Dewa arak - Perkawinan Berdarah
SATU
Sang surya mulai tenggelam di ufuk Barat. Sinarnya yang kuning keperakan, membias dan menerobos pohon-pohon. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit. Saat itu, tampak dua sosok tubuh tengah berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf kesempurnaan.
Yang seorang adalah pemuda berambut putih keperakan. Bajunya yang berwarna ungu, tampak berkibaran ketika dia berlari. Yang seorang lagi adalah gadis cantik berbaju putih. Rambutnya panjang terurai, semakin menambah kecantikannya. Kedua orang itu tampak menuruni Bukit Siluman."Melati...," panggil pemuda berambut putih keperakan itu, membuka pembicaraan tanpa menghentikan larinya.
"Hm...," gumam gadis yang ternyata Melati, menyambuti panggilan pemuda tampan yang ternyata memang Arya Buana atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
"Mengapa kau berada di sini? Apakah kau batal ke Istana Kerajaan Bojong Gading?" tanya Arya yang merasa tidak yakin kalau Melati telah kembali dari Istana Kerajaan Bojong Gading secepat itu.
"Hhh...!" Melati menghela napas berat. "Lima orang yang mengaku pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading ternyata penipu-penipu, Kang! Mereka bermaksud membunuhku..."
"Apa?!" sentak Arya kaget, dan langsung menghentikan lari cepatnya. Melati pun juga menghentikan larinya. Dewa Arak menatap dalam-dalam wajah kekasihnya.
"Mengapa bisa begitu, Melati?"
"Aku pun tidak tahu, Kang," sahut putri angkat Raja Bojong Gading itu sambil menggelengkan kepala. Kemudian secara singkat semua peristiwa yang dialami diceritakannya. Dewa Arak tampak mendengarkan penuh perhatian.
"Sayang..., sebelum aku sampai mengetahui dalangnya, mereka semua keburu bunuh diri," tutur Melati mengakhiri ceritanya.
"Yahhh...! Baiklah nanti kita selidiki bersama," janji Arya.
"Benar, Kang. Sekarang kita harus menyelesaikan dulu urusan yang tertunda..., mengunjungi Perguruan Pedang Ular untuk menghadiri pesta pernikahan Karmila dan Rupangki."
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"O ya, Kang. Kau belum menceritakan padaku mengapa sampai bisa tertawan tokoh-tokoh yang menggiriskan itu," pinta Melati.
Arya menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian secara singkat tapi jelas semua kejadian itu diceritakan pada kekasihnya yang mendengarkan penuh perhatian. Tapi Dewa Arak tidak menceritakan semuanya. Tentu saja pertemuan dengan gurunya di dalam mimpi tidak diceritakan, karena Arya masih belum yakin dengan kejadian yang dialaminya (Untuk jelasnya silakan baca Serial Dewa Arak, dalam episode Dalam Cengkeraman Biang Iblis).
Suasana hening menyelimuti keadaan tempat itu ketika Arya menghentikan cerita. Sedangkan Melati tidak mengajukan pertanyaan. Kini mereka melanjutkan perjalanan kembali. Seorang pun tak ada yang berbincang-bincang lagi.
"Kang...," sebut Melati memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menoleh. Dewa Arak agak heran melihat Melati menahan ucapannya, dan seolah-olah merasa ragu untuk melanjutkannya.
"Nggg...."
"Katakanlah, Melati. Ada apa? Tidak usah malu-malu," desak Arya ketika Melati tetap belum meneruskan ucapan setelah ditunggu beberapa saat lamanya.
"Nggg.... Tidak jadi ah, Kang...."
"Lho...?!" Arya tercengang. "Aneh! Katakanlah, Melati. Ada apa sebenarnya?!"
"Tidak ada apa-apa, Kang. Sungguh!" sahut Melati mencoba meyakinkan hati Dewa Arak.
"Kalau kau tidak mau memberitahukannya, aku tidak akan melanjutkan perjalanan ini," gertak Arya.
"Silakan," tantang Melati sambil tersenyum.
"Baik kalau itu maumu, Melati," sambut Arya pura-pura bersikap sungguh-sungguh. Dewa Arak tahu kalau Melati tengah menggodanya. Maka hal itu diladeninya dengan senang hati. Tidak ada sesuatu yang paling menyenangkan Arya kecuali kalau Melati menggodanya. Dan saat seperti inilah yang paling ditunggunya, karena Melati jarang sekali mau menggodanya. Usai berkata demikian, Arya menghentikan larinya kembali. Melati pun demikian pula. Dan kini mereka berdiri berjajar, dengan pandangan tertuju lurus ke depan.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena Melati kemudian sudah berbalik. Kini, tubuhnya menghadap ke kanan. Arya masih membiarkannya. Bahkan masih memasang wajah dan sikap sungguh-sungguh, seakan akan benar-benar marah pada kekasihnya. Ketika beberapa saat lamanya menunggu namun tidak ada gerakan sedikit pun di sebelahnya, Arya jadi khawatir juga. Hatinya cemas kalau Melati benar-benar marah.
Tanpa sepengetahuan Melati, tiba-tiba Dewa Arak melesat ke atas dan hinggap di atas pohon yang menaungi mereka. Karena ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi, maka sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Melati yang tidak tahu sama sekali kalau Arya sudah tidak ada di sampingnya, tiba-tiba berbalik menghadap Dewa Arak. Alangkah terkejutnya Melati, karena Dewa Arak sudah tidak ada lagi.
"Kang..,!" teriak Melati. Hati gadis itu jadi cemas, karena menyangka kalau Arya marah padanya, lalu pergi dari situ.
"Kang...!" panggil Melati lagi. Melati makin cemas. Dan ketika akan beranjak dari situ, tiba-tiba....
"Hai! Aku di sini!" Arya berseru mengejutkan Melati sambil menepuk bahu kanan gadis itu. Tentu saja tidak keras-keras. Dan seperti yang sudah diduga, Melati terjingkat kaget sambil memekik kecil.
"Ha ha ha...!" Arya tertawa terbahak-bahak karena kekagetan kekasihnya. Tawa yang keluar dari perasaan hati yang benar-benar gembira. Memang, hanya bila saat-saat seperti inilah Arya benar-benar merasa gembira. Alam yang dilihatnya selalu terasa lebih indah. Matahari, angin, langit, pohon-pohon dan apa pun yang dilihatnya selalu jauh lebih indah bila ada Melati di dekatnya.
"Kau terlalu, Kang...!" rungut Melati. Raut wajah gadis itu kelihatan marah. Tapi dari sinar di matanya, tampak jelas kalau dia tidak marah. Melati memberengut hanya ketika melihat Arya yang terus saja tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Ayo. Cepat katakan, Melati. Apa yang tadi ingin dibicarakan?" desah Arya ketika telah menghentikan tawanya.
"Tidak akan kukatakan!" dengus Melati, manja.
"Kalau kau tidak mau mengatakannya, aku akan menggelitikmu sampai mau mengatakannya," ancam Arya. "Ayo, cepat. Kuberi kau waktu sampai tiga hitungan..." Sambil berkata demikian, Dewa Arak melangkah mendekati Melati dengan tangan yang telah siap membuktikan ancamannya.
"Satu.... Dua.... Ti...."
"Baiklah," kata Melati terpaksa mengalah ketika Arya telah menghitung hampir sampai pada hitungan ketiga.
Arya tersenyum lebar ketika akhirnya berhasil juga memaksa Melati untuk mengutarakan ucapannya. Sementara itu, Melati hanya menundukkan kepalanya.
"Aku lapar, Kang...," ucap gadis berpakaian putih itu. Pelan sekali suaranya. Mungkin kalau Arya tidak memiliki pendengaran tajam, pasti tidak akan mendengarnya.
Melati mengira Arya akan tertawa geli mendengar ucapannya. Tapi, ternyata pemuda berambut putih keperakan itu malah tersentak kaget. Bahkan seruan keterkejutannya keluar dari mulutnya.
"Mengapa tidak kau katakan sejak tadi. Melati. Ah! Aku memang keterlaluan! O, ya. Katakan, apa yang kau inginkan? Ayam panggang? Kelinci? Kijang...? Katakan saja. Nanti di hutan depan kita akan kucarikan untukmu."
Melati mengangkat wajahnya. "Aku ingin gajah, Kang," goda Melati lagi.
"Hahhh?! Gajah?!" Arya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, "Kau memang harus digelitiki. Biar tidak seenaknya menggoda orang, Melati."
Tapi sambil tertawa terkikik Melati berlari meninggalkan Arya menuju hutan yang terletak tak begitu jauh lagi di depan mereka. Sementara Arya mengejar di belakangnya. Sesaat kemudian, tubuh sepasang muda-mudi ini sudah saling kejar-mengejar.
* * * * * * * *
Matahari telah cukup-lama muncul di ufuk Timur. Sinarnya sudah tidak begitu lembut !agi. Saat itu, pagar kayu yang melingkupi Perguruan Pedang Ular telah terlihat Dewa Arak dan Melati.
"Itu markas Perguruan Pedang Ular, Melati," jelas Arya sambil menudingkan jari telunjuk ke arah bangunan yang terletak belasan tombak di hadapan mereka. Melati hanya menganggukkan kepala.
"Sepertinya sudah ada keramaian di sana, Kang?" tanya Melati pelan. Sepasang mata gadis itu menatap ke arah pintu gerbang Perguruan Pedang Ular yang terbuka lebar dan diperindah berbagai macam hiasan yang beraneka warna.
"Yahhh...!" sambut Arya setengah mendesah. Memang, Dewa Arak juga telah melihat adanya keramaian di sana. Bahkan sayup-sayup telinganya mendengar suara riuh rendah yang berasal dari bangunan perguruan.
"Alangkah bahagianya Rupangki dan Karmila...," desah Melati pelan. Sepasang matanya yang indah tampak menerawang ke atas, sekan-akan ada sesuatu yang tengah dicarinya di sana.
Arya menoleh. Sepertinya ada perasaan iri yang menyeruak di dalam ucapan gadis berpakaian putih itu. "Bukan hanya kau saja yang merasa iri pada mereka, Melati. Tapi juga aku. Tapi, yahhh...! Apa mau dikata? Inilah kenyataan yang harus dihadapi. Tapi, percayalah. Saat untuk kita pasti akan datang."
Suasana menjadi hening sejenak begitu Dewa Arak menghentikan ucapan. Apalagi, Melati juga tidak menyahutinya lagi. Kini mereka meneruskan langkah tanpa berkata-kata lagi. Ketika jarak antara Arya dan Melati telah mencapai sembilan tombak dari pintu Perguruan Pedang Ular, dua orang penjaga pintu gerbang rupanya telah mengenalinya. Salah seorang dari mereka tampak bergegas masuk ke dalam. Sedangkan yang seorang lagi bergegas menyambut kedatangan Dewa Arak dan Melati.
"Dewa Arak...!" sebut penjaga pintu gerbang yang bertubuh pendek kekar, ketika telah berhadapan dengan Arya. "Sungguh tidak disangka kau akan sempat hadir...!"
Arya hanya tersenyum lebar. "Rupangki dan Karmila adalah kawan-kawan baik ku. Mana mungkin kalau aku tidak hadir dalam perayaan ini?" sahut Arya seraya menyunggingkan senyum. "Lagi pula, Ki Gambala sendiri telah mengundangku. Dan ini merupakan sebuah kehormatan besar."
Murid Perguruan Pedang Ular yang bertubuh kekar itu mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban Dewa Arak. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Melati.
"Siapakah dia Dewa Arak?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu tanpa menolehkan kepala ke arah Arya, dan tetap tertuju pada wajah Melati. Ada kekaguman besar pada sepasang matanya.
Melati langsung menundukkan kepala karena merasa risih dipandangi seperti itu. Meskipun di dalam hatinya, dia merasa bangga melihat orang mengagumi kecantikannya.
"Tunanganku...," jawab Arya jujur. Ada nada kebanggaan dalam suara Dewa Arak. Dan memang, pemuda berambut putih keperakan itu merasa bangga memiliki calon istri secantik Melati.
"Ah!" seru murid Perguruan Pedang Ular kaget seraya buru-buru memalingkan pandangannya. Tampak wajahnya merah begitu menyadari ketidak-pantasan tindakkannya barusan.
"Arya...!" Sebuah panggilan keras membuat mereka menolehkan kepala ke arah asal suara. Tampak di pintu gerbang empat sosok tubuh yang bergerak keluar.
Arya, Melati, dan murid perguruan Pedang Ular itu bergegas menghampiri. Baik Melati maupun Arya kenal betul dengan tiga dari empat orang itu. Mereka adalah Ki Gambala, Rupangki dan Karmila. Sementara satu seorang lagi adalah murid Perguruan Pedang Ular yang tadi menjaga pintu gerbang. Rupanya, dia masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan Dewi Arak pada Ki Gambala.
"Sungguh tidak pantas kelakuanmu, Samba," tegur Ki Gambala pada laki-laki bertubuh pendek kekar. "Ada tamu terhormat datang, bukannya diajak masuk malah diajak berpanas-panasan di luar."
Laki-laki pendek kekar yang ternyata bernama Samba hanya menundukkan kepala.
"Di antara sahabat, tak perlu banyak peradatan Ki," sahut Arya dengan wajah sungguh-sungguh.
"Ucapkan terima kasih pada Dewa Arak, Samba," perintah Ki Gambala. "Karena, keinginanku untuk menghukummu jadi kubatalkan."
"Terima kasih atas pembelaanmu, Dewa Arak,' ucap Samba buru-buru.
"Ha ha ha...! Kau ini memang luar biasa, Ki," puji Arya. "Meskipun sudah tua, tapi masih mempunyai jiwa yang penuh semangat dan senang bercanda."
"Ha ha ha...!" Tawa Ki Gambala pun meledak mendengar kelakar Arya.
"Bagaimana kalau kita berbincang-bincang di dalam saja, Arya," selak Rupangki. "Tidak enak rasanya berbincang-bincang di luar. Apalagi, dalam suasana yang cukup panas begini...."
Ki Gambala melengak, dan wajahnya memerah. Ucapan Rupangki menyadarkannya kalau mereka semua masih berada di luar. "Kau benar Rupangki." kata ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Mari Arya. Kita berbincang-bincang di dalam."
Arya menganggukkan kepala, kemudian melangkah mengikuti Ki Gambala yang berjalan lebih dulu, bersama Rupangki. Sementara Melati yang sejak tadi tidak kebagian berbicara, berjalan bersama Karmila yang juga belum mendapat kesempatan berbincang-bincang. Di belakang mereka, berjalan Samba bersama penjaga pintu gerbang satu lagi. Samba berjalan sambil tersenyum ketika teringat Ki Gambala pun melakukan kesalahan yang sama dengan dirinya.
"Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa menghadiri pesta pernikahan ini, Dewa Arak," kata Ki Gambala ketika mereka semua telah duduk di dalam sebuah ruangan tengah yang luas. "Padahal, semula hatiku tidak yakin kalau kau akan hadir."
"Bukankah aku telah berjanji, Ki," sahut Arya kalem. "Pantang bagiku untuk menjilat ludah yang keluar dari mulutku."
Rupangki dan Ki Gambala mengangguk.
"Aku yakin, kau tidak akan mengingkari janjimu, Arya," kata Ketua Perguruan Pedang Ular. "Hanya saja, aku tidak yakin kalau kau bisa hadir disini. Apalagi, kau datang lebih cepat sehari dari pesta yang akan kami adakan. Ini benar-benar sebuah kejutan yang amat besar. Terus terang, kami merasa terharu sekali. Entah bagaimana aku harus membalas budimu yang telah begitu banyak pada kami."
Rupangki dan Karmila mengangguk-anggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan Ketua Perguruan Pedang Ular itu. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Jamur Sisik Naga dan Memburu Putri Datuk).
"Lupakanlah, Ki. Bukankah hal wajar kalau saling tolong-menolong, selama kita yakin kalau tindakan itu benar. Lagi pula, kukira Kang Arya tidak memikirkan pembalasan atas kebaikan yang dilakukannya. Bukan begitu, Kang?"
Melati kini angkat bicara. "Apa yang dikatakan tunanganku ini memang benar, Ki. Aku sama sekali tidak menganggap pertolongan yang kulakukan itu sebagai hutang budi. Karena aku yakin kau pun akan melakukan hal yang sama bila berada di pihakku."
"Hhh...! Semua yang kau katakan itu benar, Arya," sambut Rupangki. "Aku juga tahu, kau melakukan semua itu tanpa pamrih. Tapi sebagai seorang manusia yang punya perasaan, kami pun ingin sesekali ganti melakukan sebuah tindakan yang..., anggaplah sebagai tanda terima kasih."
Ki Gambala menganggukkan kepala.
"Benar, Arya," celetuk Karmila. "Kami harap, kau pun bisa cepat-cepat menyusul kami."
Sambil berkata demikian, gadis cantik berpakaian merah yang pernah mencintai Arya ini mengerling ke arah Melati. Memang, Karmila telah mengetahui kalau Melati adalah tunangan Dewa Arak. Dan itu didengarnya sendiri dari mulut Dewa Arak. Wajah Arya langsung memerah. Lebih-lebih lagi Melati Gadis berpakaian putih itu kini malah menundukkan kepalanya.
"O ya, Arya. Aku sempat mendengar berita kalau kau ditahan Dedemit Api dan Dedemit Salju. Apakah semua berita itu benar? Bahkan kudengar pula, banyak tokoh persilatan aliran putih yang tewas di tangan sepasang biang iblis itu ketika hendak menyelamatkanmu," Ki Gambala buru-buru mengalihkan persoalan untuk tidak semakin membuat Arya dan Melati terjerat dalam perasaan malu.
"Semua berita itu benar, Ki," jawab Arya, mendesak "Aku menyesal sekali, Ki. Banyak tokoh persilatan yang tewas dalam usaha untuk membebaskanku dari tawanan mereka...."
"Hal itu tidak usah kau pikirkan, Arya," hibur Ki Gambala sambil menepuk-nepuk bahu Arya. "Kau tahu, semua tokoh aliran putih rela mati demi kau. Karena, kau telah banyak melenyapkan tindak ketidakadilan di dunia ini. Kau masih muda. Perjalanan hidupmu masih panjang oleh karena itu, semua tokoh aliran putih berusaha mati-matian membelamu. Mereka yakin kalau kau berhasil dibebaskan, biang-biang iblis itu pasti dapat kau tumpas."
Arya terdiam. Disadari adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam penjelasan yang diuraikan secara panjang lebar oleh Ketua Perguruan Pedang Ular itu. "Aku khawatir, tidak akan bisa memenuhi harapan mereka, Ki...," kata Dewa Arak setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Hm.... Apa maksudmu, Arya...?"
"Iblis-iblis itu terlalu sakti. Keberhasilanku meloloskan diri dari mereka pun terjadi karena nasibku yang baik saja."
Kemudian, Arya menceritakan semua kejadiannya. Dari pertarungannya melawan Raja Racun Muka Putih, sampai dia berhasil menewaskan Dedemit Api. Tentu saja tidak diceritakan perihal belalang raksasa yang masuk ke tubuhnya. Ki Gambala mengangguk-anggukkan kepala ketika Arya telah menyelesaikan ceritanya.
"Sepertinya, kau akan mengadakan pesta besar besaran, Ki," tebak Arya. "Tadi kulihat beberapa orang murid Perguruan Pedang Ular tengah membenahi panggung yang hampir selesai."
"Memang aku bermaksud begitu, Arya. Aku ingin pesta pernikahan Rupangki dan Karmila berlangsung besar-besaran. Banyak tokoh persilatan yang kuundang. Bahkan aku juga membuat panggung untuk tempat pertandingan silat," jawab Ki Gambala penuh semangat, seraya mengerling ke arah Rupangki dai Karmila. Sepasang calon pengantin itu langsung menundukkan kepala mendengar Ketua Perguruan Pedang Ular itu membicarakan diri mereka.
Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dia sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa, meskipun ada kekhawatiran yang berkecamuk di hatinya. Tindakan Ki Gambala yang mengundang banyak tokoh persilatan memang tidak bisa disalahkan. Tapi khawatir kalau hal itu akan timbul keributan. Dia tahu ayah Karmila banyak mempunyai musuh. Baik dari kalangan hitam, maupun putih. Bukan tidak mungkin, kalau ketidak puasan yang mereka bawa dari rumah, akan meledak apabila terjadi pertemuan antara tokoh-tokoh yang tidak puas. Dan puncaknya, akan terjadi keributan!
"O ya, Arya. Mungkin kau dan Melati masih lelah. Mari kuantarkan ke tempat istirahat kalian," ajak Ki Gambala sambil bangkit berdiri.
Diiring oleh Karmila dan Rupangki, Arya dan Melati melangkah mengikuti Ki Gambala untuk menuju tempat peristirahatan.
* * * * * * * *
DUA
Hari masih pagi. Matahari baru saja muncul di ufuk Timur, bagai bola api raksasa berwarna merah jelaga. Saat ini di Perguruan Pedang Ular kesibukan telah berlangsung. Murid-murid perguruan itu tidak ada yang berpangku tangan. Sejak kemarin, semuanya sibuk bekerja keras menyelesaikan hiasan warna-warni yang belum di pasang.
Sementara yang lain juga masih sibuk membenahi panggung untuk tempat pertandingan persahabatan. Hingga akhirnya ketika matahari telah mulai bergerak naik, semua kesibukan itu selesai, tepat seperti yang telah diperhitungkan Ki Gambala.
Kini, tamu-tamu mulai berdatangan. Dan oleh murid-murid Perguruan Pedang Ular, mereka dipersilakan menempati tempat yang telah disediakan. Dan untuk tokohtokoh utama, diberikan tempat di bangku kehormatan.
Semakin siang, tamu-tamu semakin banyak berdatangan. Maka suasana di halaman depan Perguruan Pedang Ular pun semakin ramai. Apalagi, di antara yang hadir ada tamu-tamu yang tidak diundang. Dan rupanya, mereka sebagian besar berasal dari tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Untung saja, kedatangan mereka diterima dengan tangan terbuka dan senyum terhias di bibir oleh murid-murid Perguruan Pedang Ular.
Setelah tidak ada lagi tamu-tamu yang datang, Jirin murid kepala Perguruan Pedang Ular menoleh ke arah Ki Gambala, seraya mengerling sejenak ke arah Karmila. Memang, diam-diam Jirin menaruh hati juga pada Karmila yang montok menggiurkan. Apalagi pada saat ini, Karmila mengenakan pakaian pengantinnya sehingga gadis itu jadi tampak semakin cantik jelita.
Ketika Ki Gambala menganggukkan kepala, Jirin menekuk kedua lututnya. Kemudian kakinya menotol tanah sehingga tubuhnya melayang ke atas. Indah dan manis gerakannya. Bahkan ketika mendarat di lantai panggung, sedikit pun tidak ada suara yang terdengar. Dan tak lama setelah kakinya mendarat, Laki-laki bertubuh kekar berotot itu membungkukkan tubuhnya ke empat arah.
"Maaf. Bukannya bermaksud menyombongkan kepandaianku yang tidak ada artinya ini. Tapi, hanya inilah yang bisa, kami berikan sebagai hiburan." Usai berkata demikian, Jirin menggerakkan tangannya ke punggung. Dan....
Srattt...! Sinar terang berkeredep ketika pedang murid kepala Perguruan Pedang Ular ini lolos dari sarungnya.
"Hiaaat...!" Diawali teriakan keras yang mampu membuat sebagian tokoh-tokoh persilatan mendekap telinga, Jirin mulai memperagakan ilmu pedangnya. Tidak percuma Jirin menjadi murid kepala Perguruan Pedang Ular. Kepandaian yang dimilikinya memang cukup tinggi. Tubuh maupun pedangnya seperti menjadi lenyap bentuknya. Yang tampak hanyalah seleret bayangan kuning yang berkelebatan cepat disertai suara mendesing dari setiap gerakannya.
Melihat hal ini para tokoh persilatan yang menyaksikannya diam-diam memuji dalam hati kehebatan ilmu pedang Perguruan Pedang Ular. Setelah sepuluh jurus, Jirin menghentikan gerakannya. Napas dan wajahnya terlihat biasa saja. Tidak tampak adanya tanda-tanda kalau dia habis mengerahkan seluruh kemampuan dalam permainan pedangnya barusan. Hanya sedikit peluh yang membasahi dahinya.
Trek! Murid kepala Perguruan Pedang Ular itu memasukkan kembali pedang ke dalam warangkanya. Kemudian tubuhnya membungkuk kembali ke empat arah, lalu bersiap turun dari panggung. Tapi mendadak....
"Tunggu sebentar, Manusia sombong...!" Bentakan keras menggelegar pertanda dialiri tenaga dalam cukup tinggi, sehingga membuat Jirin mengurungkan maksudnya. Tubuhnya segera berbalik ke arah asal suara itu.
Tampak sesosok bayangan hitam berkelebat dari kumpulan para tamu. Bayangan itu berjumpalitan beberapa kali di udara, kemudian mendarat ringan di lantai panggung. Jirin hanya memperhatikan sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Ternyata, sosok itu adalah laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya kekar, dan berkulit hitam. Sebaris kumis tebal dan melintang tampak menghias wajahnya. Tubuhnya terbungkus sehelai rompi yang berwarna hitam.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Jirin tenang. Nada suara maupun raut wajahnya tidak menyiratkan kalau ucapan laki-laki berompi hitam itu berpengaruh terhadapnya.
"Aku tidak sudi memperkenalkan diri pada orang yang akan menjalin hubungan dengan keturunan makhluk terkutuk Kalapati!" tegas laki-laki berompi hitam.
Karmila yang duduk bersebelahan dengan Rupangki di kursi indah berukir penuh dihiasi warna-warni, dan diapit Dewa Arak dan Ki Gambala, menjadi terlonjak. Selebar wajahnya tampak merah padam karena gejolak marah yang membakar dada mendengar makian laki-laki berompi hitam terhadap ayahnya.
Rupangki tahu perasaan yang melanda calon istrinya. Maka tangannya buru-buru diulurkan, lalu digenggamnya tangan Karmila erat-erat. Dan ketika gadis berpakaian merah itu menolehkan kepala, Rupangki memberikan senyum manis.
"Jangan turuti hawa amarahmu, Karmila," bisik Rupangki. "Sekarang adalah hari bersejarah dan hari bahagia bagi kita. Aku tidak ingin hari ini dikotori kemarahan. Biarkan yang lain mengurusnya."
Amarah Karmila mereda mendengar ucapan Rupangki. Disadari adanya kebenaran dalam ucapannya itu. "Kau benar, Rupangki," sahut Karmila tak kalah pelan seraya balas menggenggam Jemari laki-laki tinggi kurus itu.
Senyum di mulut Rupangki semakin lebar ketika hati Karmila tampak mulai tenang. Kini dengan perasaan tenang, pandangannya dilayangkan kembali arah panggung, ketika Karmila juga telah mengarahkan pandangan matanya ke sana. Di atas panggung, suasana telah mulai memanas. Jirin rupanya tersinggung mendengar hinaan yang keluar dari mulut laki-laki berompi hitam itu.
"Cabut kembali omonganmu itu, Kisanak. Atau terpaksa tubuhmu kulempar ke bawah panggung!" seru Jirin keras.
"Ha ha ha...! Luar biasa! Baru hendak menjalin hubungan dengan keturunan Kalapati terkutuk saja sudah langsung berubah menjadi galak begini! Hebat. Begitu pesat kemajuan yang kau peroleh dari Perguruan Pedang Ular!" ejek laki-laki berompi hitam.
"Mulutmu kotor sekali, Kisanak! Aku ingin tahu apakah kepalanmu pun sehebat mulutmu?!" seru Jirin bernada tantangan.
"Boleh kau coba, antek Kalapati!" sahut laki-laki berompi hitam tak mau kalah.
"Aku tidak mau dianggap sebagai tuan rumah yang kurang ajar. Maka, kau kuberi kehormatan untuk menyerang lebih dulu, Kisanak. Kau boleh pilih, bertarung tangan kosong atau menggunakan senjata."
"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu...! Kau masih mencoba bersikap gagah juga, Penjilat Pantat Kalapati?! Tapi, akan kuladeni kemauanmu! Hiaaat...!" Laki-laki berompi hitam melompat ke depan. Dan selagi berada di udara, kakinya dikibaskan seraya membalikkan tubuh.
Wuuut…! Angin menderu cukup keras ketika tendangan lakilaki berompi hitam itu menyambar ke arah kepala Jirin. Jirin tidak berani bersikap sembrono. Kekuatan tenaga dalam lawan belum diketahuinya. Apalagi, keistimewaan ilmunya. Maka dia tidak berani bertindak lancang untuk menangkis. Jirin melompat ke belakang, sehingga serangan itu menyambar lewat beberapa langkah di depannya. Begitu kedua kaki Jirin hinggap di lantai panggung, laki-laki berompi hitam pun mendaratkan kakinya pula.
Rupanya laki-laki berompi hitam sangat bernafsu untuk merobohkan Jirin. Maka langsung dikirimkannya tendangan miring dengan kaki kanannya. Untuk itu, kaki kirinya harus melompat agar tendangannya mencapai sasaran.
Kali ini, Jirin tidak bisa mundur lagi karena telah berada di sudut panggung. Apabila dipaksakan mundur, pasti akan jatuh ke bawah panggung. Tentu saja Jirin tidak mau hal itu terjadi. Memang, sudah merupakan sebuah perjanjian tidak tertulis, seorang tokoh persilatan akan dianggap kalah bila kakinya mendarat di bawah panggung.
Jirin benar-benar dalam keadaan sulit. Mengelak ke kanan atau ke kiri sama sekali tidak mungkin dapat dilakukan. Menangkis pun merupakan hal yang harus dihindari. Karena benturan akibat tangkisan, kemungkinan besar akan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan murid kepala Perguruan Pedang Ular itu adalah melompat ke atas.
"Hih...!" Sambil menggertakkan gigi, Jirin melompati kepala lawannya sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya. Kemudian, kedua tangannya disampokkan cepat ke arah belakang kepala, tapi berhasil dipunahkan oleh laki-laki berompi hitam, dengan menundukkan kepala.
"Hup...!"
Tepat pada saat kedua kaki Jirin mendarat di lantai panggung, laki-laki berompi hitam itu telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Sesaat satu sama lain bertatapan dalam jarak sekitar satu setengah tombak. Kemudian, saling gebrak kembali dan langsung terlibat dalam pertarung sengit. Baik Jirin maupun laki-laki berompi hitam itu ternyata sama-sama memiliki tingkat kepandaian seimbang. Sehingga, bukan hal yang aneh kalau keduanya terlibat dalam pertarungan sengit.
Tiga puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak. Beberapa kali terjadi benturan, baik tangan atau pun kaki yang mengakibatkan tubuh satu sama lain sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi hal itu hanya berlangsung sesaat, karena baik Jirin maupun laki-laki berompi hitam itu langsung bisa mematahkannya dan kembali melompat menerjang. Tampak jelas kalau mereka sama sama bernafsu untuk mengalahkan lawan secepatnya. Kembali sepuluh jurus, berlalu. Tapi, keadaan sama sekali tidak berubah. Pertarungan memang kelihatan alot.
Sadar kalau diteruskan keadaan sama sekali tidak berubah, kedua belah pihak pun menggunakan senjata masing-masing. Laki-laki berompi hitam itu mengeluarkan sebuah ruyung berbatang dua yang dihubungkan sebuah rantai baja. Sedangkan Jirin mencabut pedangnya.
Dengan adanya senjata di tangan, pertarungan yang berlangsung pun jadi semakin sengit. Suara mendesing nyaring dari setiap gerakan pedang Jirin, dan suara mengaung kelebatan ruyung laki-laki berompi hitam, terdengar menyemaraki pertarungan.
Hebat dan menggiriskan sekali permainan ruyung laki-laki berompi hitam. Tapi, masih lebih hebat lagi gerakan pedang Jirin. Batang pedangnya yang lemas, membuat serangan murid utama Perguruan Pedang Ular itu sulit diduga.
Terkadang pedang itu meliuk-liuk seperti seekor ular, tapi tak jarang bergetar seperti berjumlah puluhan batang banyaknya. Memang, setelah pertarungan senjata telah berlangsung lebih dari dua puluh jurus, perlahan-lahan mulai bisa mendesak lawan.
Gulungan sinar pedangnya semakin melebar, sedangkan gulungan sinar ruyung laki-laki berompi hitam semakin menyempit. Jelas, mutu ilmu pedang milik Perguruan Pedang Ular lebih unggul daripada ilmu ruyung milik laki-laki berompi hitam.
Semakin lama, keadaan laki-laki berompi hitam semakin gawat. Bahkan serangan-serangannya semakin berkurang, sehingga lebih banyak menangkis dan mengelak. Sebaliknya, serangan Jirin semakin bertubi-tubi datang ke arahnya.
"Akh...!" Laki-laki berompi hitam memekik tertahan ketika pedang Jirin menyerempet pangkal lengannya hingga sobek. Darah segar seketika mengucur dari bagian yang terluka. Dan di saat tubuhnya tengah terhuyung-huyung, kaki Jirin melesat cepat ke arah perut. Maka....
Bukkk!
"Hugh...!"
"Akh...!" Laki-laki berompi hitam memekik tertahan ketika pedang Jirin menyerempet pangkal lengannya hingga sobek. Darah segar seketika mengucur! Dan di saat tubuhnya tengah terhuyung-huyung kaki Jirin sudah melesat cepat ke arah perut! Keras dan telak bukan kepalang tendangan Jirin. Akibatnya tubuh laki-laki berompi hitam itu terjengkang deras ke belakang dan jatuh di bawah panggung.
Suara tepuk tangan riuh dari murid-murid Perguruan Pedang Ular dan tokoh-tokoh persilatan yang mendukung perguruan itu segera menyambut kemenangan Jirin. Namun baru saja Jirin menghela napas lega, sesosok bayangan kembali berkelebat dan mendarat dengan ringan di lantai panggung. Berbeda dengan laki-laki berompi hitam tadi, sosok bayangan ini melesat dari deretan bangku yang ditempati tamu-tamu kehormatan. Dari sini saja sudah bisa dibuktikan, sosok bayangan ini jelas memiliki kepandaian tinggi.
"Luar biasa perubahan di Perguruan Pedang Ular...," kata sosok bayangan yang ternyata seorang laki-laki gagah. Tubuhnya tegap, terbungkus pakaian putih. "Tak aneh kalau kini menjalin hubungan dengan keturunan tokoh sesat yang menjijikkan."
Jirin bersikap waspada. Pertunjukan ilmu meringankan tubuh laki-laki berpakaian putih yang dengan sebatang golok terselip di pinggang cukup mengejutkan hatinya. Dia tahu, lawan kali ini tidak bisa disamakan dengan laki-laki berompi hitam tadi. Hanya sayangnya, Jirin tidak mengenal tokoh yang berdiri hadapannya ini.
Namun sebagian besar tokoh persilatan yang hadir, mengenal betul laki-laki berpakaian putih itu. Demikian pula Ki Gambala dan si Golok Emas, Ketua Perguruan Golok Maut yang duduk di deretan tamu kehormatan.
"Golok Malaikat..." desis Ki Gambala dan si Golok Emas berbarengan.
Mereka berdua tentu saja mengenal si Golok Malaikat. Dia adalah seorang tokoh aliran putih yang tidak pernah mempunyai tempat tinggal tetap. Tokoh ini selalu malang melintang dalam kancah persilatan untuk memerangi kejahatan. Puluhan tahun lalu, sepak terjang Golok Malaikat sangat menggegerkan, dan jadi pembicaraan di mana-mana. Tapi kemudian, lenyap tak kedengaran lagi beritanya.
"Turun, Jirin...!" seru Ki Gambala. Laki-laki tua itu tahu kalau muridnya bukan tandingan Golok Malaikat yang memiliki kepandaian tinggi. Maka, tanpa menunggu perintah dua kali, Jirin segera membalikkan tubuh dan turun panggung.
Ki Gambala segera bangkit dari duduknya untuk melompat ke panggung. Tapi, niatnya tertahan ketika ada yang memegang pergelangan tangannya.
"Biar aku yang mewakilimu, Gambala," kata si Golok Emas, orang yang menyentuh tangannya. Ki Gambala terdiam sejenak. "Saat ini, kau tidak pantas turun tangan sendiri, Gambala," kata Ketua Perguruan Golok Maut itu lagi.
"Tugasmu adalah mendampingi pengantin laki-laki. Lagi pula..., aku ingin sekali menjajal kelihaiannya. Dulu, dia dan kakak seperguruanku bertarung untuk membuktikan siapa yang lebih pantas menyandung julukan Raja Golok."
"Hm.... Lalu...?" tanya Ki Gambala mulai tertarik.
"Kepandaian keduanya ternyata berimbang, tidak ada yang kalah dan menang. Jadi, tidak ada di antara mereka yang berhak memakai julukan Raja Golok. Kakak seperguruanku tetap berjuluk si Golok Emas, yang kini julukannya telah beralih padaku. Sedangkan Golok Malaikat tetap pada julukannya."
"Jadi, sekarang kau ingin mencoba mengulangi maksud kakak seperguruanmu yang gagal itu?" tanya Ki Gambala lagi.
Golok Emas menganggukkan kepala. "Kukira Golok Malaikat pun mempunyai maksud yang sama," kata Ketua Perguruan Golok Maut memberi alasan.
Ki Gambala mengerutkan alis. "Kau sudah memperhitungkan masak-masak tindakanmu ini, Golok Emas?"
"Apa maksudmu, Gambala?" Golok Emas menatap wajah Ketua Perguruan Pedang Ular dengan alis berkerut.
"Kalau dulu Golok Malaikat sudah setingkat dengan kakak seperguruanmu, bisa kubayangkan tingkat yang dimilikinya sekarang. Sedangkan kau, belum lama mencapai tingkat kakak seperguruanmu," jelas Gambala mengutarakan kekhawatiran hatinya.
"Kau tidak usah khawatir, Gambala," sergah Golok Emas sambil mengulapkan tangan. "Dalam sebuah pertarungan, kalau tidak menang, ya kalah. Dan itu biasa, tapi perlu diingat. Aku telah mengalahkan kakak serperguruanku dalam pertarungan memperebutkan golok emas. Jadi berarti, tingkat kepandaian yang kumiliki berada di atas kakak seperguruanku."
Kali ini Gambala tidak membantah lagi. Disadari kalau niat Golok Emas tidak mungkin bisa dicegah lagi. Semangat bertarung kakek beralis putih itu telah demikian besar. Akan sia-sia saja menahannya.
* * * * * * * *
TIGA
Hanya sekali genjot saja, kedua kaki Golok Emas telah mendarat di lantai panggung, sekitar satu tombak di hadapan Golok Malaikat.
"Ha ha ha...!" Golok Malaikat tertawa bergelak, begitu melihat seseorang telah berdiri di hadapannya. Sepasang matanya yang berkilat tajam dan menyiratkan tenaga dalamnya yang kuat, meneliti sekujur tubuh Ketua Perguruan Golok Maut. Sementara, orang yang ditatap bersikap tenang saja.
"Tidak salahkan penglihatanku?! Kau..., Golok Emas...! Lalu..., ke mana Golok Emas yang dulu?! Apakah dia telah kau singkirkan karena tidak mau berhubungan dengan Kalapati?!" ejek Golok Malaikat.
Golok Malaikat memang merasa dendam pada Kalapati karena dulu pernah dikalahkan datuk sesat itu. Dapat dibayangkan, betapa kecewa hatinya ketika terdengar kabar Kalapati telah tewas. Padahal, kekalahannya belum sempat terbalaskan.
"Tidak usah berbasa-basi, Golok Malaikat!" sentak Golok Emas. "Aku tahu, kau masih merasa penasaran dengan kakak seperguruanku."
"Hm... Jadi...? Kau yang ingin melanjutkan pertarungan yang belum ketahuan pemenangnya itu?" Ha ha ha… Kuperingatkan, lebih baik urungkan niatmu kalau tidak ingin mendapat malu!"
Golok Emas menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau tidak merasakan sendiri, aku tidak akan percaya, Golok Malaikat! Padahal ucapan-ucapan seperti itu hanya pantas keluar dari mulut gerombolan penjahat kecil yang hina!"
"Tutup mulutmu. Golok Emas!" bentak Golok Malaikat keras. "Aku tidak sudi bermanis-manis kata dengan orang yang menjadi sahabat baik iblis terkutut Kalapati!"
"Aku tidak mengajakmu bertarung silat lidah, Golok Malaikat! Aku mengajakmu melanjutkan pertarungan belasan tahun lalu yang belum selesai!"
"Pucuk dicinta ulam tiba! Aku pun memang ingin membuktikan, siapa di antara kita yang patut mendapat julukan Raja Golok!" sambut Golok Malaikat keras. Suasana kontan hening ketika Golok Malaikat menghentikan ucapannya. Kini, kedua belah pihak sama-sama berdiam diri dengan pandangan tertuju ke arah satu sama lain.
"Jaga seranganku, Golok Emas...!"
Belum lenyap gema suaranya. Golok Malaikat telah melancarkan serangan pukulan yang bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hari Golok Emas. Berbahaya, bukan kepalang serangannya. Di samping begitu cepat, serangan itu juga mengandung pengerahan tenaga dalam kuat. Sehingga, seketika timbul deru angin berkesiutan.
Tapi Golok Emas memang bukan tokoh sembarangan. Dia adalah Ketua Perguruan Golok Maut, sebuah perguruan besar beraliran putih yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Maka menghadapi serangan itu, Golok Emas tidak menjadi gugup. Buru-buru kaki kirinya melangkah ke kiri seraya mendoyongkan tubuh, sehingga serangan-serangan itu lewat beberapa jari di samping kanan tubuhnya. Tidak hanya itu saja yang dilakukan Golok Emas. Pada saat yang bersamaan dengan lolosnya serangan Golok Malaikat, tangan kanannya disampokkan ke arah pelipis lawan.
Wuttt...!
Serangan Golok Emas meluncur di atas kepala, ketika tubuh Golok Malaikat menunduk. Kuat sekali tenaga dalam yang dikeluarkan, sehingga menimbulkan suara angin menderu tajam. Dan begitu sampokannya berhasil dielakkan Golok Malaikat, Ketua Perguruan Golok Maut segera menjauhkan diri. Dan ternyata, Golok Malaikat juga melompat menjauh. Maka kembali kedua belah pihak berada dalam jarak berjauhan.
Tapi hal itu hanya berlangsung sebentar, karena beberapa saat kemudian mereka sudah saling gebrak kembali. Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara dua orang tokoh tingkat tinggi pun berlangsung. Pertarungan antara Golok Emas dan Golok Malaikat tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan pertarungan Jirin melawan laki-laki berompi hitam! Pertarungan kali ini adalah antara dua orang tokoh yang sama-sama memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Bahkan hanya sebagian kecil saja tokoh persilatan yang mengetahui jalannya pertarungan. Hal itu karena saking cepatnya gerakan kedua orang yang saling bertarung itu. Memang, gerakan Golok Emas dan Golok Malaikat cepat bukan kepalang. Sehingga, yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan kuning dan hitam putih. Terkadang saling belit, dan tak jarang saling pisah.
Dalam waktu sebentar saja, lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, tidak nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Tampaknya pertarungan masih berlangsung seimbang. Bosan dengan pertarungan tangan kosong, kedua belah pihak mencabut senjata maing-masing. Golok Emas mencabut senjatanya yang berupa golok besi berbatang emas. Sedangkan Golok Malaikat dengan goloknya yang bergerigi pada salah satu matanya.
Kini dengan senjata andalan di tangan, kedua belah pihak mulai saling menerjang kembali. Dan memang, sebenarnya inti pertarungan mereka adalah menggunakan senjata. Karena, kedua belah pihak ingin meraih gelar sebagai Raja Golok!
"Lenyapkan keturunan Iblis Kalapati...!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dari kumpulan tokoh-tokoh persilatan.
Suara itu ternyata berasal dari mulut seorang laki-laki berwajah tirus. Kumisnya panjang dan jarang-jarang, mirip kumis tikus. Pakaian dari kulit ular berwarna kuning bercak-bercak coktat, membungkus tubuhnya yang tinggi kurus. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebatang suling yang berbentuk kepala ular kobra.
"Benar! Basmi habis keturunan Kalapati!" sambut seorang laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek berwarna putih.
"Gilas semua orang yang akan menghalangi niat suci kita!" kembali laki-laki berwajah tirus yang berjuluk Raja Ular Gunung Pare membuka suara sambil mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang memegang suling.
"Betul...!"
Kali ini tidak hanya satu orang saja yang menyahuti ucapan Raja Ular Gunung Pare.
"Tampaknya, pertumpahan darah tidak bisa dielakkan lagi, Ki," kata Arya pada Ki Gambala. Sekujur urat syarat dan otot tubuh Dewa Arak telah menegang waspada.
"Kau benar, Dewa Arak! Raja Ular Gunung Pare memang cerdik. Padahal, aku yakin dia tidak punya urusan dengan Kalapati. Tapi, denganku. Hanya saja dia tidak berani menantangku sendirian. Maka digunakannya alasan membasmi keturunan Kalapati untuk mencari dukungan yang banyak dari berbagai kalangan tokoh persilatan."
"Kalapati memang banyak menanam persoalan," sambut Gambala setengah berdesah.
Dewa Arak mengeryitkan keningnya. Julukan Raja Ular Gunung Pare memang telah lama terdengar sebagai pentolan kalangan hitam yang telah banyak merobohkan tokoh golongan putih. Telah belasan tahun tokoh sesat ini merajalela di daerah Timur, hingga ditakuti lawan dan disegani kawan. Tapi Arya terpaksa menghentikan lamunannya karena Raja Ular Gunung Pare telah meluruk ke tempat mereka berada.
Bukan hanya Raja Ular Gunung Pare yang menyerbu, tapi juga tokoh-tokoh persilatan berbagai aliran. Hanya saja masing-masing berbeda kepentingannya. Kalau tokoh-tokoh aliran putih memang bermaksud membunuh keturunan Kalapati, dan sedapat mungkin tidak berurusan dengan Perguruan Pedang Ular.
Namun tidak demikian halnya tokoh-tokoh aliran hitam. Di samping untuk melenyapkan keturunan Kalapati, maksud yang lebih penting adalah menghancurkan Perguruan Pedang Ular. Apalagi perguruan besar aliran putih itu selama ini cukup banyak menghambat tindakan mereka.
Tentu saja murid-murid Perguruan Pedang Ular tidak sudi membiarkan perguruan mereka hancur. Dipimpin Jirin, maka serbuan itu pun disambut. Maka dalam waktu sebentar saja, beberapa orang murid-murid Perguruan Pedang Ular roboh di tanah. Mereka tewas dalam keadaan bersimbah darah.
Memang, lawan yang mereka hadapi rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi. Terutama sekali Raja Ular Gunung Pare. Ke mana saja sulingnya menyambar, pasti akan ada sesosok tubuh yang roboh tanpa nyawa.
Rupangki dan Karmila saling berpandangan dengan wajah pucat. Sungguh tidak disangka kalau pernikahan mereka akan berakibat seperti ini. Hari yang diharapkan penuh kegembiraan, ternyata tidak terkabulkan. Sama sekali tidak dibayangkan kalau hari penikahan ini dihiasi semburan darah segar, denting senjata beradu, dan jerit kesakitan dan kematian. Rupangki dan Karmila jadi bingung. Haruskah mereka ikut turun tangan? Padahal mereka tengah berpakaian pengantin! Rasanya tidak mungkin!
Sementara itu Ki Gambala memperhatikan jalannya pertarungan sejenak. Dia tahu, kalau hal ini di dibiarkan, murid-muridnya akan tewas. Jelas-jelas mereka bukan tandingan lawan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Namun demikian, memang tidak semua tokoh persilatan itu memiliki kepandaian berada di atas murid-murid Perguruan Pedang Ular.
Untungnya, tidak semua tokoh itu bersikap kejam. Hanya tokok-tokoh aliran hitam yang bersikap telengas. Sedangkan tokoh-tokoh aliran putih yang tidak memiliki urusan dengan Perguruan Pedang Ular, dan hanya menginginkan Karmila, merobohkan lawan tanpa membunuh.
"Akh...!" Untuk yang kesekian kalinya, terdengar jerit kematian dari mulut seorang murid Perguruan Pedang Ular ketika suling di tangan Raja Ular Gunung Pare menghantam ubunubunnya hingga remuk.
Jirin yang sejak tadi merasa geram melihat ketelengasan Raja Ular Gunung Pare, segera melompat langsung diterjangnya laki-laki berwajah tirus itu, begitu mendapat kesempatan. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah leher.
Singgg...! Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan maut itu.
"Hmh...!" Raja Ular Gunung Pare mendengus, mendapat serangan yang begitu cepat bagai kilat. Maka, suling di tangannya segera meluncur cepat ke arah datangnya serangan.
Tukkk! Entah dengan cara bagaimana, ujung suling itu tahu-tahu telah berhasil menotok pergelangan tangan Jirin. Keras bukan kepalang totokannya, sehingga sambungan pergelangan tangan itu terlepas. Tak pelak lagi pedangnya pun terlepas dari pegangan. Meskipun begitu, Jirin masih mampu mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan mantap.Rupanya, Raja Ular Gunung Pare tidak sudi membiarkan lawannya hidup. Kembali suling di tangannya bergerak, dan kali ini meluncur deras ke arah ulu hati.
Melihat serangan yang mendadak datang, Jirin terkejut bukan kepalang. Disadari kalau kesempatan untuk mengelak merupakan hal yang musykil. Tibanya serangan begitu cepat. Dan saking kagetnya, dia hanya bisa terpaku kaku. Tapi di saat keadaan Jirin bagaikan telur di ujung tanduk, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih. Dan...
Trakkk..!
"Hey...!" Raja Ular Gunung Pare terpekik kaget. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang saat sosok bayangan putih yang tak lain dari Melati menangkis serangannya dengan pedang. Dan kini laki-laki berwajah Urus itu menghentikan gerakannya. Ditatapnya Melati penuh selidik.
"Siapa kau, Nisanak? Mengapa mencampuri urusanku?!" tanya Raja Ular Gunung Pare.
Sengaja pentolan sesat ini tidak langsung menyerang Melati, karena tahu kalau lawan di hadapannya memiliki kepandaian tinggi. Sebagai seorang tokoh cerdik, dia tidak ingin saat ini mendapat lawan tangguh, sebelum maksudnya tercapai. Sedapat mungkin, lawan-lawan tangguh akan dijatuhinya.
Melati tersenyum mengejek. "Namaku terlalu berharga untuk diperkenalkan pada orang licik sepertimu, Tahi Ular! Yang perlu kau tahu, kehadiranku di sini untuk membunuhmu!" ancam putri angkat Raja Bojong Gading keras.
"Keparat! Mulutmu ternyata sangat busuk, Wanita liar...!" teriak Raja Ular Gunung Pare. Kegeraman tampak membayang jelas di wajahnya. Dan sebelum gema ucapannya lenyap, pentolan tokoh sesat itu telah melancarkan serangan ke arah Melati. Suling berujung kepala ular kobra ditangannya meluncur deras ke arah jalan darah kematian di leher Melati.
Melati tampak begitu geram melihat ketelengasan lawannya. Maka, buru-buru kaki kanannya ditarik ke belakang, seraya mencondongkan tubuh sehingga suling itu menyambar tempat kosong beberapa jari di depannya. Dan pada saat yang bersamaan, pedang di tangannya dibabatkan ke arah tangan lawan yang menggenggam suling.
Raja Ular Gunung Pare tentu saja tidak menginginkan tangannya putus terbabat pedang Melati. Maka tangannya cepat ditarik pulang, sehingga tebasan pedang gadis berpakaian putih itu lewat beberapa jengkal dari sasaran.
Melati yang sudah bertekat untuk melenyapkan Raja Ular Gunung Pare selama-lamanya, tidak sudi memberi kesempatan. Gadis itu pun melompat menerjang seraya melancarkan serangan bertubi-tubi.
Tapi, terjangan Melati langsung disambut Raja Ular Gunung Pare dengan cepat. Laki-laki berwajah tirus ini sadar, putri angkat Raja Bojong Gading itu memiliki kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Maka kini pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Pertarungan sengit bukan hanya terjadi antara Melati dan Raja Ular Gunung Pare saja. Hampir semua orang yang ada disitu terlibat dalam kancah pertarungan. Bahkan Dewa Arak juga sudah terlibat dalam kancah pertarungan, untuk membantu murid-murid Perguruan Pedang Ular. Kini tampaknya pertarungan berjalan seimbang.
Sementara itu Ki Gambala, Rupangki dan Karmila hanya bisa mengawasi jalannya pertarungan dengan wajah berubah-ubah. Sebentar pucat, sebentar merah. Sepasang mempelai itu sama sekali tidak menduga akan terjadi peristiwa seperti ini. Berbeda dengan Ki Gambala yang memang sudah bisa menduga kalau peristiwa seperti ini akan terjadi. Dia tahu, Kalapati banyak menanam permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan dari berbagai aliran. Hanya saja, dia tidak menyangka kalau peristiwanya akan sebesar ini.
Sepasang mata Ki Gambala, Rupangki dan Karmila berpindah-pindah ke sana-kemari, memperhatikan pertarungan yang terpecah menjadi tiga arena. Untung halaman Perguruan Pedang Ular cukup luas, sehingga mampu menampung pertarungan campur baur itu. Meskipun begitu, tak urung bangku-bangku dan hiasan yang dipasang berpentalan tak tentu arah. Sebagian besar rusak berat dan terkena noda darah. Perguruan Pedang Ular kini benar-benar bergelimang darah.
Berbeda dengan Melati dan Golok Emas yang menghadapi lawan setingkatan, Dewa Arak sama sekali tidak menjumpai lawan yang memiliki kepandaian yang setara. Tingkat kepandaian lawan rata-rata berselisih jauh dengannya. Tak aneh kalau Arya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menghalau lawan-lawannya tanpa melukai.
Dewa Arak sama sekali tidak menggunakan ilmu andalannya dalam pertarungan ini. Yang digunakannya hanya ilmu-ilmu yang diwarisi dari ayahnya, 'Ilmu Pedang Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Dalam menggunakan kedua ilmu itu pun, Arya tidak terlalu bersungguh-sungguh. Hujan berbagai macam senjata yang tertuju ke arahnya pun dibiarkan saja. Arya hanya mengerahkan tenaga dalamnya untuk membuat kulit tubuhnya tidak bisa dilukai. Memang dengan selisih tenaga dalamnya yang amat jauh dibanding lawan, tindakannya itu bukan suatu hal yang sulit buat Dewa Arak.
Hasilnya memang sudah diduga. Setiap senjata yang menghantam tubuh Dewa Arak selalu terpental balik ke arah si pemilik. Seolah-olah, tubuhnya terbuat dari gumpalan karet keras. Akibatnya, di samping membuat hantaman setiap senjata terpental balik, juga membuat tangan lawan yang menggenggam senjata jadi bergetar hebat.
Sebaliknya setiap Arya melancarkan serangan balasan berupa kibasan-kibasan tangan secara sembarang saja, tubuh lawan kontan terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah dengan dada terasa sakit. Untungnya Dewa Arak bukan termasuk orang yang bertangan kejam. Tubuh mereka hanya dibuat terjengkang dan terguling-guling di tanah tanpa menderita luka apa pun, kecuali sedikit rasa sesak di dada.
Tapi, tentu saja tindakannya hanya diperuntukkan bagi tokoh-tokoh aliran putih yang sejak tadi menjatuhkan tangan maut pada murid-murid Perguruan Pedang Ular. Sedangkan bagi tokoh aliran hitam yang jelas-jelas bermaksud membasmi Perguruan Pedang Ular, Dewa Arak tak tanggung-tanggung untuk memberi hajaran. Mereka semua roboh di tanah, tak mampu bangkit lagi, walaupun tidak terluka terlalu parah.
Jerit kesakitan diiringi bunyi berdebuk keras dari tubuh-tubuh yang jatuh di tanah, mengiringi setiap gerakan tangan Dewa Arak. Memang, baik kibasan, kebutan, ataupun dorongan tangan Arya selalu menimbulkan angin keras yang mampu membuat tubuh berpentalan tak tentu arah, seperti daun-daun kering yang diterbangkan angin.
Dalam waktu sebentar saja serangan-serangan yang semula menekan Perguruan Pedang Ular, mulai berkurang. Satu persatu para perusuh dirobohkan Dewa Arak. Bahkan beberapa saat kemudian, murid-murid Perguruan Pedang Ular dan sebagian kecil tokoh persilatan yang memilih perguruan itu mulai mundur satu persatu karena tidak mendapat lawan. Sampai akhirnya, mereka semua hanya menyaksikan Dewa Arak membereskan lawan-lawannya saja.
Berlainan dengan Dewa Arak yang sama sekali tidak menemui halangan berarti dalam menghadapi lawan-lawannya, Melati tampak harus berjuang keras untuk bisa mengalahkan Raja Ular Gunung Pare. Kepandaian tokoh sesat itu memang tinggi. Tidak aneh kalau belasan tahun yang lalu Ki Gambata agak kerepotan untuk merubuhkan kakek berwajah tirus itu.
Dalam hati. Melati mengakui kehebatan lawannya. Meskipun memang dalam hal ilmu meringankan tubuh dan kekuatan tenaga dalam, gadis berpakaian putih ini lebih unggul. Tapi keunggulan itu tertutup oleh berbagai macam tipu yang terkandung dalam ilmu yang dimiliki Raja Ular Gunung Pare.
Dulu, Ki Gambala menghadapi kesulitan menghadapi Ilmu silat Raja Ular Gunung Pare yang penuh tipuan ini. Dan kali ini, kesulitan yang sama menimpa Melati, tipuan-tipuan yang terkandung dalam serangan itu membuat repot bukan main.
Melati benar-benar merasa penasaran. Apalagi, sudah sejak tadi ilmu andalannya, 'Pedang Seribu Naga' telah dikeluarkannya. Dan dengan ilmu pedang yang mempunyai daya serang laksana badai mengamuk itu, Melati berusaha merobohkan Raja Ular Gunung Pare.
Putri angkat Raja Bojong Gading itu membutuhkan waktu seratus jurus lebih, untuk bisa mendesak Raja Ular Gunung Pare. Ilmu laki-laki berwajah tirus yang banyak mengandung tipuan itulah yang membuatnya kesulitan dalam melakukan desakan.
* * * * * * * *
EMPAT
Sementara itu, Raja Ular Gunung Pare sendiri sebenarnya merasa terpukul bukan kepalang menghadapi kenyataan ini. Kalau tidak mengalami sendiri, mungkin tidak akan percaya kalau dirinya tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda belia yang pantas menjadi anaknya. Tapi kenyataan menunjukkan demikian. Maka mau tidak mau dia harus menerima kenyataan kalau lawannya memang memiliki kepandaian di atasnya.
Raja Ular Gunung Pare adalah seorang tokoh sesat yang memiliki watak angkuh dan selalu membanggakan kepandaian sendiri. Puluhan tahun lalu, dia merasa sebagai tokoh persilatan nomor satu dunia, setelah malang melintang di dunia persilatan bagian Timur tanpa tanding.
Maka dapat dibayangkan, berapa besar sakit hatinya tatkala mengalami kekalahan pertama kali di tangan Ki Gambala. Sehingga, dia pun mengundurkan diri dari dunia persilatan disertai rasa penuh dendam. Satu tekat terselip di hatinya. Ilmunya harus diperdalam untuk membalas kekalahan pada Ki Gambala.
Tapi belum juga maksudnya tercapai, Raja Ular Gunung Pare telah menemui kenyataan yang lebih pahit. Sebuah kenyataan disadari kalau kepandaian yang dimilikinya tidak mampu menandingi Melati. Hal ini lebih menyakitkan daripada sewaktu menghadapi Ki Gambala. Hatinya rela kalah dalam pertarungan menghadapi Ketua Perguruan Pedang Ular itu dari pada menghadapi Melati yang masih muda!
Sadar akan kenyataan kalau tidak mungkin bisa mengalahkan Melati, membuat Raja Ular Gunung Pare menjadi nekat. Kini laki-laki berwajah tirus itu bertarung tanpa mempedulikan pertahanan diri. Tekatnya adalah mengajak Melati mati bersama. Dengan keputusan seperti itu. Raja Ular Gunung Pare segera menyerang kalang kabut. Akibatnya, kedahsyatan serangan-serangannya pun menjadi berlipat ganda.
Melati bukan orang bodoh. Maksud serangan-serangan yang mendadak berubah cepat dan pertahanan yang terbuka di sana-sini, jelas sekali diketahuinya. Tentu saja hal ini tidak sudi diladeninya. Untuk beberapa jurus lamanya, Melati hanya menghindar terus. Dengan demikian, untuk beberapa jurus lamanya Raja Ular Gunung Pare berhasil membebaskan diri dari desakan Melati. Bahkan kini Melati yang terlihat seperti terdesak, karena terus menghindar.
"Melati...! Awas...!"
Ki Gambala yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, berseru keras memperingatkan Melati. Saat itu matanya yang tajam menangkap adanya seleret sinar berkilauan dari atas bangunan. Dan seiring teriakannya, Ki Gambala melesat cepat meninggalkan kursi yang didudukinya. Hatinya benar-benar khawatir akan keselamatan kekasih Dewa Arak itu.
Memang, pada saat itu Melati berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Tubuhnya tengah berada di udara, sehabis mengelakkan serangan yang kalang kabut dari Raja Ular Gunung Pare. Dan pada saat itu pula seleret sinar berkilauan menyambar deras ke arah lehernya. Namun meskipun berada dalam keadaan sulit, Melati masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya digeliatkan, karena memang hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi....
"Ikh...!" Melati terpekik pelan, begitu benda berkilauan yang ternyata sebuah logam putih mengkilat berbentuk mata anak panah, mengenai punggung kanannya. Dan secepat itu pula hawa dingin yang amat sangat meresap ke dalam tubuh gadis irii. Hawa dingin itu membuat sekujur urat-urat dan otot-otot tubuh Melati kaku! Maka tanpa ampun lagi, tubuh Melati terjungkal ke bawah, dan jatuh berdebuk di tanah.
"Melati...!" Hampir berbareng, Arya, Karmila, dan Rupangki berseru kaget ketika melihat tubuh Melati jatuh berdebuk di tanah. Mereka sempat pula melihat adanya sebuah benda berwarna putih mengkilat yang menghunjam tubuh gadis berpakaian putih itu. Dan secepat kilat, tubuh Arya segera melesat ke arah Melati.
Cepat bukan main gerakan Dewa Arak, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu tanpa ketahuan bentuknya. Memang, dalam cekaman rasa khawatir yang menggelegak, Dewa Arak telah mengerahkan sampai titik terakhir ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Meskipun gerakan Arya cepat bukan kepalang, tapi tetap saja kalah oleh Raja Ular Gunung Pare yang telah lebih dulu melesat menerjang Melati dengan ujung suling menotok ke arah ubun-ubun. Apabila serangan ini mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan kalau nyawa Melati akan melayang saat itu juga.
Rupanya, nasib baik masih berpihak pada Melati. Meskipun Dewa Arak terlambat memberikan pertolongan, tapi tidak demikian dengan Ki Gambala. Pedang lemas Ketua Perguruan Pedang Ular itu cepat memotong luncuran suling Raja Ular Gunung Pare.
Trakkk...! Akibat tangkisan pedang Ki Gambala, serangan suling Raja Ular Gunung Pare jadi menyeleweng jauh dari sasaran. Bahkan tangan yang menggenggam suling bergetar hebat. Raja Ular Gunung Pare langsung menghentikan serangannya terhadap Melati. Dan kini, di hadapannya telah berdiri Ki Gambala. Di belakang Ketua Perguruan Pedang Ular itu masih ada Dewa Arak yang tengah membungkukkan tubuh, memeriksa keadaan Melati. Kecemasan tampak membayang di wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ah…!" seru Arya kaget. Dewa Arak merasakan sekujur tubuh Melati dingin seperti layaknya orang mati. Dia tahu, senjata yang menghunjam tubuh Melati mengandung racun ganas.
Maka buru-buru ditotoknya jalan darah di sekitar luka untuk mencegah racun itu menalar lebih jauh. Bukan hanya Dewa Arak yang merasa cemas. Ki Gambala, Karmila, dan Rupangki pun merasa cemas bukan kepalang melihat tubuh Melati tergolek. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya Karmila dan Rupangki melesat menghampiri Melati.
"Ha ha ha...! Percuma, Dewa Arak...! Racun itu telah menjalar. Dan kujamin, tidak akan ada seorang pun di kolong langit ini yang bisa menyembuhkan kekasihmu itu kecuali aku!"
Bukan hanya Arya saja yang menoleh ke arah asal suara itu, tapi juga Ki Gambala dan Raja Ular Gunung Pare.
"Keparat, kau!" seru Dewa Arak tertahan seraya bangkit berdiri. Sepasang matanya menyorotkan hawa maut ketika menatap ke arah pemilik suara yang ternyata Raja Racun Muka Putih!
"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa bergelak untuk menutupi perasaan gentar ketika melihat ancaman yang memancar dari sepasang mata Dewa Arak.
"Cepat berikan obat pemunahnya, sebelum kesabaranku hilang!" ancam Dewa Arak dengan suara bergetar karena amarah yang bergejolak dalam dada.
Raja Racun Muka Putih bergidik. Dia tahu, ucapan Dewa Arak tidak main-main. Terasa ada nada kesungguhan dalam ucapan dan sikap pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi dengan cerdiknya, kakek berpakaian merah ini menyembunyikan perasaannya sehingga tidak nampak pada wajahnya.
"Menyembuhkan gadis itu perkara gampang, Dewa Arak," jawab Raja Racun Muka Putih. "Asal, kau bersedia memenuhi permintaanku."
"Keparat licik!" maki Arya kalap. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan busukmu!"
Raja Racun Muka Putih mengangkat bahu. "Aku tidak punya banyak waktu, Dewa Arak. Racun yang mengeram di tubuh kekasihmu bukan racun main-main, tapi racun ganas. Apabila ada tanda bundar berwarna biru sebesar kuku jari kelingking telah timbul di dahinya, aku tidak akan bisa menyelamatkan nyawanya lagi. Semua terserah padamu. Dewa Arak. Asal tahu saja, aku tidak takut mati. Lagi pula, mati bersama seorang gadis cantik seperti kawanmu merupakan kematian yang amat menyenangkan."
Dewa Arak menggeram keras. Disadari kalau Raja Racun Muka Putih bermaksud memerasnya. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya kakek berpakaian merah itu dilabraknya. Tapi sayangnya, hal itu tidak mungkin dilakukan mengingat keselamatan Melati berada di tangan kakek berpakaian merah itu. Dengan kecemasan yang semakin memuncak, diperhatikannya tubuh Melati.
Memang, ucapan Raja Racun Muka Putih rasanya ada benarnya juga. Tanda bulat berwarna biru sekuku jari kelingking memang tampak. Hanya saja, bukan pada dahi, melainkan di tangan. "Baiklah, Raja Racun," Arya menyerah, setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat, "Apa permintaanmu?"
"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa penuh kemenangan. "Permintaanku masih sama dengan yang dulu, Dewa Arak."
"Maksudmu..."
Arya terpaksa menghentikan ucapannya, karena Raja Racun Muka Putih telah buru-buru mencegahnya. Rupanya kakek berpakaian merah itu tidak ingin orang-orang yang ada di situ mengetahui permintaannya.
"Bagaimana aku tahu kalau kau tidak akan menipuku. Raja Racun?" tanya Dewa Arak.
"Ucapkanlah janji, kalau permintaanku akan kau penuhi. Maka, saat ini juga kekasihmu akan kuberikan obat yang membuat racun itu tidak akan mencabut nyawanya," ujar Raja Racun Muka Putih.
Arya tercenung sebentar.
"Cepat, Dewa Arak!" desak Raja Racun Muka Pulih tidak sabar. "Kalau tanda biru itu muncul di dahi, jangan harap aku bisa menyelamatkan nyawanya."
"Baik, Raja Racun. Permintaanmu kupenuhi," ucap Arya mantap.
"Kau juga harus berjanji akan membiarkanku pergi, setelah memenuhi permintaanku itu," tegas Raja Racun Muka Putih lagi. "Katakan, Dewa Arak "
"Aku berjanji akan membiarkanmu pergi, setelah kuberikan permintaanmu itu, Raja Racun. Tapi, ingat. Janjiku ini tidak berlaku untuk selamanya. Apabila dalam perjalanan aku bertemu denganmu, dan tengah melakukan kejahatan, aku akan menantangmu!"
"Ha ha ha...! Aku setuju dengan janji itu, Dewa Arak!" sambut Raja Racun Muka Putih, cepat.
"Cepat berikan obat itu, Raja Racun!" seru Dewa Arak tak sabar.
Raja Racun Muka Putih tertawa bergelak, kemudian tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika keluar, di tangan itu telah tergenggam sebuah kantung kain kecil berwarna merah. Dari dalam kantung itu diambilnya sebuah obat pulung berwarna Jingga. "Berikan obat ini padanya," kata Raja Racun Muka putih seraya mengangsurkan tangannya pada Dewa arak.
Arya segera mengambil obat pulung itu dan memasukkannya ke dalam mulut Melati.
"Tunggu sampai dua ratus hitungan," ucap Raja Racun Muka Putih lagi.
Arya sama sekali tidak menyambuti ucapan kakek berpakaian merah itu. Seluruh perhatiannya ditujukan kepada Melati, sambil menghitung dalam hati. Bukan Arya saja yang menunggu-nunggu kebenaran ucapan Raja Racun Muka Putih. Ki Gambala dan Raja Ular Gunung Pare seperti diam seribu bahasa sambil juga memperhatikan gadis itu.
Memang, kedua tokoh ini terkejut bukan kepalang begitu melihat kehadiran Raja Racun Muka putih, yang merupakan pentolan kaum sesat terkenal. Itulah sebabnya, mereka melupakan perkelahiannya. Dan kini malah terpaksa menunggu kelanjutan kejadian antara Dewa Arak dan Raja Racun Muka Putih.
Di antara semua kancah pertarungan, hanya pertarungan antara Golok Malaikat dan Golok Emas saja yang masih berlangsung sengit. Pertarungan antara kedua orang itu memang ramai bukan kepalang. Kepandaian mereka yang sama-sama memiliki keahlian bermain golok itu, ternyata hanya berselisih sedikit saja. Sehingga baru pada jurus keseratus tujuh puluh lima. Golok Malaikat mulai berhasil mendesak Golok Emas.
Sekarang serangan-serangan Golok Emas semakin berkurang, dan lebih banyak menangkis dan mengelak. Sebaliknya, Golok Malaikat mulai semakin bertubi-tubi mengancam lewat serangan-serangan yang dahsyat. Semakin lama, gulungan sinar keemasan yang berasal dari golok emas Ketua Perguruan Golok Maut makin mengecil. Hal ini menandakan kalau keadaan Golok Emas yang semakin terjepit.
Pada jurus keseratus sembilan puluh satu, Golok Malaikat melompat ke atas. Golok di tangannya dibalutkan ke arah kepala dari atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud membelah tubuh lawan menjadi dua bagian yang sama.
Golok Emas terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Apalagi, keadaannya saat itu tidak menguntungkan. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan itu. Dan sepertinya, jalan satu-satunya hanya menangkis untuk menyelamatkan nyawa.
"Hih…!" Sambil menggertakkan gigi, si Golok Emas memalangkan senjata andalannya di atas kepala. Dan....
Tranggg...!
Bunga api memercik ke sana-kemari ketika dua buah senjata yang mempunyai nama sama tapi berbeda ukuran, bertemu dalam sebuah benturan keras yang memekakkan telinga.
Tubuh si Golok Emas terhuyung-huyung kebelakang. Golok besarnya terlepas dari pegangan, karena tangan yang menggenggam terasa lumpuh karena berbenturan. Hal ini terjadi karena keadaan si Golok Emas kurang memungkinkan untuk mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Di lain pihak, tenaga yang terkandung dalam serangan Golok Malaikat jadi bertambah besar, karena dibantu tenaga ayunan lompatannya. Dan akibatnya, hal itulah yang terjadi.
Wajah si Golok Emas berubah ubah. Sebentar pucat, sebentar merah. Disadari kalau dirinya telah kalah seiring jatuhnya senjata andalannya. Memang, seorang tokoh tingkat atas, senjata andalan merupa nyawa kedua. Maka, bila telah terlepas dari tangan berarti telah kalah. Walau merupakan ketentuan tidak tertulis di kalangan tokoh persilatan, tapi baik Golok Emas maupun Golok Malaikat sama-sama tahu tentang hal itu.
"Ha ha ha...!" Golok Malaikat tertawa bergelak. "Akhirnya, terwujud juga keinginanku sejak belasan tahun lalu. Kini akulah ahli golok nomor satu! Ha ha...! Maka, sekarang aku berhak memakai gelar Raja Golok! Ha ha ha...!"
Golok Emas hanya bisa tersenyum pahit. Tapi sebagai orang yang gagah dan berjiwa ksatria, dia pun mengakui keunggulan lawannya. "Kau memang hebat, Golok Malaikat. Sekarang kau berhak mendapat julukan Raja Golok. Ilmu golokmu memang luar biasa," puji Ketua Perguruan Golok Emas itu jujur.
Seketika itu pula tawa Golok Malaikat terhenti. Sebagai tokoh aliran putih, dia merasa malu melihat kebesaran jiwa Golok Emas yang mengakui kekalahannya.
"Ah! Kemenangan yang kudapatkan hanya karena kebetulan belaka, Golok Emas. Aku yakin, kalau pertarungan diulangi bukan tidak mungkin aku akan roboh di tanganmu. Ilmu golok yang kau miliki benar-benar luar biasa, Golok Emas! Aku puas dapat bertarung denganmu. Biarlah. Sebagai tanda gembiraku mendapatkan seorang lawan sepertimu, aku tidak akan mengejar-ngejar lagi keturunan Kalapati."
"Benarkah itu, Raja Golok?" tanya Golok Emas memastikan. Sengaja dipanggilnya Golok Malaikat dengan gelar barunya.
Golok Malaikat mengulapkan tangannya. "Aku minta, panggillah aku dengan julukan yang dulu. Golok Emas."
"Mengapa..., Ra... eh, Golok Malaikat?!" Golok Emas mengeryitkan keningnya.
"Karena, aku belum yakin akan kemenanganku kali ini!" tandas Golok Malaikat. "Kalau kau tetap berkeras memanggilku Raja Golok, aku akan pergi sini!"
Golok Emas tersenyum getir. "Baiklah," desah Ketua Perguruan Golok mengalah. "Tapi boleh kutahu, apa alasanmu membiararkan keturunan Kalapati?"
"Hhh...! Karena aku tahu, orang seperti kau dan Ki Gambala tidak akan mungkin melindungi orang bersalah. Apalagi sampai menjadikannya mantu! Ha ha...!"
"Kau benar, Golok Malaikat. Ha ha ha...!"
Dua ahli golok yang tadi terlibat dalam pertarungan mati-matian, kini sama-sama tertawa bergelak. Suasana keakraban tampak jelas dalam sikap dan tawa mereka.
Di arena yang lain pun, Arya merasa lega bukan kepalang ketika melihat tanda biru di tangan dan leher Melati mulai memudar, walaupun tidak lenyap benar.
"Sekarang kekasihmu tidak terancam bahaya lagi Dewa Arak. Tapi dia tetap tidak akan sadar. Aku akan menyembuhkannya apabila kau telah berhasil memenuhi permintaanku. Semakin cepat kau membawanya, semakin cepat kekasihmu sembuh," jelas Raja Racun Muka Putih.
Arya berjalan menghampiri Ki Gambala, kemudian berdiri di sebelahnya. "Kau...," sebut Dewa Arak sambil menuding jari telunjuknya ke arah Raja Ular Gunung Pare. "Mengapa tidak lekas pergi dari sini?! Atau..., menunggu kemarahanku bangkit dan membunuhmu?!"
Raja Ular Gunung Pare menelan ludah dengan susah payah. Meskipun belum merasakan kelihaian Dewa Arak, tapi melihat kenyataan betapa Raja Racun Muka Putih yang begitu terkenal saja terlihat gentar pada Dewa Arak, maka bisa diperkirakan tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu.
Meskipun begitu, Raja Ular Gunung Pare belum merasa yakin kalau tidak mencobanya sendiri. Mana mungkin orang semuda Arya akan mampu mengunggulinya? Kalau saja tidak ada Ki Gambala di situ, Dewa Arak mungkin sudah diterjangnya. Tapi disadari, keadaannya tidak menguntungkan. Maka Raja Ular Gunung Pare hanya menahan perasaan saja. Tubuhnya kemudian segera melesat meninggalkan tempat itu setelah terlebih dulu membuang ludah ke tanah.
Melihat kepergian Raja Ular Gunung Pare, tokoh-tokoh persilatan yang tidak tewas segera melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Mereka tahu, tidak ada gunanya lagi berada di situ. Bahkan tokoh-tokoh aliran putih yang tadi secara tak langsung membantu tokoh-tokoh aliran hitam, melangkah meninggalkan tempat itu. Hati mereka merasa tidak enak melihat akibat yang diderita Perguruan Pedang Ular. Tapi tindakan mereka sama sekali tidak menarik perhatian, karena ada masalah yang jauh lebih gawat, terutama bagi Melati.
"Ki... Bersediakah bila aku menitipkan Melati di sini?" tanya Arya hati-hati ketika melihat Raja Ular Gunung Pare telah tidak berada di situ lagi.
"Perguruan Pedang Ular selalu terbuka untukmu, Arya."
"Tapi..., apakah kau percaya begitu saja akan ucapan orang seperti Raja Racun Muka Putih ini?!" Ki Gambala seraya menatap tajam wajah kakek berpakaian merah itu. "Aku khawatir, kau akan ditipu mentah mentah, Arya."
"Kalau tidak memandang Dewa Arak, sudah kuhancurkan mulutmu, Gambala!" dengus Raja Muka Putih. "Aku adalah seorang datuk. Pantang menarik ucapan yang telah kukeluarkan. Dewa Arak percaya padaku, sebagaimana halnya aku percaya akan janji yang diucapkannya "
Ki Gambala pun terdiam sejenak. "Kalau begitu, terserah padamu, Arya. Aku tahu kau tidak pernah sembarangan mengambil keputusan."
"Terima kasih, Ki."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak berpaling pada Raja Racun Muka Putih. "Setelah permintaanmu kupenuhi ke mana harus mengantarkannya?"
"Bagaimana kalau aku tinggal di sini saja, Dewa Arak. Percayalah. Sebagaimana aku percaya pada janjimu, kau pun harus percaya padaku. Barangkali saja tenagaku di sini ada gunanya."
"Aku belum mengerti maksudmu, Raja Racun," kata Dewa Arak sambil mengernyitkan kening.
"Aku khawatir terhadap keadaan kekasihmu, Dewa Arak. Sekarang dia berada dalam keadaan tak berdaya. Lalu, bagaimana kalau ada orang mempunyai niat yang tidak baik padanya? Aku yakin kekasihmu ini banyak mempunyai musuh, mengingat kepandaiannya yang tidak rendah dan wataknya yang berangasan terhadap penjahat. Sedangkan kau tidak berada di sisinya. Kau yakin akan penjagaan yang dilakukan oleh kakek-kakek jompo ini? Dengan adanya aku di sini, setidak-tidaknya ada tambahan tenaga yang tidak ternilai, seandainya ada orang yang akan berbuat jahat terhadapnya," urai Raja Racun Muka Putih panjang lebar.
Arya terdiam sejenak. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Raja Racun Muka Putih itu. Dia bukannya bermaksud meremehkan penjagaan Ki Gambala. Tapi, ucapan Raja Racun Muka Putih memang mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah.
"Bagaimana, Ki?" tanya Dewa Arak meminta persetujuan Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Terserah padamu, Arya," jawab Ki Gambala sambil mengangkat bahu. "Aku percaya, semua keputusan yang kau ambil, sudah dipikirkan masak-masak."
"Maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud merendahkan kepandaianmu dan membenarkan ucapan Raja Racun. Tapi memang banyak keuntungan apabila dia berada di sini. Setidak-tidaknya, dapat memeriksa keadaan Melati. Barangkali saja, ada kelainan yang tidak terduga," ucap Arya hati-hati agar Ki Gambala tidak tersinggung.
"Aku mengerti, Arya," desah Ketua Pergurunn Pedang Ular pelan.
Walaupun hatinya tersinggung ketika melihat Dewa Arak seperti membenarkan ucapan Raja Racun Muka Putih, tapi Ki Gambala berusaha menyembunyikannya. Inilahsaatnya untuk membalas budi Dewa Arak yang telah bertumpuk-tumpuk. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Apalagi ketika disadari kalau Melati terluka karena membela Perguruan Pedang Ular.
"Terima kasih, Ki," ucap Arya sambil menggenggam tangan Ki Gambala erat-erat. Dan genggaman itu langsung disambut tak kalah hangat oleh Ketua Perguruan Pedang Ular.
"Lupakanlah, Arya. Di antara sahabat tidak perlu banyak peradatan seperti ini," ujar Ki Gambala sambil tersenyum simpul. Karena, ucapan itu dulu pernah dikatakan Dewa Arak padanya.
Arya melengak sesaat ketika menyadari kalau perkataan Ki Gambala itu adalah ucapannya sendiri. Tapi ketika melihat senyum yang tersungging di bibir Ketua Perguruan Pedang Ular, dia tahu kalau dirinya tengah diledek. Maka sebuah senyum simpul pun tak bisa ditahan Dewa Arak lagi.
"Sebaiknya, kita bawa Melati ke dalam, Arya. Rasanya tidak pantas membiarkannya berlama-lama di luar," ujar Ki Gambala bernada mengingatkan.
"Kau benar, Ki," sambut Arya cepat. Usai berkata demikian, Dewa Arak segera membungkukkan tubuhnya dan mengangkat Melati.
"Mari, Arya," kata Ki Gambala seraya melangkah menuju ke salah satu bangunan yang ada di dalam Perguruan Pedang Ular. Sebelumnya, dia memberi perintah pada murid-muridnya untuk membereskan bekas pertarungan.
Tanpa menunggu ajakan dua kali, Dewa Arak segera melangkah di belakang Ki Gambala, diikuti Raja Racun Muka Putih, Golok Malaikat, dan si Golok Emas. Tak ketinggalan pula Rupangki dan Karmila.
* * * * * * * *
LIMA
Matahari mulai condong ke Barat. Bias-bias kemerahan pun menyeruak di bagian langit, tempat matahari terbenam. Tak lama lagi, kegelapan pun akan turun menyelimuti seluruh persada. Murid-murid Perguruan Pedang Ular baru saja selesai membereskan halaman depan perguruan yang porak-poranda. Panggung, hiasan warna-warni, dan tubuh rekan-rekan mereka yang mati atau terluka telah diurus. Dan kini, mereka tengah beristirahat melepas lelah.
Brakkk...!
Tiba-tiba suara gaduh bersamaan hancurnya daun pintu gerbang, membuat murid-murid Perguruan dang Ular tersentak kaget. Terutama sekali, yang ada di gardu penjagaan. Tiga orang yang menjaga gardu penjagaan inilah yang langsung menyadari akan apa yang telah terjadi. Walapun masih lelah, tiga orang murid Perguruan Pedang Ular ini langsung melesat ke arah pintu gerbang.
Tampak di balik daun pintu gerbang perguruan tampak seorang kakek bertubuh pendek gemuk. Pakaiannya terbuat dari bulu binatang berwarna putih. Sebuah topi berbentuk kerucut. Terbuat dari kulit binatang, bertengger di kepalanya. Siapa lagi kakek ini kalau bukan Dedemit Salju (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode Dalam Cengkeraman Biang Iblis).
"Katakan, di mana Dewa Arak! Cepat!" bentak Dedemit Salju begitu melihat adanya tiga sosok tubuh di hadapannya.
"Andaikata tahu pun, kami tidak akan katakan padamu," sahut salah seorang murid Perguruan Pedang Ular yang berkumis tipis.
"Keparat! Berani kalian mempermainkan Dedemit Salju?!" seru kakek pendek gemuk, geram. Usai berkata demikian, Dedemit Salju mengibaskan tangannya. Kelihatannya sembarangan saja, tapi hebatnya langsung terjadi hembusan angin keras yang keluar dari tangan yang mengibas itu. Hembusan angin yang berhawa dingin dan menggigit tulang.
Begitu kerasnya angin yang berhembus, sehingga membuat tubuh tiga orang murid Perguruan Pedang Ular itu terjengkang ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Tiga orang murid perguruan yang sial itu tidak segera dapat bangkit berdiri. Hawa dingin dari serangan Dedemit Salju benar-benar membekukan kulit. Sehingga, urat-urat dan otot-otot tubuh mereka terasa kaku. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk bangkit. Kini tiga orang murid perguruan itu malah mendekapkan kedua tangan ke tubuh, untuk menahan cekaman hawa dingin yang melanda.
"Cepat katakan, di mana Dewa Arak! Aku tahu ia berada di sini. Atau kalian semua ingin mampus?!" ancam Dedemit Salju sambil menatap tiga raut wajah yang tergolek di bawah kakinya.
"Kami..., kami benar-benar tidak tahu...," jawab laki laki yang berkumis tipis. Suaranya terdengar tersendat-sendat, karena cekaman hawa dingin yang melanda.
"Tikus-tikus tak tahu diuntung...!" bentak Dedemit Salju geram. "Kalian rupanya lebih suka mati!" Begitu ucapannya selesai, Dedemit Salju segera mendorongkan kedua tangannya ke bawah.
Wuuut...!
Seketika serentetan angin berhawa dingin, berhembus ke arah tiga orang murid Perguruan Pedang Ular yang tengah tergolek di tanah. Memang kali ini Dedemit Salju tidak main-main lagi. Maka, akibatnya pun begitu dahsyat. Tiga orang keroco itu mana mampu bertahan? Mereka pun tewas dengan sekujur tubuh membiru!
Bertepatan tewasnya tiga orang penjaga pintu gerbang, murid-murid Perguruan Pedang Ular lainnya bermunculan. Di antara mereka, tampak terlihat Jirin. Mau tak mau, mereka langsung menggeram marah ketika melihat tiga orang rekan mereka tergolek di tanah. Tanpa ditegaskan lagi, sudah bisa diperkirakan kalau tiga orang itu telah tewas. Kulit tubuh mereka yang seperti membiru menjadi tanda kalau ketiga orang itu telah mati.
"Seraaang,..!" teriak Jirin keras memberi perintah pada adik-adik seperguruannya. Murid utama Perguruan Pedang Ular itu memang tidak berani bertindak sembrono lagi dengan menyerang Dedemit Salju seorang diri.
Tanpa menunggu perintah dua kali, murid-murid Perguruan Pedang Ular yang telah dibakar amarah melihat mayat ketiga rekannya, langsung melesat menerjang. Suara senjata-senjata yang keluar dari sarungnya, dan juga sinar-sinar berkeredep yang mengiringi, terdengar silih berganti. Dan secepat senjata itu tercabut, secepat itu pula diluncurkan ke arah Dedemit Salju.
Dedemit Salju tidak menjadi gugup melihat hujan berbagai macam senjata yang meluncur deras ke arah berbagai bagian tubuhnya.
Takkk, takkk, takkk...!
Suara berdetak keras terdengar ketika beraneka ragam senjata menghantam sekujur tubuh Dedemit Salju. Namun, justru pekik-pekik keterkejutan dari mulut para pemegang senjata itu sendiri. Karena tangan yang menggenggam senjata terasa sakit dan bergetar, bagai tersengat kala berbisa. Bahkan sebagian dari mereka, terpaksa melepaskan senjata. Memang tangan yang menggenggam kontan terasa lumpuh.
"Grrrh...!" Dedemit Salju menggeram. Untung saja tenaga dalam pada geramannya tidak dikerahkan. Kalau saja dikerahkan, sudah dapat dipastikan seluruh murid Perguruan Pedang Ular akan tewas.
"Rupanya kalian semua sudah bosan hidup!" desis Dedemit Salju geram. Kemudian, jari telunjuknya diluruskan, sedang jari-jari lainnya terkepal. Dengan susunan jari seperti itu. Dedemit Salju lalu melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah lawan-lawannya tanpa menggeser kaki sedikitpun. Padahal, jarak antara dirinya dengan murid-murid Perguruan Pedang Ular itu tak kurang empat tombak!
Cit, cit, cit...!
Suara berdicit seperit ada puluhan ekor tikus mencicit, terdengar ketika Dedemit Salju menggerak gerakkan tangannya.
"Akh, akh...!"
Jeritan menyayat terdengar diiringi bertumbangannya tubuh murid-murid Perguruan Pedang Ular dalam keadaan tidak beryawa lagi, dengan dahi berlubangan. Mengerikan sekali keadaan mereka, karena darah yang keluar dari bagian yang terluka langsung membeku!
Jirin menggertakkan gigi melihat satu demi satu teman-temannya berguguran. Dia tahu, lawan telah menggunakan sebuah ilmu yang membuat angin serangan jari-jarinya seakan-akan seperti pedang atau tombak. Yang lebih mengerikan lagi, serangan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu juga mengandung hawa dingin. Sehingga, darah yang mengalir keluar langsung membeku.
Dedemit Salju benar-benar bertekat membinasakan lawan-lawannya. Setiap kali tangannya bergerak, sudah dapat dipastikan ada murid Pergurua Pedang Ular yang tewas. Yang lebih menggiriskan hati setiap serangan kakek pendek gemuk ini selalu menghunjam dahi. Dalam waktu sekejap saja, sudah lebih separuh murid Perguruan Pedang Ular yang tewas. Kini yang tinggal hanyalah beberapa gelintir saja, dan di antaranya terdapat Jirin.
Tentu saja lolongan kematian yang susul-menyusul itu terdengar sampai ke telinga Kl Gambala dan Raja Racun Muka Putih. Saat itu mereka tengah duduk dalam sebuah ruangan dalam di salah satu bangunan.
Sementara itu Karmila dan Rupangki berada dalam sebuah kamar lain. Sebuah kamar yang semarak, penuh hiasan. Mereka rupanya tengah sibuk dan hanya diketahui oleh mereka berdua. Sehingga, mereka seperti tak peduli, karena begitu tenggelam dalam lautan asmara. Tidak terpikirkan lagi nasib Melati yang tadi sempat mereka khawatirkan.
"Hhh...!" Ki Gambala menghela napas berat. Wajah laki-laki tua itu tampak membayangkan kebingungan yang hebat. Memang, di dalam hati Ketua Perguruan Pedang Ular ini tengah terjadi pertentangan batin.
Lolong kematian susul-menyusul dari murid-muridnya, membuatnya ingin melihat apa yang tengah terjadi di depan sana. Tapi, kekhawatiran terhadap keadaan Melati yang tengah terbaring tak berdaya, memaksanya untuk duduk diam di situ.
Ingin rasanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu memanggil Rupangki dan Karmila. Tapi, dia tidak sampai hati untuk melakukannya. Kl Gambala tahu, Rupangki dan Karmila pasti tengah menikmati malam pertamanya. Raja Racun Muka Putih bukan orang bodoh. Ia tahu, Ki Gambala tengah dilanda perasaan tegang. Maka tanpa bicara apa-apa, dia pun bangkit dari duduknya dan melangkah keluar.
"Mau ke mana kau, Raja Racun?!" tanya Ki Gambala dengan suara tidak begitu ramah.
"Keluar! Melihat orang yang telah menjagal murid-muridmu!" sahut Raja Racun Muka Putih tak kalah kasar. Dia menjawab tanpa menghentikan langkah kakinya, bahkan sama sekali tanpa membalikkan tubuh.
Ki Gambala tidak menyambutinya. Andaikata menanggapinya pun, tidak akan berguna. Memang tubuh Raja Racun Muka Putih sudah menghilang dari ruang itu. Sepeninggal Raja Racun Muka Putih, Ketua Perguruan Pedang Ular tercenung. Berbagai macam pikiran berputar di benaknya. Apakah yang sedang terjadi pada murid-muridnya? Siapakah orang yang tengah dihadapi? Mudah-mudahan saja Raja Racun Muka Putih berhasil menghalau penjagal itu!
Namun sepercik perasaan curiga bersemayam hati Ki Gambala. Sungguh-sungguhkah Raja Racun Muka Putih akan membantu? Apakah tidak mungkin kalau hanya bersandiwara saja? Dan itu memang bukan mustahil!
Begitu mendapat dugaan seperti itu, Ki Gambala langsung tersentak kaget. Sandiwara? Raja Racun Muka Putih bersandiwara? Mengapa hal itu tidak terpikirkan olehnya? Bukan tidak mungkin kalau kejadian ini memang sudah direncanakan oleh Raja Racun Muka Putih!
Ki Gambala sampai terjingkat kaget ketika mendapat dugaan seperti itu. Kontan kekhawatiran akan nasib murid-muridnya semakin membesar. Bukan tidak mungkin kalau Raja Racun Muka Putih akan membantu si perusuh itu dalam menjagal murid-muridnya!
Kecurigaan Ki Gambala semakin menebal ketika lolongan kematian murid-muridnya belum juga berhenti. Bukankah Raja Racun Muka Putih akan menghentikan tindakan pengacau itu? Lalu, mengapa sampai sekarang lolongan kematian itu masih juga terdengar? Bukan tidak mungkin kalau Raja Racun Muka Putih ikut menjagal pula!
Karena tak kuat menahan rasa gelisah yang melanda, Ki Gambala bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir. Hatinya ingin sekali melihat kejadian yang menimpa murid-muridnya. Tapi dia merasa khawatir meninggalkan Melati sendirian. Saat hatinya tengah dilanda kebimbangan itu, muncul Raja Racun Muka Putih di ambang pintu.
"Mengapa kau kembali, Raja Racun? Apakah pengacau itu sudah kau tanggulangi?" tanya Ki Gambala sebelum Raja Racun Muka Putih mengatakan sesuatu.
Perasaan ingin tahu itu membuat Ketua Perguruan Pedang Ular ini tidak memperhatikan kalau sikap Raja Racun Muka Putih tampak gugup bukan kepalang. Kalau saja kulit wajah datuk sesat itu tidak putih, mungkin bisa terlihat gambaran perasaan itu pada wajahnya.
"Tidak usah banyak tanya, Gambala!" sentak Raja Racun Muka Putih. Cepat pergi dari sini! Bawa kabur gadis itu dari sini!"
Wajah Ki Gambala berubah merah. Jelas batin merasa tersinggung melihat tanggapan Raja Racu Muka Putih. "Aku akan tetap tinggal di sini, apa pun yang akan terjadi!" tandas Ki Gambala. "Kalau kau ingin kabur silakan pergi!"
"Tua Bangka dungu!" maki Raja Racun Muka Putih geram. "Aku sama sekali tidak mempedulikan keselamatanmu, tahu?! Yang kupikirkan adalah nasib gadis itu! Cepat pergi! Sebelum semuanya terlambat!"
Tapi peringatan Raja Racun Muka Putih terlambat. Sebuah suara keras terdengar seiring hadirnya sosok yang bukan lain dari Dedemit Salju. Raja Racun Muka Putih melangkah mundur berdiri di sebelah Ki Gambala. Sikapnya menunjukkan kalau dia bersiap untuk bertarung dengan Dedemit Salju.
"Jangan harap kalian bisa kabur dari sini!" dengus Dedemit Salju. "Kalian semua akan kubunuh, karena aku telah bersumpah untuk membunuh semua orang yang mempunyai hubungan dengan Dewa Arak!"
Ki Gambala melirik ke arah Raja Racun Muka Putih. "Tidak salahkah penglihatanku ini, Raja Racun?! Apakah dia adalah Dedemit Salju?!" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu setengah tidak percaya.
Memang, Ki Gambala belum pernah bertemu Dedemit Salju. Tapi julukannya sudah lama di dengar dan diketahuinya. Dedemit Salju adalah salah satu dari biang-biang iblis dunia persilatan yang selama ini menjadi ancaman!
"Ya!" jawab Raja Racun Muka Putih. Nada suaranya menyiratkan kejengkelan, karena Ki Gambala tidak mau mendengar nasihatnya. "Sekarang kita tidak akan mungkin bisa kabur lagi! Dan semua itu karena sikap keras kepalamu!"
"Aku bukan orang pengecut sepertimu, Raja Racun!" tandas Ki Gambala. Suaranya sama pelannya dengan Raja Racun Muka Putih. Tapi ada tekanan yang kuat dalam suaranya. "Pantang bagiku untuk melarikan diri dari musuh!"
"Itulah bodohnya dirimu! Kau hanya mementingkan diri sendiri! Kau lupa nasib kekasih Dewa Arak!"
Seketika kepala Ki Gambala bagai diguyur seember air es. Raja Racun Muka Putih benar! Masih ada orang yang harus dipikirkan keselamatannya. Dan orang itu adalah Melati! Mengapa dia lupa terhadap pesan Dewa Arak? Bukankah keselamatan Melati telah dipercayakan padanya?
"Teruskanlah perdebatan kalian. Karena, sekarang merupakan perbincangan kalian yang terakhir!" potong Dedemit Salju.
Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih saling berpandangan sejenak. Sungguh tidak disangka kalau Dedemit Salju begitu yakin akan mampu mengalahkan mereka. Tapi, baik Ki Gambala maupun Raja Racun Muka Putih tidak memikirkan hal itu lagi. Masih ada hal lebih penting yang harus dipikirkan.
"Mengapa kau sepertinya memikirkan keselamatan Melati, Raja Racun?" tanya Ki Gambala tanpa menyembunyikan perasaan heran dalam suaranya.
Raja Racun Muka Putih tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Meskipun kulit wajahnya yang pulih seperti dikapur berubah pucat tanpa diketahui, tapi sorot matanya yang mendadak sayu, memberi pertanda kalau datuk sesat yang ahli dalam racun ini tengah dilanda perasaan sedih.
"Keadaan yang menimpa gadis ini mengingatkanku akan anak angkatku, Gambala," kata Raja Racun Muka Putih, pelan. "Seorang gadis yang seumur Melati, telah tewas karena tanpa sengaja telah menelan racun. Keadaan Melati mengingatkanku akan keadaannya. Itulah sebabnya, aku menjadi khawatir atas selamatannya."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak menyembuhkannya?" tanya Ki Gambala heran.
Raja Racun Muka Putih menatap wajah Ki Gambala tajam-tajam. "Aku bukan sejenis orang yang suka menarik kembali ucapan yang telah kukeluarkan, Gambala. Di depan Dewa Arak, aku telah berjanji untuk menyembuhkan Melati setelah dia membawa permintaanku."
Ki Gambala mengangguk-anggukkan kepala. Bisa diterima alasan yang dikemukakan Raja Racun Muka Putih itu.
"Kuakui, aku adalah seorang tokoh sesat yang selalu bergelimang kejahatan. Tapi pantang bagiku untuk menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah!" sambung Raja Racun Muka Putih penuh semangat.
"Cukup!" Bentakan Dedemit Salju menutup pembicaraan, Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala. Kedua tokoh berbeda aliran yang kini terpaksa akan bekerja sama untuk menyelamatkan nyawa Melati, menatap ke arah Dedemit Salju yang berjarak tiga tombak di hadapan mereka. Usai mengeluarkan bentakan, Dedemit Salju melangkah menghampiri Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala yang berdiri tegak membelakangi pembaringan tempat Melati tergolek tak berdaya.
"Hiaaat..!" Diiringi bentakan nyaring, Gambala melompat menerjang Dedemit Salju. Sadar kalau lawan yang dihadapinya benar-benar tangguh, maka, dalam serangan-serangan pertama Ketua Perguruan Pedang Ular ini telah menghunus pedangnya dan menusukkannya ke arah leher.
Wunggg...!
Suara mengaung terdengar mengiringi tibanya serangan Ki Gambala. Dan seperti biasanya, bilah pedangnya yang lemas itu menyulitkan lawan untuk menebak arah yang dituju. Getarannya demikian hebat, sehingga pedang itu seperti berjumlah puluhan batang.
"Hmh...!" Dedemit Salju mendengus, melihat serangan itu. Maka, kedua tangannya langsung bergerak ke arah punggung. Sesaat kemudian di kedua tangannya telah tergenggam sepasang senjata berbentuk segi tiga, terbuat dari kayu keras berwarna putih! Begitu sepasang senjata itu telah berada di kedua tangannya, langsung saja digerakkan untuk menyambut sambaran pedang Ki Cambala.
Trakkk...!
Suara keras terjadi akibat benluran kedua senjata itu membuat tubuh Ki Gambala terhuyung ke belakang dengan tangan bergetar hebat. Ada hawa dingin yang menyelusup masuk lewat tangannya, tapi segera dipunahkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Dedemit Salju rupanya tidak bersikap main-main lagi. Tanpa memberi kesempatan, diburunya tubuh Ki Gambala yang tengah terhuyung-huyung itu. Lalu, dihujamnya dengan serangan-serangan sepasang senjata yang berbentuk segi tiga. Tapi Ki Gambala yang memang sudah bersiap siaga sejak tadi segera mengadakan perlawanan dengan seluruh kemampuan. Maka pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Hebat bukan kepalang permainan pedang Ki Gambala. Tapi masih lebih hebat lagi permainan sepasang senjata segi tiga milik Dedemit Sahu. Datuk sesat yang menggiriskan itu memainkan senjatanya dengari terlebih dahulu memutarkannya, sehingga mengeluarkan suara mengaung dan lenyap bentuknya. Kemudian secara tidak terduga-duga senjata itu meluruk deras ke arah Ki Gambala. Terkadang menyodok atau menggaet. Tapi, tak jarang mencangkul. Pergerakan sepasang senjata lawan yang aneh itu membuat Ki Gambala kelabakan. Tak sampai sepuluh jurus, dia sudah tampak kebingungan.
Setiap serangan Ki Gambala mudah sekali berhasil dikandaskan Dedemit Salju dengan hadangan sepasang segi tiganya. Dan setiap kali terjadi benturan senjata, tangan Ki Gambala selalu tergetar hebat, disertai tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang. Memang, tenaga dalam Ketua Perguruan Pedang Ular ini cukup berselisih jauh di bawah tenaga dalam Dedemit Salju.
Sebaliknya setiap serangan balasan Dedemit Salju pasti akan membuat Ki Gambala kelabakan bukan kepalang. Hal ini memang tidak aneh. Karena, sebelum senjatanya itu diluncurkan ke arah Ki Gambala, terlebih dulu diputar laksana baling-baling.
Tak sampai tiga puluh jurus, Ki Gambala sudah terdesak. Tampaknya, dia kini hanya bisa bertahan sambil mengelak. Bahkan menangkis pun jarang dilakukan, karena akan merugikan dirinya. Karena Ki Gambala lebih banyak mengelak, dan menangkis hanya dilakukan kalau keadaan sudah sangat memaksa, akibatnya pertahananya semakin kedodoran. Tapi hatinya tetap dikuatkan, dan terus bertahan.
* * * * * * * *
TUJUH
Raja Racun Muka Putih menyaksikan jalannya pertarungan dengan dahi berkernyit. Dia tidak kaget lagi melihat Ki Gambala terdesak. Memang suda diduga kalau Ketua Perguruan Pedang Ular itu bukan tandingan Dedemit Salju. Tapi sungguh tidak disangka kalau akan semudah itu Dedemit Salju membuat lawannya keteter.
Raja Racun Muka Putih tahu, robohnya Ki Gambala hanya tinggal menunggu waktu saja. Gerakan sepasang senjata berbentuk segi tiga milik Dedemit Salju memang terlalu kuat untuk bisa ditahan dengan ilmu pedang Ki Gambala. Tampak jelas kalau mutu ilmu senjata segi tiga Dedemit Salju jauh di atas ilmu pedang Ki Gambala.
Raja Racun Muka Putih tahu, robohnya Ki Gambala hanya tinggal menunggu waktu saja. Maka, dia tidak ingin menunggu sampai Ketua Perguruan Peda Ular roboh. Karena bila hal itu terjadi, berarti akan berhadapan dengan Dedemit Salju sendirian. Padahal Raja Racun Muka Putih tahu kalau dirinya bukan tandingan Dedemit Salju yang luar biasa.
"Hiyaaat...!"
Diiringi suara melengking nyaring, Raja Racun Muka Putih terjun ke dalam kancah pertarungan. Selagi tubuhnya berada di udara sepasang pisaunya dihunuskan. Kedua senjata itu langsung ditusukkan ke arah berbagai bagian tubuh Dedemit Salju yang mematikan.
Trang, tranggg...!
Benturan keras antara pisau-pisau dengan senjata berbentuk segi tiga mengawali terlemparnya kembali tubuh Raja Racun Muka Putih ke belakang. Sementara tubuh Dedemit Salju hanya terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah.
Ki Gambala kini bisa bernapas lega. Dengan munculnya bantuan Raja Racun Muka Putih, beratnya serangan Dedemit Salju menjadi berkurang jauh. Memang setelah Raja Racun Muka Putih ikut campur, jalannya pertarungan jadi lebih menarik, dan tidak berat sebelah lagi. Bahkan kini kakek berpakaian bulu tebal itu kewalahan.
Tapi hal itu hanya berlangsung sekitar sepuluh jurus saja. Lewat jurus itu, Dedemit Salju telah bisa menguasai keadaan kembali. Sulit untuk mendesaknya kembali. Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi antara ketiga orang tokoh tingkat tinggi dunia persilatan itu. Suara mengaung, mendesing, dan mencicit menyemaraki jalannya pertarungan.
Raja Racun Muka Putih mengeluh dalam hati. Sungguh tidak disangka kalau permainan senjata lawan ternyata dahsyat luar biasa. Semula dikiranya hanya dalam tangan kosong saja biang iblis ini memiliki kemampuan tinggi. Ternyata permainan senjatanya pun tidak kalah hebat.
Karena masing-masing tokoh yang bertanding memiliki kecepatan gerakan yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sebentar saja empat puluh jurus telah berlalu, sejak Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala bekerja sama dalam pertarungan. Dan selama ini, pertarungan masih berlangsung imbang. Tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Rupanya hal itu membuat Dedemit Salju penasaran bukan kepalang. Maka, 'Tenaga Inti Salju' segera dikerahkan. Akibatnya hebat bukan kepalang. Sodokan, gaetan, tangkisan, paculan, dan terutama sekali putaran sepasang segi tiga itu, mengeluarkan hawa dingin yang luar biasa! Hal itu membuat Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih terkejut bukan kepalang.
Memang, mula-mula serangan hawa dingin tidak terlalu merepotkan Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih. Tapi lama kelamaan, akibatnya mulai terasa. Hawa dingin yang menyebar, semakin lama semakin menggila. Kalau semula serangan hawa dingin itu sama sekali tidak mengganggu Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih, tidak demikian dengan kejadian selanjutnya. Perlahan-lahan serangan hawa dingin mulai terasa.
Kini baik Ki Gambala maupun Raja Racun Muka Putih harus membagi tenaga. Sebagian kini digunakan untuk menahan serangan hawa dingin. Karena bila hal itu dibiarkan, sekujur otot-otot dan urat-urat tubuh mereka akan sulit digerakkan. Dan bila itu terjadi, jelas akan membuat kegesitan mereka berkurang jauh!
Memang, setelah Dedemit Salju mengerahkan 'Tenaga Inti Salju', Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih mulai terdesak. Betapapun Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tetap saja tidak bisa mengubah keadaan.
Sergapan hawa dingin telah membuat kelihaian kedua tokoh berbeda aliran itu berkurang jauh. Diam-diam Raja Racun Muka Putih mengeluh dalam hati. Keadaannya memang suit. Sebenarnya dia lebih suka kalau Dedemit Salju dihadapi oleh seorang saja. Dengan demikian, akan leluasa untuk mengeluarkan segala macam kemampuan ilmu racunnya tanpa takut melukai Ki Gambala seperti sekarang ini.
Seperti pada saat sekarang ini, Raja Racun Muka Putih jadi tidak bisa mengeluarkan jurus 'Ular Hitam' andalannya. Karena bila jurus itu dipergunakan, Ki Gambala akan celaka lebih dulu. Apalagi di atas kertas, kemampuan Dedemit Salju berada di atas Ki Gambala!
Meskipun Raja Racun Muka Putih tidak bisa menggunakan ilmu racunnya, tapi yang dihadapi Dedemit Salju sebenarnya berat. Karena lawan kali ini adalah gabungan dari Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala, yang justru lebih kuat dibanding perlawanan menghadapi Raja Racun Muka Putih dengan ilmu racunnya.
Meskipun berada dalam keadaan terhimpit, Raja Racun Muka Putih masih sempat membagi perhatiannya untuk melihat Melati, meskipun hanya sekilas. Dan tentu saja hal itu tidak akan bisa dilakukannya kalau menghadapi Dedemit Salju seorang diri. Mendadak...
Brakkk...!
Daun jendela ruangan itu hancur berantakan. Dan dari balik hancuran jendela melesat masuk sesosok berpakaian biru. Ternyata, dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sesaat pemuda berpakaian biru itu menatap ke arah pertarungan yang tengah berlangsung, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Lalu, matanya tertumbuk pada tubuh Melati yang tergolek tak daya.
"Rupanya kau tengah sekarat, Melati. Dan kekasihmu rupanya tengah mencari obatnya. Hmh...! Tak akan kubiarkan kau mendapat obat penyembuhnyal Aku ingin melihatmu tewas secara perlahan-lahan," desis pemuda berpakaian biru dalam hati. Sebuah seringai kejam tersungging di mulut pemuda berpakaian biru itu. Dengan langkah pasti, dihampirinya pembaringan Melati.
Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala terkejut bukan kepalang. Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman hidup, mereka tahu kalau pemuda berpakaian biru itu bukan kawan Melati. Gerak-geriknya menunjukkan kalau pemuda itu mempunyai dendam terhadap putri angkat Raja Bojong Gading itu.
Karuan saja hal itu membuat Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih bingung bukan kepalang. Kalau menuruti perasaan, keduanya ingin melesat ke arah pembaringan Melati. Tapi sayangnya, kesempatan itu tidak dapat dilakukan. Apalagi keadaan mereka tengah terpojok.
Perasaan cemas akan keselamatan Melati, membuat keadaan Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih semakin terdesak. Bahkan kini perhatian mereka terpecah. Dan akhirnya, Raja Racun Muka Putih tidak kuat menanggung perasaan cemasnya ketika melihat pemuda berpakaian biru itu membopong tubuh Melati.
"Hiyaaa...!" Didahului sebuah teriakan nyaring, Raja Racun Muka Putih meninggalkan kancah pertarungan. Tubuhnya melesat ke arah pemuda berpakaian biru.
Tapi Dedemit Salju rupanya tidak sudi memberikan kesempatan Raja Racun Muka Putih untuk mewujudkan maksudnya. Dengan gerakan tak kalah cepat, tubuhnya mengejar.
Ngunggg...!
Sepasang senjata segi tiganya berputar cepat menimbulkan suara mengaung. Lalu, senjata yang berada di tangan kanannya diluncurkan cepat ke arah belakang kepala Raja Racun Muka Putih!
"Raja Racun! Awas...!" teriak Ki Gambala keras ketika melihat bahaya maut yang tengah mengancam Raja Racun Muka Putih.
Sebenarnya, tanpa diberitahu Ki Gambala pun, Raja Racun Muka Putih tahu kalau ada bahaya maut yang tengah mengancamnya. Suara mengaung keras dari luncuran senjata itu jelas tertangkap telinganya.
Tanpa melihat pun, Raja Racun Muka Putih tahu kalau serangan yang dituju oleh senjata Dedemit Salju adalah ke arahnya. Oleh karena itu, tanpa menghentikan lompatannya karena keadaan yang tidak menguntungkan, tubuhnya membungkuk sehingga serangan itu lewat di atas kepala. Tapi kejadian seperti itu sudah diperhitung Dedemit Salju. Di saat itulah, senjata segi tiga yang berada di tangan kiriinya disodokkan ke arah punggung!
Bukkk...!
"Huakhhh...!" Darah segar menyembur dari mulut Raja Racun Muka Putih ketika ujung senjata segi tiga itu mendarat dengan telak dan keras sekali dipunggungnya. Tidak hanya itu saja yang diderita Raja Racun Muka Putih. Tubuhnya pun terjungkal ke depan. Untung di saat terakhir, dia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke arah punggung. Kalau tidak, mungkin sudah sejak tadi nyawanya melayang ke alam baka.
"Raja Racun...!" jerit Ki Gambala kaget ketika melihat tubuh Raja Racun Muka Putih terpental kemudian jatuh bergulingan di lantai. Berbarengan teriakannya Ketua Perguruan Pedang Ular ini melompat menyusul. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah tengkuk Dedemit Salju.
"Hmh...!" Meskipun tubuhnya tengah berada di udara, sementara serangan Ki Gambala tiba begitu cepat, Dedemit Salju mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Kepalanya ditundukkan, sehingga serangan pedang itu meluncur cepat ke atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan yang dilakukan Dedemit Salju. Pada saat kepalanya merunduk, kaki kanannya bergerak menendang ke belakang seperti layaknya seekor kuda menendang. Ki Gambala terperanjat melihat datangnya serangan balasan yang sama sekali tidak diperhitungkan. Sebenarnya kalau saja Ketua Perguruan Pedang Ular ini tidak kalap, hal seperti ini ada dalam perhitungannya. Tapi kenyataan mengatakan lain. Maka....
Bukkk!
"Hugh...!" Tubuh Ki Gambala terlempar jauh ke belakang ketika kaki Dedemit Salju mendarat di perutnya, telak dan keras sekali. Darah segar menyembur deras sepanjang melayangnya tubuh Ki Gambala ke belakang. Luncuran tubuh Ketua Perguruan Pedang Ular itu baru terhenti ketika menabrak dinding!
Perlahan-lahan tubuh Ki Gambala merosot jatuh ke lantai, disertai darah segar yang mengalir dari sudut-sudut mulutnya. Ketua Perguruan Pedang Ular itu diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Memang, nyawa Ki Gambala telah meninggalkan raga saat tubuhnya tengah melayang di udara.
"Hup...!" Begitu kedua kakinya mendarat di lantai, Dedemit Salju langsung melesat keluar melalui jendela. Memang, pemuda berpakaian biru itu telah kabur meninggalkan tempat itu sambil membopong tubuh Melati.
Sesampainya di luar jendela, Dedemit Salju langsung menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Barangkali saja masih bisa melihat bayangan tubuh pemuda berpakaian biru. Tapi harapannya tidak terkabul. Tidak nampak sepotong tubuh pun yang terlihat walaupun sepasang matanya telah berkeliling.
"Keparat...! Siapa pemuda yang berani menculik calon korbanku...!" desis Dedemit Salju penuh geram. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh ancaman. Setelah puas mengucapkan sumpah serapah, Dedemit Salju kembali masuk ke dalam ruangan tempat tubuh Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala tergolek.
"Hm...!" Dengan ujung kakinya Dedemit Salju membalikkan tubuh Raja Racun Muka Putih yang tertelungkup di lantai, hingga menelentang. Sesaat diperhatikannya keadaan tubuh Raja Racun Muka Putih. Pandang matanya yang tajam langsung bisa mengetahui kalau kakek berpakaian merah itu telah tewas!
Tapi untuk lebih menyakinkan hati, kakinya diletakkan di atas dada Raja Racun Muka Putih, kemudian ditekannya. Terdengar suara gemeretak keras dari tulang-tulang dada yang hancur, diiringi mengalirnya darah segar dari mulut, hidung, dan telinga Raja Racun Muka Putih.
Tanpa mempedulikan keadaan Raja Racun Muka Putih lagi, Dedemit Salju melangkah menghampiri tubuh Ki Gambala. Hanya sekilas saja dapat diketahui kalau Ki Gambala telah tewas. Dengan langkah dan sikap tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa, Dedemit Salju melangkah meninggalkan ruang itu. Tapi baru juga beberapa langkah keluar dari ambang pintu, langkahnya berhenti.
"Berhenti...! Siapa kau?! Mengapa berkeliaran di sini....?!"
Dedemit Salju menolehkan kepala ke kanan, arah asal suara itu. Tampak olehnya dua sosok tubuh, yang terdiri dari seorang wanita berpakaian merah menyala dan laki-laki berpakaian seragam Perguruan Pedang Ular. Mereka ini tak lain dari Karmila dan Rupangki.
Sebenarnya Karmila dan Rupangki sudah sejak tadi mendengar adanya ribut-ribut. Tapi karena percaya pada adanya Ki Gambala, terpaksa mereka berpura-pura tidak mendengar. Bahkan terus tenggelam dalam lautan asamara.
Baru setelah berakhir, mereka melesat keluar untuk melihat keributan yang tengah terjadi. Saat itulah Rupangki dan Karmila melihat Dedemit Salju tengah beranjak keluar dari tempat penjagalannya. Rupangki dan Karmila menghentikan langkah ketika telah berjarak tiga tombak dari Dedemit Salju. Kini, mereka saling berdiri berhadapan. Dan dengan hati curiga, Rupangki melirik ke arah ruangan yang baru ditinggalkan Dedemit Salju.
"Mereka semua sudah kubunuh...!" kata Dedemit Salju yang melihat lirikan mata Rupangki.
"Bohong...! Kau bohong...!" teriak Karmila gemetar. "Orang sepertimu mana bisa membunuh mereka!"
Kontan sepasang mata Dedemit Salju berkilat karena amarah yang melanda. Memang, dia paling tidak suka jika ada orang yang meragukan kemampuannya. "Kalau tidak mengingat kau adalah wanita, sudah kulenyapkan nyawamu, Nisanak!" kata Dedemit Salju geram.
"Tenanglah, Karmila," tegur Rupangki pelan seraya menoleh wanita yang telah menjadi istrinya ini.
"Kalau kalian tidak percaya, silakan lihat sendiri!" tandas Dedemit Salju yang merasa tersinggung karena ucapannya tidak dipercaya. Usai berkata demikian, Dedemit Salju menggeser tubuh, memberi jalan pada Rupangki dan Karmila untuk melihat ke dalam ruangan.
Rupangki dan Karmila tahu maksud Dedemit Salju. Tapi, mereka tentu saja tidak langsung percaya Mereka merasa khawatir kalau Dedemit Salju akan menggunakan kesempatan itu untuk membokong mereka. Oleh karena itu, Rupangki menyuruh Karmil berjalan lebih dulu. Sedangkan dia berjalan di belakangnya, dengan sepasang mata mengawasi semua gerak-gerik Dedemit Salju.
Tapi kekhawatiran Rupangki ternyata tidak beralasan. Dedemit Salju sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu, dan malah berdiri tenang.
Ki…!" Jerit keterkejutan Karmila membuat Rupangki melupakan perhatiannya terhadap Dedemit Salju. Kepala pemuda tinggi kurus ini menoleh pula ke dalam. Seketika itu pula, Rupangki terpaku di tempat. Sepasang matanya membelalak lebar seakan-akan tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bahkan kedua kakinya pun menggigil keras.
Memang, pemandangan yang terlihat terlalu mengejutkan. Rupangki terpukul bukan kepalang. Baru kemarin pagi dia dan seluruh murid Perguruan Pedang Ular berkabung besar akibat tewasnya beberapa orang murid Perguruan Pedang Ular, kini disaksikan sendiri kematian gurunya secara begitu mengenaskan.
"Bagaimana? Kalian masih tidak percaya ucapanku?" sindir Dedemit Salju penuh kepuasan karena berhasil membuktikan kebenaran ucapannya barusan.
"Jahanam...!" jerit Rupangki keras sambil membalikkan tubuh.
Ucapan Dedemit Salju memang telah berhasil menyadarkannya dari keterpakuan. Kini dia menatap ke arah Dedemit Salju dengan sinar mata memancarkan hawa maut. Sekujur tubuh Rupangki tampak bergetar hebat karena kemarahan yang melanda. Wajahnya pun tampak merah padam pertanda besarnya kemarahan yang melanda hati.
"Kubunuh kau...!"
* * * * * * * *
Didahului jerit kemarahan yang lebih patut raungan binatang buas terluka, Rupangki menerjang Dedemit Salju. Dengan tubuh berada di udara, tangannya bergerak cepat mencabut pedangnya yang tergantung di punggung. Lalu, pedangnya disabetkan ke arah leher kakek berpakaian bulu binatang berwarna putih itu.
Dalam kemarahan hebat yang melanda Rupangki lupa kalau orang yang telah berhasil membunuh gurunya, pasti memiliki kepandaian tinggi. Tentu saja dia jelas bukan tandingannya. Yang ada di benak Rupangki hanya satu, membatas kematian gurunya.
Karmila tidak tinggal diam. Seperti juga Rupangki, dia pun tersadar dari keterkejutannya. Maka begitu melihat suaminya menyerang, dia pun segera mencabut pedang dan menusukkannya ke arah perut Dedemit Salju.
"Hmh...!" Dedemit Salju mendengus melihat serangan tiba-tiba itu. Kemudian dengan sikap sembarangan saja kedua tangannya digerakkan. Yang kiri diangkat ke atas melindungi leher, sedangkan yang kanan menangkis pedang Karmila.
Takkk...takkk...!
Dua benturuan keras terdengar ketika dua batang pedang itu berbenturan dengan tangan Dedemit Salju. Akibatnya, tubuh Rupangki dan Karmila tedempar ke belakang saking kuatnya tenaga yang terkandung dalam tangkisan yang diberikan Dedemit Salju.
Untung saja Rupangki dan Karmila mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, sehingga mampu mematahkan daya lontar pada tubuh mereka. Kedua kaki mereka langsungi mendarat di lantai meskipun agak terhuyung.
Rupangki dan Karmila saling berpandangan. Mereka berdua tahu, lawan memiliki kepandaian yang luar biasa. Hasil dari benturan itulah yang telah membuktikan. Tampak jelas Dedemit Salju sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan mereka tadi. Jangankan terhuyung, tangannya bergetar saja pun tidak. Padahal kedudukan Dedemit Salju tidak lebih menguntungkan dibandingkan kedudukan Karmila dan Rupangki.
Sedangkan Rupangki dan Karmila merasakan tangan yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Untung saja mereka berhasil mempertahankan pedang, sehingga tidak jatuh ke lantai.
"Ha ha ha...!" Dedemit Salju hanya tertawa terkekeh melihat sikap kedua orang lawannya. Kesempatan itu sama sekali tidak dipergunakan untuk melancarkan serangan. Jelas kalau Dedemit Salju sama sekali tidak memandang Karmila dan Rupangki sebagai lawan yang perlu diperhitungkan.
Karmila dan Rupangki tahu, lawan memiliki kepandaian berada di atas mereka. Tapi hal itu tidak menjadikan gentar karenanya. Setelah saling berpandangan, keduanya kembali menatap ke arah Dedemit Salju sejenak. Lalu....
"Hiyaaat...!" seru Karmila keras. Wanita itu menusukkan pedangnya bertubi-tubi ke arah leher, ulu hati dan dada. Cepat bukan main serangannya sehingga batang pedangnya lenyap bentuknya. Yang terlihat hanyalah seleret sinar menyilaukan yang meluncur ke arah Dedemit Salju.
"Hiaaat...!" Rupangki berseru tak kalah keras. Dia melompat ke atas, dan bersalto beberapa kali di udara melewati kepala Dedemit Salju. Kemudian dari belakang, batang pedang lemasnya yang bergetar langsung mengancam berbagai bagian tubuh belakang lawan.
Dedemit Salju hanya menyeringai melihat serangan ini. Sebuah rencana keji terlintas di benaknya melihat serangan yang mengancamnya dari dua jurusan itu. Serangan-serangan ditunggunya hingga menyambar dekat. Baru ketika kedua serangan itu menyambar dekat, Dedemit Salju menjatuhkan tubuhnya di lantai. Tangan kanannya diulur, menangkap pedang Rupangki. Sedangkan tangan kirinyanya diulur menangkap pedang Karmila.
Tappp...! Tappp...!
Secepat kedua tangannya mencekal senjata kedua lawannya, secepat itu pula disentakkannya. Tak tanggung-tanggung lagi, hampir seluruh tenaga dalam dikerahkan untuk keberhasilan rencana kejinya. Karmila dan Rupangki mana mampu bertahan. Tak pelak lagi, tubuh kedua orang itu pun terbawa tarikan. Dan....
Cappp...! Blesss...!
"Akh...! Akh...!"
Rupangki dan Karmila saling berpandangan dengan sepasang mata terbelalak dan wajah pucat. Betapa tidak? Pedang di tangan Rupangki menembus perut Karmila, dan begitu pula sebaliknya.
"Karmila...," ucap Rupangki pelan dan terputus-putus. Sepasang mata laki-laki muda itu menatap ke arah pedang miliknya yang menembus-perut Karmila. Pandangan matanya tampak penuh penyesalan. Tampak darah segar menyembur dari bagian yang terluka.
"Rupangki...," sebut Karmila pula.
Hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Karmila dan Rupangki, karena sesaat kemudian tubuh mereka ambruk ke lantai. Nyawa sepasang pengantin baru itu telah melayang meninggalkan raga saat itu juga. Memang, luka-luka yang diderita terlalu parah. Pedang-pedang itu menembus hingga sampai ke punggung.
"Ha ha ha...!" Dedemit Salju tertawa bergelak penuh kegembiraan melihat keberhasilan rencananya. Tawanya tak berhenti sekalipun sudah berjalan keluar meninggalkan ruang itu. Tawa yang keras menggelegar dan membuat suasana tempat itu bergetar hebat, karena Dedemit Salju mengerahkan tenaga dalamnya pada suara tawa itu.
Sesaat kemudian suasana di tempat Itu pun hening. Tidak ada lagi suara teriakan-teriakan kematian atau denting senjata beradu. Kegelapan yang mulai turun menyelimuti bumi mengiringi kepergian Dedemit Salju yang telah menjagal belasan orang di Perguruan Pedang Ular.
Sungguh menyedihkan peristiwa yang menimpa Perguruan Pedang Ular. Perguruan aliran putih yang ditakuti lawan dan disegani kawan itu kini telah musnah, di tangan Dedemit Salju.
Matahari sudah sejak tadi menampakkan dirinya. Tapi meskipun begitu, sinarnya masih terasa nikmat di kulit. Langit tampak cerah, tak ada awan yang tampak bergumpal di sana.
Dalam suasana seperti itulah, Arya melesat cepat menuju Perguruan Pedang Ular. Memang, dia telah mengambil keris milik Brajageni yang disimpannya. Arya harus mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, untuk segera tiba di Perguruan Pedang Ular.
Dewa Arak melakukan perjalanan tanpa mengenal waktu. Perjalanannya hanya berhenti kalau kedua kakinya sudah tidak sanggup lagi melangkah. Makan pun apabila perutnya sudah menjerit-jerit minta diisi. Demikian pula halnya dengan tidur. Sepasang matanya dipejamkan apabila sudah tidak bisa terbuka lagi.
Karena itu, tidak aneh kalau dalam dua hari saja keadaan Dewa Arak berubah banyak. Wajahnya terlihat layu dan kuyu. Sepasang matanya pun merah karena kurang tidur. Rambutnya yang putih panjang dan meriap, tampak awut-awutan tak terurus.
Tapi, Dewa Arak tidak mempedulikan hal itu. Keadaan dirinya tidak dipikirkan lagi. Yang ada di benaknya hanya Melati dan Melati! Langkah kaki pemuda berambut putih keperakan ini semakin cepat ketika melihat pagar kayu bulat yang mengelilingi Perguruan Pedang Ular di kejauhan.
"Tunggulah, Melati. Aku datang untuk menebus obat untukmu...," ucap Arya dalam hati seraya terus melangkah.
Sebenarnya, Dewa Arak merasa berat untuk menyerahkan keris yang diketahuinya amat berbahaya ini ke tangan Raja Racun Muka Putih. Apalagi ketika diketahuinya kalau keris itu terbuat dari benda langit, dan itu didengarnya dari mulut Raja Racun Muka Putih sendiri, maka Dewa Arak semakin tidak ingin untuk memberikan keris itu.
Tapi Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi. Nyawa Melati lebih dari segalanya. Jangankan hanya sebuah keris. Seribu keris pun akan direlakannya kalau memang dapat digunakan untuk menyembuhkan Melati.
Semakin lama, jarak antara Arya dengan markas Perguruan Pedang Ular semakin dekat. Dan seiring semakin dekat jaraknya, mulai tampak ada kernyitan di dahi Arya ketika melihat jelas markas Perguruan Pedang Ular.
Memang, meskipun jaraknya masih tersisa lebih dari dua puluh tombak, tapi sepasang mata Dewa Arak yang tajam bisa melihat adanya keanehan pada markas Perguruan Pedang Ular. Pintu gerbang Perguruan Pedang Ular terbuka lebar, padahal tidak ada satu pun murid perguruan yang berada di luar. Begitu cerobohkan mereka? Atau jangan-jangan telah terjadi sebuah peristiwa besar lagi di perguruan itu?
Perasaan tidak enak seketika melanda hati Arya, ketika terpikir kemungkinan terjadinya peristiwa tidak diinginkan di Perguruan Pedang Ular. Tapi segera hatinya dihibur dengan menimbulkan keyakinan, siapa yang berani mengusik Perguruan Pedang Ular yang berada di bawah pimpinan Ki Gambala? Belum lagi dengan adanya Raja Racun Muka Putih yang kelihaiannya telah diketahui. Ah..., jangan-jangan malah Raja Racun Muka Putih yang mengacau?
"Tidak mungkin!" bantah Arya dalam hati. Dewa Arak tahu betul, Raja Racun Muka Putih amat menginginkan keris benda langit ini. Tidak mungkin kalau kakek berpakaian merah itu akan melakukan perbuatan yang tidak-tidak. Dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk dalami benaknya, Arya terus melangkahkan kakinya dengan kecepatan tinggi. Sehingga, tak lama kemudian dia telah berada di depan pintu gerbang yang terbuka lebar.
Sepasang mata Arya terbelalak seketika. Belum sempat kakinya melangkah melewati ambang pintu gerbang, pemandangan yang membuat kekhawatirannya memuncak terpampang di hadapannya. Belasan sosok tubuh yang dari pakaiannya dikenalinya betul sebagai murid-murid Perguruan Pedang Ular, tampak bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa!
"Iblis keji dari mana yang melakukan semua ini...?!" desis Arya, geram. Tanpa mempedulikan mayat-mayat yang bergeletakan, Dewa Arak segera melesat cepat ke salah satu bangunan.
Kekhawatirannya akan nasib Melati yang menyebabkan pemuda berambut putih keperakan itu tidak lagi meneliti mayat-mayat yang bergeletakan. Dewa Arak begitu khawatir akan terjadinya hal yang tidak diinginkan pada gadis yang dicintainya. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Dewa Arak telah berada di dalam. Tapi langkah kakinya kontan terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada dua sosok tubuh yang tergolek di lantai bermandikan darah.
Arya merasakan kedua kakinya menggigil ketika melihat dua sosok tubuh itu. Sesaat dia berdiri terpaku dengan jantung terasa diremas-remas. Kemudian, kaki-kakinya yang menggigil diayunkan menghampiri.
"Rupangkiii...! Karmilaaa...!" jerit Dewa Arak dengan hati pilu ketika yakin kalau dua sosok mayat yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu benar-benar Rupangki dan Karmila. Arya membungkukkan tubuhnya, dan menatap ke arah mayat Rupangki dan Karmila. Bahunya tampak terguncang-guncang karena perasaan haru dan kesedihan yang melanda. Hati Arya bagai ditusuk pisau karatan melihat keadaan mayat sepasang pengantin baru itu.
"Rupangki..., Karmila..., betapa buruknya nasib kalian," ratap Arya serak karena cekaman perasaan haru membuat tenggorokannya terasa tercekik. "Aku bersumpah, Karmila, Rupangki.... Akan kucari Iblis yang telah berlaku sekejam ini pada kalian... Akan kubalaskan sakit hati kalian!"
Arya mengepalkan kedua tangannya. Suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang patah terdengar keras ketika jari-jari tangannya mengepal. Bahkan dari sekujur tubuh, terutama sekali ubun-ubunnya, keluar asap berwarna putih. Ini menandakan kalau 'Tenaga Sakti Inti Matahari' telah mengalir keluar karena cekaman kemarahan yang melanda.
Tapi berbeda dengan biasanya, asap yang keluar tidak lagi tipis tapi agak tebal dan banyak. Arya yang tengah larut dalam keharuan, kesedihan, dan kemarahan hebat, sama sekali tidak mengetahuinya. Andaikan melihat, dia akan merasa heran karena hal itu berarti 'Tenaga Sakti Inti Matahari' nya telah bertambah kuat. Tenaganya telah maju pesat!
Memang, tanpa diketahui Arya, masuknya belalang raksasa ke dalam tubuhnya bukan tanpa pengaruh apa-apa. Setiap kali belalang raksasa itu masuk dalam tubuhnya, dan Arya menggunakannya dalam pertarungan, maka akibatnya akan menjadi luar biasa! Hanya saja, pemuda itu tidak mengetahuinya.
Mendadak Arya tersentak kaget ketika teringat kembali pada Melati. Apakah kekasihnya itu pun mengalami kejadian yang serupa, tewas seperti halnya murid-murid Perguruan Pedang Ular dan Karmila?! Siapakah sebenarnya pembunuh keji itu? Dan ke mana perginya Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih? Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
Teringat kembali akan Melati, membuat Arya bergegas bangkit. Dengan detak jantung memukul-mukul keras, kakinya melangkah menghampiri ruangan yang diketahuinya sebagai tempat Melati dulu dibaringkan.
"Hugh...!" Suara keluhan tertahan keluar dari mulut Arya ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Tanpa sadar, kakinya melangkah mundur ke belakang. Wajah pemuda berpakaian ungu ini nampak pucat pasi.
"Ki Gambala... Raja Racun Muka Putih...," desis Arya dengan bibir bergetar ketika melihat mayat dua orang kakek sakti berbeda aliran tergeletak di lantai.
Rasa khawatir yang amat sangat menjalari hati Arya. Kedua orang sakti yang bertugas menjaga keselamatan Melati kini telah tewas. Lalu, bagaimana nasib Melati? Cepat laksana kilat, Arya melesat ke arah pembaringan Melati. Tapi, yang dijumpainya hanyalah pembaringan itu tanpa Melati ada di sana!
"Melati...," desis Arya dengan kekhawatiran menggelegak. Kecemasannya akan nasib Melati membuatnya tidak ingat lagi akan mayat Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih.
"Melati! Melati...! Melati...!"
"Melati! Melati...! Melatiii...!"
Teriak Arya bagai orang gila! Kekhawatiran yang mendera hatinya akan keselamatan Melati, membuat pendekar muda itu tidak bisa mengendalikan diri. Dewa Arak terus berteriak-teriak, memanggil nama kekasihnya. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari.
Sementara, kedua kakinya terus mondar-mandir! Arya kini bagaikan orang gila! Kekhawatiran yang mendera hati akan keselamatan Melati, membuatnya tidak bisa mengendalikan diri. Pemuda berambut pulih keperakan itu berteriak-teriak, memanggil-manggil nama kekasihnya seperti orang gila. Kepalanya ditolehkan ke sana-kemari.
Sementara, kedua kakinya melangkah mondar mandir ke sekeliling kamar itu. Dalam puncak kekhawatiran yang melanda hati, akal sehat Dewa Arak menguap entah ke mana. Dia terus saja berteriak-teriak memanggil nama kekasihnya disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga, membuat ruangan sekitar tempat itu bergetar hebat seperti akan rubuh. Kalau saja Arya mau menggunakan akal sehatnya sebentar, pasti akan tahu kalau teriakannya itu sia-sia saja.
Karena, Melati saat itu tengah tidak sadarkan diri. Jadi mana mungkin pergi seorang diri. Lalu, siapa orang yang membawanya. Akhirnya setelah memanggil-manggil dan berkeliling beberapa saat lamanya tanpa hasil, Arya menyadari kalau usahanya tidak ada gunanya. Tindakannya dihentikan dan berdiri dengan kedua lututnya. Siku kedua tangannya ditelekankan di pembaringan. Sedangan kedua telapak tangannya bertengger di dagu.
Cukup lama juga Arya bertopang dagu seperti itu. Napasnya ditariknya dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan hati. Disadari, kalau tidak bisa bersikap tenang, maka pikirannya akan buntu. Arya membutuhkan waktu beberapa saat lamanya untuk bisa menenangkan diri.
Baru setelah hatinya mulai tenang, Dewa Arak mulai berpikir. Dan kini, mulai bisa didapatkan adanya sebuah harapan kalau Melati belum tewas. Gadis berpakaian putih itu kemungkinan besar masih hidup! Ketidak-beradaan mayat Melati di situ, telah menimbulkan sebuah harapan di hatinya. Melati pasti tidak dibunuh!
Dengan adanya dugaan seperti itu, semangat Arya timbul kembali. Bergegas diperhatikannya keadaan sekeliling kamar itu. Karena dilakukannya dengan pikiran tenang, Dewa Arak mulai bisa menarik kesimpulan. Dan itu didapatkan dari daun jendela yang hancur berantakan.
"Pembunuh itu pasti masuk dari jendela...," desis Arya dalam hati.
Semangat Arya semakin berkobar begitu melihat adanya titik terang untuk mengungkapkan peristiwa pembunuhan besar-besaran itu. Tak puas dengan hasil penyelidikan yang didapat, Arya mengedarkan pandangan sekeliling ruangan itu. Sampai akhirnya, sepasang matanya tertumbuk pada mayat Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala.
Perlahan-lahan Arya melangkah menghampiri. Yang ditujunya lebih dulu adalah mayat Raja Racun Muka Putih, karena letaknya memang lebih dekat. Dengan sepasang mata yang terus tertuju pada mayat kakek berpakaian merah itu, tubuhnya membungkuk kemudian diperiksanya mayat Raja Racun Muka Putih.
"Keji...!" desis Arya ketika mengetahui sekujur tulang dada Raja Racun Muka Putih hancur berantakan. Dewa Arak merasa terpukul bukan kepalang melihat Raja Racun Muka Putih telah tewas. Karena hanya kakek itulah satu-satunya yang bisa menyelamatkan nyawa Melati. Lalu, sekarang bagaimana nasib Melati kalau Raja Racun Muka Putih telah tewas?
Mendadak pandangan mata Arya melihat adanya sesuatu yang mirip tulisan di lantai yang tidak tertutupi mayat Raja Racun Putih. Dengan hati berdebar tegang, Dewa Arak memindahkan mayat Raja Racun Putih. Sekarang jelas terlihat, sesuatu yang mirip tulisan. Dan memang, dugaan Dewa Arak tidak salah. Itu memang tulisan yang ditulis dengan darah.
Dan sudah pasti, tulisan itu menggunakan ujung jari untuk mengguratkannya. Dan menilik dari lantai yang tergurat cukup dalam, bisa diketahui kalau Raja Racun Muka Putih menggunakan tenaga dalam sewaktu menuliskannya.
Dewa Arak....
Pelaku pembunuhan ini adalah Dedemit Salju. Melati dibawa kabur oleh pemuda berbaju biru. Obat untuk menyembuhkan Melati, pil yang berwarna merah.
Usai membaca tulisan terakhir Raja Racun Muka Putih, Arya merasakan betapa sepasang matanya panas dan berkaca-kaca. Rasa haru melanda hatinya. Sungguh tidak disangka kalau Raja Racun Muka Putih akan bertindak demikian. Di akhir hayatnya, dia masih sempat memberitahukan pelaku semua pembunuhan itu dan obat untuk kekasihnya.
"Terima kasih, Raja Racun Muka Putih. Tidak kusangka kalau kau mempunyai hati yang begitu luhur. Kau ternyata memegang janjimu, membela Melati sampai akhirnya menjadi tewas karenanya. Sayang sekali, aku tidak bisa membalas budimu...."
Usai berkata demikian, Arya kembali membungkuk. Diperhatikannya sejenak mayat Raja Racun Muka Putih.
"Maaf, Raja Racun Muka Putih. Aku terpaksa mengambil sendiri obatnya. Aku yakin, kau tidak akan menganggap tindakanku ini sebagai suatu kelancangan," kata Arya seraya mengulurkan tangannya ke balik baju kakek itu.
Buru-buru Arya membuka ikatan buntalan itu. Tapi, di dalamnya ternyata bukan berisi pil berwarna merah tapi obat pulung berwarna coklat. Arya menyingkirkan buntalan kain itu, kemudian dimasukkan kembali tangannya ke balik pakaian Raja Racun Muka Putih. Dikeluarkan lagi beberapa macam buntalan kain hitam, sampai akhirnya menemukan pil berwarna merah yang dimaksud. Buru-buru Arya mengikatkan buntalan kain hitam yang berisikan pil berwarna merah itu ke balik ikat pinggangnya.
"Raja Racun Muka Putih..., dengarlah! Aku berjanji akan membalas perlakuan keji Dedemit Salju pada dirimu. Dia akan kukirim ke neraka selama-lamanya!" janji Arya setelah berdiri tegak kembali. Dan janji yang sama diucapkannya di hadapan mayat Ki Gambala.
* * * * * * * *
DELAPAN
Arya berdiri dengan kepala tertunduk. Sepasang matanya menatap ke arah gundukan-gundukan tanah yang berjajar di bawah kakinya, yang berisikan seluruh mayat-mayat yang ada di Perguruan Pedang Ular. Memang, Aryatelah menguburkan semua mayat itu.
"Hhh...!" Entah untuk yang keberapa kalinya, pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas berat. Peluh yang membasahi leher dan keningnya sama sekali tidak dipedulikan. Sepasang matanya menatap ke arah gundukan-gundukan tanah berisi mayat dengan sorot mata duka.
Kemudian setelah menghembuskan napas berat kembali. Dewa Arak melangkah lesu meninggalkan tempat itu. Hatinya benar-benar terpukul. Dia merasa bersalah bukan kepalang setelah mengetahui kalau pelaku semua pembantaian ini adalah Dedemit Salju. Dewa Arak tahu, biang iblis yang amat sakti itu pergi ke Perguruan Pedang Ular untuk menjumpai dirinya untuk membalas dendam.
Jadi, semua kejadian berdarah di Perguruan Pedang Ular ini terjadi karena dirinya. Dan inilah yang membuat Arya merasa terpukul. Kini yang dapat dilakukannya hanyalah membalaskan sakit hati semua orang yang terbunuh pada Dedemit Salju. Dan itulah yang menjadi penyebab mengapa Arya bergegas meninggalkan markas Perguruan Pedang Ular.
Matahari mulai condong ke Barat ketika Dewa Arak telah melewati ambang pintu gerbang Perguruan Pedang Ular. Dan setibanya di sini, Arya tidak melangkah perlahan-lahan lagi. Tapi, dikerahkannya seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Maka sekejap kemudian, yang terlihat hanyalah seleret sinar berwarna ungu yang melesat cepat meninggalkan Perguruan Pedang Ular.
Sambil terus berlari cepat benak Arya berputar keras. Siapakah pemuda berpakaian biru yang telah membawa kabur Melati? Padahal Melati tengah keracunan dan tidak sadarkan diri. Dan keadaan Melatilah yang membuat kecemasan hati Arya semakin menjadi-jadi. Dia harus secepatnya menemukan Melati dan memberikan obatnya.
Perasaan cemas akan keselamatan Melati, membuat Arya memutuskan untuk mencari pemuda berbaju biru lebih dulu. Masalah membalas dendam pada Dedemit Salju, bisa belakangan. Karena Arya berlari mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, sebelum kegelapan menyelimuti persada, dia telah mencapai batas tembok Desa Layang. Desa yang paling dekat letaknya dengan markas Perguruan Pedang Ular. Memang, letak perguruan itu cukup jauh dari desa-desa sekitarnya.
Sesampainya di sini, Arya menghentikan larinya. Dia tidak mau menarik perhatian orang dengan lari secepat itu. Kakinya melangkah perlahan-lahan, walaupun keinginan hati untuk cepat tiba menemukan Melati begitu menggebu-gebu. Sepasang mata Arya beredar berkeliling, memperhatikan suasana sekelilingnya.
Arya berharap ada orang yang berada di luar agar bisa menanyakan perihal pemuda berpakaian biru. Barangkali saja mereka melihatnya. Setidak-tidaknya, dengan adanya petunjuk, betapapun sedikitnya, dapat dijadikan pedoman untuk pencarian selanjutnya daripada mencari-cari tanpa petunjuk sama sekali.
Tapi harapan Dewa Arak ternyata tidak terkabul. Tidak ada seorang pun penduduk yang berada di luar. Bahkan semua pintu dan jendela tertutup rapat. Nampaknya para penduduk lebih suka berada di dalam rumahnya.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Perasaan kecewa yang melanda, menyebabkannya bersikap begitu. Tapi meskipun demikian, dia tidak putus asa. Tetap saja kepalanya ditolehkan ke sana-kemari untuk mencari cari barangkali saja ada orang yang masih berada di luar.
Entah berapa jauh melangkah perlahan-lahan begitu, Arya sama sekali tidak mempedulikannya. Yang ada di pikirannya hanya satu. Dia harus menemukan orang agar bisa bertanya mengenai keberadaan pemuda berbaju biru.
Langkah Arya terhenti ketika melihat sebuah kedai yang masih buka. Samar-samar terdengarnya suara pembicaraan orang di dalamnya. Jelas, di dalam kedai itu masih ada pengunjungnya. Arya tertegun sejenak. Haruskah dia masuk ke dalam kedai itu dan bertanya pada mereka? Ah! Kenapa begitu bodoh! Bukankah perutnya sudah lama tidak diisi, dan isi guci araknya pun tinggal sedikit? Dia bisa bertanya pada mereka sambil memesan makanan dan minuman.
Dengan harapan yang mulai menyala dalam hati, Arya melangkah memasuki kedai. Di ambang pintu pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan langkah. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling dalam kedai. Rupanya pengunjung yang hanya berjumlah tiga orang mendengar kedatangan Dewa Arak.
Salah seorang pengunjung kedai yang duduknya menghadap ke pintu, tentu saja melihat kedatangan Arya. Sesaat sepasang matanya terbelalak ketika melihat rambut Dewa Arak. Jelas, dia merasa kaget melihat seorang pemuda seperti Arya mempunyai warna rambut yang seharusnya hanya dimiliki orang berusia lanjut.
Melihat rekannya bersikap demikian, dua orang laki-laki yang duduk di hadapannya tentu saja menjadi heran. Mereka pun menoleh ke arah yang sama. Dan sepasang mata kedua orang ini pun terbelalak.
Arya tentu saja mengetahui penyebab kekagetannya ketiga orang itu. Memang, tak jarang warna rambutnya yang aneh itu menarik perhatian orang. Dan dia tidak menjadi heran melihat sikap mereka. Kalau saja Arya tidak tengah dilanda perasaan cemas, mungkin sudah merasa geli melihat pemandangan ini. Ketiga mulut melongo. Sedangkan tangan-tangan mereka yang tengah mengangkat gelas atau menyuapkan makanan terhenti di udara. Arya menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyum lebar.
"Selamat malam, Kisanak semua...," ucap pemuda berambut putih keperakan sopan.
"Selamat malam...," sambut tiga orang itu agak tergesa-gesa dan terbata-bata.
Sadar akan ketidak-pantasan sikap yang diperlihatkan, tiga orang itu buru-buru meneruskan makan minum mereka yang tadi terhenti di tengah jalan.
Arya melangkah mendekati meja ketiga orang itu. Pandangan matanya yang tajam langsung bisa menebak kalau ketiga orang itu adalah pemburu-pemburu. Ini bisa diketahui dari berbagai macam senjata yang menghiasi tubuh mereka, yang terbungkus pakaian dari kulit binatang.
Arya lalu duduk di kursi yang berdekatan dengan meja mereka itu dilakukan agar tidak mengalami kesulitan apabila mengajukan pertanyaan pada mereka. Seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus kering bergegas menghampiri meja Arya.
"Mau pesan apa, Den?" tanya laki-laki kurus kering itu sopan.
"Arak seguci besar, dan ayam panggang, Ki," sebut Arya memesan makanan kegemarannya.
Laki-laki bertubuh kurus kering itu melengak sebentar. Arak seguci besar? Tidak gilakah pemuda berambut putih keperakan ini? Dia bisa mabuk berat apabila benar-benar meminum arak sebanyak itu!
Bukan hanya pemilik kedai itu yang kebingungan, tiga orang laki-laki pengunjung kedai yang rata-rata berwajah kasar dan bertubuh tegap itu pun menoleh, karena merasa heran mendengar permintaan Arya.
"Seguci besar arak, Den?" tanya laki-laki bertubuh kurus kering itu untuk memastikan kalau dirinya tidak salah dengar.
Arya menganggukkan kepala, pertanda membenarkan. Kini pemilik kedai itu tidak ragu-ragu lagi. Walaupun benaknya dipenuhi keheranan, tubuhnya segera berbalik. Dia kini siap menuju ke belakang untuk menyiapkan pesanan pemuda berpakaian ungu itu, Tapi....
"Tunggu sebentar, Ki...!"
"Ada apa, Den?" tanya laki-laki bertubuh kurus kering itu sambil membalikkan tubuh.
"Apakah kau melihat seorang pemuda berpakaian biru yang membawa seorang gadis berpakaian putih?!" tanya Arya penuh harap.
Laki-laki bertubuh kurus kering itu mengernyitkan dahinya sejenak sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Sayang sekali. Den." jawab pemilik kedai itu dengan nada suara penuh penyesalan karena tidak bisa menjawab pertanyaan Arya. "Aku tidak melihatnya....!"
"Tidak mengapa, Ki," sambut Arya buru-buru. Pemilik kedai itu kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan ke dalam untuk menyiapkan pesanan Arya.
"Mengapa kau mencari pemuda berpakaian biru, Kisanak?" tanya salah seorang dari tiga laki-laki bertubuh tegap itu.
"Karena, dia telah menculik kawanku, Kisanak," jawab Arya seraya menatap wajah penanyanya, seorang laki-laki bertubuh tegap dengan sebuah codet melintang di dahi. Laki-laki bercodet itu mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa maksud anggukannya.
"Apakah kau melihatnya, Kisanak?" tanya Arya iseng. Barangkali saja orang itu atau kawannya pernah mengetahui, atau setidak-tidaknya melihat pemuda berpakaian biru itu.
Laki-laki bercodet itu saling berpandangan dengan dua rekannya sejenak. Karuan saja hal itu membuat Arya heran. Mengapa laki-laki bercodet itu bukannya menjawab pertanyaan, tapi malah saling berpandangan dengan dua orang rekannya?
"Kami memang melihatnya.... Dia sepertinya tergesa-gesa sekali," jawab laki-laki bercodet ketika melihat kedua temannya mengangkat bahu, pertanda tidak mau ikut campur.
Kini Arya mengerti. Laki-laki bercodet itu rupanya meminta pertimbangan rekannya. "Di mana kau melihatnya, Kisanak?" tanya Arya penuh gairah.
Laki-laki bercodet itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Ditatapnya wajah pemuda berambut putih keperakan itu lekat-lekat. Ada senyum yang tersungging di mulutnya.
"Apa imbalannya kalau kami memberitahukan tempat kami bertemu pemudia berbaju biru itu?" tantang laki-laki bercodet itu.
"Apa yang kalian inginkan?" Arya malah balas bertanya setelah beberapa saat lamanya tercenung.
"Kami hanya ingin agar kau bersedia mengajarkan ilmu silat pada kami, Dewa Arak," jawab laki-laki bercodet itu dengan senyum di bibir.
Arya terperanjat mendengar permintaan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Apalagi ketika didengarnya laki-laki bercodet itu menyebutkan julukannya.
"Bukankah kau Dewa Arak?" tanya laki-laki bercodet itu lagi untuk memastikan kebenaran dugaannya.
Dengan senyum getir yang mengembang di bibir Arya menganggukkan kepalanya. Tanpa perlu bertanya pun, dia tahu mengapa ketiga orang itu mengetahui kalau dirinya adalah Dewa Arak. Ciri-cirinya memang terlampau menyolok. Dalam ribuan pemuda di dunia ini, bukan tidak mungkin hanya dia sendirian yang memiliki ciri-ciri seperti itu.
"Bagaimana, Dewa Arak!" Kau bersedia menerima syaratku?" desak laki-laki bercodet penuh gairah.
"Tidak perlu kau turuti permintaannya yang konyol itu, Dewa Arak?" sergah laki-laki yang berhidung besar. "Kalau dia tidak mau memberitahukannya, aku yang akan memberitahukannya padamu."
Arya tersenyum lebar. "Siapa pun yang memberitahukannya padaku di antara kalian bertiga, aku tetap akan mengajarkan kalian beberapa gerakan ilmu silat"
"Benarkah demikian. Dewa Arak?!" hampir berbareng tiga orang laki-laki bertubuh tegap itu mengucapkan pertanyaannya.
"Benar! Tapi, aku tidak bisa mengajarkan kalian sekarang," janji Arya.
"Kapan kau siap, kami pun siap, Dewa Arak," mantap dan tegas jawaban yang dikeluarkan laki-laki berwajah codet, meskipun ada perasaan malu yang bersemayam di hati melihat kebijaksanaan Arya.
"Ya! Kami tinggal di Desa Sampan. Tanyakanlah nama Benggala. Semua orang akan tahu."
"Baik. Akan kuingat tempat dan nama kalian. Lalu, di manakah kalian bertemu pemuda berbaju biru itu?"
"Di Hutan Gelugut. Dia menuju ke arah Barat," jawab laki-laki bercodet.
"Hutan Gelugut?" Arya mengernyitkan keningnya. "Di mana letaknya?"
"Kau hanya tinggal menuju ke arah Barat terus, Dewa Arak. Dan hutan yang akan kau jumpai nanti itulah adalah Hutan Gelugut," kali ini laki-laki berhidung besar yang menjawabnya.
"Terima kasih, Benggala," kata Arya tulus.
Percakapan mereka terhenti, karena laki-laki pemilik kedai telah datang mengantarkan pesanan Arya.
"Silakan dinikmati, Den," kata pemilik kedai itu mempersilakan.
"Terima kasih, Ki," ucap Arya sambil mengulurkan tangan mengambil guci arak yang telah diletakkan di atas meja. Dan seperti tanpa pengerahan tenaga. Dewa Arak mengangkat guci arak itu. Kemudian, dituangkannya ke dalam guci perak yang telah diletakkan di atas meja!
Gluk... gluk... gluk...!
Suara menggeluguk arak yang masuk ke dalam guci perak Arya terdengar jelas. Pemilik kedai, dan tiga laki-laki bertubuh tegap menatap dengan sepasang mata terbelalak. Mereka semua bisa memperkirakan beratnya guci besar yang penuh berisi arak itu. Bahkan pemilik kedai sendiri membawanya dengan bantuan seorang anak laki-lakinya yang bertubuh kekar berotot. Tapi, di tangan Dewa Arak guci itu seperti segumpal kapas saja layaknya.
"O ya, Anak Muda," kata pemilik kedai setelah Arya selesai menuangkan arak itu dan mengembalikan guci besar, di atas meja. Suara laki-laki kurus kering ini terdengar serak karena kaget melihat pertunjukan yang tersaji di hadapannya.
"Kata anakku..., kemarin pun ada orang yang mencari pemuda berbaju biru itu. Dia seorang kakek berpakaian terbuat dari bulu beruang berwarna putih...."
"Dedemit Salju...," desis Arya dalam hati disertai perasaan kaget. Jadi, biang iblis yang kejam itu pun ternyata tengah mengejar pemuda berbaju biru pula. Kalau begitu, dia harus bertindak cepat kalau tidak ingin keduluan.
"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang, Ki," kata Arya sambil bangkit berdiri. Disampirkan kembali guci peraknya di punggung, kemudian dicomotnya satu potongan ayam panggang. "Ini bayarannya."
Usai berkata demikian, dan berpamit pada pemilik kedai dan tiga orang laki-laki bertubuh tegap itu. Dan sebelum mereka semua sempat berbuat sesuatu, Arya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tanpa sungkan-sungkan lagi, seluruh ilmu meringankan tubuhnya segera dikerahkan sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat keluar kedai.
Semua yang berada di dalam kedai hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala karena takjub. "Hebat...!" desis laki-laki berhidung besar. "Julukan Dewa Arak benar-benar bukan hanya kabar burung saja...."
Sambil menggerogoti potongan ayam panggang yang dibawanya, Arya berlari cepat menuju ke arah Barat. Tidak dipedulikannya suasana malam yang telah jatuh. Dia harus bergegas kalau tidak ingin keduluan Dedemit Salju.
Arya berlari terus tanpa mempedulikan jarak yang telah ditempuhnya, tanpa mengurangi kecepatan, tak aneh, kalau belum mencapai sepertiga malam dia telah memasuki Hutan Gelugut, sebuah hutan besar yang banyak ditumbuhi pohon-pohon tinggi.
Mendadak Arya menghentikan larinya. Pendengarannya yang tajam samar-samar menangkap adanya suara yang diucapkan keras. Kepalanya ditelengkan agar bisa mendegar lebih jelas lagi suara yang terdengar itu.
Dan dengan berpedoman suara-suara itu, Arya melangkah hati-hati menuju ke sana. Seiring semakin mendekatnya, suara-suara yang terdengar semakin keras.
"Ha ha ha...! Monyet Cilik! Berani betul kau mempermainkan Dedemit Salju! Kau kira bisa lolos dari tanganku?! Ha ha ha...! Jangan harap...!"
Dada Arya kontan berdebar. Perasaan tegang pun melanda hatinya. Dedemit Salju! Jadi, biang iblis itu telah berhasil menemukan pemuda berbaju biru? Maka, dia harus cepat bertindak kalau tidak ingin Melati menjadi korban dedengkot kaum sesat yang menakutkan itu.
Meskipun hatinya melonjak-lonjak untuk segera tiba di tempat Dedemit Salju, Arya tidak berani bertindak ceroboh. Dia tahu betul kelihaian kakek pendek gemuk itu. Maka Dewa Arak harus bersikap hati-hati. Ditahannya keinginan yang ingin buru-buru bertemu Melati. Kini Arya bergerak menghampiri, dan berlindung di balik pepohonan serta semak-semak lebat.
"Aku tidak mau berurusan denganmu, Dedemit Salju," terdengar oleh telinga Arya sebuah suara menyahuti ucapan Dedemit Salju. "Aku pun tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi, aku juga punya dendam pada gadis ini. Ayah angkatnya, Raja Bojong Gading, telah membuat kakakku yang bernama Adipati Tasik, bernama Pradipta, tewas. Dan aku akan memukul perasaan Raja Keparat itu dengan membunuh putri kesayangannya. Kepalanya akan kupenggal dan kupajang di depan pintu gerbang istana Bojang Gading."
"Aku tidak peduli urusanmu. Monyet Kecil! Yang jelas, kau telah berani mengambil calon korbanku. Bahkan telah begitu berani mempermainkanku dengan membuat jejak, seolah-olah kau telah meninggalkan hutan itu. Untuk kesalahan itu, kau tidak akan kubiarkan hidup!"
"Keparat, Dedemit Salju...! Kau kira aku takut padamu...?!" teriak pemuda berbaju biru keras, karena tahu kalau dirinya tidak akan diampuni Dedemit Salju. "Aku Taksaka bukan orang yang takut mati!"
Usai bekata demikian, Taksaka melompat menerjang Dedemit Salju. Sadar kalau lawan yang dihadapinya amat tangguh, senjata andalannya yang berupa tongkat pendek berujung runcing langsung digunakan ketika menyerang.
Tapi lawan yang diserang Taksaka adalah Dedemit Salju, dedengkotnya tokoh persilatan aliran hitam. Maka mudah saja baginya mengelakkan serangan itu. Rupanya, Dedemit Salju tidak berkeinginan untuk langsung merobohkan lawannya. Terbukti, dia sama sekali belum melancarkan serangan balasan. Tokoh menggiriskan itu hanya terus mengelak dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Taksaka.
Pada saat Taksaka menyerang Dedemit Salju secara kalang kabut. Arya tiba di dekat tempat itu. Namun pemuda berambut putih keperakan ini hanya menyaksikan jalannya pertarungan dari balik sebatang pohon besar.
Setelah memperhatikan sejenak; Arya langsung tahu kalau Taksaka bukan tandingan Dedemit Salju. Kalau kakek berpakaian putih itu mau, dalam beberapa jurus lawannya bisa ditewaskan.
Arya sama sekali tidak memperhatikan jalannya pertandingan lagi. Sepasang matanya beredar ke sekeliling, mencari-cari di mana adanya Melati. Sesaat kemudian dia telah melihatnya. Tubuh kekasihnya tampak tergolek dekat sebatang pohon besar. Dengan mengambil jalan memutar dan tanpa meninggalkan kewaspadaannya, Arya melangkah mendekati Melati. Dia tidak ingin Dedemit Salju melihatnya.
Harapan Dewa Arak terkabul. Sampai berada di dekat tubuh Melati, baik Dedemit Salju maupun Taksaka sama sekali tidak mengetahuinya. Rupanya kedua orang itu terlalu sibuk dengan urusannya. Buru-buru Arya memasukkan sebutir pil merah ke dalam mulut Melati. Dan saat itulah, Dedemit Salju baru melihatnya!
Namun akibatnya begitu hebat bagi Taksaka! Dedemit Salju yang sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi ketika melihat adanya Dewa Arak yang tengah dicari-carinya, segera melancarkan serangan dahsyat ke arah kepala Taksaka. Cepat bukan main serangan yang dilakukan, sehingga akibatnya....
Prokkk...!
Tanpa sempat mengeluarkan jeritan lagi, Taksaka tewas seketika dengan kepala pecah. Darah bercampui otak mengalir keluar dari kepalanya. Tanpa mempedulikan mayat Taksaka lagi. Dedemit Salju segera menghampiri Dewa Arak yang juga bergegas mendekatinya. Keduanya baru menghentikan langkah ketika berada dalam jarak tiga tombak.
"Dewa Arak...! Akhirnya kau datang juga...!" desis Dedemit Salju tanpa menyembunyikan perasaan geramnya. "Kini, sudah tiba saatnya bagiku untuk membuat perhitungan denganmu!"
"Bukan hanya kau yang bermaksud demikian, Dedemit Salju! Aku pun ingin melenyapkanmu!" sahut Arya tak kalah geram, setelah mengerling sejenak ke arah mayat Taksaka.
Arya kini tahu, Taksaka adalah murid Raja Ular Gunung Pare. Ilmu yang digunakan Taksaka jelas-jelas ilmu tokoh sesat berwajah tirus itu. Tapi baik Arya maupun Melati tidak tahu kalau Taksaka adalah dalang dari penyamaranpasukan khusus Kerajaan Bojong Gading. Memang Taksaka yang kini mengenakan baju biru adalah pemuda yang dulu berbaju abu-abu. Dia suka mengenakan baju abu-abu selain warna biru. Arya segera mengambil gucinya yang tergantung di punggung, kemudian dituangkan ke dalam mulut.
"Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki perut Arya. Hawa hangat menjalari perut, kemudian merayap ke atas kepala. Sekejap kemudian kedua kaki pemuda itu pun limbung. Kini Dewa Arak telah siap dengan penggunaan ilmu 'Belalang Saktinya' nya!
Dedemit Salju pun tidak mau kalah. Tanpa ragu-ragu segera dikerahkan 'Tenaga Inti Salju' andalannya. Bahkan senjata segitiganya pun telah dikeluarkan.
Wunggg...! Sunggg...!
Suara mengaung dahsyat terdengar ketika Dedemit salju memutarkan sepasang segi tiganya laksana balingbaling.
"Hiaaat..!" Didahului teriakan nyaring yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, Dedemit Salju melompat menyerang Dewa Arak. Segi tiga di tangan kanannya disodokkan cepat ke arah kepala. Sedangkan yang satu lagi diputarkan laksana baling-baling.
Arya tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu betul kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu. Dan itu bisa diketahui dari hembusan angin keras dan menggigilkan yang mengawali tibanya serangan. Tampak pula asap berwarna putih tebal yang keluar dari sekujur tubuh Dedemit Salju.
Arya segera melompat ke belakang. 'Tenaga Sakti Inti Matahari'nya dikeluarkan sampai ke puncaknya untuk mematahkan sergapan hawa dingin yang membuat gigi-giginya beradu. Dan dari sekujur tubuh Arya pun keluar asap berwarna putih. Seiring munculnya asap itu, serangan hawa dingin yang melanda, lenyap.
Dedemit Salju tidak merasa heran kalau Dewa Arak sanggup mengelakkan serangannya, dan juga tidak terpengaruh sergapan hawa dingin. Dia tahu, lawan yang dihadapinya kali ini amat tangguh. Maka ketika serangan pertamanya gagal, segera dilancarkan serangan selanjutnya.
Sesaat kemudian, kedua tokoh sakti ini telah terlibat dalam pertarungan sengit. Memang hebat bukan kepalang pertarungan antara Dewa Arak dan Dedemit Salju. Sekitar tempat itu bagai dilanda angin topan! Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon-pohonan besar bertumbangan, tak tentu arah.
Suara angin menderu, mengaung, dan mencekat, diiringi tegukan dari arak yang ditenggak Dewa Arak menyemaraki berlangsungnya pertarungan. Bukan hanya itu saja. Udara di sekitar tempat itu pun terasa panas menyengat dan dingin menusuk tulang.
Baik Dewa Arak maupun Dedemit Salju sama-sama mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi, pada Dewa Arak hal itu lebih terlihat. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya dikeluarkan dalam usaha untuk menggilas habis perlawanan Dedemit Salju.
Jalannya pertarungan berlangsung cepat, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan amat tinggi. Dalam waktu tak berapa lama, pertarungan sudah berlangsung hampir seratus jurus. Dan selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Dedemit Salju merasa penasaran bukan kepalang melihat kenyataan kalau dia sama sekali tidak mampu mendesak Dewa Arak. Padahal, dia dedengkot kaum sesat. Tapi, ternyata tidak mampu menghadapi seorang lawan yang masih begitu muda. Kenyataan ini jelas amat memukul dirinya.
Berlainan dengan Dewa Arak, Dewa Arak diam-diam merasa heran. Sungguh tidak disangka kalau mampu menandingi Dedemit Salju tanpa terdesak. Semula, dia mengharapkan bantuan dari belalang raksasa yang akan dipanggilnya apabila terdesak hebat. Belalang raksasa itu memang sempat terlupakan karena sibuk mencemaskan keselamatan Melati. Sama sekali Arya tidak tahu kalau kepandaian yang dimilikinya telah meningkat. Baik penguasaan ilmu 'Belalang Sakti', maupun kekuatan tenaga dalamnya.
Kembali tujuh puluh jurus telah berlalu, sehingga tanpa terasa seluruhnya berjumlah seratus tujuh puluh jurus. Dan selama itu, pertarungan masih berlangsung seimbang. Karuan saja hal ini membuat Dedemit Salju merasa cemas bukan kepalang. Dia tahu, bila sampai jurus kedua ratus belum bisa mendesak Dewa Arak, kemungkinan besar dia akan roboh di tangan lawannya. Dia telah tua usianya.
Betapapun saktinya, dia tetap seorang manusia yang akan tunduk pada aturan alam. Semua anggota tubuhnya tidak bisa lagi diandalkan dibandingkan dengan Arya yang masih berusia muda. Kekhawatiran Dedemit Salju ternyata menjadi kenyataan. Sampai dua ratus jurus pertarungan berlangsung, Dewa Arak masih belum mampu didesak. Dan menginjak jurus kedua ratus lima, Dedemit Salju mulai merasa lelah. Napasnya memburu hebat.
Seiring timbulnya kelelahan yang semakin lama semakin besar melandanya, serangan-serangan yang dilancarkan Dedemit Salju mulai mengendur. Dia lebih banyak mengelak. Menangkis pun jarang dilakukannya, karena tenaganya yang semakin lama semakin menurun. Dedemit Salju bergidik ketika menyadari kalau tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak sama sekali tidak menurun.
Serangan-serangan pemuda berambut putih keperakan itu masih sedahsyat semula. Bahkan gerakan-gerakannya pun masih gesit! Tak nampak adanya tanda-tanda kalau Dewa Arak merasa lelah akibat pertarungan itu. Dan Ini membuatnya heran bukan kepalang.
"Manusia atau bukan, Dewa Arak ini?" Dedemit Salju sama sekali tidak mengetahui kalau arak yang diminum Dewa Arak, di dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', seolah-olah menjadi tenaga tambahan baginya. Maka Apabila Dewa Arak merasa lelah, langsung akan pulih kembali.
Semakin lama keadaan Dedemit Salju semakin terdesak hebat! Kini, dia hampir tidak melakukan serangan sama sekali, dan lebih sering mengelak. Bahkan menangkis pun akan merugikan dirinya sendiri. Tenaga yang sudah berkurang, membuatnya mengalami kerugian setiap kali terjadi benturan. Tangan-tangannya tergetar hebat, tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang. Dedemit Salju sadar kalau Dewa Arak tidak akan mungkin bisa dikalahkannya lagi. Maka diputuskannya untuk mengajak pemuda itu mati bersama!
Setelah mengambil keputusan demikian, Dedemit Salju merubah siasat bertarungnya. Dia tidak lagi mengelak seperti sebelumnya, tapi melancarkan serangan secara membabi buta seperti harimau luka! Akibatnya memang langsung terlihat. Keadaan langsung berubah banyak. Tekanan-tekanan serangan yang semula terasa berat, langsung lenyap karena Dewa Arak menghentikan desakannya dan mengelakkan serangan membabi buta Dedemit Salju.
Beberapa gebrakan lamanya, Dewa Arak mengelak dan menunggu saat yang baik untuk melancarkan serangan balasan. Hujan serangan Dedemit Salju yang membabi buta dan sama sekali tidak memperhatikan pertahanan, membuatnya dapat melihat bagian-bagian lowong di tubuh Dedemit Salju.
Pada jurus kedua ratus empat puluh sembilan, Dedemit Salju melancarkan serangan sepasang senjata segi tiganya secara bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak. Dan inilah saat yang ditunggu tunggu Dewa Arak. Serangan itu dielakkan dengan menotokkan kakinya. Sehingga, tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Dedemit Salju. Dan begitu berada di atas, kedua lakinya dijejakkan ke arah kedua bahu lawan.
Krekkk, krekkk...!
Suara berderak keras tulang-belulang yang hancur berantakan terdengar ketika kedua kaki Dewa Arak mendarat di sasaran. Kontan pegangan Dedemit Salju pada sepasang senjata segi tiganya terlepas. Bukan hanya itu saja yang dialami Dedemit Salju. Kedua kakinya langsung terbenam ke dalam tanah sampai lewat mata kaki! Dari sini saja sudah bisa diperkirakan betapa besar kekuatan yang terkandung dalam jejakan kaki Dewa Arak.
Meskipun begitu, tidak terdengar adanya jeritan dari mulut Dedemit Salju. Pantang bagi Dedemit Salju untuk menjerit kesakitan. Tapi dari seringai yang tampak jelas di wajah dan butiran-butiran keringat sebesar biji jagung, bisa diketahui besarnya rasa sakit yang melanda.
Tindakan Dewa Arak ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan pertamanya berhasil, tubuhnya berputar di udara seraya menyampirkan gucinya kembali ke punggung. Lalu, kedua tangannya dalam pemakaian ilmu 'Belalang Sakti', dihantamkan bertubi-tubi ke arah punggung Dedemit Salju.
Bukkk, bukkk, bukkk...!
"Aaakh...!" Kali ini Dedemit Salju tidak kuasa lagi menahan jeritan. Kedua kakinya yang terbenam di dalam tanah kontan terlepas, dan tubuhnya pun terlontar deras ke depan. Darah segar langsung menyembur deras dari mulutnya.
Brukkk...!
Setelah melayang-layang di udara sejauh beberapa tombak, tubuh Dedemit Salju jatuh ke tanah. Sesaat tubuhnya berkelojotan, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Hhh...!" Arya menghela napas lega melihat lawan yang teramat tangguh itu telah tewas. Pada saat yang bersamaan dengan lenyapnya helaan napas itu, terdengar suara cicit burung yang menandakan kalau malam telah berganti pagi. Tak lama lagi, sang surya akan muncul di ufuk Timur.
"Uhhh...!" Suara keluhan pelan membuat Arya melesat cepat ke arah tempat Melati diletakkan. Pemilik suara itu dikenalinya betul. Suara siapa lagi kalau bukan suara Melati. Bertepatan dengan beradanya Arya di dekat Melati, gadis berpakaian putih itu tengah mengedip-ngedipkan matanya. Melati tercenung sesaat, sebelum akhirnya bisa mengenali Arya.
"Kang..., Kang Arya.... Mengapa aku berada disini? Dimanakah ini? Apa yang terjadi, Kang?" tanya putri angkat Raja Bojong Gading Itu sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
"Tidak ada apa-apa, Melati," jawab Arya menutupi kenyataan sebenarnya. Dia terpaksa berbohong, karena Melati baru saja sembuh. Dewa Arak khawatir hati gadis itu akan terguncang kembali kalau diceritakan hal sebenarnya.
"Maksudmu, Kang?" desak Melati penasaran.
"Aku ingin menikmati hadirnya pagi di tengah hutan bersamamu, Melati," kata Arya sambil tersenyum lebar.
Melati tersenyum. "Aku lapar, Kang..." kali Ini Melati tidak malu-malu lagi mengatakannya.
"Ha ha ha...!" Arya tertawa. Apalagi, kalau disadari perutnya pun berkeruyuk minta diisi. "Aku juga lapar Melati."
"Jadi...."
"Kita tunggu hari agak terang, Melati. Lalu kita cari makanan di dalam hutan ini. Aku yakin banyak binatang di dalam hutan sebesar ini. Kau setuju?"
Melati menganggukkan kepala. Kini sepasang pendekar muda itu duduk menanti hadirnya sang Surya di ufuk Timur.
SELESAI