Dewa Arak - Tenaga Inti Bumi

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Tenaga Inti Bumi karya Ajisaka
Sonny Ogawa
SATU
"Hiaaat..!"

"Hiyaaat..!"

Keheningan pagi yang sejuk di lereng Gunung Ganjar tiba-tiba terpecah oleh teriakan-teriakan keras melengking yang mengandung tenaga dalam tinggi.

Suara riuh rendah itu ternyata berasal dari mulut dua sosok tubuh yang terlibat dalam sebuah pertarungan. Ciri-ciri mereka sulit dikenali karena cepatnya gerakan yang dilakukan. Yang pasti kedua sosok itu mengenakan pakaian abu-abu dan kuning.

Cerita silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
Pertarungan itu berlangsung begitu seru dan menarik. Deru angin keras terdengar setiap kali tangan atau kaki kedua sosok itu melancarkan serangan. Hal ini menjadi pertanda kalau kedua belah pihak sama-sama memiliki tenaga dalam kuat.

"Hiaaat...!"

Diiringi teriakan keras, sosok bayangan kuning menghentakkan kedua tangan ke arah lawan. Seketika itu pula segumpal angin keras keluar dari kedua belah telapak tangannya.

Rupanya sosok berpakaian abu-abu tahu kedahsyatan serangan lawannya. Buktinya sosok berpakaian kuning tak berusaha menanggapi. Namun sambil menggertakkan gigi tubuhnya melenting ke atas, sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya. Dan....

Glarrr!

Suara menggelegar terdengar memekakkan telinga. Gundukan baru sebesar kerbau di belakang sosok berpakaian abu-abu hancur berantakan ketika angin pukulan sosok berpakaian kuning menghantamnya.

"Cukup, Gandara!" seru sosok berpakaian abu-abu ketika kedua kakinya telah mendarat di tanah. Sosok berpakaian kuning yang baru saja hendak mengeluarkan serangan susulan, langsung menghentikan gerakan begitu mendengar ucapan itu.

"Bagaimana, Guru?" tanya sosok berpakaian kuning yang ternyata seorang pemuda berwajah persegi bernama Gandara, setelah terlebih dulu memberi hormat.

"Memuaskan! Kau benar-benar tidak mengecewakan Gandara! Kau tahu, tingkat kepandaian yang kau miliki sekarang malah telah melampaui tingkatanku. Aku bangga padamu, Gandara," sahut sosok berpakaian abu-abu yang ternyata seorang kakek bertubuh kecil kurus.

"Ah! Itu semua berkat gemblengan Guru," kilah Gandara merendah.

"He he he...! Kau keliru, Gandara. Betapapun kerasnya aku mengajarmu, tapi kalau kau tak berlatih keras, hasilnya tetap akan sia-sia!" ujar kakek kecil kurus bernada sungguh-sungguh. "Dengan kata lain, keberhasilan ini tercipta atas kerjasama kita berdua."

Gandara mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan gurunya.

"Satu hal yang perlu kau ingat, Gandara. Jangan kau sembarangan mempergunakan 'Tenaga Inti Bumi', kecuali apabila keadaan memaksa. Perlu kau ketahui, Gandara. Akibatnya akan sangat dahsyat!" pesan kakek kecil kurus itu lagi. "Kau tahu, aku sendiri pun tidak memiliki 'Tenaga Inti Bumi' itu. Hanya kau yang memilikinya karena pemusatan pikiran dari semadi yang kau lakukan. Dan untuk yang terakhir kalinya kuperingatkan, jangan sembarangan mempergunakannya! Kau mengerti, Gandara?!"

"Mengerti, Guru," jawab Gandara penuh hormat.

"O ya, kapan kau pergi meninggalkan tempat ini, Gandara?"

"Kemungkinan besar besok pagi, Guru. Tapi sebelum pergj, aku ingin menyajikan sebuah acara perpisahan antara kita. Aku ingin membuatkan masakan kesenangan Guru," ucap Gandara, agak malu-malu.

"Ha ha ha...!" Kakek kecil kurus tertawa lunak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya hatinya merasa geli mendengar perbuatan yang akan dilakukan muridnya.

"Ada-ada saja kau, Gandara!"

"Bagaimana, Guru?" tanya Gandara meminta kepastian karena kakek itu belum memberikan jawaban.

"Kalau hal itu akan membuat kau merasa tenang untuk meninggalkan tempat ini, lakukanlah!" ujar kakek kecil kurus itu bijaksana. Orang tua berpakaian abu-abu itu menyadari kalau muridnya ingin membalas jasa. Itulah sebabnya keinginan Gandara dikabulkan.

"Terima kasih, Guru," wajah Gandara berseri-seri mendengar persetujuan gurunya. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan mempersiapkan segala sesuatunya "

Kakek kecil kurus hanya mengembangkan senyum. Bahkan sampai Gandara melesat meninggalkan tempat itu senyumnya masih tersungging.

"Seorang pemuda yang baik. Aku yakin Gandara akan menggemparkan dunia persilatan. Dia akan menjadi seorang pendekar yang tangguh. Hhh...! Prakasa..., kau boleh bangga dengan anakmu," gumam kakek kecil kurus itu pelan sambil menatap tubuh muridnya yang semakin mengecil di kejauhan.

Masih dengan senyum tersungging di bibir, kakek kecil kurus itu membalikkan tubuh. Kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Tapi baru beberapa tindak kakinya melangkah, terdengar panggilan keras dari belakang....

"Tirta Geni...! Berhenti...!"

Kakek kecil kurus yang ternyata bernama Tirta Geni itu menoleh ke belakang sambil membalikkan tubuh. Lalu pandangannya diarahkan ke depan. Tampak dua titik hitam tengah melesat cepat ke arahnya. Kakek kecil kurus itu mengernyitkan dahi.

Disadari kalau dua titik hitam yang tengah menuju ke arahnya tentu tokoh-tokoh sakti. Suara panggilan barusan terdengar begitu keras di telinganya, padahal pemiliknya masih demikian jauh. Hal itu menjadi pertanda betapa hebat kekuatan tenaga dalam mereka.

Tirta Geni tak perlu menunggu lama untuk bisa melihat jelas dua titik hitam yang tengah menuju ke arahnya. Gerakan mereka begitu cepat. Sehingga hanya dalam sesaat kedua titik itu telah berada sekitar tiga tombak di depannya.

"Hak hak hak...!"

Setelah berada di depan Tirta Geni, terlihat kedua titik hitam itu ternyata dua sosok tubuh berwajah seram. Salah seorang dari mereka memperdengarkan tawanya yang mirip suara burung. Danmemang, ciri-ciri sosok yang tertawa itu mirip burung elang. Potongan tubuhnya tinggi kurus dengan kulit berwama gelap dan hidung melengkung. Sorot mata yang bersinar hijau kebiruan, benar-benar memperlihatkan sosok manusia yang mirip burung!

"Elang Cakar lima!" desah Tirta Geni tanpa menyembunyikan perasaan kagetnya. Jelas, dia mengenal sosok yang tengah tertawa dengan suara aneh itu.

"Rupanya kau masih mengenaliku, Tirta Geni?!" sahut sosok mirip burung elang yang sudah berusia tidak muda lagi itu. Nada suaranya mangandung ejekan.

"Apa kau juga masih mengenaliku, Tirta Geni?!" selak kawannya yang juga seorang laki-laki tua.

Tirta Geni mengalihkan perhatian pada sosok yang berdiri di sebelah Elang Cakar Lima. Tak berapa lama kemudian, sosok laki-laki tua itu telah dikenalinya. "Kiranya kau, Macan Terbang Berekor Sembilan."

"Syukur kalau kau masih mengenaliku, Tirta Geni. Berarti, sekarang kau sudah dapat menduga maksud kedatangan kami kemari, heh?!" sambut Macan Terbang Berekor Sembilan dengan suara keras menggelegar laksana auman harimau.

Tirta Geni tak segera menanggapi ucapan bernada kasar itu. Kakek kecil kurus itu hanya tersenyum getir sambil menganggukkan kepala. "Sedikit banyak aku bisa menduga, karena aku sudah mengenal betul orang orang macam kalian. Bukankah kedatangan kalian kemari untuk membalas dendam atas kekalahan yang kalian terima dariku?!"

Dengan tenang Tirta Geni mengucapkan perkataan itu, meski sebenarnya perasaan tegang luar biasa tengah melanda hatinya.

"Syukur kalau kau mengetahuinya, Tirta Geni!" sahut Elang Cakar Lima dengan suara parau. "Tapi kau tak perlu khawatir. Meskipun kami datang berbarengan, untuk menghadapimu kami tak akan melakukan pengeroyokan."

Sekali lagi Tirta Geni hanya tersenyum getir mendengar ucapan itu. Disadarinya, meskipun Elang Cakar Lima dan Macan Terbang Berekor Sembilan tidak bersama-sama menghadapinya, bukan berarti dirinya akan mudah dapat mengalahkan mereka. Kesaktian dan kepandaian kedua tokoh itu sekarang sudah sangat tinggi. Belasan tahun lalu Elang Cakar Lima memang dapat dikalahkannya, tapi dengan susah payah. Hal yang sama pun terjadi atas Macan Terbang Berekor Sembilan. Memang, dulu tingkat kepandaian mereka tidak berselisih jauh dengan dirinya.

"Kalau tak berniat melakukan pengeroyokan, mengapa kalian datang bersamaan?!" tanya kakek kecil kurus tercenung sesaat.

Bukan tanpa alasan Tirta Geni mengajukan pertanyaan itu, dia tahu kalau tempat kediaman kedua tokoh yang merupakan datuk-datuk persilatan itu saling berjauhan satu sama lain. Kalau tak bersepakat lebih dulu, mana mungkin bisa tiba berbarengan di sini? Mungkinkah hanya sebuah kebetulan? Pikir Tirta Geni sambil menatap kedua tamu tak diundang itu.

"Jangan khawatir, Tirta Geni! Ini hanya sebuah kebetulan. Nah, sekarang bersiaplah kau! Selama di perjalanan kami telah mengadakan undian tentang siapa yang lebih dulu menghadapimu. Dan akulah yang mendapat keberuntungan itu!" seru Macan Terbang Berekor Sembilan dengan pongah.

"Aku sudah bersiap sejak tadi, Macan Terbang," ringan jawaban Tirta Geni.

Mendengar jawaban Tirta Geni, Elang Cakar Lima yang mendapat giliran selanjutnya, segera menjauhkan diri dari tempat itu. Dengan menghentakkan kakinya perlahan, tubuhnya sudah berada jauh di pinggir.

Tirta Geni bersikap waspada. Meskipun sikapnya tetap seperti semula, sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari mengawasi setiap gerak-gerik Macan Terbang Berekor Sembilan. Memang, tokoh yang mengenakan rompi loreng itu telah bersiap-siap hendak melancarkan serangan. Dengan langkah hati-hati dan penuh perhitungan, didekatinya Tirta Geni yang masih berdiri tenang di tempatnya.

"Hiaaat...!"

Diawali sebuah teriakan menggelegar yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, Macan Terbang Berekor Sembilan melancarkan serangan perdananya. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar harimau, dengan cepat diluncurkan ke dada Tirta Geni.

Ciiit!

Deru angin tajam dari udara yang terobek menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang dikerahkan pada serangan itu. Nampaknya Tirta Geni telah mengetahui secara pasti tindakan lawannya. Meskipun begitu, kakek kecil kurus berpakaian abu-abu ini tanpa ragu-ragu langsung memapak serangan itu.

Prakkk...!

Bunyi keras terdengar seperti benturan dua logam, ketika dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat saling berbenturan. Akibatnya, tubuh Tirta Geni terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Dan kedua tangannya dirasakan sakit sekali.

"Ha ha ha...!" Tawa Macan Terbang Berekor Sembilan menggelegar keras. Sebuah tawa kemenangan karena melihat benturan yang baru saja terjadi, jelas menunjukkan kalau tenaga dalamnya berada di atas Tirta Geni. Dalam benturan itu kejadian seperti Tirta Geni tidak dialaminya. Tubuhnya hanya dirasakan sedikit tergetar akibat benturan itu.

Berbeda dengan Macan Terbang Berekor Sembilan, Tirta Geni terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Betapa tidak!? Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya telah dikerahkan untuk memapak serangan lawan. Ternyata, akibatnya di luar dugaan. Tenaga dalam Macan Terbang Berekor Sembilan kini berada di atasnya!

"Kaget, Tirta Geni?!" ejek Macan Terbang Berekor Sembilan. "Itu belum seberapa. Hhh...! Kau benar-benar mengecewakanku! Semakin tua malah semakin lemah!"

Tirta Geni tidak memberikan tanggapan sedikit pun atas ejekan yang diberikan lawannya. Diyakininya kalau tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, dan juga kemampuannya telah meningkat cukup pesat jika dibandingkan dengan yang dimilikinya belasan tahun lalu. Namun, kenyataannya benturan yang baru saja terjadi telah menjadi bukti yang tak bisa dibantah. Macan Terbang Berekor Sembilan ternyata telah mengalami kemajuan lebih pesat.

Tapi hanya sebentar Tirta Geni larut dalam perasaan kagetnya. Dia yakin selama belasan tahun ini, Macan Terbang Berekor Sembilan telah berlatih keras untuk dapat membalas kekalahannya. Sedangkan dirinya? Meskipun tetap berlatih dan menyempurnakan ilmu yang dimiliki, tetap usahanya tak bisa sekeras Macan Terbang Berekor Sembilan. Hal ini juga karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mendidik Gandara! Jadi, tak aneh kalau perkembangan ilmunya tak secepat yang dialami Macan Terbang Berekor Sembilan.

Tirta Geni tak bisa terlalu lama tenggelam dalam alam pikirannya, karena Macan Terbang Berekor Sembilan telah bersiap-siap melakukan serangan susulan. Rupanya, kakek berompi kulit harimau ini telah bisa menguasai rasa gembira yang melanda hati atas keunggulannya. Sesaat kemudian, Macan Terbang Berekor Sembilan telah melancarkan serangan kembali.

Pertarungan kedua tokoh yang berbeda aliran dan sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu, kembali berlangsung. Kedua pihak mengeluarkan seluruh kemampuan untuk dapat merobohkan lawan secepatnya.

Sesaat kemudian, tubuh kedua kakek itu telah lenyap bentuknya. Yang terlihat hanya kelebatan sosok bayangan abu-abu dan loreng dalam bentuk tidak jelas. Kedua sosok bayangan itu saling belit, dan hanya kadang-kadang saja saling pisah.

Bunyi riuh rendah pun mengiringi jalannya pertarungan. Bunyi itu berasal dari setiap gerakan tangan atau kaki kedua belah pihak. Ditambah lagi dengan terbongkarnya tanah di sana-sini. Debu pun mengepul ke udara. Jurus demi jurus berlangsung demikian cepat karena kedua tokoh tua itu memang sama-sama memiliki gerakan yang cepat. Sehingga dalam waktu tidak lama, empat puluh jurus telah berlalu. Dan sampai saat itu keadaan belum berubah, Tirta Geni tetap dalam keadaan terdesak.

Tidak aneh kalau Tirta Geni berada di pihak yang terdesak. Sejak awal dirinya telah merasa kalah dari segi tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh. Dan kekalahan ini menyebabkan kakek kecil kurus itu menerapkan taktik pertarungan gerilya. Setiap kali Macan Terbang Berekor Sembilan melancarkan penyerangan, tubuhnya selalu mengelak. Demikian juga, setiap kali melancarkan serangan balasan. Jika dilihatnya Macan Terbang Berekor Sembilan akan melakukan tangkisan, Tirta Geni selalu membatalkannya.

Hal itu terpaksa dilakukan Tirta Geni karena kekuatan tenaga dalamnya berada di bawah Macan Terbang Berekor Sembilan. Jika sampai terjadi benturan, rasa sakit pasti akan menderanya. Itulah sebabnya, sedapat mungkin diusahakan untuk tidak mengadu tenaga dengan Macan Terbang Berekor Sembilan. Tentu saja hal itu terpaksa dilanggarnya kalau keadaan tak memungkinkan.

Karena keputusan yang diambilnya itu, tidak aneh kalau Tirta Geni berada di pihak yang terus-menerus didesak. Dan apabila hal itu terus dilakukan, sampai kapan dirinya dapat bertahan? Elakan demi elakan yang dilakukan, membuat kakek kecil kurus itu semakin terdesak.

Semua kejadian itu disaksikan oleh Elang Cakar Lima. Tanpa sadar kepalanya terangguk-angguk. Dalam hati dipujinya kelihaian Macan Terbang Berekor Sembilan. Diakuinya pula kalau kakek berompi kulit harimau itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dan dia pun menduga kalau akhirnya Tirta Geni akan roboh di tangan Macan Terbang Berekor Sembilan.

Elang Cakar Lima tak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Ketika pertarungan menginjak jurus ketujuh puluh, keadaan Tirta Geni semakin terjepit. Hal ini menjadi pertanda kalau robohnya Tirta Geni sudah semakin dekat.

Pada jurus ketujuh puluh empat, sambil mengeluarkan auman keras menggelegar laksana harimau murka, Macan Terbang Berekor Sembilan melakukan lompatan harimau ke depan. Kemudian dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Hanya sebentar saja, karena langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke dada dan perut Tirta Geni. Serangan itu dilakukannya dengan kedudukan tubuh setengah berjongkok.

Kali ini Tirta Geni tidak punya kesempatan untuk mengelak. Maka diputuskan untuk memapak serangan itu kalau tidak ingin dada dan perutnya tercabik-cabik cakar Macan Terbang Berekor Sembilan.

"Hih!" Sambil menggertakkan gigi dalam usahanya untuk mengumpulkan seluruh tenaga yang dimilikinya, Tirta Geni menghentakkan kedua tangan untuk memapak serangan Macan Terbang Berekor Sembilan.

Prakkk!

"Akh!" Tubuh Tirta Geni terhung-huyung ke belakang disertai jerit tertahan dari mulutnya karena sakit yang mendera kedua tangannya.

Ketika Tirta Geni tengah berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan itu, Macan Terbang Berekor Sembilan kembali menggenjotkan kaki. Seketika itu pula tubuhnya melesat ke arah lawan.

Tirta Geni terkejut bukan kepalang melihat hal itu. Apalagi ketika melihat kedua tangan Macan Terbang Berekor Sembilan yang meluncur deras ke arahnya. Karena tak memungkinkan untuk menghindar, kakek kecil kurus ini memaksakan diri menangkis, meskipun kedua tangannya masih terasa sakit akibat benturan sebelumnya.

Prattt! Jrebbb!

"Akh...!" Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Tahu-tahu tubuh Tirta Geni terjengkang ke belakang dengan cucuran darah dari perut dan dadanya. Jeritan menyayat hati keluar dari mulut kakek kecil kurus itu. Kedua cakar Macan Terbang Berekor Sembilan berhasil menghunjam dada dan perut Tirta Geni hingga robek lebar. Karena serangan itu datang bertubi-tubi dan begitu cepat, membuat serangan itu tetap mengenai sasaran, meskipun beberapa kali Tirta Geni berhasil menangkisnya.

"Ha ha ha...!" Macan Terbang Berekor Sembilan tertawa bergelak-gelak melihat Tirta Geni berdiri dengan kedua kaki menggigil dan kedua tangan mendekap dada dan perut. Kakek berompi kulit harimau itu tahu kalau Tirta Geni tak akan mungkin bisa diselamatkan lagi karena luka-lukanya terlalu parah itulah sebabnya dia tak kembali melancarkan serangan susulan.

"Tidak percuma aku menyiksa diri selama belasan tahun, mengurung diri di tempat yang terpencil dan menjauhi keramaian. Karena sakit hati belasan tahun lalu berhasil kutuntaskan hari ini. Ha ha ha...!"

Terbayang kembali di benak Macan Terbang Berekor Sembilan saat-saat kekalahannya dahulu ketika bertarung dengan Tirta Geni. Dan hal itu terjadi akibat kecerobohannya juga. Belasan tahun lalu, dirinya seperti juga Elang Cakar Lima adalah datuk-datuk kaum sesat. Namun, berbeda dengan Elang Cakar Lima, dia sama sekali tak mau punya pengikut. Macan Terbang Berekor Sembilan selalu bertualang ke sana kemari mengumbar kejahatan dan kekejaman.

Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan kali Macan Terbang Berekor Sembilan bertarung tak terkalahkan. Sampai suatu hari dia melakukan sebuah kesalahan, dalam sebuah pertarungan, telah membunuh seorang pendekar muda. Pendekar muda itu ternyata memiliki seorang kakak kandung dan orang itu adalah Tirta Geni.

Tirta Geni pun mencarinya, dan ketika bertemu pertarungan sengit pun tak bisa dielakkan lagi. Saat itulah, untuk pertama kalinya, Macan Terbang Berekor Sembilan menerima kenyataan pahit. Dia dikalahkan oleh Tirta Geni.

Bahkan hampir tewas kalau saja tidak sempat meloloskan diri dengan berlindung di balik asap beracun. Sejak saat itulah Macan Terbang Berekor Sembilan bersumpah untuk membalas kekalahannya. Dan kini sumpahnya terpenuhi.

Tirta Geni sama sekali tidak mempedulikan ucapan-ucapan bernada gembira yang keluar dari mulut Macan Terbang Berekor Sembilan. Saat itu dia tengah disibukkan oleh rasa sakitnya. Dan meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk dapat berdiri tegak, ternyata dia tetap tak mampu. Dan....

Brukkk! Tirta Geni pun ambruk di tanah.

"Ha ha ha...!" Macan Terbang Berekor Sembilan kembali tertawa bergelak. Suaranya begitu keras dan memekakkan telinga, karena disertai pengerahan tenaga dalam. Dan keriuhrendahan itu semakin menjadi-jadi ketika Elang Cakar Lima ikut pula tertawa.

"Kau mendapat kehormatan besar dariku, Tirta Geni. Kau menjadi orang pertama yang tewas di tanganku semenjak aku keluar dari tempat menyiksa diri. Dan korban berikutnya adalah Dewa Arak! Ha ha ha...! Nama besar tokoh muda itu telah lama kudengar! Tapi dia pun harus tewas di tanganku! Setelah itu, aku, Macan Terbang Berekor Sembilan, akan menjadi tokoh tak terkalahkan di dunia persilatan! Ha ha ha...!"

Kegembiraan meluap luap di hati Macan Terbang Berekor Sembilan. Suara tawanya pun terdengar semakin keras membahana.

"Kau melupakanku rupanya, Macan Terbang. Apa kau kira aku tidak memiliki keinginan yang sama denganmu, heh?!" selak Elang Cakar Lima dengan suara paraunya.

"Ha ha ha...! Kalau begitu, kita berlomba untuk lebih dulu menemukan dan membunuh Dewa Arak! Setelah itu, baru kita tentukan siapa yang lebih patut menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Ha ha ha...!" sahut Macan Terbang Berekor Sembilan ringan pertanda menantang.

"Baik! Aku terima tantanganmu!" sambut Elang Cakar Lima mantap. "Dua bulan lagi kita bertemu di Bukit Angsa!"

Setelah berkata demikian, Elang Cakar Lima melesat cepat dari situ. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya tinggal berupa titik hitam yang semakin lama semakin kecil dan akhirnya lenyap di kejauhan.

Dan ketika tubuh Elang Cakar Lima telah lenyap dari pandangan, Macan Terbang Berekor Sembilan baru mengalihkan perhatiannya yang sejak tadi ditujukan pada Elang Cakar Lima. Diperhatikannya tubuh Tirta Geni sekilas sebelum melesat dengan cepat pula meninggalkan tempat itu.

* * *

DUA

"Hhh...! Betul-betul hari yang sial!" keluh seorang pemuda berpakaian kuning bernada kesal. Sepasang mata pemuda itu diedarkan ke sekelilingnya yang terdiri jejeran pohon besar kecil diseling semak-semak lebat. Jelas, pemuda berpakaian kuning ini berada di sebuah hutan.

"Mengapa hari ini tak seekor kijang pun yang kulihat? Sejak tadi hanya kelinci yang ada. Hhh...! Haruskah kubatalkan maksudku? Sejak tadi berkeliling, belum juga nampak yang kucari."

Keputusasaan nampak jelas dalam ucapan pemuda berpakaian kuning itu. Langkahnya pun dihentikan. "Tapi di mana harus kutaruh mukaku atas kegagalan ini? Padahal aku sudah berjanji pada guru untuk membuatkan makanan kesukaannya?!"

Sesaat lamanya pemuda berpakaian kuning itu termenung dengan menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon. Perasaan bimbang menjalari hatinya. Akan diteruskan maksud semulanya atau tidak. Namun keinginan untuk menyediakan masakan kegemaran gurunya jauh lebih kuat. Maka pemuda berpakaian kuning itu pun mengambil keputusan untuk melanjutkan pencarian. Kaki yang semula sudah berhenti, kembali diayunkan.

Pilihan pemuda berpakaian kuning itu rupanya tidak sial seperti sebelumnya. Baru beberapa tindak kakinya melangkah, telah dilihatnya apa yang tengah dicarinya. Dalam jarak beberapa tombak di hadapannya tampak empat ekor kijang tengah asyik memakan rumput. Melihat hal ini tanpa dapat dicegah, jantung pemuda berpakaian kuning berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Rasa tegang menyelimuti hatinya. Khawatir akan menimbulkan keterkejutan hewan-hewan itu, sehingga mengakibatkan kegagalan usahanya, pemuda berpakaian kuning itu tidak berani bertindak gegabah. Selama beberapa saat dia hanya berdiam diri di tempatnya. Tubuhnya disembunyikan di balik sebatang pohon besar.

Dan dari sini matanya mengintai terus sambil memutar otak mencari cara untuk menangkap binatang buruannya. Beberapa saat kemudian, pemuda berpakaian kuning itu langsung menentukan pilihan salah satu di antara keempat kijang yang akan dijadikan hidangan untuk gurunya. Dipilihnya kijang yang paling besar dan gemuk.

Kemudian nampak pemuda berpakaian kuning memasukkan tangannya ke balik baju. Dan ketika ditarik kembali, telah tercekal empat bilah pisau tajam berkilat. Semua itu dilakukan dengan hati-hati, karena khawatir kijang-kijang itu akan mengetahui kehadirannya.

"Hih!"

Sing! Sing! Sing!

Bunyi berdesing nyaring dari luncuran pisau-pisau yang merobek udara, terdengar ketika pemuda berpakaian kuning melemparkannya. Karuan saja bunyi berisik itu menimbulkan kekagetan kijang-kijang yang tengah asyik merumput. Seketika itu pula binatang-binatang itu berhamburan mencari selamat secara panik karena mengetahui ada bahaya tengah mengancam. Namun....

Cappp!

Kijang paling besar yang diincar pemuda berpakaian kuning melenguh kesakitan, ketika dua bilah pisau menancap di tubuhnya. Satu menancap di paha kanan belakang, sedangkan yang lainnya menembus leher. Meskipun demikian, binatang itu masih terus berusaha untuk menyelamatkan diri. Kijang itu terus berlari. Tapi, baru beberapa langkah tubuhnya ambruk di tanah, menggelepar-gelepar sejenak lalu diam tak bergerak lagi.

Semua kejadian itu disaksikan secara jelas oleh pemuda berpakaian kuning yang begitu gembira melihat keberhasilan usahanya. Maka buru-buru tubuhnya melesat menghampiri kijang yang telah terkulai berlumur darah. Diperhatikannya sejenak, dibopong, kemudian dibawanya pulang.

Pemuda berpakaian kuning mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya karena ingin segera tiba di tempat gurunya. Dia ingin segera menghidangkan masakan daging kijang ini. Seketika itu pula bentuk tubuhnya lenyap. Sekarang yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning yang melesat cepat meninggalkan Hutan Ganjar.

Tak berapa lama kemudian, pemuda berpakaian kuning itu telah berada tidak jauh dengan kediaman gurunya. Namun wajahnya yang semula penuh kegembiraan, perlahan-lahan memudar dan berganti keheranan. Tiba-tiba matanya melihat sosok tubuh yang tergeletak di kejauhan.

Masih dengan hati yang diliputi tanda tanya, pemuda berpakaian kuning terus berlari. Dari jarak kejauhan, matanya belum mampu mengenali dengan jelas sosok tubuh yang tergolek itu.

Semakin dekat, kian terlihat jelas sosok yang tengah tergolek itu. Dan seiring dengan itu pula, perasaan cemas mulai bergayut di hatinya. Segumpal perasaan khawatir timbul ketika melihat sosok yang tergeletak itu mengenakan pakaian abu-abu.

"Guru...!" ucapnya tersendat-sendat, setelah meletakkan kepala sosok abu-abu itu di pangkuannya. "Siapa yang telah melakukan semua kekejian ini...?!"

"Gandara...," ucap sosok abu-abu perlahan.

"Katakan, siapa yang telah melakukan kekejian ini. Guru...!" desak pemuda berpakaian kuning.

"Dewa Arak..., Gandara, kumohon kau... akh...!" Dan ketika jarak antara keduanya tinggal sepuluh tombak lagi, kekhawatiran yang melanda hati pemuda berpakaian kuning langsung meledak. Sosok tubuh yang tergolek itu ternyata memang gurunya.

"Guru...!" seru pemuda berpakaian kuning itu keras. Rasa sedih dan kaget tercuat dalam jeritannya. Tanpa rasa sayang lagi, kijang yang tengah dibopongnya dilemparkan begitu saja. Lalu dia meluruk cepat menghampiri tubuh gurunya.

"Guru...!" ucapnya tersendat-sendat, setelah meletakkan kepala sosok abu-abu itu di pangkuannya. "Siapa yang telah melakukan semua kekejian ini...?!"

Perlahan-lahan kelopak mata sosok abu-abu itu membuka. "Gandara...," ucap sosok abu-abu perlahan.

"Katakan, siapa yang telah melakukan semua kekejian ini, Guru!" desak pemuda berpakaian kuning yang ternyata Gandara.

Sosok abu-abu yang tak lain Tirta Geni tidak langsung menjawab pertanyaan muridnya. Keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan ketika akhirnya ucapannya keluar, itu pun secara tersendat-sendat dan perlahan sekali.

"Dewa Arak..., Gandara, kumohon kau.... Akh...!"

Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, nyawa Tirta Geni telah lebih dulu melayang. Kepalanya langsung terkulai. Kakek kecil kurus itu tewas di pangkuan muridnya tanpa sempat memberi tahu kejadian yang telah menimpanya. Bahkan ucapan yang dikeluarkannya menimbulkan salah paham pada Gandara. Dan ini terbukti sesaat kemudian....

"Tenanglah, Guru! Aku berjanji akan membalaskan semua kekejian yang telah dilakukan Dewa Arak padamu!" Usai berkata demikian, Gandara lalu bangkit. Dibopongnya tubuh Tirta Geni meninggalkan tempat itu. Dibawanya menuju tempat tinggal mereka selama ini. Gandara ingin menguburkan gurunya di tempat kediamannya.

* * *

Hari telah siang. Sang Surya telah berada di atas kepala. Tapi keberadaan awan tebal yang menggantung di angkasa membuat suasana di persada tak begitu panas. Angin yang berhembus pun terasa cukup nikmat membelai kulit.

Dalam suasana seperti itu, sebuah rombongan bergerak perlahan di atas jalan tanah yang berdebu. Rombongan itu terdiri dari sebuah kereta kuda sederhana dan delapan ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang laki-laki berwajah dan bersikap gagah. Keberadaan delapan ekor kuda itu nampaknya sebagai pelindung kereta. Buktinya empat kuda berada di belakang dan empat lainnya di depan.

"Hooop...!"

Salah seorang penunggang kuda terdepan menghentikan langkah kudanya sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Seketika itu pula rombongan di belakangnya berhenti.

"Mengapa berhenti, Kang Jaladri?" tanya laki-laki berpakaian biru tua yang berada di sebelah kirinya. Sepasang alisnya yang tebal dan hitam tampak berkerut karena rasa heran tengah melandanya.

"Beritahukan saja agar semua bersikap waspada, Wiraja!" jawab orang yang dipanggil Jaladri tegas. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan berkumis melintang.

Dan seperti juga laki-laki beraks tebal, Jaladri pun mengenakan pakaian biru tua. Dan pakaian yang sama pun membungkus tubuh semua anggota rombongan. Ini menandakan kalau mereka semua berasal dari satu perguruan.

"Boleh kutahu mengapa demikian, Kang?! Bukankah barang kiriman telah kita antarkan pada orang yang bersangkutan? Mengapa kita harus khawatir lagi?!" tanya laki-laki beralis tebal yang merasa heran mendengar perintah Jaladri Meskipun hanya Wiraja saja yang mengajukan pertanyaan, semua rekannya pun ikut berdiam diri untuk mendengarkan jawaban Jaladri.

"Apakah selama tugas kita mengantarkan barang kiriman, pernah melalui tempat ini?!" Jaladri malah balas mengajukan pertanyaan.

Hampir semua kepala tergeleng begitu mendengar pertanyaan Jaladri. Memang, mereka belum pernah melewati tempat ini. Bahkan ketika mengantarkan barang yang terakhir kalinya, yaitu saat ini, mereka tidak melewati tempat ini. Hanya dalam waktu kembali mereka melalui tempat ini untuk mempercepat perjalanan.

"Nah! Itulah sebabnya kuperingatkan pada kalian agar waspada. Kalian lihat dinding gunung yang menjulang tinggi di kanan dan kiri jalan?!"

Dengan mempergunakan dagunya, Jaladri menunjukkan tempat yang dimaksud. "Lihat, Kang," sekali lagi Wiraja memberikan jawaban, mewakili teman-temannya. "Tempat itu berbahaya bagi kita. Orang-orang yang berada di atas sana dengan mudah dapat menghancurkan kita. Apalagi dinding tebing itu cukup panjang. Ini berarti tersedia cukup banyak waktu bagi orang-orang yang berada di atas untuk melaksanakan maksudnya," jelas Jaladri, panjang lebar.

Wiraja dan rekan-rekannya mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan alasan yang dikemukakan laki-laki berkumis melintang itu.

"Perlu kau ketahui, perasaanku membisikkan adanya bahaya mengancam. Itulah sebabnya aku menyuruh kalian bersikap lebih hati-hati. Dan satu-satunya tempat yang akan digunakan orang-orang itu, menurut dugaanku adalah ketika kita melalui jalan di antara dinding dinding batu itu. Kalian semua telah siap?!"

"Siap, Kang!"

Hampir serentak seluruh anggota rombongan berpakaian biru tua itu menyatakan kesiapsiagaannya.

"Kalau demikian, mari kita berangkat! Tapi, perlu kalian dengar baik-baik taktik yang akan kita jalankan. Dari sini kita bersikap biasa-biasa saja. Maksudnya, perjalanan yang kita lakukan tidak usah tergesa-gesa. Tapi begitu mendekati jalan ditengah-tengah dinding tebing itu, langsung pacu kecepatan kuda kalian. Mengerti?!"

"Mengerti, Kang!"

"Kalau kau mengetahui adanya bahaya, mengapa tetap kau teruskan perjalanan melalui tempat itu? Apa tak lebih baik kalau kita ambil jalan lain? Jalan semula, misalnya?!" usul Wiraja.

"Tidak malukah dengan ucapan yang kau keluarkan itu, Wiraja?!" sembur Jaladri keras. "Kita sudah telanjur basah. Lebih baik mandi sekalian!"

Wiraja kontan terdiam.

"Nah, sekarang mari kita berangkat!"

Jaladri lalu mengibaskan tangannya ke depan, memberi isyarat pada rombongannya untuk melanjutkan perjalanan. Sesaat kemudian rombongan orang-orang berpakaian biru tua itu telah bergerak kembali.

Meskipun terlihat tenang, hati mereka sebenarnya diliputi perasaan tegang. Sekujur urat syaraf dan otoeotot mereka telah menegang. Sikap waspada pun telah semakin ditingkatkan untuk menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi.

Semakin mendekati jalan di antara dua dinding tebing, semakin besar ketegangan yang melanda. Dan ketika akhirnya mencapai permulaan jalan yang diapit dinding batu itu, dengan serempak mereka semua melecutkan cambuk ke bagian belakang tubuh kuda masing-masing.

Ctar! Ctar! Ctar!

Seketika itu pula bumi tergetar hebat bagai dilanda gempa akibat berpacunya kuda-kuda itu. Derap kaki kuda dan gerit roda kereta yang dipantulkan dinding-dinding batu bergema, menambah riuh rendahnya suasana.

Dan kejadian yang dikhawatirkan Jaladri ternyata terbukti! Begitu rombongan mereka berada di tengah jalan antara dua tebing itu, terdengar suara bergemuruh seperti bukit akan mntuh. Bagai diberi perintah, mereka semua mendongak ke atas. Dan mendadak wajah-wajah mereka memucat ketika melihat di atas tebing kanan dan kiri meluruk deras batu-batu sebesar kerbau!

"Awaaasss...!"

Meskipun sudah menduga kalau kawan-kawannya mengetahui adanya bahaya itu, Jaladri tetap berteriak memberikan peringatan. Seketika itu pula rombongan berpakaian biru itu dengan cepat mencabut senjata mereka.

Srat! Srat!

Cring! Cring!

Dan secepat senjata-senjata tercabut, secepat itu pula digerakkan memapak batu-batu yang meluncur ke arah mereka.

Pyarrr! Pyarrr!

Batu-batu sebesar kerbau itu hancur berantakan ketika berbenturan dengan pedang di tangan Jaladri dan rombongannya. Namun sebuah batu sebesar kerbau sempat lolos dari hadangan dan meluncur ke arah mereka. Akibatnya....

Brakkk!

Seketika itu pula atap kereta hancur berantakan. Untunglah sang Kusir telah bertindak cepat. Tubuhnya telah lebih dulu melesat dari tempat duduknya bersamaan dengan jatuhnya batu itu di atap kereta. Karuan saja kejadian mengejutkan itu membuat kuda-kuda tunggangan rombongan itu panik. Binatang-binatang itu kontan melonjak-lonjak.

Nampak Jaladri dan kawan-kawannya sibuk menenangkan kuda-kuda itu. Dan saat itulah dari atas tebing berlompatan belasan sosok tubuh. Hanya dalam sekejap saja rombongan Jaladri telah terkurung.

"Ha ha ha...!"

Seorang laki-laki bertubuh gemuk, berperut gendut, dan berkepala botak tertawa bergelak. Nampaknya dialah pemimpin gerombolan yang mencegat rombongan Jaladri.

Melihat tak ada lagi jalan keluar bagi rombongannya, Jaladri segera melompat dari punggung kudanya. Hal yang sama dilakukan kawan-kawannya.

"Siapa kalian? Mengapa merintangi jalan kami?!" tanya Jaladri tenang sambil merayapi wajah-wajah yang ada di sekelilingnya. Dalam hati, dihitungnya jumlah gerombolan itu. Ternyata mereka berjumlah enam belas orang. Jaladri menghentikan tatapannya pada laki-laki berkepala botak yang masih tertawa-tawa.

"Apa hubungan kalian dengan Prakasa?" tanya laki-laki berkepala botak setelah menghentikan tawanya. Sepasang matanya menatap penuh selidik pada gambar sebuah kepalan yang tersulam dengan benang emas di dada kiri Jaladri dan rombongannya.

"Beliau adalah guru sekaligus ketua kami. Dan kami semua murid Perguruan Seribu Kepalan," jawab Jaladri dengan sikap masih tenang.

"Ooo..., begitu kiranya? Kalau begitu tak sia-sia kami bersusah payah mencegat perjalanan kalian. Kami semua bekas anggota Perkumpulan Gajah Hitam. Sekarang, kami yakin kalau kau telah bisa menduga maksud penghadangan kami!" mantap dan tegas jawaban yang dikeluarkan laki-laki berkepala botak itu. Jaladri tersenyum mengejek.

"Tentu saja. Bukankah kalian bermaksud membalas dendam atas hancurnya ketua dan perkumpulan kalian di tangan guru kami? Dan karena kalian takut gagal, kalian melakukannya terhadap kami! Bukankah demikian?!"

"Tutup mulutmu!" bentak laki-laki berkepala botak. "Serbuuu...! Hancurkan mereka...!"

Belasan anak buah laki-laki berkepala botak yang ternyata bekas anggota Perkumpulan Gajah Hitam meluruk ke arah Jaladri dan kawan-kawannya. Senjata-senjata yang sejak tadi telah tercekal di tangan, langsung diayunkan.

Pada saat yang bersamaan, laki-laki berkepala botak pun melancarkan serangan pada Jaladri. Pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi. Dentang senjata beradu diselingi teriakan-teriakan keras membahana, menyemarakkan jalannya pertarungan. Bunga-bunga api pun bepercikan dari senjata-senjata yang saling berbenturan.

Kedua rombongan sama-sama tidak bersikap setengah-setengah dalam melakukan tindakan. Nampaknya mereka tahu kalau lawan yang dihadapi adalah musuh bebuyutan. Dan kalau bertindak setengah-setengah hanya akan mencelakakan diri sendiri. Karenanya pertarungan pun berlangsung seru.

Pada jurus-jurus awal, pertarungan masih berlangsung seimbang. Tapi begitu memasuki jurus kesepuluh, mulai terlihat rombongan murid Perguruan Seribu Kepalan mulai terdesak. Hal ini tidak aneh karena jumlah mereka hanya separuh dari lawannya. Meskipun rata-rata kepandaian mereka di atas lawannya, tapi tidak terlalu banyak selisihnya. Maka menghadapi dua orang lawan, mereka kewalahan.

Di antara mereka semua, Jaladrilah yang paling parah keadaannya. Meskipun lawan yang dihadapi hanya seorang laki-laki berkepala botak, pemimpin rombongan bekas anggota Perkumpulan Gajah Hitam, tetap saja dia kewalahan. Ternyata kepandaian yang dimiliki laki-laki berkepala botak itu sangat tinggi dan berada di atas tingkatannya. Tak sampai lima jurus bertarung, Jaladri telah dibuat terpontang-panting untuk menyelamatkan diri.

Akhir dari pertarungan ini nampaknya sudah dapat diduga. Muridmurid Perguruan Seribu Kepalan akan tewas di tangan lawan-lawannya. Dan dugaan itu langsung menjadi kenyataan!

"Aaakh!"

Salah seorang murid Perguruan Seribu Kepalan menjerit, ketika golok besar salah seorang lawannya menoreh pergelangan tangannya. Darah pun mengalir dari lukanya dan tanpa dapat dicegah lagi pedangnya terlepas dari pegangan. Sebelum murid Perguruan Seribu Kepalan yang sial itu sempat berbuat sesuatu, lawan yang lain menusukkan tombak ke perutnya.

Jrebbb!

"Hekh!" Seketika tubuh berpakaian biru itu menggelepar-gelepar di tanah ketika anak buah laki-laki berkepala botak mencabut tombak dari perutnya. Darah membanjir keluar sebelum akhirnya murid Perguruan Seribu Kepalan yang malang itu menghembuskan napas terakhir.

Tewasnya satu orang itu membuat rombongan Perguruan Seribu Kepalan semakin kalut. Keadaan mereka semakin terdesak dan gawat. Satu orang anggotanya tewas. Sementara kedua orang yang telah berhasil membunuh anak buah Jaladri tidak tinggal diam. Keduanya langsung bergabung dengan teman-temannya, terus menggempur rombongan Perguruan Seribu Kepalan.

Tak lama kemudian, seorang murid Perguruan Seribu Kepalan menyusul tewas. Murid yang apes ini tewas dengan kepala terpisah dari lehernya. Melihat keadaan ini, nampaknya sudah dapat dipastikan tewasnya murid-murid Perguruan Seribu Kepalan tinggal menunggu saatnya.

Sementara itu, meskipun tak melihat sendiri kematian rekan-rekannya, Jaladri dapat mengetahuinya. Kenyataan itu membuatnya geram bukan kepalang. Tapi apa dayanya? Dia sendiri hanya bisa bermain kucing-kucingan untuk menyelamatkan diri. Dengan susah payah, Jaladri mempertahankan diri hingga sampai sekarang belum roboh, meskipun tubuhnya terpontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya.

Namun, pada jurus keempat belas Jaladri jatuh terjerembab, akibat gaetan kaki lawannya. Dan sebelum sempat bangkit, laki-laki berkepala botak melancarkan serangan susulan. Tongkat baja putih di tangannya dipukulkan ke arah kepala Jaladri.

Jaladri tahu tak ada yang bisa dilakukannya. Untuk mengelak sudah tak mungkin lagi. Sedangkan menangkis hanya tindakan konyol, karena pedangnya sudah terlepas dari tangan ketika tubuhnya terjerembab.

Sehingga yang dapat dilakukannya hanya berdiam diri menunggu ajal. Namun, rupanya nasib baik masih berpihak pada Jaladri. Ketika keadaan sangat gawat, tiba-tiba sesosok bayangan ungu berkelebat menyelak di antara dirinya dan laki-laki berkepala botak. Dan....

Takkk!

Tubuh laki-laki berkepala botak terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah, ketika sosok bayangan itu menangkis tongkat bajanya dengan tangan kosong.

"Keparat!"

Begitu berhasil bangkit, laki-laki berkepala botak langsung memaki. Ditatapnya sosok yang telah menggagalkan serangannya, dan kini telah berdiri membelakangi Jaladri.

Sosok itu ternyata seorang pemuda berpakaian ungu. Rambutnya yang putih keperakan dan panjang, dibiarkan melambai-lambai tertiup angin. Wajahnya tampan dan terlihat jantan.

Dengan didahului geraman keras, laki-laki berkepala botak hendak menyerbu pemuda berambut putih keperakan yang telah mencampuri urusannya itu. Namun gerakannya segera terhenti, ketika mendengar jeritan menyayat susul-menyusul.

Dengan rasa penasaran, lelaki berkepala botak menolehkan kepalanya. Betapa kaget hatinya ketika melihat seorang gadis berpakaian putih yang juga berambut panjang tengah mengobrak-abrik anak buahnya. Dan jeritan-jeritan menyayat itu ternyata berasal dari mulut anak buahnya yang keluar dari kancah pertarungan.

"Bagaimana, Kisanak?! Sebuah pemandangan yang menarik, bukan?!" tanya pemuda berambut putih keperakan, bernada mengejek.

"Keparat! Kubunuh kau...! Hiyaaat...!"

TIGA

Sambil mengeluarkan jeritan keras menggelegar, laki-laki berkepala botak menerjang pemuda berambut putih keperakan itu. Tongkat bajanya diputar-putarkan di atas kepala sebelum diayunkan ke kepala lawannya.

Wuttt!

Deru angin keras yang mengiringj meluncurnya tongkat baja itu menunjukkan betapa kuatnya tenaga laki-laki berkepala botak. Hantaman tongkat itu mampu menghancurkan batu karang yang paling keras. Apalagi kali ini yang dijadikan sasaran kepala manusia yang mempunyai kekuatan di bawah batu karang!

Kedahsyatan serangan itu tentu saja diketahui pemuda berambut putih keperakan. Meskipun demikian, dia tetap bersikap tenang. Sama sekali tidak nampak tanda-tanda kalau hendak melakukan tindakan apa pun.

Baik mengelak maupun mencabut senjatanya untuk menangkis. Tentu saja kenyataan ini membuat Jaladri yang sudah bangkit berdiri merasa heran bercampur khawatir. Apakah pemuda berambut putih keperakan itu sudah gila, sehingga merelakan kepalanya hancur dihantam tongkat lawan?

Perasaan yang sama melanda laki-laki berkepala botak. Hanya saja dia tidak mempedulikan! Tentu saja hatinya berharap agar pemuda berambut putih keperakan yang usilan itu bisa tewas dalam segebrakan!

Ternyata dugaan Jaladri dan laki-laki berkepala botak sama sekali meleset! Pemuda berambut keperakan itu tidak gila! Terbukti begitu ujung tongkat hampir mengenai sasaran, tubuhnya dibungkukkan.

Wusss!

Tongkat pun menyambar lewat di atas kepala pemuda berambut putih keperakan. Dan pada sat itu tangan kanan pemuda itu bergerak.

Tappp!

Begitu cepat tindakan pemuda berambut putih keperakan itu! Tahu-tahu pergelangan tangan laki-laki berkepala botak telah berhasil dicekalnya. Lalu pemuda itu menyentakkannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berkepala botak pun ikut tertarik. Dan pada saat itulah kaki kanan pemuda berambut putih keperakan itu meluncur ke perutnya.

Bukkk!

"Hugkh!" Telak dan keras sekali tendangan pemuda berambut putih keperakan itu mengenai sasaran. Sehingga tubuh laki-laki berkepala botak terlipat ke depan dengan wajah merah padam. Sepasang matanya pun melotot keluar. Nampaknya, pemimpin bekas anggota Perkumpulan Gajah Hitam itu menderita sakit yang hebat.

Dan seketika pemuda berambut putih keperakan melepaskan cekalannya. Tubuh laki-laki berkepala botak pun ambruk ke tanah. Pingsan! Tanpa mempedulikan keadaan lawannya, pemuda berambut putih keperakan mengalihkan perhatian ke gadis berpakaian putih yang tadi mengamuk.

Ternyata, gadis itu pun telah menyelesaikan tindakannya. Di sekelilingnya bergeletakan tubuh-tubuh anak buah laki-laki berkepala botak yang semuanya berseragam hitam. Mereka semua mengerang kesakitan tanpa mampu bangkit lagi. Dan kini, gadis berpakaian putih itu menghampiri pemuda berambut putih keperakan yang berdiri menunggunya.

"Bagus, Melati! Aku sangat bangga atas tindakanmu kali ini. Bukankah tak ada di antara mereka yang tewas?" ujar pemuda berambut putih keperakan itu ketika gadis berpakaian putih telah berada di dekatnya.

"Tidak, Kang," jawab gadis berpakaian putih yang ternyata Melati sambil tersenyum manis. "Untung saja kau telah mengingatkanku lebih dulu. Kalau tidak..., mungkin aku tak akan mau mengampuni mereka."

"Ha ha ha...! Kau masih saja penuh semangat," puji pemuda berambut putih keperakan itu.

Saat itulah Jaladri menghampiri pasangan muda-mudi yang sama-sama berwajah elok itu. "Terima kasih atas pertolongan kalian berdua. Kalau saja tak ada kalian, mungkin aku dan kawan-kawan hanya tinggal nama," sopan dan penuh hormat Jaladri mengucapkan kata-katanya.

"Lupakan, Kisanak!" sahut pemuda berambut putih keperakan cepat "Hanya kebetulan kami lewat di tempat ini."

"Boleh aku tahu nama kalian berdua? Aku Jaladri. Dan mereka kawan-kawanku. Kami dari Perguruan Seribu Kepalan," ujar laki laki berkumis melintang itu memperkenalkan diri. Ditudingkan telunjuknya ke arah kawan-kawannya yang tengah sibuk mengurus kawan mereka yang tewas.

"Tentu saja boleh, Kang Jaladri," jawab pemuda berambut putih keperakan sambil tersenyum lebar. Terpaksa sapaannya dirubah karena Jaladri telah memperkenalkan diri. "Namaku Arya. Dan kawanku, Melati. Kami berdua pengelana...."

"Arya...?!" ulang Jaladri dengan alis berkernyit dalam. "Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Arya.... Ah! Apakah nama lengkapmu Arya Buana?!"

Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar. Sudah bisa diduganya kelanjutan yang akan diucapkan Jaladri. Dan memang dia tidak salah. Hal itu terbukti sesaat kemudian.

"Jadi..., kau Dewa Arak! Ya! Kau pasti Dewa Arak! Rambutmu..., pakaianmu..., kesaktianmu..., dan juga guci arak di punggungmu. Ya! Kau pasti Dewa Arak!" urai Jaladri seraya merayapi sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.

Pemuda berambut putih keperakan yang ternyata Arya dan lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak hanya menyunggingkan senyum lebar. Sama sekali tak diberikannya tanggapan atas ucapan Jaladri.

"Boleh aku tahu ke mana tujuanmu, Dewa Arak?!" tanya Jaladri lagi.

"Kami tidak punya tujuan, Kang Jaladri. Dan kuharap kau panggil aku dengan namaku saja."

"Ah! Maaf, De..., eh, Arya! Bagaimana kalau ikut kami? Ketua kami, Prakasa, sudah lama sekali mengagumi sepak terjangmu. Dia ingin sekali bertemu denganmu. Beliau sering berpesan, apabila di dalam perjalanan kami bertemu denganmu, harap diminta untuk singgah ke tempatnya. Bagaimana, Arya?!" tanya Jaladri penuh harap.

Arya tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kepalanya menoleh ke arah Melati. Dia ingin melihat tanggapan kekasihnya. Meskipun tahu kalau Melati selalu menyerahkan keputusan padanya, tetap tak pernah dilupakannya untuk meminta tanggapan Melati. Dan seperti biasa, Melati hanya mengangkat kedua bahunya pertanda menyerahkan keputusan ini padanya.

"Baiklah, Kang Jaladri. Kami ikut rombonganmu," jawab Arya menyetujui.

Tentu saja Arya tak begitu mudah menerima permintaan itu. Telah dipertimbangkannya masak-masak terlebih dahulu. Dewa Arak telah mengetahui kalau Prakasa seorang tokoh aliran putih. Meskipun demikian, tokoh itu ternyata amat menghormatinya. Itu bisa diketahuinya dari pesan yang disampaikan lewat muridnya. Kalau tidak menerima undangan itu, sama saja dirinya tak menghargai Prakasa. Itulah sebabnya Dewa Arak menerima undangan itu.

Kemudian, setelah kawan-kawan Jaladri selesai mengurus mayat murid murid Perguruan Seribu Kepalan, rombongan itu pun berangkat. Tujuan mereka Desa Kedu, tempat Perguruan Seribu Kepalan berada.

* * *

"Luar biasa! Sama sekali tak kusangka kalau Jaladri bisa bertemu denganmu, Dewa Arak! Tapi yang lebih tak kusangka lagi kesediaanmu menerima undangan ku! Terima kasih, terima kasih, Dewa Arak!"

Ucapan keras penuh kegembiraan itu keluar dari mulut seorang kakek berpakaian biru tua. Tubuhnya yang tinggi besar dan terlihat kekar itu membuatnya kelihatan angker. Apalagi ditambah lagi dengan cambang bauk lebat yang menghias wajahnya. Dialah Prakasa, Ketua Perguruan Seribu Kepalan.

"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki. Seharusnya bukan kau yang mengucapkan terima kasih, tapi aku. Karena aku telah mendapat kehormatan yang demikian besar, mendapat undangan dari seorang tokoh besar sepertimu. Bukan begitu, Melati?" kilah Arya sambil menoleh ke arah kekasihnya.

"Apa yang dikatakannya benar, Ki. Memang, seharusnya kami yang berterima kasih padamu. Kang Arya hanyalah seorang tokoh muda, dan kau tokoh tua. Sepantasnya, yang mudalah harus memberikan penghormatan, bukan yang tua," sambut Melati.

"Ha ha ha...! Kalian berdua memang pasangan yang luar biasa. Sama-sama lihai, sama-sama merendah, dan sama-sama menyenangkanku. O ya, sebelum kita lanjutkan pembicaraan ini. Bagaimana kalau kita serbu dulu hidangan di depan kita?!" dengan sikap yang menyenangkan hati, Prakasa menawari Dewa Arak dan Melati untuk mencicipi hidangan.

"Terima kasih, Ki."

Hanya itu yang diucapkan Dewa Arak dan Melati. Sesaat kemudian, didahului oleh Prakasa, ketiga orang yang duduk di sebuah meja bundar indah dan berukir itu mencicipi hidangan yang tersedia.

"O ya, Ki. Apakah kau sudah mempunyai persiapan..., ehm maksudku..., siapa yang akan menggantikanmu memimpin Perguruan Seribu Kepalan ini?!" tanya Arya ingin tahu.

"Tentu saja pada putraku, Dewa Arak," ringan jawaban kakek tinggi besar itu.

"Boleh kami berkenalan dengannya, Ki?!" kali ini Melati yang mengajukan pertanyaan. "Tentu dia pun gagah seperti dirimu."

"Itu sudah pasti, Melati!" sahut Prakasa membanggakan. "Bahkan mungkin lebih gagah daripadaku. Tapi tentu saja tak sehebat kalian berdua."

"Ah! Kau bisa saja, Ki. Kalau dia lebih sakti dari padamu, bagaimana mungkin kami akan mampu menghadapinya. Dibandingkan dengan dirimu saja, kami berdua bukan apa-apa," sahut Arya merendahkan diri.

"Kau memang terlalu merendahkan diri, Dewa Arak," sergah Ketua Perguruan Seribu Kepalan penuh kagum.

"Boleh aku bertanya sesuatu, Ki?!" celetuk Melati.

"Tentu saja boleh, Melati. Silakan! Tanyakan saja semua yang kalian perlu ketahui. Untuk tamu-tamu kehormatan seperti kalian, tidak ada hal yang berupa rahasia!"

'Terima kasih atas kesediaanmu, Ki. Pertanyaanku tidak berupa rahasia. Aku hanya ingin penjelasan atas ucapan yang tadi kau berikan."

"Apa itu, Melati. Katakan saja, jangan ragu-ragu," sambut Prakasa memberi dukungan.

Sikap Melati yang agak ragu-ragu membuat Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu jadi semakin ingin tahu. Itulah sebabnya dia memberikan dukungan. Perasaan yang sama pun melanda hati Arya. Dia pun ingin tahu pertanyaan yang akan diajukan Melati.

"Begini, Ki. Kau tadi mengatakan bahwa putramu itu lebih hebat darimu. Mengapa bisa begitu? Sepengetahuanku, jarang ada murid atau anak yang bisa melebihi guru atau ayahnya."

"Ha ha ha...! Sebuah pertanyaan yang bagus, Melati. Dan memang, ucapanmu itu tidak salah. Tapi perlu kau ketahui, kukatakan putraku akan lebih hebat daripadaku. Hal itu karena dia menjadi murid kawanku yang memiliki kepandaian di atasku. Jadi, bukan tak mungkin putraku akan memiliki kepandaian melebihiku," urai Prakasa panjang lebar.

"Ooo..., begitu kiranya, Ki?! Berarti dia tidak ada di sini?" tanya Melati lagi.

"Benar. Putraku masih berada di tempat gurunya. Tapi, mungkin dalam beberapa hari ini akan berada di sini. Karena dia menjadi murid kawanku itu hanya untuk waktu sepuluh tahun. Dan kini sepuluh tahun telah lewat."

"Boleh aku mengetahui kisahnya sehingga putramu bisa menjadi murid kawanmu itu, Ki? Sepantasnya kaulah yang lebih dulu mendidiknya. Baru setelah putramu itu mewarisi sebagian besar ilmu-ilmumu, boleh menjadi murid kawanmu. Maaf, kalau ucapanku ini terlalu lancang," ujar Arya hati-hati.

"Tidak apa apa, Dewa Arak. Bukankah sudah kukatakan, bagi kalian berdua, tak ada rahasia. Nah, sekarang akan kujawab pertanyaanmu. Memang, ada alasan kuat yang mendorong untuk menitipkan anakku pada kawanku."

Prakasa menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Sementara Dewa Arak dan Melati mendengarkannya dengan sabar.

"Sekitar sepuluh tahun lalu, aku bentrok dengan seorang datuk sesat aliran hitam, Elang Cakar Lima julukannya. Hal itu terjadi karena anak buahnya gemar menyebar bencana di mana-mana. Nah, dalam pertarungan itu kami sama-sama terluka parah. Meskipun Elang Cakar Lima menderita lebih parah aku tetap harus beristirahat sekitar satu tahun untuk memulihkan seluruh kemampuan tubuhku."

Sekali lagi Ketua Perguruan Seribu Kepalan ini menghentikan ceritanya. Ditelannya air liur untuk, membasahi tenggorokannya yang kering.

"Dalam keadaanku yang seperti itu, amat berbahaya kalau putraku bersamaku. Saat itu, Perguruan Seribu Kepalan belum mempunyai murid sebanyak sekarang. Sedangkan aku banyak menanam permusuhan di mana-mana. Karena aku tidak bisa tinggal diam mengetahui adanya tindak ketidakadilan. Maka ketika kawanku datang, segera kutitipkan putraku padanya. Nah! Itulah ceritanya, Dewa Arak, Melati," ujar Prakasa menutup ceritanya.

Dewa Arak dan Melati pun terdiam. Setelah Prakasa menghentikan ucapannya, keheningan pun menyelimuti tempat itu. Dan kini ketiga orang itu kembali menyantap hidangannya.

Sementara itu, ketika Dewa Arak, Melati, dan Ketua Perguruan Seribu Kepalan tengah sibuk dengan hidangannya, seorang pemuda berpakaian kuning tengah mengayunkan langkah menuju pintu gerbang Perguruan Seribu Kepalan. Sudah bisa diduga siapa sebenarnya pemuda ini.

Ya! Dialah Gandara, murid Tirta Geni. Dan tepat di depan pintu gerbang, Gandara berhenti. Kemudian kepalanya didongakkan untuk membaca deretan huruf-huruf yang tertera pada sebuah papan tebal berukir yang cukup tebal dan tergantung di pintu gerbang.

"Perguruan Seribu Kepalan...," gumamnya perlahan. Tentu saja kelakuan pemuda berpakaian kuning itu menarik perhatian dua murid Perguruan Seribu Kepalan yang tengah berjaga-jaga di depan pintu gerbang.

"Apa yang kau cari, Kisanak?" tanya salah satu dari dua murid Perguruan Seribu Kepalan agak curiga.

"Aku ingin bertemu dengan ayahku," jawab Gandara ringan.

"Ingin bertemu ayahmu?" dua penjaga itu saling berpandangan satu sama lain. "Siapa ayahmu, Kisanak?"

"Prakasa."

"Hahhh?!" dua murid Perguruan Seribu Kepalan itu langsung terlonjak. "Jadi..., kau..., Gandara?!"

"Benar," Gandara menganggukkan kepala.

"Ah! Kalau begitu silakan masuk, Gandara! Ayahmu ada di ruang khususnya. Kau tahu, kan?"

Kembali Gandara menganggukkan kepala. "Tapi, sepengetahuanku ayah hanya ada di ruangan khusus apabila hendak membicarakan sesuatu yang penting," ujar Gandara, bimbang.

"Memang benar, Gandara. Beliau kedatangan dua orang tamu yang amat dihormatinya," sahut salah satu penjaga yang bertubuh pendek kekar.

"Siapa kedua tamu itu?" tanya Gandara penuh rasa ingin tahu.

"Dewa Arak dan kawannya."

"Apa?!" jerit Gandara karena rasa kaget yang menggelegak. "Dewa Arak?!"

"Benar, Gandara. Mengapa...?"

Belum juga ucapan laki-laki pendek kekar itu selesai, Gandara telah melesat ke dalam. Bunyi gemeretak pertanda geram keluar dari mulutnya.

"Gandara! Tunggu...!" seru murid Perguruan Seribu Kepalan yang satu lagi.

Tapi Gandara tidak mempedulikannya sama sekali. Terus saja kakinya diayunkan. Tujuannya sudah pasti. Ruangan khusus ayahnya. Dan dia sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menuju ke sana. Karena sewaktu meninggalkan perguruan ini, usianya sudah sepuluh tahun. Dan saat itu Gandara sudah cukup mempunyai ingatan untuk mengetahui liku-liku perguruan ayahnya.

Kelebatan sosok bayangan kuning menuju ruangan khusus Prakasa, tidak luput dari pandangan murid-murid Perguruan Seribu Kepalan yang ada di sana. Buru-buru mereka menghadang. Tapi....

"Jangan dihalangi! Dia Gandara!" seru laki-laki pendek kekar yang ikut menyusul ke dalam.

Mendengar ucapan itu, murid-murid Perguruan Seribu Kepalan yang hendak menghadang pun mengurungkan maksudnya. Mereka hanya mengikuti kepergian Gandara, karena masih belum begitu percaya kalau pemuda berpakaian kuning itu Gandara. Walaupun ketika melihat gerak geriknya, yang sepertinya mengetahui liku-liku di Perguruan Seribu Kepalan, kecurigaan mereka berkurang. Namun kewaspadaan mereka tetap tidak dikendurkan.

Sementara itu, Gandara terus melesat cepat menuju ruangan khusus ayahnya. Dan ketika akhirnya telah berada di depan pintu ruangan yang terpisah cukup jauh dari bangunan lainnya, diketuknya pintu.

Tok, tok, tok...!

"Siapa di luar?" sebuah suara keras bernada tidak senang langsung menyambut Siapa lagi kalau bukan Prakasa?!

"Aku," jawab Gandara tenang.

"Aku siapa? Cepat jawab sebelum kesabaranku hilang! Tahukah kau kalau saat ini aku tak mau diganggu?!" semakin tinggi suara Ketua Perguruan Seribu Kepalan.

"Gandara."

"Hah?!" Gandara?!" seruan keras karena kaget terdengar. Sesaat kemudian, daun pintu itu terkuak lebar. Gandara langsung melangkah mundur. Ditatapnya sosok yang berdiri di ambang pintu. Hal yang sama pun dilakukan sosok yang tak lain Prakasa.

"Gandara! Kau benar Gandara? Ah! Sekarang kau tampak demikian perkasa," ucap Prakasa dengan suara bergetar menahan rasa haru yang melanda hatinya.

"Ayah...!" seru Gandara.

Lalu tanpa sempat diketahui siapa yang lebih dulu memulai, tahu-tahu Gandara dan Prakasa sudah saling berpelukan erat. Rasa rindu yang sekian lamanya tertahan tertumpah saat itu. Seketika Gandara pun lupa akan tujuannya semula.

Sementara itu, murid-murid Perguruan Seribu Kepalan yang tadi membuntuti bergerak mundur ketika melihat pemuda berpakaian kuning yang masih mereka curigai ternyata benar putra ketua mereka. Telah mereka lihat sendiri buktinya. Prakasa dan Gandara saling berpelukan.

Cukup lama juga ayah dan anak itu saling menumpahkan kerinduannya sebelum akhirnya sadar. Prakasa yang lebih dulu sadar dari cekaman perasaan yang melanda hatinya. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan.

"O, ya. Bagaimana kabar gurumu?" tanya Prakasa sambil melepas pelukannya. Dia menduga kalau jawaban Gandara akan menyenangkan hatinya.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Prakasa ketika melihat perubahan hebat pada wajah Gandara. Raut wajah itu menyiratkan kesedihan yang amat sangat Sedih, kecewa, dendam, dan marah bercampur dalam hati Gandara.

"Guru telah tewas, Ayah," jawab Gandara dengan suara bergetar menahan luapan perasaan.

"Tewas?!" ucapan yang keluar dari mulut Prakasa tidak kalah bergetarnya. Sama sekali tak disangka akan seperti ini jawaban yang didengarnya. "Tirta Geni tewas?!"

"Benar, Ayah," Gandara menganggukkan kepala.

"Ohhh..., Tirta Geni mengapa kau mendahuluiku...?!" keluh Prakasa penuh sesal. Terlihat jelas kalau kakek tinggi besar ini merasa terpukul dengan berita yang didengar dari putranya. Suasana seketika hening. Baik Prakasa maupun Gandara tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Prakasa dengan rasa kagetnya, sedangkan Gandara dengan ingatannya akan kejadian yang menimpa gurunya.

Sementara, Dewa Arak dan Melati masih tetap duduk di tempat masing-masing. Sepasang pendekar muda itu tahu diri dan tidak mencampuri. Karena tahu kalau itu bukan urusan mereka.

"Bagaimana kejadiannya sampai bisa seperti itu?" tanya Prakasa ketika telah berhasil menguasai diri.

"Aku juga tidak tahu, Ayah," jawab Gandara, kemudian menceritakan semua kejadian yang dia-laminya. "Begitu aku kembali, kulihat tubuh guru tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat. Tapi sebelum tewas, beliau sempat menyebutkan orang yang telah melakukan tindakan keji itu...."

"Siapa dia, Gandara?! Biar aku yang akan men-cincang tubuhnya sampai hancur!" desis Prakasa geram.

"Orang itu adalah Dewa Arak!" tandas Gandara mantap.

"Apa?!" bagai disengat ular berbisa, tubuh Prakasa langsung terlonjak. Jelas, kakek tinggi besar ini tengah dilanda perasaan kaget yang luar biasa. "Apakah kau tidak salah dengar, Gandara?!"

"Tidak, Ayah. Aku tidak salah dengar. Dan kudengar Dewa Arak ada di sini! Biar aku yang akan mencincang tubuhnya atas tindakan kejinya terhadap guru!"

Usai berkata demikian, Gandara langsung menerobos masuk ke dalam. Prakasa sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun. Berita yang didengarnya terlampau mengejutkan hatinya, sehingga membuat otaknya tidak bisa diajak berpikir.

EMPAT

Dewa Arak dan Melati terkejut bukan kepalang mendengar jawaban Gandara tentang pelaku pembunuhan terhadap Tirta Geni. Apalagi ketika melihat pemuda berpakaian kuning itu menerobos masuk dan menghampiri meja mereka.

"Dewa Arak!" terdengar penuh getaran ucapan yang dikeluarkan Gandara. "Telah lama kudengar julukanmu yang menggetarkan dunia persilatan. Bahkan guruku pun sering menyebut-nyebut namamu dengan perasaan kagum. Sama sekali tak kusangka kau akan bertindak sedemikian keji terhadapnya. Sekarang bersiaplah untuk menerima pembalasan dariku, Dewa Arak! Kalau kau bukan seorang pengecut, cepat temui aku di luar!"

"Gandara! Tunggu...! Aku...."

Dewa Arak terpaksa menghentikan ucapannya karena Gandara telah melesat ke luar. Maksudnya sudah jelas. Apalagi kalau bukan mencari tempat yang lebih luas untuk bertarung. Mau tak mau, Dewa Arak pun melesat ke luar. Kalimat Gandara yang terakhir telah menyinggung harga dirinya. Pantang baginya untuk bertindak sebagai pengecut!

Melihat hal ini, Melati pun ikut melesat ke luar. Sementara Prakasa masih berdiri terpaku di tempatnya. Berita demi berita yang mengejutkan itu membuatnya jadi seperti orang bodoh dan kebingungan.

Jliggg!

Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya sekitar tiga tombak di hadapan Gandara. Terlihat jelas kalau pemuda berpakaian kuning itu telah siap untuk bertarung. Dan memang, tempat yang dipilih cukup memungkinkan. Mereka berdua telah saling berhadapan di luar rumah.

"Harap kau bisa menahan amarahmu, Gandara! Percayalah! Bukan aku orang yang telah membunuh gurumu. Lagi pula bagaimana mungkin aku bisa membunuh gurumu, bertemu muka pun belum pernah! Tempat kediaman gurumu pun belum kuketahui!" Dewa Arak berusaha menenangkan hati murid Tirta Geni itu. Nampaknya dia tahu pasti, ada kesalahpahaman di sini.

"Apakah kau hendak mengatakan kalau guruku bermaksud memfitnahmu? Kau keliru, Dewa Arak! Kau tahu, guruku amat mengagumimu! Dia selalu menceritakan tentang sepak terjangmu kepadaku! Dan dia menginginkan aku menjadi orang seperti dirimu! Sama sekali tak kusangka kalau kau, orang yang dikaguminya, sampai hati membunuhnya! Bersiaplah, Dewa Arak! Walaupun mungkin bukan tandinganmu, akan kupertaruhkan nyawa untuk membalaskan sakit hatinya!" tegas Gandara.

"Tunggu sebentar, Gandara! Bukan itu yang kumaksudkan. Aku tidak bermaksud mengatakan kalau gurumu memfitnahku! Tapi, aku yakin ada kesalahpahaman di sini. Mungkin ada orang yang menyamar sebagai diriku dan...."

"Tidak usah bersilat lidah lagi, Dewa Arak! Guruku bukan orang bodoh! Dia pasti tahu kalau ada orang yang menyamar sebagai dirimu!" potong Gandara keras.

"Tapi...."

"Tidak usah bersilat lidah lagi, Dewa Arak! Kalau kau bukan seorang pengecut, bersiaplah untuk menghadapiku!" tajam dan keras bukan main ucapan Gandara.

Muka Dewa Arak merah mendengar ucapan itu. Sudah dua kali dirinya dimaki pengecut! Padahal, ucapan seperti itu merupakan pantangan bagjnya. Hatinya begitu tersinggung. Kalau Dewa Arak saja yang mempunyai sikap sabar mulai terbakar emosi, apalagi Melati?

Gadis berpakaian putih itu memang memiliki watak keras. Sejak tadi hatinya sudah cukup bersabar melihat kekasihnya yang telah bersikap demikian mengalah, terus-menerus mendapat hinaan. Dan sekarang kesabarannya sudah tak bisa ditahan. Maka tubuhnya pun melesat maju dan berdiri di sebelah Dewa Arak.

"Biar aku yang menghajar orang sombong ini, Kang!"

Dewa Arak menggelengkan kepala. "Tidak, Melati. Kali ini biar aku yang menghadapinya. Aku yang telah ditantangnya."

"Tapi, Kang," Melati masih mencoba mengalah.

"Apakah kau rela membiarkan orang lain menganggapku sebagai pengecut?!" tanya Arya.

Melati pun terdiam. Kemudian dengan kepala tertunduk kakinya melangkah mundur, membiarkan Dewa Arak bertarung dengan Gandara. Bukan hanya Melati saja yang bertindak sebagai penonton. Prakasa pun melakukan hal yang sama. Memang, dia telah berhasil menguasai diri. Meskipun demikian, lelaki tua bertubuh tinggi besar itu tidak bermaksud untuk memisahkan pertarungan yang akan berlangsung.

Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tak ada yang paling disukai kecuali menyaksikan pertarungan antara tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti Dewa Arak dan putranya! Terlepas dari benar tidaknya Dewa Arak yang menjadi pelaku pembunuhan itu, Prakasa ingin memenuhi kegemarannya lebih dulu.

Sementara itu, Gandara dan Dewa Arak telah sama-sama bersiap untuk melangsungkan pertarungan. Dengan langkah hati-hati, Gandara mendekati Dewa Arak. Sepasang mata pemuda berpakaian kuning itu terus menatap tajam tindak-tanduk Dewa Arak.

"Hiaaat…!"

Diawali sebuah teriakan keras menggelegar yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Gandara melancarkan serangan terhadap Dewa Arak. Memang, saat itu jarak antara mereka sudah tidak begitu jauh lagi. Gandara membuka serangannya dengan sebuah tendangan kaki kanan ke pelipis Dewa Arak. Dan itu dilakukannya sambil mencondongkan tubuh bagian kirinya.

Wuttt!

Deru angin keras yang mengiringj tibanya serangan itu membuktikan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam tendangan lawannya itu. Hal itu pun diketahui secara pasti oleh Dewa Arak. Maka dia tidak berani bertindak gegabah. Dengan cepat kaki kanannya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh, sehingga serangan itu tidak mencapai sasaran.

Selalu mengelak yang dilakukan Dewa Arak, setiap kali mendapat serangan dari lawannya. Hal itu dilakukannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya saja, tenaga yang dikerahkan ketika melakukan tangkisan terlalu sedikit atau terlalu banyak. Hal itu juga karena belum mengetahui besarnya tenaga dalam yang dimiliki lawan.

Melihat serangan pertamanya mengalami kegagalan, Gandara menjadi penasaran bukan kepalang. Kembali serangan susulan yang tidak kalah dahsyat dilancarkannya. Sesaat kemudian, dua jago muda itu telah terlibat dalam pertarungan sengit.

Gandara benar-benar ingin membuktikan sumpahnya. Seranganserangan yang dilancarkannya selalu mengarah pada bagian yang mematikan. Itu pun masih ditambah lagi dengan pengerahan seluruh keampuannya. Sehingga tiap kali serangannya meluncur, maka maut pun siap merenggut nyawa Dewa Arak.

Dewa Arak tahu kalau setiap serangan Gandara selalu mengandung hawa maut. Oleh karena itu, dia tak berani bertindak main-main. Meskipun belum mengeluarkan ilmu andalan, ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang merupakan ilmu-ilmu simpanan yang diwarisi dari ayahnya langsung dikeluarkan.

Dewa Arak siap mengerahkan kedua ilmu warisan ayahnya itu. Dan dengan menggunakan kedua ilmu itu, dicobanya untuk mengatasi amukan Gandara. Akibatnya, pertarungan antara kedua jago muda ini pun berlangsung seru. Gandara yang tengah dilanda amarah, melakukan penyerangan bagai gelombang laut, susul-menyusul seperti tidak pernah putus.

Hal yang sama dilakukan pula oleh Dewa Arak. Meskipun sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu tidak bermaksud membunuh atau melukai lawannya, karena kedua ilmu yang digunakannya memang menitikberatkan pada penyerangan, membuat orang yang menyaksikan menafsirkan Gandara dan Dewa Arak hendak saling bunuh.

Prat! Prat! Prat!

Untuk pertama kalinya, benturan keras dan bertubi-tubi terjadi. Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat saling beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kenyataan itu menandakan kalau tenaga dalam kedua tokoh muda ini berimbang.

Karuan saja hal itu bukan hanya membuat Dewa Arak terkejut Prakasa dan Melati pun demikian pula. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau tenaga dalam Gandara bisa sekuat itu. Sebuah dugaan langsung menyelinap di dalam benak mereka. Kalau Gandara saja memiliki tenaga dalam sekuat ini, apalagi gurunya?!

Tapi Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alam pikirannya. Gandara telah kembali melangsungkan penyerangan. Pertarungan yang sempat terhenti sejenak itu, langsung berlanjut kembali.

Jurus demi jurus berlangsung secara cepat. Karena, baik Gandara maupun Dewa Arak memiliki gerakan yang sama-sama cepat. Sehingga, dalam waktu sebentar saja tiga puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.

Riuh rendah suara pertarungan yang tengah berlangsung. Suara angin menderu, mencicit dan mengaung, terdengar setiap kali tangan atau kaki Dewa Arak dan Gandara bergerak. Akibatnya suasana pertarungan kian mencekam dan menggiriskan. Di sana sini nampak tanah terbongkar. Pohon pohon besar juga bergetar hebat. Bahkan ranting dan dedaunan berguguran ke tanah karena tersambar angin pukulan kedua belah pihak.

"Hih!"

Pada jurus kelima puluh delapan, Gandara melempar tubuhnya ke belakang. Dewa Arak sama sekali tidak mengejarnya. Diketahuinya kalau Gandara tak bermaksud melarikan diri. Bukan tak mungkin malah hendak menggunakan ilmu simpanan. Maka Dewa Arak pun bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Jliggg!

Tanpa mendapat kesulitan sedikit pun karena Dewa Arak sama sekali tak mengejar, Gandara berhasil mendaratkan kakinya di tanah. Lalu, tanpa membuang-buang waktu segera kedua tangannya disilangkan di depan dada. Kedudukan jari-jari tangannya sulit untuk dilukiskan. Sikap jari-jari tangannya memang terbuka, tapi seperti tak beraturan. Sebagian terbuka lurus, sebegian lagi agak tertekuk.

"Ssshhh...!"

Diiringi desisan keras, Gandara menarik kedua tangannya ke tempat masing-masing. Yang kanan ke kanan dan yang kiri, ke kiri. Itu dilakukannya secara perlahan-lahan tapi dengan pengerahan tenaga. Dan seiring dengan gerakan itu, ada sinar kebiruan yang melingkari sekujur tubuhnya. Berbeda dengan Dewa Arak dan Melati yang mengernyitkan kening melihat gerakan pembukaan ilmu yang akan digunakan Gandara, Prakasa malah terkejut bukan kepalang.

"Gandara! Tahan! Jangan keluarkan ilmu 'Kelabang Seribu' itu!" seru Prakasa.

Sebagai kawan dekat Tirta Geni, Prakasa mengetahui ilmu yang akan digunakan Gandara. Ilmu andalan Tirta Geni yang bernama 'Kelabang Seribu' itu adalah sebuah ilmu dahsyat yang untuk menguasainya membutuhkan pemusatan pikiran yang tinggi. Bahkan Tirta Geni hanya menguasai kulitnya, tidak seluruhnya. Itu pun jarang dikeluarkannya, karena ilmu 'Kelabang Seribu' membutuhkan pengerahan seluruh tenaga dalam.

Dalam penggunakan ilmu itu, pengerahan tenaga tidak boleh mengendur. Apabila hal itu dilanggar, seluruh otot si pemakai akan lumpuh! Itulah sebabnya, Prakasa terkejut bukan kepalang melihat putranya menggunakan ilmu itu.

Tapi teriakan Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu terlambat Gandara telah lebih dulu melompat menerjang Dewa Arak. Terjangan yang dilakukan Gandara itu sama sekali tidak patut di katakan melompat, melainkan terbang! Tubuh pemuda berpakaian kuning itu seperti terapung di udara dan melayang ke arah Dewa Arak.

Kalau Prakasa dan Melati yang bertindak sebagai penonton terkejut bukan kepalang melihat kedahsyatan ilmu itu, apalagi Dewa Arak yang menjadi sasarannya? Pemuda berambut putih keperakan ini sampai tertegun. Dan sikap inilah yang hampir saja membuat nyawanya melayang!

Betapa tidak? Dalam keadaan tubuh mengapung di udara dan terus melayang ke arah Dewa Arak, Gandara melancarkan serangan sampokan ke pelipis pemuda berambut putih keperakan itu.

Untuk yang kedua kalinya Dewa Arak merasa terkejut bukan kepalang ketika merasakan adanya suatu kekuatan tak nampak telah membuat tubuhnya hampir terjungkal ke belakang. Untung saja dia bertindak sigap dengan mengalirkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lalu tanpa ragu-ragu ditangkisnya sampokan Gandara dengan tangan kiri.

Takkk!

"Akh!"

Tanpa sadar jerit kekagetan meluncur dari mulut Dewa Arak. Tangannya yang beradu dengan tangan Gandara dirasakan bagai lumpuh. Bahkan tulang tangan yang berbenturan seperti hancur berantakan. Sakit bukan kepalang. Sedangkan tubuh Arya te-huyung-huyung ke belakang bagaikan diseruduk seekor kerbau liar!

Dewa Arak segera menyadari keadaan gawat ini. Disadari kalau ilmu 'Kelabang Seribu' milik Gandara ini tidak bisa ditanggulangi dengan ilmu-ilmu warisan ayahnya. Kalau hal itu terus dilakukan, kemungkinan besar jiwanya bisa melayang. Telah dibuktikannya sendiri kedahyatan ilmu lawannya itu. Ilmu 'Kelabang Seribu' telah membuat tenaga dalam Gandara bertambah. Entah bagaimana caranya hal itu terjadi, Dewa Arak sama sekali tidak mengetahuinya.

Karena menyadari keadaan yang berbahaya itulah, Dewa Arak memutuskan untuk menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, tepat ketika tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, diambilnya guci arak yang tergantung di punggung. Dan langsung dituangkan ke mulutnya.

Gluk..., gluk..., gluk...!

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu ditenggaknya dan mengalir ke perut melalui tenggorokan. Sesaat kemudian hawa hangat berputar di perut Dewa Arak. Perlahan-lahan hawa itu merayap ke atas. Dan ketika akhirnya pengaruh arak itu telah muncul, tanpa menemui kesulitan sedikit pun Dewa Arak mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung.

Bahkan kemudian tubuhnya telah berdiri dengan kedudukan kaki tidak tetap, oleng ke sana kemari. Saat itulah serangan susulan Gandara meluncur. Namun, kali ini tidak terlalu sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' dan gerakan sempoyongan seperti akan jatuh, semua serangan Gandara berhasil dielakkan. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu mampu melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebat.

Akibatnya, pertarungan yang jauh lebih sengit dari sebelumnya pun berlangsung. Pertarungan yang tengah berlangsung pun semakin menakjubkan dan menggiriskan. Bahkan Prakasa dan Melati beberapa kali nampak menggeleng-gelengkan kepala karena tak kuatnya menahan kekaguman mereka.

Kalau Prakasa dan Melati saja merasa kagum bukan kepalang, apalagi murid-murid Perguruan Seribu Kepalan? Memang, keributan itu telah mengundang sebagian murid Prakasa datang ke tempat pertarungan. Dan begitu melihat sebuah pertarungan menarik tengah berlangsung, mereka pun langsung menonton.

Memang murid-murid Perguruan Seribu Kepalan tidak dapat melihat secara jelas, karena gerakan kedua tokoh muda yang tengah bertarung itu begitu cepat. Meskipun demikian, mereka bisa memperkirakan dari kelebatan bayangan Dewa Arak dan Gandara yang saling sambar.

Sebenarnya tak terlalu aneh kalau Prakasa dan Melati sampai begitu takjub. Betapa tidak? Dalam menggunakan ilmu andalan masing-masing, Dewa Arak dan Gandara tak ubahnya dua ekor burung. Terlihat mudah dan ringan sekali keduanya saling melayang ke sana kemari. Jelas kedua tokoh muda itu sama-sama menitikberatkan pada kemampuan ilmu meringankan tubuh.

Tanpa terasa lima puluh jurus kembali berlalu. Ini berarti pertarungan antara Dewa Arak dan Gandara telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Namun tetap saja selama itu belum nampak tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Meskipun memang dalam pandangan mereka yang belum sempurna kepandaiannya Dewa Arak seperti terdesak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu lebih sering bermain mundur.

"Hiyaaat..!"

Pada jurus keseratus dua belas, dengan serangkaian serangan bertubi-tubi dan taktik jitu, Gandara berhasil membuat Dewa Arak terpojok. Saat itulah dilancarkannya sebuah gedoran ke dada Dewa Arak. Kali ini tak ada jalan lain lagi bagi Dewa Arak kecuali memapak serangan, tanpa mengkhawatirkan akibatnya. Masalahnya, dalam penggunakan ilmu 'Belalang Sakti', tenaganya pun bertambah, hingga mampu mengimbangi tenaga Gandara. Dan hal itu telah dibuktikan sebelumnya.

"Hih!"

Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak memapak serangan yang telah meluncur ke dadanya. Tapi tindakan lanjutan yang dilakukan Gandara benar-benar membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Dilihatnya, sebelum tangannya berbenturan dengan tangan Gandara, pemuda berpakaian kuning itu menepakkan tangan kirinya ke bumi.

Sebagai seorang pendekar yang telah malang-melintang di dunia persilatan, dan telah cukup kenyang pengalaman, Dewa Arak bisa menduga maksud tepakan tangan Gandara. Pasti pemuda berpakaian kuning itu bermaksud meminjam kekuatan bumi!

Sayangnya, Dewa Arak tak sempat lagi untuk mengurungkan maksudnya. Maka sesaat kemudian....

Blarrr!

Bunyi keras seperti halilintar yang menyambar terdengar tepat ketika dua buah tangan berbenturan. Dan seperti yang dikhawatirkan Dewa Arak, tubuhnya melayang ke belakang seperti daun kering terhembus angin kencang. Darah segar pun mengalir dari mulut dan hidung Dewa Arak, membasahi tanah sepanjang tubuhnya melayang.

"Kang Arya...!"

LIMA

Melati menjerit melihat kejadian yang menimpa kekasihnya. Seketika itu pula tubuhnya melesat memburu Dewa Arak yang masih melayang-layang.

Brukkk!

Melati kalah cepat. Tubuh Dewa Arak telah lebih dulu jatuh ke tanah. Kemudian terguling-guling beberapa tombak sebelum akhirnya terhenti karena kekuatan yang membuat tubuhnya meluncur telah lenyap.

"Kang...!"

Begitu berada di dekat tubuh Dewa Arak, Melati langsung berjongkok dan bermaksud memeriksa keadaan kekasihnya. Tapi, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Pemuda berambut putih keperakan itu berusaha bangkit. Walaupun dengan susah payah, dia berhasil berdiri, meskipun tidak tegak benar. Dewa Arak telah siap untuk bertarung sampai titik darah terakhir.

"Kang...!" seru Melati tertahan. Rasa khawatir langsung menyeruak di hati gadis berpakaian putih itu ketika melihat sikap Dewa Arak. Sebagai orang yang telah mengenal baik pemuda berambut putih keperakan itu, dia tahu kalau Dewa Arak bermaksud bertarung sampai mati! Dan Melati tahu, tak akan bisa mencegah tindakan nekat Dewa Arak.

Bukan tanpa sebab, Dewa Arak bertindak demikian. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau Gandara tak mungkin membiarkan dirinya hidup. Dan sebagai seorang pendekar yang mempunyai harga diri tinggi, Dewa Arak tak mau dikasihani. Itulah sebabnya dia berusaha bangkit dan terus melakukan perlawanan.

Dan dugaan Dewa Arak sama sekali tidak salah. Gandara memang tidak mau melepaskannya hidup-hidup. Terbukti, meskipun keadaan Dewa Arak telah payah, pemuda berpakaian kuning itu tetap bermaksud melancarkan serangan terakhir yang dapat mengirim nyawa lawannya ke alam baka!

"Bersiaplah untuk menerima kematian, Dewa Arak! Arwah guruku sudah tidak sabar lagi menunggu kedatanganmu!" desis Gandara geram sambil mengayunkan langkah mendekati Dewa Arak.

Melihat bahaya maut yang tengah mengancam keselamatan kekasihnya, Melati tidak bisa berdiam diri lagi. Diambilnya keputusan untuk menghalangi Gandara, meskipun menyadari kalau tindakannya hanya akan sia-sia Melati tetap nekat melakukannya. Karena, mana mungkin hanya berdiam diri melihat Dewa Arak dibantai. Maka....

Srattt!

Sinar terang berkeredep ketika Melati mencabut pedangnya. Kemudian kakinya melangkah maju. Dan sekarang tubuhnya telah berdiri di depan Dewa Arak dengan pedang disilangkan di depan dada.

"Menyingkirlah, Melati!" perintah Dewa Arak dengan susah payah ketika melihat tindakan yang akan dilakukan kekasihnya.

"Tidak, Kang!" kali ini Melati membantah perintah kekasihnya.

"Keparat sombong itu boleh membunuhmu, tapi harus melangkahi dulu mayatku."

Dewa Arak sama sekali tak menyahuti. Bukan karena dirinya membolehkan Melati membelanya, tapi karena mulutnya tak kuat lagi untuk berbicara. Untuk berdiri pun Dewa Arak harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Berbicara hanya akan semakin melemahkan dirinya. Bukan tak mungkin malah akan membuatnya ambruk di tanah. Itulah sebabnya dia diam. Sementara itu, Gandara terus saja melangkah maju.

"Menyingkirlah, Nisanak! Aku tidak punya urusan denganmu. Tapi kalau kau berkeras membela pembunuh itu, jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan atas dirimu!" tandas Gandara mengingatkan.

"Tutup mulutmu, Keparat Sombong! Kau hanya bisa membunuhnya apabila telah berhasil melangkahi mayatku!" tegas Melati.

"Kalau itu yang kau inginkan, apa boleh buat," sambut Gandara, datar. Jelas, pemuda berpakaian kuning ini telah bermaksud untuk merobohkan Melati pula.

Sementara, Melati tidak mau menunggu hingga Gandara semakin dekat. Pedangnya dikibas-kibaskan di depan dada.

Wunggg!

Bunyi menggerung keras seperti ada naga murka terdengar ketika Melati mulai mengeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya. Tapi sebelum gadis berpakaian putih ini melancarkan serangan perdananya....

"Tahan!" Bentakan keras menggelegar yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat Melati mengurungkan niatnya. Bahkan Gandara pun menoleh ke asal suara.

"Ayah...!" seru Gandara penuh rasa heran ketika mengetahui orang yang telah menahannya.

Prakasa, orang yang mengeluarkan bentakan itu, langsung menggenjotkan kaki mendekati kancah pertarungan. Hanya dengan sekali lesatan saja, tubuhnya telah berada di dekat Gandara.

"Biarkan Dewa Arak dan kawannya pergi, Gandara," kata Prakasa penuh wibawa.

"Ayah!" sergah Gandara tak mampu menyembunyikan perasaan kaget yang melanda hatinya. "Bagaimana mungkin kau dapat mengambil keputusan seperti itu?! Pendekar keparat itu orang yang telah membunuh guruku, kawan dekat Ayah! Apa pun yang terjadi, dia tak akan kubiarkan lolos!"

"Kau dengar ucapanku, Gandara?! Biarkan Dewa Arak pergi dari sini!" tanpa peduli perasaan tidak senang putranya, Prakasa terus menekan. Bahkan ucapannya kali ini mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah.

"Tapi..., dia pembunuh guruku...! Mana mungkin aku akan membiarkannya lolos begitu saja. Aku telah bersumpah di depan mayatnya, Ayah. Dan aku tak mungkin menarik sumpahku kembali!" Gandara masih mencoba untuk membantah.

"Apakah kau telah demikian lancang berani menentang keputusanku, Gandara?!" suara Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu mulai dingin.

"Bukannya aku bermaksud menentang keputusanmu, Ayah. Tapi..., keputusan yang Ayah ambil sama sekali tak masuk akal. Bahkan tadi Ayah pun telah berjanji untuk mencincang hancur tubuh pembunuh guruku. Tapi, kini mengapa Ayah malah bermaksud membiarkannya lolos?! Apakah Ayah bermaksud menjilat ludah yang telah dikeluarkan?!" Gandara masih mencoba untuk merubah keputusan Prakasa.

"Ada alasan kuat yang mendorongku mengambil keputusan seperti itu, Gandara," jelas Prakasa dengan suara mulai melunak karena teringat janji yang tadi diucapkannya.

"Beritahukanlah padaku, Ayah. Agar hatiku tidak penasaran," pinta Gandara.

"Hhh...!" Prakasa menghembuskan napas berat. Jelas, dia pun merasa berat hati untuk melakukan tindakan seperti itu. Sementara Dewa Arak, Melati, seluruh murid Perguruan Seribu Kepalan, dan terutama sekali Gandara, menunggu keluarnya ucapan Prakasa selanjutnya dengan perasaan tak sabar.

"Kau tahu mengapa Dewa Arak dan kawannya berada di sini, Gandara?" Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu memulai alasan yang mendorongnya membebaskan Dewa Arak, dengan sebuah pertanyaan terhadap Gandara.

"Aku tidak tahu, Ayah," jawab Gandara cepat. Dan memang, pemuda berpakaian kuning ini menjawab secara jujur. Jawaban itu dikeluarkannya tanpa dipikirkan lebih lama lagi, karena Gandara sudah tidak sabar. Dia ingin segera mengetahui alasan yang membuat ayahnya melakukan tindakan yang menurutnya tak masuk akal sama sekali.

"Mereka berdua ada di sini untuk memenuhi undanganku. Kau dengar, Gandara?!" Prakasa sendiri yang menjawab karena Gandara tidak dapat memberikan jawaban. "Kau tahu apa artinya itu?"

Lagi-lagi jawaban yang diberikan Gandara hanyalah gelengan kepala. Memang, saat itu, Gandara sama sekali tak bisa berpikir. Otaknya seperti beku karena tertutup oleh dendam kesumat.

"Artinya mereka berdua tamu-tamuku," lanjut Prakasa lagi. "Dan saat ini mereka berada di tempat kediamanku. Dengan sendirinya keselamatan mereka berdua menjadi tanggung jawabku. Apa kata orang-orang persilatan jika mendengar Dewa Arak dan kawannya tewas di tempatku?! Prakasa tidak bisa melindungi tamunya. Tapi itu masih tidak mengapa! Tuduhan yang lebih keji lagi dapat tersiar bahwa Prakasa berpura-pura mengundang Dewa Arak dan kawannya, padahal sebenarnya bermaksud membunuhnya. Dewa Arak dan kawannya dibunuh secara licik oleh Prakasa. Kehormatanku pun hancur. Sekarang tentu sudah jelas mengapa aku tidak menginginkan kau membunuhnya. Dan apabila kau tetap bersikeras, terpaksa kupertaruhkan nyawaku untuk melindunginya!"

Gandara kontan terdiam. Disadari ada kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah dalam alasan ayahnya. Seketika itu pula urat syaraf dan otot-otot tubuhnya langsung mengendur kembali. Meskipun tidak rela, dia harus membiarkan Dewa Arak lolos. Apabila bersikeras, ayahnyalah yang akan menjadi lawan. Lagi pula, ayahnya bukan tak menginginkan Dewa Arak mendapatkan pembalasan setimpal atas kejahatan yang dilakukannya. Keadaanlah yang menyebabkannya demikian.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas berat Gandara membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Disadari tidak ada gunanya lagi berada di tempat itu. "Cepat kau bawa pergi dia dari tempat ini sebelum aku berubah pikiran," kata Prakasa pada Melati.

Trekkk!

Melati kembali menyarungkan pedangnya. Tepat pada saat itu, Dewa Arak tidak sanggup lagi untuk terus berdiri. Pemuda berambut putih keperakan itu roboh! Kalau saja Melati tidak keburu menangkapnya, tubuhnya tentu telah mencium bumi.

Melati langsung memanggulnya dan membawanya kabur meninggalkan tempat itu. Tak sedikit pun terlontar ucapan terima kasih dari mulutnya. Gadis berpakaian putih itu tahu tak ada hal yang perlu diberikan ucapan terima kasih. Karena dia merasa bahwa pertolongan yang diberikan Prakasa pun tak dilakukan sepenuh hati.

"Hhh...!" Prakasa menghela napas berat. Kepalanya tertunduk menekuri lantai. Sementara kedua tangannya memegang dahi. Jelas, ada beban pikiran yang tengah ditanggungnya.

Sekarang Gandara sudah tidak berada di sini lagi. Dia pergi sehari setelah kejadian lolosnya Dewa Arak dari maut. Dan sejak perginya Gandara dari perguruan itu, Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu jadi sering termenung. Dalam batinnya selalu terjadi perang. Benarkah Dewa Arak yang telah membunuh Tirta Geni? Kalau benar demikian, mengapa?

Sebenarnya sulit bagi Prakasa untuk mempercayainya. Tapi mungkinkah Gandara atau Tirta Geni berbohong? Di saat benaknya tengah berputar keras mencari jawaban bagi masalah itu, didengarnya ada bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempatnya.

Tok, tok, tok...! Terdengar bunyi ketukan di pintu.

"Siapa?" tanya Prakasa tanpa gairah. Tidak seperti biasanya yang selalu kalap apabila ada orang yang mengganggu ketika dirinya berada di ruangan khusus.

"Aku, Wiraja, Guru," jawab si pengetuk pintu.

"Mengapa kau demikian berani menggangguku, Wiraja?" tanya Prakasa masih tenang tanpa bernada ancaman.

"Ampunkan aku, Guru. Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk mengganggumu. Tapi aku tidak tega membiarkan rekan-rekan yang lain tewas dibantai dan...!"

"Apa katamu...?! Cepat beritahukan?!"

Ucapan Wiraja langsung terhenti di tengah jalan ketika tahu-tahu secara mengejutkan daun pintu itu terbuka lebar secara mendadak. Dan di ambang pintu Prakasa berdiri dengan tarikan wajah menyiratkan kekagetan hebat.

"Ada seorang tokoh sesat mengamuk, Guru. Semula dia ingin bertemu Guru. Tapi karena tidak diizinkan, dia mengamuk. Kakang Jaladri dan beberapa orang lainnya tewas di tangannya dan...."

Lagi-lagi Wiraja terpaksa menghentikan ucapannya di tengah jalan karena Prakasa telah melesat meninggalkan tempat itu sebelum dia menyelesaikan semua ceritanya. Hanya dalam beberapa kali lesatan, Prakasa telah bisa melihat kejadian yang diberitahukan Wiraja. Di dekat pintu gerbang tampak sesosok tubuh berpakaian hitam tengah dikeroyok belasan murid-muridnya. Sementara di sekitar tempat itu bergeletakan beberapa sosok tubuh dalam keadaan menyedihkan.

"Aaakh...!" Untuk yang kesekian kalinya, dengan diawali jeritan menyayat hati, salah seorang murid Perguruan Seribu Kepalan terjengkang ke belakang dan ambruk di tanah. Ubun-ubunnya hancur terkena hantaman cakar lawannya.

"Keparat!" Prakasa menggeram melihat pemandangan yang mengerikan di hadapannya. "Minggir semua...!"

Sambil menyerukan perintah demikian, Prakasa langsung melesat menuju kancah pertarungan. Seruan yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi terdengar keras bukan kepalang. Bahkan mampu membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat.

Murid-murid Perguruan Seribu Kepalan tentu saja mengenali suara itu. Mereka segera berlompatan mundur. Sosok hitam itu sama sekali tidak mengejar mereka. Dia hanya berdiri diam di tempatnya dengan kedua tangan disedakapkan di depan dada.

"Kiranya kau, Elang Cakar Lima!" ucap Prakasa dengan perasaan geram ditahan-tahan. "Tidak malukah kau bertarung dengan orang-orang seperti mereka?!"

"Apa boleh buat?! Mereka tak memperbolehkanku menemuimu. Jadi..., terpaksa kupergunakan cara ini untuk memancingmu keluar. Dan kau datang juga!" jawab sosok berpakaian hitam yang ternyata Bang Cakar Lima, dengan sikap tidak peduli.

"Keparat! Kau harus membayar mahal atas semua kekejian yang kau lakukan, Elang Cakar Lima!" desis Prakasa penuh ancaman.

"Hak hak hak...! Kau masih saja sombong dan keras kepala seperti dulu, Prakasa! Dulu saja kau tak mampu membunuhku, apalagi sekarang?!" sahut Elang Cakar Lima penuh ejekan, dengan suara tawanya yang aneh.

"Jadi..., kau bermaksud melanjutkan pertarungan kita yang dulu?!" terka Prakasa.

"Kau kira untuk apa aku bersusah payah kemari?! Menemani kau ngobrol?! Hak hak hak...! Lucu! Lucu sekali! Kau ini kelihatannya saja goblok, padahal sebenarnya dungu, Prakasa!" lagi-lagi Elang Cakar Lima mengejek.

"Keparat! Tak usah banyak cakap, Elang Cakar Lima. Mari kita lanjutkan pertarungan kita yang dulu. Kita buktikan siapa yang lebih unggul! Aku atau kau!" Prakasa yang kalah bersilat lidah, langsung memutuskan pertengkaran itu.

"Hak hak hak...! Kuterima tantanganmu, Prakasa!" sambut Elang Cakar Lima penuh perasaan gembira.

"Hiaaat..!" Begitu mendengar kesiapan Elang Cakar Lima, tanpa menunggu lebih lama lagi, Prakasa langsung melancarkan serangan. Kemarahan yang tengah berkobar membuatnya tidak sabar menunggu lebih lama lagi.

Wuttt!

Angin menderu keras ketika serangan Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu meluncur. Tanpa ragu-ragu lagi, karena tahu kalau lawan yang dihadapinya seorang tokoh amat sakti, Prakasa langsung menggunakan ilmu andalannya, 'Kepalan Seribu'. Prakasa membuka serangannya dengan sebuah pukulan lurus ke dada Elang Cakar Lima.

"Hmh!" Bang Cakar Lima mendengus penuh ejekan melihat serangan lawannya. Meskipun demikian, dia tak berani bertindak sembarangan, karena tahu kedahsyatan yang terkandung dalam serangan perdana Prakasa itu. Itulah sebabnya, dia tidak berani bertindak gegabah.

"Hih!" Elang Cakar Lima menjejakkan kaki. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Prakasa. Sehingga serangan Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu mengenai tempat kosong, lewat di bawah kaki Bang Cakar Lima.

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Elang Cakar Lima. Ketika tengah berada di udara, tubuhnya langsung dijungkir balikkan. Kemudian kedua tangannya dengan kedudukan jari-jari mengembang berbentuk cakar, langsung disampokkan ke bagian belakang kepala Prakasa.

Tentu saja Prakasa tidak membiarkan kepalanya hancur berantakan disampok cakar-cakar Bang Cakar Lima. Dengan cepat ditangkisnya serangan itu dengan kedua tangannya. Untuk melakukan hal ini, Ketua Perguruan Seribu Kepalan ini terpaksa membalikkan tubuhnya ke belakang, mulai dari pinggang ke atas.

Prattt!

Benturan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat itu, tidak terelakkan lagi. Keduanya sama-sama terjengkang ke arah yang berlawanan. Uniknya kedua tokoh sakti itu sama-sama terhuyung ke depan.

Jliggg!

Ketika Elang Cakar Lima mendaratkan kedua kakinya di tanah, Prakasa telah berhasil memperbaiki kedudukannya dan kini keduanya kembali saling berhadapan dalam jarak tiga tombak.

Tapi hanya sesaat pertarungan itu terhenti. Sesaat kemudian keduanya telah saling menerjang kembali. Baik Prakasa maupun Bang Cakar Lima langsung mengeluarkan ilmu andalannya. Prakasa mengeluarkan ilmu 'Kepalan Seribu'nya, sedangkan Bang Cakar Lima menggunakan ilmu 'Cakar Elang'nya.

Akibat selanjutnya sudah dapat diterka. Bunyi menderu dan mencicit yang terjadi setiap kali kedua tokoh tua itu menggerakkan tangan atau kaki langsung terdengar. Hal itu membuat murid-murid Perguruan Seribu Kepalan menyaksikan jalannya pertarungan dari jarak yang aman. Karena mereka tahu, sambaran angin serangan Prakasa dan Elang Cakar Lima cukup dahsyat, mampu mengirim nyawa mereka ke neraka.

Untuk yang kedua kalinya di areal Perguruan Seribu Kepalan terjadi pertarungan yang menggiriskan hati. Kalau sebelumnya, tokoh-tokoh muda yang bertarung, kali ini tokoh-tokoh tua saling menyabung nyawa.

Jurus demi jurus berlangsung demikian cepat. Baik Elang Cakar Lima maupun Prakasa memang memiliki gerakan yang cepat. Tak aneh kalau murid-murid Perguruan Seribu Kepalan sama sekali tidak bisa melihat jelas pertarungan yang tengah berlangsung. Yang terlihat hanya sosok bayangan biru dan hitam yang saling belit satu sama lain. Hanya sesekali saja kedua sosok bayangan itu saling pisah.

Dalam waktu sebentar saja, lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak salah satu pihak yang terdesak. Pertarungan masih berlangsung im-bang. Masing-masing pihak saling berganti mengirimkan serangan. Elang Cakar Lima menggertakkan gigi ketika pertarungan telah berlangsung hampir seratus jurus belum juga mampu mendesak lawannya.

Padahal semula dia begitu yakin akan mampu mengalahkan Prakasa setelah melihat Macan Terbang Berekor Sembilan berhasil mengalahkan Tirta Geni. Elang Cakar Lima sama sekali tidak tahu kalau seperti juga dirinya, Prakasa pun giat berlatih. Hal seperti itu tidak dilakukan oleh Tirta Geni.

Itulah sebabnya, Tirta Geni dapat dikalahkan oleh Macan Terbang Berekor Sembilan. Ketika seratus lima belas jurus telah berlalu, dan tetap belum mampu mendesak Prakasa, Elang Cakar Lima mulai kehilangan kesabaran.

Diputuskan menggunakan cara lain untuk merobohkan lawannya. Dan hal ini memang telah dipersiapkannya jauh-jauh hari. Dan kesempatan untuk melaksanakan niat itu terbuka di jurus keseratus dua puluh satu.

"Hih!" Sambil melempar tubuhnya ke belakang, Elang Cakar Lima mengibaskan tangannya. Seketika itu pula beberapa buah benda bulat sebesar telur bebek meluncur ke tubuh Prakasa. Padahal saat itu tubuh Ketua Perguruan Seribu Kepalan tengah berada di udara dalam usahanya untuk mengejar Elang Cakar Lima yang menjauhkan diri.

Karuan saja hal itu membuat Prakasa terkejut bukan kepalang. Kedudukan tubuhnya yang tengah melayang di udara, menyulitkanya untuk mengelakkan serangan itu. Jalan satu-satunya untuk mematahkan serangan itu hanya dengan menangkisnya. Dan hal itulah yang kini dilakukan Prakasa.

Srat!

Secepat kilat pedang yang tergantung di punggung dicabutnya. Kemudian secepat itu pula diayunkan untuk memapak benda-benda bulat yang tengah meluncur ke arahnya.

Darrr!

"Akh...!" Prakasa menjerit ngeri ketika benda bulat itu meledak ketika membentur mata pedangnya. Kekuatan ledakannya begitu dahsyat sehingga mampu membuat tubuhnya terjengkang. Tangannya yang menggenggam pedang pun seperti lumpuh. Sedangkan benda-benda bulat lainnya terus meluncur. Dan satu di antaranya menuju ke arahnya.

Darrr!

"Aaakh...!" Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Prakasa ketika benda bulat itu menghantam telak dadanya. Dan akibatnya benar-benar menggiriskan. Tubuh Ketua Perguruan Seribu Kepalan ini langsung tercerai berai menjadi potongan-potongan daging. Seketika itu pula, nyawanya melayang meninggalkan raga.

Sementara itu, beberapa benda bulat lainnya meluncur ke tempat murid-murid Perguruan Seribu Kepalan. Karuan saja kerumunan itu langsung berantakan. Mereka bergegas berlompatan menjauhkan diri dan bergulingan di tanah.

Darrr, darrr, darrr...!

Tindakan penyelamatan diri yang dilakukan murid-murid Perguruan Seribu Kepalan itu tak sia-sia. Mereka semuanya berhasil selamat. Dengan wajah pucat mereka bangkit. Semuanya bersiap untuk menghadapi serangan selanjutnya.

"Hak hak hak...!"

Tapi ternyata Elang Cakar Lima tidak berminat untuk membunuh mereka. Sambil mengeluarkan tawa yang aneh terdengar telinga, tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Sekarang murid-murid Perguruan Seribu Kepalan itu mempunyai kesempatan melihat keadaan sang Ketua sekaligus guru mereka.

"Guru...!" seru mereka serempak dengan hati pilu melihat keadaan mayat Prakasa yang demikian menyedihkan. Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu tewas karena tidak menyangka kalau lawannya menggunakan siasat licik seperti itu. Sungguh tidak disangkanya kalau benda-benda bulat sebesar telur bebek itu merupakan benda-benda peledak!

Hal itu terjadi karena dia belum pernah bertarung menghadapi lawan yang menggunakan senjata seperti itu. Kini suasana kembali hening. Murid-murid Perguruan Seribu Kepalan nampak sedih menyaksikan kejadian yang sangat mencekam itu.

* * *

ENAM

"Keparat! Di mana bersembunyinya jahanam-jahanam itu?! Awas kalau bertemu akan kuhancurkan kalian, Dewa Arak, Elang Cakar Lima!" desis Gandara penuh geram sambil mengepalkan kedua tangannya sehingga menimbulkan bunyi gemeretak keras.

Masih dengan mulut yang tak henti-hentinya mengutuk Dewa Arak dan Elang Cakar Lima, Gandara mengayunkan langkah. Kepalanya yang tertunduk menekuri tanah menjadi pertanda adanya beban yang menggayuti batinnya.

"Maafkan aku, Ayah! Kalau aku tidak pergi meninggalkanmu secepat itu, tak akan mungkin kau akan tewas secara mengerikan di tangan Elang Cakar Lima. Tapi percayalah, Ayah! Akan kucari Elang Cakar Lima! Dan akan kulumatkan tubuhnya!" desah Gandara penuh sesal.

Memang, Gandara telah mengetahui nasib yang menimpa ayahnya. Hal itu didengarnya dari mulut murid-murid Perguruan Seribu Kepalan yang masih tinggal. Kepulangan Gandara ke Perguruan Seribu Kepalan sebenarnya untuk meminta maaf pada ayahnya atas kepergiannya yang tanpa pamit.

Sama sekali tak disangkanya kalau ternyata Prakasa telah tewas secara mengenaskan. Dan sekarang, peristiwa kematian ayahnya telah berlalu sepuluh hari. Namun Gandara belum mampu menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Dewa Arak dan Elang Cakar Lima!

Tiba-tiba dahi Gandara berkernyit ketika melihat pemandangan di hadapannya. Betapa tidak? Nampak dari kejauhan serombongan orang berlari-lari menuju ke arahnya. Melihat gerakan mereka, diketahuinya kalau orang-orang itu bukan dari golongan persilatan. Dan keyakinan Gandara akan kebenaran dugaannya semakin menguat ketika melihat keberadaan wanita dan anak-anak di dalam rombongan yang tengah berlari-lari itu. Gandara langsung bersikap tanggap.

Dia tahu, kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin mereka melakukan tindakan seperti itu. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi terhadap mereka. Sesaat kemudian Gandara telah melesat ke depan. Dia ingin menghadang rombongan orang yang tengah menuju ke arahnya. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Gandara telah berada di hadapan orang-orang itu.

"Apa yang terjadi, Ki? Mengapa kalian semua ketakutan seperti itu?"

Gandara langsung mengajukan pertanyaan pada orang yang berdiri paling depan. Seorang laki-laki setengah baya berkulit hitam legam. Meskipun demikian, pemuda berpakaian kuning itu masih menyempatkan diri untuk melihat wajah-wajah di sekelilingnya. Nampak tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan ada dalam rombongan itu. Seketika itu, Gandara tahu kalau rombongan orang ini para penduduk desa.

"Ada macan mengamuk, Anak Muda. Seekor macan loreng besar," jawab laki-laki berkulit hitam itu dengan napas terengah-engah.

Kemudian tanpa mempedulikan Gandara yang tertegun mendengar pemberitahuannya, laki-laki berkulit hitam itu terus berlari, diikuti orang-orang di belakangnya. Sementara itu Gandara masih bertanya-tanya dalam hati. Harimau loreng besar! Dari mana datang nya? Bukankah Desa Rotan ini jauh dari hutan? Mungkinkah macan itu tersasar sedemikian jauhnya? Rasanya aneh!

Lagi pula, apakah tidak ada orang yang memiliki kepandaian di Desa Rotan itu? Rasanya tidak sutit untuk menangkap macan itu jika dilakukan secara beramai-ramai. Perasaan heran yang melanda membuat Gandara mengambil keputusan untuk masuk ke Desa Rotan dan melihat sendiri macan yang tengah mengamuk itu.

Disadari kalau orang-orang itu tengah dilanda rasa takut dan ingin lari sejauh-jauhnya dari tempat itu. Jadi, Gandara tidak sampai hati untuk menyuruh salah seorang dari mereka berhenti untuk dimintai keterangan.

Setelah mantap dengan keputusannya, Gandara langsung melesat ke Desa Rotan. Di sepanjang perjalanan ditemuinya rombongan penduduk yang berserabutan berlari keluar dari desa mereka. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Gandara berhasil menemukan apa yang dicarinya. Tak jauh di hadapannya tampak seekor harimau loreng dan besar tengah menggeragoti tubuh seorang penduduk yang rupanya tidak sempat melarikan diri.

Bukan hanya satu orang saja yang dilihat Gandara. Di sepanjang jalan utama desa itu tampak berserakan sosok-sosok tubuh dalam keadaan mengerikan. Bahkan ada di antara mereka yang mengenakan pakaian silat. Sementara senjata-senjata tajam berserakan di sana-sini. Berarti, sebelumnya telah terjadi pertarungan antara para penduduk dengan macan loreng itu tapi mereka tak mampu menghadapinya.

Harimau itu rupanya mengetahui kehadiran orang lain di dekatnya. Terbukti, perhatian terhadap mangsanya dialihkan. Kini binatang yang lebih dikenal dengan julukan raja hutan itu menatap Gandara dengan sinar mata garang. Tapi Gandara sama sekali tak gentar. Baginya, macan bukan binatang yang perlu ditakuti. Dengan mudah dia dapat membunuhnya. Itulah sebabnya dia tetap bersikap tenang.

"Auuummm...!" Diawali auman keras yang menggetarkan jantung, harimau loreng itu menerkam Gandara. Gerakannya begitu cepat bagaikan luncuran sebatang anak panah.

Tapi bagi Gandara gerakan harimau itu tidak terlalu cepat. Hanya dengan melangkahkan kakinya ke kanan sambil mendoyongkan tubuh, dia telah mampu membuat serangan harimau itu lewat di samping kirinya. Namun mendadak terjadi sebuah kejadian yang membuat Gandara terkejut bukan kepalang.

Betapa tidak? Dengan sebuah gerakan yang luar biasa, setelah serangan perdananya lolos, harimau itu melancarkan serangan susulan ketika tubuhnya melayang di udara. Kaki kiri depannya dengan cepat di sampokkan ke pelipis Gandara.

Wuttt!

Gandara tak berani bertindak gegabah. Disadari kalau sampokan seekor macan bertubuh sebesar ini pasti mengandung tenaga luar biasa. Sampokan itu dapat mematahkan tulang leher! Itulah sebabnya buru-buru dilakukannya lompatan harimau ke depan. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Gandara baru bangkit ketika berada dalam jarak beberapa tombak dari tempat sebelumnya.

Baru saja Gandara membalikkan tubuhnya, serbuan harimau loreng itu kembali meluncur. Hal ini membuat Gandara terkejut bukan kepalang. Hatinya mulai sadar kalau harimau ini bukan binatang sembarangan, dan pasti peliharaan seorang tokoh sakti! Hal itu bisa dilihat dari serangannya yang seperti mengetahui gerakan ilmu silat!

Namun Gandara tidak merasa kewalahan. Seperti juga sebelumnya, tanpa kesulitan serangan yang dilan-carkan binatang itu dapat dielakkannya. Lagi pula, sampai di mana lihainya seekor binatang mempelajari ilmu silat?

"Auuuummm...!"

Untuk yang kesekian kalinya, kembali harimau loreng itu melompat menerkam Gandara. Kali ini pemuda berpakaian kuning itu pun ikut menerkam pula. Bahkan dengan gerakan yang sama seperti macan itu.

Namun ketika tubuhnya hampir beradu dengan harimau itu, dengan sebuah gerakan manis, Gandara bersalto di udara. Dan ketika meluncur turun ke tubuh harimau yang masih melayang itu, kedudukan tubuhnya telah berubah. Sekarang kepalanya berada di bawah dan kakinya di atas. Lalu dengan kedua telapak tangan terbuka dihantamnya sisi kanan kiri kepala binatang itu.

Prakkk!

Terdengar bunyi berderak keras ketika kedua tangan Gandara mendarat pada sasarannya. Seketika itu pula raja hutan itu hancur berantakan. Tanpa sempat meraung lagi, harimau loreng besar itu pun mati. Darah bercampur otak mengalir deras dari kepalanya yang pecah.

Brukkk!

Hampir berbarengan dengan jatuhnya tubuh harimau loreng itu, Gandara mendaratkan kedua kakinya secara manis di tanah. Ditatapnya sejenak bangkai binatang buas itu. Lalu diayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Tapi baru beberapa langkah, terdengar suara bentakan penuh kegeraman dari belakangnya.

"Keparat jahanam! Sungguh berani kau membunuh binatang kesayanganku!"

Seketika itu pula Gandara membalikkan tubuhnya dan bersikap waspada. Dari bentakan itu bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam pemiliknya. Bentakan itu keras menggelegar, dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Ditambah lagi suaranya yang parau. Bentakan itu pun semakin terdengar menggiriskan. Dalam jarak sekitar lima tombak dari Gandara, berdiri seorang kakek berompi kulit harimau. Siapa lagi kalau bukan Macan Terbang Berekor Sembilan?!

"Ooo..., rupanya kau pemilik binatang itu?!" tanya Gandara kalem seakan-akan tidak mempedulikan kemarahan Macan Terbang Berekor Sembilan.

"Benar!" sahut Macan Terbang Berekor Sembilan dengan suara parau. "Dan kau akan mendapat ganjaran atas tindakanmu itu."

"Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang menjadi korban macanmu itu?! Apakah mereka tidak berhak menuntut balas?!" sambut Gandara, cerdik.

"Apa pedulimu dengan nasib mereka?!" tandas Macan Terbang Berekor Sembilan, geram.

"Kalau begitu, apa pula peduliku pada nasib harimau itu!" timpal Gandara dengan berani.

"Keparat! Kucincang kau!" Usai berkata demikian, Macan Terbang Berekor Sembilan langsung menerjang Gandara. Kakek berompi kulit harimau ini membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus terarah ke pusar lawan.

Wuttt!

Gandara bersikap tenang. Kemenangannya terhadap Dewa Arak membuatnya yakin akan kemampuan dirinya. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu dipapaknya tendangan Macan Terbang Berekor Sembilan dengan telapak tangan kanannya.

"Hiaaat..!"

Plak, plak, plak!

Benturan keras bertubi-tubi terdengar ketika kaki dan tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu berbenturan. Tidak hanya sekali saja benturan itu terjadi. Karena begitu serangan pertamanya berhasil dipatahkan, Macan Terbang Berekor Sembilan melanjutkannya dengan tendangan miring, masih dengan kaki yang sama. Bahkan tendangan itu dilakukannya berkali-kali. Namun, semuanya berhasil ditangkis Gandara.

"Keparat! Pantas kau berani bersikap demikian sombong! Rupanya kau mempunyai sedikit kepandaian, Bangsat Kecil?!"

"Itu belum seberapa, Bangsat Besar! Kau akan melihat yang lebih daripada ini nanti?!" sambut Gandara yang bermaksud mempermainkan lawannya.

Karuan saja ejekan Gandara membuat kemarahan Macan Terbang Berekor Sembilan semakin bergelora. Dan dengan amarah meluap-luap diterjangnya pemuda berpakaian kuning itu. Terjangan Macan Terbang Berekor Sembilan langsung mendapatkan sambutan hangat Gandara. Dan pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.

Macan Terbang Berekor Sembilan benar-benar bermaksud untuk membunuh Gandara. Setiap serangan yang dilancarkannya selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. Itu pun masih ditambah lagi dengan pengerahan seluruh tenaga dalam setiap kali melancarkan serangan.

Sehingga setiap serangannya begitu dahsyat. Untuk beberapa gebrakan, Gandara agak kewalahan karena dia berada di pihak yang diserang. Dan serangan Macan Terbang Berekor Sembilan yang bertubi-tubi membuatnya tak sempat untuk melancarkan serangan balasan. Yang dapat dilakukannya hanya mengelak dan menangkis serangan-serangan lawannya.

Tapi baru beberapa jurus menyerang, mendadak Macan Terbang Berekor Sembilan menghentikan desakannya. Tentu saja hal ini membuat Gandara heran, dan segera menghentikan gerakannya pula.

"Apa hubunganmu dengan Tirta Geni, Bangsat Kecil?!" tanya Macan Terbang Berekor Sembilan sambil menatap wajah Gandara penuh selidik.

"Ah! Rupanya kau mengenai guruku, Bangsat Besar?! Tapi, kau tidak usah takut, guruku tidak ada di sini. Lagi pula aku pun sudah cukup untuk mengirim nyawamu ke akhirat!" ejek Gandara.

"Ha ha ha...!" Macan Terbang Berekor Sembilan langsung tertawa bergelak mendengar jawaban pemuda berpakaian kuning itu.

Karuan saja hal itu membuat Gandara heran. Mengapa kakek berompi kulit harimau ini malah tertawa? Bahkan terlihat demikian geli? Apakah ada hal yang lucu dalam ucapannya tadi? Dicobanya untuk mencari apa ada kata-katanya yang mungkin lucu sehingga membuat kakek berompi kulit harimau itu tertawa. Tapi tetap saja tidak ditemukannya.

"Mengapa kau tertawa, Bangsat Besar?! Ada yang lucu?!" Meskipun rasa ingin tahunya demikian besar, Gandara mencoba bersikap tak peduli. Bahkan pertanyaan itu seperti diajukan sambil lalu.

"Kau lucu sekali, Bangsat Kecil?! Kau kira aku takut pada gurumu?! Ha ha ha...! Apakah kau tidak tahu kalau gurumu itu sudah tewas?! Dan tahukah kau, siapa yang telah membunuhnya! Aku! Macan Terbang Berekor Sembilan! Akulah yang membunuh gurumu! Dan kini kau, muridnya, berani main gila di hadapanku?! Gurumu sendiri bukan lawanku, apalagi kau!"

Ucapan ucapan Macan Terbang Berekor Sembilan laksana ledakan halilintar yang bertubi-tubi menyambar di telinga Gandara. Demikian mengejutkan dnn bertubi-tubi. Pembunuh gurunya ternyata kakek ini? Macan Terbang Berekor Sembilan? Lalu mengapa gurunya mengatakan Dewa Arak pembunuhnya? Mana yang benar di antara mereka? Gurunya atau Macan Terbang Berekor Sembilan? Macan Terbang Berekor Sembilan...?!

Julukan tokoh ini tidak asing bagi telinganya. Gurunya banyak bercerita banyak tentang tokoh ini. Seorang datuk golongan hitam yang belasan tahun lalu hampir tewas di tangan gurunya kalau tidak keburu melarikan diri dalam keadaan terluka.

"Kau bohong, Macan Terbang!" sentak Gandara, keras.

"Aku bohong?! Ha ha ha...! Kalau kau tidak percaya, temuilah gurumu. Aku yakin mayatnya masih ada sekarang. Gurumu telah kubunuh, tahu! Dan sekarang kau yang akan menerima gilirannya!" tandas Macan Terbang Berekor Sembilan, keras.

"Aku tahu guruku tewas, tapi bukan kau pembunuhnya. Aku tahu itu!"

Dengan terbata-bata, Gandara membantah keterangan Macan Terbang Berekor Sembilan. Dan hal itu bukan tanpa alasan. Kalau benar Macan Terbang Berekor Sembilan yang membunuhnya, berarti dia telah melakukan sebuah kesalahan besar terhadap Dewa Arak! Bukan tidak mungkin sekarang pemuda berambut putih keperakan itu telah tewas apabila tidak segera mendapatkan perawatan.

Itulah sebabnya, mengapa Gandara berusaha membantah keterangan Macan Terbang Berekor Sembilan. Rasanya dia lebih ingin agar Dewa Araklah yang melakukan pembunuhan terhadap gurunya. Agar dia tidak kesalahan tangan telah melukai orang yang tidak bersalah.

"Kau tahu siapa pembunuh gurumu, Bangsat Kecil?! Apakah kau melihatnya, hah?!"

Macan Terbang Berekor Sembilan jadi berang bukan kepalang mendengar omongannya tidak dipercaya. Meskipun dirinya seorang datuk sesat, pantang baginya untuk berbohong. Dan yang membuatnya tersinggung bukan kepalang adalah karena kemenangannya terhadap Tirta Geni, orang yang telah mengalahkannya, tidak dipercaya orang! Bahkan Gandara menganggap orang lain yang telah membunuh Tirta Geni! Tentu saja hatinya menjadi kalap!

"Aku memang tidak melihatnya! Tapi aku mengetahui pembunuhnya dari mulut guruku...," Gandara masih mencoba berkelit dari kesalahan.

"Dari mulut gurumu? Apa yang dikatakan tua bangka gila itu, heh?!" tanya Macan Terbang Berekor Sembilan ingin tahu. "Apakah dia tetap tidak mengakui kekalahannya terhadap diriku?!"

"Dia mengatakan kalau pembunuhnya Dewa Arak," makin pelan suara Gandara karena perasaan khawatir yang melanda hatinya.

"Ha ha ha...! Dewa Arak?! Lucu! Lucu sekali! Apa urusannya Dewa Arak membunuhnya, Monyet Goblok? Dewa Arak tokoh golongan putih seperti juga gurumu! Mana mungkin dia membunuhnya?! Lagi pula, belum tentu Dewa Arak mengenal gurumu! Apalagi tempat tinggalnya! Dasar, Manusia Berotak Udang! Kau telan mentah-mentah saja ucapan gurumu? Dasar, Pemuda Dungu! Entah gurumu yang sudah mabuk, atau kupingmu yang sudah rusak!"

"Diam! Guruku tidak mabuk! Dan telingaku tidak rusak! Kau dengar itu?!" bentak Gandara keras.

Tapi orang seperti Macan Terbang Berekor Sembilan mana bisa digertak! Dia terus saja tertawa-tawa mengejek Gandara.

"Ha ha ha...! Luar biasa! Sama sekali tidak kusangka kalau Tirta Geni demikian sombong! Rupanya dia tidak ingin kekalahannya padaku diketahui orang hingga dia mengarang cerita bohong! Tapi..., mengapa Dewa Arak yang harus difitnahnya? Bukankah aku pun ingin membunuh Dewa Arak pula?!" Macan Terbang Berekor Sembilan pun tenggelam dalam alam masalah rumit yang mulai membelit.

Dan masalah yang tengah melanda, membuat Gandara dan Macan Terbang Berekor Sembilan jadi melupakan perkelahian mereka.

"Bisakah kau membuktikan kalau kau adalah pelaku pembunuhan terhadap guruku?!" tanya Gandara akhirnya.

"Tentu saja bisa, Bangsat Kecil!" sambut Macan Terbang Berekor Sembilan cepat.

"Apa?!" desak Gandara tidak sabar.

TUJUH

Macan Terbang Berekor Sembilan tak segera menjawab pertanyaan itu. Disadari kalau Gandara tengah dilanda rasa ingin tahu yang amat sangat. Dan dia ingin membuat pemuda berpakaian kuning itu jengkel.

Tapi Gandara tidak kalah cerdik. Dia tahu kalau Macan Terbang Berekor Sembilan sengaja menunda jawaban karena ingin memhuatnya jengkel. Dan memang, pemuda berpakaian kuning ini mendongkol karenanya. Namun diusahakan untuk tidak menampakkannya. Bahkan sebaliknya dilontarkan bantahan yang menyengat telinga Macan Terbang Berekor Sembilan.

"Nah! Sekarang terbukti bukankah kau hanya membual? Begitu kutanyakan buktinya, kau hanya diam dan tak mampu membuktikan. Jangan-jangan kau tengah mencari bualan baru lagi?!"

"Kau memang pandai bersilat lidah, Bangsat Kecil. Baiklah, akan kuberitahukan buktinya. Kedua tangan gurumu memar-memar. Bagian perut dan dadanya pun terobek lebar. Itu karena terkena cengkeraman tanganku. Dan yang perlu kau ketahui, aku sengaja tidak memberikan serangan terakhir pada gurumu karena aku tahu tanpa diserang lagi pun dia akan tewas," jelas Macan Terbang Berekor Sembilan panjang lebar. "Jelas?!"

"Jahanam! Jadi kau yang telah membunuh guruku! Bersiaplah untuk menerima pembalasannya!" geram Gandara dengan sekujur tubuh bergetar keras menaham amarah.

"Dan perlu juga kau ketahui, Bangsat Kecil. Ada saksi yang melihat aku membunuh gurumu. Dia adalah Elang Cakar Lima! Sebagai tambahannya perlu juga kuberitahukan kalau aku dan Elang Cakar Lima tengah berlomba untuk lebih dulu membunuh Dewa Arak! Dan kesepakatan itu kami ambil di saat gurumu tengah sekarat! Dan untuk memancing kehadiran Dewa Arak, telah kubuat kekacauan di mana-mana. Begitu pula di sini!" lanjut Macan Terbang Berekor Sembilan tetap tenang seakan-akan tidak mengetahui kalau Gandara tengah dilanda amarah.

Deggg!

Gandara terkejut bukan kepalang. Ucapan lanjutan Macan Terbang Berekor Sembilan laksana sambaran halilintar di dekat telinganya. Benaknya langsung merangkai rentetan kejadian itu, dan dihubungkan dengan kematian gurunya. Dan sekarang dia baru mengerti maksud ucapan gurunya. Tirta Geni belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika maut telah lebih dulu merenggut nyawanya.

Kini bisa ditebak maksud ucapan terakhir gurunya. Ya! Tirta Geni pasti bermaksud menyuruhnya memberitahukan Dewa Arak akan adanya ancaman bahaya besar! Namun, karena tidak lengkap, Gandara mengartikannya lain. Seketika itu pula timbul rasa menyesal yang amat sangat dalam hati pemuda berpakaian kuning itu. Dia telah menjatuhkan tangan jahat pada Dewa Arak. Padahal pendekar muda itu sama sekali tidak bersalah.

Ternyata semua itu akibat perbuatan Macan Terbang Berekor Sembilan. Sebagai akibatnya, kebencian terhadap Macan Terbang Berekor Sembilan semakin bertumpuk-tumpuk. Dendam karena Macan Terbang Berekor Sembilan telah membunuh Tirta Geni, ditambah lagi akibat perbuatan Macan Terbang Berekor Sembilan itu Dewa Arak yang mendapat susahnya.

"Kubunuh kau...! Hiyaaat..!"

Diawali teriakan nyaring memekakkan telinga, Gandara melompat menerjang Macan Terbang Berekor Sembilan. Dalam kemarahannya, tanpa ragu-ragu dikeluarkan ilmu 'Kelabang Seribu' andalannya. Laksana sehelai daun kering yang ditiup angin, tubuh pemuda berpakaian kuning itu meluncur ke tubuh Macan Terbang Berekor Sembilan. Dan ketika telah dekat, jari-jari tangannya meluncur ke arah tenggorokan dan ulu hati lawan.

Macan Terbang Berekor Sembilan terkejut bukan kepalang melihat model serangan Gandara. Sama sekali tidak disangkanya kalau pemuda berpakaian kuning ini memiliki ilmu yang demikian dahsyat. Bahkan angin serangannya saja sudah membuat tubuh Macan Terbang Berekor Sembilan hampir terjungkal.

Sadar akan kedahsyatan ilmu lawan, Macan Terbang Berekor Sembilan tidak berani bertindak gegabah. Dia belum tahu perkembangan dan kedahsyatan ilmu lawannya. Adalah merupakan tindakan gegabah kalau serangan itu ditangkisnya. Itulah sebabnya, Macan Terbang Berekor Sembilan memutuskan untuk mengelak. Tanpa membuang-buang waktu, segera tubuhnya dilempar ke belakang dan berjumpatitan di udara.

Gila! Hampir-hampir Macan Terbang Berekor Sembilan tidak percaya akan pandangan matanya sendiri! Betapa tidak? Menurutnya, begitu serangannya gagal, Gandara akan mendarat di tanah! Tapi ternyata tidak. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu terus melayang mengikuti ke mana Macan Terbang Berekor Sembilan mengelak, laksana seekor burung! Inilah kehebatan ilmu 'Kelabang Seribu'. Mau tak mau Macan Terbang Berekor Sembilan terus bersalto agar bisa lolos dari serangan maut Gandara.

Tapi seperti bayangan, Gandara terus melayang mengikuti ke mana Macan Terbang Berekor Sembilan melayang. Sebuah pemandangan yang aneh pada sebuah pertarungan. Macan Terbang Berekor Sembilan terus-menerus bersalto, sementara di belakangnya Gandara senantiasa mengejarnya. Akhirnya Macan Terbang Berekor Sembilan sadar, tak ada gunanya lagi terus-menerus mengelak. Maka diputuskan untuk menangkis serangan itu dengan mengerahkan seluruh tenaganya.

Duggg...!

Bunyi keras seperti terjadinya benturan antara dua logam terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat itu beradu. Akibatnya, tubuh Macan Terbang Berekor Sembilan dan Gandara sama-sama terjengkang ke belakang. Namun dengan bersalto beberapa kali di udara, keduanya berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung. Dan secepat kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung berhasil dipatahkan, secepat itu pula keduanya saling terjang kembali.

Seperti juga Gandara, tanpa ragu-ragu lagi Macan Terbang Berekor Sembilan pun mengeluarkan ilmu andalannya, 'Macan Terbang'! Ilmu 'Macan Terbang' milik Macan Terbang Berekor Sembilan memang bukan hanya hebat namanya saja. Dalam penggunaan ilmu itu, Macan Terbang Berekor Sembilan benar-benar bagaikan seekor harimau bersayap. Begitu ringan dan mudah tubuhnya berlompatan ke sana kemari. Lompatan dan gerakan-gerakan yang bagaimanapun sulitnya dapat dengan mudah dilakukannya.

Pertarungan kedua tokoh ini benar-benar menarik. Mereka tak ubahnya dua ekor burung besar yang saling bertarung. Jarang sekali keduanya menjejakkan kaki di tanah. Dari sini saja bisa diperkirakan ketinggian ilmu meringankan tubuh yang dimiliki mereka berdua.

Pertarungan semakin seru dan hebat. Bunyi mencicit, menderu, dan mengaung yang timbul akibat pergerakan tangan atau kaki kedua tokoh sakti itu semakin menambah semarak jalannya pertarungan.

Karena Gandara dan Macan Terbang Berekor Sembilan mempunyai gerakan sama-sama cepat, tidak aneh kalau pertarungan pun berlangsung cepat. Dalam sekejap enam puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak ada yang terdesak. Pertarungan masih berlangsung imbang.

Tapi memasuki jurus kesembilan puluh, mulai tampak keunggulan Macan Terbang Berekor Sembilan. Dengan berbekal pada pengalaman bertarungnya yang tidak sedikit, secara perlahan-lahan Macan Terbang Berekor Sembilan mulai mampu menekan perlawanan Gandara.

Memang dalam hal tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, kedua tokoh yang berbeda usia dan aliran ini berimbang. Tapi dalam pengalaman bertarung Gandara kalah jauh. Dan dengan keunggulan ini Macan Terbang Berekor Sembilan berusaha mendesak terus.

Seiring dengan semakin lamanya pertarungan, keadaan Gandara semakin terdesak. Kini dia mulai bermain mundur. Dan hal ini membuat Macan Terbang Berekor Sembilan semakin bersemangat untuk secepat mungkin merobohkan lawannya.

Gandara menggertakkan gigi menahan geram. Sama sekali tidak disangkanya kalau Macan Terbang Berekor Sembilan akan selihai ini. Pantas saja gurunya tewas. Dia saja yang oleh gurunya dikatakan sudah memiliki kepandaian di atas gurunya, dibuat kewalahan, apalagi Tirta Geni!

Namun Gandara tak putus asa. Bahkan keadaannya yang semakin terhimpit dijadikan kesempatan untuk merobohkan lawannya. Dan hal itu bukan tanpa alasan. Gandara mempunyai sebuah senjata yang sangat ampuh.

Betapa tidak? Gandara dapat meminjam tenaga dari bumi yang dapat digunakannya sewaktu-waktu. Tirta Geni menamakannya 'Tenaga Inti Bumi'. Dan tenaga itu didapatkan Gandara karena pemusatan pikirannya setiap kali bersemadi.

Dan Gandara telah membuktikan sendiri kedahsyatan tenaga itu. Korban pertama kedahsyatan 'Tenaga Inti Bumi' adalah Dewa Arak! Hanya dengan sekali gebrak saja pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan itu dapat dirobohkannya. Sekarang Gandara akan melakukannya kembali. Dan calon korbannya kali ini adalah Macan Terbang Berekor Sembilan.

Meskipun demikian, Gandara tidak terlalu terburu nafsu. Dia tahu, sekali saja percobaannya ini gagal, sulit baginya untuk mendapatkan kesempatan kedua. Karena sudah pasti lawan akan berhati-hati. Itulah sebabnya, Gandara menunggu kesempatan yang baik.

Dan kesempatan seperti itu akhirnya tiba! Itu terjadi pada jurus keseratus tiga belas. Dengan sebuah siasat jitu, Gandara berhasil membuat keadaannya terpojok. Tubuhnya jatuh telentang di tanah akibat desakan lawan yang terlaiu bertubi-tubi.

Macan Terbang Berekor Sembilan yang sudah sangat bernafsu untuk merobohkan lawannya, tidak memberikan kesempatan pada Gandara untuk memperbaiki kedudukannya. Buru-buru diterjangnya dada Gandara dengan gedoran tangan kanan.

Wuttt!

Saat itulah yang dinanti-nantikan Gandara. Begitu serangan Macan Terbang Berekor Sembilan meluncur dekat, buru-buru tangan kirinya ditepakkan ke bumi. Dalam tepakan ini, Gandara mengambil tenaga dari bumi. Setelah itu dipapaknya serangan Macan Terbang Berekor Sembilan dengan tangan kanannya.

Wusss!

Hembusan angin dahsyat ketuar dari tangan Gandara. Karuan saja hal ini membuat Macan Terbang Berekor Sembilan terkejut bukan kepalang. Sebagai seorang datuk yang telah penuh pengalaman, dia langsung tahu, Gandara mempunyai kekuatan berlipat ganda. Sadar akan adanya bahaya besar yang tengah mengancamnya, Macan Terbang Berekor Sembilan berusaha menarik kembali serangannya. Tapi....

Wuttt!

Begitu serangan datuk sesat itu sudah dekat, tangan kiri Gandara segera menepak ke bumi.

Wusss!

Tiba-tiba angin yang sangat dahsyat berhembus keras dari tangan kanan Gandara. Merasakan adanya bahaya besar, datuk sesat itu ingin menarik kembali serangannya. Tapi sudah terlambat...

Blarrr! Blarrr!

"Aaakh...!" Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Macan Terbang Berekor Sembilan seiring dengan luncuran tubuhnya ke belakang. Keadaan kakek berompi kulit harimau ini laksana sehelai daun kering tertiup angin keras. Tubuhnya melayang-layang jauh. Dari mulut, hidung, dan telinganya keiuar darah segar.

Brukkk!

Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh Macan Terbang Berekor Sembilan jatuh di tanah setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak. Tapi, kakek berompi kulit harimau ini memang bukan tokoh sembarangan. Dalam keadaan terluka parah seperti itu dia masih berusaha untuk bangkit meskipun dengan susah-payah. Namun sebelum usahanya berhasil, tahu-tahu di sebelah kirinya telah berdiri Gandara.

"Bersiap-siaplah, Macan Terbang. Sekarang saatnya kau menerima pembalasan dariku atas kekejianmu terhadap guruku!" terdengar dingin ucapan Gandara.

Usai berkata demildan, pemuda berpakaian kuning itu lalu meletakkan kakinya di atas dada Macan Terbang Berekor Sembilan. Dan sekali kaki itu bergerak menekan, terdengar bunyi gemeretak keras tulang-belulang yang hancur berantakan. Seketika itu pula kepala Macan Terbang Berekor Sembilan terkulai. Saat itu pula nyawanya melayang.

"Guru...! Tenanglah kau di alam baka. Orang yang membunuhmu telah berhasil kulenyapkan. Sakit hatimu telah berhasil kubalaskan," ucap Gandara dalam hati sambil mendongakkan kepalanya ke langit. Seakan-akan di sana ada gurunya.

"Hak hak hak...! Luar biasa! Sungguh tidak bisa kupercaya Macan Terbang Berekor Sembilan bisa tewas. Apalagi oleh seorang tokoh muda yang tidak terkenal. Siapakah dirimu, Anak Muda?!"

Seketika itu pula Gandara membalikkan tubuhnya. Dan langsung bersikap waspada. Ucapan keras penuh pengerahan tenaga dalam tinggi itu telah membuatnya terkejut dan menolehkan kepala. Sama sekali kedatangan orang itu tidak didengarnya. Apakah sudah sejak tadi dia berada di sini? Kalau benar demikian, berarti orang itu menyaksikan pertarungannya menghadapi Macan Terbang Berekor Sembilan.

"Siapa kau? Dan apa maksud ucapanmu itu?!" tanya Gandara tanpa perasaan hormat sama sekali.

Sikap itu sengaja dipertunjukkan Gandara. Karena hanya dengan melihat penampilannya, sudah bisa diketahui kalau sosok itu bukan dari golongan putih.

"Hak hak hak....!" Lagi-lagi sosok yang mengenakan pakaian serba hitam itu tertawa terbahak-bahak. Sama sekali tidak dipedulikannya pertanyaan yang diajukan Gandara.

Gandara merasa tersinggung bukan kepalang. Tapi dicobanya untuk menguatkan hati. Ditatapnya sekujur tubuh sosok hitam itu lekatlekat. Dan seketika itu pula dia terperanjat. Ciri-ciri sosok hitam itu amat mirip dengan orang yang diceritakan murid Perguruan Seribu Kepalan sebagai orang yang membunuh ayahnya secara licik.

Diperhatikan lagi secara seksama ciri-ciri sosok hitam itu. Hidungnya yang mirip paruh burung, pakaiannya yang serba hitam, dan tawanya yang mirip suara burung. Tidak salah lagi! Pasti sosok hitam ini orang yang telah membunuh ayahnya. Ya! Dia pasti Elang Cakar Lima!

"Kaukah orang yang berjuluk Elang Cakar Lima itu, Manusia Burung?!" tanya Gandara kasar.

Rupanya makian Gandara mengenai sasarannya. Buktinya tawa sosok hitam yang tak lain adalah Elang Cakar Lima itu terhenti. Memang, Elang Cakar Lima paling benci apabila ada orang yang mengejek hidungnya yang berbentuk aneh itu. Dan kini Gandara telah mengejeknya dengan makian itu. Maka hatinya pun kalap!

"Rupanya kau merasa paling sakti setelah berhasil mengalahkan Macan Terbang Berekor Sembilan, Monyet Buduk! Kau harus membayar mahal atas makianmu itu!" desis Elang Cakar Lima penuh geram.

"Kau salah, Manusia burung! Kaulah yang harus membayar mahal atas perbuatan kejimu!" bantah Gandara tetap menggunakan makian itu. "Kau ingat pada Ketua Perguruan Seribu Kepalan yang kau tewaskan secara licik itu?! Nah! Kau dengar baik-baik, Manusia Burung! Akulah putranya!"

"Ooo..., begitu kiranya, Monyet Buduk! Kalau begitu, biarlah kurampungkan tugasku! Bersiaplah menyusul ayahmu...!"

"Kaulah yang akan kulenyapkan, Manusia Burung!" teriak Gandara tak mau kalah gertak.

"Tutup mulutmu, Monyet Buduk! Hiyaaa...!"

Diawali teriakan melengking nyaring, Elang Cakar Lima melancarkan serangan terhadap Gandara. Jari-jari kedua tangannya terkembang membentuk cakar burung. Dan Elang Cakar Lima membuka serangannya dengan melompat tinggi ke udara. Dari atas, tubuhnya menukik laksana seekor burung elang hendak menyambar mangsa. Kedua cakarnya meluncur ke arah kepala dan ubun-ubun Gandara.

Gandara yang telah merasa yakin akan kemampuan dirinya, sama sekali tidak mengelakkan serangan itu. Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh semakin menambah rasa yakin akan kemampuan dirinya. Oleh karena itu tanpa ragu-ragu dipapaknya serangan Elang Cakar Lima!

Prattt!

"Akh!" Pemuda berpakaian kuning itu menjerit tertahan ketika merasakan tangannya tergetar hebat akibat benturan itu. Bahkan tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Gandara sama sekali tidak memperhitungkan kalau dirinya baru saja bertarung mati-matian melawan Macan Terbang Berekor Sembilan. Setidak-tidaknya hal itu membuat tenaganya terkuras.

Tidak aneh kalau dalam benturan tadi dia merasakan akibatnya. Dan sebelum Gandara sempat berbuat sesuatu, lawannya telah mengirimkan serangan susulan. Masih dalam keadaan tubuh berada di udara, Elang Cakar Lima meluncurkan kakinya ke dada Gandara.

Namun serangan dahsyat itu tidak sempat merugikan Gandara. Pemuda berpakaian kuning itu malah sempat mengelakkan serangan itu dengan cara melompat ke belakang. Tapi Elang Cakar Lima tidak tinggal diam. Melihat serangannya kembali berhasil dipatahkan, dia tidak merasa kesal. Dikirimkan serangan susulan bertubi-tubi ke tubuh Gandara.

Kesudahannya, dua jago yang berbeda usia dan aliran itu telah terlibat dalam pertarungan yang semakin seru. Elang Cakar Lima benar-benar bernafsu untuk menewaskan Gandara. Serangan yang dilancarkan susul-menyusul tak henti-hentinya laksana gelombang laut. Hebatnya, setiap serangan yang dikirimkan begitu dahsyat dan mampu mengirimkan nyawa Gandara ke alam baka.

Keinginan yang sama pun ada di benak Gandara. Bahkan mungkin bila dibandingkan, hasrat yang dimilikinya jauh lebih besar. Hanya sayangnya, saat itu Gandara tidak berada dalam kemampuan tertingginya.

Karena baru saja bertarung mati-matian menghadapi Macan Terbang Berekor Sembilan. Sehingga kemampuannya telah merosot. Tenaga dalam maupun kecepatan gerakannya sudah berkurang. Tak aneh kalau Elang Cakar Lima mampu membaca gerakannya.

Apa lagi dalam keadaan seperti itu Gandara tak berani menggunakan ilmu 'Kelabang Seribu'nya. Maka kesialan yang diterimanya pun lengkap. Tak sampai lima puluh jurus bertarung, dia sudah dibuat terpontang panting ke sana kemari oleh lawannya.

Keadaan Gandara memang mengkhawatirkan. Jarang sekali dia melancarkan serangan balasan. Tindakan yang dilakukan sebagian besar hanya mengelak dan menjauhkan diri. Menangkis, apalagi melancarkan serangan balasan hanya sesekali saja dilakukan. Itu pun apabila keadaan sangat memaksa. Dan setiap kali terjadi benturan, Gandara pasti terhuyunghuyung.

Menilik dari keadaan ini, sudah dapat dipastikan knhu Gandara akan roboh di tangan Elang Cakar Lima. Dan melihat dari kedudukan Gandara yang sangat terhimpit, robohnya Gandara tidak akan lama lagi.

"Hih!"

Takkk!

"Akh!" Gandara mengeluarkan jerit tertahan ketika Elang Cakar Lima berhasil menyapu kakinya. Begitu keras serangan itu hingga membuat Gandara terpelanting jatuh ke tanah. Kesempatan baik itu tidak disia-siakan oleh Elang Cakar Lima. Dengan cepat kakinya dijejakkan ke dada Gandara.

Bresss!

Tanah langsung amblas sebatas betis, ketika jejakan kaki Elang Cakar Lima tak mengenai sasaran karena Gandara telah lebih dulu menggulingkan tubuhnya.

Karuan saja hal itu membuat Elang Cakar Lima semakin penasaran. Dikejarnya Gandara yang tengah bergulingan, dan kembali kakinya dijejakkan untuk menghancurkan dada Gandara. Tapi lagi-lagi Gandara berhasil meloloskan diri dengan cara bergulingan. Elang Cakar Lima mengejarnya lagi dengan maksud yang sama.

Maka untuk yang kesekian kalinya terlihat pemandangan yang unik. Elang Cakar Lima yang terus-menerus mengejar sambil menunggu saat tepat untuk menjejakkan kaki, dan Gandara yang senantiasa berguling untuk menyelamatkan nyawanya.

Gandara tahu keadaannya sangat berbahaya. Disadari kalau keadaan terus seperti itu, cepat atau lambat dirinya akan tewas. Harus ditemukannya cara untuk membebaskan diri dari keadaan seperti itu.

Namun Elang Cakar Lima pun tahu maksud yang terkandung di hati Gandara. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Maka sedikit pun tidak diberikannya kesempatan pada pemuda berpakaian kuning itu untuk melaksanakan niatnya. Terus diburunya Gandara, dan dicecarnya dengan jejakan-jejakan kaki. Elang Cakar Lima yakin, usahanya pasti akan berhasil. Tapi sebelum maksud Elang Cakar Lima tercapai....

DELAPAN

Wusss!

Tiba-tiba segumpal angin berhawa panas menyengat, meluruk begitu kencang ke tubuh Elang Cakar Lima.

Sadar akan kedahsyatan serangan ini. Elang Cakar Lima tak berani bertindak gegabah. Buru-buru pengejarannya terhadap Gandara dihentikan. Lalu tubuhnya dilempar ke belakang, berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum akhirnya hinggap berjarak beberapa tombak dari tempat semula.

Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Gandara untuk bangkit. Lalu hampir bersamaan waktunya dengan Elang Cakar Lima, Gandara mengarahkan pandangan ke arah orang yang telah menolongnya dengan cara melemparkan serangan jarak jauh itu.

"Dewa Arak...!" desis Gandara kaget.

Orang yang menyelamatkan Gandara memang Dewa Arak. Dengan sikap tenang, pemuda berambut putih keperakan itu berdiri. Di sebelahnya tampak Melati. Juga dengan sikap yang sama tenangnya.

"Ooo…, jadi kau rupanya orang yang berjuluk Dewa Arak itu?!" tanya Elang Cakar Lima sambil merayapi sekujur tubuh Dewa Arak dengan pandang mata penuh selidik.

"Benar," jawab Dewa Arak singkat.

"Hak hak hak...! Pucuk dicinta ulam tiba! Sama sekali tak kusangka akan bertemu denganmu di sini, Dewa Arak! Tak sia-sia aku mencarimu! Sekarang bersiaplah kau, Dewa Arak!"

"Sejak tadi pun aku sudah siap!" tandas Dewa Arak mantap.

"Bagus! Hiyaaat..!"

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Elang Cakar Lima langsung melancarkan serangan terhadap Dewa Arak. Sadar kalau lawan yang dihadapinya merupakan tokoh tangguh, tanpa ragu-ragu ilmu andalannya segera dikeluarkan.

Dewa Arak tahu kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan, dan tanpa ragu-ragu lagi guci araknya yang tergantung di punggungnya diambil, kemudian dituangkan ke mulutnya.

Gluk..., gluk..., gluk...!

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan, dalam perjalanan menuju ke perut Sesaat kemudian, hawa hangat pun berputaran di ba-wah perutnya. Lalu perlahan-lahan hawa itu merayap naik ke atas. Seketika itu pula kedudukan kaki Dewa Arak sempoyongan ke sana kemari. Ini menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah siap dengan penggunaan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.

Ketika tubuh Dewa Arak oleng ke sana kemari itulah, serangan Elang Cakar Lima meluncur. Dan seperti biasanya, datuk sesat yang memiliki ciri-ciri mirip burung itu membuka serangannya dengan sebuah lompatan ke udara. Dan ketika tubuhnya telah berada di atas, langsung menukik sambil melancarkan serangan cakarnya menuju kepala dan ubun-ubun lawan.

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau kedahsyatan dan perkembangan ilmu lawan belum diketahuinya. Oleh karena itu, dia tidak berani menangkis. Yang dilakukannya saat itu adalah mengelak. Bahkan elakan yang dilakukan hanya mengelak sambil menjauhi tempat lawan.

Dewa Arak melompat jauh ke belakang sehingga serangan Elang Cakar Lima tidak mengenai sasaran. Tapi seperti kejadian yang sudah-sudah, melihat serangannya berhasil dielakkan lawan, Elang Cakar Lima tidak berdiam diri. Segera dikirimkan serangan susulan begitu kakinya telah mendarat di tanah.

Sama seperti tindakan yang dilakukan sebelumnya, menghadapi serangan susulan itu pun Dewa Arak tetap tidak melakukan tangkisan. Yang dilakukannya hanya mengelakkan serangan itu. Hal yang sama pun dilakukannya ketika menghadapi serangan-serangan selanjutnya. Dewa Arak bermaksud melihat kedahsyatan perkembangan ilmu lawan sebelum mulai melakukan perlawanan.

Karuan saja tindakan Dewa Arak membuat Elang Cakar Lima murka. Dia tersinggung karena mengira Dewa Arak merendahkannya. Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkannya pun semakin dahsyat. Selama hampir tiga jurus hanya itu yang dilakukan Dewa Arak. Mengelak dan mengelak.

Baru pada jurus keempat, setelah cukup mengetahui kedahsyatan dan perkembangan ilmu lawannya, Dewa Arak mulai melancarkan serangan balasan. Dan ketika Dewa Arak melancarkan serangan balasan, terasa oleh Elang Cakar Lima betapa beratnya daya serang Dewa Arak.

Serangan pemuda berambut putih keperakan itu mengingatkannya akan gelombang laut. Begitu kuat dan penuh dengan tekanan. Elang Cakar Lima tak tahu kalau itulah jurus 'Belalang Sakti'.

Setiap kali Dewa Arak melakukan penyerangan terasa beratnya oleh Elang Cakar Lima. Sebaliknya, setiap kali serangan balasan dilancarkan, dengan mudah pemuda berambut putih keperakan itu memunahkannya dengan elakan yang aneh. Betapa tidak? Tak jarang Dewa Arak mengelak sambil menenggak araknya. Demikian pula ketika melakukan penyerangan.

Yang lebih membuat hati Elang Cakar Lima takjub bercampur heran, ketika melihat Dewa Arak malah seperti memapak datangnya serangan yang tengah meluncur ke tubuhnya. Namun anehnya, justru dengan melakukan tindakan seperti itu serangan yang dilancarkannya selalu meleset dari sasaran.

Elang Cakar Lima benar-benar dibuat kelabakan. Ilmu yang dimiliki Dewa Arak benar-benar sulit diduga perubahannya. Kadang-kadang keras penuh kekuatan, tapi tak jarang lemas seperti tidak mengandung tenaga sama sekali. Perubahan dari keras ke lembut itu berlangsung demikian mendadak sehingga tak bisa diduga.

Padahal Elang Cakar Lima pernah bertarung dengan tokoh sakti seperti Prakasa. Namun tetap saja harus diakuinya kalau tekanan serangan Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu tak seberat tekanan serangan Dewa Arak. Bahkan biasanya dia mengetahui ke mana serangan selanjutnya akan ditujukan. Hal seperti itu tidak pernah bisa dilakukannya terhadap Dewa Arak. Perkembangan gerakan Dewa Arak sama sekali tak bisa diduganya.

Padahal dalam hal tenaga dalam dan kecepatan gerak, Dewa Arak belum tentu berada di atas Prakasa. Tapi harus diakuinya kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki sebuah ilmu yang mempunyai mutu amat tinggi. Lebih patut kalau disebut mukjizat!

Pertarungan pun semakin seru dan begitu menarik. Apalagi mereka bertarung dengan kecepatan tinggi sehingga yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan ungu dan hitam yang saling belit. Hanya kadang-kadang kedua bayangan itu saling pisah. Itu pun berlangsung sebentar saja. Karena sesaat kemudian, telah saling belit kembali.

"Hiaaat..!"

"Yeaaat...!"

Wuuttt!

Bunyi angin menderu, mencicit, dan mengaung menyemaraki pertarungan yang tengah berlangsung. Itu pun masih ditambah lagi dengan bunyi tegukan Dewa Arak menenggak araknya. Masing-masing pihak memang mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Kini pertarungan telah menginjak enam puluh jurus, dan selama itu belum terlihat ada pihak yang mulai terdesak. Pertarungan masih berjalan seimbang. Tapi lambat laun Dewa Arak nampak mulai mampu menguasai keadaan pertarungan. Tangan dan kaki, guci, dan semburan-semburan araknya merupakan satu kesatuan yang mampu menggilas habis semua pertahanan musuh. Dan hal itu dirasakan sendiri oleh Elang Cakar Lima. Padahal saat itu, Elang Cakar Lima telah menghunus senjatanya. Sebuah keris hitam legam yang mempunyai tujuh luk.

Dan menginjak jurus keseratus, tanda-tanda kemenangan untuk Dewa Arak mulai tampak. Serangan-serangan yang dilancarkan Elang Cakar Lima mulai mengendur. Gerakan yang dilakukannya lebih banyak untuk menghindar dan menjauhkan diri dari serangan Dewa Arak Hal yang sebaliknya dialami Dewa Arak.

Serangan yang dilancarkannya semakin meningkat. Yang lebih gila lagi, kekuatan yang terkandung dalam serangan itu sama sekali tak berkurang. Masih tetap sedahsyat semula. Seakan-akan Dewa Arak mempunyai sumber tenaga cadangan. Dan hal itu memang benar! Pemuda berambut putih keperakan itu memang mempunyai sumber tenaga cadangan, dari arak dalam gucinya.

Setiap kali araknya diminum, seketika itu pula kekuatannya pulih kembali seperti sediakala. Keadaan seperti itu berjalan terus selama pertarungan. Elang Cakar Lima semakin terdesak dan kewalahan. Apalagi ketika Dewa Arak dengan cepat terus mendesaknya.

Namun, Elang Cakar Lima bukan orang bodoh. Dia tahu kalau keadaan seperti itu berlangsung terus, kekalahan sudah jelas akan dideritanya. Dan bukan mustahil dirinya akan tewas di tangan pendekar muda yang sakti itu. Maka diputuskan menggunakan cara lain untuk mencapai kemenangan. Dengan sabar, ditunggunya kesempatan untuk menggunakan taktik itu. Dan kesempatan yang ditunggunya tiba, ketika pada jurus keseratus dua puluh tiga Dewa Arak melancarkan sapuan kaki kanan.

Wusss!

Dengan sebuah lompatan yang dilanjutkan dengan bantingan tubuh di tanah untuk kemudian bergulingan, Elang Cakar Lima melancarkan siasatnya. Tangannya masuk ke balik baju, lalu secepat kilat dikibaskan ke arah Dewa Arak.

Siut, siut..!

Seketika itu pula beberapa buah benda bulat sebesar telur bebek meluncur ke tubuh Dewa Arak.

Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat serangan yang sama sekali tak disangka-sangka itu. Namun, ketika melihat jenis benda itu, dia langsung tahu. Karena pemuda berambut putih keperakan itu telah pernah bentrok dengan tokoh yang mempunyai senjata seperti itu. Oleh karena itu, Dewa Arak tak berani bertindak gegabah.

Dengan cepat tubuhnya dibanting ke tanah, lalu bergulingan. Sehingga benda-benda bulat itu menyambar lewat jauh di atas kepalanya. Tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ. Sambil menggulingkan tubuh, dilancarkannya serangan balasan ke arah Elang Cakar Lima. Kedua tangannya beberapa kali menghentak kuat.

Wusss!

Gumpalan angin kencang berhawa panas menyengat, meluruk ke arah Elang Cakar Lima. Bertubi-tubi serangan itu dilancarkan. Maka Elang Cakar Lima pun kelabakan bukan kepalang. Dengan susah payah, tubuhnya melompat ke sana kemari mengelakkan setiap serangan Dewa Arak.

Usaha Elang Cakar Lima tidak sia-sia. Serangan-serangan Dewa Arak berhasil dielakkan semua. Bahkan dia masih sanggup mengirimkan serangan balasan dengan lontaran benda-benda bulatnya. Kekeras kepalaan sikap Elang Cakar Lima membuat Dewa Arak kehilangan kesabaran. Maka dipapaknya benda-benda bulat itu dengan pukulan jarak jauhnya, jurus 'Pukulan Belalang'.

Glarrr! Glarrr...!

Bunyi-bunyi keras menggelegar terdengar ketika angin pukulan Dewa Arak membentur benda-benda bulat itu, sehingga menimbulkan ledakan. Sampai akhirnya semua benda bulat yang diluncurkan Elang Cakar Lima habis dihancurkan Dewa Arak.

Melihat Elang Cakar Lima kehabisan senjata andalannya, Dewa Arak kembali meluruk ke arahnya. Maka pertarungan pun berlangsung kembali. Tapi hanya dalam beberapa gebrakan Elang Cakar Lima telah terjepit, seperti pada jurus-jurus sebelumnya. Meskipun demikian, Elang Cakar Lima tetap melakukan perlawanan mati-matian.

"Hih!" Meskipun keadaannya sudah terjepit, Elang Cakar Lima yang keras hati memaksakan diri melancarkan sebuah serangan. Tangan kanannya membabatkan keris ke leher Dewa Arak.

Wuttt!

Sabetan keris itu menyambar lewat di atas kepala, ketika Dewa Arak menundukkan tubuhnya. Ketika itu juga Dewa Arak menghantamkan gucinya ke dada Elang Cakar Lima.

Bukkk!

"Hugh!" Keluhan tertahan terdengar dari mulut Elang Cakar Lima ketika guci Dewa Arak menghantam telak dadanya. Tubuhnya terjengkang ke belakang dengan darah mengalir deras dari mulutnya. Jelas, Elang Cakar Lima mengalami luka dalam yang parah.

Dan seperti telah diatur, terhuyungnya tubuh Elang Cakar Lima justru mendekati Gandara. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Gandara langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan.

Bukkk!

"Hugh!" Untuk yang kedua kalinya terdengar keluhan tertahan. Hentakan kedua tangan terbuka Gandara telak dan keras sekali menghantam punggung Elang Cakar Lima. Seketika itu pula tubuhnya melayang deras. Dan....

Brukkk!

Setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak, akhirnya tubuh Elang Cakar Lima ambruk di tanah diiringi bunyi berdebuk keras. Sesaat lamanya datuk sesat yang memiliki ciri-ciri mirip burung itu menggelepar-gelepar. Kemudian diam tak berkutik lagi bersama nyawanya yang melayang.

"Hhh...!"

Hampir berbareng dari mulut Dewa Arak dan Gandara keluar helaan napas lega. Hanya saja Gandara lalu menengadahkan kepalanya ke langit.

"Kau lihat. Ayah. Orang yang telah membunuhmu secara keji berhasil kutumpas. Sakit hatimu telah kubalaskan. Tenanglah kau di alam baka, Ayah," ujar Gandara pelan. Setelah itu, Gandara mengalihkan perhatian ke Dewa Arak.

"Sekarang mari kita selesaikan urusan di antara kita Gandara. Bukankah kau hendak membalas dendam atas kematian gurumu padaku?!" langsung saja Dewa Arak menanyakannya.

"Hhh...!" Gandara menghembuskan napas berat sebelum akhirnya menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. "Maafkan atas tindakan cerobohku, Dewa Arak! Sekarang aku tahu, bukan kau pembunuh guruku, melainkan Macan Terbang Berekor Sembilan. Jadi tak ada gunanya lagi kita bertarung. Tapi, kalau kau hendak membalas dendam atas perlakuanku yang tak pantas padamu, silakan! Percayalah, aku tak akan melawan!"

Dewa Arak dan Melati saling pandang menerima sambutan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Keduanya merasa terkejut bukan kepalang. Terutama sekali Melati. Sama sekali tidak diduga kalau masalah itu telah menjadi jelas sendiri.

"Makanya jangan sombong, mentang-mentang memiliki kepandaian lalu bertindak semaunya tanpa memperdulikan ucapan orang lain," omel Melati. Rupanya gadis berpakaian putih itu masih dongkol atas kejadian dulu. Meskipun Gandara telah meminta maaf, tetap saja belum semua rasa tidak senangnya menguap.

"Lupakanlah, Gandara! Tak ada hal yang perlu dimaafkan. Kejadian waktu itu hanya salah paham belaka. Dan aku tak merasa dendam. O, ya. Kuharap kau tak tersinggung atas ucapan kawanku ini," ujar Dewa Arak.

"Tentu saja tidak, Dewa Arak," sahut Gandara sambil mengembangkan senyum lebar.

Dan sesaat kemudian, tiga orang muda yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu terlibat dalam percakapan di tengah suasana sepi Desa Rotan. Semua penduduk desa itu telah pergi karena ketakutan oleh seekor harimau loreng yang mengamuk.

Matahari kini telah mulai tenggelam di barat. Sebentar lagi hari pun akan berubah gelap, karena malam segera turun menyelimuti persada.

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.