Dewa Arak - Runtuhnya Sebuah Kerajaan

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Runtuhnya Sebuah Kerajaan Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Runtuhnya Sebuah Kerajaan

SATU

Angin berhembus agak keras, dan sudah tidak terasa sejuk lagi di kulit. Sehingga, membuat rambut sepasang anak muda yang sama-sama berwajah menawan menjadi berkibaran dipermainkan angin. Mereka memang tengah melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan setapak yang di kiri kanannya ditumbuhi pepohonan besar dan semak belukar.

Memang, saat ini matahari sudah sejak tadi muncul di langit. Yang seorang mengenakan pakaian ungu. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan kokoh. Tubuhnya tegap berisi. Usianya bisa diperkirakan tak akan lebih dari dua puluh dua tahun.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
Tapi anehnya, rambutnya berwama putih! Warna rambut yang hanya layak dimiliki orang yang telah berusia lanjut. Sebuah guci arak terbuat dari perak tampak menggantung di punggungnya. Ciri-ciri siapa lagi dalam rimba persilatan, kalau bukan tokoh yang bernama Arya Buana alias Dewa Arak!

Sedangkan gadis berpakaian putih yang berjalan bersamanya, sudah tentu Melati. Dia adalah putri angkat Raja Bojong Gading.

“Rasanya aku sudah tak sabar lagi untuk segera tiba di Kotaraja Bojong Gading, Kang…,” keluh Melati tanpa menghentikan langkah kakinya.

Arya menolehkan kepala. Dilepaskannya seulas senyum pada Melati. Dia tahu, kekasihnya ini sudah tidak sabar untuk segera tiba di Istana Bojong Gading. Akibat dirinya terkecoh oleh penjahatpenjahat yang mengaku sebagai pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading, memang telah menimbulkan keinginan Melati untuk menjenguk ayah angkatnya.

Dulu Melati pernah ditipu adanya kabar kalau ayahnya telah sakit keras. Tapi nyatanya, kabar itu hanya sekadar bualan belaka agar Melati terpisah dengan Dewa Arak. Dan begitu terpisah, Melati akan dibunuh oleh penjahat-penjahat itu. Untungnya, usaha mereka ternyata gagal.

Dan sekarang, Dewa Arak dan Melati dalam perjalanan menuju ke Kerajaan Bojong Gading (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Dalam Cengkeraman Biang Iblis).

“Bagaimana kalau kita menggunakan ilmu lari cepat agar bisa mempersingkat perjalanan ini, Melati?” usul Arya setelah terlebih dahulu mengawasi sekeliling untuk meyakinkan bahwa tempat itu sunyi dan sepi.

“Usul seperti itulah yang sejak tadi kutunggu-tunggu keluar dari mulutmu, Kang,” sambut Melati cepat.

“Baiklah kalau itu maumu,” kata Arya. “Tapi..., di desa terdekat kita harus mampir di kedai dulu, Melati.”

“Untuk apa, Kang?” Melati mengeryitkan keningnya. “Mengisi guci arakku dulu.”

Melati sama sekali tidak memberi sambutan. Tentu saja hal itu membuat Arya semakin penasaran.

“Bagaimana, Melati? Setuju?”

“Tunggu apa lagi, Kang?” Melati malah balas bertanya.

Maka tanpa berkata lagi, Melati langsung melesat ke depan. Tahu akan kelihaian kekasihnya, tanpa ragu-ragu lagi putri angkat Raja Bojong Gading itu mengerahkan seluruh kemampuannya. Dia tahu, Arya tidak akan mengalami kesulitan untuk mengejarnya.

Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tubuh Melati telah puluhan tombak di depan. Karena tak ingin kehilangan jejak, Arya segera bergerak mengejar. Tapi baru beberapa tombak, tiba-tiba....

Wusss...!

Tiba-tiba sebuah suara mendesir mengarah ke tubuh Dewa Arak. Ternyata sebuah kayu gelondongan yang di sekitarnya penuh ditancapi bambu-bambu berujung runcing dan berbau amis, menyambar ke arah Arya.

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru langkah kakinya yang hendak melesat ke depan dirubah dengan sebuah totolan. Maka tubuhnya pun melenting kembali ke belakang. Sehingga, benda berduri itu meluncur melewati dadanya, yang berjarak beberapa jengkal saja. Namun demikian, angin desingannya cukup terasa jelas di kulit Arya.

Belum juga kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, benda-benda berkilatan menyambar ke arahnya, diiringi suara berdesing nyaring. Melihat hal ini, Dewa Arak kaget bukan kepalang. Sepasang matanya yang tajam bisa menangkap kalau benda-benda berkilatan yang menuju ke arahnya tidak lain adalah pisau terbang. Dan menilik dari desingannya, bisa diketahui kekuatan tenaga dalam pemiliknya. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung mengerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangan. Lalu serangan itu dipapaknya dengan sampokan kedua tangan.

Tak, tak, tak...!

Suara berdetak keras terdengar ketika kedua tangan Dewa Arak berbenturan dengan pisau-pisau yang menuju ke arahnya. Senjata-senjata itu pun terpental tak tentu arah. Malah sebagian kecil menuju ke arah asalnya. Bahkah suara luncurannya jauh lebih nyaring daripada sebelumnya. Hal ini membuktikan kalau pisau-pisau itu melesat begitu cepat.

Prasss, prasss, cappp...!

“Akh...! Terdengar jerit kesakitan, pertanda ada di antara pisau-pisau itu yang mengenai pemiliknya sendiri. Sedangkan sebagian besar menancap di pohon, atau lenyap ke dalam kerimbunan semak-semak. Namun begitu kaki Dewa Arak mendarat di tanah, tiba-tiba....

Brusss...!

Jantung Arya bagai mencelos ketika merasakan landasan yang dipijaknya amblas. Maka, tubuhnya seketika meluncur terus ke bawah. Benaknya berputar, dan langsung menyadari kalau dirinya telah masuk perangkap. Dalam keadaan meluncur, Arya langsung memandang ke bawah. Sebagai orang yang bersikap waspada, dia langsung mengetahui bahaya yang terkandung di bawah sana.

Dugaan Dewa Arak sama sekall tidak meleset. Di dasar lubang tampak puluhan mata tombak siap merejam tubuhnya. Tombak-tombak itu memang sengaja ditanam di dalam tanah, dengan ujung-ujungnya mengarah ke atas. Bahkan dari bau amis yang menyebar di sekitarnya, Dewa Arak tahu kalau ujung tombak itu beracun. Baunya benar-benar memualkan perut dan memusingkan kepala. Tentu saja melihat hal ini, Dewa Arak tak mau mati sia-sia. Maka...

“Hih...!” Selagi tubuhnya belum mencapai dasar lubang, Arya segera menusukkan tangannya ke arah dinding lubang.

Jrebbb, jrebbb...!

Kedua tangan Dewa Arak langsung amblas ke sisi lubang. Maka dengan sendirinya, luncuran tubuh Arya pun tertahan. Dan kini, tubuhnya bergelantungan dalam jarak satu tombak dari ujung-ujung tombak yang siap merejam tubuhnya.

Arya memandang ke bawah sejenak. Benaknya sibuk menimbang-nimbang sebelum memutuskan tindakan yang akan dilakukan. Baru setelah merasa pasti, tangannya yang terhunjam dalam di sisi lubang dilepaskan, sehingga tubuhnya kembali meluncur ke bawah.

Tapi kali ini luncurannya berbeda dengan sebelumnya. Sekarang tubuh Arya meluncur tidak secepat tadi. Tambahan lagi, tindakan itu memang telah diperhitungkan secara cermat, disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.

"Hup...!” Ringan laksana segumpal kapas, kedua kaki Dewa Arak mendarat di ujung-ujung tombak yang runcing itu. Lalu, kepalanya ditengadahkan ke atas untuk melihat tanah berumput yang tadi ambrol sewaktu kedua kakinya hinggap.

Dewa Arak mengukur ketinggian lubang itu dari tempatnya berpijak. Jaraknya, tak kurang dari dua setengah tombak. Diam-diam hatinya memuji kerajinan orang yang telah membuat rangkaian jebakan itu. Pertanyaan demi pertanyaan bergelayut di benaknya. Apakah rangkaian perangkap ini memang ditujukan untuknya? Apabila hal itu benar, berarti semua sudah direncanakan! Lalu, siapakah yang ingin menjebaknya?

Tapi Arya segera menepiskan semua pertanyaan itu dari benaknya. Yang harus dilakukannya sekarang adalah keluar dari tempat itu sebelum orang yang membuat perangkap ini melanjutkan perangkap lainnya. Arya menekuk kedua lututnya, kemudian kedua kakinya bergerak menggenjot. Maka, seketika tubuhnya pun melayang ke atas.

Bahaya yang dikhawatirkan Dewa Arak ternyata terbukti. Selagi tubuhnya baru mencapai separuh perjalanan, di pinggir-pinggir lubang bermunculan beberapa buah busur dalam keadaan siap dilepaskan. Dan...

Twanggg, twanggg, twanggg...!

Beberapa buah anak panah meluncur cepat ke arah tubuh Dewa Arak yang tengah meluncur. Tentu saja hal ini membuat pemuda berambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang. Lubang itu sempit, sehingga tidak memungkinkan untuk mengelak. Segera tenaga pada kedua tangannya dikerahkan, dan dipapaknya anak panah yang meluncur ke arahnya.

Tak, tak, tak...!

Anak-anak panah itu langsung berpatahan ketika berbenturan dengan kedua tangan Dewa Arak. Memang, dalam pengerahan tenaga dalamnya, kedua tangan Arya jadi lebih keras ketimbang baja. Dewa Arak memang berhasil mengkandaskan semua serangan itu. Tapi, ternyata hal itu harus ditebus mahal. Dengan terpaksa tubuhnya kembali meluncur deras ke bawah.

“Ha ha ha...!” Suara tawa bergelak bemada penuh kegembiraan terdengar dari atas lubang. “Terimalah kematianmu, Dewa Arak...!”

Berbareng lenyapnya suara keras itu, dari atas kembali meluncur berbagai macam senjata ke dalam lubang. Anak panah, tombak, pisau, golok, dan beraneka ragam senjata lainnya, siap merejam tubuh Dewa Arak!

Arya memutar otak untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Dua ancaman maut tengah tertuju ke arahnya. Dan apabila tidak diperhitungkan secara cermat cara untuk menyelamatkan diri dalam waktu singkat, nyawanya jelas akan melayang ke alam baka. Maka sebuah keputusan telah diambil Arya. Dia harus bertindak seperti sebelumnya, kalau ingin selamat dari ancaman maut ini.

“Hih...!” Sambil menggeram marah, Dewa Arak menusukkan tangannya ke dinding lubang. Tapi...

Wusss...!

Ternyata tangan Arya hanya menjangkau angin, dinding lubang itu sama sekali tidak tersentuh oleh jari-jari tangannya. Ujung-ujung jarinya masih berjarak beberapa jari dari dinding lubang. Tubuh Arya terus meluncur turun, diburu beraneka ragam senjata yang meluncur dari atas lubang. Sedangkan di bawahnya, menanti puluhan ujung tombak yang siap menyate tubuh Dewa Arak.

Arya hampir putus asa. Dia sudah berniat mengambil tindakan untung-untungan. Kedua kakinya harus mendarat di ujung-ujung tombak itu, lalu menangkis serangan yang mengancamnya. Untungnya di saat yang gawat itu, Dewa Arak teringat akan keris miliik Brajageni. Memang, keris itu kini berada di tangannya (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Perkawinan Berdarah, yang merupakan lanjutan dari episode “Dalam Cengkeraman Biang Iblis).

Secepat teringat akan keris itu, secepat itu pula tangan kanannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika ditarik kembali, dalam genggamannya telah tercekal sebuah keris dalam keadaan terhunus. Keris yang mengandung hawa dingin, dan membekukan urat-urat tubuh orang yang menjadi lawan si pemegang keris.

Wuttt..! Crabbb...!

Keris itu kontan amblas ke dalam dinding lubang hingga sampai ke gagangnya. Dan dengan sendirinya, luncuran tubuh Arya terhenti. Maka kini, tubuhnya bergelantungan di pertengahan dasar lubang.

Dan pada saat itulah, beraneka ragam senjata meluruk deras ke arahnya. Betapapun tubuh Dewa Arak telah merapat ke dinding lubang, tapi karena terlalu banyak senjata yang meluruk ke arahnya, usaha yang dilakukannya jadi sia-sia. Tetap saja senjata-senjata itu mengenai berbagai bagian tubuhnya.

Untung saja Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu. Maka tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk membuat kulit tubuhnya kebal dan tidak terluka oleh luncuran senjata-senjata tajam itu.

Pemuda berambut putih keperakan ini hanya melindungi kepala dari sambaran berbagai macam senjata itu. Sehingga, luncuran beraneka senjata itu sama sekali tidak mengenai kepalanya, tapi tertangkis tangannya.

Tak, tak, takkk...!

Suara berdetak keras terdengar ketika hujan berbagai macam senjata berbenturan dengan tubuh atau tangan Dewa Arak. Senjata-senjata itu pun kontan berpentalan kembali dalam keadaan patah-patah.

Memang, dalam ancaman bahaya maut seperti ini, Arya tidak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Beberapa saat lamanya hujan berbagai macam senjata itu terjadi, dan selama itu pula Dewa Arak sibuk menangkalnya. Tangan maupun seluruh tubuhnya dialiri tenaga dalam, sampai hujan berbagai macam senjata itu terhenti.

“Hhh...!” Dewa Arak menghela napas lega, tapi hanya sebentar saja. Karena, pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara bergemuruh di atas sana.

Meskipun tidak melihat, namun Dewa Arak bisa menduganya. Pengalaman yang mengajarkan kepadanya, kalau suara bergemuruh itu tak lain dari suara menggelindingnya batu-batu. Bisa diperkirakan kalau orang-orang yang telah menjebaknya seperti ini, tengah menggelindingkan baru besar.

Dugaan Dewa Arak memang tepat. Di atas tanah, para penjebaknya tengah sibuk mendorong sebuah batu besar. Jumlah mereka tak kurang dari lima belas orang, dan semuanya mengenakan pakaian prajurit suatu kerajaan.

Sadar akan bahaya besar yang mengancam, Dewa Arak memutar benaknya untuk menyelamatkan diri. Hanya dalam waktu sebentar saja, sudah ditemukan jalan keluar. Dan....

“Hih...!” Dewa Arak memukulkan tangan kirinya yang bebas ke dinding.

Pyarrr...!

Dinding batu itu ambrol disertai suara hiruk-pikuk. Memang, pukulan yang dilancarkan Dewa Arak disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

“Hahhh...?!”

Seruan keterkejutan keluar dari mulut Dewa Arak ketika melihat lorong memanjang ke dalam pada bagian dinding yang dipukulnya. Perasaan penasaran mendorongnya untuk menguak lebih lebar lagi. Dan hasil yang didapat, membuat Dewa Arak tertegun.

Ternyata benar-benar ada sebuah lorong memanjang, namun tampak gelap pekat. Garis tengahnya tak lebih dari setengah tombak, jadi untuk merangkak cukup sulit. Hati Dewa Arak merasa lega melihat kenyataan ini. Dia menduga, sudah ada jalan baginya untuk menyelamatkan diri. Maka, kepalanya menoleh ke atas ketika suara bergemuruh itu tidak terdengar lagi. Tampak oleh Dewa Arak seraut wajah yang memiliki kumis lebat.

“Ha ha ha...! Dewa Arak...! Saat ajalmu sudah tiba! Ha ha ha...! Selamat berjumpa dengan malaikat maut! Ha ha ha...!”

Setelah mengucapkan kata-kata bernada penuh kemenangan, laki-laki berkumis lebat itu memberi aba-aba dengan suara keras. “Dorong...!”

Seiring lenyapnya suara laki-laki berkumis lebat Itu, kembali terdengar suara bergemuruh keras. Jelas, batu besar itu telah kembali didorong. Dewa Arak kini mengerti maksud para penjebaknya. Mereka ingin mengurungnya di dalam lubang jebakan ini! Untung saja telah ditemukan lubang penyelamat. Meskipun belum diketahui kemana tembusannya, tapi telah cukup melegakan hatinya.

Brukkk...!

Diiringi suara bergemuruh keras, batu besar itu menutupi lubang jebakan tempat Dewa Arak terperangkap. Kontan keadaan di dalam lubang jebakan itu jadi gelap pekat karena sinar matahari tidak bisa lagi menembus ke dalamnya.

“Ha ha ha...!”

Masih sempat terdengar oleh telinga Dewa Arak, suara tawa keras bernada penuh kemenangan. Memang, dia tidak melihat pemilik tawa itu. Tapi, yang jelas sudah bisa dikenali nada suaranya. Siapa lagi kalau bukan laki-laki berkumis lebat tadi?

Tapi, Dewa Arak tidak mau memusingkan hal itu lagi. Masih ada urusan yang lebih penting dan harus didahulukan, yakni menyelamatkan nyawanya! Karena tidak ada pilihan lain lagi, tanpa raguragu pemuda berambut putih keperakan itu segera masuk ke dalam lubang yang ditemukannya tanpa sengaja. Karena kecilnya ukuran lubang itu, Arya hanya bisa menempuhnya dengan merayap seperti seekor ular.

Tentu saja dengan cara seperti itu, perjalanan yang dilakukan berlangsung amat lama. Tombak demi tombak ditempuh Arya secara lambat. Sementara, lubang itu sama sekali belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir.

Namun, Dewa Arak tidak putus asa. Tubuhnya terus merayap, meskipun tidak tahu berapa lama hal itu harus dilakukan, dan berapa jauh jarak yang telah ditempuhnya. Arya baru berhenti merayap apabila telah lelah. Dia beristirahat sejenak, dan meminum araknya dengan susah-payah karena tempat yang sangat sempit. Hanya sedikit saja araknya diteguk, karena belum tahu sampai berapa lama lorong ini akan berakhir.

Melakukan perjalanan seperti itu tentu saja sangat melelahkan. Dan hal itu pun dirasakan pula oleh Dewa Arak. Tak heran, kalau dia sering berhenti dan beristirahat Arya hanya minum sedikit tanpa makan, karena memang tidak ada sesuatu yang bisa dimakan.

Itulah nasib Arya. Dia terus saja merayap menyusuri lorong gua yang seperti tidak ada putusnya. Rasa lapar yang melilit perut, rasa haus yang mencekik tenggorokan, melanda perjalanan menuju ujung lorong.

Entah berapa hari Arya menempuh lorong itu. Dan kini, dia melihat ada sebuah kelainan pada lorong yang ditempuhnya. Sekarang pandangan mata Dewa Arak tidak hanya bertemu kepekatan ketika melihat ke depan. Kini di kejauhan, samar-samar terlihat sinar terang yang menyilaukan.

“Hhh...!” Suara desah bernada kelegaan keluar dari mulut pemuda berambut putih keperakan itu. Di saat dia hampir putus asa, akhirnya ditemukan juga ujung lorong itu. Maka, kontan semangat Arya pun bangkit kembali.

Seiring timbulnya semangat, kecepatan merayap Arya pun mengalami perubahan. Kini, tidak lagi loyo seperti sebelumnya. Sinar terang itu ternyata memang berasal dari ujung lorong yang berbatasan dengan dunia luar. Dan kini, Arya telah berada di ujungnya.

Namun, hati Dewa Arak kontan tercengang ketika mengetahui kalau akhir lorong yang ditempuhnya ternyata berujung pada sebuah tebing yang di bawahnya terhampar lautan luas! Beberapa saat lamanya Dewa Arak menatap ke bawah, ke air laut yang terhampar. Permukaan laut itu tampak tenang.

Setelah menenangkan hati sejenak, Arya segera melompat ke bawah. Memang, jarak antara ujung lorong itu dengan permukaan laut, tidak lebih dari sepuluh tombak! Sesaat tubuh Arya melayang-layang di udara, kemudian....

Byurrr...!

Air laut bermuncratan tinggi ke udara ketika tubuh Dewa Arak menimpa permukaannya. Tubuhnya pun tenggelam beberapa saat sebelum akhirnya timbul kembali.

“Pruhhh...!”

Ketika telah timbul kembali di atas permukaan air laut, Arya segera menggoyang-goyangkan kepalanya perlahan. Kemudian, dia menyelam kembali lalu timbul lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu merasakan betapa segar tubuhnya setelah lama tidak bertemu air.

Setelah puas bermain-main dengan air, baru Dewa Arak berenang ke tepi pantai. Dia harus tiba di Istana Bojong Gading secepatnya. Bukankah dia dan Melati tengah menuju ke sana?

Sebenarnya Arya sama sekali tidak tahu kalau dirinya berada di dalam lorong itu selama dua hari. Pemuda berpakaian ungu itu hanya tahu kalau perjalanan dari pantai itu ke Kerajaan Bojong Gading memakan waktu satu hari.

* * * * * * * *

DUA

Telah beberapa hari Melati mencari Dewa Arak yang tiba-tiba hilang entah ke mana. Gadis putri angkat Raja Bojong Gading itu jadi bingung setengah mati. Dia memang sempat menunggu seharian, begitu menyadari kalau Arya tidak ada di belakangnya. Dikira, Arya hanya menggoda saja. Tapi setelah seharian menunggu tidak juga bertemu, jelas itu bukan suatu godaan. Maka, dia kemudian memutuskan untuk mencari Dewa Arak lebih dulu.

Belum juga hilang rasa bingung yang mencekam hati Melati, pergelangan kaki kanannya seperti terjerat sesuatu. Dan sebelum sadar, tubuhnya sudah terangkat ke atas pohon! Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Seperti sekejapan mata saja. Tapi, masih lebih cepat lagi putaranan benak Melati. Maka begitu tubuhnya terasa melayang ke atas, langsung pedangnya dicabut.

Tappp!

Bertepatan dengan tubuhnya yang tergantung di atas cabang pohon dengan kepala di bawah, karena pergelangan kaki kanannya terjerat tali, Melati berhasil mencekal pedangnya. Maka secepat pedang itu tercekal tangannya, secepat itu pula dibabatkan ke arah tali yang mengikat pergelangan kakinya.

Tasss!

Tali itu kontan putus. Namun mau tak mau tubuh Melati melayang ke bawah. Namun dengan gerakan indah, tubuhnya langsung berputar beberapa kali di udara. Dan....

“Hup...!” Baru saja kedua kaki Melati mendarat di tanah, terdengar suara berkerotokan keras, disusul bermunculannya sosok-sosok tubuh dari balik kerimbunan semak-semak dan pepohonan di sekelilingnya.

Cepat bukan main gerakan sosok-sosok tubuh itu. Begitu keluar dari tempat persembunyian, mereka langsung melancarkan serangan ke arah Melati. Dan kini, hujan senjata pun meluruk ke arah berbagai bagian tubuh gadis berpakaian putih itu.

Singgg, singgg, singgg...!

Suara mendesing yang cukup nyaring, diiringi berkeredepnya sinar-sinar berkilatan dari senjata para penyerang, mengawali meluncurnya serangan ke arah sasaran.

Namun Melati tetap bersikap tenang. Sama sekali sikapnya tidak tampak gugup mendapat serangan yang bertubi-tubi itu. Bahkan dalam kesempatan yang singkat itu, pandangannya masih sempat beredar ke sekeliling untuk memperhatikan lawan-lawannya.

Meskipun hanya sekilas, Melati bisa mengetahui kalau jumlah pengeroyoknya tak kurang dari sepuluh orang. Mereka rata-rata mengenakan seragam kerajaan. Entah kerajaan mana, putri angkat Raja Bojong Gading ini sama sekali tidak mengetahuinya.

Melati tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena serangan-serangan para pengeroyoknya telah meluncur tiba. Maka buru-buru pedangnya digerakkan untuk menangkis serangan-serangan itu.

Trang, trang, trang...!

Benturan nyaring diiringi berpercikannya bunga-bunga api ke udara, membuat suasana di hutan menjadi terang dan ramai.

“Akh...!”

Keluhan kesakitan terdengar dari mulut para pengeroyok Melati. Mereka merasakan tangan yang menggenggam senjata seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah, senjata-senjata itu pun terlepas dari pegangan. Memang, gadis itu telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis serangan-serangan itu. Para pengeroyoknya yang hanya berkepandaian pas-pasan mana mampu bertahan?

Melati tidak mau memberi kesempatan. Maka pedang di tangannya pun diluncurkan, membabat ke arah para pengeroyok yang berada di depannya. Untung saja, tidak diarahkan ke bagian tubuh yang berbahaya. Melati memang tidak ingin membunuh mereka. Gadis itu ingin menangkap mereka hidup-hidup untuk ditanyakan alasan mengapa hendak membunuhnya. Barangkali saja hal ini hanya kesalah-pahaman belaka.

Melati sudah memperkirakan keempat orang itu akan tersungkur di tanah dengan bahu terluka. Maka, bisa diperkirakan betapa kaget dan mendongkolnya hati gadis berpakaian putih ini ketika melihat kenyataan kalau lawan-lawannya mampu menghindari ancaman pedangnya.

Serempak empat orang prajurit itu cepat mencabut sesuatu dari balik punggungnya. Kemudian, dengan cepat dipapaknya ujung pedang Melati.

Trang, trang, trang...!

Suara berdentang keras terdengar berkali-kali ketika ujung pedang Melati berbenturan dengan sesuatu yang diambil para prajurit itu dari balik punggung yang ternyata sebuah tameng. Dan sebelum putri angkat Raja Bojong Gading ini berbuat sesuatu, prajurit-prajurit lain kembali melancarkan serangan. Di tangan mereka kini telah tergenggam tameng, di samping pedang yang telah diambil kembali.

Melati menggertakkan gigi. Gadis yang memiliki watak keras hati ini merasa kesal. Dan akibatnya, serangannya makin ditingkatkan. Kejengkelan Melati semakin bertambah ketika menyadari kekompakan lawan-lawannya. Jelas, mereka adalah pasukan-pasukan yang terlatih. Di samping ltu, mereka mampu menggunakan tameng dengan baik. Tameng itu memang menyulitkan Melati untuk menjatuhkan serangan, karena tak ubahnya seperti benteng.

Para prajurit itu rupanya sudah mengetahui kelihaian Melati. Rupanya bentrokan pertama telah menyadarkan mereka akan kelihaian putri angkat Raja Bojong Gading itu. Maka mereka mengambil keputusan untuk tidak sembarangan mengadu pedang. Kecuali, menggunakan tameng yang dapat meredam pengaruh kekuatan tenaga Melati.

Dua puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, Melati masih belum mampu melukai seorang pun Iawannya. Karuan saja hal ini membuatnya geram bukan kepalang. Padahal, dia dulu terkenal sebagai tokoh persilatan yang berjuluk Dewi Penyebar Maut!

Tapi kini, sama sekali dia tidak mampu membereskan lawan-lawannya yang hanya terdiri dari belasan orang prajurit kerajaan. Kalau didengar tokoh-tokoh persilatan, mau ditaruh mana mukanya? Teringat akan hal ini, menimbulkan kegeraman yang amat sangat di hati Melati. Kini dia pun tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan ilmu andalannya, 'Pedang Seribu Naga'.

Wunggg...!

Suara menggerung keras seperti naga murka terdengar ketika Melati mulai mempergunakan ilmu Pedang Seribu Naga. Memang hebat bukan kepalang ilmu pedang andalannya. Begitu dikeluarkan, kontan kepungan para pengeroyoknya membuyar, seperti semut menerjang api.

Tameng-tameng yang semula kokoh membentengi tubuh para prajurit, kini sama sekali tidak berguna. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' memang tidak hanya besar namanya saja, tapi juga pada kenyataannya. Serangannya bertubi-tubi dan saling menyusul dahsyat. Seakan-akan, memang ada seribu naga yang tengah menyerang. Memang, ilmu 'Pedang Seribu Naga' menitik-beratkan pada serangan.

“Akh...!”

Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul dari mulut para prajurit itu. Tameng-tameng mereka kontan terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah begitu pergelangan tangan yang menggenggamnya tersabet pedang Melati.

Sebuah keuntungan bagi mereka. Meskipun merasa geram bukan kepalang, Melati masih mempunyai rasa kasihan. Apalagi, gadis itu sadar kalau dirinya tidak mempunyai urusan dengan prajuritprajurit yang dihadapinya. Maka, dia tidak mau bertindak kejam. Putri angkat Raja Bojong Gading itu hanya melukai pergelangan tangan mereka. Cukup parah memang, tapi tidak sampai membuat tangan itu putus.

Dalam beberapa gebrakan saja, Melati telah membuat lawan-lawannya tidak berdaya. Tubuh-tubuh mereka bergeletakan di tanah, tanpa mampu bangkit lagi. Kini yang dilakukan para prajurit itu hanya merintih-rintih kesakitan. Mereka semua terluka dalam yang cukup parah, sehingga tidak bisa bangkit lagi.

Trek!

Melati menyarungkan pedangnya kembali. Kemudian dengan sorot mata dingin, kakinya melangkah menghampiri kumpulan prajurit yang tergolek di depannya. Memang, lawan-lawan Melati bergeletakan tidak di satu tempat, melainkan di sekelilingnya. Hanya dalam beberapa langkah, Melati telah terdiri di hadapan kelompok prajurit yang berada di depannya.

“Katakan..., mengapa kalian menyerangku?” tanya Melati, dingin nada suaranya. “Cepat! Sebelum kesabaranku hilang, dan menyiksa kalian!”

Para prajurit itu saling berpandangan satu sama lain. Raut wajah mereka memancarkan ketegangan hebat. Maka karuan saja hal itu membuat Melati heran. Namun sebelum gadis berpakaian putih ini mengajukan pertanyaan kembali, terdengar keluhan yang membuatnya terkejut. Kepalanya segera menoleh ke arah asal suara. Dan....

Sepasang mata Melati kontan terbelalak ketika melihat kelompok prajurit yang tadi berada di sebelah kanannya tengah meregang maut Di perut mereka tampak terhunjam sebilah pisau hingga gagangnya. Yang membuat kaget hati putri angkat Raja Bojong Gading itu bukan pisaunya, melainkan tangan yang menghunjamkan pisau! Tangan itu adalah tangan si pemilik perut sendiri. Jadi, prajurit itu bunuh diri!

Dan yang lebih gila lagi, tidak hanya seorang saja yang bertindak nekat itu, tapi semua prajurit di kelompok kanan tadi. Belum juga Melati sempat berbuat sesuatu, kembali terdengar keluhan yang sama. Kali ini, berasal dari kumpulan prajurit yang tengah ditanyainya. Dan ketika kepalanya menoleh, kejadian yang sama juga tengah berlangsung.

Keterkejutan yang melanda hati, membuat Melati tidak mampu mencegah tindakan bunuh diri lawan-lawannya. Sesaat kemudian, semua prajurit itu telah terkapar tewas!

Melati hanya bisa menatap mayat-mayat yang tergeletak di bawah kakinya. Berbagai pertanyaan langsung berkecamuk di benaknya. Mengapa para prajurit itu ingin membunuhnya? Dan mengapa ketika ditanya alasannya sama sekali tidak menjawab?

Bahkan malah bunuh diri. Lalu, ke mana pula perginya Arya? Mengapa sampai sekarang kekasihnya itu tidak menyusulnya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergulung-gulung dalam benak Melati tanpa menemukan jawabannya. Hal itu membuatnya menjadi kesal sendiri. Maka disingkirkan pikiran-pikiran itu kecuali yang mengenai diri Arya. Mengapa Arya belum juga menyusulnya?

Setelah beberapa saat lamanya menungggu namun tidak juga terlihat tanda-tanda kemunculan kekasihnya, maka Melati memutuskan untuk kembali ke tempat semula saat meninggalkan Dewa Arak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu segera melesat cepat ke tempat semula. Tanpa ragu-ragu pula, seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Sehingga, yang terlihat hanyalah seleret bayangan putih yang tak jelas bentuknya tengah melesat cepat menuju ke Timur.

Tapi belum juga berapa lama berlari, Melati mendengar suara langkah-langkah kaki di kejauhan. Semula dia tidak ingin mempedulikannya, dan mencari jalan lain agar tidak berpapasan. Tapi karena rasa ingin tahu mendorongnya, maka dia cepat melompat naik ke atas pohon yang berada tepat di belakangnya.

Tappp...!

Tanpa menimbulkan getaran sedikit pun, kedua kaki Melati hinggap di cabang pohon. Dan dari balik kerimbunan dedaunan yang cukup lebat, ditunggunya kehadiran pemilik langkah kaki itu. Semakin lama, semakin terdengar jelas suara langkah-langkah itu. Ini berarti usaha Melati tidak sia sia. Pemilik langkah kaki yang menurut perkiraannya lebih dari sepuluh orang itu memang menuju ke arah yang baru ditinggalkannya.

Sepasang mata Melati membelalak lebar, dan jantungnya pun berdetak lebih cepat ketika melihat pemilik langkah yang berjumlah tak kurang dari lima belas orang itu mengenakan pakaian yang sama dengan prajurit yang baru saja menyerang dirinya. Apakah mereka ini memang satu kelompok dan satu kerajaan?

Pertanyaan yang menyelinap di dalam hati membuat Melati menjadi semakin tertarik untuk menyelidiki belasan orang berpakaian prajurit itu. Dia menanti hingga rombongan prajurit itu lewat di bawahnya. Dan seiring semakin mendekatnya rombongan itu, hati Melati kontan berdetak kencang. Dan itu terjadi ketika mendengar pembicaraan mereka.

“Mudah-mudahan Angkara berhasil pula menamatkan riwayat gadis itu! Dan dengan demikian, penyerangan besar-besaran terhadap Kerajaan Bojong Gading bisa segera dimulai,” kata salah seorang di antara belasan orang itu. Dia berwajah tinggi besar dan berkumis lebat.

“Dan.., Kerajaan Bojong Gading pun pasti akan hancur berantakan! Bukankah begitu, Jaladra?” sambut yang bertahi lalat di bawah bibir.

“Ha ha ha...!” Laki-laki tinggi besar yang ternyata bernama Jaladra tertawa terbahak-bahak. Tampak jelas kalau hatinya merasa gembira bukan kepalang. Dan sekejap kemudian, suara tawa yang riuh rendah segera memecah kesunyian hutan itu.

"Tapi menurutku..., meskipun Angkara gagal toh hal itu tidak terlalu penting. Gadis itu tidak terlalu berbahaya. Dengan kata lain, penyerangan terhadap Istana Bojong Gading pun tetap akan dilanjutkan meskipun Angkara gagal! Bukan begitu, Jaladra?” sambut laki-laki bertubuh pendek kekar.

Jaladra mengangguk-anggukkan kepala. “Memang. Sasaran utama kita bukanlah gadis itu. Dan tugas itu telah berhasil kita selesaikan dengan baik!”

Sementara itu, jantung Melati semakin cepat berdetak. Ketegangan seketika melanda hatinya. Betapa tidak? Kerajaan Bojong Gading akan diserbu! Ini benar-benar kejutan yang amat besar! Kerajaan mana yang akan menyerbu? Dan siapakah gadis yang dimaksudkan rombongan prajurit itu? Apakah dirinya? Dan siapa pula orang yang menjadi sasaran utama mereka? Begitu pentingkah orang itu sehingga penyerbuan terhadap Istana Bojong Gading pun dilakukan setelah orang itu dibereskan?

Perasaan ingin tahu yang amat besar, mendorong Melati untuk mengikuti rombongan prajurit itu. Memang, rombongan itu telah melalui pohon tempatnya bersembunyi. Dengan hati-hati, Melati menguntit. Ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan sampai ke puncaknya, agar langkah kakinya tidak terdengar oleh rombongan itu.

Melati juga telah turun dari cabang pohon tempatnya mengintai. Kini dia mengikuti dengan menyelinap di balik kerimbunan semak-semak dan pepohonan. Sepasang matanya beredar mengawasi tanah, berjaga-jaga agar langkah kakinya tidak melanggar ranting kering, atau benda-benda yang dapat menimbulkan suara.

Kecurigaan Melati semakin besar ketika orang-orang yang dikuntit menuju ke arah yang baru ditinggalkannya. Jelas, dugaan kalau gadis yang dimaksud dalam pembicaran rombongan itu adalah dirinya. Jaladra dan rombongannya terpekik kaget ketika melihat belasan sosok tubuh yang tergeletak di hadapan mereka. Sesaat sepasang mata mereka semua terbelalak kaget, kemudian langsung menghambur ke arah rombongan prajurit yang tadi hendak membinasakan Melati.

“Ucapanmu ternyata tidak meleset, Guntar,” kata Jaladra ketika mereka semua telah berada di dekat mayat-mayat itu. Sambil berkata demikian, Jaladra memalingkan kepala ke arah laki-laki pendek kekar yang ternyata bernama Guntar.

“Gadis itu ternyata lihai juga...,” desis Guntar dengan wajah pucat.

Menilik dari wajah dan ucapannya, tampak jelas kalau Guntar sama sekali tidak menyangka ucapannya menjadi kenyataan.

“Yahhh...,” sahut Jaladra mendesah.

Sedangkan rekan-rekan mereka yang lain hanya menatapi mayat-mayat satu persatu. Kegeraman tampak pada tarikan wajah mereka.

“Kalau menilik dari kematian mereka..., jelas gadis itu tidak tahu masalahnya. Angkara dan yang lain-lain telah bunuh diri. Berarti, gadis keparat itu tidak berhasil mengorek keterangan dari mereka...,” kata Jaladra lagi.

“Kau melupakan satu hal, Kang,” selak laki-laki yang bertahi lalat di bawah mulut. “Apa itu?” tanya Jaladra.

“Gadis itu tengah menuju Istana Bojong Gading. Jadi meskipun tanpa mengorek keterangan, dia juga akan mengetahui masalah yang sebenarnya.”

Jaladra, Guntar, dan semua prajurit yang berada disitu mengangguk-anggukkan kepala pertanda membenarkan kesimpulan yang diambil rekan mereka.

“Kalau begitu..., kita harus secepatnya mengirim berita agar Istana Bojong Gading segera diserbu. Toh yang jadi penghalang utama telah berhasil dibereskan,” ujar Jaladra setelah beberapa saat lamanya tercenung.

"Tapi..., gadis itu memiliki kepandaian tinggi, Jaladra. Dan ini terbukti di depan mata kita sendiri. Angkara dan pasukannya berhasil dilumpuhkan,” bantah Guntar khawatir.

“Gadis itu memang memiliki kepandaian tinggi, Guntar. Tapi kau harus ingat. Di pihak kita pun banyak tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Jadi, kau tidak usah terlalu khawatir. Toh, sasaran utama telah berhasil dibereskan!” tegas Jaladra.

“Jadi...?” Guntar menggantung ucapannya.

“Kirim tanda untuk memulai penyerangan terhadap Kerajaan Bojong Gading! Segera!” mantap dan tegas sekali perintah yang dikeluarkan Jaladra.

“Baik...!” Guntar lalu mengambil busurnya. Diselipkannya sebatang anak panah yang berbentuk aneh ke busurnya. Dan....

Tranggg...!

Anak panah itu meluncur ke angkasa. Dan setibanya di sana, langsung memercikkan bunga-bunga api yang berwarna-warni. Guntar tidak hanya sekali saja melepaskan anak-anak panah berapi itu. Dia terus saja melepaskannya sampai semua anak panah yang tersedia habis.

Karuan saja hal itu membuat Melati yang mengintai dari tempat persembunyian merasa kaget bukan kepalang. Sebagai seorang putri angkat raja dan pernah beberapa kali terjun untuk mengatasi kerusuhan, dia tahu kalau anak panah yang dilepaskan adalah untuk memberi tanda pada orang yang berada di tempat jauh.

Melati memutar benaknya. Dan dalam waktu singkat, telah diputuskan kalau dia harus pergi ke Istana Bojong Gading secepatnya. Kerajaan itu berada dalam bahaya! Sebuah kerajaan lain yang tidak diketahui Melati telah siap menyerbu.

Putri angkat Raja Bojong Gading ini memutuskan untuk kembali ke istana tanpa menunggu Arya lagi. Barangkali saja pemuda berambut putih keperakan itu kehilangan jejaknya dan menempuh arah yang berbeda. Lagi pula, andaikata Arya tertinggal, pasti dia mampu menyusul. Toh, tujuannya sudah disepakati. Istana Kerajaan Bojong Gading!

Maka tanpa mempedulikan belasan orang prajurit itu, Melati melesat cepat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan yang tidak jelas bentuknya.

“Hey...!” Jaladra dan rekan-rekannya yang sempat melihat kelebatan bayangan putih, langsung berteriak. Tapi hanya itu saja yang dapat mereka lakukan. Karena belum sempat berbuat sesuatu, bayangan tubuh Melati telah lenyap di kerimbunan semak-semak dan pepohonan.

* * * * * * * *

TIGA

“Branjangan...! Lihat..!” seru salah seorang prajurit yang selalu memasang pandangannya di angkasa. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan berambut kemerahan. Sambil berkata demikian, telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke angkasa.

Sementara, prajurit yang dipanggil Branjangan menengadahkan kepala. Dan dia pun langsung melihat sesuatu yang ditunjuk rekannya, yakni percikan bunga api yang berwarna-warni nun jauh di sebelah Timur.

"Tanda dari Jaladra...,” desis Branjangan.

“Benar,” laki-laki berambut kemerahan menganggukkan kepala.

“Kalau begitu..., aku akan cepat-cepat memberitahukan panglima,” kata Branjangan lagi.

“Ya! Cepatlah, Branjangan!” sambut prajurit berambut kemerahan, cepat.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Branjangan segera berlari cepat meninggalkan rekannya menuju ke arah dua ekor kuda yang tengah memakan rumput Dan begitu tinggal beberapa tombak lagi, Branjangan melompat ke arah salah satu punggung kuda. Karuan saja binatang itu meringkik karena kaget Tapi Branjangan sama sekali tidak peduli! Buru-buru. Diraihnya tali kekang kuda, dan digepraknya.

“Hiya...! Hiyaaa...!”

Kuda itu langsung berlari cepat meninggalkan kepulan debu tebal di belakangnya. Sedangkan prajurit berambut kemerahan itu masih terus memperhatikan angkasa.

Sementara itu, Branjangan memacu kudanya bagai orang kesetanan. Yang ada di benaknya hanya satu. Tiba secepat mungkin di kemah tempat rekan-rekannya berkumpul menunggu berita darinya.

Tak lama kemudian, tenda-tenda tempat rekan-rekannya beristirahat telah tampak oleh pandangan mata Branjangan. Tenda-tenda itu dibangun hanya berjarak beberapa ratus tombak dari tembok batas Kerajaan Bojong Gading. Memang, tempat Branjangan dan rekannya tak begitu jauh dari tenda-tenda itu. Branjangan dan rekannya hanya mencari tempat yang agak tinggi, agar mudah melihat tanda yang akan dilepaskan Jaladra.

Suara berderap keras dari kaki-kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam bumi, mengejutkan para prajurit yang berjaga-jaga di sekitar tenda. Tapi ketika melihat Branjangan yang datang, kekagetan mereka pun sirna.

Setelah menarik tali kekang kudanya, Branjangan langsung melompat turun. Padahal, binatang itu belum berhenti berlari. Akibatnya Branjangan hampir saja tersungkur. Namun, itu pun sama sekali tidak dipedulikannya.

“Ada apa, Branjangan?” tanya salah seorang dari empat prajurit yang melangkah menghampirinya.

“Ada tanda..., dari Jaladra,” jawab Branjangan terputus-putus karena buru-buru ingin menyampaikan berita itu. “Cepat beritahukan pada panglima.”

“Baik!” Prajurit yang lain bergegas menyanggupi dan langsung berlari cepat menuju ke arah sebuah tenda yang paling besar dari sekian tenda-tenda yang ada di sekitar situ.

“Tunggu! Mau apa kau...?!”

Dua orang prajurit yang menjaga pintu masuk tenda yang paling besar segera menghalangi langkah prajurit yang akan memberitahukan berita yang dibawa Branjangan.

“Ada tanda dari Jaladra...,” beri tahu prajurit itu.

“Baik! Akan kami sampaikan!”

Setelah berkata demikian, salah seorang prajurit yang menjaga pintu masuk tenda besar itu segera masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian, prajurit itu telah keluar kembali diiringi seorang panglima bertubuh tinggi besar.

“Kalau begitu, kita harus cepat berangkat!” ujar laki-laki tinggi besar yang tidak lain panglima kerajaan ini, Galiwung, namanya. “Kirim tanda pada pasukan-pasukan lain!”

Sesaat kemudian, kesibukan besar pun terjadi di tempat itu. Ada yang sibuk membongkar tenda atau menyiapkan perbekalan dan senjata. Tak ketinggalan pula yang mengirim tanda pada pasukan lainnya.

Tak lama kemudian, pasukan prajurit yang dipimpin Panglima Galiwung pun mulai berangkat Jumlah mereka tak kurang dari seratus orang! Sebagian besar, menunggang kuda. Dan hanya sebagian kecil saja yang berjalan kaki. Branjangan dan prajurit berambut kemerahan tampak pula di antara mereka. Dengan duduk di atas punggung kuda, Panglima Galiwung menatap satu persatu wajah-wajah anggota pasukannya.

“Akhirnya, saat yang dinanti-nantikan tiba. Kita menyerang dan menghancurkan Kerajaan Bojong Gading! Kita akan bunuh Prabu Nalanda! Maka..., Kerajaan Medang akan menjadi kerajaan besar!”

Pelan dan satu-satu ucapan yang keluar dari mulut panglima Galiwung. Tapi karena memang suaranya keras dan menggelegar, kata demi kata yang keluar dari mulutnya jadi terdengar berwibawa.

“Hidup Kerajaan Medang...!” teriak seorang prajurit yang berkumis tipis, sambil mengangkat tangannya ke atas.

“Hidup...!” sambut seluruh prajurit yang berada di situ. Gabungan seruan mereka membuat keadaan sekitar tempat itu seperti bergetar, membahana.

“Hancurkan Kerajaan Bojong Gading...!” Branjangan tak mau kalah.

“Benar! Hancurkan...!” sambut prajurit yang rambut kemerahan.

“Kita bunuh Prabu Nalanda...!”

“Benar..., Prabu Nalanda harus dibunuh!” “Hidup Prabu Indra Laksa...!” Kali ini Panglima Galiwung yang meneriakkan kata-kata keras sambil mengangkat kepalan tangan ke atas.

“Hidup...!”

Serempak seluruh prajurit Kerajaan Medang menyambutnya. Bahkan seperti ada yang memberi perintah, mereka secara berirama meneriakkan kata-kata hidup Kerajaan Medang.

Panglima Galiwung tensenyum lebar. Kepalanya terangguk-angguk. Hatinya merasa puas sekali melihat semangat pasukannya. Maka dibiarkan saja mereka berseru-seru keras beberapa saat. Dan baru ketika dirasa telah cukup, segera diberinya aba-aba pada pasukannya untuk berangkat Bumi bagai dilanda gempa ketika ratusan ekor kuda itu menapakkan kaki secara berbareng di tanah.

Sementara, dari mulut para prajurit Kerajaan Medang terdengar siulan-siulan bernada kegembiraan. Semakin lama, rombongan prajurit Kerajaan Medang semakin jauh meninggalkan tempat itu. Sampai akhirnya, mereka lenyap dari pandangan mata.

Kini hanya kesunyian yang melingkupi tempat itu. Hebatnya, tidak nampak adanya tanda-tanda kalau di tempat itu pernah dijadikan tempat beristirahat pasukan prajurit! Tidak ada tanda-tanda di tempat itu telah didirikan tenda, api unggun dan perlengkapan lainnya.

* * * * * * * *

“Jadi..., Pasukan Kerajaan Medang tengah menuju kemari?” tanya Prabu Nalanda.

Sambil duduk di singgasananya yang indah, Raja Kerajaan Bojong Gading itu mengedarkan pandangan ke bawah. Di sana, tengah duduk bersila seorang prajurit pintu gerbang.

“Benar, Gusti Prabu,” jawab prajurit itu penuh hormat, sambil tetap menundukkan kepala. “Prajurit dari Kadipaten Tasik dan beberapa kadipaten lain yang melaporkannya.”

“Hm....” Prabu Nalanda mengangguk-anggukkan kepala. Jenggotnya yang hanya beberapa lembar itu dieluselusnya. Kernyitan di dahinya memberi tanda kalau orang nomor satu di Kerajaan Bojong Gading tengah berpikir keras.

“Apa saja yang dilaporkan prajurit kadipaten-kadipaten itu, Prajurit?” tanya Prabu Nalanda ingin tahu.

“Menurut berita yang hamba terima, prajurit Kerajaan Medang berjumlah banyak, Gusti Prabu,” jawab prajurit pintu gerbang itu. “Lagi pula..., mereka dibantu tokoh-tokoh persilatan aliran hitam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Sehingga, satu persatu kadipaten-kadipaten itu jatuh ke tangan mereka."

“Hehhh...?! Mengapa tokoh-tokoh persilatan aliran hitam ikut campur dalam masalah ini? Apakah mereka ingin mendapatkan kedudukan dari Kerajaan Medang apabila usaha penyerbuan itu berhasil?!” dengus Prabu Nalanda, kaget.

“Ampun, Gusti Prabu. Mengenai hal itu, hamba sama sekali tidak tahu.”

Prabu Nalanda pun terdiam. Dia tidak menyalahkan ketidaktahuan prajurit penjaga pintu gerbang itu. “Bagaimana menurutmu, Paman Patih?”

Prabu Nalanda menolehkan kepalanya ke seorang laki-laki setengah tua berambut jarang-jarang. Dia memang Patih Rantaka. Maka, laki-laki tua segera menghaturkan sembah. Kedua ujung jari tangannya yang dirangkapkan, ditempelkan di hidung.

“Ampun, Gusti Prabu. Kalau menurut perkiraan Hamba, ada dua hal yang membuat tokoh-tokoh persilatan aliran hitam ikut ambil bagian dalam penyerbuan terhadap Kerajaan Bojong Gading,” sahut Patih Rantaka setelah beberapa saat lamanya termenung.

“Apa saja alasan itu, Paman Patih?” tanya Prabu Nalanda penuh gairah.

Patih Rantaka tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dibasahinya dulu tenggorokannya yang mendadak kering. “Dugaan hamba yang pertama, sama dengan dugaan Gusti Prabu sendiri. Keikut-sertaan mereka dalam penyerbuan itu adalah untuk mencarikedudukan.”

Prabu Nalanda mengangguk-anggukkan kepala. Orang nomor satu di Kerajaan Bojong Gading ini pun menyadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan Patih Rantaka. “Lalu yang kedua...?” desak Raja Kerajaan Bojong Gading tak sabar.

“Yang kedua, menurut hamba adalah masalah pribadi, Gusti Prabu,” jawab Patih Rantaka, mantap.

“Masalah pribadi?” Prabu Nalanda mengernyitkan keningnya. “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu mu, Paman?”

“Begini, Gusti Prabu. Seperti diketahui, ada dua orang pendekar muda yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Kerajaan Bojong Gading. Gusti Ayu Melati yang juga putri Angkat Gusti Prabu, dan Raden Arya Buana selaku kekasih Gusti Ayu. Dan sepanjang pengetahuan hamba, hampir semua tokoh persilat mengetahui hal ini. Entah dari mana mengetahuinya hamba sendiri tidak habis pikir. Tapi itulah dunia persilatan, Gusti Prabu. Dunia persilatan memiliki telinga yang jauh lebih tajam daripada telinga kita.”

Patih Rantaka menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara, berpasang mata yang berada di ruangan itu menatap ke arahnya penuh minat. Di ruangan itu memang tak banyak orang. Yang ada hanya Prabu Nalanda, Patih Rantaka, beberapa orang panglima, Ki Temula, beberapa orang anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading, dan prajurit penjaga pintu gerbang.

“Padahal, selaku seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, Gusti Ayu Melati dan Raden Arya pasti telah banyak menanam permusuhan. Jadi dengan adanya penyerbuan Kerajaan Medang ini, akan terbuka kesempatan bagi tokoh-tokoh aliran hitam untuk melampiaskan dendamnya pada pasangan pendekar muda itu. Begitu menurut dugaan hamba, Gusti Prabu,” tutur Patih Rantaka menyelesaikan ceritanya.

Kepala semua orang yang berada di ruangan terangguk-angguk. Mereka semua menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Patih Rantaka.

“Sekarang satu masalah telah dapat kita atasi,” kata Prabu Nalanda sambil tersenyum lega.

“Prajurit! kamu boleh kembali ke tempat tugasmu!”

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut prajurit pintu gerbang cepat sambil memberi hormat.

“Sekarang kita rundingkan cara terbaik untuk menghadapi serbuan Kerajaan Medang,” ujar Prabu Nalanda. “Bagaimana pendapat kalian semua?”

Setelah berkata demikian, Prabu Nalanda mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah panglima dan patihnya. Dan memang, sesaat kemudian dahi orang-orang penting Kerajaan Bojong Gading itu sama-sama berkernyit dalam. Hanya beberapa kepala yang dahinya tidak ikut berkernyit, yaitu kepala milik anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading. Dan yang satu adalah kepala Ki Temula.

“Ampun, Gusti Prabu,” sembah Panglima Jumali, seorang panglima yang bertubuh tinggi besar dan bersuara keras. “Menurut hemat hamba, kedatangan pasukan Kerajaan Medang kita sambut di luar perbatasan kotaraja. Hal ini untuk mencegah mereka agar tidak masuk dan mengacau kotaraja. Masalahnya kalau hal itu terjadi, dapat menimbulkan korban penduduk.”

Kepala semua panglima yang berada di situ terangguk-angguk. Tak terkecuali, kepala Patih Rantaka. Memang, usul yang diajukan Panglima Jumali tepat sekali.

“Di samping itu, Gusti Prabu,” sambung Panglima Jumali lagi, lebih bersemangat melihat dukungan bagi usulnya. “Apabila kita mengadakan pertarungan di luar kotaraja, banyak keuntungan yang bisa dipetik.”

“Sebutkan di antaranya, Panglima Jumali,” sabda Prabu Nalanda ingin tahu.

Panglima Jumali menelan ludahnya sejenak, untuk melancarkan suaranya yang sudah mulai serak karena terlalu banyak bicara. “Begini, Gusti Prabu. Bila kita maju menyambut serbuan itu, kekuatan mereka bisa langsung diketahui. Kalau kekuatan mereka ternyata di bawah kita, ini yang diharapkan. Mereka dapat dihancurkan di sana tanpa ada korban di antara penduduk yang tinggal dalam kotaraja,” jelas Panglima Jumali, berapi-api.

“Lalu, kalau pasukan mereka lebih kuat?” pancing Prabu Nalanda.

“Yahhh...! Apa boleh buat, Gusti Prabu. Pasukan kita harus mundur masuk ke istana. Hamba rasa dengan bantuan benteng yang kokoh, kita bisa bertahan,” sahut Panglima Jumali, dengan wajah merah padam.

Prabu Nalanda mengelus-elus jenggotnya yang hanya beberapa lembar itu. “Baiklah. Aku setuju, Panglima Jumali. Persiapkanlah segala sesuatunya,” titah Prabu Nalanda.

“Akan hamba laksanakan semua perintah Gusti Prabu,” sahut Panglima Jumali sambil memberi hormat.

Prabu Nalanda menganggukkan kepala. Dengan agak bergegas, Panglima Jumali, Ki Temula, dan panglima-panglima lainnya meninggalkan ruangan itu. Kini yang tinggal hanyalah Prabu Nalanda, Patih Rantaka, dan enam orang anggota pasukan khusus yang menjaga keselamatan Raja Kerajaan Bojong Gading itu.

* * * * * * * *

EMPAT

Di bawah pimpinan Panglima Jumali, pasukan Kerajaan Bojong Gading berangkat menuju perbatasan Kotaraja Bojong Gading. Di sepanjang perjalanan rombongan pasukan ini bertemu para penduduk yang tengah mengungsi.

Memang, berita tentang penyerbuan pasukan Kerajaan Medang telah tersebar luas. Sehingga, membuat para penduduk yang tinggal dekat perbatasan kotaraja berbondong-bondong meninggalkan tempat berteduh mereka. Dengan barang-barang seadanya, rombongan penduduk itu menuju ke pusat pemerintahan Kerajaan Bojong Gading.

Rupanya mereka tahu, tempat yang paling aman adalah dekat istana! Tentu saja anggapan itu berubah, apabila pasukan Kerajaan Bojong Gading hancur di tangan pasukan Kerajaan Medang, dan Istana Bojong Gading telah dikuasai.

Sepanjang perjalanan, para penduduk kotaraja mengelu-elukan pasukan Kerajaan Bojong Gading Mereka sadar, nasib mereka semua bergantung pada hasil pertempuran antara pasukan itu dengan pasukan penyerbu.

Bahkan para penduduk yang terdiri dari pemuda yang bertubuh kekar segera memisahkan diri dari rombongan pengungsi. Secara sukarela dan dengan berbekal senjata seadanya, mereka menggabungkan diri pada pasukan yang dipimpin Panglima Jumali.

Sedangkan orang-orang tua, wanita, dan anak-anak yang tidak bisa membantu, mendoakan agar pasukan Kerajaan Bojong Gading berhasil menumpas gerombolan penyerbu. Tentu saja tindakan sukarela pemuda-pemuda Kotaraja Bojong Gading itu diterima dengan tangan terbuka oleh para prajurit Kerajaan Bojong Gading.

Sementara itu, kepergian ratusan pasukan Kerajaan Bojong Gading, yang sebagian besar menunggang kuda, menimbulkan suara bergemuruh di tanah. Senjata-senjata yang terhunus di tangan, tampak berkilatan tertimpa sinar matahari.

Dan sebelum rombongan pasukan yang dipimpin Panglima Jumali tiba di tembok batas kotaraja, dari jauh sudah terlihat panji-panji Kerajaan Medang tengah berkibaran.

“Hooop...!” Panglima Jumali mengangkat tangan kanannya ke atas, sedangkan tangan kiri menarik tali kekang kuda. Maka binatang tunggangannya seketika berhenti. Dan ketika itu pula, pasukan Kerajaan Bojong Gading ikut menghentikan langkah.

Lalu, Panglima Jumali membalikkan arah kudanya. Kini sambil duduk di atas kuda, ditatapnya wajah-wajah anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading yang berada di hadapannya, satu persatu. “Wahai pasukan Kerajaan Bojong Gading yang gagah perkasa...!”

Panglima Jumali membuka ucapannya dengan suara mengguntur. Memang, sengaja dikerahkannya tenaga dalam pada suaranya. Sehingga, membuat kata-katanya terdengar jelas oleh semua anggota pasukannya.

“Sekaranglah saatnya berbakti pada kerajaan dan tanah tumpah darah kalian! Di hadapan kalian, telah ada musuh-musuh yang hendak menjarah tanah tumpah darah kita! Musuh-musuh yang akan membunuh ayah, ibu, adik, anak, dan seluruh orang yang kalian cintai. Apa pun yang kalian miliki, akan dirampas mereka! Apakah kalian semua akan membiarkan hal itu terjadi, wahai prajurit Kerajaan Bojong Gading yang perkasa?!”

“Tidak...!”

Jawaban serempak dari seluruh anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading diikrarkan. Suasana di tempat itu sampai bergetar hebat akibat pengaruh teriakan ratusan orang itu.

“Oleh karena itu, mari kita pertahankan semua milik kita dengan seluruh kemampuan! Jangan kita biarkan penjarah-penjarah itu merampok hak-hak kita. Kita harus usir dan tumpas habis pasukan Kerajaan Medang yang akan menginjak-injak martabat kita!” sambung Panglima Jumali lagi penuh semangat.

"Akuuur...!” sambut anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading penuh semangat.

“Hancurkan pasukan Kerajaan Medang...!” teriak Panglima Dampu.

“Usir mereka dari sini...!” sambut seorang prajurit Kerajaan Bojong Gading.

“Tumpas!” tambah yang lainnya.

“Ganyang!”

Seketika itu pula, suasana di sekitar tempat itu jadi riuh rendah oleh teriakan-teriakan penuh semangat dari prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Mereka semua seperti tidak ingin ketinggalan melontarkan sambutan. Tapi sebentar kemudian, suara riuh rendah itu kontan lenyap ketika Panglima Jumali mengangkat tangannya ke atas.

“Wahai, prajurit Kerajaan Bojong Gading yang gagah berani. Mari kita tumpas penjarah-penjarah itu! Jangan biarkan mereka memasuki tanah leluhur kita! Kita pertahankan setiap jengkal tanah sampai tetes darah yang penghabisan! Wahai, prajurit Kerajaan Bojong Gading, mari kita sambut kedatangan mereka.”

Usai berkata demikian, Panglima Jumali mengibaskan tangannya ke depan seraya membalikkan kudanya. Sementara itu, pasukan Kerajaan Medang telah dekat di hadapan mereka. Pasukan itu terus menyerbu tanpa mempedulikan teriakan-teriakan semangat pasukan Kerajaan Bojong Gading.

Pasukan Kerajaan Bojong Gading yang telah dibakar semangatnya itu pun menyambut penuh semangat. Sambil mengeluarkan pekik-pekik melengking tinggi, mereka meluruk memapak kedatangan pasukan Kerajaan Medang. Tepat seperti yang telah direncanakan Panglima Jumali, pertempuran menghadapi pasukan Kerajaan Medang terjadi di luar Kotaraja Bojong Gading! Tepatnya sekitar lima puluh tombak dari tembok batas kotaraja.

Pertempuran yang mengerikan pun terjadi ketika dua pasukan besar itu bertemu! Dentang senjata beradu, teriakan-teriakan bernada kemarahan, jerit kesakitan dan kematian, bercampur baur menjadi satu. Sinar sang surya yang memancar terik sama sekali tidak dipedulikan, Yang ada di benak masing-masing pihak hanya satu. Membunuh lawan sebanyak-banyaknya!

Panglima Jumali, dan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya terkejut sekali ketika melihat banyaknya jumlah lawan. Memang, mereka telah mendengar kalau Kerajaan Medang adalah sebuah Kerajaan besar. Namun sungguh tidak disangka kalau jumlah lawan akan sebanyak ini.

Jelas, Mereka kalah dalam jumlah pasukan. Tapi tentu saja pasukan Kerajaan Bojong Gading tidak keluar semua dari kerajaan. Bahkan jumlah mereka sebenarnya pun tidak kalah. Memang, di Istana Bojong Gading masih ada pasukan yang bertugas menjaga istana.

Prajurit-prajurit Bojong Gading bertarung seperti harimau terluka. Rupanya, ucapan Panglima Jumali tadi termakan oleh mereka. Maka, mereka pun bertekad bertarung sampai tetes darah yang terakhir.

Tidak kalah beringasnya terlihat dalam pertarungan adalah Panglima Jumali dan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya. Setiap kali senjata mereka berkelebat, sudah dapat dipastikan ada lawan yang roboh tak bangun lagi untuk selamanya.

Memang menggiriskan sekali sepak terjang panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading. Mereka membabat nyawa anggota pasukan Kerajaan Medang seperti membabat rumput saja. Dan hal ini tidak aneh, karena panglima-panglima ini bukan orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading ini sebenarnya adalah bekas murid utama perguruan-perguruan besar yang dulu pernah ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Bojong Gading.

Meskipun amukan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading ini hebat bukan kepalang, tapi lebih hebat lagi amukan Ki Temula! Kakek kecil berwajah tirus ini memang guru dari beberapa orang panglima Kerajaan Bojong Gading. Dia dulunya adalah Ketua Perguruan Garuda Sakti, salah satu perguruan besar yang ada di wilayah Kerajaan Bojong Gading. Dari sini saja bisa diperkirakan kedahsyatan amukan Ki Temula.

Hanya dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung anggota pasukan Kerajaan Medang yang roboh di tangan mereka. Lolong kematian diikuti ambruknya tubuh-tubuh di tanah, selalu terjadi setiap tangan atau kaki mereka bergerak.

Tapi bukan hanya pihak Kerajaan Bojong Gading saja yang memiliki tokoh-tokoh berkepandaian tinggi sehingga enak saja menyebar maut. Pihak Kerajaan Medang pun memiliki jago-jago yang tak kalah banyak jumlahnya.

Memang, dalam usaha untuk menguasai wilayah Kerajaan Bojong Gading, Kerajaan Medang yang pimpin panglima-panglima pilihan telah mengikut-sertakan pula jago-jago nomor satu istana. Bukan hanya itu saja. Jauh-jauh hari sebelum penyerbuan dilaksanakan, telah banyak dikumpulkan tokoh persilatan aliran hitam untuk membantu menghadapi pasukan Kerajaan Bojong Gading.

Dengan tawaran kedudukan apabila usaha penyerbuan itu berhasil, dan juga alasan kalau Kerajaan Bojong Gading itu adalah kerajaan yang akan dipimpin Dewa Arak nantinya, tokoh-tokoh persilatan aliran hitam akhirnya bisa dibujuk untuk bergabung. Dan dengan banyaknya jago di pihak Kerajaan Medang, tak terhitung pula banyaknya pasukan Kerajaan Bojong Gading yang tewas.

Panglima Jumali, Ki Temula, dan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya tentu saja melihat hal itu. Kegeraman bercampur kemarahan pun seketika melanda hati mereka. Maka sambil terus mengamuk untuk merobohkan lawan demi lawan, mereka bergerak mendekati jago-jago Kerajaan Medang!

Usaha Ki Temula dan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading yang membuka jalan, ternyata berhasil. Dan kini, jago-jago kedua kerajaan itu telah terlibat pertarungan masing-masing. Sekarang jalannya pertarungan lebih berimbang. Karena, jago-jago Kerajaan Medang berhadapan dengan jago-jago Kerajaan Bojong Gading. Dengan sendirinya, prajurit berhadapan dengan prajurit.

Panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading yang terdiri dari Panglima Jumali, Panglima Tampaya, Panglima Jatalu, dan Panglima Garda mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi panglima-panglima, dan jago-jago Kerajaan Medang. Meskipun demikian, karena lawan yang dihadapi terlalu banyak, mereka jadi terdesak.

Di pihak lain, Ki Temula pun menghadapi hal yang serupa. Bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti mengamuk laksana macan luka. Entah sudah berapa puluh orang yang tewas di ujung pedangnya.

Sehingga, ujud pedangnya hampir tidak terlihat lagi. Apalagi darah telah menutupi pedang itu hingga ke gagangnya Bahkan pakaian yang dikenakan kakek sakti itu telah dipenuhi percikan darah lawan-lawannya.

Tapi kali ini, Ki Temula tidak bisa seleluasa sebelumnya dalam merobohkan lawan. Lawan yang dihadapinya kali ini adalah tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Mereka tidak selihai dirinya, tapi karena terdiri dari banyak lawan, karuan saja dia menjadi keteter pula.

Bukan hanya Ki Temula dan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading saja yang terdesak. Pasukan Kerajaan Bojong Gading pun terdesak pula. Meskipun telah bertekad mempertahankan setiap jengkal tanah dengan percikan darah, namun tak urung terdesak juga. Karena, pasukan Kerajaan Medang pun bertarung tak kalah nekat.

Dan yang lebih menguntungkan lagi, pasukan penyerbu ini memiliki jumlah yang lebih banyak! Hasilnya, walaupun kemampuan perorangan prajurit Kerajaan Medang hampir seimbang, tapi karena berjumlah banyak, mereka jadi terdesak.

Perlahan-lahan namun pasti tempat pertempuran mulai bergeser ke arah tembok batas Kotaraja Bojong Gading. Panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading tentu saja melihat hal itu, sehingga membuat mereka cemas bukan kepalang. Mereka, terutama sekali Panglima Jumali, tidak henti-hentinya melontarkan kata-kata keras untuk membangkitkan semangat pasukannya.

Tapi, ternyata tetap saja tidak merubah keadaan. Betapapun besar semangat pasukan Kerajaan Bojong Gading, tapi karena memang berkemampuan terbatas, maka tetap saja mereka tidak mampu berbuat banyak. Mereka terus saja didesak mundur oleh pasukan Kerajaan Medang.

Di antara orang-orang pihak Kerajaan Bojong Gading, hanya Ki Temula tokoh yang paling lihai. Tapi, kakek sakti itu tetap saja tidak berdaya. Lawan yang dihadapinya terlalu banyak dan lihai-lihai. Mati satu, segera muncul gantinya. Demikian seterusnya. Sehingga, Ki Temula tidak bisa membantu pasukan Kerajaan Bojong Gading yang tengah terdesak hebat.

Namun tak lama kemudian, mendadak terdengar derap kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam tanah di kejauhan, tampak seekor kuda yang ditungangi seorang gadis berpakaian putih. Rambutnya hitam panjang hingga melewati bahu. Dia memacu kudanya dengan kecepatan tinggi ke arah pertempuran yang tengah berlangsung.

Meskipun derap kaki kuda yang bertubi-tubi terdengar oleh semua prajurit yang tengah bertarung namun tak ada satu pun yang berani menoleh ke asal suara. Mereka tidak sudi membuang nyawa hanya karena ingin mengetahui orang yang tengah memacu kudanya secara tergesa-gesa itu.

Gadis berpakaian putih itu memang tengah gesa-gesa. Hal ini bisa dibuktikan dari pecutan yang bertubi-tubi ke bagian belakang tubuh kuda.

Ctar, ctar, ctar...!

“Hiyaaa...! Hiyaaa...!”

Masih dengan kecepatan tinggi, gadis berpakaian putih ini mencabut pedang yang tergantung di punggung. Sehingga, kini dia memegang tali kekang kuda dengan satu tangan. Dan dengan keadaan seperti itu kudanya dipacu ke arah kancah pertarungan, serta langsung terjun ke dalamnya. Bahkan pedangn langsung dikelebatkan.

“Aaakh...!”

Lolong kematian terdengar ketika pedang gadis berpakaian putih itu membabat tubuh prajurit-prajurit Kerajaan Medang! Seketika itu pula, tubuh-tubuh mereka ambruk ke tanah, dan tak bangun-bangun lagi.

Karuan saja kehadiran gadis berpakaian putih itu membuat pasukan Kerajaan Bojong Gading yang berada di dekat situ menolehkan kepala, untuk melihat orang yang telah membantu mereka. Maka seketika itu pula meledaklah kegembiraan mereka.

“Gusti Ayu...!” seru seorang prajurit Kerajaan Bojong Gading keras, bernada kegembiraan.

“Hahhh...?! Gusti Ayu...?!” prajurit lainnya mengulang tak percaya sambil terus mengadakan perlawanan.

“Hoy...! Gusti Ayu datang...!”

“Gusti Ayu datang...!”

Kegemparan langsung menyelimuti pasukan Kerajaan Bojong Gading. Semangat mereka kembali bangkit atas kehadiran gadis berpakaian putih yang memang Melati. Kini dengan adanya bantuan dari Melati, desakan terhadap pasukan Kerajaan Bojong Gading mulai berkurang.

Dengan Ilmu 'Pedang Seribu Naga' Melati memang bagai malaikat pencabut nyawa saja. Setiap kali pedangnya berkelebat, setiap kali pula ada sesosok tubuh yang ambruk ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.

Tapi hanya sebentar saja pasukan Kerajaan Bojong Gading menarik napas lega. Pada kenyataan lawan-lawan yang dihadapi memang terlalu banyak. Meskipun Melati telah membantu, tapi karena jumlah lawan terlalu banyak, tetap saja pasukan Kerajaan Bojong Gading terdesak.

Hanya saja, desakan yang melanda memang tidak sedahsyat sebelumnya. Tapi meskipun begitu, mereka tetap terdesak mundur. Bahkan hingga hampir mencapai tembok batas kotaraja. Pada saat pasukan Kerajaan Bojong Gading tengah terdesak hebat itulah, terdengar suara tawa berkakakan nyaring.

“Ha ha ha...!

Keras bukan kepalang tawa itu terdengar. Jelas tawa itu ditopang tenaga dalam tinggi. Dan akibatnya memang tidak main-main. Hampir semua prajurit yang tengah bertempur langsung ambruk, karena kedua lutut mereka tiba-tiba terasa lemas.

Bukan para prajurit saja yang terpengaruh oleh suara tawa itu bahkan para panglima dari dua buah kerajaan, tokoh-tokoh aliran hitam, dan Melati serta Ki Temula pun terpengaruh pula. Malah, Melati dan Ki Temula sampai mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh suara tawa itu.

Tak jauh dari kancah pertempuran, muncul seorang kakek bertubuh tinggi kurus. Rambutnya kaku seperti sikat kawat. Pakaian yang dikenakan pun berupa helaian kain abu-abu yang dilibat-libat. Di pinggangnya, tampak terlilit sebuah cambuk yang berserat-serat kasar.

Ki Temula dan Melati, dua orang'yang paling tangguh di antara semua orang yang berada di situ, menatap kakek berambut kaku itu penuh selidik.

“Siapa kau, Kisanak? Dan mengapa mencampuri Urusan kami?” tanya Ki Temula bernada hati-hati.

Bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti itu bukan orang bodoh. Dia tahu, kakek berambut kaku itu memiliki kepandaian tinggi. Dan itu bisa diketahui dari suara tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Tapi sebelum kakek berambut kaku itu sempat menjawab, semua orang yang tadi terpengaruh tawa yang dikeluarkannya telah berhasil memulihkan diri. Maka, pertarungan pun kembali berlangsung. Tanpa mempedulikan pertarungan lainnya, kakek berambut kaku itu menatap tajam wajah Ki Temula.

“Semula, aku tidak ingin keluar dari tempat kediamanku! Tapi karena seseorang telah berjanji mengunjungiku, namun tidak kunjung muncul, maka aku yang datang mencarinya! Aku mencari Dewa Arak, tapi belum juga bertemu! Mungkin kalau semua pasukan Kerajaan Bojong Gading kubantai dan Istana Bojong Gading berhasil dikuasai orang, baru keparat itu akan muncul!”

“Siapa kau?!” tanya Ki Temula, berdebar tegang Memang, sudah bisa diperkirakannya siapa kakek tinggi kurus ini. Dewa Arak memang telah ceritakan padanya mengenai tokoh ini.

“Aku Kemamang Danau Neraka,” kata kakek berambut kaku, memperkenalkan diri.

Ki Temula sama sekali tidak merasa terkejut karena memang sudah menduganya (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Perjalanan Menantang Maut).

Usai memperkenalkan diri, Kemamang Danau Neraka langsung melecutkan cambuknya ke arah pelipis Ki Temula. Untung saja laki-laki tua itu sudah bersiap siaga sejak tadi. Maka, dia langsung melompat mundur. Sehingga....

Ctarrr...!

Asap tipis langsung mengepul. Percikan-percikan bunga api pun mengiringi ketika lecutan cambuk tidak mengenai sasaran, dan hanya lewat beberapa jengkal di depan wajah Ki Temula.

“Ha ha ha...!” Kemamang Danau Neraka tertawa gembira ketika melihat serangannya bisa dielakkan lawan. Tanpa mempedulikan kalau serangannya akan mengancam keselamatan orang-orang yang berada di situ, kakek tinggi kurus ini kembali melancarkan serangan susulan.

Mau tak mau orang-orang yang tengah bertempur pun menyingkir dari situ. Mereka semua tidak ingin mati konyol tersambar serangan nyasar dari kedua belah pihak. Namun demikian, mereka tetap tidak menghentikan pertarungan.

Dengan menyingkirnya orang-orang yang berada di sekitar tempat itu, dua orang kakek sakti itu jadi leluasa bertarung. Ki Temula yang sejak tadi sudah mencabut pedangnya langsung memberi perlawanan tak kalah sengit.

Maka pertarungan antara kedua kakek yang sama-sama memiliki tingkat kepandaian tinggi pun berlangsung. Masing-masing mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menjatuhkan lawan secepatnya.

* * * * * * * *

LIMA

Untuk pertama kalinya, Ki Temula harus bertarung melawan pemilik salah satu pulau yang ada di Pulau Ular. Disadari kalau Kemamang Danau Neraka adalah lawan yang amat tangguh, maka tanpa ragu-ragu bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti ini mengerahkan seluruh kemampuannya.

Pedang di tangan Ki Temula menyambar-nyambar ke arah berbagai bagian tubuh lawan. Terkadang menusuk, membacok, dan tak ketinggalan membabat Memang, seluruh permainan ilmu pedangnya dikeluarkan.

Hebat bukan kepalang permainan pedang Ki Temula. Setiap gerakan pedangnya selalu menimbul kan bunyi yang menggiriskan hati. Mengaung, mendesing, bahkan mencicit. Jelas, gerakan pedang itu didukung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Namun, kelihaian Ki Temula ternyata mampu diimbangi Kemamang Danau Neraka. Meskipun senjata kakek berambut kaku ini kelihatan lemas, tapi sebenarnya bisa menegang kaku seperti layaknya sebatang tombak! Memang menakjubkan sekali permainan cambuk Kemamang Danau Neraka. Senjata di tangannya bisa meliuk-liuk seperti seekor ular, mematuk-matuk, menegang kaku, di samping melecut seperti cambuk pada umumnya.

Dari sini saja bisa diperkirakan kelihaian Kemamang Danau Neraka. Paling tidak membutuhkan kemampuan tinggi, di samping tenaga dalam yang amat kuat untuk mementahkan serangan kakek berambut kaku ini. Tak heran, meskipun hanya mereka berdua saja yang bertarung, namun suara yang ditimbulkannya tidak kalah dengan suara pertempuran ratusan prajurit.

Setelah bertarung beberapa jurus, Ki Temula baru mengakui kesaktian pemilik pulau di Pulau Ular ini. Pekembangan gerakan cambuk Kemamang Danau Neraka benar-benar sulit diduga. Kalau saja Ki Temula bukan bekas ketua perguruan silat besar yang telah banyak dan kenyang pengalaman bertempur, pasti sudah sejak tadi ia roboh.

Tapi meskipun demikian, tetap saja Ki Temula terdesak. Dan itu terjadi setelah pertarungan berlangsung lebih dari tiga puluh jurus. Di sini baru terbukti kalau bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti ini mulai terlihat kalah segala-galanya. Baik dalam tenaga, kecepatan maupun mutu ilmu silat. Jadi, tak aneh kalau dia sekarang sampai terdesak. Apalagi Ki Temula habis melakukan pertarungan yang cukup menguras tenaga.

Memang patut dipuji kekerasan hati Ki Temula Walaupun tahu kalau tak akan mampu menghadapi Kemamang Danau Neraka, tetapi dia terus mengadakan perlawanan dengan gagah berani. Suara mendesing nyaring, mencicit, mengaung ditingkahi suara meledak-ledak keras, meramaikan jalannya pertarungan antara Ki Temula melawan Kemamang Danau Neraka.

Menginjak jurus ketiga puluh lima, keadaan Ki Temula semakin terdesak. Serangan-serangan yang dilancarkannya pun semakin berkurang. Kini, dia lebih sering mengelak. Menangkis pun hanya sesekali saja dilakukan, karena hanya akan merugikan saja. Apalagi kekuatan tenaga dalamnya masih di bawah Kemamang Danau Neraka.

Sebaliknya, serangan-serangan Kemamang Danau Neraka semakin bertubi-tubi meluncur ke arahnya. Sudah bisa diperkirakan, robohnya Ki Temula hanya tinggal menunggu waktu saja. Maka di jurus keempat puluh tiga....

Ctarrr...!

Diiringi lecutan keras menggelegar, Kemamang Danau Neraka meluncurkan cambuknya ke arah pelipis Ki Temula. Andaikata sampai mengenai sasaran, past! kepala kakek itu akan hancur lebur. Memang, lecutan itu sebenarnya mampu menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun! Ki Temula tentu saja mengetahui kedahsyatan serangan itu. Maka, buru-buru serangan itu dipapak dengan pedangnya.

Ctarrr! Rrrt..!

Ki Temula terperanjat ketika cambuk lawan tiba-tiba melilit batang pedangnya. Tahu kalau keadaannya terjepit, kakek kecil. kurus ini berusaha melepaskan senjatanya dari belitan itu. Seluruh kekuatan yang masih tersisa dikerahkan untuk membetot.

Tapi, Kemamang Danau Neraka yang memang sudah merencanakan hal ini sama sekali tidak membiarkannya. Dia pun balas membetot sambil mempertahankan belitan cambuknya pada pedang lawan. Maka adu tarik-menarik pun tidak bisa dielakkan lagi.

Tak lama kedua tokoh sakti ini saling tariktarikan, namun sudah terlihat pemenangnya. Wajah Ki Temula tampak merah padam. Bahkan dari atas kepalanya mengepul uap tipis, pertanda telah mengeluarkan tenaga dalam sampai ke puncaknya. Sedangkan Kemamang Danau Neraka hanya memerah saja wajahnya.

Perlahan-lahan, tubuh Ki Temula menjadi condong ke depan, karena terbawa tarikan Kemamang Danau Neraka. Hal ini tidak mengherankan, karena di samping tenaga Ki Temula ada di bawah lawannya, kekuatan tenaga dalamnya juga telah menurun jauh. Memang, dia telah terlalu banyak mengeluarkan tenaga sebelum bertarung menghadapi Kemamang Danau Neraka.

Meskipun tahu kalau dirinya kalah tenaga, tapi Ki Temula tetap tidak mau melepaskan pedangnya. Masih tetap bertahan. Sisa-sisa tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan untuk terus membetot. Mendadak, tanpa diduga-duga Ki Temula, Kemamang Danau Neraka melepaskan belitan cambuknya. Akibatnya, tubuh kakek berwajah tirus itu terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikannya sendiri.

“He he he...!” Kemamang Danau Neraka tertawa terkekeh. Kembali cambuk di tangannya dilecutkan ke arah tubuh Ki Temula yang masih terhuyung-huyung. Padahal, Ki Temula belum mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang.

Ctarrr...!

“Akh...!” Ki Temula memekik keras ketika ujung cambuk Kemamang Danau Neraka menyengat dadanya. Keras bukan main! Darah langsung memercik deras dari mulut Ki Temula. Jelas, kakek berwajah tirus ini terluka dalam.

Tindakan Kemamang Danau Neraka ternyata tidak sampai di situ saja. Tanpa mengenai rasa kasihan sedikit pun, tubuh Ki Temula yang masih terhuyung-huyung dikejarnya. Dan sekali lagi, cambuk di tangannya meluncur. Kali ini dengan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular.

Ki Temula yang sudah terluka dalam dan masih terhuyung-huyung, berusaha menangkis. Tapi gerakan cambuk yang meliuk-liuk itu, menyulitkannya. Meskipun demikian pedangnya tetap digerakkan untuk menangkis.

Tukkk...! Ternyata usaha Ki Temula gagal. Bahkan cambuk itu langsung menotok tepat pada pelipis kanannya. Kontan tubuh bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti Ini ambruk ke tanah, dengan nyawa meninggalkan raga. Pelipisnya telah pecah terkena lecutan cambuk yang mengandung tenaga dalam amat tinggi itu. Memang, menyedihkan sekali kematian Ki Temula. Dia tewas tanpa sempat mengeluh lagi.

“He he he...!” Tawa keras menggelegar Kemamang Danau Neraka mengiringi perginya Ki Temula ke alam baka. Setelah puas tertawa-tawa, dia menghambur ke dalam kancah pertarungan. “Dewa Arak! Lihat..! Aku datang menagih janjimu...!”

Sambil berteriak-teriak keras, Kemamang Danau Neraka melecutkan cambuknya ke arah pasukan Kerajaan Bojong Gading. Hebat dan menggiriskan sekali sepak terjang kakek berambut kaku ini. Setiap kali cambuk, tangan, atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan akan ada yang roboh di tanah tanpa nyawa.

Maka, akibatnya terasa sekali bagi pasukan Kerajaan Bojong Gading. Keadaan mereka memang sudah terdesak. Dan kini, Kemamang Danau Neraka ikut terjun dalam kancah pertarungan menghadapi mereka. Maka, keadaan pasukan Kerajaan Bojong Gading semakin kocar-kacir.

Mengamuknya Kemamang Danau Neraka mengejutkan semua orang yang berada di pihak kerajaan dibawah pimpinan Prabu Nalanda. Karena, berarti Ki Temula telah tewas!

Memang, tidak semua pasukan Kerajaan Bojong Gading yang melihat kematian Ki Temula. Tubuh-tubuh yang tergolek di tanah juga tidak terhitung lagi. Tambahan lagi, suasana sekitarnya benar-benar kacau oleh pertarungan. Sehingga sulit untuk memperhatikan ke kanan dan ke kiri.

Melati dan keempat orang panglima Kerajaan Bojong Gading hanya bisa menghembuskan napas berat. Mereka juga sudah bisa memperkirakan kalau Ki Temula telah tewas. Bahkan Panglima Jatalu dan Panglima Garda, hampir menitikkan air mata di sela-sela pertarungan menghadapi lawan. Ki Temula adalah guru mereka. Dan sedihnya mereka sama sekali tidak bisa melihat kematian guru mereka sendiri. Siapa yang tidak menjadi terenyuh hatinya?

Panglima Jumali dan ketiga orang panglima lainnya sadar. Kalau pertarungan diteruskan, bukan tidak mungkin semua prajurit Kerajaan Bojong Gading akan musnah. Maka....

“Prajurit Bojong Gading yang gagah berani, mundurrr...!” teriak Panglima Jumali keras, sambil melompat menjauhi lawannya.

Tanpa menunggu perintah dua kali, pasukan Kerajaan Bojong Gading cepat bergerak mundur, menjauhi lawannya. Kini mereka melakukan perlawanan sambil mundur. Sebenarnya, sudah sejak tadi pasukan Kerajaan Bojong Gading mundur. Hanya saja, gerak mereka terlalu lambat dan tidak terasa. Sekarang dengan adanya perintah dari Panglima Jumali, mereka bergerak lebih cepat sambil sesekali melancarkan perlawanan agar tidak mati konyol.

Bukan hanya pasukan Kerajaan Bojong Gading saja yang mundur seraya terus melakukan perlawanan. Demikian juga Melati. Meskipun penasaran, putri angkat Raja Bojong Gading itu terus melangkah mundur. Memang disadari, kalau tindakan yang diambil Panglima Jumali sangat tepat. Sebuah keuntungan bagi pihak Kerajaan Bojong Gading, Kemamang Danau Neraka rupanya sudah bosan mengamuk tanpa mendapat perlawanan berarti. Apalagi ketika pihak lawan mundur.

Maka, amukannya pun dihentikan, dan hanya berdiri sebagai penonton. Tapi sebenarnya hal utama yang membuat kakek berambut kaku ini menghentikan amukannya adalah teriakan-teriakan Melati.

“Kemamang Danau Neraka! Kau pengecut! Beraninya hanya menghadapi orang-orang lemah. Kalau jantan, tunggulah kedatangan Dewa Arak. Dia sudah lama mencari-carimu!”

Di sela-sela kesibukannya menghadapi lawan gadis berpakaian putih itu mengeluarkan ucapan ucapan yang membuat telinga Kemamang Danau Neraka memerah karena malu. Namun meskipun tidak ada Kemamang Danau Neraka, tetap saja keadaan tidak berubah.Pihak Kerajaan Bojong Gading tetap terdesak hebat dan dipaksa mundur.

Tanpa sadar, tempat pertarungan terus bergeser ke dalam kotaraja. Tembok batas kotaraja sudah sejak tadi terlewat. Dan kini, desakan pasukan Kerajaan Medang telah mulai mendekati Istana Bojong Gading.

Dan selama gerak mundurnya pasukan Kerajan Bojong Gading, korban terus berjatuhan di kedua belah pihak. Di mana-mana bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa. Dentang senjata beradu ditingkahi jerit kesakitan membahana membelah angkasa.

Sementara itu, pasukan Kerajaan Bojong Gading yang berada di dalam istana, memperhatikan jalannya pertempuran dengan perasaan gelisah. Pintu gerbang istana, telah dibuka lebar-lebar untuk memudahkan rekan-rekan mereka masuk ke dalamnya. Dan hal itu memang dilakukan prajurit-prajurit penjaga pintu gerbang, begitu mendapat aba-aba dari prajurit-prajurit yang berjaga-jaga di atas benteng.

Patih Rantaka dan Panglima Dampu, dua panglima yang bertugas menjaga keamanan benteng istana, segera memerintahkan para prajurit yang tersisa untuk bersiap-siap. Pasukan panah telah siap meluncurkan anak panah di semua tempat di atas benteng. Ini dilakukan apabila rekan-rekan mereka telah dekat tembok benteng istana, agar lawan tidak ikut masuk ke dalam benteng.

Dan ketika pasukan-pasukan yang tengah bertempur itu telah berada dalam jarak luncuran anak panah, prajurit-prajurit yang terdiri dari pemanah-pemanah ulung itu menjepretkan busurnya.

Twanggg, twanggg...!

Puluhan, bahkan mungkin lebih dari seratus anak-panah meluncur ke rah pasukan Kerajaan Medang. Tidak hanya sekali saja hal itu dilakukan, tapi berkali-kali. Karuan saja hal itu membuat pasukan Kerajaan Medang kelabakan. Mereka segera memapak datangnya anak panah itu dengan senjata atau tameng ya dipegang.

Sebagian besar anak panah itu berhasil tertangkis hingga runtuh. Tapi sebagian di antaranya mengenai sasaran. Jerit-jerit kesakitan dan lolong kematian pun terdengar membahana ketika anak-anak panah itu mendarat di berbagai bagian tubuh anggota pasukan Kerajaan Medang.

Kesempatan baik itu digunakan oleh pasukan Kerajaan Bojong Gading untuk masuk ke dalam benteng istana. Tentu saja tidak semuanya berhasil masuk. Sebagian di antara mereka tewas dalam perjalanan menuju benteng, dan sebagian kecil terkena serangan anak panah nyasar. Dan begitu para panglima serta Melati yang merupakan orang terakhir masuk ke dalam benteng, pintu gerbang istana pun langsung ditutup.

Sementara pasukan panah terus saja melepaskan anak-anak panah. Panglima Galiwung tentu saja tidak menginginkan pasukannya banyak jatuh korban. Maka pasukannya segera diperintahkan mundur. Meskipun merasa penasaran, pasukan Kerajaan Medang pun mentaati perintah pemimpinnya. Mereka segera menghentikan penyerbuan dan bergerak mundur, walaupun tentu saja dengan hati penasaran.

Perasaan penasaran yang lebih besar melanda hati lokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Mereka merasa heran, mengapa Panglima Galiwung menyuruh mundur?

* * * * * * * *

ENAM

Kini pasukan Kerajaan Medang dengan leluasa menjarah semua harta benda para penduduk Kotaraja Bojong Gading. Semua yang ada disikat, baik itu makanan maupun hewan ternak. Yang lebih keji, ketika tidak ada lagi sesuatu yang dapat mereka rampok, bangunan-bangunan tempat tinggal penduduk itu pun dibakar.

“Ha ha ha...!” Gelak tawa kegembiraan prajurit Kerajaan Medang mengiringi berkobarnya api yang membakar rumah-rumah penduduk Kotaraja Bojong Gading.

Asap tebal berwarna kehitaman membumbung tinggi ke angkasa ketika si jago merah melahap bangunan-bangunan rumah. Suara gemeretak dinding-dinding bangunan yang terbakar terdengar di sana-sini.

Tentu saja semua kekejian itu dilihat oleh pasukan Kerajaan Bojong Gading. Terutama sekali, prajurit yang berjaga-jaga di atas benteng istana dengan anak panah siap diluncurkan. Perasaan geram pun melanda hati mereka semua. Kalau menuruti perasaan hati sudah tentu mereka serbu pasukan Kerajaan Medang. Namun apa daya?

Buktinya lawan lebih kuat. Mengikuti kemarahan hanya akan merugikan diri sendiri. Maka yang dapat dilakukan prajurit-prajurit Kerajaan bojong Gading hanya menggertakkan gigi sambil mengepalkan kedua tangan.

Sementara orang-orang yang membuat prajurit Kerajaan Bojong Gading itu geram, terus saja bergembira dan berpesta pora. Kalau saja para penduduk kotaraja tidak lebih dulu mengungsi, pasti mereka akan menjadi korban amukan pula. Dan nasib yang lebih mengerikan jelas akan menimpa kaum wanita.

“Ha ha ha...!”

Masih dengan gelak tawa tak putus-putus, prajurit Kerajaan Medang melangkah meninggalkan tempat itu sambil membawa berbagai macam hasil rampokan, dan segera bergabung dengan kelompok mereka. Kini mereka beristirahat sambil menikmati makanan dan bersenda gurau. Mereka tahu, kemenangan sudah berada di depan mata.

Tapi, tidak semua anggota pasukan Kerajaan Medang bersenda gurau dan bersenang-senang. Sebagian lagi berjaga-jaga, dan sisanya beristirahat di dalam tenda-tenda yang telah dipasang. Semua tenda berukuran kecil. Tapi, ada sebuah yang mempunyai bentuk dan ukuran lebih besar dari lainnya.

Di tenda inilah orang-orang penting Kerajaan Medang berkumpul. Panglima Galiwung, beberapa panglima lainnya, jago-jago istana, dan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam tampak asyik berbincang-bincang.

“Mengapa harus menghentikan penyerangan, Panglima Galiwung?” tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berpakaian coklat tua.

Suara laki-laki ini kecil dan nyaring, mirip ringkikan kuda. Sungguh berlainan sekali dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar dan kekar. Raut wajahnya kelimis, tanpa ditumbuhi kumis, jenggot, atau cambang. Namun demikian tidak menjadikan perbawaannya berkurang. Sebuah luka melintang tampak menghiasi wajahnya.

“Hal itu memang kusengaja, Raksasa Batu,” sahut Panglima Galiwung sambil tersenyum.

“Sengaja?”

Alis laki-laki yang memiliki luka melintang di wajah, dan ternyata berjuluk Raksasa Batu berkernyit. Tapi ternyata bukan hanya alis Raksasa Batu saja yang berkernyit dalam. Tokoh-tokoh aliran hitam lainnya pun mengernyitkan alis pula.

“Mengapa, Panglima Galiwung?” tanya tokoh persilatan yang berpakaian hitam kelam. Dialah yang dijuluki si Garuda Hitam.

“Ya! Bukankah hanya tinggal sesaat lagi, kita akan berhasil meraih kemenangan itu?” sambut laki-laki yang berpakaian merah menyala.

Memang, di antara mereka ada dua orang yang memiliki pakaian warna merah menyala. Sebuah ikat kepala berwarna merah pun melilit di dahinya. Mereka dijuluki Sepasang Setan Api.

Panglima Galiwung tidak langsung menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan. Dia malah menyunggingkan senyum lebar sambil mengelus-elus dagunya yang hanya berjenggot tiga lembar.

“Perlu kalian ketahui semua,” panglima Kerajaan Medang itu membuka pembicaraan. “Dalam peperangan, tidak hanya kepalan saja yang kita butuhkan. Tapi juga otak.”

Kontan wajah tokoh-tokoh persilatan yang ada di situ, merah padam. Memang, sedikit banyak ucapan yang dikeluarkan Panglima Galiwung menyentil perasaan mereka walaupun tidak secara langsung.

“Untuk apa harus mengorbankan pasukan banyak kalau aku bisa meruntuhkan Kerajaan Bojong Gading dengan jumlah korban sedikit di pasukanku,” kalem jawaban yang terdengar dari mulut Panglima Galiwung.

“Aku belum mengerti maksudmu, Panglima Galiwung,” kata Raksasa Batu sambil mengernyitkan kening.

Sementara, Sepasang Setan Api, Garuda Hitam, dan beberapa tokoh persilatan aliran hitam lainnya tidak berkata apa-apa. Padahal, sebenarnya mereka dilanda perasaan yang sama. Mereka inilah tokoh-tokoh aliran hitam yang tersisa. Memang, sebagian tokoh aliran hitam lainnya telah tewas ketika bertarung menghadapi Ki Temula dan Melati.

Panglima Galiwung menatap sebentar satu persatu wajah-wajah yang menyiratkan ketidak-mengertian hadapannya. “Kalau seandainya kuteruskan penyerbuan, memang kemungkinan Istana Bojong Gading bisa direbut. Tapi..., kemungkinan pasukanku banyak sekali yang tewas. Benteng itu terlalu kuat, dan sangat sulit menembusnya. Tambahan lagi, di atas benteng istana benjejer pasukan panah. Mereka dengan mudah akan menghujani anak panah pada pasukanku. Dan sudah bisa ditebak, banyak pasukanku yang akan jadi korban sebelum mencapai tembok benteng!” jelas Panglima Galiwung.

Kontan kepala semua tokoh aliran hitam yang berada di situ terangguk-angguk. Mereka menyadari adanya kebenaran dalam ucapan panglima Kerajaan Medang itu.

“Lalu..., sekarang apa yang akan kau lakukan, Panglima Galiwung?” tanya Garuda Hitam. “Aku sudah tidak sabar lagi memasuki Istana Bojong Gading!”

“Tidak ada,” jawab Panglima Galiwung, singkat.

Para tokoh aliran hitam itu saling berpandangan satu sama lain. Wajah maupun sorot mata mereka menampakkan keterkejutan mendalam. Memang, jawaban yang diberikan Panglima Galiwung sama sekali tidak disangka-sangka.

“Jadi, kita harus diam berpangku tangan di sini, Panama Galiwung?” selak Raksasa Batu tanpa menyembunyikan nada heran dalam pertanyaannya.

Panglima Galiwung menganggukkan kepala.

“Lalu..., bagaimana kita bisa mendapatkan Istana Kerajaan Bojong Gading, Panglima Galiwung?!” desak Raksasa Batu penasaran.

Panglima Galiwung tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Seulas senyum malah tersungging di bibirnya. “Karena mereka memutuskan untuk menghadapi kita dengan cara bertahan di dalam benteng, maka akan kuturuti kemauan mereka. Aku ingin tahu, sampai berapa lama mereka mampu bertahan di dalam benteng itu!”

Seketika, kepala semua tokoh persilatan aliran hitam yang ada di situ terangguk. Kini, semuanya telah mengerti siasat yang akan dilakukan Panglima Galiwung. Rupanya, panglima Kerajaan Medang itu ingin membuat pasukan Kerajaan Bojong Gading terkurung di dalam benteng.

“Siasat yang kau lakukan sangat tepat, Panglima Galiwung,” puji Raksasa Batu sambil mengacungkan jempol kanannya.

“Benar. Mereka akan mati seperti tikus terjepit. Mati secara perlahan-lahan!” sambut Garuda Hitam.

“Memang demikianlah maksudku!” sambut Panglima Galiwung, gembira. “Setelah mereka semua lemah, kita akan serbu mereka! Dan kurasa tanpa kesulitan benteng Kerajaan Bojong Gading dapat direbut! Ha ha ha...!”

“Ha ha ha...!”

Semua orang yang berada di dalam tenda besar itu pun tertawa bergelak. Tawa gembira bernada kemenangan.

* * * * * * * *

Siang itu suasana di persada panas bukan kepalang. Memang, matahari telah tepat di atas kepala. Sinarnya memancar dengan garang, seperti akan membakar apa saja yang ada di bawahnya. Tapi suasana seperti itu tidak menghalangi langkah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berpakaian panglima. Wajahnya penuh cambang bauk lebat, sehingga menambah kewibawaannya.

Panglima bertubuh tinggi besar itu tampak tengah melangkah tergesa-gesa. Ini bisa dilihat dari langkah kakinya yang lebar-lebar. Tampaknya, tujuannya adalah ke sebuah bangunan besar dalam istana. Tapi di pintu masuk bangunan besar itu, laki-laki bertubuh tinggi besar ini menghentikan langkahnya, karena tombak dua orang prajurit saling disilangkan sehingga menutupi jalannya.

“Maaf, Panglima Gorawangsa! Tanpa perkenan Gusti Prabu, kami tidak bisa membiarkanmu masuk,” kata, prajurit yang bertahi lalat di pipi kanan.

Laki-laki tinggi besar yang ternyata Panglima Gorawangsa, panglima Kerajaan Pasugihan, tersenyum pahit (Untuk lebih jelas mengenai tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Perjalanan Menantang Maut).

“Aku juga tahu peraturan itu, Prajurit!” sergah Panglima Gorawangsa. “Tapi karena ada masalah penting dan mendesak, aku ingin menghadap Gusti Prabu. Meskipun beliau belum memanggilku. Harap laporkan permintaanku ini pada Gusti Prabu.”

Dua orang prajurit penjaga pintu masuk Istana Kerajaan Pasugihan itu saling berpandangan sejenak. Kemudian prajurit yang bertahi lalat di pipi mengalihkan pandangan kembali ke arah Panglima Gorawangsa.

“Baik. Kami akan melaporkan maksud Panglima. Harap Panglima sudi menunggu sebentar.”

Setelah berkata demikian, laki-laki bertahi lalat itu membalikkan tubuh dan melangkah ke dalam. Ditinggalkannya Panglima Gorawangsa dan rekannya. Tak lama kemudian, prajurit bertahi lalat itu telah kembali keluar.

“Gusti Prabu berkenan menerima kedatanganmu, Panglima Gorawangsa.”

Sementara prajurit yang satunya lagi segera melangkah ke samping, memberi jalan pada Panglima Gorawangsa. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, panglima Kerajaan Pasugihan itu segera melangkah ke dalam istana.

Panglima Gorawangsa segera memberi hormat pada seorang laki-laki setengah baya yang tengah duduk di atas singgasana. Dialah Raja Kerajaan Pasugihan. Prabu Manik Angkeran namanya. Sedangkan di sekitar tempat itu, tampak berdiri beberapa orang prajurit yang bersikap menjaga keselamatan Prabu Manik Angkeran. Mereka adalah pasukan khusus Kerajaan Pasugihan, yang terdiri dari jago-jago nomor satu Istana Kerajaan Pasugihan.

Panglima Gorawangsa segera memberi hormat dengan menekuk sebelah kakinya. Tangan kanannya yang terkepal menekan tanah, sedang wajahnya menatap lantai. “Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba berani menghadap tanpa dipanggil,” ucap Panglima Gorawangsa.

“Lupakanlah, Gorawangsa. Katakan, apa yang hendak kau sampaikan,” sahut Prabu Manik Angkeran, bijaksana.

Panglima Gorawangsa menelan ludah sejenak untuk melonggarkan tenggorokannya. “Hamba membawa berita buruk, Gusti Prabu,” lapor Panglima Gorawangsa memulai ceritanya.

“Berita buruk, Gorawangsa?” sepasang alis Prabu Manik Angkeran berkerut “Berita buruk apa? Cepat sampaikan!”

“Kerajaan Bojong Gading diserbu pasukan Kerajaan Medang. Dan kini, pasukan itu tengah terkurung di benteng istana. Tanpa adanya bantuan, Kerajaan Bojong Gading akan jatuh ke tangan Kerajaan Medang, Gusti Prabu.”

Kontan wajah Raja Pasugihan itu mengelam. “Inikah berita yang kau katakan penting dan mendesak itu, Gorawangsa?!” tanya Prabu Manik Angkeran, penuh bernada teguran. Raut ketidaksenangan tampak jelas pada wajahnya.

“Benar, Gusti Prabu. Dan hamba mohon ampun apabila berita yang hamba bawa ini tidak berkenan di hati Gusti Prabu.”

Brakkk!

Sambil menggebrak tangan singgasananya, orang nomor satu di Kerajaan Pasugihan itu bangkit berdiri. Wajahnya tampak merah padam. Jelas, Raja Pasugihan itu tengah murka.

“Gorawangsa!” tegur Prabu Manik Angkeran bernada tinggi. “Meskipun belum diutarakan, tapi sudah bisa kutebak maksud ucapanmu! Kau menginginkan aku membantu Kerajaan Bojong Gading, bukan?!”

“Ampun, Gusti Prabu. Memang demikianlah maksud hamba,” jawab panglima berkumis dan berjenggot rapi ini sambil menundukkan kepala. Dia tahu, junjungannya murka kepadanya.

“Kau gila, Gorawangsa! Kau menginginkan pasukan kerajaan kita ikut campur dalam pertempuran itu?! Apakah sudah kau pertimbangkan masak-masak maksudmu itu?! Puluhan, bahkan mungkin ratusan prajurit kita akan gugur bila kuizinkan kau melaksanakan rencana gila itu!”

“Ampun, Gusti Prabu. Tapi ingatkah Gusti Prabu akan Dewa Arak?” Panglima Gorawangsa tetap nekat.

“Aku ingat! Dewa Arak telah menanam budi besar pada kerajaan kita! Lalu, apa hubungannya dengan Kerajaan Bojong Gading dan Kerajaan Medang?!” masih tetap tinggi nada suara Prabu Manik Angkeran.

“Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Kalau hamba tidak salah ingat, bukankah Gusti Prabu ingin membalas budi baik Dewa Arak?!”

“Benar! Lalu, mengapa?!”

“Kerajaan Bojong Gading adalah kerajaan calon mertua Dewa Arak, Gusti Prabu,” lanjut Panglima Gorawangsa memberi penjelasan.

“Benarkah itu, Gorawangsa?” tanya Raja Kerajaan Pasugihan, mulai lunak nada suaranya.

“Ampun, Gusti Prabu. Demikianlah berita yang hamba ketahui.”

Prabu Manik Angkeran tertegun sejenak. Sepasang matanya menatap tajam pada satu titik. Dan masih dengan sikap seperti itu, dia lalu duduk kembali di singgasananya perjahan-lahan.

“Kalau begitu, kirim pasukan ke wilayah Kerajaan Bojong Gading, Gorawangsa. Bantu kerajaan itu menghadapi Kerajaan Medang. Hhh...! Kerajaan Medang memang kerajaan yang gemar berperang....”

“Akan hamba laksanakan perintah Gusti Prabu.” Kemudian setelah memberi hormat, panglima yang bertubuh tinggi besar ini segera melangkah meninggalkan ruangan itu untuk melaksanakan titah Prabu Manik Angkeran.

* * * * * * * *

TUJUH

Hari masih pagi. Sang surya baru saja muncul di ufuk Timur, namun sudah berupa bola raksasa berwarna merah membara. Angin yang berhembus pun masih terasa sejuk menerpa dada, dan terasa nikmat di kulit ketika pasukan Kerajaan Medang bergerak menuju Istana Kerajaan Bojong Gading.

Di bawah pimpinan Panglima Galiwung, pasukan Kerajaan Medang siap menyerang Istana Kerajaan Bojong Gading. Panji-panji kerajaan berkibaran di udara. Derap kaki kuda dan kaki manusia yang bertubi-tubi menghantam tanah, membuat persada bagai terguncang.

Berada paling depan adalah jago-jago Istana Kerajaan Medang dan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Hal itu memang mengikuti aturan yang dibuat Panglima Galiwung. Panglima Kerajaan Medang itu tahu, kalau para prajurit yang berada di bagian terdepan sudah dapat dipastikan akan banyak jatuh korban di antara mereka.

Bukan hanya itu saja yang menyebabkan Panglima Galiwung mengambil keputusan demikian. Dia berpikiran, jago-jago istana dan para tokoh persilatan aliran hitam itu akan digunakan untuk melumpuhkan pasukan panah. Memang, dibutuhkan orang-orang yang berkemampuan cukup tinggi untuk melaksanakan tugas itu. Dan hal itu tidak mungkin bisa dilakukan para prajurit.

Tentu saja kedatangan pasukan Kerajaan Medang itu diketahui pasukan Kerajaan Bojong Gading. Mereka pun, terutama sekali pasukan panah, segera bersiap-siap menyambut datangnya serbuan. Pasukan panah sudah siap di tempat masing-masing dengan anak-anak panah terentang siap dijepretkan.

Mereka semua menunggu hingga pasukan lawan berada dalam jarak jangkauan luncuran anak panah. Dan ketika barisan pasukan Kerajaan Medang yang terdepan telah berada dalam jangkauan, pasukan panah Kerajaan Bojong Gading pun mulai menjepretkan panahnya.

Twanggg, twanggg...!

Puluhan, bahkan mungkin ratusan anak panah melesat bagai hujan ke arah pasukan Kerajaan Medang. Dan sebelum anak panah itu mengenai sasaran, pasukan Kerajaan Bojong Gading kembali meluncurkan anak-anak panah lainnya.

Kejadian seperti yang sudah diperhitungkan Panglima Galiwung pun terjadi. Jago-jago istana dan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam sama sekali tidak mengalami kesulitan memunahkan hujan serangan anak panah itu.

Trakkk, trakkk, trakkk...!

Sebagian besar serangan anak-anak panah itu berhasil dikandaskan. Baik terpukul runtuh, maupun terpental balik. Hanya beberapa gelintir saja yang mengenai prajurit-prajurit Kerajaan Medang.

“Aaakh...!” Jerit kesakitan dan lolong kematian terdengar dari mulut prajurit-prajurit yang terhunjam anak panah. Tubuh-tubuh yang tidak bernyawa langsung berjatuhan ke tanah.

Seiring semakin majunya pasukan Kerajaan Medang, maka semakin banyak jumlah prajurit yang berjatuhan di tanah disertai lolong kematian. Tapi hal seperti itu tidak menimpa jago-jago istana dan para tokoh persilatan aliran hitam. Mereka terus saja merangsek maju, mendekati benteng dengan senjata-senjata di tangan yang tak henti-hentinya diputar-putarkan untuk menangkis hujan anak panah.

Semakin lama, jarak antara mereka semakin dekat Dan ketika telah mendekati tembok benteng istana, mereka pun melompat ke atas. Dengan ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, bukan merupakan hal yang sulit untuk melompat ke atas tembok benteng sambil tetap memutar-mutarkan senjata untuk menangkis.

“Hup! Hup! Hup...!”

Sesaat kemudian, jago-jago Istana Kerajaan Medang dan para tokoh persilatan aliran hitam pun telah mendaratkan kakinya di atas tembok. Dan secepat berada di atas, secepat itu pula menyerbu pasukan panah.

Tentu saja pasukan panah Kerajaan Bojong Gading tidak tinggal diam. Mereka langsung mengadakan perlawanan, tapi hanya seperti semut-semut menerjang api. Dengan mudah, mereka ditumbahgkan lawan-lawannya.

Memang dengan perbedaan tingkat kepandaian yang jauh dibanding lawan-lawannya, pasukan panah Kerajaan Bojong Gading ini menjadi santapan empuk. Jerit kematian diiringi bertumbangannya tubuh-tubuh anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading terdengar susul-menyusul. Keadaan di atas tembok benteng istana pun kocar-kacir. Dengan sendirinya, hujan anak panah itu pun berkurang.

Saat itulah, pasukan Kerajaan Medang bergerak maju secara cepat di bawah pimpinan Panglima Galiwung. Dengan kedua tangannya, panglima Kerajaan Medang ini memukul daun pintu gerbang. Dan....

Brakkk...! Daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir itu kontan hancur berantakan. Dapat dibayangkan, betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Panglima Galiwung. Begitu melihat daun pintu gerbang itu telah terbuka lebar, pasukan Kerajaan Medang segera meluruk masuk disertai pekikan keras membahana.

Pasukan Kerajaan Bojong Gading pun segera menyambut kedatangan mereka. Tak pelak lagi, pertempuran yang mengerikan pun terjadi. Suara dentang senjata beradu, jerit kesakitan, dan lolong kematian pun mengusik keheningan pagi buta. Bahkan masih ditingkahi suara berdebuknya tubuh-tubuh yang berjatuhan ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.

Pasukan Kerajaan Bojong Gading di bawah pimpinan lima orang panglima, satu orang patih, dan Melati, berjuang keras menanggulangi serbuan lawan Pedang di tangan Melati, dalam penggunaan ilmu 'Pedang Pembunuh Naga', berkelebatan ke sana kemari. Suara menggerung keras seperti naga murka menyertai gerakan pedangnya.

Setiap kali pedang itu berkelebat, sudah dapat dipastikan ada sesosok tubuh yang roboh ke tanah dalam keadaan tidak bemyawa lagi. Putri angkat Raja Bojong Gading ini memang bagaikan singa betina yang terluka saja.

Bukan hanya Melati saja yang mengamuk. Panglima Jumali, Panglima Dampu, Panglima Tampaya, Panglima Jatalu, dan Patih Rantaka melakukan hal serupa. Tapi karena jumlah pasukan Kerajaan Bojong Gading jauh lebih sedikit, tetap saja usaha yang dilakukan hampir tidak berarti. Pasukan Kerajaa Bojong Gading semakin terdesak mundur.

Melihat pasukannya semakin terdesak mundur, Prabu Nalanda tidak bisa tinggal diam. Dia pun langsung terjun dalam kancah pertempuran, sambil mengeluarkan pekikan keras. Tentu saja pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading pun tidak tinggal diam. Mereka terjun ke arena pertempuran untuk melindungi junjungannya.

Cukup hebat amukan Raja Bojong Gading Terutama sekali, amukan pasukan khusus yang selalu mendampinginya. Meskipun tidak sedahsyat amukan panglima-panglima kerajaan, tapi sedikit banyak cukup membantu pasukan Kerajaan Bojong Gading.

Suara hiruk-pikuk senjata beradu, jerit kesakitan, dan lolong kematian terdengar saling susul. Untuk kedua kalinya, halaman Kerajaan Bojong Gading dibanjiri darah.

Di saat-saat gawat bagi keutuhan Kerajaan Bojong Gading, terdengar suara bergemuruh dari derap puluhan, bahkan mungkin ratusan ekor kuda. Itu pun masih ditambah lagi teriakan-teriakan bernada peperangan. Karuan saja suara ribut-ribut itu cukup memaksa orang-orang yang tengah bertempur mengalihkan perhatian, walaupun hanya sekilas.

Ternyata di kejauhan, nampak ratusan kuda tengah berpacu cepat menuju Istana Kerajaan Bojong Gading. Menilik dari adanya dua macam panji-panji yang dibawa, bisa diketahui kalau pasukan berkuda itu bukan dari satu kerajaan. Dan memang, pasukan berkuda itu adalah gabungan antara pasukan Kerajaan Pasugihan dan pasukan Kerajaan Kamujang.

Memang, seperti juga halnya Kerajaan Pasugihan, Kerajaan Kamujang pun mendengar berita buruk yang menimpa Kerajaan Bojong Gading. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Raja Kamujang yang bernama Prabu Jayalaksana mengirimkan pasukan untuk membantu Kerajaan Bojong Gading. Pasukan Kerajaan Kamujang ini dipimpin langsung oleh Patih Juminta.

Tentu saja Prabu Jayalaksana tidak begitu saja mengirimkan pasukan untuk membantu kalau tidak mempunyai alasan kuat. Mana sudi dia mengorbankan pasukannya untuk membantu kerajaan orang? Dan ternyata alasan kuat itu adalah Dewa Arak. Beberapa waktu yang lalu, Dewa Arak telah menyelamatkan keutuhan Kerajaan Kamujang.

Betapapun dipaksakan keinginan untuk memberikan hadiah tapi tetap saja Dewa Arak tidak mau menerimanya. Kini terbukalah jalan untuk membalas budi Dewa Arak. Bukankah Kerajaan Bojong Gading adalah kerajaan calon mertua Dewa Arak? Menolong calon mertuanya, berarti sama dengan menolong Dewa Arak. Dan setidak-tidaknya, dia telah membalas budi itu (Untuk jelasnya mengenai cerita Kerajaan Kamujang, silakan, baca serial Dewa Arak dalam kisah Pendekar Tangan Baja).

Di tengah perjalanan, pasukan Kerajaan Kamujang yang dipimpin Patih Juminta, bertemu pasukan Kerajaan Pasugihan yang dipimpin Panglima Gorawangsa. Setelah mengetahui maksud masing-masing, kedua pasukan itu memutuskan untuk pergi bersama-sama. Dan sekarang, dua pasukan dari dua kerajaan itu tengah meluruk ke arah Istana Bojong Gading yang tengah dilanda kemelut.

Tentu saja kedatangan pasukan dari dua kerajaan itu membuat pasukan Kerajaan Medang dan pasukan Kerajaan Bojong Gading yang tengah bertempur jadi kebingungan. Dan dengan sendirinya, meskipun pertempuran terus berlangsung sengit, tapi sudah tidak seramai sebelumnya.

Terutama sekali, pertarungan antara kedua panglima kerajaan. Baik Panglima Jumali dan kawan-kawan, maupun Panglima Galiwung beserta rekan. Pertarungan antara mereka jadi berkurang jauh sengitnya. Panglima dari dua kerajaan itu sama-sama kaget atas kedatangan dua pasukan itu.

Meskipun sudah bisa diketahui asal pasukan-pasukan kerajaan itu, namun mereka tidak mengetahui maksud kedatangannya. Maka, jantung panglima-panglima kedua kerajaan yang sedang bertikai itu jadi berdetak jauh lebih cepat. Tegang, karena menantikan kelanjutan dari kedatangan pasukan-pasukan itu. Meskipun demikian, pertarungan terus berlangsung sengit. Padahal, kedua belah pihak bertarung dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam benak.

Sementara itu, pasukan Kerajaan Pasugihan dan Kerajaan Kamujang semakin lama semakin mendekati Istana Kerajaan Bojong Gading. Dengan sendirinya, suara bergemuruh yang menyertai gerakan mereka semakin terdengar jelas.

“Hoi...! Pasukan Bojong Gading...! Aku, Panglima Gorawangsa dari Kerajaan Pasugihan datang membantu kalian...!” teriak Panglima Gorawangsa. Teriakan Panglima Gorawangsa ini dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam, sehingga dapat terdengar jelas. Padahal jaraknya dengan Istana Kerajaan Bojong Gading tak kurang dari dua puluh tombak.

“Aku, Patih Juminta dari Kerajaan Kamujang juga berniat sama dengan kedatangan pasukan Kerajaan Pasugihan!” Patih Juminta berteriak pula, sebelum gema teriakan Panglima Gorawangsa lenyap seluruhnya.

Seperti juga Panglima Gorawangsa, teriakan Patih Juminta pun disertai tenaga dalam. Hal itu terpaksa dilakukan agar bisa terdengar pasukan Kerajaan Bojong Gading.

Dan pada kenyataannya maksud pucuk pimpinan dua pasukan itu terkabul. Teriakan mereka terdengar jelas oleh kedua belah pihak yang tengah terlibat pertarungan. Tentu saja pemberitahuan dari Kerajaan Kamujang maupun Kerajaan Pasugihan itu membuat semangat pasukan Kerajaan Bojong Gading bangkit kembali. Sebaliknya, pasukan Kerajaan Medang menjadi khawatir bercampur cemas.

Baik Patih Juminta maupun Panglima Gorawangsa segera memerintahkan menyerbu pasukan Kerajaan Medang. Maka kini keadaan langsung berbalik. Pasukan Kerajaan Medang ganti kelabakan, karena tergencet dari dua arah. Dari depan menghadapi pasukan Kerajaan Bojong Gading, dan dari belakang menghadapi serbuan pasukan Kerajaan Pasugihan dan Kerajaan Kamujang.

Dentang senjata beradu, pekik kesakitan, dan lolong kematian semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh berlumur darah mulai bergelimpangan di tanah, tak mampu bergerak lagi. Memang, pertempuran yang terjadi berlangsung semakin sengit. Di antara orang yang melihat datangnya bala bantuan itu adalah Melati.

Padahal, gadis itu tengah sibuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Melati tahu, kedatangan pasukan itu adalah untuk membantu Kerajaan Bojong Gading. Dan dia tahu kenapa dua kerajaan itu membantu Kerajaan Bojong Gading. Hal ini hanyalah karena Dewa Arak. Putri angkat Raja Bojong Gading itu tahu, karena Arya selalu menceritakan perjalanannya.

Dengan datangnya bala bantuan, lawan yang dihadapi Melati makin berkurang. Kini lawan putri angkat Raja Bojong Gading itu hanyalah tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Tidak ada lagi prajurit Kerajaan Medang yang mengeroyoknya. Mereka semua memisahkan diri dari kancah pertarungan untuk menghadapi serbuan pasukan Kerajaan Pasugihan dan Kerajaan Kamujang.

Memang sejak tadi prajurit-prajurit Kerajaan Medanglah yang membuat Melati kerepotan. Keberadaan mereka menyulitkannya untuk menjatuhkan serangan pada lawan-lawannya. Sehingga, sejak tadi hanya keroco-keroco saja yang tewas di tangan Melati. Raksasa Batu, Sepasang Setan Api, dan Garuda Hitam, selalu mampu berlindung di balik tubuh para prajurit itu.

Tapi sekarang, mereka tidak bisa melakukan hal seperti itu lagi. Keempat orang ini harus berusaha keras untuk menghadapi Melati yang menggunakan ilmu 'Pedang Seribu Naga'. Memang dahsyat ilmu andalan putri angkat Raja Bojong Gading itu. Suara menggerung keras mengiringi setiap pergerakan pedang Melati.

Tapi lawan-lawan yang dihadapi Melati ternyata cukup memiliki kepandaian. Tambahan lagi, mereka menghadapinya bersama-sama. Tidak aneh kalau perlawanan yang dilakukan pun cukup berat dirasakan Melati.

Gigi Panglima Galiwung bergemeletuk. Hatinya merasa geram bukan kepalang ketika menyadari kalau pasukannya mungkin tidak berhasil memenangkan pertempuran. Datangnya bala bantuan tak terduga itulah penyebabnya.

Yang lebih celaka lagi, keadaan pasukannya yang tergencet dari dua arah. Akibatnya, mereka tidak bisa menyelamatkan diri lagi. Jadi tidak ada pilihan bagi mereka kecuali bertempur terus hingga titik darah penghabisan.

Tiba-tiba, terdengar suara tawa keras menggelegar laksana ada halilintar menyambar di sekitar tempat itu. Hebat betul pengaruh yang ditimbulkan suara tawa itu. Semua orang yang tengah bertarung langsung menghentikan gerakan. Bahkan langsung mendekapkan kedua tangan ke telinga, yang mendadak terasa berdengung keras.

Hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tidak mendekap telinganya. Mereka adalah panglima-panglima kerajaan, jago-jago nomor satu istana, tokoh-tokoh persilatan aliran hitam, dan Melati. Semua kepala mendongak ke atas. Ratusan pasang mata langsung tertuju ke arah tembok benteng istana. Karena, memang dari sanalah asal suara tawa itu.

Di atas tembok benteng Istana Kerajaan Bojong Gading, nampak berdiri sesosok tubuh berkulit kemerahan terbalut baju berwarna abu-abu. Dia tak lain dari Kemamang Danau Neraka.

Memang, tokoh Pulau Ular yang menggiriskan itulah yang tadi mengeluarkan suara tawa keras menggelegar. Sebuah keuntungan bagi semua prajurit yang ada di situ, kakek berambut kaku ini tidak mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya sewaktu mengeluarkan tawa. Tambahan lagi, tawa yang dikeluarkan pun tidak terus dilakukan. Kalau dilanjutkan, apalagi disertai tenaga dalam penuh, pasti tidak akan ada satu orang pun yang selamat.

“Sungguh sebuah pertarungan yang tidak adil...,” kata Kemamang Danau Neraka.

Pelan saja ucapan yang keluar dari mulut Kemamang Danau Neraka, seakan-akan tengah bicara pada diri sendiri. Namun meskipun demikian, terdengar jelas oleh semua orang yang berada di situ.

“Pasukan dari tiga kerajaan, bersatu mengeroyok pasukan sebuah kerajaan. Tidak adil.... Sungguh tidak adil...!” lanjut Kemamang Danau Neraka, lebih keras daripada sebelumnya. Usai berkata demikian, kakek berambut kaku itu melepaskan cambuk yang melilit pinggang, lalu melecutkannya ke udara.

Ctarrr...!

Suara keras menggelegar seperti ada halilintar menyambar langsung terdengar. Dan begitu lecutan cambuknya lenyap, Kemamang Danau Neraka segera melompat turun. Laksana seekor burung garuda, tubuh tokoh Pulau Ular itu melayang ke bawah, dan mendarat ringan di tanah.

Sementara itu pertarungan kembali berlangsung setelah pengaruh suara tawa Kemamang Danau Neraka usai. Dengan demikian, kedua kaki Kemamang Danau Neraka mendarat di tangah-tengah pertempuran yang tengah berkecamuk.

Tapi, rupanya Kemamang Danau Neraka memang ingin terlibat dalam pertarungan. Maka begitu kedua kakinya mendarat di tanah, langsung saja cambuk di tangannya dilecutkan. Kalau tidak mengarah pada pasukan Kerajaan Bojong Gading, tentu meluncur ke arah pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan.

Tampak jelas kalau kakek berambut kaku ini membela pihak Kerajaan Medang. Hebat bukan kepalang tindakan Kemamang Danau Neraka. Setiap kali cambuk di tangannya dilecutkan, pasti ada yang roboh ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa. Permainan cambuk Kemamang Danau Neraka memang luar biasa!

Dengan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, cambuk itu bisa dikendalikan sekehendak hatinya. Terkadang melecut seperti layaknya sebuah cambuk, tapi tak jarang menegang kaku seperti layaknya sebatang tombak. Gilanya, gerakan cambuk itu terkadang bisa meliuk-liuk dan mematuk-matuk seperti seekor ular!

Jerit kematian terdengar saling susul setiap kali cambuk, tangan, atau kaki Kemamang Danau Neraka bergerak. Secara leluasa, tokoh hitam itu menyebar maut di pihak lawan. Memang, celakalah prajurit-prajurit yang berhadapan dengan Kemamang Danau Neraka. Betapa tidak?

Setiap serangan yang dikirimkan, baik berupa tusukan, bacokan, babatan. atau hantaman, sama sekali tidak terpengaruh. Sekujur tubuh Kemamang Danau Neraka seolah-olah terbuat dari karet kenyal. Sehingga membuat semua serangan berbagai senjata yang mengenai tubuhnya berpentalan kembali. Tubuh Kemamang Danau Neraka sama sekali tidak terluka. Bahkan tangan para pengeroyoknya langsung terasa sakit-sakit.

Melihat hal ini, Melati menggertakkan gigi. Hatinya merasa geram bukan kepalang melihat ketelengasan tindakan Kemamang Danau Neraka. Tapi apa daya? Dia sendiri pun tengah sibuk menghadapi keroyokan lawan-lawannya. Jadi, memang tidak ada yang bisa dilakukannya.

Lagi pula seandainya memang harus berhadapan dengan Kemamang Danau Neraka, Melati tak bakal mampu membendung amukannya. Kakek berambut kaku itu memang terlalu tangguh. Rasanya hanya Dewa Arak saja yang mampu menanggulanginya. Terasa betul pentingnya kehadiran pemuda berambut putih keperakan itu kalau tengah terjadi hal seperti ini.

Meskipun belum mampu mengalahkan lawan-lawannya yang terdiri dari Sepasang Setan Api, Raksasa Batu, dan Garuda Hitam, namun Melati sudah mampu menguasai keadaan. Gadis itu ternyata telah berhasil mendesak keempat orang lawannya, meskipun harus memakan lebih dari tujuh puluh jurus.

Memang, meskipun keempat orang tokoh persilatan aliran hitam itu memiliki kepandaian cukup tinggi, bahkan menghadapi Melati secara keroyokan, tapi ilmu 'Pedang Seribu Naga' terlalu tangguh untuk bisa dihadapi. Perlahan-lahan mereka mulai terdesak mundur. Padahal, mereka telah menggunakan senjata andalan masing-masing yang terdiri dari pedang dan golok.

* * * * * * * *

“Kemamang Danau Neraka...! Akulah lawanmu!”

Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang membuat jantung semua orang yang berada di situ bergetar. Jelas, pemilik suara itu memiliki tenaga dalam tinggi Memang, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Belum juga teriakan itu lenyap, sesosok bayangan ungu melesat masuk ke dalam kancah pertarungan dan langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Kemamang Danau Neraka.

Wuttt, wuttt..!

Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan sosok bayangan ungu itu. Kemamang Danau Neraka tentu saja menyadari adanya serangan berbahaya. Maka tanpa ragu-ragu lagi tubuhnya dilempar ke belakang, dan bersalto beberapa kali di udara untuk menghindari kemungkinan serangan susulan.

“Hup...!” Secepat kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula kakek berambut kaku ini bersiap siaga. Namun, ternyata serangan susulan yang dikhawatirkannya sama sekali tidak kunjung datang. Sosok bayangan itu tampak berdiri tenang di tempat Kemamang Danau Neraka semula berada.

“Dewa Arak...,” desis Kemamang Danau Neraka.

Ada kegembiraan dalam suara kakek berambut kaku itu. Bahkan gambaran perasaan yang sama, tampak pula baik pada raut wajah maupun matanya. Kemamang Danau Neraka memang merasa gembira bukan kepalang, karena bisa bertemu orang yang dicarinya.

Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak, tersenyum getir. Pandangannya diedarkan berkeliling. Lega hatinya ketika melihat pihak Kerajaan Bojong Gading di atas angin. Memang setelah Dewa Arak terdampar di pantai, dia langsung menuju ke Kerajaan Bojong Gading. Satu keyakinannya, Melati pasti telah tiba dengan selamat di sana. Itulah sebabnya, dia tidak mencari-cari lagi.

Arya menghapus peluh yang membasahi keningnya. Dia tadi agak terburu-buru datang ke istana, ketika dari kejauhan terdengar suara riuh teriakan peperangan. Apalagi ketika di perjalanan dijumpainya bangunan-bangunan yang porak-poranda. Dan kedatangannya tepat pada saat Kemamang Danau Neraka belum lama mengamuk.

“Maafkan aku, Kemamang Danau Neraka. Bukannya aku ingkar janji. Aku sudah menuju ke sana, tapi terhalang badai. Aku malah terdampar, dan tidak pernah mendapatkan kesempatan lagi untuk mengunjungimu,” jelas Arya karena tahu alasan yang mendorong Kemamang Danau Neraka meninggalkan tempatnya.

“Tidak usah mencari-cari alasan, Dewa Arak!” sergah Kemamang Danau Neraka, keras. “Sudah kukatakan, apabila kau tidak datang untuk memenuhi janjimu, dunia persilatan akan kubuat kacau. Tapi sayang, kau keburu datang. Sekarang, mari kita bertarung untuk menentukan siapa yang lebih lihai di antara kita!”

Dewa Arak mengerutkan alisnya.

“Bersiaplah, Dewa Arak! Aku tidak segan-segan membunuhmu!” lanjut Kemamang Danau Neraka lagi, tidak memberi kesempatan pada Dewa Arak untuk berpikir.

“Hhh...!” Dewa Arak menghela napas panjang. Dia tahu, pertarungan tidak akan bisa dihindari. Kemamang Danau Neraka begitu ingin bertarung. Maka dengan hati berat, diambilnya guci arak yang tadi tergantung di punggung, lalu dituangkan ke dalam mulut.

Gluk,... Gluk,... Gluk...!

Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya sebelum tiba di lambung. Sesaat kemudian, hawa hangat pun menjalari perut pemuda berambut putih keperakan itu. Perlahan-lahan hawa hangat itu naik ke atas. Dan ketika telah mencapai kepala, kedua kaki Dewa Arak pun tidak tetap lagi berdirinya di tanah. Tubuhnya oleng sana, oleng sini.

Kini, Dewa Arak telah siap dengan penggunaan ilmu 'Belalang Sakti' nya. Saat itulah Kemamang Danau Neraka mulai lancarkan serangan. Cambuk di tangannya langsung dilecutkan ke arah pelipis Dewa Arak. Dewa Arak tahu kedahsyatan yang terkandung dalam serangan itu. Jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur bila terkena. Maka buru-buru serangan itu dielakkan, menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang’. Pemuda berpakaian ungu itu melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Maka....

Ctarrr...!

Memang merupakan hal yang remeh bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan bila menggunakan jurus itu. Buktinya ujung cambuk itu hanya beberapa jengkal di sebelah kiri Arya. Bunyinya terdengar keras memekakkan telinga. Bahkan asap tebal pun mengepul dari lecutan cambuk itu.

Tindakan Dewa Arak tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan itu berhasil dielakkannya, dia melompat menerjang sambil mengayunkan guci araknya ke arah kepala Kemamang Danau Neraka.

Tapi seperti juga halnya Dewa Arak, Kemamang Danau Neraka pun mampu mengelakkan serangan itu. Bahkan juga mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyat. Sesaat kemudian, kedua belah pihak sudah terlibat pertarungan sengit.

* * * * * * * *

DELAPAN

Kegemparan segera terjadi ketika tersiar berita akan kehadiran Dewa Arak. Panglima Galiwung geram bukan kepalang. Kalau saja ada Jaladra di situ, mungkin sudah dibacoknya hingga tewas. Padahal, Jaladra mengatakan kalau Dewa Arak telah ditewaskannya. Tapi buktinya, tampak kalau tokoh muda yang menggemparkan itu masih segar bugar. Tapi Panglima Kerajaan Medang ini tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Yang jelas, pikirannya sekarang harus dipusatkan pada pertempuran.

Sementara itu, para prajurit keempat kerajaan sama sekali tidak berani mendekati kancah pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Kemamang Danau Neraka, dan antara Melati melawan empat tokoh persilatan aliran hitam.

Mendekati tempat itu berarti mencari mati. Jangankan terkena langsung, baru terkena angin serangan nyasar saja sudah merupakan bahaya besar. Tak aneh kalau mereka menjauhi kancah kedua pertempuran itu.

Akibatnya, kancah pertarungan terpecah menjadi tiga kelompok. Namun demikian, pertarungan Melati dan Dewa Arak yang menghadapi lawan masing-masing, tidak kalah berisiknya.

“Heaaat..!” Di jurus kedelapan puluh satu, Raksasa Batu nekat tanpa mempedulikan keselamatan diri, dia melompat maju di saat ketiga orang rekannya melangkah mundur. Gada panjang berduri di tangannya diayunkan ke arah kepala Melati.

Wuttt..!

Melati cepat-cepat membungkukkan tubuhnya, sehingga sambaran gada itu lewat di atas kepalanya. Rambut dan pakaian putri angkat Raja Bojong Gading itu langsung berkibaran keras. Jelas, tenaga yang terkandung dalam serangan itu keras sekali.

Memang, Raksasa Batu adalah seorang tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam amat kuat. Dan belum sempat Raksasa Batu mengatur keseimbangan tubuhnya, Melati cepat-cepat menusukkan pedangnya.

Wunggg...! Blesss...!

Tubuh Raksasa Batu kontan terbungkuk. Sepasang matanya terbeliak lebar ketika pedang Melati menembus perutnya hingga setengahnya lebih. Darah kontan muncrat dari bagian yang terluka.

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Melati segera mencabut pedangnya dari perut Raksasa Batu. Kontan tubuh tokoh sesat itu ambruk ke tanah, diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.

Namun Melati sudah tidak sempat melihat lagi ambruknya tokoh sesat itu, karena sudah melancarkan serangan pada lawan-lawannya. Garuda Hitam segera mengayunkan goloknya untuk menangkis serangan pedang Melati yang membabat cepat ke arah leher.

Tranggg...!

Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu berbenturan keras. Garuda Hitam yang kalah tenaga kontan menyeringai merasakan sakit yang mendera tangannya. Dan di saat itulah serangan susulan Melati kembali meluncur. Kaki kanannya yang dialiri tenaga dalam penuh, telak menghantam dada Garuda Hitam.

Bukkk,..!

Suara berderak keras dari tulang-tulang yang patah dan suara semburan darah dari mulut, mengiringi melayangnya tubuh Garuda Hitam. Saat itu juga, nyawanya melayang meninggalkan raga, dengan dada melesak ke dalam.

Meskipun kedua rekannya telah tewas, namun Sepasang Setan Api tidak mau menyerah. Mereka tahu, lawan tidak akan memberi ampun. Maka diputuskannya untuk melawan terus sampai titik darah penghabisan.

Tapi, apa artinya amukan dua orang ini bagi Melati? Sewaktu mereka masih berempat saja, Melati mampu mendesak. Apalagi hanya tinggal berdua? Maka tanpa menemui kesulitan sedikit pun, putri angkat Raja Bojong Gading itu berhasil mendesak lawannya. Robohnya Sepasang Setan Api itu hanya tinggal menunggu waktu saja.

Sementara itu, pertempuran antar pasukan pun sudah mendekati penyelesaian. Dengan adanya bantuan dari pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan, Kerajaan Bojong Gading telah berada di atas angin. Bahkan saat kehancuran bagi pasukan Kerajaan Medang hanya tinggal menunggu waktu saja.

Memang menyedihkan sekali nasib yang menimpa pasukan Kerajaan Medang. Mereka sebenarnya terdesak hebat. Namun bila terus mengadakan perlawanan, sama saja mencari penyakit. Tapi karena keadaan tidak menguntungkan, mereka terpaksa harus melawan terus.

Ternyata, semua yang memihak pasukan Kerajaan Medang terdesak hebat. Bukan hanya para prajuritnya saja. Bahkan Sepasang Setan Api, dan Kemamang Danau Neraka tampak kewalahan. Dan rupanya, di antara ketiga pihak yang terlibat pertarungan, Sepasang Setan Api lah yang terlebih dulu menemui malaikat pencabut nyawa. Karena, keadaan mereka memang paling gawat.

“Hiaaat..! Melati melompat menerjang. Pedang di tangannya ditusukkan cepat ke arah leher Sepasang Setan Api yang lelaki. Dan karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, salah seorang dari Sepasang Setan Api segera menggerakkan golok besarnya untuk menangkis. Sementara yang seorang lagi rupanya tidak sampai hati melihat rekannya menangkis serangan sendirian. Maka dia pun ikut membantu memapak luncuran pedang Melati.

Tranggg...!

Suara benturan keras yang disertai percikan bunga api ke udara terjadi ketika pedang Melati berbenturan dengan sepasang golok yang menjepitnya. Luar biasa! Ilmu 'Pedang Seribu Naga' yang dimiliki Melati dengan gerakan sederhana pada pergelangan tangan, telah membuat pedangnya meliuk aneh. Sehingga, senjata lawan-lawannya terlepas dari pegangan.

“Akh...!” jerit salah seorang dari Sepasang Setan Api, kaget.

“Ikh...!” pekik yang seorang lagi tidak kalah terkejutDan sebelum kedua tokoh sesat itu sempat berbuat sesuatu, pedang di tangan Melati telah berkelebat cepat secara mendatar. Langsung dibabatnya leher Sepasang Setan Api itu.

Wunggg...!

Suara menggerung keras mengawali tibanya serangan pedang Melati. Melihat hal ini, Sepasang Setan Api kaget bukan kepalang. Apalagi, serangan itu begitu cepat. Maka dengan sebisa-bisanya, mereka berusaha mengelak. Tapi....

Srattt..!

“Akh...!”

“Aaakh...!”

Sepasang Setan Api menjerit memilukan ketika ujung pedang Melati menyerempet leher mereka. Maka leher itu kontan koyak, disertai semburan darah segar. Patut dipuji kekuatan Sepasang Setan Api. Meskipun telah menderita luka yang cukup parah, namun masih mampu berdiri meskipun agak terhuyung-huyung dengan tangan mendekap leher. Tampak darah mengalir keluar dari celah-celah jari tangan mereka. Beberapa saat lamanya tubuh Sepasang Setan Api terhuyung-huyung ke sana kemari, sebelum akhirnya ambruk di tanah. Sebentar mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi untuk selamanya.

“Hhh...!” Melati menghela napas lega. Sejenak ditatapnya tubuh dua orang tokoh sesat yang berpakaian merah itu seraya menyusut peluh yang membasahi wajahnya dengan saputangan.

Lalu, pandangannya dialihkan ke arah pertempuran lain yang masih berlangsung. Yaitu pertarungan antara pasukan kerajaan dan antara Dewa Arak dengan Kemamang Danau Neraka. Hanya sekilas pandangan, Melati telah bisa menilai keadaan pertempuran. Dia tahu, pihaknya akan keluar sebagai pemenang. Maka, gadis berpakaian putih ini tidak ikut terjun dalam kancah pertempuran. Kini dia hanya bertindak sebagai penonton saja.

Dugaan Melati sama sekali tidak meleset. Pihak Dewa Arak dan pasukan Kerajaan Bojong Gading memang hanya tinggal menunggu waktu saja untuk keluar sebagai pemenang. Jumlah anggota pasukan Kerajaan Medang memang tinggal sedikit. Hampir seluruh pasukan mereka telah tewas. Demikian pula tokoh-tokoh persilatan aliran hitam lainnya. Bahkan para panglimanya telah banyak yang tewas. Yang tinggal hanya Panglima Galiwung.

Panglima bertubuh tinggi besar ini tengah terlibat pertarungan dengan Panglima Jumali. Satu lawan satu, tanpa ada yang mengganggu. Sedangkan para panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya, sudah mengundurkan diri dari kancah pertarungan, dan hanya menonton saja di pinggir arena.

“Aaakh...!” Lolong kematian yang keluar dari mulut Panglima Galiwung, mengakhiri pertarungannya dengan Panglima Jumali. Seiring tewasnya Panglima Galiwung, para prajuritnya yang tersisa pun melemparkan senjata ketanah. Jelas, mereka menyerah.

“Tahan!” teriak Panglima Jumali melihat prajurit Kerajaan Bojong Gading mau membunuh mereka. Kontan para prajurit itu mengurungkan niatnya. “Tangkap mereka! Masukkan ke dalam tahanan!”

“Mengapa tidak dibunuh saja, Pangjima?” sahut salah seorang prajurit. Nada ketidak-setujuan atas keputusan yang diambil Panglima Jumali, tampak terdengar jelas dalam suaranya.

Panglima Jumali memaklumi, mengapa pasukannya ingin membunuh para prajurit itu. Oleh karena itu, dia tidak marah dan hanya tersenyum saja. Tapi karena lelah, senyumnya jadi seperti seringai saja. Dan memang, keadaan panglima tinggi besar ini sangat mengharukan hati. Sekujur tubuhnya dipenuhi noda-noda darah yang telah mengering, bercampur keringat dan debu.

“Hanya pengecut saja yang tega membunuh lawan tak berdaya,” kata Panglima Jumali. “Apakah kalian mempunyai jiwa pengecut?!”

“Tidak...!” Hampir bersamaan, semua prajurit Kerajaan Bojong Gading mengucapkan kata-kata demikian.

“Bagus!” sambut Panglima Jumali dengan senyum lebar tersungging di bibir. “Kalau begitu, laksanakan saja perintahku!”

Beberapa orang prajurit Kerajaan Bojong Gading lalu membawa anggota pasukan Kerajaan Medang yang menyerah untuk dijebloskan ke dalam tahanan. Sementara, sisanya sibuk membereskan segala sesuatu yang bisa dibereskan. Sesaat kemudian, kesibukan pun terjadi di halaman Istana Kerajaan Bojong Gading yang luas.

Para prajurit Kerajaan Bojong Gading, dibantu pasukan Kerajaan Kamujang dan Pasugihan sibuk mengurus korban-korban peperangan. Yang hanya terluka, segera dipisahkan dengan yang tewas.

Sementara itu, Patih Juminta dan Panglima Gorawangsa segera berkumpul dengan pejabat-pejabat Kerajaan Bojong Gading. Di antara mereka terdapat Melati, Patih Rantaka, panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading, pasukan khusus, dan tentu saja Prabu Nalanda.

“Akhirnya Dewa Arak hadir juga, Melati,” kata Prabu Nalanda begitu mendapat kesempatan berbincang-bincang.

Melati pun segera menceritakan perjalanannya yang sebenarnya memang bersama Dewa Arak. Tapi karena serangan gelap, akhirnya Arya terpisah dengan Melati.

“Mungkin dia mendapat halangan di perjalanan, Ayahanda,” jawab Melati.

Prabu Nalanda menganggukkan kepala. “Aku pun menduga demikian, Melati. Entah halangan apa yang membuatnya tertahan sampai berhari-hari.”

Setelah berkata demikian, Prabu Nalanda menoleh ke arah tempat. Patih Juminta dan Panglima Gorawangsa berdiri. Kedua orang pemimpin pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan itu tengah memperhatikan jalannya pertarungan antara Dewa Arak melawan Kemamang Danau Neraka penuh perhatian.

“Terima kasih atas bantuan yang kalian berikan. Kalau tidak, mungkin Kerajaan Bojong Gading telah hancur,” kata Prabu Nalanda.

“Lupakanlah mengenai hal itu, Gusti Prabu,” jawab Panglima Gorawangsa. “Pertolongan yang kami berikan ini hanya sekadar balas jasa kami atas pertolongan Dewa Arak dulu.”

Setelah berkata demikian, panglima Kerajaan Pasugihan ini menceritakan pertolongan yang diberikan Dewa Arak.

“Demikianlah ceritanya, Gusti Prabu. Sehingga, ketika raja kami mendengar berita penyerbuan Kerajaan Medang, beliau segera mengirim pasukan untuk membantu,” tutur Panglima Gorawangsa mengakhiri ceritanya.

Prabu Nalanda mengangguk-anggukkan kepala. Kini orang nomor satu di Kerajaan Bojong Gading itu telah mengerti, mengapa Kerajaan Pasugihan mengirimkan bantuan pasukan. Ternyata, Dewa Arak, calon menantunya telah menanam budi pada kerajaan itu. Apakah hal yang sama pun telah dibuat Dewa Arak pada Kerajaan Kamujang?

“Walaupun begitu, sampaikan ucapan terima kasihku pada rajamu,” kata Prabu Nalanda, bijaksana.

“Akan hamba sampaikan, Gusti Prabu,” sahut Panglima Gorawangsa cepat.

Raja Bojong Gading tersenyum lebar. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Patih Juminta. “Ucapan terima kasih yang sama pun kuucapkan atas bantuan kalian,” ucap Prabu Nalanda.

“Alasan yang mendorong kerajaan kami mengirim pasukan, sama dengan alasan yang diberikan Panglima Gorawangsa, Gusti Prabu,” jawab Patih Juminta sopan.

“Hehhh...?! Jadi, kerajaan kalian pun mendapat bantuan pula dari Dewa Arak?!” tanya Raja Bojong Gading.

Perasaan heran, kagum, bercampur bangga berkecamuk dalam benak Raja Bojong Gading ini. Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Arak demikian banyak menanam jasa pada orang! Kekagumannya terhadap Dewa Arak pun semakin menjadi-jadi. Namun, semua itu tidak ditampakkan pada wajahnya.

“Bukan hanya bantuan saja, Gusti Prabu. Dewa Arak malah telah menyelamatkan Kerajaan Kamujang dari kehancuran.” Kemudian secara singkat dan jelas, Patih Juminta menceritakan semua kejadiannya.

Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak melawan Kemamang Danau Neraka telah berlangsung hampir seratus jurus. Dan keadaan kakek berambut kaku ini semakin terdesak saja. Kemamang Danau Neraka menggertakkan gigi. Sama sekali tidak disangka kalau kepandaian Dewa Arak sampai sehebat ini. Dia sungguh tidak tahu kalau kepandaian Arya telah bertambah akibat masuknya belalang raksasa ke dalam tubuhnya.

“Heaaat..!” Di jurus keseratus lima, sambil mengeluarkan bentakan keras, Kemamang Danau Neraka melayangkan cambuknya. Senjata lemas itu meliuk-liuk ke arah kepala Dewa Arak.

Kali ini, Dewa Arak memberi sambutan yang berbeda dengan sebelumnya. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak lagi menangkis dengan guci, atau mengelak. Tapi, malah menangkap ujung cambuk itu dengan tangan telanjang.

Kemamang Danau Neraka terkejut bukan kepalang melihat tindakan Dewa Arak. Seumur hidupnya selama ratusan kali bertanding, belum pernah ada orang yang berani menangkap senjata andalannya. Tidak aneh kalau tindakan Dewa Arak membuatnya kaget. Benarkah pendekar yang masih muda itu mampu menangkap cambuknya?

Tappp! Cambuk Kemamang Danau Neraka ternyata mampu dicekal tangan Dewa Arak. Dan begitu tercekal, pemuda berpakaian ungu itu langsung menariknya. Kemamang Danau Neraka tentu saja tidak ingin senjata andalannya terampas. Maka, dia pun balas menarik. Mau tak mau adu tarik-menarik pun terjadi di antara dua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu.

Dalam pertandingan seperti ini, yang paling menentukan adalah kekuatan tenaga dalam. Dan ternyata, Dewa Arak memiliki kekuatan tenaga dalam yang berada di atas lawannya. Ini terbukti dengan condongnya tubuh Kemamang Danau Neraka ke arah Dewa Arak.

“Hih...!” Berbareng keluarnya teriakan itu, Dewa Arak menyentakkan tangannya.

“Aaah...!” Kemamang Danau Neraka terkejut ketika tubuhnya melayang ke arah Dewa Arak. Namun sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, dia langsung bisa menguasai diri. Maka saat tubuhnya melayang, dia menggunakannya sebagai satu kesempatan. Kedua kakinya langsung diluncurkan, untuk menyerang dada lawan.

Namun, rupanya Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu. Guci araknya langsung dipalangkan di depan dada untuk memapak tibanya serangan itu.

Blanggg...! Tubuh Dewa Arak sampai terdorong ke belakang saking kerasnya tendangan yang dikirimkan Kemamang Danau Neraka. Memang, tendangan yang dilakukan jauh lebih keras, karena terbawa tenaga sentakan Dewa Arak.

Meskipun demikian, bukan hanya Dewa Arak saja yang mengalami hal seperti itu. Tubuh Kemamang Danau Neraka pun terlempar ke belakang. Dan saat itulah Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan, dalam penggunaan jurus 'Pukulan Belalang’.

Wusss...!

Angin keras berhawa panas menyengat menyambar deras ke arah Kemamang Danau Neraka. Kakek berambut kaku ini berusaha mengelak, tapi bagaimana mungkin hal itu bisa dilakukan? Tubuhnya saat itu tengah berada di udara. Jadi yang dapat dilakukannya hanya menggeliatkan tubuh. Namun akibatnya....

Bresss...!

“Aaakh...!” Kemamang Danau Neraka menjerit memilukan ketika jurus 'Pukulan Belalang' milik Dewa Arak menghantam dadanya. Seketika itu pula, tubuhnya yang tengah melayang semakin jauh melayang. Sekujur kulit Kemamang Danau Neraka kontan menghitam hangus. Seketika itu tercium bau sangit daging yang terbakar di sekitar tempat itu.

Dan ketika tubuh Kemamang Danau Neraka jatuh di tanah, beberapa belas tombak dari tempat Dewa Arak, dia sudah tidak bergerak lagi untuk selamanya. Memang, Kemamang Danau Neraka telah tewas saat tubuhnya masih melayang-layang di udara.

“Hhh...!” Dewa Arak menghela napas panjang. Meskipun ada perasaan menyesal karena telah menewaskan Kemamang Danau Neraka, tapi disadari kalau itu adalah jalan yang terbaik. Tokoh sesat yang menggiriskan itu memang lebih baik dilenyapkan selama-lamanya daripada menyebar maut pada orang yang tidak berdosa.

“Kang Arya..!” Didahului jeritan kegembiraan, Melati berlari menghampiri Dewa Arak. Sedangkan Dewa Arak berbalik sambil menyunggingkan senyum. Kemudian, mereka bersama-sama menghampiri Prabu Nalanda dan para pejabat kerajaan lainnya.

Dewa Arak pun dihujani berbagai macam pertanyaan, baik oleh Prabu Nalanda maupun dari para panglima kerajaan yang ada di situ. Terutama sekali dari Patih Juminta dan Panglima Gorawangsa.

“Bagaimana, Dewa Arak? Kapan kau akan singgah di kerajaan kami?” tagih Panglima Gorawangsa.

“Apabila ada kesempatan, pasti aku akan mampir ke sana,” jawab Arya.

Percakapan mereka terhenti ketika terjadi keributan di antara para prajurit.

“Ada apa?” tanya Melati, ingin tahu.

Patih Juminta dan Panglima Gorawangsa yang juga melihat, menjadi tersenyum. Yang dilihat para prajurit ternyata adalah percikan bunga api berwarna-warni di langit sebelah Utara.

“Sebuah tanda dari pasukan kami bahwa Istana Kerajaan Medang telah direbut.”

Prabu Nalanda melengak. “Jadi..., kalian juga mengirim pasukan ke sana?”

Hampir berbareng, Panglima Gorawangsa dan Patih Juminta menganggukkan kepala.

“Pasukan kami pecah dua. Sebagian menuju Istana Bojong Gading, dan sebagian lagi menuju Istana Kerajaan Medang,” jelas Patih Juminta.

“Dan dengan adanya tanda itu pula, berarti kami harus kembali ke kerajaan,” sambung Panglima Gorawangsa.

“Mengapa begitu tergesa-gesa?!” tanya Prabu Nalanda agak kaget “Beristirahatlah dulu di sini selama beberapa hari.”

“Terima kasih, Gusti Prabu. Percayalah. Lain kali, tawaran ini tidak akan kami tolak,” sahut Panglima Gorawangsa, berputar.

Prabu Nalanda tahu, kepergian pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan tidak akan mungkin bisa dicegahnya lagi. Maka dia pun tidak menahannya lagi. Maka, dia bersama Dewa Arak, Melati, seluruh pejabat, dan prajurit Kerajaan Bojong Gading, segera melepas kepergian pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan. Mereka mengantarkan dua pasukan itu hingga sampai di tembok batas kotaraja.

Debu mengepul tinggi ke udara ketika pasukan dua kerajaan itu bergerak meninggalkan wilayah Kerajaan Bojong Gading. Ratusan pasang mata memandangi kepergian mereka, hingga lenyap di kejauhan.

SELESAI

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.