Dewa Arak - Rahasia Syair Leluhur

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Rahasia Syair Leluhur Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Rahasia Syair Leluhur

SATU

Bulan bersinar penuh tampak indah di langit. Bentuknya bagai sebuah piring tembaga, yang bersinar keperakan. Bintang-bintang pun bertaburan menghias angkasa. Nyanyian binatang-binatang malam semakin menambah semaraknya suasana malam. Persada tampak terang dan meriah, layak untuk dinikmati.

Namun itu tidak berlangsung lama. Suara lecutan cambuk, derap kaki kuda, dan gemeretak roda kereta telah mengganggu malam yang begitu indah ini. Sesaat kemudian, muncullah sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Beberapa ekor kuda yang masing-masing ditunggangi laki-laki bersikap gagah, tampak mengiringinya.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
Jumlah laki-laki berwajah gagah itu ada dua belas orang. Enam di depan, empat di belakang, dan masing-masing satu orang di kanan kiri kereta. Semuanya menunggangi kuda-kuda pilihan.

"Kau yakin kita telah jauh meninggalkan bahaya, Kakang Subali?" tanya salah seorang dari enam penunggang kuda terdepan.

Orang itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermata sipit. Gagang pedangnya tampak menyembul dari balik punggung. Menilik dari pakaiannya yang terlihat mewah, bisa diketahui kalau laki-laki tinggi kurus itu orang kecukupan.

Penunggang kuda yang dipanggil Subali menoleh. Sepasang matanya menatap wajah laki-laki tinggi kurus yang mengenakan pakaian kuning. Subali ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Tubuhnya terlihat gagah bukan kepalang. Apalagi dengan adanya cambang bauk lebat yang menghias wajahnya. Seperti laki-laki bermata sipit, pakaian yang dikenakannya juga tampak indah. Hanya saja warnanya kuning keemasan. Jadi terlihat lebih indah daripada pakaian yang dikenakan laki-laki tinggi kurus.

"Hhh....!” Subali menghela napas panjang, sebelum menjawab pertanyaan laki-laki tinggi kurus itu. Langkah kudanya juga tidak dihentikan, namun tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya. "Kurasa untuk sementara kita aman, Adi Sagala. Kita telah cukup jauh dari kadipaten. Keparat-keparat itu tidak mungkin bisa cepat mengejar kita. Aku yakin, mereka tengah berpesta pora menikmati kemenangan!" ada nada kegeraman pada kalimat-kalimat terakhir yang diucapakan Subali. Jelas, laki-laki tinggi besar ini tengah murka.

Laki-laki berpakaian kuning yang ternyata bernama Sagala itu mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menyetujui ucapan yang dikeluarkan Subali.

"Tak pemah terbayangkan di benakku kalau jabatan adipati akan lepas darimu, Kang," keluh Sagala. Subali yang ternyata seorang adipati ini menghela napas berat. "Bukan hanya kau saja yang merasa tak percaya, Sagala. Aku pun masih merasa kalau kejadian yang menimpaku ini seperti sebuah mimpi buruk! Aku masih belum percaya kalau Kadipaten Blambang telah lepas dari tanganku!"

Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak. Kepalanya ditolehkan ke belakang, menatap kereta kuda yang bergerak tertatih-tatih merayapi jalan penuh bebatuan dan lubang.

Rombongan berkuda yang dipimpin Adipati Subali itu terus melanjutkan perjalanan. Dan perlahan-lahan, rombongan ini mulai memasuki mulut Hutan Maung.

"Aku tidak pemah bermimpi akan kabur menyelamatkan diri seperti anjing hina yang teraniaya." keluh Adipati Subali lagi. "Kalau tidak mengingat keselamatan anakku, terutama sekali istriku yang tengah mengandung, aku lebih baik bertempur sampai titik darah penghabisan!"

Kali ini Sagala tidak menyahuti ucapan Adipati Subali. Mungkin kehabisan kata-kata atau malas menyambuti. Dan karena Adipati Subali tidak melanjutkan ucapannya, suasana menjadi hening.

Kini yang terdengar hanyalah suara langkah kaki kuda dan gemeretak roda kereta menggilas jalanan. Iring-iringan rombongan yang dipimpin orang nomor satu Kadipaten Blambang ini kian masuk ke dalam hutan. Mendadak….

"Hooop...!" Adipati Subali mengangkat tangan kanan ke atas, sedangkan tangan kirinya menarik tali kekang kuda hingga langkahnya berhenti. Dengan sendirinya, iring-iringan yang berada di belakangnya pun berhenti pula. "Kita istirahat dulu di sini." ujar Adipati Subali setelah membalikkan arah binatang tunggangannya hingga menghadap rombongan.

Usai berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu melompat turun dari kudanya. Indah dan manis gerakannya. Jelas, Adipati Subali bukan orang sembarangan. Dan memang sebelum menjadi adipati di Kadipaten Blambang, Subali adalah seorang Panglima Kerajaan Sewu. Dan karena telah banyak berjasa pada kerajaan, Prabu Cakra Ningrat menghadiahkan pangkat adipati pada Subali di Kadipaten Blambang.

Kesibukan melingkupi rombongan kecil itu. Belasan lakilaki bersikap gagah yang tak lain dari prajurit pilihan Kadipaten Blambang, bergegas berlompatan dari punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka rata-rata lincah, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.

Begitu menjejak di tanah, belasan prajurit itu segera menambatkan kuda masing-masing. Lalu, mereka membantu kusir untuk menempatkan kereta kuda di tempat yang terlindung. Dan kini, kereta kuda itu ditempatkan di tengah-tengah belasan prajurit pilihan Kadipaten Blambang. Ini dimaksudkan, agar bila ada serangan dari arah manapun, akan berhadapan dengan prajurit lebih dulu. Sang Kusir pun ikut pula berjaga-jaga.

Kriiit..! Terdengar suara bergerit pelan ketika daun pintu kereta sebelah kanan terbuka. Sebuah tangan yang berkulit putih halus dan mulus menyembul dari dalam kereta. Kemudian tampak sosok wanita cantik keluar dari dalam kereta.

Tidak terdengar suara yang berarti ketika sepasang kaki ramping itu mendarat di tanah. Hal ini menjadi pertandakalau si pemilik kaki itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

"Akan ke mana, Gusti Ayu?"

Sebuah suara berat telah menyapa penuh hormat, begitu wanita cantik ini baru saja merayapi sekelilingnya. Memang, derit pintu kereta itu begitu jelas terdengar, sehingga membuat para prajurit yang tengah berjaga langsung menolehkan kepala. Dan kini, kepala pasukan pengawal itu pun segera menghampiri.

"Ah! Kiranya Paman Lembu Sura." desah gadis cantik yang dipanggil Gusti Ayu setengah terkejut.

Gadis itu tersenyum manis. Senyum seorang gadis yang paling banyak baru berusia dua puluh tahun. Sehingga membuat siapa saja yang memandangnya, enggan memalingkanwajah. Kulit putih halus dan mulus. Pas sekali dengan pakaian indah berwama hitam kelam yang dikenakannya. Rambutnya digelung ke atas dan dijepit dengan sebuah aruel berbentuk bunga mawar.

"Benar, Gusti Ayu. Hamba Lembu Sura," jawab kepala pasukan pengawal yang ternyata bernama Lembu Sura sambil membungkuk sedikit.

Lembu Sura ternyata memang mempunyai tubuh hampir sebesar lembu. Begitu kekar! Gumpalan otot dan urat yangmelingkar-lingkar menghiasi sekujur tubuhnya. Senjata golok besar yang terselip di pinggang, semakin menambah seram penampilannya.

"Aku ingin menghirup udara malam, Paman," jawab gadis berpakain hitam itu, pelan.

"Tapi.., Gusti Adipati telah melarang keluar siapa pun yang berada di dalam kereta," bantah Lembu Sura dengan dahi berkernyit dalam.

"Apakah aku pun termasuk dalam larangan ayah?" desak gadis berambut digelung yang ternyata putri Adipati Subali.

"Benar. Gusti Ayu Rara Kunti termasuk di dalamnya," tegas Lembu Sura.

"Kalau aku tidak mau?!" tanya Rara Kunti bernada menantang.

Lembu Sura tercenung sejenak. "Apa boleh buat. Hamba tidak berani melalaikan perintah Gusti Adipati." tegas Lembu Sura, setengah berdesah.

"Maksudmu..., kau akan menggunakan kekerasan untuk memaksaku masuk kembali ke dalam kereta?!"

Lembu Sura mengangguk mantap. Rara Kunti kontan terdiam, tanpa berkata-kata lagi. Putri Adipati Subali ini tentu saja tidak bisa menyalahkan Lembu Sura. Disadari kalau kepala pasukan pengawal itu hanya menjalankan perintahnya.

“Tapi aku tidak betah terus menerus di dalam kereta, Paman. Sumpek rasanya! Aku ingin keluar, menghirup udara malam dan berbincang-bincang bersama ayah."

"Hamba tidak berani mengizinkannya, Gusti Ayu," ada nada penyesalan dalam suara Lembu Sura. "Lagi pula, perlu Gusti Ayu ketahui. Larangan itu dikeluarkan oleh Gusti Adipati, karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas Gusti Ayu sendiri. Dan...."

"Biarkan dia keluar, Lembu Sura," potong sebuah suara, sehingga membuat ucapan kepala pasukan pengawal itu terputus di tengah jalan.

Hampir berbarengan, Lembu Sura dan Rara Kunti menoleh ke arah yang sama. Tampak dua sosok tubuh yang tengah menghampiri. Baik Lembu Sura, maupun Rara Kunti mengenalinya. Mereka adalah Adipati Subali dan Sagala!

"Hamba, Gusti Adipati." sahut Lembu Sura memberi hormat. Seusai bersikap demikian, laki-laki bertubuh kekar berotot inl lalu bergerak menyingkir. Lembu Sura memberi jalan pada Rara Kunti untuk menghampiri ayahnya. Maka tanpa membuang-buang waktu, Rara Kunti segera bergerak menghampiri ayahnya.

"Kau ingin bicara denganku, Kunti?" tanya Adipati Subali, orang nomor satu di Kadipaten Blambang dengan suara lembut.

"Benar, Ayahanda." jawab Rara Kunti, gembira.

"Kalau begitu, mari kita cari tempat yang enak!"

Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti segera melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara, belasan prajurit mulai bertugas. Lembu Sura, selaku kepala pasukan pengawal segera mengatur anak buahnya. Sebagian besar berjaga-jaga, sedangkan sisanya tidur setelah terlebih dahulu mengisi perut sekadarnya.

"Sebenarnya, sudah cukup lama aku ingin berbicara dengan Ayah," Rara Kunti mulai membuka pembicaraan.

Rara Kunti duduk di sisi ayahnya, Adipati Subali. Sedangkan Sagala duduk menghadap Adipati Blambang itu, mereka saat ini memang tengah berbincang-bincang di bawah sebatang pohon besar berdaun rimbun yang letaknya hanya beberapa tombak dari rombongan.

"Mengapa tidak segera kau katakan padaku, Kunti?" tanya Adipati Subali, bernada teguran.

"Bagaimana mungkin hal itu bisa kulakukan, Ayah! Rombongan inl bergerak hampir tanpa henti. Lagi pula, kulihat Ayah kelihatan sibuk. Jadi, aku tidak berani mengganggu," kilah Rara Kunti.

"Ooo...! Kukira pertanyaan itu sudah kau pendam berbulan-bulan, atau tahunan. Kiranya baru beberapa hari yang lalu?! Nah! Sekarang katakan, Kunti. Ayah akan mendengarkannya!" sahut Adipati Subali memberi kesempatan.

Rara Kunti tidak langsung mengutarakannya. Dia malah tercenung. Mungkin tengah memilih kata-kata yang tepatsebagai pembuka cerita. Sementara, Adipati Subali dan Sagala menunggu dengan sabar.

"Aku merasa kecewa melihat tindakan Ayah..." Pelan ucapan Rara Kunti, dan lebih mirip bisikan. Kalau saja Adipati Subali dan Sagala tidak mempunyai pendengaran tajam, perkataan itu tidak akan terdengar. Apalagi, Rara Kunti mengucapkannya sambil menundukkan wajah. Sehingga gerak bibirnya tidak terlihat Adipati Subali dan Sagala.

Meskipun dikatakan pelan, tapi bagi Adipati Subali dan Sagala, perkataan Rara Kunti bagaikan halilintar di siang hari. Begitu mengejutkan hati mereka. Tapi, tentu saja kekagetan yang dialami Adipati Subali jauh lebih besar daripada Sagala.

“Mengapa kau berkata demikian, Kunti?!" tanya Adipati Subali agak parau suaranya.

"Selama ini aku merasa bangga pada Ayah. Telah banyak cerita yang kudengar tentang kegagahan Ayah sewaktu menjadi panglima di Kerajaan Sewu. Tapi, apa kenyataan yang kulihat?! Di saat kadipaten diserbu orang. Ayah malam melarikan diri sambil membawa keluarga. Kabur pontang-panting seperti anjing digebuk orang. Tindakan Ayah membuatku kecewa bukan kepalang! Mana cerita kegagahan Ayah yang selama ini kudengar?!"

Rara Kunti berapi-api mengucapkan kata-katanya! Sama sekali tidak dipedulikan kalau setiap ucapannya laksana tusukan pisau berkarat pada hati Adipati Subali. Wajah orang nomor satu Kadipaten Blambang itu sebentar pucat, sebentar merah sepanjang putri tunggalnya mengungkapkan kehancuran hatinya.

"Kau pantas kecewa padaku. Kunti," sahut Adipati Subali ketika Rara Kunti telah menghentikan ungkapan kekesalannya. “Aku memang bukan jenis orang yang patut kau kagumi. Aku melarikan diri di saat Kadipaten Blambang berada di ambang kehancuran! Adipati macam apa aku ini?! Di saat para prajurit berjuang mati-matian menyelamatkan kadipaten, aku malah kabur! Hhh…! Aku memang seorang pengecut, Kunti!"

Rara Kunti terkejut bukan kepalang mendengar jawaban tak terduga yang dikemukakan ayahnya. Semula dikira Adipati Subali akan mengemukakan berbagai macam alasan, mengapa tindakan melarikan diri itu harus dilakukan. Tapi, ternyata ayahnya itu malah membenarkan tuduhan yang dilontarkan. Karuan saja gadis berambut digelung ini jadi kebingungan.

Bukan hanya Rara Kunti saja yang menjadi kebingungan. Sagala pun mengalami perasaan yang sama. Hanya saja ada sedikit perbedaan pada keduanya. Sagala tahu, mengapa Adipati Subali sama sekali tidak mengemukan alasan yang menyebabkan dirinya melarikan diri. Karena jelas, Adipati Subali merasa terpukul!

Sagala adalah adik misan Adipati Subali. Telah dua tahun dia tinggal bersama laki-laki tinggi besar itu. Maka tidak aneh kalau watak kakak misannya dikenalnya betul. Sagala tahu, sebenarnya Adipati Subali merasa terpukul atas tindakannya dengan meninggalkan Kadipaten Blambang. Namun, perasaan itu bisa disembunyikan orang nomor satu di Kadipaten Blambang. Dan kini, ucapan Rara Kunti telah membuat perasaan itu muncul. Bahkan jauh lebih parah!

"Kau keterlaluan, Kunti!" sentak Sagala, agak keras. Sepasang matanya menatap gadis berpakaian hitam itu penuh teguran "Perkataanmu benar-benar tak pantas diucapkan di depan ayahmu.”

“Terus terang aku membenci orang yang mempunyai sikap pengecut. Tak terkecuali ayahku!" sambut Rara Kunti tak kalah keras.

"Ayahmu bukan seorang pengecut, Kunti!" semakin meninggi kata-kata Sagala.

"Lalu apa namanya kalau di saat para prajurit mempertahankan istana tapi justru sang Pemimpin malah melarikan diri?! Orang lain bergulat dengan maut, sementara dia sendiri melarikan diri! Bukan pengecutkah itu namanya?!"

"Ayahmu mempunyai alasan kuat untuk bertindak seperti itu! Berilah kesempatan padanya untuk mengemukakannya padamu!" sambut Sagala setengah membentak.

"Sudahlah, Adi! Tidak usah diributkan lagi masalah itu!" Adipati Subali berusaha melerai.

"Kurasa, lebih baik kau beri tahukan padanya, Kang!" tukas Sagala tak mau kalah.

Setelah berkata demikian. Sagala terdiam. Rara Kunti pun diam, ingin mengetahui tanggapan Adipati Subali. Sedangkan adipati yang bertubuh tinggi besar ini belum juga membuka pembicaraan. Maka suasana pun menjadi hening.

"Hhh...!" Adipati Subali menghembuskan napas berat "Kau benar, Sagala. Lebih baik kuceritakan saja masalah yang sesungguhnya. Bukankah dengan demikian, dia bisa bersikap lebih hati-hati?

Sagala menganggukkan kepala, pertanda membenarkan. Sementara Rara Kunti jadi bingung. Dia tahu, Adipati Subali dan Sagala tengah membicarakannya. Tapi, gadis itu tidak mengerti maksudnya.

"Nah, Kunti. Sekarang dengarlah baik-baik ceritaku ini. Dan setelah itu, terserah apa tanggapanmu!"

Adipati Subali menatap wajah Rara Kunti sejenak. Tapi yang ditatap malah menampakkan wajah beku. Tanpa ada perasaan apa-apa Adipati Kadipaten Blambang kemudian menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat.

"Sekitar sepuluh hari yang lalu, di salah satu dinding istana kadipaten ditemukan sebuah surat yang ditancapkan oleh sebatang ranting sebesar jari kelingking. Padahal, dinding itu terbuat dari batu keras. Dan hebatnya, ranting itu menancap hingga setengahnya lebih. Beberapa orang prajurit segera melaporkan hal itu padaku. Jelas, ini berarti ada orang telah berani masuk ke dalam istana secara diam-diam. Dan hunjaman ranting itu membuktikan kalau pelakunya adalah orang yang memilik tenaga dalam tinggi! Rasanya aku sendiri tidak mampu melakukan hal seperti itu!"

Adipati Subali menghentikan cerita. Lalu tenggorokannya yang terasa kering dibasahi dengan ludah-nya sendiri.

Sementara Rara Kunti memperhatikan semua ceritanya penuh minat. Karena, dia memang belum mengetahui hal itu. "Mengapa aku tidak mengetahui kejadian itu?” tanya Rara Kunti penasaran.

"Karena hal itu memang sengaja disembunyikan," kalem jawaban Adipati Subali.

"Mengapa?!" desak Rara Kunti.

"Karena, kami tidak ingin seisi Istana kadipaten gempar dan menjadi gelisah. Hanya saja Lembu Sura kuperintahkan agar lebih memperketat penjagaan," jelas Adipati Kadipaten Blambang ini.

Kini Rara Kunti mengerti. "Lalu, apa isi surat itu, Ayah?" tanya Gadis berambut digelung itu. Suaranya kini terdengar mulai melunak.

"Surat yang tidak kuketahui dari mana asalnya itu, meminta agar aku menyerahkan pusaka warisan kakekku! Kalau tidak, Kadipaten Blambang akan dihancurkan!"

"Apa?!" jerit Rara Kunti kaget "Pusaka warisan kakek?! Mengapa ayah tidak pernah bercerita padaku?! Berupa apa pusaka itu? Dan mengapa orang yang mengirim surat itu mengetahuinya?”

DUA


Adipati Subali tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan kembali terdiam. Masih dicarinya beberapa kata yang tepat untuk menjawabnya. Dan sebentar kemudian…

"Aku memang sengaja tidak menceritakannya, sampai kau telah benar-benar menjadi dewasa. Setidak-tidaknya sudah mengerti hal-hal yang boleh dinyatakan, dan yang perlu dirahasiakan," sahut laki-laki tinggi besar ini.

"Tapi, sekarang aku telah cukup dewasa, Ayah. Aku telah bisa membedakan hal-hal yang bersifat rahasia atau bukan," sambut Rara Kunti. "Jadi, aku sekarang sudah berhak mengetahui pusaka peninggalan leluhur kita."

Adipati Subali mengangguk-anggukkan kepala. "Apa yang kau katakan itu benar, Kunti! Sekarang kau boleh mengetahui rahasia itu. Aku pun memang sudah ingin bicara padamu, karena keadaan sudah segawat ini. Dan aku tidak ingin mati sebelum memberitahukan hal ini padamu."

"Apakah aku boleh mendengarnya, Kang?" selak Sagala.

"Karena kau adalah adik misanku, kau pun berhak mendengarnya, Adi," kata Adipati Subali dengan suara pelan. "Nah! Sekarang dengarkan baik-baik"

Sagala dan Rara Kunti mulai memasang telinga baik-baik. Raut wajah mereka menyiratkan perasaan ingin tahu yang amat sangat. Bahkan karena khawatir ucapan Adipati Subali tidak terdengar, keduanya sampai menahan napas tanpa sadar.

"Dulu, sebelum meninggal dunia kakek telah memberi sehelai surat wasiat pada ayahku, Adi Sagala. Lalu, surat wasiat itu diberikan lagi oleh ayahku, kepadaku. Tak lama kemudian ayahku meninggal dunia," Adipati Subali memulai ceritanya. "Meskipun demikian, ayahku sempat berpesan agar keberadaan surat ini diberitahukan pula pada adik laki-lakinya yaitu ayahmu, Adi. Maksudnya, kalau aku tidak berhasil memecahkan rahasianya, ayahmu atau keturunannya diharapkan bisa memecahkannya."

"Jadi…., pusaka peninggalan kakek hanya berupa sehelai surat?" tanya Sagala.

Adipati Subali merasakan adanya kekecewaan. Baik dalam raut wajah mapun ucapan adik misannya ini. "Memang hanya berupa sehelai surat, tapi surat rahasia! Apabila berhasil dipecahkan maka akan ditemukan pusaka-pusaka peninggalan kakek," jelas Adipati Subali.

"Kalau hanya untuk sehelai surat, lalu ayah sampai merelakan Kadipaten Blambang dihancurkan sungguh membuatku tidak habis pikir!" tukas Rara Kunti penuh kekecewaan.

Adipati Subali tersenyum pahit. "Bukankah sudah kukatakan kalau di balik surat peninggalan itu tersimpan pusaka-pusaka peninggalan kakek?!" sergah orang nomor satu Kadipaten Blambang ini, cepat.

"Apakah pusaka-pusaka peninggalan kakek buyutku, Ayah?" tanya Rara Kunti setengah hati.

“Kitab-kitab ilmu silat, pengobatan, senjata-senjata, dan berbagai macam," sahut Adipati Subali cepat. "Kau tahu, Kunti. Puluhan tahun yang lalu, datuk-datuk persilatan di empat penjuru mata angin telah mengadakan pertemuan untuk menentukan, siapa yang lebih lihai di antara mereka semua! Keempat datuk itu adalah tokoh tak terkalahkan di wilayah masing-masing. Meskipun demikian, mereka belum puas. Dan ingin menjadi jago nomor satu di kolong langit dengan bekal surat wasiat milik kakekku itu. Itulah sebabnya, mereka mengadakan pertemuan."

Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Ini merupakan kesempatan bagi Sagala dan Rara Kunti bila ingin mengajukan pertanyaan. Tapi, ternyata keduanya itu sama sekali tidak bicara apa-apa. Baik Sagala maupun Rara Kunti terlalu tertarik untuk mendengarkan cerita Adipati Subali.

"Masing-masing datuk pun lalu memilih lawan dan bertanding. Datuk Timur bertarung melawan Datuk Barat. Dan Datuk Utara melawan Datuk Selatan," sambung Adipati Subali lagi. "Pertarungan berlangsung alot, tanpa ada yang keluar sebagai pemenang. Lalu, masing-masing pihak beristirahat untuk memulihkan tenaga. Dan kemudian, mereka memutuskan untuk melanjutkan pertarungan di tempat lain, di sebuah lereng gunung. Kali ini satu sama lain menukar lawan"

Untuk yang kesekian kalinya Adipati Subali menghentikan cerita. Dia tercenung mencari-cari kata yang tepat untuk meneruskan kisahnya. Sementara, Sagala dan Rara Kunti mendengarkan dengan perasaan tidak sabar.

"Tapi sebelum pertarungan dilangsungkan, muncul seorang kakek yang mencegah mereka agar tidak bertarung di situ. Kakek itu rupanya tahu kalau orang yang akan bertarung adalah tokoh-tokoh sakti. Makanya dia berusaha mencegah, karena khawatir sekitar tempat itu akan longsor. Padahal, dia tinggal di sekitar tempat itu."

"Kakek itu pasti kakek Ayah, kan?" tebak Rara Kunti tidak sabar menunggu Adipati Subali menjelaskannya.

Laki-laki tinggi besar itu menganggukkan kepala. "Benar. Namanya, Eyang Mandura." Jawab Adipati Subali. "Dan ketika Eyang Mandura berusaha mencegah terjadinya pertarungan, empat datuk itu malah marah-marah. Bahkan kakek malah diancam. Karena kesabarannya hilang, kakek pun meladeni mereka. Satu demi satu, datuk-datuk itu dirobohkannya. Sehingga karena malu, datuk-datuk itu pergi meninggalkan tempat itu."

"Ah! Luar biasa sekali kepandaian Eyang Mandura!" pekik Rara Kunti kaget. "Apa julukannya, Ayah!"

"Kakek tidak mempunyai julukan, Kunti. Dia bertekad tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan. Penduduk sekitar gunung itu hanya mengenalnya sebagai ahli pengobatan," tutur Adipati Subali menutup ceritanya.

“Tapi, mengapa kepandaian yang kau miliki biasa-biasa saja, Kang?!" celetuk Sagala, heran. "Ataukah ilmu datuk-datuk itu yang masih terlampau cetek?"

Adipati Subali menghembuskan napas berat. "Kakek memang tidak mempunyai keturunan yang berbakat. Ayah sebagai keturunan kakek, ternyata memiliki bakat yang amat mengecewakan. Dia hanya menerima sebagian kecil dari ilmu-ilmu warisan kakek. Bahkan ilmu-ilmu andalan hampir tidak ada yang didapatkannnya. Jadi, bisa kau perkirakan sendiri tingkat kepandaianku. Karena, aku hanya belajar dari ayah."

"Mengapa Ayah tidak belajar dari buyut saja? Apakah buyut tidak mau mengajarimu? Atau.... Ayah juga tidak memiliki bakat seperti kakek?!" tanya Rara Kunti bertubi-tubi.

"Kakek meninggal dunia karena usia tua sewaktu aku baru berusia tiga tahun. Kalau aku tidak salah, kakek meninggal pada usia seratus sepuluh tahun. Dan sebelum menghembuskan napasnya yang penghabisan, kakek telah membuat surat wasiat untuk diberikan pada keturunannya."

"Kalau begitu, datuk-datuk yang menjadi lawan kakek sekarang telah tidak ada pula, Kang?!" tanya Sagala ingin tahu.

"Dua di antara mereka kudengar sudah meninggal, Adi. Entah meninggalkan murid atau tidak. Sedangkan yang dua lagi, kudengar masih hidup. Mungkin sekarang umur mereka telah mencapai delapan puluh tahun lebih. Memang, kakek jauh lebih tua daripada datuk-datuk persilatan itu."

Suasana kontan hening ketika Adipati Subali menghentikan cerita. Baik Rara Kunti, Sagala, maupun Adipati Subali tenggelam dalam alunan pikiran masing-masing.

"Ayah lalu berusaha sekuat tenaga memecahkan teka-teki surat wasiat kakek. Maksudnya, andaikata dia berhasil memecahkannya, keturunannya tinggal mempelajarinya saja. Tapi usahanya ternyata sia-sia. Surat itu tetap terselimut teka- teki. Aku pun meneruskan perjuangannya, tapi nihil juga."

"Kau gagal juga, Ayah?" tanya Rara Kunti.

Bodoh sekali sebenarnya pertanyaan itu. Kalau Adipati Subali berhasil, tak akan mungkin memiliki tingkat kepandaian seperti itu. Dan Adipati Subali hanya menganggukkan kepala saja. Secercah senyum getir tersungging di bibirnya.

"Bisa kau perlihatkan surat peninggalan kakek pada kami, Kang?" tanya Sagala tiba-tiba.

"Mengapa tidak, Adi. Bukankah kau dan Rara Kunti merupakan keturunan Eyang Mandura pula? Barangkali saja kau atau Rara Kunti yang berhasil menemukan rahasia itu!”

Adipati Subali segera membungkuk kemudian menggulung celananya. Karuan saja tindakannya membuat Rara Kunti dan Sagala heran. Tapi sesaat kemudian, perasaan itu pun lenyap ketika Adipati Subali mengambil segulung surat yang terikat di betisnya. Begitu tubuhnya tegak kembali, Adipati Subali segera mengulurkan gulungan surat itu pada Sagala. Tapi mendadak….

"Aaakh...!"

Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti sampai berjingkat kaget ketika mendengar jeritan menyayat dari seseorang yang tengah menerima ajal itu. Apalagi ketika mereka mengenali jeritan itu. Jeritan Menggala, salah seorang prajurit Kadipaten Blambang.

"Sagala! Rara Kunti! Tunggu di sini! Atur penjagaan! Biar aku yang akan melihat sendiri, apa yang telah menimpanya!"

Seiring keluarnya ucapan itu, Adipati Subali melesat cepat ke depan. Gerakannya cepat juga. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning yang melesat cepat menuju asal teriakan tadi. Sambil terus berlari, Adipati Subali mengulurkan tangan mencabut pedangnya. Meskipun jeritan yang terdengar hanya sekali tapi cukup membuat Adipati Kadipaten Blambang mengetahui asalnya. Dan kini, larinya kian dipercepat menuju arah asal suara.

Crasss!

Semak-semak kontan berhamburan ketika laki-laki tinggi besar yang tengah kalap ini membabatkan pedangnya. Memang, Adipati Subali yakin kalau jeritan tadi keluar dari balik semak-semak ini. Dapat dibayangkan betapa kagetnya Adipati Subali ketika tidak menemukan adanya mayat Menggala di situ. Bahkan tidak nampak noda-noda darah di sekitar situ.

Sinar bulan yang cukup terang membantu laki-laki tinggi besar ini, tidak dapat membantu melihat pencariannya. Tapi Adipati Subali tidak langsung percaya begitu saja.

Meskipun mayat Menggala tidak ditemukan, dia tidak putus asa. Segera pandangannya beredar ke sekeliling, meneliti keadaan sekitarnya. Paling tidak, dia harus mendapatkan tanda-tanda kalau di tempat itu telah terjadi pembunuhan.

Tanah, semak-semak, dan dedaunan pun tidak luput dari sasaran perhatian Adipati Subali. Dan perasaan heran pun merayap di hati, ketika tidak juga menemukan tanda-tandanya!

Mungkinkah dia salah tempat? Mungkinkah Menggala tidak dibunuh, melainkan diculik? Tapi kalau diculik, mengapa harus melolong seperti itu?! Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Adipati Subali.

Tengkuk Adipati Subali mendadak dingin ketika telinganya mendengar jeritan lagi. Tapi kali ini, berasal dari tempat yang ditinggalkannya! Hanya saja, jeritan kali ini terdengar pendek, tidak panjang seperti tadi.

Sebagai seorang bekas panglima perang, Adipati Subali tahu kalau rombongannya telah diserbu. Namun serangan itu tampaknya tidak ingin diketahui olehnya. Menyerang secara diam-diam, sementara Adipati Subali tengah lengah. Buktinya para penyerang itu membungkam teriakan salah seorang prajurit Kadipaten Blambang!

Kegelisahan kini menghantui hati Adipati Subali. Disadari kalau dirinya telah terpancing. Lawan yang tengah bersembunyi, menunggu saat-saat yang tepat. Dan begitu Adipati Subali menjauhi rombongannya, lawan langsung menyerang anggota-anggota rombongan itu.

Karena kekhawatiran yang amat sangat akan keselamatan anggota rombongannya, Adipati Subali berlari seperti orang gila! Laki-laki tinggi besar ini berlari tanpa mempedulikan apa yang ada di depannya. Semua yang menghalangi jalannya langsung diterabas. Semak-semak lebat langsung diterabasnya. Sedangkan semak-semak berduri dipangkas dulu dengan pedangnya sebelum diterjang.

Adipati Subali begitu geram ketika melihat Rara Kunti dan Sagala tengah dikeroyok orang-orang berpakaian serba hitam. Sementara beberapa sosok tubuh telah bergeletakan di tanah, mandi darah. Hatinya jadi geram juga ketika tidak mendapati prajurit-prajurit Kadipaten Blambang yang lainnya. Ke manakah perginya belasan orang prajurit Kadipaten Blambang?

Adipati Subali terus melesat ke arah pertarungan. Dan begitu tiba di tempat Sagala dan Rara Kunti, dia segera membantu menghadapi lawan. Dan rupanya kehadirannya memang telah diketahui orang-orang berpakaian serba hitam itu. Terbukti tiga dari tujuh orang pengeroyok Sagala dan Rara Kunti, melompat menjauhi pertarungan.

"Hup!" Begitu menjejak tanah, tangan-tangan kanan mereka bergerak mengayun.

Wusss, wuttt, wuttt!

Tiga buah benda berbentuk bulat sebesar telur bebek meluncur ke arah Adipati Subali yang tengah membantu Sagala dan Rara Kunti. Dan pada saat yang bersamaan, empat orang pengeroyok Rara Kunti dan Sagala juga berbuat yang sama! Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti bergegas melompat menjauh. Tindakan ketiga orang itu ternyata tepat, karena…..

Darrr, darrr, darrr!

Ledakan keras terdengar ketika benda-benda bulat itu menghantam tanah. Asap tebal dan hitam kontan mengepul. Mau tidak mau hal ini membuat Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti tidak bisa melihat apa-apa. Yang terlihat kini hanyalah gumpalan asap hitam. Dan tanpa diketahui mereka, orang-orang berpakaian serba hitam itu cepat melesat kabur.

Adipati Subali yang merasa tidak sabar menunggu asap itu terusir, segera mendorong-dorongkan tangannya. Rupanya dia bermaksud mengusir asap itu dengan pengerahan tenaga dalamnya.

Wusss!

Hembusan angin yang cukup keras timbul dari gerakan mendorong yang dilakukan Adipati Subali berkali-kali. Dan ternyata, usaha laki-laki tinggi besar ini sama sekali tidak sia- sia. Kini asap yang menghalangi pandangannya lenyap.

Seiring lenyapnya tabir asap hitam itu, lawan-lawannya ternyata telah lenyap dari situ. Jelas, mereka menggunakan tabir asap untuk memudahkan kabur.

Adipati Subali sadar, kini tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Orang-orang berseragam hitam itu memang sudah tidak ada lagi. Dan dia tidak tahu, ke mana arah yang mereka tempuh. Maka perhatiannya dipalingkan buru-buru pada Sagala dan Rara Kunti. Untung mereka belum celaka! Hanya Sagala yang menderita luka kecil pada bahunya yang tersayat.

"Apa yang terjadi, Adi Sagala?!" tanya Adipati Subali bergetar karena menahan perasaan.

Seiring keluarnya pertanyaan itu, laki-laki tinggi besar itu mengedarkan pandangan berkeliling. Tampak tubuh-tubuh pengawal Kadipaten Blambang berserakan di tanah. Jelas, mereka semua telah tewas!

"Hhh...!" Sagala menghela napas berat. "Sepeninggalmu, muncul belasan orang berseragam hitam-hitam menyerbu kami, Kang. Mereka berkepandaian cukup tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja, pengawal-pengawal kita berguguran. Bahkan aku dan Rara Kunti dibuat tidak berdaya. Kami menghadapi keroyokan beberapa orang seperti yang kau lihat. Kelihatan mereka membuat kami tidak sempat memperhatikan yang lain-lain. Dan...

"Ah...!" Adipati Subali menjerit keras seraya melesat ke arah kereta. Ucapan Sagala mengingatkannya pada istri dan dayang-dayang kadipaten yang berada di dalam kereta. Memang berbeda dengan adipati lainnya, Adipati Subali tidak mempunyai gundik.

Tapi lesatannya langsung terhenti ketika melihat apa yang ada di hadapannya. Daun pintu kereta tampak telah lepas dari engselnya. Dan tepat di pintu kereta, terjuntai sesosok mayat wanita!

"Marni...!" Setelah beberapa saat mulutnya berkemak-kemik tanpa ada sepatah kata pun, akhirnya keluar juga jeritan dari mulut Adipati Subali. Tidak hanya itu saja yang dilakukan Adipati Subali! Sebelum gema teriakannya lenyap, tubuhnya telah melesat ke arah sosok tubuh wanita yang terjuntai di pintu kereta.

"Marni..., ahhh... Marni...!" ratap Adipati Subali ketika telah berjongkok di depat mayat wanita yang tak lain dari istrinya.

Memang tidak ada air mata yang keluar dari matanya. Bekas Panglima Kerajaan Sewu ini. Meskipun demikian rasa sedih yang menggelegak jelas mengguncang hatinya juga. Berkali-kali Adipati Subali mengepal dan membuka genggaman jemari tangannya, seraya menarik napas panjang dan dihembuskannya. Tampak jelas kalau Adipati Kadipaten Blambang ini tengah menenangkan hatinya.

"Ibu...!" Terdengar jeritan melengking nyaring. Rupanya jeritan seorang wanita. Tanpa menoleh pun Adipati Subali tahu, orang yang telah menjerit itu adalah putrinya, Rara Kunti!

Sekejap kemudian, Rara Kunti telah berada di sebelah Adipati Subali. Gadis berpakaian hitam ini langsung bersimpuh. Sepasang matanya menatap ke arah mayat ibunya. Akhirnya, Adipati Subali berhasil meredakan perasaan sedihnya. Dan kini dia bangkit berdiri, seraya menepuk-nepuk pundak Rara Kunti.

“Hentikan semua kecengengan itu, Kunti!" ujar Adipati Subali. Bekas Panglima Kerajaan Sewu ini bermaksud untuk mengambil sikap wibawa. Tapi, tetap saja suaranya masih terdengar serak. Jelas, kesedihan belum bisa sepenuhnya dihilangkan.

Rara Kunti menghentikan tangisnya. Dengan kedua bahu masih terguncang-guncang, dia bangkit berdiri. Kedua belah pipinya yang putih, halus, dan mulut tampak masih dibasahi air mata.

"Biarkan Kunti menyelesaikan tangisnya dulu, Kang. Biar rasa sesak di dadanya hilang. Tangis merupakan sebuah obat yang mujarab untuk menghilangkan rasa sedih yang menggelegak buat seorang wanita," Sagala yang ikut melangkah menghampiri, segera angkat suara.

Adipati Subali tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kali ini gadis berambut digelung itu tidak dilarang menangis lagi.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kang?!" tanya Sagala lagi.

“Terus melanjutkan perjalanan," sahut Adipati Subali cepat "O, ya. Kau juga harus segera memecahkan rahasia yang tersembunyi di dalam surat peninggalan kakek, Sagala."

"Baik Kang. Tapi, sebaiknya kita kuburkan mayat-mayat ini dulu."

Tak lama kemudian, rombongan Kadipaten Blambang yang kini tinggal tiga orang kembali melanjutkan perjalanan. Mayat-mayat para korban telah dikuburkan. Dan sebelum berangkat Adipati Subali sempat bersumpah di depan kubur istrinya, untuk mencari orang-orang berpakaian hitam itu sekaligus memusnahkannya.

Malam telah mendekati pagi. Satu-satu mulai terdengar keruyuk ayam hutan di kejauhan. Tampaknya, sebentar lagi pagi akan tiba. Sang surya akan timbul dan kehidupan baru dimulai kembali.

TIGA


Sang surya muncul di ufuk Timur. Sinarnya merah membara, namun tidak menyilaukan mata. Kicau riang burung mengiringi langkah tiga sosok tubuh keluar dari dalam Hutan Maung. Dan kini, mereka berhadapan dengan padang ilalang yang cukup luas. Untungnya ilalang itu hanya sebatas betis, sehingga tidak mengganggu pemandangannya.

Semua orang itu berpakaian indah. Tampaknya mereka berasal dari golongan orang berada. Dua di antara mereka adalah laki-laki yang telah berusia empat puluhan. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang gadis dengan rambut digelung. Dan mereka memang Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti!

Beberapa tindak sebelum melintasi padang ilalang itu Sagala, Rara Kunti, dan Adipati Subali tiba-tiba menghentikan langkah. Pandangan mata mereka tertuju lurus ke depan, begitu sekitar empat tombak di depan tertancap sebuah tongkat berwarna hitam kelam. Pada bagian atas tongkat, berkibar secarik kain berbentuk persegi berwama merah menyala. Gambar sebuah peti mati berwama hitam tampak pada kain itu.

Tampak jelas Adipati Subali, Rara Kunti, dan Sagala terkejut bukan kepalang melihatnya. Raut wajah mereka menampakkan gambaran perasaan terkejut yang nyata.

"Benarkah Iblis Mayat Hidup berada di sini?" desis Adipati Subali. Suaranya terdengar bergetar karena perasaan tegang yang melanda.

Sagala dan Rara Kunti menoleh. Tanpa dijelaskan pun keduanya tahu kalau tokoh yang berjuluk Iblis Mayat Hidup itu adalah seorang datuk kaum sesat yang merajai wilayah Utara! Dan dia juga salah satu dari empat datuk yang menguasai rimba persilatan.

"Kau mengenalnya Kang?" tanya Sagala, pelan suaranya. Sementara Rara Kunti hanya diam mendengarkan.

"Mengenalnya sih, tidak. Aku hanya mendengar ceritanya saja. Dan perlu kau tahu, Sagala. Iblis Mayat Hidup adalah salah satu dari empat datuk sesat yang dikalahkan kakek kita puluhan tahun lalu." jelas Adipati Subali.

"Ah...!" desis Sagala dan Rara Kunti kaget.

Bagai diperintah kedua orang itu saling berpandangan. Tarikan wajah-wajah mereka menampakkan perasaan kaget. Mereka memang pernah mendengar tentang sepak terjang tokoh lblis Mayat Hidup itu. Tapi sungguh tak disangka, kalau tokoh itu ternyata salah satu dari empat datuk yang pernah dikalahkan leluhur mereka.

"Jadi.., datuk-datuk sesat yang dikalahkan kakek adalah datuk-datuk sesat yang masih merajai dunia persilatan sekarang ini, Kang?" tanya laki laki tinggi kurus setengah tak percaya.

Adipati Subali hanya menganggukkan kepala, sementara sepasang matanya beredar mengawasi sekeliling.

"Kalau begitu..., bisa kuperkirakan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki kakek..," desah Sagala penuh perasaan kagum. “Tapi, Kang...."

"Ssst..!" Adipati Subali buru-buru memberi isyarat agar Sagala diam. "Aku kahwatir, berita mengenai surat rahasia ini telah tersebar luas, Sagala. Kalau tidak, Iblis Mayat Hidup tak mungkin kemari. Tempat tinggalnya terlalu jauh dari sini. Dia tinggal di Utara. Sedangkan kita berada di Selatan. Kutakutkan, bukan hanya dia saja yang muncul. Tapi juga satu datuk lainnya...."

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba suara tawa keras menggelegar membuat Adipati Subali menghentikan ucapannya. Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti terkejut bukan kepalang. Seketika perasaan tegang menyelimuti hati mereka semua.

Benarkah Iblis Mayat Hidup yang akan datang? Dengan jantung berdetak kencang, mereka menunggu keluarnya si pemilik suara tawa. Tapi sampai lama menunggu, tidak juga ada tanda-tanda kemunculannya.

Maka ketiga orang itu pun mencoba mengira-ngira tempat keberadaan pemiliknya. Namun ternyata sia-sia. Suara tawa itu seperti berasal dari delapan penjuru.

Betapapun Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti telah mengerahkan seluruh kemampuannya, namun tetap saja tidak mengetahuinya. Tubuh ketiga orang itu sampaisampai terputar-putar karena ingin bisa mendengar lebih jelas. Tapi, tetap saja sia-sia.

"Aku tidak bisa memperkirakan, dari mana asal suara tawa ini, Kang," kata Sagala masih terus berputar-putar.

"Iblis itu pasti menggunakan ilmu istimewanya dalam suara tawa ini," Jawab Adipati Subali. “Tidak ada gunanya kita bertindak seperti ini. Lebih baik, diam menunggu. Aku yakin iblis itu akan datang menemui kita."

Sagala dan Rara Kunti menyadari ada kebenaran juga dalam ucapan bekas orang nomor satu Kadipaten Blambang itu. Maka keduanya ikut berdiri menunggu.

"Kakek menceritakan pada Ayah mengenai ilmu-ilmu andalan yang dimiliki empat datuk itu. Aku yakin, Iblis Mayat Hidup menggukan dasar ilmu andalan dalam pengerahan tawanya,” jelas Adipati Subali lagi.

"Aku belum mengerti maksudmu, Kang," ujar Sagala jujur.

Rara Kunti pun menganggukkan kepala. Adipati Subali menatap adik misan dan anak kandungnya sejenak.

"Iblis Mayat Hidup memiliki sebuah ilmu yang bernama 'Tangan Delapan Penjuru Angin'. Apabila ilmu itu digunakan lawan yang menghadapinya seakan-akan mendapat tekanan dari delapan arah. Nah! Aku yakin, dasar ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' digunakannya dalam tawanya. Buktinya, kita merasakan kalau suara tawa itu sepertinya berasal dari semua arah!"

Rara Kunti dan Sagala menganggukkan kepala.

"Lalu, mengapa iblis itu mencegat perjalanan kita. Ayah?" tanya Rara Kunti, ingin tahu.

"Mana aku tahu," Jawab Adipati Subali sambil mengangkat bahu. "Mungkin saja juga berminat merampas surat wasiat peninggalan kakek."

"Kalau begitu, berbahaya sekali," celetuk Rara Kunti, tanpa menyembunyikan perasaan takutnya.

Adipati Subali dan Sagala sama sekali tidak menyambutinya. Tapi meskipun demikian, bisa diketahui kalau mereka membenarkan ucapan gadis berpakaian hitam itu. Tarikan wajah dan sikap mereka menjadi jawabannya.

Mendadak suara tawa itu lenyap. Dan seketika itu pula, perasaan tegang menyelimuti hati Adipati Subali, Rara Kunti, dan Sagala. Bisa diduga, berhentinya suara tawa itu menjadi pertanda kalau orang yang diyakini sebagai Iblis Mayat Hidup akan segera keluar dari sarangnya.

Dugaan ketiga orang itu ternyata tidak keliru. Sesaat kemudian, berkelebat sesosok bayangan. Cepat bukan main gerakannya, sehingga tidak terlihat jelas bentuknya. Yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan merah, dan tahu-tahu hinggap di sebelah tongkat berlambang peti mati itu.

Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti menatap sosok bayangan merah yang baru tiba itu lekat-lekat. Dan seketika, sepasang mata mereka terbelalak. Sorot ketiga pasang mata itu memancarkan keterkejutan, tapi juga kelegaan. Betapa tidak? Semula dikira di depan mereka akan berdiri sesosok tubuh ringkih seorang kakek. Tapi ternyata dugaan itu keliru!

Di sebelah tongkat berlambang peti mati itu berdiri seorang pemuda bertubuh kurus. Wajahnya tampan, tapi sayang terlihat pucat seperti orang penyakitan. Pakaiannya yang berwama merah menyala dan gambar peti mati besar pada bagian dada, semakin menambah kepucatan wajahnya. Di tangannya tampak tergenggam sebatang cangkul!

"Siapa di antara kalian yang menjadi keturunan si keparat Eyang Mandura?!" tanya pemuda berwajah pucat itu bemada mengancam.

Sambil berkata demikian, pemuda kurus itu mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya wajah Adipati Subali, Rara Kunti, dan Sagala satu persatu. Seakan-akan ketiga orang yang menjadi turunan Eyang Mandura tengah dinilainya.

Kontan wajah Adipati Subali merah padam. Sepasang matanya pun berkilat-kilat. Tampak jelas, laki-laki tinggi besar ini marah bukan kepalang. Kakeknya dihina, siapa yang tidak menjadi marah? Dengan yang langkah lebarlebar dia maju ke depan.

"Aku! Akulah yang menjadi keturunan Eyang Mandura! Tokoh sakti yang telah menumbangkan kesombongan Iblis Mayat Hidup! Siapa kau, Orang Sakti?!" sahut Adipati Subali tak kalah kasar.

"Ha ha ha...! Kebetulan sekali sudah lama sekali aku ingin membuktikan kepandaian si keparat Eyang Mandura. Tak kusangka, aku akan bertemu keturunannya di sini! Hei, Brewok Jelek! Ketahuilah! Aku adalah Jaranta putra tunggal Iblis Mayat Hidup, kekalahan ayahku dulu karena terlalu mengalah! Nah! Sekarang, mari kita buktikan kenyataannya!"

Adipati Subali menggertakkan giginya menahan geram. Untuk pertama kalinya dia menyesali diri, mengapa dulu tidak mewarisi ilmu-ilmu kakeknya. Padahal, di depannya telah berdiri orang yang mengajaknya bertarung. Dan bahkan lawan itu adalah keturunan orang yang telah dirobohkan kakeknya.

Meskipun sudah bisa menduga kalau Jaranta memiliki tingkat kepandaian yang jauh di atasnya, Adipati Subali tidak gentar. Demi membela nama baik kakeknya, dia rela mati di tangan lawannya. Maka dihampirinya Jaranta.

Baik Jaranta maupun Adipati Subali sama-sama menghentikan langkah ketika telah berjarak kurang dari tiga tombak. Keduanya saling pandangan sejenak. Mendadak...

"Haaat...!" Diiringi suara keras melengking nyaring, Jaranta menyerang Adipati Subali. Pemuda berwajah pucat ini membuka serangannya dengan sebuah cengkeraman tangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.

Wut, wut!

Suara berkesiutan nyaring mengiringi serangan Jaranta. Hal ini menjadi pertanda kalau serangan itu dilakukan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Adipati Subali paham kalau serangan yang dibuka lawannya sangat berbahaya. Bukan hanya serangannya saja yang berbahaya, tapi juga bagian yang akan dijadikan sasaran. Ternyata Jaranta lebih memilih bagian-bagian yang mematikan. Kalau sampai terkena, Adipati Subali akan celaka!

Dan belum Juga Adipati Subali sempat berbuat sesuatu, terasakan ada sebuah kekuatan tak nampak yang menggencet tubuhnya dari berbagai penjuru. Kuat sekali tenaga yang menekan, sehingga membuat dada laki-laki tinggi besar ini terasa sesak bukan kepalang. Dan seiring semakin mendekatnya serangan Jaranta, kekuatan tak nampak yang menekan dadanya semakin membesar pula.

Betapapun seluruh kemampuannya telah dikerahkan untuk membebaskan diri dari tekanan itu, tapi tetap saja tidak mampu. Kini yang dapat dilakukan Adipati Subali hanyalah menunggu datangnya sang Maut!

Adipati Subali pun sadar kalau kekuatan tak nampak yang menekannya dari berbagai penjuru adalah akibat serangan lawannya. Dan seketika itu pula, dia teringat. Ya! Jaranta pasti menggunakan ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'! Ilmu yang menjadi andalan Datuk Utara, ayahnya.

Selama ini, Adipati Subali hanya mendengar cerita tentang kehebatan Ilmu 'Tangan Delapan Penjuru‟. Dan dia sama sekali belum pernah membuktikannya. Sama sekali tidak disangka kalau akan sedahsyat ini! Belum apa-apa, dia sudah dlbuat tidak berdaya. Tubuhnya bagaikan tengah digencet kekuatan raksasa!

Memang dahsyat ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'! Orang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam rendah akan celaka. Karena sewaktu ilmu ini dipergunakan untuk menyerang, sebelum serangan itu sendiri tiba akan muncul sebuah kekuatan maha dahsyat yang menekan lawan dari segala penjuru. Akibatnya, lawan akan sukar untuk mengelak, hingga menjadi sasaran serangan pemakai ilmu „Tangan Delapan Penjuru Angin'!

Kini sudah dapat diperkirakan nasib yang akan menimpa Adipati Subali. Dia akan tewas di tangan Jaranta. Bahkan putra Iblis Mayat Hidup itu sudah tertawa bergelak, karena yakin serangannya akan mengenai sasaran dengan tepat.

Di saat yang gawat bagi keselamatan Adipati Subali, melesat sesosok bayangan ungu ke arah kancah pertarungan. Lalu bayangan itu langsung memapak serangan yang tengah dilancarkan Jaranta.

Plak plak…!

Suara berderak keras terdengar berkali-kali ketika Jaranta mengalihkan serangan ke arah bayangan yang hendak memapaknya. Akibatnya dahsyat sekali, tubuh Jaranta kontan terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja, putra Iblis Mayat Hidup ini terjengkang kalau tidak segera mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.

Sementara itu, sosok bayangan ungu itu pun terpental balik ke atas! Tapi dengan sebuah salto yang indah, kekuatan yang melontarkannya berhasil dipatahkan. Tidak hanya itu saja yang dilakukannya. Sambil berjumpalitan di udara, disambarnya tangan Adipati Subali.

Tappp!

"Hup!" Ringan laksana daun kering jatuh ke tanah, sosok bayangan ungu itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Menyingkirlah, Kisanak. Dia terlalu lihai untukmu," ujar sosok bayangan ungu itu pada Adipati Subali.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap orang nomor satu Kadipaten Blambang sambil menatap wajah penolongnya.

Hanya sekilas saja Adipati Subali menatap wajah penolongnya, lalu menghampiri Sagala dan Rara Kunti. Adipati Subali bukan orang bodoh! Dia tahu, Jaranta terlalu sakti untuk dirinya. Bila terus mengadakan perlawanan sama dengan mencari mati!

Jaranta menatap penolong Adipati Subali dengan wajah beringas. Sepasang matanya memancarkan hawa kematian. Dia benar-benar murka, karena sudah hampir berhasil menamatkan riwayat Adipati Subali tapi ternyata gagal. Tentu saja pemuda berwajah pucat ini jadi kalap ketika mengetahui ada orang yang telah menolongnya. Kekalapannya bertambah ketika mengetahui tangkisan penolong Adipati Subali membuat tubuhnya terhuyung-huyung dengan tangan sakit-sakit.

Sosok bayangan ungu itu yang menolong Adipati Subali ternyata seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh tahun. Pakaiannya berwarna ungu, membalut tubuhnya yang tegap dan kekar. Rambutnya berwama putih keperakan dan meriap sampai ke punggung. Bahkan sebagian rambutnya sampai menutupi sebuah guci perak yang tersampir di punggung.

"Siapa kau, Keparat?!" benrak Jaranta setelah puas memperhatikan sosok yang berdiri di hadapannya. Ada kernyitan pada dahi Jaranta. Dan itu tercipta ketika memandang wama rambut penolong Adipati Subali. Aneh sekali warna rambut pemuda berpakaian ungu itu!

"Namaku Arya. Dan kau siapa, Biang Keparat?!" pemuda berpakaian ungu itu balas bertanya.

Jaranta mengangguk-anggukkan kepala. "Kini aku tahu, mengapa kau mempunyai sikap begitu sombong! Bukankah nama lengkapmu adalah Arya Buana?! Hm, jadi kau yang berjuluk Dewa Arak itu?" tebak pemuda berwajah pucat disertai senyum sinis yang tersungging di bibir.

"Dugaanmu sama sekali tidak salah, Kisanak!" kalem sambutan Arya.

"Ha... ha... ha...!" Jaranta tertawa bergelak-gelak.

Tentu saja kelakuan putra Iblis Mayat Hidup itu membuat semua orang yang berada di situ jadi terkejut bercampur heran. Mengapa Jaranta malah tertawa-tawa? Gilakah dia?! Kini mereka semua menatap wajah Jaranta dengan dahi berkernyit.

"'Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak! Dan sudah lama pula aku ingin bertemu denganmu! Aku ingin tahu, apakah gema kebesaran julukanmu sebanding kepandaian yang kau miliki?! Bersiaplah kau, Dewa Arak?!"

"Sayang sekali, Kisanak. Aku tidak suka bertarung tanpa alasan kuat," tolak Arya sambil menggelengkan kepala.

"Kau bilang tidak mempunyai alasan, Dewa Arak?!" sergah Jaranta dengan sepasang mata membelalak lebar. "Apakah tindakan yang barusan kau lakukan tidak bisa dianggap sebagai alasan?! Kau telah mencapuri urusanku, Dewa Arak! Itulah alasannya!"

Kembali Dewa Arak menggelengkan kepala. “Itu lain, Kisanak! Aku hanya bermaksud menyelamatkan nyawa orang yang tengah terancam. Lain tidak!"

Jaranta menggeram. Dia kehabisan akal untuk memaksa Arya bertarung. "Kalau begitu, menyingkirlah dari situ, Dewa Pengecut!" perintah Jaranta keras.

"Mengapa kau menyuruhku menyingkir dari sini, Kisanak?!" Arya masih mencoba bersabar.

"Aku ingin membunuh keturunan si keparat Eyang Mandura!"

"Sayang sekali. Kalau itu maksudmu, terpaksa aku tidak bisa menyingkir dari sini." kalem ucapan yang keluar dari mulut Arya.

Arya mengambil keputusan untuk bertarung dengan Jaranta. Hal itu karena didorong beberapa alasan. Satu di antaranya karena orang di hadapannya hendak membunuh. Dan Arya sadar kalau yang dihadapinya ternyata berpakaian seperti Iblis Mayat Hidup, seorang datuk sesat yang amat kejam. Jadi, paling tidak pemuda berwajah pucat itu punya hubungan dekat dengan Iblis Mayat Hidup. Dan Dewa Arak tahu, kalau Iblis Mayat Hidup adalah tokoh yang amat kejam dalam rimba persilatan.

"Kalau begitu, kau dulu yang harus kusingkirkan, Dewa Arak!" seru Jaranta, keras. Usai berkata demikian, Jaranta bersiap-siap melancarkan serangan. Tahu kalau yang yang dihadapinya kali ini adalah lawan tangguh, Jaranta tidak ingin bertindak main-main.

"Hiyaaat...!" Sambil berteriak keras, Jaranta menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar meluncur berbareng ke arah dada.

Cit, cit!

Suara mencicit nyaring mengiringi tibanya serangan itu. Sementara, Dewa Arak tahu, kalau ada kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan lawan.

"Heh...?!"

Dewa Arak tersentak ketika merasa ada kekuatan tak nampak yang menekan tubuhnya dari berbagai penjuru. Begitu kuat tekanannya, sehingga membuat dadanya terasa sesak. Dan seiring semakin mendekat serangan Jaranta, kekuatan tak nampak itu semakin kuat menekan. Pemuda berambat putih keperakan itu sadar, mengapa Adipati Subali sama sekali tidak menghindar meskipun serangan Jaranta hampir mengenai sasaran. Rupanya, laki-laki tinggi besar itu terhimpit tenaga yang menekan, sehingga tidak bisa mampu bergerak.

Tapi tentu saja hal yang dialami Adipati Subali tidak terus menerus menimpa Dewa Arak. Sekali pemuda berambut putih keperakan itu mengerahkan tenaga dalam, kekuatan yang menekannya pun sirna. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya serangan yang mengancam dada.

Prakkk!

"Akh!" Jaranta memekik kesakitan. Tangannya kontan terasa sakit-sakit. Bahkan, tubuhnyapun terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara, Dewa Arak hanya terhuyung satu langkah. Jelas, tenaga dalam putra Iblis Mayat Hidup masih di bawah Dewa Arak.

Jaranta menggeram keras. Dia sama sekali tidak pernah mimpi akan mengalami kejadian seperti ini. Terhuyung-huyung dalam benturan tenaga dalam, melawan seorang pemuda. Sekali pun orang itu Dewa Arak, dia tidak sudi hal itu terjadi. Jaranta adalah putra tunggal Iblis Mayat Hidup! Jadi, pantang baginya disaingi orang. Apalagi dikalahkan.

Perasaan geram bercampur penasaran membuat Jaranta mengambil keputusan untuk melancarkan serangan susulan. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, mendadak....

"He... he... he... ho... ho... ho... hi... hi... hi...!"

Sebuah tawa aneh membuat Jaranta menghentikan gerakan. Menilik dari gerakan yang terhenti tiba-tiba, bisa diperkirakan kalau Jaranta merasa terkejut bukan kepalang. Bahkan dia melangkah mundur setindak. Kepalanya, langsung menoleh ke arah asal suara tawa aneh itu terdengar.

Krosek!

Ilalang dan semak-semak yang berada di sebelah kiri berkerosakan. Sesaat kemudian, muncul seorang pemuda berkepala botak. Tubuhnya pendek gemuk. Perutnya yang buncit terlihat jelas, karena tidak mengenakan pakaian kecuali sebuah celana pendek.

Masih dengan tawa aneh yang tidak putus-putus pemuda berkepala botak ini melesat ke arah Jaranta dan Arya. Sementara Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti yang agak jauh dari situ hanya memperhatikan saja kehadiran sosok berkepala botak itu. Gerakan sosok berkepala botak itu terlihat lucu bukan main. Karena gerakannya seperti tidak tengah berlari, melainkan menggelinding!

Arya terkejut ketika memperhatikan wajah Jaranta, Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti satu persatu. Tampak wajah mereka berubah menegang ketika melihat kedatangan pemuda berkepala botak itu. Siapakah sebenarnya pemuda itu?

EMPAT


Adipati Subali rupanya mengetahui perasaan yang bergolak di hati Dewa Arak. Buktinya, segera dihampirinya pemuda berambut putih keperakan itu.

"Suara tawa itu hanya dipunyai seorang datuk kaum sesat wilayah Barat. Namanya Setan Gila, Dewa Arak." Jelas laki-laki tinggi besar itu.

Dan sebenarnya, Adipati Subali sungguh-sungguh tidak menyangka kalau akan bisa bertemu Dewa Arak! Tokoh muda aliran putih yang julukannya sudah lama didengarnya. Terus terang, Dewa Arak adalah pendekar yang amat dikaguminya. Tadi ketika melihatnya, Adipati Subali merasa ragu. Tapi, akhirnya dia baru percaya ketika Jantara menerka, dan Arya tidak membantahnya. Perasaan yang sama pun bersemayam di hati Rara Kunti dan Sagala.

Sementara itu, Arya mengangguk-anggukkan kepala ketika mendengar penjelasan Adipati Subali. Julukan Setan Gila telah didengar. Dia adalah seorang datuk sesat yang memiliki tingkat kepandaian sejajar dengan Iblis Mayat Hidup. Tapi menilik dari keadaannya, Arya tahu kalau pemuda berkepala botak ini bukan datuk sesat yang menggiriskan itu. Jadi paling tidak kalau bukan anak, pasti muridnya.

"Cihuiii...!”

Pemuda berkepala botak berseru nyaring. Begitu larinya dihentikan, tubuhnya langsung berbalik. Dan seketika, dia mengunjukkan pantatnya. Sesaat kemudian....

Dut! Bunyi cukup keras keluar dari pantat pemuda cebol itu. Apalagi kalau kentut, atau angin yang berbau busuk itu?

Bagai diperintah, semua yang berada di situ melangkah mundur sambil menutupi lubang hidung, untuk mencegah hawa busuk dari angin keras yang keluar lewat pantat pemuda berkepala botak itu.

"Ha... ha... ha... ho... ho... ho... hi... hi... hi...! Bagaimana bunyi siulanku?! Merdu, bukan?!"

Pemuda berperut gendut itu kembali tertawa-tawa, dan terlihat gembira sekali. Perutnya yang buncitpun sampai terguncang-guncang. Masih belum puas juga, maka tubuhnya langsung dijatuhkan ke tanah dan berguling-gullngan.

"Keparat'" Jantara yang paling berangasan di antara mereka berteriak memaki. Dia murka bukan kepalang mendapat perlakuan seperti itu dari pemuda berkepala botak yang diduga mempunyai hubungan dengan Setan Gila.

"Hi... hi... hi...! Lucu.. ! Lucu sekali!"

Tiba-tiba terdengar lagi sebuah seruan melengking tinggi. Jelas seruan itu keluar dari mulut seorang wanita. Serentak semua kepala menoleh ke arah sebuah bayangan yang berkelebatan sambil memperdengarkan suara tawanya. Dan hebatnya akibat yang ditimbulkan suara itu membuat telinga semua orang yang berada di situ seperti ditusuk-tusuk. Sangat sakit!

Tampak sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih telah berdiri di sebelah kiri pemuda berkepala botak. Rambutnya berwarna hitam, panjang dan tergerai sampai ke bawah. Rasanya tidak ada yang ditakutkan kalau saja tidak terlihat wajahnya yang ternyata tertutup sebuah topeng tengkorak! Bahkan di tangannya pun tergenggam sebuah topeng yang ujungnya dihiasi tengkorak kepala manusia dewasa.

Tidak hanya itu saja. Di lingkaran pinggang wanita bertopeng tengkorak itu pun berjajar tengkorak kepala. Hanya saja, ukurannya jauh lebih lecil. Mungkin tengkorak bayi yang baru lahir.

"Ha... ha... ha... ho... ho.. ho... hi... hi... hi...!" pemuda berkepala botak tertawa terkekeh-kekeh. "Luar biasa! Tinggal satu orang lagi, maka lengkaplah keturunan datuk-datuk di empat penjuru! Hi... hi... hi...! Ciri-cirimu mirip sekali dengan Ratu Tengkorak Putih, ho ho ho...!"

Memang, seperti juga Jantara, wanita bertopeng tengkorak itu juga mempunyai hubungan dengan Ratu Tengkorak Putih, salah satu dari empat datuk kaum sesat dunia persilatan!

"Hmh!" dengus wanita bertopeng tengkorak itu. "Tingkahmu sama sekali tidak lucu, Cebol Jelek! Padahal, guruku pernah bercerita kalau Setan Gila memiliki tingkah amat lucu! Rupanya, kau terhitung murid bebal. Buktinya, kau tidak bisa mewarisi kelucuan gurumu!"

"Setan Gila bukan guruku, Penghuni Kuburan!" maki pemuda berkepala botak itu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Orang tua gila itu adalah kakekku! Dan namaku pun bukan Cebol Jelek! Tapi, Taliwang!"

"Aku pun bukan Penghuni Kuburan! Namaku Ratna Ningsih!" balas wanita bertopeng tengkorak tak mau kalah. Kemudian perhatiannya dialihkan ke tempat lain, dan tidak mau menoleh kembali ke arah Taliwang.

Adipati Subali terkejut bukan kepalang menyaksikan semua ini. Sungguh tidak disangka, tiga ahli waris dari tiga datuk sesat yang merajai dunia persilatan bisa berkumpul di sini. Tinggal, seorang ahli waris dari seorang datuk sesat lainnya yang belum muncul. Dan mereka semua menginginkan surat wasiat yang dibawa Adipati Subali, akan celakalah jadinya. Memang benar di situ ada Dewa Arak! Tapi mampukah pendekar muda yang menggemparkan itu menanggulangi tiga orang lawannya?

"Sungguh tidak disangka kita semua bisa berkumpul di sini. Walaupun masih kurang seorang lagi, tapi merupakan sebuah hal yang aneh kalau pertemuan yang terjadi hanya secara kebetulan," kata Jaranta, sambil berusaha bersikap tenang.

"Ho... ho... ho...!" Taliwang yang tidak bisa melucu seperti gurunya, tertawa sambil menggaruk-garuk dadanya dengan kedua tangan. Sikapnya mengingatkan pada seekor kera. "Tidak usah berpura-pura seperti monyet bodoh, Jaranta! Kami semua tahu, kau berminat memperebutkan kotoran Eyang Mandura!" keras ucapan Taliwang.

Wajah Jaranta merah padam seketika. Dia tahu, kotoran Eyang Mandura yang dimaksud Taliwang adalah pusaka peninggalannya. Memang, Jaranta berniat merampasnya dari tangan Adipati Subali. Makanya, dia mencegahnya di sini. Tapi sama sekali tidak disangka kalau murid datuk-datuk pun melakukan hal yang sama.

"Jangan samakan aku dengan kalian!” sergah Jaranta keras. "Aku sama sekali tidak berniat memperebut kotoran Eyang Mandura. Toh dengan ilmu warisan ayahku, dunia persilatan bisa kukuasai! Aku akan menjadi jago nomor satu menggantikan ayahku!"

"Jangan harap impianmu terujud Jaranta! Selama masih ada aku, kau tidak akan bisa menjadi jago nomor satu di kolong langit!" balas Ratna Ningsih.

"Ho... ho... ho...! Rupanya Jaranta tengah bermimpi," Taliwang menyambung ucapan murid Ratu Tengkorak Putih. Kali ini sambil berjingkrak-jingkrak.

"Apakah kalian membutuhkan bukti? Silakan maju! Akan kalian lihat sendiri betapa mudahnya bagiku untuk merobohkan kalian!" sesumbar Jaranta bernada tantangan.

"Kau benar-benar berotak udang Jaranta! Untuk apa kita cakar-cakaran sekarang?! Masalah sepele ini bisa diurus belakangan. Yang penting sekarang, membereskan lawan-lawan di hadapan kita. Terutama sekali, Dewa Arak!" tukas Ratna Ningsih.

Jaranta terperanjat. Dia tersadar seketika. Kalau ucapan murid Ratu Tengkorak Putih benar belaka! Yang penting, sekarang membereskan Dewa Arak dan mendapatkan pusaka Eyang Mandura terlebih dulu. Telah dibuktikannya sendiri kelihaian Dewa Arak. Tingkatan tenaga dalam pemuda berambut putih keperakan itu benar-benar berada di atasnya. Bukan mustahil keunggulan pendekar berambut putih keperakan itu tidak hanya sampai di situ saja!

"Kau benar! Lebih baik, kita bereskan mereka lebih dulu!"

Setelah berkata demiktan, Jaranta melangkah menghampiri Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti yang sejak tadi menyaksikan apa yang terjadi. Dan langkah Jaranta segera diikuti Ratna Ningsih dan Taliwang.

Menilik dari langkah kaki mereka, bisa diketahui adanya ancaman besar yang tengah bergerak ke arah Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti. Tapi sebelum hal itu terjadi, Dewa Arak yang tadi menyisih ke samping segera memotong langkah mereka. Maka hal ini membuat Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang terpaksa menghentikan langkah. Kini di hadapan mereka telah berdiri Dewa Arak yang membelakangi Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti.

"Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Mampuslah kau, hiyaaat..!"

Jaranta yang tidak bisa menahan kemarahannya lagi, langsung menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya menyampok bertubi-tubi ke arah kedua pelipis Dewa Arak.

Wuttt, wuttt!

Seperti kejadian sebelumnya, muncul kekuatan tak nampak yang menekan Dewa Arak dari segala penjuru. Dan seiring semakin dekatnya serangan Jaranta, kekuatan yang menghimpit itu semakin membesar.

Tapi juga seperti sebelumnya, dengan mengerahkan tenaga dalam dari bawah pusat ke seluruh tubuh, Dewa Arak berhasil membebaskan diri dari kekuatan tak nampak yang menekannya. Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak. Sadar akan ketangguhan lawan, apalagi tidak hanya seorang saja yang akan dihadapi, pemuda berambut putih keperakan ini memutuskan untuk melakukan perlawanan.

Meskipun demikian, Dewa Arak belum berniat menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Yang dikeluarkannya hanya ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau dan 'Sepasang Tangan Penakluk Naga‟. Dan dalam penggunaan ilmu itu, serangan Jaranta dipapaknya. Namun tak lupa, 'Tenaga Dalam Inti Matahari' nya juga dikerahkan.

Prat, prat!

"Akh...!" Jaranta terpekik kaget. Bukan karena tubuhnya terhuyung akibat benturan itu, tapi ketika terasa ada hawa panas yang merayap melalui jari-jari tangannya.

Buru-buru putra Iblis Mayat Hidup itu mengerahkan hawa murni untuk mengusir hawa panas yang merayap. Kemudian dengan hati panas karena perasaan amarah dan penasaran, kembali dilancarkannya serangan pada pemuda berambut putih keperakan itu.

Perasaan yang bergolak di hati, membuat Jaranta mengumbar serangan-serangan dahsyat. Hebat bukan kepalang ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' itu. Di samping sebelum serangan itu tiba, telah didahului lebih dulu kekuatan tak nampak yang menekan seluruh tubuh lawan. Dalam penggunaan ilmu itu pun, tangan Jaranta seperti berubah menjadi berpasang-pasang.

Dewa Arak terperanjat melihat keistimewaan ilmu yang dipergunakan lawan. Tampak kedua tangan Jaranta telah berjumlah banyak. Sehingga, sukar untuk diketahui tangan yang asli. Di samping itu, tekanan kekuatan tak nampak yang menghimpit tubuhnya cukup untuk membuat Dewa Arak kerepotan. Setidak-tidaknya, Dewa Arak harus mengerahkan sebagian tenaga dalamnya untuk memunahkan tekanan kekuatan tak nampak yang menghimpit sekujur tubuhnya.

Melihat kenyataan ini, timbul perasaan kagum dalam hati Dewa Arak. Kalau Jaranta saja sudah mampu berbuat seperti ini, apalagi ayahnya?! Sukar dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu Iblis Mayat Hidup!

Namun Dewa Arak segera membuang pikiran-pikiran yang menggayuti benaknya. Lalu perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi serbuan Jaranta. Dan pertarungan menarik antara dua tokoh muda pun berlangsung sengit.

Ratna Ningsih dan Taliwang mengawasi jalannya pertarungan penuh perhatian. Memang sebagai seorang tokoh persilatan, tidak ada kegemaran lain bagai mereka, kecuali mengadu ilmu dan menyaksikan pertarungan. Apalagi, bila tokoh-tokoh yang bertempur memiliki kepandaian tinggi seperti Dewa Arak dan Jaranta.

Ternyata bukan hanya kedua orang pewaris ilmu datuk-datuk sesat itu saja yang sibuk memperhatikan jalannya pertarungan. Sagala, Rara Kunti, dan Adipati Subali mengarahkan pandangannya pada pertarungan yang tengah berlangsung.

Sementara itu di kancah pertarungan, begitu menginjak jurus kelima puluh, Dewa Arak mulai berhasil menekan lawan. Ada banyak hal yang membuat pemuda berambut putih keperakan berhasil mendesak lawannya. Keunggulan dalam hal tenaga, kelincahan, dan pengalaman bertarung.

Tentu saja keadaan yang tengah dialami Jaranta diketahui secara pasti oleh Ratna Ningsih dan Taliwang. Dahi kedua tokoh sesat ini pun berkernyit dalam. Mereka tahu, tingkat kepandaian yang dimiliki Jaranta kurang lebih setingkatan dengan mereka. Kalau pemuda berwajah pucat itu bisa didesak, dengan sendirinya pendekar muda yang memiliki rambut aneh itu pun akan mampu melakukan hal yang sama pada mereka.

Perasaan khawatir melanda hati Ratna Ningsih dan Taliwang. Hati mereka cemas kalau maksud pencegatan terhadap Adipati Subali akan pupus. Mendadak....

"Haaat..!" Tiba-tiba Ratna Ningsih menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke arah Adipati Subali. Tak ada yang melihat gerakannya, kecuali satu orang Taliwang!

"Hih!" Taliwang yang juga sudah berpikir sampai ke situ tapi telah keduluan Ratna Ningsih, tidak mau tinggal diam. Pemuda cebol itu pun ikut pula melesat ke arah Adipati Subali! Rupanya, dia tidak ingin ketinggalan oleh murid Ratu Tengkorak Putih. Tapi, rasa-rasanya usaha Taliwang ini akan pupus!

Kenyataannya Ratna Ningsih telah lebih dulu melesat, dan telah beberapa jengkal di depannya. Biar bagaimanapun, wanita bertopeng tengkorak itu pasti akan lebih dulu mencapai Adipati Subali. Maka benak Taliwang pun berputar. Dan...

Sing, sing, sing!

Suara berdesing nyaring terdengar ketika kedua tangan Taliwang bergerak mengibas, setelah sebelumnya dimasukkan ke balik pakaiannya. Beberapa buah gelang berwarna putih mengkilat seketika meluncur ke arah punggung dan belakang kepala Ratna Ningsih!

Tentu saja murid Ratu Tengkorak Putih itu tahu adanya bahaya mengancam. Disadari apabila diteruskan sebelum maksudnya tercapai, senjata-senjata yang dilepaskan Taliwang akan merencah tubuhnya lebih dahulu. Dan, tentu saja Ratna Ningsih tidak menginginkan hal itu terjadi. Luar biasa! Tanpa membalikkan tubuhnya. Ratna Ningsih mengibaskan tongkat bergagang kepala tengkorak manusia ke belakang. Maka....

Trang, tring, tring!

Bunga api berpercikan ke udara ketika geleng-gelang baja itu tertangkis kibasan tongkat Ratna Ningsih, hingga terpental jauh! Maka, pupuslah semua serangan Taliwang.

Tapi akibatnya, luncuran tubuhnya yang tengah menuju ke arah Adipati Subali pun terhenti. Dan kini kedua kakinya pun mendarat di tanah. Sementara, Adipati Subali baru sadar kalau dirinya akan dijadikan sasaran gelap oleh Ratna Ningsih. Maka, bergegas dia bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.

"He he he...!"

Taliwang tertawa terkekeh-kekeh ketika telah mendaratkan kedua kakinya di tanah. Serangan yang dilancarkannya memang tidak diharapkan akan berhasil. Hal itu dilakukan hanya untuk mencegah Ratna Ningsih mendahuluinya dalam meringkus Adipati Subali.

Karuan saja suara tawa Taliwang membuat kemarahan Ratna Ningsih semakin berkobar dahsyat. Memang, sejak Taliwang mengirimkan serangan yang membuat maksudnya kandas dia sudah murka.

"Keparat! Akan kupecahkan kepalamu yang botak itu, Taliwang! Hih!"

Wukkk!

Angin berhembus keras ketika Ratna Ningsih mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Taliwang! Tapi sambil tertawa terkekeh-kekeh, laki-laki berkepala botak itu berhasil mengelakkannya. Tubuhnya berguling ke depan, hingga serangan itu kandas. Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Taliwang. Setelah menggulingkan tubuhnya beberapa kali dengan sebuah gerakan indah, tubuhnya melenting ke atas.

"Kereaaah!"

Dibarengi jeritan keras laksana seekor kera murka, Taliwang melompat ke atas dan langsung dilancarkannya sampokan bertubi-tubi ke arah pelipis, dengan kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar.

Ratna Ningsih terperanjat bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka kalau dari keadaan terancam, Taliwang masih bisa berbalik mengancam. Tindakan yang dilakukan Taliwang sungguh menakjubkan! Dia sendiri pun mungkin tidak akan mampu melakukan hal seperti itu. Dan dia yakin, Jaranta pun tidak akan mampu. Tapi, Taliwang merupakan sebuah kekecualian! Ratna Ningsih tahu, pemuda bertubuh gendut itu adalah pewaris ilmu 'Setan Gila'! Seorang datuk yang ilmu meringankan tubuhnya telah terkenal dan menakjubkan.

Setan Gila adalah salah seorang datuk kaum sesat yang memiliki keistimewaan dalam ilmu meringankan tubuh. Ilmu andalannya yang bemama 'Kera Gila', memang menitik beratkan pada meringankan tubuh, di samping serangan-serangan tiba-tiba yang berbentuk kasar.

Sementara itu walaupun terperanjat, Ratna Ningsih masih mampu untuk membuktikan kelihaiannya. Dalam kesempatan yang hanya sekejap, kepalanya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Itu dilakukannya tanpa menggeser kaki, karena waktunya tidak memungkinkan.

Wuttt, wuttt!

Sampokan bertubi-tubi yang dilancarkan Taliwang lewat beberapa jengkal di depan wajah Ratna Ningsih. Menilik dari sekujur pakaian dan rambut wanita bertopeng tengkorak yang berkibar keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.

Baru setelah serangan itu berhasil dielakkan, Ratna Ningsih melempar tubuh ke belakang. Dia bersalto beberapa kali di udara, seraya mengobat-abitkan tongkatnya untuk mencegah serangan susulan Taliwang.

"Hup!"

Keinginan murid Ratu Tengkorak Putih terlaksana. Dia berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah, tanpa ada gangguan apa pun. Memang, putaran tongkatnya telah berhasil menggagalkan maksud Taliwang untuk mengejarnya.

"He... he... he...! Kau mengajakku bertarung, Ratna Ningsih?! Boleh! Boleh! Dengan senang hati kemauanmu akan kulayani!" tantang Taliwang sambil berjingkrakan di tanah.

Kalau ditilik dari gerakan-gerakannya, Taliwang tidak ubahnya kera. Caranya memamerkan mulut, menggaruk-garuk badan, bertepuk-tepuk tangan, berjingkrakan, maupun menjerit-jerit, lebih mirip kera daripada manusia!

Ratna Ningsin diam. Sama sekali tidak ditanggapinya tantangan Taliwang. Topeng yang menutupi wajahnya menyulitkan pemuda bertubuh gendut itu untuk mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hati Ratna Ningsih!

"Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mulutmu kuhancurkan sekarang juga, Monyet Gendut! Tapi, aku tidak sebodoh dirimu! Berikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan urusan dengan Adipati Subali! Baru tantanganmu akan kulayani!" kata Ratna Ningsih, mantap.

LIMA


"He... he... he… Kau kira aku orang bodoh, Ratna Ningsih?! Kau tahu, bukan hanya dirimu saja yang mempunyai urusan dengan Adipati Subali! Tapi juga aku!" sergah Taliwang, sambil memamerkan gigi-giginya yang kuning.

"Lalu..., apa maumu sekarang, Taliwang?!" sambut Ratna Ningsih, bernada menantang.

Rupanya kesabaran Ratna Ningsih sudah tidak bisa ditahan lagi. Sikap Taliwang yang urakan membuat Ratna Ningsih mengambil keputusan untuk melabrak murid Setan Gila itu.

"Ho... ho... ho...! Kau menginginkan Adipati Subali? Aku pun demikian. Nah! Sekarang apa cara yang lebih tepat untuk menentukan orang yang lebih berhak atas adipati itu? Bertarung?!" tukas Taliwang tak kalah hangat.

"Baik kalau itu maumu!" sergah Ratna Ningsih disertai perasaan geram. Murid Ratu Tongkat Putih ini sudah memutuskan untuk menerima tantangan yang diajukan Taliwang. Tapi sesaat kemudian, sebuah pikiran baik berkelebat di benaknya.

Pikiran itu timbul ketika matanya melihat Jaranta yang semakin terdesak oleh Dewa Arak. Sedangkan Adipati Subali kini telah berdiri dekat Sagala dan Rara Kunti. Matanya terus memperhartikan tingkah Ratna Ningsih dan Taliwang.

"Kita jangan bertindak bodoh, Taliwang!" desis Ratna Ningsih. "Lebih baik, kita sekarang bekerja sama untuk mendapatkan Adipati Subali! Nanti setelah berhasil, baru kita tentukan yang lebih berhak!"

Taliwang tercenung sambil menggaruk-garuk dadanya yang tidak gatal dengan kedua tangan. Meskipun kelihatannya laki-laki bertubuh pendek gemuk ini adalah orang bodoh, tapi sebenarnya memiliki otak cerdik.

"Apa maksud kata kerja sama itu, Ratna Ningsih?" tanya Taliwang, masih tetap melanjutkan kesibukannya menggaruk-garuk dada.

"Begini, Taliwang. Kalau berusaha sendiri-sendiri, aku yakin kita gagal! Dewa Arak memiliki kepandaian di atas kita. Jadi jelas, dia yang akan berhasil mendapatkan Adipati Subali! Kau mengerti, Taliwang?!" Jelas Ratna Ningsih.

Taliwang menganggukkan kepala sambil berjingkrakan. "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita ringkus Adipati Subali!"

Usai berkata demikian, laki-laki bertubuh pendek gemuk ini langsung melesat ke arah Adipati Subali, disusul Ratna Ningsih!

Adipati Subali memang sudah menduga sejak tadi. Tapi tak urung hatinya gentar bukan kepalang melihat serangan itu. Jangankan dua orang. Untuk menghadapi satu orang saja dia tidak akan mampu berbuat sesuatu! Meskipun demikian, bekas Panglima Kerajaan Sewu ini bukan seorang pengecut! Segera pedangnya yang tersampir di pinggang dicabut. Adipati Subali bertekad mengadakan perlawanan.

Srattt!

Sinar terang berkeredep ketika pedang itu keluar dan sarungnya. Pada saat yang bersamaan, kepalanya menoleh ke samping. Adipati Subali bermaksud memerintahkan Sagala dan Rara Kunti untuk menyelamatkan diri. Tapi kenyataan yang terlihat benar-benar mengejutkan hati! Rara Kunti dan Sagala malah telah melesat kabur dari situ lebih dahulu.

Kontan benak orang nomor satu di Kadipaten Blambang ini dipenuhi pertanyaan. Begitu tegakah Rara Kunti meninggalkan dirinya menentang maut? Meski Adipati Subali memang tidak mengharapkan pembelaan, dan andaikata dibelapun akan disuruhnya pergi, tapi sama sekali tidak disangka kalau Rara Kunti akan melarikan diri seperti seorang pengecut. Kalau mengenai Sagala, dia tidak terlalu memusingkan. Karena pertemuannya dengan adik misannya itu baru beberapa tahun! Jadi belum bisa dipahami sikapnya.

Perasaan hati Adipati Subali benar-benar terpukul. Benarkah Rara Kunti adalah seorang anak yang mementingkan keselamatan sendiri. Di samping perasaan terpukul, timbul perasaan heran di hati laki-laki tinggi besar ini. Gerakan Rara Kunti ternyata gesit sekali. Demikian pula gerakan Sagala.

Sehingga ketika mereka melesat kabur, yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan kuning dan hitam yang tak jelas bentuknya. Sama sekali Adipati Subali tidak pemah tahu kalau Rara Kunti dan Sagala memiliki ilmu lari cepat yang demikian tinggi!

Tapi Adipati Subali tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Dia harus bersiap-siap menghadapi Taliwang dan Ratna Ningsih. Maka pedangnya diputar laksana kitiran, untuk menyambut serangan yang keroyokan itu.

"Hei!"

Bagai telah sepakat, Ratna Ningsih dan Taliwang berseru berbarengan begitu melihat Sagala dan Rara Kunti melarikan diri. Kedua tokoh sesat ini terkejut bukan kepalang melihat kecepatan gerakan dua orang yang mempunyai hubungan dengan Adipati Subali!

Dan lagi, mengapa mereka meninggalkan adipati itu? Keterkejutan inilah yang membuat Ratna Ningsih dan Taliwang mengurungkan serangannya pada Adipati Subali. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, sekali lihat saja Ratna Ningsih dan Taliwang bisa menilai kalau ilmu lari yang dimiliki Sagala dan Rara Kunti tidak di bawah mereka! Dan ini merupakan suatu hal yang amat mengejutkan!

Apakah tingkat tenaga dalam dan mutu ilmu silat Sagala dan Rara Kunti pun setara dengan mereka? Dan kalau benar, mengapa Rara Kunti dan Sagala malah melarikan diri? Mengapa bukannya membantu Adipati Subali menghadapi lawan-lawannya?

Banyaknya pertanyaan yang tidak terjawab, berputar-putar di dalam benak. Sehingga, menimbulkan kecurigaan di benak Ratna Ningsih dan Taliwang. Tanpa diperintah, Taliwang mengambil keputusan sendiri.

"Kukejar mereka, Ratna Ningsih. Kau uruslah dulu Adipati Subali!" Usai berkata demikian, Taliwang mengambil ancang-ancang. Kemudian jari-jari kedua tangannya saling dirapatkan. Dan…..

Tappp!

Tubuh Taliwang kembali melesat. Kali ini, arahnya menuju arah yang ditempuh Sagala dan Rara Kunti. Pada saat yang bersamaan, Ratna Ningsih melesat ke arah Adipati Subali. Begitu berada di udara, langsung dilancarkannya sebuah totokan ke arah dada. Padahal saat itu, Adipati Subali masih memutar-mutar pedangnya laksana kitiran untuk mencegah serangan ke arah kirinya.

Wunggg, wunggg!

Suara mengaung keras mengiringi berputarnya pedang itu. Dan apabila Ratna Ningsih terus memaksakan serangannya, bisa diperkirakan tangannya akan terpapas putaran pedang Adipati Subali!

Adipati Subali terperanjat ketika melihat Ratna Ningsih tetap meneruskan serangannya. Sudah gilakah wanita bertopeng tengkorak ini? Ataukah Ratna Ningsih telah memiliki tenaga dalam yang demikian kuat, sehingga berani memapak pedangnya dengan tangan telanjang?!

Adipati Subali bisa menduga demikian, karena leluhurnya sendiri mampu melakukan tindakan-tindakan yang bahkan lebih dari apa yang dilakukan Ratna Ningsih! Timbulnya pikiran demikian membuat Adipati Subali menggertakkan gigi. Maksudnya untuk menambah kekuatan tenaga pada putaran pedangnya.

Trak, trak!

"Akh!"

Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Tangan Ratna Ningsih langsung berbenturan dengan putaran pedang Adipati Subali, sehingga menimbulkan suara berdetak keras. Hebatnya tidak terjadi sesuatu pun atas tangan Ratna Ningsih. Jangankan buntung, tergores pun tidak.

Tapi tidak demikian halnya dengan Adipati Subali. Begitu terjadi benturan, tangannya terasa hampir lumpuh. Tanpa dapat dicegahnya lagi, pedangnya terlepas dari cekalan. Khawatir akan munculnya serangan susulan Adipati Subali buru-buru melompat ke belakang untuk menjaga jarak.

Tapi, ternyata kekhawatiran Adipati Subali sama sekali tidak beralasan! Ratna Ningsih sama sekali tidak melancarkan serangan kembali. Kedua kakinya kini tengah mendarat di tanah. Sebentar kemudian, Ratna Ningsih telah berdiri berhadapan dengan Adipati Subali.

Sementara itu, Taliwang telah berhasil mencegat perjalanan Sagala dan Rara Kunti. Memang kedua orang itu belum terlalu jauh berlari. Apa lagi, Taliwang telah mengambil jalan pintas, disamping ilmu lari cepat nya juga tinggi.

Dan karena Sagala dan Rara Kunti belum terlalu jauh berlari, di samping daerah ini terdiri dari padang ilalang, Adipati Subali masih dapat melihat keadaan mereka.

"He... he... he,..!" Taliwang tertawa terkekeh sambil melompat-lompat. "Akan ke mana kalian? Jangan harap bisa lolos dari tangan Taliwang!"

Sagala dan Rara Kunti saling berpandangan. Sementara Taliwang masih tertawa-tawa. Meskipun demikian, sepasang matanya menatap dua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya penuh selidik. Mendadak....

"Hiyaaat..!" teriak Sagala keras seraya melesat ke arah Taliwang.

"Hiyaaa...!" Rara Kunti pun melesat pula.

Tawa Taliwang seketika terhenti. Hatinya kontan tercekat ketika melihat dua orang buruannya meluruk cepat ke arahnya dengan senjata yang sudah terhunus di tangan masing-masing. Begitu berada di udara Rara Kunti dan Sagala langsung mengarahkan senjatanya masing-masing.

Ke bagian-bagian tubuh Taliwang yang mematikan. Indah dan menggiriskan gerakan Sagala dan Rara Kunti. Sehingga, Adipati Subali dan Ratna Ningsih yang tengah bertarung terkejut bukan kepalang. Memang walaupun tengah bertarung mereka masih sempat membagi perhatian ke sana.

Mungkin karena rasa terkejut dan rasa ketertarikan yang menyelimuti, entah bagaimana Adipati Subali dan Ratna Ningsih tiba-tiba menghentikan pertarungan. Bahkan kini mereka seperti mendapat tontonan menarik, melihat pertarungan Sagala dan Rara Kunti melawan Taliwang.

Namun di pihak Adipati Subali tersirat suatu ketidak-percayaan. Bahkan wajahnya sampai memucat. Betapa tidak? Gerakan yang dilakukan Rara Kunti sama sekali bukan gerakan yang diajarkannya. Bahkan Adipati Subali belum pemah melihat gerakan seperti itu. Yang lebih gila lagi, gerakan Rara Kunti sama dengan gerakan Sagala! Hal ini benar-benar membuat orang nomor satu di Kadipaten Blambang ini terperanjat.

Begitu telah mendekati sasaran tiba-tiba Sagala bersalto beberapa kali di udara, melewati atas kepala Taliwang. Dan ketika telah berada di belakang, pedang di tangannya dibabatkan, seperti ingin memisahkan kepala Taliwang dari badannya. Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan Rara Kunti menusuk deras ke arah tenggorokan. Suara mengaung keras mengiringi tibanya serangan kedua senjata itu.

"Gila!" Tanpa sadar Adipati Subali mendesis tajam. Sama sekali tidak pemah diketahuinya kalau Sagala dan Rara Kunti memiliki kepandalan setinggi itu. Sepengetahuannya, kepandaian Sagala masih di bawah tingkatannya. Dan itu diakui sendiri oleh Sagala. Tapi kenyataannya, ternyata tidak demikian! Mengapa Sagala menyembunyikan kepandaiannya?

Demikian pula terhadap Rara Kunti. Berbagai pertanyaan benar-benar menggayut di benak Adipati Subali. Kapan putrinya mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi seperti itu? Apakah Sagala yang mengajarinya? Kalau benar demikian, mengapa dia tidak mengetahuinya?

Hebat dan menggiriskan serangan yang dilancarkan Rara Kunti dan Sagala. Meskipun demikian, gerakan yang dilakukan Taliwang tidak kalah hebat! Laki-laki bertubuh pendek gemuk ini segera menjatuhkan tubuhnya ke tanah, sehingga serangan-serangan itu lewat beberapa jengkal di atas kepalanya.

Tidak hanya sampai di situ tindakan Taliwang. Begitu berhasil mengelakkan serangan lawan, tubuhnya lalu bergulingan. Dan itu dilakukan Taliwang, karena menyadari ancaman besar terhadap dirinya. Kedua lawannya ternyata memiliki kepandaian tinggi. Sementara dirinya berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Kalau lawan-lawannya melakukan serangan susulan, jelas keadaannya terancam bahaya besar!

Tapi, rupanya Sagala dan Rara Kunti tidak berminat melakukan serangan susulan. Kedua orang itu malah melesat cepat, menempuh arah yang berlawanan dengan arah gulingan Taliwang.

Taliwang yang sedang sibuk bergulingan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya dapat melihat kepergian dua orang buruannya, walaupun dengan kerlingan mata.

Semakin leluasalah Sagala dan Rara Kunti melarikan diri, ketika Ratna Ningsih ternyata tidak mengejar. Memang, wanita bertopeng tengkorak ini lebih mementingkan Adipati Subali daripada Sagala dan Rara Kunti.

Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh Sagala dan Rara Kunti telah lenyap dari pandangan mata. Dan berbareng dengan lenyapnya bayangan tubuh dua orang itu, perhatian Ratna Ningsih beralih ke arah Adipati Subali.

Sementara, Adipati Subali sendiri sama sekali tidak merasa kalau dirinya tengah diperhatikan. Dia memang tengah dilanda bingung mengenai Sagala dan Rara Kunti.

Ratna Ningsih sama sekali tidak tahu perasaan yang tengah berkecamuk di hati Adipati Subali. Dan andaikata tahu, sama sekali tidak dipedulikannya. Tapi sebelum wanita itu sempat berbuat sesuatu, sesosok bayangan ungu melesat melewati kepalanya. Dan tahu-tahu, di sebelah Adipati Subali telah berdiri Dewa Arak Ratna Ningsih terperanjat melihat keberadaan Dewa Arak di sebelah Adipati Subali.

Dengan agak bergegas kepalanya menoleh ke tempat pertarungan Jaranta melawan Dewa Arak tadi. Dia ingin tahu, apa yang telah menimpa Jaranta sehingga Dewa Arak bisa berada di sebelah Adipati Subali Ternyata, Jaranta sama sekali tidak cedera.

Dewa Araklah yang meninggalkan pertarungan untuk melindungi Adipati Subali. Karena keadaan pendekar berambut aneh itu memang menguntungkan, maka mudah saja baginya untuk meninggalkan Jaranta.

Sementara itu Ratna Ningsih tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau kepandaian Dewa Arak kemungkinan di atasnya. Dan itu terbukti dalam pertarungannya melawan Jaranta. Maka wanita bertopeng tengkorak ini tidak langsung bertindak.

"Untuk sementara, sebaiknya kita lupakan dulu masalah kita, Ratna Ningsih," ujar Jaranta sambil melangkah menghampiri.

"Benar! Kita bereskan dulu Dewa Arak. Baru setelah itu urusan kita!" sambung Taliwang, juga dengan langkah yang tertuju ke arah Ratna Ningsih.

"Rupanya kalian mempunyai otak juga," sambut Ratna Ningsih "Kuterima usul kalian. Sekarang kita harus hadapi dulu Dewa Arak!"

Sesaat kemudian Jaranta dan Taliwang telah berada di dekat Ratna Ningsih. Seperti juga Ratna Ningsih, Jaranta, dan Taliwang menatap Dewa Arak dengan sorot mata tidak bersahabat. Kini Adipati Subali dan Dewa Arak berhadapan dengan Jaranta, Taliwang, dan Ratna Ningsih!

Dewa Arak memperhatikan tiga sosok tubuh yang berdiri di hadapannya penuh selidik. Diakui kepandaian ketiga orang itu rata-rata tinggi. Namun, kini mereka bersatu. Sudah bisa diperkirakan kedahsyatan serangan mereka jika dilakukan bersama-sama. Dan terus terang, Dewa Arak tidak yakin akan mampu menanggulangi mereka.

"He... he... he...! Kami ingin tahu, bagaimana kau akan bisa menghadapi kami bertiga, Dewa Arak!" tantang Taliwang.

"Kau akan kami kirim ke akhirat, Manusia Sombong!" desis Jaranta penuh dendam, karena tadi dirinya hampir dirobohkan Dewa Arak!

"Hik... hik... hik...! Apa yang kalian katakan, sama sekali tidak salah! Julukan Dewa Arak pasti akan punah dari dunia persilatan!" sambung Ratna Ningsih, gembira.

Dewa Arak tidak menyambuti ucapan mereka, dan tengah sibuk memutar otaknya. Jelas Dewa Arak tidak bisa gegabah, dan tidak mau bertindak sembarangan. Kalau sampai terjadi pertarungan, pasti akan terjadi jatuh korban.

Padahal, dia tidak ingin hal itu terjadi. Masalahnya, persoalan yang mereka hadapi belum terlalu jelas baginya "Bersiap-siaplah, Kisanak. Aku akan membawamu pergi meninggalkan mereka," kata Dewa Arak pada Adipati Subali.

Adipati Subali yang saat itu melirik ke arah Dewa Arak jadi tersentak ketika mendengar suara di telinganya. Itu memang suara Dewa Arak pada hal jelas-jelas, kalau pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menggerakkan bibirnya tadi. Karuan saja hal itu membuatnya heran bukan kepalang. Kembali tatapannya beralih ke sekitar. Kalau musuh di hadapan mereka rasanya tidak mungkin. Kalau orang lain, siapa orangnya?

Karena perasaan penasaran yang melanda Adipati Subali kembali menatap Dewa Arak. Dia ingin mengetahui kepastiannya. Benarkah tadi Dewa Arak berbicara padanya?

"Kau tidak usah memandangku seperti itu, Kisanak Bersiaplah! Kalau mereka keburu menyerang, rasanya akan sulit bagi kita untuk menyelamatkan diri. Kau sudah siap?!"

Kini Adipati Subali yakin kalau suara tadi adalah benar-benar Dewa Arak yang berbicara. Maka tanpa ragu-ragu kepalanya dianggukkan, memberi tanda kalau dirinya telah siap untuk kabur bersama Dewa Arak.

"Hih!" Dengan gerakan yang tidak terlihat mata biasa, Dewa Arak menggamit tangan Adipati Subali. Kemudian, kedua orang itu melesat kabur dari situ. Karuan saja hal itu membuat Jaranta. Ratna Ningsih, dan Taliwang terkejut bukan kepalang.

"Hei!"

Hampir berbareng, ketiga orang itu berseru kaget. Dan secepat seruan itu keluar, secepat itu pula Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang melesat mengejar. Tapi, Dewa Arak yang telah mengetahui kelihaian lawan-lawannya tidak berani bertindak gegabah. Langsung saja dikerahkan seluruh kemampuan ilmu larinya.

Hebat! Hanya dalam sekali langkah, Dewa Arak telah berjarak hampir dua belas tombak di depan. Kemudian hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah jauh di depan. Seperti juga Dewa Arak ketiga orang ini pun mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sesaat kemudian, kejar mengejar antara dua pihak yang berbeda kepentingan pun berlangsung.

Namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada kenyataannya, ilmu lari Dewa Arak memang beberapa tingkat di atas lawan lawannya. Maka semakin lama, jarak antara mereka semakin jauh. Sampai akhirnya, Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang kehilangan jejak sama sekali.

Dewa Arak yang lari dan masuk ke dalam Hutan Maung telah lenyap di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak. Beberapa saat kemudian, baru Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang tiba di tempat lenyapnya Dewa Arak! Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menjulurkan kepala ke sana kemari dengan perasaan geram.

"Keparat!" maki Jaranta keras.

"Telur busuk!" maki Taliwang sambil membanting-banting kaki kanannya.

"Dewa Arak memang hebat!" desah Ratna Ningsih, lesu.

"Dia memiliki kepandaian yang jauh di atas kita. Kalau tidak lekas-lekas dilenyapkan, dia akan menjadi penghalang paling berat!"

Jaranta dan Taliwang mengangguk-anggukkan kepala. Keduanya menyadari kebenaran dalam ucapan wanita bertopeng tengkoran itu.

"Kau benar, Ratna Ningsih! Kita harus melenyapkannya!" dukung Jaranta.

Setelah kata sepakat didapat, ketiga orang pewaris ilmu para datuk-datuk persilatan aliran hitam itu pun melesat meninggalkan tempat ini. Tujuan mereka jelas, melanjutkan pengejaran kembali terhadap Dewa Arak!"

ENAM


Dewa Arak menghentikan lari ketika tidak melihat bayangan Ratna Ningsih, Jaranta, Taliwang di belakang. Jelas, ketiga tokoh sesat itu telah kehilangan jejak atas dirinya. Buat Arya, hal itu sama sekali tidak mengherankan, karena memang telah direncanakan. Pemuda berambut putih keperakan itu berlari melalui pepohonan dan semak-semak yang lebat. Seiring berhenti larinya, Arya lalu melepaskan cekalan tangannya pada Adipati Subali.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap laki-laki tinggi besar itu.

"Lupakanlah, Kisanak," sahut Arya buru-buru sambil mengulapkan tangannya. "Tolong-menolong sesama manusia itu biasa. Jangan terlalu dibesar-besarkan. O, ya. Boleh kutahu, mengapa tiga orang itu ingin membunuhmu?!"

"Hhh...!" Bukannya menjawab pertanyaan itu, Adipati Subali malah menghembuskan napas berat. Dahinya berkernyit dalam. Sepertinya, dia ingin membuang semua kegalauan dalam hatinya. "Mereka menginginkan pusaka peninggalan leluhurku, Dewa Arak. Sungguh tidak kusangka kalau mereka bisa mengenaliku," desah Adipati Subali, lirih.

"Aku belum mengerti maksudmu, Kisanak?" tanya Dewa Arak, belum mengerti.

"Puluhan tahun yang lalu, di tempat kediaman leluhurku terjadi pertarungan antara leluhurku melawan masing-masing orang tua tiga orang itu. Hasilnya, leluhurku menang. Karena khawatir mereka yang dikalahkannya masih mendendam dan akan membuat keributan lagi, leluhurku pergi meninggalkan tempat tinggalnya.

Kemudian Adipati Subali pun menceritakan semua kejadiannya. Mulai dari sejarah leluhurnya, sampai kaburnya rombongan keluarganya dari Kadipaten Blambang. Sepertinya laki-laki tinggi besar ini telah percaya penuh pada Dewa Arak.

Sementara, Dewa Arak mendengarkan penuh perhatian. Sekalipun cerita yang tengah dipaparkan Adipati Subali tak pernah diselaknya.

"Begitulah centanya, Arya," tutur Adipati Subali mengakhiri ceritanya.

Laki-Laki tinggi besar ini merubah panggilannya pada Dewa Arak atas permintaan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan dia pun mengajukan permintaan yang serupa, agar Dewa Arak memanggilnya dengan sebutan kakang saja.

Dewa Arak tercenung sejenak. "Ada sesuatu yang membuatku heran, Kang," desah Arya pelan bernada hati-hati.

"Apa itu, Arya?" tanya Adipati Subali cepat.

"Tapi, aku merasa tidak enak untuk mengutarakannya padamu," ada keraguan dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.

"Katakanlah, Arya,"' dukung Adipati Subali "Percayalah. Aku tidak akan marah atau tersinggung."

"Mengenai Sagala dan Rara Kunti," kata Dewa Arak, pelan.

Pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan ucapannya sejenak. Segera ditatapnya wajah Adipati Subali sekilas. Dan seperti yang sudah diduga, tampak adanya perubahan pada wajah Adipati Subali.

"Maaf, kalau dugaanku ini salah, Kang. Tapi aku melihat adanya kejanggalan pada mereka berdua. Apakah kau tidak merasakannya? sambung pemuda putih keperakan itu lagi.

"Hhh...!" Adipati Subali menghembuskan napas berat. Perlahan-lahan kepalanya dianggukkan. Rupanya dia sependapat dengan ucapan Arya.

"Memang, aku tadinya melihat hal yang mencurigakan itu," desah orang nomor satu di Kadipaten Blambang "Bisa kutahu, apa keanehan yang kau maksudkan itu, Arya?" Walaupun bisa menduga, tak urung Adipati Subali meminta Dewa Arak agar menjelaskannya juga.

“Tadi kau ceritakan, Sagala adalah adik misanmu. Sedangkan Rara Kunti adalah anak kandungmu. Tapi, mengapa mereka berdua malah melarikan diri di saat kau terancam bahaya maut? Padahal, jelas kulihat Sagala dan Rara Kunti memiliki kepandaian tinggi. Aku yakin, tingkat kepandaian mereka tidak di bawah tiga orang pencegatmu itu, Kang. Dan kalau diperhitungkan, kekuatan kita berada di atas mereka. Karena Jaranta telah menjadi lawanku," urai Arya tentang kecurigaannya.

"Dugaanmu sama sekali tidak salah, Arya!" sambut Adipati Subali. “Tapi, itu hanya sebagian kecil dari keheranan yang menimpaku. Namun memang wajar, karena kau tidak tahu jelas duduk masalahnya."

Laki-laki tinggi besar ini menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Rupanya, dia bermaksud mengusir kegalauan hatinya.

"Sepengetahuanku, Sagala dan Rara Kunti tidak memiliki kepandaian setinggi itu. Sagala memiliki tingkat kepandaian di bawahku. Sedangkan Rara Kunti aku yang mendidiknya. Jadi mustahil kalau mereka bisa memiliki kepandaian yang melampauiku. Dan andaikata benar pun, tidak akan terpaut demikian jauh," sambung Adipati Subali.

"Heh...?!" Dewa Arak tersentak kaget "Kalau ucapanmu itu benar, berarti ada hal-hal yang tidak beres di sini, Kang."

"Apa maksudmu Arya?” tanya Adipati Subali, tak kalah kaget.

"Aku rasa, ada hal-hal tertentu yang menyebabkan mereka selama ini menyembunyikan kepandaian! Lagi pula, maaf, Kang. Menurut penglihatanku, Rara Kunti memiliki jurus yang mirip dengan Sagala. Mungkin mereka mempelajari dari sumber yang sama...."

"Mustahil! Hal itu tidak mungkin, Arya!" tukas Adipati Subali cepat "Sejak kecil, Rara Kunti kudidik ilmu-ilmu warisan keluargaku. Sedangkan Sagala baru datang ke Kadipaten Blambang, dua tahun yang lalu."

Dahi Dewa Arak berkernyit dalam. "Apakah kau telah mengenalnya sejak kecil, Kang?" kejar pemuda berambut putih keperakan itu.

"Tidak Arya! Aku baru tahu kalau mempunyai seorang adik misan bernama Sagala, setelah dia datang dan mengenalkan diri padaku. Itu pun dua tahun yang lalu. Jangankan dirinya. Pamanku saja tidak pernah kulihat, bagaimana rupanya," jelas Adipati Subali.

"Lalu, bagaimana kau bisa yakin kalau Sagala adalah adik misanmu? Padahal, kau belum pernah melihat wajahnya!" tanya Arya, penuh rasa heran.

"Hal itu tidak menjadi masalah, Arya. Setiap keturunan kakekku, mempunyai ciri-ciri pada bagian punggung berupa rajahan gambar seekor ular kobra. Tanda itu ada pada diri Sagala, dan juga pada punggung Rara Kunti. Kalau rajahan anakku, akulah yang membuatnya."

Kali ini Arya tidak bisa membantah lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.

"Bisa kau ceritakan sedikit mengenai pamanmu itu, Kang?" tanya Arya.

"Mengapa tidak, Arya?" sahut Adipati Subali cepat, sambil tersenyum lebar. "Seperti juga ayahku, paman kurang memiliki bakat untuk dapat mewarisi ilmu-ilmu kakek. Walaupun memang, bila dibandingkan ayah, paman memiliki bakat yang lebih baik. Apabila latihannya sungguh-sungguh, niscaya akan berhasil memiliki tingkatan yang melampaui ayahku "

Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak, untuk mengambil napas. "Sayang, kemauan paman tidak sebesar kemauan ayah. Paman merasa jenuh, lalu pergi mengembara. Dan dia tidak pernah kembali sampai kakek meninggal. Ayah yang merasa terpukul, lalu meninggalkan desa tempat kelahiran kakek. Lalu, kami menetap di tempat lain sampai aku lahir. Jadi, sampai sekarang aku belum pemah melihat rupa pamanku!"

Dewa Arak termenung ketika Adipati Subali telah menyelesaikan ceritanya. "Kalau Sagala rasanya masuk akal apabila meninggalkanmu pada saat kau tengah terancam bahaya, Kang. Mungkin dia belum punya hubungan batin denganmu. Tapi kalau Rara Kunti, sulit untuk bisa diterima akal sehat. Tega benar dia sampai meninggalkan dirimu. Sekalipun dia tidak memiliki kepandaianpun, tentunya akan menunjukkan baktinya padamu. Apalagi, dia memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Ada masalah tersembunyi di sini, Kang," jelas Arya panjang lebar.

Adipati Subali menganggukkan kepala setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat. Memang, dia pun sudah menduga hal itu. Dan rasanya tidak aneh. Karena laki-laki tinggi besar ini bukan orang sembarangan. Dia bekas Panglima Kerajaan Sewu yang disegani! Tentu saja Adipati Subali terhitung orang yang memiliki kecerdikan.

"Kau tidak keberatan bila aku ikut menyelidikinya, Kang?" Arya menawarkan bantuan.

“Tentu saja tidak, Arya. Malah dengan senang hati akan kuterima. Hm, kita memang harus bekerja sama untuk memecahkan masalah aneh ini," sambut Adipati Subali gembira.

"Apakah kau tidak berminat merebut kembali Kadipaten Blambang, Kang'" tanya Arya, iseng-iseng.

"Tentu saja berminat, Arya. Dan itu akan kulakukan setelah berhasil menyelamatkan surat peninggalan leluhurku. Dan…, ah! Celaka!"

"Ada apa, Kang?" tanya Arya kaget.

Kontan sekujur urat syaraf dan otot Dewa Arak menegang waspada. Sikap Adipati Subali-lah yang menyebabkannya demikian. "Surat peninggalkan kakekku telah kuberikan pada Sagala!" sentak Adipati Subali, kalap. Memang, laki-laki tinggi besar ini merasa kalap bukan main, dugaan Dewa Araklah yang membuatnya demikian.

Pemuda berambut putih keperakan itu menyadarkannya, akan adanya kemungkinan maksud tidak baik dari Sagala. Padahal, surat peninggalan leluhurnya berada di tangan Sagala!

"Ah!" desah Arya tidak kalah kaget "Surat wasiat itu kau berikan padanya?"

"Aku tidak bermaksud memberikannya, Arya. Tapi kejadian bertubi-tubi yang menimpa, membuatku lupa." Jelas Adipati Subali. "Padahal, aku telah menyembunyikannya secara rapi di.. eh..."

"Ada apa lagi, Kang'" tanya Arya ketika melihat Adipati Subali untuk yang kedua kalinya menghentikan ucapan, dan menampakkan raut wajah kaget.

"Aku telah melupakan sesuatu hal. Tapi, untungnya lupa yang menguntungkan." "Aku tidak mengerti maksudmu, Kang?" tanya Arya. Tanpa menyembunyikan perasaan tidak mengertinya.

"Aku telah membuat tiruan surat itu untuk mengamankannya dari kejadian yang tidak kuinginkan. Kemudian, surat yang palsu kuletakkan di tempat yang asli. Ah! Sama sekali tidak kusangka kalau terlupanya aku, malah menimbulkan sebuah keuntungan."

"Jadi, surat yang asli tetap berada di tanganmu?" tanya Arya, gembira.

Adipati Subali menganggukkan kepala. "Benar." Usai berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu lalu memasukkan tangannya ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan, di genggaman tangannya terdapat segulungan kulit binatang. "Inilah surat yang asli itu, Arya!" seru Adipati Subali gembira.

Kemudian Adipati Subali mengangsurkan ke arah Dewa Arak. "Kau tidak ingin mengetahui isinya, Arya?"

Pemuda berambut putih keperakan itu hanya menyunggingkan senyum di bibir. "Sebenarnya, aku juga merasa penasaran mengenai isi surat peninggalan leluhurmu. Ingin kutahu hal yang membuat keturunan datuk-datuk persilatan itu berniat memperebutkannya. Tapi tanpa perkenanmu, aku tidak berani bertindak lancang, Kang," jelas Arya.

"Aku mengizinkan, bahkan memohon agar kau sudi melihat surat peninggalan leluhurku ini, Arya. Barangkali saja kau bisa menguak rahasia yang tersembunyi di baliknya."

"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku," sambut Arya sambil mengulurkan tangan menerima gulungan surat yang diangsurkan Adipati Subali.

Begitu kulit binatang itu telah berada di tangan, Arya lalu membuka gulungannya. Kontan sepasang matanya bertumbukan dengan huruf-huruf yang tertera di atas kulit binatang lusuh itu.

Matahari beredar….
Dari tempat hati yang pilu
Air berasal…..
Tempat yang akan dituju.
Bukti leluhur....
Awal dari kerja keras
Akhir sang Raja memberi derma....
Kunci kebahagiaan

Arya mengernyitkan dahi setelah membaca kalimat-kalimat yang tertera sampai usai.

"Bagaimana, Arya? Bisa kau pecahkan arti kalimat-kalimat itu?" tanya Adipati Subali ketika melihat Arya mengalihkan pandangan dari surat itu.

"Mari kita pecahkan masalah ini di sana, Kang" Sambil berkata demikian, Arya menudingkan jari telunjuknya ke arah sebatang pohon besar yang akarnya menyembul dari tanah. Pohon itu berdaun rimbun, sehingga panasnya sinar matahari tidak akan sampai ke bawah pohon. Memang, saat itu hari sudah siang. Dan sang surya memancarkan sinarnya yang terik ke bumi.

Adipati Subali menatap ke arah pohon itu sejenak. kemudian mengalihkan perhatian pada Arya. "Sebuah usul yang baik, Arya," puji laki-laki tinggi besar itu.

"Kau bisa saja, Kang," sambut Arya sambil menyunggingkan senyum kecil.

Usai berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah menghampiri pohon, diikuti Adipati Subali. Masih dengan dahi berkernyit dalam, pemuda berambut putih keperakan itu menghempaskan pantatnya di akar pohon yang melintang. Sedangkan Adipati Subali pun mengikutinya.

"Bagaimana, Arya? Bisa kau pecahkan arti teka-teki itu?" desak lelaki tinggi besar itu lagi. Raut keingintahuan tampak jelas tersirat pada wajahnya.

Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia tercenung sejenak, sebelum akhirnya menggelengkan kepala perlahan-lahan sambil menghembuskan napas berat.

"Aku tidak bisa memecahkannya, Kang," jawab Arya, pelan.

"Sedikit gambaran kasar mengenai arti dan maksud syair itu barangkali bisa kau utarakan, Arya?" desak Adipati Subali, lagi.

Ucapan Adipati Subali membuat Arya mengalihkan perhatian lagi pada surat yang berada di tangannya. Dibacanya kembali baris demi baris kalimat yang tertera di atas gulungan kulit binatang itu.

"Bagaimana, Arya? Ada dugaan yang berhasil kau dapatkan?"

"Memang ada, Kang. Tapi, hanya berupa dugaan kasar…."

“Tapi, setidak-tidaknya akan memudahkan kita untuk menyelidiki selanjutnya " potong Adipati Subali ketika melihat Arya seperti ragu-ragu untuk mengutarakan ucapannya.

"Baiklah, Kang. Bait pertama menunjukkan tempat yang dimaksud leluhurmu, sedangkan bait kedua menunjukkan cara untuk mendapatkannya."

"Kau hebat, Arya!" puji Adipati Subali dengan wajah berseri-seri. "Aku yakin, teka-teki leluhurku ini akan bisa kupecahkan dengan bantuanmu "

“Tapi, itu hanya dugaan saja, Kang. Lagi pula, belum pasti kebenarannya," bantah Arya, memperbaiki dugaannya.

"Aku yakin dugaanmu itu benar," sergah laki-Laki tinggi besar itu bernada yakin. "Karena, jawaban itulah yang kudapatkan setelah memutar otak selama berbulan-bulan. Dan hasil pemikiranku selama berbulan-bulan, ternyata sama dengan hasil pemikiranmu yang sebentar. Kau hebat, Arya! Bisa kau utarakan pendapatmu selanjutnya?"

"Belum. Hanya itu yang baru kudapatkan," sahut pemuda berambut putih keperakan itu sambil menggelengkan kepala.

Adipati Subali tidak berani mendesak lagi. Bagaimana pun juga, perkembangan yang menggembirakan telah didapatnya. Ternyata Dewa Arak mampu menjawab teka-teki yang telah berhasil dijawabnya berbulan-bulan, hanya dalam waktu sebentar. Jadi, bukan tidak mungkin kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan berhasil memecahkan teka-teki syair itu.

Maka meskipun keinginan untuk menyuruh Arya memikirkan masalah itu lagi amat menggebu-gebu, Adipati Subali terpaksa menahannya. Arya tampak sudah pusing, dan perlu beristirahat.

"O, ya, Arya. Aku belum menjawab pertanyaan yang kau ajukan tadi." Adipati Subali sengaja mengalihkan persoalan.

"Pertanyaan yang mana, Kang?" Arya mengernyitkan alisnya. Rupanya dia terlupa.

"Kau tadi menanyakan apakah aku berminat merebut kembali Kadipaten Blambang. Dan tadi aku akan menjawabnya, tapi.., surat peninggalan leluhurku membuatku terlupa. Bukankah itu tadi yang kau tanyakan?"

Dewa Arak menganggukkan kepala.

"Sekarang kujawab, Arya. Aku memang berminat. Dan itu kulakukan setelah mengamankan surat peninggalan leluhurku. Aku akan kembali ke Kerajaan Sewu, untuk meminta bantuan pasukan. Gerombolan yang telah merebut Kadipaten Blambang dari tanganku pasti akan kugempur!"

"Jadi..., sewaktu kau bersama rombonganmu melarikan diri, ke mana tujuanmu, Kang?" tanya Arya.

"Ke Kerajaan Sewu. Menitipkan anak istriku di sana. Sekaligus, surat leluhur ini kuserahkan pada Rara Kunti. Setelah itu, aku akan menggempur gerombolan yang telah merebut kadipatenku!"

Mantap dan tegas sekali ucapan yang keluar dari mulut Adipati Subali. Apalagi, ucapan itu ditutup dengan kepalanya yang menengadah, sambil membusungkan dada. Arya tercenung ketika Adipati Subali telah menyelesaikan ucapannya.

"Jadi, kau ingin ke Kerajaan Sewu sekarang, Kang?" tanya Arya ingin tahu.

"Entahlah, Arya. Aku sendiri tidak tahu. Kematian istriku, dan tindakan anakku serta Sagala, membuat keinginanku merebut kembali Kadipaten Blambang musnah!" sahut laki-laki tinggi besar itu dengan suara berdesah.

"Bagaimana kalau kita menyelidiki keanehan itu dulu?" usul Arya.

"Aku belum mengerti maksudmu, Arya?" Adipati Subali mengernyitkan alis.

"Maaf kalau ucapanku ini tidak berkenan di hatimu. Masalah Sagala, sama sekali tidak kupikirkan. Yang menjadi pertanyaan bagiku, adalah Rara Kunti. Maaf, apakah kau pernah memergoki keanehan sikapnya belakangan ini?"

"Mengapa kau menanyakan hal itu, Arya?" Adipati Subali balas bertanya.

Arya menghela napas berat. "Ketika aku sempat memperhatikan pertarungan, aku berpikir pula kalau ilmu yang dimiliki Rara Kunti adalah ilmu keji. Serangan maupun perkembangan Ilmu seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh beraliran hitam! Dan lagi, ilmu yang dimilikinya mempunyai mutu yang amat tinggi. Ilmunya bukan ilmu sembarangan. Tak cukup dua tahun untuk mempelajarinya. Aku yakin, dia telah mempelajarinya jauh sebelum itu!" tegas Arya bernada yakin.

“Tapi... dari mana dia mendapatkannya? Padahal, aku tahu pasti Rara Kunti tidak memiliki ilmu itu!" Adipati Subali jadi kebingungan.

"Kalau begitu, ada dugaan yang memungkinkan, Kang. Dugaan pertama, wanita itu benar Rara Kunti. Tapi, tanpa sepengetahuan dia mempelajari ilmu-ilmu sesat tingkat tinggi. Dan itu telah dimulai paling tidak tujuh tahun lalu. Dan, juga gurunya bukan Sagala, melainkan guru dari Sagala."

"Mengapa demikian, Arya?!" tanya Adipati Subali, serak.

"Sagala tidak akan bisa mengajarinya sampai setinggi itu. Yang jelas. Tingkat kepandaian Rara Kunti hanya berselisih sedikit dengan Sagala."

Adipati Subali tercenung. Terbayang kembali di benaknya semua kemampuan mengagumkan yang dimiliki Rara Kunti Dan diam-diam, harus diakui kebenaran ucapan Dewa Arak. "Lalu..., bagaimana dengan dugaan yang kedua, Arya?" tanya Adipati Subali setengah hati.

"Wanita itu bukan Rara Kunti. Melainkan, seorang tokoh sesat yang mempunyai kemampuan untuk menyamar, menjadi seperti orang lain," Jawab Arya, kalem.

"Ah...!" Adipati Subali terperangah. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Dewa Arak. "Kalau dugaan itu benar, lalu ke mana Rara Kunti yang asli, Arya?"

"Kemungkinan sudah dibunuh. Tapi, mungkin pula hanya ditawan."

"Apa pun yang terjadi pada Rara Kunti, aku harus menemukannya! Adaikata dia sudah mati, aku harus menemukan mayatnya!" tandas Adipati Subali dengan suara bergetar.

"Aku ikut Kang!" sambut Arya cepat.

"Tapi, ke mana kita harus mencarinya?" keluh Adipati Subali. Dalam cekaman perasaan cemas, laki-laki tinggi besar ini tidak bisa mempergunakan otaknya sama sekali. Benaknya benar-benar seperti buntu.

"Kita mulai saja dan awal tempat kejadian, Kang."

"Maksudmu. Kadipaten Blambang?!" duga Adipati Subali.

"Tepat! Bagaimana?!"

Jawaban dari pertanyaan Arya, adalah berupa lesatan tubuh Adipati Subali. Jelas, laki-laki tinggi besar itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat yang dituju.

Tanpa berkata apa pun, pemuda berambut putih keperakan itu melesat menyusul. Sesaat kemudian, kedua orang itu telah berlari cepat menuju Kadipaten Blambang.

TUJUH


Matahari telah tergelincir ke Barat. Angin yang berhembus pun sudah terasa tidak terlalu panas lagi. Dan saat itulah Arya dan Adipati Subali telah berada di wilayah perbatasan Kadipaten Blambang.

"O, ya, Kang Masih ada hal yang membuatku agak bingung," kata Arya, sambil menoleh ke samping dan tanpa menghentikan larinya.

Pemuda berambut putih keperakan itu terus berlari. Tapi tentu saja, hanya mengerahkan sebagian kecil dari ilmu larinya. Memang, bila dikerahkan agak penuh, Adipati Subali jelas akan tertinggal jauh.

"Katakanlah, Arya." sambut Adipati Subali terputus-putus. Tampak jelas kalau bekas orang nomor satu di Kadipaten Blambang ini telah lelah.

"Kau hanya menceritakan, kalau istana kadipaten diserbu. Kalau boleh kutahu, apakah kau mengenali para penyerbu itu? Apa mungkin dari kadipaten lain? Atau yahhh, setidak-tidaknya kau mengenalnya, barangkali..."

"Hhh…!" Adipati Subali menghembuskan napas berat. "Kalau teringat hal itu, aku masih heran dan bingung, Arya."

"Mengapa, Kang?" Arya juga merasa heran.

"Rombongan itu terdiri dari berbagai golongan aliran hitam. Aku sendiri tidak habis pikir, mengapa mereka bersatu. Padahal, mereka tidak pernah akur. Dan yang lebih gila lagi, mereka menyerang kadipaten! Entah, siapa yang menjadi dalangnya," jawab laki-laki tinggi besar itu setengah berdesah.

"Berbagai aliran golongan hitam? Aku belum mengerti maksudmu, Kang?" tanya Arya jujur.

Adipati Subali menganggukkan kepala. Dia berdehem sejenak, untuk menenangkan napasnya yang menderu-deru. "Maksudmu.... para penyerbu itu sebenarnya terdiri dari beberapa kelompok yang mempunyai pimpinan sendiri sendiri. Ada yang berasal dari gerombolan perampok, maling, dan biang kerok di sekitar Kadipaten Blambang," jelas Adipati Subali.

Arya mengangguk-anggukkan kepala, pertanda mengerti. "Kau yakin, selama ini mereka tidak pernah akur, Kang?!" tanya Arya, memastikan.

"Aku yakin betul. Karena, mereka satu sama lain sering kulihat saling bentrok!" tandas Adipati Subali.

"Kau melihat sendiri pertarungan yang berlangsung?!"

“Ya!"

"Bisa kau perkirakan, kelompok mana yang menjadi pimpinan dalam penyerbuan itu?" kejar Arya, penuh gairah.

Adipati Subali tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sepasang alisnya berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Dan memang, laki-laki tinggi besar ini tengah mengingat-ingat.

Arya sama sekai tidak mendesak. Dengan sabar, ditunggunya ucapan yang keluar dari mulut Adipati Subali. Dan karena laki-laki tinggi besar itu agak lama berpikir, suasana hening pun terjadi. Yang terdengar hanyalah suara ayunan kaki Adipati Subali yang berlari. Memang mereka masih terus berlari. Tentu saja langkah kaki Arya sama sekali tidak terdengar, karena tingkat ilmu meringankan tubuhnya susah diukur tingginya.

"Kini aku mengerti maksudmu, Arya. Dalam pertarungan itu, jelas-jelas tidak ada seorang pun yang bertindak sebagai pemimpin rombongan penyerbuan. Jadi mungkin ada orang luar yang telah menyatukan mereka. Tapi, mengapa orang itu tidak terlihat dalam penyerbuan itu?"

"Kurasa kau bisa menjawab pertanyaan itu sendiri, Kang. Mengapa orang luar yang menjadi pemimpin rombongan tidak ikut dalam penyerbuan? Atau lebih tegasnya lagi, tidak berani menampakkan diri? Padahal, menilik dari bisa bersatunya kelompok-kelompok yang selama ini suka bentrok, bisa kuperkirakan kalau dia mempunyai pengaruh yang besar. Orang itu ditakuti oleh seluruh tokoh yang ikut dalam penyerbuan. Jadi, dia berarti memiliki kepandaian tinggi. Tapi, mengapa dia tidak muncul?" urai Arya panjang lebar dan penuh semangat.

Adipati Subali terdiam. Dia tidak berani menjawab. Meskipun sudah mempunyai dugaan, tapi dia takut menghadapi kenyataan bila jawaban yang akan diucapkannya itu betul belaka.

"Kemungkinannya hanya ada dua, Kang," sambung Arya lagi ketika melihat Adipati Subali sama sekali tidak ada tanggapan. Namun, Arya, segera menghentikan ucapannya saat melihat raut wajah Adipati Subali yang seperti tengah menderita rasa nyeri yang hebat.

"Perlukah menguraikan dua kemungkinan itu, Kang?" tanya Arya hati-hati.

Perlahan-lahan kepala Adipati Subali tergeleng. "Tidak perlu, Arya. Aku sudah bisa menebak dua kemungkinan itu. Pertama, orang itu gentar. Kedua, dia tidak ingin dikenal. Dan kalau aku lebih condong yang kedua."

"Jadi?"

“Tokoh yang menjadi penyebab bencana di Kadipaten Blambang adalah Sagala, adik misanku sendiri!" tandas Adipati Subali, sambil menyeringai "Kini aku mengerti, mengapa setelah surat peninggalan itu kuserahkan pada Sagala, tiba-tiba terdengar suara lolong kematian. Padahal sewaktu kuselidiki, mayat itu tidak ada. Bahkan dalam perjalanan kembali menuju kereta, ketika hampir tiba terdengar suara berkaok nyaring. Aku tahu, pasti itu bukan suara burung gagak. Sayangnya, aku tidak mempedulikannya."

Adipati Subali menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas dan menenangkan hati. "Aku yakin, dugaanku tida salah lagi, Sagalalah dalang semua kejadian ini! Orang-orang berseragam hitam itu kemungkinan besar anak buahnya! Kalau benar dia dan juga Rara Kunti berada di pihakku, gerombolan orang berseragam hitam itu pasti akan bisa dihancurkan," sambung Adipati Subali berapi-api.

Dewa Arak sama sekali tidak memberi tanggapan, karena memang tidak menyaksikan gerombolan berseragam hitam yang menyerbu rombongan Adipati Subali. Jadi, dia tidak bisa memperkirakan, sampai di mana tingkat kepandaian mereka.

"Mari, Arya. Kita harus secepatnya ke Istana kadipaten. Aku sudah tidak sabar lagi mengungkap semua rahasia ini," ajak Adipati Subali tidak sabar.

"Jadi kita memulainya dengan penyelidikan mengenai Rara Kunti, Kang?"

"Ya!"

Lalu, Adipati Subali melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tampak jelas kalau laki-laki tinggi besar itu sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di Istana Kadipaten Blambang.

* * *


Perlahan-lahan kegelapan mulai turun menyelimuti bumi. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Karena sang dewi malam segera dengan sinarnya yang kuning keemasan mulai menguak kepekatan malam.

Dalam suasana seperti itu, tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat mendekati tembok Istana Kadipaten Blambang. Sosok bayangan yang satu berwama kuning, sedangkan yang lain ungu.

Sekejap kemudian, tubuh dua sosok telah menempel pada pagar tembok Istana kadipaten. Tampak dua sosok bayangan itu terdiam. Punggung mereka sama-sama bersentuhan dengan tembok batu. Siraman sinar sang rembulan, membuat wajah kedua tokoh itu jadi tampak cukup jelas. Mereka ternyata tidak lain dari Arya dan Adipati Subali!

Adipati Subali menoleh ke arah Arya. Dan Arya pun menganggukkan kepala sambil menunjuk dirinya sendiri, baru kemudian menujuk Adipati Subali. Tanpa dijelaskan pun, laki-laki tinggi besar itu telah mengerti maksudnya. Arya hendak melompat lebih dulu, baru kemudian Adipati Subali!

"Hih!" Hanya dengan sebuah genjotan ringan, Dewa Arak telah membuat tubuhnya melayang ke atas. Begitu ringan kakinya mendarat di atas tembok istana.

Begitu kedua kakinya hinggap, Arya langsung bersikap waspada. Pandangannya beredar berkeliling. Lega hatinya ketika tidak menjumpai adanya sesosok tubuh pun di sana. Ke mana perginya orang-orang yang telah menguasai kadipaten?

Tapi Arya tidak mempedulikannya lagi. Diberinya isyarat pada Adipati Subali untuk segera melompat menyusulnya. Laki-laki tinggi besar itu pun melompat ke atas, dan mendarat di atas tembok di sebelah Dewa Arak. Indah dan manis gerakannya! Memang, bekas Panglima Kerajaan Sewu ini memiliki kepandaian lumayan juga.

"Mengapa begini sepi?" tanya Adipati Subali heran, seperti bicara untuk diri sendiri.

Setelah mengawasi sekeliling beberapa saat lamanya, tampak semua sudut begitu sepi dan mati. Tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupana sama sekali!

"Hm...! Kesunyian yang mencurigakan, Kang," sambut Arya yang merasa kan adanya keanehan suasana itu.

Sambil berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan itu melompat rurun. Ringan tanpa suara kedua kakinya menginjak tanah.

"Mungkin ini sebuah perangkap, Arya?" duga Adipati Subali, setelah kedua kakinya mendarat di tanah.

"Mungkin," sahut Arya menyambuti.

Meskipun ucapan dan anggukan kepalanya terlihat menyetujui dugaan Adipati Subali, tapi tampak jelas kalau Dewa Arak merasa bimbang. Raut wajahnya menampakkan keragu-raguan. Bukan hanya itu saja. Nada suaranya pun terdengar sumbang, pertanda keluar dari hati yang tidak yakin.

"Sepertinya, kau tidak setuju dengan dugaanku, Arya?!" Adipati Subali yang merasakan ada nada ketikdakyakinan dalam suara Arya, langsung mengajukan pertanyaan.

Arya menganggukkan kepala.

"Mengapa, Arya?" kejar Adipati Subali, penasaran.

"Kalau benar mereka telah siap menjebak kita, setidak-tidaknya bisa kudengar adanya desah napas atau langkah kaki. Tapi, sekarang aku tidak mendengarnya sama sekali," jelas Arya.

"Lalu, bagaimana maksudmu, Arya?"

"Aku khawatir ada sesuatu yang tidak kita inginkan..."

Hanya itu jawaban yang dlutarakan Dewa Arak. Dan setelah itu, pemuda berambut putih keperakan ini menghampiri sebuah bangunan yang bentuknya paling besar dan megah. Itulah bangunan Istana Kadipaten Blambang. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Arya telah berada di mulut pintu bangunan itu. Sementara, Adipati Subali tetap mengikuti di belakangnya.

"Aku mencium bau anyir darah Arya," bisik Adipati Subali, parau. Jelas, laki-laki tinggi besar ini merasa tegang.

Arya hanya menganggukkan kepala tanpa menoleh. Memang, dia pun mencium bau yang sama sebelum Adipati Subali menciumnya. Karena di samping melangkah lebih dulu. Dewa Arak memiliki ketajaman penciuman di atas Adipati Subali!

Adipati Subali sama sekali tidak merasa tersinggung melihat Arya menganggukkan kepala tanpa menoleh. Itu pun masih ditambah sambil berjalan. Disadari kalau pemuda berambut putih keperakan itu tengah bersikap waspada. Dan hal itu tidak berlebihan. Karena sudah bisa diperkirakan kalau di dalam lingkungan istana Kadipaten Blambang ini telah terjadi peristiwa menggemparkan.

Sementara itu, Arya terus saja melangkah masuk. Tapi baru saja beberapa tindak, langkahnya kontan terhenti. Raut wajah maupun sorot matanya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat.

Betapa tidak! Di hadapan Dewa Arak, terpampang pemandangan mengerikan! Belasan sosok tubuh tergolek dalam keadaan mengerikan. Seluruh anggota tubuhnya tercerai-berai. Potongan-potongan tubuh, tangan, kaki, dan kepala berserakan. Darah tampak menggenangi lantai.

Dewa Arak dan Adipati Subali sangat terperanjat! Betapa tidak?! Di hadapan mereka terpampang pemandangan yang mengerikan! Belasan sosok tubuh tergolek dalam keadaan mengerikan. Seluruh anggota tubuhnya tercerai-berai! Potongan-potongan tubuh, tangan, kaki, dan kepala berserakan!

DELAPAN


"Iblis dari mana yang tengah melakukan hal seperti ini?" desis Arya, penuh kengerian. Sambil berkata demikian, pandang matanya dilayangkan ke arah potongan-potongan tubuh yang berserakan di lantai. Menilik dari banyaknya, mungkin puluhan orang yang telah terbantai.

"Mmm…. mereka adalah gerombolan yang telah menyerbu kadipaten ini, Arya," jelas Adipati Subali agak tergagap. Rupanya, laki-laki tinggi besar ini belum bisa meredakan perasaannya yang terguncang.

"Jadi, mereka adalah gerombolan yang terdiri dari berbagai kelompok penjahat itu, Kang?" tanya Arya setengah hati.

Tanpa diberi tahu pun, sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu sudah bisa menduga kalau para korban adalah gerombolan yang telah meruntuhkan Kadipaten Blambang.

Adipati Subali menganggukkan kepala kepala sambil menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Sementara, Arya membungkukkan tubuh dan memeriksa keadaan mayat-mayat itu. Sesaat kemudian dia bangkit kembali.

"Pembunuhan ini belum lama terjadi, Kang. Mungkin tadi sore. Bukan mustahil pembunuhnya masih berada di sini," ujar pemuda berambut putih keperakan itu.

Kontan wajah Adipati Subali semakin menegang. Mendadak Arya menelengkan kepala. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya gerakan halus di sebelah kanannya.

"Ada apa, Arya?" tanya Adipati Subali. Serak terdengar suaranya.

Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menjawab. Telunjuk tangan kanannya diletakkan di bibir, memberi isyarat agar laki-laki tinggi besar itu jangan berisik.

Adipati Subali sama sekali tidak membantah. Meskipun perasaan ingin tahunya amat besar, tapi berusaha ditekannya. Disadari kalau Dewa Arak bersikap demikian, karena mempunyai alasan kuat.

Benar saja. Baru saja Dewa Arak mengembalikan jari telunjuk yang semula diletakkan di bibir ke tempat semula, terdengar tawa keras menggelegar dan bergaung. Karena mereka berada di dalam bangunan, gema suara jadi terdengar panjang.

Obor-obor yang cukup banyak terpasang di tiap-tiap dinding ruangan membuat suasana di dalam bangunan itu cukup terang. Sehingga, tampak jelas perawakan dan wajah pemilik tawa yang keras menggelegar itu.

Dia ternyata seorang laki-laki setengah tua. Pakaiannya hanya berupa rompi abu-abu, membungkus tubuhnya yang kurus kering. Saking kurus keringnya, dia jadi seperti cecak kelaparan. Bahkan wajahnya tampak pucat. Sepasang matanya yang sipit, semakin menambah keras dugaan kalau laki-laki berompi abu-abu ini seperti penyakitan.

"Siapa kau?!" tanya Adipati Subali, mantap.

Sikap dan tingkah Adipati Subali menunjukkan kalau dirinya adalah pemilik bangunan itu. Memang, meskipun sudah terusir dari istana kadipatennya, Adipati Subali tetap merasa sebagai pemiliknya.

"He... he... he...! Rupanya meskipun sudah tidak memiliki gigi lagi, kau masih bisa menggonggong, Subali!" ejek lakilaki berompi abu-abu itu. "Kau ingin tahu aku? Baik! Aku adalah Hantu Hutan Lodan!"

Adipati Subali menelan ludah, untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Julukan laki-Laki kurus kering itulah yang membuat tenggorokannya kering. Laki-laki tinggi besar ini tahu betul tokoh yang mempunyai julukan seperti itu.

Hantu Hutan Lodan adalah seorang tokoh aliran hitam yang muncul beberapa tahun lalu. Karena sepak terjangnya yang menggemparkan, laki-laki kurus kering ini telah berhasil mengukir nama besar. Julukannya memang ditakuti, baik oleh tokoh-tokoh persilatan aliran hitam maupun aliran putih. Ini disebabkan karena tindakannya yang kejam dan kepandaiannya yang tinggi.

Tak terhitung tokoh golongan hitam dan putih yang tewas di tangannya, secara mengerikan. Hantu Hutan Lodan memang sakti disamping wataknya yang sombong. Dan itu terbukti ketika dengan beraninya laki-laki kurus kering ini mengajukan tantangan pada datuk wilayah Selatan.

Tantangan yang diajukan Hantu Hutan Lodan benar-benar menggemparkan dunia persilatan. Karena, untuk pertama kalinya ada seorang tokoh yang berani mengajukan tantangan pada salah satu dari empat datuk itu.

Maka, berbondong-bondonglah tokoh persilatan dari berbagai aliran datang untuk menyaksikan pertarungan antara Hantu Hutan Lodan dan Datuk Selatan. Namun, ternyata Datuk Selatan tidak kunjung datang. Sehingga, Hantu Hutan Lodan pun mengukuhkan diri menjadi salah satu dari empat orang datuk di empat penjuru angin.

"Mengapa kau membunuhi mereka, Hantu Hutan Lodan?" tanya Adipati Subali dengan suara bergetar. Seiring keluarnya pertanyaan yang diajukan, tangan laki-laki tinggi besar itu ditudingkan ke arah mayat-mayat yang bergeletakan di lantai.

"Cuh!" Hantu Hutan Lodan meludah secara kasar di tanah. "Mereka patut dibunuh! Tindakan mereka terlalu lancang. Mereka telah menyerbu Kadipaten Blambang, atas perintah orang datuk wilayah Selatan, yang tidak pantas memangku kedudukan datuk!"

Laki-laki bertubuh kurus kering ini menghentikan ucapannya sebentar. Dirayapinya dua sosok tubuh yang penuh perhatian mendengarkan ucapannya yang terlalu berapi-api dan penuh semangat.

"Tidakkah mereka tahu, kalau aku yang telah menjadi Datuk Selatan?! Mereka berani bertindak lancang mentaati perintah orang lain, tanpa sepengetahuanku! Dan hukuman yang tepat bagi mereka adalah kematian!" tandas Hantu Hutan Lodan tegas.

Usal berkata demikian, laki-laki kurus kering ini lalu menatap wajah Adipati Subali dan Dewa Arak lekat-lekat. Mendadak wajah Hantu Hutan Lodan berubah. Sepasang mata nya yang semula hanya beredar pada wajah Arya, kemudian beralih ke arah rambut dan pakaian.

Arya yang sejak tadi diam mendengarkan, menjadi tahu mengapa Hantu Hutan Lodan menatapnya demikian. Seperti juga yang lainnya, dia tahu kalau laki-laki kurus kering tengah meneliti ciri-ciri pada diri Dewa Arak. Dan dugaan pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak meleset.

"Hm.... Bukankah kau, Dewa Arak?!" agak tergagap suara yang terdengar dari mulut Hantu Hutan Lodan.

Arya menganggukkan kepala. "Kalau memang demikian, memangnya kenapa Hantu Hutan Lodan? Aku tahu, julukanmu tidak kalah tenar daripadaku."

"Ha ha ha...! Itu memang betul!"

Hantu Hutan Lodan yang memang mempunyai watak sombong dan senang diagung-agungkan, langsung menyambuti penuh semangat Dia tertawa-tawa gembira, tapi sesaat kemudian tawanya lenyap. Pandangannya dialihkan pada Adipati Subali.

"Kalau ingin selamat, cepat serahkan pusaka peninggalan leluhurmu padaku, Adipati Subali?!" ancam Hantu Hutan Lodan.

"Sayang sekali, pusaka itu tidak ada padaku," kalem jawaban yang terdengar dari mulut Adipati Subali.

Memang, laki-Laki tinggi besar ini berkata sejujurnya. Surat wasiat leluhurnya itu sekarang ada pada Arya. Adipati Subali sendirilah yang menyuruh Dewa Arak memegangnya dengan alasan agar lebih aman.

"Kau mencari penyakit sendiri, Adipati Subali! Kau kuberi kesempatan sekali lagi! Serahkan pusaka itu, atau nyawamu akan kucabut?!” geram Hantu Hutan Lodan memberi pilihan.

Adipati Subali membusungkan dada. "Sayang sekali, Hantu Hutan Lodan. Andaikata pusaka itu ada padaku pun, tidak akan kuberikan padamu!" jawab laki taki tinggi besar ini lantang.

"Keparat!" Kali ini Hantu Hutan Lodan tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Tanpa bergeser dari tempat semula, tangan kanannya meluncur ke arah dada Adipati Subali dalam sebuah cengkeraman yang menimbulkan suara angin bercicitan.

Adipati Subali tahu, jarak antara dirinya dengan Hantu Hutan Lodan tidak mungkin bisa dijangkau tangan. Jadi biar bagaimana pun, serangan Hantu Hutan Lodan tidak akan mungkin bisa mencapai sasaran. Maka, dia hanya bersikap tenang. Dia yakin tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya. Lain halnya, apabila Hantu Hutan Lodan menyerang mempergunakan pukulan jarak jauh.

Seperti juga Adipati Subali, Dewa Arak pun merasa heran pula. Hanya saja, ada perbedaannya. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung bisa mengetahui kalau laki-laki kurus kering itu mempunyai maksud yang tersembunyi dalam serangannya.

Seiring timbulnya dugaan ini, Dewa Arak pun teringat sesuatu. Melati, tunangannya, sering menggunakan serangan seperti ini! Hal ini tidak aneh, karena gadis berpakaian putih itu memiliki ilmu yang bisa membuat tangannya menjadi satu setengah kali lebih panjang! Jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku", demikian namanya. Teringat akan hal itu, membuat Dewa Arak terperanjat.

"Awas, Kang...!" Sambil berseru demikian, Dewa Arak langsung bertindak. Tangan kanannya bergerak cepat ke arah pangkal lengan kiri Adipati Subali. Memang, saat ini pemuda berambut putih keperakan itu berada di sebelah kiri Adipati Subali.

Tappp!

Secepat tangan kanannya hinggap di tempat yang dituju, secepat itu pula didorongnya. Akibatnya, tubuh Adipati Subali pun terjengkang Tapi, justru karena itulah, Adipati Subali selamat dari maut! Pada saat yang bersamaan, tangan Hantu Hutan Lodan meluncur ke arah dada. Dugaan Dewa Arak memang tepat! Tangan laki-laki kurus kering itu ternyata terus terulur dengan serangan membahayakan. Jadi, tangan itu memang bertambah panjang!

“Terkutuk!"

Untuk yang kesekian kalinya, Hantu Hutan Lodan memaki. Tapi hal ini tidak ditujukan pada Adipati Subali, melainkan pada Dewa Arak. Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu tetap bersikap tenang. Bahkan sempat mengerling sekilas ke arah Adipati Subali.

"Cepat menjauh dari sini, Kang." kata Dewa Arak bernada perintah.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Adipati Subali segera bangkit dan bergerak menjauh. Dia tahu, mengapa Arya menyuruhnya bertindak demikian. Karena bila terjadi pertarungan, ada kemungkinan akan terkena serangan nyasar jika berada di daerah pertarungan.

"Semula, aku berniat membiarkanmu pergi, Dewa Arak. Kau sama sekali tidak masuk hitunganku. Tapi sekarang, kau malah mencampuri urusanku. Maka, terpaksa kau pun akan kulenyapkan!"

Puas mengucapkan kalimat bernada penuh kesombongan, Hantu Hutan Lodan mengedarkan pandangan berkeliling. Tampak olehnya mayat-mayat yang berserakan di sana sini. Tentu saja hal ini akan mengganggu jalannya pertarungan. Karena, mereka berdua akan mengalami kesulitan untuk berpindah tempat.

"Biarlah ruangan ini kubuat agak luas sedikit"

Hantu Hutan Lodan lalu mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Kelihatannya sembarangan dan tanpa pengerahan tenaga dalam. Tapi hebatnya, potongan-potongan tubuh mayat itu berpentalan seperti tertiup angin keras.

Dan ketika laki-laki kurus kering itu menghentikan gerakan tangannya, lantai ruangan tempat mereka berada jadi bertambah luas. Karena, sebagian besar potongan tubuh mayat telah berpindah tempat ke sudut.

"Aku bukan sejenis orang yang mau enaknya sendiri, Hantu Hutan Lodan. Biarlah kusumbangkan kemampuanku yang tidak seberapa, untuk membuat ruangan di sekitar tempat ini jadi bertambah luas!"

Dan begitu ucapannya selesai itu, Dewa Arak ikut mengibas-ngibaskan tangannya pula. Sama seperti Hantu Hutan Lodan, hal itu dilakukannya secara sembarangan. Tapi pemandangan yang terpampang justru lebih hebat!

Potongan-potongan tubuh mayat yang masih bergeletakan memenuhi tiap ruangan, kontan beterbangan ke sudut dan langsung berkumpul membentuk tumpukan. Hebatnya, potongan yang berupa kepala berada di bagian atas!

Adipati Subali menggeleng-gelengkan kepala melihat pertunjukkan ini. Meskipun tingkatannya tidak bisa disamakan dengan kedua tokoh itu, tapi bisa diketahui kalau dalam pertunjukan tadi Dewa Arak lebih unggul, ketimbang Hantu Hutan Lodan!

Tentu saja Hantu Hutan Lodan pun menyadari hal itu. Maka, seketika perasaan sombongnya pun bangkit. Dia tidak percaya kalau orang semuda Dewa Arak akan mampu menyainginya! Apalagi, mengalahkannya. Mungkin tadi ada kesalahan dalam pengerahan tenaga dalam?

"Aku belum kalah, Dewa Arak! Hiyaaa!" Diiringi teriakan keras. Hantu Hutan Lodan mulai melancarkan serangan. Kedua tangannya meluncur cepat dan bertubi-tubi ke arah kedua tulang rusuk Dewa Arak, disertai angin bercicitan nyaring. Jelas sebuah serangan berbahaya!

Tapi, orang yang diserangnya adalah Dewa Arak! Hanya dengan sebuah lompatan ke belakang, Dewa Arak telah membuat serangan Hantu Hutan Lodan mengenai tempat kosong. Tahu kalau lawannya bukan orang sembarangan, maka selagi tubuhnya masih berada di udara Dewa Arak mengambil guci araknya. Lalu, isinya dituangkan ke dalam mulut.

Gluk…. Gluk….Gluk…!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya. Sesaat kemudian, ada hawa hangat berputar di perutnya, lalu perlahan naik ke atas kepala. Kontan tubuh Dewa Arak limbung ketika mendarat di tanah. Ini terjadi karena kedua kakinya tidak bisa menapak tepat di tanah.

Tapi, justru pada saat seperti inilah Dewa Arak berada dalam keadaan siap untuk memainkan ilmu 'Belalang Sakti‟ Kedua tangannya bergerak-gerak aneh di depan dada, seperti seekor belalang yang tengah mempermainkan kedua kaki depannya. Bukan itu saja. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun berkelejetan. Sementara, kedua kakinya oleng ke sana kemari.

Melihat hal ini, Hantu Hutan Lodan agak terperanjat. Tapi sesaat kemudian, langsung bisa ditebak kalau Dewa Arak telah mulai menggunakan ilmu andalannya. Maka tanpa ragu lagi, dia melancarkan serangan susulan.

Wuk, wuk, wuk...! Wuttt!

Entah dari mana mengambilnya tahu-tahu di tangan Hantu Hutan Lodan telah tergenggam sebilah ganco. Sebentar senjata itu diputar-putar di atas kepala, baru kemudian disabetkan ke arah kepala Dewa Arak.

Tranggg!

Benturan keras terdengar diiringi berpercikannya bungabunga api ketika Dewa Arak menangkis serangan ganco itu dengan gucinya. Hantu Hutan Lodan menyeringai ketika merasakan sekujur tangannya tergetar hebat, akibat benturan itu. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara, Dewa Arak sama sekali tidak terpengaruh.

Maka, kesempatan itu dipergunakan masing-masing pihak untuk melihat senjata masing-masing. Memang, keduanya merasa khawatir akan rusaknya senjata akibat benturan keras tadi. Dan begitu melihat tidak terjadi sesuatu atas senjata masing-masing, keduanya kembali saling gebrak. Sesaat kemudian, kedua tokoh berbeda aliran ini terlihat dalam pertarungan sengit.

Hebat bukan kepalang pertarungan yang berlangsung. Suara mengaung dan mencicit, diiringi tegukan ketika di tengah-tengah pertarungan Dewa Arak menenggak araknya, membuat suasana semakin bertambah semarak.

Akibatnya, keadaan sekitar ruangan itu lebih parah lagi. Ubin-ubin retak-retak. Tembok-tembok mulai berguguran. Kalau pertarungan itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin bangunan itu akan ambruk.

Tapi begitu pertarungan menginjak jurus ke seratus, mulai tampak keunggulan Dewa Arak. Tampaknya pemuda berambut putih keperakan ini mulai bisa menguasai keadaan. Serangan-serangan Hantu Hutan Lodan yang semula menggebu-gebu, kini semakin berkurang. Sampai akhirnya, dia hanya bisa mengelak.

"Hiaaat..!" Di jurus keseratus delapan, Dewa Arak mengayunkan guci araknya ke arah pelipis kiri Hantu Hutan Lodan.

Melihat hal ini, pentolan aliran hitam yang berjiwa kejam ini terkejut bukan kepalang. Serangan itu meluncur demikian tiba-tiba. Maka dengan agak gugup, tubuhnya dirundukkan.

Wusss!

Guci Dewa Arak meluncur lewat di atas kepala, hingga membuat rambut dan seluruh pakaian Hantu Hutan Lodan berkibaran keras. Ini menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam ayunan guci itu.

Tapi, serangan Dewa Arak ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Kaki kanannya meluncur cepat ke arah perut. Tapi karena Hantu Hutan Lodan tengah membungkuk, maka ujung kaki itu jadi mengarahkan ke arah dada. Dan....

Krakkk!

"Akh...!" Hantu Hutan Lodan menjerit ngeri ketika kaki Dewa Arak menghantam telak pada sasaran. Memang, tibanya serangan itu hanya berselisih sedikit sekali dengan serangan guci.

Kontan tubuh laki-laki kurus kering itu terlempar kebelakang. Darah segar seketika memancur deras dari mulutnya, dan membasahi lantai sepanjang tubuhnya melayang. Sesaat itu juga, nyawa Hantu Hutan Lodan melayang dari raganya. Tendangan Dewa Arak telah membuat tulang dadanya hancur berantakan.

Brukkk! Disertai suara berdebuk keras, tubuh Hantu Hutan Lodan jatuh ke lantai

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega. Sama sekali tidak disesali, karena telah membunuh Hantu Hutan Lodan. Dewa Arak tahu, tokoh seperti laki-laki kurus kering itu memang harus dilenyapkan dari muka bumi agar tidak menyebar malapetaka lebih luas.

"Kau hebat, Arya," puji Adipati Subali sambil mendekati pemuda berambut putih keperakan itu.

"Lupakanlah, Kang. Sekarang yang penting, kita harus mencari tahu keberadaan Rara Kunti," kata Arya mengalihkan persoalan.

"Kau benar, Arya," sambut Adipati Subali. Lalu laki-laki tinggi besar itu mengayunkan langkah mengikuti Dewa Arak. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu telah melangkah lebih dulu.

Berhasilkah Dewa Arak dan Adipati Subali menguak rahasia Rara Kunti? Benarkah Sagala yang telah memimpin penyerbuan terhadap Kadipaten Blambang?

Kalau betul, mengapa? Murid siapakah Sagala, sehingga bisa memiliki kepandaian yang demikian tinggi? Bagaimana akhir persekutuan keturunan datuk-datuk persuatan yang ingin menumpas Dewa Arak?

Apakah 'Rahasia Syair Leluhur" itu bisa terungkap? Siapakah yang berhasil mengungkapnya? Dan, apakah datuk-datuk persilatan puluhan tahun lalu pun akan ikut meninggalkan sarang untuk mengejar pusaka Eyang Mandura? Jawaban semua itu ada di dalam episode Neraka untuk Sang Pendekar...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.