemuda berpakaian biru itu mengibaskan potongan golok.
Sing! Sing...!
Tak pelak lagi patahan dua batang golok melayang, dan....
Jrebs! Jrab!
“Akh...!”
Patahan batang golok itu menancap deras di paha dua orang berwajah kasar itu. Seketika itu pula jerit kesakitan terdengar dari mulut mereka, mengiringi robohnya kedua tubuh pencuri itu.
Sementara itu seorang lagi yang tengah sibuk sendiri melepaskan tali kekang kuda, begitu terkejut melihat kedua lawannya roboh di tangan pemuda tampan berpakaian biru itu. Namun sebelum sempat melakukan tindakan, pemuda berpakaian biru itu telah berada di dekatnya.
“Orang seperti kalian tak patut dibiarkan hidup!” ujar pemuda berpakaian biru dengan geram. Setelah itu, dengan cepat diulurkan tangan kanannya ke tubuh lelaki berwajah kasar yang masih memegangi tali kekang kuda.
“Hekh...!”
Pekikan tertahan keluar dari mulut orang kasar yang sial itu, ketika tangan kanan pemuda berpakaian biru mencekal lehernya. Kecepatan gerak pemuda berpakaian biru membuatnya tak mampu berkelit.
Si pencuri kuda tahu bahwa maut tengah mengancam dirinya. Kalau hanya berdiam diri saja, nyawanya pasti akan melayang. Maka pencuri itu segera bergerak untuk menyelamatkan jiwanya.
Lelaki berpakaian kuning ini cepat mencekal tangan pemuda berpakaian biru yang mencekal lehernya. Dengan pengerahan seluruh tenaga dalam pencuri itu berusaha melepaskan cekalan tangan pemuda berpakaian biru dari lehemya.
Namun, usaha si pencuri kuda ini sia-sia. Cekalan tangan pemuda berpakaian biru terlalu kuat dan keras bagaikan jepitan baja. Betapapun telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, tetap tak mampu mengimbangi kekuatan tangan pemuda berpakaian biru itu. Sedangkan, cekalan itu semakin lama bukan semakin melemah.
Akibat cekalan itu raut wajah pencuri mulai memerah. Semakin lama warna merahnya tampak semakin jelas. Keringat di leher dan keningnya pun membasah. Lidahnya pun mulai terjulur keluar. Dan sepasang matanya mulai membeliak.
“Gorda!”
Dua orang berwajah kasar yang telah terluka karena lemparan patahan golok, menjerit keras ketika melihat maut tengah mengancam kawan mereka. Lalu meskipun dengan luka di paha, kedua orang itu bangkit dan bergerak mendekati kawan mereka yang bernama Gorda. Langkah kedua orang itu terseok-seok karena luka parah di paha mereka. Baru saja sampai di depan Gorda, yang tengah dicekik lehernya, tiba-tiba....
Krrrkkkhhh!
Langkah dua orang berwajah kasar itu terhenti ketika mendengar suara gemeretak. Ternyata berasal dari leher Gorda yang diremukkan oleh cekalan tangan pemuda berpakaian biru itu.
Kedua lelaki berwajah kasar nampak bergidik ketakutan melihat hancurnya tulang-belulang leher Gorda. Darah menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinganya, akibat cekikan pemuda berpakaian biru dengan mengerahkan tenaga dalam.
Brukkk!
Tubuh Gorda ambruk ke tanah ketika cekalan tangan pemuda itu terlepas. Sama sekali tidak nampak perasaan ngeri atau menyesal tampak di wajah pemuda berpakaian biru itu. Bahkan sebaliknya, sorot mata pemuda itu nampak sinar kekejaman.
Setelah menyeringai penuh ejekan, pemuda berpakaian biru itu mengalihkan perhatian pada dua kawan Gorda yang masih berdiri terpaku. Kedua lelaki berwajah kasar itu nampak ketakutan dan begitu terguncang menyaksikan kejadian yang mengerikan tadi.
“Sekarang giliran kalian!” ucapan geram lelaki berpakaian biru sambil menolehkan wajah pada dua orang lawannya. Usai berkata demikian, pemuda berpakaian biru melangkah mendekati kedua orang berwajah kasar.
Mereka baru tersadar dari ketertegunannya setelah mendengar geraman pemuda berpakaian biru. Setelah menyadari keadaan itu, keduanya langsung meluruk ke pemuda berpakaian biru. Karena sudah tidak punya senjata, kedua lelaki yang paha mereka sama-sama terluka, melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Tinju mereka dipukulkan bertubi-tubi ke dada pemuda berpakaian biru.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Beberapa kali pukulan kedua orang kasar itu mengenai sasarannya. Setiap kali pukulan mendarat mereka merasa kesakitan. Tubuh pemuda berpakaian biru itu tidak layaknya tubuh manusia. Mereka seolah-olah memukul besi, atau batu. Tubuh pemuda itu sangat keras dan kuat.
Di tengah-tengah rasa heran dan kesakitan, mata kedua orang berwajah kasar itu melihat kaki kanan pemuda berpakaian biru bergerak. Kecepatan gerakan kaki kanan pemuda itu mengejutkan mereka berdua. Dan...
Tuk! Tuk!
“Akh, akh...!'
“Uuuh...!”
Jerit kesakitan langsung terdengar ketika ujung kaki pemuda berpakaian biru menghantam telak lutut kedua lelaki kasar itu. Tubuh kedua teman Gorda ambruk di tanah. Mereka merasakan, sambungan tulang lutut mereka copot.
“Sekarang saatnya untuk merasakan akibat perbuatan kalian!” desis pemuda berpakaian biru bergetar penuh kebencian. Baru saja ucapan itu terhenti, jari telunjuk kanan pemuda itu meluncur ke bahu kanan kedua orang kasar itu.
Tuk! Tukkk!
Berturut-turut jari telunjuk pemuda berpakain biru bersarang di bahu lawan Akibat selanjutnya benar-benar menggiriskan hati. Dua teman Gorda menjeritjerit kesakitan. Tubuh mereka bergulingan ke sana kemari karena rasa sakit yang mendera.
“Ha ha ha...! Rasakanlah akibat perbuatan kalian...! Ha ha ha...!” seru pemuda berpakaian biru merasa gembira.
Terlihat jelas betapa senangnya pemuda berpakaian biru melihat penderitaan yang dialami dua orang teman Gorda yang bergulingan ke sana kemari. Mulut mereka terus mengerang kesakitan seperti hewan disembelih. Namun di tengah suasana itu, tiba-tiba muncul suara dari kejauhan. Sehingga suara itu terdengar tidak begitu jelas.
“Keji...!”
Suara itu terdengar, kemudian nampak melesat dua sosok bayangan bergerak mendekati tubuh dua orang kawan Gorda yang masih bergulingan dilanda sakit.
Plak! Plak!
Hampir berbarengan, kedua sosok bayangan ungu dan putih menepuk tubuh dua orang kasar itu. Seketika itu pula kedua orang berwajah kasar merasakan kalau sakit dan nyeri yang melanda, tiba-tiba lenyap. Rupanya tepukan yang dilakukan dua sosok bayangan itu bukan sembarangan tepukan, melainkan tepukan yang mampu membebaskan pengaruh totokan pemuda berpakaian biru.
Jliggg!
Kedua sosok berpakaian ungu dan putih mendarat tepat di depan pemuda perkasa berpakaian biru. Yang satu seorang pemuda berambut putih keperakan. Tubuhnya yang kekar terbalut pakaian ungu. Sedangkan yang satu lagi seorang wanita berambut panjang tergerai. Dan tubuhnya yang padat berisi dan ramping tercetak jelas dalam pakaian putihnya yang ketat.
“Siapa kalian? Mengapa mencampuri urusanku?! Apakah kalian berdua termasuk kawanan pencuri-pencuri busuk itu?!” tanya pemuda berpakaian biru, agak mengejek bercampur penasaran.
“Tutup mulutmu yang busuk itu! Dan jangan sembarangan membuka bacot!” sambut gadis berpakaian putih dengan suara keras, hatinya kesal mendengar ucapan pemuda berpakaian biru itu.
“Tenanglah, Melati,” ucap pemuda berambut putih keperakan pelan bernada menasihati.
“Mana bisa aku tenang mendapat hinaan seperti itu, Kang?” bantah gadis berpakaian putih yang ternyata Melati.
Sebelum pemuda berambut putih keperakan yang tak lain Arya atau lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak menimpali, pemuda berpakaian biru yang telah menjadi merah wajahnya telah menyahut.
“Kalau bukan kawan, mengapa mencampuri urusanku? Atau karena kalian berdua ingin memamerkan kemampuan di hadapanku, heh...?!”
Karuan saja ucapan itu membuat marah Melati yang memang sejak tadi telah menahannya di hati. “Keparat Sombong! Orang sepertimu harus diberi pelajaran, agar tak membacot seenaknya!” sahut Melati semakin jengkel.
Gadis berpakaian putih itu segera mengayunkan langkah mendekati pemuda berpakaian biru. Tapi, baru saja melangkah, Dewa Arak mencekal pergelangan tangannya.
“Sabar dulu, Melati! Jangan menambah besar persoalan sepele ini!”
Mendengar ucapan kekasihnya ini, terpaksa Melati mengurungkan niatnya. Dikendurkan kembali otot-otot dan urat-urat sarafnya yang telah menegang, walaupun hatinya mendongkol.
“Nah, Kisanak! Perlu kau ketahui, tuduhanmu terhadap kami sama sekali tidak benar. Kami tak bermaksud memamerkan kepandaian. Tindakan yang kami lakukan tadi, hanya karena melihat tindak ketidakadilan terhadap dua orang itu,” ujar Dewa Arak halus.
“Hmh...!” dengus pemuda berpakaian biru. “Tindak ketidakadilan katamu?! Ho ho ho...! Kau tahu siapa mereka? Dua orang yang kalian tolong itu bermaksud mencuri kudaku! Kalau aku tak bertindak cepat, mungkin mereka telah berhasil mencuri kudaku.”
“Aku mengerti, Kisanak! Tapi mengapa begitu caramu memperlakukan mereka. Melakukan penyiksaan secara kejam. Padahal yang mereka lakukan hanya sekadar mencuri kuda.”
“Jadi tindakan yang kulakukan ini salah?! Kalau begitu, menurutmu, begitu kutahu mereka hendak mencuri kudaku, kubiarkan saja mereka melakukannya?! Atau..., kubelai-belai mereka. Begitu?! Luar biasa! Kau tahu, Pemuda Usilan! Orang-orang macam mereka harus dilenyapkan dari muka bumi! Tentu saja tidak dengan cara yang enak! Dan kalau kau bermaksud menghalangi tindakanku, kau pun harus merasakan akibatnya!” tandas pemuda berpakaian biru.
“Sombong!” pekik Melati keras. Dan seiring ucapan itu, tubuh Melati melesat ke pemuda berpakaian biru, tanpa sempat dicegah Dewa Arak. Begitu cepat dan dahsyat serangan yang dilakukan Melati. Ketika tubuhnya melayang di udara, dilancarkan serangan perdananya. Tangan kanannya dengan cepat disampokkan ke pelipis pemuda berpakaian biru.
“Hmh...!” Pemuda berpakaian biru mendengus ketika melihat serangan itu. Kemudian sambil melangkah mundur diayunkan tangan kirinya menangkis serangan Melati.
Taaap!
Bunyi seperti benturan dua logam keras terdengar ketika dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat itu beradu. Tubuh Melati seketika terpental kembali ke belakang. Sedangkan tubuh pemuda berpakaian biru terhuyung selangkah ke belakang.
“Hup!”
Dengan sebuah gerakan manis, Melati berhasil mendaratkan kaki di tanah. Namun, mulutnya menyeringai kesakitan. Kemudian tangan kanannya mengurut-urut tangan kiri. Dirasakan tangannya bergetar hebat akibat benturan itu.
Kejadian itu tidak lepas dari perhatian Dewa Arak. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini menjadi terkejut karenanya. Benturan pertama kali itu membuktikan kalau pemuda berpakaian biru memiliki tenaga dalam sangat kuat, dan bahkan mungkin berada di atas Melati. Sekaligus membuktikan bahwa pemuda itu tak dapat dianggap remeh.
Kenyataan ini menimbulkan rasa penasaran Dewa Arak. Benarkah pemuda berpakaian biru memiliki tenaga dalam sekuat itu? Itulah sebabnya Dewa Arak tak berusaha meneegah pertarungan yang akan terjadi. Di samping itu, dirinya juga menyadari, tidak mungkin lagi mencegah Melati untuk tidak bertarung. Karena gadis berpakaian putih itu begitu marah, dan bernafsu sekali menyerang pemuda berpakaian biru itu.
Dan dugaan Dewa Arak tidak meleset Melati kembali menerjang lawannya. Sama seperti gerakan sebelumnya, gadis berpakaian putih ini dengan cepat melenting menerjang lawannya. Dan ketika tubuhnya telah berada di udara, dikibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuhnya dengan manis sekali.
Wuttt!
Hal yang sama ternyata dilakukan pula pemuda berpakaian biru. Akibatnya, dalam keadaan tubuh sama-sama di udara benturan antara dua batang kaki terjadi.
Dukkk!
Suara itu terdengar cukup keras. Nampaknya kedua belah pihak sama-sama mengerahkan seluruh tenaga dalam, begitu mengetahui kalau lawan yang mereka hadapi tidak ringan. Akibat yang mereka alami lebih dahsyat lagi. Tubuh kedua belah pihak sama-sama terpental deras ke belakang.
Jliggg!
Hampir bersamaan Melati dan pemuda berpakaian biru mendaratkan kedua kakinya di tanah. Nampak perbedaan yang menyolok. Melati agak terhuyung-huyung beberapa langkah, sedangkan lawannya tidak. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam pemuda berpakaian biru lebih kuat dari Melati.
“Aaah...!” Melati terpekik.
Jeritan pendek karena kaget keluar dari mulut Dewa Arak. Sama sekali tak disangka kalau dugaannya benar-benar tepat. Pemuda berpakaian biru itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Paling tidak berada di atas Melati.
Dewa Arak hendak menyaksikan pertarungan selanjutnya. Apakah ilmu silat dan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berpakaian biru pun sama hebatnya dengan tenaga dalamnya.
Dan Dewa Arak tidak perlu menunggu lama untuk menyaksikan pertarungan selanjutnya. Karena Melati yang memang memiliki watak penasaran, telah kembali bersiap melancarkan serbuan yang lebih dahsyat Kali ini tidak tanggung-tanggung lagi, Melati segera mengerahkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya. Seketika tangannya sebatas pergelangan berubah merah seperti darah.
Pemuda berpakaian biru tahu kalau lawannya telah mengeluarkan ilmu andalan. Maka tanpa ragu-ragu lagi, pemuda berpakaian biru itu pun mengeluarkan ilmu simpanannya. Disadari kalau gadis berpakaian putih itu bukan lawan yang bisa dikalahkan dengan mudah.
“Hup!”
“Hup!” Aneh sekali ilmu yang dipertunjukkan pemuda berpakaian biru itu. Tubuhnya berdiri dengan kepala di bawah. Sementara, kedua kakinya berputar-putar di atas dengan lincah.
Ilmu yang dikeluarkannya memang sangat aneh. Sehingga Melati pun merasa agak bingung untuk melancarkan jurus 'Cakar Naga Merah' andalannya. Aneh sekali ilmu yang dipertunjukkan pemuda berpakaian biru itu. Tubuhnya berdiri dengan kepala di bawah. Kedua kakirya bergerak berputar-putar dengan lincah.
Ilmu yang dikeluarkan lelaki berpakaian biru itu memang aneh dirasakan oleh Dewa Arak yang hanya menyaksikan dari kejauhan. Melati pun mulai tertegun menyaksikan tindakan yang dilakukan lawannya.
Tapi hanya sesaat saja gadis berpakaian putih itu larut dalam keterkejutannya. Karena sesaat kemudian Melati segera menyadari. Lalu diawali jeritan melengking nyaring, dilancarkan serangan terhadap pemuda berpakaian biru.
“Hiaaat..!”
Untuk pertama kalinya Melati merasa bingung melancarkan serangan. Betapa tidak? Serangan-serangan ilmu 'Cakar Naga Merah' yang seharusnya dipergunakan untuk menyerang bagian atas tubuh lawan menghadapi lawan yang aneh. Karena kali ini pemuda berpakaian biru membentuk kedudukan kaki di atas, mau tidak mau Melati harus memikirkan penyerangan dengan cara lain.
Wuttt!
Dibarengi bunyi angin menderu, tangan Melati meluncur. Gadis berpakaian putih ini melancarkan serangan dengan meluncurkan kedua cakamya ke pusar lawan. Melati ingin tahu, bagaimana cara lawannya mematahkan serangan ini.
Harapan Melati terwujud, pemuda berpakaian biru langsung melakukan tindakan untuk mematahkan serangan itu. Kedua kakinya yang menjulang ke atas, dengan cepat digerakkan. Satu di antaranya memapak serangan, sedangkan yang lain meluncur di atas kepala Melati.
Plakkk!
“Hey...!” Melati agak terkejut Tangkisan pemuda berpakaian biru membuat kedua tangannya kesakitan. Bahkan tubuhnya dirasakan bergetar. Untung saja tubuhnya sempat berkelit menghindari serangan balasan lawannya. Melati terlompat ke belakang ketika serangan-nya membentur kaki lawan. Dan serangan pemuda berpakaian biru pun hanya mengenai tempat kosong.
Namun, kali ini pemuda berpakaian biru itu tidak memberi kesempatan pada Melati. Dikejamya gadis berpakaian putih itu. Suara dag-dug dag-dug terdengar ketika kepala pemuda itu membentur-bentur tanah. Dengan kepalanya, lelaki berpakaian biru itu melompat-lompat mengejar Melati. Meskipun mempergunakan kepala, gerakan mengejar yang dilakukan pemuda itu tetap cepat.
Sekali lagi Melati kebingungan dalam pertempuran. Baru kali ini dirinya menghadapi lawan model ini. Itulah sebabnya, Melati memutuskan untuk mengelakkan serangan itu. Namun Melati menghadapi serangan lawan dengan waspada. Dirasakan dirinya agak kewalahan menghadapi serangan yang datang bertubi-tubi dari lawan yang berdiri dengan kepala di bawah itu.
Nampaknya keadaan tubuhnya dengan kepala di bawah seperti itu tidak mempengaruhi kecepatan serangan itu. Terlihat lucu dan menegangkan pertarungan yang terlihat. Melati yang terus mundur, menghindari serangan dari pemuda berpakaian biru yang tak henti-hentinya merangsek makin maju dengan diiringi suara dag-dug dag-dug dari kepalanya yang berbenturan dengan tanah meramaikan jalannya pertarungan.
Sampai sepuluh jurus pertarungan berlangsung, Melati belum menemukan cara untuk menghadapi ilmu aneh lawannya. Akhirnya, tindakan yang dilakukannya hanya terus-menerus mengelak dan memapak serangan lawan. Tak satu pun serangan yang dapat dilancarkannya.
Nampaknya, keributan yang terjadi menarik perhatian orang. Belasan orang mulai berdatangan turut menyaksikan pertarungan aneh itu. Mereka semua, termasuk Dewa Arak menyaksikan dari jarak yang cukup aman.
Dan seperti juga Dewa Arak dan Melati, belasan orang yang menyaksikan jalannya pertarungan itu pun memperhatikan dengan perasaan heran bercampur takjub melihat ilmu yang digunakan pemuda berpakaian biru. Mereka para pengunjung kedai, yang beberapa di antara mereka terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang kebetulan juga berada di sana.
Berbeda dengan belasan orang tokoh persilatan yang menyaksikan jalannya pertandingan dengan perasaan takjub, Dewa Arak justru semakin khawatir. Hatinya merasa cemas melihat Melati, kekasihnya nampak semakin terdesak, di samping tak mampu melancarkan serangan sama sekali.
Melati berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Yang dilakukannya terus-menerus bergerak mundur. Mengelak dan mengelak. Hanya sesekali saja Melati mampu melancarkan serangan balasan. Itu pun dilakukan hanya untuk memperbaiki keadaannya yang semakin terjepit Karena setiap kali dilancarkan serangan, pemuda berpakaian biru pasti mampu menangkisnya. Karena tenaga Melati tak mampu mengimbangi kekuatan lawan, setiap kali benturan terjadi, Melati kembali terdesak.
Tiba-tiba pemuda berpakaian biru menghentikan serangannya. Bahkan menghentikan penggunaan ilmu anehnya. Tubuhnya kembali berdiri dengan kedua kakinya. Mata lelaki berpakaian biru itu memandang dua ekor kuda yang tengah berpacu kencang melewati tempat pertarungan.
“Aku ada urusan yang lebih penting. Nanti pertarungan ini kita lanjutkan,” ujar lelaki berpakaian biru.
Setelah berkata demikian, pemuda berpakaian biru melesat mengejar dua ekor kuda yang tadi dilihatnya. Hanya dalam beberapa kali hentakan, tubuh pemuda itu telah melesat jauh meninggalkan tempat pertarungan. Bahkan entah sengaja atau tidak pemuda itu meninggalkan kudanya yang terikat di batang pohon.
Dengan kepergian pemuda berpakaian biru, belasan orang persilatan yang berada di situ pun bubar. Demikian pula tiga orang yang tadi bermaksud mencuri kuda. Dengan terseok-seok mereka melangkah meninggalkan tempat itu. Sama sekali mereka tidak memperhatikan Dewa Arak yang juga berdiri di antara kerumunan.
Memang, meskipun julukan Dewa Arak telah begitu menggemparkan, orang tidak menduga kalau pemuda berambut putih keperakan itu ternyata pendekar muda yang demikian tersohor! Barangkali mereka baru menduga demikian, jika Dewa Arak telah mempertunjukkan kehebatannya.
Sebentar kemudian yang tinggal di sana hanya Dewa Arak dan Melati. Melati masih berdiri di tempat semula. Menilik dari sikapnya, bisa diketahui kalau dirinya tengah merasa terpukul.
Perlahan-lahan Dewa Arak mengayunkan langkah mendekati Melati. Kemudian dirangkulnya bahu gadis berpakaian putih itu untuk menghibur hatinya. Melati pun menyusupkan wajahnya ke dada Dewa Arak yang bidang.
“Pemuda itu memang memiliki ilmu luar biasa, Melati. Sebuah ilmu yang aneh. Aku sendiri belum menemukan cara untuk menghadapinya. Aku tidak tahu, apakah ilmu 'Belalang Sakti'-ku dapat digunakan untuk mematahkan ilmunya,” ucap Dewa Arak pelan sambil mengelus-elus rambut Melati.
“Aku sangat kecewa dengan kemampuanku sendiri, Kang. Aku sama sekali tidak berdaya menghadapinya,” keluh Melati tanpa mengangkat kepalanya dari dada Dewa Arak.
“Mari kita bicarakan hal ini sambil berjalan, Melati!” usul Dewa Arak.
Memang, pemuda berambut putih keperakan ini menyadari ketidakpantasan kelakuan mereka yang seperti itu. Karena tempat ini terbuka. Itulah sebabnya Dewa Arak mengajak kekasihnya agar segera meninggalkan tempat ini.
Melati tahu maksud yang terkandung dalam ucapan Dewa Arak. Oleh karena itu, dengan raut wajah memerah, Melati mengangkat kepala dari dada kekasihnya. Lalu, mereka berjalan bersisian meninggalkan tempat itu.
“Pendapatmu kurang betul, Melati,” ucap pemuda berambut putih keperakan itu sambil terus melangkahkan kakinya. “Ketidakberdayaanmu menghadapi pemuda tadi bukan karena ilmumu jauh di bawahnya. Tidak, Melati! Walaupun memang ilmumu berada di bawah pemuda tadi, tapi ketidakberdayaanmu sebagian besar disebabkan karena kebingunganmu menghadapi keanehan ilmunya. Aku pun mungkin akan mengalami hal yang sama, kalau melawannya. Hhh...! Ilmunya aneh!”
Melati hanya diam, tidak memberi tanggapan atas ucapan kekasihnya yang disadari ada kebenarannya. Melati memang merasa kebingungan dalam menghadapi musuhnya yang berilmu aneh itu.
“Yang masih menjadi pertanyaan bagiku, di golongan manakah pemuda berpakaian biru itu berdiri, Kang?” tanya Melati setelah beberapa saat lamanya terdiam.
Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyaan itu. Pemuda berambut putih keperakan ini mengemyitkan kening beberapa saat lamanya. Nampaknya DewaArak tengah memikirkan jawaban atas pertanyaan kekasihnya barusan.
“Kalau mendengar ucapan-ucapannya, kurasa pemuda tadi termasuk pendekar golongan putih.”
“Tapi..., mengapa tindakannya demikian keji, Kang? Padahal, orang-orang kasar itu hanya bermaksud mencuri kudanya. Sebuah tindak kejahatan yang sebenarnya tidak terlalu membahayakan jiwanya,” ujar Melati bernada keheranan.
“Aku juga tidak mengerti, Melati. Tapi, menurut dugaanku, pemuda itu mempunyai pengalaman yang pahit bahkan mungkin mengerikan di masa kecilnya, berkenaan dengan tokoh-tokoh golongan hitam,” duga Dewa Arak.
Melati tidak menimpali dugaan yang dilontarkan Dewa Arak. Beberapa lama keadaan terasa sunyi. Kedua pendekar muda itu terus berjalan tanpa suara dari mulut mereka. Cukup lama juga Dewa Arak dan Melati tenggelam dalam alur pikiran masing-masing. Akhimya Melati membuka mulutnya dengan sebuah pertanyaan.
“Sekarang..., kita akan pergi ke mana, Kang?”
“Tetap seperti tujuan semula,” jawab Dewa Arak.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kang? Aku sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di sana!” sambut Melati penuh semangat.
Dewa Arak tersenyum lebar sambil mengangkat bahu pertanda menyetujui keputusan kekasihnya. Kemudian dalam sekejap saja tubuh Melati telah melesat ke depan meninggalkan Dewa Arak.
Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kekasihnya. Tapi hal itu pun tidak bisa lama-lama dilakukannya, karena bisa tertinggal jauh dari gadis berpakaian putih itu. Maka pemuda berambut putih keperakan itu pun segera menghentakkan langkahnya. Dan sesaat kemudian sepasang pendekar muda ini saling melesat begitu cepat, sehingga mereka nampak seperti kejar-mengejar.
“Hih!” Pemuda berpakaian biru menggertakkan gigi sambil menghentakkan kaki dengan keras. Sesaat kemudian tubuhnya melenting ke udara. Tubuhnya bersalto beberapa kali sebelum akhirnya menjejakkan kaki mendarat tepat di hadapan dua sosok penunggang kuda. Lompatan itu begitu cepat dan ringan.
Jliggg!
“Hooop...!”
“Hiiieeeh...!”
Keberadaan pemuda berpakaian biru yang secara tiba-tiba menghadang larinya kedua kuda, membuat kedua penunggang kuda itu terkejut. Kemudian kedua penunggang kuda itu menarik tali kekang kudanya. Seketika itu pula lari kuda mereka terhenti diiringi suara ringkikan nyaring dari kedua kuda itu.
“Keparat! Kadal Buhtung! Rupanya kau mau mampus, hehhh?!” bentak salah seorang penunggang kuda yang mengenakan rompi merah. Wajahnya nampak sangat marah melihat pemuda berpakaian biru itu.
“Tidak perlu berbicara panjang lebar, Kang! Lebih baik kirim saja nyawanya ke neraka!” selak kawannya yang bertubuh kecil kurus dan berwajah pucat.
Namun, pemuda berpakaian biru nampak tak mempedulikan bentakan keras dan kasar dari dua orang penunggang kuda itu. Pandangannya terpaku pada dua sosok penunggang kuda di hadapannya. Matanya menatap dengan tajam kedua sosok penunggang kuda itu secara bergantian.
“Aku ingat..! Ya..., kaulah orangnya...!” ucap pemuda berpakaian biru itu sambil menuding lelaki berompi merah yang berkepala botak.
Karuan saja tingkah laku pemuda berpakaian biru membuat lelaki berompi merah dan kawannya nampak kebingungan.
“Ternyata dia bukan orang waras, Kang. Lebih baik kita tinggalkan saja!” kata lelaki kecil kurus merubah maksud semulanya.
Dan seiring keluarnya ucapan itu, lelaki kecil kurus langsung bersiap untuk melecutkan cambuk pada punggung kudanya. Tapi....
“Tunggu, Bawira!” cegah lelaki berompi merah sambil memalangkan tangannya mencegah lelaki kecil kurus yang hendak lari dengan kudanya. Dan sebelum kawannya sempat mengucapkan sesuatu, lelaki berompi merah langsung mendahuluinya. “Rasa rasanya aku pernah melihat wajah mirip dia. Tapi aku lupa kapan dan di mana...?”
“Kau telah mengaku, Monyet Botak! Sekarang saatnya kau menerima pembalasan dariku! Kau harus bertanggung jawab atas pembunuhan yang kau lakukan pada orangtua dan kakak-kakak seperguruanku!” tandas pemuda berpakaian biru.
“Sepuluh tahun lalu?”
Alis lelaki berompi merah berkernyit dalam. Dicobanya untuk mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sepuluh tahun lalu. Pada saat yang bersamaan, pemuda berpakaian biru itu pun tengah melakukan hal yang sama. Ingatannya melayang pada peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu.
Ctar, ctar, ctarrr!
“Hiya! Hiyaaa...!”
“Hieeeh...!”
Suara lecutan cambuk dan teriakan-teriakan mulut terdengar membentak kuda yang tengah berlari kencang, ditingkahi suara ringkikan nyaring dua ekor kuda. Keriuhan itu memecah keheningan malam yang masih melingkari persada. Sementara, bulan yang bersinar terang dan bintang-bintang yang bergemerlapan di langit, menambah suasana cerah malam itu.
Kegaduhan itu ternyata berasal dari sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Seorang lelaki setengah baya tengah duduk terguncang-guncang di atas kursi kereta. Lelaki berpakaian coklat itu berkali-kali melecut punggung kedua kuda yang menarik keretanya. Sementara mulut terus berteriak-teriak sambil membentak. Nampaknya lelaki berpakaian coklat yang tengah duduk di atas kursi kuda itu menghendaki agar kuda-kuda itu lebih mempercepat larinya.
Ternyata benar, kedua ekor kuda itu berlari begitu cepat bagai kesetanan. Sehingga membuat kereta itu terguncang-guncang hebat di atas jalanan yang tidak rata dan agak berbatu-batu.
Namun, sang Kusir sama sekali tidak mempedulikan keadaan itu. Cambuknya terus-menerus dilecutkan ke punggung kedua kuda itu. Demikian pula seruan-seruan yang mengandung maksud agar kuda-kuda penarik kereta itu berlari semakin cepat, terus diteriakkan semakin menggebu-gebu.
Namun sayang, ketika kereta itu tengah berlari kencang, tiba-tiba sebuah lubang menghalang di jalanan. Dan itu tidak terlihat oleh mata kusir. Dan....
Blosss...! Krakkk!
“Hieeeh...!”
“Haaah...!”
Brukkk!
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Roda kiri kereta menggilas bagian jalan yang berlubang. Memang lubang itu tidak besar. Namun, karena kereta itu tengah melaju dengan kecepatan tinggi, mengakibatkan roda kereta itu hancur. Bahkan asnya patah.
“Hieeeh...!”
Kereta pun berguling ke kiri dibarengi ringkik ketakutan dari mulut dua ekor kuda itu, pekik mulut lelaki berpakaian coklat dan suara yang berasal dari dalam kereta. Ternyata di dalam kereta itu ada penumpangnya. Dari suaranya yang melengking nyaring, penumpang di dalam kereta itu mirip jeritan anak kecil atau perempuan.
Suara hiruk-pikuk para penumpang kereta itu ambruk ke kiri. Roda kereta sebelah kanan masih berputaran, karena kereta kuda itu dilarikan dengan kecepatan tinggi.
“Aaah...!” Jerit kesakitan keluar dari mulut lelaki berpakaian coklat ketika berusaha bangkit. Tubuhnya mulai dari pinggang ke bawah nampak terjepit reruntuhan kereta.
Tapi rupanya lelaki berpakaian coklat termasuk orang yang berkemauan keras. Meskipun seluruh tubuhnya dirasakan sakit semua, lelaki itu tetap berusaha bangkit dari reruntuhan kereta itu.
“Huuuh...! Hmmmh...!”
Lelaki berpakaian coklat menggigit bibirnya keras untuk menvegah keluarnya jerit kesakitan dari mulutnya. Jelas, hal itu membutuhkan kekerasan hati yang luar biasa. Karena rasa sakit semakin hebat di sekujur tubuhnya. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi leher, kening, dan seluruh tubuhnya.
Kriiit..!
Terdengar suara bergerit pelan diiringi terbukanya daun pintu sebelah kanan kereta. Sesaat kemudian dari dalam kereta menyeruak sesosok tubuh kecil. Pancaran sinar bulan purnama memperjelas sosok tubuh kecil itu. Sosok tubuh kecil itu ternyata seorang bocah lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Tubuhnya yang nampak kekar terbalut pakaian biru.
“Aaakh...!” terdengar suara terpekik dari mulut bocah lelaki itu. Tubuh bocah berpakaian biru yang baru saja terjulur keluar itu tiba-tiba terlontar ke atas. Jerit kengerian tertahan yang keluar dari mulut bocah itu membuktikan bahwa kejadian itu bukan atas kehendaknya. Seolah-olah ada orang di dalam kereta yang melontarkan tubuhnya.
Gusraaak!
Terdengar suara berkerosakan keras ketika tubuh bocah berpakaian biru itu terjatuh di semak-semak. Untung saja tubuh itu terlempar ke semak-semak. Kalau tidak, barangkali tubuh bocah itu akanmengalami luka-luka berat. Sebab lontaran itu begitu deras dan cepat. Beberapa saat setelah tubuh bocah lelaki berpakaian biru terlontar, dari dalam kereta itu kembali melesat keluar sesosok bayangan hitam.
Jliggg!
Dengan agak terhuyung-huyung, sosok bayangan yang ternyata seorang lelaki berusia empat puluh tahun itu mendarat ke tanah. Agak aneh, mestinya kalau dilihat dari kecepatan lesatannya, lelaki berusia empat puluh tahun yang mengenakan pakaian kuning gading itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Tapi mengapa hinggap di tanah dengan keadaan sempoyongan seperti itu?
Namun ternyata setelah mendarat dengan agak sempoyongan, lelaki setengah baya berpakaiankuning gading itu langsung terbungkuk badannya. Dan...
“Uhuk...! Uhuk...!”
Lelaki berpakaian kuning gading itu batuk-batuk. Dan dari mulutnya bersamaan dengan batuk itu terpercik cairan merah agak kental. Nampaknya lelaki berpakaian kuning gading ini mengalami luka dalam.
Namun, lelaki berpakaian kuning gading itu sama sekali tidak mempedulikan luka yang tengah dideritanya melangkah menuju semak-semak tempat tubuh bocah lelaki yang terlontar barusan mendarat.
Tapi, baru saja beberapa tindak, ayunan langkahnya segera dihentikan. Pendengarannya yang tajam tiba-tiba menangkap ada suara langkah kaki mendekati lempatnya. Suara itu nampaknya berasal dari belasan bahkan mungkin puluhan pasang kaki. Sekejap kemudian tubuh lelaki berpakaian kuning gading itu dengan cepat membalik. Dengan begitu cepat kakinya bergerak hendak menuju ke semak-semak yang sudah tidak begitu jauh dari tempat itu. Tetapi....
“Mau lari ke mana kau, Keparat?!”
Seiring dengan keluamya suara bentakan keras, esosok bayangan melesat cepat di atas kepala lelaki berpakaian kuning gading itu.
“Hup!”
Tanpa menimbulkan suara berarti, sosok tubuh yang melesat itu mendarat beberapa tombak di depan lelaki berpakaian kuning gading. Terpaksa lelaki berpakaian kuning gading itu menghentikan kembali langkahnya.
“Jangan harap bisa lolos lagi! Orang sepertimu harus dilenyapkan selama-lamanya dari muka bumi!” sambung sebuah suara lain yang ternyata berada di belakang lelaki berpakaian kuning gading.
“Akur...!”
“Betul...!”
“Ganyang...!”
“Lenyapkan pula keturunannya...!”
Suara suara riuh rendah terdengar bersahut-sahutan. Dan semuanya berasal dari belakang lelaki berpakaian kuning gading.
Lelaki berpakaian kuning gading segera memutar badannya ke belakang. Segera matanya yang awas melihat di keremangan malam belasan bahkan mungkin puluhan orang dengan senjata di tangan, berdiri dengan sikap mengancam. Lalu dengan cepat mereka bergerak menyebar. Hanya dalam sekejap saja lelaki berpakaian kuning gading itu telah terkepung.
Namun, lelaki berpakaian kuning gading sama sekali tidak kelihatan gugup, meskipun tahu kalau dirinya tidak akan bisa lolos lagi dari kepungan orang-orang yang belum dikenalnya itu. Meskipun dalam suasana remang-remang, lelaki berpakaian kuning gading berusaha untuk menatap wajah-wajah mereka.
Nampak jelas di matanya, bahwa orang-orang yang mengepungnya bernafsu sekali untuk membunuh dirinya. Tak lama kemudian, bagai diberi perintah puluhan orang itu bergerak maju. Kepungan itu pun semakin mengecil.
“Terimalah kematianmu, Manusia Usilan! Hih...!”
Wuk! Wuk! Wuk!
Seorang lelaki tinggi besar, berperut gendut, berkepala botak, dan mengenakan rompi merah memutar-mutarkan rantai berujung bola baja berduri. Bunyi yang terdengar membuat bulu kuduk meremang.
Lelaki berpakaian kuning gading telah terkepung. Dirinya tak mampu berusaha untuk menghindar. Kini tinggal menunggu saatnya senjata berduri itu menggempur tubuhnya. Tapi tiba-tiba terdengar suara....
“Tahan...!”
Bentakan keras terdengar. Suara menggelegar itu ampaknya dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat. Buktinya semua lelaki yang tengah nengepung mangsanya nampak bergetar hebat oleh hawa yang diakibatkan suara bentakan itu.
Ternyata tak hanya lelaki berompi merah yang nampak terpengaruh bentakan itu, sehingga menghentikan gerakannya. Semua lelaki yang mengepung itu pun menolehkan kepala ke asal suara. Dari belakang lelaki besar berompi kuning, tiba-tiba melesat sesosok bayangan hitam.
“Hup!” Sosok bayangan hitam itu berhenti di luar kepungan. Seketika itu pula para pengepung menyibak, memberi jalan bagi sosok hitam itu yang berjalan mendekati lelaki berpakaian kuning gading. Mereka mengenal betul siapa sosok hitam itu. Ternyata sosok hitam itu pemimpin mereka.
“Mau lari ke mana kau, Malaikat Ruyung? Jangan harap dapat lolos dari tanganku!” ejek sosok hitam yang tengah menghampirinya.
Sosok hitam itu semakin mendekat ke tubuh lelaki berpakaian kuning gading. Mata lelaki berpakaian kuning gading seketika terbelalak melihat sosok tubuh di depannya yang nampak sangat aneh dan menyeramkan. Wajah lelaki hitam itu ditumbuhi bulu-bulu halus hitam pekat. Wajahnya lebih mirip gorila.
Tidak hanya itu ciri-ciri yang membuat sosok hitam itu mirip dengan gorila. Potongan tubuhnya agak membungkuk, dan tangan yang panjang menjuntai hingga melewati kedua lutut. Bulu-bulu hitam yang memenuhi sekujur tubuh yang tidak tertutup pakaian, semakin memperjelas kemiripan bentuknya dengan gorila.
“Aku bukan jenis orang sepertimu, Raja Monyet Tangan Delapan!” sambut lelaki berpakaian kuning gading yang ternyata berjuluk Malaikat Ruyung.
“He he he...!” sosok hitam yang berjuluk Raja Monyet Tangan Delapan tertawa terkekeh-kekeh. “Kalau tidak menyaksikan sendiri, mungkin aku bisa percaya ucapanmu, Malaikat Ruyung! Tapi, kenyataan yang kulihat tidak seperti yang kau katakan! Dengan mata kepalaku sendiri kulihat kau berlari tunggang-langgang!”
Seketika itu pula Malaikat Ruyung terdiam. Disadari adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah lagi dalam ucapan Raja Monyet Tangan Delapan. Memang terbukti dirinya telah melarikan diri. Tapi, tentu saja bukan tanpa alasan. Hanya saja alasan itu tidak mungkin diutarakannya dalam keadaan yang mencekam seperti ini.
“He he he...! Sekarang kau mau bicara apa lagi, Malaikat Ruyung? Kau tidak bisa membohongiku lagi. He he he...! Ingin kulihat sendiri bagaimana raut wajahmu kalau dunia persilatan mengetahui bahwa kau melarikan diri untuk menyelamatkan diri, seperti seekor anjing yang akan dipukul,” ejek Raja Monyet Tangan Delapan lagi.
“Tutup mulutmu, Raja Monyet!” bentak Malaikat Ruyung begitu keras.
Tampak jelas kalau lelaki yang berjuluk Malaikat Ruyung merasa tersinggung mendengar ejekan lawannya. Wajahnya nampak pula menegang. Perasaan marah, takut, dan kesal bercampur dalam hatinya. Tapi untuk lolos dari kepungan ini tentu saja bukan hal yang mudah.
“Hehhh...?!” Raja Monyet Tangan Delapan tersentak. “Kau berani memerintahku untuk menutup mulut? Betapa lancang mulutmu! Apa kau ingin merasakan kedahsyatan ilmu-ilmuku lagi?! Ho, ho, ho...! Dalam keadaan biasa saja kau bukan tandinganku, apalagi sekarang! Hmh...! Bunuh dia!” perintahnya kemudian dengan suara keras.
Usai memberi perintah demikian, Raja Monyet Tangan Delapan mengibaskan tangannya sambil melangkah mundur. Maksudnya tentu saja memberi kesempatan pada gerombolan pengepung itu untuk mengerjakan perintahnya.
“Selamat bertemu malaikat maut, Malaikat Ruyung...!” ujar Raja Monyet Tangan Delapan sambil melepas tawa bergelak. Lalu, kedua tangannya yang berukuran lebih panjang dari tangan manusia umumnya, bersidekap di depan dada. Diperhatikan anak buahnya yang telah bergerak mengurung Malaikat Ruyung.
Sementara itu, Malaikat Ruyung sudah tidak memperhatikan Raja Monyet Tangan Delapan lagi. Dipusatkan perhatiannya pada para pengeroyoknya yang kini sudah mulai bergerak siap menyerangnya.
Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari, memperhatikan gerak-gerik lawan-lawannya. Lalu dicabutnya ruyung berbatang dua yang terselip di pinggangnya. Batang ruyung itu terbuat dari baja, dan ujung-ujungnya terikat rantai baja yang sepanjang dua jengkal. Kemudian segera diputar-putar rujung itu dengan cepat sekali di depan dadanya.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Kecepatan putaran ruyung itu melenyapkan bentuk aslinya. Dan kini yang nampak hanya kelebatan bayangan hitam dalam bentuk tidak jelas. Malaikat Ruyung telah bertekad menghadapi lawan-lawan, meskipun jumlah mereka seharusnya bukan tandingannya.
“Hiaaat..!”
Diiringi teriakan menggelegar yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, lelaki berpakaian merah melancarkan serangan. Rupanya hatinya sudah tak sabar menunggu lebih lama lagi untuk segera menghabisi nyawa musuhnya.
Wuuuk...! Kreeek!
Diiringi deru angin keras mengiuk dan suara rantai, boia baja berduri itu meluncur ke atas kepala Malaikat Ruyung. Hal itu dilakukan setelah terlebih dulu memutar-mutarkan rantainya di atas kepala. Beberapa kali serangan dilancarkan dengan cepat dan dahsyat.
Malaikat Ruyung tidak berani bertindak gegabah. Dirinya tahu betapa dahsyatnya serangan bola berduri itu. Kalau menerjang kepalanya, sudah dapat dipastian akan remuk. Malaikat Ruyung tidak mau hal itu terjadi atas dirinya.
Oleh karena itu, Malaikat Ruyung langsung bergerak cepat Tubuhnya melakukan lompatan harimau ke samping kanan. Lalu dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya berguling-guling berusaha menghindari serangan dahsyat itu.
Usaha yang dilakukan Malaikat Ruyung memang tidak sia-sia. Berkali-kali serangan bola berduri itu meleset, dan hanya menggebuk tempat kosong.
Wuuuk...! Bukkk...! Bukkk!
Setiap kali Malaikat Ruyung bangkit, serangan susulan dengan cepat telah meluncur ke kepalanya. rang lebih membuat repot dan kewalahan lagi, hampir semua anak buah gerombolan Raja Monyet Tangan Delapan meluruk ke tubuhnya dengan senjata terhunus. Tak pelak lagi, belasan senjata yang beraneka ragam jenis, ukuran, dan bentuk itu meluruk ke tubuh Malaikat Ruyung hampir bersamaan.
Malaikat Ruyung terkejut melihat serangan-serangan itu semakin berbahaya. Kalau keadaan tubuhnya biasa, barangkali keadaan seperti ini bukan merupakan hal yang sulit baginya untuk mengandaskan semua serangan. Tapi sekarang masalahnya lain.
Tubuhnya tengah menderita luka dalam yang parah! Bahkan ketika tangannya memutar-mutar senjata ruyungnya di depan dada, nampak darah segar mengalir dari mulutnya.
Begitu juga ketika melakukan lompatan harimau untuk mengelakkan serangan bola berduri, darah itu kembali mengalir keluar. Bahkan dadanya dirasakan begitu sakit. Saat Malaikat Ruyung berada dalam keadaan seperti itulah serangan-serangan para pengeroyoknya meluncur terus menerjang ke tubuhnya. Berkali-kali usahanya untuk berkelit masih mampu menyelamatkan jiwanya dari maut yang terus memburunya.
Malaikat Ruyung tidak mempunyai pilihan lain. Dirinya masih belum ingin tewas. Keadaan bocah berpakaian biru yang sebenarnya anaknya, belum diketahui secara pasti. Nasib anaknya itulah yang mendorong lelaki berpakaian kuning gading ini berusaha terus untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, dirinya tetap berusaha untuk menyelamatkan diri dari maut.
Meskipun untuk itu harus merasakan sakit yang hebat di dalam tubuhnya. Pikirannya yang bercabang seperti itu menyebabkan kewaspadaannya mengendur. Kemudian tak disangka-sangka serangan beruntun meluncur ke tubuhnya. Dan....
Jrabbb! Jrabbb! Jrabbb!
Beberapa bacokan senjata pun mendarat dengan cepat sekali. Seketika tubuh lelaki berpakaian kuning gading melesat dengan cepat untuk menghindari serangan beruntun itu. Senjata-senjata itu pun membacok tempat kosong. Malaikat Ruyung ternyata telah lebih dulu menghindar dari tempat semula.
Nampak tubuhnya berguling-guling di atas tanah. Namun kesempatan berkelit Malaikat Ruyung hanya berlangsung beberapa saat Ketika tubuhnya tengah bergulingan, lelaki berompi merah yang tadi tak sempat ikut dalam penyerangan, tiba-tiba dengan cepat sekali melontarkan bola berdurinya ke tubuh Malaikat Ruyung.
Wukkk!
Malaikat Ruyung terkejut bukan kepalang. Dirinya tahu kali ini tak bisa lagi melakukan gerakan untuk menghindar. Jalan satu-satunya hanya menangkis.
“Hih!” Sambil menggertakkan gigi, Malaikat Ruyung memapak luncuran bolab berduri itu dengan ruyungnya. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk menangkis serangan itu. Sebab, senjata lawan memiliki berat yang berlipat kali jika dibanding dengan senjatanya.
Apalagi luncuran senjata berbentuk bola duri itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang kuat Sehingga, kalau tenaga tangkisannya kurang kuat, bola berduri itu tetap akan menghantam tubuhnya.
Trakkk! Bukkk!
“Akh...!” Apa yang dikhawatirkan Malaikat Ruyung terjadi juga. Tenaganya yang telah menyusut jauh, membuat kekuatan tangkisannya tak sanggup menahan luncuran bola berduri. Meskipun berhasil ditangkisnya, tak urung bola berduri itu menghantam paha kanannya. Akibatnya tulang paha kanannya remuk.
Rasa sakit yang hebat pun mendera Malaikat Ruyung. Rasa sakit itu menyebabkan Malaikat Ruyung, untuk beberapa saat lamanya terdiam di tempat Sebentar kedua matanya terpejam menahan rasa sakit di pahanya. Padahal saat itu, para pengeroyok yang semuli gagal melakukan serangan telah meluruk kembali sambil mengayunkan senjata masing-masing.
Malaikat Ruyung mengetahui bahaya yang tengah meluruk ke tubuhnya. Namun, keadaan saat itu membuat lelaki berpakaian kuning gading itu hanya pasrah menunggu datangnya serangan maut.
Tubuhnya tak mampu digerakkan untuk menangkis atau mengelak. Luka dalam yang parah, tulang pahanya yang remuk, dan pergelangan kedua tangannya yang patah akibat memapak bola berduri membuatnya tak mampu bertindak apa pun untuk menyelamatkan diri. Akhirnya....
Crat! Jraaab! Breeet!
“Aaakh...!' Malaikat Ruyung tak kuasa menahan jeritannya, ketika beberapa senjata lawan dengan ganas menghujam ke beberapa bagian tubuhnya. Darah segar pun seketika mengahr deras membasahi tubuhnya yang telah parah. Sempumalah luka parah yang di deritanya.
Namun hanya beberapa saat saja mulut lelaki berpakaian kuning itu terpekik kesakitan. Tubuhnya yang telah luka parah nampak tak bergerak lagi, karena saat itu pula nyawa di tubuhnya telah melayang.
Meskipun Malaikat Ruyung sudah tak berkutik lagi, gerombolan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan tetap tak berhenti menyerang lelaki berpakaian kuning gading itu. Dengan ganas mereka tetap menghujamkan senjata ke tubuh Malaikat Ruyung yang telah tewas. Sehingga tubuh berpakaian kuning gading itu hancur berantakan, dan tak berbentuk lagi.
Mereka baru menghentikan ayunan senjata ketika tubuh Malaikat Ruyung sudah hancur lebur bercampur darah. Sebuah pemandangan yang mengerikan sekali. Tubuh Malaikat Ruyung seperti cacahan daging. Kepalanya pun sudah tak berbentuk dan berpisah dari lehernya.
“Ha ha ha...!”
Raja Monyet Tangan Delapan tertawa bergelak melihat akhir hidup Malaikat Ruyung. Tokoh sesat yang mirip gorila ini merasa puas. Perutnya nampak terguncang-guncang karena tawanya yang keras.
“Tamatlah riwayatmu, Malaikat Ruyung! Ha ha ha...!”
Sementara itu, gerombolan pengeroyok Malaikat Ruyung berdiri diam saja di tempatnya. Senjata-senjata dumur darah masih tergenggam di tangan mereka.
“Tunggu apa lagi? Cari keturunan si keparat itu! Bukan tidak mungkin mereka akan menjadi ancaman bagi kita kelak!” perintah Raja Monyet Tangan Delapan ketika berhenti dari tawanya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang berwajah kasar dan bertubuh kekar itu menyebar ke sekitar tempat itu. Beberapa orang dari mereka menghampiri kereta kuda yang terguling di pinggir jalan berbatu-batu tadi.
Seluruh tempat telah diobrak-abrik, tapi orang yang mereka cari tidak diketemukan. Di dalam kereta, tempat tempat di sekitarnya, bahkan di dalam semak-semak telah mereka gasak. Namun, tetap mereka tak menemukan yang dicari.
Sedangkan di kereta yang terguling itu, mereka hanya mendapatkan kusir yang tubuhnya terjepit di bawah kereta itu. Dan nyawa sang Kusir pun melayang ketika salah seorang anak buah Raja Monyet Tangan Delapan menendang kepalanya hingga terlepas dari lehernya.
“Tidak ada seorang pun di sekitar sini, Ketua,” lapor lelaki berpakaian merah penuh hormat ketika tidak berhasil menemukan orang yang mereka cari. Kini semua nya berkumpul di hadapan Raja Monyet Tangan Delapan.
“Bodoh! Dungu! Kalian semua memang bukan manusia! Kalian kerbau! Mencari seorang anak kecil saja tidak bisa! Lalu, apa yang kalian bisa lakukan?!” kata Monyet Tangan Delapan meluap kemarahannya mendengar laporan itu.
“Maaf, Ketua. Barangkali bocah itu tak ikut bersama Malaikat Ruyung,” jawab salah seorang yang berbibir tebal.
“Maksudmu bocah itu masih di rumahnya,begitu?” sambut Raja Monyet Tangan Delapan keras.
“Menurutku begitu, Ketua. Karena buktinya anak tu tak ada di sekitar sini. Kalau anak itu ikut dengan Malaikat Ruyung, pasti berada di sini. Sampai seberapa jauh mana sih, seorang anak kecil bisa meninggalkan tempat ini dalam waktu yang demikian singkat?!” lelaki berbibir tebal mencoba memberi alasan untuk menguatkan pernyataannya.
Seketika itu pula nampak kepala kawan-kawannya, terangguk. Mereka seolah-olah turut membenarkan alasan yang disampaikan oleh lelaki berbibir tebal itu.
Raja Monyet Tangan Delapan mengereyitkan dahi ketika melihat hampir semua anak buahnya menyetajui pemyataan lelaki berbibir tebal. Nampaknya diam-diam diakuinya kalau pernyataan anak buahnya itu ada benarnya. Namun, tetap saja ada perasaan ragu yang menyelinap di hatinya. Rasanya mustahil Malaikat Ruyung tidak membawa anak satu-satunya dalam pelarian itu.
Namun keraguan itu segera dibantahnya sendiri. Mungkin saja, Malaikat Ruyung sengaja berbuat demikian untuk mengalihkan perhatian, agar anaknya berhasil menyelamatkan diri. Dengan kata lain, Malaikat Ruyung memancing Raja Monyet Tangan Delapan dan anak buahnya agar memburunya.
“Kalau begitu, mari kita pergi dari sini! Lagi pula kalau benar bocah itu selamat, apa yang bisa dilakukannya terhadap diriku?!” ucap Raja Monyet Tangan Delapan menyombongkan diri.
Keangkuhan yang dilontarkan Raja Monyet Tangan Delapan ini bukan tanpa alasan, karena dirinya seorang datuk sesat yang memiliki kepandaian luar biasa. Telah ratusan kali Raja Monyet Tangan Delapan bertarung menghadapi tokoh-tokoh sakti dunia persilatan baik dari aliran putih maupun hitam.
Dan hebatnya, manusia yang seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus seperti monyet itu selalu dapat mengalahkan lawan-lawannya. Tak satu pun lawannya yang dapat mengatasi keganasan manusia gorila itu.
Bagi lawan Raja Monyet Tangan Delapan yang merupakan tokoh persilatan aliran putih, kekalahan terhadap tokoh mirip gorila ini merupakan kekalahan terakhir. Karena setiap lawannya harus mati di tangannya.
Kejadian seperti itu tidak dialami mereka yang berasal dari golongan hitam. Raja Monyet Tangan Delapan tak membunuh lawannya yang berasal dari aliran hitam, melainkan hanya menaklukkannya yang kemudian menjadi pengikutnya.
Hal seperti itu tentu saja tak berlaku bagi mereka yang tidak mau tunduk menjadi pengikutnya. Tokoh yang membangkang kehendaknya pasti akan menemui ajalnya. Tak heran kalau korban yang tewas di tangan tokoh sesat mirip kera ini tak terhitung jumlahnya.
Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya itulah yang menyebabkan Raja Monyet Tangan Delapan memiliki sifat sombong. Dan kesombongan itu kini emakin bertambah setelah berhasil menghabisi nyawa Malaikat Ruyung.
Sementara itu, begitu mendengar ucapan sombong itu semua tokoh hitam yang berada di situ terangguk-angguk. Mereka membenarkan ucapan tokoh sesat mirip kera itu. Dan hal ini bukan karena mereka sebagai penjilat melainkan sewajarnya. Apalah yang bisa diperbuat oleh keturunan Malaikat Ruyung kelak terhadap Raja Monyet Tangan Delapan. Karena sesungguhnya pentolan-pentolan golongan putih seperti Malaikat Ruyung sendiri sama sekali tak mampu menandingi kesaktian Raja Monyet Tangan Delapan.
Raja Monyet Tangan Delapan mengangguk-anggukkan kepala merasa puas. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, diayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Meskipun nampaknya biasa saja, gerakan yang dilakukan Raja Monyet Tangan Delapan sangat menakjubkan. Dalam sekali hentak saja, tubuhnya yang tinggi besar itu telah melesat dengan cepat sekali.
Sehingga dalam sekejap mata saja, tubuhnya telah melesat sejauh belasan tombak. Nampak jelas bahwa gerakan langkahnya itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
Belasan tokoh golongan hitam yang menjadi pengikut Raja Monyet Tangan Delapan sama sekali tidak merasa heran melihat gerakan pimpinan mereka. Mereka telah mengetahui kalau pimpinan mereka memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat pimpinannya telah meninggalkan tempat itu, mereka pun melakukan hal yang sama. Tubuh-tubuh kekar dan beringas itu melesat cepat meninggalkan tempat pertempuran, dan tubuh hancur Malaikat Ruyung.
Kini kesunyian menyelimuti hutan itu. Tidak ada lagi suara-suara gaduh dan hiruk-pikuk yang mengerikan itu. Suasana kembali seperti semula, hening. Sekarang yang terdengar tinggal kerik jangkrik dan binatang malam lain serta angin yang bertiup menebarkan bau amis darah dan kematian.
Namun, ternyata suasana hening yang menyelimuti tempat itu berlangsung tidak lama. Baru saja tubuh Raja Monyet Tangan Delapan lenyap di kejauhan, dari atas sebatang pohon besar berdaun rimbun melompat turun sesosok bayangan.
“Hup!” Sosok bayangan itu dengan ringan mendaratkan kaki di tanah. Kecepatan dan ringannya gerakan yangdilakukan itu memperlihatkan kalau sosok ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.
Sosok itu ternyata seorang kakek yang sangat mengerikan. Tubuhnya yang kurus dan hitam terbalut pakaian lusuh dan compang-camping. Namun yang paling menyeramkan, sekujur badan kakek itu mulai dari wajah sampai kaki dipenuhi bisul-bisul bernanah. Kemudian di atas punggungnya tumbuh sebuah punuk besar. Tubuhnya bongkok terbalut pakaian coklat.
Kakek berpakaian compang-camping ini ternyata tidak sendirian. Di bahu kanannya terpanggul sesosok tubuh kecil terbungkus pakaian biru. Bocah lelaki kecil itu tidak lain putra Malaikat Ruyung yang tadi terlempar dan jatuh di dalam semak-semak. Begitu mendarat dengan kedua kakinya, kakek berpunuk besar di punggungnya itu segera menurunkan bocah berpakaian biru dari bahunya.
Kemudian jari tangannya menepuk pelan tubuh bocah berpakaian biru itu. Meskipun tepukan itu hanya pelan sekali, menyebabkan tubuh bocah berpakaian biru yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba bergerak. Nampaknya bocah itu tadi telah ditotok aliran darahnya. Dan tepukan barusan membebaskan totokan itu.
Setelah tubuhnya mampu bergerak, bocah kecil berpakaian biru itu meluruk ke mayat Malaikat Ruyung, ayahnya, yang telah menjadi daging cacahan itu.
“Ayaaah...!” terpekik keras mulut anak itu sambil berlutut dekat mayat Malaikat Ruyung, ayahnya. Jeritan melengking nyaring yang keluar dari mulut bocah berpakaian biru itu memecahkan keheningan malam.
“Ayaaah...!” seru bocah berpakaian biru itu lagi dengan suara melengking tinggi bercampur isak tangis yang tertahan.
Kini bocah berpakaian biru berjongkok di depan onggokan daging mayat ayahnya. Beberapa saat lamanya bocah itu menangisi kematian ayahnya. Bahu dan dadanya terguncang-guncang karena menahan tangis yang terisak-isak. Mendadak bocah berpakaian biru itu menolehkan kepala ke kakek berwajah seram yang sejak tadi hanya berdiri sambil memandang dari belakangnya.
Kakek itu memperhatikan saja semua tindakan bocah berpakaian biru. Wajahnya yang dingin membeku tidak menampakkan gambaran perasaan apa pun. Sehingga sulit untuk mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hatinya.
“Mengapa kau menolongku, Kek! Mengapa tak kau biarkan agar aku dapat menolong ayahku!” keras dan lantang ucapan bocah berpakaian biru itu.
“Kalau tadi kulepaskan, kau hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia, Bocah Dungu!” datar sambutan kakek berpakaian compang-camping itu.
“Aku tidak takut! Aku bukan orang yang takut mati!” sahut putra Malaikat Ruyung cepat, nampak hatinya marah dan merasa penasaran.
“Tindakan yang akan kau lakukan bukan tindakan orang pemberani, tapi kelakukan orang dungu! Hanya orang dungu yang mengadu kepalanya dengan batu, walaupun tahu batu itu lebih keras dari kepalanya!” ujar kakek berpakaian compang-camping itu lebih panjang, tapi masih tetap dalam nada datar.
Bocah berpakaian biru hanya terdiam. Rupanya pikirannya berusaha memahami maksud yang terkandung dalam ucapan kakek berpakaian compang-camping itu.
“Asal kau tahu saja, andaikata aku tidak mencegahmu bertindak seperti itu, orangtuamu akan mati penasaran. Dia tidak akan mati meram!”
“Aku tidak percaya!” bantah bocah berpakaian biru. “Justru karena aku tidak muncul, ayah pasti mati penasaran. Beliau selalu mengajarkanku agar tidak bersikap pengecut. Dan kini kau malah membuat ayah akan menyangka demikian padaku!”
Kakek berpakaian compang-camping itu pun terdiam. Bukan karena mengetahui kebenaran ucapan putra Malaikat Ruyung itu. Tapi karena kalah bicara. Dirinya bukan orang pandai berdebat. Tak aneh, menghadapi putra Malaikat Ruyung yang demikian pandai bersilat lidah dirinya kewalahan. Kakek berpakaian compang-camping itu pun sibuk memutar pikirannya mencari kata-kata yang dapat meredakan semua ucapan bocah berpakaian biru itu.
“O ya..., siapa namamu?” tanya kakek berpakaian compang-camping dengan benak yang masih berputar mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk meundukkan bocah berpakaian biru. Tanpa disadari kalau sikapnya yang dulu kaku dan dingin, tiba-tiba berubah. Dan itu karena putra Malaikat Ruyung itu.
“Mahendra,” jawab bocah berpakaian biru pelan. “Lalu namamu siapa, Kek?”
Kakek berpakaian compang-camping tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dikernyitkan keningnya beberapa saat “Sebenarnya aku malas menyebutkan namaku pada orang lain. Tapi bagimu ini kekecualian. Songka Lawung. Nah, sekarang coba ceritakan padaku! Apakah sebelum tewasnya, terutama sekali akhir-akhir ini, apakah ayahmu pemah bercerita padamu?” kakek berpakaian compang-camping yang ternyata bernama Songka Lawung mulai menyelidik.
Mahendra tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia terdiam beberapa saat lamanya. Hal itu dilakukannya untuk mencoba mengingat-ingat apa ayahnya pernah mengajaknya berbicara. “Benar, Ki. Belum lama ini ayah pernah berbicara padaku. Dan itu dilakukannya waktu kami berada dalam kereta kuda...,”
“Kau ingat ucapannya?” tanya Songka Lawung tidak sabar.
Lagi-lagi Mahendra menganggukkan kepala. “Aku ingat betul, Ki. Masalahnya saat itu aku tahu kalau ayah tengah merasa malu. Ayah terpaksa melarikan diri dari lawannya karena ingin menyelamatkanku.”
“Nah!” sentak Songka Lawung penuh perasaan menang. “Kau tahu, Mahendra. Tindakan yang dilakukannya itu dapat membuat nama besarnya hancur. Orang tak akan mau peduli alasannya melarikan diri. Orang-orang pasti menganggap bahwa Malaikat Ruyung kabur dari lawannya. Dia pun tahu akibatnya! Tapi, mengapa tetap saja dilakukannya? Karena ayahmu ingin kau selamat. Kau dengar, Mahendra? Itu dilakukannya karena keinginannya yang besar untuk menyelamatkanmu. Nah, bisa kau bayangkan betapa kecewanya hati ayahmu apabila niatmu tidak kucegah.”
Panjang lebar dan berapi-api ucapan yang keluar lari mulut Songka Lawung. Dan hal itu nampaknya tidak disadari Songka Lawung sendiri. Kakek berpakaian compang-camping itu sama sekali tidak sadar kalau arena keinginan yang amat kuat untuk menyadarkan Mahendra dari kekeliruan sikapnya, sikap dinginnya selama ini tiba-tiba berubah.
Mendengar penjelasan dari kakek tua yang meyeramkan itu Mahendra hanya membisu. Kini dirinya mulai menyadari kebenaran pendapat Songka Lawung. Mengapa dirinya begitu terlena oleh perasaannya. Mengapa dirinya begitu bodoh? Ah, hampir saja dirinya membuat ayahnya mati penasaran. Pikiran seperti itu yang sekarang berkecamuk dalam kepalanya. Kini mulai disadarinya kebenaran kakek itu.
Teringat akan hal itu, membuat Mahendra terkenang kembali akan kejadian yang belum lama dialamiiya. Dimulai dari saat tubuhnya melayang jatuh ke semak-semak. Betapapun empuknya semak-semak itu, tetap saja kepalanya merasa pusing, yang membuat Mahendra beberapa saat lamanya harus berdiam diri.
Baru ketika rasa pusingnya lenyap, Mahendra menguak kerimbunan semak-semak untuk keluar. Tapi belum sempat tubuhnya keluar dari semak-semak, sesosok tubuh yang tidak lain Songka Lawung telah lebih dulu menotok urat gagunya sehingga tak mampu bersuara. Baru kemudian menotoknya hingga tak mampu bergerak lagi.
Namun, dalam keadaan tak mampu bergerak dan bersuara, Mahendra tetap dapat menyaksikan semua kejadian yang dialami ayahnya menghadapi keganasan Raja Monyet Tangan Delapan dan anak buah nya. Hingga akhirnya Mahendra dibawa oleh Songka Lawung ke sebuah pohon besar yang rim bun untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran Raja Monyet Tangan Delapan.
“Sekarang bagaimana, Mahendra? Apakah kau masih menyalahkan tindakanku?” tanya Songka Lawung tiba-tiba.
Ucapan Songka Lawung membuat semua lamunan Mahendra buyar. Tangannya segera mengusap matanya yang sejak tadi menahan air matanya yang tertumpah.
“Tidak, Kek. Kau benar,” kata Mahendra terbatabata. “Maafkan aku, Kek! Aku terlalu menuruti perasaanku,” lanjutnya.
“He he he...! Lupakanlah, Mahendra! Jangankan orang seusiamu, orang seusiaku saja terkadang susah diatur!” ujar Songka Lawung lembut, mencoba menghibur hati anak lelaki yang masih duduk termangu di dekat mayat ayahnya yang hancur-lebur itu.
Kakek berpakaian compang-camping merasa suka sekali pada Mahendra. Bocah berpakaian biru itu sama sekali tak keiihatan merasa jijik padanya. Padahal, sejak tadi mereka berdekatan. Hal seperti ini hampir tak pernah dialami kakek berpakaian compang-camping. Apalagi dari anak seusia Mahendra.
“Kau tahu, mengapa ayahmu berkeinginan untuk menyelamatkanmu, Mahendra?” tanya Songka Lawung bernada menguji.
Mahendra rnenggelengkan kepala.
“Karena ayahmu ingin kau dapat mencegah tindak angkara murka Raja Monyet Tangan Delapan kelak apabila dewasa!” mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut Songka Lawung.
“Aku, Kek?” Mahendra melengak. “Mana mungkin! Sedangkan ayahku saja tak mampu menghadapi keganasan Raja Monyet Tangan Delapan, apalagi aku! Aku sendiri baru belajar beberapa macam ilmu dari ayahku!”
“Ho ho, tentu saja kau harus mempelajari ilmu-ilmu kadigdayaan agar dapat mengalahkan Raja Monyet Tangan Delapan!”
“Tapi..., di mana harus kucari guru yang memiliki kepandaian melebihi Raja Monyet Tangan Delapan? Sedangkan ayahku saja yang memiliki kepandaian demikian tinggi, tak mampu menghadapi manusia monyet itu!” sahut Mahendra setengah mengeluh.
“Kau pintar tapi bodoh, Mahendra!” Songka Lawung menggeleng-gelengkan kepala. “Memangnya di dunia ini hanya ayahmu dan Raja Monyet Tangan Depan yang sakti? Ho ho, walaupun ayahmu dan Raja Monyet Tangan Delapan pentolan-pentolan dunia persilatan, tapi masih banyak tokoh yang memiliki kepandaian tinggi,” jawab Songka Lawung.
“Ah! Ucapanmu seperti ayahku saja, Kek. Beliau sering berkata begitu. Di dunia persilatan banyak orang sakti, kau harus berlatih keras agar tidak menjadi bulan-bulanan orang lain, demikian katanya,” sahut putra Malaikat Ruyung lagi, “Tapi sayangnya, ayah tidak pernah memberitahukan padaku siapa orang sakti yang dimaksudkannya.”
“Mengapa kau ingin ayahmu memberitahukan padamu mengenai orang-orang sakti itu?” pancing Songka Lawung sambil menatap wajah Mahendra penuh selidik.
“Aku ingin menjadi muridnya!” lantang ucapan Mahendra. “Dan setelah kepandaianku mencukupi akan kulenyapkan Raja Monyet Tangan Delapan dari muka bumi!”
“Mengapa kau harus repot-repot mencari orang sakti, Mahendra?! Aku pun dapat mengajarmu,” ucap Songka Lawung menawarkan diri.
Mahendra tersentak sebentar. “Tapi..., apakah kau termasuk orang sakti yang diceritakan ayahku, Kek?!” tanya Mahendra ragu, sambil menatap tajam Songka Lawung penuh selidik.
“Ha ha ha...!” Tawa kakek berpakaian compang-camping itu lepas, begitu mendengar pertanyaan yang demikian polos bocah berpakaian biru itu. “Walaupun mungkin aku bukan termasuk orang sakti yang dimaksud ayahmu, tapi aku yakin akan dapat mengalahkannya!"
“Aku tidak percaya!” bantah Mahendra.
“Mengapa kau berpendapat demikian, Bocah Bagus? Apa karena kau sudah melihat keadaan tubuhku? Ho ho ho, kau keliru besar kalau berpendapat demikian! Ataukah... aku perlu membuktikannya?” tantang Songka Lawung.
“Bagaimana kau dapat membuktikan kesaktianmu, Kek?! Tidak ada orang yang dapat kau jadikan sebagai lawan!” ujar Mahendra, bingung.
“Mengapa mesti repot-repot mencari lawan?!” sergah Songka Lawung cepat. “Bisa kita gunakan yang lain untuk uji coba kepandaianku! Sekarang, perhatikan baik-baik! Kau lihat pohon besar itu!”
Kakek berpakaian compang-camping itu menudingkan jari telunjuk kanan pada sebatang pohon besar yang terletak sekitar enam tombak dari tempat mereka berdiri. Sebuah pohon yang amat besar. Untuk melingkari batangnya memerlukan dua tangan orang dewasa.
“Nah, menurutmu sanggupkah ayahmu menghancurkan pohon itu dari sini?!”
Mahendra menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, Kek. Tapi..., apakah kau sendiri nampu melakukannya?”
“Tentu saja!” jawab Songka Lawung yakin. “Nah, sekarang kau lihat baik-baik!” Usai berkata demikian, Songka Lawung menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Lalu....
“Hih!” Songka Lawung menghentakkan tangan dengan keras.
Wusss!
Deru angin keras terdengar ketika kakek itu menghentakkan kedua tangannya sampai ke depan dada. Sesaat kemudian....
Glaaar...! Bukkk!
Diiringi suara menggelegar dan berderak keras, batang pohon besar itu hancur berantakan. Pohon pun ambruk seketika.
“Haaah, hebat..! Rupanya kau memiliki kepandaian hebat, Kek!” puji Mahendra penuh perasaan kagum menyaksikan kepandaian yang diperlihatkan kakek berwajah buruk itu kepadanya.
“Bagaimana?” senyum lebar tersungging di Songka Lawung. “Apakah aku bisa diterima menjadi gurumu, Mahendra?”
“Guru...!” sahut Mahendra sambil melangkah mendekat. Mahendra yang cerdik langsung memberi hormat pada Songka Lawung.
Kakek itu tertawa terkekeh melihat keberhasilannya membujuk Mahendra menjadi muridnya. “He he he... bagus! Sekarang kau jadi muridku, Mahendra. Nah, mari kita tihggalkan tempat ini. Aku akan membawamu ke sebuah tempat yang dapat membuat kau cepat menguasai ilmu-ilmu tinggi. Tapi sebelum itu, mari kita kubur dulu mayat ayahmu!'
Mahendra menganggukkan kepala. Kemudian diikutinya Songka Lawung yang menghampiri mayat ayahnya. Untuk yang kedua kalinya, Mahendra terkagum-kagum melihat kepandaian Songka Lawung. Dengan mata kepala sendiri dilihatnya, Songka Lawung menggali tanah yang keras dengan ranting kayu sebesar ibu jari.
Hebatnya, meskipun hanya mempergunakan sebatang ranting, pekerjaan itu hanya diselesaikannya dalam waktu yang sebentar saja. Mahendra terlongong bengong menyaksikan pekerjaan kakek tua itu.
Hanya dalam sekejapan saja, sebuah lubang telah tergali. Dan di tempat itulah onggokan mayat Malaikat Ruyung disemayamkan diiringi tatapan wajah sedih Mahendra.
“Mari kita berangkat, Mahendra!” ajak Songka Lawung setelah memberikan waktu cukup lama pada Mahendra untuk berpamitan dengan ayahnya.
Digandengnya tangan Mahendra yang masih memandangi kuburan ayahnya itu. Tak ada pilihan lagi bagi Mahendra. Dengan hati berat, diayunkan langkahnya meninggalkan kuburan ayahnya untuk mengikuti Songka Lawung. Seorang tokoh aneh yang menjadi juru penolongnya tanpa diketahui dari mana asalnya dan kapan dia datang.
“Jadi..., rupanya kau bocah sialan putra Malaikat Ruyung itu?!” tanya lelaki berompi merah agak terbata-bata. Dirinya mulai merasakan adanya bahaya besar mengancam jiwanya. Kesadaran akan adanya ancaman bahaya itu menyebabkan lelaki berompi merah segera melompat dari punggung kudanya.
“Hup!”
Jleggg!
Lompatan itu begitu cepat dan ringan, seolah-olah tak ingin didahului. Segera dikeluarkan senjata andalannya. Sebuah bola sebesar kepala yang dipenuhi duri baja. Bola itu terikat rantai baja yang cukup panjang.
Krekek...! Krekeeek!
Melihat lelaki berompi merah turun dari punggung kudanya, lelaki kecil kurus pun melakukan hal yang sama. Dirinya bermaksud membantu lelaki berompi merah apabila diperlukan.
“Ha ha ha...!”
Pemuda berpakaian biru itu tertawa bergelak. Sebuah tawa yang mengerikan dan mengandung hawa maut. Keseraman tawa itu semakin terlihat jelas ketika pemuda itu menutup tawanya dengan dengusan bengis yang terlontar dari mulutnya.
“Syukur kau masih ingat, Monyet Botak! Dan kini telah tiba saatnya pembalasan dendamku! Kau akan nenjadi korban perdanaku! Ha ha ha...!”
“Sombong! Kaulah yang akan kujadikan cacahan daging seperti ayahmu, Bocah Gila! Hiyaaat..!” lelaki berompi merah berteriak dan memburu ke lelaki berpakaian biru.
Wukkk! Wukkk!
Siuuut..! Krekek..., krekek!
Lelaki berompi merah memutar-mutarkan bola berdurinya itu di atas kepala beberapa kali, lalu dilontarkannya. Seketika bola berduri itu meluncur deras ke bagian tubuh pemuda berpakaian biru. Serangan itu nampaknya tak menginginkan kematian mendadak lawannya secara mudah. Serangan itu terarah ke bagian dada, perut, atau kaki lelaki berpakaian biru.
Mahendra menggertakkan gigi menahan geram, ketika mendengar ucapan lelaki berompi merah. Seketika darah di kepalanya membludak, ucapan itu telah mengingatkan kembali pada kematian ayahnya yang mengerikan.
Meskipun demikian Mahendra bersikap tenang. Dirinya tak ingin terburu-buru dan gegabah melakukan tindakan, baik untuk mengelak maupun menangkis serangan itu. Dengan sabar ditunggunya hingga bola berduri yang berputar-putar kencang itu mendekat ke tubuhnya.
“Hiaaat..!”
Wuuuk! Wuuuk...!”
Dan ketika bola berduri itu hampir saja menerjang, tubuhnya segera didoyongkan ke samping kanan. Dan itu dilakukannya tanpa menggeser kaki. Bola berduri lelaki berompi merah lewat di sisi kiri tubuhnya.
Setelah gerakan menghindar Mahendra segera bersiap dengan serangannya. Begitu serangan bola berduri itu berhasil dielakkan, tangan kirinya menjulur cepat menangkap rantai baja yang berkelebat cepat di samping kirinya.
Tappp!
Creeek...!
Gerakan secepat kilat tangan kiri Mahendra berhasil menangkap rantai baja itu. Padahal, lelaki berompi merah itu nampak telah berusaha menarik senjata andalannya dari cekalan tangan Mahendra. Tetapi gerakan Mahendra lebih cepat mencekal rantai baja itu.
Karuan saja gerakan cepat tangan Mahendra membuat lelaki berompi merah gugup! Lelaki berompi merah itu memang bukan tergolong pentolan bagi golongan hitam. Namun, julukannya telah cukup dikenal orang, sebagai 'Penjagal Nyawa'. Di samping seringnya terlibat dalam berbagai pertarungan maut.
Sebagai tokoh persilatan yang telah begitu sering terlibat pertarungan, lelaki berompi merah itu segera mengetahui kalau lawan yang dihadapi kini memiliki kepandaian tinggi. Hal itu bisa diketahuinya dari keberanian dan keberhasilan pemuda itu menangkap rantainya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membetot kembali bola berdurinya.
“Ngmmmh...! Hmmmh...!
Terdengar suara lenguhan-lenguhan berat dari mulutnya. Tetapi rantai bajanya sama sekali tak bergeming dari cekalan tangan pemuda gagah berpakaian biru itu. Rantai baja itu hanya dicekal dengan sebelah tangan. Itu pun nampaknya tanpa pengerahan tenaga, karena wajah lelaki gagah berpakaian biru itu nampak tenang.
Berbeda sekali dengan si penjagal nyawa. Wajah lelaki berompi merah itu merah padam ketika berusaha keras menarik senjatanya. Wajahnya tegang. Keringat mengalir di kening dan lehernya. Dan tangannya bergemetar hebat.
Penjagal Nyawa seharusnya sudah bisa menduga kalau tenaga dalam lawannya berada jauh di atas tingkatannya. Dan tindakan paling aman yang harus dilakukannya, melepaskan saja senjata itu. Tapi, karena perasaan sayang, ditambah lagi dengan kekerasan hatinya, sehingga lelaki berompi merah itu memaksakan diri. Tangannya terus membetot senjatanya dari tangan Mahendra.
Sementara lelaki kecil kurus kawan si penjagal nyawa hanya mampu menyaksikan kejadian itu. Seperti juga Penjagal Nyawa, dirinya pun terkejut bukan kepalang melihat betapa mudahnya senjata andalan kawannya itu disambar tangan kiri pemuda berpakaian biru itu. Disadarinya kalau keadaan gawat tengah dihadapi oleh kawannya.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki kecil kurus segera bertindak. Lelaki kecil kurus langsung menyelusupkan kedua tangannya ke balik baju. Dan begitu dikeluarkan, langsung saja dikibaskan.
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar seiring dengan melesatnya empat buah benda berkilat yang tidak lain pisau-pisau terbang. Senjata andalan itu melesat deras ke tubuh Mahendra.
Mahendra melihat ancaman bahaya itu. Namun dirinya tetap bersikap tenang. Tanpa mengendurkan cekalannya pada rantai baja itu, diperhatikan arah yang dituju pisau-pisau terbang itu. Hanya sekilas saja, langsung diketahuinya. Dahi, leher, dan ulu hati menjadi sasaran senjata yang melesat cepat itu. Dan ketika pisau terbang itu hampir mencapai sasaran dengan cepat Mahendra baru bertindak.
Takkk! Takkk! Prattt!
Dua pisau terbang yang menuju ke ulu hati dan perutnya sengaja dibiarkan, hingga tepat mengenai sasarannya. Namun, pisau-pisau itu terpental jatuh ke tanah tak mampu menembus. Jangankan menancap, melukai pun, tidak. Sedangkan dua lagi dapat dimusnahkan dengan cara luar biasa.
Yang menuju ke leher dipatahkan dengan sampokan tangan kanan. Satu lagi dapat diatasi dengan mulutnya. Tentu gerakan yang terakhir ini membutuhkan perhitungan dan kemahiran, karena jika meleset sedikit saja dapat melukai mulutnya.
Namun ternyata, Mahendra mampu melakukannya. Pisau terbang itu berhasil ditangkap dengan giginya. Lalu, dilemparkan kembali ke tubuh pemiliknya dengan egosan kepala.
Singgg!
Pisau itu meluncur kembali ke tubuh lelaki kecil kurus menyusul luncuran pisau lain akibat sampokan tangan Mahendra. Lelaki kecil kurus terkejut bukan kepalang melihat kejadian yang sama sekali tidak disangkanya itu. Apalagi ketika menyadari kecepatan luncuran pisau-pisau terbang itu berlipat kali kecepatan semula.
Meskipun demikian, lelaki kecil kurus ini masih sempat mempertunjukkan kebolehannya dalam melempar pisau. Dalam keadaan gawat seperti itu, dirinya mampu melakukan tindakan penyelamatan. Dilemparkannya pisau lain guna menangkis serangan balik pisau terbang itu.
Trang! Trang!
Bunga api mencelat ketika empat batang pisau berbenturan dengan keras di udara. Namun, karena luncuran pisau-pisau terbang lelaki kecil kurus lebih lambat, pisau-pisau itu terpental. Sedangkan pisau-pisau dari Mahendra masih sempat meluncur beberapa jauh. Dan sisa tenaga luncuran itu mengarah ke tubuh lelaki kurus pemilik senjata terbang. Dan....
“Uuuh...!” Mata lelaki kecil kurus terpekik. Hampir saja nyawanya melayang terterjang senjatanya sendiri. Tangannya nampak mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya.
Rupanya Mahendra merasa sudah cukup memberikan kesempatan pada Penjagal Nyawa. “Hih!” Mahendra menghentakkan tangannya, dengan pengerahan tenaga dalamnya. Gerakan itu dilakukan dengan begitu cepat dan tiba-tiba. Akibatnya, tubuh Penjagal Nyawa terhentak keras ke tubuh Mahendra.
“Aaah...!” Tanpa sadar lelaki berompi merah terpekik keras. Jerit yang keluar karena perasaan ngeri dan kaget ketika tubuhnya melayang tertarik ke tubuh Mahendra.
Dalam keadaan yang demikian gawat, Penjagal Nyawa masih berusaha keras menyelamatkan nyawanya. Ketika tubuhnya melayang di udara itu, segera pikirannya mencari cara untuk menyelamatkan diri. Untungnya, berhasil pula didapatkan sebuah siasat.
Diikuti arah luncuran tubuhnya yang sudah pasti ke arah Mahendra. Dan begitu telah berada dekat, rantai baja yang berada di genggamannya akan dilecutkan ke ubun-ubun Mahendra. Namun perasaan lega hanya berlangsung sesaat. Karena sebelum tubuhnya berada dalam jarak yang diancang-ancangkan, Mahendra lebih dulu melakukan tindakan yang mengejutkan hati Penjagal Nyawa.
Betapa tidak? Pemuda berpakaian biru itu melemparkan bola berduri di tangannya untuk menyambut datangnya tubuh Penjagal Nyawa. Kontan lelaki berompi merah ini kelabakan. Keadaannya yang tengah melayang di udara menimbulkan kesulitan untuk mengelakkan serangan itu. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah menangkis serangan itu.
Siuuut! Trakkk! Bukkk!
“Akh...!” Lelaki berompi merah yang berjuluk Penjagal Nyawa terpekik. Bola berduri yang berhasil dipapak dengan sabetan rantai, ternyata hanya mampu membuat arah bola berduri itu menyeleweng tidak meluncur ke arah dada. Tetapi bola baja berduri itu meleset dan mengenai pahanya.
“Aaah...!” Seketika itu pula tulang paha Penjagal Nyawa hancur berantakan. Darah mengalir dari pahanya yang hancur. Jerit kesakitan pun keluar dari mulut Penjagal Nyawa itu.
Jliggg! Lelaki berompi merah cukup tangguh, dalam keadaan terluka, ternyata masih mampu mendarat di tanah dengan kedua kaki. Meskipun agak sempoyongan ke sana kemari karena luka di pahanya terlalu parah.
“Ha ha ha...! Itu baru babak awal dari kematian yang akan kau terima, Iblis Busuk!” ejek Mahendra sambil mengayunkan langkah mendekati.
“Cuhhh!” Penjagal Nyawa membuang ludah dengan kasar. Lalu ditotoknya jalan darah di sekitar paha untuk mencegah derasnya darah yang mengalir. Baru kemudian dilayangkan pandangannya ke arah Mahendra. Lalu....
Wuk! Wuk! Wukkk!
Senjata andalannya kembali berputar-putar di atas kepala. Penjagal Nyawa telah bersiap kembali melanjutkan pertarungannya.
Lelaki kecil kurus yang menyadari kalau Penjagal Nyawa bukan tandingan Mahendra langsung mencabut senjata andalan berupa sebatang ganco, lalu menyabet-nyabetkan di depan dada dengan begitu cepat.
Wut! Wuuut...!
Tahu kalau Penjagal Nyawa dan lelaki kecil kurus telah bersatu untuk menghadapinya, Mahendra sama sekali tidak gentar. Wajahnya tetap tenang sekali. Nampaknya Mahendra menyadari kalau kepandaian kedua lawannya jauh di bawahnya. Sehingga jangankan hanya berdua, sekalipun ditambah lima kali lipat, Mahendra menganggap remeh lawan macam begini.
“Hih!” Diawali gertakan gigi, Mahendra mulai melancarkan serangan. Karena yang mempunyai urusan sebenarnya si Penjagal Nyawa, lelaki itulah yang diserangnya.
Penjagal Nyawa tentu saja tidak mau menyerahkan nyawanya percuma. Begitu dilihatnya pemuda berpakaian biru itu melancarkan serangan terhadapnya, buru-buru dipapaknya kembali dengan bola baja berduri yang masih terayun-ayun di tangannya.
Lelaki kecil kurus pun tak tinggal diam. Rupanya dia memiliki kesetiakawanan yang besar. Maka melihat adanya ancaman bahaya terhadap Penjagal Nyawa, dia pun mengayunkan ganconya ke arah Mahendra.
Serangan beruntun ini memaksa Mahendra membatalkan serangannya. Dan keadaan ini dipergunakan Penjagal Nyawa dan lelaki kecil kurus untuk melancarkan desakan. Sementara itu pula luka parah di paha Penjagal Nyawa semakin mendera. Beberapa kali giginya bergemeretak menahan rasa sakit yang hebat.
Kali ini Mahendra tidak bisa menundukkan lawan-lawannya secara mudah seperti sebelumnya. Karena nampaknya kedua orang lawannya itu telah mengetahui secara pasti kelihaian Mahendra.
Sehingga mereka bertindak lebih berhati-hati. Tambahan lagi, kali ini penyerangan dilakukan secara bersama-sama, sehingga cukup merepotkan gerakan Mahendra untuk menghadapi mereka.
Pertarungan itu kian lama bertambah seru. Sambaran bola berduri dan ganco beberapa kali berkelebat tetapi belum juga berhasil mengenai sasarannya. Gerakan cepat dan ringan tubuh Mahendra mampu menghindarkan setiap serangan.
Pada jurus kesebelas, Mahendra sudah mulai menguasai keadaan. Perlahan-lahan berhasil mendesak kedua lawannya. Bahkan beberapa jurus kemudian, Mahendra berhasil merampas ganco dari tangan lelaki kecil kurus. Lalu secepat kilat menyabetkannya ke perut pemiliknya.
Jraaabbb...!
“Aaakh...!” Lelaki kecil kurus menjerit ngeri ketika ujung ganco itu merobek perutnya. Seketika itu pula darah menyembur keluar dari perutnya yang terkoyak lebar. Lelaki yang ahli melemparkan pisau ini nampak terbungkuk mendekap perut dengan kedua tangannya.
“Haaah...! Keparat!” Penjagal Nyawa terpekik dan mengumpat keras melihat kejadian yang menimpa kawannya. Dengan kemarahan yang meluap-luap dilontarkan bola berdurinya ke kepala Mahendra.
Wukkk! Tranggg! Rrrttt!
Suara gemerincing nyaring terdengar ketika ganco di tangan Mahendra berhasil menangkis serangan bola berduri yang meluncur deras ke kepalanya. Ganco itu teriilit rantai baja. Penjagal Nyawa pun tak dapat menggunakan senjata andalannya lagi. Saat itulah Mahendra menghentakkan tangan kirinya ke tubuh Penjagal Nyawa.
Wusss! Dukkk...!
“Hekh!” Mulut Penjagal Nyawa terpekik, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling di tanah. Pukulan jarak jauh Mahendra menghantam telak bahu kanannya. Dan sebelum tubuhnya berhasil bangkit, pemuda berpakaian biru itu telah berdiri tepat di depannya.
“Sekarang saatnya pembalasan untukmu, Monyet Botak!” ujar Mahendra sambil menginjakkan kaki di paha Penjagal Nyawa. Lalu dihentakkan kakinya dengan keras sekali.
Krrrkkkhhh!
“Aaakh...! Huaaahhh...!”
Bunyi gemeretak terdengar ketika tulang-tulang paha Penjagal Nyawa hancur berantakan. Jeritan menyayat hati pun keluar dari mulut lelaki berompi merah itu mengiringi hancurnya tulang paha itu.
“Ha ha ha...! Nikmat bukan?” ejek Mahendra sambil menatap wajah Penjagal Nyawa.
Sementara itu mulut Penjagal Nyawa masih mengerang keras karena rasa sakit yang mendera kedua tulang pahanya. Sekujur badannya basah oleh keringat bercampur debu. Kakinya basah dialiri darah segar dari lukanya yang parah.
Penjagal Nyawa sama sekali tidak memberikan jawaban. Sorot matanya memancarkan kengerian. Disadari akan adanya siksaan mengerikan lainnya. Raut wajah Mahendra yang memancarkan dendam kesumat membuktikan kalau pemuda berpakaian biru itu akan membunuh lawannya secara perlahan-lahan.
Penjagal Nyawa bukan orang yang takut mati. Tetapi, mati secara perlahan-lahan dengan siksaan demi siksaan, tetap membuat hatinya bergetar ketakutan. Dan dalam cekaman rasa ngeri yang memuncak, tokoh yang berkepala botak ini terpaksa harus bertindak nekat. Ketika Mahendra tengah hanyut dalam perasaan gembiranya, tiba-tiba digigitnya lidah sendiri keras-keras hingga putus.
“Hmmmhhh...!”
Krrrrttt!
“Hey...!” Mahendra menjerit kaget ketika melihat mulut Penjagal Nyawa berlumuran darah. Sesaat kemudian, baru mengetahui hal yang telah terjadi. Maka buru-buru diperiksanya tubuh tokoh berkepala botak itu. Sayang, terlambat! Penjagal Nyawa telah tewas dengan potongan lidahnya masih di dalam mulut.
“Keparat!” maki Mahendra geram. Rasa penasaran yang amat sangat membayang jelas pada wajahnya. “Betapa bodohnya aku! Tapi, kecerobohan seperti ini tak akan terulang lagi!”
Setelah berkata demikian, Mahendra segera mengalihkan pandangan pada lelaki kecil kurus. Tapi, lagi-lagi kecele. Lelaki kecil kurus telah terbujur tak bernyawa di tanah. Nampak lelaki kurus itu pun telah melakukan bunuh diri karena merasa ketakutan menghadapi kebengisan pemuda berpakaian biru itu.
“Hmh...! Bedebah!" Dengan cepat Mahendra melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali hentakan saja, tubuhnya telah melesat dan tak nampak lagi.
Kini suasana kembali hening. Tidak ada lagi denting senjata beradu maupun jerit kesakitan dan kematian. Keadaan telah kembali seperti semula sebelum terjadinya peristiwa mengerikan itu. Hening dan sepi, yang terdengar hanyalah bunyi hembusan angin. Pelan, seperti ikut merasa sedih atas kejadian yang baru saja terjadi. Dua tubuh lelaki terkulai berlumur darah di atas tanah berdebu.
Tapi kesunyian itu tidak berlangsung lama. Karena sesaat kemudian, dari kejauhan nampak dua sosok berpakaian ungu dan putih bergerak menuju tempat itu. Kedua sosok ungu dan putih itu melesat begitu cepat. Hanya dalam sekejap mata keduanya telah mencapai tempat kedua tubuh lelaki itu terkulai.
“Kang, lihat!” seru sosok berpakaian putih yang tak lain Melati, sambil menuding ke tubuh dua lelaki yang terkulai berlumuran darah itu.
Dewa Arak, sosok yang satunya lagi, hanya menganggukkan kepala mengerti maksud kekasihnya. Karena tanpa diberitahukan pun matanya telah melihat. Jarak antara mereka dengan kedua mayat itu tinggal beberapa tombak.
“Hup!” Sesaat kemudian Dewa Arak dan Melati telah berada di dekat mayat Penjagal Nyawa dan laki-laki kecil kurus. Keduanya langsung memeriksa kedua tubuh yang berlumur darah itu.
“Baru saja tewas, Kang,” kata Melati setelah memeriksa tubuh Penjagal Nyawa.
“Berarti kejadiannya belum lama, Melati,” sambut Dewa Arak sambil menganggukkan kepala.
“Dia mati bunuh diri, Kang. Lidahnya putus...,” ajar Melati lagi.
Dewa Arak tercenung sebentar. Wajahnya kemudian memandangi tempat sekelilingnya. “Hanya ada satu kemungkinan yang menjadi penyebab lelaki ini melakukan bunuh diri, Melati. Dia tidak kuat menahan siksaan. Begitu menurut dugaanku,” ujar Dewa Arak mencoba menerka kejadian yang dialami lelaki naas ini.
“Aku pun menduga begitu, Kang. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah persoalan yang menyebabkan lawan orang ini melakukan penyiksaan yang demikian keji ini. Tulang-belulangnya dihancur-leburkan! Sungguh sebuah siksaan yang kejam!” tandas Melati.
Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tiba-tiba terdengar suara.
“Hmmmhhh...!”
Rintihan pelan membuat Dewa Arak dan Melati menolehkan kepala ke asal suara. Seketika itu pula mereka ingat kembali akan sosok tubuh yang satu lagi Dewa Arak dan Melati melesat ke tubuh lelaki kurus kecil yang tergolek lemas tak jauh di belakang mereka.
Suara rintihan itu ternyata berasal dari mulut lelaki kecil kurus yang tengah berusaha untuk duduk. Nampak jelas betapa lelaki kecil kurus ini mengalami kesulitan. Perut lelaki kecil kurus itu robek. Tubuhnya dibasahi darah bercampur debu dan tanah. Dan sebelum lelaki kecil kurus berhasil dengan usahanya, Dewa Arak dan Melati telah sampai di dekatnya.
Dewa Arak dan Melati segera berjongkok. Tanpa memeriksa lagi, hanya dengan sekali pandang Dewa Arak langsung mengetahui kalau nyawa lelaki kecil kurus tidak bisa diselamatkan lagi. Luka-luka yang diderita terlalu parah. Darah yang keluar telah terlalu banyak, menyebabkan tubuh lelaki kecil kurus itu lemas dan tak berdaya.
“Apa yang telah terjadi, Kisanak?” tanya Dewa Arak buru-buru, karena mengetahui bahwa lelaki kecil kurus itu tak mungkin bertahan lebih lama lagi.
“Pemuda berpakaian biru... mengamuk. Pemuda itu punya dendam terhadap Penjagal Nyawa... karena orang tuanya telah dibasmi secara kejam. Dan... akh!” ucapannya terputus.
Kepala lelaki kecil kurus telah terkulai sebelum ucapannya berhasil diselesaikan. Saat itu nyawa lelaki kecil kurus telah melayang, dan sampailah ajalnya.
Dewa Arak dan Melati saling pandang. Meskipun erangan lelaki kecil kurus terputus, nampaknya mereka telah tahu orang yang dimaksudkan lelaki kecil kurus itu. Karena baru saja mereka telah bertemu dengan pemuda berpakaian biru. Bahkan sempat bentrok dengan Melati.
“Rupanya dia, Kang...,” desah Melati pelan.
“Hhh...! Pemuda berpakaian biru itu rupanya telah mulai menyebar maut. Dugaanku benar. Pemuda itu bukan orang jahat. Hanya karena menyimpan dendam terhadap tokoh-tokoh golongan hitam. Tetapi tindak pembalasan yang dilakukannya terlalu keji. Sayang sekali...!” keluh Dewa Arak sambil mengarahkan pandangan matanya ke sekitar tempat itu.
“Pembalasan dendamnya terlalu sadis, Kang. Pantas kalau lelaki berompi merah itu bunuh diri. Pasti merasa ngeri dengan siksaan yang akan diterimanya.”
“Kurasa julukan yang cocok baginya adalah Pendekar Sadis!” ujar Dewa Arak setengah berseloroh.
“Tepat, Kang!” Melati langsung mendukungnya.
“Lupakanlah, Melati! Yang penting sekarang, bagaimana caranya agar kita bisa menyadarkan pemuda itu dari kekeliruannya. Kita harus bertindak cepat sebelum dia merajalela secara mengerikan!”
Melati hanya mengangkat alis. Tak bisa ditafsirkan maksudnya. Namun yang jelas, sesaat kemudian sepasang pendekar muda itu telah kembali melesat meninggalkan tempat itu. Mereka bermaksud mengejar pemuda berpakaian biru yang telah melakukan tindakan begitu sadis dan mengerikan terhadap lawan lawannya.
“Haiit...! Hiaat...! Hih!”
Teriakan-teriakan keras melengking terdengar penuh semangat memecah kesunyian pagi. Saat itu keadaan masih sepi. Sang Surya pun baru saja muncul di ufuk timur berwama kuning kemerahan. Namun teriakan-teriakan melengking itu seolah-olah tak mempedulikan suasana pagi itu.
Suara-suara itu ternyata berasal dari halaman belakang sebuah bangunan besar dan megah yang terkurung pagar tembok tebal, kokoh, dan tinggi. Suara-suara itu keluar dari mulut mungil sosok tubuh ramping terbungkus pakaian jingga.
Sosok ramping ini ternyata seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya yang cantik itu jadi semakin terlihat cantik karena rambutnya yang panjang dikepang satu. Gadis berpakaian jingga itu tengah berlatih silat Nampak di tangannya sepasang sumpit terbuat dari baja putih. Kedua batang sumpit itu berujung runcing.
Suit! Siiit!
Bunyi menderit nyaring selalu terdengar setiap gadis berpakaian jingga itu menusukkan sepasai sumpitnya ke depan. Hal ini karena gadis itu memiliki tenaga dalam kuat yang dialirkan dalam gerakan-gerakan menusuk itu. Nampaknya karena kekuatan tenaga dalamnya itu yang menyebabkan bunyi berderit dari tusukan-tusukan sepasang sumpit itu.
“Hih!” Mendadak gadis berpakaian jingga itu menjejakkan kedua kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya telah terlontar ke belakang, dan berputar beberapa kali di udara. Dan ketika tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya bergerak mengibas.
Sing! Sing!
Desingan nyaring terdengar disusul meluncumya benda-benda putih berkilat. Dan....
Crabs! Crabs!
Benda-benda berkilat yang ternyata hiasan berbentuk bunga mawar sebesar ibu jari kaki dan terbuat dari baja putih itu menancap pada batang sebuah pohon. Dan hebatnya lagi, tancapan bunga-bunga itu berjajar membentuk segi tiga. Sungguh sebuah gerakan yang mengagumkan. Karena tanpa kemahiran dan kepandaian tak mungkin tindakan itu dapat dilakukan. Gadis itu mampu melakukannya.
Plok, plok, plok...!
Rangkaian tepuk tangan nyaring mengiringi mendaratnya sepasang kaki gadis itu di tanah. Gadis berpakaian jingga menoleh ke asal suara tepukan tangan yang mengandung pujian itu.
“Ah! Kiranya kau, Ayah,” ujar gadis berpakaian ngga sambil tersenyum, ketika melihat sesosok tubuh hitam yang memiliki ciri-ciri aneh.
Betapa tidak? Sosok berpakaian hitam itu menyerupai kera besar. Sulit dikatakan manusia jenis manakah sosok serba hitam ini? Manusia yang mirip atau sebaliknya?
Dan pertanyaan seperti itu tidak berlebihan. Raut wajah lelaki bertubuh besar itu ditumbuhi bulu-bulu halus yang hitam. Potongan tubuhnya pun agak membungkuk sehingga kedua tangannya yang memanjang melebihi ukuran manusia biasa, tergantung sampai bawah lutut Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus hitam.
“Kau kira siapa, Winarti?” sapa tokoh yang mirip kera besar sambil tersenyum. Terdengar lemah lembut suaranya mengandung perasaan kasih sayang yang dalam.
“Kukira ada orang usil yang masuk kemari...”
“Dan bermaksud mengganggumu, begitu?! Ho ho..., apakah orang itu mempunyai nyawa cadangan sehingga berani mengganggumu?!” tukas tokoh yang mirip kera besar penuh bernada kebanggaan.
Gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Winarti itu tersenyum malu. Namun, sorot kebanggaan tampak jelas pada sinar matanya. Winarti menyadari kebenaran ucapan ayahnya. Siapa orangnya yang berani mati mendatangi tempat itu?
Hampir semua orang tahu siapa ayahnya. Raja Monyet Tangan Delapan. Seorang datuk sesat yang belum pernah terkalahkan sejak puluhan tahun lalu. Jangankan untuk menganggu, mendengar julukannya saja sudah cukup membuat merinding bulu kuduk tokoh persilatan mana pun.
“Nah, sekarang tenangkanlah hatimu! Percayalah! Tak seorang pun yang berani memasuki tempat tinggal kita. Berlatihlah lebih keras, Winarti! Aku ingin semua lmu yang kuberikan padamu dapat kau kuasai dengan sempurna sebelum aku meninggal dunia!”
“Jangan khawatir, Ayah! Aku berjanji akan memperhatikan semua nasihat yang Ayah berikan,” ujar Winarti mantap.
“O, ya. Tak lama lagi akan ada orang yang mengajarkanmu cara-cara mempergunakan pisau terbang sebagai senjata rahasia.”
“Ah! Mengapa harus orang lain, Ayah. Mengapa tidak Ayah sendiri?!” sahut gadis berpakaian jingga itu dengan wajah agak bersungut-sungut.
“He he he...!” Raja Monyet Tangan Delapan tertawa terkekeh. “Memang, aku mampu mengajarkanmu, Winarti. Tapi, aku bukan ahlinya. Tokoh yang akan datang nanti, seorang yang amat mahir dalam menggunaan pisau terbang. Kudengar dia mampu melakukan penyerangan dengan pisau-pisau terbang hanya dengan pemusatan pikiran. Nah, apakah kau masih tidak tertarik? Terus terang, aku tidak mampu melakukan hal seperti itu.”
“Benarkah ucapan yang kau katakan itu, Ayah?!” tanya Winarti setengah tak percaya.
“Aku sendiri belum membuktikan kebenarannya. Tapi berita yang tersebar di dunia persilatan, mengatakan demikian. Nanti, kalau tokoh itu datang kita buktikan saja kebenarannya! Bagaimana?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan sambil menepuk-nepuk bahu Winarti.
“Baik, Ayah!” sahut Winarti gembira membayangkan betapa dirinya mampu melancarkan serangan dengan pisau terbang menggunakan pikiran seperti layaknya menggunakan tangan. “Tapi, apa julukan orang itu?”
“Setan Pisau! Sekarang, berlatihlah lagi!” jawab Raja Monyet Tangan Delapan.
Setelah berkata demikian, tokoh yang mirip kera besar itu mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, Winarti memandangi hingga punggung ayahnya lenyap di balik bangunan. Baru setelah itu dara cantik itu meneruskan kembali latihannya.
Sementara itu, Raja Monyet Tangan Delapan terus melangkah menuju ke depan. “Naga!” panggil Raja Monyet Tangan Delapan keras.
“Ya, Ketua!” sahut seorang lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Naga. Dadanya yang telanjang tampak bergambar seekor naga. Lelaki bertubuh besar dan kekar itu berjuluk Naga Berekor Sembilan. Seorang kepala bajak sungai yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun telah takluk dan mengabdi pada Raja Monyet Tangan Delapan.
“Apakah Penjagal Nyawa telah tiba?!” tanya Raja Monyet Tangan Delapan ketika Naga Berekor Sembilan telah berdiri di depannya.
“Belum, Ketua. Aku pun sejak tadi tengah menunggunya,” jawab Naga Berekor Sembilan penuh hormat.
“Aneh!” desis Raja Monyet Tangan Delapan sambil mengemyitkan kening. “Menurut perhitungan, dia harus sudah sampai semalam. Tapi, mengapa sampai saat ini belum muncul?”
“Barangkali si Setan Pisau berani main gila, Ketua,” Naga Berekor Sembilan menyampaikan dugaannya.
“Mustahil!” sergah Raja Monyet Tangan Delapan dengan suara keras. “Aku tidak percaya si Setan Pisau berani bertindak demikian. Tapi, apabila dugaanmu benar..., dia akan merasakan hukumannya!”
“Perlukah aku menyusulnya, Ketua?” ujar Naga Berekor Sembilan menawarkan diri.
“Tidak perlu!”
“Tapi, Ketua.”
“Apa lagi, Naga?!” sentak Raja Monyet Tangan Delapan kesal.
“Anu..., Ketua. Aku telah bertindak lancang. Tanpa seizinmu telah kukirim beberapa orang untuk menyusul, barangkali saja mereka mendapat halangan di jalan...,” terbata-bata karena cekaman rasa takut melanda Naga Berekor Sembilan mengeluarkan ucapan sang sejak tadi ingin dikatakannya.
“Hhh...! Kalau begitu tidak mengapa, Naga. Sekarang kita tinggal menunggu kedatangan mereka.”
Seketika merasa lega hati Naga Berekor Sembilan. Hatinya merasa khawatir kalau tindakan yang dilakukannya telah menyinggung hati Raja Monyet Tangan Delapan dan mengakibatkan dirinya mendapat hukuman. Tapi ternyata tidak. Datuk sesat yang mirip kera itu sama sekali tidak menghukumnya.
Sesaat suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam alur pikirannya. Namun baru saja hal itu berlangsung sebentar, tiba-tiba salah seorang penjaga pintu gerbang beriari tergopoh-gopoh menuju Raja Monyet Tangan Delapan.
“Lapor, Ketua. Orang-orang yang bertugas menyusul Penjagal Nyawa telah tiba!” ujar penjaga pintu gerbang yang bermata juling itu.
“Apakah mereka datang bersama Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?!” tanya Raja Monyet Tangan Delapan, cepat.
“Tidak, Ketua!” jawab lelaki bermata juling itu cepat.
“Jadi...,” Raja Monyet Tangan Delapan tidak melanjutkan ucapannya.
“Mereka datang tanpa disertai Penjagal Nyawa dan Setan Pisau!” jelas lelaki bermata juling.
“Keparat! Mengapa mereka berani kembali tanpa Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?! Apakah mereka ingin mendapatkan hukuman dariku?!” terdengar penuh ancaman ucapan Raja Monyet Tangan Delapan.
Karuan saja Naga Berekor Sembilan dan penjaga pintu gerbang itu menundukkan kepala penuh rasa gentar, mengetahui pimpinan mereka murka. Belum lenyap suaranya, Raja Monyet Tangan Delapan melangkah tergesa-gesa menuju pintu gerbang.
Melihat hal ini, tanpa diperintah Naga Berekor Sembilan dan penjaga yang bermata juling segera melangkah, mengikuti di belakang Raja Monyet Tangan Delapan. Seperti juga sang Ketua, mereka pun ingin mengetahui mengapa utusan yang dikirimkan untuk menjemput Penjagal Nyawa telah kembali demikian cepat.
Hanya dalam beberapa langkah saja ketiga orang ini telah sampai di pintu gerbang. Ternyata laporan penjaga bermata juling itu tidak salah. Dari kejauhan tampak dua ekor kuda tengah berpacu cepat. Di atas punggung kuda itu duduk dua orang yang diutus Naga Berekor Sembilan untuk menyusul Penjagal Nyawa.
Seperti halnya orang-orang yang berada di pintu gerbang yang melihat mereka, dua orang utusan Naga Berekor Sembilan pun demikian pula. Mereka segera menggebah kudanya.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Debu mengepul tinggi ke angkasa, ketika kuda-kuda itu berpacu cepat menuju bangunan tempat tinggal Raja Monyet Tangan Delapan.
“Hooop...!”
Masih berada dalam jarak lima tombak, dua orang tusan Naga Berekor Sembilan yang sama-sama berubuh pendek kekar itu melompat dari atas punggung kuda dan mendarat ringan di tanah. Kemudian tanpa mempedulikan kuda mereka, keduanya berlari menuju Raja Monyet Tangan Delapan.
“Mengapa kalian berani kembali tanpa Penjagal Jyawa dan Setan Pisau?!” tegur Raja Monyet Tangan Delapan tak sabar dan penuh ancaman.
“Penjagal Nyawa dan Setan Pisau telah tewas, Ketua,” jawab salah satu di antara mereka yang berbibir tebal.
“Apa kau bilang?! Coba katakan sekali lagi!” perintah Raja Monyet Tangan Delapan, penuh tak percaya.
“Penjagal Nyawa dan Setan Pisau tewas, Ketua,” ulang lelaki berbibir tebal lagi sambil menelan ludah, karena perasaan gentar melihat kemarahan pemimpinnya.
“Siapa yang telah membunuh mereka?!” desis Raja Monyet Tangan Delapan sambil menggemeretakkan gigi-giginya.
“Kami tak tahu, Ketua. Yang kami temukan hanya mayat mereka. Tapi, menurut berita yang kami dengar dari penduduk desa yang letaknya tak jauh dari situ, ada seorang pemuda berpakaian biru yang mengejar-ngejar mereka,” jelas lelaki lain yang berkumis jarang.
“Pemuda berpakaian biru...?!” ulang Raja Monyet Tangan Delapan dengan alis berkerenyit seolah-olah tengah berusaha mengingat-ingat. Tapi sampai lelah menggali ingatannya tetap saja tidak dikenalnya tokoh yang berpakaian seperti itu.
“Kau yakin kalau yang mengejar-ngejar Penjagal Nyawa dan Setan Pisau seorang pemuda?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan lagi penasaran.
“Kami yakin betul, Ketua. Karena kami telah menanyakannya pada beberapa orang. Dan jawaban yang mereka berikan ternyata sama,” jawab lelaki berbibir tebal mantap.
Raja Monyet Tangan Delapan tercenung. Sementara benaknya sibuk memikirkan tokoh muda yang mengenakan pakaian biru. “Kau yakin warna pakaiannya biru? Bukannya ungu?” ulang Raja Monyet Tangan Delapan lagi meminta kejelasan.
Tokoh yang mirip kera besar itu sengaja mengajukan pertanyaan demikian. Karena dirinya telah mendengar keberadaan seorang tokoh muda yang berjuluk Dewa Arak. Menurut kabar yang tersiar, tokoh itu juga seorang pemuda dan mengenakan pakaian ungu. Barangkali orang yang dimaksudkan dua anak buahnya ini Dewa Arak.
“Bukan, Ketua! Pengejar Penjagal Nyawa seorang pemuda berpakaian biru. Sedangkan pemuda berpakaian ungu teman dari seorang gadis yang telah bertarung menghadapi pemuda berpakaian biru,” jelas lelaki berkumis jarang.
“Jadi..., pemuda berpakaian ungu pun ada pula?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan setengah tak percaya karena sama sekali tidak menduganya. “Coba kau ceritakan secara lengkap!”
Lelaki berbibir tebal tidak langsung memenuhi perintah pimpinannya. Wajahnya tercenung sejenak, memikirkan dari mana cerita itu harus dimulai sesuai dengan berita yang didengamya.
“Menurut cerita yang kami dapatkan, ada tiga orang kasar hendak mencuri kuda pemuda berpakaian biru. Tapi, sebelum mereka berhasil, pemuda berpakaian biru telah mengetahuinya. Sehingga pertarungan antara mereka pun terjadi.”
Lelaki berbibir tebal menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dan kembali menelan ludah yang mengumpul di mulutnya.
“Ternyata pemuda berpakaian biru itu sangat tangguh. Hanya segebrakan mereka telah dirobohkan. Kemudian ketiga orang kasar itu disiksanya secara kejam. Namun, sebelum ketiga orang itu tewas, karena menderita siksaan demi siksaan, muncul seorang berpakaian ungu dan seorang gadis berpakaian putih. Dua orang ini rupanya tidak tega melihat penyiksaan itu. Sehingga pertarungan pun terjadi lagi.”
“Jadi..., pemuda berpakaian biru itu bertarung dengan pemuda berpakaian ungu?” potong Raja Monyet Tangan Delapan tidak sabar.
“Tidak, Ketua,” lelaki berkumis jarang memberikan jawaban. “Pemuda berpakaian biru itu bertarung melawan gadis berpakaian putih, teman pemuda pakaian ungu,” lanjutnya.
“Dengan gadis berpakaian putih itu?” tanya Monyet Tangan Delapan dengan suara kurang bersemangat. Dan helaan napas kecewa pun terhempas dari mulutnya ketika lelaki berkumis jarang itu menganggukkan kepala.
“Pemuda berpakaian biru itu ternyata sangat tangguh dan lihai. Ilmu yang dipergunakan juga sangat aneh dan dahsyat sekali. Hanya dalam beberapa gebrakan gadis berpakaian putih itu hampir dibuatnyaa tak berdaya. Tapi, ketika pertarungan tengah berlangsung seru, pemuda berpakaian biru tiba-tiba menghentikannya. Semula orang-orang merasa heran. Tapi sesaat kemudian mereka tahu. Pemuda berpakaian biru itu ternyata memburu dua orang penunggang kuda. Jelas, urusannya dengan dua orang penunggang kuda itu lebih penting daripada menghadapi si gadis berpakaian putih.”
“Dan..., dua orang penunggang kuda itu Penjagal Nyawa dan Setan Pisau! Iya?” lagi-lagi Raja Monyet Tangan Delapan menyelak karena perasaan tidak sabar.
“Benar, Ketua,” kini ganti lelaki berbibir tebal yang memberikan jawaban.
“Dia benar-benar sadis, Ketua. Penjagal Nyawa akhirnya mati bunuh diri! Mungkin karena merasa tak tahan dengan siksaan yang diberikan pemuda berpakaian biru,” tutur lelaki berbibir tebal mengakhiri ceritanya.
Suasana berubah hening ketika lelaki berbibir tebal dan lelaki berkumis jarang telah menghentikan ceritanya. Mereka semua tenggelam dalam alur pikirannya masing-masing. Hati mereka bertanya-tanya siapakah sebenamya pemuda berpakaian biru itu?
“Apakah kau tidak mendapat berita siapa sebenarnya pemuda berpakaian biru itu?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan ketika teringat. Lelaki berbibir tebal menggelengkan kepala.
“O, ya. Tadi kau bilang dia menggunakan ilmu aneh tapi dahsyat. Di mana keanehannya?”
“Dia bertarung dalam keadaan tubuh terbalik, Ketua. Kepalanya di bawah dan kedua kakinya di atas,” jelas lelaki berbibir tebal.
“Hhh...!” jerit keterkejutan keluar dari mulut Raja Monyet Tangan Delapan. Raut wajah tokoh mirip gorila itu memai keterkejutan yang amat sangat. Begitu pula Naga ekor Sembilan dan beberapa orang yang berada pintu gerbang itu.
Tentu saja hal itu membuat semua anak buahnya merasa heran. Tapi, mereka berpura-pura tidak tahu dan menundukkan kepala.
“Lalu..., mengapa pemuda berpakaian biru membunuh Penjagal Nyawa dan Setan Pisau? Apa urusannya dengan Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan lagi setelah berhasil menguasai perasaannya.
“Kami tidak tahu, Ketua. Tapi menurut dugaan kami, yang mempunyai urusan dengan pemuda berpakaian biru itu hanya Penjagal Nyawa. Karena dialah nampaknya yang menjadi tujuan pelampiasan dendam. Pada tubuh Penjagal Nyawa kami lihat bekas-bekas siksaan, sedangkan pada Setan Pisau tidak sama sekali,” lanjut lelaki berbibir tebal menjelaskan apa yang telah dilihatnya.
Raja Monyet Tangan Delapan mengangguk-anggukkan kepala, sambil memukul-mukulkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kirinya.
“Kalau begitu, kembali ke tempatmu semula! Kau juga, Naga!” perintah tokoh mirip gorila itu seraya melangkah menuju ke dalam.
Hal yang sama pun dilakukan Naga Berekor Sembilan, lelaki berbibir tebal, dan lelaki berkumis jarang. Mereka mengayunkan langkah kembali ke tempat semula.
Sementara itu, sambil terus menindakkan kaki, benak Raja Monyet Tangan Delapan berputar keras. Kabar yang dibawa dua orang anak buahnya benar-benar telah menyebabkan benaknya dipenuhi banyak pertanyaan yang tak terjawab.
Berbagai macam pertanyaan memenuhi benak tokoh yang mirip kera besar itu. Siapa sebenarnya pemuda berpakaian biru itu? Mengapa begitu dendam terhadap Penjagal Nyawa? Lalu, dari mana didapatkan ilmu aneh itu. Raja Monyet Tangan Delapan tahu pasti nama ilmu itu dan siapa pemiliknya.
Tanpa sadar, terbayang kembali di benaknya kejadian puluhan tahun silam saat dirinya masih berusia tiga belas tahun. Bersama dua orang kawannya berperahu ke laut untuk mencari ikan. Malang, badai datang. Maka perahu mereka pun diombang-ambingkan gelombang dan akhirnya hancur berantakan.
Untung Raja Monyet Tangan Delapan dan seorang kawannya yang bernama Songka Lawung berhasil menangkap pecahan perahu. Raja Monyet Tangan Delapan dan Songka Lawung akhirnya dapat selamat. Berhari-hari lamanya mereka berdua dipermainkan gelombang sebelum akhirnya terhempas ke sebuah pulau.
Nasib baik menyertai mereka berdua. Mereka bertemu dengan seorang kakek yang sudah amat tua. Keadaannya sudah lebih mendekati tengkorak daripada manusia. Meskipun demikian, kakek itu memiki kepandaian amat tinggi. Dan Raja Monyet Tangan Delapan serta Songka Lawung akhirnya menjadi muridnya. Mereka berdua berlatih dengan giat ilmu-ilmu dari kakek itu.
Mula-mula mereka mengalami kemajuan berbarengan. Tapi lama-kelamaan, bakat Songka Lawung terhadap ilmu silat mulai terlihat. Dirinya mampu maju secara cepat dalam ilmu-ilmu yang dipelajarinya, hingga Raja Monyet Tangan Delapan tertinggal. Semakin lama perbedaan tingkat mereka semakin jauh. Hal ini menimbulkan perasaan iri hati Raja Monyet Tangan Delapan.
Apalagi, ketika akhirnya Songka Lawung menerima ilmu 'Pembalik Jagat', dan Raja Monyet Tangan Delapan hanya mendapatkan ilmu 'Tangan Seribu'. Rasa iri di hatinya berubah menjadi kebencian. Raja Monyet Tangan Delapan pun mengambil keputusan singkat, Songka Lawung harus dilenyapkan.
Dan peluang bagi Raja Monyet Tangan Delapan untuk melaksanakan niat jahatnya semakin terbuka ketika guru mereka akhirnya pergi meninggalkan mereka. Sang Guru hanya meninggalkan pesan yang mengatakan bahwa mereka berdua telah menamatkan semua ilmu darinya.
Dengan sebuah siasat licik, Raja Monyet Tanga Delapan berhasil menjebak Songka Lawung di sebuah sumur yang amat dalam. Kemudian dari atas, Monyet Tangan Delapan mengguyurkan cairan yang panas membara. Setelah kejadian itu, hati Raja Monyet Tangan Delapan pun puas. Karena dirinya yakin betul Songka Lawung telah tewas.
Itulah sebabnya kini Raja Monyet Tangan Delapan terkejut bukan kepalang, ketika mengetahui ada seorang pemuda yang memiliki ilmu 'Pembalik Jagat' itu. Mungkinkah pemuda berpakaian biru itu mempunyai hubungan dengan Songka Lawung?
Apakah saudara seperguruannya itu masih hidup? Kalau benar demikian, berarti bahaya besar tengah mengancamnya. Mulai sekarang, kewaspadaannya harus ditingkatkan. Demikian Raja Monyet Tangan Delapan memutuskan. Nampaknya pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi hati dan benaknya sedikit mulai terjawab, ingatannya terhadap masa lalunya membuka jalan bagi jawaban atas semua pertanyaan tadi.
Perlahan-lahan matahari terus merangkak, dan kini telah berada tepat di atas kepala. Cahaya terik menerpa seluruh permukaan bumi. Di bawah teriknya cahaya matahari siang itu, nampak dari kejauhan melesat cepat sesosok bayangan biru. Gerakan melesat sosok bayangan biru itu menuju tempat kediaman Raja Monyet Tangan Delapan.
Sementara itu, dua orang penjaga pintu gerbang rumah Raja Monyet Tangan Delapan mengawasi dari kejauhan gerakan cepat bayangan kebiruan yang menuju tempatnya.
”Kau lihat?!” tanya penjaga yang bermata juling pada kawannya, menunjuk ke bayangan biru itu.
“Ya, aku melihatnya,” jawab penjaga yang satunya lagi. “Apakah dia yang membunuh Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?”
“Mungkin orang itu!” sahut penjaga yang bermata juBng. “Bukankah dia mengenakan pakaian biru?!”
“Kalau begitu, cepat beritahukan Naga Berekor Sembilan! Biar, aku yang mengawasinya!” usul kawan si mata juling.
“Baik!”
Tanpa membuang waktu, penjaga yang bermata Juling itu segera melesat ke dalam. Sementara kawannya terus mengawasi sosok bayangan biru yang ternyata jelas-jelas menuju tempat mereka. Gerakan sosok bayangan biru itu ternyata sangat cepat. Dalam waktu sebentar saja, kawan si mata juling nampu melihat dengan jelas ciri-cirinya. Karena sosok bayangan biru kini telah berada hanya dalam jarak belasan tombak.
Dan, ternyata sosok bayangan biru itu memang benar seorang pemuda berpakaian biru. Karuan saja hati penjaga pintu gerbang itu menjadi gentar dan melangkah mundur.
“Hup!” Pemuda berpakaian biru itu mendaratkan kaki berjarak tiga tombak dari tempat penjaga pintu gerbang berdiri. Kemudian dengan sepasang matanya yang tajam dirayapinya sekujur tubuh penjaga pintu gerbang itu.
Karuan saja, tindakan pemuda berpakaian biru itu membuat nyali penjaga pintu gerbang itu semakin menciut. Kalau Penjagal Nyawa dan Setan Pisau saja bisa dibinasakan, apalagi dirinya yang memiliki kepandaian tidak seberapa jika dibanding dengan Penjagal Nyawa.
“Kau...! Ya..., aku ingat! Kau salah satu di antara mereka. Kau pun akan merasakan pembalasanku!” desis Mahendra penuh dendam.
Ucapan Mahendra semakin menciutkan nyali penjaga itu. Dirasakan adanya ancaman dari ucapan yang terdengar penuh getaran itu. Penjaga itu jadi teringat akan cerita-cerita yang didengarnya tentang Mahendra. Pemuda berpakaian biru ini berwatak sadis, yang akan menyiksa lawannya sampai mati.
Penjaga itu melangkah mundur. Namun, langkahnya segera terhenti. Dan nyalinya yang telah kuncup pun kembali mekar, ketika Naga Berekor Sembilan dan belasan kawannya telah berada di dekatnya. Naga Berekor Sembilan langsung maju ke depan.
“Kaukah orang yang telah membunuh Penjagal Nyawa?!” tanya Naga Berekor Sembilan menuduh, sambil menudingkan jari telunjuknya.
“Hmh...!” Mahendra mendengus penuh ejekan. “Bukan hanya Penjagal Nyawa yang kubunuh! Kau dan semua orang yang berada di tempat ini akan bernasib yang sama dengannya!”
“Keparat! Kau akan menerima balasan atas tindakan keji yang kau lakukan terhadap Penjagal Nyawa! Serbu...!” seru Naga Berekor Sembilan keras sambil mengibaskan tangannya.
Mendengar perintah itu belasan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan bergerak menerjang Mahendra. Senjata-senjata yang terdiri dari berbagai macam jenis meluncur ke berbagai bagian tubuh Mahendra.
Sing! Sing! Wuk!
Mahendra masih bersikap tenang. Dibiarkan hingga semua serangan itu meluncur dekat Baru ketika ujung senjata-senjata itu mengenainya, dirinya purj bertindak. Laksana bayangan, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan senjata-senjata lawan.
Kemudian tangan dan kakinya bergerak. Setiap kali tangan atau kaki Mahendra bergerak, pasti ada sosok tubuh yang terpental keluar dari kancah pertarungan diiringi jeritan kesakitan.
Karuan saja hal itu membuat Naga Berekor Sembilan yang menjadi pimpinan penyerang semakin kalap. Golok besar di tangannya semakin merajalela mencari sasaran di tubuh Mahendra. Hal yang sama pun dilakukan belasan kawan-kawannya.
Maka pertarungan sengit pun tak terelakkan. Pertarungan antara belasan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan yang menggunakan aneka ragam senjata dengan Mahendra yang bertangan kosong.
Meskipun tidak menggunakan senjata, sepak terjang Mahendra benar-benar menggiriskan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit untuk mengelakkan setiap serangan. Sebaliknya, setiap kali tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan akan ada tubuh-tubuh yang terpental dan tak mampu bangkit lagi.
Meskipun mereka tidak tewas seketika. Tak sampai dua puluh jurus, lebih dari setengah jumlah anak buah Raja Monyet Tangan Delapan yang bergeletakan di tanah dalam keadaan tak berdaya. Meskipun demikian, mereka tetap melakukan perlawanan sengit.
Patut dipuji semangat anak buah Raja Monyet Tangan Delapan. Padahal, mereka tahu kalau tindakan yang dilakukan tak ubahnya kelompok semut menerjang api. Mereka semuanya roboh terkulai tak berdaya. Jika tak ada perubahan, mereka akan roboh semua di tangan Mahendra.
Ketika pertarungan berjalan semakin tak seimbang, karena tubuh-tubuh pengeroyok telah bergelimpangan, tiba-tiba nampak sesosok bayangan jingga.
“Mundur semua, cecunguk-cecunguk tak Berguna! Biar aku yang menghadapinya!”
Sebuah bentakan keras dan melengking nyaring keluar dari mulut sosok bayangan jingga itu. Sisa-sisa anak buah Raja Monyet Tangan Delapan melompat mundur, mematuhi perintah itu. Mereka semua kenal betul suara itu. Siapa lagi kalau bukan Winarti? Putri Raja Monyet Tangan Delapan yang mempunyai sifat manja itu, namun terkadang mampu juga bertindak kejam.
Melihat lawan-lawannya melompat mundur, Mahendra pun menghentikan serangan. Tubuhnya berdiri di tempat dan slap menghadapi segala kemungkinan.
“Hup!”
Di hadapan Mahendra telah berdiri seorang gadis berpakaian jingga. Gadis cantik itu tidak lain Winarti putri dari Raja Monyet Tangan Delapan.
“Siapa kau, Keparat! Mengapa mengacau tempat kediamanku?!” bentak Winarti keras.
“Namaku Mahendra. Dan kedatanganku kemari untuk membalas dendam atas tindakan semua orang yang berada di tempat ini terhadap orangtua dan kakak-kakak seperguruanku sepuluh tahun yang lalu. Menyingkirlah kau, Nisanak! Kau tidak termasuk di antara mereka!” jawab Mahendra panjang lebar.
“Apa kau bilang? Kau suruh aku menyingkir? Kau kira aku tidak tersangkut dalam masalah ini?! Kau tahu, siapa pemilik rumah ini? Kau tahu siapa orang-orang yang hendak kau bunuh itu?!” sahut Winarti.
“Siapa pun dirimu aku tidak tahu, Nisanak! Yang jelas, aku tahu siapa pemilik bangunan ini. Raja Monyet Tangan Delapan, bukan? Menyingkirlah, Nisanak! Aku telah bersumpah untuk membalas sakit hati orangtua dan kakak-kakak seperguruanku. Siapa pun yang menghalangi akan kuterjang!” tandas Mahendra.
“Kalau begitu, terjanglah aku, Manusia Sombong! Akulah orang yang akan menjadi perintang pertama atas sumpahmu itu!” tegas Winarti tak kalah mantap.
“Kalau itu keinginanmu apa boleh buat! Berhati-hatilah, Nisanak! Hiyaaat..!”
Dengan sebuah teriakan keras menggelegar, Mahendra memulai penyerangan. Pemuda berpakaian biru itu membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah pusar lawannya.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi serangan yang dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi Winarti pun mengetahuinya. Itulah sebabnya gadis itu tak mau bertindak gegabah. Segera didoyongkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di sisi kiri tubuhnya. Lalu secepat kilat dikirimkan bacokan tangan kanan ke lutut kanan Mahendra.
Mahendra yang tetap bersikap tenang telah menduga serangan balasan itu. Sehingga ketika serangan itu dilakukan dirinya siap untuk menangkalnya. Dan itu memang benar! Sebelum sisi tangan Winarti mengenai sasaran, telah lebih dulu Mahendra menarik kakinya.
Wusss!
Bacokan sisi tangan miring Winarti hanya membabat tempat kosong. Namun, Winarti pun sudah menduga akan terjadi hal seperti itu. Maka sambil melangkahkan kaki kanan ke depan, dengan cepat tinju tangan kirinya diluncurkan ke ulu hati Mahendra.
“Heits!”
Mahendra agak terkejut menerima serangan susulan ini. Karena pikirannya tak menduga demikian cepat tindakan Winarti. Ternyata gadis berpakaian jingga itu memiliki kepandaian yang perlu diperhitungkan. Mahendra dengan cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga serangan pun luput.
Karena menyadari keadaan kalau Winarti bukan lawan yang bisa dianggap ringan, Mahendra mulai melancarkan serangan balasan. Sesaat kemudian pertarungan sengit antara mereka pun terjadi. Baik Mahendra maupun Winarti telah mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Pertarungan antara sepasang muda-mudi yang sama-sama berwajah rupawan itu berlangsung cepat Pada jurus-jurus awal keduanya nampak berimbang. Baik Winarti maupun Mahendra sama-sama bertarung dengan gerakan cepat sekali. Sehingga pertarungan makin seru dan ramai. Bunyi angin menderu dan mencicit menyemarakkan suasana ditambah pekikan dan teriakan setiap kali serangan dilancarkan.
Pada jurus-jurus awal itu nampak keduanya saling berhati-hati, masing-masing tidak berani bertindak sembrono karena belum mengenal ilmu lawan. Tapi ketika pertarungan menginjak pada jurus kesepuluh, baik Mahendra maupun Winarti mulai unjuk gigi.
Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya masih berdiri tegak, terus mengawasi jalannya pertarungan yang cukup menarik dan seru itu. Meskipun mereka tidak dapat melihat jelas jalannya pertarungan. Tapi, karena Mahendra dan Winarti mengenakan pakaian yang menyolok perbedaannya, mereka tidak kesulitan untuk membedakan antara kedua orang itu.
Ketika pertarungan telah mencapai jurus ketiga puluh mulai tampak adanya perubahan. Perlahan-lahan Mahendra dapat menekan Winarti. Dan saat itulah Raja Monyet Tangan Delapan muncul. Tokoh yang mirip kera besar itu tidak langsung menceburkan diri dalam kancah pertarungan. Tubuhnya yang besar berdiri dekat anak buahnya, turut menyaksikan jalannya pertarungan.
Raja Monyet Tangan Delapan ingin membuktikan apakah benar pemuda berpakaian biru itu murid Songka Lawung. Itulah sebabnya dibiarkan saja Mahendra terus mendesak putrinya. Tak perlu waktu lama bagi tokoh yang mirip kera besar ini untuk memastikan dugaannya. Pengamatan itu membuatnya terkejut. Betapa tidak? Terlihat jelas, betapa ilmu yang digunakan Mahendra dan Winarti berasal dari satu cabang.
Memang terdapat kelainan pada beberapa jurus. Namun, itu terjadi mungkin karena pengembangan dari dirinya dan Songka Lawung. Atau mungkin juga karena bakat yang berada pada Winarti dan Mahendra berbeda.
Yang jelas, secara kasar bisa ditarik kesimpulan kalau Mahendra dan Winarti memiliki ilmu dari sumber yang sama. Jadi benar Mahendra murid Songka Lawung. Dan ini berarti Songka Lawung tidak tewas. Begitulah pikiran Raja Monyet Tangan Delapan setelah menyaksikan sendiri pertarungan pemuda berpakaian biru itu.
Sementara itu, keadaan Winarti semakin mengkhawatirkan, semakin terdesak. Hal itu rupanya membuat gadis berpakaian jingga itu penasaran. Kenyataannya, ketika mendapatkan sedikit kesempatan dengan cepat tubuhnya melenting ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Lalu....
Jliggg!
Manis sekali gerakan yang dilakukan Winarti. Dan itu dapat dilakukannya tanpa hambatan sama sekali. Padahal, Winarti menduga Mahendra pasti akan memburu agar dirinya tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya.
Ternyata pemuda berpakaian biru itu sama sekali tak melakukannya. Pemuda berpakaian biru malah berdiam diri di tempatnya. Mahendra bermaksud menunggu tindakan selanjutnya yang dilakukan lawan. Mahendra tahu, gadis itu menjauhkan diri darinya pasti untuk mempergunakan ilmu lainnya.
Dugaan Mahendra memang tidak meleset Winarti memang hendak menggunakan ilmu andalan. Gadis berpakaian jingga nampak memejamkan mata. Kedua tangannya dipalangkan di depan dada, dengan kedudukan yang kanan berada di atas yang kiri. Kedua tangan yang berselisih jarak sekitar seperempat jengkal itu, menegang kaku, penuh dengan kekuatan tenaga dalam.
“Hih!”
Diiringi suara bentakan, tiba-tiba Winarti menarik kedua tangannya dengan begitu cepat ke sisi pinggang. Kemudian diputar-putarkannya di depan dada. Tangan Winarti pun telah berubah menjadi banyak, saling berputaran di depan dadanya. Belasan, bahkan mungkin puluhan jumlahnya. Hal itu terjadi karena saking cepatnya pergerakan tangan Winarti. Inilah ilmu 'Tangan Seribu' andalan Raja Monyet Tangan Delapan!
“Hiaaat..!”.Dengan teriakan menggelegar dan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Winarti menerjang Mahendra. Tangannya yang kini seperti berjumlah banyak itu meluncur deras ke tubuh Mahendra. Sukar untuk diketahui sasaran yang tengah dituju karena banyaknya jumlah tangan yang terus berputar-putar.
Namun Mahendra tidak mudah tertipu. Pikirannya tahu kalau tangan Winarti tetap berjumlah dua. Kecepatan gerakan tangannya itulah yang menyebabkan jumlah tangannya seperti banyak. Segera dipusatkan perhatian pada sepasang matanya untuk mengetahui mana tangan yang aslinya. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi segera dipapaknya serangan Winarti yang meluncur deras ke tubuhnya.
Plakkk! Plakkk! Bukkk...!
“Akh...!” Suara keluhan tertahan keluar dari mulut Mahendra. Bahu kanannya terhajar. Memang, berturut-turut dirinya berhasil menangkis serangan yang mengancam. Tapi serangan lanjutan yang datang begitu cepat, tidak mampu ditangkisnya. Dalam penggunaan ilmu 'Tangan Seribu', kecepatan gerak tangan Winarti jadi berlipat ganda. Sehingga serangan pertama dan kedua dapat ditangkis serangan lainnya telah kembali meluncur dengan kecepatan tinggi.
Melihat keberhasilan serangan perdananya, maka semangat Winarti membesar. Kembali dilancarkan serangan susulan ketika Mahendra tengah terhuyung-huyung karena sakit dibahunya. Tapi bagi Mahendra, tidak terlalu sulit mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung. Hanya dengan sebuah gerakan sederhana, tubuhnya telah berhasil mengatasi keadaannya. Dan saat itulah serangan lanjutan Winarti kembali meluncur.
Wuttt!
Kali ini Mahendra tidak berani bertindak gegabah lagi. Pengalaman pertama telah memberinya pelajaran. Masih untung hanya bahunya yang terhajar. Kalau pelipis atau ulu hati? Akibatnya tentu akan lebih parah bagi dirinya. Itulah sebabnya Mahendra tidak menangkis serangan itu. Yang dilakukannya kini melempar tubuh ke samping dan bergulingan menjauh. Lalu...
Dug!
Secepat kilat Mahendra merubah keadaan tubuhnya yang barusan masih bergulingan. Sekarang Mahendra telah siap dengan ilmu 'Pembalik Jagat' andalannya. Kini yang bersentuhan dengan tanah bukan kakinya melainkan kepalanya. Sekarang sepasang kakinya menjulang tinggi ke atas.
“Hey...!”
“Akh...!”
“Hah...!”
Tanggapan-tanggapan yang penuh keterkejutan keluar dari mulut semua orang yang berada di situ. Tidak hanya Winarti dan belasan tokoh golongan hitam yang merasa kaget melihat keanehan ilmu Mahendra. Raja Monyet Tangan Delapan pun demikian pula. Namun tokoh yang mirip kera besar ini mampu menyembunyikan rasa kagetnya sehingga yang keluar dari mulutnya hanya dengusan pendek.
Padahal kalau diperbandingkan, rasa kaget yang dialami Raja Monyet Tangan Delapan malah jauh lebih besar. Karena kini sudah tidak diragukan, Mahendra ternyata murid dari Songka Lawung. Ilmu 'Pembalik Jagat' yang dimiliki menjadi bukti kuat yang tidak bisa dibantahnya lagi.
Ini berarti Mahendra mempunyai bakat besar terhadap ilmu silat. Hanya orang-orang berbakat besar yang bisa menguasai ilmu itu. Ini berarti, Mahendra merupakan orang yang amat berbahaya. Pemuda ini harus dilenyapkan secepat mungkin. Begitulah yang terus berkecamuk di dalam kepala Raja Monyet Tangan Delapan.
Tapi sebelum itu, Raja Monyet Tangan Delapan ingin menyaksikan lebih dulu ilmu 'Pembalk Jagat' yang dimiliki Mahendra. Benarkah pemuda berpakaian biru itu telah berhasil menguasainya? Ataukah hanya kulit-kulitnya saja?! Keinginan itu membuat tokoh yang mirip kera besar memutuskan untuk membiarkan Winarti terus melakukan pertarungan dengan Mahendra.
Raja Monyet Tangan Delapan tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menyaksikan jalannya pertarungan yang diharapkan itu. Sebentar kemudian Winarti yang terkejut melihat keanehan ilmu yang dihadapinya kini gadis berpakaian jingga itu telah sadar kembali.
Begitu kesadaran itu timbul, Winarti kembali menerjang Mahendra. Kedua tangannya yang terlihat berjumlah banyak itu meluncur ke berbagai bagian tubuh Mahendra.
Dengan keadaan tubuh Mahendra yang terbalik seperti itu Winarti pun segera merubah arah sasaran. Serangan kedua tangan Winarti kini lebih banyak tertuju pada sepasang kaki yang terlihat kokoh kuat itu. Sasaran lainnya yang dapat dituju hanya perut atau pusar. Tak mungkin Winarti menyerang dada atau leher, apalagi kepala!
Keadaan tubuh Mahendra benar-benar mempersulit gerakan Winarti. Mahendra sebaliknya justru mendapat keuntungan. Di samping dirinya sulit dijadikan sasaran serangan, bidang sasaran untuknya terbuka banyak. Bahkan sebagian besar merupakan bagian sasaran yang tidak terlindung.
Dan keadaan menguntungkan itu dirasakan benar-benar ketika Winarti melancarkan serangan terhadapnya. Serangan yang semula ditujukan ke kepala dan leher itu, terpaksa berubah menuju perut dan selangkangannya atau kaki.
Mahendra tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru dipapak serangan itu dengan kedua tangannya. Pada saat yang bersamaan, laksana sebuah pohon tumbang, kedua kakinya meluncur ke ubun-ubun dan pelipis Winarti. Dua jalan darah kematian.
Wuttt..! Bletakkk...!
“Aikh...!” Winarti menjerit kaget. Di samping karena tangkisan tangan Mahendra membuat tubuhnya terhuyung dan tangannya merasa sakit, serangan kedua kaki pemuda berpakaian biru itu benar-benar membuatnya gugup.
Namun, Winarti masih sanggup membuktikan bahwa dirinya bukan orang yang gampang dipecundangi. Dalam keadaan gawat itu Winarti masih mampu menyelamatkan diri. Dilemparkan tubuhnya ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara sebelum akhimya mendarat mantap di tanah.
Sit! Sit!
Tangan gadis berpakaian jingga ini kini menggenggam sepasang sumpit putih. Mahendra seolah-olah tak mempedulikan. Dengan tangan kosong dan keadaan tubuh terbalik terus menghadapinya. Diiringi suara dag-dug dag-dug kepalanya yang berbenturan dengan tanah, pemuda itu mendekati Winarti. Sesaat kemudian pertarungan pun kembali berlangsung.
Tapi jalannya pertarungan kali ini berbeda jauh dengan sebelumnya. Sekarang, semakin tampak jelas ketidak-berdayaan Winarti. Padahal, gadis cantik itu telah menggunakan senjata andalannya yang digabung dengan penggunaan ilmu 'Tangan Seribu'.
Ditambah lagi dengan lontaran-lontaran senjata rahasianya yang berupa bunga. Sedangkan Mahendra hanya bertangan kosong. Namun dengan ilmu pembalik jagatnya Mahendra terus berhasil mendesak Winarti. Sejak awal jurus, Winarti terus dihimpit dan didesak.
Sehingga ambruknya tubuh gadis berpakaian jingga ini tinggal menunggu waktu saja. Karena begitu menginjak jurus ke tujuh, serangan-serangan yang dilancarkan terus mengendor. Yang dapat dilakukannya hanya mengelak dan terus bergerak mundur.
Keadaan kritis gadis berpakaian jingga ini diketahui Raja Monyet Tangan Delapan. Sedangkan Naga Berekor Sembilan dan kawannya tidak. Namun, mereka dapat menduganya, melihat dari terus-menerusnya sosok bayangan jingga bermain mundur, sedangkan sosok bayangan biru mengejarnya.
Pertarungan semaki kin berjalan tak seimbang. Ketika pertarungan menginjak jurus ketujuh belas. Raja Monyet Tangan Delapan tidak bisa tinggal diam lagi. Dia tidak ingin Winarti keburu celaka!
“Menyingkir, Winarti! Hiyaaat..!”
Sambil mengeluarkan bentakan menggelegar, Raja Monyet Tangan Delapan terjun ke kancah pertarungan. Tokoh yang mirip kera besar ini langsung melancarkan serangan. Tak tanggung-tanggung lagi, serangan yang dilancarkannya. Dia mengirimkan sebuah tendangan terbang.
Tetapi karena sikap lawan yang tidak semestinya, Raja Monyet Tangan Delapan sedikit merubah tendangan terbangnya. Tendangan itu dilakukan tidak dengan lompatan yang tinggi.
Wuttt!
Winarti menyadari kalau dirinya bukan tandingan Mahendra. Ilmu lawan yang aneh itu benar-benar membuatnya bingung dan hilang akal. Oleh karena itu ketika melihat ayahnya telah menyerbu Mahendra, dirinya langsung melesat keluar dari kancah pertarungan.
Mahendra sama sekali tidak mengejar Winarti. Karena saat itu, serangan Raja Monyet Tangan Delapan tengah meluncur ke punggungnya. Disadari betapa dahsyatnya serangan tokoh yang mirip kera besar itu. Kalau dirinya bertindak kurang cepat, bukan mustahil nyawanya akan melayang saat itu juga.
“Hih!”
Dug!
Mahendra dengan cepat sekali membalikkan tubuh sehingga berhadapan dengan Raja Monyet Tangan Delapan. Lalu tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya tendangan terbang tokoh yang mirip kera besar dengan kakinya pula. Akibatnya....
Dukkk!
Benturan keras antara dua batang kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun terjadi. Bunyi keras seperti halilintar menyambar membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat. Akibat yang lebih hebat menimpa kedua tokoh itu. Karena Mahendra berada di pihak yang bertahan, tubuhnya merasakan getaran hebat dari benturan itu. Tetapi yang jelas kedua tubuh nampak sama-sama terpental ke belakang.
Duggg!
Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya Raja Monyet Tangan Delapan di tanah, Mahendra berdiri dengan kepalanya. Untuk beberapa saat lamanya pertarungan terhenti. Kedua belah pihak saling tatap. Agak aneh, karena Raja Monyet Tangan Delapan harus agak menundukkan kepala untuk melakukan hal itu.
“Siapa kau sebenarnya, Pemuda Sombong! Dan mengapa kau sepertinya memusuhi kami?” tanya Monyet Tangan Delapan ingin tahu.
Pertanyaan ini membuktikan kalau Raja Monyet Tangan Delapan seorang yang cerdik. Dirinya menyadari kalau Mahendra memiliki kepandaian tinggi. Bahkan mungkin tidak kalah dengannya. Apabila terjadi pertarungan, dan di antara mereka ada yang tewas, lainnya pasti terluka parah!
Dan, tokoh yang mirip kera besar ini tidak ingin mempertaruhkan risiko yang demikian besar tanpa lebih dulu mengetahui secara jelas masalah yang tengah mereka perselisihkan.
“Dengar baik-baik, Iblis Keparat!” seru Mahendra keras. Suaranya terdengar aneh, akibat sikap berdirinya yang tidak semestinya. “Ingatkah kau akan Malaikat Ruyung yang keluarga dan perguruannya telah kau musnahkan?”
“Ooo..!” mulut Raja Monyet Tangan Delapan langsung membulat. Kepalanya pun terangguk-angguk. “Aku mengerti sekarang! Jadi..., kau putra Malaikat Ruyung, hehhh?! Dan kau ingin membalas dendam kematian seluruh keluarga dan Perguruan Ruyung Baja milik ayahmu itu?”
“Tidak salah!” tandas Mahendra keras. “Dan sekaranglah saatnya hutang nyawa itu harus kau tebus, hih!”
Dug! Dug!
Dengan mengandalkan kepala, Mahendra melompat-lompat menghampiri Raja Monyet Tangan Delapan. Dan ketika jaraknya dekat, kedua kakinya melayang ke tubuh tokoh mirip kera besar itu.
Wut! Wut!
Raja Monyet Tangan Delapan nampaknya telah siap menghadapi serangan seperti itu. Sehingga, tidak sedikit pun rasa gugup menghadapi serangan itu. Buru-buru dipapaknya dengan kedua tangannya. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya diayunkan ke arah ulu hati Mahendra.
Plak! Plak! Dukkk!
Tiga benturan keras terdengar berturut-turut ketika tangan dan kaki itu berbenturan berkali-kali. Tubuh Raja Monyet Tangan Delapan tergetar, sedangkan sikap tubuh Mahendra bergoyang-goyang hampir ambruk. Gerakan melompat menggunakan kepala itu berhasil memperbaiki kedudukannya yang tak menguntungkan itu. Dari benturan yang terjadi tadi jelas kalau tenaga dalam Mahendra belum bisa menyamai tenaga dalam Raja Monyet Tangan Delapan.
Sebagai seorang datuk kaum sesat yang mempunyai banyak pengalaman, Raja Monyet Tangan Delapan mengetahui keunggulannya. Dan dia pun tahu kalau saat itu lawannya tengah berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, segera dilancarkan serangan susulan.
Sesaat kemudian, kedua belah pihak telah teriibat dalam pertarungan sengit Raja Monyet Tangan Delapan menyadari kalau Mahendra memiliki kepandaian tinggi dan ilmu 'Pembafik Jagat' yang aneh. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikekiarkan ilmu 'Tangan Seribu'nya. Akhirnya pertarungan antara dua tokoh yang berbeda usia, namun memiliki ilmu-ilmu yang sealiran itu berlangsung semakin seru.
Unik dan terlihat menggetarkan pertarungan yang tengah berlangsung. Namun semua orang yang menyaksikan jalannya pertarungan itu tahu kalau setiap gerakan Mahendra maupun Raja Monyet Tangan Delapan mampu mengirim nyawa masing-masing ke alam baka. Mereka pun menyaksikannya dengan perasaan tegang.
Kali ini jalannya pertarungan tidak seperti ketika Mahendra menghadapi Winarti. Raja Monyet Tangan Delapan seorang datuk kaum hitam dan telah memiliki pengalaman bertempur tak terhitung, sehingga sedikit banyak bisa menerapkan taktik yang baik untuk menghadapi ilmu aneh Mahendra.
Apalagi, dulu pernah menyaksikan Songka Lawung mempertunjukkannya. Bahkan mereka sering berlatih menggunakan ilmu masing-masing. Sehingga ilmu 'Pembalik Jagat' tidak terlalu membingungkan Raja Monyet Tangan Delapan.
Pertarungan antara kedua tokoh sakti itu semakin dahsyat Jangankan terkena secara telak, terkena angin serangan mereka pun cukup untuk menghabisi nyawa mereka.
Jurus demi jurus berlangsung begitu cepat karena baik Mahendra maupun Raja Monyet Tangan Delapan memang memiliki gerakan yang sama-sama cepat. Saking cepatnya, jangankan Naga Berekor Sembilan dan yang lain-lainnya, mata Winarti sendiri tak dapat melihat dengan jelas pertarungan yang tengah berlangsung.
Tak terasa pertarungan telah menginjak jurus ketujuh puluh. Dan selama itu belum terlihat adanya pihak yang akan menang, pertarungan masih berlangsung seimbang.
Hal ini membuat Raja Monyet Tangan Delapan semakin penasaran. Disadari jika taktik pertarungan tidak diubah, keadaan yang berlangsung akan tetap seperti ini. Maka, tokoh yang mirip kera besar ini mempersiapkan siasat untuk secepat mungkin bisa mengakhiri pertarungan.
Dan siasat itu dilaksanakannya pada jurus kesembilan puluh tiga. Sambil melompat ke belakang untuk mengelakkan serangan, Raja Monyet Tangan Delapan mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Kemudian dilemparkannya ke tubuh Mahendra.
Karuan saja Mahendra yang sama sekali tidak menyangka akan terjadinya peristiwa itu kaget bercampur gugup. Buru-buru tubuhnya mengelak dengan melompat ke belakang. Dan....
Glaaarrr...!
Benda yang dilemparkan Raja Monyet Tangan Delapan meledak menghantam tanah. Disusul dengan munculnya asap kehijauan.
“Racun...,” desis Mahendra kaget ketika sempat mengisap asap itu yang membuat kepalanya langsung pening. Dengan cepat tubuhnya melenting beberapa kali ke belakang untuk menjauhi.
Dug! Dug! Dug!
Tapi tindakan Mahendra sudah diperhitungkan Raja Monyet Tangan Delapan. Maka tokoh mirip kera itu pun menggerak-gerakkan kedua tangannya. Seketika itu pula dari kedua tangan yang digerak-gerakkan berhembus angin keras yang membuat asap-asap beracun itu terus mengejar Mahendra.
Kontan Mahendra kelabakan ketika asap-asap beracun itu menyelubunginya. Dan tak dapat dicegahnya lagi, Mahendra mengisap asap itu. Akibatnya, rasa pusing yang menderanya pun semakin menjadi-jadi. Dirasakan kepalanya menjadi berat dan pandangannya berkunang-kunang. Sesaat kemudian semua yang terlihat Mahendra menjadi gelap. Dan....
Brukkk!
Tubuh Mahendra ambruk di tanah. Pemuda berpakaian biru yang sakti dan memiliki ilmu menggiriskan itu roboh pingsan.
“Ha ha ha...!” Raja Monyet Tangan Delapan tertawa bergelak melihat lawan tangguhnya roboh tak berdaya. Sesaat kemudian sekitar tempat itu pun dipenuhi gelak tawa dari mulut seluruh anak buah Raja Monyet Tangan Delapan. Tawa kemenangan yang sarat kegembiraan dan kebanggaan.
“Uuuh...!”
Mahendra mengeluarkan keluhan panjang. Kepalanya dirasakan masih berat bukan kepalang, sehingga dirinya belum mau membuka matanya. Dan dalam keadaan sepasang mata terpejam, dicobanya untuk menggerakkan tubuhnya. Ternyata tidak mampu. Tentu saja hal itu menyebabkan Mahendra merasa penasaran. Dicobanya lagi sebelum akhimya menyadari kalau dirinya terbelenggu.
“Ha ha ha...!” Suara tawa keras bergelak yang penuh dengan nada ejekan membuat Mahendra mulai teringat akan kejadian yang dialaminya. Dibukanya mata. Tampak di hadapannya Raja Monyet Tangan Delapan, Winarti, dan belasan tokoh goiongan hitam.
“Merontalah, Kunyuk Kecil! Ingin kulihat, mampukah kau membebaskan diri?!” ejek Raja Monyet Tangan Delapan lagi.
“Cuhhh!” Mahendra meludah ke samping. Lalu usahanya untuk meronta-ronta dihentikan. Disadari kalau sekarang tubuhnya telah terbelenggu pada sebuah tonggak besi. Kedua tangan dan kakinya diikat ke belakang. Sementara di sekeliling tonggak-tonggak itu terhampar tumpukan-tumpukan kayu. Tanpa berpikir lebih lama lagi pun, Mahendra tahu kalau tubuhnya akan dibakar hidup-hidup.
“Sama sekali tidak kusangka kekhawatiranku yang dulu menjadi kenyataan. Kau menjadi duri yang berusaha merobohkanku! Dan sama sekali tidak kusangka pula kalau kau bisa mendapatkan ilmu 'Pembalik Jagat'!” ujar Raja Monyet Tangan Delapan lagi.
Ada perubahan pada wajah Mahendra begitu mendengar ucapan Raja Monyet Tangan Delapan. Hal itu terjadi karena merasa terkejut mendengar tokoh yang mirip kera besar itu mengenal nama ilmunya.
“Kau kaget, Kunyuk Kecil?! Kau tidak menyangka kalau aku bisa mengetahui ilmumu ini. Ho ho ho...! Ketahuilah, sebelum kau tahu apa-apa. Aku telah tahu ilmu 'Pembalik Jagat' itu. Aku tahu dari mana asal mulanya. Dan pencipta ilmu itu bukan gurumu. Kau kaget? Aku tahu siapa gurumu, Kunyuk Kecil! Si Songka Lawung!” lanjut Raja Monyet Tangan Delapan.
“Jadi., jadi... kau orang yang telah mencelakakan guruku?! Kaukah saudara seperguruannya?!” ucap Mahendra terbata-bata. Ada penyesalan dalam suaranya.
Memang Songka Lawung pernah menceritakan riwayatnya pada Mahendra, bagaimana saudara seperguruannya bermaksud membunuhnya. Kalau saja dia tidak menemukan sebuah lubang yang menuju ke luar sumur, mungkin sudah tewas.
Meskipun Mahendra bertahun-tahun bersamanya, Songka Lawung tak mau mengatakan pada Mahendra kalau Raja Monyet Tangan Delapan itu saudara seperguruannya. Padahal kakek itu mengetahuinya.
Ah! Mengapa aku demikian bodoh?! Mahendra memaki dirinya sendiri dalam hati. Kalau saja pikiran Mahendra tidak terlalu dirasuki keinginan untuk membalas dendam, tentu dirinya sudah bisa menduganya. Sebab, sebagian besar ilmu-ilmu yang dipergunakan Winarti dan Raja Monyet Tangan Delapan mempunyai kemiripan dengan yang dimilikinya.
“Aku ingin tahu, apakah gurumu akan menolongmu bila kau kubakar hidup-hidup!” ujar Raja Monyet Tangan Delapan keras, sehingga membuat Mahendra tersadar kembali dari akal pikirannya.
“Kau boleh melakukan tindakan apa pun terhadapku, Monyet! Tapi, ketahuilah usaha yang kau lakukan akan sia-sia. Beliau sudah tidak berniat terjun ke dunia persilatan lagi!” tandas Mahendra.
“Kita lihat saja nanti!” sergah Raja Monyet Tangan Delapan. “Naga, bakar!”
Tanpa menunggu perintah dua kali, Naga Berekor Sembilan segera melangkah maju. Obor menyala yang sejak tadi berada dalam genggamannya, diangkat tinggi-tinggi ke udara. Dengan senyum mengejek menghias bibir ditujukan kepada Mahendra, Naga Berekor Sembilan bersiap menyulut tumpukan kayu bakar yang telah disirami minyak.
“Guru...! Ayah, Ibu, dan semua kakak seperguruanku, maafkan atas kegagalanku ini!” teriak Mahendra lantang.
Tidak sedikit pun terlihat perasaan gentar, baik dalam raut wajah maupun tatapan matanya. Bahkan dengan tatapan tajam, diperhatikannya semua gerak-gerik Naga Berekor Sembilan.
Selangkah demi selangkah jarak Naga Berekor Sembilan semakin dekat dengan tumpukan kayu bakar. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, dan kobaran api pun akan membakar Mahendra hidup-hidup. Di saat yang amat gawat itu, mendadak....
Singgg! Tukkk!
“Akh...!” Naga Berekor Sembilan menjerit tertahan ketika sebuah kerikil sebesar ibu jari kaki menghantam sikunya. Seketika itu pula tangannya langsung lumpuh. Maka tanpa dapat dicegahnya, obor itu jatuh ke tanah.
Dan sebelum Naga Berekor Sembilan atau semua orang yang berada di situ sempat berbuat sesuatu, dua sosok bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di tempat itu, telah berdiri membelakangi Mahendra, Melati, dan Dewa Arak!
“Keparat! Monyet-monyet tak tahu diri! Sungguh berani kalian mencampuri urusanku?!” bentak Raja Monyet Tangan Delapan dengan suara menggeledek menandakan besarnya kemarahan yang melanda hati.
Tokoh yang mirip kera besar ini seperti juga yang lain-lainnya tidak sempat berbuat sesuatu. Di samping mereka sama sekali tak menyangka, kejadiannya pun berlangsung demikian cepat. Bahkan Naga Berekor Sembilan yang sempat mendengar dan melihat meluncurnya benda kecil ke tubuhnya tidak sempat menghindar sama sekali.
“Raja Monyet Tangan Delapan! Tindak kejahatan yang kau lakukan telah melampaui batas. Orang seperti kau harus dilenyapkan selama-lamanya dari muka bumi!” ucap Dewa Arak tenang.
Masih dengan sikap tenang, pemuda berambut putih keperakan itu mengambil guci araknya, dan menuangkan ke mulutnya.
Gluk...! Gluk...! Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada hawa hangat yang berputaran di perut Dewa Arak. Perlahan-lahan hawa hangat itu merayap ke atas. Kontan tubuh Dewa Arak limbung. Kedudukan kedua kakinya sudah tidak tetap lagi di tanah. Hal ini menjadi pertanda kalau Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
“Ah! Rupanya kau, Dewa Arak?! Sungguh kebetulan! Sudah lama aku mendengar julukanmu yang menggemparkan. Sama sekali tak kusangka kau akan datang ke sini! Pucuk dicinta ulam tiba! Aku tak perlu repot-repot lagi mencarimu! Mimpi apa aku semalam sehingga bisa sekaligus mendapatkan pemuda berpakaian biru dan dirimu! Bersiap-siaplah untuk menerima kematian Dewa Arak!”
Usai berkata demikian Raja Monyet Tangan Delapan langsung menerjang Dewa Arak. Kebetulan pemuda berambut putih keperakan itu memang telah siap, dan langsung menyambutinya. Tak pelak lagi, sesaat kemudian keduanya telah terlibat dalam pertarungan.
Melihat ayahnya telah terlibat dalam pertarungan dengan Dewa Arak, Winarti tidak tinggal diam. Tanpa bicara sepatah kata pun diterjangnya Melati. Karena ingin buru-buru menyelesaikan urusannya, Winarti langsung saja menggunakan senjata andalannya.
Sit! Sit!
Bunyi mendesit terdengar ketika sepasang sumpit itu meluncur ke tubuh Melati. Namun bunyi itu langsung tertutup ketika Melati mencabut pedangnya, kemudian membolang-balingkan di depan dada dalam penggunaan ilmu 'Pedang Seribu Naga'!
Wunggg! Wunggg!
Dan seperti juga yang terjadi antara Dewa Arak dengan Raja Monyet Tangan Delapan, pertarungan antara Melati dan Winarti pun terjadi. Kini yang belum mendapatkan lawan adalah Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya. Namun, itu sama sekali tak menjadi masalah bagi mereka.
Karena begitu empat tokoh sakti itu terlibat pertarungan, Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya langsung mengalihkan pandangan, menyaksikan pertarungan sengit itu.
Kesempatan itu dipergunakan Mahendra. Dia tahu Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya tengah terlupa. Maka harus dipergunakan saat itu sebaik-baiknya, karena jika Naga Berekor Sembilan mengetahuinya jelas nyawanya tak mungkin terselamatkan.
Dewa Arak dan Melati sulit untuk diharapkan pertolongannya karena tengah sibuk menghadapi lawan masing-masing. Mahendra memusatkan perhatian. Dia menyadari kalau racun yang masuk ke tubuhnya racun pembius. Dan pengaruh itu pun sudah mulai berkurang, kini yang tinggal hanya rasa lemas di tubuhnya.
Mahendra sadar bahwa rasa lemas di tubuhnya tidak hanya karena racun pembius dari Raja Monyet Tangan Delapan, melainkan totokan yang membuat aliran darahnya tersumbat. Tapi Mahendra tahu, dia mempunyai kelainan ketimbang orang lain. Berkat latihan-latihan yang dilakukannya ketika hendak mendapatkan ilmu 'Pembalik Jagat', aliran dan jalan darahnya bisa diatur.
Mahendra mampu memindahkan jalan darah di dalam tubuhnya. Dan masih banyak lagi keistimewaan lain yang dapat dikuasai selama berguru kepada Ki Songka Lawung. Sadar akan kelebihan yang dimilikinya, membuat pemuda berpakaian biru itu berusaha untuk membebaskan totokan yang membuatnya tidak berdaya.
Mahendra tahu kalau bukan dirinya rasanya tidak mungkin bisa membebaskan diri dari kungkungan totokan Raja Monyet Tangan Delapan. Jadi, ketika Dewa Arak, Melati, Winarti, dan Raja Monyet Tangan Delapan berusaha sekuat tenaga untuk secepat mungkin menaklukkan lawan. Dan Naga Berekor Sembilan serta kawan-kawannya sibuk memperhatikan jalannya pertarungan, Mahendra pun sibuk untuk dapat segera melepaskan diri dari pengaruh totokan Raja Monyet Tangan Delapan.
Sementara itu di arena, pertarungan antara Dewa Arak dan Raja Monyet Tangan Delapan berlangsung jauh lebih menarik daripada pertarungan antara Melati melawan Winarti. Baik Dewa Arak maupun Raja Monyet Tangan Delapan harus mengakui kalau lawan yang dihadapi amat tangguh. Betapapun kedua belah pihak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, hingga empat puluh jurus, pertarungan belum mengalami perubahan.
Pertarungan masih berlangsung seimbang. Ternyata Dewa Arak maupun Raja Monyet Tangan Delapan memiliki tingkat yang sama, baik tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh. Jadi, akhir dari pertarungan ini hanya ditentukan mutu ilmu silat masing-masing dan pengalaman bertarung.
Dalam bidang pertarungan, meskipun memang jumlah pertarungan yang dilakoni Dewa Arak belum bisa dibandingkan dengan Raja Monyet Tangan Delapan. Namun, hal itu hampir tidak banyak berpengaruh karena Dewa Arak pun telah banyak melakukan berbagai pertarungan maut melawan tokoh-tokoh sakti yang berkepandaian tinggi.
Ternyata dalam mutu ilmu silat pun rupanya tak bisa ditarik keuntungan. Ilmu Tangan Seribu' ternyata cukup mampu menanggulangi kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti'. Buktinya, setelah pertarungan melewati seratus jurus keadaan belum berubah. Seperti juga halnya pertarungan Dewa Arak dan Raja Monyet Tangan Delapan. pertarungan antara Melati dan Winarti pun berlangsung seimbang.
Seperti telah diatur saja. Kemampuan mereka pun hampir sama. Hanya saja Melati lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh. Sedangkan Winarti unggul di bidang lainnya. Akhirnya, dengan sedikit kelebihan dan kekurangan itu, pertarungan jadi berlangsung imbang.
Tapi menginjak jurus kedua ratus, mulai ada perubahan dalam pertarungan antara Dewa Arak dan Raja Monyet Tangan Delapan. Tokoh mirip kera besar ini mulai merasa lelah. Tenaga dan kegesitannya pun berkurang. Apalagi bila diingat, Raja Monyet Tangan Delapan telah berusia cukup lanjut. Tak aneh kalau dirinya segera merasa lelah.
Hal yang dialami Raja Monyet Tangan Delapan tidak dialami Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tetap segar bugar seperti semula. Karena sebentar-sebentar sempat meminum araknya. Bahkan tadi, beberapa kali sewaktu tengah diserang Dewa Arak enak-enakan menenggak araknya. Justru karena arak itulah Dewa Arak selalu berada dalam keadaan segar. Setiap kali tenaga dan kegesitannya mengendur, menenggak araknya, kembali pulih seperti sediakala.
Perlahan-lahan Dewa Arak mulai bisa mendesak Raja Monyet Tangan Delapan. Karuan saja tokoh yang mirip kera besar ini merasa khawatir bukan kepalang. Di hatinya juga terselip rasa kagum melihat Dewa Arak masih tetap segar bugar, padahal telah bertarung sedemikian lamanya.
Raja Monyet Tangan Delapan menyadari keadaan kalau dirinya tidak akan mungkin bisa menundukkan Dewa Arak. Siasat yang berhasil merobohkan Mahendra pun segera dipergunakan untuk pemuda berambut putih keperakan yang berjuluk Dewa Arak itu.
Namun hasilnya tidak sama. Dewa Arak tidak bisa disamakan dengan Mahendra yang masih hijau. Dewa Arak seorang pendekar besar yang telah kenyang dengan pengalaman sehingga tidak mudah dikelabui.
“Hiaaat..!”
Pada jurus kedua ratus lima belas, sambil mengeluarkan teriakan menggelegar Dewa Arak menerjang Raja Monyet Tangan Delapan. Tangan kirinya dengan kedudukan jari-jari tangan terbuka ditepakkan ke dada.
Raja Monyet Tangan Delapan bertindak nekat. Dirinya sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Dikumpulkan seluruh sisa tenaganya dan dipapaknya serangan Dewa Arak dengan tindakan serupa.
Plakkk!
“Arrrggghhh...!” Raja Monyet Tangan Delapan memekik penuh kengerian. Tubuhnya melayang ke belakang bagai layang-layang putus. Anehnya, tubuh Raja Monyet Tangan Delapan melayang ke tumpukan kayu yang mengelilingi tiang tempat Mahendra terbelenggu. Dan...
“Hih!” Sebelum tubuh Raja Monyet Tangan Delapan jatuh di tumpukan kayu itu, Mahendra yang sejak tadi berjuang keras untuk membebaskan diri, berhasil. Cepat, pemuda ini melompat memapak tubuh Raja Monyet Tangan Delapan.
Tukkk!
Sebuah totokan dilancarkan Mahendra membuat tubuh Raja Monyet Tangan Delapan lemas tak berdaya. Akibatnya, tubuh datuk sesat yang menggiriskan itu jatuh berdebuk di hamparan kayu! Sedangkan Mahendra, begitu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah, langsung saja menggosok-gosokkan dua batang kayu.
Bruakkk...!
Tanpa menemui kesulitan, api pun tercipta. Kemudian tanpa buang-buang waktu dilemparkannya api itu ke hamparan kayu. Seketika api berkobar membakar tumpukan kayu. Dan tak pelak lagi tubuh Raja Monyet Tangan Delapan yang berada di sana diselimuti kobaran api! Jerit kematian pun keluar dari mulut tokoh yang mirip kera besar itu.
“Huaaakhhh..!”
“Ayah...!”
“Ketua...!”
Hampir berbarengan Winarti dan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan memekik kaget melihat kejadian yang sama sekali tidak tersangka-sangka itu. Kejadian itu begitu cepat dan tak terduga. Sehingga Dewa Arak sendiri tidak sempat berbuat sesuatu.
Karena saat itu dirinya pun baru saja mendarat di tanah. Sementara itu bagai diberi perintah, Winarti dan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan meluruk ke kobaran api. Malang, bagi Winarti. Saat itu, pedang Melati tengah meluncur deras ke punggungnya.
Jrabbb!
“Hukh!”
Pedang Melati menancap di punggung Winarti hingga tembus ke perut Seketika itu langkah gadis berpakaian jingga terhenti. Sepasang matanya membelalak lebar. Dan ketika Melati mencabut pedangnya, tubuh putri Raja Monyet Tangan Delapan itu ambruk ke tanah.
Nasib yang sama dialami oleh Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya. Mereka yang tengah melesat ke tubuh Raja Monyet Tangan Delapan, dan kalau mampu bermaksud menolongnya, disambut kayu-kayu berapi yang dilontarkan Mahendra.
Wuuukkk! Bletak.... Bletak!
“Aaakh...!”
“Aaakh...!”
Jeritan menyayat terdengar susul menyusul ketika tubuh-tubuh mereka diterjang kayu-kayu berapi. Tubuh Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya bergulingan di tanah meregang nyawa. Sementara api terus berkobar membakar tubuh-tubuh mereka yang berkelojotan.
“Ayah.... Ibu.... Kakak-kakak seperguruan semua..., lihatlah! Aku telah berhasil membalaskan dendam kalian. Tenanglah, di alam baka!” seru Mahendra sambil mendongakkan kepalanya ke langit ketika tubuh Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya tak bergerak lagi. Terlihat jelas kalau sepasang mata pemuda berpakaian biru itu berkaca-kaca. Bahkan suaranya pun tergetar. Ucapan itu dikeluarkan dengan penuh perasaan.
Dewa Arak dan Melati hanya bisa menghela napas dan memandang punggung Mahendra. Kedua pendekar muda itu sadar tak dapat berbuat apa-apa lagi. Mahendra telah menyelesaikan tugasnya.
Sementara itu api terus membesar dan membumbung tinggi. Bangunan tempat tinggal Raja Monyet Tangan Delapan sebentar lagi akan musnah. Maka, sepasang pendekar muda itu pun mengayunkan langkah meninggalkan halaman depan tempat tinggal Raja Monyet Tangan Delapan.
“Hieeeh...!”
Diiringi ringkikan melengking seekor kuda coklat menghentikan larinya, ketika lelaki yang duduk di atas punggungnya menarik tali kekang. Kedua kaki depan kuda itu terangkat tinggi-tinggi ke udara. Debu pun mengepul menyelimuti kuda itu.
“Hup!”
Dengan begitu ringan, sosok tubuh penunggang kuda itu melompat dari punggung kuda ke tanah. Sosok itu ternyata seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya yang kekar dan gagah terbalut pakaian biru.
Pemuda berpakaian biru itu berhenti sejenak di ambang pintu kedai. Sepasang matanya yang tajam memperhatikan ke dalam kedai yang ramai pengunjungnya. Hampir semua meja dan kursi telah terisi. Hanya tinggal sebuah meja yang masih kosong.
Tak lama kemudian, pemuda berpakaian biru itu melangkah memasuki kedai. Namun, baru saja kakinya melangkah, tiba-tiba tubuhnya langsung membalik kembali ke belakang. Karena mendadak telinganya mendengar suara ringkikan kuda.
“Hiiieeeh...!”
“Keparat! Maling-maling busuk!”
Makian penuh kemarahan dan kegeraman seketika keluar dari mulut pemuda berpakaian biru itu. Kuda tunggangannya yang baru saja ditambatkan tiba-tiba hendak dicuri tiga orang berpakaian kuning. Ketiga lelaki berpakaian kuning itu tengah berusaha melepaskan tali tambatan kuda itu. Kalau saja tidak meringkik, mungkin orang-orang itu telah berhasil membawa kabur kuda coklat itu.
Pemuda berpakaian biru itu segera melesat menuju kudanya yang masih tertambat di tempatnya. Hanya sekali hentak tubuh pemuda itu telah melesat sejauh sebelas tombak. Nampaknya pemuda berpakaian biru ini memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal.
Jliggg!
Bersamaan dengan terlepasnya tali kekang kuda dari batang pohon, pemuda berpakaian biru mendarat di tempat itu. Namun, belum pemuda berpakaian biru itu berbuat sesuatu, dua di antara ketiga pencuri telah meluruk ke tubuhnya dengan senjata terayun.
Sing! Sing...!
Bunyi berdesing terdengar ketika golok besar yang tergenggam di tangan dua orang bertubuh kekar itu, diayunkan ke tubuh pemuda berpakaian biru.
“Hmh!” Pemuda berpakaian biru hanya mendengus penuh ejekan melihat serangan-serangan yang meluncur ke tubuhnya. Sikapnya nampak tenang. Raut wajahnya tak berubah sedikit pun. Nampaknya pemuda berpakaian biru itu tidak menganggap berat, serangan dua orang lawannya.
Dan, ketika serangan-serangan itu menyambar dekat, pemuda berpakaian biru dengan cepat bergerak. Kedua tangannya segera terjulur berusaha memapak serangan dengan tangan kosong. Tindakannya itu tentu saja menimbulkan rasa heran kedua lawannya.
“Hah...! Gila barangkali anak muda ini!” seru salah seorang yang merasa keheranan, “Dia mencoba menangkis senjata kita dengan tangan kosong!”
Meskipun diliputi perasaan heran, dua orang kasar itu tetap melanjutkan serangan. Harapan ketiga pencuri itu, dalam satu gebrakan saja dapat mematahkan tangan pemuda berpakaian biru. Tapi harapan memang belum tentu menjadi kenyataan. Demikian yang dialami dua orang kasar itu. Mereka kembali dikejutkan lagi, ketika serangan mereka meluncur ke tubuh pemuda berpakaian biru.
Tak! Tak!
“Hehhh...?”
Tak dapat ditahan, seruan keterkejutan keluar dari mulut dua orang kasar itu ketika melihat kejadian yang sama sekali tak diduga. Betapa tidak? Serangan golok mereka dapat ditangkis dengan tangan pemuda berpakaian biru itu. Tidak sedikit pun tangan itu lecet, apalagi putus. Bahkan tangan pemuda berpakaian biru itu berhasil menangkap golok mereka.
Namun keterkejutan dan keheranan itu hanya berlangsung sesaat. Karena sekejap kemudian kedua lelaki berwajah kasar telah mengerahkan seluruh tenaga. Mereka berusaha menarik golok dari cekalan kuat tangan pemuda tampan berpakaian biru itu.
Lagi-lagi kedua lelaki kasar itu tidak berhasil. Golok itu sama sekali tidak bergeming dalam cekalan tangan pemuda berpakaian biru. Padahal dua orang kasar itu telah mengerahkan seluruh kekuatan, untuk menarik golok mereka.
“Enghhh...! Emhhh...!”
“Uuuh...!” lenguhan panjang keluar dari mulut kedua orang pencuri itu ketika mencoba menarik senjata mereka. Raut wajah mereka yang merah padam, menunjukkan betapa kerasnya usaha yang telah dilakukan.
Berbeda dengan dua orang berwajah kasar, pemuda berpakaian biru nampak tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Raut wajahnya tetap seperti semula, tenang.
“Kerahkan seluruh tenaga yang kalian miliki, Pencuri-Pencuri Busuk!” ujar pemuda berpakaian biru dengan bibir tersenyum mengejek. “Sekarang kuberikan kesempatan lebih dulu pada kalian!”
Pemuda berpakaian biru itu menepati janjinya, tidak melakukan perlawanan sama sekali. Yang dilakukan hanya bertahan. Dibiarkan orang-orang kasar itu terengah-engah karena tenaganya terkuras untuk menarik golok mereka.
“Sekarang giliranku...!” ujar pemuda berpakaian biru, mantap. Usai berkata demikian, jari-jari kedua tangannya bergerak menekuk. Dan....
Tak! Takkk!
“Uhhh...!”
Diiringi suara berdetak nyaring, kedua batang golok yang ada dalam cekalan pemuda tampan itu patah. Seketika itu pula tubuh kedua lelaki berwajah kasar terjengkang dan terpekik kaget. Kedua lelaki berwajah kasar itu pun jatuh bergelimpangan. Tepat ketika tubuh dua orang lawannya terjengkang ke belakang, pemuda berpakaian biru itu mengibaskan potongan golok.
Sing! Sing...!
Tak pelak lagi patahan dua batang golok melayang, dan....
Jrebs! Jrab!
“Akh...!”
Patahan batang golok itu menancap deras di paha dua orang berwajah kasar itu. Seketika itu pula jerit kesakitan terdengar dari mulut mereka, mengiringi robohnya kedua tubuh pencuri itu.
Sementara itu seorang lagi yang tengah sibuk sendiri melepaskan tali kekang kuda, begitu terkejut melihat kedua lawannya roboh di tangan pemuda tampan berpakaian biru itu. Namun sebelum sempat melakukan tindakan, pemuda berpakaian biru itu telah berada di dekatnya.
“Orang seperti kalian tak patut dibiarkan hidup!” ujar pemuda berpakaian biru dengan geram. Setelah itu, dengan cepat diulurkan tangan kanannya ke tubuh lelaki berwajah kasar yang masih memegangi tali kekang kuda.
“Hekh...!”
Pekikan tertahan keluar dari mulut orang kasar yang sial itu, ketika tangan kanan pemuda berpakaian biru mencekal lehernya. Kecepatan gerak pemuda berpakaian biru membuatnya tak mampu berkelit.
Si pencuri kuda tahu bahwa maut tengah mengancam dirinya. Kalau hanya berdiam diri saja, nyawanya pasti akan melayang. Maka pencuri itu segera bergerak untuk menyelamatkan jiwanya.
Lelaki berpakaian kuning ini cepat mencekal tangan pemuda berpakaian biru yang mencekal lehernya. Dengan pengerahan seluruh tenaga dalam pencuri itu berusaha melepaskan cekalan tangan pemuda berpakaian biru dari lehemya.
Namun, usaha si pencuri kuda ini sia-sia. Cekalan tangan pemuda berpakaian biru terlalu kuat dan keras bagaikan jepitan baja. Betapapun telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, tetap tak mampu mengimbangi kekuatan tangan pemuda berpakaian biru itu. Sedangkan, cekalan itu semakin lama bukan semakin melemah.
Akibat cekalan itu raut wajah pencuri mulai memerah. Semakin lama warna merahnya tampak semakin jelas. Keringat di leher dan keningnya pun membasah. Lidahnya pun mulai terjulur keluar. Dan sepasang matanya mulai membeliak.
“Gorda!”
Dua orang berwajah kasar yang telah terluka karena lemparan patahan golok, menjerit keras ketika melihat maut tengah mengancam kawan mereka. Lalu meskipun dengan luka di paha, kedua orang itu bangkit dan bergerak mendekati kawan mereka yang bernama Gorda. Langkah kedua orang itu terseok-seok karena luka parah di paha mereka. Baru saja sampai di depan Gorda, yang tengah dicekik lehernya, tiba-tiba....
Krrrkkkhhh!
Langkah dua orang berwajah kasar itu terhenti ketika mendengar suara gemeretak. Ternyata berasal dari leher Gorda yang diremukkan oleh cekalan tangan pemuda berpakaian biru itu.
Kedua lelaki berwajah kasar nampak bergidik ketakutan melihat hancurnya tulang-belulang leher Gorda. Darah menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinganya, akibat cekikan pemuda berpakaian biru dengan mengerahkan tenaga dalam.
Brukkk!
Tubuh Gorda ambruk ke tanah ketika cekalan tangan pemuda itu terlepas. Sama sekali tidak nampak perasaan ngeri atau menyesal tampak di wajah pemuda berpakaian biru itu. Bahkan sebaliknya, sorot mata pemuda itu nampak sinar kekejaman.
Setelah menyeringai penuh ejekan, pemuda berpakaian biru itu mengalihkan perhatian pada dua kawan Gorda yang masih berdiri terpaku. Kedua lelaki berwajah kasar itu nampak ketakutan dan begitu terguncang menyaksikan kejadian yang mengerikan tadi.
“Sekarang giliran kalian!” ucapan geram lelaki berpakaian biru sambil menolehkan wajah pada dua orang lawannya. Usai berkata demikian, pemuda berpakaian biru melangkah mendekati kedua orang berwajah kasar.
Mereka baru tersadar dari ketertegunannya setelah mendengar geraman pemuda berpakaian biru. Setelah menyadari keadaan itu, keduanya langsung meluruk ke pemuda berpakaian biru. Karena sudah tidak punya senjata, kedua lelaki yang paha mereka sama-sama terluka, melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Tinju mereka dipukulkan bertubi-tubi ke dada pemuda berpakaian biru.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Beberapa kali pukulan kedua orang kasar itu mengenai sasarannya. Setiap kali pukulan mendarat mereka merasa kesakitan. Tubuh pemuda berpakaian biru itu tidak layaknya tubuh manusia. Mereka seolah-olah memukul besi, atau batu. Tubuh pemuda itu sangat keras dan kuat.
Di tengah-tengah rasa heran dan kesakitan, mata kedua orang berwajah kasar itu melihat kaki kanan pemuda berpakaian biru bergerak. Kecepatan gerakan kaki kanan pemuda itu mengejutkan mereka berdua. Dan...
Tuk! Tuk!
“Akh, akh...!'
“Uuuh...!”
Jerit kesakitan langsung terdengar ketika ujung kaki pemuda berpakaian biru menghantam telak lutut kedua lelaki kasar itu. Tubuh kedua teman Gorda ambruk di tanah. Mereka merasakan, sambungan tulang lutut mereka copot.
“Sekarang saatnya untuk merasakan akibat perbuatan kalian!” desis pemuda berpakaian biru bergetar penuh kebencian. Baru saja ucapan itu terhenti, jari telunjuk kanan pemuda itu meluncur ke bahu kanan kedua orang kasar itu.
Tuk! Tukkk!
Berturut-turut jari telunjuk pemuda berpakain biru bersarang di bahu lawan Akibat selanjutnya benar-benar menggiriskan hati. Dua teman Gorda menjeritjerit kesakitan. Tubuh mereka bergulingan ke sana kemari karena rasa sakit yang mendera.
“Ha ha ha...! Rasakanlah akibat perbuatan kalian...! Ha ha ha...!” seru pemuda berpakaian biru merasa gembira.
Terlihat jelas betapa senangnya pemuda berpakaian biru melihat penderitaan yang dialami dua orang teman Gorda yang bergulingan ke sana kemari. Mulut mereka terus mengerang kesakitan seperti hewan disembelih. Namun di tengah suasana itu, tiba-tiba muncul suara dari kejauhan. Sehingga suara itu terdengar tidak begitu jelas.
“Keji...!”
Suara itu terdengar, kemudian nampak melesat dua sosok bayangan bergerak mendekati tubuh dua orang kawan Gorda yang masih bergulingan dilanda sakit.
Plak! Plak!
Hampir berbarengan, kedua sosok bayangan ungu dan putih menepuk tubuh dua orang kasar itu. Seketika itu pula kedua orang berwajah kasar merasakan kalau sakit dan nyeri yang melanda, tiba-tiba lenyap. Rupanya tepukan yang dilakukan dua sosok bayangan itu bukan sembarangan tepukan, melainkan tepukan yang mampu membebaskan pengaruh totokan pemuda berpakaian biru.
Jliggg!
Kedua sosok berpakaian ungu dan putih mendarat tepat di depan pemuda perkasa berpakaian biru. Yang satu seorang pemuda berambut putih keperakan. Tubuhnya yang kekar terbalut pakaian ungu. Sedangkan yang satu lagi seorang wanita berambut panjang tergerai. Dan tubuhnya yang padat berisi dan ramping tercetak jelas dalam pakaian putihnya yang ketat.
“Siapa kalian? Mengapa mencampuri urusanku?! Apakah kalian berdua termasuk kawanan pencuri-pencuri busuk itu?!” tanya pemuda berpakaian biru, agak mengejek bercampur penasaran.
“Tutup mulutmu yang busuk itu! Dan jangan sembarangan membuka bacot!” sambut gadis berpakaian putih dengan suara keras, hatinya kesal mendengar ucapan pemuda berpakaian biru itu.
“Tenanglah, Melati,” ucap pemuda berambut putih keperakan pelan bernada menasihati.
“Mana bisa aku tenang mendapat hinaan seperti itu, Kang?” bantah gadis berpakaian putih yang ternyata Melati.
Sebelum pemuda berambut putih keperakan yang tak lain Arya atau lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak menimpali, pemuda berpakaian biru yang telah menjadi merah wajahnya telah menyahut.
“Kalau bukan kawan, mengapa mencampuri urusanku? Atau karena kalian berdua ingin memamerkan kemampuan di hadapanku, heh...?!”
Karuan saja ucapan itu membuat marah Melati yang memang sejak tadi telah menahannya di hati. “Keparat Sombong! Orang sepertimu harus diberi pelajaran, agar tak membacot seenaknya!” sahut Melati semakin jengkel.
Gadis berpakaian putih itu segera mengayunkan langkah mendekati pemuda berpakaian biru. Tapi, baru saja melangkah, Dewa Arak mencekal pergelangan tangannya.
“Sabar dulu, Melati! Jangan menambah besar persoalan sepele ini!”
Mendengar ucapan kekasihnya ini, terpaksa Melati mengurungkan niatnya. Dikendurkan kembali otot-otot dan urat-urat sarafnya yang telah menegang, walaupun hatinya mendongkol.
“Nah, Kisanak! Perlu kau ketahui, tuduhanmu terhadap kami sama sekali tidak benar. Kami tak bermaksud memamerkan kepandaian. Tindakan yang kami lakukan tadi, hanya karena melihat tindak ketidakadilan terhadap dua orang itu,” ujar Dewa Arak halus.
“Hmh...!” dengus pemuda berpakaian biru. “Tindak ketidakadilan katamu?! Ho ho ho...! Kau tahu siapa mereka? Dua orang yang kalian tolong itu bermaksud mencuri kudaku! Kalau aku tak bertindak cepat, mungkin mereka telah berhasil mencuri kudaku.”
“Aku mengerti, Kisanak! Tapi mengapa begitu caramu memperlakukan mereka. Melakukan penyiksaan secara kejam. Padahal yang mereka lakukan hanya sekadar mencuri kuda.”
“Jadi tindakan yang kulakukan ini salah?! Kalau begitu, menurutmu, begitu kutahu mereka hendak mencuri kudaku, kubiarkan saja mereka melakukannya?! Atau..., kubelai-belai mereka. Begitu?! Luar biasa! Kau tahu, Pemuda Usilan! Orang-orang macam mereka harus dilenyapkan dari muka bumi! Tentu saja tidak dengan cara yang enak! Dan kalau kau bermaksud menghalangi tindakanku, kau pun harus merasakan akibatnya!” tandas pemuda berpakaian biru.
“Sombong!” pekik Melati keras. Dan seiring ucapan itu, tubuh Melati melesat ke pemuda berpakaian biru, tanpa sempat dicegah Dewa Arak. Begitu cepat dan dahsyat serangan yang dilakukan Melati. Ketika tubuhnya melayang di udara, dilancarkan serangan perdananya. Tangan kanannya dengan cepat disampokkan ke pelipis pemuda berpakaian biru.
“Hmh...!” Pemuda berpakaian biru mendengus ketika melihat serangan itu. Kemudian sambil melangkah mundur diayunkan tangan kirinya menangkis serangan Melati.
Taaap!
Bunyi seperti benturan dua logam keras terdengar ketika dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat itu beradu. Tubuh Melati seketika terpental kembali ke belakang. Sedangkan tubuh pemuda berpakaian biru terhuyung selangkah ke belakang.
“Hup!”
Dengan sebuah gerakan manis, Melati berhasil mendaratkan kaki di tanah. Namun, mulutnya menyeringai kesakitan. Kemudian tangan kanannya mengurut-urut tangan kiri. Dirasakan tangannya bergetar hebat akibat benturan itu.
Kejadian itu tidak lepas dari perhatian Dewa Arak. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini menjadi terkejut karenanya. Benturan pertama kali itu membuktikan kalau pemuda berpakaian biru memiliki tenaga dalam sangat kuat, dan bahkan mungkin berada di atas Melati. Sekaligus membuktikan bahwa pemuda itu tak dapat dianggap remeh.
Kenyataan ini menimbulkan rasa penasaran Dewa Arak. Benarkah pemuda berpakaian biru memiliki tenaga dalam sekuat itu? Itulah sebabnya Dewa Arak tak berusaha meneegah pertarungan yang akan terjadi. Di samping itu, dirinya juga menyadari, tidak mungkin lagi mencegah Melati untuk tidak bertarung. Karena gadis berpakaian putih itu begitu marah, dan bernafsu sekali menyerang pemuda berpakaian biru itu.
Dan dugaan Dewa Arak tidak meleset Melati kembali menerjang lawannya. Sama seperti gerakan sebelumnya, gadis berpakaian putih ini dengan cepat melenting menerjang lawannya. Dan ketika tubuhnya telah berada di udara, dikibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuhnya dengan manis sekali.
Wuttt!
Hal yang sama ternyata dilakukan pula pemuda berpakaian biru. Akibatnya, dalam keadaan tubuh sama-sama di udara benturan antara dua batang kaki terjadi.
Dukkk!
Suara itu terdengar cukup keras. Nampaknya kedua belah pihak sama-sama mengerahkan seluruh tenaga dalam, begitu mengetahui kalau lawan yang mereka hadapi tidak ringan. Akibat yang mereka alami lebih dahsyat lagi. Tubuh kedua belah pihak sama-sama terpental deras ke belakang.
Jliggg!
Hampir bersamaan Melati dan pemuda berpakaian biru mendaratkan kedua kakinya di tanah. Nampak perbedaan yang menyolok. Melati agak terhuyung-huyung beberapa langkah, sedangkan lawannya tidak. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam pemuda berpakaian biru lebih kuat dari Melati.
“Aaah...!” Melati terpekik.
DUA
Jeritan pendek karena kaget keluar dari mulut Dewa Arak. Sama sekali tak disangka kalau dugaannya benar-benar tepat. Pemuda berpakaian biru itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Paling tidak berada di atas Melati.
Dewa Arak hendak menyaksikan pertarungan selanjutnya. Apakah ilmu silat dan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berpakaian biru pun sama hebatnya dengan tenaga dalamnya.
Dan Dewa Arak tidak perlu menunggu lama untuk menyaksikan pertarungan selanjutnya. Karena Melati yang memang memiliki watak penasaran, telah kembali bersiap melancarkan serbuan yang lebih dahsyat Kali ini tidak tanggung-tanggung lagi, Melati segera mengerahkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya. Seketika tangannya sebatas pergelangan berubah merah seperti darah.
Pemuda berpakaian biru tahu kalau lawannya telah mengeluarkan ilmu andalan. Maka tanpa ragu-ragu lagi, pemuda berpakaian biru itu pun mengeluarkan ilmu simpanannya. Disadari kalau gadis berpakaian putih itu bukan lawan yang bisa dikalahkan dengan mudah.
“Hup!”
“Hup!” Aneh sekali ilmu yang dipertunjukkan pemuda berpakaian biru itu. Tubuhnya berdiri dengan kepala di bawah. Sementara, kedua kakinya berputar-putar di atas dengan lincah.
Ilmu yang dikeluarkannya memang sangat aneh. Sehingga Melati pun merasa agak bingung untuk melancarkan jurus 'Cakar Naga Merah' andalannya. Aneh sekali ilmu yang dipertunjukkan pemuda berpakaian biru itu. Tubuhnya berdiri dengan kepala di bawah. Kedua kakirya bergerak berputar-putar dengan lincah.
Ilmu yang dikeluarkan lelaki berpakaian biru itu memang aneh dirasakan oleh Dewa Arak yang hanya menyaksikan dari kejauhan. Melati pun mulai tertegun menyaksikan tindakan yang dilakukan lawannya.
Tapi hanya sesaat saja gadis berpakaian putih itu larut dalam keterkejutannya. Karena sesaat kemudian Melati segera menyadari. Lalu diawali jeritan melengking nyaring, dilancarkan serangan terhadap pemuda berpakaian biru.
“Hiaaat..!”
Untuk pertama kalinya Melati merasa bingung melancarkan serangan. Betapa tidak? Serangan-serangan ilmu 'Cakar Naga Merah' yang seharusnya dipergunakan untuk menyerang bagian atas tubuh lawan menghadapi lawan yang aneh. Karena kali ini pemuda berpakaian biru membentuk kedudukan kaki di atas, mau tidak mau Melati harus memikirkan penyerangan dengan cara lain.
Wuttt!
Dibarengi bunyi angin menderu, tangan Melati meluncur. Gadis berpakaian putih ini melancarkan serangan dengan meluncurkan kedua cakamya ke pusar lawan. Melati ingin tahu, bagaimana cara lawannya mematahkan serangan ini.
Harapan Melati terwujud, pemuda berpakaian biru langsung melakukan tindakan untuk mematahkan serangan itu. Kedua kakinya yang menjulang ke atas, dengan cepat digerakkan. Satu di antaranya memapak serangan, sedangkan yang lain meluncur di atas kepala Melati.
Plakkk!
“Hey...!” Melati agak terkejut Tangkisan pemuda berpakaian biru membuat kedua tangannya kesakitan. Bahkan tubuhnya dirasakan bergetar. Untung saja tubuhnya sempat berkelit menghindari serangan balasan lawannya. Melati terlompat ke belakang ketika serangan-nya membentur kaki lawan. Dan serangan pemuda berpakaian biru pun hanya mengenai tempat kosong.
Namun, kali ini pemuda berpakaian biru itu tidak memberi kesempatan pada Melati. Dikejamya gadis berpakaian putih itu. Suara dag-dug dag-dug terdengar ketika kepala pemuda itu membentur-bentur tanah. Dengan kepalanya, lelaki berpakaian biru itu melompat-lompat mengejar Melati. Meskipun mempergunakan kepala, gerakan mengejar yang dilakukan pemuda itu tetap cepat.
Sekali lagi Melati kebingungan dalam pertempuran. Baru kali ini dirinya menghadapi lawan model ini. Itulah sebabnya, Melati memutuskan untuk mengelakkan serangan itu. Namun Melati menghadapi serangan lawan dengan waspada. Dirasakan dirinya agak kewalahan menghadapi serangan yang datang bertubi-tubi dari lawan yang berdiri dengan kepala di bawah itu.
Nampaknya keadaan tubuhnya dengan kepala di bawah seperti itu tidak mempengaruhi kecepatan serangan itu. Terlihat lucu dan menegangkan pertarungan yang terlihat. Melati yang terus mundur, menghindari serangan dari pemuda berpakaian biru yang tak henti-hentinya merangsek makin maju dengan diiringi suara dag-dug dag-dug dari kepalanya yang berbenturan dengan tanah meramaikan jalannya pertarungan.
Sampai sepuluh jurus pertarungan berlangsung, Melati belum menemukan cara untuk menghadapi ilmu aneh lawannya. Akhirnya, tindakan yang dilakukannya hanya terus-menerus mengelak dan memapak serangan lawan. Tak satu pun serangan yang dapat dilancarkannya.
Nampaknya, keributan yang terjadi menarik perhatian orang. Belasan orang mulai berdatangan turut menyaksikan pertarungan aneh itu. Mereka semua, termasuk Dewa Arak menyaksikan dari jarak yang cukup aman.
Dan seperti juga Dewa Arak dan Melati, belasan orang yang menyaksikan jalannya pertarungan itu pun memperhatikan dengan perasaan heran bercampur takjub melihat ilmu yang digunakan pemuda berpakaian biru. Mereka para pengunjung kedai, yang beberapa di antara mereka terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang kebetulan juga berada di sana.
Berbeda dengan belasan orang tokoh persilatan yang menyaksikan jalannya pertandingan dengan perasaan takjub, Dewa Arak justru semakin khawatir. Hatinya merasa cemas melihat Melati, kekasihnya nampak semakin terdesak, di samping tak mampu melancarkan serangan sama sekali.
Melati berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Yang dilakukannya terus-menerus bergerak mundur. Mengelak dan mengelak. Hanya sesekali saja Melati mampu melancarkan serangan balasan. Itu pun dilakukan hanya untuk memperbaiki keadaannya yang semakin terjepit Karena setiap kali dilancarkan serangan, pemuda berpakaian biru pasti mampu menangkisnya. Karena tenaga Melati tak mampu mengimbangi kekuatan lawan, setiap kali benturan terjadi, Melati kembali terdesak.
Tiba-tiba pemuda berpakaian biru menghentikan serangannya. Bahkan menghentikan penggunaan ilmu anehnya. Tubuhnya kembali berdiri dengan kedua kakinya. Mata lelaki berpakaian biru itu memandang dua ekor kuda yang tengah berpacu kencang melewati tempat pertarungan.
“Aku ada urusan yang lebih penting. Nanti pertarungan ini kita lanjutkan,” ujar lelaki berpakaian biru.
Setelah berkata demikian, pemuda berpakaian biru melesat mengejar dua ekor kuda yang tadi dilihatnya. Hanya dalam beberapa kali hentakan, tubuh pemuda itu telah melesat jauh meninggalkan tempat pertarungan. Bahkan entah sengaja atau tidak pemuda itu meninggalkan kudanya yang terikat di batang pohon.
Dengan kepergian pemuda berpakaian biru, belasan orang persilatan yang berada di situ pun bubar. Demikian pula tiga orang yang tadi bermaksud mencuri kuda. Dengan terseok-seok mereka melangkah meninggalkan tempat itu. Sama sekali mereka tidak memperhatikan Dewa Arak yang juga berdiri di antara kerumunan.
Memang, meskipun julukan Dewa Arak telah begitu menggemparkan, orang tidak menduga kalau pemuda berambut putih keperakan itu ternyata pendekar muda yang demikian tersohor! Barangkali mereka baru menduga demikian, jika Dewa Arak telah mempertunjukkan kehebatannya.
Sebentar kemudian yang tinggal di sana hanya Dewa Arak dan Melati. Melati masih berdiri di tempat semula. Menilik dari sikapnya, bisa diketahui kalau dirinya tengah merasa terpukul.
Perlahan-lahan Dewa Arak mengayunkan langkah mendekati Melati. Kemudian dirangkulnya bahu gadis berpakaian putih itu untuk menghibur hatinya. Melati pun menyusupkan wajahnya ke dada Dewa Arak yang bidang.
“Pemuda itu memang memiliki ilmu luar biasa, Melati. Sebuah ilmu yang aneh. Aku sendiri belum menemukan cara untuk menghadapinya. Aku tidak tahu, apakah ilmu 'Belalang Sakti'-ku dapat digunakan untuk mematahkan ilmunya,” ucap Dewa Arak pelan sambil mengelus-elus rambut Melati.
“Aku sangat kecewa dengan kemampuanku sendiri, Kang. Aku sama sekali tidak berdaya menghadapinya,” keluh Melati tanpa mengangkat kepalanya dari dada Dewa Arak.
“Mari kita bicarakan hal ini sambil berjalan, Melati!” usul Dewa Arak.
Memang, pemuda berambut putih keperakan ini menyadari ketidakpantasan kelakuan mereka yang seperti itu. Karena tempat ini terbuka. Itulah sebabnya Dewa Arak mengajak kekasihnya agar segera meninggalkan tempat ini.
Melati tahu maksud yang terkandung dalam ucapan Dewa Arak. Oleh karena itu, dengan raut wajah memerah, Melati mengangkat kepala dari dada kekasihnya. Lalu, mereka berjalan bersisian meninggalkan tempat itu.
“Pendapatmu kurang betul, Melati,” ucap pemuda berambut putih keperakan itu sambil terus melangkahkan kakinya. “Ketidakberdayaanmu menghadapi pemuda tadi bukan karena ilmumu jauh di bawahnya. Tidak, Melati! Walaupun memang ilmumu berada di bawah pemuda tadi, tapi ketidakberdayaanmu sebagian besar disebabkan karena kebingunganmu menghadapi keanehan ilmunya. Aku pun mungkin akan mengalami hal yang sama, kalau melawannya. Hhh...! Ilmunya aneh!”
Melati hanya diam, tidak memberi tanggapan atas ucapan kekasihnya yang disadari ada kebenarannya. Melati memang merasa kebingungan dalam menghadapi musuhnya yang berilmu aneh itu.
“Yang masih menjadi pertanyaan bagiku, di golongan manakah pemuda berpakaian biru itu berdiri, Kang?” tanya Melati setelah beberapa saat lamanya terdiam.
Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyaan itu. Pemuda berambut putih keperakan ini mengemyitkan kening beberapa saat lamanya. Nampaknya DewaArak tengah memikirkan jawaban atas pertanyaan kekasihnya barusan.
“Kalau mendengar ucapan-ucapannya, kurasa pemuda tadi termasuk pendekar golongan putih.”
“Tapi..., mengapa tindakannya demikian keji, Kang? Padahal, orang-orang kasar itu hanya bermaksud mencuri kudanya. Sebuah tindak kejahatan yang sebenarnya tidak terlalu membahayakan jiwanya,” ujar Melati bernada keheranan.
“Aku juga tidak mengerti, Melati. Tapi, menurut dugaanku, pemuda itu mempunyai pengalaman yang pahit bahkan mungkin mengerikan di masa kecilnya, berkenaan dengan tokoh-tokoh golongan hitam,” duga Dewa Arak.
Melati tidak menimpali dugaan yang dilontarkan Dewa Arak. Beberapa lama keadaan terasa sunyi. Kedua pendekar muda itu terus berjalan tanpa suara dari mulut mereka. Cukup lama juga Dewa Arak dan Melati tenggelam dalam alur pikiran masing-masing. Akhimya Melati membuka mulutnya dengan sebuah pertanyaan.
“Sekarang..., kita akan pergi ke mana, Kang?”
“Tetap seperti tujuan semula,” jawab Dewa Arak.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kang? Aku sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di sana!” sambut Melati penuh semangat.
Dewa Arak tersenyum lebar sambil mengangkat bahu pertanda menyetujui keputusan kekasihnya. Kemudian dalam sekejap saja tubuh Melati telah melesat ke depan meninggalkan Dewa Arak.
Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kekasihnya. Tapi hal itu pun tidak bisa lama-lama dilakukannya, karena bisa tertinggal jauh dari gadis berpakaian putih itu. Maka pemuda berambut putih keperakan itu pun segera menghentakkan langkahnya. Dan sesaat kemudian sepasang pendekar muda ini saling melesat begitu cepat, sehingga mereka nampak seperti kejar-mengejar.
“Hih!” Pemuda berpakaian biru menggertakkan gigi sambil menghentakkan kaki dengan keras. Sesaat kemudian tubuhnya melenting ke udara. Tubuhnya bersalto beberapa kali sebelum akhirnya menjejakkan kaki mendarat tepat di hadapan dua sosok penunggang kuda. Lompatan itu begitu cepat dan ringan.
Jliggg!
“Hooop...!”
“Hiiieeeh...!”
Keberadaan pemuda berpakaian biru yang secara tiba-tiba menghadang larinya kedua kuda, membuat kedua penunggang kuda itu terkejut. Kemudian kedua penunggang kuda itu menarik tali kekang kudanya. Seketika itu pula lari kuda mereka terhenti diiringi suara ringkikan nyaring dari kedua kuda itu.
“Keparat! Kadal Buhtung! Rupanya kau mau mampus, hehhh?!” bentak salah seorang penunggang kuda yang mengenakan rompi merah. Wajahnya nampak sangat marah melihat pemuda berpakaian biru itu.
“Tidak perlu berbicara panjang lebar, Kang! Lebih baik kirim saja nyawanya ke neraka!” selak kawannya yang bertubuh kecil kurus dan berwajah pucat.
Namun, pemuda berpakaian biru nampak tak mempedulikan bentakan keras dan kasar dari dua orang penunggang kuda itu. Pandangannya terpaku pada dua sosok penunggang kuda di hadapannya. Matanya menatap dengan tajam kedua sosok penunggang kuda itu secara bergantian.
“Aku ingat..! Ya..., kaulah orangnya...!” ucap pemuda berpakaian biru itu sambil menuding lelaki berompi merah yang berkepala botak.
Karuan saja tingkah laku pemuda berpakaian biru membuat lelaki berompi merah dan kawannya nampak kebingungan.
“Ternyata dia bukan orang waras, Kang. Lebih baik kita tinggalkan saja!” kata lelaki kecil kurus merubah maksud semulanya.
Dan seiring keluarnya ucapan itu, lelaki kecil kurus langsung bersiap untuk melecutkan cambuk pada punggung kudanya. Tapi....
“Tunggu, Bawira!” cegah lelaki berompi merah sambil memalangkan tangannya mencegah lelaki kecil kurus yang hendak lari dengan kudanya. Dan sebelum kawannya sempat mengucapkan sesuatu, lelaki berompi merah langsung mendahuluinya. “Rasa rasanya aku pernah melihat wajah mirip dia. Tapi aku lupa kapan dan di mana...?”
“Kau telah mengaku, Monyet Botak! Sekarang saatnya kau menerima pembalasan dariku! Kau harus bertanggung jawab atas pembunuhan yang kau lakukan pada orangtua dan kakak-kakak seperguruanku!” tandas pemuda berpakaian biru.
“Sepuluh tahun lalu?”
Alis lelaki berompi merah berkernyit dalam. Dicobanya untuk mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sepuluh tahun lalu. Pada saat yang bersamaan, pemuda berpakaian biru itu pun tengah melakukan hal yang sama. Ingatannya melayang pada peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu.
TIGA
Ctar, ctar, ctarrr!
“Hiya! Hiyaaa...!”
“Hieeeh...!”
Suara lecutan cambuk dan teriakan-teriakan mulut terdengar membentak kuda yang tengah berlari kencang, ditingkahi suara ringkikan nyaring dua ekor kuda. Keriuhan itu memecah keheningan malam yang masih melingkari persada. Sementara, bulan yang bersinar terang dan bintang-bintang yang bergemerlapan di langit, menambah suasana cerah malam itu.
Kegaduhan itu ternyata berasal dari sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Seorang lelaki setengah baya tengah duduk terguncang-guncang di atas kursi kereta. Lelaki berpakaian coklat itu berkali-kali melecut punggung kedua kuda yang menarik keretanya. Sementara mulut terus berteriak-teriak sambil membentak. Nampaknya lelaki berpakaian coklat yang tengah duduk di atas kursi kuda itu menghendaki agar kuda-kuda itu lebih mempercepat larinya.
Ternyata benar, kedua ekor kuda itu berlari begitu cepat bagai kesetanan. Sehingga membuat kereta itu terguncang-guncang hebat di atas jalanan yang tidak rata dan agak berbatu-batu.
Namun, sang Kusir sama sekali tidak mempedulikan keadaan itu. Cambuknya terus-menerus dilecutkan ke punggung kedua kuda itu. Demikian pula seruan-seruan yang mengandung maksud agar kuda-kuda penarik kereta itu berlari semakin cepat, terus diteriakkan semakin menggebu-gebu.
Namun sayang, ketika kereta itu tengah berlari kencang, tiba-tiba sebuah lubang menghalang di jalanan. Dan itu tidak terlihat oleh mata kusir. Dan....
Blosss...! Krakkk!
“Hieeeh...!”
“Haaah...!”
Brukkk!
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Roda kiri kereta menggilas bagian jalan yang berlubang. Memang lubang itu tidak besar. Namun, karena kereta itu tengah melaju dengan kecepatan tinggi, mengakibatkan roda kereta itu hancur. Bahkan asnya patah.
“Hieeeh...!”
Kereta pun berguling ke kiri dibarengi ringkik ketakutan dari mulut dua ekor kuda itu, pekik mulut lelaki berpakaian coklat dan suara yang berasal dari dalam kereta. Ternyata di dalam kereta itu ada penumpangnya. Dari suaranya yang melengking nyaring, penumpang di dalam kereta itu mirip jeritan anak kecil atau perempuan.
Suara hiruk-pikuk para penumpang kereta itu ambruk ke kiri. Roda kereta sebelah kanan masih berputaran, karena kereta kuda itu dilarikan dengan kecepatan tinggi.
“Aaah...!” Jerit kesakitan keluar dari mulut lelaki berpakaian coklat ketika berusaha bangkit. Tubuhnya mulai dari pinggang ke bawah nampak terjepit reruntuhan kereta.
Tapi rupanya lelaki berpakaian coklat termasuk orang yang berkemauan keras. Meskipun seluruh tubuhnya dirasakan sakit semua, lelaki itu tetap berusaha bangkit dari reruntuhan kereta itu.
“Huuuh...! Hmmmh...!”
Lelaki berpakaian coklat menggigit bibirnya keras untuk menvegah keluarnya jerit kesakitan dari mulutnya. Jelas, hal itu membutuhkan kekerasan hati yang luar biasa. Karena rasa sakit semakin hebat di sekujur tubuhnya. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi leher, kening, dan seluruh tubuhnya.
Kriiit..!
Terdengar suara bergerit pelan diiringi terbukanya daun pintu sebelah kanan kereta. Sesaat kemudian dari dalam kereta menyeruak sesosok tubuh kecil. Pancaran sinar bulan purnama memperjelas sosok tubuh kecil itu. Sosok tubuh kecil itu ternyata seorang bocah lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Tubuhnya yang nampak kekar terbalut pakaian biru.
“Aaakh...!” terdengar suara terpekik dari mulut bocah lelaki itu. Tubuh bocah berpakaian biru yang baru saja terjulur keluar itu tiba-tiba terlontar ke atas. Jerit kengerian tertahan yang keluar dari mulut bocah itu membuktikan bahwa kejadian itu bukan atas kehendaknya. Seolah-olah ada orang di dalam kereta yang melontarkan tubuhnya.
Gusraaak!
Terdengar suara berkerosakan keras ketika tubuh bocah berpakaian biru itu terjatuh di semak-semak. Untung saja tubuh itu terlempar ke semak-semak. Kalau tidak, barangkali tubuh bocah itu akanmengalami luka-luka berat. Sebab lontaran itu begitu deras dan cepat. Beberapa saat setelah tubuh bocah lelaki berpakaian biru terlontar, dari dalam kereta itu kembali melesat keluar sesosok bayangan hitam.
Jliggg!
Dengan agak terhuyung-huyung, sosok bayangan yang ternyata seorang lelaki berusia empat puluh tahun itu mendarat ke tanah. Agak aneh, mestinya kalau dilihat dari kecepatan lesatannya, lelaki berusia empat puluh tahun yang mengenakan pakaian kuning gading itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Tapi mengapa hinggap di tanah dengan keadaan sempoyongan seperti itu?
Namun ternyata setelah mendarat dengan agak sempoyongan, lelaki setengah baya berpakaiankuning gading itu langsung terbungkuk badannya. Dan...
“Uhuk...! Uhuk...!”
Lelaki berpakaian kuning gading itu batuk-batuk. Dan dari mulutnya bersamaan dengan batuk itu terpercik cairan merah agak kental. Nampaknya lelaki berpakaian kuning gading ini mengalami luka dalam.
Namun, lelaki berpakaian kuning gading itu sama sekali tidak mempedulikan luka yang tengah dideritanya melangkah menuju semak-semak tempat tubuh bocah lelaki yang terlontar barusan mendarat.
Tapi, baru saja beberapa tindak, ayunan langkahnya segera dihentikan. Pendengarannya yang tajam tiba-tiba menangkap ada suara langkah kaki mendekati lempatnya. Suara itu nampaknya berasal dari belasan bahkan mungkin puluhan pasang kaki. Sekejap kemudian tubuh lelaki berpakaian kuning gading itu dengan cepat membalik. Dengan begitu cepat kakinya bergerak hendak menuju ke semak-semak yang sudah tidak begitu jauh dari tempat itu. Tetapi....
“Mau lari ke mana kau, Keparat?!”
Seiring dengan keluamya suara bentakan keras, esosok bayangan melesat cepat di atas kepala lelaki berpakaian kuning gading itu.
“Hup!”
Tanpa menimbulkan suara berarti, sosok tubuh yang melesat itu mendarat beberapa tombak di depan lelaki berpakaian kuning gading. Terpaksa lelaki berpakaian kuning gading itu menghentikan kembali langkahnya.
“Jangan harap bisa lolos lagi! Orang sepertimu harus dilenyapkan selama-lamanya dari muka bumi!” sambung sebuah suara lain yang ternyata berada di belakang lelaki berpakaian kuning gading.
“Akur...!”
“Betul...!”
“Ganyang...!”
“Lenyapkan pula keturunannya...!”
Suara suara riuh rendah terdengar bersahut-sahutan. Dan semuanya berasal dari belakang lelaki berpakaian kuning gading.
Lelaki berpakaian kuning gading segera memutar badannya ke belakang. Segera matanya yang awas melihat di keremangan malam belasan bahkan mungkin puluhan orang dengan senjata di tangan, berdiri dengan sikap mengancam. Lalu dengan cepat mereka bergerak menyebar. Hanya dalam sekejap saja lelaki berpakaian kuning gading itu telah terkepung.
Namun, lelaki berpakaian kuning gading sama sekali tidak kelihatan gugup, meskipun tahu kalau dirinya tidak akan bisa lolos lagi dari kepungan orang-orang yang belum dikenalnya itu. Meskipun dalam suasana remang-remang, lelaki berpakaian kuning gading berusaha untuk menatap wajah-wajah mereka.
Nampak jelas di matanya, bahwa orang-orang yang mengepungnya bernafsu sekali untuk membunuh dirinya. Tak lama kemudian, bagai diberi perintah puluhan orang itu bergerak maju. Kepungan itu pun semakin mengecil.
“Terimalah kematianmu, Manusia Usilan! Hih...!”
Wuk! Wuk! Wuk!
Seorang lelaki tinggi besar, berperut gendut, berkepala botak, dan mengenakan rompi merah memutar-mutarkan rantai berujung bola baja berduri. Bunyi yang terdengar membuat bulu kuduk meremang.
Lelaki berpakaian kuning gading telah terkepung. Dirinya tak mampu berusaha untuk menghindar. Kini tinggal menunggu saatnya senjata berduri itu menggempur tubuhnya. Tapi tiba-tiba terdengar suara....
“Tahan...!”
Bentakan keras terdengar. Suara menggelegar itu ampaknya dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat. Buktinya semua lelaki yang tengah nengepung mangsanya nampak bergetar hebat oleh hawa yang diakibatkan suara bentakan itu.
Ternyata tak hanya lelaki berompi merah yang nampak terpengaruh bentakan itu, sehingga menghentikan gerakannya. Semua lelaki yang mengepung itu pun menolehkan kepala ke asal suara. Dari belakang lelaki besar berompi kuning, tiba-tiba melesat sesosok bayangan hitam.
“Hup!” Sosok bayangan hitam itu berhenti di luar kepungan. Seketika itu pula para pengepung menyibak, memberi jalan bagi sosok hitam itu yang berjalan mendekati lelaki berpakaian kuning gading. Mereka mengenal betul siapa sosok hitam itu. Ternyata sosok hitam itu pemimpin mereka.
“Mau lari ke mana kau, Malaikat Ruyung? Jangan harap dapat lolos dari tanganku!” ejek sosok hitam yang tengah menghampirinya.
Sosok hitam itu semakin mendekat ke tubuh lelaki berpakaian kuning gading. Mata lelaki berpakaian kuning gading seketika terbelalak melihat sosok tubuh di depannya yang nampak sangat aneh dan menyeramkan. Wajah lelaki hitam itu ditumbuhi bulu-bulu halus hitam pekat. Wajahnya lebih mirip gorila.
Tidak hanya itu ciri-ciri yang membuat sosok hitam itu mirip dengan gorila. Potongan tubuhnya agak membungkuk, dan tangan yang panjang menjuntai hingga melewati kedua lutut. Bulu-bulu hitam yang memenuhi sekujur tubuh yang tidak tertutup pakaian, semakin memperjelas kemiripan bentuknya dengan gorila.
“Aku bukan jenis orang sepertimu, Raja Monyet Tangan Delapan!” sambut lelaki berpakaian kuning gading yang ternyata berjuluk Malaikat Ruyung.
“He he he...!” sosok hitam yang berjuluk Raja Monyet Tangan Delapan tertawa terkekeh-kekeh. “Kalau tidak menyaksikan sendiri, mungkin aku bisa percaya ucapanmu, Malaikat Ruyung! Tapi, kenyataan yang kulihat tidak seperti yang kau katakan! Dengan mata kepalaku sendiri kulihat kau berlari tunggang-langgang!”
Seketika itu pula Malaikat Ruyung terdiam. Disadari adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah lagi dalam ucapan Raja Monyet Tangan Delapan. Memang terbukti dirinya telah melarikan diri. Tapi, tentu saja bukan tanpa alasan. Hanya saja alasan itu tidak mungkin diutarakannya dalam keadaan yang mencekam seperti ini.
“He he he...! Sekarang kau mau bicara apa lagi, Malaikat Ruyung? Kau tidak bisa membohongiku lagi. He he he...! Ingin kulihat sendiri bagaimana raut wajahmu kalau dunia persilatan mengetahui bahwa kau melarikan diri untuk menyelamatkan diri, seperti seekor anjing yang akan dipukul,” ejek Raja Monyet Tangan Delapan lagi.
“Tutup mulutmu, Raja Monyet!” bentak Malaikat Ruyung begitu keras.
Tampak jelas kalau lelaki yang berjuluk Malaikat Ruyung merasa tersinggung mendengar ejekan lawannya. Wajahnya nampak pula menegang. Perasaan marah, takut, dan kesal bercampur dalam hatinya. Tapi untuk lolos dari kepungan ini tentu saja bukan hal yang mudah.
“Hehhh...?!” Raja Monyet Tangan Delapan tersentak. “Kau berani memerintahku untuk menutup mulut? Betapa lancang mulutmu! Apa kau ingin merasakan kedahsyatan ilmu-ilmuku lagi?! Ho, ho, ho...! Dalam keadaan biasa saja kau bukan tandinganku, apalagi sekarang! Hmh...! Bunuh dia!” perintahnya kemudian dengan suara keras.
Usai memberi perintah demikian, Raja Monyet Tangan Delapan mengibaskan tangannya sambil melangkah mundur. Maksudnya tentu saja memberi kesempatan pada gerombolan pengepung itu untuk mengerjakan perintahnya.
“Selamat bertemu malaikat maut, Malaikat Ruyung...!” ujar Raja Monyet Tangan Delapan sambil melepas tawa bergelak. Lalu, kedua tangannya yang berukuran lebih panjang dari tangan manusia umumnya, bersidekap di depan dada. Diperhatikan anak buahnya yang telah bergerak mengurung Malaikat Ruyung.
Sementara itu, Malaikat Ruyung sudah tidak memperhatikan Raja Monyet Tangan Delapan lagi. Dipusatkan perhatiannya pada para pengeroyoknya yang kini sudah mulai bergerak siap menyerangnya.
Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari, memperhatikan gerak-gerik lawan-lawannya. Lalu dicabutnya ruyung berbatang dua yang terselip di pinggangnya. Batang ruyung itu terbuat dari baja, dan ujung-ujungnya terikat rantai baja yang sepanjang dua jengkal. Kemudian segera diputar-putar rujung itu dengan cepat sekali di depan dadanya.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Kecepatan putaran ruyung itu melenyapkan bentuk aslinya. Dan kini yang nampak hanya kelebatan bayangan hitam dalam bentuk tidak jelas. Malaikat Ruyung telah bertekad menghadapi lawan-lawan, meskipun jumlah mereka seharusnya bukan tandingannya.
“Hiaaat..!”
Diiringi teriakan menggelegar yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, lelaki berpakaian merah melancarkan serangan. Rupanya hatinya sudah tak sabar menunggu lebih lama lagi untuk segera menghabisi nyawa musuhnya.
Wuuuk...! Kreeek!
Diiringi deru angin keras mengiuk dan suara rantai, boia baja berduri itu meluncur ke atas kepala Malaikat Ruyung. Hal itu dilakukan setelah terlebih dulu memutar-mutarkan rantainya di atas kepala. Beberapa kali serangan dilancarkan dengan cepat dan dahsyat.
Malaikat Ruyung tidak berani bertindak gegabah. Dirinya tahu betapa dahsyatnya serangan bola berduri itu. Kalau menerjang kepalanya, sudah dapat dipastian akan remuk. Malaikat Ruyung tidak mau hal itu terjadi atas dirinya.
Oleh karena itu, Malaikat Ruyung langsung bergerak cepat Tubuhnya melakukan lompatan harimau ke samping kanan. Lalu dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya berguling-guling berusaha menghindari serangan dahsyat itu.
Usaha yang dilakukan Malaikat Ruyung memang tidak sia-sia. Berkali-kali serangan bola berduri itu meleset, dan hanya menggebuk tempat kosong.
Wuuuk...! Bukkk...! Bukkk!
Setiap kali Malaikat Ruyung bangkit, serangan susulan dengan cepat telah meluncur ke kepalanya. rang lebih membuat repot dan kewalahan lagi, hampir semua anak buah gerombolan Raja Monyet Tangan Delapan meluruk ke tubuhnya dengan senjata terhunus. Tak pelak lagi, belasan senjata yang beraneka ragam jenis, ukuran, dan bentuk itu meluruk ke tubuh Malaikat Ruyung hampir bersamaan.
Malaikat Ruyung terkejut melihat serangan-serangan itu semakin berbahaya. Kalau keadaan tubuhnya biasa, barangkali keadaan seperti ini bukan merupakan hal yang sulit baginya untuk mengandaskan semua serangan. Tapi sekarang masalahnya lain.
Tubuhnya tengah menderita luka dalam yang parah! Bahkan ketika tangannya memutar-mutar senjata ruyungnya di depan dada, nampak darah segar mengalir dari mulutnya.
Begitu juga ketika melakukan lompatan harimau untuk mengelakkan serangan bola berduri, darah itu kembali mengalir keluar. Bahkan dadanya dirasakan begitu sakit. Saat Malaikat Ruyung berada dalam keadaan seperti itulah serangan-serangan para pengeroyoknya meluncur terus menerjang ke tubuhnya. Berkali-kali usahanya untuk berkelit masih mampu menyelamatkan jiwanya dari maut yang terus memburunya.
Malaikat Ruyung tidak mempunyai pilihan lain. Dirinya masih belum ingin tewas. Keadaan bocah berpakaian biru yang sebenarnya anaknya, belum diketahui secara pasti. Nasib anaknya itulah yang mendorong lelaki berpakaian kuning gading ini berusaha terus untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, dirinya tetap berusaha untuk menyelamatkan diri dari maut.
Meskipun untuk itu harus merasakan sakit yang hebat di dalam tubuhnya. Pikirannya yang bercabang seperti itu menyebabkan kewaspadaannya mengendur. Kemudian tak disangka-sangka serangan beruntun meluncur ke tubuhnya. Dan....
Jrabbb! Jrabbb! Jrabbb!
Beberapa bacokan senjata pun mendarat dengan cepat sekali. Seketika tubuh lelaki berpakaian kuning gading melesat dengan cepat untuk menghindari serangan beruntun itu. Senjata-senjata itu pun membacok tempat kosong. Malaikat Ruyung ternyata telah lebih dulu menghindar dari tempat semula.
Nampak tubuhnya berguling-guling di atas tanah. Namun kesempatan berkelit Malaikat Ruyung hanya berlangsung beberapa saat Ketika tubuhnya tengah bergulingan, lelaki berompi merah yang tadi tak sempat ikut dalam penyerangan, tiba-tiba dengan cepat sekali melontarkan bola berdurinya ke tubuh Malaikat Ruyung.
Wukkk!
Malaikat Ruyung terkejut bukan kepalang. Dirinya tahu kali ini tak bisa lagi melakukan gerakan untuk menghindar. Jalan satu-satunya hanya menangkis.
“Hih!” Sambil menggertakkan gigi, Malaikat Ruyung memapak luncuran bolab berduri itu dengan ruyungnya. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk menangkis serangan itu. Sebab, senjata lawan memiliki berat yang berlipat kali jika dibanding dengan senjatanya.
Apalagi luncuran senjata berbentuk bola duri itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang kuat Sehingga, kalau tenaga tangkisannya kurang kuat, bola berduri itu tetap akan menghantam tubuhnya.
Trakkk! Bukkk!
“Akh...!” Apa yang dikhawatirkan Malaikat Ruyung terjadi juga. Tenaganya yang telah menyusut jauh, membuat kekuatan tangkisannya tak sanggup menahan luncuran bola berduri. Meskipun berhasil ditangkisnya, tak urung bola berduri itu menghantam paha kanannya. Akibatnya tulang paha kanannya remuk.
Rasa sakit yang hebat pun mendera Malaikat Ruyung. Rasa sakit itu menyebabkan Malaikat Ruyung, untuk beberapa saat lamanya terdiam di tempat Sebentar kedua matanya terpejam menahan rasa sakit di pahanya. Padahal saat itu, para pengeroyok yang semuli gagal melakukan serangan telah meluruk kembali sambil mengayunkan senjata masing-masing.
Malaikat Ruyung mengetahui bahaya yang tengah meluruk ke tubuhnya. Namun, keadaan saat itu membuat lelaki berpakaian kuning gading itu hanya pasrah menunggu datangnya serangan maut.
Tubuhnya tak mampu digerakkan untuk menangkis atau mengelak. Luka dalam yang parah, tulang pahanya yang remuk, dan pergelangan kedua tangannya yang patah akibat memapak bola berduri membuatnya tak mampu bertindak apa pun untuk menyelamatkan diri. Akhirnya....
Crat! Jraaab! Breeet!
“Aaakh...!' Malaikat Ruyung tak kuasa menahan jeritannya, ketika beberapa senjata lawan dengan ganas menghujam ke beberapa bagian tubuhnya. Darah segar pun seketika mengahr deras membasahi tubuhnya yang telah parah. Sempumalah luka parah yang di deritanya.
Namun hanya beberapa saat saja mulut lelaki berpakaian kuning itu terpekik kesakitan. Tubuhnya yang telah luka parah nampak tak bergerak lagi, karena saat itu pula nyawa di tubuhnya telah melayang.
Meskipun Malaikat Ruyung sudah tak berkutik lagi, gerombolan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan tetap tak berhenti menyerang lelaki berpakaian kuning gading itu. Dengan ganas mereka tetap menghujamkan senjata ke tubuh Malaikat Ruyung yang telah tewas. Sehingga tubuh berpakaian kuning gading itu hancur berantakan, dan tak berbentuk lagi.
Mereka baru menghentikan ayunan senjata ketika tubuh Malaikat Ruyung sudah hancur lebur bercampur darah. Sebuah pemandangan yang mengerikan sekali. Tubuh Malaikat Ruyung seperti cacahan daging. Kepalanya pun sudah tak berbentuk dan berpisah dari lehernya.
“Ha ha ha...!”
Raja Monyet Tangan Delapan tertawa bergelak melihat akhir hidup Malaikat Ruyung. Tokoh sesat yang mirip gorila ini merasa puas. Perutnya nampak terguncang-guncang karena tawanya yang keras.
“Tamatlah riwayatmu, Malaikat Ruyung! Ha ha ha...!”
Sementara itu, gerombolan pengeroyok Malaikat Ruyung berdiri diam saja di tempatnya. Senjata-senjata dumur darah masih tergenggam di tangan mereka.
“Tunggu apa lagi? Cari keturunan si keparat itu! Bukan tidak mungkin mereka akan menjadi ancaman bagi kita kelak!” perintah Raja Monyet Tangan Delapan ketika berhenti dari tawanya.
EMPAT
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang berwajah kasar dan bertubuh kekar itu menyebar ke sekitar tempat itu. Beberapa orang dari mereka menghampiri kereta kuda yang terguling di pinggir jalan berbatu-batu tadi.
Seluruh tempat telah diobrak-abrik, tapi orang yang mereka cari tidak diketemukan. Di dalam kereta, tempat tempat di sekitarnya, bahkan di dalam semak-semak telah mereka gasak. Namun, tetap mereka tak menemukan yang dicari.
Sedangkan di kereta yang terguling itu, mereka hanya mendapatkan kusir yang tubuhnya terjepit di bawah kereta itu. Dan nyawa sang Kusir pun melayang ketika salah seorang anak buah Raja Monyet Tangan Delapan menendang kepalanya hingga terlepas dari lehernya.
“Tidak ada seorang pun di sekitar sini, Ketua,” lapor lelaki berpakaian merah penuh hormat ketika tidak berhasil menemukan orang yang mereka cari. Kini semua nya berkumpul di hadapan Raja Monyet Tangan Delapan.
“Bodoh! Dungu! Kalian semua memang bukan manusia! Kalian kerbau! Mencari seorang anak kecil saja tidak bisa! Lalu, apa yang kalian bisa lakukan?!” kata Monyet Tangan Delapan meluap kemarahannya mendengar laporan itu.
“Maaf, Ketua. Barangkali bocah itu tak ikut bersama Malaikat Ruyung,” jawab salah seorang yang berbibir tebal.
“Maksudmu bocah itu masih di rumahnya,begitu?” sambut Raja Monyet Tangan Delapan keras.
“Menurutku begitu, Ketua. Karena buktinya anak tu tak ada di sekitar sini. Kalau anak itu ikut dengan Malaikat Ruyung, pasti berada di sini. Sampai seberapa jauh mana sih, seorang anak kecil bisa meninggalkan tempat ini dalam waktu yang demikian singkat?!” lelaki berbibir tebal mencoba memberi alasan untuk menguatkan pernyataannya.
Seketika itu pula nampak kepala kawan-kawannya, terangguk. Mereka seolah-olah turut membenarkan alasan yang disampaikan oleh lelaki berbibir tebal itu.
Raja Monyet Tangan Delapan mengereyitkan dahi ketika melihat hampir semua anak buahnya menyetajui pemyataan lelaki berbibir tebal. Nampaknya diam-diam diakuinya kalau pernyataan anak buahnya itu ada benarnya. Namun, tetap saja ada perasaan ragu yang menyelinap di hatinya. Rasanya mustahil Malaikat Ruyung tidak membawa anak satu-satunya dalam pelarian itu.
Namun keraguan itu segera dibantahnya sendiri. Mungkin saja, Malaikat Ruyung sengaja berbuat demikian untuk mengalihkan perhatian, agar anaknya berhasil menyelamatkan diri. Dengan kata lain, Malaikat Ruyung memancing Raja Monyet Tangan Delapan dan anak buahnya agar memburunya.
“Kalau begitu, mari kita pergi dari sini! Lagi pula kalau benar bocah itu selamat, apa yang bisa dilakukannya terhadap diriku?!” ucap Raja Monyet Tangan Delapan menyombongkan diri.
Keangkuhan yang dilontarkan Raja Monyet Tangan Delapan ini bukan tanpa alasan, karena dirinya seorang datuk sesat yang memiliki kepandaian luar biasa. Telah ratusan kali Raja Monyet Tangan Delapan bertarung menghadapi tokoh-tokoh sakti dunia persilatan baik dari aliran putih maupun hitam.
Dan hebatnya, manusia yang seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus seperti monyet itu selalu dapat mengalahkan lawan-lawannya. Tak satu pun lawannya yang dapat mengatasi keganasan manusia gorila itu.
Bagi lawan Raja Monyet Tangan Delapan yang merupakan tokoh persilatan aliran putih, kekalahan terhadap tokoh mirip gorila ini merupakan kekalahan terakhir. Karena setiap lawannya harus mati di tangannya.
Kejadian seperti itu tidak dialami mereka yang berasal dari golongan hitam. Raja Monyet Tangan Delapan tak membunuh lawannya yang berasal dari aliran hitam, melainkan hanya menaklukkannya yang kemudian menjadi pengikutnya.
Hal seperti itu tentu saja tak berlaku bagi mereka yang tidak mau tunduk menjadi pengikutnya. Tokoh yang membangkang kehendaknya pasti akan menemui ajalnya. Tak heran kalau korban yang tewas di tangan tokoh sesat mirip kera ini tak terhitung jumlahnya.
Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya itulah yang menyebabkan Raja Monyet Tangan Delapan memiliki sifat sombong. Dan kesombongan itu kini emakin bertambah setelah berhasil menghabisi nyawa Malaikat Ruyung.
Sementara itu, begitu mendengar ucapan sombong itu semua tokoh hitam yang berada di situ terangguk-angguk. Mereka membenarkan ucapan tokoh sesat mirip kera itu. Dan hal ini bukan karena mereka sebagai penjilat melainkan sewajarnya. Apalah yang bisa diperbuat oleh keturunan Malaikat Ruyung kelak terhadap Raja Monyet Tangan Delapan. Karena sesungguhnya pentolan-pentolan golongan putih seperti Malaikat Ruyung sendiri sama sekali tak mampu menandingi kesaktian Raja Monyet Tangan Delapan.
Raja Monyet Tangan Delapan mengangguk-anggukkan kepala merasa puas. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, diayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Meskipun nampaknya biasa saja, gerakan yang dilakukan Raja Monyet Tangan Delapan sangat menakjubkan. Dalam sekali hentak saja, tubuhnya yang tinggi besar itu telah melesat dengan cepat sekali.
Sehingga dalam sekejap mata saja, tubuhnya telah melesat sejauh belasan tombak. Nampak jelas bahwa gerakan langkahnya itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
Belasan tokoh golongan hitam yang menjadi pengikut Raja Monyet Tangan Delapan sama sekali tidak merasa heran melihat gerakan pimpinan mereka. Mereka telah mengetahui kalau pimpinan mereka memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat pimpinannya telah meninggalkan tempat itu, mereka pun melakukan hal yang sama. Tubuh-tubuh kekar dan beringas itu melesat cepat meninggalkan tempat pertempuran, dan tubuh hancur Malaikat Ruyung.
Kini kesunyian menyelimuti hutan itu. Tidak ada lagi suara-suara gaduh dan hiruk-pikuk yang mengerikan itu. Suasana kembali seperti semula, hening. Sekarang yang terdengar tinggal kerik jangkrik dan binatang malam lain serta angin yang bertiup menebarkan bau amis darah dan kematian.
Namun, ternyata suasana hening yang menyelimuti tempat itu berlangsung tidak lama. Baru saja tubuh Raja Monyet Tangan Delapan lenyap di kejauhan, dari atas sebatang pohon besar berdaun rimbun melompat turun sesosok bayangan.
“Hup!” Sosok bayangan itu dengan ringan mendaratkan kaki di tanah. Kecepatan dan ringannya gerakan yangdilakukan itu memperlihatkan kalau sosok ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.
Sosok itu ternyata seorang kakek yang sangat mengerikan. Tubuhnya yang kurus dan hitam terbalut pakaian lusuh dan compang-camping. Namun yang paling menyeramkan, sekujur badan kakek itu mulai dari wajah sampai kaki dipenuhi bisul-bisul bernanah. Kemudian di atas punggungnya tumbuh sebuah punuk besar. Tubuhnya bongkok terbalut pakaian coklat.
Kakek berpakaian compang-camping ini ternyata tidak sendirian. Di bahu kanannya terpanggul sesosok tubuh kecil terbungkus pakaian biru. Bocah lelaki kecil itu tidak lain putra Malaikat Ruyung yang tadi terlempar dan jatuh di dalam semak-semak. Begitu mendarat dengan kedua kakinya, kakek berpunuk besar di punggungnya itu segera menurunkan bocah berpakaian biru dari bahunya.
Kemudian jari tangannya menepuk pelan tubuh bocah berpakaian biru itu. Meskipun tepukan itu hanya pelan sekali, menyebabkan tubuh bocah berpakaian biru yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba bergerak. Nampaknya bocah itu tadi telah ditotok aliran darahnya. Dan tepukan barusan membebaskan totokan itu.
Setelah tubuhnya mampu bergerak, bocah kecil berpakaian biru itu meluruk ke mayat Malaikat Ruyung, ayahnya, yang telah menjadi daging cacahan itu.
“Ayaaah...!” terpekik keras mulut anak itu sambil berlutut dekat mayat Malaikat Ruyung, ayahnya. Jeritan melengking nyaring yang keluar dari mulut bocah berpakaian biru itu memecahkan keheningan malam.
“Ayaaah...!” seru bocah berpakaian biru itu lagi dengan suara melengking tinggi bercampur isak tangis yang tertahan.
Kini bocah berpakaian biru berjongkok di depan onggokan daging mayat ayahnya. Beberapa saat lamanya bocah itu menangisi kematian ayahnya. Bahu dan dadanya terguncang-guncang karena menahan tangis yang terisak-isak. Mendadak bocah berpakaian biru itu menolehkan kepala ke kakek berwajah seram yang sejak tadi hanya berdiri sambil memandang dari belakangnya.
Kakek itu memperhatikan saja semua tindakan bocah berpakaian biru. Wajahnya yang dingin membeku tidak menampakkan gambaran perasaan apa pun. Sehingga sulit untuk mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hatinya.
“Mengapa kau menolongku, Kek! Mengapa tak kau biarkan agar aku dapat menolong ayahku!” keras dan lantang ucapan bocah berpakaian biru itu.
“Kalau tadi kulepaskan, kau hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia, Bocah Dungu!” datar sambutan kakek berpakaian compang-camping itu.
“Aku tidak takut! Aku bukan orang yang takut mati!” sahut putra Malaikat Ruyung cepat, nampak hatinya marah dan merasa penasaran.
“Tindakan yang akan kau lakukan bukan tindakan orang pemberani, tapi kelakukan orang dungu! Hanya orang dungu yang mengadu kepalanya dengan batu, walaupun tahu batu itu lebih keras dari kepalanya!” ujar kakek berpakaian compang-camping itu lebih panjang, tapi masih tetap dalam nada datar.
Bocah berpakaian biru hanya terdiam. Rupanya pikirannya berusaha memahami maksud yang terkandung dalam ucapan kakek berpakaian compang-camping itu.
“Asal kau tahu saja, andaikata aku tidak mencegahmu bertindak seperti itu, orangtuamu akan mati penasaran. Dia tidak akan mati meram!”
“Aku tidak percaya!” bantah bocah berpakaian biru. “Justru karena aku tidak muncul, ayah pasti mati penasaran. Beliau selalu mengajarkanku agar tidak bersikap pengecut. Dan kini kau malah membuat ayah akan menyangka demikian padaku!”
Kakek berpakaian compang-camping itu pun terdiam. Bukan karena mengetahui kebenaran ucapan putra Malaikat Ruyung itu. Tapi karena kalah bicara. Dirinya bukan orang pandai berdebat. Tak aneh, menghadapi putra Malaikat Ruyung yang demikian pandai bersilat lidah dirinya kewalahan. Kakek berpakaian compang-camping itu pun sibuk memutar pikirannya mencari kata-kata yang dapat meredakan semua ucapan bocah berpakaian biru itu.
“O ya..., siapa namamu?” tanya kakek berpakaian compang-camping dengan benak yang masih berputar mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk meundukkan bocah berpakaian biru. Tanpa disadari kalau sikapnya yang dulu kaku dan dingin, tiba-tiba berubah. Dan itu karena putra Malaikat Ruyung itu.
“Mahendra,” jawab bocah berpakaian biru pelan. “Lalu namamu siapa, Kek?”
Kakek berpakaian compang-camping tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dikernyitkan keningnya beberapa saat “Sebenarnya aku malas menyebutkan namaku pada orang lain. Tapi bagimu ini kekecualian. Songka Lawung. Nah, sekarang coba ceritakan padaku! Apakah sebelum tewasnya, terutama sekali akhir-akhir ini, apakah ayahmu pemah bercerita padamu?” kakek berpakaian compang-camping yang ternyata bernama Songka Lawung mulai menyelidik.
Mahendra tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia terdiam beberapa saat lamanya. Hal itu dilakukannya untuk mencoba mengingat-ingat apa ayahnya pernah mengajaknya berbicara. “Benar, Ki. Belum lama ini ayah pernah berbicara padaku. Dan itu dilakukannya waktu kami berada dalam kereta kuda...,”
“Kau ingat ucapannya?” tanya Songka Lawung tidak sabar.
Lagi-lagi Mahendra menganggukkan kepala. “Aku ingat betul, Ki. Masalahnya saat itu aku tahu kalau ayah tengah merasa malu. Ayah terpaksa melarikan diri dari lawannya karena ingin menyelamatkanku.”
“Nah!” sentak Songka Lawung penuh perasaan menang. “Kau tahu, Mahendra. Tindakan yang dilakukannya itu dapat membuat nama besarnya hancur. Orang tak akan mau peduli alasannya melarikan diri. Orang-orang pasti menganggap bahwa Malaikat Ruyung kabur dari lawannya. Dia pun tahu akibatnya! Tapi, mengapa tetap saja dilakukannya? Karena ayahmu ingin kau selamat. Kau dengar, Mahendra? Itu dilakukannya karena keinginannya yang besar untuk menyelamatkanmu. Nah, bisa kau bayangkan betapa kecewanya hati ayahmu apabila niatmu tidak kucegah.”
Panjang lebar dan berapi-api ucapan yang keluar lari mulut Songka Lawung. Dan hal itu nampaknya tidak disadari Songka Lawung sendiri. Kakek berpakaian compang-camping itu sama sekali tidak sadar kalau arena keinginan yang amat kuat untuk menyadarkan Mahendra dari kekeliruan sikapnya, sikap dinginnya selama ini tiba-tiba berubah.
Mendengar penjelasan dari kakek tua yang meyeramkan itu Mahendra hanya membisu. Kini dirinya mulai menyadari kebenaran pendapat Songka Lawung. Mengapa dirinya begitu terlena oleh perasaannya. Mengapa dirinya begitu bodoh? Ah, hampir saja dirinya membuat ayahnya mati penasaran. Pikiran seperti itu yang sekarang berkecamuk dalam kepalanya. Kini mulai disadarinya kebenaran kakek itu.
Teringat akan hal itu, membuat Mahendra terkenang kembali akan kejadian yang belum lama dialamiiya. Dimulai dari saat tubuhnya melayang jatuh ke semak-semak. Betapapun empuknya semak-semak itu, tetap saja kepalanya merasa pusing, yang membuat Mahendra beberapa saat lamanya harus berdiam diri.
Baru ketika rasa pusingnya lenyap, Mahendra menguak kerimbunan semak-semak untuk keluar. Tapi belum sempat tubuhnya keluar dari semak-semak, sesosok tubuh yang tidak lain Songka Lawung telah lebih dulu menotok urat gagunya sehingga tak mampu bersuara. Baru kemudian menotoknya hingga tak mampu bergerak lagi.
Namun, dalam keadaan tak mampu bergerak dan bersuara, Mahendra tetap dapat menyaksikan semua kejadian yang dialami ayahnya menghadapi keganasan Raja Monyet Tangan Delapan dan anak buah nya. Hingga akhirnya Mahendra dibawa oleh Songka Lawung ke sebuah pohon besar yang rim bun untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran Raja Monyet Tangan Delapan.
“Sekarang bagaimana, Mahendra? Apakah kau masih menyalahkan tindakanku?” tanya Songka Lawung tiba-tiba.
Ucapan Songka Lawung membuat semua lamunan Mahendra buyar. Tangannya segera mengusap matanya yang sejak tadi menahan air matanya yang tertumpah.
“Tidak, Kek. Kau benar,” kata Mahendra terbatabata. “Maafkan aku, Kek! Aku terlalu menuruti perasaanku,” lanjutnya.
“He he he...! Lupakanlah, Mahendra! Jangankan orang seusiamu, orang seusiaku saja terkadang susah diatur!” ujar Songka Lawung lembut, mencoba menghibur hati anak lelaki yang masih duduk termangu di dekat mayat ayahnya yang hancur-lebur itu.
Kakek berpakaian compang-camping merasa suka sekali pada Mahendra. Bocah berpakaian biru itu sama sekali tak keiihatan merasa jijik padanya. Padahal, sejak tadi mereka berdekatan. Hal seperti ini hampir tak pernah dialami kakek berpakaian compang-camping. Apalagi dari anak seusia Mahendra.
“Kau tahu, mengapa ayahmu berkeinginan untuk menyelamatkanmu, Mahendra?” tanya Songka Lawung bernada menguji.
Mahendra rnenggelengkan kepala.
“Karena ayahmu ingin kau dapat mencegah tindak angkara murka Raja Monyet Tangan Delapan kelak apabila dewasa!” mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut Songka Lawung.
“Aku, Kek?” Mahendra melengak. “Mana mungkin! Sedangkan ayahku saja tak mampu menghadapi keganasan Raja Monyet Tangan Delapan, apalagi aku! Aku sendiri baru belajar beberapa macam ilmu dari ayahku!”
“Ho ho, tentu saja kau harus mempelajari ilmu-ilmu kadigdayaan agar dapat mengalahkan Raja Monyet Tangan Delapan!”
“Tapi..., di mana harus kucari guru yang memiliki kepandaian melebihi Raja Monyet Tangan Delapan? Sedangkan ayahku saja yang memiliki kepandaian demikian tinggi, tak mampu menghadapi manusia monyet itu!” sahut Mahendra setengah mengeluh.
“Kau pintar tapi bodoh, Mahendra!” Songka Lawung menggeleng-gelengkan kepala. “Memangnya di dunia ini hanya ayahmu dan Raja Monyet Tangan Depan yang sakti? Ho ho, walaupun ayahmu dan Raja Monyet Tangan Delapan pentolan-pentolan dunia persilatan, tapi masih banyak tokoh yang memiliki kepandaian tinggi,” jawab Songka Lawung.
“Ah! Ucapanmu seperti ayahku saja, Kek. Beliau sering berkata begitu. Di dunia persilatan banyak orang sakti, kau harus berlatih keras agar tidak menjadi bulan-bulanan orang lain, demikian katanya,” sahut putra Malaikat Ruyung lagi, “Tapi sayangnya, ayah tidak pernah memberitahukan padaku siapa orang sakti yang dimaksudkannya.”
“Mengapa kau ingin ayahmu memberitahukan padamu mengenai orang-orang sakti itu?” pancing Songka Lawung sambil menatap wajah Mahendra penuh selidik.
“Aku ingin menjadi muridnya!” lantang ucapan Mahendra. “Dan setelah kepandaianku mencukupi akan kulenyapkan Raja Monyet Tangan Delapan dari muka bumi!”
“Mengapa kau harus repot-repot mencari orang sakti, Mahendra?! Aku pun dapat mengajarmu,” ucap Songka Lawung menawarkan diri.
Mahendra tersentak sebentar. “Tapi..., apakah kau termasuk orang sakti yang diceritakan ayahku, Kek?!” tanya Mahendra ragu, sambil menatap tajam Songka Lawung penuh selidik.
“Ha ha ha...!” Tawa kakek berpakaian compang-camping itu lepas, begitu mendengar pertanyaan yang demikian polos bocah berpakaian biru itu. “Walaupun mungkin aku bukan termasuk orang sakti yang dimaksud ayahmu, tapi aku yakin akan dapat mengalahkannya!"
“Aku tidak percaya!” bantah Mahendra.
“Mengapa kau berpendapat demikian, Bocah Bagus? Apa karena kau sudah melihat keadaan tubuhku? Ho ho ho, kau keliru besar kalau berpendapat demikian! Ataukah... aku perlu membuktikannya?” tantang Songka Lawung.
“Bagaimana kau dapat membuktikan kesaktianmu, Kek?! Tidak ada orang yang dapat kau jadikan sebagai lawan!” ujar Mahendra, bingung.
“Mengapa mesti repot-repot mencari lawan?!” sergah Songka Lawung cepat. “Bisa kita gunakan yang lain untuk uji coba kepandaianku! Sekarang, perhatikan baik-baik! Kau lihat pohon besar itu!”
Kakek berpakaian compang-camping itu menudingkan jari telunjuk kanan pada sebatang pohon besar yang terletak sekitar enam tombak dari tempat mereka berdiri. Sebuah pohon yang amat besar. Untuk melingkari batangnya memerlukan dua tangan orang dewasa.
“Nah, menurutmu sanggupkah ayahmu menghancurkan pohon itu dari sini?!”
Mahendra menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, Kek. Tapi..., apakah kau sendiri nampu melakukannya?”
“Tentu saja!” jawab Songka Lawung yakin. “Nah, sekarang kau lihat baik-baik!” Usai berkata demikian, Songka Lawung menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Lalu....
“Hih!” Songka Lawung menghentakkan tangan dengan keras.
Wusss!
Deru angin keras terdengar ketika kakek itu menghentakkan kedua tangannya sampai ke depan dada. Sesaat kemudian....
Glaaar...! Bukkk!
Diiringi suara menggelegar dan berderak keras, batang pohon besar itu hancur berantakan. Pohon pun ambruk seketika.
“Haaah, hebat..! Rupanya kau memiliki kepandaian hebat, Kek!” puji Mahendra penuh perasaan kagum menyaksikan kepandaian yang diperlihatkan kakek berwajah buruk itu kepadanya.
“Bagaimana?” senyum lebar tersungging di Songka Lawung. “Apakah aku bisa diterima menjadi gurumu, Mahendra?”
“Guru...!” sahut Mahendra sambil melangkah mendekat. Mahendra yang cerdik langsung memberi hormat pada Songka Lawung.
Kakek itu tertawa terkekeh melihat keberhasilannya membujuk Mahendra menjadi muridnya. “He he he... bagus! Sekarang kau jadi muridku, Mahendra. Nah, mari kita tihggalkan tempat ini. Aku akan membawamu ke sebuah tempat yang dapat membuat kau cepat menguasai ilmu-ilmu tinggi. Tapi sebelum itu, mari kita kubur dulu mayat ayahmu!'
Mahendra menganggukkan kepala. Kemudian diikutinya Songka Lawung yang menghampiri mayat ayahnya. Untuk yang kedua kalinya, Mahendra terkagum-kagum melihat kepandaian Songka Lawung. Dengan mata kepala sendiri dilihatnya, Songka Lawung menggali tanah yang keras dengan ranting kayu sebesar ibu jari.
Hebatnya, meskipun hanya mempergunakan sebatang ranting, pekerjaan itu hanya diselesaikannya dalam waktu yang sebentar saja. Mahendra terlongong bengong menyaksikan pekerjaan kakek tua itu.
Hanya dalam sekejapan saja, sebuah lubang telah tergali. Dan di tempat itulah onggokan mayat Malaikat Ruyung disemayamkan diiringi tatapan wajah sedih Mahendra.
“Mari kita berangkat, Mahendra!” ajak Songka Lawung setelah memberikan waktu cukup lama pada Mahendra untuk berpamitan dengan ayahnya.
Digandengnya tangan Mahendra yang masih memandangi kuburan ayahnya itu. Tak ada pilihan lagi bagi Mahendra. Dengan hati berat, diayunkan langkahnya meninggalkan kuburan ayahnya untuk mengikuti Songka Lawung. Seorang tokoh aneh yang menjadi juru penolongnya tanpa diketahui dari mana asalnya dan kapan dia datang.
* * *
LIMA
“Jadi..., rupanya kau bocah sialan putra Malaikat Ruyung itu?!” tanya lelaki berompi merah agak terbata-bata. Dirinya mulai merasakan adanya bahaya besar mengancam jiwanya. Kesadaran akan adanya ancaman bahaya itu menyebabkan lelaki berompi merah segera melompat dari punggung kudanya.
“Hup!”
Jleggg!
Lompatan itu begitu cepat dan ringan, seolah-olah tak ingin didahului. Segera dikeluarkan senjata andalannya. Sebuah bola sebesar kepala yang dipenuhi duri baja. Bola itu terikat rantai baja yang cukup panjang.
Krekek...! Krekeeek!
Melihat lelaki berompi merah turun dari punggung kudanya, lelaki kecil kurus pun melakukan hal yang sama. Dirinya bermaksud membantu lelaki berompi merah apabila diperlukan.
“Ha ha ha...!”
Pemuda berpakaian biru itu tertawa bergelak. Sebuah tawa yang mengerikan dan mengandung hawa maut. Keseraman tawa itu semakin terlihat jelas ketika pemuda itu menutup tawanya dengan dengusan bengis yang terlontar dari mulutnya.
“Syukur kau masih ingat, Monyet Botak! Dan kini telah tiba saatnya pembalasan dendamku! Kau akan nenjadi korban perdanaku! Ha ha ha...!”
“Sombong! Kaulah yang akan kujadikan cacahan daging seperti ayahmu, Bocah Gila! Hiyaaat..!” lelaki berompi merah berteriak dan memburu ke lelaki berpakaian biru.
Wukkk! Wukkk!
Siuuut..! Krekek..., krekek!
Lelaki berompi merah memutar-mutarkan bola berdurinya itu di atas kepala beberapa kali, lalu dilontarkannya. Seketika bola berduri itu meluncur deras ke bagian tubuh pemuda berpakaian biru. Serangan itu nampaknya tak menginginkan kematian mendadak lawannya secara mudah. Serangan itu terarah ke bagian dada, perut, atau kaki lelaki berpakaian biru.
Mahendra menggertakkan gigi menahan geram, ketika mendengar ucapan lelaki berompi merah. Seketika darah di kepalanya membludak, ucapan itu telah mengingatkan kembali pada kematian ayahnya yang mengerikan.
Meskipun demikian Mahendra bersikap tenang. Dirinya tak ingin terburu-buru dan gegabah melakukan tindakan, baik untuk mengelak maupun menangkis serangan itu. Dengan sabar ditunggunya hingga bola berduri yang berputar-putar kencang itu mendekat ke tubuhnya.
“Hiaaat..!”
Wuuuk! Wuuuk...!”
Dan ketika bola berduri itu hampir saja menerjang, tubuhnya segera didoyongkan ke samping kanan. Dan itu dilakukannya tanpa menggeser kaki. Bola berduri lelaki berompi merah lewat di sisi kiri tubuhnya.
Setelah gerakan menghindar Mahendra segera bersiap dengan serangannya. Begitu serangan bola berduri itu berhasil dielakkan, tangan kirinya menjulur cepat menangkap rantai baja yang berkelebat cepat di samping kirinya.
Tappp!
Creeek...!
Gerakan secepat kilat tangan kiri Mahendra berhasil menangkap rantai baja itu. Padahal, lelaki berompi merah itu nampak telah berusaha menarik senjata andalannya dari cekalan tangan Mahendra. Tetapi gerakan Mahendra lebih cepat mencekal rantai baja itu.
Karuan saja gerakan cepat tangan Mahendra membuat lelaki berompi merah gugup! Lelaki berompi merah itu memang bukan tergolong pentolan bagi golongan hitam. Namun, julukannya telah cukup dikenal orang, sebagai 'Penjagal Nyawa'. Di samping seringnya terlibat dalam berbagai pertarungan maut.
Sebagai tokoh persilatan yang telah begitu sering terlibat pertarungan, lelaki berompi merah itu segera mengetahui kalau lawan yang dihadapi kini memiliki kepandaian tinggi. Hal itu bisa diketahuinya dari keberanian dan keberhasilan pemuda itu menangkap rantainya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membetot kembali bola berdurinya.
“Ngmmmh...! Hmmmh...!
Terdengar suara lenguhan-lenguhan berat dari mulutnya. Tetapi rantai bajanya sama sekali tak bergeming dari cekalan tangan pemuda gagah berpakaian biru itu. Rantai baja itu hanya dicekal dengan sebelah tangan. Itu pun nampaknya tanpa pengerahan tenaga, karena wajah lelaki gagah berpakaian biru itu nampak tenang.
Berbeda sekali dengan si penjagal nyawa. Wajah lelaki berompi merah itu merah padam ketika berusaha keras menarik senjatanya. Wajahnya tegang. Keringat mengalir di kening dan lehernya. Dan tangannya bergemetar hebat.
Penjagal Nyawa seharusnya sudah bisa menduga kalau tenaga dalam lawannya berada jauh di atas tingkatannya. Dan tindakan paling aman yang harus dilakukannya, melepaskan saja senjata itu. Tapi, karena perasaan sayang, ditambah lagi dengan kekerasan hatinya, sehingga lelaki berompi merah itu memaksakan diri. Tangannya terus membetot senjatanya dari tangan Mahendra.
Sementara lelaki kecil kurus kawan si penjagal nyawa hanya mampu menyaksikan kejadian itu. Seperti juga Penjagal Nyawa, dirinya pun terkejut bukan kepalang melihat betapa mudahnya senjata andalan kawannya itu disambar tangan kiri pemuda berpakaian biru itu. Disadarinya kalau keadaan gawat tengah dihadapi oleh kawannya.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki kecil kurus segera bertindak. Lelaki kecil kurus langsung menyelusupkan kedua tangannya ke balik baju. Dan begitu dikeluarkan, langsung saja dikibaskan.
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar seiring dengan melesatnya empat buah benda berkilat yang tidak lain pisau-pisau terbang. Senjata andalan itu melesat deras ke tubuh Mahendra.
Mahendra melihat ancaman bahaya itu. Namun dirinya tetap bersikap tenang. Tanpa mengendurkan cekalannya pada rantai baja itu, diperhatikan arah yang dituju pisau-pisau terbang itu. Hanya sekilas saja, langsung diketahuinya. Dahi, leher, dan ulu hati menjadi sasaran senjata yang melesat cepat itu. Dan ketika pisau terbang itu hampir mencapai sasaran dengan cepat Mahendra baru bertindak.
Takkk! Takkk! Prattt!
Dua pisau terbang yang menuju ke ulu hati dan perutnya sengaja dibiarkan, hingga tepat mengenai sasarannya. Namun, pisau-pisau itu terpental jatuh ke tanah tak mampu menembus. Jangankan menancap, melukai pun, tidak. Sedangkan dua lagi dapat dimusnahkan dengan cara luar biasa.
Yang menuju ke leher dipatahkan dengan sampokan tangan kanan. Satu lagi dapat diatasi dengan mulutnya. Tentu gerakan yang terakhir ini membutuhkan perhitungan dan kemahiran, karena jika meleset sedikit saja dapat melukai mulutnya.
Namun ternyata, Mahendra mampu melakukannya. Pisau terbang itu berhasil ditangkap dengan giginya. Lalu, dilemparkan kembali ke tubuh pemiliknya dengan egosan kepala.
Singgg!
Pisau itu meluncur kembali ke tubuh lelaki kecil kurus menyusul luncuran pisau lain akibat sampokan tangan Mahendra. Lelaki kecil kurus terkejut bukan kepalang melihat kejadian yang sama sekali tidak disangkanya itu. Apalagi ketika menyadari kecepatan luncuran pisau-pisau terbang itu berlipat kali kecepatan semula.
Meskipun demikian, lelaki kecil kurus ini masih sempat mempertunjukkan kebolehannya dalam melempar pisau. Dalam keadaan gawat seperti itu, dirinya mampu melakukan tindakan penyelamatan. Dilemparkannya pisau lain guna menangkis serangan balik pisau terbang itu.
Trang! Trang!
Bunga api mencelat ketika empat batang pisau berbenturan dengan keras di udara. Namun, karena luncuran pisau-pisau terbang lelaki kecil kurus lebih lambat, pisau-pisau itu terpental. Sedangkan pisau-pisau dari Mahendra masih sempat meluncur beberapa jauh. Dan sisa tenaga luncuran itu mengarah ke tubuh lelaki kurus pemilik senjata terbang. Dan....
“Uuuh...!” Mata lelaki kecil kurus terpekik. Hampir saja nyawanya melayang terterjang senjatanya sendiri. Tangannya nampak mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya.
Rupanya Mahendra merasa sudah cukup memberikan kesempatan pada Penjagal Nyawa. “Hih!” Mahendra menghentakkan tangannya, dengan pengerahan tenaga dalamnya. Gerakan itu dilakukan dengan begitu cepat dan tiba-tiba. Akibatnya, tubuh Penjagal Nyawa terhentak keras ke tubuh Mahendra.
“Aaah...!” Tanpa sadar lelaki berompi merah terpekik keras. Jerit yang keluar karena perasaan ngeri dan kaget ketika tubuhnya melayang tertarik ke tubuh Mahendra.
Dalam keadaan yang demikian gawat, Penjagal Nyawa masih berusaha keras menyelamatkan nyawanya. Ketika tubuhnya melayang di udara itu, segera pikirannya mencari cara untuk menyelamatkan diri. Untungnya, berhasil pula didapatkan sebuah siasat.
Diikuti arah luncuran tubuhnya yang sudah pasti ke arah Mahendra. Dan begitu telah berada dekat, rantai baja yang berada di genggamannya akan dilecutkan ke ubun-ubun Mahendra. Namun perasaan lega hanya berlangsung sesaat. Karena sebelum tubuhnya berada dalam jarak yang diancang-ancangkan, Mahendra lebih dulu melakukan tindakan yang mengejutkan hati Penjagal Nyawa.
Betapa tidak? Pemuda berpakaian biru itu melemparkan bola berduri di tangannya untuk menyambut datangnya tubuh Penjagal Nyawa. Kontan lelaki berompi merah ini kelabakan. Keadaannya yang tengah melayang di udara menimbulkan kesulitan untuk mengelakkan serangan itu. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah menangkis serangan itu.
Siuuut! Trakkk! Bukkk!
“Akh...!” Lelaki berompi merah yang berjuluk Penjagal Nyawa terpekik. Bola berduri yang berhasil dipapak dengan sabetan rantai, ternyata hanya mampu membuat arah bola berduri itu menyeleweng tidak meluncur ke arah dada. Tetapi bola baja berduri itu meleset dan mengenai pahanya.
“Aaah...!” Seketika itu pula tulang paha Penjagal Nyawa hancur berantakan. Darah mengalir dari pahanya yang hancur. Jerit kesakitan pun keluar dari mulut Penjagal Nyawa itu.
Jliggg! Lelaki berompi merah cukup tangguh, dalam keadaan terluka, ternyata masih mampu mendarat di tanah dengan kedua kaki. Meskipun agak sempoyongan ke sana kemari karena luka di pahanya terlalu parah.
“Ha ha ha...! Itu baru babak awal dari kematian yang akan kau terima, Iblis Busuk!” ejek Mahendra sambil mengayunkan langkah mendekati.
“Cuhhh!” Penjagal Nyawa membuang ludah dengan kasar. Lalu ditotoknya jalan darah di sekitar paha untuk mencegah derasnya darah yang mengalir. Baru kemudian dilayangkan pandangannya ke arah Mahendra. Lalu....
Wuk! Wuk! Wukkk!
Senjata andalannya kembali berputar-putar di atas kepala. Penjagal Nyawa telah bersiap kembali melanjutkan pertarungannya.
Lelaki kecil kurus yang menyadari kalau Penjagal Nyawa bukan tandingan Mahendra langsung mencabut senjata andalan berupa sebatang ganco, lalu menyabet-nyabetkan di depan dada dengan begitu cepat.
Wut! Wuuut...!
Tahu kalau Penjagal Nyawa dan lelaki kecil kurus telah bersatu untuk menghadapinya, Mahendra sama sekali tidak gentar. Wajahnya tetap tenang sekali. Nampaknya Mahendra menyadari kalau kepandaian kedua lawannya jauh di bawahnya. Sehingga jangankan hanya berdua, sekalipun ditambah lima kali lipat, Mahendra menganggap remeh lawan macam begini.
“Hih!” Diawali gertakan gigi, Mahendra mulai melancarkan serangan. Karena yang mempunyai urusan sebenarnya si Penjagal Nyawa, lelaki itulah yang diserangnya.
Penjagal Nyawa tentu saja tidak mau menyerahkan nyawanya percuma. Begitu dilihatnya pemuda berpakaian biru itu melancarkan serangan terhadapnya, buru-buru dipapaknya kembali dengan bola baja berduri yang masih terayun-ayun di tangannya.
Lelaki kecil kurus pun tak tinggal diam. Rupanya dia memiliki kesetiakawanan yang besar. Maka melihat adanya ancaman bahaya terhadap Penjagal Nyawa, dia pun mengayunkan ganconya ke arah Mahendra.
Serangan beruntun ini memaksa Mahendra membatalkan serangannya. Dan keadaan ini dipergunakan Penjagal Nyawa dan lelaki kecil kurus untuk melancarkan desakan. Sementara itu pula luka parah di paha Penjagal Nyawa semakin mendera. Beberapa kali giginya bergemeretak menahan rasa sakit yang hebat.
Kali ini Mahendra tidak bisa menundukkan lawan-lawannya secara mudah seperti sebelumnya. Karena nampaknya kedua orang lawannya itu telah mengetahui secara pasti kelihaian Mahendra.
Sehingga mereka bertindak lebih berhati-hati. Tambahan lagi, kali ini penyerangan dilakukan secara bersama-sama, sehingga cukup merepotkan gerakan Mahendra untuk menghadapi mereka.
Pertarungan itu kian lama bertambah seru. Sambaran bola berduri dan ganco beberapa kali berkelebat tetapi belum juga berhasil mengenai sasarannya. Gerakan cepat dan ringan tubuh Mahendra mampu menghindarkan setiap serangan.
Pada jurus kesebelas, Mahendra sudah mulai menguasai keadaan. Perlahan-lahan berhasil mendesak kedua lawannya. Bahkan beberapa jurus kemudian, Mahendra berhasil merampas ganco dari tangan lelaki kecil kurus. Lalu secepat kilat menyabetkannya ke perut pemiliknya.
Jraaabbb...!
“Aaakh...!” Lelaki kecil kurus menjerit ngeri ketika ujung ganco itu merobek perutnya. Seketika itu pula darah menyembur keluar dari perutnya yang terkoyak lebar. Lelaki yang ahli melemparkan pisau ini nampak terbungkuk mendekap perut dengan kedua tangannya.
“Haaah...! Keparat!” Penjagal Nyawa terpekik dan mengumpat keras melihat kejadian yang menimpa kawannya. Dengan kemarahan yang meluap-luap dilontarkan bola berdurinya ke kepala Mahendra.
Wukkk! Tranggg! Rrrttt!
Suara gemerincing nyaring terdengar ketika ganco di tangan Mahendra berhasil menangkis serangan bola berduri yang meluncur deras ke kepalanya. Ganco itu teriilit rantai baja. Penjagal Nyawa pun tak dapat menggunakan senjata andalannya lagi. Saat itulah Mahendra menghentakkan tangan kirinya ke tubuh Penjagal Nyawa.
Wusss! Dukkk...!
“Hekh!” Mulut Penjagal Nyawa terpekik, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling di tanah. Pukulan jarak jauh Mahendra menghantam telak bahu kanannya. Dan sebelum tubuhnya berhasil bangkit, pemuda berpakaian biru itu telah berdiri tepat di depannya.
“Sekarang saatnya pembalasan untukmu, Monyet Botak!” ujar Mahendra sambil menginjakkan kaki di paha Penjagal Nyawa. Lalu dihentakkan kakinya dengan keras sekali.
Krrrkkkhhh!
“Aaakh...! Huaaahhh...!”
Bunyi gemeretak terdengar ketika tulang-tulang paha Penjagal Nyawa hancur berantakan. Jeritan menyayat hati pun keluar dari mulut lelaki berompi merah itu mengiringi hancurnya tulang paha itu.
“Ha ha ha...! Nikmat bukan?” ejek Mahendra sambil menatap wajah Penjagal Nyawa.
Sementara itu mulut Penjagal Nyawa masih mengerang keras karena rasa sakit yang mendera kedua tulang pahanya. Sekujur badannya basah oleh keringat bercampur debu. Kakinya basah dialiri darah segar dari lukanya yang parah.
Penjagal Nyawa sama sekali tidak memberikan jawaban. Sorot matanya memancarkan kengerian. Disadari akan adanya siksaan mengerikan lainnya. Raut wajah Mahendra yang memancarkan dendam kesumat membuktikan kalau pemuda berpakaian biru itu akan membunuh lawannya secara perlahan-lahan.
Penjagal Nyawa bukan orang yang takut mati. Tetapi, mati secara perlahan-lahan dengan siksaan demi siksaan, tetap membuat hatinya bergetar ketakutan. Dan dalam cekaman rasa ngeri yang memuncak, tokoh yang berkepala botak ini terpaksa harus bertindak nekat. Ketika Mahendra tengah hanyut dalam perasaan gembiranya, tiba-tiba digigitnya lidah sendiri keras-keras hingga putus.
“Hmmmhhh...!”
Krrrrttt!
“Hey...!” Mahendra menjerit kaget ketika melihat mulut Penjagal Nyawa berlumuran darah. Sesaat kemudian, baru mengetahui hal yang telah terjadi. Maka buru-buru diperiksanya tubuh tokoh berkepala botak itu. Sayang, terlambat! Penjagal Nyawa telah tewas dengan potongan lidahnya masih di dalam mulut.
“Keparat!” maki Mahendra geram. Rasa penasaran yang amat sangat membayang jelas pada wajahnya. “Betapa bodohnya aku! Tapi, kecerobohan seperti ini tak akan terulang lagi!”
Setelah berkata demikian, Mahendra segera mengalihkan pandangan pada lelaki kecil kurus. Tapi, lagi-lagi kecele. Lelaki kecil kurus telah terbujur tak bernyawa di tanah. Nampak lelaki kurus itu pun telah melakukan bunuh diri karena merasa ketakutan menghadapi kebengisan pemuda berpakaian biru itu.
“Hmh...! Bedebah!" Dengan cepat Mahendra melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali hentakan saja, tubuhnya telah melesat dan tak nampak lagi.
Kini suasana kembali hening. Tidak ada lagi denting senjata beradu maupun jerit kesakitan dan kematian. Keadaan telah kembali seperti semula sebelum terjadinya peristiwa mengerikan itu. Hening dan sepi, yang terdengar hanyalah bunyi hembusan angin. Pelan, seperti ikut merasa sedih atas kejadian yang baru saja terjadi. Dua tubuh lelaki terkulai berlumur darah di atas tanah berdebu.
Tapi kesunyian itu tidak berlangsung lama. Karena sesaat kemudian, dari kejauhan nampak dua sosok berpakaian ungu dan putih bergerak menuju tempat itu. Kedua sosok ungu dan putih itu melesat begitu cepat. Hanya dalam sekejap mata keduanya telah mencapai tempat kedua tubuh lelaki itu terkulai.
“Kang, lihat!” seru sosok berpakaian putih yang tak lain Melati, sambil menuding ke tubuh dua lelaki yang terkulai berlumuran darah itu.
Dewa Arak, sosok yang satunya lagi, hanya menganggukkan kepala mengerti maksud kekasihnya. Karena tanpa diberitahukan pun matanya telah melihat. Jarak antara mereka dengan kedua mayat itu tinggal beberapa tombak.
“Hup!” Sesaat kemudian Dewa Arak dan Melati telah berada di dekat mayat Penjagal Nyawa dan laki-laki kecil kurus. Keduanya langsung memeriksa kedua tubuh yang berlumur darah itu.
“Baru saja tewas, Kang,” kata Melati setelah memeriksa tubuh Penjagal Nyawa.
“Berarti kejadiannya belum lama, Melati,” sambut Dewa Arak sambil menganggukkan kepala.
“Dia mati bunuh diri, Kang. Lidahnya putus...,” ajar Melati lagi.
Dewa Arak tercenung sebentar. Wajahnya kemudian memandangi tempat sekelilingnya. “Hanya ada satu kemungkinan yang menjadi penyebab lelaki ini melakukan bunuh diri, Melati. Dia tidak kuat menahan siksaan. Begitu menurut dugaanku,” ujar Dewa Arak mencoba menerka kejadian yang dialami lelaki naas ini.
“Aku pun menduga begitu, Kang. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah persoalan yang menyebabkan lawan orang ini melakukan penyiksaan yang demikian keji ini. Tulang-belulangnya dihancur-leburkan! Sungguh sebuah siksaan yang kejam!” tandas Melati.
Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tiba-tiba terdengar suara.
“Hmmmhhh...!”
Rintihan pelan membuat Dewa Arak dan Melati menolehkan kepala ke asal suara. Seketika itu pula mereka ingat kembali akan sosok tubuh yang satu lagi Dewa Arak dan Melati melesat ke tubuh lelaki kurus kecil yang tergolek lemas tak jauh di belakang mereka.
Suara rintihan itu ternyata berasal dari mulut lelaki kecil kurus yang tengah berusaha untuk duduk. Nampak jelas betapa lelaki kecil kurus ini mengalami kesulitan. Perut lelaki kecil kurus itu robek. Tubuhnya dibasahi darah bercampur debu dan tanah. Dan sebelum lelaki kecil kurus berhasil dengan usahanya, Dewa Arak dan Melati telah sampai di dekatnya.
Dewa Arak dan Melati segera berjongkok. Tanpa memeriksa lagi, hanya dengan sekali pandang Dewa Arak langsung mengetahui kalau nyawa lelaki kecil kurus tidak bisa diselamatkan lagi. Luka-luka yang diderita terlalu parah. Darah yang keluar telah terlalu banyak, menyebabkan tubuh lelaki kecil kurus itu lemas dan tak berdaya.
“Apa yang telah terjadi, Kisanak?” tanya Dewa Arak buru-buru, karena mengetahui bahwa lelaki kecil kurus itu tak mungkin bertahan lebih lama lagi.
“Pemuda berpakaian biru... mengamuk. Pemuda itu punya dendam terhadap Penjagal Nyawa... karena orang tuanya telah dibasmi secara kejam. Dan... akh!” ucapannya terputus.
Kepala lelaki kecil kurus telah terkulai sebelum ucapannya berhasil diselesaikan. Saat itu nyawa lelaki kecil kurus telah melayang, dan sampailah ajalnya.
Dewa Arak dan Melati saling pandang. Meskipun erangan lelaki kecil kurus terputus, nampaknya mereka telah tahu orang yang dimaksudkan lelaki kecil kurus itu. Karena baru saja mereka telah bertemu dengan pemuda berpakaian biru. Bahkan sempat bentrok dengan Melati.
“Rupanya dia, Kang...,” desah Melati pelan.
“Hhh...! Pemuda berpakaian biru itu rupanya telah mulai menyebar maut. Dugaanku benar. Pemuda itu bukan orang jahat. Hanya karena menyimpan dendam terhadap tokoh-tokoh golongan hitam. Tetapi tindak pembalasan yang dilakukannya terlalu keji. Sayang sekali...!” keluh Dewa Arak sambil mengarahkan pandangan matanya ke sekitar tempat itu.
“Pembalasan dendamnya terlalu sadis, Kang. Pantas kalau lelaki berompi merah itu bunuh diri. Pasti merasa ngeri dengan siksaan yang akan diterimanya.”
“Kurasa julukan yang cocok baginya adalah Pendekar Sadis!” ujar Dewa Arak setengah berseloroh.
“Tepat, Kang!” Melati langsung mendukungnya.
“Lupakanlah, Melati! Yang penting sekarang, bagaimana caranya agar kita bisa menyadarkan pemuda itu dari kekeliruannya. Kita harus bertindak cepat sebelum dia merajalela secara mengerikan!”
Melati hanya mengangkat alis. Tak bisa ditafsirkan maksudnya. Namun yang jelas, sesaat kemudian sepasang pendekar muda itu telah kembali melesat meninggalkan tempat itu. Mereka bermaksud mengejar pemuda berpakaian biru yang telah melakukan tindakan begitu sadis dan mengerikan terhadap lawan lawannya.
ENAM
“Haiit...! Hiaat...! Hih!”
Teriakan-teriakan keras melengking terdengar penuh semangat memecah kesunyian pagi. Saat itu keadaan masih sepi. Sang Surya pun baru saja muncul di ufuk timur berwama kuning kemerahan. Namun teriakan-teriakan melengking itu seolah-olah tak mempedulikan suasana pagi itu.
Suara-suara itu ternyata berasal dari halaman belakang sebuah bangunan besar dan megah yang terkurung pagar tembok tebal, kokoh, dan tinggi. Suara-suara itu keluar dari mulut mungil sosok tubuh ramping terbungkus pakaian jingga.
Sosok ramping ini ternyata seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya yang cantik itu jadi semakin terlihat cantik karena rambutnya yang panjang dikepang satu. Gadis berpakaian jingga itu tengah berlatih silat Nampak di tangannya sepasang sumpit terbuat dari baja putih. Kedua batang sumpit itu berujung runcing.
Suit! Siiit!
Bunyi menderit nyaring selalu terdengar setiap gadis berpakaian jingga itu menusukkan sepasai sumpitnya ke depan. Hal ini karena gadis itu memiliki tenaga dalam kuat yang dialirkan dalam gerakan-gerakan menusuk itu. Nampaknya karena kekuatan tenaga dalamnya itu yang menyebabkan bunyi berderit dari tusukan-tusukan sepasang sumpit itu.
“Hih!” Mendadak gadis berpakaian jingga itu menjejakkan kedua kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya telah terlontar ke belakang, dan berputar beberapa kali di udara. Dan ketika tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya bergerak mengibas.
Sing! Sing!
Desingan nyaring terdengar disusul meluncumya benda-benda putih berkilat. Dan....
Crabs! Crabs!
Benda-benda berkilat yang ternyata hiasan berbentuk bunga mawar sebesar ibu jari kaki dan terbuat dari baja putih itu menancap pada batang sebuah pohon. Dan hebatnya lagi, tancapan bunga-bunga itu berjajar membentuk segi tiga. Sungguh sebuah gerakan yang mengagumkan. Karena tanpa kemahiran dan kepandaian tak mungkin tindakan itu dapat dilakukan. Gadis itu mampu melakukannya.
Plok, plok, plok...!
Rangkaian tepuk tangan nyaring mengiringi mendaratnya sepasang kaki gadis itu di tanah. Gadis berpakaian jingga menoleh ke asal suara tepukan tangan yang mengandung pujian itu.
“Ah! Kiranya kau, Ayah,” ujar gadis berpakaian ngga sambil tersenyum, ketika melihat sesosok tubuh hitam yang memiliki ciri-ciri aneh.
Betapa tidak? Sosok berpakaian hitam itu menyerupai kera besar. Sulit dikatakan manusia jenis manakah sosok serba hitam ini? Manusia yang mirip atau sebaliknya?
Dan pertanyaan seperti itu tidak berlebihan. Raut wajah lelaki bertubuh besar itu ditumbuhi bulu-bulu halus yang hitam. Potongan tubuhnya pun agak membungkuk sehingga kedua tangannya yang memanjang melebihi ukuran manusia biasa, tergantung sampai bawah lutut Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus hitam.
“Kau kira siapa, Winarti?” sapa tokoh yang mirip kera besar sambil tersenyum. Terdengar lemah lembut suaranya mengandung perasaan kasih sayang yang dalam.
“Kukira ada orang usil yang masuk kemari...”
“Dan bermaksud mengganggumu, begitu?! Ho ho..., apakah orang itu mempunyai nyawa cadangan sehingga berani mengganggumu?!” tukas tokoh yang mirip kera besar penuh bernada kebanggaan.
Gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Winarti itu tersenyum malu. Namun, sorot kebanggaan tampak jelas pada sinar matanya. Winarti menyadari kebenaran ucapan ayahnya. Siapa orangnya yang berani mati mendatangi tempat itu?
Hampir semua orang tahu siapa ayahnya. Raja Monyet Tangan Delapan. Seorang datuk sesat yang belum pernah terkalahkan sejak puluhan tahun lalu. Jangankan untuk menganggu, mendengar julukannya saja sudah cukup membuat merinding bulu kuduk tokoh persilatan mana pun.
“Nah, sekarang tenangkanlah hatimu! Percayalah! Tak seorang pun yang berani memasuki tempat tinggal kita. Berlatihlah lebih keras, Winarti! Aku ingin semua lmu yang kuberikan padamu dapat kau kuasai dengan sempurna sebelum aku meninggal dunia!”
“Jangan khawatir, Ayah! Aku berjanji akan memperhatikan semua nasihat yang Ayah berikan,” ujar Winarti mantap.
“O, ya. Tak lama lagi akan ada orang yang mengajarkanmu cara-cara mempergunakan pisau terbang sebagai senjata rahasia.”
“Ah! Mengapa harus orang lain, Ayah. Mengapa tidak Ayah sendiri?!” sahut gadis berpakaian jingga itu dengan wajah agak bersungut-sungut.
“He he he...!” Raja Monyet Tangan Delapan tertawa terkekeh. “Memang, aku mampu mengajarkanmu, Winarti. Tapi, aku bukan ahlinya. Tokoh yang akan datang nanti, seorang yang amat mahir dalam menggunaan pisau terbang. Kudengar dia mampu melakukan penyerangan dengan pisau-pisau terbang hanya dengan pemusatan pikiran. Nah, apakah kau masih tidak tertarik? Terus terang, aku tidak mampu melakukan hal seperti itu.”
“Benarkah ucapan yang kau katakan itu, Ayah?!” tanya Winarti setengah tak percaya.
“Aku sendiri belum membuktikan kebenarannya. Tapi berita yang tersebar di dunia persilatan, mengatakan demikian. Nanti, kalau tokoh itu datang kita buktikan saja kebenarannya! Bagaimana?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan sambil menepuk-nepuk bahu Winarti.
“Baik, Ayah!” sahut Winarti gembira membayangkan betapa dirinya mampu melancarkan serangan dengan pisau terbang menggunakan pikiran seperti layaknya menggunakan tangan. “Tapi, apa julukan orang itu?”
“Setan Pisau! Sekarang, berlatihlah lagi!” jawab Raja Monyet Tangan Delapan.
Setelah berkata demikian, tokoh yang mirip kera besar itu mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, Winarti memandangi hingga punggung ayahnya lenyap di balik bangunan. Baru setelah itu dara cantik itu meneruskan kembali latihannya.
Sementara itu, Raja Monyet Tangan Delapan terus melangkah menuju ke depan. “Naga!” panggil Raja Monyet Tangan Delapan keras.
“Ya, Ketua!” sahut seorang lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Naga. Dadanya yang telanjang tampak bergambar seekor naga. Lelaki bertubuh besar dan kekar itu berjuluk Naga Berekor Sembilan. Seorang kepala bajak sungai yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun telah takluk dan mengabdi pada Raja Monyet Tangan Delapan.
“Apakah Penjagal Nyawa telah tiba?!” tanya Raja Monyet Tangan Delapan ketika Naga Berekor Sembilan telah berdiri di depannya.
“Belum, Ketua. Aku pun sejak tadi tengah menunggunya,” jawab Naga Berekor Sembilan penuh hormat.
“Aneh!” desis Raja Monyet Tangan Delapan sambil mengemyitkan kening. “Menurut perhitungan, dia harus sudah sampai semalam. Tapi, mengapa sampai saat ini belum muncul?”
“Barangkali si Setan Pisau berani main gila, Ketua,” Naga Berekor Sembilan menyampaikan dugaannya.
“Mustahil!” sergah Raja Monyet Tangan Delapan dengan suara keras. “Aku tidak percaya si Setan Pisau berani bertindak demikian. Tapi, apabila dugaanmu benar..., dia akan merasakan hukumannya!”
“Perlukah aku menyusulnya, Ketua?” ujar Naga Berekor Sembilan menawarkan diri.
“Tidak perlu!”
“Tapi, Ketua.”
“Apa lagi, Naga?!” sentak Raja Monyet Tangan Delapan kesal.
“Anu..., Ketua. Aku telah bertindak lancang. Tanpa seizinmu telah kukirim beberapa orang untuk menyusul, barangkali saja mereka mendapat halangan di jalan...,” terbata-bata karena cekaman rasa takut melanda Naga Berekor Sembilan mengeluarkan ucapan sang sejak tadi ingin dikatakannya.
“Hhh...! Kalau begitu tidak mengapa, Naga. Sekarang kita tinggal menunggu kedatangan mereka.”
Seketika merasa lega hati Naga Berekor Sembilan. Hatinya merasa khawatir kalau tindakan yang dilakukannya telah menyinggung hati Raja Monyet Tangan Delapan dan mengakibatkan dirinya mendapat hukuman. Tapi ternyata tidak. Datuk sesat yang mirip kera itu sama sekali tidak menghukumnya.
Sesaat suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam alur pikirannya. Namun baru saja hal itu berlangsung sebentar, tiba-tiba salah seorang penjaga pintu gerbang beriari tergopoh-gopoh menuju Raja Monyet Tangan Delapan.
“Lapor, Ketua. Orang-orang yang bertugas menyusul Penjagal Nyawa telah tiba!” ujar penjaga pintu gerbang yang bermata juling itu.
“Apakah mereka datang bersama Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?!” tanya Raja Monyet Tangan Delapan, cepat.
“Tidak, Ketua!” jawab lelaki bermata juling itu cepat.
“Jadi...,” Raja Monyet Tangan Delapan tidak melanjutkan ucapannya.
“Mereka datang tanpa disertai Penjagal Nyawa dan Setan Pisau!” jelas lelaki bermata juling.
“Keparat! Mengapa mereka berani kembali tanpa Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?! Apakah mereka ingin mendapatkan hukuman dariku?!” terdengar penuh ancaman ucapan Raja Monyet Tangan Delapan.
Karuan saja Naga Berekor Sembilan dan penjaga pintu gerbang itu menundukkan kepala penuh rasa gentar, mengetahui pimpinan mereka murka. Belum lenyap suaranya, Raja Monyet Tangan Delapan melangkah tergesa-gesa menuju pintu gerbang.
Melihat hal ini, tanpa diperintah Naga Berekor Sembilan dan penjaga yang bermata juling segera melangkah, mengikuti di belakang Raja Monyet Tangan Delapan. Seperti juga sang Ketua, mereka pun ingin mengetahui mengapa utusan yang dikirimkan untuk menjemput Penjagal Nyawa telah kembali demikian cepat.
Hanya dalam beberapa langkah saja ketiga orang ini telah sampai di pintu gerbang. Ternyata laporan penjaga bermata juling itu tidak salah. Dari kejauhan tampak dua ekor kuda tengah berpacu cepat. Di atas punggung kuda itu duduk dua orang yang diutus Naga Berekor Sembilan untuk menyusul Penjagal Nyawa.
Seperti halnya orang-orang yang berada di pintu gerbang yang melihat mereka, dua orang utusan Naga Berekor Sembilan pun demikian pula. Mereka segera menggebah kudanya.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Debu mengepul tinggi ke angkasa, ketika kuda-kuda itu berpacu cepat menuju bangunan tempat tinggal Raja Monyet Tangan Delapan.
“Hooop...!”
Masih berada dalam jarak lima tombak, dua orang tusan Naga Berekor Sembilan yang sama-sama berubuh pendek kekar itu melompat dari atas punggung kuda dan mendarat ringan di tanah. Kemudian tanpa mempedulikan kuda mereka, keduanya berlari menuju Raja Monyet Tangan Delapan.
“Mengapa kalian berani kembali tanpa Penjagal Jyawa dan Setan Pisau?!” tegur Raja Monyet Tangan Delapan tak sabar dan penuh ancaman.
“Penjagal Nyawa dan Setan Pisau telah tewas, Ketua,” jawab salah satu di antara mereka yang berbibir tebal.
“Apa kau bilang?! Coba katakan sekali lagi!” perintah Raja Monyet Tangan Delapan, penuh tak percaya.
“Penjagal Nyawa dan Setan Pisau tewas, Ketua,” ulang lelaki berbibir tebal lagi sambil menelan ludah, karena perasaan gentar melihat kemarahan pemimpinnya.
“Siapa yang telah membunuh mereka?!” desis Raja Monyet Tangan Delapan sambil menggemeretakkan gigi-giginya.
“Kami tak tahu, Ketua. Yang kami temukan hanya mayat mereka. Tapi, menurut berita yang kami dengar dari penduduk desa yang letaknya tak jauh dari situ, ada seorang pemuda berpakaian biru yang mengejar-ngejar mereka,” jelas lelaki lain yang berkumis jarang.
“Pemuda berpakaian biru...?!” ulang Raja Monyet Tangan Delapan dengan alis berkerenyit seolah-olah tengah berusaha mengingat-ingat. Tapi sampai lelah menggali ingatannya tetap saja tidak dikenalnya tokoh yang berpakaian seperti itu.
“Kau yakin kalau yang mengejar-ngejar Penjagal Nyawa dan Setan Pisau seorang pemuda?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan lagi penasaran.
“Kami yakin betul, Ketua. Karena kami telah menanyakannya pada beberapa orang. Dan jawaban yang mereka berikan ternyata sama,” jawab lelaki berbibir tebal mantap.
Raja Monyet Tangan Delapan tercenung. Sementara benaknya sibuk memikirkan tokoh muda yang mengenakan pakaian biru. “Kau yakin warna pakaiannya biru? Bukannya ungu?” ulang Raja Monyet Tangan Delapan lagi meminta kejelasan.
Tokoh yang mirip kera besar itu sengaja mengajukan pertanyaan demikian. Karena dirinya telah mendengar keberadaan seorang tokoh muda yang berjuluk Dewa Arak. Menurut kabar yang tersiar, tokoh itu juga seorang pemuda dan mengenakan pakaian ungu. Barangkali orang yang dimaksudkan dua anak buahnya ini Dewa Arak.
“Bukan, Ketua! Pengejar Penjagal Nyawa seorang pemuda berpakaian biru. Sedangkan pemuda berpakaian ungu teman dari seorang gadis yang telah bertarung menghadapi pemuda berpakaian biru,” jelas lelaki berkumis jarang.
“Jadi..., pemuda berpakaian ungu pun ada pula?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan setengah tak percaya karena sama sekali tidak menduganya. “Coba kau ceritakan secara lengkap!”
Lelaki berbibir tebal tidak langsung memenuhi perintah pimpinannya. Wajahnya tercenung sejenak, memikirkan dari mana cerita itu harus dimulai sesuai dengan berita yang didengamya.
“Menurut cerita yang kami dapatkan, ada tiga orang kasar hendak mencuri kuda pemuda berpakaian biru. Tapi, sebelum mereka berhasil, pemuda berpakaian biru telah mengetahuinya. Sehingga pertarungan antara mereka pun terjadi.”
Lelaki berbibir tebal menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dan kembali menelan ludah yang mengumpul di mulutnya.
“Ternyata pemuda berpakaian biru itu sangat tangguh. Hanya segebrakan mereka telah dirobohkan. Kemudian ketiga orang kasar itu disiksanya secara kejam. Namun, sebelum ketiga orang itu tewas, karena menderita siksaan demi siksaan, muncul seorang berpakaian ungu dan seorang gadis berpakaian putih. Dua orang ini rupanya tidak tega melihat penyiksaan itu. Sehingga pertarungan pun terjadi lagi.”
“Jadi..., pemuda berpakaian biru itu bertarung dengan pemuda berpakaian ungu?” potong Raja Monyet Tangan Delapan tidak sabar.
“Tidak, Ketua,” lelaki berkumis jarang memberikan jawaban. “Pemuda berpakaian biru itu bertarung melawan gadis berpakaian putih, teman pemuda pakaian ungu,” lanjutnya.
“Dengan gadis berpakaian putih itu?” tanya Monyet Tangan Delapan dengan suara kurang bersemangat. Dan helaan napas kecewa pun terhempas dari mulutnya ketika lelaki berkumis jarang itu menganggukkan kepala.
“Pemuda berpakaian biru itu ternyata sangat tangguh dan lihai. Ilmu yang dipergunakan juga sangat aneh dan dahsyat sekali. Hanya dalam beberapa gebrakan gadis berpakaian putih itu hampir dibuatnyaa tak berdaya. Tapi, ketika pertarungan tengah berlangsung seru, pemuda berpakaian biru tiba-tiba menghentikannya. Semula orang-orang merasa heran. Tapi sesaat kemudian mereka tahu. Pemuda berpakaian biru itu ternyata memburu dua orang penunggang kuda. Jelas, urusannya dengan dua orang penunggang kuda itu lebih penting daripada menghadapi si gadis berpakaian putih.”
“Dan..., dua orang penunggang kuda itu Penjagal Nyawa dan Setan Pisau! Iya?” lagi-lagi Raja Monyet Tangan Delapan menyelak karena perasaan tidak sabar.
“Benar, Ketua,” kini ganti lelaki berbibir tebal yang memberikan jawaban.
“Dia benar-benar sadis, Ketua. Penjagal Nyawa akhirnya mati bunuh diri! Mungkin karena merasa tak tahan dengan siksaan yang diberikan pemuda berpakaian biru,” tutur lelaki berbibir tebal mengakhiri ceritanya.
Suasana berubah hening ketika lelaki berbibir tebal dan lelaki berkumis jarang telah menghentikan ceritanya. Mereka semua tenggelam dalam alur pikirannya masing-masing. Hati mereka bertanya-tanya siapakah sebenamya pemuda berpakaian biru itu?
“Apakah kau tidak mendapat berita siapa sebenarnya pemuda berpakaian biru itu?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan ketika teringat. Lelaki berbibir tebal menggelengkan kepala.
“O, ya. Tadi kau bilang dia menggunakan ilmu aneh tapi dahsyat. Di mana keanehannya?”
“Dia bertarung dalam keadaan tubuh terbalik, Ketua. Kepalanya di bawah dan kedua kakinya di atas,” jelas lelaki berbibir tebal.
“Hhh...!” jerit keterkejutan keluar dari mulut Raja Monyet Tangan Delapan. Raut wajah tokoh mirip gorila itu memai keterkejutan yang amat sangat. Begitu pula Naga ekor Sembilan dan beberapa orang yang berada pintu gerbang itu.
Tentu saja hal itu membuat semua anak buahnya merasa heran. Tapi, mereka berpura-pura tidak tahu dan menundukkan kepala.
“Lalu..., mengapa pemuda berpakaian biru membunuh Penjagal Nyawa dan Setan Pisau? Apa urusannya dengan Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?” tanya Raja Monyet Tangan Delapan lagi setelah berhasil menguasai perasaannya.
“Kami tidak tahu, Ketua. Tapi menurut dugaan kami, yang mempunyai urusan dengan pemuda berpakaian biru itu hanya Penjagal Nyawa. Karena dialah nampaknya yang menjadi tujuan pelampiasan dendam. Pada tubuh Penjagal Nyawa kami lihat bekas-bekas siksaan, sedangkan pada Setan Pisau tidak sama sekali,” lanjut lelaki berbibir tebal menjelaskan apa yang telah dilihatnya.
Raja Monyet Tangan Delapan mengangguk-anggukkan kepala, sambil memukul-mukulkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kirinya.
“Kalau begitu, kembali ke tempatmu semula! Kau juga, Naga!” perintah tokoh mirip gorila itu seraya melangkah menuju ke dalam.
Hal yang sama pun dilakukan Naga Berekor Sembilan, lelaki berbibir tebal, dan lelaki berkumis jarang. Mereka mengayunkan langkah kembali ke tempat semula.
Sementara itu, sambil terus menindakkan kaki, benak Raja Monyet Tangan Delapan berputar keras. Kabar yang dibawa dua orang anak buahnya benar-benar telah menyebabkan benaknya dipenuhi banyak pertanyaan yang tak terjawab.
Berbagai macam pertanyaan memenuhi benak tokoh yang mirip kera besar itu. Siapa sebenarnya pemuda berpakaian biru itu? Mengapa begitu dendam terhadap Penjagal Nyawa? Lalu, dari mana didapatkan ilmu aneh itu. Raja Monyet Tangan Delapan tahu pasti nama ilmu itu dan siapa pemiliknya.
Tanpa sadar, terbayang kembali di benaknya kejadian puluhan tahun silam saat dirinya masih berusia tiga belas tahun. Bersama dua orang kawannya berperahu ke laut untuk mencari ikan. Malang, badai datang. Maka perahu mereka pun diombang-ambingkan gelombang dan akhirnya hancur berantakan.
Untung Raja Monyet Tangan Delapan dan seorang kawannya yang bernama Songka Lawung berhasil menangkap pecahan perahu. Raja Monyet Tangan Delapan dan Songka Lawung akhirnya dapat selamat. Berhari-hari lamanya mereka berdua dipermainkan gelombang sebelum akhirnya terhempas ke sebuah pulau.
Nasib baik menyertai mereka berdua. Mereka bertemu dengan seorang kakek yang sudah amat tua. Keadaannya sudah lebih mendekati tengkorak daripada manusia. Meskipun demikian, kakek itu memiki kepandaian amat tinggi. Dan Raja Monyet Tangan Delapan serta Songka Lawung akhirnya menjadi muridnya. Mereka berdua berlatih dengan giat ilmu-ilmu dari kakek itu.
Mula-mula mereka mengalami kemajuan berbarengan. Tapi lama-kelamaan, bakat Songka Lawung terhadap ilmu silat mulai terlihat. Dirinya mampu maju secara cepat dalam ilmu-ilmu yang dipelajarinya, hingga Raja Monyet Tangan Delapan tertinggal. Semakin lama perbedaan tingkat mereka semakin jauh. Hal ini menimbulkan perasaan iri hati Raja Monyet Tangan Delapan.
Apalagi, ketika akhirnya Songka Lawung menerima ilmu 'Pembalik Jagat', dan Raja Monyet Tangan Delapan hanya mendapatkan ilmu 'Tangan Seribu'. Rasa iri di hatinya berubah menjadi kebencian. Raja Monyet Tangan Delapan pun mengambil keputusan singkat, Songka Lawung harus dilenyapkan.
Dan peluang bagi Raja Monyet Tangan Delapan untuk melaksanakan niat jahatnya semakin terbuka ketika guru mereka akhirnya pergi meninggalkan mereka. Sang Guru hanya meninggalkan pesan yang mengatakan bahwa mereka berdua telah menamatkan semua ilmu darinya.
Dengan sebuah siasat licik, Raja Monyet Tanga Delapan berhasil menjebak Songka Lawung di sebuah sumur yang amat dalam. Kemudian dari atas, Monyet Tangan Delapan mengguyurkan cairan yang panas membara. Setelah kejadian itu, hati Raja Monyet Tangan Delapan pun puas. Karena dirinya yakin betul Songka Lawung telah tewas.
Itulah sebabnya kini Raja Monyet Tangan Delapan terkejut bukan kepalang, ketika mengetahui ada seorang pemuda yang memiliki ilmu 'Pembalik Jagat' itu. Mungkinkah pemuda berpakaian biru itu mempunyai hubungan dengan Songka Lawung?
Apakah saudara seperguruannya itu masih hidup? Kalau benar demikian, berarti bahaya besar tengah mengancamnya. Mulai sekarang, kewaspadaannya harus ditingkatkan. Demikian Raja Monyet Tangan Delapan memutuskan. Nampaknya pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi hati dan benaknya sedikit mulai terjawab, ingatannya terhadap masa lalunya membuka jalan bagi jawaban atas semua pertanyaan tadi.
* * *
TUJUH
Perlahan-lahan matahari terus merangkak, dan kini telah berada tepat di atas kepala. Cahaya terik menerpa seluruh permukaan bumi. Di bawah teriknya cahaya matahari siang itu, nampak dari kejauhan melesat cepat sesosok bayangan biru. Gerakan melesat sosok bayangan biru itu menuju tempat kediaman Raja Monyet Tangan Delapan.
Sementara itu, dua orang penjaga pintu gerbang rumah Raja Monyet Tangan Delapan mengawasi dari kejauhan gerakan cepat bayangan kebiruan yang menuju tempatnya.
”Kau lihat?!” tanya penjaga yang bermata juling pada kawannya, menunjuk ke bayangan biru itu.
“Ya, aku melihatnya,” jawab penjaga yang satunya lagi. “Apakah dia yang membunuh Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?”
“Mungkin orang itu!” sahut penjaga yang bermata juBng. “Bukankah dia mengenakan pakaian biru?!”
“Kalau begitu, cepat beritahukan Naga Berekor Sembilan! Biar, aku yang mengawasinya!” usul kawan si mata juling.
“Baik!”
Tanpa membuang waktu, penjaga yang bermata Juling itu segera melesat ke dalam. Sementara kawannya terus mengawasi sosok bayangan biru yang ternyata jelas-jelas menuju tempat mereka. Gerakan sosok bayangan biru itu ternyata sangat cepat. Dalam waktu sebentar saja, kawan si mata juling nampu melihat dengan jelas ciri-cirinya. Karena sosok bayangan biru kini telah berada hanya dalam jarak belasan tombak.
Dan, ternyata sosok bayangan biru itu memang benar seorang pemuda berpakaian biru. Karuan saja hati penjaga pintu gerbang itu menjadi gentar dan melangkah mundur.
“Hup!” Pemuda berpakaian biru itu mendaratkan kaki berjarak tiga tombak dari tempat penjaga pintu gerbang berdiri. Kemudian dengan sepasang matanya yang tajam dirayapinya sekujur tubuh penjaga pintu gerbang itu.
Karuan saja, tindakan pemuda berpakaian biru itu membuat nyali penjaga pintu gerbang itu semakin menciut. Kalau Penjagal Nyawa dan Setan Pisau saja bisa dibinasakan, apalagi dirinya yang memiliki kepandaian tidak seberapa jika dibanding dengan Penjagal Nyawa.
“Kau...! Ya..., aku ingat! Kau salah satu di antara mereka. Kau pun akan merasakan pembalasanku!” desis Mahendra penuh dendam.
Ucapan Mahendra semakin menciutkan nyali penjaga itu. Dirasakan adanya ancaman dari ucapan yang terdengar penuh getaran itu. Penjaga itu jadi teringat akan cerita-cerita yang didengarnya tentang Mahendra. Pemuda berpakaian biru ini berwatak sadis, yang akan menyiksa lawannya sampai mati.
Penjaga itu melangkah mundur. Namun, langkahnya segera terhenti. Dan nyalinya yang telah kuncup pun kembali mekar, ketika Naga Berekor Sembilan dan belasan kawannya telah berada di dekatnya. Naga Berekor Sembilan langsung maju ke depan.
“Kaukah orang yang telah membunuh Penjagal Nyawa?!” tanya Naga Berekor Sembilan menuduh, sambil menudingkan jari telunjuknya.
“Hmh...!” Mahendra mendengus penuh ejekan. “Bukan hanya Penjagal Nyawa yang kubunuh! Kau dan semua orang yang berada di tempat ini akan bernasib yang sama dengannya!”
“Keparat! Kau akan menerima balasan atas tindakan keji yang kau lakukan terhadap Penjagal Nyawa! Serbu...!” seru Naga Berekor Sembilan keras sambil mengibaskan tangannya.
Mendengar perintah itu belasan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan bergerak menerjang Mahendra. Senjata-senjata yang terdiri dari berbagai macam jenis meluncur ke berbagai bagian tubuh Mahendra.
Sing! Sing! Wuk!
Mahendra masih bersikap tenang. Dibiarkan hingga semua serangan itu meluncur dekat Baru ketika ujung senjata-senjata itu mengenainya, dirinya purj bertindak. Laksana bayangan, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan senjata-senjata lawan.
Kemudian tangan dan kakinya bergerak. Setiap kali tangan atau kaki Mahendra bergerak, pasti ada sosok tubuh yang terpental keluar dari kancah pertarungan diiringi jeritan kesakitan.
Karuan saja hal itu membuat Naga Berekor Sembilan yang menjadi pimpinan penyerang semakin kalap. Golok besar di tangannya semakin merajalela mencari sasaran di tubuh Mahendra. Hal yang sama pun dilakukan belasan kawan-kawannya.
Maka pertarungan sengit pun tak terelakkan. Pertarungan antara belasan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan yang menggunakan aneka ragam senjata dengan Mahendra yang bertangan kosong.
Meskipun tidak menggunakan senjata, sepak terjang Mahendra benar-benar menggiriskan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit untuk mengelakkan setiap serangan. Sebaliknya, setiap kali tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan akan ada tubuh-tubuh yang terpental dan tak mampu bangkit lagi.
Meskipun mereka tidak tewas seketika. Tak sampai dua puluh jurus, lebih dari setengah jumlah anak buah Raja Monyet Tangan Delapan yang bergeletakan di tanah dalam keadaan tak berdaya. Meskipun demikian, mereka tetap melakukan perlawanan sengit.
Patut dipuji semangat anak buah Raja Monyet Tangan Delapan. Padahal, mereka tahu kalau tindakan yang dilakukan tak ubahnya kelompok semut menerjang api. Mereka semuanya roboh terkulai tak berdaya. Jika tak ada perubahan, mereka akan roboh semua di tangan Mahendra.
Ketika pertarungan berjalan semakin tak seimbang, karena tubuh-tubuh pengeroyok telah bergelimpangan, tiba-tiba nampak sesosok bayangan jingga.
“Mundur semua, cecunguk-cecunguk tak Berguna! Biar aku yang menghadapinya!”
Sebuah bentakan keras dan melengking nyaring keluar dari mulut sosok bayangan jingga itu. Sisa-sisa anak buah Raja Monyet Tangan Delapan melompat mundur, mematuhi perintah itu. Mereka semua kenal betul suara itu. Siapa lagi kalau bukan Winarti? Putri Raja Monyet Tangan Delapan yang mempunyai sifat manja itu, namun terkadang mampu juga bertindak kejam.
Melihat lawan-lawannya melompat mundur, Mahendra pun menghentikan serangan. Tubuhnya berdiri di tempat dan slap menghadapi segala kemungkinan.
“Hup!”
Di hadapan Mahendra telah berdiri seorang gadis berpakaian jingga. Gadis cantik itu tidak lain Winarti putri dari Raja Monyet Tangan Delapan.
“Siapa kau, Keparat! Mengapa mengacau tempat kediamanku?!” bentak Winarti keras.
“Namaku Mahendra. Dan kedatanganku kemari untuk membalas dendam atas tindakan semua orang yang berada di tempat ini terhadap orangtua dan kakak-kakak seperguruanku sepuluh tahun yang lalu. Menyingkirlah kau, Nisanak! Kau tidak termasuk di antara mereka!” jawab Mahendra panjang lebar.
“Apa kau bilang? Kau suruh aku menyingkir? Kau kira aku tidak tersangkut dalam masalah ini?! Kau tahu, siapa pemilik rumah ini? Kau tahu siapa orang-orang yang hendak kau bunuh itu?!” sahut Winarti.
“Siapa pun dirimu aku tidak tahu, Nisanak! Yang jelas, aku tahu siapa pemilik bangunan ini. Raja Monyet Tangan Delapan, bukan? Menyingkirlah, Nisanak! Aku telah bersumpah untuk membalas sakit hati orangtua dan kakak-kakak seperguruanku. Siapa pun yang menghalangi akan kuterjang!” tandas Mahendra.
“Kalau begitu, terjanglah aku, Manusia Sombong! Akulah orang yang akan menjadi perintang pertama atas sumpahmu itu!” tegas Winarti tak kalah mantap.
“Kalau itu keinginanmu apa boleh buat! Berhati-hatilah, Nisanak! Hiyaaat..!”
Dengan sebuah teriakan keras menggelegar, Mahendra memulai penyerangan. Pemuda berpakaian biru itu membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah pusar lawannya.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi serangan yang dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi Winarti pun mengetahuinya. Itulah sebabnya gadis itu tak mau bertindak gegabah. Segera didoyongkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di sisi kiri tubuhnya. Lalu secepat kilat dikirimkan bacokan tangan kanan ke lutut kanan Mahendra.
Mahendra yang tetap bersikap tenang telah menduga serangan balasan itu. Sehingga ketika serangan itu dilakukan dirinya siap untuk menangkalnya. Dan itu memang benar! Sebelum sisi tangan Winarti mengenai sasaran, telah lebih dulu Mahendra menarik kakinya.
Wusss!
Bacokan sisi tangan miring Winarti hanya membabat tempat kosong. Namun, Winarti pun sudah menduga akan terjadi hal seperti itu. Maka sambil melangkahkan kaki kanan ke depan, dengan cepat tinju tangan kirinya diluncurkan ke ulu hati Mahendra.
“Heits!”
Mahendra agak terkejut menerima serangan susulan ini. Karena pikirannya tak menduga demikian cepat tindakan Winarti. Ternyata gadis berpakaian jingga itu memiliki kepandaian yang perlu diperhitungkan. Mahendra dengan cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga serangan pun luput.
Karena menyadari keadaan kalau Winarti bukan lawan yang bisa dianggap ringan, Mahendra mulai melancarkan serangan balasan. Sesaat kemudian pertarungan sengit antara mereka pun terjadi. Baik Mahendra maupun Winarti telah mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Pertarungan antara sepasang muda-mudi yang sama-sama berwajah rupawan itu berlangsung cepat Pada jurus-jurus awal keduanya nampak berimbang. Baik Winarti maupun Mahendra sama-sama bertarung dengan gerakan cepat sekali. Sehingga pertarungan makin seru dan ramai. Bunyi angin menderu dan mencicit menyemarakkan suasana ditambah pekikan dan teriakan setiap kali serangan dilancarkan.
Pada jurus-jurus awal itu nampak keduanya saling berhati-hati, masing-masing tidak berani bertindak sembrono karena belum mengenal ilmu lawan. Tapi ketika pertarungan menginjak pada jurus kesepuluh, baik Mahendra maupun Winarti mulai unjuk gigi.
Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya masih berdiri tegak, terus mengawasi jalannya pertarungan yang cukup menarik dan seru itu. Meskipun mereka tidak dapat melihat jelas jalannya pertarungan. Tapi, karena Mahendra dan Winarti mengenakan pakaian yang menyolok perbedaannya, mereka tidak kesulitan untuk membedakan antara kedua orang itu.
Ketika pertarungan telah mencapai jurus ketiga puluh mulai tampak adanya perubahan. Perlahan-lahan Mahendra dapat menekan Winarti. Dan saat itulah Raja Monyet Tangan Delapan muncul. Tokoh yang mirip kera besar itu tidak langsung menceburkan diri dalam kancah pertarungan. Tubuhnya yang besar berdiri dekat anak buahnya, turut menyaksikan jalannya pertarungan.
Raja Monyet Tangan Delapan ingin membuktikan apakah benar pemuda berpakaian biru itu murid Songka Lawung. Itulah sebabnya dibiarkan saja Mahendra terus mendesak putrinya. Tak perlu waktu lama bagi tokoh yang mirip kera besar ini untuk memastikan dugaannya. Pengamatan itu membuatnya terkejut. Betapa tidak? Terlihat jelas, betapa ilmu yang digunakan Mahendra dan Winarti berasal dari satu cabang.
Memang terdapat kelainan pada beberapa jurus. Namun, itu terjadi mungkin karena pengembangan dari dirinya dan Songka Lawung. Atau mungkin juga karena bakat yang berada pada Winarti dan Mahendra berbeda.
Yang jelas, secara kasar bisa ditarik kesimpulan kalau Mahendra dan Winarti memiliki ilmu dari sumber yang sama. Jadi benar Mahendra murid Songka Lawung. Dan ini berarti Songka Lawung tidak tewas. Begitulah pikiran Raja Monyet Tangan Delapan setelah menyaksikan sendiri pertarungan pemuda berpakaian biru itu.
Sementara itu, keadaan Winarti semakin mengkhawatirkan, semakin terdesak. Hal itu rupanya membuat gadis berpakaian jingga itu penasaran. Kenyataannya, ketika mendapatkan sedikit kesempatan dengan cepat tubuhnya melenting ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Lalu....
Jliggg!
Manis sekali gerakan yang dilakukan Winarti. Dan itu dapat dilakukannya tanpa hambatan sama sekali. Padahal, Winarti menduga Mahendra pasti akan memburu agar dirinya tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya.
Ternyata pemuda berpakaian biru itu sama sekali tak melakukannya. Pemuda berpakaian biru malah berdiam diri di tempatnya. Mahendra bermaksud menunggu tindakan selanjutnya yang dilakukan lawan. Mahendra tahu, gadis itu menjauhkan diri darinya pasti untuk mempergunakan ilmu lainnya.
Dugaan Mahendra memang tidak meleset Winarti memang hendak menggunakan ilmu andalan. Gadis berpakaian jingga nampak memejamkan mata. Kedua tangannya dipalangkan di depan dada, dengan kedudukan yang kanan berada di atas yang kiri. Kedua tangan yang berselisih jarak sekitar seperempat jengkal itu, menegang kaku, penuh dengan kekuatan tenaga dalam.
“Hih!”
Diiringi suara bentakan, tiba-tiba Winarti menarik kedua tangannya dengan begitu cepat ke sisi pinggang. Kemudian diputar-putarkannya di depan dada. Tangan Winarti pun telah berubah menjadi banyak, saling berputaran di depan dadanya. Belasan, bahkan mungkin puluhan jumlahnya. Hal itu terjadi karena saking cepatnya pergerakan tangan Winarti. Inilah ilmu 'Tangan Seribu' andalan Raja Monyet Tangan Delapan!
“Hiaaat..!”.Dengan teriakan menggelegar dan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Winarti menerjang Mahendra. Tangannya yang kini seperti berjumlah banyak itu meluncur deras ke tubuh Mahendra. Sukar untuk diketahui sasaran yang tengah dituju karena banyaknya jumlah tangan yang terus berputar-putar.
Namun Mahendra tidak mudah tertipu. Pikirannya tahu kalau tangan Winarti tetap berjumlah dua. Kecepatan gerakan tangannya itulah yang menyebabkan jumlah tangannya seperti banyak. Segera dipusatkan perhatian pada sepasang matanya untuk mengetahui mana tangan yang aslinya. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi segera dipapaknya serangan Winarti yang meluncur deras ke tubuhnya.
Plakkk! Plakkk! Bukkk...!
“Akh...!” Suara keluhan tertahan keluar dari mulut Mahendra. Bahu kanannya terhajar. Memang, berturut-turut dirinya berhasil menangkis serangan yang mengancam. Tapi serangan lanjutan yang datang begitu cepat, tidak mampu ditangkisnya. Dalam penggunaan ilmu 'Tangan Seribu', kecepatan gerak tangan Winarti jadi berlipat ganda. Sehingga serangan pertama dan kedua dapat ditangkis serangan lainnya telah kembali meluncur dengan kecepatan tinggi.
Melihat keberhasilan serangan perdananya, maka semangat Winarti membesar. Kembali dilancarkan serangan susulan ketika Mahendra tengah terhuyung-huyung karena sakit dibahunya. Tapi bagi Mahendra, tidak terlalu sulit mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung. Hanya dengan sebuah gerakan sederhana, tubuhnya telah berhasil mengatasi keadaannya. Dan saat itulah serangan lanjutan Winarti kembali meluncur.
Wuttt!
Kali ini Mahendra tidak berani bertindak gegabah lagi. Pengalaman pertama telah memberinya pelajaran. Masih untung hanya bahunya yang terhajar. Kalau pelipis atau ulu hati? Akibatnya tentu akan lebih parah bagi dirinya. Itulah sebabnya Mahendra tidak menangkis serangan itu. Yang dilakukannya kini melempar tubuh ke samping dan bergulingan menjauh. Lalu...
Dug!
Secepat kilat Mahendra merubah keadaan tubuhnya yang barusan masih bergulingan. Sekarang Mahendra telah siap dengan ilmu 'Pembalik Jagat' andalannya. Kini yang bersentuhan dengan tanah bukan kakinya melainkan kepalanya. Sekarang sepasang kakinya menjulang tinggi ke atas.
“Hey...!”
“Akh...!”
“Hah...!”
Tanggapan-tanggapan yang penuh keterkejutan keluar dari mulut semua orang yang berada di situ. Tidak hanya Winarti dan belasan tokoh golongan hitam yang merasa kaget melihat keanehan ilmu Mahendra. Raja Monyet Tangan Delapan pun demikian pula. Namun tokoh yang mirip kera besar ini mampu menyembunyikan rasa kagetnya sehingga yang keluar dari mulutnya hanya dengusan pendek.
Padahal kalau diperbandingkan, rasa kaget yang dialami Raja Monyet Tangan Delapan malah jauh lebih besar. Karena kini sudah tidak diragukan, Mahendra ternyata murid dari Songka Lawung. Ilmu 'Pembalik Jagat' yang dimiliki menjadi bukti kuat yang tidak bisa dibantahnya lagi.
Ini berarti Mahendra mempunyai bakat besar terhadap ilmu silat. Hanya orang-orang berbakat besar yang bisa menguasai ilmu itu. Ini berarti, Mahendra merupakan orang yang amat berbahaya. Pemuda ini harus dilenyapkan secepat mungkin. Begitulah yang terus berkecamuk di dalam kepala Raja Monyet Tangan Delapan.
Tapi sebelum itu, Raja Monyet Tangan Delapan ingin menyaksikan lebih dulu ilmu 'Pembalk Jagat' yang dimiliki Mahendra. Benarkah pemuda berpakaian biru itu telah berhasil menguasainya? Ataukah hanya kulit-kulitnya saja?! Keinginan itu membuat tokoh yang mirip kera besar memutuskan untuk membiarkan Winarti terus melakukan pertarungan dengan Mahendra.
Raja Monyet Tangan Delapan tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menyaksikan jalannya pertarungan yang diharapkan itu. Sebentar kemudian Winarti yang terkejut melihat keanehan ilmu yang dihadapinya kini gadis berpakaian jingga itu telah sadar kembali.
Begitu kesadaran itu timbul, Winarti kembali menerjang Mahendra. Kedua tangannya yang terlihat berjumlah banyak itu meluncur ke berbagai bagian tubuh Mahendra.
Dengan keadaan tubuh Mahendra yang terbalik seperti itu Winarti pun segera merubah arah sasaran. Serangan kedua tangan Winarti kini lebih banyak tertuju pada sepasang kaki yang terlihat kokoh kuat itu. Sasaran lainnya yang dapat dituju hanya perut atau pusar. Tak mungkin Winarti menyerang dada atau leher, apalagi kepala!
Keadaan tubuh Mahendra benar-benar mempersulit gerakan Winarti. Mahendra sebaliknya justru mendapat keuntungan. Di samping dirinya sulit dijadikan sasaran serangan, bidang sasaran untuknya terbuka banyak. Bahkan sebagian besar merupakan bagian sasaran yang tidak terlindung.
Dan keadaan menguntungkan itu dirasakan benar-benar ketika Winarti melancarkan serangan terhadapnya. Serangan yang semula ditujukan ke kepala dan leher itu, terpaksa berubah menuju perut dan selangkangannya atau kaki.
Mahendra tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru dipapak serangan itu dengan kedua tangannya. Pada saat yang bersamaan, laksana sebuah pohon tumbang, kedua kakinya meluncur ke ubun-ubun dan pelipis Winarti. Dua jalan darah kematian.
Wuttt..! Bletakkk...!
“Aikh...!” Winarti menjerit kaget. Di samping karena tangkisan tangan Mahendra membuat tubuhnya terhuyung dan tangannya merasa sakit, serangan kedua kaki pemuda berpakaian biru itu benar-benar membuatnya gugup.
Namun, Winarti masih sanggup membuktikan bahwa dirinya bukan orang yang gampang dipecundangi. Dalam keadaan gawat itu Winarti masih mampu menyelamatkan diri. Dilemparkan tubuhnya ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara sebelum akhimya mendarat mantap di tanah.
Sit! Sit!
Tangan gadis berpakaian jingga ini kini menggenggam sepasang sumpit putih. Mahendra seolah-olah tak mempedulikan. Dengan tangan kosong dan keadaan tubuh terbalik terus menghadapinya. Diiringi suara dag-dug dag-dug kepalanya yang berbenturan dengan tanah, pemuda itu mendekati Winarti. Sesaat kemudian pertarungan pun kembali berlangsung.
Tapi jalannya pertarungan kali ini berbeda jauh dengan sebelumnya. Sekarang, semakin tampak jelas ketidak-berdayaan Winarti. Padahal, gadis cantik itu telah menggunakan senjata andalannya yang digabung dengan penggunaan ilmu 'Tangan Seribu'.
Ditambah lagi dengan lontaran-lontaran senjata rahasianya yang berupa bunga. Sedangkan Mahendra hanya bertangan kosong. Namun dengan ilmu pembalik jagatnya Mahendra terus berhasil mendesak Winarti. Sejak awal jurus, Winarti terus dihimpit dan didesak.
Sehingga ambruknya tubuh gadis berpakaian jingga ini tinggal menunggu waktu saja. Karena begitu menginjak jurus ke tujuh, serangan-serangan yang dilancarkan terus mengendor. Yang dapat dilakukannya hanya mengelak dan terus bergerak mundur.
Keadaan kritis gadis berpakaian jingga ini diketahui Raja Monyet Tangan Delapan. Sedangkan Naga Berekor Sembilan dan kawannya tidak. Namun, mereka dapat menduganya, melihat dari terus-menerusnya sosok bayangan jingga bermain mundur, sedangkan sosok bayangan biru mengejarnya.
Pertarungan semaki kin berjalan tak seimbang. Ketika pertarungan menginjak jurus ketujuh belas. Raja Monyet Tangan Delapan tidak bisa tinggal diam lagi. Dia tidak ingin Winarti keburu celaka!
“Menyingkir, Winarti! Hiyaaat..!”
DELAPAN
Sambil mengeluarkan bentakan menggelegar, Raja Monyet Tangan Delapan terjun ke kancah pertarungan. Tokoh yang mirip kera besar ini langsung melancarkan serangan. Tak tanggung-tanggung lagi, serangan yang dilancarkannya. Dia mengirimkan sebuah tendangan terbang.
Tetapi karena sikap lawan yang tidak semestinya, Raja Monyet Tangan Delapan sedikit merubah tendangan terbangnya. Tendangan itu dilakukan tidak dengan lompatan yang tinggi.
Wuttt!
Winarti menyadari kalau dirinya bukan tandingan Mahendra. Ilmu lawan yang aneh itu benar-benar membuatnya bingung dan hilang akal. Oleh karena itu ketika melihat ayahnya telah menyerbu Mahendra, dirinya langsung melesat keluar dari kancah pertarungan.
Mahendra sama sekali tidak mengejar Winarti. Karena saat itu, serangan Raja Monyet Tangan Delapan tengah meluncur ke punggungnya. Disadari betapa dahsyatnya serangan tokoh yang mirip kera besar itu. Kalau dirinya bertindak kurang cepat, bukan mustahil nyawanya akan melayang saat itu juga.
“Hih!”
Dug!
Mahendra dengan cepat sekali membalikkan tubuh sehingga berhadapan dengan Raja Monyet Tangan Delapan. Lalu tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya tendangan terbang tokoh yang mirip kera besar dengan kakinya pula. Akibatnya....
Dukkk!
Benturan keras antara dua batang kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun terjadi. Bunyi keras seperti halilintar menyambar membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat. Akibat yang lebih hebat menimpa kedua tokoh itu. Karena Mahendra berada di pihak yang bertahan, tubuhnya merasakan getaran hebat dari benturan itu. Tetapi yang jelas kedua tubuh nampak sama-sama terpental ke belakang.
Duggg!
Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya Raja Monyet Tangan Delapan di tanah, Mahendra berdiri dengan kepalanya. Untuk beberapa saat lamanya pertarungan terhenti. Kedua belah pihak saling tatap. Agak aneh, karena Raja Monyet Tangan Delapan harus agak menundukkan kepala untuk melakukan hal itu.
“Siapa kau sebenarnya, Pemuda Sombong! Dan mengapa kau sepertinya memusuhi kami?” tanya Monyet Tangan Delapan ingin tahu.
Pertanyaan ini membuktikan kalau Raja Monyet Tangan Delapan seorang yang cerdik. Dirinya menyadari kalau Mahendra memiliki kepandaian tinggi. Bahkan mungkin tidak kalah dengannya. Apabila terjadi pertarungan, dan di antara mereka ada yang tewas, lainnya pasti terluka parah!
Dan, tokoh yang mirip kera besar ini tidak ingin mempertaruhkan risiko yang demikian besar tanpa lebih dulu mengetahui secara jelas masalah yang tengah mereka perselisihkan.
“Dengar baik-baik, Iblis Keparat!” seru Mahendra keras. Suaranya terdengar aneh, akibat sikap berdirinya yang tidak semestinya. “Ingatkah kau akan Malaikat Ruyung yang keluarga dan perguruannya telah kau musnahkan?”
“Ooo..!” mulut Raja Monyet Tangan Delapan langsung membulat. Kepalanya pun terangguk-angguk. “Aku mengerti sekarang! Jadi..., kau putra Malaikat Ruyung, hehhh?! Dan kau ingin membalas dendam kematian seluruh keluarga dan Perguruan Ruyung Baja milik ayahmu itu?”
“Tidak salah!” tandas Mahendra keras. “Dan sekaranglah saatnya hutang nyawa itu harus kau tebus, hih!”
Dug! Dug!
Dengan mengandalkan kepala, Mahendra melompat-lompat menghampiri Raja Monyet Tangan Delapan. Dan ketika jaraknya dekat, kedua kakinya melayang ke tubuh tokoh mirip kera besar itu.
Wut! Wut!
Raja Monyet Tangan Delapan nampaknya telah siap menghadapi serangan seperti itu. Sehingga, tidak sedikit pun rasa gugup menghadapi serangan itu. Buru-buru dipapaknya dengan kedua tangannya. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya diayunkan ke arah ulu hati Mahendra.
Plak! Plak! Dukkk!
Tiga benturan keras terdengar berturut-turut ketika tangan dan kaki itu berbenturan berkali-kali. Tubuh Raja Monyet Tangan Delapan tergetar, sedangkan sikap tubuh Mahendra bergoyang-goyang hampir ambruk. Gerakan melompat menggunakan kepala itu berhasil memperbaiki kedudukannya yang tak menguntungkan itu. Dari benturan yang terjadi tadi jelas kalau tenaga dalam Mahendra belum bisa menyamai tenaga dalam Raja Monyet Tangan Delapan.
Sebagai seorang datuk kaum sesat yang mempunyai banyak pengalaman, Raja Monyet Tangan Delapan mengetahui keunggulannya. Dan dia pun tahu kalau saat itu lawannya tengah berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, segera dilancarkan serangan susulan.
Sesaat kemudian, kedua belah pihak telah teriibat dalam pertarungan sengit Raja Monyet Tangan Delapan menyadari kalau Mahendra memiliki kepandaian tinggi dan ilmu 'Pembafik Jagat' yang aneh. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikekiarkan ilmu 'Tangan Seribu'nya. Akhirnya pertarungan antara dua tokoh yang berbeda usia, namun memiliki ilmu-ilmu yang sealiran itu berlangsung semakin seru.
Unik dan terlihat menggetarkan pertarungan yang tengah berlangsung. Namun semua orang yang menyaksikan jalannya pertarungan itu tahu kalau setiap gerakan Mahendra maupun Raja Monyet Tangan Delapan mampu mengirim nyawa masing-masing ke alam baka. Mereka pun menyaksikannya dengan perasaan tegang.
Kali ini jalannya pertarungan tidak seperti ketika Mahendra menghadapi Winarti. Raja Monyet Tangan Delapan seorang datuk kaum hitam dan telah memiliki pengalaman bertempur tak terhitung, sehingga sedikit banyak bisa menerapkan taktik yang baik untuk menghadapi ilmu aneh Mahendra.
Apalagi, dulu pernah menyaksikan Songka Lawung mempertunjukkannya. Bahkan mereka sering berlatih menggunakan ilmu masing-masing. Sehingga ilmu 'Pembalik Jagat' tidak terlalu membingungkan Raja Monyet Tangan Delapan.
Pertarungan antara kedua tokoh sakti itu semakin dahsyat Jangankan terkena secara telak, terkena angin serangan mereka pun cukup untuk menghabisi nyawa mereka.
Jurus demi jurus berlangsung begitu cepat karena baik Mahendra maupun Raja Monyet Tangan Delapan memang memiliki gerakan yang sama-sama cepat. Saking cepatnya, jangankan Naga Berekor Sembilan dan yang lain-lainnya, mata Winarti sendiri tak dapat melihat dengan jelas pertarungan yang tengah berlangsung.
Tak terasa pertarungan telah menginjak jurus ketujuh puluh. Dan selama itu belum terlihat adanya pihak yang akan menang, pertarungan masih berlangsung seimbang.
Hal ini membuat Raja Monyet Tangan Delapan semakin penasaran. Disadari jika taktik pertarungan tidak diubah, keadaan yang berlangsung akan tetap seperti ini. Maka, tokoh yang mirip kera besar ini mempersiapkan siasat untuk secepat mungkin bisa mengakhiri pertarungan.
Dan siasat itu dilaksanakannya pada jurus kesembilan puluh tiga. Sambil melompat ke belakang untuk mengelakkan serangan, Raja Monyet Tangan Delapan mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Kemudian dilemparkannya ke tubuh Mahendra.
Karuan saja Mahendra yang sama sekali tidak menyangka akan terjadinya peristiwa itu kaget bercampur gugup. Buru-buru tubuhnya mengelak dengan melompat ke belakang. Dan....
Glaaarrr...!
Benda yang dilemparkan Raja Monyet Tangan Delapan meledak menghantam tanah. Disusul dengan munculnya asap kehijauan.
“Racun...,” desis Mahendra kaget ketika sempat mengisap asap itu yang membuat kepalanya langsung pening. Dengan cepat tubuhnya melenting beberapa kali ke belakang untuk menjauhi.
Dug! Dug! Dug!
Tapi tindakan Mahendra sudah diperhitungkan Raja Monyet Tangan Delapan. Maka tokoh mirip kera itu pun menggerak-gerakkan kedua tangannya. Seketika itu pula dari kedua tangan yang digerak-gerakkan berhembus angin keras yang membuat asap-asap beracun itu terus mengejar Mahendra.
Kontan Mahendra kelabakan ketika asap-asap beracun itu menyelubunginya. Dan tak dapat dicegahnya lagi, Mahendra mengisap asap itu. Akibatnya, rasa pusing yang menderanya pun semakin menjadi-jadi. Dirasakan kepalanya menjadi berat dan pandangannya berkunang-kunang. Sesaat kemudian semua yang terlihat Mahendra menjadi gelap. Dan....
Brukkk!
Tubuh Mahendra ambruk di tanah. Pemuda berpakaian biru yang sakti dan memiliki ilmu menggiriskan itu roboh pingsan.
“Ha ha ha...!” Raja Monyet Tangan Delapan tertawa bergelak melihat lawan tangguhnya roboh tak berdaya. Sesaat kemudian sekitar tempat itu pun dipenuhi gelak tawa dari mulut seluruh anak buah Raja Monyet Tangan Delapan. Tawa kemenangan yang sarat kegembiraan dan kebanggaan.
“Uuuh...!”
Mahendra mengeluarkan keluhan panjang. Kepalanya dirasakan masih berat bukan kepalang, sehingga dirinya belum mau membuka matanya. Dan dalam keadaan sepasang mata terpejam, dicobanya untuk menggerakkan tubuhnya. Ternyata tidak mampu. Tentu saja hal itu menyebabkan Mahendra merasa penasaran. Dicobanya lagi sebelum akhimya menyadari kalau dirinya terbelenggu.
“Ha ha ha...!” Suara tawa keras bergelak yang penuh dengan nada ejekan membuat Mahendra mulai teringat akan kejadian yang dialaminya. Dibukanya mata. Tampak di hadapannya Raja Monyet Tangan Delapan, Winarti, dan belasan tokoh goiongan hitam.
“Merontalah, Kunyuk Kecil! Ingin kulihat, mampukah kau membebaskan diri?!” ejek Raja Monyet Tangan Delapan lagi.
“Cuhhh!” Mahendra meludah ke samping. Lalu usahanya untuk meronta-ronta dihentikan. Disadari kalau sekarang tubuhnya telah terbelenggu pada sebuah tonggak besi. Kedua tangan dan kakinya diikat ke belakang. Sementara di sekeliling tonggak-tonggak itu terhampar tumpukan-tumpukan kayu. Tanpa berpikir lebih lama lagi pun, Mahendra tahu kalau tubuhnya akan dibakar hidup-hidup.
“Sama sekali tidak kusangka kekhawatiranku yang dulu menjadi kenyataan. Kau menjadi duri yang berusaha merobohkanku! Dan sama sekali tidak kusangka pula kalau kau bisa mendapatkan ilmu 'Pembalik Jagat'!” ujar Raja Monyet Tangan Delapan lagi.
Ada perubahan pada wajah Mahendra begitu mendengar ucapan Raja Monyet Tangan Delapan. Hal itu terjadi karena merasa terkejut mendengar tokoh yang mirip kera besar itu mengenal nama ilmunya.
“Kau kaget, Kunyuk Kecil?! Kau tidak menyangka kalau aku bisa mengetahui ilmumu ini. Ho ho ho...! Ketahuilah, sebelum kau tahu apa-apa. Aku telah tahu ilmu 'Pembalik Jagat' itu. Aku tahu dari mana asal mulanya. Dan pencipta ilmu itu bukan gurumu. Kau kaget? Aku tahu siapa gurumu, Kunyuk Kecil! Si Songka Lawung!” lanjut Raja Monyet Tangan Delapan.
“Jadi., jadi... kau orang yang telah mencelakakan guruku?! Kaukah saudara seperguruannya?!” ucap Mahendra terbata-bata. Ada penyesalan dalam suaranya.
Memang Songka Lawung pernah menceritakan riwayatnya pada Mahendra, bagaimana saudara seperguruannya bermaksud membunuhnya. Kalau saja dia tidak menemukan sebuah lubang yang menuju ke luar sumur, mungkin sudah tewas.
Meskipun Mahendra bertahun-tahun bersamanya, Songka Lawung tak mau mengatakan pada Mahendra kalau Raja Monyet Tangan Delapan itu saudara seperguruannya. Padahal kakek itu mengetahuinya.
Ah! Mengapa aku demikian bodoh?! Mahendra memaki dirinya sendiri dalam hati. Kalau saja pikiran Mahendra tidak terlalu dirasuki keinginan untuk membalas dendam, tentu dirinya sudah bisa menduganya. Sebab, sebagian besar ilmu-ilmu yang dipergunakan Winarti dan Raja Monyet Tangan Delapan mempunyai kemiripan dengan yang dimilikinya.
“Aku ingin tahu, apakah gurumu akan menolongmu bila kau kubakar hidup-hidup!” ujar Raja Monyet Tangan Delapan keras, sehingga membuat Mahendra tersadar kembali dari akal pikirannya.
“Kau boleh melakukan tindakan apa pun terhadapku, Monyet! Tapi, ketahuilah usaha yang kau lakukan akan sia-sia. Beliau sudah tidak berniat terjun ke dunia persilatan lagi!” tandas Mahendra.
“Kita lihat saja nanti!” sergah Raja Monyet Tangan Delapan. “Naga, bakar!”
Tanpa menunggu perintah dua kali, Naga Berekor Sembilan segera melangkah maju. Obor menyala yang sejak tadi berada dalam genggamannya, diangkat tinggi-tinggi ke udara. Dengan senyum mengejek menghias bibir ditujukan kepada Mahendra, Naga Berekor Sembilan bersiap menyulut tumpukan kayu bakar yang telah disirami minyak.
“Guru...! Ayah, Ibu, dan semua kakak seperguruanku, maafkan atas kegagalanku ini!” teriak Mahendra lantang.
Tidak sedikit pun terlihat perasaan gentar, baik dalam raut wajah maupun tatapan matanya. Bahkan dengan tatapan tajam, diperhatikannya semua gerak-gerik Naga Berekor Sembilan.
Selangkah demi selangkah jarak Naga Berekor Sembilan semakin dekat dengan tumpukan kayu bakar. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, dan kobaran api pun akan membakar Mahendra hidup-hidup. Di saat yang amat gawat itu, mendadak....
Singgg! Tukkk!
“Akh...!” Naga Berekor Sembilan menjerit tertahan ketika sebuah kerikil sebesar ibu jari kaki menghantam sikunya. Seketika itu pula tangannya langsung lumpuh. Maka tanpa dapat dicegahnya, obor itu jatuh ke tanah.
Dan sebelum Naga Berekor Sembilan atau semua orang yang berada di situ sempat berbuat sesuatu, dua sosok bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di tempat itu, telah berdiri membelakangi Mahendra, Melati, dan Dewa Arak!
“Keparat! Monyet-monyet tak tahu diri! Sungguh berani kalian mencampuri urusanku?!” bentak Raja Monyet Tangan Delapan dengan suara menggeledek menandakan besarnya kemarahan yang melanda hati.
Tokoh yang mirip kera besar ini seperti juga yang lain-lainnya tidak sempat berbuat sesuatu. Di samping mereka sama sekali tak menyangka, kejadiannya pun berlangsung demikian cepat. Bahkan Naga Berekor Sembilan yang sempat mendengar dan melihat meluncurnya benda kecil ke tubuhnya tidak sempat menghindar sama sekali.
“Raja Monyet Tangan Delapan! Tindak kejahatan yang kau lakukan telah melampaui batas. Orang seperti kau harus dilenyapkan selama-lamanya dari muka bumi!” ucap Dewa Arak tenang.
Masih dengan sikap tenang, pemuda berambut putih keperakan itu mengambil guci araknya, dan menuangkan ke mulutnya.
Gluk...! Gluk...! Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada hawa hangat yang berputaran di perut Dewa Arak. Perlahan-lahan hawa hangat itu merayap ke atas. Kontan tubuh Dewa Arak limbung. Kedudukan kedua kakinya sudah tidak tetap lagi di tanah. Hal ini menjadi pertanda kalau Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
“Ah! Rupanya kau, Dewa Arak?! Sungguh kebetulan! Sudah lama aku mendengar julukanmu yang menggemparkan. Sama sekali tak kusangka kau akan datang ke sini! Pucuk dicinta ulam tiba! Aku tak perlu repot-repot lagi mencarimu! Mimpi apa aku semalam sehingga bisa sekaligus mendapatkan pemuda berpakaian biru dan dirimu! Bersiap-siaplah untuk menerima kematian Dewa Arak!”
Usai berkata demikian Raja Monyet Tangan Delapan langsung menerjang Dewa Arak. Kebetulan pemuda berambut putih keperakan itu memang telah siap, dan langsung menyambutinya. Tak pelak lagi, sesaat kemudian keduanya telah terlibat dalam pertarungan.
Melihat ayahnya telah terlibat dalam pertarungan dengan Dewa Arak, Winarti tidak tinggal diam. Tanpa bicara sepatah kata pun diterjangnya Melati. Karena ingin buru-buru menyelesaikan urusannya, Winarti langsung saja menggunakan senjata andalannya.
Sit! Sit!
Bunyi mendesit terdengar ketika sepasang sumpit itu meluncur ke tubuh Melati. Namun bunyi itu langsung tertutup ketika Melati mencabut pedangnya, kemudian membolang-balingkan di depan dada dalam penggunaan ilmu 'Pedang Seribu Naga'!
Wunggg! Wunggg!
Dan seperti juga yang terjadi antara Dewa Arak dengan Raja Monyet Tangan Delapan, pertarungan antara Melati dan Winarti pun terjadi. Kini yang belum mendapatkan lawan adalah Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya. Namun, itu sama sekali tak menjadi masalah bagi mereka.
Karena begitu empat tokoh sakti itu terlibat pertarungan, Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya langsung mengalihkan pandangan, menyaksikan pertarungan sengit itu.
Kesempatan itu dipergunakan Mahendra. Dia tahu Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya tengah terlupa. Maka harus dipergunakan saat itu sebaik-baiknya, karena jika Naga Berekor Sembilan mengetahuinya jelas nyawanya tak mungkin terselamatkan.
Dewa Arak dan Melati sulit untuk diharapkan pertolongannya karena tengah sibuk menghadapi lawan masing-masing. Mahendra memusatkan perhatian. Dia menyadari kalau racun yang masuk ke tubuhnya racun pembius. Dan pengaruh itu pun sudah mulai berkurang, kini yang tinggal hanya rasa lemas di tubuhnya.
Mahendra sadar bahwa rasa lemas di tubuhnya tidak hanya karena racun pembius dari Raja Monyet Tangan Delapan, melainkan totokan yang membuat aliran darahnya tersumbat. Tapi Mahendra tahu, dia mempunyai kelainan ketimbang orang lain. Berkat latihan-latihan yang dilakukannya ketika hendak mendapatkan ilmu 'Pembalik Jagat', aliran dan jalan darahnya bisa diatur.
Mahendra mampu memindahkan jalan darah di dalam tubuhnya. Dan masih banyak lagi keistimewaan lain yang dapat dikuasai selama berguru kepada Ki Songka Lawung. Sadar akan kelebihan yang dimilikinya, membuat pemuda berpakaian biru itu berusaha untuk membebaskan totokan yang membuatnya tidak berdaya.
Mahendra tahu kalau bukan dirinya rasanya tidak mungkin bisa membebaskan diri dari kungkungan totokan Raja Monyet Tangan Delapan. Jadi, ketika Dewa Arak, Melati, Winarti, dan Raja Monyet Tangan Delapan berusaha sekuat tenaga untuk secepat mungkin menaklukkan lawan. Dan Naga Berekor Sembilan serta kawan-kawannya sibuk memperhatikan jalannya pertarungan, Mahendra pun sibuk untuk dapat segera melepaskan diri dari pengaruh totokan Raja Monyet Tangan Delapan.
Sementara itu di arena, pertarungan antara Dewa Arak dan Raja Monyet Tangan Delapan berlangsung jauh lebih menarik daripada pertarungan antara Melati melawan Winarti. Baik Dewa Arak maupun Raja Monyet Tangan Delapan harus mengakui kalau lawan yang dihadapi amat tangguh. Betapapun kedua belah pihak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, hingga empat puluh jurus, pertarungan belum mengalami perubahan.
Pertarungan masih berlangsung seimbang. Ternyata Dewa Arak maupun Raja Monyet Tangan Delapan memiliki tingkat yang sama, baik tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh. Jadi, akhir dari pertarungan ini hanya ditentukan mutu ilmu silat masing-masing dan pengalaman bertarung.
Dalam bidang pertarungan, meskipun memang jumlah pertarungan yang dilakoni Dewa Arak belum bisa dibandingkan dengan Raja Monyet Tangan Delapan. Namun, hal itu hampir tidak banyak berpengaruh karena Dewa Arak pun telah banyak melakukan berbagai pertarungan maut melawan tokoh-tokoh sakti yang berkepandaian tinggi.
Ternyata dalam mutu ilmu silat pun rupanya tak bisa ditarik keuntungan. Ilmu Tangan Seribu' ternyata cukup mampu menanggulangi kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti'. Buktinya, setelah pertarungan melewati seratus jurus keadaan belum berubah. Seperti juga halnya pertarungan Dewa Arak dan Raja Monyet Tangan Delapan. pertarungan antara Melati dan Winarti pun berlangsung seimbang.
Seperti telah diatur saja. Kemampuan mereka pun hampir sama. Hanya saja Melati lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh. Sedangkan Winarti unggul di bidang lainnya. Akhirnya, dengan sedikit kelebihan dan kekurangan itu, pertarungan jadi berlangsung imbang.
Tapi menginjak jurus kedua ratus, mulai ada perubahan dalam pertarungan antara Dewa Arak dan Raja Monyet Tangan Delapan. Tokoh mirip kera besar ini mulai merasa lelah. Tenaga dan kegesitannya pun berkurang. Apalagi bila diingat, Raja Monyet Tangan Delapan telah berusia cukup lanjut. Tak aneh kalau dirinya segera merasa lelah.
Hal yang dialami Raja Monyet Tangan Delapan tidak dialami Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tetap segar bugar seperti semula. Karena sebentar-sebentar sempat meminum araknya. Bahkan tadi, beberapa kali sewaktu tengah diserang Dewa Arak enak-enakan menenggak araknya. Justru karena arak itulah Dewa Arak selalu berada dalam keadaan segar. Setiap kali tenaga dan kegesitannya mengendur, menenggak araknya, kembali pulih seperti sediakala.
Perlahan-lahan Dewa Arak mulai bisa mendesak Raja Monyet Tangan Delapan. Karuan saja tokoh yang mirip kera besar ini merasa khawatir bukan kepalang. Di hatinya juga terselip rasa kagum melihat Dewa Arak masih tetap segar bugar, padahal telah bertarung sedemikian lamanya.
Raja Monyet Tangan Delapan menyadari keadaan kalau dirinya tidak akan mungkin bisa menundukkan Dewa Arak. Siasat yang berhasil merobohkan Mahendra pun segera dipergunakan untuk pemuda berambut putih keperakan yang berjuluk Dewa Arak itu.
Namun hasilnya tidak sama. Dewa Arak tidak bisa disamakan dengan Mahendra yang masih hijau. Dewa Arak seorang pendekar besar yang telah kenyang dengan pengalaman sehingga tidak mudah dikelabui.
“Hiaaat..!”
Pada jurus kedua ratus lima belas, sambil mengeluarkan teriakan menggelegar Dewa Arak menerjang Raja Monyet Tangan Delapan. Tangan kirinya dengan kedudukan jari-jari tangan terbuka ditepakkan ke dada.
Raja Monyet Tangan Delapan bertindak nekat. Dirinya sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Dikumpulkan seluruh sisa tenaganya dan dipapaknya serangan Dewa Arak dengan tindakan serupa.
Plakkk!
“Arrrggghhh...!” Raja Monyet Tangan Delapan memekik penuh kengerian. Tubuhnya melayang ke belakang bagai layang-layang putus. Anehnya, tubuh Raja Monyet Tangan Delapan melayang ke tumpukan kayu yang mengelilingi tiang tempat Mahendra terbelenggu. Dan...
“Hih!” Sebelum tubuh Raja Monyet Tangan Delapan jatuh di tumpukan kayu itu, Mahendra yang sejak tadi berjuang keras untuk membebaskan diri, berhasil. Cepat, pemuda ini melompat memapak tubuh Raja Monyet Tangan Delapan.
Tukkk!
Sebuah totokan dilancarkan Mahendra membuat tubuh Raja Monyet Tangan Delapan lemas tak berdaya. Akibatnya, tubuh datuk sesat yang menggiriskan itu jatuh berdebuk di hamparan kayu! Sedangkan Mahendra, begitu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah, langsung saja menggosok-gosokkan dua batang kayu.
Bruakkk...!
Tanpa menemui kesulitan, api pun tercipta. Kemudian tanpa buang-buang waktu dilemparkannya api itu ke hamparan kayu. Seketika api berkobar membakar tumpukan kayu. Dan tak pelak lagi tubuh Raja Monyet Tangan Delapan yang berada di sana diselimuti kobaran api! Jerit kematian pun keluar dari mulut tokoh yang mirip kera besar itu.
“Huaaakhhh..!”
“Ayah...!”
“Ketua...!”
Hampir berbarengan Winarti dan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan memekik kaget melihat kejadian yang sama sekali tidak tersangka-sangka itu. Kejadian itu begitu cepat dan tak terduga. Sehingga Dewa Arak sendiri tidak sempat berbuat sesuatu.
Karena saat itu dirinya pun baru saja mendarat di tanah. Sementara itu bagai diberi perintah, Winarti dan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan meluruk ke kobaran api. Malang, bagi Winarti. Saat itu, pedang Melati tengah meluncur deras ke punggungnya.
Jrabbb!
“Hukh!”
Pedang Melati menancap di punggung Winarti hingga tembus ke perut Seketika itu langkah gadis berpakaian jingga terhenti. Sepasang matanya membelalak lebar. Dan ketika Melati mencabut pedangnya, tubuh putri Raja Monyet Tangan Delapan itu ambruk ke tanah.
Nasib yang sama dialami oleh Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya. Mereka yang tengah melesat ke tubuh Raja Monyet Tangan Delapan, dan kalau mampu bermaksud menolongnya, disambut kayu-kayu berapi yang dilontarkan Mahendra.
Wuuukkk! Bletak.... Bletak!
“Aaakh...!”
“Aaakh...!”
Jeritan menyayat terdengar susul menyusul ketika tubuh-tubuh mereka diterjang kayu-kayu berapi. Tubuh Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya bergulingan di tanah meregang nyawa. Sementara api terus berkobar membakar tubuh-tubuh mereka yang berkelojotan.
“Ayah.... Ibu.... Kakak-kakak seperguruan semua..., lihatlah! Aku telah berhasil membalaskan dendam kalian. Tenanglah, di alam baka!” seru Mahendra sambil mendongakkan kepalanya ke langit ketika tubuh Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya tak bergerak lagi. Terlihat jelas kalau sepasang mata pemuda berpakaian biru itu berkaca-kaca. Bahkan suaranya pun tergetar. Ucapan itu dikeluarkan dengan penuh perasaan.
Dewa Arak dan Melati hanya bisa menghela napas dan memandang punggung Mahendra. Kedua pendekar muda itu sadar tak dapat berbuat apa-apa lagi. Mahendra telah menyelesaikan tugasnya.
Sementara itu api terus membesar dan membumbung tinggi. Bangunan tempat tinggal Raja Monyet Tangan Delapan sebentar lagi akan musnah. Maka, sepasang pendekar muda itu pun mengayunkan langkah meninggalkan halaman depan tempat tinggal Raja Monyet Tangan Delapan.
SELESAI
Selanjutnya,